input
stringlengths
912
558k
output
stringlengths
234
2.18k
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 2 /PBI/2011 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank semakin meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan; b. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank memberikan dampak yang sangat besar terhadap eksposur risiko yang dihadapi oleh bank sehingga diperlukan upaya-upaya untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank; c. bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif (ex-ante ) maupun kuratif (ex-post); d. bahwa upaya yang bersifat ex-ante dapat ditempuh dengan mematuhi berbagai kaidah perbankan yang berlaku untuk mengurangi atau memperkecil risiko kegiatan usaha bank; e. bahwa untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud pada huruf d diperlukan peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang ada pada Bank sehingga potensi risiko kegiatan usaha bank dapat diantisipasi lebih dini; f. bahwa . . . - 2 - f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e diperlukan pengaturan mengenai fungsi kepatuhan Bank Umum dan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director); Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). MEMUTUSKAN . . . - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk didalamnya kantor cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di Indonesia. 3. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian. 4. Direksi: . . . - 4 - 4. Direksi: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan Daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian; d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan kantor cabang bank asing. 5. Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 6. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, serta memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. 7. Risiko Kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. 8. Prinsip . . . - 5 - 8. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal 2 (1) Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank. (2) Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi Kepatuhan Bank. (3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Fungsi Kepatuhan. BAB II FUNGSI KEPATUHAN BANK Pasal 3 Fungsi Kepatuhan Bank meliputi tindakan untuk: a. mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank; b. mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank; c. memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan d. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang. Pasal 4 . . . - 6 - Pasal 4 (1) Bank wajib memiliki Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan membentuk satuan kerja kepatuhan. (2) Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh satuan kerja kepatuhan. Pasal 5 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan pada Bank Umum Syariah dan/atau Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib berkoordinasi dengan Dewan Pengawas Syariah terkait pelaksanaan Fungsi Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah. Pasal 6 (1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap Fungsi Kepatuhan, dengan: a. mengevaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank paling kurang 2 (dua) kali dalam satu tahun; b. memberikan saran-saran dalam rangka meningkatkan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank. (2) Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Dewan Komisaris menyampaikan saran-saran dalam rangka peningkatan kualitas pelaksanaan Fungsi Kepatuhan kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. BAB III . . . - 7 - BAB III DIREKTUR YANG MEMBAWAHKAN FUNGSI KEPATUHAN Bagian Pertama Independensi dan Kriteria Pasal 7 (1) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi persyaratan independensi. (2) Direktur Utama dan/atau Wakil Direktur Utama dilarang merangkap jabatan sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. (3) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang membawahkan fungsi-fungsi : a. bisnis dan operasional; b. manajemen risiko yang melakukan pengambilan keputusan pada kegiatan usaha Bank; treasury; c. d. keuangan dan akuntansi; e. f. g. audit intern. Pasal 8 Calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memiliki integritas dan pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. logistik dan pengadaan barang/jasa; teknologi informasi; dan Bagian . . . - 8 - Bagian Kedua Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan Pasal 9 (1) Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah. (2) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan tidak dapat menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut maka pelaksanaan tugas yang bersangkutan wajib digantikan sementara oleh Direktur lain sampai dengan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat menjalankan tugas jabatannya kembali. (3) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya, maka Bank wajib segera mengangkat pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. (4) Selama dalam proses penggantian Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menunjuk atau menugaskan salah satu Direktur lainnya untuk sementara melaksanakan tugas Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. (5) Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik karena berhalangan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maupun berhalangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3). (6) Dalam . . . - 9 - (6) Dalam hal Direktur lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada, maka jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dapat dirangkap sementara oleh Direktur lainnya yang membawahkan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). (7) Penggantian sementara jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bagian Ketiga Tugas dan Tanggung Jawab Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan Pasal 10 (1) Tugas dan tanggung jawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, paling kurang mencakup: a. merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan Bank; b. mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan yang akan ditetapkan oleh Direksi; c. menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank; d. memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; e. meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank; f. melakukan . . . - 10 - f. melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan yang diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing tidak menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; g. melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan. (2) Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak dan kewajiban Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagai anggota Direksi Bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, apabila untuk perbuatan-perbuatan tertentu tersebut diperlukan keputusan dari seluruh anggota Direksi Bank. Pasal 11 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris, paling kurang secara triwulanan. BAB IV SATUAN KERJA KEPATUHAN Bagian Pertama Independensi dan Kriteria Pasal 12 (1) Satuan kerja kepatuhan harus independen. (2) Pejabat dan staf di satuan kerja kepatuhan dilarang ditempatkan pada posisi menghadapi conflict of interest dalam melaksanakan tanggung jawab Fungsi Kepatuhan. (3) Satuan . . . - 11 - (3) Satuan kerja kepatuhan pada Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah wajib didukung oleh personil yang mempunyai pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah. Pasal 13 Kriteria kepala satuan kerja kepatuhan: a. memenuhi persyaratan independensi; b. menguasai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. tidak melaksanakan tugas lainnya di luar Fungsi Kepatuhan; dan d. memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan mengembangkan Budaya Kepatuhan (compliance culture). Pasal 14 Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia. Bagian Kedua Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan Pasal 15 Dalam rangka melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan paling kurang mencakup: a. membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang organisasi; b. melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring, dan pengendalian terhadap Risiko Kepatuhan dengan mengacu pada peraturan Bank Indonesia mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum; c. menilai . . . - 12 - c. menilai dan mengevaluasi efektivitas, kecukupan, dan kesesuaian kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. melakukan review dan/atau merekomendasikan pengkinian dan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank agar sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; e. melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan f. melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan. BAB V PELAPORAN Pasal 16 Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugasnya, meliputi: a. Rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam rencana bisnis Bank; b. Laporan kepatuhan; dan c. Laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menurut Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan telah menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bagian dari tugas Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf f. Pasal 17 . . . - 13 - Pasal 17 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, wajib ditandatangani oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, dan disampaikan kepada Bank Indonesia secara semesteran dan diterima Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir dengan tembusan kepada Dewan Komisaris dan Direktur Utama. (2) Laporan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama kalinya wajib disampaikan untuk periode pelaporan Juli sampai dengan Desember 2011. (3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan diterima Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum melampaui 1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan. (4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan tersebut belum diterima Bank Indonesia hingga akhir batas waktu keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). (5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya penyimpangan. BAB VI ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 18 (1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditujukan kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, dengan tembusan kepada Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat. (2) Penyampaian . . . - 14 - (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan Pasal 16, ditujukan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; atau b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat diluar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB VII SANKSI Pasal 19 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan; c. larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau Rapat Anggota Koperasi (RAT) mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; dan f. pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam daftar tidak lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 20 . . . - 15 - Pasal 20 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh Bank Indonesia. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 Sejak tanggal ditetapkannya ketentuan ini, Bank wajib melakukan penyesuaian mengacu pada ketentuan ini paling lambat sampai dengan tanggal 31 Agustus 2011. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum dinyatakan tidak berlaku. Pasal 23 . . . - 16 - Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 September 2011. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 12 Januari 2011 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 6 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 2 /PBI/2011 TENTANG PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM I. UMUM Kegiatan usaha bank terus mengalami perubahan dan peningkatan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi dan integrasi pasar keuangan, sehingga kompleksitas kegiatannya semakin tinggi. Kompleksitas kegiatan usaha bank yang semakin meningkat tersebut mengakibatkan tantangan dan eksposur risiko yang dihadapi juga semakin besar. Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha bank yang semakin besar, maka diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi risiko tersebut. Upaya-upaya tersebut dapat bersifat ex-ante maupun ex-post. Upaya yang bersifat ex-ante sangat diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi risiko kegiatan usaha bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu diperlukan adanya peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan dalam pengelolaan Risiko Kepatuhan. Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan dapat meminimalisir dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan ke depan tidak hanya melihat suatu kejadian yang bersifat ex-ante melainkan juga harus mampu mengelola Risiko Kepatuhan agar sejalan dengan penerapan manajemen risiko yang telah berjalan di bank secara keseluruhan. Selama . . . - 2 - Selama ini pengaturan mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan maupun direktur kepatuhan belum memadai dan masih menjadi satu dengan pengaturan fungsi audit intern, sehingga terkesan bahwa pengaturan peran dan Fungsi Kepatuhan maupun direktur kepatuhan merupakan bagian dari fungsi audit intern. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianggap perlu adanya pengaturan tersendiri yang lebih luas dan spesifik mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang terpisah dari ketentuan tentang fungsi audit intern. Disamping itu, pengaturan ini nantinya diharapkan akan mengubah peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan menjadi lebih forward looking dan lebih sensitif terhadap dinamika perubahan yang terjadi. Dengan demikian, terjadi transformasi mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan menuju kearah yang lebih strategis dan lebih berperan dalam mendukung kinerja bank yang lebih baik. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) . . . - 3 - Ayat (3) Khusus bagi Kantor Cabang Bank Asing, pelaksanaan pengawasan terhadap Fungsi Kepatuhan disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang bersangkutan. Pasal 3 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tindakan mengelola Risiko Kepatuhan dilaksanakan dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 . . . - 4 - Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace bagi Bank Umum. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan fungsi bisnis atau fungsi operasional antara lain meliputi kegiatan penghimpunan dan/atau penyaluran dana dan kegiatan keagenan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g . . . - 5 - Huruf g Cukup jelas. Pasal 8 Penilaian kriteria calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dalam pasal ini mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test) dan ketentuan mengenai pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Alih Pengetahuan. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan tugas jabatannya disebabkan oleh hal-hal yang bersifat sementara seperti cuti, sakit, dan dinas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” antara lain meninggal dunia, mengalami cacat fisik, dan/atau cacat mental atau kondisi lain yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Pengangkatan pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya. Ayat (4) . . . - 6 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kebijakan kepatuhan” adalah prinsip-prinsip yang akan dipergunakan untuk menyusun sistem, prosedur, dan pedoman internal dalam rangka harmonisasi antara kepentingan komersial Bank dengan ketaatan peraturan yang berlaku. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . . - 7 - Huruf f Termasuk sebagai tindakan pencegahan antara lain memberikan pendapat yang berbeda/dissenting opinion apabila terdapat kebijakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanggungjawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dalam melakukan tindakan pencegahan terbatas pada kewenangan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. Huruf g Yang dimaksud tugas-tugas lain yang terkait dengan fungsi kepatuhan antara lain adalah memantau dan menjaga kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia maupun otoritas pengawas lainnya yang berwenang. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “perbuatan-perbuatan tertentu” adalah perbuatan-perbuatan yang terkait dengan corporate actions antara lain merger, konsolidasi, akuisisi, right issue, dan initial public offering (IPO). Pasal 11 Bagi kantor cabang bank asing, laporan disampaikan kepada pemimpin kantor cabang bank asing dengan tembusan kepada pihak yang berwenang mengawasi kantor cabang bank asing, sesuai dengan struktur organisasi Bank. Pasal 12 . . . - 8 - Pasal 12 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “satuan kerja kepatuhan harus independen” adalah satuan kerja kepatuhan harus dibentuk secara tersendiri dan bebas dari pengaruh satuan kerja lainnya, serta mempunyai akses langsung pada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan. Satuan kerja kepatuhan dibentuk di kantor pusat Bank, namun melaksanakan Fungsi Kepatuhan di seluruh jaringan kantor Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Huruf a Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace bagi Bank Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . - 9 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Pasal 14 Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan mengacu pada ketentuan pelaporan bagi Pejabat Eksekutif sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah. Pasal 15 Huruf a Langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya Kepatuhan antara lain pembuatan sistem, program, kerangka pikir (frame work), compliance charter, kode etik kepatuhan (compliance code of conduct), atau kebijakan kepatuhan (compliance policy). Huruf b Dalam rangka melakukan proses pengelolaan Risiko Kepatuhan, satuan kerja kepatuhan berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko. Huruf c Terkait dengan tugas dan tanggungjawab butir c ini, satuan kerja kepatuhan dapat melakukan antara lain: 1. menilai rancangan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur baru; 2. berinisiatif . . . - 10 - 2. berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur berdasarkan informasi yang diperoleh. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Tugas-tugas lain meliputi antara lain: 1. Memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang; 2. Melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai Bank mengenai hal-hal yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan terutama mengenai ketentuan yang berlaku; 3. Bertindak sebagai contact person untuk permasalahan kepatuhan Bank bagi pihak internal maupun eksternal. Pasal 16 Huruf a Laporan rencana kerja kepatuhan paling kurang terdiri dari: a. rencana evaluasi pedoman internal; dan b. rencana kegiatan untuk mendorong dan/atau memelihara Budaya Kepatuhan, termasuk rencana sosialisasi ketentuan. Tata cara penyampaian rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam rencana bisnis Bank dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Rencana Bisnis Bank. Huruf b . . . - 11 - Huruf b Laporan kepatuhan paling kurang terdiri dari: a. pelaksanaan tugas Fungsi Kepatuhan; b. Risiko Kepatuhan yang dihadapi; c. potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan akan dihadapi ke depan; dan d. mitigasi Risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan. Laporan kepatuhan tersebut disajikan secara komparatif dalam 2 (dua) periode laporan. Huruf c Laporan khusus Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang- undangan yang berlaku paling kurang meliputi: a. nama Direksi beserta bidang tugasnya; b. tanggal pengambilan kebijakan atau keputusan kegiatan; c. aktivitas penyimpangan yang dilakukan; d. ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang- undangan yang dilanggar; dan e. dampak yang ditimbulkan untuk jangka pendek dan menengah baik secara financial, gangguan terhadap kelangsungan usaha, maupun penurunan reputasi Bank. Pasal 17 Ayat (1) Apabila batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur maka laporan wajib disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Contoh: . . . - 12 - Contoh: Untuk laporan periode Januari sampai dengan Juni 2011, laporan paling lambat disampaikan tanggal 29 Juli 2011 karena tanggal 31 Juli 2011 jatuh pada hari Minggu. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contohnya laporan periode Juli sampai dengan Desember 2011, batas akhir waktu penyampaian laporan adalah 31 Januari 2012. Laporan tersebut dinyatakan terlambat disampaikan apabila diterima di Bank Indonesia pada tanggal 1 sampai dengan 28 Februari 2012. Ayat (4) Laporan dinyatakan tidak disampaikan apabila sampai dengan tanggal 28 Februari 2012 laporan tidak diterima Bank Indonesia atau diterima Bank Indonesia setelah tanggal 28 Februari 2012. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 13 - Ayat (2) Pengenaan sanksi kewajiban membayar tersebut tidak menghapus kewajiban yang bersangkutan untuk menyampaikan laporan. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5187 DPNP
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 13/2/PBI/2011 </reg_id> <reg_title> PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM </reg_title> <set_date> 12 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 1 September 2011 </effective_date> <issued_date> 12 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '1/6/PBI/1999 | Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/16/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan dan perkembangan industri perbankan syariah yang berkelanjutan, maka diperlukan satu pemahaman yang sama dari seluruh stakeholders mengenai keberadaan seluruh kegiatan usaha dan operasional perbankan syariah yang merupakan bagian dari jasa perbankan nasional; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dipandang perlu untuk menyempurnakan ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia. Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia … - 2 - Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); 2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4793) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut : 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank … - 3 - 1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 6. Prinsip … - 4 - 6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 7. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 8. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah … - 5 - setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2 (1) Kegiatan usaha penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank berdasarkan Prinsip Syariah yang dilakukan oleh Bank merupakan jasa perbankan. (2) Dalam melaksanakan jasa perbankan melalui kegiatan penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa bank, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah. (3) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan objek haram. 3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Bank yang tidak memenuhi Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pasal II … - 6 - Pasal II Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta Pada Tanggal : 25 September 2008 GUBERNUR BANK INDONESIA, BOEDIONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 25 September 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR DPbS 136 PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/16/PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH I. UMUM Perbankan syariah di Indonesia lahir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa perbankan syariah sebagai alternatif dari layanan jasa perbankan konvensional. Perbankan syariah merupakan salah satu subsistem dalam sistem perbankan di Indonesia yang menganut dual banking system. Oleh karena itu, seluruh kegiatan usaha dan operasional perbankan syariah merupakan bagian dari jasa perbankan nasional, dan masing-masing subsistem diharapkan dapat saling mendukung sistem perbankan secara keseluruhan. Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2 Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) … - 2 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan: “ ‘Adl” yaitu menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai posisinya. “Tawazun” adalah keseimbangan yang meliputi aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian. “Maslahah” adalah segala bentuk kebaikan yang berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual serta individual dan kolektif serta harus memenuhi 3 (tiga) unsur yakni kepatuhan syariah (halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib) dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak menimbulkan kemudharatan. “Alamiyah” adalah sesuatu yang dapat dilakukan dan diterima oleh, dengan dan untuk semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). “Gharar” adalah transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah. “Maysir” … - 3 - “Maysir”, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung- untungan; “Riba”, adalah pemastian penambahan pendapatan secara tidak sah (bathil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasiah). “Zalim”, adalah transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya. “Objek Haram”, adalah suatu barang atau jasa yang diharamkan dalam syariah. Angka 3 Pasal 5 Cukup jelas. Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4896
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 10/16/PBI/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH </reg_title> <set_date> 25 September 2008 </set_date> <effective_date> 25 September 2008 </effective_date> <issued_date> 25 September 2008 </issued_date> <changed_reg> '9/19/PBI/2007' </changed_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 5' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11/ 28 /PBI/2009 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan teknologi informasi bank maka risiko pemanfaatan bank dalam pencucian uang dan pendanaan teroris semakin tinggi; b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi bank perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; c. bahwa penerapan manajemen risiko yang terkait dengan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme perlu mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara internasional; d. bahwa ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini berlaku, perlu disempurnakan; e. bahwa . . . - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas, dipandang perlu untuk menetapkan pengaturan tentang penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi bank umum dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang . . . - 3 - 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4324); 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284); 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM. BAB I . . . - 4 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank Asing, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. 3. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank dan memiliki rekening pada Bank tersebut. 5. Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah pengguna jasa Bank yang tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut. 6. Existing Customer adalah Nasabah yang telah menjalani hubungan usaha dengan Bank pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini. 7. Customer Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil Nasabah. 8. Enhanced . . . - 5 - 8. Enhanced Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat berhubungan dengan Nasabah yang tergolong berisiko tinggi termasuk Politically Exposed Person terhadap kemungkinan pencucian uang dan pendanaan terorisme. 9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. 10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang. 11. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang untuk selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. 12. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. 13. Rekomendasi Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut sebagai Rekomendasi FATF adalah rekomendasi standar pencegahan dan pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh FATF. 14. Lembaga Negara/Pemerintah adalah lembaga yang memiliki kewenangan di bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif. 15. Politically Exposed Person yang selanjutnya disebut sebagai PEP adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan . . . - 6 - peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. 16. Shell Bank adalah Bank yang tidak mempunyai kehadiran secara fisik (physical presence) di wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolidasi yang efektif. 17. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan jasa perbankan lainnya. 18. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking dimana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank respondent berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia. 19. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah transfer dana. 20. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah transfer dana dari Bank Pengirim. 21. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah transfer dana. Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan program APU dan PPT. (2) Dalam penerapan program APU dan PPT, Bank wajib berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 3 . . . - 7 - Pasal 3 (1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko Bank secara keseluruhan. (2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. e. sistem informasi manajemen; dan sumber daya manusia dan pelatihan. BAB II PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 4 Pengawasan aktif Direksi Bank paling kurang mencakup: a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program APU dan PPT; b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis program APU dan PPT kepada Dewan Komisaris; c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan; d. memastikan bahwa satuan kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT terpisah dari satuan kerja yang mengawasi penerapannya; e. membentuk . . . - 8 - e. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU dan PPT dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggungjawab terhadap Program APU dan PPT di Kantor Pusat; f. pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan program APU dan PPT; g. memastikan bahwa kantor cabang dan kantor cabang pembantu Bank memiliki pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus atau pejabat yang melaksanakan program APU dan PPT; h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan program APU dan PPT secara berkala. Pasal 5 Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup: a. persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; dan b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT. Pasal 6 (1) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT. (2) Unit . . . - 9 - (2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab kepada Direktur Kepatuhan. (3) Bank wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. Pasal 7 Pejabat unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap program APU dan PPT wajib: a. memantau adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT; b. memantau pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah; c. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan program APU dan PPT dengan unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah; d. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan perkembangan program APU dan PPT yang terkini, risiko produk Bank, kegiatan dan kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi Bank; e. menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan (red flag) dari unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan melakukan analisis atas laporan tersebut; f. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan persetujuan Direktur Kepatuhan; g. memantau . . . - 10 - g. memantau bahwa: 1) terdapat mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja terkait kepada unit kerja khusus atau kepada pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan menjaga kerahasiaan informasi; 2) Unit kerja terkait melakukan fungsi dan tugas dalam rangka mempersiapkan laporan mengenai dugaan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebelum menyampaikannya kepada unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT; 3) area yang berisiko tinggi yang terkait dengan APU dan PPT dapat teridentifikasi dengan baik dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku dan sumber informasi yang memadai; dan h. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan program APU dan PPT bagi pegawai Bank. BAB III KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Pasal 8 (1) Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup: a. permintaan informasi dan dokumen; b. Beneficial Owner; c. verifikasi dokumen; d. CDD yang lebih sederhana; e. penutupan . . . - 11 - e. penutupan hubungan dan penolakan transaksi; f. g. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; h. pengkinian dan pemantauan; i. Cross Border Correspondent Banking; j. transfer dana; dan k. penatausahaan dokumen. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme. (3) Bank wajib menuangkan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT. (4) Bank wajib menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan berkesinambungan. (5) Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris. Pasal 9 Bank wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a. melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah; b. melakukan hubungan usaha dengan WIC; c. Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah, penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau d. terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Pasal 10 . . . ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP; - 12 - Pasal 10 (1) Dalam melakukan penerimaan Nasabah, Bank wajib menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dengan mengelompokkan Nasabah berdasarkan tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme. (2) Pengelompokan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang dilakukan dengan melakukan analisis terhadap: a. b. identitas Nasabah; lokasi usaha Nasabah; c. profil Nasabah; d. jumlah transaksi; e. kegiatan usaha Nasabah; f. g. struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; dan informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat risiko Nasabah. (3) Pengaturan mengenai pengelompokan risiko Nasabah akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 11 (1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib meminta informasi yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. (2) Identitas calon Nasabah harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung. (3) Bank . . . - 13 - (3) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Bank dilarang untuk membuka atau memelihara rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. (5) Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah. (6) Bank wajib mewaspadai transaksi atau hubungan usaha dengan Nasabah yang berasal atau terkait dengan negara yang belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi FATF. Bagian Pertama PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN Pasal 12 Bank wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok perseorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner. Pasal 13 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) paling kurang mencakup: a. Bagi calon Nasabah perorangan: 1) identitas Nasabah yang memuat: a) nama lengkap termasuk alias apabila ada; b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud; c) alamat . . . - 14 - c) d) e) alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas; alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon apabila ada; tempat dan tanggal lahir; f) kewarganegaraan; g) pekerjaan; h) i) 2) 3) 4) jenis kelamin; dan status perkawinan; identitas Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili Beneficial Owner; sumber dana; rata-rata penghasilan; 5) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan calon Nasabah dengan Bank; dan 6) informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah b. Bagi calon Nasabah perusahaan selain Bank: 1) nama perusahaan; 2) nomor izin usaha dari instansi berwenang; 3) 4) alamat kedudukan perusahaan; tempat dan tanggal pendirian perusahaan; 5) bentuk badan hukum perusahaan; 6) identitas Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili Beneficial Owner; 7) sumber . . . - 15 - 7) sumber dana; 8) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan calon Nasabah perusahaan dengan Bank; dan informasi lain yang diperlukan. 9) (2) Sebelum melakukan transaksi dengan WIC, Bank wajib meminta: a. Seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi WIC perseorangan maupun WIC perusahaan yang melakukan transaksi sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. b. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC perorangan yang melakukan transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara. c. Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 3) bagi WIC perusahaan yang melakukan transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara. Pasal 14 Untuk Nasabah perorangan dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a angka 1) wajib didukung dengan dokumen identitas Nasabah dan spesimen tanda tangan. Pasal 15 . . . - 16 - Pasal 15 (1) Untuk Nasabah perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1), angka 2), angka 3), angka 4), angka 5), angka 6), dan angka 7) wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan: a. Untuk Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan: 1) spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; 2) kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan 3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang. b. Untuk Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2) dan angka 3), ditambah dengan: 1) 2) 3) laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; struktur manajemen perusahaan; struktur kepemilikan perusahaan; dan 4) dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank. (2) Untuk Nasabah perusahaan berupa Bank, dokumen yang disampaikan paling kurang: a. akte pendirian/anggaran dasar Bank; b. izin . . . - 17 - b. c. izin usaha dari instansi yang berwenang; dan spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama Bank dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. Pasal 16 (1) Untuk calon Nasabah selain nasabah perorangan dan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15, Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b. (2) Terhadap calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Untuk calon Nasabah berupa yayasan, dokumen yang disampaikan paling kurang berupa: 1) izin bidang kegiatan/tujuan yayasan; 2) deskripsi kegiatan yayasan; 3) struktur pengurus yayasan; dan 4) dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank. b. Untuk Nasabah berupa perkumpulan, dokumen yang disampaikan paling kurang berupa: 1) bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2) nama penyelenggara; dan 3) pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank. Pasal 17 . . . - 18 - Pasal 17 (1) Untuk calon Nasabah berupa Lembaga Negara/Pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, Bank wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga atau perwakilan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. b. surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; dan spesimen tanda tangan. Bagian Kedua BENEFICIAL OWNER Pasal 18 (1) Bank wajib memastikan apakah calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi. (2) Dalam hal calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, Bank wajib melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya dengan prosedur CDD bagi calon Nasabah atau WIC. Pasal 19 (1) Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya mengenai Beneficial Owner, antara lain berupa: a. bagi . . . - 19 - a. bagi Beneficial Owner perorangan: 1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a; 2) hubungan hukum antara calon Nasabah atau WIC dengan Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; dan 3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. b. bagi Beneficial Owner perusahaan, yayasan atau perkumpulan: 1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 ayat (2); 2) dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan; dan 3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner. (2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Bank lain di dalam negeri yang mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari Bank di dalam negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh Bank lain di dalam negeri tersebut. (3) Dalam hal calon Nasabah merupakan Bank lain di luar negeri yang menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan Bank Indonesia ini yang mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari Bank di luar negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh Bank di luar negeri tersebut. (4) Dalam . . . - 20 - (4) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Beneficial Owner, Bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah atau WIC. Pasal 20 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b angka 2) tidak berlaku bagi Beneficial Owner berupa: a. lembaga pemerintah; atau b. perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek. Bagian Ketiga VERIFIKASI DOKUMEN Pasal 21 (1) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung dan melakukan verifikasi terhadap dokumen pendukung yang memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 17 ayat (1) berdasarkan dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini. (2) Bank dapat melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat keraguan, Bank wajib meminta kepada calon Nasabah untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran identitas calon Nasabah. (4) Bank . . . - 21 - (4) Bank wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas calon Nasabah dan Beneficial Owner sebelum membina hubungan usaha dengan calon Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC. (5) Dalam kondisi tertentu Bank dapat melakukan hubungan usaha sebelum proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selesai. (6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diselesaikan paling lambat: a. untuk nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha. b. untuk nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah dilakukannya hubungan usaha. Bagian Keempat CDD YANG LEBIH SEDERHANA Pasal 22 (1) Bank dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 18, dan Pasal 19 terhadap calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah dan memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut: a. tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji; b. Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada peraturan tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya; c. Nasabah berupa Lembaga Negara/Pemerintah; atau d. transaksi pencairan cek yang dilakukan oleh WIC perusahaan. (2) Bank . . . - 22 - (2) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana. (3) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b), huruf c), huruf d), dan huruf e). (4) Bagi calon Nasabah perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta: a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1) dan angka 3); dan b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a angka 1) untuk perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil, dan Pasal 15 ayat (1) huruf b angka 4) untuk perusahaan yang tidak tergolong Usaha Kecil. (5) Bagi WIC perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 3. (6) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. Bagian Kelima PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI Pasal 23 (1) Bank wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal calon Nasabah atau WIC: a. tidak . . . - 23 - a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19; b. diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi yang tidak benar; atau c. berbentuk Shell Bank atau Bank yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank. (2) Bank dapat menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan Existing Customer dalam hal: a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi; b. Bank ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah; atau c. penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah. (3) Bank wajib mendokumentasikan calon Nasabah, Nasabah, atau WIC yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (4) Bank wajib melaporkan calon Nasabah atau Existing Customer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya tidak wajar atau mencurigakan. Bagian Keenam POLITICALLY EXPOSED PERSON DAN AREA BERISIKO TINGGI Pasal 24 (1) Bank wajib meneliti adanya Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP. (2) Nasabah . . . - 24 - (2) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri. (3) Dalam hal Nasabah atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi atau PEP, Bank wajib melakukan: a. EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan b. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial Owner. (4) Kewajiban Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan pula terhadap Nasabah atau WIC yang: a. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris; b. melakukan transaksi dengan negara berisiko tinggi; atau c. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil. (5) Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tergolong berisiko tinggi atau PEP, Bank wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Nasabah tersebut. (6) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berwenang untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang tergolong berisiko tinggi atau PEP; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi atau PEP. Bagian . . . - 25 - Bagian Ketujuh PELAKSANAAN CDD OLEH PIHAK KETIGA Pasal 25 (1) Bank dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. (2) Hasil CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Bank apabila pihak ketiga: a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memiliki kerja sama dengan Bank dalam bentuk kesepakatan tertulis; c. tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku; d. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Bank dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT; dan e. berkedudukan di negara yang telah menerapkan rekomendasi FATF. (3) Bank wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Bank yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. Pasal 26 (1) Dalam hal Bank bertindak sebagai agen penjual produk lembaga keuangan lainnya, Bank wajib memenuhi permintaan informasi hasil CDD dan salinan . . . - 26 - salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh lembaga keuangan lainnya tersebut dalam rangka pelaksanaan program APU dan PPT. (2) Kewajiban Bank sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) didasari atas adanya kerja sama dengan bank dalam bentuk kesepakatan tertulis. Bagian Kedelapan PENGKINIAN DAN PEMANTAUAN Pasal 27 (1) Bank wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 serta menatausahakannya. (2) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib: a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah; b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan c. menyusun laporan realisasi pengkinian data. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c wajib mendapat persetujuan dari Direksi. Pasal 28 (1) Bank wajib memelihara database Daftar Teroris yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). (2) Bank . . . - 27 - (2) Bank wajib memastikan secara berkala nama-nama Nasabah Bank yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris. (3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait. (4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Pasal 29 (1) Bank wajib melakukan pemantauan secara berkesinambungan untuk mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil Nasabah dan menatausahakan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. (2) Bank wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah. (3) Bank dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana diatur dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. (4) Bank wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha/transaksi dengan Nasabah dan/atau Bank dari negara yang program APU dan PPT kurang memadai. Pasal 30 . . . - 28 - Pasal 30 Bank wajib melakukan CDD terhadap Existing Customer sesuai dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila: a. b. c. terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan; terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan; informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam Customer Identification File belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan Pasal 19; dan/atau d. menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama fiktif. Bagian Kesembilan CROSS BORDER CORRESPONDENT BANKING Pasal 31 (1) Sebelum menyediakan jasa Cross-border Correspondent Banking, Bank wajib meminta informasi mengenai: a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; b. c. d. tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat kedudukan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk mengetahui profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus. reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan; (2) Sumber . . . - 29 - (2) Sumber informasi untuk memastikan informasi pada ayat (1) berdasarkan informasi publik yang memadai yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 32 Bank wajib melakukan CDD terhadap existing Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila: a. terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang bersifat substansial; dan/atau b. informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). Pasal 33 Dalam hal terdapat nasabah yang mempunyai akses terhadap Payable Through Account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank Pengirim wajib memastikan: a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan proses CDD dan pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan data identifikasi Nasabah yang terkait, apabila diminta oleh Bank Pengirim. Pasal 34 . . . - 30 - Pasal 34 Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking wajib: a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent Banking; b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border Correspondent Banking dengan Shell Bank; dan c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak mengijinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank pada saat mengadakan hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking. Bagian Kesepuluh TRANSFER DANA Pasal 35 (1) Dalam melakukan kegiatan transfer dana di dalam wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Bank: a. Bank Pengirim wajib: 1) memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta verifikasi terhadap Nasabah pengirim atau WIC pengirim, paling kurang meliputi: a. nama Nasabah pengirim atau WIC pengirim; b. nomor rekening atau identitas Nasabah pengirim atau WIC pengirim; dan c. tanggal transaksi, tanggal valuta, jenis mata uang, dan nominal. 2) mendokumentasikan . . . - 31 - 2) mendokumentasikan seluruh transaksi transfer dana. b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah transfer dana, serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim. c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk transfer dana dengan menggunakan kartu seperti kartu debit, kartu kredit, dan kartu ATM. Pasal 36 (1) Dalam melakukan kegiatan transfer dana secara lintas negara, selain berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a, Bank Pengirim wajib memperoleh informasi mengenai alamat, atau tempat dan tanggal lahir. (2) Bank Pengirim wajib menyampaikan informasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Penerus dan/atau Bank Penerima dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan permintaan tertulis Bank Penerus dan/atau Bank Penerima. Pasal 37 Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dipenuhi, Bank dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dapat: a. menolak untuk melaksanakan transfer dana; b. membatalkan transaksi transfer dana; dan/atau c. mengakhiri hubungan usaha dengan existing customers. Pasal 38 . . . - 32 - Pasal 38 Dalam hal terdapat transfer dana yang memenuhi kriteria mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Bank wajib melaporkan transfer dana tersebut sebagai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian Kesebelas PENATAUSAHAAN DOKUMEN Pasal 39 (1) Bank wajib tetap menatausahakan: a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak: 1) berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau WIC; atau 2) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha. b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Dokumen Perusahaan. (2) Dokumen yang terkait sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. b. identitas Nasabah atau WIC; dan informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi. (3) Bank . . . - 33 - (3) Bank wajib memberikan informasi dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana diperintahkan oleh Undang-undang, pada saat diperlukan. BAB IV PENGENDALIAN INTERN Pasal 40 (1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan b. dilakukannya pemeriksaan terhadap efektivitas pelaksanaan program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern. BAB V SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Pasal 41 (1) Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank. (2) Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (Single Customer Identification File), yang meliputi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1). BAB VI . . . - 34 - BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN Pasal 42 Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan pencucian uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak intern Bank, Bank wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru. Pasal 43 Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; b. Teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian uang atau pendanaan terorisme. BAB VII PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT BAGI KANTOR CABANG DARI BANK YANG BERBADAN HUKUM INDONESIA DI LUAR NEGERI Pasal 44 (1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya. (2) Dalam . . . - 35 - (2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud. (3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (4) Dalam hal penerapan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada maka pejabat kantor Bank di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan Bank Indonesia bahwa kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini. BAB VIII PELAPORAN Pasal 45 Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib menyampaikan: a. Action . . . - 36 - a. Action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan bulan Desember 2009; b. Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini; c. laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b disampaikan setiap tahun dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan bulan Desember yang untuk pertama kalinya dimuat dalam laporan bulan Desember 2010; d. laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf c disampaikan dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan bulan Desember yang untuk pertama kalinya dimuat dalam laporan bulan Desember 2011; dan e. setiap perubahan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak perubahan tersebut. Pasal 46 (1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang kepada PPATK. (2) Kewajiban Bank untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme atau pendanaan terorisme. (3) Penyampaian . . . - 37 - (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. Pasal 47 Penyampaian pedoman dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ditujukan kepada: a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia; b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia. BAB IX KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 48 Bank wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema pencucian uang atau pendanaan terorisme. Pasal 49 Bank wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. BAB X . . . - 38 - BAB X SANKSI Pasal 50 (1) Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b serta laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Bank yang belum menyampaikan pedoman atau laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Bank yang: a. tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan Bank Indonesia dalam kurun waktu waktu 2 (dua) kali pemeriksaan; dan/atau b. tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b, dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (4) Bank . . . - 39 - (4) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, dan/atau Pasal 51 Peraturan Bank Indonesia ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank. BAB XI . . . - 40 - BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 Bank yang telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah wajib menyesuaikan dan menyempurnakan menjadi Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 52 Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 53 (1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 mengenai Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001 nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4107) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4325), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini, kecuali diatur tersendiri. Pasal 54 . . . - 41 - Pasal 54 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, MIRANDA S. GOELTOM Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 1 Juli 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 106 DPNP PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 11 / 28 /PBI/2009 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM UMUM Dengan semakin maraknya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan teroris yang memanfaatkan lembaga keuangan, diperlukan kerjasama dan perhatian dari berbagai pihak dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana dimaksud. Sementara itu perkembangan produk, aktivitas dan teknologi informasi bank yang semakin kompleks meningkatkan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk menyalahgunakan sarana dan produk perbankan dalam membantu tindak kejahatannya. Dalam hal ini diperlukan peranan dan kerjasama perbankan dalam membantu penegakan hukum dalam menjalankan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme oleh perbankan diharapkan dapat memitigasi berbagai risiko yang mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko operasional, dan risiko konsentrasi. Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, perbankan mengacu pada standar internasional untuk mencegah . . . - 2 - mencegah dan memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang dikenal dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF. Rekomendasi tersebut juga menjadi acuan yang digunakan oleh masyarakat internasional dalam melakukan penilaian terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini diterapkan, dinilai perlu disesuaikan dengan mengacu pada standar internasional yang lebih komprehensif dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain meliputi: a. penggunaan istilah Customer Due Dilligence dalam identifikasi, verifikasi, dan pemantauan nasabah; b. penerapan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach); c. pengaturan mengenai pencegahan pendanaan teroris; d. pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking; dan e. pengaturan mengenai transfer dana. Dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme yang dilakukan perbankan secara efektif, diharapkan bank dapat beroperasi secara sehat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan ketahanan dan stabilitas sistem keuangan. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 . . . - 3 - Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pencucian uang dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah. Yang dimaksud dengan Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam kaitan ini termasuk upaya- upaya setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan dengan cara memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 . . . - 4 - Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup Jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Yang dimaksud dengan unit kerja terkait antara lain unit kerja yang berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan Nasabah dan/atau WIC, seperti petugas pelayanan nasabah (front liner), petugas pemasaran, dan petugas yang terkait pengelolaan dan pengembangan teknologi informasi, serta internal auditor. Pasal 5 . . . - 5 - Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat tanpa pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kompleksitas permasalahan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kemampuan yang memadai antara lain mencakup pengalaman dan pengetahuan mengenai perkembangan rezim APU dan PPT. Pasal 7 Huruf a Yang dimaksud dengan sistem yang mendukung adalah sistem yang antara lain dapat mengidentifikasi Nasabah, Transaksi Keuangan Mencurigakan, dan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Huruf b Cukup jelas. Huruf c . . . - 6 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f . . . - 7 - Huruf f Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Ayat (2) Penggunaan teknologi yang berpotensi disalahgunakan seperti pembukaan rekening dan/atau melakukan transaksi melalui pos, fax, telepon, internet banking, atau ATM. Ayat (3) Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT mengacu kepada Pedoman Standar Penerapan Program APU dan PPT yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) . . . - 8 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Dalam hal rekening merupakan rekening joint account atau rekening bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh pemegang rekening joint account tersebut. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam pengertian Beneficial Owner meliputi: a. orang yang memiliki dana di Bank; b. orang yang mengendalikan transaksi Nasabah; c. orang yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi Nasabah; d. orang yang mengendalikan badan hukum dan transaksi yang dilakukan badan hukum tersebut dengan Bank; dan/atau e. orang yang melakukan pengendalian dengan cara mengendalikan transaksi yang dilakukan nasabah dengan Bank berdasarkan suatu perjanjian. Huruf d Transaksi yang tidak wajar adalah transaksi yang memenuhi salah satu kriteria dari transaksi keuangan yang mencurigakan namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah transaksi tersebut tergolong sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK. Pasal 10 . . . - 9 - Pasal 10 Ayat (1) Dalam hal ini diperlukan informasi baik dari Nasabah itu sendiri maupun dari informasi lainnya yang tersedia di masyarakat. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat 3 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk dalam pengertian rekening fiktif adalah rekening Nasabah yang menggunakan nama yang tidak sesuai dengan yang tertera pada dokumen identitas Nasabah yang bersangkutan. Ayat (5) Termasuk dalam pengertian hubungan usaha adalah penggunaan jasa perbankan melalui media elektronik. Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah, Bank dapat diwakili oleh pihak lain yang bertindak sebagai pihak yang mewakili Bank yang mengetahui prinsip dasar dari APU dan PPT. Ayat (6) . . . - 10 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Angka 1) Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Cukup jelas. Huruf c) Cukup jelas. Huruf d) Informasi ini hanya diperlukan bagi Nasabah perseorangan yang memiliki alamat tempat tinggal yang berbeda dengan alamat yang tercatat pada kartu identitas. Huruf e) Cukup jelas. Huruf f) Cukup jelas. Huruf g) . . . - 11 - Huruf g) Informasi pekerjaan mencakup nama perusahaan/institusi, alamat perusahaan/institusi, dan jabatan. Huruf h) Cukup jelas. Huruf i) Cukup jelas. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Cukup jelas. Angka 6) Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Angka 3) . . . - 12 - Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Cukup jelas. Angka 5) Cukup jelas. Angka 6) Cukup jelas. Angka 7) Cukup jelas. Angka 8) Cukup jelas. Angka 9) Yang dimaksud dengan informasi lain adalah informasi lain yang dapat digunakan Bank untuk lebih mengetahui profil calon Nasabah perusahaan. Ayat (2) Huruf a Ketentuan dalam ayat ini juga berlaku bagi perantara atau pihak yang mendapatkan kuasa dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah yang transaksinya tergolong tidak wajar atau mencurigakan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 14 . . . - 13 - Pasal 14 Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perseorangan yang berkewarganegaraan Indonesia adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat Izin Mengemudi (SIM), kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau paspor yang masih berlaku. Sedangkan dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perseorangan yang berkewarganegaraan asing adalah paspor yang disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian. Dokumen Kartu Izin Tinggal dapat digantikan oleh dokumen lainnya yang dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil Nasabah berkewarganegaraan asing tersebut antara lain surat referensi dari seorang berkewarganegaraan Indonesia atau perusahaan/instansi/pemerintah Indonesia mengenai profil Nasabah yang bersangkutan. Pasal 15 Ayat (1) Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perusahaan berupa: a. b. akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan; dan izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang. Contoh: izin usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang Valuta Asing dan Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau izin usaha dari Departemen Kehutanan bagi kegiatan usaha di bidang perkayuan/kehutanan. Huruf a Angka 1) Yang dimaksud dengan Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil adalah Nasabah perusahaan . . . - 14 - perusahaan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Huruf b Angka 1) Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup informasi mengenai bidang usaha, profil pelanggan, alamat tempat kegiatan usaha, dan nomor telepon perusahaan Angka 2) Cukup jelas. Angka 3) Cukup jelas. Angka 4) Yang dimaksud dengan anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan transaksi dengan Bank adalah anggota Direksi yang memiliki spesimen tanda tangan (authorized signature). Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) . . . - 15 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud perkumpulan antara lain Lembaga Swadaya Masyarakat, perkumpulan keagamaan, partai politik, dan organisasi non profit. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Yang dimaksud Beneficial Owner dalam ayat ini termasuk Beneficial Owner lainnya yang terkait dengan calon Nasabah atau WIC, apabila Beneficial Owner lebih dari satu. Ayat (2) Dalam hal Beneficial Owner digolongkan sebagai PEP, maka prosedur CDD yang diterapkan adalah prosedur CDD untuk PEP. Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b . . . - 16 - Huruf b Angka 1) Cukup jelas. Angka 2) Yang dimaksud dengan pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan (ultimate owner/ultimate controller) adalah perorangan yang menurut penilaian Bank memiliki dan/atau yang melakukan pengendalian akhir untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan perusahaan. Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir dapat berupa surat pernyataan atau dokumen lainnya yang memuat informasi mengenai identitas pemilik atau pengendali akhir. Angka 3) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 20 Huruf a Lembaga pemerintah yang dimaksudkan dalam huruf ini mencakup lembaga pemerintah Indonesia dan lembaga pemerintah asing. Huruf b . . . - 17 - Huruf b Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Untuk memastikan kebenaran identitas Nasabah perseorangan, dokumen identitas hendaknya merupakan dokumen yang mencantumkan foto diri yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang dengan jangka waktu yang masih berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan lebih dari satu dokumen identitas misalnya selain Kartu Tanda Penduduk adalah paspor atau Surat Izin Mengemudi. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain: a. kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam proses pengurusan; dan b. apabila tingkat risiko calon nasabah tergolong rendah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 . . . - 18 - Pasal 22 Ayat (1) Dalam hal ini termasuk tingkat risiko negara asal Nasabah. Huruf a Dalam hal ini rekening tersebut adalah rekening milik perusahaan yang digunakan untuk pembayaran gaji karyawan perusahaan tersebut secara periodik. Huruf b Perusahaan publik yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah perusahaan yang terdaftar pada bursa efek dimana informasi tentang identitas perusahaan dan Beneficial Owner perusahaan tersebut dipublikasikan kepada masyarakat. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai alasan penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah . Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) . . . - 19 - Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan. Ayat (2) Pembuatan daftar tersendiri ditujukan untuk memudahkan identifikasi dan pemantauan. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan pihak-pihak yang terkait antara lain: a. Perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP; b. Keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau c. Pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik mempunyai hubungan dekat dengan PEP. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) . . . - 20 - Ayat (4) Huruf a Produk perbankan yang berisiko tinggi antara lain transfer dana, private banking, dan internet banking. Huruf b Negara berisiko tinggi antara lain negara yang diidentifikasikan sebagai Tax Haven seperti British Virgin Island. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan pejabat senior adalah pejabat bank yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai anti pencucian uang atau pencegahan pendanaan terorisme dan menduduki jabatan tinggi pada unit kerja Bank, misalnya kepala divisi atau kepala bagian di kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Dalam hal ini khususnya terhadap Nasabah yang statusnya mengalami perubahan dari Nasabah biasa menjadi PEP atau berisiko tinggi, termasuk Nasabah yang baru teridentifikasi sebagai PEP atau berisiko tinggi. Pasal 25 . . . - 21 - Pasal 25 Ayat (1) Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah lembaga keuangan yang berada dalam pengawasan otoritas yang berwenang. Ayat (2) Huruf a Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan verifikasi calon Nasabah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Informasi yang dimaksudkan dalam huruf ini paling kurang berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang tercantum pada kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal lahir, nomor kartu identitas, dan kewarganegaraan dari calon Nasabah. Huruf e Memadai atau tidaknya suatu negara dalam menerapkan rekomendasi FATF antara lain dapat dilihat di website www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org Ayat (3) Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi calon Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bank. Ayat (4) . . . - 22 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Laporan kegiatan pengkinian data meliputi data kuantitatif dan data kualitatif. Yang dimaksud dengan data kuantitatif antara lain berupa statistik jumlah Nasabah yang datanya telah atau belum dikinikan. Yang dimaksud dengan data kualitatif antara lain berupa kendala, upaya yang telah dilakukan Bank, serta kemajuan (progress) dari upaya tersebut. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Daftar Teroris adalah daftar nama-nama teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267. Bank . . . - 23 - Bank dapat secara aktif mengkinikan Daftar Teroris berdasarkan database Daftar Teroris yang dipublikasikan melalui media internet seperti website PBB http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml atau sumber lain yang lazim digunakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan informasi lainnya antara lain tempat dan tanggal lahir, serta alamat Nasabah. Ayat (4) Termasuk sebagai nama Nasabah adalah nama alias dari Nasabah. Informasi lainnya antara lain tempat dan tanggal lahir serta alamat. Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah adalah transaksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) . . . - 24 - Ayat (4) Informasi mengenai memadai atau tidaknya program APU dan PPT suatu negara dapat dilihat pada informasi yang dipublikasikan oleh otoritas di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lain-lain. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Informasi mengenai profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus antara lain mencakup susunan anggota Direksi dan Dewan Komisaris, kegiatan usaha, dan produk hasil usaha. Huruf b Dalam meneliti reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus, Bank perlu meneliti reputasi yang bersifat negatif, misalnya sanksi yang pernah dikenakan oleh otoritas kepada Bank Penerima dan/atau Bank Penerus terkait dengan pelanggaran ketentuan otoritas dan/atau rekomendasi FATF. Huruf c Tingkat penerapan program APU dan PPT suatu negara dapat dilihat dari tingkat risiko negara tempat kedudukan Bank tersebut . . . - 25 - tersebut yang dikeluarkan oleh FATF atau Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) terhadap kemungkinan terjadinya pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Huruf d Yang dimaksud dengan informasi relevan lain, seperti: a. kepemilikan, pengendalian, dan struktur manajemen, untuk memastikan apakah terdapat PEP dalam susunan kepemilikan atau sebagai pengendali; b. posisi keuangan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan c. profil perusahaan induk dan anak perusahaan. Ayat (2) Otoritas di dalam negeri yang berwenang seperti PPATK dan Bank Indonesia, sedangkan otoritas di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money Laundering (APG), Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB), dan lain-lain. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Payable Through Account (PTA) adalah rekening koresponden yang digunakan secara langsung oleh pihak ketiga untuk melakukan transaksi atas nama pihak ketiga tersebut. Pasal 34 . . . - 26 - Pasal 34 Yang dimaksud kegiatan dokumentasi adalah kegiatan dokumentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan kegiatan dokumentasi adalah kegiatan dokumentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini. Yang dimaksud dengan Bank Pengirim termasuk pula Bank yang melakukan kegiatan usaha sebagai agen dari penyelenggara kegiatan pengiriman uang. Huruf b Yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan ini tidak termasuk untuk kegiatan transaksi menggunakan kartu untuk tujuan penarikan dana baik menggunakan kartu debet, kartu ATM maupun kartu kredit, serta untuk melakukan pembayaran atas pembelian barang dan/atau jasa. Pasal 36 . . . - 27 - Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Informasi atau permintaan tertulis dapat berupa surat yang ditandatangani maupun informasi atau permintaan yang disampaikan melalui media eletronik lainnya. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Ayat (1) Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic form, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan undang-undang yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 40 . . . - 28 - Pasal 40 Ayat (1) Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh Bank, Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada antara lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan sample testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan program APU dan PPT. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia, maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan profil Nasabah secara terpadu adalah data profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh satu Nasabah pada suatu Bank, antara lain rekening tabungan, deposito, giro dan kredit. Pasal 42 Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan terorisme dimungkinkan juga melibatkan pegawai Bank itu sendiri. Dengan demikian . . . - 29 - demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan perlu diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui prosedur screening. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri. Ayat (3) Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini lebih ketat dibandingkan dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 45 . . . - 30 - Pasal 45 Huruf a Action plan paling kurang memuat langkah-langkah pelaksanaan program APU dan PPT dalam rangka kepatuhan terhadap Peraturan Bank Indonesia ini, yang wajib dilaksanakan oleh bank dengan target waktu penyelesaian selama periode tertentu. Hal-hal yang wajib dimuat dalam action plan antara lain penyusunan pedoman APU dan PPT, penyempurnaan infrastruktur terkait dengan teknologi informasi, penyiapan sumber daya manusia, dan program pengkinian data Nasabah. Bank dapat melakukan revisi atas action plan sepanjang terdapat perubahan-perubahan yang terjadi di luar kendali Bank. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 . . . - 31 - Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Termasuk dalam kerja sama dengan penegak hukum yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah menyampaikan dokumen atau informasi kepada penegak hukum terkait dengan identitas nasabah yang diduga melakukan tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang sesuai perundangan-undangan yang berlaku. Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Selain terkena kewajiban membayar, Bank tetap wajib menyampaikan pedoman atau laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pelaksanaan sanksi ini setelah Bank memperoleh 2 (dua) kali surat teguran dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap teguran dan Bank tidak menanggapi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir, serta mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tidak dilaksanakannya komitmen. Ayat (4) . . . - 32 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5032
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 11/28/PBI/2009 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 1 Juli 2009 </set_date> <effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date> <issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date> <replaced_reg> '5/21/PBI/2003', '3/10/PBI/2001' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '15/UU/2002', '25/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 6 /PBI/2010 TENTANG TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu kewenangan Bank Indonesia adalah mengelola cadangan devisa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan nilai tukar rupiah dalam rangka menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah; b. bahwa fungsi cadangan devisa antara lain adalah sebagai alat pembayaran luar negeri yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi di sektor riil; c. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung kegiatan ekonomi, Bank Indonesia menandatangani perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan People’s Bank of China; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, dalam rangka pelaksanaan perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dipandang perlu untuk mengatur ketentuan mengenai transaksi repurchase agreement Chinese Yuan terhadap surat berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia; Mengingat … - 2 - Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3844); MEMUTUSKAN … - 3 - M E M U T U S K A N Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah yang selanjutnya disebut CNY/IDR Repo adalah transaksi penjualan bersyarat surat berharga dalam denominasi Rupiah oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk memperoleh mata uang CNY, dengan kewajiban membeli kembali surat berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati dengan menggunakan mata uang CNY. 3. Surat Berharga adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) milik Bank yang tercatat pada rekening perdagangan (rekening aktif) dalam sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI- SSSS). 4. Repo Rate … - 4 - 4. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada Bank terhadap dana CNY dalam rangka CNY/IDR Repo. 5. Haircut adalah faktor pengurang nilai Surat Berharga dalam CNY/IDR Repo yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk persentase. 6. Tenor adalah jangka waktu CNY/IDR Repo. 7. Window Time CNY/IDR Repo adalah waktu yang disediakan bagi Bank untuk mengajukan permohonan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia. 8. Bank Koresponden adalah bank pemelihara rekening giro, dalam rangka pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari Bank, counterparty dan kustodian. 9. Hari Kerja adalah hari kerja Jakarta dan Beijing. 10. Tanggal Transaksi adalah tanggal kesepakatan CNY/IDR Repo Bank kepada Bank Indonesia dalam Window Time CNY/IDR Repo. 11. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian transaksi CNY/IDR Repo yang dihitung dari Tanggal Transaksi ditambah 2 (dua) Hari Kerja. 12. Tanggal Jatuh Tempo adalah tanggal pembelian kembali Surat Berharga oleh Bank yang telah disepakati. 13. Nilai Pembelian Kembali adalah nilai nominal pembelian kembali Surat Berharga oleh Bank yaitu nilai nominal CNY/IDR Repo ditambah dengan nilai nominal dari Repo Rate. 14. Chinese Yuan (CNY) adalah mata uang China yang dapat disebut juga dengan Renminbi (RMB). BAB II … - 5 - BAB II PRINSIP DASAR Pasal 2 (1) Bank Indonesia dapat melaksanakan transaksi swap CNY terhadap Rupiah (CNY/IDR) dengan People’s Bank of China sesuai perjanjian Indonesian Rupiah/Chinese Yuan Bilateral Currency Swap Arrangement between Bank Indonesia and the People’s Bank of China. (2) Bank Indonesia melaksanakan transaksi swap CNY/IDR atas dasar pengajuan kebutuhan CNY dari Bank dan/atau kebutuhan IDR dari People’s Bank of China. BAB III PENGAJUAN KEBUTUHAN CNY BANK KEPADA BANK INDONESIA Pasal 3 (1) Bank yang membutuhkan CNY dapat mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia. (2) Bank yang akan mengajukan CNY/IDR Repo harus terlebih dahulu menyampaikan rencana kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia. (3) Bank dapat mengajukan kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia apabila memenuhi persyaratan berikut: a. paling kurang memiliki Peringkat Komposit 3 (PK-3) berdasarkan penilaian Bank Indonesia; b. memiliki Surat Berharga yang memenuhi persyaratan untuk dapat di-repo- kan kepada Bank Indonesia dengan nilai paling kurang sebesar ekuivalen dari … - 6 - dari nilai nominal kebutuhan CNY setelah diperhitungkan dengan Haircut; dan c. memiliki underlying kegiatan perdagangan internasional yang didukung oleh dokumen yang memadai; (4) Rencana kebutuhan CNY dapat dipenuhi hanya untuk kebutuhan nasabah yang memiliki mitra perdagangan perusahaan China yang pada saat transaksi termasuk dalam The List of Pilot Enterprises. (5) Nilai nominal pengajuan kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia paling sedikit sebesar CNY 1.000.000 (satu juta Chinese Yuan). (6) Bank wajib menggunakan CNY yang diperoleh dari transaksi CNY/IDR Repo untuk memenuhi kebutuhan pembayaran perdagangan internasional sebagaimana tercantum dalam dokumen underlying. Pasal 4 (1) Rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) disampaikan kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitoring Dealing System (RMDS) pada setiap hari Rabu pukul 09.00 WIB sampai dengan 11.00 WIB. (2) Dalam hal hari Rabu bukan merupakan Hari Kerja maka rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada Bank Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja berikutnya. (3) Dalam menyampaikan rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Bank harus mencantumkan informasi berikut: a. Identitas dokumen underlying; b. Nilai nominal kebutuhan CNY; c. Tenor CNY/IDR Repo; d. Nomor… - 7 - d. Nomor rekening Bank pada Bank Koresponden dan identitas Bank pada BI- SSSS; dan e. Nama perusahaan China sebagai mitra perdagangan yang termasuk dalam The List of Pilot Enterprises. (4) Rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direvisi paling lambat 4 (empat) Hari Kerja setelah hari pengajuan pada pukul 11.00 WIB. (5) Dalam hal rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka Bank Indonesia akan menyampaikan informasi dimaksud kepada Bank yang bersangkutan paling lambat pada 3 (tiga) Hari Kerja setelah hari pengajuan melalui RMDS dan/atau sarana komunikasi lainnya. BAB IV TRANSAKSI CNY/IDR REPO BANK KEPADA BANK INDONESIA Pasal 5 (1) Bank Indonesia membuka Window Time CNY/IDR Repo 5 (lima) Hari Kerja setelah hari pengajuan rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (2) Window Time CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada setiap hari Rabu pukul 13.00 – 14.00 WIB. (3) Dalam hal hari Rabu tersebut bukan merupakan Hari Kerja, Window Time CNY/IDR Repo dilaksanakan pada Hari Kerja berikutnya. (4) Bank Indonesia mengumumkan : a. Repo Rate dan Tenor transaksi CNY/IDR Repo melalui Reuters atau sarana komunikasi lainnya apabila Reuters mengalami gangguan; b. harga Surat Berharga dan Haircut, yang dapat dilihat pada BI-SSSS; c. kurs … - 8 - c. kurs CNY/IDR, yang dapat dilihat pada Reuters page BIXY (5) Bank yang telah mengajukan kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib mengajukan transaksi CNY/IDR Repo pada saat pembukaan Window Time CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (6) Bank yang telah mengajukan transaksi CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilarang membatalkan transaksi dan/atau mengubah informasi yang telah diajukan kepada Bank Indonesia, termasuk mengubah nilai nominal CNY/IDR Repo. Pasal 6 (1) Nilai nominal pengajuan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia harus sama dengan jumlah pengajuan kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan paling banyak sebesar nilai nominal underlying kegiatan perdagangan internasional. (2) Pengajuan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bilateral antara Bank dengan Bank Indonesia melalui sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS). (3) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan dalam Window Time CNY/IDR Repo pada hari yang sama untuk masing-masing Tenor. Pasal 7 Surat Berharga yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia memiliki sisa jangka waktu paling singkat melebihi Tenor dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk SBI dan SBIS paling singkat 8 (delapan) hari kerja Jakarta setelah Tanggal Jatuh Tempo. b. Untuk SUN dan SBSN paling singkat 10 (sepuluh) hari kerja Jakarta setelah Tanggal Jatuh Tempo. Pasal 8 … - 9 - Pasal 8 (1) Bank yang mengajukan CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) harus mencantumkan nilai total nominal Surat Berharga yang di-repo- kan dengan rincian untuk masing-masing Surat Berharga sebagai berikut: a. identitas Surat Berharga; b. nominal Surat Berharga; dan c. sisa jangka waktu Surat Berharga. (2) Bank yang mengajukan CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) wajib menyampaikan : a. Surat permohonan pledge Surat Berharga yang di-repo-kan. b. Surat Kuasa yang memberikan kuasa kepada Bank Indonesia untuk dapat melakukan penghentian pledge dan pemindahan Surat Berharga dari rekening Bank ke rekening Bank Indonesia, melakukan penjualan atas Surat Berharga Bank, melakukan redemption atas SBI atau SBIS Bank, melakukan pendebetan rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia, dan/atau melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia, apabila dalam jangka waktu kontrak CNY/IDR Repo Bank tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam menyelesaikan transaksi. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada saat Window Time CNY/IDR Repo dan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja Jakarta berikutnya pukul 12.00 WIB. (4) Surat permohonan pledge sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan Surat Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib ditandatangani oleh pejabat Bank yang mempunyai spesimen tanda tangan yang ditatausahakan di Bank Indonesia. (5) Dokumen … - 10 - (5) Dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (3) wajib ditatausahakan oleh Bank. Pasal 9 Bank bertanggungjawab atas kebenaran data pengajuan CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. Pasal 10 (1) Masa berlaku CNY/IDR Repo dimulai pada Tanggal Valuta dan berakhir pada Tanggal Jatuh Tempo. (2) Bank Indonesia mengirimkan dana CNY ke rekening Bank pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank pada Tanggal Valuta sesuai dengan kontrak CNY/IDR Repo. (3) Bank wajib melakukan pledge Surat Berharga 1 (satu) Hari Kerja sebelum Tanggal Valuta. (4) Bank yang tidak melakukan pledge Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan telah menerima dana CNY pada Tanggal Valuta wajib mengembalikan dana CNY ke rekening CNY Bank Indonesia di PBC paling lambat 3 (tiga) Hari Kerja setelah Tanggal Valuta. (5) Dalam hal Bank tidak mengembalikan dana ke rekening CNY Bank Indonesia di PBC dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia akan melakukan pendebetan rekening giro valuta asing dan/atau rekening giro rupiah Bank di Bank Indonesia sebesar nilai transaksi dan kewajiban membayar lainnya. Pasal 11 … - 11 - Pasal 11 Kupon Surat Berharga yang di-repo-kan dalam transaksi CNY/IDR Repo merupakan hak Bank yang melakukan transaksi CNY/IDR Repo. Pasal 12 (1) Bank Indonesia menetapkan Tenor, Repo Rate, dan Haircut. (2) Tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 1 (satu) bulan dan/atau 3 (tiga) bulan. (3) Repo Rate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada Tanggal Transaksi CNY/IDR Repo. BAB V PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BANK KEPADA BANK INDONESIA Pasal 13 (1) Bank wajib menyelesaikan transaksi CNY/IDR Repo dengan membeli kembali Surat Berharga sebesar Nilai Pembelian Kembali pada Tanggal Jatuh Tempo. (2) Atas pembelian kembali Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib mengirimkan dana CNY sebesar Nilai Pembelian Kembali ke rekening Bank Indonesia pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. (3) Bank wajib menyampaikan konfirmasi mengenai pengiriman dana CNY ke rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) hari kerja sebelum Tanggal Jatuh Tempo. (4) Bank… - 12 - (4) Bank Indonesia akan melepaskan (release) pledge Surat Berharga kepada Bank yang bersangkutan paling lambat 1 (satu) hari kerja Jakarta setelah Tanggal Jatuh Tempo. Pasal 14 (1) Dalam hal Bank tidak dapat mengembalikan dana CNY pada Tanggal Jatuh Tempo sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Bank Indonesia menjual atau melakukan early redemption Surat Berharga Bank berdasarkan surat kuasa yang disampaikan Bank kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2). (2) Penjualan atau early redemption Surat Berharga Bank oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada 3 (tiga) hari kerja Jakarta setelah Tanggal Jatuh Tempo sesuai dengan harga yang berlaku di pasar. (3) Surat Berharga tetap berada dalam penguasaan Bank Indonesia sampai dengan terjadinya penjualan atau early redemption Surat Berharga. (4) Dalam hal hasil penjualan atau early redemption Surat Berharga Bank pada saat penjualan atau early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali dan kewajiban membayar lainnya, Bank Indonesia membebankan kekurangan pembayaran tersebut pada rekening giro valuta asing Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (5) Dalam hal nilai pembebanan rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencukupi, Bank Indonesia membebankan kekurangan pembayaran tersebut pada rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia. (6) Dalam hal hasil penjualan atau early redemption Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati dalam … - 13 - dalam CNY/IDR Repo dan kewajiban Bank lainnya, selisih lebih tersebut akan dikembalikan kepada Bank yang bersangkutan. BAB VI EARLY TERMINATION Pasal 15 (1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan early termination terhadap kesepakatan CNY/IDR Repo apabila Bank yang bersangkutan mengalami penurunan Peringkat Komposit di bawah persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam ketentuan ini. (2) Dalam hal terjadi early termination sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank wajib menyelesaikan transaksi CNY/IDR Repo dengan melakukan pembelian kembali Surat Berharga dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. (3) Dalam hal Bank tidak dapat melakukan pembelian kembali Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat menjual Surat Berharga Bank dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). (4) Dalam hal hasil penjualan Surat Berharga Bank tidak mencukupi Nilai Pembelian Kembali, maka pelunasan CNY/IDR Repo mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). BAB VII … - 14 - BAB VII PENIADAAN WINDOW TIME Pasal 16 Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meniadakan Window Time CNY/IDR Repo dengan pengumuman melalui Reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat pukul 13.00 WIB. BAB VIII SANKSI Pasal 17 (1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan dana CNY belum diterima oleh Bank, dikenakan sanksi berupa teguran tertulis. (2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan telah menerima dana CNY dikenakan sanksi berupa: a. teguran tertulis; dan b. kewajiban membayar sebesar Repo Rate + 200 bps dikalikan nilai nominal transaksi dikalikan dengan jumlah hari sejak Tanggal Valuta sampai tanggal dikembalikannya dana CNY oleh Bank ke rekening CNY Bank Indonesia di PBC. (3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam denominasi CNY. (4) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (6), Pasal 5 ayat (6), Pasal 8 ayat (2) dan ayat (5), dan Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. Pasal 18 … - 15 - Pasal 18 Bank yang tidak dapat membayar dana CNY pada Tanggal Jatuh Tempo atau pada tanggal valuta early termination sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Repo Rate + 200 bps dikalikan jumlah hari dengan nominal Nilai Pembelian Kembali sejak Tanggal Jatuh Tempo sampai tanggal pelunasan. BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 20 … - 16 - Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 7 April 2010 Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 7 April 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 61 DPD PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/ 6 /PBI/2010 TENTANG TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK INDONESIA I. UMUM Bank Indonesia mengelola cadangan devisa negara yang antara lain berupa emas, uang kertas asing dan tagihan lainnya dalam valuta asing kepada pihak luar negeri yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran luar negeri. Salah satu upaya untuk menjaga kesinambungan tersedianya alat pembayaran luar negeri dan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang tertentu, Bank Indonesia melaksanakan perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan Bank Sentral China dalam rangka mempermudah perolehan valuta Chinese Yuan. Perjanjian tersebut dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai lembaga perantara dalam pembayaran internasional yang bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi khususnya perdagangan internasional melalui transaksi CNY/IDR Repo dengan Bank Indonesia. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu pengelolaan likuiditas valuta asing sekaligus memberikan kontribusi positif bagi kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan internasional, dan memberikan dorongan positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. II. PASAL … - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud Surat Berharga yang dimiliki adalah Surat Berharga yang sepenuhnya merupakan milik Bank dan bukan Surat Berharga hasil sell & buy back. Surat Berharga yang di-repo-kan kepada Bank Indonesia dihitung dengan pembulatan ke atas pada jutaan Rupiah terdekat. Huruf c Dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional yang memadai antara lain meliputi Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, Letter of Credit (L/C), invoice, atau kontrak jual-beli. Ayat (4) … - 3 - Ayat (4) The List of Pilot Enterprises merupakan daftar perusahaan di China yang memiliki ijin dari Otoritas China untuk melakukan cross border Renminbi trade settlement. Daftar perusahaan China tersebut, termasuk perubahannya akan disampaikan melalui Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Identitas dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional meliputi informasi tentang nomor referensi dokumen antara lain L/C atau non L/C, nomor Pemberitahuan Impor Barang (PIB), nomor invoice, dan/atau nomor kontrak jual beli dari underlying kegiatan perdagangan internasional. Ayat (4) Revisi nilai nominal rencana kebutuhan CNY hanya dapat dilakukan untuk nilai nominal yang lebih kecil dari rencana sebelumnya. Contoh: Rencana kebutuhan CNY disampaikan kepada Bank Indonesia pada hari Rabu tanggal 10 Maret 2010 maka rencana tersebut dapat direvisi paling lambat … - 4 - lambat pada hari Selasa tanggal 16 Maret 2010 pada pukul 11.00 WIB. Nilai nominal hasil revisi yang disampaikan pada tanggal 16 Maret 2010 harus lebih kecil dari rencana kebutuhan yang disampaikan pada tanggal 10 Maret 2010. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Contoh: Rencana kebutuhan CNY disampaikan kepada Bank Indonesia pada hari Rabu tanggal 10 Maret 2010 maka CNY/IDR Repo dilaksanakan pada Window Time CNY/IDR Repo hari Rabu tanggal 17 Maret 2010. Ayat (2) Dalam window tersebut Bank Indonesia juga melakukan konfirmasi atas: a. Nilai nominal CNY yang diterima Bank penjual Surat Berharga; b. identitas Surat Berharga yang diterima Bank Indonesia; c. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan Bloomberg. Pengumuman harga Surat Berharga dan Haircut, Kurs CNY/IDR diatur lebih lanjut pada Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (5) … informasi terkait Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction); dan informasi yang terkait lainnya. - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Bank dapat mengajukan beberapa Surat Berharga untuk di-repo-kan kepada Bank Indonesia dengan satu kali pengajuan dalam 1 (satu) hari untuk masing-masing Tenor. Pasal 7 Contoh 1: Pada tanggal 3 Agustus 2010, Bank Indonesia mengumumkan CNY/IDR Repo dengan Tenor 1 bulan dimana Tanggal Valuta pada 5 Agustus 2010, dan Tanggal Jatuh Tempo pada 3 September 2010. Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut: a. Bank A memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 15 (lima belas) hari dan maturity date tanggal 3 September 2010; b. Bank B memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan maturity date tanggal 15 September 2010; c. Bank C … - 6 - c. Bank C memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 32 (tiga puluh dua) hari dan maturity date tanggal 6 September 2010. SBI yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia adalah milik Bank B. Contoh 2: Pada tanggal 5 Oktober 2010, Bank Indonesia mengumumkan CNY/IDR Repo dengan Tenor 1 (satu) bulan dimana Tanggal Valuta pada 7 Oktober 2010, dan Tanggal Jatuh Tempo pada 5 November 2010. Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut: a. Bank A memiliki SUN dengan sisa jangka waktu 15 (lima belas) hari dan maturity date tanggal 5 November 2010, b. Bank B memiliki SUN sisa jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan maturity date tanggal 19 November 2010, c. Bank C memiliki SUN dengan sisa jangka waktu 32 (tiga puluh dua) hari dan maturity date tanggal 8 November 2010 SUN yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia adalah milik Bank B. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Identitas Surat Berharga meliputi informasi tentang: 1. identitas sesuai dengan Committee on Uniform Securities Identification Procedures (CUSIP) dan/atau International Securities Identification Number (ISIN); 2. nilai kupon; dan 3. maturity … - 7 - 3. maturity date. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 … - 8 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Konfirmasi dapat disampaikan dalam bentuk swift message kepada Bank Indonesia dengan mencantumkan pula informasi tentang Tanggal Jatuh Tempo, Nilai Pembelian Kembali, identitas Surat Berharga, dan Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction) dalam CNY/IDR Repo yang telah disepakati. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Early redemption adalah pelunasan SBI sebelum SBI dimaksud jatuh waktu Ayat (2) Harga yang berlaku di pasar merupakan harga transaksi penjualan Surat Berharga Bank oleh Bank Indonesia. Contoh: Pada tanggal 5 November 2010, Bank tidak dapat membayar dana CNY sebesar CNY 1.000.000 (satu juta Chinese Yuan). Bank Indonesia menjual Surat Berharga Bank pada tanggal 10 November 2010 dengan harga transaksi penjualan ekuivalen sebesar Rp. 1.300.000.000,00 (satu milliar tiga ratus juta rupiah) dengan kurs jual 1 CNY = Rp 1.300,00. Ayat (3) … - 9 - Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Pembebanan kekurangan pembayaran dana CNY kepada rekening giro rupiah Bank dilakukan dengan menggunakan Kurs Transaksi Jual Bank Indonesia pada hari yang bersangkutan. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Early termination merupakan proses mempercepat Tanggal Jatuh Tempo CNY/IDR Repo oleh Bank Indonesia. Pemberitahuan early termination akan dilakukan secara bilateral kepada Bank yang bersangkutan oleh Bank Indonesia. Pelanggaran lain dalam ketentuan ini antara lain apabila ditemukan adanya ketidaksesuaian underlying atau mitra dagang nasabah Bank diluar “The List of Pilot Enterprises”. Ayat (2) Nilai Pembelian Kembali dalam hal terjadi early termination dihitung berdasarkan periode efektif CNY/IDR Repo yaitu sejak Tanggal Valuta Repo sampai tanggal early termination. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) … - 10 - Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 16 Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum (LHBU) dan Bloomberg. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Perhitungan jumlah hari dalam pengenaan sanksi menggunakan hari kalender. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5127
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/6/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 7 April 2010 </set_date> <effective_date> 7 April 2010 </effective_date> <issued_date> 07 April 2010 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/1/PBI/2017 TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2016 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam pengelolaan uang Rupiah adalah melakukan pemusnahan terhadap uang Rupiah yang ditarik dari peredaran; b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2016; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah -2- Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5323); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2016. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai mata uang. 2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. -3- BAB II PEMUSNAHAN UANG RUPIAH Pasal 2 Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi: a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar; b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat; dan/atau c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku. Pasal 3 Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara meracik dengan menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang Rupiah kertas. Pasal 4 (1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah bilyet atau keping, dan nilai nominal. (3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan 31 Desember 2016 tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia ini. -4- Pasal 5 Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 tertuang dalam suatu berita acara. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2017 GUBERNUR BANK INDONESIA, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, YASONNA H. LAOLY EG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 21
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 19/1/PBI/2017 </reg_id> <reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2016 </reg_title> <set_date> 30 Januari 2017 </set_date> <effective_date> 30 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 30 Januari 2017 </issued_date> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '14/7/PBI/2012' </related_reg>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/6/PBI/2004 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meminimalkan risiko dalam sistem pembayaran di Indonesia, khususnya risiko sistemik, yang dapat timbul sebagai akibat dari kegagalan pembayaran antar bank dalam sistem netting, maka telah diimplementasikan sistem Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS); b. bahwa sifat sistem BI-RTGS mensyaratkan tersedianya likuiditas bank dalam jumlah cukup setiap saat pada rekening gironya di bank sentral untuk menghindarkan terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran (gridlock) yang dapat membahayakan stabilitas sistem keuangan; c. bahwa dalam rangka pelaksanaan transaksi dengan Bank Indonesia, termasuk dalam rangka pemberian fasilitas pendanaan Bank Indonesia kepada Bank, Bank Indonesia menerapkan sistem Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI- SSSS) yang menggabungkan sistem transaksi dengan sistem penatausahaan surat berharga; d. bahwa … - 2 - d. bahwa pengajuan Fasilitas Likuiditas Intrahari dan penatausahaan agunan surat berharga dalam rangka pengajuan Fasilitas Likuiditas Intrahari menggunakan sistem Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan sistem BI-RTGS; e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4357); 3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4317); 4. Peraturan … - 3 - 4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/ /PBI/2004 tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor Lembaran Negara Nomor , Tambahan ); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar Peserta dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara seketika per transaksi secara individual. 3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya disebut BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk penatausahaannya … - 4 - penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS. 4. Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS karena nilai transaksi keluar (outgoing transaction) melalui Sistem BI-RTGS pada saat tertentu lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia. 5. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum. 6. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek. 7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan utang dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara. 8. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut dengan PUAB adalah kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya. BAB II … - 5 - BAB II PERSYARATAN FLI Pasal 2 (1) Bank dapat memperoleh FLI setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut: a. tingkat kesehatan minimal cukup baik; b. memiliki surat berharga yang dapat diagunkan berupa SBI dan atau SUN; c. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank Peserta BI- RTGS dan BI-SSSS; dan d. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP. Pasal 3 (1) Sebelum Bank dapat menggunakan FLI maka Bank terlebih dahulu wajib menyampaikan : a. perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan; b. fotokopi anggaran dasar Bank atau kuasa dari kantor pusat Bank asing (power of attorney) bagi kantor cabang Bank asing yang telah dinyatakan sesuai dengan aslinya oleh Bank. (2) Dalam hal terjadi perubahan susunan pengurus Bank yang mengakibatkan perubahan kewenangan penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank wajib memperbaharui dan menyampaikan perubahan perjanjian dimaksud. Pasal 4 … - 6 - Pasal 4 Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI apabila Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. BAB III PERSYARATAN AGUNAN Pasal 5 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yang diagunkan kepada Bank Indonesia harus bebas dari sitaan, tidak sedang digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga baik kepada orang atau pihak lain maupun kepada Bank Indonesia, serta tidak tersangkut dalam suatu perkara atau sengketa. (2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperjualbelikan dan atau dijaminkan kembali oleh Bank. BAB IV MEKANISME PENGGUNAAN FLI Pasal 6 (1) Pengajuan nilai FLI yang akan digunakan Bank serta pengagunan surat berharga dalam rangka FLI dilakukan dengan menggunakan sarana BI-SSSS. (2) Dalam rangka penggunaan FLI maka Bank harus sudah memindahkan agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ke rekening pengagunan surat berharga pada sarana BI-SSSS sebelum Bank menggunakan FLI. Pasal 7 … - 7 - Pasal 7 (1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang diagunkan Bank dalam rangka penggunaan FLI tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum yang berlaku. (2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke rekening pengagunan surat berharga pada sarana BI-SSSS. Pasal 8 (1) Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis melalui Sistem BI-RTGS pada saat saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melakukan transaksi keluar (outgoing transaction) berdasarkan kecukupan nilai agunan FLI yang tersedia di rekening pengagunan surat berharga dalam sarana BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2). (2) Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan untuk menggunakan FLI. BAB V BIAYA PENGGUNAAN FLI Pasal 9 Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga dan atau biaya lainnya kepada Bank atas penggunaan FLI. BAB VI… - 8 - BAB VI PELUNASAN FLI Pasal 10 (1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro Rupiah Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu pelunasan FLI. (2) Bersamaan dengan pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bank dapat memindahkan kembali surat berharga yang diagunkan ke rekening perdagangan Bank yang bersangkutan. Pasal 11 (1) Bank wajib melunasi FLI sampai batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan Bank Indonesia. (2) Dalam hal Bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat dilunasi diberlakukan sebagai FPJP. Pasal 12 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) maka : a. Bank menundukkan diri pada ketentuan FPJP Bagi Bank Umum yang berlaku; dan b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP. Pasal 13 … - 9 - Pasal 13 Dalam hal Bank tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS dan atau Sistem BI-SSSS maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS pada kesempatan pertama pada hari kerja berikutnya. BAB VII PENGAWASAN Pasal 14 Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FLI, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap Bank. BAB VIII SANKSI Pasal 15 Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) maka Bank dikenakan sanksi berupa: a. kewajiban membayar sebanyak 2 (dua) kali biaya bunga FLI yang telah dikenakan kepada Bank untuk FLI yang digunakan setelah tanggal terjadinya perubahan susunan pengurus Bank sampai dengan tanggal penyampaian kembali perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan atau b. tidak dapat menggunakan FLI sampai dengan Bank menyampaikan kembali perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1). BAB IX … - 10 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLI diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 17 Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/26/PBI/2000 tanggal 13 Desember 2000 tentang Fasilitas Likuiditas Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 18 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2004. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 16 Februari 2004 GUBERNUR BANK INDONESIA BURHANUDDIN ABDULLAH LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 19 DPM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 6/6/PBI/2004 TENTANG FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM UMUM Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang disebabkan ketidak-sesuaian pendanaan antara arus masuk dan arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana transaksi pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek. Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem keuangan secara keseluruhan. Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka waktu yang sangat pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam bentuk … - 2 - bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib dilunasi oleh Bank pada akhir hari yang sama. Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan FLI dan meminimalkan resiko setelmen. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki tingkat kesehatan cukup baik adalah Bank yang masih beroperasi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c … - 3 - Huruf c Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement dan Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang berlaku. Huruf d Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 … - 4 - Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 9 Besarnya biaya bunga FLI dan biaya lainnya ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 10 Ayat (1) Sepanjang Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLI yang disetujui Bank Indonesia maka Sistem BI-RTGS secara otomatis menggunakan dana yang masuk (incoming transaction) untuk terlebih dahulu melunasi FLI. Proses penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai dengan batas akhir waktu pelunasan FLI. Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLI ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Ayat (2) … - 5 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP maka Bank tidak perlu mengajukan surat pengajuan FPJP secara tertulis atas pengalihan FLI yang tidak dapat dilunasi menjadi FPJP. Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJP maka nilai FLI dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJP yang sedang digunakan Bank dan jumlah hari penggunaan FPJP yang sudah digunakan Bank. Pasal 13 Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT) ke RCC. Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI- RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai kegagalan Sistem BI-RTGS. Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank Peserta BI-RTGS tetap wajib melunasi FLI sesuai batas waktu yang ditetapkan. Yang … - 6 - Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan System Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal (System Terminal/ST) ke SCC. Pasal 14 Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FLI dapat dilakukan pada periode diterimanya atau setelah jatuh waktu FLI. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4367 DPM
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 6/6/PBI/2004 </reg_id> <reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 16 Februari 2004 </set_date> <effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date> <replaced_reg> '2/26/PBI/2000' </replaced_reg> <related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/15/PBI/2003', '10/UU/1998', '6/ /PBI/2004' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 12/ 26 /PBI/2010 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. bahwa Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank Indonesia yang definitif, sehingga diperlukan perubahan penandatanganan pada uang rupiah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005; Mengingat . . . -2- Mengingat : 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4762); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS . . . -3- KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005. Pasal I Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 100) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/8/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 71) diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2010 sampai dengan bulan November tahun 2010 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan. b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) pada . . . -4- c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa 1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba; e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal ”10000”; f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang; j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur . . . -5- Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang; o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”; c) di bawah . . . -6- c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”; e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam posisi terbalik; g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; j) pada . . . -7- j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000 terdapat pada daun-daun pepohonan; 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan “BI”; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; 2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang . . . -8- 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. 2. Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 4B yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 4B Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010 adalah: a. Warna bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan. b. Gambar 1. bagian muka a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan ”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”; b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan memendar kuning di bawah sinar ultra violet; c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa 1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba; e) pada . . . -9- e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat angka nominal ”10000”; f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal ”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh; g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat dilihat dari sudut pandang tertentu; h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda Pancasila; i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang; j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”, dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI GUBERNUR”; k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna apabila dilihat dari sudut pandang berbeda; l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; m) sebagai . . . -10- m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang membentuk ornamen daerah Palembang; n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan BI; 2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis vertikal; 3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan ”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang; o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan ukuran teks yang berbeda. 2. bagian belakang a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang; b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK INDONESIA”; c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH RIBU RUPIAH”; d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal ”10000”; e) nomor . . . -11- e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan ”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet; f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam posisi terbalik; g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal “10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”; h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar ultra violet; j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar; k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan kaca pembesar terdapat pada: 1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka 10000 terdapat pada daun-daun pepohonan; 2) sebelah . . . -12- 2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka nominal ”10000” berupa tulisan “BI”; l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa bantuan kaca pembesar terdapat: 1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung dengan ukuran teks yang berbeda; 2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA” dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan “BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran. c. Bahan kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut: 1. terbuat dari serat kapas; 2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm; 3. warna ungu muda; 4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet; 5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah Palembang; 6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet. Pasal II Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran. Pasal . . . -13- Pasal III Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2010 GUBERNUR BANK INDONESIA, DARMIN NASUTION Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, PATRIALIS AKBAR LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 159 DPU
<reg_type> PBI </reg_type> <reg_id> 12/26/PBI/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title> <set_date> 30 Desember 2010 </set_date> <effective_date> 30 Desember 2010 </effective_date> <issued_date> 30 Desember 2010 </issued_date> <changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg> <related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007' </related_reg>
MENTERIKEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil, untuk menjamin pemenuhan hak-hak peserta, dan menyesuaikan dengan perkembangan instrumen investasi yang semakin bervariasi serta untuk lebih mengoptimalkan hasil pengelolaan dan pengembangan kekayaan Badan Penyelenggara Progtam Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil, perlu dilakukan penyempuraan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 491/KMK.06/2004 tentang Penyelenggaraan Progtam dan Pengelolaan Kekayaan Tabungan Hari Tua oleh PT Taspen (Persero) sebagaimana telah diubah dengah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.010/2008; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang.Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890): 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha. Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467), Teatanam Pemeantah Nomo Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran beberapa kali diubah terakhir dengan Poraturan Pemerintah End of Page 1 MENTERI KEUANGAN LKINDONESA Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Indonesia Nomor 3200): 5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38); 6. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010, 7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan 1. Badan Penyelenggara adalah PT Taspen (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahum 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 2. Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil adalah program tabungan hari tua bagi pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil 3. Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil adalah program tabungan hari tua bagi pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pegawai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan pegawai Badan Hukum Milik Negara (BHMN). 4. Kekayaan Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang diperhitungkan dalam tingkat solvabilitas. End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA -3 - 5. Bank adalah bank umum sebagaimana dimnaksud dalam undang- undang mengenai perbankan. 6. Menteri adalah Menteri Kenangan Republik Indonesia. BAB II KESEHATAN KBUANGAN Bagian Pertama Tingkat Solvabilitas Pasal 2 (1) Badan Penyelenggara setiap saat wajib menjaga tingkat solvabilitas. (2) Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selisih antara jumlah Kekayaan Yang Diperkenankan dan kewajiban. (3) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam perhitungan tingkat soivabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kekayaan yang memenuhi ketentuan tentang jenis, penilaian, dan batasan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. (4) Kewajiban dalam perhitungan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kewajilban Badan Penyelenggaa sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 3 Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) paling sedikit sebesar 19 (satu per seratus) dari jumlah kewajiban manfaat polis masa depan. Bagian Kedua Perimbangan Kekayaan Dengan Kewajiban Pasal 4 Badan Penyelenggata wajib memiliki Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi yang memenuhi ketentuan mengenai jenis, penilaian, dan pembatasan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling sedikit sebesar jumlah kewajiban manfaat polis masa depan dan utang klaim. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN BAB II KEKAYAAN YANG DIPERKENANKAN Pasal 5 (1) Jenis Kekayaan Yang Diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas kekayaan dalam bentuk a. investasis, dan bukan investasi. (2) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus a. dikuasai oleh Badan Penyelenggara, b. tidak dalam sengketa; dan c. tidak diblokir oleh pihak yang berwenang. Bagian Pertama Dalam Bentuk Investasi Pasal 6 Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. deposito pada Bank; b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, c. obligasi yang paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 2 (dua) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; d. sukuk yang paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 2 (dua) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan e. Surat Berharga Negara; f. surat berharga yang, diterbitkan oleh Bank Indonesia; 8. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan h. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; End of Page 4 REPUBLIK INDONESIA -5- i. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif dan telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan unit penyertaan dana investasi real estat yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan/atau k. penyertaan langsung. Pasal7 Penilaian atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut a. deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal; b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan informasi harga perdagangan terakhir di bursa efek; e oieian suauk berdasarkan malat pasar waarya oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah memperoleh iz. dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan a Sunt Bethanga Negama, berdasarkan ntal Pasd ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telaht memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang telah diakui secara internasional; e. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan nilai pasar; unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai aktiva bersih, 8, unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, berdasarkan nilai pasar, efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai pasar; dan End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 8 (1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut: a. investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; b. investasi berupa saham yang emitennya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratuis) dari jumlah investasi; c. investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; d. investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; e. investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk setiap manajer investasi masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) darijumlah investasi; f. investasi berupa efek beragun aset, untuk setiap manajer investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) darijumlah investasi; g, investasi berupa unit penyertaan dana investasi real estat, untuk setiap manajer investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan selurulnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; dan h. investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap penerbit masing-masing paling tinggi 2% (dua per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima per seratus) darijumlah investasi. (3) Jumlah investasi dalam bentuk obligasi dan sukuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf d seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi. End of Page 6 REPUBLIK INDONESIA -7- (3) Dalam hal terjadi pelampauan batasan penempatan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakibatkan fluktuasi harga instrumen investasi di pasar modal dan pasar uang, Badan Penyelenggara harus menyesuaikan penempatan investasi dimaksud sesuai dengan ketentuan batasan penempatan investasi dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Pasal 9 (1) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi pada satu pihak wajib memenuhi ketentuan pembatasan investasi yaitu paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari jumlah investasi, kecuali penempatan pada Surat Berharga Negara dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pihak yang baik sendinri-sendiri maupun secara bersama-sama mempunyai hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya yaitu a. hubungan karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua termasuk horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari pihak tersebut; dan/atau c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama. G) Babasan penmmpalan atas Kekayaan Tans sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dikecualikan dalam hal hubungan afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah. Pasal 10 Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar pethitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 per tanggal neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. Pasal 11 (1) Badan Penyelenggara dapat menunjuk satu atau lebih pihak lain yans Hdak terafiliasi untuk melakukan pengelolaan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi. End of Page 7 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -8 - (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki keahlian dan pengalaman di bidang pengelolaan investasi, serta memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal. (3) Pengelolaan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk mwestast dleh pihak tain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. (4) Badan Penyelenggara tetap bertanggung jawab terhadap pengelolaan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi yang dilakukan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Kedua Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi Pasal 12 Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b terdiri dari kas dan banks; b. piutang iuran untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; plutang turan atas kewaiban masa lalu (past sertice lisbility) untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; d. piutang investasi yang umurnya tidak lebih dari 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal transaksi divestasi; e. piutang hasil investasi yang umurnya tidak lebih dari 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal hasil investasi menjadi hak Badan Penyelenggara, dan/atau tanah, bangunan dengan hak strata (stratn title), dan tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri, yang jumlah seluruhnya paling tinggi 30% (tiga puluh per seratus) dari modal sendiri (ekuitas) periode berjalan. Pasal 13 Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 adalah sebagai berikut: a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal; b. piutang iuran untuk program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan, End of Page 8 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 9- c.. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past seruice liability) untuk nilai sisa tagihan, d. piutang investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan; e. piutang hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan; dan bangunan yang, dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang atau berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai. Pasal 14 Nilai sisa tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c adalah nilai sisa tagihan sebagaimana disetujui oleh Menteri. BAB IV KEWAJIBAN Pasal 15 Kewajiban Badan Penyelenggara terdiri dari : a. kewajiban manfaat polis masa depan; b. utang klaim, dan c kewajiban lainnya. Pasal 16 Badan Penyelenggara wajib membentuk kewajiban manfaat polis masa depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dengan menggunakan metode dan asumsi yang disetujui oleh Menteri. BAB V PENGUMUMAN DAN PELAPORAN Pasal 17 (1) Badan Penyelenggara wajib menyusun laporan keuangan non- konsolidasi yang tidak memperhitungkan kekayaan dan kewajiban untuk program pensiun pegawai negeri sipil. (2) Laporan keuangan non-konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. End of Page 9 MENTERI KEUANGAN -10- Pasal 18 (1) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Menteri . laporan keuangan triwulanan per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhimya triwulanan yang bersangkutan; b. laporan keuangan tahunan per 31 Desember yang dilampiri dengan laporan auditor independen, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya, c. laporan operasional triwulanan per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, paling, lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulanan yang bersangkutan; dan 4. laporan operasional tahunan per 31 Desember, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 19 (1) Badan Penyelenggara waiib mengumumkan neraca, perhitungan laba rugi, tingkat solvabilitas, perimbangan kekayaan dengan kewajiban, dan informasilainnya, untuk periode yang berakhir per 3 Deambe pala2 (dua) surat kabar harian al memiliki peredaran nasional paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Neraca dan perhitungan laba rugji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen. (3) Bulcti pengumuman scbagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat 2 (dua) minggu setelah dilakukannya pengumuman dimaksud. Sana aaa dengan Peraturan . Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 20 Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas waktu teralchir dimaksud. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN BAB VI LARANGAN Pasal 21 (1) Badan Penyelenggara dilarang memiliki dan/atati menempatkan kekayaannya pada a. instrumen derivatif, kecuali untuk keperluan lindung nilai dan/atau instrumen turunan surat berharga yang diperoleh sebagai bagian yang melekat pada suatu surat berharga: b. instrumen perdagangan berjangka, baik untuk perdagangan komoditi maupun perdagangan valuta asing: c. kekayaan di luarnegeri; d. perusahaan yang sebagian atatt seluruh sahamnya dinuiliki oleh direksi, komisaris, atau pejabat negara selaku pribadi; dan/atau e. perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh keluarga sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun sebagaimana dimaksud pada huruf d. (2) Badan Penyelenggara dilarang melakukan penempatan baru dalam bentuk investasi yang menyebabkan jumlah investasi melebihi batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal9. Pasal 22 Direksi dan komisaris Badan Penyelenggara, atau setiap orang yang mempunyai kewenangan dalam pengelolaan kekayaan Badan Penyelenggara dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan Badari Penyelenggara menjual, memindahtangankan, menyewakan, memberikan pinjaman, menyediakan jasa, fasilitas, atau barang, mengalihkan atau mengijinkan, penggunaan kekayaan Badan Penyelenggara selain untuk kepentingan Badan Penyelenggara, kepada a. direksi atau komisaris dari Badan Penyelenggara b. pihak yang menyediakan jasa pengelolaan investasi kepada Badan Penyelenggara, c. direksi, komisaris, atau pemegang saham mayoritas dari pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b d. keluarga, sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu, ipar dari pihak sebagaimana dimaksud pada huruf c, dan/atau e. pihak lain yang dikendalikan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada huruf b. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN - 12 - BAB VIL SANKSI Pasal 23 Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 9 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (i), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1), Menteri Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 24 (1) Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang telah diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, dapat tetap diselenggarakan dengan tidak menambah peserta baru, paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan. (2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Badan Penyetenggata harus mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan progtam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil kepada perusahaan asuransi lain. (S) Pengalihan seluruh portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil oleh Badan Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri (4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya dokumen permohonan secara lengkap. (5) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Badan Penyelenggara yang akan mengalihkan portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil wajib terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada setiap pemegang polis. (6) Badan Penyelenggara yang mengalihkan portofolio pertanggungan mengumumkan pengalihan tersebut pada surat kabar harian Indonesia yang berperedaran luas paling kurang selama 3 (tiga) hari berturut-turut. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - (7) Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan Progeam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, Badan Penyelenggara harus melaporkan kepada Menteri hasi pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan dimaksud, Pasal 25 (1) Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan kepada perusahaan asuransi lain, selain jenis Kekayaan Yang Dineiaa aaaaa a a memperhitungkan Kekayaan Yang Diperkenankan bukan investasi yang bersumber dari Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yaitu a. plutang iuran untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil; dan, b pichng iaran abs kewaiban masa lalt s untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil. (2) Penilaian atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut a. piutang iuran untuk Progtam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan; o. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past seroice linbilit) untuk Progeam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan. (3) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi untuk perhitungan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kekayaan yang memenuhi batasan sebagai berikut: a. piutang iuran untuk Progeam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, umumya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; b. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (pnst seroice tisbility) untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran. End of Page 13 REPUBLIK INDONESIA -14- Pasal 26 (1) Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan kepada perusahaan asuransi lain, Badan Penyelenggara harus mmembentuk kewajiban manfaat polis masa depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil. (2) Kewajiban manfaat polis masa depan sebagaimana dimaksud pada ayat (T) dihitung, secara prospektif dengan tingkat bunga aktuaria yang tidak melebihi 10% (sepuluh per seratis) per tahun dan asumsi-asumsi aktuaria lain yang wajar, dengan memperhitungkan seluruh penerimaan dan pengeluaran di masa depan sesuai ketentuan polis. Pasal 27 (1) Dalam hol terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan kepada perusahaan asuransi lain, Badan Penyelenggara harus keanan nokonsolidasi cehpian dimaksud dalam Pasal 17 yang dapat .menunjukkan posisi keuangan gabungan Progeam Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil (2) Laporan keuangan non-konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat () juga hamus dapat menunjukkan posisi keuangan untuk masing-masing Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipi dan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil. Pasal 28 Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan kepada perusahaan asuransi lain, direksi dan komisaris Badan Penyelenggara, atau setiap orang yang mempunyai kewenangan dolam pengelolaar kekayaan Badan Penyelenggara, selain dilarang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, juga dilarang meakukan tindakan yang mengakibatkan Badan Penyelenggara menjual, memindahtangankan, menyewakan, memberikan pinjaman, menyediakan jasa, fasilitas, atau barang, mengalihkan, atau mengizinkan penggunaan kekayaan Badan Penyelenggara selain untuk kepentingan Badan Penyelenggara, kepada a. pihak yang memiliki paling kurang 50% (lima puluhi per seratus) saham yang memiliki hak suara dari perusahaan yang mempekerjakan peserta bukan pegawai negeri sipil; End of Page 14 REPUBLIK INDONESIA -15- keluarga, sampal derajat kedua menurut garis lurus maupun garis ke samping dari direksi, atau komisaris dari perusahaan yang mempekerjakan peserta bukan pegawai negeri sipil, atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b. Pasal 29 (i1) Penempatan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi oleh Badan Penyelenggara yang telah dilakukan sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkaninya Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Menteri rencana penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 30 (1) Pengukuran tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterapkan mulai tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010. (2) Laporan dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan pengumuman dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), diterapkan mulai tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010 BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 31 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 491/KMK.06/2004 tentang Penyelenggaraan Program dan Pengelolaan Kekayaan Tabungan Hari Tua oleh PT Taspen (Persero) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.010/2008, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 32 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. End of Page 15 MENTER KEUANGAN 16 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 April 2011 MENTBRI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 April 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 219 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UML ul.b. Pih. KEPALA BAG/ASAU. KEMAERIAN BIRO UMUM ADELINA SIRA End of Page 16
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id> <reg_title> KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL </reg_title> <set_date> 12 April 2011 </set_date> <effective_date> 18 April 2011 </effective_date> <issued_date> 18 April 2011 </issued_date> <replaced_reg> '219/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '491/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1974', '43/UU/1999', '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '25/PP/1981', '26/PP/1981', '56/P|KEPPRES/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
TENTANG MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 11/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008; b. bahwa dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian serta menjaga keseimbangan antara kekayaan dan kewajiban dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah sebagaimana dimaksud pade huruf a, perlu diatur ketentuan mengenai ukuran kesehatan keuangan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah, huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467): 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII -2- 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008, 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah. Peserta adalah orang atau badan yang menjadi peserta program asuransi dengan prinsip syariah atau Perusahaan yang menjadi peserta program reasuransi dengan prinsip syariah. 3. Akad Tabarnt' adalah akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu Peserta kepada Dana Tabarru' untuk tujuan tolong menolong di antara para Peserta, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan komersial. 4. Dana Tabarra' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan Akad Tabarru' yang disepakati. 5. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari kontribusi Peserta pada produk asuransi jiwa yang mengandung unsur investasi, yang dikelola Perusahaan sesuai dengan akad investasi yang telah disepakati. 6. Dana Perusahaan adalah dana yang berasal dari pemegang saham dan/atau kekayaan perusahaan yang digunakan untuk melakukan kegiatan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah. 7. Kontribusi Neto adalah selisih lebih kontribusi dari Peserta yang dialokasikan untuk Dana Tabarru' ditambah kontribusi reasuransi diterima dengan kontribusi reasuransi keluar. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II REPUBLIK INDONESIA -3 . Kekayaan Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang diperhitungkan dalam Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru'. 9. Tingkat Solvabilitas Dana Taharru' adalah selisih antara jumlal Kekayaan Yang Diperkenankan dari Dana Tabami dikurangi dengan kewajiban dari pengelolaan Dana Tabarru 0. Bank adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan syariah. 11. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai usaha perasuransian. 2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk bertindak sebagai kustodian. 13. Surat Berharga Syariah Negara adalah surat berharga syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat berharga syariah negara. 14. Dana Jaminan adalah bagian dari kekayaan Dana Perusahaan atau bagian dari kekayaan Dana Tabarru' dan/atau bagian dari kekayaan Dana Investasi Peserta yang dimaksudkan sebagai jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan Peserta. 5.. Qardh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada Dana Taharru' dalam rangka menanggulangi ketidakcukupan kekayaan Dana Tabarru' untuk membayar santunan atau klaim kepada Peserta. 6. Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh adalah bagian dari kekayaan Dana Perusahaan yang disediakan untuk memberi Qarah kepada Dana Tabarru'. 17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II RUANG LINGKUP KESEHATAN KEUANGAN Pasal 2 (1) Perusahaan harus menjaga kesehatan keuangan yang terdiri dari: a. kesehatan keuangan Dana Tabarru , dan b. kesehatan keuangan Dana Perusahaan. (2) Bagi perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk yang mengandung unsur investasi, selain harus menjaga kesehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus menjaga kesehatan keuangan Dana Investasi Peserta. End of Page 3 MENTERIKEUAN DISTRIBUSI I MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BAB III KESEHATAN KEUANGAN DANA TABARRU' Bagian Kesatu Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru Pasal3 Perusahaan harus menjaga Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru' paling rendah 30% (tiga puluh per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban. Pasal 4 (1) Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi a. kegagalan pengelolaan kekayaan b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban; . ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; e. ketidakeukupan kontribusi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan kontribusi dengan hasil investasi yang diperoleh; dan/atau Kketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. (2) Perusahaan wajib menghitung jumlah dana yang diperlukan untuk menutup setiap risiko kerugian yang mungkin timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan mengenai perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Kedua Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi Pasal 5 (1) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi terdiri dari: a. deposito pada Bank; b. saham syariah; c. sukuk atau obligasi syariah; End of Page 4 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA d. Surat Berharga Syariah Negara; e. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, . surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; 3. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; h. reksa dana syariah; i. efek beragun aset syariah yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset syariah, pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian pembiayaan (refinancing) syariah; dan/atatt k. emas murni. (2) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditempatkan di Juar negeri hanya dalam jenis a. saham syariah; b. sukuk; . surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia; d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; dan/atau e. reksa dana syariah. Pasal 6 Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut: deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal; . saham syariah, berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan informasi harga perdagangan terakhir di bursa efek; . sukuk atau obligasi syariah, berdasarkan nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang telah diakui secara internasional; d. Surat Berharga Syariah Negara, berdasarkan nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang telah diakui secara internasional; End of Page 5 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN -6- surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan nilai pasar; surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Repulblik Indonesia, berdasarkan nilai pasar;, 8. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya, berdasarkan nilai pasar, h. reksa dana.syariah, berdasarkan nilai aktiva bersih; efek beragun aset syariah yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset syariah yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, berdasarkan nilai pasar, pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian pembiayaan (refimmcing) syariah, berdasarkan nilai sisa pembiayaan setelah dikurangi penyisihan untuk pembiayaan tak tertagih (Net Performing Lomm); dan k. emas murni, berdasarkan nilai pasar. Pasal 7 Ketentuan mengenai penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diubah dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan hanya dalam rangka untuk mengantisipasi ketidakwajaran pasar keuangan dan diberlakukan dalam jangka waktu terbatas. Pasal 8 () Penempatan atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan a. diperdagangkan di bursa efek; dan b. termasuk dalam daftar efek syariah yang diterbitkan olet ) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentul investasi berupa sukuk atau obligasi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut. a. paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan dijual melalui penawaran umum dan/atau diperdagangkan di bursa efek di Indonesia. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN 7- ) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa reksa dana syariah dan efek beragun aset syariah yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf h dan huruf i di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. (4) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa emas mumni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh bursa komoditi yang telah memperoleh izin instansi yang berwenang; dan b. disimpan di kustodian yang memiliki kerjasama dengan bursa komoditi sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal 9 Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. merupakan perusahaan pembiayaan yang memperoleh izin dari Badan Pengjwas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau Bank yang memperoleh izin dari Bank Indonesia, b. tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan kegjatan usaha, atau pembekuan kegiatan usaha oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau Bank Indonesia pada saat dimulainya kerjasama;, dan c. memenuhi ketentuan kesehatan keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat dimulainya kerjasama. Pasal 10 (1) Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c yang diperdagangkan di bursa efek di dalam negeri maupun di luar negeri dan emitennya merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai investasi di End of Page 7 MENTERI KEUANGAN REPUBIKINDANGAN DISTRIBUSIIT REPUBLIK INDONESIA -8 - (2). Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c yang diterbitkan oleh badan hukum asing yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. (3) Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa saham syariah dan/atau sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c berdenominasi rupiah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang berkedudukan di luar negeri dan Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya, dikategorikan sebagai investasi di dalam negeri. Pasal 11 (1) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa saham syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut. termasuk dalam kategori saham syariah di tempat saham tersebut dicatatkan b. termasuk dalam kategori saham yang aktif diperdagangkan pada bursa efek di tempat saham syariah tersebut dicatatkan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh bursa efek dimaksud; dan c. informasi mengenai emiten dan transaksi saham syariah tersebut dapat diakses di Indonesia. (2) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa sukuk, surat berharga syariah yang diterbitkan olelt negara selain Negara Republik Indonesia, dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat efek yang diakui secara internasional; b. djual melalui penawaran umum dan/atau diperdagangkan di bursa efek,; dan . informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia. (3) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi di luar negeri berupa reksa dana syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e harus memenuhi ketentuan sebagai berikut. End of Page 8 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII MENTERI KEUANGAN 9- . diterbitkan oleh manajer investasi di luar negeri yang memiliki hubungan afiliasi dengan manajer investasi di Indonesia yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan . dicatatkan di bursa efek di negara tempat manajer investasinya berdomisili. Pasal 12 (1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah sebagai berikut: a. investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; . investasi berupa saham syariah, untuk setiap emiten masing- tasing paling tinggi 10% Isepuluh no. investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari jumlah investasi; investasi berupa sukuk atau obligasi syariah, untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) darijumlah investasi; d. investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia untuk setiap penerbit masing.masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; e. investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Jembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia ceniod sah satus angpota atau pemegang sananyay setiap penerbit masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) darijumlah investasi; . investasi berupa reksa dana syariah untuk setiap manajer investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) darijumlah investasi; manajer investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; h. investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian pembiayaan (refinancing) syariah, untuk setiap pihak lain masing-masing jumlahnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; dan End of Page 9 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN 10 investasi berupa emas murni, besarnya paling tinggi 20% (dua per seratus) darijumlah investasi. (2) Dalam hal investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf f dilakukan pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri, jumlah seluruh investasi pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi. batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai seluruh neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 13 (1) Penempatan atas investasi pada satu pihak paling tinggi 209 (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi, kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pihak yang baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama mempunyai hubungan Afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya yaitu a. hubungan karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua termasuk horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari pihak tersebut; hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; dan/atau d. hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham utama. Bagian Ketiga Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi Pasal 14 Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi terdiri c. tagihan reasuransi; d. tagihan investasi; dan/atau e. tagihan hasil investasi. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUST II MENTERI KEUANGAN -11- Pasal 15 Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 adalaht sebagai berikut a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal; b. tagihan kontribusi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak 1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran kontribusi tunggal; atau jatul tempo pembayaran kontribusi bagi polis dengan pembayaran kontribusi cicilan; c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; d. tagihan investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; dan c. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal hasil investasi menjadi hak Perusahaan. Bagian Keempat Status Kekayaan Yang Diperkenankan Pasal 16 Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus a. dikuasai oleh Perusahaan, b. tidak dalam sengketa; dan c. tidak diblokir oleh pihak yang berwenang. Bagian Kelima Kewajiban Pasal 17 Kewajiban yang harus diperhitungkan dalam penetapan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarrt' meliputi semua kewajiban Dana Tabaru' termasuk kewajiban dalam bentuk penyisihan teknis. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN 12 Pasal 18 (1) Kewajiban dalam bentuk penyisihan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 meliputi a. penyisihan kontribusi untuk produk produk yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat dinegosiasikan kembali pada setiap ulang tahun polis, b. penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan atau hak untuk produk-produk yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat dinegosiasikan kembali pada setiap ulang tahun polis; dan c. penyisihan klaim. (2) Pembentukan penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a waib memperhitungkan seluruh penerimaan dan pengeluaran yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin (3) Pembentukan penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dihitung berdasarkan Kontribusi Neto sesuai dengan proporsi jumlah hari sampai dengan polis berakhir (proporsional harian). (4) Pembentukan penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, untuk polis kumpulan yang tidak dapat diketahui rincian berlakunya pertanggungan untuk setiap anggota kumpulan, dapat dihitung berdasarkan Kontribusi Neto sesuai dengan proporsi jumlah bulan sampai dengan polis berakhir (proporsional (5) Penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi: . klaim yang masih dalam proses penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian reasuradur; dan b. klaim yang sudahi terjadi telapi belum dilaporkan (Incurred But Not Reported atau IBNR), dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari metode segitiga (triangie method), berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian reasuradur. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II REPUBLIK INDONESIA -13 - (6) Penggunaan metode perhitungan penyisihan klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (IBNR) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b wajib dilakukan secara konsisten. (7) Pedoman mengenai pembentukan penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan metode perhitungan penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 19 (1) Jumlah Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditambah Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi berupa kas dan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a paling kurang sebesar jumlah penyisihan teknis ditambah kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri. klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur. Bagian Keenam Reasuransi Pasal 20 (1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkannya @ Dikungan reasitransi otomatis sebagaima ayat (1) wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan di dalam negeri. (3) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat diperoleh dari reasuradur konvensional di dalam negeri (4) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi dapat diperoleh dari Perusahaan di luar negeri yang memiliki reputasi baik. (5) Dukungan reasuransi otomatis dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh perusahaan reasuransi di dalam negeri. End of Page 13 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIIT MENTERI KEUANGAN BLIK INDONESA (6) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperoleh, dukungan reasuransi dapat diperoleh dari reasuradur konvensional di luar negeri yang pada saat penempatan paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. (8) Perusahaan wajib melampirkan dalam laporan program reasuransi otomatis mengenai bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi otomatis dan bukti peringkat reasuradur di luar negeri. Pasal 21 (1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal . tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan dukungan reasuransi olomatis karena karakteristik risiko yang khusus dari lini usaha asuransi; b. Perusabaan akan memulai memasarkan lini usaha asuransi yang baru, Perusahaan memasarkan produk asuransi hanya untuk memenuhi permintaan peserta atas paket kepesertaan yang komprehensif dan tidak memasarkannya secara tersendiri; atau d. zisiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas retensi sendiri. (2) Perusahaan wajib melampirkan bukti penyebab tidak diperoleh atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan program reasuransi otomatis. Pasal 22 (1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dalam hal Perusahaan tidak memiliki dukungan reasuransi otomatis karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, atau dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi untuk risiko yang diterima oleh Perusahaan, (2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan di dalam negeri. End of Page 14 MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN 15 - (3) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh dari Perusahaan, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari reasuradur konvensional di dalam negeri. (4) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari Perusahaan di dukungan reasuransi fakultatif dapat diy Juar negeri yang memiliki reputasi baik. (5) Dukungan reasuransi fakultatif dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh perusahaan reasuransi di dalam negeri. (6) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperoleh dari Perusahaan, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari penempatan paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan pemeringkat yang diakui secara internasional. (7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. Pasal 23 (1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dinilai oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi kesehatan keuangan Perusahaan atau dapat menjadikan Perusahaan tidak melaksanakan fungsi sebagai perusahaan asuransi atau sebagai perusahaan reasuransi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat memerintahkan Perusahaan untuk mengubah program dukungan reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi Perusahaan, berupa a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi otomatis, atau sebaliknya; b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi reasuransi proporsional, atau sebaliknya; dan/atau c. perubahan lainnya. End of Page 15 MENTERI KEUANGAN MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II - 16 - (2) Perusahaan wajib melaksanakan perintah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Ketujuh Retensi Sendiri Pasal 24 (1) Perusalaan wajib menetapkan retensi sendiri minimum dan retensi sendiri maksimum untuk setiap risiko yang dikelolanya. (2) Penetapan retensi sendiri minimum dan retensi sendiri maksimum oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) Perusahaan dimaksud yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Dalam hal Perusahaan akan memulai memasarkan lini usaha asuransi yang baru dan belum memiliki profil risiko dan kerugian (risk and loss profile), penetapan retensi sendiri minimum dan retensi sendiri maksimum harus menggunakan profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) pihak lain yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. 1) Besar retensi sendiri untuk setiap risiko didasarkan pada akumulasi surplus Dana Tabarra dan ckuitas Perusahaan. 5) Akumulasi surplus Dana Tabarru' sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari akumulasi surplus undertoriting yang tidak dibagi, akumulasi hasil investasi Dana Tabarru' yang tidak dibagi, dan perubahan nilai kekayaan yang belum direalisasika (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan BAB IV KESEHATAN KEUANGAN DANA PERUSAHAAN Bagian Kesatu Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh Pasal 25 (1) Perusahaan wajib menyediakan Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh dalam Dana Perusahaan. (2) Kekayaan yang Tersedia untuk Qardh sebagaimana dimaksud pada ayal (4) paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang End of Page 16 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II REPUBLK INDONESIA -17- mungkin timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditambah dengan sejumlah dana yang harus disediakan tntuil mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian- kejadian lain yang merugikan. (3) Perusahaan wajib menghitung jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Ketentuan mengenai perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 26 Perusahaan wajib menambah Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dengan sejumlah kekurangan dana yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi ketentuan a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; dan/atau b jumal Kekajan Yang Diperkenankan dalan e ditambah Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan tmesbas benupa kas dan bank, paling sedikit saa penyisihan teknis ditambah kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1). Pasal 27 Kekayaan yang diperhitungkan sebagai Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri dari a. kas dan bank; b. deposito pada Bank; . saham syariah, d. sukuk atau obligasi syariah; Surat Berharga Syariah Negara; f. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; 8. reksa dana syariah; dan/atau h. emas murni. End of Page 17 DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN PIBLK INDONESA Pasal 28 Penilaian atas Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 berlaku ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15 huruf a. Pasal 29 Penempatan Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h harus memenuhi ketentuan Pasal 8. Pasal 30 (1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut a. saham syariah, paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh; . sukuk atau obligasi syariah, paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh, rcksa dana syariah, paling tinggi 40% (empat puluh per seratus) dari fotal Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh; dan g20 (dua puluh per serats da total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh. 2) Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh yang ditempatkan pada satu pihak, paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh, kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah. Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). Bagian Kedua Solvabilitas Dana Perusahaan Pasal 31 (4) Perusahaan wajib menjaga solvabilitas Dana Perusahaan. (2) Solvabilitas Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara kekayaan dan kewajiban Perusahaan. (3) Solvabilitas Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebesar jumlah yang lebih besar di antara: . Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26; atau End of Page 18 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI LI MENTERI KEUANGAN -19- b. modal sendiri atau modal kerja yang dipersyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. (4) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari modal disetor, agio saham, salde laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva tetap. (5) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri dari modal kerja, agio saham, saldo laba, cadangan umum, cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga, dan selisih penilaian aktiva tetap. BAB V KESEHATAN KBUANGAN DANA INVESTASI PESERTA Pasal 32 (1) Kekayaan Dana Investasi Peserta hanya dapat ditempatkan dalam jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (2) Kekayaan Dana Investasi Peserta hanya dapat ditempatkan dalam kekayaan bukan investasi dalam jenis: a. kas dan bank; . tagihan investasi; dan/atau tagihan hasil investasi. Pasal 33 0) Penilaiam atas Kekayaan Dana Investasi Feselta S dimaksud dalam Pasal 32 berlaku ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15 huruf a, huruf d, dan huruf e. (2) Penempatan kekayaan Dana Investasi Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 avat 1) berlab boo sampai dengan Pasal 11. ( Dalanhalkekajaam Dana Investasi Peserta ditempata pa pihak, Perusahaan wajib menjaga penempatan investasi dimaksud tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari total Dana Investasi Peserta, kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. (4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). End of Page 19 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN -20 - diterbitkan di luar negeri, Perusahaan wajib menjaga agar jumlah seluruh investasi pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar negeri dimaksud tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah Dana Investasi Peserta. BAB VI DANA JAMINAN Bagian Kesatu Pembentukan Dana Jaminan Pasal 34 (1) Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah 20% (dua puluh per seratus) dari modal sendiri minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasutansian. (2) Besar Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan volume usaha Perusahaan dengan ketentuan sebagai berikut a. bagi perusahaan asuransi jiwa yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah, wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 5% (lima per seratus) dari penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah 2% (dua per seratus) dari akumulasi Dana Investasi Peserta; atau . bagi perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip syariah, wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 19 (satu per seratus) dari Kontribusi Neto dan 0,25% (nol koma dua puluh Jima per seratus) dari kontribusi reasuransi keluar. (3). Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Perusahaan dan dapat diperhitungkan sebagai Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh. (4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Tabarru' dan Dana Investasi Peserta untuk perusahaan asuransi jiwa atau di dalam Dana Tabarnt untuk perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi. End of Page 20 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II REPUBLIK INDONESIA Pasal 35 (1) Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah atau disebut unit syariah wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah 20% (dua puluh per seratus) dari modal kerja minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 2) Besar Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan perkembangan volume usaha unit syariali dengan ketentuan sebagai berikut: a. bagi unit syariah perusahaan asuransi jiwa wajib membentuk kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah 2% (dua per seratus) dari akumulasi Dana Investasi Peserta; atau b. bagi unit syariah perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 19 (satu per seratus) dari Kontribusi Neto dan 0,25% (nol koma dua puluh lima per seratus) dari kontribusi reasuransi keluar. (3) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat () lebih besar daripada jumlah Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Perusahaan dan dapat diperhitungkan sebagai Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh. (4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Tabarru' dan Dana Investasi Peserta untuk unit syariah dari perusahaan asuransi jiwa atau di dalam Dana Tabarnd untuk unit syariah dari perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi. (5) Dana Jaminan unit syariah wajib dipisahkan dari Dana Jaminan yang, dibentuk perusahaan untuk usaha asuransi atau reasuransi yang tidak dengan prinsip syariah. Pasal 36 (1) Jumlah penyisihan kontribusi, akumulasi Dana Investasi Peserta, Kontribusi Neto, dan kontribusi reasuransi keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 35 ayat (2) diperoleh dari laporan keuangan per 31 Desember yang telah diaudit oleh auditor independen. End of Page 21 MENTERI KEUANGAN EDI IEHI KEDANGAN DISTRIBUSII -22 (2) Dalam hal Dana Jaminan kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), atau Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan wajib menambah dana jaminan yang dimilikinya paling lama 5 (ima) hari kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan. (3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) atau Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan dapat mengurangi Dana Jaminan yang dimiliki setelah terlebih dakulu mendapat persetujuan dari Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (4) Dana Jaminan sebagaimana dinaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 wajib ditempatkan dalam bentuk: . deposito dengan perpanjangan otomatis pada Bank yang bukan afiliasi dari Perusahaan; dan/atau b. Surat Berharga Syariah Negara yang pada saat penempatan sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai dengan jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun. Bagian Kedua Penatausahaan Dana Jaminan Pasal 37 (1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana Jaminan pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan Afiliasi dari Perusahaan, kecuali hubungan Afiliasi terscbut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. Pasal 38 (1) Penatausabaan Dana Jaminan oleh Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 wajib didasarkan pada perjanjan antara Perusahaan dan Bank Kustodian. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (i) wajib paling kurang memuat . pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan kepada Bank Kustodian untuk mencairkan, memindahkan, atau menyerahkan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan dari Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; End of Page 22 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN - 23 . kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana yang diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam bentuk Surat Berharga Syariaht Negara yang telah jatuh tempo ke dalam bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank, dalam hal Perusahaan belum melakukan penggantian Dana Jaminan yang telah jatuh tempo dimaksud; c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari Perusahaan maupun pihak lain untuk melakukan pencairan, pemindahan, dan penyerahan deposito atau Surat Berharga Syariah Negara yang digunakan sebagai kecua telah mendapat persetijuan Kepalabino Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan Dana Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan kepada Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. (3) Laporan bulanan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d paling kurang memuat a. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan; b. jenis Dana Jaminan; c. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito; d. seri dari Surat Berharga Syariah Negara, e. nilai nominal Dana Jaminan; dan f. tanggaljatuh tempo. (4) Dalam hal Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan berhalangan, Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menunjuk 2 (dua) pejabat setingkat di bawah Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk menolak atau memberikan persetujuan atas pencairan atau penggantian Dana Jaminan. Bagian Ketiga Perubahan Dana Jaminan Pasal 39 (1) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat dilakukan dengan cara penempatan baru deposito pada Bank dan/atau Sura Berharga Syariah Negara sebagai Dana Jaminan, b. penempatan deposito pada Bank yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau End of Page 23 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI IT REPUBLIK INDONESIA -24- c. penempatan Surat Berharga Syariah Negara yang semula bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan. 2) Perusahaan dapat melakukan penggantian Dana Jaminan dengan cara sebagai berikut a. dari deposito pada Bank menjadi Surat Berharga Syariah Negara atau sebaliknya; b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank; c. mengubah Bank tempat penempatan deposito; dan/atau . menukarkan Surat Berharga Syariah Negara dengan Surat Berharga Syariah Negara lainnya. 3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penggantian Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti paling sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan diganti. (4) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Negara yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit sebesar nilai Surat Berharga Syariah Negara yang akan jatuh tempo dimaksud, paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo. BAB VII PELAPORAN Bagian Kesatu Penyusunan Laporan Pasal 40 (1) Perusahaan wajib menyusun laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember, b. laporan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru, laporan perhitungan solvabilitas Dana Perusahaan, dan laporan Dana Investasi Peserta secara tahunan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember, c. laporan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru', laporan perhitungan solvabilitas Dana Perusahaan, dan laporan Dana Investasi Peserta secara triwulanan yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, d. laporan program reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatar tahun berjalan;, dan e. laporan Dana Jaminan secara triwulanan yang berakhir pada tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember. End of Page 24 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II REPUBLIK INDONESIA - 25 - (2), Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huzuf a wajib disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi keuangan yang berlaku umum di Indonesia. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib diaudit oleh auditor independen. 4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf e paling kurang memuat a. nama Bank Kustodian Jenis Dana Jaminan, c. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito; d. seri dari Surat Berharga Syariah Negara; e. nilai Dana Jaminan; dan f. tanggaljatuh tempo. sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 41 Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah wajib menyusun laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a secara terpisah dari laporan keuangan tahunan untuk usaha asuransi atau usaha reasuransi yang tidak berdasarkan prinsip syariah. Pasal 42 Setiap kekayaan dan kewajiban dalam satuan mata uang asing, di dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 wajib disajikan dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal neraca. Bagian Kedua Pengumuman Laporan Pasal 43 (1) Perusahaan wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a dan huruf b pada mebsit. Perusahaan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Perusahaan wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c pada tuebsile Perusahaan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masing-masing triwulan. End of Page 25 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII REPUBLIK INDONESIA -26- (3), Jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan sampai dengan terbitnya laporan tahunan atau laporan triwulanan berikutnya. Pasal 44 Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan yang telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan wajib mengoreksi laporan tersebut dan mengumumkan kembali pada toebsite Perusahaan. Pasal 45 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (I) huruf a dan huruf b yang telah diaudit wajib diumumkan pada surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lambat tanggal 30 April. (3) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur maka batas akhir penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April dimaksud. (4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan pengumuman laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Bagian Ketiga Penyampaian Laporan Pasal 46 (1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada Menteri Japoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a dan huruf b, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya; . laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c, paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan: dan c. laporan program reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatan tahun berjalan, paling lambat tanggal 15 Januari. End of Page 26 MENTERIKERN DISTRIBUSI II REPUBLIK INDONESIA - 27- (2), Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian. laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhit penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b wajib dilengkapi dengan pernyataan dewan pengawas syariah bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. BAB VIII RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN Pasal 47 Perusahaan wajib menyusun rencana penyehatan keuangan apabila mengalami kondisi sebagai berikut a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarrut memenuhi ketentuan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 3, namun Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaeksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan/atati solvas Perusahaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3): b. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru' tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, namun Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh, apabila dialihkan ke Dana Traban, cukup untuk memenuhi ketentuan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnd, atau Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnt tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh, apabila dialihkan ke Dana Tabarnt', tidak cukup untuk memenuhi ketentuan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru'. Pasal 48 Penyusunan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 wajib dikuti dengan langkah penyehatan keuangan sebagai berikut: a. Dalam hal Perusahaan mengalami kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b, Perusahaan wajib menambahkan seluruh surplus underuriting ke dalam Dana Taburrut. b. Dalam hal Perusahaan mengalami kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c, Perusahaan wajib: 1) menambahkan seluruh surplus underioriting ke dalam Dana Tabarnd,; End of Page 27 MENTERI KEUANGAN MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII 28 2) menghentikan pemasaran seluruh produknya;, dan 3) menambah modal disetor atau modal kerja. Pasal 49 (1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan sejak kondisi keuangan Perusahaan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1). (2) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat () ping kurang memuat langkah-langkah penvebatanusn disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan solvabilitas. (3) Langkah-langkah penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang memuat rencana sebagai berikut. a. rencana peningkatan tarif kontribusi; b. rencana restrukturisasi kekayaan dan/ atau kewajiban, c. rencana penambahan modal disetor atau modal kerja d. rencana pemberian pinjaman Qardh oleh pemegang saham; e. rencana pengalihan sebagian atau seluruh kepesertaan; dan/ atau . rencana melakukan penggabungan badan usaha atau unit usaha. (4) Jangka waktu rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan dengan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan, namun tidak melebihijangka waktu perbaikan yang ditetapkan oleh Menteri. (5) Perusahaan wajib melaksanakan rencana penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktut sebagaimana telah ditetapkan dalam rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). (6) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat rencana penambahan modal disetor atati modal kerja, harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham. (7) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditandatangani oleh seluruh direksi, komisaris, dan dewan pengawas syariah. (8) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai Menteri tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan wajib melakukan perbaikan atas rencana penyehatan keuangan tersebut. End of Page 28 MIENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN 29 - (9). Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana penyehatan keuangan setiap bulan, paling lambat setiap tanggal 15 bulan berikutnya. (10) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (9) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan rencana penyehatan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15 tersebut. BAB IX LARANGAN Pasal 50 (1) Perusahaan dilarang membayar dividen kepada pemegang saham apabila mengakibatkan Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh; dan/ atau . berkurangnya jumlah modal atau jumlah modal kerja disetor di bawah ketentuan yang dipersyaratkan. (2) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan kekayaan Dana Tabavt dan Dana Investasi Peserta kepada Perusahaan dan/atau pihak lain tanpa. terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Menteri kecuali dalam rangka pemenuhan kewajiban kepada Peserta. (3) Perusahaan dilarang menjaminkan kekayaan Dana Tabarru' dan Dana Investasi Peserta kepada pihak lain. BAB X SANKSI Pasal 51 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (2), 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (6), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 0 ayat (I), Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (5), Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), Pasal 37 ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39 ayat (3), Pasal 39 ayat (4), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 40 ayat (3), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (I), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (5), Pasal 49 ayat (8), Pasal 49 ayat (9), Pasal 50, dan Pasal 52 Peraturan Menteri Keuangan ini dikategorikan sebagai pelanggaran kesehatan keuangan, penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi dan dikenakan sanksi administratif. End of Page 29 MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II MENTERI KEUANGAN REPUOLIK INDONESIA (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan; b. pembatasan/ pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. (3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 pemenuhan ketentuan mengenai Tingkat Soirabilas Dana Tabarru' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut a. paling lambat tanggal 31 Maret 2011, Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnt paling rendah 5% (lima per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, b. paling lambat tanggal 31 Desember 2012, Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnut paling rendah 15% (lina belas per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban; dan c. paling lambat tanggal 31 Desember 2014, Tingkat Solvabilitas Dana Tabarra paling rendah 30% (tiga puluh per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban. Pasal 53 Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan, kecuali terhadap ketentuan mengenai kewajiban penetapan besar penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, mulai diberlakukan untuk laporan keuangan tahunan yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2012. End of Page 30 MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII -31 - Pasal 54 Penyesuaian pemenuhan ketentuan mengenai Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), dilakukan dengan tahapan sebagai berikut a. paling lambat tanggal 31 Maret 2011, jumlah Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh paling rendah 25% (dua puluh lima per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan sejumlah dana yang, harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk berkinerja baik, dan/atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan, b. paling lambat tanggal 31 Desember 2012, jumlah Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh paling rendah 45% (empat puluh lima per seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan sejumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk berkinerja baik, dan/ataut adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan; dan c. paling lambat tanggal 31 Desember 2014, jumlah Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh paling rendah 70% (tujuh puluh per seratuis) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan sejumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk berkinerja baik, dan/atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 55 Dengan ditetapkaninya Peraturan Menteri Keuangan ini, maka Pasal 6 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (3), Pasal 19 ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi beserta perubahannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. End of Page 31 MENTERI KEUANGAN MAENTERA NEOANOANDISTRIBUSIIL -32 - Pasal 56 Peraturan Menteri Keuangan jni mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap ortang mengetahuinya, inemerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2011 MENTBRI KEUANGAN, ttd. Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 12 Januari 2011 AGUS D.W. MARTOWARDOJO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 17 Ssonan sesnoi boentgon alhere KEPALA BIRO JRKURANR u.b. 1 u.b. KEPALA BAGTU, KEM ALAB GIARTO NIP19590420098 End of Page 32
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id> <reg_title> KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 12 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 12 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 12 Januari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 6 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (3), Pasal 19 ayat (4)' </replaced_reg> <related_reg> '73/PP/1992', '81/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 152/PMK.010/2012 TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERASURANSIAN. PERUSAHAAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai usaha perasuransian. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 3. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. 4. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian. 5. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam penanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian. 6. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah perusahaan penunjang usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan di bidang perasuransian. 7. Agen Asuransi adalah agen asuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian 8. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran hasil usaha dan mengoptimalkan nilai perusahaan bagi seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, secara akuntabel dan berlandaskan peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika. 9. Organ Perusahaan Perasuransian adalah rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris termasuk dewan pengawas syariah bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 3 - 10. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap Perusahaan Perasuransian, baik langsung maupun tidak langsung, antara lain pemegang saham, direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah, karyawan, pemegang polis, tertanggung, peserta, pihak yang berhak memperoleh manfaat, kreditur, penyedia jasa, dan/atau pemerintah. 11. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat RUPS, adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan RUPS bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. 12. Direksi adalah bagian dari Organ Perusahaan Perasuransian yang melakukan fungsi pengurusan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. 13. Dewan Komisaris adalah bagian dari Organ Perusahaan Perasuransian yang melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama. 14. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan kepentingan pemegang polis. 15. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari Organ Perusahaan Perasuransian yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi agar sesuai dengan prinsip syariah. 16. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 18. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 19. Kepala Biro adalah Kepala Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 4 - Pasal 2 Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik meliputi: a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan mengenai perusahaan, yang mudah diakses oleh Pemangku Kepentingan sesuai dengan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan Perasuransian sehingga kinerja perusahaan dapat berjalan secara transparan, wajar, efektif, dan efisien; c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai- nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; dan e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, peraturan perundang-undangan, dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat. Pasal 3 Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk: a. mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan Perasuransian secara profesional, transparan, efektif, dan efisien; c. meningkatkan kepatuhan Organ Perusahaan Perasuransian agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, dan kesadaran atas tanggung jawab sosial Perusahaan Perasuransian terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan; d. mewujudkan Perusahaan Perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan e. meningkatkan kontribusi Perusahaan Perasuransian dalam perekonomian nasional. BAB II PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 4 Perusahaan Perasuransian setiap saat wajib menerapkan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik berdasarkan Peraturan Menteri ini. BAB III RUPS Pasal 5 (1) RUPS Perusahaan Perasuransian wajib diselenggarakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar operasional prosedur Perusahaan Perasuransian yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. (2) Dalam mengambil keputusan, RUPS wajib berupaya menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang saham minoritas, kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. BAB IV DIREKSI Pasal 6 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha perusahaan. (3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib memiliki anggota Direksi paling sedikit 2 (dua) orang. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 6 - (4) Seluruh anggota Direksi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya. Pasal 7 Direksi Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili di Indonesia. Pasal 8 Direksi Perusahaan Perasuransian wajib menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis. Pasal 9 Direksi wajib: a. mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan standar operasional prosedur Perusahaan Perasuransian dalam melaksanakan tugasnya; b. mengelola Perusahaan Perasuransian sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya; c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui RUPS; d. berupaya memastikan agar Perusahaan Perasuransian memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; e. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan Perasuransian diberikan kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah secara tepat waktu dan lengkap; dan f. membantu memenuhi kebutuhan Dewan Pengawas Syariah dalam menggunakan anggota komite investasi, karyawan perusahaan, dan tenaga ahli profesional yang struktur organisasinya berada di bawah Direksi. Pasal 10 (1) Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk komite investasi. (2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terdiri atas: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 7 - a. anggota Direksi yang bertanggung jawab pada bidang pengelolaan investasi; dan b. aktuaris perusahaan bagi Perusahaan Asuransi Jiwa atau tenaga ahli perusahaan bagi Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi. (3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas membantu Direksi dalam merumuskan kebijakan investasi dan memantau pelaksanaan kebijakan investasi yang telah ditetapkan. Pasal 11 Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap jabatan pada perusahaan lain kecuali sebagai anggota Dewan Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Perasuransian lain. Pasal 12 (1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat mantan pegawai atau pejabat lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menjadi anggota Direksi apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari lembaga tersebut kurang dari 1 (satu) tahun. Pasal 13 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang mengangkat anggota Direksi yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 8 - d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. (2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dilarang mengangkat anggota Direksi yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Pasal 14 Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Direksi yang belum dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan oleh lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 15 (1) Direksi wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. (2) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota Direksi yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Direksi berhak menerima salinan risalah rapat Direksi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 9 - (5) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi harus dimuat dalam laporan hasil Pasal 16 (1) Anggota Direksi wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pemegang saham Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat serta dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan dalam bentuk laporan baik pada awal menjabat maupun setiap terjadi perubahan. Pasal 17 Anggota Direksi dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat; c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait dengan kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang telah ditetapkan dalam RUPS. (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. penilaian sendiri MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 10 - BAB V DEWAN KOMISARIS Pasal 18 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib memiliki anggota Dewan Komisaris paling sedikit 3 (tiga) orang. (2) Paling sedikit 1 (satu) orang dari jumlah anggota Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas merupakan Komisaris Independen. (3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib memiliki anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang. (4) Seluruh anggota Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya. (5) Pengangkatan Komisaris Independen Perusahaan Asuransi dilakukan oleh RUPS dan harus dinyatakan secara jelas dalam akta notaris yang memuat keputusan RUPS mengenai pengangkatan tersebut. Pasal 19 Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili di Indonesia. Pasal 20 Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib menjamin pengambilan putusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis. Pasal 21 Dewan Komisaris wajib: a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi; b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 11 - c. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik pada Perusahaan Perasuransian; dan d. membantu memenuhi kebutuhan Dewan Pengawas Syariah dalam menggunakan anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris. Pasal 22 Anggota Dewan Komisaris berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Perasuransian secara tepat waktu dan lengkap. Pasal 23 (1) Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk: a. komite audit; dan b. komite kebijakan risiko. (2) Salah seorang anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah anggota Dewan Komisaris yang sekaligus berkedudukan sebagai ketua komite. (3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses pelaporan keuangan. (4) Komite kebijakan risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau pelaksanaan manajemen risiko yang disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang dapat diambil oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (5) Selain komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat mempertimbangkan untuk membentuk komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan Komisaris yang terdiri atas: a. komite nominasi dan remunerasi; dan/atau b. komite kebijakan tata kelola perusahaan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 12 - (6) Komite nominasi dan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: a. menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi bagi anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan para eksekutif lainnya di dalam Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; b. membuat sistem penilaian dan memberikan rekomendasi mengenai kebutuhan jumlah anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan c. membantu menyusun sistem penggajian, pemberian tunjangan, dan fasilitas lainnya serta memantau pelaksanaannya. (7) Komite kebijakan tata kelola perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengkaji dan memantau penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik secara menyeluruh yang disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi penerapannya. Pasal 24 Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada lebih dari 1 (satu) perusahaan lain. Pasal 25 (1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat mantan pegawai atau pejabat lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menjadi anggota Dewan Komisaris apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari lembaga tersebut kurang dari 6 (enam) bulan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - Pasal 26 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap, dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. (2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. Pasal 27 Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota Dewan Komisaris yang belum dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan oleh lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 14 - Pasal 28 (1) Dewan Komisaris wajib menyelenggarakan rapat Dewan Komisaris paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Komisaris dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat Dewan Komisaris, wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota Dewan Komisaris yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Komisaris berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Komisaris. (5) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Komisaris harus dimuat dalam laporan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 29 (1) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan mengenai: a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per seratus) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri; dan b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pemegang saham Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat serta lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk laporan baik pada awal menjabat maupun setiap terjadi perubahan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 15 - Pasal 30 Anggota Dewan Komisaris dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat; dan c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 31 Komisaris Independen Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan Pengawas Syariah, atau pemegang saham Perusahaan Asuransi, dalam Perusahaan Asuransi yang sama; b. tidak pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota dewan pengawas syariah atau menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada Perusahaan Asuransi yang sama atau perusahaan lain yang memiliki hubungan afiliasi dengan Perusahaan Asuransi tersebut dalam kurun waktu 2 (dua) tahun terakhir; c. tidak pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: 1. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; 2. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; 3. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 16 - 4. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. d. memahami peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain yang relevan; e. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi keuangan Perusahaan Asuransi tempat Komisaris Independen dimaksud menjabat; f. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan g. berdomisili di Indonesia. Pasal 32 (1) Dalam hal Komisaris Independen menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib mengusulkan penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan guna membahas hasil penilaian Komisaris Independen atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. (3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris Independen wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia menerima usul penyelenggaraan rapat. (4) Dalam hal hasil keputusan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menolak atau tidak setuju dengan hasil penilaian Komisaris Independen atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan kepada Direksi MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 17 - paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil keputusan rapat Dewan Komisaris yang menolak atau tidak setuju dengan hasil penilaian Komisaris Independen. Pasal 33 (1) Komisaris Independen wajib membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugasnya terkait dengan perlindungan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, baik menyangkut pelayanan maupun penyelesaian klaim, termasuk laporan mengenai perselisihan yang sedang dalam proses penyelesaian pada badan mediasi, badan arbitrase, atau badan peradilan. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Komisaris Independen kepada Kepala Biro paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya dan ditembuskan kepada Direksi dan Dewan Komisaris. (3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hard copy) dan digital (soft copy). BAB VI DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 34 (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara jelas dalam akta notaris. Pasal 35 Dalam hal anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lebih dari 1 (satu) orang, paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah tersebut wajib berdomisili di Indonesia. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 18 - Pasal 36 Dalam hal jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lebih dari 1 (satu) orang, komposisi Dewan Pengawas Syariah wajib menjamin pengambilan putusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis. Pasal 37 (1) Dewan Pengawas Syariah wajib: a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan saran kepada Direksi agar kegiatan perusahaan sesuai dengan prinsip syariah; dan b. berupaya menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. (2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan saran yang dilakukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap: a. kegiatan perusahaan dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban, baik dana tabarru’, dana perusahaan maupun dana investasi peserta; b. produk asuransi syariah yang dipasarkan oleh perusahaan; c. praktik pemasaran produk asuransi syariah yang dilakukan oleh perusahaan; dan d. kegiatan operasional usaha asuransi dan reasuransi syariah lainnya. Pasal 38 (1) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Dewan Pengawas Syariah dapat menggunakan bantuan dari: a. anggota komite yang struktur organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris; dan/atau b. anggota komite, karyawan, dan tenaga ahli profesional perusahaan yang struktur organisasinya berada di bawah Direksi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 19 - (2) Penggunaan anggota komite, karyawan, dan tenaga ahli profesional perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus terlebih dahulu diberitahukan secara tertulis oleh Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi dan/atau Dewan Komisaris. Pasal 39 Anggota Dewan Pengawas Syariah berhak memperoleh informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Perasuransian secara tepat waktu dan lengkap. Pasal 40 (1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang merangkap sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang sama. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dilarang merangkap jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada lebih dari 1 (satu) perusahaan lain. Pasal 41 Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang mengangkat anggota Dewan Pengawas Syariah yang pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari suatu: a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan; c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan; dan/atau d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 20 - Pasal 42 (1) Dalam hal anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 1 (satu) orang, Dewan Pengawas Syariah wajib menyelenggarakan rapat Dewan Pengawas Syariah secara berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan Pengawas Syariah dan didokumentasikan dengan baik. (3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam rapat Dewan Pengawas Syariah, wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat Dewan Pengawas Syariah disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut. (4) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang hadir maupun yang tidak hadir dalam rapat Dewan Pengawas Syariah berhak menerima salinan risalah rapat Dewan Pengawas Syariah. (5) Jumlah rapat Dewan Pengawas Syariah yang telah diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan Pengawas Syariah harus dimuat dalam laporan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik. Pasal 43 (1) Anggota Dewan Pengawas Syariah setiap saat wajib memenuhi ketentuan penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan. Pasal 44 Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang: a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat; b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat; dan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 21 - c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat, selain remunerasi dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Pasal 45 (1) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah menilai terdapat kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah wajib meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan prinsip syariah. (2) Dalam hal penjelasan yang disampaikan anggota Direksi menolak hasil penilaian Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas Syariah wajib melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan anggota Direksi diterima oleh Dewan Pengawas Syariah. (3) Dalam hal penjelasan anggota Direksi menerima hasil penilaian Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas Syariah memerintahkan kepada Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar sesuai dengan prinsip syariah. (4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan terhadap kebijakan atau tindakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Dewan Pengawas Syariah wajib segera melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak melakukan upaya perbaikan dimaksud. BAB VII PEMEGANG SAHAM Pasal 46 Pemegang saham Perusahaan Perasuransian melalui RUPS berupaya memastikan Perusahaan Perasuransian dijalankan berdasarkan praktik usaha perasuransian yang sehat dan mendahulukan pemenuhan kewajiban yang terkait dengan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 22 - Pasal 47 (1) Pemegang saham dilarang mencampuri kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian yang menjadi tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perusahaan Perasuransian dan peraturan perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban selaku RUPS. (2) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian yang menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Dewan Pengawas Syariah pada Perusahaan Perasuransian yang sama wajib mendahulukan hak Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar Perusahaan Perasuransian dan peraturan perundang-undangan daripada kepentingannya sebagai pemegang saham. Pasal 48 (1) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. tidak terlibat sebagai pihak yang dilarang menjadi pemegang saham perusahaan di bidang jasa keuangan dan/atau pengurus perusahaan di bidang jasa keuangan; b. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati dengan lembaga pembina dan pengawas perusahaan di bidang jasa keuangan; c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari lembaga pembina dan pengawas perusahaan di bidang jasa keuangan; d. tidak tercatat dalam daftar kredit macet; e. memiliki sumber dana yang tidak berasal dari tindak pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang; f. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional Perusahaan Perasuransian; g. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan h. memiliki reputasi yang baik. (2) Ketentuan mengenai kriteria pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Perusahaan Perasuransian yang melakukan perubahan pemegang saham dan/atau Perusahaan Perasuransian yang mengajukan permohonan izin usaha. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 23 - BAB VIII AUDITOR EKSTERNAL Pasal 49 (1) Auditor eksternal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib ditunjuk oleh RUPS dari 3 (tiga) calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris berdasarkan usulan komite audit. (2) Auditor eksternal Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib ditunjuk oleh RUPS dari 3 (tiga) calon auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris. (3) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai: a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut; dan b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan pihak yang berkepentingan di Perusahaan Perasuransian dan kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan hasil auditnya kepada Kepala Biro. (4) Perusahaan Perasuransian wajib menyediakan semua catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran, ketaatasasan, dan kesesuaian laporan keuangan Perusahaan Perasuransian dengan standar audit yang berlaku. BAB IX TATA KELOLA INVESTASI Pasal 50 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyusun kebijakan dan strategi investasi secara tertulis. (2) Ketaatan terhadap kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 24 - a. profil kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b. kesesuaian antara durasi kekayaan dan durasi kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; c. tujuan investasi; d. sasaran tingkat hasil investasi yang diharapkan, termasuk tolok ukur hasil investasi (yield’s benchmark) yang digunakan; e. dasar penilaian dan batasan kualitatif untuk setiap jenis aset investasi; f. batas maksimum alokasi investasi untuk setiap jenis aset investasi; g. batas maksimum proporsi kekayaan perusahaan yang dapat ditempatkan pada satu pihak; h. batas maksimum jumlah aset yang tidak ditempatkan (idle assets) dalam bentuk investasi; i. objek investasi yang dilarang untuk penempatan investasi; j. tingkat likuiditas minimum portofolio investasi perusahaan untuk mendukung ketersediaan dana guna pembayaran manfaat asuransi; k. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan investasi; l. ketentuan mengenai penggunaan manajer investasi, penasihat investasi, tenaga ahli, dan penyedia jasa lain yang digunakan dalam pengelolaan investasi; m. ketentuan penggunaan instrumen derivatif dan produk keuangan terstruktur lainnya untuk tujuan lindung nilai; n. pembatasan wewenang transaksi investasi untuk setiap level manajemen dan pertanggungjawabannya; dan o. tindakan yang akan diterapkan kepada Direksi atas pelanggaran kebijakan investasi. (4) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. ditetapkan oleh Direksi; b. disosialisasikan kepada pegawai yang terlibat dalam pengelolaan investasi; dan c. disampaikan kepada Kepala Biro paling lama 1 (satu) bulan setelah ditetapkan oleh Direksi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 25 - Pasal 51 (1) Direksi wajib menyusun rencana pengelolaan investasi tahunan yang paling sedikit memuat: a. rencana komposisi jenis investasi; b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk setiap jenis investasi; dan c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi jenis investasi. (2) Rencana pengelolaan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan kebijakan dan strategi investasi. Pasal 52 Dalam mengelola investasi, Direksi Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib melakukan: a. analisis terhadap risiko investasi yang antara lain meliputi risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko operasional serta rencana penanggulangannya dalam hal terjadi peningkatan risiko investasi; dan b. kajian yang memadai dan terdokumentasi dalam menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan investasi. Pasal 53 Direksi wajib mengambil keputusan investasi secara profesional dan mengoptimalkan nilai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi bagi Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat. Pasal 54 Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib memiliki unit kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi pengelolaan investasi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. menyelenggarakan fungsi analisis dan melaksanakan, mengawasi, dan melaporkan pengelolaan investasi; b. memiliki dan menerapkan sistem dan prosedur pengendalian internal untuk memastikan bahwa investasi dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi investasi serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan; dan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 26 - c. memiliki integritas dan keahlian serta pengalaman di bidang investasi. Pasal 55 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang menempatkan investasi pada instrumen investasi pasar modal wajib menatausahakan efek pada pihak yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki investasi dalam bentuk saham yang diperdagangkan di bursa efek harus memiliki akses informasi yang memungkinkan secara langsung memonitor mutasi portofolio investasinya. (3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari portofolio investasi yang dikelolanya sendiri dalam bentuk saham, surat utang korporasi, dan/atau sukuk korporasi, wajib memiliki tenaga ahli bidang investasi yang telah lulus ujian sebagai wakil manajer investasi yang diselenggarakan oleh panitia standar profesi pasar modal. Pasal 56 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat mengalihdayakan pengelolaan investasinya kepada pihak lain. (2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah memiliki izin usaha sebagai perusahaan efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai manajer investasi dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan usaha oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, pada saat perjanjian pengalihdayaan pengelolaan investasi berlaku; c. memenuhi ketentuan mengenai jenis, batasan, dan penilaian investasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 27 - d. memiliki wakil manajer investasi yang berpengalaman mengelola dana paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) pada saat penunjukan sebagai pengelola investasi perusahaan. (3) Wakil manajer investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d tidak sedang atau tidak pernah dikenakan sanksi administratif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam 5 (lima) tahun terakhir. (4) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mengelola investasi merupakan pihak yang terafiliasi dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, selain wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi tersebut tidak sedang menduduki jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada pihak lain dimaksud. Pasal 57 (1) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis dalam bentuk akta notaris. (2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai: a. hak dan kewajiban masing-masing pihak; b. jenis dan batasan instrumen investasi; c. besarnya biaya yang dibebankan; d. jenis dan laporan rutin atas pengelolaan investasi dimaksud; e. adanya hak perusahaan untuk mendapatkan informasi dan dokumen lain yang terkait dengan pengelolaan investasi dimaksud; f. ganti kerugian dalam hal pihak lain melanggar ketentuan kerjasama atau terjadi kelalaian pihak lain yang mengakibatkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi mengalami kerugian; g. penatausahaan kekayaan yang dikelola pihak lain pada kustodian yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan pihak lain tersebut; h. penyelesaian perselisihan dan pengakhiran perjanjian; dan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 28 - i. kesediaan para pihak untuk memberikan informasi terkait dengan pengelolaan investasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi kepada Kepala Biro. Pasal 58 (1) Direksi wajib mengetahui portofolio penempatan investasi yang dilakukan oleh pihak lain. (2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Direksi dalam pengelolaan investasi. BAB X PENGENDALIAN INTERNAL Pasal 59 (1) Direksi wajib menetapkan pengendalian internal yang efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam rangka tercapainya tujuan Perusahaan Perasuransian. (2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan Perasuransian yang disiplin dan terstruktur; b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai, dan mengelola risiko usaha; c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur organisasi Perusahaan Perasuransian, antara lain mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan keamanan terhadap aset perusahaan; d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan mengenai kegiatan operasional, finansial, dan ketaatan atas ketentuan dan peraturan yang berlaku pada Perusahaan Perasuransian; dan e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur organisasi Perusahaan Perasuransian, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal, dengan ketentuan bahwa penyimpangan yang terjadi dilaporkan kepada Direksi dan tembusannya disampaikan kepada komite audit. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 29 - BAB XI RENCANA JANGKA PANJANG DAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN Pasal 60 (1) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki rencana jangka panjang (RJP) yang merupakan rencana strategis yang memuat sasaran dan tujuan yang akan dicapai dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. (2) RJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. evaluasi pelaksanaan RJP periode sebelumnya; b. posisi rencana strategis Perusahaan Perasuransian per tahun; c. asumsi yang dipakai dalam penyusunan RJP; dan d. penetapan sasaran, strategi, kebijakan, dan program kerja RJP beserta keterkaitan dengan setiap unsur tersebut. Pasal 61 (1) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) sebagai penjabaran tahunan dari RJP. (2) RKAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. rencana kerja yang terdiri atas misi, sasaran usaha, strategi usaha, kebijakan, dan program kerja atau kegiatan Perusahaan Perasuransian; b. rencana anggaran yang terdiri atas pengalokasian anggaran program kerja atau kegiatan Perusahaan Perasuransian; c. proyeksi keuangan Perusahaan Perasuransian dan anak perusahaannya; dan d. hal lain yang memerlukan keputusan RUPS. BAB XII KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 62 (1) Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan kepada Kepala Biro mengenai hal-hal penting, paling sedikit meliputi: a. tujuan, sasaran usaha dan strategi Perusahaan Perasuransian; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 30 - b. faktor risiko material yang dapat diantisipasi, termasuk penilaian manajemen atas iklim berusaha dan faktor risiko; c. informasi Perasuransian; d. klaim material yang diajukan oleh dan/atau terhadap Perusahaan Perasuransian; e. perkara yang sedang dalam proses penyelesaian pada badan mediasi, badan arbitrase, atau badan peradilan yang melibatkan Perusahaan Perasuransian; dan f. benturan kepentingan yang mungkin akan terjadi dan/atau yang sedang berlangsung. (2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimuat dalam bentuk laporan tersendiri dan disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan keuangan tahunan. BAB XIII LINGKUNGAN, KESEHATAN, DAN KESELAMATAN KERJA Pasal 63 Direksi wajib berupaya memastikan bahwa aset dan lokasi usaha serta fasilitas Perusahaan Perasuransian memenuhi peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja. BAB XIV HUBUNGAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN Pasal 64 (1) Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan Agen Asuransi wajib melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat, agar pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat tersebut dapat menerima haknya sesuai polis asuransi. (2) Dalam rangka melindungi hak dan kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perusahaan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: a. Perusahaan Asuransi memenuhi kewajiban sesuai yang diperjanjikan dengan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; material mengenai Perusahaan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 31 - b. Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan Agen Asuransi mengevaluasi kebutuhan pemegang polis, tertanggung, atau peserta; c. Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan Agen Asuransi mengungkapkan informasi yang material dan relevan bagi pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat; dan d. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan Agen Asuransi bertindak dengan integritas, kompetensi, serta utmost good faith. Pasal 65 Perusahaan Perasuransian wajib: a. menghormati hak Pemangku Kepentingan; dan b. melaksanakan kewajibannya yang timbul berdasarkan peraturan perundangan-undangan dan/atau perjanjian yang dibuat antara Perusahaan Perasuransian dengan karyawan, pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau Pemangku Kepentingan lainnya. BAB XV HUBUNGAN PERUSAHAAN ASURANSI DENGAN AGEN ASURANSI Pasal 66 (1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan dengan Agen Asuransi yang memasarkan produk asuransinya. (2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi yang timbul dari penutupan asuransi yang dilakukan oleh Agen Asuransi yang bersangkutan. (3) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan Agen Asuransi yang tidak memiliki sertifikat keagenan dari asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis. (4) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan Agen Asuransi yang masih terikat perjanjian keagenan dengan Perusahaan Asuransi lain, kecuali Agen Asuransi yang bersangkutan telah mengakhiri perjanjian keagenannya paling sedikit 6 (enam) bulan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 32 - (5) Prosedur dan tata cara mengakhiri perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis setelah memperoleh persetujuan dari Kepala Biro. Pasal 67 Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui Agen Asuransi wajib melakukan paling sedikit hal-hal sebagai berikut: a. memberikan pendidikan dan pelatihan yang berkesinambungan kepada Agen Asuransi agar dapat menjalankan profesi dengan kompetensi dan integritas tinggi; b. mewajibkan Agen Asuransi terlebih dahulu memiliki sertifikat keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3); c. mencantumkan kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis dalam kontrak keagenan; dan d. mewajibkan Agen Asuransi untuk mematuhi kode etik atau sejenisnya yang ditetapkan oleh asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis berikut sanksi yang dikenakan terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Agen Asuransi. BAB XVI ETIKA BERUSAHA Pasal 68 (1) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan karyawan Perusahaan Perasuransian dilarang menawarkan atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi asuransi. (2) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan karyawan Perusahaan Perasuransian dilarang menerima sesuatu untuk kepentingannya, baik langsung maupun tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi asuransi. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 33 - Pasal 69 Perusahaan Perasuransian wajib membuat pedoman tentang perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha sebagai panduan bagi Organ Perusahaan Perasuransian dan seluruh karyawan Perusahaan Perasuransian. BAB XVII DONASI Pasal 70 (1) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi untuk tujuan amal dalam batas kepatutan dan kewajaran serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan Perasuransian. (2) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan Perasuransian. BAB XVIII PENILAIAN SENDIRI (SELF ASSESSMENT) Pasal 71 (1) Perusahaan Perasuransian wajib: a. melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; dan b. secara aktif mengungkapkan perkembangan penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dan permasalahan yang dihadapi. (2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam bentuk laporan tahunan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dan dilaporkan kepada Kepala Biro paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya. (3) Dalam hal tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah hari libur maka batas akhir penyampaian laporan hasil penilaian (4) Laporan hasil penilaian sendiri sendiri (self assessment) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 28 Februari dimaksud. (self assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hard copy) dan digital (soft copy). MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 34 - Pasal 72 (1) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilakukan berdasarkan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment) yang berlaku di Indonesia. (2) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh asosiasi Perusahan Perasuransian di Indonesia bersama dengan lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 73 (1) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dilakukan berdasarkan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment) yang berlaku di Indonesia paling lambat tanggal 1 Januari 2014. (2) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh asosiasi Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi di Indonesia bersama dengan lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB XIX MONITORING DAN EVALUASI PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK Pasal 74 (1) Lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melakukan monitoring dan evaluasi terhadap laporan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2). MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 35 - (2) Lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan evaluasi terhadap laporan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2). BAB XX SANKSI Pasal 75 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30, Pasal 32 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56 ayat (2) dan ayat (4), Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dan Pasal 76 Peraturan Menteri ini dan peraturan pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif; (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. peringatan; b. pembatasan kegiatan usaha; dan c. pencabutan izin usaha. (3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 36 - BAB XXI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 76 Perusahaan Perasuransian yang telah memperoleh izin usaha sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. BAB XXII KETENTUAN PENUTUP Pasal 77 Bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk perseroan terbuka, segala ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan di bidang pasar modal. Pasal 78 Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi agen asuransi perorangan. Pasal 79 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini: a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.06/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.05/2007 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian; dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 37 - Pasal 80 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Oktober 2012 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Oktober 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 980
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 152/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 3 Oktober 2012 </set_date> <effective_date> 4 Oktober 2012 </effective_date> <issued_date> 4 Oktober 2012 </issued_date> <related_reg> '73/PP/1992', '81/PP/2008', '2/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XX' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 135/PMK,05/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih menjamin stabilitas kondisi keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, maka pengaturan mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi perlu dilakukan penyempurnaan b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) . Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3306) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999'Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); 3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSL. PasalI 1. Mengubah Pasal 11 ayat (I) huruf d sehingga Pasal 11 seluruhnya berbunyisebagai berikut Pasal 11 (1) Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi terdiri dari a. deposito berjangka dan sertifikat deposito pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. saham yang tercatat di bursa efek; c. obligasi dan Medium Term Notes dengan peringkat paling rendah A atau yang setara pada saat penempatan: d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia; e. unit penyertaan reksadana; f. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek); bangunan dengan hak strata (strata fitle) atau tanah dengan bangunan untuk investasi; h. pinjaman hipotik; i. pinjaman polis. (2) Jenis kekayaan yang bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, terdiri dari a. kas dan bank; b. tagihan premi penutupan langsung; c. tagihan reasuransi; d. tagihan hasil investasi; e. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiris f perangkat keras komputer. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- 2. Mengubah Pasal 13 ayat (I) huruf e sehingga Pasal 13 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 13 (1) Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut a. deposito berjangka, berdasarkan nilai nominal; b. sertifikat deposito, berdasarkan nilai tunai; c. saham yang tercatat di bursa efek, berdasarkan nilai pasar, d. obligasi dan Mediunt Term Notes, berdasarkan nilai pasar; e. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia dinilai dan dikelompokkan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, yaitu 1) biaya perolehan setelah amortisasi premi atau diskonto, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang dimiliki hingga jatuh tempo; atau 2) harga pasar atau estimasi nilai wajar bila harga pasar tidak tersedia, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang diperdagangkan atau tersedia untuk dijual; f. unit penyertaan reksadana, berdasarkan nilai aktiva bersih, s. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), berdasarkan nilai ekuitas; h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai; i. pinjaman hipotik, berdasarkan nilai sisa pinjaman; j. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman. (2) Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi .dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut : a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal; b. tagihan premi penutupan langsung, berdasarkan nilai sisa c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan; d. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan; e. bangunan dengan hak strata (stratn fitie) atau tanah dengan bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai f. perangkat keras komputer, berdasarkan nilai buku. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. Mengubah Pasal 14 ayat (4) huruf c sehingga Pasal 14 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 14 (1) Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut: a. investasi dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat deposito pada setiap Bank, tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; b. investasi dalam bentuk saham yang emitennya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; c. investasi dalam bentuk obligasi dan Medium Term Notes yang penerbitnya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap penerbit masing-masing tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) darijumlah investasi; d. investasi dalam bentuk unit penyertaan reksadana, untuk setiap penerbit tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; e. investasi dalam bentuk penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya tidak melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; f. investasi yang ditempatkan dalam bentuk bangunan dengan hak strata (strata tifle) atau tanah dengan bangunan, seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; g. investasi yang ditempatkan dalam bentuk pinjaman hipotik, seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi dan memenuhi persyaratan bahwa pinjaman tersebut 1) diberikan hanya kepada perorangan; 2) dijamin dengan hipotik pertama; 3) penghipotikan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan 4) besarnya setiap pinjaman tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari nilai jaminan yang terkecil di antara nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP): h. investasi dalam bentuk pinjaman polis besarnya tidak melebihi 80% (delapan puluh per seratus) dari nilai tunai polis yang bersangkutan. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -5- (2) Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan batasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (I) per tanggal.neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1). (3) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi memiliki penempatan investasi di luar negeri, maka jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar batasan adalah jumlah investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditambah dengan jumlah investasi di luar negeri. (4) Pembatasan atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut : a. tagihan premi penutupan langsung, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak 1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran premi tunggal; atau ) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis dengan pembayaran premi cicilan; . tagihan reasuransi, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; tagihan hasil investasi, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran; d. bangunan dengan hak strata (strata titie) atau tanah dengan bangunan yang dipakai sendiri, seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) bagi Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi, atau 30% (tiga puluh per seratus) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, masing-masing dari Modal Sendiri periode berjalan; e. perangkat keras komputer seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari Modal Sendiri periode berjalan. 4. Mengubah Pasal 16 ayat (1) huruf d sehingga Pasal 16 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 16 (1) Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah terdiri dari a. deposito berjangka dan sertifikat deposito pada Bank, termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; b. saham yang tercatat di bursa efek; End of Page 5 REPUBLIK INDONESIA -6- c obligasi dan Mediumn Term Notes dengan peringkat paling rendah A atau yang setara pada saat penempatan d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia; e. unit penyertaan reksadana; f. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek); . bangunan dengan hak strata (styata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi; h. pinjaman polis i. pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan),; ). pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil). (2) Jenis kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah terdiri dari: a. kas dan bank; b. tagihan premi penutupan langsung c. tagihan reasuransi; d. tagihan hasil investasi; e. bangunan dengan hak strata (stratn title) atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri; f. perangkat keras komputer. 5. Mengubah Pasal 17 ayat (1) huruf d sehingga Pasal 17 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 17 (1) Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaa: Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut: a. deposito berjangka dan sertifikat deposito, berdasarkan nilai nominal; b. saham yang tercatat di bursa efek, berdasarkan nilai pasar; . obligasi dan Medium Term Notes, berdasarkan nilai pasar, ata nilai nominal dalam hal nilai pasar tidak tersedia: d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia dinilai dan dikelompokkan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, yaitu: End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -7 1) biaya perolehan setelah amortisasi premi atau diskonto, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang dimiliki hingga jatuh tempo; atau 2) harga pasar atau estimasi nilai wajar bila harga pasar tidak tersedia, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang diperdagangkan atau tersedia untuk dijual; e. unit penyertaan reksadana, berdasarkan nilai aktiva bersih f. penyertaan langsung, berdasarkan nilai ekuitas; . bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai; h. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman i. pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan, kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan), berdasarkan nilai sisa pinjaman; ). pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi hasil) berdasarkan nilai sisa pinjaman, (2) Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal; b. tagihan premi penutupan langsung, berdasarkan nilai sisa tagihan c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan; d. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan, e. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengar bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai; f. perangkat keras komputer, berdasarkan nilai buku.' 6. Mengubah Pasal 21 ayat (2) huruf f sehingga Pasal 21 seluruhnya berbunyisebagai berikut Pasal 21 (1) Kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi harus dipisahkan pencatatannya dengan kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari produk asuransi jiwa lainnya. End of Page 7 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONCO - 8 - (2) Penempatan atas kekayaan yang bersumber dari Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam jenis a. kas dan bank; b. deposito berjangka dan sertifikat deposito, termasuk deposit on dal dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan; c. saham yang tercatat di bursa efek; d. obligasi dan Medium Term Notes; e. unit penyertaan reksadana f. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia. (3) Ketentuan pembatasan penempatan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan atau Pasal 19 ayat (1) tidak berlaku bagi penempatan kekayaan Produk Asuransi yang Dikaitkan Dengan Investasi.' Pasal II 1. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, surat berharga yang dijamin oleh Pemerintah atau Bank Indonesia yang dimiliki oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi masih tetap dapat dikatagorikan sebagai kekayaan yang diperkenankan sampai dengan batas waktu 1 (satu) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. 2. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 30 September 2005. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2005 ttd, SRI MULYANIINDRAWATI End of Page 8
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2005 </set_date> <effective_date> 27 Desember 2005, dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 30 September 2005 </effective_date> <changed_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </changed_reg> <related_reg> '63/PP/1999', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '187/M|KEPPRES/2004' </related_reg>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 106 /PMK.06/2009 TENTANG TATA CARA PENGUSULAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DEWAN DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. b. bahwa dalam rangka menciptakan kinerja yang optimal, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia perlu dikelola oleh Dewan Direktur yang profesional; bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia anggota Dewan Direktur diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Keuangan; c. bahwa agar proses pengangkatan dan pemberhentian Dewan Direktur dapat berjalan obyektif diperlukan adanya ketentuan yang mengatur pengusulan, pengangkatan dan pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGUSULAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN DEWAN DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA. -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 2. Menteri adalah Menteri Keuangan. 3. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 4. Ketua Dewan Direktur adalah salah seorang anggota Dewan Direktur yang diangkat Menteri sebagai Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif. 5. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang diangkat Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI. 6. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam menjalankan kegiatan operasional LPEI. BAB II TATA CARA PENGUSULAN DAN PENGANGKATAN ANGGOTA DEWAN DIREKTUR Bagian Pertama Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Anggota Dewan Direktur Pasal 2 (1) Anggota Dewan Direktur LPEI berjumlah paling banyak 10 (sepuluh) orang, yang terdiri atas: a. 3 (tiga) orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi fiskal, 1 (satu) orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi perdagangan, 1 (satu) orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi perindustrian, dan 1 (satu) orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi pertanian; dan -3- b. paling banyak 3 (tiga) orang yang berasal dari luar LPEI dan 1 (satu) orang dari dalam LPEI. (2) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diangkat oleh Menteri atas usul pimpinan instansi atau lembaga yang bersangkutan. (3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diangkat oleh Menteri. Pasal 3 (1) Untuk mengangkat anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Menteri terlebih dahulu meminta usulan tertulis dari pimpinan instansi atau lembaga dimaksud. (2) Usulan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat 15 (lima belas hari) hari kerja terhitung sejak diterimanya permintaaan tertulis Menteri tentang usulan dimaksud. Pasal 4 Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, berasal dari: a. b. c. anggota Dewan Direktur yang masih memenuhi persyaratan untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Direktur; pegawai LPEI; dan/atau pihak yang dianggap oleh Menteri memiliki kualifikasi untuk menjabat sebagai anggota Dewan Direktur. Pasal 5 Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Bagian Kedua Persyaratan Pasal 6 Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Direktur, paling sedikit harus memenuhi syarat sebagai berikut: -4- a. Warga Negara Indonesia; b. mampu melakukan perbuatan hukum; c. sehat jasmani dan rohani; d. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi; e. f. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus, baik yang disusun oleh otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan; tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan perekonomian; g. memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang yang menjadi ruang lingkup kegiatan LPEI, yang meliputi antara lain keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, perdagangan internasional, dan/atau hukum; h. i. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan tidak sedang menjadi pengurus partai politik. BAB III PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Bagian Pertama Faktor Yang Dinilai Pasal 7 (1) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan telah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang diselenggarakan oleh Menteri. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap kompetensi dan integritas anggota Dewan Direktur. (3) Dalam rangka pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan, calon anggota Dewan Direktur wajib menyampaikan: a. fotocopy Kartu Tanda Penduduk; b. daftar riwayat hidup; -5- c. d. e. f. surat pernyataan tidak termasuk dalam daftar tidak lulus, baik yang disusun oleh otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan; surat pernyataan tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan perekonomian; surat pernyataan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan surat pernyataan tidak sedang menjadi pengurus partai politik. Pasal 8 Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) meliputi memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang yang menjadi ruang lingkup kegiatan LPEI, yang meliputi antara lain keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, perdagangan internasional, dan/atau hukum. Pasal 9 Faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) meliputi: a. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi; b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional LPEI; d. e. f. tidak termasuk dalam daftar tidak lulus yang disusun oleh otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan; tidak termasuk dalam daftar kredit macet yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang; dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit. -6- Bagian Kedua Tata Cara dan Hasil Penilaian Pasal 10 (1) Untuk melakukan penilaian calon anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, Menteri membentuk Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) yang beranggotakan: a. ex-officio Direktur Jenderal Kekayaan Negara b. c. ex-officio Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ex-officio Deputi Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian d. unsur Independen Sebagai Ketua Sebagai Anggota Sebagai Anggota Sebagai Anggota (2) Pengangkatan unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (3) Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan antara lain bertugas: a. melakukan seleksi untuk memperoleh paling sedikit 2 (dua) orang calon untuk setiap posisi anggota Dewan Direktur. b. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Direktur; dan c. melaporkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Dewan Direktur kepada Menteri. (4) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi: a. penilaian administratif; dan b. wawancara. Pasal 11 (1) Berdasarkan hasil akhir penilaian yang dilakukan Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sesuai tugasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3), Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan menyampaikan usulan 2 (dua) orang calon yang memenuhi syarat dan mempunyai nilai tertinggi kepada Menteri, disertai dengan rekomendasi calon anggota Dewan Direktur untuk diangkat. (2) Berdasarkan usulan dan/atau rekomendasi Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan paling banyak 3 (tiga) orang dari luar LPEI dan 1 (satu) orang dari dalam LPEI untuk menjadi anggota Dewan Direktur. -7- Pasal 12 Hasil akhir penilaian Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan dan penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bersifat final dan tidak dapat diganggu-gugat. Pasal 13 Pembagian tugas dan tatacara pelaksanaan tugas anggota Dewan Direktur ditetapkan oleh Dewan Direktur setelah pengangkatan oleh Menteri. Pasal 14 (1) Setelah pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, anggota Dewan Direktur harus menandatangani kontrak kerja dengan Menteri. (2) Kontrak kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan menjadi kriteria kinerja anggota Dewan Direktur. BAB IV PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN DIREKTUR Pasal 15 (1) Anggota Dewan Direktur dapat diberhentikan oleh Menteri apabila: a. berhalangan tetap; b. masa jabatannya berakhir; c. mengundurkan diri; d. kinerja anggota Dewan Direktur tidak memenuhi kriteria kinerja yang ditetapkan oleh Menteri; e. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua atau besan dengan anggota Dewan Direktur yang lain dan tidak ada satupun yang mengundurkan diri; f. melakukan kejahatan korporasi, tindak pidana korupsi, tindak pidana lainnya, atau pelanggaran moral; dan/atau g. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf h dan huruf i. (2) Anggota Dewan Direktur yang diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam waktu 14 (empat belas) hari diberi kesempatan terlebih dahulu untuk melakukan pembelaan diri kepada Menteri. -8- (3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri. Pasal 16 Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf a diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15, atau tidak lagi menjadi pejabat di instansi atau lembaga tempat anggota Dewan Direktur tersebut berasal. Pasal 17 (1) Pemberhentian anggota Dewan Direktur dan pengangkatan anggota yang baru harus dilakukan sehingga jumlah anggota Dewan Direktur paling sedikit 4 (empat) orang. (2) Dalam hal anggota Dewan Direktur diberhentikan, anggota Dewan Direktur penggantinya ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal pemberhentian. (3) Masa jabatan anggota Dewan Direktur yang diangkat untuk menggantikan anggota yang diberhentikan bukan karena berakhirnya masa jabatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) huruf b adalah sisa masa jabatan anggota Dewan Direktur yang digantikannya. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 (1) Untuk pertama kalinya, jangka waktu masa tugas anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf a diatur sebagai berikut: a. anggota Dewan Direktur yang berasal dari instansi yang membidangi fiskal diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; b. anggota Dewan Direktur yang bukan berasal dari instansi yang membidangi fiskal diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun; (2) Untuk pertama kalinya, jangka waktu masa tugas anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b diatur sebagai berikut: a. anggota Dewan Direktur yang merupakan Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun; -9- b. anggota Dewan Direktur yang berasal dari luar LPEI yang bukan merupakan Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan c. anggota Dewan Direktur yang berasal dari dalam LPEI yang bukan merupakan Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun. Pasal 19 Untuk pertama kalinya, calon anggota Dewan Direktur yang berasal dari dalam LPEI akan dipilih dari anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pegawai Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia. Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2009 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 10 Juni 2009 MENTTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 134
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 106/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PENGUSULAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DEWAN DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title> <set_date> 10 Juni 2009 </set_date> <effective_date> 10 Juni 2009 </effective_date> <issued_date> 10 Juni 2009 </issued_date> <related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 124 /PMK.010/2008 TENTANG PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi dalam industri perasuransian nasional dan untuk memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pihak-pihak yang berkepentingan, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha dalam lini usaha Asuransi Kredit dan Surebship b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship, Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4856); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2 MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan : 1. Perusahaan Asuransi Umum adalah Perusahaan Asuransi Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Usaha Perasuransian. 2. Asuransi Kredit adalah Jini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjan kredit. . Surehjsiip adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan jaminan atas kemampuan Prircipal dalam melaksanakan kewajiban sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee. 4. Surely adalah Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Suretuship. 5. Principal adalah pihak dalam perjanjian Suretyship yang harus memenuhi kewajiban kepada Oblige berdasarkan perjanjan 6. Obligee adalah pihak dalam perjanjan Surehjship, yang berhak menerima pemenuhan kewajiban dari Prindpal berdasarkan perjanjian pokok. 7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Pasal 2 Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada Jini usaha Asuransi Kredit atau Sturetjship wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut : a. memiliki kondisi keuangan sebagai berikut: 1. tingkat solvabilitas sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi End of Page 2 MENTERI KEUANGAN 2. rasio perimbangan antara jumlah investasi dan cadangan teknis serta kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan 3. rasio likuiditas paling rendah sebesar 1509 (seratus lima puluh b. memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi ahli asuransi Kkerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri yang berdasarkan penilaian Biro Perasuransian setara dengan AAMAI, c. memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi paling rendah ajun ahli asuransi kerugian dari AAMAI atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri yang berdasarkan penilaian Biro Perasuransian Setara dengan AAMAI yang khusus ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau Surehyship, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut 1. memiliki pengalaman sebagai underoriter lini usaha Asuransi Kredit atau Surehyship, atau pengalaman sebagai analis kredit korporasi paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan 2. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan yang khusus diselenggarakan di bidang Asuransi Kredit atau Suretyship. . memiliki pegawai yang ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau Surelyship yang telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus di bidang Asuransi Kredit atau Surelyship, termasuk pada kantor cabang yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Surelysiip; e. memiliki mamual underioriting untuk setiap produk asuransi pada Jini usaha Asuransi Kredit atau Suretysiip yang dipasarkan, yang mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan praktek asuransi yang berlaku f. memiliki sistem informasi yang memungkinkan debitur atau Principal, kreditur atau Obligee, dan Menteri melakukan pengecekan mengenai kebenaran penerbitan Asuransi Kredit atau Suretyship tertentu; dan 8. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan berkelanjutan bagi tenaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 4- Pasal 3 Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada Jini usaha Asuransi Kredit atau Suretiship yang memberikan jaminan atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, harus memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). Pasal 4 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi baru pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship wajib melaporkan rencana pemasaran produk baru tersebut kepada Menteri. (2) Pelaporan mengenai rencana pemasaran produk asuransi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan a. spesimen polis asuransi atau dokumen lain yang memuat perjanjian Asuransi Kredit atau Surelyship, b. pernyataan tenaga ahli yang berisi uraian dan dasar perhitungan tingkat premi atau imbal jasa maupun cadangan teknis, lengkap dengan asumsirasumsi dan data pendukungnya; c. proyeksi tdersoriting untuk 3 (tiga) tahun mendatang. d. bukti dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud; e. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan; t. perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud dipasarkan bersama pihak lain; 8. manual uidereriting yang disahkan Direksi; h. bukti yang menunjukkan tersedianya sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f; i. bukti pengangkatan dan kualifikasi tenaga ahli yang khusus ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau Surebyship; dan . rencana pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi pegawai yang mengelola Jini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship. (3) Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk asuransi baru pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship wajib memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas dan tidak sedang dikenai sanksi administratif. End of Page 4 REPUBLIK INDONESIA -5- Pasal 5 (1) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 3, maka Perusahaan Asuransi Umum tersebut dilarang untuk memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship. (2) Apabila Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memenuhi kembali ketentuan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tidak terpenuhinya ketentuan dimaksud, maka dapat memasarkan kembali produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretysiip yang dipasarkan sebelumnya, tanpa adanya kewajiban pelaporan pemasaran produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. (3) Apabila Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat memenuhi kembali ketentuan Pasal 2 dan/atau Pasal 3 dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tidak terpenuhinya ketentuan dimaksud, maka untuk dapat memasarkan kembali produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship yang dipasarkan sebelumnya, harus memenuhi ketentuan mengenai pelaporan pemasaran produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 6 (1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyslip wajib menetapkan besaran tarif imbal jasa. (2) Penetapan tarif imbal jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mencakup unsur tarif untuk risiko, biaya administrasi dan umum, biaya akuisisi, dan keuntungan. (3) Penetapan unsur-unsur tarif imbal jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didukung dengan data dan/atatt asumsi yang wajar dan cukup. (4) Unsur biaya akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari tarif imbal jasa. Pasal 7 (1) Nilai jaminan bruto dan nilai jaminan retensi sendiri untuk setiap risiko pada produk suretyship selain yang memberikan jaminan atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, berlaku . ketentuan End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- a. nilai jaminan bruto, termasuk setelah dikurangi jaminan kas tunai (cash collateral), jika ada, paling tinggi 30% (tiga puluh perseratus) dari modal sendiri; dan b. nilai jaminan retensi sendiri, termasuk setelah dikurangi jaminan kas tunai (cash collateral), jika ada, paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari modal sendiri. (2) Nilai jaminan bruto dan nilai jaminan retensi sendiri untuk setiap risiko pada produk asuransi kredit atau produk suretuship yang memberikan jaminan atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, berlaku ketentuan a. nilai jaminan bruto, termasuk setelah dikurangi jaminan kas tunai (casii collateral), paling tinggi 10% (sepuluh perseratus) dari modal sendiri; dan b. nilai jaminan retensi sendiri, termasuk setelah dikurangi jaminan kas tunai (cash colateral), paling tinggi 5% (lima perseratus) dari modal sendiri. Pasal 8 (1) Perusahaan Asuransi Umum wajib melakukan pembayaran ganti rugi kepada kreditur atau Obligee akibat ketidakmampuan atau kegagalan atau tidak terpenuhinya kewajiban debitur atau Principal sesuai dengan perjanjian pokok. (2) Perusahaan Asuransi Umum dilarang menunda dan/atau tidak memenuhi kewaiban pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan apapun termasuk alasan a. pembayaran klaim bagian reasuransi belum diterima dari reasuradur; b. sedang dilakukan upaya oleh Perusahaan Asuransi Umum agar pihak debitur atau Principal dapat memenuhi kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari kreditur atau Obligee, dan/atau c. pembayaran imbal jasa belum dipenuhi oleh debitur atau Principal. Pasal 9 (1) Ketentuan penyelenggaraan lini usaha Asuransi Kredit dan Surebuship bagi Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah atau unit syariah dari Ferusahaan Asuransi Umum diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (2) Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah atau unit syariah dari Perusahaan Asuransi Umum dilarang memasarkan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 10 Perusahaan Asuransi Umum yang telah memasarkan produk pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyjship wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 11 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai produk surety bond dan atau yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 September 2008 MENTERI KEUANGAN SRI MULYANIINDRAWATI End of Page 7
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 124/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP </reg_title> <set_date> 3 September 2008 </set_date> <effective_date> 3 September 2008 </effective_date> <replaced_reg> '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 4' </replaced_reg> <related_reg> '73/PP/1992', '39/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 30 /PMK.010/ 2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN NON BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, : Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan teknologi informasi di lingkungan industri Perasuransian, Dana Pensiun dan Lembaga Pembiayaan, maka risiko pemanfaatan Asuransi, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan teroris semakin terbuka; b. bahwa dengan semakin terbukanya risiko pemanfaatan Asuransi, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan teroris, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (uembaran Negara Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 199 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik. Indonesia Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4324); 4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009, MEMUTUSKAN: Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN NON BANK. BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: . Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 2. Dana Pensiun. adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana pensiun. Lembaga Pembiayaan . adalah perusahaan pembiayaan, perusahaan modal / ventuta, dan perusahaan pembiayaan Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam peraturan presiden mengenai lembaga pembiayaan. 4. Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disebut sebagai LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan. 5. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan LKNB untuk mengetahui tatar belakang dan identitas Nasabah, memantau Rekening dan transaksi Nasabah, serta melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tumai, termasuk transaksi keuangan yang :terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme. 6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada . pemegang polis dan/atau tertanggung pada perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa; b. klien pada perusahaan pialang asuransi; c. peserta dan/atau pihak yang berhak atas manfaat pensiun pada Dana Pensiun, End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3 - d. klien atau penjual piutang, pada kegiatan anjak piutang, . konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; . lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan lensing atau sewa guria usaha; : pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit, perusahaan pasangan usaha pada kegiatan modal ventura; dan i debitur pada perusahaan pembiayaan infrastruktur. 7. Beneficial Onuner adalah setiap orang yang, memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu , transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjan. 8. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Castonters) adalah Nasabah yang : berdasarkan latar belakang identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait dengan tindak .pidana pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme. 9. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persoms) adalah orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing, yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki atau menjalankan kewenangan publik sebagai pejabat penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, pejabat lain yang fungsi dabe pidinya bekaitan dengan penyelengata atau badan usaha milik negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebjakan dan operasional partai politik. 10. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termnasuk tetapit tidak terbatas pada identitas, transaksi atau Perikatan antara LKNB dan Nasabah. 11. Perikatan adalah perjanjian antara LKNB dan Nasabah, yang sesuai dehigan kegiatan usaha masing-masing LKNB, termasuk tetapi tidak terbatas pada asuransi jiwa; b. perjanjian antara klien dan perusahaan pialang asuransi; d. perjanjian sewa guna usaha, e. perjanjan pembiayaan konsumen; f. perjanjian anjak piutang End of Page 3 MENTERI KEUANGAN -4- & pembukaan zekening kartu kredit; h. perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan pasangan usaha; dan i. perjanjan pembiayaan infrastruktur. 12. Pendanaan Kegiatan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. 13. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan sebagaimana dimaksud delam undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang. 14. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah transaksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang 15. Negara yang Berisiko Tinggi (High: Risk Coimtries) adalah negara atau teritorial yang pofensial digunakan sebagai: a. tempat terjadinya atau saraia tindak pidana pencucian uang b. tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicte offense); dan/atau c. tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme. 16. Usaha yang Berisike Tinggi (High Risk Business) adalah bidang usaha yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan tindak pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Kegiatan Terorisme. BAB II PRINSIP MENGENAL NASABAH Bagian Pertama Kewajiban Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pasal 2 LKNB wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LKNB wajib. a. menetapkan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebjakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; End of Page 4 MENTERI KEUANGAN GDI BUK INDONESA c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah; dan d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Bagian Kedua Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pasal 4. (1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, LKNB wajib wajib: a. membentuk unit kerja khusus atau menugaskan anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. b. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis tentang penerimaan Nasabah, identifikasi dan verifikasi Nasabah, pemantauan terhadap Rekening dan transaksi Nasabah, dan manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang dituangkan dalam pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. c. menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada. Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. d. menyampaikan setiap perubahan atas pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.g. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut. (2) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat Setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasiLKNB. (3) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab langsung kepada direktur utama, ketua pengurus atau yang setara dengan pimpinan tertinggi LKNB. End of Page 5 REPUBUK INDONESIA @ LKNB yangmeakukan kegiatan usaha pusat wajib menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan oleh kantor pusat di bawah koordinasi unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus yang menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kantor pusat LKNB. 6) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan pea Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Dan Lembaga Keuangan. Pasal 5 direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau pengurus LKNB yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. Pasal 6 Pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha bagi Perusahaan Perasuransian dan Lembaga Pembiayaan atau pengesahan peraturan Dana Pensiun untuk pertama kali bagi Dana Pensiun, wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, bersana dengan permohonannya. Bagian Ketiga Kebijakan Penerimaan Dan Jdentifikasi Nasabah Pasal7 (1) Sebelum melakukan Perikatan dengan Nasabah, LKNB wairib meminta informasi mengenai: a. latar belakang dan identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan Perikatan; c. profil keuangan calon Nasabah; mengetahui profil calon Nasabah termasuk Perikatan yang telah dimiliki sebelumnya dengan LKNB yang bersangkutan, dan End of Page 6 REPUBLIK INDONESIA -7- e. identitas penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah. (2) LKNB wajib melakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain. (3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung sebagai berikut: a. calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari: 1) identitas Nasabah yang memuat: a) nama; alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor telepon, c) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); d) tempat dan tanggal lahir, dan e) kewarganegaraan; 2) keterangan mengenai pekerjaan; 3) spesimen tanda tangan;, dan 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana, 5) rata-rata penghasilan; 6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada; dan 7) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; b. calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang terdiri dari 1) dokumen mengenai perusahaan a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan; b) akte pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir, End of Page 7 REPUBLIK INDONESIA -8- e) laporan keuangan terkini; dan 1) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP): 2) nania, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak- pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan LKNB. 3) dokumen identitas pihak pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan, 4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana, bagi calon Nasabah pada Lembaga Pembiayaan dan Perusahaan Perasuransian; dan 5) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. 4) Ketentuan custoner due diligence sebaimana dimaksud pada ayat (l), ayat (2), dan ayat (3), tidak berlaku bagi calon Nasabah berupa berupa a. Lembaga pemerintah; atau b. Lembaga keuangan multilateral. Pasal 8 LKNB wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen pendukung (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara lain: a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan. b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara. . 1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah; 2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang ) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikant oleh calon Nasabah. c. melakukan penelaahan mengenai Beneficial Orener. Pasal 9 (1) LKNB wajib memastikan bahwa calon Nasabahi mewakili Beneficial Ortoner atau bertindak untuk diri sendiri dalam membuka hubungari usaha atau melakukan transaksi. End of Page 8 MENTERI KEUANGAN -9- (2) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Oruer untuk membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, LKNB wajib melakukan prosedur customer due diligence terhadap Beneficinl Oroner yang sama dengan prosedur custonter due diligence bagi calon Nasabah. Pasal 10 (1) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficinl Otoner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), LKNB wajib meminto dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai Beneficial Oroner. (2) Dalam hal Beneficial Oroner merupakan perorangan, identitas dan/atau informasi antara lain berupa: a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a; b. hubungan hukum antar calon Nasabah dengan Beneficial Oruner jang, diturijukkan dengan surat penugasan, suiat perjanjan, surat kuasa, atau bentuk lainnya; dan c. peinyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber dana dari Beneficial Onuner. (3) Dalam hal Beneficinl Oaner berbentuk perusahaan, yayasan atau perkumpulan, identitas dan/ atau informasi antara lain berupa: a. dokumien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b; b. dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perusahaan yayasan, atau perkumpulan; dan c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas muaupun sumber dana dari Beneficinl Otoner. (4) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di ddlam negert yang mewakli Beneficial Onuner, LKNB waib meminta dokumen berupa pemyataan tertulis dari bank atau LKNB lain dalam negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap (5) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain diluat negert yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang paling kurang setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini yang mewakili Beneficial Oioner, LKNB waib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain Jluar negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficinl Oroner. End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -10- (6) Dalam hal LKNB meragukan atau tidak dapat meyakini dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai Beneficial Orner, LKNB wajib menolak hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah. Pasal 11 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Beneficinl Oruner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dah Pasal 10 ayat (3) huruf a, tidak berlaku bagi Beneficinl Oroner berupa: c. Lembaga pemerintah, d. Lembaga keuangan multilateral; atau e, Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek. Pasal 12 (1) LKNB dapat menerapkan prosedur customer due diligence yang lebih sederhana dari prosedur custoner due diligence sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 8 terhadap calon Nasabah atau transaksi yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah atau memenuhi kriteria sebagai berikut a. peserta Dana Pensiun yang dikutsertakan oleh pemberi kerja atau peserta mandiri yang membayar iuran ke Dana Pensiun yang jumlahnya kurang dari atau sama dengan 20% (dua puluh -per seratus) dari penghasilan setiap bulan atau lebih dari 20% (dua puluh per seratus) dari penghasilan tetapi tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan, b. produk asuransi yang tidak menjanjikan pengembalian dana sebelum atau setelah berakhirnya masa pertanggungan, c. produk asuransi yang jumlah pembayaran premi regulemye apabila di setahunkan tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); d. produk asuransi yang pembayaran premi tunggalnya tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); e. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan alat- alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi Rp50.000.000,00 (ima puluh juta rupiah); atau . Nasabah berupa perusahaan publik. (2) LKNB wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat perlakuan customer date diligenee yang lebih sederhana. End of Page 10 REPUBLIK INDONESIA -11 - (3) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (l), LKNB wajib meminta informasi mengenai: a. nama lengkap termasuk alias apabila ada, b. nomor dokumen identitas (KTP/SIM/Paspor) yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud;: c. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas, d. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon bila ada; dan e. tempat dan tanggal lahir. (4) Bagi calon Nasabah yang berbentuk perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (i), LKNB wajib. meminta informasi mengenai: a. nama perusahaan, b. alamat perusahaan dan nomor telepon; dan c. dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan. 5) Prosedur customer due diligence yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (i) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme. Pasal 13 (1) LKNB wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat (enhumced custoner due diligence) terhadap calon Nasabah dan Beneficinl Omner yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang dan/atau risiko tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme (2) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari . latar belakang atau profil calon Nasabah dan Beneficial Ornmer yang termasuk Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persons) atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customer); b. bidang usaha yang termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (figh Risk Business): c. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries); dan/atau End of Page 11 MENTERI KEUANGAN PBLIK NDONESA d. pihak-pihakyang tercantum dalam daftar nama-nama teroris; sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 14 Verifikasi yang lebih ketat (enlanced custonter due diligence) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilakukan antara lain dengan cara sebagai berikut: a. verifikasi informasi calon Nasabah atau Beneficinl Orner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi yang diberikan olehi calon Nasabah tersebut; b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah atau Beneficial Otener dimaksud dengan pihak ketiga; dan c. Customer due diligence secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait. Pasal 15 (1) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di dalam negeri, LKNB cukup menerima pemnyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah tersebut telah dilakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. (2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB cukup menerima pernyataan tertulis bahwa bank atau LKNB lain di luar negeri tersebut telah memperoleh dokumen pendukung pihak lain Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah melakukan verifikasi dan identifikasi atas dokumen dimaksud. (3) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengehal Nasabah yang lebih longgar dari Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB tetap waib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini End of Page 12 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - Pasal 16 LKNB dilarang melakukan Perikatan dengan calon Nasabah sebelum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8 atau Pasal 9 atau Pasal 12 atau Pasal 13 ayat (1). Pasal 17 LKNB yang akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang dianggap. dan/atau diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari ariggota direksi atau pengurus LKNB. Pasal 18 Persetujuan pembukaan Perikatan hanya dapat dilakukan setelah LKNB meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat memungkinkan Nasabah melakukan kegiatan pencucian uang dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme. Pasal 19 (1) LKNB melakukan pengujan: untuk mengetahui latar belakang dan tujuan dari transaksi yang tidak wajar. (2) Transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain namun tidak terbatas pada : a. transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar; b. transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan ekonomi yang jelas; c. transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan mielanggarhukum; dan/atau d. transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktifitas Rekening. 3) LKNB wajib mendokumentasikan transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diduga sebagal transaksi yang, mencurigakan, LKNB wajib melaporkan hal tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. End of Page 13 MENTERI KEUANGAN -14- Pasal 20 LKNB wajib mempunyai dan menerapkan prosedur khusus untuk melakukan Perikatan dengan Nasabah yang berasal dari negara- negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financini Action Tnsk Force (FATF). MENTERI KEUANGAN LKNB wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah dan/atau LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financint Action Tosk Force (FATF). Pasal 22 (1) LKNB wajib meneruskan kebijakan dan prosedur Prinsip Mengenal Nasabah ke seluruh, jaringan kantor dan anak perusahaan yang merupakan LKNB di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya. (2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mematuhi rekomendasi Financial Action Task Force (FATP) atau sudah mematuhi namun peraturan Prinsip Mengenal Nasabah yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan Prinsip Mengenal Nasabah yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pad ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud. (4) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada maka pejabat kantor LKNB di luar regeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat LKNB dan Menteri Keuangan c.q, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan bahwa kantor LKNB dimaksud tidak dapat menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Pematuran Menteri Keuangan ini. End of Page 14 REPUBUK INDONESIA -15- Bagian Keempat Pemantauan Rekening Dan Transaksi Nasabah Pasal 23 (1) Dalam rangka mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif untuk dapat memastikan bahwa transaksi yang dilakukan Nasabah konsisten dengan profil, karakteristik dan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan, LKNB wajib memiliki sistem informasi yang memadai. (2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memungkinkan LKNB untuk dapat menelusuri setiap transaksi, termasuk untuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, sumber dana yang digunakan untuk transaksi, dan Perikatan lain yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain. Pasal 24 LKNB wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan ada tidaknya transaksi yang mencurigakan serta melaporkan temuan tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pasal 25 LKNB wajib menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Pasal 26 LKNB wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 10. Pasal 27 LKNB wajib menatausahakan dan menyimpan data transaksi LKNB dengan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 19,dalam jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak Nasabah mengakhiri Perikatan dengan LKNB. End of Page 15 MENTERI KEUANGAN Pasal 28 LKNB wajib memenuhi ketentuan pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sesuai dengan undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang dan peraturan pelaksanaannya. Pasal 29 Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar nama teroris sebagaimana daftar yang dimuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB wajb melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian Kelima Manajemen Risiko Pasal 30 (1) Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal s huruf d merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko LKNB secara keseluruhan. (2) Kebijakantdan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup a. pengawasan oleh direksi dan komisaris atau pengurus dan pengawas LKNB (mmngement omersiglit); b. pendelegasian wewenang; c. pemisahan tugas, d. sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan e. program pelatihan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagj pejabat, karyawan, dan tenaga pemasar yang bukan karyawan LKNB. (3) LKNB wajb melakukan pengujan dan tes secara acak (sampling) tethadap keefekttan dari sistem dan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah dan mendokumentasikan pengujian tersebut guna perbaikan dan pengembangan sistem yang dimiliki. (4) LKNB wajib mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran ris, indikator dan contoh dari transaksi yang mencurigakan yang ditemukan di berbagai unit kerja terkait. End of Page 16 MENTERI KEUANGAN 17 BAB III PELAKSANA DAN FASILITAS PENDUKUNG Pasal 31 Direksi atau pengurus LKNB bertanggung jawab atas seluruh kegiatan dalam rangka penorapan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 32 LKNB wajib memiliki kebijakan dan prosedur khusus untuk meyakini identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi yang diberikan oleh calon Nasabah, dalam hal Perikatan tidak dilakukan melalui pertemuan langsung dengan calon Nasabah atau dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga. Pasal 33 (1) LKNB wajib menyusun dan melaksanakan program pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e. (2) Pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (3) Laporan pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat seluruh kegiatan pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah yang dilakukan untuk periode 1 Januari sampai 31 Desember tahun yang bersangkutan. bersangkutan. (4) LKNB wajib menyampaikan laporan pelaksanaan program pelathan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan pada tanggal 15 Januari talun berikutnya. Pasal 34 LKNB wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru guna mencegah digunakannya LKNB sebagai sarana dan/atau tujuan pencucian uang atau Pendanaan Kegiatan Terorisme yang melibatkan pihak interen LKNB. End of Page 17 REPUBLIK INDONESIA -18 - BAB IV PEMERIKSAAN KETAATAN Pasal 35 (1) Biro Perasuransian, Biro Dana Pensiun dan Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melakukan penteriksaan terhadap ketaatan LKNB dalam memenuhi kewajiban-kewajiban mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan terhadap ketaatan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk pedoman pemeriksaannya, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB V SANKSI Pasal 36 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 40 Peraturan Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi administratif. Qalemhag Dembiaygan dan Perusahaa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa a. Peringatan. b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha. c. Pencabutan izin usaha. (3) Dana Pensiun yang ntelanggar ketentuan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) kecuali Pasal 9 dan Pasal 10 dikenakan sanksi administratif berupa a. Peringatan. b. Penggantian pelaksana tugas pengurus. End of Page 18 REPUBLK INDONESIA (4) Tata cara dan jangka. waktu pengenaan setiap jenis sanksi disesuaikan dengan jenis Lembaga Keuangan Non Bank dan jenis pelanggarannya. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 (1) Segala sanksi yang telah dikenakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) LKNB yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 38 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003 tentang Pedonan Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada Lembaga Keuangan Non Bank, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri Keuangan ini dan belum ditetapkan peraturan yang menggantikannya. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 40 LKNB yang telah memperoleh izin usaha dan/atau pengesahan wajib menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, delam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. End of Page 19 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pasal 41 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di jakarta pada tanggal 9 Febtuari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di jakarta pada tanggal 9 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,. ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR77 Salinan sesual dengan aslpe Kepala Biro Umm Reala Bagian T.U/Sipartemen tonis Suharto ( NP 000041107 End of Page 20 LAMPIRAN NOMOR 30 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP I.EMBACA KEUANGAN NON BANK REPUBLIK INDONESIA SFTAR PIHAK-PIHAK YANG TERMASUK DALAM KATEGORI ORANG YANG POPULER SECARA POLITIS (POLITICALLY EXPOSED PERSON), NASABAH YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK CUSTOMER USAHA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK BUSINESS), DAN NEGARA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK COUNTRIES) 1. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persor) antara lain terdiri darit a.. Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan b. Wakil Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan, c. Pejabat setingkat Menteri; d. Eksekutif Senior perusahaan negara e. Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN); f. Eksekutif dan ketua partai politik; 8. Pejabat senior di bidang militer dan/atau kepolisian, h. Pejabat Senior di lingkungan Malkamah Agung dan Kejaksaan Agung, 1. Pejabat yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden; 5. Anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, k. Anggota keluarga (pasangan, orang tua, saudara, anak, menantu, cucu) dari kategori-kategori di atas; 1. Siapapun orang yang tidak termasuk di atas namun karena posisinya yang tinggi di masyarakat, pengaruhnya yang signifikan, kepopuleranaya dan/atau ombinasi dari posisinya dapat menempatkan Lembaga Keuangan Non Bai dalam posisi berisiko harus masuk dalam kategori berisiko tinggi; dan m. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Orang yang Populer Secata Politis (Politically Exposed Persons). Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) antara lain terdiri dari: a. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persoms); Pegawai instansi pemerintah yang terkait dengan pelayanan publik; c. Orang-orang yang tinggal dan/atau mempunyai dana yang berasal dari negara- negara yang didentifikasi oleh sumber-sumber terpercaya memiliki standar anti pencucian uang yang tidak mencukupi atau mewakili tindak pidana tingkat tinggi dan korupsi, d. Orang orang yang terlibat dalam jenis-jenis kegiatan atau sektor usaha yang rentan terhadap pencucian uang, seperti pegawai Penyedia Jasa Keuangan; e. Pihak-pihak yang disebutkan dalam daftar Perserikatan Bangsa Bangsa atau defter lainnya yang dikeluarkan olch organisasi intemasional sebagai teroris. organisasi teroris ataupun organisasi yang melakukan pendanaan; atau End of Page 21 MENTERI KEUANGAN -2- f. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Custonters). . Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) antara lain terdiri dari. a. Jasa keuangan, seperti Pedagang Valuta Asing (noney changer), Usaha Jasa Pengiriman Uang (mnoney renittance): b. Ofshore company termasuk Penyedia Jasa Keuangan yang beriokasi di tax dan/atau secregy hamens dan yurisdiksi yang tidak secara memadai melaksanakan rekomendasi FATF, Dealer mobil, d. Agen perjalanan; e. Pedagang perhiasan, batu permata dan logam berharga; Perusahaan perdagangan ekspor/impor; g. Usaha yang berbasis tunai seperti minimarket, jasa pengelola parkir, rumah makan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), pedagang isi ulang pulsa; h. Penjual grosir (uliolesalers) dan pengecer barang clektronik (khususnya di zona perdagangan bebas); i. Advokat, akuntan atau konsultan keuangan; j. Dealer barang antik dan seni; k. Agen properti; atau 1. Usaha lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Usaha yang Berisiko Tinggi (Hligh Risk Busintess). 4. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) antara lain terdiri dari: a. Yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutuinl assessntent terhadap suatu negara (seperti: Finmcinl Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Finumcial Action Task Force (CFATF), Commitee of Experts on the Eualuntion of Anti-Money Luundering Mensures and the Financing of Terrorisnt (MONEYVAL), Ensiern mnd Southern. Africn Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurnsian Group on Combating Money Laundering and Finiancing of Terorism (EAG), The Grupo de Accion Tinanciern de Sudamnerica (GAFISUD), Intergouernnental Anti-Money Lnundering Croup in 'Africa (GIABA) atau Middle Ensi G North Africn Finuncinl Action Tnsk Force (MENAFATP) didentifikasi sebagai tidak secara memadai melaksanakan Rekomendasi FATF. . Negara yang, didentifikasi sebagai yang, tidak cooperatioe atau Tax Hamert oleh Organiantion for Economnic Cooperation and Denelopment (OECD); . Negara yang memiliki tingkat tata kelola (g0od governanee) yang rendah sebagaimana ditentukan olch World Bank; End of Page 22 MENTERI KEUANGAN . Negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana diidentifikasi dalam Transparaitcy International Corruption Perception Index; atau Negara atau yurisdiksi lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries). kait dengan Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries). 5. Daftar teroris adalah daftar nama-nama teroris yang antara lain tercatat pada. a. Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau . Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media initernet seperti. situs PBB htp: 1/ www.un.org/sc/ comnitees/1267/consolist shtml atau sumber yang lazim digunakan. MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Salinan sesuai dengan aslinya,. Kepala Biro Umum ub. Kesala Bagian TADep DAA( Aronius/Suharis' TR060041107 End of Page 23
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN NON BANK </reg_title> <set_date> 9 Februari 2010 </set_date> <effective_date> 9 Februari 2010 </effective_date> <issued_date> 9 Februari 2010 </issued_date> <replaced_reg> '74/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006' </replaced_reg> <related_reg> '9/PERPRES/2009', '15/UU/2002', '11/UU/1992', '25/UU/2003', '2/UU/1992', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 37/PMK.010/2010 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS ANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS PIINGURU DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan industri dana pensiun yang schat dan akuntabel, perlu didukung oleh pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan pelaksana tugas pengurus Dana Pensiun Tembaga Keuangan yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi; b. bahwa dalam rangka mengukur tingkat kompetensi dan integritas pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan pelaksana tugas pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan, perlu dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam hurut a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun lembaga Keuangan Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang, Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507) 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 4. Keputusan Presiden Nomor 84/P'Tahun 2009; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus Dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja Dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36 /PMK.010/2010 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 Tentang Persyaratan Pengurus Dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja Dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan; MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENITAIAN KHMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. BABI KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan 1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun scbagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Dana Pensiun. 2. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja. 3. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan. 4. Tim Penguji adalah tim yang melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap Calon Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus. 5. Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus adalah seseorang yang diusulkan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan dalam rangka penunjukannya sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus. 6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3. BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Maksud dan tujuan penilajan kemampuan dan kepatutan adalah agar . Dana Pensiun mempunyai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang memiliki kemampuan yang memadai sesuai peraturan perundang-undangan; dan b. Dana Pensiun mempunyai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang memiliki kepatutan sesuai peraturan perundang- undangan. BAB II PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 3 (1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap a. seseorang yang belum pernah menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang dicalonkan menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus; atati b. seseorang yang pernah menjabat sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang dicalonkan kembali menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus. Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut a. Bagi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang tclah dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dan dicalonkan kembali menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus pada Dana Pensiun yang sama tidak wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan. b. Bagi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang telah dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dan dicalonkan menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus pada Dana Pensiun lain yang menyelenggarakan program pensiun yang sama, tidak wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan, End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA sepanjang tidak melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus. c. Bagi Pelaksana Tugas Pengurus wajib dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan paling lambat setiap 5 (lima) tabur sejak tanggal kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan terakhir. Pasal 5 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan berdasarkan permohonan tertulis dari pendiri Dana Pensiun kepada Menteri C.Q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai Calon Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang diusulkan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan, dengan melampirkan a. Daftar riwayat hidup beserta dokumen pendukung dari Calon Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang akan dinilai. b. Surat pernyataan dari Calon Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang akan dinijai yang meliputi: 1) kesediaan untuk diangkat menjadi Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus; 2) kesediaan untuk mengikuti dan menerima hasil penilaian tanpa syarat; 3) pernal/ tidak pernah melakukan tindakan/praktik yang menyimpang dari ketentuan perundang-undangan di bidang dana pensiun; dan 4) pernah/tidak pernah ikut terlibat dalam perkara pidana yang diancam sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atat Icbih, atau terlibat dalam perkara pidana ekonomi. (3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum a. Tanggal berakhimya periode kepengurusan. b. Rabas waktu penilaian kemampuan dan kea berkala bagi Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c. (4) Jumlah Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 2 (dua) orang untuk setiap jumlah jabatan yang akan disi. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN PPIBLK INDONESIA Pasal 6 Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan terhadap faktor kompetensi dan faktor integritas. Pasal 7 Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dilakukan oleh Tim Penguji. Pasal 8 (1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan menjadi2 (dua) predikat sebagai berikut a. lulus; atau b. tidak lulus. (2) Hasil penilaian dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 9 (1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang telah diusulkan oleh pendiri Dana Pensiun dan menolak untuk dilakukan penilajan kemampuan dan kepatutan, dinyatakan tidak Iulus kemampuan dan kepatutan. (2) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila: a. tidak menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); atau b. tidak hadir dalam penilaian kemampuan dan kepatutan setelah 2 (dua) kali dijadwalkan oleh Biro Dana Pensiun. (3) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dapat diusulkan kembali untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan sepanjang ketidaklulusan yang bersangkutan tidak disebabkan karena faktor integritas atau karena penolakan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pelaksana Tugas Pengurus yang tidak diajukan untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, paling lambat 3 (tiga) bulan End of Page 5 MENTERI KEUANGAN -6- setelah terlewatinya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b, dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan. Pasal 10 (1) Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilakukan secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, tidak dapat bertindak sebagai Pelaksana Tugas Pengurus. (2) Pendiri Dana Pensiun harus mengajukan Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang lain untuk mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan tidak Iulus. 3) Pendiri Dana Pensiun mengambil alih seluruh tugas dan wewenang Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sampai dengan diangkatnya Pelaksana Tugas Pengurus yang baru. Pasal 11 Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9, dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 12 (1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang telah dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan harus diangkat oleh pendiri Dana Pensiun scbagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan kelulusan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus untuk setiap jumlah jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, penentuan Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus untuk mengisi jabatan tersebut ditetapkan oleh pendiri Dana Pensiun. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN BLIK INDONESA BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dianggap telah memenuhi persyaratan kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Dalam hal Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dicalonkan untuk menjadi Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus baik pada Dana Pensiun yang sama naupun pada Dana Pensiun yang lain, Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus tersebut wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, tid. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 89 Salinan sesuai dengan asliny Kepala Biro Umum u.b. 18 9IP9540428197405100J End of Page 7
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 37/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 12 Februari 2010 </set_date> <effective_date> setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal 12 Februari 2010. </effective_date> <issued_date> 12 Februari 2010 </issued_date> <related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '11/UU/1992', '36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 /PMK.010/ 2012 TENTANG 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri Dana Pensiun, dipandang perlu mengubah ketentuan mengenai sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan investasi sehagaimana telah ditetapkan dalam Perotro. Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiun; dalam huruf a di atas, perlu menctapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiun; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); Urusan Piutang Negara; tentang Investasi Dana Pensiun; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2- 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 86); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN. Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiun, diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) diubah serta ayat (4) dan ayat (5) dihapus sehingga Pasal 21 berbunyi scbagai berikut. Pasal 21 (1) Pengurus menyampaikan kepada Menteri c.q. Ketua Badani Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan a. daftar investasi bulanan;, b. laporan investasi tahunan;, dan c. hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan. (2) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana Dana Pensiun Pemberi Kerja yang pada akhir periode pclaporan memiliki total investasi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (3) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas Maporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, tidak berlaku 048 Lotte Keriavang memenuhi kiteria sebagai berikut a. selama tahun buku, investasi Dana Pensiun hanya berupa tabungan, deposito berjangka, deposito on call, sertifikat deposito, Sertifikat Bank Indonesia, End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- b. pada akhir tahun buku, total investasi Dana Pensiun kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) Dihapus. (5) Dihapus. 2. Pasal 25 dihapus. 3. Ketentuan Pasal 26 ayat (I), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 26 berbunyi scbagai berikut. Pasal 26 (1) Daitar investasi bulanan sebagaimana dimaksud lama 15 (lima belas) hari setelah akhir periode yang dilaporkan. (2) Hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam m 5 (ima) bulan setelah akhir tahun buku Dana Pensiun. (3) Dana Pensiun yang tidak diwajibkan menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), harus menyampaikan laporan investasi tahunan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b paling lama 2 (dua) bulan setelah akhir tahun buku Dana Pensiun. (4) Dalam hal batas akhir penyampaian daftar investasi bulanan, hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan, dan laporan investasi tahunan sebasaimana. dimaksudo (2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. 4. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3) sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut Pasal 28 l Peayampaian daltar investasi bulana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dilakukan 7 End of Page 3 MENTERI KEUANGAN 4 dalam bentuk dokumen fisik (hard copu) dan format digital yang disediakan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Penyampaian daftar investasi bulanan, laporan investasi tahunan, dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. (3) Dalam hal daftar investasi bulanan, laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, tanggal penyampaian laporan adalah tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman. 5. Bab VIII dihapus. Pasal II Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 40A Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi penyampaian laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan yang sudah ada sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini dikategorikan sebagai piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan/diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 2. Pasal 41 dihapus. diundangkan. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 144 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM KEPALA/BAGIAN T:O RRMENTERIA KEPA BRO UMUM NIP 19390420198402100/ End of Page 5
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 19/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 1 Februari 2012 </set_date> <effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date> <issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date> <changed_reg> '199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </changed_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '89/PERPRES/2006', '77/PP/1992', '199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '11/UU/1992' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 18 /PMK.010/2010 TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA BSA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang penyelenggaraan usahanya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008, harus senantiasa memenuhi prinsip syariah Islam, termasuk fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; b. bahwa dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlui kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); . Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009, MEMUTUSKAN Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Asuransi berdasarkan prinsip syariah adalah usaha saling tolong menolong (td atuuni) dan melindungi (takafuli) di antara para peserta melalui pembentukan kumpulan dana (Dana Tnbarrir) yang dikelola sesuai prinsip syariah untuk menghadapi risiko tertentu. 2. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. 3. Peserta adalah orang atau badan yang menjadi peserta program asuransi dengan prinsip syariah, atau Perusahaan Asuransi yang menjadi peserta program reasuransi dengan prinsip syariah. Dana Tabarnt adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan Akad Tabarrut' yang disepakati. 5. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari Kontribusi Peserta atas produk asurans wa unsur investasi, yang dikelola Perusahaan sesuai dengan Akad yang telah disepakati. 6. Akad adalah perjanjjan tertulis yang memuat kesepakatan tertentu, beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai prinsip syariah. Akad Tnham' adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu Peserta kepada Dana Tabarru' untuk tujuan tolong menolong, di antara para Peserta, yang tidak bersifat dan bukan untuk tujuan komersial. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -8- 8. Akad Tijarah adalah Akad antara Peserta secara kolektif atau secara individu dan Perusahaan dengan tujuan komersial. 9. Akad Wakalalt bil Ujait adalah Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk mengelola Dana Tabarru' dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujral (fee). 10. Akad Mudharabaht adalah Akad Tjaraht yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai ntudhuarib untuk mengelola investasi Dana Tabarrit' dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbaii) yang besarnya telah disepakati sebelumnya 11. Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tjarah yang memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk mengelola investasi Dana Tabarru' dan/atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan, sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah disepakati sebelumnya. 12. Surplus Underuriting adalah selisih lebih total kontribusi Peserta ke dalam Dana Tnbarn' setelah dikurangi pembayaran santunan/klaim, kontribusi reasuransi dan cadangan teknis, dalam satu periode tertentu. 13. Qnrdh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada Dana Tabarr' untuk menanggulangi ketidakcukupan kekayaan Dana Tabarru' untuk membayar santunan/klaim kepada Peserta. 14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PRINSIP DASAR Pasal 2 Perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip dasar sebagai berikut a. adanya kesepakatan tolong menolong (taauun) dan saling menanggung (takaful) di antara para Peserta; b. adanya kontribusi Peserta ke dalam Dana Tabam, c. Perusahaan bertindaksebagai pengelola Dana Tabara, End of Page 3 MENTERI KEUANGAN -4- d. dipenuhinya prinsip keadilan (adi), dapat dipercaya (amartah), keseimbangan (tnmazun), kemaslahatan (miaslahali), dan keuniversalan (sjumul); dan e. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti kelidakpastian/ketidakielasan (gharar), perjudian (maysir), bunga (riba), penganiayaan (shuln), suap (risytoah), maksiat, dan objek haram. BAB ITI PEMISAHAN KEKAYAAN DAN KEWAJIBAN Pasal 3 (1) Perusahaan wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru' dari kekayaan dan kewajiban Perusahaan. (2) Perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk asuransi dengan prinsip syariah yang mengandung unsur investasi wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta dari kekayaan dan kewajiban Perusahaan maupun dari kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru'. (3) Perusahaan wajib membuat catatan terpisah untuk kekayaan dan kewajiban Perusahaan, Dana Tabarrid, dan Dana Investasi Peserta. Pasal 4 (1) Kekayaan dan kewajiban Dana Tabara' merupakan kekayaan dan kewajiban para Peserta secara kolektif. (2) Perusahaan wajib menggunakan Dana Tabarru' sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk: a. pembayaran santunan kepada Peserta yang mengalami musibah atau pihak lain yang berhak; b. pembayaran reasuransi; c. pembayaran kembali Qardh ke Perusahaan; dan/atau d. pengembalian Dana Tabarru' akibat pembatalan polis dalam periode yang diperkenankan. (3) Perusahaan wajib membentuk Dana Tabarru' untuk setiap lini usaha. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN -5- (4) Dalam hal hukum jumlah bilangan besar untuk suatu lini usaha belum dapat dipenuhi, Perusahaan dapat membentuk Dana Tabarru' secara gabungan dari beberapa lini usaha. (5) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menginformasikan penggabungan Dana Tabarru kepada Peserta dan mencantumkannya di dalam polis. Pasal5 (1) Perusahaan yang akan menghentikan kegiatan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah atas permintaan sendiri atau atas perintah Menteri, wajib mengalihkan seluruh Peserta beserta Dana Tabarri' yang dikelolanya kepada Perusahaan lain, dan/atau mengembalikan alokasi Dana Tabaru' yang dapat menjadi hak Peserta yang tidak bersedia dialihkan ke Perusahaan lain. (2) Dalam hal Menteri memerintahkan Perusahaan untuk mengalihkan kepesertaan pada lini usaha tertentu kepada Perusahaan lain, maka pengalihan kepesertaan wajib dikut pengalihan Dana Tabarru' pada lini usaha tertentu dimaksud. (3) Dalam hal Perusahaan tidak lagi memiliki Peserta dan Perusahaan akan menghentikan kegiatan usahanya atas permintaan sendiri, Dana Tabarru yang ada wajib dihibahkan kepada lembaga sosial atas pertimbangan Dewan Pengawas Syariah. (4) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, yang bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah. Pasal6 (1) Kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta merupakan kekayaan dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu. (2) Perusahaan wajib membentuk Dana Investasi Peserta untuk setiap jenis portofolio investasi sesuai dengan Akad pengelolaan investasi yang digunakan dalam polis. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (3) Dalam hal Perusahaan akan menawarkan jenis portofolio investasi baru, Perusahaan wajib menginformasikan kepada Peserta mengenai pembentukan Dana Investasi Peserta untuk jenis portofolio investasi baru dimaksuid. BAB IV AKAD Pasal 7 Polis asuransi dan perjanjian reasuransi dengan prinsip syariah wajib mengandung Akad Tabamrit' dan Akad Tijarah. Pasal 8 (1) Akad Tabarn' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib memuat sekurang-kurangnya a. kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong (tn nuuni); b. hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu; c. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok;, d. cara dan waktu pembayaran kontribusi dan santunan/klaim, e. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik kembali oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh Peserta, f. ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian Surplis Underroriting; dan 8. ketentuan lain yang disepakati. (2) Akad Tabarrif' tidak dapat diubah menjadi Akad Tijamh. Pasal 9 (1) Akad Tijarahi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat berupa Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Mudiurabai, dan Akad Mudinrabah Musytarakai. (2) Penggunaan salah satu Akad Tijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (i) wajib dilakukan secara konsisten sampai berakhirnya polis. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN -7 (3) Dalam hal disepakati perubahan Akad Tijarah, penggunaan Akad Tjarah yang baru hanya dapat diterapkan pada polis yang baru. (4) Dalam hal perubahan Akad Tijarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi untuk pengelolaan Dana Tabamd, Perusahaan wajib memisahkan Dana Tabarru' yang dikelola berdasarkan Akad Tijarah yang lama dari Dana Tabarru' yang dikelola berdasarkan Akad Tjarah yang baru. (5) Perusahaan dapat menggunakan Akad Tijarah yang berbeda dalam pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi Dana Tabarru. Pasal 10 (1) Akad Wakalah bil Ujyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), wajib memuat sekurang-kurangnya a. objek yang dikuasakan pengelolaannya, b. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai mumeakkil (pemberi kuasa); c. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai qoakil (penerima kuasa) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee); dan f. ketentuan lain yang disepakati. (2) Objek yang dikuasakan pengelolaannya sebagaimana c. pembayaran klaim; d. underoriting; e. pengelolaan portofolio risiko End of Page 7 MENTERI KEUANGAN 8 - pemasaran; dan/atau 8. investasi. (3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru' atau Dana Investasi Peserta didasarkan Akad Wakalah bil Ujyah, Perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi. Pasal 11 Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), wajib memuat sekurang-kurangnya a. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai shalhibul nual (pemilik dana); b. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana) termasuk kewaiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan; c. batasan wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan; d. bagi hasil (nisbali), cara, dan waktu pembagian hasil investasi; dan e. ketentuan lain yang disepakati. Pasal 12 Akad Mudiarabali Musytarakah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib memtiat sekurang-kurangnya: a. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta secara individu sebagai sitalibul mal (pemilik dana): b. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudharib (pengelola dana) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan, d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan Peserta dan kekayaan Perusahaan; End of Page 8 MENTERI KEUANGA BLIK INDONESA e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi; dan f. ketentuan lain yang disepakati. BAB V SURPLUS UNDERWRITING Pasal 13 (1) Surplus Underoriting dapat dibagikan dengan pilihan pembagian sebagai berikut a. seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana Tabarrit ; b. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru' dan sebagian dibagikan kepada Peserta; atau c. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru', sebagian dibagikan kepada Peserta, dan sebagian dibagikan kepada Perusahaan. (2) Pilihan pembagian Surplus Underuoriting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat di dalam polis 3) Pilihan pembagian Surplus Underariting sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan proporsi pembagian Surplus Undermuriting tidak dapat diubah sampai dengan berakhirnya polis. (4) Surplus Underuriting yang dapat dibagikan dihitung berdasarkan kekayaan/aktiva dalam bentuk kas (cash basis). 5) Dalam hal pembagian Surplus Underuoriting kepada Peserta secara ekonomis membutulkan biaya yang lebih besar daripada bagian yang akan dibagikan, Perusahaan tidak dapat mengambil bagian Peserta tersebut, dan dapat menambahkannya ke dalam Dana Tabarru, memperhitungkannya untuk mengurangi kontribusi Peserta periode berikutnya, atau memanfaatkannya untuk dana sosial. (6) Pemanfaatan bagian Surplus Underoriting Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diatur di dalam polis. Pasal 14 (1) Perusahaan dilarang melakukan pembagian Surplus Underoriting kepada Peserta atau Perusahaan dalam hal: End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -10- a. masih terdapat Qardi di dalam kewajiban Dana Tabarru; atau . pembagian Surplus Undereriting dapat mengakibatkan tingkat solvabilitas Dana Tabarru' tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b, Surplus Underoriting seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana Tabarru' . BAB VI QARDH Pasal 15 (1) Perusahaan setiap saat wajib memiliki kemampuan untuk memberikan pinjaman dalam bentuk Qardit kepada Dana Tabarru' dalam hal: a. tingkat solvabilitas Dana Tabam' kurang dari jumlah minimum yang dipersyaratkan; b. jumlah investasi dalam kekayaan yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan tingkat kesehatan keuangan Dana Taharrid, lebih kecil dari jumlah penyisihan / cadangan teknis dan kewajiban pembayaran santunan/klaim retensi sendiri dari Dana Tabarrut ;, c. terjadi selisih kurang atau defisit undlerariting Dana Tabarru'; d. Dana Tabarnt' tidak cukup untuk membayar santunan/klaim kepada Peserta. (2) Dalam hal Dana Tabarru' tidak cukup untuk membayar santunan/klaim kepada Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Qardi wajib disetorkan ke dalam Dana Tabarru (3) Pengembalian Qardh kepada Perusahaan dilakukan dari Surplus Underaariting dan/atau dari Dana Tabamt. BAB VII PENGAWASAN Pasal 16 (1) Pengawasan atas penerapan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Svariah. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN -11- (2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan oleh Perusahaan kepada Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sekurang kurangnya 1 (satu) tahun sekali. (3) Pelaporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan sesuai tata cara dan bentuk pelaporan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB VIII SANKSI Pasal 17 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (5), Pasal 5, Pasal 6 ayat (2), Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9 ayat (4), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (6), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), dan Pasal 18 Peraturan Menteri Keuangan ini dikategorikan sebagai pelanggaran penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dan dikenakan sanksi administratif. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. Peringatan b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha; c. Pencabutan Jzin Usaha. (3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 Perusahaan wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan- ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling lambat tanggal 31 Desember 2010. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN -12 - BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANIINDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 35 Salinan sesuai dengan aslinya, ub.REta Atonius Suharto ( P060041107 End of Page 12
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 25 Januari 2010 </set_date> <effective_date> 25 Januari 2010 </effective_date> <issued_date> 25 Januari 2010 </issued_date> <related_reg> '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' , '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 153 /PMK.010/2010 TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan efisien serta mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, diperlukan upaya peningkatan kinerja Perusahaan Efek, antara lain terhadap kualitas pelayanan, kualitas sumber daya manusia, ketaatan terhadap peraturan, dan kualitas sistem back office; b. bahwa untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek khususnya yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi, perlu memperkuat kondisi keuangan dan kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui peningkatan modal disetor Perusahaan Efek; c. bahwa peningkatan modal disetor Perusahaan Efek khususnya yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi dimaksud sejalan dengan General Principles International Organization of Securities Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa harus ada peningkatan secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi Perusahaan Efek yang memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti struktur permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan perkembangan potensi risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Efek; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kepemilikan Saham dan Permodalan Perusahaan Efek; Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618); 4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK. Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek. 2. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi. 3. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang mengenai Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 5. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual. 6. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain. 7. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum asing. 8. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. 9. Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah adalah kegiatan menerima pembukaan rekening Efek nasabah, melakukan mutasi rekening Efek nasabah dan menyimpan rekening Efek nasabah. Pasal 2 (1) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di bidang keuangan selain sekuritas maksimal 85% (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor. (2) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan regulator Pasar Modal di negara asalnya maksimal 99% (sembilan puluh sembilan perseratus) dari modal disetor. Pasal 3 (1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan melakukan Penawaran Umum, maka saham Perusahaan Efek tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh Pemodal Dalam Negeri atau Pemodal Asing. (2) Pemodal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula Pemodal Asing yang tidak bergerak di bidang keuangan. Pasal 4 (1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). (3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang tidak Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah). (6) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah). Pasal 5 (1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); dan c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5), dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah); dan c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah). (3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah); b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah). Pasal 6 Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri Keuangan Nomor 179/KMK.010/2003 tentang Kepemilikan Saham Dan Permodalan Perusahaan Efek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010 MENTERI KEUANGAN, AGUS MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 425 D.W.
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 153/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK </reg_title> <set_date> 31 Agustus 2010 </set_date> <effective_date> 31 Agustus 2010 </effective_date> <issued_date> 31 Agustus 2010 </issued_date> <replaced_reg> '179/KMK.010/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg> <related_reg> '46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '12/PP/2004', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 83/PMK.03/2006 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA MENTERI KEUANGAN, Menimbang a. bahwa dalam rangka mendukung berkembangnya industri asuransi di Indonesia, perlu ditetapkan besarnya dana cadangan bagi perusahaan asuransi jiwa yang boleh dikurangkan sebagai biaya; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah bebarapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985); .Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005, . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000, End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA. Pasall Ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut "Pasal 4 (1) Perusahaan Asuransi Jiwa dapat membentuk atau memupuk cadangan premi untuk menutup klaim yang akan jatuh tempo atau sebab lainnya. (2) Besarnya cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sesuai dengan perhitungan aktuaria dan mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang usaha perasuransian. (3) Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan. (4) Penurunan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun dari cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penghasilan dalam tahun yang bersangkutan Klaim yang dibayarkan/terutang merupakan biaya dalam tahun vang bersangkutan. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007. Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di akarta pada tanggal 29 September 2006 MENTERI KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya, ttd Salinan sesuai dengan aslinya, b SRIMULYANI INDRAWATI SRIMULYANI INDRAWATI aus Suharto 60041107 End of Page 3
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 83/PMK.03/2006|PER-MENKEU/2006 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA </reg_title> <set_date> 29 September 2006 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date> <changed_reg> '80/KMK.04/1995|KEP-MENKEU/1995' </changed_reg> <extension_of> '204/KMK.04/2000|KEP-MENKEU/2000' </extension_of> <related_reg> '7/UU/1983', '17/UU/2000', '20/P|KEPPRES/2005', '80/KMK.04/1995|KEP-MENKEU/1995', '204/KMK.04/2000|KEP-MENKEU/2000' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 16/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5082); 4. Menetapkan Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009; MEMUTUSKAN: : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan : 1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 2. Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan. 3. Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus. 4. Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. 5. Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 6. Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun. 7. Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan. 8. Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja. 9. Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua. Pasal 2 (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final. (2) Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. (3) Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen) dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal dunia; b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus; c. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup. (4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus. Pasal 3 (1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon ditentukan sebagai berikut: a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. Pasal 4 (1) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua ditentukan sebagai berikut: a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (2) Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender. Pasal 5 (1) Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun kalender yang bersangkutan. (2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau kredit pajak. (3) Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak. Pasal 6 (1) (2) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon. Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (3) (4) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja. Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Pasal 7 (1) Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang Pesangon. (2) Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap atau berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (3) Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada Pegawai, dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja. Pasal 8 (1) Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan secara sekaligus. (2) Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (3) Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas seumur hidup. (4) Pada saat perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21. Pasal 9 (1) Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua untuk setiap Masa Pajak. (2) Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (3) Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. (4) Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (5) Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua. (6) Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen). (7) Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu Pegawai dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak. Pasal 10 Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua, berlaku ketentuan sebagai berikut: 1. Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan pembayarannya dilakukan sejak tanggal 16 November 2009, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua; 2. Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua; 3. Saat diperolehnya penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1 adalah pada saat Pegawai berhenti bekerja. Pasal 11 Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1), sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 12 Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 Tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 16 November 2009. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 Januari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 16/PMK.03/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS </reg_title> <set_date> 25 Januari 2010 </set_date> <effective_date> 16 November 2009 </effective_date> <issued_date> 25 Januari 2010 </issued_date> <replaced_reg> '112/KMK.03/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/1983', '16/UU/2009', '7/UU/1983', '36/UU/2008', '68/PP/2009', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 140 /PMK.010/2009 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. - 2 - 2. Pembinaan dan Pengawasan adalah proses pembinaan dan pengawasan LPEI sesuai ketentuan Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 3. Pemerintah adalah pemerintah negara Republik Indonesia. 4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 5. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 6. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang disediakan oleh LPEI. 7. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan untuk menanggung pembayaran kewajiban keuangan pihak terjamin dalam hal pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajiban perikatan kepada krediturnya. 8. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas kerugian yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti. 9. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan berdasarkan hukum Islam yang dijadikan landasan dalam pembuatan perjanjian antara LPEI dan pihak lain dalam menjalankan kegiatan Pembiayaan Ekspor Nasional. 10. Akad Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara pihak pertama (malik, shahibul mal) yang menyediakan seluruh modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang bertindak selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pihak pertama kecuali jika pihak kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi perjanjian. 11. Akad Musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing 12. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan - 3 - pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati. 13. Akad Salam adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati. 14. Akad Istishna’ adalah akad Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’). 15. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati. 16. Akad Ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 17. Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. 18. Akad Hawalah adalah akad pengalihan hutang dari pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau membayar. 19. Akad Wakalah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa. 20. Akad Kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful). 21. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga keuangan atau bisnis syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. - 4 - 22. Akad Mudharabah Musytarakah adalah bentuk Akad Mudharabah dimana pengelola dana (mudharib) menyertakan modal atau dananya dalam kerja sama usaha. 23. Akad Jualah adalah akad dimana pihak pertama menjanjikan imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas pengadaan dana yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama. 24. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai dari instrumen yang mendasari, seperti suku bunga, nilai tukar komoditi, ekuitas dan indeks baik yang diikuti pergerakan atau tanpa pergerakan dana/instrumen, yang dilakukan dalam rangka lindung nilai (hedging). 25. Batas Maksimum Transaksi Derivatif yang selanjutnya disebut dengan BMTD adalah persentase maksimum transaksi derivatif yang diperkenankan terhadap modal LPEI. 26. Modal adalah modal LPEI sebagaimana dimaksud dalam pengaturan rasio kecukupan modal. 27. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi derivatif pada tanggal laporan), termasuk potensi keuntungan karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan. 28. Aktiva adalah Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif yang dilaksanakan secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah. 29. Aktiva Produktif adalah penanaman dana LPEI untuk memperoleh penghasilan. 30. Aktiva Non Produktif adalah aset LPEI selain Aktiva Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam bentuk agunan yang diambil alih, rekening antar kantor dan suspense account. 31. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka. 32. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan, - 5 - letter of credit, standby letter of credit, fasilitas pembiayaan yang belum ditarik dan/atau kewajiban komitmen dan kontinjensi lain. 33. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu pendek. 34. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut AYDA adalah aktiva yang diperoleh LPEI, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan dalam hal peminjam tidak memenuhi kewajibannya kepada LPEI. 35. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka waktu tertentu. 36. Suspense Account adalah akun yang tujuan pencatatannya belum teridentifikasi sehingga tidak dapat direklasifikasi dalam akun yang seharusnya. 37. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva. 38. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang selanjutnya disebut BMPP adalah persentase maksimum penanaman dana dalam bentuk pembiayaan, penempatan, dan tagihan akseptasi yang diperkenankan terhadap modal LPEI. 39. Pelampauan BMPP adalah selisih lebih antara persentase BMPP yang diperkenankan dengan persentase penanaman dana terhadap modal LPEI pada saat tanggal laporan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPP sebagaimana dimaksud pada angka 40. 40. Pelanggaran BMPP adalah selisih lebih antara persentase BMPP yang diperkenankan dengan persentase penanaman dana terhadap modal LPEI pada saat penanaman dana. 41. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti rugi atas kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko yang menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau penjaminan ulang. - 6 - 42. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik, menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. BAB II ORGAN Pasal 2 Dewan Direktur merupakan organ tunggal LPEI yang terdiri dari: a. seorang anggota Dewan Direktur yang ditetapkan sebagai Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif; dan b. paling banyak 9 (sembilan) orang anggota Dewan Direktur sebagai Direktur Non Eksekutif. Pasal 3 (1) Dewan Direktur bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan terhadap kegiatan operasional LPEI. (2) Kegiatan Operasional LPEI dilakukan oleh Direktur Eksekutif dan dibantu paling banyak 5 (lima) orang Direktur Pelaksana. Pasal 4 Dalam hal Ketua Dewan Direktur berhalangan, maka tugas dan wewenang Ketua Dewan Direktur dilakukan oleh salah satu anggota Dewan Direktur Non Eksekutif yang ditunjuk oleh Dewan Direktur. Pasal 5 (1) Dalam hal anggota Dewan Direktur menjalani pemeriksaan dalam perkara tindak pidana kejahatan sebagai - 7 - tersangka/terdakwa yang mengakibatkan terganggunya kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, yang bersangkutan wajib mengajukan permintaan untuk non aktif kepada Menteri. (2) Dalam hal permintaan untuk non aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan, Menteri dapat memutuskan status non aktif kepada yang bersangkutan. (3) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang direktur non aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dewan Direktur menunjuk anggota Dewan Direktur lainnya untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut. (4) Anggota Dewan Direktur yang berstatus non aktif dapat diaktifkan kembali oleh Menteri dalam hal proses pemeriksaan sudah selesai dan tidak mengganggu kelancaran pelaksanaan tugas. BAB III KEGIATAN USAHA Pasal 6 (1) Kegiatan usaha LPEI meliputi: a. Pembiayaan; b. Penjaminan; c. Asuransi; dan d. Jasa konsultasi. (2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. (3) Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah: a. Pembiayaan bagi hasil dengan Akad Mudharabah, Akad Musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; b. Pembiayaan dengan Akad Murabahah, Akad Salam, Akad Istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; - 8 - c. Pembiayaan dengan Akad Qardh atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; d. Pembiayaan penyewaan dengan Akad Ijarah, Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; e. penerimaan kuasa dalam rangka pengambilalihan hutang piutang atau kegiatan lain dengan Akad Hawalah, Akad Wakalah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan/atau f. Penjaminan dengan Akad Kafalah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. (4) Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, LPEI wajib: a. membuka unit kerja khusus; b. mengalokasikan modal tersendiri; c. melakukan pembukuan secara terpisah; d. menunjuk Dewan Pengawas Syariah; dan e. tunduk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. Pasal 7 LPEI wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik, penerapan manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah dalam setiap kegiatannya. BAB IV SUMBER PENDANAAN Pasal 8 (1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI hanya dapat memperoleh dana dari: a. penerbitan surat berharga; b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan/atau jangka panjang yang bersumber dari: 1. pemerintah asing; 2. lembaga multilateral; 3. bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan, baik dari dalam maupun luar negeri; 4. Pemerintah; dan/atau c. hibah. - 9 - (2) Selain memperoleh dana dari sumber-sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPEI hanya dapat membiayai kegiatannya dengan sumber pendanaan dari penempatan dana oleh Bank Indonesia. Pasal 9 (1) Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Akad yang digunakan dalam pendanaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Akad Mudharabah, Akad Mudharabah Musytarakah, Akad Ijarah, Akad Murabahah, Akad Qardh, dan Akad Jualah atau akad-akad lain sesuai penetapan Menteri. BAB V TRANSAKSI DERIVATIF Pasal 10 (1) LPEI wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengelola tagihan dan/atau kewajiban yang timbul dari Transaksi Derivatif. (2) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam rangka lindung nilai (hedging). Pasal 11 (1) BMTD untuk setiap pihak lawan ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Modal. (2) BMTD dihitung berdasarkan risiko Transaksi Derivatif yang terdiri dari Tagihan Derivatif ditambah Potential Future Credit Exposure. (3) Dalam menghitung nilai risiko Transaksi Derivatif, LPEI dapat melakukan saling hapus (set-off) sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. merupakan instrumen sejenis; b. memiliki transaksi yang mendasari transaction) yang sejenis; (underlying c. memiliki valuta yang sama; - 10 - d. dilakukan dengan pihak lawan (counterparty) yang sama; e. mempunyai jangka waktu yang sama; dan f. diatur dalam perjanjian para pihak (netting agreement) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 12 Ketentuan mengenai pelampauan, penyelesaian pelanggaran dan pelampauan, serta pelaporan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 57 berlaku pula bagi BMTD. BAB VI KUALITAS AKTIVA Bagian Kesatu Umum Pasal 13 (1) Direktur Eksekutif wajib menilai, memantau dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva senantiasa baik. (2) Penilaian kualitas Aktiva dilakukan terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. (3) Direktur Eksekutif yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a. Bagian Kedua Aktiva Produktif Paragraf 1 Umum Pasal 14 (1) LPEI wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap: a. 1 (satu) peminjam dengan beberapa rekening yang berbeda; dan/atau b. 1 (satu) peminjam yang dibiayai oleh beberapa kreditur untuk membiayai proyek yang sama. - 11 - (2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva Produktif, kualitas Aktiva Produktif yang digunakan adalah yang paling rendah. (3) LPEI dapat menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang berbeda, dalam hal: a. penetapan kualitas Aktiva Produktif menggunakan faktor risiko negara (country risk) Republik Indonesia; b. penetapan kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus tagih; c. pembiayaan sampai dengan jumlah Rp10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah); dan/atau d. peminjam memiliki beberapa proyek yang berbeda dengan pemisahan arus kas (cash flow) yang tegas dari masing-masing proyek. (4) Penyesuaian kualitas Aktiva Produktif dilakukan paling kurang setiap 3 (tiga) bulan, yaitu untuk posisi akhir bulan Maret, Juni, September dan Desember. Pasal 15 (1) LPEI wajib menetapkan kriteria peminjam yang wajib menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit kantor akuntan publik termasuk aturan mengenai batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut. (2) Kewajiban peminjam untuk menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perjanjian antara LPEI dan peminjam. (3) Kualitas Aktiva Produktif dari peminjam yang tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan dinilai paling tinggi kurang lancar. Paragraf 2 Pembiayaan Pasal 16 (1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian sebagai berikut: a. prospek usaha; - 12 - b. kinerja (performance) peminjam; dan c. kemampuan membayar. (2) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen- komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi peminjam dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan peminjam dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (3) Penilaian terhadap kinerja peminjam meliputi komponen- komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (4) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi komponen-komponen sebagai berikut: a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga, atau margin/bagi hasil/fee untuk kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah; b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan peminjam; c. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan; d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan; e. kesesuaian penggunaan dana; dan f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. (5) Penilaian kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi: a. Lancar; b. Dalam Perhatian Khusus; c. Kurang Lancar; d. Diragukan; atau e. Macet. (6) Pedoman penilaian kualitas pembiayaan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. - 13 - Pasal 17 (1) Penilaian faktor kemampuan membayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a untuk Pembiayaan dengan Akad Mudharabah dan Akad Musyarakah mengacu pada ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP) dengan Proyeksi Pendapatan (PP). (2) Penghitungan RP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode Pembiayaan berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus kas masuk nasabah. (3) LPEI dapat mengubah PP berdasarkan kesepakatan dengan nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi makro, bisnis, pasar dan politik yang mempengaruhi usaha nasabah. (4) RP dan PP merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian Pembiayaan dengan Akad Mudharabah dan Akad Musyarakah. Paragraf 3 Surat Berharga Pasal 18 (1) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga, termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang diterbitkan oleh: a. Pemerintah; b. Bank Indonesia; c. pemerintah negara donor; atau d. lembaga keuangan multilateral; ditetapkan Lancar. (2) Pemerintah negara donor dan lembaga keuangan multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade). (3) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui - 14 - berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar sepanjang memenuhi persyaratan: a. aktif diperdagangkan di bursa efek; b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan; c. kupon, imbalan atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan d. belum jatuh tempo. (4) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga, termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan/atau huruf b atau surat berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade); 2. kupon, atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan 3. belum jatuh tempo. b. Kurang Lancar, apabila: 1. termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade); 2. terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis, bagi hasil/marjin/fee; dan 3. belum jatuh tempo, atau 1. memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di bawah kategori yang layak untuk investasi (investment grade); 2. tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau kewajiban lain yang sejenis; dan 3. belum jatuh tempo. c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b. (5) Kategori yang layak untuk investasi (investment grade) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada peringkat surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat dalam satu tahun terakhir. - 15 - Paragraf 4 Penempatan Dalam Bentuk Simpanan Pasal 19 (1) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan rupiah atau valuta asing pada Bank Indonesia ditetapkan Lancar. (2) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan pada bank dalam dan/atau luar negeri ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. bank penerima penempatan memiliki rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga. b. Kurang Lancar, apabila: 1. bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga sampai dengan 5 (lima) hari kerja. c. Macet, apabila: 1. bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; 2. bank penerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3. bank penerima penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau 4. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja. Pasal 20 (1) Penempatan dalam bentuk simpanan dengan Prinsip Syariah terdiri dari: a. Surat Berharga Pasar Uang Syariah; dan b. penempatan dalam bentuk lain. - 16 - (2) Kualitas penempatan Surat Berharga Pasar Uang Syariah ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila memenuhi persyaratan: 1. terdapat informasi tentang surat berharga tersebut secara transparan; 2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai akad; dan 3. belum jatuh tempo. b. Macet, apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf a. (3) Kualitas penempatan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2. memenuhi persyaratan: a) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Akad Qardh; b) dapat ditarik setiap saat untuk giro berdasarkan Akad Wadiah; atau c) tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil deposito berdasarkan Akad Mudharabah atau Akad Murabahah. b. Kurang lancar, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku; dan 2. memenuhi persyaratan: a) terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk Akad Qardh; b) tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk giro berdasarkan Akad Wadiah; atau c) terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari kerja untuk deposito dengan Akad Mudharabah atau Akad Murabahah. c. Macet, apabila: 1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku; - 17 - 2. bank yang menerima penempatan telah ditetapkan dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha; 3. bank yang menerima penempatan ditetapkan sebagai bank dalam likuidasi; dan/atau 4. memenuhi persyaratan: a) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Akad Qardh lebih dari 5 (lima) hari kerja; b) tidak dapat ditarik saat jangka waktu lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk giro berdasarkan Akad Wadiah; atau c) terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi dan/atau bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja untuk deposito berdasarkan Akad Mudharabah atau Akad Murabahah. Paragraf 5 Tagihan Akseptasi dan Tagihan Derivatif Pasal 21 Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan kualitas penempatan dalam bentuk simpanan di bank apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank; atau b. ketentuan kualitas Pembiayaan apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah peminjam. Pasal 22 Kualitas Tagihan Derivatif dalam rangka melakukan lindung nilai (hedging) ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam bentuk simpanan di bank apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bank; atau b. ketentuan kualitas Pembiayaan apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bukan bank. - 18 - Paragraf 6 Penyertaan Modal Pasal 23 (1) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan metode biaya (cost method) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila penerima penyertaan modal (investee) memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian kumulatif; b. Kurang Lancar, apabila penerima penyertaan modal (investee) mengalami kerugian kumulatif sampai dengan 25% (dua puluh lima persen) dari modal penerima penyertaan modal (investee); c. Diragukan, apabila penerima penyertaan modal (investee) mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) dari modal penerima penyertaan modal (investee); atau d. Macet, apabila penerima penyertaan modal (investee) mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50% (lima puluh persen) dari modal penerima penyertaan modal (investee). (2) Kerugian kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah diaudit. (3) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan metode ekuitas (equity method) ditetapkan Lancar. Paragraf 7 Penyertaan Modal Sementara Pasal 24 Kualitas penyertaan modal sementara ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun namun belum melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun namun belum melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun; atau d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun atau belum ditarik kembali meskipun perusahaan peminjam telah memiliki laba kumulatif. - 19 - Paragraf 8 Transaksi Rekening Administratif Pasal 25 Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan berdasarkan: a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam bentuk simpanan di bank apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah bank; b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan apabila pihak lawan transaksi (counterparty) adalah peminjam. Paragraf 9 Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai Pasal 26 (1) Bagian dari Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai ditetapkan memiliki kualitas Lancar. (2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. deposito di bank, setoran jaminan dan/atau emas; b. SBI, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Surat Utang Negara, Sukuk, dan/atau surat berharga lainnya yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia; c. jaminan Pemerintah dan pemerintah asing yang termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade); dan/atau d. standby letter of credit sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang diterbitkan oleh bank berperingkat sampai dengan 200 Banker’s Almanac atau Export Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade). (3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa; b. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif; c. memiliki pengikatan hukum yang kuat enforceable); dan (legally - 20 - d. disimpan pada LPEI dan / atau bank pemerintah. (4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); b. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga; dan c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Aktiva Produktif. Pasal 27 LPEI wajib mengajukan klaim pencairan agunan tunai paling lama 5 (lima) hari kerja setelah peminjam wanprestasi (event of default) berdasarkan penetapan LPEI. Paragraf 10 Pembiayaan dan Penempatan Dana kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan Daerah Tertentu Pasal 28 Penetapan kualitas hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran pokok dan/atau bunga untuk: a. Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah; dan b. Pembiayaan dan penempatan dana kepada peminjam dengan lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. Bagian Ketiga Aktiva Non Produktif Paragraf 1 Umum Pasal 29 Aktiva Non Produktif meliputi AYDA, Rekening Antar Kantor, dan Suspense Account. - 21 - Paragraf 2 AYDA Pasal 30 (1) LPEI wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA. (2) LPEI wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA. (3) Pada saat pengambilalihan agunan, LPEI wajib melakukan penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net realizable value. (4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh penilai eksternal. (5) Penilai eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah perusahaan penilai yang memenuhi syarat: a. tidak merupakan pihak terkait dengan peminjam LPEI; b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang; c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang berwenang; d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh institusi yang berwenang. Pasal 31 (1) Kualitas AYDA yang dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu) tahun; b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun; c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; atau d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun. - 22 - (2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), ditetapkan memiliki kualitas satu tingkat di bawah ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Paragraf 3 Rekening Antar Kantor dan Suspense Account Pasal 32 (1) LPEI wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar Kantor dan Suspense Account. (2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account ditetapkan sebagai berikut: a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan LPEI sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari; atau b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense Account tercatat dalam pembukuan LPEI lebih dari 90 (sembilan puluh) hari. Bagian Keempat Penyisihan Penghapusan Aktiva Paragraf 1 Umum Pasal 33 (1) LPEI wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif. (2) PPA terdiri dari: a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva Produktif; dan b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif. (3) Cadangan umum ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu persen) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar. (4) Pembentukan cadangan umum dikecualikan untuk Aktiva Produktif dalam bentuk: - 23 - a. surat berharga yang diterbitkan Pemerintah; b. SBI; c. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah negara donor; d. Surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga keuangan multilateral; dan e. bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan tunai. (5) Cadangan khusus ditetapkan paling rendah sebesar: a. 5% (lima persen) dari Aktiva dengan kualitas Dalam Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan; b. 15% (lima belas persen) dari Aktiva dengan kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan; c. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva dengan kualitas Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan/atau d. 100% (seratus persen) dari Aktiva dengan kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan. (6) Kewajiban untuk membentuk PPA tidak berlaku bagi Aktiva Produktif untuk transaksi sewa berupa pembiayaan dengan Akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak milik berupa pembiayaan dengan Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. (7) LPEI wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk transaksi sewa, dengan ketentuan sebagai berikut: a. pembiayaan dengan Akad Ijarah disusutkan/diamortisasi sesuai dengan kebijakan penyusutan LPEI bagi aktiva yang sejenis; atau b. pembiayaan dengan Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik disusutkan sesuai dengan masa sewa. (8) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif. (9) Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk pembiayaan dengan Akad Murabahah, Akad Salam, dan Akad Istishna’ mempergunakan angka saldo harga perolehan atau saldo harga pokok. - 24 - Paragraf 2 Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan sebagai Faktor Pengurang PPA Pasal 34 Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek atau termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade) dan diikat secara gadai; b. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia; c. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang; d. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat dengan hak tanggungan; e. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan/atau f. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak tanggungan. Pasal 35 (1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kecuali huruf a wajib: a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah; b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memberikan hak preferensi bagi LPEI; dan c. dilindungi asuransi dengan klausula yang memberikan hak kepada LPEI untuk menerima uang pertanggungan dalam hal terjadi pembayaran klaim. (2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi syarat sebagai berikut: a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan sesuai yang ditetapkan institusi yang berwenang; dan b. bukan merupakan pihak terkait dengan LPEI atau kelompok peminjam. - 25 - Pasal 36 (1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut: a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa efek atau termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade), ditetapkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang tercatat di bursa efek pada akhir bulan; b. tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal laut, kendaraan bermotor, persediaan, dan resi gudang, ditetapkan paling tinggi sebesar: 1. 70% (tujuh puluh persen) dari penilaian, apabila penilaian dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan terakhir; 2. 50% (lima puluh persen) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 18 (delapan belas) bulan namun belum melampaui 24 (dua puluh empat) bulan; 3. 30% (tiga puluh persen) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan namun belum melampaui 30 (tiga puluh) bulan; atau 4. 0% (nol persen) dari penilaian, apabila penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka waktu 30 (tiga puluh) bulan. (2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penilai eksternal. Bagian Kelima Pelaporan Pasal 37 (1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan kualitas aktiva sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini paling lama setiap tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. - 26 - (2) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 15 (lima belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (3) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). BAB VII BMPP Bagian Kesatu Umum Pasal 38 (1) Dalam memberikan Pembiayaan dan penempatan dana, LPEI wajib memperhatikan BMPP. (2) LPEI dilarang membuat suatu perikatan atau perjanjian atau menetapkan persyaratan yang mewajibkan LPEI untuk memberikan Pembiayaan yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPP. (3) BMPP unit kerja syariah mengacu kepada BMPP LPEI. Bagian Kedua BMPP Kepada Pihak Terkait Pasal 39 BMPP kepada pihak terkait ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari Modal. Pasal 40 (1) LPEI dilarang memberikan perlakuan yang berbeda dalam penanaman dana kepada pihak terkait. - 27 - (2) Penanaman dana kepada pihak tidak terkait, untuk keuntungan pihak terkait, digolongkan sebagai penanaman dana kepada pihak terkait. Pasal 41 (1) Pihak terkait meliputi: a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Pelaksana LPEI; b. perusahaan/badan dimana LPEI bertindak sebagai pengendali; c. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal dari anggota Dewan Direktur dan Direktur Pelaksana pada LPEI; dan d. perusahaan/badan dimana Dewan Direktur dan/atau Direktur Pelaksana LPEI bertindak sebagai pengendali. (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d adalah LPEI, Dewan Direktur dan/atau Direktur Pelaksana, atau perusahaan/badan secara langsung atau tidak langsung: a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih saham perusahaan/badan lain; b. memiliki hak opsi atau hak lainnya yang menyebabkan kepemilikan secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih saham perusahaan/badan lain; c. melakukan kerjasama pengendalian perusahaan/badan lain; d. melakukan kerjasama dalam mengendalikan perusahaan/badan (acting in concert), sehingga secara bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya yang menyebabkan kepemilikan secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih saham perusahaan/badan lain; e. memiliki kewenangan dan/atau kemampuan untuk menyetujui, mengangkat dan/atau memberhentikan - 28 - anggota Komisaris dan/atau Direksi perusahaan/badan lain; f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling influence) kebijakan operasional atau kebijakan strategi perusahaan/badan lain; g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan secara bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih saham perusahaan/badan lain; dan/atau h. melakukan pengendalian terhadap pengendali di perusahaan/badan lain. Bagian Ketiga BMPP Kepada Pihak Tidak Terkait Pasal 42 (1) BMPP kepada 1 (satu) peminjam ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Modal. (2) BMPP kepada kelompok peminjam ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari Modal. Pasal 43 (1) Peminjam digolongkan sebagai kelompok peminjam apabila: a. peminjam merupakan pengendali peminjam lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari beberapa peminjam (common ownership); c. peminjam memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan peminjam lain; d. peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban peminjam lain dalam hal peminjam lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada LPEI; dan/atau e. Direksi, Komisaris, dan/atau pejabat eksekutif peminjam menjadi Direksi dan/atau Komisaris pada peminjam lain. (2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b adalah pengendali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2). - 29 - Bagian Keempat Perhitungan BMPP Paragraf 1 Pembiayaan Pasal 44 (1) BMPP untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet. (2) Peminjam untuk pengambilalihan tagihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian pembiayaan dengan persyaratan tanpa janji untuk membeli kembali (without recourse) adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi piutang. (3) Peminjam untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian pembiayaan dengan persyaratan janji untuk membeli kembali (with recourse) adalah pihak yang menjual tagihan/pembiayaan. (4) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka anjak piutang atau pembelian pembiayaan dihitung berdasarkan harga beli. Paragraf 2 Surat Berharga Pasal 45 BMPP untuk penempatan dalam bentuk surat berharga dihitung berdasarkan harga beli. Paragraf 3 Tagihan Akseptasi Pasal 46 BMPP untuk Tagihan Akseptasi dihitung sebesar nilai wesel yang diaksep. - 30 - Paragraf 4 Transaksi Rekening Administratif Pasal 47 (1) Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan (guarantee), letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Pembiayaan kepada pemohon (applicant). (2) BMPP untuk Transaksi Rekening Administratif dihitung sebesar nilai yang telah diterbitkan (outstanding). (3) Jaminan untuk peminjam dan/atau kelompok peminjam yang diterima LPEI dari bank dan/atau pihak lain tidak diperhitungkan sebagai pengurang Pembiayaan. Bagian Kelima Pelampauan BMPP Pasal 48 (1) Pelampauan BMPP dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: a. penurunan Modal; b. perubahan nilai tukar; c. perubahan nilai wajar; d. penggabungan usaha dan/atau perubahan struktur kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak terkait dan atau kelompok peminjam; dan/atau e. perubahan ketentuan. (2) Pelampauan BMPP dihitung berdasarkan nilai yang tercatat pada tanggal laporan. Bagian Keenam Penyelesaian Pelanggaran dan Pelampauan BMPP Pasal 49 (1) LPEI wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPP. - 31 - (2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPP serta target waktu penyelesaian. (3) Target waktu penyelesaian ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Pelanggaran BMPP paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal action plan disetujui oleh Menteri. b. untuk Pelampauan BMPP ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal action plan disetujui oleh Menteri. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak tercapai, LPEI dapat melakukan perubahan action plan dengan persetujuan Menteri. Pasal 50 (1) Action plan untuk penyelesaian atas Pelanggaran dan Pelampauan BMPP harus diterima Menteri paling lama 1 (satu) bulan sejak terjadinya Pelanggaran dan Pelampauan BMPP. (2) Menteri memberikan persetujuan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari sejak action plan diterima. (3) LPEI wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan setelah realisasi action plan. Bagian Ketujuh Pengecualian BMPP Pasal 51 (1) Ketentuan BMPP tidak berlaku untuk: a. Pembiayaan yang dilakukan setelah memperoleh persetujuan Menteri; b. pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah, Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga - 32 - yang diterbitkan oleh pemerintah negara donor, dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga keuangan multilateral; c. Pembiayaan yang dijamin oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku; d. Pembiayaan yang dijamin dengan: 1. agunan dalam bentuk agunan tunai berupa giro, deposito, tabungan, setoran jaminan dan/atau emas; atau 2. agunan berupa Surat Berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah, Bank Indonesia, pemerintah negara donor, atau lembaga keuangan multilateral. e. Pembiayaan kepada peminjam yang dijamin oleh: 1. bank berperingkat sampai dengan 200 Banker’s Almanac; atau 2. Export Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade). (2) Pemerintah negara donor dan/atau lembaga keuangan multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi (investment grade). (3) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan dari pemilik agunan; b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); c. jangka waktu pemblokiran paling kurang sama dengan jangka waktu Pembiayaan atau penempatan dana; dan d. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally enforceable). (4) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk standby letter of credit sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau International Standby Practices (ISP) yang berlaku; b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); - 33 - c. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian; dan d. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan jangka waktu Pembiayaan. Pasal 52 Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan dari perhitungan BMPP sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar Usance Letter of Credit sesuai dengan Uniform Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) yang berlaku dan diterbitkan atau dikonfirmasi oleh bank berperingkat sampai dengan 200 dalam Banker’s Almanac; dan b. telah diaksep oleh bank. Pasal 53 Pengecualian dari perhitungan BMPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d angka 2 dan huruf e ditetapkan paling tinggi: a. 90% (sembilan puluh persen) dari Modal untuk Pembiayaan kepada pihak terkait; b. 80% (delapan puluh persen) dari Modal untuk Pembiayaan kepada peminjam yang merupakan pihak tidak terkait; dan c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Modal untuk Pembiayaan kepada kelompok peminjam yang merupakan pihak tidak terkait. Pasal 54 (1) Penyertaan Modal Sementara untuk mengatasi kegagalan Pembiayaan dikecualikan dari perhitungan BMPP. (2) Dalam hal terdapat Pembiayaan baru yang diberikan kepada perusahaan dimana LPEI melakukan Penyertaan Modal Sementara, Pembiayaan baru tersebut diperhitungkan dalam BMPP. - 34 - Pasal 55 Pemberian Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma dimana perusahaan inti menjamin Pembiayaan yang diberikan kepada plasma dikecualikan dari pengertian kelompok peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sepanjang: a. Pembiayaan diberikan dengan pola kemitraan; b. perusahaan inti bukan merupakan pihak terkait dengan LPEI; c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi dengan inti; d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan e. perjanjian Pembiayaan dengan plasma dilakukan oleh LPEI secara langsung dengan plasma. Pasal 56 (1) BMPP kepada 1 (satu) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ditetapkan sebesar 25%(dua puluh lima persen) dari Modal. (2) BUMN dan BUMD tidak diperlakukan sebagai kelompok peminjam. Bagian Kedelapan Pelaporan Pasal 57 (1) LPEI wajib menyampaikan laporan BMPP secara bulanan dengan benar dan lengkap kepada Menteri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (2) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 15 (lima - 35 - belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (4) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). BAB VIII RASIO KECUKUPAN MODAL Pasal 58 (1) LPEI wajib memelihara rasio kecukupan Modal paling rendah sebesar 8% (delapan persen). (2) Rasio kecukupan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara Modal dengan aktiva tertimbang menurut risiko. (3) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri dari: a. modal inti; b. modal pelengkap; dan c. modal pelengkap tambahan. (4) Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari: a. Aktiva tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit; dan b. Aktiva tertimbang menurut risiko untuk risiko pasar. (5) LPEI wajib menyampaikan laporan rasio kecukupan Modal secara bulanan dengan benar kepada Menteri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (6) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan rasio kecukupan Modal ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini. (7) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah tanggal 15 (lima belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. - 36 - (8) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4). Pasal 59 (1) Dalam hal rasio kecukupan Modal LPEI menjadi berkurang dari 8% (delapan persen), Direktur Eksekutif: a. dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan, Asuransi, dan/atau Penjaminan baru yang menyebabkan menurunnya rasio kecukupan Modal; dan b. wajib menyusun rencana tindak pemenuhan rasio kecukupan Modal. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Menteri memberikan persetujuan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari sejak rencana tindak diterima. (4) Pemenuhan rasio kecukupan Modal dilakukan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal rencana tindak disetujui oleh Menteri. BAB IX POSISI DEVISA NETO Pasal 60 (1) LPEI wajib mengelola dan memelihara posisi devisa neto secara keseluruhan maupun neraca paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Modal. (2) Posisi devisa neto secara keseluruhan adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari: a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing; ditambah dengan b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam - 37 - rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. Pasal 61 (1) Perhitungan posisi devisa neto dilakukan pada setiap akhir hari dengan menggunakan kurs reuters jam 16.00 WIB pada hari yang bersangkutan. (2) Dalam hal kurs reuters untuk valuta asing tertentu tidak tersedia, LPEI hanya dapat menggunakan crossing rate pada waktu yang sama dengan kurs reuters. Pasal 62 Posisi devisa neto dihitung secara gabungan yaitu mencakup seluruh kantor cabang LPEI di dalam maupun di luar negeri. Pasal 63 (1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan posisi devisa neto pada akhir hari kerja setiap bulan kepada Menteri. (2) Dalam hal terjadi pelanggaran atau pelampauan posisi devisa neto, LPEI wajib menyampaikan laporan kepada Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah berakhirnya periode laporan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan ini. (4) Direktur Eksekutif yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 5 (lima) setelah berakhirnya periode laporan dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. - 38 - BAB X ASURANSI DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Retensi Sendiri Pasal 64 (1) Dalam melakukan aktivitas Asuransi dan Penjaminan, LPEI harus memiliki retensi sendiri untuk setiap penutupan risiko. (2) Retensi sendiri untuk aktivitas Asuransi dan Penjaminan LPEI masing-masing ditetapkan paling tinggi sebesar 2,5 ‰ (dua koma lima permil) dari Modal. (3) Setiap penutupan Asuransi atau Penjaminan yang nilai retensinya melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memperoleh dukungan reasuransi. Pasal 65 Jumlah retensi sendiri untuk seluruh aktivitas Asuransi dan Penjaminan LPEI ditetapkan paling tinggi 10 % (sepuluh persen) dari Modal. Bagian Kedua Cadangan Teknis Pasal 66 (1) LPEI wajib membentuk cadangan yang terdiri dari: a. cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan yang belum merupakan pendapatan; dan b. estimasi klaim retensi sendiri. (2) Besarnya cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung secara proporsional selama jangka waktu pertanggungan Asuransi atau Penjaminan. (3) Pembentukan estimasi klaim retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: - 39 - a. untuk estimasi atas klaim yang masih dalam proses penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang; dan b. untuk estimasi atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (Incurred But Not Reported atau IBNR), dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio klaim, berikut biaya jasa penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang akan menjadi bagian penanggung ulang. BAB XI PELAPORAN Pasal 67 (1) LPEI wajib menyampaikan kepada Menteri: a. Laporan Keuangan Bulanan; b. Laporan Kegiatan Usaha Semesteran; c. Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit oleh kantor akuntan publik; dan d. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha atau keadaan keuangan LPEI. (2) Laporan keuangan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (3) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah periode semester berakhir. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib disampaikan paling lama 4 (empat) bulan sejak tahun buku berakhir. (5) Hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d wajib disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak hal- hal lain tersebut ditemukan. - 40 - (6) Unit kerja syariah wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d secara terpisah. (7) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini. (8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun berdasarkan ketentuan standar akuntansi keuangan syariah yang berlaku. (9) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah tanggal 15 (lima belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (10) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (11) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah 1 (satu) bulan sampai dengan akhir bulan kedua setelah periode semester berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (12) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan akhir bulan kedua setelah periode semester berakhir dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (13) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c setelah 4 (empat) bulan sampai dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (14) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). - 41 - (15) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d melampaui batas waktu 5 (lima) hari kerja sejak hal-hal lain tersebut ditemukan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pasal 68 (1) Dalam rangka meningkatkan transparansi, LPEI wajib membuat laporan tahunan. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. informasi umum, yang meliputi antara lain: 1. organ LPEI; 2. perkembangan usaha LPEI; 3. strategi dan kebijakan Dewan Direktur; dan 4. laporan Dewan Direktur, b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik yang terdiri dari: 1. neraca; 2. laporan laba rugi; 3. laporan perubahan ekuitas; 4. laporan arus kas; dan 5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi tentang Komitmen dan Kontinjensi, c. opini dari kantor akuntan publik; d. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana diwajibkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku; e. jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposure) yang dihadapi LPEI serta praktek manajemen risiko yang diterapkan LPEI; dan f. informasi lain. (3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibuat untuk 1 (satu) tahun buku dan disajikan paling kurang dengan perbandingan 1 (satu) tahun buku sebelumnya. - 42 - Pasal 69 (1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri dan paling kurang kepada: a. menteri yang membidangi perdagangan; b. menteri yang membidangi perindustrian; c. menteri yang membidangi pertanian; d. Bank Indonesia; e. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI); f. lembaga pemeringkat di Indonesia; g. 2 (dua) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan keuangan; dan h. 2 (dua) majalah ekonomi dan keuangan, paling lama 5 (lima) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 5 (lima) bulan sampai dengan akhir bulan keenam setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (3) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan keenam setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (4) Dalam surat pengantar penyampaian laporan tahunan kepada Menteri, LPEI melaporkan juga mengenai penyampaian laporan tahunan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) LPEI harus menginformasikan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada home page LPEI paling lama dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 70 (1) LPEI harus mengumumkan laporan keuangan yang telah diaudit dan informasi keuangan lain melalui media massa elektronik dan paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lama tanggal 30 April tahun berikutnya. - 43 - (2) Direktur Eksekutif yang mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 30 April sampai dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (3) Dalam hal LPEI belum mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (4) Laporan keuangan dan informasi keuangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. neraca; b. laporan laba rugi; c. laporan perubahan ekuitas; d. komitmen dan kontinjensi; e. PPA untuk Aktiva Produktif yang telah dibentuk dibandingkan dengan PPA untuk Aktiva Produktif yang wajib dibentuk; f. perhitungan rasio kecukupan Modal; dan g. rasio keuangan lainnya. (5) Bukti pengumuman laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan kepada Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal publikasi. BAB XII PEMERIKSAAN Pasal 71 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap LPEI. (2) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan Pemeriksaan. - 44 - (3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 72 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan: a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga) tahun; dan/atau b. setiap waktu bila diperlukan. (2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat lengkap yang meliputi kebenaran aspek substansi laporan periodik dan kepatuhan terhadap ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI beserta peraturan pelaksanaannya. (3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan apabila: a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku; dan/atau b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh Menteri, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI menyimpang dari ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. BAB XIII SANKSI Pasal 73 (1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 ayat - 45 - (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 68 dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang melakukan pelanggaran. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka: a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; atau b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan Direktur. - 46 - Pasal 74 (1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (6), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 68 dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian. (2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan lisan yang bersifat pembinaan. (3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang bersangkutan dapat diberhentikan. (5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI. - 47 - BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 75 Apabila tidak diatur lain, maka ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku juga untuk seluruh kegiatan usaha atau transaksi berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 76 Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 276
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 140/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Agustus 2009 </set_date> <effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date> <issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date> <related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII', 'BAB VI Bagian Kesatu Pasal 13 Ayat (3)', 'BAB VI Bagian Kelima Pasal 37 Ayat (2)', 'BAB VI Bagian Kelima Pasal 37 Ayat (3)', 'BAB VII Bagian Kedelapan Pasal 57 Ayat (3)', 'BAB VII Bagian Kedelapan Pasal 57 Ayat (4)', 'BAB VIII Pasal 58 Ayat (7)', 'BAB VIII Pasal 58 Ayat (8)', 'BAB IX Pasal 63 Ayat (4)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (9)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (10)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (11)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (12)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (13)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (14)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (15)', 'BAB XI Pasal 69 Ayat (2)', 'BAB XI Pasal 69 Ayat (3)', 'BAB XI Pasal 70 Ayat (2)', 'BAB XI Pasal 70 Ayat (3)' </penalty_list>
REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 168 /PMK.010/2010 TENTANG PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pembinaan dan pengawasan terhadap perusahaan perasuransian, meningkatkan upaya perlindungan terhadap tertanggung atau pemegang polis, dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyempurnaan mengenai pelaksanaan pemeriksaan perusahaan perasuransian sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2003; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian Mengingat : 1. Undang-Undang, Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010, MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- BAB I KETENTUAN UMUM Bagian Kesatu Definisi Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan 1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan perasuransian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 5. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang, Reasuransi, Perusahaan Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan kariasehbagaimana dimaksnd daam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan usaha perasuransian. 6. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung mencari, mengumpulkan, mengolah, serta mengevaluasi data dan informasi mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. 7. Pemeriksa adalah pegawai Biro Perasuransian atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan. 8. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. 9. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa dalam rangka Pemeriksaan. End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA -3- 10. Risiko adalah potensi terjadinya peristiwa yang dapat menyebabkan Perusahaan Perasuransian tidak dapat menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat. 11. Manajemen Risiko adalah kegiatan mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko beserta seluruh aspek yang terkait dengan kegiatan tersebut, termasuk prosedur, inetodologi, sumber daya manusia, dan organ perusahaan. 12. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. Bagian Kedua Kewenangan dan Tujuan Pemeriksaan Pasal 2 Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian merupakan kewenangan dan dilakukan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 3 Pemeriksaan bertujuan untuk a. memperoleh keyakinan mengenai kondisi Perusahaan Perasuransian yang sebenarnya; b. meneliti kesesuaian kondisi Perusahaan Perasuransian dengan peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang,sehat c. memastikan bahwa Perusahaan Perasuransian telah menerapkan Manajemen Risiko dengan baik yang meliputi antara lain Risiko tatakelola dan kepengurusan, Risiko strategi dan perencanaan, Risiko kepatuhan, Risiko operasional, Risiko asuransi, Risiko likuiditas, Risiko pasar dan investasi, serta Risiko modal; dan/ atau d. memastikan bahwa Perusahaan Perasuransian telah melakukan upaya untuk dapat memenuhi kewaiban kepada tertanggung atau pemegang polis. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN -4- BAB II JENIS DAN FREKUENSI PEMERIKSAAN Pasal 4 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dan/atau Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. (2) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dapat dilakukan, terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuramsian dan/atau terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. (3) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilakukan hanya terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. Pasal5 (1) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Asuransi Kerugian, Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Penunjang Usaha Asurans: dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. BAB III RENCANA DAN PELAPORAN PEMERIKSAAN Pasal 6 Dalam rangka pelaksanaan Pemeriksaan Perasuransian, Kepala Biro Perasuransian menyampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan 1. rencana tahunan Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian untuk 1 (satu) tahun berikutnya; dan 2. laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN -5- Pasal 7 (1) Rencana tahunan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka : disampaikan paling lambat setiap tanggal 15 Desember. 2) Rencana tahunan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka 1 harus dilengkapi dengan a. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan Pemeriksaan untuk 1 (satu) tahun berikutnya, beserta cakupan aspek Pemeriksaannya, b. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian untuk 1 (satu) tahun berikutnya, beserta pertimbangan yang mendasari pemilihannya; dan c. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian untuk 1 (satu) tahun berikutnya. Pasal 8 (1) Laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka 2 untuk periode 1 (satu) tahun dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut a. Untuk pelaksanaan hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian semester l, disampaikan paling lambat tanggal 31 Agustus tahun berjalan. b. Untuk pelaksanaan hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian semester Il, disampaikan paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya. (2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melaporkan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian untuk periode 1 (satu) tahun kepada Menteri paling lambat tanggal 15 Maret tahun berikutnya. (3) Laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling kurang memuat a. rencana tahunan Penteriksaan terhadap Perusahaan b. pelaksanaan dari rencana tahunan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian; End of Page 5 MENTERI KEUANGAN c. temuan dari hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian; d. hambatan pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian dan usulan pemecahan masalah. BAB IV PEMERIKSAAN DI KANTOR PERUSAHAAN PERASURANSIAN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Pemeriksaan di Kantor Perusahaan Perasuransian Pasal 9 (1) Ruang lingkup Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi aspek sistem dan prosedur, aspek kelembagaan, aspek keuangan, aspek operasional, aspek manajemen, aspek Manajemen Risiko, dan aspek lain yang relevan dengan penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian. (2) Ruang lingkup Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian terhadap aspek tertentu sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) hanya meliputi aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha yang antara lain didasarkan pada a. hasil analisis atas laporan periodik, informasi yang diperoleh atau surat pengaduan yang diterima oleh Biro Perasuransian 1) patut diduga bahwa Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan/atau 2) patut diduga bahwa Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa melakukan penyelenggaraan kegiatan usaha perasuransian yang tidak sesuai dengan standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha yang sehat. b. dibutuhkan tindak lanjut atas hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian; atau End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA c. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian, termasuk namun tidak terbatas pada, Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dalam rangka 1) terjadinya merger atau akuisisi, pemberian izin merger atau akuisisi 2) pemberian izin pengalihan portofolio pertanggungan atau 5) pemantauan pelaksanaan salah satu aspek peraturan perundang-undangan di bidang usaha perasuransian. d. Risiko yang dihadapi oleht Perusahaan Perasuransian; e. rekomendasi hasil Pemeriksaan sebelumnya; atau f. informasi yang diterima oleh Biro Perasuransian. Bagian Kedua Tata Cara Pemeriksaan di Kantor Perusahaan Perasuransian Pasal 10 (1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat a. jenis Pemeriksaan; b. waktu pelaksanaan Pemeriksaan; c. Pemeriksa yang akan melakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; dan d. permintaan data atau dokumen awal yang dibutuhkan. (4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 1 (satu) hari kalender sebelum dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. End of Page 7 REPUBLIK INDONESIA -8 - (5) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menyampaikan Surat Pembenitahuan Pemeriksaan, apablia penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan akan dapat memungkinkan dilakukannya a. tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya; dan/atau b. tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, dan/atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan. Pasal 11 (1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilaksanakan berdasarkan pedoman Pemeriksaan yang ditetapkant oleh Ketue Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat. a. penentuan obyek Pemeriksaan b. prosedur dan program Pemeriksaan; c. penyusunan kertas kerja Pemeriksaan d. pelaporan Pemeriksaan, e. tindak lanjut Pemeriksaan; dan pengawasan Pemeriksaan. Bagian Ketiga Tahapan Pemeriksaan di Kantor Perusahaan Perasuransian Pasal 12 (1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilakukan melalui tahapan sebagai berikut a. persiapan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; d. pemantauan pelaksanaan rekomendasi Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. End of Page 8 MENTERI KEUANGAN -9- (2) Persiapan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk menghasilkan program Pemeriksaan yang didasarkan pada semua informasi yang tersedia termasuk hasil analisis laporan periodik. () Pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di kantor Perusahaan Perasuransian yang diperiksa, dan apabila dianggap perlu dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan perusahaan yang diperiksa. (4) Pelaporan hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat () huruf c harus disusun segera setelah pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian berakhir dan harus berdasarkan atas data atau keterangan yang diperoleh selama proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan. 5) Pemantauan pelaksanaan rekomendasi Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh Pemeriksa untuk memastikan bahwa Perusahaan Perasuransian yang diperiksa telah melaksanakan hal-hal yang direkomendasikan dalam laporan hasil Pemeriksaan final. Bagian Keempat Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Pasal 13 (1) Dalam hal Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilakukan dengan penyampaian terlebih dahulu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Pemeriksa harus menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan pada saat dimulainya Pemeriksaan. (4) Dalam hal Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilakukan tanpa penyampaian terlebih dahulu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5), Pemeriksa harus menunjukkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan Surat Perintah Pemeriksaan pada saat dimulainya Pemeriksaan. End of Page 9 MENTERI KEUANGAN -10- Pasal 14 Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa berwenang untuk a. memeriksa dan/atau meminjam buku, catatan, dan dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya; b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa . memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; d. mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperlukan dari pihak ketiga yang, mempunyai hubungan dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau e. meminta Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris ekstemal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau Keterangan terkait dengan Pemeriksaan. Pasal 15 Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dari pihak yang tidak berhak. Bagian Kelima Kewajiban dan Larangan Perusahaan Perasuransian Pasal 16 Dalam hal Pemeriksa tidak dapat menunjukkan surat Perintah Pemeriksaan, Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa waijib menolak dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. Pasal 17 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat proses Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN -11 - (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian, Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan b. memberikan keterangan yang diperlukan secara lisan dan/atau tertulis; c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu. i. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris eksternal untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. (3) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dinyatakan menghambat kelancaran proses Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian apabila tidak melaksanakan kewaiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau keterangan yang tidak benar. (4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian wajib menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan. Bagian Keenam Laporan Hasil Pemeriksaan di Kantor Perusahaan Perasuransian Pasal 18 (1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b berakhir, Pemeriksa harus menyusun laporan hasil Pemeriksaan. (2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan final. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN (3) Laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling kurang memuat a. hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; dan b. kesimpulan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian. (4) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b paling kurang memuat: a. hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian, termasuk tanggapan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa jika ada b. kesimpulan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; dan rekomendasi kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, disusun berdasarkan kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dan memuat perintah kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk melakukan a. perbaikan atas pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang usaha perasuransian yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau b. perbaikan terhadap aspek penyelenggaraan kegiatan usaha tertentu yang tidak sesuai dengan standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha yang sehat. (6) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 19 (1) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada direksi atau pengurus Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian berakhir. (2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian laporan hasil Pemeriksaan sementara. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN -13 - (3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian mengajukan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanggapan dimaksud disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Perasuransian disertai alasan dan dokumen pendukung, (4) Pemeriksa dan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat melakukan pembahasan mengenai tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara yang disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (5) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus sudah dilakukan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya tanggapan dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. 5) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus sudah selesai paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak dilakukannya pembahasan atas tanggapan. Pasal 20 (1) Penetapan laporan hasil Pemeriksaan final dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut a. berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sementara apabila Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak menyampaikan tanggapan laporan hasil Pemeriksaan sementara; atau b. berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sementara dan tanggapan yang disampaikan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa apabila Perusahaan Perasuransian yang diperiksa menyampaikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara. (2) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada direksi atau pengurus dan komisaris Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah: a. batas akhir penyampaian tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara, dalam hal Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak menyampaikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara; atau End of Page 13 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -14- b. tanggal selesai pembahasan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara dalam hal Perusahaan Perasuransian yang diperiksa menyampaikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara. Bagian Ketujuh Pelaksanaan Rekomendasi Pemeriksaan di Kantor Perusahaan Perasuransian Pasal 21 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib melaksanakan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam rekomendasi. (2) Dalam rangka Pelaksanaan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib menyampaikan laporan pelaksanaan aidenan data resmi, dokumen, danjatau Keterangan, serta dokumen pendukung lain yang cukup. Pasal 22 Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan tanggapan atas pelaksanaan rekomendasi yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. BAB V PEMERIKSAAN DI KANTOR BIRO PERASURANSIAN Pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian Pasal 23 Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilakukan apabila: a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik dan keterangan tertulis dari pihak lain yang diterima oleh Biro Perasuransian 1) diperlukan penjelasan lebih lanjut dari Perusahaan Perasuransian untuk aspek tertentu dari laporan periodik, dan/atau End of Page 14 MENTERI KEUANGAN - 15 - 2) patut diduga bahwa terdapat ketidakwajaran di dalam laporan periodik yang disampaikan Perusahaan Perasuransian. b tedapat alasan khusus yang mendasan periunya Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian, antara lain dalam rangka menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan tertanggung bahwa Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa diduga tidak menjalankan praktik usaha yang sehat dan/atau tidak memenuhi kewajiban kepada tertanggung. Bagian Kedua Tata Cara Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian Pasal 24 (1) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilaksanakan berdasarkan pedoman Pemeriksaan yang ditetapkan oleh Ketu Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat a. kriteria atau alasan-alasan khusus untuk dapat dilakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian, b. prosedur pemberitahuan dan permintaan data c. penyusunan hasil Pemeriksaan; dan d. tindak lanjut Pemeriksaan dan pemantauannya. Pasal 25 (1) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilaksanakan oleh pegawai Biro Perasuransian. 2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat () ditandatangani oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga (4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling kurang memuat End of Page 15 MENTERI KEUANGAN - 16- a. permasalahan yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan a. permasalahan yang menjadi pertimbangan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian, b. permintaan data atau dokumen yang dibutuhkan; c. waktu pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian; dan d. pegawai Biro Perasuransian yang akan melakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. ) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum dilakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. Bagian Ketiga Kewajiban dan Kewenangan Pegawai Biro Perasuransian Pasal 26 Pegawai Biro Perasuransian yang melakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh dari Pemeriksaan di kantor Biro Perasutansian dari pihak yang tidak berhak. Pasal 27 Pegawai Biro Perasuransian yang melakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian berwenang untuk 1. memeriksa dan/atau meminjam data dan/atau dokumen- dokumen yang dibutuhkan; 2. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa, 3. mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan 4. meminta Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris ekstemal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan terkait dengan Pemeriksaan. End of Page 16 MENTERI KEUANGAN -17 - Bagjan Keempat Kewajiban dan Larangan Perusahaan Perasuransian Pasal 28 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa berdasarkan kantor Biro Perasuransian sesuai dengan waktu yang ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. 2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa berdasarkan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian wajib memberikan data dan/atau dokumen sebagaimana tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (3) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian, Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib. a. memenuhi permintaan untuk memberikan data dan/atau dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara lisan dan/atau tertulis; c. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperiukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau d. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris ekstermal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan terkait dengan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. Pasal 29 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat proses Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. (2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dinyatakan menghambat proses Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang tidak benar. End of Page 17 MENERIKEUANG 18 Bagian Kelima Hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian Pasal 30 (1) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. (2) Hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. (3) Berdasarkan kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat memerintahkan kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk melakukan a. perbaikan atas pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang usaha perasuransian yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau b. perbaikan terhadap aspek penyelenggaraan kegiatan usaha tertentu yang tidak sesuai dengan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat. Pasal 31 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa waiib melaksanakan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) sesuai batas waktu yang ditetapkan. (2) Dalam rangka pelaksanaan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib inenyampaikan laporan pelaksanaan perbaikan disertai dengan data resmi, dokumen, dan/atau keterangan, serta dokumen pendukung lain yang cukup. Pasal 32 Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan tanggapan atas pelaksanaan perbaikan yang dilakukan oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa. End of Page 18 REPUBLIK INDONESIA NENTERI KEUAKGA -19 - Pasal 33 (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan terhadap hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. (2) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan memberikan jawaban atas tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 5 (ima) hari kerja sejak diterimanya pengajuan tanggapan. (3) Jawaban atas tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pernyataan bahwa a. tanggapan diterima dan akan dilanjutkan dengan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian b. tanggapan diterima tanpa dilanjutkan dengan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; atau c. tanggapan ditolak, Pasal 34 Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian apabila 1. Data, dokumen, dan/atau keterangan dari Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak dapat memberikan dasar yang cukup bagi pegawai Biro Perasuransian yang melakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian untuk membuat kesimpulan atas hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian. 2. Adanya tanggapan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa terhadap kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1). BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 35 aa tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. End of Page 19 REPUBLIK INDONESIA -20- (2) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep.2150/LK/2004 tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian tetap berlaku sampai diberlakukannya peraturan perundang-undangan yang menggantikannya berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 36 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 September 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta . pada tanggal 16 September 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA RBPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR .450 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bigo Kepidasbagian T.U. Depotemen OUMUM Giaro. NIP19590390198400260/ End of Page 20
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 168/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 16 September 2010 </set_date> <effective_date> 16 September 2010 </effective_date> <issued_date> 16 September 2010 </issued_date> <replaced_reg> '423/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg> <related_reg> '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 37 /PMK.010/2008 TENTANG BESAR SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DI DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN UDARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan periindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban Kecelakaan yang terjadi di dalam alat angkutan yang ditumpanginya, perlu meningkatkan besar santunan dengan mempertimbangkan peningkatan kebutuhan hidup dan tingkat inflasi; b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai besar santunan dan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang . alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/ danau, ferry/penyeberangan, laut dan udara, c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besar Santunan dan luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2720); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan- ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 28): End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA -2- 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Asuransi Kerugian 'Jasa Raharja' menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 62); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); 6. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tentang Penunjukan Perusahaan Perseroan (Fersero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja untuk menyelenggarakan Dana Pertanggunan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESAR SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN UMUM DI DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN UDARA. Pasal 1 (1) luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, yang selanjutnya disebut luran Wajib, adalah iuran wajib sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. (2) luran Wajib merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh para penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/danau, ferry/penyeberangan, laut, dan udara kepada perusahaan yang menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA -3- Pasal 2 (1) Penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada di dalam alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/ danau, ferry/penyeberangan dan di laut atau ahli warisnya berhak memperoleh santunan. (2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak memperoleh santunan sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). b. Penumpang yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh santunan yang dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf a. c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal 3 (1) Penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada di dalam angkutan penumpang umum di udara atau ahli warisnya berhak memperoleh santunan. (2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut. a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak memperoleh santunan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). o. Penumpang yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh santunan yang dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf a. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4- c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter paling besar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). Pasal 4 Dalam hal penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan selama berada di dalam alat angkutan umum di darat, sungai/ danau, ferry/penyeberangan, laut dan udara tidak mempunyai ahii waris, kepada pihak yang menyelenggarakan : penguburan diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pasal 5 (1) Setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/ danau, ferry/penyeberangan, laut, dan udara untuk setiap kali perjalanan diwajibkan membayar Juran Wajib. (2) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum di darat ditentukan sebagai berikut a. Kendaraan bermotor umum sebesar Rp.60,00 (enam puluh rupiah). b. Kereta api sebesar Rp120,00 (seratus dua puluh rupiah). Pasal 6 (1) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum di sungai/ danau, ditentukan sebagai berikut a. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp 100,00 (seratus rupiah). b Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp. 200,00 (dua ratus rupiah). End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -5- (2) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum ferry penyeberangan dan laut, ditentukan sebagai berikut: a. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp 100,00 (seratus rupiah). b. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sampai dengan Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sebesar Rp 200,00 (dua ratus rupiah). c. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sampai dengan Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sebesar Rp. 400,00 (empat ratus rupiah). d. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 800,00 (delapan ratus rupiah). e. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah). Pasal7 Besar Juran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum di udara sebesar Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah). Pasal 8 Ketentuan mengenai santunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Juran Wajib angkutan umum di udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 hanya berlaku bagi penumpang perusahaan penerbangan nasional dengan rute perjalanan dalam negeri dan penumpang angkutan haji melalui udara. Pasal 9 Tambahan besar santunan di atas besar santunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan ini dapat dilakukan melalui penutupan asuransi atas dasar sukarela berdasarkan perjanjian pertanggungan tersendiri. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- Pasal 10 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 415/KMK.06/2001 tentang Penetapan Santunan dan luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 2008 MENTERI KEUANGAN Salinan sesual dengan aslinya ttd l Biro Umum SRIMULYANI INDRAWATI End of Page 6
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 37/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id> <reg_title> BESAR SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DI DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN UDARA </reg_title> <set_date> 26 Februari 2008 </set_date> <effective_date> setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 26 Februari 2008 </effective_date> <replaced_reg> '415/KMK.06/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg> <related_reg> '33/UU/1964', '2/UU/1992', '17/PP/1965', '39/PP/1980', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '337/KMK.011/1981|KEP-MENKEU/1981', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 234/PMK.03/2009 TENTANG BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada bidang-bidang tertentu yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan, perlu mengatur kembali mengenai bidang-bidang penanaman modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada dana pensiun yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 ; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN. Pasal 1 Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal berupa: a. bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta Sertifikat Bank Indonesia; b. bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau c. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada bursa efek di Indonesia, dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan. Pasal 2 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian objek Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. Pasal 3 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 651/KMK.04/1994 tentang Bidang Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2009 MENTERI KEUANGAN SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 529
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 234/PMK.03/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN </reg_title> <set_date> 29 Desember 2009 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2009 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2009 </issued_date> <replaced_reg> '651/KMK.04/1994|KEP-MENKEU/1994' </replaced_reg> <related_reg> '6/UU/1983', '16/UU/2009', '36/UU/2008', '7/UU/1983', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
NENTERIKEUANGA SALINAN PERATURAN MENTBRI KEUANGAN NOMOR 01 /PMK.010/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN OMOR 74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENCGARAAN PERTANGGUNG. ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperoleh perhitungan tarif premi referensi, biaya dan cadangan premi yang belum merupakan pendapatan terkait dengan pemasaran asuransi pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor, perlu menyempurnakan format laporan profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk lini usaha asuransi kendaraan bermotor sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan . Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010; End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA -2- 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINT USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR. PasalI Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor, diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyiscbagai berikut Pasal7 (1) Perusahaan Asuransi Unuum yang memasarkan produk Asuransi Kendaraan Bermotor setiap tahun wajib menyampaikan laporan data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk lini usaha Asuransi Kendaraan Bermotor yang disajikan berdasarkan tahun kalender kepada Menteri. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lambat setiap tanggal 30 April (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan: a. surat pengantar yang ditandatangani oleh direksi Perusahaan Asuransi Umum yang antara lain memuat 1) penyampaian laporan data profil risiko dan kerugian AsuransiKendaraan bermotor dan 2) penunjukan pegawai yang bertugas memberikan informasi berkaitan dengan laporan data profil risiko dan kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor disertai dengan nomor telepon dan o-nail; End of Page 2 MENTERI KEUANGA -3- b. pernyataan direksi dan tenaga ahli yang menyatakan bahwa Perusahaan Asuransi Umum telah menyajikan data dengan benar, c. data pertanggungan; d. data klaim, e. rekapitulasi data pertanggungan; f. rekapitulasi data klaim; 8, analisis premi; h. analisis ldlaim; dan . analisis surplus underaoriting. (4) Dokumen laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut . dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b disampaikan dalam bentuk hard copis b. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf d disampaikan dalam bentuk soft copy dengan format datahase file ('.dop; c. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e sampai dengan huruf i disampaikan dalam bentuk hard copu dan soft copy dengan format sprendsheet; dan d. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c sampai dengan huruf i berisi data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk 1 (satu) tahun kalender sebelurnya. (5) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalaht sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. (6) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditinjau kembali dan perubahannya ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyisebagai berikut: Pasal 8 Dalam penyampaian laporan tahun 2011, Perusahaan Asuransi Umum wajib melaporkan data profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi dan biava .. endaraan Bermotor sebagaimama dimaksud dalam Pasal 7 ayat (), untuk tahtm kalender 2009 dan 2010. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4- 3. Lampiran 2 Peraturan Menteri Keuangan . Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendataan Bermotor diubaht sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal I Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Agar setiap orang mengetahuinya, menterintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempataanya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 4. Januari 2011 MENTERI KRUANGAN, ttd, AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta -.. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 4 Januari 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011NOMOR 1 Galnan seatual dengan aslinya KEPALA BIRO KEPALAANTU. DER 2 BIRO UMUM GIARTO End of Page 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 01 /PMK.010/2011 TENTANG 74/PMK.010/2007 TENTANG ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAPORAN DATA PROFIL RISIKO DAN KERUGIAN ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR Tahun Pelaporan . ....... Nama Perusahaan ********************************** .********************* ********.*........................ Nomor Telepon/Faxinile ************************ E-nail :...............********** B-mail ********************************* End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 2- PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI Yang bertandatangan di bawah ini, dengan ini menyatakan bahwa data yang disampaikan dalam Laporan Data Profil Risiko dan Kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor PT XXX Tahun 20XX adalah benar. Apabila dikemudian hari ditemui bahwa data yang disampaikan dalamn Laporan Data Profil Risiko dan Kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor PT XXX Tahun 20XX tidak benar, maka kami bersedia untuk mempertanggungjawabkannya. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya. Direksi (Disi nama jabatan) Tenaga Ahli tandias tangant tanda tangan (Nama) (Nama dan Nomor Registrasi) End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAFTAR ISI Judul Halaman Halaman Cover Pernyataan Direksi dan Tenaga Ahli Daftar Isi A. Format Database Laporan Data Pertanggungan B. Format Database Laporan Data Klaim C.. Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan C.. Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan D. Format Laporan Rekapitulasi Data Klaim E. Format Laporan Analisis Premi 16 E. Format Laporan Analisis Premi F. Format Laporan Analisis Klain 16 G. Format Laporan Analisis Surplus Underaoriting 1 H. Daftar Kode Merek dan Tipe Kendaraan Bermotor 17 End of Page 7 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA A. FORMAT DATABASE LAPORAN DATA PERTANGCUNGAN Data pertanggungan yang dilaporkan adalah database kendaraan bermotor dengan masa pertanggungan yang dimulai pada periode pengamatan. Adapun rincian format data adalahisebagai berikut No | Nama Pield | Tipe Field| Ukuran Field No | Nama Field Tipe Field 2 Kode Polis | Text 3 Nomor Rangka TText Nar laer 4| Nomor Mesin Text 6 5 | Nomor Polisi Text 110 5| Nomor. Polisi Tect 10 6 Kode Pertariggungan| Number (Integer) 20 7| Kode Kendaraan| Text |10 7 | Kode Kendaraan| Text 8 | Kode Penggunaan| Text |2 8 | Kode Penggunaan Text 8 | Kode Penggunaan| Text 9| Kode Wilayah| Teat 10 | Tahun Kendaraan | Number (Integer) 10 | Tahun Kendaraan | Number (Inuteger) |4 11 | Harga. Pertanggungan Currency 12 Mulai Pertanggungan| Date (dd/mm/yyyy) 13 Akhir Pertanggungan Date (dd/mm/yyyy) 14 | Premi_Bruto (Kontribusi Bruto) | Currency 15 Diskon Premi| Currency 16 | Biaya Akusisi| Currency 17 | Biaya Operasional 17 | Biaya Operdsional Currency 18 | Premi Murni Ref (Kontribusi Murni) 19 Premi_ LIneainted (Kontribusi LInearned) (Kontribusi (Inenmed)| Currency 20 | Deductible CCurrenicy 21 | Mata Uang 21 Mata Uang | Text 22 Validitas Text Untuk diperhatikan, nama field tidak boleh diubah untuk kepentingan proses Penjelasan tentang, format database laporan data pertanggungan adalah sebagai 1. Kode Perusahaan Kode Perusabaan adalah kode tunggal yang, ditetapkan dan disampaikan oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada masing-masing Perusahaan Asuransi Umum. End of Page 8 MENTERI KEUANGAN DDBLK INDONESIA -5- 2. Kode_Polis Kode Polis adalah kode internal Perusahaan Asuransi Umum yang mengidentifikasi polis yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum. Kode Polis ini tidak dibedakan antara pertanggungan individt dan pertanggungan kelompok. 3. Nomor Rangka Nomor Rangka adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi rangka kendaraan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum pembuat Kendaraan Nomor Rangka ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu. 4. Nomor Mesin Nomor Mesin adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi mesin yang, dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan. Nomor Mesin ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu. 5. Nomor Polisi Nomor Polisi adalah kode standar yang merupakan identitas kendaraan yang dikeluarkan oleh kepolisian. 6. Kode_ Pertanggungan Kode Pertanggungan adalah kode yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis pertanggungan. Kode Pertanggungan didefinisikan sebagai penjumlahan dari Kode Bobot Pertanggungan yang ditanggung dalam polis. Kode Bobot Pertanggungan untuk setiap jenis pertanggungan adalah sebagai berikut: No Pertanggungan Pertanecnea Pertanggungan 008 6000f |Konvensional: Total Loss Only (Non Standar) 20000 Konvensional : Comprehensine (Standar) | 40000 4 Syariah : Total Loss Only (Standar) 60000 5 Syariah : Total Loss Only (Nom Standar) 70000 Syariali : Comprehensice (Standar) 90000 7 Perluasan : Tanggung jawab pihak ketiga (TPL) 1 8 | Perluasan : Kecelakaan Diri (Penumpang/Pengendara) 2 10 | Perluasan Banjr 11 | Perluasan : Kerusuhan dan Huru-Hara 1 12 | Perluasan : Angin Ribut 12 Perluasan : Angin Ribut 3. Perluasan : Lain-lain 1 128 End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -6- Khusus pertanggungan Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa saldo kredit, kode yang digunakan adalah pertanggungan Total Los Onrtly (Non Standar) yang mengganti maksimum sebesar saldo kredit pemilik kendaraan dan bukan harga pertanggungan awal. Untuk jenis ini harga pertanggungannya diisi sebesar harga pertanggungan awal. 7. Kode Kendaraan Kode Kendaraan adalah kode kendaraan scbagaimana dimaksud pada huruf H lampiran ini. 8. Kode_ Penggunaan Kode Penggunaan adalah kode standar yang digunakan untuk mengidentifikasi kendaraan yang digunakan untuk pribadi, kantor atau unnum. Kode untuk setiap jenis penggunaan adalah sebagai berikut No.. Penggunaan No|.. Penggunaan| Kode 1 Angkutan Penumpang - Mobil Pribadi PO 2 Angkutan Penumpang - Dinas atau Mobil Kantor DO 3 Angkutan Penumpang - Sewa SO 4 Angkutan Penumpang Umum - Regular (rute tetap) UO 5 Angkutan Penumpang Umum - Non Regular (rute tidak tetap) U. 6 Angkutfan Barang TO 9. Kode_ Wilayah Kode wilayah adalah kode atas dasar alamat yang, tercantum dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK). Kode tersebut dibagi berdasarkan daerah pengamatan yaitu No No Wilayah 1 Jabodetabek (akarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi) 2 | Provinsi Jawa Barat 3 Provinsi Banten 4 Provinsi Jawa Tengah 5 Provinsi Jawa Timur 6 Provinsi DI Yogyakarta Provinsi DlYogyakarta Provinsi Bali0 8 Provinsi Nusa Tenggara Barat 08 10 | Provinsi Maluku 10 10 | Provinsi Maluku 11 Provinsi Maluku Utara | 11 12 | Provinsi Papua Barat 12 13 | Provinsi Papua 13 14 | Provinsi Sulawesi Utara 15 Provinsi Gorontalo 17 : Provinsi Sulawesi Barat 18 Provinsi Sulawesi Tenggara End of Page 10 MENTERI KEUANGAN -7- 19 Provinsi Sulawesi Selatan 2 PorisiKaimantan 20 | Provinsi Kalimantan Timur 21 | Provinsi Kalimantan Selatan 21 Provinsi Kalimantan Selatan 22 / Provinsi Kalimantan Barat 22 | Provinsi Kalimantan Barat 22 23 | Provinsi Kalimantan Tengahi 29 24 | Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 25 | Provinsi Sumatera Utara 2 7 Provinsi Riau 28 Daerah Otoritas Batam 28 28 Daerah Otoritas Batam 29 | Provinsi Kepulauan Riau (tidak termasuk kode 28) 29 30 : Provinsi Bangka Belitung 31 Provinsi Jambi 31 32 / Provinsi Bengkulu 32 34 Provinsi Lampung 34 35 | Lain-lain 10. Tabun Kendaraan Tahun_ Kendaraan adalah tahun pembuatan kendaraan yang tereatat dalam Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dengan format sebanyak 4 (empat) digit. 11. Harga_Pertanggungan Harga.Pertanggungan adalah harga kendaraan saat bara atau taksiran harga kendaraan apabila dibeli pada saat pertanggungan dimulai dengan kondisi yang sama. Khusus untuk polis Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa saldo kredit, maka Harga Pertanggungan diisi dengan nilai pinjaman awal kredit dan dihitung termasuk bunga kredit. 12. Mulai Pertanggungan Mulai Pertanggungan adalah saat berlakunya pertanggungan yang diterbitkan pada periode penganatan dengan format tanggal (dd/mm/yyyy). 13. Akhir Pertanggungan Akhir Pertanggungan adalah saat berakhirnya pertanggungan yang tergantung pada pengakuan pendapatan premi yang digunakan pada sistem akuntansi Perusahaan Asuransi Umum dengan format tanggal (dd/mm/yyyy). 14. Premi Bruto (Kontribusi Bruto) Premi_Bruto (Kontribusi Bruto) adalah nilai rupiah prenii yang dibayar oleh pemegang polis terhadap 1 (satu) kendaraan yang terdaftar sesuai dengan Harga Pertanggungan yang, dicantumkan dalam polis untuk setiap kendaraan. Premi_ Bruto (Kontribusi Bruto) termasuk juga nilai rupiah yang dikenakan sebagai tambahan premi ekstra dari risiko yang ditanggung. Nilai Premi_Bruto (Kontribusi Bruto) sebelum dikenakan diskon atau /e based incnme pihak ketiga. End of Page 11 REPUBLIK INDONESIA -8- Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Premi_Bruto (Kontribusi Druto) adalah nilai rupiah dari kontribusi yang dibayar oleh pemegang polis terhadap 1 (satu) mobil yang terdaftar sesuai dengan harga pertanggungan yang dicantumkan dalam polis untuk setiap kendaraan. Premi_ Bruto (Kontribusi Bruto) termasuk juga tambahan nilai rupiah yang dikenakan sebagai perluasan perlindungan yang ditanggung. Nilai Premi Bruto (Kontribusi Bruto) adalah nilai rupiah sebelum dikenakan ujyah/(fe. Khusus untuk masa pertanggungan yang melebihi satu tahun maka pelaporannya premi dicatat sebagai pertanggungan satu tahun dan sisa premi berikutnya dicatat dan disampaikan pada periode-periode pelaporan berikutnya sampai dengan polis berakhir. 15. Diskon Premi Diskon Premi adalah nilai rupiah diskon premi yang diberikan kepada pemegang polis atas pertimbangan tertentu pada Preni_ Bruto yang, dilaporkan. Diskon-Premi seperti uolume discotnt, reneteni discoint, nto-clain discounit, atau discount teknis lainnya. Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Diskon. Premi adalah nilai rupiah diskon yang diberikan kepada pemegang polis atas dasar pertimbangan tertentu seperti oolume discount, perpanjangan, no clain bonus atau diskon teknis yang merupakan bagian dari ujrah/jee dan berasal dari operator. 16. Biaya_Akuisisi Biaya_Akuisisi adalah biaya-biaya yang dibayarkan penanggung kepada pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka peroleban bisnis. Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Biaya. Akuisisi adalah biaya biaya yang dibayarkan penanggung kepada pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka perolehan bisnis. Biaya tersebut merupakan bagian dari ujrai/ fee dan berasal dari operator. 17. Biaya Operasional Biaya Operasional adalah nilai rupiah yang merupakan proporsi pendapatan yang diterima Perusahaan Asuransi Umum dan dimaksudkan untuk menutup biaya operasional tahunan Perusahaan Asuransi Umum. Proporsi ini harus sesuai dengan persentase alokasi biaya operasional yang dicantumkan dalam dokumen pelaporan produk. Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Sima Opemasiomal adalah biaya operasional tahma. persentase alokasi biaya operasional yang tercantum dalam dokumen pelaporan produk bagian dari ujrah/ fee dan berasal dari operator. End of Page 12 REPUBLIK INDONESIA -9- 18. Premi_ Mumi Ref (Kontribusi Murni) Premi_ Murni_Ref (Kontribuisi Murni) adalah nilai rupiah yang merupakan perkalian antara Harga Pertanggungan dengan Tarif Referensi yang diatur dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada I.ini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor. Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Premi. Mumni Ref (Kontribusi Mumi) adalah nilai rupiah kontribusi yang di alokasikan ke dana tabamt, berasal dari kontribusi bruto setelah dikurangi ujyah/ fec. Kontribusi Mumi merupakan hasil perkalian antara harga pertanggungan dengan Tarif Referensi yang diatur dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor. 19. Premi Lnearned (Kontribusi Unenmed) Premi_Lintearned (Kontribusi Untearned) adalah jumlah rupiah yang belum menjadi pendapatan Perusahaan Asuransi Umum berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor mengenai pembentukan cadangan yang belum merupakan pendapata berdasarkan Premi Murni Ref. Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Premi_Uneaned (Kontribusi Uneamed) adalah jumlah rupiah yang belum menjadi pendapatan/hak sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangart Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor mengenai pembentukan cadangan yang belum merupakan pendapatan. 20. Dedactible Dedhctible adalah jumlah mupiah yang menjadi tanggungan pemilik mobil berdasarkan ketentuan polis untuk risiko dasar (tidak termasuk deductible risiko perluasan). 21. Mata. Uang Mata Uang adalah kode mata uang yang digunakan dalam pertanggungan. Kode mata uang yang digunakan adalah sebagai berikut No | Mata Uang Kode 1 | Rupiah 01 2 US Dollar 02 3 Singapore Dollar 03 4| Ringgit Malaysia 04 5 enJepang 05 7 | Lain-lain 06 End of Page 13 WENTERIKEUANGA REPUBLIK INDONESIA 22. Validitas Validitas merupakan kode status informasi data pertanggungan. Kode status informasi data pertanggungan adalah sebagai berikut: 1 | Polis yang diterbitkan sendiri A 1206ADasurasi B 3 | Lndorsment Penambahan C Endorsment Pengurangan D X Endorsntent Penambahan soperti reinstalentent, perpanjangan masa pertanggungan, penambahan perluasan, dan sejenisnya. Sedangkan Endorsment Pengurangan seperti pembatalan pertanggungan, pengurangan perluasan, pengembalian premi, dan sejenisnya. B. FORMAT DATABASE LAPORAN DATA KLAIM Data klaim yang dilaporkan adalah semua klaim yang terjadi pada tahun kalender yang dilaporkan dengan memperhatikan tanggal kejadian klaim dan tanggal persetujuan klaim. Adapun rincian format data adalah sebagai berikut No | Nama Field Tipe Ficld| Ukuran Field 2 | Nomor Register Klain| Text 20 3 Kode Polis Text 20 6 6| Kode Pertanggungan| Number (Iinteger) Kode Pertanggungan| Number (Integer) 7| Tanggal Kejadian Date (dd/mm/yyyy) 8 | Kode Wilayah_ Kejadian | Text 9| Kode Klaim. Text 9| Kode Klaim Text 10 | Kode Penyebab Text 10 | Kode Penyebab Text 11 | Klaim Diajukan| Currency 12 Dedhctible Currency.. 12 | Deductible Cuarrency 13 Biaya Klaim | Currency 14 | Klaim Disetujui Currency 15 Mata Uang Teat 16 | Tanggal _Disetujui DDate (dd/mm/yyyy) 17 Validitas Teaf Untuk diperhatikan, nama field tidak boleh diubah untuk kepentingan proses pengolahan data. End of Page 14 MENTERI KEUANGAN EPUBLK INDONESA Penjelasan Format Database Laporan Data Klaim Penjelasan tentang format database laporan data klaim adalah sebagai berikut 1. Kode Perusahaan Kode Perusahaan adalah kode tunggal yang ditetapkan dan disampaikan oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada masing-masing Perusahaan Asuransi Umum 2. Nomor Register Klaim Nomor Register Klaim adalah kode internal Perusahaan Asuransi Umum yang mengidentifikasi satu kejadian klain yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum. 3. Kode Polis Kode Polis adalah kode intemal Perusahaan Asuransi Umum yang mengidentifikasi polis yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Unuum. Kode Polis ini tidak dibedakan antara pertanggungan individu dan pertanggungan kelompok. 4. Nomor Rangka Nomor Rangka adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi rangka kendaraan yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan. Nomor Rangka ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu 5. Nomor Mesin Nomor Mesin adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi niesin yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan. Nomor Mesin ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu. 6. Kode Pertanggungan Kode Pertanggungan adalah kode yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis pertanggungan. Kode Pertanggungan didefinisikan sebagai penjumlahan dari Kode Bobot Pertanggungan yang ditanggung dalam polis. Kode Pertanggungan harus sesuai dengan Kode Perianggungan yang didefinisikan dalam database pertanggungan. Kode Bobot Pertanggungan untuk setiap jenis pertanggungan adalah sebagai berikut No Pertanggungan | Rode B0bot Konvensional : Total Loss Onlh (Standar) 10000 22 | Konvensional : Total Loss Only (Non Standar) 20000 3 / Konvensional : Comprehensibe (Standar) |40000 Syariah : Total Loss Only (Standar) 60000 5 Syariah : Total Los Only (Non Standar) 770000 Syariah : Comprehenisice (Standar) | 90000 7 | Perluasan : Tanggung jawab pihak ketiga (IPL) |11 8 | Perluasan : Kecelakaan Diri (Penumpang/Pengendara) 2 9 Perluasan : Gempa Bumi 10 | Perjuasan : Banjir End of Page 15 MENTERI KEUANGAN -12- 11 | Perluasan : Kerusuhan dan Huru-Hara 116 12 Perluasan : Angin Ribut .32 Khusus pertanggungan Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa saldo kredit, kode yang digunakan adalah pertanggungan Zotal Los Onty (Non Standar) yang mengganti maksimum sebesar saldo kredit pemuilik kendaraan dan bukan harga pertanggungan awal. Untuk jenis ini harga pertanggungannya diisi sebesar harga pertanggungan awal. 7. Tanggal Kejadian Tanggal Kejadian adalah tanggal terjadinya kecelakaan dan bukan tanggal lclaim disetujui atau dibayar dengan format tanggal (dd/mm/yyyy) 8. Kode Wilayah Kejadian Kode Wilayah Kejadian adalah kode standar yang mengindikasikan lokasi terjadinya klaim atau alamat kantor polisi terdekat dalam wilayah kejadian klaim tersebut. Kode tersebut dibagi berdasarkan daerah pengamatan yaitu Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) 01 oins 3 Provinsi Jawa lengah 04 7 ProvinsiBali 7| Provinsi Bali 8 Provinsi Nusa Tenggara Barat 08 9 | Provinsi Nusa Tenggara Timur 09 10 | Provinsi Maluku 11 Provinsi Maluku Utara 12 Provinsi Papua Barat 13 Provinsi Papua 13 Provinsi Papua 13 14 Provinsi Sulawesi Utara 15 Provinsi Gorontalo 15 15 Provinsi Gorontalo 15 Bhonas SolanesiTengah9 16 Provinsi Sulawesi Tengah 17 Provinsi Sulawesi Barat 17 17 | Provinsi Sulawesi Barat 18 Provinsi Sulawesi Tenggara 15 19 | Provinsi Sulawesi Selatan 19 20 | Provinsi Kalimantan Timur 20 21 Provinsi Kalimantan Selatan 21 22 Provinsi Kalimantan Barat 22 23 Provinsi Kalimantan Tengah 23 24 Provinsi Nanggrpe Aceh Darussalam 25 Provinsi Sumatera Utara End of Page 16 REPUBLIK INDONESIA -13- 26 | Provinsi Sumatera Barat 27 | Provinsi Riau 28 Daerah Otoritas Batam 29 | Provinsi Kepulauan Riau (tidak termasuk kode 28) 30 Provinsi Bangka Belitung 31 Provinsi Jambi 32 Provinsi Bengkulu 32 Provinsi Bengkultt 32 33 | Provinsi Sumatera Selatan 33 34 Provinsi Lampung 34 | Provinsi Lampung 34 35 / Lain-lain 9. Kode Klaim Kode Klaim adalah kode standar yang mengindikasikan jenis klaim tersebut. Kode untuk setiap jenis klaim adalah sebagai berikut: No | Jenis Klaim Kode No| Jenis Klaim 2 Kerugian Total (Total Toss) 2 / Keragian Total (Total loss) 3 | Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga 4 Kecelakaan Diri 5 | Lain-Lain 10. Kode Penyebab Kode_Penyebab adalah kode standar yang mengindikasikan jenis penyebab klaim (Nature of Loss) tersebut. Kode untuk setiap jenis penyebab adalah sebagat berikut Benturan Akibat Kesalahan Sendiri Benturan Akibat Kesalahan Orang Lain Pencurian Sebagian 4 Pencurian Total (Kehilangan Kendaraan) 6 | Kebakaran 7 Gempa Bumi 8 Banjir 8 Banjir 9 | Kerusuhan (Riots) dan Huru-Hara (Cioil Commotion) 10 | Angin Ribut 11 Terorisme atau Sabotase 12 Lain-Lain End of Page 17 MENTERI KEUANGAN -14- 11. Klaim Diajukan Klaim Diajukan adalah jumlah rupiah klaim yang diajukan oleh bengkel atau pemegang polis atau perkiraan besaran klaim yang akan dibayar. 12. Deductible Dedactibile adalah jumlah rupiah yang mnenjadi tanggungan pemilik kendaraan yang diterapkan pada klaim tersebut. 13. Biaya Klaim Biaya. Klaim adalah jumlah rupiah yang dikeluarkan Perusahaan Asuransi Umum yang terkait dengan klain misalkan biaya investigasi, biaya penilai, biaya mediasi, biaya pengacara, biaya derek, dan lain-lain. 14. Klaim Disetujui Klaim Disetujui adalah jumlah rupiah yang disetujui Perusahaan Asuransi Umum untuk membayar klaim yang terjadi besamya maksimum sebesar Total Klaim dikurangi deinctible. Klaim Disetujui tersebut tidak termasuk Biaya Klaim. 15. Mata Uang Mata_Uang adalah kode mata uang yang digunakan dalam persetujuan klaim. Kode mata uang yang digunakan adalah sebagai berikut: No Mata Uang Ko Rupiah........... 01 2 US Dollar 02 5 / Yen Jepang 05 6 uro 7 | Lain-lain 99 7 Lain-lain 16. Tanggal. Disetujui Tanggal_ Disetujui adalah tanggal setilentent. 17. Validitas Validitas adalah kode status informasi data klaim. Kode status informasi data klaim adalah sebagai berikut No | Penggunaan | Kode NNo | Penggunaan 1 Klaim Normal (sesuai ketentuan polis) A 1 Klaim Normal (sesuai ketentuan polis) 2 Klaim Ex Gratia (diluar ketentuan polis/ termasuk pengecualian) 3 Saluage 4 | Subrogasi 5 | Lain-lain X 5 Lain-lain End of Page 18 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -15- C. FORMAT LAPORAN REKAPITULASI DATA PERTANGGUNGAN Laporan rekapitulasi data pertanggungan adalah laporan kontrol atas data rincian ang disampakan oleh Perusahan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Rekapitulasi Pertanggungan adalah sebagai berikut. No Rekapitulasi | Pertanggungan Mata| Pertanggungan Mata Uang Rupiah Uang Asing Banyaknya Record 2 | Harga Pertanggungan 3 | Premi Bruto 4 Diskon Premi 5 Biaya Akusisi 6 | Biaya Operasional 7 | Premi Murni Referensi 8 | Premi Lineamed Penjelasan Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan Banyaknya Record adalah jumlah record atau baris informasi data pertanggungan yang disimpan dalam tabel sesuai dengan mata uang yang digunakan dalam polis. Apabila ada mata uang asing yang digunakan, maka Perusahaan Asuransi Umum harus membuat rekapitulasi data pertanggungan dalam mata uang asing tersebut. Harga Pertanggungan, Premi Bruto, Diskon Premi, Biaya Akuisisi, Biaye Operasional, Premi Murni Referensi dan Premi Uneamed adalah penjumlahan pertanggungan dalam mata uang asing disampaikan dalam satuan rupiah dengan kurs per tanggal 31 Desember yang digunakan Perusahaan Asuransi Umum. D. FORMAT LAPORAN REKAPITULASI DATA KLAIM Laporan rekapitulasi data klaim adalah laporan kontrol atas data rincian klaim yang disampaikan oleh Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Rekapitulasi Data Klaim adalah sebagai berikut Uang Rupiah Uang Asing 1 | Banyaknya Record 2 Klaim Diajukan 3 Deductible 5 Klaim Disetujui End of Page 19 MENTERI KEUANGAN Penjelasan Format Laporan Rekapitulasi Data Klaim Banyaknya Record adalah jumlah record atau baris informasi data klaim yang disimpan dalam tabel sesuai dengan mata uang yang digunakan dalam polis. Apabila ada mata uang asing yang digunakan, maka Perusahaan Asuransi Umum harus membuat rekapitulasi data klaim dalam mata uang asing tersebut. Klaim Diajukan, Deductible, Biaya Klaim dan Klaim Disetujui adalah penjumlahan semua data pertanggungan dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, Khusus klaim yang dibayar berdasarkan mata uang asing akan disampaikan dalam satuan rupiah dengan kurs per fanggal 31 Desember yang digunakan Perusahaan Asuransi Umum. E. FORMAT LAPORAN ANALISIS PREMI Laporan analisis premi merupakan analisa awal atas data yang disampaikan Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Analisis Premi adalah sebagai berikut No| Keteldilgdst NNo Keterangan Jumlah Dalam Rupiah | Persentase 1 Premi Bruto 2 Diskan Puen 2 / Diskon Premi 3| Biava Akuisisi 3 Biaya Akuisisi 4| Biaya Operasional 5 | Premi Murni 6 Premi Unearned Penjelasan Format Laporan Analisis Premi Jumlah dalam rupiah dari Premi Bruto, Diskon Premi, Biaya Akuisisi, Biaya Operasional, Premi Muni dan Premi Uneared adalah penjumlahan semua data dalam mata uang rupiah ditambah jumlah data dalam mata uang asing yang telah dikonversi ke dalam mata uang rupial. Konversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs per -tanggal 31 Desember. Persentase merupakan besaran persentase setiap baris berdasarkan jumlah rupiah masing-masing baris dibagi dengan jumlah dalam rupiah Premi Bruto. Premi Mumi sebagaimana dimaksud pada nomor 5 adalah nilai rupiah yang merupakan perkalian antara Harga Pertanggungan dengan Tarif Referensi yang diatur dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor. End of Page 20 REPUBLIK INDONESIA -17- F. FORMAT LAPORAN ANALISIS KLAIM Laporan analisis klaim merupakan analisa awal atas data yang disampaikan Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Analisis Klaim adalah sebagai berikut No | Keterangan Jumlah Dalam Rupiah | Persentase 1 | Klaim Yang Diajukan 100% 1 | Klaim Yang Diajukan 2 Klaim Telah Disetujui 2| Klaim Telah Disetuju 4 | Biaya Klaim Penjelasan Format Laporan Analisis Klaim Klaim Yang Diajukan, Klaim Telah Disetujui, Klaim Belum Disetujui dan Biaya Klaim adalah penjumlahan semua data dalam mata uang rupiah ditambah jumlah data dalam mata uang asing yang telah dikonversi dalam mata uang rupiah. Konversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs per tanggal 31 Desember. Persentase merupakan besaran persentase setiap baris berdasarkan jumlah rupiah masing-masing baris dibagi dengan jumlah dalam rupiah Klaim Yang Diajukan. C. FORMAT LAPORAN ANALISIS SURPLUS UNDERWRITING Laporan Analisis Surplus Unuderoriting merupakan analisis awal atas data yang disampaikan Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database dan bukan Analisis Surplus Underoriting yang, sebenarnya. Analisis Surplus Underoriting ini belum lengkap karena nilai transaksi reasuransi/koasuransi, hasil investasi dan biaya lainnya belum dimasukan dalam perhitungan. Tormat Analisis Surplus Underuoriting adalah sebagai berikut: No | Keterangan | Jumlalt dalam rupiah 1 Premi Bruto - (Biaya Akusisi + Diskon Premi+ Biaya Operasional) 2| Kenaikan/Penurunan Cadangan (Premi Uneamed) 3 Klaim Disetujui + Biaya Klaim 4 Surplus Underwriting, ((1) - (2) - (S) Rasio Surplus Underwriting ((4)/Premi Bruto Penjelasan Format Laporan Analisis Surpius Lnderuoriting Surplus Underuoriting adalah Premi Bruto dikurangi Biaya Akuisisi, Diskon Premi dan Biaya Operasional dikurangi Klaim Disetujui, Biaya Klaim dan Premi Uneanted. Setamglan Rasio Suphis Underorifing adalah rasio nomhanioa Lndertoriting dibagi jumlah pendapatan Premi Bruto. End of Page 21 MENTERI KEUANGAN -18- H. DAFTAR KODE MEREK DAN TIPE KENDARAAN BERMOTOR No. | Kode Merek Merek Kendaraan Merek Kendaraan Tipe Kendaraan dam Tipe KENDARAAN PENUMPANG 0 001 AUDIA3 10 | 002 AAUDI A4 10 003 |AUDI 1A6 10 004 AUDI TA8 10 005 AUDI ALLROAD 10 | 006 AUDI TT1.8 TURBO 11 001 BIMANTARA ARYA 2 11 002 BIMANTARA CAKRA 1.5 9 | 11 002 BIMANTARA 10 | 11 003 BIMANTARA NENGGALA 1.6 10 | 11 003 BIMANTARA 11| 11 | 099 BIMANTARA 12 | 12 | 001 BMW 1201 12 | 12 | 001 BMW 15 | 12 004 | BMW Serid 16 | 12 005 | BMW /58717 17 | 12 006 BMW /X3 18 | 12 007 BMW 1 X5 19 | 12 | 008. BMW SeriZ 20 | 12 099 BBMW Lainnya 21 | 13 | 001 CHEVROLET AVEO 2 | 13 | 002 CHEVROLET BLAZER 23 | 13 | 003 CHEVROLET EXPRESS 24 | 23 | 004 CHEVROLET OPTRA 25 | 13 | 005 CHEVROLET SPARK 26 | 13 | 006 CHEVROLET TAVERA 27| 13 | 007 CHEVROLET TROOPER 28| 13 | 008 CHEVROLRT AFIRA 29 | 13 | 099 CHEVROLET Lainnya 30 14 001 CHRYSLER | DODGE 31 | 14| 002 CHRYSLER CHEROKEE 32 | 14| 003 CHIRYSLER WRANGLER 33 |14 | 004 CHRYSLER PT CRUISER 34 14 0099 CHRYSLER Lainnya /15/001 / DAEWOO ESPERO 15| 002 | DAEWOO|LANGS 15 003 | DAEWOO LEGANZA 338 | 15 | 004 ' DAEWOO MATIZ 39 | 15 005 DAEWOO NEXIA 40 | 15 | 006 DABWOO NUBTRA 40 | 15 | 006 DAEWOO End of Page 22 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONEG 215 | 099 DAEWOO Lainny 316 0001 | DATHATSU CERIA 44| 16| 002 | DAIHATSU CLASSY 45| 16 003 |DATHATSU COPEN 16| 16 | 004 | DATHATSU ESPASS 7| 16| 005 | DAIHATSU PEROZA 49 | 16| 007 DATHATSU TAFT 51|16 009 DATHATSU TERIOS 16 009 DAIHATSU TERIOS 52 | 16 010 DATHATSU XENIA 53| 16 | 011 DAIHATSU YRV 4| 16 | 012 DAIHATSU ZEBRA 5 | 16 099| DAIHATSU | Lainnya 617 | 001..| FORD ESCAPE 59 | 17 | 004 FORD 17 | 006 FORD TBLSTAR 61 | 17| 006 FORD 62 | 17 | 099 | FORD / Lainnya 62 | 17 | 099 | FORD 63| 18 001 HONDA 64 18 | 002 HONDA 66 | 18 004 HONDA 67| 18 | 005 | HONDA 68 18 | 006 / HONDA /0D1551% 69 18 | 007 , HONDA STREAM 19 001 | HYUNDAI ACCENT 19 (000. | HYUNDAI ATOZ 19 ( 003 | HYUNDAL COUPE 19 | 004 | HYUNDAT GETZ 19 | 005 | HYUNDAL GRACE 519 006 | HYUNDAI GRANDEUR 77| 19 | 007 TYUNDAI GRACE 78 19 | 008 HYUNDAI MATRD 79| 19 | 009 | HYUNDAL SANTA 80 19 | 010 | HYUNDAL (SONATN 81| 19 | 011 HYUNDAI TRAJET 82 | 19 012 FYUNDAT ELANTRA 883 | 19 : 099 HYUNDAL Lainnya 84 20 , 001 ISUZU D-MAX 85 20 ; 002 ISUZU PANTIUS End of Page 23 MENTERI KEUANGAN -20- 86 | 20 | 099 | ISUZU Lainnya 87| 21 001 DAGUAR DAIMLER 88 21 | 002 JAGUAR 89 21 | 003 JAGUAR 90. 21004 |IAGUAR /-77PF 91 21 099 JAGUAR TT 92| 22 | 001| KIA BIG UP 93| 22| 002| KIA CARNIVAL 94| 22 003 KIA CARRENS 22/ 005/ KIA MAGENTIS 22 006| KIA PPREGIO 98| 22 | 007| KIA RIO 99| 22 | 008 KIA SHUMA 100 22| 009 KKIA SEDONA 101 22. 010 KIA 102 | 22 | 011 KLA SPORTAGI 103 22 | 012 | KIA SORENTO 104| 22 013 KIA / VISTO 105 | 22 014| KIA PICANTO 105 | 22| 014 | KIA PICANTO 106 | 22 | 015| KIA TRAVELO 107| 22| 099 | KIA Lainnya 108 | 23| 001 | LANDROVER DEFENDEK 109| 23 | 002 LANDROVER DISCOVERY 110 | 23 | 003 LAVDROVER FREELANDER 111| 23.| 004 LAVDROVER RANGE ROVER 113| 24 | 001 MAZDA | 323 116 | 24 | 004 MAZDA MPV 2.5 118 2A| 006 | MAZDA MX 6 9| 24 007 MAZDA PREMACY 120| 24 008 MAZDA MAZDA RX 8 121| 24 009 MAZDA VANTRENDST WAGON 122| 24| 010 MAZDA TTRIBUTH 123 | 24 011 MAZDA B-SERIES 2.5 12/4 | 24 099 MAZDA | Lainnja 125 | 25 001 MERCEDEZ BENZ A-CLASS 126| 25 | 002 ERCEDEZ BENZ C-CLASS 127| 25 | 003 MERCEDEZ BENZ E-CLASS End of Page 24 MENTERI KEUANGAN -21- MERCEDEZ BENZ Lainnya 26 | 001 MITSUBISHI | COLT L300 26 | 002 | MITSUBISHT / COLTTI2055 MITSUBISHI COLT T12055 134 26 | 003 MITSUBISHI CHARI 135 | 26 | 004 MTTSUBISHI ETERNA 136 | 26 | 005 MITSUBISHI GALANT : 137 26 | 006 | MITSUBISHI CRANDIS 1137 26 | 006 MITSUBISHI 138 26 | 007 MITSUBISHI KUDA 138 26 | 007 | MITSUBISHI 139 26| 008 MIISUBISHI 139 26 | 008 MITSUBISHI L.200 140 26 | 009 MTTSUBISHI 140 26 009 | MITSUBISHI LANCER 141 26 010 | MITSUBISHI PAJERO 142| 26| 099 | MITSUBISHI Lainnya 143| 27 | 001 | NISSAN CEFIRO 144| 27 | 002 NISSAN GENESIS 145 27 | 003 NISSAN INFINITY 146 | 27 | 004 NISSAN PATROL 147| 27 |005 NISSAN SENTRA 148| 27| 006 NISSAN SEREVA 150 | 27| 008 NISSAN TERRANO 151| 27|009 NISSAN 07R4IZ 152 | 27 | 010| NISSAN TRANA 153 | 27 | 011 NISSAN SUNNY 154 | 27 | 012 NISSAN NISSAN MARCH 155 27| 099 NSSAN / Lainnja 156| 28 | 001 OPEL BLAZER 157| 28 | 002 OPEL OPTIMA 158 28 | 003 OPEL VECTRA 158 | 28 | 003 | OPEL 159 28 | 099 OPBL Lainnya 159 28 099 OPEL 160 29 | 001 | PEUGEOT Seri2 161 29 002 PEUGEOT Seri3 162 | 29 | 003 PEUGEOT | Seri4 163 | 29 | 004 | PEUGEOT Seris 164 29 005 PEUGEOT PARTNE 164| 29 | 005 | PEUGEOT PARTNER 165 | 29 099 PPEUGEOT Lainny 166| 30 | 001 | RENAULT CLIC 167 | 30 | 002 | RENAULT KANGOO 168 30| 003| RENAULT LAGUNA 169 30 | 004 RENAUUT 1 SCENG. 169 30 004 RENAULT SCENIC 170 | 30 | 099 RENAULT | Lainny 171 31 | 001 SSYANGYONG BBOXER 172 31 002 | SSYANGYONG CHAIRMAN 73 |31 003 SSYANGYONG KORANDO 174 | 31 004 SSYANGYONG MUSSO 175| 31 005 SSYANGYONG RREXTON End of Page 25 REPUBLIK INDONESIA -22- SSYANGYONG Lainnya 32 | 001 SUBAKU FORESTER 8 | 32 002 | SUBARU IMAPREZA 179 | 32 | 003 | SUBARU T.EGACY 179 32 | 003 SUBARU 180 | 32 004 SUBARU OOUTBACK 81 32 099 | SUBARU Lainnya 183 | 33 | 002 | SUZUKI AFRIO 184 33 | 003 1 SUZUKI 184| 33 | 003 1 SUZUKI DALENO 185 33 | 004 | SUZUKI 186| 33 | 005 | SUZUKI | ESCUDO 187 | 33 | 006 SUZUKI ESTEEM 188 | 33 | 007 SUZUKI 188 | 33 | 007 | SUZUKI | HVERY 189 33 008 SUZUKI KARIMUN 190 33 | 009 SUZUKI KATANA 191 33 010 SUZUKI SIDEKICK 192 | 33 | 011 | SUZUKI VITARA 193 | 33 012 | SUZUKI | SWIFT 194 | 33 | 099 | SUZUKI Lainnye 195 | 34 | 001 TIMOR S51 196 | 34 099 TIMOR 196 34| 099 | TMOR / Lainnya 197 | 35 001 TOYOTA ALPHARD 198 35 002 | TOYOTA AVANZA 198 35 002 | TOYOTA AVANZA 199 35 003| TOYOTA CAMRY 200| 35 | 004 | TOYOTA COROLLA 201 35 | 005 TOYOTA | CORONA 202 35 | 006 | TOYOTA NNEW CROWN 202| 35 | 006 | TOYOTA 203 35 | 007 TOYOTA 203|. 35 007 TOYOTA CYGNUS 204 | 35/ 008 TOYOTA 205 1 35 | 009 TOYOTA 205 1 35 | 009 TOYOTA| HARRIER 206 35 010 TOYOTA 206 35 010 TOYOTA HILUX TIGER :207 | 35 011 TOYOTA IS 208 | 35 | 012 TOYOTA KIJANG 209| 35 | 013 TOYOTA 209| 35 | 013 TOYOTA LAND CRUISER 210 35 | 014 TOXOTA /P94D0 211| 35 | 015 TOYOTA PREVIA 12 | 35 | 016 TOYOTA PROBOX 213 | 35 017 TOYOTA RA 214 | 35 018 TOYOTA SOLUNA 15| 35| 019 TOYOTA STARTET 16 | 35 020 | TOYOTA | VIOS 217 35 | 021 | TOYOTA [HSK 218 | 35 | 022 TOYOTA NOAH / VOXY 219 | 35|099 | TOYOTA / Lainnya 220 | 36| 001 VOLKSWAGEN CARAVBLLE End of Page 26 MENTERI KEUANGAN -23- 27 36/ 002 VOIKSWAGEN GOLP 223 | 36/ 004 | VOLKSWAGEN PASSAT 224 | 36 005 VOLKSWAGEN NEW POL 225.| 36|006 VOLKSWAGEN TOUAKEG 225| 36 | 006 | VOLKSWAGEN 227 | 37 | 001 VOLVO 740 228 37 | 002 VVOLVO 850 29 37003 VOIVO 230 37 | 004 VOLVO S90 232| 37| 006 VOLVO 570 233 37|007. VOLVO580 2234| 37|008 | VOLVO| 540 236 | 37 | 010 VOLVO V70 237 370011 | VOLVO XC KENDARAAN BUS 240 | 60 | 001 | DAIHATSU DELTA 241 | 60 099 | DAIHATSU Lainnya 242 61 001 HINO Seri FF 243| 61 | 002 | HIIVO SeriFL 244 61 | 003 | HINO Seri FM 245| 61 | 004 HINO SeriSG 246 61 005 HINO DUTRO 247 61 | 099 | HINO | Lainnva 248 | 62 001 ISUZU BORNEO 49 62 002 SUZU | CXZ 250 62| 003 SUZU EL |62/099 ISUZU Lainnya 252| 63 001 MTTSUBISHI COLT 253 63 | 002 MTTSUBISHII FUSC 6166/06 / MITSUBISHI 163/ 003 MTTSUBISHI TRONTO 256 | 64 | 001 NISSAN CDA 257| 64|002 NISSAN CKA 258| 64 | 003 NISSAN CWA 259 | 64| 004 NISSAN PKC 260| 64 | 005 NISSAN PKD 261 | 64 099 NISSAN Lainnya 262 | 65 | 001 TOYOTA DYNA RINO 263| 65 | 002 TOYOTA 263 | 65 | 002 TOYOTA DYNA1 264 65 | 099 | TOYOTA Lainnya 264 65 | 099 | TOXOTA End of Page 27 REPUBLIK INDONESIA -24- 266 | 66| 099 | SCANIA 267 | 79 | 001 Lainnya 267 | 79 | 001 Lainnya | Lainnya KENDARAAN ANGKUTAN BARANG (TRUK) DAIHATSU DELTA 0 001 DAIHATSU DELTA 980 | 002 DAIHATSU Zebra Pick Up 080 099 | DAIHATSU Lainnya 81 001 TINO Seri FF 81 | 002 | HINO| SeriFL 81 003 | HINO Seri FM 81 004 HHINO SeriSG 004 HHINO SeTISG 81 0005 HINO DUTRO 81 099 HINO L Lainnya 82 001 | ISUZU BORNEO ISUZU | CXZ R2 02ISUZU 82 003 ISUZU | BLF ISUZU BLR ISUZU / Lainnya MITSUBISHI COLT DIESEL 8 001 MTSUBISHI | COLT DIESEL MITSUBISHI USO MITSUBISHI TRONTON 283 83 003 83 | 004 MITSUBISHI Kuda Pick Up 85 899 1 MITSUBSHI | Lainnya 84 001 | NISSAN CDA 6 84 | 001 NISSAN CD. 84 003 NISSAN CWA 289 84 004 NISSAN PPKC 290 84 | 005 NISSAN PKD 291| 84| 099 NISSAN | Lainnya 292 | 85 001 OYOIA DDYNA RINO 293 | 85 | 002 | TOYOTA DYNA 115S 294 | 85 | 003 | TOYOTA Kjang PickU 295 | 85 | 099 TOYOTA L Lainnya 296| 86 | 001 | SCANIA TRONTON 297| 86 |099 | SCANIA Lainnya 298 99 | 001 | Lainnya 298| 99 | 001 | Lainnya| Lainnya SalinaidesinyaMENTERI KEUANGAN Salinan sesuai dengamaslinye KEPALA BTKO G GIARTO End of Page 28
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 01/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR </reg_title> <set_date> 4 Januari 2011 </set_date> <effective_date> 4 Januari 2011 </effective_date> <issued_date> 4 Januari 2011 </issued_date> <changed_reg> '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007' </changed_reg> <related_reg> '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
NENTERI KEUANGAN RK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR36 /PMK.010/2010 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan profesionalisme penyelenggaraan dan pengelolaan Dana Pensiun, pengaturan mengenai persyaratan Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 perlu disempurnakan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan; Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477): 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiur Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508): 4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009; End of Page 1 BLK INDONESA 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. Pasal 1. Mengubah ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan sehingga Pasal 3 seluruhnya berbunyisebagai berikut: Pasal3 (1) Orang yang dapat ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut a. Warga Negara Republik Indonesia; b. memiliki akhlak dan moral yang baik; c. tidak pernah melakukan tindakan tercela di industri Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya, d. tidak pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang dijatuhi sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan/ atau tindak pidana di bidang Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya; e. memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun (2) Persyaratan untuk memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib dipenuhi Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal pengesahan Menteri atas pendirian Dana Pensiun Pemberi Kerja. End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA 2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan satu pasal yaitu Pasal 3A yang berbunyisebagai berikut Pasal 3A (1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, bagi orang yang ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus pada Dana Pensiun dengan kriteria tertentu wajib Julus penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Dana Pensiun dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (3) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Februari 2010 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di jakarta pada tanggal 12 Februari 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR *** BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 88 Salinan sesuai denganaslinva Kepala Biro Umum A RE ub. Kepal Bagian 1/4 Departemen ROUMUN Ahtonius Suharto KIP5404281974057 End of Page 3
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 12 Februari 2010 </set_date> <effective_date> setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. </effective_date> <issued_date> 12 Februari 2010 </issued_date> <changed_reg> '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg> <related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '11/UU/1992', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 91/PMK.05/2005 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk meringankan biaya administrasi pembayaran bulanan Manfaat Pensiun dan menyesuaikan terjadinya kenaikan harga, besar Manfaat Pensiun yang dapat dibayarkan secara sekaligus perlu disesuaikan; b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut, pengaturan mengenai besar Manfaat Pensiun yang dapat dibayarkan secara sckaligus sebagaimana telah ditelapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002, perlu untuk disempumakan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang luran dan Manfaat Pensiun; Mengingat : 1. Undang-undang, Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477): 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensium Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508): 4. Kepulusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004, 5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Kepatusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002 End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA -2- MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang luran dan Manfaat Pensiun, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002, diubah sebagai berikut. 1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 13 (1) Dalam hal jumlah Manfuat Pensiun yang akan dibayarkan per Pensiun Manfaat Pasti dengan menggunakan rumus bulanan kurang dari atau sama dengan Rp 750.000,00 (tujuht ratus lima puluh ribu rupiah), moka Nilai Sekarang dari Monfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (2) Dalam hal jumlah Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan Secara sekaligus oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan sehaljus kurang dari atau sama dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), maka Manfaoat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (3) Dalam hal Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti yang sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini kurang dari atau sama dengan Rp 750.000.00 (tujuh ratus lima PLIL TDu Tupiah), Kepada yang bensangotan dp dibayarkan secara sekaligus Nilai Sekarang, dari Manfoat Pensiun yang belum dibayarkan. (4) Pembayaran Manlaat Pensiun secata sekaligus sebagaimana dmalsud dalam ayat (), ayat (3) dan ayat () dilakukan hanya bila Peraturan Dana Pensiun memuat ketentuan tentang dapat dibayarkannya Manfaat Pensiun dimaksud secara sekaligus' End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA 3- 2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 20 (i) Dalam hal jumlah akumulasi juran dan hasil pengembangan yang menjadi hak Peserta pada Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun luran Pasti kurang, dari ataut sama dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah), maka jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (2) Pembayaran Manfaat Pensiun sccara sekaligus sebagaimana menyelenggarakan Program Pensiun luran Pasti kurang, dari Peraturan Dana Pensiun memuat ketentuan tentang dapat dibayarkannya Manfoat Pensiun dimaksud secara sekaligus. 3. Ketentuan Pasal 23 dihapus. 4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingaga berbunyi sebagai berikut. Pasal 26 (1) Manfaat Pensiun untuk setiap Peserta berupa dana yang ferdiri dari jumlah himpunan juran yang telah disetor atas namanya dan pengalihan dana dori Dana Pensiun Pemberi Kerja serta hasil pengembangannya. (2) Perhitungan hasil pengembangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk tiap Peserta harus dilakukan sejak dana saat pembayaran kepada Peserta atau pada saat pembelian anuitas seumur hidup pada perusahaan asuransijiwa. (3) Dalam hal jumlah dana sebagaimana dimaksud dolam ayat (1) kurang dari atau sama dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupial) dapat dibayarkan secara sekaligus.* 5. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan ] (satu) pasal,yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA Pasal 264 (I) Dalam hal Peserta pada saat pensiun atau pada saat pemberhentian dan bagi Janda/Duda atau Anak pada saat Peserta meninggal dunia akan mengambil Manfaat Pensitn pertamanya secara sekaligus sebesar 20% (dua puluh per seratus), maka Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 26 ayat (3) dihitung setelah pengambilan Manfaat Pensiun pertamanya tersebut. (2) Pengambilan Manfaat Pensiun pertama sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dimungkinkan oleh Deraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun tersebut* Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetaluinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Ditelapkan di Jakarta pada tanggal 5 Oktober 2005 MENTERI KEUANGAN, td,- JUSUT ANWAR Salinan sesuai dengan aslinya; Kepala Biro Umum u.b. Kepala BagianDpane Koemoro Wilsite NIP 060041898 End of Page 4
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title> <set_date> 5 Oktober 2005 </set_date> <effective_date> 5 Oktober 2005 </effective_date> <changed_reg> '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998' </changed_reg> <extension_of> '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </extension_of> <related_reg> '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '187/M|KEPPRES/2004', '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998', '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </related_reg>
MENTER!KEUANGAN REPUBLIK INDONESI~, . SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 113/PMK.05/2005 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan penghasilan Peserta pada saat pensiun atau Pihak Yang Berhak apabila Peserta meninggaI dunia, pendanaan Program Pensiun perlu diselenggarakan SeCM,)terarah dan terpadu; b. bahwa sesuai dengc1l1 perkembangan perekonomian Indonesia dan perkembangan pemahaman terhi1dap pendanaan Dana Pensiun, pengaturan mengenai pcndan,)an dan solvabilitas Dana Pensiun sebagaimana telah ditet'1pkan di11am Keputusan Menteri Keuangan NomoI' 510/KMK.06/2002 periu disempurnakan; C. bahwa berdasarkan pertimbt'll1gan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perIu menetapkan Peraturan J'vlenteri Keuallgan ten tang Pendanaan d,)n Solvi1bilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja; Mengingat : 1. Undang-undang NOI11or 11 Tahun 1992 tentang Dana Pen:;iun (Lembaran NegarCl Republik Indonesia Tahun 1992 NomoI' 37, Tambahan Lembarcm Negara Republik Indonesia NomoI' 3477); 2. Peratllran Pemerinlc1h Nomur 76 Tc1hun 1992 lenlang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 NomoI' 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia NomoI' 3507); 3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004; 4. Keputusan Menteri Keuangan NomoI' 510/KM1<.06/2002 Pendanaan Dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja; tentang -2- MEMUTUSKAN: enetapkan : PERATURAN MENTER!KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 510/KMKO6/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERIKERJA. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan NomoI 510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasa16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal 6 (1) Dalam rangka penetapan kualitas pendanaan, aktuaris harus menetapkan besar Kekayaan Untuk Pendanaan. (2) Kekayaan Untuk Pendanaan dihitung dari aktiva bersih dikurangi dengan: a. kekayaan dalam sengketa di pengadilan, atau yang dikuasai atau disita oleh pihak yang berwenang; b. iuran, baik sebagian atau seluruhnya, yang pada tanggal perhitungan dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal jatuh temponya; c. kekayaan yang ditempatkan di luar negeri; d. jenis kekayaan yang dikategorikan sebagai piutang lain-lain dan aktiva lain-lain; e. seIisih lebih nilai investasi sebagaimana ditetapkan dalam dari batasan per pihak Menteri Keputusan Keuangan tentang lnvestasi Dana Pensiun; dan atau f. selisih lebih nilai investasi dari batasan per jenis untuk tanah, bangunan, tanah dan bangunan sebagaimana ditetapkan aktuaria belum disetor ke Dana Pensiun lebih - 3. dalarn Keputusan .t\tlenteri Keuangan 511/KMKO6/2002 ten tang lnvestasi Dana Pensiw1." 2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 (1) Aktiva bersih sebagairnana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diperoleh dari laporan keuangan yang diaudit per tanggal perhitungan aktuaria apabila laporan aktuaris disusun dalam rangka: a. laporan aktuaris berkala; b. pembubaran Dana Pensiun; c. perubahan Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan dengan penggabungan atau pemisahan Dana Pensiun; pengakhiran kelompok peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun, atau pengakhiran Mih'a Pendiri. (2) Dalam hal tidak ada laporan keuangan yang diaudit per tanggal perhitungan aktuaria sebagaimana dimaksud ayat (1) maka aktiva bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat diperoleh dari lapman keuangan Dana Pensiun yang ditandatangani oleh Pengurus. apabila laporan aktuaris disusun dalam rangka perubahan Peraturan Dana Pensiun selain tujuan sebagaimanadimaksud ayat (1)huruf c. (3) Kekayaan Untuk Pendanaan dalam rangka pengesahan pembentukan Dana Pensiun ditetapkan nihil atau dihitung sebesar dana tunai yang dialihkan ke Dana Pensiun sebagaimana ditetapkan oleh Pendiri." 3. Ketentuan Pasalll diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: NornaI' MENTERIKEUANGAN REPUBLIKINDONESIA -4- "Pasall1 (1) Masing-masing bagian dari Defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasall0 ayat (2) harus dilunasi dengan luran Tambahan dalam jangka waktu paling lama: a. 36 (tiga puluh enam) bulan, untuk Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; atau b. 180 (seratus delapan puluh) bulan, untuk Defisit di luar yang telah diperhitru1gkan sebagai Kekurangan Solvabilitas. (2) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus, pembayaran luran Tambahan ditetapkan sebesar bagian Defisit yang harus dilunasi dan harus dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak : a. diterimanya Laporan Aktuaris Berkala yang memuat hal pelunasan defisit secara sekaligus oleh Menteri; atau b. disahkannya Peraturan Dana Pensiun oleh Menteri. (3) Dalam hal penyetoran luran Tambahan secara sekal~gus fllelewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka. luran Tambahan tersebut harus dikenakan bunga yang dihitung sejak tanggal perhitungan ~ktuaria, (4) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan seCal'a bulanan, besar luran Tambahan setiap bulan dihitung sedemikian rupa sehingga nilai sekarang dari rangkaian luran Tambahan bulanan yang akan dilakukan dalam periode pengangsuran sama dengan besar bagian Defisit yang bersangk utan. (5) Menteri dapat memperkenankan perpanjangan jangka waktu pelunasan Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi paling lama 5 (lima) tahun apabila pemberi kerja berada dalam kondisikeuangan yang buruk dan men~alami kesulitan dalam memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam ayat (I)." . j I I ' MENTERIKEUANGAN REPUBLIK !NDONESIA -5- 4. Ketentuan Pasal13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: IIPasal13 (1) Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai sekarang dari sisa rangkaian Defisit tertentu lebih besar daripada luran Tambahan untuk bagian bagian Defisit yang bersesuaian menurut perhitungan aktuaria baru yang ditetapkan . pada tanggal perhitungan bersesuaian dapat dilunasi dengan luran Tambahan baru. (2) Dalam hal luran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara sekaligus, maka pelunasan luran Tambahan baru tersebut diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal11 ayat (2) dan ayat (3). (3) Dalam hal luran Tambahan bal'll untuk melunasi bagian defisit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara bulanan, maka luran Tambahan bulanan baru dihitung sedemikian rupa sehingga nilai sekarang rangk~~an luran Tambahan bulananbaru yang bersangkutan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. luran Tambahan bulanan' baru sarna atau lebih besar daripada luran Tambahan bulanan sebelumnya, dengan masa pelunasan lebih penclek dari sisa periocle pelunasan yang telah ditetapkan dalam laporan aktuaris sebelumnya; atau b. luran Tambahan bulanan baI'U lebih kecil daripada luran Tambahan. bulanan sebelumnya, dengan rnasa pelunasan sarna dengan sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan dalarn laporan aktuaris sebelu;mnya. ' (4) '. I?alam l~alterdapa't perubahan asu~si aktuaria dan atau metode perhihingan ~ktuaria yang mengakib~tkan, penurunan Defisit .atau kenaikan Surplus, maka laporan aktuaris har~s menetapkan luran, Tambahan bulanan yang sekurang-kurangnya sarna dengan luran Tambahan bulanan pada laporan a~tuaris sebelumnya. aktuaria, maka bagian Defisit yang tersebut. sama dengan bagian Defisit MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- (5) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode perhitungan aktuaria yang mengakibatkan kenaikan Defisit atau penurunan Surplus, maka laporan aktuaris berlaku efektif sejak tanggal perhitungan aktuaria." 5. Ketentuan Pasal15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal15 (1) Pemberi Kerja dari Dana Pensiun yang sampai disahkannya Peraturan Menteri Keuangan ini masih memiliki sisa Defisit Pra- Undang-undang wajib melunasi sisa defisit Pra-Undang-undang tersebut. (2) Sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai. sekarang dari sisa rangkaian luran Tambahan untuk melunasi (3) Masa angsuran dad sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama. Oefisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sisa masa angsuran sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama kecuali apabila terdapat perubahan pada laporan aktuaris berikuh1ya sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. (4) Pemberi Kerja dapat melunasi sisa defisit Pra Undang-undang sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) secara sekaligus." 6. Ketentuan Pasal17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: "Pasal17 (1) Bila laporan aktuaris menunjukkan adanya Surplus, sisa luran Tambahan"bulanan yang belum jatuh temp.o pada tanggal perhitungan aktuaria baru harus dihapus: (2) luran Normal Pemberi Kerja dapat diperhitungkan dari Surplus. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -7- " (3) Dalam hal Surplus melebihi jumlah yang lebih besar di antara: a. 20% (dua puluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; dan b. bagian luran Normal Pemberi Kelja ditambahlO% (sepuluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; . maka kelebihanSurplus dimaksud wajib diperhitungkan sebagai luran Normal Pemberi Kerja. (4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode perhitungan aktuaria yang mengakibatkan adanya Surplus atau kenaikan Surplus, maka Surplus atau kenaikan Surplus dimaksud tidak dapat diperhitungkan sebagai luran Normal Pemberi Kerja. (5) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode perhitungan aktuaria yang mengakibatkan penurunan Surplus, maka Surplus dimaksud tetap dapat diperhitungkan sebagai luran Normal Pemberi Kerja./I 7. Ketentuan Pasal20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:. /lPasal20 (1) Laporan aktuaris sekurang-kurangnya harus memuat : a. pernyataan Aktuaris; b. tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan dan tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya; c. tujuan penyusunan laporan aktuaris; d. ringkasan Peraturan Dana Pensiun dan perubahan- perubahan yang teljadi pada Peraturan Dana Pensiun sejak tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya; e. ringkasan jumlah Peserta dan jumlah Pihak Yang Berhak beserta perubahan yang terjadi sejak tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya; f. metode perhitungan aktuaria yang digunakan disertai penjelasan mengenai pemilihan metode tersebut; MENTERIKEUANGAN REPUBLIKINDONESIA -8 - g. aSUmSl aktuaria kewajiban-kewajiban dalam perhitungan penjelasan tersebut; h. nilai Kekayaan Untllk Pendanaan; 1. analisis perubahan Surplus atau Defisit; J. hasil perhitungan aktuaria seeara keseluruhan, baik per tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan maupun sebelumnya; k. nama dan alamat Akhlaris dan penjelasan apakah Aktuaris yang bersangkutan juga menandatangani akhl1:uis dalam laporan aktuaris sebelumnya; 1. proyeksi kewajiban akhlaria semesteran minimum 3 (tiga) tahun pertama. (2) Laporan aktuaris harus dilengkapi dengan pernyataan yang ditandatangani Pendiri, yang memuat: a. pernyataan bahwa data dan Perahuan Dana Pensiun yang disampaikan kepada Aktuaris lengkap clan benar; b. pernyataan bahwa Pendiri sanggup membayar iuran-iuran sesllai dengan pendanaan minimum yang dituangkan dalam pernyataan aktuaris; dan c. pernyat:aan bahwa Pendiri bermaksud menggunakan Surplus yang teljadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) untuk mengurangi Juran Normal Pemberi Kerja, dalam hal terdapat Surplus. (3) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai Pemberi Kelja tidak bermaksud menanggung MilTa Pendiri, dan pembiayaan program pensiun seeara mera ta (slznring pension cost), maka pernyataan Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir c harus memuat penegasan penggunaan Surplus untuk masing- masing Pemberi Kelja yang mengalami Surplus." pernyataan yang mengenai digunakan dan perubahan dalam aktuaria sebelumnya pemilihan perhitungan dari yang digunakan disertai dengan dan perubahan asumsi ",I MENTERI KEU.-\NGAN REPUBLIK :/\jDONESIA - 9 - 8. KetentuanPasal21 diubah sehingga berbunyi sebagaiberikut: "Pasal 21 (1) Pernyataan Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal20 ayat (1) huruf a harus memuat: a. pernyataan bahwa data yang diterima aktuaris, sepanjang pengetahuannya, lengkap telah dilakukan keandalannya; b. pernyataan bahwa laporan aktuaris diIi1aksud : 1. memenuhi ketentuan-ketentuan perundang-undangan Pensiun; dalam peraturan yang berlaku di bidang Dana 2. telah disusun berclasarkan Peraturan Dana Pensiun; 3. telah disusun berdasarkan Standar Praktik Aktuaria yang berlaku di Indonesia; 'c. penegasan mengenai kewajiban aktuaria, kewajiban solvabilitas, kekayaan untuk pendanaan, surplus atau defisit, rasio solvabilitas, rasio pendanaan dan kualitas pendanaan; d. penegasan mengenai : 1. besar luran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir tahun buku pertama setelah tang gal perhitungan aktuaria serta cliperinci untuk bagian yang harus dibararkan Peserta clan Pemberi Kerja; 2. persentase luran Normal terhadap penghasilan dasar pensiun untuk tahun-tahun sesudah tahun buku sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, sampal saat penyan1paian laporan aktuaris berikutnya; 3. bagian dari luran Normal yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab Pemberi Kelia yang dapat dibayar dari Surplus yang teliadi beserta periode penggunaannya; dan dapat dipertanggung jawabkan untuk maksud penyusunan laporan aktuaris, dan untuk itu pengujian guna menilai MENTERIKEUANGAN REPUBLIK !NDONESIA -10- e. Penegasan mengenai besar luran Tambahan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) beserta periode pembayarannya. (2) Dalam halo Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan. Pemberi Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan program pensiun secara merata (shrzringpensioncost),pernyataan aktuaris harus memuat penegasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir c, d, dan e untuk masing-masing Pemberi Kelia. . (3) Pernyataan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun atau pengalihan kepesertaan harus memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) butir c, d, dan e untuk keadaan sebelum dan sesudah berlakunya perubahan tersebut." 9. Ketentuan Pasal22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: , 1/ Pasal 22 (1) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang disusun dalam rangka permohonan pe~1gesahan pembentukan Dana Pensiun adalah tanggal pernyataan tertulis Pendiri tentang pembentukan Dana Pensiun, (2) Tanggal perhihmgan aktuaria untuk Japman aktuaris yang disusun dalam rangka pembubaran Dana Pensiun adalah tanggal pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun atau tanggal Keputusan Menteri dalam hal tidak ada pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun. (3) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang disusun dalam ral1gka permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan dengan pendanaan paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tanggal permohonan perubahan Peraturan Dana Pensiun.11 / ",/ MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -11- 10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut "Pasal 27 (1) Dalam hal Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program' Pensiun Manfaat Pasti memiliki Kekurangan Solvabilitas, maka setiap pembayaran Ivlanfaat Pensiun seeara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana Pensiun lain hanya dapat diIaksanakan apabila keadaan berikut terpenuhi: a. pembayaran Manfaat Pensiun seeara sekaligus atau pengalihan ke Dana Pensiun lain diperkenankan oleh perundang-undangan di bidang Dana pensiun; dan b. dalam hal laporan aktuaris berikub.1ya menunjukan Rasio Pendanaan berkurang sebagai akibat terjadinya pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke Dana Pensiun lain, maka pemberi kerja wajib rnembayar iuran tarnbahan seem'a sekaligus untuk rnempertahankan Rasio Pendanaan seperti sebelum terjadi pembayaran dirnaksud. (2) Kewajiban membayar iuran tarnbahan sebagaimana dirnaksud da1am ayat (1) huruf b tidak diperlukan dalarn ha1 laporan aktuaris berikutnya menunjukan Dana Pensiun tidak memiliki Kekurangan Solvabilitas. (3) Ketentuan sebagairnana dimaksud dalarn ayat (1) tidak berlaku dalam hal pengalihan dana disebabkan oleh pengakhiran Mitra Pendiri atau pemisahan Dana Pensiun." 11. Ketentuan Pasa128 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: "Pasa1 28 (1) Dalam ha1 terdapat perubahan program pensiun dari Program Pensiun Manfaat Pasti menjadi Program Pensiun luran Pasti, maka kewajiban Pernberi Kelia kepada Peserta sampai dengan tangga1 perubahan . kurangnya sebesar Kewajiban SolvabiIitasnya. program pensiun adalah sekurang- MENTERIKEUANGAN REPUBLIK :i\JDONESIA -12- ,,' (2) Da1am ha1 Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih memiliki kewajiban untuk memenuhi Kekurangan Solvabilitas, Defisit Pra Undang-undang, dan atau hutang iuran kepada Da.na Pensiun, maka Pemberi Kelja dimaksud wajib memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut secara sekaligus. (3) Berdasarkan permintaan memperkenankan Kelja sebagaimana pemenuhan sampai selama-lamanya Pendiri, Menteri kewajiban-kewajiban tidak mampu memenuhi kewajibannya secara sekaligus. (4) Besar Juran bulanan dalam rangka pemenuhan kewajiban- kewajiban Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud da1am ayat (3) dihitung oleh Aktuaris. ~ (5) Dalam hal Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kelebihan kekayaan atas kewajiban, maka ke1ebihan kekayaan tersebut dapat diperhitungkan sebagai tambahan pada rekening awal Peserta,/I 12. Diantara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni pasal 28A dan Pasal 28B sehingga berbunyi se?agai berikut : /IBagian Ketiga Pengakhiran Iv1itraPendiri Pasal 28A (1) Dalam hal terdapat pengakhiran Mih'a Pendiri, maka besarnya dana yang merupakan hak dari Peserta Mitra Pendiri dimaksud ditetapkan aleh aktuaris dengan mempertimbangkan Solvabilitas Dana Pensiun dan kewajiban-kewajiban Kerja yang sudah jatuh tempo kepada Dana Pensiun. dapat Pemberi . dimaksud dalam ayat (2) secara bulanan 3. (tiga) tahun apabila Pemberi Kerja Rasia Pemberi " (2) Apabi1a Mih'a Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masih mempunyai kewajiban kepada Peserta maka Mitra Pendiri di maksud tetap harus menyelesaikan kewajibannya kepada Peserta. / ,. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -13 - (3) PembayaranManfaat dilanjutkan. pengalihan jiwa. Pensiun, bagi Pensiunan, pada Dana Pensiun Janda/Duda, Anak dari t0ih'a Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat yang atau dibelikan anuitas pada perusahaan menerima asuransi Bagian Keempat Pembubaran Dana Pensiun Pasal 28B (1) Penetapan nilai likuidasi ditetapkan oleh Akuntan Publik. dari kekayaan Dana Pensiun (2) Pembagian kekayaan Dana Pensiun bagi Peserta, Pensiunan, Janda/ Duda, clan Anak ditetapkan oleh Aktuaris dan dibagi secara prorata sesuai Kewajiban Solvabilitasnya. (3) Pemberi Kerja wajib membayar luran Normal dan atau ~uran Tambahan sampai dengan tanggal pembubaran Dana Pensiun yang ditetapkan dalam Kepuhlsan Menteri." Pasal II Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 November 2005 MENTERIKEUANGAN, ',. ttd,- JUSUFANWAR'
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title> <set_date> 18 November 2005 </set_date> <effective_date> 18 November 2005 </effective_date> <changed_reg> '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '187/M|KEPPRES/2004' </related_reg>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 143 /PMK.010/2009 TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PRINSIP MENGENAL NASABAH LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. - 2 - 2. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) adalah prinsip yang diterapkan LPEI untuk mengetahui identitas Nasabah, memantau kegiatan transaksi Nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. 3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LPEI. 4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 5. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 6. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang diangkat Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI. 7. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam menjalankan kegiatan operasional LPEI. 8. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. BAB II PRINSIP MENGENAL NASABAH Bagian Kesatu Kewajiban Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pasal 2 LPEI wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 3 Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPEI wajib: - 3 - a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; dan d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Bagian Kedua Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pasal 4 Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh LPEI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara: a. menyusun dan menetapkan kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; b. menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Menteri paling lambat 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini; c. menyampaikan setiap perubahan atas Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Menteri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut; dan d. menerapkan kebijakan mengenai Nasabah berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a. Pasal 5 (1) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit mencakup uraian tentang: a. unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; - 4 - b. tugas Direktur Eksekutif, Dewan Direktur, dan/atau Direktur Pelaksana, dan unit kerja khusus atau petugas khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; c. kebijakan penerimaan dan identifikasi Nasabah, kebijakan pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan, dan kebijakan manajemen risiko serta kebijakan bermitra bisnis, apabila ada; d. prosedur penerimaan dan identifikasi Nasabah serta prosedur pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan; e. kebijakan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi pegawai LPEI; dan f. contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan. (2) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam satu pedoman yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang mengatur transaksi dengan Nasabah. Pasal 6 (1) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disusun dalam satu pedoman yang berdiri sendiri, maka yang wajib disampaikan kepada Menteri adalah pedoman tersebut. (2) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang mengatur transaksi dengan Nasabah, yang wajib disampaikan kepada Menteri adalah: a. pokok-pokok atau daftar isi secara keseluruhan dari tiap-tiap pedoman operasional yang terkait; dan b. bagian dari tiap-tiap pedoman operasional tersebut yang mengatur tentang Prinsip Mengenal Nasabah. Pasal 7 Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) - 5 - ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 8 LPEI wajib bertanggung jawab atas: a. penerapan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah; b. pemberian pengetahuan dan/atau pelatihan bagi karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah; c. penyusunan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah; d. pemantauan pengkinian profil Nasabah; e. pemantauan penyusunan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan melaporkannya kepada PPATK; dan f. penanganan Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi dan/atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan Transaksi Keuangan Mencurigakan (suspicious transactions). BAB III KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH Pasal 9 (1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, LPEI wajib meminta informasi mengenai: a. identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan hubungan usaha dengan LPEI; dan c. informasi lain yang memungkinkan LPEI untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah. (2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen pendukung. (3) LPEI wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 10 Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) bagi: - 6 - a. Nasabah perorangan paling sedikit terdiri dari: 1. identitas Nasabah yang memuat: a) nama; b) c) alamat tinggal tetap; tempat dan tanggal lahir; dan d) kewarganegaraan. 2. keterangan mengenai pekerjaan; 3. spesimen tanda tangan; dan 4. keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana. b. Nasabah perusahaan paling sedikit terdiri dari: 1. akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku; 2. izin usaha dari instansi berwenang; 3. nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan LPEI; 4. keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana; 5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan 6. dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan. c. Nasabah berupa: 1. bank: terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam melakukan hubungan transaksi dengan bank, antara lain: a) akte pendirian / anggaran dasar bank; b) izin usaha dari instansi yang berwenang; dan c) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak- pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama bank dalam melakukan hubungan usaha dengan LPEI. 2. bank perantara dalam negeri yang merupakan kuasa dari pihak lain (beneficial owner), terdiri dari dokumen pendukung - 7 - sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, atau huruf c angka 1 dan menjadi tanggung jawab bank perantara dimaksud. 3. bank perantara luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, berupa pernyataan tertulis yang menyatakan bahwa kuasa pihak lain (beneficial owner) telah diperoleh dan ditatausahakan oleh bank perantara di luar negeri tersebut. 4. bank perantara luar negeri yang tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah, berupa identitas dan informasi lainnya atas kuasa pihak lain (beneficial owner), sumber dana dan tujuan penggunaan dana dari calon Nasabah sebagai berikut: a. bagi kuasa pihak lain (beneficial owner) perorangan: 1) informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan Nasabah perorangan; 2) hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan bertindak sebagai perantara; dan 3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian kebenaran identitas maupun sumber dana dari kuasa pihak lain (beneficial owner) perorangan. b. bagi kuasa pihak lain (beneficial owner) perusahaan: 1) informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur penerimaan Nasabah perusahaan kecuali lembaga pemerintah, lembaga internasional atau perwakilan negara asing; 2) hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa atau kewenangan bertindak sebagai perantara; 3) dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili perusahaan; dan 4) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan penelitian kebenaran identitas maupun sumber dana dari kuasa pihak lain (beneficial owner) perusahaan. Pasal 11 LPEI dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10. - 8 - BAB IV PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH Pasal 12 (1) LPEI wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10. (2) LPEI wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 sampai dengan paling kurang 5 (lima) tahun sejak Nasabah menutup rekening di LPEI. Pasal 13 LPEI wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Pasal 14 LPEI wajib memelihara profil Nasabah yang paling sedikit meliputi informasi mengenai: a. bidang usaha; b. jumlah pendapatan usaha dan transaksi; c. rekening lain yang dimiliki, apabila ada; d. aktivitas transaksi normal; dan e. tujuan membuka hubungan dengan LPEI. BAB V MANAJEMEN RISIKO Pasal 15 Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d paling sedikit mencakup: a. pengawasan oleh Direktur Eksekutif dan Dewan Direktur; b. pendelegasian wewenang; dan c. sistem pengendalian intern termasuk audit intern. - 9 - BAB VI PELAPORAN Pasal 16 LPEI wajib memenuhi ketentuan pelaporan kepada PPATK sesuai dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan peraturan pelaksanaannya. BAB VII SANKSI Pasal 17 (1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang melakukan pelanggaran. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka: a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009 tentang Tata - 10 - Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; atau b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan Direktur. Pasal 18 (1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian. (2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan lisan yang bersifat pembinaan. (3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan ketiga berakhir dan pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang bersangkutan dapat diberhentikan. (5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku pada tanggal diundangkan. - 11 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI KEUANGAN ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 279
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 143/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> PRINSIP MENGENAL NASABAH LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Agustus 2009 </set_date> <effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date> <issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date> <related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
DRUKNDOB PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 /PMK.010/2012 TENTANG UANG MUKA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Merimbang a. bahwa dalam rangka menangkatkan pean pembiayaan dalam pembangunan nasional, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; b. bahwa dengan semakin tingginya permintaan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor oleh masyarakat dan untuk mengurangi risiko pembiayaan serta meningkatkan perlu pengaturan mengenai uang muka pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan, c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan; Pembiayaan; 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; MEMUTUSKAN Menthaplan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG UA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. Pasal 1 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka (doun pajment) kepada konsumen sebagai berikut: End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA 2 a. bagi kendaraan bermotor roda dua, paling rendah 20% (dua puluh per seratus) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh per seratus) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan, atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima per seratus) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (2) Kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihale berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau b. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki iain usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang (3) Dalam hal kendaraan bermotor roda empat tidak memenuhi salah satu kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kendaraan yang bersangkutan digolongkan sebagai kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non- produktif. Pasal 2 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha;, atau c. pencabutan izin usaha. (2) Menteri Keuangan memberikan sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 2 (dua) bulan kepada Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan Pasal 1 ayat (1). - (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan. End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA - 3 - 4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha harus diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pelanggaran dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama jangka waktu 1 (satu) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (7) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan melakukan kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan rasio piutang pembiayaan terhadap total aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nonior 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (8) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegjatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Pasal 3 Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, wajib menerapkan ketentuan uang muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dalam perjanjian pembiayaan konsumen dalam jangka waltu paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Maret 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 312 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM KBPALP BACATT 4514, KEMENTERIAN GIAR End of Page 4
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 43/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> UANG MUKA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 15 Maret 2012 </set_date> <effective_date> 15 Maret 2012 </effective_date> <issued_date> 15 Maret 2012 </issued_date> <related_reg> '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '9/PERPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 2' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100/PMK.010/2007 TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan dalam rangka meningkatkan pembinaan dan pengawasan agar lebih efektif dan efisien terhadap industri Dana Pensiun, maka diperlukan laporan teknis Dana Pensiun yang menyampaikan data dan informasi teknis operasional Dana Pensiun yang mutakhir dan akurat; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Laporan Teknis Dana Pensiun; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara 4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun. Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESI - 2 - 2. Laporan Teknis adalah laporan yang wajib disampaikan oleh Dana Pensiun kepada Menteri Keuangan, yang menyajikan informas`i mengenai kepesertaan dan kegiatan operasional Dana Pensiun selama 1 (satu) tahun. 3. Biro Dana Pensiun adalah Biro Dana Pensiun pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II KEWAJIBAN PENYAMPAIAN LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN Pasal 2 Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis setiap tahun kepada Menteri. BAB III BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN Pasal 3 (1) Laporan Teknis sekurang-kurangnya memuat informasi mengenai: a. Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun; b. penyelenggaraan program pensiun; c. kepesertaan program pensiun; dan d. pensiunan dan pihak yang berhak. (2) Penyampaian Laporan Teknis dilengkapi dengan pernyataan mengenai kelengkapan dan kebenaran data yang ditandatangani oleh Pengurus Dana Pensiun dan disertai dengan Laporan Teknis dalam format digital. Pasal 4 Laporan Teknis wajib disusun sesuai dengan bentuk dan susunan Laporan Teknis yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESI - 3 - BAB IV PERIODE LAPORAN Pasal 5 (1) Laporan Teknis mencakup periode kegiatan sejak tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun yang bersangkutan. (2) Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh Menteri setelah tanggal 1 Januari pada tahun Laporan Teknis wajib disampaikan, periode kegiatan Laporan Teknis dihitung sejak tanggal pengesahan Dana Pensiun oleh Menteri sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun yang bersangkutan. BAB V PENYAMPAIAN LAPORAN Pasal 6 (1) Penyampaian Laporan Teknis ditujukan kepada Menteri Keuangan cq. Kepala Biro Dana Pensiun Bapepam dan Lembaga Keuangan. (2) Laporan Teknis disampaikan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah berakhirnya periode dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). kegiatan sebagaimana (3) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut : a. diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. BAB VI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 7 (1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan Laporan Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan, terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dengan ketentuan bahwa jumlah keseluruhan denda paling Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). banyak sebesar MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESI - 4 - (2) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan adalah : a. tanggal penerimaan oleh Biro Dana Pensiun, apabila laporan diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun; dan b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. (3) Perhitungan jumlah hari keterlambatan untuk pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berakhir pada tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dibayarkan ke Kantor Kas Negara dengan menggunakan formulir surat setoran penerimaan negara bukan pajak (SSBP) dengan kode MAP. 423475 dan bukti pembayaran tersebut wajib disampaikan kepada Biro Dana Pensiun. (5) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan. Pasal 8 (1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi dan menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Biro Dana Pensiun dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat sanksi administratif berupa denda ditetapkan. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanksi administratif berupa denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun akan memberikan surat teguran pertama kepada Dana Pensiun untuk segera melunasi sanksi administratif berupa denda beserta bunga atas denda selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran pertama, sanksi administratif berupa denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun akan memberikan surat pelunasan paling teguran kedua dengan jangka lambat 14 (empat ditetapkannya surat teguran kedua tersebut. belas) hari sejak waktu MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESI - 5 - Pasal 9 Bunga atas denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) ditetapkan sebesar 2% (dua perseratus) per bulan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Pasal 10 Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran kedua, denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, maka sanksi administratif berupa denda beserta bunga atas denda tersebut dikategorikan sebagai piutang macet yang Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 September 2007 MENTERI KEUANGAN, ttd SRI MULYANI INDRAWATI pengurusannya dilimpahkan/diserahkan oleh Biro Dana Pensiun kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007 </reg_id> <reg_title> LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 5 September 2007 </set_date> <effective_date> 5 September 2007 </effective_date> <related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '11/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTBRI KEUANGAN NOMOR 99 /PMK.010/2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN OMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDI DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menumbuhkembangkan industri penjaminan yang mampu memberikan manfaat jasa penjaminan bagi masyarakat yang dinamis, diperlukan peraturan yang lebih komprehensif dan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudent); b. bahwa agar peraturan di bidang penjaminan menjadi lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan 2. Peraturan Menteri Keuangant Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN -2- Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 6, angka 8, angka 11, angka 12, angka 14, angka 18, angka 29, angka 20, angka 25, angka 27, angka 28 dan angka 31 diubah sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan Penjaminan. 2. Perusahaan Penjaminan Kredit, yang selanjutnya disebut Penjamin, adalah Perusahaan Penjaminan yang kegiatan usaha pokoknya melakukan Penjaminan Kredit. 3. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang, 4. Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, yang selanjutnya disebut usaha pokoknya melakukan Penjaminan Ulang Kredit. 5. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial penerima Kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Penjaminan Kredit adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 7. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewaiban finansial Perusahaan Penjaminan yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial penerima Kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 8. Penjaminan Ulang Kredit adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Penjamin yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 9. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- 10. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut Pembiayaan, adalah pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan. 11. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi Terjamin. 12. Gearing Ratio adalah batasan yang ditetapkan untuk mengukur Kemampuan Penjamin atau Penjamin Ulang dalam melakukan kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang. 13. Lembaga Keuangan adalah Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. 14. Kantor Cabang adalah kantor Penjamin atau Penjamin Ulang yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Penjamin atau Penjamin Ulang. 5. Kantor Anak Cabang adalah kantor di bawah Kantor Cabang yang kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya. 16. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau di luar Lembaga Keuangan yang telah memberikan Kredit dan/atau Pembiayaan kepada Terjamin. 17. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit dan/atau Pembiayaan dari Lembaga Keuangan atau di Juar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh Penjamin baik perorangan, badan usaha, perseroan terbatas, unit usalia suatu yayasan, koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). 8. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Penjamin kepada Penerima Jaminan atas kewajiban Terjamin 19. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjuinya disingkat UP, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam rangka kegiatan usaha Penjaminan. 20. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat UPU, adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin Ulang dar Penjamin dalam rangka kegiatan usaha Penjaminan Ulang. 21. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima Jaminan kepada Penjamin diakibatkan Terjamin tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjan atau tuntutan pembayaran Penjamin kepada Penjamin Ulang, yang telah membayar kewajiban finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4- 22. Subrogasi adalah peralihan hak tagih dari Penerima Jaminan kepada Penjamin setelah Penerima Jaminan menerima pembayaran Klaim dari Penjamin. 23. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha Penjamin atatt Penjamin Ulang yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. 4. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau hukum Islam. 25. Pengurus adalah anggota direksi dan dewan komisaris bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang berbentuk perusahaan perseroan dan perseroan terbatas atau direksi dan dewan pengawas bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang berbentuk perusahaan umum dan perusahaan daerah atau pengurus dan badan pengawas bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang berbentuk koperasi. 26. Dewan Syariah Nasional, yang selanjutnya disingkat DSN, adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. 27. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang direkomendasikan oleh DSN yang ditempatkan di Penjamin atau Penjamin Ulang yang bertugas melakukan pengawasan kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang agar sesuai dengan Prinsip Syariah yang difatwakan oleh DSN. 28. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang, yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik, kepatuhan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang- undangan di bidang lembaga penjaminan serta memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya. 29. Pemeriksa adalah pegawai Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau pihak Jain yang ditunjuk oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 30. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. End of Page 4 REPUBLIK INDONESIA 31. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang disampaikan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang yang akan diperiksa. 32. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2 Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 3 (4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan kegiatan usaha lain, yaitu a. Penjaminan pinjaman yang disalurkan koperasi kepada anggotanya; b. Penjaminan kredit dan/atau pinjaman program kemitraan yang disalurkan badan usaha milik negara dalam rangka program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL): c. Penjaminan penyaluran uang pinjaman dengan jaminan gadai dan fidusia, d. Penjaminan atas surat utang e. Penjaminan transaksi dagang f. Penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond); Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi); h. Penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN), 1. Penjaminan letler of credit (L/C) j. Penjaminan kepabeanan (custom borud); k. jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan 1. penyediaan informasi/ database Terjamin terkait dengan kegiatan usaha Penjaminan; dan/atau m. Penjaminan lainnya setelah memperoleh persetujuan Menteri. (2) Penjamin Ulang dapat melakukan Penjaminan Ulang atas Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf m. End of Page 5 REPUBUK INDONCEA 6. 3. Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A yang berbunyi sebagai berikut. Pasal 3A (1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Penjamin dapat menggunakan jasa agen Penjamin, (2) Agen Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seseorang atau badan hukum yang melakukan pemasara kegiatan usaha Penjaminan untuk dan atas nama Penjamin. (3) Dalam hal Penjamin menggunakan jasa agen Penjamin, Penjamin waib menggunakan agen Penjamin yang tercatat sebagai anggota asosiasi Penjamin. (4) Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen Penjamin yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama Penjamin. 5) Semua tindakan agen Penjamin yang berkaitan dengan transaksi Penjaminan menjadi tanggung jawab Penjamin yang diageni. (6) Dalam perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penjamin wajib mencantumkan klausula pemberian komisi kepada agen Penjamin paling tinggi sebesar 159 (lima belas per seratus) dari IjP. () Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) yaitu: a. menggunakan jasa agen Penjamin yang tidak tercatat sebagai anggota asosiasi Penjamin; b. tidak memiliki perjanjian keagenan dengan agen Penjamin yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama Penjamin, dan/atau c. tidak mencantumkan klausula pemberian komisi kepada agen Penjamin atau mencantumkan klausula pemberian komisi kepada agen Penjamin melebihi 15% (lima belas per seratus) dari I)P dalam perjanjian keagenan, Penjamin dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. End of Page 6 REPUBLIK INDONESIA -7. 4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, ayat (2) dihapus serta ditambah 3 (tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut Pasal 4 (1) Penjamin atau Penjamin Ulang wajib menjaga likuiditasnya. (2) Dihapus. (3) Rasio likuiditas Penjamin atau Penjamin Ulang ditetapkan paling sedikit 150% (seratus lima puluh per seratus). 4) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung dengan menggunakan current ratio yaitu perbandingan antara aset lancar dengan utang lancar. (5) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), yaitu tidak menjaga likuiditas atau memiliki rasio likuiditas kurang dari 150% (seratus lima puluh per seratus), Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 4A dan 4B yang berbunyi sebagai berikut Pasal 4A (1) Penjamin hanya dapat melakukan investasi dalam bentuk a. deposito pada bank umum, b. surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara; c. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, d. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (investnent grnde); e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia, f. reksadana dan/atau reksadana syariah; dan/ atau 8. penyertaan langsung pada Penjamin Ulang. End of Page 7 MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -8- (2) Penjamin Ulang hanya dapat melakukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f. (3) Pembatasan atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah sebagai berikut a. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; b. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; c. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ditetapkan paling tinggi 509 (lima puluh perseratus) dari jumlah investasi: d. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (inuesiment gyade) pada saat penempatan ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) darijumlah investasi; e. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek Indonesia ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; f. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana syariah ditetapkan paling tinggi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi; dan/ atau 8. investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada Penjamin Ulang ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi. (4) Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), yaitu a. melakukan investasi selain dalam bentuk: 1. deposito pada bank umum, 2. surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara, . surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, 4. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat Investasi (investment grade); 5. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia; End of Page 8 REPUBUK INDONESIA -9- 6. reksadana dan/atau reksadana syariah; dan/atau 7, penyertaan langsung pada Penjamin Ulang, b. tidak memenuhi batasan investasi sebagai berikut. 1. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum melebihi 50% (ima puluh per seratus) dari jumlah investasi; 2. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau surat berharga syariahi negara melebihi 50% (lima puluh per seratus) darijumlah investasi; 3. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; 4. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (inoestmnent grade) pada saat penempatan melebihi 209 (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi; 5. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek Indonesia melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah Investasi; 6. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana syarial melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi; dan/ atau 7, investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada Penjamin Ulang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, Penjamin dimaksud dikenakan sanksi adauinistratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. (5) Jika Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dinuaksud pada ayat (2) dan ayat (6), yaitu a. melakukan investasi selain dalam bentuk: 1. deposito pada bank umum; 2. surat berharga negara dan/atau surat berharga syarial negara End of Page 9 MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -10- 3. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan olch Bank Indonesia, 4. obligasi korporasi dan/ atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (investment grade). 5. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia; dan/ atau 6. reksadana dan/atau reksadana syariah, b. tidak memenuhi batasan investasi sebagai berikut. 1. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; 2. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi; 3. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi, 4. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk peringkat investasi (inpeshment grade) pada saat penempatan melebihi 209 (dua puluh per Seratus) dari jumlah investasi; 5. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek Indonesia melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi; dan/atau 5. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana syariah melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah investasi, Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administzatif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. Pasal 4B (1) Penjamin atau penjamin ulang wajib memiliki cadangan Klaim paling sedikit 0,259 (nol koma dua puluh lima per seratus) dari total nilai Penjaminan yang ditanggung Penjamin atau Penjamin Ulang. End of Page 10 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (2) Penjamin atau Penjamin ulang wajib memiliki cadangan umum paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) dari laba bersih pada tiap akhir periode laporan tahunan. (3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dipergunakan untak menatup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan Klaim. (4) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3), yaitu: a. tidak membentuk cadangan Klaim atau membentuk cadangan Klaim namun kurang dari 0,259 (nol koma dua puluh lima per seratus) dari total nulai Penjaminan yang ditanggung Penjamin atau Penjamin Ulang b. tidak membentuk cadangan umum atau membentuk cadangan umum namun kurang dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari laba bersih pada tiap akhir periode laporan tahunan, dan/atau mnenggunakan cadangan umum selain untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan Klaim, Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 6. Ketentuan Pasal 7 huruf i diubah sehingga keseluruhan Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), diajukan kepada Menteri oleh direksi atau pengurus sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini dan harus dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya memuat: 1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah operasional, 2. kegiatan usaha sebagai Penjamin atau Penjamin Ulang; 3. permodalan, End of Page 11 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -12- 4. kepemilikan; dan wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Pengurus. b. data calon Pengurus meliputi: 1. pas photo terbaru ukuzan 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku, 3. daftar riwayat hidup; dan 4. surat pernyataan a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; b. tidak pemah dihukum karena tindak pidana kejahatan c. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalat yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap d. tidak merangkap jabatan pada Penjamin dan/atau Penjamin Ulang lain kecuali jabatan sebagai komisaris/dewan pengawas/badan pengawas Penjamin Ulang bagi direksi atau pengurus; dan e. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang Penjaminan atau perbankan atau Lembaga Keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus. c. data pemegang saham/ anggota dalam hal: 1. perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money laundering) 2. badan hukum, dokumen yang dilampirkan adalah. a) akte pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan kettangan terakhir; dan c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus badan hukum tersebut. d. struktur organisasi yang memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan pengembangan informasi/ database Terjamin; e. sistem dan prosedur kerja Penjamin atau Penjamin Ulang End of Page 12 MENTERI KEUANGAN LK INDONESA -13- f rencana kerja (business plan) uatuk tiga tallun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Penjamin dan Penjamin Ulang melakukan kegiatan operasional. g. daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang Penjaminan; h. fotokopi bukti pelunasan setoran modal minimum dalam bentuk deposito berjangka atas nama badan hukum Penjamin atau Penjamin Ulang pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; 1. bukti kesiapan operasional antara lain berupa 1. daftar aktiva tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor; 3. contoh formulir, termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan untuk operasional Penjamin atau Penjamin Ulang; dan 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (4) dan ayat (5) sehingga keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut. Pasal 11 (1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah Penjamin ditetapkan berdasarkan lingkup operasi yaitu nasional atau provinsi. (2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah Penjamin ditetapkan paling sedikit: a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk lingkup b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), untuk End of Page 13 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -14- (3) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah Penjamin Ulang ditetapkan paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). (4) Jika Penjamin melanggar ketentuan selbagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu a. memiliki modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk lingkup nasional; atau b. memiliki modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah kurang, dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), untuk lingkup provinsi, Penjamin dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tate Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. (5) Jika Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), yaitu memiliki modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajb dan hibah kurang dari Rp200.000.000.000,00 (dua tatus miliar rupiah), maka Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 8. Ketentuan Pasal 22 ayat(2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 22 berbunyisebagai berikut: Pasal 22 (1) Pengambilalihan dapat dilakukan Penjamin atau Penjamin Ulang dengan mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham Penjamin atau Penjamin Ulang lain sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut. (2) Pelaksanaan pengambilalihan terhadap Penjamin atau Penjamin Ulang, sebagpimana dimaksud pada ayat (t) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut a. pelaksanaan pengambilalihan tersebut tidak mengakibatkan berkurangnya hak Penerima Jaminan atau hak Penjamin; dan End of Page 14 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -15- b. pelaksanaan pengambilalihan tersebut wajib memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (4) dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (5) sehingga tidak mengakibatkan perusahaan yang melakukan pengambilalihan menjadi tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio yang diperkenankan. (3) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yaitu: a. melakukan pengambilalihan sehingga mengakibatkan berkurangnya hak Penerima Jaminan atau hak Penjamin lain, atau b. melakukan pengambilalihan sehingga mengakibatkan Penjamin atau Penjamin Ulang tidak memenuhi ketentuan Gearing Raho Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (4) dan total Goaring Ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (5), Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kait Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 9. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan ayat (4) diubah serta ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyisebagai berikut. Pasal 38 (1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Penjamin menerima I)P dan Penjamin Ulang menerima IIPU. (2) Besamya tarif U)P atau I)PU ditetapkan dengan pertimbangan, antara lain: a. risiko yang dijamin b. jangka waktu Penjaminan d. keuntungan. (3) Dihapus. End of Page 15 REPUBUK INDONESIA -16- (4) Dalam hal Penjamin melaksanakan penjaminan yang merupakan program Pemerintah maka ketentuan mengenai UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi Penjamin dimaksud dan kriteria penetapan T)P bagi Penjamin tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. 10. Judul BAB XVI diubah, sehingga berbunyisebagai berikut BAB XVI GEARING RATIO DAN NILAI PENJAMINAN BAGI USAHA PRODUKTIF 11. Ketentuan Pasal 42 dihapus. 12. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A yang berbunyisebagai berikut. Pasal 42A (1) Dalam rangka menyelenggarakan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang sehat, Penjamin atau Penjamin Ulang wajib menjaga Gearing Ratio. (2) Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara total nilai Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang ditanggung sendiri dengan modal sendiri bersih Penjamin atau Penjamin Ulang pada waktu tertentu. (3) Modal sendiri bersih Penjamin atau Penjamin Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba, dikurangi kerugian, dalam hal Penjamin atau Penjamin Ulang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, perusahaan umum, perusahaan perseroan dan perusahaan daerah; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah, dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, dalam hal Penjamin atau Penjamin Ulang berbentuk badan hukum koperasi. (4) Gearing Ratio untuk Penjaminan atau Penjaminan Ulang bag Usaha Produktif ditetapkan paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (5) Total Gearing Ratio bagi Penjamin atau Penjamin Ulang ditetapkan paling tinggi 40 (empat puluh) kali. End of Page 16 MENTERI KEUANGAN -17- (6) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), yaitu a. memiliki Gearing Ratio Usaha Produktif melebihi 10 (sepuluh) kali; dan/atau b. memiliki total Gearing Ratio melebihi 40 (empat puluh) kali, Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan ' Sanksi daam Peraturan Menteri Keuangan Nomo 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 13. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) dihapus, ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (2c), sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi sebagai berikut Pasal 43 (4) Penjamin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalan Pasal 42A ayat (4) dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (5) diberikan jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang untuk memenuhi ketentuan Gearing Ratio. (2) Dihapus. (2a)Penjarmin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuhi ketentuan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Menteri mengenai rencana pemenuhan Gearing Ratio yang telah disetujui oleh dewan komisaris/dewan pengawas/badan pengawas. (2b)Rencana pemenuhan Gearing Ratio memuat langkah-langkah antara lain a. restrukturisasi Penjaminan atau Penjaminan Ulang; baru; . penambahan modal atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah oleh pemegang saham; d. penggabungan badan usaha. End of Page 17 MENTERI KEUANGAN -18- (2e)Rencana pemenuhan Gearing Ratia sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang, (3) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuh Ketentuan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2c) yaitu a. tidak menyampaikan rencana pemenuhan Gearing Ratio yang telah disetujui oleh dewan komisaris/ dewan pengawas/badan pengawas kepada Menteri; b. menyampaikan rencana pemenuhan Gearing Ratio melampaui jangka waktu 1 (satu) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang, Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 14. Ketentuan Pasal 44 dihapus. 15. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal 44A yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A (]) Penjamin wapb memiliki nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari total nilai Penjaminan paling lama 2 (dua) tahun sejak mendapatkan izin usaha. (2) Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu memiliki nilai Penjaminan Usaha Produktif kurang dari 20% (dua puluh per seratus) dari total nilai Penjaminan setelah 2 (dua) tahun mendapatkan izin usaha, Penjamin dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit. 16. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 End of Page 18 REPUBLIK INDONESIA -19- (1) Pemeriksaan terhadap setiap Penjamin atau Penjamin Ulang dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam 2 (dua) tahun atau setiap waktu bila diperlukan. (2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat lengkap yang meliputi aspek substansi laporan periodik, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan. (3) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam rencana pemeriksaan tahunan dan disesuaikan dengan skala prioritas dari jenis usaha Penjamin atau Penjamin Ulang yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (4) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemeriksaan yang bersifat khusus dan dilakukan apabila a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik Penjamin atau Penjamin Ulang patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan dimaksud menyimpang dari peraturan perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan sehingga dapat menimbulkan risiko atas kepentingan para pihak dalam kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha perusahaan dimaksud menyimpang dari peraturan perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan sehingga dapat menimbulkan risiko atas kepentingan para Penerima Jaminan; atau c.. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan . verifikasi kegiatan operasional perusahaan; penggabungan, peleburan; pengambilalihan; dan/atau End of Page 19 MENTERI KEUANGAN -20 17. Mengubah Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini sebagai bagian yang tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal IT 1. Ketentuan Pasal 80 dihapus. 2. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 80A ditempatkan dalam BAB XXII dan Pasal 80B ditempatkan dalam BAB XXIII, yang berbunyi sebagai berikut Pasal 80A (1) Icin usaha Penjamin atau Penjamin Ulang yang masih berlaku pada saat diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Penjamin atau Penjamin Ulang yang izin usahanya masih berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan likuiditas dan rasio likuiditas, bentuk investasi dan batasan investasi, cadangan umum dan cadangan Klaim, Gearing Ratio Usaha Produktif dan total Gearing Ratio, serta nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 4A ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 4B ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal 42A ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 44A ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 80B (1) Ketentuan mengenai penggunaan jasa agen Penjamin oleh Penjamin dan Penjamin Ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A ayat (3) mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Ketentuan mengenai jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang izin usahanya masih berlaku pada saat diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. End of Page 20 MENTERI KEUANGAN -21- 3. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juli 2011 MENTERI KEUANGAN, ttd, AGUSD.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di jakarta pada tanggal 8 Juli 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 391 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM u.b. KEPALA/ BAGIAN T.U. KEMENTERIAN NIP. 19590220 End of Page 21 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEDANGAN 220/PMKOI0/2008TEVA DAT PERUSAHAAN PENIAMIKIAN ULANG KREDT MENTERI KEUANGAN EPIIBLIK INDONESA PERMOHONAN IZIN USAHA Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia g, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4 Jakarta 10710 Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK 010/2008 tanggal 16 Desember 2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit sebagaimana telah dabahi dengan Peratuiran Menteri Keuangan Nomor taa Ulang: Nama : PT/Perum/PD/Koperasi') Penjamin/ Penjamin Ulang..... Untuk melengkapl permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen- dokumen sebagai berikut 1. Akta pendirian PT/Perum/PD/Koperasi) Penjamin/Penjamnin Ulang............. termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang 2 Data calon pengurus meliputi a. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm; b. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku, c. daftar riwayat hidup; dan . surat pernyataan: tidak tercatat dalam daftar kredit macet disektor perbankan; tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu kekuatan hukum tetap: tidak merangkap jabatan pada penjamin dan/atau penjamin ulang lain kecuali jabatan sebagai komisaris/ dewan pengawas/badan pengawas Penjauin Ulang bagi Direksi/Pengurus; surat Keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang penjaminan atau perbankan atau Jembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus; 3. data pemegang saham atau anggota dalam hal: perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a, b, dan huruf c serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjainan dan kegjatan pencucian uang (noitey laundering) b. badan hukum, wajib dilampiri dengan: terasuk anggaran dasar beriaeaa telahi mendapat pengesahan dari instansi berwenang terakhir; End of Page 22 LAMPIRAN NOMOR 99 /PMK010/2011 TENTANG 222/PMK010/2008 TENTANG DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a, b dan huruf c bagi pemegang saham dan direksi atau pengurus. pengelolaan tisiko, angsi pengebanag e pelayanan dan pengembangan informasi/ database terjamin 5. Sistem dan prosedur kerja Penjamin atau Penjamin Ulang, 6. Rencana kerja (business plan) untuk 3 (tiga) tahun pertama yang sekurang- kurangnya memuat studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; rencana kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang dan langkah-langkah kegiatan yang akan rencana kegiatan usaha Penjamin alau Penjamin Ulang da dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Penjamin dan Penjamin Ulang melakukan kegiatan operasional. 7. daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang Penjaminan . dolopi boikdi petunasan seloran mmodal minimum dalam bentuk deposit e PT/PD/Perum ..... pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha; 9. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: a. daftar aktiva tetap dan inventaris; b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor; c. contoh formulir, termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan untuk operasional Penjamin/Penjamin Ulang; d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP. Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu'), kami mnengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Perum/PD/Koperasi') Penjamin/Penjamin Ulang.. Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan *) coret yang tidak perlu MENTERI KEUANGAN, Salinan sesuai dengan adlinya MENTERI KBUANGAN, KEPALA, BIRO UMUM EPALA BIRO UMUM ttd, b KEPALA BAGIAN KU. KEMENTERIAN AGUSD.W. MARTOWARDOJO KEPALA BAGIAN U. KEMENTERIAN GIARTO NIR, 195904201984021001 End of Page 23
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 99/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT </reg_title> <set_date> 8 Juli 2011 </set_date> <effective_date> 8 Juli 2011 </effective_date> <issued_date> 8 Juli 2011 </issued_date> <changed_reg> '222/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </changed_reg> <related_reg> '2/PERPRES/2008', '222/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 3A Ayat (7)', 'Pasal I Angka 4 Pasal 4 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4A Ayat (4)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4A Ayat (5)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4B Ayat (4)', 'Pasal I Angka 7 Pasal 11 Ayat (4)', 'Pasal I Angka 7 Pasal 11 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 8 Pasal 22 Ayat (3)', 'Pasal I Angka 12 Pasal 42A Ayat (6)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 43 Ayat (3)', 'Pasal I Angka 15 Pasal 44A Ayat (2)' </penalty_list>
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20/PMK.01/2007 TENTANG PENGADMINISTRASIAN, PELAPORAN DAN PENGAWASAN PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan terhadap peserta program pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara, pengawasan atas pengadministrasian penitipan dana yang berasal dari iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara yang dititipkan kepada PT Taspen (Persero) berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor: S- 244/MK.011/1985 perlu dilaksanakan secara efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang optimal; b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengawasan atas pengadministrasian penitipan dana yang berasal dari iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara, perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai pengadministrasian, pelaporan dan pengawasan penitipan dana iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengadministrasian, Pelaporan dan Pengawasan Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat Negara; Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006; 2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006; 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; - 2 - 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan; Memperhatikan : Surat Menteri Keuangan No. S-244/MK.011/1985 tanggal 12 Februari 1985 hal Penempatan Dana Pensiun Pegawai Negeri Sipil pada PT Taspen (Persero); MEMUTUSKAN: MENETAPKAN : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGADMINISTRASIAN, PELAPORAN PENGAWASAN PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. PT Taspen adalah PT Taspen (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). 2. Iuran Pensiun adalah iuran bulanan yang dipungut dari setiap Pegawai Negeri dan Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara Pemotongan, Penyetoran dan Besarnya Iuran-iuran Yang Dipungut Dari Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun dan perubahannya. 3. Dana Iuran Pensiun adalah kumpulan dana yang merupakan akumulasi Iuran Pensiun beserta hasil pengembangannya. 4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PELAKSANA ADMINISTRASI Pasal 2 Pelaksanaan administrasi atas penitipan Dana Iuran Pensiun dilakukan oleh PT Taspen (Persero). Pasal 3 DAN - 3 - (1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, PT Taspen wajib membuat dan memelihara buku, catatan dan dokumen yang berkaitan dengan administrasi dan pengelolaan Dana Iuran Pensiun. (2) Tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diselenggarakan secara terpisah dari tugas lain yang dikelola PT Taspen (Persero). BAB III PELAPORAN Pasal 4 (1) PT Taspen (Persero) wajib membuat laporan secara berkala sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari: a. Laporan Tahunan; b. Laporan Semesteran; c. Laporan Bulanan. (3) Laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir a dan b sekurang-kurangnya mencakup aspek operasional, keuangan, investasi, aktuaria dan statistik. (4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir c hanya mencakup aspek investasi. (5) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus disusun berdasarkan dan disertai dengan: a. laporan keuangan yang disusun oleh PT Taspen (Persero) dan diaudit oleh akuntan publik, dan b. laporan aktuaris yang disusun oleh aktuaris independen. (6) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dapat disusun berdasarkan dan disertai dengan: a. laporan keuangan yang disusun oleh PT Taspen (Persero), dan b. laporan aktuaris yang disusun oleh aktuaris internal dari PT Taspen (Persero) berdasarkan laporan aktuaris terakhir yang disusun oleh aktuaris yang independen. (7) Akuntan publik dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) harus memiliki ijin dari instansi berwenang, memiliki pengalaman yang relevan di bidang program pensiun sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, dan tidak pernah melakukan tindak tercela di bidang keuangan. (8) Akuntan publik dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dipilih dan ditunjuk oleh PT Taspen (Persero) sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 5 - 4 - (1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, paling lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal tutup buku tahun yang bersangkutan. (2) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, paling lambat 2 (dua) bulan setelah tanggal tutup buku semester yang bersangkutan. (3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari tanggal tutup (buku) bulan pelaporan. Pasal 6 (1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas laporan aktiva bersih, laporan perubahan aktiva bersih, laporan portofolio investasi, masing-masing laporan-laporan. (2) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memuat analisis atas arus kas Dana Iuran Pensiun berdasarkan data historis sekurang- kurangnya 3 (tiga) tahun sebelum valuasi dan proyeksi tahunan untuk periode sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun setelah valuasi, dengan menggunakan data, asumsi-asumsi dan metode aktuaria yang dapat dipertanggungjawabkan serta mempertimbangkan perkiraan iuran peserta, pembayaran manfaat pensiun dan biaya-biaya lain yang dibebankan pada Dana Iuran Pensiun. (3) Bentuk dan susunan dari Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 7 (1) Tanggal dari laporan keuangan dan laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dan ayat (6) harus sama dengan tanggal dari Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). (2) Tanggal dari laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) adalah: a. Per 31 Desember untuk tanggal tahun buku Laporan Tahunan; b. Per 30 Juni dan 31 Desember untuk tanggal tengah tahun buku Laporan Semesteran; laporan hasil investasi, laporan arus kas dan catatan atas - 5 - c. Per tanggal terakhir dari bulan yang bersangkutan untuk Laporan Bulanan. (3) Menteri dapat meminta laporan selain laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). BAB IV PENGAWASAN Pasal 8 (1) Menteri melakukan dan menetapkan mekanisme pengawasan atas pengadministrasian penitipan Dana Iuran Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pelaksanaan kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didelegasikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB V SANKSI Pasal 9 (1) Dalam hal penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) terlambat dilakukan, PT Taspen (Persero) dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian laporan, dan paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) serta wajib dibayarkan ke Kas Negara. (2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tanggal penyampaian laporan adalah : a. tanggal penerimaan laporan, apabila laporan diserahkan langsung; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. (3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Dalam hal PT Taspen (Persero) belum membayar denda, denda tersebut dinyatakan sebagai utang PT Taspen (Persero) pada Negara yang harus dicantumkan dalam neraca PT Taspen (Persero) yang bersangkutan. Pasal 10 - 6 - (1) Dalam hal penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) terlambat dilakukan, Menteri mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada PT Taspen (Persero). (2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditembuskan kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 11 (1) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) diterapkan mulai tahun buku 2008. (2) Untuk tahun buku sebelum 2008, PT Taspen tetap diwajibkan untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini dengan bentuk dan susunan yang sesuai dengan standar yang berlaku umum. KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Februari 2007 MENTERI KEUANGAN ttd SRI MULYANI INDRAWATI
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 20/PMK.01/2007|PER-MENKEU/2007 </reg_id> <reg_title> PENGADMINISTRASIAN, PELAPORAN DAN PENGAWASAN PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA </reg_title> <set_date> 22 Februari 2007 </set_date> <effective_date> 22 Februari 2007 </effective_date> <related_reg> '66/PERPRES/2006', '10/PERPRES/2005', '94/PERPRES/2006', '131/PMK.01/2006|PER-MENKEU/2006', '9/PERPRES/2005', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Infrastruktur; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Menteri adalah Menteri Keuangan. 2. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - 3. Infrastruktur adalah prasarana yang dapat memperlancar mobilitas arus barang dan jasa. BAB II KEGIATAN USAHA Pasal 2 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur; b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau c. Pemberian pinjaman subordinasi Pembiayaan (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur. (2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Infrastruktur dapat melakukan: a. Pemberian dukungan kredit (credit penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur; b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services); c. Penyertaan modal (equity investment); d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau e. Kegiatan atau pemberian fasilitas Pasal 3 (1) Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a ditetapkan paling banyak sebesar modal sendiri dikurangi penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. (2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga perolehan. Pasal 4 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang melampaui batas maksimum penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat pula enhancement), termasuk dengan lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan Menteri. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 3 - (1), wajib menyampaikan rencana kerja (action plan) untuk memenuhi ketentuan batas maksimum penjaminan kepada Menteri paling lama 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan triwulanan yang bersangkutan berakhir. (2) Rencana kerja (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris atau pengawas. (3) Pemenuhan batas maksimum penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 6 (enam) bulan setelah jangka waktu penyampaian rencana kerja berakhir. Pasal 5 Infrastruktur yang dapat menjadi obyek Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a. infrastruktur transportasi, meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel, dan stasiun kereta api; b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol; c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku; d. infrastruktur air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum; e. infrastruktur air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; f. infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi; g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, atau distribusi tenaga listrik; h. infrastruktur minyak dan gas i. bumi, meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi; dan/atau infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam huruf a sampai dengan huruf h atas persetujuan Menteri. transmisi MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 4 - BAB III TATA CARA PENDIRIAN Bagian Kesatu Perizinan Pasal 6 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur didirikan dalam bentuk badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi. (2) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat didirikan oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; atau b. badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia (usaha patungan). (3) Badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b termasuk organisasi multilateral yang merupakan keuangan internasional dan bergerak di bidang pembangunan. Pasal 7 Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri. Pasal 8 Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, diajukan kepada Menteri sesuai dengan format dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini dan harus dilampiri dengan : a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang paling sedikit memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi atau pengurus dan dewan komisaris atau pengawas. lembaga MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - b. data direksi atau pengurus dan dewan komisaris atau pengawas, meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing; 2. daftar riwayat hidup; 3. surat pernyataan: a) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; dan b) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan 4. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing. c. data pemegang saham dalam hal: 1. perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana tidak berasal dari dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal kegiatan pencucian uang (money laundering); 2. badan hukum, wajib dilampiri dengan: a) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan-perubahan pengesahan dari yang telah mendapat instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; b) laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan interim terakhir; dan c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham atau anggota dan direksi atau pengurus. 3. Negara Republik Indonesia, wajib Pemerintah tentang dilampiri Peraturan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur; MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 6 - 4. Organisasi multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), wajib dilampiri Akta Pendirian (Articles of Agreement) atau dokumen pendirian sejenis. d. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia; e. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang paling sedikit memuat: 1. rencana pembiayaan dan untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan 2. proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur melakukan kegiatan operasional. f. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; 2. contoh perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain yang akan digunakan; dan 3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). g. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi perusahaan patungan; dan h. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah. Pasal 9 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8. (2) Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya. (3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal ditetapkan. Pasal 10 langkah-langkah yang dilakukan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 7 - Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang telah mendapat izin usaha dari Menteri wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha kepada Menteri paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini. Bagian Kedua Permodalan Pasal 11 (1) Modal disetor dalam rangka pendirian Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ditetapkan paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah). (2) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib meningkatkan modal disetor menjadi paling sedikit Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) dalam jangka waktu 5 (lima) tahun diterbitkannya izin usaha. sejak tanggal (3) Rencana peningkatan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan pada saat pengajuan izin usaha. (4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi karena kondisi pasar, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat melakukan perubahan rencana peningkatan modal disetor dengan persetujuan Menteri. (5) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berasal dari kegiatan pencucian uang (money laundering). Pasal 12 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal disetor. (2) Dalam hal modal sendiri Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur kurang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang saham wajib menutup kekurangan tersebut. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 8 - BAB IV KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN Pasal 13 (1) Kepemilikan saham pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur oleh badan usaha asing ditetapkan paling tinggi sebesar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari modal disetor. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang telah go public. Pasal 14 (1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari modal sendiri badan hukum yang bersangkutan. (2) Dalam hal badan hukum tersebut telah melakukan penyertaan, maka maksimum penyertaan pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah memperhitungkan penyertaan yang telah dilakukan. (3) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum: a. Perseroan Terbatas merupakan penjumlahan penjumlahan simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. c. Yayasan adalah sebesar aktiva bersih yang terdiri dari aktiva bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara temporer, dan aktiva bersih tidak terikat. (4) Dalam hal menetapkan regulasi yang berlaku bagi pemegang saham telah ketentuan mengenai modal sendiri, sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku. Pasal 15 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum Dana Pensiun. ketentuan dari modal disetor, agio saham, cadangan, dan saldo laba/rugi. b. Koperasi merupakan dari simpanan pokok, MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 9 - (2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum Dana Pensiun, jumlah penyertaan Infrastruktur investasi Dana Pensiun. Pasal 16 (1) Pemegang saham, direksi atau pengurus, dan dewan komisaris atau pengawas Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib memenuhi persyaratan: a. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; b. paling sedikit 1 (satu) orang anggota direksi harus berpengalaman di bidang jasa keuangan paling kurang 2 (dua) tahun; dan c. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali huruf b berlaku bagi direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham perseorangan Perseroan Terbatas tersebut. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemegang saham Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah Negara Republik Indonesia atau organisasi multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). Pasal 17 (1) Direksi atau pengurus Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur: a. wajib menetap di Indonesia; dan b. dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai direksi atau pengurus pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain. (2) Direksi atau pengurus dan dewan komisaris atau pengawas Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur hanya dapat melakukan perangkapan jabatan sebagai komisaris atau pengawas pada 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain atau perusahaan yang bergerak dalam proyek Infrastruktur. pada Perusahaan sesuai dengan ketentuan yang mengatur Pembiayaan tentang MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 10 - Pasal 18 (1) Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, direksi, dewan komisaris, pengurus, dan/atau pengawas wajib dilaporkan oleh direksi atau pengurus kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari setelah perubahan berlaku efektif sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III, Lampiran IV, atau Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan ini serta wajib dilampiri dengan: a. perubahan anggaran dasar yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang; dan/atau b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dan/atau huruf c. BAB V KANTOR CABANG Pasal 19 (1) Pembukaan kantor cabang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib dilaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak tanggal pembukaan dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini, dengan melampirkan: a. rencana kerja tahunan kantor cabang; b. bukti penguasaan gedung kantor; dan c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala cabang serta jumlah karyawan. (2) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. dapat menjalankan semua jenis usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur b. menyelenggarakan tata usaha pembukuan sendiri; dan c. tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat Perusahaan Pembiayaan Infratruktur yang bersangkutan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 11 - Pasal 20 Penutupan kantor cabang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib dilaporkan kepada Menteri paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal penutupan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan ini. Pasal 21 Pemindahan alamat kantor pusat atau kantor cabang Perusahaan Pembiayaan Infastruktur wajib dilaporkan kepada Menteri paling lambat 15 (lima belas) hari sejak pelaksanaan pemindahan dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII Peraturan Menteri Keuangan ini. BAB VI PINJAMAN, PENYERTAAN DAN PENEMPATAN DANA Bagian Kesatu Pinjaman Pasal 22 Untuk membiayai kegiatannya, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat memperoleh dana antara lain dari: a. penerbitan surat-surat berharga; b. pinjaman jangka menengah dan atau jangka panjang yang bersumber dari: 1. Pemerintah Republik Indonesia; 2. pemerintah asing; 3. organisasi multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3); 4. bank dan/atau lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri; dan c. hibah (grant). MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 12 - Pasal 23 (1) Jumlah pinjaman bagi setiap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ditetapkan paling tinggi 10 (sepuluh) kali dari jumlah modal sendiri dan pinjaman subordinasi. (2) Pinjaman subordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pinjaman yang diterima Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dengan persyaratan sebagai berikut: a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. dituangkan dalam perjanjian (3) Pinjaman tertulis antara Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dengan pemberi pinjaman. subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan jumlah pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling banyak sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal disetor. Bagian Kedua Penyertaan Pasal 24 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur hanya dapat melakukan penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain dan/atau perusahaan yang bergerak dalam proyek Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. (2) Penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain atau perusahaan yang bergerak dalam proyek Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak 45% (empat puluh lima per seratus) dari modal disetor perusahaan yang menerima penyertaan. (3) Jumlah seluruh penyertaan modal Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ditetapkan paling banyak 75% (tujuh puluh lima per seratus) dari jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan. (4) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada laporan keuangan audit terakhir MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 13 - Bagian Ketiga Penempatan Dana Pasal 25 Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang Negara, Sertifikat Bank Indonesia dan/atau instrumen keuangan lainnya yang mempunyai peringkat investasi. BAB VII PEMBATASAN Pasal 26 Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk: a. Giro; b. Deposito; dan/atau c. Tabungan. BAB VIII PERUBAHAN NAMA Pasal 27 (1) Perubahan nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib dilaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak perubahan nama dilaksanakan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan: a. risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota; b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang baru. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 14 - (3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan perubahan atas Keputusan Menteri mengenai pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan. BAB IX PELAPORAN Pasal 28 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib menyampaikan kepada Menteri: a. laporan keuangan triwulanan untuk periode yang berakhir 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember; b. laporan kegiatan usaha semesteran untuk periode yang berakhir 30 Juni dan 31 Desember; dan c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik. (2) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (3) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi singkat paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di Indonesia, paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (4) Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi singkat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dilaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari pengumuman. setelah pelaksanaan Pasal 29 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a, wajib disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya periode laporan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya periode laporan. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 15 - (3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c, wajib disampaikan paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (4) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan berdasarkan tahun takwim. BAB X PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 30 (1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. (2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan pemeriksaan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. (3) Tata cara mengenai pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti pedoman yang ditetapkan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB XI PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 31 (1) Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dilakukan oleh Menteri. (2) Pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur: a. bubar; b. dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal Peraturan Menteri Keuangan ini; c. tidak lagi menjadi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; atau d. melakukan penggabungan atau peleburan ke dalam Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain. 37 oleh Ketua Badan MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 16 - Pasal 32 Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham, likuidator wajib melaporkan hasil rapat umum pemegang saham kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak rapat umum pemegang saham dilaksanakan. Pasal 33 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bubar karena jangka waktu berdirinya sudah berakhir. Pasal 34 (1) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur bubar berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan pemerintah, likuidator atau penyelesai wajib melaporkan pembubaran tersebut kepada Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan dikeluarkannya keputusan pemerintah. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan: a. putusan pengadilan dan/atau keterangan menyatakan putusan hukum tetap; atau b. keputusan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perkoperasian. Pasal 35 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur harus melaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak perubahan anggaran dasar memperoleh persetujuan dari instansi berwenang. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. perubahan anggaran persetujuan dari instansi berwenang. Pasal 36 resmi pengadilan mempunyai yang kekuatan hukum tetap atau dasar yang telah memperoleh MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 17 - Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35, Menteri mencabut izin usaha. BAB XII SANKSI Pasal 37 (1) Setiap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (3) dan ayat (4), serta Pasal 29 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, dan pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. (2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 30 (tiga puluh) hari. (3) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berakhir dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Menteri menetapkan sanksi pembekuan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan berakhir jatuh pada hari libur nasional maka peringatan berlaku hingga hari kerja berikutnya. (5) Pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak surat pembekuan ditetapkan. (6) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kontrak pembiayaan baru. (7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 18 - (8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur tidak juga memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, Menteri mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan dengan Keputusan Menteri. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 38 Peraturan Menteri Keuangan diundangkan. ini mulai berlaku pada tanggal Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2009 MENTERI KEUANGAN ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Mei 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. ANDI MATTALATTA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 19 - BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 117 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR PERMOHONAN IZIN USAHA Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor .................. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, bersama ini kami: Nama Alamat : PT/Koperasi*) ...................... : mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha dalam bidang Pembiayaan Infrastruktur. Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. akta pendirian PT/Koperasi *) ..................... termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang. 2. data direksi/pengurus *) dan dewan komisaris/pengawas *), meliputi: a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing; b. daftar riwayat hidup; c. surat pernyataan: 1) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; 2) tidak pernah mengakibatkan dinyatakan suatu pailit atau dinyatakan perseroan/perusahaan bersalah dinyatakan tanggal........... tentang yang pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan d. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau berkewarganegaraan asing. izin pengurus 3. data pemegang saham: a. perorangan, berupa: 1) fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing; 2) daftar riwayat hidup; 3) surat pernyataan: a) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; b) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan 4) surat pernyataan bahwa setoran modal pencucian uang (money laundering); bersalah dinyatakan yang pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan tidak berasal dari kegiatan LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR b. badan hukum, berupa: 1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari dasar berikut instansi berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; 2) laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan interim terakhir; 3) dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2, huruf a, huruf b, dan huruf c bagi pemegang saham atau anggota dan direksi atau pengurus. c. Negara Republik Indonesia, berupa Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur. d. organisasi multilateral, berupa Akta Pendirian (Articles of Agreement) atau dokumen pendirian sejenis. 4. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia. 5. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang paling kurang memuat: a. rencana pembiayaan dan langkah-langkah yang mewujudkan rencana dimaksud; b. proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur melakukan kegiatan operasional. c. rencana peningkatan modal disetor. 6. bukti kesiapan operasional, antara lain berupa: a. bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; b. contoh perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain yang akan digunakan; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). 7. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi perusahaan patungan. 8. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami ucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ........................ Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, *) Coret yang tidak perlu dilakukan untuk LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PT/Koperasi*)....................... Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor ............... tanggal ...............tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur kepada PT/Koperasi*)......................., dengan ini dilaporkan bahwa kami telah memulai kegiatan usaha pada tanggal ................... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain yang telah dilakukan. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ............ Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota tanggal .............. telah dilakukan perubahan anggaran dasar, modal dasar, dan modal disetor*), yaitu: Lama (Rp) Modal dasar Modal disetor Komposisi pemegang saham: Nama Pemegang Saham ............... ............... ............... ............... Baru (Rp) ............... ............... Nilai saham (Rp) Persentase (%) ............... ............... ............... ............... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan perubahan anggaran dasar yang telah disahkan/dilaporkan*) kepada instansi berwenang. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami ucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) .......... Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan *) coret yang tidak perlu LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM/PEMILIK Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS tanggal .............. telah dilakukan perubahan modal dasar, modal disetor dan pemegang saham/pemilik, yaitu: Lama (Rp) Modal dasar Modal disetor Lama Nama Pemegang Saham ............... ............... Nilai saham (Rp) ............... ............... Nama Pemegang Saham ............... ............... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: 1. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan/dilaporkan*) kepada instansi berwenang; 2. data pemegang saham: a. perorangan, berupa: 1) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2) daftar riwayat hidup; dan 3) surat pernyataan: i. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; ii. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu berdasarkan hukum tetap b. badan hukum, berupa: 1) akta pendirian perseroan/perusahaan keputusan pengadilan badan dinyatakan yang mempunyai hukum, termasuk anggaran kekuatan perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari dasar berikut instansi pailit ............... ............... Baru Nilai saham (Rp) ............... ............... Baru (Rp) ............... ............... LAMPIRAN IV PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR - 2 - berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir; 3) bagi pemegang saham badan hukum tersebut: i. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; ii. daftar riwayat hidup; dan iii. surat pernyataan: - - tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap c. Negara Republik Indonesia, berupa Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur. d. organisasi multilateral, berupa Akta Pendirian (Articles of Agreement) atau dokumen pendirian sejenis. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*)................ Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI/PENGURUS DAN DEWAN KOMISARIS/PENGAWAS Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 .............. telah Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota tanggal dilakukan perubahan komisaris/pengawas, yaitu: Lama Komisaris Utama/Pengawas Komisaris/Pengawas Direktur Utama/Pengurus Direktur/Pengurus .............. .............. .............. .............. Baru .............. .............. .............. .............. Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: Data direksi/pengurus dan/atau dewan komisaris/pengawas meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing; 2. daftar riwayat hidup; 3. surat pernyataan: 1) tidak pernah dihukum karena tindakan pidana kejahatan; 2) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan 3) tidak merangkap dinyatakan pailit berdasarkan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jabatan sebagai direksi/pengurus Pembiayaan Infrastruktur lain bagi direksi/pengurus; 4) tidak merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain atau perusahaan yang bergerak dalam proyek Infrastruktur. putusan pada Perusahaan direksi/pengurus dan/atau dewan LAMPIRAN V PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR -2- 4. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing; dan 5. bukti berpengalaman di bidang jasa keuangan paling kurang 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi/pengurus. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ............... Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG PT/Koperasi*)......... Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Bersama ini kami melaporkan pembukaan Kantor Cabang di ... dengan alamat lengkap ... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan: a. rencana kerja tahunan kantor cabang; b. bukti penguasaan gedung kantor; dan c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala cabang serta jumlah karyawan. Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ........ Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN V II PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PENUTUPAN KANTOR CABANG PT/Koperasi*) ......... Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Bersama ini kami melaporkan penutupan Kantor Cabang di ......... dengan alasan ........... Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/lbu,*) kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) .......... Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN VIII PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR PT/Koperasi*) ......... Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Bersama ini kami melaporkan pemindahan alamat kantor dari ........................... ke ................................... dengan alasan ................................................................................. Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan bukti kesiapan kantor termasuk sarananya. Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/lbu,*) kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ................................. Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN IX PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 100 /PMK.010/2009 TENTANG PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR LAPORAN PERUBAHAN NAMA PT/Koperasi*)....................... Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Bersama ini kami laporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota tanggal ..., nama PT/Koperasi*) ... berubah menjadi PT/ Koperasi*) ............................ Perubahan nama tersebut telah mendapat persetujuan dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Keputusan ........... Nomor .............. tanggal ................. Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: a. risalah Rapat Umum Pemegang Saham/Rapat Anggota; b. perubahan Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang baru. Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu*) untuk memberlakukan izin usaha PT/Koperasi*) ................. kepada PT/Koperasi*) ........................ Demikian permohonan mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi*) ................................... Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. *) Coret yang tidak perlu kami dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR </reg_title> <set_date> 27 Mei 2009 </set_date> <effective_date> 27 Mei 2009 </effective_date> <issued_date> 27 Mei 2009 </issued_date> <related_reg> '9/PERPRES/2009', '40/UU/2007', '25/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA EUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 /PMK.010/2012 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan penyelenggaraan program pensiun, telah diatur besaran Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 scbagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005; b. bahwa untuk mengimbangi kenaikan tingkat biaya hidup, dipandang perlu untuk mengubah ketentuan mengenai besar manfaat pensiun yang dapat dibayarkan secara sekaligus; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang Juran dan Manfaat Pensiun; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 37, Tambal Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507) 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana. Pensiun Lembaga. Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahar Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508) 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005; End of Page 1 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN. Pasal I Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang luran dan Manfaat Pensiun yang telah beberapa kali diubah dengan a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002; b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005; diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal l angka 1 dan angka 5 diubah, angka 4 dan angka 6 dihapus, serta ditambahkan 8 (delapan) angka, yakni angka 7, angka 8, angka 9, angka 10, angka 11, angka 12, angka 13, dan angka 14 sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut Pasal 1 1. Asumsi Aktuaria adalah kumpulan estimasi mengenai perubahan-perubahan di masa yang akan datang, yang dipergunakan untuk menghitung nilai sekarang suatu pembayaran atau pembayaran-pembayaran dan mencakup antara lain tingkat bunga, tingkat probabilitas terjadinya kematian, cacat, serta tingkat kenaikan penghasilan dasar pensiun. 2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 3. Nilai Sekarang adalah nilai, pada suatu tanggal tertentu, dari pembayaran atau pembayaran- pembayaran yang akan dilakukan setelah tanggal tersebut, yang dihitung dengan mendiskonto secara aktuaria berdasarkan asumsi tingkat bunga dan tingkat probabilitas tertentu untuk terjadinya 4. Dihapus. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 5, Penghasilan Dasar Pensiun a seluruh penghasilan karyawan yang diterima dari pemberi kerja dan ditetapkan dalam peraturan dana pensiun suatu dana pensiun pemberi kerja, sebagai dasar perhitungan besar iuran dan atau manfaat pensiun peserta. 6. Dihapus. 7. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. 8. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempekerjakan karyawan, selaku pendiri, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat bagi kepentingan scbagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. 9. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari Dana Pensiun Pemberi Kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. 10. Program Pensiun Manfaat Pasti adalah program pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam peraturan dana pensiun atau program pensiun lain yang bukan merupakan program pensiun iuran pasti. 11. Program Pensiun luran Pasti adalah program pensiun yang iurannya ditetapkan dalam peraturan dana pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing- masing peserta sebagai manfaat pensiun. 12. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan 13. Peserta adalah setiap orang yang memenuhi persyaratan Peraturan Dana Pensiun. End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 14. Manfaat Pensiun adalah pembayaran berkala yang dibayarkan kepada Peserta pada saat dan dengan cara yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. 2. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5) sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 (1) Dalam hal Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan per bulan oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dengan menggunakan tumus bulanan kurang dan atau Satha esa Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah), Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (2) Dalam hal Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan rumus sekaligus kurang dari atau sama dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (3) Dalam hal Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti yang telah diterima sctiap bulan oleh pensiunan, janda/duda atau anak yang besarnya kurang dari ratus ribu rupiah), Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun yang belum dibayarkan tersebut dapat dibayarkan secara sekaligus (4) Pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sebagalmana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dilakukan dalam hal ketentuan tersebut dimuat dalam Peraturan Dana Pensiun. (5) Pendiri dapat menetapkan Manfaat Pensiun yang dapat dibayarkan sekaligus dengan nilai yang lebih rendah dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dalam End of Page 4 MENTERI KEUANGAN -5- 3. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga Pasal 20 berbunyi scbagai berikut Pasal 20 (1) Dalam hal jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan yang menjadi hak Peserta pada Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan tersebut dapat dibayarkan sekaligus. (2) Pembayaran jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal ketentuan tersebut dimuat dalam Peraturan Dana Pensiun. (3) Pendiri dapat menetapkan jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan yang dapat dibayarkan sekaligus dengan nilai yang lebih rendah dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dalam Peraturan Dana Pensiun. 4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 26 (1) Manfaat Pensiun Peserta berupa dana yang terdiri dari jumlah himpunan iuran yang telah disetor atas namanya dan pengalihan dana dari Dana Pensiun lain serta hasil pengembangannya. dimaksud pada ayat (1) untuk tiap Peserta harus dilakukan sejak dana dibukukan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai saat pembayaran kepada Peserta atau pada saat pembelian anuitas seumur hidup pada perusahaan asuransi jiwa. (3) Dalam hal besarnya Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari atau sama manfaat pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN -6- Pasal II Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 April 2012 ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO pada tanggal 3 April 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, AMIR SYAMSUDIN BBRITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 372. Salinan sesuai dengan aslinya BRALA BIRO UMUM KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN BIRO UMUN A 04201984021001 End of Page 6
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 50/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title> <set_date> 3 April 2012 </set_date> <effective_date> setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 3 April 2012 </effective_date> <issued_date> 3 April 2012 </issued_date> <changed_reg> '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998' </changed_reg> <extension_of> '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005' </extension_of> <related_reg> '76/PP/1992', '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998', '77/PP/1992', '91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '11/UU/1992' </related_reg>
REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21 /PMK.010/ 2011 TENTANG PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang penyelenggaraan Program Pensiun Dana Pensiun Lembaga Keuangan, memerlukan adanya pengaturan mengenai pengesahan pendirian dana pensiun lembaga keuangan dan perubahan peraturan dana pensiun dari dana pensiun lembaga keuangan; b. bahwa dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan yang terjadi pada industri dana pensiun, ketentuan yang mengatur persyaratan dan tata cara permohonan pengesahan pendirian dana pensiun lembaga keuangan dan pengesahan atas perubahan peraturan dana pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun Dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993 perlu untuk disempurnakan c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b di atas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dan Perubahan Peraturan Dana Pensiun Dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 3 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 3. Keputusan Presiden Nomor 56/PTahun 2010, End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA 2- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana tclah diubah dengan Peraturan Menteri Kcuangan Nomor 36/PMK.010/2010, 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2010 tentan Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Calon Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja Dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan; MEMUTUSKAN. Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGISAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah dana pensiun lembaga dana pensiun. 2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai perbankan. 3. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 4. Pendiri adalah Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan. . Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan. 6. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan dana pensiun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana 7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- BAB I PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN Pasal 2 Bank atau Perusahaan Asuransi Jjiwa yang akan mendirikan Dana Pensiun Lembaga Keuangan harus memenuhi persyaratan sebagai beriku: a. berbentuk badan hukum Indonesia dan berkantor pusat di Indonesia, b. paling kurang dalam 1 ( satu) tahun terakhir sebelum mengajukan permohonan, dinyatakan sehat olelt instansi pengawas dari Bank atau Perusahaan Asuransi jiwa yang bersangkutan; dan c. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Pasal 3 (1) Untuk mendapatkan pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga Menteri c.g. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiun, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran l yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini (2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan a. fotokopi Anggaran Dasar Pendiri; b. rekomendasi tertulis dari instansi pengawas yang menunjukkan Pasal 2huruf b dan . bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga Keuangan, meliputi 1. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendiri, dibuat dalam rangkap 2 (dua): 2. program kerja Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 3. struktur organisasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang dilengkapi dengan uraian tugas; 4. manual sistem administrasi dan pengolahan data Dana Pensiun Lembaga Keuangan; 5. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabahi bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan; rangka kepesertaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan; dan End of Page 3 MENTERI KEUANGAN -4 7. fotokopi keputusan Pendiri mengenai penunjukan Pelaksana Tugas Pengurus. (3) Program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka 2 paling kurang disusun untuk periode jangka waktu 2 (dlua) tahun, 5 (lima) tahun, dan 10 (sepuluh) tahun serta memtat a. calon peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan baik perseorangan maupun kelompok atau pemberi kerja yang akan ikut serta dalam program pensiun, dan langkah-langkah yang dilakukan untuk mewujudkannya; dan b. proyeksi biaya yang diperiukan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan besarnya imbalan jasa yang akan diterima oleh Pendiri atas penyelenggaraan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. (4) Fotokopi Keputusan Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 7 harus disertai dengan . totokopl Kartu Tanda Penduduk dari Pelaksana Tugas Pengurus yang ditunjuk; b. pernyataan tertulis dari Pelaksana Tugas Pengurus untuk mengelola Dana Pensiun Lembaga Keuangan sesuai Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundangan di bidang dana pensiun; :. fotokopi tanda lulus ujian pengetahuan dasar di bidang dana pensiun bagi Pelaksana Tugas Pengurus; dan d. fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan embaga Keuangan bagi Pelaksana Tugas Pengurus. BAB II PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN Pasal 4 (1) Untuk mendapatkan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun, Pendiri harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri c.g Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiun, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Il yang merupakan bagiat yang tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan: a. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendini, dibuat dalam rangkap 2 (dua); dan End of Page 4 MENTERI KEUANGAN APUBLK INDONE b. pokok-pokok perubahan dan uraian tentang latar belakang dan tujuan setiap pokok perubahan Peraturan Dana Pensiun. (3) Dalam hal latar belakang perubahan Peraturan Dana Pensiun didasarkan atas perubahan nama Pendiri, pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun selain harus menyampaikan Peraturan Dana Pensiun dan pokok-pokok perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga melampirkan: . fotokopi anggaran dasar Pendiri yang memuat perubahan nama Pendiri; dan b. fotokopi ijin usaha Pendiri. Pasal 5 Permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 harus disusun dalam Bahasa Indonesia. Pasal 6 (1) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c angka 1 dan Pasal 4 ayat (2) huruf a, setelah disahkan oleh Menteri, satu diantaranya dikembalikan kepada Pendiri dan yang lainnya disimpan di Kementerian Keuangan. (2) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka yang dianggap benar adalah Peraturan Dana Pensiun yang disimpan di Kementerian Keuangan. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 7 Permohonan pengesahan pendirian dan perubahan Peraturan Dana Pensiun yang telah diterima Menteri secara lengkap dan memenuhi ketentuan perundangan di bidang Dana Pensiun sebelum Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, diproses berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun Dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN -6- Pasal 8 Persyaratan dokumen fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) hurul d, tidak berlaku bagi Dana Pensiun Lembaga Keliangan yang pendiriannya disahkan sebelum tanggal 12 Februari 2011. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negata Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Februari 2011 MENTERI KEUANGAN, ttd. Diundangkan di Jakarta Diundangkan di jakaita ttd. Pada tanggal 7 Februari 2011 AGUS D.W. MARTOWARDOO MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. PATRIALIS AKBAR BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 61 Shen sgasoas bsoeon ohoo KEPALA BDRC CMd BIRC Jus NIP195904207984921.001 End of Page 6 JLAMPIRANI PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 21 /PMK010/201.LTENTANG PERUBAHAN PERATURAN DANA CNDARI DANA PEXSIN LEMBAGA KEUANGAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor Lampiran Hal : Permohoman Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan Kepada Yth. Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiun Gedung Soemitro Djojohadikoesoemo Lt. 15 Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4 Jakarta Pusat 10710 Bersama ini kami mengajukan permohonan pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan, dengan menyampaikan hal sebagai berikut. 1. Dana Pensiun Nama Alamat Nomor Telepon Nomor Fax Website Email II. Pendiri Nama Alamat Nomor Telepon : Nomor Fax Website Email End of Page 7 REPUBLIK INDONESIA -2- III. Dokumen yang Dilampirkan Fotokopi Anggaran Dasar Pendiri Peraturan Dana Pensiun yang ditetapkan Pendiri asli rangkap dua Rekomendasi tertulis dari instansi pengawas yang menunjukkan bahwa Pendiri dinyatakan sehat Fotokopi Keputusan Pendiri tentang penunjukan Pelaksana Tugas Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pelaksana Tugas Pegurus Pernyataan tertulis mengenai kesediaan Pelaksana Tugas Pengurus untuk mengelola Dana Pensiun sesuai Peraturan Dana Pensiun dan Undang- Undang Dana Pensiun dan Peraturan pelaksanaannya Undang Dana Pensiun dan Peraturan pelaksanaannya Fotokopi tanda lulus pengetahuan dasar di bidang Dana Pensiun untuk Pelaksana Tugas Pengurus Fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk Pelaksana Tugas Pengurus Progtam kerja Dana Pensiun Manual sistem administrasi dan pengolahan data Dana Pensiun Formulir-formulir atau dokumen yang akan digunakan dalam rangk kepesertaan Dana Pensiun Struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang, terkait dengan Dana Pensiun Podoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Demikian permohonan ini disampaikan untuk diproses sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tanda Tangan Nama Jelas Jabatan Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN KEPALA BDOM KEPAVA DAGIAN O,NPPARTEMEN AGUS D.W. MARTOWARDOJO KEPAVA LAGIAN NO,BEPARTEMEN GIARTO NIP199004201984021001/ End of Page 8 LAMPIKAN II NOMOR 21 /PMK010/2011 TENTANG PENGESAHAN PENDIRIAN DANA LEMBAGA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor Lampiran Hal :Permohonan Pengesahan Perubahan Peraturan Dana Pensiun Kepada Yth. Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiur Godung Soemitro Djojohadikoesoemo Lt. 15 JlI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta Pusat 10710 Bersama ini kami mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana Pensiun, dengan menyampaikan hal sebagai berikut. IV. Dana Pensiun Nama Alamat Nomor Telepon Nomor Fax Website Email V. Pendiri Nama Nomor Telepon Nomor Fax Website: Email End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -2- VI. Dokumen yang Dilampirkan Peraturan Dana Pensiun yang ditetapkan Pendiri asli rangkap dua /Potokopi Anggaran Dasar Pendiri ya Fotokopi Anggaran Dasar Pendiri yang memuat perubahan nama Pendiri | (apabila mengubah nama Pendiri) Fotokopi ijin usaha asuransi jiwa atau bank umum dari instansi yang | berwenang (apabila mengubah nama Pendiri) Persandingan pokok-pokok perubahan Peraturan Dana Pensiun yang |mnemuat peraturan lama, peraturan baru dan alasan perubahan, untuk | ketentuan yang diubah Demikian permohonan ini disampaikan untuk diproses sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Tanda Tangan Nama Jelas Jabatan Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN KEPALA BERO TM Itd. EPATA AGIAN T.U DRPARTEMEN AGUS D.W. MARTOWARDOJO KEPAIA HAGIAN T.U. BRPARTEMEN NTP195904201984021001 . End of Page 10
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 21/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 7 Februari 2011 </set_date> <effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date> <issued_date> 7 Februari 2011 </issued_date> <replaced_reg> '802/KMK.01/1993|KEP-MENKEU/1993', '228/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg> <related_reg> '11/UU/1992', '77/PP/1992', '56/P|KEPPRES/2010', '513/KMK.06/2002|PER-MENKEU/2002', '36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '37/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55/PMK.010/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan pilihan investasi yang lebih luas kepada badan penyelenggara program tabungan hari tua pegawai negeri sipil dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian terhadap penempatan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa obligasi dan sukuk, dipandang perlu mengubah ketentuan mengenai Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok- pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3200); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38); 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil diubah sebagai berikut: MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 3 - 1. Ketentuan huruf c dan huruf d Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri dari: a. deposito pada Bank; b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; c. obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; d. sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; e. Surat Berharga Negara; f. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia; g. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; h. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia; i. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif dan telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; j. unit penyertaan dana investasi real estat yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan/atau k. penyertaan langsung. MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 4 - 2. Ketentuan huruf c dan dan huruf d Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut: a. deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal; b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan informasi harga perdagangan terakhir di bursa efek; c. obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; d. Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau lembaga penilaian harga efek yang telah diakui secara internasional; e. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan nilai pasar; f. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai aktiva bersih; g. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, berdasarkan nilai pasar; h. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai pasar; i. unit penyertaan dana investasi real estat, berdasarkan nilai pasar; dan j. penyertaan langsung, berdasarkan nilai ekuitas sesuai porsi kepemilikannya. penyertaannya MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - Pasal II Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 April 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 55/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL </reg_title> <set_date> 16 April 2012 </set_date> <effective_date> 16 April 2012 </effective_date> <issued_date> 16 April 2012 </issued_date> <changed_reg> '79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011' </changed_reg> <related_reg> '8/UU/1974', '43/UU/1999', '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '25/PP/1981', '26/PP/1981', '79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011' </related_reg>
SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 142 /PMK.010/2009 TENTANG MANAJEMEN RISIKO LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Manajemen Risiko Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MANAJEMEN RISIKO LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. - 2 - 3. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 4. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang diangkat Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI. 5. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam menjalankan kegiatan operasional LPEI. 6. Pembiayaan adalah kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang disediakan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 7. Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat menimbulkan kerugian. 8. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha. BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO Pasal 2 (1) LPEI wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif. (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup: a. pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif; b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 3 Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mencakup: a. Risiko kredit; - 3 - b. Risiko pasar; c. Risiko likuiditas; d. Risiko operasional; e. Risiko hukum; f. Risiko reputasi; g. Risiko stratejik; dan h. Risiko kepatuhan. BAB III PENGAWASAN AKTIF DEWAN DIREKTUR DAN DIREKTUR EKSEKUTIF Bagian Kesatu Umum Pasal 4 LPEI wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Bagian Kedua Pengawasan Aktif Dewan Direktur Pasal 5 Tugas Dewan Direktur paling kurang meliputi: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; dan b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada huruf a. Bagian Ketiga Pengawasan Aktif Direktur Eksekutif Pasal 6 (1) Tugas Direktur Eksekutif paling kurang meliputi: a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan komprehensif; - 4 - b. melaksanakan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil oleh LPEI secara keseluruhan; c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direktur Eksekutif; d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; dan g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen; dan 3. ketepatan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko. (2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Eksekutif harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas LPEI dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko LPEI. BAB IV KEBIJAKAN, PROSEDUR, DAN PENETAPAN LIMIT RISIKO Bagian Kesatu Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 7 Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b paling kurang memuat: a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi; b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; - 5 - d. penetapan penilaian peringkat Risiko; e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); dan f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. Bagian Kedua Prosedur dan Penetapan Limit Risiko Pasal 8 (1) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko LPEI. (2) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas; b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan limit secara berkala; dan c. pendokumentasian atas kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf b secara memadai. (3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencakup: a. limit secara keseluruhan; b. limit per jenis Risiko; dan c. limit per aktivitas tertentu yang memiliki eksposur Risiko. BAB V PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, PENGENDALIAN, DAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko Pasal 9 (1) LPEI wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud - 6 - dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c terhadap seluruh faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh: a. sistem informasi Manajemen Risiko yang tepat waktu; dan b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja, dan eksposur Risiko LPEI. Pasal 10 (1) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko wajib digunakan untuk mengelola Risiko yang dapat membahayakan kelangsungan usaha LPEI. (2) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko pasar dan Risiko likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dan huruf c, LPEI paling kurang menerapkan Assets and Liabilities Management (ALMA). Bagian Kedua Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 11 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, paling kurang mencakup laporan atau informasi mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8; dan c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin oleh Direktur Eksekutif kepada Dewan Direktur. - 7 - BAB VI SISTEM PENGENDALIAN INTERN Bagian Kesatu Umum Pasal 12 LPEI wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi LPEI. Pasal 13 (1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 paling kurang mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan: a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern LPEI; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan d. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi LPEI secara menyeluruh. Bagian Kedua Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko Pasal 14 (1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling kurang mencakup: a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha LPEI; - 8 - b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan, prosedur dan penetapan limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8; c. penetapan jalur pelaporan dari satuan kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; d. pemisahan fungsi yang jelas antara satuan kerja operasional dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; e. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha LPEI; f. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; g. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan LPEI terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku; h. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional LPEI; i. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi Manajemen Risiko; j. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan atas hasil audit; dan k. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan- kelemahan yang bersifat material dan tindakan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. (2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern (SKAI). BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 15 Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPEI wajib membentuk: - 9 - a. komite pemantau Risiko; b. komite manajemen Risiko; dan c. satuan kerja manajemen Risiko. Bagian Kedua Komite Pemantau Risiko Pasal 16 (1) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a terdiri dari: a. 1 (satu) orang anggota Dewan Direktur sebagai ketua; b. 1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko sebagai anggota; dan c. 1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan sebagai anggota. (2) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan penilaian secara berkala dan memberikan rekomendasi tentang risiko usaha dalam hubungannya dengan Pembiayaan Ekspor Nasional yang diberikan oleh LPEI paling kurang dengan melakukan: a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan Manajemen Risiko dengan pelaksanaan kebijakan; dan b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas satuan kerja Manajemen Risiko. Bagian Ketiga Komite Manajemen Risiko Pasal 17 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b paling kurang terdiri dari Direktur Pelaksana dan pejabat satu tingkat di bawah Direktur Pelaksana. (2) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b bertugas memberikan rekomendasi kepada Direktur Eksekutif atas: a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; - 10 - b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan; dan c. penetapan (justification) hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal (irregularities). Bagian Keempat Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 18 (1) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. (2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab langsung kepada Direktur Eksekutif atau kepada Direktur Pelaksana yang ditugaskan secara khusus. (3) Tugas satuan kerja Manajemen Risiko paling kurang meliputi: a. memantau pelaksanaan strategi Manajemen Risiko; b. memantau posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko dan per jenis aktivitas serta melakukan stress testing; c. mengkaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko; d. mengkaji usulan aktivitas dan/atau produk baru; e. mengevaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk mengukur Risiko; f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk taking unit) sesuai kewenangan yang dimiliki; dan g. menyusun dan menyampaikan laporan profil/komposisi Risiko kepada Direktur Eksekutif atau Direktur Pelaksana yang ditugaskan secara khusus. Bagian Kelima Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 19 Satuan kerja operasional (risk taking unit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) wajib menginformasikan eksposur Risiko - 11 - yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara berkala. BAB VIII PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU Pasal 20 (1) Dalam rangka pengelolaan Risiko yang melekat pada produk dan aktivitas baru, LPEI wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang meliputi: a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru; b. identifikasi seluruh Risiko yang terkait dengan produk dan aktivitas baru; c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk dan aktivitas baru; d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru; dan e. analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas baru. Pasal 21 LPEI wajib mengungkapkan Risiko yang melekat pada produk dan aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b kepada nasabah. BAB IX PELAPORAN Pasal 22 (1) LPEI wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Menteri. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni, September, dan Desember. - 12 - (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak periode laporan berakhir. (4) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah akhir bulan sampai dengan bulan kedua sejak periode laporan berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan. (5) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan bulan kedua sejak periode laporan berakhir dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). Pasal 23 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disampaikan kepada Menteri c.q. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dengan alamat Gedung Sumitro Djojohadikusumo, Jalan Lapangan Banteng Timur Nomor 2 - 4, Jakarta Pusat 10710. Pasal 24 (1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan setiap penerbitan produk dan aktivitas baru kepada Dewan Direktur. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak produk dan aktivitas baru dimaksud efektif dilaksanakan. BAB X PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO Pasal 25 Menteri dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada LPEI. Pasal 26 LPEI wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Menteri. - 13 - BAB XI SANKSI Pasal 27 (1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang: a. menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 4 Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 26; atau b. tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis. (2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang melakukan pelanggaran. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka: a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; atau b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan Direktur. - 14 - Pasal 28 (1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 26 dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian. (2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan lisan yang bersifat pembinaan. (3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk: a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan; dan c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan. (4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan ketiga berakhir dan pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang bersangkutan dapat diberhentikan. (5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 15 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ttd. ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 278
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 142/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> MANAJEMEN RISIKO LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title> <set_date> 31 Agustus 2009 </set_date> <effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date> <issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date> <related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IX Pasal 22 Ayat (4)', 'BAB IX Pasal 22 Ayat (5)', 'BAB XI' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 /PMK.010/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan tertib administrasi pengenaan sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan kepada mengenai sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun, b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Paioloh Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); .Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); End of Page 1 REPUBLIK INDONESIA -2 - Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313.); 6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara, 7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun; 8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 86); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN. Pasal l Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun, diubah sebagai berikut 1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 8 dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 0 End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA 3- 2. Ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (S) sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut Pasal 10 (1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Kcuangan. (2) Laporan keuangan semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah periode semesteran berakhir. (3) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b, wajib disampaikan paling lama 5 (lima) bulan setelah berakhirnya tahun buku Dana Pensiun. (4) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat, atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. (5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan semesteran dan laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. 3. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) (4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a) sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut: End of Page 3 MENTERI KEUANGAN -4 Pasal 11 (1) Dalam hal penyampaian laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal l ayat (3) huruf b terlambat dilakukan, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk sctiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) sampai dengan tanggal penyampaian laporan keuangan. 2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan keuangan adalah a. tanggal penerimaan laporan keuangan, apabila laporan keuangan diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; atau b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila laporan dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/ titipan. (3) Dihapus. (3a) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Menteri Keuangan. (4) Sanksi administratif berupa denda atas telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dibayarkan ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) dengan kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sebagaimana disebutkan dalam surat pengenaan sanksinya. (5) Fotocopy Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang merupakan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda scbagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Kepala End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -5 Biro Dana Pensiun, paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah denda dibayarkan ke Kas Negara. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 12A (1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan sanksi administratif berupa denda tersebut ditetapkan. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud tersebut tidak dilunasi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Kcuangan menetapkan surat teguran pertama kepada Pendiri Dana Pensiun untuk segera melunasi sanksi administratif berupa denda beserta bunga sebesar 2 per bulan, paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran pertama sanksi administratif berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menetapkan surat teguran kedua kepada Pendiri Dana Pensiun dalam jangka waktu ditetapkannya surat teguran kedua tersebut. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran kedua sanksi administratif berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi, sanksi administratif berupa denda beserta bunganya dikategorikan scbagai piutang macet. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN -6- (5) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh Badan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat paling lama 14 (empat belas) hari sejak sanksi administratif berupa denda dikategorikan sebagai piutang macet 5. Ketentuan ayat (2) Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 13 (a Dama Pensiun Lembaga Keuangan Wa laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b selain catatan atas laporan keuangan, dalam surat kabar yang memiliki peredaran nasional paling lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal penyampaian laporan keuangan kepada Menteri Keuangan. (2) Bukti pemuatan dalam surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib disampaikan kepada Meriteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal II 1. Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan penyampaian laporan keuangan yang sudah ada scbelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini dilimpahkan / diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 2. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semue peraturan pelaksanaan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri End of Page 6 REPUDLIRG INDONEDIA 3. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal l Februari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 145 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM KEPALP ISAGIAN T.0, KBMENTERIAN BIRO UMUM GIARTRA NIP 19580420198402a8001 End of Page 7
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 20/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 1 Februari 2012 </set_date> <effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date> <issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date> <changed_reg> '509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '44/PP/2003', '509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '77/PP/1992', '20/UU/1997', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '11/UU/1992', '89/PERPRES/2006' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal I angka 3 Pasal 11', 'Pasal I angka 4 Pasal 12A' </penalty_list>
ENTERI KEUANGAN REPUBUK INDO PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 18 /PMK.010/2012 TENTANG PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perusahaan Modal Ventura; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); 4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUSAHAAN MODAL VENTURA. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 2. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (Inuestee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/ atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha. 3. Perusahaan Pasangan Usaha (Investee Company) yang selanjutnya disingkat PPU adalah perusahaan atau Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang menerima bantuan pembiayaan dan/atau penyertaan dari PMV. Usaha Mikro, Keci, dan Memengah yang selanjutnya disingkat :UMKM adalah usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. 5. Perusahaan Nasional adalah PMV yang seluruh kepemilikannya oleh warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, ; lembaga Indonesia, Negara Republik Indonesia, dan/atau Pemerintah Daerah. 6. Perusahaan Patungan (Joint Venture) adalah PMV yang sebagian kepemilikannya terdapat penyertaan langsung badan usaha asing dan/atau lembaga asing. 7. Divestasi adalah penjualan saham PMV yang berada pada PPU yang bersangkutan. 8. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) PMV atau lebih untuk menggabungkan diri dengan PMV lain yang telah ada yang mengakibatkan asct dan liabilitas dari PMV yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada PMV yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum PMV yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA 33- 9. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) PMV atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara acu adan labilitas dari PMV vangrelh....... dan status badan hukum PMV yang meleburkan diri berakhir karena hukum. 10. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham PMV yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PMV tersebut. 11. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh PMV untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas PMV beralih karena hukum kepada 2 (dua) PMV atau lebih atau sebagian aset dan liabilitas PMV beralih karena hukum kepada 1 (satu) PMV atau lebih. 12. Kantor Cabang adalah unit usaha dari suatu PMV yang menjalankan kegiatan usaha. modal ventura dan dapat menyelenggarakan tata usaha pembukuan sendiri, yang dalam mengatur usahanya tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat PMV yang bersangkutan. 13. Hari adalah hari kerja. untuk koperasi. 15. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris untuk perseroan terbatas atau pengawas untuk koperasi. 16. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha PMV. 17. Pemeriksa adalah pegawai Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro cbyaan dan Peniaminan Badan Da.. dan Lembaga Keuangan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan. # End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -4- 19. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang disampaikan kepada PMV yang akan diperiksa. 20. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 21. Kepala Biro adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, .Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB II KEGIATAN USAHA Pasal 2 Kegiatan usaha PMV meliputi a. penyertaan saham (equity participation); . penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/ atau . pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing). Pasal 3 Kegiatan usaha PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk a. pengembangan suatu penemuan baru; . pengembangan perusahaan atau UMKM yang pada tahap awal usahanya mengalami kesulitan dana, . membantu perusahaan atau UMKM yang berada pada tahap pengembangan; 1. membantu perusahaan atau UMKM yang berada dalam tahap kemunduran usaha; e. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa; . pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri; dan/atau s. membantu pengalihan kepemilikan perusahaan. m End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -5- Pasal 4 Penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a wajib dilakukan oleh PMV dalam bentuk penyertaan modal secara langsung kepada PPU yang berbentuk badan hukum perseroan aaimama dimaksud dalam Peraturan Menteri ini. Pasal 5 (4) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib dilakukan oleh PMV dalam bentuk pembelian obligasi konversi yang diterbitkan oleh PPU yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas, (2) Obligasi konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikontensi meniadi penvertaan saham toit pada saat jatuh tempo untuk suatu jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini. (3) Pengkonversian menjadi penyertaan saham (equity participation) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati bersama oleh PMV dan PPU. Pasal 6 (1) Penyertaan oleh PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (2) bersifat sementara dengan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. (2) Setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (I) berakhir, PMV wajib melakukan Divestasi. (3) Kewajiban melakukan Divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan bagi PMV yang melakukan restrukturisasi hanya pada PPU yang mengalami kesulitan keuangan. (4) Dalam hal PMV melakukan restrukturisasi scbagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu Divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 5 (lima) tahun. End of Page 5 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -6- Pasal 7 Divestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara a. penawaran umum melalui pasar modal (initial public offering); b. menjual kembali kepada PPU (buy back); atau c. menjual kepada perusahaan lain/investor baru. Pasal 8 (1) Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yan dilaksanakan oleh PMV kepada PPU dilakukan dengan pola a. pembagian atas hasil usaha berdasarkan labe (profit sharing) yang dihasilkan dari selisih lebih total pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan;, atau b. pembagian atas hasil usaha berdasarkan pendapatan (revenue sharing). (2) Pembagian atas hasil usaha sebagaimana dimaksud pada asarkan persentase tertentu jang tea disepakati di awal dan harus dituangkan dalam perjanjian tertulis antara PMV dan PPU. Pasal 9 (1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus dilakukan PMV pada PPU yang melakukan usaha produktif. (2) Usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan PPU untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan bagi PPU. Pasal 10 Kegiatan usaha PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat disertai dengan pemberian pelatihan dan pendampingan kepada PPU di bidang administrasi, akuntansi, manajemen, dan pemasaran, serta bidang lainnya yang mendukung kegiatan usaha PMV. End of Page 6 MENTERI KEUANGAN -7- BAB III PENDIRIAN, PERIZINAN, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Pendirian dan lzin Usaha Pasal 11 (1) PMV didirikan dalam bentuk badan hukum a. perseroan terbatas; atau b. koperasi. (2) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya dapat dimiliki oleh a. warga negara Indonesia; b. badan usaha atau lembaga Indonesia; c. badan usaha atau lembaga asing d. Negara Republik Indonesia; dan/atau e. Pemerintah Daerah. (3) PMV yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, kepemilikannya diatur berdasarkan undang-undang mengenai perkoperasian. Pasal 12 (1) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang melakukan kegiatan sebagai PMV harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri. (2) Pemberian izin usaha oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua atas nama Menteri. Pasal 13 PMV scbagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib mencantumkan secara jelas dalam anggaran dasar mengenai maksud dan tujuan badan hukum hanya untuk menjalankan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. End of Page 7 MENTERI KEUANGAN 8- Pasal 14 (1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diajukan oleh Direksi kepada Menteri c.q. Ketua dengan menggunakan format Lampiran angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan a. akta. pendirian dan/atau perubahan anggaran, dasar terakhir yang telah disahkan dan/atau disetujui olch instansi berwenang, yang paling sedikit memuat: 1. nama dan tempat kedudukan; 2. kegiatan usaha sebagai PMV, 3. permodalan, 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi dan Dewan Komisaris; b. data calon Direksi dan calon Dewan Komisaris meliputi: 1. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku, 2. daftar riwayat hidup; 3. surat pemyataan yang mencantumkan bahwa calon Direksi dan calon Dewan Komisaris a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; ) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; dan ) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 4. surat pernyataan bagi calon Direksi yang menyatakan bahwa calon Direksi dimaksud tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada PMV lain dan tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain, 5. surat pernyataan calon Dewan Komisaris yang menyatakan bahwa a) calon Dewan Komisaris dimaksud tidak memangku jabatan sebagai Direksi pada PMV lain dan tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain; atau 1 End of Page 8 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -9- b) calon Dewan Komisaris dimaksud telah memangku merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 3 (tiga) atau lebih pada PMV lain;, dan 6. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang PMV atau lembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi, c. data pemegang saham atau anggota, dalam hal 1. perorangan, dokumen yang harus dilampirkan adalah dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1, huruf b angka 2, dan huruf b angka 3 serta surat hahwa setoran modal tidak berasal dan pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money.laundering); atau 2. badan usaha atau lembaga, dokumen yang harus dilampirkan adalah: a) akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar terakchir yang telah disahkan dan/atau disetujui oleh instansi berwenang bagi badan usaha atau lembaga Indonesia yang berbadan hukum atau dokumen yang Setara dengan akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan di negara asalnya bagi badan usaha atau lembaga asing yang berbadan hukum; b) akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar terakhir bagi badan usaha atau lembaga Indonesia yang tidak berbadan hukum atau dokumen yang setara dengan akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar sesuai dengan ketentuan di negara asalnya bagi badan usaha atau lembaga asing yang tidak berbadan hukum; c) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dan d) dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hurut b angka l, huruf b angka 2, dan huruf b angka 3 bagi Direksi dari badan usaha atau lembaga tersebut; dstnuktur orgarisasi yang memaliki ugs peg fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan fungsi pengembangan informasi PPU; e. sistem dan prosedur kerja PMV; f. rencana kerja (business plan) untuk 2 (dua) tahun pertama yang paling sedikit memuat ekonomi; 4 End of Page 9 REPUBLIK INDONESIA -10- 2. rencana kegiatan usaha PMV dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan B. proyeksi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak PMV melakukan kegiatan operasional; g. fotokopi bukti setoran modal; h. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor, 3. contoh formulir, termasuk perjanjian pembiayaan dan penyertaan yang akan digunakan untuk operasional PMV; dan 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); i. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan Patungan; dan J. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Pasal 15 (1) Menteri menetapkan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah dokumen permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diterima sccara lengkap. (2) Sebelum Menteri menetapkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melakukan a. penelitian atas kelengkapan dokumen dan analisis kelayakan atas rencana kerja; b. wawancara terhadap pemilik dan/atau calon Direksi apabila diperlukan; dan . verifikasi langsung ke kantor pemohon izin usaha apabila diperlukan. Pasal 16 (1) PMV yang telah memperoleh, izin usaha dari Menteri wajib melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak izin usaha ditetapkan. #) End of Page 10 REPUBLIK INDONESIA -11- (2) PMV wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri C.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha (3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro dengan menggunakan format Lampiran angka 2 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 17 Dalam pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, PMV harus melaksanakan ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah bagi lembaga keuangan non bank. Pasal 18 PMV wajib mencantumkan Nama PMV secara jelas pada gedung kantor PMV. Bagian Kedua Permodalan Pasal 19 (1) PMV wajib memenuhi ketentuan permodalan sebagai berikut a. Perusahaan Nasional: 1) koperasi, memiliki simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). ) perseroan terbatas, memiliki modal disctor paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Perusahaan Patungan, memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah). (2) Ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2) dan ayat (1) huruf b dilakukan dalam bentuk setoran tunai pada salah satu bank umum di Indonesia. End of Page 11 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -12- (3) PMV yang telah mendapat izin usaha sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini wajib memenuhi ketentuan permodalan sebagai berikut. a. Perusahaan Nasional hibah paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). ) perseroan terbatas, memiliki modal disetor paling sedikit 2) perseroan terbatas, memiliki modal disetor paling s sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) b. Perusahaan Patungan, memiliki modal disetor paling s odal disetor palagsde sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (4) PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang melakukan perubahan pemegang saham pengendali wajib menyesuaikan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum, perorangan, dan/atau kelompok usaha yang perorangan, dan/atau kelompok usaha yang . memiliki saham PMV lebih dari, 509 (lima puluh prseahis) jumlah saham vang dikeh mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham PMV sebesar 50% (lima puluh perseratus) atau kurang dari jumlah saham yang dikeluarkan PMV dan mempunyai hak suara, namun dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian PMV baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 20 Kepemilikan saham oleh badan usaha atau lembaga asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c wajib memenuhi ketentuan paling tinggi sebesar 859 (delapan puluh lima perseratus) dari modal disetor PMV. Pasal 21 (1) Pemegang saham yang berbentuk badan usaha atau lembaga, pada saat melakukan penyertaan modal pada PMV, wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut a. apabila tidak ada penyertaan modal yang dilakukan, jumlah penyertaan modal paling banyak sebesar ekuitas badan usaha atau lembaga yang bersangkutan; atau b. apabila terdapat penyertaan modal yang telah dilakukan, Jumlah penyertaan modal paling banyak sebesar ckuitas badan usaha atau lembaga yang bersangkutan sctelah dikurangi dengan penyertaan yang telah dilakukan. End of Page 12 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -13- (2) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas merupakan penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi. (3) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum koperasi merupakan penjumlahan dari simpanan pokok simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah. (4) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk lembaga yayasan adalah sebesar aset bersih yang terdiri dari aset bersih terikat secara permanen, aset bersih terikat secara temporer, dan aset bersih tidak terikat. (5) Ekuitas bagi pemegang Saham berbentuk badan usaha atau lembaga yang tidak berbadan hukum adalah sebesar kekayaan bersih yaitu selisih lebih aset dengan liabilitas. (6) Ekuitas bagi pemegang saham berbentuk badan usaha atau lembaga asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negar: tempat badan usaha atau lembaga tersebut didirikan. Pasal 22 (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) tidak beraku baai pemegang saham PMV badan hukum dana pensiun. (2) Pemegang saham yang berbentuk badan hukum dana pensiun, pada saat melakukan penyertaan modal pada PMV, jumlah penyertaan modal wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai investasi dana pensiun. Pasal 23 Pemegang saham PMV wajib memenuhi persyaratan a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan b. tidak pemah dihukum karena tindak pidana kejahatan, setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjamar c. setoran modal pemegang saham tidak berasal dari dan kegiatan pencucian uang (money laundering); dan d. tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. End of Page 13 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -14 BAB IV DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 24 Direksi dan Dewan Komisaris PMV paling sedikit harus memenuhi persyaratan a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan, b. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; c. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang PMV atau perbankan atau lembaga keuangan lainnya paling singkat 2 (dua) tahun, dan d. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang sua perseroan/peruisahaan dinyatakan palit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 25 (1) Setiap Direksi dan Dewan Komisaris PMV wajib memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan. (2) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon Direksi dan/atau Dewan Komisaris PMV dilakukan oleh Ketua. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan pelaksanaan pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua. Pasal 26 (1) Direksi PMV wajib menetap di Indonesia. (2) PMV wajib memiliki paling sedikit seorang Direksi yang berkewarganegaraan Indonesia. (3) Direksi PMV dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai Direksi pada PMV lain. 4) Direksi PMV dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain. (5) Dewan Komisaris PMV yang tidak memangku jabatan sebagai Direksi pada PMV lain dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain. End of Page 14 REPUBLIK INDONESIA -15- BAB V PENGGABUNGAN, PELEBURAN, PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN Bagian Kesatu Penggabungan dan Peleburan Pasal 27 (1) PMV wajib menyampaikan laporan Penggabungan atau Peleburan kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal anggaran dasar PMV disetujui dan/atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Laporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Penyampaian laporan Penggabungan . atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta hasil Penggabungan atau Peleburan yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; dan c. data pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi. (4) Berdasarkan laporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Ketua atas nama Menteri menctapkan a. pencabutan izin usaha PMV yang menggabungkan diri atau yang melakukan Peleburan; dan/atau b. pemberian izin usaha kepada PMV hasil Peleburan. 5) Penetapan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b berlaku surut sesuai dengan tanggal efektifnya persetujuan atau pencatatan badan hukum hasil Peleburan oleh instansi yang berwenang. (6) Sebelum izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diberikan, PMV hasil Peleburan dapat menjalankan kegiatan usaha. End of Page 15 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -16- Bagian Kedua Pengambilalihan Pasal 28 (1) Pengambilalihan dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 Peraturan Menteri ini. (2) PMV wajib menyampaikan laporan Pengambilalihan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal akta Pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris. (3) Laporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 4 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Penyampaian laporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilampiri dengan a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. akta Pengambilalihan; dan c. data pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi. Bagian Ketiga Pemisahan Pasal 29 (1) PMV yang melakukan Pemisahan wajib menyampaikan laporan kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal akta Pemisahan disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang. (2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dapat dilakukan dengan cara pemisahan murni; atau b. pemisahan tidak murni. (3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas PMV beralih karena hukum kepada 2 (dua) PMV lain atau lebih yang menerima peralihan dan PMV yang melakukan Pemisahan tersebut berakhir karena hukum. End of Page 16 REPUBLIK INDONESIA -17- 4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mengakibatkan sebagian aset dan liabilitas PMV beralih karena hukum kepada 1 (satu) PMV lain atau lebih yang menerima peralihan dan PMV yang melakukan Pemisahan tersebut tetap ada. (5) Laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 5 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Penyampaian laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dilampiri dengan a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. akta Pemisahan. (7) Berdasarkan laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua atas nama Menteri mencabut izin usaha PMV yang melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 30 (1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) PMV hasil Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini. BAB VI PEMBUKAAN KANTOR CABANG Pasal 31 (1) PMV dapat membuka Kantor Cabang di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. (2) PMV wajib menyampaikan laporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal pembukaan Kantor Cabang. End of Page 17 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONE -18- (3) Laporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 6 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (4) Penyampaian laporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilampiri dengan a remcana kerja tahunan PMV yang memua pembukaan Kantor Cabang dengan mencantumkan lokasi Kantor Cabang b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor, dan c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama kepala cabang serta jumlah karyawan. BAB VII PENUTUPAN KANTOR CABANG Pasal 32 (1). PMV wajib menyampaikan laporan penutupan Kantor Cabang secara tertulis kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal penutupan Kantor Cabang. (2) Laporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 7 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. BAB VIII PINJAMAN, PEMBIAYAAN, DAN PENYERTAAN Bagian Kesatu Pinjaman Pasal 33 (1) PMV dapat menerima pinjaman dari bank, industri keuangan non-bank, badan usaha, dan/atau lembaga berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam. (2) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pinjaman subordinasi. End of Page 18 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -19- (3) PMV yang menerima pinjaman senilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih dari badan usaha dan/atau lembaga harus terlebih dahulu dinilai oleh penilai independen. (4) Penilaian terhadap PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi a. latar belakang dan keadaan keuangan; b. kemampuan untuk memenuhi kewajiban baik jangka pendek maupuin jangka panjang c. manajemen risiko; dan d. kemampuan memperoleh laba secara berkesinambungan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan bagi pinjaman dari badan usaha dan/atau lembaga a. yang kedudukannya sebagai pemegang saham dan afiliasi; atau b. yang kegiatannya mendukung program pemerintah. Pasal 34 Pinjaman subordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) merupakan pinjaman yang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut a. berjangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. perjanjian pinjaman dituangkan dalam akta notariil. Pasal 35 (1) PMV yang menerima pinjaman subordinasi wajib menyampaikan laporan pinjaman subordinasi kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal pinjaman diterima. (2) Laporan pinjaman subordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 8 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 36 (1) Jumlah pinjaman PMV dibatasi dengan ketentuan gearing ratio paling tinggi sebesar 10 (sepuluh) kali. # End of Page 19 MENTERI KEUANGAN 20- (2) PMV wajib memenuhi ketentuan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah pinjaman dan jumlah ekuitas ditambah pinjaman subordinasi. (4) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan a. penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi, dalam hal PMV berbentuk badan hukum perseroan terbatas; atau b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah, dalam hal PMV berbentuk badan hukum koperasi. (5) Pinjaman . subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal disetor. Bagian Kedua Pembiayaan dan Penyertaan Pasal 37 (1) Dalam menjalankan usahanya, PMV dapat melakukan pembiayaan dalam bentuk. a. pembiayaan penerusan (channeling); atau b. pembiayaan bersama (jioint financing). (2) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan a. risiko yang timbul dari kegiatan channeling berada pada pemilik dana; dan b. PMV hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan (fee) dari pemilik dana tersebut. 5) Dalam pembiayaan bersama (joint finarcing) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, risiko yang timbul dari pembiayaan bersama menjadi beban masing-masing pihak secara proporsional. Pasal 38 (1) PMV yang merupakan Perusahaan Nasional wajib memiliki nilai penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas paling rendah scbesar 40% (empat puluh perseratus) dari total 9 End of Page 20 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -21- (2) PMV yang merupakan Perusahaan Patungan wajib memiliki nilai penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling rendah sebesar 40% (empat puluh perseratus) dari total aset. (3) Pemenuhan nilai penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas . hasil usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal izin usaha ditetapkan. Pasal 39 (1) Jumlah penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi oleh PMV kepada setiap PPU dibatasi paling (2) Dalam hal jumlah penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian obligasi konversi kepada sctiap PPU melebihi ketentuan 209 (dua puluh perseratus) sebagaimana dimaksud anoiigasi konversi kenada setion DDT diperhitungkan dalam pemenuhan ketentuan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) paling tinggi sebesar 20% (dua puluh perseratus). (3) Jumlah penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui e i h (4) Besarnya ekuitas PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan laporan keuangan audit terakhir. Pasal 40 (1) Jumlah Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha leh PMV kepada setiap PPU dibatasi paling tinggi sebesa 109 (sepuluh perseratus) dari total aset PMV. (2) Dalam hal jumlah pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha kepada setiap PPU melebihi ketentuan 10% (sepuluh perseratus), scbagaimana dimaksud pada usaha kepada setiap PPU yang diperhitungkan dalam pemenuhan ketentuan Pasal 38 ayat (1) paling tinggi sebesar 10% (sepuluh perseratus). (3) Besarnya total aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan laporan keuangan audit teralehir. End of Page 21 MENTERI KEUANGAN -22- BAB IX PEMBATASAN Pasal 41 (1) PMV dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat lainnya yang dipersamakan dengan itu. dengan memenuhi prinsip kchati-hatian (prudential principles). (3) Penerbitan surat sanggup bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan paling sedikit . mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari Dewan Komisaris dan disetujui rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. dibuat dalam suatu akta notariil. (4) Surat sanggup bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai jaminan atas utang PMV kepada kreditur. (5) Uang yang berasal dari utang yang dijamin dengan sura pembagian atas hasil usaha. BAB X PELAPORAN Bagian Kesatu Penyampaian Laporan Keuangan dan Kegiatan Usaha Pasal 42 (1) PMV harus menyampaikan laporan keuangan bulanan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro. (2) PMV wajib menyampaikan laporan kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro dengan ketentuan sebagai berikut. a. Laporan kegiatan usaha semesteran paling lama 1 (satu) a. Laporan kegiatan usaha semesteran paling la bulan setelah periode semester berakhir; dan b. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir. (3) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan berdasarkan tahun takwim m End of Page 22 MENTERI KEUANGAN -23- (4) Laporan keuangan bulanan sebagaimana dimaksud pada poran kegiatan usaha semesteran dan ayat (2 u.p. Kepala Biro melalui email dalam bentuk file excel, dengan menggunakan format Lampiran angka 9 dan angka 10 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. 5) Setiap perubahan format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Ketua. (6) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Menteri c.9. Ketua u.p. Kepala Biro dengan alamat Gedung Sumitro Nomor 1-4, Jakarta Pusat 10710. (7) PMV yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan surat pemberitahuan untuk menyampaikan laporan keuangan bulanan. (8) PMV wajib menyampaikan laporan keuangan bulanan paling Jama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak diterimanya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7). Bagian Kedua Penyampaian Laporan Perubahan Anggaran Dasar dan Alamat Pasal 43 (1) Perubahan anggaran dasar tertentu wajib dilaporkan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas) Hari setelah perubahan tersebut disetujui atau dicatat oleh instansi berwenang. 2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi a. nama perusahaan; b. modal; c. pemegang saham, d. Direksi; dan/ atau c. Dewan Komisaris. (3) Laporan perubahan nama perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. # End of Page 23 REPUBLIK INDONESIA -24- sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi berwenang; dan b. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV yang baru. (5) Laporan perubahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran . angka 12 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (6) Penyampaian laporan perubahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilampiri dengan a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi berwenang; dan o. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf c dan huruf g. 7) Laporan perubahan pemegang saham, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 13 dan 14 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (8) Penyampaian laporan perubahan pemegang saham, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dilampiri dengan a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dicatat a. perubahan anggaran dasar yat oleh instansi berwenang; dan b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b dan/atau huruf c. Pasal 44 (4) PMV wajib menyampaikan laporan perubahan alamat kantor secara tertulis kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal perubahan. (2) Laporan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka is yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dengan dilampiri bukti kepemilikan atau penguasaan atas gedung kantor yang baru. End of Page 24 -25- BAB XI PEMERIKSAAN Tujuan Pemeriksaan Pasal 45 (1) Dalam rangka pelaksanaan salah satu fungsi pembinaan dan pengawasan, Menteri melakukan Pemeriksaan terhadap PMV. (2) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Ketua. Pasal 46 Pemeriksaan bertujuan untuk a. memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan perusahaan yang sebenarnya; b. memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan periodik; dan c. menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang PMV. Bagian Kedua Tata Cara Pemeriksaan Pasal 47 (1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dilakukan a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga) tahun dan/atau b. setiap waktu bila diperlukan. (2) Pemeriksaan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. meliputi kebenaran aspek substansi lapora (3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b perlu dilakukan apabila a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik PMV patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha PMV menyimpang dari ketentuan yang berlaku di bidang PMV dan/atau peraturan perundang-undangan; End of Page 25 MENTERI KEUANGAN -26- b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atas surat pengaduan yang diterima olch Menteri patut diduga dari ketentuan yang berlaku di bidang PMV, dan/atau peraturan perundang-undangan;, atau . PMV patut diduga tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan. Ketentuan yang, berkaitan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah. Pasal 48 (1) Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua. (2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat a. penentuan obyek Pemeriksaan; b. prosedur dan program Pemeriksaan; c. penyusunan kertas kerja Pemeriksaan; d. pelaporan Pemeriksaan; dan e. tindak lanjut Pemeriksaan. Pasal 49 (1) Pemeriksaan harus dilaksanakan oleh pemeriksa berdasarkan Surat Tugas Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. (2) Surat Tugas Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan format Lampiran angka 16 dan angka 17 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (I), Kepala Biro atas nama Ketua menyampaikan terlebik dahulu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada PMV. (4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat a. nomor dan tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan; b. nama Pemeriksa; c. jangka waktu Pemeriksaan; dan d. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan. End of Page 26 MENTERI KEUANGAN -27- Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan apabila wapenyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksan mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan. Pasal 50 (1) Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk menunjukkan Surat Tugas Pemeriksaan dan tanda pengena Pemeriksa pada saat akan dimulainya Pemeriksaan 2) Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan mengenai tujuan Pemeriksaan. (3) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), PMV yang akan diperiksa berhak menolak dilakukan Pemeriksaan. (4) Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Pemeriksa berhak: a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku, catatan- catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat clektronik pengolah data lainnya; bb. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari PMV yang diperiksa; . memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempt menyimapan dokumen atau baranovone memberikan petunjuk tentang keadaan PMV yang diperiksa; d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan PMV yang diperiksa; dan e. meminta PMV yang diperiksa untuk menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor eksternal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan terkait dengan Pemeriksaan. (5) Pemeriksa harus merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak yang tidak berhak. End of Page 27 MENTERI KEUANGAN REPJBUK IND -28- Tahapan Pemeriksaan Pasal 51 (1) Pemeriksaan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut a. persiapan Pemeriksaan; b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan. (2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi a. analisa terhadap laporan periodik PMV; b. penelitian atas keterangan yang didapat atau yang diterima oleh Menteri mengenai ada atau tidaknya penyimpangan penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan oleh PMV atas peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan c. penelitian atas: 1. pemenuhan kewajiban PMV yang diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan 2. pemenuhan ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenal nasabah bagi lembaga keuangan non bank. 3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut: . Pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh lebih dari (1) satu orang Pemeriksa; o. Pemeriksaan dilaksanakan di kantor dan/atau tempat kegiatan PMV, c. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam dan hari kerja, dan d. hasil Pemeriksaan dituangkan dalam laporan Pemeriksaan. (4) Pelaporan hasil Pemeriksaan PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data atau ieterangan yang diperoleh selama proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan. Pasal 52 (1) PMV yang diperiksa dilarang menolak atau menghambat kelancaran proses Pemeriksaan. (2) Dalam hal PMV menolak dilakukan Pemeriksaan, PMV harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan. End of Page 28 MENTERI KEUANGAN REPUBI IK INDONESIA -29- Pasal 53 (1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, PMV yang diperiksa wajib. a. memberikan atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk :kelancaran Pemeriksaan; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan/atau lisan, c. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang diperlukan oleh pemeriksa, d. memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan PMV yang diperiksa; dan e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor cksternal untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangar kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan. 2) PMV wajib menandatangani berita acara pelaksanaar Pemeriksaan setelah Pemeriksaan selesai dilakukan. (3) Berita acara pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format Lampiran agmerupakan bagian tidak terpisahkan dar Peraturan Menteri ini. Bagian Keempat Laporan Hasil Pemeriksaan Pasal 54 (1) Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan setelah jangka waktu pelaksanaan Pemeriksaan beralchir. (2) Laporan hasil Pemeriksaan terdiri dari a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan final. (3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Kepala Biro atas nama Ketua. Pasal 55 (1) Kepala Biro atas nama Ketua menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan sementara kepada Direksi PMV paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan. End of Page 29 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -30- (2) PMV yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua c.q. Kepala Biro disertai dengan alasan, dukung, paling lama 15 (lima belas) Hari setelah diterimanya laporan hasil Pemeriksaan sementara. (3) Pembahasan terhadap tanggapan atas . laporan hasil Pemeriksaan sementara dapat dilakukan apabila PMV menyampaikan tanggapan yang memuat keberatan. (4) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana dimakaud pada ayat (3) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterimanya tanggapan dari PMV yang diperiksa. Pasal 56 Penetapan laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan a. laporan hasil Pemeriksaan sementara, apabila PMV tidak mengajukan tanggapan; atau b. laporan hasil Pemeriksaan sementara dan tanggapan yang diajukan PMV dengan ketentuan sebagai berikut 1. tidak terdapat keberatan;, 2. terdapat keberatan, namun keberatan ditolak; atau 3. terdapat keberatan, dengan keberatan yang diterima sebagian atau seluruhnya. BAB XII PEMBUBARAN, PERUBAHAN KEGIATAN USAHA, DAN PENGEMBALIAN IZIN USAHA Pasal 57 (1) Dalam hal PMV bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atau. karena jangka waktu berdirinya sudah berakhir, likuidator atau penyclesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Menteri c.q. Ketua paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal rapat umum pemegang saham atau rapat anggota (2) Laporan pembubaran scbagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota. End of Page 30 MENTERI KEUANGAN REPUBI.IK INDONESIA . -31- Pasal 58 (1) Dalam hal PMV bubar berdasarkan penetapan pengadilan atau keputusan pemerintah, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Menteri c.q. Ketua paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal penctapan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau dikeluarkannya keputusan pemerintah. (2) Laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.o. Ketua dengan dilampiri a. penetapan pengadilan dan/atau keterangan resmi yang menyatakan mengenai pembubaran, bagi perseroan terbatas; atau b. keputusan pemerintah mengenai pembubaran, bagi Pasal 59 (1) PMV yang melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi PMV harus melaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) Hari sejak perubahan anggaran dasar disahkan oleh instansi berwenang. (2) Laporan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.g. Ketua dengan dilampiri a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang. Pasal 60 Dalam hal PMV mengembalikan izin usaha, Direksi harus melaporkan hasil rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai keputusan pengembalian izin usaha kepada Menteri c.q. Ketua paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak sapat mum pemegang saham atau rapat angpta dilaksanakan. Pasal 61 Berdasarkan laporan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Peraturan Menteri ini, Ketua atas nama Menteri mencabut izin usaha PMV yang bersangkutan dengan Keputusan Menteri. End of Page 31 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -32- BAB XIII SANKSI Pasal 62 (1) PMV yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (3), dan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26, Pasal 27 ayat (i), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), Pasal 38, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 42 ayat (8), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1), Pasal 52 ayat (1), dan/atau Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 53 ayat (2) Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa a. Peringatan; b. Pembekuan kegiatan usaha; dan c. Pencabutan izin usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurut a diberikan secara tertulis oleh Kepala Biro u.b. Ketua atas nama Menteri kepada PMV sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) Hari. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Biro u.b. Ketua atas nama Menteri mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua atas nama Menteri mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh Kepala Biro u.b. Ketua atas nama Menteri kepada PMV yang bersangkutan jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak surat sanksj pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur nasional, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja berikutnya. End of Page 32 MENTERI KEUANGAN -33- (7) PMV yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan nilai penyertaan ytmelalu pembelian obligasi komresj dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua atas nama Menteri mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV tidak juga memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri ini, Ketua atas nama Menteri mencabut izin usaha PMV yang bersangkutan dengan Keputusan Menteri. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 63 (1) PMV yang telah mendapat izin usaha sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini, izin usahanya dinyatakan tetap berlaku. (2) PMV yang telah mendapat izin usaha wajib menyesuaikan Pasal 6 ayat (2), Pasal 13, Pasal 23, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 26 ayat (5), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 38 Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Peraturan Menteri ini. Pasal 64 (1) Segala sanksi yang telah dikenakan terhadap PMV Nomor 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dinyatakan tetap sah dan berlaku. sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. End of Page 33 REPUBUIK INDONESIA -34- BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku. . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura; dan b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 66 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 Februari 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 143 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO-UMUM KEPALA BAGIAN 1A KEMENTERIAN RO UMUM GIARTO8 NIP 099049019849 End of Page 34 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 /PMK.010/2012 TENTANG PERUSAHAAN MODAL VENTURA MENTERI KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 /PMK.010/2012 TENTANG PERUSAHAAN MODAL VENTURA End of Page 35 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -1- 1. CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN USAHA (tanggal.bulan.. tahun) Lampiran : Perihal : Permohonan Iain Usaha Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor | tanggal ........... dengan ini kami: Nama : PT/Koperasi : PT/Koperasi') ..... Alamat jukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha dalam bidang ...... Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen |dokumen sebagai berikut: |1. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang |2. data Direksi dan Dewan Komisaris; |3. data pemegang saham atau anggota; |4. struktur organisasi Perusahaan Modal Ventura; |5. sistem dan prosedur kerja Perusahaan Modal Ventura |6. rencana kerja (business plan) untuk 2 (dua) tahun pertama; |7. fotokopi bukti setoran modal; 8. bukti kesiapan operasional; . perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan Swasta Patungan; dan 10. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah (P4MN). Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibur) kami mengucapkan |terima kasih. Direksi FT/Koperasi ') .. | Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. Jcoretyang tidak perlu End of Page 36 REPUBLIK INDONESIA - 2- 2. CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA PT/KOPERASI'). Nomor: (tanggal..bulan.. tahun) Lampiran: Perihal : Pelaksanaan Kegiatan Usaha PT/Koperasi')....... Kepada Yth. Menteri Keuangan Repubik Indonesia cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo |JI. Lapangan Banteng Timur No.1-4 | Jakarta 10710 Menunjuk surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor ............tentang Pemberian lain | Usaha Perusahan Modal Ventura tanggal .......... kepada PT/Koperasi') | dengan int dilaporkan bahwa kamni telah memulai kegiatan usaha pada tanggal .. Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi perjanjan pembiayaan/ penyertaan modal.') Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/lbu') kami mengucapkan | terima kasih. Direksi PT/Koperasi ') ) Coret yang tidak perlu # End of Page 37 MENTERI KEUANGAN 3- 3. CONTOH FORMAT LAPORAN PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN Nomor: (tanggal.bulan.. tahun) Lampiran : Perihal : Penggabungan dan Peleburan Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.g. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan up. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djgjohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 |Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') tanggal ........... telah dilakukan Penggabungan/Peleburan') antara PT/Koperasi') | dan PT/Koperasi')... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut 1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggotar') 2. Akta hasil Penggabungan/Peleburan') yang telah disetujui/ dicatat') oleh instansi yang berwenang; |3. Data pemegang saham dan Direksi dan 4. Status kantor Perusahaan Modal Ventura yang menggabungkan atau meleburkan diri.') Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibu') kami mengucapkan Direksi PT/Koperasi ') 3 Coret yang tidak perlu End of Page 38 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -4- 4. CONTOH FORMAT LAPORAN PENGAMBILALIHAN Nomor: (tanggal. bulan. tahun) |Lampiran: Perihal : Pengambilalihan Kepada Yth. | Menteri Keuangan Republik Indonesia |c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan |u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo | JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 | Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen dokumen sebagai berikut: |1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota'): |2. Akta Pengambilalihan; 3. Data pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan | terima kasih. Direksi PT/Koperasi ') **.**.************** ) Coretyang tidak perlu End of Page 39 REPUBLIK INDONESIA -5- 5. CONTOH FORMAT LAPORAN PEMISAHAN Nomor : (tanggal..bulan.. tahun) | Lampiran: |Perihal : Pemisahan |Kepada Yth. | Menteri Keuangan Republik Indonesia cq.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan | JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 | Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') | tanggal .......telah dilakukan Pemisahan mumni/tidak mumni') PT/Koperasi'). Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota'); dan 2. Akta Pemisahan. |terima kasih. Direksi PT/Koperasi ') ) Coret yang tidak perlu End of Page 40 MENTERI KEUANGAN REPUBUIK INDON -6- 5. CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG PT/KOPERASI')........... DI Nomor: (tanggal. .bulan.. tahun) Lampiran: Perihal. : Pembukaan Kantor Cabang PT/Koperasi')...di. Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia Cq. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan |u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo a banteng limurNo.14 | Jakarta 10710 Dengan ini kami melaporkan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang di dengan alamat .............yang telah dibuka pada tangga Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut rencana kerja tahunan Perusahaan Modal Ventura yang, memuat rencana pembukaan Kantor Cabang dengan mencantumkan lokasi Kantor Cabang yang akan dibuka: 2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan |3. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala |3. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan pe cabang serta jumlah karyawan. Demuikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibut) kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Koperasi ') |) Coret yang tidak periu m End of Page 41 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INO 7. CONTOH PORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PENUTUPAN KANTOR CABANG PT/KOPERASI (langgal. bulan.. tahun) Nomor | Lampiran Perihal : Penutupan Kantor Cabang PT/Koperasi').....di. Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan |u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan |Gedung Sumitro Djojohadikusumo |JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 |Jakarta 10710 Dengan Ini kami melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang di......... dengan |alamat .............. yang telah ditutup pada tanggal Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan | terima kasih. Direksi PT/Koperasi ') ...................... |) Coret yang tidak perlu m End of Page 42 MENTERI KEUANGAN 8 8. CONTOH FORMAT LAPORAN PINJAMAN SUBORDINASI Nomor (tanggal.bulan.. tahun) Lampiran Perihal : Pinjaman Subordinasi Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 esuali dengan Retentuan Pasal 35 Peraturan M/enteri Keuangan Nomo................. ..................*****, dengan ini kami melaporkan bahwa PT/Koperasi') .telah menerima pinjaman subordinasi masing-masing daris .**....senilai Rp ........... yang jatuh tempo tanggal......... tahun....... |1........senilai Rp ...........yang jatuh tempo tanggal.... hahun. Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan, fotokopi perjanjan pinjaman | subordinasi tersebut. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibu') kami mengucapkan Direksi PT/Koperasi ') |) Coret yang tidak perlu ml End of Page 43 REPUBLIK INDONESIA 9. FORMAT LAPORAN KEUANGAN BULANAN PT/KOPERASI*) - .NERACA PER .... No ASET Aset Lancar b. Surat Berharga c. Deposito d. Piutang .Aset Lancar Lain-lain | Pembiayaan/Penyertaan Modal Ventura |a. Penyertaan Saham |b. Obligasi Konversi |c. Pembiayaan Bagi Hasil (Net) 1) Pembiayaan Bagi Hasil 2) -/- Akumulasi Penyisihan ||Aset Lain-lain |a. Penyertaan pada Anak Perusahaan |b. Aset Pajak Tangguhan C. Rupa-rupa Asel | Total Aset LIABILITAS Hutang Lancar |a. Pinjaman Jangka Pendek | Hutang/Pinjaman Jangka Panjang ') Keterangan: *) selain Pinjaman Subordinasi End of Page 44 MENTERI KEUANGAN 10 - -2- . LAPORAN PERHITUNGAN LABA RUGI PERIODE. Keterangan Keterangan Jumlah (Rp) PENDAPATAN |Pendapatan Operasional a. Penyertaan Saham c. Pembiayaan Bagi Hasil Pendapatan Non-Operasional Total Pendapatan BEBAN |Beban Operasional a. Bunga c. Umum dan Administrasi d. Penyisihan e. Amortisasi/ Penyusutan f. Lain-lain Beban Non-Operasional | Total Beban Laba (Rugi) Sebelum Pajak Taksiran Pajak Penghasilan |Laba (Rugi) Setelah Pajak End of Page 45 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -11- 10. FORMAT LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN SEMESTER. TAHUN... -1- 1 PROFIL Nama Perusahaan Nama Perusahaan : ******************************************************** NPWP Bentuk Badan Usaha : Perseroan Terbatas / Koperasi ') Status Perusahaan : Tertutup / Terbuka *) Tahun Pendirian : Izin Usaha**) |Tanggal: *********************************************** Izin Perubahan Nama*') a. Pertama 2 Tanggal : ******* 2) Tanggal |b. Kedua . Kedua. 2) Tangal : ****************************************************** |Alamat a. Alamat : ******************************************************* b. Datill : Kotamadya/Kabupaten *) . |d. Kode Pos * : ************************* |e. Nomor Telepon : f. Nomor Faksimili f. Nomor Faksimnili : ........................................ |8. Status Gedung Kantor : Milik sendiri / Sewa s.d. tanggal . Th. Website : 9.| Permodalan a. Modal Dasar s. Modal Daar : ********************************************************* End of Page 46 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 12- 10. | Daftar Pemegang Saham / Anggota *) No. Nama 11. | Daftar Kepengurusan No.| Jabatan No. | Jabatan Nama dst |Daftar Kantor Cabang M No. | Alamat Dati II Provinsi Alamat Dati II Provinsi | Jumlah Tenaga Kerja Jumlah Tenaga Kerja | b. Kantor Cabang: ................................................. Conboct Person : *************** /Telp/HP Coret salah sabu ") Izin dari Menteri Keuangan End of Page 47 REPUBLIK INDONESIA - 13 - -2- 11. IL. KEGIATAN USAHA angka Waktu Kontrak Tgl Mulai Tgl PPU | Provinsi| Usaha | Usaha embiayaan | Pembiayaan Pembiayaan | Pembiaa (dd/mnyyy)| Berakhir Penyertaan / Penyertaan ((dd/mm/yy) Keterangan: a. Bentuk Usaha 1. PT 2. Koperasi 3. Pirma (CV, UD, dl) 4. Perseorangan b. Sektor Usaha: 1. Pertnian, Perikanan dan Kehutanan: usaha-usaha untuk memproots 2. Pertambangan: usaha penggalian dan pengumpulan bahan-bahan tambang . Perindustrian: kegiatan untuk mengubah bentuk/pengolahan, baik secara mekanis maupun kimiawi, dari suahi bahan menjadi barang baru 4. Konstruksi: usaha dalam rangka pembangunan dan perbaikan gedung, rumah, dan proyek lainnya 5. Perdagangan, Restoran dan Hotel: usaha penjualan kembali barang-barang kepada konsumen akhir tanpa adanya pengubahan bentuk, pengadaan/ penyediaan minuman untuk dijual langsung kepada konsumen, dan penyediaan tempat penginapan/peristirahatan . Pengangkutan, Pergudangan dan Komunikasi: usala di bidang pengangkutan darat, udara, sungai, biro perjalanan, penyediaan fasilitas penyewaan, penyimpanan dan komunikasi pos, telepon, dan lain-lain 7. Jasa Pendukung Bisnis: advokat/ pengacara, notaris, Insinyur, dan lain-lain Jasa Sosial/Masyarakat: jasa hiburan/kebudayaan (distributor film, pemancar radio/TV bioskop. tempat hiburan lainnya), jasa kesehatan (dokter, rumah sakit), pendidikan (penyelenggaraan kursus) . Lain-lain: yang tidak termasuk sektor di atas, seperti konsumsi, alat rumah tangea c. Jenis Pembiayaan/Penyertaan 1. Penyertaan Saham 2. Obligasi Konversi 3. Bagi Hasil End of Page 48 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 14 - d. Nilai Pembiayaan/Penyertaan 1. s.d Rp 50juta 2. diatas Rp 50juta s.d Rp 500juta 3. diatas Rp 500 juta s.d Rp 5 miliar 4. diatas Rp 5 miliar . BENTUK USAHA 3 Outstanding 1 Kumulatif 2 Bentuk Usaha Bentuk Usaha Jumlah | Pembiayaan Jumlah Pembiayaan PPU (Rp) PPU (Rp 1. PT Koperasi Firma (CV, UD, dil) Perseorangan Jumlah Keterangan Keterangan: saldo pada akhir semester 2 jumlah kontrak/ pembiayaan baru selama satu semester 2. SEKTOR USAHA Konstruksi Perdagangan, Restoran dan Hotel Pergudangan dan Komunikasi 7. Jasa Pendukung Bisnis 8. Jasa Sosial/Masyarakat 9. Lain-lair Jumlah Keterangan: 1 saldo pada akhir semester jumlah kontrak/ pembiayaan baru selama satu semester End of Page 49 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONE - 15 - 3. JENIS PEMBIAYAAN/PENYERTAAN Jenis Pembiayaan Jumlah | Pembiayaan Penvertaay | Jumlah | Pembiayaan Jumlah | Pembiayan Penyertaan PPU. (Rp) Penyertaan Saham 1. | Penyertaan Sahar Obligasi Konversi 3. Bagi Hasil Jumlah Keterangan: 1 saldo pada akhir semester 2jumlah kontrak/pembiayaan baru selama satu semester 4. NILAI PEMBIAYAAN/PENYERTAAN NiaPembiayaanJumlah | Pembiayaan Jumlah | Pembiayaan Penyertaan mlah ( Rembinas 1. S.d. 50 juta 2. 950juta s.d. 500 juta 3. > 500 juta s.d. 5 miliar 4. > 5 miliar Jumlah Jumlah Keterangan 1 saldo pada akhir semester 2jumlah kontrak/pembiayaan baru selama satu semester End of Page 50 MENTERI KEUANGAN - 16 - 12. CONTOH FORMAT PERUBAHAN NAMA PERUSAHAAN MODAL VENTURA Nomor : (tanggal.bulan. tahun) Lampiran : Perihal : Perubahan Nama Perusahaan Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia c.q, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 |Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') ggal....... nama PT/Koperasi'). . berubah menjadi PT/Koperasi') Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen 1. risalah rapat umum pemegang saham/ rapat anggotar'). 2 perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; dan 3. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Modal Ventura yang baru. Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu') untuk Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan Direksi PT/Koperasi ') ) Coret yang tidak perlu End of Page 51 MENTERI KEUANGAN - 17 . 13. CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN MODAL (tanggal.bulan. tahun) Lampiran: Perihal. : Perubahan Modal Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia Menteri Keuangan Republik Indonesia cq. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') tanggal ......... telah dilakukan perubahan anggaran dasar mengenai modal dasar, dan modal disetor') yaitu Lama Ba Lama Baru Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: perubahan anggaran dasar yang telah disetujui dan/ atau dicatat oleh instansi berwenang; dan b. data pemegang saham atau anggota dan/atau fotokopi bukti setoran modal. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibut) kami mengucapkan Direksi PT/Koperasi ') ) Coret yang tidak perlu End of Page 52 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 18 - 14. CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM Nomor (tanggal.bulan...tahun) Perubahan PemegangSahan Kepada Yth. eer keuangan Republik indonesia c.q.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u,p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota') Lama Lama Baru Nama Pemegang Saham| NilaiSaham | Nama Pemegang Saham (Ro) Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: 1. Perubahan anggaran dasar yang telah disetujui/ dilaporkan') kepada instansi berwenang. 2. Data pemegang saham atauranggota: a. Dalam hal perorangan dilampiri dengan 1 fotokopi KTP/ paspor') yang masih berlaku 2) daftar riwayat hidup 3) surat pemyataan tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; - tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; - tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan amandan kegaan e a Iaundering). b. Dalam hal badan hukum dilampiri dengan: 1)aita pandirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubanan-peruuanan pengesahan dari instans berenan er a asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; dan 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir. 3) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas bagi pemegang saham perseorangan dan Direksi dari badan hukum tersebut. Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/lbu,) kami mengucapkan Direksi PT/Koperasi') > Coretyang tidak perlu End of Page 53 MENTERI KEUANGAN - 19 15. LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI DAN/ATAU DEWAN KOMISARIS Nomor : (tanggal.bulan. tahun) Lampiran: Perihal : Perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris Kepada Yth. eangan Republik Indonesa c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo banteng linurNo.14 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/ rapat anggota') nggal ......... telah dilakukan perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris'), yaitu Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan 1. Perubahan anggaran dasar yang telah disetujui/ dilaporkan') kepada instansi berwenang, Data Direksi dan/atau Dewan Komisaris *) meliputi: a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor; b. daftar riwayat hidup c. surat pernyataan 1) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan: 2) tidak pemah dihukum karena tindakan pidana kejahatan; 5) tidak pemnah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap 4) tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Perusahaan Modal Ventura lain kecuali jabatan sebagai Pengawas pada 3 (tiga) Perusahaan Modal Ventura, bagi Direksi; dan tidak merangkap jabatan Pengawas lebih dari 4 (empat) Perusahaan Modal Ventura, bagi Dewan Komisaris; . bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Modal Ventura atau lembaga keuangan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi . fotokopi dokumen izin menetap dan izin bekerja dari instansi berwenang bagi Direksi berkewarganegaraan asing. Direksi PT/Koperasi') *) Coret yang tidak periu End of Page 54 MENTERI KEUANGAN - 20 - 16. LAPORAN PERUBAHAN ALAMAT KANTOR PT/KOPERASI*) ....... (tanggal. .bulan.. tahun) Lampiran Perihal : Perubahan Alamat Kantor PT/Koperas/'). Kepada Yth. Menteri Keuangan Republik Indonesia cd, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan |u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Gedung Sumitro Djojohadikusumo | Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4 Jakarta 10710 Dengan ini kami melaporkan perubahan alamat kantor pusat/Kantor Cabang') dari . ke ............... sejak tangga Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan bukti kepemilikan atau penguasaan atas gedung kantor yang baru. terima kasih. ) Coret yang tidak perlu n End of Page 55 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 21 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA GEDUNG SUMTRO A A N A - SURAT TUGAS PEMERIKSAAN NOMOR: .................. NOMOR Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan dengan ini menugaskan 1. Nama / NUP : ................./ NIP. batan 2. Nama / NIP : .............../ NIP . Jlatan 3. Nama / NIP : .............../ NIP . Pangkat / Golongan Jabatan:....................... Nama / NIP . : ............../ NIP Pangkat / Golongan Pangkat / Golongan:........................... Jabatan Tanggal Berangkat Tanggal Berangkat : *********************** Penugasan : Melakukan Pemeriksaan Lapangan terhadap PT/Koperasi') abas penydemggaran kegiatansaba dan/atau pembiayaan, serta aspek keuangannya di Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ketua; |2. Sekretaris Badan. End of Page 56 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 22 - KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TEGEDUNG SIUNAITR D AO AOA A AO A A AN TA AN AN TE NO TAO A 1 000 Nomor : S-.. Stfat : Hal : Pemberitahuan Pemeriksaan Yth. Direksi PT/Koperasi') Di Sesuai dengan Pasal ... Peraturan Menteri Keuangan Nomor../PMK.010/2011 tentang erusahaan Modal Ventura dengan ini kami beritahukan bahwa Menteri selaku Pembina dan Pengawas Perusahaan Modal Ventura akan melakukan Pemeriksaan ke PT/Koperasi') Tujuan pemeriksaan tersebut adalah dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap Perusahaan Pembiayaan. Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaan adalah: 1. ................/ NIP .......... selaku Koordinator. ............... / NIP......... selaku Penyelia ./ NIP.......... selaku Penyelia; . ..... / NITP ........ selaku Ketua Tim / NIP .......... selaku Anggota Tim. Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ...... s.d. .........Sehubungan dengan relaksanaan tersebut maka kami minta agar Saudara menyiapkan dokumen sebagai berikut : Demikian agar Saudara maklum. a.n. Ketua mbaad Penjaminan, NIP ....................... Tembusan Yth.: 1. Ketua, 2. Sekretaris Badan. End of Page 57 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 23 19. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PELAKSANAAN PEMERIKSAAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN GEDUNG SUMITRO DJQUOHADIKUSUMO JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR. 1-4,JAKARTA 10710 BERITA ACARA PELAKSANAAN PEMERIKSAAN Nomor Pada hari ini, ......... tanggal ................ Tim Pemeriksa Biro Pembiayaan dan Penjaminan , Tim Pemeriksa Biro Pembiayaan dan Penjaminan berdasarkan Surat Tugas Pemeriksaan Nomor ............... tanggal .............. dalam hal ini telah melaksanakan pemeriksaan terhadap PT/Koperasi) Kepada perusahaan telah ditunjukkan Surat Tugas Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan Pemeriksaan yaitu untuk melakukan pemeriksaan lapangan atas penyelenggaraan kegiatan usaha penyertaan dan/atau pembiayaan, serta aspek keuangannya. Untuk keperluan pemeriksaan tersebut, Tim Pemeriksa telah meminta dokumen-dokumen yang diperlukan dalam rangka memperlancar proses pemeriksaan, yaitu. ********************** AAAA******. ********************* Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan pthak yang mewakili PT/Koperasi').. Jakarta, .................. Ketua Tim Pemeriksa, DireksiPT/Koperasi') MENTERI KEUANGAN, AGUS D.W. MARTOWARDOJO, End of Page 58
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 18/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title> <set_date> 1 Februari 2012 </set_date> <effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date> <issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date> <replaced_reg> '1251/KMK.013/1988|KEP-MENKEU/1988', '469/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg> <related_reg> '20/UU/2008', '9/PERPRES/2009', '25/UU/1992', '40/UU/2007', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
- 1 - PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan penyelenggaraan Program Pensiun, investasi kekayaan Dana Pensiun harus dikelola secara sehat untuk mencapai hasil yang optimum; b. bahwa dengan semakin berkembangnya instrumen investasi di pasar modal dan perlunya evaluasi atas penempatan investasi yang telah dilakukan Dana Pensiun, perlu untuk melakukan pengaturan kembali ketentuan mengenai Investasi Dana Pensiun; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Investasi Dana Pensiun; Mengingat : 1. 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508); 4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN. - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pihak adalah perorangan, perusahaan, koperasi, kontrak investasi kolektif, usaha bersama, asosiasi, baik sendiri-sendiri, maupun secara bersama-sama merupakan kelompok yang mempunyai hubungan Afiliasi. 2. Afiliasi adalah hubungan di antara Pihak dimana: a. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris pada Pihak lain; b. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang memiliki hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal yang menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di bawah direktur atau komisaris pada Pihak lain; c. salah satu Pihak memiliki wewenang untuk menunjuk atau memberhentikan direksi atau yang setara dari Pihak lain; atau d. salah satu Pihak secara langsung atau tidak langsung mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah satu pengendalian Pihak lain kecuali pengendalian dimaksud oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang meliputi namun tidak terbatas pada: 1) salah satu Pihak memiliki sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima perseratus) saham Pihak lain atau merupakan pemegang saham terbesar; 2) salah satu Pihak merupakan kreditur terbesar dari Pihak yang lain; 3) salah satu Pihak mempunyai hak suara pada Pihak lain yang lebih dari 50% (lima puluh perseratus) berdasarkan suatu perjanjian; atau 4) salah satu Pihak dapat mengendalikan operasional, pengawasan, atau pengambilan keputusan baik langsung maupun tidak langsung, atas hak untuk mengatur dan menentukan kebijakan finansial dan operasional pihak lain berdasarkan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, atau perjanjian. - 3 - 3. Arahan Investasi adalah kebijakan investasi yang ditetapkan oleh Pendiri atau Pendiri dan Dewan Pengawas, yang harus dijadikan pedoman bagi Pengurus dalam melaksanakan investasi. 4. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perbankan. 5. Bursa Efek adalah bursa efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. 6. Surat Berharga Negara adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia termasuk surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara, dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. 7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. 8. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun. 9. Pendiri adalah Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Dana Pensiun. 10. Pengurus adalah Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun. 11. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun. 12. Peserta adalah Peserta sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Dana Pensiun. 13. Penerima Titipan adalah Penerima Titipan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun. 14. Manajer Investasi adalah Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal. BAB II ARAHAN INVESTASI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA Pasal 2 (1) Pendiri atau Pendiri dan Dewan Pengawas, wajib menetapkan Arahan Investasi. - 4 - (2) Dalam Arahan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus dicantumkan hal-hal sebagai berikut: a. sasaran hasil investasi setiap tahun dalam bentuk kuantitatif yang harus dicapai oleh Pengurus; b. batas maksimum proporsi kekayaan Dana Pensiun yang dapat ditempatkan untuk setiap jenis investasi; c. batas maksimum proporsi kekayaan Dana Pensiun yang dapat ditempatkan pada satu Pihak; d. obyek investasi yang dilarang untuk penempatan kekayaan Dana Pensiun; e. ketentuan Pensiun untuk mendukung likuiditas minimum portofolio investasi Dana ketersediaan dana guna pembayaran manfaat pensiun dan operasional Dana Pensiun; f. ketentuan yang memuat kewajiban dilakukannya pengkajian yang memadai untuk penempatan dan pelepasan investasi; g. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan investasi; h. ketentuan mengenai penggunaan tenaga ahli, penasihat, lembaga keuangan dan jasa lain yang dipergunakan dalam pengelolaan investasi; dan i. sanksi yang akan diterapkan Dana Pensiun kepada Pengurus atas pelanggaran ketentuan mengenai investasi yang ditetapkan dalam Undang-undang Dana Pensiun dan peraturan pelaksanaannya. BAB III KEWAJIBAN PENGURUS DALAM MENGELOLA INVESTASI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA Pasal 3 (1) Pengurus wajib melaksanakan pengelolaan investasi sesuai dengan Arahan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. (2) Pengurus wajib bertindak sedemikian rupa sehingga keputusan investasi yang diambil merupakan keputusan investasi yang obyektif, yang semata-mata untuk kepentingan Peserta, Dana Pensiun, dan/atau Pemberi Kerja. - 5 - Pasal 4 (1) Pengurus wajib menyusun rencana investasi tahunan, yang memuat sekurang-kurangnya: a. rencana komposisi jenis investasi; b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk masing-masing jenis investasi; dan c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi jenis investasi. (2) Rencana investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan penjabaran Arahan Investasi serta mencerminkan penerapan prinsip-prinsip penyebaran risiko dan keputusan investasi yang obyektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (3) Rencana investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya akan berlaku setelah paling kurang mendapat persetujuan Dewan Pengawas Dana Pensiun yang bersangkutan. Pasal 5 Penggunaan jasa dalam pengelolaan investasi Dana Pensiun atau pemanfaatan saran, pendapat, dorongan, dan hal-hal lain dari pihak ketiga selain yang telah ditetapkan dalam Arahan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan rencana investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dapat mempengaruhi Pengurus dalam mengambil keputusan atau tindakan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan kekayaan Dana Pensiun, tidak mengurangi kewajiban Pengurus untuk mematuhi ketentuan yang berlaku dalam investasi Dana Pensiun dan tidak menghilangkan tanggung jawab Pengurus atas pelaksanaan investasi dimaksud. BAB IV PENGELOLAAN INVESTASI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA Bagian Pertama Jenis Investasi Pasal 6 (1) Investasi Dana Pensiun hanya dapat ditempatkan pada jenis investasi sebagai berikut: - 6 - a. Surat Berharga Negara; b. tabungan pada Bank; c. deposito berjangka pada Bank; d. deposito on call pada Bank; e. sertifikat deposito pada Bank; f. Sertifikat Bank Indonesia; g. saham yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia; h. obligasi yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia; i. sukuk yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia; j. Unit Penyertaan Reksa Dana dari: 1. Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Campuran, dan Reksa Dana Saham; 2. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan dan Reksa Dana Indeks; 3. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas; 4. Reksa Dana yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di Bursa Efek; k. Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset; l. Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; m. Kontrak Opsi Saham yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia; n. penempatan langsung pada saham; o. tanah di Indonesia; dan/atau p. bangunan di Indonesia. (2) Penghasilan Dana Pensiun dari kekayaan yang diinvestasikan dalam bidang-bidang tertentu yang bukan merupakan obyek pajak ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri. Bagian Kedua Pembatasan Investasi Dana Pensiun Pasal 7 (1) Investasi pada obligasi, sukuk, dan Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset sebagaimana - 7 - dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf k, hanya dapat ditempatkan pada obligasi, sukuk dan Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang memperoleh peringkat sekurang-kurangnya A atau yang setara dari lembaga pemeringkat Efek yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Investasi pada Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf k dan huruf l, hanya dapat ditempatkan pada Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal. Pasal 8 (1) Investasi pada Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf m tidak dilakukan untuk tujuan spekulasi dan hanya dapat ditempatkan pada opsi jual (put option) dalam rangka lindung nilai atas investasi yang telah dimiliki Dana Pensiun, yang dibuktikan dengan dokumen strategi lindung nilai. (2) Investasi pada Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Dana Pensiun yang telah memiliki investasi pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g paling rendah 10% (sepuluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. Pasal 9 (1) Investasi penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n, hanya dapat dilakukan pada saham yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan saham dimaksud tidak tercatat di Bursa Efek di Indonesia maupun di luar negeri. (2) Dalam hal Dana Pensiun memiliki penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Dana Pensiun merupakan pemegang saham terbesar atau memiliki paling rendah 25% (dua puluh lima perseratus) saham dari perusahaan dimaksud, Dana Pensiun harus: - 8 - a. memiliki wakil pada anak perusahaan untuk memelihara dan menjaga kepentingan Dana Pensiun selaku pemegang saham berdasarkan perjanjian tertulis; dan b. memiliki hak untuk mendapatkan informasi keuangan dan bisnis dari anak perusahaan secara berkala berdasarkan perjanjian tertulis. Pasal 10 Investasi pada Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j angka 3 hanya dapat dilakukan oleh Dana Pensiun yang: a. memiliki total investasi paling sedikit Rp200.000.000.000,- (dua ratus miliar rupiah); dan b. memiliki manajemen risiko yang memadai. Pasal 11 (1) Investasi pada tanah dan/atau bangunan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf o dan/atau huruf p harus : a. dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Dana Pensiun; dan b. memberikan penghasilan ke Dana Pensiun atau bertambah nilainya karena pembangunan, penggunaan, dan/atau pengelolaan oleh pihak lain yang dilakukan melalui transaksi yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku. (2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus didasarkan pada perjanjian yang sah di hadapan notaris. (3) Penempatan pada tanah dan/atau bangunan tidak dapat dilakukan pada tanah dan/atau bangunan yang diagunkan, dalam sengketa atau diblokir pihak lain. Pasal 12 (1) Investasi pada Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas atau penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j angka 3 dan huruf n, masing-masing dilarang melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. (2) Investasi pada tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf o dan/atau huruf p dilarang melebihi 15% (lima belas perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. - 9 - Pasal 13 (1) Seluruh investasi Dana Pensiun dapat ditempatkan pada Surat Berharga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a. (2) Jumlah seluruh investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf n, pada satu Pihak dilarang melebihi 20% (dua puluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. (3) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), investasi pada penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n pada satu Pihak dilarang melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. (4) Jumlah seluruh investasi pada satu Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Unit Penyertaan Reksa Dana, Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan/atau Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j, huruf k, dan huruf l adalah Unit Penyertaan Reksa Dana, Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset dan/atau Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama. (5) Dana Pensiun yang berkedudukan di daerah yang tidak memungkinkan dilakukannya penempatan kekayaan dalam bentuk deposito berjangka, deposito on call dan sertifikat deposito sesuai dengan ketentuan pada ayat (2), dan di dalam Arahan Investasi Dana Pensiun tersebut tidak ditetapkan jenis investasi lain, dapat menempatkan kekayaan dalam bentuk-bentuk investasi dimaksud pada setiap Bank di daerah tersebut melebihi batas 20% (dua puluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip penyebaran risiko. Pasal 14 Seluruh investasi Dana Pensiun yang ditempatkan pada: a. semua Pihak yang dalam tahun buku terakhir mengalami kerugian atau mengalami kegagalan dalam memenuhi kewajiban keuangannya; b. penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n; dan - 10 - c. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf o dan/atau huruf p, dilarang melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari total investasi Dana Pensiun. Pasal 15 (1) Dana Pensiun dilarang melakukan transaksi derivatif atau memiliki instrumen derivatif, kecuali: a. Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf m; b. instrumen derivatif tersebut diperoleh Dana Pensiun sebagai instrumen yang melekat pada saham atau obligasi yang tercatat di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf h. (2) Dana Pensiun dapat menjual instrumen derivatif yang melekat pada saham atau obligasi yang tercatat di Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara terpisah dari saham atau obligasi yang bersangkutan. Pasal 16 (1) Dalam hal terjadi penggabungan para Pihak tempat Dana Pensiun melakukan investasi dan total investasi pada Pihak hasil penggabungan tersebut menjadi lebih besar dari batas penempatan pada satu Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, investasi Dana Pensiun pada Pihak hasil penggabungan tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13, paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penggabungan. (2) Dana Pensiun dilarang melakukan investasi baru pada Pihak hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama penyesuaian belum selesai dilakukan. Bagian Ketiga Penilaian Investasi Dana Pensiun Pasal 17 Ketentuan mengenai dasar penilaian investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. - 11 - Pasal 18 (1) Kesesuaian terhadap batasan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi. (2) Total investasi dalam rangka menentukan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhitungkan nilai seluruh investasi yang dimiliki Dana Pensiun dengan didasarkan pada nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. (3) Pembuktian kesesuaian terhadap batasan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan tanggung jawab Pengurus. BAB V PENGELOLAAN INVESTASI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN Pasal 19 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 18 berlaku juga bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan. Pasal 20 (1) Dana Pensiun Lembaga Keuangan sekurang-kurangnya harus menawarkan jenis investasi atau paket investasi yang terdiri dari jenis-jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h. (2) Penawaran setiap jenis investasi atau paket investasi oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. BAB VI PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN INVESTASI DANA PENSIUN Bagian Pertama Laporan Investasi Pasal 21 (1) Pengurus wajib menyampaikan kepada Menteri: a. daftar investasi bulanan; b. laporan investasi tahunan; dan - 12 - c. hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan. (2) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak berlaku bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang pada akhir periode pelaporan memiliki total investasi kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (3) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, tidak berlaku bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang memenuhi seluruh kriteria sebagai berikut: a. selama tahun buku, investasi Dana Pensiun hanya berupa deposito berjangka, deposito on call, sertifikat deposito, Sertifikat Bank Indonesia, dan/atau Surat Berharga Negara; dan b. pada akhir tahun buku, total investasi Dana Pensiun kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). (4) Dana Pensiun yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat memenuhi kewajiban penyampaian laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 2 (dua) bulan sejak akhir tahun buku. (5) Tanggal penyampaian pemberitahuan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah tanggal penerimaan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui kantor pengiriman/titipan. Pasal 22 (1) Daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a menyajikan posisi investasi Dana Pensiun setiap akhir bulan. (2) Daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disusun sesuai dengan lampiran dalam Peraturan Menteri Keuangan ini. pos atau perusahaan jasa - 13 - Pasal 23 (1) Laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b harus memuat sekurang-kurangnya: a. pernyataan Pengurus tentang kesesuaian portofolio investasi terhadap: 1. ketentuan peraturan-perundang-undangan yang mengatur investasi Dana Pensiun; 2. Arahan Investasi, bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja; dan 3. Pilihan jenis investasi oleh Peserta bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan; b. laporan perkembangan portofolio serta hasil investasi Dana Pensiun; dan c. analisis mengenai kegiatan investasi. (2) Analisis mengenai kegiatan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sekurang-kurangnya harus mencakup evaluasi atas: a. pelaksanaan prinsip-prinsip penyebaran risiko dan keputusan investasi yang obyektif; b. pelaksanaan tanggung jawab Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3); c. kesesuaian investasi terhadap ketentuan Arahan Investasi; d. jumlah dan komposisi portofolio investasi untuk tiap-tiap paket investasi atau jenis investasi yang ditawarkan Dana Pensiun Lembaga Keuangan; dan e. jumlah dan karakteristik investasi pada para Pihak yang memiliki hubungan Afiliasi dengan Dana Pensiun. (3) Hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c harus memuat: a. pendapat akuntan atas pernyataan Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan b. laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Dana Pensiun yang menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan telah menyampaikan laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b. - 14 - (5) Isi dan susunan laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 24 (1) Dalam rangka pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c, Dewan Pengawas dilarang menunjuk akuntan publik yang sama dalam hal: a. akuntan publik tersebut telah melakukan pemeriksaan atas laporan investasi tahunan selama 3 (tiga) kali periode pemeriksaan berturut-turut; atau b. akuntan publik dimaksud dinyatakan telah melanggar standar praktik akuntan publik yang berlaku di Indonesia oleh asosiasi akuntan atau Menteri. (2) Kantor akuntan publik yang sama tidak dapat ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan atas laporan Pasal 25 Daftar investasi bulanan, laporan investasi tahunan, dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c disampaikan kepada Menteri c.q. Kepala Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 26 (1) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari setelah akhir periode yang dilaporkan. (2) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus dilakukan paling lama 5 (lima) bulan setelah akhir tahun buku. (3) Dana Pensiun yang tidak diwajibkan menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), harus menyampaikan laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling lama 2 (dua) bulan setelah akhir tahun buku. investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c lebih dari 5 (lima) kali berturut-turut. - 15 - (4) Dalam hal batas akhir penyampaian daftar investasi bulanan, hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan, dan laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan dimaksud adalah hari kerja pertama setelah tanggal batas akhir penyampaian tersebut. Pasal 27 Bagi Dana Pensiun yang disahkan Menteri Keuangan dalam periode 3 (tiga) bulan sebelum akhir tahun buku, pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan atas laporan investasi tahun buku berikutnya. Pasal 28 (1) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan dalam bentuk dokumen fisik (hard copy) dan format digital yang disediakan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (2) Penyampaian laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan dengan salah satu cara sebagai berikut: a. diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan. Bagian Kedua Penilaian Kinerja Investasi Dana Pensiun Pasal 29 (1) Dewan Pengawas wajib mengevaluasi kinerja investasi Dana Pensiun sekurang-kurangnya sekali untuk satu tahun buku yang didasarkan antara lain pada: a. laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan dan saran Peserta kepada b. pendapat Pendiri, Dewan Pengawas, dan Pengurus mengenai perkembangan portofolio dan hasil investasi kekayaan Dana Pensiun. - 16 - (2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencakup kewajaran alasan Pengurus dalam menjelaskan ketidaksesuaian kinerja investasi Dana Pensiun dengan Arahan Investasi dan rencana investasi tahunan. (3) Dewan Pengawas dapat mengusulkan kepada Pendiri untuk mengenakan sanksi kepada Pengurus apabila hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menunjukkan alasan Pengurus dalam menjelaskan ketidaksesuaian kinerja investasi Dana Pensiun dengan Arahan Investasi dan rencana investasi tahunan, tidak dapat diterima. Bagian Ketiga Transparansi Pengelolaan Investasi Dana Pensiun Pasal 30 (1) Pengurus wajib mengumumkan kepada Peserta mengenai: a. ringkasan dari laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan huruf c paling lama 1 (satu) bulan setelah disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3); dan b. ringkasan hasil evaluasi Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1). (2) Pengurus wajib menyusun tata cara bagi Peserta untuk menyampaikan pendapat dan saran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b. Pasal 31 Pengurus harus menyampaikan laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan huruf c kepada Pendiri dan Dewan Pengawas. BAB VII PENGALIHAN PENGELOLAAN INVESTASI Pasal 32 (1) Pengelolaan investasi Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang tentang Dana Pensiun, dengan memperoleh persetujuan tertulis dari Pendiri dan Dewan Pengawas. - 17 - (2) Pengelolaan investasi Dana Pensiun oleh lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun. (3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Pensiun dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang tentang Dana Pensiun, lembaga keuangan dimaksud harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut: a. memiliki ijin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Manajer Investasi dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, atau pencabutan izin usaha oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; c. memiliki pengalaman dalam memberikan jasa pengelolaan investasi; dan d. mampu mengelola portofolio investasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang investasi Dana Pensiun. (4) Pengalihan pengelolaan investasi Dana Pensiun kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan dalam perjanjian tertulis antara Dana Pensiun dan lembaga keuangan yang memuat sekurang-kurangnya: a. tugas, wewenang, dan tanggung jawab Dana Pensiun dan lembaga keuangan; b. jenis dan besar biaya yang dibebankan kepada Dana Pensiun; c. pernyataan lembaga keuangan untuk memberikan informasi dan menyediakan buku, catatan, dan dokumen yang berkenaan dengan kekayaan Dana Pensiun yang dikelola kepada Dana Pensiun; d. pernyataan lembaga keuangan untuk tunduk terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan e. ketentuan terkait penyelesaian perselisihan dan pengakhiran perjanjian. (5) Dana Pensiun yang mengalihkan pengelolaan kekayaan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menitipkan kekayaan yang dialihkan tersebut kepada Penerima Titipan yang ditunjuk Pendiri dan tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan lembaga keuangan dimaksud. - 18 - (6) Pengalihan pengelolaan kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Pengurus. BAB VIII SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 33 (1) Dalam hal penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan atau laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) terlambat dilakukan, Pendiri Dana Pensiun dikenakan denda sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian dimaksud. (2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (3) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan adalah: a. tanggal penerimaan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, apabila laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun; dan b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan. (4) Perhitungan jumlah hari keterlambatan untuk pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berakhir pada tanggal penyampaian laporan dimaksud pada ayat (3). sebagaimana (5) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetor ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang digunakan untuk pembayaran denda pelanggaran di bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, dan bukti penyetoran atas denda ke Kas Negara tersebut wajib disampaikan kepada Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (6) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan. - 19 - Pasal 34 (1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi denda dan menyampaikan bukti penyetoran atas denda ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) kepada Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat sanksi administratif berupa denda ditetapkan. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan memberikan surat teguran pertama untuk segera melunasi denda beserta bunga atas denda paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan memberikan surat teguran kedua dengan jangka waktu pelunasan paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran kedua tersebut. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, maka denda beserta bunga atas denda tersebut dikategorikan sebagai piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan/diserahkan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. Pasal 35 Bunga atas denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua perseratus) per bulan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). Pasal 36 Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada Dana Pensiun, Pendiri, Dewan Pengawas, Pengurus dan/atau Pelaksana Tugas Pengurus dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 32, termasuk mewajibkan Pendiri untuk mengganti Pengurus dan/atau Pelaksana Tugas Pengurus, atau mewajibkan Pengurus untuk menghentikan pengelolaan investasi oleh lembaga keuangan. - 20 - BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 37 Pelampauan batas investasi pada setiap Pihak akibat ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini wajib disesuaikan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan. Pasal 38 (1) Surat pengakuan utang yang dimiliki Dana Pensiun sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini dapat diperhitungkan sebagai investasi Dana Pensiun sampai dengan jatuh temponya. (2) Pengurus wajib menyampaikan rincian surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi sesuai tanggal penetapan Peraturan Menteri Keuangan ini. (3) Rincian surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan. (4) Rincian surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-kurangnya memuat: a. nama penerbit; b. nominal penempatan; c. suku bunga; d. besar dan jenis agunan; dan e. tanggal perolehan dan tanggal jatuh tempo. (5) Dana Pensiun dilarang memperpanjang jatuh tempo surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e. Pasal 39 (1) Pemenuhan ketentuan Pasal 9 dilakukan paling lama 2 (dua) tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Dalam hal Dana Pensiun tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dana Pensiun wajib melepas investasi pada penempatan langsung pada saham dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 21 - (3) Dalam hal pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan ini mengakibatkan investasi penempatan langsung pada saham yang telah dilakukan Dana Pensiun sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini melampaui batasan investasi penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), maka Dana Pensiun dilarang melakukan penambahan pada investasi penempatan langsung pada saham dimaksud. Pasal 40 Kewajiban penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a mulai berlaku 2 (dua) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan. Pasal 41 Peraturan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK.06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun yang mengatur mengenai isi dan susunan laporan investasi Dana Pensiun tetap berlaku sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Pada saat mulai berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK.06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 43 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Desember 2008 MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATI LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN - 22 - DAFTAR INVESTASI BULANAN DANA PENSIUN………. Posisi per tanggal ….. dalam Rupiah Jenis Investasi (Nilai Wajar) Surat Berharga Negara Tabungan Deposito on call Deposito berjangka Sertifikat deposito Sertifikat Bank Indonesia Saham Obligasi Sukuk Unit penyertaan Reksa Dana pada: - Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham dan Reksadana Campuran - Reksa Dana terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan dan Reksa Dana Indeks - Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas - Reksa Dana yang Unit Penyertaannya diperdagangkan di Bursa Efek Efek Beragun Aset dari KIK EBA Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk KIK Kontrak Opsi Saham Penempatan langsung pada saham Tanah Bangunan Tanah dan Bangunan Jumlah XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX XX MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATI
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id> <reg_title> INVESTASI DANA PENSIUN </reg_title> <set_date> 5 Desember 2008 </set_date> <effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date> <replaced_reg> '511/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </replaced_reg> <related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 / PMK.010/2012 TENTANG PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN NG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTC DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN RIDUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa dalam rangka pembiayaan konsumen kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan, konsumen menyerahkan hak milik atas kendaraan bermotor secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan, pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor dari konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan, perlu dilakukan pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia, . bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud Menteri Keuangan tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889); 2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; MEMUTUSKAN Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN -2- Pasal 1 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang- undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada. ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah; dan/atau b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing). Pasal 2 Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender. terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen. Pasal 3 Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan. Pasal 4 Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor. Pasal 5 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha. # End of Page 2 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha scbagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha (8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Pasal 6 Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dapat melakukan pendaftaran jaminan fidusia sesuai kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen. End of Page 3 MENTETI KEUANGAN Pasal 7 Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2012 REPUBLIK INDONESIA, ttd. AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 786 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BIRO UMUM GAREPU KEPALA BAGIAN TRO. KEMENTERIAN PRO UMAUM GIART NIP 195809291984021001 End of Page 4
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 130/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id> <reg_title> PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA </reg_title> <set_date> 7 Agustus 2012 </set_date> <effective_date> setelah 2 (dua) bulan terhitung sejak 7 Agustus 2012 </effective_date> <issued_date> 7 Agustus 2012 </issued_date> <related_reg> '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '42/UU/1999', '9/PERPRES/2009' </related_reg> <penalty_list> 'Pasal 5' </penalty_list>
MENTERI KEUANGAN SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 158 /PMK.010/2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang, Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, dan memperhatikan perkembangan kondisi perekonomian yang terjadi saat ini, perlu melakukan penyempumaan terhadap ketentuan mengenai dana jaminan dan penilaian kekayaan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3306) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4856); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; .Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Reasuransi, sebagaimana telah diubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR NK6/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. End of Page 1 MENTERI KEUANGAN -2 - PasalI Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005, diubah sebagai berikut 1. Menambah 1 (satu) bagian pada Bab III yaitu Bagian Kedelapan, dengan menyisipkan 1 (satu) pasal di antara Pasal 26 dan Pasal 27, yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut Bagian Kedelapan Penilaian Surat Utang Negara, Surat Berharga Lain Yang Diterbitkan Oleh Negara Atau Efek Lain Dalam Hal Nilai Pasar Tidak Wajar Pasal 26A (1) Dalam hal nilai pasar dari surat utang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atau efek lain menunjukkan nilai yang tidak wajar, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat melakukan penilaian surat utang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atau efek lain tersebut dengan menggunakan nilai lain yang dianggap wajar. (2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus kembali menggunakan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) dalam hal nilai pasar dari surat utang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atau efek lain kembali menunjukkan nilai yang wajar. (3) Penetapan nilai selain nilai pasar dan keadaan yang memungkinkan penggunaan nilai selain nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta keadaan yang mengharuskan penggunaan kembali penilaian sebagaimana dinaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modai dan Lembaga Keuangan. 2. Mengubah Pasal 36 sehinggga Pasal 36 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 36 (1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki dana jaminan sekurang-kurangnya sebesar: . Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, yaitu jumlah yang lebih 1. 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri yang dipersyaratkan; dan End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- 2. hasil penjumlahan 2% (dua persen) dari cadangan premi untuk Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi dengan 5% (lima per seratus) dari cadangan premi untuk produk yang lain, termasuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan. b. Bagi Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan Reasuransi, yaitu jumlah yang lebih besar antara 1. 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri yang dipersyaratkan; dan 2. hasil penjumlahan 1% (satu persen) dari premi neto dengan 0/25% (nol koma dua lima persen) dari premi reasuransi. (2) Cadangan premi termasuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a serta premi neto dan premi reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari laporan keuangan per 31 Desember terakhir yang diaudit (3) Dalam hal dana jaminan kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus segera menambah dana jaminan yang dimilikinya, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal 30 April tahun berjalan. (4) Dalam hal dana jaminan yang telah dimiliki lebih dari jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat mengurangi dana jaminan yang dimilikinya setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kepala Biro Perasuransian. 3. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyisebagai berikut Pasal 36A (1) Dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) berupa deposito dan/atau surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara. (2) Surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sisa jangka waktu sampai jatuh tempo sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun pada saat penempatan sebagai dana jaminan. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA -4- 4. Mengubah Pasal 37 sehingsga Pasal 37 seluruhnya berbunyi sebagai berikut Pasal 37 (1) Seluruh dana jaminan harus ditatausahakan pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk bertindak sebagai Bank Kustodian dan bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi. 5. Di antara Pasal 37 dan 38 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 37A, Pasal 378, Pasal 37C dan Pasal 37D sehingga berbunyisebagai berikut Pasal 37A (1) Penatausahaan dana jaminan oleh Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 harus didasarkan pada perjanjian antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan Bank Kustodian. (2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada Bank Kustodian untuk tidak mencairkan, memindahkan atau menyerahkan dana jaminan tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Kepala Biro Perasuransian. (3) Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi maupun pihak Jain untuk melakukan pencairan, pemindahan dan penyerahan asurat utang atau surat berharga lain ang diterbitkan oleh negara yang digunakan sebagai dana jaminan tersebut kecuali telah mendapat persetujuan Kepala Biro Perasuransian. (4) Dalam hal Kepala Biro Perasuransian berhalangan, Kepala Biro Perasuransian menunjuk 2 (dua) Kepala Bagian di lingkungan Biro Perasuransian untuk menolak atau memberikan persetujuan End of Page 4 REPUBLIK INDONESIA -5- Pasal 37B (1) Pembentukan atau penambahan dana jaminan dapat dilakukan dengan cara: a. penempatan baru deposito dan/atau surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara sebagai dana jaminan; b. konversi deposito yang bukan dana jaminan menjadi dana jaminan konversi surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara yang bukan dana jaminan menjadi dana jaminan. (2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat melakukan penggantian dana jaminan dengan cara sebagai berikut a. dari deposito menjadi surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara; b. dari surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara menjadi deposito; c. dari deposito pada bank dan dengan tenor tertentu menjadi deposito pada bank atau dengan tenor yang berbeda; d. dari surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara dengan seri tertentu menjadi surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara dengan seri yang lain. (3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan mengganti dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menempatkan teriebih dahulu dana jaminan pengganti sekurang-kurangnya sebesar nilai dana jaminan yang akan diganti. (4) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki dana jaminan dalam bentuk surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara yang akan jatuh tempo, harus sudah menempatkan dana jaminan baru sebesar nilai surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara yang akan jatuh tempo, paling lambat 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh End of Page 5 MENTERI KEUANGAN -6- (5) Dalam hal dana jaminan dalam bentuk surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara telah jatuh tempo, dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi belum melakukan penggantian dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Kustodian wajib menempatkan dana yang diperoleh dari pencairan surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara yang jatuh tempo tersebut dalam bentuk deposito jaminan berjangka 1 (satu) bulan pada Bank Kustodian yang bersangkutan. Pasal 37C (1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan dana jaminan per 31 Maret, 30 Juni, 30 September dan 31 Desember kepada Biro Perasuransian bersamaan dengan penyampaian laporan perhitungan tingkat solvabilitas triwulanan. (2) Laporan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) sekurang-kurangnya memuat a. nama Bank Kustodian yang menatausahakan dana jaminan; b. jenis dana jaminan; c. nomor bilyet dan bank penerbit untuk deposito; d. seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh negara; e. nilai dana jaminan; dan f. tanggal jatuh tempo. (3) Bentuk dan susunan laporan perkembangan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 37D (i) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan dana jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi kepada Biro Perasuransian paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. a. nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi pemilik dana jaminan; b. jenis dana jaminan; d. seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh negara; e. nilai nominal dana jaminan; dan End of Page 6 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONE (3) Bentuk dan susunan laporan perkembangan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Kelua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal II 1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyesuaikan penatausahaan dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 paling lambat 2 (dua) bulan sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini. 2. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah melakukan penatausahaan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (i) tetapi masih memiliki dana jaminan dalam bentuk deposito atas nama Menteri Keuangan gg perusahaan yang bersangkutan, wajib mengganti deposito dimaksud menjadi deposito dan/atau surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atas nama perusahaan yang bersangkutan paling lambat tanggal 31 Desember 2009. 3. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyesuaikan kepemilikan besamya dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), terhitung sejak tanggal 1 Januari 2009. 4. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2008 SRIMULYANT INDRAWATI Salinan sesuai dengan aslinya, Kepala Biro Umum d.b. Kepala Bpgian T.U. Teortemen Antonigs Sublrto (* Antonids Subarto ( BIRO UMUM NIP 020041/07 End of Page 7
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 28 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 28 Oktober 2008 </effective_date> <changed_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </changed_reg> <extension_of> '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005' </extension_of> <related_reg> '73/PP/1992', '39/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '2/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 36 /PMK.010/2008 TENTANG BESAR SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB DANA KECELAKAAN LALU LINTASJALAN MENTERI KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kecukupan sosial (social adeguacu) dalam pemberian perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi korban kecelakaan alat angkutan lalu-lintas jalan, perlu meningkatkan besar santunan dengan mempertimbangkan peningkatan kebutuhan hidup dan tingkat inflasi; b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai besai santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan; Mengjngat : 1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2721); 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan- ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jala (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 29): 4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Asuransi Kerugian 'Jasa Raharja' menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 62); End of Page 1 MENTERI KEUANGAN -2- 5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3861); 6. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tentang Penunjukan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kerugian Jasa Raharja untuk menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jjalan, MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESAR SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB DANA KECELAKAAN LALU LINTASJALAN. Pasal 1 (1) Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, yang selanjutnya disebut SWDKLL), adalah sumbangan wajib sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan juncto Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. (2) SWDKLL) merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh para pengusaha/ pemilik alat angkutan lalu lintas jalan kepada perusahaan yang menyelenggarakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. Pasal 2 (1) Korban kecelakaan alat angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya berhak atas santunan. (2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut End of Page 2 MENTERI KEUANGAN -3- a. Ahli waris dari korban yang meninggal dunia berhak memperoleh santunan sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). b. Korban yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a). c. Korban yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak memperoleh santunan berupa penggantian biaya perawatan dan pengobatan dokter paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Pasal3 Dalam hal korban meninggal dunia akibat kecelakaan alat angkutan lalu lintas jalan tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah). Pasal 4 (1) SWDKLL) dipungut dari para pengusaha/ pemilik alat angkutan lalu Jintas jalan. (2) Besar SWDKLL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sebagai berikut: a. Sepeda motor di bawah 50 cc, mobil ambulance, mobil jenazah dan mobil pemadam kebakaran dibebaskan dari kewajiban membayar SWDKLL). b. Traktor, buldozer, forklift, mobil derek, excavator, crane dan sejenisnya sebesar Rp 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah). Sepeda motor, sepeda kumbang dan scooter di atas 50 cc sampai 250 ce dan kendaraan bermotor roda tiga sebesar Rp 32.000,00 (tiga puluh dua ribu rupiah). d. Sepeda motor di atas 250 co sebesar Rp 80.000,00 (delapan puluh ribu rupiah). e. Pick up/mobil barang sampai dengan 2400 co, sedan, jeep dan mobil penumpang bukan angkutan umum sebesar Rp140.000,00 (seratus empat puluh ribu rupiah). End of Page 3 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA f. Mobil penumpang angkutan umum sampai dengan 1600 ce sebesar Rp70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah). 8. Bus dan mikro bus bukan angkutan umum sebesar Rp150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). h. Bus dan mikro bus angkutan umum, serta mobil penumpang angkutan umum lainnya di atas 1600 cc sebesar Rp87.000,00 (delapan puluh tujuh ribu rupiah). i. Truk, mobil tangki, mobil gandengan, mobil barang di atas 2400 cc, truk container dan sejenisnya sebesar Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah). Pasal 5 Setiap jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan biaya penggantian pembuatan Kartu Dana/Sertifikat sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah). Pasal 6 (1) Pelunasan SWDKLL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh tempo pengesahan ulang setiap tahun atau pendaftaran/ perpanjangan ulang Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam hal pembayaran SWDKLL) dilakukan setelah melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dikenakan denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah SWDKLL) yang seharusnya dibayar dengan ketentuan denda yang dikenakan paling besar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). (3) Dalam hal ketentuan mengenai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi karena pertimbangan kondisi geografis daerah setempat, Direksi perusahaan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan diberi kewenangan untuk menetapkan batas waktu pelunasan dan besarnya denda SWDKLL), dengan ketentuan batas waktu dimaksud paling lama 15 (lima belas) hari kerja. End of Page 4 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -5- Pasal 7 Dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pembebasan terhadap Pajak Kendaraan Bermotor yang tertunggak untuk tahun yang lewat, Direksi perusahaan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan dapat menetapkan kebijakan pembebasan pembayaran SWDKLLI, Kartu Dana/Sertifikat, dan besar denda SWDKLL] yang tertunggak untuk tahun yang lewat, dengan mempertimbangkan kebijakan Pemerintah Daerah setempat. Pasal 8 Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.06/2001 tentang Penetapan Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Februari 2008 MENTERI KEUANGAN ttd Salinan sesuai dengan aslinya MULYANI INDRAWATI End of Page 5
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 36/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id> <reg_title> BESAR SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB DANA KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN </reg_title> <set_date> 26 Februari 2008 </set_date> <effective_date> setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 26 Februari 2008 </effective_date> <replaced_reg> '416/KMK.06/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg> <related_reg> '34/UU/1964', '2/UU/1992', '18/PP/1965', '39/PP/1980', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005', '337/KMK.011/1981|KEP-MENKEU/1981' </related_reg>
MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79 /PMK.010/2009 TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PEN AGIHANNY A TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN PEN UN}ANG USAHA ASURANSI MENTERI KEUANGAN, Menimbang a. bahwa dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pembayaran ketertiban dalam denda yang telah dikenakan kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang terlambat atau tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor danJatau independen laporan atas laporan operasional keuangan tahunan, tahunan, maka perlu menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks1;ld dalam huru£ a,· perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Sanksi Administratif Berupa Denda dan Tata Cara Penagihannya Terhadap Perusahaan Asuransl, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 ten tang Panitia Urusan Piutang 2. Undang-Undang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomer 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104); Nomor 2 Tahun 1992 ten tang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 4-3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687); MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -2- 4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembal'an Negara Republik Indonesia NomOI 4954); 5. Peraturan Pemerintah NomOI 22 Tahun 1997 tentarig Jenis dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3694); 6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara; 7. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir d.enganPeraturan Menteri Keuangan Nomor 158/ PMKOI0/2008; 10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.06/2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; 11. Peraturan Menteri Keuangan NomOI 122/PMK.06/2007 tentang Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang Negara; 12. Peraturan Menteri Keuangan NomoI' 128/KMK06/2007 tentang Pengurusan Piutang NegaI'a; MEMUTUSKAN: Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PENAGIHANNYA TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN PENUNJANG USAHA ASURANSI. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Denda adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan kepada Negara sebagai sanksi atas pelanggaran terhadap Und,ang- Undang Nomor 2·Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dan/ atau peraturan pelaksanaannya. 2. Bunga adalah sejumlah uang yang timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran denda dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. 3. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaaan Penunjang Usaha Asuransi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008,yang wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen atas laporan keuangan tahunan, dan/ atau laporan operasional tahunan. 4. Laporan adalah laporan keuangan tahunan, laporan auditor independen atas laporan keuangan tahunan, dan/ atau laporan operasional tahunan yang wajib disampaikan oleh Perusahaan kepada Menteri Keuangan sesuai peraturan perundang-undangan di bidangperasuransian. 5. Piutang Negara adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan kepada Negara atau badan-badan yang secara langsung ataupun tidak langsung ·dikuasai oleh Negara, berdasarkan suatu perjanjian, peraturan, atau sebab apapun. 6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II PENGENAAN SANKSIADMINISTRATIF BERUPA DENDA Pasal 2 (1) Perusahaan wajib menyampaikan Laporan kepada Menteri. (2) Perusahaan yang terlambat atau tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -4- Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. (3) Batas akhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)adalah tanggal30 April puku117.00 WIB. (4) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur,maka batas akhir penyampaian Laporan adalah hari kerja pertama setelah tanggal30 April puku117.00 WIB. Pasal 3 Perhitungan jumlah sanksi administratif berupa denda dimulai sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat (4), sampai dengan tanggal diterimanya Laporan tersebut oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 4 Surat pengenaan sanksi adminish"atif berupa denda ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Menteri setelah: a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diterima oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; atau b. jumlah denda telah mencapai nilai maksimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 73 tahun 1992 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008. Pasal 5 (1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan penyampaian Laporan atau tidak menyampaikan Laporan, tetap diwajibkan untuk membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (2). (2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghitungan jumlah hari keterlambatan dihitung setelah batas akhir kewajiban penyampaian Laporan sampai dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pencabutan izin usaha. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 5 - BAB III TATA CARA PEMBAYARANDAN PENAGIHAN DENDA Pasal 6 (1) Sanksi administratif berupa denda wajib dibayarkan ke Kas Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) dengan kode Mata Anggaran Penerimaan (MAP) sebagaimana disebutkan dalam surat penetapan sanksinya. (2) Fotocopy SSBP yang merupakan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Perasuransian Badan Pengawas PasarModal dan Lembaga Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal pembayaran denda dimaksud .. Pasal 7 (1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda. dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan sanksi administratif berupa denda ditetapkan. (2) Apabila sanksi administratif berupa denda belum dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (I), Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menetapkan surat teguran pertama kepada Perusahaan untuk segera melunasi sanksi administratif berupa denda beserta bunganya sebesar 2% (dua perseratus) per bulan paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama tersebut. (3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran pertama, sanksi administratif berupa denda beserta bunganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilunasi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menetapkan surat teguran kedua dengan jangka waktu pelunasan paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran kedua tersebut. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat teguran kedua, sanksi administratif berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi, maka sanksi administratif berupa denda beserta bunganya tersebut dikategorikan sebagai piutang macet. Kepala Biro MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 6 - (5) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengurusannya dilimpahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Drusan Piutang NegarajDirektorat Jenderal Kekayaan Negara paling lama 14 (empat belas) hari sejak sanksi administratif berupa denda dikategorikan sebagai piutang macet. Pasal 8 Dalam hal Perusahaan belum membayar sanksi administratif berupa denda, maka sanksi administratif berupa denda tersebut dinyatakan sebagai utang Perusahaan kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan keuangan Perusahaan yang bersangku tan. Pasal 9 Terhadap Perusahaan yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda dan sebelum berakhirnya jangka. waktu .. kewajiban pembayaran sanksi .administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 izin usaha Perusahaan dicabut, makaketentuan mengenai tata cara penagihan pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tetap berlaku. Pasal 10 (1) Dalam hal Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menetapkan sanksi administratif berupa denda disertai dengan pencabutan izin us~ha Perusahaan, maka pembayaran sanksi administratif berupa denda dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan ini. (2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sanksi administratif berupa denda belum dilunasi, maka sanksi administratif berupa denda dimaksud dikategorikan sebagai piutang macet. (3) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilimpahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Drusan Piutang NegarajDirektorat Jenderal Kekayaan Negara paling lama 14 (empat belas) hari sejak sanksi administratif berupa denda dikategorikan sebagai piutang macet. MENTERIKEUANGAN REPUBUK INDONESIA -7- Pasal 11 PeI'atuI'an Menteri Keuangan ini berlaku untuk penyampaian Laporan yang berakhir per tanggal 31 Desember 2008 dan .seterusnya. Pasal 12 Dalam hal Perusahaan dikenakan 'sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha karena tidak menyampaikan LapoI'an, maka pencabutan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha hanya dapat dilakukan apabila Laporan telah disampaikan kepada Menteri dan fotocopy SSBP telah disampaikan kepada SekretarisBadan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Kepala Biro Perasuransian Badan' Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. BAB IV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 13 Terhadap Piutang Negara yang timbul dari pengenaan sanksi administrasi berupa denda pada Perusahaan yang sudah ada sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, akan dilakukan tindakan sebagai berikut: a. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya PeI'atuI'an Menteri Keuangan ini, akan mengeluarkan surat pemberitahuan tersebut. kepada Perusahaan surat pemberitahuan pemberitahuan untuk dapat segera melunasi denda paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya b. Apabila denda belum, dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam surat sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka sanksi administratif berupa denda tersebut dikategorikan sebagai piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan atau diseI'ahkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang NegaI'aj Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. MENTERIKEUANGAN REPUBLIK INDONESIA -8- BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Dengan ditetapkannya Keuangan Peraturan Nomor Menteri Keuangan 422/KMK.06/2003 ini, ketentuan mengenai pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Keputusan Menteri tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap pengundangan orang Peraturan mengetahuinya, Menteri Keuangan memerintahkan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 April 2009 MENTERI KEUANGAN, ttd. SRI MULYANI INDRA WATI Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 22 April 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ttd. ANDIMATTALATIA 72 2009 ..
<reg_type> PER-MEN </reg_type> <reg_id> 79/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id> <reg_title> SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PENAGIHANNYA TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN PENUNJANG USAHA ASURANSI </reg_title> <set_date> 22 April 2009 </set_date> <effective_date> 22 April 2009 </effective_date> <issued_date> 22 April 2009 </issued_date> <replaced_reg> '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg> <related_reg> '49/PERPPU/1960', '2/UU/1992', '20/UU/1997', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '22/PP/1997', '89/PERPRES/2006', '20/P|KEPPRES/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '425/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '122/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '128/KMK.06/2007|KEP-MENKEU/2007' </related_reg> <penalty_list> '79/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009' </penalty_list>
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sehubungan dengan telah terjadi krisis ekonomi secara global yang mempengaruhi stabilitas sistem keuangan, diperlukan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan; b. bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dipandang perlu untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang mengatur mengenai kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia; Mengingat : 1. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang … - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG- UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA. Pasal I Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11 ... - 3 - Pasal 11 (1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek Bank yang bersangkutan. (2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya. (3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. (4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan yang berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah. (5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang- undang tersendiri. Pasal II Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar ... - 4 - Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengudangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 13 Oktober 2008 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 142 Salinan sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan Bidang Perekonomian dan Industri, SETIO SAPTO NUGROHO PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA I. UMUM Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini di Amerika Serikat yang merupakan terbesar sejak krisis 1929 telah memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD700 miliar. Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime mortgage) yang dilakukan kurang hati-hati. Dampak krisis keuangan ini berimbas pada berbagai negara termasuk Indonesia, karena sistem keuangan global saling interdependensi. Pemerintah Indonesia sudah, tengah, dan akan terus melakukan berbagai langkah antisipatif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terpelihara. Berdasarkan pertimbangan di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang memaksa perlu menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Pasal 11 Ayat (1) Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulitan Bank karena adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar. Yang . . . - 2 - Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender. Jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari yang dimaksud pada ayat ini merupakan jangka waktu maksimum yang dimungkinkan termasuk perpanjangannya. Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah Bank yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa Bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi Bank tersebut. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “agunan yang berkualitas tinggi” meliputi surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar. Yang dimaksud dengan “pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah” misalnya bagi hasil atau risiko yang ditanggung bersama secara proporsional. Ayat (3) Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia memuat antara lain: a. persyaratan dan tata cara pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk didalamnya persyaratan Bank penerima. Dalam rangka meneliti pemenuhan kesehatan Bank tersebut, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan Bank calon penerima kredit atau pembiayaan; b. jangka waktu, tingkat suku bunga atau nisbah bagi hasil dan biaya lainnya; c. jenis agunan berupa surat berharga dan/atau tagihan yang mempunyai peringkat tinggi; dan d. tata cara pengikatan agunan. Ayat (4) … - 3 - Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Cukup jelas Pasal II Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4901
<reg_type> PERPPU </reg_type> <reg_id> 2/PERPPU/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA </reg_title> <set_date> 13 Oktober 2008 </set_date> <effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date> <issued_date> 13 Oktober 2008 </issued_date> <changed_reg> '23/UU/1999' </changed_reg> <extension_of> '3/UU/2004' </extension_of> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 22 ayat (1)', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga Pembiayaan dalam proses pembangunan nasional, perlu didukung oleh ketentuan mengenai Lembaga Pembiayaan yang memadai; b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan perlu disempurnakan dengan mengganti Keputusan Presiden dimaksud dengan Peraturan Presiden yang baru; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan; Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor 23); 3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 4. Undang-Undang ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 2 - 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA PEMBIAYAAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. 2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit. 3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha. 4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. 5. Sewa ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 3 - 5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran. 6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut. 7. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran. 8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. 9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau kepada penggantinya. 10. Menteri adalah Menteri Keuangan. BAB II JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN Pasal 2 Lembaga Pembiayaan meliputi: a. Perusahaan Pembiayaan; b. Perusahaan Modal Ventura; dan c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Pasal 3 ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 4 - Pasal 3 Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi: a. Sewa Guna Usaha; b. Anjak Piutang; c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau d. Pembiayaan Konsumen. Pasal 4 Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi: a. Penyertaan saham (equity participation); b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity participation); dan/atau c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/ revenue sharing). Pasal 5 (1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan Infrastruktur; b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; dan/atau c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; (2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan: a. Pemberian ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 5 - a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur; b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services); c. Penyertaan modal (equity investment); d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan dari Menteri. Pasal 6 Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi. Pasal 7 (1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan Terbatas dapat dimiliki oleh : a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia; b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia (usaha patungan). (2) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan paling besar 85% (delapan puluh lima per seratus) dari Modal Disetor. Pasal 8 Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian perusahaan dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri. BAB III … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 6 - BAB III PEMBATASAN Pasal 9 Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk: a. Giro; b. Deposito; c. Tabungan. Pasal 10 (1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian (prudential principles). (2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri. BAB IV PENGAWASAN Pasal 11 Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. BAB V ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 7 - BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 12 Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Modal Ventura yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan penyesuaian terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 13 Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini: a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. b. Semua peraturan perundangan-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini. Pasal 14 ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 8 - Pasal 14 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, Dr. M. Iman Santoso
<reg_type> PERPRES </reg_type> <reg_id> 9/PERPRES/2009 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 18 Maret 2009 </set_date> <effective_date> 18 Maret 2009 </effective_date> <replaced_reg> '61/KEPPRES/1988' </replaced_reg> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '40/UU/2007', '25/UU/1992', '23/STBLD/1847' </related_reg>
REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19'TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang tersedianya dana pembangunan perumahan yang lebih efektif dan efisien melalui pembiayaan sekunder perumahan, perlu didukung oleh ketentuan mengenai pembiayaan sekunder perumahan yang nemadai; b. bahwa Peraturant Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan, perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembiayaan perumahan dan perkembangan skim pembiayaan sekunder perumahan, c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan huruf b, perlu menclapkan Peraturan Presiden tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Kitab... End of Page 1 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerljk Wetbock, Staatsblad 1847 Nomor 23); 3. Undang-Undang Nomot 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (tembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO) (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3731) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4101); 8. Peraturan .... End of Page 2 REPUBLIK INDONESIA . Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4479); MEMUTUSKAN: Menetapkant : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN. Pasall Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4479) diubah scbagai berikut: 1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dihapus dan diantara angka 5 dan angka 6 disisipkan 1 (satu) angka baru yaitu angka 5a serta mengubah angka 13, angka 15, dan angka 18, sehingga keseluruhan Pasal 1 menjadi berbunyi sebagai berikut: 4Pasal 1 1. Dihapus. 2. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya. 3. Bank.. End of Page 3 REPUBLIK INDONESIA 3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Perbankan. 4. Dokumen Transaksi adalah seluruh dokumen yang dibuat oleh para pihak dalam transaksi Sekuritisasi. 5. Efek Beragun Aset adalah surat berharga yang dapat berupa Surat Utang atau Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit yang pembayarannya terutama bersumber dari Kumpulan Piutang. 5a. Pendukung Kredit (Credit Enhancer) adalah pihak yang memberikan fasilitas untuk meningkatkan kualitas dan nilai Aset Keuangan dan/ataut surat berharga dalam transaksi Sekuritisasi maupun untuk pemberian fasilitas pinjaman. 6. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang diterbitkan oleh Kreditor Asal untuk membeli rumah siap huni. 7. Kreditor Asal adalah setiap Bank atau lembaga keuangan yang mempunyai Aset Keuangan. 8. Kumpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuiangan yang dibeli oleh Penerbit dari Kreditor Asal. 9. Kustodian adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pasar Modal. 10. Menteri adalah Menteri Keuangan. kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang kepada Kreditor Asal dengan melakukan Sekuritisasi. 12. Pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset. 13. Penerbit .. End of Page 4 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 13. Penerbit adalah pihak yang melakukan penerbitan efek beragun aset dalam rangka sckuritisasi. 14. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi liquid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset. 15. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah peiseroan terbatas yang ditunjuk oleh lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk membeli Aset Keuangan dan menerbitkan Efek Beragun Aset. 16. Surat Partisipasi adalah bukti pemilikan secara proporsional atas Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sejumlah Pemodal yang diterbitkan oleh Penerbit. 17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkan oleh Penerbit yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh pembayaran sebagai Pemodal. 18. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan Pemodal dalam transaksi sekuritisasi dan terdaftar di Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/ 2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4) diubah, Sehingga keseluruhan Pasal 4 menjadi berbunyi scbagai berikut: 4Pasal 4 (1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan penerbitan Efek Beragun Aset. (2) Efek... End of Page 5 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA -6- (2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat Partisipasi. (3) Efek Beragun Aset -harus diperingkat oleh lembaga pemeringkat. (4) Surat Utang atau Surat Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan atas unjuk (aan toonder) dan/atau atas nama (aan order). 3. Ketentuan Pasal G ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ayat (3) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal G menjadi berbunyi sebagai berikut: *Pasal 6 (1) Dalam hal Efek Beragur Aset berbentuk Surat Utang, SPV membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan menerbitkan Suarat Utang. (2) Dalam hal Bfek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi, Jembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Wali Amanat membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan menerbitkan Surat Partisipasi. (3) Dihapus. 4. Diantara ... End of Page 6 REPUBLIK INDONESIA 4. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal GA, yang berbunyi sebagai berikut: *Pasal 6A Dalam rangka melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), SPV hanya dapat melakukan satu transaksi sekuritisasir 5. Ketentuan Pasal & diubah, schingga kescluruhan Pasal 8 menjadi berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Pembelian kumpulan Aset Keuangan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) hanya dapat dilakukan atas Aset Ketiangan yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan olch lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.7 6. Ketentuan Pasal 9 dihapus. 7. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut: *Pasal 9A Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan pembelian Efek Beragun Aset/ 8. Ketentuan ... End of Page 7 PRESIDEN 8. Ketentuart Pasal 10 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10 menjadi berbunyi scbagai berikut: *Pasal 10 (1) Pembayaran atas Efek Beragun Aset kepada Penodal terutama bersumber dari arus kas yang diperoleh dari Kumpulan Piutang. (2) Dalam hal arus kas scbagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pembayaran kekurangannya bersumber dari Pendukung Kredit. (3) Pembayaran atas Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan oleh Wali Amanat, Kustodian atau pihak lain yang ditunjuk oleh para pihak dalam Dokumen Transaksip 9. Ketentuan Pasal 11 dihapus. 10. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 menjadi berbunyi sebagai berikut: *Pasal 12 (1) Pihak-pihak dalam Sekuritisasi antara lain Kreditor Asal, Pencrbit, Pemodal, penata sekuritisasi, Wali Amanat, Kustodian, Pendukung Kredit, dan pemberijasa. (2) Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat bertindak sebagai. koordinator global, penjamin, penata sekuritisasi, dan/atau Pendukung Kredit dalam transaksi Sekuritisasi7 11. Di antara ... End of Page 8 PRESIDEN - 9 - 11. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut: *Pasal 12A Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat menunjuk penata sekuritisasi untuk mengatur dan menyiapkan proses Sekuritisasir 12. Ketentuan dalam Pasal 14 ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf d, Sehingga keseluruhan Pasal 14 menjadi berbunyi sebagai berikut: *Pasal 14 Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan laporan kepada Menteri, berupa: a. laporan keuangan triwulanan; b. Laporan kegiatan uasaha semesteran; c. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Akuntan Publik; d. Laporan dan/atau hal-hal lain yang diperlukan. 13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 menjadi berbunyi sebagai berikut: *Pasal 18 (1) Dalam rangka melaksanakan Pembiayaan Sekunder Perumahan, perusahaan dapat melakukan penyertaan langsung. 2) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) hanya dapat dilakukan pada perusahaan yang kegiatan usahanya terkait langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar pembiayaan sekunder perumahan. (3) Penyertaan .. End of Page 9 PRESIDEN - 10 - (S) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemegang saham. (4) Perusahaan dilarang melakukan pembelian saham melalui pasar modal/ *% modal_ 14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 menjadi berbunyi sebagai berikut: *Pasal 19 Perusahaan dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang Negara, Sertifikat Bank Indonesia, Deposito, dan/ataut instrumen keuiangan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.p 15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah serta ayat (2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 20 menjadi berbunyi sebagai berikut: 4Pasal 20 (1) Dalam zangka membangun dan mengembangkan pasar sekunder perumahan, perusahaan dapat memberikan fasilitas pinjaman kepada Bank dan/atau lembaga keuangan untuk disalurkan sebagai KPR dengan tata cara dan persyaratan yang ditetapkan perusahaan. (2) Dihapus (3) Pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Presiden ini. (4) Jangka waktu penyaluran fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) tahun/ Pasal II. End of Page 10 REPUBLIK INDONESIA - 11 - Pasal II Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di jakarta pada tanggal 26 Januari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, tid DR. H. SUSILO BAMBANG YUDIIOYONO Salinan sesuai dengan aslinya Deptrti Sekretaris Kabinet End of Page 11 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PENJELASAN ATAS PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG' PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN UMUM Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau oleh masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui pembiayaan sekunder perumahan. Untuk melakukan kegiatan pembiayaan dimaksud, Pemerintah telah mendirikan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan. Perusahaan pembiayaan sekunder perumahan mempunyai tugas untuk membangun dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui sekuritisasi, penyaluran pinjaman kepada bank dan/atau lembaga keuangan. Selain itu, perusahaan dapat juga melakukan penyertaan langsung pada perusahaan yang kegiatan uisahanya terkait langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar pembiayaan sekunder perumahan, dan berfungsi sebagai mortgage guarantor serta dapat melakukan pembelian efek yang berkaitan dengan mortgage dalam rangka menggerakkan pasar (market maker). Untuk membangun pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui sekuritisasi, Perusahaan membeli kumpulan aset keuangan dari bank dan/atau lembaga keuangan dan selanjutnya menjual kepada investor, baik melalui penawaran umum maupun penawaran terbatas (private placement. Selain itu, dalam transaksi sekuritisasi, perusahaan dapat bertindak sebagai koordinator global, penjamin, penata sekuritisasi, dan/atau Pendukung Kredit. Selanjutnya, mengenai penyaluran pinjaman kepada bank dan/atau lembaga keuangan dimaksudkan untuk memperbanyak volume KPR yang disalurkan oleh bank dan/atau lembaga keuangan dimaksud. Sumber ... End of Page 12 PRESIDEN Sumber pembiayaan sekunder perumahan di samping berasal dari modal sendiri, juga diperoleh dari penerbitan Bfek Beragun Aset dalam bentuk Surat Utang dan Surat Partisipasi. Dalam rangka penerbitan Surat Utang, Special Purpose Velicle (SPV) bertindak sebagai penerbit. Sedangkan dalam rahgka penerbitan Surat Partisipasi yang bertindak sebagai penerbit adalah Perusahaan atau Wali Amanat. Berkenaan dengan belum siapnya pasar primer perumahan, sehingga belum terdapat kumpulan aset KPR yang eligible untuk dilakukan sekuritisasi, maka Perusahaan dapat memberikan pinjaman kepada bank atau lembaga keuangan untuk menerbitkan KPR dengan persyaratan menggunakan standardisasi dokumen yang ditetapkan oleh Perusahaan. Terkait dengan hal tersebut, maka jangka waktu pemberian pinjaman disesuaikan dengan rata-rata jangka waktu KPR. Dengan demikian, perlu dilakukan perubahan jangka waktu pemberian pinjaman oleh Perusahaan. Dengan dilakukannya perubahan terhadap beberapa substansi tersebut, dihamapkan Perusahaan dapat menjalankan fungsinya sebagai pembangun dan pengembang pasar pembiayaan sekunder perumahan. PASAL DEMI PASAL Pasall Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Pasal 4 Ayat (1) Pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dimaksudkan untuk mengalihkan hak milik Kreditor Asal atas kumpulan Aset sesuai dengan ketentuan Pasal.584..Kitak LIndans-lladang Hukum sesuai dengan ketentuan Pasal.584..Kitak LIndans-lladang Hukum Perdata (KUHPer) yang mengatur cara diperolehnya hak milik, dimana ... End of Page 13 PRESIDEN dimana salah satunya adalah adanya penyerahan (evering) benda tersebut berdasarkan peristiwa perdata pemindahan hak milik. Dalam kaitannya dengan Sekuritisasi, benda yang akan dipindahkan adalah hak tagih atau piutang sehingga untuk penyerahan piutang dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal G13 ayat (1) KUHPer dengan membuat suatu perjanjian penyerahan yang dikenal sebagai cessic, Sedangkan peristiwa perdatanya berupa perjanjian jual beli. Dengan demikian, kepastian hukum pemindahan hak milik atas kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal kepada pembeli telah terjadi dengan adanya perjanjian jual beli dan perjanjian penyerahan (cessie. Perjanjian jual beli dan perjanjian penyerahan (cessie) dapat digabungkan dalam satu perjanjian. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukupjelas Ayat (4) Cukup jelas Angka 3 Pasal 6 Ayat (1) Dalam transaksi ini kepemilikan Kumpulan Piutang tersebut berpindah kepada Penerbit (SPV). Ayat (2) .. End of Page 14 PRESIDEN Ayat (2) Dalam transaksi ini yang menjadi pemilik akhir dari Kumpulan Piutang tersebut adalah Pemodal secara bersama-sama. Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalan Pasal 3 atau Wali Amanat hanya menjadi perantara saja dalam rangka mentransformasi kumpulan piutang menjadi surat berharga (Efek Beragun Aset yang berbentuk Surat Partisipasi). Angka 4 Pasal 6A SPV merupakan perseroan terbatas yang khusus didirikan untuk mendukung satu transaksi sekuritisasi. SPV tidak bersifat permanen namun hanya sementara waktu sampai berakhirnya fungsi dan tugas SPV dalam transaksi sekuritisasi tersebut. Angka 5 Pasal 8 Persyaratan Aset Keuangan yang dapat dibeli dalam transaksi sekuritisasi sekurang-kurangnya memenuhi standardisasi dokumen KPR yang antara lain meliputi standardisasi desain, pedoman analisa risiko, dan pedoman penilaian real estat. Angka 6 Pasal 9 Cukup jelas Angka 7.. End of Page 15 REPUBLIK INDONESIA Angka 7 Pasal 9A Lembaga keuangan sebagaimang dimaksud dalam Pasal 3 dapat melakukan pembelian Efek Beragun Aset yang terkait dengan KPR (mortgage relafed securities), sehingga dalam hal ini lembaga keuangan tersebut bertindak sebagai pengserak pasar (market maken. Angka 8 Pasal 10 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Angka 9 Pasal 11 Cukup jelas Angka 10 Pasal 12 End of Page 16 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Ayat (1) Penata sekuritisasi adalah pihak yang menyiapkan dan mengatur seluruh transaksi Sekuritisasi. Yang menjadi Pendukung Kredit adalah Kreditor Asal atau pihak lain seperti perusahaan asuransi, bank dan perusahaan efek. Pemberi jasa adalah pihak yang ditunjuk oleh Wali Amanat untuk mengurus Aset Keuangan. Pemberijasa bertugas, antara lain a. mengatur, memproses, memantau, dan menagih Aset Keuangan; b. meneruskan hasil tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Wali Amanat atau Kustodian; c. melaksanakan eksekusi agunan yang melekat pada Aset Keuangan; dan d. melaksanakan hal-hal lain sebagaimana dimuat dalam Dokumen Transaksi. Dalam hal pemberi jasa tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka tugas-tugas tersebut dilakukan oleh pemberi jasa cadangan yang ditunjuk oleh Penerbit atau Wali Amanat yang penunjukannya ditentukan dalam Dokumen Transaksi. Ayat (2) Koordinator global adalah pihak yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan secara keseluruhan proses transaksi, termasuk melakukan penunjukan para pihak yang terlibat dalam transaksi sekuritisasi, mengkoordinir dan menjadi penghubung dengan instansi dan lembaga pemerintah terkait, serta bertanggung jawab terhadap kinerja pihak-pihak penunjang transaksi sekuritisasi KPR. Penjamin .. End of Page 17 PRESIDEN Penjamin adalah pihak yang menjamin pembayaran efek beragun aset sesuai Dokumen Transaksi, - Angka 11 Pasal 12A Cukup jelas Angka 12 Pasal 14 Cukupjelas Angka 13 Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Yang dimaksud perusahaan yang kegiatan usahanya terkait langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar pembiayaan sekunder perumahan, misalnya perusahaan yang mempunyai fungsi di bidang mortgage insurance. Ayat (S) Cukupjelas Ayat (4) Cukup jelas Angka 14.. End of Page 18 PRESIDEN Angka 14 Pasal 19 Penempatan dana dalam Pasal ini dimaksudkan dalam rangka manajemen Jikuiditas pada instrumen keuangan yang aman. Angka 15 Pasal 20 Ayat (1) Pemberian fasilitas pinjaman kepada Bank dan/atau lembaga keuangan harus dipergunakan untuk penyaluran KPR termasuk untuk rumah yang dalam proses pembangunan. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukupjelas Pasal II Cukupjelas End of Page 19
<reg_type> PERPRES </reg_type> <reg_id> 1/PERPRES/2008 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title> <set_date> 26 Januari 2008 </set_date> <effective_date> 26 Januari 2008 </effective_date> <changed_reg> '19/PERPRES/2005' </changed_reg> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995', '19/UU/2003', '40/UU/2007', '12/PP/1998', '45/PP/2001', '19/PERPRES/2005', '23/STBLD/1847' </related_reg>
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa usaha penjaminan yang Penjaminan selama ini belum cukup diatur dilakukan oleh Lembaga berdasarkan prinsip-prinsip usaha penjaminan yang prudent, serta memberikan kepastian hukum; transparan b. bahwa dalam rangka mendorong kegiatan usaha Lembaga Penjaminan yang berkesinambungan, diselenggarakan secara efisien, serta bermanfaat bagi masyarakat dan perekonomian nasional, dipandang perlu melakukan pengaturan terhadap Lembaga Penjaminan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Lembaga Penjaminan; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2387); 3. Undang ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 2 - 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Indonesia Nomor 4297); 6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG LEMBAGA PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 2. Penjaminan ... Tambahan Lembaran Negara Republik PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 3 - 2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. 3. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan Penjaminan. 4. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang. 5. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang. 6. Lembaga Keuangan adalah Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. 7. Penerima Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah pihak yang telah memperoleh kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dari Lembaga Keuangan. 8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 9. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan. 10. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau hukum Islam. 11. Menteri ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 4 - 11. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. BAB II KEGIATAN USAHA Pasal 2 (1) Perusahaan Penjaminan melakukan kegiatan usaha Penjaminan. (2) Perusahaan Penjaminan Ulang melakukan kegiatan usaha Penjaminan Ulang. (3) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan usaha lain yang mendukung kegiatan usaha Lembaga Penjaminan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB III BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN DAN PERIZINAN Pasal 3 (1) Bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan berupa: a. Perusahaan Umum; b. Perusahaan ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 5 - b. Perusahaan Perseroan (Persero); c. Perusahaan Daerah; d. Perseroan Terbatas; atau e. Koperasi. (2) Perusahaan Penjaminan berbadan hukum Perseroan Terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh : a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. Pemerintah Pusat; dan/atau d. Pemerintah Daerah. (3) Perusahaan Penjaminan Ulang berbadan hukum Perseroan Terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh : a. sekurang-kurangnya oleh dua Perusahaan Penjaminan; b. Pemerintah Pusat; dan/atau c. Pemerintah Daerah. (4) Perusahaan Penjaminan Ulang berbadan hukum Koperasi hanya dapat dimiliki oleh gabungan Perusahaan Penjaminan berbadan hukum Koperasi. Pasal 4 (1) Untuk melakukan kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan, badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri. (2) Pencabutan ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 6 - (2) Pencabutan izin usaha kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan dilakukan oleh Menteri. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendirian Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencabutan izin usaha Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk permodalan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 5 (1) Lembaga Penjaminan berkedudukan di wilayah Republik Indonesia, dengan lingkup wilayah operasional nasional atau provinsi. (2) Lembaga Penjaminan dapat mendirikan Kantor Cabang dan Kantor Anak Cabang sesuai lingkup wilayah operasionalnya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB IV KELEMBAGAAN Pasal 6 (1) Susunan organisasi Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan pengembangan informasi debitur. (2) Pengelolaan ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 7 - (2) Pengelolaan Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya didukung dengan : a. sistem pengembangan sumber daya manusia; b. sistem dan prosedur kerja; c. sistem administrasi, pengolahan data; dan d. rencana kerja dan anggaran tahunan. (3) Pengurus Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya memenuhi kriteria: a. memiliki pengetahuan, pengalaman atau keahlian di bidang pengelolaan risiko, manajerial atas perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan; dan b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan pada Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. BAB V PEMBATASAN Pasal 7 (1) Lembaga Penjaminan dilarang: a. memberikan pinjaman; dan/atau b. menerima pinjaman; dan/atau c. melakukan penyertaan langsung. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. (3) Ketentuan ... PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 8 - (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat dikecualikan bagi (1) huruf pinjaman dalam bentuk Obligasi Wajib Konversi convertible bonds). (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat b Perusahaan Penjaminan yang menerima (mandatory (1) huruf c dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka penyertaan pada Perusahaan Penjaminan Ulang. BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 8 (1) Pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan dilakukan oleh Menteri. (2) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan, Menteri berwenang melakukan pemeriksaan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 9 Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan, Menteri berwenang menetapkan sanksi administratif atas pelanggaran Peraturan Presiden ini. BAB VII … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 9 - BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 10 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka: a. Badan usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri untuk melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Penjaminan, tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan untuk selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Presiden ini; atau b. Badan usaha yang kegiatan usaha pokoknya melakukan Penjaminan namun belum memperoleh izin usaha dari Menteri, tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan dinyatakan telah mendapatkan izin usaha dari Menteri dan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Presiden ini. Pasal 11 Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, ketentuan yang mengatur tentang Perusahaan Penjaminan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku. BAB VIII … PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA - 10 - BAB VIII PENUTUP Pasal 12 Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Januari 2008 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, Dr. M. Iman Santoso
<reg_type> PERPRES </reg_type> <reg_id> 2/PERPRES/2008 </reg_id> <reg_title> LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 26 Januari 2008 </set_date> <effective_date> 26 Januari 2008 </effective_date> <related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '25/UU/1992', '5/UU/1962', '40/UU/2007', '19/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan keuangan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip konvensional maupun perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip konvensional yang memiliki unit usaha asuransi dengan prinsip syariah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan mengenai bentuk dan susunan pengumuman laporan keuangan bagi perusahaan asuransi berbentuk badan hukum bukan Perseroan Terbatas, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-300/LK10005 Pedoman Perhitungan Tingkat Kesehatan Keuangan serta Perusahaan Asuransi Non PT sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per-09/BL/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman Perhitungan Tingkat Keschatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Bentuk dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; End of Page 1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambalan Lembaran Negara Republik lndonit 4954); 3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang, Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004 tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asurans Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas; 5. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; 6. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman Perhitungan Tingkat Kesehatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT sebagaimana telah diubah dongan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Rep 390/6K/2005 Tentang Pedoman F Tingkat Kesehatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT, MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. End of Page 2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Pasal Bentuk dan susunan pengumuman laporan keuangan tahunan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi adalah sebagai berikut: a. bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi dengan prinsip konvensional, disusun sesuai dengan Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini; b. bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan reasuransi dengan prinsip konvensional yang memiliki unit usaha asuransi dengan prinsip syariah, disusun sesuai dengan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak erpisahkan dari Peraturan Ketua in c. bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip kanvensional, disusun sesuai dengan Lampiran IIl yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini; d. bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip konvensional yang memiliki unit usaha asuransi dengan prinsip syariah, disusun sesuai dengan Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini; . bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip konvensional yang memasarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, disusun sesuai dengan Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini; dan bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip prinsip syariah dan memasarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi, disusun sesuai dengan Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 2 Bentuk dan susunan pengumuman laporan keuangan tahunan bagi perusahaan asuransi berbentuk badan hukum bukan Perseroan Terbatas, disusun sesuai dengan Lampiran VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. End of Page 3 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Pasal 3 Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku a. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan Perusahaan Reasuransi; dan b. Pasal 24 huruf b Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman Perhitungan Tingkat Kesehatan. Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 4 Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 10 April 2012 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Kellangan ttd. Nurhaida Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum AG Prasety& Wahyu Adi Suryo N 195710281985121001 P End of Page 4 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN I PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 5 End of Page 6 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN II PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 7 ********* . S.. I End of Page 8 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN III PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 9 End of Page 10 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN IV PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAIAAN REASURANSI End of Page 11 T End of Page 12 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN V PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 13 End of Page 14 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN VI PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 15 A AHER End of Page 16 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN VII PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 03/BL/2012 TENTANG BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI End of Page 17 B End of Page 18
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-03/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 10 April 2012 </set_date> <effective_date> 10 April 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'Kep-390/LK/2005|KEPDIRJEN-LK/2005 | Pasal 24 huruf b', 'Kep-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 2' </replaced_reg> <related_reg> 'Kep-390/LK/2005|KEPDIRJEN-LK/2005', '504/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004', 'Kep-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', 'Per-09/BL/2008|PERTA-BAPEPAM-LK/2008', '73/PP/1992', '81/PP/2008' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -1- SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 10/BL/2012 TENTANG LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Laporan Aktuaris Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; 5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.010/2012 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- Pasal 1 Bentuk dan susunan laporan aktuaris perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi disusun sesuai dengan Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 2 Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Pasal 6 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 3 Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2013. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 10/BL/2012 TENTANG LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI Lampiran Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- Laporan Aktuaris [Nama Perusahaan Asuransi atau Reasuransi] [Periode Laporan] I. PERNYATAAN AKTUARIS Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat: 1.1 Informasi aktuaris perusahaan antara lain: - Nama Perusahaan; - Nama Aktuaris; - Alamat Rumah dan Nomor Telepon; - Alamat Kantor dan Nomor Telepon; - Tanggal Pengangkatan; - Tempat dan Tanggal Lahir; - Kualifikasi Profesi; - Pengalaman Kerja. 1.2 Uraian atas prosedur-prosedur yang telah dijalankan dan kesesuaian dengan standard praktik yang sehat 1.3 Pendapat dan tanggung jawab aktuaris atas laporan Pernyataan aktuaris Kepada Dewan Komisaris dan Direksi PT [Perusahaan Asuransi/Reasuransi …] Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa: 1. Seluruh informasi yang disampaikan telah dibuat berdasarkan professional judgment dan telah menerapkan tes yang memadai sehingga penilaian yang diperoleh adalah wajar; 2. Kami bertanggung jawab penuh atas hasil penilaian dalam laporan aktuaris ini secara keseluruhan, termasuk bagian dari pekerjaan yang telah didelegasikan kepada orang lain; dan 3. Laporan ini disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip aktuaria yang berlaku umum. Tempat, tanggal pembuatan Ttd. Nama No. Register PAI 1.4 Pernyataan Direksi Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa: 1. Prosedur penentuan liabilitas telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 2. Informasi yang diberikan kepada Aktuaris dalam laporan aktuaris PT … tahun … sudah akurat dan lengkap. 3. Telah memahami isi dari Laporan Aktuaris ini dan akan melaksanakan rekomendasi yang diuraikan dalam Laporan Aktuaris ini. : PER- 10/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- Tempat, tanggal pembuatan Jabatan Ttd. Nama II. IKHTISAR EKSEKUTIF Pada bagian ini memuat tujuan penyusunan laporan, ruang lingkup laporan, ikhtisar perubahan yang terjadi sejak laporan terakhir, kesimpulan utama (key finding) dari laporan dan rekomendasi yang diberikan Aktuaris kepada Direksi Perusahaan. III. PENDAHULUAN Pada bagian ini memuat latar belakang dan tujuan laporan, ruang lingkup laporan, dasar hukum, dan materialitas (materiality), ketergantungan (reliance) danketerbatasan (limitation) dalam penyusunan laporan. IV. TINDAK LANJUT REKOMENDASI PERIODE SEBELUMNYA Pada bagian ini memuat rekomendasi yang sudah dilaksanakan dan rekomendasi yang belum dilaksanakan. V. KUALITAS DATA Pada bagian ini, Aktuaris harus menjelaskan mengenai kelengkapan data, keandalan data, prosedur yang telah dilakukan untuk meyakini kelengkapan dan keandalan data dan kelemahan data (jika ada). VI. GAMBARAN BISNIS PERUSAHAAN Pada bagian ini, aktuaris memberikan uraian mengenai informasi umum perusahaan yang terdiri dari struktur dan operasional perusahaan meliputi: 6.1 Lini usaha atau produk yang dipasarkan Aktuaris harus menguraikan komposisi produk yang dipasarkan pada saat ini dan komposisi produk yang akan dipasarkan sesuai rencana perusahaan ke depan. Selain itu, Aktuaris harus memberikan uraian atas penghentian pemasaran produk atau rencana untuk menghentikan pemasaran produk, jika ada, disertai dengan alasan penghentian dan uraian mengenai pengelolaan portofolio untuk produk yang sudah tidak dipasarkan lagi tersebut 6.2 Target pasar Aktuaris harus menguraikan target pasar untuk setiap lini atau produk yang dipasarkan pada saat ini dan rencana perusahaan ke depan. 6.3 Saluran distribusi yang digunakan Perusahaan harus menguraikan saluran distribusi untuk setiap lini atau produk yang dipasarkan pada saat ini dan rencana perusahaan ke depan. 6.4 Sumber daya manusia yang dimiliki dan kompetensi teknisnya. 6.5 Dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki. : PER- 10/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- VII. TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN DAN KECUKUPAN MODAL Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat: 7.1 Analisis kesehatan keuangan dan kecukupan permodalan Dalam Laporan Aktuaris harus memuat tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan paling kurang selama 5 (lima) tahun terakhir dalam bentuk tabel atau grafik. Aktuaris harus memberikan uraian mengenai kejadian-kejadian yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan.Selain itu, perlu diuraikan pula pendorong utama yang menyebabkan pergerakan tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan apabila terdapat pergerakan yang signifikan. 7.2 Proyeksi kesehatan keuangan dan kecukupan modal Dalam Laporan Aktuaris harus memuat proyeksi tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan paling kurang selama 5 (lima) tahun ke depan dalam bentuk tabel atau grafik. Dalam bagian ini juga harus memuat analisis deviasi antara proyeksi profitabilitas tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk memberikan gambaran apakah terdapat deviasi yang besar atau tidak dan sekaligus menjadi kontrol bagi aktuaris dalam melakukan proyeksi sehingga proyeksi yang dibuat bisa reliable/handal. Aktuaris perusahaan harus melakukan stress test untuk mengetahui dampak dari berbagai kejadian dan skenario terhadap posisi tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan untuk menunjukkan kejadian yang dapat mengancam kecukupan tingkat kesehatan keuangan dan pemenuhan modal minimum. 7.3 Asumsi yang digunakan Aktuaris harus memberikan penjelasan atas asumsi yang digunakan dalam proyeksi kesehatan keuangan dan permodalan, dan penjelasan atas kewajaran asumsi yang digunakan tersebut. 7.4 Analisis akses perusahaan terhadap kebutuhan modal Aktuaris harus memberikan penjelasan mengenai kemampuan perusahaan untuk mendapatkan penambahan modal dari pemegang saham atau dari sumber lain. VIII. PENETAPAN HARGA PREMI DAN PROFITABILITAS Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat: 8.1 Kebijakan penetapan harga premi Aktuaris harus memberikan analisis atas kebijakan dan prosedur penetapan harga premi (pricing policy) untuk tiap lini usaha atau produk yang dipasarkan, termasuk asumsi-asumsi yang digunakan. 8.2 Reviu atas pricing policy Aktuaris harus memberikan riviu atas kebijakan penetapan premi apabila terdapat perubahan kebijakan penetapan premi atau asumsi yang digunakan dalam penetapan premi. 8.3 Analisis realisasi biaya dan profitabilitas Aktuaris harus memberikan analisis atas realisasi biaya dan profitabilitas untuk tiap lini usaha atau produk yang dipasarkan. Selain itu, Aktuaris harus menilai profitabilitas yang dihasilkan dari suatu produk dan pengaruhnya terhadap kondisi keuangan perusahaan secara keseluruhan. : PER- 10/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- 8.4 Analisis profitabilitas untuk pertanggungan baru dan lama Untuk perusahaan asuransi jiwa, Aktuaris harus memberikan analisis profitabilitas untuk pertanggungan baru dan lama. Aktuaris perusahaan harus menunjukkan apakah pertanggungan baru yang diproduksi pada tahun berjalan menghasilkan profit ataukah mengakibatkan adanya kerugian. 8.5 Distribusi profit Aktuaris harus memberikan penjelasan mengenai besarnya keuntungan pemegang polis dan pemegang saham untuk produk asuransi jiwa yang mengandung unsur partisipasi. Apabila perusahaan asuransi jiwa tidak mempunyai produk partisipasi, keseluruhan pembahasan difokuskan pada keuntungan bagi pemegang saham. 8.6 Analisis historis profitabilitas Aktuaris harus menberikan analisis historis profitabilitas selama paling kurang 5 tahun terakhir dan proyeksi 5 tahun ke depan. Untuk mendukung penggambaran analisis profitabilitas, dalam Laporan Aktuaris harus memuat tabel atau grafik tren profitabilitas selama 5 (lima) tahun terakhir. Dalam bagian ini juga harus memuat analisis deviasi antara proyeksi profitabilitas tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk memberikan gambaran apakah terdapat deviasi yang besar atau tidak dan sekaligus menjadi kontrol bagi aktuaris dalam melakukan proyeksi sehingga proyeksi yang dibuat bisa reliable/handal. IX. LIABILITAS 9.1 Metode,asumsi dan model perhitungan yang digunakan Aktuaris harus memberikan uraian tentang metode, asumsi dan model perhitungan yang digunakan perusahaan dalam membentuk liabilitas, khususnya cadangan teknis untuk tiap lini usaha dan produk. 9.2 Pendapat aktuaris Aktuaris harus memberikan pendapat terhadap metode, asumsi dan model perhitungan yang digunakan oleh perusahaan. X. KESESUAIAN ASET TERHADAP LIABILITAS Aktuaris diharapkan memberikan uraian mengenai: 10.1 Analisis atas metode valuasi aset yang dilakukan perusahaan 10.2 Analisis terkait diversifikasi aset termasuk risiko pasar, risiko kredit dan risiko fluktuasi mata uang yang dihadapi 10.3 Analisis atas profil aset dikaitkan dengan liabilitas perusahaan, mencakup tingkat imbal hasil, durasi dan likuiditas XI. REASURANSI Aktuaris diharapkan memberikan uraian mengenai: 11.1 Analisis atas dukungan reasuransi yang dimiliki perusahaan dan kesesuaian dengan karakteristik lini usaha atau produk yang dipasarkan. 11.2 Analisis atas retensi sendiri yang ditetapkan oleh perusahaan. 11.3 Kualitas reasuradur yang mendukung program reasuransi perusahaan : PER- 10/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- XII. MANAJEMEN RISIKO Dalam Laporan aktuaris harus diuraikan mengenai: 12.1 Deskripsi dan pendapat aktuaris mengenai kerangka manajemen risiko yang ada di perusahaan 12.2 Analisis atas efektivitas pelaksanaan manajemen risiko yang ada di perusahaan XIII. PROYEKSI KEUANGAN Perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban di masa depan berupa proyeksi 5 (lima) tahun ke depan dari bisnis perusahaan, pertumbuhan aset dan liabilitas, dan kesehatan keuangan perusahaan. Dalam melakukan proyeksi, Aktuaris harus menggunakan skenario optimis, normal dan pesimis. Asumsi dalam pessimistic assumptions sekurang-kurangnya meliputi: a. Terjadinya krisis finansial b. Inflasi lebih tinggi dari yang diharapkan c. Adanya kerugian katastropik d. Penurunan tingkat hasil investasi e. Penurunan jumlah pertanggungan baru f. Kenaikan tingkat penghentian g. Kenaikan tingkat klaim Aktuaris harus melakukan analisis deviasi antara proyeksi profitabilitas tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk memberikan gambaran apakah terdapat deviasi yang besar atau tidak dan sekaligus menjadi kontrol bagi aktuaris dalam melakukan proyeksi sehingga proyeksi yang dibuat bisa reliable/handal. XIV. AREA LAIN YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN Aktuaris perusahaan diharapkan memberikan uraian mengenai hal-hal lain yang menurut aktuaris perusahaan penting untuk diungkapkan terutama yang berpotensi secara negatif mempengaruhi perusahaan. KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd. NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 : PER- 10/BL/2012 : 27 Desember 2012
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-10/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 1 Juni 2013 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 6' </replaced_reg> <related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER- 08 /BL/2011 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi dengan Prinsip Syariah, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Seluruh atau Sebagian Usahanya dengan Prinsip Syariah, Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467): 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954), 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011: 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah: KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Menetapkan -2- MEMUTUSKAN: PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH. Pasal 1 Dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, yang dimaksud dengan: (1) Perusahaan adalah perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah. (2) Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Perusahaan yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi sesuai dengan prinsip syariah. Pasal 2 (1) Dewan Pengawas Syariah wajib menyusun laporan tahunan hasil pengawasan terhadap penerapan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan oleh Perusahaan, untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember. (2) Dalam hal Perusahaan memperoleh izin usaha setelah tanggal 1 Januari, laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup periode mulai tanggal diperolehnya izin usaha dimaksud sampai dengan tanggal 31 Desember. (3) Bentuk dan susunan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disusun sesuai dengan Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 3 (1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan format digital (softcopy) kepada Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, paling lambat tanggal 31 Maret tahun berikutnya. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- (2) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah adalah hari kerja pertama setelah tanggal 31 Maret tersebut. Pasal 4 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal : 18 Juli 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Moda dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 APA 9571008 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN I PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER-08/BL/2011 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -1- PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH I. Pendahuluan 1. Pedoman Penyusunan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah Pada Perusahaan Asuransi Atau Perusahaan Reasuransi Yang Menyelenggarakan Seluruh Atau Sebagian Usahanya Dengan Prinsip Syariah ditujukan untuk memberikan panduan dalam menyusun laporan atas hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah terhadap Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah (PMK 18/ 2010). 2. Pedoman ini mengatur pokok materi minimum yang harus dimuat dalam laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan, yaitu: a. Informasi Umum: b. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah, dan C. Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi. II. Informasi Umum Lembar informasi umum menyajikan rincian informasi mengenai hal-hal sebagai berikut: a. nama, alamat, nomor telepon, nomor faksimili, alamat email dan website resmi Perusahaan: b. nama, jabatan dan surat pengangkatan, Dewan Pengawas Syariah Perusahaan: Cc. ringkasan korespondensi dan/atau notulen terkait hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah, dan d. nama penyusun laporan, jabatan, nomor telepon dan alamat email dari salah satu anggota Dewan Pengawas Syariah, yang dapat dihubungi dalam rangka proses klarifikasi dan konfirmasi mengenai laporan hasil pengawasan. Il. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah 1. Lembar pernyataan Dewan Pengawas Syariah memuat pernyataan mengenai kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan yang diawasinya dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, selama periode laporan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 2. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah disajikan berdasarkan pada salah satu dari 4 (empat) kategori di bawah ini: a. sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, belum sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi belum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, namun praktik penyelenggaraan Perusahaan yang belum sesuai dengan prinsip syariah tersebut terjadi atau dilakukan karena situasi dan kondisi yang bersifat darurat dan sementara, atau dengan pengertian selama jangka waktu kurang dari satu periode yang dilaporkan dan tidak berulang kali terjadi di periode- periode berikutnya: tidak sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, atau tidak memberikan pendapat, dalam hal Perusahaan yang diawasi tidak memberikan akses yang memadai kepada anggota Dewan Pengawas Syariah untuk memperoleh dokumen dan/atau informasi yang diperlukan dalam rangka melakukan pengawasan. Ketiadaan atau ketidakcukupan dokumen dan/atau informasi tersebut mengakibatkan Dewan Pengawas Syariah tidak dapat menilai kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Sebagai bukti tertulis terkait dengan tidak diperolehnya akses terhadap dokumen dan/atau informasi tersebut, Dewan Pengawas Syariah harus menyertakan fotokopi korespondensi anggota Dewan Pengawas Syariah dengan Perusahaan mengenai permintaan dokumen dan/atau informasi yang diperlukan dalam pengawasan namun tidak diberikan oleh Perusahaan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -3- Dalam memberikan pernyataannya, Dewan Pengawas Syariah tidak menggunakan prinsip materialitas, dengan pengertian bahwa setiap praktik penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi belum sesuai atau tidak sesuai terhadap ketentuan yang mengatur, sekecil apa pun, dinyatakan sebagai bentuk ketidaksesuaian dalam penyelenggaraannya. 3. Lembar pernyataan Dewan Pengawas Syariah disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : a. pada bagian atas diberi judul “Penyataan Dewan Pengawas Syariah”, b. paragraf pertama berisi ruang lingkup pernyataan Dewan Pengawas Syariah yang mencakup pengawasan atas penerapan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan Perusahaan yang diawasi selama periode laporan: C. paragraf kedua berisi pernyataan kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, d. apabila Dewan Pengawas Syariah memberikan pernyataan “belum sesuai” atau “tidak sesuai”, pernyataan Dewan Pengawas Syariah harus diberi paragraf penjelasan yang berisi ringkasan praktik penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi, dan dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, beserta latar belakang atau alasannya. Paragraf penjelasan tersebut ditulis di bawah paragraf kedua, sebelum nama jelas dan tanda tangan seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah: dan e. nama jelas dan tanda tangan seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah, serta nama kota dan tanggal ditandatanganinya pernyataan Dewan Pengawas Syariah. 4. Seluruh Dewan Pengawas Syariah, termasuk ketua dan anggota, wajib menandatangani pernyataan Dewan Pengawas Syariah dan memberikan paraf pada setiap halaman laporan. Apabila terdapat anggota Dewan Pengawas Syariah yang tidak menandatangani pernyataan Dewan Pengawas Syariah dan atau tidak memberikan paraf pada setiap halaman laporan, kondisi atau alasan terjadinya hal tersebut wajib dituliskan sebagai keterangan dalam lembar pernyataan dimaksud. IV. Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi 1. Ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi memuat uraian mengenai status kesesuaian, keterangan status dan rekomendasi atas praktik Perusahaan dalam menyelenggarakan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Status kesesuaian merupakan pendapat Dewan Pengawas Syariah yang terdiri atas sesuai, belum sesuai atau tidak sesuai, atau tidak memberikan pendapat. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -4- Adapun keterangan status berisi tentang uraian ringkas mengenai praktik Operasional yang terjadi, baik yang sesuai, belum sesuai maupun yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, termasuk situasi dan kondisi yang menyebabkan hal tersebut. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak memberikan pendapat, keterangan status diisi dengan uraian mengenai jenis dokumen dan/atau informasi yang tidak diberikan oleh perusahaan. Apabila terjadi praktik penyelenggaraan Perusahaan yang dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus menginformasikan saran, nasihat dan/atau rekomendasi yang diberikan kepada Perusahaan dalam rangka mencegah, mengubah, dan memperbaiki praktik penyelenggaraan Perusahaan yang dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan prinsip syariah tersebut. 2. Bagian ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi disajikan berdasarkan aspek-aspek yang diawasi, yang terdiri atas: a. Pengelolaan kekayaan dan kewajiban 1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, yang terdiri atas kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru', kekayaan dan kewajiban Dana Perusahaan, serta kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta, berkaitan dengan sistem dan prosedur pencatatan, praktik pencatatan dan penyajian seluruh kekayaan dan kewajiban Perusahaan, termasuk praktik penanganan data dan dokumen pendukungnya. Berkenaan dengan aspek ini, beberapa sumber data dan informasi yang perlu diperoleh dan dievaluasi oleh Dewan Pengawas Syariah meliputi: a) sistem akuntansi atau prosedur operasi standar yang terkait dengan pengelolaan kekayaan dan kewajiban, b) akta-akta atau kontrak perjanjian yang terkait dengan pengelolaan kekayaan dan investasi: C) bukti kepemilikan atas kekayaan dan investasi, dan/atau d) sumber-sumber lainnya. 2) Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, antara lain meliputi: a) sistem dan prosedur terkait dengan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan disusun dengan mengacu pada prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, ketentuan mengenai pengelolaan kekayaan dan kewajiban, dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, b) pelaksanaan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam PMK 18/2010, dalam rangka pengelolaan kekayaan dan kewajiban dilakukan dengan baik, konsisten dan menyeluruh oleh Perusahaan, antara lain: LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -5- (1) pemisahan pencatatan kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru', Dana Perusahaan dan Dana Investasi Peserta, (2) pembatasan penggunaan Dana Tabarru', (3) pembentukan Dana Tabarru' untuk setiap lini usaha atau gabungan dari beberapa lini usaha: (4) pembentukan Dana Investasi Peserta untuk setiap jenis portofolio investasi sesuai dengan akadnya, (5) pencatatan dan pengadministrasian akun peserta secara individual sebagai bagian dari kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta: dan (6) pemberian gardh (pinjaman) kepada Dana Tabarru' serta pengembaliannya: c) pengelolaan kekayaan Dana Tabarru', Dana Perusahaan dan Dana Investasi Peserta dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip syariah, misalnya kekayaan tersebut hanya ditempatkan pada bentuk instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah, d) pengadministrasian bukti kepemilikan kekayaan, pencatatan dan penyajian atas setiap jenis kekayaan dan kewajiban wajib dipisahkan dan diklasifikasikan dengan jelas dan tegas antara kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru', kekayaan dan kewajiban Dana Perusahaan, serta kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta (khusus untuk usaha asuransi jiwa dengan prinsip syariah yang menjual produk asuransi jiwa yang mengandung unsur investasi) sesuai dengan kesepakatan dalam polis: e) penghitungan dan pembagian surplus underwriting telah dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam polis serta tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku: dan/atau f) dalam hal peserta mengamanahkan kepada Perusahaan untuk memungut dan membayar zakatnya atas pengelolaan Dana Investasi Peserta dan/ atau membayarkan bagian surplus underwriting yang menjadi hak peserta sebagai shadagah peserta, penghitungan dan pembayaran zakat dan/atau shadagah peserta dimaksud harus dilakukan oleh Perusahaan sesuai dengan prinsip syariah. b. Produk-produk yang dipasarkan 1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek produk-produk yang dipasarkan, baik produk yang sedang dipasarkan maupun produk yang akan dipasarkan, meliputi: a) objek yang akan dipertanggungkan, b) akad yang digunakan dalam setiap produk: 2) 9 d) e) LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -6- penetapan ujrah (imbalan) dan nisbah (bagi hasil) yang wajar (fair) dan transparan, prosedur pelaksanaan underwriting: dan pembagian surplus underwriting. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek produk- produk yang dipasarkan, antara lain meliputi: a) b) d) sistem dan prosedur terkait dengan perancangan, penerbitan, pelaksanaan dan pemantauan produk-produk yang dipasarkan oleh Perusahaan yang disusun dengan mengacu pada prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, penyusunan dan pelaksanaan polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam PMK 18/2010, antara lain penggunaan akad tabarru' dan akad tijarah, substansi minimum yang harus dimuat dalam setiap akad yang digunakan, dan pembagian surplus underwriting yang adil dan wajar bagi semua peserta: penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan risiko dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah yang tercantum di polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan yang dilakukan secara wajar (fair) dan memenuhi prinsip keadilan ('adl), keseimbangan (tawazun), dan kemaslahatan (maslahah), serta menghindari adanya ketidakpastian/ ketidakjelasan (gharar) dan penganiayaan (zhulm), sebagaimana dimaksud dalam PMK 18/2010: penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan investasi dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah dan atau besar nisbah/bagi hasil dalam akad mudharabah dan akad mudharabah musytarakah yang tercantum pada polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan dilakukan secara wajar (fair) dan memenuhi prinsip keadilan ('ad!), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan menghindari adanya ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar) dan penganiayaan (zhulm), sebagaimana dimaksud dalam PMK 18/2010, pemungutan atau pembebanan biaya-biaya selain yang disepakati di dalam polis kepada peserta: pelaksanaan prosedur underwriting untuk setiap produk dilakukan secara adil, wajar dan tidak diterapkan secara diskriminatif: dan/atau 9) LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -7- dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru” menggunakan akad wakalah bil ujrah, Perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi. c. Praktik Pemasaran yang Dilakukan oleh Perusahaan 1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek praktik pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan antara lain meliputi: 2) a) b) pelaksanaan prinsip syariah yang dilakukan oleh seluruh tenaga pemasar dalam interaksinya memasarkan produk dan memberikan pelayanan kepada peserta, misalnya tidak memberikan riswah/ suap dan memberikan informasi yang — mengandung unsur ketidakbenaran/ kebohongan, dan perumusan kontrak perjanjian yang dilakukan Perusahaan dalam rangka pemasaran dengan pihak lain, misalnya perjanjian kerjasama pemasaran memperlakukan kedua pihak secara adil dan kedua pihak telah menjalankan isi perjanjian dengan amanah, serta besar komisi yang disepakati wajar dan adil baik bagi kedua pihak yang menyepakatinya maupun bagi peserta. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek praktik pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan, antara lain meliputi: a) b) d) Perusahaan, dalam hal ini para tenaga pemasar atau agen asuransi, telah memberikan penjelasan dengan benar, akurat dan lengkap kepada calon peserta mengenai akad-akad yang akan disepakati dalam polis asuransi, serta kedudukan, hak dan kewajiban masing- masing pihak dalam akad tersebut: Setiap penerbitan polis asuransi harus dilengkapi dengan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan yang telah diisi dengan benar dan lengkap, serta ditandatangani oleh peserta dan Perusahaan sebagai bentuk persetujuan (ijab gabul) masing-masing pihak atas akad-akad dalam polis: Perjanjian dengan rekan bisnis Perusahaan, yang terdiri atas agen asuransi, pialang asuransi/reasuransi, penilai kerugian, reasuradur, dan pihak lainnya dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, Pencegahan dan pendeteksian dini terhadap praktik-praktik pemasaran yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, misalnya pencegahan tenaga pemasar atau agen asuransi dan peserta menjanjikan dan atau memberikan riswah/suap dalam praktik pemasaran, dan/ atau Pemberian komisi secara wajar, proporsional dan adil oleh Perusahaan kepada pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan kegiatan perolehan bisnis dan/atau penutupan polis. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 d. Kegiatan lainnya. Ruang lingkup pengawasan atas aspek ini meliputi semua kegiatan yang dilakukan oleh Perusahaan selain dari ketiga aspek tersebut di atas, yang menurut Dewan Pengawas Syariah perlu untuk diawasi dan dilaporkan. Sebagai contoh, Perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan yang belum diatur dalam peraturan-peraturan di bidang usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, termasuk fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 K#P19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN II PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER- 08/BL/2011 TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 Yth. Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lt. 14 Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta - 10710 LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH Nama Perusahaan : PT/ Unit Syariah PT ...............oo.oooka Alamat Perusahaan : .........oo.ooeknnnnnnnnnnlnnenlnlnlan Periode Laporan Do nananannnannaaaanaan sampai dengan ............. Tanggal Laporan — : .....oooocoWoooWooWoWoWW mna TI. II. LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -2- DAFTAR ISI Halaman Informasi Umum 1 Pernyataan Dewan Pengawas Syariah 2 Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi 3 A. Pengelolaan Kekayaan dan Kewajiban B. Produk-produk yang Dipasarkan C. Praktik Pemasaran yang Dilakukan oleh Perusahaan D . Kegiatan Lainnya ND Dr w LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -3- Informasi Umum Nama Perusahaan : PT/ Unit Syariah PT ............oo.ooooWo Alamat Perusahaan PO nkaaananannaal ena Nomor Telepon Po annkaaaanaaaaaaae maan Nomor Faksimili PO nnkaaakanannaee aan Email Perusahaan PO nnkaaakanannaee aan Website Perusahaan PO akaaalakannaee ana Anggota Dewan Pengawas Syariah: Surat Pengangkatan No | Nama Lengkap Jabatan Nomor Tanggal 1 2 dst Sumber data: oo aa Ringkasan korespondensi dan/atau notulen terkait hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah Korespondensi dan/atau notulen No Ringkasan Substansi Nomor | Tanggal Hal 1 2 dst Informasi mengenai penyusun laporan (contact person) : a. Nama Pannaanananannananaanananan aan aa ana ana aman b. Jabatan Pkakanaan nana an aan ana ana ana aa na aan c. Nomor Telepon: ....ooooWorWoWoWoW Wan d. Email DanKenanaan anna naa aan ana ana aan anna Nan aan ana aan aan aa anna LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -4- Pernyataan Dewan Pengawas Syariah Bismillaahirrahmaanirrahiim Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan oleh PT/Unit Syariah PT. ..................... (“Perusahaan”) selama periode tanggal... sampai dengan tanggal .........i..... , sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan Operasional lainnya. Dari hasil pengawasan, tidak ditemukan adanya praktik operasional yang melanggar prinsip-prinsip syariah Islam. Dengan demikian, berdasarkan hasil penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas, menurut kami, pelaksanaan hal- hal tersebut oleh Perusahaan telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun) Dewan Pengawas Syariah : No Nama Tanda Tangan Keterangan LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -5- Pernyataan Dewan Pengawas Syariah Bismillaahirrahmaanirrahiim Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan oleh PT/Unit Syariah PT. ..................... (“Perusahaan”) selama periode tanggal... sampai dengan tanggal.................. , sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan Operasional lainnya. Dari hasil pengawasan, diketahui Perusahaan telah melakukan praktik Operasional yang melanggar prinsip-prinsip syariah Islam, meskipun hal tersebut terjadi karena situasi dan kondisi yang bersifat darurat dan sementara. Dengan demikian, berdasarkan hasil penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas, menurut kami, pelaksanaan hal-hal tersebut oleh Perusahaan belum sesuai sepenuhnya dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Ringkasan praktik operasional perusahaan yang belum sesuai dengan prinsip- prinsip syariah Islam, periode terjadi dan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun) Dewan Pengawas Syariah : No Nama Tanda Tangan Keterangan LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -6- Pernyataan Dewan Pengawas Syariah Bismillaahirrahmaanirrahiim Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang diselenggarakan oleh PT. .........oooo. /Unit Syariah PT... (“perusahaan”) selama periode tanggal .................. sampai dengan tanggal Dnnaakaa nanas , sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami melaksanakan penilaian atas operasional perusahaan dimaksud yang mencakup aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, dan aspek praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan dimaksud, dan kegiatan operasional lainnya. Dari hasil pengawasan, diketahui bahwa Perusahaan telah melakukan praktik Operasional yang melanggar prinsip-prinsip syariah Islam. Dengan demikian, berdasarkan hasil penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas, menurut kami, pelaksanaan hal-hal tersebut oleh Perusahaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Ringkasan praktik operasional perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip- prinsip syariah Islam, periode terjadi dan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut: knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun) Dewan Pengawas Syariah : No Nama Tanda Tangan Keterangan LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -7- Bagian Kedua: Pernyataan Dewan Pengawas Syariah Bismillaahirrahmaanirrahiim Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan oleh PT/ Unit Syariah PT. ............JJ.... (“Perusahaan”) selama periode tanggal... sampai dengan tanggal .................. , sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan Operasional lainnya. Perusahaan tidak memberikan akses kepada kami untuk memperoleh dokumen dan informasi yang kami perlukan untuk melakukan penilaian atas aspek- aspek pada paragraf 1 di atas, sehingga kami tidak memberikan pendapat mengenai penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi / usaha reasuransi dengan prinsip syariah dalam operasional Perusahaan. knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun) Dewan Pengawas Syariah : No Nama Tanda Tangan Keterangan LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -8- Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil pengawasan dan penilaian kami terhadap penerapan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah dalam praktik operasional PT/ Unit Syariah PT ...ooooooooocoooooo selama periode tanggal ......ioii... sampai dengan tanggal .................. , dapat disampaikan ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi sebagai berikut: A. Pengelolaan Kekayaan dan Kewajiban Pokok Materi 1: Status Kesesuaian: Sistem dan prosedur pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 2: Status Kesesuaian: Pemisahan pencatatan kekayaan dan kewajiban secara jelas dan tegas antara Dana Tabarru', Dana Perusahaan, dan Dana Investasi Peserta, termasuk pengadministrasian bukti kepemilikan kekayaannya dan kewajibannya yang dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam polis. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -9- Pokok Materi 3: Status Kesesuaian: Pembatasan penggunaan Dana Tabarru' sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK No. 18/ PMK.010/ 2010. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 4: Status Kesesuaian: Pembentukan Dana Tabarru' dibuat terpisah: - per lini usaha atau gabungan lini usaha dan - perjenis akad. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -10- Pokok Materi 5: Status Kesesuaian: Pembentukan Dana Investasi Peserta untuk setiap jenis portofolio investasi sesuai dengan akadnya. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 6: Status Kesesuaian: Pencatatan dan pengadministrasian akun peserta secara individual sebagai bagian dari kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -11- Pokok Materi 7: Status Kesesuaian: Pemberian dan pengembalian Oardh ke/ dari Dana Tabarru'. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 8: Status Kesesuaian: Pengelolaan kekayaan Dana Tabarru', Dana Perusahaan dan Dana Investasi Peserta dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip syariah, misalnya kekayaan tersebut hanya ditempatkan pada bentuk instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 12- Pokok Materi 9: Status Kesesuaian: Penghitungan dan pembagian surplus underwriting sesuai dengan polis. Dalam hal peserta memberikan amanah untuk membayarkan bagian surplus underwriting yang menjadi hak peserta sebagai shadagah, pembayaran shadagah dimaksud dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 10: Status Kesesuaian: Dalam hal peserta memberikan amanah untuk membayarkan zakat atas dana investasi peserta, penghitungan, pemungutan dan pembayaran zakat dimaksud dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -13- B. Produk-produk Yang Dipasarkan Pengawasan dilakukan atas semua produk yang dipasarkan oleh Perusahaan, yakni produk-produk yang telah disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah dan telah dicatat oleh Kementerian Keuangan, baik selama periode yang diawasi maupun pada periode-periode sebelumnya. Sampai dengan tanggal pelaporan ini, jumlah produk yang dipasarkan oleh Perusahaan sebanyak ...... Nama Produk: woo com mena (diisi sesuai dengan nama produk yang diawasi) Pokok Materi 1: Status Kesesuaian Sistem dan prosedur perancangan, penerbitan, pelaksanaan dan pemantauan produk-produk yang dipasarkan. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 2: Status Kesesuaian Penyusunan dan pelaksanaan isi polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan yang meliputi: a. Penggunaan akad tabarru' dan akad tijarah. b. Substansi minimum yang harus termuat dalam setiap akad. c. Metode pengalokasian dan pembagian surplus underwriting yang adil dan wajar bagi semua peserta. d. Pemberian gard oleh Perusahaan dan pembayaran kembali gard kepada Perusahaan. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 14 - Pokok Materi 3: Status Kesesuaian Penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan risiko dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah yang tertuang di polis dan surat permohonan permintaan — asuransi (SPPA)/surat — permohonan kepesertaan dilakukan secara wajar dan memenuhi prinsip-prinsip dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK No. 18/ PMK.010/ 2010. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 4: Status Kesesuaian Penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan investasi dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah dan atau besar nisbah/bagi hasil dalam akad mudharabah dan akad mudharabah musytarakah yang tertuang di polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan dilakukan secara wajar dan memenuhi prinsip-prinsip dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK No. 18/ PMK.010/ 2010. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -15- Pokok Materi 5: Status Kesesuaian Pemungutan atau pembebanan biaya kepada Peserta sesuai dengan yang tercantum di dalam polis. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 6: Status Kesesuaian Pelaksanaan prosedur underwriting untuk setiap produk dilakukan secara adil, wajar dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 7: Status Kesesuaian Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru” menggunakan akad wakalah bil ujrah, Perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 16 - . Praktik Pemasaran Yang Dilakukan Oleh Perusahaan Pokok Materi 1: Status Kesesuaian Perusahaan, dalam hal ini para tenaga pemasar atau agen asuransi, telah memperoleh pelatihan mengenai produk yang dipasarkan serta telah memberikan penjelasan dengan benar, akurat dan lengkap kepada calon peserta, antara lain: a. Akad-akad yang disepakati. b. Kedudukan, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 2: Status Kesesuaian Setiap penerbitan polis harus dilengkapi dengan surat permohonan — permintaan — asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan yang diisi benar dan lengkap, ditandatangani peserta dan Perusahaan sebagai bentuk persetujuan (ijab gabul) atas akad-akad di dalam polis. Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 17 - Pokok Materi 3: Status Kesesuaian Perjanjian Perusahaan dengan rekan bisnis, antara lain agen asuransi, pialang asuransi/reasuransi, penilai kerugian, reasuradur, dan pihak lainnya, dilakukan sesuai dengan prinsip syariah. Keterangan Status: Rekomendasi: Pokok Materi 4: Status Kesesuaian Praktik pemasaran produk dan pelayanan peserta tidak bertentangan dengan prinsip syariah, misalnya tidak memberikan riswah/ suap dalam rangka pemasaran produk dan pelayanan Peserta. Keterangan Status: Rekomendasi: “18 - LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 Pokok Materi 5: Pemberian komisi pemasaran dilakukan secara wajar, adil dan proporsional, termasuk tetapi tidak terbatas pada kegiatan perolehan bisnis/ penutupan polis. Status Kesesuaian Keterangan Status: Rekomendasi: . Kegiatan Lainnya Pokok Materi 1: (Uraian pokok materi yang diawasi) Status Kesesuaian Keterangan Status: Rekomendasi: LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 08/BL/2011 Tanggal :18 Juli 2011 -19 - Pokok Materi 2: Status Kesesuaian (Uraian pokok materi yang diawasi) Keterangan Status: Rekomendasi: Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-08/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 18 Juli 2011 </set_date> <effective_date> 18 Juli 2011 </effective_date> <related_reg> '2/UU/1992', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '20/M|KEPPRES/2011', '81/PP/2008', '73/PP/1992' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -1- SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 09/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN CADANGAN TEKNIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 19 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pembentukan Cadangan Teknis Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN CADANGAN TEKNIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI Bagian Pertama Ketentuan Umum Pasal 1 Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas maupun bukan perseroan terbatas. 2. Manfaat Turunan Melekat adalah suatu manfaat masa depan yang dijanjikan perusahaan asuransi kepada tertanggung/pemegang polis yang dikaitkan suatu kondisi tertentu. 3. Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat adalah suatu opsi yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada tertanggung/pemegang polis untuk mendapatkan manfaat tertentu dengan atau tanpa membayar premi tambahan. 4. Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan (unearned premium reserve) yang selanjutnya disingkat CAPYBMP adalah sejumlah dana yang harus dibentuk untuk menggambarkan bagian dari premi yang masa asuransinya belum dijalani. 5. Cadangan Atas Risiko Yang Belum Dijalani (unexpired risk reserve) yang selanjutnya disingkat CARYBD adalah estimasi pembayaran klaim yang akan terjadi selama masa pertanggungan di masa depan yang timbul dari polis-polis yang aktif pada tanggal pembentukan cadangan teknis termasuk biaya-biaya penanganan klaim yang terjadi. Bagian Kedua Pedoman Umum Pasal 2 (1) Perusahaan wajib membentuk cadangan teknis dengan metode dan asumsi sebagai berikut: a. sesuai dengan karakteristik produk dan profil risiko yang relevan; b. konsisten untuk berbagai produk dalam kelompok produk yang sama; c. konsisten untuk produk yang sama antar tanggal pelaporan cadangan teknis; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- d. menjamin pengakuan liabilitas yang wajar dan adil bagi seluruh pemegang polis; e. sesuai dengan manfaat yang dijanjikan atau yang dijamin di dalam polis; dan f. sesuai dengan standar praktik aktuaria yang berlaku di Indonesia. (2) Dalam hal terdapat perubahan metode dan asumsi pembentukan cadangan teknis, aktuaris Perusahaan yang ditunjuk harus menjelaskan alasan dan dampak dari perubahan tersebut terhadap jumlah cadangan teknis yang dilaporkan dan tingkat solvabillitas Perusahaan. Pasal 3 (1) Dalam membentuk cadangan teknis, aktuaris Perusahaan yang ditunjuk wajib melakukan prosedur yang memadai untuk memperoleh keyakinan bahwa: a. kualitas data yang disajikan oleh Perusahaan lengkap, akurat dan reliabel; dan b. asumsi estimasi sentral atau estimasi terbaik (best estimate) yang digunakan Perusahaan adalah asumsi yang terkini dan berdasarkan pengalaman antara 3 (tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun terakhir. (2) Dalam membentuk cadangan teknis, aktuaris Perusahaan yang ditunjuk harus memberikan justifikasi untuk setiap penggunaan asumsi. Bagian Ketiga Cadangan Premi Pasal 4 (1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan premi untuk produk asuransi yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis, dihitung berdasarkan estimasi sentral atau estimasi terbaik (best estimate) dari pengeluaran dan penerimaan yang dapat terjadi di masa yang akan datang ditambah marjin untuk risiko pemburukan (margin for adverse deviation) dengan tingkat keyakinan (confidence level) paling kurang 75% (tujuh puluh lima per seratus) pada level Perusahaan. (2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengeluaran: a. manfaat asuransi utama; b. Manfaat Turunan Melekat; c. Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat; d. biaya pemasaran; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -4- e. biaya penerbitan polis; f. biaya perawatan polis; dan g. pajak kecuali pajak penghasilan. (3) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerimaan: a. pendapatan premi, yaitu berdasarkan premi bruto, termasuk premi tambahan (extra premium) karena adanya tambahan risiko medis, risiko pekerjaan, dan risiko lainnya; b. pendapatan premi atas Manfaat Turunan Melekat; c. pendapatan premi atas Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat; dan d. pendapatan lain yang terkait langsung dengan kontrak asuransi. (4) Penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk: a. penerimaan hasil investasi; b. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke pertanggungan ulang; c. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke cadangan akumulasi dana; d. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke cadangan klaim; dan e. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke entitas pemegang polis yang berbeda. Pasal 5 (1) Asumsi tingkat diskonto yang digunakan dalam menghitung cadangan premi paling tinggi sebesar rata- rata tingkat imbal hasil (yield) surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia pada akhir tahun selama 3 (tiga) tahun terakhir. (2) Asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah paling tinggi sebesar 0,5%. (3) Untuk polis dengan denominasi rupiah, surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia seri benchmark. (4) Untuk polis dengan denominasi selain rupiah, surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia dengan denominasi dollar Amerika Serikat. (5) Surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -5- surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia yang memiliki sisa masa jatuh tempo yang sesuai/mendekati rata-rata sisa masa kontrak asuransi dari polis Perusahaan yang masih aktif (inforce). (6) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, Perusahaan dapat menggunakan: a. asumsi tingkat diskonto yang digunakan Perusahaan dalam laporan akhir tahun 2012; atau b. asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (7) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2014, Perusahaan dapat menggunakan: a. rata-rata asumsi tingkat diskonto antara asumsi tingkat diskonto yang digunakan Perusahaan dalam laporan akhir tahun 2012 dan asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 6 (1) Perusahaan dalam membentuk cadangan premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut: a. untuk asumsi biaya, menggunakan pengalaman terkini perusahaan yang terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel yang dikaitkan pada jumlah polis/peserta aktif (in force), penagihan premi, pengajuan klaim, besarnya premi dan uang pertanggungan polis/peserta aktif; b. untuk asumsi tingkat klaim (mortalita/morbidita/incidence rate), menggunakan tabel pengalaman industri asuransi di Indonesia; c. untuk asumsi mutasi polis atau peserta (lapse/ surrender/reinstatement/withdrawal), pengalaman terkini perusahaan; dan menggunakan d. untuk asumsi inflasi menggunakan pengalaman di Indonesia paling sedikit 3 (tiga) tahun terakhir. (2) Apabila Perusahaan menggunakan asumsi biaya, asumsi tingkat klaim, asumsi mutasi polis atau peserta dan/atau asumsi inflasi selain yang dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d, Aktuaris Perusahaan yang ditunjuk harus menjelaskan bahwa asumsi yang digunakan sudah mencerminkan kondisi Perusahaan secara wajar. (3) Nilai total cadangan premi untuk polis dalam kelompok produk yang sama tidak boleh kurang dari nol. (4) Dalam hal keseluruhan cadangan premi yang dibentuk lebih kecil dari keseluruhan nilai tunai, Perusahaan wajib menambah nilai cadangan premi menjadi paling sedikit sebesar nilai tunai. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -6- Bagian Keempat Cadangan atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan dan Cadangan atas Risiko Yang Belum Dijalani Pasal 7 (1) Untuk produk yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis, Perusahaan harus menghitung CAPYBMP dan CARYBD. (2) Cadangan yang dibentuk untuk produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah cadangan yang lebih besar antara hasil perhitungan CAPYBMP dan CARYBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) CAPYBMP dihitung berdasarkan proporsi premi bruto secara harian untuk masa asuransi yang belum dijalani. (2) Premi bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah premi bruto setelah dikurangi komisi langsung. (3) Komisi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperhitungkan dalam pembentukan CAPYBMP adalah komisi aktual yang dibayar oleh Perusahaan. (4) Komisi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diperhitungkan dalam pembentukan CAPYBMP paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari premi bruto. Pasal 9 (1) CARYBD dihitung dengan ketentuan sebagai berikut: a. CARYBD dihitung untuk tiap lini usaha atau produk yang memiliki karakteristik risiko yang sejenis termasuk risiko bencana (catastrophic risks) berdasarkan rata-rata rasio klaim selama 3 (tiga) tahun terakhir dikalikan dengan CAPYBMP; b. rasio klaim sebagaimana dimaksud pada huruf a dihitung dari klaim dibayar selama periode 1 (satu) tahun dibagi pendapatan premi selama periode 1 (satu) tahun untuk tahun yang sama; c. rata-rata rasio klaim merupakan hasil penjumlahan rasio klaim sebagaimana dimaksud pada huruf b selama 3 (tiga) tahun terakhir dibagi 3 (tiga); d. pendapatan premi sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah pendapatan premi selama 1 (satu) tahun terakhir ditambah penurunan CAPYBMP atau dikurangi kenaikan CAPYBMP selama 1 (satu) tahun terakhir. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -7- (2) Nilai CAPYBMP untuk tiap polis tidak boleh kurang dari nol. (3) Dalam hal keseluruhan CAPYBMP atau CARYBD yang dibentuk lebih kecil dari nilai pengembalian premi yang dijanjikan, Perusahaan harus menambah nilai cadangan yang dilaporkan menjadi paling sedikit sebesar nilai keseluruhan pengembalian premi yang dijanjikan. Bagian Kelima Cadangan Akumulasi Dana Pasal 10 (1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan akumulasi dana untuk produk atau bagian dari produk yang memberikan manfaat berupa akumulasi dana paling sedikit sebesar penjumlahan: a. nilai wajar akumulasi aset; b. nilai estimasi Manfaat Turunan Melekat; dan c. nilai estimasi Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat. (2) Nilai estimasi Manfaat Turunan Melekat dan nilai estimasi Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat dihitung dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk produk asuransi yang memberikan jaminan pengembalian dana, paling sedikit sebesar selisih positif nilai kewajiban pengembalian dana dikurangi dengan nilai wajar akumulasi aset sampai dengan tanggal pembentukan cadangan teknis; dan b. untuk produk asuransi yang memberikan jaminan manfaat yang didasarkan pada perubahan suatu variabel dan menjadi syarat pemberian manfaat, dihitung berdasarkan estimasi sentral atau estimasi terbaik (best estimate) dari pengeluaran dan penerimaan yang dapat terjadi di masa yang akan datang ditambah marjin untuk risiko pemburukan (margin for adverse deviation) dengan tingkat keyakinan (confidence level) paling kurang 75% (tujuh puluh lima per seratus) pada level Perusahaan. (3) Jangka waktu yang digunakan dalam melakukan estimasi Manfaat Turunan Melekat dan nilai estimasi Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada jangka waktu kontrak sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan polis. (4) Nilai cadangan akumulasi dana untuk tiap polis tidak boleh kurang dari nol. (5) Dalam hal keseluruhan cadangan akumulasi dana yang dibentuk lebih kecil dari nilai manfaat akumulasi dana yang dijanjikan, Perusahaan wajib menambah nilai cadangan akumulasi dana menjadi paling sedikit sebesar KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -8- nilai manfaat akumulasi dana yang dijanjikan pada tanggal pembentukan cadangan teknis. Bagian Keenam Cadangan Klaim Pasal 11 (1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan klaim paling sedikit dihitung sebesar penjumlahan: a. nilai estimasi klaim yang masih dalam proses penyelesaian; dan b. nilai estimasi klaim yang terjadi tetapi belum dilaporkan (Incurred But Not Reported). (2) Nilai klaim untuk produk asuransi dan atau produk reasuransi yang masih dalam proses penyelesaian paling sedikit dihitung berdasarkan estimasi sentral atau estimasi terbaik (best estimate) atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, biaya penyelesaian hukum dan biaya-biaya lain yang terkait dengan penyelesaian klaim. (3) Nilai klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan (Incurred But Not Reported) dihitung berdasarkan estimasi sentral atau estimasi terbaik (best estimate) atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari metode segitiga (triangle method), berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi. (4) Dalam hal cadangan klaim dalam proses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a belum bisa diestimasi, jumlah yang dicadangkan adalah persentase rata-rata klaim dibayar terhadap uang pertanggungan untuk lini usaha yang sama pada tahun buku terakhir dikalikan dengan uang pertanggungan dari klaim tersebut. Bagian Ketujuh Aset Reasuransi Pasal 12 (1) Dalam hal Perusahaan melakukan pertanggungan ulang atas risiko yang ditanggung, nilai estimasi pemulihan klaim atas porsi pertanggungan ulang yang dibentuk Perusahaan dihitung secara konsisten dengan pembentukan cadangan teknis sebagaimana yang diatur pada Peraturan Ketua ini; (2) Nilai estimasi pemulihan klaim atas porsi pertanggungan ulang yang dibentuk Perusahaan disajikan sebagai aset yang merupakan bagian dari tagihan reasuransi dan termasuk dalam aset yang diperkenankan dalam perhitungan tingkat kesehatan keuangan. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -9- Pasal 13 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-09/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PEMBENTUKAN CADANGAN TEKNIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date> <related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PP/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER- 06/BL/2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan meningkatkan tata kelola perusahaan yang lebih baik, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan kegiatan perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dengan mengubah ketentuan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; 3. Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER- 03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, diubah sebagai berikut: 1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah yang terdiri atas: a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan b. 1 (satu) orang anggota. (2) Ketua dan anggota Dewan Pengawas Syariah diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi DSN-MUI. (3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan dengan DSN-MUI. 2. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A, sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A (1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai anggota direksi atau dewan komisaris pada Perusahaan Pembiayaan. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Pembiayaan dilarang merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua) Perusahaan Pembiayaan lain. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - Pasal II Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, ttd NGALIM SAWEGA
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-06/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 22 November 2012 </set_date> <effective_date> 22 November 2012 </effective_date> <changed_reg> 'PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007' </changed_reg> <related_reg> '9/PERPRES/2009', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', 'PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER-09/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan daya tahan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi asuransi dan perusahaan Batas reasuransi terhadap dinamika keuangan global, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap faktor risiko dalam rangka perhitungan batas tingkat solvabilitas minimum perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-02/BL/2009 tentang Pedoman Perhitungan Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Perhitungan Mengingat Batas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang baru; : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; 4. Keputusan Menteri terakhir dengan 158/PMK.010/2008; Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 sebagaimana beberapa kali diubah, Menteri Keuangan Nomor tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Peraturan Tingkat Solvabilitas Tingkat Solvabilitas KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. Pasal 1 Batas tingkat solvabilitas minimum bagi perusahaan asuransi dan perusahaan Keuangan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Perusahaan Asuransi Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008, ditetapkan berdasarkan besarnya risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. Pasal 2 Perhitungan besarnya risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dilakukan berdasarkan pedoman perhitungan batas tingkat solvabilitas minimum sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 3 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini tidak berlaku untuk laporan perhitungan tingkat seluruh usahanya dengan prinsip syariah Pasal 4 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini berlaku untuk laporan perhitungan tingkat solvabilitas perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi periode Triwulan I yang berakhir 31 Maret 2012 dan seterusnya. solvabilitas perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan maupun unit usaha syariah dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang tidak berdasarkan prinsip syariah. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- Pasal 5 Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER- 02/BL/2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 2012. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal : 1 Desember 2011 Kelua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 195906271989022001 ai dengan aslinya Umum Kepala bagian Umu Kepala Bagi SEKRETARIAT * d Wahyt Adi Suryo NIP 195710281985121001 End of Page 3 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER-09/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 1 - PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 I. Pendahuluan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) adalah jumlah minimum tingkat solvabilitas yang harus dimiliki perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi, yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban. BTSM terdiri dari komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008, yang akan diuraikan dalam Lampiran ini. Kekayaan adalah kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas. Kewajiban adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas. II. Pedoman Umum Perhitungan 1. Perhitungan solvabilitas dan BTSM perusahaan asuransi dan reasuransi yang memiliki unit usaha syariah dilakukan secara terpisah antara perusahaan induk dengan unit usaha syariahnya. 2. Untuk keperluan perhitungan solvabilitas, saldo modal bersih perusahaan asuransi dan reasuransi yang ditempatkan pada unit usaha syariah dapat dicatat sebagai aktiva lain. 3. Perhitungan BTSM untuk Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi (PAYDI), misalnya unit link atau produk lain yang setara, dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan berikut: a. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur proteksi produk tersebut∗) , pencatatan kekayaan dan kewajiban tersebut dimasukkan dalam neraca sebagai produk asuransi tradisional; b. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi produk tersebut, yang hasil investasinya sepenuhnya mengacu pada kinerja pasar (tidak ada jaminan atas hasil investasi minimum), perhitungan BTSM tidak dilakukan; dan ∗) Sesuai ketentuan, PAYDI selalu mengandung unsur proteksi. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 2 - c. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi produk tersebut yang dijamin hasil minimumnya, perhitungan BTSM dilakukan sebagaimana diuraikan dalam Lampiran ini. 4. Bagi perusahaan asuransi yang menjual PAYDI yang menjamin hasil investasi minimum, BTSM total perusahaan asuransi tersebut merupakan hasil penjumlahan BTSM untuk produk-produk tradisional (non-PAYDI) dan BTSM untuk PAYDI. Sebagai contoh untuk perusahaan asuransi jiwa yang menjual PAYDI yang memberikan jaminan atas hasil investasi minimum, BTSM total perusahaan adalah sebagai berikut: Perhitungan BTSM untuk Usaha Asuransi PAYDI (a) Produk Non PAYDI (b) Schedule A 25 Schedule A Schedule B 150 Schedule B Schedule C 15 Schedule C Schedule D 95 Schedule D Schedule E Schedule F 25 Schedule E 8 Schedule F Jumlah 318 Jumlah BTSM Total Perusahaan (a) + (b) 250 Schedule A 1.500 Schedule B 150 Schedule C 275 1.650 165 950 Schedule D 1.045 250 Schedule E 75 Schedule F 275 83 3.175 Jumlah 3.493 III. Pedoman Perhitungan BTSM untuk Usaha Asuransi atau Usaha Reasuransi 1. Komponen BTSM terdiri dari: a. kegagalan pengelolaan kekayaan; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban; c. ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing; d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh; f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. Komponen b dan e di atas tidak diperhitungkan dalam BTSM untuk perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi. 2. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di berikut: a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks) atas adalah sebagai : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 3 - 1) Risiko kegagalan dalam pengelolaan kekayaan timbul dari kemungkinan adanya: a) kehilangan atau penurunan nilai kekayaan; dan b) kehilangan atau penurunan hasil pengembangan kekayaan. 2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko kegagalan pengelolaan tiap-tiap jenis kekayaan yang diperkenankan ditentukan dengan mengalikan faktor risiko untuk jenis kekayaan tersebut dengan nilai kekayaannya. 3) Faktor risiko untuk setiap jenis kekayaan yang diperkenankan adalah sebagai berikut: Jenis Kekayaan Investasi Deposito berjangka dan sertifikat deposito • Yang masuk dalam kategori khusus adalah deposito/sertifikat deposito pada satu bank yang memenuhi syarat penjaminan (antara lain batas - Kategori khusus dengan 0,00% sampai tingkat bunga) jumlah dengan jumlah maksimum yang dijamin oleh lembaga penjamin simpanan. Kelebihan di atas jumlah yang dijamin lembaga oleh penjamin dengan simpanan masuk dalam kategori lain - Kategori lain - CAR > 8% - 8% > CAR > 5% - CAR < 5% Saham yang tercatat di bursa efek - LQ 45 di Bursa Efek Indonesia, atau yang setara di bursa efek lainnya faktor risiko yang didasarkan 2,00% 4,00% 16,00% bank yang bersangkutan. • CAR berdasarkan laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit dan disampaikan bank kepada Bank Indonesia. 10,00% pada CAR data Kategori Faktor Keterangan : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 4 - Jenis Kekayaan Kategori - Di luar LQ 45, atau yang setara Obligasi dan MTN Peringkat penerbitnya: - AAA, atau yang setara - AA, atau yang setara - A, atau setara yang - BBB, atau yang setara - BB, atau yang setara - B, atau setara yang - Kurang dari B atau yang setara atau yang tidak diperingkat Surat Berharga Negara Surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia Unit penyertaan reksadana Portofolio efek reksadana: - Sepenuhnya berupa surat utang pemerintah - Sepenuhnya berupa surat utang swasta dan atau surat berharga pasar uang 0,00% 16,00% 0,00% 0,00% Contoh perhitungan faktor untuk reksadana campuran adalah sebagai berikut: 0,25% 0,50% 1,00% 2,00% 4,00% 8,00% Termasuk dalam kategori masing-masing peringkat adalah + dan -. Sebagai peringkat A, contoh: untuk termasuk di dalamnya adalah A+ dan A-. Faktor 15,00% Keterangan : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 2,00% Portofolio Efek Komposisi Obligasi pemerintah 40% Obligasi swasta 40% LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 5 - Jenis Kekayaan Kategori Faktor Ekuitas Keterangan 20% Faktor yang dikenakan untuk reksadana ini adalah: Komposisi portofolio - Sepenuhnya berupa surat berharga ekuitas 10,00% - Campuran Rata-rata tertimbang berdasarkan komposisi portofolio efek reksadana Penyertaan langsung Bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan untuk investasi - 4% atau lebih 7,00% Hasil investasi bersih per tahun 16,00% − Persentase hasil investasi merupakan pembagian hasil investasi dengan nilai appraisal atau NJOP. − Termasuk hasil investasi adalah pendapatan sewa bersih. - kurang dari 4% Pinjaman hipotik Pinjaman polis Bukan Investasi Kas dan bank Tagihan premi penutupan langsung Tagihan reasuransi Perusahaan - Dalam negeri - Luar negeri 15,00% 5,00% 0,00% 0,00% 8,00% 4,00% Bagi perusahaan reasuransi, faktor risiko untuk tagihan retrosesi sama dengan faktor risiko untuk tagihan − Kenaikan unrealized gain diperhitungkan hasil investasi. harga berupa tidak sebagai 40% 40% 20% Faktor Rata- rata 0% 2% 10% 0% 0.8% 2.0% 2.8% : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 6 - Jenis Kekayaan Kategori a. Peringkat BBB atau yang lebih tinggi b. Peringkat kurang dari BBB c. Tidak punya peringkat Tagihan hasil investasi Bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan untuk dipakai sendiri Perangkat keras komputer Investasi pada satu pihak Faktor 4,00% Keterangan reasuransi. : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 8,00% 24,00% 2,00% 4,00% 8,00% • Pihak adalah satu perusahaan atau sekelompok perusahaan memiliki hubungan dengan yang lain. afiliasi satu • Contoh perhitungan: Sebuah perusahaan asuransi memiliki total investasi 10,00% x rata-rata tertimbang faktor risiko. milyar. Termasuk dalam investasi tersebut adalah investasi pada satu pihak sebesar Rp 300 milyar terdiri dari deposito sebanyak Rp 150 milyar pada bank dengan CAR 8% (faktor risiko 2%), obligasi dengan rating BB (faktor risiko 4%) sebanyak Rp 90 milyar dan saham kategori LQ 45 (faktor risiko 10%) sebanyak Rp 60 milyar. Rata-rata tertimbang faktor risiko investasi pada satu pihak adalah: (Rp 150 milyar x 2% + Rp 90 milyar x 4% + Rp 60 milyar x 10%) : Rp 300 milyar = 4,2% Tambahan dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi kegagalan sebesar Rp 1.000 total yang LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 7 - Jenis Kekayaan Kategori Faktor pengelolaan Keterangan kekayaan = 10% x faktor tertimbang x karena eksposur pada satu pihak tersebut adalah: risiko rata-rata kekayaan diperkenankan untuk investasi yang satu pihak (maksimum 25% total investasi) = 10% x 4,2% x Rp 249,9 milyar (Rp 250 milyar – Rp 100 juta sebagai deposito kategori khusus) = Rp 1,05 milyar. contoh (Dalam di atas, jumlah satu bank sebagai maksimum deposito berjangka dan sertifikat deposito pada yang dijamin lembaga penjamin • Faktor ini simpanan adalah Rp 100 juta) dikenakan tambahan atas faktor dasar yang telah dikenakan sesuai dengan jenis investasinya. Investasi yang direstrukturisasi Suatu investasi dikategorikan pokok dan sebagai 25,00% dari nilai investasi direstrukturisasi investasi yang direstrukturisasi apabila telah dilakukan penjadwalan ulang atas pembayaran investasinya. atau hasil yang Jika pembayaran untuk periode sekurang-kurangnya satu diterima sesuai dengan restrukturisasi, maka Investasi yang diragukan (impaired investment) 12,50% dari nilai investasi diragukan Impaired investment adalah investasi yang diragukan pemenuhan yang Suatu investasi dikategorikan jadwal pembayaran pokok investasi dan atau hasil investasinya. sebagai impaired investment apabila investasi tahun faktor yang digunakan kembali ke faktor dasar sesuai dengan jenis investasinya. telah persyaratan : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 8 - Jenis Kekayaan Kategori Faktor Keterangan dimaksud mengalami sekurang- kurangnya salah satu dari hal-hal sebagai berikut: − keragu-raguan terhadap pemenuhan jadwal pembayaran atas investasi dan atau hasil investasinya; atau − penangguhan pembayaran pokok investasi dan atau hasil investasinya lebih dari 30 hari. Faktor ini dikenakan sebagai tambahan atas faktor dasar yang telah dikenakan sesuai dengan jenis investasinya. 4) Peringkat sebagaimana dimaksud dalam tabel pada butir III 2 a. 3) adalah peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar pada instansi yang berwenang atau yang telah memperoleh pengakuan internasional. 5) Dalam hal peringkat atas suatu jenis investasi diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga pemeringkat, maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang paling rendah. b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cash- flow Mismatch Risks) 1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan arus kewajiban timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh temponya kewajiban berbeda dengan besar dan saat jatuh temponya kekayaan. 2) Risiko ketidakseimbangan ini dihitung untuk produk-produk yang membentuk cadangan premi. 3) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko ketidakseimbangan tersebut ditentukan dengan menggunakan rumusan sebagai berikut: a) 4,00% (empat per seratus) dari cadangan premi cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan). (tidak termasuk b) Cadangan premi yang digunakan dalam perhitungan BTSM tersebut adalah cadangan premi yang pembentukannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas. c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban Dalam Setiap Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks) pokok : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 9 - 1) Risiko ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing (foreign currency mismatch risks) timbul karena adanya perbedaan nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam mata uang asing, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah. 2) Jumlah dana yang dibutuhkan Jumlah Kekayaan Yang Diperkenankan Dikurangi Jumlah Kewajiban I. Kurang dari sama dengan nol II. Lebih namun atau 30% dari nol tidak melebihi 20% dari Jumlah Kewajiban III. Melebihi 20% dari Jumlah Kewajiban 0% 10% Nol 10% x (Kekayaan Yang Diperkenankan - 120% x Kewajiban) 3) Hasil perhitungan jumlah dana pada butir 2) dikonversikan ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal neraca. 4) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam perhitungan BTSM adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan nilai kewajiban untuk seluruh mata uang asing. 5) Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak asuransi dalam mata uang rupiah. 6) Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi memiliki kekayaan dan kewajiban untuk mata uang rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura dan yen Jepang setelah dikonversi ke rupiah adalah sebagai berikut: Keterangan IDR Kekayaan Diperkenankan Kewajiban USD SGD JPY Yang Rp5 M Rp9 M Rp3 M Rp12 M Rp7 M Rp4 M Rp6 M Rp11 M risiko untuk menanggulangi risiko ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam satu jenis mata uang asing tertentu ditentukan sebagai berikut: Faktor Risiko Jumlah dana yang dibutuhkan 30% x (Kewajiban – Kekayaan Yang Diperkenankan) : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 10 - Berdasarkan data di atas, jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing adalah sebesar: a) Mata uang dolar Amerika Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 9 M – 4 M = 5 M, melebihi 20% dari kewajiban (0,8M) Jumlah dana yang dibutuhkan = 10% x (9- 4,8 M) = 0,42 M b) Mata uang dolar Singapura Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 3 M – 6 M = - 3 M (kurang dari nol) Jumlah dana yang dibutuhkan = 30% x (Kewajiban – Kekayaan Yang Diperkenakan) = 30% x (6 M – 3 M) = 0,9 M c) Mata uang yen Jepang Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 12M – 11M = 1M, lebih besar dari nol namun kurang dari 20% jumlah kewajiban (2,2 M) Jumlah dana yang dibutuhkan = Nol Dengan demikian total dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam mata uang asing adalah 0,42 M + 0,9 M + 0 = 1,32 M d. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi Dan Beban Klaim Yang Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected) 1) Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan timbul dari kemungkinan pengalaman klaim yang terjadi lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan. 2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk risiko ini ditentukan sebagai berikut: a) Komponen mortalita Produk 1. Asuransi Jiwa Jumlah Dana untuk Menanggulangi Risiko • 1‰ dari NAR beban sendiri, untuk polis asuransi • 2‰ dari NAR beban sendiri, untuk polis asuransi jiwa lainnya. jiwa yang menjanjikan pembayaran dividen; Keterangan NAR (Net Amount at Risk) adalah selisih antara Uang Pertanggungan dengan Cadangan Premi polis bersangkutan. yang : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 11 - 2. Anuitas 3. Asuransi Kecelakaan Diri • 1% dari cadangan premi polis-polis anuitas beban sendiri. • 0,15‰ dari pertanggungan jumlah uang polis asuransi kecelakaan diri beban sendiri Untuk asuransi kecelakaan diri yang merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 33 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang, jumlah uang pertanggungan retensi sendiri untuk cabang asuransi dimaksud dihitung berdasarkan rumusan sebagai berikut: UPrs = UPgross - UPReasuransi dimana: • UPgross • JT • P • UPrs • UPgross = UPper polis x JT = 360 P x MP = PB : T = jumlah total uang pertanggungan retensi sendiri = jumlah total uang pertanggungan reasuransi • UPper polis = jumlah uang pertanggungan untuk individual polis • JT • P • MP • PB • T = jumlah tertanggung = jumlah penumpang angkutan umum = masa pertanggungan = premi bruto (untuk 4 triwulan terakhir) = tarif premi Masa pertanggungan untuk masing-masing jenis angkutan ditentukan sebagai berikut: Jenis Angkutan Kendaraan Bermotor Kereta Api Kapal Laut Pesawat Udara Masa Pertanggungan 2 hari 1 hari 2 hari 1 hari sebelum : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 12 - b) Komponen morbidita asuransi kesehatan Komponen 1. Morbidita klaim-klaim baru Jumlah Dana untuk Menanggulangi Risiko 10% dari pendapatan premi satu tahun (4 triwulan) terakhir atas polis-polis setelah 2. Morbidita klaim-klaim lanjutan 10% dari teknis dimaksud, dimaksud, dikurangi dengan beban reasuransi. cadangan polis-polis setelah dikurangi dengan beban reasuransi. Untuk polis-polis yang sudah pernah klaim sebelum tanggal neraca. Dalam cadangan teknis termasuk klaim yang sudah terjadi namun belum dilaporkan (Incurred But Not Reported/IBNR). c) Komponen klaim asuransi kerugian i.) Komponen klaim masa depan Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa depan dilakukan berdasarkan rumusan sebagai berikut: A = P fP + PK fK dimana: A = jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa depan P = pendapatan premi neto fP = faktor risiko untuk pendapatan premi neto PK = proyeksi beban klaim neto fK = faktor risiko untuk beban klaim neto dengan ketentuan bahwa i. P dihitung dengan rumusan sebagai berikut: P = (PPL + PPTL – C) - (PR – C) – (CAPYBMPakhir CAPYBMPawal) Keterangan Untuk polis-polis yang belum pernah klaim sampai dengan tanggal neraca. : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 - LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 13 - dimana: P PPL PPTL PR C = pendapatan premi neto = premi penutupan langsung = premi penutupan tidak langsung = premi reasuransi = komisi CAPYBMPawal = cadangan CAPYBMPakhir = cadangan atas atas premi yang belum merupakan pendapatan awal tahun premi ii. PK dihitung dengan rumusan sebagai berikut: PK = P1 x CR PK > K1 dimana: PK = CR = P1 K1 proyeksi beban klaim neto klaim rasio tiga tahun terakhir = = pendapatan premi neto periode berjalan beban klaim neto periode berjalan Dengan ketentuan bahwa: • CR (klaim rasio) CR = K K K3 P P P 1 + 1 + + + 2 2 , tiga tahun terakhir dihitung dengan rumusan sebagai berikut: 3 dimana: P1 P2 P3 = pendapatan premi neto periode berjalan, P1 ≥ 0 = pendapatan premi neto periode sebelumnya, P2 ≥ 0 = pendapatan premi neto dua periode sebelumnya, P3 ≥ 0 K1 = beban klaim neto periode berjalan, K1 ≥ 0 K2 = beban klaim neto periode sebelumnya, K2 ≥ 0 K3 = beban klaim neto dua periode sebelumnya, K3 ≥ 0 CR = rasio klaim tiga tahun terakhir untuk setiap lini usaha, dengan catatan tidak kurang dari rasio klaim dalam tabel berikut: yang belum merupakan pendapatan akhir tahun : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 14 - Lini Usaha Harta benda (property) Kendaraan bermotor (own damage, third party liability, dan personal accident) Pengangkutan (marine cargo) Rangka kapal (marine hull) Rangka pesawat (aviation hull) Satellite Energi Onshore (oil and gas) Energi Offshore (oil and gas) Rekayasa (engineering) Tanggung gugat (liability) Kredit (Credit) Suretyship Aneka rasio klaim tiga tahun Rasio Klaim 45% 45% 30% 45% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% 30% Untuk triwulan I, II, dan triwulan III tahun berjalan, digunakan terakhir yang digunakan pada laporan tahunan tahun sebelumnya, sedangkan untuk triwulan IV tahun berjalan digunakan rasio klaim tiga tahun terakhir sesuai data tahun berjalan. Contoh: Untuk triwulan IV tahun 2011 K CR = CR = K P 2009 + K2010 + K2011 2009 + P2010 + P 2011 Untuk triwulan I, II, dan III tahun 2012 2011 P 2009 + K2010 + K2011 2009 + P2010 + P • K (Beban Klaim Neto) dihitung dengan rumusan sebagai berikut: K = (BK - KR) + (CK akhir - CK awal) dimana: K BK KR = beban klaim neto = beban klaim bruto (termasuk biaya adjuster) = klaim reasuransi CK awal = cadangan klaim awal tahun CK akhir = cadangan klaim akhir tahun : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 15 - iii. faktor risiko yang digunakan untuk setiap cabang asuransi adalah sebagai berikut: Faktor pengali terhadap Cabang Asuransi Harta benda (property) Kendaraan bermotor (own damage, third party liability, dan personal accident) Pengangkutan (marine cargo) Rangka kapal (marine hull) Rangka pesawat (aviation hull) Satellite Energi Onshore (oil and gas) Energi Offshore (oil and gas) Rekayasa (engineering) Tanggung-gugat (liability) Kredit (Credit) Suretyship Aneka ii.) Komponen klaim masa lalu Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa lalu dilakukan berdasarkan rumusan sebagai berikut: B = (CKDPP x f CKDPP) + (IBNR x f IBNR) dimana: B Pendapatan premi neto (fP) 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% 10% Proyeksi klaim (fK) 10% 15% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 = dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa lalu CKDPP = cadangan klaim dalam proses penyelesaian yang menjadi beban sendiri f CKDPP = faktor risiko untuk cadangan klaim dalam proses penyelesaian yang menjadi beban sendiri IBNR = cadangan klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan yang menjadi beban sendiri f IBNR = faktor risiko untuk cadangan klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan yang menjadi beban sendiri dengan ketentuan: i. Besar CKDPP dan IBNR, masing-masing ≥ 25% dari CKDPP dan IBNR sebelum reasuransi; LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 16 - ii. Faktor risiko yang digunakan untuk setiap cabang asuransi adalah sebagai berikut: Cabang Asuransi Harta benda (property) Kendaraan bermotor (own damage, third party liability, dan personal accident) Pengangkutan (marine cargo) Rangka kapal (marine hull) Rangka pesawat (aviation hull) Satellite Energi Onshore (oil and gas) Energi Offshore (oil and gas) Rekayasa (engineering) Tanggung-gugat (liability) Kredit (Credit) Suretyship Aneka Faktor pengali terhadap Klaim dalam proses 10% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 15% 10% 10% 10% Klaim IBNR 15% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% 20% e. Ketidakcukupan Premi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang Diasumsikan dalam Penetapan Premi dengan Hasil Investasi yang Diperoleh (Risks of Insufficient Premium due to realized investment return worse than expected) 1) Risiko ketidakcukupan premi dapat disebabkan oleh tingkat hasil investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi yang diperkirakan dalam penetapan premi. 2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko ketidakcukupan premi ditentukan dengan cara mengalikan cadangan premi dengan faktor risiko. 3) Faktor risiko yang diperhitungkan dalam perhitungan jumlah dana tersebut di atas adalah sebagai berikut: Faktor 0,5% untuk polis-polis yang menjanjikan pembayaran dividen 1% untuk polis-polis lainnya Ketentuan Keterangan mengenai risiko ketidakcukupan premi ini tidak berlaku bagi: • Polis-polis yang tidak memiliki komponen premi lanjutan, seperti polis-polis dengan premi tunggal atau paid-up insurance; • Polis-polis cadangan yang perhitungan preminya tidak : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 17 - menggunakan tingkat bunga, seperti cadangan atas f. Risiko Reasuransi (Reinsurance Risks) 1) Komponen risiko premi yang belum merupakan pendapatan. reasuransi dikaitkan dengan penanggung ulang untuk memenuhi kewajibannya. 2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk menanggulangi risiko reasuransi ditentukan dengan cara mengalikan cadangan teknis beban penanggung ulang dengan faktor risiko. 3) Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut: Faktor Penanggung ulang Dalam Negeri:  menyimpan deposit 4% x (1 – (deposit/ cadangan teknis beban penanggung ulang)) Keterangan Deposit adalah segala bentuk simpanan yang ditempatkan oleh reasuradur pada asuradur, termasuk premi yang ditahan oleh asuradur dimana asuradur memiliki otoritas penuh untuk menggunakan simpanan tersebut.  tidak menyimpan deposit Luar negeri 4% dengan peringkat sekurang-kurangnya BBB:  menyimpan deposit  tidak menyimpan deposit Luar negeri 4% dengan peringkat kurang dari BBB: 4% x (1 – (deposit/ cadangan teknis beban penanggung ulang)) ketidak-mampuan : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal - 18 - Penanggung ulang  menyimpan deposit  tidak menyimpan deposit Faktor 8% x (1 – (deposit/ cadangan teknis beban penanggung ulang)) 8% Tidak mempunyai peringkat  menyimpan deposit Keterangan : PER-09/BL/2011 : 1 Desember 2011 24% x (1 penanggung ulang))  tidak menyimpan deposit 24% – (deposit/ cadangan teknis beban IV. Pedoman Perhitungan BTSM untuk Perusahaan Asuransi yang Menjual PAYDI dengan Komponen Investasi yang Dijamin Hasil Minimumnya 1. Perusahaan asuransi yang menjual PAYDI dengan komponen investasi yang dijamin hasil minimumnya harus dapat menentukan besar kewajiban minimumnya kepada pemegang polis untuk komponen investasi berdasarkan jaminan yang diberikannya dalam polis. Apabila perusahaan tidak secara khusus menentukan jumlah kewajiban minimum kepada pemegang polis untuk komponen investasi berdasarkan jaminan yang diberikan dalam polis, maka kewajiban minimum tersebut dihitung dengan mengakumulasikan bagian premi untuk komponen investasi dengan menggunakan tingkat bunga minimum yang setara dengan jaminan dalam polis. 2. Komponen BTSM terdiri dari: a. kegagalan pengelolaan kekayaan; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban; c. ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing; 3. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di berikut: a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks) atas adalah sebagai LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-09/BL/2011 Tanggal :1 Desember 2011 -19- 1) Faktor risike yang dikenakan untuk setiap jenis kekayaan yang diperkenankan dan perhitungan jumlah dana untuk BTSM sama dengan yang berlaku untuk produk asuransi lain sebagaimana diuraikan dalam bagian III 2 a. 2) Jumlah kekayaan yang diperkenankan yang digunakan untuk menentukan jumlah dana dalam BTSM adalah sebesar jumlah kewajiban minimum perusahaan kepada pemegang polis untuk komponen investasi dari PAYDI tersebut. ) Apabila jumlah kekayaan yang diperkenankan yang telah terakumulasi ternyata lebih kecil daripada jumlah kewajiban minimum kepada pemegang polis sebagaimana dimaksud pada butir IV 3 a. 2), maka jumlah kekayaan yang diperkenankan yang digunakan dalam perhitungan adalah total akumulasi kekayaan yang diperkenankan. . Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cnsh fiom Misnutch Risks) 1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh temponya kewajiban berbeda dengan besar dan saat jatuh temponya kekayaan. 2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk menutup risik ketidakseimbangan tersebut ditentukan sebesar 1% (satu per seratus) dari kewajiban minimum kepada pemegang polis untuk komponen investasi PAYDI tersebut. c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban dalam Setiap Jenis Mata Uang Asing (Foreignt Curreney Mismatch Risks) dalam BTSM untuk komponen ini sama dengan yang diuraikan dalam bagian JII 2 c. ) Kewajiban adalah kewajiban minimum dalam mata uang asing kepada pemegang, polis untuk komponen investasi PAYDT tersebut 3) Kekayaan adalah kekayaan yang diperkenankan dalam mata uang asing yang dihitung menggunakan aturan sebagaimana dimaksud dalam butir IV 3 a. 2) dan IV 3 a. 3). Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd agan Umum NIP19590627196922000 Prasetyo Wahyd Adi Suryo End of Page 23
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-09/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 1 Desember 2011 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2012 </effective_date> <replaced_reg> 'PER-02/BL/2009|PERTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg> <related_reg> '20/M|KEPPRES/2011', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '73/PP/1992', '81/PP/2008' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 03 /BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa industri perusahaan pembiayaan memerlukan keragaman sumber pembiayaan dan investasi, termasuk melalui sumber pembiayaan dan investasi yang didasarkan pada Syariat Islam; b. bahwa dalam rangka memberikan kerangka hukum yang memadai terhadap sumber pendanaan bagi perusahaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bapepam dan Lembaga Keuangan tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 106 Tahun 2007); 2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 53); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI) Nomor: B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 Nopember 2007 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan Bapepam dan LK; MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. PEMBIAYAAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pengalihan piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan Prinsip Syariah. 2. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga keuangan atau bisnis syariah yang bertugas mengawasi kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 3. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk menangani masalah- masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah, yang selanjutnya disebut DSN-MUI. 4. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 5. Menteri adalah Menteri Keuangan. 6. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. 7. Perusahaan Pembiayaan adalah Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Perusahaan Pembiayaan. 8. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis syariah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh DSN-MUI. 9. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran sesuai dengan Prinsip Syariah. 10. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah fasilitas jaminan pembayaran untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit sesuai dengan Prinsip Syariah. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- BAB II SUMBER PENDANAAN DAN KEGIATAN PEMBIAYAAN Bagian Pertama Sumber Pendanaan Pasal 2 (1) Sumber pendanaan bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Sumber pendanaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui: a. Pendanaan Mudharabah investment); b. Pendanaan investment); Mudharabah Muqayyadah (restricted c. Pendanaan Mudharabah Musytarakah; d. Pendanaan Musyarakah (Equity participation); dan e. Pendanaan lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah. Pasal 3 (1) Pendanaan Mudharabah Mutlaqah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), dimana shahibul mal tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang tidak ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad. (2) Pendanaan Mudharabah Muqayyadah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), di mana shahibul mal tersebut membiayai 100% (seratus perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang telah ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad. (3) Pendanaan Mudharabah Musytarakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), dimana shahibul mal dan Perusahaan Pembiayaan selaku pengelola (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Mutlaqah (unrestricted DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -4- (4) Pendanaan Musyarakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam akad. Pasal 4 Sumber pendanaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib diperhitungkan sebagai komponen dalam menghitung gearing ratio Perusahaan Pembiayaan. Bagian Kedua Kegiatan Pembiayaan Pasal 5 Setiap Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menyalurkan dana untuk kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah Pasal 6 Kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah: a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan: 1) Ijarah; atau 2) Ijarah Muntahiyah Bittamlik. b. Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah. c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan: 1) Murabahah; 2) Salam; atau 3) Istishna’. d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. Pasal 7 Kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tidak diatur dalam Pasal 6 hanya dapat dilakukan setelah mendapat DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -5- opini Dewan Pengawas Syariah dan disetujui oleh Ketua. Pasal 8 (1) Ijarah dalam pembiayaan Sewa Guna Usaha adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. (2) Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah) antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa. (3) Wakalah bil Ujra adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). (4) Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba. (5) Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. (6) Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak. Pasal 9 (1) Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan oleh Perusahaan Pembiayaan dapat merupakan komponen investasi, piutang pembiayaan, atau piutang sewa. (2) Komponen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diperhitungkan sebagai pembandingan dengan total aktiva Perusahaan Pembiayaan yang paling kurang 40 % (empat puluh perseratus). DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -6- BAB III DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 10 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang terdiri dari paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua. (2) Anggota Dewan Pengawas Syariah diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan dengan DSN- MUI. BAB IV PELAPORAN Pasal 11 (1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah wajib melaporkan kegiatannya kepada Ketua dengan menggunakan formulir A, formulir B, formulir C, formulir D, dan formulir E Lampiran 1 Peraturan ini. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan pernyataan kesesuaian Syariah oleh Dewan Pengawas Syariah yang dengan tembusan kepada DSN- MUI. (3) Dokumen laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.q. Biro Pembiayaan dan Penjaminan dengan tembusan kepada Bank Indonesia c.q. Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter-Bagian Statistik Moneter disertai dengan softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan disket atau compact disc. Pasal 12 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib disampaikan paling lambat tanggal 10 setiap bulan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib disampaikan secara lengkap dan benar. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -7- BAB V SANKSI Pasal 13 Pelanggaran terhadap Peraturan ini akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan Pembiayaan. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 14 Perusahaan Pembiayaan yang telah melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan ini ditetapkan, wajib menyesuaikan pelaporan kegiatannya dengan peraturan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak peraturan ini ditetapkan. KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 10 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id> <reg_title> KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 10 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 10 Desember 2007 </effective_date> <related_reg> '20/P|KEPPRES/2005', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '1169/KMK.01/1991|KEP-MENKEU/1991', '61/KEPPRES/1988' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 07 /BL/2011 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL ALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANS DENGAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 25 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarn dan Perhitungan Jumlah Dana Yang Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun 2011; 1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah, End of Page 1 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2 terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah; 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KBRUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH. Pasal 1 Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah wajib menghitung a. jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalan pengelolaan kekayaan dan/ atau kewajiban dana tabaru'; dan b. jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan. Pasal 2 Perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dilakukan berdasarkan Pedoman Perhitungan Jumlah Dana Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Pengelolaan Dana Tabarru' dan Perhitungan Jumlah Dana Yang Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian End of Page 2 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3 yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 3 Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, Peraturan Ketua Badan Rengawas Pasar Modal dan Lembaoa Ko 02/BL/2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dinyatakan tidak berlaku bagi perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip syariah. Pasal 4 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal : 29 April 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida aan sesuai dengan aslinya Kep alBagian Umum () Feasdtyo Wahyu AdiSuryo End of Page 3 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER-07/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM ENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH End of Page 4 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH. I. Perhitungan jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban dana tabarr. 1. Komponen risiko kerugian yang mungkin timbul terdiri dari a. kegagalan pengelolaan kekayaan; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban; c. ketidakseimbangan antara nilai kckayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang, d perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban idlaim yang diperkirakan e. ketidakcukupan kontribusi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan kontribusi dengan hasil investasi yang diperoleh; dan t. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim. 2. Jumlah dana diperoleh dengan menjumlahkan seluruh komponen pada angka 3. Cara Perhitungan untuk masing-masing komponen risiko pada angka 1 adalah sebagai berikut a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks) 1) Risiko kegagalan dalam pengelolaan kekayaan timbul dari kemungkinan adanya a) kehilangan atau penurunan nilai kekayaan; dan b) kehilangan atau penurunan hasil pengembangan kekayaan. 2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari kegagalan pengelolaan setiap jenis kekayaan yang diperkenankan diperoleh dengan menjumlahkan hasil perkalian antara nilai kekayaan yang diperkenankan dengan faktor risiko untuk setiap jenis kekayaan tersebut. End of Page 5 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal :29 April 2011 sebagai berikut: |Deposito pada |a. Kategori khusus 0,00%- Yang termasuk dalam kategori khusus adalah |Bank b. Kategori lain:| kategori khusus dadalah b. Kategori lain | jumlah deposito yang dijamin jumlah deposito yang dijamin - CAR> 8% 2,009| oleh Lembaga Penjamin 200%/ oleh Lembaga Penjamin Kelebihan di abas -895 CAR25%| 4,00%| Simpanan. Kelebihan di atas 4,0096| Simpanan. Kelebihan di atas jumlah yang dijamin oleh 16,009| Lembaga Penjamin Simpanan Lembaga Penjamin Simpanan dikelompokkan ke dalam kategori lain dengan faktor CAR bank yang bersangkutan. -CAR berdasarkan data laporan keuangan tahun terakhir yang telah diaudit dan disampaikan bank kepada Bank Indonesia |Saham syariah s. Seham yang termasuk dalam Jakarta Islamic Index (II) di Bursa Efek| 10,009 Indonesia, atau bursa efek lainnya. Saham yang tidak termasuk dalam Jakarta Islamic Index (ll) di Bursa Efek| 15,009 Indonesia, atau yang setara dil bursa efek lainnya. Sukuk atau Peringkat obligasi syariah; a. PeringkatI| 0,259 |- peringkatIl: AA End of Page 6 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 b. Peringkat II0,50% peringkat II: A peringkat IV BBB . Peringkat II | 1,00%- peringkat IV. BBB c. Peringkat III |11,00% d. Peringkat IV| 2,00% d. Peringkat IV Surat Berharga Syariah Negara; |Surat berharga syariah yang diterbitkan ojeh Banklndog| 0,00% diterbitkan oleh Bank Indonesia; Surat berharga | Peringkat: syariah yang syarahiyanga. Peringkat I|0,25% |- peringkat I AAA aga. Peringkat I0,25 |diterbitkan oleh negara selain |b. Peringkat II | 0,50% peringkat Il: A Negara 1c. Peringkat II | 1,00%- peringkat IV. BBB Negata c. Peringkat III | 1,00% Indonesia, | d.Peringkat IV| 2,00% Surat berharga | Peringkat:| | Contoh peringkat: 5arban a einat259 ia |diterbitkan oleh lembaga (b. Peringkat II lembaga [b. Peringkat II| 0,50%|_ peringkat UII A multinasional multinasional |c. Peringkat III maultinasionalc Peringkat III1.00% |- peringkat IV. BBB yang Negara |Republik |Indonesia menjadi salah menjadi salah 1d. Peringkat IV | 2,00% satu anggota atau pemegang sahamnya; Reksa dana| Portofolio efek reksa syariah| dana: a. Sepenuhnya berupa SBSN b. Sepenuhnya berupa sukuk c. Sepenuhnya berupa saham syariah |Rata- |Contoh perhitungan faktor |tertim- |campuran adalah sebagail bang berikut |berda- |Portofolio Efek| Komposisi End of Page 7 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 arkan SBSN kompo- mpe-Sukuk dengan 40 peringkat keempat [peringkat keempat -lio efek(Saham Syariah 20% reksa |yang termasuk (yang termasuk/ dana |dalam Jakarta Islamic Index (ID) |Faktor risiko yang dikenakan |2,8% yang diperoleh dari perhitungan berikut: Komposisi |Faktor| Rata- portofolio| Risiko | rata 40%0%|0% 40% 290.89 209 10% | 2.0%, 2,8% |Efek beragun Peringkat EBA: |Contoh peringkat: aset syariah yang diterbitkan |a. Peringkat I 0,25% yang diterbitkan peringkatII: AA berdasarkan |b. Peringkat II| 0,50% investas |c. Peringkat III| 1,00% d.Peringkat IV 2,00% Noekt erekdPeringkat I 200 svaiahe.Peringkat V 4,00% e. Peringkat V| 4.00% . Peringkat VI 8,00% g. Kurang dari Peringkat VIatau Peringkat VIatau| 16.00% yang tidak | 16,009 yang tidak diperingkat Pembiayaan melalui mekanisme |kerjasama dengan pihak lain dalam |bentuk pembelian pembiayaan (refinuancing) syarialt; Emas mumni Emas murni- 0,25% Bukan Investasi: End of Page 8 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 0,00% |Bank |a. Jumlah dana yang dijamin oleh LPS b.Jumlah dana yangl tidak dijamin LPS Tagihan kontribusi 8,00% Tagihan kontribusi 8,00% an |a. Reasuradur Tagihan |a. Reasuradur |Bagi perusahaan reasuransi, dalam neger. retrosesi sama dengan faktor b. Reasuradur Juar |risiko untuk tagihan reasuransi. negeri; 1. Reasuradur dengan prinsip syariah - Reputasi baik | 4,00% Tidak catatan 16,00% Peringkat empat ke atas / - Peringkat kelima dan| 16,009 seterusnya - Tidak punya peringkat| 25,0070 Tagihan |a. Investasi yang |1% | Tagihan investasi termasuk) Investasi| belum dicairkan diatas |semua investasi yang memiliki belum dicairkan diatas (semua investasi yang memiliki| perusahaan pada faktor |salah satu dari karakteristik tanggal jatuh risiko |sebagai berikut tempo. |awal - Perusahaan belum b.Investasi yang 25,00% mencairkannya pada| gagal bayar pada| tanggal jatuh tempo. End of Page 9 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 tanggal jatuh Tidak dapat dicairkan (gagal bayar) pada tanggal tempo atau saat dicairkan jatuh tempo, tanpa pemberitahuan mengenail penangguhan pembayaran atau restrukturisasi| maupun tidak ada| restrukturisasi. |Tagihan hasil investasi |2,00% |Investasi pada satu pihak 10,009 | Contoh perhitungan x rata-l Sebuah perusahaan rata asuransi memiliki total bang miliar. Termasuk dalam |faktor total investasi tersebut risiko. adalah investasi pada satu adalah investasi pada satu pihak sebesar Rp300 miliar terdiri dari deposito sebesar Rp150 miliar pada bank dengan CAR 89 (faktor saham kategori jll (faktor risiko 10%) sebesar Rp60 miliar. Rata-Tata tertimbang faktor risiko investasi pada satu pihak adalah: (Rp150 miliar x 2% + Rp90 miliar x 29 + Rp60 miliar x 10%) : Rp 300 miliar - 3,6% dibutulkan untuk End of Page 10 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 satu pihak (maksimum 20% dari total investasi) - 10% x 3,69 x Rp198 miliar (Rp200 miliar - Rp2 miliar sebagai deposito kategori khusus) - Rp 712,8 juta. (Dalam contoh di atas, jumlah maksimum deposito pada satu bank yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan adalah Rp2 miliar) Faktor ini dikenakan sebagai tambahan atas faktor dasar yang telah dikenakan sesuai dengan jenis investasinya. b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cash fiou Mismatch Risks) 1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan arus kewajiban merupakan risiko yang terjadi karena adanya perbedaan jumlah dan saat jatuh tempo antara kewajiban dan kekayaan 2) Risiko ketidakseimbangan ini dihitung untuk produk-produk yang membentuk penyisihan kontribusi. 3) Jumlah dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian pada komponen risiko ketidakseimbangan ini ditentukan dengan menggunakan rumusan sebagai berikut ) 4,00% (empat per seratus) dari penyisihan kontribusi (tidak termasu penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan/hak). b) Penyisihan kontribusi yang digunakan dalam perhitungan pada huruf a tersebut adalah penyisihan kontribusi yang pembentukannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban Dalam Setiap Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks) End of Page 11 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 1) Risiko ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis mata uang asing (foreign currency nismatch risks) timbul karena adanya perbedaan nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam mata uang asing, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah. 2) Untuk menghitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian akibat ketidakseimbangan ini, terlebih dahulu jumlah kekayaan dan kewajiban dalam mata uang asing tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal neraca. 3) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian akibat ketidakseimbangan ini, ditentukan sebagai berikut: Jumlah Kekayaan Dana Tabara enis mata uang yang samia I. Kurang dari atau sama | 30% | 30% x (Kewajiban - Kekayaan dengan nal /jang diperkenankan) II. Lebih dari nol namun tidak 0% | Nol melebihi 209 dari Jumlah Kewajiban III. Melebihi 20% dari Jumlah 10% | 10% x (Kekayaan yang Kemaian dinoslon Kewajiban) 4) Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak asuransi dalam mata uang rupiah. 5) Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi memiliki kekayaan dan kewajiban untuk mata uang rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura dan yen Jepang setelah dikonversi ke rupiah adalah sebagai berikut. Keterangan IDR| USD SSGD JPY Kekayaan yang diperkenankan Rp5M / Rp9M /Rp3M Rpi2M Kewajiban Rp7M Rp4M | Rp6 M Rp11M Berdasarkan data di atas, jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian sebagai akibat dari ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiapjenis mata uang asing adalah sebesar a) Mata uang dolar Amerika Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 9 M - 4 M = 5 M, melebihi 209 dari kewajiban (0,8M) Jumlah dana yang dibutuhkan = 10% x (9M - 4,8 M) =- 0,42M b) Mata uang dolar Singapura End of Page 12 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 9- Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 3 M - 6 M = - 3 M (kurang dari nol) Jumlah dana yang dibutuhkan = 309 x (Kewajiban - Kekayaan) - 30% x (6M - 3 M) - 0,9 M c) Mata uang yen Jepang Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 12M - 11M - 1M, lebih besar dari nol namun kurang dari 20% jumlah kewajiban (2,2 M) Jumlah dana yang dibutuhkan = Nol Dengan denikian total dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian pada komponen risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam mata uang asing adalah 0,42 M + 0,9 M + 0 = 1,32 M. d. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi dan Beban . Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi dan Beban Klaina Yang Diperkirakan (Risks of Clain Experience Worse Than Expected) Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected) 1) Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang daenaan a ai einan eala . lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan. 2) Jumlah dana yang diperhitungkan untuk mengantisipasi risiko ini ditentukan sebagai berikut a) Komponen mortalita a Dama untuk Prodtk Mengantisipasi Keterasgaf Risiko 1. Asuransi | 2%a dari NAR beban | NAR (Net Amount at Risk) Jiwa | sendiri, untuk polis | adalah selisih antara Uang | asuransi jiwa | Pertanggungan dengan lainnya. | penyisihan kontribusi untuk polis yang bersangkutan, 2. Asuransi | 0,15%o dari jumlah Kecelakaan | uang pertanggungan Diri | polis asuransi | kecelakaan diri beban sendiri b) Komponen morbidita asuransi kesehatan Kompoinen Jutilalhi Dania tuntuk Keterarigaan Mengantisipasi Risike 1. Morbidita klaim | 10% dari kontribusi | Untuk polis-polis klaim baru | para peserta satu yang belum pemah para peserta satu yang belum pemah tahun terakhir atas klaim sampai dengan polis-polis dimaksud, | tanggal neraca. setelah dikurangi dengan beban reasuransi. End of Page 13 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal :29 April 2011 10- 2. Morbidita klaim- | 109 dari penyisihan Untuk polis-polis Klaim lanjutan | teknis polis-polis | yang sudah pemah teknis polis-polis | yang sudah pemah dimaksud, setelah | klaim sebelum dikurangi dengan tanggal neraca. beban reasuransi.| Dalam penyisihan / teknis termasuk terjadi namun belum dilaporkan (Incurred But Not | Reported/IBNR). c) Komponen klaim asuransi kerugian (1) Komponen klaim masa depan Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa depan dilakukan berdasarkan rumusan sebagai berikut: A= Kf+ PC fe dimana A = jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa depan K = kontribusi para peserta neto fk = faktor risiko untuk kontribusi para peserta neto PC = proyeksi beban klaim neto fe - faktor risiko untuk beban klaim neto dengan ketentuan bahwa (a) K dihitung dengan rumusan sebagai berikut K -(KPL+ KPTL)-KR-(PAKYBMPakhir - PAKYBMPawai) dimana K = kontribusi para peserta KPL - kontribusi penutupan langsung KPTL = kontribusi penutupan tidak langsung KR - kontribusi reasuransi PAKYBMPawal = penyisihan atas kontribusi yang belum merupakan pendapatan di awal tahun PAKYBMPakhis - penyisihan atas kontribusi yang belum merupakan pendapatan di akhir tahun (b) PC dihitung dengan rumusan sebagai berikut: PC - Ki x CR PC > KI dimana End of Page 14 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 -11- PC = proyeksibeban klaim neto CR = rasio klaim tiga tahun terakhir Ki = kontribusi para peserta periode berjalan C= beban klaim neto periode berjalan Dengan ketentuan bahwa - CR (rasio klaim) tiga tahun terakhir dihitung dengan rumusan sebagai berikut: G,+C,+C, K, +K,+K, dimana Ki -kontribusi para peserta periode berjalan, Ki 2 0 Ka-kontribusi para peserta periode sebelumnya, K22 0 Ks -kontribusi para peserta dua periode sebelumnya, K 20 Ci -beban klaim neto periode berjalan, C 20 Cz-beban klaim neto periode sebelumnya, Ga2 0 Cs -beban klaim neto dua periode sebelumnya, Cs 2 0 CR = rasio klaim tiga tahun terakhir untuk setiap lini usaha, dengan catatan tidak kurang dari rasio klaim dalam tabel berikut: Harta benda (properti) Kendaraan bermotor (orun damage, thrird partu liabilihu, dan personal accident) Pengangkutan (muarine cargo) Pengangkutan (maririe Corgo) 309te Rangka kapal (marine Null) Rangka pesawat (aoiation hull) 30% Sateilite Satellite 309 Energi Onshore (oil and gas) 30% Energi Offshore (oil and gas) 30% Rekayasa (engineering) 30% Tanggung-gugat (iabiliti) 33096 Aneka | 30% Aneka Untuk triwulan I, Il, dan triwulan III tahun berjalan, digunakan rasio klaim tiga tahun terakhir yang digunakan pada laporan tahunan tahun sebelumnya, sedangkan untuk triwulan IV tahun berjalan digunakan rasio klaim tiga tahun terakhir sesuai data tahun End of Page 15 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 -12- Contoh Untuk triwulan I, II, dan III tahun 2010 Cao + Coos + Caoog K.00 +K.00+K.9 Untuk triwulan IV tahun 2010 Capns + Capo + Croio K.os +K.oog + K.010 C (Beban Klaim Neto) dihitung dengan rumusan sebagai berikut C - (BC - CR) + (PC akhir - PC awa) dimana: C - beban klaim neto BC - beban klaim bruto (termasuk biaya adjuster) CR - klaim reasuransi PC awal - penyisihan klaim awal tahun PC akhir - penyisihan klaim akhir tahun % Harta benda (groperty) 10%| 10% Kendaraan bermotor (oron |Kendaraan bermotor (otun 10% 15% |dmage, third party linbilitu, dan personal accident) Pengangkutan (marine cargo) Rangka kapal (marine hull) 10% 20% Rangka pesawat (auintion hull) | 10% 20% Satellite| 10% 20% Energi Onshore (oil and gas)| 10% 20% Energi Olishore (oil and gas) | 10% 20% Rekayasa (engineering) | 10% 20% Tanggung-gugat (liabilit) | 10% 20% Aneka 10% 20% End of Page 16 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 -13 - (2) Komponen klaim masa lalu Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa lalu dilakukan berdasarkan rumusan sebagai berikut B = (PCDPP x f pcorp) + (IBNR x f isNR) dimana B = dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa lalu PCDPP= penyisihan klaim dalam proses penyelesaian yang menjadi beban sendiri f pcoPp = faktor risiko untuk penyisihan klaim dalam prose penyelesaian yang menjadi beban senditi BNR = penyisihan klaim yang sudah terjadi tetapi belu dilaparkan yang menjad beban sendini fTBNR = faktor risiko untuk penyisihan klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan yang menjadi beban sendiri dengan ketentuan i. Besar PCDPP dan IBNR, masing-masing 2 25 dari PCDPP dan IBNR sebelum reasuransi; i. Faktor risiko yang digunakan untuk setiap cabang asuransi adalah sebagai berikut Harta benda (property) Harta benda (properti) | 10% | 15% parhy liability, dan personal accident) Pengangkutan (narine cargo) | 159 20% Rangkakapal(inarime hal) 1570 2070 Rangka pesawat (auiation hul) 159 20% Satellite 15% 20% Energi Onshore (oil and gas) | 15% 20% Energi Offshore (oil and gas) | 15% 20% Rekayasa (engineering) | 15% 20% Tanggung-gugat (iabilih) 15% 20% Aneka e. Ketidakcukupan Kontribusi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang Diasumsikan dalam Penetapan Kontribusi dengan Hasil Investasi yang Diperoleh (Risks of Insufficient Contribution due to experienced inpestment return toorse than expected) End of Page 17 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 1) Risiko ketidakcukupan kontribusi dapat disebabkan oleh tingkat hasil investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi yang diperkirakan dalam penetapan kontribusi. 2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko ketidakcukupan kontribusi ditetapkan sebesar 1 % dari penyisihan kontribusi. f. Ketidakmampuan Pihak Reasuradur Untuk Memenuhi Kewajiban Membayar klaim (Reinsurance Risks). 1) Jumlah dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian sebagai akibat dari devisasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban untuk komponen risiko ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar klaim ditentukan dengan cara mengalikan penyisihan teknis beban reasuradur dengan faktor risiko. 2) Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut: ReBauradin FARtol Ketefalhigas Dalam Negeri * menyimpan |49 x (1 - Deposit adalah sejumlah dana yang |(deposit/ ditempatkan oleh reasuradur pada penyisihan teknis | asuradur, termasuk kontribusi yang reasuradur) | asuradur memiliki otoritas penuh asuradur memiliki otoritas penuh untuk menggunakan simpanan tersebut. tidak menyimpan deposit Teasuradur dengan prinsip syariah memiliki peringkat dalam kategori . reputasi baik | 49 reputasi baik |empat peringkat teratas dari lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional atau surat keterangan di negara reasuradur berdomisili memiliki peringkat dalam kategori peringkat kelima dan seterusnya. tidak memiliki peringkat. . tidak memiliki | 25 catatan reputasi baik reasuradur konvensional End of Page 18 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2011 Tanggal : 29 April 2011 - 15 Reasifadur Faktot Kefefangan | peringkat | 4% empat ke atas * peringkat| 16%6 kelima dan seterusnya. tidak memiliki | 25% peringkat II. Perhitungan jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan. Jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan adalah sebesar 29 dari total beban usaha Dana Perusahaan untuk periode berjalan. Beban usaha terdiri dari biaya akuisisi, ujralh reasuransi, beban pemasaran, beban Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Ssindh sesuai dengan aslinya Kepa Bagian Umum oa Kasyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 End of Page 19
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 29 April 2011 </set_date> <effective_date> 29 April 2011 </effective_date> <replaced_reg> 'PER-02/BL/2009|PERTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg> <related_reg> '20/M|KEPPRES/2011', '11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '73/PP/1992', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '81/PP/2008' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -1- SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 11/BL/2012 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 27, Pasal 28 ayat (3), dan Pasal 41 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Dukungan Reasuransi, Batas Retensi Sendiri, Serta Bentuk Dan Susunan Laporan Program Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; 5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.010/2012 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi. MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Ketua ini, yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi baik yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas maupun bukan perseroan terbatas. 2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. 3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. 5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha perasuransian. BAB II STRATEGI DUKUNGAN REASURANSI Pasal 2 (1) Direksi Perusahaan mengimplementasikan wajib mengembangkan dan reasuransi untuk strategi penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi agar memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi liabilitas. (2) Perusahaan wajib menelaah strategi reasuransi paling sedikit sekali dalam setahun. (3) Untuk pertama kali, strategi reasuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Biro Perasuransian paling lambat tanggal 15 Januari 2014. (4) Dalam hal Perusahaan mengubah strategi reasuransi, Perusahaan wajib melaporkan perubahan dimaksud beserta alasannya dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak strategi reasuransi dimaksud ditetapkan oleh direksi. Pasal 3 Strategi reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus memuat: 1. Kebijakan reasuransi secara komprehensif yang ditetapkan oleh direksi Perusahaan dengan memperhitungkan manfaat diversifikasi dan kelayakan pihak reasuransi (counterparty); KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- 2. Sistem yang sehat dalam melakukan pemilihan dan pemantauan program reasuransi; 3. Ringkasan proses pembentukan retensi sendiri dan monitoring retensi sendiri; 4. Penanggungjawab pelaksana program reasuransi dan pengendaliannya. Pasal 4 Dalam mengembangkan strategi reasuransi, Perusahaan harus memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: 1. Profil risiko dari risiko yang ditanggung; 2. Kecukupan modal dan akses terhadap penambahan modal; 3. Volatilitas klaim masa lalu dan/atau klaim yang diperkirakan; 4. Tingkat profitabilitas masing-masing lini usaha; 5. Ukuran retensi yang sesuai dengan Perusahaan; 6. Penggunaan program reasuransi proporsional dan non- proporsional; 7. Kondisi lingkungan, khususnya untuk daerah yang rawan bencana; 8. Kapasitas treaty otomatis; 9. Optimalisasi kualitas, penggunaan, dan biaya reasuransi; 10. Dampak bila Perusahaan Reasuransi dengan porsi treaty reasuransi mengalami kebangkrutan;. 11. Peringkat Perusahaan Reasuransi; dan 12. Kondisi pasar reasuransi. Pasal 5 (1) Perusahaan Asuransi Umum wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri dalam bentuk perjanjian reasuransi otomatis prioritas (priority treaty) untuk setiap lini usaha asuransi. (2) Perjanjian reasuransi otomatis prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan treaty reasuransi proporsional yang ada bersama-sama dengan retensi sendiri (quota share) dan/atau yang langsung setelah retensi sendiri (surplus) dan treaty reasuransi excess of loss. Pasal 6 (1) Apabila dalam program reasuransi otomatis proporsional terdapat treaty yang bersama-sama dengan retensi sendiri (quota share) dan treaty yang langsung setelah retensi sendiri (surplus), maka yang harus mendapatkan prioritas penempatan treaty dalam negeri sebagaimana dimaksud KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -4- dalam Pasal 5 ayat (2) adalah treaty yang bersama-sama dengan retensi sendiri (quota share) tersebut. (2) Apabila program reasuransi otomatis proporsional hanya berupa treaty yang langsung setelah retensi sendiri yang terdiri dari satu atau lebih treaty surplus, yang harus mendapatkan prioritas penempatan dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) adalah treaty surplus yang terlebih dahulu digunakan setelah retensi sendiri. (3) Besar dukungan reasuransi otomatis proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) harus memenuhi jumlah paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas treaty untuk program reasuransi otomatis treaty proporsional dari masing-masing lini usaha asuransi atau sejumlah sebagaimana terlampir dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Ketua ini, yang mana yang lebih besar. (4) Perusahaan Asuransi Umum yang mempunyai kapasitas treaty prioritas proporsional untuk suatu lini usaha asuransi lebih kecil dari jumlah minimum treaty prioritas sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I wajib menempatkan keseluruhan treaty prioritas proporsional tersebut di dalam negeri untuk lini usaha asuransi tersebut. (5) Dalam hal besar dukungan reasuransi otomatis prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masih belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka kekurangannya harus diisi dengan penempatan dari treaty proporsional berikutnya, jika ada. Pasal 7 Perusahaan Asuransi Umum wajib menempatkan dukungan reasuransi dalam bentuk treaty excess of loss di dalam negeri paling rendah 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas treaty untuk setiap layer. Pasal 8 (1) Perusahaan Asuransi Umum dapat memilih untuk mempunyai dukungan reasuransi katastropik atau membentuk cadangan atas risiko bencana (catastrophic risks). (2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum memilih untuk mempunyai dukungan reasuransi katastropik, besar minimum retensi sendiri ditentukan dengan asumsi kejadian risiko bencana (catastrophic risks) berulang setiap 250 (dua ratus lima puluh) tahun sekali. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -5- BAB III BATAS RETENSI SENDIRI Pasal 9 (1) Perusahaan wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi sendiri maksimum yang ditetapkan. (2) Penetapan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan akurat. (3) Untuk Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Reasuransi berlaku ketentuan: a. penentuan batas minimum retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan persentase tertentu dari modal sendiri untuk setiap risiko dan besaran premi bruto yang harus ditahan untuk setiap lini usaha; dan b. penentuan batas maksimum retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah 10% (sepuluh per seratus) dari modal sendiri untuk setiap risiko, sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. (4) Penentuan batas minimum dan batas maksimum retensi sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku bagi Perusahaan Asuransi Jiwa untuk lini usaha asuransi kematian, asuransi kecelakaan diri dan asuransi kesehatan. BAB IV LAPORAN PROGRAM REASURANSI Pasal 10 (1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan laporan program reasuransi otomatis (treaty) kepada Biro Perasuransian, paling lambat tanggal 15 Januari. (2) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan menjadi pada hari kerja pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud. (3) Laporan program reasuransi otomatis (treaty) disertai dengan grafik yang menggambarkan retensi sendiri dan dukungan reasuransi otomatis yang diterima serta limit dukungan reasuransi. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -6- (4) Laporan program reasuransi otomatis (treaty) harus dilengkapi dengan perjanjian reasuransi yang telah ditandatangani oleh Perusahaan Asuransi Umum dan reasuradur. (5) Bentuk dan susunan laporan program reasuransi otomatis (treaty) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III untuk Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan Reasuransi dan Lampiran IV untuk Perusahaan Asuransi Jiwa yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 11 Perusahaan dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan program reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) apabila Perusahaan dimaksud: a. dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh lini usaha; dan/atau b. dalam proses untuk mengembalikan izin usaha. Pasal 12 Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku: a. Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-5443/LK/2004 tanggal 25 Oktober 2004 tentang Dukungan Reasuransi Otomatis Dalam Negeri dan Retensi Sendiri; dan b. Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-4033/LK/2004 tanggal 14 September 2004 tentang Bentuk serta Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 20 Januari 2013. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN I PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 11/BL/2012 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI Lampiran I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Ketentuan Dukungan Reasuransi Otomatis Proporsional Dalam Negeri No Lini Usaha Asuransi 1. Harta Benda **) 2. Kendaraan Bermotor 3. Pengangkutan 4. Rangka Kapal 5. Rangka Pesawat 6. Satelit 7. Energi Offshore 8. Energi Onshore 9. Rekayasa 10. Tanggung gugat 11. Kematian 12. Kecelakaan Diri 13. Kesehatan 14. Kredit 15. Suretyship 16. Aneka *) dihitung dari kapasitas (limit) treaty **)Termasuk di dalamnya sessi statistik 2.5% atau maximal Rp 500 juta setiap risiko KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 Besar Dukungan Reasuransi Otomatis dalam bentuk Priority Treaty dalam negeri *) 11.000.000.000 1.500.000.000 6.500.000.000 3.500.000.000 3.500.000.000 3.500.000.000 3.500.000.000 11.000.000.000 10.000.000.000 6.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 1.500.000.000 6.500.000.000 6.500.000.000 1.500.000.000 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN II PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 11/BL/2012 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- BATAS MINIMUM DAN MAKSIMUM RETENSI SENDIRI PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DAN PERUSAHAAN REASURANSI Batas Minimum Retensi Sendiri No Lini Usaha Asuransi 1. Harta Benda Modal Sendiri (MS) Setiap Risiko (persentase tertentu dari modal sendiri) <500 Miliar >500 Miliar – 1 Triliun >1 Triliun-2 Triliun >2 Triliun 2. Kendaraan Bermotor 3. Pengangkutan <500 Miliar >500 Miliar – 1 Triliun >1 Triliun-2 Triliun >2 Triliun 4. Rangka Kapal <500 Miliar >500 Miliar – 1 Triliun 1% MS 0,75% MS min 5 Miliar 0,5% MS min 7,5 Miliar 10 Miliar 100 Juta 1% MS 0,75% MS min 5 Miliar 0,5% MS min 7,5 Miliar 10 Miliar 0,4% MS 0,3% MS min 2 Miliar 30% premi bruto 30% premi bruto Setiap Lini Usaha (persentase tertentu dari premi bruto) Batas Maksimum : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 60% premi bruto 40% premi bruto 10% MS Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- Batas Minimum Retensi Sendiri No Lini Usaha Asuransi Modal Sendiri (MS) Setiap Risiko (persentase tertentu dari modal sendiri) >1 Triliun-2 Triliun >2 Triliun 5. Rangka Pesawat Satelit 6. 7. Energi Onshore <500 Miliar >500 Miliar – 1 Triliun >1 Triliun-2 Triliun >2 Triliun 8. Energi Offshore 9. Rekayasa 50% dari Retensi <500 Miliar >500 Miliar – 1 Triliun >1 Triliun-2 Triliun >2 Triliun 10. Tanggung gugat 11. Kematian 0,2% MS min 3 Miliar 4 Miliar 0,25% MS 0,05% MS 1% MS 0,75% MS min 5 Miliar 0,5% MS min 7,5 Miliar 10 Miliar Neto Onshore 1% MS 0,75% MS min 5 Miliar 0,5% MS min 7,5 Miliar 10 Miliar 500 Juta 100 Juta 10% premi bruto 25% premi bruto 4% premi bruto 4% premi bruto 5% premi bruto Setiap Lini Usaha (persentase tertentu dari premi bruto) Batas Maksimum : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 15% premi bruto 50% premi bruto Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- Batas Minimum Retensi Sendiri No Lini Usaha Asuransi 12. Kecelakaan Diri 13. Kesehatan 14. Kredit 15. Suretyship 16. Aneka Modal Sendiri (MS) Setiap Risiko (persentase tertentu dari modal sendiri) 100 Juta 100 Juta 500 Juta 500 Juta 500 Juta Setiap Lini Usaha (persentase tertentu dari premi bruto) 50% premi bruto 50% premi bruto 50% premi bruto 40% premi bruto 40% premi bruto KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 Batas Maksimum : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN III PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 11/BL/2012 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 K e p a d a Yth. BIRO PERASURANSIAN Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan RI Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14 Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4 Jakarta 10710 Telepon (021) 3858001: Faksimile (021) 3857917 Situs www.bapepam.go.id LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS (TREATY) Perusahaan Asuransi Umum / Perusahaan Reasuransi Konvensional Tahun ……….. (diisi nama dan alamat perusahaan) _________, ________________________ 200x ______ Direktur (CAP PERUSAHAAN ) N a m a J e l a s Jabatan Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DAN PERUSAHAAN REASURANSI LAPORAN PROGRAM REASURANSI TREATY TAHUN 20XX PERUSAHAAN ASURANSI UMUM/PERUSAHAAN REASURANSI KONVENSIONAL Daftar Isi Cover Daftar Isi Daftar Lini Usaha Asuransi Yang Dipasarkan A. Laporan Program Reasuransi Penetapan Retensi Sendiri Seluruh Lini Usaha Asuransi A-1 A-2 A-3 A-4 A-5 A-6 A-7 A-8 A-9 Harta Benda Kendaraan Bermotor Pengangkutan Rangka Kapal Rangka Pesawat Satelit Energi Onshore Energi Offshore Rekayasa A-10 Tanggung Gugat A-11 Kecelakaan Diri A-12 Kesehatan A-13 Kredit A-14 Suretyship A-15 Aneka B. Proyeksi Perhitungan Surplus Underwritting Seluruh Lini Usaha Asuransi B-1 Harta Benda B-2 B-3 B-4 B-5 B-6 B-7 B-8 B-9 Kendaraan Bermotor Pengangkutan Rangka Kapal Rangka Pesawat Satelit Energi Onshore Energi Offshore Rekayasa B-10 Tanggung Gugat B-11 Kecelakaan Diri B-12 Kesehatan B-13 Kredit B-14 Suretyship B-15 Aneka C. Lampiran: Konfirmasi Dukungan Reasuradur : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Daftar Lini Usaha Asuransi No. Lini Usaha Asuransi 1 Harta Benda 2 Kendaraan Bermotor 3 Pengangkutan 4 Rangka Kapal 5 Rangka Pesawat 6 Satelit 7 Energi Onshore 8 Energi Offshore 9 Rekayasa 10 Tanggung Gugat 11 Kecelakaan Diri 12 Kesehatan 13 Kredit 14 Suretyship 15 Aneka Catatan: 1. Hanya Lini Usaha Asuransi yang produknya dipasarkan yang dimuat dalam laporan ini 2. Beri tanda "√" untuk lini usaha asuransi yang produknya dipasarkan Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Penetapan Retensi Sendiri Tahun 20xx Modal Sendiri : Retensi Sendiri No. (1) Lini Usaha Asuransi (2) 1 Harta Benda 2 Kendaraan Bermotor 3 Pengangkutan 4 Rangka Kapal 5 Rangka Pesawat 6 Satelit 7 Energi Onshore 8 Energi Offshore 9 Rekayasa 10 Tanggung Gugat 11 Kecelakaan Diri 12 Kesehatan 13 Kredit 14 Suretyship 15 Aneka Retensi Sendiri Bruto : termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada. Retensi Sendiri Neto : tidak termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada. *) : Prosentase dari Modal Sendiri **) : Prosentase dari Retensi Sendiri Bruto Bruto Jumlah (3) % *) (4) Neto Jumlah % **) (5) (6) Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A Seluruh Lini Usaha Asuransi (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri B. Luar Negeri (4) Prioritas Working X/L Stop Loss QS Surplus QS Surplus (3) (5) (6) (7) (8) Catastrophe X/L (9) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-1 Lini Usaha Asuransi : Harta Benda (dalam jutaan rupiah) No (1) Keterangan Prioritas (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) (6) (7) Proporsional Non-Prioritas Rating QS Surplus Surplus.... QS Surplus Surplus..... (3) (8) (9) Non-Proporsional Working X/L Stop Loss Catastrophe X/L (10) (11) (12) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-2 Lini Usaha Asuransi : Kendaraan Bermotor (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-3 Lini Usaha Asuransi : Pengangkutan (dalam jutaan rupiah) No (1) Keterangan Prioritas (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah Rating QS Surplus QS (3) (4) (5) (6) Proporsional Non-Prioritas Surplus (7) Non-Proporsional Working X/L Stop Loss Catastrophe X/L (8) (9) (10) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -9- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-4 Lini Usaha Asuransi : Rangka Kapal (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -10- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-5 Lini Usaha Asuransi : Rangka Pesawat No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -11- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-6 Lini Usaha Asuransi : Satelit No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -12- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-7 Lini Usaha Asuransi : Energi - Onshore No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -13- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-8 Lini Usaha Asuransi : Energi - Offshore (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -14- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-9 Lini Usaha Asuransi : Rekayasa No : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -15- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-10 Lini Usaha Asuransi : Tanggung Gugat No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -16- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-11 Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -17- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-12 Lini Usaha Asuransi : Kesehatan (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -18- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-13 Lini Usaha Asuransi : Kredit No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -19- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-14 Lini Usaha Asuransi :Penjaminan (dalam jutaan rupiah) No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) Stop Loss (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -20- Laporan Program Reasuransi Treaty Tahun 20xx Lembar A-15 Lini Usaha Asuransi : Aneka No Keterangan Proporsional Non- Prioritas (1) (2) 1 Retensi Sendiri Bruto 2 Dukungan Reasuradur A. Dalam Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah B. Luar Negeri 1. ….. 2. ….. 3. ….. ….. Sub Jumlah (4) (5) Prioritas Working X/L Stop Loss Rating QS Surplus QS Surplus (3) (6) (7) (8) (9) Catastrophe X/L (10) Non-Proporsional : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -21- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B Seluruh Lini Usaha Asuransi REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) Non ASEAN (5) (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) (dalam jutaan rupiah) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7- 8-9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -22- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-1 Lini Usaha Asuransi : Harta Benda REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Masuk (5) (6) (7) Keluar Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (4) (8) (9) Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) (dalam jutaan rupiah) Jumlah Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -23- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-2 Lini Usaha Asuransi : Kendaraan Bermotor (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) Keterangan (2) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Langsung (3) Masuk Dalam Negeri (4) ASEAN *) (5) Non ASEAN (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8-9) (10) Jumlah Tahun Lalu (11) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -24- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-3 Lini Usaha Asuransi : Pengangkutan (dalam jutaan rupiah) REASURANSI No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Pos Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) (4) (5) Non ASEAN (6) Keluar (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (3+4+5+6-7-8-9) (7) (10) Jumlah Tahun Lalu (11) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -25- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-4 Lini Usaha Asuransi : Rangka Kapal (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) Keterangan (2) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk Non ASEAN *) (5) ASEAN (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Jumlah Tahun (3+4+5+6- 7-8-9) (10) (11) Jumlah Berjalan Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -26- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-5 Lini Usaha Asuransi : Rangka Pesawat (dalam jutaan rupiah) REASURANSI No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Pos Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) (5) Non ASEAN (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7- 8-9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -27- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-6 Lini Usaha Asuransi : Satelit (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) (4) (5) Non ASEAN Dalam Negeri (6) (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -28- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-7 Lini Usaha Asuransi : Energi - Onshore (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) (5) Non ASEAN (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -29- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-8 Lini Usaha Asuransi : Energi - Offshore (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri (4) (5) (6) (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Tahun Berjalan Tahun Lalu (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Jumlah : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -30- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-9 Lini Usaha Asuransi : Rekayasa (dalam jutaan rupiah) REASURANSI No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Pos Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (4) (5) (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -31- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-10 Lini Usaha Asuransi : Tanggung Gugat (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) Keterangan (2) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) (5) (7) Keluar (8) (9) Tahun Berjalan Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (3+4+5+6-7-8-9) (6) (10) Jumlah Jumlah Tahun Lalu (11) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -32- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-11 Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri (4) (5) (6) (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -33- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-12 Lini Usaha Asuransi : Kesehatan (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Masuk Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri (4) (5) (6) (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -34- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-13 Lini Usaha Asuransi : Kredit (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) (5) Non ASEAN Dalam Negeri (6) (7) Keluar ASEAN *) (8) Non ASEAN (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -35- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-14 Lini Usaha Asuransi :Penjaminan (dalam jutaan rupiah) REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum Keterangan (2) Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk ASEAN *) (5) Non ASEAN (6) Dalam Negeri (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN (8) (9) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -36- PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx Lembar B-15 Lini Usaha Asuransi : Aneka REASURANSI Pos No. (1) 1 Premi 2 Komisi 3 Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan 4 Pendapatan Premi (1 - 2 + 3a - 3b) 5 Klaim Dibayar 6 Biaya Adjuster 7 Cadangan/Outstanding Klaim : a. Tahun lalu b. Tahun Berjalan Keterangan (2) Langsung (3) Dalam Negeri (4) Masuk (6) (7) Keluar ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (5) (8) (9) (dalam jutaan rupiah) Jumlah Tahun Berjalan (3+4+5+6-7-8- 9) (10) (11) Jumlah Tahun Lalu : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -37- 8 Beban Klaim (5 + 6 + 7b - 7a) 9 Surplus Underwriting (4 - 8) * Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN IV PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 11/BL/2012 TENTANG DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- : PER-11/BL/2012 : 27 Desember 2012 K e p a d a Yth. BIRO PERASURANSIAN Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Keuangan RI Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14 Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4 Jakarta 10710 Telepon (021) 3858001: Faksimile (021) 3857917 Situs www.bapepam.go.id LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS (TREATY) Perusahaan Asuransi Jiwa Konvensional Tahun ……….. (diisi nama dan alamat perusahaan) _________, ________________________ 200x ______ Direktur (CAP PERUSAHAAN ) N a m a J e l a s Jabatan Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI ASURANSI JIWA LAPORAN PROGRAM REASURANSI TREATY TAHUN 20xx PERUSAHAAN ASURANSI JIWA Daftar Isi Cover Daftar Isi Semua Lini Usaha Asuransi Jiwa dan Anuitas 1. Lini Usaha Asuransi Ekawarsa 2. Lini Usaha Asuransi Kematian Berjangka Selain Ekawarsa 3. Lini Usaha Asuransi Dwiguna 4. Lini Usaha Asuransi Dwiguna Kombinasi 5. Lini Usaha Asuransi Seumur Hidup 6. Lini Usaha Asuransi Seumur Hidup Kombinasi 7. Lini Usaha Asuransi Anuitas Umum 8. Lini Usaha Asuransi Anuitas Dana Pensiun 9. Lini Usaha Asuransi Non-Tradisional 10. Lini Usaha Asuransi Kesehatan (quota share & surplus treaty reinsurance) 11. Lini Usaha Asuransi Kecelakaan Diri (quota share & surplus treaty reinsurance) 12. Lini Usaha Asuransi Kesehatan (excess of loss treaty reinsurance) 13. Lini Usaha Asuransi Kecelakaan Diri (excess of loss treaty reinsurance) : PER-11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Semua Lini Usaha Asuransi Jiwa dan Anuitas. No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Ekawarsa No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 2-xx Lini Usaha Asuransi : Kematian Berjangka Selain Ekawarsa No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Dwiguna No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Dwiguna Kombinasi No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Seumur Hidup No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -9- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun .... Lini Usaha Asuransi : Seumur Hidup Kombinasi No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -10- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Anuitas Umum No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -11- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun .... Lini Usaha Asuransi : Anuitas Dana Pensiun No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -12- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Kesehatan No. (1) I II Keterangan (2) Retensi Sendiri (d) Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ............... 2. ........ dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ...... b. ...... c. ...... dst. (Rp / %) (e) Q.S. (3) (a) S.I (4) (b) S.II (5) (Dalam jutaan rupiah) ....................... (c) (6) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 (Rp / %) (e) Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -13- 2. NON ASEAN a. ...... b. ...... c. ...... dst. Keterangan : (a). Q.S. = Quota Share Treaty Reinsurance. (b). S = Surplus Treaty Reinsurance. (c). Diisi sesuai dengan kebutuhan. (d). Retensi Sendiri Bruto = termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada. (e). Coret yang tidak perlu. (Rp / %) (e) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -14- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Non Tradisonal No. U r a i a n (1) I II (2) Retensi sendiri Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ........................... 2. ..................... dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. 2. NON ASEAN a. ........................... b. ........................... c. ..................... dst. Bentuk Reasuransi Yearly Renewable Term (YRT) (3) Koasuransi (4) Modifikasi Koasuransi (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -15- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri No. (1) I II Keterangan (2) Retensi Sendiri (d) Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ............... 2. ........ dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ...... b. ...... c. ...... dst. (Rp / %) (e) Q.S. (3) (a) S.I (4) (b) S.II (5) (Dalam jutaan rupiah) ....................... (c) (6) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 (Rp / %) (e) Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -16- 2. NON ASEAN a. ...... b. ...... c. ...... dst. Keterangan : (a). Q.S. = Quota Share Treaty Reinsurance. (b). S = Surplus Treaty Reinsurance. (c). Diisi sesuai dengan kebutuhan. (d). Retensi Sendiri Bruto = termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada. (e). Coret yang tidak perlu. : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 (Rp / %) (e) Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -17- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun 20xx Lini Usaha Asuransi Asuransi : Kesehatan No. (1) I II Keterangan (2) Retensi Sendiri (c) Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ............... 2. ........ dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ...... b. ...... c. ...... dst. (Rp / %) (d) (Rp / %) (d) X/L 1 (a) (3) X/L 2 (4) (Dalam jutaan rupiah) ....................... (b) (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -18- 2. NON ASEAN a. ...... b. ...... c. ...... dst. Keterangan : (a). X/L = Excess of Loss Treaty Reinsurance. (b). Diisi sesuai dengan kebutuhan. (c). R.S. Neto = Tidak termasuk dukungan reasuransi X/L. (d). Coret yang tidak perlu. : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 (Rp / %) (d) Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -19- Nama Perusahaan : PROGRAM REASURANSI JIWA Tahun .... No. (1) I II Lini Usaha Asuransi: Kecelakaan Diri Keterangan (2) Retensi Sendiri (c) Reasuradur Dukungan A. Dalam Negeri 1. ............... 2. ........ dst. B. Luar Negeri 1. A S E A N a. ...... b. ...... c. ...... dst. (Rp / %) (d) (Rp / %) (d) X/L 1 (a) (3) X/L 2 (4) (Dalam jutaan rupiah) ....................... (b) (5) : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -20- : PER- 11/BL/2012 : 27 Desember 2012 2. NON ASEAN a. ...... b. ...... c. ...... dst. Keterangan : (a). X/L = Excess of Loss Treaty Reinsurance. (b). Diisi sesuai dengan kebutuhan. (c). R.S. Neto = Tidak termasuk dukungan reasuransi X/L. (d). Coret yang tidak perlu. KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 (Rp / %) (d)
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-11/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 20 Januari 2013 </effective_date> <replaced_reg> 'KEP-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 3', 'KEP-5443/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004' </replaced_reg> <related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR : PER- 03/BL/2010 TENTANG BENTUK, SUSUNAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN DAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Bentuk, Susunan, dan Penyampaian Laporan Keuangan Triwulanan Dan Laporan Kegiatan Usaha Semesteran Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK, SUSUNAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN DAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 (1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib menyampaikan laporan sebagai berikut: a. laporan keuangan triwulanan untuk periode yang berakhir 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember; b. laporan kegiatan usaha semesteran untuk periode yang berakhir 30 Juni dan 31 Desember. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh direksi/pengurus Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dalam bentuk dokumen fisik (hard copy) dan format digital (soft copy) kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. Pasal 2 (1) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib disusun sesuai dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. (2) Pengakuan dan pengukuran pos-pos dalam laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku umum. (3) Dalam hal terdapat perubahan Standar Akuntansi Keuangan yang relevan dengan pengakuan dan pengukuran pos-pos dalam laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib mengungkapkannya dalam laporan. Pasal 3 Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, wajib disusun sesuai dengan pedoman sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 4 (1) Laporan keuangan triwulananan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari kalender setelah berakhirnya periode laporan. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - (2) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya periode laporan. (3) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan jatuh bukan pada hari kerja, batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah hari kerja berikutnya. Pasal 5 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 28 September 2010 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 195411111981121001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 195710281985121001 LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 PEDOMAN MENGENAI BENTUK, SUSUNAN, DAN PENGISIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 1 - DAFTAR ISI DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..... : Profil Perusahaan …………………….....................…….... FORMULIR I.1 FORMULIR I.1.1 : Daftar Rincian Pemegang Saham………………………... hal 1 2 6 FORMULIR I.1.2 : Daftar Rincian Kepengurusan……...……………………...... 7 FORMULIR I.1.3 : Daftar Rincian Kantor Cabang.....................................…... FORMULIR I.1.4 : Daftar Rincian Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja………... 9 8 FORMULIR I.2 : Neraca…………………………………………………….... FORMULIR I.2.1 : Daftar Rincian Penempatan Pada Bank……………..…. 11 18 FORMULIR I.3 FORMULIR I.4 FORMULIR I.5 FORMULIR I.6 FORMULIR I.2.2 : Daftar Rincian Surat Berharga yang Dimiliki…………… 20 FORMULIR I.2.3 : Daftar Rincian Pinjaman yang Diberikan……………… 23 FORMULIR I.2.4 : Daftar Rincian Penyertaan Modal……………………… 28 FORMULIR I.2.5 : Daftar Rincian Surat Berharga Yang Diterbitkan……… 30 FORMULIR I.2.6 : Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima………………… 33 FORMULIR I.2.7 : Daftar Rincian Hibah yang Diterima…………………… 36 : Laporan Laba Rugi………………………………………… 38 : Laporan Perubahan Ekuitas……………………………… 44 : Laporan Arus Kas………………………………………… 47 : Rekening Administratif…………………………………… 52 LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 2 - FORMULIR I.1 : 1. Nama perusahaan a. nama lengkap b. nama terdahulu 2. NPWP 3. 4. 5. Tahun pendirian Izin usaha a. nomor b. tanggal PROFIL PERUSAHAAN : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... Surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go public) dari Bapepam LK a. nomor b. tanggal 6. Alamat a. alamat lengkap b. nama kota c. kode pos 7. a. PT - - modal dasar b. koperasi - - simpanan pokok - - simpanan wajib 8. 9. Kurs Jumlah pemegang saham (formulir I.1.1) 10. Kepengurusan (formulir I.1.2) a. jumlah dewan komisaris/pengawas b. jumlah direksi/pengurus 11. 12. Jumlah kantor cabang (formulir I.1.3) Jumlah tenaga kerja (formulir I.1.4) a. kantor pusat b. kantor cabang 13. Penyusun dan penyelia laporan a. penyusun - - nama lengkap - - bagian/divisi - - nomor telepon - - nomor faksimili - - email b. penyelia (supervisor) - - nama lengkap - - bagian/divisi - - nomor telepon - - nomor faksimili - - email : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... d. status pemilikan atau penguasaan gedung : ……………………………….......... Permodalan : ……………………………….......... : ……………………………….......... - - modal ditempatkan dan disetor penuh : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : …………………… ext: ……….. : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………………….......... : ……………………. ext: ……….. : ……………………………….......... : ……………………………….......... LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 3 - Petunjuk pengisian: 1. Nama perusahaan Diisi dengan nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur (PPI) pelapor. a. nama lengkap Diisi dengan nama lengkap perusahaan. b. nama terdahulu Diisi dengan nama lengkap perusahaan sebelumnya apabila perusahaan telah berubah nama. 2. NPWP Diisi dengan nomor pokok wajib pajak PPI pelapor. 3. Tahun pendirian Diisi dengan tahun pendirian sebagaimana tercantum dalam akta pendirian badan hukum PPI pelapor. 4. Izin usaha a. nomor Diisi nomor izin usaha sebagai PPI dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. b. tanggal Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun ditetapkannya izin usaha sebagai PPI dari Menteri Keuangan Republik Indonesia. 5. Surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go public) dari Bapepam LK (khusus bagi PPI pelapor yang telah go public) a. nomor Diisi dengan nomor surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go public) dari Bapepam LK. b. tanggal Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun dikeluarkannya surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go public) dari Bapepam LK. 6. Alamat a. alamat lengkap Cukup jelas. b. nama kota Cukup jelas. c. kode pos Cukup jelas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 4 - d. status kepemilikan atau penguasaan gedung Diisi dengan status kepemilikan atau penguasaan gedung yaitu sewa, milik sendiri atau jenis kepemilikan atau penguasaan lainnya. 7. Permodalan a. PT - modal dasar - modal ditempatkan dan disetor penuh b. koperasi - simpanan pokok - simpanan wajib Cukup jelas. 8. Kurs Diisi sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal laporan. 9. Jumlah pemegang saham Diisi dengan jumlah pemegang saham dan harus dirinci pada Formulir I.1.1 Daftar Rincian Pemegang Saham. Bagi PPI pelapor yang merupakan Perseroan Terbuka, penyebutan pemegang saham sesuai dengan ketentuan yang berlaku di pasar modal. Apabila badan hukum berbentuk koperasi diisi dengan banyaknya jumlah anggota. 10. Kepengurusan a. jumlah anggota dewan komisaris/pengawas b. jumlah direksi/pengurus Untuk PPI pelapor yang berbadan hukum PT diisi dengan banyaknya jumlah anggota dewan komisaris dan jumlah direksi. Bagi yang berbadan hukum koperasi diisi dengan banyaknya jumlah pengawas dan jumlah pengurus. Kolom ini harus dirinci pada Formulir I.1.2 Daftar Rincian Kepengurusan. 11. Jumlah kantor cabang Diisi dengan jumlah kantor cabang PPI pelapor. Jumlah kantor cabang ini harus dirinci pada Formulir I.1.3 Daftar Rincian Kantor Cabang. 12. Jumlah tenaga kerja a. kantor pusat b. kantor cabang Diisi dengan banyaknya tenaga kerja masing-masing di kantor pusat dan kantor cabang dan harus dirinci pada Formulir I.1.4 Daftar Rincian Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 5 - 13. Penyusun dan penyelia laporan Diisi dengan data lengkap masing-masing personil yang bertindak sebagai petugas penyusun laporan dan pejabat penyelia. a. penyusun - nama lengkap Cukup jelas. - bagian/divisi Diisi dengan bagian/divisi/unit kerja personil yang bertanggungjawab menyusun laporan. - nomor telepon Cukup jelas. - nomor faksimili Cukup jelas. - email Cukup jelas. b. penyelia (supervisor) - nama lengkap Cukup jelas. - bagian/divisi Diisi dengan bagian/divisi/unit kerja penyelia. - nomor telepon Cukup jelas. - nomor faksimili Cukup jelas. - email Cukup jelas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 6 - FORMULIR I.1.1 : DAFTAR RINCIAN PEMEGANG SAHAM PT/Koperasi …………………………… Periode Triwulan ……. Tahun ………. I No 1. 2. 3. dst Petunjuk pengisian: I. No Cukup jelas. II. Nama Diisi dengan nama pemegang saham (dalam hal PPI pelapor berbadan hukum PT). Diisi dengan nama anggota (dalam hal PPI pelapor berbadan hukum koperasi). Untuk pemegang saham yang berbentuk badan usaha harus dicantumkan secara lengkap status badan usahanya misalnya PT xxx Tbk. dan Koperasi xxx. III. Golongan pemilik Diisi dengan sandi berupa nomor untuk golongan pemilik PPI pelapor, sebagai berikut: 1. Perorangan; 2. Negara Republik Indonesia; 3. Organisasi multilateral; 4. Badan hukum Indonesia; 5. Badan usaha asing; atau 6. Publik (apabila pemilik memperoleh saham melalui pasar modal). IV. Kepemilikan 1. Nilai Diisi dengan nilai nominal kepemilikan dalam jutaan rupiah. 2. Persentase Diisi dengan nilai prosentase kepemilikan. II Nama III Golongan pemilik Nilai (juta Rp) IV Kepemilikan Persentase (%) LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 7 - FORMULIR I.1.2 : DAFTAR RINCIAN KEPENGURUSAN PT/Koperasi ………………………… Periode Triwulan ……. Tahun ………. I No 1. 2. 3. dst Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini berisi informasi kepengurusan PPI pelapor yang terdiri komisaris dan direksi untuk PPI pelapor yang berbadan hukum PT atau pengawas dan pengurus untuk PPI pelapor yang berbadan hukum koperasi. I. No Cukup jelas. II. Nama Diisi dengan nama-nama kepengurusan PPI pelapor. III. Jabatan Diisi dengan sandi berupa nomor untuk jabatan kepengurusan PPI pelapor, sebagai berikut: 1. Komisaris utama atau yang setara; 2. Komisaris; 3. Direktur utama atau yang setara; 4. Direktur; 5. Pengawas; 6. Pengurus. IV. Tanggal mulai menjabat Diisi dengan tanggal mulai menjabat. II Nama III Jabatan IV Tanggal mulai menjabat LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 8 - FORMULIR I.1.3 : DAFTAR RINCIAN KANTOR CABANG PT/Koperasi …………………………… Periode Triwulan ……. Tahun ………. I No 1. 2. 3. dst Petunjuk pengisian: I. No Cukup jelas. II. Nama kantor cabang Cukup jelas. III. Alamat 1. Alamat lengkap Diisi dengan alamat lengkap masing-masing kantor cabang. 2. Dati II Diisi dengan nama daerah tingkat II masing-masing kantor cabang berkedudukan. 3. Propinsi Diisi dengan nama propinsi masing-masing kantor cabang berkedudukan. 4. Kode pos Diisi dengan nomor kode pos masing-masing kantor cabang berkedudukan. IV. Telepon Diisi dengan kode area dan nomor telepon masing-masing kantor cabang. V. Faksimili Diisi dengan kode area dan nomor faksimili masing-masing kantor cabang. VI. Jumlah tenaga kerja Diisi dengan jumlah pegawai termasuk tenaga honorarium. VII. Nama pemimpin Diisi dengan nama pemimpin kantor cabang. II Nama kantor cabang Alamat lengkap Dati II III Alamat Propinsi Kode pos Telepon Faksimili IV V VI Jumlah tenaga kerja VII Nama pemimpin LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 9 - FORMULIR I.1.4 : DAFTAR RINCIAN TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA PT/Koperasi …………………………… Periode Triwulan ……. Tahun ………. Tingkat Pendidikan dan Tenaga Kerja Asing 1. Kantor Pusat: a. tingkat pendidikan (tidak termasuk tenaga kerja asing) 1) s.d. SLTA 2) D1 s.d. D3 3) S1 4) S2 5) S3 b. tenaga kerja asing 2. Kantor Cabang: a. tingkat pendidikan (tidak termasuk tenaga kerja asing) 1) s.d. SLTA 2) D1 s.d. D3 3) S1 4) S2 5) S3 3. b. tenaga kerja asing Jumlah Petunjuk pengisian: 1. Kantor Pusat a. tingkat pendidikan 1) s.d. SLTA 2) D1 s.d. D3 3) S1 4) S2 5) S3 Cukup jelas. b. tenaga kerja asing Diisi dengan jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh PPI pelapor. L Jumlah P Total ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 10 - 2. Kantor cabang a. tingkat pendidikan 1) s.d. SLTA 2) D1 s.d. D3 3) S1 4) S2 5) S3 Cukup jelas. b. tenaga kerja asing Diisi dengan jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh PPI pelapor. 3. Jumlah a. laki-laki (L) b. perempuan (P) c. total Cukup jelas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 11 - FORMULIR I.2 : NERACA PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan …….. Tanggal ……….. Tahun …… (dalam jutaan rupiah) No. A. ASET 1. Kas 2. Penempatan pada bank (I.2.1) 3. Surat berharga yang dimiliki (I.2.2) 4. Pendapatan yang masih akan diterima 5. Pinjaman yang diberikan (I.2.3) a. pinjaman langsung b. refinancing c. pinjaman subordinasi d. lain-lain 6. Penyertaan modal (I.2.4) 7. Cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan a. penempatan pada bank -/- b. surat berharga yang dimiliki -/- c. pinjaman yang diberikan -/- d. lain-lain -/- 8. Aset tidak berwujud Akumulasi amortisasi aset tidak berwujud -/- 9. Aset tetap Akumulasi penyusutan aset tetap -/- 10. Aset pajak tangguhan 11. Aset lain-lain TOTAL ASET B. LIABILITAS 1. Beban yang masih harus dibayar 2. Utang pajak 3. Pendapatan diterima dimuka 4. Liabilitas lancar lainnya 5. Surat berharga yang diterbitkan (I.2.5) 6. Utang klaim penjaminan 7. Pinjaman yang diterima (I.2.6) a. Pemerintah Republik Indonesia Pos-pos Rupiah Valas Jumlah .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 12 - No. Pos-pos b. pemerintah asing c. lembaga multilateral d. bank/lembaga keuangan 1) dalam negeri 2) luar negeri 8. Imbalan pasca kerja 9. Liabilitas pajak tangguhan 10. Liabilitas lain-lain TOTAL LIABILITAS C. EKUITAS 1. Modal a. modal disetor b. agio c. disagio -/- 2. Cadangan a. cadangan umum b. cadangan tujuan c. cadangan lainnya 3. Hibah (I.2.7) 4. Saldo laba (rugi) a. laba b. rugi -/- 5. Laba (rugi) tahun berjalan a. laba b. rugi -/- 6. Pendapatan komprehensif lainnya: a. keuntungan b. kerugian -/- TOTAL EKUITAS TOTAL LIABILITAS DAN EKUITAS Petunjuk pengisian: Neraca PPI pelapor disajikan dalam mata uang rupiah. Aset, liabilitas, dan ekuitas dalam mata uang rupiah dilaporkan pada kolom rupiah, sedangkan aset, liabilitas, dan ekuitas dalam valuta asing (valas) dilaporkan pada kolom valuta asing (valas). Rupiah .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... Valas .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... Jumlah .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... .......... LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 13 - Untuk PPI pelapor yang berbadan hukum koperasi dapat melakukan penyesuaian atas penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik koperasi. A. ASET 1. Kas Adalah uang kartal yang ada dalam kas berupa uang kertas dan uang logam, yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia. Termasuk pula dalam pengertian kas adalah uang kertas dan uang logam asing yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Commemorative coin dan commemorative note yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dilaporkan pada aset lain-lain. 2. Penempatan pada bank Adalah simpanan PPI pelapor dalam rupiah dan valuta asing di bank, misalnya simpanan dalam rekening giro, deposito berjangka, dan rekening simpanan lainnya pada bank. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.1 Daftar Rincian Penempatan Pada Bank. 3. Surat berharga yang dimiliki Adalah penempatan dana PPI pelapor dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara, dan/atau instrumen keuangan lainnya yang mempunyai peringkat investasi. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.2 Daftar Rincian Surat Berharga Yang Dimiliki. 4. Pendapatan yang masih akan diterima Adalah pendapatan PPI pelapor yang telah diakui pada periode laporan namun belum diterima pembayarannya seperti pendapatan dari pemberian jasa konsultasi, bunga pinjaman dan bunga penempatan dana yang belum diterima pembayarannya. 5. Pinjaman yang diberikan Pos ini dirinci atas: a. pinjaman langsung Adalah penyediaan uang dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara PPI pelapor dengan pihak lain. b. refinancing Adalah penyediaan uang dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara PPI pelapor dengan pihak lain melalui mekanisme pembiayaan ulang atas infrastruktur yang telah dibiayai oleh pihak lain. c. pinjaman subordinasi Adalah pinjaman yang diberikan PPI pelapor kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur dengan jangka waktu minimal LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 14 - 5 (lima) tahun dan dalam hal terjadi likuidasi, hak tagihnya berlaku paling akhir dari semua pinjaman. d. lain-lain Adalah pinjaman yang diberikan PPI pelapor kepada pihak lain yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur dan tidak termasuk dalam kategori pinjaman sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.3 Daftar Rincian Pinjaman Yang Diberikan. 6. Penyertaan modal Adalah penanaman dana dalam bentuk kepemilikan pada PPI lain dan/atau perusahaan yang bergerak dalam proyek infrastruktur. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.4 Daftar Rincian Penyertaan Modal. 7. Cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan Adalah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan. Pos ini dirinci atas cadangan penurunan nilai aset keuangan berupa: a. penempatan pada bank b. surat berharga yang dimiliki c. pinjaman yang diberikan d. lain-lain 8. Aset tidak berwujud Adalah aset yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki PPI pelapor untuk digunakan dalam kegiatan operasional selama lebih dari satu tahun. Akumulasi amortisasi aset tidak berwujud Adalah akumulasi sampai dengan akhir triwulan laporan dari alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya. 9. Aset tetap Adalah aset berwujud yang dimiliki PPI pelapor dan digunakan dalam kegiatan operasional untuk digunakan selama lebih dari satu tahun. Akumulasi penyusutan aset tetap Adalah akumulasi sampai dengan akhir triwulan laporan dari alokasi sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya. 10. Aset pajak tangguhan Adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (revocable) pada periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan dan sisa kompensasi kerugian. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 15 - 11. Aset lain-lain Adalah aset yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari pos 1 sampai dengan 10 di atas. Dalam pos ini dimasukkan pula commemorative coin/note yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. B. LIABILITAS 1. Beban yang masih harus dibayar Adalah beban-beban yang telah terjadi namun belum ditunaikan pembayarannya seperti beban gaji, beban sewa, beban konsultasi, dan beban bunga. 2. Utang pajak Adalah jumlah pajak-pajak terutang yang harus dibayar oleh PPI pelapor. 3. Pendapatan diterima dimuka Adalah pendapatan yang telah diterima pembayarannya oleh PPI pelapor namun belum diakui sebagai pendapatan pada tanggal neraca seperti bagian penerimaan fee penjaminan dan pembayaran dimuka atas jasa konsultasi yang akan dilakukan. 4. Liabilitas lancar lainnya Adalah liabilitas lancar yang tidak termasuk dalam klasifikasi liabilitas lancar di atas. 5. Surat berharga yang diterbitkan Adalah surat pengakuan utang berjangka pendek, menengah, dan panjang dalam rupiah dan valuta asing baik atas nama maupun atas unjuk yang diterbitkan oleh PPI pelapor yang dibeli atau dimiliki oleh pihak lain. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.5 Daftar Rincian Surat Berharga yang Diterbitkan. 6. Utang klaim penjaminan Adalah utang yang timbul sehubungan dengan adanya persetujuan atas klaim yang diajukan oleh penerima jaminan yang belum dibayar oleh PPI pelapor. Utang klaim diakui dan dicatat pada saat klaim disetujui untuk dibayar (claim settled). 7. Pinjaman yang diterima Adalah pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan/atau jangka panjang dalam rupiah dan valuta asing yang diterima PPI pelapor dari Pemerintah Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan bank serta lembaga keuangan, baik dari dalam maupun luar negeri. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.6 Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima. 8. Imbalan pasca kerja Adalah imbalan kerja selain pesangon pemutusan kontrak kerja dan imbalan berbasis ekuitas yang terutang setelah pekerja menyelesaikan masa kerjanya. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 16 - 9. Liabilitas pajak tangguhan Adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak. 10. Liabilitas lain-lain Adalah liabilitas yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari pos 1 sampai dengan 9 di atas. C. EKUITAS 1. Modal a. modal disetor Adalah modal disetor PPI pelapor sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. agio Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh PPI pelapor sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya. c. disagio Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah selisih kurang setoran modal sebagai akibat harga saham lebih rendah dari nilai nominalnya. 2. Cadangan Adalah cadangan-cadangan yang dibentuk menurut ketentuan anggaran dasar dan/atau keputusan pemilik/rapat pemegang saham. Dalam pengertian ini meliputi: a. cadangan umum Yang dimasukkan ke dalam subpos ini adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan laba bersih setelah dikurangi pajak yang digunakan untuk menutup kerugian yang timbul dari pelaksanaan kegiatan usaha PPI pelapor. b. cadangan tujuan Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah bagian laba setelah dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu. c. cadangan lainnya Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah cadangan yang tidak termasuk dalam cadangan umum dan cadangan tujuan pada butir a dan b, antara lain cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aset tetap. 3. Hibah Adalah hibah yang diterima PPI pelapor dari pihak lain. Hibah dilaporkan dalam rupiah. Dalam hal hibah diterima dalam valuta asing, hibah tersebut harus dikonversikan ke dalam rupiah. Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.7 Daftar Rincian Hibah yang Diterima. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 17 - 4. Saldo laba (rugi) Yang dimasukkan ke dalam pos ini adalah saldo laba (rugi) yang ditahan (ditanggung) oleh PPI pelapor pada periode awal tahun. Pos ini dirinci atas: a. laba b. rugi 5. Laba (rugi) tahun berjalan Yang dimasukkan ke dalam pos ini adalah laba (rugi) PPI pelapor selama periode akuntansi sampai dengan tanggal laporan. Pos ini dirinci atas: a. laba b. rugi 6. Pendapatan komprehensif lainnya a. keuntungan Yang dimasukkan ke dalam pos ini antara lain adanya potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar surat berharga dalam kelompok tersedia untuk dijual. b. kerugian Yang dimasukkan ke dalam pos ini antara lain adanya potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar surat berharga dalam kelompok tersedia untuk dijual. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 18 - FORMULIR I.2.1 : DAFTAR RINCIAN PENEMPATAN PADA BANK PT/Koperasi …………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I No 1. 2. 3. dst Petunjuk pengisian: Pada daftar rincian ini dilaporkan posisi penempatan dana PPI pelapor pada bank dimana PPI pelapor akan menerima imbal hasil tertentu. Dalam sistem pelaporan ini setiap rekening penempatan pada bank harus dilaporkan secara individual. Guna penyederhanaan laporan, pada daftar rincian ini dapat dilakukan penggabungan sepanjang memiliki karakteristik yang sama. I. No Cukup jelas. II. Nama bank Diisi dengan nama lengkap bank tempat PPI pelapor menempatkan dana. III. Hubungan dengan PPI Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan bank. 1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah: a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara signifikan; c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1. II Nama bank III Hubungan dengan PPI IV Jenis V Jenis valuta VI Jangka waktu VII Suku bunga VIII Nominal Periode lalu IX Jumlah Periode laporan X Pendapatan bunga yang akan diterima LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 19 - 2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah: Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2. IV. Jenis Yaitu bentuk simpanan dana PPI pelapor pada bank dalam rupiah dan valuta asing. Diisi dengan sandi berupa nomor sebagai berikut: 1. Giro 2. Deposit on call 3. Deposito berjangka 4. Sertifikat deposito 5. Lain-lain Penempatan dana PPI pada bank selain jenis 1 sampai dengan 4 di atas. V. Jenis valuta Diisi dengan jenis valuta penempatan dana PPI pelapor pada bank seperti US dollar, yen, Singapore dollar, dan sebagainya. VI. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu jatuh tempo simpanan dana PPI pelapor pada bank. VII. Suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga simpanan dana PPI pelapor pada bank. VIII. Nominal Yaitu nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak yang diperjanjikan. IX. Jumlah Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar. 1. Periode lalu Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya. 2. Periode laporan Diisi dengan jumlah pada periode laporan. X. Pendapatan bunga yang akan diterima Diisi dengan pendapatan bunga yang telah diakui pada tanggal laporan namun belum diterima pembayarannya. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 20 - FORMULIR I.2.2 : DAFTAR RINCIAN SURAT BERHARGA YANG DIMILIKI PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I II Jenis Jenis valuta III Nama penerbit IV Negara penerbit V Kategori pengukuran VI Jangka waktu Tanggal penerbitan Jatuh tempo VII Suku bunga Tingkat suku bunga Jenis suku bunga Nominal VIII IX Harga perolehan X Premium/ diskonto XI Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar) Periode lalu Periode laporan XII Cadangan kerugian penurunan nilai Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 21 - Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini melaporkan posisi surat berharga yang dimiliki PPI pelapor dalam rupiah dan valuta asing. Pada dasarnya setiap rekening surat berharga harus dilaporkan secara individual. Namun demikian guna penyederhanaan laporan, pelaporan surat berharga pada daftar rincian ini dapat dilakukan penggabungan sepanjang surat berharga diterbitkan oleh penerbit yang sama dan memiliki karakteristik yang sama. I. Jenis Diisi dengan salah satu bentuk surat berharga yang dimiliki PPI pelapor sebagai berikut: 1. Surat Utang Negara 2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 3. Lainnya II. Jenis valuta Diisi dengan jenis valuta surat berharga. III. Nama penerbit Diisi dengan nama pihak yang menjadi penerbit surat berharga. IV. Negara penerbit Diisi dengan nama negara tempat penerbit berdomisili. V. Kategori pengukuran Diisi dengan kategori pengukuran untuk aset keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan, yaitu: 1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi a. diperdagangkan. b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi. 2. Pinjaman yang diberikan dan piutang. 3. Dimiliki hingga jatuh tempo. 4. Tersedia untuk dijual. VI. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu dari surat berharga yang dimiliki PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penerbitan awal yang tercantum dalam perjanjian. 2. Jatuh tempo Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 22 - VII. Suku bunga 1. Tingkat suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga surat berharga sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 2. Jenis suku bunga Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut: a. tetap (Fixed) Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. b. variabel Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. VIII. Nominal Diisi dengan nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak yang diperjanjikan. IX. Harga perolehan Diisi dengan jumlah dana yang dikeluarkan PPI pelapor untuk membeli surat berharga. X. Premium/diskonto Diisi dengan sisa premium/diskonto dalam rupiah atau valuta asing yang belum diamortisasi. XI. Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar) Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar. 1. Periode lalu Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya. 2. Periode laporan Diisi dengan jumlah pada periode laporan. XII. Cadangan kerugian penurunan nilai Adalah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 23 - FORMULIR I.2.3 : DAFTAR RINCIAN PINJAMAN YANG DIBERIKAN PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I No. perjanjian II No. rekening III Jumlah rekening IV Nama peminjam V Hubungan dengan PPI VI Jenis pinjaman VII Jenis penggunaan VIII Jenis valuta IX Jenis infrastruktur X Kategori pengukuran Tanggal penerbitan Jatuh tempo Tingkat suku bunga Jenis suku bunga XI Jangka waktu XII Suku bunga Plafon Nominal XIII XIV XV Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar) Periode lalu Periode laporan XVI Cadangan kerugian penurunan nilai Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 24 - Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini melaporkan semua realisasi pemberian pinjaman dalam rupiah dan valuta asing. Pinjaman yang diberikan dalam rangka pembiayaan bersama/konsorsium/sindikasi baik PPI pelapor berperan sebagai arranger maupun participant dilaporkan sebesar tagihan PPI pelapor kepada peminjam yang bersangkutan atau sebesar pangsa PPI pelapor. Pada dasarnya setiap rekening pinjaman yang diberikan harus dilaporkan secara individual. Namun demikian guna penyederhanaan laporan, pelaporan pinjaman yang diberikan pada daftar rincian ini dapat dilakukan penggabungan sepanjang pinjaman diberikan pada debitur yang sama dan pinjaman yang diberikan memiliki karakteristik yang sama. I. No. perjanjian Diisi dengan nomor yang tercantum dalam perjanjian pinjaman (pinjaman langsung, refinancing, pinjaman subordinasi). II. No. rekening Diisi dengan nomor rekening pinjaman. III. Jumlah rekening Diisi dengan jumlah rekening pinjaman yang diberikan kepada peminjam. IV. Nama peminjam Diisi dengan nama peminjam yang menandatangani perjanjian pinjaman. V. Hubungan dengan PPI Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan peminjam. 1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah: a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara signifikan; c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1. 2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah: Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 25 - Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2. VI. Jenis pinjaman Diisi dengan sandi berupa nomor jenis pinjaman yang diberikan oleh PPI, yaitu: 1. Pinjaman langsung 2. Refinancing 3. Pinjaman subordinasi 4. Lainnya VII. Jenis penggunaan Diisi dengan salah satu tujuan penggunaan pinjaman sebagai berikut: 1. modal kerja Yaitu pembiayaan jangka pendek untuk membiayai keperluan modal kerja peminjam. 2. investasi Yaitu pembiayaan jangka menengah atau panjang untuk pembangunan proyek infrastruktur. 3. lainnya Yaitu pembiayaan yang diberikan oleh PPI pelapor kepada pihak lain dengan tujuan pembiayaan selain angka 1 dan angka 2. VIII. Jenis valuta Diisi dengan jenis valuta yang digunakan dalam pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian. IX. Jenis infrastruktur Diisi dengan sandi berupa nomor jenis infrastruktur, sebagai berikut: 1. Infrastruktur transportasi 2. Infrastruktur jalan 3. Infrastruktur pengairan 4. Infrastruktur air minum 5. Infrastruktur air limbah 6. Infrastruktur telekomunikasi 7. Infrastruktur ketenagalistrikan 8. Infrastruktur minyak dan gas bumi 9. Multisektor (lebih dari 1 jenis) 10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas persetujuan Menteri. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 26 - X. Kategori pengukuran Diisi dengan kategori pengukuran untuk aset keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan, yaitu: 1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi a. diperdagangkan b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi 2. Pinjaman yang diberikan dan piutang 3. Dimiliki hingga jatuh tempo 4. Tersedia untuk dijual XI. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu pinjaman yang diberikan oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun pemberian pinjaman yang tercantum dalam perjanjian. 2. Jatuh tempo Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. XII. Suku bunga 1. Tingkat suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga yang digunakan dalam pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian/akad. 2. Jenis suku bunga Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut: a. tetap (fixed) Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. b. variabel Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. XIII. Plafon Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh peminjam sebagaimana tercantum dalam surat perjanjian. XIV. Nominal Diisi dengan saldo baki debet pada tanggal laporan. XV. Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar) Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 27 - perolehan diamortisasi atau nilai wajar. 1. Periode lalu Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya. 2. Periode laporan Diisi dengan jumlah pada periode laporan. XVI. Cadangan kerugian penurunan nilai Diisi dengan jumlah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan. Untuk pinjaman yang mengalami kegagalan/keterlambatan pembayaran cicilan pokok maupun bunga namun belum dilakukan penurunan nilai maka wajib diungkapkan sesuai dengan format sebagai berikut: 1. Nomor rekening peminjam; 2. Nama peminjam; dan 3. Nilai pinjaman yang lewat waktu, yang dirinci menjadi: a. nilai pinjaman yang lewat waktu sampai dengan 30 hari; b. nilai pinjaman yang lewat waktu antara 31 hari sampai dengan 60 hari; c. nilai pinjaman yang lewat waktu antara 61 hari sampai dengan 90 hari; dan d. nilai pinjaman yang lewat waktu lebih dari 90 hari. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 28 - FORMULIR I.2.4 : DAFTAR RINCIAN PENYERTAAN MODAL PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I Nama investee II Metode penyertaan III Jenis valuta IV Tujuan penyertaan V Waktu penyertaan VI Bagian penyertaan VII Nilai perolehan VIII Jumlah IX Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Jumlah Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini melaporkan posisi penyertaan PPI pelapor pada pihak lain, termasuk penyertaan dalam rangka restrukturisasi pinjaman yang diberikan. Sesuai ketentuan PMK Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, penyertaan hanya dapat dilakukan pada PPI lain dan/atau perusahaan yang bergerak dalam proyek infrastruktur. I. Nama investee Diisi dengan nama perusahaan investee tempat PPI pelapor melakukan penyertaan. II. Metode penyertaan Diisi dengan salah satu metode penyertaan sebagai berikut: 1. Metode biaya (cost method) Metode akuntansi yang mencatat investasi sebesar biaya perolehan. Penghasilan baru diakui oleh investor apabila investee mendistribusikan laba bersih (kecuali dividen saham) yang berasal dari laba setelah tanggal perolehan. 2. Metode ekuitas (equity method) Metode akuntansi yang mencatat investasi pada mulanya sebesar biaya perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk perubahan dalam bagian kepemilikan investor atas aset bersih investee yang terjadi setelah perolehan. Laporan laba rugi investor merefleksikan bagian laba atau rugi investor atas hasil usaha investee. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 29 - III. Jenis valuta Diisi dengan jenis mata uang yang digunakan dalam melakukan transaksi antara PPI pelapor dengan investee. IV. Tujuan penyertaan Diisi dengan salah satu tujuan penyertaan sebagai berikut: 1. Penyertaan modal Yaitu penyertaan modal pada PPI lain dan/atau perusahaan yang bergerak dalam proyek infrastruktur. 2. Penyertaan modal sementara Yaitu penyertaan modal oleh PPI pelapor pada perusahaan peminjam untuk mengatasi kegagalan pembayaran pinjaman (debt to equity swap), sesuai ketentuan yang berlaku. V. Waktu penyertaan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun efektif dimulainya penyertaan pada perusahaan investee. VI. Bagian penyertaan Diisi dengan persentase penyertaan pada perusahaan investee. VII. Nilai perolehan Diisi dengan nilai perolehan pada saat melakukan penyertaan. VIII. Jumlah Diisi dengan nilai penyertaan pada tanggal laporan. IX. Cadangan kerugian penurunan nilai Diisi dengan jumlah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 30 - FORMULIR I.2.5 : DAFTAR RINCIAN SURAT BERHARGA YANG DITERBITKAN PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I Jenis II Jenis valuta III Pembeli IV Negara pembeli V Kategori pengukuran Tanggal penerbitan VI Jangka waktu Jatuh tempo Tingkat suku bunga VII Suku bunga Jenis suku bunga Nominal VIII IX Premium/diskonto yang belum diamortisasi Periode lalu X Jumlah Periode laporan Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 31 - Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini melaporkan seluruh posisi surat pengakuan utang jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing baik atas nama maupun atas unjuk yang diterbitkan oleh PPI pelapor yang dibeli atau dimiliki oleh pihak lain. I. Jenis Diisi dengan jenis surat berharga yang diterbitkan, misalnya medium term notes (MTN) atau obligasi. II. Jenis valuta Diisi dengan jenis valuta surat berharga. III. Pembeli Diisi dengan nama pembeli surat berharga. IV. Negara pembeli Diisi dengan negara domisili dari pihak-pihak membeli surat berharga yang diterbitkan oleh PPI pelapor. V. Kategori pengukuran Diisi dengan kategori pengukuran untuk liabilitas keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan, yaitu: 1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi a. diperdagangkan b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi 2. Diukur pada biaya perolehan diamortisasi VI. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu dari surat berharga yang diterbitkan oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penerbitan awal yang tercantum dalam perjanjian. 2. Jatuh tempo Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. VII. Suku bunga 1. Tingkat suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga surat berharga yang diterbitkan oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 32 - 2. Jenis suku bunga a. tetap (fixed) Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. b. variabel Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. VIII. Nominal Diisi dengan nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak yang diperjanjikan. IX. Premium/diskonto yang belum diamortisasi Diisi dengan sisa premium/diskonto dalam rupiah atau valuta asing yang belum diamortisasi. X. Jumlah Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari liabilitas keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar. 1. Periode lalu Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya. 2. Periode laporan Diisi dengan jumlah pada periode laporan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 33 - FORMULIR I.2.6 : DAFTAR RINCIAN PINJAMAN YANG DITERIMA PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I Sumber II Jenis III Jenis valuta IV Kreditur V Negara kreditur VI Kategori pengukuran Tanggal penerbitan VII Jangka waktu Jatuh tempo Tingkat suku bunga VIII Suku bunga Jenis suku bunga Plafon Nominal IX X Periode lalu XI Jumlah Periode laporan Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 34 - Petunjuk pengisian: I. Sumber Diisi dengan sandi berupa nomor untuk sumber pinjaman sebagai berikut: 1. Pemerintah Republik Indonesia; 2. Pemerintah asing; 3. Lembaga multilateral; 4. Bank serta lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri. II. Jenis Diisi dengan sandi berupa nomor untuk jenis pinjaman sebagai berikut: 1. Senior debt Pinjaman yang memiliki prioritas dibanding pinjaman lainnya dalam hal pembayaran 2. Subordinasi Pinjaman yang memenuhi kriteria subordinasi. 3. Lainnya Pinjaman selain angka 1 dan 2 di atas . III. Jenis valuta Diisi dengan jenis mata uang pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor. IV. Kreditur Diisi dengan nama kreditur yang memberikan pinjaman kepada PPI pelapor. V. Negara pihak kreditur Diisi dengan nama negara domisili dari pihak-pihak yang memberikan pinjaman kepada PPI pelapor. VI. Kategori pengukuran Diisi dengan kategori pengukuran untuk liabilitas keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan, yaitu: 1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi a. diperdagangkan b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi 2. Diukur pada biaya perolehan diamortisasi. VII. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu dari pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Yaitu tanggal, bulan, dan tahun pinjaman diterima yang tercantum dalam perjanjian. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 35 - 2. Jatuh tempo Yaitu tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. VIII. Suku bunga 1. Tingkat suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga pinjaman yang diterima sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 2. Jenis suku bunga Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut: a. tetap (fixed) Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. b. variabel Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. IX. Plafon Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. X. Nominal Diisi dengan nilai pinjaman yang telah ditarik. XI. Jumlah Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari liabilitas keuangan sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar. 1. Periode lalu Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya. 2. Periode laporan Diisi dengan jumlah pada periode laporan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 36 - FORMULIR I.2.7 : DAFTAR RINCIAN HIBAH YANG DITERIMA PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tahun ………. I Pemberi hibah II Hubungan dengan PPI III Negara asal IV Jenis V Jumlah Jumlah Petunjuk pengisian: Daftar rincian ini melaporkan posisi hibah yang diterima PPI pelapor dari pihak lain. Hibah dilaporkan dalam rupiah. Dalam hal hibah diterima dalam valuta asing, dilaporkan ke dalam rupiah menurut kurs tengah Bank Indonesia pada saat hibah tersebut diterima. I. Pemberi hibah Diisi dengan nama pihak pemberi hibah. II. Hubungan dengan PPI Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan pemberi hibah. 1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah: a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara signifikan; c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 37 - 2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah: Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2. III. Negara asal Diisi dengan nama negara domisili dari pihak-pihak yang memberikan hibah kepada PPI pelapor. IV. Jenis Diisi dengan jenis hibah yang diterima, misalnya tunai. V. Jumlah Diisi dengan nilai hibah yang diterima. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 38 - FORMULIR I.3 : LAPORAN LABA RUGI PT/Koperasi ……………………………… Periode Yang Berakhir Tanggal …..... Tahun ….… (dalam jutaan rupiah) Jumlah Pos-pos I. PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL 1. Pendapatan Operasional a. pendapatan bunga, provisi, dan fee pinjaman yang diberikan 1) pinjaman langsung 2) refinancing 3) pinjaman subordinasi 4) lainnya b. pendapatan fee penjaminan c. pendapatan jasa konsultasi d. pendapatan dividen e. pendapatan bunga investasi f. peningkatan nilai wajar aset keuangan g. penurunan nilai wajar liabilitas keuangan h. keuntungan penjualan aset keuangan i. j. keuntungan dari penyertaan modal dengan metode ekuitas pendapatan operasional lainnya Jumlah pendapatan operasional 2. Beban Operasional a. bunga pinjaman, provisi dan fee 1) bunga pinjaman 2) beban provisi dan fee b. beban klaim penjaminan c. penurunan nilai wajar aset keuangan d. peningkatan nilai wajar liabilitas keuangan e. kerugian penjualan aset keuangan f. kerugian dari penyertaan modal dengan metode ekuitas g. beban penurunan nilai aset keuangan 1) penempatan pada bank 2) surat berharga yang dimiliki 3) pinjaman yang diberikan 4) lainnya h. beban gaji dan tunjangan beban pengembangan usaha beban depresiasi dan amortisasi i. j. k. beban umum dan administrasi l. beban operasional lainnya Jumlah beban operasional Rupiah Valas ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 39 - Pos-pos II. LABA/RUGI OPERASIONAL 1. Laba operasional 2. Rugi operasional III. PENDAPATAN DAN BEBAN NON OPERASIONAL 1. Pendapatan non operasional 2. Beban non operasional IV. LABA/RUGI SEBELUM PAJAK PENGHASILAN 1. Laba sebelum pajak penghasilan 2. Rugi sebelum pajak penghasilan V. PAJAK PENGHASILAN 1. Taksiran pajak penghasilan -/- 2. Pajak tangguhan a. beban pajak tangguhan -/- b. pendapatan pajak tangguhan VI. LABA/RUGI BERSIH 1. Laba bersih 2. Rugi bersih Rupiah Valas ……… ……… ……… ……… Jumlah ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… ……… Petunjuk pengisian: Laporan laba rugi PPI pelapor disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan gambaran mengenai hasil usaha PPI pelapor dalam suatu periode tertentu. Yang dimasukkan ke dalam laporan laba rugi adalah angka-angka kumulatif pendapatan dan beban PPI pelapor dalam rupiah dan valuta asing sejak awal tahun buku sampai dengan tanggal laporan. Pendapatan dan beban dalam rupiah dimasukkan dalam kolom rupiah, sedangkan pendapatan dan beban dalam valuta asing dimasukkan dalam kolom valas. Laporan laba rugi PPI pelapor disusun dalam bentuk berjenjang (multiple steps) yang menggambarkan pendapatan atau beban yang berasal dari kegiatan PPI pelapor. Cara penyajian laporan laba rugi PPI pelapor adalah sebagai berikut: 1. Memuat secara rinci unsur pendapatan dan beban; dan 2. Unsur pendapatan dan beban harus dibedakan antara pendapatan dan beban yang berasal dari kegiatan operasional dan bukan operasional. Laporan Laba Rugi dirinci sebagai berikut : I. PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL 1. Pendapatan Operasional Adalah semua pendapatan dalam rupiah dan valuta asing yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan operasional. a. pendapatan bunga, provisi, dan fee pinjaman yang diberikan Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian pinjaman. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 40 - 1) pinjaman langsung Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak dikapitalisasi yang diperoleh PPI dari kegiatan pemberian pinjaman secara langsung. 2) refinancing Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian pinjaman melalui mekanisme refinancing. 3) pinjaman subordinasi Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian pinjaman subordinasi. 4) lainnya Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari jenis kegiatan pemberian pinjaman lainnya. b. pendapatan fee penjaminan Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor sebagai imbalan atas pemberian jasa penjaminan. c. pendapatan jasa konsultasi Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor dari pemberian jasa konsultasi d. pendapatan dividen Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor dari pembagian laba atas investasi berupa penyertaan modal. e. pendapatan bunga investasi Adalah pendapatan bunga yang diperoleh PPI pelapor dari penempatan dana, antara lain dalam bentuk deposito berjangka, Sertifikat Bank Indonesia, Surat Utang Negara, dan surat-surat berharga lainnya. f. peningkatan nilai wajar aset keuangan Adalah potensi keuntungan yang belum direalisasikan dari surat berharga dan aset keuangan lainnya yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan selisih positif antara nilai wajar surat berharga dan aset keuangan lainnya pada tanggal laporan dan nilai wajar surat berharga dan aset keuangan lainnya pada periode sebelumnya. g. penurunan nilai wajar liabilitas keuangan Adalah potensi keuntungan yang belum terealisasi dari liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan selisih negatif antara nilai wajar liabilitas keuangan pada tanggal laporan dan nilai wajar liabilitas keuangan tersebut pada periode sebelumnya. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 41 - h. keuntungan penjualan aset keuangan Adalah keuntungan yang dapat direalisasikan dari penjualan aset keuangan. i. keuntungan dari penyertaan modal dengan metode ekuitas (equity method) Adalah keuntungan yang diperoleh PPI pelapor dari penyertaan modal pada perusahaan lain (investee) dengan metode ekuitas, yang merupakan pengakuan secara proporsional atas perolehan laba bersih investee. j. pendapatan operasional lainnya Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor selain pendapatan operasional dalam kelompok a sampai dengan i di atas. 2. Beban Operasional Adalah semua beban dalam rupiah dan valuta asing yang dikeluarkan PPI pelapor untuk kegiatan operasional. a. bunga pinjaman, provisi, dan fee 1) bunga pinjaman Adalah semua beban bunga yang dikeluarkan oleh PPI pelapor berkaitan dengan pendanaan yang diterima. 2) beban provisi dan fee Adalah biaya provisi dan fee yang tidak dikapitaliasi yang dikeluarkan oleh PPI pelapor berkaitan dengan pendanaan yang diterima. b. beban klaim penjaminan Adalah beban klaim yang timbul sehubungan dengan kegiatan penjaminan. c. penurunan nilai wajar aset keuangan Adalah potensi kerugian yang belum direalisasikan dari surat berharga dan aset keuangan lainnya yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan selisih negatif antara nilai wajar surat berharga dan aset keuangan lainnya pada tanggal laporan dan nilai wajar surat berharga dan aset keuangan lainnya pada periode sebelumnya. d. peningkatan nilai wajar liabilitas keuangan Adalah potensi kerugian yang belum terealisasi dari liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan selisih positif antara nilai wajar liabilitas keuangan pada tanggal laporan dan nilai wajar liabilitas keuangan tersebut pada periode sebelumnya. e. kerugian penjualan aset keuangan Adalah kerugian yang direalisasikan dari penjualan aset keuangan. f. kerugian dari penyertaan modal dengan metode ekuitas (equity method) Adalah kerugian yang diperoleh PPI pelapor dari penyertaan modal pada perusahaan lain (investee) dengan metode ekuitas, yang merupakan pengakuan secara proporsional atas kerugian yang dialami investee. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 42 - g. beban penurunan nilai aset keuangan Adalah beban pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan, yang dirinci berdasarkan jenis aset keuangan yaitu penempatan pada bank, surat berharga yang dimiliki, pinjaman yang diberikan, dan aset keuangan lainnya. h. beban gaji dan tunjangan Adalah beban gaji pokok, upah, tunjangan, honorarium, dan beban sumber daya manusia lainnya di luar gaji, upah, tunjangan, dan honorarium. i. beban pengembangan usaha Adalah beban yang terkait langsung dengan kegiatan usaha PPI pelapor antara lain beban konsultan, beban survey lapangan, dan biaya kegiatan lainnya, tidak termasuk beban gaji dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada butir h di atas. j. beban depresiasi dan amortisasi Adalah beban depresiasi aset tetap dan beban amortisasi aset tidak berwujud. k. beban umum dan administrasi Adalah beban operasional yang dapat dikelompokkan ke dalam beban umum dan administrasi, antara lain beban sewa dan beban operasional kantor. l. beban operasional lainnya Adalah beban operasional yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari kelompok a sampai dengan k di atas. II. LABA (RUGI) OPERASIONAL 1. Laba operasional Adalah selisih positif dari pendapatan operasional dikurangi beban operasional. 2. Rugi operasional Adalah selisih negatif dari pendapatan operasional dikurangi beban operasional. III. PENDAPATAN DAN BEBAN NON OPERASIONAL 1. Pendapatan non operasional Adalah semua pendapatan/keuntungan yang diperoleh selain dari kegiatan utama PPI pelapor, antara lain keuntungan penjualan aset tetap. 2. Beban non operasional Adalah semua beban/kerugian yang ditanggung PPI pelapor yang tidak terkait dengan kegiatan usaha PPI pelapor. IV. LABA (RUGI) SEBELUM PAJAK PENGHASILAN 1. Laba sebelum pajak penghasilan Adalah selisih positif dari laba (rugi) operasional ditambah/dikurangi pendapatan/beban non operasional. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 43 - 2. Rugi sebelum pajak penghasilan Adalah selisih negatif dari laba (rugi) operasional ditambah/dikurangi pendapatan/beban non operasional. V. PAJAK PENGHASILAN 1. Taksiran pajak penghasilan Adalah taksiran pajak penghasilan yang dihitung atas laba periode tahun berjalan sampai dengan tanggal laporan. 2. Pajak tangguhan a. beban pajak tangguhan Adalah besarnya beban pajak tangguhan terkait dengan besarnya liabilitas pajak tangguhan yang diakui untuk periode tahun berjalan sampai dengan tanggal laporan. Pos ini disajikan di laporan laba rugi atas dasar kompensasi (offset) dengan pos Pendapatan Pajak Tangguhan. b. pendapatan pajak tangguhan Adalah besarnya pendapatan pajak tangguhan terkait dengan besarnya aset pajak tangguhan yang diakui untuk periode tahun berjalan sampai dengan tanggal laporan. Pos ini disajikan di laporan laba rugi atas dasar kompensasi (offset) dengan pos Beban Pajak Tangguhan. VI. LABA (RUGI) BERSIH 1. Laba bersih Adalah laba setelah pajak penghasilan pada periode berjalan. 2. Rugi bersih Adalah rugi setelah pajak penghasilan pada periode berjalan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 44 - FORMULIR I.4 : LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS PT/Koperasi ……………………………… Periode Yang Berakhir Tanggal……. Tahun ………. Keterangan I. II. Saldo awal tahun Perubahan kebijakan akuntansi III. Koreksi tahun sebelumnya IV. V. Saldo awal tahun yang disajikan kembali Selisih penilaian kembali aset tetap VI. Keuntungan (kerugian) belum direalisasikan dari pemilikan aset keuangan VII. Keuntungan (kerugian) neto yang tidak diakui pada laporan laba rugi VIII. Laba/Rugi bersih periode berjalan IX. Pembentukan cadangan X. Dividen XI. Penerbitan saham XII. Lain-lain XIII. Saldo per triwulan laporan Modal disetor Agio (Disagio) Umum Cadangan Tujuan (dalam jutaan rupiah) Pendapatan Lainnya Hibah Saldo laba komprehensif lainnya Jumlah ekuitas LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 45 - Petunjuk pengisian: Laporan perubahan ekuitas merupakan laporan yang menunjukkan perubahan ekuitas PPI pelapor yang menggambarkan peningkatan atau penurunan aset bersih atau kekayaan perusahaan selama periode laporan yaitu sejak awal tahun sampai dengan periode laporan triwulan berjalan. Untuk PPI yang berbadan hukum koperasi dapat melakukan penyesuaian atas penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik koperasi. Setiap transaksi yang mempengaruhi nilai ekuitas dilaporkan pada pos-pos ekuitas yang sesuai, yaitu: 1. Modal disetor. 2. Agio (Disagio) 3. Cadangan, yang terdiri dari: a. cadangan umum b. cadangan tujuan c. cadangan lainnya 4. Hibah 5. Saldo Laba 6. Pendapatan komprehensif lainnya Transaksi-transaksi yang mempengaruhi ekuitas dirinci sebagai berikut: I. II. Perubahan kebijakan akuntansi Adalah jumlah penyesuaian terhadap saldo awal pos-pos ekuitas yang berubah akibat terjadinya perubahan kebijakan akuntansi pada periode berjalan. III. Koreksi tahun sebelumnya Adalah jumlah penyesuaian terhadap saldo awal pos-pos ekuitas yang berubah akibat terjadinya kesalahan pencatatan tahun sebelumnya yang baru diketahui pada periode berjalan. IV. Saldo awal tahun yang disajikan kembali Adalah jumlah saldo awal tahun periode laporan pos-pos ekuitas setelah penyesuian akibat perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi tahun sebelumnya. V. Selisih penilaian kembali aset tetap Adalah keuntungan/kerugian dari penilaian kembali aset tetap. VI. Keuntungan (kerugian) belum direalisasikan dari pemilikan aset keuangan Adalah keuntungan/kerugian yang belum dapat diakui sebagai pendapatan pada laporan laba rugi dari kepemilikan aset keuangan. VII. Keuntungan (kerugian) neto yang tidak diakui pada laporan laba rugi Adalah keuntungan (kerugian) yang diakui pada pendapatan komprehensif lainnya. Saldo awal tahun Adalah saldo awal tahun periode laporan untuk masing-masing pos ekuitas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 46 - VIII. Laba (Rugi) bersih periode berjalan Adalah laba (rugi) bersih kumulatif sejak awal tahun sampai dengan triwulan laporan. IX. Pembentukan cadangan Adalah pembentukan cadangan dari penyisihan laba bersih setelah dikurangi pajak (cadangan umum) atau penyisihan bagian laba setelah dikurangi pajak untuk tujuan tertentu (cadangan tujuan) yang dilakukan oleh PPI pelapor. X. Dividen Adalah jumlah dividen yang dibayarkan oleh PPI pelapor selama awal tahun sampai dengan triwulan laporan. XI. Penerbitan saham Adalah jumlah yang diterima PPI pelapor dari penerbitan saham baru. XII. Lain-lain Adalah semua transaksi yang mempengaruhi pos-pos ekuitas selain dari I – XI di atas. XIII. Saldo per triwulan laporan Adalah saldo masing-masing pos ekuitas per akhir triwulan laporan. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 47 - FORMULIR I.5 : LAPORAN ARUS KAS PT/Koperasi ……………………………… Periode Yang Berakhir Tanggal…. Tahun .. Pos-pos I. Arua Kas bersih dari Aktivitas Operasi 1. Penerimaan kas dari aktivitas operasi a. penerimaan bunga pinjaman yang diberikan b. penerimaan pokok pinjaman yang diberikan c. penerimaan fee d. penerimaan dividen e. penerimaan bunga dari penempatan dana pada bank f. penerimaan lainnya dari aktivitas operasi 2. Pengeluaran kas untuk aktivitas operasi a. penyaluran pinjaman yang diberikan b. pembayaran untuk kegiatan penjaminan c. pembayaran biaya usaha d. pembayaran bunga pinjaman e. pembayaran lainnya untuk aktivitas operasional II. Arus Kas bersih dari Aktivitas Investasi 1. Penerimaan kas dari aktivitas investasi a. penerimaan bunga dari investasi pada surat berharga b. penerimaan atas penjualan surat berharga c. penerimaan dari penjualan aset tetap d. penerimaan atas pelepasan penyertaan modal e. penerimaan lainnya dari aktivitas investasi 2. Pengeluaran kas untuk aktivitas investasi a. pembayaran untuk perolehan surat berharga b. pembayaran untuk pembelian aset tetap c. pembayaran untuk penyertaan modal d. pembayaran lainnya untuk aktivitas investasi III Arus Kas bersih dari Aktivitas Pendanaan 1 Penerimaan kas dari aktivitas pendanaan a. penerimaan dari setoran modal b. penerimaan atas penerbitan surat utang c. penerimaan pinjaman d. penerimaan dari hibah/grant e. penerimaan lainnya dari aktivitas pendanaan 2 Pengeluaran kas untuk aktivitas pendanaan a. pembayaran pokok pinjaman b. pembayaran dividen Rupiah ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... c. pembayaran untuk penarikan kembali saham dan surat utang .......... d. pembayaran lainnya untuk aktivitas pendanaan ........... (dalam jutaan rupiah) Valas ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ......... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... ........... Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 48 - Pos-pos IV V Kenaikan (Penurunan) Bersih Kas dan Setara Kas Pengaruh Perubahan Kurs VI Kas dan Setara Kas pada Awal Periode VII Kas dan Setara Kas pada Akhir Periode Petunjuk pengisian: Arus kas merupakan laporan keuangan yang dalam penyusunannya menggunakan dasar pergerakan kas. Semua pos yang ada dalam laporan arus kas dibuat dan dihitung berdasarkan keterlibatan kas dan setara kas dari awal tahun laporan sampai dengan tanggal laporan. Hal ini berlaku bagi pos penerimaan maupun pengeluaran. Untuk PPI pelapor berbadan hukum koperasi dapat melakukan penyesuaian atas penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik koperasi. I. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi 1. Penerimaan kas dari aktivitas operasi a. penerimaan bunga pinjaman yang diberikan Rekening ini memuat semua penerimaan atas bunga pemberian pinjaman infrastruktur oleh PPI pelapor kepada pihak lain, antara lain berupa penerimaan bunga, provisi maupun denda keterlambatan atas angsuran. b. penerimaan pokok pinjaman yang diberikan Rekening ini memuat semua penerimaan pokok pinjaman atas pemberian pinjaman infrastruktur oleh PPI pelapor kepada pihak lain. c. penerimaan fee Rekening ini memuat semua penerimaan imbalan atas pemberian dukungan pembiayaan termasuk penjaminan. d. penerimaan dividen Rekening ini memuat penerimaan dividen atas penyertaan modal yang dilakukan oleh PPI pelapor pada perusahaan lain. e. penerimaan bunga dari penempatan dana pada bank Rekening ini memuat penerimaan bunga atas penempatan dana pada bank yang dilakukan oleh PPI pelapor. f. penerimaan dari aktivitas operasi lainnya Rekening ini memuat semua penerimaan kas dari kegiatan operasional selain dari kegiatan operasional utama di atas. 2. Pengeluaran kas untuk aktivitas operasi a. penyaluran pinjaman yang diberikan Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait dengan kegiatan pemberian pinjaman yang dilakukan PPI pelapor, termasuk pemberian pinjaman langsung, refinancing, dan pinjaman subordinasi. Rupiah ........... ........... ........... ........... Valas ........... ........... ........... ........... Jumlah ........... ........... ........... ........... LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 49 - b. pembayaran untuk kegiatan penjaminan Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait dengan kegiatan penjaminan yang dilakukan PPI pelapor, antara lain pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah. c. pembayaran biaya usaha Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait langsung dengan kegiatan usaha PPI pelapor yang tidak termasuk dalam huruf a dan huruf b di atas. d. pembayaran bunga pinjaman Rekening ini mencakup pengeluaran yang dilakukan PPI pelapor untuk membayar bunga pinjaman kepada kreditur. e. pembayaran lainnya untuk kegiatan operasional Rekening ini menampung semua pengeluaran kas untuk kegiatan operasional yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas. II. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi 1. Penerimaan kas dari aktivitas investasi a. penerimaan bunga dari investasi pada surat berharga Rekening ini memuat penerimaan bunga atas aktivitas investasi perusahaan pada surat berharga. b. penerimaan atas penjualan surat berharga Rekening ini memuat penerimaan kas dari penjualan surat berharga. c. penerimaan dari penjualan aset tetap Rekening ini memuat penerimaan kas dari hasil penjualan aset tetap antara lain: tanah, bangunan dan peralatan. d. penerimaan atas pelepasan penyertaan modal Rekening ini memuat hasil pelepasan penyertaan modal yang melibatkan kas dan pendapatan lain yang berhubungan dengannya. e. penerimaan lainnya dari aktivitas investasi Rekening ini memuat penerimaan kas lain yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas namun merupakan bagian kegiatan investasi perusahaan dan melibatkan kas. 2. Pengeluaran kas untuk aktivitas investasi a. pembayaran untuk perolehan surat berharga Rekening ini memuat semua pengeluaran kas untuk investasi dalam surat berharga. b. pembayaran untuk pembelian aset tetap Rekening ini memuat pengeluaran kas untuk transaksi pembelian aset tetap, antara lain tanah, bangunan dan peralatan yang melibatkan kas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 50 - c. pembayaran untuk penyertaan modal. Rekening ini memuat pengeluaran kas untuk memperoleh kepemilikan melalui penyertaan modal pada perusahaan lain. d. pembayaran lainnya untuk aktivitas investasi. Rekening ini menampung pencatatan semua pengeluaran kas untuk kegiatan investasi yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas. III. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pendanaan 1. Penerimaan kas dari aktivitas pendanaan a. penerimaan dari setoran modal Rekening ini memuat setiap setoran/penambahan modal PPI pelapor dari pemegang saham. b. penerimaan atas penerbitan surat utang Rekening ini memuat perolehan dana dari penerbitan obligasi dan bentuk surat utang lainnya. c. penerimaan pinjaman Rekening ini memuat perolehan dana pinjaman yang berasal dari Pemerintah Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan, baik dari dalam maupun luar negeri. d. penerimaan dari hibah/grant Rekening ini memuat perolehan dana dari hibah /grant dalam bentuk rupiah maupun valuta asing. e. penerimaan lainnya dari aktivitas pendanaan Rekening ini menampung semua penerimaan kas untuk aktivitas pendanaan yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas. 2. Pengeluaran kas untuk aktivitas pendanaan a. pembayaran pokok pinjaman Rekening ini mencakup pengeluaran yang dilakukan PPI pelapor untuk membayar kembali pokok pinjaman kepada kreditur. b. pembayaran dividen Rekening ini mencakup setiap pembayaran dividen yang dilakukan PPI pelapor kepada para pemegang saham perusahaan. c. pembayaran untuk penarikan kembali saham dan surat utang Rekening ini menampung pengeluaran kas untuk transaksi penarikan kembali modal saham dan surat utang, termasuk pelunasan obligasi yang jatuh tempo, yang dilakukan PPI pelapor. d. pembayaran lainnya untuk aktivitas pendanaan Rekening ini menampung pencatatan semua pengeluaran kas untuk aktivitas pendanaan yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 51 - IV. Kenaikan (Penurunan) Bersih Kas dan Setara Kas Rekening ini memuat jumlah kenaikan atau penurunan bersih kas dan setara kas sampai periode tanggal laporan. V. Pengaruh Perubahan Kurs Valuta Rekening ini memuat jumlah perbedaan valuta kas dan setara kas dengan nilai yang seharusnya tercatat pada tanggal laporan. VI. Kas dan Setara Kas pada Awal Periode Posisi kas dan setara kas pada awal tahun buku laporan PPI pelapor. VII. Kas dan Setara Kas pada Akhir Periode Posisi kas dan setara kas pada tanggal laporan PPI pelapor. LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 52 - FORMULIR I.6 : REKENING ADMINISTRATIF PT/Koperasi ……………………………… Per Akhir Triwulan ……. Tanggal ……….. Tahun ………. (dalam jutaan rupiah) Valas Pos-pos I. Tagihan Komitmen 1. Fasilitas pinjaman yang diterima dan belum ditarik 2. Lainnya Jumlah Tagihan Komitmen II. Liabilitas Komitmen 1. Fasilitas pinjaman yang diberikan yang belum ditarik 2. Lainnya Jumlah Liabilitas Komitmen Jumlah Komitmen Bersih III. Tagihan Kontinjensi 1. Penjaminan ulang yang diterima 2. Lainnya Jumlah Tagihan Kontinjensi IV. Liabilitas Kontinjensi 1. Penjaminan yang diberikan 2. Lainnya Jumlah Liabilitas Kontinjensi Jumlah Kontinjensi Bersih Petunjuk pengisian: Yang dimaksud dengan rekening administratif adalah transaksi-transaksi rupiah dan valuta asing yang pada tanggal laporan belum secara efektif menimbulkan perubahan aset dan utang. Rekening administratif ini dirinci atas : I. Tagihan komitmen 1. Fasilitas pinjaman yang diterima dan belum ditarik Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah fasilitas pinjaman yang diperoleh PPI pelapor dan belum digunakan yang berasal dari Pemerintah Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan, baik dari dalam maupun luar negeri. 2. Lainnya Yang dimasukkan ke dalam rekening ini seluruh tagihan komitmen, termasuk tagihan terkait subrogasi kegiatan penjaminan, yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening diatas. Rupiah Jumlah LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 53 - II. Liabilitas komitmen 1. Fasilitas pinjaman yang diberikan yang belum ditarik Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah fasilitas pinjaman yang masih disediakan oleh PPI pelapor bagi peminjam dan belum ditarik. 2. Lainnya Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh liabilitas komitmen PPI pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas. III. Tagihan kontinjensi 1. Penjaminan ulang yang diterima Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah nilai penjaminan ulang yang diterima PPI pelapor. 2. Lainnya Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh tagihan kontinjensi PPI pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas. IV. Liabilitas kontinjensi 1. Penjaminan yang diberikan Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah nilai penjaminan, baik dalam rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan oleh PPI pelapor untuk kepentingan nasabah yang pada tanggal laporan masih berjalan (outstanding). 2. Lainnya Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh liabilitas kontinjensi PPI pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03 /BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 PEDOMAN MENGENAI BENTUK, SUSUNAN, DAN PENGISIAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 1 - DAFTAR ISI hal DAFTAR ISI : .........………………..…………………………………………. FORMULIR II.1 : Laporan Kegiatan Penyaluran Pinjaman…… FORMULIR II.2 : Laporan Kegiatan Penjaminan..................………….. FORMULIR II.3 : Laporan Kegiatan Lainnya ..…...……………………… 1 2 7 11 Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 2 - FORMULIR II.1 : LAPORAN KEGIATAN PENYALURAN PINJAMAN PT/Koperasi………………………… Semester ….. Tahun …………… I No. perjanjian II No. rekening III Jumlah rekening IV Nama peminjam V Hubungan dengan PPI VI Jenis pinjaman VII Jenis penggunaan VIII Jenis valuta IX Jenis infrastruktur Tanggal penerbitan X Jangka waktu Jatuh tempo Tingkat suku bunga XI Suku bunga Jenis suku bunga XII Jumlah Plafon Jumlah ditarik Jumlah XIII. Penjelasan ........................................................................................................................................................... Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 3 - Petunjuk pengisian: Pada laporan kegiatan penyaluran pinjaman semesteran ini dilaporkan semua realisasi penyaluran pinjaman dalam rupiah dan valuta asing yang dilakukan PPI pelapor selama semester yang bersangkutan. Penyaluran pinjaman yang diberikan dalam rangka pembiayaan bersama/konsorsium/sindikasi baik PPI pelapor berperan sebagai arranger maupun participant dilaporkan sebesar tagihan kepada peminjam yang bersangkutan. Pada dasarnya setiap rekening pinjaman harus dilaporkan secara individual. Namun demikian guna penyederhanaan laporan, pelaporan pinjaman pada daftar ini dapat dilakukan penggabungan sepanjang pinjaman diberikan kepada peminjam yang sama dan memiliki karakteristik (antara lain suku bunga, tenor, jenis) pinjaman yang sama. I. No. perjanjian Diisi dengan nomor yang tercantum dalam perjanjian pinjaman. II. No. rekening Diisi dengan nomor rekening fasilitas pinjaman yang diberikan kepada peminjam. III. Jumlah rekening Diisi dengan jumlah rekening fasilitas pinjaman yang diberikan kepada peminjam. IV. Nama peminjam Diisi dengan nama peminjam yang menandatangani perjanjian pinjaman. V. Hubungan dengan PPI Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan peminjam. 1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah: a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara signifikan; Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 4 - c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor; atau d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan PPI, kolom ini diisi dengan sandi 1. 2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah: Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2. VI. Jenis pinjaman Diisi dengan sandi berupa nomor jenis pinjaman sebagai berikut: 1. Pinjaman langsung 2. Refinancing 3. Pinjaman subordinasi 4. Lainnya VII. Jenis penggunaan Diisi dengan sandi berupa nomor tujuan penggunaan penyaluran pinjaman sebagai berikut: 1. Modal kerja Pinjaman jangka pendek untuk membiayai keperluan modal kerja peminjam. 2. Investasi Pinjaman jangka menengah atau panjang untuk pembangunan proyek infrastruktur. 3. Lainnya Penyaluran pinjaman yang diberikan oleh PPI pelapor dengan tujuan penyaluran pinjaman selain angka 1 dan angka 2. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 5 - VIII. Jenis valuta Diisi dengan jenis valuta yang digunakan dalam pemberian penyaluran pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian. IX. Jenis infrastruktur Diisi dengan sandi berupa nomor jenis infrastruktur, sebagai berikut: 1. Infrastruktur transportasi 2. Infrastruktur jalan 3. Infrastruktur pengairan 4. Infrastruktur air minum 5. Infrastruktur air limbah 6. Infrastruktur telekomunikasi 7. Infrastruktur ketenagalistrikan 8. Infrastruktur minyak dan gas bumi 9. Multisektor (lebih dari 1 jenis) 10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas persetujuan Menteri. X. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu penyaluran pinjaman yang diberikan oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penyaluran pinjaman yang tercantum dalam perjanjian. 2. Jatuh tempo Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. XI. Suku bunga 1. Tingkat suku bunga Diisi dengan tingkat suku bunga yang digunakan dalam penyaluran pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 2. Jenis suku bunga Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut: a. tetap (fixed) Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 6 - Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. b. variabel Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu tertentu atau sampai dengan jatuh tempo. XII. Jumlah 1. Plafon Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh peminjam sebagaimana tercantum dalam perjanjian pinjaman. 2. Jumlah ditarik Diisi dengan jumlah pinjaman yang telah ditarik oleh nasabah PPI pelapor pada semester yang bersangkutan. XIII. Penjelasan Diisi dengan pengungkapan dan penjelasan naratif atas kegiatan penyaluran pinjaman yang dilakukan selama semester yang bersangkutan. Perlu juga disampaikan analisis atas kegiatan penyaluran pinjaman yang telah dilakukan, misalnya realisasi dibandingkan dengan target dan kondisi perekonomian yang relevan. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 7 - FORMULIR II.2 : LAPORAN KEGIATAN PENJAMINAN PT/Koperasi…………………… Semester ….. Tahun …………… I Nama penerima jaminan II Nama terjamin Penerima jaminan III Hubungan dengan PPI Terjamin IV Jenis valuta V Jenis infrastruktur Tanggal penerbitan VI Jangka waktu Jatuh tempo VII Imbal jasa penjaminan Total penjaminan VIII Jumlah Retensi sendiri Jumlah IX. Penjelasan ………………………………………………………………………. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 8 - Petunjuk pengisian: Pada laporan kegiatan penjaminan semesteran ini dilaporkan semua realisasi pemberian penjaminan dalam rupiah dan valuta asing selama semester yang bersangkutan. I. Nama penerima jaminan Diisi dengan nama penerima jaminan. II. Nama terjamin Diisi dengan nama terjamin. III. Hubungan dengan PPI Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan penerima jaminan atau terjamin. 1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah: a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara signifikan; c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor; atau d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1. 2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah: Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana dimaksud dalam angka 1. Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 9 - IV. Jenis valuta Diisi jenis mata uang yang digunakan dalam melakukan transaksi antara PPI pelapor dengan pihak lain. V. Jenis infrastruktur Diisi dengan sandi berupa nomor jenis sektor ekonomi, sebagai berikut: 1. Infrastruktur transportasi 2. Infrastruktur jalan 3. Infrastruktur pengairan 4. Infrastruktur air minum 5. Infrastruktur air limbah 6. Infrastruktur telekomunikasi 7. Infrastruktur ketenagalistrikan 8. Infrastruktur minyak dan gas bumi 9. Multisektor (lebih dari 1 jenis) 10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas persetujuan Menteri. VI. Jangka waktu Diisi dengan jangka waktu dari penjaminan yang diberikan oleh PPI pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian. 1. Tanggal penerbitan Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun pemberian penjaminan yang tercantum dalam perjanjian. 2. Jatuh tempo Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian. VII. Imbal Jasa penjaminan Diisi dengan imbal jasa penjaminan yang dibebankan oleh PPI pelapor. VIII. Jumlah 1. Total penjaminan Diisi dengan jumlah penutupan penjaminan. 2. Retensi sendiri Diisi dengan bagian/porsi penjaminan yang ditanggung oleh PPI pelapor. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 10 - IX. Penjelasan Diisi dengan pengungkapan dan penjelasan naratif atas kegiatan penjaminan yang dilakukan selama semester yang bersangkutan. Perlu juga disampaikan analisis atas kegiatan penjaminan yang telah dilakukan, misalnya realisasi dibandingkan dengan target dan kondisi perekonomian yang relevan. Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER-03/BL/2010 Tanggal : 28 September 2010 - 11 - FORMULIR II.3 : LAPORAN KEGIATAN LAINNYA PT/Koperasi…………………… Semester ….. Tahun …………… Diisi dengan laporan sesuai dengan karakteristik kegiatan lain yang dilakukan PPI pelapor selain pembiayaan, penjaminan, dan pinjaman subordinasi.
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-03/BL/2010|PERTA-BAPEPAM-LK/2010 </reg_id> <reg_title> BENTUK, SUSUNAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN DAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR </reg_title> <set_date> 28 September 2010 </set_date> <effective_date> 28 September 2010 </effective_date> <related_reg> '143.1/PMK.01/2009|PER-MENKEU/2009', '45/M|KEPPRES/2006', '100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009', '100/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 05/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank, pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah pada lembaga keuangan non bank khususnya bagi perusahaan pembiayaan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor Kep 2833/LK/2003 perlu disempurnakan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan; 3. Keputusan Presiden Nomor 20/M Tahun 2011; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - Pasal 1 (1) Perusahaan pembiayaan wajib menyusun pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan petunjuk penyusunan sebagaimana dimaksud dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. (2) Perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Biro Pembiayaan dan Penjaminan. Pasal 2 (1) Perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah yang telah disesuaikan berdasarkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. (2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan penilaian atas pedoman yang disampaikan oleh perusahaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan penilaian Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan belum sesuai dengan petunjuk penyusunan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah, perusahaan pembiayaan wajib melakukan perbaikan terhadap pedoman dimaksud. (4) Jangka waktu penyampaian perbaikan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima pemberitahuan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan mengenai hasil penilaian pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah. (5) Dalam hal Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan tidak menyampaikan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal penerimaan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah, perusahaan pembiayaan dapat menerapkan pedoman dimaksud. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - Pasal 3 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan berwenang untuk meminta perusahaan pembiayaan melakukan perbaikan atas pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah, apabila di kemudian hari diketahui bahwa pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah dimaksud tidak sesuai dengan petunjuk penyusunan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah. Pasal 4 Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pada Lembaga Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 5 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Maret 2011 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. Nurhaida NIP 19590627 198902 2 001 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 05/BL/2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 2011 2011 PETUNJUK PENYUSUNAN PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada tanggal 9 Februari 2010, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Salah satu tujuan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tersebut sebagai upaya untuk menciptakan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang sehat yang mengacu kepada praktik-praktik terbaik yang berlaku secara internasional (international best practices) serta terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk Pencucian Uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku kejahatan. Peraturan Menteri Keuangan tersebut mewajibkan setiap LKNB untuk menyusun Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Yang dimaksud dengan LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lembaga Pembiayaan terdiri dari Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan sebagai salah satu Lembaga Pembiayaan, juga diwajibkan menyusun P4MN, agar mempunyai acuan baku dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. P4MN Perusahaan Pembiayaan wajib menjabarkan paling kurang hal-hal sebagai berikut: 1. Penanggung Jawab Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. 2. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan Nasabah. 3. Kebijakan dan Prosedur dalam Mengidentifikasi dan Memverifikasi Nasabah. 4. Kebijakan dan Prosedur Pemantauan Rekening dan Pelaksanaan Transaksi Nasabah. 5. Kebijakan dan Prosedur Manajemen Risiko yang Berkaitan dengan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. B. Maksud dan Tujuan 1. Maksud Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada Perusahaan Pembiayaan dalam menyusun P4MN. 2. Tujuan Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini bertujuan agar Perusahaan Pembiayaan mempunyai pedoman yang baku untuk dapat mengenali profil nasabahnya sehingga pada gilirannya LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 2 - dapat mengidentifikasi adanya transaksi yang tidak wajar yang dapat menjadi Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transactions) dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai (Cash Transactions). Berdasarkan hasil identifikasi tersebut, Perusahaan Pembiayaan menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan/Suspicious Transactions Report (laporan TKM) dan/atau laporan Transaksi Keuangan Tunai/Cash Transactions Report (laporan TKT) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). C. Ketentuan Umum Dalam petunjuk penyusunan P4MN ini, yang dimaksud dengan: 1. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Perusahaan Pembiayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang; b. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa guna usaha; c. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; dan d. pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit. 2. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. 3. Transaksi Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. 4. Transaksi Keuangan Mencurigakan yang selanjutnya disingkat TKM adalah: a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan; b. Transaksi Keuangan Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan; c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Perusahaan Pembiayaan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. 5. Transaksi Keuangan Tunai yang selanjutnya disingkat TKT adalah Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam dilakukan melalui Perusahaan Pembiayaan. 6. Beneficial Owner yang selanjutnya disingkat BO adalah setiap orang atau badan hukum yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 3 - Contoh: a. BO perorangan: Seorang ibu rumah tangga mengajukan permohonan pembiayaan alat-alat rumah tangga. Sumber dana ibu tersebut adalah dari suami pemohon yang bersangkutan. Jadi yang menjadi BO-nya adalah suami pemohon tersebut. b. BO badan hukum (perusahaan, yayasan, atau perkumpulan): Calon Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan sewa guna usaha sebuah mesin untuk perusahaan tempat calon Nasabah tersebut bekerja. Sumber dana pembayaran sewa berasal dari perusahaan yang bersangkutan. Jadi perlu ditelaah yang menjadi BO-nya adalah pemilik atau Pemegang Saham Pengendali perusahaan tersebut. 7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disingkat CDD adalah proses identifikasi calon Nasabah dan verifikasi atas dokumen pendukung calon Nasabah. 8. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara Perusahaan Pembiayaan dan Nasabah. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 4 - BAB II PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai penanggung jawab penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN), dengan pengaturan paling kurang memuat: 1. Pembentukan unit kerja khusus, penugasan anggota direksi, atau penugasan pejabat setingkat di bawah direksi sebagai penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama/direksi. 2. Unit kerja khusus atau anggota direksi diangkat oleh rapat umum pemegang saham sedangkan pejabat setingkat di bawah direksi diangkat oleh direktur utama/direksi. 3. Latar belakang pemilihan bentuk penanggung jawab penerapan PMN yang disesuaikan dengan struktur organisasi dan volume bisnis perusahaan. 4. Kedudukan penanggung jawab penerapan PMN dalam struktur organisasi perusahaan. 5. Penanggung jawab penerapan PMN dapat menugaskan satu atau beberapa orang staf yang ditugaskan untuk itu, disamping tugas-tugas rutinnya sesuai dengan struktur organisasi. 6. Penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat mempunyai uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab termasuk jalur pelaporan paling kurang sebagai berikut: a. Tugas 1) Menyusun dan memelihara P4MN. 2) Memastikan adanya sistem informasi dan prosedur identifikasi Nasabah yang memadai, termasuk memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam pelaksanaan PMN. 3) Memantau Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah. 4) Melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada tidaknya TKM dan/atau TKT. 5) Menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi. 6) Memantau pengkinian data dan profil Nasabah. 7) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan TKT yang disampaikan oleh unit-unit kerja yang ditugaskan. 8) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan dilaporkan kepada PPATK. b. Wewenang 1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 5 - 2) Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan PMN oleh unit-unit kerja terkait. 3) Melaporkan TKM yang terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu TKM dengan direksi atau dewan komisaris. 4) Mengusulkan kepala cabang dan/atau staf pada unit kerja terkait untuk membantu pelaksanaan PMN. c. Tanggung jawab 1) Memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan PMN di Perusahaan Pembiayaan terlaksana. 2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan kepada PPATK. 3) Memantau, menganalisis, dan merekomendasi kebutuhan pelatihan tentang PMN bagi para pejabat dan pegawai Perusahaan Pembiayaan. 4) Menjaga kerahasiaan data Nasabah. 7. Penanggung jawab penerapan PMN dibantu oleh kepala cabang dalam pelaksanaan PMN di kantor cabang. Kepala cabang berada di bawah koordinasi penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat. 8. Uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala cabang dalam pelaksanaan PMN di kantor cabang paling kurang sebagai berikut: a. Tugas 1) Melakukan pengkinian data dan profil Nasabah di kantor cabang yang bersangkutan. 2) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan TKT yang disampaikan oleh pegawai di kantor cabang. 3) Meneruskan laporan TKM dan/atau laporan TKT kepada penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat. 4) Melakukan pemantauan dan evaluasi Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah. b. Wewenang 1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di kantor cabang. 2) Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan sistem dan prosedur identifikasi Nasabah dan transaksi yang mencurigakan di kantor cabang. 3) Menugaskan staf pada unit kerja terkait untuk membantu pelaksanaan PMN. c. Tanggung jawab 1) Memastikan PMN diterapkan di kantor cabang. 2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan kepada penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat. 3) Menjaga kerahasiaan data Nasabah. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 6 - BAB III KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENERIMAAN NASABAH 1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah. Selanjutnya, dalam P4MN tersebut juga harus dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah adalah untuk mengetahui latar belakang dan identitas, maksud dan tujuan pembiayaan, serta profil keuangan Nasabah. 2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, Perusahaan Pembiayaan harus mengatur paling kurang sebagai berikut: a. Kebijakan penerimaan Nasabah Dalam kebijakan penerimaan Nasabah, Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan bahwa: 1) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan Pembiayaan dapat menyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor- faktor yang dapat memungkinkan calon Nasabah melakukan tindak pidana Pencucian Uang. Pertimbangan mengenai faktor-faktor yang dapat memungkinkan calon Nasabah melakukan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan untuk mengukur tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang. Tingkat risiko tersebut menjadi dasar penentuan jenis CDD yang akan dilakukan. 2) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan apabila: a) penerimaan Nasabah baru atau Nasabah lama untuk perikatan baru menggunakan formulir aplikasi standar yang berlaku. Formulir ini harus telah dievaluasi oleh penanggung jawab penerapan PMN untuk memastikan bahwa data yang diperlukan untuk keperluan PMN telah terakomodasi dalam formulir tersebut. b) calon Nasabah telah melengkapi seluruh informasi dan data sebagaimana ditentukan dalam formulir aplikasi dengan dilengkapi dokumen pendukung sebagaimana mestinya. c) petugas front liner Perusahaan Pembiayaan telah meneliti kebenaran dan keabsahan dokumen pendukung yang disampaikan oleh calon Nasabah dengan cara: (1) mencocokkan dokumen pendukung dengan dokumen aslinya. (2) pada waktu melihat dokumen aslinya, agar dilihat dan diyakini bahwa dokumen asli tersebut bentuknya tidak meragukan. (3) bila diperlukan, lakukan wawancara dengan calon Nasabah sesuai dengan prosedur pengisian formulir aplikasi yang berlaku. d) telah dipastikan apakah calon Nasabah bertindak untuk diri sendiri dalam melakukan transaksi atau mewakili BO. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 7 - Pertanyaan mengenai apakah seseorang bertindak untuk diri sendiri atau mewakili BO atau orang lain dapat dicantumkan dalam formulir aplikasi pembiayaan. e) telah dilakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain, misalnya untuk Nasabah perorangan dilakukan pengecekan melalui telepon atau untuk badan hukum dilakukan pengecekan dengan data yang terdapat pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 3) Informasi dan data yang tercantum dalam formulir aplikasi tersebut pada angka 2) huruf a) paling kurang sebagai berikut: a) Latar belakang dan identitas calon Nasabah. (1) Untuk calon Nasabah perorangan, informasi latar belakang dan identitas, paling kurang sebagai berikut: (a) nama, alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor telepon; (b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); (c) tempat dan tanggal lahir; (d) kewarganegaraan; dan (e) spesimen tanda tangan. (2) Untuk calon Nasabah perusahaan, informasi latar belakang dan identitas paling kurang sebagai berikut: (a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan; (b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir; (c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; (d) surat keterangan domisili; (e) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Perusahaan Pembiayaan; dan (f) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan. b) Maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan perikatan pembiayaan. c) Profil keuangan calon Nasabah. (1) Untuk calon Nasabah perorangan paling kurang sebagai berikut: (a) keterangan mengenai pekerjaan termasuk jabatannya; (b) keterangan mengenai sumber dana dan rata-rata penghasilan dan pengeluaran per bulan; dan (c) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 8 - (2) Untuk calon Nasabah perusahaan paling kurang sebagai berikut: (a) laporan keuangan terkini; (b) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan dana; dan (c) nomor pokok wajib pajak (NPWP). d) Informasi lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah, termasuk perikatan yang telah dimiliki sebelumnya dengan Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan. Informasi lain tersebut ditujukan untuk dapat lebih menganalisa apakah penghasilan yang bersangkutan wajar untuk membayar kewajiban yang akan timbul dari perikatan pembiayaan. contoh: (1) pembiayaan yang telah dimiliki termasuk di Perusahaan Pembiayaan lainnya. (2) jenis investasi/usaha/pekerjaan lain yang dimiliki. e) Informasi penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon Nasabah paling kurang sebagai berikut: (1) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor telepon; (2) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); (3) tempat dan tanggal lahir; (4) kewarganegaraan; dan (5) spesimen tanda tangan. 4) Permohonan calon Nasabah yang tidak memenuhi kelengkapan data dan dokumen pendukung yang ditentukan dan/atau diragukan kebenarannya harus ditolak. 5) Penolakan terhadap permohonan calon Nasabah hanya dapat dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang diberikan kewenangan untuk itu berdasarkan surat keputusan direksi. 6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan angka 3) tidak berlaku bagi calon Nasabah lembaga pemerintah dan lembaga keuangan multilateral. b. Prosedur penerimaan Nasabah Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa penerapan PMN harus dilakukan sejak proses penerimaan seorang calon Nasabah baru dan harus dilakukan secara berkesinambungan selama Nasabah tersebut menjadi Nasabah Perusahaan Pembiayaan. Selain itu, P4MN juga harus memuat standard operating procedure (SOP) penerimaan atau penolakan calon Nasabah, yang paling kurang memberikan gambaran yang jelas mengenai prosedur penerimaan atau penolakan calon LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 9 - Nasabah, dokumen yang dibutuhkan dalam proses tersebut, serta penetapan pihak yang berwenang untuk menerima atau menolak calon Nasabah. c. Dokumen Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai dokumen yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, yang paling kurang terdiri dari: 1) Surat keputusan direksi kepada bagian/pejabat/pegawai yang dapat menerima atau menolak calon Nasabah. 2) Formulir standar permohonan pembiayaan. Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan adanya kewajiban untuk menggunakan formulir standar yang ditetapkan bagi perikatan baru dengan Nasabah lama dan/atau Nasabah baru. 3) Dokumen-dokumen pendukung. Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan adanya kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk mengupayakan yang terbaik dalam memperoleh dokumen-dokumen pendukung dari calon Nasabah. a) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari: (1) identitas calon Nasabah yang memuat: (a) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor untuk WNI atau Paspor/KIMS/KITAS/KITAP untuk WNA; (b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada); (c) tempat dan tanggal lahir; (d) kewarganegaraan; (2) keterangan mengenai pekerjaan; (3) spesimen tanda tangan; (4) keterangan mengenai sumber dana; (5) rata-rata penghasilan; (6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada; (7) NPWP, apabila sudah mempunyai; dan (8) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan mengetahui profil calon Nasabah. b) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang terdiri dari: (1) dokumen mengenai perusahaan: (a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon perusahaan; (b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir; LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 10 - (c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang; (d) surat keterangan domisili, contoh dari RT/RW setempat; (e) laporan keuangan terkini; (f) tanda daftar perusahaan (TDP); dan (g) nomor pokok wajib pajak (NPWP). (2) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Perusahaan Pembiayaan; (3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan; (4) keterangan mengenai sumber dana bagi calon Nasabah; dan (5) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan mengetahui profil calon Nasabah. c) Apabila calon Nasabah mewakili BO perorangan, identitas dan/atau informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain: (1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf a); (2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber dana dari BO; dan (3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya. d) Apabila calon Nasabah mewakili BO badan hukum, identitas dan/atau informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain: (1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf b); (2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber dana dari BO; dan (3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 11 - BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR IDENTIFIKASI DAN VERIFIKASI NASABAH DAN/ATAU BENEFICIAL OWNER (BO) 1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan, dan prosedur identifikasi calon Nasabah dan/atau BO. Selanjutnya, dalam P4MN tersebut juga harus dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO adalah untuk menilai kewajaran transaksi, kebenaran/keabsahan dokumen pendukung, dan untuk memastikan bahwa calon Nasabah mewakili BO atau bertindak untuk diri sendiri. 2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO, Perusahaan Pembiayaan harus mengatur paling kurang mengenai: a. Kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO Dalam kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO, Perusahaan Pembiayaan paling kurang menetapkan: 1) Kebijakan proses identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO atas dokumen pendukungnya (CDD). a) Kebijakan tersebut meliputi kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah perorangan, calon Nasabah perusahaan, dan BO. b) Kriteria untuk menerapkan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih ketat (E-DD). (1) Perusahaan Pembiayaan harus menetapkan kriteria untuk penerapan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih ketat secara jelas di dalam P4MN sesuai besarnya nilai pembiayaan, profil Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal Nasabah. (2) Penetapan kriteria tersebut harus dilengkapi dengan besaran nilai pembiayaan, profil Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal Nasabah yang diterapkan untuk masing-masing jenis CDD. (3) Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan kriteria penerapan CDD oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai berikut: (a) CDD lebih sederhana CDD lebih sederhana dapat diterapkan apabila tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan rendah atau memenuhi kriteria sebagai berikut: i. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan alat-alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau ii. Nasabah berupa perusahaan publik. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 12 - (b) CDD standar CDD standar harus diterapkan apabila tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan menengah atau memenuhi kriteria sebagai berikut: i. calon Nasabah dan BO berkeberatan untuk memberikan informasi yang lengkap; atau ii. nilai pembiayaan melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan kondisi:  latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO tidak termasuk kategori orang yang populer secara politis (politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer);  bidang usaha Nasabah dan BO tidak termasuk kategori usaha yang berisiko tinggi (high risk business);  negara atau teritorial asal Nasabah dan BO, domisili Nasabah dan BO, atau dilakukannya transaksi tidak termasuk negara yang berisiko tinggi (high risk countries); dan/atau  Nasabah dan BO tidak tercantum dalam daftar nama- nama teroris. (c) CDD lebih ketat/ Enhanced Customer Due Diligence (E-DD) E-DD adalah proses verifikasi yang lebih ketat terhadap calon Nasabah dan BO yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik Pencucian Uang. E-DD dilakukan apabila tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan tinggi, risiko yang dapat dilihat dari: i. latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO yang termasuk kategori orang yang populer secara politis (politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer); ii. bidang usaha yang termasuk kategori usaha yang berisiko tinggi (high risk business); iii. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau dilakukannya transaksi yang termasuk negara yang berisiko tinggi (high risk countries); dan/atau iv. pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris. Rincian orang, bidang usaha, dan negara yang termasuk dalam tingkat risiko tinggi adalah sebagaimana terdapat dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan perubahannya, jika ada. Data-data tersebut perlu dicantumkan di dalam P4MN dan di-update secara regular pada sistem informasi Perusahaan Pembiayaan. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 13 - 2) Kriteria dari TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan pembiayaan. TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan pembiayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a) transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar; b) transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan ekonomi yang jelas; c) transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan melanggar hukum; dan d) transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktivitas Rekening. 3) Kriteria TKT yang wajib dilaporkan kepada PPATK sesuai undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, yaitu TKT dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja. 4) Kebijakan khusus untuk calon Nasabah dan/atau BO yang diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang dan/atau calon Nasabah yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF). 5) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi dan/atau verifikasi transaksi calon Nasabah dan/atau BO, yang ditunjuk oleh direksi. 6) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah dan/atau BO termasuk klasifikasi risiko tinggi dan/atau transaksi yang tidak wajar, yang ditunjuk oleh direksi dan bukan merupakan pejabat atau pegawai yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab melakukan identifikasi dan/atau verifikasi calon Nasabah dan/atau BO. 7) Kriteria perikatan dengan calon Nasabah dan/atau BO yang diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan wajib memperoleh persetujuan dari direksi. 8) Kebijakan untuk menolak perikatan atau transaksi dengan calon Nasabah dan/atau BO, apabila perikatan atau transaksi tersebut meragukan Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Pembiayaan tidak dapat meyakini kebenaran/keabsahan dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai BO. b. Prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa CDD harus dilakukan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan yaitu CDD secara lebih sederhana, standar, dan lebih ketat (E-DD). Selain itu, dalam P4MN juga harus dimuat standard operating procedure (SOP) mengenai identifikasi dan verifikasi calon Nasabah perorangan atau perusahaan (prosedur CDD) yang menggambarkan secara jelas proses identifikasi calon Nasabah. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 14 - Prosedur CDD, paling kurang mengatur mengenai: 1) Prosedur CDD lebih sederhana Di dalam prosedur CDD lebih sederhana paling kurang harus dimuat kegiatan untuk meminta informasi calon Nasabah dan mencocokkan dokumen pendukung tersebut dengan dokumen aslinya untuk memastikan keabsahannya. 2) Prosedur CDD standar Di dalam prosedur CDD standar paling kurang harus dimuat kegiatan sebagai berikut: a) melakukan CDD lebih sederhana; b) meneliti hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan; c) melakukan penelaahan mengenai BO; dan d) memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara: (1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah; (2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwewenang; dan (3) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah. 3) Prosedur CDD lebih ketat (E-DD) Di dalam prosedur E-DD paling kurang harus dimuat kegiatan sebagai berikut: a) melakukan CDD standar; b) melakukan verifikasi terhadap informasi calon Nasabah atau BO, yang dilakukan berdasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah dan/atau BO tersebut; c) melakukan verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah dan/atau BO dengan pihak ketiga; dan d) melakukan CDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi mengenai calon Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak terkait. c. Dokumen Dokumen yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO paling kurang sebagai berikut: 1) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi dan/atau verifikasi calon Nasabah dan/atau BO; 2) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 15 - dan/atau BO diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan/atau melakukan transaksi yang tidak wajar; 3) Formulir check list kelengkapan data CDD calon Nasabah dan/atau BO; dan 4) Bukti hasil analisis calon Nasabah. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 16 - BAB V KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PEMANTAUAN REKENING DAN PELAKSANAAN TRANSAKSI NASABAH 1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah, yang paling kurang mengatur mengenai: a. Kebijakan pemantauan Rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi. Dalam kebijakan pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah, Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan: 1) Kriteria dari transaksi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar, antara lain adalah sebagai berikut: a) menyimpang dari pola kebiasaan transaksi Nasabah. Contoh: pelunasan angsuran sekaligus, pembatalan pembiayaan dalam jangka waktu singkat, pembatalan secara sepihak oleh Nasabah tanpa alasan yang jelas/wajar. b) diduga berasal dari tindak pidana. Contoh: Nasabah sudah diumumkan di koran bahwa yang bersangkutan terlibat kasus pidana ekonomi. 2) Kebijakan mengenai evaluasi dan penatausahaan atas hasil pemantauan dan analisis rekening dan transaksi Nasabah untuk mengidentifikasi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar. 3) Kebijakan mengenai pengkinian data dalam hal terdapat perubahan dokumen-dokumen pendukung untuk kepentingan internal Perusahaan Pembiayaan dan keperluan regulator atau pelaporan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar kepada PPATK. 4) Kebijakan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan identitas Nasabah, BO, termasuk perantara dan/atau pihak lain sampai dengan jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perikatan dengan Nasabah diakhiri. 5) Kebijakan mengenai pemantauan yang berkesinambungan terhadap hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah, bank dan/atau LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF). 6) Pejabat atau pegawai yang bertugas melakukan pemantauan dan menyusun laporan pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi; dan 7) Kebijakan bahwa pelaporan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar adalah bersifat rahasia dan kewajiban merahasiakan pelaporan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar bagi pejabat serta pegawai Perusahaan Pembiayaan. b. Prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi Dalam prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah, Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan: LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 17 - 1) Kegiatan untuk melakukan: a) pengujian kelengkapan informasi/data Nasabah pada field-field database sistem informasi; b) penyimpanan bukti pendukung tersebut; dan c) pengkinian perubahan data Nasabah. 2) Jangka waktu minimum dilakukannya review atas data/informasi Nasabah. 3) Prosedur pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi Nasabah dengan sistem yang dapat dilakukan secara manual ataupun otomatisasi agar memungkinkan petugas mengidentifikasi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar. 4) Prosedur pelaporan Rekening dan pelaksanaan transaksi yang diindikasikan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar secara internal maupun ke PPATK. 5) Prosedur penatausahaan hasil pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi Nasabah, baik yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan ke PPATK. c. Dokumen Dokumen yang perlu dibuat dalam pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah paling kurang sebagai berikut: 1) bentuk laporan kepada PPATK dan manajemen Perusahaan Pembiayaan; dan 2) formulir pencatatan dokumen yang disimpan. 2. Pelaksanaan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah tersebut wajib didukung dengan penggunaan sistem informasi yang memadai guna memastikan ada tidaknya TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar serta melaporkan temuan tersebut kepada PPATK. Sistem informasi Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus dapat menyediakan: a. Data profil Nasabah Data profil Nasabah paling kurang mencakup informasi mengenai: 1) identitas Nasabah; 2) pekerjaan atau bidang usaha; 3) jumlah penghasilan; 4) rekening/perikatan yang dimiliki; 5) aktivitas transaksi normal; 6) tujuan penggunaan dana pembiayaan; dan 7) perikatan lain yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain. Data tersebut harus dapat digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan karakteristik transaksi Nasabah guna memberikan indikator red flag kemungkinan terjadinya TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar. Perusahaan Pembiayaan untuk LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 18 - b. Data Penting Lainnya Data mengenai orang yang populer secara politis (Politically Exposed Persons), Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer), usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business), negara yang berisiko tinggi (High Risk Countries) ada di website PPATK ataupun FATF (www.fatf-gafi.org), dan pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris, antara lain tercatat pada: 1) Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau 2) Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media internet seperti situs http://un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml, sehingga PBB dapat dilakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap aktivitas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Data tersebut berguna untuk dapat dilakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap aktivitas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. Daftar pihak-pihak yang termasuk dalam kategori orang yang populer secara politis (Politically Exposed Persons), Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer), usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business), negara yang berisiko tinggi (High Risk Countries), serta pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris adalah sebagaimana terdapat pada Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan perubahannya, jika ada. c. Indikator red flag Indikator red flag berfungsi sebagai panduan untuk menilai Nasabah atau pola transaksi Nasabah yang memenuhi kriteria CDD lebih sederhana, CDD standar, dan CDD lebih ketat serta TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar. 3. Perusahaan harus mengembangkan sistem informasi secara berkesinambungan dan mengkinikan data profil Nasabah. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 19 - BAB VI KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO YANG BERKAITAN DENGAN PENERAPAN PMN 1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan PMN, dan harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko Perusahaan Pembiayaan secara keseluruhan. 2. Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko paling kurang mengatur hal sebagai berikut: a. Pengawasan oleh direktur utama/direksi dan dewan komisaris Perusahaan Pembiayaan (management oversight). Dalam kebijakan mengenai pengawasan oleh direktur utama/direksi dan dewan komisaris harus diatur paling kurang hal sebagai berikut: 1) Pedoman P4MN dan perubahannya ditetapkan dengan surat keputusan direktur utama/direksi dan harus mendapat persetujuan dewan komisaris. 2) Pengawasan atas pelaksanaan penerapan PMN pada Perusahaan Pembiayaan serta pemberian usulan dan masukan atas pelaksanaan PMN oleh dewan komisaris. 3) Adanya pelaporan secara berkala kepada direktur utama/direksi atau dewan komisaris tentang pelaporan TKM ke PPATK. 4) Adanya pembahasan masalah Pencucian Uang dalam rapat direksi dan dewan komisaris. 5) Prosedur penetapan tugas penanggung jawab penerapan PMN yang paling kurang sebagai berikut: a) direktur utama/direksi harus menetapkan penanggung jawab penerapan PMN yang telah diangkat oleh rapat umum pemegang saham atau direktur utama/direksi pada Perusahaan Pembiayaan yang dipimpinnya dengan surat keputusan direktur utama/direksi. b) dalam pengangkatan penanggung jawab penerapan PMN, rapat umum pemegang saham atau direktur utama/direksi mempertimbangkan kompetensi dan integritas personil yang ditugaskan sebagai anggota atau penanggung jawab penerapan PMN. c) direktur utama/direksi wajib menetapkan tugas, wewenang dan tanggung jawab penanggung jawab penerapan PMN. 6) Prosedur pemantauan direktur utama/direksi atas pelaksanaan PMN yang paling kurang sebagai berikut: a) direktur utama/direksi wajib menyusun prosedur pemantauan pelaksanaan PMN. b) prosedur pemantauan pelaksanaan PMN paling kurang mengenai: (1) pemantauan pelaksanaan tugas penanggung jawab penerapan PMN oleh direktur utama/direksi. harus LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 20 - (2) pemantauan pelaksanaan pedoman PMN oleh unit-unit kerja terkait. (3) pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung jawab penerapan PMN. b. Prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung jawab penerapan PMN kepada PPATK. Dalam prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT harus diatur paling kurang hal sebagai berikut: 1) Pembuatan surat pelaporan mengenai TKM dan/atau TKT dari direktur utama/direksi disertai dengan dokumen atau data profil yang masuk dalam kategori mencurigakan. 2) Kewajiban menjaga kerahasiaan data profil yang dilaporkan kepada PPATK. 3) Pemantauan kembali data profil yang mencurigakan yang telah dilaporkan kepada PPATK. c. Pendelegasian wewenang. 1) Dalam kebijakan mengenai pendelegasian wewenang harus diuraikan paling kurang kewenangan yang diberikan direktur utama/direksi kepada penanggung jawab penerapan PMN. 2) Selain itu, dalam kebijakan tersebut harus dinyatakan dengan jelas bahwa: a) dalam hal penanggung jawab penerapan PMN menemukan bahwa direktur utama/direksi terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu TKM dan/atau TKT, maka penanggung jawab penerapan PMN dapat diberikan wewenang untuk melaporkan langsung TKM dan/atau TKT tersebut kepada PPATK dengan sepengetahuan dewan komisaris. b) sebaliknya apabila penanggung jawab penerapan PMN memiliki kepentingan atas suatu TKM dan/atau TKT, maka direktur utama/direksi dapat menyusun sendiri laporan PMN kepada PPATK. d. Pemisahan tugas. Dalam kebijakan mengenai pemisahan tugas paling kurang harus diatur mengenai pemisahan tugas penanggung jawab penerapan PMN dalam struktur organisasi perusahaan (pemisahan tugas penerima informasi/data/dokumen, tugas identifikasi dan verifikasi, tugas pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi, tugas pelaporan ke direktur utama/direksi/PPATK/regulator) sehingga terdapat mekanisme kontrol bagi perusahaan untuk mencegah perusahaan digunakan sebagai sarana Pencucian Uang oleh Nasabah. e. Sistem pengawasan internal termasuk audit internal. Dalam sistem pengawasan internal dan audit internal, paling kurang harus diatur bahwa: 1) Dalam melakukan audit, internal auditor Perusahaan Pembiayaan harus melakukan audit dan evaluasi kepatuhan unit-unit kerja Perusahaan Pembiayaan terhadap P4MN. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 21 - 2) Audit internal perusahaan yang dilakukan harus meliputi pengecekan pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK termasuk di dalamnya pengecekan apakah terdapat TKM dan/atau TKT yang belum dilaporkan kepada PPATK. f. Program pelatihan mengenai penerapan PMN bagi pejabat dan pegawai Perusahaan Pembiayaan. Dalam uraian mengenai program pelatihan harus diatur paling kurang sebagai berikut: 1) Program pelatihan PMN dilaksanakan sesuai dengan usulan penanggung jawab penerapan PMN dan dilakukan secara berkala dan berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan pejabat dan pegawai Perusahaan Pembiayaan dalam penerapan PMN termasuk petugas front liner, petugas back office, dan pegawai baru. 2) Penyusunan program pelatihan PMN setiap tahun dan pelaporan pelaksanaan program pelatihan PMN disampaikan paling lama pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. 3) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas front liner sesuai dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada: a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah sesuai dengan bidang tugasnya; b) teknik persuasif untuk meminta data Nasabah guna memenuhi ketentuan dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah; c) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan profil Nasabah; d) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan e) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil Nasabah. 4) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas back office sesuai dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada: a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur pemantauan profil Nasabah; b) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan profil Nasabah; c) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan d) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil Nasabah. 5) Program pelatihan PMN diberikan kepada pegawai baru agar memahami P4MN. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 22 - g. Penerimaan pegawai baru Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, antara lain namun tidak terbatas pada meminta surat kelakuan baik dari Polisi. h. Prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko Masing-masing kebijakan manajemen risiko tersebut di atas harus dilengkapi dengan prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 23 - BAB VII PROSEDUR KHUSUS Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kebijakan dan prosedur khusus untuk meyakini identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi yang diberikan oleh calon Nasabah apabila: a. Untuk bank atau LKNB lain yang menjadi sarana pembayaran angsuran dimana bank atau LKNB lain tersebut menerima dokumen dari Nasabah, apabila Perusahaan Pembiayaan tidak memperoleh dokumen pendukung dimaksud, maka dalam P4MN harus diatur kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk memperoleh pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Bab III angka 2 huruf a angka 3). b. Calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain yang mewakili BO Dalam P4MN dapat diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan dapat menerima pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi terhadap BO. c. Calon Nasabah berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF). d. Pembayaran angsuran melalui jaringan kantor atau anak perusahaan, bank, atau LKNB lain di negara lain yang belum menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) atau yang menerapkan PMN lebih longgar dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 05/BL/20112011 Tanggal : 30 Maret 201111 - 24 - BAB VIII PENUTUP 1. Dalam P4MN harus diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan melakukan pemutakhiran pedoman secara berkala. Selanjutnya, setiap perubahan P4MN ini harus dilaporkan kembali kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. 2. Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah agar dijadikan acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh Perusahaan Pembiayaan.
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-05/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 30 Maret 2011 </set_date> <effective_date> 30 Maret 2011 </effective_date> <replaced_reg> '2833/LK/2003|KEPDIRJEN-LK/2003' </replaced_reg> <related_reg> '9/PERPRES/2009', '20/M|KEPPRES/2011', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '8/UU/2010' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -1- SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 07 /BL/2012 TENTANG REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011, referensi unsur premi murni serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya perlu ditinjau setiap tahun dan perubahannya ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu untuk menetapkan referensi unsur premi serta unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya yang baru dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- 4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/ PMK.010/ 2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011; 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013. Pasal 1 Referensi unsur premi murni pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor yang dapat digunakan oleh Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011 adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 2 (1) Perusahaan asuransi umum yang memiliki data profil risiko dan kerugian untuk periode 5 (lima) tahun atau lebih wajib menggunakan data sendiri dalam menetapkan tarif premi murni, memperhitungkan faktor kredibilitas. dengan (2) Penggunaan faktor kredibilitas dalam penetapan tarif premi murni dilakukan dengan tata cara dan formula sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 3 (1) Perusahaan asuransi umum yang memiliki data biaya administrasi dan biaya umum lain untuk periode 5 (lima) tahun atau lebih wajib menggunakan data sendiri dalam menetapkan tingkat biaya administrasi dan biaya umum lain. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- (2) Perusahaan asuransi umum yang tidak memiliki data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membebankan biaya administrasi dan biaya umum lain paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari premi bruto. Pasal 4 Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011 dihitung dengan menggunakan referensi unsur premi murni sesuai Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 5 (1) Perusahaan asuransi umum yang memasarkan produk asuransi pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor yang jangka waktu kontraknya lebih dari 1 (satu) tahun serta syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali pada setiap ulang tahun polis, wajib menghitung risiko liabilitas asuransi dengan mempertimbangkan kemungkinan klaim yang terjadi lebih buruk dari yang diperkirakan. (2) Risiko liabilitas asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mempertimbangkan kecukupan cadangan premi untuk mengatasi pemburukan pengalaman klaim dengan tingkat keyakinan 95%. (3) Perhitungan risiko liabilitas asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atas harus mengacu pada Lampiran 3 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 6 Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-04/BL/2011 tentang Referensi Unsur Premi Murni Serta Unsur Biaya Administrasi Dan Biaya Umum Lainnya Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun 2011 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -4- Pasal 7 Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN I PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 07/BL/2012 TENTANG REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013 Lampiran I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal REFERENSI UNSUR PREMI MURNI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR I. REFERENSI UNSUR PREMI MURNI KATEGORI UANG PERTANGGUNGAN (1) Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 (2) Jenis Kendaraan Non Bus dan Non Truk Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000 Rp150.000.001 s.d. Rp300.000.000 Rp300.000.001 s.d. Rp500.000.000 Rp500.000.001 s.d. Rp800.000.000 Lebih dari Rp800.000.000 Jenis Kendaraan Bus dan Truk Kategori 6 Kategori 7 Jenis Kendaraan Roda 2 (dua) Kategori 8 Truk, semua uang pertanggungan Bus, semua uang pertanggungan Semua uang pertanggungan PERTANGGUNGAN TOTAL LOSS ONLY (TLO) (3) 0,24% 0,17% 0,14% 0,12% 0,11% 0,20% 0,08% 0,37% : PER- 07/BL/2012 : 27 Desember 2012 PERTANGGUNGAN COMPREHENSIVE (4) 1,82% 1,40% 0,87% 0,65% 0,37% 0,73% 0,48% 0,59% Penerapan unsur premi murni pada tabel di atas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Unsur premi murni di atas berlaku untuk penutupan dasar. 2. Untuk perluasan Strike, Riot, Civil Commotion (SRCC), Flood, Earthquake, dan Third Party Liability (TPL) harus dikenakan premi tambahan. 3. Unsur premi murni di atas merupakan persentase dari uang pertanggungan. 4. Premi murni paling sedikit 50% dari premi bruto. II. PREMI YANG DIBEBANKAN PADA TERTANGGUNG Premi yang dibebankan pada tertanggung adalah premi murni ditambah biaya administrasi dan umum, biaya akuisisi, dan keuntungan perusahaan. KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- TATA CARA PENGGUNAAN FAKTOR KREDIBILITAS DALAM MENETAPKAN UNSUR PREMI MURNI PERUSAHAAN 1. Perusahaan asuransi umum yang memiliki data profil risiko dan kerugian untuk periode 5 (lima) tahun atau lebih menghitung unsur premi murni berdasarkan data profil risiko dan kerugian yang dimilikinya sendiri ( PS untuk tiap-tiap kategori. R ) 2. Perusahaan asuransi umum menghitung faktor kredibilitas untuk PS R , selanjutnya dinyatakan dengan Z. Perhitungan nilai Z dilakukan untuk setiap kategori pertanggungan. Nilai Z dihitung dengan formula sebagai berikut: Z = min    K N ,1    dengan Z = faktor kredibilitas N = rata-rata besarnya klaim perusahaan untuk setiap kategori pertanggungan dalam tahun underwriting 2008, 2009, dan 2010 K = nilai sesuai dengan kategori kendaraan dalam tabel di bawah ini: K KATEGORI (1) UANG PERTANGGUNGAN (2) Jenis Kendaraan Non Bus dan Non Truk Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 Rp150.000.001 s.d. Rp300.000.000 Rp300.000.001 s.d. Rp500.000.000 Rp500.000.001 s.d. Rp800.000.000 Lebih dari Rp800.000.000 Jenis Kendaraan Bus dan Truk Kategori 6 Kategori 7 Truk, semua uang pertanggungan Bus, semua uang pertanggungan Jenis Kendaraan Roda 2 (dua) Kategori 8 Semua uang pertanggungan PERTANGGUNGAN TOTAL LOSS ONLY (TLO) (3) 200.000.000 300.000.000 450.000.000 550.000.000 1.000.000.000 200.000.000 100.000.000 50.000.000 PERTANGGUNGAN COMPREHENSIVE (4) 2.000.000.000 2.500.000.000 3.000.000.000 4.000.000.000 4.000.000.000 1.000.000.000 1.200.000.000 100.000.000 : PER- 07 /BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- 3. Perusahaan asuransi umum menetapkan unsur premi murni perusahaan (R) dengan mengkombinasikan PS R dan unsur premi murni referensi R berdasarkan formula sebagai berikut: REF REF R Z R   dengan R Z R R PS PS    ) (1 Z R = unsur premi murni perusahaan = faktor kredibilitas = unsur premi murni berdasarkan data profil risiko dan kerugian yang dimiliki perusahaan REF = unsur premi murni referensi berdasarkan Lampiran 1 *********************A. FUAD RAHMANY KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 : PER- 07 /BL/2012 : 27 Desember 2012 Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2012 Tanggal : 27 Desember 2012 -1- PERHITUNGAN RISIKO LIABILITAS ASURANSI I. Perhitungan risiko liabilitas asuransi untuk produk asuransi pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor yang jangka waktu kontraknya lebih dari 1 (satu) tahun dan yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali pada setiap ulang tahun polis menggunakan formula sebagai berikut: R M PaxLA  RLA = Risiko Liabilitas Asuransi CP = Cadangan premi sesuai dengan laporan posisi keuangan (neraca) dan sesuai dengan perhitungan aktuaris perusahaan CP* = Cadangan Premi yang dihitung dengan estimasi terbaik ditambah marjin untuk risiko pemburukan dengan tingkat keyakinan 95% II. Tabel CP* untuk Pertanggungan Total Loss Only (TLO) KATEGORI PERTANGGUNGAN (1) Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 Kategori 6 Kategori 7 Kategori 8 ESTIMASI SENTRAL (2) 0,20% 0,13% 0,10% 0,08% 0,07% 0,16% 0,06% 0,31% MARJIN RISIKO (3) 0,04% 0,04% 0,04% 0,04% 0,04% 0,04% 0,02% 0,06%  C * CP ,0   CP* (per 1 Uang Pertanggungan) (4) 0,28% 0,21% 0,18% 0,16% 0,15% 0,24% 0,10% 0,43% Lampiran III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 07/BL/2012 Tanggal : 27 Desember 2012 -2- III. Tabel CP* untuk Pertanggungan Komprehensif KATEGORI PERTANGGUNGAN (1) Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3 Kategori 4 Kategori 5 Kategori 6 Kategori 7 Kategori 8 ESTIMASI SENTRAL (2) 1,70% 1,28% 0,75% 0,53% 0,25% 0,65% 0,42% 0,52% MARJIN RISIKO (3) 0,12% 0,12% 0,12% 0,12% 0,12% 0,08% 0,06% 0,07% CP* (per 1 Uang Pertanggungan) (4) 1,94% 1,52% 0,99% 0,77% 0,49% 0,81% 0,54% 0,66% KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-07/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013 </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date> <replaced_reg> 'PER-04/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011' </replaced_reg> <related_reg> '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '01/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -1- SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 08/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman Perhitungan Modal Minimum Berbasis Risiko Bagi Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3467); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954); 3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011; 4. Peraturan 5. Peraturan Menteri Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan; Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI. Pasal 1 Modal Minimum Berbasis Risiko bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi ditetapkan berdasarkan besar risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas. Pasal 2 Perhitungan besar risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 harus dilakukan berdasarkan Pedoman Perhitungan Modal Minimum Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini. Pasal 3 Peraturan Ketua ini tidak berlaku untuk laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah maupun Unit Usaha Syariah dari Perusahaan Asuransi dan Reasuransi konvensional. Pasal 4 Peraturan Ketua ini mulai berlaku untuk laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi periode Triwulan I yang berakhir 31 Maret 2013. Pasal 5 Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-09/BL/2011 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 2012 KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN LAMPIRAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER- 08/BL/2012 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -1- PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO I. Ketentuan Umum 1. Modal Minimum Berbasis Risiko, yang selanjutnya disingkat MMBR, adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas. Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas terdiri atas komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. 2. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya disingkat PAYDI adalah produk asuransi yang selain memberikan proteksi juga memberikan hasil investasi yang mengacu pada hasil investasi pasar baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit. 3. Aset Yang Diperkenankan yang selanjutnya disingkat AYD adalah kekayaan yang diperkenankan yang diperhitungkan dalam perhitungan Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012. 4. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. II. Pedoman Umum Perhitungan MMBR 1. Perhitungan tingkat solvabilitas dan MMBR Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki unit usaha syariah dilakukan secara terpisah antara perusahaan induk dengan unit usaha syariahnya. 2. Untuk keperluan perhitungan tingkat solvabilitas, saldo modal bersih Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang ditempatkan pada unit usaha syariah dicatat sebagai aktiva lain. 3. Perhitungan MMBR untuk PAYDI, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut: a. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur proteksi PAYDI tersebut1, pencatatan Aset dan Liabilitas tersebut dimasukkan dalam neraca sebagai produk asuransi tradisional. b. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur investasi PAYDI tersebut, yang hasil investasinya sepenuhnya 1Sesuai ketentuan, PAYDI selalu mengandung unsur proteksi. : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -2- mengacu pada kinerja pasar (tidak ada jaminan atas hasil investasi minimum), perhitungan MMBR tidak dilakukan. c. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur investasi PAYDI tersebut yang dijamin hasil minimumnya, perhitungan MMBR dilakukan sebagaimana diuraikan dalam Lampiran ini. 4. Bagi perusahaan asuransi yang menjual PAYDI yang menjamin hasil investasi minimum, MMBR total perusahaan asuransi tersebut merupakan hasil penjumlahan MMBR untuk produk-produk tradisional (non-PAYDI) dan MMBR untuk PAYDI. Sebagai contoh untuk perusahaan asuransi jiwa yang menjual PAYDI yang memberikan jaminan atas hasil investasi minimum, MMBR total perusahaan adalah sebagai berikut: MMBR untuk Usaha Asuransi dengan Prinsip Konvensional Produk PAYDI (a) Schedule A Schedule B Schedule C Schedule D Schedule E Schedule F Schedule G Schedule H Jumlah Non PAYDI (b) 25 Schedule A 150 Schedule B 15 Schedule C TB Schedule D TB Schedule E TB Schedule F TB Schedule G TB Schedule H 190 Jumlah Catatan: TB= tidak berlaku III. Pedoman Perhitungan MMBR untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi 1. Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas terdiri atas: a. kegagalan pengelolaan Aset; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas; 250 Schedule A 1.500 Schedule B 150 Schedule C 950 Schedule D 250 Schedule E 50 Schedule F 50 Schedule G 50 Schedule H 3.250 Jumlah 275 1.650 165 950 250 50 50 50 3.440 (a) + (b) MMBR Total Perusahaan : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -3- c. ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam setiap jenis mata uang asing; d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan; e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh; f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi Liabilitas membayar klaim; g. kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan; 2. Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan PAYDI, selain risiko kerugian sebagaimana disebut dalam angka 1, Perusahaan wajib memperhitungkan risiko kerugian akibat kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumberdaya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan berkaitan dengan pengelolaan dana investasi yang bersumber dari PAYDI. 3. Kegagalan Pengelolaan Aset (Asset Default Risks) atau Schedule A a. Risiko kegagalan dalam pengelolaan Aset timbul dari kemungkinan adanya kehilangan atau penurunan nilai Aset yang disebabkan oleh faktor risiko pasar atau risiko kredit. b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko kegagalan pengelolaan Aset ditentukan dengan mengalikan faktor risiko (fr) untuk jenis Aset tersebut dengan nilai AYD. Jumlah dana = ∑ (fri x AYDi) fri AYDi = Faktor risiko jenis aset i = AYD jenis aset i c. Peringkat yang digunakan mengacu pada ketentuan pada romawi III.3.e d. Faktor risiko untuk setiap jenis Aset dan contoh perhitungan beban modal untuk masing-masing jenis aset investasi adalah sebagai berikut: 1) Deposito berjangka pada Bank, termasuk depositon call dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan, dan sertifikat deposito yang tidak dapat diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank; : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -4- a) Faktor risiko Kategori i. Kategori khusus ii. Kategori lain, peringkat Bank  Peringkat Klaster 1  Peringkat Klaster 2  Peringkat Klaster 3  Peringkat Klaster 4  Peringkat Klaster 5 sesuai 1,2% 2,1% 3,0% 4,5% 9,0% b) Deposito/sertifikat deposito yang termasuk dalam kategori khusus adalah deposito/sertifikat deposito pada satu bank yang memenuhi syarat penjaminan (antara lain batas tingkat bunga) dengan jumlah sampai dengan jumlah maksimum yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan. 2) Saham yang diperdagangkan di bursa efek; a) Faktor risiko Keterangan i. Saham yang termasuk LQ45, atau JII ii. Saham diperdagangkan di bursa di Indonesia, selain kelompok i. iii. Saham diperdagangkan di bursa luar negeri:  Saham penyusun indeks utama bursa utama negara asia pasifik dan eropa anggota World Federation of Exchanges  Saham lainnya 20,0% 30,0% b) Nilai saham yang dikenakan faktor risiko adalah nilai bersih setelah diperhitungkan komponen lindung nilai. 3) Surat utang korporasi,sukuk korporasi, dan surat berharga yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia Peringkat surat utang/sukuk Faktor i. Peringkat klaster 1 ii. Peringkat klaster 2 iii. Peringkat klaster 3 iv. Peringkat klaster 4 1,6% 2,8% 4,0% 6,0% Faktor 16,0% 20,0% Faktor 0,0% : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -5- 4) Surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia, surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya; a) Faktor risiko 0% b) lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya antara lain adalah World bank, IMF, IDB, dan ADB 5) Reksadana Portofolio efek reksadana: i. Sepenuhnya berupa surat utang pemerintah ii. Sepenuhnya berupa surat utang swasta dan atau surat berharga pasar uang iii. Sepenuhnya berupa surat berharga ekuitas iv. Campuran Faktor 0,00% 6,00% 16,00% Rata-rata tertimbang berdasarkan komposisi portofolio efek reksadana 6) Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) dan dana investasi real estat (DIRE): Peringkat KIK-EBA/DIRE i. Peringkat klaster 1 ii. Peringkat klaster 2 iii. Peringkat klaster 3 iv. Peringkat klaster 4 Faktor 1,6% 2,8% 4,0% 6,0% 7) Penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek); a) Faktor risiko Faktor risiko untuk penyertaan langsung diklasifikasikan berdasarkan kategori, sebagai berikut: : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -6- Kategori Dalam pengawasan Bapepam dan LK Tidak Dalam pengawasan Bapepam dan LK Faktor Risiko 10,0% 20,0% b) Penyertaan langsung pada perusahaan dengan tujuan khusus (Special Purpose Vehicle) yang selanjutnya disebut SPV atau perusahaan induk yang tidak melakukan operasi (holding company), faktor risikonya disesuaikan dengan bidang usaha anak usaha yang dominan yang dibobot berdasarkan aset perusahaan. 8) Bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi; a) Faktor risiko Faktor risiko untuk Bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan, untuk investasi diklasifikasikan berdasarkan tingkat hasil investasi yang diperoleh, sebagai berikut: Kelompok Faktor Hasil investasi bersih per tahun lebih dari 4% Hasil investasi bersih per tahun antara 2% s.d. 4% Hasil investasi bersih per tahun kurang dari 2% 7,0% 15,0% 40,0% b) Hasil investasi bersih per tahun tidak memperhitungkan keuntungan dari penjualan atau revaluasi bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan 9) Pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing); Faktor risiko untuk pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing) diklasifikasikan berdasarkan underlying pembiayaannya, sebagai berikut: Underlying Pembiayaan Sewa guna usaha Kartu kredit Pembiayaan konsumen Faktor Risiko 3,0% 20,0% 8,0% : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -7- 10) Emas murni, faktor risiko 3,0% 11) Pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan a) faktor risiko pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan diklasifikasikan berdasarkan rasio loan to value (LTV) dan jenis penggunaan property b) LTV dihitung berdasarkan saldo pinjaman dan nilai pasar property yang diikat hak tanggungan c) Faktor risiko untuk masing-masing kategori sebagai berikut: Kategori Faktor risiko i. Properti residensial  LTV < 80%  80%<LTV <90% ii. Properti komersial lainnya  LTV < 80%  80%<LTV <90% iii. Properti yang tidak digunakan 2,8% 4,0% 5,6% 8,0% 12,0% 12) Faktor risiko untuk setiap jenis AYD untuk aset bukan investasi adalah sebagai berikut: Jenis Kekayaan Kas dan bank Kategori Tagihan premi penutupan langsung, termasuk tagihan premi koasuransi yang menjadi bagian perusahaan Tagihan klaim koasuransi Koasuradur dalam pengawasan Bapepam dan LK Koasuradur tidak dalam pengawasan Bapepam dan LK  Peringkat klaster 1  Peringkat klaster 2  Peringkat klaster 3  Peringkat klaster 4  Peringkat klaster 5 2,8% 4,0% 6,0% 12,0% 15,0% Faktor 0,0% 8,0% 2,8% : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -8- Jenis Kekayaan Tagihan reasuransi (catatan: bagi perusahaan reasuransi, faktor risiko untuk tagihan retrosesi sama dengan faktor risiko untuk tagihan reasuransi.) Tagihan investasi Tagihan hasil investasi Pinjaman Polis Bangunan dengan hak strata atau tanah dengan bangunan, untuk dipakai sendiri Kategori Reasuradur dalam pengawasan Bapepam dan LK Reasuradur tidak dalam pengawasan Bapepam dan LK  Peringkat klaster 1  Peringkat klaster 2  Peringkat klaster 3  Peringkat klaster 4  Peringkat klaster 5 2,8% 4,0% 6,0% 12,0% 15,0% 2,0% 2,0% 0,0% 4,0% e. Ketentuan penggunaan peringkat sebagai berikut: 1) Peringkat sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini adalah peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar di Bapepam dan LK atau yang telah memperoleh pengakuan internasional. 2) Untuk setiap instrumen investasi, peringkat yang digunakan adalah peringkat instrumen tersebut. Apabila peringkat instrumen tidak tersedia, maka dapat digunakan peringkat instrumen sejenis yang diterbitkan oleh emiten yang bersangkutan atau satu level dibawah peringkat dari peringkat emiten yang bersangkutan. 3) Untuk instrumen investasi yang diterbitkan badan hukum Indonesia atau SPV di luar negeri yang didirikan oleh badan hukum Indonesia, peringkat instrumen investasi dapat didasarkan pada: a) peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat di Indonesia; b) peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat yang memiliki afiliasi dengan lembaga pemeringkat di Indonesia; atau Faktor 2,8% : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -9- c) peringkat instrumen sejenis yang diterbitkan oleh emiten yang bersangkutan yang telah mendapat peringkat dari lembaga pemeringkat di Indonesia; atau d) peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat yang diakui secara internasional. 4) Untuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh badan hukum asing maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang diterbitkan lembaga rating yang diakui secara internasional. 5) Pengelompokan peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat sebagai berikut: a) peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat yang terdaftar di Bapepam dan LK Klaster 1 2 Pefindo idAAA idAA+ idAA idAA- 3 idA+ idA idA- 4 idBBB+ idBBB idBBB- dibawah 5 idBB+, atau tidak diperingkat Fitch Indonesia AAA (idn) AA+ (idn) AA (idn) AA- (idn) A+(idn) A (idn) A- (idn) BBB+ (idn) BBB (idn) BBB- (idn) dibawah BB+(idn), atau tidak diperingkat ICRA Indonesia [Idr]AAA [Idr]AA+ [Idr]AA [Idr]AA- [Idr]A+ [Idr]A [Idr]A- [Idr]BBB+ [Idr]BBB [Idr]BBB- dibawah [Idr]BB+, atau tidak diperingkat b) peringkat yang diterbitkan lembaga rating yang diakui secara internasional Klaster Standard & Poor’s 1 2 AAA AA+ AA AA- Moody’s Aaa Aa1 Aa2 Aa3 AM Best A++ A+ Fitch AAA AA+ AA AA- ICRA AAA AA+ AA AA- : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -10- 3 4 5 A+ A A- BBB+ BBB BBB- BB+ , dibawah BB+, atau tidak diperingkat f. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam schedule A sebagai berikut: 1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 50% dari jumlah dana yang dibutuhkan; 2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 75% dari jumlah dana yang dibutuhkan ; 3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 100% dari jumlah dana yang dibutuhkan. 4. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Aset dan Liabilitas (Cash-flow Mismatch Risks), atau Schedule B a. Risiko Ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan arus Liabilitas (RKAAL) timbul karena adanya ketidaksesuaian antara besar dan saat jatuh tempo Liabilitas dengan besar dan saat jatuh tempo Aset. b. Untuk menghitung Schedule B, nilai AYD dan liabilitas yang mengacu pada nilai buku pada Laporan Posisi Keuangan, dikelompokkan berdasarkan saat jatuh temponya (maturity): 1) Jatuh tempo dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun; 2) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun; 3) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun tetapi kurang dari 5 (lima) tahun; 4) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun tetapi kurang dari 10 (sepuluh) tahun; dan 5) Jatuh tempo dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atau lebih. c. AYD berupa efek yang diperdagangkan dan dinilai berdasarkan nilai pasar (antara lain saham) diklasifikasikan sebagai aset yang jatuh tempo dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun. d. AYD yang bertujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh tempo, diklasifikasikan sesuai dengan sisa umurnya e. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi RKAAL dihitung sebagai berikut: A1 A2 A3 Baa1 Baa2 Baa3 dibawah Ba1, atau tidak diperingkat A A- B++ B+ dibawah B, atau tidak diperingkat A+ A A- BBB+ BBB BBB- dibawah BB+, atau tidak diperingkat A+ A A- BBB+ BBB BBB- dibawah BB+, atau tidak diperingkat : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -11- RKAAL = ∑ 4,0% x (Max (Li - AYDi), 0) AYDi Li = nilai buku AYD yang jatuh tempo/maturity pada periode i = nilai buku liabilitas yang jatuh tempo/maturity pada periode i f. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam schedule B sebagai berikut: 1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 50% dari jumlah dana yang dibutuhkan; 2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 75% dari jumlah dana yang dibutuhkan; 3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 100% dari jumlah dana yang dibutuhkan. 5. Ketidakseimbangan Antara Nilai Aset dan Liabilitas Dalam Setiap Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks), atau Schedule C a. Risiko ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam setiap jenis mata uang asing (foreign currency mismatch risks), selanjutnya disebut RKMA, timbul karena adanya perbedaan nilai Aset dan nilai Liabilitas dalam mata uang asing, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah. b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko ketidakseimbangan antara nilai Aset dan nilai Liabilitas untuk setiap satu jenis mata uang asing tertentu dihitung sebagai berikut: AYDi- Li Kurang dari atau sama dengan nol Lebih dari nol namun tidak melebihi 20% dari Jumlah Kewajiban Melebihi 20% dari Jumlah Kewajiban Faktor 30% 0% 10% AYDi = nilai buku AYD mata uangi Li RKMA ∑ 30% x (Li – AYDi) Nol 10% x ∑ (AYDi – (120% x Li) = nilai buku liabilitas mata uang i c. Hasil perhitungan jumlah dana pada huruf b dikonversikan ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal laporan. d. Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak asuransi dalam mata uang rupiah. : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -12- e. Dalam hal terdapat kontrak lindung nilai, maka nilai aset dan liabilitas adalah nilai aset dan liabilitas bersih yang telah memperhitungkan lindung nilai. 6. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi Dan Beban Klaim Yang Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected) atau Schedule D a. Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang diperkirakan (selanjutnya disebut Risiko Liabilitas Asuransi atau RLA) timbul dari kemungkinan pengalaman klaim yang terjadi lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan dan perhitungan cadangan teknis yang terlalu rendah b. Perhitungan RLA untuk produk asuransi yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis atau Schedule D1, ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: RLA = max ((CP* - CP), 0) CP = cadangan premisesuai laporan posisi keuangan (neraca) dan sesuai dengan perhitungan aktuaris perusahaan CP* = adalah cadangan premi yang dihitung dengan estimate terbaik ditambah Margin Untuk Risiko Pemburukan dengan tingkat keyakinan kecukupan cadangan premi 95% (company level). c. Stress test untuk mencapai tingkat keyakinan 95% dilakukan pada semua variabel pembentuk perhitungan cadangan premi, kecuali variabel tingkat bunga (stress testvariabel tingkat bunga dikalkulasi dalam schedule G). d. Perhitungan RLA untuk produk asuransi yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis atau Schedule D2, ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut: RLA =  (( CAPYBMPi – ARi)fcpi + (CKi– ARi)fcki) CAPYBMP = cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan AR fcpi = Aset Reasuransi = faktor risiko untuk cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan untuk lini usaha i CKi fcki = cadangan klaim untuk lini usaha i = faktor risiko untuk cadangan klaim untuk lini usaha i Dengan besar fcp dan fck untuk masing-masing lini bisnis asuransi sebagai berikut: : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -13- Faktor Cabang Asuransi Harta benda (property) Kendaraan bermotor (own damage, third party liability, dan personal accident) Pengangkutan (marine cargo) Rangka kapal (marine hull) Rangka pesawat (aviation hull) Satellite Energi Onshore (oil and gas) Energi Offshore (oil and gas) Rekayasa (engineering) Tanggung-gugat (liability) Kredit (Credit) Suretyship Aneka Jiwa fcP 25% 25% 30% 30% 30% 25% 35% 35% 25% 35% 30% 25% 25% 10% fcK 20% 20% 25% 25% 25% 20% 30% 30% 20% 30% 25% 20% 20% 10% 7. Ketidakcukupan Premi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang Diasumsikan dalam Penetapan Premi dengan Hasil Investasi yang Diperoleh (Risks of Insufficient Premium due to realized investment return worse than expected) atau Schedule E a. Risiko ketidakcukupan premi dapat disebabkan oleh tingkat hasil investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi yang diperkirakan dalam penetapan premi dan cadangan (selanjutnya disebut Risiko Tingkat Bunga atau RTB). b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi RTB dihitung dengan formula RTB = fRTB Max((CPrf - CPo), 0) fRTB CPrf CPo = faktor RTB = cadangan premi yang dihitung dengan bunga bebas risiko =adalah cadangan premi yang dihitung aktuaris perusahaan (cadangan premi yang disajikan di laporan posisi keuangan/neraca) : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -14- c. Tingkat bunga bebas risiko mengacu kepada yield SUN rata-rata 3 (tiga) tahun terakhir seri benchmark dengan jangka waktu yang sesuai dengan rata-rata jangka waktu polis pada tingkat perusahaan (company level) d. Faktor RTB (fRTB) ditentukan sebagai berikut: 1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 5%; 2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 10%; 3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 15%. 8. Risiko Reasuransi (Reinsurance Risks) a. Komponen risiko reasuransi, merupakan bagian dari Risiko Kredit yang diperhitungkan untuk kegagalan/ketidakmampuan penanggung ulang untuk memenuhi kewajibannya kepada perusahaaan asuransi. b. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk menanggulangi risiko reasuransi ditentukan dengan cara mengalikan besar eksposur reasuransi dengan faktor risiko. c. Besar eksposur reasuransi dihitung dari cadangan teknis beban penanggung ulang dikurangi deposit reasuradur yang berupa segala bentuk simpanan yang ditempatkan oleh reasuradur pada asuradur, termasuk premi yang ditahan oleh asuradur dimana asuradur memiliki otoritas penuh untuk menggunakan simpanan tersebut. d. Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut: Kategori Perusahaan/reasuradur Dalam pengawasan Bapepam dan LK Tidak Dalam pengawasan Bapepam dan LK  Peringkat Reasuradur Klaster 1  Peringkat Reasuradur Klaster 2  Peringkat Reasuradur Klaster 3  Peringkat Reasuradur Klaster 4  Peringkat Reasuradur Klaster 5 : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 mengantisipasi Faktor 2,8% 2,8% 4,0% 6,0% 12,0% 15,0% 9. Kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumberdaya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan atau Schedule G a. Komponen risiko ini digunakan untuk mengantisipasi kerugian yang disebabkan kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain atau yang dikenal dengan risiko operasional (RO). LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -15- b. Semakin komplek struktur perusahaan, risiko operasional akan meningkat. Proxy untuk kompleksitas operasional adalah besar Beban Umum dan Administrasi (BUA) setelah dikurangi Biaya Pendidikan dan Pelatihan (BPL) c. Besarnya faktor risiko operasional ditentukan sebagai berikut: RO = 1%(BUA - BPL) 10. Kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan berkaitan dengan pengelolaan dana investasi yang bersumber dari PAYDI atau Schedule H a. Komponen risiko ini digunakan untuk mengantisipasi kerugian yang disebabkan kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain berkaitan dengan pengelolaan dana investasi yang bersumber dari PAYDI atau yang dikenal dengan risiko operasional PAYDI (ROPAYDI). b. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk menanggulangi risiko operasional PAYDI ditentukan dengan cara mengalikan besar dana kelolaan PAYDI perusahaan dengan faktor risiko operasional PAYDI, dengan formula sebagai berikut: ROPAYDI = 1%o X Dana Kelolaan PAYDI IV. Pedoman Perhitungan MMBR untuk Perusahaan Asuransi yang Menjual PAYDI dengan Komponen Investasi yang Dijamin Hasil Minimumnya 1. Perusahaan asuransi yang menjual PAYDI dengan komponen investasi yang dijamin hasil minimumnya harus dapat menentukan besar Liabilitas minimumnya kepada pemegang polis untuk komponen investasi berdasarkan jaminan yang diberikannya dalam polis. Apabila perusahaan tidak secara khusus menentukan jumlah Liabilitas minimum kepada pemegang polis untuk komponen investasi berdasarkan jaminan yang diberikan dalam polis, maka Liabilitas minimum tersebut dihitung dengan mengakumulasikan bagian premi untuk komponen investasi dengan menggunakan tingkat bunga minimum yang setara dengan jaminan dalam polis. 2. Komponen MMBR terdiri dari: a. kegagalan pengelolaan Aset; b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas; c. ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam setiap jenis mata uang asing; : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012 LAMPIRAN Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor Tanggal -16- 3. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di atas adalah sebagai berikut. a. Kegagalan Pengelolaan Aset (Asset Default Risks) 1) Faktor risiko yang dikenakan untuk setiap jenis AYD dan perhitungan jumlah dana untuk MMBR sama dengan yang berlaku untuk produk asuransi lain sebagaimana diuraikan dalam bagian III 3. 2) Jumlah AYD yang digunakan untuk menentukan jumlah dana dalam MMBR adalah sebesar jumlah Liabilitas minimum perusahaan kepada pemegang polis untuk komponen investasi dari PAYDI tersebut. 3) Apabila jumlah AYD yang telah terakumulasi ternyata lebih kecil daripada jumlah Liabilitas minimum kepada pemegang polis sebagaimana dimaksud pada butir IV 3 a. 2), maka jumlah AYD yang digunakan dalam perhitungan adalah total akumulasi AYD. b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Aset dan Liabilitas (Cash- flow Mismatch Risks) 1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh temponya Liabilitas berbeda dengan besar dan saat jatuh temponya Aset. 2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk menutup risiko ketidakseimbangan tersebut ditentukan sebesar 2% (satu per seratus) dari Liabilitas minimum kepada pemegang polis untuk komponen investasi PAYDI tersebut. c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Aset dan Liabilitas dalam Setiap Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks) 1) Ketentuan dan tatacara perhitungan jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk komponen ini sama dengan yang diuraikan dalam bagian III 3. 2) Liabilitas adalah Liabilitas minimum dalam mata uang asing kepada pemegang polis untuk komponen investasi PAYDI tersebut. 3) Aset adalah AYD dalam mata uang asing yang dihitung menggunakan aturan sebagaimana dimaksud dalam butir IV 3 a. 2) dan IV 3 a. 3). KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN ttd NGALIM SAWEGA Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 19571028 198512 1 001 : PER- 08/BL/2012 : 27 Desember 2012
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-08/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id> <reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title> <set_date> 27 Desember 2012 </set_date> <effective_date> laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi periode Triwulan I yang berakhir 31 Maret 2013 </effective_date> <replaced_reg> 'PER-09/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011' </replaced_reg> <related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '92/PERPRES/2011', '24/PERPRES/2010' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 03/BL/2008 TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong terciptanya dan terlaksananya tata kelola perusahaan yang baik di industri Perusahaan Pembiayaan diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan dan kepatutan yang tinggi dalam menjalankan Perusahaan Pembiayaan; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi Dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 53); 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006; 6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 2. Kepala Biro adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 3. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. 4. Direksi: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perkoperasian. 5. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas. b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang tentang Perkoperasian. 6. Tim Penguji adalah tim yang dibentuk untuk melakukan pengujian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris. 7. Tim Penilai adalah tim yang dibentuk untuk memberikan penilaian terhadap status kelulusan calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 3 - BAB II MAKSUD DAN TUJUAN Pasal 2 Penilaian kemampuan dan kepatutan mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut: a. Perusahaan Pembiayaan mempunyai Direksi dan Dewan Komisaris yang memiliki kemampuan yang layak; dan b. Perusahaan Pembiayaan mempunyai Direksi dan Dewan Komisaris yang memiliki kepatutan yang layak. BAB III KEWAJIBAN MEMENUHI PERSYARATAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 3 (1) Setiap anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. (2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan, calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan kemampuan Pasal 4 Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan: a. pada saat seseorang akan memangku jabatan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris; dan b. setiap waktu apabila di kemudian hari anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak memenuhi atau diduga tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan/atau kepatutan. BAB IV PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Bagian Pertama Penetapan Penilaian dan kepatutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 4 - Pasal 5 (1) Ketua melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, serta menetapkan bahwa calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris lulus dan memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan, atau tidak lulus dan tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan. (2) Tata cara pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Pasal 6 Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan kepada calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan untuk menilai bahwa calon tersebut memenuhi persyaratan: a. kemampuan; dan b. kepatutan. Pasal 7 (1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap faktor kemampuan dan kepatutan. (2) Faktor kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang- undangan lain yang berhubungan dengan Perusahaan Pembiayaan; c. pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya; dan d. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan Perusahaan Pembiayaan yang sehat. (3) Faktor kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. memiliki akhlak dan moral yang baik; b. tidak pernah melakukan praktik-praktik tercela di bidang usaha Perusahaan Pembiayaan dan/atau jasa keuangan lainnya; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 5 - c. tidak pernah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau jasa keuangan lainnya; d. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; e. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; f. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas Perusahaan Pembiayaan; dan g. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan Pembiayaan. (4) Bobot penilaian atas faktor kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini. Bagian Kedua Tim Penguji Dan Tim Penilai Pasal 8 (1) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7, Ketua membentuk Tim Penguji dan Tim Penilai. (2) Ketua melimpahkan kewenangan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Biro. (3) Tim Penguji berjumlah paling kurang 2 (dua) orang anggota dan satu orang ketua yang terdiri atas unsur Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan asosiasi Perusahaan Pembiayaan. (4) Tim Penilai berjumlah 3 (tiga) orang yang berasal dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. Pasal 9 (1) Tim Penguji mempunyai tugas sebagai berikut: a. penelitian administratif; b. wawancara; dan c. hal lain yang dianggap perlu. (2) Tim Penilai mempunyai tugas melakukan penilaian atas hasil uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Tim Penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 6 - (3) Tim Penguji dan Tim Penilai wajib melaporkan hasil pekerjaannya kepada Kepala Biro. BAB V PERMOHONAN PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Pasal 10 (1) Untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direksi dari Perusahaan Pembiayaan tempat calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan akan bekerja wajib mengajukan permohonan kepada Ketua. (2) Bagi perseroan terbatas atau koperasi yang mengajukan izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan, pengajuan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang belum memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan kepada Ketua dilakukan oleh Direksi dimaksud. Pasal 11 Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diajukan sebelum Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Umum Anggota pengangkatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris. Pasal 12 (1) Pengajuan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilakukan sesuai dengan format dalam Lampiran I Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dan wajib dilampiri dengan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b. daftar riwayat hidup sesuai dengan format Lampiran II Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini; c. surat pernyataan dengan meterai cukup sebagaimana dimuat dalam Lampiran III Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, yang wajib memuat sekurang-kurangnya: 1. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 7 - 2. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; 3. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; 4. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 5. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur pada Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai direktur Perusahaan Pembiayaan; dan 6. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai Pembiayaan. d. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi calon anggota Direksi berkewarganegaraan asing. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 5 hanya berlaku bagi calon anggota Direksi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 6 hanya berlaku bagi calon anggota Dewan Komisaris. BAB VI TAHAPAN PELAKSANAAN PENILAIAN Bagian Pertama Persiapan Pelaksanaan Penilaian Pasal 13 Tahapan persiapan pelaksanaan penilaian meliputi: a. Pembentukan Tim Penguji dan Tim Penilai oleh Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). b. Pengajuan surat permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. c. Pengecekan kelengkapan dokumen atas permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf b yang disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan. d. Penentuan jadual pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Kepala Biro. Bagian Kedua Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Komisaris Perusahaan DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 8 - Pasal 14 Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan meliputi: a. Kepala Biro melakukan pemanggilan kepada calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. b. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan wajib hadir pada waktu yang ditentukan oleh Kepala Biro. c. Tim Penguji melakukan pengujian kepada calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. d. Tim Penilai melakukan penilaian atas calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Tim Penguji sebagaimana dimaksud pada huruf c. Pasal 15 Dalam hal calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan tidak hadir pada waktu yang ditentukan setelah dilakukan pemanggilan oleh Kepala Biro sebanyak 2 (dua) kali, maka permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dianggap batal. Pasal 16 (1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c dilakukan dengan prosedur wawancara. (2) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tatap muka langsung di kantor Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Kepala Biro. (3) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Bahasa Indonesia. (4) Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang tidak menguasai Bahasa Indonesia wajib didampingi oleh penerjemah dalam proses penilaian kepatutan. kemampuan dan (5) Biaya jasa penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditanggung oleh Perusahaan Pembiayaan bersangkutan. Pasal 17 Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di luar negeri dapat dilakukan secara tertulis. yang DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 9 - Pasal 18 (1) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan setiap 2 (dua) bulan sekali pada minggu kedua bulan genap. (2) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan di luar jadual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dianggap perlu. Bagian Ketiga Pasal 19 (1) Hasil penilaian Tim Penilai atas kemampuan dan kepatutan sebagai calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris ditetapkan oleh Ketua dan dibagi menjadi 2 (dua) predikat sebagai berikut: a. lulus; atau b. tidak lulus. (2) Penentuan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada: a. penjumlahan atas nilai dari masing-masing faktor kemampuan dan kepatutan sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran IV Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini; dan b. satu atau lebih faktor dalam kemampuan dan kepatutan yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan predikat lulus. (3) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris diklasifikasikan lulus apabila yang bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir sebesar 70 (tujuh puluh) atau lebih dan tidak terdapat nilai 0 (nol) pada faktor kepatutan. (4) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris diklasifikasikan tidak lulus apabila yang bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 70 (tujuh puluh) atau terdapat nilai 0 (nol) pada faktor kepatutan. Pasal 20 (1) Ketua memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan yang mengajukan permohonan penilaian kepatutan dan kemampuan calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris perusahaan dimaksud. (2) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dinyatakan tidak lulus dapat mengajukan permintaan keterangan mengenai ketidaklulusannya kepada Ketua. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 10 - Pasal 21 (1) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan yang dinyatakan tidak lulus diberikan kesempatan untuk mengikuti kembali penilaian kemampuan dan kepatutan kecuali dinyatakan tidak lulus karena faktor kepatutan. (2) Untuk dapat mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi dari Perusahaan Pembiayaan tempat calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan akan bekerja wajib mengajukan kembali permohonan kepada Ketua. BAB VII KEBERATAN Pasal 22 (1) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan yang dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, dapat mengajukan keberatan kepada Ketua dengan disertai alasan keberatannya. (2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian oleh Perusahaan Pembiayaan. (3) Terhadap keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Ketua wajib memberikan jawaban paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya surat keberatan dimaksud. (4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Ketua tidak memberikan jawaban, maka keberatan tersebut ditolak. BAB VIII HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN DARI INDUSTRI JASA KEUANGAN LAIN Pasal 23 (1) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan yang sudah pernah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan untuk menduduki posisi atau jabatan tersebut yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, tidak perlu dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan lagi. (2) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan yang sudah pernah lulus penilaian kemampuan dan kepatutan pada industri jasa keuangan lain yang dilakukan oleh lembaga pengawas industri jasa DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 11 - keuangan lain dimaksud, tidak perlu dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan lagi. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila di kemudian hari calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak memenuhi atau diduga tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan/atau kepatutan. (4) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan pada industri jasa keuangan lain yang disebabkan oleh faktor kemampuan, dapat diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. (5) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan yang tidak lulus pada industri jasa keuangan lain yang disebabkan oleh faktor kepatutan, tidak dapat diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagai calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan. BAB IX KERAHASIAAN Pasal 24 Anggota Tim Penilai dan Tim Penguji atau yang pernah menjadi anggota Tim Penilai dan Tim Penguji wajib merahasiakan dokumen, informasi, dan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan, kecuali diwajibkan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku. BAB X SANKSI Pasal 25 Pelanggaran terhadap Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dikenakan sanksi sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan. BAB XI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 26 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang pada saat Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN - 12 - berlaku dalam proses pelaporan perubahan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, maka anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dilaporkan wajib memenuhi ketentuan persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 27 Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di pada tanggal : Jakarta : 30 Juni 2008 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd. A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd. Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008 LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 Nomor : Lampiran : Perihal ............... ,….............................20.... : Permohonan Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Calon Anggota Direksi/Dewan Komisaris*) PT ................... Atau Calon Anggota Pengurus/Pengawas *) Koperasi ................ Kepada Yth. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur 1 - 4 Jakarta 10710 Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mengikuti uji kemampuan dan kepatutan atas nama: 1. Nama : ......................................................................................................................... Status 2. Nama : ........................................................................................................................ Status 3. ......dst Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; b. daftar riwayat hidup; c. surat pernyataan dengan meterai cukup yang memuat: 1) tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan; 2) tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; 3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; 4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada 5) tidak akan Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai direktur/pengurus*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Direksi; dan 6) tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai : Calon anggota direksi/dewan komisaris*) atau pengurus/pengawas*) : Calon anggota direksi/dewan komisaris*) atau pengurus/pengawas*) LAMPIRAN I Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 2 - komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Dewan Komisaris. d. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi calon anggota Direksi berkewarganegaraan asing Demikian permohonan kami ajukan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi/Pengurus PT/Koperasi ........................ Tembusan: Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan. *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN II Photo berwarna 4 X 6 Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 DAFTAR RIWAYAT HIDUP (untuk diisi oleh calon direktur/pengurus/komisaris/pengawas) I. Data Pribadi 1. Nama Lengkap : 2. Tempat/Tanggal Lahir : 5. Alamat Rumah 6. Alamat Kantor 8. Ijin Kerja Tenaga Asing (bagi WNA) : : : ................................................................................ ................................................................................ 3. Kebangsaan : ................................................................................ 4. Status Perkawinan ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ 7. Nomor KTP/Paspor : : 9. Tanda Bukti Ijin Menetap Sementara (bagi WNA) : ................................................................................ ................................................................................ ................................................................................ 10. NPWP : ................................................................................ II. Riwayat Pendidikan Formal No Tahun Institusi Dari…s.d … Jurusan/ Program Keterangan III. Pelatihan dan Seminar yang Pernah Diikuti No Tahun Institusi Penyelenggara Dari…s.d … Uraian Topik Yang Diikuti Keterangan IV. Riwayat Pekerjaan *) No. Uraian **) Tahun …………….. PT ………………….. (Jabatan) ………….. Tahun …………….. PT ………………….. (Jabatan) ………….. dst. LAMPIRAN II Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 2 - V. Penghargaan Yang Relevan Dengan Industri Keuangan yang Pernah Dicapai No. Tahun Alasan Mendapatkan Penghargaan Keterangan VI. Uraian Kemampuan Keterampilan Lain yang Dikuasai Seperti Keterampilan di bidang Komputer atau Bahasa Asing No. Jenis Keterampilan yang Dikuasai Tingkat Penguasaan Keterangan Demikian Daftar Riwayat Hidup ini kami buat dengan sebenar-benarnya. …………, ……….…20.. (tanda tangan) (Nama Lengkap) Keterangan: *) Dilampiri dengan bukti surat keterangan pengalaman bekerja **) Diuraikan sejelas-jelasnya mengenai tugas dan tanggung jawab pekerjaan, jumlah bawahan. Termasuk keputusan-keputusan penting yang pernah ditetapkan selama memangku jabatan/posisi dimaksud. LAMPIRAN III Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 SURAT PERNYATAAN (untuk diisi oleh calon direktur/pengurus/komisaris/pengawas) Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : ……………………………………………………………………….. Alamat : ……………………………………………………………………….. Pekerjaan : ……………………………………………………………………….. dengan ini menyatakan bahwa: 1. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan; 2. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; 3. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; 4. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 5. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai direktur/pengurus*) Perusahaan Pembiayaan (bagi calon anggota Direksi); dan 6. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan (bagi calon anggota Dewan Komisaris). Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. ……….. , ……………20.. Tanda tangan (meterai) (Nama Lengkap) *) Coret yang tidak perlu LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 1 - PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN I. RUANG LINGKUP DAN KRITERIA PENILAIAN FAKTOR KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN A. Faktor Kemampuan 1. Ruang Lingkup Faktor Kemampuan Penilaian faktor kemampuan dilakukan untuk memastikan bahwa anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris memiliki: a. Pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya; b. Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan usaha Perusahaan Pembiayaan; c. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya; dan d. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan. 2. Kriteria Penilaian Faktor Kemampuan Kriteria penilaian faktor kemampuan bagi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagai berikut: a. Pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya, meliputi: 1) Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi organisasi serta uraian tugas dan tanggung jawab direksi; 2) Kemampuan individual untuk melakukan analisis pemasaran dan pembiayaan; 3) Kemampuan memimpin sebuah organisasi untuk mencapai tujuan organisasi; dan 4) Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi. b. Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan usaha Perusahaan Pembiayaan, meliputi: 1) Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan; dan 2) Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan seperti peraturan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang. c. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya, meliputi: LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 2 - 1) Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan meliputi masa kerja, variasi bidang tugas, dan catatan karier pada jabatan struktural atau fungsional; 2) Pengalaman di bidang lain di antaranya pada industri perbankan, lembaga penilai, lembaga pembina dan pengawas lembaga keuangan, dan lembaga pendidikan; 3) Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan Konsumen; dan 4) Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan keuangan, pemasaran, operasional dan sebagainya yang cukup berkaitan dengan jabatan yang akan dijabat oleh yang bersangkutan. d. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan, meliputi: 1) Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan; 2) Kemampuan melakukan analisis situasi industri Perusahaan Pembiayaan, antara lain analisis terhadap pesaing, struktur industri Perusahaan Pembiayaan, dan persaingan dengan lembaga keuangan lainnya seperti perbankan; 3) Kemampuan melakukan analisis perkembangan kondisi internal perusahaan, antara lain kondisi kesehatan keuangan, sumber daya manusia, dan teknologi; 4) Kemampuan menetapkan arah serta sasaran perusahaan yang harus dicapai; dan 5) Kemampuan merancang strategi jangka pendek, menengah, dan panjang dalam rangka mencapai sasaran perusahaan seperti kemampuan untuk menyusun rencana bisnis tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang dengan menggunakan asumsi- asumsi yang realistis dan terukur. B. Faktor Kepatutan 1. Ruang Lingkup Faktor Kepatutan Penilaian faktor kepatutan dilakukan untuk memastikan bahwa anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak melakukan tindakan-tindakan meliputi: a. perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan moral yang baik; b. praktik-praktik tercela di bidang usaha Perusahaan Pembiayaan atau jasa keuangan lainnya; c. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya; d. melakukan tindak pidana kejahatan; e. perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 3 - berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; f. melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas Perusahaan Pembiayaan; g. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan; h. perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau diluar kewenangannya; i. tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi; dan j. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan Pembiayaan. 2. Kriteria Penilaian Faktor Kepatutan Kriteria penilaian faktor kepatutan bagi anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagai berikut: a. perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan moral yang baik. b. praktik-praktik tercela di bidang Perusahaan Pembiayaan atau Lembaga Keuangan lainnya: 1) melakukan 2 kali atau lebih praktik tercela; 2) melakukan 1 kali praktik tercela; 3) tidak pernah melakukan praktik tercela. c. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya: 1) yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan telah dikenakan sanksi; 2) yang dilakukan dalam rangka menjalankan jabatannya dan mengakibatkan perusahaan melanggar peraturan perundang- undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya sehingga: a) pernah dikenakan pencabutan izin usaha; b) pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha; c) pernah dikenakan sanksi peringatan; d) tidak pernah dikenakan sanksi. d. melakukan tindak pidana kejahatan: 1) perbuatan tindak pidana kejahatan yang telah dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap; 2) menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan; 3) menjadi tersangka tindak pidana kejahatan; 4) melakukan atau diduga melakukan perbuatan tindak pidana; 5) tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana. LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 4 - e. melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas usaha Perusahaan Pembiayaan: 1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memenuhi komitmen; 2) melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi komitmen; 3) tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi komitmen. f. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan: 1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar prinsip kehati- hatian; 2) melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian; 3) melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian. g. perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya; 1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya; 2) melakukan 1 kali perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya; 3) tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya. h. tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris: 1) pernah terbukti 2 kali atau lebih tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris; 2) pernah terbukti 1 kali atau lebih tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris; 3) belum pernah terbukti tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris. i. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan Pembiayaan: 1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar; 2) melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar; 3) tidak pernah melakukan perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar. j. perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap: 1) Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit; LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 5 - 2) Belum pernah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit. k. Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik: 1) Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip akhlak dan moral yang baik; 2) Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar prinsip akhlak dan moral yang baik. II. MATRIKS KRITERIA DAN BOBOT PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS 1. Matriks Kriteria dan Bobot Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi No Kriteria Faktor Kemampuan 1. Pengetahuan yang memadai dan relevan sebagai direksi Perusahaan Pembiayaan a. Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi organisasi serta uraian tugas dan tanggung jawab direksi b. Kemampuan individual untuk melakukan analisis pemasaran dan pembiayaan c. Kemampuan memimpin sebuah organisasi untuk mencapai tujuan organisasi d. Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi 2. Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan usaha perusahaan pembiayaan a. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan b. Pemahaman terhadap peraturan perundang- undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan seperti peraturan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang 3. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya a. Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan meliputi masa kerja, variasi bidang tugas, dan catatan karier pada jabatan struktural atau fungsional b. Pengalaman di bidang lain di antaranya pada industri perbankan, lembaga penilai, lembaga pembina dan pengawas lembaga keuangan, dan lembaga pendidikan Bobot Nilai 10 2,5 2,5 2,5 2,5 15 10 5 15 4 4 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 6 - a. Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan Konsumen b. Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan keuangan, pemasaran, operasional dan sebagainya yang cukup berkaitan dengan jabatan yang akan dijabat oleh yang bersangkutan 4. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan a. Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan b. Kemampuan melakukan analisis situasi industri Perusahaan Pembiayaan, antara lain analisis terhadap pesaing, struktur industri Perusahaan Pembiayaan, dan persaingan dengan lembaga keuangan lainnya seperti perbankan c. Kemampuan melakukan analisis perkembangan kondisi internal perusahaan, antara lain kondisi kesehatan keuangan, sumber daya manusia, dan teknologi d. Kemampuan menetapkan arah serta sasaran perusahaan yang harus dicapai e. Kemampuan merancang strategi jangka pendek, menengah, dan panjang dalam rangka mencapai sasaran perusahaan seperti kemampuan untuk menyusun bussiness plan tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang dengan menggunakan asumsi- asumsi yang realistis dan terukur TOTAL No Kriteria Faktor Kepatutan 1. Melakukan praktik-praktik tercela di bidang Perusahaan Pembiayaan atau Lembaga Keuangan lainnya a. melakukan 2 kali atau lebih praktik tercela b. melakukan 1 kali praktik tercela c. tidak pernah melakukan praktik tercela 2. Melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya a. yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan telah dikenakan sanksi b. perbuatan yang mengakibatkan perusahaan melanggar peraturan perundangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau peraturan 5 2 20 4 4 4 4 4 60 Bobot Nilai 5 0 2 5 5 0 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 7 - perundangan lain 1) pernah dikenakan pencabutan izin usaha 2) pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha 3) pernah dikenakan sanksi peringatan 4) tidak pernah dikenakan sanksi 3. Melakukan tindak pidana kejahatan a. perbuatan tindak pidana kejahatan yang telah dijatuhi hukuman yang berkekuatan hukum tetap b. menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan c. menjadi tersangka tindak pidana kejahatan d. melakukan atau diduga melakukan perbuatan tindak pidana e. tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana 4. Melakukan perbuatan yang melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas usaha Perusahaan Pembiayaan a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memenuhi komitmen b. melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi komitmen c. tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi komitmen 5. Melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati- hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian b. melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian c. tidak pernah melakukan perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian 6. Perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau diluar kewenangannya a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya b. melakukan 1 kali perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya c. tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya 0 2 3 5 5 0 1 2 3 5 5 0 2 5 5 0 2 5 2,5 0 2 2,5 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 8 - 7. Tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi a. Pernah terbukti 2 kali atau lebih tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi b. Pernah terbukti 1 kali tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi c. Belum pernah terbukti tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi 8. Perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan Pembiayaan a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar b. Melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar c. Tidak pernah melakukan perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar 9. Perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan pernah dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit b. Belum pernah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit 10. Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip akhlak dan moral yang baik b. Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar prinsip akhlak dan moral yang baik TOTAL 5 0 3 5 2,5 0 1 2,5 2,5 0 2,5 2,5 0 2,5 40 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- /BL/2008 Tanggal : Juni 2008 - 9 - 2. Matriks Kriteria dan Bobot Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota Dewan Komisaris No Kriteria Faktor Kemampuan 1. Pengetahuan yang memadai dan relevan sebagai komisaris Perusahaan Pembiayaan a. Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi organisasi serta uraian tugas dan tanggung jawab dewan komisaris b. Kemampuan individual untuk melakukan analisis pemasaran dan pembiayaan c. Kemampuan memimpin sebuah organisasi (leadership) untuk mencapai tujuan organisasi d. Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya (resources) untuk mencapai tujuan organisasi 2. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang- undangan lain yang berhubungan dengan Perusahaan Pembiayaan a. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan b. Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan seperti peraturan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak Pidana Pencucian Uang 3. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya a. Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan meliputi lama bertugas, variasi bidang tugas, dan catatan karier pada jabatan struktural atau fungsional b. Pengalaman di bidang lain di antaranya pada industri perbankan, lembaga penilai, lembaga pembina dan pengawas lembaga keuangan, dan lembaga pendidikan c. Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan Konsumen d. Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan keuangan, pemasaran, operasional dan sebagainya yang cukup berkaitan dengan jabatan yang akan dijabat oleh yang bersangkutan 4. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan a. Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan b. Kemampuan melakukan analisis situasi industri Perusahaan Pembiayaan, antara lain analisis terhadap pesaing, struktur industri Perusahaan Pembiayaan, dan Bobot Nilai 10 2,5 2,5 2,5 2,5 10 5 5 10 2,5 2,5 2,5 2,5 10 2 2 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- /BL/2008 Tanggal : Juni 2008 - 10 - persaingan dengan lembaga keuangan lainnya seperti perbankan c. Kemampuan melakukan analisis perkembangan kondisi internal perusahaan, antara lain kondisi kesehatan keuangan, sumber daya manusia, dan teknologi d. Kemampuan menetapkan arah serta sasaran perusahaan yang harus dicapai e. Kemampuan merancang strategi jangka pendek, menengah, dan panjang dalam rangka mencapai sasaran perusahaan seperti kemampuan untuk menyusun bussiness plan tahunan, jangka menengah, dan jangka panjang dengan menggunakan asumsi-asumsi yang realistis dan terukur TOTAL No Kriteria Faktor Kepatutan 1. Praktek-praktek tercela di bidang Perusahaan Pembiayaan atau Lembaga Keuangan lainnya a. Melakukan 2 kali atau lebih praktek tercela b. Melakukan 1 kali praktek tercela c. Tidak pernah melakukan praktek tercela 2. Perbuatan tindak pidana di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau Perekonomian a. Perbuatan tindak pidana yang telah berkekuatan hukum tetap b. Perbuatan tindak pidana yang sedang dalam proses pengadilan c. Perbuatan tindak pidana yang sedang dalam proses penyidikan d. Terindikasi melakukan perbuatan tindak pidana e. Tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana 3. Perbuatan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas Usaha Perusahaan Pembiayaan a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memenuhi komitmen 2 2 2 40 Bobot Nilai 10 0 4 10 10 0 3 5 7 10 5 0 b. Melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi komitmen 3 c. Tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi komitmen 4. Perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan Pembiayaan a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar 5 5 0 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- /BL/2008 Tanggal : Juni 2008 - 11 - b. Melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar c. Tidak pernah melakukan perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar 5. Perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian b. Melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati- hatian c. Tidak pernah melakukan perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian 6. Perbuatan yang menunjukkan bahwa calon Dewan Komisaris yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan atau tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai Komisaris pada perusahaan sebelumnya a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memiliki kewenangan atau tidak mampu menjalankan 3 5 10 0 5 10 5 0 b. Melakukan 1 kali perbuatan tidak memiliki kewenangan 2,5 c. Tidak pernah melakukan perbuatan tidak memiliki kewenangan 7. Perbuatan yang mengakibatkan perusahaan melanggar peraturan perundangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau peraturan perundangan lain a. Pernah dikenakan pencabutan izin usaha b. Pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha c. Pernah dikenakan sanksi peringatan d. Tidak pernah dikenakan sanksi 8. Perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan pernah dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau mengakibatkan suatu perseroan dinyatakan pailit b. Belum pernah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit 9 Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan prinsip akhlak dan moral yang baik b. Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar prinsip akhlak dan moral yang baik TOTAL 5 5 0 2 3 5 5 0 5 5 0 5 60 LAMPIRAN IV Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- /BL/2008 Tanggal : Juni 2008 - 12 - III. SKALA NILAI Setiap faktor penilaian kemampuan dan kepatutan menggunakan skala penilaian 0 – 100. IV. HASIL PENILAIAN 1. Lulus Setiap pihak yang dinilai diklasifikasikan Lulus apabila yang bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir sebesar 70 (tujuh puluh) atau lebih dan tidak terdapat nilai 0 (nol) pada kriteria faktor kepatutan. 2. Tidak Lulus Setiap pihak yang dinilai diklasifikasikan Tidak Lulus apabila yang bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 70 (tujuh puluh) atau terdapat penilaian 0 (nol) pada satu kriteria atau lebih dalam faktor kepatutan. LAMPIRAN V Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 TATA CARA DAN PELAKSANAAN PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN I. PEMBENTUKAN TIM Dalam rangka penilian kemampuan dan kepatutan Ketua membentuk Tim Penguji dan Tim Penilai. II. PENGAJUAN PERMOHONAN UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Perusahaan Pembiayaan mengajukan permohonan uji kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris kepada Ketua sesuai dengan format dalam Lampiran I dan wajib dilampiri dengan dokumen sebagai berikut: 1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 2. daftar riwayat hidup; 3. surat pernyataan dengan meterai cukup yang wajib memuat paling kurang: a. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan; b. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan; c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; d. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; e. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai direktur/pengurus*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Direksi; f. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Dewan Komisaris; dan g. tidak akan melakukan pelanggaran atas segala peraturan di bidang Perusahaan Pembiayaan. 4. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi calon anggota Direksi berkewarganegaraan asing. III. PROSES ATAS PERMOHONAN Ketua menerima dan memproses surat permohonan penilaian Kemampuan dan Kepatutan yang disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan. LAMPIRAN V Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 2 - 1. Pengecekan Kelengkapan Dokumen Terhadap pengajuan permohonan penilaian, Kepala Biro melakukan pengecekan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap, maka Direksi Perusahaan Pembiayaan yang mengajukan permohonan tersebut diminta untuk melengkapi kekurangan data sebagaimana tercantum dalam angka romawi II di atas dan apabila data telah lengkap, maka akan dilakukan penelitian administrasi. 2. Penelitian Administrasi Tim Penguji melakukan penelitian administrasi terhadap permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan setelah pengecekan data-data sebelumnya telah dinyatakan lengkap. IV. JADUAL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Kepala Biro menentukan jadual penilaian Kemampuan dan Kepatutan. Penilaian diadakan pada minggu kedua bulan genap (bulan Februari, April, Juni, Agustus, Oktober, Desember). Apabila diperlukan, Kepala Biro dapat menjadwalkan penilaian kemampuan dan kepatutan dalam waktu lain. V. PEMANGGILAN CALON ANGGOTA DIREKSI DAN/ATAU DEWAN KOMISARIS Kepala Biro melakukan pemanggilan terhadap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir pada tanggal yang telah ditentukan. Tanggal tersebut merujuk pada waktu sebagaimana angka romawi IV di atas. Atas pemanggilan tersebut, maka : 1. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus hadir pada waktu yang telah ditentukan tersebut. 2. Apabila calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris pada waktu yang telah ditentukan tidak dapat hadir dengan alasan yang dapat diterima, akan dilakukan pemanggilan kembali sebanyak satu kali. 3. Apabila setelah dilakukan pemanggilan ulang sebagaimana dimaksud dalam angka 2, calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak hadir, maka permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II dianggap batal. 4. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang permohonannya dianggap batal tersebut apabila akan mengajukan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan, wajib menyampaikan permohonan kembali sebagaimana terdapat dalam angka romawi II. VI. PELAKSANAAN UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN 1. Pihak-pihak dalam uji kemampuan dan kepatutan: a. Tim Penguji yang terdiri dari satu ketua dan paling kurang 2 (dua) anggota. b. Tim Penilai yang terdiri dari 3 (tiga) orang penilai. c. Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang akan diuji kemampuan dan kepatutan. LAMPIRAN V Peraturan Ketua Bapepam dan LK Nomor : PER- 03/BL/2008 Tanggal : 30 Juni 2008 - 3 - 2. Peralatan uji kemampuan dan kepatutan: a. Daftar Pertanyaan. b. Alat tulis. c. Alat Perekam. d. Peralatan lain jika dipandang perlu. 3. Penilaian uji kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap faktor kemampuan dan kepatutan. VII. HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dibagi menjadi 2 (dua) predikat sebagai berikut: 1. Lulus; atau 2. Tidak lulus. a. Tidak lulus kemampuan; dan / atau b. Tidak lulus kepatutan Terhadap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dinyatakan lulus diberikan surat lulus untuk dapat menjabat anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris. Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditetapkan oleh Ketua. Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang dinyatakan tidak lulus dapat mengajukan permintaan keterangan mengenai ketidaklulusannya kepada Ketua. VIII. KEBERATAN TERHADAP PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dinyatakan tidak lulus dapat mengajukan keberatan yang paling lambat disampaikan 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian oleh Perusahaan Pembiayaan. Ketua akan kembali meneliti terhadap pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan yang telah dilaksanakan.
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-03/BL/2008|PERTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id> <reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title> <set_date> 30 Juni 2008 </set_date> <effective_date> 30 Juni 2008 </effective_date> <related_reg> '45/M|KEPPRES/2006', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '25/UU/1992', '61/KEPPRES/1988' </related_reg>
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN SALINAN PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR: PER- 04 /BL/2007 TENTANG AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa kegiatan ekonomi berbasis syariah harus dilaksanakan berdasarkan asas kesepakatan diantara para pelaku kegiatan ekonomi; b. bahwa dalam syariah Islam asas-asas kesepakatan dalam kegiatan ekonomi diatur dalam berbagai bentuk perjanjian (akad); c. bahwa dalam rangka memberikan kerangka hukum yang memadai terhadap akad syariah yang menjadi dasar kegiatan ekonomi di industri perusahaan pembiayaan, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan Bapepam dan Lembaga Keuangan tentang Akad-akad Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 106 Tahun 2007); 2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 53); 3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing); 5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; 6. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Per- /BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah; Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor: B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 Nopember 2007 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan Bapepam dan LK; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -2- MEMUTUSKAN: Menetapkan : KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG AKAD- AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri. 2. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada penyewa setelah selesai masa sewa. 3. Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli, mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`) dengan harga yang disepakati bersama oleh para pihak. 4. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan. 5. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba. 6. Perusahaan Pembiayaan adalah Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang Perusahaan Pembiayaan. 7. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis syariah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN- MUI). 8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -3- barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati para pihak. 9. Wakalah bil Ujra adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). BAB II Bagian Pertama IJARAH Pasal 2 (1) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain meliputi: a. memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya dari penyewa (musta’jir); dan b. mengakhiri akad Ijarah dan menarik obyek Ijarah apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan. (2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain meliputi: a. menyediakan obyek Ijarah yang disewakan; b. menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah; dan c. menjamin obyek Ijarah yang disewakan tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. Pasal 3 (1) Hak penyewa (musta’jir) antara lain meliputi: a. menerima obyek Ijarah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; dan b. menggunakan obyek Ijarah yang disewakan sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan. (2) Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain meliputi: a. membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; b. mengembalikan obyek Ijarah apabila tidak mampu membayar sewa; c. menjaga dan menggunakan obyek Ijarah sesuai yang diperjanjikan; dan d. tidak menyewakan kembali dan atau memindahtangankan obyek Ijarah kepada pihak lain. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -4- Pasal 4 Obyek Ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan antara lain: a. obyek Ijarah merupakan milik dan atau dalam penguasaan Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); b. manfaat obyek Ijarah harus dapat dinilai; c. manfaat obyek Ijarah harus dapat diserahkan Penyewa (musta’jir); d. pemanfaatan obyek Ijarah harus bersifat tidak dilarang secara syariah (tidak diharamkan); e. manfaat obyek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas; dan f. spesifikasi obyek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Pasal 5 Obyek Ijarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 antara lain: a. alat-alat berat (Heavy Equipment); b. alat-alat kantor (Office Equipment); c. alat-alat foto (Photo Equipment); d. alat-alat medis (Medical Equipment); e. alat-alat printer (Printing Equipment); f. mesin-mesin (Machineries); g. alat-alat pengangkutan (Vehicle); h. gedung (Building); i. komputer; dan j. peralatan telekomunikasi atau satelit. Pasal 6 Persyaratan penetapan harga sewa (ujrah) atas obyek Ijarah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. besarnya harga sewa (ujrah) atas obyek Ijarah dan cara pembayaran ditetapkan menurut kesepakatan yang dibuat dalam akad secara tertulis; dan b. alat pembayaran harga sewa (ujrah) obyek Ijarah adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -5- Pasal 7 Dalam Ijarah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir); b. spesifikasi obyek Ijarah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan/penempatan obyek Ijarah; c. spesifikasi manfaat obyek Ijarah; d. harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa Ijarah; e. jangka waktu sewa; f. saat penyerahan obyek Ijarah; g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah; j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi (muajjir) kepada pihak lain; dan k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pasal 8 Dokumentasi dalam Ijarah oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) paling kurang meliputi: a. surat persetujuan prinsip (offering letter); b. akad Ijarah; c. perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; dan d. tanda terima barang. Bagian Kedua IJARAH MUNTAHIAH BIT TAMLIK Pasal 9 (1) Dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat wa’ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik pada akhir masa sewa. (2) Wa’ad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tidak sewa DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -6- mengikat bagi penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat akad pemindahan kepemilikan. Pasal 10 (1) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) antara lain adalah: a. memperoleh pembayaran sewa dari penyewa (musta’jir); b. Menarik obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan; dan c. Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa (musta’jir) sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon penggantinya. (2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (Muajjir) antara lain adalah: a. Menyediakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang disewakan; b. Menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan c. Menjamin obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. Pasal 11 (1) Hak penyewa (musta’jir) antara lain adalah: a. menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan; b. menerima obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; c. pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa sewa; dan d. membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; (2) Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah: a. membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan; b. menjaga dan menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -7- Tamlik sesuai yang diperjanjikan; c. tidak menyewakan kembali obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik kepada pihak lain; dan d. melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik. Pasal 12 Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir); b. manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang; c. manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir); d. manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam; e. manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan f. spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Pasal 13 Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 antara lain: a. alat-alat berat (Heavy Equipment); b. alat-alat kantor (Office Equipment); c. alat-alat foto (Photo Equipment); d. alat-alat medis (Medical Equipment); e. alat-alat printer (Printing Equipment); f. mesin-mesin (Machineries); g. alat-alat pengangkutan (Vehicle); h. gedung (Building); i. komputer; dan j. peralatan telekomunikasi atau satelit. Pasal 14 (1) Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan di awal akad. (2) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -8- (3) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara tertulis dalam perjanjian pemindahan kepemilikan. (4) Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara syariah. Pasal 15 Dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang memuat hal- hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) dan penyewa (musta’jir); b. spesifikasi obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek sewa; c. spesifikasi manfaat obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga sewa (ujrah), ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; e. jangka waktu sewa; f. saat penyerahan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa sewa; i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pasal 16 Dokumentasi dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) paling kurang meliputi: a. surat permohonan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; b. surat persetujuan prinsip (offering letter); c. akad Ijarah Muntahiah Bit Tamlik; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -9- d. dokumen wa’ad; e. perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; f. tanda terima barang; dan g. perjanjian pemindahan kepemilikan. BAB III WAKALAH BIL UJRAH Pasal 17 Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain: a. menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih); b. dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan piutang pengalih piutang (muwakkil) dalam hal diperjanjikan; c. meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with recourse) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without recourse); dan d. membayar atau melunasi hutang pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) kepada pengalih piutang (muwakkil). Pasal 18 Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain: a. memperoleh pelunasan piutang dari Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; b. membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang sesuai yang diperjanjikan; c. dapat menyediakan jaminan kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil dalam hal diperjanjikan; dan d. memberitahukan kepada pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih) mengenai transaksi pemindahan piutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil. Pasal 19 Hak dan kewajiban pihak yang berhutang (muwakkal ’alaihl) antara lain: a. memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi pemindahan hutangnya dari pengalih piutang (muwakkil) kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; dan b. membayar atau melunasi hutang kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -10- Pasal 20 Piutang (muwakkal bih) yang menjadi obyek Wakalah bil Ujrah adalah piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu) tahun yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil harus dipastikan oleh para pihak belum jatuh tempo dan tidak dalam kategori piutang macet; b. piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang diharamkan oleh syariah Islam; dan c. piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan dengan dokumen tagihan dan dipastikan keasliannya oleh para pihak. Pasal 21 (1) Wakalah bil Ujrah antara Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang berhutang (muwakkal, alaih) wajib ditetapkan secara tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah. (2) Dalam Wakalah bil Ujrah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih); b. nilai, jumlah dan waktu jatuh tempo piutang (muwakkal bih); c. ketentuan mengenai upah (ujrah) (jika ada); d. ketentuan jaminan yang diperoleh Perusahaan Pembiayaan (wakil) (jika ada); e. ketentuan mengenai cara-cara pembayaran hutang atau piutang oleh Perusahaan Pembiayaan selaku wakil, pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang (muwakkal’ alaih); dan f. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pasal 22 Dokumentasi dalam Wakalah bil Ujrah oleh Perusahaan Pembiayaan selaku wakil paling kurang meliputi: a. surat persetujuan prinsip (offering letter); b. akad Wakalah bil Ujrah sebagai induk perjanjian; c. perjanjian pengikatan jaminan; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -11- d. bukti hutang piutang; e. surat permohonan realisasi Wakalah bil Ujrah; dan f. bukti pelunasan. BAB IV MURABAHAH Pasal 23 (1) Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. (2) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan, Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen sebagai pembeli (musytari). (3) Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau tidak mengikat pihak yang berhutang untuk membeli barang yang dipesannya. (4) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat, konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak dapat membatalkan pesanannya. Pasal 24 (1) Hak Perusahaan Pembiayaan antara lain: a. memperoleh pembayaran dari konsumen sebesar harganya secara angsuran sesuai yang diperjanjikan; b. mengambil kembali obyek Murabahah apabila konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; dan c. menentukan penyedia barang (supplier) dalam pembelian obyek Murabahah. (2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) antara lain: a. menyediakan obyek Murabahah sesuai yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli (musytari); dan b. menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. Pasal 25 Dalam menyediakan obyek Murabahah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, Perusahaan Pembiayaan dapat mewakilkan pembelian barang tersebut kepada konsumen DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -12- berdasarkan prinsip wakalah, yaitu perjanjian (akad) dimana pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan tindakan atau perbuatan tertentu. Pasal 26 Hak dan kewajiban konsumen antara lain: a. menerima obyek Murabahah dalam keadaan baik dan siap dioperasikan; b. membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan; dan c. mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai. Pasal 27 Obyek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang: a. dapat dinilai dengan uang; b. dapat diterima oleh konsumen; c. tidak dilarang oleh syariah Islam; dan d. spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfataannya. Pasal 28 Obyek Murabahah di antaranya meliputi: a. kendaraan bermotor ; b. rumah; c. barang-barang elektronik; d. alat-alat rumah tangga bukan elektronik; dan e. barang konsumsi lainnya. Pasal 29 Persyaratan penetapan harga barang dalam Murabahah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. ketentuan harga jual (pricing) ditetapkan di awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama waktu perjanjian; b. pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau angsuran; c. diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang untuk cara pembayaran yang berbeda; dan d. harga yang disepakati adalah harga jual (harga perolehan) DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -13- sedangkan harga beli harus diberitahukan kepada konsumen; dan Pasal 30 Persyaratan penetapan uang muka (’urbun) dalam Murabahah wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan meminta konsumen untuk membayar uang muka (’urbun) saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan; b. dalam hal konsumen menolak untuk membeli barang tersebut, maka biaya riil Perusahaan Pembiayaan harus dibayar dari uang muka (’urbun) tersebut; dan c. dalam hal nilai uang muka (’urbun) lebih kecil dari kerugian yang harus ditanggung oleh Perusahaan Pembiayaan, maka Perusahaan Pembiayaan dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada konsumen. Pasal 31 Persyaratan mengenai pengakhiran transaksi Murabahah sebelum jatuh tempo wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. dalam hal konsumen dalam Murabahah melakukan pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad Murabahah; dan b. besarnya potongan sebagaimana dimaksud pada huruf a diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan Perusahaan Pembiayaan. Pasal 32 Apabila konsumen telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutang dalam Murabahah, maka Perusahaan Pembiayaan wajib menunda tagihan hutang sampai dengan konsumen ia menjadi sanggup kembali membayar tagihan hutang atau adanya penyelesaian berdasarkan kesepakatan bersama. Pasal 33 Persyaratan penetapan sanksi dalam Murabahah harus sesuai ketentuan sebagai berikut: a. konsumen yang mampu, namun menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -14- itikad baik untuk membayar angsuran dapat dikenakan sanksi; b. sanksi dapat berupa denda sosial (ta’zir ) ataupun ganti rugi (ta`widh) berdasarkan atas sebab tertundanya pembayaran dan akibat yang ditimbulkan dari penundaan tersebut; c. konsumen yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan keadaan memaksa (force majeure) tidak dapat dikenakan sanksi. Pasal 34 Dalam Murabahah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen; b. spesifikasi obyek Murabahah meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran dan tipe; c. harga jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran; d. jangka waktu ; e. ketentuan jaminan dan asuransi; f. ketentuan mengenai uang muka; g. ketentuan mengenai diskon/potongan; h. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; i. ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen yang menunda pembayaran angsuran; dan j. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pasal 35 Dokumentasi dalam Murabahah oleh Perusahaan Pembiayaan paling kurang meliputi: a. surat persetujuan prinsip (offering letter); b. surat permohonan realisasi Murabahah; c. akad Wakalah (bila diperlukan); d. tanda terima uang konsumen, dalam hal Perusahaan Pembiayaan (ba’i) mewakilkan kepada konsumen (musytari) melalui Wakalah; e. akad Murabahah; f. perjanjian pengikatan jaminan; dan g. tanda terima barang. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -15- SALAM Pasal 36 (1) Dalam pelaksanaan transaksi Salam, wajib ditetapkan spesifikasi, waktu dan tempat barang akan diterima. (2) Transaksi Salam wajib didahului dengan akad pembiayaan pengadaan barang pesanan antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen atas suatu produk yang dikehendaki (pesanan). (3) Akad pembiayaan pengadaan barang pesanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat independen dan terpisah dengan akad Salam yang dilakukan antara Perusahaan Pembiayaan dan produsen. Pasal 37 Hak Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi Salam antara lain adalah: a. menerima barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan baik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan; b. menerima barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai yang diperjanjikan; c. menerima penggantian seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan sehubungan transaksi salam, apabila Produsen sebagai penjual (muslam Ilaihi) ingkar janji; dan d. membayar barang pesanan (muslam fiih) sesuai dengan harga yang disepakati. Pasal 38 Hak dan kewajiban produsen (muslam ilaihi) dalam transaksi Salam antara lain adalah: a. memperoleh pembayaran di muka atas harga barang pesanan (muslam fiih) dari Perusahaan Pembiayaan (muslim); b. menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan baik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang diperjanjikan; c. menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan tempat sesuai yang diperjanjikan; dan d. menanggung seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan Perusahaan Pembiayaan (muslim), dalam hal produsen sebagai (muslam ilaihi) ingkar janji. DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -16- Pasal 39 Barang pesanan (muslam fiih) wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut antara lain: a. barang yang halal; b. dapat diakui sebagai utang; c. harus dapat dijelaskan spesifikasinya; d. penyerahannya dilakukan kemudian; e. waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; dan f. tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Pasal 40 Penyerahan barang pesanan (muslam fiih) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. produsen (muslam alaih) harus menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) tepat pada waktunya sesuai dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati; b. dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih tinggi, produsen (muslam alaih) tidak boleh meminta tambahan harga; c. dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan tidak diperbolehkan menuntut pengurangan harga (diskon); d. produsen (muslam alaih) dapat menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan kualitas dan jumlah barang pesanan (muslam fiih) sesuai dengan kesepakatan dan tidak diperbolehkan menuntut tambahan harga; dan e. dalam hal semua atau sebagian barang pesanan (muslam fiih) tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan tidak rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan memiliki dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan meminta kembali pembayaran yang telah dilakukan; atau menunggu sampai barang pesanan (muslam fiih) tersedia. Pasal 41 Penetapan harga barang pesanan (muslam fiih) wajib ditetapkan sesuai kesepakatan dan tidak diperbolehkan DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -17- berubah selama masa akad. Pasal 42 Pembayaran harga barang pesanan (muslam fiih) dilakukan secara penuh dan tunai oleh Perusahaan Pembiayaan kepada produsen pada saat perjanjian disepakati. Pasal 43 Dalam Salam paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan (muslim) dan produsen; b. spesifikasi barang pesanan (muslam fiih) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan mutu barang; c. waktu dan lokasi penyerahan barang pesanan (muslam fiih); d. harga barang pesanan (muslam fiih) dan cara pembayarannya; e. ketentuan jaminan dan asuransi atas barang pesanan (muslam fiih); f. jangka waktu Salam; g. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya barang pesanan (muslam fiih); dan h. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. BAB V ISTISHNA’ Pasal 44 (1) Dalam pelaksanaan transaksi Istishna’, Perusahaan Pembiayaan dapat bertindak sebagai pembeli untuk memesan kepada produsen sebagai pembuat (shani’ II) untuk menyediakan obyek Istishna’ dengan akad Istishna. (2) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaan Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat (shani’ II) bersifat independen dan terpisah dari akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen . (3) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara Perusahaan Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat (shani’ II) harus dilakukan setelah akad Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen atau pemesan (mustashni’). Pasal 45 DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -18- Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain adalah: a. memperoleh pembayaran dari konsumen atau pemesan (mustashni’) sebesar harga jual barang secara angsuran sesuai yang diperjanjikan; b. mengambil kembali obyek Istishna’ apabila konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) tidak mampu membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; c. menentukan produsen sebagai pembuat (shani’ II) dalam pemesanan obyek Istishna’; d. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’); dan e. menjamin obyek istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi. Pasal 46 Hak dan kewajiban produsen sebagai pembuat (Shani’ II) adalah: a. memperoleh pembayaran dari Perusahaan Pembiayaan sesuai yang diperjanjikan; b. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi yang disepakati bersama dengan Perusahaan Pembiayaan; c. menjamin obyek Istishna’ tidak cacat dan/atau tidak berfungsi; dan d. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan. Pasal 47 Hak dan kewajiban konsumen (mustashni’) antara adalah: a. menerima obyek Istishna’ dalam keadaan baik dan siap dioperasikan sesuai spesifikasi yang diperjanjikan; b. menerima obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang diperjanjikan; dan c. membayar angsuran dan atau biaya-biaya lainya sesuai yang diperjanjikan. Pasal 48 Obyek Istishna’ (mashnu’) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. barang yang halal; b. bapat diakui sebagai utang; DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -19- c. harus dapat dijelaskan spesifikasinya; d. penyerahannya dilakukan kemudian; e. waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan; f. tidak diperbolehkan ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan; dan g. dalam hal terdapat cacat atau tidak sesuai kesepakatan maka pemesan memiliki hak memilih (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan akad. Pasal 49 Penetapan harga jual atas obyek Istishna’ wajib ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) di awal perjanjian dan tidak boleh berubah selama masa Istishna’. Pasal 50 Konsumen (mustashni’) dapat melakukan pembayaran cicilan pembiayaan obyek Istishna’ (Mashnu’) atas pemesanan barang sejak akad ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain yang disepakati bersama. Pasal 51 Dalam Istishna’ paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen; b. spesifikasi obyek Istishna’ (Mashnu’) meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan kualitas obyek Istishna’; c. harga jual dan cara pembayarannnya; d. ketentuan jaminan dan asuransi; e. jangka waktu; f. lokasi dan waktu penyerahan; g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum jatuh tempo; h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan, kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Istishna’ (mashnu’); dan i. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak. Pasal 52 Dokumentasi dalam Istishna’ oleh Perusahaan Pembiayaan DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -20- paling kurang meliputi: a. surat kesanggupan menyelesaikan barang pesanan dari produsen sebagai pembuat (shani’ II); b. surat persetujuan prinsip (offering letter) dari Perusahaan Pembiayaan; c. akad Istishna’; d. perjanjian pengikatan jaminan; e. barang/obyek pesanan; f. surat permohonan realisasi Istishna’; g. tanda terima uang dari produsen sebagai pembuat (shani` II); dan h. tanda terima barang oleh konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni`). BAB VI KETENTUAN LAIN Pasal 53 Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pasal 54 Akad-akad syariah yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali memenuhi kondisi: a. kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya; b. akad bertentangan dengan Prinsip Syariah, atau c. akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad. Pasal 55 Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan ini, setiap pihak yang bertransaksi wajib memiliki kecakapan dan kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum baik menurut syariah maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 57 Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini, wajib DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN -21- dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang berakad atau bertransaksi. Pasal 58 Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan ini, yang diikuti dengan kewajiban melaksanakan asuransi atas obyek pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, maka obyek yang diasuransikan wajib diasuransikan pada perusahaan asuransi dengan Prinsip Syariah juga. Pasal 59 Pencatatan akuntansi untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini wajib disusun berdasarkan pernyataan standar akuntansi keuangan yang berlaku. Pasal 60 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 10 Desember 2007 Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ttd A. Fuad Rahmany NIP 060063058 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Umum ttd Prasetyo Wahyu Adi Suryo NIP 060076008
<reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type> <reg_id> PER-04/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id> <reg_title> AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title> <set_date> 10 Desember 2007 </set_date> <effective_date> 10 Desember 2007 </effective_date> <related_reg> '20/P|KEPPRES/2005', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '1169/KMK.01/1991|KEP-MENKEU/1991', '61/KEPPRES/1988', 'PER- /BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV Pasal 33' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk Penilai sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan berkala kegiatan Penilai, peraturan mengenai Laporan Berkala Kegiatan Penilai yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya menjalankan kegiatan penilaian di Pasar Modal. 2. Kantor Jasa Penilai Publik yang selanjutnya disingkat KJPP adalah badan usaha yang berbentuk persekutuan dan telah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan sebagai wadah bagi Penilai dalam melakukan kegiatan penilaian. 3. Laporan Berkala Kegiatan Penilai adalah laporan yang memuat informasi tentang kegiatan yang berkaitan dengan penugasan Penilai termasuk penugasan profesional selama 1 (satu) tahun terhitung sejak 1 Januari sampai dengan 31 Desember atau sejak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun. 4. Laporan Penilaian Properti adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Penilai Properti yang memuat opini Penilai Properti mengenai obyek penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian. - 3 - 5. Laporan Penilaian Usaha adalah laporan tertulis yang dibuat oleh Penilai Usaha yang memuat pendapat Penilai Usaha mengenai Obyek Penilaian serta menyajikan informasi tentang proses penilaian. 6. Pemberi Penugasan adalah pihak yang telah memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan serta pihak yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif. BAB II LAPORAN BERKALA Pasal 2 Penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sesuai ruang lingkup kegiatan penilaian atas penugasan dari Pemberi Penugasan yaitu: a. Laporan Penilaian Properti, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Berkala Kegiatan Penilai Bidang Jasa Penilaian Properti sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan/atau b. Laporan Penilaian Usaha, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Berkala Kegiatan Penilai Bidang Jasa Penilaian Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3 (1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disampaikan setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun berikutnya. - 4 - (2) Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur, Laporan Berkala Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Pasal 4 Laporan Berkala Kegiatan Penilai wajib disertai dengan laporan dalam salinan dokumen dalam bentuk elektronik dan dilengkapi dengan surat pernyataan mengenai kebenaran data dan informasi yang dilaporkan dengan menggunakan format Surat Pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Dalam hal Penilai bekerja pada KJPP yang memiliki lebih dari 1 (satu) rekan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Berkala Kegiatan Penilai dapat disampaikan secara bersamaan dalam 1 (satu) surat pengantar yang ditandatangani oleh pimpinan rekan KJPP. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pembatalan pendaftaran; - 5 - f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-396/BL/2008 tanggal 6 Oktober 2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai, beserta Peraturan Nomor X.J.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 6 - Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 283 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Berkala Kegiatan Penilai yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-396/PM/2008 tanggal 6 Oktober 2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai, beserta Peraturan Nomor X.J.4 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Kewajiban penyampaian Laporan Berkala berlaku bagi Penilai yang memperoleh penugasan maupun yang tidak memperoleh penugasan dari Pemberi Penugasan selama periode pelaporan. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik, penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Penilai dapat disampaikan melalui sistem elektronik tersebut. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5979 - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 54 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI - 2 - LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI BIDANG JASA PENILAIAN PROPERTI Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20.... Nama Penilai Nomor STTD Usaha Jasa Penilai No Nama Klien : : : ......... ......... ......... Jenis Penilaian Properti*) Tujuan Penilaian Objek Penilaian Tanggal Penilaian Opini Nilai Penugasan Penilaian Profesional Tanggal Mulai 1 2 3 PT A PT B PT.... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan UJP) .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (Tanda Tangan) (Nama Jelas) Keterangan: *) Pengertian properti adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar Modal di bidang Pasar Modal yang mengatur mengenai Pendaftaran Penilai Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal. **) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan. Tanggal Berakhir Penugasan Penilaian Profesional tahun ke - Anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional **) Nama Jabatan - 3 - LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI BIDANG JASA PENILAIAN USAHA Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20.... Nama Penilai Nomor STTD Usaha Jasa Penilai No Nama Klien : : : ......... ......... ......... Jenis Penilaian Usaha Tujuan Penilaian Objek Penilaian Tanggal Penilaian Opini Nilai Penugasan Penilaian Profesional Tanggal Mulai 1 2 3 PT A PT B PT .... dst Mengetahui, (tanda tangan dan cap) (nama Jelas Pimpinan UJP) Keterangan: *) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan. Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan .......... (domisili), ...........(tanggal) Pelapor, (Tanda Tangan) (Nama Jelas) Tanggal Berakhir Penugasan Penilaian Profesional tahun ke - Anggota Tim Penugasan Penilaian Profesional *) Nama Jabatan - 4 - SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Nomor STTD : Tanggal STTD Alamat : Nama KJPP : : .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya laporkan dalam Laporan Berkala Kegiatan Penilai untuk periode 1 Januari 20..... sampai dengan 31 Desember 20..... adalah benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya laporkan tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. ........ (domisili), ………..…(tanggal) Pelapor, (tanda tangan) (nama jelas) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 54/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.4' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.04/2014 TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan industri Reksa Dana, perlu perluasan jalur distribusi penjualan Reksa Dana, peningkatan basis investor domestik, dan peningkatan capacity building Agen Penjual Efek Reksa Dana; b. bahwa perluasan jalur distribusi penjualan Reksa Dana, peningkatan basis investor domestik, dan peningkatan capacity building Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu didukung dengan kemampuan dan kesiapan sumber daya tenaga pemasaran untuk lebih menjamin kepatuhan dan kepastian hukum serta melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari praktik yang merugikan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Repubilk Indonesia Nomor 3608); 2. Undang... - 2 - 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah Pihak yang melakukan penjualan Efek Reksa Dana berdasarkan kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana. 2. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Perseroan adalah perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. BAB II PERSYARATAN AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 2 Yang dapat melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah: a. Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek yang... - 3 - yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek; b. Bank umum, perusahaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang pos dan giro, perusahaan pergadaian, perusahaan perasuransian, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan perusahaan penjaminan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan telah memperoleh Surat Tanda Terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana, yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana. Pasal 3 Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib: a. memiliki tenaga pemasaran di setiap kantor dan/atau gerai yang melakukan penjualan Efek Reksa Dana; b. memiliki pejabat penanggung jawab penjualan Efek Reksa Dana; c. mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi yang terpisah paling kurang: 1. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan investor; dan 2. fungsi kepatuhan dan manajemen risiko; d. memastikan pelaksanaan kepatuhan fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud pada huruf c didasarkan pada prosedur operasi standar yang dibuat secara tertulis; dan e. memiliki... - 4 - e. memiliki sarana dan prasarana yang memadai guna mendukung terlaksananya proses penjualan dan pembelian kembali Efek Reksa Dana. Pasal 4 Tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a wajib: a. memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan b. mendapat penugasan khusus secara tertulis dari Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk bertindak sebagai tenaga pemasaran. Pasal 5 (1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib: a. memiliki modal disetor paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan b. memiliki paling kurang 1 (satu) orang anggota direksi yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. (2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dikecualikan dari pemenuhan kewajiban Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana diatur dalam peraturan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek. Pasal 6 (1) Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek yang... perundang-undangan mengenai - 5 - yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib mempunyai sistem pengendalian internal yang memadai. (2) Bank umum yang bertindak sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian untuk Reksa Dana yang sama wajib mempunyai sistem pengendalian internal yang memadai. Pasal 7 (1) Sistem pengendalian internal yang memadai bagi Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) wajib dituangkan secara tertulis yang paling kurang meliputi: a. pemisahan fungsi Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dengan fungsi Agen Penjual Efek Reksa Dana; b. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat menghindari timbulnya benturan kepentingan (conflict of interest); c. pelaksanaan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan atas aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana; d. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan e. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian internal yang memadai bagi bank... - 6 - bank umum yang bertindak sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian untuk Reksa Dana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) wajib dituangkan secara tertulis yang paling kurang meliputi: a. pemisahan fungsi pelaksanaan kegiatan bank umum sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian, antara lain: 1. pemisahan pejabat dan pegawai bank umum yang menjalankan fungsi sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan yang menjalankan fungsi sebagai Bank Kustodian; dan 2. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang dapat menghindari timbulnya benturan kepentingan (conflict of interest); b. pelaksanaan evaluasi secara berkala dan berkesinambungan atas aktivitas sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian; dan c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. BAB III PEMBERITAHUAN, PENDAFTARAN, DAN PERIZINAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Melakukan Kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana Pasal 8 Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a... - 7 - huruf a yang bermaksud melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib terlebih dahulu memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: a. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa Dana beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan Penanggung Jawabnya, serta Daftar Wakil Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Penjual Efek Reksa Dana yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. 3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), bagi warga negara asing; 4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; 5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan (jika ada); 6. dokumen pendukung yang menunjukkan berpengalaman dalam kegiatan penjualan Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun; dan 7. pasfoto... - 8 - 7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; c. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi kepada penanggung jawab atau anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana beserta uraian tugasnya; d. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana; e. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan yang paling sedikit mencakup informasi sebagai berikut: 1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan; 2. target investor sesuai dengan produk yang akan ditawarkan; 3. target nilai penjualan; dan 4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana kepada calon investor; f. strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan g. strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Bagian... - 9 - Bagian Kedua Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana Pasal 9 Permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen- dokumen sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, serta perubahan anggaran dasar terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan; c. fotokopi izin usaha dari instansi yang berwenang; d. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa Dana beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan Penanggung Jawabnya, Serta Daftar Wakil Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; e. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Penjual Efek Reksa Dana yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah ditandatangani; 2. fotokopi... - 10 - 2. 3. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), bagi warga negara asing; 4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; 5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan (jika ada); 6. dokumen pendukung yang menunjukkan berpengalaman dalam kegiatan penjualan Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun; dan 7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; f. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi kepada penanggung jawab atau anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana beserta uraian tugasnya; g. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana; h. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan yang paling kurang mencakup informasi sebagai berikut: 1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan; 2. target investor sesuai dengan produk yang akan ditawarkan; 3. target nilai penjualan; dan 4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana kepada calon investor; i. strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang... - 11 - di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; j. strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan k. fotokopi bukti pembayaran biaya permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 10 Dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disk) atau lainnya, atau surat elektronik (email) dengan alamat [email protected]. Pasal 11 (1) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan pemeriksaan di kantor pemohon; dan b. meminta pemohon untuk memaparkan rencana operasi kegiatan perusahaan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 12... - 12 - Pasal 12 Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana kepada pemohon. Pasal 13 Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap; atau b. permohonan ditolak. Pasal 14 (1) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (2) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. Bagian Ketiga Perizinan Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek Yang Khusus Didirikan Untuk Memasarkan Efek Reksa Dana Pasal 15 Permohonan izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan... - 13 - kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Izin Usaha Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang Efek yang Khusus Didirikan Untuk Memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen-dokumen sebagai berikut: a. fotokopi akta pendirian Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana yang telah disahkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan hak asasi manusia, serta perubahan anggaran dasar terakhir sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas; b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan; c. fotokopi bukti penyetoran modal; d. fotokopi rekening koran; e. laporan keuangan yang diperiksa akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; f. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau instansi berwenang, fotokopi bukti kepemilikan jika tempat usaha milik sendiri atau perjanjian sewa jika tempat usaha bukan milik sendiri, tata letak ruangan kantor, dan foto ruangan Agen Penjual Efek Reksa Dana yang disertai peruntukan ruangan; g. surat rekomendasi dari asosiasi terkait penjualan Efek Reksa Dana; h. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), bagi Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan... - 14 - kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana yang mempekerjakan Warga Negara Asing; i. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa Dana beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan Penanggung Jawabnya, Serta Daftar Wakil Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; j. daftar nama dan data anggota direksi dan pejabat penanggung jawab kegiatan penjualan Efek Reksa Dana, meliputi: 1. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh yang bersangkutan, antara lain mencantumkan riwayat singkat pekerjaan yang meliputi: nama jabatan, alasan keluar atau mengundurkan diri, serta uraian singkat atas tugas dan tanggung jawab jabatan; 2. fotokopi ijazah pendidikan formal dan/atau sertifikat keahlian; 3. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; 4. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan (jika ada); 5. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang masih berlaku; dan 6. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar... - 15 - latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; k. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi kepada anggota direksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana beserta uraian tugasnya; l. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana; m. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan yang paling kurang mencakup informasi sebagai berikut: 1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan; 2. target investor sesuai dengan produk yang akan ditawarkan; 3. target nilai penjualan; dan 4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana kepada calon investor; n. strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; o. strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan p. fotokopi bukti pembayaran biaya permohonan perizinan sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan... - 16 - kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana. Pasal 16 Dokumen permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disk) atau lainnya, atau surat elektronik (email) dengan alamat [email protected]. Pasal 17 (1) Dalam rangka memproses permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. melakukan pemeriksaan di kantor pemohon; dan b. meminta pemohon untuk memaparkan rencana operasi kegiatan perusahaan. Pasal 18 Dalam hal permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana. Pasal 19... - 17 - Pasal 19 Dalam hal permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap; atau b. permohonan ditolak. Pasal 20 (1) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan. (2) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah membatalkan permohonan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana. BAB IV KONTRAK PENJUALAN EFEK REKSA DANA Pasal 21 Kegiatan penjualan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib didasarkan pada kontrak kerja sama antara Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan Manajer Investasi sebagai pengelola Reksa Dana. Pasal 22 Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21... - 18 - Pasal 21 paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut: a. identitas masing-masing pihak yang terlibat dalam kontrak; b. hak dan kewajiban masing-masing pihak; c. kewajiban Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk memberikan informasi data pemegang Efek Reksa Dana kepada Manajer Investasi yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan aktivitas yang berkaitan dengan Reksa Dana yang bersangkutan; d. komisi yang diterima Agen Penjual Efek Reksa Dana dan biaya yang menjadi beban Agen Penjual Efek Reksa Dana dan/atau Manajer Investasi; e. tata cara pencantuman informasi dan data tentang identitas Agen Penjual Efek Reksa Dana, Manajer Investasi, dan Bank Kustodian Reksa Dana dalam dokumen yang terkait dengan pemesanan penjualan atau pembelian kembali Efek Reksa Dana oleh pemegang Efek Reksa Dana; f. tata cara pembayaran dan penyerahan dana terkait penjualan, pembelian kembali, dan pengalihan Efek Reksa Dana; g. jangka waktu kontrak keagenan; h. penunjukan lembaga peradilan, lembaga alternatif penyelesaian sengketa di bidang Pasar Modal, atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antar para Pihak; dan i. ketentuan pengakhiran kontrak. BAB V PEJABAT PENANGGUNG JAWAB Pasal 23 (1) Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menunjuk paling kurang: a. 1 (satu)... - 19 - a. 1 (satu) orang pejabat penanggung jawab atas kegiatan penjualan Efek Reksa Dana di kantor pusat; dan b. 1 (satu) orang pejabat penanggung jawab atas kegiatan penjualan Efek Reksa Dana pada 1 (satu) atau lebih kantor lain selain kantor pusat dan/atau gerai. (2) Pejabat penanggung jawab kegiatan penjualan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, serta mempunyai pengalaman dalam kegiatan penjualan Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun. (3) Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas dan fungsi paling kurang sebagai berikut: a. memastikan proses penjualan dan pembelian kembali Efek Reksa Dana telah berjalan sesuai dengan: 1. kontrak kerja sama penjualan Efek Reksa Dana yang dibuat oleh Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana; 2. prosedur operasi standar Agen Penjual Efek Reksa Dana; 3. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan pihak lain yang memiliki jaringan luas sebagai gerai penjualan Efek Reksa Dana, jika Agen Penjual Efek Reksa Dana menggunakan gerai penjualan; dan 4. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; dan b. memastikan dokumen atas proses penjualan dan/atau... - 20 - dan/atau pembelian kembali Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada huruf a telah lengkap. Pasal 24 Pejabat penanggung jawab Agen Penjual Efek Reksa Dana dilarang merangkap: a. sebagai tenaga pemasaran Efek Reksa Dana; dan/atau b. bekerja pada perusahaan lain. BAB VI KANTOR LAIN SELAIN KANTOR PUSAT DAN/ATAU GERAI PENJUALAN EFEK REKSA DANA Pasal 25 Agen Penjual Efek Reksa Dana dapat melakukan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat dan/atau gerai penjualan. Bagian Kesatu Kantor Lain Selain Kantor Pusat Pasal 26 (1) Penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat dapat dilakukan oleh Agen Penjual Efek Reksa Dana setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat Permohonan Persetujuan Penjualan Efek Reksa Dana di Kantor Lain Selain Kantor Pusat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen-dokumen sebagai berikut: a. dokumen terkait pejabat penanggung jawab kantor... - 21 - kantor lain selain kantor pusat yang meliputi: 1. daftar riwayat hidup; 2. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penempatan sebagai pejabat penanggung jawab kantor lain selain kantor pusat; 3. dokumen pendukung yang menunjukkan berpengalaman dalam kegiatan penjualan Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun; 4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana atas nama pejabat penanggung jawab; dan 5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan terakhir atas nama pejabat penanggung jawab (jika ada); b. dokumen terkait Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat yang meliputi: 1. fotokopi surat keputusan Direksi terkait pengangkatan atau penempatan Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat sebagai tenaga pemasaran; 2. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana atas nama tenaga pemasaran; dan 3. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan terakhir atas nama yang bersangkutan (jika ada); c. surat keterangan domisili kantor lain selain kantor pusat dari pengelola gedung atau instansi berwenang... - 22 - berwenang; dan d. daftar kantor lain selain kantor pusat yang akan menjual Efek Reksa Dana beserta alamat kantor dan penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan Penanggung Jawabnya, Serta Daftar Wakil Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 27 Dokumen permohonan persetujuan Penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 wajib pula disiapkan dalam format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan media digital cakram padat (compact disk) atau lainnya, atau surat elektronik (email) dengan alamat [email protected]. Pasal 28 (1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka menilai kesiapan kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk menyelenggarakan penjualan Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana dimaksud. Pasal 29... - 23 - Pasal 29 Dalam hal permohonan persetujuan Penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 30 Dalam hal permohonan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap; atau b. permohonan ditolak. Pasal 31 Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 32 Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk menghentikan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat berdasarkan atas hal-hal antara lain: a. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak ditemukan; b. kantor... - 24 - b. kantor lain selain kantor pusat tersebut ditemukan, namun dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak aktif melakukan kegiatan transaksi Efek Reksa Dana; c. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak memiliki pejabat penanggung jawab dan/atau tenaga pemasaran yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan/atau d. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak dapat memenuhi syarat sebagai kantor lain selain kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan peraturan yang berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan terlewati. Bagian Kedua Gerai Penjualan Pasal 33 (1) Dalam melakukan penjualan Efek Reksa Dana, Agen Penjual Efek Reksa Dana dapat membuka gerai penjualan Efek Reksa Dana dengan cara melakukan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki jaringan luas dalam kegiatan usahanya termasuk kerja sama sistem pembayaran dalam rangka penambahan (top up) Efek Reksa Dana melalui sistem yang ada di gerai penjualan. (2) Kerja sama dengan pihak lain untuk membuka gerai penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah memperoleh persetujuan Manajer Investasi. (3) Penjualan Efek Reksa Dana di gerai penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. (4) Agen... - 25 - (4) Agen Penjual Efek Reksa Dana yang melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana pada gerai penjualan wajib melaporkan kegiatan penjualannya kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak dimulainya kegiatan penjualan. BAB VII PERILAKU AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Bagian Kesatu Kewajiban Pasal 34 Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib: a. menjadi anggota asosiasi terkait penjualan Efek Reksa Dana, kecuali bagi Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a; b. melakukan pengawasan secara terus-menerus terhadap semua pegawai dan/atau Pihak lain yang bekerja untuk Agen Penjual Efek Reksa Dana tersebut; c. bertanggung jawab atas segala tindakan yang berkaitan dengan penjualan Efek Reksa Dana yang dilakukan oleh pegawai dan/atau Pihak lain yang bekerja untuk Agen Penjual Efek Reksa Dana tersebut; d. mempunyai sistem pengawasan atas kegiatan para Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dan setiap pegawainya untuk menjamin dipatuhinya semua ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; e. memastikan bahwa pegawai tenaga pemasaran telah memahami Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus Reksa Dana yang dipasarkan; f. memastikan bahwa Prospektus yang digunakan dalam pemasaran Reksa Dana telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal... - 26 - Modal; g. menyediakan Prospektus terkini yang diterbitkan oleh Manajer Investasi kepada calon pemegang Efek Reksa Dana; h. menyediakan dan menyampaikan kepada calon pemegang Efek Reksa Dana informasi ringkas tentang Efek Reksa Dana yang dipasarkan yang berasal dari Prospektus dan telah memperoleh persetujuan dari Manajer Investasi; i. memastikan pemegang Efek Reksa Dana memperoleh kesempatan membaca Prospektus atau informasi penting lainnya sebelum atau pada saat pembelian Efek Reksa Dana dilakukan; j. menjaga kerahasiaan transaksi pemegang Efek Reksa Dana, kecuali kepada Manajer Investasi dan Bank Kustodian pengelola Reksa Dana dimaksud, Otoritas Jasa Keuangan, dan pihak lain jika diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan; k. mengetahui latar belakang, keadaan keuangan, tujuan investasi, dan profil risiko calon pemegang Efek Reksa Dana; l. mengutamakan kepentingan dan kesesuaian dengan sumber keuangan, dan kemampuan keuangan serta tujuan investasi calon pemegang Efek Reksa Dana pada saat menawarkan beberapa Reksa Dana; m. memastikan bahwa penghitungan Nilai Aktiva Bersih yang digunakan dan/atau diterima oleh pemegang Efek Reksa Dana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; n. memiliki sarana yang memadai dalam melakukan penjualan Efek Reksa Dana; o. menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your customer) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal... - 27 - Modal; p. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi dan untuk kepentingan pemegang Efek Reksa Dana; q. bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tidak melaksanakan kewajibannya; dan r. memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk menangani dan menyelesaikan pengaduan yang diajukan pemegang Efek Reksa Dana. Pasal 35 Informasi ringkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf h paling kurang memuat: a. informasi bahwa Reksa Dana merupakan produk Pasar Modal dan bukan produk yang diterbitkan oleh Agen Penjual Efek Reksa Dana serta Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak bertanggung jawab atas tuntutan dan risiko pengelolaan portofolio Reksa Dana yang dilakukan oleh Manajer Investasi; b. jenis Reksa Dana dan risiko yang melekat pada produk Reksa Dana termasuk kemungkinan kerugian nilai investasi yang akan diderita oleh pemegang Efek Reksa Dana akibat berfluktuasinya Nilai Aktiva Bersih sesuai dengan kondisi pasar dan kualitas aset yang mendasari; c. kebijakan investasi serta komposisi portofolio; d. biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan investasi pada Reksa Dana termasuk komisi yang diperoleh Agen Penjual Efek Reksa Dana; e. informasi mengenai Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana dan Bank Kustodian; f. informasi bahwa konfirmasi atas investasi pemegang Efek Reksa Dana akan diterbitkan oleh Bank Kustodian; g. informasi... - 28 - g. informasi bahwa tanda bukti kepemilikan atas Efek Reksa Dana yang sah adalah konfirmasi dari Bank Kustodian; dan h. informasi kinerja Reksa Dana (jika ada). Pasal 36 Dalam hal Agen Penjual Efek Reksa Dana membuat tabel perbandingan antara beberapa Reksa Dana dari beberapa Manajer Investasi yang dipasarkannya, maka perbandingan tersebut harus dibuat atas jenis produk yang sama dan dapat diperbandingkan. Bagian Kedua Larangan Pasal 37 Agen Penjual Efek Reksa Dana dilarang: a. menerbitkan konfirmasi atas penjualan (subscription) dan pembelian kembali (redemption) Efek Reksa Dana yang dilakukan oleh pemegang Efek Reksa Dana; b. menjual Efek Reksa Dana tanpa instruksi dari pemegang Efek Reksa Dana; c. memberikan penjelasan yang tidak benar dan ungkapan yang berlebihan tentang suatu Reksa Dana; d. memastikan atau menjanjikan hasil investasi; e. mengindikasikan hasil investasi, kecuali telah dinyatakan dalam Prospektus; f. memberikan rekomendasi kepada calon atau pemegang Efek Reksa Dana untuk membeli dan/atau menjual Efek Reksa Dana tanpa memperhatikan tujuan investasi, keadaan keuangan, dan profil risiko calon atau pemegang Efek Reksa Dana; g. menyarankan untuk melakukan transaksi yang berlebihan dalam Reksa Dana untuk memperoleh komisi yang lebih besar; h. membuat... - 29 - h. membuat pernyataan yang negatif terhadap Manajer Investasi atau Reksa Dana tertentu; i. memberikan rekomendasi atas produk Reksa Dana tertentu kepada calon atau pemegang Efek Reksa Dana untuk mendapatkan komisi tambahan atau insentif; j. memberikan potongan komisi atau hadiah kepada calon atau pemegang Efek Reksa Dana yang diambil dari kekayaan Reksa Dana; dan/atau k. menerima titipan dana penjualan (subscription) dan pembelian kembali (redemption) Efek Reksa Dana dari calon atau pemegang Efek Reksa Dana. BAB VIII PELAPORAN Pasal 38 Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menyampaikan laporan rencana kegiatan tahun berjalan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada setiap tanggal 15 Januari sesuai dengan format Rencana Kegiatan Tahun Berjalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 39 Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap perubahan berkaitan dengan: a. identitas Perseroan, yang meliputi nama dan/atau logo; b. strategi kepatuhan dan manajemen risiko; c. alamat kantor pusat atau kantor lain selain kantor pusat; d. penutupan kantor lain selain kantor pusat; e. penambahan atau penghentian kerja sama penjualan dengan... - 30 - dengan Manajer Investasi; f. penambahan atau penghentian kerja sama gerai penjualan; dan g. Pejabat Penanggung Jawab dan tenaga pemasaran Efek Reksa Dana, sesuai dengan format Laporan Perubahan Pejabat Penanggung Jawab Dan Tenaga Pemasaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya perubahan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 40 Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan bulanan sebagai berikut: a. total nilai transaksi penjualan Efek Reksa Dana di setiap kantor dan/atau gerai penjualan sesuai dengan format Laporan Penjualan Reksa Dana Oleh Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. profil investor Efek Reksa Dana sesuai dengan format Laporan Profil Investor Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan c. daftar rekapitulasi pengaduan nasabah Reksa Dana dan penanganannya (jika ada), paling lambat pada tanggal 12 (dua belas) bulan berikutnya. Pasal 41 Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan rencana kegiatan tahun berjalan sebagaimana dimaksud dalam... - 31 - dalam Pasal 38 dan laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 jatuh pada hari libur, laporan tersebut disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB IX SISTEM ELEKTRONIK PENDAFTARAN, PERIZINAN, PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 42 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik permohonan pendaftaran, perizinan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, persetujuan penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat, dan/atau pelaporan Agen Penjual Efek Reksa Dana, permohonan pendaftaran, perizinan, persetujuan, dan/atau pelaporan tersebut dapat disampaikan melalui sistem elektronik dimaksud. BAB X BERAKHIRNYA KEGIATAN SEBAGAI AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN/ATAU PERANTARA PEDAGANG EFEK Pasal 43 (1) Kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. badan hukum Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek bubar; b. izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; c. Perusahaan... - 32 - c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek tidak dapat memenuhi persyaratan untuk melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan terlewati; atau d. Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi administratif kepada Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek untuk tidak melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana. (2) Dalam hal berakhirnya kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek serta melakukan penjualan Efek Reksa Dana wajib memenuhi dan menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait penjualan Efek Reksa Dana dengan ketentuan sebagai berikut: a. sebelum badan hukum Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek bubar; b. sebelum izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau c. dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat sanksi Otoritas Jasa Keuangan. BAB XI... - 33 - BAB XI PEMBATALAN SURAT TANDA TERDAFTAR AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 44 Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan Surat Tanda Terdaftar Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. Agen Penjual Efek Reksa Dana mengembalikan Surat Tanda Terdaftar yang dimilikinya; atau b. Agen Penjual Efek Reksa Dana melakukan pelanggaran undangan di bidang Pasar Modal. Pasal 45 Surat Tanda Terdaftar Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b menjadi batal apabila: a. badan hukum pihak yang melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana bubar; dan/atau b. izin usaha utama Pihak yang melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dicabut oleh instansi yang berwenang. Pasal 46 (1) Pengembalian Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Agen Penjual Efek Reksa Dana mengajukan surat permohonan pengembalian Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. Agen Penjual Efek Reksa Dana telah menyelesaikan... terhadap peraturan perundang- - 34 - menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait penjualan Efek Reksa Dana, termasuk pembayaran atas sanksi administratif berupa denda dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam surat sanksi Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan pengembalian Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai dokumen sebagai berikut: a. keterangan mengenai alasan pengembalian Surat Tanda Terdaftar tersebut; b. Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan c. laporan tentang penyelesaian hak dan kewajiban Agen Penjual Efek Reksa Dana disertai dokumen pendukungnya. Pasal 47 Pembatalan Surat Tanda Terdaftar yang disebabkan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 huruf b dilakukan antara lain apabila: a. kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak ditemukan; b. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak memiliki pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; c. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut; dan/atau d. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak dapat memenuhi persyaratan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan terlewati. Pasal 48... - 35 - Pasal 48 Agen Penjual Efek Reksa Dana yang Surat Tanda Terdaftarnya dibatalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib memenuhi dan menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada Manajer Investasi dan/atau pemegang Efek Reksa Dana. BAB XII PENCABUTAN IZIN USAHA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN KEGIATAN USAHA SEBAGAI PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG KHUSUS DIDIRIKAN UNTUK MEMASARKAN EFEK REKSA DANA Pasal 49 Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. izin usaha dikembalikan oleh Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal; atau c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana bubar. Pasal 50 Pengembalian izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. mengajukan... - 36 - a. mengajukan surat permohonan pengembalian izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. telah memperoleh persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham atas rencana permohonan pengembalian izin usaha tersebut; c. telah mengumumkan rencana pengembalian izin usaha paling kurang pada 1 (satu) surat kabar yang berperedaran nasional yang berisi antara lain pemberitahuan penyelesaian hak dan kewajiban; dan d. telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait dengan penjualan Efek Reksa Dana. Pasal 51 Pencabutan izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana akibat pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b meliputi: a. pelanggaran administratif, antara lain sebagai berikut: 1. kantor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana tidak ditemukan; 2. kantor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana ditemukan, namun dalam jangka waktu 2 (dua) tahun berturut-turut tidak melakukan kegiatan pemasaran Efek Reksa Dana; 3. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai... - 37 - sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana tidak memiliki pegawai; dan/atau 4. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana tidak dapat memenuhi kekurangan yang dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan terlewati; dan/atau b. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Pasal 52 Surat permohonan pengembalian izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a disertai dokumen sebagai berikut: a. keterangan mengenai alasan pengembalian izin usaha tersebut; b. hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang persetujuan atas rencana permohonan pengembalian izin usaha tersebut; c. Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana yang dimiliki; d. bukti pengumuman rencana pengembalian izin usaha paling kurang pada 1 (satu) surat kabar yang berperedaran nasional yang berisi antara lain pemberitahuan... - 38 - pemberitahuan penyelesaian hak dan kewajiban; dan e. laporan tentang penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana kepada nasabah dan Manajer Investasi pengelola Reksa Dana beserta dokumen pendukungnya. BAB XIII SANKSI Pasal 53 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara... - 39 - secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 54 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 55 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 kepada masyarakat. BAB XIV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 (1) Pihak yang telah terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini: a. tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana tanpa harus melakukan pendaftaran kembali sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan b. wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal substansi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sama dengan: a. Peraturan Nomor V.B.3, Lampiran Keputusan Ketua... - 40 - Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-10/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan b. Peraturan Nomor V.B.4, Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-11/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana, substansi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sejak diundangkan. Pasal 57 Pihak yang telah terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dan Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek yang saat ini telah melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XV KETENTUAN PENUTUP Pasal 58 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana dan perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 59 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-10/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.3 yang merupakan lampirannya; dan b. Keputusan... - 41 - b. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-11/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.4 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 60 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 30 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 396 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum I Departemen Hukum, Ttd. Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 39/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA </reg_title> <set_date> 29 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 30 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 30 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-10/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'KEP-11/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'KEP-10/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.3', 'KEP-11/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.4' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /POJK.03/2017 TENTANG PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan perlu menyusun dan menyajikan informasi keuangan yang berkualitas; b. bahwa tersedianya informasi keuangan yang berkualitas merupakan cerminan penerapan tata kelola yang baik yang memerlukan peran dari komite audit dalam mengawasi efektivitas penyelenggaraan fungsi audit eksternal oleh akuntan publik dan kantor akuntan publik; c. bahwa akuntan publik dan kantor akuntan publik sebagai penunjang kegiatan jasa keuangan memiliki peran yang penting untuk meningkatkan kualitas informasi keuangan yang disusun dan disajikan oleh pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan; d. bahwa dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai - 2 - wewenang untuk melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap penunjang kegiatan jasa keuangan; e. bahwa dalam menjaga kepercayaan publik terhadap kualitas informasi keuangan, pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan harus menjaga hubungan yang independen dengan akuntan publik dan kantor akuntan publik; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3068); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); - 3 - 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); 6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5215); 7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan adalah pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, dan/atau Industri Keuangan Non-Bank yang diatur dan diawasi - 4 - oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. 2. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perbankan dan Undang- Undang mengenai Perbankan Syariah. 3. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai Pasar Modal. 4. Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disingkat IKNB adalah industri yang terdiri dari lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lain, baik yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usaha berdasarkan prinsip syariah. 5. Akuntan Publik yang selanjutnya disingkat AP adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik. 6. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disingkat KAP adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik. 7. Komite Audit adalah suatu komite yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi dewan komisaris. - 5 - 8. Asosiasi Profesi Akuntan Publik adalah organisasi profesi Akuntan Publik yang bersifat nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik. 9. Rekan adalah sekutu pada Kantor Akuntan Publik yang berbentuk usaha persekutuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik. 10. Pendidikan Profesional Berkelanjutan yang selanjutnya disebut PPL adalah suatu pendidikan dan/atau pelatihan profesi bagi Akuntan Publik yang bersifat berkelanjutan dan bertujuan untuk menjaga kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai praktik akuntan publik. 11. Periode Audit adalah periode yang mencakup periode laporan keuangan yang menjadi obyek audit, reviu atau asurans lainnya. 12. Periode Penugasan Profesional adalah periode penugasan untuk melakukan pekerjaan asurans termasuk menyiapkan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang dimulai sejak pekerjaan lapangan atau penandatanganan penugasan, mana yang lebih dahulu, dan berakhir pada saat tanggal laporan Akuntan Publik atau pemberitahuan tertulis oleh Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik atau klien kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa penugasan telah selesai, mana yang lebih dahulu. 13. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang keuangan. - 6 - Pasal 2 (1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib menggunakan AP dan KAP yang: a. terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. memiliki kompetensi sesuai dengan kompleksitas usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. (2) Kewajiban penggunaan AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan laporan yang wajib diaudit atau diperiksa oleh AP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan atau perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB II PENGELOLAAN ADMINISTRASI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK Pasal 3 (1) Sebelum memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP wajib terlebih dahulu terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi persyaratan paling kurang: a. memiliki izin yang masih berlaku dari Menteri; b. tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan Surat Tanda Terdaftar (STTD) dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya; dan c. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet. - 7 - (3) Bagi AP, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditambahkan persyaratan: a. tidak memiliki rangkap jabatan; b. berkedudukan sebagai Rekan AP pada KAP persekutuan atau pemimpin KAP perseorangan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. memiliki kompetensi dan pengetahuan di bidang jasa keuangan dan industri yang menggunakan jasa AP. (4) Bagi AP yang akan memberikan jasa kepada bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), harus memiliki pengetahuan akuntansi syariah. (5) Bagi KAP selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditambahkan persyaratan: a. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yaitu pemimpin Rekan KAP; dan b. dalam hal KAP hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, KAP harus membuat surat perjanjian kerja sama dengan KAP lain tentang pengalihan tanggung jawab apabila Rekan AP yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugas, dengan ketentuan bahwa KAP lain mempunyai Rekan AP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan. (6) Selain persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5), dalam hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan persyaratan pendaftaran AP dan/atau KAP. - 8 - Pasal 4 (1) Permohonan pendaftaran AP disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (4), disertai dokumen paling sedikit: a. fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri; b. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani di atas meterai yang cukup; c. fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih berlaku; d. pas foto berwarna terbaru dengan ukuran 4x6 cm; e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; f. fotokopi sertifikat program sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dan/atau Pasal 3 ayat (4); g. fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh notaris mengenai AP sebagai Rekan pada KAP persekutuan atau izin sebagai KAP berbadan usaha perseorangan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; h. surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup yang menyatakan bahwa AP: 1. tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan STTD dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya; 2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet; dan 3. tidak memiliki rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a. (2) Permohonan pendaftaran KAP disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5), disertai dokumen paling sedikit: - 9 - a. fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri; b. fotokopi akta pendirian KAP perubahannya; beserta c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak; d. fotokopi surat perjanjian kerja sama dengan KAP lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) huruf b; e. f. g. fotokopi perjanjian kerja sama yang disahkan oleh notaris bagi KAP yang berbentuk persekutuan; fotokopi izin pendirian cabang KAP dari Menteri bagi KAP yang mempunyai cabang; fotokopi surat persetujuan dari Menteri mengenai pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing (KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA), apabila KAP bekerjasama dengan KAPA atau OAA; dan h. surat pernyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup oleh pemimpin Rekan KAP, yang menyatakan bahwa KAP: 1. tidak pernah dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan STTD dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas sebelumnya; dan 2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan serta tidak tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan macet. Pasal 5 (1) Dalam hal dokumen permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, AP dan/atau KAP harus menyampaikan pemenuhan dokumen persyaratan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Otoritas Jasa Keuangan. - 10 - (2) Dalam hal AP dan/atau KAP tidak memenuhi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), AP dan/atau KAP dianggap telah membatalkan permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2). (3) Dalam hal AP dan/atau KAP mengajukan kembali permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan, AP dan/atau KAP harus menyampaikan kembali permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan disertai dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 6 (1) Dalam hal permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP telah dinyatakan memenuhi persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan kepada AP dan/atau KAP paling lama 20 (dua puluh) hari kerja, bahwa: a. permohonan pendaftaran diterima; atau b. permohonan pendaftaran ditolak dengan disertai alasan penolakan. (2) AP dan KAP yang permohonan pendaftarannya disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan diberikan STTD dan dicantumkan dalam daftar AP dan KAP pada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 7 AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan wajib: a. menjaga kerahasiaan data dan informasi yang diperoleh dalam pemberian jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; b. menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas kepatuhan terhadap pekerjaan pemeriksaan dan penerapan pengendalian mutu atas kegiatan jasa yang diberikan oleh AP dan/atau KAP - 11 - kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; c. menerapkan standar akuntansi keuangan dalam pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan, sepanjang tidak diatur lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; d. memperhatikan kesesuaian transaksi yang dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pada saat pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan; dan e. mengikuti PPL khusus bagi AP, yang diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, paling sedikit sesuai dengan jumlah Satuan Kredit Pendidikan Profesional Berkelanjutan (SKP) yang wajib dipenuhi setiap tahun sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 (1) Pada saat mengajukan permohonan pendaftaran untuk pertama kali kepada Otoritas Jasa Keuangan, AP dapat memilih ruang lingkup pemberian jasa pada satu atau lebih sektor jasa keuangan yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor jasa keuangan selain yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan dengan memenuhi persyaratan khusus. (3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu memiliki kompetensi dan pengetahuan di sektor jasa keuangan sesuai dengan pilihan sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dan/atau Pasal 3 ayat (4). - 12 - BAB III PUBLIKASI DAFTAR AP DAN KAP PADA OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 9 (1) Daftar AP dan KAP pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa Keuangan. (2) Daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. AP dan KAP yang aktif; b. AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu; dan c. AP dan KAP yang tidak aktif tetap. (3) AP dan KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dalam hal permohonan pendaftaran telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan diberikan STTD dan STTD masih berlaku. (4) AP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam hal AP yang terdaftar: a. sedang menjalani penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. sedang menjalani penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu berdasarkan persetujuan Menteri; c. sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan atau sanksi pembekuan izin AP dari Menteri; - 13 - d. sedang dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan atau pembekuan izin usaha KAP dari Menteri; atau e. tidak lagi merupakan Rekan AP atau pemimpin pada KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan. (5) KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dalam hal: a. KAP mendapat sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan; b. izin usaha KAP dibekukan oleh Menteri; atau c. sebab lain. (6) Bagi AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b: a. STTD atas nama AP dan/atau KAP dinyatakan tidak berlaku untuk sementara waktu; b. AP dan/atau KAP tidak dapat memberikan jasa; dan c. AP dapat menunda pemenuhan PPL setiap tahun sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 7 huruf e. (7) AP dan/atau KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dalam hal: a. AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mengakibatkan pembatalan STTD; b. AP dan/atau KAP mengundurkan diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; atau c. sebab lain. - 14 - (8) KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dalam hal AP pada KAP perseorangan atau Rekan AP pada KAP persekutuan yang hanya memiliki 1 (satu) orang AP terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan termasuk pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap. Pasal 10 (1) AP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan dapat mengajukan permohonan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Pengajuan permohonan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 2 (dua) bulan sebelum tanggal rencana penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu. (3) Surat permohonan penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen dan informasi paling sedikit: a. surat rekomendasi dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan pada KAP; b. alamat lengkap selama menjalani penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu; c. surat pernyataan bahwa AP tidak sedang memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; d. jangka waktu yang dimohonkan untuk menjalani penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu; dan e. alasan pengajuan permohonan penghentian pemberian jasa AP untuk sementara waktu. - 15 - (4) Persetujuan permohonan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Dalam hal AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu bermaksud untuk aktif kembali dan tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan, AP dan/atau KAP yang bersangkutan mengajukan permohonan pengaktifan kembali kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 2 (dua) bulan sebelum rencana aktif kembali. (2) Permohonan pengaktifan kembali bagi AP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen berupa bukti keikutsertaan PPL sesuai dengan jumlah SKP yang wajib dipenuhi setiap tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e dengan cara mengikuti PPL: a. setiap tahun selama masa tidak aktif; atau b. secara akumulasi selama 2 (dua) tahun terakhir, sebelum pengaktifan kembali dan tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan. (3) AP dan/atau KAP dianggap mengundurkan diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal: a. AP dan/atau KAP tidak mengajukan permohonan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau b. pengajuan permohonan pengaktifan kembali oleh AP tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama sampai dengan 6 (enam) bulan setelah masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu berakhir. - 16 - (4) Dalam hal AP dan/atau KAP dianggap mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), STTD atas nama AP dan/atau KAP dibatalkan dan dicatat pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Persetujuan permohonan pengaktifan kembali AP dan/atau KAP diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan yang disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV PENGUNDURAN DIRI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK Pasal 12 (1) AP dan/atau KAP dapat mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, dengan disertai dokumen pendukung paling sedikit: a. surat keterangan dari KAP bagi AP yang menjadi Rekan KAP; b. surat pernyataan bahwa AP dan/atau KAP tidak sedang memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan c. alasan pengunduran diri AP dan/atau KAP, yang disampaikan paling lama 2 (dua) bulan sebelum tanggal rencana pengunduran diri. (2) Permohonan pengunduran diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. dalam hal disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan: 1. STTD atas nama AP dan/atau KAP dibatalkan; dan - 17 - 2. AP dan/atau KAP dicatat pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Otoritas Jasa Keuangan; atau b. dalam hal ditolak, Otoritas Jasa Keuangan memberi pertimbangan tertentu. (3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan pengunduran diri AP dan/atau KAP diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan pengunduran diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yang disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB V PERAN KOMITE AUDIT Pasal 13 (1) Penunjukan AP dan/atau KAP yang akan memberikan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan wajib diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan mempertimbangkan usulan dewan komisaris. (2) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak dapat memutuskan penunjukan AP dan/atau KAP yang akan memberikan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rapat Umum Pemegang Saham dapat mendelegasikan kewenangan penunjukan AP dan/atau KAP kepada dewan komisaris, disertai penjelasan mengenai: a. alasan pendelegasian kewenangan; dan b. kriteria atau batasan AP dan/atau KAP yang dapat ditunjuk. (3) Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan tidak memiliki organ Rapat Umum Pemegang Saham, fungsi dan kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud pada - 18 - ayat (1) dilaksanakan oleh organ tertinggi yang setara dengan Rapat Umum Pemegang Saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (4) Usulan penunjukan AP dan/atau KAP yang diajukan oleh dewan komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhatikan rekomendasi Komite Audit. (5) Dalam hal AP dan/atau KAP yang telah diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menyelesaikan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan pada Periode Penugasan Profesional, penunjukan AP dan/atau KAP pengganti dapat dilakukan oleh dewan komisaris sepanjang diamanatkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham dengan memperhatikan rekomendasi Komite Audit. (6) Dalam menyusun rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Komite Audit dapat mempertimbangkan: a. independensi AP, KAP, dan orang dalam KAP; b. ruang lingkup audit; c. imbalan jasa audit; d. keahlian dan pengalaman AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP; e. metodologi, teknik, dan sarana audit yang digunakan KAP; f. manfaat fresh eye perspectives yang akan diperoleh melalui penggantian AP, KAP, dan Tim Audit dari KAP; g. potensi risiko atas penggunaan jasa audit oleh KAP yang sama secara berturut-turut untuk kurun waktu yang cukup panjang; dan/atau h. hasil evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan KAP pada periode sebelumnya, apabila ada. - 19 - (7) KAP dapat dikategorikan sebagai KAP yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf g dalam hal: a. nama KAP tidak berubah dan tidak terjadi perubahan komposisi AP lebih dari 50% (lima puluh persen) atau lebih; atau b. terdapat pendirian atau perubahan nama KAP, namun komposisi AP 50% (lima puluh persen) atau lebih berasal dari KAP yang sebelumnya. (8) Bagi Komite Audit bank, pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi. Pasal 14 (1) Komite Audit melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP. (2) Evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui: a. kesesuaian pelaksanaan audit oleh AP dan/atau KAP dengan standar audit yang berlaku; b. kecukupan waktu pekerjaan lapangan; c. pengkajian cakupan jasa yang diberikan dan kecukupan uji petik; dan d. rekomendasi perbaikan yang diberikan oleh AP dan/atau KAP. Pasal 15 Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan tidak diwajibkan memiliki Komite Audit, tugas dan tanggung jawab Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dilaksanakan oleh dewan komisaris, dewan pengawas, atau pihak yang melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan oleh dewan komisaris. - 20 - BAB VI PEMBATASAN PENGGUNAAN JASA AUDIT Pasal 16 (1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib membatasi penggunaan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan dari AP yang sama paling lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun buku pelaporan secara berturut-turut. (2) Pembatasan penggunaan jasa audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi AP yang merupakan pihak terasosiasi. (3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan hanya dapat menggunakan kembali jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan dari AP yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah 2 (dua) tahun buku pelaporan secara berturut-turut tidak menggunakan jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan dari AP yang sama (cooling-off period). BAB VII RUANG LINGKUP AUDIT Pasal 17 (1) Pelaksanaan audit informasi keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP didasarkan pada perjanjian kerja antara Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan KAP. (2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencantumkan ruang lingkup audit. (3) Bank wajib mencantumkan ruang lingkup audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada perjanjian kerja antara bank dengan KAP. (4) Ruang lingkup audit dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 21 - BAB VIII INDEPENDENSI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK TERHADAP PIHAK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN JASA KEUANGAN Pasal 18 (1) AP, KAP, dan orang dalam KAP dalam memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib memenuhi kondisi independen selama Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional. (2) Kondisi independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam Surat Pernyataan dan diserahkan oleh KAP kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, sebelum Periode Penugasan Profesional dimulai. (3) Dalam menyusun tim audit dan pihak yang turut serta secara langsung dalam pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan, KAP mengacu pada kode etik profesi AP. BAB IX KOMUNIKASI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 19 (1) Dalam rangka persiapan dan pelaksanaan audit atas informasi keuangan historis tahunan kepada Lembaga Jasa Keuangan, AP dan/atau KAP wajib melakukan komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1): a. AP dan/atau KAP dapat meminta informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang akan diaudit; dan/atau b. Otoritas Jasa Keuangan dapat menginformasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian AP - 22 - dan/atau KAP dalam rangka persiapan dan pelaksanaan audit. (3) AP dan KAP wajib menyampaikan informasi yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan meskipun perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) telah berakhir. BAB X PENYAMPAIAN LAPORAN DARI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 20 (1) AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan secara lengkap dan benar kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. laporan berkala tahunan; dan laporan insidentil. (3) Laporan berkala tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa laporan kegiatan pemberian jasa KAP kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. (4) Laporan insidentil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa: a. b. laporan KAP mengenai perubahan data AP dan/atau KAP; laporan AP dalam hal terdapat informasi mengenai: 1. pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 2. kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan yang - 23 - penyajian laporan keuangan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; 3. kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau 4. kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan c. laporan insidentil AP dan/atau KAP lainnya apabila sewaktu-waktu diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat informasi paling kurang mengenai: a. nama KAP dan nomor izin dari Menteri; b. nama AP dan nomor izin dari Menteri; c. nama Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dan jenis jasa yang diberikan oleh AP dan/atau KAP kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dalam kurun waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal 1 April sampai dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya atau sejak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun; d. opini audit yang diterbitkan oleh AP dan/atau KAP; e. susunan tim audit dan pihak yang turut serta secara langsung dalam pemberian jasa audit; f. jumlah tahun periode audit AP dan/atau KAP terhadap Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang sama; dan g. imbalan jasa audit. - 24 - Pasal 21 (1) KAP wajib menyampaikan laporan kegiatan pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan bukti pendukung paling lambat tanggal 15 April. (2) KAP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan kegiatan pemberian jasa KAP apabila laporan disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan paling lambat tanggal 15 Mei. (3) KAP dinyatakan tidak menyampaikan laporan kegiatan pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan belum disampaikan setelah batas akhir waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 22 (1) KAP wajib menyampaikan laporan perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan bukti pendukung paling lama 10 (sepuluh) hari setelah persetujuan atau pemberitahuan perubahan data dari Kementerian Keuangan diterima oleh AP dan/atau KAP. (2) KAP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan perubahan data AP dan/atau KAP apabila laporan disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari berikutnya. (3) KAP dinyatakan tidak menyampaikan laporan perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan belum disampaikan setelah batas akhir waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). - 25 - Pasal 23 Berdasarkan laporan perubahan data AP dan/atau KAP yang diterima Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) maupun berdasarkan informasi dari pihak lain, Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengkinian data dan informasi mengenai AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan KAP pada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 24 (1) AP wajib menyampaikan laporan mengenai pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (4) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan, disertai dengan bukti pendukung, paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak ditemukan. (2) AP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 2 (dua) hari kerja berikutnya. (3) AP dinyatakan tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan belum disampaikan setelah batas akhir waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). - 26 - BAB XI MEDIA PENYAMPAIAN PERMOHONAN DAN LAPORAN AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 25 (1) AP dan/atau KAP menyampaikan: a. permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan disertai dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; b. permohonan persetujuan penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor jasa keuangan selain yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); c. permohonan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu oleh AP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; d. permohonan pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1); e. permohonan pengunduran diri AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1); f. laporan kegiatan pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan g. laporan perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal. (2) Permohonan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KAP secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat digunakan untuk penyampaian permohonan dan/atau laporan secara daring (online) - 27 - sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KAP menyampaikan permohonan dan/atau laporan dimaksud secara luring (offline) kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 26 (1) Dalam hal sistem pelaporan KAP secara daring (online) mengalami gangguan teknis atau terjadi keadaan kahar pada hari terakhir batas waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan, KAP menyampaikan secara luring (offline): a. surat pemberitahuan yang ditandatangani oleh pemimpin KAP yang memuat alasan adanya gangguan teknis atau terjadinya keadaan kahar, disertai dokumen pendukung; dan b. permohonan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c sampai dengan huruf g, pada hari terakhir batas waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan. (2) Surat pemberitahuan serta permohonan dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal. Pasal 27 Laporan mengenai pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) disampaikan secara luring (offline) kepada Otoritas Jasa Keuangan: - 28 - a. bagi bank, dengan alamat: 1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah bagi bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau 2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat bank; b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, ditujukan kepada Departemen Pengawasan Pasar Modal terkait; dan c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor IKNB, ditujukan kepada Departemen Pengawasan IKNB terkait. BAB XII PENYAMPAIAN LAPORAN DARI PIHAK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN JASA KEUANGAN KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 28 (1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan berkala setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. penunjukan AP dan/atau KAP dalam rangka audit atas informasi keuangan historis tahunan dengan melampirkan dokumen penunjukan AP dan/atau KAP disertai rekomendasi Komite Audit dan pertimbangan yang digunakan dalam memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah penunjukan AP dan/atau KAP; dan b. hasil evaluasi Komite Audit terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi keuangan - 29 - historis tahunan oleh AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, paling lama 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. (2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala apabila laporan disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari berikutnya. (3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila laporan belum disampaikan setelah batas akhir waktu keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 29 (1) Laporan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. bagi bank, dengan alamat: 1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah bagi bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau 2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat bank; b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal, ditujukan kepada Departemen Pengawasan Pasar Modal terkait; dan - 30 - c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor IKNB, ditujukan kepada Departemen Pengawasan IKNB terkait. (2) Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan melaksanakan kegiatan lebih dari 1 (satu) sektor jasa keuangan, laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) disampaikan kepada Satuan Kerja Pengawasan sesuai dengan jenis lembaga sektor jasa keuangan. BAB XIII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 30 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan secara tertulis kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan untuk melakukan: a. penggantian AP dan/atau KAP yang telah ditunjuk oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau b. audit atau pemeriksaan ulang terhadap laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). (2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan wajib memenuhi perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 31 Dalam hal batas akhir waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara luring (offline) sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini jatuh pada hari libur, permohonan dan/atau laporan dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya. - 31 - BAB XIV SANKSI Pasal 32 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. (2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dan/atau pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis atau peringatan tertulis; b. denda; dan/atau c. pencantuman pemegang saham, anggota direksi, dewan komisaris atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang dilarang menjadi: 1. pemegang saham pengendali atau pemilik Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau 2. anggota direksi, dewan komisaris, atau pejabat eksekutif Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. (3) AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis atau peringatan tertulis; b. denda; c. pembekuan pendaftaran; dan/atau d. pembatalan pendaftaran. (4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama atau dengan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1). - 32 - (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan kepada masyarakat pengenaan sanksi administratif kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan serta AP dan KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3). Pasal 33 (1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang melakukan pelanggaran berupa: a. penunjukan AP dan/atau KAP tanpa mempertimbangkan usulan dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); atau b. usulan dewan komisaris dalam penunjukan AP dan/atau KAP rekomendasi Komite tanpa memperhatikan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a. (2) Bank yang melakukan pelanggaran berupa: a. rekomendasi Komite Audit bank tidak mempertimbangkan persyaratan minimal yang wajib dipenuhi dalam penunjukan AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau b. ruang lingkup audit tidak dicantumkan dalam perjanjian kerja antara bank dengan KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a. (3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) - 33 - huruf b masing-masing sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari atau paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan. (4) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b masing-masing sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan. (5) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang melakukan pelanggaran dalam hal tidak memenuhi perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman pemegang saham, anggota direksi, dewan komisaris atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang dilarang menjadi: a. pemegang saham pengendali atau pemilik Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau b. anggota direksi, dewan komisaris, atau pejabat eksekutif Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c. Pasal 34 AP dan/atau KAP yang melakukan pelanggaran: a. tidak melakukan komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1); b. tidak menyampaikan informasi yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3); dan/atau - 34 - c. tidak memenuhi persyaratan sebagai AP dan/atau KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan/atau huruf b, dan/atau Pasal 3 ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a. Pasal 35 (1) AP yang tidak memenuhi paling sedikit sesuai dengan jumlah SKP PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e, dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a. (2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), AP tetap diwajibkan untuk memenuhi kewajiban paling sedikit sesuai dengan jumlah SKP PPL dengan menambahkan kekurangan jumlah SKP PPL pada pemenuhan SKP PPL pada tahun berikut. (3) Dalam hal AP tidak dapat memenuhi kewajiban jumlah SKP PPL pada tahun berikut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), AP dianggap tidak memenuhi kewajiban jumlah SKP PPL sebagaimana ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan selama 2 (dua) tahun berturut-turut. Pasal 36 (1) KAP yang dinyatakan terlambat menyampaikan: a. laporan kegiatan pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2); dan/atau b. laporan perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b masing-masing sebesar Rp100.000,00 - 35 - (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan. (2) KAP yang dinyatakan tidak menyampaikan: a. laporan kegiatan pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3); dan/atau b. laporan perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b masing-masing sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per laporan. (3) Bagi KAP yang belum menyampaikan laporan, selain dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dan/atau Pasal 20 ayat (4) huruf a. Pasal 37 AP yang terlambat menyampaikan laporan mengenai pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf b sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah). Pasal 38 (1) AP dan/atau KAP yang melakukan pelanggaran: a. tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan/atau - 36 - huruf b, dan/atau Pasal 3 ayat (5), setelah batas waktu sesuai dengan teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf c; b. tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; c. tidak memenuhi kewajiban jumlah SKP PPL selama 2 (dua) tahun berturut-turut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3); d. e. tidak memenuhi kondisi independen selama Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1); tidak menyampaikan laporan mengenai pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan keuangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3); atau f. AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 2 (dua) tahun, dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf c. (2) Jangka waktu pembekuan pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan selama 1 (satu) tahun. - 37 - Pasal 39 Pelanggaran ketentuan: a. AP dan/atau KAP yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 7 setelah masa pembekuan berakhir; b. AP dan/atau KAP yang dinilai oleh Otoritas Jasa Keuangan melakukan pelanggaran berat terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini maupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain; c. AP dan/atau KAP yang dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran sebanyak 2 (dua) kali dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun; d. KAP berbentuk perseorangan dengan AP yang terkena sanksi berupa pembatalan pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. KAP berbentuk persekutuan dengan paling sedikit 2 (dua) AP terkena sanksi berupa pembatalan pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf d. Pasal 40 Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 (1) AP dan/atau KAP yang telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan - 38 - Otoritas Jasa Keuangan ini, harus melakukan pendaftaran ulang. (2) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan sektor jasa keuangan AP sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku. (3) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, kecuali: a. persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dan/atau Pasal 3 ayat (4); dan b. sertifikat program sertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f. (4) Jangka waktu pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah paling lama 1 (satu) tahun setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku. (5) AP dan/atau KAP yang tidak melakukan pendaftaran ulang sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4): a. dianggap mengundurkan diri dari AP dan/atau KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan b. STTD atas nama AP dan/atau KAP dibatalkan dan dicatat pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Otoritas Jasa Keuangan. (6) Kewajiban penyampaian permohonan dan laporan secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), untuk pertama kalinya berlaku sejak tanggal 1 April 2017. (7) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif untuk penyampaian permohonan dan laporan secara daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KAP dapat melaksanakan uji coba sejak Peraturan - 39 - Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017. (8) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan yang telah melakukan penunjukan AP yang sama sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku: a. tetap dapat menggunakan AP yang ditunjuk untuk tahun buku yang dimulai pada tahun 2017 dengan menyampaikan dokumen penunjukan AP dan/atau KAP; dan b. penunjukan AP untuk tahun berikutnya dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan jasa AP dan KAP dalam kegiatan jasa keuangan diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 43 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, ketentuan di bidang: a. Perbankan 1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159); 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005 tentang Perubahan atas PBI Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 135, - 40 - Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4573); 3. Pasal 16, 17, 18, 19, dan 26 Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418); dan 4. Pasal 12, 13, 14, 15, dan 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/47/PBI/2005 tentang Tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4564); b. Pasar Modal 1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-41/BL/2008 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, beserta Peraturan Nomor VIII.A.1 yang merupakan lampiran; 2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-86/BL/2011 tentang Independensi Akuntan yang Memberikan Jasa di Pasar Modal, beserta Peraturan Nomor VIII.A.2 yang merupakan lampiran; 3. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP- 395/BL/2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan Akuntan, beserta Peraturan Nomor X.J.2 yang merupakan lampiran; dan 4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-79/PM/1996 tentang Laporan Kepada Bapepam Oleh Akuntan beserta Peraturan Nomor X.J.1 yang merupakan lampiran; - 41 - c. Industri Keuangan Non-Bank; Pengaturan terkait Akuntan Publik yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 38/POJK.05/2015 tentang Pendaftaran dan Pengawasan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan Penilai yang Melakukan Kegiatan di Industri Keuangan Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 361, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5807), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk: 1. Pasal 18 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4159); 2. Pasal 17 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418); 3. Peraturan yang mengatur mengenai kewajiban pemenuhan PPL bagi AP sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1. lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-41/BL/2008 tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan; dan 4. Pasal 19 huruf c dan Pasal 27 Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan - 42 - ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 44 Peraturan yang mengatur mengenai Laporan Berkala Kegiatan Akuntan sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor X.J.2. lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-395/BL/2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan Akuntan, dinyatakan masih tetap berlaku bagi penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Akuntan untuk periode 1 April 2016 sampai dengan 31 Maret 2017 kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 43 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Maret 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Maret 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 62 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 13 /POJK.03/2017 TENTANG PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN I. UMUM Terciptanya disiplin pasar (market discipline) perlu didukung oleh adanya informasi keuangan yang transparan dari Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. Hal ini mengingat adanya transparansi informasi keuangan memudahkan penilaian yang wajar bagi kepentingan publik dan pelaku pasar. Untuk itu, Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan harus menyusun dan menyajikan informasi keuangan yang berkualitas. Tersedianya informasi keuangan yang berkualitas merupakan cerminan penerapan tata kelola yang baik yang diantaranya melibatkan peran dari Komite Audit dalam rangka mengawasi efektivitas penyelenggaraan fungsi audit eksternal oleh Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Dalam rangka peningkatan kualitas informasi keuangan tersebut, Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menggunakan jasa yang diberikan oleh Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Dengan demikian, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik memiliki peran yang penting sebagai penunjang kegiatan sektor jasa keuangan dalam penegakan disiplin pasar. Untuk itu, dalam rangka menjaga kepercayaan publik terhadap kualitas informasi keuangan, Pihak yang Melaksanakan Kegiatan - 2 - Jasa Keuangan harus menjaga hubungan yang independen dengan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik. Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan pengaturan mengenai penggunaan jasa Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam kegiatan jasa keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan termasuk Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan hukum yang melaksanakan kegiatan di sektor jasa keuangan. Huruf a Yang dimaksud dengan “AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan” adalah AP yang terdaftar pada satu atau lebih sektor jasa keuangan pada Otoritas Jasa Keuangan. Contoh: PT Bank “ABC” Tbk. harus menggunakan jasa: 1. KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan 2. AP yang paling kurang terdaftar pada sektor Perbankan dan sektor Pasar Modal. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela” antara lain tercantum dalam rekam jejak negatif yang ditatausahakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan macet” adalah kredit atau pembiayaan macet sebagaimana tercantum dalam sistem informasi perkreditan yang dikelola oleh otoritas. Ayat (3) Huruf a Yang dimaksud dengan “rangkap jabatan” adalah: 1. bekerja pada KAP lain atau profesi penunjang lain dalam kegiatan jasa keuangan yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau 2. bekerja pada perusahaan klien maupun kelompok usaha dari klien yang laporan keuangannya akan dikonsolidasikan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kompetensi dan pengetahuan di bidang jasa keuangan dan industri yang menggunakan jasa AP, antara lain dipenuhi melalui program sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, paling sedikit sesuai jumlah SKP yang wajib dipenuhi sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri. Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan materi sertifikasi, - 4 - jumlah SKP, dan penyampaian data rekapitulasi peserta sertifikasi. Ayat (4) Pengetahuan akuntansi syariah antara lain dipenuhi melalui program sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan. Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik dan asosiasi profesi akuntan yang ditetapkan oleh Menteri. Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan antara lain dalam rangka penentuan materi sertifikasi. Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi akuntan” adalah organisasi profesi akuntan yang bersifat nasional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan beregister negara. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Daftar riwayat hidup antara lain meliputi riwayat pendidikan dan pengalaman kerja sebagai auditor, dilengkapi dengan penjelasan tentang penugasan yang pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun terakhir pada KAP serta keterangan tentang nama perusahaan yang diaudit, tahun penugasan, dan jenis penugasan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 5 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Untuk keperluan pemeriksaan, Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri. Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penentuan materi PPL dan penyampaian data rekapitulasi realisasi PPL yang diikuti oleh AP, paling lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya. Data rekapitulasi realisasi PPL yang diikuti oleh AP, antara lain dipergunakan untuk penilaian kepatuhan pemenuhan kewajiban PPL. - 6 - Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “sektor jasa keuangan” adalah sektor Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB. Ayat (2) Contoh: AP “X” telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sektor Perbankan. Jika AP “X” juga ingin memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor Pasar Modal dan/atau IKNB maka AP “X” perlu melakukan penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor Pasar Modal dan/atau IKNB di Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain KAP hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan namun tidak memiliki perjanjian kerjasama dengan KAP lain yang mempunyai Rekan AP yang terdaftar pada daftar AP dan KAP yang Aktif pada Otoritas Jasa Keuangan. - 7 - Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c AP dapat menunda PPL setiap tahun namun tidak menghilangkan kewajiban untuk memenuhi jumlah SKP PPL setiap tahun sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain izin dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh Menteri atau meninggal dunia. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Dalam hal sisa masa berlaku izin AP yang diberikan oleh Menteri kurang dari 3 (tiga) tahun sejak tanggal rencana penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu, permohonan penghentian pemberian jasa paling lama sampai dengan masa berlaku izin AP dari Menteri berakhir. Contoh 1: Masa berlaku izin AP dari Menteri adalah sampai dengan tanggal 1 Maret 2020 dan tanggal rencana penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu adalah sejak tanggal 1 Januari 2017 maka masa penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu adalah paling lama sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. - 8 - Contoh 2: Masa berlaku izin AP dari Menteri adalah sampai dengan tanggal 1 Maret 2019 dan tanggal rencana penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu adalah sejak tanggal 1 Januari 2017 maka masa penghentian pemberian jasa adalah paling lama sampai dengan tanggal 1 Maret 2019. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: AP yang telah mendapatkan persetujuan penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu selama 3 (tiga) tahun yaitu sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Desember 2019 dapat aktif kembali dengan cara: a. mengikuti PPL per tahun pada tahun 2017, 2018, dan 2019; atau b. mengikuti PPL periode Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. secara akumulasi dalam 1 Januari 2018 sampai dengan 31 Desember 2019. - 9 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah: 1. sedang diperiksa oleh Otoritas Jasa Keuangan dan/atau otoritas lain; 2. sedang memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau 3. pertimbangan lain. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “AP dan/atau KAP yang tidak dapat menyelesaikan pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan” adalah AP dan/atau KAP yang termasuk pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu atau daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Periode Penugasan Profesional. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. - 10 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Contoh: PT “ABC” menggunakan jasa audit atas informasi keuangan historis dari AP “X” mulai tahun buku 2015 maka PT “ABC” hanya dapat menggunakan jasa AP “X” berturut-turut untuk tahun buku 2015, 2016, dan 2017. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “AP yang merupakan pihak terasosiasi” adalah AP yang tidak menandatangani laporan auditor independen namun terlibat langsung dalam pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan. Ayat (3) Contoh: Bank “ABC” telah menggunakan jasa audit atas informasi keuangan historis dari AP “X” untuk tahun buku 2015, 2016, dan 2017 maka Bank “ABC” hanya dapat menggunakan kembali jasa AP “X” mulai tahun buku 2020. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Dalam memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP menjaga independensi serta bebas dari benturan kepentingan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik. - 11 - Yang dimaksud dengan “kondisi independen bagi AP, KAP, dan orang dalam KAP terhadap Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan selama Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional” adalah apabila dalam pemberian jasa tersebut tidak terdapat kondisi: a. kepentingan keuangan yang material; b. hubungan pekerjaan; c. hubungan usaha yang material, termasuk dengan karyawan kunci atau pemegang saham utama; d. pemberian jasa non asurans; e. pemberian jasa atau produk dengan dasar fee kontinjen atau komisi; f. sengketa hukum; dan/atau g. hal-hal lain yang dapat menimbulkan benturan kepentingan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) AP dan/atau KAP berkomunikasi dengan Satuan Kerja Pengawasan sesuai dengan jenis lembaga sektor jasa keuangan terkait. Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan” adalah lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Informasi yang diminta Otoritas Jasa Keuangan kepada AP dan/atau KAP termasuk kertas kerja pemeriksaan audit, apabila diperlukan. - 12 - Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Laporan perubahan data AP dan/atau KAP antara lain perpanjangan izin AP, perubahan izin usaha KAP, perpindahan AP ke KAP lain, perubahan perjanjian kerja sama antar Rekan bagi KAP yang berbentuk persekutuan, perubahan nama KAP, perubahan alamat domisili KAP dan/atau kantor cabang KAP, perubahan susunan Rekan KAP, perubahan pemimpin KAP, perubahan kerjasama KAP dengan KAP lain yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, perubahan kerjasama KAP dengan kantor akuntan publik asing atau organisasi audit asing, penghentian pemberian jasa sementara waktu, pembukaan cabang KAP, dan/atau permohonan pengunduran diri AP atau pencabutan izin usaha KAP kepada Menteri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. - 13 - Huruf e Cukup jelas. Huruf f Contoh: 1. AP “X” yang tergabung dengan KAP “XYZ” melakukan audit informasi keuangan historis tahunan terhadap PT “ABC” pada posisi keuangan tanggal 31 Desember 2016, 31 Desember 2017, dan tanggal 31 Desember 2018 sehingga jumlah tahun periode audit: a) AP “X” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP Tahun 2019 terhitung sebanyak 3 (tiga) tahun; b) KAP “XYZ” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP Tahun 2019 terhitung sebanyak 3 (tiga) tahun. 2. AP “Y” yang tergabung dengan KAP “XYZ” melakukan audit informasi keuangan historis tahunan terhadap PT “ABC” pada posisi keuangan tanggal 31 Desember 2019 dan tanggal 31 Desember 2020 sehingga jumlah tahun periode audit: a) AP “Y” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP Tahun 2021 terhitung sebanyak 2 (dua) tahun; b) KAP “XYZ” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP Tahun 2021 terhitung sebanyak 5 (lima) tahun. Huruf g Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Contoh: Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP untuk periode 1 April 2017 sampai dengan 31 Maret 2018 disertai dengan bukti pendukung disampaikan oleh KAP “XYZ” kepada tanggal - 14 - Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 15 April 2018. Bukti pendukung, antara lain berupa tanda terima pembayaran atas pemberian jasa KAP kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 22 Ayat (1) Persetujuan atau pemberitahuan perubahan data dari Kementerian Keuangan diterima oleh AP dan/atau KAP dibuktikan dengan dokumen tanda terima persetujuan atau pemberitahuan perubahan data dari Kementerian Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Data dan informasi tersebut dapat diperoleh Otoritas Jasa Keuangan melalui koordinasi dengan pihak lain. Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Kementerian Keuangan dan Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri. Data dan informasi untuk pengkinian data AP dan KAP yaitu data dan informasi sebagaimana penjelasan dalam Pasal 20 ayat (4) huruf a. Selain itu juga data dan informasi mengenai AP dan/atau KAP yang dikenakan sanksi, antara lain pencabutan atau pembekuan izin oleh Menteri, masa berlaku izin AP dari Menteri telah habis, AP mengundurkan diri, AP meninggal dunia, KAP membubarkan diri, AP dan/atau KAP menghadapi permasalahan hukum yang berpotensi mengganggu kelangsungan pemberian jasa. - 15 - Pasal 24 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan” adalah pada saat laporan pelanggaran signifikan, kelemahan yang signifikan dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Huruf a Dokumen penunjukan AP dan/atau KAP antara lain Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau Risalah Rapat Umum Pemegang Saham, Perjanjian Kerja antara Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan dengan KAP. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 16 - Pasal 29 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh: PT Bank “ABC” Tbk. melakukan kegiatan di sektor Perbankan dan Pasar Modal maka PT Bank “ABC” Tbk. menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) kepada pengawas sektor Perbankan karena PT Bank “ABC” Tbk. memiliki kelembagaan berbentuk bank. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Contoh: 1. Batas akhir waktu penyampaian permohonan dan/atau laporan yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara luring (offline) jatuh pada hari Sabtu maka permohonan dan/atau laporan dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya yaitu hari Senin. 2. Dalam hal permohonan dan/atau laporan disampaikan pada hari Selasa maka KAP dinyatakan terlambat menyampaikan permohonan dan/atau laporan terhitung 1 (satu) hari. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dalam memberikan informasi dan/atau rekomendasi untuk pencabutan izin AP dan/atau KAP, atas pelanggaran yang dilakukan oleh AP dan/atau KAP - 17 - terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Contoh: AP dikenakan sanksi berupa teguran tertulis atau - 18 - peringatan tertulis sebagai berikut: 1. pertama kali pada tanggal 15 April 2017; 2. kedua kali pada tanggal 30 November 2018; dan 3. ketiga kali pada tanggal 1 April 2019. Dengan demikian, AP telah mendapat 3 (tiga) kali sanksi berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis dalam kurun waktu 2 (dua) tahun. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 39 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: Pelanggaran berat antara lain: 1. AP dan/atau KAP melakukan manipulasi, membantu melakukan manipulasi, dan/atau memalsukan data yang berkaitan dengan jasa yang diberikan; dan/atau 2. AP dan/atau KAP memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan pada masa tidak aktif sementara waktu. Huruf c Contoh: AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran yaitu: 1. pertama kali pada tanggal 15 Januari 2017; dan 2. kedua kali pada tanggal 10 Januari 2019. Dengan demikian, AP dan/atau KAP telah mendapat 2 (dua) kali sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 19 - Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Contoh: PT “ABC” pada tahun 2014 telah menunjuk AP “X” sebagai auditor selama 5 (lima) tahun, yaitu untuk tahun buku yang dimulai pada 2014 sampai dengan tahun 2018, PT “ABC” hanya dapat menggunakan jasa AP “X” sampai dengan tahun buku 2017 sehingga untuk tahun buku 2018 PT “ABC” harus menunjuk AP lain selain AP “X”, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. - 20 - Pasal 45 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6036
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 13/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 27 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 27 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 27 Maret 2017 </issued_date> <replaced_reg> '3/22/PBI/2001 | kecuali Pasal 18 ayat (4) berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan', '7/50/PBI/2005', '15/3/PBI/2013 | Pasal 16, 17, 18, 19, dan 26 kecuali Pasal 17 ayat (3) berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal 19 huruf c dan Pasal 27 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini', '7/47/PBI/2005 | Pasal 12, 13, 14, 15, dan 23', 'KEP-41/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | kecuali lampiran Peraturan yang mengatur mengenai kewajiban pemenuhan PPL bagi AP sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1', 'KEP-86/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-79/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996', '38/POJK.05/2015', 'KEP-86/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan Nomor VIII.A.2', 'KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.2', 'KEP-79/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/UU/2009', '5/UU/2011', '21/UU/2008', '40/UU/2014', '1/UU/2016', '11/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'Bab XIV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika perekonomian global, industri perbankan perlu meningkatkan ketahanan; b. bahwa peningkatan ketahanan tersebut dilakukan melalui peningkatan tata kelola dalam pemberian Remunerasi; c. bahwa peningkatan tata kelola dalam pemberian Remunerasi bertujuan untuk dilakukannya prudent risk taking kelangsungan usaha Bank dapat terjaga; d. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar dan sesuai dengan perkembangan standar internasional perlu transparansi informasi mengenai pemberian Remunerasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu mengatur ketentuan tentang penerapan tata kelola dalam pemberian remunerasi bagi bank umum mendorong sehingga - 2 - dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 2. Bank Asing adalah: a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; b. Bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebesar 50% (lima puluh persen) atau lebih; atau - 3 - c. Bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing tersebut. 3. Direksi adalah: a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan mengenai terbatas; ketentuan peraturan perseroan b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perusahaan daerah; c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. - 4 - 5. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris dan/atau Pegawai baik yang bersifat tetap maupun variabel dalam bentuk tunai maupun tidak tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya. 6. Remunerasi yang Bersifat Tetap adalah remunerasi yang tidak dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain gaji pokok, fasilitas, tunjangan perumahan, tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan, tunjangan hari raya, dan pensiun. 7. Remunerasi yang Bersifat Variabel adalah Remunerasi yang dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain bonus atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 8. Pegawai Bank yang selanjutnya disebut Pegawai adalah orang yang bekerja pada Bank berdasarkan perjanjian untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan, termasuk Pegawai dengan perjanjian kerja waktu tertentu. 9. Malus adalah kebijakan yang mengizinkan Bank berdasarkan kriteria tertentu menunda pembayaran sebagian atau seluruh dari Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. 10. Clawback adalah suatu perjanjian antara Bank dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pegawai dimana anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau Pegawai setuju untuk mengembalikan Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diterima sepanjang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana ditetapkan oleh Bank. Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian Remunerasi. - 5 - (2) Penerapan tata kelola dalam pemberian Remunerasi paling sedikit mencakup: a. tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris; b. tugas dan tanggung jawab Komite Remunerasi; c. penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi; dan d. pengungkapan Remunerasi (disclosure). BAB II TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Pasal 3 Bank wajib memiliki kebijakan tertulis Remunerasi bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan Pegawai. Pasal 4 Direksi wajib menyusun kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang paling sedikit memuat: a. struktur Remunerasi yang paling sedikit mencakup: 1) skala Remunerasi berdasarkan tingkat dan jabatan; dan 2) komponen Remunerasi b. metode dan mekanisme penetapan Remunerasi. Pasal 5 Penyusunan kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib paling sedikit mempertimbangkan: a. terciptanya manajemen risiko yang efektif; b. stabilitas keuangan Bank; c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank; d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka panjang; dan e. potensi pendapatan di masa yang akan datang. - 6 - Pasal 6 Dewan Komisaris wajib paling sedikit melaksanakan: a. pengawasan Remunerasi; dan b. evaluasi secara berkala atas kebijakan Remunerasi atas dasar hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada huruf a. BAB III TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KOMITE REMUNERASI Pasal 7 (1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Remunerasi. (2) Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan: a. seorang Komisaris Independen; b. seorang Komisaris; dan c. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahkan Sumber Daya Manusia atau seorang perwakilan Pegawai. (3) Komite Remunerasi diketuai oleh Komisaris Independen. (4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Dalam hal anggota Komite Remunerasi ditetapkan lebih dari 3 (tiga) orang maka anggota Komisaris Independen berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang. Pasal 8 Pembentukan Komite Remunerasi bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri disesuaikan dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang bersangkutan. terhadap penerapan kebijakan - 7 - Pasal 9 Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab secara independen. Pasal 10 Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab paling sedikit: a. melakukan evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran dengan peer group, sasaran, dan strategi jangka panjang Bank, pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan potensi pendapatan Bank di masa yang akan datang; b. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai: 1) kebijakan Remunerasi bagi Direksi dan Dewan Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat Umum Pemegang Saham; 2) kebijakan Remunerasi bagi Pegawai secara keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi; c. memastikan bahwa kebijakan Remunerasi telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan d. melakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan kebijakan Remunerasi. BAB IV PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN REMUNERASI Pasal 11 Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Bank wajib memperhatikan prinsip kehati- hatian dalam pemberian Remunerasi baik Remunerasi yang Bersifat Tetap maupun Remunerasi yang Bersifat Variabel. - 8 - Bagian Pertama Remunerasi yang Bersifat Tetap Pasal 12 Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap wajib paling sedikit memperhatikan skala usaha, kompleksitas usaha, peer group, tingkat inflasi, kondisi, dan kemampuan keuangan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Remunerasi yang Bersifat Variabel Pasal 13 Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel selain memperhatikan Pasal 12, juga wajib mendorong dilakukannya prudent risk taking. Pasal 14 Dalam menetapkan kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko. Pasal 15 Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai mempertimbangkan: a. kinerja, yaitu : 1) kinerja Direksi, Dewan Komisaris, atau Pegawai; 2) kinerja unit bisnis; 3) kinerja Bank; dan b. risiko. wajib - 9 - Pasal 16 Bank menentukan metode pengukuran kinerja dan jenis risiko dalam menetapkan pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel sesuai skala dan kompleksitas kegiatan usaha Bank. Pasal 17 (1) Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat diberikan dalam bentuk: a. tunai; dan/atau b. saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank. (2) Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diberikan oleh Bank berstatus perseroan terbuka (go public) wajib dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank yang bersangkutan sebesar persentase tertentu dari Remunerasi yang Bersifat Variabel. Pasal 18 Remunerasi yang Bersifat Variabel dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis saham bagi Komisaris Independen dikonversi dan diberikan dalam bentuk tunai. Pasal 19 Dalam hal Bank mengalami kerugian, Bank dapat: a. tidak membagikan; atau b. membagikan dengan nilai yang relatif kecil, Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai. Pasal 20 Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Pegawai pada unit pengawasan (control unit) dilakukan sesuai dengan kinerja dengan tetap memperhatikan objektivitas dan independensi. - 10 - Pasal 21 (1) Bank dilarang menjamin tanpa syarat pemberian besaran tertentu Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk tahun pertama sejak yang bersangkutan bekerja pada Bank. Bagian Ketiga Material Risk Takers Pasal 22 Bank wajib menetapkan pihak yang menjadi material risk takers, yang paling sedikit memenuhi kriteria sebagai berikut: a. Direksi dan/atau Pegawai lainnya yang karena tugas dan tanggung jawabnya mengambil keputusan yang berdampak signifikan terhadap profil risiko Bank; atau b. Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai yang memperoleh Remunerasi yang Bersifat Variabel dengan nilai yang besar. Pasal 23 (1) Bank wajib menangguhkan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada pihak yang menjadi material risk takers sebesar persentase tertentu. (2) Besarnya persentase penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tingkat jabatan. Pasal 24 (1) Jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1) paling sedikit 3 (tiga) tahun. (2) Penetapan jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana - 11 - dimaksud dalam ayat (1) dapat disesuaikan jangka waktunya menjadi lebih panjang sesuai dengan jangka waktu risiko (time horizon of risks). Pasal 25 Pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib diberikan secara prorata sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. Pasal 26 (1) Bank dapat menunda pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan (malus) atau menarik kembali Remunerasi yang Bersifat Variabel yang sudah dibayarkan (clawback) kepada pihak yang menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu. (2) Bank menetapkan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 27 Pihak yang menjadi material risk takers dilarang melakukan lindung nilai atas Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. BAB V PENGUNGKAPAN (DISCLOSURE) Pasal 28 (1) Bank wajib mengungkapkan informasi kebijakan Remunerasi dalam laporan tahunan pelaksanaan tata kelola sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum. (2) Informasi kebijakan Remunerasi yang wajib diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: - 12 - a. Komite Remunerasi antara lain: 1) nama anggota, komposisi, tugas dan tanggung jawab; 2) jumlah rapat yang dilakukan; dan 3) Remunerasi yang telah dibayarkan kepada anggota Komite Remunerasi selama 1 (satu) tahun; b. proses penyusunan kebijakan Remunerasi yang meliputi: 1) tinjauan mengenai latar belakang dan tujuan kebijakan Remunerasi; 2) pelaksanaan kaji ulang atas kebijakan Remunerasi pada tahun sebelumnya, beserta perbaikannya; dan 3) mekanisme untuk memastikan bahwa Remunerasi bagi Pegawai di unit kontrol bersifat independen dari unit kerja yang diawasinya; c. cakupan kebijakan Remunerasi dan implementasinya per unit bisnis, per wilayah dan pada perusahaan anak atau kantor cabang yang berlokasi di luar negeri; d. Remunerasi dikaitkan dengan risiko yang meliputi: 1) jenis risiko utama (key risk) yang digunakan dalam menerapkan Remunerasi; 2) kriteria untuk menentukan jenis risiko utama, termasuk untuk risiko yang sulit diukur; 3) dampak penetapan risiko utama terhadap kebijakan Remunerasi Variabel; dan 4) perubahan penentuan jenis risiko utama dibandingkan dengan tahun lalu beserta alasannya, apabila ada; yang Bersifat - 13 - e. pengukuran kinerja dikaitkan dengan Remunerasi yang meliputi: 1) tinjauan mengenai kebijakan Remunerasi yang dikaitkan dengan penilaian kinerja; 2) metode dalam mengaitkan Remunerasi individu dengan kinerja Bank, kinerja unit kerja dan kinerja individu; dan 3) uraian mengenai metode yang digunakan Bank untuk menyatakan bahwa kinerja yang disepakati tidak dapat tercapai sehingga perlu dilakukan penyesuaian atas remunerasi serta besarnya penyesuaian remunerasi jika kondisi tersebut terjadi; f. penyesuaian Remunerasi dikaitkan dengan Kinerja dan Risiko yang meliputi: 1) kebijakan mengenai Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan, besarannya, dan kriteria untuk menetapkan besaran tersebut; dan 2) kebijakan Bank mengenai Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan yang ditunda pembayarannya (malus), atau ditarik kembali apabila sudah dibayarkan (clawback); g. nama konsultan ekstern dan tugas konsultan terkait kebijakan Remunerasi, apabila Bank menggunakan jasa konsultan ekstern; h. paket Remunerasi dan fasilitas yang diterima oleh Direksi dan Dewan Komisaris mencakup struktur Remunerasi dan rincian jumlah nominal; i. Remunerasi yang Bersifat Variabel, meliputi: 1) bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel beserta alasan pemilihan bentuk tersebut; dan 2) penjelasan apabila terdapat perbedaan pemberian Remunerasi yang Bersifat - 14 - Variabel di antara para Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai; j. jumlah Direksi, Dewan Komisaris dan Pegawai yang menerima Remunerasi yang Bersifat Variabel selama 1 (satu) tahun, dan total nominalnya; k. jabatan dan jumlah pihak yang menjadi material risk takers; l. shares option yang dimiliki Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif; m. rasio gaji tertinggi dan terendah; n. jumlah penerima dan jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang dijamin tanpa syarat akan diberikan oleh Bank kepada calon Direksi, calon Dewan Komisaris, dan/atau calon Pegawai selama 1 (satu) tahun pertama bekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; o. jumlah Pegawai yang terkena pemutusan hubungan kerja dan total nominal pesangon yang dibayarkan; p. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan, yang terdiri dari tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank; q. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan yang dibayarkan selama 1 (satu) tahun; r. rincian jumlah Remunerasi yang diberikan dalam satu tahun meliputi: 1) Remunerasi yang bersifat tetap maupun variabel; 2) Remunerasi yang ditangguhkan dan tidak ditangguhkan; dan 3) bentuk Remunerasi yang diberikan secara tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham yang diterbitkan Bank; - 15 - s. informasi kuantitatif mengenai: 1) total sisa Remunerasi ditangguhkan 2) pengurangan yang masih baik yang terekspos penyesuaian implisit maupun eksplisit; total Remunerasi yang 3) disebabkan karena penyesuaian eksplisit selama periode laporan; pengurangan total Remunerasi yang disebabkan karena penyesuaian implisit selama periode laporan. Pasal 29 Bank menyajikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dalam bentuk: a. tabel atau grafik; dan/atau b. perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun sebelumnya. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 30 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank belum mengimplementasikan kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan Bank untuk melakukan langkah-langkah perbaikan. Pasal 31 (1) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk: a. melakukan kaji ulang terhadap besaran - 16 - Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai; dan/atau b. memerintahkan Bank untuk melakukan penyesuaian kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel. (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menunjuk pihak independen untuk melakukan kaji ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. Pasal 32 (1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib menerapkan dan memantau pelaksanaan kebijakan Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini kepada jaringan kantor Bank di luar negeri. (2) Dalam hal ketentuan Remunerasi di negara tempat kedudukan jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan ketentuan ini, Bank wajib menerapkan kebijakan Remunerasi paling sedikit sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan koordinasi dalam rangka home-host supervision untuk memastikan penerapan kebijakan Remunerasi. BAB VII SANKSI Pasal 33 Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 atau Pasal 35, dikenakan sanksi administratif antara lain berupa: - 17 - a. teguran tertulis; dan/atau b. penurunan peringkat Governance. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 34 Bagi Bank yang belum memiliki atau telah memiliki kebijakan Remunerasi namun belum sesuai dengan kebijakan Remunerasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib melakukan penyesuaian kebijakan Remunerasi dengan mengacu kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. faktor Good Corporate Pasal 35 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, tugas dan tanggung jawab Komite Remunerasi yang telah ada namun belum sesuai dengan yang diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 36 Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 mulai berlaku sejak tanggal: (1) 1 Januari 2019, bagi Bank Asing, Bank BUKU 3, dan BUKU 4; dan (2) 1 Januari 2020, bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2 yang bukan merupakan Bank Asing. - 18 - BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 37 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan tata kelola dalam pemberian remunerasi berdasarkan kinerja dan risiko diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 38 Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat (3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum dinyatakan tidak berlaku. Pasal 39 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal: (1) 1 Januari 2016 bagi Bank Asing, Bank BUKU 3, dan BUKU 4; dan (2) 1 Januari 2017 bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2 yang bukan merupakan Bank Asing. - 19 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 371 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 45 /POJK.03/2015 TENTANG PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM I. UMUM Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya krisis ekonomi dunia tahun 2007 adalah pemberian bonus yang tinggi karena pencapaian target yang ditetapkan dengan mengabaikan risiko yang akan timbul di masa yang akan datang sehingga membahayakan kondisi keuangan Bank apabila Bank tidak mampu menyerap kerugian tersebut. Tindakan perbaikan untuk mengoreksi praktik pemberian bonus yang tidak sehat tersebut kemudian menjadi agenda dalam program reformasi sistem keuangan global dan pada tanggal 25 September 2009 Financial Stability Board menerbitkan Principles for Sound Compensation Practices. Program reformasi tersebut bertujuan untuk (i) mencegah timbulnya moral hazard dan mengedepankan unsur prudensial dalam pengelolaan Bank; (ii) menjaga kesehatan Bank secara individual; dan (iii) memitigasi adanya excessive risk taking yang dilakukan oleh para pengambil keputusan. Indonesia sebagai salah satu anggota G-20 berkomitmen untuk mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk regulasi. Sejalan dengan penerapan Basel II khususnya Pilar 3 (Market Discipline), Bank dituntut mengungkapkan informasi yang lebih transparan kepada publik dan pelaku pasar khususnya terkait dengan Remunerasi untuk mendorong disiplin dan agar pemangku - 2 - kepentingan dapat memberikan penilaian yang wajar. Namun demikian, pengungkapan informasi ini dilakukan dengan tetap menjaga keunggulan bersaing Bank. Oleh karena itu perlu diatur cakupan informasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif yang wajib diungkapkan sehingga kompetisi antar Bank tetap terjaga. Sehubungan dengan itu, perlu diatur mengenai penerapan tata kelola dalam pemberian remunerasi dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “kecukupan dan penguatan permodalan Bank” adalah bahwa kebijakan Remunerasi dapat menjaga kelangsungan usaha Bank agar mampu hidup dan berkembang, dan mampu bersaing di pasar global dan di peer groupnya. Kecukupan permodalan Bank meliputi kecukupan permodalan dalam rangka pemenuhan regulatory capital - 3 - maupun Individual Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP). Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengaturan mengenai keanggotaan Komite Remunerasi mengacu kepada ketentuan mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Yang dimaksud dengan “independen” adalah pelaksanaan tugas secara objektif dan bebas dari tekanan dan kepentingan pihak manapun. - 4 - Pasal 10 Pengaturan mengenai tugas dan tanggung jawab Komite Remunerasi mengacu kepada ketentuan mengenai pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank umum. Huruf a Yang dimaksud dengan “kinerja” adalah kinerja keuangan, kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan kinerja individu. Yang dimaksud dengan “cadangan” adalah cadangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi dan penerapannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kerangka manajemen risiko Bank. Pasal 11 Yang dimaksud dengan “memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi” adalah mempertimbangkan: a. terciptanya manajemen risiko yang efektif; b. stabilitas keuangan Bank; c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank; d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka panjang; dan e. potensi pendapatan di masa yang akan datang. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan “prudent risk taking” adalah pengambilan risiko dalam melakukan kegiatan usaha dilakukan secara terukur dan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai manajemen risiko. - 5 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “risiko” meliputi risiko yang sudah terjadi maupun risiko yang mungkin terjadi. Jenis-jenis risiko mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Huruf a. Cukup jelas. Huruf b. Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham baru yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang bersangkutan yang dibeli di bursa dengan menggunakan uang Bank. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham baru yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang bersangkutan yang dibeli di bursa dengan menggunakan uang Bank. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Yang dimaksud dengan “kerugian” adalah Bank tidak memperoleh laba dalam tahun buku yang menjadi dasar perhitungan pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel. - 6 - Dalam menetapkan Remunerasi yang Bersifat Variabel relatif kecil atau tidak membagikan sama sekali karena Bank mengalami kerugian, didasarkan atas prinsip kehati-hatian dalam pemberian Remunerasi. Pasal 20 Yang termasuk dalam unit pengawasan (control unit) antara lain satuan kerja manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan satuan kerja audit intern. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “disesuaikan dengan tingkat jabatan” adalah semakin tinggi jabatan, maka semakin besar persentase Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. Pasal 24 Ayat (1) Penetapan jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun sudah memperhitungkan risiko yang akan terjadi. Ayat (2) Contoh: Pegawai A termasuk kategori material risk takers telah memutuskan kredit valuta asing dalam jumlah besar untuk pelunasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. Bank menilai adanya potensi (risiko) terjadinya kegagalan pengembalian kredit valas karena terjadinya penguatan nilai - 7 - valas. Untuk itu Remunerasi Pegawai A tersebut dapat ditangguhkan pemberiannya oleh Bank lebih dari 3 (tiga) tahun misalnya 4 (empat) tahun. Pasal 25 Contoh: Pegawai A termasuk pihak yang menjadi material risk takers. Pada bulan Januari 2015, A telah diputuskan menerima bonus tahun 2014 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sesuai kebijakan Bank, pembayaran bonus dilakukan akhir bulan Januari 2015 dan persentase bonus yang ditangguhkan sebesar 60% (enam puluh persen). Pada akhir bulan Januari 2015, A menerima 40% (empat puluh persen) atau sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Sisanya sebesar 60% (enam puluh persen) atau sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) ditangguhkan selama 3 tahun dan akan dibayarkan dalam 3 tahun yaitu tahun 2015 (setelah bulan Januari), tahun 2016, dan tahun 2017 secara prorata, yaitu masing-masing Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per tahun. Pasal 26 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank mengalami kerugian, terjadinya risiko yang berdampak negatif terhadap keuangan Bank, atau terjadi fraud yang dilakukan oleh pihak yang menjadi material risk takers yang merugikan Bank. Pasal 27 Contoh lindung nilai antara lain mengasuransikan Remunerasi yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan. Pasal 28 Ayat (1) Cukup jelas. - 8 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Angka 1) Yang dimaksud dengan “bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel” adalah tunai dan/atau saham atau instrumen berbasis saham. Angka 2). Perbedaan dalam pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat berupa perbedaan dalam komposisi (tunai dan/atau saham atau instrumen yang berbasis saham) maupun persentase besaran Remunerasi. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. - 9 - Huruf n Cukup jelas. Huruf o Yang dimaksud dengan “pemutusan hubungan kerja” adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi bukan karena permintaan dari Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai yang bersangkutan namun karena adanya kebijakan Bank seperti adanya merger, konsolidasi, akuisisi, atau perampingan struktur organisasi Bank. Tidak termasuk dalam pengertian pemutusan hubungan kerja pada ayat ini adalah pemutusan hubungan kerja yang disebabkan karena pelanggaran ketentuan atau fraud. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Penyesuaian implisit merupakan penyesuaian yang terjadi dikarenakan faktor diluar kekuasaan Bank seperti pergerakan harga saham, sedangkan penyesuaian eksplisit merupakan penyesuaian yang secara langsung dipengaruhi oleh Bank seperti pengurangan pembayaran remunerasi karena tidak tercapainya target tertentu. Pasal 29 Penyajian dalam bentuk tabel atau grafik serta perbandingan dengan periode laporan sebelumnya dimaksudkan untuk antara lain mengetahui tren perkembangan yang terjadi dan untuk meningkatkan kejelasan informasi. - 10 - Pasal 30 Ayat (1) Pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank dilakukan antara lain dalam kerangka manajemen risiko Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank dalam status pengawasan khusus atau Bank dalam penyehatan sesuai dengan ketentuan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan bank umum konvensional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. - 11 - Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5811
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 45/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> '8/4/PBI/2006 | Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat (3)', '8/14/PBI/2006 | Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat (3)' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 33 /POJK.04/2014 TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan Komisaris, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia… -2- Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disebut RUPS adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas dan/atau anggaran dasar. 2. Direksi adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik, sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan Publik serta mewakili Emiten atau Perusahaan Publik, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. 3. Dewan Komisaris adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. 4. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik dan memenuhi persyaratan sebagai Komisaris Independen… -3- Independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB II DIREKSI Bagian Kesatu Keanggotaan Pasal 2 (1) Direksi Emiten atau Perusahaan Publik paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang anggota Direksi. (2) 1 (satu) di antara anggota Direksi diangkat menjadi direktur utama atau presiden direktur. Pasal 3 (1) Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS. (2) Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan tertentu dan dapat diangkat kembali. (3) 1 (satu) periode masa jabatan anggota Direksi paling lama 5 (lima) tahun atau sampai dengan penutupan RUPS tahunan pada akhir 1 (satu) periode masa jabatan dimaksud. Pasal 4 (1) Yang dapat menjadi anggota Direksi adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan pada saat diangkat dan selama menjabat: a. mempunyai akhlak, moral, dan integritas yang baik; b. cakap melakukan perbuatan hukum; c. dalam 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan dan selama menjabat: 1. tidak pernah dinyatakan pailit; 2. tidak… -4- 2. tidak pernah menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perusahaan dinyatakan pailit; 3. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan; dan 4. tidak pernah menjadi anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang selama menjabat: a) pernah tidak menyelenggarakan RUPS tahunan; b) pertanggungjawabannya sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris pernah tidak diterima oleh RUPS atau pernah tidak memberikan pertanggungjawaban sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris kepada RUPS; dan c) pernah menyebabkan perusahaan yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan tidak memenuhi kewajiban menyampaikan laporan tahunan dan/atau laporan keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan. d. e. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan; dan memiliki pengetahuan dan/atau keahlian di bidang yang dibutuhkan Emiten atau Perusahaan Publik. (2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat dalam surat pernyataan dan disampaikan… -5- disampaikan kepada Emiten atau Perusahaan Publik. (3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diteliti dan didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 5 Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan penggantian anggota Direksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. Pasal 6 (1) Anggota Direksi dapat merangkap jabatan sebagai: a. b. anggota Direksi paling banyak pada 1 (satu) Emiten atau Perusahaan Publik lain; anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) Emiten atau Perusahaan Publik lain; dan/atau c. anggota komite paling banyak pada 5 (lima) komite di Emiten atau Perusahaan Publik dimana yang bersangkutan juga menjabat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. (2) Rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. (3) Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai rangkap jabatan yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan yang mengatur lebih ketat. Pasal 7 Usulan pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian anggota Direksi kepada RUPS harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Komisaris atau komite yang menjalankan fungsi nominasi. Bagian… -6- Bagian Kedua Pengunduran Diri dan Pemberhentian Sementara Pasal 8 (1) Anggota Direksi dapat mengundurkan diri dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. (2) Dalam hal terdapat anggota Direksi yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Direksi yang bersangkutan wajib menyampaikan permohonan pengunduran diri kepada Emiten atau Perusahaan Publik. (3) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan permohonan pengunduran diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah diterimanya permohonan pengunduran diri dimaksud. Pasal 9 Emiten atau Perusahaan Publik wajib melakukan keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah: a. diterimanya permohonan pengunduran diri Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan b. hasil penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3). Pasal 10 (1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya. (2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan. (3) Dalam hal terdapat anggota Direksi yang diberhentikan untuk sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan… -7- Dewan Komisaris harus menyelenggarakan RUPS untuk mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian sementara tersebut. (4) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah tanggal pemberhentian sementara. (5) Dengan lampaunya jangka waktu penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau RUPS tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi batal. (6) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri. (7) Anggota Direksi yang diberhentikan untuk sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang: a. menjalankan pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan Publik; dan b. mewakili Emiten atau Perusahaan Publik di dalam maupun di luar pengadilan. (8) Pembatasan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berlaku sejak keputusan pemberhentian sementara oleh Dewan Komisaris sampai dengan: a. terdapat keputusan RUPS yang menguatkan atau membatalkan pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau b. lampaunya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 11 Emiten atau Perusahaan Publik wajib melakukan keterbukaan… -8- keterbukaan informasi kepada masyarakat dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. keputusan pemberhentian sementara; dan b. hasil penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) atau informasi mengenai batalnya pemberhentian sementara oleh Dewan Komisaris karena tidak terselenggaranya RUPS sampai dengan lampaunya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5), paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya peristiwa tersebut. Bagian Ketiga Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang Pasal 12 (1) Direksi bertugas menjalankan dan bertanggung jawab atas pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan Publik yang ditetapkan dalam anggaran dasar. (2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab atas pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi wajib menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar. (3) Setiap anggota Direksi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati- hatian. (4) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direksi dapat membentuk komite. (5) Dalam hal dibentuk komite sebagaimana dimaksud pada ayat… -9- ayat (4), Direksi wajib melakukan evaluasi terhadap kinerja komite setiap akhir tahun buku. Pasal 13 (1) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik yang disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan tugasnya. (2) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat membuktikan: a. b. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan Publik; c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Pasal 14 Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Pasal 15 (1) Direksi berwenang mewakili Emiten atau Perusahaan Publik di dalam dan di luar pengadilan. (2) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Emiten atau Perusahaan Publik apabila: a. terdapat… -10- a. terdapat perkara di pengadilan antara Emiten atau Perusahaan Publik dengan anggota Direksi yang bersangkutan; dan b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang berbenturan dengan kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik. (3) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang berhak mewakili Emiten atau Perusahaan Publik adalah: a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Emiten atau Perusahaan Publik; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Emiten atau Perusahaan Publik; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Emiten atau Perusahaan Publik. Bagian Keempat Rapat Direksi Pasal 16 (1) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam setiap bulan. (2) Rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan apabila dihadiri mayoritas dari seluruh anggota Direksi. (3) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi bersama Dewan Komisaris secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 4 (empat) bulan. (4) Kehadiran anggota Direksi dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib diungkapkan dalam… -11- dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 17 (1) Direksi harus menjadwalkan rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) untuk tahun berikutnya sebelum berakhirnya tahun buku. (2) Pada rapat yang telah dijadwalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahan rapat disampaikan kepada peserta paling lambat 5 (lima) hari sebelum rapat diselenggarakan. (3) Dalam hal terdapat rapat yang diselenggarakan di luar jadwal yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bahan rapat disampaikan kepada peserta rapat paling lambat sebelum rapat diselenggarakan. Pasal 18 (1) Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. (2) Dalam hal tidak tercapai keputusan musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Pasal 19 (1) Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat, ditandatangani oleh seluruh anggota Direksi yang hadir, dan disampaikan kepada seluruh anggota Direksi. (2) Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) wajib dituangkan dalam risalah rapat, ditandatangani oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang hadir, dan disampaikan kepada seluruh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. (3) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris yang tidak menandatangani hasil rapat… -12- rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang bersangkutan wajib menyebutkan alasannya secara tertulis dalam surat tersendiri yang dilekatkan pada risalah rapat. (4) Risalah rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib didokumentasikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik. BAB III DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Keanggotaan Pasal 20 (1) Dewan Komisaris paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris. (2) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri dari 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris, 1 (satu) di antaranya adalah Komisaris Independen. (3) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri lebih dari 2 (dua) orang anggota Dewan Komisaris, jumlah Komisaris Independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris. (4) 1 (satu) di antara anggota Dewan Komisaris diangkat menjadi komisaris utama atau presiden komisaris. Pasal 21 (1) Ketentuan mengenai persyaratan dan pemenuhan persyaratan untuk menjadi anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris. (2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris Independen wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. bukan… -13- a. bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau mengawasi kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai Komisaris Independen Emiten atau Perusahaan Publik pada periode berikutnya; b. tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan Publik tersebut; c. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten atau Perusahaan Publik, anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi, atau pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik tersebut; dan d. tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik tersebut. (3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dipenuhi anggota Dewan Komisaris selama menjabat. Pasal 22 Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan RUPS untuk melakukan penggantian anggota Dewan Komisaris yang dalam masa jabatannya tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Pasal 23 Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian, dan masa jabatan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris. Pasal 24… -14- Pasal 24 (1) Anggota Dewan Komisaris dapat merangkap jabatan sebagai: a. anggota Direksi paling banyak pada 2 (dua) Emiten atau Perusahaan Publik lain; dan b. anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) Emiten atau Perusahaan Publik lain. (2) Dalam hal anggota Dewan Komisaris tidak merangkap jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris yang bersangkutan dapat merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 4 (empat) Emiten atau Perusahaan Publik lain. (3) Anggota Dewan Komisaris dapat merangkap sebagai anggota komite paling banyak pada 5 (lima) komite di Emiten atau Perusahaan Publik dimana yang bersangkutan juga menjabat sebagai anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris. (4) Rangkap jabatan sebagai anggota komite sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. (5) Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur ketentuan mengenai rangkap jabatan yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku ketentuan yang mengatur lebih ketat. Pasal 25 (1) Komisaris Independen yang telah menjabat selama 2 (dua) periode masa jabatan dapat diangkat kembali pada periode selanjutnya sepanjang Komisaris Independen tersebut menyatakan dirinya tetap independen kepada RUPS. (2) Pernyataan… -15- (2) Pernyataan independensi Komisaris Independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan dalam laporan tahunan. (3) Dalam hal Komisaris Independen menjabat pada Komite Audit, Komisaris Independen yang bersangkutan hanya dapat diangkat kembali pada Komite Audit untuk 1 (satu) periode masa jabatan Komite Audit berikutnya. Pasal 26 Usulan pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian anggota Direksi kepada RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris. Pasal 27 Ketentuan mengenai pengunduran diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris. Bagian Kedua Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang Pasal 28 (1) Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan dan bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Emiten atau Perusahaan Publik maupun usaha Emiten atau Perusahaan Publik, dan memberi nasihat kepada Direksi. (2) Dalam kondisi tertentu, Dewan Komisaris wajib menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar. (3) Anggota Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat… -16- ayat (1) dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian. (4) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Audit dan dapat membentuk komite lainnya. (5) Dewan Komisaris wajib melakukan evaluasi terhadap kinerja komite yang membantu pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setiap akhir tahun buku. Pasal 29 Ketentuan mengenai pertanggungjawaban Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mutatis mutandis berlaku bagi Dewan Komisaris. Pasal 30 (1) Dewan Komisaris berwenang memberhentikan sementara anggota Direksi dengan menyebutkan alasannya. (2) Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. (3) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS. Bagian Ketiga Rapat Dewan Komisaris Pasal 31 (1) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan. (2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan apabila dihadiri mayoritas dari seluruh anggota Dewan Komisaris. (3) Dewan… -17- (3) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat bersama Direksi secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam 4 (empat) bulan. (4) Kehadiran anggota Dewan Komisaris dalam rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib diungkapkan dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 32 Ketentuan mengenai penjadwalan rapat dan penyampaian bahan rapat Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mutatis mutandis berlaku bagi rapat Dewan Komisaris. Pasal 33 (1) Pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat. (2) Dalam hal tidak tercapai keputusan musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Pasal 34 Ketentuan mengenai hasil rapat dan risalah rapat Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mutatis mutandis berlaku bagi rapat Dewan Komisaris. BAB IV PEDOMAN DAN KODE ETIK Pasal 35 (1) Direksi dan Dewan Komisaris wajib menyusun pedoman yang mengikat setiap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris. (2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. landasan… -18- a. landasan hukum; b. deskripsi tugas, tanggung jawab, dan wewenang; c. nilai-nilai; d. e. f. waktu kerja; kebijakan rapat, termasuk kebijakan kehadiran dalam rapat dan risalah rapat; dan pelaporan dan pertanggungjawaban. (3) Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengungkapkan dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik informasi bahwa Direksi dan/atau Dewan Komisaris telah memiliki pedoman. (4) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap wajib dimuat dalam situs web Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 36 (1) Direksi dan Dewan Komisaris wajib menyusun kode etik yang berlaku bagi seluruh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, serta pendukung organ yang dimiliki Emiten atau Perusahaan Publik. (2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat: a. karyawan/pegawai, prinsip pelaksanaan tugas Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau pendukung organ yang dimiliki Emiten atau Perusahaan Publik wajib dilakukan dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian; dan b. ketentuan mengenai sikap profesional Direksi, Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau pendukung organ yang dimiliki Emiten atau Perusahaan Publik apabila terdapat benturan kepentingan dengan Emiten atau Perusahaan Publik. (3) Kode… -19- (3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disosialisasikan kepada seluruh karyawan/pegawai yang bekerja pada Emiten atau Perusahaan Publik. (4) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat secara lengkap dalam situs web Emiten atau Perusahaan Publik. BAB V LARANGAN Pasal 37 Setiap anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan Emiten atau Perusahaan Publik selain penghasilan yang sah. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 38 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. f. pencabutan izin usaha; pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi… -20- (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 39 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 40 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 41 Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 42 Ketentuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris dalam peraturan perundang-undangan lain tetap berlaku bagi Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan dengan… -21- dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 43 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-45/PM/2004 tanggal 29 November 2004 tentang Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik beserta Peraturan Nomor IX.I.6 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 44 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 375 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 33/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 8 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.6' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang sehat, mampu berkembang dan bersaing secara nasional maupun internasional serta sejalan dengan perkembangan standar internasional, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5848); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM. Pasal I Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5848) diubah sebagai berikut: - 3 - 1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Bank Sistemik adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan. 3. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - 4 - sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 4. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 5 - c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 5. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak masing-masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi kredit. - 6 - 6. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi bagi Konglomerasi Keuangan. 7. Capital Equivalency Maintained Assets yang selanjutnya disingkat CEMA adalah alokasi dana usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu. 8. Internal Capital Adequacy Assessment Process yang selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan strategi untuk memelihara tingkat permodalan. 9. Supervisory Review and Evaluation Process yang selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas hasil ICAAP Bank. 10. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi kerugian pada periode krisis. 11. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. 12. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank Sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. 13. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. - 7 - 14. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk risiko perubahan harga option. Operasional 15. Risiko ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 16. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen keuangan dalam neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank dengan tujuan untuk: a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara keseluruhan, baik dari transaksi untuk kepentingan sendiri (proprietary positions), atas permintaan nasabah maupun kegiatan perantaraan (brokering), dan dalam rangka pembentukan pasar (market making), yang meliputi: 1) posisi yang dimiliki untuk dijual kembali dalam jangka pendek; 2) posisi yang dimiliki untuk tujuan memperoleh keuntungan jangka pendek secara aktual dan/atau potensi dari pergerakan harga (price movement); atau 3) posisi yang dimiliki untuk tujuan mempertahankan keuntungan arbitrase (locking in arbitrage profits); dan b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading Book. 17. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak termasuk dalam Trading Book. adalah risiko akibat - 8 - 2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3 (1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. Capital Conservation Buffer; b. Countercyclical Buffer; dan/atau c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik. (3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur: a. Capital Conservation Buffer sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR; c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. (4) Besarnya persentase Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang. (5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang. ditetapkan - 9 - (7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c. (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1). (9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan untuk memenuhi kewajiban penyediaan: a. modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3); b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3). 3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 (1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a. (2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b. (3) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik wajib membentuk Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c. - 10 - 4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 (1) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016. (2) Bank wajib memenuhi pembentukan Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bertahap: a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2016; b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017; c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2018; dan d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2019. (3) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai tanggal 1 Januari 2016. (4) Bank wajib membentuk Capital Surcharge bagi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c mulai tanggal 1 Januari 2016. - 11 - (5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode perhitungan dan tata cara pembentukan Capital Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5). 6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 (1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri terdiri atas: a. dana usaha; b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah dikeluarkan pengaruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2); d. cadangan umum; e. saldo surplus revaluasi aset tetap; f. pendapatan komprehensif lainnya berupa potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual; g. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset (PPA) atas aset produktif dengan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf c; dan h. lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. faktor-faktor - 12 - (2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan Pasal 22. (3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal: a. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih besar dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha); b. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha) lebih kecil dari dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha), yang diperhitungkan adalah dana usaha yang sebenarnya (actual dana usaha); atau c. posisi dana usaha yang sebenarnya negatif, menjadi faktor pengurang komponen modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12 Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain; c. bersifat permanen; d. tidak dapat dibayar kembali oleh Bank, kecuali memenuhi kriteria pembelian kembali saham (treasury stock) atau pada saat likuidasi; - 13 - e. f. g. tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi; perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan tidak dapat diakumulasikan antar periode; tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; h. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan senioritas instrumen secara legal atau ekonomis; i. memiliki karakteristik pembayaran dividen atau imbal hasil: 1. hanya dapat dilakukan jika Bank telah memenuhi seluruh kewajiban legal dan kontraktual serta melakukan pembayaran atas imbal hasil instrumen modal lainnya; 2. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan; 3. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen modal; dan 4. tidak memiliki fitur preferensi; j. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung; dan k. diklasifikasikan sebagai ekuitas berdasarkan standar akuntansi keuangan. 8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Bank yang melakukan pembelian kembali saham (treasury stock) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib memenuhi persyaratan: a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan; b. untuk tujuan tertentu; c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; - 14 - d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan e. tidak menyebabkan penurunan modal di bawah persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7. 9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 (1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 2 terdiri atas: a. faktor penambah, yaitu: 1. Pendapatan komprehensif lainnya berupa: a) selisih lebih penjabaran laporan keuangan; b) potensi keuntungan yang berasal dari peningkatan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; dan c) saldo surplus revaluasi aset tetap; 2. cadangan tambahan modal lainnya (other disclosed reserves) berupa: a) agio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); b) cadangan umum; c) laba tahun-tahun lalu; d) laba tahun berjalan; e) dana setoran modal, yang memenuhi persyaratan: 1) telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan - 15 - 1) persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan rapat umum pemegang saham maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang; 2) ditempatkan pada rekening khusus (escrow account) yang tidak diberikan imbal hasil; 3) tidak boleh ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham dan tersedia untuk menyerap kerugian; dan 4) penggunaan dana harus dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan f) lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. faktor pengurang, yaitu: 1. pendapatan komprehensif lainnya berupa: a) selisih kurang penjabaran laporan keuangan; dan b) potensi kerugian yang berasal dari penurunan nilai wajar aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual; 2. cadangan tambahan modal lainnya (other disclosed reserves) berupa: a) disagio yang berasal dari penerbitan instrumen yang tergolong sebagai modal inti utama (Common Equity Tier 1); b) rugi tahun-tahun lalu; c) rugi tahun berjalan; - 16 - d) selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset produktif; e) selisih kurang antara jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi dari instrumen keuangan dalam Trading Book dan jumlah penyesuaian berdasarkan standar akuntansi keuangan; f) PPA non-produktif; dan g) lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 huruf c) dan huruf d) harus dikeluarkan dari pengaruh faktor: a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas kewajiban keuangan; dan/atau b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale). 10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 (1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh Bank di masa mendatang; c. pembelian kembali atau pembayaran pokok instrumen harus mendapat persetujuan pengawas; d. tidak memiliki fitur step-up; - 17 - e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; f. bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat diakumulasikan antar periode serta bank memiliki kewenangan penuh (full access) untuk membatalkan pembayaran imbal hasil pada saat timbul kewajiban pembayaran imbal hasil; h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; i. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan senioritas instrumen secara legal atau ekonomi; j. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; k. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan membeli kembali, atau melakukan aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi tersebut; l. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; - 18 - m. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; n. tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal pada masa mendatang; o. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan tambahan modal melalui penerbitan instrumen oleh entitas lain yang berada diluar cakupan konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus segera diserahkan kepada Bank; dan p. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik; c. setelah eksekusi opsi beli (call option), permodalan Bank tetap berada di atas persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan d. digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai kualitas sama atau lebih baik. 11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17 (1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. seluruh aset tidak berwujud lainnya; - 19 - d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi: 1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak kecuali penyertaan modal sementara Bank kepada Perusahaan Anak dalam rangka restrukturisasi kredit; 2. penyertaan kepada perusahaan atau badan hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) namun Bank tidak memiliki Pengendalian; dan 3. penyertaan kepada perusahaan asuransi; e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based Capital atau RBC minimum) pada perusahaan asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh Bank; f. g. eksposur sekuritisasi; dan faktor pengurang modal inti utama lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22. (2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g tidak diperhitungkan dalam ATMR untuk Risiko Kredit. 12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi persyaratan: a. diterbitkan dan telah dibayar penuh; b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; - 20 - c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability), yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; d. bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode (cummulative) apabila pembayaran dapat menyebabkan rasio KPMM secara individu atau secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; f. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak; g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit; h. tidak memiliki fitur step-up; i. apabila disertai dengan fitur opsi beli (call option), harus memenuhi persyaratan: 1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan; 2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan membeli kembali atau melakukan aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi akan membeli kembali; j. tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian; k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau Perusahaan Anak; - 21 - l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung; m. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan tambahan modal melalui penerbitan instrumen oleh entitas lain yang berada diluar cakupan konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus segera diserahkan kepada Bank; dan n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal. (2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i sepanjang: a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik; dan c. setelah eksekusi opsi beli (call option), permodalan Bank tetap berada di atas persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau digantikan dengan instrumen modal yang mempunyai: 1. kualitas sama atau lebih baik; dan 2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang berbeda sepanjang tidak melebihi batasan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi amortisasi yang dihitung dengan menggunakan metode garis lurus. (4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5 (lima) tahun terakhir. - 22 - (5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli (call option) merupakan sisa jangka waktu instrumen. 13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20 (1) Modal pelengkap meliputi: a. instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan instrumen modal yang tergolong sebagai modal pelengkap; dan c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit. (2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. 14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22 (1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 10 ayat (2) mencakup: a. pembelian kembali instrumen modal yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank; b. penempatan dana pada instrumen utang Bank lain yang diakui sebagai komponen modal oleh Bank lain (Bank penerbit); dan - 23 - c. kepemilikan silang yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas sepanjang belum dialihkan kepada pihak lain. (2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit. 15. Ketentuan dalam Pasal 41 tetap, dengan perubahan penjelasan Pasal 41 ayat (1) menjadi sebagaimana ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 24 - Pasal II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 September 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 September 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 188 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 34 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM I. UMUM Sejalan dengan standar internasional “Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III, Bank dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum antara lain dengan melakukan penyesuaian terhadap persyaratan instrumen modal dan komponen modal Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal I Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. - 2 - Angka 2 Pasal 3 Ayat (1) Pembentukan tambahan modal selain modal minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dipenuhi dari bagian dana usaha yang ditempatkan dalam CEMA. Ayat (9) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 4 Ayat (1) Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti Bank. - 3 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Angka 4 Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Angka 5 Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang” adalah Bank Indonesia. Angka 6 Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah penempatan yang berasal dari kantor pusat bank pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri setelah dikurangi dengan - 4 - penempatan yang berasal dari kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri pada: 1. kantor pusat; 2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar negeri; dan 3. kantor lainnya seperti perusahaan terelasi dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang telah dinyatakan sebagai dana usaha (declared dana usaha) dan harus selalu tercatat setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri beroperasi di Indonesia. Dana usaha tidak termasuk komponen dalam rekening antar kantor yang bukan merupakan dana bersih seperti kewajiban bunga dan kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan lainnya. Yang dimaksud dengan penempatan mencakup penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di kantor cabangnya di Indonesia. Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh kantor pusat. Dalam hal bank mempunyai saldo rugi tahun-tahun lalu seluruh kerugian menjadi faktor pengurang modal. Huruf c Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak. - 5 - Dalam hal pada tahun buku berjalan bank mengalami kerugian, seluruh kerugian menjadi faktor pengurang modal. Huruf d Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan kantor pusatnya sebagai cadangan umum. Huruf e Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik bank. Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. Huruf f Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan mengacu kepada ketentuan mengenai pinjaman luar negeri. Angka 7 Pasal 12 Huruf a Cukup jelas. - 6 - Huruf b Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi terhadap antara lain pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal inti tambahan, modal pelengkap, deposan, dan kreditur. Huruf c Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen antara lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit akan membeli kembali, atau aktivitas lain yang dapat memberikan ekspektasi tersebut. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Angka 1 Termasuk kewajiban legal dan kontraktual adalah kewajiban legal dan kontraktual yang jatuh tempo pada saat pembayaran dividen atau imbal hasil akan dilakukan. Yang dimaksud dengan “kewajiban legal” adalah kewajiban yang timbul karena perbuatan dan/atau peristiwa hukum tertentu. Yang dimaksud dengan “instrumen modal lainnya” adalah instrumen modal inti tambahan dan instrumen modal pelengkap. - 7 - Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Angka 8 Pasal 13 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali saham yang telah diakui sebagai komponen modal disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka program employee stock option atau management stock option atau menghindari upaya take over. Huruf c Yang dimaksud dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pasar modal. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. - 8 - Angka 9 Pasal 14 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Huruf a) Yang dimaksud dengan “selisih lebih penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan. Huruf b) Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Huruf c) Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset tetap milik Bank. Pengakuan saldo surplus revaluasi aset tetap mengikuti standar akuntansi keuangan mengenai aset tetap. Angka 2 Huruf a) Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih tinggi dari nilai nominal. Huruf b) Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba setelah - 9 - dikurangi pajak, dan mendapat persetujuan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota sebagai cadangan umum. Huruf c) Laba tahun-tahun lalu setelah diperhitungkan pajak mencakup: 1) laba tahun lalu yaitu seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah dikurangi pajak dan belum ditetapkan penggunaannya oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan 2) laba ditahan (retained earnings) yaitu saldo laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh rapat umum pemegang saham atau rapat anggota diputuskan untuk tidak dibagikan. Huruf d) Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan” adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah dikurangi taksiran pajak dan pembayaran dividen. Huruf e) Dalam hal berdasarkan penelitian Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang saham Bank atau dana setoran modal diketahui tidak memenuhi syarat sebagai pemegang saham atau sebagai modal, dana tersebut tidak dapat diakui sebagai komponen modal. Huruf f) Cukup jelas. - 10 - Huruf b Angka 1 Huruf a) Yang dimaksud dengan “selisih kurang penjabaran laporan keuangan” adalah selisih kurs yang timbul dari penjabaran laporan keuangan kantor cabang Bank dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri sebagaimana diatur dalam standar akuntansi keuangan mengenai penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing. Huruf b) Pengertian aset keuangan yang dikategorikan sebagai kelompok tersedia untuk dijual mengacu pada standar akuntansi keuangan mengenai instrumen keuangan. Angka 2 Huruf a) Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan saham karena harga pasar saham lebih rendah dari nilai nominal. Huruf b) Yang dimaksud dengan “rugi tahun- tahun lalu” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank pada tahun-tahun lalu. Huruf c) Yang dimaksud dengan “rugi tahun berjalan” adalah seluruh rugi yang dibukukan Bank dalam tahun buku berjalan. - 11 - Huruf d) Yang dimaksud dengan “selisih kurang antara PPA atas aset produktif dan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan atas aset produktif” adalah selisih kurang antara total PPA (cadangan umum dan cadangan khusus atas seluruh aset produktif) yang wajib dibentuk sesuai ketentuan mengenai penilaian kualitas aset Bank dengan total cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan (impairment) atas seluruh aset produktif (secara individu dan secara kolektif) sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf e) Selisih kurang ini timbul karena jumlah penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark to market) dari instrumen keuangan dalam Trading Book yang mempertimbangkan berbagai faktor tertentu antara lain karena posisi yang kurang likuid melebihi jumlah penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai standar akuntansi keuangan mengenai pengukuran instrumen keuangan, khususnya instrumen keuangan yang diukur berdasarkan nilai wajar. Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia, penyesuaian terhadap hasil valuasi instrumen keuangan akan langsung mengurangi atau menambah nilai tercatat instrumen keuangan. - 12 - Huruf f) Yang dimaksud dengan “PPA non-produktif” adalah cadangan yang wajib dibentuk untuk aset non-produktif sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Huruf g) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar akuntansi keuangan. Huruf b Yang dimaksud dengan “keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang (expected future margin) atau kapitalisasi pendapatan dari penyediaan jasa (servicing income). Angka 10 Pasal 15 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas, Bank tidak dapat mengasumsikan atau menciptakan ekspektasi pasar bahwa persetujuan pengawas akan diberikan. - 13 - Huruf d Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf e Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal inti tambahan menjadi saham biasa atau melakukan write down. Dampak dilakukan write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf f Instrumen modal inti tambahan bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan, kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi kriteria modal pelengkap. Huruf g Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan maka tidak menyebabkan adanya pembatasan pembayaran dividen atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali untuk saham biasa (common stock). - 14 - Huruf h Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf k Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas Angka 3 Contoh memberikan ekspektasi adalah mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan opsi beli (call option) dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau kondisi tersebut adalah sebagaimana tercantum pada Pasal ini. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. - 15 - Huruf n Fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan yang mewajibkan Bank untuk memberikan kompensasi kepada investor apabila Bank menerbitkan instrumen modal baru dengan harga yang lebih rendah. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu kelangsungan rentabilitas Bank. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal inti tambahan. Angka 11 Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100% (seratus persen) baik atas perhitungan pajak tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada tahun berjalan. - 16 - Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul sebagai akibat penerapan standar akuntansi keuangan mengenai akuntansi pajak penghasilan. Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan yang dikurangkan dari aset pajak tangguhan tidak termasuk kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan goodwill dan aset tidak berwujud lainnya. Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah nihil. Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank. Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi harus dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk masing-masing entitas. Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan dari perhitungan modal inti utama, aset pajak tangguhan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Huruf b Pengertian goodwill mengacu pada standar akuntansi keuangan. Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang baik dalam perhitungan modal minimum Bank secara individu maupun secara konsolidasi. Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama mencakup goodwill baik yang berasal dari penyertaan modal Bank kepada entitas yang dikonsolidasikan maupun yang tidak dikonsolidasikan, contohnya perusahaan asuransi. - 17 - Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat goodwill dikurangi kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan goodwill. Huruf c Pengertian aset tidak berwujud lainnya mengacu kepada standar akuntansi keuangan mengenai aset tidak berwujud. Seluruh aset tidak berwujud lainnya diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal inti utama. Contoh aset tidak berwujud lainnya antara lain copyright, hak paten, dan hak milik intelektual (intellectual property right) lainnya termasuk aplikasi piranti lunak (software) yang dikembangkan oleh Bank. Aset tidak berwujud lainnya yang dikurangkan dari modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat aset tidak berwujud dikurangi kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan aset tidak berwujud. Huruf d Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai buku yang tercatat pada laporan posisi keuangan (neraca). Huruf e Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan sebagai faktor pengurang hanya dalam perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi. Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi dari RBC minimum diperhitungkan apabila perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC minimum sampai dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 18 - Huruf f Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai pengurang modal atau diperhitungkan sebagai ATMR mengacu pada ketentuan mengenai sekuritisasi aset. Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi” adalah kredit pendukung (credit enhancement), fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek beragun aset (asset backed securities). Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 12 Pasal 19 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non-viability) dan memerintahkan Bank untuk mengkonversi instrumen modal pelengkap menjadi saham biasa atau melakukan write down. Dampak dilakukan write down antara lain pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran imbal hasil. - 19 - Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa atau dilakukan write down apabila terdapat perintah dari Otoritas Jasa Keuangan. Huruf d Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi terhadap antara lain deposan dan kreditur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak. Huruf g Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat dividen atau imbal hasil yang ditetapkan berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit Bank penerbit. Huruf h Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi pada jangka waktu yang telah ditetapkan. Huruf i Angka 1 Cukup jelas Angka 2 Cukup jelas - 20 - Angka 3 Contoh memberikan ekspektasi adalah mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu yang memungkinkan opsi beli (call option) dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau kondisi tercantum pada Pasal ini. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu kelangsungan rentabilitas Bank. Huruf c Angka 1 Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai komponen modal pelengkap. Angka 2 Batasan modal pelengkap diperhitungkan dengan memperhatikan seluruh instrumen modal pelengkap yang tersedia. tersebut adalah sebagaimana - 21 - Contoh “jumlah yang berbeda”: Modal pelengkap yang dieksekusi adalah Rp500 juta namun pada saat penggantian, modal inti Bank mengalami perubahan sehingga batasan modal pelengkap menjadi paling tinggi sebesar Rp400 juta. Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan modal pelengkap sebesar Rp400 juta. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah perhitungan amortisasi secara prorata. Ayat (4) Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal yang telah memperhitungkan pengurangan dari cadangan pelunasan (sinking fund). Ayat (5) Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi: a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi sejak tahun pertama. Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal tahun keenam obligasi subordinasi dapat diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM dengan memperhatikan batasan yang dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk memperhitungkan amortisasi. b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan memiliki opsi beli (call option) setelah lewat tahun kelima. Dalam kondisi ini, sisa jangka waktu instrumen pada awal penerbitan adalah 5 (lima) tahun. Amortisasi mulai diperhitungkan oleh Bank sejak tahun pertama. - 22 - Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan kembali obligasi subordinasi sebagai modal pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi opsi beli (call option). Angka 13 Pasal 20 Ayat (1) Huruf a Contoh instrumen modal dalam bentuk saham atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi persyaratan adalah: 1. saham preferen (yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menerima dividen lebih dahulu dari pemegang saham klasifikasi lain) secara kumulatif (cumulative preference share); 2. instrumen utang yang memiliki karakteristik modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif dan memenuhi seluruh persyaratan untuk dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap (cumulative subordinated debt); dan 3. instrumen utang yang memiliki karakteristik seperti modal yang secara otomatis tanpa persyaratan dapat dikonversi menjadi saham setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (mandatory convertible bond). Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan pada saat penerbitan yang besarnya sejalan dengan kondisi pasar. - 23 - Huruf b Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai nominal. Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih kurang setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap karena harga pasar instrumen modal lebih rendah dari nilai nominal. Huruf c Pembentukan cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset Bank. Contoh: Cadangan umum PPA atas aset produktif yang wajib dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank untuk Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar. Cadangan umum PPA atas aset produktif yang dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu sebesar Rp12,5 juta. Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap. Ayat (2) Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu sebesar Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit. - 24 - Angka 14 Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Pembelian kembali instrumen modal inti utama, modal inti tambahan atau modal pelengkap yang telah diakui sebagai komponen permodalan Bank menjadi faktor pengurang masing-masing komponen modal yang bersangkutan. Contoh 1: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti utama adalah antara lain pembelian kembali instrumen modal yang telah diterbitkan Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Contoh 2: Termasuk dalam pembelian kembali instrumen modal yang harus dikurangkan dari modal inti tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call option). Huruf b Penempatan dana pada instrumen utang yang telah diakui sebagai komponen modal Bank lain menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang melakukan penempatan dana pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik. Contoh 1: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar - 25 - Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan batasan modal pelengkap yang diperkenankan. Contoh 2: Bank A memiliki komponen modal pelengkap sebesar Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar Rp100 miliar. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar) Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A. Contoh 3: Bank A hanya memiliki komponen modal inti utama sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki komponen modal lainnya. Bank A membeli obligasi subordinasi yang diterbitkan Bank B yang merupakan komponen modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar. Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli Bank A dari Bank B yaitu: Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar. Huruf c Pengaturan mengenai kepemilikan silang mengacu pada Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas. Kepemilikan silang menjadi faktor pengurang modal pada komponen modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih baik bagi Bank yang melakukan penempatan dana. - 26 - Kepemilikan silang yang telah menjadi faktor pengurang modal tidak lagi diperhitungkan baik dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit maupun faktor pengurang modal lainnya. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 15 Pasal 41 Ayat (1) Termasuk posisi yang kurang likuid adalah portofolio yang terkonsentrasi dan berpotensi tidak memiliki pasar yang aktif dan memadai. Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan memadai” adalah aset harus memiliki pasar repo atau jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang waktu, yang antara lain ditunjukkan dengan: 1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar (market breadth) dan kedalaman pasar (market depth) antara lain: a. rendahnya spread antara bid dan ask price; b. tingginya volume perdagangan; c. banyak dan beragamnya jumlah peserta pasar; dan/atau 2. terdapat infrastruktur pasar yang handal. Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid atau ask spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar. Ayat (2) Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan tidak mempengaruhi laporan laba rugi. - 27 - Pasal II Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5929
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 34/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title> <set_date> 22 September 2016 </set_date> <effective_date> 26 September 2016 </effective_date> <issued_date> 26 September 2016 </issued_date> <changed_reg> '11/POJK.03/2016' </changed_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '11/POJK.03/2016' </related_reg>
-1- OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai laporan wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan wali amanat, ketentuan pasar peraturan modal diterbitkan perundang-undangan mengenai sebelum laporan wali terbentuknya di sektor amanat Otoritas yang Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali Amanat; -2Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN WALI AMANAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang. 2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan efek bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam bentuk akta notariil. 4. Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 5. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. -3BAB II LAPORAN Pasal 2 (1) Wali Amanat wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat; dan b. (2) laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat. Dalam hal terjadi peristiwa penting yang menyangkut kegiatan perwaliamanatan, menyampaikan laporan Wali mengenai Amanat peristiwa wajib penting kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan dalam bentuk dokumen cetak paling sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen elektronik. Pasal 3 (1) Laporan tengah tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah periode laporan, yang disusun dengan menggunakan sebagaimana format Laporan tercantum dalam Tengah Tahunan Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah periode laporan, yang disusun dengan menggunakan format Laporan Tahunan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, penyampaian -4laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (4) Dalam hal penyampaian laporan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 4 Laporan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya peristiwa atau sejak diketahuinya peristiwa tersebut. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran Otoritas Jasa Keuangan ketentuan Peraturan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; (2) c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului -5pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -6Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 129 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai laporan Wali Amanat yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali Amanat. -2- II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara lain memuat: 1. jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar; 2. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; 3. jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan menjadi saham; dan 4. pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh Wali Amanat terhadap Emiten. Huruf b Laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara lain memuat: 1. jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar; 2. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; 3. jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan menjadi saham; dan 4. pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh Wali Amanat terhadap Emiten. Ayat (2) Laporan peristiwa penting yang menyangkut kegiatan perwaliamanatan, antara lain: a. pembayaran pokok dan bunga Efek bersifat utang sebelum jatuh tempo, jika dimungkinkan di dalam kontrak perwaliamanatan; b. pelanggaran atas ketentuan perwaliamanatan termasuk: dalam kontrak -3- 1. pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat utang yang tidak tepat waktu; dan 2. pengurangan, penambahan, pengalihan, atau penukaran jaminan; dan c. penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat utang. Ayat (3) Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dimaksud dikenal dengan sebutan soft copy. Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. -4- Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6076 [Grab your reader’s attention with a great - 5 - or use this space quote from the document to emphasize a key point. To place this text box anywhere on the page, just drag it.] OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2017 TENTANG LAPORAN WALI AMANAT -2- LAPORAN WALI AMANAT Laporan Tengah Tahunan / Tahunan *) Nama Wali Amanat : ......... 1. Obligasi dan/atau Sukuk yang Diwaliamanatkan No 1. Emiten Nama Obligasi dan/atau Sukuk Tanggal Emisi Tanggal Jatuh Tempo Nilai Outstanding Pembayaran Bunga/Kupon Konversi PT. ….. *) sesuai jenis laporan 2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten yang Diwaliamanatkan No 1. Emiten Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten PT. …… .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) -3- Laporan Peristiwa Penting No 1. Emiten Tanggal Peristiwa Penting Jenis Peristiwa Penting Keterangan PT. …… .......... , ................20....... PT ........... ................... (Nama Lengkap & Jabatan) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 29/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> LAPORAN WALI AMANAT </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-77/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-77/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.I.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 66 /POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat, kuat, dan produktif, diperlukan penyesuaian terhadap struktur permodalan agar sejalan dengan praktik terbaik perbankan; b. bahwa penyesuaian struktur permodalan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam menyediakan dana bagi sektor riil terutama bagi usaha mikro dan kecil; c. bahwa penguatan kelembagaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah perlu didukung dengan permodalan yang kuat; d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan jumlah modal dengan karakteristik yang kuat untuk mendukung penguatan kelembagaan maupun kemampuan untuk menyerap risiko bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam bentuk modal inti minimum bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; -2- e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf d di atas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset Tertimbang Menurut Risiko yang wajib disediakan oleh BPRS. -3- 3. Aset Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya disingkat ATMR adalah jumlah aset dalam neraca yang diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang melekat pada setiap pos aset sesuai ketentuan. 4. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disingkat AYDA adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk menjual dari pemilik agunan dalam hal nasabah pembiayaan telah digolongkan macet, dengan kewajiban untuk dicairkan kembali. 5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. 6. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang selanjutnya disingkat PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan penggolongan Kualitas Aset Produktif. BAB II KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM Pasal 2 BPRS wajib menyediakan modal minimum yang dihitung dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12% (dua belas persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020. Pasal 3 (1) Modal terdiri atas: a. modal inti (tier 1) yang meliputi : 1. modal inti utama; 2. modal inti tambahan; dan b. modal pelengkap (tier 2). -4- (2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti. Pasal 4 BPRS wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 8% (delapan persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020. Pasal 5 (1) Modal inti utama terdiri atas: a. modal disetor; dan b. cadangan tambahan modal, yang terdiri atas: 1. agio yaitu selisih lebih setoran modal yang diterima BPRS sebagai akibat harga saham yang melebihi nilai nominalnya; 2. dana setoran modal yaitu dana yang telah disetor penuh untuk tujuan penambahan modal namun belum didukung dengan kelengkapan persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai modal disetor seperti pelaksanaan RUPS maupun pengesahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang, dengan memenuhi persyaratan: a) ditempatkan dalam bentuk deposito pada Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah di Indonesia dengan cara mencantumkan atas nama ”Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama BPRS)”, dan mencantumkan keterangan nama penyetor tambahan modal serta keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Bagi hasil yang diperoleh dari penempatan dana setoran modal dalam bentuk deposito di Bank Umum -5- Syariah atau Unit Usaha Syariah menjadi pendapatan BPRS; b) ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan dengan cara mencantumkan atas nama “Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q. (nama pemegang saham penyetor)” dan mencantumkan keterangan bahwa pencairannya hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan; c) penambahan modal disetor yang ditempatkan dalam bentuk deposito pada BPRS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada huruf b) hanya berlaku bagi BPRS yang tidak dalam status pengawasan khusus dan penambahan modal disetor dilakukan oleh pemegang saham BPRS yang bersangkutan; d) telah dilakukan pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dinyatakan telah memenuhi ketentuan; e) f) tidak diberikan bagi hasil dan/atau dividen atas dana setoran modal dimaksud; tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang saham atau calon pemegang saham. 3. modal sumbangan yaitu sumbangan yang berasal dari pemilik BPRS dan/atau pihak luar dalam bentuk dana atau aset lainnya termasuk pengembalian saham pemilik; 4. cadangan umum yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba atau laba neto setelah dikurangi pajak untuk tujuan memperkuat modal dan telah mendapat persetujuan RUPS; 5. cadangan tujuan yaitu cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba atau laba neto -6- setelah dikurangi pajak yang tujuan penggunaannya telah ditetapkan dan telah mendapat persetujuan RUPS; 6. laba tahun-tahun lalu yaitu laba tahun-tahun lalu setelah dikurangi pajak kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan dan belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS; dan 7. laba tahun berjalan yaitu laba yang diperoleh dalam tahun buku berjalan setelah diperhitungkan dengan kekurangan pembentukan PPAP, yang diperhitungkan paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) setelah taksiran pajak, kecuali apabila diperkenankan untuk dikompensasi dengan kerugian sesuai ketentuan perpajakan. (2) Komponen modal inti tambahan harus memenuhi persyaratan: a. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh; b. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal disetor dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan-cadangan yang termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum dilikuidasi; c. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang bersangkutan baik secara langsung maupun tidak langsung; d. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh BPRS di masa mendatang; e. tidak memiliki hak menerima pembayaran dividen; f. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal; -7- g. dapat dikonversi menjadi saham biasa yang dinyatakan secara jelas dalam dokumen perjanjian dengan memenuhi persyaratan dan tata cara penambahan modal disetor sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai BPRS; h. pembayaran kembali atau pelunasan harus mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan dan dengan pembayaran kembali atau pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat serta tidak mengakibatkan rasio modal tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4. (3) Modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2): a. memperoleh tingkat imbal hasil paling tinggi sama dengan tingkat imbal hasil dana pihak ketiga terendah di BPRS tersebut; b. tidak memperoleh imbal hasil apabila BPRS dalam keadaan rugi atau memiliki laba yang tidak mencukupi untuk membayar imbal hasil dan pembayaran tidak diakumulasikan pada tahun- tahun buku berikutnya. (4) Modal inti utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa: a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax); b. goodwill; c. disagio; d. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan sebesar nilai yang tercatat pada neraca BPRS; e. rugi tahun-tahun lalu; dan f. rugi tahun berjalan. Pasal 6 (1) BPRS wajib menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal paling lambat 90 (sembilan puluh) -8- hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) BPRS yang telah memiliki dana setoran modal pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib segera menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal paling lambat 31 Desember 2020. (3) Dana setoran modal dicatat sebagai modal disetor setelah BPRS memenuhi kelengkapan administrasi. Pasal 7 (1) BPRS dapat menerima modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas nama BPRS. (3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus menggunakan aset berupa tanah dan bangunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan aset berupa tanah dan bangunan untuk kegiatan operasional BPRS, aset dimaksud tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai komponen modal sumbangan. (5) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperhitungkan sebagai modal sumbangan pada saat aset dimaksud dipergunakan dalam operasional BPRS. (6) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus tidak dapat menerima modal sumbangan dalam -9- bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) BPRS dapat melakukan tambahan setoran modal dalam bentuk aset tetap berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Aset tetap yang digunakan sebagai tambahan setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas nama BPRS. (3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus menggunakan aset tetap untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) BPRS yang telah memiliki modal disetor berupa aset tetap dan belum digunakan dalam operasional BPRS pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini harus menggunakan aset dimaksud dalam operasional BPRS paling lambat 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai penggunaan aset tetap untuk kegiatan operasional BPRS, aset tetap tidak dapat lagi diperhitungkan sebagai komponen modal disetor. (6) Aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperhitungkan sebagai tambahan setoran modal pada saat aset tetap dipergunakan dalam operasional BPRS. (7) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan khusus tidak dapat menerima tambahan modal disetor dalam bentuk aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -10- Pasal 9 (1) Modal pelengkap terdiri atas: a. komponen modal yang memenuhi persyaratan: 1. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan telah disetor penuh; 2. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan- cadangan yang termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum dilikuidasi; 3. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang bersangkutan secara langsung maupun tidak langsung; 4. terdapat perjanjian yang paling sedikit memuat klausul: a) mencantumkan pembayaran pokok dan/atau imbal hasil; b) tidak memiliki persyaratan percepatan pembayaran pokok dan/atau imbal hasil; c) pembayaran pokok dan/atau imbal hasil ditangguhkan dan diakumulasikan antar periode apabila pembayaran dimaksud dapat menyebabkan rasio KPMM tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2; d) hak tagih dalam hal terjadi likuidasi berlaku paling akhir; e) memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 5. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen modal pelengkap; 6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa -11- Keuangan dengan syarat setelah pelunasan tersebut permodalan BPRS tetap sehat; b. surplus revaluasi aset tetap; dan c. cadangan umum dari PPAP paling tinggi sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR. (2) Komponen modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen) dari modal inti. Pasal 10 Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang wajib dihitung oleh BPRS meliputi aset dalam neraca. Pasal 11 Dalam perhitungan ATMR: a. selisih lebih cadangan umum dari PPAP yang wajib dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor pengurang perhitungan ATMR. b. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan tidak diperhitungkan dalam perhitungan ATMR. Pasal 12 BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal distribusi dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPRS tidak mencapai rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4. BAB III MODAL INTI MINIMUM Pasal 13 Modal inti minimum BPRS ditetapkan sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dengan ketentuan: -12- 1. BPRS dengan modal inti kurang dari Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. 2. BPRS sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2025. 3. BPRS dengan modal inti paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) namun kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat pada tanggal 31 Desember 2020. Pasal 14 BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat menerima modal sumbangan dan tambahan modal disetor dalam bentuk aset tetap. Pasal 15 (1) BPRS wajib menjaga jumlah modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 2 dan angka 3. (2) BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal: a. distribusi dimaksud mengakibatkan menurunnya modal inti menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau b. BPRS belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) BPRS dilarang melakukan pembayaran kembali atau pelunasan komponen modal inti tambahan, apabila pembayaran kembali atau pelunasan mengakibatkan menurunnya modal inti minimum BPRS menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). -13- (4) Dalam hal BPRS tidak dapat menjaga modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPRS wajib meningkatkan modal inti menjadi paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak: a. laporan bulanan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau b. tanggal risalah hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Pasal 16 BPRS yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dengan modal disetor kurang dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah berlakunya ketentuan ini wajib memenuhi jumlah modal inti minimum paling lambat 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV LAIN-LAIN Pasal 17 (1) BPRS yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini belum memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dan/atau jumlah modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib menyusun rencana pemenuhan rasio modal dan/atau modal inti minimum dalam bentuk rencana tindak dengan persetujuan RUPS. (2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya ketentuan ini. -14- Pasal 18 Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) jatuh pada hari Sabtu atau hari libur, penyampaian rencana tindak dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari Sabtu atau hari libur dimaksud. BAB V SANKSI Pasal 19 BPRS yang tidak memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan; c. larangan pembukaan jaringan kantor; dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPRS. Pasal 20 BPRS yang tidak menyelesaikan kelengkapan administrasi dana setoran modal dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administratif: a. dana setoran modal tidak dapat diperhitungkan sebagai komponen modal inti; dan b. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan saham dari pemegang saham yang melakukan setoran modal; sampai dengan terpenuhinya kelengkapan administrasi. Pasal 21 BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 17 dikenakan sanksi administratif: a. teguran tertulis; dan/atau -15- b. penurunan tingkat kesehatan. Pasal 22 (1) BPRS yang tidak memenuhi jumlah modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 dan angka 2, dikenakan sanksi administratif: a. penurunan tingkat kesehatan BPRS; b. larangan membuka jaringan kantor; c. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; d. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten/kota yang sama dengan lokasi kantor BPRS; dan e. pembatasan remunerasi atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan Komisaris dan/atau Direksi BPRS, atau imbalan kepada pihak terkait. (2) BPRS yang telah memenuhi modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 namun belum mencapai Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) atau BPRS yang belum memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 pada tanggal 31 Desember 2020 dikenakan sanksi administratif: a. larangan membuka jaringan kantor; b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; dan c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS. (3) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 sampai dengan tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). -16- (4) BPRS yang tidak mampu menjaga modal inti minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (4), setelah tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 namun sebelum batas waktu pemenuhan modal inti minimum pada tanggal 31 Desember 2025 dikenakan sanksi administratif: a. larangan membuka jaringan kantor; b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan elektronis; dan c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS. (6) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan batas waktu pemenuhan modal inti minimum melampaui tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 23 (1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020. (2) BPRS yang memiliki komponen modal pelengkap berupa modal pinjaman dan investasi subordinasi yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen -17- perjanjian yang sesuai persyaratan sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) atau Pasal 9 ayat (1) huruf a sebelum 31 Desember 2019 untuk dapat diakui sebagai komponen modal inti tambahan atau komponen modal pelengkap. (3) Larangan distribusi laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pertama kali untuk laba tahun 2017. (4) Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 25 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019. Pasal 26 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat -18- Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 27 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. -19- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 299 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 6/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK </reg_title> <set_date> 26 Januari 2016 </set_date> <effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date> <issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date> <replaced_reg> '14/26/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung perkembangan dan pertumbuhan Reksa Dana yang sehat serta meningkatkan daya saing industri Reksa Dana secara internasional diperlukan penyempurnaan pengaturan pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. 2. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. 3. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif. 4. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan. 5. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak- hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya. 6. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai - 3 - Bank Kustodian. 7. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik. 8. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek. 9. Efek Bersifat Utang adalah Efek yang menunjukkan hubungan utang piutang antara pemegang Efek (kreditur) dengan Pihak yang menerbitkan Efek (debitur). 10. Nilai Pasar Wajar dari Efek adalah nilai yang dapat diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para Pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi. 11. Transaksi Unit Penyertaan adalah transaksi dalam rangka penjualan, pembelian kembali, pelunasan, dan/atau pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana ke Unit Penyertaan Reksa Dana lain yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama. 12. Afiliasi adalah: a. hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal; b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur, atau komisaris dari Pihak tersebut; c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana terdapat 1 (satu) atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris yang sama; d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik langsung maupun tidak langsung, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut; e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, oleh Pihak yang sama; atau f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama. - 4 - 13. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang: a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; dan/atau c. aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan penerbitnya, tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. BAB II PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF Pasal 2 (1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Reksa Dana sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tersebut wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya masing- masing. Bagian Kesatu Nama Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 3 (1) Nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib menggambarkan: a. nama Manajer Investasi; b. nama yang mencerminkan jenis Reksa Dana; dan - 5 - c. denominasi mata uang asing yang digunakan, jika menggunakan mata uang selain Rupiah. (2) Nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilarang: a. sama dengan nama Reksa Dana lain; b. mengandung ungkapan Reksa Dana tersebut memiliki manfaat tertentu yang belum tentu benar; c. mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu benar; dan/atau d. tidak konsisten dengan kebijakan investasi Reksa Dana. Bagian Kedua Portofolio Efek Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 4 (1) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan ketentuan sebagai berikut: a. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada: 1. Efek yang diterbitkan, ditawarkan, dan/atau diperdagangkan di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia; 2. Efek yang diperdagangkan di luar negeri, namun diterbitkan oleh: a) Pemerintah Republik Indonesia; b) badan hukum Indonesia yang merupakan Emiten dan/atau Perusahaan Publik; c) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki oleh Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud dalam huruf b) - 6 - dan badan hukum asing tersebut khusus didirikan untuk menghimpun dana dari luar negeri untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau d) badan hukum asing yang sebagian besar atau seluruh sahamnya secara langsung maupun tidak langsung dimiliki Badan Usaha Milik Negara; dan/atau 3. instrumen pasar uang dalam negeri; b. paling banyak 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau situs web. (2) Dalam hal investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilakukan pada Efek yang diperdagangkan di luar negeri yang diterbitkan oleh badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 huruf c) dan/atau huruf d), Manajer Investasi Reksa Dana dimaksud wajib memberikan informasi mengenai nama dan persentase kepemilikan Emiten, Perusahaan Publik, dan/atau Badan Usaha Milik Negara yang memiliki baik langsung maupun tidak langsung badan hukum asing yang menerbitkan Efek dimaksud kepada Bank Kustodian bersamaan dengan penyampaian instruksi pembayaran penyelesaian transaksi kepada Bank Kustodian. Pasal 5 (1) Investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat berupa: a. Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di dalam maupun di luar negeri; b. Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh Pemerintah Republik Indonesia, dan/atau Efek yang - 7 - diterbitkan oleh lembaga internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya; c. Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah berpendapatan tetap yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum dan telah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek; d. Efek Beragun Aset yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum dan sudah mendapat peringkat dari Perusahaan Pemeringkat Efek; e. Efek pasar uang dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) tahun, baik dalam Rupiah maupun dalam mata uang asing; f. Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum; g. Efek derivatif; dan/atau h. Efek lainnya yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah berpendapatan tetap yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diterbitkan oleh: 1. Emiten atau Perusahaan Publik; 2. anak perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang mendapat jaminan penuh dari Emiten atau Perusahaan Publik tersebut; 3. Badan Usaha Milik Negara atau anak perusahaan Badan Usaha Milik Negara; 4. Pemerintah Republik Indonesia; 5. Pemerintah Daerah; dan/atau 6. Lembaga Jasa Keuangan yang telah mendapat izin usaha atau di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan; - 8 - b. memiliki peringkat layak investasi dan diperingkat secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali; dan c. masuk dalam Penitipan Kolektif di Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. (3) Efek derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. diperdagangkan di: 1. Bursa Efek; atau 2. luar Bursa Efek, dengan ketentuan: a) pihak penerbit (lawan transaksi) derivatif adalah Lembaga Jasa Keuangan yang telah mendapat izin usaha dan/atau di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan serta memperoleh peringkat layak investasi dari Perusahaan Pemeringkat Efek; b) valuasi dilakukan secara harian dan wajar; dan c) Efek derivatif dapat dijual atau ditutup posisinya melalui transaksi saling hapus sewaktu-waktu pada nilai wajar. b. memiliki dasar obyek acuan derivatif berupa: 1. Efek; atau 2. Indeks Efek, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a) nilai indeks Efek dipublikasikan secara harian melalui media massa; dan b) informasi tentang indeks Efek dipublikasikan dan tersedia untuk umum; dan c. tidak memiliki potensi kerugian yang lebih besar dari nilai eksposur awal pada saat pembelian Efek derivatif dimaksud. - 9 - Pasal 6 (1) Manajer Investasi dilarang melakukan tindakan yang dapat menyebabkan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif: a. memiliki Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang informasinya tidak dapat diakses dari Indonesia melalui media massa atau situs web; b. memiliki Efek yang diterbitkan oleh 1 (satu) perusahaan berbadan hukum Indonesia atau berbadan hukum asing yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud atau lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; c. memiliki Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen) dari modal disetor perusahaan dimaksud; d. memiliki Efek yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; e. memiliki Efek derivatif: 1. yang ditransaksikan di luar Bursa Efek dengan 1 (satu) pihak Lembaga Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a angka 2 dengan nilai eksposur lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; dan 2. dengan nilai eksposur global bersih lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; f. memiliki Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui Penawaran Umum lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat dengan ketentuan setiap seri Efek Beragun Aset - 10 - tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; g. memiliki Efek Bersifat Utang, Efek Syariah berpendapatan tetap, Efek Beragun Aset, dan/atau Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak lebih dari 5% (lima persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat atau secara keseluruhan lebih dari 15% (lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; h. memiliki Unit Penyertaan suatu Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang ditawarkan melalui Penawaran Umum lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat dengan ketentuan setiap Dana Investasi Real Estat tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat; i. memiliki Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, jika Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tersebut dan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dikelola oleh Manajer Investasi yang sama; j. memiliki Portofolio Efek berupa Efek yang diterbitkan oleh Pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi lebih dari 20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah Republik Indonesia; k. memiliki Efek yang diterbitkan oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari pemegang Unit Penyertaan berdasarkan komitmen yang telah disepakati oleh Manajer Investasi dengan pemegang - 11 - Unit Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari pemegang Unit Penyertaan; l. membeli Efek dari calon atau pemegang Unit Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari calon atau pemegang Unit Penyertaan kecuali dilakukan pada harga pasar wajar; m. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi, investasi kembali, atau perdagangan Efek sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; n. terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki; o. terlibat dalam transaksi marjin; p. menerima pinjaman secara langsung termasuk melakukan penerbitan obligasi atau Efek bersifat utang lainnya, kecuali pinjaman jangka pendek dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam rangka pemenuhan transaksi pembelian kembali dan/atau pelunasan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa Dana pada saat terjadinya pinjaman; q. memberikan pinjaman secara langsung, kecuali pembelian obligasi, Efek bersifat utang lainnya, dan/atau penyimpanan dana di bank; r. membeli Efek yang sedang ditawarkan dalam Penawaran Umum, jika Penjamin Emisi Efek dari Penawaran Umum tersebut adalah Perusahaan Efek yang merupakan Manajer Investasi itu sendiri atau Afiliasi dari Manajer Investasi tersebut, kecuali: 1. Efek Bersifat Utang yang ditawarkan mendapat peringkat layak investasi; dan/atau 2. s. terjadi kelebihan permintaan beli dari Efek yang ditawarkan; terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi hasil dengan Manajer Investasi itu sendiri atau Afiliasi dari Manajer Investasi dimaksud; t. membeli Efek Beragun Aset, jika: - 12 - 1. Efek Beragun Aset tersebut dan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dimaksud dikelola oleh Manajer Investasi yang sama; dan/atau 2. Manajer Investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif terafiliasi dengan kreditur awal Efek Beragun Aset, kecuali hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah; dan u. terlibat dalam transaksi penjualan Efek dengan janji membeli kembali dan pembelian Efek dengan janji menjual kembali. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak berlaku bagi: a. Sertifikat Bank Indonesia; b. Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau c. Efek yang diterbitkan oleh lembaga keuangan internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu anggotanya. (3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g tidak berlaku bagi Efek Bersifat Utang dan/atau Efek Syariah berpendapatan tetap yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dan/atau Pemerintah Daerah. (4) Larangan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif untuk membeli Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum dari Pihak terafiliasi dengan Manajer Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf r tidak berlaku jika hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. Pasal 7 (1) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak sesuai dengan - 13 - ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif yang tidak disebabkan karena tindakan transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi, paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya perubahan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Bank Kustodian wajib memberikan surat pemberitahuan kepada Manajer Investasi. (2) Manajer Investasi wajib menyesuaikan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif paling lambat 20 (dua puluh) hari bursa sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Kustodian dan jangka waktu penyesuaian dimaksud dapat diperpanjang semata-mata untuk kepentingan Reksa Dana dan pemegang Unit Penyertaan sepanjang telah mendapat persetujuan Bank Kustodian. (3) Penyesuaian komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak dilakukannya penyesuaian dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 8 (1) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf - 14 - f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif yang disebabkan karena tindakan transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi, maka paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya perubahan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Bank Kustodian wajib memberikan surat pemberitahuan kepada Manajer Investasi dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Manajer Investasi wajib menyesuaikan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif paling lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak diterimanya surat pemberitahuan dari Bank Kustodian. (3) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p atau kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Kustodian wajib melaporkan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Manajer Investasi paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya batas waktu penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 9 Manajer Investasi dilarang melakukan perubahan atas kebijakan investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali dalam rangka: - 15 - a. penyesuaian terhadap peraturan baru dan/atau perubahan peraturan perundang-undangan; dan/atau b. penyesuaian terhadap kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 10 Bank Kustodian wajib melakukan pembayaran atas pembelian Efek dan investasi lainnya yang akan menjadi bagian dari Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif atau menerima pembayaran atas penjualan Efek atau pencairan investasi lainnya dalam Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dilakukan Manajer Investasi. Pasal 11 Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh Bank Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal dan/atau Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana. Bagian Ketiga Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Pasal 12 Bank Kustodian wajib menghitung Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif setiap hari bursa dan mengumumkannya melalui media massa. Pasal 13 Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib menggunakan denominasi Rupiah kecuali mayoritas Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif berdenominasi mata uang asing. - 16 - Pasal 14 (1) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan dari Reksa Dana wajib ditetapkan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah) berdasarkan Nilai Pasar Wajar Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang disampaikan Manajer Investasi kepada Bank Kustodian. (2) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan dari Reksa Dana yang menggunakan denominasi mata uang asing wajib ditetapkan sebesar US$ 1 (satu Dolar Amerika Serikat) atau EUR 1 (satu Euro), atau dalam besaran tertentu mata uang asing lainnya setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) selanjutnya dihitung berdasarkan Nilai Pasar Wajar Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang disampaikan Manajer Investasi kepada Bank Kustodian. (4) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dapat tidak mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang telah diatur dalam Kontrak Investasi Kolektif dan dicantumkan dalam Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek. Pasal 15 (1) Dalam rangka penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif oleh Bank Kustodian, Manajer Investasi wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif setiap hari bursa dan menyampaikannya segera kepada Bank Kustodian. - 17 - (2) Penghitungan dan penyampaian Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana. Bagian Keempat Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 16 Manajer Investasi wajib menyusun tata cara Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 17 (1) Manajer Investasi wajib memastikan semua dana pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dikreditkan ke rekening atas nama Reksa Dana di Bank Kustodian paling lambat pada akhir hari bursa disampaikannya perintah transaksi pembelian secara lengkap. (2) Dana pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat berasal dari: a. calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. anggota keluarga calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; c. perusahaan tempat bekerja dari calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau d. Manajer Investasi, Agen Penjual Efek Reksa Dana dan/atau asosiasi yang terkait dengan Reksa Dana, untuk pemberian hadiah dalam rangka kegiatan - 18 - pemasaran Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. (3) Sumber dana yang berasal dari pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d disertai dengan lampiran surat pernyataan dan bukti pendukung yang menunjukkan hubungan antara calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan pihak dimaksud. Pasal 18 (1) Perintah Transaksi Unit Penyertaan dari pemegang Unit Penyertaan yang diterima secara lengkap oleh Manajer Investasi: a. sampai dengan pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat wajib diproses berdasarkan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana yang ditetapkan pada akhir hari bursa yang bersangkutan; atau b. setelah pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat wajib diproses berdasarkan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana yang ditetapkan pada akhir hari bursa berikutnya. (2) Ketentuan mengenai Transaksi Unit Penyertaan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dapat tidak mengikuti ketentuan mengenai Transaksi Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang telah dimuat dalam Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dimaksud. Pasal 19 (1) Transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain hanya dapat dilakukan - 19 - antar Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama. (2) Transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain dilakukan melalui mekanisme transaksi pembelian kembali Unit Penyertaan suatu Reksa Dana dan penjualan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang lain pada waktu yang bersamaan dengan menggunakan Nilai Aktiva Bersih per Unit Penyertaan dari masing-masing Reksa Dana sesuai dengan saat diterimanya perintah pengalihan secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (3) Manajer Investasi wajib memastikan dana dari hasil transaksi pengalihan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterima rekening Reksa Dana dimaksud pada Bank Kustodian paling lambat 4 (empat) hari bursa sejak diterimanya perintah pengalihan secara lengkap. Pasal 20 (1) Untuk kepentingan operasional Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana, Bank Kustodian dapat membuka rekening atas nama Reksa Dana di Bank lain atas permintaan tertulis dari Manajer Investasi. (2) Rekening atas nama Reksa Dana di Bank lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadministrasikan kepentingan Reksa Dana dimaksud. Pasal 21 Manajer Investasi atas nama Reksa Dana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib melakukan pembelian kembali atas Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dijual oleh pemegang Unit Penyertaan. wajib oleh Bank Kustodian untuk - 20 - Pasal 22 Bank Kustodian wajib memastikan dana hasil pembelian kembali Unit Penyertaan atau likuidasi Reksa Dana disampaikan ke rekening bank atas nama pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 23 (1) Manajer Investasi dapat menolak pembelian kembali dan/atau pelunasan atau menginstruksikan Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk melakukan penolakan pembelian kembali dan/atau pelunasan apabila terjadi hal sebagai berikut: a. Bursa Efek di mana sebagian besar Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan ditutup; b. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif di Bursa Efek dihentikan; c. keadaan darurat; atau d. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penolakan pembelian kembali dan/atau pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah Manajer Investasi memberitahukan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Kustodian. (3) Dalam hal kebijakan penolakan pembelian kembali dan/atau pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan, berlaku ketentuan sebagai berikut: a. Manajer Investasi dilarang melakukan penjualan Unit Penyertaan baru; dan b. Bank Kustodian dilarang menerbitkan Unit Penyertaan baru, selama periode penolakan pembelian kembali dan/atau pelunasan dimaksud. - 21 - (4) Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis kepada pemegang Unit Penyertaan apabila melakukan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tanggal perintah pembelian kembali dan/atau pelunasan diterima oleh Manajer Investasi. Pasal 24 Pembayaran atas pembelian kembali atau pelunasan Unit Penyertaan pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak perintah pembelian kembali telah diterima Manajer Investasi secara lengkap. Bagian Kelima Pengalihan Kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 25 (1) Kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat beralih atau dialihkan oleh pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Pihak lain tanpa melalui mekanisme penjualan, pembelian kembali atau pelunasan dalam rangka: a. pewarisan; atau b. hibah. (2) Pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan oleh ahli waris, pemberi hibah, atau penerima hibah kepada Manajer Investasi atau Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan bukti pendukung sesuai dengan peraturan perundang-undangan untuk selanjutnya diadministrasikan di Bank Kustodian Reksa Dana. (3) Pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana - 22 - dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (4) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana atau Agen Penjual Efek Reksa Dana yang ditunjuk oleh Manajer Investasi wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan Di Sektor Pasar Modal terhadap Pihak yang menerima pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana dalam rangka pewarisan dan/atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Bagian Keenam Penerbitan Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 26 Bank Kustodian wajib: a. mengurus penerbitan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. melakukan pembayaran pembelian kembali atau pelunasan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; c. melakukan pembukuan Reksa Dana; dan d. mengambil tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan kewajiban sesuai dengan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana. Pasal 27 (1) Bank Kustodian wajib memastikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diterbitkan setelah diterimanya perintah pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara lengkap dan diterimanya dana di rekening - 23 - Reksa Dana yang diadministrasikan oleh Bank Kustodian. (2) Untuk transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain, Bank Kustodian wajib memastikan penerbitan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dilakukan setelah perintah pengalihan dimaksud diterima secara lengkap oleh Manajer Investasi atau Agen Penjual Efek Reksa Dana. Bagian Ketujuh Konfirmasi Kepemilikan Unit Penyertaan dan Laporan Kepada Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 28 (1) Bank Kustodian wajib menerbitkan dan menyampaikan surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif atas pelaksanaan perintah pemegang Unit Penyertaan secara langsung kepada pemegang Unit Penyertaan. (2) Surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. dikirimkan kepada pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa setelah Unit Penyertaan diterbitkan, untuk penjualan Unit Penyertaan; atau b. dikirimkan kepada pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa setelah diterimanya perintah pembelian kembali Unit Penyertaan secara lengkap, untuk pembelian kembali Unit Penyertaan. (3) Penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi - 24 - Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. media elektronik, jika telah memperoleh persetujuan dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau b. jasa pengiriman. Pasal 29 (1) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan Reksa Dana kepada setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan Reksa Dana. (2) Laporan kepada setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui: a. media elektronik, jika telah memperoleh persetujuan dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana; dan/atau b. jasa pengiriman. Bagian Kedelapan Biaya Dalam Pengelolaan Reksa Dana Pasal 30 Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, biaya yang menjadi beban Manajer Investasi antara lain: a. biaya persiapan pembentukan Reksa Dana; b. biaya administrasi pengelolaan Reksa Dana; c. biaya pemasaran; d. biaya pencetakan dan distribusi formulir pembukaan rekening dan formulir transaksi; e. biaya cetak dan distribusi Prospektus pertama kali; f. biaya pembubaran Reksa Dana; dan - 25 - g. biaya jasa Dewan Pengawas dan/atau tenaga ahli, jika terkait pengelolaan Reksa Dana Syariah. Pasal 31 (1) Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, biaya yang menjadi beban Reksa Dana meliputi: a. biaya pengelolaan Manajer Investasi; b. biaya Bank Kustodian; c. biaya asuransi Portofolio Efek Reksa Dana, jika ada; d. biaya transaksi pembelian dan/atau penjualan Portofolio Efek Reksa Dana; e. biaya pembaharuan Prospektus pendistribusiannya; f. dan biaya atas jasa Akuntan yang memeriksa Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana; dan g. biaya lain yang ditetapkan dalam kontrak. (2) Bank Kustodian wajib membayar biaya yang menjadi beban Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan perintah Manajer Investasi. Pasal 32 Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, biaya yang menjadi beban pemegang Unit Penyertaan antara lain: a. biaya penjualan, jika ada; b. biaya pembelian kembali dan/atau pelunasan, jika ada; c. biaya pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain jika ada; dan d. biaya transfer dana sehubungan dengan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana, jika ada. Pasal 33 (1) Selain biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32, terdapat biaya lain dalam - 26 - pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif antara lain: a. biaya Konsultan Hukum; b. biaya Notaris; dan/atau c. biaya Akuntan. (2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan/atau Reksa Dana sesuai dengan pihak yang memperoleh manfaat atau yang melakukan kesalahan sehingga diperlukan jasa profesi dimaksud. Bagian Kesembilan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Melalui Pihak Lain Pasal 34 (1) Manajer Investasi dapat melakukan kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana berkaitan dengan pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana. (2) Kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perjanjian tertulis antara Manajer Investasi dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana. (3) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib: a. dibuat dalam Bahasa Indonesia; b. memuat hal sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan c. disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perjanjian ditandatangani. (4) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada Bank Kustodian Reksa Dana. - 27 - Pasal 35 (1) Dalam melakukan penjualan Efek Reksa Dana, Manajer Investasi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain yang memiliki: a. jaringan luas dalam kegiatan usahanya dalam bentuk penyediaan tempat atau gerai penjualan; dan/atau b. sistem elektronik yang teruji keandalannya. (2) Pihak lain yang memiliki sistem elektronik yang teruji keandalannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib terlebih dahulu memperoleh izin, persetujuan, atau pengakuan dari otoritas yang berwenang. (3) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia; b. memperhatikan ketentuan yang berkaitan dengan Transaksi Unit Penyertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan peraturan terkait lainnya di sektor Pasar Modal serta paling sedikit memuat: 1. identitas masing-masing Pihak; 2. hak dan kewajiban masing-masing Pihak; 3. imbalan atas jasa pemilik gerai dan/atau pemilik sistem elektronik serta biaya; 4. jangka waktu perjanjian; dan 5. ketentuan pengakhiran perjanjian. (4) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah perjanjian ditandatangani. (5) Penjualan Unit Penyertaan Reksa Dana pertama kali kepada calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana yang dilakukan oleh Manajer Investasi melalui gerai penjualan wajib dilakukan oleh tenaga pemasaran - 28 - Manajer Investasi yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. (6) Manajer Investasi yang melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib: a. bertanggung jawab atas Transaksi Unit Penyertaan yang dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Manajer Investasi; b. bertanggung jawab atas penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Penyedia Jasa Keuangan Di Bidang Pasar Modal; c. memastikan keandalan dan keamanan sistem yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan d. memiliki prosedur operasional standar berkaitan dengan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana yang dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Manajer Investasi. Bagian Kesepuluh Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Secara Elektronik Pasal 36 (1) Dalam melakukan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana secara elektronik, Manajer Investasi dapat menggunakan sistem elektronik yang dibangun sendiri oleh Manajer Investasi atau oleh pihak lain yang memiliki kerja sama dengan Manajer Investasi. (2) Ketentuan mengenai tata cara Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana dengan menggunakan sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 29 - Pasal 37 (1) Pembayaran atas pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana dapat menggunakan sistem pembayaran elektronik dan/atau mekanisme pendebetan rekening bank sesuai peraturan perundang-undangan. (2) Pembayaran atas pembelian kembali atau pelunasan Unit Penyertaan Reksa Dana dapat menggunakan sistem pembayaran elektronik dan/atau mekanisme pengkreditan kepada rekening bank pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana sesuai peraturan perundang- undangan. Bagian Kesebelas Penyimpanan, Pencatatan, dan Pembukuan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 38 (1) Manajer Investasi wajib menyimpan semua kekayaan Reksa Dana pada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian yang mengadministrasikan Reksa Dana wajib: a. memberikan jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana; dan b. mendaftarkan atau mencatatkan kekayaan Reksa Dana atas nama Bank Kustodian tersebut untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan sesuai peraturan perundang-undangan serta melakukan tindakan yang diperlukan terkait dengan pendaftaran atau pencatatan kekayaan dimaksud. Pasal 39 (1) Manajer Investasi wajib: a. menyimpan dan memelihara semua pembukuan dan catatan penting sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif, yang berkaitan dengan: - 30 - 1. laporan keuangan Reksa Dana; dan 2. pengelolaan Reksa Dana, paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana tersebut dibubarkan; dan b. memisahkan pembukuan dan catatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dari pembukuan dan catatan Manajer Investasi serta nasabah lain dan produk lain dari Manajer Investasi. (2) Bank Kustodian wajib menyimpan dan memelihara catatan secara terpisah yang menunjukkan: a. semua pembukuan dan catatan penting sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif, yang berkaitan dengan: 1. laporan keuangan; dan 2. pengelolaan Reksa Dana, paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana tersebut dibubarkan; b. semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana tersebut dibubarkan; dan c. jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki setiap pemegang Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat, dan identitas lain dari para pemegang Unit Penyertaan paling singkat 5 (lima) tahun sejak rekening pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana tersebut ditutup. Bagian Kedua belas Penggantian Bank Kustodian Pasal 40 (1) Manajer Investasi dapat mengganti Bank Kustodian dalam hal: a. Bank Kustodian terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan Kontrak Investasi Kolektif atau peraturan perundang-undangan; - 31 - b. Bank Kustodian tidak lagi memiliki kecakapan hukum atau kemampuan untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau c. terdapat kesepakatan bersama antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian. (2) Penggantian Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 41 Bank Kustodian wajib bertanggung jawab atas tugas sebagai Bank Kustodian sampai dengan adanya Bank Kustodian pengganti. Bagian Ketiga belas Perubahan Anggota Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham Pasal 42 (1) Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian setiap ada perubahan anggota Direksi, Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali Manajer Investasi dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank Kustodian wajib memberitahukan secara tertulis kepada Manajer Investasi setiap ada perubahan penanggung jawab, anggota Direksi, Komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali bank yang menjadi Bank Kustodian dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. - 32 - Bagian Keempat belas Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 43 (1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib bertanggung jawab terhadap penyusunan laporan keuangan tahunan Reksa Dana sesuai dengan fungsi dan kewajiban masing- masing sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Investasi Kolektif. (2) Tahun buku Reksa Dana dimulai sejak tanggal 1 Januari dan ditutup pada tanggal 31 Desember. (3) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana wajib diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. (4) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana wajib ditandatangani oleh anggota Direksi Manajer Investasi dan penanggung jawab Bank Kustodian. (5) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Manajer Investasi paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir dan tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan. (6) Dalam hal pada akhir periode laporan keuangan tahunan Reksa Dana tersebut belum memiliki pemegang Unit Penyertaan, kewajiban audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan penyampaian laporan keuangan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku. (7) Dalam hal Manajer Investasi menyampaikan rencana pembubaran Reksa Dana sebelum berakhirnya periode laporan keuangan tahunan, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku. (8) Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa Dana sebagaimana dimaksud - 33 - pada ayat (5) jatuh pada hari libur, laporan tersebut disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. Bagian Kelimabelas Minimum Dana Kelolaan, Pembubaran, dan Likuidasi Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 44 (1) Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif wajib memiliki dana kelolaan paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif. (2) Bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan Penawaran Umum yang bersifat terbatas, kewajiban memiliki dana kelolaan paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat dilakukan dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif. (3) Manajer Investasi wajib menyampaikan laporan penghimpunan dana kelolaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif. (4) Bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan Penawaran Umum yang bersifat terbatas, kewajiban penyampaian laporan penghimpunan dana kelolaan Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif. - 34 - Pasal 45 Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib dibubarkan, apabila terjadi hal sebagai berikut: a. dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa, Reksa Dana yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); b. bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan Penawaran Umum yang bersifat terbatas, dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif, memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); c. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal; d. total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) selama 120 (seratus dua puluh) hari bursa berturut-turut; dan/atau e. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan Reksa Dana. Pasal 46 Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan laporan kondisi tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan rencana pembubaran Reksa Dana kepada para pemegang Unit Penyertaan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b; - 35 - b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat pembubaran namun tidak boleh lebih kecil dari Nilai Aktiva Bersih awal (harga par) dan dana tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b; dan c. membubarkan Reksa Dana dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b, serta menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak Reksa Dana dibubarkan yang disertai dengan: 1. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, jika Reksa Dana telah memiliki dana kelolaan. Pasal 47 Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c, Manajer Investasi wajib: a. mengumumkan rencana pembubaran Reksa Dana paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak diperintahkan Otoritas Jasa Keuangan dan pada hari yang sama memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk - 36 - menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak diperintahkan Otoritas Jasa Keuangan, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat pembubaran dan dana tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak likuidasi selesai dilakukan; dan c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari bursa sejak diperintahkan pembubaran Reksa Dana oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan dokumen sebagai berikut: 1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 48 Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan laporan kondisi tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilengkapi kondisi keuangan terakhir Reksa Dana dan mengumumkan kepada para pemegang Unit Penyertaan rencana pembubaran Reksa Dana paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam - 37 - Pasal 45 huruf d serta pada hari yang sama memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan dana tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak likuidasi selesai dilakukan; dan c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d dengan dokumen sebagai berikut: 1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 49 Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf e, maka Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan rencana pembubaran Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya kesepakatan pembubaran Reksa Dana oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan melampirkan: - 38 - 1. kesepakatan pembubaran Reksa Dana antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian disertai alasan pembubaran; dan 2. kondisi keuangan terakhir; dan pada hari yang sama mengumumkan rencana pembubaran Reksa Dana kepada para pemegang Unit Penyertaan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya kesepakatan pembubaran Reksa Dana, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan dana tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak likuidasi selesai dilakukan; dan c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari bursa sejak disepakatinya pembubaran Reksa Dana disertai dengan dokumen sebagai berikut: 1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 50 Pemegang Unit Penyertaan tidak dapat melakukan penjualan kembali setelah dilakukannya pengumuman rencana pembubaran Reksa Dana. - 39 - Pasal 51 Laporan keuangan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c angka 2, Pasal 47 huruf c angka 2, Pasal 48 huruf c angka 2, dan Pasal 49 huruf c angka 2 mencakup: a. laporan posisi keuangan; b. laporan laba rugi komprehensif; dan c. catatan atas laporan keuangan. Pasal 52 (1) Dalam hal Manajer Investasi tidak lagi memiliki izin usaha atau Bank Kustodian tidak lagi memiliki surat persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. menunjuk Manajer Investasi lain untuk melakukan pengelolaan atau Bank Kustodian lain untuk mengadministrasikan Reksa Dana; atau b. menunjuk salah 1 (satu) pihak yang masih memiliki izin usaha atau surat persetujuan untuk melakukan pembubaran Reksa Dana, jika tidak terdapat Manajer Investasi atau Bank Kustodian pengganti. (2) Dalam hal pihak yang ditunjuk untuk melakukan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah Bank Kustodian, Bank Kustodian dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan likuidasi Reksa Dana dengan pemberitahuan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Manajer Investasi atau Bank Kustodian yang ditunjuk untuk melakukan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan laporan penyelesaian pembubaran kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari bursa sejak ditunjuk untuk membubarkan Reksa Dana yang disertai dengan dokumen sebagai berikut: a. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; - 40 - b. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan c. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 53 Dalam hal masih terdapat dana hasil likuidasi yang belum diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau terdapat dana yang tersisa setelah tanggal pembagian hasil likuidasi kepada pemegang Unit Penyertaan maka: a. jika Bank Kustodian telah memberitahukan dana tersebut kepada pemegang Unit Penyertaan sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari bursa serta telah mengumumkannya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional maka dana tersebut wajib disimpan dalam rekening giro di Bank Kustodian selaku Bank Umum, atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan yang belum mengambil dana hasil likuidasi dan/atau untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan yang tercatat pada tanggal pembubaran, dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun; b. setiap biaya yang timbul atas penyimpanan dana tersebut dibebankan kepada rekening giro tersebut; c. apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun tidak diambil oleh pemegang Unit Penyertaan, dana tersebut wajib diserahkan oleh Bank Kustodian kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk keperluan pengembangan industri Pasar Modal; dan d. dalam Kontrak Investasi Kolektif dapat ditetapkan jangka waktu yang lebih singkat dari 30 (tiga puluh) tahun dengan ketentuan paling cepat 3 (tiga) tahun. - 41 - Pasal 54 (1) Dalam hal Reksa Dana dibubarkan dan dilikuidasi oleh Manajer Investasi maka biaya pembubaran dan likuidasi Reksa Dana termasuk biaya Konsultan Hukum, Akuntan, dan Notaris serta biaya lain kepada pihak ketiga menjadi beban Manajer Investasi. (2) Dalam hal Bank Kustodian atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Kustodian melakukan pembubaran dan likuidasi Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) maka biaya pembubaran dan likuidasi, termasuk biaya Konsultan Hukum, Akuntan, dan Notaris serta biaya lain kepada pihak ketiga dapat dibebankan kepada Reksa Dana. Bagian Keenam belas Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Rangka Melindungi Kepentingan Para Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 55 Untuk melindungi kepentingan para pemegang Unit Penyertaan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. mengalihkan, membekukan, dan/atau mengamankan kekayaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; b. menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; c. menunjuk Bank Kustodian lain untuk mengadministrasikan kekayaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; d. membubarkan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau e. melakukan tindakan lain terhadap Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. - 42 - BAB III PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF Bagian Kesatu Bentuk dan Isi Kontrak Investasi Kolektif Pasal 56 Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian. Pasal 57 Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana dan perubahannya wajib dibuat secara notariil. Pasal 58 Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana wajib memuat hak dan tanggung jawab Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan. Pasal 59 Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. nama dan alamat Manajer Investasi; b. nama dan alamat Bank Kustodian; c. komposisi diversifikasi Portofolio Efek di pasar uang dan Pasar Modal; d. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, Reksa Dana, dan pemegang Unit Penyertaan; e. keadaan yang memperbolehkan Manajer Investasi menolak pembelian kembali Unit Penyertaan; f. komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, batasan investasi Reksa Dana, dan tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi; g. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi; h. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian; i. penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian dalam Kontrak Investasi Kolektif; - 43 - j. hak pemegang Unit Penyertaan; k. batas minimum penjualan awal Unit Penyertaan; l. tata cara pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan; m. tata cara pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan melalui sistem elektronik, jika ada; n. tata cara pembayaran Transaksi Unit Penyertaan; o. tata cara pembayaran Transaksi Unit Penyertaan melalui sistem pembayaran elektronik, jika ada; p. tata cara penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; q. prosedur penyelesaian kesalahan penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana; r. penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa Dana; s. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian yang menyebabkan para pihak tersebut menjadi tidak dapat menjalankan atau melakukan tugas dan kewajibannya (keadaan darurat); t. pembubaran Reksa Dana; u. perlakuan terhadap dana hasil likuidasi yang belum diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau terdapat dana yang tersisa; v. pihak yang bertanggung jawab atas biaya pembubaran Reksa Dana; dan w. penunjukan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di sektor Pasar Modal, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian. Pasal 60 Komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, batasan investasi Reksa Dana, dan tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi yang mengelola Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf f, paling sedikit memuat hal sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6. - 44 - Pasal 61 Kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf g, paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. pembukuan dan pelaporan; b. tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian yang timbul karena kesalahannya; c. larangan penghentian pengelolaan Reksa Dana sebelum ditunjuk Manajer Investasi pengganti; d. pemisahan kekayaan Reksa Dana dengan kekayaan Manajer Investasi; e. tata cara Transaksi Unit Penyertaan; f. penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio setiap hari bursa dan penyampaiannya kepada Bank Kustodian; g. penunjukan Bank Kustodian pengganti dalam hal Bank Kustodian karena hukum tidak lagi dapat melaksanakan fungsinya sebagai Bank Kustodian, misalnya izin usaha sebagai Bank Umum dicabut atau persetujuan sebagai Bank Kustodian dibatalkan; h. pelaksanaan investasi sesuai dengan kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif; i. pembelian kembali Unit Penyertaan atas nama Reksa Dana untuk kepentingan rekening Reksa Dana; j. penyusunan dan penyampaian laporan keuangan tahunan kepada pemegang Unit Penyertaan dan Otoritas Jasa Keuangan; dan k. penerbitan pembaharuan Prospektus yang disertai laporan keuangan tahunan terakhir serta wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Manajer Investasi pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan keuangan tahunan berakhir. - 45 - Pasal 62 Kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf h, paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. pembukuan dan pelaporan; b. tanggung jawab Bank Kustodian atas segala kerugian yang timbul karena kesalahannya; c. penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana setiap hari bursa; d. penyelesaian transaksi Efek sesuai dengan instruksi Manajer Investasi; e. pembayaran biaya pengelolaan dan biaya lain yang dibebankan pada Reksa Dana sesuai kontrak; f. pembayaran kepada pemegang Unit Penyertaan setiap pembagian uang tunai yang berhubungan dengan kontrak, dalam hal Kontrak Investasi Kolektif menetapkan adanya kebijakan mengenai pembagian hasil secara berkala kepada pemegang Unit Penyertaan; g. penyimpanan dan pemeliharaan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki setiap pemegang Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat, serta identitas lain dari para pemegang Unit Penyertaan; h. kepastian bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana dari: 1. calon pemegang Unit Penyertaan; 2. pihak yang sudah ditentukan pada saat pembukaan rekening; dan/atau 3. pihak yang ditentukan oleh pemegang Unit Penyertaan setelah pembukaan rekening; i. pengurusan Transaksi Unit Penyertaan; j. pemisahan kekayaan Reksa Dana dari kekayaan Bank Kustodian; k. pemberian jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana; - 46 - l. penyusunan dan penyampaian laporan kepada Manajer Investasi, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemegang Unit Penyertaan; dan m. penolakan instruksi Manajer Investasi secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh Bank Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang- undangan di bidang Pasar Modal dan/atau Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 63 Hak pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf j, paling sedikit memuat ketentuan mengenai: a. hak untuk mendapat bukti konfirmasi kepemilikan Unit Penyertaan; b. hak untuk memperoleh laporan keuangan tahunan; c. hak untuk memperoleh informasi mengenai Nilai Aktiva Bersih harian per Unit Penyertaan Reksa Dana; d. hak untuk menjual kembali dan mengalihkan sebagian atau seluruh Unit Penyertaan; e. hak untuk memperoleh laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan Reksa Dana; f. hak untuk menerima pembagian hasil investasi, jika ada; dan g. hak untuk memperoleh bagian atas hasil likuidasi. Pasal 64 Ketentuan mengenai pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf t, paling sedikit wajib memuat: a. alasan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45; dan b. tindakan yang dilakukan dalam rangka pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, dan/atau Pasal 49. - 47 - Bagian Kedua Perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan Perubahan Prospektus Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Pasal 65 Manajer Investasi dan/atau Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib memastikan bahwa calon pemegang Unit Penyertaan telah menerima atau memperoleh kesempatan untuk membaca Prospektus Reksa Dana sebelum atau pada saat pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana. Pasal 66 Manajer Investasi wajib melakukan pembaharuan Prospektus dalam hal terdapat: a. perubahan material terkait pengelolaan Reksa Dana; dan/atau b. laporan keuangan tahunan Reksa Dana. Pasal 67 (1) Rencana perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan/atau Prospektus Reksa Dana wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada publik melalui 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum perubahan dimaksud dilakukan. (2) Rencana perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan/atau Prospektus Reksa Dana yang belum memiliki pemegang Unit Penyertaan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum perubahan dimaksud dilakukan. (3) Perubahan Kontrak Investasi Kolektif wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada publik melalui 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran - 48 - nasional paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya perubahan. (4) Perubahan Prospektus wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan tersedia bagi publik dan pemegang Unit Penyertaan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya pembaharuan Prospektus. (5) Kewajiban mengumumkan rencana perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan/atau Prospektus Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Reksa Dana yang belum memiliki pemegang Unit Penyertaan. (6) Pengumuman melalui surat kabar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat memuat informasi bahwa rincian perubahan Kontrak Investasi Kolektif dapat dibaca atau diakses melalui situs web Manajer Investasi. BAB IV PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF Pasal 68 Dalam rangka penerbitan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Manajer Investasi wajib membuat, menyimpan, dan mengadministrasikan dokumen sebagai berikut: a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; b. rancangan terakhir Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diberi materai dan ditandatangani oleh para Pihak; - 49 - c. perjanjian kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana dan/atau pihak yang memiliki jaringan luas dalam kegiatan usahanya (jika ada); d. rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana; e. laporan pemeriksaan hukum dan pendapat hukum dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; f. brosur penawaran Reksa Dana; g. khusus untuk Reksa Dana Terproteksi, dokumen simulasi terkait kalkulasi kinerja atau indikasi hasil termasuk kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat terjadi dengan mempertimbangkan hal antara lain sebagai berikut: 1. asumsi; 2. jatuh tempo tiap Efek; 3. peringkat Efek Bersifat Utang yang menjadi basis proteksi; 4. dana investasi awal tiap Efek; 5. tingkat kupon tiap Efek; 6. estimasi harga perolehan tiap Efek; 7. biaya; 8. perkiraan/indikasi hasil investasi; 9. pembelian kembali atau pelunasan sebagian, jika ada; 10. penjualan; dan 11. pelunasan saat jatuh tempo; h. kontrak dengan Sponsor, bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek jika dalam penciptaan Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud melibatkan Sponsor; i. perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer Partisipan, bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek; - 50 - j. perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer Investasi dengan Bursa Efek, jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek; k. perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, jika Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek; dan l. dokumen terkait Efek derivatif, dalam hal Reksa Dana akan berinvestasi pada Efek derivatif. Pasal 69 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangkap 2 (dua) sesuai dengan format Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen dan/atau informasi sebagai berikut: a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; b. rancangan terakhir Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diberi materai dan ditandatangani oleh para Pihak; dan c. digital seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran Produk dengan menggunakan media digital cakram padat atau lainnya. Pasal 70 (1) Dalam rangka memproses permohonan Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam - 51 - Pasal 69, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. meminta Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan para pihak yang terlibat dalam Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif untuk melakukan presentasi; dan/atau b. meminta perubahan dan/atau tambahan informasi berkaitan dengan kelengkapan dokumen Pernyataan Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 71 (1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menjadi efektif pada hari ke-45 (keempat puluh lima) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap atau pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib menyampaikan dokumen perubahan dan/atau tambahan informasi terkait Pernyataan Pendaftaran paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak tanggal surat permintaan dokumen perubahan dan/atau tambahan informasi dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak melengkapi dokumen perubahan dan/atau tambahan informasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dianggap membatalkan permohonan Pernyataan - 52 - Pendaftaran yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Manajer Investasi wajib menyampaikan Prospektus final yang telah dicetak beserta format digital dokumen tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal efektifnya Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 72 Dalam hal Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Pernyataan Pendaftaran belum memenuhi persyaratan; atau b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 73 Manajer Investasi wajib mengelola Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menurut kebijakan investasi yang dicantumkan dalam Kontrak Investasi Kolektif dan/atau Prospektus serta memenuhi kebijakan investasinya paling lambat 150 (seratus lima puluh) hari bursa setelah efektifnya Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Pasal 74 Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana dapat digunakan untuk penerbitan Reksa Dana berikutnya, sepanjang pihak yang terikat dalam Kontrak Investasi Kolektif, jenis Reksa Dana, dan kebijakan investasinya masih tetap sama. - 53 - BAB V SISTEM ELEKTRONIK PENDAFTARAN, PERIZINAN, PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN Pasal 75 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem elektronik terkait permohonan Pernyataan Pendaftaran dan/atau penyampaian laporan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, maka permohonan Pernyataan Pendaftaran dan/atau penyampaian laporan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tersebut dapat disampaikan melalui sistem elektronik. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 76 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. - 54 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 77 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 78 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) serta tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 79 Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, khususnya mengenai: a. kebijakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6; b. sumber dana pembelian Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; c. pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; d. penyampaian konfirmasi bukti kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; - 55 - e. penyampaian laporan kepada setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; dan f. minimum dana kelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, wajib menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku. Pasal 80 Ketentuan mengenai nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak berlaku untuk Reksa Dana yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku. Pasal 81 Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks serta Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dapat tidak mengikuti Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sepanjang diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 48/POJK.04/2015 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 49/POJK.04/2015 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa Efek. - 56 - BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 82 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 83 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, maka: a. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, beserta Peraturan Nomor IV.B.1 yang merupakan lampirannya; b. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 553/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, beserta Peraturan Nomor IV.B.2 yang merupakan lampirannya; dan c. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP- 430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, beserta Peraturan Nomor IX.C.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 84 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 57 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juni 2016 016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H.LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 109 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 23 /POJK.04/2016 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF I. UMUM Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal guna selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Sebagai wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, Reksa Dana memiliki peran strategis sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal. Perkembangan Reksa Dana di Indonesia yang cukup signifikan telah menyebabkan permintaan atas produk Reksa Dana semakin tinggi, yang dibarengi dengan harapan bahwa Reksa Dana tidak hanya memberikan keuntungan yang relatif tinggi tetapi juga alternatif investasi yang aman bagi pemodal. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka lebih meningkatkan pertumbuhan Reksa Dana sesuai dengan kebutuhan Pasar Modal, maka perlu dilakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang mengatur tentang Reksa Dana, khususnya Peraturan Nomor IV.B.1 lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Peraturan Nomor IV.B.2 lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-553/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, dan Peraturan Nomor IX.C.5 lampiran Keputusan Ketua Badan - 2 - Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep- 430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. Penyempurnaan ketiga peraturan Reksa Dana tersebut meliputi pengaturan baru terkait ketentuan pengalihan Unit Penyertaan Reksa Dana, sumber dana Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana, dan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Portofolio Efek dari Reksa Dana, batasan investasi Reksa Dana, minimum dana kelolaan Reksa Dana, serta pembubaran Reksa Dana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Jenis Reksa Dana meliputi Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham, Reksa Dana Campuran, Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks, atau jenis Reksa Dana lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal. Sebagai contoh, nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dikelola oleh Manajer Investasi XYZ dengan kebijakan investasi sesuai ketentuan jenis Reksa Dana Pendapatan Tetap dapat diberi nama “Reksa Dana XYZ Fixed Income Merdeka”. Contoh lainnya, Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi yang sama namun dengan kebijakan investasi yang sesuai dengan ketentuan jenis Reksa Dana saham dan dengan denominasi mata uang dollar Amerika Serikat dapat diberi nama “XYZ USD Equity Fund”. - 3 - Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang mengandung ungkapan Reksa Dana tersebut memiliki manfaat yang belum tentu benar antara lain “Reksa Dana Pasti Untung” atau “Reksa Dana Anti Rugi”. Huruf c Contoh nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu benar antara lain “Reksa Dana ABC (nama Manajer Investasi) Terbaik Saham”. Huruf d Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Angka 1 Efek mencakup Efek konvensional maupun Efek Syariah. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Instrumen pasar uang dalam negeri baik konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Huruf b Efek mencakup Efek konvensional maupun Efek syariah. Yang dimaksud dengan “media massa” adalah surat kabar, majalah, televisi, radio, dan media elektronik lainnya. Yang dimaksud dengan “situs web” adalah kumpulan halaman web yang memuat informasi atau data yang dapat diakses melalui suatu sistem jaringan internet. - 4 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Huruf a Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum termasuk Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang ditawarkan melalui Penawaran Umum. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “Perusahaan Pemeringkat Efek” dalam huruf ini adalah Perusahaan Pemeringkat Efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. Contoh Efek Bersifat Utang yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum antara lain seperti medium term notes, promissory notes, dan surat berharga komersial yang diterbitkan secara konvensional. Contoh Efek Syariah berpendapatan tetap yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum antara lain adalah Obligasi Pemerintah Daerah (Municipal Bonds) dan surat berharga komersial yang diterbitkan sesuai Prinsip Syariah di Pasar Modal. Huruf d Efek Beragun Aset meliputi Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset maupun Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi yang diterbitkan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Huruf e Efek pasar uang dalam negeri meliputi Efek pasar uang dalam negeri yang diterbitkan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Contoh Efek pasar uang dalam negeri yang mempunyai jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) tahun antara lain Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, surat - 5 - pengakuan utang, dan sertifikat deposito. Huruf f Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif meliputi Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diterbitkan baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pada praktiknya “peringkat layak investasi” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan investment grade. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Pada praktiknya “di luar bursa efek” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan over the counter. Huruf a) Pada praktiknya “peringkat layak investasi” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan investment grade. Huruf b) Valuasi yang dilakukan secara harian dan wajar sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat dilihat melalui adanya Nilai Pasar Wajar yang dihitung sesuai dengan peraturan mengenai Nilai Pasar Wajar Dalam Portofolio Efek Reksa Dana. - 6 - Huruf c) Pada praktiknya “saling hapus” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan offsetting. Huruf b Pada praktiknya “acuan derivatif” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan derivative underlying. Huruf c Potensi kerugian yang lebih besar dari nilai eksposur awal pada saat pembelian Efek derivatif sebagaimana dimaksud dalam huruf ini adalah potensi kewajiban dan/atau pembayaran yang dapat timbul dari posisi jual bersih (net short position) atas Efek derivatif serta Efek acuannya. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Efek dalam ketentuan ini mencakup semua jenis Efek, baik Efek bersifat ekuitas, Efek Bersifat Utang, maupun instrumen pasar uang. Huruf e Nilai eksposur sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf ini dihitung sebagai jumlah Nilai Pasar Wajar Efek derivatif ditambah dengan nilai acuan (underlying) Efek derivatif yang dikalikan dengan faktor pengali sesuai dengan tabel di bawah ini: Jangka Waktu Derivatif Kurang dari 1 (satu) tahun 1 (satu) sampai 5 Derivatif dari Efek bersifat ekuitas 6% 8% Derivatif lainnya 10% 12% - 7 - (lima) tahun Lebih dari 5 (lima tahun) 10% 15% Nilai eksposur global bersih sebagaimana dimaksud pada angka 2 huruf ini dihitung sebagai nilai posisi Efek derivatif setelah dikurangi posisi saling tutup dan lindung nilai, dikalikan dengan faktor pengali sesuai dengan jenis dan jenis aset dasar Efek derivatif tersebut sesuai dengan aturan sebagai berikut: 1. Kontrak berjangka Efek Bersifat Utang Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali Nilai Pasar Wajar Efek Bersifat Utang setara Aset Dasar yang terendah. 2. Kontrak berjangka Efek bersifat ekuitas Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas. 3. Kontrak Berjangka Indeks Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali tingkat Indeks. 4. Kontrak Opsi Efek Bersifat Utang Jumlah kontrak dikali harga kontrak dikali Nilai Pasar Wajar Efek Bersifat Utang dikali Delta. 5. Kontrak Opsi Efek bersifat ekuitas Jumlah kontrak dikali jumlah Efek bersifat ekuitas dikali Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas dikali Delta. 6. Kontrak Opsi Indeks Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali tingkat Indeks dikali Delta. 7. Waran dan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Jumlah Efek bersifat ekuitas/Efek Bersifat Utang dikali Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas/Efek Bersifat Utang dikali Delta. Yang dimaksud dengan Delta adalah besaran perubahan nilai dari Efek derivatif dibanding perubahan nilai acuan (underlying) Efek derivatif - 8 - tersebut. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud Pihak bagi Efek Beragun Aset dan/atau Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat adalah kontrak investasi kolektif atau penerbit Efek Beragun Aset Berbentuk Surat Partisipasi. Yang dimaksud Pihak bagi Efek Bersifat Utang dan Efek Syariah berpendapatan tetap adalah penerbit (issuer) Efek dimaksud. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Pada praktiknya “penjualan Efek yang belum dimiliki” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan short sale. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah pinjaman dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Angka 1 Pada praktiknya “peringkat layak investasi” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan investment grade. - 9 - Angka 2 Pada praktiknya “kelebihan permintaan beli dari Efek yang ditawarkan” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan over subscription. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Pada praktiknya “kontrak jual atau beli Efek dengan janji beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan transaksi repurchase agreement. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat disampaikan melalui media elektronik. Contoh perubahan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak disebabkan karena tindakan transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi yaitu: 1. pembelian kembali (redemption) dan/atau pelunasan; 2. pembayaran dividen dan biaya lainnya; 3. pergerakan Nilai Pasar Wajar Efek; 4. perubahan modal disetor Emiten; dan/atau 5. perubahan bobot suatu Efek dalam indeks acuan Reksa Dana. - 10 - Ayat (2) Sebagai contoh: Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari bursa masa penyesuaian komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah berakhir namun harga Efek yang harus dijual untuk menyesuaikan komposisi Portofolio Efek tersebut mengalami penurunan di bawah harga perolehan maka Manajer Investasi dapat meminta persetujuan Bank Kustodian untuk memperpanjang masa penyesuaian komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana Kontrak Investasi Kolektif sampai dengan kondisi pasar membaik. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini seperti kondisi kahar (force majeur). Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 11 - Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan Reksa Dana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif adalah Reksa Dana yang dapat menawarkan dan membeli kembali Unit Penyertaan dari pemodal sampai dengan sejumlah Unit Penyertaan yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif. Ayat (2) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.2, Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-367/BL/2012, tanggal 9 Juli 2012 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa Dana. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Anggota keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat ini adalah suami/istri, anak, orangtua, dan saudara kandung. Huruf c Cukup jelas. - 12 - Huruf d Kegiatan pemasaran dalam hal ini mencakup kegiatan promosi atau program loyalitas (calon) nasabah Reksa Dana. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan mengenai Transaksi Unit Penyertaan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dimaksudkan untuk penjualan Unit Penyertaan yang dilakukan oleh Dealer Partisipan dan/atau Sponsor kepada Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. - 13 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” dalam huruf ini adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak sebagai akibat, antara lain, adanya perang, peristiwa alam seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase atau huru-hara, turunnya sebagian besar atau keseluruhan harga Efek yang tercatat di Bursa Efek sedemikian besar dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash), atau kegagalan sistem perdagangan atau penyelesaian transaksi. Huruf d Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Pemberitahuan secara tertulis pada ayat ini dapat disampaikan secara elektronik. Pasal 24 Pada praktiknya “perintah pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara lengkap” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan complete application. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Pada praktiknya “perintah pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara lengkap” - 14 - dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan complete application. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 28 Ayat (1) Penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara langsung kepada pemegang Unit Penyertaan termasuk melalui bukti rekening yang menunjukkan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana yang bersangkutan di Bank Kustodian. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penentuan cara penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dilakukan pada saat pengisian formulir pembukaan rekening atau pada saat pemutakhiran data pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana. Contoh penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis melalui media elektronik dimaksud antara lain dapat melalui surat elektronik (e-mail). Pasal 29 Ayat (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-06/PM/2004 tanggal 9 Februari 2004 tentang Laporan Reksa Dana. Ayat (2) Cukup jelas. - 15 - Pasal 30 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan biaya pemasaran termasuk komisi Agen Penjual Efek Reksa Dana. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan biaya asuransi adalah biaya asuransi Portofolio Efek Reksa Dana. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. - 16 - Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pihak lain yang memiliki sistem elektronik yang teruji keandalannya dalam huruf ini antara lain: 1. penyedia (provider) jasa telekomunikasi; dan 2. penyedia (provider) jasa perdagangan melalui sistem elektronik. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Pada praktiknya “imbalan” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan fee. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. - 17 - Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain situs web. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Sistem pembayaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan internet banking. Pendebetan otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat dilakukan secara berkala (installment). Ayat (2) Contoh pembayaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain pembayaran melalui uang elektronik. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. - 18 - Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Laporan keuangan pembubaran Reksa Dana didasarkan pada 2 (dua) basis laporan keuangan yaitu laporan keuangan dengan - 19 - basis kelangsungan usaha (going concern) dan laporan keuangan dengan basis likuidasi. Laporan keuangan dengan basis kelangsungan usaha (going concern) dimulai sejak awal tahun buku sampai dengan tanggal penghentian penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana. Laporan keuangan dengan basis likuidasi dimulai sejak tanggal penghentian penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana sampai dengan tanggal dilakukannya distribusi hasil likuidasi Reksa Dana. Pasal 52 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain: a. Manajer Investasi lain; atau b. Perantara Pedagang Efek. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. - 20 - Pasal 59 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Pada praktiknya “penjualan awal” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan initial subscription. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. - 21 - Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 62 Huruf a Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini meliputi semua perubahan dalam Portofolio Efek, jumlah Unit Penyertaan, pengeluaran, biaya pengelolaan, dividen, pendapatan bunga atau pendapatan lain yang sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 22 - Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Pasal 63 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Laporan keuangan tahunan dapat disediakan melalui situs web Manajer Investasi. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. - 23 - Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Huruf a Perubahan material sebagaimana dimaksud dalam huruf ini antara lain: 1. perubahan direksi dan/atau komisaris Manajer Investasi; 2. perubahan komite investasi Reksa Dana dan/atau tim pengelola investasi Reksa Dana; 3. penggantian Bank Kustodian; dan/atau 4. penggantian Manajer Investasi. Huruf b Cukup jelas. Pasal 67 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Perubahan Prospektus dapat disediakan oleh Manajer Investasi bagi publik dan pemegang Unit Penyertaan melalui media massa atau media elektronik seperti situs web Manajer Investasi. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 68 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. - 24 - Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pada praktiknya “pemeriksaan hukum” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan legal audit dan “pendapat hukum” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan legal opinion. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Pada praktiknya “tingkat kupon” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan coupon rate. Angka 6 Cukup jelas. Angka 7 Cukup jelas. Angka 8 Cukup jelas. Angka 9 Cukup jelas. Angka 10 Cukup jelas. Angka 11 Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. - 25 - Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. Huruf l Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. - 26 - Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Kewajiban penyesuaian dalam Pasal ini dapat diikuti dengan perubahan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana. Jika tidak diikuti dengan perubahan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana, pelaksanaan pengelolaan Reksa Dana harus didasarkan pada ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5886
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 23/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title> <set_date> 13 Juni 2016 </set_date> <effective_date> 19 Juni 2016 </effective_date> <issued_date> 19 Juni 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-553/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007', 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.1', 'KEP-553/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.2', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.04/2014 TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang pertumbuhan kegiatan usaha sektor riil diperlukan suatu wadah untuk mendanai kegiatan usaha sektor riil tersebut; b. bahwa pengaturan mengenai Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas perlu disempurnakan agar sesuai dengan tujuan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas dalam menunjang pembangunan sektor riil; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN... - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas selanjutnya disebut Reksa Dana Penyertaan Terbatas adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh Manajer Investasi pada Portofolio Efek yang berbasis Kegiatan Sektor Riil. 2. Kegiatan Sektor Riil adalah kegiatan baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berkaitan dengan produksi barang, penyediaan jasa di sektor riil termasuk tetapi tidak terbatas dalam rangka produksi barang, dan/atau modal kerja dari kegiatan tersebut. 3. Perusahaan Sasaran adalah perusahaan yang menerbitkan Efek yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum yang akan menjadi Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas. 4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif. 5. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif. 6. Penitipan... - 3 - 6. Penitipan Kolektif adalah jasa penitipan atas Efek yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu Pihak yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian. 7. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank Kustodian. 8. Nilai Aktiva Bersih adalah adalah nilai pasar yang wajar dari suatu Efek dan kekayaan lain dari Reksa Dana dikurangi seluruh kewajibannya. 9. Info Memo adalah setiap informasi tertulis yang memuat Informasi atau Fakta Material terkait dengan Efek Perusahaan Sasaran yang dibuat oleh Perusahaan Sasaran dalam rangka penawaran Efek Perusahaan Sasaran yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum, dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek dimaksud. 10. Komite Investasi adalah komite yang bertugas mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi investasi. 11. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas mengelola Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. 12. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak. BAB II PENGELOLAAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 2 Pedoman pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib mengikuti peraturan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 3... - 4 - Pasal 3 (1) Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas hanya dapat ditawarkan kepada dan dibeli oleh pemodal profesional serta dilarang ditawarkan melalui Penawaran Umum. (2) Peralihan Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas hanya dapat dilakukan sepanjang tidak menyebabkan pemenuhan kriteria ketentuan Penawaran Umum. Pasal 4 (1) Portofolio Efek dari Reksa Dana Penyertaan Terbatas terdiri dari satu atau lebih Efek yang menjadi aset dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas, guna mendanai satu atau beberapa Kegiatan Sektor Riil. (2) Dalam hal Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas terdiri atas lebih dari satu Efek, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. Efek yang membentuk Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas tersebut harus merupakan Efek sejenis; dan b. setiap penambahan Efek dalam Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib mendapatkan persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan melalui mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan. Pasal 5 (1) Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib ditetapkan sebesar Rp1.000,00 (seribu rupiah). (2) Dalam hal Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas ditetapkan dalam denominasi mata uang asing maka Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib ditetapkan sebesar US$ 1 (satu dolar Amerika Serikat) atau EUR 1 (satu Euro). Pasal 6... - 5 - Pasal 6 (1) Minimum Investasi setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebesar 5.000.000 (lima juta) Unit Penyertaan dengan nilai pada investasi awal sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas diterbitkan dengan menggunakan denominasi mata uang asing, minimum investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai yang setara dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku. (3) Nilai minimum investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk dimiliki bersama oleh lebih dari 1 (satu) Pihak. Pasal 7 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib memenuhi ketentuan: a. memiliki Unit Penyertaan dari masing-masing Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya dengan ketentuan sebagai berikut: 1. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sampai dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) wajib memiliki Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling sedikit 5.000.000 (lima juta) Unit Penyertaan; 2. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas lebih dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) wajib... dengan - 6 - wajib memiliki Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling sedikit 10.000.000 (sepuluh juta) Unit Penyertaan; dan 3. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) wajib memiliki Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling sedikit 15.000.000 (lima belas juta) Unit Penyertaan, sampai dengan bubarnya Reksa Dana Penyertaan Terbatas. b. memiliki paling kurang 1 (satu) orang pegawai yang memiliki keahlian di bidang investasi yang dibuktikan dengan: 1. sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA); atau 2. izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dan memiliki pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang 5 (lima) tahun, yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas tersebut. c. memiliki Komite Investasi yang bertugas untuk: 1. menetapkan kebijakan dan strategi investasi pada Kegiatan Sektor Riil; dan 2. mengawasi seluruh kegiatan investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dari awal investasi sampai dengan divestasi atau selama masa berlaku Kontrak Investasi Kolektif; d. melakukan uji tuntas (due dilligence) atas Perusahaan Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang akan didanai; e. melakukan... - 7 - e. melakukan pemantauan perkembangan investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Kegiatan Sektor Riil tersebut secara berkala; f. menyampaikan informasi kepada calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas tentang gambaran struktur produk dan risiko investasi dalam dokumen keterbukaan; g. memastikan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas telah memahami dan mengerti tentang struktur produk maupun risiko investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas, yang dibuktikan dalam bentuk pernyataan tertulis dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada saat membeli Unit Penyertaan; h. memastikan realisasi penggunaan dana Reksa Dana Penyertaan Terbatas sesuai dengan rencana penggunaan dana sebagaimana tercantum di dalam Info Memo dari Efek dimaksud; i. memastikan Perusahaan Sasaran menyampaikan laporan realisasi penggunaan dana kepada Manajer Investasi; dan j. menyimpan Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dalam penitipan kolektif pada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Pasal 8 Ketentuan yang berkaitan dengan tindakan yang dilarang dilakukan oleh Manajer Investasi sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan tindakan yang dilarang bagi Reksa Dana sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 9... - 8 - Pasal 9 Dalam rangka melakukan pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas, Manajer Investasi dilarang: a. membeli Efek luar negeri; b. membeli Efek yang diterbitkan oleh pihak yang terafiliasi dengan Manajer Investasi, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah; c. melakukan penerbitan Efek bersifat utang atau Efek bersifat ekuitas; dan/atau d. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman. Pasal 10 Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat memiliki perwakilan pemodal sebagai penghubung komunikasi antara para Pemegang Unit Penyertaan dan Manajer Investasi mengenai kegiatan investasi dan perkembangan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 11 (1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin semata-mata untuk kepentingan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (2) Dalam hal Manajer Investasi tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul karena tindakannya. Pasal 12 (1) Bank Kustodian wajib melakukan penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas setiap 3 (tiga) bulan sekali dan menyampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan secara elektronik melalui sistem pelaporan elektronik yang disediakan Otoritas... - 9 - Otoritas Jasa Keuangan dan tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pelaporan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Ketentuan mengenai pembelian dan penjualan kembali (pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 14 Ketentuan mengenai pemenuhan jangka waktu untuk memiliki dana kelolaan paling kurang Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 15 Kewajiban penyampaian laporan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam peraturan mengenai laporan Reksa Dana tidak berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas, kecuali ketentuan penyampaian laporan mengenai: a. Laporan aktiva dan kewajiban Reksa Dana; b. Laporan operasi Reksa Dana; c. Laporan perubahan aktiva bersih Reksa Dana; dan d. Ringkasan portofolio Reksa Dana. BAB III KONTRAK REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 16 Kontrak Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib mengikuti... - 10 - mengikuti peraturan mengenai pedoman kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 17 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib mencantumkan dalam Kontrak Investasi Kolektif paling kurang: a. nama dan alamat Manajer Investasi; b. nama dan alamat Bank Kustodian; c. kebijakan investasi; d. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi, Bank Kustodian, Reksa Dana Penyertaan Terbatas, dan pemodal; e. komposisi Portofolio Efek dan batasan investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas, serta tindakan- tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi; f. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi; g. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian; h. penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian; i. hak pemegang Unit Penyertaan, antara lain untuk: 1. memperoleh informasi mengenai perkembangan aktivitas Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas setiap 3 (tiga) bulan sekali; dan 2. meminta diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan, dalam hal pemegang Unit Penyertaan mewakili 1/10 (satu per sepuluh) bagian atau lebih dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang diterbitkan; j. hak Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk meminta diselenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan; k. ketentuan... - 11 - k. ketentuan mengenai akses informasi terhadap Perusahaan Sasaran dan pengendalian Perusahaan Sasaran, dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas; l. tata cara pemrosesan pembelian Unit Penyertaan; m. tata cara pengalihan Unit Penyertaan; n. tata cara metode penghitungan nilai pasar wajar sebagai dasar penetapan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas; o. penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; p. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian atau kondisi kahar yang menyebabkan Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian menjadi tidak dapat menjalankan atau melakukan tugas dan kewajibannya; q. pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas; r. perlakuan terhadap dana hasil likuidasi yang belum diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau terdapat dana yang tersisa; s. pihak yang bertanggung jawab atas biaya pembubaran dan likuidasi Reksa Dana; t. penunjukan lembaga peradilan, lembaga alternatif penyelesaian sengketa di bidang Pasar Modal, atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan dan sengketa perdata antara Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan/atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; u. Kegiatan Sektor Riil yang menjadi sasaran investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas; v. jangka waktu Kontrak Investasi Kolektif; w. jumlah... - 12 - w. jumlah minimum dan maksimum Unit Penyertaan yang akan diterbitkan; x. mekanisme pengakhiran investasi pada Efek Perusahaan Sasaran; y. mekanisme penyelesaian dan/atau pengembalian dana yang telah dihimpun dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas, apabila setelah jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif terlewati, Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas tidak dapat melakukan investasi pada Efek Perusahaan Sasaran; dan z. mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan. BAB IV INVESTASI REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 18 Reksa Dana Penyertaan Terbatas hanya dapat melakukan investasi pada: a. Efek bersifat utang yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum; atau b. Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh perusahaan yang bukan Perusahaan Terbuka. Pasal 19 (1) Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas belum dapat melakukan investasi pada Perusahaan Sasaran, Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat melakukan penempatan dana pada deposito paling lama 6 (enam) bulan sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas dicatatkan. (2) Penempatan dana pada deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di bank umum yang tidak terafiliasi dengan Manajer Investasi kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan modal pemerintah, dengan ketentuan... - 13 - ketentuan bahwa penempatan dana pada deposito di satu bank umum paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (3) Rencana penempatan dana pada deposito sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum penempatan dana disertai dengan alasan dan pengaruhnya terhadap investasi pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 20 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai berikut: a. laporan investasi yang disusun oleh Manajer Investasi setiap kali Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan investasi pada suatu Kegiatan Sektor Riil; b. laporan divestasi yang disusun oleh Manajer Investasi setiap kali Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan divestasi atas suatu Kegiatan Sektor Riil; dan c. laporan berkala atas pelaksanaan Kegiatan Sektor Riil yang dibuat oleh tenaga ahli Reksa Dana Penyertaan Terbatas setiap 6 (enam) bulan. Bagian Kesatu Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Utang Pasal 21 Dalam rangka melakukan pemantauan investasi pada Efek bersifat utang, Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat menunjuk Wali Amanat yang terdaftar di Otoritas Jasa... - 14 - Jasa Keuangan untuk mewakili kepentingan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagai pemegang Efek bersifat utang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian penerbitan Efek bersifat utang. Pasal 22 (1) Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 wajib didukung dengan jaminan kebendaan berupa jaminan fidusia dan/atau hak tanggungan senilai paling kurang 100% (seratus persen) dari nilai nominal Efek bersifat utang dimaksud, kecuali Efek bersifat utang yang telah diperingkat oleh Perusahaan Pemeringkat Efek yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dengan peringkat layak investasi (investment grade). (2) Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib mendaftarkan hak tanggungan dan/atau jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas nama Bank Kustodian untuk kepentingan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan atau jaminan fidusia. (3) Dalam hal Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas tidak dapat mendaftarkan Hak Tanggungan dan/atau Jaminan Fidusia sesuai dengan kebendaan yang menjadi jaminan Efek bersifat utang, Bank Kustodian wajib menyampaikan alasan dan konsekuensi hukumnya kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan Efek bersifat utang dalam Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang akan jatuh tempo. Bagian... - 15 - Bagian Kedua Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Ekuitas Pasal 23 (1) Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas wajib memiliki Komite Investasi. (2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki paling kurang 1 (satu) orang anggota yang berpengalaman di bidang penilaian keuangan perusahaan paling kurang selama 5 (lima) tahun. (3) Anggota Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari pegawai Manajer Investasi dan/atau pihak ketiga yang terikat dalam perjanjian dengan Manajer Investasi. (4) Perjanjian Manajer Investasi dengan anggota Komite Investasi yang berasal dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling kurang memuat ketentuan sebagai berikut: a. jangka waktu perjanjian paling kurang sama dengan jangka waktu investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. perjanjian wajib mengikuti ketentuan hukum di Indonesia; dan c. pengakhiran perjanjian hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Manajer Investasi semata-mata untuk kepentingan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (5) Dalam hal terjadi pengakhiran perjanjian anggota Komite Investasi yang berasal dari pihak ketiga sebelum berakhirnya masa perjanjian, Manajer Investasi wajib menunjuk anggota Komite Investasi pengganti paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya pengakhiran perjanjian dimaksud. Pasal 24... - 16 - Pasal 24 (1) Dalam hal Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas tidak memiliki pengetahuan mengenai bidang usaha Perusahaan Sasaran, Manajer Investasi wajib menunjuk tenaga ahli yang memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan bidang usaha Perusahaan Sasaran. (2) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas dapat menunjuk wakil Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagai anggota Direksi dan/atau Komisaris pada Perusahaan Sasaran. (3) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari pegawai Manajer Investasi atau pihak ketiga. (4) Dalam hal Manajer Investasi menunjuk pihak ketiga sebagai tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau anggota Direksi dan/atau Komisaris pada Perusahaan Sasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Manajer Investasi wajib mengikat pihak ketiga tersebut dengan perjanjian. (5) Perjanjian dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling kurang memuat ketentuan sebagai berikut: a. jangka waktu perjanjian paling kurang sama dengan jangka waktu investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. perjanjian wajib mengikuti ketentuan hukum di Indonesia; dan c. pengakhiran perjanjian hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Manajer Investasi. (6) Dalam hal perjanjian dengan pihak ketiga diakhiri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c sebelum... - 17 - sebelum masa perjanjian berakhir, Manajer Investasi wajib menunjuk pengganti paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya pengakhiran perjanjian dimaksud. Pasal 25 Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas wajib:. a. memiliki akses informasi terhadap Perusahaan Sasaran; dan b. mengendalikan Perusahaan Sasaran. Pasal 26 Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas Perusahaan Sasaran wajib menjual Efek bersifat ekuitas dimaksud jika Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran Umum dengan ketentuan: a. paling lama 6 (enam) bulan setelah Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau b. paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya masa larangan pengalihan sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum Penawaran Umum. BAB V PENCATATAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 27 (1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan permohonan pencatatan atas penerbitan Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya Kontrak Investasi Kolektif. (2) Permohonan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan: a. Kontrak... - 18 - a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan akta notaris oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan b. dokumen-dokumen pendukung atas investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Efek bersifat utang atau Efek bersifat ekuitas. Pasal 28 (1) Dalam memproses permohonan pencatatan atas Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan dokumen permohonan. (2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana Penyertaan Terbatas, Otoritas Jasa Keuangan berwenang: a. meminta Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas untuk melakukan presentasi; dan/atau b. melakukan pemeriksaan setempat atas Kegiatan Sektor Riil dan/atau Perusahaan Sasaran. Bagian Kesatu Permohonan Pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Utang Pasal 29 (1) Dokumen-dokumen pendukung permohonan pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b terdiri dari: a. perjanjian-perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. dokumen jaminan yang dilengkapi dengan Akta Jaminan Fidusia dan/atau Akta Pemberian Hak Tanggungan... - 19 - Tanggungan atas nama Reksa Dana Penyertaan Terbatas apabila dipersyaratkan adanya jaminan (jika sudah ada dokumennya); c. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait penerbitan: 1. Efek bersifat utang yang menjadi aset dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas; dan 2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas. d. hasil uji tuntas (due diligence) atas Perusahaan Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang ditandatangani oleh Direksi Manajer Investasi; e. ikhtisar keuangan ringkas Perusahaan Sasaran yang menerbitkan Efek bersifat utang untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya; f. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh Penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait Kegiatan Sektor Riil yang akan didanai (jika ada); g. Info Memo Perusahaan Sasaran; h. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; i. dokumen-dokumen terkait penerbitan Efek bersifat utang antara lain Perjanjian Penerbitan Efek bersifat utang dan perjanjian-perjanjian lainnya yang terkait; j. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas disertai dengan: 1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA); atau 2. fotokopi... - 20 - 2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dan surat keterangan pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang 5 (lima) tahun dari perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja. k. surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang menyatakan calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas telah mengerti dan memahami struktur investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan risiko-risiko yang mungkin terjadi; dan l. surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga yang menyatakan investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas dilakukan oleh pihak yang berwenang atas nama korporasi, dalam hal calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas berbentuk korporasi. (2) Kewajiban penyampaian dokumen-dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf i, huruf k, dan huruf l dapat dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal surat pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Permohonan Pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Ekuitas Pasal 30 (1) Dokumen-dokumen pendukung permohonan pencatatan... - 21 - pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf b terdiri dari: a. perjanjian-perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. perjanjian dengan anggota Komite Investasi yang berasal dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) (jika ada); c. perjanjian dengan pihak ketiga yang mewakili Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagai tenaga ahli dan/atau anggota Direksi dan/atau Komisaris pada Perusahaan Sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4); d. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan pendapat hukum yang dibuat oleh Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait penerbitan: 1. Efek bersifat ekuitas yang menjadi aset dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas; dan 2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas. e. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh Penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait Kegiatan Sektor Riil yang akan didanai atau Efek bersifat ekuitas; f. hasil uji tuntas (due diligence) atas Perusahaan Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang ditandatangani oleh Direksi Manajer Investasi; g. ikhtisar keuangan ringkas Perusahaan Sasaran yang menerbitkan Efek bersifat ekuitas untuk periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak berdirinya; h. Info Memo Perusahaan Sasaran; i. dokumen... - 22 - i. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; j. dokumen-dokumen terkait penerbitan Efek antara lain Perjanjian Penerbitan Efek bersifat ekuitas dan perjanjian-perjanjian lainnya yang terkait; k. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas disertai dengan: 1. fotokopi sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA); atau 2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer Investasi dan surat keterangan pengalaman dalam mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang 5 (lima) tahun dari perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja. l. surat Pernyataan yang ditandatangani oleh calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang menyatakan bahwa calon pemegang Unit Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas telah mengerti dan memahami struktur investasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan risiko-risiko yang mungkin terjadi; dan m. surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak yang berwenang sesuai dengan Anggaran Dasar yang menyatakan bahwa investasi pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas dilakukan oleh pihak yang berwenang atas nama korporasi, dalam hal calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas berbentuk korporasi. (2) Kewajiban penyampaian dokumen-dokumen kepada Otoritas... - 23 - Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, huruf l, dan huruf m dapat dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal surat pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO EFEK REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 31 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan menyampaikannya kepada Bank Kustodian setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-10 (kesepuluh) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Pasal 32 (1) Penghitungan Nilai Pasar Wajar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 tidak tunduk pada peraturan mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana. (2) Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas memiliki Portofolio Efek yang terdiri dari Efek bersifat ekuitas yang dicatat dan diperdagangkan di Bursa Efek karena Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran Umum, penghitungan Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas tersebut wajib mengacu pada peraturan mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana. (3) Dalam hal penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas tidak tunduk pada peraturan mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana, Manajer Investasi pengelola Reksa... - 24 - Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menetapkan metode penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas secara konsisten sebagai dasar penghitungan Nilai Aktiva Bersih. BAB VII RAPAT UMUM PEMEGANG UNIT PENYERTAAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 33 (1) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan diselenggarakan oleh Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (2) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat diselenggarakan atas: a. inisiatif Manajer Investasi; b. permintaan Bank Kustodian; atau c. permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 34 (1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat menyelenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dalam hal terjadi antara lain: a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi Kolektif yang diduga dilakukan oleh Bank Kustodian; b. permintaan persetujuan perubahan Kontrak Investasi Kolektif; c. penambahan... - 25 - c. penambahan, pengurangan, dan/atau penggantian anggota Komite Investasi; d. permintaan persetujuan atas rencana Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas; e. permintaan persetujuan atas rencana Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan divestasi pada Efek bersifat ekuitas dari Kegiatan Sektor Riil; dan/atau f. pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (2) Bank Kustodian dapat meminta diselenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada Manajer Investasi melalui surat tercatat disertai alasannya dengan tembusan kepada pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terjadi antara lain: a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi Kolektif yang diduga dilakukan oleh Manajer Investasi; dan/atau b. permintaan persetujuan perubahan Kontrak Investasi Kolektif. (3) Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat meminta diselenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada Manajer Investasi melalui surat tercatat disertai alasannya dengan tembusan kepada Bank Kustodian dan Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terjadi antara lain: a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas termasuk... - 26 - termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi Kolektif yang diduga dilakukan oleh Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian; b. usulan rencana penggantian Manajer Investasi; c. usulan rencana penggantian Bank Kustodian; dan/atau d. usulan penambahan, pengurangan, dan/atau penggantian anggota Komite Investasi. Pasal 35 Manajer Investasi wajib melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan diterima. Pasal 36 (1) Dalam hal Manajer Investasi tidak melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, permintaan penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) diajukan kembali kepada Bank Kustodian. (2) Bank Kustodian wajib melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan diterima. (3) Dalam hal Bank Kustodian tidak melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang meminta penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon... - 27 - pemohon melakukan sendiri pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan tersebut. (4) Otoritas Jasa Keuangan setelah memanggil dan mendengar pemegang Unit Penyertaan, Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan apabila pemohon telah membuktikan adanya alasan perlu diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan dan mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan. (5) Penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memuat juga ketentuan mengenai: a. bentuk rapat umum pemegang Unit Penyertaan, mata acara rapat umum pemegang Unit Penyertaan sesuai dengan permohonan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas, jangka waktu pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan rapat umum pemegang Unit Penyertaan, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas; dan/atau b. perintah yang mewajibkan Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian untuk hadir dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan. (6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan adanya alasan perlu diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan dan tidak mempunyai... - 28 - mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit Penyertaan. (7) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 37 Dalam hal Manajer Investasi tidak melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan atas permintaan Bank Kustodian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Bank Kustodian dapat melakukan sendiri pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan. Pasal 38 (1) Manajer Investasi wajib menyampaikan agenda rapat umum pemegang Unit Penyertaan secara jelas dan rinci kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan disampaikan kepada Pemegang Unit Penyertaan. (2) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan rapat umum pemegang Unit Penyertaan disertai dengan penyampaian agenda rapat umum pemegang Unit Penyertaan. (3) Ketentuan penyampaian agenda dan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mutatis mutandis berlaku bagi penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit Penyertaan yang dilakukan oleh Bank Kustodian atau pemegang Unit Penyertaan. Pasal 39... - 29 - Pasal 39 (1) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat dilangsungkan jika dihadiri oleh pemegang Unit Penyertaan yang mewakili lebih dari 2/3 (dua per tiga) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (2) Dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas diselenggarakan berkaitan dengan permintaan persetujuan penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, rapat umum pemegang Unit Penyertaan wajib dihadiri oleh pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang mewakili seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (3) Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tercapai, Manajer Investasi wajib melakukan pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua kepada pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan menyebutkan rapat umum pemegang Unit Penyertaan pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum. (4) Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan kedua dianggap sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan. (5) Ketentuan kuorum kehadiran rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku bagi rapat umum pemegang Unit Penyertaan yang diselenggarakan berkaitan dengan permintaan persetujuan penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas. (6) Dalam... - 30 - (6) Dalam hal kuorum rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Manajer Investasi atau Bank Kustodian dapat memohon kepada Otoritas Jasa Keuangan agar ditetapkan kuorum untuk rapat umum pemegang Unit Penyertaan ketiga. (7) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan ketiga harus menyebutkan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan rapat umum pemegang Unit Penyertaan ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (8) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat umum pemegang Unit Penyertaan kedua atau ketiga dilangsungkan. Pasal 40 (1) Penggantian Manajer Investasi berdasarkan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf b dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penggantian Bank Kustodian berdasarkan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf c dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan Manajer Investasi dan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 41 (1) Keputusan rapat umum pemegang Unit Penyertaan diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. (2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)... - 31 - ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah suara Unit Penyertaan yang dikeluarkan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan . (3) Pemegang Unit Penyertaan yang hadir dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), namun tidak mengeluarkan suara (abstain) dianggap mengeluarkan suara yang sama dengan suara mayoritas Unit Penyertaan yang dikeluarkan dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan . (4) Dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas diselenggarakan berkaitan dengan permintaan persetujuan penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, Keputusan rapat umum pemegang Unit Penyertaan adalah sah jika disetujui oleh seluruh pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. Pasal 42 Manajer Investasi, Bank Kustodian, atau Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang menyelenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan wajib menyampaikan laporan hasil Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada masing-masing pihak terkait. BAB VIII LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 43 Manajer Investasi bersama dengan Bank Kustodian wajib menyusun Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Pasal 44... - 32 - Pasal 44 Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 45 (1) Manajer Investasi wajib menyampaikan Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 wajib tersedia bagi pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas. BAB IX PEMBUBARAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 46 Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib dibubarkan dalam hal sebagai berikut: a. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; b. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat untuk membubarkan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan; atau c. Reksa Dana Penyertaan Terbatas tidak berinvestasi pada Efek Perusahaan Sasaran dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas dicatatkan di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 47 Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan... - 33 - a. menyampaikan pembubaran, likuidasi, dan rencana pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada seluruh pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak diperintahkan Otoritas Jasa Keuangan, dan pada hari yang sama memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat pembubaran dan hasil likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak diperintahkan pembubaran Reksa Dana Penyertaan Terbatas oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak diperintahkan pembubaran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta... - 34 - 3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 48 Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b, Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya kesepakatan pembubaran Reksa Dana Penyertaan Terbatas oleh Manajer Investasi dan Bank Kustodian dengan melampirkan: 1. kesepakatan pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian; 2. persetujuan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas; 3. alasan pembubaran; dan 4. kondisi keuangan terakhir Reksa Dana Penyertaan Terbatas; dan pada hari yang sama menyampaikan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada para pemegang Unit Penyertaan serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan atau membagikan hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan hasil likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari... - 35 - hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan; dan c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak dibubarkan dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 49 Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c maka Manajer Investasi wajib: a. menyampaikan laporan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c dan rencana pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan serta menginformasikannya kepada pemegang Unit Penyertaan (jika ada) paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c; b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk membayarkan atau membagikan hasil likuidasi yang menjadi... - 36 - menjadi hak pemegang Unit Penyertaan (jika ada) dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat pembubaran dan hasil likuidasi tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan; c. membubarkan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c; dan d. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak pembubaran Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; 2. laporan keuangan terkait pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan 3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. BAB X PELAPORAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS Pasal 50 Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas atau Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material yang berkaitan dengan... - 37 - dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak terjadinya Informasi atau Fakta Material tersebut. Pasal 51 Laporan realisasi penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf i wajib disampaikan oleh Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas setiap 3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Pasal 52 (1) Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menyampaikan: a. Laporan aktiva dan kewajiban Reksa Dana Penyertaan Terbatas; b. Laporan operasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas; c. Laporan perubahan aktiva bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas; dan d. Ringkasan portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas, kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang Unit Penyertaan setiap 3 (tiga) bulan sekali dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam lampiran peraturan mengenai laporan Reksa Dana. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara elektronik melalui sistem pelaporan yang disediakan oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pelaporan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur... - 38 - diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 53 Penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib disampaikan oleh Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan Desember. Pasal 54 Laporan investasi dan laporan divestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dan huruf b wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan investasi atau divestasi pada suatu Kegiatan Sektor Riil. Pasal 55 Laporan berkala atas pelaksanaan Kegiatan Sektor Riil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c wajib disampaikan Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak berakhirnya periode 6 (enam) bulan. Pasal 56 Laporan Efek bersifat utang dalam portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang akan jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo Efek bersifat utang tersebut. Pasal 57 Laporan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib disampaikan oleh Manajer Investasi, Bank Kustodian, atau Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang menyelenggarakan rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat... - 39 - lambat 2 (dua) hari kerja setelah rapat umum pemegang Unit Penyertaan diselenggarakan. Pasal 58 Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) wajib disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada akhir bulan ketiga setelah periode Laporan Keuangan Tahunan berakhir. Pasal 59 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 58 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. BAB XI SANKSI Pasal 60 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului... - 40 - didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 61 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 62 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 kepada masyarakat. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 63 Manajer Investasi yang telah mengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Portofolionya merupakan Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini diundangkan. Pasal 64 Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan belum menyediakan sistem pelaporan elektronik, laporan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan mengenai surat, laporan dan dokumen lain yang dikirim kepada Otoritas Jasa Keuangan. BAB XIII... - 41 - BAB XIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 65 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-43/BL/2008 tanggal 14 Februari 2008 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas beserta Peraturan Nomor IV.C.5 sebagai lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 66 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 379 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 37/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS </reg_title> <set_date> 8 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-43/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-43/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.5' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 / POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2), Pasal 10, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 27, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I... -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. 4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. 5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya pada LKM berdasarkan perjanjian. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 7. Direksi: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi... -3- b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 9. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. 10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai OJK. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, PERIZINAN USAHA, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Pasal 2 (1) Bentuk badan hukum LKM adalah: a. koperasi; atau b. perseroan terbatas. (2) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. (3) Sisa... -4- (3) Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. koperasi. (4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilarang melebihi 20% (dua puluh persen). Pasal 3 Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini, LKM hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan usaha milik desa/kelurahan; c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau d. koperasi. Pasal 4 LKM dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing. Bagian Kedua Perizinan Usaha Pasal 5 (1) LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari OJK. (3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi LKM mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau... -5- atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang, yang paling sedikit memuat: 1) nama dan tempat kedudukan; 2) kegiatan usaha sebagai LKM secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah; 3) permodalan; 4) kepemilikan; dan 5) wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS meliputi: 1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 3) daftar riwayat hidup; 4) surat pernyataan bermeterai dari Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; b) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d) tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada LKM lain bagi Direksi; f) tidak... berdasarkan -6- f) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 2 (dua) LKM lain bagi Direksi; dan g) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 3 (tiga) LKM lain bagi Dewan Komisaris; 5) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi; dan 6) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi, bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. data pemegang saham atau anggota: 1) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1), angka 2), dan angka 3) serta surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: a) tidak berasal dari pinjaman; dan b) tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 2) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi, dokumen yang dilampirkan adalah: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang... -7- yang berwenang, atau bukti pendirian badan usaha milik desa/kelurahan; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan terakhir atau pembukuan keuangan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1), angka 2), dan angka 3) bagi Direksi atau pengurus badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi; dan d) surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: i. tidak berasal dari pinjaman; dan ii. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 3) Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dokumen yang dilampirkan adalah berupa keputusan atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait penyertaan modal pada LKM; d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling kurang memiliki fungsi pemutus kredit, penagihan, dan administrasi; f. sistem dan prosedur kerja LKM, paling kurang meliputi: 1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan; 2) penerimaan Simpanan; 3) penagihan kepada pihak peminjam atau pihak yang menerima Pembiayaan; 4) prosedur penyelesaian piutang macet; dan 5) prosedur penutupan Simpanan; g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang paling kurang memuat: 1) data... -8- 1) data mengenai jumlah lembaga keuangan mikro lainnya pada wilayah kerja LKM yang bersangkutan; 2) rencana kegiatan usaha LKM yang memuat proyeksi Simpanan dan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; 3) uraian mengenai potensi ekonomi pada wilayah kerja LKM yang bersangkutan; 4) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional; dan 5) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 4) mengacu pada ketentuan mengenai laporan keuangan LKM; h. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah dalam bentuk deposito berjangka yang masih berlaku atas nama LKM yang bersangkutan pada salah satu bank di Indonesia atau salah satu bank syariah atau unit usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan i. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1) daftar aset tetap (jika ada) dan inventaris; 2) bukti kepemilikan atau penguasaan kantor; dan 3) contoh formulir yang akan digunakan untuk operasional LKM. (4) Dokumen berupa surat pernyataan dan bukti setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 1) huruf a) dan b), huruf c angka 2) huruf d), dan huruf h tidak berlaku bagi LKM yang sudah beroperasi pada saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro diundangkan. Pasal 6... -9- Pasal 6 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha, OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM. (3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar, OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan alasan penolakan. (5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada pemohon. Pasal 7 (1) LKM yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi LKM kepada OJK dengan dilampiri fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional sesuai dengan format dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Apabila... -10- (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LKM belum melakukan kegiatan usaha, OJK mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan. Pasal 8 Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti dengan frasa: a. ”Lembaga Keuangan Mikro” atau disingkat ”LKM” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; b. ”Lembaga Keuangan Mikro Syariah” atau disingkat ”LKMS” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Ketiga Permodalan Pasal 9 (1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah LKM ditetapkan berdasarkan cakupan wilayah usaha yaitu desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. (2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah LKM ditetapkan paling sedikit: a. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha desa/kelurahan; b. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kecamatan; atau c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kabupaten/kota. (3) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah wajib digunakan untuk modal kerja. (4) Setoran modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. tidak berasal dari pinjaman; dan b. tidak... -11- b. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang. BAB III KEPENGURUSAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 10 Direksi dan Dewan Komisaris LKM harus memenuhi persyaratan: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun; dan f. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 11 (1) Direksi LKM dilarang merangkap jabatan sebagai Direksi pada LKM lain. (2) Direksi LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) LKM lain. (3) Dewan... -12- (3) Dewan Komisaris LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) LKM lain. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 12 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi DSN MUI. (3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau beberapa LKM secara bersama-sama. (4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. (5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKM terhadap fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN MUI; b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan LKM; c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI. (6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kecuali huruf e dan f, mutatis mutandis berlaku bagi DPS. BAB IV PELAPORAN Bagian Kesatu Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Modal Pasal 13 (1) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib melaporkan setiap perubahan pemegang saham... -13- saham, Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan modal kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan perubahan dimaksud dari instansi yang berwenang. (2) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum koperasi wajib melaporkan setiap perubahan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal perubahan dilakukan sebagaimana tercantum dalam risalah rapat anggota. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format Lampiran III, Lampiran IV, atau Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan/atau data pemegang saham dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan/atau huruf c dan/atau huruf d. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. risalah rapat anggota; dan b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan/atau huruf d. Bagian Kedua Perubahan Nama Pasal 14 (1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari instansi ... -14- instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengenai perubahan nama LKM; b. bukti perubahan anggaran dasar atas perubahan nama yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan c. bukti pengumuman perubahan nama melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencatat perubahan nama LKM dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan secara lengkap dan benar. BAB V PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN Pasal 15 (1) LKM dapat melakukan penggabungan dengan satu atau lebih LKM dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM lainnya tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. (2) LKM dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih LKM dengan cara mendirikan satu LKM baru dan membubarkan LKM yang melakukan peleburan. (3) Penggabungan atau Peleburan dilakukan oleh LKM yang berbentuk badan hukum sama. (4) Proses penggabungan atau peleburan LKM wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK. (5) Penggabungan atau peleburan hanya dapat dilakukan antar LKM yang berada dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota. (6) Penggabungan... -15- (6) Penggabungan atau peleburan harus memperhatikan ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan OJK ini. Pasal 16 (1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), Direksi LKM yang akan menerima penggabungan atau Direksi salah satu LKM yang akan melakukan peleburan harus mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran VII atau Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan rancangan penggabungan atau peleburan yang paling kurang memuat: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota LKM yang melakukan penggabungan atau peleburan; b. rancangan perubahan anggaran dasar LKM yang menerima penggabungan jika ada atau rancangan anggaran dasar LKM hasil peleburan; c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari LKM yang akan melakukan penggabungan atau peleburan dengan tidak mengurangi hak Penyimpan dan nasabah peminjam; dan d. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan dari LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil peleburan selama 2 (dua) tahun. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian... -16- a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan b. analisis pemenuhan perundang-undangan di bidang LKM. (5) Dalam hal permohonan persetujuan penggabungan atau peleburan yang disampaikan tidak lengkap, OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (6) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan persetujuan dimaksud secara tertulis kepada LKM untuk dapat melakukan penggabungan atau peleburan. (7) Hak dan kewajiban yang timbul setelah melakukan penggabungan atau peleburan, menjadi tanggung jawab LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil peleburan. Pasal 17 (1) LKM yang menerima penggabungan wajib melaporkan hasil pelaksanaan penggabungan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri dokumen: a. fotokopi perubahan anggaran dasar LKM yang menerima penggabungan yang telah disahkan, disetujui, atau dicatat oleh instansi yang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data pemegang saham atau anggota LKM yang menerima penggabungan; c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan LKM yang menerima penggabungan; dan d. alamat lengkap LKM yang menerima penggabungan. (2) LKM hasil peleburan wajib melaporkan hasil pelaksanaan peleburan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran... ketentuan peraturan -17- Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri dokumen: a. fotokopi anggaran dasar LKM hasil peleburan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM hasil peleburan, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data pemegang saham atau anggota LKM hasil peleburan; c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan LKM hasil peleburan; dan d. alamat lengkap LKM hasil peleburan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya pengesahan, persetujuan, atau pencatatan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha LKM yang menggabungkan diri. (5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK mencabut izin usaha LKM yang melakukan Peleburan dan menerbitkan izin usaha LKM hasil Peleburan. Pasal 18 (1) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang menggabungkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang LKM hasil penggabungan. (2) Salah satu kantor pusat dari LKM yang meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor pusat LKM hasil peleburan. (3) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang LKM hasil peleburan. Pasal 19... -18- Pasal 19 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan satu atau lebih LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Ketentuan mengenai penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18, mutatis mutandis berlaku bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 20 Penggabungan dan peleburan LKM dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VI KANTOR CABANG Pasal 21 (1) LKM yang luas cakupan wilayah usahanya di kabupaten/kota dapat membuka kantor cabang di dalam cakupan wilayah usahanya dengan memenuhi ketentuan minimum rasio solvabilitas dan likuiditas sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha LKM. (2) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pembukaan kantor cabang sesuai dengan format dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Laporan pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan: a. fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan; b. bukti penguasaan kantor; dan c. struktur organisasi dan personalia kantor cabang. Pasal 22... -19- Pasal 22 (1) Penutupan kantor cabang LKM wajib dilaporkan ke OJK. (2) Laporan penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah penutupan kantor cabang dilaksanakan dengan disertai: a. alasan penutupan; dan b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban kantor cabang LKM kepada Penyimpan, nasabah peminjam dan/atau pihak lainnya. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Pasal 23 (1) Rencana pemindahan alamat kantor diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM, di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pemindahan alamat kantor. (2) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Direksi kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai dengan format dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilampiri dengan: a. bukti pengumuman kepada masyarakat mengenai pemindahan alamat kantor melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang lama, di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat; dan b. bukti penguasaan kantor. (4) Pemindahan... -20- (4) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat (2), dilakukan dalam cakupan wilayah usaha yang sama. BAB VIII PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH AKIBAT PEMEKARAN Pasal 24 (1) LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari pemekaran wilayah, wajib menyampaikan laporan kepada OJK mengenai pemekaran wilayah yang disertai informasi Pinjaman/Pembiayaan dan/atau Simpanan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak efektifnya pemekaran wilayah dimaksud sesuai dengan format dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah: a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan LKM di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan jangka waktu pengembalian Pinjaman atau Pembiayaan berakhir; dan b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan penutupan Simpanan. BAB IX PEMBUBARAN LKM Pasal 25 (1) Dalam hal upaya penyehatan LKM yang dilakukan tidak berhasil mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha LKM, OJK mencabut izin usaha LKM yang bersangkutan dan memerintahkan Direksi LKM untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota guna membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi. (2) Tim likudasi bertugas untuk melakukan penyelesaian atas segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh LKM. (3) Pembubaran... -21- (3) Pembubaran badan hukum LKM, pembentukan tim likuidasi, dan penyelesaian hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (4) Tim likuidasi menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan likuidasi kepada OJK paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. (5) Tim Likuidasi melaporkan pelaksanaan likuidasi kepada pemegang saham atau anggota, dan OJK, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal selesainya pelaksanaan likuidasi. BAB X TRANSFORMASI LKM Pasal 26 (1) LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika: a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKM; atau b. LKM telah memiliki: 1. ekuitas paling kurang 5 (lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk Simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun terakhir paling kurang 25 (dua puluh lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah dalam... -22- dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal pemberitahuan dari OJK. (3) Dalam hal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memperoleh izin usaha sebagai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah, LKM dilarang menyalurkan Pinjaman atau Pembiayaan diluar cakupan wilayah usahanya. (4) Tata cara pelaksanaan transformasi LKM menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah. (5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, LKM dimaksud tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya. BAB XI SANKSI Pasal 27 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 26 ayat (3) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari kerja. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau pemerintah kabupaten/kota setempat... -23- setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi peringatan tertulis. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat anggota untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK. Pasal 28 (1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan OJK ini, OJK menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada LKM untuk memenuhi ketentuan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan dari OJK. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan OJK ini, maka LKM yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Peraturan OJK ini. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit... -24- Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang telah berdiri dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK paling lambat tanggal 8 Januari 2016. (2) Permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK, sesuai dengan format dalam Lampiran XV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a; b. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf g angka 5); c. laporan keuangan tahunan yang paling kurang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir; d. laporan posisi keuangan penutupan dan laporan posisi keuangan pembukaan dari LKM yang akan dikukuhkan; e. kinerja pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun terakhir; dan f. data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham atau anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat... -25- ayat (3) huruf b dan c kecuali surat pernyataan mengenai setoran modal. (3) Pemenuhan ketentuan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah bagi permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ekuitas pada laporan posisi keuangan pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (4) Dalam hal permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima, OJK menyampaikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan. (5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap dan benar. Pasal 30 Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu serta telah dikukuhkan menjadi LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Peraturan OJK ini, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan OJK ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengukuhan sebagai LKM dari OJK. BAB XIII PENUTUP Pasal 31 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari 2015. Agar... -26- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 342 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 2/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title> <set_date> 28 Maret 2014 </set_date> <effective_date> 8 April 2014 </effective_date> <issued_date> 8 April 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XX' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 / POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2), Pasal 10, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 27, dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5616); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO. BAB I... -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. 2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan. 3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan yang diperjanjikan dengan prinsip syariah. 4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan dana. 5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya pada LKM berdasarkan perjanjian. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). 7. Direksi: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi... -3- b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 8. Dewan Komisaris: a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas; b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai perkoperasian. 9. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah bagian dari organ LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. 10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang mengenai OJK. BAB II BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, PERIZINAN USAHA, DAN PERMODALAN Bagian Kesatu Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Pasal 2 (1) Bentuk badan hukum LKM adalah: a. koperasi; atau b. perseroan terbatas. (2) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh persen) wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota atau badan usaha milik desa/kelurahan. (3) Sisa... -4- (3) Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; dan/atau b. koperasi. (4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilarang melebihi 20% (dua puluh persen). Pasal 3 Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini, LKM hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan usaha milik desa/kelurahan; c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau d. koperasi. Pasal 4 LKM dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara asing atau badan usaha asing. Bagian Kedua Perizinan Usaha Pasal 5 (1) LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari OJK. (3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi LKM mengajukan permohonan izin usaha kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri dengan: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau... -5- atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang, yang paling sedikit memuat: 1) nama dan tempat kedudukan; 2) kegiatan usaha sebagai LKM secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah; 3) permodalan; 4) kepemilikan; dan 5) wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS; b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS meliputi: 1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku; 3) daftar riwayat hidup; 4) surat pernyataan bermeterai dari Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah: a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; b) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c) tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d) tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada LKM lain bagi Direksi; f) tidak... berdasarkan -6- f) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 2 (dua) LKM lain bagi Direksi; dan g) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris lebih dari 3 (tiga) LKM lain bagi Dewan Komisaris; 5) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi; dan 6) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah satu Direksi, bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; c. data pemegang saham atau anggota: 1) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1), angka 2), dan angka 3) serta surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: a) tidak berasal dari pinjaman; dan b) tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 2) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi, dokumen yang dilampirkan adalah: a) akta pendirian termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan kepada instansi yang... -7- yang berwenang, atau bukti pendirian badan usaha milik desa/kelurahan; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik atau laporan keuangan terakhir atau pembukuan keuangan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1), angka 2), dan angka 3) bagi Direksi atau pengurus badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau koperasi; dan d) surat pernyataan bermeterai bahwa setoran modal: i. tidak berasal dari pinjaman; dan ii. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang; 3) Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dokumen yang dilampirkan adalah berupa keputusan atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait penyertaan modal pada LKM; d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling kurang memiliki fungsi pemutus kredit, penagihan, dan administrasi; f. sistem dan prosedur kerja LKM, paling kurang meliputi: 1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan; 2) penerimaan Simpanan; 3) penagihan kepada pihak peminjam atau pihak yang menerima Pembiayaan; 4) prosedur penyelesaian piutang macet; dan 5) prosedur penutupan Simpanan; g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang paling kurang memuat: 1) data... -8- 1) data mengenai jumlah lembaga keuangan mikro lainnya pada wilayah kerja LKM yang bersangkutan; 2) rencana kegiatan usaha LKM yang memuat proyeksi Simpanan dan penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; 3) uraian mengenai potensi ekonomi pada wilayah kerja LKM yang bersangkutan; 4) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional; dan 5) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada angka 4) mengacu pada ketentuan mengenai laporan keuangan LKM; h. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah dalam bentuk deposito berjangka yang masih berlaku atas nama LKM yang bersangkutan pada salah satu bank di Indonesia atau salah satu bank syariah atau unit usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah; dan i. bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1) daftar aset tetap (jika ada) dan inventaris; 2) bukti kepemilikan atau penguasaan kantor; dan 3) contoh formulir yang akan digunakan untuk operasional LKM. (4) Dokumen berupa surat pernyataan dan bukti setoran modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c angka 1) huruf a) dan b), huruf c angka 2) huruf d), dan huruf h tidak berlaku bagi LKM yang sudah beroperasi pada saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro diundangkan. Pasal 6... -9- Pasal 6 (1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin usaha diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha, OJK melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM. (3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar, OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan alasan penolakan. (5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada pemohon. Pasal 7 (1) LKM yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi LKM kepada OJK dengan dilampiri fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional sesuai dengan format dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Apabila... -10- (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) LKM belum melakukan kegiatan usaha, OJK mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan. Pasal 8 Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti dengan frasa: a. ”Lembaga Keuangan Mikro” atau disingkat ”LKM” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional; b. ”Lembaga Keuangan Mikro Syariah” atau disingkat ”LKMS” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Bagian Ketiga Permodalan Pasal 9 (1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah LKM ditetapkan berdasarkan cakupan wilayah usaha yaitu desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota. (2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah LKM ditetapkan paling sedikit: a. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha desa/kelurahan; b. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kecamatan; atau c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk cakupan wilayah usaha kabupaten/kota. (3) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah wajib digunakan untuk modal kerja. (4) Setoran modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a. tidak berasal dari pinjaman; dan b. tidak... -11- b. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana pencucian uang. BAB III KEPENGURUSAN DAN PENGAWASAN Bagian Kesatu Direksi dan Dewan Komisaris Pasal 10 Direksi dan Dewan Komisaris LKM harus memenuhi persyaratan: a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa keuangan; b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir; e. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun; dan f. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang lembaga keuangan mikro syariah atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 11 (1) Direksi LKM dilarang merangkap jabatan sebagai Direksi pada LKM lain. (2) Direksi LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris paling banyak pada 2 (dua) LKM lain. (3) Dewan... -12- (3) Dewan Komisaris LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) LKM lain. Bagian Kedua Dewan Pengawas Syariah Pasal 12 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membentuk DPS. (2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi DSN MUI. (3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau beberapa LKM secara bersama-sama. (4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. (5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional LKM terhadap fatwa yang telah ditetapkan oleh DSN MUI; b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan LKM; c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI. (6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan Dewan Komisaris LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kecuali huruf e dan f, mutatis mutandis berlaku bagi DPS. BAB IV PELAPORAN Bagian Kesatu Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Modal Pasal 13 (1) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib melaporkan setiap perubahan pemegang saham... -13- saham, Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan modal kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan perubahan dimaksud dari instansi yang berwenang. (2) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum koperasi wajib melaporkan setiap perubahan Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal perubahan dilakukan sebagaimana tercantum dalam risalah rapat anggota. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format Lampiran III, Lampiran IV, atau Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan/atau data pemegang saham dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan/atau huruf c dan/atau huruf d. (4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan: a. risalah rapat anggota; dan b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan/atau huruf d. Bagian Kedua Perubahan Nama Pasal 14 (1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari instansi ... -14- instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengenai perubahan nama LKM; b. bukti perubahan anggaran dasar atas perubahan nama yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas; dan c. bukti pengumuman perubahan nama melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencatat perubahan nama LKM dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya laporan secara lengkap dan benar. BAB V PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN Pasal 15 (1) LKM dapat melakukan penggabungan dengan satu atau lebih LKM dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM lainnya tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. (2) LKM dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih LKM dengan cara mendirikan satu LKM baru dan membubarkan LKM yang melakukan peleburan. (3) Penggabungan atau Peleburan dilakukan oleh LKM yang berbentuk badan hukum sama. (4) Proses penggabungan atau peleburan LKM wajib memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK. (5) Penggabungan atau peleburan hanya dapat dilakukan antar LKM yang berada dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota. (6) Penggabungan... -15- (6) Penggabungan atau peleburan harus memperhatikan ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan OJK ini. Pasal 16 (1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4), Direksi LKM yang akan menerima penggabungan atau Direksi salah satu LKM yang akan melakukan peleburan harus mengajukan permohonan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran VII atau Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan rancangan penggabungan atau peleburan yang paling kurang memuat: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota LKM yang melakukan penggabungan atau peleburan; b. rancangan perubahan anggaran dasar LKM yang menerima penggabungan jika ada atau rancangan anggaran dasar LKM hasil peleburan; c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari LKM yang akan melakukan penggabungan atau peleburan dengan tidak mengurangi hak Penyimpan dan nasabah peminjam; dan d. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan dari LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil peleburan selama 2 (dua) tahun. (3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. (4) Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan: a. penelitian... -16- a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan b. analisis pemenuhan perundang-undangan di bidang LKM. (5) Dalam hal permohonan persetujuan penggabungan atau peleburan yang disampaikan tidak lengkap, OJK menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima. (6) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan persetujuan dimaksud secara tertulis kepada LKM untuk dapat melakukan penggabungan atau peleburan. (7) Hak dan kewajiban yang timbul setelah melakukan penggabungan atau peleburan, menjadi tanggung jawab LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil peleburan. Pasal 17 (1) LKM yang menerima penggabungan wajib melaporkan hasil pelaksanaan penggabungan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri dokumen: a. fotokopi perubahan anggaran dasar LKM yang menerima penggabungan yang telah disahkan, disetujui, atau dicatat oleh instansi yang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data pemegang saham atau anggota LKM yang menerima penggabungan; c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan LKM yang menerima penggabungan; dan d. alamat lengkap LKM yang menerima penggabungan. (2) LKM hasil peleburan wajib melaporkan hasil pelaksanaan peleburan kepada OJK sesuai dengan format dalam Lampiran... ketentuan peraturan -17- Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri dokumen: a. fotokopi anggaran dasar LKM hasil peleburan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM hasil peleburan, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data pemegang saham atau anggota LKM hasil peleburan; c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan LKM hasil peleburan; dan d. alamat lengkap LKM hasil peleburan. (3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya pengesahan, persetujuan, atau pencatatan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang. (4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha LKM yang menggabungkan diri. (5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), OJK mencabut izin usaha LKM yang melakukan Peleburan dan menerbitkan izin usaha LKM hasil Peleburan. Pasal 18 (1) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang menggabungkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang LKM hasil penggabungan. (2) Salah satu kantor pusat dari LKM yang meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor pusat LKM hasil peleburan. (3) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang LKM hasil peleburan. Pasal 19... -18- Pasal 19 (1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah hanya dapat melakukan penggabungan atau peleburan dengan satu atau lebih LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. (2) Ketentuan mengenai penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18, mutatis mutandis berlaku bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Pasal 20 Penggabungan dan peleburan LKM dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB VI KANTOR CABANG Pasal 21 (1) LKM yang luas cakupan wilayah usahanya di kabupaten/kota dapat membuka kantor cabang di dalam cakupan wilayah usahanya dengan memenuhi ketentuan minimum rasio solvabilitas dan likuiditas sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha LKM. (2) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan pembukaan kantor cabang sesuai dengan format dalam Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Laporan pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan: a. fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan; b. bukti penguasaan kantor; dan c. struktur organisasi dan personalia kantor cabang. Pasal 22... -19- Pasal 22 (1) Penutupan kantor cabang LKM wajib dilaporkan ke OJK. (2) Laporan penutupan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah penutupan kantor cabang dilaksanakan dengan disertai: a. alasan penutupan; dan b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban kantor cabang LKM kepada Penyimpan, nasabah peminjam dan/atau pihak lainnya. BAB VII PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR Pasal 23 (1) Rencana pemindahan alamat kantor diumumkan terlebih dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM, di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat, paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pemindahan alamat kantor. (2) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Direksi kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai dengan format dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilampiri dengan: a. bukti pengumuman kepada masyarakat mengenai pemindahan alamat kantor melalui surat kabar harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM yang lama, di tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat; dan b. bukti penguasaan kantor. (4) Pemindahan... -20- (4) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat (2), dilakukan dalam cakupan wilayah usaha yang sama. BAB VIII PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH AKIBAT PEMEKARAN Pasal 24 (1) LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari pemekaran wilayah, wajib menyampaikan laporan kepada OJK mengenai pemekaran wilayah yang disertai informasi Pinjaman/Pembiayaan dan/atau Simpanan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak efektifnya pemekaran wilayah dimaksud sesuai dengan format dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah: a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan LKM di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan jangka waktu pengembalian Pinjaman atau Pembiayaan berakhir; dan b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan sampai dengan penutupan Simpanan. BAB IX PEMBUBARAN LKM Pasal 25 (1) Dalam hal upaya penyehatan LKM yang dilakukan tidak berhasil mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha LKM, OJK mencabut izin usaha LKM yang bersangkutan dan memerintahkan Direksi LKM untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota guna membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi. (2) Tim likudasi bertugas untuk melakukan penyelesaian atas segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh LKM. (3) Pembubaran... -21- (3) Pembubaran badan hukum LKM, pembentukan tim likuidasi, dan penyelesaian hak dan kewajiban dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. (4) Tim likuidasi menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan likuidasi kepada OJK paling kurang 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan. (5) Tim Likuidasi melaporkan pelaksanaan likuidasi kepada pemegang saham atau anggota, dan OJK, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal selesainya pelaksanaan likuidasi. BAB X TRANSFORMASI LKM Pasal 26 (1) LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika: a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKM; atau b. LKM telah memiliki: 1. ekuitas paling kurang 5 (lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk Simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun terakhir paling kurang 25 (dua puluh lima) kali dari persyaratan modal disetor minimum bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan permohonan izin usaha sebagai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah dalam... -22- dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak tanggal pemberitahuan dari OJK. (3) Dalam hal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum memperoleh izin usaha sebagai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah, LKM dilarang menyalurkan Pinjaman atau Pembiayaan diluar cakupan wilayah usahanya. (4) Tata cara pelaksanaan transformasi LKM menjadi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah. (5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, LKM dimaksud tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya. BAB XI SANKSI Pasal 27 (1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2), 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3), Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan Pasal 26 ayat (3) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 40 (empat puluh) hari kerja. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK atau pemerintah kabupaten/kota setempat... -23- setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK mencabut sanksi peringatan tertulis. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat anggota untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan dari OJK. (5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK. Pasal 28 (1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan OJK ini, OJK menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada LKM untuk memenuhi ketentuan dimaksud dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak pemberitahuan dari OJK. (2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1) Peraturan OJK ini, maka LKM yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Peraturan OJK ini. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 29 (1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit... -24- Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu yang telah berdiri dan telah beroperasi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK paling lambat tanggal 8 Januari 2016. (2) Permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK, sesuai dengan format dalam Lampiran XV yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini dengan dilampiri: a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a; b. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM melakukan kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf g angka 5); c. laporan keuangan tahunan yang paling kurang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan kinerja keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir; d. laporan posisi keuangan penutupan dan laporan posisi keuangan pembukaan dari LKM yang akan dikukuhkan; e. kinerja pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun terakhir; dan f. data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham atau anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat... -25- ayat (3) huruf b dan c kecuali surat pernyataan mengenai setoran modal. (3) Pemenuhan ketentuan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah bagi permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ekuitas pada laporan posisi keuangan pembukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d. (4) Dalam hal permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM yang disampaikan tidak lengkap dan/atau tidak benar, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah permohonan diterima, OJK menyampaikan kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan. (5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan secara lengkap dan benar. Pasal 30 Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu serta telah dikukuhkan menjadi LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Peraturan OJK ini, wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan OJK ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pengukuhan sebagai LKM dari OJK. BAB XIII PENUTUP Pasal 31 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari 2015. Agar... -26- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 11 Nopember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 342 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 12/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title> <set_date> 31 Oktober 2014 </set_date> <effective_date> 8 Januari 2015 </effective_date> <issued_date> 11 Nopember 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /POJK.05/2015 TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan teknologi informasi di lingkungan Industri Keuangan Non-Bank, maka risiko pemanfaatan penyedia jasa keuangan di sektor Industri Keuangan Non-Bank digunakan sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme semakin terbuka; b. bahwa ketentuan tentang prinsip mengenal nasabah oleh penyedia jasa keuangan di sektor Industri Keuangan Non-Bank perlu disesuaikan dengan standar internasional mengenai penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme; c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, perlu mengatur mengenai penerapan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme bagi perusahaan asuransi, - 2 - perusahaan asuransi syariah, dan perusahaan pialang asuransi; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme oleh Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406); 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5709); - 3 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON- BANK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 2. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 3. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang menyelenggarakan usaha pialang asuransi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. 4. Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang selanjutnya disingkat DPLK adalah dana pensiun lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun. 5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa, termasuk yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. 6. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan usaha modal ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, termasuk yang - 4 - menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah. 7. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur. 8. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 9. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. 10. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat LKM adalah lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. 11. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya disebut PJK adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, DPLK, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, LPEI, Perusahaan Pergadaian, dan LKM. 12. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 13. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 14. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang untuk selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan - 5 - pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 15. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PJK. 16. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara PJK dan Nasabah. 17. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap pihak yang: a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang ditempatkan pada PJK (ultimately own account); b. mengendalikan transaksi Nasabah; c. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi; dan/atau d. melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. 18. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang selanjutnya disebut CDD adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan oleh PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola transaksi calon Nasabah atau Nasabah. 19. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang selanjutnya disebut EDD adalah tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PJK terhadap calon Nasabah atau Nasabah yang tergolong dalam area berisiko tinggi terhadap kemungkinan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. 20. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan terkait dengan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. 21. Orang yang Populer secara Politis (Politically Exposed Person) yang selanjutnya disebut PEP adalah orang yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan - 6 - publik, diantaranya adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelenggara negara, dan/atau orang yang tercatat atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan asing. 22. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. 23. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 24. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) adalah: a. negara asing yang dinyatakan belum memadai dalam melaksanakan rekomendasi Financial Action Task Force di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme berdasarkan hasil evaluasi (mutual assessment) oleh Financial Action Task Force dan/atau badan asosiasi regional diantaranya Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Financial Action Task Force (CFATF), MONEYVAL, Eastern and Southern Africa Anti Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurasian Group on Money Laundering and Financing of Terrorism (EAG), politik, baik yang - 7 - GAFISUD, Inter Governmental Action Group against Money Laundering in West Africa (GIABA), atau MiddleEast & North Africa Financial Action Task Force (MENAFATF); b. negara asing yang diketahui secara luas sebagai tempat penghasil dan pusat perdagangan narkoba; c. negara asing yang memiliki tingkat tata kelola kepemerintahan yang rendah atau dibawah 50 (lima puluh) berdasarkan world wide governance indicators terkini yang diterbitkan oleh World Bank; d. negara asing yang diidentifikasi sebagai tax heaven antara lain berdasarkan data dari Organisation for Economic Cooperation and Development; dan/atau e. negara asing yang dikenal memiliki indeks persepsi korupsi yang rendah atau indeks dibawah 40 (empat puluh) berdasarkan transparency international. 25. Direksi: a. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; - 8 - c. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan Direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau f. bagi LPEI adalah direktur eksekutif yang merupakan anggota dewan direktur yang diangkat menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 26. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, Perusahaan Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; - 9 - c. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi berbentuk badan hukum usaha bersama adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan komanditer adalah yang setara dengan Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar perusahaan; e. bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau f. bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. 27. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disingkat PPATK adalah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 28. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEWAJIBAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME Pasal 2 (1) PJK wajib menerapkan program APU dan PPT. (2) Dalam rangka penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib memiliki pedoman penerapan program APU dan PPT. - 10 - (3) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko PJK secara keseluruhan. (4) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kebijakan dan prosedur; c. pengendalian intern; d. sistem informasi manajemen; dan e. sumber daya manusia dan pelatihan. BAB III PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Pengawasan Aktif oleh Direksi Pasal 3 Pengawasan aktif Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT paling sedikit dengan cara: a. memastikan bahwa PJK memiliki kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT; b. memastikan bahwa penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan pedoman penerapan program APU dan PPT yang telah ditetapkan; c. memastikan bahwa pedoman penerapan program APU dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan teknologi PJK serta sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan d. memastikan bahwa seluruh pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan program APU dan PPT secara berkala. - 11 - Bagian Kedua Pengawasan Aktif oleh Dewan Komisaris Pasal 4 Pengawasan aktif Dewan Komisaris terhadap penerapan program APU dan PPT paling sedikit dengan cara: a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan PPT; dan b. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi dan Dewan Komisaris. BAB IV PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME Bagian Kesatu Umum Pasal 5 (1) PJK wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat PJK yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT. (2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat PJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai bagian dari struktur organisasi PJK dan bertanggung jawab kepada Direksi. (3) PJK wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat PJK yang bertanggung jawab atas penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait. - 12 - (4) Unit kerja khusus dan/atau pejabat PJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor cabang dalam penerapan program APU dan PPT di kantor cabang. Bagian Kedua Unit Kerja Khusus Pasal 6 Dalam hal PJK membentuk unit kerja khusus sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, berlaku ketentuan: a. unit kerja khusus paling sedikit terdiri dari 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu) orang yang bertindak sebagai pelaksana; b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus tidak merangkap fungsi lainnya; c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh Direksi; d. unit kerja khusus berada di bawah koordinasi Direksi secara langsung dalam struktur organisasi PJK; dan e. unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi lainnya. Bagian Ketiga Penugasan Pejabat Pasal 7 Dalam hal PJK menugaskan pejabat sebagai penanggung jawab penerapan program APU dan PPT, pejabat tersebut harus ditetapkan atau diangkat oleh Direksi dan hanya dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen risiko, fungsi kepatuhan, dan/atau fungsi audit internal. - 13 - Bagian Keempat Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Paragraf 1 Tugas Pasal 8 Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai tugas paling sedikit sebagai berikut: a. menyusun dan melakukan pengkinian pedoman penerapan program APU dan PPT; b. memastikan adanya sistem informasi dan prosedur identifikasi Nasabah yang memadai, termasuk memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam penerapan program APU dan PPT; c. memantau Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah yang berkaitan dengan Nasabah; d. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada tidaknya Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau Transaksi Keuangan Tunai; e. menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi; f. memantau pengkinian data dan profil Nasabah; g. menerima dan melakukan analisis atas laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau Transaksi Keuangan Tunai yang disampaikan oleh unit kerja yang ditugaskan; dan h. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau Transaksi Keuangan Tunai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai pencucian uang dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pendanaan terorisme yang wajib dilaporkan kepada PPATK. - 14 - Paragraf 2 Wewenang Pasal 9 Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai wewenang paling sedikit sebagai berikut: a. memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi PJK; b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap penerapan program APU dan PPT oleh unit kerja terkait; dan c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja terkait untuk membantu penerapan program APU dan PPT. Paragraf 3 Tanggung Jawab Pasal 10 Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai tanggung jawab paling sedikit sebagai berikut: a. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan program APU dan PPT terlaksana; b. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan tentang penerapan program APU dan PPT bagi pejabat dan/atau pegawai PJK; dan c. menjaga kerahasiaan informasi terkait penerapan program APU dan PPT. - 15 - BAB V KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Bagian Kesatu Umum Pasal 11 Pedoman penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) memuat kebijakan dan prosedur tertulis, yang paling sedikit mencakup: a. pelaksanaan CDD, yang terdiri dari: 1. permintaan informasi dan dokumen; 2. verifikasi dokumen; dan 3. pemantauan dan pengkinian data Nasabah. b. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); c. pelaksanaan CDD yang lebih sederhana; d. pelaksanaan EDD; e. penutupan hubungan usaha dan/atau penolakan transaksi; f. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga; g. penatausahaan dokumen; dan h. pelaporan kepada PPATK. Pasal 12 PJK wajib menerapkan pedoman penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara konsisten dan berkesinambungan. Pasal 13 Pedoman penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris sebelum ditetapkan oleh Direksi. - 16 - Bagian Kedua Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) Paragraf 1 Umum Pasal 14 PJK wajib melakukan prosedur CDD pada saat: a. akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah; b. melakukan hubungan usaha dengan Nasabah; c. terdapat keraguan kebenaran data, informasi, dan/atau dokumen pendukung yang diberikan oleh calon Nasabah, Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); dan/atau d. terdapat indikasi transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme. Pasal 15 (1) Dalam rangka PJK akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah, PJK wajib: a. meminta informasi untuk mengetahui profil calon Nasabah, termasuk identitas yang dibuktikan dengan keberadaan dokumen pendukung; b. meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan/atau c. melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah. (2) Pertemuan langsung (face to face) dengan calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat tidak dilakukan pada awal hubungan usaha, sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut: - 17 - a. transaksi dalam setahun paling banyak Rp5.000.000 (lima juta rupiah); atau b. dokumen pendukung yang memuat identitas telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang. (3) PJK dilarang membuka atau memelihara Rekening anonim atau Rekening yang menggunakan nama fiktif. Paragraf 2 Permintaan Informasi dan Dokumen Pasal 16 PJK wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok perorangan atau perusahaan. Pasal 17 (1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a paling sedikit mencakup: a. untuk calon Nasabah perorangan: 1. data sesuai identitas calon Nasabah yaitu: a) nama; b) nomor identitas; c) alamat; d) tempat dan tanggal lahir; e) jenis kelamin; dan f) kewarganegaraan. 2. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda dengan dokumen identitas); 3. nomor telepon (jika ada); 4. status perkawinan; 5. pekerjaan; 6. alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika ada); 7. sumber dana; 8. rata-rata penghasilan; - 18 - 9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan calon Nasabah dengan PJK; dan 10. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); b. untuk calon Nasabah yang berbentuk perusahaan: 1. nama; 2. nomor izin usaha dari instansi yang berwenang; 3. bidang usaha/kegiatan; 4. alamat kedudukan; 5. nomor telepon (jika ada); 6. tempat dan tanggal pendirian; 7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) apabila calon Nasabah memiliki Pemilik Manfaat (Beneficial Owner); 8. sumber dana; dan 9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan dilakukan calon Nasabah dengan PJK. (2) Informasi untuk calon Nasabah perorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib didukung dengan dokumen identitas calon Nasabah berupa fotokopi KTP atau fotokopi paspor yang masih berlaku disertai dengan spesimen tanda tangan. (3) Informasi untuk calon Nasabah perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan: a. untuk calon Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan: 1. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK; - 19 - 2. kartu NPWP bagi calon Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan 3. surat izin tempat usaha atau dokumen lain yang dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang; b. untuk calon Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2 dan angka 3, ditambah dengan: 1. laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan; 2. struktur manajemen perusahaan; 3. struktur kepemilikan perusahaan; dan 4. dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan PJK. Pasal 18 (1) Untuk calon Nasabah selain calon Nasabah perorangan dan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, PJK wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b. (2) PJK wajib meminta dokumen pendukung informasi untuk calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut: a. untuk calon Nasabah berbentuk badan hukum yayasan berupa: 1. izin bidang kegiatan yayasan; 2. deskripsi kegiatan yayasan; 3. struktur dan nama pengurus yayasan; dan 4. dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan PJK; - 20 - b. untuk calon Nasabah berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum berupa: 1. bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang; 2. nama perkumpulan; dan 3. dokumen identitas pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK. Pasal 19 (1) Untuk calon Nasabah berupa lembaga pemerintahan, instansi pemerintah, lembaga internasional, dan perwakilan negara asing, PJK wajib meminta informasi mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga, instansi, atau perwakilan. (2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan dokumen sebagai berikut: a. surat penunjukan bagi pihak yang berwenang mewakili lembaga, instansi, atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK; dan b. spesimen tanda tangan. Paragraf 3 Verifikasi Dokumen Pasal 20 PJK wajib melakukan verifikasi atas dokumen pendukung dengan cara: a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan; b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, dengan cara: 1. melakukan wawancara dengan calon Nasabah; 2. meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang; atau - 21 - 3. melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah; dan c. melakukan penelaahan mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). Paragraf 4 Pemantauan dan Pengkinian Data Nasabah Pasal 21 (1) PJK wajib melakukan pemantauan data Nasabah secara berkesinambungan untuk memastikan transaksi yang dilakukan Nasabah sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan. (2) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PJK wajib memiliki sistem pemantauan yang dapat: a. mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; dan b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan, termasuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi, serta sumber dana yang digunakan untuk transaksi. (3) PJK dapat meminta data dan/atau informasi lebih lanjut kepada Nasabah terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola transaksi. (4) PJK wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan data Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mengidentifikasikan ada atau tidak adanya Mencurigakan. indikasi Transaksi Keuangan - 22 - (5) Dalam hal terdapat indikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), PJK wajib meminta data dan/atau informasi lebih lanjut kepada Nasabah. (6) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan Nasabah tidak memberikan penjelasan yang meyakinkan, maka PJK wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK. (7) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar terduga teroris, PJK wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Pasal 22 (1) PJK wajib melakukan upaya pengkinian data, informasi, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 dalam hal terdapat perubahan yang diketahui dari pemantauan PJK terhadap Nasabah atau informasi dipertanggungjawabkan. (2) PJK wajib mendokumentasikan upaya pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 23 (1) PJK wajib memelihara database daftar terduga teroris berdasarkan data yang dipublikasikan oleh pemerintah atau organisasi internasional. (2) PJK harus memastikan secara berkala nama Nasabah yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam database daftar terduga teroris. (3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum dalam database daftar terduga teroris, PJK wajib memastikan kesesuaian identitas Nasabah. lain yang dapat - 23 - (4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi lainnya dengan nama yang tercantum dalam database daftar terduga teroris, PJK wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bagian Ketiga Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) Pasal 24 (1) PJK wajib memastikan bahwa calon Nasabah bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (2) Dalam hal calon Nasabah bertindak untuk kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang sama dengan CDD bagi calon Nasabah. (3) Dalam hal Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah prosedur EDD. Pasal 25 (1) PJK wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (2) Bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa: a. bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) perorangan: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dan ayat (2); 2. hubungan hukum antara calon Nasabah dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang ditunjukkan dengan surat penugasan, - 24 - surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya; dan b. bagi 3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas maupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berbentuk perusahaan, yayasan, atau perkumpulan yang berbadan hukum, identitas dan/atau informasi antara lain berupa: 1. informasi dan dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1 huruf b, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 18 ayat (2); 2. dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan (ultimate owner/ultimate controller); dan 3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas ataupun sumber dana dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (3) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri Keuangan Non-Bank di dalam negeri yang mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri Keuangan Non-Bank dalam negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (4) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri Keuangan Non-Bank di luar negeri dan menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan Peraturan OJK ini yang mewakili Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri - 25 - Keuangan Non-Bank luar negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner). (5) Dalam hal PJK meragukan atau tidak dapat meyakini dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib menolak hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah. Pasal 26 Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali akhir Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b, tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) berupa: a. b. lembaga pemerintah; lembaga keuangan multilateral; atau c. perusahaan yang terdaftar di bursa efek. Bagian Keempat Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang Lebih Sederhana Pasal 27 (1) PJK dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 22 terhadap calon Nasabah yang memiliki transaksi dengan tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan Pendanaan Terorisme tergolong rendah atau memenuhi kriteria sebagai berikut: a. peserta DPLK yang diikutsertakan oleh pemberi kerja atau peserta mandiri yang membayar iuran ke DPLK, yang jumlahnya paling banyak 20% (dua puluh persen) dari penghasilan setiap bulan atau lebih dari 20% (dua puluh persen) dari - 26 - penghasilan tetapi tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan; b. produk asuransi yang tidak menjanjikan pengembalian dana sebelum atau setelah berakhirnya masa pertanggungan; c. produk asuransi yang jumlah pembayaran premi regulernya apabila di setahunkan tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); d. produk asuransi yang pembayaran premi tunggalnya tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah); e. pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan atau PMV yang nilainya tidak melebihi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); f. g. calon Nasabah dan/atau Nasabah berupa perusahaan publik; jenis barang jaminan berupa alat rumah tangga atau barang gudang dengan nilai nominal paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); dan/atau h. nominal uang pinjaman atau penghimpunan dana paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah). (2) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta informasi mengenai: a. nama lengkap termasuk alias apabila ada; b. nomor dokumen identitas (KTP/paspor) yang dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud; c. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas; d. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda dengan dokumen identitas); e. nomor telepon (jika ada); dan f. tempat dan tanggal lahir. - 27 - (3) Bagi calon Nasabah dan Nasabah yang berbentuk perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta informasi mengenai: a. nama perusahaan; b. alamat perusahaan dan nomor telepon; dan c. dokumen identitas pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan. (4) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (5) PJK wajib membuat dan menyimpan daftar calon Nasabah dan Nasabah yang mendapat perlakuan CDD yang lebih sederhana. Bagian Kelima Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligince) Pasal 28 (1) PJK wajib melakukan EDD terhadap calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaaat (Beneficial Owner) yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai risiko tinggi terhadap praktik Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (2) Tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat dari: a. latar belakang atau profil calon Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang termasuk PEP atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers); b. bidang usaha yang termasuk usaha yang berisiko tinggi (high risk business); c. negara asal atau domisili calon Nasabah atau Nasabah termasuk Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries); - 28 - d. pihak yang tercantum dalam daftar terduga teroris; dan/atau e. transaksi yang dilakukan diduga terkait dengan tindak pidana di sektor Industri Keuangan Non- Bank, tindak pidana Pencucian Uang dan/atau tindak pidana Pendanaan Terorisme. (3) Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri. Pasal 29 EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. verifikasi informasi calon Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), didasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan/atau Pasal 19; b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) dimaksud dengan pihak ketiga; dan c. analisis secara berkala terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak yang terkait. Pasal 30 (1) PJK yang akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Nasabah tersebut. - 29 - (2) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk: a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang tergolong berisiko tinggi; dan b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang tergolong berisiko tinggi. Bagian Keenam Penutupan Hubungan Usaha dan/atau Penolakan Transaksi Pasal 31 (1) PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah, dalam hal calon Nasabah: a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 25; b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan dokumen palsu; dan/atau c. menyampaikan informasi yang diragukan kebenarannya. (2) PJK wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup hubungan usaha dengan calon Nasabah atau Nasabah dalam hal: a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi; dan/atau b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana. (3) PJK tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan verifikasi terhadap identitas calon Nasabah dan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dalam hal penolakan hubungan usaha dengan calon Nasabah - 30 - berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. (4) PJK wajib mendokumentasikan calon Nasabah atau Nasabah yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). (5) PJK wajib melaporkan calon Nasabah atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan. (6) Kewajiban PJK untuk menolak transaksi, transaksi, membatalkan dan/atau menutup hubungan usaha dengan calon Nasabah atau Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening dan diberitahukan kepada calon Nasabah dan Nasabah. Pasal 32 (1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), PJK wajib memberitahukan secara tertulis kepada Nasabah mengenai penutupan hubungan usaha tersebut. (2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian transaksi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagian Ketujuh Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga Pasal 33 (1) PJK dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan identifikasi dan verifikasi sebagai bagian dari pelaksanaan CDD. - 31 - (2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. penyedia jasa keuangan lain di dalam negeri; b. penyedia jasa keuangan di sektor Industri Keuangan Non-Bank di luar negeri; atau c. pihak lain di dalam negeri yang bukan merupakan penyedia jasa keuangan, yang melakukan kerja sama dengan PJK. (3) Dalam hal PJK menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan CDD, PJK dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga. (4) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku; b. memiliki kontrak kerja sama dengan PJK dalam bentuk perjanjian tertulis; c. bersedia memenuhi permintaan data, informasi, dan dokumen pendukung dengan segera apabila dibutuhkan oleh PJK dalam rangka penerapan program APU dan PPT; dan d. tidak berkedudukan di Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries). (5) Dalam hal pihak ketiga berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, wajib memenuhi kriteria bahwa pihak ketiga tersebut telah menjalankan program APU dan PPT secara efektif sesuai dengan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF). (6) Dalam hal pihak ketiga bukan merupakan penyedia jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, prosedur CDD ditetapkan oleh dan di bawah koordinasi PJK. (7) Dalam hal PJK menunjuk pihak ketiga, PJK wajib: a. memiliki dan melaksanakan prosedur uji kelayakan dan pengawasan terhadap pihak ketiga dalam penerapan CDD; - 32 - b. memastikan penerapan CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga telah sesuai dengan prosedur CDD yang telah ditetapkan PJK; c. melaksanakan penatausahaan dokumen hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga; dan d. bertanggung jawab atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga. Pasal 34 (1) Dalam hal PJK bertindak sebagai agen penjual produk penyedia jasa keuangan lainnya, PJK wajib menyerahkan hasil CDD dan salinan dokumen pendukung kepada penyedia jasa keuangan lainnya. (2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD dan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara PJK dengan penyedia jasa keuangan lainnya tersebut. Bagian Kedelapan Penatausahaan Dokumen Pasal 35 (1) PJK wajib tetap menatausahakan dokumen yang terkait dengan data Nasabah dan dokumen Nasabah yang terkait dengan transaksi keuangan dengan jangka waktu selama 10 (sepuluh) tahun sejak: a. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah; atau b. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha. (2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. identitas Nasabah; dan b. informasi transaksi yang meliputi jenis dan jumlah mata uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi, - 33 - serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi. (3) PJK wajib memberikan informasi dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana diperintahkan oleh undang-undang, pada saat diperlukan. BAB VI PENGENDALIAN INTERN Pasal 36 (1) Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh PJK, PJK wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif. (2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan dengan: a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan internal yang memadai; b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait dengan penerapan program APU dan PPT; dan c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern. Pasal 37 (1) PJK wajib melakukan pengujian terhadap keefektifan dari penerapan program APU dan PPT. (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengambil contoh secara acak (random sampling). (3) PJK wajib mendokumentasikan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 34 - Pasal 38 PJK wajib mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran jenis, indikator, dan contoh dari transaksi yang mencurigakan yang ditemukan di berbagai unit kerja terkait. BAB VII SISTEM INFORMASI MANAJEMEN Pasal 39 (1) PJK wajib memiliki sistem informasi manajemen yang dapat mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah. (2) Sistem informasi manajemen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara manual maupun dengan sistem komputerisasi. BAB VIII SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN Pasal 40 Dalam rangka mencegah digunakannya PJK sebagai media atau tujuan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme yang melibatkan pihak intern PJK, PJK wajib melakukan: a. prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai; dan b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil karyawan. Pasal 41 PJK wajib melaksanakan program pelatihan penerapan program APU dan PPT kepada semua pegawai yang terkait, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. menyusun program pelatihan yang dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; - 35 - b. melaksanakan program pelatihan sesuai dengan jadwal program yang telah disusun; dan c. melaporkan pelaksanaan program pelatihan kepada OJK paling lambat pada tahun berikutnya setelah tahun pelaksanaan program pelatihan. Pasal 42 PJK wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang: a. implementasi ketentuan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan program APU dan PPT; b. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme; dan c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam mencegah dan memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. BAB IX PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI KANTOR CABANG DARI PENYEDIA JASA KEUANGAN YANG BERBENTUK BADAN HUKUM INDONESIA DI LUAR NEGERI Pasal 43 (1) PJK yang berbentuk badan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya. (2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada - 36 - ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud. (3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mematuhi rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan OJK ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib menerapkan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. (4) Dalam hal penerapan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan berada, maka pejabat kantor PJK di luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat PJK dan OJK bahwa kantor PJK dimaksud tidak dapat menerapkan program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. BAB X PELAPORAN Pasal 44 (1) Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT berdasarkan Peraturan OJK ini, PJK wajib menyampaikan kepada OJK: a. pedoman penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); dan b. laporan pelaksanaan program pelatihan program penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf c. (2) Pedoman penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling lambat tanggal 30 Juni 2016. - 37 - (3) Laporan pelaksanaan program pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling lambat tanggal 15 Januari tahun berikutnya. (4) Apabila batas akhir penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 45 (1) PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan Transaksi Keuangan Tunai, dan/atau laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. (2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK. BAB XI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 46 PJK wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. Pasal 47 PJK wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme. - 38 - BAB XII SANKSI Pasal 48 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 25 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat (4), ayat (5), dan ayat (7), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1), Pasal 45 ayat (1), Pasal 46, dan Pasal 47 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; atau c. pembekuan kegiatan usaha. (2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau huruf c dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. - 39 - Pasal 49 Sanksi administratif bagi LPEI hanya berupa sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) huruf a. Pasal 50 OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) kepada masyarakat. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 51 PJK yang telah memiliki pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah sebelum berlakunya Peraturan OJK ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan harus menyesuaikan dengan Peraturan OJK ini menjadi pedoman penerapan program APU dan PPT. Pasal 52 Bagi LKM, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan. Pasal 53 Bagi perusahaan pergadaian swasta yang telah mendapatkan izin usaha dari OJK, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 54 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penerapan program APU dan PPT bagi PJK tunduk pada Peraturan OJK ini. - 40 - Pasal 55 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 320 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 39/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '8/UU/2010', '21/UU/2011', '9/UU/2013', '40/UU/2014', '43/PP/2015' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 49 /POJK.03/2017 TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank Perkreditan Rakyat perlu meningkatkan pembiayaan kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha mikro, kecil, dan menengah; b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah serta melindungi kepentingan masyarakat, Bank Perkreditan Rakyat wajib memelihara kesehatan dan kelangsungan usahanya dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana; c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam penyediaan dana perlu dilakukan, antara lain dengan penyebaran portofolio penyediaan dana yang diberikan agar risiko penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada peminjam atau kelompok peminjam tertentu; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke - 2 - Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank Pekreditan Rakyat; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan Rakyat; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara - 3 - konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. 2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK adalah persentase maksimum realisasi penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal BPR. 3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana BPR dalam bentuk kredit dan/atau penempatan dana antar bank. 4. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan. 5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana BPR pada bank lain, dalam bentuk giro, tabungan, deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit yang diberikan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis. 6. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR. 7. Pihak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau badan yang mempunyai hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan dengan BPR. 8. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau badan yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan dengan BPR. 9. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana pada saat direalisasikan terhadap Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan. - 4 - 10. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK. 11. Peminjam adalah nasabah perorangan, perusahaan atau badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari BPR berupa Kredit. 12. Direksi: a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR yang belum berubah bentuk badan hukum menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. - 5 - 13. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. - 6 - Pasal 2 BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam membuat perjanjian Kredit antara BPR dan Peminjam yang mencantumkan Penyediaan Dana. Pasal 3 (1) BPR dilarang membuat perjanjian Kredit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam hal perjanjian Kredit tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK. (2) BPR dilarang memberikan Penyediaan Dana yang mengakibatkan Pelanggaran BMPK. BAB II DASAR PERHITUNGAN BMPK Pasal 4 (1) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet Kredit. (2) BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain dihitung berdasarkan nominal Penempatan Dana Antar Bank. BAB III BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT Pasal 5 Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Modal BPR. Pasal 6 Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada Pihak Terkait wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPR. - 7 - Pasal 7 Pihak Terkait meliputi: a. pemegang saham yang memiliki saham paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal disetor; b. anggota Direksi; c. anggota Dewan Komisaris; d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal, dengan pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c; e. pejabat eksekutif; f. perusahaan bukan bank yang dimiliki oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya baik secara individu maupun keseluruhan paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor perusahaan; g. BPR lain yang dimiliki oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e yang kepemilikannya secara individu paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari modal disetor pada BPR lain tersebut; h. BPR lain yang anggota Dewan Komisarisnya merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris BPR dan rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada BPR lain; i. perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris merupakan anggota Dewan Komisaris BPR; dan j. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf i. - 8 - Pasal 8 Penyediaan Dana kepada pihak selain yang dimaksud dalam Pasal 7 dapat dikategorikan sebagai Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait dalam hal Penyediaan Dana tersebut digunakan untuk keuntungan Pihak Terkait. BAB IV BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT Pasal 9 (1) Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. (2) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Modal BPR. (3) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu) kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPR. Pasal 10 Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dalam hal Peminjam mempunyai keterkaitan dengan Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi: a. perusahaan yang masing-masing paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) modal disetornya dimiliki oleh suatu perusahaan, badan usaha atau perorangan, atau secara bersama oleh suatu keluarga; b. perusahaan yang salah satunya memiliki paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) modal disetor perusahaan lainnya; c. perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada suatu perusahaan merangkap - 9 - jabatan sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris pada perusahaan lainnya; d. perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, namun terdapat bantuan keuangan dari salah satu perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya yang mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan tersebut terhadap perusahaan lainnya; dan e. perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya bertindak sebagai penjamin Kredit atas Kredit yang diterima oleh perusahaan atau perorangan lainnya. BAB V PELAMPAUAN BMPK Pasal 11 Penyediaan Dana oleh BPR dikategorikan sebagai Pelampauan BMPK dalam hal terjadi selisih lebih antara persentase Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang diperkenankan, yang disebabkan oleh: a. penurunan Modal BPR; b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan usaha, perubahan struktur kepemilikan, dan/atau perubahan kepengurusan yang menyebabkan perubahan Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam; dan/atau c. perubahan ketentuan. BAB VI PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU PELAMPAUAN BMPK Pasal 12 (1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak (action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK. - 10 - (2) Rencana tindak untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. (3) Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan setelah akhir bulan laporan BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit meeting untuk Pelampauan BMPK yang ditemukan dalam pemeriksaan. (4) Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya perubahan ketentuan. (5) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan rencana tindak pada hari kerja sebelumnya. Pasal 13 (1) BPR wajib melaksanakan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang memuat paling sedikit langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK serta target waktu penyelesaian. - 11 - (2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut: a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat 3 (tiga) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal- hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan huruf b, paling lambat 6 (enam) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan c. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal- hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c, paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam hal sisa jangka waktu Penyediaan Dana sampai dengan jatuh tempo lebih pendek dari pada target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), target waktu penyelesaian paling lambat sampai dengan Penyediaan Dana jatuh tempo. (4) Target waktu penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK atas Penempatan Dana Antar Bank yang tidak memiliki jatuh tempo berupa tabungan pada BPR lain, paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR melakukan penyesuaian rencana tindak yang disampaikan apabila menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan langkah- langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak mungkin tercapai. Pasal 14 (1) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK disertai dengan bukti pendukung. (2) Laporan pelaksanaan rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan - 12 - diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak realisasi rencana tindak. (3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana tindak pada hari kerja sebelumnya. BAB VII PENGECUALIAN Pasal 15 Ketentuan BMPK dikecualikan untuk: a. Penempatan Dana Antar Bank pada bank umum, termasuk bank umum yang memenuhi kriteria Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; b. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh: 1. agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito atau tabungan di BPR; 2. emas dan/atau logam mulia; dan/atau 3. Sertifikat Bank Indonesia, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan atau penjualan yang tidak dapat dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan BPR penerima agunan, termasuk pencairan atau penjualan sebagian untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga; b) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud pada huruf a) paling singkat sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1 dan angka 2, disimpan atau ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan; c. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah - 13 - (BUMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat dibatalkan (irrevocable); 2. harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan sebagian; dan 3. mempunyai jangka waktu penjaminan paling singkat sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain sepanjang memenuhi persyaratan: 1. terdapat kesepakatan antara BPR yang menempatkan dana dengan BPR lain yang menerima Penempatan Dana Antar Bank; 2. dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas BPR; dan 3. bagian Penempatan Dana Antar Bank dimaksud: a) merupakan simpanan, iuran, atau porsi dana yang wajib ditempatkan oleh BPR pada BPR lain sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam huruf d angka 1; atau b) berasal dari simpanan, iuran, atau porsi dana dari masing-masing BPR yang ditujukan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas masing- masing BPR. Pasal 16 (1) Penyediaan Dana BPR berupa Kredit dengan pola kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3). (2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: - 14 - a. Kredit diberikan dengan pola kemitraan; b. perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait dengan BPR; c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi dengan perusahaan inti; d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan inti; dan e. perjanjian Kredit antara BPR dengan plasma dilakukan secara langsung. (3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan: a. Kredit diberikan kepada kelompok; b. partisipan PHBK telah melalui seleksi; c. menghargai otonomi lembaga partisipan; d. mempromosikan tabungan dan mengaitkan tabungan dengan Kredit; e. mengenakan tingkat bunga pasar; f. mengembangkan dan menerima agunan alternatif; dan g. terdapat bantuan teknis atau pendampingan untuk membina kelompok. Pasal 17 Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. - 15 - BAB VIII TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN KOREKSI LAPORAN BMPK Pasal 18 (1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan setiap bulan secara benar, lengkap, dan tepat waktu. (2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan secara daring (online) kepada Bank Indonesia melalui aplikasi Laporan Berkala BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. (3) Laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Penyediaan Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang melanggar dan melampaui BMPK; dan b. seluruh Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait. Pasal 19 (1) BPR bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan isi laporan BMPK yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. (2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK secara daring (online) dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. Pasal 20 (1) Kewajiban penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2) dikecualikan dalam hal: - 16 - a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online); b. BPR baru beroperasi, dengan batas waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan operasional; c. BPR mengalami gangguan teknis; atau d. terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. (2) BPR memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c setelah menyampaikan surat pemberitahuan disertai penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. (3) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) setelah kegiatan operasional kembali berjalan secara normal. Pasal 21 (1) BPR yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib menyampaikan secara luring (offline), berupa rekaman data dalam bentuk cakram digital (compact disk) atau media perekam data elektronik lain disertai hasil validasi kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dalam hal penyampaian melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK berupa rekaman data dalam bentuk cakram - 17 - digital (compact disk) atau media perekam data elektronik lain disertai hasil validasi kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 22 (1) Laporan BMPK wajib disampaikan oleh BPR kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (2) Apabila tanggal 14 jatuh pada hari libur, BPR yang menyampaikan laporan BMPK secara luring (offline) wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. (3) BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal BPR menyampaikan laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2), BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Bank Indonesia. (5) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas laporan BMPK yang telah disampaikan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online) paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan. (6) Apabila tanggal 20 sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, BPR yang menyampaikan koreksi laporan BMPK secara luring (offline) wajib menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. (7) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) kepada - 18 - Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR. (8) BPR dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan BMPK pada tanggal koreksi laporan BMPK diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan. Pasal 23 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPR belum menyampaikan laporan BMPK. (2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan BPR belum menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. (4) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK. Pasal 24 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan koreksi terhadap pelaksanaan ketentuan BMPK oleh BPR. (2) BPR wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam hal terdapat koreksi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak - 19 - tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau sejak tanggal exit meeting. (4) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan koreksi atas laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya. Pasal 25 (1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau sejak tanggal exit meeting, BPR belum menyampaikan koreksi laporan BMPK. (3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK. BAB IX KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE) Pasal 26 (1) BPR yang mengalami keadaan kahar (force majeure) selama paling singkat satu periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (3). (2) BPR yang mengalami keadaan kahar kurang dari satu periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sampai dengan batas waktu sebagaimana - 20 - dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan ayat (6). (3) BPR yang mengalami keadaan kahar, menyampaikan surat pemberitahuan secara tertulis dengan disertai penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan dengan disertai penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami. (4) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3) setelah kembali melakukan kegiatan operasional secara normal. BAB X KETENTUAN LAIN Pasal 27 Ketentuan lebih lanjut mengenai dasar perhitungan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 serta tata cara penyampaian laporan BMPK dan koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 25 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB XI SANKSI Pasal 28 (1) BPR yang melakukan Pelanggaran BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa penurunan tingkat kesehatan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian tingkat kesehatan BPR. (2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPK yang ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau - 21 - pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau paling banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada laporan bulanan BPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai laporan bulanan BPR dan atas kesalahan tersebut BPR telah dikenakan sanksi administratif berupa denda, BPR tidak lagi dikenakan sanksi administratif berupa denda atas jenis kesalahan yang sama tersebut pada laporan BMPK. (4) BPR yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 25 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari keterlambatan. (5) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (2) dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah). (6) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; dan b. penurunan nilai kredit aspek manajemen dalam perhitungan tingkat kesehatan. (7) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan - 22 - peraturan perundang-undangan mengenai kemampuan dan kepatutan BPR. uji (8) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK dan/atau Pelampauan BMPK sesuai dengan rencana tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian sesuai koreksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), setelah diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa: a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kepatutan; dan/atau uji kemampuan dan b. pembekuan kegiatan usaha tertentu. (9) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. BAB XII PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009 tanggal 17 April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian - 23 - Kredit Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 66 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5002), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 155 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 49/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '11/13/PBI/2009' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.05/2015 TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan modal ventura, perlu dilakukan pemeriksaan langsung terhadap perusahaan modal ventura guna memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang perusahaan modal ventura; b. bahwa untuk mendukung tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan modal ventura melalui proses pemeriksaan langsung agar sejalan dengan amanat Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan, perlu dibentuk peraturan perundangan guna memberikan dasar hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeriksaan Langsung Perusahaan Modal Ventura; - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur. 2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura, kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. 3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. 4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah. - 3 - 5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah. 6. Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang berbentuk badan hukum koperasi atau yang berbentuk badan usaha perseroan komanditer. 7. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS, yang dilakukan di kantor PMV, PMVS, dan/atau UUS, serta di tempat lain yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan PMV, PMVS, dan/atau UUS. 8. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung. 9. Surat Perintah Pemeriksaan Langsung adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan Langsung. 10. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung adalah surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang disampaikan kepada PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan diperiksa. 11. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. - 4 - BAB II PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 2 (1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasan, OJK melakukan Pemeriksaan Langsung terhadap PMV, PMVS, dan/atau UUS. (2) Pemeriksaan Langsung bertujuan untuk: a. memastikan bahwa laporan berkala sesuai dengan keadaan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang sebenarnya; b. memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan periodik; dan c. menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang PMV, PMVS, dan/atau UUS. Pasal 3 (1) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung terhadap setiap PMV, PMVS, dan/atau UUS dilakukan: a. secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun; atau b. setiap waktu bila diperlukan. (2) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi Pemeriksaan Langsung atas substansi laporan berkala dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada PMV, PMVS, dan/atau UUS. (3) Pemeriksaan Langsung setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Pemeriksaan Langsung yang bersifat khusus dan dilakukan apabila: a. berdasarkan hasil analisis atas laporan berkala yang disampaikan oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS menyimpang dari ketentuan peraturan - 5 - perundang-undangan di bidang PMV, PMVS, dan/atau UUS; b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh OJK, patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS dimaksud menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PMV, PMVS, dan/atau UUS; c. PMV, PMVS, dan/atau UUS patut diduga tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan yang berkaitan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah; dan/atau d. berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan yang mengakibatkan OJK perlu untuk melakukan Pemeriksaan Langsung. Pasal 4 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan Langsung. (2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu disampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung kepada PMV, PMVS, dan/atau UUS. (3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan Langsung. (4) Ketentuan ayat (2) dikecualikan apabila diduga bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung dapat menyebabkan tindakan mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau tindakan menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan Langsung. - 6 - Pasal 5 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan pedoman pemeriksaan langsung. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Dewan Komisioner OJK. Pasal 6 (1) OJK dapat menunjuk pihak lain sebagai Pemeriksa. (2) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat perintah kerja. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 7 (1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: a. persiapan Pemeriksaan Langsung; b. pelaksanaan Pemeriksaan Langsung; dan c. pelaporan hasil Pemeriksaan Langsung. (2) Persiapan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan hasil analisis laporan berkala dan data lain yang mendukung. (3) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara: a. Pemeriksaan Langsung di kantor PMV, PMVS, dan/atau UUS; b. Pemeriksaan Langsung di kantor OJK; dan/atau c. Pemeriksaan Langsung di tempat lain yang ditentukan oleh OJK. (4) Untuk mendukung pelaksanaan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf - 7 - b, dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga yang terkait dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang bersangkutan. (5) Pelaporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh selama proses Pemeriksaan Langsung berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan Langsung. Pasal 8 (1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan Langsung, Pemeriksa menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan Langsung dan tanda pengenal Pemeriksa. (2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMV, PMVS, dan/atau UUS yang akan diperiksa dapat menolak dilakukannya Pemeriksaan Langsung. (3) Dalam hal Pemeriksa telah menunjukkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung, Surat Perintah Pemeriksaan Langsung beserta tanda pengenal Pemeriksa, Pemeriksa berhak: a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya; b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa; c. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa; dan d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai - 8 - hubungan dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa. (4) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan Langsung terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Dewan Komisioner OJK atau diwajibkan oleh Undang- Undang. Pasal 9 (1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa dilarang menolak dan/atau menghambat Pemeriksaan Langsung. kelancaran proses (2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Langsung, PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa wajib: a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan Langsung selama proses Pemeriksaan Langsung; b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis dan/atau lisan; c. memberi akses kepada Pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu; d. memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa; dan e. bekerja sama dalam hal-hal lain yang diperlukan dalam Pemeriksaan Langsung. (3) PMV, PMVS, dan/atau UUS dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan Langsung apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud - 9 - pada ayat (2) dan/atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun buku, catatan, dokumen atau keterangan yang diberikan tidak benar atau menyesatkan. (4) Dalam hal PMV, PMVS, dan/atau UUS dianggap menghambat kelancaran proses Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka akan dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan Langsung. (5) Dalam hal PMV, PMVS, dan/atau UUS menolak dilakukannya Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Pemeriksa menetapkan berita acara penolakan Pemeriksaan Langsung dengan atau tanpa ditandatangani oleh Direksi PMV atau PMVS. Pasal 10 (1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan Langsung. (2) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: a. laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara; dan b. laporan hasil Pemeriksaan Langsung final. (3) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh OJK. Pasal 11 (1) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara kepada Direksi PMV atau PMVS paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan Langsung. (2) PMV atau PMVS yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) - 10 - kepada OJK paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara oleh PMV atau PMVS. (3) Dalam hal setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS tidak memberikan tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara secara tertulis, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan Langsung final paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. (4) Dalam hal PMV atau PMVS menyampaikan tanggapan yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara yang telah disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan Langsung final paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan dari PMV atau PMVS yang diperiksa. (5) Dalam hal PMV atau PMVS menyampaikan tanggapan yang memuat sanggahan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara yang telah disampaikan dan diperlukan adanya pembahasan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara, maka OJK mengundang PMV atau PMVS yang bersangkutan guna melakukan pembahasan atas tanggapan yang disampaikan. (6) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat tanggapan. (7) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), OJK menetapkan laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara menjadi - 11 - laporan hasil Pemeriksaan Langsung final paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah selesainya pembahasan bersama PMV atau PMVS yang diperiksa. BAB III TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG Pasal 12 (1) Dalam rangka menindaklanjuti hasil rekomendasi yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan langsung final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (7), PMV, PMVS, dan/atau UUS wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah tindak lanjut kepada OJK. melaporkan (2) Kewajiban pelaksanaan langkah- langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila OJK menilai bahwa PMV, PMVS, dan/atau UUS telah melaksanakan langkah-langkah (3) OJK tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). melakukan pemantauan lanjut terhadap pelaksanaan tindak lanjut oleh PMV, PMVS, dan/atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bagian dari kegiatan pengawasan terhadap PMV, PMVS, dan/atau UUS. BAB IV SANKSI Pasal 13 (1) PMV dan PMVS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat (1) dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau - 12 - c. pencabutan izin kegiatan usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku kegiatan sanksi usaha peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku sampai dengan hari kerja pertama berikutnya. (7) PMV atau PMVS yang pembekuan kegiatan usaha kecuali dikenakan usaha sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment and pembekuan kegiatan usaha - 13 - Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin usaha. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. Pasal 14 (1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat (1) Peraturan OJK ini dikenakan administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan UUS; atau c. pencabutan izin UUS. sanksi (5) masih - 14 - (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 2 (dua) bulan. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai UUS dan pembekuan kegiatan UUS tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan UUS diterbitkan. (6) Apabila masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan UUS berlaku sampai dengan hari berikutnya. kerja pertama (7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang melakukan kegiatan UUS kecuali untuk pemenuhan ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau nilai piutang terhadap total aset (Investment and Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana - 15 - diatur dalam Peraturan OJK mengenai penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan UUS. (9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan izin UUS. (10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa waktu sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang bersangkutan. (11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Pemeriksaan Langsung PMV, PMVS, dan/atau UUS tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 16 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. (5) masih - 16 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2015 TAHUN 2015 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 37/POJK.05/2015 </reg_id> <reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 29 /POJK.04/2015 TENTANG EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan kepada pemodal serta efektivitas pengawasan Otoritas Jasa Keuangan, peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; b. bahwa terdapat Emiten atau Perusahaan Publik dengan kondisi tertentu tidak dapat menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; c. bahwa Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan Emiten atau Perusahaan Publik dari kewajiban menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan - 2 - dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Emiten atau Perusahaan Publik Yang Dikecualikan Dari Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Pelaporan adalah penyampaian laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. - 3 - 2. Pengumuman adalah publikasi kepada masyarakat melalui pengumuman surat kabar harian berperedaran nasional dan/atau pemuatan dalam Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik atas laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai pengumuman dalam surat kabar harian dan/atau pemuatan dalam Situs Web atas laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. BAB II KONDISI TERTENTU EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DAPAT DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN Pasal 2 (1) Emiten atau Perusahaan Publik yang memenuhi kondisi tertentu dapat dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman. (2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut: a. tidak berlakunya seluruh izin usaha dari pihak yang berwenang; b. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau c. memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 6 (enam) kondisi sebagai berikut: 1. sudah tidak beroperasi secara penuh selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 2. mendapatkan pembatasan kegiatan usaha dari pihak berwenang yang menyebabkan kelangsungan usaha terganggu selama paling - 4 - singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 3. mendapatkan pembekuan seluruh kegiatan usaha; 4. Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan korespondensi dengan Emiten atau Perusahaan Publik selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; 5. tidak terdapat anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan pemegang saham utama yang dapat dihubungi selama paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir; dan 6. telah efektifnya penghapusan pencatatan Efek Emiten atau Perusahaan Publik di Bursa Efek. BAB III PENETAPAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN Pasal 3 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman. (2) Pengecualian dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal penetapan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang memuat: a. pengecualian kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang akan timbul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berlaku sejak tanggal - 5 - penetapan Otoritas Jasa Keuangan; dan b. kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang dikecualikan sebelum penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 4 Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dapat melakukan aksi korporasi dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang berkaitan dengan aksi korporasi tersebut. Pasal 5 (1) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman tidak lagi memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau Perusahaan Publik tersebut tidak lagi merupakan Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban Pelaporan Pengumuman. dan (2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memenuhi kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan tahunan sejak memperoleh penetapan dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan akhir periode: a. laporan keuangan tengah tahunan yang bersangkutan paling sedikit 120 (seratus dua puluh) hari; atau - 6 - b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan yang bersangkutan paling sedikit 180 (seratus delapan puluh) hari, kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing- masing laporan periode yang bersangkutan. (4) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan akhir periode: a. laporan keuangan tengah tahunan yang bersangkutan kurang dari 120 (seratus dua puluh) hari; atau b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan yang bersangkutan kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari, kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing- masing laporan periode berikutnya. Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan Emiten atau Perusahaan Publik yang ditetapkan untuk dikecualikan dan/atau tidak lagi dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dalam Situs Web Otoritas Jasa Keuangan. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 7 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan - 7 - Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 8 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 9 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 kepada masyarakat. pembatalan persetujuan; dan - 8 - BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal .16 Desember 2015. ............ ... KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 304 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 29/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 4 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 44 /POJK.03/2015 TENTANG SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia secara optimal dan berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing industri perbankan nasional; b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi industri Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah terhadap ekonomi daerah, dan memperkuat daya saing Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, perlu upaya peningkatan kompetensi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah melalui program sertifikasi; c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota - 2 - Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5629); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang - 3 - dimaksud dengan: 1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya disingkat BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Direksi: a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 4. Dewan Komisaris: a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan Terbatas adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam - 4 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 5. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat BNSP adalah lembaga independen sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku. 6. Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi BPR dan BPRS yang selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang berlaku bagi BPR dan BPRS. 7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan lisensi dari BNSP. 9. Program Pemeliharaan Kompetensi Kerja yang selanjutnya disebut dengan Program Pemeliharaan adalah program pengkinian kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS pemegang Sertifikat Kompetensi Kerja. - 5 - BAB II KEWAJIBAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BPR DAN BPRS Pasal 2 Maksud dan tujuan Sertifikasi Kompetensi Kerja, yaitu: a. memastikan dan memelihara kompetensi kerja sumber daya manusia BPR dan BPRS mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan; dan b. meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia BPR dan BPRS menuju terciptanya industri BPR dan BPRS yang sehat, kuat, efisien, dan berkesinambungan. Pasal 3 (1) BPR dan BPRS harus menerapkan tata kelola termasuk manajemen sumber daya manusia berbasis kompetensi secara efektif dan terencana. (2) Dalam rangka menerapkan tata kelola termasuk manajemen sumber daya manusia secara efektif dan terencana, BPR dan BPRS harus mengisi jabatan Direksi dan Dewan Komisaris dengan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi yang relevan dengan bidang pekerjaannya. Pasal 4 (1) BPR atau BPRS wajib memiliki anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang seluruhnya memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. (2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan - 6 - salah satu persyaratan bagi calon anggota Direksi dan calon anggota Dewan Komisaris. (3) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai BPRS. BAB III TINGKATAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BPR DAN BPRS Pasal 5 (1) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditetapkan dalam 2 (dua) tingkat berdasarkan total aset BPR dan BPRS, yaitu Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 dan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. (2) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditetapkan dalam 1 (satu) tingkat dan tidak memperhitungkan total aset BPR dan BPRS. Pasal 6 (1) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). (2) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). - 7 - Pasal 7 Anggota Direksi BPR dan BPRS yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 yang masih berlaku, dapat memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 dengan menambah jumlah unit kompetensi yang dipersyaratkan pada Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sesuai dengan SKKNI yang tidak tercakup pada unit kompetensi untuk memperoleh Sertifikasi Kompetensi Kerja tingkat 1. Pasal 8 (1) Dalam hal BPR dan BPRS mengalami peningkatan total aset menjadi paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut, anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. (2) Anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak total aset BPR dan BPRS memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam hal terdapat perbedaan sisa batas waktu pemenuhan kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kelembagaan BPRS, pemenuhan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS dapat menggunakan sisa batas waktu yang lebih lama. Pasal 9 (1) Bagi BPR dan BPRS yang berdasarkan laporan bulanan mengalami penurunan total aset setelah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), anggota Direksi BPR dan BPRS tetap wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2. - 8 - (2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi BPR yang mengalami penurunan total aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi calon anggota Direksi BPR. BAB IV PENYELENGGARA SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA Pasal 10 Lembaga Sertifikasi Profesi yang dapat menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi Kerja wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Untuk memenuhi kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Lembaga Sertifikasi Profesi harus memenuhi persyaratan paling sedikit: a. didirikan oleh asosiasi industri dan/atau asosiasi profesi perbankan yang menyelenggarakan Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi sumber daya manusia BPR dan BPRS; b. memiliki lisensi dari BNSP; c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang peningkatan kompetensi kerja sumber daya manusia BPR dan BPRS; d. merupakan badan hukum yang terpisah dari pendirinya dan mampu bertindak secara profesional serta independen termasuk terhadap industri BPR dan BPRS; e. memiliki struktur organisasi paling kurang terdiri dari unsur pengarah, dan unsur pelaksana yang independen dan tidak merangkap sebagai anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah, serta pegawai BPR dan BPRS; dan - 9 - f. merupakan organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di wilayah Republik Indonesia. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. fotokopi Anggaran Dasar Lembaga Sertifikasi Profesi; b. fotokopi lisensi yang masih berlaku dari BNSP yang mencakup ruang lingkup kegiatan sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi; c. struktur organisasi dan wilayah operasional Lembaga Sertifikasi Profesi; d. skema sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi; dan e. kebijakan dan prosedur dalam pelaksanaan proses sertifikasi. Pasal 12 (1) Berdasarkan penelitian terhadap persyaratan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Otoritas Jasa Keuangan mencantumkan nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. (2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan nama Lembaga Sertifikasi Profesi yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam situs jejaring (website) Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 Lembaga Sertifikasi Profesi wajib memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 selama melaksanakan program Sertifikasi Kompetensi Kerja. - 10 - Pasal 14 Standar kompetensi kerja yang digunakan dalam pelaksanaan uji kompetensi dalam rangka Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah SKKNI yang diberlakukan bagi BPR dan BPRS berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 (1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus menerapkan metode dan prosedur uji kompetensi sebagaimana ditetapkan dalam skema sertifikasi. (2) Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan metode yang menjamin penilaian secara objektif dan sistematis. Pasal 16 Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki tugas dan tanggung jawab: a. mengembangkan dan mendokumentasikan kebijakan dan prosedur tertulis yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya seluruh proses sertifikasi dengan baik dan mengambil tindakan perbaikan apabila ditemukan kelemahan atau pelanggaran; b. menerbitkan Sertifikat Kompetensi Kerja atas nama BNSP yang mencantumkan antara lain nama pemegang sertifikat, jenjang kualifikasi, bidang pekerjaan atau profesi, unit kompetensi, dan masa berlaku sertifikat; c. menyesuaikan materi uji Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan dalam industri BPR dan BPRS; dan d. menyampaikan laporan kegiatan yang terkait dengan pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dalam hal diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 11 - Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas, wewenang, dan tanggung jawab unsur pengarah dan unsur pelaksana ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi dengan memperhatikan ketentuan BNSP. BAB V PROGRAM PEMELIHARAAN Pasal 18 (1) BPR dan BPRS wajib mengikutsertakan setiap anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja dalam Program Pemeliharaan kompetensi kerja secara berkala. (2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam masa berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja sebagai salah satu persyaratan perpanjangan masa berlaku Sertifikat Kompetensi Kerja. (3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diikuti oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS paling sedikit 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun sejak berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja. (4) BPR dan BPRS wajib mengadministrasikan dengan tertib dokumen Program Pemeliharaan bagi anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS. BAB VI LAIN-LAIN Pasal 19 (1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk: a. melakukan koordinasi dengan BNSP dalam rangka evaluasi terhadap kualitas standar - 12 - Sertifikasi Kompetensi Kerja dan materi yang diujikan dalam Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan b. mencantumkan atau menghapus nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di OJK dan di dalam situs web Otoritas Jasa Keuangan. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan program Sertifikasi Kompetensi Kerja yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d. BAB VII SANKSI Pasal 20 (1) BPR dan BPRS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS satu predikat; c. larangan pembukaan jaringan kantor dan kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional BPR dan BPRS. (2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan/atau Pasal 19 ayat (2) dapat dikenakan sanksi berupa penghapusan nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di Otoritas Jasa Keuangan dan di dalam pengumuman pada situs web Otoritas Jasa Keuangan. (3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan setelah Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan - 13 - tenggang waktu surat peringatan masing-masing selama 1 (satu) bulan. Pasal 21 Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang tidak mengikuti Program Pemeliharaan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) yang mengakibatkan Sertifikat Kompetensi Kerja yang dimiliki tidak berlaku, dikenakan sanksi wajib mengikuti uji kompetensi kerja untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja. BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22 Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, sertifikat kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang masih berlaku berdasarkan SKKNI bagi BPR dan BPRS diakui sebagai Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1. Pasal 23 Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah melakukan kegiatan Sertifikasi Kompetensi Kerja sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1). BAB IX KETENTUAN PENUTUP Pasal 24 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai - 14 - berlaku: 1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/34/DPBPR tanggal 13 Agustus 2004 tentang Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat; dan 2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/23/DPbS tanggal 20 Oktober 2006 tentang Lembaga Sertifikasi bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 15 - Pasal 25 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2017. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 21 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 44/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title> <set_date> 21 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 1 Januari 2017 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> '6/34/DPBPR|SE-BI/2004', '8/23/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2008', '20/POJK.03/2014', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SSALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.04/2015 TENTANG KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh Emiten atau Perusahaan Publik khususnya terkait Informasi atau Fakta Material, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Keterbukaan Informasi yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan Atas Informasi Atau Fakta Material Oleh Emiten atau Perusahaan Publik; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut. BAB II KEWAJIBAN PENYAMPAIAN DAN JENIS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL Pasal 2 (1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas Jasa Keuangan dan melakukan pengumuman Informasi atau Fakta Material kepada masyarakat. (2) Informasi atau Fakta Material dalam laporan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib paling sedikit memuat: a. tanggal kejadian; b. jenis Informasi atau Fakta Material; c. uraian Informasi atau Fakta Material; dan d. dampak kejadian Informasi atau Fakta Material (3) Penyampaian laporan dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesegera mungkin paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah terdapatnya Informasi atau Fakta Material. - 3 - Pasal 3 (1) Laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) disusun dengan menggunakan format Laporan Informasi atau Fakta Material sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas Jasa Keuangan yang disusun sesuai dengan format Laporan Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh anggota Direksi atau Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang diberi kuasa tertulis oleh Direksi. Pasal 4 (1) Pengumuman Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang sahamnya tercatat pada Bursa Efek paling sedikit melalui: a. Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling sedikit bahasa Inggris; dan b. Situs Web Bursa Efek atau 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang sahamnya tidak tercatat pada Bursa Efek paling sedikit melalui: a. Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik, dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan ketentuan bahasa asing yang digunakan paling sedikit bahasa Inggris; dan b. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional. (3) Pengumuman yang menggunakan bahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) - 4 - huruf a wajib memuat informasi yang sama dengan informasi dalam pengumuman yang menggunakan Bahasa Indonesia. (4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi yang diumumkan dalam bahasa asing dengan yang diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3), informasi yang digunakan sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia. Pasal 5 Jika Informasi atau Fakta Material belum dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada masyarakat namun sudah diketahui oleh Pihak lain selain orang dalam, Emiten atau Perusahaan Publik wajib sesegera mungkin, menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan serta mengumumkan kepada masyarakat dengan ketentuan: a. apabila Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui Informasi atau Fakta Material tersebut diketahui oleh Pihak lain pada hari kerja, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan serta mengumumkan kepada masyarakat pada hari kerja tersebut; atau b. apabila Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui Informasi atau Fakta Material tersebut diketahui oleh Pihak lain pada hari libur, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan serta mengumumkan kepada masyarakat pada hari kerja pertama setelah hari libur tersebut. Pasal 6 Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi: a. penggabungan usaha, pemisahan usaha, peleburan usaha, atau pembentukan usaha patungan; - 5 - b. pengajuan tawaran untuk pembelian Efek perusahaan lain; c. pembelian atau penjualan saham perusahaan yang nilainya material; d. pemecahan saham atau penggabungan saham; e. pembagian dividen interim; f. penghapusan pencatatan dan pencatatan kembali saham di Bursa Efek; g. pendapatan berupa dividen yang luar biasa sifatnya; h. perolehan atau kehilangan kontrak penting; i. penemuan baru atau produk baru yang memberi nilai tambah bagi perusahaan; j. penjualan tambahan Efek kepada masyarakat atau secara terbatas yang material jumlahnya; k. perubahan dalam pengendalian baik langsung maupun tidak langsung terhadap Emiten atau Perusahaan Publik; l. perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris m. pembelian kembali atau pembayaran Efek Bersifat Utang dan/ atau Sukuk; n. pembelian atau penjualan aset yang sifatnya penting; o. perselisihan tenaga kerja yang dapat mengganggu operasional perusahaan; p. perkara hukum terhadap Emiten atau Perusahaan Publik dan/atau anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik yang berdampak material; q. penggantian Akuntan yang sedang diberi tugas mengaudit Emiten atau Perusahaan Publik; r. penggantian Wali Amanat; s. penggantian Biro Administrasi Efek; t. perubahan tahun buku Emiten atau Perusahaan Publik; u. perubahan penggunaan mata uang pelaporan dalam laporan keuangan; v. Emiten atau Perusahaan Publik berada dalam pengawasan khusus dari regulator terkait yang dapat - 6 - mempengaruhi kelangsungan usaha Emiten atau Perusahaan Publik; w. pembatasan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik oleh regulator terkait; x. perubahan atau tidak tercapainya proyeksi keuangan yang telah dipublikasikan, secara material; y. adanya kejadian yang akan menyebabkan bertambahnya kewajiban keuangan atau menurunnya pendapatan Emiten atau Perusahaan Publik secara material; restrukturisasi utang; z. aa. penghentian atau penutupan sebagian atau seluruh segmen usaha; bb. dampak yang bersifat material terhadap Emiten atau Perusahaan Publik karena kejadian yang bersifat memaksa; dan/atau cc. Informasi atau Fakta Material lainnya. Pasal 7 (1) Dalam hal Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 selain huruf d, huruf e, huruf f, huruf r, dan huruf s, terjadi pada perusahaan terkendali yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan Emiten atau Perusahaan Publik dan perusahaan terkendali bukan merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material tersebut kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Dalam hal Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 terjadi pada perusahaan terkendali yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan Emiten atau Perusahaan Publik dan merupakan Emiten atau Perusahaan Publik, kewajiban menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material - 7 - kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) hanya berlaku bagi perusahaan terkendali. Pasal 8 Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik telah menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material kepada masyarakat dalam rangka memenuhi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya, Emiten atau Perusahaan Publik tersebut dianggap telah memenuhi kewajiban laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material kepada masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 9 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. pembatalan persetujuan; dan - 8 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 10 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 11 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 12 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP- 86/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik beserta Peraturan Nomor X.K.1 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 13 Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait keterbukaan Informasi atau Fakta Material tetap berlaku bagi Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 9 - Pasal 14 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 306 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31 /POJK.04/2015 TENTANG KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK I. UMUM Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan keterbukaan Informasi atau Fakta Material dalam rangka pemenuhan prinsip keterbukaan informasi yang mempunyai arti penting bagi masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan investasi. Sehubungan dengan pemenuhan keterbukaan informasi tersebut, Emiten atau Perusahaan Publik diwajibkan untuk menyampaikan laporan keterbukaan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas Jasa Keuangan serta mengumumkan keterbukaan Informasi atau Fakta Material tersebut kepada publik. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mengatur mengenai kewajiban penyampaian keterbukaan Informasi atau Fakta Material serta jenis-jenis informasi apa saja yang wajib disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan Publik sehingga terdapat pedoman bagi Emiten atau Perusahaan Publik atas Informasi atau Fakta Material yang harus dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada publik. Dengan ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diharapkan kepentingan investor dapat semakin terlindungi dan kualitas keterbukaan Informasi atau Fakta Material dapat terus ditingkatkan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik adalah Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.04/2014 tentang Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Yang dimaksud dengan “orang dalam” adalah: a. komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik; b. pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik; c. orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau d. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas. Pemegang saham utama sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas adalah Pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) hak suara dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan - 3 - oleh suatu Perseroan atau jumlah yang lebih kecil dari itu sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Yang dimaksud dengan “kedudukan” dalam penjelasan huruf c ini adalah jabatan pada lembaga, institusi, atau badan pemerintah. Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” dalam penjelasan huruf c ini adalah hubungan kerja atau kemitraan dalam kegiatan usaha, antara lain hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan, dan kreditur. Pasal 6 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Contoh dari “Pendapatan berupa dividen yang luar biasa sifatnya”: 1. Jumlah dividen yang diperoleh sangat material dibandingkan dengan laba bersih Perusahaan. 2. Jumlah dividen yang diperoleh lebih besar atau lebih kecil secara signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Cukup jelas. - 4 - Huruf l Cukup jelas. Huruf m Cukup jelas. Huruf n Cukup jelas. Huruf o Cukup jelas. Huruf p Cukup jelas. Huruf q Cukup jelas. Huruf r Cukup jelas. Huruf s Cukup jelas. Huruf t Cukup jelas. Huruf u Cukup jelas. Huruf v Cukup jelas. Huruf w Cukup jelas. Huruf x Cukup jelas. Huruf y Cukup jelas. Huruf z Cukup jelas. Huruf aa Cukup jelas. Huruf bb Kejadian yang bersifat memaksa dikenal juga dengan istilah keadaan kahar (overmacht/force majeure). Huruf cc Cukup jelas. - 5 - Pasal 7 Ayat (1) Yang dimaksud dengan perusahaan terkendali pada ayat ini adalah perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Emiten atau Perusahaan Publik. Ayat (2) Yang dimaksud dengan perusahaan terkendali pada ayat ini adalah perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh Emiten atau Perusahaan Publik. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa: a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu Perusahaan Terbuka. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. - 6 - Pasal 14 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5780
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 31/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-86/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-86/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2015 TENTANG PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan atas perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana perlu mengganti peraturan perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah orang perseorangan yang mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan untuk bertindak sebagai penjual Efek Reksa Dana. BAB II PERSYARATAN DAN PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 2 Untuk dapat memperoleh izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana orang perseorangan wajib: a. memiliki sertifikat lulus ujian kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana yang diselenggarakan oleh asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau memiliki sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana; b. cakap melakukan perbuatan hukum; - 3 - c. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau Pasar Modal. Pasal 3 Materi kecakapan dalam ujian dan sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit meliputi: a. Struktur/kelembagaan Pasar Modal; b. Pengetahuan Efek; c. Pengetahuan tentang produk dan kegiatan Reksa Dana; d. Peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal; e. Strategi pemasaran; dan f. Strategi investasi. Pasal 4 Dalam hal dipandang perlu, Otoritas Jasa Keuangan dapat menambah materi kecakapan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. Pasal 5 Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana semata-mata berfungsi untuk memasarkan dan/atau menjual Efek Reksa Dana dan dilarang menjalankan fungsi sebagai Wakil Perusahaan Efek. Pasal 6 Penjualan Efek Reksa Dana hanya dapat dilakukan oleh orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. BAB II TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 7 (1) Permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa - 4 - Dana diajukan oleh pemohon kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan formulir Permohonan Izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. daftar riwayat hidup; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor; c. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir; d. sertifikat bukti telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika ada); e. sertifikat bukti lulus ujian kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana yang diselenggarakan oleh Asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana; f. referensi dari perusahaan tempat bekerja (jika ada); g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu) lembar; dan h. surat pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa yang bersangkutan cakap melakukan perbuatan hukum, memiliki akhlak dan moral yang baik, dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan atau Pasar Modal sesuai dengan format Pernyataan Pemohon sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Dalam hal permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat, maka - 5 - paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan wajib memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. Permohonan tidak lengkap; atau b. Permohonan ditolak. Pasal 9 Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 10 Dalam hal permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 telah memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan tersebut Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat keputusan pemberian izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 11 Dalam rangka penjualan Efek Reksa Dana, Wakil Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana harus dapat menunjukkan bukti penugasan dari suatu Perusahaan Efek atau Agen Penjual Efek Reksa Dana. BAB IV KEWAJIBAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Pasal 12 Orang perseorangan yang memiliki izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib: a. mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan yang diselenggarakan oleh asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana paling sedikit 2 (dua) tahun sekali untuk - 6 - meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan peraturan dan produk Reksa Dana; dan b. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan selesai mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan tersebut disertai bukti pendukung. Pasal 13 Dalam hal Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, maka akan dikenakan sanksi pencabutan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. Pasal 14 Apabila dalam 2 (dua) tahun program Pendidikan Profesi Lanjutan tidak diselenggarakan oleh Asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana, maka Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan ketentuan lain berkaitan dengan kewajiban mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan dan penyelenggaraan program Pendidikan Profesi Lanjutan. BAB V KETENTUAN SANKSI Pasal 15 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. Pembatasan kegiatan usaha; d. Pembekuan kegiatan usaha; e. Pencabutan izin usaha; - 7 - f. Pembatalan persetujuan; dan g. Pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 16 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 17 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada masyarakat. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-09/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 - 8 - Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 401 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2015 TENTANG PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-09/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.2 sebagai lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang - 2 - Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. - 3 - Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5819 - 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN LAMPIRAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.04/2015 TENTANG PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA - 2 - PERMOHONAN IZIN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA Nomor : .................... Lampiran : .................... Perihal ........, ................... 20..... : Permohonan Izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Dengan ini kami mengajukan permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagai berikut: 1. Nama Pemohon 2. Alamat Pemohon : ............................................................... : ............................................................... ............................................................... .................................................-  3. Perusahaan tempat bekerja : ............................................................... (jika sudah bekerja pada Perusahaan Efek atau Agen Penjual Efek Reksa Dana) 4. Alamat Perusahaan : ............................................................... ............................................................... .................................................-  5. Nomor rumah/kantor Telepon : ............................................................... ............................................................... .................................................-  Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. daftar riwayat hidup; 2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor; 3. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir; 4. sertifikat bukti telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika ada); 5. sertifikat bukti lulus ujian kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana yang diselenggarakan oleh Asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana; 6. surat referensi dari perusahaan tempat bekerja (jika ada); - 3 - 7. 1 (satu) lembar pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 dengan latar belakang berwarna merah; dan 8. Surat Pernyataan pemohon. Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih. Pemohon, meterai .............................................. (nama jelas dan tanda tangan) - 4 - Nama : …………………. Pasfoto 4x6 cm PERNYATAAN PEMOHON PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN 1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh pemohon. 2. Berilah tanda  dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban Saudara “ya”, atau berilah tanda  dalam kotak di depan kata “tidak” jika jawaban Saudara atas pertanyaan berikut adalah “tidak”. 1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara pernah dihukum karena: a. tindak pidana yang berhubungan dengan Pasar Modal?  ya  tidak b. atau kejahatan lain?  ya  tidak 2. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah: a. menyatakan Saudara membuat pernyataan palsu atau lalai?  ya  tidak b. mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal?  ya  tidak 3. Apakah Bursa Efek pernah: a. mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau lalai memberikan keterangan yang seharusnya diberikan?  ya  tidak b. mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran terhadap Peraturan Bursa Efek?  ya  tidak 4. Apakah Saudara bekerja rangkap pada Perusahaan Efek lain?  ya  tidak 5. Sebelum bekerja pada perusahaan sekarang, terakhir saya bekerja pada? Perusahaan Jabaran/tugas : ………………………………. : ………………………………. - 5 - 6. Pendidikan formal terakhir ………………………………. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya agar dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. .........., ...................... 20..... (tempat dan tanggal) Yang membuat pernyataan, Meterai .............................................. (nama jelas) Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji ttd MULIAMAN D. HADAD
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 50/POJK.04/2015 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-09/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'Kep-09/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.2' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V', 'BAB IV Pasal 13' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan mengenai Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan, peraturan mengenai laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian Transaksi Bursa. BAB II JENIS LAPORAN Pasal 2 Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi: a. laporan harian mengenai kliring dan penjaminan; b. laporan bulanan yang memuat: 1) rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut dilengkapi dengan statistik perkembangan volume kliring dan penjaminan; 2) laporan mengenai Anggota Bursa Efek yang menjadi anggota Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan - 3 - 3) kegiatan pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari Akuntan tersebut; d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba; e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; f. laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan terhadap pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan h. laporan mengenai peristiwa khusus, seperti kesulitan keuangan pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan. BAB III PENYAMPAIAN LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN Bagian Kesatu Dokumen Elektronik Pasal 3 Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan secara elektronik melalui dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik. Pasal 4 Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan kegiatan yang disampaikan oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen elektronik. - 4 - Bagian Kedua Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan Pasal 5 Laporan harian kliring dan penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya. Pasal 6 (1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang dikliring dan dijamin, jumlah penyelesaian Transaksi Bursa yang dijamin, serta keterangan lain yang diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan. (2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) pada bulan berikutnya. Pasal 7 (1) Laporan keuangan tengah tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal akhir periode. (2) Laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku. (3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam 2 (dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang 1 (satu) diantaranya berperedaran nasional, dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan Akuntan yang bersangkutan. (4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar Tanpa Pengecualian terhadap laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana - 5 - dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan dapat memanggil anggota Direksi dan/atau melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan lebih lanjut. Pasal 8 Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disusun secara triwulanan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Pasal 9 Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan. Pasal 10 Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari setelah adanya perubahan tersebut. Pasal 11 Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan terhadap pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan dan laporan mengenai peristiwa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan huruf h wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari berikutnya. - 6 - Pasal 12 Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 jatuh pada hari libur, laporan tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya. BAB IV KETENTUAN SANKSI Pasal 13 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. - 7 - Pasal 14 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 15 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada masyarakat. BAB V KETENTUAN PENUTUP Pasal 16 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-66/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan, beserta Peraturan Nomor X.B.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 17 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 8 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Desember 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Desember 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 272 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 43 /POJK.04/2016 TENTANG LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-66/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan beserta Peraturan Nomor X.B.1 yang merupakan lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 3 - Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5968
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 43/POJK.04/2016 </reg_id> <reg_title> LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 2 Desember 2016 </set_date> <effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date> <issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-66/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-66/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor X.B.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2017 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan pernyataan pailit yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 2. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, - 3 - kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 4. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka. 5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal serta peraturan pelaksanaannya. Pasal 2 Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya terhadap pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengalami kegagalan atau mengetahui ketidakmampuan menghindari kegagalan dimaksud. Pasal 3 Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke pengadilan untuk dimohonkan pernyataan pailit, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui adanya permohonan pernyataan pailit. Pasal 4 Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan - 4 - terhadap Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat mengenai hal tersebut, sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak pengajuan permohonan pernyataan pailit. Pasal 5 Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 yang diterima oleh Bursa Efek, di Bursa Efek pada hari yang sama dengan diterimanya informasi tersebut. BAB II KETENTUAN SANKSI Pasal 6 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. pembatalan persetujuan; dan/atau - 5 - (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 7 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 8 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 kepada masyarakat. BAB III KETENTUAN PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 126 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 26 /POJK.04/2017 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai keterbukaan informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang dimohonkan pernyataan pailit yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan - 2 - tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan Pailit. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Yang dimaksud dengan “pemberi pinjaman” adalah kreditur sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain rincian mengenai pinjaman termasuk: a. jumlah pokok dan bunga; b. jangka waktu pinjaman; c. nama pemberi pinjaman; d. penggunaan pinjaman; dan e. alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari kegagalan. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “mengetahui” antara lain diterimanya panggilan sidang dari pengadilan kepada Emiten atau Perusahaan Publik. Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain: a. nama pemberi pinjaman yang mengajukan pailit; b. ringkasan permohonan pernyataan pailit; dan c. jumlah pinjaman lainnya. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 3 - Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6073
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 26/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-46/PM/1998|KEPTA-BAPEPAM/1998', 'Kep-46/PM/1998|KEPTA-BAPEPAM/1998 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.5' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB II' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36/POJK.04/2014 TENTANG PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Emiten atau Perusahaan Publik di Pasar Modal sehingga membuat Pasar Modal sebagai pilihan alternatif utama sumber pembiayaan yang lebih kompetitif bagi dunia usaha dan untuk memberikan kepastian mengenai pelaporan Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan Penawaran Umum Berkelanjutan, perlu menyempurnakan peraturan mengenai Penawaran Umum Berkelanjutan dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang Dan/Atau Sukuk; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang… -2- 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk yang selanjutnya disebut PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk adalah kegiatan penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dilakukan secara bertahap. 2. Gagal Bayar adalah kondisi dimana Emiten atau Perusahaan Publik tidak mampu memenuhi kewajiban keuangan terhadap kreditur pada saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari 0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor. Pasal 2 PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dapat dilaksanakan dalam periode 2 (dua) tahun dengan ketentuan pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk terakhir disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada ulang tahun kedua sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran… -3- Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. BAB II PERSYARATAN PIHAK Pasal 3 Pihak yang dapat melakukan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib memenuhi kriteria sebagai berikut: a. merupakan Emiten atau Perusahaan Publik dalam kurun waktu paling singkat 2 (dua) tahun dan tidak pernah mengalami Gagal Bayar selama 2 (dua) tahun terakhir sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; atau b. tidak lagi merupakan Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada huruf a, namun: 1. pernah melakukan Penawaran Umum atas Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; 2. telah melunasi Efek sebagaimana dimaksud pada angka 1 tidak lebih dari 2 (dua) tahun sebelum menyampaikan Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; dan 3. sejak 2 (dua) tahun terakhir sebelum melunasi Efek bersifat utang dan/atau Sukuk sampai dengan tanggal penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak pernah mengalami Gagal Bayar. Pasal 4… -4- Pasal 4 Dalam hal Emiten mengalami Gagal Bayar dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk, Emiten dimaksud dilarang melanjutkan penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk di sisa waktu dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk bersangkutan. BAB III PERSYARATAN EFEK Pasal 5 Efek yang dapat diterbitkan melalui PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk merupakan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang memiliki peringkat yang termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas yang merupakan urutan 4 (empat) peringkat terbaik dan masuk dalam kategori peringkat layak investasi berdasarkan standar yang dimiliki oleh Perusahaan Pemeringkat Efek. Pasal 6 Emiten dilarang melaksanakan penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk tahap berikutnya dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk apabila seluruh Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang telah diterbitkan melalui PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5. Pasal 7 Emiten yang mengalami kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 hanya dapat melaksanakan penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk tahap berikutnya dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk apabila: a. Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang akan ditawarkan… -5- ditawarkan dalam tahap berikutnya dan seluruh Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang telah diterbitkan melalui PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk telah memenuhi persyaratan peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; dan b. periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk belum berakhir. BAB IV PERNYATAAN PENDAFTARAN Pasal 8 Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib: a. mengikuti ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai Pernyataan Pendaftaran, Penawaran Umum dan peraturan terkait lainnya, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan b. dilengkapi dengan: 1. surat pernyataan dari Emiten atau Perusahaan Publik yang menyatakan Emiten atau Perusahaan Publik tidak pernah mengalami Gagal Bayar selama jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 3 huruf b angka 3; dan 2. surat pernyataan dari Akuntan yang melakukan audit atas laporan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik yang menyatakan Emiten atau Perusahaan Publik tidak pernah mengalami Gagal Bayar selama jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 3 huruf b angka 3. Pasal 9… -6- Pasal 9 Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib mencantumkan dalam Prospektus pada: a. halaman luar kulit muka sebagai berikut: 1. “Prospektus Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk”, dengan menyebutkan pula nama Efek; dan 2. total jumlah dana yang akan dihimpun dan jenis Efek yaitu Efek bersifat utang dan/atau Sukuk, yang akan diterbitkan selama periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. b. bab mengenai Penawaran Umum mengenai akad-akad yang akan digunakan, dalam hal Efek yang diterbitkan berupa Sukuk. BAB V PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI Pasal 10 (1) Penjamin Emisi Efek atau Emiten, dalam hal tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek, wajib menyampaikan laporan hasil PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal penjatahan dalam bentuk dan isi sesuai dengan Formulir pada lampiran peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai tata cara Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai… -7- disertai dengan laporan penjatahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan penjatahan. Pasal 11 (1) Dalam hal dana yang dihimpun selama periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kurang dari yang direncanakan, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk berakhir, Emiten wajib: a. menyampaikan informasi mengenai jumlah total dana yang dihimpun kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan tidak tercapainya target dana yang akan dihimpun; dan b. mengumumkan kepada masyarakat mengenai jumlah total dana yang dihimpun disertai dengan alasan tidak tercapainya target dana yang akan dihimpun paling kurang melalui: 1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan 2. situs web Emiten. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah tanggal pengumuman dimaksud. Pasal 12 (1) Dalam hal Emiten akan menghentikan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebelum periode 2 (dua) tahun, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah… -8- setelah keputusan mengenai penghentian PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diambil, Emiten wajib: a. menyampaikan informasi mengenai penghentian PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk kepada Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan alasan penghentian dan jumlah total dana yang telah dihimpun; dan b. mengumumkan kepada masyarakat mengenai penghentian PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk disertai dengan alasan penghentian dan jumlah total dana yang telah dihimpun dalam paling kurang melalui: 1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan 2. situs web Emiten. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. Pasal 13 (1) Sebelum melaksanakan penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk tahap kedua dan seterusnya, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum dimulainya masa penawaran yang direncanakan, Emiten wajib: a. menyampaikan pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dimaksud disertai informasi tambahan dan dokumen pendukungnya kepada Otoritas Jasa Keuangan… -9- Keuangan; dan b. mengumumkan pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk beserta informasi tambahan dimaksud paling kurang melalui: 1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau situs web Bursa Efek; dan 2. situs web Emiten. (2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud. Pasal 14 Informasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), paling kurang memuat: a. jumlah dana yang telah dihimpun dalam PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; b. jumlah Efek yang ditawarkan; c. d. tingkat bunga Efek bersifat utang/imbal hasil Sukuk; hasil pemeringkatan atas Efek atau perubahan hasil pemeringkatan atas Efek (jika terdapat perubahan hasil pemeringkatan atas Efek); e. f. g. jadwal PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk; rencana penggunaan dana atau perubahan penggunaan dana; ikhtisar data keuangan penting untuk laporan keuangan terkini yang dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya; h. Penjamin Emisi Efek (jika ada); i. pernyataan… -10- i. pernyataan Emiten bahwa seluruh Informasi atau Fakta Material telah diungkapkan dan Informasi atau Fakta Material tersebut tidak menyesatkan; j. pernyataan dalam huruf cetak tebal bahwa: 1. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN PENAWARAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN SUKUK TAHAP KE-…. DARI PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN SUKUK YANG TELAH MENJADI EFEKTIF”; 2. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN PENAWARAN EFEK BERSIFAT UTANG TAHAP KE-…. DARI PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG YANG TELAH MENJADI EFEKTIF”; atau 3. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN PENAWARAN SUKUK TAHAP KE-…. DARI PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT SUKUK YANG TELAH MENJADI EFEKTIF”; k. pernyataan dari Emiten yang menyatakan bahwa Emiten tidak sedang mengalami Gagal Bayar sampai dengan penyampaian informasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); l. informasi mengenai kewajiban-kewajiban keuangan Emiten yang akan jatuh tempo dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kedepan disertai dengan keterangan mengenai cara pemenuhan kewajiban-kewajiban keuangan dimaksud; dan m. perubahan dan/atau tambahan informasi atas Prospektus dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk (jika ada). Pasal 15… -11- Pasal 15 Penyampaian pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk terakhir beserta informasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) paling lambat disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada ulang tahun kedua sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 16 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana… -12- sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 17 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 18 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP- 555/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Penawaran Umum Berkelanjutan beserta Peraturan Nomor IX.A.15 yang merupakan lampirannya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar… -13- Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 Desember 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 378 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd.d.Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 36/POJK.04/2014 </reg_id> <reg_title> PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK </reg_title> <set_date> 8 Desember 2014 </set_date> <effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date> <issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date> <replaced_reg> 'KEP-555/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-555/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.15' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk peningkatan ketahanan, daya saing, dan efisiensi perbankan nasional, perlu dilakukan penataan terhadap pengaturan penyediaan dana dalam bentuk penyertaan modal sebagai salah satu kegiatan usaha bank; b. bahwa seiring dengan perkembangan kegiatan usaha bank dan dinamika global, dibutuhkan keleluasaan pada beberapa aspek dalam kegiatan penyertaan modal; c. bahwa sejalan dengan beberapa ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang terkait dengan penyertaan modal dan perkembangan standar internasional, perlu dilakukan harmonisasi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian dalam kegiatan penyertaan modal; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali prinsip kehati- hatian dalam kegiatan penyertaan modal; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan -2- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati- hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. -3- 2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. 3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. 4. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh Bank, unit usaha syariah atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dalam bentuk saham pada perusahaan debitur untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan. 6. Investee adalah Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal. 7. Perusahaan Anak adalah entitas anak sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan bank. -4- 8. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya disebut BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal inti yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank. 9. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya disingkat BMPK adalah persentase maksimum penyediaan dana yang diperkenankan terhadap Modal Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. BAB II RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN PENYERTAAN MODAL Pasal 2 Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pasal 3 (1) Bank umum dilarang melakukan Penyertaan Modal selain pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan. (2) Bank umum syariah dilarang melakukan Penyertaan Modal selain pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan berdasarkan prinsip syariah. (3) Unit usaha syariah dan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri dilarang melakukan kegiatan penyertaan modal selain Penyertaan Modal Sementara. Pasal 4 (1) Bank wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk setiap kali melakukan Penyertaan Modal. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib pula diperoleh untuk setiap Penyertaan Modal lanjutan pada Investee yang sama (subsequent investment). -5- (3) Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham tidak memerlukan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 5 (1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau melalui pasar modal. (2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dilakukan selain untuk investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham. Pasal 6 (1) Bank wajib menetapkan jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal paling tinggi sebesar Penyertaan Modal sesuai pengelompokan Bank berdasarkan BUKU. (2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan dividen saham. Pasal 7 Bank dilarang melakukan Penyertaan Modal melebihi batas penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Pasal 8 (1) Dalam hal Bank telah menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak: a. Penyertaan Modal pada Perusahaan Anak tidak diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam perhitungan BMPK; dan b. peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan Anak yang sama dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7. Otoritas Jasa Keuangan -6- (2) Peningkatan Penyertaan Modal yang berasal dari akumulasi laba pada Investee yang menggunakan metode ekuitas dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, sepanjang tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak akhir tahun buku Investee. Pasal 9 (1) Kegiatan Penyertaan Modal pada Investee di luar negeri hanya dapat dilakukan oleh Bank sesuai pengelompokan Bank berdasarkan BUKU. (2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dalam valuta asing. Pasal 10 Bank yang akan melakukan Penyertaan Modal paling sedikit wajib: a. mencantumkan rencana Penyertaan Modal dalam Rencana Bisnis Bank; b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah; c. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat komposit 1 (satu) atau 2 (dua) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah, selama: 1. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau 2. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut dalam hal calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau perusahaan di luar negeri; -7- d. memastikan Penyertaan Modal tidak mengganggu kelangsungan usaha Bank dan tidak meningkatkan profil risiko Bank secara signifikan; e. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh direksi Bank dan disetujui oleh dewan komisaris Bank; dan f. memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk kegiatan Penyertaan Modal, paling sedikit untuk memastikan bahwa terdapat: 1. analisis yang dilakukan secara komprehensif; 2. prosedur pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip manajemen risiko; 3. dokumentasi dan pemantauan secara periodik; dan 4. prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat. BAB III TATA CARA PENGAJUAN DAN PERSETUJUAN PENYERTAAN MODAL Pasal 11 (1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh persetujuan Penyertaan Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum Penyertaan Modal dilakukan, dengan melampirkan paling sedikit: a. hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank, termasuk proyeksi kecukupan permodalan sebelum dan sesudah Penyertaan Modal; b. hasil analisis profil risiko Bank sebelum dan sesudah Penyertaan Modal, baik secara individu maupun konsolidasi; c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal; d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan Penyertaan Modal; e. surat pernyataan dari direksi Bank yang menyatakan bahwa Penyertaan Modal yang dilakukan dalam rangka investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham; -8- f. sistem pengendalian intern dan sistem informasi akuntansi; g. Penyertaan Modal dan/atau rencana Penyertaan Modal yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank pada Investee yang sama; h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee, termasuk dukungan dan manfaat usaha Investee terhadap perkembangan usaha Bank; i. laporan keuangan tahun terakhir dan laporan keuangan interim triwulan terakhir, serta proyeksi keuangan Investee; j. k. struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir Investee; identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak yang melakukan pengendalian terhadap Investee atau pihak lain yang akan melakukan Penyertaan Modal bersama-sama dengan Bank; l. perjanjian dan/atau konsep perjanjian yang ada: 1. antar pemegang saham Investee; dan/atau 2. antara Bank dengan pemegang saham Investee yang menjual saham kepada Bank; dan m. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran dasar Investee. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i tidak berlaku bagi Investee berupa perusahaan baru. (3) Dalam hal Investee merupakan perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib menyampaikan dokumen mengenai: a. tujuan pendirian perusahaan; b. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan peluang pasar Investee; dan c. dokumentasi pengajuan pendirian kepada atau persetujuan pendirian perusahaan baru dari otoritas yang berwenang. (4) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih dari modal Investee atau memenuhi kriteria pengendalian, selain -9- menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan dokumen berupa: a. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business forecasting) dan peluang pasar Investee; b. informasi mengenai kompetensi dan integritas dari anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan pejabat eksekutif serta integritas pemegang saham pengendali dari Investee; c. rencana penerapan manajemen risiko secara konsolidasi; dan d. surat keterangan dari otoritas yang berwenang yang mengawasi kegiatan usaha Investee beserta pernyataan tidak keberatan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan kepada Investee. (5) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan/atau ayat (4), Bank menyampaikan hasil uji tuntas (due diligence) terhadap Investee dan/atau dokumen pendukung lainnya, dalam hal diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 12 Bank wajib menyampaikan surat pernyataan yang menjamin kebenaran dokumen dan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), dan/atau Pasal 11 ayat (4) yang disampaikan dalam permohonan persetujuan Penyertaan Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 13 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diberikan setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan analisis kemampuan Bank serta kelayakan dan kesesuaian kegiatan Penyertaan Modal yang akan dilakukan oleh Bank. (2) Dalam memberikan persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank dan/atau Investee untuk memberikan komitmen tertulis. -10- Pasal 14 Dalam hal terdapat pelanggaran terhadap komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan Bank untuk melakukan tindakan tertentu. Pasal 15 (1) Bank harus merealisasikan rencana Penyertaan Modal paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan Penyertaan Modal diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank tidak merealisasikan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. (3) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan permohonan Bank, dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan mempertimbangkan faktor tertentu. (4) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi Penyertaan Modal paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Penyertaan Modal efektif dilakukan. BAB IV PELAMPAUAN BATASAN PENYERTAAN MODAL SESUAI PENGELOMPOKAN BANK UMUM BERDASARKAN KEGIATAN USAHA Pasal 16 (1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan) dalam hal jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal melampaui batasan Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) selama 3 (tiga) bulan berturut-turut, yang disebabkan oleh: a. penurunan modal inti; b. peningkatan Penyertaan Modal pada Investee; dan/atau -11- c. penurunan Modal Bank. (2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rencana tindak (action plan) dalam rangka: a. pemenuhan persyaratan modal inti dan/atau Modal Bank; atau b. penyesuaian jumlah Penyertaan Modal. (3) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya pelampauan batasan Penyertaan Modal. (4) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (5) Penyelesaian rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. BAB V DIVESTASI PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 17 (1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal dalam hal: a. Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan atau diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan Bank dan/atau peningkatan profil risiko Bank secara signifikan; atau b. terdapat rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak. (2) Bank wajib menyampaikan rencana divestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum divestasi Penyertaan Modal dilakukan. Pasal 18 (1) Bank dapat melakukan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan: -12- a. divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan strategi bisnis Bank; b. Penyertaan Modal telah dilakukan paling singkat selama 5 (lima) tahun; c. dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan tahun pengajuan permohonan; d. e. f. g. divestasi dilakukan paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen) dari saham yang dimiliki; divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction); divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk memperoleh keuntungan (capital gain); dan telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk divestasi pada Investee yang dinyatakan pailit atau dalam proses likuidasi. (3) Bank wajib mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk memperoleh persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum divestasi dilakukan dengan melampirkan informasi dan dokumen paling sedikit: a. latar belakang dan tujuan divestasi; b. analisis dampak divestasi terhadap kinerja Bank; dan c. informasi mengenai calon pemegang saham baru dan analisis dampak divestasi pada Investee, dalam hal divestasi dilakukan atas sebagian Penyertaan Modal pada Investee. (4) Dalam hal batas waktu pengajuan permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri jatuh pada hari libur, pengajuan permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif sendiri disampaikan pada hari kerja berikutnya. (5) Dalam hal divestasi atas inisiatif sendiri dilakukan pada Perusahaan Anak, selain persyaratan informasi dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menyampaikan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau persetujuan dewan komisaris yang -13- memuat rencana divestasi Penyertaan Modal Bank pada Perusahaan Anak. (6) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta dokumen pendukung selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (5). Pasal 19 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) diberikan setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen, analisis kewajaran, dan kesesuaian rencana divestasi atas inisiatif sendiri. (2) Bank harus merealisasikan rencana divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan Bank tidak merealisasikan divestasi Penyertaan Modal atas inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku. Pasal 20 (1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal Sementara apabila Penyertaan Modal Sementara telah melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau perusahaan debitur tempat Penyertaan Modal Sementara telah memperoleh laba kumulatif. (2) Dalam hal jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir dan perusahaan debitur tempat Penyertaan Modal Sementara belum memperoleh laba, untuk persiapan divestasi, Bank wajib menyampaikan rencana pelaksanaan divestasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu tersebut berakhir. (3) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal Sementara jatuh pada hari -14- libur, rencana pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal Sementara disampaikan pada hari kerja berikutnya. Pasal 21 Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 20 paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pelaksanaan divestasi. BAB VI PENYERTAAN MODAL OLEH PERUSAHAAN ANAK Pasal 22 (1) Dalam hal Perusahaan Anak melakukan Penyertaan Modal, Bank wajib memastikan hal-hal sebagai berikut: a. Penyertaan Modal hanya dapat dilakukan pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan dan/atau di perusahaan penunjang jasa keuangan dan dalam bentuk saham; b. Perusahaan Anak menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko yang memadai atas Penyertaan Modal yang akan dilakukan; dan c. Penyertaan Modal dilakukan dengan memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang yang mengatur Perusahaan Anak. (2) Bank wajib melakukan pemantauan perhitungan kecukupan modal secara konsolidasi sampai dengan perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan Anak. (3) Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip syariah hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada perusahaan yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Pasal 23 (1) Bank wajib memastikan bahwa perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a merupakan perusahaan yang -15- didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan hanya untuk menunjang kegiatan usaha Bank melalui sistem pembayaran, meliputi perusahaan yang melakukan kegiatan usaha sebagai berikut: a. prinsipal Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) atau uang elektronik; b. penerbit APMK atau uang elektronik; c. acquirer APMK atau uang elektronik; d. penyelenggara kliring APMK atau uang elektronik; e. penyelenggara penyelesaian akhir APMK atau uang elektronik; f. penyelenggara transfer dana; g. penyelenggara switching; h. pelaksanaan sertifikasi sistem pembayaran; i. penyedia jaringan sistem pembayaran; j. pengelola standar APMK atau uang elektronik; k. penyedia perangkat pembayaran; dan/atau l. pelaksana personalisasi. (2) Pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait. BAB VII ALAMAT PELAPORAN Pasal 24 Permohonan persetujuan Penyertaan Modal dan pelaporan terkait dengan pelaksanaan Penyertaan Modal dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. -16- BAB VIII PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 25 Perlakuan akuntansi atas Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara mengacu pada standar akuntansi keuangan di Indonesia. Pasal 26 Kualitas dan penyisihan penghapusan aset atas Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kualitas aset bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank umum syariah dan unit usaha syariah. BAB IX TRANSPARANSI DAN PENGELOLAAN PENYERTAAN MODAL DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA Pasal 27 Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dalam laporan tahunan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan bank. Pasal 28 (1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam mengelola kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. -17- (2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: a. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris; b. kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko serta penetapan limit risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. (3) Bank wajib memantau jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan Anak yang sudah dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b. (4) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam mengendalikan risiko Penyertaan Modal berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 29 Bank dilarang: a. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan Penyertaan Modal pada perusahaan pemegang saham Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan b. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank memiliki kewajiban yang tidak terbatas (open-ended liability) pada Investee. Pasal 30 Penyertaan Modal pada Investee berupa Bank, selain tunduk pada ketentuan ini juga mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan terkait. -18- Pasal 31 (1) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk mengambil langkah-langkah perbaikan (corrective actions) dan/atau merekomendasikan kepada otoritas yang berwenang untuk melakukan tindakan perbaikan atau pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Investee. (2) Perintah dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan kegiatan Investee: a. mencerminkan kondisi keuangan dan non-keuangan yang tidak sehat; dan/atau b. mengganggu kondisi keuangan dan non-keuangan Bank. Pasal 32 (1) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan tertentu dapat memerintahkan Bank untuk melakukan divestasi Penyertaan Modal atau menolak permohonan Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri. (2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut: a. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri dapat berdampak negatif terhadap kondisi perekonomian nasional atau tidak sejalan dengan kepentingan nasional; b. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan perbankan di Indonesia; dan/atau c. Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal Bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam maupun di luar negeri yang menyebabkan atau diindikasikan akan menyebabkan kesulitan pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan. -19- BAB XI SANKSI Pasal 33 Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12, Pasal 15 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), dan/atau Pasal 29 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 34 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 187 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5466); dan b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/10/BPPP perihal Penyertaan pada Bank dan Lembaga Keuangan Lain di Luar Negeri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. -20- Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 142 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 36 /POJK.03/2017 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL I. UMUM Kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank merupakan salah satu bagian dari kegiatan penanaman dana Bank disamping kegiatan lainnya seperti penyaluran kredit atau pembiayaan, penanaman dana dalam bentuk surat- surat berharga, dan kegiatan pasar uang antar Bank. Sebagai kegiatan penanaman dana, Bank disamping menerima manfaat berupa pendapatan hasil Penyertaan Modal, juga berpotensi terpapar risiko dari kegiatan tersebut. Untuk meningkatkan daya tahan Bank, dilakukan penataan ulang terhadap persyaratan Penyertaan Modal, penerapan manajeman risiko, dan jumlah maksimum Penyertaan Modal yang dapat dilakukan sesuai dengan kapasitas permodalan yang dimiliki. Selain itu, untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dan aspek pengawasan terhadap kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan persyaratan tingkat kesehatan yang harus dipenuhi oleh Bank sebelum melakukan Penyertaan Modal. Dengan adanya dinamika industri perbankan, Bank perlu menyesuaikan kegiatan Penyertaan Modal sesuai dengan rencana strategis ke depan. Dengan demikian, perlu dibuka kemungkinan bagi Bank untuk melakukan divestasi atas Penyertaan Modal dengan inisiatif sendiri, disamping divestasi yang memang wajib dilakukan karena ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, perlu ditetapkan persyaratan -2- agar divestasi yang dilakukan atas inisiatif sendiri tidak dimanfaatkan Bank untuk melakukan kegiatan investment banking. Dalam rangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar, kegiatan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara Bank harus disajikan sesuai dengan standar akuntansi di Indonesia. Standar akuntansi tersebut telah mempertimbangkan dinamika standar akuntansi keuangan yang berlaku secara internasional. Selain itu, seiring dengan dinamika pengaturan perbankan yang berdampak pada pengaturan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara diperlukan harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai kualitas aset, penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak, serta kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal inti bank. Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Bank hanya dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan atau melakukan Penyertaan Modal Sementara pada perusahaan debitur dalam rangka restrukturisasi kredit atau restrukturisasi pembiayaan. Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya peran pihak lain dalam mendukung pelaksanaan transaksi perbankan, diperlukan upaya tertentu agar pengendalian pelaksanaan transaksi perbankan lebih terintegrasi. Salah satu upaya adalah dengan membuka peluang bagi Bank melalui Penyertaan Modal kepada perusahaan penunjang jasa keuangan melalui Perusahaan Anak. Peluang ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Bank dalam memperluas kegiatan Penyertaan Modal sehingga memberikan keuntungan bagi Bank dalam rangka meningkatkan daya saing. Namun demikian, perlu disadari bahwa peluang perluasan kegiatan Penyertaan Modal harus diimbangi dengan peningkatan kualitas manajemen risiko untuk mengantisipasi risiko eksternal yang dapat timbul dari Perusahaan Anak dan perusahaan penunjang jasa keuangan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi profil risiko Bank. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. -3- Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “unit usaha syariah” adalah unit usaha syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Yang dimaksud dengan “kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri” adalah kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh Penyertaan Modal lanjutan: Bank “A” memiliki Penyertaan Modal berupa saham pada PT “XYZ” sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian Bank “A” berencana untuk membeli surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) yang diterbitkan oleh PT “XYZ” sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Dengan demikian pembelian tersebut merupakan Penyertaan Modal lanjutan sehingga Penyertaan Modal Bank “A” pada PT “XYZ” menjadi sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). Ayat (3) Dividen saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk saham. -4- Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peningkatan Penyertaan Modal terjadi karena akumulasi laba dan/atau perubahan nilai tukar dan/atau nilai wajar sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Investee dalam ayat ini dapat berupa Perusahaan Anak yang belum menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan Bank atau bukan Perusahaan Anak. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Huruf a Rencana Penyertaan Modal dalam Rencana Bisnis Bank paling sedikit memuat mengenai bidang usaha, perkiraan jumlah dana yang akan ditanamkan, dan persentase kepemilikan, termasuk aspek pengendalian. Huruf b Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio KPMM periode bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan persetujuan Penyertaan Modal maupun sebelum realisasi Penyertaan Modal. -5- Huruf c Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Angka 1 Yang dimaksud dengan “periode penilaian” adalah penilaian yang dilakukan secara berkala setiap semester sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah dan unit usaha syariah. Angka 2 Yang dimaksud “perusahaan baru” adalah perusahaan yang sedang dalam proses pendirian atau telah berjalan kurang dari 1 (satu) tahun. Huruf d Yang dimaksud dengan “mengganggu kelangsungan usaha Bank” adalah penurunan kondisi keuangan Bank secara signifikan antara lain dari aspek likuiditas dan solvabilitas. Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat (inherent risk) pada seluruh bidang usaha Bank dan kualitas penerapan manajemen risiko. Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil risiko. Huruf e Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam pengelolaan risiko dan pengendalian intern dalam kegiatan Penyertaan Modal. Prosedur tertulis memuat antara lain: 1. evaluasi secara berkala; 2. laporan berkala dari Investee; dan 3. tindakan Bank dalam hal terjadi penurunan nilai Penyertaan Modal (contingency plan). -6- Huruf f Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Cukup jelas. Angka 3 Dokumentasi dapat berupa hardcopy maupun secara elektronik, dengan tujuan untuk memudahkan dilakukannya jejak audit (audit trail). Angka 4 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum pemberian kredit bank umum. Huruf h Dalam melakukan analisis, Bank mempertimbangkan faktor- faktor antara lain: 1. karakteristik usaha Investee; 2. Penyertaan Modal yang telah dan/atau akan dilakukan oleh Investee; dan -7- 3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan intern dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Dalam hal Investee adalah perusahaan baru, persyaratan dalam huruf ini dapat berupa rancangan struktur kepemilikan dan kepengurusan. Huruf k Dalam hal Investee adalah perusahaan baru, persyaratan dalam huruf ini dapat berupa identitas dari calon. Huruf l Termasuk perjanjian atau konsep perjanjian adalah perjanjian jual beli saham atau konsep perjanjian lain yang merujuk pada anggaran dasar Investee. Huruf m Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan dan aspek non-keuangan dari Investee, sedangkan “peluang pasar” adalah peluang dalam industri atau pasar lembaga keuangan. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “modal Investee” adalah modal disetor Investee. Kriteria pengendalian mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai transparansi dan publikasi laporan bank. -8- Huruf a Yang dimaksud dengan “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan dan aspek non-keuangan dari Investee, sedangkan peluang pasar adalah peluang dalam industri atau pasar lembaga keuangan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Manajemen risiko konsolidasi diperlukan dalam hal Investee merupakan Perusahaan Anak. Huruf d Surat keterangan dari otoritas yang berwenang antara lain menjelaskan kinerja dan/atau kondisi keuangan dan non-keuangan dari Investee. Surat pernyataan tidak keberatan untuk melakukan pemeriksaan diperlukan dalam hal Investee berkedudukan di luar negeri dan belum terdapat nota kesepahaman terkait dengan cross border supervision. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Komitmen tertulis antara lain dapat berupa komitmen Bank bahwa Investee tidak akan melakukan kegiatan tertentu yang diperkirakan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan dan non-keuangan Bank. Pasal 14 Termasuk dalam tindakan tertentu antara lain berupa perintah divestasi saham. -9- Pasal 15 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Faktor tertentu antara lain penyebab terlampauinya jangka waktu seperti faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh Bank, dan/atau hambatan yang timbul untuk memenuhi kebijakan atau ketentuan otoritas yang berwenang. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “efektif” adalah: a. pada saat memperoleh persetujuan dari otoritas yang terkait, untuk Investee yang perubahan kepemilikannya harus memperoleh persetujuan otoritas yang berwenang; b. pada saat terjadi perubahan kepemilikan saham di kustodian, untuk saham yang diperdagangkan di pasar modal dan perubahan kepemilikan atas Investee tidak perlu mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang; atau c. pada saat menyampaikan laporan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, untuk Investee yang tidak perlu mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang dan saham tidak diperdagangkan di pasar modal. Pasal 16 Ayat (1) Huruf a Penurunan modal inti yang mengakibatkan perubahan kategori BUKU menurunkan batasan Penyertaan Modal yang diperbolehkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Penyebab penurunan Modal Bank antara lain karena Bank mengalami kerugian. -10- Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh penyesuaian jumlah Penyertaan Modal dilakukan melalui divestasi saham pada Investee. Ayat (3) Contoh batas waktu penyampaian rencana tindak (action plan) adalah sebagai berikut: Bank “X” dengan modal inti sebesar Rp5.050.000.000.000,00 (lima triliun lima puluh miliar rupiah) (BUKU 3) dan Modal Bank Rp8.500.000.000.000,00 (delapan triliun lima ratus miliar rupiah) pada bulan Januari 2017, mempunyai total Penyertaan Modal pada Bank “Y” dan Lembaga Keuangan “Z” sebesar Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah) setara dengan 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank. Pada posisi bulan Februari, bulan Maret, dan bulan April 2017, modal inti Bank “X” mengalami penurunan menjadi: Bulan Modal Inti Februari Maret April Rp4.950.000.000.000,00 Rp4.910.000.000.000,00 Rp4.880.000.000.000,00 Dengan demikian Bank “X” berubah menjadi BUKU 2 dan harus menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat akhir bulan Mei 2017. Rencana tindak (action plan) tersebut dapat berupa: a. rencana peningkatan modal inti untuk pemenuhan persyaratan modal inti dari BUKU 2 menjadi BUKU 3, atau b. rencana penurunan Penyertaan Modal dari 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank menjadi paling tinggi 15% (lima belas persen) dari Modal Bank. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. -11- Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan atau pengurangan Penyertaan Modal pada Investee, baik yang dilakukan secara langsung maupun melalui pasar modal. Huruf a Yang dimaksud dengan “penurunan permodalan Bank secara signifikan” adalah penurunan permodalan mengakibatkan jumlah Modal Bank lebih rendah dari kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah. Profil risiko Bank meningkat secara signifikan dalam hal peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil risiko. Peningkatan ini dapat disebabkan antara lain oleh meningkatnya risiko reputasi dan/atau risiko hukum yang mempengaruhi kelangsungan usaha Investee. Huruf b Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya. Ayat (2) Cukup jelas. -12- Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 21 Divestasi Penyertaan Modal mencakup divestasi wajib atau divestasi atas inisiatif sendiri. Pasal 22 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam bentuk saham adalah penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk). Huruf b Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko” adalah penerapan manajemen risiko sebagaimana diatur dalam ketentuan bagi Perusahaan Anak, antara lain: 1. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum, dalam hal Perusahaan Anak berupa bank umum; atau 2. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah, dalam hal Perusahaan Anak berupa bank umum syariah. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf l mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai: -13- a. APMK; b. uang elektronik; c. transfer dana; dan/atau d. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya di bidang sistem pembayaran. Ayat (2) Ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait yang dimaksud dalam ayat ini antara lain ketentuan mengenai perizinan dan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Perlakuan akuntansi mencakup pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Larangan ini dimaksudkan agar Bank terhindar dari eksposur Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki kewajiban yang tidak terbatas (open-ended liability), seperti adanya letter of undertaking yang mengikat Investee secara akuntansi maupun secara hukum kepada pihak lain sedemikian rupa sehingga Bank memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas. -14- Pasal 30 Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait antara lain mengenai pembelian saham bank, kepemilikan saham bank, dan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia, serta penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank. Pasal 31 Ayat (1) Termasuk dalam tindakan perbaikan (corrective actions) antara lain perbaikan tata kelola (good corporate governance) dan/atau manajemen risiko Perusahaan Anak, dan/atau divestasi seluruh atau sebagian Penyertaan Modal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “Penyertaan Modal” adalah Penyertaan Modal yang sudah berjalan atau Penyertaan Modal yang sedang diajukan permohonannya. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Indikasi kesulitan pengawasan antara lain: 1. 2. kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data dan informasi Investee; kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap Investee; 3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas Investee di tempat kedudukan Investee; dan/atau 4. Investee digunakan sebagai media untuk melakukan rekayasa keuangan. -15- Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6085
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 36/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '15/6/PBI/2013', '23/10/BPPP|SE-BI' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.03/2015 TENTANG PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengidentifikasi bank-bank yang memiliki dampak signifikan terhadap sistem keuangan domestik, diperlukan suatu metodologi dalam rangka menetapkan systemically important bank dengan mengacu pada standar internasional yang berlaku; b. bahwa risiko yang bersumber dari systemically important bank perlu dimitigasi melalui penetapan capital surcharge berdasarkan tingkat dampak sistemik bank terhadap sistem keuangan domestik; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital Surcharge; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun - 2 - 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Systemically Important Bank, yang selanjutnya disingkat SIB, adalah suatu Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa - 3 - keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila Bank mengalami gangguan atau gagal. 3. Capital Surcharge untuk SIB adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan SIB melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. Pasal 2 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB. (2) Dalam menetapkan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia. (3) Penetapan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara semesteran setiap tahun pada: a. bulan Maret dengan menggunakan data posisi bulan Desember tahun sebelumnya; dan b. bulan September dengan menggunakan data posisi bulan Juni. Pasal 3 Bank yang ditetapkan sebagai SIB wajib membentuk Capital Surcharge untuk SIB. Pasal 4 (1) Penetapan SIB dilakukan menggunakan metodologi tertentu berdasarkan indikator tertentu. (2) Otoritas Jasa Keuangan mengkaji ulang metodologi penetapan SIB paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun. - 4 - BAB II INDIKATOR SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK (SIB) Pasal 5 Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas: a. ukuran Bank (size); b. keterkaitan dengan (interconnectedness); dan c. kompleksitas kegiatan usaha (complexity). Pasal 6 Indikator ukuran Bank (size) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a diukur dari sub-indikator yaitu total eksposur Bank. Pasal 7 Indikator keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terdiri atas sub-indikator: a. aset keuangan berupa tagihan atau penempatan kepada lembaga jasa keuangan (intra financial system assets); b. kewajiban keuangan kepada lembaga jasa keuangan (intra financial system liabilities); dan c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank (securities outstanding). Pasal 8 Indikator kompleksitas kegiatan usaha (complexity) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas sub-indikator: a. nilai nosional spot dan derivatif over the counter; b. surat berharga yang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual dan diperdagangkan namun tidak termasuk surat berharga yang dijadikan sebagai high sistem keuangan - 5 - quality liquid asset dalam perhitungan liquidity coverage ratio; c. indikator domestik yang bersifat spesifik yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan d. ketergantian (substitutability) peran Bank dalam aktivitas sistem pembayaran dan kustodian. Pasal 9 (1) Bobot setiap indikator SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ditetapkan sama besar (equal weight). (2) Bobot setiap sub-indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 ditetapkan sama besar (equal weight). BAB III METODOLOGI PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK (SIB) Pasal 10 Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB berdasarkan perhitungan skor sistemik (systemic importance score). Pasal 11 Skor sistemik (systemic importance score) setiap Bank dihitung dengan cara: a. menghitung nilai masing-masing sub-indikator dalam satuan basis poin, dengan cara menghitung proporsi nilai masing-masing sub-indikator terhadap nilai agregat industri perbankan; b. menghitung nilai pembobotan masing-masing sub-indikator, dengan cara mengalikan nilai masing- masing sub-indikator sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bobot sub-indikator; c. menghitung nilai masing-masing indikator, dengan cara menjumlahkan nilai pembobotan masing-masing sub-indikator sebagaimana dimaksud pada huruf b; - 6 - d. menghitung nilai pembobotan masing-masing indikator, dengan cara mengalikan nilai masing- masing indikator sebagaimana dimaksud pada huruf c dengan bobot indikator; dan e. menghitung nilai skor sistemik (systemic importance score), dengan cara menjumlahkan nilai pembobotan masing-masing indikator sebagaimana dimaksud pada huruf d. BAB IV CAPITAL SURCHARGE UNTUK SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK (SIB) Pasal 12 (1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Capital Surcharge untuk SIB dalam 5 (lima) kelompok (bucket). (2) Besaran Capital Surcharge untuk SIB pada setiap kelompok (bucket) ditetapkan: a. 1% (satu persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 1; b. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 2; c. 2% (dua persen) dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 3; d. 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 4; dan e. 3,5% (tiga koma lima persen) dari ATMR bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 5. (3) Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dipenuhi dengan menggunakan komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1). (4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meninjau ulang dan menyesuaikan penetapan besaran serta waktu pemenuhan Capital Surcharge untuk SIB, dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian dan stabilitas sistem keuangan. - 7 - Pasal 13 Berdasarkan penetapan Capital Surcharge untuk SIB dalam 5 (lima) kelompok (bucket) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), untuk pertama kali Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB dalam 4 (empat) kelompok (bucket) Capital Surcharge untuk SIB yaitu kelompok (bucket) 1, kelompok (bucket) 2, kelompok (bucket) 3, dan kelompok (bucket) 4. Pasal 14 (1) Dalam hal terdapat Bank yang memiliki skor sistemik (systemic importance score) yang sangat tinggi sehingga digolongkan dalam kelompok yang tertinggi, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan: a. pengelompokan SIB bertambah 1 (satu) kelompok (bucket) di atas kelompok tertinggi; dan b. tidak terdapat SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) sebagaimana dimaksud pada huruf a. (2) Setiap penambahan 1 (satu) kelompok (bucket) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) ditetapkan meningkat sebesar 1% (satu persen) dari ATMR. Pasal 15 Pembentukan Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) wajib dipenuhi secara bertahap: 1. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 1, sebesar: a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016; b. 0,5% (nol koma lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017; c. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018; tertinggi yang baru - 8 - d. 1% (satu persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2019; 2. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 2, sebesar: a. 0,375% (nol koma tiga ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016; b. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017; c. 1,125% (satu koma seratus dua puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018; d. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2019; 3. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 3, sebesar: a. 0,5% (nol koma lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016; b. 1% (satu persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017; c. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018; d. 2% (dua persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2019; 4. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 4, sebesar: a. 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016; b. 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017; c. 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018; d. 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2019. - 9 - BAB V SANKSI Pasal 16 Bank yang ditetapkan sebagai SIB, yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan Capital Surcharge untuk SIB, dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum konvensional atau bagi bank umum syariah. BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 Untuk pertama kali, penetapan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB dilakukan pada bulan Januari 2016 dengan menggunakan data posisi bulan Juni 2015. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 18 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 10 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 23 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 372 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 46 /POJK.03/2015 TENTANG PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE I. UMUM Penentuan SIB di pasar keuangan domestik bertujuan untuk mengidentifikasi Bank yang memiliki dampak signifikan terhadap sistem keuangan domestik. Dengan demikian diperlukan suatu metodologi dalam melakukan asesmen tingkat sistemik suatu Bank secara domestik yang mencerminkan adverse effect yang berpotensi terjadi apabila SIB mengalami kegagalan. Risiko yang bersumber dari SIB dimitigasi melalui penetapan Capital Surcharge untuk SIB berdasarkan tingkat dampak sistemik Bank terhadap sistem keuangan domestik. Penetapan Capital Surcharge untuk SIB tersebut merupakan bagian dari supervisory action yang dilakukan dalam kondisi normal. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka perlu adanya pengaturan tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital Surcharge. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) - 2 - Yang dimaksud dengan “Capital Surcharge untuk SIB” adalah Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important Bank sebagaimana ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum konvensional atau bagi bank umum syariah. Domestic Systemically Important Bank adalah Bank di Indonesia yang ditetapkan sebagai SIB. Ayat (2) Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dilakukan melalui mekanisme koordinasi. Ayat (3) Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Bank yang ditetapkan sebagai SIB dan besaran Capital Surcharge untuk SIB. Pasal 3 Penetapan Bank sebagai SIB tidak mencakup kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Pasal 4 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “metodologi tertentu” adalah metodologi yang digunakan sesuai standar internasional dalam menentukan SIB. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “total eksposur Bank” adalah penjumlahan dari eksposur pada neraca, eksposur pada rekening administratif, dan potential future exposure dari transaksi derivatif. Yang dimaksud dengan “eksposur pada neraca” adalah total aset setelah dikurangi pos antar kantor. - 3 - Yang dimaksud dengan “eksposur pada rekening administratif” adalah total kewajiban komitmen dan kontijensi. Perhitungan potential future exposure dari transaksi derivatif mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar. Transaksi derivatif di Bank Umum Syariah adalah transaksi lindung nilai syariah yang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar bagi bank umum syariah. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Huruf a Bagi Bank Umum Syariah, yang dimaksud dengan “nilai nosional derivatif over the counter” adalah nilai nosional lindung nilai syariah over the counter yang mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar bagi bank umum syariah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan indikator domestik yang bersifat spesifik antara lain terdiri atas: 1. 2. 3. nilai outstanding bank garansi; nilai outstanding irrevocable Letter of Credit; nilai portofolio Surat Berharga Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara yang dimiliki; 4. jumlah rekening dana pihak ketiga; 5. jumlah rekening kredit; dan 6. jumlah kantor cabang dalam dan luar negeri. Huruf d Cukup jelas. - 4 - Pasal 9 Ayat (1) Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB terdiri atas 3 (tiga) indikator sehingga setiap indikator memiliki bobot (100/3)%. Ayat (2) Sebagai contoh, indikator keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness) terdiri atas 3 (tiga) sub- indikator sehingga setiap sub-indikator keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness) memiliki bobot (100/3)%. Pasal 10 Skor sistemik (systemic importance score) setiap Bank adalah nilai yang mencerminkan tingkat (level) sistemik dari setiap Bank. Pasal 11 Nilai Sub Indikator 1 Menghitung proporsi nilai masing-masing sub-indikator terhadap nilai agregat industri perbankan. 2 Melakukan pembobotan terhadap sub-indikator. Nilai Indikator 3 Skor Sistemik 5 Menghitung nilai setiap indikator dengan cara menjumlahkan nilai sub-indikator yang telah dibobotkan. 4 Melakukan pembobotan terhadap nilai indikator. Menghitung nilai skor sistemik dengan cara menjumlahkan nilai indikator yang telah dibobotkan. Pasal 12 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1)” adalah modal inti utama (Common Equity Tier 1) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum konvensional atau bagi bank umum syariah. - 5 - Ayat (4) Pertimbangan untuk meninjau ulang dan menyesuaikan penetapan besaran serta waktu pemenuhan Capital Surcharge untuk SIB didasarkan antara lain pada pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan kredit, dan/atau kinerja industri perbankan. Pasal 13 Kelompok (bucket) 5 Capital Surcharge untuk SIB tidak diisi atau dikosongkan karena kelompok (bucket) 5 merupakan kelompok bagi Bank yang memiliki skor sistemik (systemic importance score) yang sangat tinggi. Pasal 14 Ayat (1) Capital Surcharge pada kelompok (bucket) 5 dan seterusnya merupakan disinsentif bagi Bank yang memiliki skor sistemik (systemic importance score) sangat tinggi sehingga mendorong Bank menurunkan risiko sistemik. Sebagai contoh, dalam hal terdapat Bank yang memiliki skor sistemik (systemic importance score) yang sangat tinggi sehingga digolongkan dalam kelompok (bucket) 5, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan: a. penambahan pengelompokan SIB yaitu kelompok (bucket) 6; dan b. tidak terdapat SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 6. Ayat (2) Sebagai contoh, besaran Capital Surcharge untuk kelompok (bucket) 5 sebesar 3,5 % (tiga koma lima persen) sehingga Capital Surcharge untuk kelompok (bucket) 6 ditetapkan sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR. Pasal 15 Cukup jelas. - 6 - Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5812
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 46/POJK.03/2015 </reg_id> <reg_title> PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE </reg_title> <set_date> 23 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2008', '7/UU/1992', '21/UU/2011', '10/UU/1998' </related_reg>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 22 /POJK.01/2015 TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan penyidikan tindak pidana di Sektor Jasa Keuangan; b. bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilaksanakan oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa penyidikan dilaksanakan secara cepat, biaya ringan dan sederhana yang diarahkan untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sektor jasa keuangan, serta memperkuat stabilitas sistem keuangan; d. bahwa pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat perlu diberikan akses untuk turut serta dalam pencegahan dan penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan; Mengingat : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK, Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan - 3 - pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. 3. Dewan Komisioner adalah Pimpinan Tertinggi OJK yang bersifat kolektif dan kolegial. 4. Penyidik OJK adalah Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik, yang dipekerjakan di OJK untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. 5. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik OJK dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan dan guna menemukan tersangkanya. 6. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya atau serta nasabah investor dan investasinya. 7. Rekening Efek adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah pemilik rekening efek pada kustodian, termasuk catatan yang menunjukkan posisi efek dan dana nasabah pada kustodian. BAB II KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 2 (1) OJK berwenang melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. - 4 - (2) Kewenangan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Penyidik OJK. Pasal 3 Penyidik OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) terdiri atas: a. Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dipekerjakan di OJK; dan/atau b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK dan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik. Pasal 4 (1) Penyidik OJK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 huruf a berwenang melakukan tindakan Penyidikan sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang lainnya yang memberikan kewenangan kepada Penyidik Polri. (2) Penyidik OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b berwenang melakukan tindakan Penyidikan sesuai ketentuan mengenai Penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pasal 5 (1) Dalam hal diperlukan, pegawai atau pejabat OJK yang bukan Penyidik OJK dapat ditugaskan untuk membantu kegiatan Penyidik OJK. (2) Pegawai atau pejabat OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bertindak selaku Penyidik OJK. Pasal 6 (1) Penyidik OJK, sesuai kewenangannya, menyampaikan hasil Penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan. (2) Jaksa menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut hasil Penyidikan sesuai kewenangannya paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil Penyidikan - 5 - dari Penyidik OJK sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1). BAB III PERMINTAAN INFORMASI TENTANG RAHASIA BANK DAN INFORMASI TENTANG REKENING EFEK NASABAH PADA KUSTODIAN Pasal 7 (1) Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik OJK dapat meminta keterangan dari bank tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan di sektor jasa keuangan. (2) Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik OJK dapat meminta keterangan kepada Kustodian mengenai Rekening Efek pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Pasal 8 Bank atau Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib memenuhi permintaan Penyidik OJK. BAB IV LAPORAN DAN/ATAU INFORMASI MENGENAI DUGAAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 9 Setiap pihak dapat menyampaikan laporan dan/atau informasi mengenai dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan kepada OJK. Pasal 10 (1) Laporan dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 disampaikan secara tertulis dan/atau datang secara langsung kepada OJK. - 6 - (2) Laporan dan/atau informasi yang disampaikan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang mencantumkan: a. Nama pelapor; b. Identitas pelapor; dan c. Uraian kejadian dan/atau tindakan yang diduga merupakan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Pasal 11 (1) Atas permintaan tertulis pelapor, OJK menyampaikan perkembangan penanganan laporan dan/atau informasi dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang dilaporkan oleh pelapor. (2) Perkembangan penanganan laporan dan/atau informasi dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat disampaikan setelah OJK menetapkan dimulainya Penyidikan. BAB V ADMINISTRASI PENYIDIKAN Pasal 12 (1) Setiap tindakan Penyidik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 dituangkan dalam administrasi Penyidikan. (2) Administrasi Penyidikan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner OJK. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 13 Tanpa mengurangi ketentuan pidana di sektor jasa keuangan, pelanggaran terhadap Pasal 8 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi Administratif. - 7 - BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 14 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Desember 2015 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 315 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Sudarmaji
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 22/POJK.01/2015 </reg_id> <reg_title> PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 16 Desember 2015 </set_date> <effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date> <issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menumbuhkembangkan Lembaga Penjaminan yang dinamis sesuai dengan perkembangan, diperlukan pengaturan yang komprehensif mengenai perizinan dan kelembagaan Lembaga Penjaminan; b. bahwa untuk menciptakan peraturan yang dinamis dan komprehensif di bidang perizinan dan kelembagaan Lembaga Penjaminan dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, perlu untuk menyempurnakan ketentuan mengenai perizinan dan kelembagaan Lembaga Penjaminan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga Penjaminan; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN. BAB I... -2- BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Terjamin. 3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. 4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan. 5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan berdasarkan Prinsip Syariah. 6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang. 7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah badan hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang berdasarkan Prinsip Syariah. 8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 9. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh Lembaga Keuangan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain. 10. Prinsip… Penjaminan -3- 10. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 11. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor pusat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang berfungsi sebagai kantor pusat dari kantor cabang dan/atau kantor selain kantor cabang yang menjalankan kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan Prinsip Syariah. 12. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga keuangan bukan bank. 13. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjaminan yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat. 14. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau di luar Lembaga Keuangan yang telah memberikan fasilitas finansial kepada Terjamin. 15. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh fasilitas finansial dari Lembaga Keuangan atau di luar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah baik perorangan, badan usaha, perseroan terbatas, unit usaha suatu yayasan, koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). 16. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Penerima Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin. 17. Direksi: a. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perusahaan Umum adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai badan usaha milik negara; b. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; c. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 18. Dewan… -4- 18. Dewan Komisaris: a. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perusahaan Umum adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai badan usaha milik negara; b. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; c. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 19. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Lembaga Penjaminan yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan usaha yang dilaksanakan Lembaga Penjaminan agar sesuai dengan Prinsip Syariah. 20. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II IZIN USAHA, PERMODALAN, DAN BENTUK BADAN HUKUM Bagian Kesatu Izin Usaha Pasal 2 (1) Lembaga Penjaminan hanya dapat melakukan kegiatan usaha setelah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran I Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan harus dilampiri dengan: a. akta… -5- a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang, yang paling sedikit memuat: 1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah operasional; 2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Ulang, Perusahaan Penjaminan Syariah, atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; 3. permodalan; 4. kepemilikan; dan 5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah bagi yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah. b. data Direksi dan Dewan Komisaris meliputi: 1. 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3. daftar riwayat hidup; dan 4. surat pernyataan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris akan mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan kepada Otoritas Jasa Keuangan; 5. surat pernyataan bahwa: a) Direksi Lembaga Penjaminan tidak melakukan rangkap jabatan pada Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain; atau b) Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan tidak melakukan rangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain. 6. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang Penjaminan atau perbankan atau Lembaga Keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi. 7. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan. c. data... -6- c. data pemegang saham atau anggota: 1. dalam hal pemegang saham adalah perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tindak pidana pencucian uang; 2. dalam hal pemegang saham adalah badan hukum, dokumen yang dilampirkan adalah: a) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir yang telah berlaku sesuai ketentuan perundang-undangan; b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir; c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham dan Direksi badan hukum tersebut; dan d) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari tindak pidana pencucian uang. 3. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan bagi pemegang saham pengendali Lembaga Penjaminan. d. Dokumen persyaratan Dewan Pengawas Syariah, bagi yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, meliputi: 1. Surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; dan 2. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan; e. struktur organisasi yang memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan pengembangan informasi/database Terjamin; f. sistem dan prosedur kerja Lembaga Penjaminan; g. rencana kerja untuk tiga tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: 1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; 2. rencana… -7- 2. rencana kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan 3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Lembaga Penjaminan melakukan kegiatan operasional. h. Keterangan mengenai pegawai yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Memiliki pengalaman dibidang Penjaminan (termasuk surety di bidang asuransi) atau pengalaman sebagai analis kredit paling sedikit 1 (satu) tahun; 2. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang Penjaminan atau Lembaga Keuangan bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang; dan 3. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang penjaminan atau penjaminan syariah bagi Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. i. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat modal dalam bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga Penjaminan yang bersangkutan pada: 1. salah satu bank umum di Indonesia bagi Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang; atau 2. salah satu bank umum syariah di Indonesia bagi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. j. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa: 1. daftar aset tetap dan inventaris; 2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor; 3. contoh formulir, termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan untuk operasional Lembaga Penjaminan; dan 4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Pasal 3… -8- Pasal 3 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha diberikan paling lama 45 (empat puluh lima) hari setelah dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjaminan. (3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan alasan penolakan. Pasal 4 (1) Lembaga Penjaminan yang telah mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat) bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan. (2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri fotokopi Sertifikat Penjaminan atau perjanjian kerja sama paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional sesuai dengan format dalam Lampiran II Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Lembaga Penjaminan belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan. Pasal 5 Nama Lembaga Penjaminan harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti kata: a. Penjaminan atau Jaminan, bagi Perusahaan Penjaminan; b. Penjaminan… -9- b. Penjaminan Ulang atau Jaminan Ulang, bagi Perusahaan Penjaminan Ulang; c. Penjaminan atau Jaminan serta diakhiri dengan kata syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Syariah; atau d. Penjaminan Ulang atau Jaminan Ulang serta diakhiri dengan kata syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. Bagian Kedua Permodalan Pasal 6 (1) Modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat modal Lembaga Penjaminan ditetapkan berdasarkan lingkup operasi yaitu nasional atau provinsi. (2) Jumlah modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat modal Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah ditetapkan paling sedikit: a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk lingkup nasional; atau b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), untuk lingkup provinsi. (3) Jumlah modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat modal Perusahaan Penjaminan Ulang dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah ditetapkan paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Bagian Ketiga Bentuk Badan Hukum Pasal 7 (1) Bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan adalah: a. Perusahaan Umum; b. Perseroan Terbatas; atau c. Koperasi. (2) Lembaga Penjaminan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia; b. badan hukum Indonesia; c. badan usaha asing; d. Pemerintah Pusat; dan/atau e. Pemerintah Daerah. (3) Badan… -10- (3) Badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat memiliki saham pada Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas. (4) Total kepemilikan asing pada Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak sebesar 49% (empat puluh sembilan per seratus) dari modal disetor. (5) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang berbentuk badan hukum Koperasi hanya dapat dimiliki oleh gabungan Perusahaan Penjaminan BAB III KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN Pasal 8 (1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum Indonesia, jumlah penyertaan modal pada Lembaga Penjaminan ditetapkan paling banyak sebesar: a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan apabila tidak terdapat penyertaan lain; atau b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan dikurangi jumlah penyertaan lain yang telah dilakukan apabila terdapat penyertaan lain. (2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba, dikurangi kerugian, dalam hal Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum perseroan terbatas dan perusahaan umum; atau b. penjumlahan dari setoran pokok, sertifikat modal, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan kerugian, dalam hal Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum koperasi. Pasal 9 (1) Pemegang saham, Direksi, dan Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan paling kurang harus memenuhi persyaratan: a. tidak... atau Perusahaan Penjaminan Syariah yang berbentuk badan hukum Koperasi. -11- a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; b. tidak tercantum dalam DTL di sektor perbankan; c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan dan/atau tindak pidana di bidang ekonomi atau sektor keuangan; d. setoran modal bagi pemegang saham: 1. tidak berasal dari pinjaman dan tindak pidana pencucian uang bagi pemegang saham perorangan; 2. tidak berasal dari tindak pidana pencucian uang bagi pemegang saham badan hukum. e. tidak pernah dikenakan sanksi administratif akibat pelanggaran atas ketentuan perundang- undangan di bidang jasa keuangan; f. salah satu Direksi Lembaga Penjaminan harus memiliki pengalaman operasional di bidang Penjaminan, perbankan atau lembaga keuangan lainnya paling sedikit 2 (dua) tahun di tingkat manajerial; g. salah satu direksi harus memiliki pengalaman operasional di bidang Lembaga Keuangan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah bagi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah; dan h. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Dalam hal pemegang saham Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali huruf f dan huruf g berlaku bagi pemegang saham dan Direksi dari Perseroan Terbatas tersebut. (3) Dalam hal pemegang saham Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum Koperasi, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali huruf f dan huruf g berlaku bagi pengurus Koperasi tersebut. Pasal 10 (1) Direksi Lembaga Penjaminan dilarang merangkap jabatan... -12- jabatan pada Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain. (2) Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan dilarang merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain. BAB IV UNIT USAHA SYARIAH Pasal 11 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan membentuk Unit Usaha Syariah. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang membentuk Unit Usaha Syariah dalam anggaran dasarnya wajib memuat ketentuan mengenai maksud dan tujuan perusahaan untuk menjalankan usaha Penjaminan atau usaha Penjaminan Ulang termasuk menjalankan sebagian Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan prinsip Syariah. (3) Pembentukan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (4) Untuk mendapat izin pembentukan Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang harus memenuhi persyaratan: a. melakukan perubahan anggaran dasar yang menyatakan maksud dan tujuan perusahaan menjalankan usaha Penjaminan atau usaha Penjaminan Ulang termasuk usaha dengan Prinsip Syariah; b. memiliki Dewan Pengawas Syariah yang telah mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dengan ketentuan: 1. diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; 2. memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. c. memiliki calon pimpinan Unit Usaha Syariah dengan memenuhi ketentuan: 1. mempunyai… usaha -13- 1. mempunyai pengalaman di bidang manajerial paling kurang 1 (satu) tahun; 2. mempunyai pengetahuan di bidang Penjaminan syariah dan/atau ekonomi syariah; 3. menyampaikan surat pernyataan: 1) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan; 2) tidak tercantum dalam DTL di sektor perbankan; 3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan dan/atau tindak pidana di bidang ekonomi atau sektor keuangan; 4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; dan 5) tidak pernah dikenakan sanksi administratif akibat pelanggaran atas ketentuan perundang-undangan di bidang jasa keuangan. d. menyisihkan modal kerja untuk pembentukan Unit Usaha Syariah yang ditetapkan dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota, sebesar: 1. Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk Unit Usaha Syariah dari Perusahaan Penjaminan; atau 2. Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) untuk Unit Usaha Syariah dari Perusahaan Penjaminan Ulang; modal kerja dimaksud harus telah disetor penuh pada bank umum syariah dan telah dilegalisasi oleh bank penerima setoran serta masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin Unit Usaha Syariah. e. memiliki sistem akuntansi dan sistem pengelolaan data yang memenuhi fungsi pengendalian intern yang terpisah bagi Unit Usaha Syariah; (5) Untuk mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang harus mengajukan permohonan kepada… -14- kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan: a. dokumen bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4); b. dokumen pendukung lainnya meliputi : 1. uraian tugas dan wewenang pimpinan unit syariah dalam kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang, penetapan imbal jasa Penjaminan, penetapan besarnya komisi, dan penyelesaian klaim; 2. neraca pembukaan, yang dilengkapi dengan bukti pendukungnya; 3. data bagi calon pimpinan unit syariah meliputi: a) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4x6 cm; b) fotokopi tanda pengenal berupa KTP atau paspor yang masih berlaku; c) daftar riwayat hidup; dan d) surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c angka 3. Pasal 12 (1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin Unit Usaha Syariah diberikan paling lambat 45 (empat puluh lima) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan benar. (2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dokumen; b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penjaminan. (3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan alasan penolakan. Pasal 13 (1) Unit Usaha Syariah yang telah mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan usaha paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal izin dikeluarkan. (2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi… -15- Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan dilampiri fotokopi Sertifikat Penjaminan atau perjanjian kerja sama paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan operasional sesuai dengan format dalam Lampiran III Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Unit Usaha Syariah belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin Unit Usaha Syariah yang telah dikeluarkan. Pasal 14 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dapat menghentikan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin Unit Usaha Syariah kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penghentian kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah yang dijalankan oleh Unit Usaha Syariah wajib memenuhi ketentuan: a. tidak merugikan kepentingan terjamin dan penerima jaminan; b. memberitahukan kepada penerima jaminan; c. mengalihkan portofolio Penjaminan syariah ke Perusahaan Penjaminan Syariah atau Unit Usaha Syariah lainnya; dan d. menyelesaikan kewajiban yang dimiliki. (3) Permohonan pencabutan izin Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan: b. asli keputusan izin pembukaan Unit Usaha Syariah; c. alasan penutupan; dan d. bukti pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Pencabutan izin Unit Usaha Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam batas waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan benar. BAB V… -16- BAB V DEWAN PENGAWAS SYARIAH Pasal 15 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Dewan Pengawas Syariah. (2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. Rangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris pada Lembaga Penjaminan dan/atau pimpinan Unit Usaha Syariah; dan b. Rangkap jabatan sebagai Dewan pengawas Syariah pada lebih dari 2 (dua) badan usaha lain. (4) Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dan Unit Usaha Syariah wajib melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat serta saran kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah. (5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk: a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Lembaga Penjaminan terhadap fatwa yang telah ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Lembaga Penjaminan. c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk dimintakan fatwa kepada Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. (6) Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan. BAB VI... -17- BAB VI PELAPORAN Bagian Kesatu Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Modal Pasal 16 (1) Direksi wajib melaporkan setiap perubahan pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan modal kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan perubahan dimaksud dari instansi yang berwenang. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV, Lampiran V, atau Lampiran VI Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini serta wajib dilampiri dengan: a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan; b. dokumen data Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan/atau data pemegang saham dan/atau Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan/atau huruf c dan/atau huruf d; dan/atau c. fotokopi bukti tambahan modal dalam bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga Penjaminan pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama proses pelaporan perubahan modal. Bagian Kedua Perubahan Nama Pasal 17 (1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama Lembaga Penjaminan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari setelah diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam Lampiran VII Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan harus dilampiri dokumen: a. risalah… -18- a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atau penetapan dari instansi yang berwenang mengenai perubahan nama Lembaga Penjaminan; b. bukti perubahan nama yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; dan c. NPWP atas nama Lembaga Penjaminan yang baru. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan pencatatan perubahan nama Lembaga Penjaminan dengan keputusan Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan mengenai perubahan nama Lembaga Penjaminan. Bagian Ketiga Perubahan Bentuk Badan Hukum Pasal 18 (1) Direksi wajib melaporkan Perubahan bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan secara tertulis kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diperolehnya surat persetujuan perubahan bentuk badan hukum dari instansi berwenang sesuai dengan format dalam Lampiran VIII Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan dilampiri dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota mengenai perubahan bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan; b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; c. berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan d. NPWP atas nama Lembaga Penjaminan yang baru. (2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan pencatatan perubahan bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan dengan keputusan Dewan Komisoner Otoritas Jasa Keuangan mengenai perubahan bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan. BAB VII… -19- BAB VII PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN PENGAMBILALIHAN Bagian Kesatu Penggabungan dan Peleburan Pasal 19 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan penggabungan dengan satu atau lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dan membubarkan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang lainnya tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang dengan cara mendirikan satu Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang baru dan membubarkan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang melakukan peleburan. (3) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang yang akan melakukan penggabungan atau peleburan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 20 (1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang harus mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran IX Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan rancangan penggabungan atau peleburan yang paling kurang memuat: a. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan… -20- Penjaminan Ulang yang akan melakukan penggabungan atau peleburan dengan tidak mengurangi hak Penerima Jaminan atau Terjamin; dan b. laporan keuangan proforma dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang menerima penggabungan atau hasil peleburan dan memenuhi ketentuan tingkat Gearing Ratio yang diperkenankan. (3) Hak dan kewajiban yang timbul dari semua obyek Penjaminan yang dilakukan oleh Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang setelah melakukan penggabungan atau peleburan, menjadi tanggung jawab Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang baru hasil penggabungan atau peleburan. Pasal 21 (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil penggabungan, wajib melaporkan hasil pelaksanaan penggabungan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran X dan wajib dilampiri dokumen: a. Fotokopi perubahan anggaran dasar Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang bagi yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi; b. Peraturan Pemerintah mengenai pendirian berikut perubahannya bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perusahaan Umum; c. susunan organisasi dan kepengurusan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil penggabungan; d. NPWP Lembaga Penjaminan, Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham; dan e. alamat lengkap Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan penggabungan. (2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan, wajib melaporkan hasil pelaksanaan peleburan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran XI dan wajib dilampiri dokumen: a. fotokopi... Ulang hasil -21- a. fotokopi anggaran dasar Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang bagi yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi; b. Peraturan Pemerintah mengenai pendirian bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perusahaan Umum; c. susunan organisasi dan kepengurusan Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan; d. NPWP Lembaga Penjaminan, Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham; dan e. alamat lengkap Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan. (3) Laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan perubahan anggaran dasar dari instansi yang berwenang atau sejak tanggal ditetapkannya Peraturan Pemerintah. (4) Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang melakukan penggabungan setelah mendapatkan laporan hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang melakukan peleburan dan menerbitkan izin usaha Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan setelah mendapatkan laporan hasil peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 22 (1) Kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang menggabungkan diri dapat diberlakukan sebagai Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil penggabungan. (2) Salah satu kantor pusat dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang meleburkan diri dapat diberlakukan sebagai kantor... -22- kantor pusat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan. (3) Kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang yang meleburkan diri dapat diberlakukan sebagai Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan. Pasal 23 (1) Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan penggabungan dengan satu atau lebih Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dan membubarkan Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dilakukan likuidasi terlebih dahulu. (2) Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah dengan cara mendirikan satu Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah baru dan membubarkan Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang melakukan peleburan. (3) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan penggabungan atau peleburan wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Ketentuan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22 mutatis mutandis berlaku bagi Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan penggabungan atau peleburan. Bagian Kedua Pengambilalihan Pasal 24 (1) Pengambilalihan dapat dilakukan dengan mengambil… lainnya tanpa -23- mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham Lembaga Penjaminan lain sehingga mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap Lembaga Penjaminan tersebut. (2) Pelaksanaan pengambilalihan terhadap Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. pelaksanaan pengambilalihan b. pelaksanaan pengambilalihan tidak mengakibatkan berkurangnya hak Penerima Jaminan atau hak Lembaga Penjaminan; wajib memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan; dan c. pelaksanaan pengambilalihan harus tetap memenuhi ketentuan mengenai pembatasan atas investasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan. Pasal 25 Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. BAB VIII KANTOR CABANG DAN KANTOR CABANG DENGAN OTORITAS KESYARIAHAN Bagian Kesatu Kantor Cabang Pasal 26 (1) Lembaga Penjaminan dapat membuka Kantor Cabang di wilayah negara Republik Indonesia sesuai lingkup wilayah operasionalnya. (2) Untuk dapat membuka Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjaminan wajib terlebih dahulu mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran XII Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan harus dilampiri dengan: a. hasil… -24- a. hasil studi kelayakan yang sekurang- kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, dan proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; b. bukti penguasaan gedung kantor; dan c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala Kantor Cabang serta jumlah karyawan. (4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan benar. (5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan pembukaan kantor cabang, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c. (6) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal dikeluarkan izin Otoritas Jasa Keuangan. (7) Laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang wajib disampaikan oleh Direksi Lembaga Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang dilampiri dengan fotokopi Sertifikat Penjaminan atau perjanjian kerja sama paling lambat 15 (lima belas) hari sejak tanggal pembukaan sesuai dengan format dalam Lampiran XIII Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Lembaga Penjaminan tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang, Otoritas Jasa Keuangan membatalkan izin pembukaan Kantor Cabang yang telah ditetapkan. Pasal 27 Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 mempunyai kewenangan antara lain: a. memutuskan penutupan perjanjian penjaminan; b. menandatangani Sertifikat Penjaminan; dan c. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim. Pasal 28… kelengkapan dokumen -25- Pasal 28 (1) Penutupan Kantor Cabang Lembaga Penjaminan wajib mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam Lampiran XIV Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan disertai: a. alasan penutupan; dan b. surat pernyataan dari Direksi bahwa seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada Penerima Jaminan dan pihak lainnya menjadi tanggung jawab Lembaga Penjaminan. (3) Persetujuan atau penolakan penutupan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah dokumen permohonan diterima secara lengkap dan benar. (4) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat izin penutupan, dilaksanakan paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal diterimanya izin penutupan dari Otoritas Jasa Keuangan. (5) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaporkan oleh Lembaga Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal penutupan. Bagian Kedua Penugasan Kantor Cabang dengan Otoritas Kesyariahan Pasal 29 (1) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dengan cara menugaskan kantor cabang konvensional dengan memberikan otoritas kesyariahan (sharia authority channeling). (2) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang yang menugaskan kantor cabang konvensional dengan memberikan otoritas kesyariahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melapor… (sharia authority channeling) -26- melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari sebelum pelaksanaan penugasan otoritas kesyariahan (sharia authority channeling). (3) Kepala kantor cabang konvensional yang diberikan otoritas kesyariahan (sharia authority channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mempunyai pengetahuan di bidang Penjaminan syariah dan/atau ekonomi syariah. BAB IX PERUBAHAN ALAMAT KANTOR LEMBAGA PENJAMINAN Pasal 30 (1) Perubahan alamat kantor wajib dilaporkan secara tertulis oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai dengan format dalam Lampiran XV Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat (1) bagi Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup provinsi, hanya dapat dilakukan dalam provinsi yang sama. BAB X PENCABUTAN IZIN USAHA Pasal 31 (1) Pencabutan Izin Usaha Lembaga Penjaminan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Lembaga Penjaminan: a. bubar; b. dikenakan sanksi administratif pencabutan izin usaha; c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjaminan; d. bubar sebagai akibat Penggabungan atau Peleburan; atau e. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). Pasal 32 Lembaga Penjaminan bubar karena: a. keputusan… melakukan -27- a. keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir; c. putusan pengadilan; atau d. keputusan pemerintah. Pasal 33 Dalam hal Lembaga Penjaminan bubar karena keputusan rapat umum pemegang saham, likuidator harus melaporkan hasil rapat umum pemegang saham kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari setelah rapat umum pemegang saham dilaksanakan. Pasal 34 (1) Dalam hal Lembaga Penjaminan bubar berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan pemerintah, likuidator atau penyelesai harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau diterimanya keputusan pemerintah. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan: a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap; atau b. keputusan pemerintah. Pasal 35 (1) Lembaga Penjaminan yang melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi Lembaga Penjaminan harus melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterimanya persetujuan atas perubahan anggaran dasar berwenang. dari instansi (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dilampiri dengan dokumen: a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang atau Peraturan Pemerintah bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk badan hukum Perusahaan Umum. Pasal 36… -28- Pasal 36 (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35, Otoritas Jasa Keuangan mencabut Izin Usaha Lembaga Penjaminan. (2) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) wajib diikuti dengan pembubaran badan hukum. BAB XI SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 37 (1) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15, Pasal 19 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (3) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan Izin Usaha. (2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari. (3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi peringatan. (4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir serta Lembaga Penjaminan tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha. (5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis dan berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. (6) Selama… -29- (6) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjaminan: a. dilarang melakukan Penjaminan atau Penjaminan Ulang baru; dan b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala kewajiban termasuk kewajiban Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang telah dilakukan sebagaimana tercantum dalam sertifikat penjaminan dan/atau perjanjian kerja sama. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha dimaksud. (9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga Penjaminan yang bersangkutan. Pasal 38 Lembaga Penjaminan yang menyampaikan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun telah lewat dari jangka waktu pelaporan, dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya. BAB XII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 39 (1) Izin usaha Lembaga Penjaminan yang telah diterbitkan… -30- diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap berlaku. (2) Dalam hal terdapat permohonan izin usaha yang belum mendapatkan persetujuan pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, maka terhadap permohonan dimaksud berlaku ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Ketentuan mengenai permodalan bagi Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dikecualikan bagi Lembaga Penjaminan yang izin usahanya masih berlaku pada saat diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 40 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Lembaga Penjaminan berdasarkan Peraturan 222/PMK.010/2008 Menteri Keuangan Nomor tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas Peraturan 222/PMK.010/2008 Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Lembaga Penjaminan yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB XIII PENUTUP Pasal 41 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan kelembagaan Lembaga Penjaminan tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 42 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada… Menteri Keuangan Nomor tentang Perusahaan -31- pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Ttd Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 8 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 72 Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN I. UMUM Keberadaan Lembaga Penjaminan sebagai salah satu lembaga keuangan non bank diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga dengan tumbuhnya sektor UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu bagi Lembaga Penjaminan yang telah ada, diperlukan kelembagaan yang terstruktur dan terkelola dengan baik yang meliputi persyaratan kepengurusan, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Lembaga Penjaminan, mekanisme pembukaan kantor cabang dan kantor selain kantor cabang, pelaporan perubahan tertentu, yang meliputi: perubahan nama, perubahan badan hukum, perubahan modal disetor/pemegang saham, perubahan direksi/komisaris, dan perubahan alamat kantor. Kemudian untuk mendorong pertumbuhan jumlah Lembaga Penjaminan terutama yang berasal dari inisiatif Pemerintah Daerah, diperlukan penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur mengenai prosedur perizinan bagi Lembaga Penjaminan. Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011, maka tugas pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya khususnya yang terkait dengan aspek kelembagaan dan kewenangan pemberian izin bagi Lembaga Penjaminan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas Pasal 2… -2- Pasal 2 Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Cukup Jelas Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Yang dimaksud dengan kepemilikan pihak asing secara langsung adalah dalam bentuk pemilikan saham Lembaga Penjaminan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas oleh badan usaha asing. Sedangkan kepemilikan pihak asing secara tidak langsung adalah dalam bentuk pemilikan saham Lembaga Penjaminan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas oleh badan hukum Indonesia, yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh pihak asing. Misalnya, PT Penjaminan EFG komposisi kepemilikannya sebagai berikut: WNI 1 50% Pemegang saham: WNI 2 50% BHI 1 30% PT Penjaminan EFG  Kepemilikan pihak asing secara langsung = 20% (BUA 2) Kepemilikan… BUA 1 50% BUA 2 20% -3-  Kepemilikan pihak asing secara tidak langsung = 50% x 30% = 15% (BUA 1)  Jumlah total kepemilikan asing 20% (BUA 2) + 15% (BUA 1) = 35%  WNI = warga negara Indonesia BUA = badan usaha asing BHI = badan hukum Indonesia Ayat (5) Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Cukup jelas Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Cukup jelas Pasal 15 Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas Pasal 19 Cukup jelas Pasal 20 Cukup jelas Pasal 21 Cukup jelas Pasal 22… -4- Pasal 22 Cukupjelas Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25 Cukup jelas Pasal 26 Cukup jelas Pasal 27 Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini hanya dapat dilaksanakan oleh Kantor Cabang Lembaga Penjaminan yang telah memiliki izin pembukaan Kantor Cabang dari instansi yang berwenang. Pasal 28 Cukup jelas Pasal 29 Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas Pasal 31 Cukup jelas Pasal 32 Cukup jelas Pasal 33 Cukup jelas Pasal 34 Cukup jelas Pasal 35 Cukup jelas Pasal 36 Cukup jelas Pasal 37 Cukup jelas Pasal 38… -5- Pasal 38 Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan pelaporan perubahan pemegang saham, perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris, Perubahan Dewan Pengawas Syariah, perubahan modal, perubahan nama, perubahan bentuk badan hukum, laporan hasil pelaksanaan penggabungan, laporan hasil pelaksanaan peleburan, dan laporan penugasan kantor cabang dengan otoritas kesyariahan, namun lewat dari ketentuan yang ditetapkan, sehingga pelanggaran keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dikenakan sanksi peringatan pertama, namun dikarenakan pelaporannya telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka terhadap Lembaga Penjaminan dimaksud dikenakan sanksi administratif peringatan pertama dan berakhir dengan sendirinya. Pasal 39 Cukup jelas Pasal 40 Cukup jelas Pasal 41 Cukup jelas Pasal 42 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5527 LAMPIRAN I PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan, bersama ini kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Penjaminan Syariah/Perusahaan Penjaminan Ulang/Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah*): Nama Alamat : PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... : ..... Kota ..... Provinsi ..... No. telepon/fax : ..... Email : ..... Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut: 1. Akta pendirian PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang. 2. Daftar pemegang saham berikut rincian kepemilikan saham/daftar anggota*) serta bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan bagi pemegang saham pengendali. 3. Daftar susunan Direksi dan Dewan Komisaris, disertai dengan: a. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm; b. fotokopi identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; c. daftar riwayat hidup; d. surat keterangan/bukti tertulis dari lembaga tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang penjaminan atau perbankan atau lembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi; e. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan. 4. Bukti pengesahan dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah serta bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan bagi pendirian Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah. 5. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan susunan personalia. 6. Rencana kerja untuk tiga tahun pertama yang sekurang-kurangnya memuat: a. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi; b. rencana kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang dan langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan c. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama -3- 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Lembaga Penjaminan melakukan kegiatan operasional. 7. Daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang Penjaminan (termasuk surety di bidang asuransi) atau pengalaman sebagai analis kredit paling sedikit 1 (satu) tahun dan pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan di bidang Penjaminan atau Lembaga Keuangan. 8. Bukti pelunasan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan hibah sebesar Rp ..... (.....) dalam bentuk deposito berjangka atas nama PT/ Perum/Koperasi*) ….. pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha. 9. Bukti kesiapan operasional, antara lain berupa: a. daftar aktiva tetap dan inventaris; b. bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa gedung kantor; c. contoh formulir termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan dalam operasional perusahaan penjaminan; d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). 10. Surat pernyataan dari pemegang saham bahwa modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat modal: a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apapun dari bank dan atau pihak lain (khusus bagi pemegang saham perorangan); dan b. tidak berasal dari pencucian uang. 11. Surat pernyataan dari anggota Direksi yang menyatakan tidak merangkap jabatan sebagai anggota Direksi atau pejabat eksekutif pada Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah atau badan usaha lain. 12. Surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris, yang menyatakan tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris melebihi 3 (tiga) Lembaga penjaminan atau badan usaha lain. Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan.................... ……………………………… *) coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA Ttd. MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN II PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ..... tanggal ..... mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjaminan kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., dengan ini dilaporkan bahwa kami telah memulai kegiatan penjaminan/penjaminan ulang*) pada tanggal ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi Sertifikat Penjaminan/Perjanjian Kerja Sama*). Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... ........................ *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN III PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA UNIT USAHA SYARIAH Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Menunjuk surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor ..... tanggal ..... mengenai pemberian izin pembukaan Unit Usaha Syariah kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., dengan ini dilaporkan bahwa kami telah memulai kegiatan Penjaminan/Penjaminan Ulang*) pada Unit Usaha Syariah pada tanggal ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi Sertifikat Penjaminan/perjanjian kerja sama*). Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... ......................... *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN IV PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS tanggal ..... telah dilakukan perubahan pemegang saham, yaitu: Lama Baru Nama Pemegang Saham ..... ..... Nilai saham (Rp) ..... ..... Nama Pemegang Saham ..... ..... Nilai saham (Rp) ..... ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: 1. Bukti perubahan pemegang saham yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan; 2. Data pemegang saham: a. Dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan: 1) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) daftar riwayat hidup; dan 4) surat pernyataan dari pemegang saham bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tindak pidana pencucian uang. b. Dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan: 1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir; 3) dokumen bagi pemegang saham dan Direksi badan hukum tersebut berupa: a) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; b) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; dan c) daftar riwayat hidup. 4) surat pernyataan dari pemegang saham bahwa setoran modal tidak berasal dari tindak pidana pencucian uang. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. -3- Direksi PT Penjaminan ..... .............................. *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN V PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI/DEWAN KOMISARIS/DEWAN PENGAWAS SYARIAH LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri/rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas Syariah, yaitu: Lama ..... ..... ..... ..... ..... ..... Komisaris Utama Komisaris Direktur Utama Direktur Dewan Pengawas Syariah Dewan Pengawas Syariah Baru ..... ..... ..... ..... ..... ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: 1. Bukti perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas Syariah yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan. 2. Data Direksi dan/atau Dewan Komisaris meliputi: **) a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor; b. daftar riwayat hidup; c. surat pernyataan: 1) tidak merangkap jabatan pada Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain bagi Direksi; 2) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain. d. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan. 3. Data Dewan Pengawas Syariah meliputi: **) a. surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; b. surat pernyataan: 1) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris pada Lembaga Penjaminan dan/atau pimpinan Unit Usaha Syariah; 2) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan pengawas Syariah pada lebih dari 2 (dua) badan usaha lain. c. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan. -3- Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .................. ……………………………… *) Coret yang tidak perlu **) pilih salah satu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN VI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN MODAL LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri*) tanggal ..... telah dilakukan perubahan modal, yaitu: Modal dasar Modal disetor Lama Nama Pemegang Saham ..... ..... Nilai saham (Rp) ..... ..... ..... ..... Lama ..... ..... Baru Nama Pemegang Saham Nilai saham (Rp) ..... ..... **) khusus bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: 1. Bukti perubahan modal yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan; 2. Data pemegang saham: a. Dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan: 1) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; 2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; 3) daftar riwayat hidup; dan 4) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman dan tindak pidana pencucian uang. b. Dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan: 1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubahan yang terakhir yang telah mendapat pengesahan dari instansi berwenang; 2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau laporan keuangan terakhir; 3) dokumen bagi pemegang saham dan Direksi badan hukum tersebut berupa: 1. pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm; Baru ..... ..... -3- 2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku; dan 3. daftar riwayat hidup. 4) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari tindak pidana pencucian uang. 3. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor bagi yang melakukan penambahan modal. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum*) Penjaminan .................. ……………………………… *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN VII PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN NAMA LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri rapat anggota*) tanggal ..... nama PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... berubah menjadi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Perubahan nama tersebut telah mendapat persetujuan dari instansi yang berwenang dengan keputusan nomor ..... tanggal ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: a. risalah RUPS/rapat anggota/penetapan Menteri*); b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang; dan c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang baru. Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu*) untuk memberlakukan izin usaha PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... …………………… *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA Ttd. MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN VIII PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri/ rapat anggota *) tanggal ..... telah diputuskan perubahan bentuk badan hukum PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... menjadi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan: a. risalah RUPS/penetapan Menteri/rapat anggota*); b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang; c. berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama kepada badan hukum baru; dan d. NPWP atas nama PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan yang baru. Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... …………………… *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN IX PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT PERMOHONAN PERSETUJUAN PENGGABUNGAN ATAU PELEBURAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan penggabungan/peleburan*) Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Penjaminan Ulang/Perusahaan Penjaminan Syariah/Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah*). Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai berikut: 1. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang akan melakukan penggabungan/peleburan*); dan 2. laporan keuangan proforma dari PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang menerima penggabungan/hasil peleburan*). Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... ........................ *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN X PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PENGGABUNGAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri/ rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan penggabungan antara PT/ Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... dan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai berikut: 1) fotokopi perubahan anggaran dasar PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang bagi yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi**); 2) Peraturan Pemerintah mengenai pendirian berikut perubahannya bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perusahaan Umum**); 3) susunan organisasi dan kepengurusan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil penggabungan; 4) NPWP PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham; dan 5) alamat lengkap PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil penggabungan. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... .......................... *) Coret yang tidak perlu **) pilihan sesuai dengan bentuk badan hukum Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN XI PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PELEBURAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini dilaporakan bahwa sesuai dengan RUPS/ penetapan Menteri/ rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan peleburan antara PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... dan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... menjadi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai berikut: 1) fotokopi anggaran dasar/Peraturan Pemerintah*) dari PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang telah disahkan atau ditetapkan oleh instansi yang berwenang; 2) susunan organisasi dan kepengurusan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil peleburan; 3) NPWP PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., Direksi, Dewan Komisaris, dan pemegang saham; dan 4) alamat lengkap PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil peleburan. Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .................. ...................................... *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA Ttd. MULIAMAN D. HADAD LAMPIRAN XII PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN PEMBUKAAN KANTOR CABANG LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini kami mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang dengan alamat ..... Sebagai kelengkapan data, terlampir kami sampaikan dokumen sebagai berikut: 1) hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang pasar, dan proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan; 2) bukti penguasaan gedung kantor; dan 3) sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala Kantor Cabang serta jumlah karyawan. Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi *) Penjaminan ..... ......................... *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN XIII PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Berdasarkan Surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan nomor ..... tanggal ..... mengenai izin Pembukaan Kantor Cabang PT/Perum/Koperasi *) Penjaminan ...., dengan ini dilaporkan bahwa Kantor Cabang kami dengan alamat ..... telah melakukan kegiatan usaha sejak tanggal ..... Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan fotokopi Sertifikat Penjaminan/perjanjian kerja sama*). Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... ......................... *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN XIV PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN PENUTUPAN KANTOR CABANG LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Dengan ini kami mengajukan permohonan izin penutupan kantor cabang yang beralamat di ..... dengan alasan ..... Sebagai bahan pertimbangan terlampir kami sampaikan surat pernyataan bahwa seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada Penerima Jaminan dan pihak lainnya menjadi tanggung jawab PT/ Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... …………………… *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA LAMPIRAN XV PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 5/POJK.05/2014 TENTANG PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN -2- CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PERUBAHAN ALAMAT KANTOR LEMBAGA PENJAMINAN Kepada Yth. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB Gedung Sumitro Djojohadikusumo Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4 Jakarta 10710 Bersama ini kami laporkan bahwa Kantor Pusat/Cabang*) kami di ..... telah kami pindahkan dengan data sebagai berikut: Alamat lama Telepon Alamat baru Telepon : ..... : ..... : ..... : ..... Tanggal pemindahan : ..... Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami mengucapkan terima kasih. Direksi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... ......................... *) Coret yang tidak perlu Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN ttd. Ttd. MULIAMAN D. HADAD Salinan sesuai dengan aslinya KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM DIREKTORAT HUKUM, Ttd. MUFLI ASMAWIDJAJA
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 5/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title> <set_date> 7 April 2014 </set_date> <effective_date> 8 April 2014 </effective_date> <issued_date> 8 April 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '2/PERPRES/2008' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.04/2017 TENTANG PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum penawaran umum beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum penawaran umum, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum penawaran umum yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. - 3 - 4. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau perusahaan publik. 5. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar pihak lain membeli Efek. Pasal 2 (1) Setiap pihak yang memperoleh Efek bersifat ekuitas dari Emiten dengan harga dan/atau nilai konversi dan/atau harga pelaksanaan di bawah harga Penawaran Umum perdana saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan, dilarang untuk mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan atas Efek bersifat ekuitas Emiten tersebut sampai dengan 8 (delapan) bulan setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi kepemilikan atas Efek bersifat ekuitas baik secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau lembaga yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan memiliki kewenangan melakukan penyehatan perbankan. BAB II LAPORAN DAN PERNYATAAN DALAM PROSPEKTUS Pasal 3 Emiten wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan menyatakan dalam Prospektus, setiap transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. - 4 - Pasal 4 (1) Informasi dalam laporan dan pernyataan dalam Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling sedikit harus memuat: a. nama pemegang Efek bersifat ekuitas; b. jumlah Efek bersifat ekuitas yang dimiliki; c. nilai yang diterima oleh Emiten sehubungan dengan penerbitan Efek bersifat ekuitas tersebut serta bentuk pembayaran dan metode penilaian; d. tanggal transaksi dan/atau tanggal pelaksanaan atau konversi dari Efek bersifat ekuitas; dan e. rencana pengalihan kepemilikan atas Efek bersifat ekuitas oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dalam jangka waktu 8 (delapan) bulan setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. (2) Informasi mengenai rencana pengalihan kepemilikan atas Efek bersifat ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit meliputi: a. jumlah Efek bersifat ekuitas yang akan dialihkan; b. metode atau cara pengalihan; dan c. informasi lain yang relevan. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 5 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; - 5 - d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 6 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 7 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 8 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-06/PM/2001 tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum, beserta Peraturan Nomor IX.A.6 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. tertulis - 6 - Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 125 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /POJK.04/2017 TENTANG PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum Penawaran Umum yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-06/PM/2001 tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum, beserta Peraturan Nomor IX.A.6 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa - 2 - Keuangan tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Larangan pengalihan Efek bersifat ekuitas kepada pihak yang memperoleh Efek bersifat ekuitas pada harga di bawah harga Penawaran Umum perdana saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan berlaku atas seluruh Efek bersifat ekuitas yang dimiliki oleh pihak tersebut (baik yang diperoleh dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran maupun yang telah diperoleh di luar jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran). Contoh: Struktur permodalan PT ABC: Modal dasar sebesar Rp100.000.000.000,00 terdiri dari 200.000.000 lembar saham dengan nilai nominal Rp500,00. Modal ditempatkan dan disetor sebesar Rp25.000.000.000,00 terdiri dari 50.000.000 lembar saham. Susunan pemegang saham: Tuan A memiliki 25% dari modal ditempatkan dan disetor, sehingga memiliki 12.500.000 lembar saham dengan jumlah nominal Rp6.250.000.000,00. Tuan B memiliki 25% dari modal ditempatkan dan disetor, sehingga memiliki 12.500.000 lembar saham dengan jumlah nominal Rp6.250.000.000,00. Tuan C memiliki 50% dari modal ditempatkan dan disetor, sehingga memiliki 25.000.000 lembar saham dengan jumlah nominal Rp12.500.000.000,00. - 3 - 5 (lima) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum perdana saham PT ABC kepada Otoritas Jasa Keuangan, PT ABC melakukan peningkatan modal ditempatkan dan disetor sebesar Rp25.000.000.000,00 dengan jumlah saham 50.000.000 lembar saham. Masing-masing pemegang saham PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C) mengambil bagian dalam peningkatan modal ditempatkan dan disetor PT ABC tersebut secara proporsional pada harga nominal, yaitu Rp500,00 per lembar saham, sehingga setelah peningkatan modal Tuan A memiliki 25.000.000 lembar saham, Tuan B memiliki 25.000.000 lembar saham, dan Tuan C memiliki 50.000.000 lembar saham. PT ABC melakukan Penawaran Umum perdana dengan menawarkan 50.000.000 lembar saham kepada masyarakat dengan harga Penawaran Umum sebesar Rp1.000,00 per lembar saham. Dalam kasus tersebut, maka mengingat pemegang saham PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C) dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum Penawaran Umum memperoleh saham PT ABC pada harga di bawah harga Penawaran Umum, pemegang saham PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C) dilarang mengalihkan sebagian atau seluruh saham PT ABC yang dimilikinya sampai dengan 8 (delapan) bulan setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. - 4 - Pasal 6 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa penundaan pemberian pernyataan efektif untuk Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6072
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 25/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-06/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001', 'Kep-06/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.6' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.03/2017 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional maupun internasional, bank perlu mengelola likuiditas sesuai dengan prinsip kehati-hatian; b. bahwa untuk mengelola likuiditas bank, diperlukan pemeliharaan profil pendanaan stabil berdasarkan komposisi aset dan transaksi rekening administratif sesuai dengan standar internasional; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 - 2 - tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Pendanaan Stabil yang Tersedia atau Available Stable Funding yang selanjutnya disingkat ASF adalah jumlah liabilitas dan ekuitas yang stabil selama periode 1 (satu) tahun untuk mendanai aktivitas Bank. 3. Pendanaan Stabil yang Diperlukan atau Required Stable Funding yang selanjutnya disingkat RSF adalah jumlah aset dan transaksi rekening administratif yang perlu didanai oleh pendanaan stabil. - 3 - 4. Rasio Pendanaan Stabil Bersih atau Net Stable Funding Ratio yang selanjutnya disingkat NSFR adalah perbandingan antara ASF dengan RSF. 5. Laporan NSFR adalah laporan yang menyajikan informasi kuantitatif berupa perhitungan dan nilai NSFR, serta informasi kualitatif berupa analisis perkembangan NSFR. 6. Kertas Kerja NSFR adalah laporan yang memuat perhitungan NSFR secara rinci sebagai sumber data dalam menyusun Laporan NSFR. 7. Rencana Tindak Pemenuhan NSFR adalah laporan yang paling sedikit memuat rencana perbaikan untuk pemenuhan kecukupan NSFR disertai jangka waktu penyelesaian. Pasal 2 (1) Bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai. (2) Pemenuhan pendanaan stabil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan NSFR. (3) Perhitungan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dalam denominasi rupiah. (4) Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen). (5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan NSFR yang berbeda dari kewajiban pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 3 Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak, kewajiban pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berlaku bagi Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi. Pasal 4 Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berlaku untuk: a. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4; - 4 - b. Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3; dan c. bank asing. BAB II PERHITUNGAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) Pasal 5 (1) Untuk pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), Bank wajib menghitung nilai ASF dan RSF. (2) Nilai ASF yang diperhitungkan dalam perhitungan NSFR merupakan penjumlahan dari seluruh hasil perkalian antara seluruh nilai tercatat (carrying value) liabilitas dan ekuitas pada laporan posisi keuangan (neraca) dengan faktor ASF. (3) Nilai RSF yang diperhitungkan dalam perhitungan NSFR merupakan penjumlahan dari seluruh hasil perkalian antara seluruh nilai tercatat (carrying value) aset pada laporan posisi keuangan (neraca) dan seluruh nilai transaksi rekening administratif pada laporan komitmen dan kontinjensi dengan faktor RSF. (4) Ketentuan mengenai perhitungan nilai ASF dan RSF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB III PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN PUBLIKASI RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) Bagian Kesatu Umum Pasal 6 Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan perhitungan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 - 5 - wajib melakukan pemantauan pemenuhan NSFR dan menyampaikan laporan perhitungan NSFR baik secara individu maupun konsolidasi. Bagian Kedua Pemantauan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) Pasal 7 (1) Bank wajib memantau pemenuhan NSFR secara bulanan. (2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank dengan menyusun Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir bulan laporan. (3) Laporan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat informasi: a. perhitungan NSFR; dan b. analisis perkembangan NSFR. (4) Analisis perkembangan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit menjelaskan: a. faktor utama yang mempengaruhi perhitungan NSFR; b. faktor atau kondisi yang menyebabkan penurunan atau peningkatan NSFR; dan c. komposisi aset dan liabilitas yang saling bergantung (interdependent) serta keterkaitan transaksi antara aset dan liabilitas. (5) Bank wajib mendokumentasikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 8 (1) Kewajiban pemantauan pemenuhan NSFR bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan akhir bulan Januari tahun 2018. (2) Ketentuan mengenai penyusunan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) mengacu pada Lampiran I, Lampiran II, dan - 6 - Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 9 (1) Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai dengan 100% (seratus persen) berdasarkan hasil pemantauan dalam Pasal 7 ayat (1), Bank wajib menyusun Rencana Tindak Pemenuhan NSFR baik secara individu maupun konsolidasi. (2) Ketentuan mengenai format Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Bagian Ketiga Pelaporan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) Pasal 10 (1) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir triwulan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan untuk posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. Pasal 11 (1) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR posisi akhir bulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2); dan b. Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. - 7 - (2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta Bank untuk melakukan penyesuaian terhadap Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. Pasal 12 (1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah target waktu penyelesaian Rencana Tindak Pemenuhan NSFR. (2) Laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit: a. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh Bank; b. kendala dalam melaksanakan tindakan perbaikan; dan c. waktu pelaksanaan perbaikan. Pasal 13 (1) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) huruf a paling lambat: a. tanggal 15 setelah akhir bulan laporan, untuk Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara individu; dan b. akhir bulan setelah akhir bulan laporan, untuk Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara konsolidasi. (2) Bank wajib menyampaikan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR baik secara individu maupun konsolidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 huruf (b) paling lambat akhir bulan berikutnya sejak Bank menghadapi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1). - 8 - (3) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR, Laporan NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan. (4) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR, Laporan NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR secara luring (offline). (5) Apabila batas waktu penyampaian Kertas Kerja NSFR, Laporan NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) jatuh pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur, laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya. (6) Penyampaian secara luring (offline) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyampaian laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) disampaikan kepada: a. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Bagian Keempat Publikasi Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) Pasal 14 (1) Bank wajib mempublikasikan dan mengungkapkan Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) untuk - 9 - posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. (2) Publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan melalui: a. situs web Bank untuk Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan; dan b. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas, situs web Bank, dan secara daring (online) untuk nilai persentase NSFR posisi akhir triwulan laporan yang dicantumkan pada laporan publikasi triwulanan. (3) Kewajiban publikasi Laporan NSFR posisi akhir triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan paling lambat: a. tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan laporan untuk laporan posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, dan bulan September; dan b. akhir bulan Maret tahun berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan, untuk laporan akhir bulan Desember. (4) Tata cara, format, dan jangka waktu penyampaian laporan publikasi triwulanan untuk nilai persentase NSFR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka waktu publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. (5) Bank wajib memelihara pengumuman Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan pada situs web Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit untuk 5 (lima) tahun buku terakhir. Pasal 15 (1) Kewajiban penyampaian Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 - 10 - dan publikasi Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) pertama kali dilakukan untuk posisi laporan akhir bulan Maret 2018. (2) Bank dinyatakan tidak mempublikasikan nilai NSFR posisi akhir triwulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal laporan publikasi triwulanan yang diumumkan tidak mencantumkan informasi mengenai nilai persentase NSFR posisi akhir triwulan laporan. Bagian Kelima Laporan bagi Bank yang Berpindah Kelompok Pasal 16 (1) Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 yang pada awalnya tidak diwajibkan memenuhi ketentuan NSFR, kemudian menjadi Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4, atau bank asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib memenuhi ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Kewajiban pemantauan pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan pertama kali pada bulan ketiga sejak dinyatakan sebagai Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank asing. (3) Kewajiban penyampaian perhitungan NSFR serta publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 14 dilakukan pertama kali pada periode triwulan berikutnya setelah melaksanakan pemantauan pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal terdapat Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4, atau bank asing kemudian menjadi Bank yang tidak termasuk dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Bank tetap wajib memenuhi ketentuan perhitungan dan pelaporan - 11 - NSFR sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB IV SANKSI Pasal 17 Bank yang tidak memenuhi Peratuan Otoritas Jasa Keuangan ini dan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 7 ayat (5), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4), Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (5), Pasal 15 ayat (1), dan/atau Pasal 16 dikenakan sanksi administratif berupa: a. b. teguran tertulis; larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; c. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan saham dari pemegang saham yang melakukan setoran modal; d. pembekuan kegiatan usaha tertentu; e. f. larangan pembukaan jaringan kantor; penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham lembaga jasa keuangan dalam daftar orang yang dilarang menjadi pemegang saham dan pengurus lembaga jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 18 Bank yang terlambat menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta - 12 - rupiah) per hari kerja keterlambatan atau paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Pasal 19 Bank yang tidak mencantumkan nilai persentase NSFR posisi akhir triwulan laporan dalam laporan publikasi triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan Bank. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 13 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 17 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 159 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 50 /POJK.03/2017 TENTANG KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM I. UMUM Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai negara pada tahun 2008 menunjukkan bahwa meskipun permodalan Bank memadai namun apabila Bank tidak memerhatikan prinsip kehati- hatian dalam mengelola likuiditas maka dapat mengganggu kelangsungan usaha Bank. Dengan demikian seperti halnya permodalan, dibutuhkan suatu standar perhitungan rasio likuiditas terkait sumber pendanaan untuk mengukur tingkat minimum pendanaan stabil yang harus dipelihara oleh Bank dan disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku yaitu Basel III: The Net Stable Funding Ratio. Penetapan NSFR bertujuan untuk memastikan bahwa Bank memelihara pendanaan stabil yang disesuaikan dengan komposisi aset dan rekening administratif. Bank diharapkan dapat mengurangi risiko likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih panjang. Dengan demikian, Bank perlu untuk meningkatkan stabilitas pendanaan dengan membatasi ketergantungan yang berlebihan terhadap sumber pendanaan jangka pendek yang berasal dari korporasi. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan pengaturan tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding Ratio) bagi Bank Umum. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) NSFR dihitung dengan formula sebagai berikut: Ayat (3) Konversi mata uang asing menjadi rupiah dilakukan dengan menggunakan kurs tengah penutupan Bank Indonesia pada tanggal laporan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penetapan NSFR yang berbeda didasarkan antara lain dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi risiko likuiditas terkait pendanaan yang lebih tinggi sehingga membutuhkan pemenuhan NSFR lebih tinggi dari pemenuhan NSFR minimum. Pasal 3 Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah pengendalian sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan. Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan anak sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko secara konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan anak. Pasal 4 Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4” adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan . - 3 - kantor berdasarkan modal inti Bank. Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah: 1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri; 2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing baik secara sendiri atau secara bersama-sama; dan/atau 3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari atau sama dengan 50% (lima puluh persen) namun terdapat pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Nilai tercatat (carrying value) yang diperhitungkan adalah nilai tercatat (carrying value) sebelum faktor pengurang berdasarkan pengaturan (regulatory deductions), atau penyesuaian lain. Contoh: Modal inti (Tier 1) dan modal pelengkap (Tier 2) tidak memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “seluruh nilai tercatat (carrying value) aset pada laporan posisi keuangan (neraca)” dalam ketentuan ini termasuk giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib minimum, dan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA) sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan CEMA. Untuk aset pada laporan posisi keuangan (neraca), nilai tercatat (carrying value) yang diperhitungkan adalah nilai tercatat - 4 - (carrying value) aset setelah dikurangi dengan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset yang dihitung sesuai standar akuntansi keuangan. Khusus untuk aset yang penurunan nilai atas aset tersebut dihitung secara kolektif, CKPN yang dapat dikurangkan adalah CKPN atas aset yang telah teridentifikasi mengalami penurunan nilai secara individu. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Format Laporan NSFR disusun sesuai dengan yang ditetapkan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada dokumen Basel III : The Net Stable Funding Ratio. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh: terdapat perubahan strategi dan struktur pendanaan. Huruf c Yang dimaksud dengan “saling bergantung (interdependent)” adalah aset dan liabilitas tertentu saling bergantung satu sama lain berdasarkan perjanjian kontraktual sehingga liabilitas tidak akan jatuh tempo selama aset yang terkait masih tercatat di neraca, arus pembayaran pokok dari aset yang terkait hanya dapat digunakan untuk melunasi liabilitas yang terkait, dan liabilitas yang terkait tidak dapat digunakan untuk mendanai aset lain. - 5 - Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Rencana Tindak Pemenuhan NSFR memuat langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh Bank untuk memperbaiki kondisi likuiditas Bank dan target waktu penyelesaian, antara lain: a. penambahan jumlah dana stabil yang tersedia; b. pembatasan eksposur Bank terhadap risiko likuiditas melalui pembatasan ekspansi kredit jangka panjang; dan/atau c. penguatan kebijakan, proses, dan prosedur Bank terkait manajemen risiko likuiditas. Rencana Tindak Pemenuhan NSFR yang disampaikan oleh Bank merupakan komitmen Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Target waktu penyelesaian Rencana Tindak Pemenuhan NSFR meliputi target waktu penyelesaian setiap tahapan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR maupun penyelesaian secara keseluruhan. Ayat (2) Laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR yang disampaikan oleh Bank antara lain memuat penjelasan - 6 - mengenai realisasi pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR, disertai bukti pelaksanaan dan/atau dokumen pendukung terkait. Pasal 13 Ayat (1) Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai dengan 100% (seratus persen) pada bulan Februari 2018, Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR paling lambat tanggal 15 Maret 2018 untuk Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara individu dan tanggal 31 Maret 2018 untuk Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara konsolidasi. Ayat (2) Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai dengan 100% (seratus persen) pada bulan Februari 2018, Bank wajib menyampaikan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR baik secara individu dan konsolidasi paling lambat tanggal 31 Maret 2018. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pencantuman dalam situs web Bank dilakukan secara rinci dengan memuat perhitungan NSFR dalam bentuk perbandingan dengan perhitungan NSFR triwulanan periode sebelumnya. - 7 - Yang dimaksud dengan ”situs web Bank” adalah situs web berdomain Indonesia yang bukan merupakan bagian dari situs web entitas induk atau kelompok usaha Bank. Pengumuman laporan pada situs web Bank ditempatkan pada halaman yang mudah diakses, misalnya dengan memberikan tautan khusus untuk laporan publikasi NSFR pada halaman depan situs web Bank. Huruf b Publikasi dalam surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia dilakukan dengan mencantumkan nilai NSFR dalam bentuk perbandingan dengan nilai NSFR triwulanan periode tahun sebelumnya. Surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas di tempat kedudukan kantor pusat Bank atau di tempat kedudukan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Contoh: Laporan NSFR posisi akhir bulan Maret 2018 dipelihara pada situs web Bank sampai dengan bulan Maret 2023. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Bank kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 dapat menjadi Bank kelompok BUKU 3 atau BUKU 4 karena peningkatan modal atau menjadi bank asing. Pemenuhan kewajiban sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini antara lain melakukan pemantauan pemenuhan NSFR, menyampaikan laporan perhitungan NSFR, serta melakukan publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR. - 8 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6099
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 50/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 13 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 17 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 17 Juli 2017 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg> <penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.04/2017 TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan industri pasar modal syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai kriteria dan penerbitan daftar efek syariah; b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); - 2 - MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 2. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan syariah di pasar modal berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. 3. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya yang: a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha; dan/atau c. aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan penerbitnya, tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 4. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau - 3 - mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 5. Manajer Investasi Syariah adalah Manajer Investasi yang dalam anggaran dasarnya menyatakan bahwa: a. kegiatan dan jenis usaha; b. cara pengelolaan; dan/atau c. jasa yang diberikan, dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 6. Unit Pengelolaan Investasi Syariah adalah bagian dari Manajer Investasi yang memiliki tugas dan tanggung jawab mengelola portofolio Efek atau portofolio investasi kolektif yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal, mengembangkan dan memasarkan jasa atau produk pengelolaan investasi syariah. 7. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah: a. pihak yang telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan Daftar Efek Syariah; b. Manajer Investasi Syariah yang telah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan untuk menjalankan kegiatan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; atau c. Manajer Investasi yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah yang telah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan untuk menjalankan kegiatan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 8. Daftar Efek Syariah adalah kumpulan Efek Syariah, yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. 9. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam - 4 - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya. 10. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 11. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. 12. Emiten Syariah adalah Emiten yang anggaran dasarnya menyatakan kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 13. Perusahaan Publik Syariah adalah Perusahaan Publik yang anggaran dasarnya menyatakan bahwa kegiatan dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal. 14. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat ASPM adalah: a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah; atau b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah, yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa syariah di pasar modal. 15. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip Syariah di Pasar Modal terhadap pihak yang melakukan kegiatan syariah di pasar modal. - 5 - BAB II EFEK DAN KRITERIA EFEK DALAM DAFTAR EFEK SYARIAH Pasal 2 (1) Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah meliputi: a. Efek Syariah berupa saham termasuk hak memesan Efek terlebih dahulu syariah dan waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten Syariah atau Perusahaan Publik Syariah; b. Efek berupa saham termasuk hak memesan Efek terlebih dahulu syariah dan waran syariah yang diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha, cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal, sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik tersebut: 1. tidak melakukan kegiatan dan jenis usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal yang meliputi: a) perjudian dan permainan yang tergolong judi; b) jasa keuangan ribawi; c) jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir); d) memproduksi, memperdagangkan, mendistribusikan, dan/atau menyediakan: 1) barang atau jasa haram zatnya (haram li-dzatihi); 2) barang atau jasa haram bukan karena zatnya (haram li-ghairihi) yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; 3) barang atau jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat; dan/atau - 6 - 4) barang atau jasa lainnya yang bertentangan dengan prinsip syariah berdasarkan ketetapan dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; dan e) melakukan kegiatan lain yang bertentangan dengan prinsip syariah berdasarkan ketetapan dari Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia; 2. tidak melakukan transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal; 3. memenuhi rasio keuangan sebagai berikut: a) total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45% (empat puluh lima persen); dan b) total pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh persen); dan c. Efek lainnya, yang meliputi: 1. Efek Syariah selain saham yang diterbitkan melalui Penawaran Umum; dan 2. Efek Syariah selain saham yang diterbitkan: a) tanpa melalui Penawaran Umum; dan b) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal. (2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan rasio keuangan yang berbeda dengan rasio keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 dengan memperhatikan kondisi dan perkembangan pasar modal syariah. - 7 - BAB III DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITETAPKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN Pasal 3 Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Daftar Efek Syariah dengan menggunakan kriteria Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 4 Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan memuat Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterbitkan Emiten melalui Penawaran Umum atau Perusahaan Publik di Indonesia. Pasal 5 (1) Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ditetapkan secara berkala 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun yaitu: a. penetapan Daftar Efek Syariah pertama dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum berakhirnya bulan Mei dan berlaku efektif pada tanggal 1 Juni; dan b. penetapan Daftar Efek Syariah kedua dilakukan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum berakhirnya bulan November dan berlaku efektif pada tanggal 1 Desember. (2) Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media massa lainnya. Pasal 6 Dalam hal terdapat Penawaran Umum, aksi korporasi, informasi, atau fakta dari Emiten atau Perusahaan Publik yang dapat menyebabkan terpenuhi atau tidak terpenuhinya - 8 - kriteria Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan dapat: a. mengumumkan penambahan Efek yang memenuhi kriteria Efek Syariah dalam Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau b. mengumumkan bahwa Efek Syariah tertentu dalam Daftar Efek Syariah tidak lagi memenuhi kriteria Efek Syariah. Pasal 7 Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib digunakan sebagai acuan bagi: a. pihak yang menerbitkan indeks Efek Syariah di dalam negeri; b. Manajer Investasi yang mengelola portofolio investasi Efek Syariah dalam negeri; c. Perusahaan Efek yang memiliki sistem online trading syariah; dan d. pihak lain yang melakukan penyusunan dan/atau pengelolaan portofolio investasi Efek Syariah dalam negeri untuk kepentingan nasabahnya atau kepentingan pihak lain, sepanjang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. BAB IV DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH Bagian Kesatu Daftar Efek Syariah Pasal 8 (1) Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah hanya dapat memuat Efek Syariah yang diperdagangkan di luar negeri. - 9 - (2) Efek Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. saham yang memenuhi Prinsip Syariah di Pasar Modal yang diperdagangkan di bursa efek luar negeri; b. sukuk yang dicatatkan di bursa efek luar negeri; c. surat berharga komersial syariah yang jatuh temponya 1 (satu) tahun atau lebih; dan d. Efek Syariah luar negeri lainnya. (3) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dilarang memuat Efek Syariah yang telah dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9 (1) Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat: a. diumumkan kepada publik; dan/atau b. digunakan secara terbatas untuk kepentingan pihak tertentu. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling sedikit melalui surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau media elektronik yang dapat diakses oleh publik. Pasal 10 Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah apabila saham tersebut: a. termasuk saham syariah luar negeri yang ditetapkan oleh regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain yang melakukan seleksi berdasarkan kegiatan usaha dan rasio keuangan yang paling sedikit terdiri atas rasio terkait utang dan/atau utang berbasis bunga dan rasio terkait pendapatan tidak halal; atau b. diseleksi dengan menggunakan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. - 10 - Pasal 11 (1) Dalam hal Daftar Efek Syariah mengacu pada efek syariah luar negeri yang ditetapkan oleh regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mencantumkan regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain yang dijadikan sebagai acuan. (2) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib memastikan bahwa penyedia indeks dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki pengawas kesyariahan dan metodologi seleksi efek syariah luar negeri. Pasal 12 DPS wajib memastikan pemenuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Bagian Kedua Persetujuan dan Persyaratan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Pasal 13 (1) Pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. berbentuk badan hukum yang berkedudukan di Indonesia; b. memiliki DPS yang mempunyai izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Ahli Syariah Pasar Modal; c. memiliki standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah yang paling sedikit meliputi: - 11 - 1. prosedur pengumpulan data termasuk mekanisme permintaan informasi tambahan; 2. prosedur seleksi berdasarkan kriteria Daftar Efek Syariah yang digunakan dan prosedur penelaahan; 3. tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah; 4. prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah; dan 5. prosedur perubahan Daftar Efek Syariah. (3) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah mengacu kepada efek syariah luar negeri yang ditetapkan oleh regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain, persyaratan standar prosedur operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit meliputi: a. prosedur seleksi pihak yang akan menjadi acuan (regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain); b. prosedur pengumpulan informasi efek syariah luar negeri dari pihak yang menjadi acuan tersebut; c. tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah; d. prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah; e. prosedur perubahan Daftar Efek Syariah; dan f. keterangan mengenai penggunaan acuan berbayar, dalam hal menggunakan acuan berbayar. Pasal 14 (1) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal akan melakukan perubahan mekanisme penyusunan Daftar Efek Syariah. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersamaan dengan penerbitan Daftar Efek Syariah periode berikutnya. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disertai standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah yang dilakukan. - 12 - Pasal 15 (1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) melakukan kontrak kerja sama dengan penyedia indeks dan/atau pihak lain, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyampaikan kontrak kerja sama kepada Otoritas Jasa Keuangan: a. paling lambat 6 (enam) bulan sejak permohonan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau b. paling lambat 1 (satu) bulan sejak Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah membuat kontrak kerja sama baru dengan penyedia indeks dan/atau pihak lain. (2) Dalam hal batas waktu penyampaian kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, kontrak kerja sama wajib disampaikan paling lambat pada hari kerja berikutnya. (3) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menyampaikan kontrak kerja sama melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 16 (1) Dalam hal pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah merupakan Manajer Investasi Syariah dan/atau Manajer Investasi yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah, Manajer Investasi Syariah dan/atau Manajer Investasi yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah tersebut tidak wajib mengajukan permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2). - 13 - (2) Manajer Investasi Syariah dan/atau Manajer Investasi yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan melampirkan standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c atau ayat (3). Bagian Ketiga Tata Cara Permohonan Persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Pasal 17 (1) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) harus diajukan dalam bentuk dokumen cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format Surat Permohonan Persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut: a. dokumen yang menyangkut pemohon: 1. fotokopi bukti pembayaran atas permohonan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; 2. fotokopi anggaran dasar terakhir atau dokumen sejenis yang telah memperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang, dalam hal pemohon belum mendapatkan izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan; 3. struktur organisasi perusahaan; 4. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama pemohon; 5. daftar nama dan data anggota direksi, yang meliputi: - 14 - a) daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani oleh yang bersangkutan; b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Paspor yang masih berlaku; c) fotokopi Izin Kerja Tenaga Asing bagi direksi berkewarganegaraan asing dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan undangan; dan d) pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan latar belakang berwarna merah sebanyak 2 (dua) lembar; dan 6. surat pernyataan direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas penyusunan Daftar Efek Syariah dengan menggunakan format Surat Pernyataan Direksi yang Bertanggung Jawab atas Penyusunan Daftar Efek Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; b. dokumen terkait DPS: 1. fotokopi surat izin ASPM anggota DPS yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kepatuhan syariah Daftar Efek Syariah yang diterbitkan; 2. surat penunjukan direksi kepada DPS sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kepatuhan syariah Daftar Efek Syariah yang diterbitkan; 3. surat pernyataan kesediaan DPS atas penunjukan direksi sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kepatuhan syariah Daftar Efek Syariah yang diterbitkan, dengan menggunakan format Surat Pernyataan DPS tentang Kesediaan Sebagai Pihak yang Bertanggung Jawab terhadap Pemenuhan Kepatuhan Syariah Daftar Efek perundang- - 15 - Syariah yang Diterbitkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan 4. surat pernyataan DPS mengenai pernyataan kesyariahan Efek Syariah yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah, dengan menggunakan format Surat Pernyataan Kesesuaian Syariah Dewan Pengawas Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan c. dokumen terkait standar prosedur operasi, yaitu fotokopi dokumen standar prosedur operasi penyusunan Daftar Efek Syariah dengan menggunakan kertas berlogo perusahaan serta mencantumkan tanggal pengesahan dan ditandatangani oleh anggota direksi. (3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah secara elektronik, permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dapat dilakukan secara elektronik. (4) Ketentuan mengenai penyampaian permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan dokumen dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. - 16 - Pasal 19 (1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa: a. permohonan tidak lengkap; atau b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi persyaratan. (2) Pemohon wajib melengkapi kekurangan dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan Otoritas Jasa Keuangan. (3) Penyampaian kelengkapan dokumen dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal diterimanya perubahan dokumen dan/atau tambahan informasi. (4) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan persetujuan tersebut dianggap baru diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap membatalkan permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (6) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta tambahan dokumen dan/atau informasi dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyampaian permohonan persetujuan dan/atau tambahan informasi - 17 - terakhir dari permohonan persetujuan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat persetujuan kepada pemohon. Bagian Keempat Pengumuman dan Pelaporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah Pasal 20 (1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah mengumumkan Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mengumumkan setiap perubahan Daftar Efek Syariah. (2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui surat kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau media elektronik yang dapat diakses oleh publik paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah perubahan Daftar Efek Syariah dinyatakan efektif. (3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Daftar Efek Syariah tersebut dipublikasikan. (4) Penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disertai surat pernyataan kesesuaian syariah dari DPS dengan menggunakan format Surat Pernyataan Kesesuaian Syariah Dewan Pengawas Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 21 (1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menggunakan Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyampaikan laporan setiap - 18 - tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menggunakan format Laporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dokumen sebagai berikut: a. Daftar Efek Syariah yang diterbitkan beserta perubahannya selama tahun berjalan dengan batas akhir periode laporan per tanggal 31 Desember; dan b. Surat pernyataan kesesuaian syariah dari DPS untuk setiap penerbitan Daftar Efek Syariah dengan menggunakan format Surat Pernyataan Kesesuaian Syariah Dewan Pengawas Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada tanggal 31 Januari tahun berikutnya. (4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan wajib dilakukan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya. (5) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menyampaikan laporan melewati batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penghitungan jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). Pasal 22 Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menerbitkan Daftar Efek Syariah baik untuk diumumkan kepada publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a - 19 - maupun untuk digunakan secara terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21. Pasal 23 (1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem pelaporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah secara elektronik, penyampaian laporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dapat dilakukan melalui sistem elektronik. (2) Ketentuan mengenai penyampaian laporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. BAB V KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 24 Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyimpan seluruh dokumen yang terkait dengan pencantuman Efek Syariah dalam Daftar Efek Syariah untuk jangka waktu sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai dokumen perusahaan. BAB VI KETENTUAN SANKSI Pasal 25 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; - 20 - b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 26 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 27 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 kepada masyarakat. BAB VII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 28 Pihak yang telah mendapatkan persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyesuaikan dengan - 21 - ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. BAB VIII KETENTUAN PENUTUP Pasal 29 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah, beserta Peraturan Nomor II.K.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 30 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 22 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 137 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana - 2 - PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 35 /POJK.04/2017 TENTANG KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH I. UMUM Dalam upaya pengembangan pasar modal syariah agar dapat tumbuh stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya regulasi yang jelas dan mudah dipahami, serta dapat diterapkan. Disamping itu, dinamika perkembangan pasar modal syariah menuntut adanya penyempurnaan atas Peraturan Nomor II.K.1, lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Penyempurnaan Peraturan Nomor II.K.1 tersebut dilakukan untuk mendukung pengembangan pasar modal syariah melalui pertumbuhan Efek Syariah serta menyelaraskan dengan beberapa Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait pasar modal syariah, antara lain POJK Nomor 16/POJK.04/2015 tentang Ahli Syariah Pasar Modal, POJK Nomor 19/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa Dana Syariah, dan POJK Nomor 61/POJK.04/2016 tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal pada Manajer Investasi. Adapun penyempurnaan terhadap peraturan mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah yang berlaku sebelumnya dilakukan dengan menambahkan ketentuan baru dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yaitu antara lain: - 2 - a. memperluas cakupan pihak yang wajib menggunakan Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; b. memperluas cakupan jenis Efek yang dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah; c. menambahkan ketentuan yang mewajibkan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah memiliki DPS yang memiliki izin ASPM dari Otoritas Jasa Keuangan; dan d. menambahkan ketentuan yang mewajibkan DPS untuk memastikan pemenuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek Syariah yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek Syariah, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah, beserta Peraturan Nomor II.K.1 yang merupakan lampirannya dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “hak memesan efek terlebih dahulu syariah” adalah hak yang melekat pada saham yang termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang memberikan kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang memberikan hak untuk membeli saham, sebelum - 3 - ditawarkan kepada pihak lain. Hak tersebut wajib dapat dialihkan. Yang dimaksud dengan “waran syariah” adalah Efek yang diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak kepada pemegang Efek untuk memesan saham syariah dari perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam) bulan atau lebih sejak Efek dimaksud diterbitkan. Huruf b Angka 1 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Contoh jasa keuangan ribawi antara lain bank konvensional (berbasis bunga) dan perusahaan pembiayaan konvensional (berbasis bunga). Huruf c) Contoh jual beli risiko yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir) antara lain asuransi konvensional. Huruf d) Cukup jelas. Huruf e) Ketetapan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia dapat berupa fatwa, opini, atau keputusan lain yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia. Angka 2 Contoh transaksi yang bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal antara lain sebagai berikut: a. perdagangan atau transaksi dengan penawaran dan/atau permintaan palsu; b. perdagangan atau transaksi yang tidak disertai dengan penyerahan barang dan/atau jasa, antara lain perdagangan indeks; c. penjualan atas barang yang belum dimiliki; - 4 - d. pembelian atau penjualan atas Efek yang menggunakan atau memanfaatkan informasi orang dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik; e. transaksi marjin atas Efek Syariah yang mengandung unsur bunga (riba); f. perdagangan atau transaksi dengan tujuan penimbunan (ihtikar); g. melakukan perdagangan atau transaksi yang mengandung unsur suap (risywah); dan h. transaksi lain yang mengandung unsur spekulasi (gharar), penipuan (tadlis) termasuk menyembunyikan kecacatan (ghisysy), dan upaya untuk mempengaruhi pihak lain yang mengandung kebohongan (taghrir). Angka 3 Huruf a) Cukup jelas. Huruf b) Contoh pendapatan tidak halal lainnya antara lain pendapatan yang berasal dari: a. penjualan makanan yang mengandung babi; b. penjualan minuman beralkohol; dan c. penjualan rokok. Huruf c Angka 1 Contoh Efek Syariah selain saham yang diterbitkan melalui Penawaran Umum antara lain sukuk, unit penyertaan reksa dana syariah, Efek beragun aset syariah, dana investasi real estat syariah berbentuk kontrak investasi kolektif. Angka 2 Huruf a) Contoh Efek Syariah selain saham yang diterbitkan tanpa melalui Penawaran Umum antara lain unit penyertaan reksa dana syariah berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan terbatas, medium term note syariah. - 5 - Huruf b) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Yang dimaksud dengan “aksi korporasi” antara lain transaksi afiliasi, transaksi material, perubahan kegiatan usaha utama, dan penggabungan usaha atau peleburan usaha. Pasal 7 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh pihak lain yang melakukan penyusunan portofolio investasi Efek Syariah antara lain asuransi syariah dan dana pensiun syariah. Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 6 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Contoh dari Efek Syariah luar negeri lainnya antara lain islamic real estate investment trusts (iREITS), islamic asset backed securities, islamic ETF, dan depositary receipt. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Contoh pihak tertentu adalah Manajer Investasi yang menerbitkan reksa dana syariah berbasis efek syariah luar negeri. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “media elektronik” antara lain situs web. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Contoh regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain yang dijadikan acuan antara lain Securities Commission Malaysia, Dow Jones Islamic Market, Financial Times Stock Exchange, Morgan Stanley Capital International dan bursa efek baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. - 7 - Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b DPS dapat berasal dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan. Huruf c Yang dimaksud “standar prosedur operasi” adalah standar prosedur operasi yang berupa flowchart dan penjelasan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Contoh perubahan mekanisme penyusunan Daftar Efek Syariah antara lain: a. perubahan penyusunan Daftar Efek Syariah dari semula dengan mekanisme seleksi sendiri oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menjadi dengan mekanisme mengacu kepada regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain atau sebaliknya; dan b. perubahan penyusunan Daftar Efek Syariah dari semula hanya dengan salah satu mekanisme menjadi menggunakan 2 (dua) mekanisme baik menggunakan mekanisme seleksi sendiri maupun mekanisme mengacu kepada regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 8 - Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “membuat kontrak kerja sama baru dengan penyedia indeks dan/atau pihak lain di luar negeri” adalah apabila terdapat: a. perubahan mekanisme penyusunan Daftar Efek Syariah oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dari semula menyusun sendiri menjadi mengacu kepada penyedia indeks dan/atau pihak lain; atau b. perubahan atas penyedia indeks dan/atau pihak lain yang menjadi acuan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Apabila dalam 1 (satu) tahun tersebut terdapat beberapa kali perubahan Daftar Efek Syariah, isi dari laporan yang disampaikan adalah rekapan dari perubahan Daftar Efek Syariah tersebut yang disertai surat pernyataan kesesuaian syariah dari DPS untuk setiap Daftar Efek Syariah yang berubah. - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa memerintahkan kepada Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah untuk mengeluarkan Efek yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dari Daftar Efek Syariah yang diterbitkannya. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. - 10 - Pasal 30 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6083
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 35/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH </reg_title> <set_date> 7 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 10 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 10 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor II.K.1' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39/POJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk mengantisipasi dinamika perkembangan perekonomian regional dan global, industri perbankan nasional perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing; b. bahwa peningkatan ketahanan dan daya saing perbankan nasional memerlukan struktur perbankan yang kuat; c. bahwa struktur perbankan yang kuat dapat dicapai dengan melakukan penataan struktur kepemilikan bank melalui kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia; d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kepemilikan tunggal pada perbankan Indonesia; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d tersebut di atas, perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. - 3 - 2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada 1 (satu) Bank. 3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. 4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau dimiliki oleh PSP untuk mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank yang menjadi anak perusahaannya. 5. Fungsi Holding adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah Pusat untuk mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank yang menjadi anak perusahaannya. Pasal 2 (1) Setiap pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu) Bank. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi: a. PSP pada 2 (dua) Bank yang masing-masing melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda, yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah; dan b. PSP pada 2 (dua) Bank yang salah satunya merupakan bank campuran (joint venture bank). - 4 - Pasal 3 (1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) melakukan pembelian saham Bank lain sehingga menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Bank, yang bersangkutan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: a. penggabungan atau peleburan atas Bank yang dikendalikan; b. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company); atau c. membentuk Fungsi Holding. (3) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dilakukan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP dari Bank yang dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c wajib dilakukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan setelah pelaksanaan pembelian saham Bank lain yang mengakibatkan yang bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP dari Bank yang dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (5) Berdasarkan permintaan PSP dan Bank yang dikendalikan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perpanjangan jangka waktu penyesuaian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dalam hal menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan permasalahan yang dihadapi PSP dan/atau Bank yang dikendalikan cukup kompleks sehingga menyebabkan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). - 5 - Pasal 4 (1) Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan insentif berupa: a. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK); b. kemudahan pembukaan kantor cabang; c. pelonggaran sementara penerapan tata kelola; dan/atau d. insentif lain, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. (2) Tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai insentif dalam rangka konsolidasi perbankan. BAB II TATA CARA PEMBENTUKAN PERUSAHAAN INDUK DI BIDANG PERBANKAN (BANK HOLDING COMPANY) DAN PEMBENTUKAN FUNGSI HOLDING Pasal 5 (1) Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) yaitu perseroan terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia. (2) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) hanya dapat melakukan kegiatan penyertaan, mencakup penyediaan jasa manajemen untuk meningkatkan efektivitas konsolidasi, strategi usaha, dan optimalisasi keuangan kelompok usaha yang dikendalikan. (3) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) berada 1 (satu) tingkat di atas Bank yang dikendalikan secara langsung. - 6 - (4) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dapat berdiri sendiri sebagai 1 (satu) badan hukum atau berupa perusahaan induk di bidang keuangan (financial holding company) yang mengonsolidasikan lembaga keuangan yang dimiliki oleh PSP. Pasal 6 (1) Fungsi Holding hanya dapat dilakukan PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau instansi Pemerintah Pusat. (2) Fungsi Holding dipimpin oleh: a. salah satu anggota direksi pada Bank yang menjadi PSP; atau b. salah satu pejabat yang ditunjuk oleh pimpinan tertinggi instansi Pemerintah Pusat. Pasal 7 (1) PSP yang memilih untuk membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) wajib menyampaikan rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dan pengalihan saham dari PSP kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Penyampaian rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dan pengalihan saham dari PSP kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan dokumen pendukung paling sedikit: a. berita acara Rapat Umum Pemegang Saham masing- masing Bank; b. rancangan anggaran dasar pendirian Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company); c. rancangan akta pengalihan saham Bank; dan - 7 - d. daftar calon anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company). (3) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank umum, serta ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembelian saham bank umum. (4) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan berdasarkan kewajiban dalam ketentuan ini dikecualikan dari ketentuan yang berlaku bagi calon pemegang saham Bank untuk menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan batas maksimum kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kepemilikan saham bank umum. Pasal 8 (1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota direksi dan calon anggota dewan komisaris Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kepatutan. penilaian kemampuan dan (2) Bank yang membentuk Fungsi Holding wajib menyampaikan informasi dan dokumen pendukung mengenai pelaksana Fungsi Holding dan rencana pelaksanaannya kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 9 (1) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dan Fungsi Holding wajib memberikan arah strategis dan mengonsolidasikan laporan keuangan Bank yang menjadi anak perusahaan. (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang - 8 - Perbankan (Bank Holding Company) dan terhadap Fungsi Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pengaturan dan pengawasan Bank. (3) Dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dan Fungsi Holding baik secara berkala maupun sewaktu-waktu dalam hal diperlukan. Pasal 10 (1) Bank yang akan diambil alih oleh pihak yang telah menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib menyampaikan rencana pemenuhan ketentuan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan pada saat mengajukan izin pengambilalihan. (2) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat cara yang dipilih, rencana tindak (action plan), dan jadwal waktu pelaksanaan. (3) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh masing-masing Bank atau bersama-sama oleh beberapa Bank dengan PSP yang sama dan wajib ditandatangani oleh direksi dan dewan komisaris masing-masing Bank serta diketahui oleh PSP. (4) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap triwulan terhitung sejak persetujuan Bank atas rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). (5) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta laporan perkembangan pelaksanaan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada: - 9 - a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat, sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. Pasal 11 (1) PSP yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih dari 10% (sepuluh persen) dari jumlah saham Bank. (2) Bank dengan PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencatat kepemilikan saham dan hak suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah saham Bank. (3) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10% (sepuluh persen) milik PSP sebagai saham tanpa hak suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada pihak lain. Pasal 12 PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada pihak lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka waktu pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4). - 10 - BAB III SANKSI Pasal 13 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (4), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10 ayat (3), dan/atau Pasal 10 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa: 1. teguran tertulis; dan/atau 2. pencantuman anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). Pasal 14 Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (3) dikenakan: 1. sanksi administratif berupa denda Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan/atau 2. sanksi dalam penilaian aspek tata kelola pada penilaian tingkat kesehatan Bank. Pasal 15 (1) PSP yang memiliki lebih dari 1 (satu) Bank namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa larangan menjadi PSP pada seluruh bank di Indonesia untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun. (2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban PSP untuk mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. sebesar - 11 - Pasal 16 Anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dalam daftar pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and proper test). BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggabungan atau peleburan atas Bank yang dikendalikan, pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company), dan pembentukan Fungsi Holding dalam rangka Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012 tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 284, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5382), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 19 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 12 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 145 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 39 /POJK.03/2017 TENTANG KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA I. UMUM Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomis dari Bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan Bank, khususnya melalui pengawasan Bank secara terkonsolidasi. Sementara itu, rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada tahun 2020 yang memungkinkan Bank dengan kualifikasi tertentu (Qualified ASEAN Banks–QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, akan meningkatkan persaingan antara Bank nasional dengan bank dari kawasan ASEAN. Untuk mengantisipasi integrasi sektor keuangan regional dan global tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ketahanan dan daya saing perbankan nasional, baik melalui akselerasi konsolidasi perbankan maupun upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan Bank, kualitas penerapan tata kelola, maupun meningkatkan permodalan Bank. Di samping itu, perlu disadari bahwa ketahanan dan daya saing perbankan yang kuat sangat dipengaruhi dan membutuhkan dukungan struktur perbankan yang kuat pula. Struktur perbankan yang kuat menjadi kerangka dasar yang diharapkan mampu mendukung peningkatan perekonomian nasional, antara lain dapat dicapai melalui penataan struktur kepemilikan Bank. - 2 - Dengan mempertimbangkan hal di atas dan sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, perlu untuk melakukan pengaturan kembali mengenai Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia, yang salah satunya dilakukan dengan memberikan alternatif penyesuaian struktur kepemilikan saham Bank melalui pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) maupun pelaksanaan Fungsi Holding. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Dalam hal PSP berbentuk badan hukum, pengertian PSP adalah sampai dengan pemilik dan pengendali terakhir dari badan hukum tersebut (ultimate shareholders) sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Sejalan dengan itu, pengertian telah melakukan pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Ayat (2) Huruf a Berdasarkan ketentuan ini, dalam hal PSP memiliki lebih dari 2 (dua) Bank dan diantaranya terdapat beberapa Bank yang melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang sama, kepemilikan atas Bank yang melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang sama tersebut tidak memperoleh pengecualian. Contoh: PSP yang telah memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1 (satu) Bank berdasarkan prinsip syariah yang kemudian - 3 - mengambil alih Bank berdasarkan prinsip syariah, PSP melakukan penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua Bank berdasarkan prinsip syariah tersebut. Huruf b Yang dimaksud dengan “bank campuran” dalam ketentuan ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia, yang telah memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan pada saat mulai berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia tanggal 5 Oktober 2006, komposisi pemegang saham masih tetap terdiri dari bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia. Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, dalam hal PSP bank campuran memiliki lebih dari 1 (satu) Bank lain bukan bank campuran, kepemilikan atas Bank bukan bank campuran tersebut tidak memperoleh pengecualian. Contoh: PSP yang telah memiliki 1 (satu) bank campuran dan 1 (satu) Bank lain bukan bank campuran yang kemudian mengambil alih lagi Bank lain yang bukan bank campuran, PSP melakukan penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua Bank yang bukan bank campuran tersebut. Pasal 3 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Pelaksanaan penggabungan atau peleburan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank umum. - 4 - Huruf b Dengan ketentuan ini maka Bank yang dikendalikan oleh PSP tetap ada sebagaimana semula namun saham yang semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh PSP dialihkan kepemilikannya kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company). Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Ayat (1) Kewajiban pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) sebagai badan hukum Indonesia diberlakukan bagi PSP berupa: a. orang perseorangan dan badan hukum non-bank yang berkedudukan di Indonesia; dan/atau b. orang perseorangan dan badan hukum yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “perusahaan induk di bidang keuangan (financial holding company)” adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau dimiliki oleh PSP untuk mengonsolidasikan dan mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas perusahaan keuangan yang menjadi anak perusahaan. - 5 - Pasal 6 Yang dimaksud dengan “instansi Pemerintah Pusat” adalah instansi yang berwenang menangani Bank yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Pasal 7 Ayat (1) Rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dilaporkan dalam Rencana Bisnis Bank dan dituangkan secara detail dalam rencana pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dan rencana pengalihan saham dari PSP kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kepemilikan saham bank umum, calon pemegang saham Bank menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan batas maksimum kepemilikan saham pada saat menjadi pemegang saham Bank. Dengan ketentuan ini maka seluruh saham PSP dapat dialihkan kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company). Namun demikian, ketentuan tersebut tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) untuk menyesuaikan kepemilikan sahamnya dalam hal setelah pengalihan saham tersebut Bank yang dimiliki tidak memenuhi kriteria tingkat kesehatan Bank, dan/atau penilaian tata kelola sesuai yang dipersyaratkan dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kepemilikan saham bank umum. Pasal 8 Cukup jelas. - 6 - Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “saham Bank” adalah saham Bank yang memiliki hak suara. Ayat (2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar kelompok usaha dan/atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari PSP. Pengalihan saham dari PSP kepada pihak lain dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank umum, serta ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembelian saham bank umum. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Yang dimaksud dengan “penilaian tingkat kesehatan Bank” adalah penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai: a. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk Bank Umum Konvensional; dan - 7 - b. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, untuk aktivitas perbankan dengan prinsip syariah. Pasal 15 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “bank” adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Bank Syariah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6088
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 39/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '14/24/PBI/2012' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2017 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pemeliharaan dokumen oleh wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen oleh wali amanat, ketentuan peraturan perundang- undangan di sektor pasar modal mengenai pemeliharaan dokumen oleh wali amanat yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat; - 2 - Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek yang bersifat utang. 2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum. 3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. 4. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya. 5. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dibuat dalam bentuk akta notariil. - 3 - BAB II PEMELIHARAAN DOKUMEN Pasal 2 Setiap Wali Amanat wajib mengadministrasikan, menyimpan, dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang berhubungan dengan Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat. Pasal 3 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari kegiatan bank lainnya dan wajib tersedia setiap saat untuk kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disimpan paling singkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun sejak seluruh kewajiban Emiten terhadap pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk telah dipenuhi. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 4 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; - 4 - f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 5 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 6 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 7 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. - 5 - Pasal 8 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 128 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 28 /POJK.04/2017 TENTANG PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pemeliharaan dokumen oleh Wali Amanat yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep- 78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang wajib diadministrasikan, disimpan, dan dipelihara antara lain: a. Kontrak Perwaliamanatan; b. kontrak yang berkaitan dengan pemberian jaminan dan bukti pemilikan atau penguasaan atas harta yang dijaminkan; c. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar dan yang telah dilunasi; d. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai pelaksanaan pengawasan terhadap Emiten termasuk tindakan yang dilakukan oleh Wali Amanat karena tidak dipenuhinya persyaratan Kontrak Perwaliamanatan, antara lain tidak dibayarnya pokok dan bunga, atau adanya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal yang dilakukan oleh Emiten; e. f. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai rapat umum pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk; catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dapat dikonversikan menjadi saham; g. daftar Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat; dan h. buku pedoman operasional Wali Amanat. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. - 3 - Pasal 5 Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa perintah untuk menyalin atau melakukan dokumentasi ulang atas dokumen yang rusak. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6075
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 28/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT </reg_title> <set_date> 21 Juni 2017 </set_date> <effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date> <issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'Kep-78/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-78/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.I.2' </replaced_reg> <related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 3/POJK.02/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal 37 ayat (6) Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan mengamanatkan untuk menyusun aturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5504); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN. BAB I... - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud dengan: 1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. 2. Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. 3. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang selanjutnya disebut Pihak adalah Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 4. Sektor Jasa Keuangan adalah sektor Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. 5. Wajib Bayar adalah Pihak yang wajib membayar Pungutan kepada OJK. 6. Bank Umum adalah Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah, termasuk kantor cabang dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 7. Bank Tempat Pembayaran adalah Bank Indonesia dan/atau bank umum yang ditunjuk oleh OJK untuk menerima setoran penerimaan yang berasal dari Pungutan OJK. 8. Rekening OJK adalah rekening di Bank Tempat Pembayaran yang dipergunakan OJK untuk menerima, menyimpan, dan menyalurkan dana yang berasal dari penerimaan Pungutan OJK. 9. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian atas penghitungan dan pembayaran Pungutan OJK, berdasarkan data dan informasi penghitungan dan pembayaran yang dimiliki atau diperoleh OJK. 10. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 11. Efek... - 3 - 11. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. BAB II TATA CARA PEMBAYARAN DAN PERHITUNGAN PUNGUTAN OJK Pasal 2 (1) Jenis Pungutan yang berlaku di OJK meliputi: a. Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi; dan b. Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian. (2) Jenis, satuan, dan besaran Pungutan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Sanksi administratif berupa denda atas pelanggaran peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK. Pasal 3 (1) Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib dibayar ke Rekening OJK pada Bank Tempat Pembayaran yang ditunjuk oleh OJK. (2) Dalam hal rekening OJK tidak dapat menerima pembayaran Pungutan, Pungutan dibayarkan melalui cara pembayaran lain yang ditetapkan OJK. (3) Pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu mengisi formulir yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. (4) Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK tentang tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di Sektor Jasa Keuangan. (5) Pembayaran... - 4 - (5) Pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke satuan rupiah terdekat. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pembayaran kewajiban Pungutan diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 4 (1) Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib dibayar oleh Wajib Bayar sebelum pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan kepada OJK. (2) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib dibayar oleh Wajib Bayar sebelum penyampaian rencana aksi korporasi. (3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak disertai dengan penyampaian dokumen pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari, maka pembayaran tersebut bersifat final dan tidak dapat dimintakan kembali. (4) Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi tersebut dianggap belum diajukan kepada OJK. (5) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menentukan disetujui atau ditolaknya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi. (6) Dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (3), pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat final dan tidak dapat dimintakan kembali. Pasal 5 (1) Biaya pendaftaran bagi Wajib Bayar yang melakukan Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan dihitung berdasarkan nilai emisi. (2) Nilai... - 5 - (2) Nilai emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan total dana bruto yang diperoleh oleh Wajib Bayar yang melakukan Penawaran Umum setelah pelaksanaan penjatahan dalam rangka Penawaran Umum. (3) Pembayaran biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Bayar yang melakukan Penawaran Umum dihitung berdasarkan jumlah dana yang akan dihimpun sebagaimana tercantum dalam dokumen pernyataan pendaftaran. (4) Keseluruhan biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung kembali berdasarkan nilai emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (5) Wajib Bayar yang melakukan Penawaran Umum wajib menyampaikan konfirmasi nilai emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah penjatahan dalam rangka Penawaran Umum. (6) Dalam hal keseluruhan biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar dari pembayaran berdasarkan jumlah dana yang akan dihimpun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih kurang bayar wajib dibayar kepada OJK paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah konfirmasi nilai emisi. (7) Dalam hal keseluruhan biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih kecil dari pembayaran berdasarkan jumlah dana yang akan dihimpun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih lebih bayar akan dikembalikan oleh OJK setelah konfirmasi nilai emisi diterima oleh OJK. (8) Dalam hal pernyataan pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum batal, pembayaran biaya pendaftaran bersifat final dan tidak dapat dimintakan kembali. Pasal 6 (1) Besarnya biaya penelaahan aksi korporasi berupa penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka dihitung berdasarkan nilai aset yang terakhir dalam laporan keuangan proforma penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka sebelum efektifnya pernyataan penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka. (2) Dalam hal biaya penelaahan dalam rangka rencana aksi korporasi berupa penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka yang telah dibayarkan lebih kecil dari perhitungan biaya berdasarkan nilai aset yang terakhir dalam laporan keuangan proforma, perusahaan terbuka wajib membayar selisih kurang bayar dimaksud paling... secara mandiri - 6 - paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah efektifnya pernyataan penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka. (3) Dalam hal biaya penelaahan dalam rangka rencana aksi korporasi berupa penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka yang telah dibayarkan lebih besar dari perhitungan biaya berdasarkan nilai aset yang terakhir dalam laporan keuangan proforma, OJK mengembalikan selisih lebih bayar paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah efektifnya pernyataan penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka. (4) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi berupa pengambilalihan perusahaan terbuka wajib dibayar oleh Wajib Bayar pada tanggal yang sama dengan tanggal penyampaian bukti pengumuman negosiasi atau dalam rangka pengambilalihan perusahaan terbuka kepada OJK. Pasal 7 (1) Perhitungan biaya tahunan manajer investasi dihitung berdasarkan tarif persentase tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan dari rata-rata harian atas dana kelolaan selama 1 (satu) tahun periode pelaporan sebelum kewajiban pembayaran Pungutan. (2) Dana kelolaan manajer investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan dana kelolaan harian atas produk reksa dana, efek beragun aset, pengelolaan portofolio efek untuk kepentingan nasabah secara individual, reksa dana penyertaan terbatas, dana investasi real estate dan produk investasi lain yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 (1) Kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik, kantor konsultan hukum, kantor notaris, dan perusahaan konsultan aktuaria, sepanjang kantor dimaksud memiliki izin, persetujuan, pengesahan, atau pendaftaran dari OJK dikenakan Pungutan oleh OJK. (2) Perhitungan biaya tahunan kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik, kantor konsultan hukum, kantor notaris, dan perusahaan konsultan aktuaria yang besaran tarifnya berdasarkan nilai kontrak di Sektor Jasa Keuangan dilakukan dengan dasar nilai kontrak per triwulanan pada tahun berjalan. Pasal 9... - 7 - Pasal 9 (1) Biaya tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang dibayar dalam 4 tahap, pembayaran setiap tahap dihitung dengan cara: a. Pembayaran biaya tahunan tahap I paling lambat tanggal 15 April untuk pembayaran atas kewajiban triwulan I yaitu mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Maret tahun berjalan; b. Pembayaran biaya tahunan tahap II paling lambat tanggal 15 Juli untuk pembayaran atas kewajiban triwulan II yaitu mulai tanggal 1 April sampai dengan 30 Juni tahun berjalan; c. Pembayaran biaya tahunan tahap III paling lambat tanggal 15 Oktober untuk pembayaran atas kewajiban triwulan III yaitu mulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 September tahun berjalan; dan d. Pembayaran biaya tahunan tahap IV paling lambat tanggal 31 Desember untuk pembayaran atas kewajiban triwulan IV yaitu mulai tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 31 Desember tahun berjalan. (2) Dalam hal biaya tahunan yang besaran tarifnya ditetapkan dalam nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan, pembayaran dilakukan paling lambat tanggal 15 Juni untuk pembayaran atas kewajiban periode satu tahun yaitu mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember tahun berjalan. Pasal 10 (1) Kewajiban biaya tahunan dimulai sejak Wajib Bayar memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan dan berakhir setelah perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan dicabut, dibatalkan, dibubarkan, atau perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup. (2) Kewajiban biaya tahunan bagi Wajib Bayar yang baru memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan dan belum mempunyai acuan sebagai dasar perhitungan biaya tahunan dikenakan biaya tahunan pada besaran paling sedikit sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (3) Dalam hal kewajiban biaya tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 tidak dalam satu tahun penuh, biaya tahunan dihitung secara proporsional bulanan dengan bagian bulan dihitung secara harian. (4) Dalam... - 8 - (4) Dalam hal perizinan, persetujuan, pendaftaran dan pengesahan bagi Wajib Bayar yang dikenakan biaya tahunan yang besaran tarifnya ditetapkan dalam nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) diperoleh setelah tanggal 15 Juni, pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember. (5) Dalam hal tanggal 31 Desember sebagaimana dimaksud pada ayat (4) jatuh pada hari libur, pembayaran dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya. Pasal 11 (1) Biaya tahunan emiten dihitung berdasarkan nilai seluruh outstanding emisi yang tercakup dalam laporan keuangan tahunan tahun sebelumnya yang telah diaudit. (2) Dalam rangka perhitungan biaya tahunan bagi emiten, nilai emisi outstanding dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan nilai emisi yang meliputi: a) jumlah nilai penerbitan Efek yang bersifat ekuitas pada saat Penawaran Umum, Penawaran Umum dalam rangka penambahan modal dengan hak memesan Efek terlebih dahulu (Penawaran Umum terbatas/right issue), penambahan modal tanpa hak memesan Efek terlebih dahulu, pelaksanaan Efek yang dapat dikonversi menjadi saham, dikurangi dengan nilai saham dari emisi yang dibeli kembali dan menurunkan modal disetor; b) jumlah nilai Efek bersifat utang yang diterbitkan melalui Penawaran Umum dan belum lunas; dan c) jumlah nilai sukuk yang diterbitkan melalui Penawaran Umum dan belum lunas. BAB III TATA CARA PENAGIHAN PUNGUTAN OJK Pasal 12 (1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajiban biaya tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana ditetapkan pada Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, OJK memberikan surat teguran pertama yang memuat: a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal teguran pertama; dan b. pengenaan... - 9 - b. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kewajiban pembayaran Pungutan yang wajib dibayar karena terlambat melakukan pembayaran dan paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. (2) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajiban biaya tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana ditetapkan pada surat teguran pertama, OJK memberikan surat teguran kedua yang memuat: a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan pada surat teguran pertama; dan b. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kewajiban pembayaran Pungutan yang wajib dibayar karena terlambat melakukan pembayaran dan paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. (3) Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat menetapkan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu kepada Wajib Bayar yang tidak melakukan atau terlambat melakukan pembayaran sesuai dengan jenis sanksi atau tindakan tertentu sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di sektor jasa keuangan. (4) Pengenaan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi administratif yang berlaku untuk setiap sektor jasa keuangan. (5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada masyarakat. (6) Tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda di Sektor Jasa Keuangan yang dikenakan kepada Pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) diatur dalam Peraturan OJK tentang Tata Cara Penagihan Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor Jasa Keuangan. Pasal 13... - 10 - Pasal 13 (1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajibannya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pembayaran Pungutan, OJK menetapkan kewajiban tersebut sebagai piutang macet. (2) OJK menyerahkan penagihan atas Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Panitia Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. (3) Pembayaran atas piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang Negara. BAB IV TATA CARA VERIFIKASI PUNGUTAN OJK Pasal 14 (1) OJK dapat melakukan Verifikasi terhadap kewajiban biaya tahunan secara: a. rutin; dan/atau b. khusus. (2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan: a. pembayaran telah tercatat pada Rekening OJK; dan b. jumlah pembayaran telah sesuai dengan jumlah kewajiban. (3) Verifikasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap setiap transaksi pembayaran biaya tahunan. (4) Verifikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap kewajiban pembayaran biaya tahunan yang terjadi lebih dari 1 (satu) tahun sejak dilakukannya pembayaran biaya tahunan. (5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal terdapat antara lain: a. keterangan tertulis dari Wajib Bayar atas kehendak sendiri yang menyatakan bahwa biaya tahunan yang telah dibayar tidak sesuai dengan kewajibannya; b. perubahan nilai dasar pengenaan biaya tahunan; c. indikasi ketidaksesuaian perhitungan kewajiban dan pembayaran biaya tahunan. (6) OJK... - 11 - (6) OJK menyampaikan hasil Verifikasi kepada Wajib Bayar. (7) Wajib Bayar dapat meminta klarifikasi secara tertulis kepada OJK atas hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil Verifikasi dari OJK. (8) Jika setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) OJK tidak menerima permintaan klarifikasi tertulis dari Wajib Bayar, maka hasil verifikasi OJK bersifat final dan tidak dapat dimintakan kembali. (9) OJK memberikan penjelasan atas permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lambat 40 (empat puluh) hari kerja sejak permintaan klarifikasi diterima OJK. (10) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya tahunan berdasarkan Verifikasi OJK dikurangi biaya tahunan berdasarkan perhitungan secara mandiri, selisih negatif tersebut ditambahkan sebagai kewajiban biaya tahunan pada tahun ditetapkan hasil verifikasi. (11) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan berdasarkan Verifikasi OJK dikurangi biaya tahunan berdasarkan perhitungan secara mandiri, selisih positif tersebut dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan pada tahun ditetapkan hasil verifikasi. (12) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (10) atau selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat (11) ditambahkan atau dikurangkan pada tahap pembayaran terdekat setelah ditetapkannya selisih berdasarkan hasil Verifikasi. BAB V PENYESUAIAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PUNGUTAN Pasal 15 (1) OJK dapat menyesuaikan kewajiban pembayaran Pungutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam hal: a. Wajib Bayar sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau sedang dalam pemberesan; b. sebagian besar atau seluruh Pihak: 1. tidak mampu mempertahankan tingkat kesehatannya sesuai Peraturan Perundang- undangan; dan/atau 2. mengalami kesulitan keuangan sehingga berpotensi terjadinya kegagalan untuk memenuhi kewajiban... - 12 - kewajiban kepada konsumennya atau dapat membahayakan kelangsungan usahanya; dan c. OJK akan atau sedang memprioritaskan pengembangan industri, jenis layanan, atau produk keuangan tertentu, baik secara nasional ataupun di daerah tertentu. (2) Kriteria kesulitan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini. (3) Penyesuaian kewajiban pembayaran Pasal 16 (1) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi keuangan dan/atau membantu proses penyehatan keuangan Wajib Bayar. (2) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengajuan permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan secara tertulis kepada OJK. (3) Permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima OJK paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum batas akhir pembayaran Pungutan. (4) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang memuat informasi sebagai berikut: a. terpenuhinya kriteria kesulitan keuangan sebagaimana terdapat pada Pasal 15 ayat (2); b. kemampuan keuangan Wajib Bayar yang mengajukan permohonan; c. program kerja dalam rangka perbaikan kondisi perusahaan jika OJK menetapkan Pungutan lebih kecil dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan. (5) Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh OJK, OJK dapat menentukan Wajib Bayar memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a. (6) Penyesuaian... Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh OJK. - 13 - (6) Penyesuaian besaran Pungutan yang ditetapkan kepada Wajib Bayar berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan tanpa pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 17 Selain kriteria kesulitan keuangan sebagaimana ditetapkan dalam lampiran Peraturan OJK ini, berdasarkan analisis yang dilakukan oleh OJK, OJK dapat menentukan kondisi tertentu sebagai ukuran untuk menetapkan Wajib Bayar sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan. Pasal 18 (1) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan hasil analisis yang dilakukan OJK terhadap sebagian besar atau seluruh industri, serta pengaruhnya pada pembiayaan kegiatan OJK. (2) Penetapan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Pasal 19 (1) Penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c dilakukan OJK berdasarkan prioritas pengembangan industri, jenis layanan, atau produk keuangan yang ditetapkan OJK. (2) Penetapan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan. Pasal 20 (1) Dalam hal sebelum berakhirnya tahun berjalan penerimaan OJK yang berasal dari Pungutan lebih besar dari rencana kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, OJK mengenakan biaya tahunan sebesar 0% (nol persen) pada sisa tahun berjalan. (2) OJK mengumumkan pengenaan biaya tahunan sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Dalam... - 14 - (3) Dalam hal Wajib Bayar telah melunasi seluruh kewajiban biaya tahunan pada saat OJK mengenakan biaya tahunan sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan pembayaran yang dihitung secara proporsional triwulanan diperhitungkan pada kewajiban pembayaran periode berikutnya. (4) Dalam hal kegiatan usaha Wajib Bayar berakhir berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran kepada OJK. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 21 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pungutan oleh OJK diatur dengan Surat Edaran OJK. Pasal 22 (1) Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) berlaku bagi Wajib Bayar yang mengajukan perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi pada atau setelah tanggal 12 Februari 2014. (2) Bagi Wajib Bayar yang telah mengajukan perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi pada tanggal 12 Februari 2014 sampai dengan diundangkannya Peraturan OJK ini dan belum membayar biaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (1) wajib membayar biaya dimaksud paling lambat tanggal 15 April 2014. (3) Pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) berlaku sejak tanggal 12 Februari 2014. Pasal 23... - 15 - Pasal 23 Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 66 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Bagian Bantuan Hukum Direktorat Hukum, Ttd. Mufli Asmawidjaja
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 3/POJK.02/2014 </reg_id> <reg_title> TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title> <set_date> 1 April 2014 </set_date> <effective_date> 1 April 2014 </effective_date> <issued_date> 1 April 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011', '11/PP/2014' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III Pasal 12' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 31/POJK.05/2014 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah, harus senantiasa memenuhi prinsip syariah Islam, termasuk fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia; b. bahwa dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip syariah Islam sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah bagi pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah; c. bahwa dalam rangka meningkatkan perkembangan usaha perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan usaha dengan syariah, perlu diterbitkan ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha oleh perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan usaha dengan prinsip syariah; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah; Mengingat ... - 2 - Mengingat : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Perusahaan Syariah adalah perusahaan pembiayaan syariah dan unit usaha syariah. 2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang dan/atau jasa. 3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya melakukan pembiayaan syariah. 4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang melaksanakan pembiayaan syariah. 5. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. 6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. 7. Pembiayaan Jual Beli adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang melalui transaksi jual beli sesuai dengan ... - 3 - dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 8. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan modal dengan jangka waktu tertentu untuk kegiatan usaha produktif dengan pembagian keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 9. Pembiayaan Jasa adalah pemberian/penyediaan jasa baik dalam bentuk pemberian manfaat atas suatu barang, pemberian pinjaman (dana talangan) dan/atau pemberian pelayanan dengan dan/atau tanpa pembayaran imbal jasa (ujrah) sesuai dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak. 10. Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan tertulis antara Perusahaan Syariah dengan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing- masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. 11. Murabahah adalah jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih (margin) sebagai laba sesuai dengan kesepakatan para pihak. 12. Salam adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan sesuai dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran harga barang terlebih dahulu secara penuh. 13. Istishna’ adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan pembuatan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu dan pembayaran harga barang sesuai dengan kesepakatan oleh para pihak. 14. Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahib mal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha ... - 4 - usaha dibagi di antara mereka sesuai dengan kesepakatan para pihak. 15. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan para pihak. 16. Mudharabah Musytarakah adalah bentuk Mudharabah di mana pengelola dana (mudharib) turut menyertakan modal dalam kerjasama dimana keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan para pihak. 17. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian porsi kepemilikan (hishshah) secara bertahap oleh pihak lainnya. 18. Ijarah adalah pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. 19. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah Ijarah yang disertai dengan janji pemindahan kepemilikan (wa’d) setelah masa Ijarah selesai. 20. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak yang berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung pembayarannya. 21. Hawalah bil Ujrah adalah Hawalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 22. Wakalah adalah pemberian kuasa dari pemberi kuasa (muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) dalam hal yang boleh diwakilkan, dimana penerima kuasa (wakil) tidak menanggung risiko terhadap apa yang diwakilkan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi. 23. Wakalah ... - 5 - 23. Wakalah Bil Ujrah adalah Wakalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 24. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). 25. Kafalah bil ujrah adalah Kafalah dengan pengenaan imbal jasa (ujrah). 26. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu pekerjaan. 27. Qardh adalah pinjam meminjam dana (dana talangan) tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. 28. Konsumen adalah perusahaan atau orang perseorangan yang melakukan Perjanjian Pembiayaan Syariah dengan Perusahaan Syariah terkait dengan kegiatan usaha Perusahaan Syariah. 29. Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah adalah hasil penilaian kondisi permodalan, likuiditas, kualitas aset produktif, dan kinerja keuangan Perusahaan Syariah. 30. Modal Disetor: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah modal disetor; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan pokok dan simpanan wajib. 31. Ekuitas: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas, penjumlahan dari: 1. Modal ... adalah - 6 - 1. Modal Disetor; 2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas: a) agio/disagio saham; b) biaya emisi efek Ekuitas; dan c) lainnya sesuai dengan prinsip standar akuntansi keuangan; 3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas sepengendali; 4. saldo laba/rugi; 5. laba/rugi tahun berjalan; 6. saham tresuri (treasury stock); dan 7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas: a) perubahan dalam surplus revaluasi; b) selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing; c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran kembali aset keuangan tersedia untuk dijual; dan d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian instrumen keuangan lindung nilai dalam rangka lindung nilai arus kas; dan e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip standar akuntansi keuangan; b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum koperasi harus sebesar penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum dibagikan; atau c. bagi UUS harus sebesar selisih antara jumlah aset dengan penjumlahan antara liabilitas dan pendanaan bersifat temporer. 32. Direksi: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud ... - 7 - dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 33. Dewan Komisaris: a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang- undang mengenai perseroan terbatas; atau b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan hukum koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian. 34. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan Syariah yang selanjutnya disebut dengan BMPPS adalah batasan tertentu dalam penyaluran Pembiayaan Syariah yang diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. 35. Pengendali: a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: 1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau 2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung mempunyai kemampuan ... - 8 - kemampuan untuk menentukan pengurus, pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi tindakan pengurus, pengawas atau yang setara. 36. Aset Produktif adalah semua aset yang dimiliki oleh Perusahaan Syariah dengan maksud untuk memperoleh penghasilan dalam bentuk Pembiayaan Syariah. 37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. BAB II KEGIATAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 2 Penyelenggaraan kegiatan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm, risywah, dan objek haram. Pasal 3 Kegiatan Pembiayaan Syariah meliputi: a. Pembiayaan Jual Beli; b. Pembiayaan Investasi; dan/atau c. Pembiayaan Jasa. Pasal 4 (1) Kegiatan Pembiayaan Jual Beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dilakukan dengan menggunakan akad: a. Murabahah; b. Salam; dan/atau c. Istishna’. (2) Kegiatan ... - 9 - (2) Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan menggunakan akad: a. Mudharabah; b. Musyarakah; c. Mudharabah Musytarakah; dan/atau d. Musyarakah Mutanaqishoh; (3) Kegiatan Pembiayaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dilakukan dengan menggunakan akad: a. Ijarah; b. Ijarah Muntahiyah Bittamlik; c. Hawalah atau Hawalah bil Ujrah; d. Wakalah atau Wakalah bil Ujrah; e. Kafalah atau Kafalah bil Ujrah; f. Ju’alah; dan/atau g. Qardh. (4) Kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dilakukan dengan menggunakan akad selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari OJK. (5) Ketentuan mengenai akad yang digunakan dalam kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta persetujuan akad lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 5 (1) Kegiatan Pembiayaan Syariah dapat dilakukan dengan menggunakan akad tunggal dan/atau gabungan akad dari akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). (2) Gabungan ... - 10 - (2) Gabungan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan beberapa akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk suatu kegiatan Pembiayaan Syariah tertentu. (3) Akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e, huruf f, dan huruf g, hanya dapat dilakukan oleh Perusahaan Syariah melalui gabungan akad. Pasal 6 (1) Perusahaan Syariah wajib terlebih dahulu melaporkan setiap penggunaan akad tunggal dan/atau gabungan akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) kepada OJK. (2) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 7 Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib secara jelas mencantumkan kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam anggaran dasarnya. BAB III PERJANJIAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 8 (1) Perjanjian Pembiayaan Syariah antara Perusahaan Syariah dengan Konsumen wajib dibuat secara tertulis. (2) Perjanjian Pembiayaan Syariah dalam kegiatan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen sektor jasa keuangan. Pasal 9 ... - 11 - Pasal 9 Perjanjian Pembiayaan Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini, wajib memenuhi ketentuan: a. dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang berakad atau bertransaksi; dan b. obyek yang terdapat dalam Perjanjian Pembiayaan Syariah sesuai dengan Prinsip Syariah dan peraturan perundang-undangan. Pasal 10 Perjanjian Pembiayaan Syariah yang telah disepakati oleh para pihak tidak dapat dibatalkan, kecuali: a. para pihak setuju untuk menghentikannya; b. tidak terpenuhinya kondisi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. Pasal 11 (1) Perjanjian Pembiayaan Syariah dalam Pembiayaan Syariah wajib paling sedikit memuat: a. judul Perjanjian Pembiayaan Syariah yang menggambarkan jenis akad Pembiayaan Syariah yang digunakan; b. nomor dan tanggal Perjanjian Pembiayaan Syariah; c. identitas para pihak; d. objek Perjanjian Pembiayaan Syariah (modal, barang dan/atau jasa); e. tujuan pembiayaan; f. nilai objek Perjanjian Pembiayaan Syariah (modal, barang dan/atau jasa); g. mekanisme dan cara pembayaran dan besarannya; h. kurs mata uang yang digunakan, apabila diperlukan; i. jangka waktu Pembiayaan Syariah; j. nisbah ... - 12 - j. nisbah, margin, dan/atau imbal jasa (ujrah) Pembiayaan Syariah; k. objek jaminan (jika ada); l. rincian biaya-biaya terkait dengan Pembiayaan Syariah yang diberikan antara lain memuat: 1. biaya survey; 2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia; 3. biaya provisi; dan 4. biaya notaris. m. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam Pembiayaan Syariah; n. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan pemilihan tempat penyelesaian perselisihan; o. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak; dan p. ketentuan mengenai denda (ta’jir) dan/atau ganti rugi (ta`widh). (2) Dalam hal Perusahaan Syariah melakukan Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor, Perjanjian Pembiayaan Syariah wajib mencantumkan nilai uang muka (down payment/urbun). BAB IV UANG MUKA PEMBIAYAAN JUAL BELI KENDARAAN BERMOTOR Pasal 12 (1) Perusahaan Syariah yang melakukan Pembiayaan Jual Beli untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka (down payment/urbun) kepada Konsumen sebagai berikut: a. bagi ... - 13 - a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan; atau c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan. (2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria paling kurang sebagai berikut: a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu; atau b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki. (3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down payment/urbun) kepada Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dengan Surat Edaran OJK. BAB V MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 13 (1) Perusahaan Syariah wajib melakukan mitigasi risiko Pembiayaan Syariah. (2) Mitigasi ... - 14 - (2) Mitigasi risiko Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara: a. mengalihkan risiko Pembiayaan Syariah melalui mekanisme penjaminan syariah; b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan Pembiayaan Syariah melalui mekanisme asuransi syariah; dan/atau c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari kegiatan Pembiayaan Syariah. Pasal 14 (1) Perusahaan Syariah yang melakukan pengalihan risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a wajib menggunakan lembaga penjaminan yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembekuan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka waktu penjaminan syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a paling singkat sama dengan jangka waktu Pembiayaan Syariah. Pasal 15 (1) Perusahaan Syariah yang melakukan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b wajib menggunakan perusahaan asuransi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha dari OJK. (2) Jangka ... - 15 - (2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b paling singkat sama dengan jangka waktu Pembiayaan Syariah. Pasal 16 (1) Perusahaan Syariah yang melakukan Pembiayaan Syariah dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia. (2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Syariah yang melakukan Pembiayaan Jual Beli dengan pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling). (3) Pendaftaran fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Perjanjian Pembiayaan Syariah. Pasal 17 Perusahaan Syariah dilarang melakukan eksekusi atas barang yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila kantor pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Syariah. Pasal 18 Eksekusi atas barang yang menjadi obyek jaminan fidusia wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam Perjanjian Pembiayaan Syariah. BAB VI ... - 16 - BAB VI TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PEMBIAYAAN SYARIAH Bagian Kesatu Umum Pasal 19 (1) Perusahaan Syariah wajib setiap waktu memenuhi persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah. (2) Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. rasio permodalan; b. kualitas Aset Produktif; c. rentabilitas; dan d. likuiditas. Bagian Kedua Rasio Permodalan Pasal 20 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi rasio permodalan paling rendah sebesar 10% (sepuluh persen). (2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perbandingan antara modal yang disesuaikan dan aset yang disesuaikan. (3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. (3) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian ... - 17 - Bagian Ketiga Kualitas Aset Produktif Paragraf 1 Penilaian Kualitas Aset Produktif Pasal 21 Perusahaan Syariah wajib menilai, memantau dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk menjaga kualitas Aset Produktif. Pasal 22 (1) Penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ditetapkan menjadi: a. lancar; b. dalam perhatian khusus; c. kurang lancar; d. diragukan; atau e. macet. (2) Penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor ketepatan pembayaran pokok, margin, investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah). hasil (3) Penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut: a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) atau terdapat keterlambatan pembayaran pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari kalender; b. dalam perhatian khusus apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah ... - 18 - telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender sampai dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender; c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender; d. diragukan apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari kalender; atau e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah melampaui 180 (seratus delapan puluh) hari kalender. Pasal 23 (1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau hasil investasi/bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), penilaian kualitas Aset Produktif untuk Pembiayaan Investasi sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau lebih dapat ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor: a. kemampuan membayar Konsumen; b. kinerja keuangan (financial performance) Konsumen; dan c. prospek usaha Konsumen. (2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. ketersediaan ... - 19 - a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan Konsumen; b. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan Syariah; c. kepatuhan terhadap Perjanjian Pembiayaan Syariah; d. kesesuaian penggunaan dana Pembiayaan Syariah; dan e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban. (3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial performance) Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen- komponen sebagai berikut: a. perolehan laba; b. struktur permodalan; c. arus kas; dan d. sensitivitas terhadap risiko pasar. (4) Penilaian terhadap prospek usaha Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut: a. potensi pertumbuhan usaha; b. kondisi pasar dan posisi Konsumen dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan e. upaya yang dilakukan Konsumen dalam rangka memelihara lingkungan hidup. (5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas Aset Produktif oleh Perusahaan Syariah dengan OJK, kualitas Aset Produktif yang berlaku adalah yang ditetapkan oleh OJK. (6) Perusahaan Syariah wajib melakukan penyesuaian kualitas Aset Produktif sesuai dengan penilaian kualitas Aset ... - 20 - Aset Produktif yang ditetapkan oleh OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam laporan yang disampaikan kepada OJK. (7) Pedoman penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 2 Kualitas Aset Produktif untuk Konsumen Dengan Lebih Dari Satu Perjanjian Pembiayaan Syariah Pasal 24 (1) Perusahaan Syariah wajib menetapkan kualitas Aset Produktif yang sama terhadap 1 (satu) Konsumen dengan lebih dari 1 (satu) Perjanjian Pembiayaan Syariah. (2) Perusahaan Syariah dapat menetapkan kualitas Aset Produktif yang berbeda untuk lebih dari 1 (satu) Perjanjian Pembiayaan Syariah yang dimiliki oleh 1 (satu) Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a. Aset Produktif yang memiliki kualitas paling rendah telah dihapus buku; dan/atau b. nilai Pembiayaan Syariah sampai dengan jumlah Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aset Produktif dalam Perjanjian Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Syariah wajib menggunakan kualitas Aset Produktif yang paling rendah. Paragraf 3 Aset Produktif Bermasalah Pasal 25 (1) Perusahaan Syariah wajib setiap waktu mempertahankan rasio Aset Produktif bermasalah setelah ... - 21 - setelah dikurangi cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari total Aset Produktif. (2) Aset Produktif bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Aset Produktif dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan/atau macet. (3) Ketentuan mengenai besaran rasio Aset Produktif bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 4 Cadangan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif Pasal 26 (1) Perusahaan Syariah wajib menghitung cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif. (2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar: a. 1% (satu persen) dari saldo Aset Produktif yang memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan; b. 5% (lima persen) dari saldo Aset Produktif yang memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah dikurangi agunan; c. 15% (lima belas persen) dari saldo Aset Produktif yang memiliki kualitas kurang lancar setelah dikurangi agunan; d. 50% (lima puluh persen) dari saldo Aset Produktif yang memiliki kualitas meragukan setelah dikurangi agunan; dan e. 100% (seratus persen) dari saldo Aset Produktif yang memiliki kualitas macet setelah dikurangi agunan. (3) Perusahaan Syariah wajib membentuk cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif paling rendah sesuai ... - 22 - sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam laporan bulanan. (4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dapat dipehitungkan sebagai pengurang saldo Aset Produktif ditetapkan paling tinggi senilai saldo Aset Produktifnya. (5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Perusahaan Syariah dalam rangka perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPPS, rasio Aset Produktif bermasalah, dan perbandingan Aset Produktif dengan total aset. (6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK. Paragraf 5 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Produktif Pasal 27 (1) Perusahaan Syariah wajib membentuk cadangan kerugian penurunan nilai Aset Produktif sesuai standar akuntansi keuangan yang berlaku. (2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai Aset Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan yang telah diaudit oleh kantor akuntan publik. Bagian Keempat Rentabilitas Pasal 28 (1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan Syariah dalam menghasilkan laba. (2) Penilaian ... - 23 - (2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c meliputi penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi operasional. (3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK. Bagian Kelima Likuiditas Pasal 29 (1) Penilaian likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf d merupakan penilaian terhadap tingkat ketersesuaian antara aset lancar dan liabiltas lancar. (2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur dalam Surat Edaran OJK. BAB VII RASIO ASET PRODUKTIF TERHADAP TOTAL ASET Pasal 30 (1) Perusahaan Syariah wajib memiliki Aset Produktif neto paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total aset. (2) Aset Produktif neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh dari pengurangan Aset Produktif bruto dengan pendapatan yang belum diakui dan cadangan penyisihan penghapusan Aset Produktif. (3) Pemenuhan ketentuan Aset Produktif neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi Perusahaan Syariah paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal izin ditetapkan. (4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah melakukan peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan Syariah ... - 24 - Syariah dikecualikan dari pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal peningkatan Modal Disetor dicatat oleh instansi yang berwenang. BAB VIII EKUITAS Pasal 31 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan hukum: a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); atau b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). (2) UUS wajib memiliki Ekuitas paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (3) Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum berlakunya Peraturan OJK ini wajib memenuhi ketentuan Ekuitas bagi UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tahapan sebagai berikut: a. paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2015; b. paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2016; dan c. paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2017. (4) Bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berasal dari konversi, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku 5 (lima) tahun sejak perusahaan dimaksud ... - 25 - dimaksud memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan Syariah. Pasal 32 Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memiliki rasio Ekuitas terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50% (lima puluh persen). BAB IX BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 33 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. (2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. orang perseorangan atau badan usaha yang merupakan Pengendali Perusahaan Syariah; b. badan usaha dimana Perusahaan Syariah bertindak sebagai Pengendali; c. orang perseorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai pengendali dari badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf b; d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh: 1. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. orang perseorangan dan/atau badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf c; e. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah; f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal: 1. dari ... - 26 - 1. dari orang perseorangan yang merupakan pengendali Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf a; 2. dari dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf e. g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; h. badan usaha yang dewan komisaris dan/atau direksi merupakan: 1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah; 2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d; i. badan usaha dimana: 1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf e bertindak sebagai Pengendali; 2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai Pengendali; dan j. badan usaha yang memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Perusahaan Syariah dan/atau pihak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan/atau huruf i. (3) Perusahaan Syariah wajib memiliki dan menata- usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pasal 34 ... - 27 - Pasal 34 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada 1 (satu) Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. (2) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS kepada 1 (satu) kelompok Konsumen yang bukan merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah. (3) Konsumen digolongkan sebagai anggota suatu kelompok Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila Konsumen mempunyai hubungan pengendalian dengan Konsumen lain baik melalui hubungan kepemilikan, kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi: a. Konsumen merupakan pengendali Konsumen lain; b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari beberapa Konsumen (common ownership); c. Konsumen memiliki ketergantungan keuangan (financial interdependence) dengan Konsumen lain; d. Konsumen menerbitkan jaminan (guarantee) untuk mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau seluruh kewajiban Konsumen lain dalam hal Konsumen lain tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi) kepada Perusahaan Syariah; dan/atau e. dewan komisaris dan/atau direksi Konsumen menjadi komisaris dan/atau direksi pada Konsumen lain. Pasal 35 Ketentuan BMPPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dikecualikan bagi ... - 28 - bagi Pembiayaan Syariah untuk pengadaan barang dan/atau jasa dalam rangka program pemerintah. BAB X KERJA SAMA PEMBIAYAAN SYARIAH Pasal 36 (1) Perusahaan Syariah dapat bekerjasama dengan pihak lain melalui pembiayaan penerusan (channeling) dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dilarang bertentangan dengan Prinsip Syariah. (2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. bank; b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan; c. lembaga keuangan mikro; dan/atau d. Perusahaan Syariah. (3) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan akad Wakalah bil Ujrah. (4) Dalam melakukan pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Syariah dapat bertindak sebagai: a. pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil) melalui kegiatan Pembiayaan Syariah; dan/atau b. selaku penyedia dana/modal/barang yaitu pihak yang mewakilkan kepada pihak lain. (5) Dalam hal Perusahaan Syariah bertindak sebagai pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Perusahaan Syariah hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh imbalan (ujrah) dari pengelolaan dana tersebut. (6) Risiko ... - 29 - (6) Risiko yang timbul dari pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berada pada pihak penyedia dana/modal/barang. BAB XI PENDANAAN Pasal 37 (1) Dalam rangka memperoleh pendanaan, Perusahaan Syariah dapat: a. menerima pendanaan dari lembaga pemerintah, bank, industri keuangan non bank, lembaga, dan/atau badan usaha lain; b. menerima pinjaman (Qardh) subordinasi; c. menerbitkan obligasi syariah (sukuk) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau d. melakukan sekuritisasi sesuai dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Perusahaan Syariah wajib melakukan kegiatan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. Pasal 38 (1) Pendanaan dari lembaga dan/atau badan usaha lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a dapat berasal dari: a. lembaga dan/atau badan usaha Indonesia; dan/atau b. lembaga dan/atau badan usaha asing. (2) Pendanaan/pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan menggunakan akad: a. Mudharabah; b. Mudharabah Musytarakah; c. Musyarakah ... - 30 - c. Musyarakah; d. Ijarah; e. Qardh; dan/atau f. akad pendanaan lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah. (3) Jumlah pendanaan/pembiayaan dari lembaga dan/atau badan usaha lain yang berasal dari lembaga dan/atau badan usaha Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, wajib memenuhi ketentuan paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) untuk setiap pemberi pendanaan/pembiayaan dengan jangka waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun. (4) Jumlah pendanaan/pembiayaan dari lembaga dan/atau badan usaha lain yang berasal dari lembaga dan/atau badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib memenuhi ketentuan paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap pemberi pendanaan/pembiayaan dengan jangka waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun. Pasal 39 Pinjaman (Qardh) subordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan: a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun; b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari segala pinjaman yang ada; dan c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara Perusahaan Syariah dengan pemberi pinjaman. Pasal 40 (1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan gearing ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali. (2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh dari perbandingan antara jumlah pendanaan yang ... - 31 - yang berasal dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, Pasal 37 ayat (1) huruf b, dan Pasal 37 ayat (1) huruf c dengan selisih penjumlahan Ekuitas dan pinjaman (Qardh) subordinasi dengan penyertaan. (3) Pinjaman (Qardh) subordinasi yang dapat diperhitungkan sebagai pembagi dalam perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor. (4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK. Pasal 41 (1) Perusahaan Syariah yang menerima pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dalam valuta asing wajib melakukan lindung nilai secara penuh (full hedge). (2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok pendanaan/pembiayaan, hasil investasi/bagi hasil, margin, imbal jasa (ujrah) dan/atau jangka waktu pembayaran. Pasal 42 Perusahaan Syariah yang akan menerima pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dalam valuta asing wajib memenuhi Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini. BAB XII PENYERTAAN Pasal 43 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hanya dapat melakukan penyertaan langsung pada: a. perusahaan ... - 32 - a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia; dan/atau b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan Perusahaan Pembiayaan Syariah. (2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan Syariah pada perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan Syariah. (3) Jumlah penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan Syariah kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan Syariah. (4) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi ketentuan jumlah penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pada saat melakukan penyertaan. BAB XIII SERTIFIKASI Pasal 44 (1) Pegawai Perusahaan Syariah yang menduduki posisi manajerial mulai dari tingkat kepala kantor cabang sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi dan pimpinan UUS wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dan/atau pembiayaan syariah dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (2) Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dan/atau pembiayaan syariah dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (3) Dewan ... - 33 - (3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan dan/atau pembiayaan syariah dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang membawahkan fungsi manajemen risiko wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen risiko dari lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. (5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Syariah yang menangani bidang penagihan wajib memiliki sertifikat profesi di bidang penagihan dari lembaga yang ditunjuk asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan penunjukan. BAB XIV LARANGAN Pasal 45 Perusahaan Syariah dilarang: a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu; b. memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban pihak lain; c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note), kecuali sebagai jaminan atas pendanaan kepada pihak yang memberikan pendanaan; d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan ... - 34 - pengawasan OJK melanggar peraturan perundang- undangan yang berlaku; dan/atau e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah pengawasan OJK menghindari peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pasal 46 Perusahaan Syariah dilarang melakukan penyediaan dana secara tunai kepada Konsumen. Pasal 47 Perusahaan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya dilarang menggunakan informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan Konsumen, kreditur, dan pemangku kepentingan termasuk OJK. BAB XV PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA Pasal 48 (1) Perusahaan Syariah wajib menyampaikan laporan bulanan kepada OJK. (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik kepada OJK. (3) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK mengenai laporan bulanan. Pasal 49 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan setelah tahun buku terakhir. (2) Perusahaan ... - 35 - (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan soft copy. (3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) wajib disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia. (4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) wajib mencantumkan perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam Peraturan OJK ini. (5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) wajib disusun dalam mata uang rupiah. (6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib berdasarkan tahun takwim. (7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terdaftar di OJK. (8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah memperoleh izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya. Pasal 50 Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. Pasal 51 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib mengumumkan laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi komprehensif singkat paling lambat 4 (empat) bulan setelah ... - 36 - setelah tahun buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu) surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional. (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib melaporkan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kalender setelah pelaksanaan pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman. (3) Dalam hal batas akhir penyampaian pelaporan pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama berikutnya. BAB XVI SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI Pasal 52 (1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang sehat, Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib mempunyai sistem informasi dan teknologi yang terintegrasi. (2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan Syariah yang mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima). BAB XVII PERUSAHAAN SYARIAH DI BIDANG KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN Pasal 53 Perusahaan Syariah yang khusus melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah di bidang ketenagalistrikan tidak wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1). Pasal 54 ... - 37 - Pasal 54 Perusahaan Syariah yang khusus melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah di bidang pelayaran tidak wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4). BAB XVIII PENEGAKAN KEPATUHAN Bagian Kesatu Pemberitahuan Pasal 55 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 41, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (2), Pasal 49 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 49 ayat (5), Pasal 49 ayat (6), dan Pasal 51, ayat (1), dan/atau Pasal 51 ayat (2) Peraturan OJK ini diberikan surat pemberitahuan. (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib melakukan pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan. Bagian Kedua Rencana Pemenuhan Pasal 56 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak memenuhi ketentuan ... - 38 - ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (6), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 31 ayat (3) huruf a, Pasal 31 ayat (3) huruf b, Pasal 32, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2), Pasal 40 ayat (1), Pasal 44, dan/atau Pasal 52 ayat (1) Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK. (2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS untuk pemenuhan ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Langkah pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat antara lain: a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas; b. penambahan Modal Disetor; c. pembatasan penerimaan pinjaman baru; d. penerimaaan pinjaman subordinasi; e. pengalihan sebagian atau seluruh aset; f. pembatasan pembagian laba; g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan pelanggaran ketentuan; h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru; dan/atau i. penggabungan badan usaha. (4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi dan dewan komisaris. (5) Rencana ... - 39 - (5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum pemegang saham apabila rencana dimaksud memuat rencana penambahan Modal Disetor atau rencana penggabungan usaha dan/atau badan usaha. (6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari OJK. (7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib melakukan perbaikan atas rencana pemenuhan tersebut. (8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dengan memperhatikan kondisi permasalahan yang dihadapi oleh Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS paling lama 14 (empat belas) hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara lengkap. (9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dapat melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (10) Perusahaan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB XIX ... - 40 - BAB XIX SANKSI Pasal 57 (1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 55 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha UUS; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. pencabutan izin UUS. (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dkenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan ... - 41 - Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), OJK mengenakan: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan secara tertulis berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak: a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), OJK mencabut: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi ... - 42 - b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK dapat langsung mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), OJK mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (12) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; b. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; c. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau d. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. Pasal 58 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan ... - 43 - ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) Peraturan OJK ini, Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dikenaan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha c. pembekuan kegiatan usaha UUS; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. pencabutan izin UUS. (2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK dapat memberikan sanksi tambahan berupa: a. pembatasan kegiatan usaha tertentu; b. penurunan tingkat kesehatan; c. pembatalan persetujuan; dan/atau d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. (3) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dkenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mencabut sanksi peringatan. (6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan ... - 44 - Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mengenakan: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya jangka waktu peringatan ketiga sebaimana dimaksud pada ayat (4), maka: a. Perusahaan Pembiayaan Syariah dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin usaha; atau b. Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin UUS, tanpa didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (6). (8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan secara tertulis berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak: a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiataan ... - 45 - kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (10) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah. (11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mencabut: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK dapat langsung mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mencabut: a. izin ... - 46 - a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (14) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat: a. sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; b. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; c. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; d. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau e. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. Pasal 59 (1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 31 ayat (3) huruf c, Pasal 38 ayat (3), Pasal 38 ayat (4), Pasal 42, Pasal 43 ayat (4), Pasal 45, Pasal 46, dan/atau Pasal 47 Peraturan OJK ini dikenakan sanksi administratif berupa: a. peringatan; b. pembekuan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha UUS; d. pencabutan izin usaha; dan/atau e. pencabutan izin UUS. (2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap dikenakan ... - 47 - dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir dengan sendirinya. (3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing- masing paling lama 2 (dua) bulan. (4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan. (5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mengenakan: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak: a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan ... - 48 - kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (8) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan Syariah. (9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK dapat langsung mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin ... - 49 - b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (12) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; b. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; c. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau d. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. Pasal 60 (1) OJK dapat mengenakan: a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS, tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan apabila Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS melakukan pelanggaran atas Pasal 45 huruf a. (2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis dan berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. (3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya. (4) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud ... - 50 - dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan usaha. (5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha. (6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK dapat langsung mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut: a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS. (8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat. Pasal 61 Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS mendapatkan sanksi administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana dimaksud ... - 51 - dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, Pasal 58 ayat (1) huruf a, dan/atau Pasal 59 ayat (1) huruf a secara kumulatif sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, OJK dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS untuk mengikuti penilaian kembali kemampuan dan kepatutan. BAB XX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 62 (1) Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat melaksanakan kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (2) Perjanjian Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan oleh Perusahaan Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perjanjian Pembiayaan Syariah tersebut. Pasal 63 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 64 (1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan ... - 52 - ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dinyatakan berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. (2) Penyaluran pembiayaan yang melampaui ketentuan BMPPS sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian pembiayaan tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai dasar perhitungan BMPPS. Pasal 65 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dinyatakan tidak berlaku bagi pendanaan dalam valuta asing yang telah diterima oleh Perusahaan Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 66 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 67 Perjanjian Pembiayaan Syariah terkait Pembiayaan Syariah berupa penyediaan dana secara tunai yang telah dilakukan sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian tersebut. Pasal 68 Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan Syariah dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum terdapat peraturan yang mengatur mengenai ketentuan pelaporan bulanan ... - 53 - bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam Peraturan OJK ini. Pasal 69 Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dinyatakan mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini ditetapkan. Pasal 70 (1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan terhadap Perusahaan Syariah berdasarkan: a. Peraturan Menteri b. Peraturan Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan; Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank; c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor d. Peraturan 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 220/PMK.010/2012; dan/atau Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dinyatakan tetap sah dan berlaku. (2) Perusahaan Syariah yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini. BAB XXI ... administratif - 54 - BAB XXI KETENTUAN PENUTUP Pasal 71 Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Syariah tunduk pada Peraturan OJK ini. Pasal 72 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Ttd. MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2014 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 366 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum, Ttd. Tini Kustini
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 31/POJK.05/2014 </reg_id> <reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH </reg_title> <set_date> 19 November 2014 </set_date> <effective_date> 19 November 2014 </effective_date> <issued_date> 19 November 2014 </issued_date> <related_reg> '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XIX' </penalty_list>
- 2 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan; b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan, ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan yang diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan; - 2 - c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang. 2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari Efek. - 3 - 3. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian. BAB II PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN Pasal 2 Pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian paling sedikit memuat: a. nama dan alamat Bank Kustodian; b. tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan) saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang bersifat terbuka; c. pemisahan rekening Efek atas nama Reksa Dana Berbentuk Perseroan; d. kewajiban mengadministrasikan Efek dan dana dari Reksa Dana Berbentuk Perseroan, memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, hak lain, dan menyelesaikan transaksi Efek; e. kewajiban membuat dan menyampaikan laporan kepada Manajer Investasi, Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan Otoritas Jasa Keuangan; f. memperbolehkan akuntan memeriksa laporan keuangan dan prosedur operasional Reksa Dana Berbentuk Perseroan; - 4 - g. kewajiban untuk melaksanakan pencatatan, balik nama dalam pemilikan Efek, pembagian hak yang berkaitan dengan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan; h. kewajiban memberikan ganti rugi kepada Reksa Dana Berbentuk Perseroan setiap kerugian atau kesalahan yang berkaitan dengan Efek dan dana dalam rekening Reksa Dana Berbentuk Perseroan; i. biaya bagi Bank Kustodian berkaitan dengan jasa yang diberikan dan biaya yang dibebankan kepada Reksa Dana Berbentuk Perseroan; j. kewajiban mengasuransikan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, jika para pihak memandang perlu; k. larangan penghentian kegiatan Bank Kustodian sebelum dialihkan kepada Bank Kustodian pengganti; dan l. kewajiban menentukan nilai aktiva bersih Reksa Dana Berbentuk Perseroan, apabila Bank Kustodian ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva bersih. BAB III KETENTUAN SANKSI Pasal 3 (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa: a. peringatan tertulis; b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah uang tertentu; c. pembatasan kegiatan usaha; d. pembekuan kegiatan usaha; e. pencabutan izin usaha; f. pembatalan persetujuan; dan/atau g. pembatalan pendaftaran. - 5 - (2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. (3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g. Pasal 4 Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 5 Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 kepada masyarakat. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 6 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 7 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 6 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 127 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 27 /POJK.04/2017 TENTANG PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN I. UMUM Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya. Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan, beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi -2- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6074
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 7/POJK.04/2017 </reg_id> <reg_title> DOKUMEN PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS, EFEK BERSIFAT UTANG, DAN/ATAU SUKUK </reg_title> <set_date> 14 Maret 2017 </set_date> <effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date> <issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date> <replaced_reg> 'SE-13/BL/2012|SE-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-42/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'SE-01/BL/2007|SE-BAPEPAM/2007', 'Kep-42/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.1' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg> <penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37/POJK.03/2017 TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa dengan semakin terbukanya kesempatan bagi pihak asing untuk melakukan investasi di sektor perbankan nasional, membawa konsekuensi terhadap meningkatnya pemanfaatan tenaga kerja asing oleh bank; b. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing tersebut juga untuk memenuhi kekurangan tenaga ahli di bidang tertentu yang terus berkembang di sektor perbankan; c. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing oleh perbankan harus dapat meningkatkan kemampuan tenaga kerja Indonesia melalui alih pengetahuan (transfer of knowledge); d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pemanfaatan tenaga kerja asing dan program alih pengetahuan di sektor perbankan; - 2 - e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); 3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867); 4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 2. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Republik Indonesia. 3. Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja warga negara Indonesia. 4. Kualifikasi Keahlian adalah pemenuhan persyaratan suatu keahlian di bidang tertentu yang didapatkan dari pendidikan dan pengalaman kerja. 5. Direksi adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas - 4 - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 6. Dewan Komisaris adalah: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; - 5 - 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. 7. Pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. 8. Pemimpin Kantor Perwakilan adalah pejabat yang diangkat oleh kantor pusat bank yang berkedudukan di luar negeri untuk memimpin kantor perwakilan di Indonesia. 9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada anggota Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau operasional Bank. - 6 - 10. Tenaga Ahli atau Konsultan adalah perorangan yang memiliki pengetahuan teknis tertentu dengan standar Kualifikasi Keahlian yang memadai. 11. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan, termasuk Bank, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung. 12. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok usaha yang: a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan Pengendalian perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pasal 2 (1) Bank dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing dalam menjalankan kegiatan usahanya dengan memenuhi ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia. Pasal 3 Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk jabatan sebagai berikut atau yang setara: a. Direksi dan Dewan Komisaris; b. Pejabat Eksekutif; dan/atau c. Tenaga Ahli atau Konsultan. - 7 - Pasal 4 (1) Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang tugas tertentu. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada bidang tugas selain bidang tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan. (3) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar rekomendasi penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Bank kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada bidang tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta persyaratan dan tata cara permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 Bank dilarang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang tugas: a. Personalia; dan b. Kepatuhan. BAB II PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK Pasal 6 (1) Bank wajib menyampaikan rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. (3) Perubahan terhadap rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam perubahan Rencana Bisnis Bank. - 8 - (4) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing di luar rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dan memenuhi ketentuan: a. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan sebelum penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, Bank wajib melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam perubahan Rencana Bisnis Bank; atau b. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dilakukan setelah penyampaian perubahan Rencana Bisnis Bank, Bank wajib melaporkan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank. Pasal 7 Bank wajib meminta persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum mengangkat Tenaga Kerja Asing untuk menduduki jabatan sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat Eksekutif. Pasal 8 Tenaga Kerja Asing sebagai Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan: a. dinyatakan disetujui dalam penilaian kemampuan dan kepatutan; dan b. memiliki pengetahuan tentang Indonesia, terutama mengenai ekonomi, budaya, dan bahasa Indonesia. Pasal 9 (1) Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif harus memenuhi persyaratan: a. memiliki pengalaman dan keahlian sesuai dengan bidang tugas yang akan ditempati; b. tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain; dan - 9 - c. mampu menggunakan bahasa Indonesia secara memadai. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan: a. jabatan eksekutif yang akan ditempati berada pada 1 (satu) tingkat di bawah direktur; b. hanya diperkenankan untuk jabatan yang berada di kantor pusat Bank; c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; dan d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun. Pasal 10 (1) Bank wajib melaporkan pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Bank wajib menyampaikan laporan pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah pengangkatan. Pasal 11 Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan harus memenuhi persyaratan: a. Kualifikasi Keahlian; b. tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau lembaga lain; c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; dan d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1 (satu) tahun. - 10 - Pasal 12 (1) Bank yang 25% (dua puluh lima persen) atau lebih sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. Direksi; b. Dewan Komisaris; c. Pejabat Eksekutif; dan/atau d. Tenaga Ahli atau Konsultan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Bank yang berbentuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri. (3) Mayoritas anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib berkewarganegaraan Indonesia. (4) 50% (lima puluh persen) atau lebih dari anggota Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib berkewarganegaraan Indonesia. (5) Mayoritas Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank wajib berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 13 (1) Bank yang kurang dari 25% (dua puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan Tenaga Ahli atau Konsultan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Bank yang memenuhi kriteria: a. kepemilikan warga negara asing dan/atau badan hukum asing terhadap bank kurang dari 25% (dua puluh lima persen), namun warga negara asing dan/atau badan hukum asing merupakan PSP Bank; atau b. terdapat unsur Pengendalian dari warga negara asing dan/atau badan hukum asing terhadap Bank. (3) Bank yang memenuhi kriteria pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan Tenaga - 11 - Kerja Asing untuk jabatan Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Tenaga Ahli atau Konsultan. Pasal 14 (1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. pimpinan kantor cabang; dan/atau b. Tenaga Ahli atau Konsultan. (2) Diantara anggota Pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdapat 1 (satu) orang pejabat yang berkewarganegaraan Indonesia. Pasal 15 Kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan: a. Pemimpin Kantor Perwakilan; dan/atau b. Tenaga Ahli atau Konsultan. Pasal 16 (1) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan selain yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 hanya dapat dipertimbangkan untuk kasus tertentu dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. (2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat sementara dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. (3) Dalam hal diperlukan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terlebih dahulu. - 12 - BAB III KEWAJIBAN ALIH PENGETAHUAN (TRANSFER OF KNOWLEDGE) Pasal 17 (1) Bank wajib menjamin terjadinya alih pengetahuan (transfer of knowledge) dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing. (2) Kewajiban alih pengetahuan (transfer of knowledge) dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif dan/atau Tenaga Ahli atau Konsultan. (3) Kewajiban alih pengetahuan (transfer of knowledge) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a. penunjukan 2 (dua) orang tenaga pendamping untuk 1 (satu) orang Tenaga Kerja Asing; b. pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga pendamping sebagaimana dimaksud dalam huruf a sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing; dan c. pelaksanaan pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing dalam jangka waktu tertentu terutama kepada pegawai Bank, pelajar, mahasiswa, dan/atau masyarakat umum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditetapkan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 18 Bank wajib melaporkan hasil pelaksanaan kewajiban alih pengetahuan (transfer of knowledge) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 pada setiap akhir tahun dalam Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank. - 13 - BAB IV PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PELAPORAN ATAS PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK Pasal 19 (1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Direksi dan/atau Dewan Komisaris dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepengurusan bank. (2) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. Pasal 20 (1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 diajukan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. (2) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Bank menyampaikan permohonan izin menggunakan Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. (3) Untuk memberikan persetujuan atau penolakan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat - 14 - Eksekutif atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan: a. penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen; dan b. wawancara terhadap calon Pejabat Eksekutif dalam hal diperlukan. (4) Persetujuan atau penolakan atas pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif diberikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. (5) Pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilaporkan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal pengangkatan efektif dilampiri dengan dokumen pendukung. Pasal 21 Pelaporan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. Pasal 22 (1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing kepada Otoritas Jasa Keuangan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. (2) Laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam - 15 - Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank setiap akhir tahun. BAB V SANKSI Pasal 23 (1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4 ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12 ayat (4), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 18, dan/atau Pasal 22 ayat (1) dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 58 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. (2) Bank yang tidak menyampaikan laporan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau Pasal 20 ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan dengan denda paling banyak sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) per laporan. (3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank untuk menyampaikan laporan. - 16 - BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 24 Semua ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif Bank sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini tetap berlaku bagi Tenaga Kerja Asing. BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 25 Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/8/PBI/2007 tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4732), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 26 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. - 17 - Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Juli 2017 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 143 Salinan ini sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 37 /POJK.03/2017 TENTANG PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN I. UMUM Perbankan Indonesia dewasa ini dituntut untuk melakukan penguatan permodalan antara lain untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi era globalisasi. Dalam memperkuat struktur permodalan, bank antara lain menggunakan sumber dana asing. Masuknya investasi asing pada gilirannya dapat membawa konsekuensi semakin meningkatnya pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam kegiatan operasional Bank. Sementara itu, persaingan yang semakin ketat juga mendorong Bank untuk selalu melakukan inovasi di bidang teknologi, produk dan jasa Bank yang tidak jarang memerlukan keahlian tertentu yang belum sepenuhnya dapat diisi oleh Tenaga Kerja Indonesia. Oleh karena itu, selain untuk mengisi kelangkaan tenaga ahli Indonesia pada bidang tertentu, pemanfaatan Tenaga Kerja Asing harus mendorong terciptanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) kepada Tenaga Kerja Indonesia. Untuk itu pemanfaatan Tenaga Kerja Asing harus diatur lebih lanjut sehingga dapat mendukung upaya menciptakan sistem perbankan yang sehat dan tidak merugikan kepentingan nasional. - 2 - II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Huruf a Pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang disetarakan dengan Direksi adalah Pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri, sedangkan pada kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah Pemimpin Kantor Perwakilan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan tidak menduduki jabatan struktural pada Bank dan tidak mempunyai wewenang untuk membuat keputusan operasional Bank. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada dasarnya Tenaga Kerja Asing hanya dapat menduduki jabatan pada bidang tugas tertentu yang telah dirinci dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan hanya diberikan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi Bank secara kasus perkasus serta bersifat sementara. Yang dimaksud dengan bidang tugas dalam ayat ini tidak termasuk bidang tugas personalia dan bidang tugas kepatuhan, sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 3 - Ayat (3) Pemberian rekomendasi Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu bentuk koordinasi antar instansi untuk penanganan Tenaga Kerja Asing. Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak serta merta menyebabkan Tenaga Kerja Asing dapat menduduki jabatan pada bidang tersebut sebelum adanya izin dari instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tata cara penyusunan dan penyampaian rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat ini mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai rencana bisnis bank umum. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 7 Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif disertai dengan dokumen berupa: a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 (empat kali enam) cm; b. fotokopi paspor; c. riwayat hidup; - 4 - d. fotokopi surat keterangan pengalaman kerja dari perusahaan sebelumnya dan sertifikat keahlian, profesi, pendidikan atau pelatihan; e. fotokopi konsep kontrak kerja atau surat penugasan dari Bank; dan f. contoh tanda tangan dan paraf. Yang dimaksud dengan “surat penugasan” dalam huruf e adalah surat penugasan kerja dari kantor pusat, kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri atau kantor perwakilan dalam hal terdapat pemanfaatan Tenaga Kerja Asing. Pasal 8 Huruf a Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan. Huruf b Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja dan sertifikat keahlian, profesi, pendidikan dan/atau pelatihan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemenuhan persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia yang memadai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan menduduki jabatan tersebut. Ayat (2) Huruf a Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan menyampaikan struktur organisasi Bank. - 5 - Huruf b Bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang dimaksud dengan “kantor pusat Bank” adalah kantor yang menjadi induk operasional Bank tersebut di Indonesia. Huruf c Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan bukti tentang upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing. Huruf d Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Laporan pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan disertai dengan dokumen berupa: a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 (empat kali enam) cm; b. fotokopi paspor; c. riwayat hidup; d. fotokopi kontrak kerja; e. contoh tanda tangan dan paraf; f. g. fotokopi bukti atau keterangan tentang Kualifikasi Keahlian; fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan h. surat pernyataan tidak merangkap jabatan. Ayat (2) Cukup jelas. - 6 - Pasal 11 Huruf a Pemenuhan persyaratan Kualifikasi Keahlian antara lain dilakukan dengan menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman kerja dan/atau sertifikat keahlian. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan bukti tentang upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing. Huruf d Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Kepemilikan saham bank 25% (dua puluh lima persen) tersebut merupakan saham yang tercatat dalam administrasi Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hal terdapat kepemilikan saham Bank oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian di bursa efek dan tidak dicatatkan dalam administrasi Otoritas Jasa Keuangan, kepemilikan asing pada Bank dimaksud belum dapat diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan diperbaruinya catatan Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan laporan dari Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh persen). Ayat (4) Cukup jelas. - 7 - Ayat (5) Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima puluh persen). Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan menyampaikan daftar Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank beserta komposisinya. Pasal 13 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang dinyatakan Bank sebagai PSP atau melakukan Pengendalian harus telah diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dicatat dalam administrasi Otoritas Jasa Keuangan. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “kasus tertentu” antara lain: a. kondisi apabila Tenaga Kerja Asing tidak digunakan, Bank akan menghadapi risiko kerugian yang cukup signifikan; dan b. Tenaga Kerja Indonesia yang ada dinilai belum dapat memenuhi syarat keahlian yang dibutuhkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. - 8 - Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Pendampingan Tenaga Kerja Asing lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga pendamping memiliki kemampuan yang dibutuhkan sehingga pada waktunya diharapkan dapat menggantikan Tenaga Kerja Asing yang didampingi. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Cukup Jelas. Pasal 19 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepengurusan bank” antara lain ketentuan mengenai: a. bank umum; b. bank umum syariah; c. perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah; d. persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; e. penilaian kemampuan dan kepatutan; f. penerapan tata kelola bagi bank umum; dan/atau g. pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. - 9 - Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dokumen pendukung berupa: a. b. fotokopi kontrak kerja; fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan c. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif Bank antara lain berpedoman pada ketentuan mengenai: a. bank umum; b. bank umum syariah; c. perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah; - 10 - d. persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri; e. penilaian kemampuan dan kepatutan; f. penerapan tata kelola bagi bank umum; dan/atau g. pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6086
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 37/POJK.03/2017 </reg_id> <reg_title> PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN </reg_title> <set_date> 12 Juli 2017 </set_date> <effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date> <issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date> <replaced_reg> '9/8/PBI/2007' </replaced_reg> <related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '13/UU/2003', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg> <penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, Menimbang : a. bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat yang akan diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan tersebut; b. bahwa semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan usaha perbankan akan meningkatkan kebutuhan praktek tata kelola yang baik (good governance) serta fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko bank; c. bahwa peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko dimaksudkan agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan usaha bank; d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan komprehensif; - 2 - e. bahwa dalam rangka menciptakan prakondisi dan infrastruktur pengelolaan risiko, bank wajib mengambil langkah-langkah persiapan pelaksanaan pengelolaan risikonya; f. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko yang dihadapi bank; g. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan bank berbasis risiko; h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM. - 3 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional. 2. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. 3. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank. 4. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank, termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur, Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk. 5. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan rekening administratif, termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk Risiko perubahan harga option. 6. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan Bank. - 4 - 7. Risiko Operasional adalah Risiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional Bank. 8. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan. 9. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis. 10. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku kepentingan (stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif terhadap Bank. 11. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis. 12. Direksi: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan - 5 - Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor Tahun 2015; 9 c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang. 13. Dewan Komisaris: a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b. bagi Bank berbentuk badan hukum: 1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2015; 3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada Bank yang belum berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015; - 6 - c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan fungsi pengawasan. 14. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di dalam maupun di luar negeri yang melakukan kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas: a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih dari 50% (lima puluh persen); b. perusahaan partisipasi (participation company) adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang, namun Bank memiliki pengendalian terhadap perusahaan; c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu: 1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya pada Perusahaan Anak adalah masing- masing sama besar; dan 2) masing-masing pemilik melakukan pengendalian secara bersama terhadap Perusahaan Anak; d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi keuangan harus dikonsolidasikan. - 7 - BAB II RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO Pasal 2 (1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif, baik untuk Bank secara individu maupun untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak. (2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris; b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko; c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta sistem informasi Manajemen Risiko; dan d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh. Pasal 3 Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta kemampuan Bank. Pasal 4 (1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup: a. Risiko Kredit; b. Risiko Pasar; c. Risiko Likuiditas; d. Risiko Operasional; e. Risiko Hukum; f. Risiko Reputasi; g. Risiko Stratejik; dan h. Risiko Kepatuhan. (2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1). - 8 - BAB III PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS Bagian Kesatu Umum Pasal 5 Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Bagian Kedua Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi Pasal 6 (1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Direksi paling sedikit: a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara tertulis dan komprehensif; b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang diambil oleh Bank secara keseluruhan; c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi; d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh jenjang organisasi; e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang terkait dengan Manajemen Risiko; f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah beroperasi secara independen; dan g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan: 1. keakuratan metodologi penilaian Risiko; 2. kecukupan implementasi sistem informasi Manajemen Risiko; dan - 9 - 3. ketepatan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko. (2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional Bank dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank. Bagian Ketiga Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Pasal 7 Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 bagi Dewan Komisaris paling sedikit: a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris. BAB IV KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO SERTA PENETAPAN LIMIT RISIKO Bagian Kesatu Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 8 Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat: a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi perbankan; Manajemen Risiko - 10 - b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem informasi Manajemen Risiko; c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko; d. penetapan penilaian peringkat Risiko; e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi terburuk (worst case scenario); dan f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko. Bagian Kedua Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko Pasal 9 (1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank. (2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas; b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara berkala; dan c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko secara memadai. (3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mencakup: a. limit secara keseluruhan; b. limit per jenis Risiko; dan c. limit per aktivitas fungsional tertentu yang memiliki eksposur Risiko. - 11 - BAB V PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN, DAN PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 10 (1) Bank wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c terhadap faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material. (2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh: a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu; dan b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi keuangan, kinerja aktivitas fungsional, dan eksposur Risiko Bank. Bagian Kedua Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan Pengendalian Risiko Pasal 11 (1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi Risiko, Bank wajib melakukan analisis paling sedikit terhadap: a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank. (2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: - 12 - a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur Risiko; dan b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran Risiko dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi dan faktor Risiko, yang bersifat material. (3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko, Bank wajib paling sedikit melakukan: a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi, dan sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang bersifat material. (4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Bank. (5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b dan huruf c, Bank paling sedikit menerapkan Assets and Liabilities Management (ALMA). Bagian Ketiga Sistem Informasi Manajemen Risiko Pasal 12 (1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, mencakup laporan atau informasi paling sedikit mengenai: a. eksposur Risiko; b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; dan - 13 - c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan dengan target yang ditetapkan. (2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada Direksi. BAB VI SISTEM PENGENDALIAN INTERN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank. Pasal 14 (1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 paling sedikit mampu secara tepat waktu mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi. (2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memastikan: a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang- undangan serta kebijakan atau ketentuan intern Bank; b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu; c. d. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi Bank secara menyeluruh. - 14 - Bagian Kedua Sistem Pengendalian Intern dalam Penerapan Manajemen Risiko Pasal 15 (1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup: a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha Bank; b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9; c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi yang jelas dari satuan kerja operasional kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian; d. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas kegiatan usaha Bank; e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat dan tepat waktu; f. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap ketentuan dan perundang-undangan; g. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional Bank; h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem informasi Manajemen Risiko; i. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur operasional, cakupan, dan temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank berdasarkan hasil audit; dan - 15 - j. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan Bank yang bersifat material dan tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki penyimpangan yang terjadi. (2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit intern. BAB VII ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO Bagian Kesatu Umum Pasal 16 Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Bank wajib membentuk: a. komite Manajemen Risiko; dan b. satuan kerja Manajemen Risiko. Bagian Kedua Komite Manajemen Risiko Pasal 17 (1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a paling sedikit terdiri atas: a. mayoritas Direksi; dan b. pejabat eksekutif terkait. (2) Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memberikan rekomendasi kepada direktur utama, yang paling sedikit mencakup: a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan Manajemen Risiko; - 16 - b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Manajemen Risiko; dan c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal. Bagian Ketiga Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 18 (1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha Bank serta Risiko yang melekat pada Bank. (2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern. (3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab langsung kepada direktur utama atau kepada direktur yang ditugaskan secara khusus. (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko meliputi: a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen Risiko yang telah disetujui oleh Direksi; b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, dan per jenis aktivitas fungsional serta melakukan stress testing; c. kaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen Risiko; d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk baru; e. evaluasi terhadap akurasi model dan validitas data yang digunakan untuk mengukur Risiko, - 17 - bagi Bank yang menggunakan model untuk keperluan intern (internal model); f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan yang dimiliki; dan g. menyusun dan menyampaikan laporan profil Risiko kepada direktur utama atau direktur yang ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen Risiko secara berkala. Bagian Keempat Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko Pasal 19 Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib menginformasikan eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko secara berkala. BAB VIII PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU Pasal 20 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara tertulis untuk mengelola Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru Bank. (2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup: a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) serta kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru; b. identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada produk atau aktivitas baru, baik yang terkait dengan Bank maupun nasabah; - 18 - c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko terhadap produk dan aktivitas baru; d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru; e. f. analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas baru; dan transparansi informasi kepada nasabah. (3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk baru atau aktivitas baru jika memenuhi kriteria: a. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya oleh Bank; atau b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya oleh Bank namun dilakukan pengembangan yang mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko tertentu pada Bank. Pasal 21 Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus dan/atau pegawai Bank untuk memasarkan produk atau melaksanakan aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank. Pasal 22 Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk atau aktivitas Bank kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f, baik secara tertulis maupun lisan. - 19 - BAB IX PELAPORAN Bagian Kesatu Laporan Profil Risiko serta Laporan Produk dan Aktivitas Baru Pasal 23 (1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. (2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko, wajib memuat substansi yang sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada direktur utama dan komite Manajemen Risiko. (3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan Desember. (4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah akhir bulan laporan. (5) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Pasal 24 (1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau aktivitas baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang terdiri atas: a. Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru; dan b. Laporan realisasi penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. - 20 - (2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan produk atau aktivitas baru. (3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan. (4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib dicantumkan dalam rencana bisnis Bank. (5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan dapat melarang Bank untuk menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas baru yang direncanakan. (6) Dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi: a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan; b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau c. tidak sesuai dengan ketentuan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk menghentikan produk yang diterbitkan atau aktivitas yang dilaksanakan. (7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu diatur secara tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. - 21 - Bagian Kedua Laporan Lain Pasal 25 (1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada Otoritas Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dalam hal terdapat kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. (2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara berkala atau sewaktu-waktu dalam hal diperlukan. (3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Ketiga Batas Waktu Penyampaian Laporan Pasal 26 Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24 apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu penyampaian. Bagian Keempat Alamat Penyampaian Pasal 27 Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat: a. Departemen Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau - 22 - b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank. BAB X KETENTUAN LAIN-LAIN Bagian Kesatu Penilaian Penerapan Manajemen Risiko Pasal 28 Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank. Pasal 29 Bank wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada Otoritas Jasa Keuangan. Bagian Kedua Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen Risiko Pasal 30 (1) Bank wajib melakukan pengungkapan Manajemen Risiko dalam laporan publikasi tahunan Bank. (2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko dan arah kebijakan Manajemen Risiko. - 23 - BAB XI SANKSI Pasal 31 (1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan. (2) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) setelah 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian laporan, dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan. (3) Bank yang belum menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) dan telah dikenakan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan. (4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), namun: a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi yang material, sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan sanksi administratif berupa denda Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). sebesar - 24 - (6) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah: a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran; dan b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir. Pasal 32 Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2), Pasal 5, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2), Pasal 15 ayat (2), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 29 atau Pasal 30 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. penurunan tingkat kesehatan Bank; c. pembekuan kegiatan usaha tertentu; d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau e. pemberhentian pengurus Bank. - 25 - BAB XII KETENTUAN PENUTUP Pasal 33 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 34 (1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku: a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4292); dan b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5029), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. (2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. - 26 - (3) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, pengaturan yang sebelumnya mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan Manajemen Risiko bagi bank umum menjadi mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini. Pasal 35 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 16 Maret 2016 KETUA DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN, ttd MULIAMAN D. HADAD Diundangkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 2016 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 53 Salinan sesuai dengan aslinya Direktur Hukum 1 Departemen Hukum ttd Yuliana PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 18 /POJK.03/2016 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM I. UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan usaha perbankan. Oleh karena itu, agar mampu beradaptasi dalam lingkungan bisnis perbankan, Bank dituntut untuk menerapkan Manajemen Risiko. Dalam kaitan ini, prinsip-prinsip Manajemen Risiko yang akan dianut dan diterapkan pada perbankan Indonesia diarahkan sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank for International Settlements melalui Basel Committee on Banking Supervision. Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya merupakan standar bagi dunia perbankan untuk dapat beroperasi secara lebih berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan kegiatan usaha dan operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini. Melalui penerapan Manajemen Risiko, Bank diharapkan dapat mengukur dan mengendalikan Risiko yang dihadapi dalam melakukan kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selanjutnya, penerapan Manajemen Risiko yang dilakukan perbankan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan Bank berbasis Risiko yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. - 2 - Upaya penerapan Manajemen Risiko dimaksud tidak hanya ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan nasabah dan dalam rangka pengendalian Risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau aktivitas Bank. Penerapan Manajemen Risiko dapat bervariasi antara satu Bank dengan Bank lain sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung serta kemampuan sumber daya manusia. Otoritas Jasa Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai standar minimal yang harus dipenuhi oleh perbankan Indonesia dalam menerapkan Manajemen Risiko. Dengan ketentuan ini, Bank diharapkan mampu melaksanakan seluruh aktivitasnya secara terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan Risiko yang akurat dan komprehensif. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 3 Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi, produk atau jasa, dan jaringan usaha. Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia. - 3 - Pasal 4 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan settlement risk. Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada 1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor, dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat mengancam kelangsungan usaha Bank. Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai pasar. Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date) yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau pembelian instrumen keuangan. Huruf b Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga, Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas. Yang dimaksud dengan “Risiko suku bunga” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis dari posisi banking book, yang disebabkan oleh perubahan suku bunga. Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko suku bunga dari posisi banking book yang antara lain meliputi repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan optionality risk. Yang dimaksud dengan “Risiko nilai tukar” adalah Risiko akibat perubahan nilai posisi trading book dan banking - 4 - book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta asing atau perubahan harga emas. Yang dimaksud dengan “Risiko komoditas” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book dan banking book yang disebabkan oleh perubahan harga komoditas. Yang dimaksud dengan “Risiko ekuitas” adalah Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi trading book yang disebabkan oleh perubahan harga saham. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak sempurna. Huruf f Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya pemberitaan media dan/atau rumor mengenai Bank yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi Bank yang kurang efektif. Huruf g Risiko Stratejik timbul antara lain karena Bank menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi dan misi Bank, melakukan analisis lingkungan stratejik yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijakan otoritas terkait. - 5 - Huruf h Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen Risiko adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko baik Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis Risiko, maupun per aktivitas fungsional. Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan. Huruf b Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko adalah: 1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh satuan kerja Manajemen Risiko; dan 2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada Dewan Komisaris secara triwulanan. Huruf c Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara lain transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat Bank satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku. Huruf d Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh jenjang organisasi tentang pentingnya pengendalian intern yang efektif. - 6 - Huruf e Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen Risiko. Huruf f Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan pemantauan Risiko dengan satuan kerja yang melakukan dan menyelesaikan transaksi. Huruf g Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 7 Huruf a Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank secara signifikan. Huruf b Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris paling sedikit secara triwulanan. Huruf c Yang dimaksud dengan “transaksi yang memerlukan persetujuan Dewan Komisaris” adalah transaksi yang telah melampaui kewenangan Direksi untuk memutuskan transaksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku. - 7 - Pasal 8 Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa: a. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan perundang-undangan serta ketentuan lain; dan b. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang Manajemen Risiko sesuai kompleksitas usaha Bank. Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan faktor internal. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat diserap oleh permodalan Bank. Huruf d Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi Bank untuk mengategorikan peringkat Risiko Bank. Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima) peringkat, yaitu: 1. Peringkat 1 (Low); 2. Peringkat 2 (Low to Moderate); 3. Peringkat 3 (Moderate); 4. Peringkat 4 (Moderate to High); dan 5. Peringkat 5 (High). Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. - 8 - Pasal 9 Ayat (1) Tingkat Risiko yang akan diambil (risk appetite) memperhatikan pengalaman yang dimiliki Bank dalam mengelola Risiko. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pengertian secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan Bank. Huruf c Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai” adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail) untuk keperluan pengendalian intern Bank. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko. Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors) yang bersifat material” adalah faktor-faktor Risiko baik kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi keuangan Bank. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Proses identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi. - 9 - Ayat (2) Untuk memperkirakan Risiko, Bank dapat menggunakan berbagai pendekatan, baik kualitatif maupun kuantitatif, disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Pengertian secara berkala paling sedikit secara triwulanan atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai dengan perkembangan usaha Bank dan kondisi eksternal yang langsung mempengaruhi kondisi Bank. Huruf b Yang dimaksud dengan “perubahan yang bersifat material” adalah perubahan kegiatan usaha Bank, produk, transaksi, dan/atau faktor Risiko, yang dapat mempengaruhi kondisi keuangan Bank. Ayat (3) Huruf a Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat material atau yang berdampak kepada kondisi permodalan Bank, yang antara lain didasarkan atas penilaian potensi Risiko dengan menggunakan historical trend. Huruf b Cukup jelas. Ayat (4) Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal untuk menyerap potensi kerugian. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12 Ayat (1) Huruf a Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan - 10 - (composite) maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis aktivitas fungsional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi dapat ditingkatkan frekuensinya sesuai kebutuhan Bank. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada pihak yang berkepentingan. Huruf c Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional antara lain diperlukan untuk melindungi aset dan sumber daya Bank lainnya dari Risiko terkait. Huruf d Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan untuk mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran kebijakan dan prosedur yang ada pada Bank secara berkesinambungan. - 11 - Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Huruf a Komite Manajemen Risiko harus bersifat non-struktural. Huruf b Satuan kerja Manajemen Risiko harus bersifat struktural. Pasal 17 Ayat (1) Keanggotaan komite Manajemen Risiko dapat berupa keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai kebutuhan Bank. Huruf a Salah satu anggota dari mayoritas Direksi dalam komite Manajemen Risiko adalah direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan. Huruf b Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan atau operasional Bank. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Termasuk dalam keputusan bisnis yang menyimpang dari prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi usaha yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank dan pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang menyimpang dari limit yang telah ditetapkan. - 12 - Pasal 18 Ayat (1) Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan struktur organisasi yang tepat dan sesuai kondisi Bank, termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. Ayat (2) Pengertian independen antara lain tercermin dari adanya: a. pemisahan fungsi dan tugas antara satuan kerja Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk- taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian intern; dan b. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau mengabaikan satuan kerja operasional lainnya. Ayat (3) Mengingat ukuran dan kompleksitas usaha Bank yang berbeda, satuan kerja Manajemen Risiko dapat bertanggung jawab langsung kepada direktur yang ditugaskan secara khusus oleh Bank seperti direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan atau direktur Manajemen Risiko. Istilah direktur utama dapat dipersamakan dengan presiden direktur. Ayat (4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen Risiko disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan kemampuan Bank. Huruf a Cukup jelas. Huruf b Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank. Huruf c Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan audit intern dan/atau perkembangan praktek-praktek Manajemen Risiko yang berlaku secara internasional. - 13 - Huruf d Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian kemampuan Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau produk baru dan kajian usulan perubahan sistem dan prosedur. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang terkait dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko yang wajib dipelihara oleh Bank. Huruf g Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh portofolio atau eksposur Bank. Frekuensi penyampaian laporan ditingkatkan dalam hal kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur Risiko yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit, penyampaian laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Pasal 19 Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan dengan karakteristik jenis Risiko. Termasuk dalam definisi satuan kerja operasional (risk-taking unit) antara lain satuan kerja perkreditan, treasuri, dan pendanaan. Pasal 20 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “produk Bank” adalah instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Bank. Yang dimaksud dengan “aktivitas Bank” adalah jasa yang disediakan oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa keagenan dan/atau kustodian. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. - 14 - Huruf b Cukup jelas. Huruf c Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji. Huruf d Sistem informasi akuntansi paling kurang menggambarkan profil Risiko dan tingkat keuntungan maupun kerugian untuk produk atau aktivitas baru secara akurat. Huruf e Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya Risiko Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau aktivitas baru serta kesesuaian dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan. Huruf f Aspek-aspek dalam menerapkan transparansi informasi kepada nasabah memperhatikan paling sedikit: 1. informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan tidak menyesatkan nasabah; 2. informasi yang berimbang antara potensi manfaat yang mungkin diperoleh dengan Risiko yang mungkin timbul bagi nasabah; dan 3. informasi yang disampaikan tidak menyamarkan, mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting terkait dengan Risiko yang mungkin timbul. Ayat (3) Huruf a Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau dilakukan sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang telah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank lain namun belum pernah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank yang bersangkutan. Huruf b Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak mencakup perubahan eksposur Risiko yang terkait produk atau aktivitas konvensional seperti giro, - 15 - tabungan, deposito, kredit, produk derivatif yang bersifat plain vanilla, dan aktivitas kustodian. Pasal 21 Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui namun tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran produk atau aktivitas yang bukan merupakan produk atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank oleh pengurus dan/atau pegawai. Pasal 22 Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada nasabah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai transparansi informasi produk Bank. Selain itu transparansi informasi juga mencakup prosedur, skim, dan materi yang perlu diungkapkan, seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko, serta hak dan kewajiban nasabah. Pasal 23 Ayat (1) Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang tingkat dan tren seluruh eksposur Risiko. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan posisi triwulan sebelumnya. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 24 Ayat (1) Cukup jelas. - 16 - Ayat (2) Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup seluruh produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3). Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru paling sedikit memuat hal-hal yang ditetapkan dalam Pasal 20 ayat (2). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru dicantumkan dalam rencana bisnis Bank untuk tahun yang sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru. Ayat (5) Evaluasi Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara lain aspek kesiapan Bank, penerapan Manajemen Risiko, transparansi informasi produk, dan perlindungan nasabah. Ayat (6) Huruf a Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur, skim, karakteristik produk atau aktivitas, Risiko serta hak dan kewajiban nasabah. Huruf b Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan terhadap kondisi keuangan Bank antara lain dapat disebabkan oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar dari penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank. Huruf c Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 25 Ayat (1) Cukup jelas. - 17 - Ayat (2) Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara lain laporan proyeksi arus kas dan laporan profil maturitas dalam rangka penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko Likuiditas. Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan pelaksanaan kegiatan bancassurance. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Penilaian terhadap Manajemen Risiko Bank termasuk penilaian Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem pengendalian Risiko (risk control system). Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (bulan Januari) sampai dengan akhir tahun (bulan Desember) termasuk profil Risiko, sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko merupakan arah dan strategi Manajemen Risiko periode 1 (satu) tahun ke depan. - 18 - Pasal 31 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja. Ayat (2) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5861
<reg_type> POJK </reg_type> <reg_id> 18/POJK.03/2016 </reg_id> <reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM </reg_title> <set_date> 16 Maret 2016 </set_date> <effective_date> 22 Maret 2016 </effective_date> <issued_date> 22 Maret 2016 </issued_date> <replaced_reg> '11/25/PBI/2009', '5/8/PBI/2003' </replaced_reg> <related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg> <penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>