input
stringlengths 912
558k
| output
stringlengths 234
2.18k
|
---|---|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 2 /PBI/2011
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank semakin
meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi
informasi, globalisasi, dan integrasi pasar keuangan;
b. bahwa kompleksitas kegiatan usaha bank memberikan
dampak yang sangat besar terhadap eksposur risiko yang
dihadapi oleh bank sehingga diperlukan upaya-upaya untuk
memitigasi risiko kegiatan usaha bank;
c. bahwa untuk memitigasi risiko kegiatan usaha bank
diperlukan berbagai upaya baik yang bersifat preventif
(ex-ante ) maupun kuratif (ex-post);
d. bahwa upaya yang bersifat ex-ante dapat ditempuh dengan
mematuhi berbagai kaidah perbankan yang berlaku untuk
mengurangi atau memperkecil risiko kegiatan usaha bank;
e. bahwa untuk mewujudkan hal sebagaimana dimaksud
pada huruf d diperlukan peningkatan peran dan Fungsi
Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang ada pada
Bank sehingga potensi risiko kegiatan usaha bank dapat
diantisipasi lebih dini;
f. bahwa . . .
- 2 -
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e
diperlukan pengaturan mengenai fungsi kepatuhan Bank
Umum dan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai
penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director);
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867).
MEMUTUSKAN . . .
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini, yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk didalamnya kantor
cabang bank asing, dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kantor Cabang Bank Asing adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang bertanggung jawab kepada kantor pusat
bank yang bersangkutan dan mempunyai alamat serta tempat kedudukan di
Indonesia.
3. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian.
4. Direksi: . . .
- 4 -
4. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perusahaan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Perkoperasian;
d. bagi Kantor Cabang Bank Asing adalah pimpinan kantor cabang bank
asing.
5. Budaya Kepatuhan adalah nilai, perilaku, dan tindakan yang mendukung
terciptanya kepatuhan terhadap ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah.
6. Fungsi Kepatuhan adalah serangkaian tindakan atau langkah-langkah
yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh
Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank
Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah, serta memastikan kepatuhan Bank
terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau
otoritas pengawas lain yang berwenang.
7. Risiko Kepatuhan adalah risiko yang timbul akibat Bank tidak mematuhi
dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah.
8. Prinsip . . .
- 5 -
8. Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 2
(1) Direksi wajib menumbuhkan dan mewujudkan terlaksananya Budaya
Kepatuhan pada semua tingkatan organisasi dan kegiatan usaha Bank.
(2) Direksi wajib memastikan terlaksananya Fungsi Kepatuhan Bank.
(3) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
Fungsi Kepatuhan.
BAB II
FUNGSI KEPATUHAN BANK
Pasal 3
Fungsi Kepatuhan Bank meliputi tindakan untuk:
a. mewujudkan terlaksananya Budaya Kepatuhan pada semua tingkatan
organisasi dan kegiatan usaha Bank;
b. mengelola Risiko Kepatuhan yang dihadapi oleh Bank;
c. memastikan agar kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur serta kegiatan
usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank
Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah; dan
d. memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank
kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
Pasal 4 . . .
- 6 -
Pasal 4
(1) Bank wajib memiliki Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan
membentuk satuan kerja kepatuhan.
(2) Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan oleh
satuan kerja kepatuhan.
Pasal 5
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dan satuan kerja kepatuhan pada
Bank Umum Syariah dan/atau Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit
Usaha Syariah wajib berkoordinasi dengan Dewan Pengawas Syariah terkait
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah.
Pasal 6
(1) Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap Fungsi
Kepatuhan, dengan:
a. mengevaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank paling kurang
2 (dua) kali dalam satu tahun;
b. memberikan saran-saran dalam rangka meningkatkan kualitas
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Bank.
(2) Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan Fungsi Kepatuhan, Dewan
Komisaris menyampaikan saran-saran dalam rangka peningkatan kualitas
pelaksanaan Fungsi Kepatuhan kepada Direktur Utama dengan tembusan
kepada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
BAB III
. . .
- 7 -
BAB III
DIREKTUR YANG MEMBAWAHKAN FUNGSI KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 7
(1) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memenuhi
persyaratan independensi.
(2) Direktur Utama dan/atau Wakil Direktur Utama dilarang merangkap
jabatan sebagai Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(3) Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan dilarang membawahkan
fungsi-fungsi :
a. bisnis dan operasional;
b. manajemen risiko yang melakukan pengambilan keputusan pada
kegiatan usaha Bank;
treasury;
c.
d. keuangan dan akuntansi;
e.
f.
g.
audit intern.
Pasal 8
Calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib memiliki integritas
dan pengetahuan yang memadai mengenai ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
logistik dan pengadaan barang/jasa;
teknologi informasi; dan
Bagian . . .
- 8 -
Bagian Kedua
Pengangkatan, Pemberhentian, dan/atau Pengunduran Diri Direktur yang
Membawahkan Fungsi Kepatuhan
Pasal 9
(1) Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri Direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan mengacu pada ketentuan mengenai
pengangkatan, pemberhentian, dan/atau pengunduran diri anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur
mengenai Bank Umum dan Bank Umum Syariah.
(2) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan tidak dapat
menjalankan tugas jabatannya selama lebih dari 7 (tujuh) hari kerja
berturut-turut maka pelaksanaan tugas yang bersangkutan wajib digantikan
sementara oleh Direktur lain sampai dengan Direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan dapat menjalankan tugas jabatannya kembali.
(3) Dalam hal Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan
tetap, mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya, maka Bank wajib
segera mengangkat pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan.
(4) Selama dalam proses penggantian Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib menunjuk
atau menugaskan salah satu Direktur lainnya untuk sementara
melaksanakan tugas Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
(5) Direktur yang melaksanakan tugas sementara sebagai Direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan, baik karena berhalangan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maupun berhalangan tetap
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3).
(6) Dalam . . .
- 9 -
(6) Dalam hal Direktur lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak ada,
maka jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
dapat dirangkap sementara oleh Direktur lainnya yang membawahkan
fungsi-fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(7) Penggantian sementara jabatan Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) wajib
dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Bagian Ketiga
Tugas dan Tanggung Jawab Direktur yang Membawahkan Fungsi Kepatuhan
Pasal 10
(1) Tugas dan tanggung jawab Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan, paling kurang mencakup:
a. merumuskan strategi guna mendorong terciptanya Budaya Kepatuhan
Bank;
b. mengusulkan kebijakan kepatuhan atau prinsip-prinsip kepatuhan
yang akan ditetapkan oleh Direksi;
c. menetapkan sistem dan prosedur kepatuhan yang akan digunakan
untuk menyusun ketentuan dan pedoman internal Bank;
d. memastikan bahwa seluruh kebijakan, ketentuan, sistem, dan
prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan Bank telah sesuai
dengan ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah;
e. meminimalkan Risiko Kepatuhan Bank;
f. melakukan . . .
- 10 -
f. melakukan tindakan pencegahan agar kebijakan dan/atau keputusan
yang diambil Direksi Bank atau pimpinan Kantor Cabang Bank Asing
tidak menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
g. melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.
(2) Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghilangkan hak dan kewajiban Direktur yang membawahkan
Fungsi Kepatuhan sebagai anggota Direksi Bank sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas, apabila untuk
perbuatan-perbuatan tertentu tersebut diperlukan keputusan dari seluruh
anggota Direksi Bank.
Pasal 11
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib melaporkan pelaksanaan
tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 kepada
Direktur Utama dengan tembusan kepada Dewan Komisaris, paling kurang
secara triwulanan.
BAB IV
SATUAN KERJA KEPATUHAN
Bagian Pertama
Independensi dan Kriteria
Pasal 12
(1) Satuan kerja kepatuhan harus independen.
(2) Pejabat dan staf di satuan kerja kepatuhan dilarang ditempatkan pada posisi
menghadapi conflict of interest dalam melaksanakan tanggung jawab
Fungsi Kepatuhan.
(3) Satuan . . .
- 11 -
(3) Satuan kerja kepatuhan pada Bank Umum Konvensional yang memiliki
Unit Usaha Syariah wajib didukung oleh personil yang mempunyai
pengetahuan dan/atau pemahaman tentang operasional perbankan syariah.
Pasal 13
Kriteria kepala satuan kerja kepatuhan:
a. memenuhi persyaratan independensi;
b. menguasai ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c.
tidak melaksanakan tugas lainnya di luar Fungsi Kepatuhan; dan
d. memiliki komitmen yang tinggi untuk melaksanakan dan mengembangkan
Budaya Kepatuhan (compliance culture).
Pasal 14
Pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan kerja kepatuhan
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Bagian Kedua
Tugas dan Tanggung Jawab Satuan Kerja Kepatuhan
Pasal 15
Dalam rangka melaksanakan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, tugas dan tanggung jawab satuan kerja kepatuhan paling kurang
mencakup:
a. membuat langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya
Kepatuhan pada seluruh kegiatan usaha Bank pada setiap jenjang
organisasi;
b. melakukan identifikasi, pengukuran, monitoring, dan pengendalian terhadap
Risiko Kepatuhan dengan mengacu pada peraturan Bank Indonesia
mengenai Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum;
c. menilai
. . .
- 12 -
c. menilai dan mengevaluasi efektivitas, kecukupan, dan kesesuaian
kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang dimiliki oleh Bank
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. melakukan review dan/atau merekomendasikan pengkinian dan
penyempurnaan kebijakan, ketentuan, sistem maupun prosedur yang
dimiliki oleh Bank agar sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk Prinsip Syariah bagi
Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah;
e. melakukan upaya-upaya untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan,
sistem dan prosedur, serta kegiatan usaha Bank telah sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
dan
f. melakukan tugas-tugas lainnya yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan.
BAB V
PELAPORAN
Pasal 16
Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan wajib menyampaikan laporan
kepada Bank Indonesia tentang pelaksanaan tugasnya, meliputi:
a. Rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam rencana bisnis Bank;
b. Laporan kepatuhan; dan
c. Laporan khusus mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi
yang menurut Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
telah menyimpang dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku sebagai bagian dari tugas Direktur yang
membawahkan Fungsi Kepatuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) huruf f.
Pasal 17 . . .
- 13 -
Pasal 17
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b, wajib
ditandatangani oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, dan
disampaikan kepada Bank Indonesia secara semesteran dan diterima Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan berakhir
dengan tembusan kepada Dewan Komisaris dan Direktur Utama.
(2) Laporan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk pertama
kalinya wajib disampaikan untuk periode pelaporan Juli sampai dengan
Desember 2011.
(3) Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan
diterima Bank Indonesia melampaui batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi belum melampaui
1 (satu) bulan setelah batas akhir waktu penyampaian laporan.
(4) Bank dianggap tidak menyampaikan laporan kepatuhan apabila laporan
tersebut belum diterima Bank Indonesia hingga akhir batas waktu
keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c disampaikan
kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui
oleh Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan mengenai adanya
penyimpangan.
BAB VI
ALAMAT PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 18
(1) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditujukan
kepada Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan, Bank Indonesia,
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, dengan tembusan kepada
Direktorat Pengawasan Bank terkait atau Kantor Bank Indonesia setempat.
(2) Penyampaian . . .
- 14 -
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan
Pasal 16, ditujukan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia,
Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat 10350, bagi Bank
yang berkantor pusat di wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia;
atau
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat
diluar wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB VII
SANKSI
Pasal 19
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 dikenakan sanksi
administratif antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan berupa penurunan peringkat faktor manajemen
dalam penilaian tingkat kesehatan;
c.
larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e. pemberhentian pengurus Bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat
pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau
Rapat Anggota Koperasi (RAT) mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia; dan
f.
pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham Bank dalam
daftar tidak lulus melalui mekanisme penilaian kemampuan dan kepatutan
(fit and proper test).
Pasal 20 . . .
- 15 -
Pasal 20
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (3) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (4) dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan teguran tertulis oleh
Bank Indonesia.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Sejak tanggal ditetapkannya ketentuan ini, Bank wajib melakukan
penyesuaian mengacu pada ketentuan ini paling lambat sampai dengan tanggal
31 Agustus 2011.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18,
dan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia No. 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September
1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan (Compliance Director) dan
Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi Audit Intern Bank Umum dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 23 . . .
- 16 -
Pasal 23
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal 1 September 2011.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2011
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 6
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 13/ 2 /PBI/2011
TENTANG
PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM
I. UMUM
Kegiatan usaha bank terus mengalami perubahan dan peningkatan sejalan
dengan perkembangan teknologi informasi, globalisasi dan integrasi pasar
keuangan, sehingga kompleksitas kegiatannya semakin tinggi. Kompleksitas
kegiatan usaha bank yang semakin meningkat tersebut mengakibatkan tantangan
dan eksposur risiko yang dihadapi juga semakin besar.
Melihat perkembangan tantangan dan risiko usaha bank yang semakin
besar, maka diperlukan berbagai macam upaya untuk memitigasi risiko tersebut.
Upaya-upaya tersebut dapat bersifat ex-ante maupun ex-post. Upaya yang
bersifat ex-ante sangat diperlukan untuk mengurangi atau memperkecil potensi
risiko kegiatan usaha bank yang diperkirakan akan terjadi. Oleh karena itu
diperlukan adanya peningkatan peran dan Fungsi Kepatuhan serta satuan kerja
kepatuhan dalam pengelolaan Risiko Kepatuhan.
Pengelolaan Risiko Kepatuhan yang baik dan tepat waktu diharapkan
dapat meminimalisir dampak risiko sedini mungkin. Dengan demikian peran dan
Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan ke depan tidak hanya melihat
suatu kejadian yang bersifat ex-ante melainkan juga harus mampu mengelola
Risiko Kepatuhan agar sejalan dengan penerapan manajemen risiko yang telah
berjalan di bank secara keseluruhan.
Selama . . .
- 2 -
Selama ini pengaturan mengenai peran dan Fungsi Kepatuhan maupun
direktur kepatuhan belum memadai dan masih menjadi satu dengan pengaturan
fungsi audit intern, sehingga terkesan bahwa pengaturan peran dan Fungsi
Kepatuhan maupun direktur kepatuhan merupakan bagian dari fungsi audit
intern.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dianggap perlu adanya
pengaturan tersendiri yang lebih luas dan spesifik mengenai peran dan Fungsi
Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan yang terpisah dari ketentuan tentang
fungsi audit intern. Disamping itu, pengaturan ini nantinya diharapkan akan
mengubah peran dan Fungsi Kepatuhan maupun satuan kerja kepatuhan menjadi
lebih forward looking dan lebih sensitif terhadap dinamika perubahan yang
terjadi. Dengan demikian, terjadi transformasi mengenai peran dan Fungsi
Kepatuhan serta satuan kerja kepatuhan menuju kearah yang lebih strategis dan
lebih berperan dalam mendukung kinerja bank yang lebih baik.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
. . .
- 3 -
Ayat (3)
Khusus bagi Kantor Cabang Bank Asing, pelaksanaan pengawasan
terhadap Fungsi Kepatuhan disesuaikan dengan struktur organisasi
yang berlaku pada bank yang bersangkutan.
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tindakan mengelola Risiko Kepatuhan dilaksanakan dengan mengacu
pada ketentuan Bank Indonesia mengenai Manajemen Risiko Bagi
Bank Umum.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7 . . .
- 4 -
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham,
dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota
Dewan Komisaris, Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace bagi Bank Umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan fungsi bisnis atau fungsi operasional
antara lain meliputi kegiatan penghimpunan dan/atau penyaluran
dana dan kegiatan keagenan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
- 5 -
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 8
Penilaian kriteria calon Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
dalam pasal ini mengacu pada ketentuan Bank Indonesia mengenai
Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (fit and proper test) dan ketentuan
mengenai pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Alih Pengetahuan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak dapat menjalankan tugas jabatannya
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat sementara seperti cuti, sakit,
dan dinas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “berhalangan tetap” antara lain meninggal
dunia, mengalami cacat fisik, dan/atau cacat mental atau kondisi lain
yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugas-tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan
Indonesia.
Pengangkatan pengganti Direktur yang membawahkan Fungsi
Kepatuhan dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Direktur
yang membawahkan Fungsi Kepatuhan berhalangan tetap,
mengundurkan diri, atau habis masa jabatannya.
Ayat (4)
. . .
- 6 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kebijakan kepatuhan” adalah
prinsip-prinsip yang akan dipergunakan untuk menyusun sistem,
prosedur, dan pedoman internal dalam rangka harmonisasi antara
kepentingan komersial Bank dengan ketaatan peraturan yang
berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 7 -
Huruf f
Termasuk sebagai tindakan pencegahan antara lain memberikan
pendapat yang berbeda/dissenting opinion apabila terdapat
kebijakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari ketentuan
Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Tanggungjawab Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
dalam melakukan tindakan pencegahan terbatas pada
kewenangan Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
Huruf g
Yang dimaksud tugas-tugas lain yang terkait dengan fungsi
kepatuhan antara lain adalah memantau dan menjaga kepatuhan
Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank
Indonesia maupun otoritas pengawas lainnya yang berwenang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perbuatan-perbuatan tertentu” adalah
perbuatan-perbuatan yang terkait dengan corporate actions antara lain
merger, konsolidasi, akuisisi, right issue, dan initial public offering
(IPO).
Pasal 11
Bagi kantor cabang bank asing, laporan disampaikan kepada pemimpin
kantor cabang bank asing dengan tembusan kepada pihak yang berwenang
mengawasi kantor cabang bank asing, sesuai dengan struktur organisasi
Bank.
Pasal 12 . . .
- 8 -
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “satuan kerja kepatuhan harus independen”
adalah satuan kerja kepatuhan harus dibentuk secara tersendiri dan
bebas dari pengaruh satuan kerja lainnya, serta mempunyai akses
langsung pada Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan.
Satuan kerja kepatuhan dibentuk di kantor pusat Bank, namun
melaksanakan Fungsi Kepatuhan di seluruh jaringan kantor Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persyaratan independensi” adalah tidak
memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham,
dan/atau hubungan keluarga sampai derajat kedua dengan anggota
Dewan Komisaris, Direksi dan/atau pemegang saham pengendali atau
hubungan dengan Bank yang dapat mempengaruhi kemampuannya
untuk bertindak independen, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Bank Indonesia mengenai Pelaksanaan Good Corporate Governace
bagi Bank Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 9 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 14
Laporan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian kepala satuan
kerja kepatuhan mengacu pada ketentuan pelaporan bagi Pejabat Eksekutif
sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Bank
Umum dan Bank Umum Syariah.
Pasal 15
Huruf a
Langkah-langkah dalam rangka mendukung terciptanya Budaya
Kepatuhan antara lain pembuatan sistem, program, kerangka pikir
(frame work), compliance charter, kode etik kepatuhan (compliance
code of conduct), atau kebijakan kepatuhan (compliance policy).
Huruf b
Dalam rangka melakukan proses pengelolaan Risiko Kepatuhan,
satuan kerja kepatuhan berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen
risiko.
Huruf c
Terkait dengan tugas dan tanggungjawab butir c ini, satuan kerja
kepatuhan dapat melakukan antara lain:
1. menilai rancangan kebijakan, ketentuan, sistem maupun
prosedur baru;
2. berinisiatif . . .
- 10 -
2. berinisiatif untuk melakukan penyempurnaan kebijakan,
ketentuan, sistem maupun prosedur berdasarkan informasi yang
diperoleh.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Tugas-tugas lain meliputi antara lain:
1. Memastikan kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat
oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas
lain yang berwenang;
2. Melakukan sosialisasi kepada seluruh pegawai Bank mengenai
hal-hal yang terkait dengan Fungsi Kepatuhan terutama
mengenai ketentuan yang berlaku;
3. Bertindak sebagai contact person untuk permasalahan kepatuhan
Bank bagi pihak internal maupun eksternal.
Pasal 16
Huruf a
Laporan rencana kerja kepatuhan paling kurang terdiri dari:
a. rencana evaluasi pedoman internal; dan
b. rencana kegiatan untuk mendorong dan/atau memelihara Budaya
Kepatuhan, termasuk rencana sosialisasi ketentuan.
Tata cara penyampaian rencana kerja kepatuhan yang dimuat dalam
rencana bisnis Bank dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai Rencana Bisnis Bank.
Huruf b . . .
- 11 -
Huruf b
Laporan kepatuhan paling kurang terdiri dari:
a.
pelaksanaan tugas Fungsi Kepatuhan;
b. Risiko Kepatuhan yang dihadapi;
c. potensi Risiko Kepatuhan yang diperkirakan akan dihadapi ke
depan; dan
d. mitigasi Risiko Kepatuhan yang telah dilaksanakan.
Laporan kepatuhan tersebut disajikan secara komparatif dalam 2 (dua)
periode laporan.
Huruf c
Laporan khusus Direktur yang membawahkan Fungsi Kepatuhan
mengenai kebijakan dan/atau keputusan Direksi yang menyimpang
dari ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku paling kurang meliputi:
a. nama Direksi beserta bidang tugasnya;
b. tanggal pengambilan kebijakan atau keputusan kegiatan;
c. aktivitas penyimpangan yang dilakukan;
d. ketentuan Bank Indonesia dan/atau peraturan perundang-
undangan yang dilanggar; dan
e. dampak yang ditimbulkan untuk jangka pendek dan menengah
baik secara financial, gangguan terhadap kelangsungan usaha,
maupun penurunan reputasi Bank.
Pasal 17
Ayat (1)
Apabila batas waktu penyampaian laporan jatuh pada hari libur maka
laporan wajib disampaikan pada hari kerja sebelumnya.
Contoh: . . .
- 12 -
Contoh:
Untuk laporan periode Januari sampai dengan Juni 2011,
laporan paling lambat disampaikan tanggal 29 Juli 2011 karena
tanggal 31 Juli 2011 jatuh pada hari Minggu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contohnya laporan periode Juli sampai dengan Desember 2011,
batas akhir waktu penyampaian laporan adalah 31 Januari 2012.
Laporan tersebut dinyatakan terlambat disampaikan apabila diterima
di Bank Indonesia pada tanggal 1 sampai dengan 28 Februari 2012.
Ayat (4)
Laporan dinyatakan tidak disampaikan apabila sampai dengan tanggal
28 Februari 2012 laporan tidak diterima Bank Indonesia atau diterima
Bank Indonesia setelah tanggal 28 Februari 2012.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
. . .
- 13 -
Ayat (2)
Pengenaan sanksi kewajiban membayar tersebut tidak menghapus
kewajiban yang bersangkutan untuk menyampaikan laporan.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5187
DPNP
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 13/2/PBI/2011 </reg_id>
<reg_title> PELAKSANAAN FUNGSI KEPATUHAN BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 12 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 1 September 2011 </effective_date>
<issued_date> 12 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '1/6/PBI/1999 | Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 10/16/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH
DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN
DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan dan
perkembangan industri perbankan syariah yang berkelanjutan,
maka diperlukan satu pemahaman yang sama dari seluruh
stakeholders mengenai keberadaan seluruh kegiatan usaha dan
operasional perbankan syariah yang merupakan bagian dari
jasa perbankan nasional;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dipandang perlu untuk menyempurnakan
ketentuan tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan
jasa Bank Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik
Indonesia …
- 2 -
Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4357);
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4867).
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP
SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA
DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA
BANK SYARIAH
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia
No.9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam
Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta
Pelayanan Jasa Bank Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4793) diubah sehingga berbunyi
sebagai berikut :
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank …
- 3 -
1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan
usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut
jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
3. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah
yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam
lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS,
adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum
Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor
cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar
negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
6. Prinsip …
- 4 -
6. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam
kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah
atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
8. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah
dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau
sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang
murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang
qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah
untuk transaksi multijasa
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi
fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah …
- 5 -
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah,
tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah.
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha penghimpunan dana, penyaluran dana
dan pelayanan jasa bank berdasarkan Prinsip Syariah
yang dilakukan oleh Bank merupakan jasa perbankan.
(2) Dalam melaksanakan jasa perbankan melalui kegiatan
penghimpunan dana, penyaluran dana dan pelayanan jasa
bank, Bank wajib memenuhi Prinsip Syariah.
(3) Pemenuhan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaksanakan dengan memenuhi ketentuan
pokok hukum Islam antara lain prinsip keadilan dan
keseimbangan (‘adl wa tawazun), kemaslahatan
(maslahah), dan universalisme (alamiyah) serta tidak
mengandung gharar, maysir, riba, zalim dan objek
haram.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Bank yang tidak memenuhi Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal II …
- 6 -
Pasal II
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada Tanggal : 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 25 September 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR
DPbS
136
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 10/16/PBI/2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR
9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM
KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA
PELAYANAN JASA BANK SYARIAH
I. UMUM
Perbankan syariah di Indonesia lahir untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang menginginkan pelayanan jasa perbankan syariah sebagai
alternatif dari layanan jasa perbankan konvensional. Perbankan syariah
merupakan salah satu subsistem dalam sistem perbankan di Indonesia yang
menganut dual banking system. Oleh karena itu, seluruh kegiatan usaha dan
operasional perbankan syariah merupakan bagian dari jasa perbankan
nasional, dan masing-masing subsistem diharapkan dapat saling mendukung
sistem perbankan secara keseluruhan.
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) …
- 2 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan:
“ ‘Adl” yaitu menempatkan sesuatu hanya pada
tempatnya, dan memberikan sesuatu hanya pada yang
berhak serta memperlakukan sesuatu sesuai
posisinya.
“Tawazun” adalah keseimbangan yang meliputi
aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik,
sektor keuangan dan sektor riil, bisnis dan sosial, dan
keseimbangan aspek pemanfaatan dan kelestarian.
“Maslahah” adalah segala bentuk kebaikan yang
berdimensi duniawi dan ukhrawi, material dan
spiritual serta individual dan kolektif serta harus
memenuhi 3 (tiga) unsur yakni kepatuhan syariah
(halal), bermanfaat dan membawa kebaikan (thoyib)
dalam semua aspek secara keseluruhan yang tidak
menimbulkan kemudharatan.
“Alamiyah” adalah sesuatu yang dapat dilakukan dan
diterima oleh, dengan dan untuk semua pihak yang
berkepentingan (stakeholders) tanpa membedakan
suku, agama, ras dan golongan, sesuai dengan
semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin).
“Gharar” adalah transaksi yang objeknya tidak jelas,
tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau
tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali diatur lain dalam syariah.
“Maysir”
…
- 3 -
“Maysir”, yaitu transaksi yang digantungkan kepada
suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-
untungan;
“Riba”, adalah pemastian penambahan pendapatan
secara tidak sah (bathil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam
transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan
nasabah penerima fasilitas mengembalikan dana yang
diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya
waktu (nasiah).
“Zalim”, adalah transaksi yang menimbulkan
ketidakadilan bagi pihak lainnya.
“Objek Haram”, adalah suatu barang atau jasa yang
diharamkan dalam syariah.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4896
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 10/16/PBI/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 9/19/PBI/2007 TENTANG PELAKSANAAN PRINSIP SYARIAH DALAM KEGIATAN PENGHIMPUNAN DANA DAN PENYALURAN DANA SERTA PELAYANAN JASA BANK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 September 2008 </set_date>
<effective_date> 25 September 2008 </effective_date>
<issued_date> 25 September 2008 </issued_date>
<changed_reg> '9/19/PBI/2007' </changed_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '3/UU/2004', '23/UU/1999' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 5' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11/ 28 /PBI/2009
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan
teknologi informasi bank maka risiko pemanfaatan bank
dalam pencucian uang dan pendanaan teroris semakin
tinggi;
b. bahwa peningkatan risiko yang dihadapi bank perlu
diimbangi dengan peningkatan kualitas penerapan
manajemen risiko yang terkait dengan program anti
pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme;
c. bahwa penerapan manajemen risiko yang terkait dengan
program anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme perlu mengacu pada prinsip-prinsip umum yang
berlaku secara internasional;
d. bahwa ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah (Know Your Customer Principles) yang selama ini
berlaku, perlu disempurnakan;
e. bahwa . . .
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d di atas,
dipandang perlu untuk menetapkan pengaturan tentang
penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme bagi bank umum dalam suatu
Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang . . .
- 3 -
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 108, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4324);
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 45 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4284);
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4867);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG PENERAPAN
PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM.
BAB I
. . .
- 4 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk Kantor Cabang Bank
Asing, dan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
3. Pendanaan Terorisme adalah penggunaan harta kekayaan secara langsung
atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
4. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank dan memiliki rekening
pada Bank tersebut.
5. Walk in Customer yang selanjutnya disebut sebagai WIC adalah pengguna
jasa Bank yang tidak memiliki rekening pada Bank tersebut, tidak termasuk
pihak yang mendapatkan perintah atau penugasan dari Nasabah untuk
melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah tersebut.
6. Existing Customer adalah Nasabah yang telah menjalani hubungan usaha
dengan Bank pada saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
7. Customer Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai CDD adalah
kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan
Bank untuk memastikan bahwa transaksi tersebut sesuai dengan profil
Nasabah.
8. Enhanced . . .
- 5 -
8. Enhanced Due Dilligence yang selanjutnya disebut sebagai EDD adalah
tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan Bank pada saat
berhubungan dengan Nasabah yang tergolong berisiko tinggi termasuk
Politically Exposed Person terhadap kemungkinan pencucian uang dan
pendanaan terorisme.
9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan
mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
10. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang selanjutnya disebut
sebagai PPATK adalah PPATK sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
11. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme yang untuk
selanjutnya disebut sebagai APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
12. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang
mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya
suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan
hukum atau perjanjian.
13. Rekomendasi Financial Action Task Force yang selanjutnya disebut
sebagai Rekomendasi FATF adalah rekomendasi standar pencegahan dan
pemberantasan pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dikeluarkan
oleh FATF.
14. Lembaga Negara/Pemerintah adalah lembaga yang memiliki kewenangan di
bidang eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
15. Politically Exposed Person yang selanjutnya disebut sebagai PEP adalah
orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik
diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
peraturan . . .
- 6 -
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Penyelenggara
Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang
memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik, baik
yang berkewarganegaraan Indonesia maupun yang berkewarganegaraan
asing.
16. Shell Bank adalah Bank yang tidak mempunyai kehadiran secara fisik
(physical presence) di wilayah hukum Bank tersebut didirikan dan
memperoleh izin, dan tidak berafiliasi dengan kelompok usaha jasa
keuangan yang menjadi subyek pengawasan terkonsolidasi yang efektif.
17. Correspondent Banking adalah kegiatan suatu bank (correspondent) dalam
menyediakan layanan jasa bagi bank lainnya (respondent) berdasarkan
suatu kesepakatan tertulis dalam rangka memberikan jasa pembayaran dan
jasa perbankan lainnya.
18. Cross Border Corespondent Banking adalah Correspondent Banking
dimana salah satu kedudukan bank corespondent atau bank respondent
berada di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
19. Bank Pengirim adalah bank yang mengirimkan perintah transfer dana.
20. Bank Penerus adalah bank yang meneruskan perintah transfer dana dari
Bank Pengirim.
21. Bank Penerima adalah bank yang menerima perintah transfer dana.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Dalam penerapan program APU dan PPT, Bank wajib berpedoman pada
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 3 . . .
- 7 -
Pasal 3
(1) Program APU dan PPT merupakan bagian dari penerapan manajemen risiko
Bank secara keseluruhan.
(2) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern;
d.
e.
sistem informasi manajemen; dan
sumber daya manusia dan pelatihan.
BAB II
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 4
Pengawasan aktif Direksi Bank paling kurang mencakup:
a. memastikan Bank memiliki kebijakan dan prosedur program APU dan PPT;
b. mengusulkan kebijakan dan prosedur tertulis program APU dan PPT
kepada Dewan Komisaris;
c. memastikan penerapan program APU dan PPT dilaksanakan sesuai dengan
kebijakan dan prosedur tertulis yang telah ditetapkan;
d. memastikan bahwa satuan kerja yang melaksanakan kebijakan dan prosedur
program APU dan PPT terpisah dari satuan kerja yang mengawasi
penerapannya;
e. membentuk . . .
- 8 -
e. membentuk unit kerja khusus yang melaksanakan program APU dan PPT
dan/atau menunjuk pejabat yang bertanggungjawab terhadap Program APU
dan PPT di Kantor Pusat;
f.
pengawasan atas kepatuhan satuan kerja dalam menerapkan program APU
dan PPT;
g. memastikan bahwa kantor cabang dan kantor cabang pembantu Bank
memiliki pegawai yang menjalankan fungsi unit kerja khusus atau pejabat
yang melaksanakan program APU dan PPT;
h. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur tertulis mengenai program APU
dan PPT sejalan dengan perubahan dan pengembangan produk, jasa, dan
teknologi Bank serta sesuai dengan perkembangan modus pencucian uang
atau pendanaan terorisme; dan
i. memastikan bahwa seluruh pegawai, khususnya pegawai dari unit kerja
terkait dan pegawai baru, telah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan
program APU dan PPT secara berkala.
Pasal 5
Pengawasan aktif Dewan Komisaris paling kurang mencakup:
a. persetujuan atas kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT;
dan
b. pengawasan atas pelaksanaan tanggung jawab Direksi terhadap penerapan
program APU dan PPT.
Pasal 6
(1) Bank wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pejabat Bank
yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT.
(2) Unit
. . .
- 9 -
(2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggungjawab kepada Direktur Kepatuhan.
(3) Bank wajib memastikan bahwa unit kerja khusus dan/atau pejabat Bank
yang bertanggungjawab atas penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang memadai
dan memiliki kewenangan untuk mengakses seluruh data Nasabah dan
informasi lainnya yang terkait.
Pasal 7
Pejabat unit kerja khusus atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap program
APU dan PPT wajib:
a. memantau adanya sistem yang mendukung program APU dan PPT;
b. memantau pengkinian profil Nasabah dan profil transaksi Nasabah;
c. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan
program APU dan PPT dengan unit kerja terkait yang berhubungan dengan
Nasabah;
d. memastikan bahwa kebijakan dan prosedur telah sesuai dengan
perkembangan program APU dan PPT yang terkini, risiko produk Bank,
kegiatan dan kompleksitas usaha Bank, dan volume transaksi Bank;
e. menerima laporan transaksi keuangan yang berpotensi mencurigakan
(red flag) dari unit kerja terkait yang berhubungan dengan Nasabah dan
melakukan analisis atas laporan tersebut;
f. menyusun laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan laporan lainnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
untuk disampaikan kepada PPATK berdasarkan persetujuan Direktur
Kepatuhan;
g. memantau . . .
- 10 -
g. memantau bahwa:
1)
terdapat mekanisme komunikasi yang baik dari setiap unit kerja
terkait kepada unit kerja khusus atau kepada pejabat yang
bertanggungjawab terhadap penerapan program APU dan PPT dengan
menjaga kerahasiaan informasi;
2) Unit kerja terkait melakukan fungsi dan tugas dalam rangka
mempersiapkan laporan mengenai dugaan Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebelum menyampaikannya kepada unit kerja khusus
atau pejabat yang bertanggungjawab terhadap penerapan program
APU dan PPT;
3)
area yang berisiko tinggi yang terkait dengan APU dan PPT dapat
teridentifikasi dengan baik dengan mengacu pada ketentuan yang
berlaku dan sumber informasi yang memadai; dan
h. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan kebutuhan pelatihan
program APU dan PPT bagi pegawai Bank.
BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 8
(1) Dalam menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib memiliki kebijakan
dan prosedur tertulis yang paling kurang mencakup:
a. permintaan informasi dan dokumen;
b. Beneficial Owner;
c. verifikasi dokumen;
d. CDD yang lebih sederhana;
e. penutupan . . .
- 11 -
e. penutupan hubungan dan penolakan transaksi;
f.
g. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga;
h. pengkinian dan pemantauan;
i. Cross Border Correspondent Banking;
j.
transfer dana; dan
k. penatausahaan dokumen.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mempertimbangkan faktor teknologi informasi yang berpotensi
disalahgunakan oleh pelaku pencucian uang atau pendanaan terorisme.
(3) Bank wajib menuangkan kebijakan dan prosedur program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Pedoman Pelaksanaan Program
APU dan PPT.
(4) Bank wajib menerapkan kebijakan dan prosedur tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) secara konsisten dan berkesinambungan.
(5) Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) wajib mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris.
Pasal 9
Bank wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
a. melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah;
b. melakukan hubungan usaha dengan WIC;
c. Bank meragukan kebenaran informasi yang diberikan oleh Nasabah,
penerima kuasa, dan/atau Beneficial Owner; atau
d.
terdapat transaksi keuangan yang tidak wajar yang terkait dengan pencucian
uang dan/atau pendanaan terorisme.
Pasal 10 . . .
ketentuan mengenai area berisiko tinggi dan PEP;
- 12 -
Pasal 10
(1) Dalam melakukan penerimaan Nasabah, Bank wajib menggunakan
pendekatan berdasarkan risiko dengan mengelompokkan Nasabah
berdasarkan tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan
terorisme.
(2) Pengelompokan Nasabah berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling kurang dilakukan dengan melakukan analisis terhadap:
a.
b.
identitas Nasabah;
lokasi usaha Nasabah;
c. profil Nasabah;
d.
jumlah transaksi;
e. kegiatan usaha Nasabah;
f.
g.
struktur kepemilikan bagi Nasabah perusahaan; dan
informasi lainnya yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat
risiko Nasabah.
(3) Pengaturan mengenai pengelompokan risiko Nasabah akan diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 11
(1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, Bank wajib
meminta informasi yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui
profil calon Nasabah.
(2)
Identitas calon Nasabah harus dapat dibuktikan dengan keberadaan
dokumen-dokumen pendukung.
(3) Bank . . .
- 13 -
(3) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Bank dilarang untuk membuka atau memelihara rekening anonim atau
rekening yang menggunakan nama fiktif.
(5) Bank wajib melakukan pertemuan langsung (face to face) dengan calon
Nasabah pada awal melakukan hubungan usaha dalam rangka meyakini
kebenaran identitas calon Nasabah.
(6) Bank wajib mewaspadai transaksi atau hubungan usaha dengan Nasabah
yang berasal atau terkait dengan negara yang belum memadai dalam
melaksanakan rekomendasi FATF.
Bagian Pertama
PERMINTAAN INFORMASI DAN DOKUMEN
Pasal 12
Bank wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon Nasabah atau
Nasabah ke dalam kelompok perseorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner.
Pasal 13
(1)
Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) paling kurang
mencakup:
a. Bagi calon Nasabah perorangan:
1)
identitas Nasabah yang memuat:
a) nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b) nomor dokumen identitas yang dibuktikan dengan
menunjukkan dokumen dimaksud;
c) alamat
. . .
- 14 -
c)
d)
e)
alamat tempat tinggal yang tercantum pada kartu identitas;
alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon
apabila ada;
tempat dan tanggal lahir;
f) kewarganegaraan;
g) pekerjaan;
h)
i)
2)
3)
4)
jenis kelamin; dan
status perkawinan;
identitas Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili Beneficial
Owner;
sumber dana;
rata-rata penghasilan;
5) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan
dilakukan calon Nasabah dengan Bank; dan
6)
informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat
mengetahui profil calon Nasabah
b. Bagi calon Nasabah perusahaan selain Bank:
1) nama perusahaan;
2) nomor izin usaha dari instansi berwenang;
3)
4)
alamat kedudukan perusahaan;
tempat dan tanggal pendirian perusahaan;
5) bentuk badan hukum perusahaan;
6)
identitas Beneficial Owner, apabila Nasabah mewakili Beneficial
Owner;
7) sumber . . .
- 15 -
7)
sumber dana;
8) maksud dan tujuan hubungan usaha atau transaksi yang akan
dilakukan calon Nasabah perusahaan dengan Bank; dan
informasi lain yang diperlukan.
9)
(2) Sebelum melakukan transaksi dengan WIC, Bank wajib meminta:
a. Seluruh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi WIC
perseorangan maupun WIC perusahaan yang melakukan transaksi
sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau yang
nilainya setara baik yang dilakukan dalam 1 (satu) kali maupun
beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
b.
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1)
huruf a), huruf b), dan huruf c) bagi WIC perorangan yang melakukan
transaksi kurang dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau
nilai yang setara.
c.
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1) dan
angka 3) bagi WIC perusahaan yang melakukan transaksi kurang dari
Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau nilai yang setara.
Pasal 14
Untuk Nasabah perorangan dan WIC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2) huruf a, informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf a angka 1) wajib didukung dengan dokumen identitas Nasabah dan
spesimen tanda tangan.
Pasal 15
. . .
- 16 -
Pasal 15
(1) Untuk Nasabah perusahaan, informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1), angka 2), angka 3), angka 4), angka 5),
angka 6), dan angka 7) wajib didukung dengan dokumen identitas
perusahaan dan:
a. Untuk Nasabah perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha
kecil ditambah dengan:
1)
spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank;
2) kartu NPWP bagi Nasabah yang diwajibkan untuk memiliki
NPWP sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan
3) Surat Izin Tempat Usaha (SITU) atau dokumen lain yang
dipersyaratkan oleh instansi yang berwenang.
b. Untuk Nasabah perusahaan yang tidak tergolong usaha mikro dan
usaha kecil selain disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada
huruf a angka 2) dan angka 3), ditambah dengan:
1)
2)
3)
laporan keuangan atau deskripsi kegiatan usaha perusahaan;
struktur manajemen perusahaan;
struktur kepemilikan perusahaan; dan
4) dokumen identitas anggota Direksi yang berwenang mewakili
perusahaan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank.
(2) Untuk Nasabah perusahaan berupa Bank, dokumen yang disampaikan
paling kurang:
a.
akte pendirian/anggaran dasar Bank;
b. izin . . .
- 17 -
b.
c.
izin usaha dari instansi yang berwenang; dan
spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-pihak yang ditunjuk
mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama Bank dalam
melakukan hubungan usaha dengan Bank.
Pasal 16
(1) Untuk calon Nasabah selain nasabah perorangan dan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 15, Bank wajib
meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b.
(2) Terhadap calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk calon Nasabah berupa yayasan, dokumen yang disampaikan
paling kurang berupa:
1)
izin bidang kegiatan/tujuan yayasan;
2) deskripsi kegiatan yayasan;
3)
struktur pengurus yayasan; dan
4) dokumen identitas anggota pengurus yang berwenang mewakili
yayasan untuk melakukan hubungan usaha dengan Bank.
b. Untuk Nasabah berupa perkumpulan, dokumen yang disampaikan
paling kurang berupa:
1) bukti pendaftaran pada instansi yang berwenang;
2) nama penyelenggara; dan
3) pihak yang berwenang mewakili perkumpulan dalam melakukan
hubungan usaha dengan Bank.
Pasal 17 . . .
- 18 -
Pasal 17
(1) Untuk calon Nasabah berupa Lembaga Negara/Pemerintah, lembaga
internasional, dan perwakilan negara asing, Bank wajib meminta informasi
mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga atau perwakilan.
(2)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didukung dengan
dokumen sebagai berikut:
a.
b.
surat penunjukan bagi pihak-pihak yang berwenang mewakili lembaga
atau perwakilan dalam melakukan hubungan usaha dengan Bank; dan
spesimen tanda tangan.
Bagian Kedua
BENEFICIAL OWNER
Pasal 18
(1) Bank wajib memastikan apakah calon Nasabah atau WIC mewakili
Beneficial Owner untuk membuka hubungan usaha atau melakukan
transaksi.
(2) Dalam hal calon Nasabah atau WIC mewakili Beneficial Owner untuk
membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, Bank wajib
melakukan prosedur CDD terhadap Beneficial Owner yang sama ketatnya
dengan prosedur CDD bagi calon Nasabah atau WIC.
Pasal 19
(1) Bank wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya
mengenai Beneficial Owner, antara lain berupa:
a. bagi
. . .
- 19 -
a. bagi Beneficial Owner perorangan:
1) dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf a;
2) hubungan hukum antara calon Nasabah atau WIC dengan
Beneficial Owner yang ditunjukkan dengan surat penugasan,
surat perjanjian, surat kuasa atau bentuk lainnya; dan
3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran
identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner.
b. bagi Beneficial Owner perusahaan, yayasan atau perkumpulan:
1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16
ayat (2);
2) dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau pengendali
akhir perusahaan, yayasan, atau perkumpulan; dan
3) pernyataan dari calon Nasabah atau WIC mengenai kebenaran
identitas maupun sumber dana dari Beneficial Owner.
(2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Bank lain di dalam negeri yang
mewakili Beneficial Owner, maka dokumen mengenai Beneficial Owner
berupa pernyataan tertulis dari Bank di dalam negeri bahwa identitas
Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi oleh Bank lain di dalam negeri
tersebut.
(3) Dalam hal calon Nasabah merupakan Bank lain di luar negeri yang
menerapkan program APU dan PPT yang paling kurang setara dengan
Peraturan Bank Indonesia ini yang mewakili Beneficial Owner, maka
dokumen mengenai Beneficial Owner berupa pernyataan tertulis dari Bank
di luar negeri bahwa identitas Beneficial Owner telah dilakukan verifikasi
oleh Bank di luar negeri tersebut.
(4) Dalam . . .
- 20 -
(4) Dalam hal Bank meragukan atau tidak dapat meyakini identitas Beneficial
Owner, Bank wajib menolak untuk melakukan hubungan usaha atau
transaksi dengan calon Nasabah atau WIC.
Pasal 20
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau
pengendali akhir Beneficial Owner sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19
ayat (1) huruf b angka 2) tidak berlaku bagi Beneficial Owner berupa:
a.
lembaga pemerintah; atau
b. perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek.
Bagian Ketiga
VERIFIKASI DOKUMEN
Pasal 21
(1) Bank wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung dan melakukan
verifikasi terhadap dokumen pendukung yang memuat informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 17 ayat (1) berdasarkan
dokumen dan/atau sumber informasi lainnya yang dapat dipercaya dan
independen serta memastikan bahwa data tersebut adalah data terkini.
(2) Bank dapat melakukan wawancara dengan calon Nasabah untuk meneliti
dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Dalam hal terdapat keraguan, Bank wajib meminta kepada calon Nasabah
untuk memberikan lebih dari satu dokumen identitas yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang, untuk memastikan kebenaran identitas calon
Nasabah.
(4) Bank . . .
- 21 -
(4) Bank wajib menyelesaikan proses verifikasi identitas calon Nasabah dan
Beneficial Owner sebelum membina hubungan usaha dengan calon
Nasabah atau sebelum melakukan transaksi dengan WIC.
(5) Dalam kondisi tertentu Bank dapat melakukan hubungan usaha sebelum
proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selesai.
(6) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diselesaikan
paling lambat:
a. untuk nasabah perorangan, 14 (empat belas) hari kerja setelah
dilakukannya hubungan usaha.
b. untuk nasabah perusahaan, 90 (sembilan puluh) hari kerja setelah
dilakukannya hubungan usaha.
Bagian Keempat
CDD YANG LEBIH SEDERHANA
Pasal 22
(1) Bank dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih sederhana dari prosedur
CDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 18, dan Pasal 19 terhadap calon Nasabah atau transaksi yang tingkat
risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong
rendah dan memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:
a.
tujuan pembukaan rekening untuk pembayaran gaji;
b. Nasabah berupa perusahaan publik yang tunduk pada peraturan
tentang kewajiban untuk mengungkapkan kinerjanya;
c. Nasabah berupa Lembaga Negara/Pemerintah; atau
d.
transaksi pencairan cek yang dilakukan oleh WIC perusahaan.
(2) Bank . . .
- 22 -
(2) Bank wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang mendapat
perlakuan CDD yang lebih sederhana.
(3) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a angka 1) huruf a), huruf b),
huruf c), huruf d), dan huruf e).
(4) Bagi calon Nasabah perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Bank wajib meminta:
a.
informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b
angka 1) dan angka 3); dan
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a
angka 1) untuk perusahaan yang tergolong usaha mikro dan usaha
kecil, dan Pasal 15 ayat (1) huruf b angka 4) untuk perusahaan yang
tidak tergolong Usaha Kecil.
(5) Bagi WIC perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Bank wajib meminta informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 3.
(6) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak berlaku apabila terdapat dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
Bagian Kelima
PENUTUPAN HUBUNGAN USAHA ATAU PENOLAKAN TRANSAKSI
Pasal 23
(1) Bank wajib menolak melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
dan/atau melaksanakan transaksi dengan WIC, dalam hal calon Nasabah
atau WIC:
a. tidak . . .
- 23 -
a.
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan
Pasal 19;
b. diketahui menggunakan identitas dan/atau memberikan informasi
yang tidak benar; atau
c. berbentuk Shell Bank atau Bank yang mengizinkan rekeningnya
digunakan oleh Shell Bank.
(2) Bank dapat menolak transaksi, membatalkan transaksi, dan/atau menutup
hubungan usaha dengan Existing Customer dalam hal:
a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi;
b. Bank ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah; atau
c. penggunaan rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
(3) Bank wajib mendokumentasikan calon Nasabah, Nasabah, atau WIC yang
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Bank wajib melaporkan calon Nasabah atau Existing Customer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan apabila transaksinya tidak wajar atau
mencurigakan.
Bagian Keenam
POLITICALLY EXPOSED PERSON DAN AREA BERISIKO TINGGI
Pasal 24
(1) Bank wajib meneliti adanya Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi
kriteria berisiko tinggi atau PEP.
(2) Nasabah . . .
- 24 -
(2) Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau
PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
(3) Dalam hal Nasabah atau Beneficial Owner tergolong berisiko tinggi atau
PEP, Bank wajib melakukan:
a. EDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap informasi
mengenai Nasabah atau Beneficial Owner, sumber dana, tujuan
transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait; dan
b. pemantauan yang lebih ketat terhadap Nasabah atau Beneficial Owner.
(4) Kewajiban Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberlakukan pula
terhadap Nasabah atau WIC yang:
a. menggunakan produk perbankan yang berisiko tinggi untuk digunakan
sebagai sarana pencucian uang atau pendanaan teroris;
b. melakukan transaksi dengan negara berisiko tinggi; atau
c. melakukan transaksi tidak sesuai dengan profil.
(5) Dalam hal Bank akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
yang tergolong berisiko tinggi atau PEP, Bank wajib menunjuk pejabat
senior yang bertanggung jawab atas hubungan usaha dengan calon Nasabah
tersebut.
(6) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berwenang untuk:
a. memberikan persetujuan atau penolakan terhadap calon Nasabah yang
tergolong berisiko tinggi atau PEP; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau menghentikan hubungan
usaha dengan Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko
tinggi atau PEP.
Bagian . . .
- 25 -
Bagian Ketujuh
PELAKSANAAN CDD OLEH PIHAK KETIGA
Pasal 25
(1) Bank dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak
ketiga terhadap calon Nasabahnya yang telah menjadi nasabah pada pihak
ketiga tersebut.
(2) Hasil CDD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh
Bank apabila pihak ketiga:
a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
b. memiliki kerja sama dengan Bank dalam bentuk kesepakatan tertulis;
c.
tunduk pada pengawasan dari otoritas berwenang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku;
d. bersedia memenuhi permintaan informasi dan salinan dokumen
pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh Bank dalam
rangka pelaksanaan program APU dan PPT; dan
e. berkedudukan di negara yang telah menerapkan rekomendasi FATF.
(3) Bank wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas hasil CDD yang telah
dilakukan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Bank yang menggunakan hasil CDD dari pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab untuk melaksanakan
penatausahaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
Pasal 26
(1) Dalam hal Bank bertindak sebagai agen penjual produk lembaga keuangan
lainnya, Bank wajib memenuhi permintaan informasi hasil CDD dan
salinan . . .
- 26 -
salinan dokumen pendukung apabila sewaktu-waktu dibutuhkan oleh
lembaga keuangan lainnya tersebut dalam rangka pelaksanaan program
APU dan PPT.
(2) Kewajiban Bank sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) didasari atas
adanya kerja sama dengan bank dalam bentuk kesepakatan tertulis.
Bagian Kedelapan
PENGKINIAN DAN PEMANTAUAN
Pasal 27
(1) Bank wajib melakukan pengkinian data terhadap informasi dan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 serta menatausahakannya.
(2) Dalam melakukan pengkinian data sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib:
a. melakukan pemantauan terhadap informasi dan dokumen Nasabah;
b. menyusun laporan rencana pengkinian data; dan
c. menyusun laporan realisasi pengkinian data.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c wajib
mendapat persetujuan dari Direksi.
Pasal 28
(1) Bank wajib memelihara database Daftar Teroris yang diterima dari Bank
Indonesia setiap 6 (enam) bulan berdasarkan data yang dipublikasikan oleh
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB).
(2) Bank . . .
- 27 -
(2) Bank wajib memastikan secara berkala nama-nama Nasabah Bank yang
memiliki kesamaan atau kemiripan dengan nama yang tercantum dalam
database Daftar Teroris.
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan nama yang tercantum
dalam database Daftar Teroris, Bank wajib memastikan kesesuaian
identitas Nasabah tersebut dengan informasi lain yang terkait.
(4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan kesamaan informasi
lainnya dengan nama yang tercantum dalam database Daftar Teroris, Bank
wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan.
Pasal 29
(1) Bank wajib melakukan pemantauan secara berkesinambungan untuk
mengidentifikasi kesesuaian antara transaksi Nasabah dengan profil
Nasabah dan menatausahakan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39.
(2) Bank wajib melakukan analisis terhadap seluruh transaksi yang tidak sesuai
dengan profil Nasabah.
(3) Bank dapat meminta informasi tentang latar belakang dan tujuan transaksi
terhadap transaksi yang tidak sesuai dengan profil Nasabah, dengan
memperhatikan ketentuan anti tipping-off sebagaimana diatur dalam
Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
(4) Bank wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan terhadap
hubungan usaha/transaksi dengan Nasabah dan/atau Bank dari negara yang
program APU dan PPT kurang memadai.
Pasal 30 . . .
- 28 -
Pasal 30
Bank wajib melakukan CDD terhadap Existing Customer sesuai dengan
pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach) apabila:
a.
b.
c.
terdapat peningkatan nilai transaksi yang signifikan;
terdapat perubahan profil nasabah yang bersifat signifikan;
informasi pada profil nasabah yang tersedia dalam Customer Identification
File belum dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, dan Pasal 19;
dan/atau
d. menggunakan rekening anonim atau rekening yang menggunakan nama
fiktif.
Bagian Kesembilan
CROSS BORDER CORRESPONDENT BANKING
Pasal 31
(1) Sebelum menyediakan jasa Cross-border Correspondent Banking, Bank
wajib meminta informasi mengenai:
a. profil calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus;
b.
c.
d.
tingkat penerapan program APU dan PPT di negara tempat kedudukan
Bank Penerima dan/atau Bank Penerus; dan
informasi relevan lain yang diperlukan Bank untuk mengetahui profil
calon Bank Penerima dan/atau Bank Penerus.
reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus berdasarkan informasi
yang dapat dipertanggungjawabkan;
(2) Sumber . . .
- 29 -
(2) Sumber informasi untuk memastikan informasi pada ayat (1) berdasarkan
informasi publik yang memadai yang dikeluarkan dan ditetapkan oleh
otoritas yang berwenang.
Pasal 32
Bank wajib melakukan CDD terhadap existing Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus yang disesuaikan dengan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based
Approach) apabila:
a.
terdapat perubahan profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang
bersifat substansial; dan/atau
b.
informasi pada profil Bank Penerima dan/atau Bank Penerus yang
tersedia belum dilengkapi dengan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1).
Pasal 33
Dalam hal terdapat nasabah yang mempunyai akses terhadap Payable Through
Account dalam jasa Cross Border Correspondent Banking, Bank Pengirim wajib
memastikan:
a. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus telah melaksanakan proses CDD dan
pemantauan yang memadai yang paling kurang sama dengan yang diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia ini; dan
b. Bank Penerima dan/atau Bank Penerus bersedia untuk menyediakan data
identifikasi Nasabah yang terkait, apabila diminta oleh Bank Pengirim.
Pasal 34 . . .
- 30 -
Pasal 34
Bank Pengirim yang menyediakan jasa Cross Border Correspondent Banking
wajib:
a. mendokumentasikan seluruh transaksi Cross Border Correspondent
Banking;
b. menolak untuk berhubungan dan/atau meneruskan hubungan Cross Border
Correspondent Banking dengan Shell Bank; dan
c. memastikan bahwa Bank Penerima dan/atau Bank Penerus tidak
mengijinkan rekeningnya digunakan oleh Shell Bank pada saat mengadakan
hubungan usaha terkait dengan Cross Border Correspondent Banking.
Bagian Kesepuluh
TRANSFER DANA
Pasal 35
(1) Dalam melakukan kegiatan transfer dana di dalam wilayah Indonesia yang
dilakukan oleh Bank:
a. Bank Pengirim wajib:
1) memperoleh informasi dan melakukan identifikasi serta
verifikasi terhadap Nasabah pengirim atau WIC pengirim, paling
kurang meliputi:
a. nama Nasabah pengirim atau WIC pengirim;
b. nomor rekening atau identitas Nasabah pengirim atau WIC
pengirim; dan
c.
tanggal transaksi, tanggal valuta, jenis mata uang, dan
nominal.
2) mendokumentasikan . . .
- 31 -
2) mendokumentasikan seluruh transaksi transfer dana.
b. Bank Penerus wajib meneruskan pesan dan perintah transfer dana,
serta menatausahakan informasi yang diterima dari Bank Pengirim.
c. Bank Penerima wajib memastikan kelengkapan informasi Nasabah
pengirim dan WIC pengirim sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk transfer
dana dengan menggunakan kartu seperti kartu debit, kartu kredit, dan kartu
ATM.
Pasal 36
(1) Dalam melakukan kegiatan transfer dana secara lintas negara, selain
berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a,
Bank Pengirim wajib memperoleh informasi mengenai alamat, atau tempat
dan tanggal lahir.
(2) Bank Pengirim wajib menyampaikan informasi secara tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Penerus dan/atau Bank Penerima
dalam waktu 3 (tiga) hari kerja berdasarkan permintaan tertulis Bank
Penerus dan/atau Bank Penerima.
Pasal 37
Dalam hal informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak dipenuhi, Bank
dengan menggunakan pendekatan berdasarkan risiko dapat:
a. menolak untuk melaksanakan transfer dana;
b. membatalkan transaksi transfer dana; dan/atau
c. mengakhiri hubungan usaha dengan existing customers.
Pasal 38 . . .
- 32 -
Pasal 38
Dalam hal terdapat transfer dana yang memenuhi kriteria mencurigakan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Bank wajib melaporkan transfer dana tersebut sebagai laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan.
Bagian Kesebelas
PENATAUSAHAAN DOKUMEN
Pasal 39
(1) Bank wajib tetap menatausahakan:
a. dokumen yang terkait dengan data Nasabah atau WIC dengan jangka
waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak:
1) berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah atau
WIC; atau
2) ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan tujuan ekonomis
dan/atau tujuan usaha.
b. dokumen Nasabah atau WIC yang terkait dengan transaksi keuangan
dengan jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
tentang Dokumen Perusahaan.
(2) Dokumen yang terkait sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencakup:
a.
b.
identitas Nasabah atau WIC; dan
informasi transaksi yang antara lain meliputi jenis dan jumlah mata
uang yang digunakan, tanggal perintah transaksi, asal dan tujuan
transaksi, serta nomor rekening yang terkait dengan transaksi.
(3) Bank . . .
- 33 -
(3) Bank wajib memberikan informasi dan/atau dokumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas lain yang
berwenang sebagaimana diperintahkan oleh Undang-undang, pada saat
diperlukan.
BAB IV
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 40
(1) Bank wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif antara lain dibuktikan
dengan:
a.
adanya batasan wewenang dan tanggung jawab satuan kerja terkait
dengan penerapan program APU dan PPT; dan
b. dilakukannya pemeriksaan terhadap efektivitas pelaksanaan program
APU dan PPT oleh satuan kerja audit intern.
BAB V
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
Pasal 41
(1) Bank wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank.
(2) Bank wajib memiliki dan memelihara profil Nasabah secara terpadu (Single
Customer Identification File), yang meliputi informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1).
BAB VI
. . .
- 34 -
BAB VI
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 42
Untuk mencegah digunakannya Bank sebagai media atau tujuan pencucian
uang atau pendanaan terorisme yang melibatkan pihak intern Bank, Bank wajib
melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan
pegawai baru.
Pasal 43
Bank wajib menyelenggarakan pelatihan yang berkesinambungan tentang:
a.
implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan program
APU dan PPT;
b. Teknik, metode, dan tipologi pencucian uang atau pendanaan terorisme; dan
c. Kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan PPT serta peran dan
tanggungjawab pegawai dalam memberantas pencucian uang atau
pendanaan terorisme.
BAB VII
PENERAPAN PROGRAM APU DAN PPT
BAGI KANTOR CABANG DARI BANK
YANG BERBADAN HUKUM INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pasal 44
(1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib meneruskan kebijakan dan
prosedur program APU dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri, dan memantau pelaksanaannya.
(2) Dalam . . .
- 35 -
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib
tunduk pada ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mematuhi
rekomendasi FATF atau sudah mematuhi namun standar Program APU dan
PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini, jaringan kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib
menerapkan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia ini.
(4) Dalam hal penerapan Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam
Peraturan Bank Indonesia ini mengakibatkan pelanggaran terhadap
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan
jaringan kantor dan anak perusahaan berada maka pejabat kantor Bank di
luar negeri tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat Bank dan
Bank Indonesia bahwa kantor Bank dimaksud tidak dapat menerapkan
Program APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 45
Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT, Bank wajib menyampaikan:
a. Action . . .
- 36 -
a. Action plan pelaksanaan program APU dan PPT dalam laporan
pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan bulan Desember 2009;
b. Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini;
c.
laporan rencana kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 27 ayat (2) huruf b disampaikan setiap tahun dalam laporan
pelaksanaan tugas Direktur Kepatuhan bulan Desember yang untuk pertama
kalinya dimuat dalam laporan bulan Desember 2010;
d.
laporan realisasi pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) huruf c disampaikan dalam laporan pelaksanaan tugas Direktur
Kepatuhan bulan Desember yang untuk pertama kalinya dimuat dalam
laporan bulan Desember 2011; dan
e.
setiap perubahan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak perubahan tersebut.
Pasal 46
(1) Bank wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan,
laporan transaksi keuangan tunai, dan laporan lain sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang kepada
PPATK.
(2) Kewajiban Bank untuk melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan
juga berlaku untuk transaksi yang diduga terkait dengan kegiatan terorisme
atau pendanaan terorisme.
(3) Penyampaian . . .
- 37 -
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan berpedoman pada ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
Pasal 47
Penyampaian pedoman dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
ditujukan kepada:
a. Direktorat Pengawasan Bank terkait, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin
No. 2 Jakarta 10350, bagi Bank yang berkantor pusat di wilayah kerja
Kantor Pusat Bank Indonesia;
b. Kantor Bank Indonesia setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah kerja Kantor Pusat Bank Indonesia.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 48
Bank wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam skema pencucian uang atau
pendanaan terorisme.
Pasal 49
Bank wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan otoritas yang berwenang
dalam rangka memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
BAB X . . .
- 38 -
BAB X
SANKSI
Pasal 50
(1) Bank yang terlambat menyampaikan pedoman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 huruf b serta laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), dikenakan sanksi
kewajiban membayar sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan per laporan.
(2) Bank yang belum menyampaikan pedoman atau laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam
waktu lebih 1 (satu) bulan sejak batas akhir waktu penyampaian dikenakan
sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(3) Bank yang:
a.
tidak melaksanakan komitmen penyelesaian hasil temuan pemeriksaan
Bank Indonesia dalam kurun waktu waktu 2 (dua) kali pemeriksaan;
dan/atau
b.
tidak melaksanakan komitmen yang telah dituangkan dalam rencana
kegiatan pengkinian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (2) huruf b,
dikenakan sanksi administratif berupa kewajiban membayar paling banyak
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(4) Bank . . .
- 39 -
(4) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, Pasal 21 ayat (1), ayat (4), dan ayat (6), Pasal 22 ayat (2),
Pasal 23 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 24, Pasal 25 ayat (3), Pasal 26
ayat (1), Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4),
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, dan/atau Pasal 51 Peraturan Bank Indonesia ini
dan ketentuan pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Pasal 58 Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, antara lain berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus
dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan
Bank Indonesia yang berlaku; dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank.
BAB XI
. . .
- 40 -
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
Bank yang telah memiliki Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah wajib menyesuaikan dan menyempurnakan menjadi Pedoman
Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia.
Pasal 53
(1) Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank
Indonesia Nomor 3/10/PBI/2001 mengenai Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principles) (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2001 nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4107) sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2003 nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4325), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Seluruh ketentuan Bank Indonesia yang mengacu kepada ketentuan
mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles) selanjutnya mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia ini,
kecuali diatur tersendiri.
Pasal 54 . . .
- 41 -
Pasal 54
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
MIRANDA S. GOELTOM
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 1 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 106
DPNP
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 11 / 28 /PBI/2009
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG
DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM
UMUM
Dengan semakin maraknya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan
teroris yang memanfaatkan lembaga keuangan, diperlukan kerjasama dan
perhatian dari berbagai pihak dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana dimaksud. Sementara itu perkembangan produk, aktivitas dan teknologi
informasi bank yang semakin kompleks meningkatkan peluang bagi para pelaku
kejahatan untuk menyalahgunakan sarana dan produk perbankan dalam
membantu tindak kejahatannya.
Dalam hal ini diperlukan peranan dan kerjasama perbankan dalam
membantu penegakan hukum dalam menjalankan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme. Pelaksanaan program anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan terorisme oleh perbankan diharapkan dapat
memitigasi berbagai risiko yang mungkin timbul antara lain risiko hukum, risiko
reputasi, risiko operasional, dan risiko konsentrasi.
Dalam menerapkan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme, perbankan mengacu pada standar internasional untuk
mencegah . . .
- 2 -
mencegah dan memberantas pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme oleh
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), yang dikenal
dengan Rekomendasi 40 + 9 FATF. Rekomendasi tersebut juga menjadi acuan
yang digunakan oleh masyarakat internasional dalam melakukan penilaian
terhadap kepatuhan suatu negara terhadap pelaksanaan program anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Ketentuan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(Know Your Customer Principles) yang selama ini diterapkan, dinilai perlu
disesuaikan dengan mengacu pada standar internasional yang lebih komprehensif
dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan
pencegahan pendanaan terorisme. Penyesuaian pengaturan tersebut antara lain
meliputi:
a. penggunaan istilah Customer Due Dilligence dalam identifikasi, verifikasi,
dan pemantauan nasabah;
b. penerapan pendekatan berdasarkan risiko (Risk Based Approach);
c. pengaturan mengenai pencegahan pendanaan teroris;
d. pengaturan mengenai Cross Border Correspondent Banking; dan
e. pengaturan mengenai transfer dana.
Dengan penerapan program anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme yang dilakukan perbankan secara efektif, diharapkan bank
dapat beroperasi secara sehat sehingga pada akhirnya akan meningkatkan
ketahanan dan stabilitas sistem keuangan.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .
- 3 -
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pencucian uang dalam Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun
2003 adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan,
membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil
tindak pidana, dengan maksud untuk menyembunyikan, atau
menyamarkan asal-usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi
harta kekayaan yang sah.
Yang dimaksud dengan Pendanaan Terorisme adalah penggunaan
harta kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam kaitan ini termasuk upaya-
upaya setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau
kemudahan dengan cara memberikan atau meminjamkan uang atau
barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana
terorisme sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3 . . .
- 4 -
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup Jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan unit kerja terkait antara lain unit kerja yang
berhubungan, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
Nasabah dan/atau WIC, seperti petugas pelayanan nasabah (front
liner), petugas pemasaran, dan petugas yang terkait pengelolaan dan
pengembangan teknologi informasi, serta internal auditor.
Pasal 5 . . .
- 5 -
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Pembentukan unit kerja khusus dan/atau penunjukan pejabat tanpa
pembentukan unit kerja khusus dilakukan sesuai dengan kebutuhan
dan kompleksitas permasalahan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kemampuan yang memadai antara lain mencakup pengalaman dan
pengetahuan mengenai perkembangan rezim APU dan PPT.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan sistem yang mendukung adalah sistem yang
antara lain dapat mengidentifikasi Nasabah, Transaksi Keuangan
Mencurigakan, dan transaksi keuangan lainnya sebagaimana
diwajibkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
- 6 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f . . .
- 7 -
Huruf f
Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai
pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara
berisiko tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman
mengenai identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait
pendanaan terorisme bagi penyedia jasa keuangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggunaan teknologi yang berpotensi disalahgunakan seperti
pembukaan rekening dan/atau melakukan transaksi melalui pos, fax,
telepon, internet banking, atau ATM.
Ayat (3)
Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT mengacu kepada
Pedoman Standar Penerapan Program APU dan PPT yang ditetapkan
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
. . .
- 8 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Dalam hal rekening merupakan rekening joint account atau rekening
bersama maka CDD dilakukan terhadap seluruh pemegang rekening
joint account tersebut.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian Beneficial Owner meliputi:
a.
orang yang memiliki dana di Bank;
b. orang yang mengendalikan transaksi Nasabah;
c.
orang yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi
Nasabah;
d. orang yang mengendalikan badan hukum dan transaksi yang
dilakukan badan hukum tersebut dengan Bank; dan/atau
e.
orang yang melakukan pengendalian dengan cara mengendalikan
transaksi yang dilakukan nasabah dengan Bank berdasarkan
suatu perjanjian.
Huruf d
Transaksi yang tidak wajar adalah transaksi yang memenuhi salah satu
kriteria dari transaksi keuangan yang mencurigakan namun masih
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan apakah
transaksi tersebut tergolong sebagai transaksi keuangan yang
mencurigakan yang wajib dilaporkan kepada PPATK.
Pasal 10 . . .
- 9 -
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal ini diperlukan informasi baik dari Nasabah itu sendiri
maupun dari informasi lainnya yang tersedia di masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat 3
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk dalam pengertian rekening fiktif adalah rekening Nasabah
yang menggunakan nama yang tidak sesuai dengan yang tertera pada
dokumen identitas Nasabah yang bersangkutan.
Ayat (5)
Termasuk dalam pengertian hubungan usaha adalah penggunaan jasa
perbankan melalui media elektronik.
Dalam rangka meyakini kebenaran identitas calon Nasabah, Bank
dapat diwakili oleh pihak lain yang bertindak sebagai pihak yang
mewakili Bank yang mengetahui prinsip dasar dari APU dan PPT.
Ayat (6)
. . .
- 10 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1)
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Cukup jelas.
Huruf c)
Cukup jelas.
Huruf d)
Informasi ini hanya diperlukan bagi Nasabah
perseorangan yang memiliki alamat tempat tinggal
yang berbeda dengan alamat yang tercatat pada kartu
identitas.
Huruf e)
Cukup jelas.
Huruf f)
Cukup jelas.
Huruf g)
. . .
- 11 -
Huruf g)
Informasi
pekerjaan mencakup
nama
perusahaan/institusi, alamat perusahaan/institusi, dan
jabatan.
Huruf h)
Cukup jelas.
Huruf i)
Cukup jelas.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Termasuk izin usaha adalah izin lainnya yang
dipersamakan dengan izin usaha yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang.
Angka 3)
. . .
- 12 -
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Cukup jelas.
Angka 5)
Cukup jelas.
Angka 6)
Cukup jelas.
Angka 7)
Cukup jelas.
Angka 8)
Cukup jelas.
Angka 9)
Yang dimaksud dengan informasi lain adalah informasi lain
yang dapat digunakan Bank untuk lebih mengetahui profil
calon Nasabah perusahaan.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan dalam ayat ini juga berlaku bagi perantara atau pihak
yang mendapatkan kuasa dari Nasabah untuk melakukan
transaksi atas kepentingan Nasabah yang transaksinya tergolong
tidak wajar atau mencurigakan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 14 . . .
- 13 -
Pasal 14
Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perseorangan yang
berkewarganegaraan Indonesia adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP), Surat
Izin Mengemudi (SIM), kartu Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau
paspor yang masih berlaku. Sedangkan dokumen pendukung bagi identitas
Nasabah perseorangan yang berkewarganegaraan asing adalah paspor yang
disertai dengan Kartu Izin Tinggal sesuai dengan ketentuan keimigrasian.
Dokumen Kartu Izin Tinggal dapat digantikan oleh dokumen lainnya yang
dapat memberikan keyakinan kepada Bank tentang profil Nasabah
berkewarganegaraan asing tersebut antara lain surat referensi dari seorang
berkewarganegaraan Indonesia atau perusahaan/instansi/pemerintah
Indonesia mengenai profil Nasabah yang bersangkutan.
Pasal 15
Ayat (1)
Dokumen pendukung bagi identitas Nasabah perusahaan berupa:
a.
b.
akte pendirian dan/atau anggaran dasar perusahaan; dan
izin usaha atau izin lainnya dari instansi berwenang. Contoh: izin
usaha dari Bank Indonesia bagi Pedagang Valuta Asing dan
Kegiatan Usaha Pengiriman Uang, atau izin usaha dari
Departemen Kehutanan bagi kegiatan usaha di bidang
perkayuan/kehutanan.
Huruf a
Angka 1)
Yang dimaksud dengan Nasabah perusahaan yang
tergolong usaha mikro dan usaha kecil adalah Nasabah
perusahaan . . .
- 14 -
perusahaan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan usaha
kecil sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1)
Deskripsi kegiatan usaha perusahaan mencakup informasi
mengenai bidang usaha, profil pelanggan, alamat tempat
kegiatan usaha, dan nomor telepon perusahaan
Angka 2)
Cukup jelas.
Angka 3)
Cukup jelas.
Angka 4)
Yang dimaksud dengan anggota Direksi yang berwenang
mewakili perusahaan untuk melakukan transaksi dengan
Bank adalah anggota Direksi yang memiliki spesimen
tanda tangan (authorized signature).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
. . .
- 15 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud perkumpulan antara lain Lembaga Swadaya
Masyarakat, perkumpulan keagamaan, partai politik, dan
organisasi non profit.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud Beneficial Owner dalam ayat ini termasuk Beneficial
Owner lainnya yang terkait dengan calon Nasabah atau WIC, apabila
Beneficial Owner lebih dari satu.
Ayat (2)
Dalam hal Beneficial Owner digolongkan sebagai PEP, maka prosedur
CDD yang diterapkan adalah prosedur CDD untuk PEP.
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
- 16 -
Huruf b
Angka 1)
Cukup jelas.
Angka 2)
Yang dimaksud dengan pemilik atau pengendali akhir
perusahaan, yayasan, atau perkumpulan (ultimate
owner/ultimate controller) adalah perorangan yang
menurut penilaian Bank memiliki dan/atau yang melakukan
pengendalian akhir untuk mengambil keputusan dalam
pengelolaan perusahaan.
Dokumen identitas pemilik atau pengendali akhir dapat
berupa surat pernyataan atau dokumen lainnya yang
memuat informasi mengenai identitas pemilik atau
pengendali akhir.
Angka 3)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Huruf a
Lembaga pemerintah yang dimaksudkan dalam huruf ini mencakup
lembaga pemerintah Indonesia dan lembaga pemerintah asing.
Huruf b . . .
- 17 -
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Untuk memastikan kebenaran identitas Nasabah perseorangan,
dokumen identitas hendaknya merupakan dokumen yang
mencantumkan foto diri yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang
dengan jangka waktu yang masih berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan lebih dari satu dokumen identitas misalnya
selain Kartu Tanda Penduduk adalah paspor atau Surat Izin
Mengemudi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan kondisi tertentu antara lain:
a. kelengkapan dokumen tidak dapat dipenuhi pada saat hubungan
usaha akan dilakukan misalnya karena dokumen masih dalam
proses pengurusan; dan
b.
apabila tingkat risiko calon nasabah tergolong rendah.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22 . . .
- 18 -
Pasal 22
Ayat (1)
Dalam hal ini termasuk tingkat risiko negara asal Nasabah.
Huruf a
Dalam hal ini rekening tersebut adalah rekening milik
perusahaan yang digunakan untuk pembayaran gaji karyawan
perusahaan tersebut secara periodik.
Huruf b
Perusahaan publik yang dimaksudkan dalam huruf ini adalah
perusahaan yang terdaftar pada bursa efek dimana informasi
tentang identitas perusahaan dan Beneficial Owner perusahaan
tersebut dipublikasikan kepada masyarakat.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Daftar yang dibuat antara lain memuat informasi mengenai alasan
penetapan risiko sehingga digolongkan sebagai risiko rendah .
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
. . .
- 19 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Penetapan penggolongan berisiko tinggi dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan PPATK yang mengatur mengenai
pedoman identifikasi produk, nasabah, usaha, dan negara berisiko
tinggi bagi penyedia jasa keuangan dan pedoman mengenai
identifikasi transaksi keuangan mencurigakan terkait pendanaan
terorisme bagi penyedia jasa keuangan.
Ayat (2)
Pembuatan daftar tersendiri ditujukan untuk memudahkan identifikasi
dan pemantauan.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pihak-pihak yang terkait antara lain:
a. Perusahaan yang dimiliki atau dikelola oleh PEP;
b. Keluarga PEP sampai dengan derajat kedua; dan/atau
c. Pihak-pihak yang secara umum dan diketahui publik
mempunyai hubungan dekat dengan PEP.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
. . .
- 20 -
Ayat (4)
Huruf a
Produk perbankan yang berisiko tinggi antara lain transfer dana,
private banking, dan internet banking.
Huruf b
Negara berisiko tinggi antara lain negara yang diidentifikasikan
sebagai Tax Haven seperti British Virgin Island.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan pejabat senior adalah pejabat bank yang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman mengenai anti pencucian uang
atau pencegahan pendanaan terorisme dan menduduki jabatan tinggi
pada unit kerja Bank, misalnya kepala divisi atau kepala bagian di
kantor pusat Bank atau pimpinan di kantor cabang Bank.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal ini khususnya terhadap Nasabah yang statusnya
mengalami perubahan dari Nasabah biasa menjadi PEP atau
berisiko tinggi, termasuk Nasabah yang baru teridentifikasi
sebagai PEP atau berisiko tinggi.
Pasal 25 . . .
- 21 -
Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah lembaga keuangan yang
berada dalam pengawasan otoritas yang berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Prosedur CDD antara lain mencakup identifikasi dan verifikasi
calon Nasabah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Informasi yang dimaksudkan dalam huruf ini paling kurang
berupa informasi mengenai nama lengkap sesuai dengan yang
tercantum pada kartu identitas, alamat atau tempat dan tanggal
lahir, nomor kartu identitas, dan kewarganegaraan dari calon
Nasabah.
Huruf e
Memadai atau tidaknya suatu negara dalam menerapkan
rekomendasi FATF antara lain dapat dilihat di website
www.fatf-gafi.org atau www.apgml.org
Ayat (3)
Tanggung jawab akhir atas hasil identifikasi dan verifikasi calon
Nasabah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Bank.
Ayat (4)
. . .
- 22 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan kegiatan pengkinian data meliputi data kuantitatif dan data
kualitatif.
Yang dimaksud dengan data kuantitatif antara lain berupa statistik
jumlah Nasabah yang datanya telah atau belum dikinikan.
Yang dimaksud dengan data kualitatif antara lain berupa kendala,
upaya yang telah dilakukan Bank, serta kemajuan (progress) dari
upaya tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Daftar Teroris adalah daftar nama-nama
teroris yang tercatat pada Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267.
Bank . . .
- 23 -
Bank dapat secara aktif mengkinikan Daftar Teroris
berdasarkan database Daftar Teroris yang dipublikasikan
melalui media
internet
seperti
website PBB
http://www.un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml atau sumber
lain yang lazim digunakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan informasi lainnya antara lain tempat dan
tanggal lahir, serta alamat Nasabah.
Ayat (4)
Termasuk sebagai nama Nasabah adalah nama alias dari Nasabah.
Informasi lainnya antara lain tempat dan tanggal lahir serta alamat.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan transaksi yang tidak sesuai dengan
profil Nasabah adalah transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
. . .
- 24 -
Ayat (4)
Informasi mengenai memadai atau tidaknya program APU dan PPT
suatu negara dapat dilihat pada informasi yang dipublikasikan oleh
otoritas di luar negeri yang berwenang seperti Financial Action Task
Force on Money Laundering (FATF), Asia Pasific Group on Money
Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan lain-lain.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Informasi mengenai profil Bank Penerima dan/atau Bank
Penerus antara lain mencakup susunan anggota Direksi dan
Dewan Komisaris, kegiatan usaha, dan produk hasil usaha.
Huruf b
Dalam meneliti reputasi Bank Penerima dan/atau Bank Penerus,
Bank perlu meneliti reputasi yang bersifat negatif, misalnya
sanksi yang pernah dikenakan oleh otoritas kepada Bank
Penerima dan/atau Bank Penerus terkait dengan pelanggaran
ketentuan otoritas dan/atau rekomendasi FATF.
Huruf c
Tingkat penerapan program APU dan PPT suatu negara
dapat dilihat dari tingkat risiko negara tempat kedudukan Bank
tersebut
. . .
- 25 -
tersebut yang dikeluarkan oleh FATF atau Asia Pacific Group on
Money Laundering (APG) terhadap kemungkinan terjadinya
pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
Huruf d
Yang dimaksud dengan informasi relevan lain, seperti:
a. kepemilikan, pengendalian, dan struktur manajemen, untuk
memastikan apakah terdapat PEP dalam susunan
kepemilikan atau sebagai pengendali;
b. posisi keuangan Bank Penerima dan/atau Bank Penerus;
dan
c. profil perusahaan induk dan anak perusahaan.
Ayat (2)
Otoritas di dalam negeri yang berwenang seperti PPATK dan Bank
Indonesia, sedangkan otoritas di luar negeri yang berwenang seperti
Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Asia
Pasific Group on Money Laundering (APG), Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), dan lain-lain.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Payable Through Account (PTA) adalah rekening koresponden yang
digunakan secara langsung oleh pihak ketiga untuk melakukan transaksi
atas nama pihak ketiga tersebut.
Pasal 34 . . .
- 26 -
Pasal 34
Yang dimaksud kegiatan dokumentasi adalah kegiatan dokumentasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan Bank Indonesia ini.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan kegiatan dokumentasi adalah kegiatan
dokumentasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 Peraturan
Bank Indonesia ini.
Yang dimaksud dengan Bank Pengirim termasuk pula Bank yang
melakukan kegiatan usaha sebagai agen dari penyelenggara
kegiatan pengiriman uang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai
pihak yang pertama kali mengeluarkan perintah transfer dana.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak termasuk untuk kegiatan transaksi menggunakan
kartu untuk tujuan penarikan dana baik menggunakan kartu debet,
kartu ATM maupun kartu kredit, serta untuk melakukan pembayaran
atas pembelian barang dan/atau jasa.
Pasal 36 . . .
- 27 -
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Informasi atau permintaan tertulis dapat berupa surat yang
ditandatangani maupun informasi atau permintaan yang disampaikan
melalui media eletronik lainnya.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Dokumen dapat ditatausahakan dalam bentuk asli, salinan, electronic
form, microfilm, atau dokumen yang berdasarkan undang-undang
yang berlaku dapat digunakan sebagai alat bukti.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 40 . . .
- 28 -
Pasal 40
Ayat (1)
Dalam memastikan efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh
Bank, Bank mengoptimalkan satuan kerja Audit Intern yang telah ada
antara lain untuk melakukan uji kepatuhan (termasuk penggunaan
sample testing) terhadap kebijakan dan prosedur yang terkait dengan
program APU dan PPT.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Sistem informasi yang dimiliki harus dapat memungkinkan Bank
untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction) apabila
diperlukan, baik untuk keperluan intern dan atau Bank Indonesia,
maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan profil Nasabah secara terpadu adalah data
profil Nasabah yang mencakup seluruh rekening yang dimiliki oleh
satu Nasabah pada suatu Bank, antara lain rekening tabungan,
deposito, giro dan kredit.
Pasal 42
Pemanfaatan jasa perbankan sebagai media pencucian uang dan pendanaan
terorisme dimungkinkan juga melibatkan pegawai Bank itu sendiri. Dengan
demikian
. . .
- 29 -
demikian untuk mencegah ataupun mendeteksi terjadinya dugaan tindak
pidana pencucian uang yang dilakukan melalui lembaga perbankan perlu
diterapkan Know Your Employee (KYE) yang diantaranya adalah melalui
prosedur screening.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini lebih longgar dibandingkan dengan
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor
cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri.
Ayat (3)
Dalam hal ini Bank perlu memastikan bahwa ketentuan dalam
Peraturan Bank Indonesia ini lebih ketat dibandingkan dengan
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas tempat kedudukan kantor
cabang Bank dan anak perusahaan di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 45 . . .
- 30 -
Pasal 45
Huruf a
Action plan paling kurang memuat langkah-langkah pelaksanaan
program APU dan PPT dalam rangka kepatuhan terhadap Peraturan
Bank Indonesia ini, yang wajib dilaksanakan oleh bank dengan target
waktu penyelesaian selama periode tertentu.
Hal-hal yang wajib dimuat dalam action plan antara lain penyusunan
pedoman APU dan PPT, penyempurnaan infrastruktur terkait dengan
teknologi informasi, penyiapan sumber daya manusia, dan program
pengkinian data Nasabah.
Bank dapat melakukan revisi atas action plan sepanjang terdapat
perubahan-perubahan yang terjadi di luar kendali Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48 . . .
- 31 -
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Termasuk dalam kerja sama dengan penegak hukum yang dimaksudkan
dalam ayat ini adalah menyampaikan dokumen atau informasi kepada
penegak hukum terkait dengan identitas nasabah yang diduga melakukan
tindak pidana yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari
tindak pidana pencucian uang sesuai perundangan-undangan yang berlaku.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Selain terkena kewajiban membayar, Bank tetap wajib menyampaikan
pedoman atau laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan sanksi ini setelah Bank memperoleh 2 (dua) kali
surat teguran dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari kerja untuk
setiap teguran dan Bank tidak menanggapi dalam jangka waktu
7 (tujuh) hari kerja setelah surat teguran terakhir, serta
mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi tidak
dilaksanakannya komitmen.
Ayat (4)
. . .
- 32 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR
5032
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 11/28/PBI/2009 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 1 Juli 2009 </set_date>
<effective_date> 1 Juli 2009 </effective_date>
<issued_date> 1 Juli 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '5/21/PBI/2003', '3/10/PBI/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '6/UU/2009', '1/PERPPU/2002', '23/UU/1999', '15/UU/2003', '2/PERPPU/2008', '15/UU/2002', '25/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 6 /PBI/2010
TENTANG
TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT
CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK
KEPADA BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa salah satu kewenangan Bank Indonesia adalah
mengelola cadangan devisa yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pengelolaan nilai tukar rupiah dalam rangka
menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah;
b. bahwa fungsi cadangan devisa antara lain adalah sebagai alat
pembayaran luar negeri yang sangat dibutuhkan dalam kegiatan
ekonomi di sektor riil;
c. bahwa sebagai salah satu upaya mendukung kegiatan ekonomi,
Bank Indonesia menandatangani perjanjian Bilateral Currency
Swap Arrangement dengan People’s Bank of China;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, dan huruf c, dalam rangka pelaksanaan
perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dipandang
perlu untuk mengatur ketentuan mengenai transaksi repurchase
agreement Chinese Yuan terhadap surat berharga Rupiah Bank
kepada Bank Indonesia dalam suatu Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat …
- 2 -
Mengingat:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3843) sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi
Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4962);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas
Devisa dan Sistem Nilai Tukar (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3844);
MEMUTUSKAN …
- 3 -
M E M U T U S K A N
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG TRANSAKSI
REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP
SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di Indonesia
dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah yang
selanjutnya disebut CNY/IDR Repo adalah transaksi penjualan bersyarat surat
berharga dalam denominasi Rupiah oleh Bank kepada Bank Indonesia untuk
memperoleh mata uang CNY, dengan kewajiban membeli kembali surat
berharga tersebut sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati dengan
menggunakan mata uang CNY.
3. Surat Berharga adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara
(SUN), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), dan Surat Berharga Syariah
Negara (SBSN) milik Bank yang tercatat pada rekening perdagangan (rekening
aktif) dalam sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-
SSSS).
4. Repo Rate …
- 4 -
4. Repo Rate adalah tingkat bunga yang dikenakan kepada Bank terhadap dana
CNY dalam rangka CNY/IDR Repo.
5. Haircut adalah faktor pengurang nilai Surat Berharga dalam CNY/IDR Repo
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam bentuk persentase.
6. Tenor adalah jangka waktu CNY/IDR Repo.
7. Window Time CNY/IDR Repo adalah waktu yang disediakan bagi Bank untuk
mengajukan permohonan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia.
8. Bank Koresponden adalah bank pemelihara rekening giro, dalam rangka
pembayaran dan/atau penerimaan dana ke atau dari Bank, counterparty dan
kustodian.
9. Hari Kerja adalah hari kerja Jakarta dan Beijing.
10. Tanggal Transaksi adalah tanggal kesepakatan CNY/IDR Repo Bank kepada
Bank Indonesia dalam Window Time CNY/IDR Repo.
11. Tanggal Valuta adalah tanggal penyelesaian transaksi CNY/IDR Repo yang
dihitung dari Tanggal Transaksi ditambah 2 (dua) Hari Kerja.
12. Tanggal Jatuh Tempo adalah tanggal pembelian kembali Surat Berharga oleh
Bank yang telah disepakati.
13. Nilai Pembelian Kembali adalah nilai nominal pembelian kembali Surat
Berharga oleh Bank yaitu nilai nominal CNY/IDR Repo ditambah dengan nilai
nominal dari Repo Rate.
14. Chinese Yuan (CNY) adalah mata uang China yang dapat disebut juga dengan
Renminbi (RMB).
BAB II …
- 5 -
BAB II
PRINSIP DASAR
Pasal 2
(1) Bank Indonesia dapat melaksanakan transaksi swap CNY terhadap Rupiah
(CNY/IDR) dengan People’s Bank of China sesuai perjanjian Indonesian
Rupiah/Chinese Yuan Bilateral Currency Swap Arrangement between Bank
Indonesia and the People’s Bank of China.
(2) Bank Indonesia melaksanakan transaksi swap CNY/IDR atas dasar pengajuan
kebutuhan CNY dari Bank dan/atau kebutuhan IDR dari People’s Bank of
China.
BAB III
PENGAJUAN KEBUTUHAN CNY BANK KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 3
(1) Bank yang membutuhkan CNY dapat mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank
Indonesia.
(2) Bank yang akan mengajukan CNY/IDR Repo harus terlebih dahulu
menyampaikan rencana kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia.
(3) Bank dapat mengajukan kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia apabila
memenuhi persyaratan berikut:
a. paling kurang memiliki Peringkat Komposit 3 (PK-3) berdasarkan penilaian
Bank Indonesia;
b. memiliki Surat Berharga yang memenuhi persyaratan untuk dapat di-repo-
kan kepada Bank Indonesia dengan nilai paling kurang sebesar ekuivalen
dari …
- 6 -
dari nilai nominal kebutuhan CNY setelah diperhitungkan dengan Haircut;
dan
c. memiliki underlying kegiatan perdagangan internasional yang didukung oleh
dokumen yang memadai;
(4) Rencana kebutuhan CNY dapat dipenuhi hanya untuk kebutuhan nasabah yang
memiliki mitra perdagangan perusahaan China yang pada saat transaksi
termasuk dalam The List of Pilot Enterprises.
(5) Nilai nominal pengajuan kebutuhan CNY kepada Bank Indonesia paling sedikit
sebesar CNY 1.000.000 (satu juta Chinese Yuan).
(6) Bank wajib menggunakan CNY yang diperoleh dari transaksi CNY/IDR Repo
untuk memenuhi kebutuhan pembayaran perdagangan internasional sebagaimana
tercantum dalam dokumen underlying.
Pasal 4
(1) Rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2)
disampaikan kepada Bank Indonesia melalui Reuters Monitoring Dealing
System (RMDS) pada setiap hari Rabu pukul 09.00 WIB sampai dengan 11.00
WIB.
(2) Dalam hal hari Rabu bukan merupakan Hari Kerja maka rencana kebutuhan
CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada Bank
Indonesia pada 1 (satu) Hari Kerja berikutnya.
(3) Dalam menyampaikan rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), Bank harus mencantumkan informasi berikut:
a. Identitas dokumen underlying;
b. Nilai nominal kebutuhan CNY;
c. Tenor CNY/IDR Repo;
d. Nomor…
- 7 -
d. Nomor rekening Bank pada Bank Koresponden dan identitas Bank pada BI-
SSSS; dan
e. Nama perusahaan China sebagai mitra perdagangan yang termasuk dalam
The List of Pilot Enterprises.
(4) Rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat direvisi
paling lambat 4 (empat) Hari Kerja setelah hari pengajuan pada pukul 11.00
WIB.
(5) Dalam hal rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dapat dipenuhi, maka Bank Indonesia akan menyampaikan informasi dimaksud
kepada Bank yang bersangkutan paling lambat pada 3 (tiga) Hari Kerja setelah
hari pengajuan melalui RMDS dan/atau sarana komunikasi lainnya.
BAB IV
TRANSAKSI CNY/IDR REPO BANK KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 5
(1) Bank Indonesia membuka Window Time CNY/IDR Repo 5 (lima) Hari Kerja
setelah hari pengajuan rencana kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1).
(2) Window Time CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan pada setiap hari Rabu pukul 13.00 – 14.00 WIB.
(3) Dalam hal hari Rabu tersebut bukan merupakan Hari Kerja, Window Time
CNY/IDR Repo dilaksanakan pada Hari Kerja berikutnya.
(4) Bank Indonesia mengumumkan :
a. Repo Rate dan Tenor transaksi CNY/IDR Repo melalui Reuters atau sarana
komunikasi lainnya apabila Reuters mengalami gangguan;
b. harga Surat Berharga dan Haircut, yang dapat dilihat pada BI-SSSS;
c. kurs …
- 8 -
c. kurs CNY/IDR, yang dapat dilihat pada Reuters page BIXY
(5) Bank yang telah mengajukan kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 wajib mengajukan transaksi CNY/IDR Repo pada saat pembukaan
Window Time CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Bank yang telah mengajukan transaksi CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dilarang membatalkan transaksi dan/atau mengubah informasi yang
telah diajukan kepada Bank Indonesia, termasuk mengubah nilai nominal
CNY/IDR Repo.
Pasal 6
(1) Nilai nominal pengajuan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia harus sama
dengan jumlah pengajuan kebutuhan CNY sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan paling banyak sebesar nilai nominal underlying kegiatan perdagangan
internasional.
(2) Pengajuan CNY/IDR Repo kepada Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan secara bilateral antara Bank dengan Bank Indonesia melalui
sarana Reuters Monitoring Dealing System (RMDS).
(3) Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan dalam Window Time
CNY/IDR Repo pada hari yang sama untuk masing-masing Tenor.
Pasal 7
Surat Berharga yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia memiliki sisa jangka
waktu paling singkat melebihi Tenor dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Untuk SBI dan SBIS paling singkat 8 (delapan) hari kerja Jakarta setelah Tanggal
Jatuh Tempo.
b. Untuk SUN dan SBSN paling singkat 10 (sepuluh) hari kerja Jakarta setelah
Tanggal Jatuh Tempo.
Pasal 8 …
- 9 -
Pasal 8
(1) Bank yang mengajukan CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) harus mencantumkan nilai total nominal Surat Berharga yang di-repo-
kan dengan rincian untuk masing-masing Surat Berharga sebagai berikut:
a.
identitas Surat Berharga;
b. nominal Surat Berharga; dan
c. sisa jangka waktu Surat Berharga.
(2) Bank yang mengajukan CNY/IDR Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3) wajib menyampaikan :
a. Surat permohonan pledge Surat Berharga yang di-repo-kan.
b. Surat Kuasa yang memberikan kuasa kepada Bank Indonesia untuk dapat
melakukan penghentian pledge dan pemindahan Surat Berharga dari
rekening Bank ke rekening Bank Indonesia, melakukan penjualan atas Surat
Berharga Bank, melakukan redemption atas SBI atau SBIS Bank, melakukan
pendebetan rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia, dan/atau
melakukan pendebetan rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia,
apabila dalam jangka waktu kontrak CNY/IDR Repo Bank tidak dapat
memenuhi kewajibannya dalam menyelesaikan transaksi.
(3)
Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada saat Window
Time CNY/IDR Repo dan dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan paling lambat 1 (satu) hari kerja Jakarta berikutnya pukul 12.00
WIB.
(4) Surat permohonan pledge sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan Surat
Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib ditandatangani oleh
pejabat Bank yang mempunyai spesimen tanda tangan yang ditatausahakan di
Bank Indonesia.
(5) Dokumen …
- 10 -
(5) Dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional sebagaimana dimaksud
pada Pasal 3 ayat (3) wajib ditatausahakan oleh Bank.
Pasal 9
Bank bertanggungjawab atas kebenaran data pengajuan CNY/IDR Repo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8.
Pasal 10
(1) Masa berlaku CNY/IDR Repo dimulai pada Tanggal Valuta dan berakhir pada
Tanggal Jatuh Tempo.
(2) Bank Indonesia mengirimkan dana CNY ke rekening Bank pada Bank
Koresponden yang ditunjuk oleh Bank pada Tanggal Valuta sesuai dengan
kontrak CNY/IDR Repo.
(3) Bank wajib melakukan pledge Surat Berharga 1 (satu) Hari Kerja sebelum
Tanggal Valuta.
(4) Bank yang tidak melakukan pledge Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan telah menerima dana CNY pada Tanggal Valuta wajib
mengembalikan dana CNY ke rekening CNY Bank Indonesia di PBC paling
lambat 3 (tiga) Hari Kerja setelah Tanggal Valuta.
(5) Dalam hal Bank tidak mengembalikan dana ke rekening CNY Bank Indonesia di
PBC dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bank Indonesia
akan melakukan pendebetan rekening giro valuta asing dan/atau rekening giro
rupiah Bank di Bank Indonesia sebesar nilai transaksi dan kewajiban membayar
lainnya.
Pasal 11 …
- 11 -
Pasal 11
Kupon Surat Berharga yang di-repo-kan dalam transaksi CNY/IDR Repo merupakan
hak Bank yang melakukan transaksi CNY/IDR Repo.
Pasal 12
(1) Bank Indonesia menetapkan Tenor, Repo Rate, dan Haircut.
(2) Tenor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah 1 (satu) bulan dan/atau 3
(tiga) bulan.
(3) Repo Rate sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada Tanggal
Transaksi CNY/IDR Repo.
BAB V
PENYELESAIAN TRANSAKSI CNY/IDR REPO BANK
KEPADA BANK INDONESIA
Pasal 13
(1) Bank wajib menyelesaikan transaksi CNY/IDR Repo dengan membeli kembali
Surat Berharga sebesar Nilai Pembelian Kembali pada Tanggal Jatuh Tempo.
(2) Atas pembelian kembali Surat Berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Bank wajib mengirimkan dana CNY sebesar Nilai Pembelian Kembali ke
rekening Bank Indonesia pada Bank Koresponden yang ditunjuk oleh Bank
Indonesia.
(3) Bank wajib menyampaikan konfirmasi mengenai pengiriman dana CNY ke
rekening Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2
(dua) hari kerja sebelum Tanggal Jatuh Tempo.
(4) Bank…
- 12 -
(4) Bank Indonesia akan melepaskan (release) pledge Surat Berharga kepada Bank
yang bersangkutan paling lambat 1 (satu) hari kerja Jakarta setelah Tanggal Jatuh
Tempo.
Pasal 14
(1) Dalam hal Bank tidak dapat mengembalikan dana CNY pada Tanggal Jatuh
Tempo sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (2), Bank Indonesia menjual atau melakukan early redemption Surat
Berharga Bank berdasarkan surat kuasa yang disampaikan Bank kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
(2) Penjualan atau early redemption Surat Berharga Bank oleh Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada 3 (tiga) hari kerja Jakarta
setelah Tanggal Jatuh Tempo sesuai dengan harga yang berlaku di pasar.
(3) Surat Berharga tetap berada dalam penguasaan Bank Indonesia sampai dengan
terjadinya penjualan atau early redemption Surat Berharga.
(4) Dalam hal hasil penjualan atau early redemption Surat Berharga Bank pada saat
penjualan atau early redemption sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi Nilai Pembelian Kembali dan kewajiban membayar lainnya, Bank
Indonesia membebankan kekurangan pembayaran tersebut pada rekening giro
valuta asing Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(5) Dalam hal nilai pembebanan rekening giro valuta asing Bank di Bank Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencukupi, Bank Indonesia
membebankan kekurangan pembayaran tersebut pada rekening giro rupiah Bank
yang bersangkutan di Bank Indonesia.
(6) Dalam hal hasil penjualan atau early redemption Surat Berharga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melebihi kewajiban membayar yang telah disepakati
dalam …
- 13 -
dalam CNY/IDR Repo dan kewajiban Bank lainnya, selisih lebih tersebut akan
dikembalikan kepada Bank yang bersangkutan.
BAB VI
EARLY TERMINATION
Pasal 15
(1) Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan early termination terhadap
kesepakatan CNY/IDR Repo apabila Bank yang bersangkutan mengalami
penurunan Peringkat Komposit di bawah persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam
ketentuan ini.
(2) Dalam hal terjadi early termination sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank
wajib menyelesaikan transaksi CNY/IDR Repo dengan melakukan pembelian
kembali Surat Berharga dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
(3) Dalam hal Bank tidak dapat melakukan pembelian kembali Surat Berharga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia dapat menjual Surat
Berharga Bank dengan mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
(4) Dalam hal hasil penjualan Surat Berharga Bank tidak mencukupi Nilai
Pembelian Kembali, maka pelunasan CNY/IDR Repo mengikuti ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
BAB VII …
- 14 -
BAB VII
PENIADAAN WINDOW TIME
Pasal 16
Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu meniadakan Window Time CNY/IDR Repo
dengan pengumuman melalui Reuters atau sarana komunikasi lainnya paling lambat
pukul 13.00 WIB.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 17
(1) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
dan dana CNY belum diterima oleh Bank, dikenakan sanksi berupa teguran
tertulis.
(2) Bank yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3)
dan telah menerima dana CNY dikenakan sanksi berupa:
a.
teguran tertulis; dan
b. kewajiban membayar sebesar Repo Rate + 200 bps dikalikan nilai nominal
transaksi dikalikan dengan jumlah hari sejak Tanggal Valuta sampai tanggal
dikembalikannya dana CNY oleh Bank ke rekening CNY Bank Indonesia di
PBC.
(3) Sanksi kewajiban membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
dilakukan dalam denominasi CNY.
(4) Bank yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 3 ayat (6), Pasal 5 ayat (6),
Pasal 8 ayat (2) dan ayat (5), dan Pasal 13 ayat (3) dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
Pasal 18 …
- 15 -
Pasal 18
Bank yang tidak dapat membayar dana CNY pada Tanggal Jatuh Tempo atau pada
tanggal valuta early termination sebesar Nilai Pembelian Kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi kewajiban
membayar sebesar Repo Rate + 200 bps dikalikan jumlah hari dengan nominal Nilai
Pembelian Kembali sejak Tanggal Jatuh Tempo sampai tanggal pelunasan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Bank Indonesia ini diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
Pasal 20 …
- 16 -
Pasal 20
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 7 April 2010
Pjs. GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 7 April 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 61
DPD
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 12/ 6 /PBI/2010
TENTANG
TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT
CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK
KEPADA BANK INDONESIA
I. UMUM
Bank Indonesia mengelola cadangan devisa negara yang antara lain berupa
emas, uang kertas asing dan tagihan lainnya dalam valuta asing kepada pihak luar
negeri yang dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran luar negeri. Salah satu
upaya untuk menjaga kesinambungan tersedianya alat pembayaran luar negeri dan
mengurangi ketergantungan terhadap mata uang tertentu, Bank Indonesia
melaksanakan perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan Bank
Sentral China dalam rangka mempermudah perolehan valuta Chinese Yuan.
Perjanjian tersebut dapat dimanfaatkan oleh bank sebagai lembaga perantara dalam
pembayaran internasional yang bertujuan untuk mendukung kegiatan ekonomi
khususnya perdagangan internasional melalui transaksi CNY/IDR Repo dengan
Bank Indonesia. Langkah kebijakan tersebut diharapkan dapat membantu
pengelolaan likuiditas valuta asing sekaligus memberikan kontribusi positif bagi
kegiatan ekonomi, khususnya perdagangan internasional, dan memberikan
dorongan positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.
II. PASAL …
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud Surat Berharga yang dimiliki adalah Surat
Berharga yang sepenuhnya merupakan milik Bank dan bukan
Surat Berharga hasil sell & buy back.
Surat Berharga yang di-repo-kan kepada Bank Indonesia dihitung
dengan pembulatan ke atas pada jutaan Rupiah terdekat.
Huruf c
Dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional yang
memadai antara lain meliputi Pemberitahuan Impor Barang (PIB)
yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, Letter of Credit
(L/C), invoice, atau kontrak jual-beli.
Ayat (4) …
- 3 -
Ayat (4)
The List of Pilot Enterprises merupakan daftar perusahaan di China
yang memiliki ijin dari Otoritas China untuk melakukan cross border
Renminbi trade settlement. Daftar perusahaan China tersebut, termasuk
perubahannya akan disampaikan melalui Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Identitas dokumen underlying kegiatan perdagangan internasional
meliputi informasi tentang nomor referensi dokumen antara lain L/C
atau non L/C, nomor Pemberitahuan Impor Barang (PIB), nomor
invoice, dan/atau nomor kontrak jual beli dari underlying kegiatan
perdagangan internasional.
Ayat (4)
Revisi nilai nominal rencana kebutuhan CNY hanya dapat dilakukan
untuk nilai nominal yang lebih kecil dari rencana sebelumnya.
Contoh:
Rencana kebutuhan CNY disampaikan kepada Bank Indonesia pada hari
Rabu tanggal 10 Maret 2010 maka rencana tersebut dapat direvisi paling
lambat …
- 4 -
lambat pada hari Selasa tanggal 16 Maret 2010 pada pukul 11.00 WIB.
Nilai nominal hasil revisi yang disampaikan pada tanggal 16 Maret 2010
harus lebih kecil dari rencana kebutuhan yang disampaikan pada tanggal
10 Maret 2010.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh:
Rencana kebutuhan CNY disampaikan kepada Bank Indonesia pada hari
Rabu tanggal 10 Maret 2010 maka CNY/IDR Repo dilaksanakan pada
Window Time CNY/IDR Repo hari Rabu tanggal 17 Maret 2010.
Ayat (2)
Dalam window tersebut Bank Indonesia juga melakukan konfirmasi
atas:
a. Nilai nominal CNY yang diterima Bank penjual Surat Berharga;
b. identitas Surat Berharga yang diterima Bank Indonesia;
c.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank
Umum (LHBU) dan Bloomberg.
Pengumuman harga Surat Berharga dan Haircut, Kurs CNY/IDR diatur
lebih lanjut pada Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (5) …
informasi terkait Standar Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard
Settlement Instruction); dan informasi yang terkait lainnya.
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Bank dapat mengajukan beberapa Surat Berharga untuk di-repo-kan
kepada Bank Indonesia dengan satu kali pengajuan dalam 1 (satu) hari
untuk masing-masing Tenor.
Pasal 7
Contoh 1:
Pada tanggal 3 Agustus 2010, Bank Indonesia mengumumkan
CNY/IDR Repo dengan Tenor 1 bulan dimana Tanggal Valuta pada 5
Agustus 2010, dan Tanggal Jatuh Tempo pada 3 September 2010.
Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank
Indonesia dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut:
a. Bank A memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 15 (lima belas) hari
dan maturity date tanggal 3 September 2010;
b. Bank B memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
dan maturity date tanggal 15 September 2010;
c. Bank C …
- 6 -
c. Bank C memiliki SBI dengan sisa jangka waktu 32 (tiga puluh dua)
hari dan maturity date tanggal 6 September 2010.
SBI yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia adalah milik
Bank B.
Contoh 2:
Pada tanggal 5 Oktober 2010, Bank Indonesia mengumumkan CNY/IDR
Repo dengan Tenor 1 (satu) bulan dimana Tanggal Valuta pada 7
Oktober 2010, dan Tanggal Jatuh Tempo pada 5 November 2010.
Bank A, Bank B, dan Bank C mengajukan CNY/IDR Repo kepada Bank
Indonesia dengan sisa jangka waktu Surat Berharga sebagai berikut:
a. Bank A memiliki SUN dengan sisa jangka waktu 15 (lima belas)
hari dan maturity date tanggal 5 November 2010,
b. Bank B memiliki SUN sisa jangka waktu 30 (tiga puluh) hari dan
maturity date tanggal 19 November 2010,
c. Bank C memiliki SUN dengan sisa jangka waktu 32 (tiga puluh dua)
hari dan maturity date tanggal 8 November 2010
SUN yang dapat di-repo-kan kepada Bank Indonesia adalah milik
Bank B.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Identitas Surat Berharga meliputi informasi tentang:
1. identitas sesuai dengan Committee on Uniform Securities
Identification Procedures (CUSIP) dan/atau International
Securities Identification Number (ISIN);
2. nilai kupon; dan
3. maturity …
- 7 -
3. maturity date.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 …
- 8 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Konfirmasi dapat disampaikan dalam bentuk swift message kepada Bank
Indonesia dengan mencantumkan pula informasi tentang Tanggal Jatuh
Tempo, Nilai Pembelian Kembali, identitas Surat Berharga, dan Standar
Instruksi Penyelesaian Transaksi (Standard Settlement Instruction)
dalam CNY/IDR Repo yang telah disepakati.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Early redemption adalah pelunasan SBI sebelum SBI dimaksud jatuh
waktu
Ayat (2)
Harga yang berlaku di pasar merupakan harga transaksi penjualan Surat
Berharga Bank oleh Bank Indonesia.
Contoh:
Pada tanggal 5 November 2010, Bank tidak dapat membayar dana CNY
sebesar CNY 1.000.000 (satu juta Chinese Yuan). Bank Indonesia
menjual Surat Berharga Bank pada tanggal 10 November 2010 dengan
harga transaksi penjualan ekuivalen sebesar Rp. 1.300.000.000,00 (satu
milliar tiga ratus juta rupiah) dengan kurs jual 1 CNY = Rp 1.300,00.
Ayat (3) …
- 9 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Pembebanan kekurangan pembayaran dana CNY kepada rekening giro
rupiah Bank dilakukan dengan menggunakan Kurs Transaksi Jual Bank
Indonesia pada hari yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Early termination merupakan proses mempercepat Tanggal Jatuh
Tempo CNY/IDR Repo oleh Bank Indonesia. Pemberitahuan early
termination akan dilakukan secara bilateral kepada Bank yang
bersangkutan oleh Bank Indonesia.
Pelanggaran lain dalam ketentuan ini antara lain apabila ditemukan
adanya ketidaksesuaian underlying atau mitra dagang nasabah Bank
diluar “The List of Pilot Enterprises”.
Ayat (2)
Nilai Pembelian Kembali dalam hal terjadi early termination dihitung
berdasarkan periode efektif CNY/IDR Repo yaitu sejak Tanggal Valuta
Repo sampai tanggal early termination.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) …
- 10 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Sarana komunikasi lainnya antara lain sistem Laporan Harian Bank Umum
(LHBU) dan Bloomberg.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Perhitungan jumlah hari dalam pengenaan sanksi menggunakan hari kalender.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5127
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/6/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> TRANSAKSI REPURCHASE AGREEMENT CHINESE YUAN TERHADAP SURAT BERHARGA RUPIAH BANK KEPADA BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 7 April 2010 </set_date>
<effective_date> 7 April 2010 </effective_date>
<issued_date> 07 April 2010 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '24/UU/1999', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 19/1/PBI/2017
TENTANG
JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN
TAHUN 2016
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa salah satu tugas Bank Indonesia dalam
pengelolaan uang Rupiah adalah melakukan pemusnahan
terhadap uang Rupiah yang ditarik dari peredaran;
b. bahwa jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia secara periodik
setiap 1 (satu) tahun sekali;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Bank Indonesia tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang
Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2016;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
-2-
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4962);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5223);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 tentang
Pengelolaan Uang Rupiah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 138, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5323);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG JUMLAH DAN NILAI
NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2016.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan:
1. Uang Rupiah adalah Rupiah sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang yang mengatur mengenai mata
uang.
2. Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang
terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan
Uang Rupiah rusak.
-3-
BAB II
PEMUSNAHAN UANG RUPIAH
Pasal 2
Uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia meliputi:
a. Uang Rupiah Tidak Layak Edar;
b. Uang Rupiah yang masih layak edar yang dengan
pertimbangan tertentu tidak lagi mempunyai manfaat
ekonomis dan/atau kurang diminati oleh masyarakat;
dan/atau
c. Uang Rupiah yang sudah tidak berlaku.
Pasal 3
Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan dengan cara meracik dengan
menggunakan mesin yang memiliki fungsi untuk meracik Uang
Rupiah kertas.
Pasal 4
(1) Jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ditempatkan dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
(2) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan oleh Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis pecahan, jumlah
bilyet atau keping, dan nilai nominal.
(3) Data jumlah dan nilai nominal Uang Rupiah yang
dimusnahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
periode tanggal 1 Januari 2016 sampai dengan
31 Desember 2016 tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank
Indonesia ini.
-4-
Pasal 5
Uang Rupiah yang dimusnahkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 tertuang dalam suatu berita acara.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2017
GUBERNUR BANK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
YASONNA H. LAOLY EG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 21
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 19/1/PBI/2017 </reg_id>
<reg_title> JUMLAH DAN NILAI NOMINAL UANG RUPIAH YANG DIMUSNAHKAN TAHUN 2016 </reg_title>
<set_date> 30 Januari 2017 </set_date>
<effective_date> 30 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 30 Januari 2017 </issued_date>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '2/PERPPU/2008', '7/UU/2011', '14/7/PBI/2012' </related_reg>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR: 6/6/PBI/2004
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meminimalkan risiko dalam sistem pembayaran di
Indonesia, khususnya risiko sistemik, yang dapat timbul sebagai
akibat dari kegagalan pembayaran antar bank dalam sistem
netting, maka telah diimplementasikan sistem Bank Indonesia
Real Time Gross Settlement (BI-RTGS);
b. bahwa sifat sistem BI-RTGS mensyaratkan tersedianya likuiditas
bank dalam jumlah cukup setiap saat pada rekening gironya di
bank sentral untuk menghindarkan terjadinya kemacetan dalam
sistem pembayaran (gridlock) yang dapat membahayakan
stabilitas sistem keuangan;
c. bahwa dalam rangka pelaksanaan transaksi dengan Bank
Indonesia, termasuk dalam rangka pemberian fasilitas pendanaan
Bank Indonesia kepada Bank, Bank Indonesia menerapkan sistem
Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement System (BI-
SSSS) yang menggabungkan sistem transaksi dengan sistem
penatausahaan surat berharga;
d. bahwa …
- 2 -
d. bahwa pengajuan Fasilitas Likuiditas Intrahari dan penatausahaan
agunan surat berharga dalam rangka pengajuan Fasilitas Likuiditas
Intrahari menggunakan sistem Bank Indonesia – Scripless
Securities Settlement System (BI-SSSS) yang terhubung langsung
dengan sistem BI-RTGS;
e. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu
untuk mengatur kembali ketentuan mengenai Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum dalam Peraturan Bank Indonesia;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3790);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3843) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4357);
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/15/PBI/2003 tentang Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 99, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4317);
4. Peraturan …
- 3 -
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/
/PBI/2004 tentang Bank
Indonesia – Scripless Securities Settlement System (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
Lembaran Negara Nomor
, Tambahan
);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG FASILITAS
LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional.
2. Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement yang selanjutnya disebut
dengan Sistem BI-RTGS adalah suatu sistem transfer dana elektronik antar
Peserta dalam mata uang Rupiah yang penyelesaiannya dilakukan secara
seketika per transaksi secara individual.
3. Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System yang selanjutnya
disebut BI-SSSS adalah sarana Transaksi Dengan Bank Indonesia termasuk
penatausahaannya …
- 4 -
penatausahaannya dan Penatausahaan Surat Berharga secara elektronik dan
terhubung langsung antara Peserta, Penyelenggara dan Sistem BI-RTGS.
4.
Fasilitas Likuiditas Intrahari yang selanjutnya disebut FLI adalah fasilitas
pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi kesulitan
pendanaan yang terjadi selama jam operasional Sistem BI-RTGS karena nilai
transaksi keluar (outgoing transaction) melalui Sistem BI-RTGS pada saat
tertentu lebih besar dibandingkan dengan saldo rekening giro Rupiah Bank di
Bank Indonesia.
5. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek yang selanjutnya disebut FPJP adalah
fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada Bank sebagaimana diatur
dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
Bagi Bank Umum.
6.
Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah surat berharga
dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai
pengakuan utang berjangka waktu pendek.
7. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat pengakuan
utang dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun
2002 tentang Surat Utang Negara.
8. Pasar Uang Antar Bank yang untuk selanjutnya disebut dengan PUAB adalah
kegiatan pinjam-meminjam dana antara satu Bank dengan Bank lainnya.
BAB II …
- 5 -
BAB II
PERSYARATAN FLI
Pasal 2
(1) Bank dapat memperoleh FLI setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Bank Indonesia.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai berikut:
a.
tingkat kesehatan minimal cukup baik;
b. memiliki surat berharga yang dapat diagunkan berupa SBI dan atau SUN;
c. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank Peserta BI-
RTGS dan BI-SSSS; dan
d. tidak sedang dikenakan sanksi tidak dapat memperoleh FPJP.
Pasal 3
(1) Sebelum Bank dapat menggunakan FLI maka Bank terlebih dahulu wajib
menyampaikan :
a. perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan;
b. fotokopi anggaran dasar Bank atau kuasa dari kantor pusat Bank asing
(power of attorney) bagi kantor cabang Bank asing yang telah dinyatakan
sesuai dengan aslinya oleh Bank.
(2) Dalam hal terjadi perubahan susunan pengurus Bank yang mengakibatkan
perubahan kewenangan penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), Bank wajib memperbaharui dan menyampaikan perubahan
perjanjian dimaksud.
Pasal 4 …
- 6 -
Pasal 4
Bank Indonesia berwenang untuk menolak atau menghentikan penggunaan FLI
apabila Bank tidak lagi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
BAB III
PERSYARATAN AGUNAN
Pasal 5
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b yang
diagunkan kepada Bank Indonesia harus bebas dari sitaan, tidak sedang
digadaikan, atau dipertanggungkan secara apapun juga baik kepada orang atau
pihak lain maupun kepada Bank Indonesia, serta tidak tersangkut dalam suatu
perkara atau sengketa.
(2) Agunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat diperjualbelikan
dan atau dijaminkan kembali oleh Bank.
BAB IV
MEKANISME PENGGUNAAN FLI
Pasal 6
(1) Pengajuan nilai FLI yang akan digunakan Bank serta pengagunan surat
berharga dalam rangka FLI dilakukan dengan menggunakan sarana BI-SSSS.
(2) Dalam rangka penggunaan FLI maka Bank harus sudah memindahkan agunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ke rekening
pengagunan surat berharga pada sarana BI-SSSS sebelum Bank menggunakan
FLI.
Pasal 7 …
- 7 -
Pasal 7
(1) Perhitungan nilai jual SBI dan nilai pasar SUN yang diagunkan Bank dalam
rangka penggunaan FLI tunduk pada Peraturan Bank Indonesia tentang
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum yang berlaku.
(2) Nilai maksimum FLI yang dapat digunakan Bank adalah sebesar nilai agunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah dipindahkan Bank ke
rekening pengagunan surat berharga pada sarana BI-SSSS.
Pasal 8
(1) Penggunaan FLI dilakukan secara otomatis melalui Sistem BI-RTGS pada saat
saldo rekening giro Rupiah Bank di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk
melakukan transaksi keluar (outgoing transaction) berdasarkan kecukupan
nilai agunan FLI yang tersedia di rekening pengagunan surat berharga dalam
sarana BI-SSSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Bank Indonesia dapat membatasi jenis-jenis transaksi yang diperkenankan
untuk menggunakan FLI.
BAB V
BIAYA PENGGUNAAN FLI
Pasal 9
Bank Indonesia dapat mengenakan biaya bunga dan atau biaya lainnya kepada Bank
atas penggunaan FLI.
BAB VI…
- 8 -
BAB VI
PELUNASAN FLI
Pasal 10
(1) Pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem BI-RTGS setiap terdapat
transaksi masuk (incoming transaction) yang mengkredit rekening giro Rupiah
Bank yang bersangkutan di Bank Indonesia sampai dengan batas waktu
pelunasan FLI.
(2) Bersamaan dengan pelunasan FLI sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
Bank dapat memindahkan kembali surat berharga yang diagunkan ke rekening
perdagangan Bank yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Bank wajib melunasi FLI sampai batas waktu pelunasan FLI yang ditetapkan
Bank Indonesia.
(2) Dalam hal Bank tidak melunasi nilai FLI sampai dengan batas waktu
pelunasan FLI yang ditetapkan maka terhadap nilai FLI yang tidak dapat
dilunasi diberlakukan sebagai FPJP.
Pasal 12
Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) maka :
a. Bank menundukkan diri pada ketentuan FPJP Bagi Bank Umum yang berlaku;
dan
b. agunan FLI diberlakukan sebagai agunan FPJP.
Pasal 13 …
- 9 -
Pasal 13
Dalam hal Bank tidak dapat melunasi FLI karena kegagalan Sistem BI-RTGS dan
atau Sistem BI-SSSS maka pelunasan FLI dilakukan secara otomatis oleh Sistem
BI-RTGS pada kesempatan pertama pada hari kerja berikutnya.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 14
Dalam rangka pengawasan atas penggunaan FLI, Bank Indonesia dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Bank.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 15
Dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (2) maka Bank dikenakan sanksi berupa:
a. kewajiban membayar sebanyak 2 (dua) kali biaya bunga FLI yang telah
dikenakan kepada Bank untuk FLI yang digunakan setelah tanggal terjadinya
perubahan susunan pengurus Bank sampai dengan tanggal penyampaian
kembali perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1); dan atau
b. tidak dapat menggunakan FLI sampai dengan Bank menyampaikan kembali
perjanjian penggunaan FLI dan pengagunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1).
BAB IX …
- 10 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian FLI diatur dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka Peraturan Bank Indonesia
Nomor: 2/26/PBI/2000 tanggal 13 Desember 2000 tentang Fasilitas Likuiditas
Intrahari Bagi Bank Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2004.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Februari 2004
GUBERNUR BANK INDONESIA
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 19
DPM
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 6/6/PBI/2004
TENTANG
FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM
UMUM
Dalam kegiatan usaha, Bank sangat lazim mengalami kesulitan pendanaan
jangka pendek yang disebabkan ketidak-sesuaian pendanaan antara arus masuk dan
arus keluar (mismatch). Dengan berlakunya penyelesaian transaksi melalui sistem
Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) dimana transaksi
pembayaran diselesaikan satu demi satu secara seketika (real time), Bank sangat
mungkin mengalami kesulitan pendanaan dalam waktu yang sangat pendek.
Kesulitan pendanaan dimaksud sebagai akibat terjadi ketidaksesuaian antara waktu
dan atau nilai transaksi yang dikirim (outgoing transaction) dengan transaksi yang
diterima (incoming transaction). Apabila kesulitan yang dialami oleh Bank atau
beberapa Bank tersebut tidak segera diatasi, dikhawatirkan dapat menyebabkan
kemacetan pembayaran (gridlock) yang dapat mengganggu kelancaran sistem
pembayaran yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakstabilan sistem
keuangan secara keseluruhan.
Untuk mengatasi timbulnya kemacetan pembayaran diatas maka Bank
Indonesia memandang perlu untuk menyediakan fasilitas pendanaan untuk jangka
waktu yang sangat pendek selama waktu operasional Sistem BI-RTGS dalam
bentuk …
- 2 -
bentuk Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) Bagi Bank Umum yang wajib dilunasi
oleh Bank pada akhir hari yang sama.
Pemberian FLI ini sejalan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia untuk
menjaga kelancaran sistem pembayaran sebagaimana ditetapkan dalam pasal 15
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004.
Pengajuan FLI dan penatausahaan surat berharga dalam rangka pengajuan
FLI telah menggunakan sarana Bank Indonesia – Scripless Securities Settlement
System (BI-SSSS) yang terhubung langsung dengan Sistem BI-RTGS. Dengan
menggunakan sarana BI-SSSS diharapkan dapat mempercepat proses pengajuan
FLI dan meminimalkan resiko setelmen.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan Bank yang memiliki tingkat kesehatan
cukup baik adalah Bank yang masih beroperasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c …
- 3 -
Huruf c
Kriteria pengenaan sanksi penangguhan (suspend) tunduk pada
Peraturan Bank Indonesia tentang Bank Indonesia – Real Time
Gross Settlement dan Peraturan Bank Indonesia tentang Bank
Indonesia – Scripless Securities Settlement System yang berlaku.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7 …
- 4 -
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Besarnya biaya bunga FLI dan biaya lainnya ditetapkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia.
Pasal 10
Ayat (1)
Sepanjang Bank masih menggunakan sebagian atau seluruh FLI yang
disetujui Bank Indonesia maka Sistem BI-RTGS secara otomatis
menggunakan dana yang masuk (incoming transaction) untuk terlebih
dahulu melunasi FLI.
Proses penggunaan dan pelunasan FLI berlangsung terus sampai
dengan batas akhir waktu pelunasan FLI.
Batas akhir waktu penggunaan dan pelunasan FLI ditetapkan dalam
Surat Edaran Bank Indonesia.
Ayat (2) …
- 5 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Dalam hal FLI diberlakukan sebagai FPJP maka Bank tidak perlu
mengajukan surat pengajuan FPJP secara tertulis atas pengalihan FLI yang
tidak dapat dilunasi menjadi FPJP.
Apabila Bank sedang menggunakan dan melakukan perpanjangan FPJP
maka nilai FLI dimaksud akan disatukan dengan nilai FPJP yang sedang
digunakan Bank dan jumlah hari penggunaan FPJP yang sudah digunakan
Bank.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-RTGS adalah kegagalan RTGS
Central Computer (RCC) sehingga seluruh Bank Peserta BI-RTGS dan/atau
Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal RTGS (RT)
ke RCC.
Gangguan pada salah satu atau beberapa RT dan/atau gangguan pada
jaringan RTGS yang mengakibatkan satu atau beberapa Bank Peserta BI-
RTGS tidak dapat mengirimkan transaksi ke RCC, tidak dianggap sebagai
kegagalan Sistem BI-RTGS. Dalam hal terjadi gangguan dimaksud, Bank
Peserta BI-RTGS tetap wajib melunasi FLI sesuai batas waktu yang
ditetapkan.
Yang …
- 6 -
Yang dimaksud dengan kegagalan Sistem BI-SSSS adalah kegagalan System
Central Computer (SCC) pada sarana BI-SSSS sehingga seluruh Bank
dan/atau Bank Indonesia tidak dapat mengirimkan transaksi dari terminal
(System Terminal/ST) ke SCC.
Pasal 14
Pemeriksaan terhadap Bank yang menerima FLI dapat dilakukan pada
periode diterimanya atau setelah jatuh waktu FLI.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4367
DPM
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 6/6/PBI/2004 </reg_id>
<reg_title> FASILITAS LIKUIDITAS INTRAHARI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 16 Februari 2004 </set_date>
<effective_date> 16 Februari 2004 </effective_date>
<replaced_reg> '2/26/PBI/2000' </replaced_reg>
<related_reg> '23/UU/1999', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '5/15/PBI/2003', '10/UU/1998', '6/ /PBI/2004' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR : 12/ 26 /PBI/2010
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA
NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN
UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa pengeluaran dan pengedaran uang rupiah
ditujukan untuk menyediakan uang tunai di masyarakat
sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender) di
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. bahwa Bank Indonesia telah memiliki Gubernur Bank
Indonesia yang definitif, sehingga diperlukan
perubahan penandatanganan pada uang rupiah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
melakukan perubahan ketiga atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran
dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000
(Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005;
Mengingat . . .
-2-
Mengingat
: 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004
tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan
Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 52,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4388) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/10/PBI/2007
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4762);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK
INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG
PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG
KERTAS . . .
-3-
KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU)
TAHUN EMISI 2005.
Pasal I
Ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/40/PBI/2005 tentang
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh
Ribu) Tahun Emisi 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 100) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 12/8/PBI/2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 71) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 4A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4A
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Januari tahun 2010
sampai dengan bulan November tahun 2010 adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu kebiruan.
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan
Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan
”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) pada . . .
-4-
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa
1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba;
e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal ”10000”;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang;
j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia beserta tulisan
“DEPUTI GUBERNUR SENIOR”, dan tanda tangan Deputi
Gubernur . . .
-5-
Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “DEPUTI
GUBERNUR”;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
”10000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling
isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang;
o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”;
c) di bawah . . .
-6-
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
”10000”;
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna
merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam
posisi terbalik;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
j) pada . . .
-7-
j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka
10000 terdapat pada daun-daun pepohonan;
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal ”10000” berupa tulisan “BI”;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda;
2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA”
dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang . . .
-8-
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna
merah di bawah sinar ultra violet.
2. Di antara Pasal 4A dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 4B yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4B
Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1, untuk tahun pencetakan mulai bulan Desember tahun 2010
adalah:
a. Warna
bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan
ungu kebiruan.
b. Gambar
1. bagian muka
a) gambar utama berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan
Mahmud Badaruddin II dan dibawahnya dicantumkan tulisan
”SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II”;
b) pada sebelah kiri gambar utama terdapat gambar ornamen daerah
Palembang berbentuk lingkaran berwarna ungu muda yang akan
memendar kuning di bawah sinar ultra violet;
c) pada sebelah kiri bawah gambar utama dengan arah horizontal
terdapat tulisan ”BANK INDONESIA” dan di bawah tulisan
tersebut terdapat tulisan ”SEPULUH RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kiri bawah gambar utama di atas tulisan “BANK
INDONESIA” terdapat kode bagi tuna netra (blind code) berupa
1 (satu) buah lingkaran yang terasa kasar bila diraba;
e) pada . . .
-9-
e) pada sebelah kiri atas gambar utama dengan arah horizontal dan
pada sebelah kanan tanda air dengan arah vertikal, terdapat
angka nominal ”10000”;
f) pada sebelah kiri gambar utama, di bawah angka nominal
”10000” terdapat gambar saling isi (rectoverso) yang apabila
diterawangkan ke arah cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia
secara utuh;
g) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
tersembunyi (latent image) tulisan BI dalam bingkai persegi
panjang berbentuk ornamen daerah Palembang yang dapat
dilihat dari sudut pandang tertentu;
h) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat gambar
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu Garuda
Pancasila;
i) pada sebelah kanan bawah terdapat logo Bank Indonesia di
dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang;
j) pada sebelah kanan bawah gambar utama terdapat angka tahun
pencetakan “2010” (angka 2010 akan berubah sesuai dengan
tahun pencetakan uang), tulisan “DEWAN GUBERNUR”, tanda
tangan Gubernur Bank Indonesia beserta tulisan “GUBERNUR”,
dan tanda tangan Deputi Gubernur Bank Indonesia beserta
tulisan “DEPUTI GUBERNUR”;
k) pada sebelah kanan gambar utama terdapat rainbow printing
dalam bidang berbentuk segi lima yang akan berubah warna
apabila dilihat dari sudut pandang berbeda;
l) pada sebelah kanan gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
m) sebagai . . .
-10-
m) sebagai latar belakang dan pengisi bidang terdiri dari garis-garis
bergelombang, miring, dan rangkaian garis melengkung yang
membentuk ornamen daerah Palembang;
n) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kiri gambar utama yang mengisi angka nominal
”10000” berupa tulisan BI;
2) sebelah kiri gambar utama di atas dan bawah gambar saling
isi (rectoverso) berupa angka 10000 yang membentuk garis
vertikal;
3) sebelah kiri atas dan bawah gambar utama berupa tulisan
”BANKINDONESIA” sebagai latar belakang uang;
o) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat di atas dan di bawah tanda air
berupa tulisan “BI10000” yang berbentuk lengkungan dengan
ukuran teks yang berbeda.
2. bagian belakang
a) gambar utama berupa gambar Rumah Limas, Palembang;
b) pada sebelah kanan atas gambar utama terdapat tulisan ”BANK
INDONESIA”;
c) di bawah gambar utama terdapat tulisan ”DENGAN RAHMAT
TUHAN YANG MAHA ESA, BANK INDONESIA
MENGELUARKAN UANG SEBAGAI ALAT
PEMBAYARAN YANG SAH DENGAN NILAI SEPULUH
RIBU RUPIAH”;
d) pada sebelah kanan bawah dengan arah horizontal dan pada
sebelah kiri atas dengan arah vertikal terdapat angka nominal
”10000”;
e) nomor . . .
-11-
e) nomor seri yang terdiri dari 3 (tiga) huruf dan 6 (enam) angka
terletak pada sebelah kiri bawah uang yang dicetak dengan tinta
berwarna hitam yang akan memendar hijau di bawah sinar
ultra violet dan pada sebelah kanan atas di bawah tulisan
”BANK INDONESIA” yang dicetak dengan tinta berwarna
merah yang akan memendar oranye di bawah sinar ultra violet;
f) pada sebelah kanan atas di bawah nomor seri terdapat gambar
saling isi (rectoverso) yang apabila diterawangkan ke arah
cahaya akan terlihat logo Bank Indonesia secara utuh dalam
posisi terbalik;
g) pada sebelah kanan bawah tepat di bawah angka nominal
“10000” terdapat tulisan “PERUM PERCETAKAN UANG RI
IMP” dan angka tahun pengeluaran atau tahun emisi “2005”;
h) di atas tanda air, terdapat cetakan tidak kasat mata berupa
gambar siluet Rumah Limas yang akan memendar hijau
kekuningan di bawah sinar ultra violet;
i) pada sebelah kiri bawah gambar utama terdapat cetakan tidak
kasat mata berupa angka nominal ”10000” dalam kotak persegi
panjang yang akan memendar hijau kekuningan di bawah sinar
ultra violet;
j) pada sebelah kiri gambar utama terdapat elemen desain
berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan
ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar;
k) mikroteks yaitu teks yang hanya dapat dibaca dengan bantuan
kaca pembesar terdapat pada:
1) sebelah kanan di atas atap Rumah Limas berupa angka
10000 terdapat pada daun-daun pepohonan;
2) sebelah . . .
-12-
2) sebelah kanan bawah gambar utama yang mengisi angka
nominal ”10000” berupa tulisan “BI”;
l) miniteks yaitu teks dengan ukuran kecil yang dapat dibaca tanpa
bantuan kaca pembesar terdapat:
1) di atas dan bawah tanda air berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang berbentuk garis melengkung
dengan ukuran teks yang berbeda;
2) pada sebelah kanan di atas tulisan “BANKINDONESIA”
dan di bawah angka nominal ”10000” berupa tulisan
“BANKINDONESIA” yang membentuk lingkaran.
c. Bahan
kertas uang memiliki spesifikasi sebagai berikut:
1. terbuat dari serat kapas;
2. ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
3. warna ungu muda;
4. tidak memendar di bawah sinar ultra violet;
5. tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud
Badaruddin II dan electrotype berupa logo BI dan ornamen daerah
Palembang;
6. benang pengaman yang tertanam di dalam kertas uang yang memuat
tulisan ”BI10000” berulang-ulang dan akan memendar berwarna
merah di bawah sinar ultra violet.
Pasal II
Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia
ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
Pasal . . .
-13-
Pasal III
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2010
GUBERNUR BANK INDONESIA,
DARMIN NASUTION
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 159
DPU
| <reg_type> PBI </reg_type>
<reg_id> 12/26/PBI/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 7/40/PBI/2005 TENTANG PENGELUARAN DAN PENGEDARAN UANG KERTAS RUPIAH PECAHAN 10.000 (SEPULUH RIBU) TAHUN EMISI 2005 </reg_title>
<set_date> 30 Desember 2010 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2010 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 2010 </issued_date>
<changed_reg> '7/40/PBI/2005' </changed_reg>
<related_reg> '6/UU/2009', '23/UU/1999', '6/14/PBI/2004', '2/PERPPU/2008', '9/10/PBI/2007' </related_reg>
|
MENTERIKEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 79/PMK.010/2011
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA
PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menjaga kesehatan keuangan Badan
Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil,
untuk menjamin pemenuhan hak-hak peserta, dan menyesuaikan
dengan perkembangan instrumen investasi yang semakin
bervariasi serta untuk lebih mengoptimalkan hasil pengelolaan
dan pengembangan kekayaan Badan Penyelenggara Progtam
Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil, perlu dilakukan
penyempuraan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
491/KMK.06/2004 tentang Penyelenggaraan Progtam dan
Pengelolaan Kekayaan Tabungan Hari Tua oleh PT Taspen
(Persero) sebagaimana telah diubah dengah Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 219/PMK.010/2008;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan
Hari Tua Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang.Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890):
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha.
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467),
Teatanam Pemeantah Nomo
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran
beberapa kali diubah terakhir dengan Poraturan Pemerintah
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
LKINDONESA
Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4954);
Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Indonesia Nomor 3200):
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai
Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 38);
6. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010,
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN
KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN
HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan
1. Badan Penyelenggara adalah PT Taspen (Persero) sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahum 1981
tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero).
2. Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil adalah program
tabungan hari tua bagi pegawai negeri sipil sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981
tentang Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil
3. Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil adalah
program tabungan hari tua bagi pegawai Badan Usaha Milik
Negara (BUMN), pegawai Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan
pegawai Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
4. Kekayaan Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang
diperhitungkan dalam tingkat solvabilitas.
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
-3 -
5. Bank adalah bank umum sebagaimana dimnaksud dalam undang-
undang mengenai perbankan.
6. Menteri adalah Menteri Kenangan Republik Indonesia.
BAB II
KESEHATAN KBUANGAN
Bagian Pertama
Tingkat Solvabilitas
Pasal 2
(1) Badan Penyelenggara setiap saat wajib menjaga tingkat
solvabilitas.
(2) Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
selisih antara jumlah Kekayaan Yang Diperkenankan dan
kewajiban.
(3) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam perhitungan tingkat
soivabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kekayaan
yang memenuhi ketentuan tentang jenis, penilaian, dan batasan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(4) Kewajiban dalam perhitungan tingkat solvabilitas sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah kewajilban Badan Penyelenggaa
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 3
Tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
paling sedikit sebesar 19 (satu per seratus) dari jumlah kewajiban
manfaat polis masa depan.
Bagian Kedua
Perimbangan Kekayaan Dengan Kewajiban
Pasal 4
Badan Penyelenggata wajib memiliki Kekayaan Yang Diperkenankan
dalam bentuk investasi yang memenuhi ketentuan mengenai jenis,
penilaian, dan pembatasan kekayaan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini paling sedikit sebesar jumlah
kewajiban manfaat polis masa depan dan utang klaim.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
BAB II
KEKAYAAN YANG DIPERKENANKAN
Pasal 5
(1) Jenis Kekayaan Yang Diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) terdiri atas kekayaan dalam bentuk
a. investasis, dan
bukan investasi.
(2) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi dan bukan
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
a. dikuasai oleh Badan Penyelenggara,
b. tidak dalam sengketa; dan
c. tidak diblokir oleh pihak yang berwenang.
Bagian Pertama
Dalam Bentuk Investasi
Pasal 6
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. deposito pada Bank;
b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia,
c. obligasi yang paling kurang memiliki peringkat yang termasuk
dalam kategori 2 (dua) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
d. sukuk yang paling kurang memiliki peringkat yang termasuk
dalam kategori 2 (dua) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
e. Surat Berharga Negara;
f. surat berharga yang, diterbitkan oleh Bank Indonesia;
8. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
yang telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
h. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia;
End of Page 4
REPUBLIK INDONESIA
-5-
i. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi
kolektif dan telah mendapat pernyataan efektif dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
unit penyertaan dana investasi real estat yang telah mendapat
pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan; dan/atau
k. penyertaan langsung.
Pasal7
Penilaian atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah sebagai berikut
a. deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal;
b. saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia,
berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan informasi harga
perdagangan terakhir di bursa efek;
e oieian suauk berdasarkan malat pasar waarya
oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah memperoleh iz.
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
a Sunt Bethanga Negama, berdasarkan ntal Pasd
ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telaht
memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang
telah diakui secara internasional;
e. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, berdasarkan
nilai pasar;
unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif,
berdasarkan nilai aktiva bersih,
8, unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif
yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia, berdasarkan nilai pasar,
efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi
kolektif, berdasarkan nilai pasar;
dan
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 8
(1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 adalah sebagai
berikut:
a. investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling tinggi 20%
(dua puluh per seratus) dari jumlah investasi;
b. investasi berupa saham yang emitennya adalah badan hukum
Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing paling tinggi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan
seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per seratuis) dari
jumlah investasi;
c. investasi berupa obligasi, untuk setiap emiten masing-masing
paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi,
dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah investasi;
d. investasi berupa sukuk, untuk setiap emiten masing-masing
paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi,
dan seluruhnya paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah investasi;
e. investasi berupa unit penyertaan reksa dana, untuk setiap
manajer investasi masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh
per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi
50% (lima puluh per seratus) darijumlah investasi;
f. investasi berupa efek beragun aset, untuk setiap manajer
investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per
seratus) dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 20%
(dua puluh per seratus) darijumlah investasi;
g, investasi berupa unit penyertaan dana investasi real estat,
untuk setiap manajer investasi masing-masing paling tinggi
10% (sepuluh per seratus) dari jumlah investasi, dan
selurulnya paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari
jumlah investasi; dan
h. investasi berupa penyertaan langsung, untuk setiap penerbit
masing-masing paling tinggi 2% (dua per seratus) dari jumlah
investasi, dan seluruhnya paling tinggi 5% (lima per seratus)
darijumlah investasi.
(3) Jumlah investasi dalam bentuk obligasi dan sukuk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf d seluruhnya paling
tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah investasi.
End of Page 6
REPUBLIK INDONESIA
-7-
(3) Dalam hal terjadi pelampauan batasan penempatan investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakibatkan fluktuasi
harga instrumen investasi di pasar modal dan pasar uang, Badan
Penyelenggara harus menyesuaikan penempatan investasi
dimaksud sesuai dengan ketentuan batasan penempatan investasi
dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 9
(1) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi pada satu pihak wajib memenuhi ketentuan pembatasan
investasi yaitu paling tinggi 25% (dua puluh lima per seratus) dari
jumlah investasi, kecuali penempatan pada Surat Berharga Negara
dan surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pihak
yang baik sendinri-sendiri maupun secara bersama-sama
mempunyai hubungan afiliasi dan/atau hubungan hukum lainnya
yaitu
a. hubungan karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua termasuk horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau
komisaris dari pihak tersebut; dan/atau
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih dimana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris
yang sama.
G) Babasan penmmpalan atas Kekayaan Tans
sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dikecualikan dalam hal
hubungan afiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi
karena kepemilikan atau penyertaan modal pemerintah.
Pasal 10
Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar pethitungan batasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 adalah nilai seluruh
jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 per tanggal neraca
yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7.
Pasal 11
(1) Badan Penyelenggara dapat menunjuk satu atau lebih pihak lain
yans Hdak terafiliasi untuk melakukan pengelolaan Kekayaan
Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi.
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-8 -
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang pengelolaan investasi, serta
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai pasar modal.
(3) Pengelolaan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
mwestast dleh pihak tain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
ini.
(4) Badan Penyelenggara tetap bertanggung jawab terhadap
pengelolaan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi yang dilakukan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
Bagian Kedua
Kekayaan Yang Diperkenankan
Dalam Bentuk Bukan Investasi
Pasal 12
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b terdiri dari
kas dan banks;
b. piutang iuran untuk Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri
Sipil;
plutang turan atas kewaiban masa lalu (past sertice lisbility) untuk
Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil;
d. piutang investasi yang umurnya tidak lebih dari 1 (satu) bulan
dihitung sejak tanggal transaksi divestasi;
e. piutang hasil investasi yang umurnya tidak lebih dari 1 (satu)
bulan dihitung sejak tanggal hasil investasi menjadi hak Badan
Penyelenggara, dan/atau
tanah, bangunan dengan hak strata (stratn title), dan tanah dengan
bangunan yang dipakai sendiri, yang jumlah seluruhnya paling
tinggi 30% (tiga puluh per seratus) dari modal sendiri (ekuitas)
periode berjalan.
Pasal 13
Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 adalah sebagai
berikut:
a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;
b. piutang iuran untuk program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri
Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan,
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
9-
c.. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past seruice liability) untuk
nilai sisa tagihan,
d. piutang investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan;
e. piutang hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan; dan
bangunan yang, dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang ditetapkan
oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang berwenang
atau berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal tidak
dilakukan penilaian oleh lembaga penilai.
Pasal 14
Nilai sisa tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c
adalah nilai sisa tagihan sebagaimana disetujui oleh Menteri.
BAB IV
KEWAJIBAN
Pasal 15
Kewajiban Badan Penyelenggara terdiri dari :
a. kewajiban manfaat polis masa depan;
b. utang klaim, dan
c kewajiban lainnya.
Pasal 16
Badan Penyelenggara wajib membentuk kewajiban manfaat polis masa
depan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a untuk Program
Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil dengan menggunakan
metode dan asumsi yang disetujui oleh Menteri.
BAB V
PENGUMUMAN DAN PELAPORAN
Pasal 17
(1) Badan Penyelenggara wajib menyusun laporan keuangan non-
konsolidasi yang tidak memperhitungkan kekayaan dan kewajiban
untuk program pensiun pegawai negeri sipil.
(2) Laporan keuangan non-konsolidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia.
End of Page 9
MENTERI KEUANGAN
-10-
Pasal 18
(1) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Menteri
. laporan keuangan triwulanan per 31 Maret, 30 Juni, 30
September, dan 31 Desember, paling lama 1 (satu) bulan setelah
berakhimya triwulanan yang bersangkutan;
b. laporan keuangan tahunan per 31 Desember yang dilampiri
dengan laporan auditor independen, paling lambat tanggal 30
April tahun berikutnya,
c. laporan operasional triwulanan per 31 Maret, 30 Juni, 30
September, dan 31 Desember, paling, lama 1 (satu) bulan setelah
berakhirnya triwulanan yang bersangkutan; dan
4. laporan operasional tahunan per 31 Desember, paling lambat
tanggal 30 April tahun berikutnya.
(2) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
Pasal 19
(1) Badan Penyelenggara waiib mengumumkan neraca, perhitungan
laba rugi, tingkat solvabilitas, perimbangan kekayaan dengan
kewajiban, dan informasilainnya, untuk periode yang berakhir per
3 Deambe pala2 (dua) surat kabar harian al
memiliki peredaran nasional paling lambat tanggal 30 April tahun
berikutnya.
(2) Neraca dan perhitungan laba rugji sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bagian dari laporan keuangan yang telah
diaudit oleh auditor independen.
(3) Bulcti pengumuman scbagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri paling lambat 2 (dua) minggu setelah
dilakukannya pengumuman dimaksud.
Sana aaa
dengan Peraturan . Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
Pasal 20
Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) adalah
hari libur, batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
setelah batas waktu teralchir dimaksud.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
BAB VI
LARANGAN
Pasal 21
(1) Badan Penyelenggara dilarang memiliki dan/atati menempatkan
kekayaannya pada
a. instrumen derivatif, kecuali untuk keperluan lindung nilai
dan/atau instrumen turunan surat berharga yang diperoleh
sebagai bagian yang melekat pada suatu surat berharga:
b. instrumen perdagangan berjangka, baik untuk perdagangan
komoditi maupun perdagangan valuta asing:
c. kekayaan di luarnegeri;
d. perusahaan yang sebagian atatt seluruh sahamnya dinuiliki oleh
direksi, komisaris, atau pejabat negara selaku pribadi;
dan/atau
e. perusahaan yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh
keluarga sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun
sebagaimana dimaksud pada huruf d.
(2) Badan Penyelenggara dilarang melakukan penempatan baru dalam
bentuk investasi yang menyebabkan jumlah investasi melebihi
batasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal9.
Pasal 22
Direksi dan komisaris Badan Penyelenggara, atau setiap orang yang
mempunyai kewenangan dalam pengelolaan kekayaan Badan
Penyelenggara dilarang melakukan tindakan yang mengakibatkan
Badari Penyelenggara menjual, memindahtangankan, menyewakan,
memberikan pinjaman, menyediakan jasa, fasilitas, atau barang,
mengalihkan atau mengijinkan, penggunaan kekayaan Badan
Penyelenggara selain untuk kepentingan Badan Penyelenggara,
kepada
a. direksi atau komisaris dari Badan Penyelenggara
b. pihak yang menyediakan jasa pengelolaan investasi kepada Badan
Penyelenggara,
c. direksi, komisaris, atau pemegang saham mayoritas dari pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf b
d. keluarga, sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun garis
ke samping, termasuk menantu, ipar dari pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf c, dan/atau
e. pihak lain yang dikendalikan oleh pihak sebagaimana dimaksud
pada huruf b.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
- 12 -
BAB VIL
SANKSI
Pasal 23
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 4, Pasal 9 ayat
(1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (i), Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),
Menteri Keuangan ini, dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
(1) Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang
telah diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara sebelum
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, dapat tetap
diselenggarakan dengan tidak menambah peserta baru, paling
lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini
ditetapkan.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berakhir, Badan Penyetenggata harus mengalihkan seluruh
portofolio pertanggungan progtam Tabungan Hari Tua Bukan
Pegawai Negeri Sipil kepada perusahaan asuransi lain.
(S) Pengalihan seluruh portofolio pertanggungan Program Tabungan
Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil oleh Badan Penyelenggara
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan oleh
Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak
diterimanya dokumen permohonan secara lengkap.
(5) Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(4), Badan Penyelenggara yang akan mengalihkan portofolio
pertanggungan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai
Negeri Sipil wajib terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis
kepada setiap pemegang polis.
(6) Badan Penyelenggara yang mengalihkan portofolio pertanggungan
mengumumkan pengalihan tersebut pada surat kabar harian
Indonesia yang berperedaran luas paling kurang selama 3 (tiga)
hari berturut-turut.
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
(7) Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan Progeam
Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil, Badan
Penyelenggara harus melaporkan kepada Menteri hasi
pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan dimaksud,
Pasal 25
(1) Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan
Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan
kepada perusahaan asuransi lain, selain jenis Kekayaan Yang
Dineiaa aaaaa a a
memperhitungkan Kekayaan Yang Diperkenankan bukan investasi
yang bersumber dari Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai
Negeri Sipil yaitu
a. plutang iuran untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan
Pegawai Negeri Sipil; dan,
b pichng iaran abs kewaiban masa lalt s
untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri
Sipil.
(2) Penilaian atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai
berikut
a. piutang iuran untuk Progtam Tabungan Hari Tua Bukan
Pegawai Negeri Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan;
o. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (past seroice linbilit)
untuk Progeam Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri
Sipil, berdasarkan nilai sisa tagihan.
(3) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi
untuk perhitungan tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah kekayaan yang memenuhi batasan sebagai
berikut:
a. piutang iuran untuk Progeam Tabungan Hari Tua Bukan
Pegawai Negeri Sipil, umumya tidak lebih dari 2 (dua) bulan
dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran;
b. piutang iuran atas kewajiban masa lalu (pnst seroice tisbility)
untuk Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri
Sipil, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan dihitung sejak
tanggal jatuh tempo pembayaran.
End of Page 13
REPUBLIK INDONESIA
-14-
Pasal 26
(1) Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan
Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan
kepada perusahaan asuransi lain, Badan Penyelenggara harus
mmembentuk kewajiban manfaat polis masa depan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf a untuk Program Tabungan Hari
Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil.
(2) Kewajiban manfaat polis masa depan sebagaimana dimaksud pada
ayat (T) dihitung, secara prospektif dengan tingkat bunga aktuaria
yang tidak melebihi 10% (sepuluh per seratis) per tahun dan
asumsi-asumsi aktuaria lain yang wajar, dengan
memperhitungkan seluruh penerimaan dan pengeluaran di masa
depan sesuai ketentuan polis.
Pasal 27
(1) Dalam hol terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan
kepada perusahaan asuransi lain, Badan Penyelenggara harus
keanan nokonsolidasi cehpian
dimaksud dalam Pasal 17 yang dapat .menunjukkan posisi
keuangan gabungan Progeam Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri
Sipil dan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil
(2) Laporan keuangan non-konsolidasi sebagaimana dimaksud pada
ayat () juga hamus dapat menunjukkan posisi keuangan untuk
masing-masing Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipi
dan Program Tabungan Hari Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 28
Dalam hal terdapat portofolio pertanggungan Program Tabungan Hari
Tua Bukan Pegawai Negeri Sipil yang belum dialihkan kepada
perusahaan asuransi lain, direksi dan komisaris Badan Penyelenggara,
atau setiap orang yang mempunyai kewenangan dolam pengelolaar
kekayaan Badan Penyelenggara, selain dilarang melakukan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, juga dilarang meakukan
tindakan yang mengakibatkan Badan Penyelenggara menjual,
memindahtangankan, menyewakan, memberikan pinjaman,
menyediakan jasa, fasilitas, atau barang, mengalihkan, atau
mengizinkan penggunaan kekayaan Badan Penyelenggara selain untuk
kepentingan Badan Penyelenggara, kepada
a. pihak yang memiliki paling kurang 50% (lima puluhi per seratus)
saham yang memiliki hak suara dari perusahaan yang
mempekerjakan peserta bukan pegawai negeri sipil;
End of Page 14
REPUBLIK INDONESIA
-15-
keluarga, sampal derajat kedua menurut garis lurus maupun garis
ke samping dari direksi, atau komisaris dari perusahaan yang
mempekerjakan peserta bukan pegawai negeri sipil, atau setiap
orang yang sebagaimana dimaksud pada huruf a, dan pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b.
Pasal 29
(i1) Penempatan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi oleh Badan Penyelenggara yang telah dilakukan sebelum
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib disesuaikan
paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal ditetapkaninya Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(2) Badan Penyelenggara wajib menyampaikan kepada Menteri
rencana penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 3 (tiga) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 30
(1) Pengukuran tingkat solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 diterapkan mulai tahun buku yang berakhir pada tanggal
31 Desember 2010.
(2) Laporan dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (2) dan pengumuman dengan menggunakan
format sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), diterapkan
mulai tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2010
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 491/KMK.06/2004 tentang
Penyelenggaraan Program dan Pengelolaan Kekayaan Tabungan Hari
Tua oleh PT Taspen (Persero) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.010/2008, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
End of Page 15
MENTER KEUANGAN
16
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2011
MENTBRI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 219
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UML
ul.b.
Pih. KEPALA BAG/ASAU. KEMAERIAN
BIRO UMUM
ADELINA SIRA
End of Page 16
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id>
<reg_title> KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL </reg_title>
<set_date> 12 April 2011 </set_date>
<effective_date> 18 April 2011 </effective_date>
<issued_date> 18 April 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '219/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '491/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1974', '43/UU/1999', '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '25/PP/1981', '26/PP/1981', '56/P|KEPPRES/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
TENTANG
MENTERI KEUANGAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 11/PMK.010/2011
TENTANG
KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN
USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi
dengan prinsip syariah telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008;
b. bahwa dalam rangka menerapkan prinsip kehati-hatian serta
menjaga keseimbangan antara kekayaan dan kewajiban dalam
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud pade huruf a, perlu diatur
ketentuan mengenai ukuran kesehatan keuangan bagi perusahaan
asuransi dan perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan
seluruh atau sebagian usahanya berdasarkan prinsip syariah,
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan
Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467):
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4954);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010,
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII
-2-
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008,
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan
Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KESEHATAN
KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI
DENGAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan
reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya dengan prinsip syariah.
Peserta adalah orang atau badan yang menjadi peserta program
asuransi dengan prinsip syariah atau Perusahaan yang menjadi
peserta program reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Akad Tabarnt' adalah akad hibah dalam bentuk pemberian dana
dari satu Peserta kepada Dana Tabarru' untuk tujuan tolong
menolong di antara para Peserta, yang tidak bersifat dan bukan
untuk tujuan komersial.
4. Dana Tabarra' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi
para Peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan
Akad Tabarru' yang disepakati.
5. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari
kontribusi Peserta pada produk asuransi jiwa yang mengandung
unsur investasi, yang dikelola Perusahaan sesuai dengan akad
investasi yang telah disepakati.
6. Dana Perusahaan adalah dana yang berasal dari pemegang saham
dan/atau kekayaan perusahaan yang digunakan untuk melakukan
kegiatan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip
syariah.
7. Kontribusi Neto adalah selisih lebih kontribusi dari Peserta yang
dialokasikan untuk Dana Tabarru' ditambah kontribusi reasuransi
diterima dengan kontribusi reasuransi keluar.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II
REPUBLIK INDONESIA
-3
. Kekayaan Yang Diperkenankan adalah kekayaan yang
diperhitungkan dalam Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru'.
9. Tingkat Solvabilitas Dana Taharru' adalah selisih antara jumlal
Kekayaan Yang Diperkenankan dari Dana Tabami dikurangi
dengan kewajiban dari pengelolaan Dana Tabarru
0. Bank adalah bank umum syariah dan/atau unit usaha syariah
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perbankan syariah.
11. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai usaha perasuransian.
2. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah mendapatkan
persetujuan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
untuk bertindak sebagai kustodian.
13. Surat Berharga Syariah Negara adalah surat berharga syariah
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat
berharga syariah negara.
14. Dana Jaminan adalah bagian dari kekayaan Dana Perusahaan atau
bagian dari kekayaan Dana Tabarru' dan/atau bagian dari
kekayaan Dana Investasi Peserta yang dimaksudkan sebagai
jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan Peserta.
5.. Qardh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada Dana
Taharru' dalam rangka menanggulangi ketidakcukupan kekayaan
Dana Tabarru' untuk membayar santunan atau klaim kepada
Peserta.
6. Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh adalah bagian dari
kekayaan Dana Perusahaan yang disediakan untuk memberi Qarah
kepada Dana Tabarru'.
17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
RUANG LINGKUP KESEHATAN KEUANGAN
Pasal 2
(1) Perusahaan harus menjaga kesehatan keuangan yang terdiri dari:
a. kesehatan keuangan Dana Tabarru , dan
b. kesehatan keuangan Dana Perusahaan.
(2) Bagi perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk yang
mengandung unsur investasi, selain harus menjaga kesehatan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus
menjaga kesehatan keuangan Dana Investasi Peserta.
End of Page 3
MENTERIKEUAN DISTRIBUSI I
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
BAB III
KESEHATAN KEUANGAN DANA TABARRU'
Bagian Kesatu
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru
Pasal3
Perusahaan harus menjaga Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru' paling
rendah 30% (tiga puluh per seratus) dari dana yang diperlukan untuk
mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat
dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban.
Pasal 4
(1) Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 meliputi
a. kegagalan pengelolaan kekayaan
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan
kewajiban;
. ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban
dalam setiap jenis mata uang
d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim
yang diperkirakan;
e. ketidakeukupan kontribusi akibat perbedaan hasil investasi
yang diasumsikan dalam penetapan kontribusi dengan hasil
investasi yang diperoleh; dan/atau
Kketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi
kewajiban membayar klaim.
(2) Perusahaan wajib menghitung jumlah dana yang diperlukan untuk
menutup setiap risiko kerugian yang mungkin timbul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai perhitungan jumlah dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Bagian Kedua
Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Investasi
Pasal 5
(1) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi terdiri
dari:
a. deposito pada Bank;
b. saham syariah;
c. sukuk atau obligasi syariah;
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
d. Surat Berharga Syariah Negara;
e. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia;
3. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah
satu anggota atau pemegang sahamnya;
h. reksa dana syariah;
i. efek beragun aset syariah yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif efek beragun aset syariah,
pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain
dalam bentuk pembelian pembiayaan (refinancing) syariah;
dan/atatt
k. emas murni.
(2) Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditempatkan di
Juar negeri hanya dalam jenis
a. saham syariah;
b. sukuk;
. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain
Negara Republik Indonesia;
d. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah
satu anggota atau pemegang sahamnya; dan/atau
e. reksa dana syariah.
Pasal 6
Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) adalah sebagai berikut:
deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal;
. saham syariah, berdasarkan nilai pasar dengan menggunakan
informasi harga perdagangan terakhir di bursa efek;
. sukuk atau obligasi syariah, berdasarkan nilai pasar wajar yang
ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah
memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang telah diakui
secara internasional;
d. Surat Berharga Syariah Negara, berdasarkan nilai pasar wajar yang
ditetapkan oleh lembaga pemeringkat harga efek yang telah
memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atau lembaga pemeringkat harga efek yang telah diakui
secara internasional;
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
-6-
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
berdasarkan nilai pasar;
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh negara selain Negara
Repulblik Indonesia, berdasarkan nilai pasar;,
8. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
anggota atau pemegang sahamnya, berdasarkan nilai pasar,
h. reksa dana.syariah, berdasarkan nilai aktiva bersih;
efek beragun aset syariah yang diterbitkan berdasarkan kontrak
investasi kolektif efek beragun aset syariah yang telah mendapat
pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan, berdasarkan nilai pasar,
pembiayaan melalui mekanisme kerjasama dengan pihak lain
dalam bentuk pembelian pembiayaan (refimmcing) syariah,
berdasarkan nilai sisa pembiayaan setelah dikurangi penyisihan
untuk pembiayaan tak tertagih (Net Performing Lomm); dan
k. emas murni, berdasarkan nilai pasar.
Pasal 7
Ketentuan mengenai penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dapat diubah dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan hanya dalam rangka untuk mengantisipasi
ketidakwajaran pasar keuangan dan diberlakukan dalam jangka waktu
terbatas.
Pasal 8
() Penempatan atas Kekayaan Yang, Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa saham syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (4) huruf b di dalam negeri, harus memenuhi
ketentuan
a. diperdagangkan di bursa efek; dan
b. termasuk dalam daftar efek syariah yang diterbitkan olet
) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentul
investasi berupa sukuk atau obligasi syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e di dalam negeri, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut.
a. paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam
kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat efek yang telah memperoleh izin dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan
dijual melalui penawaran umum dan/atau diperdagangkan di
bursa efek di Indonesia.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
7-
) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa reksa dana syariah dan efek beragun aset syariah
yang diterbitkan berdasarkan kontrak investasi kolektif efek
beragun aset syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf h dan huruf i di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
telah mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan; dan
dilakukan melalui penawaran umum sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(4) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi berupa emas mumni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) huruf k di dalam negeri, harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. memenuhi persyaratan spesifikasi yang ditetapkan oleh bursa
komoditi yang telah memperoleh izin instansi yang
berwenang; dan
b. disimpan di kustodian yang memiliki kerjasama dengan bursa
komoditi sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 9
Pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut
a. merupakan perusahaan pembiayaan yang memperoleh izin dari
Badan Pengjwas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau Bank
yang memperoleh izin dari Bank Indonesia,
b. tidak sedang dikenai sanksi administratif berupa pembatasan
kegjatan usaha, atau pembekuan kegiatan usaha oleh Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau Bank
Indonesia pada saat dimulainya kerjasama;, dan
c. memenuhi ketentuan kesehatan keuangan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada saat dimulainya
kerjasama.
Pasal 10
(1) Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
berupa saham syariah dan/atau sukuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c yang diperdagangkan di
bursa efek di dalam negeri maupun di luar negeri dan emitennya
merupakan badan hukum asing, dikategorikan sebagai investasi di
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
REPUBIKINDANGAN DISTRIBUSIIT
REPUBLIK INDONESIA
-8 -
(2). Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
berupa sukuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf
c yang diterbitkan oleh badan hukum asing yang sebagian besar
sahamnya dimiliki oleh badan hukum Indonesia, dikategorikan
sebagai investasi di dalam negeri.
(3) Dalam hal Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
berupa saham syariah dan/atau sukuk sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c berdenominasi rupiah
yang diterbitkan oleh lembaga multinasional yang berkedudukan
di luar negeri dan Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
anggota atau pemegang sahamnya, dikategorikan sebagai investasi
di dalam negeri.
Pasal 11
(1) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa saham syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut.
termasuk dalam kategori saham syariah di tempat saham
tersebut dicatatkan
b. termasuk dalam kategori saham yang aktif diperdagangkan
pada bursa efek di tempat saham syariah tersebut dicatatkan
berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh bursa efek
dimaksud; dan
c. informasi mengenai emiten dan transaksi saham syariah
tersebut dapat diakses di Indonesia.
(2) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa sukuk, surat berharga syariah yang
diterbitkan olelt negara selain Negara Republik Indonesia, dan
surat berharga syariah yang diterbitkan oleh lembaga
multinasional yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu
anggota atau pemegang sahamnya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut
a. paling kurang memiliki peringkat yang termasuk dalam
kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat efek yang diakui secara internasional;
b. djual melalui penawaran umum dan/atau diperdagangkan di
bursa efek,; dan
. informasi mengenai transaksinya dapat diakses di Indonesia.
(3) Penempatan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi di luar negeri berupa reksa dana syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut.
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII
MENTERI KEUANGAN
9-
. diterbitkan oleh manajer investasi di luar negeri yang memiliki
hubungan afiliasi dengan manajer investasi di Indonesia yang
telah memperoleh izin dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan; dan
. dicatatkan di bursa efek di negara tempat manajer investasinya
berdomisili.
Pasal 12
(1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah sebagai
berikut:
a. investasi berupa deposito, untuk setiap Bank paling tinggi 20%
(dua puluh per seratus) dari jumlah investasi;
. investasi berupa saham syariah, untuk setiap emiten masing-
tasing paling tinggi 10% Isepuluh no.
investasi, dan seluruhnya paling tinggi 40% (empat puluh per
seratus) dari jumlah investasi;
investasi berupa sukuk atau obligasi syariah, untuk setiap
emiten masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi
40% (empat puluh per seratus) darijumlah investasi;
d. investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
negara selain Negara Republik Indonesia untuk setiap penerbit
masing.masing paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi;
e. investasi berupa surat berharga syariah yang diterbitkan oleh
Jembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia
ceniod sah satus angpota atau pemegang sananyay
setiap penerbit masing-masing paling tinggi 20% (dua puluh
per seratus) darijumlah investasi;
. investasi berupa reksa dana syariah untuk setiap manajer
investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh per
seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling tinggi
40% (empat puluh per seratus) darijumlah investasi;
manajer investasi masing-masing paling tinggi 10% (sepuluh
per seratus) dari jumlah investasi, dan seluruhnya paling
tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi;
h. investasi berupa pembiayaan melalui mekanisme kerjasama
dengan pihak lain dalam bentuk pembelian pembiayaan
(refinancing) syariah, untuk setiap pihak lain masing-masing
jumlahnya paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah
investasi, dan seluruhnya paling tinggi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi; dan
End of Page 9
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
10
investasi berupa emas murni, besarnya paling tinggi 20% (dua
per seratus) darijumlah investasi.
(2) Dalam hal investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
sampai dengan huruf f dilakukan pada instrumen syariah yang
diterbitkan di luar negeri, jumlah seluruh investasi pada instrumen
syariah yang diterbitkan di luar negeri paling tinggi 20% (dua
puluh per seratus) dari jumlah investasi.
batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah nilai seluruh
neraca yang penilaiannya didasarkan pada ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 13
(1) Penempatan atas investasi pada satu pihak paling tinggi 209 (dua
puluh per seratus) dari jumlah investasi, kecuali penempatan pada
Surat Berharga Syariah Negara dan surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(2) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pihak
yang baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama
mempunyai hubungan Afiliasi dan/atau hubungan hukum
lainnya yaitu
a. hubungan karena perkawinan dan keturunan sampai derajat
kedua termasuk horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara pihak dengan pegawai, direktur, atau
komisaris dari pihak tersebut;
hubungan antara 2 (dua) perusahaan atau lebih dimana
terdapat satu atau lebih anggota direksi atau dewan komisaris
yang sama; dan/atau
d. hubungan antara perusahaan dengan pemegang saham utama.
Bagian Ketiga
Kekayaan Yang Diperkenankan Dalam Bentuk Bukan Investasi
Pasal 14
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi terdiri
c. tagihan reasuransi;
d. tagihan investasi; dan/atau
e. tagihan hasil investasi.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUST II
MENTERI KEUANGAN
-11-
Pasal 15
Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 adalaht sebagai
berikut
a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;
b. tagihan kontribusi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur
tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak
1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran
kontribusi tunggal; atau
jatul tempo pembayaran kontribusi bagi polis dengan
pembayaran kontribusi cicilan;
c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur
tagihan paling lama 2 (dua) bulan dihitung sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran;
d. tagihan investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur
tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal jatuh
tempo pembayaran; dan
c. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan dengan umur
tagihan paling lama 1 (satu) bulan dihitung sejak tanggal hasil
investasi menjadi hak Perusahaan.
Bagian Keempat
Status Kekayaan Yang Diperkenankan
Pasal 16
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dan Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 harus
a. dikuasai oleh Perusahaan,
b. tidak dalam sengketa; dan
c. tidak diblokir oleh pihak yang berwenang.
Bagian Kelima
Kewajiban
Pasal 17
Kewajiban yang harus diperhitungkan dalam penetapan Tingkat
Solvabilitas Dana Tabarrt' meliputi semua kewajiban Dana Tabaru'
termasuk kewajiban dalam bentuk penyisihan teknis.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
12
Pasal 18
(1) Kewajiban dalam bentuk penyisihan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 meliputi
a. penyisihan kontribusi untuk produk produk yang berjangka
waktu lebih dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi
polisnya tidak dapat dinegosiasikan kembali pada setiap ulang
tahun polis,
b. penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan atau
hak untuk produk-produk yang berjangka waktu sampai
dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat dinegosiasikan
kembali pada setiap ulang tahun polis; dan
c. penyisihan klaim.
(2) Pembentukan penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a waib memperhitungkan seluruh penerimaan dan
pengeluaran yang dapat terjadi di masa yang akan datang dengan
menggunakan asumsi estimasi sentral ditambah dengan marjin
(3) Pembentukan penyisihan kontribusi yang belum menjadi
pendapatan atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib dihitung berdasarkan Kontribusi Neto sesuai dengan
proporsi jumlah hari sampai dengan polis berakhir (proporsional
harian).
(4) Pembentukan penyisihan kontribusi yang belum menjadi
pendapatan atau hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, untuk polis kumpulan yang tidak dapat diketahui rincian
berlakunya pertanggungan untuk setiap anggota kumpulan, dapat
dihitung berdasarkan Kontribusi Neto sesuai dengan proporsi
jumlah bulan sampai dengan polis berakhir (proporsional
(5) Penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
. klaim yang masih dalam proses penyelesaian, dihitung
berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim yang sudah terjadi
dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses penyelesaian,
berikut biaya jasa penilai kerugian asuransi, dikurangi dengan
beban klaim yang akan menjadi bagian reasuradur; dan
b. klaim yang sudahi terjadi telapi belum dilaporkan (Incurred But
Not Reported atau IBNR), dihitung berdasarkan estimasi yang
wajar atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan
dengan menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari
metode segitiga (triangie method), berikut biaya jasa penilai
kerugian asuransi, dikurangi dengan beban klaim yang akan
menjadi bagian reasuradur.
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
REPUBLIK INDONESIA
-13 -
(6) Penggunaan metode perhitungan penyisihan klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan (IBNR) sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf b wajib dilakukan secara konsisten.
(7) Pedoman mengenai pembentukan penyisihan kontribusi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan metode perhitungan
penyisihan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b
diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
Pasal 19
(1) Jumlah Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) ditambah Kekayaan
Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan investasi berupa kas
dan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a paling
kurang sebesar jumlah penyisihan teknis ditambah kewajiban
pembayaran klaim retensi sendiri.
klaim yang telah disepakati tetapi belum dibayar dikurangi dengan
beban klaim yang menjadi bagian dari reasuradur.
Bagian Keenam
Reasuransi
Pasal 20
(1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis
untuk setiap lini usaha asuransi yang dipasarkannya
@ Dikungan reasitransi otomatis sebagaima
ayat (1) wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan di
dalam negeri.
(3) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak diperoleh, dukungan reasuransi otomatis dapat
diperoleh dari reasuradur konvensional di dalam negeri
(4) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh,
dukungan reasuransi dapat diperoleh dari Perusahaan di luar
negeri yang memiliki reputasi baik.
(5) Dukungan reasuransi otomatis dari luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan
tidak memperoleh dukungan reasuransi otomatis dari seluruh
perusahaan reasuransi di dalam negeri.
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIIT
MENTERI KEUANGAN
BLIK INDONESA
(6) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) tidak diperoleh, dukungan reasuransi dapat
diperoleh dari reasuradur konvensional di luar negeri yang pada
saat penempatan paling kurang memiliki peringkat yang termasuk
dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga
pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang
paling rendah.
(8) Perusahaan wajib melampirkan dalam laporan program reasuransi
otomatis mengenai bukti tidak diperolehnya dukungan reasuransi
otomatis dan bukti peringkat reasuradur di luar negeri.
Pasal 21
(1) Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal
. tidak ada reasuradur yang bersedia memberikan dukungan
reasuransi olomatis karena karakteristik risiko yang khusus
dari lini usaha asuransi;
b. Perusabaan akan memulai memasarkan lini usaha asuransi
yang baru,
Perusahaan memasarkan produk asuransi hanya untuk
memenuhi permintaan peserta atas paket kepesertaan yang
komprehensif dan tidak memasarkannya secara tersendiri;
atau
d. zisiko yang dikelola tidak melebihi kapasitas retensi sendiri.
(2) Perusahaan wajib melampirkan bukti penyebab tidak diperoleh
atau tidak diperlukannya dukungan reasuransi otomatis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam laporan program
reasuransi otomatis.
Pasal 22
(1) Perusahaan wajib memperoleh dukungan reasuransi fakultatif
dalam hal Perusahaan tidak memiliki dukungan reasuransi
otomatis karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat
(1) huruf a, huruf b, dan huruf c, atau dukungan reasuransi
otomatis tidak mencukupi untuk risiko yang diterima oleh
Perusahaan,
(2) Dukungan reasuransi fakultatif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib diperoleh paling sedikit dari 2 (dua) Perusahaan di dalam
negeri.
End of Page 14
MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
15 -
(3) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh dari
Perusahaan, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari
reasuradur konvensional di dalam negeri.
(4) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif di dalam negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak diperoleh,
dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari Perusahaan di
dukungan reasuransi fakultatif dapat diy
Juar negeri yang memiliki reputasi baik.
(5) Dukungan reasuransi fakultatif dari luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan setelah Perusahaan
tidak memperoleh dukungan reasuransi fakultatif dari seluruh
perusahaan reasuransi di dalam negeri.
(6) Dalam hal dukungan reasuransi fakultatif dari luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperoleh dari
Perusahaan, dukungan reasuransi fakultatif dapat diperoleh dari
penempatan paling kurang memiliki peringkat yang termasuk
dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas dari perusahaan
pemeringkat yang diakui secara internasional.
(7) Dalam hal peringkat reasuradur di luar negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diterbitkan oleh lebih dari satu lembaga
pemeringkat, peringkat yang digunakan adalah peringkat yang
paling rendah.
Pasal 23
(1) Dalam hal dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (1) dan/atau dukungan reasuransi fakultatif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dinilai oleh Biro
Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan dapat membahayakan dan/atau memperburuk kondisi
kesehatan keuangan Perusahaan atau dapat menjadikan
Perusahaan tidak melaksanakan fungsi sebagai perusahaan
asuransi atau sebagai perusahaan reasuransi, Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat
memerintahkan Perusahaan untuk mengubah program dukungan
reasuransi yang dimilikinya agar lebih sesuai dengan kondisi
Perusahaan, berupa
a. perubahan reasuransi fakultatif menjadi reasuransi otomatis,
atau sebaliknya;
b. perubahan reasuransi nonproporsional menjadi reasuransi
proporsional, atau sebaliknya; dan/atau
c. perubahan lainnya.
End of Page 15
MENTERI KEUANGAN
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
- 16 -
(2) Perusahaan wajib melaksanakan perintah Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Bagian Ketujuh
Retensi Sendiri
Pasal 24
(1) Perusalaan wajib menetapkan retensi sendiri minimum dan
retensi sendiri maksimum untuk setiap risiko yang dikelolanya.
(2) Penetapan retensi sendiri minimum dan retensi sendiri maksimum
oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and loss profile)
Perusahaan dimaksud yang dibuat secara tertib, teratur, relevan,
dan akurat.
(3) Dalam hal Perusahaan akan memulai memasarkan lini usaha
asuransi yang baru dan belum memiliki profil risiko dan kerugian
(risk and loss profile), penetapan retensi sendiri minimum dan
retensi sendiri maksimum harus menggunakan profil risiko dan
kerugian (risk and loss profile) pihak lain yang dibuat secara tertib,
teratur, relevan, dan akurat.
1) Besar retensi sendiri untuk setiap risiko didasarkan pada
akumulasi surplus Dana Tabarra dan ckuitas Perusahaan.
5) Akumulasi surplus Dana Tabarru' sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) terdiri dari akumulasi surplus undertoriting yang tidak
dibagi, akumulasi hasil investasi Dana Tabarru' yang tidak dibagi,
dan perubahan nilai kekayaan yang belum direalisasika
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besar retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
BAB IV
KESEHATAN KEUANGAN DANA PERUSAHAAN
Bagian Kesatu
Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh
Pasal 25
(1) Perusahaan wajib menyediakan Kekayaan Yang Tersedia Untuk
Qardh dalam Dana Perusahaan.
(2) Kekayaan yang Tersedia untuk Qardh sebagaimana dimaksud pada
ayal (4) paling rendah sebesar 70% (tujuh puluh per seratus) dari
dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang
End of Page 16
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
REPUBLK INDONESIA
-17-
mungkin timbul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
ditambah dengan sejumlah dana yang harus disediakan tntuil
mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari
kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya
manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-
kejadian lain yang merugikan.
(3) Perusahaan wajib menghitung jumlah dana yang harus disediakan
untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin timbul dari
kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya
manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya
kejadian-kejadian lain yang merugikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai perhitungan jumlah dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 26
Perusahaan wajib menambah Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dengan sejumlah
kekurangan dana yang dibutuhkan dalam rangka memenuhi
ketentuan
a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3; dan/atau
b jumal Kekajan Yang Diperkenankan dalan e
ditambah Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk bukan
tmesbas benupa kas dan bank, paling sedikit saa
penyisihan teknis ditambah kewajiban pembayaran klaim retensi
sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
Pasal 27
Kekayaan yang diperhitungkan sebagai Kekayaan Yang Tersedia
Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 terdiri dari
a. kas dan bank;
b. deposito pada Bank;
. saham syariah,
d. sukuk atau obligasi syariah;
Surat Berharga Syariah Negara;
f. surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
8. reksa dana syariah; dan/atau
h. emas murni.
End of Page 17
DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
PIBLK INDONESA
Pasal 28
Penilaian atas Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 berlaku ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15
huruf a.
Pasal 29
Penempatan Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h harus
memenuhi ketentuan Pasal 8.
Pasal 30
(1) Pembatasan atas Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut
a. saham syariah, paling tinggi 40% (empat puluh per seratus)
dari total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh;
. sukuk atau obligasi syariah, paling tinggi 40% (empat puluh
per seratus) dari total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh,
rcksa dana syariah, paling tinggi 40% (empat puluh per
seratus) dari fotal Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh; dan
g20 (dua puluh per serats da
total Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh.
2) Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh yang ditempatkan pada satu
pihak, paling tinggi 20% (dua puluh per seratus) dari total
Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh, kecuali penempatan pada
Surat Berharga Syariah. Negara dan surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
Bagian Kedua
Solvabilitas Dana Perusahaan
Pasal 31
(4) Perusahaan wajib menjaga solvabilitas Dana Perusahaan.
(2) Solvabilitas Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan selisih antara kekayaan dan kewajiban Perusahaan.
(3) Solvabilitas Dana Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit sebesar jumlah yang lebih besar di antara:
. Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 26; atau
End of Page 18
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI LI
MENTERI KEUANGAN
-19-
b. modal sendiri atau modal kerja yang dipersyaratkan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
(4) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri
dari modal disetor, agio saham, salde laba, cadangan umum,
cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga,
dan selisih penilaian aktiva tetap.
(5) Modal kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b terdiri
dari modal kerja, agio saham, saldo laba, cadangan umum,
cadangan tujuan, kenaikan atau penurunan nilai surat berharga,
dan selisih penilaian aktiva tetap.
BAB V
KESEHATAN KBUANGAN DANA INVESTASI PESERTA
Pasal 32
(1) Kekayaan Dana Investasi Peserta hanya dapat ditempatkan dalam
jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
(2) Kekayaan Dana Investasi Peserta hanya dapat ditempatkan dalam
kekayaan bukan investasi dalam jenis:
a. kas dan bank;
. tagihan investasi; dan/atau
tagihan hasil investasi.
Pasal 33
0) Penilaiam atas Kekayaan Dana Investasi Feselta S
dimaksud dalam Pasal 32 berlaku ketentuan Pasal 6 dan Pasal 15
huruf a, huruf d, dan huruf e.
(2) Penempatan kekayaan Dana Investasi Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 avat 1) berlab boo
sampai dengan Pasal 11.
( Dalanhalkekajaam Dana Investasi Peserta ditempata pa
pihak, Perusahaan wajib menjaga penempatan investasi dimaksud
tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari total Dana
Investasi Peserta, kecuali penempatan pada Surat Berharga Syariah
Negara dan surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia.
(4) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
-20 -
diterbitkan di luar negeri, Perusahaan wajib menjaga agar jumlah
seluruh investasi pada instrumen syariah yang diterbitkan di luar
negeri dimaksud tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari
jumlah Dana Investasi Peserta.
BAB VI
DANA JAMINAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Dana Jaminan
Pasal 34
(1) Perusahaan yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan
prinsip syariah wajib membentuk Dana Jaminan paling rendah
20% (dua puluh per seratus) dari modal sendiri minimum yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasutansian.
(2) Besar Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disesuaikan dengan perkembangan volume usaha Perusahaan
dengan ketentuan sebagai berikut
a. bagi perusahaan asuransi jiwa yang menyelenggarakan seluruh
usahanya dengan prinsip syariah, wajib membentuk Dana
Jaminan sebesar 5% (lima per seratus) dari penyisihan
kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a dan huruf b ditambah 2% (dua per seratus) dari
akumulasi Dana Investasi Peserta; atau
. bagi perusahaan asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi
yang menyelenggarakan seluruh usahanya dengan prinsip
syariah, wajib membentuk Dana Jaminan sebesar 19 (satu per
seratus) dari Kontribusi Neto dan 0,25% (nol koma dua puluh
Jima per seratus) dari kontribusi reasuransi keluar.
(3). Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) lebih besar daripada jumlah Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di
dalam Dana Perusahaan dan dapat diperhitungkan sebagai
Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh.
(4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada jumlah Dana
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan
tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Tabarru' dan Dana Investasi
Peserta untuk perusahaan asuransi jiwa atau di dalam Dana
Tabarnt untuk perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan
reasuransi.
End of Page 20
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 35
(1) Perusahaan yang menyelenggarakan sebagian usahanya dengan
prinsip syariah atau disebut unit syariah wajib membentuk Dana
Jaminan paling rendah 20% (dua puluh per seratus) dari modal
kerja minimum yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian.
2) Besar Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disesuaikan dengan perkembangan volume usaha unit syariali
dengan ketentuan sebagai berikut:
a. bagi unit syariah perusahaan asuransi jiwa wajib membentuk
kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a dan huruf b ditambah 2% (dua per seratus) dari
akumulasi Dana Investasi Peserta; atau
b. bagi unit syariah perusahaan asuransi kerugian atau
perusahaan reasuransi wajib membentuk Dana Jaminan sebesar
19 (satu per seratus) dari Kontribusi Neto dan 0,25% (nol koma
dua puluh lima per seratus) dari kontribusi reasuransi keluar.
(3) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat () lebih besar daripada jumlah Dana jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan tersebut wajib dibentuk di
dalam Dana Perusahaan dan dapat diperhitungkan sebagai
Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh.
(4) Dalam hal jumlah Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sama dengan atau lebih kecil daripada jumlah Dana
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Jaminan
tersebut wajib dibentuk di dalam Dana Tabarru' dan Dana Investasi
Peserta untuk unit syariah dari perusahaan asuransi jiwa atau di
dalam Dana Tabarnd untuk unit syariah dari perusahaan asuransi
kerugian dan perusahaan reasuransi.
(5) Dana Jaminan unit syariah wajib dipisahkan dari Dana Jaminan
yang, dibentuk perusahaan untuk usaha asuransi atau reasuransi
yang tidak dengan prinsip syariah.
Pasal 36
(1) Jumlah penyisihan kontribusi, akumulasi Dana Investasi Peserta,
Kontribusi Neto, dan kontribusi reasuransi keluar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 35 ayat (2) diperoleh
dari laporan keuangan per 31 Desember yang telah diaudit oleh
auditor independen.
End of Page 21
MENTERI KEUANGAN
EDI IEHI KEDANGAN DISTRIBUSII
-22
(2) Dalam hal Dana Jaminan kurang dari jumlah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), atau Pasal 35 ayat
(1) dan ayat (2), Perusahaan wajib menambah dana jaminan yang
dimilikinya paling lama 5 (ima) hari kerja setelah tanggal 30 April
tahun berjalan.
(3) Dalam hal Dana Jaminan yang telah dimiliki lebih besar dari
jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2)
atau Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Perusahaan dapat mengurangi
Dana Jaminan yang dimiliki setelah terlebih dakulu mendapat
persetujuan dari Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
(4) Dana Jaminan sebagaimana dinaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35
wajib ditempatkan dalam bentuk:
. deposito dengan perpanjangan otomatis pada Bank yang bukan
afiliasi dari Perusahaan; dan/atau
b. Surat Berharga Syariah Negara yang pada saat penempatan
sebagai Dana Jaminan memiliki sisa jangka waktu sampai
dengan jatuh tempo paling singkat 1 (satu) tahun.
Bagian Kedua
Penatausahaan Dana Jaminan
Pasal 37
(1) Perusahaan wajib menatausahakan seluruh Dana Jaminan pada
Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan Afiliasi dari Perusahaan, kecuali hubungan Afiliasi
terscbut terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal
Pemerintah.
Pasal 38
(1) Penatausabaan Dana Jaminan oleh Bank Kustodian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 wajib didasarkan pada perjanjan antara
Perusahaan dan Bank Kustodian.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (i) wajib paling
kurang memuat
. pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan kepada
Bank Kustodian untuk mencairkan, memindahkan, atau
menyerahkan Dana Jaminan setelah memperoleh persetujuan
dari Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan;
End of Page 22
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
- 23
. kewajiban Bank Kustodian untuk menempatkan dana yang
diperoleh dari pencairan Dana Jaminan dalam bentuk Surat
Berharga Syariaht Negara yang telah jatuh tempo ke dalam
bentuk deposito berjangka 1 (satu) bulan pada Bank, dalam hal
Perusahaan belum melakukan penggantian Dana Jaminan
yang telah jatuh tempo dimaksud;
c. ketentuan bahwa Bank Kustodian tidak dapat menjalankan
instruksi dari Perusahaan maupun pihak lain untuk
melakukan pencairan, pemindahan, dan penyerahan deposito
atau Surat Berharga Syariah Negara yang digunakan sebagai
kecua telah mendapat persetijuan Kepalabino
Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan; dan
d. ketentuan bahwa Bank Kustodian wajib menyampaikan
laporan bulanan Dana Jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan
kepada Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya.
(3) Laporan bulanan Dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d paling kurang memuat
a. nama Perusahaan pemilik Dana Jaminan;
b. jenis Dana Jaminan;
c. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito;
d. seri dari Surat Berharga Syariah Negara,
e. nilai nominal Dana Jaminan; dan
f. tanggaljatuh tempo.
(4) Dalam hal Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan berhalangan, Kepala Biro
Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan menunjuk 2 (dua) pejabat setingkat di bawah Kepala
Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan untuk menolak atau memberikan persetujuan atas
pencairan atau penggantian Dana Jaminan.
Bagian Ketiga
Perubahan Dana Jaminan
Pasal 39
(1) Pembentukan atau penambahan Dana Jaminan dapat dilakukan
dengan cara
penempatan baru deposito pada Bank dan/atau Sura
Berharga Syariah Negara sebagai Dana Jaminan,
b. penempatan deposito pada Bank yang semula bukan Dana
Jaminan menjadi Dana Jaminan; dan/atau
End of Page 23
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI IT
REPUBLIK INDONESIA
-24-
c. penempatan Surat Berharga Syariah Negara yang semula
bukan Dana Jaminan menjadi Dana Jaminan.
2) Perusahaan dapat melakukan penggantian Dana Jaminan dengan
cara sebagai berikut
a. dari deposito pada Bank menjadi Surat Berharga Syariah
Negara atau sebaliknya;
b. mengubah jangka waktu deposito pada Bank;
c. mengubah Bank tempat penempatan deposito; dan/atau
. menukarkan Surat Berharga Syariah Negara dengan Surat
Berharga Syariah Negara lainnya.
3) Dalam hal Perusahaan akan melakukan penggantian Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan wajib
menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan pengganti paling
sedikit sebesar nilai Dana Jaminan yang akan diganti.
(4) Dalam hal terdapat Dana Jaminan dalam bentuk Surat Berharga
Syariah Negara yang akan jatuh tempo, Perusahaan wajib
menempatkan terlebih dahulu Dana Jaminan baru paling sedikit
sebesar nilai Surat Berharga Syariah Negara yang akan jatuh tempo
dimaksud, paling lama 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh tempo.
BAB VII
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Penyusunan Laporan
Pasal 40
(1) Perusahaan wajib menyusun
laporan keuangan tahunan untuk periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember,
b. laporan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru,
laporan perhitungan solvabilitas Dana Perusahaan, dan laporan
Dana Investasi Peserta secara tahunan untuk periode 1 Januari
sampai dengan 31 Desember,
c. laporan perhitungan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru',
laporan perhitungan solvabilitas Dana Perusahaan, dan laporan
Dana Investasi Peserta secara triwulanan yang berakhir pada
tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember,
d. laporan program reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatar
tahun berjalan;, dan
e. laporan Dana Jaminan secara triwulanan yang berakhir pada
tanggal 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember.
End of Page 24
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
(2), Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huzuf a wajib disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi
keuangan yang berlaku umum di Indonesia.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
wajib diaudit oleh auditor independen.
4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) huruf e paling
kurang memuat
a. nama Bank Kustodian
Jenis Dana Jaminan,
c. nomor bilyet dan Bank penerbit untuk deposito;
d. seri dari Surat Berharga Syariah Negara;
e. nilai Dana Jaminan; dan
f. tanggaljatuh tempo.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d
diatur dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
Pasal 41
Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang
menyelenggarakan sebagian usahanya dengan prinsip syariah wajib
menyusun laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) huruf a secara terpisah dari laporan keuangan tahunan
untuk usaha asuransi atau usaha reasuransi yang tidak berdasarkan
prinsip syariah.
Pasal 42
Setiap kekayaan dan kewajiban dalam satuan mata uang asing, di
dalam laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 wajib disajikan
dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai kurs tengah yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia pada tanggal neraca.
Bagian Kedua
Pengumuman Laporan
Pasal 43
(1) Perusahaan wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a dan huruf b pada mebsit.
Perusahaan paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
(2) Perusahaan wajib mengumumkan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c pada tuebsile Perusahaan paling
lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya masing-masing triwulan.
End of Page 25
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII
REPUBLIK INDONESIA
-26-
(3), Jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib dilakukan sampai dengan terbitnya laporan
tahunan atau laporan triwulanan berikutnya.
Pasal 44
Dalam hal terdapat bagian yang perlu dikoreksi dalam laporan yang
telah diumumkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan
ayat (2), Perusahaan wajib mengoreksi laporan tersebut dan
mengumumkan kembali pada toebsite Perusahaan.
Pasal 45
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (I) huruf a
dan huruf b yang telah diaudit wajib diumumkan pada surat kabar
harian di Indonesia yang memiliki peredaran nasional paling
lambat tanggal 30 April tahun berikutnya.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan kepada Kepala Biro Perasuransian Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lambat tanggal 30
April.
(3) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur maka batas akhir
penyampaian bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah hari kerja pertama setelah tanggal 30 April
dimaksud.
(4) Ketentuan mengenai bentuk serta susunan pengumuman laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Bagian Ketiga
Penyampaian Laporan
Pasal 46
(1) Perusahaan wajib menyampaikan kepada Menteri
Japoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a
dan huruf b, paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya;
. laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf c,
paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang
bersangkutan: dan
c. laporan program reasuransi otomatis (treaty) untuk kegiatan
tahun berjalan, paling lambat tanggal 15 Januari.
End of Page 26
MENTERIKERN DISTRIBUSI II
REPUBLIK INDONESIA
- 27-
(2), Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian. laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hari libur, batas akhit
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama setelah batas
waktu terakhir dimaksud.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b
wajib dilengkapi dengan pernyataan dewan pengawas syariah
bahwa pengelolaan kekayaan dan kewajiban telah dilakukan
sesuai dengan prinsip syariah.
BAB VIII
RENCANA PENYEHATAN KEUANGAN
Pasal 47
Perusahaan wajib menyusun rencana penyehatan keuangan apabila
mengalami kondisi sebagai berikut
a. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarrut memenuhi ketentuan
scbagaimana dimaksud dalam Pasal 3, namun Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaeksud dalam Pasal 25 ayat (4) dan/atati solvas
Perusahaan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 31 ayat (3):
b. Tingkat Solvabilitas Dana Tabarru' tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, namun Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh, apabila dialihkan ke Dana Traban, cukup
untuk memenuhi ketentuan Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnd,
atau
Tingkat Solvabilitas Dana Tabarnt tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh, apabila dialihkan ke Dana Tabarnt', tidak
cukup untuk memenuhi ketentuan Tingkat Solvabilitas Dana
Tabarru'.
Pasal 48
Penyusunan rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 wajib dikuti dengan langkah penyehatan keuangan
sebagai berikut:
a. Dalam hal Perusahaan mengalami kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf b, Perusahaan wajib menambahkan seluruh
surplus underuriting ke dalam Dana Taburrut.
b. Dalam hal Perusahaan mengalami kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47 huruf c, Perusahaan wajib:
1) menambahkan seluruh surplus underioriting ke dalam Dana
Tabarnd,;
End of Page 27
MENTERI KEUANGAN
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII
28
2) menghentikan pemasaran seluruh produknya;, dan
3) menambah modal disetor atau modal kerja.
Pasal 49
(1) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 47 ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri paling lama
1 (satu) bulan sejak kondisi keuangan Perusahaan memenuhi
kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1).
(2) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
() ping kurang memuat langkah-langkah penvebatanusn
disertai dengan jangka waktu tertentu yang dibutuhkan untuk
memenuhi ketentuan solvabilitas.
(3) Langkah-langkah penyehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), paling kurang memuat rencana sebagai berikut.
a. rencana peningkatan tarif kontribusi;
b. rencana restrukturisasi kekayaan dan/ atau kewajiban,
c. rencana penambahan modal disetor atau modal kerja
d. rencana pemberian pinjaman Qardh oleh pemegang saham;
e. rencana pengalihan sebagian atau seluruh kepesertaan;
dan/ atau
. rencana melakukan penggabungan badan usaha atau unit
usaha.
(4) Jangka waktu rencana penyehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus disesuaikan dengan kondisi
permasalahan yang dihadapi oleh Perusahaan, namun tidak
melebihijangka waktu perbaikan yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Perusahaan wajib melaksanakan rencana penyehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktut sebagaimana telah
ditetapkan dalam rencana penyehatan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat rencana penambahan modal disetor atati
modal kerja, harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum
pemegang saham.
(7) Rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus ditandatangani oleh seluruh direksi, komisaris, dan
dewan pengawas syariah.
(8) Dalam hal rencana penyehatan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinilai Menteri tidak cukup untuk mengatasi
permasalahan, Perusahaan wajib melakukan perbaikan atas
rencana penyehatan keuangan tersebut.
End of Page 28
MIENTERI KEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
29 -
(9). Perusahaan wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana
penyehatan keuangan setiap bulan, paling lambat setiap tanggal 15
bulan berikutnya.
(10) Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (9) adalah
hari libur, batas akhir penyampaian laporan pelaksanaan rencana
penyehatan adalah hari kerja pertama setelah tanggal 15 tersebut.
BAB IX
LARANGAN
Pasal 50
(1) Perusahaan dilarang membayar dividen kepada pemegang saham
apabila mengakibatkan
Perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk menyediakan
Kekayaan Yang Tersedia Untuk Qardh; dan/ atau
. berkurangnya jumlah modal atau jumlah modal kerja disetor di
bawah ketentuan yang dipersyaratkan.
(2) Perusahaan dilarang melakukan segala bentuk pengalihan
kekayaan Dana Tabavt dan Dana Investasi Peserta kepada
Perusahaan dan/atau pihak lain tanpa. terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari Menteri kecuali dalam rangka
pemenuhan kewajiban kepada Peserta.
(3) Perusahaan dilarang menjaminkan kekayaan Dana Tabarru' dan
Dana Investasi Peserta kepada pihak lain.
BAB X
SANKSI
Pasal 51
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4 ayat (2), 18 ayat (2),
Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (6), Pasal 20 ayat (1), Pasal 20
0
ayat (I), Pasal 31 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (5),
Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36 ayat (2), Pasal 36 ayat (4), Pasal 37
ayat (1), Pasal 38 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 39 ayat (3),
Pasal 39 ayat (4), Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (2), Pasal 40
ayat (3), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45 ayat (1),
Pasal 45 ayat (2), Pasal 46 ayat (I), Pasal 46 ayat (3), Pasal 47,
Pasal 48, Pasal 49 ayat (1), Pasal 49 ayat (5), Pasal 49 ayat (8), Pasal
49 ayat (9), Pasal 50, dan Pasal 52 Peraturan Menteri Keuangan ini
dikategorikan sebagai pelanggaran kesehatan keuangan,
penyampaian laporan, pengumuman neraca dan perhitungan laba
rugi dan dikenakan sanksi administratif.
End of Page 29
MENTERIKEUANGAN DISTRIBUSI II
MENTERI KEUANGAN
REPUOLIK INDONESIA
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan;
b. pembatasan/ pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
(3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan mengenai
sanksi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52
pemenuhan ketentuan mengenai Tingkat Soirabilas
Dana Tabarru' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut
a. paling lambat tanggal 31 Maret 2011, Tingkat Solvabilitas Dana
Tabarnt paling rendah 5% (lima per seratus) dari dana yang
diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan
dan/atau kewajiban,
b. paling lambat tanggal 31 Desember 2012, Tingkat Solvabilitas Dana
Tabarnut paling rendah 15% (lina belas per seratus) dari dana yang
diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan
dan/atau kewajiban; dan
c. paling lambat tanggal 31 Desember 2014, Tingkat Solvabilitas Dana
Tabarra paling rendah 30% (tiga puluh per seratus) dari dana yang
diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang mungkin
timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan
dan/atau kewajiban.
Pasal 53
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum berlakunya
Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib melakukan penyesuaian
terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling
lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan,
kecuali terhadap ketentuan mengenai kewajiban penetapan besar
penyisihan kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1)
huruf a, mulai diberlakukan untuk laporan keuangan tahunan yang
berakhir pada tanggal 31 Desember 2012.
End of Page 30
MENTERI KEUANGAN DISTRIBUSIII
-31 -
Pasal 54
Penyesuaian pemenuhan ketentuan mengenai Kekayaan Yang Tersedia
Untuk Qardh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2),
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut
a. paling lambat tanggal 31 Maret 2011, jumlah Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh paling rendah 25% (dua puluh lima per
seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan
sejumlah dana yang, harus disediakan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses
produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk
berkinerja baik, dan/atau adanya kejadian-kejadian lain yang
merugikan,
b. paling lambat tanggal 31 Desember 2012, jumlah Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh paling rendah 45% (empat puluh lima per
seratus) dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan
sejumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses
produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk
berkinerja baik, dan/ataut adanya kejadian-kejadian lain yang
merugikan; dan
c. paling lambat tanggal 31 Desember 2014, jumlah Kekayaan Yang
Tersedia Untuk Qardh paling rendah 70% (tujuh puluh per seratuis)
dari dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian
yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban, ditambah dengan
sejumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses
produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, sistem untuk
berkinerja baik, dan/atau adanya kejadian-kejadian lain yang
merugikan.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 55
Dengan ditetapkaninya Peraturan Menteri Keuangan ini, maka Pasal 6
ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (3), Pasal 19
ayat (4) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi beserta perubahannya dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
End of Page 31
MENTERI KEUANGAN
MAENTERA NEOANOANDISTRIBUSIIL
-32 -
Pasal 56
Peraturan Menteri Keuangan jni mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap ortang mengetahuinya, inemerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2011
MENTBRI KEUANGAN,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2011
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 17
Ssonan sesnoi boentgon alhere
KEPALA BIRO JRKURANR
u.b. 1
u.b.
KEPALA BAGTU, KEM
ALAB
GIARTO
NIP19590420098
End of Page 32
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id>
<reg_title> KESEHATAN KEUANGAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 12 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 12 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 12 Januari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 6 ayat (2), Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19 ayat (3), Pasal 19 ayat (4)' </replaced_reg>
<related_reg> '73/PP/1992', '81/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB X' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 152/PMK.010/2012
TENTANG
TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Bagi
Perusahaan Perasuransian;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4954);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA KELOLA
PERUSAHAAN YANG BAIK
BAGI
PERASURANSIAN.
PERUSAHAAN
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan
perasuransian sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai usaha perasuransian.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
kerugian atau perusahaan asuransi jiwa sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian.
3. Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan
asuransi kerugian sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
4. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi
jiwa sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian.
5. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan yang
memberikan jasa dalam penanggungan ulang terhadap
risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian.
6. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah perusahaan
penunjang usaha asuransi sebagaimana dimaksud dalam
perundang-undangan di bidang perasuransian.
7. Agen Asuransi adalah agen asuransi sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian
8. Tata Kelola Perusahaan Yang Baik adalah struktur dan
proses yang digunakan dan diterapkan organ Perusahaan
Perasuransian untuk meningkatkan pencapaian sasaran
hasil usaha dan mengoptimalkan nilai perusahaan bagi
seluruh pemangku kepentingan khususnya pemegang
polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat, secara akuntabel dan berlandaskan
peraturan perundang-undangan serta nilai-nilai etika.
9. Organ Perusahaan Perasuransian adalah rapat umum
pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris termasuk
dewan pengawas syariah bagi Perusahaan Perasuransian
yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau
yang setara dengan rapat umum pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
10. Pemangku Kepentingan adalah pihak yang memiliki
kepentingan terhadap Perusahaan Perasuransian, baik
langsung maupun tidak langsung, antara lain pemegang
saham, direksi, dewan komisaris, dewan pengawas syariah,
karyawan, pemegang polis, tertanggung, peserta, pihak
yang berhak memperoleh manfaat, kreditur, penyedia jasa,
dan/atau pemerintah.
11. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disingkat
RUPS, adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan
terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas atau yang setara dengan
RUPS bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk
badan hukum koperasi atau usaha bersama.
12. Direksi adalah bagian dari Organ Perusahaan
Perasuransian yang melakukan fungsi pengurusan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perseroan terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum koperasi atau usaha bersama.
13. Dewan Komisaris adalah bagian dari Organ Perusahaan
Perasuransian yang melakukan fungsi pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
perseroan terbatas bagi Perusahaan Perasuransian yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Dewan Komisaris bagi Perusahaan
Perasuransian yang berbentuk badan hukum koperasi atau
usaha bersama.
14. Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang melakukan fungsi pengawasan untuk menyuarakan
kepentingan pemegang polis.
15. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari Organ
Perusahaan Perasuransian yang melakukan fungsi
pengawasan atas penyelenggaraan usaha asuransi dan
usaha reasuransi agar sesuai dengan prinsip syariah.
16. Afiliasi adalah afiliasi sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai usaha perasuransian.
17. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
18. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
19. Kepala Biro adalah Kepala Biro Perasuransian,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Pasal 2
Prinsip Tata Kelola Perusahaan Yang Baik meliputi:
a. keterbukaan (transparency), yaitu keterbukaan dalam
proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan
mengenai perusahaan, yang mudah diakses oleh Pemangku
Kepentingan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian serta standar, prinsip,
dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian
yang sehat;
b. akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi dan
pelaksanaan pertanggungjawaban Organ Perusahaan
Perasuransian sehingga kinerja perusahaan dapat berjalan
secara transparan, wajar, efektif, dan efisien;
c. pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian
pengelolaan Perusahaan Perasuransian dengan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian dan nilai-
nilai etika
serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat;
d. kemandirian (independency), yaitu keadaan Perusahaan
Perasuransian yang dikelola secara mandiri dan profesional
serta bebas dari benturan kepentingan dan pengaruh atau
tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian
dan nilai-nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; dan
e. kesetaraan dan kewajaran (fairness), yaitu kesetaraan,
keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak-hak
Pemangku Kepentingan yang timbul berdasarkan
perjanjian, peraturan perundang-undangan, dan nilai-nilai
etika serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan
usaha perasuransian yang sehat.
Pasal 3
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bertujuan untuk:
a. mengoptimalkan nilai Perusahaan Perasuransian bagi
Pemangku Kepentingan khususnya pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat;
b. meningkatkan pengelolaan Perusahaan Perasuransian
secara profesional, transparan, efektif, dan efisien;
c. meningkatkan kepatuhan
Organ Perusahaan
Perasuransian agar dalam membuat keputusan dan
menjalankan tindakan dilandasi pada etika yang tinggi,
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang perasuransian, dan kesadaran atas tanggung jawab
sosial Perusahaan Perasuransian terhadap Pemangku
Kepentingan maupun kelestarian lingkungan;
d. mewujudkan Perusahaan Perasuransian yang lebih sehat,
dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif; dan
e. meningkatkan kontribusi Perusahaan Perasuransian dalam
perekonomian nasional.
BAB II
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 4
Perusahaan Perasuransian setiap saat wajib menerapkan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik berdasarkan Peraturan
Menteri ini.
BAB III
RUPS
Pasal 5
(1) RUPS Perusahaan Perasuransian wajib diselenggarakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan
standar operasional prosedur Perusahaan Perasuransian
yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Dalam mengambil keputusan, RUPS wajib berupaya
menjaga keseimbangan kepentingan semua pihak,
khususnya kepentingan pemegang saham minoritas,
kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat.
BAB IV
DIREKSI
Pasal 6
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
memiliki anggota Direksi paling sedikit 3 (tiga) orang.
(2) Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Direksi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha
perusahaan.
(3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib memiliki
anggota Direksi paling sedikit 2 (dua) orang.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
(4) Seluruh anggota Direksi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
harus memiliki pengetahuan sesuai dengan bidang usaha
perusahaan yang relevan dengan jabatannya.
Pasal 7
Direksi
Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili
di Indonesia.
Pasal 8
Direksi
Perusahaan
Perasuransian
wajib
menjamin
pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta
dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk
melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis.
Pasal 9
Direksi wajib:
a. mematuhi peraturan perundang-undangan, anggaran
dasar, dan standar operasional prosedur Perusahaan
Perasuransian dalam melaksanakan tugasnya;
b. mengelola Perusahaan Perasuransian sesuai dengan
kewenangan dan tanggung jawabnya;
c. mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada
pemegang saham melalui RUPS;
d. berupaya memastikan agar Perusahaan Perasuransian
memperhatikan kepentingan semua pihak, khususnya
kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
e. memastikan agar informasi mengenai Perusahaan
Perasuransian diberikan kepada Dewan Komisaris dan
Dewan Pengawas Syariah secara tepat waktu dan lengkap;
dan
f. membantu memenuhi kebutuhan Dewan Pengawas Syariah
dalam menggunakan anggota komite investasi, karyawan
perusahaan, dan tenaga ahli profesional yang struktur
organisasinya berada di bawah Direksi.
Pasal 10
(1) Direksi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
wajib membentuk komite investasi.
(2) Anggota komite investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit terdiri atas:
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
a. anggota Direksi yang bertanggung jawab pada bidang
pengelolaan investasi; dan
b. aktuaris perusahaan bagi Perusahaan Asuransi Jiwa
atau tenaga ahli perusahaan bagi Perusahaan Asuransi
Kerugian dan Perusahaan Reasuransi.
(3) Komite investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas membantu Direksi dalam merumuskan kebijakan
investasi dan memantau pelaksanaan kebijakan investasi
yang telah ditetapkan.
Pasal 11
Anggota Direksi Perusahaan Perasuransian dilarang merangkap
jabatan pada perusahaan lain kecuali sebagai anggota Dewan
Komisaris pada 1 (satu) Perusahaan Perasuransian lain.
Pasal 12
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Direksi yang berasal dari pegawai atau pejabat aktif
lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat mantan
pegawai atau pejabat lembaga pembina dan pengawas
usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan menjadi anggota Direksi apabila yang
bersangkutan berhenti bekerja dari lembaga tersebut
kurang dari 1 (satu) tahun.
Pasal 13
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang
mengangkat anggota Direksi yang pernah menjadi anggota
direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan
pengawas syariah dari suatu:
a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
(2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dilarang
mengangkat anggota Direksi yang pernah menjadi anggota
direksi, anggota dewan komisaris, atau anggota dewan
pengawas syariah dari suatu:
a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
Pasal 14
Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Direksi yang belum dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan
kepatutan oleh lembaga pembina dan pengawas usaha
perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Pasal 15
(1) Direksi wajib menyelenggarakan rapat Direksi secara
berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
(2) Hasil rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dituangkan dalam risalah rapat Direksi dan
didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam rapat Direksi wajib dicantumkan secara jelas dalam
risalah rapat Direksi disertai alasan perbedaan
pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota Direksi yang hadir maupun yang tidak hadir dalam
rapat Direksi berhak menerima salinan risalah
rapat Direksi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
(5) Jumlah rapat Direksi yang telah diselenggarakan dan
jumlah kehadiran masing-masing anggota Direksi harus
dimuat dalam
laporan hasil
Pasal 16
(1) Anggota Direksi wajib mengungkapkan mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per
seratus) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat dan/atau
pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan
di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Direksi lain, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pemegang saham
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat;
kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat serta dan pengawas usaha
perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disampaikan dalam bentuk laporan baik
pada awal menjabat maupun setiap terjadi perubahan.
Pasal 17
Anggota Direksi dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat untuk
kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain yang
dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat;
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Direksi
dimaksud menjabat selain remunerasi dan fasilitas yang
ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS; dan
d. memenuhi permintaan pemegang saham yang terkait
dengan kegiatan operasional Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Direksi dimaksud menjabat selain yang
telah ditetapkan dalam RUPS.
(self assessment) atas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik.
penilaian sendiri
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
BAB V
DEWAN KOMISARIS
Pasal 18
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
memiliki anggota Dewan Komisaris paling sedikit
3 (tiga) orang.
(2) Paling sedikit 1 (satu) orang dari jumlah anggota Dewan
Komisaris Perusahaan Asuransi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) di atas merupakan Komisaris Independen.
(3) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi wajib memiliki
anggota Dewan Komisaris paling sedikit 2 (dua) orang.
(4) Seluruh anggota Dewan Komisaris Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi harus memiliki pengetahuan sesuai dengan
bidang usaha perusahaan yang relevan dengan jabatannya.
(5) Pengangkatan Komisaris Independen Perusahaan Asuransi
dilakukan oleh RUPS dan harus dinyatakan secara jelas
dalam akta notaris yang memuat keputusan RUPS
mengenai pengangkatan tersebut.
Pasal 19
Paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Komisaris
Perusahaan Perasuransian wajib berdomisili di Indonesia.
Pasal 20
Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian wajib menjamin
pengambilan putusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat
bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan
yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan
tugasnya secara mandiri dan kritis.
Pasal 21
Dewan Komisaris wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian nasihat
kepada Direksi;
b. mengawasi Direksi dalam menjaga keseimbangan
kepentingan semua pihak, khususnya kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
c. memantau efektifitas penerapan Tata Kelola Perusahaan
Yang Baik pada Perusahaan Perasuransian; dan
d. membantu memenuhi kebutuhan Dewan Pengawas Syariah
dalam menggunakan anggota komite yang struktur
organisasinya berada di bawah Dewan Komisaris.
Pasal 22
Anggota Dewan Komisaris berhak memperoleh informasi dari
Direksi mengenai Perusahaan Perasuransian secara tepat
waktu dan lengkap.
Pasal 23
(1) Dalam rangka mendukung efektifitas pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib membentuk:
a. komite audit; dan
b. komite kebijakan risiko.
(2) Salah seorang anggota komite sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah anggota Dewan Komisaris yang sekaligus
berkedudukan sebagai ketua komite.
(3) Komite audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
bertugas membantu Dewan Komisaris dalam memantau
dan memastikan efektifitas sistem pengendalian internal
dan pelaksanaan tugas auditor internal dan auditor
eksternal dengan melakukan pemantauan dan evaluasi
atas perencanaan dan pelaksanaan audit dalam rangka
menilai kecukupan pengendalian internal termasuk proses
pelaporan keuangan.
(4) Komite kebijakan risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b bertugas membantu Dewan Komisaris
dalam memantau pelaksanaan manajemen risiko yang
disusun oleh Direksi serta menilai toleransi risiko yang
dapat diambil oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi.
(5) Selain komite sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan
Komisaris Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dapat mempertimbangkan untuk membentuk
komite lain guna menunjang pelaksanaan tugas Dewan
Komisaris yang terdiri atas:
a. komite nominasi dan remunerasi; dan/atau
b. komite kebijakan tata kelola perusahaan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
(6) Komite nominasi dan remunerasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) huruf a mempunyai tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
a. menyusun kriteria seleksi dan prosedur nominasi bagi
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota
Dewan Pengawas Syariah, dan para eksekutif lainnya di
dalam Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi yang bersangkutan;
b. membuat sistem penilaian dan memberikan
rekomendasi mengenai kebutuhan jumlah anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan anggota Dewan
Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan; dan
c. membantu menyusun sistem penggajian, pemberian
tunjangan, dan fasilitas lainnya serta memantau
pelaksanaannya.
(7) Komite kebijakan tata kelola perusahaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) huruf b bertugas membantu Dewan
Komisaris dalam mengkaji dan memantau penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik secara menyeluruh yang
disusun oleh Direksi serta menilai konsistensi
penerapannya.
Pasal 24
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan Perasuransian dilarang
merangkap jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada lebih
dari 1 (satu) perusahaan lain.
Pasal 25
(1) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang berasal dari pegawai atau pejabat
aktif lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat mantan
pegawai atau pejabat lembaga pembina dan pengawas
usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan menjadi anggota Dewan Komisaris
apabila yang bersangkutan berhenti bekerja dari lembaga
tersebut kurang dari 6 (enam) bulan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Pasal 26
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang
mengangkat anggota Dewan Komisaris yang pernah
menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau
anggota dewan pengawas syariah dari suatu:
a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap, dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
(2) Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dilarang
mengangkat anggota Dewan Komisaris yang pernah
menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau
anggota dewan pengawas syariah dari suatu:
a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
Pasal 27
Perusahaan Perasuransian dilarang mengangkat anggota
Dewan Komisaris yang belum dinyatakan lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan oleh lembaga pembina dan
pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
Pasal 28
(1) Dewan Komisaris wajib menyelenggarakan rapat Dewan
Komisaris paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah rapat Dewan
Komisaris dan didokumentasikan dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi dalam
rapat Dewan Komisaris, wajib dicantumkan secara jelas
dalam risalah rapat Dewan Komisaris disertai alasan
perbedaan pendapat (dissenting opinions) tersebut.
(4) Anggota Dewan Komisaris yang hadir maupun yang tidak
hadir dalam rapat Dewan Komisaris berhak menerima
salinan risalah rapat Dewan Komisaris.
(5) Jumlah rapat Dewan Komisaris yang telah diselenggarakan
dan jumlah kehadiran masing-masing anggota Dewan
Komisaris harus dimuat dalam laporan hasil penilaian
sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik.
Pasal 29
(1) Anggota Dewan Komisaris wajib mengungkapkan
mengenai:
a. kepemilikan sahamnya yang mencapai 5% (lima per
seratus) atau lebih pada Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
dan/atau pada perusahaan lain yang berkedudukan di
dalam dan di luar negeri; dan
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan
anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, anggota
Dewan Pengawas Syariah, dan/atau pemegang saham
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat;
kepada Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat serta lembaga pembina dan
pengawas usaha perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Kewajiban pengungkapan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan dalam bentuk laporan baik pada awal
menjabat maupun setiap terjadi perubahan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
Pasal 30
Anggota Dewan Komisaris dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Komisaris dimaksud menjabat
untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain
yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat; dan
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Komisaris dimaksud menjabat, selain remunerasi dan
fasilitas yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.
Pasal 31
Komisaris Independen Perusahaan Asuransi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 18 ayat (2) harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota Dewan
Pengawas Syariah, atau pemegang saham Perusahaan
Asuransi, dalam Perusahaan Asuransi yang sama;
b. tidak pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan
komisaris, anggota dewan pengawas syariah atau
menduduki jabatan 1 (satu) tingkat di bawah Direksi pada
Perusahaan Asuransi yang sama atau perusahaan lain
yang memiliki hubungan afiliasi dengan Perusahaan
Asuransi tersebut dalam kurun waktu 2 (dua) tahun
terakhir;
c. tidak pernah menjadi anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah dari
suatu:
1. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
2. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
3. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
4. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sebelum pengangkatan.
d. memahami peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain
yang relevan;
e. memiliki pengetahuan yang baik mengenai kondisi
keuangan Perusahaan Asuransi tempat Komisaris
Independen dimaksud menjabat;
f.
memiliki pengetahuan yang baik mengenai kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat; dan
g. berdomisili di Indonesia.
Pasal 32
(1) Dalam hal Komisaris Independen menilai terdapat
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan
atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib
mengusulkan penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselenggarakan guna membahas hasil penilaian
Komisaris Independen atas kebijakan atau tindakan
anggota Direksi yang merugikan atau berpotensi merugikan
kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat.
(3) Dalam hal anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia
menerima usul penyelenggaraan rapat Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisaris
Independen wajib melaporkan secara lengkap dan
komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan
kepada Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak
anggota Dewan Komisaris lainnya tidak bersedia menerima
usul penyelenggaraan rapat.
(4) Dalam hal hasil keputusan rapat Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menolak atau tidak
setuju dengan hasil penilaian Komisaris Independen atas
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang merugikan
atau berpotensi merugikan kepentingan pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat, Komisaris Independen wajib
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Kepala Biro dan
ditembuskan kepada
Direksi
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak hasil keputusan rapat
Dewan Komisaris yang menolak atau tidak setuju dengan
hasil penilaian Komisaris Independen.
Pasal 33
(1) Komisaris Independen wajib membuat laporan tahunan
mengenai
pelaksanaan tugasnya terkait dengan
perlindungan kepentingan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat,
baik menyangkut pelayanan maupun penyelesaian klaim,
termasuk laporan mengenai perselisihan yang sedang dalam
proses penyelesaian pada badan mediasi, badan arbitrase,
atau badan peradilan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh Komisaris Independen kepada Kepala Biro
paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya dan
ditembuskan kepada Direksi dan Dewan Komisaris.
(3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan dalam bentuk dokumen fisik (hard copy)
dan digital (soft copy).
BAB VI
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 34
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki Dewan
Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih
yang diangkat oleh RUPS atas rekomendasi
Majelis Ulama Indonesia.
(3) Pengangkatan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) harus dinyatakan secara jelas
dalam akta notaris.
Pasal 35
Dalam hal anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lebih dari 1 (satu) orang,
paling sedikit separuh dari jumlah anggota Dewan Pengawas
Syariah tersebut wajib berdomisili di Indonesia.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
Pasal 36
Dalam hal jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi lebih dari
1 (satu) orang, komposisi Dewan Pengawas Syariah wajib
menjamin pengambilan putusan yang efektif, tepat, dan cepat
serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai
kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk
melaksanakan tugasnya secara mandiri dan kritis.
Pasal 37
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib:
a. melaksanakan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat dan saran kepada Direksi agar kegiatan
perusahaan sesuai dengan prinsip syariah; dan
b. berupaya menjaga keseimbangan kepentingan semua
pihak, khususnya kepentingan pemegang polis, peserta,
dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat.
(2) Pelaksanaan tugas pengawasan dan pemberian nasihat dan
saran yang dilakukan Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan
terhadap:
a. kegiatan perusahaan dalam pengelolaan kekayaan dan
kewajiban, baik dana tabarru’, dana perusahaan
maupun dana investasi peserta;
b. produk asuransi syariah yang dipasarkan oleh
perusahaan;
c. praktik pemasaran produk asuransi syariah yang
dilakukan oleh perusahaan; dan
d. kegiatan operasional usaha asuransi dan reasuransi
syariah lainnya.
Pasal 38
(1) Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, Dewan Pengawas Syariah dapat menggunakan
bantuan dari:
a. anggota komite yang struktur organisasinya berada di
bawah Dewan Komisaris; dan/atau
b. anggota komite, karyawan, dan tenaga ahli profesional
perusahaan yang struktur organisasinya berada di
bawah Direksi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
(2) Penggunaan anggota komite, karyawan, dan tenaga ahli
profesional perusahaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), harus terlebih dahulu diberitahukan secara
tertulis oleh Dewan Pengawas Syariah kepada Direksi
dan/atau Dewan Komisaris.
Pasal 39
Anggota Dewan Pengawas Syariah berhak memperoleh
informasi dari Direksi mengenai Perusahaan Perasuransian
secara tepat waktu dan lengkap.
Pasal 40
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi dilarang merangkap sebagai
anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris pada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
sama.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi dilarang merangkap jabatan
sebagai anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau
anggota dewan pengawas syariah pada lebih dari 1 (satu)
perusahaan lain.
Pasal 41
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dilarang
mengangkat anggota Dewan Pengawas Syariah yang pernah
menjadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau
anggota dewan pengawas syariah dari suatu:
a. Perusahaan Perasuransian yang dikenakan sanksi
pembatasan kegiatan usaha dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum pengangkatan;
b. perusahaan di bidang jasa keuangan yang dicabut izin
usahanya karena melakukan pelanggaran dalam jangka
waktu 3 (tiga) tahun sebelum pengangkatan;
c. perusahaan di bidang jasa keuangan atau di bidang non
jasa keuangan yang dinyatakan pailit dan telah
berkekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan; dan/atau
d. perusahaan yang mengalami kerugian yang disebabkan
kesalahan atau kelalaiannya dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun sebelum pengangkatan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 20 -
Pasal 42
(1) Dalam hal anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari
1 (satu) orang, Dewan Pengawas Syariah wajib
menyelenggarakan rapat Dewan Pengawas Syariah secara
berkala paling sedikit 6 (enam) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil rapat Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dituangkan dalam risalah
rapat Dewan Pengawas Syariah dan didokumentasikan
dengan baik.
(3) Perbedaan pendapat (dissenting opinions) yang terjadi
dalam rapat Dewan Pengawas Syariah, wajib dicantumkan
secara jelas dalam risalah rapat Dewan Pengawas Syariah
disertai alasan perbedaan pendapat (dissenting opinions)
tersebut.
(4) Anggota Dewan Pengawas Syariah yang hadir maupun yang
tidak hadir dalam rapat Dewan Pengawas Syariah berhak
menerima salinan risalah rapat Dewan Pengawas Syariah.
(5) Jumlah rapat Dewan Pengawas Syariah yang telah
diselenggarakan dan jumlah kehadiran masing-masing
anggota Dewan Pengawas Syariah harus dimuat dalam
laporan hasil penilaian sendiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik.
Pasal 43
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah setiap saat wajib
memenuhi ketentuan
penilaian kemampuan
dan kepatutan.
(2) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi anggota Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 44
Anggota Dewan Pengawas Syariah dilarang:
a. melakukan transaksi yang mempunyai benturan
kepentingan dengan kegiatan Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud
menjabat;
b. memanfaatkan jabatannya pada Perusahaan Perasuransian
tempat anggota Dewan Pengawas Syariah dimaksud
menjabat untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau
pihak lain yang dapat merugikan atau mengurangi
keuntungan Perusahaan Perasuransian tempat anggota
Dewan Pengawas Syariah dimaksud menjabat; dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 21 -
c. mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari
Perusahaan Perasuransian tempat anggota Dewan
Pengawas Syariah dimaksud menjabat, selain remunerasi
dan fasilitas lainnya yang ditetapkan berdasarkan
keputusan RUPS.
Pasal 45
(1) Dalam hal Dewan Pengawas Syariah menilai terdapat
kebijakan atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai
dengan prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah wajib
meminta penjelasan kepada anggota Direksi atas kebijakan
atau tindakan anggota Direksi yang tidak sesuai dengan
prinsip syariah.
(2) Dalam hal penjelasan yang disampaikan anggota Direksi
menolak hasil penilaian Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas
Syariah
wajib melaporkan secara lengkap dan
komprehensif kepada Kepala Biro dan ditembuskan kepada
Direksi paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak penjelasan
anggota Direksi diterima oleh Dewan Pengawas Syariah.
(3) Dalam hal penjelasan anggota Direksi menerima hasil
penilaian Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Dewan Pengawas Syariah memerintahkan
kepada Direksi untuk melakukan perbaikan terhadap
kebijakan atau tindakan anggota Direksi tersebut agar
sesuai dengan prinsip syariah.
(4) Dalam hal anggota Direksi tidak melakukan perbaikan
terhadap kebijakan atau tindakan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), Dewan Pengawas Syariah wajib segera
melaporkan secara lengkap dan komprehensif kepada
Kepala Biro dan ditembuskan kepada Direksi paling lama
7 (tujuh) hari kerja sejak diketahui anggota Direksi tidak
melakukan upaya perbaikan dimaksud.
BAB VII
PEMEGANG SAHAM
Pasal 46
Pemegang saham Perusahaan Perasuransian melalui RUPS
berupaya memastikan Perusahaan Perasuransian dijalankan
berdasarkan praktik usaha perasuransian yang sehat dan
mendahulukan pemenuhan kewajiban yang terkait dengan
kepentingan pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
Pasal 47
(1) Pemegang saham dilarang mencampuri kegiatan
operasional Perusahaan Perasuransian yang menjadi
tanggung jawab Direksi sesuai dengan ketentuan anggaran
dasar Perusahaan Perasuransian dan peraturan
perundang-undangan, kecuali dalam rangka melaksanakan
hak dan kewajiban selaku RUPS.
(2) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian yang
menjabat sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, atau anggota Dewan Pengawas Syariah pada
Perusahaan Perasuransian yang sama wajib mendahulukan
hak Pemangku Kepentingan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar Perusahaan Perasuransian dan peraturan
perundang-undangan daripada kepentingannya sebagai
pemegang saham.
Pasal 48
(1) Pemegang saham Perusahaan Perasuransian harus
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. tidak terlibat sebagai pihak yang dilarang menjadi
pemegang saham perusahaan di bidang jasa keuangan
dan/atau pengurus perusahaan di bidang jasa
keuangan;
b. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati
dengan lembaga pembina dan pengawas perusahaan di
bidang jasa keuangan;
c. tidak sedang dalam pengenaan sanksi dari lembaga
pembina dan pengawas perusahaan di bidang jasa
keuangan;
d. tidak tercatat dalam daftar kredit macet;
e. memiliki sumber dana yang tidak berasal dari tindak
pidana kejahatan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai tindak pidana pencucian
uang;
f. memiliki komitmen terhadap pengembangan operasional
Perusahaan Perasuransian;
g. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan; dan
h. memiliki reputasi yang baik.
(2) Ketentuan mengenai kriteria pemegang saham
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi
Perusahaan Perasuransian yang melakukan perubahan
pemegang saham dan/atau Perusahaan Perasuransian
yang mengajukan permohonan izin usaha.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 23 -
BAB VIII
AUDITOR EKSTERNAL
Pasal 49
(1) Auditor eksternal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi wajib ditunjuk oleh RUPS dari 3 (tiga) calon
auditor eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris
berdasarkan usulan komite audit.
(2) Auditor eksternal Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi
wajib ditunjuk oleh RUPS dari 3 (tiga) calon auditor
eksternal yang diajukan oleh Dewan Komisaris.
(3) Pencalonan auditor eksternal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) wajib disertai:
a. alasan pencalonan dan besarnya honorarium atau imbal
jasa yang diusulkan untuk auditor eksternal tersebut;
dan
b. pernyataan kesanggupan yang ditandatangani oleh
auditor eksternal, untuk bebas dari pengaruh Direksi,
Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan pihak
yang berkepentingan di Perusahaan Perasuransian dan
kesediaan untuk memberikan informasi terkait dengan
hasil auditnya kepada Kepala Biro.
(4) Perusahaan Perasuransian wajib menyediakan semua
catatan akuntansi dan data penunjang yang diperlukan
bagi auditor eksternal sehingga memungkinkan auditor
eksternal memberikan pendapatnya tentang kewajaran,
ketaatasasan, dan kesesuaian laporan keuangan
Perusahaan Perasuransian dengan standar audit
yang berlaku.
BAB IX
TATA KELOLA INVESTASI
Pasal 50
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
menyusun kebijakan dan strategi investasi secara tertulis.
(2) Ketaatan terhadap kebijakan dan strategi investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi secara
berkala, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), paling sedikit memuat:
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 24 -
a. profil kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi;
b. kesesuaian antara durasi kekayaan dan durasi
kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
c. tujuan investasi;
d. sasaran tingkat hasil investasi yang diharapkan,
termasuk tolok ukur hasil investasi (yield’s benchmark)
yang digunakan;
e. dasar penilaian dan batasan kualitatif untuk setiap jenis
aset investasi;
f. batas maksimum alokasi investasi untuk setiap jenis
aset investasi;
g. batas maksimum proporsi kekayaan perusahaan yang
dapat ditempatkan pada satu pihak;
h. batas maksimum jumlah aset yang tidak ditempatkan
(idle assets) dalam bentuk investasi;
i. objek investasi yang dilarang untuk penempatan
investasi;
j. tingkat likuiditas minimum portofolio investasi
perusahaan untuk mendukung ketersediaan dana guna
pembayaran manfaat asuransi;
k. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan
pengelolaan investasi;
l. ketentuan mengenai penggunaan manajer investasi,
penasihat investasi, tenaga ahli, dan penyedia jasa lain
yang digunakan dalam pengelolaan investasi;
m. ketentuan penggunaan instrumen derivatif dan produk
keuangan terstruktur lainnya untuk tujuan lindung
nilai;
n. pembatasan wewenang transaksi investasi untuk setiap
level manajemen dan pertanggungjawabannya; dan
o. tindakan yang akan diterapkan kepada Direksi atas
pelanggaran kebijakan investasi.
(4) Kebijakan dan strategi investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib:
a. ditetapkan oleh Direksi;
b. disosialisasikan kepada pegawai yang terlibat dalam
pengelolaan investasi; dan
c. disampaikan kepada Kepala Biro paling lama 1 (satu)
bulan setelah ditetapkan oleh Direksi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 25 -
Pasal 51
(1) Direksi wajib menyusun rencana pengelolaan investasi
tahunan yang paling sedikit memuat:
a. rencana komposisi jenis investasi;
b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk setiap jenis
investasi; dan
c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi jenis
investasi.
(2) Rencana pengelolaan investasi tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus mencerminkan kebijakan
dan strategi investasi.
Pasal 52
Dalam mengelola investasi, Direksi Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi wajib melakukan:
a. analisis terhadap risiko investasi yang antara lain meliputi
risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko
operasional serta rencana penanggulangannya dalam hal
terjadi peningkatan risiko investasi; dan
b. kajian yang memadai dan terdokumentasi dalam
menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan
investasi.
Pasal 53
Direksi wajib mengambil keputusan investasi secara profesional
dan mengoptimalkan nilai Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi bagi Pemangku Kepentingan
khususnya pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
pihak yang berhak memperoleh manfaat.
Pasal 54
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
memiliki unit kerja atau pegawai yang melaksanakan fungsi
pengelolaan investasi yang memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. menyelenggarakan fungsi analisis dan melaksanakan,
mengawasi, dan melaporkan pengelolaan investasi;
b. memiliki dan menerapkan sistem dan prosedur
pengendalian internal untuk memastikan bahwa investasi
dilakukan sesuai dengan kebijakan dan strategi investasi
serta tidak melanggar peraturan perundang-undangan; dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 26 -
c. memiliki integritas dan keahlian serta pengalaman di
bidang investasi.
Pasal 55
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang
menempatkan investasi pada instrumen investasi pasar
modal wajib menatausahakan efek pada pihak yang tidak
memiliki hubungan Afiliasi dengan Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
memiliki investasi dalam bentuk saham yang
diperdagangkan di bursa efek harus memiliki akses
informasi yang memungkinkan secara langsung memonitor
mutasi portofolio investasinya.
(3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang
memiliki paling sedikit 50% (lima puluh per seratus) dari
portofolio investasi yang dikelolanya sendiri dalam bentuk
saham, surat utang korporasi, dan/atau sukuk korporasi,
wajib memiliki tenaga ahli bidang investasi yang telah lulus
ujian sebagai wakil manajer investasi yang diselenggarakan
oleh panitia standar profesi pasar modal.
Pasal 56
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dapat
mengalihdayakan pengelolaan investasinya kepada pihak
lain.
(2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. telah memiliki izin usaha sebagai perusahaan efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai manajer investasi
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan;
b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha atau pembekuan kegiatan
usaha oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan, pada saat perjanjian pengalihdayaan
pengelolaan investasi berlaku;
c. memenuhi ketentuan mengenai jenis, batasan, dan
penilaian investasi sebagaimana dimaksud dalam
peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan
keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi; dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 27 -
d. memiliki wakil manajer investasi yang berpengalaman
mengelola dana paling sedikit Rp500.000.000.000,00
(lima ratus miliar rupiah) pada saat penunjukan sebagai
pengelola investasi perusahaan.
(3) Wakil manajer investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d tidak sedang atau tidak pernah dikenakan
sanksi administratif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dalam 5 (lima) tahun terakhir.
(4) Dalam hal pihak lain yang ditunjuk untuk mengelola
investasi merupakan pihak yang terafiliasi dengan
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi, selain
wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, atau
anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi tersebut tidak sedang
menduduki jabatan sebagai anggota direksi, anggota dewan
komisaris, atau anggota dewan pengawas syariah pada
pihak lain dimaksud.
Pasal 57
(1) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) wajib
dituangkan dalam perjanjian tertulis dalam bentuk akta
notaris.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit wajib memuat ketentuan mengenai:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. jenis dan batasan instrumen investasi;
c. besarnya biaya yang dibebankan;
d. jenis dan laporan rutin atas pengelolaan investasi
dimaksud;
e. adanya hak perusahaan untuk mendapatkan informasi
dan dokumen lain yang terkait dengan pengelolaan
investasi dimaksud;
f. ganti kerugian dalam hal pihak lain melanggar
ketentuan kerjasama atau terjadi kelalaian pihak lain
yang mengakibatkan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi mengalami kerugian;
g. penatausahaan kekayaan yang dikelola pihak lain pada
kustodian yang tidak memiliki hubungan Afiliasi dengan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dengan pihak lain tersebut;
h. penyelesaian perselisihan dan pengakhiran perjanjian;
dan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 28 -
i. kesediaan para pihak untuk memberikan informasi
terkait dengan pengelolaan investasi Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi kepada Kepala
Biro.
Pasal 58
(1) Direksi wajib mengetahui portofolio penempatan investasi
yang dilakukan oleh pihak lain.
(2) Pengalihdayaan pengelolaan investasi kepada pihak lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) tidak
mengurangi tanggung jawab Direksi dalam pengelolaan
investasi.
BAB X
PENGENDALIAN INTERNAL
Pasal 59
(1) Direksi wajib menetapkan pengendalian internal yang
efektif dan efisien untuk memberikan keyakinan yang
memadai dalam rangka tercapainya tujuan Perusahaan
Perasuransian.
(2) Pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. lingkungan pengendalian internal dalam Perusahaan
Perasuransian yang disiplin dan terstruktur;
b. pengkajian dan pengelolaan risiko usaha, yaitu suatu
proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai,
dan mengelola risiko usaha;
c. aktivitas pengendalian, yaitu tindakan yang dilakukan
dalam suatu proses pengendalian terhadap kegiatan
perusahaan pada setiap tingkat dan unit dalam struktur
organisasi Perusahaan Perasuransian, antara lain
mengenai kewenangan, otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi,
penilaian atas prestasi kerja, pembagian tugas dan
keamanan terhadap aset perusahaan;
d. sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses
penyajian laporan mengenai kegiatan operasional,
finansial, dan ketaatan atas ketentuan dan peraturan
yang berlaku pada Perusahaan Perasuransian; dan
e. tata cara monitoring, yaitu proses penilaian terhadap
kualitas sistem pengendalian internal termasuk fungsi
internal audit pada setiap tingkat dan unit struktur
organisasi Perusahaan Perasuransian, sehingga dapat
dilaksanakan secara optimal, dengan ketentuan bahwa
penyimpangan yang terjadi dilaporkan kepada Direksi
dan tembusannya disampaikan kepada komite audit.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 29 -
BAB XI
RENCANA JANGKA PANJANG DAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN
Pasal 60
(1) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki rencana jangka
panjang (RJP) yang merupakan rencana strategis yang
memuat sasaran dan tujuan yang akan dicapai dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun.
(2) RJP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
memuat:
a. evaluasi pelaksanaan RJP periode sebelumnya;
b. posisi rencana strategis Perusahaan Perasuransian
per tahun;
c. asumsi yang dipakai dalam penyusunan RJP; dan
d. penetapan sasaran, strategi, kebijakan, dan program
kerja RJP beserta keterkaitan dengan setiap unsur
tersebut.
Pasal 61
(1) Direksi wajib menyiapkan rencana kerja dan anggaran
perusahaan (RKAP) sebagai penjabaran tahunan dari RJP.
(2) RKAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. rencana kerja yang terdiri atas misi, sasaran usaha,
strategi usaha, kebijakan, dan program kerja atau
kegiatan Perusahaan Perasuransian;
b. rencana anggaran yang terdiri atas pengalokasian
anggaran program kerja atau kegiatan Perusahaan
Perasuransian;
c. proyeksi keuangan Perusahaan Perasuransian dan anak
perusahaannya; dan
d. hal lain yang memerlukan keputusan RUPS.
BAB XII
KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 62
(1) Perusahaan Perasuransian wajib mengungkapkan kepada
Kepala Biro mengenai hal-hal penting, paling sedikit
meliputi:
a. tujuan, sasaran usaha dan strategi Perusahaan
Perasuransian;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 30 -
b. faktor risiko material yang dapat diantisipasi, termasuk
penilaian manajemen atas iklim berusaha dan faktor
risiko;
c. informasi
Perasuransian;
d. klaim material yang diajukan oleh dan/atau terhadap
Perusahaan Perasuransian;
e. perkara yang sedang dalam proses penyelesaian pada
badan mediasi, badan arbitrase, atau badan peradilan
yang melibatkan Perusahaan Perasuransian; dan
f. benturan kepentingan yang mungkin akan terjadi
dan/atau yang sedang berlangsung.
(2) Pengungkapan hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dimuat dalam bentuk laporan tersendiri dan
disampaikan bersamaan dengan penyampaian laporan
keuangan tahunan.
BAB XIII
LINGKUNGAN, KESEHATAN, DAN KESELAMATAN KERJA
Pasal 63
Direksi wajib berupaya memastikan bahwa aset dan lokasi
usaha serta fasilitas Perusahaan Perasuransian memenuhi
peraturan perundang-undangan di bidang pelestarian
lingkungan, kesehatan, dan keselamatan kerja.
BAB XIV
HUBUNGAN DENGAN PEMANGKU KEPENTINGAN
Pasal 64
(1) Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi, dan
perusahaan Agen Asuransi wajib melindungi kepentingan
pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang
berhak memperoleh manfaat, agar pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat tersebut dapat menerima haknya
sesuai polis asuransi.
(2) Dalam rangka melindungi hak dan kepentingan pemegang
polis, tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
perusahaan wajib melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Perusahaan Asuransi memenuhi kewajiban sesuai yang
diperjanjikan dengan pemegang polis, tertanggung,
peserta, dan/atau pihak yang berhak memperoleh
manfaat;
material mengenai Perusahaan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 31 -
b. Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi,
perusahaan Agen Asuransi mengevaluasi kebutuhan
pemegang polis, tertanggung, atau peserta;
c. Perusahaan Asuransi, perusahaan pialang asuransi,
perusahaan Agen Asuransi mengungkapkan informasi
yang material dan relevan bagi pemegang polis,
tertanggung, peserta, dan/atau pihak yang berhak
memperoleh manfaat; dan
d. Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Reasuransi,
perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang
reasuransi, dan perusahaan Agen Asuransi bertindak
dengan integritas, kompetensi, serta utmost good faith.
Pasal 65
Perusahaan Perasuransian wajib:
a. menghormati hak Pemangku Kepentingan; dan
b. melaksanakan kewajibannya yang timbul berdasarkan
peraturan perundangan-undangan dan/atau perjanjian
yang dibuat antara Perusahaan Perasuransian dengan
karyawan, pemegang polis, tertanggung, peserta, dan/atau
Pemangku Kepentingan lainnya.
BAB XV
HUBUNGAN PERUSAHAAN ASURANSI DENGAN AGEN ASURANSI
Pasal 66
(1) Perusahaan Asuransi wajib memiliki perjanjian keagenan
dengan Agen Asuransi yang memasarkan produk
asuransinya.
(2) Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui
Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bertanggung jawab penuh terhadap konsekuensi yang
timbul dari penutupan asuransi yang dilakukan oleh Agen
Asuransi yang bersangkutan.
(3) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan Agen
Asuransi yang tidak memiliki sertifikat keagenan dari
asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis.
(4) Perusahaan Asuransi dilarang mempekerjakan Agen
Asuransi yang masih terikat perjanjian keagenan dengan
Perusahaan Asuransi lain, kecuali Agen Asuransi yang
bersangkutan telah mengakhiri perjanjian keagenannya
paling sedikit 6 (enam) bulan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 32 -
(5) Prosedur dan tata cara mengakhiri perjanjian keagenan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh
asosiasi Perusahaan Asuransi sejenis setelah memperoleh
persetujuan dari Kepala Biro.
Pasal 67
Perusahaan Asuransi yang melakukan pemasaran melalui Agen
Asuransi wajib melakukan paling sedikit hal-hal sebagai
berikut:
a. memberikan pendidikan dan pelatihan yang
berkesinambungan kepada Agen Asuransi agar dapat
menjalankan profesi dengan kompetensi dan integritas
tinggi;
b. mewajibkan Agen Asuransi terlebih dahulu memiliki
sertifikat keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
ayat (3);
c. mencantumkan kode etik yang ditetapkan oleh asosiasi
Perusahaan Asuransi sejenis dalam kontrak keagenan; dan
d. mewajibkan Agen Asuransi untuk mematuhi kode etik atau
sejenisnya yang ditetapkan oleh asosiasi Perusahaan
Asuransi sejenis berikut sanksi yang dikenakan terhadap
setiap pelanggaran yang dilakukan oleh Agen Asuransi.
BAB XVI
ETIKA BERUSAHA
Pasal 68
(1) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan
karyawan Perusahaan Perasuransian dilarang menawarkan
atau memberikan sesuatu, baik langsung maupun tidak
langsung kepada pihak lain, untuk mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi
asuransi.
(2) Direksi, Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan
karyawan Perusahaan Perasuransian dilarang menerima
sesuatu untuk kepentingannya, baik langsung maupun
tidak langsung, dari siapapun, yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan yang terkait dengan transaksi
asuransi.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 33 -
Pasal 69
Perusahaan Perasuransian wajib membuat pedoman tentang
perilaku etis, yang memuat nilai etika berusaha sebagai
panduan bagi Organ Perusahaan Perasuransian dan seluruh
karyawan Perusahaan Perasuransian.
BAB XVII
DONASI
Pasal 70
(1) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi
untuk tujuan amal dalam batas kepatutan dan kewajaran
serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan
Perasuransian.
(2) Perusahaan Perasuransian dapat memberikan donasi
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
serta tidak mengganggu kesehatan keuangan Perusahaan
Perasuransian.
BAB XVIII
PENILAIAN SENDIRI (SELF ASSESSMENT)
Pasal 71
(1) Perusahaan Perasuransian wajib:
a. melakukan penilaian sendiri (self assessment) atas
penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik; dan
b. secara aktif mengungkapkan perkembangan penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik dan permasalahan
yang dihadapi.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dituangkan dalam bentuk laporan tahunan hasil penilaian
sendiri (self assessment) atas penerapan Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik dan dilaporkan kepada Kepala Biro
paling lambat tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
(3) Dalam hal tanggal 28 Februari sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) adalah hari libur maka batas akhir
penyampaian laporan hasil penilaian
(4) Laporan hasil penilaian sendiri
sendiri
(self assessment) adalah hari kerja pertama setelah tanggal
28 Februari dimaksud.
(self assessment)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan
dalam bentuk dokumen fisik (hard copy) dan digital
(soft copy).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 34 -
Pasal 72
(1) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dilakukan berdasarkan Pedoman Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dan checklist penilaian sendiri
(self assessment) yang berlaku di Indonesia.
(2) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dan
checklist penilaian sendiri (self assessment) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disusun oleh asosiasi Perusahan
Perasuransian di Indonesia bersama dengan lembaga
pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 73
(1) Penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 71 bagi Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi dilakukan berdasarkan Pedoman Tata Kelola
Perusahaan Yang Baik bagi Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi dan checklist penilaian sendiri (self assessment)
yang berlaku di Indonesia paling lambat tanggal 1 Januari
2014.
(2) Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik bagi
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi dan checklist
penilaian sendiri (self assessment) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disusun oleh asosiasi Perusahaan Penunjang
Usaha Asuransi di Indonesia bersama dengan lembaga
pembina dan pengawas usaha perasuransian Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB XIX
MONITORING DAN EVALUASI
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK
Pasal 74
(1) Lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
melakukan monitoring dan evaluasi terhadap laporan hasil
penilaian sendiri (self assessment) atas penerapan Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik yang disampaikan oleh
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 ayat (2).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 35 -
(2) Lembaga pembina dan pengawas usaha perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan evaluasi
terhadap laporan hasil penilaian sendiri (self assessment)
atas penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik yang
disampaikan oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2).
BAB XX
SANKSI
Pasal 75
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10
ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23
ayat (1), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30,
Pasal 32 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 33 ayat (1)
dan ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37
ayat (1), Pasal 40, Pasal 41, Pasal 42 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (4), Pasal 47, Pasal 49, Pasal 50 ayat (1)
dan ayat (4), Pasal 51 ayat (1), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54,
Pasal 55 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 56 ayat (2) dan ayat (4),
Pasal 57, Pasal 58 ayat (1), Pasal 59 ayat (1), Pasal 60
ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 62 ayat (1), Pasal 63,
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4),
Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4), dan Pasal 76 Peraturan Menteri ini dan peraturan
pelaksanaannya dikenakan sanksi administratif;
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. peringatan;
b. pembatasan kegiatan usaha; dan
c. pencabutan izin usaha.
(3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 36 -
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 76
Perusahaan Perasuransian yang telah memperoleh izin usaha
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini wajib melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini
paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini
diundangkan.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 77
Bagi Perusahaan Perasuransian yang berbentuk perseroan
terbuka, segala ketentuan dalam Peraturan Menteri ini berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan di bidang pasar modal.
Pasal 78
Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi agen asuransi
perorangan.
Pasal 79
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri ini:
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.06/2003
tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi;
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.06/2003
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.05/2007
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Direksi
dan Komisaris Perusahaan Perasuransian;
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 37 -
Pasal 80
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Oktober 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 980
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 152/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 3 Oktober 2012 </set_date>
<effective_date> 4 Oktober 2012 </effective_date>
<issued_date> 4 Oktober 2012 </issued_date>
<related_reg> '73/PP/1992', '81/PP/2008', '2/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XX' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 135/PMK,05/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN
ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka lebih menjamin stabilitas kondisi keuangan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi, maka pengaturan
mengenai kesehatan keuangan perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi perlu dilakukan penyempurnaan
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467)
. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3306) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999'Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3861);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSL.
PasalI
1. Mengubah Pasal 11 ayat (I) huruf d sehingga Pasal 11 seluruhnya
berbunyisebagai berikut
Pasal 11
(1) Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi terdiri
dari
a. deposito berjangka dan sertifikat deposito pada Bank,
termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu
kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan;
b. saham yang tercatat di bursa efek;
c. obligasi dan Medium Term Notes dengan peringkat paling
rendah A atau yang setara pada saat penempatan:
d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia;
e. unit penyertaan reksadana;
f. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa
efek);
bangunan dengan hak strata (strata fitle) atau tanah dengan
bangunan untuk investasi;
h. pinjaman hipotik;
i. pinjaman polis.
(2) Jenis kekayaan yang bukan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, terdiri dari
a. kas dan bank;
b. tagihan premi penutupan langsung;
c. tagihan reasuransi;
d. tagihan hasil investasi;
e. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan
bangunan, untuk dipakai sendiris
f perangkat keras komputer.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
2. Mengubah Pasal 13 ayat (I) huruf e sehingga Pasal 13 seluruhnya
berbunyi sebagai berikut
Pasal 13
(1) Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi adalah sebagai berikut
a. deposito berjangka, berdasarkan nilai nominal;
b. sertifikat deposito, berdasarkan nilai tunai;
c. saham yang tercatat di bursa efek, berdasarkan nilai pasar,
d. obligasi dan Mediunt Term Notes, berdasarkan nilai pasar;
e. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia dinilai dan dikelompokkan berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, yaitu
1) biaya perolehan setelah amortisasi premi atau diskonto,
dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang
dimiliki hingga jatuh tempo; atau
2) harga pasar atau estimasi nilai wajar bila harga pasar tidak
tersedia, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga
yang diperdagangkan atau tersedia untuk dijual;
f. unit penyertaan reksadana, berdasarkan nilai aktiva bersih,
s. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa
efek), berdasarkan nilai ekuitas;
h. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan
bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai yang ditetapkan
oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang
berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal
tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai;
i. pinjaman hipotik, berdasarkan nilai sisa pinjaman;
j. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman.
(2) Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi .dan
Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut :
a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;
b. tagihan premi penutupan langsung, berdasarkan nilai sisa
c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan;
d. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan;
e. bangunan dengan hak strata (stratn fitie) atau tanah dengan
bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang
ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi
yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam
hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai
f. perangkat keras komputer, berdasarkan nilai buku.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
3. Mengubah Pasal 14 ayat (4) huruf c sehingga Pasal 14 seluruhnya
berbunyi sebagai berikut
Pasal 14
(1) Pembatasan atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut:
a. investasi dalam bentuk deposito berjangka dan sertifikat
deposito pada setiap Bank, tidak melebihi 20% (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi;
b. investasi dalam bentuk saham yang emitennya adalah badan
hukum Indonesia, untuk setiap emiten masing-masing tidak
melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah investasi;
c. investasi dalam bentuk obligasi dan Medium Term Notes yang
penerbitnya adalah badan hukum Indonesia, untuk setiap
penerbit masing-masing tidak melebihi 20% (dua puluh per
seratus) darijumlah investasi;
d. investasi dalam bentuk unit penyertaan reksadana, untuk
setiap penerbit tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus)
dari jumlah investasi;
e. investasi dalam bentuk penyertaan langsung (saham yang
tidak tercatat di bursa efek), seluruhnya tidak melebihi 10%
(sepuluh per seratus) dari jumlah investasi;
f. investasi yang ditempatkan dalam bentuk bangunan dengan
hak strata (strata tifle) atau tanah dengan bangunan,
seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari
jumlah investasi;
g. investasi yang ditempatkan dalam bentuk pinjaman hipotik,
seluruhnya tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari
jumlah investasi dan memenuhi persyaratan bahwa pinjaman
tersebut
1) diberikan hanya kepada perorangan;
2) dijamin dengan hipotik pertama;
3) penghipotikan tersebut dilakukan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku; dan
4) besarnya setiap pinjaman tidak melebihi 75% (tujuh puluh
lima per seratus) dari nilai jaminan yang terkecil di antara
nilai yang ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar
pada instansi yang berwenang dan Nilai Jual Objek Pajak
(NJOP):
h. investasi dalam bentuk pinjaman polis besarnya tidak
melebihi 80% (delapan puluh per seratus) dari nilai tunai polis
yang bersangkutan.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
(2) Jumlah investasi yang digunakan sebagai dasar perhitungan
batasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah nilai
seluruh jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (I) per tanggal.neraca yang penilaiannya didasarkan pada
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(3) Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
memiliki penempatan investasi di luar negeri, maka jumlah
investasi yang digunakan sebagai dasar batasan adalah jumlah
investasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditambah
dengan jumlah investasi di luar negeri.
(4) Pembatasan atas kekayaan bukan investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi adalah sebagai berikut :
a. tagihan premi penutupan langsung, umurnya tidak lebih dari
2 (dua) bulan dihitung sejak
1) pertanggungan dimulai bagi polis dengan pembayaran
premi tunggal; atau
) jatuh tempo pembayaran premi bagi polis dengan
pembayaran premi cicilan;
. tagihan reasuransi, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan
dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran;
tagihan hasil investasi, umurnya tidak lebih dari 2 (dua) bulan
dihitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran;
d. bangunan dengan hak strata (strata titie) atau tanah dengan
bangunan yang dipakai sendiri, seluruhnya tidak melebihi
20% (dua puluh per seratus) bagi Perusahaan Asuransi
Kerugian dan Perusahaan Reasuransi, atau 30% (tiga puluh
per seratus) bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, masing-masing
dari Modal Sendiri periode berjalan;
e. perangkat keras komputer seluruhnya tidak melebihi 20%
(dua puluh per seratus) dari Modal Sendiri periode berjalan.
4. Mengubah Pasal 16 ayat (1) huruf d sehingga Pasal 16 seluruhnya
berbunyi sebagai berikut
Pasal 16
(1) Jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a
untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan
Prinsip Syariah terdiri dari
a. deposito berjangka dan sertifikat deposito pada Bank,
termasuk deposit on call dan deposito yang berjangka waktu
kurang dari atau sama dengan 1 (satu) bulan;
b. saham yang tercatat di bursa efek;
End of Page 5
REPUBLIK INDONESIA
-6-
c obligasi dan Mediumn Term Notes dengan peringkat paling
rendah A atau yang setara pada saat penempatan
d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia;
e. unit penyertaan reksadana;
f. penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa
efek);
. bangunan dengan hak strata (styata title) atau tanah dengan
bangunan, untuk investasi;
h. pinjaman polis
i. pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan,
kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema
murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan),;
). pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi
hasil).
(2) Jenis kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dengan Prinsip Syariah terdiri dari:
a. kas dan bank;
b. tagihan premi penutupan langsung
c. tagihan reasuransi;
d. tagihan hasil investasi;
e. bangunan dengan hak strata (stratn title) atau tanah dengan
bangunan, untuk dipakai sendiri;
f. perangkat keras komputer.
5. Mengubah Pasal 17 ayat (1) huruf d sehingga Pasal 17 seluruhnya
berbunyi sebagai berikut
Pasal 17
(1) Penilaian atas kekayaan investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 huruf a untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaa:
Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai berikut:
a. deposito berjangka dan sertifikat deposito, berdasarkan nilai
nominal;
b. saham yang tercatat di bursa efek, berdasarkan nilai pasar;
. obligasi dan Medium Term Notes, berdasarkan nilai pasar, ata
nilai nominal dalam hal nilai pasar tidak tersedia:
d. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia dinilai dan dikelompokkan berdasarkan standar
akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, yaitu:
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-7
1) biaya perolehan setelah amortisasi premi atau diskonto,
dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga yang
dimiliki hingga jatuh tempo; atau
2) harga pasar atau estimasi nilai wajar bila harga pasar tidak
tersedia, dalam hal dikelompokkan sebagai surat berharga
yang diperdagangkan atau tersedia untuk dijual;
e. unit penyertaan reksadana, berdasarkan nilai aktiva bersih
f. penyertaan langsung, berdasarkan nilai ekuitas;
. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan
bangunan, untuk investasi, berdasarkan nilai yang ditetapkan
oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi yang
berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam hal
tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai;
h. pinjaman polis, berdasarkan nilai sisa pinjaman
i. pembiayaan kepemilikan tanah dan atau bangunan,
kendaraan bermotor, dan barang modal dengan skema
murabahah (jual beli dengan pembayaran ditangguhkan),
berdasarkan nilai sisa pinjaman;
). pembiayaan modal kerja dengan skema mudharabah (bagi
hasil) berdasarkan nilai sisa pinjaman,
(2) Penilaian atas kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 huruf b untuk Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dengan Prinsip Syariah adalah sebagai
berikut
a. kas dan bank, berdasarkan nilai nominal;
b. tagihan premi penutupan langsung, berdasarkan nilai sisa
tagihan
c. tagihan reasuransi, berdasarkan nilai sisa tagihan;
d. tagihan hasil investasi, berdasarkan nilai sisa tagihan,
e. bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengar
bangunan, yang dipakai sendiri, berdasarkan nilai yang
ditetapkan oleh lembaga penilai yang terdaftar pada instansi
yang berwenang, atau Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dalam
hal tidak dilakukan penilaian oleh lembaga penilai;
f. perangkat keras komputer, berdasarkan nilai buku.'
6. Mengubah Pasal 21 ayat (2) huruf f sehingga Pasal 21 seluruhnya
berbunyisebagai berikut
Pasal 21
(1) Kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari Produk Asuransi
Yang Dikaitkan Dengan Investasi harus dipisahkan
pencatatannya dengan kekayaan dan kewajiban yang bersumber
dari produk asuransi jiwa lainnya.
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONCO
- 8 -
(2) Penempatan atas kekayaan yang bersumber dari Produk
Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam jenis
a. kas dan bank;
b. deposito berjangka dan sertifikat deposito, termasuk deposit on
dal dan deposito yang berjangka waktu kurang dari atau
sama dengan 1 (satu) bulan;
c. saham yang tercatat di bursa efek;
d. obligasi dan Medium Term Notes;
e. unit penyertaan reksadana
f. surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank
Indonesia.
(3) Ketentuan pembatasan penempatan kekayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan atau Pasal 19 ayat (1) tidak
berlaku bagi penempatan kekayaan Produk Asuransi yang
Dikaitkan Dengan Investasi.'
Pasal II
1. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, surat
berharga yang dijamin oleh Pemerintah atau Bank Indonesia
yang dimiliki oleh perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi masih tetap dapat dikatagorikan sebagai kekayaan
yang diperkenankan sampai dengan batas waktu 1 (satu) tahun
sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
2. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal
30 September 2005.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2005
ttd,
SRI MULYANIINDRAWATI
End of Page 8
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2005 </set_date>
<effective_date> 27 Desember 2005, dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 30 September 2005 </effective_date>
<changed_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </changed_reg>
<related_reg> '63/PP/1999', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '187/M|KEPPRES/2004' </related_reg>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 106 /PMK.06/2009
TENTANG
TATA CARA PENGUSULAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
DEWAN DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang :
a.
b.
bahwa dalam rangka menciptakan kinerja yang optimal, Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia perlu dikelola oleh Dewan Direktur
yang profesional;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 25 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia anggota Dewan Direktur diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Keuangan;
c.
bahwa agar proses pengangkatan dan pemberhentian Dewan Direktur
dapat berjalan obyektif diperlukan adanya ketentuan yang mengatur
pengusulan, pengangkatan dan pemberhentian Dewan Direktur
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf
a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Tata Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan
Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4957);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA
PENGUSULAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN DEWAN
DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA.
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1.
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya disingkat
LPEI adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan.
3. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia.
4. Ketua Dewan Direktur adalah salah seorang anggota Dewan Direktur
yang diangkat Menteri sebagai Ketua Dewan Direktur merangkap
Direktur Eksekutif.
5. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang diangkat
Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI.
6. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan
Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam menjalankan
kegiatan operasional LPEI.
BAB II
TATA CARA PENGUSULAN DAN PENGANGKATAN
ANGGOTA DEWAN DIREKTUR
Bagian Pertama
Tata Cara Pengusulan dan Pengangkatan Anggota Dewan Direktur
Pasal 2
(1) Anggota Dewan Direktur LPEI berjumlah paling banyak 10 (sepuluh)
orang, yang terdiri atas:
a. 3 (tiga) orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga
yang membidangi fiskal, 1 (satu) orang pejabat yang berasal dari
instansi atau lembaga yang membidangi perdagangan, 1 (satu)
orang pejabat yang berasal dari instansi atau lembaga yang
membidangi perindustrian, dan 1 (satu) orang pejabat yang
berasal dari instansi atau lembaga yang membidangi pertanian;
dan
-3-
b. paling banyak 3 (tiga) orang yang berasal dari luar LPEI dan 1
(satu) orang dari dalam LPEI.
(2) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, diangkat oleh Menteri atas usul pimpinan instansi atau lembaga
yang bersangkutan.
(3) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b, diangkat oleh Menteri.
Pasal 3
(1) Untuk mengangkat anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Menteri terlebih dahulu meminta
usulan tertulis dari pimpinan instansi atau lembaga dimaksud.
(2) Usulan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada Menteri paling lambat 15 (lima belas hari) hari kerja terhitung
sejak diterimanya permintaaan tertulis Menteri tentang usulan
dimaksud.
Pasal 4
Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
huruf b, berasal dari:
a.
b.
c.
anggota Dewan Direktur yang masih memenuhi persyaratan untuk
dapat diangkat menjadi anggota Dewan Direktur;
pegawai LPEI; dan/atau
pihak yang dianggap oleh Menteri memiliki kualifikasi untuk
menjabat sebagai anggota Dewan Direktur.
Pasal 5
Anggota Dewan Direktur diangkat untuk masa jabatan paling lama 5 (lima)
tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
Bagian Kedua
Persyaratan
Pasal 6
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Dewan Direktur, paling sedikit
harus memenuhi syarat sebagai berikut:
-4-
a. Warga Negara Indonesia;
b. mampu melakukan perbuatan hukum;
c.
sehat jasmani dan rohani;
d. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik, serta dedikasi
yang tinggi;
e.
f.
tidak termasuk dalam daftar tidak lulus, baik yang disusun oleh
otoritas perbankan maupun otoritas pasar modal dan lembaga
keuangan;
tidak pernah melakukan tindak pidana di bidang perbankan dan
perekonomian;
g. memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang yang menjadi
ruang lingkup kegiatan LPEI, yang meliputi antara lain keahlian dan
pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, perdagangan
internasional, dan/atau hukum;
h.
i.
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau dewan
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit; dan
tidak sedang menjadi pengurus partai politik.
BAB III
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Bagian Pertama
Faktor Yang Dinilai
Pasal 7
(1) Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1)
huruf b harus memenuhi persyaratan telah lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) yang diselenggarakan
oleh Menteri.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap kompetensi
dan integritas anggota Dewan Direktur.
(3) Dalam rangka pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan,
calon anggota Dewan Direktur wajib menyampaikan:
a.
fotocopy Kartu Tanda Penduduk;
b. daftar riwayat hidup;
-5-
c.
d.
e.
f.
surat pernyataan tidak termasuk dalam daftar tidak lulus, baik
yang disusun oleh otoritas perbankan maupun otoritas pasar
modal dan lembaga keuangan;
surat pernyataan tidak pernah melakukan tindak pidana di
bidang perbankan dan perekonomian;
surat pernyataan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
direksi atau dewan komisaris yang dinyatakan bersalah
menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; dan
surat pernyataan tidak sedang menjadi pengurus partai politik.
Pasal 8
Faktor kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) meliputi
memiliki keahlian dan pengalaman di salah satu bidang yang menjadi ruang
lingkup kegiatan LPEI, yang meliputi antara lain keahlian dan pengalaman
di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, perdagangan internasional,
dan/atau hukum.
Pasal 9
Faktor integritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) meliputi:
a. memiliki integritas, kepemimpinan, perilaku yang baik, serta dedikasi
yang tinggi;
b. memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
c. memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional
LPEI;
d.
e.
f.
tidak termasuk dalam daftar tidak lulus yang disusun oleh otoritas
perbankan maupun otoritas pasar modal dan lembaga keuangan;
tidak termasuk dalam daftar kredit macet yang dikeluarkan oleh
otoritas yang berwenang; dan
tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau dewan
komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan
dinyatakan pailit.
-6-
Bagian Kedua
Tata Cara dan Hasil Penilaian
Pasal 10
(1) Untuk melakukan penilaian calon anggota Dewan Direktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, Menteri
membentuk Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper
Test) yang beranggotakan:
a.
ex-officio Direktur Jenderal Kekayaan Negara
b.
c.
ex-officio Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ex-officio Deputi Bidang Koordinasi Industri
dan Perdagangan, Kementerian Koordinator
Bidang Perekonomian
d. unsur Independen
Sebagai Ketua
Sebagai Anggota
Sebagai Anggota
Sebagai Anggota
(2) Pengangkatan unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
(3) Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan antara lain bertugas:
a. melakukan seleksi untuk memperoleh paling sedikit 2 (dua)
orang calon untuk setiap posisi anggota Dewan Direktur.
b. melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan calon anggota
Dewan Direktur; dan
c. melaporkan hasil penilaian kemampuan dan kepatutan calon
anggota Dewan Direktur kepada Menteri.
(4) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b meliputi:
a. penilaian administratif; dan
b. wawancara.
Pasal 11
(1) Berdasarkan hasil akhir penilaian yang dilakukan Tim Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan sesuai tugasnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3), Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
menyampaikan usulan 2 (dua) orang calon yang memenuhi syarat dan
mempunyai nilai tertinggi kepada Menteri, disertai dengan
rekomendasi calon anggota Dewan Direktur untuk diangkat.
(2) Berdasarkan usulan dan/atau rekomendasi Tim Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri menetapkan paling banyak 3 (tiga) orang dari luar LPEI dan 1
(satu) orang dari dalam LPEI untuk menjadi anggota Dewan Direktur.
-7-
Pasal 12
Hasil akhir penilaian Tim Penilaian Kemampuan dan Kepatutan dan
penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, bersifat final
dan tidak dapat diganggu-gugat.
Pasal 13
Pembagian tugas dan tatacara pelaksanaan tugas anggota Dewan Direktur
ditetapkan oleh Dewan Direktur setelah pengangkatan oleh Menteri.
Pasal 14
(1) Setelah pembagian tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
anggota Dewan Direktur harus menandatangani kontrak kerja dengan
Menteri.
(2) Kontrak kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), akan menjadi
kriteria kinerja anggota Dewan Direktur.
BAB IV
PEMBERHENTIAN ANGGOTA DEWAN DIREKTUR
Pasal 15
(1) Anggota Dewan Direktur dapat diberhentikan oleh Menteri apabila:
a. berhalangan tetap;
b. masa jabatannya berakhir;
c. mengundurkan diri;
d. kinerja anggota Dewan Direktur tidak memenuhi kriteria kinerja
yang ditetapkan oleh Menteri;
e. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua atau
besan dengan anggota Dewan Direktur yang lain dan tidak ada
satupun yang mengundurkan diri;
f. melakukan kejahatan korporasi, tindak pidana korupsi, tindak
pidana lainnya, atau pelanggaran moral; dan/atau
g.
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf h dan huruf i.
(2) Anggota Dewan Direktur yang diberhentikan karena alasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dalam waktu 14 (empat
belas) hari diberi kesempatan terlebih dahulu untuk melakukan
pembelaan diri kepada Menteri.
-8-
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
Anggota Dewan Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf a
diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 15, atau tidak lagi menjadi pejabat di instansi atau lembaga tempat
anggota Dewan Direktur tersebut berasal.
Pasal 17
(1) Pemberhentian anggota Dewan Direktur dan pengangkatan anggota
yang baru harus dilakukan sehingga jumlah anggota Dewan Direktur
paling sedikit 4 (empat) orang.
(2) Dalam hal anggota Dewan Direktur diberhentikan, anggota Dewan
Direktur penggantinya ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak tanggal pemberhentian.
(3) Masa jabatan anggota Dewan Direktur yang diangkat untuk
menggantikan anggota yang diberhentikan bukan karena berakhirnya
masa jabatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) huruf b
adalah sisa masa jabatan anggota Dewan Direktur yang
digantikannya.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
(1) Untuk pertama kalinya, jangka waktu masa tugas anggota Dewan
Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf a diatur sebagai
berikut:
a. anggota Dewan Direktur yang berasal dari instansi yang
membidangi fiskal diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun;
b. anggota Dewan Direktur yang bukan berasal dari instansi yang
membidangi fiskal diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun;
(2) Untuk pertama kalinya, jangka waktu masa tugas anggota Dewan
Direktur sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) huruf b diatur sebagai
berikut:
a. anggota Dewan Direktur yang merupakan Ketua Dewan Direktur
merangkap Direktur Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 5
(lima) tahun;
-9-
b. anggota Dewan Direktur yang berasal dari luar LPEI yang bukan
merupakan Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur
Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 4 (empat) tahun; dan
c. anggota Dewan Direktur yang berasal dari dalam LPEI yang
bukan merupakan Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur
Eksekutif diangkat untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun.
Pasal 19
Untuk pertama kalinya, calon anggota Dewan Direktur yang berasal dari
dalam LPEI akan dipilih dari anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau
pegawai Perusahaan Perseroan (Persero) PT Bank Ekspor Indonesia.
Pasal 20
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juni 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 10 Juni 2009
MENTTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 134
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 106/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PENGUSULAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN DEWAN DIREKTUR LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title>
<set_date> 10 Juni 2009 </set_date>
<effective_date> 10 Juni 2009 </effective_date>
<issued_date> 10 Juni 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 124 /PMK.010/2008
TENTANG
PENYELENGGARAAN LINI USAHA
ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangan
yang terjadi dalam industri perasuransian nasional dan untuk
memberikan perlindungan yang lebih baik kepada pihak-pihak
yang berkepentingan, perlu dilakukan penyempurnaan
pengaturan mengenai penyelenggaraan usaha dalam lini usaha
Asuransi Kredit dan Surebship
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan
Suretyship,
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4856);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
2
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN
SURETYSHIP.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan Asuransi Umum adalah Perusahaan Asuransi
Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Usaha Perasuransian.
2. Asuransi Kredit adalah Jini usaha asuransi umum yang
memberikan jaminan pemenuhan kewajiban finansial penerima
kredit apabila penerima kredit tidak mampu memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjan kredit.
. Surehjsiip adalah lini usaha asuransi umum yang memberikan
jaminan atas kemampuan Prircipal dalam melaksanakan kewajiban
sesuai perjanjian pokok antara Principal dan Obligee.
4. Surely adalah Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan
produk asuransi pada lini usaha Suretuship.
5. Principal adalah pihak dalam perjanjian Suretyship yang harus
memenuhi kewajiban kepada Oblige berdasarkan perjanjan
6. Obligee adalah pihak dalam perjanjan Surehjship, yang berhak
menerima pemenuhan kewajiban dari Prindpal berdasarkan
perjanjian pokok.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Pasal 2
Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada
Jini usaha Asuransi Kredit atau Sturetjship wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
a. memiliki kondisi keuangan sebagai berikut:
1. tingkat solvabilitas sesuai dengan ketentuan mengenai
kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
2. rasio perimbangan antara jumlah investasi dan cadangan teknis
serta kewajiban pembayaran klaim retensi sendiri sesuai
dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; dan
3. rasio likuiditas paling rendah sebesar 1509 (seratus lima puluh
b. memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi ahli asuransi
Kkerugian dari Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia
(AAMAI) atau dari asosiasi sejenis dari luar negeri yang
berdasarkan penilaian Biro Perasuransian setara dengan AAMAI,
c. memiliki tenaga ahli asuransi dengan kualifikasi paling rendah
ajun ahli asuransi kerugian dari AAMAI atau dari asosiasi sejenis
dari luar negeri yang berdasarkan penilaian Biro Perasuransian
Setara dengan AAMAI yang khusus ditugaskan untuk mengelola
lini usaha Asuransi Kredit atau Surehyship, yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut
1. memiliki pengalaman sebagai underoriter lini usaha Asuransi
Kredit atau Surehyship, atau pengalaman sebagai analis kredit
korporasi paling sedikit 3 (tiga) tahun; dan
2. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan yang khusus
diselenggarakan di bidang Asuransi Kredit atau Suretyship.
. memiliki pegawai yang ditugaskan untuk mengelola lini usaha
Asuransi Kredit atau Surelyship yang telah mengikuti pendidikan
dan pelatihan khusus di bidang Asuransi Kredit atau Surelyship,
termasuk pada kantor cabang yang memasarkan produk asuransi
pada lini usaha Asuransi Kredit atau Surelysiip;
e. memiliki mamual underioriting untuk setiap produk asuransi pada
Jini usaha Asuransi Kredit atau Suretysiip yang dipasarkan, yang
mencerminkan bahwa pelaksanaan proses seleksi risiko dilakukan
secara hati-hati dan sesuai dengan praktek asuransi yang berlaku
f. memiliki sistem informasi yang memungkinkan debitur atau
Principal, kreditur atau Obligee, dan Menteri melakukan
pengecekan mengenai kebenaran penerbitan Asuransi Kredit atau
Suretyship tertentu; dan
8. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan
berkelanjutan bagi tenaga yang bertanggung jawab dalam
pengelolaan produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
4-
Pasal 3
Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi pada
Jini usaha Asuransi Kredit atau Suretiship yang memberikan jaminan
atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, harus
memiliki modal sendiri paling sedikit sebesar Rp250.000.000.000,00
(dua ratus lima puluh miliar rupiah).
Pasal 4
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk
asuransi baru pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship wajib
melaporkan rencana pemasaran produk baru tersebut kepada
Menteri.
(2) Pelaporan mengenai rencana pemasaran produk asuransi baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan
a. spesimen polis asuransi atau dokumen lain yang memuat
perjanjian Asuransi Kredit atau Surelyship,
b. pernyataan tenaga ahli yang berisi uraian dan dasar
perhitungan tingkat premi atau imbal jasa maupun cadangan
teknis, lengkap dengan asumsirasumsi dan data
pendukungnya;
c. proyeksi tdersoriting untuk 3 (tiga) tahun mendatang.
d. bukti dukungan reasuransi untuk produk asuransi dimaksud;
e. uraian cara pemasaran dan contoh brosur yang dipergunakan;
t. perjanjian kerja sama dalam hal produk asuransi dimaksud
dipasarkan bersama pihak lain;
8. manual uidereriting yang disahkan Direksi;
h. bukti yang menunjukkan tersedianya sistem informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf f;
i. bukti pengangkatan dan kualifikasi tenaga ahli yang khusus
ditugaskan untuk mengelola lini usaha Asuransi Kredit atau
Surebyship; dan
. rencana pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi
pegawai yang mengelola Jini usaha Asuransi Kredit atau
Suretuship.
(3) Perusahaan Asuransi Umum yang akan memasarkan produk
asuransi baru pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretuship wajib
memenuhi ketentuan mengenai tingkat solvabilitas dan tidak
sedang dikenai sanksi administratif.
End of Page 4
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Pasal 5
(1) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau Pasal 3, maka
Perusahaan Asuransi Umum tersebut dilarang untuk memasarkan
produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship.
(2) Apabila Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat memenuhi kembali ketentuan Pasal 2 dan/atau Pasal
3 dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tidak
terpenuhinya ketentuan dimaksud, maka dapat memasarkan
kembali produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau
Suretysiip yang dipasarkan sebelumnya, tanpa adanya kewajiban
pelaporan pemasaran produk asuransi baru sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Apabila Perusahaan Asuransi Umum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat memenuhi kembali ketentuan Pasal 2 dan/atau
Pasal 3 dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tidak
terpenuhinya ketentuan dimaksud, maka untuk dapat memasarkan
kembali produk asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau
Suretuship yang dipasarkan sebelumnya, harus memenuhi
ketentuan mengenai pelaporan pemasaran produk asuransi baru
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Perusahaan Asuransi Umum yang memasarkan produk asuransi
pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyslip wajib menetapkan
besaran tarif imbal jasa.
(2) Penetapan tarif imbal jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus mencakup unsur tarif untuk risiko, biaya administrasi dan
umum, biaya akuisisi, dan keuntungan.
(3) Penetapan unsur-unsur tarif imbal jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus didukung dengan data dan/atatt asumsi yang
wajar dan cukup.
(4) Unsur biaya akuisisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling
tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari tarif imbal jasa.
Pasal 7
(1) Nilai jaminan bruto dan nilai jaminan retensi sendiri untuk setiap
risiko pada produk suretyship selain yang memberikan jaminan atas
pelaksanaan kewajiban pembayaran dari transaksi kredit, berlaku .
ketentuan
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
a. nilai jaminan bruto, termasuk setelah dikurangi jaminan kas
tunai (cash collateral), jika ada, paling tinggi 30% (tiga puluh
perseratus) dari modal sendiri; dan
b. nilai jaminan retensi sendiri, termasuk setelah dikurangi
jaminan kas tunai (cash collateral), jika ada, paling tinggi 10%
(sepuluh perseratus) dari modal sendiri.
(2) Nilai jaminan bruto dan nilai jaminan retensi sendiri untuk setiap
risiko pada produk asuransi kredit atau produk suretuship yang
memberikan jaminan atas pelaksanaan kewajiban pembayaran dari
transaksi kredit, berlaku ketentuan
a. nilai jaminan bruto, termasuk setelah dikurangi jaminan kas
tunai (casii collateral), paling tinggi 10% (sepuluh perseratus)
dari modal sendiri; dan
b. nilai jaminan retensi sendiri, termasuk setelah dikurangi
jaminan kas tunai (cash colateral), paling tinggi 5% (lima
perseratus) dari modal sendiri.
Pasal 8
(1) Perusahaan Asuransi Umum wajib melakukan pembayaran ganti
rugi kepada kreditur atau Obligee akibat ketidakmampuan atau
kegagalan atau tidak terpenuhinya kewajiban debitur atau Principal
sesuai dengan perjanjian pokok.
(2) Perusahaan Asuransi Umum dilarang menunda dan/atau tidak
memenuhi kewaiban pembayaran jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan alasan apapun termasuk alasan
a. pembayaran klaim bagian reasuransi belum diterima dari
reasuradur;
b. sedang dilakukan upaya oleh Perusahaan Asuransi Umum agar
pihak debitur atau Principal dapat memenuhi kewajibannya,
tanpa adanya persetujuan dari kreditur atau Obligee, dan/atau
c. pembayaran imbal jasa belum dipenuhi oleh debitur atau
Principal.
Pasal 9
(1) Ketentuan penyelenggaraan lini usaha Asuransi Kredit dan
Surebuship bagi Perusahaan Asuransi Umum yang
menyelenggarakan seluruh usahanya berdasarkan prinsip syariah
atau unit syariah dari Ferusahaan Asuransi Umum diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Perusahaan Asuransi Umum yang menyelenggarakan seluruh
usahanya berdasarkan prinsip syariah atau unit syariah dari
Perusahaan Asuransi Umum dilarang memasarkan produk
asuransi pada lini usaha Asuransi Kredit atau Suretyship sebelum
diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 10
Perusahaan Asuransi Umum yang telah memasarkan produk pada lini
usaha Asuransi Kredit atau Suretyjship wajib melakukan penyesuaian
terhadap ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini
paling lama 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 11
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai produk surety bond dan atau yang sejenis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, Keputusan Menteri Keuangan Nomor
422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 12
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 September 2008
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANIINDRAWATI
End of Page 7
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 124/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN LINI USAHA ASURANSI KREDIT DAN SURETYSHIP </reg_title>
<set_date> 3 September 2008 </set_date>
<effective_date> 3 September 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003 | Pasal 4' </replaced_reg>
<related_reg> '73/PP/1992', '39/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '2/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 30 /PMK.010/ 2010
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI
LEMBAGA KEUANGAN NON BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN, :
Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk, aktivitas, dan
teknologi informasi di lingkungan industri Perasuransian, Dana
Pensiun dan Lembaga Pembiayaan, maka risiko pemanfaatan
Asuransi, Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan digunakan
sebagai sarana pencucian uang dan pendanaan teroris semakin
terbuka;
b. bahwa dengan semakin terbukanya risiko pemanfaatan Asuransi,
Dana Pensiun, dan Lembaga Pembiayaan sebagai sarana pencucian
uang dan pendanaan teroris, perlu dilakukan penyempurnaan
terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1992
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(uembaran Negara Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 199
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik. Indonesia
Nomor 4191) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 108 Tahun 2003, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4324);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
5. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN
PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN
NON BANK.
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi kerugian,
perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan pialang asuransi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian.
2. Dana Pensiun. adalah dana pensiun lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana
pensiun.
Lembaga Pembiayaan . adalah perusahaan pembiayaan,
perusahaan modal / ventuta, dan perusahaan pembiayaan
Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam peraturan presiden
mengenai lembaga pembiayaan.
4. Lembaga Keuangan Non Bank yang selanjutnya disebut sebagai
LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan
Lembaga Pembiayaan.
5. Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan LKNB
untuk mengetahui tatar belakang dan identitas Nasabah,
memantau Rekening dan transaksi Nasabah, serta melaporkan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang
Dilakukan Secara Tumai, termasuk transaksi keuangan yang
:terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme.
6. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LKNB, termasuk
tetapi tidak terbatas pada
. pemegang polis dan/atau tertanggung pada perusahaan
asuransi kerugian dan perusahaan asuransi jiwa;
b. klien pada perusahaan pialang asuransi;
c. peserta dan/atau pihak yang berhak atas manfaat pensiun
pada Dana Pensiun,
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3 -
d. klien atau penjual piutang, pada kegiatan anjak piutang,
. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen;
. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan lensing atau
sewa guria usaha;
: pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit,
perusahaan pasangan usaha pada kegiatan modal ventura; dan
i debitur pada perusahaan pembiayaan infrastruktur.
7. Beneficial Onuner adalah setiap orang yang, memiliki dana, yang
mengendalikan transaksi Nasabah, yang memberikan kuasa atas
terjadinya suatu , transaksi dan/atau yang melakukan
pengendalian melalui badan hukum atau perjanjan.
8. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Castonters) adalah
Nasabah yang : berdasarkan latar belakang identitas dan
riwayatnya dianggap memiliki risiko tinggi melakukan kegiatan
terkait dengan tindak .pidana pencucian uang dan/atau
Pendanaan Kegiatan Terorisme.
9. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persoms)
adalah orang, baik yang berkewarganegaraan Indonesia
maupun yang berkewarganegaraan asing, yang mendapatkan
kepercayaan untuk memiliki atau menjalankan kewenangan
publik sebagai pejabat penyelenggara negara yang menjalankan
fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, pejabat lain yang fungsi
dabe pidinya bekaitan dengan penyelengata
atau badan usaha milik negara, dan/atau orang yang tercatat
sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap
kebjakan dan operasional partai politik.
10. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah
termnasuk tetapit tidak terbatas pada identitas, transaksi atau
Perikatan antara LKNB dan Nasabah.
11. Perikatan adalah perjanjian antara LKNB dan Nasabah, yang
sesuai dehigan kegiatan usaha masing-masing LKNB, termasuk
tetapi tidak terbatas pada
asuransi jiwa;
b. perjanjian antara klien dan perusahaan pialang asuransi;
d. perjanjian sewa guna usaha,
e. perjanjan pembiayaan konsumen;
f. perjanjian anjak piutang
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
-4-
& pembukaan zekening kartu kredit;
h. perjanjian antara perusahaan modal ventura dan perusahaan
pasangan usaha; dan
i. perjanjan pembiayaan infrastruktur.
12. Pendanaan Kegiatan Terorisme adalah penggunaan harta
kekayaan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan
terorisme sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
13. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi keuangan
sebagaimana dimaksud delam undang-undang mengenai tindak
pidana pencucian uang.
14. Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai adalah
transaksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
15. Negara yang Berisiko Tinggi (High: Risk Coimtries) adalah negara
atau teritorial yang pofensial digunakan sebagai:
a. tempat terjadinya atau saraia tindak pidana pencucian uang
b. tempat dilakukannya tindak pidana asal (predicte offense);
dan/atau
c. tempat dilakukannya aktivitas Pendanaan Kegiatan Terorisme.
16. Usaha yang Berisike Tinggi (High Risk Business) adalah bidang
usaha yang potensial digunakan sebagai sarana melakukan tindak
pidana pencucian uang dan/atau sarana Pendanaan Kegiatan
Terorisme.
BAB II
PRINSIP MENGENAL NASABAH
Bagian Pertama
Kewajiban Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 2
LKNB wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 3
Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, LKNB wajib.
a. menetapkan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah;
b. menetapkan kebjakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
Nasabah;
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
GDI BUK INDONESA
c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan
pelaksanaan transaksi Nasabah; dan
d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 4.
(1) Dalam rangka pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah, LKNB
wajib
wajib:
a. membentuk unit kerja khusus atau menugaskan anggota
direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi
atau pengurus yang bertanggung jawab menangani penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
b. menetapkan kebijakan dan prosedur tertulis tentang
penerimaan Nasabah, identifikasi dan verifikasi Nasabah,
pemantauan terhadap Rekening dan transaksi Nasabah, dan
manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah, yang dituangkan dalam pedoman
pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
c. menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada huruf b
kepada. Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
d. menyampaikan setiap perubahan atas pedoman pelaksanaan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
pada huruf b kepada Menteri Keuangan c.g. Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut.
(2) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat
Setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung
jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai
bagian dari struktur organisasiLKNB.
(3) Unit kerja khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat
setingkat di bawah direksi atau pengurus yang bertanggung
jawab menangani penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bertanggung jawab
langsung kepada direktur utama, ketua pengurus atau yang setara
dengan pimpinan tertinggi LKNB.
End of Page 5
REPUBUK INDONESIA
@ LKNB yangmeakukan kegiatan usaha
pusat wajib menerapkan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah
yang ditetapkan oleh kantor pusat di bawah koordinasi unit kerja
khusus, anggota direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di
bawah direksi atau pengurus yang menangani penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah kantor pusat LKNB.
6) Ketentuan mengenai pedoman pelaksanaan pea
Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal Dan Lembaga Keuangan.
Pasal 5
direksi atau pengurus atau pejabat setingkat di bawah direksi atau
pengurus LKNB yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf a, memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mengakses
seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang terkait.
Pasal 6
Pihak yang mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha
bagi Perusahaan Perasuransian dan Lembaga Pembiayaan atau
pengesahan peraturan Dana Pensiun untuk pertama kali bagi Dana
Pensiun, wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) huruf b, bersana dengan permohonannya.
Bagian Ketiga
Kebijakan Penerimaan Dan Jdentifikasi Nasabah
Pasal7
(1) Sebelum melakukan Perikatan dengan Nasabah, LKNB wairib
meminta informasi mengenai:
a. latar belakang dan identitas calon Nasabah;
b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan Perikatan;
c. profil keuangan calon Nasabah;
mengetahui profil calon Nasabah termasuk Perikatan yang
telah dimiliki sebelumnya dengan LKNB yang bersangkutan,
dan
End of Page 6
REPUBLIK INDONESIA
-7-
e. identitas penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama
calon Nasabah.
(2) LKNB wajib melakukan konfirmasi mengenai kebenaran
kewenangan pihak yang mewakili atau bertindak untuk dan atas
nama pihak lain, jika calon Nasabah diwakili pihak lain.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat
dibuktikan dengan keberadaan dokumen-dokumen pendukung
sebagai berikut:
a. calon Nasabah perorangan paling kurang terdiri dari:
1) identitas Nasabah yang memuat:
a) nama;
alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor
dan nomor telepon,
c) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika
ada);
d) tempat dan tanggal lahir, dan
e) kewarganegaraan;
2) keterangan mengenai pekerjaan;
3) spesimen tanda tangan;, dan
4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan
dana,
5) rata-rata penghasilan;
6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada;
dan
7) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk
dapat mengetahui profil calon Nasabah;
b. calon Nasabah yang berbentuk perusahaan paling kurang
terdiri dari
1) dokumen mengenai perusahaan
a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
b) akte pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan
yang bentuknya diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku berikut perubahan anggaran
dasar yang terakhir,
End of Page 7
REPUBLIK INDONESIA
-8-
e) laporan keuangan terkini; dan
1) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
2) nania, spesimen tanda tangan dan kuasa kepada pihak-
pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak
untuk dan atas nama perusahaan dalam melakukan
hubungan usaha dengan LKNB.
3) dokumen identitas pihak pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan,
4) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan
dana, bagi calon Nasabah pada Lembaga Pembiayaan dan
Perusahaan Perasuransian; dan
5) dokumen-dokumen lain yang memungkinkan LKNB untuk
dapat mengetahui profil calon Nasabah.
4) Ketentuan custoner due diligence sebaimana dimaksud pada ayat
(l), ayat (2), dan ayat (3), tidak berlaku bagi calon Nasabah
berupa
berupa
a. Lembaga pemerintah; atau
b. Lembaga keuangan multilateral.
Pasal 8
LKNB wajib melakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen
pendukung (customer due diligence) dengan melakukan hal-hal antara
lain:
a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar atau
mencurigakan.
b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal
terdapat kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain
dengan cara. .
1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwenang
) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang
disampaikant oleh calon Nasabah.
c. melakukan penelaahan mengenai Beneficial Orener.
Pasal 9
(1) LKNB wajib memastikan bahwa calon Nasabahi mewakili
Beneficial Ortoner atau bertindak untuk diri sendiri dalam membuka
hubungari usaha atau melakukan transaksi.
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
-9-
(2) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficial Oruer untuk
membuka hubungan usaha atau melakukan transaksi, LKNB
wajib melakukan prosedur customer due diligence terhadap
Beneficinl Oroner yang sama dengan prosedur custonter due diligence
bagi calon Nasabah.
Pasal 10
(1) Dalam hal calon Nasabah mewakili Beneficinl Otoner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), LKNB wajib meminto dokumen
atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai
Beneficial Oroner.
(2) Dalam hal Beneficial Oroner merupakan perorangan, identitas
dan/atau informasi antara lain berupa:
a. dokumen identitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(3) huruf a;
b. hubungan hukum antar calon Nasabah dengan Beneficial
Oruner jang, diturijukkan dengan surat penugasan, suiat
perjanjan, surat kuasa, atau bentuk lainnya; dan
c. peinyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun
sumber dana dari Beneficial Onuner.
(3) Dalam hal Beneficinl Oaner berbentuk perusahaan, yayasan atau
perkumpulan, identitas dan/ atau informasi antara lain berupa:
a. dokumien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf
b;
b. dokumen dan/atau informasi identitas pemilik atau
pengendali akhir perusahaan yayasan, atau perkumpulan; dan
c. pernyataan dari calon Nasabah mengenai kebenaran identitas
muaupun sumber dana dari Beneficinl Otoner.
(4) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain di
ddlam negert yang mewakli Beneficial Onuner, LKNB waib
meminta dokumen berupa pemyataan tertulis dari bank atau
LKNB lain dalam negeri yang telah melakukan verifikasi terhadap
(5) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain diluat
negert yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang paling
kurang setara dengan Peraturan Menteri Keuangan ini yang
mewakili Beneficial Oioner, LKNB waib meminta dokumen berupa
pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain Jluar negeri yang
telah melakukan verifikasi terhadap identitas Beneficinl Oroner.
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-10-
(6) Dalam hal LKNB meragukan atau tidak dapat meyakini dokumen
atau bukti atas identitas dan/atau informasi lain mengenai
Beneficial Orner, LKNB wajib menolak hubungan usaha atau
transaksi dengan calon Nasabah.
Pasal 11
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi identitas
pemilik atau pengendali akhir Beneficinl Oruner sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a dah Pasal 10 ayat (3) huruf
a, tidak berlaku bagi Beneficinl Oroner berupa:
c. Lembaga pemerintah,
d. Lembaga keuangan multilateral; atau
e, Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek.
Pasal 12
(1) LKNB dapat menerapkan prosedur customer due diligence yang
lebih sederhana dari prosedur custoner due diligence sebagaimana.
dimaksud dalam Pasal 8 terhadap calon Nasabah atau transaksi
yang tingkat risiko terjadinya pencucian uang atau pendanaan
terorisme tergolong rendah atau memenuhi kriteria sebagai
berikut
a. peserta Dana Pensiun yang dikutsertakan oleh pemberi kerja
atau peserta mandiri yang membayar iuran ke Dana Pensiun
yang jumlahnya kurang dari atau sama dengan 20% (dua
puluh -per seratus) dari penghasilan setiap bulan atau lebih
dari 20% (dua puluh per seratus) dari penghasilan tetapi tidak
melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulan,
b. produk asuransi yang tidak menjanjikan pengembalian dana
sebelum atau setelah berakhirnya masa pertanggungan,
c. produk asuransi yang jumlah pembayaran premi regulemye
apabila di setahunkan tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah);
d. produk asuransi yang pembayaran premi tunggalnya tidak
melebihi Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah);
e. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan alat-
alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi
Rp50.000.000,00 (ima puluh juta rupiah); atau
. Nasabah berupa perusahaan publik.
(2) LKNB wajib membuat dan menyimpan daftar Nasabah yang
mendapat perlakuan customer date diligenee yang lebih sederhana.
End of Page 10
REPUBLIK INDONESIA
-11 -
(3) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (l), LKNB wajib meminta
informasi mengenai:
a. nama lengkap termasuk alias apabila ada,
b. nomor dokumen identitas (KTP/SIM/Paspor) yang
dibuktikan dengan menunjukkan dokumen dimaksud;:
c. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam kartu identitas,
d. alamat tempat tinggal terkini termasuk nomor telepon bila
ada; dan
e. tempat dan tanggal lahir.
(4) Bagi calon Nasabah yang berbentuk perusahaan yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (i), LKNB wajib.
meminta informasi mengenai:
a. nama perusahaan,
b. alamat perusahaan dan nomor telepon; dan
c. dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan.
5) Prosedur customer due diligence yang lebih sederhana sebagaimana
dimaksud pada ayat (i) tidak berlaku apabila terdapat dugaan
terjadi transaksi pencucian uang dan/atau pendanaan terorisme.
Pasal 13
(1) LKNB wajib melakukan verifikasi yang lebih ketat (enhumced
custoner due diligence) terhadap calon Nasabah dan Beneficinl
Omner yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai
risiko tinggi terhadap praktik pencucian uang dan/atau risiko
tinggi terkait dengan Pendanaan Kegiatan Terorisme
(2) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilihat
dari
. latar belakang atau profil calon Nasabah dan Beneficial Ornmer
yang termasuk Orang yang Populer Secara Politis (Politically
Exposed Persons) atau Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk
Customer);
b. bidang usaha yang termasuk Usaha yang Berisiko Tinggi (figh
Risk Business):
c. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau
dilakukannya transaksi yang termasuk Negara yang Berisiko
Tinggi (High Risk Countries); dan/atau
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
PBLIK NDONESA
d. pihak-pihakyang tercantum dalam daftar nama-nama teroris;
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Pasal 14
Verifikasi yang lebih ketat (enlanced custonter due diligence)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dilakukan antara lain
dengan cara sebagai berikut:
a. verifikasi informasi calon Nasabah atau Beneficinl Orner
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, didasarkan pada
kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi, dan jenis
informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan pada informasi
yang diberikan olehi calon Nasabah tersebut;
b. verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon Nasabah
atau Beneficial Otener dimaksud dengan pihak ketiga; dan
c. Customer due diligence secara berkala paling kurang berupa analisis
terhadap informasi mengenai Nasabah, sumber dana, tujuan
transaksi, dan hubungan usaha dengan pihak-pihak yang terkait.
Pasal 15
(1) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau
Nasabah LKNB lain di dalam negeri, LKNB cukup menerima
pemnyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap
calon Nasabah tersebut telah dilakukan verifikasi dan identifikasi
atas dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau
Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan
Peraturan Menteri Keuangan ini, LKNB cukup menerima
pernyataan tertulis bahwa bank atau LKNB lain di luar negeri
tersebut telah memperoleh dokumen pendukung pihak lain
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan telah melakukan
verifikasi dan identifikasi atas dokumen dimaksud.
(3) Dalam hal calon Nasabah merupakan Nasabah bank atau
Nasabah LKNB lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip
Mengehal Nasabah yang lebih longgar dari Peraturan Menteri
Keuangan ini, LKNB tetap waib menerapkan Prinsip Mengenal
Nasabah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Pasal 16
LKNB dilarang melakukan Perikatan dengan calon Nasabah sebelum
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan
Pasal 8 atau Pasal 9 atau Pasal 12 atau Pasal 13 ayat (1).
Pasal 17
LKNB yang akan melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
yang dianggap. dan/atau diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko
tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan dari ariggota direksi atau pengurus
LKNB.
Pasal 18
Persetujuan pembukaan Perikatan hanya dapat dilakukan setelah
LKNB meyakini kebenaran identitas dan kelengkapan dokumen
calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat
memungkinkan Nasabah melakukan kegiatan pencucian uang
dan/atau Pendanaan Kegiatan Terorisme.
Pasal 19
(1) LKNB melakukan pengujan: untuk mengetahui latar belakang
dan tujuan dari transaksi yang tidak wajar.
(2) Transaksi yang tidak wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
antara lain namun tidak terbatas pada :
a. transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar;
b. transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai
hubungan ekonomi yang jelas;
c. transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan
perbuatan mielanggarhukum; dan/atau
d. transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktifitas Rekening.
3) LKNB wajib mendokumentasikan transaksi yang tidak wajar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diduga
sebagal transaksi yang, mencurigakan, LKNB wajib melaporkan
hal tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan.
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
-14-
Pasal 20
LKNB wajib mempunyai dan menerapkan prosedur khusus untuk
melakukan Perikatan dengan Nasabah yang berasal dari negara-
negara yang tidak menerapkan rekomendasi Financini Action Tnsk
Force (FATF).
MENTERI KEUANGAN
LKNB wajib melakukan pemantauan yang berkesinambungan
terhadap hubungan usaha atau transaksi dengan Nasabah dan/atau
LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan
rekomendasi Financint Action Tosk Force (FATF).
Pasal 22
(1) LKNB wajib meneruskan kebijakan dan prosedur Prinsip
Mengenal Nasabah ke seluruh, jaringan kantor dan anak
perusahaan yang merupakan LKNB di luar negeri, dan memantau
pelaksanaannya.
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
mematuhi rekomendasi Financial Action Task Force (FATP) atau
sudah mematuhi namun peraturan Prinsip Mengenal Nasabah
yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini, jaringan kantor dan anak perusahaan
dimaksud wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki peraturan Prinsip Mengenal Nasabah yang lebih ketat
dari yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, jaringan
kantor dan anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pad
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara dimaksud.
(4) Dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan ini mengakibatkan
pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang
berlaku di negara tempat kedudukan jaringan kantor dan anak
perusahaan berada maka pejabat kantor LKNB di luar regeri
tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat LKNB dan
Menteri Keuangan c.q, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan bahwa kantor LKNB dimaksud tidak dapat
menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur
dalam Pematuran Menteri Keuangan ini.
End of Page 14
REPUBUK INDONESIA
-15-
Bagian Keempat
Pemantauan Rekening Dan Transaksi Nasabah
Pasal 23
(1) Dalam rangka mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif untuk dapat memastikan
bahwa transaksi yang dilakukan Nasabah konsisten dengan profil,
karakteristik dan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan,
LKNB wajib memiliki sistem informasi yang memadai.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memungkinkan LKNB untuk dapat menelusuri setiap transaksi,
termasuk untuk penelusuran atas identitas Nasabah, bentuk
transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan denominasi transaksi,
sumber dana yang digunakan untuk transaksi, dan Perikatan lain
yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain.
Pasal 24
LKNB wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan
analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 untuk memastikan
ada tidaknya transaksi yang mencurigakan serta melaporkan temuan
tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.
Pasal 25
LKNB wajib menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, baik yang dilaporkan
maupun yang tidak dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan.
Pasal 26
LKNB wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat
perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 10.
Pasal 27
LKNB wajib menatausahakan dan menyimpan data transaksi LKNB
dengan Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 10,
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 19,dalam jangka waktu paling kurang 5
(lima) tahun sejak Nasabah mengakhiri Perikatan dengan LKNB.
End of Page 15
MENTERI KEUANGAN
Pasal 28
LKNB wajib memenuhi ketentuan pelaporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan dan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai
termasuk transaksi keuangan yang terkait dengan Pendanaan
Kegiatan Terorisme kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan sesuai dengan undang-undang mengenai tindak pidana
pencucian uang dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 29
Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi lain atas Nasabah
dengan nama dan informasi yang tercantum dalam daftar nama
teroris sebagaimana daftar yang dimuat dalam Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan ini, LKNB wajb melaporkan Nasabah tersebut
dalam laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian Kelima
Manajemen Risiko
Pasal 30
(1) Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal s huruf d merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko LKNB secara
keseluruhan.
(2) Kebijakantdan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling kurang mencakup
a. pengawasan oleh direksi dan komisaris atau pengurus dan
pengawas LKNB (mmngement omersiglit);
b. pendelegasian wewenang;
c. pemisahan tugas,
d. sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan
e. program pelatihan mengenai penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagj pejabat, karyawan, dan tenaga pemasar yang
bukan karyawan LKNB.
(3) LKNB wajb melakukan pengujan dan tes secara acak (sampling)
tethadap keefekttan dari sistem dan pelaksanaan Prinsip
Mengenal Nasabah dan mendokumentasikan pengujian tersebut
guna perbaikan dan pengembangan sistem yang dimiliki.
(4) LKNB wajib mendokumentasikan dan melakukan pemutakhiran
ris, indikator dan contoh dari transaksi yang mencurigakan
yang ditemukan di berbagai unit kerja terkait.
End of Page 16
MENTERI KEUANGAN
17
BAB III
PELAKSANA DAN FASILITAS PENDUKUNG
Pasal 31
Direksi atau pengurus LKNB bertanggung jawab atas seluruh
kegiatan dalam rangka penorapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 32
LKNB wajib memiliki kebijakan dan prosedur khusus untuk
meyakini identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi
yang diberikan oleh calon Nasabah, dalam hal Perikatan tidak
dilakukan melalui pertemuan langsung dengan calon Nasabah atau
dilakukan dengan menggunakan jasa pihak ketiga.
Pasal 33
(1) LKNB wajib menyusun dan melaksanakan program pelatihan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (2) huruf e.
(2) Pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(3) Laporan pelaksanaan program pelatihan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat seluruh
kegiatan pelatihan Prinsip Mengenal Nasabah yang dilakukan
untuk periode 1 Januari sampai 31 Desember tahun yang
bersangkutan.
bersangkutan.
(4) LKNB wajib menyampaikan laporan pelaksanaan program
pelathan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) kepada Menteri Keuangan c.q Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan pada tanggal 15
Januari talun berikutnya.
Pasal 34
LKNB wajib melakukan prosedur penyaringan (screening) dalam
rangka penerimaan pegawai baru guna mencegah digunakannya
LKNB sebagai sarana dan/atau tujuan pencucian uang atau
Pendanaan Kegiatan Terorisme yang melibatkan pihak interen LKNB.
End of Page 17
REPUBLIK INDONESIA
-18 -
BAB IV
PEMERIKSAAN KETAATAN
Pasal 35
(1) Biro Perasuransian, Biro Dana Pensiun dan Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan melakukan penteriksaan terhadap ketaatan LKNB
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban mengenai penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan terhadap ketaatan
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) termasuk pedoman pemeriksaannya, diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
BAB V
SANKSI
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19
ayat (1), Pasal 19 ayat (2), Pasal 19 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal
29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 40
Peraturan Menteri Keuangan ini dikenakan sanksi administratif.
Qalemhag Dembiaygan dan Perusahaa
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1
dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa
a. Peringatan.
b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha.
c. Pencabutan izin usaha.
(3) Dana Pensiun yang ntelanggar ketentuan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (i) kecuali Pasal 9 dan Pasal 10 dikenakan
sanksi administratif berupa
a. Peringatan.
b. Penggantian pelaksana tugas pengurus.
End of Page 18
REPUBLK INDONESIA
(4) Tata cara dan jangka. waktu pengenaan setiap jenis sanksi
disesuaikan dengan jenis Lembaga Keuangan Non Bank dan jenis
pelanggarannya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
(1) Segala sanksi yang telah dikenakan berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) LKNB yang belum dapat mengatasi penyebab dikenakannya
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 38
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
2833/LK/2003 tentang Pedonan Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah pada Lembaga Keuangan Non Bank, dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan
Menteri Keuangan ini dan belum ditetapkan peraturan yang
menggantikannya.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.012/2006 tentang Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 40
LKNB yang telah memperoleh izin usaha dan/atau pengesahan wajib
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini, delam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak
diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 41
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 9 Febtuari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di jakarta
pada tanggal 9 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,.
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR77
Salinan sesual dengan aslpe
Kepala Biro Umm
Reala Bagian T.U/Sipartemen
tonis Suharto (
NP 000041107
End of Page 20
LAMPIRAN
NOMOR 30 /PMK.010/2010
TENTANG PENERAPAN PRINSIP
I.EMBACA KEUANGAN NON BANK
REPUBLIK INDONESIA
SFTAR PIHAK-PIHAK YANG TERMASUK DALAM KATEGORI ORANG YANG
POPULER SECARA POLITIS (POLITICALLY EXPOSED PERSON),
NASABAH YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK CUSTOMER
USAHA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK BUSINESS),
DAN NEGARA YANG BERISIKO TINGGI (HIGH RISK COUNTRIES)
1. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persor) antara lain terdiri darit
a.. Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan
b. Wakil Kepala Negara atau Kepala Pemerintahan,
c. Pejabat setingkat Menteri;
d. Eksekutif Senior perusahaan negara
e. Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
f. Eksekutif dan ketua partai politik;
8. Pejabat senior di bidang militer dan/atau kepolisian,
h. Pejabat Senior di lingkungan Malkamah Agung dan Kejaksaan Agung,
1. Pejabat yang diangkat berdasarkan Keputusan Presiden;
5. Anggota legislatif baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah,
k. Anggota keluarga (pasangan, orang tua, saudara, anak, menantu, cucu) dari
kategori-kategori di atas;
1. Siapapun orang yang tidak termasuk di atas namun karena posisinya yang
tinggi di masyarakat, pengaruhnya yang signifikan, kepopuleranaya dan/atau
ombinasi dari posisinya dapat menempatkan Lembaga Keuangan Non Bai
dalam posisi berisiko harus masuk dalam kategori berisiko tinggi; dan
m. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan
Orang yang Populer Secata Politis (Politically Exposed Persons).
Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers) antara lain terdiri dari:
a. Orang yang Populer Secara Politis (Politically Exposed Persoms);
Pegawai instansi pemerintah yang terkait dengan pelayanan publik;
c. Orang-orang yang tinggal dan/atau mempunyai dana yang berasal dari negara-
negara yang didentifikasi oleh sumber-sumber terpercaya memiliki standar anti
pencucian uang yang tidak mencukupi atau mewakili tindak pidana tingkat
tinggi dan korupsi,
d. Orang orang yang terlibat dalam jenis-jenis kegiatan atau sektor usaha yang
rentan terhadap pencucian uang, seperti pegawai Penyedia Jasa Keuangan;
e. Pihak-pihak yang disebutkan dalam daftar Perserikatan Bangsa Bangsa atau
defter lainnya yang dikeluarkan olch organisasi intemasional sebagai teroris.
organisasi teroris ataupun organisasi yang melakukan pendanaan; atau
End of Page 21
MENTERI KEUANGAN
-2-
f. Pihak lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan
Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Custonters).
. Usaha yang Berisiko Tinggi (High Risk Business) antara lain terdiri dari.
a. Jasa keuangan, seperti Pedagang Valuta Asing (noney changer), Usaha Jasa
Pengiriman Uang (mnoney renittance):
b. Ofshore company termasuk Penyedia Jasa Keuangan yang beriokasi di tax
dan/atau secregy hamens dan yurisdiksi yang tidak secara memadai
melaksanakan rekomendasi FATF,
Dealer mobil,
d. Agen perjalanan;
e. Pedagang perhiasan, batu permata dan logam berharga;
Perusahaan perdagangan ekspor/impor;
g. Usaha yang berbasis tunai seperti minimarket, jasa pengelola parkir, rumah
makan, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), pedagang isi ulang
pulsa;
h. Penjual grosir (uliolesalers) dan pengecer barang clektronik (khususnya di zona
perdagangan bebas);
i. Advokat, akuntan atau konsultan keuangan;
j. Dealer barang antik dan seni;
k. Agen properti; atau
1. Usaha lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang terkait dengan
Usaha yang Berisiko Tinggi (Hligh Risk Busintess).
4. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries) antara lain terdiri dari:
a. Yurisdiksi yang oleh organisasi yang melakukan mutuinl assessntent terhadap
suatu negara (seperti: Finmcinl Action Task Force on Money Laundering (FATF),
Asia Pacific Group on Money Laundering (APG), Caribbean Finumcial Action Task
Force (CFATF), Commitee of Experts on the Eualuntion of Anti-Money Luundering
Mensures and the Financing of Terrorisnt (MONEYVAL), Ensiern mnd Southern.
Africn Anti-Money Laundering Group (ESAAMLG), The Eurnsian Group on
Combating Money Laundering and Finiancing of Terorism (EAG), The Grupo de
Accion Tinanciern de Sudamnerica (GAFISUD), Intergouernnental Anti-Money
Lnundering Croup in 'Africa (GIABA) atau Middle Ensi G North Africn Finuncinl
Action Tnsk Force (MENAFATP) didentifikasi sebagai tidak secara memadai
melaksanakan Rekomendasi FATF.
. Negara yang, didentifikasi sebagai yang, tidak cooperatioe atau Tax Hamert oleh
Organiantion for Economnic Cooperation and Denelopment (OECD);
. Negara yang memiliki tingkat tata kelola (g0od governanee) yang rendah
sebagaimana ditentukan olch World Bank;
End of Page 22
MENTERI KEUANGAN
. Negara yang memiliki tingkat risiko korupsi yang tinggi sebagaimana
diidentifikasi dalam Transparaitcy International Corruption Perception Index; atau
Negara atau yurisdiksi lain sebagaimana dimuat dalam Pedoman PPATK yang
terkait dengan Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries).
kait dengan Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries).
5. Daftar teroris adalah daftar nama-nama teroris yang antara lain tercatat pada.
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media
initernet seperti. situs PBB
htp: 1/ www.un.org/sc/ comnitees/1267/consolist shtml atau sumber yang
lazim digunakan.
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Salinan sesuai dengan aslinya,.
Kepala Biro Umum
ub.
Kesala Bagian TADep
DAA(
Aronius/Suharis'
TR060041107
End of Page 23
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI LEMBAGA KEUANGAN NON BANK </reg_title>
<set_date> 9 Februari 2010 </set_date>
<effective_date> 9 Februari 2010 </effective_date>
<issued_date> 9 Februari 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '74/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '9/PERPRES/2009', '15/UU/2002', '11/UU/1992', '25/UU/2003', '2/UU/1992', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 37/PMK.010/2010
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS
ANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS PIINGURU
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan industri dana pensiun yang schat
dan akuntabel, perlu didukung oleh pengurus Dana Pensiun
Pemberi Kerja dan pelaksana tugas pengurus Dana Pensiun
Tembaga Keuangan yang memiliki kompetensi dan integritas yang
tinggi;
b. bahwa dalam rangka mengukur tingkat kompetensi dan integritas
pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan pelaksana tugas
pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan, perlu dilakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
hurut a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan bagi Pengurus Dana
Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun
lembaga Keuangan
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang, Dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 126, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3507)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Lembaga Keuangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508);
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P'Tahun 2009;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang
Persyaratan Pengurus Dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi
Kerja Dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga
Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 36 /PMK.010/2010 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 Tentang
Persyaratan Pengurus Dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi
Kerja Dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga
Keuangan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENITAIAN
KHMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS DANA
PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS
PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan
1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun scbagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai Dana Pensiun.
2. Pengurus adalah pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja.
3. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari pendiri Dana Pensiun
Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan
operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
4. Tim Penguji adalah tim yang melakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan terhadap Calon Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas
Pengurus.
5. Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus adalah
seseorang yang diusulkan untuk mengikuti penilaian kemampuan
dan kepatutan dalam rangka penunjukannya sebagai Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus.
6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Maksud dan tujuan penilajan kemampuan dan kepatutan adalah agar
. Dana Pensiun mempunyai Pengurus atau Pelaksana Tugas
Pengurus yang memiliki kemampuan yang memadai sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
b. Dana Pensiun mempunyai Pengurus atau Pelaksana Tugas
Pengurus yang memiliki kepatutan sesuai peraturan perundang-
undangan.
BAB II
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 3
(1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus wajib
mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan.
(2) Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan terhadap
a. seseorang yang belum pernah menjadi Pengurus atau Pelaksana
Tugas Pengurus yang dicalonkan menjadi Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus; atati
b. seseorang yang pernah menjabat sebagai Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus yang dicalonkan kembali menjadi
Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus.
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut
a. Bagi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang tclah
dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dan
dicalonkan kembali menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas
Pengurus pada Dana Pensiun yang sama tidak wajib mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan.
b. Bagi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus yang telah
dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dan
dicalonkan menjadi Pengurus atau Pelaksana Tugas Pengurus pada
Dana Pensiun lain yang menyelenggarakan program pensiun yang
sama, tidak wajib mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan,
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
sepanjang tidak melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung
sejak dinyatakan lulus.
c. Bagi Pelaksana Tugas Pengurus wajib dilakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan paling lambat setiap 5 (lima) tabur
sejak tanggal kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan
terakhir.
Pasal 5
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan berdasarkan
permohonan tertulis dari pendiri Dana Pensiun kepada Menteri
C.Q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
memuat data mengenai Calon Pengurus dan Calon Pelaksana
Tugas Pengurus yang diusulkan untuk mengikuti penilaian
kemampuan dan kepatutan, dengan melampirkan
a. Daftar riwayat hidup beserta dokumen pendukung dari Calon
Pengurus dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang akan
dinilai.
b. Surat pernyataan dari Calon Pengurus dan Calon Pelaksana
Tugas Pengurus yang akan dinijai yang meliputi:
1) kesediaan untuk diangkat menjadi Pengurus dan Pelaksana
Tugas Pengurus;
2) kesediaan untuk mengikuti dan menerima hasil penilaian
tanpa syarat;
3) pernal/ tidak pernah melakukan tindakan/praktik yang
menyimpang dari ketentuan perundang-undangan di bidang
dana pensiun; dan
4) pernah/tidak pernah ikut terlibat dalam perkara pidana
yang diancam sanksi pidana penjara 5 (lima) tahun atat
Icbih, atau terlibat dalam perkara pidana ekonomi.
(3) Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
a. Tanggal berakhimya periode kepengurusan.
b. Rabas waktu penilaian kemampuan dan kea
berkala bagi Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c.
(4) Jumlah Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus
yang diusulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling
banyak 2 (dua) orang untuk setiap jumlah jabatan yang akan disi.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
PPIBLK INDONESIA
Pasal 6
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan terhadap faktor kompetensi dan faktor integritas.
Pasal 7
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6, dilakukan oleh Tim Penguji.
Pasal 8
(1) Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan diklasifikasikan
menjadi2 (dua) predikat sebagai berikut
a. lulus; atau
b. tidak lulus.
(2) Hasil penilaian dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
Pasal 9
(1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang telah
diusulkan oleh pendiri Dana Pensiun dan menolak untuk
dilakukan penilajan kemampuan dan kepatutan, dinyatakan tidak
Iulus kemampuan dan kepatutan.
(2) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang
dinyatakan menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila:
a. tidak menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); atau
b. tidak hadir dalam penilaian kemampuan dan kepatutan setelah 2
(dua) kali dijadwalkan oleh Biro Dana Pensiun.
(3) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang
dinyatakan tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan dapat
diusulkan kembali untuk mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan sepanjang ketidaklulusan yang bersangkutan tidak
disebabkan karena faktor integritas atau karena penolakan untuk
dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pelaksana Tugas Pengurus yang tidak diajukan untuk mengikuti
penilaian kemampuan dan kepatutan secara berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, paling lambat 3 (tiga) bulan
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
-6-
setelah terlewatinya batas waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) huruf b, dinyatakan tidak lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan.
Pasal 10
(1) Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan tidak lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan yang dilakukan secara berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, tidak dapat
bertindak sebagai Pelaksana Tugas Pengurus.
(2) Pendiri Dana Pensiun harus mengajukan Calon Pelaksana Tugas
Pengurus yang lain untuk mengikuti penilaian kemampuan dan
kepatutan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak Pelaksana Tugas
Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan tidak
Iulus.
3) Pendiri Dana Pensiun mengambil alih seluruh tugas dan
wewenang Pelaksana Tugas Pengurus yang dinyatakan tidak lulus
penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), sampai dengan diangkatnya Pelaksana Tugas Pengurus
yang baru.
Pasal 11
Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 9, dilakukan
berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 12
(1) Calon Pengurus atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus yang telah
dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan harus
diangkat oleh pendiri Dana Pensiun scbagai Pengurus atau
Pelaksana Tugas Pengurus dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari sejak tanggal penetapan kelulusan oleh Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) Calon Pengurus atau Calon
Pelaksana Tugas Pengurus untuk setiap jumlah jabatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), dinyatakan lulus
penilaian kemampuan dan kepatutan, penentuan Calon Pengurus
atau Calon Pelaksana Tugas Pengurus untuk mengisi jabatan
tersebut ditetapkan oleh pendiri Dana Pensiun.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
BLIK INDONESA
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dianggap
telah memenuhi persyaratan kelulusan penilaian kemampuan dan
kepatutan.
(2) Dalam hal Pengurus dan Pelaksana Tugas Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dicalonkan untuk menjadi Pengurus dan
Pelaksana Tugas Pengurus baik pada Dana Pensiun yang sama
naupun pada Dana Pensiun yang lain, Pengurus dan Pelaksana
Tugas Pengurus tersebut wajib mengikuti penilaian kemampuan
dan kepatutan.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
tid.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 89
Salinan sesuai dengan asliny
Kepala Biro Umum
u.b. 18
9IP9540428197405100J
End of Page 7
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 37/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI CALON PENGURUS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN CALON PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 12 Februari 2010 </set_date>
<effective_date> setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal 12 Februari 2010. </effective_date>
<issued_date> 12 Februari 2010 </issued_date>
<related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '11/UU/1992', '36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
|
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 /PMK.010/ 2012
TENTANG
199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendorong pertumbuhan industri
Dana Pensiun, dipandang perlu mengubah ketentuan
mengenai sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian laporan investasi
sehagaimana telah ditetapkan dalam Perotro.
Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi
Dana Pensiun;
dalam huruf a di atas, perlu menctapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2008 tentang
Investasi Dana Pensiun;
Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992
Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3508);
Urusan Piutang Negara;
tentang Investasi Dana Pensiun;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
2-
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007
tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 86);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN.
Pasal 1
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 199/PMK.010/2008 tentang Investasi Dana Pensiun,
diubah sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3) diubah serta
ayat (4) dan ayat (5) dihapus sehingga Pasal 21 berbunyi
scbagai berikut.
Pasal 21
(1) Pengurus menyampaikan kepada Menteri c.q. Ketua
Badani Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan
a. daftar investasi bulanan;,
b. laporan investasi tahunan;, dan
c. hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan
investasi tahunan.
(2) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana
Dana Pensiun Pemberi Kerja yang pada akhir periode
pclaporan memiliki total investasi kurang dari
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas
Maporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, tidak berlaku 048 Lotte
Keriavang memenuhi kiteria
sebagai berikut
a. selama tahun buku, investasi Dana Pensiun hanya
berupa tabungan, deposito berjangka, deposito on
call, sertifikat deposito, Sertifikat Bank Indonesia,
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
b. pada akhir tahun buku, total investasi Dana
Pensiun kurang dari Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
2. Pasal 25 dihapus.
3. Ketentuan Pasal 26 ayat (I), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diubah sehingga Pasal 26 berbunyi scbagai berikut.
Pasal 26
(1) Daitar investasi bulanan sebagaimana dimaksud
lama 15 (lima belas) hari setelah akhir periode yang
dilaporkan.
(2) Hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan
investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam
m
5 (ima) bulan setelah akhir tahun buku Dana
Pensiun.
(3) Dana Pensiun yang tidak diwajibkan menyampaikan
hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan
investasi tahunan karena memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), harus
menyampaikan laporan investasi tahunan
scbagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf
b paling lama 2 (dua) bulan setelah akhir tahun buku
Dana Pensiun.
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian daftar investasi
bulanan, hasil pemeriksaan akuntan publik atas
laporan investasi tahunan, dan laporan investasi
tahunan sebasaimana. dimaksudo
(2), dan ayat (3) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
4. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta
ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3) sehingga Pasal
28 berbunyi sebagai berikut
Pasal 28
l Peayampaian daltar investasi bulana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dilakukan
7
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
4
dalam bentuk dokumen fisik (hard copu) dan format
digital yang disediakan oleh Biro Dana Pensiun
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
(2) Penyampaian daftar investasi bulanan, laporan
investasi tahunan, dan hasil pemeriksaan akuntan
publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
(3) Dalam hal daftar investasi bulanan, laporan investasi
tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas
laporan investasi tahunan dikirim melalui kantor pos
atau perusahaan jasa pengiriman/titipan, tanggal
penyampaian laporan adalah tanggal pengiriman
dalam tanda bukti pengiriman.
5. Bab VIII dihapus.
Pasal II
Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal
yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut
Pasal 40A
Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi
penyampaian laporan investasi tahunan dan hasil
pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi
tahunan yang sudah ada sebelum ditetapkannya
Peraturan Menteri Keuangan ini dikategorikan sebagai
piutang macet yang pengurusannya
dilimpahkan/diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan
Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
2. Pasal 41 dihapus.
diundangkan.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
Pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 144
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
KEPALA/BAGIAN T:O RRMENTERIA
KEPA
BRO UMUM
NIP 19390420198402100/
End of Page 5
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 19/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG INVESTASI DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 1 Februari 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date>
<issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date>
<changed_reg> '199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </changed_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '89/PERPRES/2006', '77/PP/1992', '199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '11/UU/1992' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 18 /PMK.010/2010
TENTANG
PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN
USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA BSA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah yang penyelenggaraan usahanya telah diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008, harus senantiasa memenuhi prinsip
syariah Islam, termasuk fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh
Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia;
b. bahwa dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip syariah
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlui kepastian hukum
dalam penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi
dengan prinsip syariah bagi pihak-pihak yang memiliki
kepentingan terhadap usaha asuransi dan usaha reasuransi
dengan prinsip syariah;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan
Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4954);
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009,
MEMUTUSKAN
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENERAPAN
PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI
DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan
Asuransi berdasarkan prinsip syariah adalah usaha saling
tolong menolong (td atuuni) dan melindungi (takafuli) di antara
para peserta melalui pembentukan kumpulan dana (Dana
Tnbarrir) yang dikelola sesuai prinsip syariah untuk
menghadapi risiko tertentu.
2. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya berdasarkan prinsip syariah.
3. Peserta adalah orang atau badan yang menjadi peserta program
asuransi dengan prinsip syariah, atau Perusahaan Asuransi
yang menjadi peserta program reasuransi dengan prinsip
syariah.
Dana Tabarnt adalah kumpulan dana yang berasal dari
kontribusi para Peserta, yang mekanisme penggunaannya
sesuai dengan Akad Tabarrut' yang disepakati.
5. Dana Investasi Peserta adalah dana investasi yang berasal dari
Kontribusi Peserta atas produk asurans wa
unsur investasi, yang dikelola Perusahaan sesuai dengan Akad
yang telah disepakati.
6. Akad adalah perjanjjan tertulis yang memuat kesepakatan
tertentu, beserta hak dan kewajiban para pihak sesuai prinsip
syariah.
Akad Tnham' adalah Akad hibah dalam bentuk pemberian
dana dari satu Peserta kepada Dana Tabarru' untuk tujuan
tolong menolong, di antara para Peserta, yang tidak bersifat dan
bukan untuk tujuan komersial.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-8-
8. Akad Tijarah adalah Akad antara Peserta secara kolektif atau
secara individu dan Perusahaan dengan tujuan komersial.
9. Akad Wakalalt bil Ujait adalah Akad Tijarah yang memberikan
kuasa kepada Perusahaan sebagai wakil Peserta untuk
mengelola Dana Tabarru' dan/atau Dana Investasi Peserta,
sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan
berupa ujral (fee).
10. Akad Mudharabaht adalah Akad Tjaraht yang memberikan kuasa
kepada Perusahaan sebagai ntudhuarib untuk mengelola investasi
Dana Tabarrit' dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai kuasa
atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa bagi
hasil (nisbaii) yang besarnya telah disepakati sebelumnya
11. Akad Mudharabah Musytarakah adalah Akad Tjarah yang
memberikan kuasa kepada Perusahaan sebagai mudharib untuk
mengelola investasi Dana Tabarru' dan/atau Dana Investasi
Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan,
sesuai kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan
berupa bagi hasil (nisbah) yang besarnya ditentukan
berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan telah
disepakati sebelumnya.
12. Surplus Underuriting adalah selisih lebih total kontribusi Peserta
ke dalam Dana Tnbarn' setelah dikurangi pembayaran
santunan/klaim, kontribusi reasuransi dan cadangan teknis,
dalam satu periode tertentu.
13. Qnrdh adalah pinjaman dana dari Perusahaan kepada Dana
Tabarr' untuk menanggulangi ketidakcukupan kekayaan Dana
Tabarru' untuk membayar santunan/klaim kepada Peserta.
14. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PRINSIP DASAR
Pasal 2
Perusahaan yang menyelenggarakan usaha asuransi atau usaha
reasuransi dengan prinsip syariah wajib menerapkan prinsip dasar
sebagai berikut
a. adanya kesepakatan tolong menolong (taauun) dan saling
menanggung (takaful) di antara para Peserta;
b. adanya kontribusi Peserta ke dalam Dana Tabam,
c. Perusahaan bertindaksebagai pengelola Dana Tabara,
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
-4-
d. dipenuhinya prinsip keadilan (adi), dapat dipercaya (amartah),
keseimbangan (tnmazun), kemaslahatan (miaslahali), dan
keuniversalan (sjumul); dan
e. tidak mengandung hal-hal yang diharamkan, seperti
kelidakpastian/ketidakielasan (gharar), perjudian (maysir),
bunga (riba), penganiayaan (shuln), suap (risytoah), maksiat, dan
objek haram.
BAB ITI
PEMISAHAN KEKAYAAN DAN KEWAJIBAN
Pasal 3
(1) Perusahaan wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban Dana
Tabarru' dari kekayaan dan kewajiban Perusahaan.
(2) Perusahaan asuransi jiwa yang memasarkan produk asuransi
dengan prinsip syariah yang mengandung unsur investasi
wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban Dana Investasi
Peserta dari kekayaan dan kewajiban Perusahaan maupun dari
kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru'.
(3) Perusahaan wajib membuat catatan terpisah untuk kekayaan
dan kewajiban Perusahaan, Dana Tabarrid, dan Dana Investasi
Peserta.
Pasal 4
(1) Kekayaan dan kewajiban Dana Tabara' merupakan kekayaan
dan kewajiban para Peserta secara kolektif.
(2) Perusahaan wajib menggunakan Dana Tabarru' sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya untuk:
a. pembayaran santunan kepada Peserta yang mengalami
musibah atau pihak lain yang berhak;
b. pembayaran reasuransi;
c. pembayaran kembali Qardh ke Perusahaan; dan/atau
d. pengembalian Dana Tabarru' akibat pembatalan polis dalam
periode yang diperkenankan.
(3) Perusahaan wajib membentuk Dana Tabarru' untuk setiap lini
usaha.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
-5-
(4) Dalam hal hukum jumlah bilangan besar untuk suatu lini usaha
belum dapat dipenuhi, Perusahaan dapat membentuk Dana
Tabarru' secara gabungan dari beberapa lini usaha.
(5) Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
menginformasikan penggabungan Dana Tabarru kepada
Peserta dan mencantumkannya di dalam polis.
Pasal5
(1) Perusahaan yang akan menghentikan kegiatan usaha asuransi
atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah atas permintaan
sendiri atau atas perintah Menteri, wajib mengalihkan seluruh
Peserta beserta Dana Tabarri' yang dikelolanya kepada
Perusahaan lain, dan/atau mengembalikan alokasi Dana
Tabaru' yang dapat menjadi hak Peserta yang tidak bersedia
dialihkan ke Perusahaan lain.
(2) Dalam hal Menteri memerintahkan Perusahaan untuk
mengalihkan kepesertaan pada lini usaha tertentu kepada
Perusahaan lain, maka pengalihan kepesertaan wajib dikut
pengalihan Dana Tabarru' pada lini usaha tertentu dimaksud.
(3) Dalam hal Perusahaan tidak lagi memiliki Peserta dan
Perusahaan akan menghentikan kegiatan usahanya atas
permintaan sendiri, Dana Tabarru yang ada wajib dihibahkan
kepada lembaga sosial atas pertimbangan Dewan Pengawas
Syariah.
(4) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) terdiri atas 1 (satu) orang ahli syariah atau lebih yang
diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas
rekomendasi Majelis Ulama Indonesia, yang bertugas
memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi
kegiatan Perusahaan agar sesuai dengan prinsip syariah.
Pasal6
(1) Kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta merupakan
kekayaan dan kewajiban masing-masing Peserta secara
individu.
(2) Perusahaan wajib membentuk Dana Investasi Peserta untuk
setiap jenis portofolio investasi sesuai dengan Akad
pengelolaan investasi yang digunakan dalam polis.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(3) Dalam hal Perusahaan akan menawarkan jenis portofolio
investasi baru, Perusahaan wajib menginformasikan kepada
Peserta mengenai pembentukan Dana Investasi Peserta untuk
jenis portofolio investasi baru dimaksuid.
BAB IV
AKAD
Pasal 7
Polis asuransi dan perjanjian reasuransi dengan prinsip syariah
wajib mengandung Akad Tabamrit' dan Akad Tijarah.
Pasal 8
(1) Akad Tabarn' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, wajib
memuat sekurang-kurangnya
a. kesepakatan para Peserta untuk saling tolong menolong
(tn nuuni);
b. hak dan kewajiban masing-masing Peserta secara individu;
c. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dalam kelompok;,
d. cara dan waktu pembayaran kontribusi dan
santunan/klaim,
e. ketentuan mengenai boleh atau tidaknya kontribusi ditarik
kembali oleh Peserta dalam hal terjadi pembatalan oleh
Peserta,
f. ketentuan mengenai alternatif dan persentase pembagian
Surplis Underroriting; dan
8. ketentuan lain yang disepakati.
(2) Akad Tabarrif' tidak dapat diubah menjadi Akad Tijamh.
Pasal 9
(1) Akad Tijarahi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat
berupa Akad Wakalah bil Ujrah, Akad Mudiurabai, dan Akad
Mudinrabah Musytarakai.
(2) Penggunaan salah satu Akad Tijarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (i) wajib dilakukan secara konsisten sampai
berakhirnya polis.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
-7
(3) Dalam hal disepakati perubahan Akad Tijarah, penggunaan
Akad Tjarah yang baru hanya dapat diterapkan pada polis
yang baru.
(4) Dalam hal perubahan Akad Tijarah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terjadi untuk pengelolaan Dana Tabamd,
Perusahaan wajib memisahkan Dana Tabarru' yang dikelola
berdasarkan Akad Tijarah yang lama dari Dana Tabarru' yang
dikelola berdasarkan Akad Tjarah yang baru.
(5) Perusahaan dapat menggunakan Akad Tijarah yang berbeda
dalam pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi Dana
Tabarru.
Pasal 10
(1) Akad Wakalah bil Ujyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1), wajib memuat sekurang-kurangnya
a. objek yang dikuasakan pengelolaannya,
b. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta
secara individu sebagai mumeakkil (pemberi kuasa);
c. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai qoakil (penerima
kuasa) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung
seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
risiko dan/atau kegiatan pengelolaan investasi yang
diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja, kelalaian, atau
wanprestasi yang dilakukan Perusahaan;
d. batasan kuasa atau wewenang yang diberikan Peserta
kepada Perusahaan;
e. besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah (fee); dan
f. ketentuan lain yang disepakati.
(2) Objek yang dikuasakan pengelolaannya sebagaimana
c. pembayaran klaim;
d. underoriting;
e. pengelolaan portofolio risiko
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
8 -
pemasaran; dan/atau
8. investasi.
(3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru' atau Dana
Investasi Peserta didasarkan Akad Wakalah bil Ujyah,
Perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari hasil
investasi.
Pasal 11
Akad Mudharabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1),
wajib memuat sekurang-kurangnya
a. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta
secara individu sebagai shalhibul nual (pemilik dana);
b. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudharib (pengelola
dana) termasuk kewaiban Perusahaan untuk menanggung
seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja,
kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan;
c. batasan wewenang yang diberikan Peserta kepada Perusahaan;
d. bagi hasil (nisbali), cara, dan waktu pembagian hasil investasi;
dan
e. ketentuan lain yang disepakati.
Pasal 12
Akad Mudiarabali Musytarakah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) wajib memtiat sekurang-kurangnya:
a. hak dan kewajiban Peserta secara kolektif dan/atau Peserta
secara individu sebagai sitalibul mal (pemilik dana):
b. hak dan kewajiban Perusahaan sebagai mudharib (pengelola
dana) termasuk kewajiban Perusahaan untuk menanggung
seluruh kerugian yang terjadi dalam kegiatan pengelolaan
investasi yang diakibatkan oleh kesalahan yang disengaja,
kelalaian atau wanprestasi yang dilakukan Perusahaan,
d. cara dan waktu penentuan besar kekayaan Peserta dan
kekayaan Perusahaan;
End of Page 8
MENTERI KEUANGA
BLIK INDONESA
e. bagi hasil (nisbah), cara, dan waktu pembagian hasil investasi;
dan
f. ketentuan lain yang disepakati.
BAB V
SURPLUS UNDERWRITING
Pasal 13
(1) Surplus Underoriting dapat dibagikan dengan pilihan
pembagian sebagai berikut
a. seluruhnya ditambahkan ke dalam Dana Tabarrit ;
b. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru' dan sebagian
dibagikan kepada Peserta; atau
c. sebagian ditambahkan ke dalam Dana Tabarru', sebagian
dibagikan kepada Peserta, dan sebagian dibagikan kepada
Perusahaan.
(2) Pilihan pembagian Surplus Underuoriting sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dimuat di dalam polis
3) Pilihan pembagian Surplus Underariting sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan proporsi pembagian Surplus
Undermuriting tidak dapat diubah sampai dengan berakhirnya
polis.
(4) Surplus Underuriting yang dapat dibagikan dihitung
berdasarkan kekayaan/aktiva dalam bentuk kas (cash basis).
5) Dalam hal pembagian Surplus Underuoriting kepada Peserta
secara ekonomis membutulkan biaya yang lebih besar
daripada bagian yang akan dibagikan, Perusahaan tidak dapat
mengambil bagian Peserta tersebut, dan dapat
menambahkannya ke dalam Dana Tabarru,
memperhitungkannya untuk mengurangi kontribusi Peserta
periode berikutnya, atau memanfaatkannya untuk dana sosial.
(6) Pemanfaatan bagian Surplus Underoriting Peserta sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) wajib diatur di dalam polis.
Pasal 14
(1) Perusahaan dilarang melakukan pembagian Surplus
Underoriting kepada Peserta atau Perusahaan dalam hal:
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-10-
a. masih terdapat Qardi di dalam kewajiban Dana Tabarru;
atau
. pembagian Surplus Undereriting dapat mengakibatkan
tingkat solvabilitas Dana Tabarru' tidak memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal terjadi kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a atau huruf b, Surplus Underoriting seluruhnya
ditambahkan ke dalam Dana Tabarru' .
BAB VI
QARDH
Pasal 15
(1) Perusahaan setiap saat wajib memiliki kemampuan untuk
memberikan pinjaman dalam bentuk Qardit kepada Dana
Tabarru' dalam hal:
a. tingkat solvabilitas Dana Tabam' kurang dari jumlah
minimum yang dipersyaratkan;
b. jumlah investasi dalam kekayaan yang dapat
diperhitungkan dalam perhitungan tingkat kesehatan
keuangan Dana Taharrid, lebih kecil dari jumlah
penyisihan / cadangan teknis dan kewajiban pembayaran
santunan/klaim retensi sendiri dari Dana Tabarrut ;,
c. terjadi selisih kurang atau defisit undlerariting Dana Tabarru';
d. Dana Tabarnt' tidak cukup untuk membayar
santunan/klaim kepada Peserta.
(2) Dalam hal Dana Tabarru' tidak cukup untuk membayar
santunan/klaim kepada Peserta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d, Qardi wajib disetorkan ke dalam Dana Tabarru
(3) Pengembalian Qardh kepada Perusahaan dilakukan dari
Surplus Underaariting dan/atau dari Dana Tabamt.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 16
(1) Pengawasan atas penerapan prinsip dasar penyelenggaraan
usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah
dilakukan oleh Dewan Pengawas Svariah.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
-11-
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilaporkan oleh Perusahaan kepada Biro Perasuransian Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sekurang
kurangnya 1 (satu) tahun sekali.
(3) Pelaporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) wajib disampaikan sesuai tata cara dan bentuk pelaporan
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB VIII
SANKSI
Pasal 17
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4 ayat
(2), Pasal 4 ayat (3), Pasal 4 ayat (5), Pasal 5, Pasal 6 ayat (2),
Pasal 6 ayat (3), Pasal 7, Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (2), Pasal 9
ayat (4), Pasal 10 ayat (1), Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (2),
Pasal 13 ayat (6), Pasal 14, Pasal 15 ayat (1), Pasal 15 ayat (2),
Pasal 16 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), dan Pasal 18 Peraturan
Menteri Keuangan ini dikategorikan sebagai pelanggaran
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dan
dikenakan sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa:
a. Peringatan
b. Pembatasan/Pembekuan Kegiatan Usaha;
c. Pencabutan Jzin Usaha.
(3) Tata cara dan waktu pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai
ketentuan mengenai sanksi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 18
Perusahaan wajib melakukan penyesuaian terhadap ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini paling lambat
tanggal 31 Desember 2010.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
-12 -
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANIINDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 35
Salinan sesuai dengan aslinya,
ub.REta
Atonius Suharto (
P060041107
End of Page 12
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PRINSIP DASAR PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 25 Januari 2010 </set_date>
<effective_date> 25 Januari 2010 </effective_date>
<issued_date> 25 Januari 2010 </issued_date>
<related_reg> '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' , '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR : 153 /PMK.010/2010
TENTANG
KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka menciptakan Pasar Modal yang wajar, teratur dan efisien serta
mampu bersaing dalam era perdagangan bebas, diperlukan upaya peningkatan
kinerja Perusahaan Efek, antara lain terhadap kualitas pelayanan, kualitas sumber
daya manusia, ketaatan terhadap peraturan, dan kualitas sistem back office;
b. bahwa untuk meningkatkan kinerja Perusahaan Efek khususnya yang melakukan
kegiatan sebagai Manajer Investasi, perlu memperkuat kondisi keuangan dan
kemampuan operasional Perusahaan Efek melalui peningkatan modal disetor
Perusahaan Efek;
c. bahwa peningkatan modal disetor Perusahaan Efek khususnya yang melakukan
kegiatan sebagai Manajer Investasi dimaksud sejalan dengan General Principles
International Organization of Securities Commission (IOSCO), yang menyatakan bahwa
harus ada peningkatan secara terus menerus tentang persyaratan untuk menjadi
Perusahaan Efek yang memperhatikan prinsip kehati-hatian, seperti struktur
permodalan awal dan pemeliharaannya sehubungan dengan perkembangan potensi
risiko yang ditanggung oleh Perusahaan Efek;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Kepemilikan Saham dan Permodalan Perusahaan Efek;
Mengingat
: 1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di
Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 86,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3617) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2004 (Lembaran Negara
Tahun 2004 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4372);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di
Bidang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 87,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3618);
4. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEPEMILIKAN SAHAM DAN
PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK.
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan
perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
2. Perusahaan Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek, dan atau Manajer Investasi.
3. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek
untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten
untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
undang-undang mengenai Pasar Modal dan peraturan pelaksanaannya.
5. Penjamin Emisi Efek adalah Pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk
melakukan Penawaran Umum bagi kepentingan Emiten dengan atau tanpa
kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
6. Perantara Pedagang Efek adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek
untuk kepentingan sendiri atau Pihak lain.
7. Pemodal Asing adalah orang perseorangan warga negara asing atau badan hukum
asing.
8. Pemodal Dalam Negeri adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau
badan hukum Indonesia.
9. Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah adalah kegiatan menerima
pembukaan rekening Efek nasabah, melakukan mutasi rekening Efek nasabah dan
menyimpan rekening Efek nasabah.
Pasal 2
(1) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang
bergerak di bidang keuangan selain sekuritas maksimal 85% (delapan puluh lima
perseratus) dari modal disetor.
(2) Saham Perusahaan Efek patungan dapat dimiliki oleh badan hukum asing yang
bergerak di bidang sekuritas yang telah memperoleh izin atau di bawah pengawasan
regulator Pasar Modal di negara asalnya maksimal 99% (sembilan puluh sembilan
perseratus) dari modal disetor.
Pasal 3
(1) Dalam hal Perusahaan Efek nasional atau patungan melakukan Penawaran Umum,
maka saham Perusahaan Efek tersebut dapat dimiliki seluruhnya oleh Pemodal
Dalam Negeri atau Pemodal Asing.
(2) Pemodal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula Pemodal Asing
yang tidak bergerak di bidang keuangan.
Pasal 4
(1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek wajib
memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah).
(2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor paling
sedikit sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
(3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
tidak Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(4) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi wajib
memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah).
(5) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Manajer Investasi wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar
Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah).
(6) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi wajib memiliki
modal disetor paling sedikit sebesar Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar
rupiah).
Pasal 5
(1) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Manajer Investasi yang telah
memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); dan
c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
(2) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan
Manajer Investasi yang telah memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri
Keuangan ini, wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (5), dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah); dan
c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp75.000.000.000,00 (tujuh puluh lima miliar rupiah).
(3) Perusahaan Efek yang menjalankan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek yang
Mengadministrasikan Rekening Efek Nasabah dan Manajer Investasi yang telah
memperoleh izin usaha dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini, wajib menyesuaikan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (6), dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2010 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp40.000.000.000,00 (empat puluh miliar rupiah);
b. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2011 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan
c. paling lambat pada tanggal 31 Desember 2012 wajib memiliki modal disetor
paling sedikit sebesar Rp55.000.000.000,00 (lima puluh lima miliar rupiah).
Pasal 6
Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, maka Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 179/KMK.010/2003 tentang Kepemilikan Saham Dan Permodalan
Perusahaan Efek, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus
2010
MENTERI KEUANGAN,
AGUS
MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 425
D.W.
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 153/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN SAHAM DAN PERMODALAN PERUSAHAAN EFEK </reg_title>
<set_date> 31 Agustus 2010 </set_date>
<effective_date> 31 Agustus 2010 </effective_date>
<issued_date> 31 Agustus 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '179/KMK.010/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '46/PP/1995', '8/UU/1995', '45/PP/1995', '12/PP/2004', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 83/PMK.03/2006
TENTANG
PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN
YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang a. bahwa dalam rangka mendukung berkembangnya industri
asuransi di Indonesia, perlu ditetapkan besarnya dana cadangan
bagi perusahaan asuransi jiwa yang boleh dikurangkan sebagai
biaya;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan Keempat Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan
Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya,
Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263)
sebagaimana telah bebarapa kali diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985);
.Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005,
. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995 tentang
Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai
Biaya sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 204/KMK.04/2000,
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN
YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA.
Pasall
Ketentuan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
80/KMK.04/1995 tentang Besarnya Dana Cadangan Yang Boleh
Dikurangkan Sebagai Biaya sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
204/KMK.04/2000 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
"Pasal 4
(1) Perusahaan Asuransi Jiwa dapat membentuk atau memupuk
cadangan premi untuk menutup klaim yang akan jatuh tempo atau
sebab lainnya.
(2) Besarnya cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan sesuai dengan perhitungan aktuaria dan mendapat
pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang usaha
perasuransian.
(3) Kenaikan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun
dari cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan biaya dalam tahun yang bersangkutan.
(4) Penurunan jumlah saldo akhir dibanding dengan saldo awal tahun
dari cadangan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan penghasilan dalam tahun yang bersangkutan
Klaim yang dibayarkan/terutang merupakan biaya dalam tahun
vang bersangkutan.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2007.
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di akarta
pada tanggal 29 September 2006
MENTERI KEUANGAN
Salinan sesuai dengan aslinya, ttd
Salinan sesuai dengan aslinya,
b SRIMULYANI INDRAWATI
SRIMULYANI INDRAWATI
aus Suharto
60041107
End of Page 3
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 83/PMK.03/2006|PER-MENKEU/2006 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 80/KMK.04/1995 TENTANG BESARNYA DANA CADANGAN YANG BOLEH DIKURANGKAN SEBAGAI BIAYA </reg_title>
<set_date> 29 September 2006 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2007 </effective_date>
<changed_reg> '80/KMK.04/1995|KEP-MENKEU/1995' </changed_reg>
<extension_of> '204/KMK.04/2000|KEP-MENKEU/2000' </extension_of>
<related_reg> '7/UU/1983', '17/UU/2000', '20/P|KEPPRES/2005', '80/KMK.04/1995|KEP-MENKEU/1995', '204/KMK.04/2000|KEP-MENKEU/2000' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 16/PMK.03/2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN BERUPA
UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA,
DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Peraturan
Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal
21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus,
perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang
Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, Dan Jaminan
Hari Tua Yang Dibayarkan Sekaligus;
Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun
2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4999);
2.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3263), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari
Tua yang Dibayarkan Sekaligus (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5082);
4.
Menetapkan
Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN:
: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA
PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS
PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT
PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA
YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan :
1.
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan.
2.
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama
dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana diatur dalam
Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
3.
Pegawai adalah orang pribadi dalam negeri yang menerima
penghasilan berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua yang dibayarkan
sekaligus.
4.
Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh
pemberi kerja termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja
kepada pegawai, dengan nama dan dalam bentuk apapun,
sehubungan dengan berakhirnya masa kerja atau terjadi
pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak.
5.
Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat
pensiun yang dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana
pensiun secara sekaligus sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang dana pensiun oleh Dana Pensiun Pemberi
Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang pendiriannya
telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
6.
Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada
orang pribadi yang telah mencapai usia pensiun.
7.
Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan
sekaligus oleh badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja
kepada orang pribadi yang berhak dalam jangka waktu yang
telah ditentukan atau keadaan lain yang ditentukan.
8.
Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja adalah badan yang
ditunjuk oleh pemberi kerja untuk mengelola Uang Pesangon
yang selanjutnya membayarkan Uang Pesangon tersebut kepada
Pegawai dari pemberi kerja pada saat berakhirnya masa kerja
atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
9.
Pemotong Pajak adalah pemberi kerja, Pengelola Dana Pesangon
Tenaga Kerja, Dana Pensiun Pemberi Kerja, atau Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga
kerja, dan badan lain yang membayar Uang Pesangon, Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua.
Pasal 2
(1)
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai berupa
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus, dikenai
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.
(2)
Penghasilan berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun,
Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dianggap dibayarkan sekaligus dalam
hal sebagian atau seluruh pembayarannya dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun kalender.
(3)
Penghasilan berupa Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pembayaran sebanyak-banyaknya 20% (dua puluh persen)
dari manfaat pensiun yang dibayarkan secara sekaligus
pada saat Pegawai sebagai peserta pensiun atau meninggal
dunia;
b. Pembayaran manfaat pensiun bulanan yang lebih kecil dari
suatu jumlah tertentu yang ditetapkan dari waktu ke waktu
oleh Menteri Keuangan yang dibayarkan secara sekaligus;
c. pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan
asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas
seumur hidup.
(4)
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terutang pada saat dilakukan
pembayaran Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus.
Pasal 3
(1)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Pesangon ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
c. sebesar 15% (lima belas persen) atas penghasilan bruto di
atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
d. sebesar 25% (dua puluh lima persen) atas penghasilan bruto
di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diterapkan atas jumlah kumulatif Uang Pesangon yang
dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 4
(1)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan berupa Uang
Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua
ditentukan sebagai berikut:
a. sebesar 0% (nol persen) atas penghasilan bruto sampai
dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
b. sebesar 5% (lima persen) atas penghasilan bruto di atas
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2)
Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberlakukan atas jumlah kumulatif Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
kalender.
Pasal 5
(1)
Dalam hal terdapat bagian penghasilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) yang terutang atau dibayarkan pada
tahun ketiga dan tahun-tahun berikutnya, pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dilakukan dengan menerapkan tarif Pasal
17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas
jumlah bruto seluruh penghasilan yang terutang atau
dibayarkan kepada Pegawai pada masing-masing tahun
kalender yang bersangkutan.
(2)
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak bersifat final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran pajak pendahuluan atau
kredit pajak.
(3)
Dalam hal Pegawai tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak,
tarif pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) lebih tinggi 20% (dua puluh persen)
daripada tarif yang diterapkan terhadap Pegawai yang dapat
menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Pasal 6
(1)
(2)
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara
sekaligus kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja,
Pegawai dianggap telah menerima hak atas Uang Pesangon.
Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara sekaligus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terutang Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)
(4)
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dipotong oleh pemberi kerja.
Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada
Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21.
Pasal 7
(1)
Dalam hal pemberi kerja mengalihkan Uang Pesangon secara
bertahap atau berkala kepada Pengelola Dana Pesangon Tenaga
Kerja, Pegawai dianggap belum menerima hak atas Uang
Pesangon.
(2)
Atas pengalihan Uang Pesangon kepada Pengelola Dana
Pesangon Tenaga Kerja melalui pembayaran secara bertahap
atau berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terutang Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)
Pada saat Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membayar Uang Pesangon kepada
Pegawai, dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21
yang bersifat final oleh Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja.
Pasal 8
(1)
Dalam hal terjadi pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada
perusahaan asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli
anuitas seumur hidup, Pegawai sebagai peserta dianggap telah
menerima hak atas Uang Manfaat Pensiun yang dibayarkan
secara sekaligus.
(2)
Atas pengalihan Uang Manfaat Pensiun kepada perusahaan
asuransi jiwa dengan cara Dana Pensiun membeli anuitas
seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang bersifat final sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(3)
Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau
Dana Pensiun Lembaga Keuangan pada saat pembelian anuitas
seumur hidup.
(4)
Pada saat perusahaan asuransi jiwa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) membayar Uang Manfaat Pensiun kepada
Pegawai, tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21.
Pasal 9
(1)
Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, menyetorkan,
dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas
Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua untuk setiap Masa Pajak.
(2)
Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong Pajak
untuk setiap Masa Pajak wajib disetor ke Kantor Pos atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, paling lama 10 (sepuluh)
hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3)
Pemotong Pajak wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran
Pajak Penghasilan Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang
dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat
Pemotong Pajak terdaftar, paling lama 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
(4)
Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran Pajak Penghasilan
Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan batas akhir
pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu
atau hari libur nasional, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan Pasal 21 dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
(5)
Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat
dilakukannya pemotongan pajak kepada Pegawai yang berhak
menerima Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan
Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua.
(6)
Kewajiban menghitung, memotong, menyetorkan, dan
melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
kewajiban memberikan bukti pemotongan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), tetap dilakukan terhadap Pegawai yang
dikenai tarif pemotongan sebesar 0% (nol persen).
(7)
Apabila dalam 1 (satu) Masa Pajak, kepada satu Pegawai
dilakukan lebih dari 1 (satu) kali pembayaran penghasilan, bukti
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dan ayat (6) dapat dibuat sekali untuk 1 (satu)
Masa Pajak.
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, pengenaan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau
Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua,
berlaku ketentuan sebagai berikut:
1.
Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun atau Uang Manfaat
Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang
diperoleh Pegawai sebelum berlakunya Peraturan Menteri
Keuangan ini dan pembayarannya dilakukan sejak tanggal 16
November 2009, berlaku ketentuan Peraturan Pemerintah
Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang
Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari
Tua;
2.
Tata Cara pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana
tersebut pada angka 1, berlaku Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 112/KMK.03/2001 tentang Pemotongan Pajak
Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan
Hari Tua;
3.
Saat diperolehnya penghasilan berupa uang pesangon, uang
tebusan pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada angka 1
adalah pada saat Pegawai berhenti bekerja.
Pasal 11
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan
berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua,
atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus dengan menggunakan
tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 5 ayat (1), sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 12
Pada saat berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.03/2001 Tentang Pemotongan
Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon,
Uang Tebusan Pensiun, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 16
November 2009.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK
ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 33
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 16/PMK.03/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PENGHASILAN BERUPA UANG PESANGON, UANG MANFAAT PENSIUN, TUNJANGAN HARI TUA, DAN JAMINAN HARI TUA YANG DIBAYARKAN SEKALIGUS </reg_title>
<set_date> 25 Januari 2010 </set_date>
<effective_date> 16 November 2009 </effective_date>
<issued_date> 25 Januari 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '112/KMK.03/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/1983', '16/UU/2009', '7/UU/1983', '36/UU/2008', '68/PP/2009', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 140 /PMK.010/2009
TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pembinaan dan Pengawasan Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4957);
2. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
EKSPOR INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, yang selanjutnya
disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
- 2 -
2. Pembinaan dan Pengawasan adalah proses pembinaan dan
pengawasan LPEI sesuai ketentuan Undang-Undang tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
3. Pemerintah adalah pemerintah negara Republik Indonesia.
4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
5. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
6. Pembiayaan adalah kredit dan/atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah yang disediakan oleh LPEI.
7. Penjaminan adalah pemberian fasilitas jaminan untuk
menanggung pembayaran kewajiban keuangan pihak terjamin
dalam hal pihak terjamin tidak dapat memenuhi kewajiban
perikatan kepada krediturnya.
8. Asuransi adalah pemberian fasilitas berupa ganti rugi atas
kerugian yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti.
9. Prinsip Syariah adalah pokok-pokok aturan berdasarkan
hukum Islam yang dijadikan landasan dalam pembuatan
perjanjian antara LPEI dan pihak lain dalam menjalankan
kegiatan Pembiayaan Ekspor Nasional.
10. Akad Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara
pihak pertama (malik, shahibul mal) yang menyediakan seluruh
modal dan pihak kedua (‘amil, mudharib, atau nasabah) yang
bertindak selaku pengelola dana dengan membagi
keuntungan usaha sesuai dengan kesepakatan yang
dituangkan dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung
sepenuhnya oleh pihak pertama kecuali jika pihak kedua
melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau menyalahi
perjanjian.
11. Akad Musyarakah adalah akad kerja sama di antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing
pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana
masing-masing
12. Akad Murabahah adalah akad Pembiayaan suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
- 3 -
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
keuntungan yang disepakati.
13. Akad Salam adalah akad Pembiayaan suatu barang dengan
cara pemesanan dan pembayaran harga yang dilakukan
terlebih dahulu dengan syarat tertentu yang disepakati.
14. Akad Istishna’ adalah akad Pembiayaan barang dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan atau
pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat (shani’).
15. Akad Qardh adalah akad pinjaman dana kepada nasabah
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana
yang diterimanya pada waktu yang telah disepakati.
16. Akad Ijarah adalah akad penyediaan dana dalam rangka
memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau
jasa berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
17. Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik adalah akad penyediaan
dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari
suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan
opsi pemindahan kepemilikan barang.
18. Akad Hawalah adalah akad pengalihan hutang dari pihak yang
berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung atau
membayar.
19. Akad Wakalah adalah akad pemberian kuasa kepada penerima
kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi
kuasa.
20. Akad Kafalah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan
satu pihak kepada pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil)
bertanggung jawab atas pembayaran kembali hutang yang
menjadi hak penerima jaminan (makful).
21. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh
Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga
keuangan atau bisnis syariah yang bertugas mengawasi
kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
- 4 -
22. Akad Mudharabah Musytarakah adalah bentuk Akad Mudharabah
dimana pengelola dana (mudharib) menyertakan modal atau
dananya dalam kerja sama usaha.
23. Akad Jualah adalah akad dimana pihak pertama menjanjikan
imbalan tertentu kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu
tugas pengadaan dana yang dilakukan oleh pihak kedua
untuk kepentingan pihak pertama.
24. Transaksi Derivatif adalah suatu kontrak atau perjanjian
pembayaran yang nilainya merupakan turunan dari nilai dari
instrumen yang mendasari, seperti suku bunga, nilai tukar
komoditi, ekuitas dan indeks baik yang diikuti pergerakan
atau tanpa pergerakan dana/instrumen, yang dilakukan
dalam rangka lindung nilai (hedging).
25. Batas Maksimum Transaksi Derivatif yang selanjutnya disebut
dengan BMTD adalah persentase maksimum transaksi
derivatif yang diperkenankan terhadap modal LPEI.
26. Modal adalah modal LPEI sebagaimana dimaksud dalam
pengaturan rasio kecukupan modal.
27. Tagihan Derivatif adalah tagihan karena potensi keuntungan
dari suatu perjanjian/kontrak transaksi derivatif (selisih
positif antara nilai kontrak dengan nilai wajar transaksi
derivatif pada tanggal laporan), termasuk potensi keuntungan
karena mark to market dari transaksi spot yang masih berjalan.
28. Aktiva adalah Aktiva Produktif dan Aktiva Non Produktif
yang dilaksanakan secara konvensional maupun berdasarkan
Prinsip Syariah.
29. Aktiva Produktif adalah penanaman dana LPEI untuk
memperoleh penghasilan.
30. Aktiva Non Produktif adalah aset LPEI selain Aktiva
Produktif yang memiliki potensi kerugian, antara lain dalam
bentuk agunan yang diambil alih, rekening antar kantor dan
suspense account.
31. Tagihan Akseptasi adalah tagihan yang timbul sebagai akibat
akseptasi yang dilakukan terhadap wesel berjangka.
32. Transaksi Rekening Administratif adalah kewajiban komitmen
dan kontinjensi yang antara lain meliputi penerbitan jaminan,
- 5 -
letter of credit, standby letter of credit, fasilitas pembiayaan yang
belum ditarik dan/atau kewajiban komitmen dan kontinjensi
lain.
33. Sertifikat Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SBI adalah
surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu
pendek.
34. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disebut AYDA
adalah aktiva yang diperoleh LPEI, baik melalui pelelangan
maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara
sukarela oleh pemilik agunan dalam hal peminjam tidak
memenuhi kewajibannya kepada LPEI.
35. Rekening Antar Kantor adalah tagihan yang timbul dari
transaksi antar kantor yang belum diselesaikan dalam jangka
waktu tertentu.
36. Suspense Account adalah akun yang tujuan pencatatannya
belum teridentifikasi sehingga tidak dapat direklasifikasi
dalam akun yang seharusnya.
37. Penyisihan Penghapusan Aktiva yang untuk selanjutnya
disebut PPA adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar
persentase tertentu berdasarkan kualitas Aktiva.
38. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan yang selanjutnya
disebut BMPP adalah persentase maksimum penanaman dana
dalam bentuk pembiayaan, penempatan, dan tagihan
akseptasi yang diperkenankan terhadap modal LPEI.
39. Pelampauan BMPP adalah selisih lebih antara persentase
BMPP yang diperkenankan dengan persentase penanaman
dana terhadap modal LPEI pada saat tanggal laporan dan
tidak termasuk Pelanggaran BMPP sebagaimana dimaksud
pada angka 40.
40. Pelanggaran BMPP adalah selisih lebih antara persentase
BMPP yang diperkenankan dengan persentase penanaman
dana terhadap modal LPEI pada saat penanaman dana.
41. Retensi Sendiri adalah bagian dari jumlah uang ganti rugi atas
kerugian atau fasilitas jaminan untuk setiap risiko yang
menjadi tanggungan sendiri tanpa didukung reasuransi atau
penjaminan ulang.
- 6 -
42. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi
mengenai kegiatan LPEI, yang bertujuan untuk memperoleh
keyakinan atas kebenaran laporan periodik, menilai
kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku serta memastikan
bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya.
BAB II
ORGAN
Pasal 2
Dewan Direktur merupakan organ tunggal LPEI yang terdiri
dari:
a. seorang anggota Dewan Direktur yang ditetapkan sebagai
Ketua Dewan Direktur merangkap Direktur Eksekutif; dan
b. paling banyak 9 (sembilan) orang anggota Dewan Direktur
sebagai Direktur Non Eksekutif.
Pasal 3
(1) Dewan Direktur bertugas merumuskan dan menetapkan
kebijakan serta melakukan pengawasan terhadap kegiatan
operasional LPEI.
(2) Kegiatan Operasional LPEI dilakukan oleh Direktur
Eksekutif dan dibantu paling banyak 5 (lima) orang Direktur
Pelaksana.
Pasal 4
Dalam hal Ketua Dewan Direktur berhalangan, maka tugas dan
wewenang Ketua Dewan Direktur dilakukan oleh salah satu
anggota Dewan Direktur Non Eksekutif yang ditunjuk oleh
Dewan Direktur.
Pasal 5
(1) Dalam hal anggota Dewan Direktur menjalani pemeriksaan
dalam perkara tindak pidana kejahatan sebagai
- 7 -
tersangka/terdakwa yang mengakibatkan terganggunya
kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, yang
bersangkutan wajib mengajukan permintaan untuk non
aktif kepada Menteri.
(2) Dalam hal permintaan untuk non aktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan, Menteri dapat
memutuskan status non aktif kepada yang bersangkutan.
(3) Dalam rangka melaksanakan tugas dan wewenang direktur
non aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
Dewan Direktur menunjuk anggota Dewan Direktur lainnya
untuk melaksanakan tugas dan wewenang tersebut.
(4) Anggota Dewan Direktur yang berstatus non aktif dapat
diaktifkan kembali oleh Menteri dalam hal proses
pemeriksaan sudah selesai dan tidak mengganggu
kelancaran pelaksanaan tugas.
BAB III
KEGIATAN USAHA
Pasal 6
(1) Kegiatan usaha LPEI meliputi:
a. Pembiayaan;
b. Penjaminan;
c. Asuransi; dan
d. Jasa konsultasi.
(2) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a, huruf b, dan huruf c dapat dilakukan berdasarkan Prinsip
Syariah.
(3) Kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Pembiayaan bagi hasil dengan Akad Mudharabah, Akad
Musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
b. Pembiayaan dengan Akad Murabahah, Akad Salam, Akad
Istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah;
- 8 -
c. Pembiayaan dengan Akad Qardh atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. Pembiayaan penyewaan dengan Akad Ijarah, Akad Ijarah
Muntahiyah bit Tamlik, atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. penerimaan kuasa dalam rangka pengambilalihan hutang
piutang atau kegiatan lain dengan Akad Hawalah, Akad
Wakalah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah; dan/atau
f. Penjaminan dengan Akad Kafalah atau akad lain yang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
(4) Dalam melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah, LPEI wajib:
a. membuka unit kerja khusus;
b. mengalokasikan modal tersendiri;
c. melakukan pembukuan secara terpisah;
d. menunjuk Dewan Pengawas Syariah; dan
e. tunduk pada fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 7
LPEI wajib menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik,
penerapan manajemen risiko, dan prinsip mengenal nasabah
dalam setiap kegiatannya.
BAB IV
SUMBER PENDANAAN
Pasal 8
(1) Untuk membiayai kegiatannya, LPEI hanya dapat
memperoleh dana dari:
a. penerbitan surat berharga;
b. pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan/atau
jangka panjang yang bersumber dari:
1. pemerintah asing;
2. lembaga multilateral;
3. bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan, baik
dari dalam maupun luar negeri;
4. Pemerintah; dan/atau
c. hibah.
- 9 -
(2) Selain memperoleh dana dari sumber-sumber sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), LPEI hanya dapat membiayai
kegiatannya dengan sumber pendanaan dari penempatan
dana oleh Bank Indonesia.
Pasal 9
(1) Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat
diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Akad yang digunakan dalam pendanaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa
Akad Mudharabah, Akad Mudharabah Musytarakah, Akad Ijarah,
Akad Murabahah, Akad Qardh, dan Akad Jualah atau akad-akad
lain sesuai penetapan Menteri.
BAB V
TRANSAKSI DERIVATIF
Pasal 10
(1) LPEI wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dalam
mengelola tagihan dan/atau kewajiban yang timbul dari
Transaksi Derivatif.
(2) Transaksi Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan dalam rangka lindung nilai (hedging).
Pasal 11
(1) BMTD untuk setiap pihak lawan ditetapkan sebesar 10%
(sepuluh persen) dari Modal.
(2) BMTD dihitung berdasarkan risiko Transaksi Derivatif yang
terdiri dari Tagihan Derivatif ditambah Potential Future Credit
Exposure.
(3) Dalam menghitung nilai risiko Transaksi Derivatif, LPEI
dapat melakukan saling hapus (set-off) sepanjang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. merupakan instrumen sejenis;
b. memiliki transaksi yang mendasari
transaction) yang sejenis;
(underlying
c. memiliki valuta yang sama;
- 10 -
d. dilakukan dengan pihak lawan (counterparty) yang sama;
e. mempunyai jangka waktu yang sama; dan
f. diatur dalam perjanjian para pihak (netting agreement)
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 12
Ketentuan mengenai pelampauan, penyelesaian pelanggaran dan
pelampauan, serta pelaporan BMPP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 57 berlaku pula bagi
BMTD.
BAB VI
KUALITAS AKTIVA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
(1) Direktur Eksekutif wajib menilai, memantau dan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar kualitas Aktiva
senantiasa baik.
(2) Penilaian kualitas Aktiva dilakukan terhadap Aktiva
Produktif dan Aktiva Non Produktif.
(3) Direktur Eksekutif yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) huruf a.
Bagian Kedua
Aktiva Produktif
Paragraf 1
Umum
Pasal 14
(1) LPEI wajib menetapkan kualitas yang sama terhadap:
a. 1 (satu) peminjam dengan beberapa rekening yang
berbeda; dan/atau
b. 1 (satu) peminjam yang dibiayai oleh beberapa kreditur
untuk membiayai proyek yang sama.
- 11 -
(2) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aktiva Produktif,
kualitas Aktiva Produktif yang digunakan adalah yang
paling rendah.
(3) LPEI dapat menetapkan kualitas Aktiva Produktif yang
berbeda, dalam hal:
a. penetapan kualitas Aktiva Produktif menggunakan
faktor risiko negara (country risk) Republik Indonesia;
b. penetapan kualitas Aktiva Produktif yang telah dihapus
tagih;
c. pembiayaan sampai dengan jumlah Rp10.000.000.000,-
(sepuluh miliar rupiah); dan/atau
d. peminjam memiliki beberapa proyek yang berbeda
dengan pemisahan arus kas (cash flow) yang tegas dari
masing-masing proyek.
(4) Penyesuaian kualitas Aktiva Produktif dilakukan paling
kurang setiap 3 (tiga) bulan, yaitu untuk posisi akhir bulan
Maret, Juni, September dan Desember.
Pasal 15
(1) LPEI wajib menetapkan kriteria peminjam yang wajib
menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit kantor
akuntan publik termasuk aturan mengenai batas waktu
penyampaian laporan keuangan tersebut.
(2) Kewajiban peminjam untuk menyampaikan laporan
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perjanjian antara LPEI dan peminjam.
(3) Kualitas Aktiva Produktif dari peminjam yang tidak
menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diturunkan satu tingkat dan dinilai paling
tinggi kurang lancar.
Paragraf 2
Pembiayaan
Pasal 16
(1) Kualitas Pembiayaan ditetapkan berdasarkan faktor penilaian
sebagai berikut:
a. prospek usaha;
- 12 -
b. kinerja (performance) peminjam; dan
c. kemampuan membayar.
(2) Penilaian terhadap prospek usaha meliputi komponen-
komponen sebagai berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi peminjam dalam persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan peminjam dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(3) Penilaian terhadap kinerja peminjam meliputi komponen-
komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(4) Penilaian terhadap kemampuan membayar meliputi
komponen-komponen sebagai berikut:
a. ketepatan pembayaran pokok dan bunga, atau
margin/bagi hasil/fee untuk kegiatan berdasarkan
Prinsip Syariah;
b. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan
peminjam;
c. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan;
d. kepatuhan terhadap perjanjian Pembiayaan;
e. kesesuaian penggunaan dana; dan
f. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
(5) Penilaian kualitas Pembiayaan ditetapkan menjadi:
a. Lancar;
b. Dalam Perhatian Khusus;
c. Kurang Lancar;
d. Diragukan; atau
e. Macet.
(6) Pedoman penilaian kualitas pembiayaan ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri
Keuangan ini.
- 13 -
Pasal 17
(1) Penilaian faktor kemampuan membayar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) huruf a untuk Pembiayaan
dengan Akad Mudharabah dan Akad Musyarakah mengacu
pada ketepatan pembayaran angsuran pokok dan/atau
pencapaian rasio antara Realisasi Pendapatan (RP) dengan
Proyeksi Pendapatan (PP).
(2) Penghitungan RP dan PP sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung berdasarkan rata-rata akumulasi selama periode
Pembiayaan berdasarkan analisis kelayakan usaha dan arus
kas masuk nasabah.
(3) LPEI dapat mengubah PP berdasarkan kesepakatan dengan
nasabah apabila terdapat perubahan atas kondisi ekonomi
makro, bisnis, pasar dan politik yang mempengaruhi usaha
nasabah.
(4) RP dan PP merupakan bagian tidak terpisahkan dari
perjanjian Pembiayaan dengan Akad Mudharabah dan Akad
Musyarakah.
Paragraf 3
Surat Berharga
Pasal 18
(1) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga,
termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang
diterbitkan oleh:
a. Pemerintah;
b. Bank Indonesia;
c. pemerintah negara donor; atau
d. lembaga keuangan multilateral;
ditetapkan Lancar.
(2) Pemerintah negara donor dan lembaga keuangan multilateral
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d
termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade).
(3) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga
selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diakui
- 14 -
berdasarkan nilai pasar ditetapkan memiliki kualitas Lancar
sepanjang memenuhi persyaratan:
a. aktif diperdagangkan di bursa efek;
b. terdapat informasi nilai pasar secara transparan;
c. kupon, imbalan atau kewajiban lain yang sejenis dibayar
dalam jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian;
dan
d. belum jatuh tempo.
(4) Kualitas penempatan dana dalam bentuk surat berharga,
termasuk surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah, yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan/atau huruf b atau surat
berharga yang diakui berdasarkan harga perolehan
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade);
2. kupon, atau kewajiban lain yang sejenis dibayar dalam
jumlah dan waktu yang tepat, sesuai perjanjian; dan
3. belum jatuh tempo.
b. Kurang Lancar, apabila:
1. termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade);
2. terdapat penundaan pembayaran kupon atau
kewajiban lain yang sejenis, bagi hasil/marjin/fee; dan
3. belum jatuh tempo,
atau
1. memiliki peringkat paling kurang 1 (satu) tingkat di
bawah kategori yang layak untuk investasi (investment
grade);
2. tidak terdapat penundaan pembayaran kupon atau
kewajiban lain yang sejenis; dan
3. belum jatuh tempo.
c. Macet, apabila Surat Berharga tidak memenuhi kriteria
sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b.
(5) Kategori yang layak untuk investasi (investment grade)
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didasarkan pada
peringkat surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
pemeringkat dalam satu tahun terakhir.
- 15 -
Paragraf 4
Penempatan Dalam Bentuk Simpanan
Pasal 19
(1) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan rupiah atau
valuta asing pada Bank Indonesia ditetapkan Lancar.
(2) Kualitas penempatan dalam bentuk simpanan pada bank
dalam dan/atau luar negeri ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) paling kurang
sama dengan ketentuan yang berlaku; dan
2. tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga.
b. Kurang Lancar, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM
paling kurang sama dengan ketentuan yang berlaku;
dan
2. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga sampai dengan 5 (lima) hari kerja.
c. Macet, apabila:
1. bank penerima penempatan memiliki rasio KPMM
kurang dari ketentuan yang berlaku;
2. bank penerima penempatan telah ditetapkan dan
diumumkan sebagai bank dengan status dalam
pengawasan khusus (special surveillance) atau bank telah
dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan usaha;
3. bank penerima penempatan ditetapkan sebagai bank
dalam likuidasi; dan/atau
4. terdapat tunggakan pembayaran pokok dan/atau
bunga lebih dari 5 (lima) hari kerja.
Pasal 20
(1) Penempatan dalam bentuk simpanan dengan Prinsip Syariah
terdiri dari:
a. Surat Berharga Pasar Uang Syariah; dan
b. penempatan dalam bentuk lain.
- 16 -
(2) Kualitas penempatan Surat Berharga Pasar Uang Syariah
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila memenuhi persyaratan:
1. terdapat informasi tentang surat berharga tersebut
secara transparan;
2. telah diterima imbalan dalam jumlah dan waktu yang
tepat, sesuai akad; dan
3. belum jatuh tempo.
b. Macet, apabila tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
(3) Kualitas penempatan dalam bentuk lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio
KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang
berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
a) tidak terdapat tunggakan pembayaran pokok
untuk Akad Qardh;
b) dapat ditarik setiap saat untuk giro berdasarkan
Akad Wadiah; atau
c) tidak terdapat tunggakan pembayaran nominal
investasi dan/atau bagi hasil deposito berdasarkan
Akad Mudharabah atau Akad Murabahah.
b. Kurang lancar, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio
KPMM paling kurang sama dengan ketentuan yang
berlaku; dan
2. memenuhi persyaratan:
a) terdapat tunggakan pembayaran pokok sampai
dengan 5 (lima) hari kerja untuk Akad Qardh;
b) tidak dapat ditarik sampai dengan 5 (lima) hari
kerja untuk giro berdasarkan Akad Wadiah; atau
c) terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil sampai dengan 5 (lima) hari
kerja untuk deposito dengan Akad Mudharabah atau
Akad Murabahah.
c. Macet, apabila:
1. bank yang menerima penempatan memiliki rasio
KPMM kurang dari ketentuan yang berlaku;
- 17 -
2. bank yang menerima penempatan telah ditetapkan
dan diumumkan sebagai bank dengan status dalam
pengawasan khusus (special surveillance) atau bank
telah dikenakan sanksi pembekuan seluruh kegiatan
usaha;
3. bank yang menerima penempatan ditetapkan sebagai
bank dalam likuidasi; dan/atau
4. memenuhi persyaratan:
a) terdapat tunggakan pembayaran pokok untuk Akad
Qardh lebih dari 5 (lima) hari kerja;
b) tidak dapat ditarik saat jangka waktu lebih dari 5
(lima) hari kerja untuk giro berdasarkan Akad
Wadiah; atau
c) terdapat tunggakan pembayaran nominal investasi
dan/atau bagi hasil lebih dari 5 (lima) hari kerja
untuk deposito berdasarkan Akad Mudharabah atau
Akad Murabahah.
Paragraf 5
Tagihan Akseptasi dan Tagihan Derivatif
Pasal 21
Kualitas Tagihan Akseptasi ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan kualitas penempatan dalam bentuk simpanan di
bank apabila pihak yang wajib melunasi tagihan adalah bank;
atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan apabila pihak yang wajib
melunasi tagihan adalah peminjam.
Pasal 22
Kualitas Tagihan Derivatif dalam rangka melakukan lindung nilai
(hedging) ditetapkan berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam bentuk
simpanan di bank apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bank; atau
b. ketentuan kualitas Pembiayaan apabila pihak lawan transaksi
(counterparty) adalah bukan bank.
- 18 -
Paragraf 6
Penyertaan Modal
Pasal 23
(1) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan metode
biaya (cost method) ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila penerima penyertaan modal (investee)
memperoleh laba dan tidak mengalami kerugian
kumulatif;
b. Kurang Lancar, apabila penerima penyertaan modal
(investee) mengalami kerugian kumulatif sampai dengan
25% (dua puluh lima persen) dari modal penerima
penyertaan modal (investee);
c. Diragukan, apabila penerima penyertaan modal (investee)
mengalami kerugian kumulatif lebih dari 25% (dua puluh
lima persen) sampai dengan 50% (lima puluh persen) dari
modal penerima penyertaan modal (investee); atau
d. Macet, apabila penerima penyertaan modal (investee)
mengalami kerugian kumulatif lebih dari 50% (lima puluh
persen) dari modal penerima penyertaan modal (investee).
(2) Kerugian kumulatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan laporan keuangan tahun buku terakhir yang telah
diaudit.
(3) Kualitas penyertaan modal yang dinilai berdasarkan metode
ekuitas (equity method) ditetapkan Lancar.
Paragraf 7
Penyertaan Modal Sementara
Pasal 24
Kualitas penyertaan modal sementara ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila belum melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun;
b. Kurang Lancar, apabila telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
tahun namun belum melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila telah melampaui jangka waktu 3 (tiga)
tahun namun belum melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun;
atau
d. Macet, apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun
atau belum ditarik kembali meskipun perusahaan peminjam
telah memiliki laba kumulatif.
- 19 -
Paragraf 8
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 25
Kualitas Transaksi Rekening Administratif ditetapkan
berdasarkan:
a. ketentuan penetapan kualitas penempatan dalam bentuk
simpanan di bank apabila pihak lawan transaksi (counterparty)
adalah bank;
b. ketentuan penetapan kualitas Pembiayaan apabila pihak lawan
transaksi (counterparty) adalah peminjam.
Paragraf 9
Aktiva Produktif yang Dijamin dengan Agunan Tunai
Pasal 26
(1) Bagian dari Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan
tunai ditetapkan memiliki kualitas Lancar.
(2) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. deposito di bank, setoran jaminan dan/atau emas;
b. SBI, Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Surat Utang
Negara, Sukuk, dan/atau surat berharga lainnya yang
diterbitkan oleh Pemerintah atau Bank Indonesia;
c.
jaminan Pemerintah dan pemerintah asing yang
termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade); dan/atau
d. standby letter of credit sesuai dengan Uniform Customs and
Practice for Documentary Credits (UCP) atau International
Standby Practices (ISP) yang diterbitkan oleh bank
berperingkat sampai dengan 200 Banker’s Almanac atau
Export Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam
kategori yang layak untuk investasi (investment grade).
(3) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa;
b.
jangka waktu pemblokiran paling kurang sama dengan
jangka waktu Aktiva Produktif;
c. memiliki pengikatan hukum yang kuat
enforceable); dan
(legally
- 20 -
d. disimpan pada LPEI dan / atau bank pemerintah.
(4) Agunan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c
dan huruf d wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan (irrevocable);
b. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diajukannya klaim, termasuk pencairan sebagian
untuk membayar tunggakan angsuran pokok atau bunga;
dan
c. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan
jangka waktu Aktiva Produktif.
Pasal 27
LPEI wajib mengajukan klaim pencairan agunan tunai paling
lama 5 (lima) hari kerja setelah peminjam wanprestasi (event of
default) berdasarkan penetapan LPEI.
Paragraf 10
Pembiayaan dan Penempatan Dana
kepada Usaha Mikro Kecil dan Menengah dan Daerah Tertentu
Pasal 28
Penetapan kualitas hanya didasarkan atas ketepatan pembayaran
pokok dan/atau bunga untuk:
a. Pembiayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah; dan
b. Pembiayaan dan penempatan dana kepada peminjam dengan
lokasi kegiatan usaha berada di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri.
Bagian Ketiga
Aktiva Non Produktif
Paragraf 1
Umum
Pasal 29
Aktiva Non Produktif meliputi AYDA, Rekening Antar Kantor,
dan Suspense Account.
- 21 -
Paragraf 2
AYDA
Pasal 30
(1) LPEI wajib melakukan upaya penyelesaian terhadap AYDA.
(2) LPEI wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian
AYDA.
(3) Pada saat pengambilalihan agunan, LPEI wajib melakukan
penilaian kembali terhadap AYDA untuk menetapkan net
realizable value.
(4) Penetapan net realizable value sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan oleh penilai eksternal.
(5) Penilai eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
adalah perusahaan penilai yang memenuhi syarat:
a. tidak merupakan pihak terkait dengan peminjam LPEI;
b. melakukan kegiatan penilaian berdasarkan kode etik
profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
institusi yang berwenang;
c. menggunakan metode penilaian berdasarkan standar
profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang
berwenang;
d. memiliki izin usaha dari institusi yang berwenang untuk
beroperasi sebagai perusahaan penilai; dan
e. tercatat sebagai anggota asosiasi yang diakui oleh
institusi yang berwenang.
Pasal 31
(1) Kualitas AYDA yang dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) ditetapkan
sebagai berikut:
a. Lancar, apabila AYDA dimiliki sampai dengan 1 (satu)
tahun;
b. Kurang Lancar, apabila AYDA dimiliki lebih dari 1 (satu)
tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun;
c. Diragukan, apabila AYDA dimiliki lebih dari 3 (tiga)
tahun sampai dengan 5 (lima) tahun; atau
d. Macet, apabila AYDA dimiliki lebih dari 5 (lima) tahun.
- 22 -
(2) AYDA yang tidak dilakukan upaya penyelesaian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), ditetapkan
memiliki kualitas satu tingkat di bawah ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Paragraf 3
Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
Pasal 32
(1) LPEI wajib melakukan upaya penyelesaian Rekening Antar
Kantor dan Suspense Account.
(2) Kualitas Rekening Antar Kantor dan Suspense Account
ditetapkan sebagai berikut:
a. Lancar, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense
Account tercatat dalam pembukuan LPEI sampai dengan
90 (sembilan puluh) hari; atau
b. Macet, apabila Rekening Antar Kantor dan Suspense
Account tercatat dalam pembukuan LPEI lebih dari 90
(sembilan puluh) hari.
Bagian Keempat
Penyisihan Penghapusan Aktiva
Paragraf 1
Umum
Pasal 33
(1) LPEI wajib membentuk PPA terhadap Aktiva Produktif dan
Aktiva Non Produktif.
(2) PPA terdiri dari:
a. cadangan umum dan cadangan khusus untuk Aktiva
Produktif; dan
b. cadangan khusus untuk Aktiva Non Produktif.
(3) Cadangan umum ditetapkan paling kurang sebesar 1% (satu
persen) dari Aktiva Produktif yang memiliki kualitas Lancar.
(4) Pembentukan cadangan umum dikecualikan untuk Aktiva
Produktif dalam bentuk:
- 23 -
a. surat berharga yang diterbitkan Pemerintah;
b. SBI;
c. Surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah negara
donor;
d. Surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga keuangan
multilateral; dan
e. bagian Aktiva Produktif yang dijamin dengan agunan
tunai.
(5) Cadangan khusus ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 5% (lima persen) dari Aktiva dengan kualitas Dalam
Perhatian Khusus setelah dikurangi nilai agunan;
b. 15% (lima belas persen) dari Aktiva dengan kualitas
Kurang Lancar setelah dikurangi nilai agunan;
c. 50% (lima puluh persen) dari Aktiva dengan kualitas
Diragukan setelah dikurangi nilai agunan; dan/atau
d. 100% (seratus persen) dari Aktiva dengan kualitas Macet
setelah dikurangi nilai agunan.
(6) Kewajiban untuk membentuk PPA tidak berlaku bagi Aktiva
Produktif untuk transaksi sewa berupa pembiayaan dengan
Akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak
milik berupa pembiayaan dengan Akad Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik.
(7) LPEI wajib membentuk penyusutan/amortisasi untuk
transaksi sewa, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pembiayaan dengan Akad Ijarah disusutkan/diamortisasi
sesuai dengan kebijakan penyusutan LPEI bagi aktiva
yang sejenis; atau
b. pembiayaan dengan Akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik
disusutkan sesuai dengan masa sewa.
(8) Penggunaan nilai agunan sebagai faktor pengurang dalam
perhitungan PPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
hanya dapat dilakukan untuk Aktiva Produktif.
(9) Pembentukan PPA untuk Aktiva Produktif dalam bentuk
pembiayaan dengan Akad Murabahah, Akad Salam, dan Akad
Istishna’ mempergunakan angka saldo harga perolehan atau
saldo harga pokok.
- 24 -
Paragraf 2
Persyaratan Agunan dan Perhitungan Agunan
sebagai Faktor Pengurang PPA
Pasal 34
Agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang dalam
pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di bursa
efek atau termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade) dan diikat secara gadai;
b. kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat secara fidusia;
c. resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas resi gudang;
d. mesin yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan diikat
dengan hak tanggungan;
e. pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di atas 20 (dua
puluh) meter kubik yang diikat dengan hipotek; dan/atau
f. tanah, rumah tinggal dan gedung yang diikat dengan hak
tanggungan.
Pasal 35
(1) Agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 kecuali huruf
a wajib:
a. dilengkapi dengan dokumen hukum yang sah;
b. diikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku untuk memberikan hak preferensi bagi LPEI; dan
c. dilindungi asuransi dengan klausula yang memberikan
hak kepada LPEI untuk menerima uang pertanggungan
dalam hal terjadi pembayaran klaim.
(2) Perusahaan asuransi yang memberikan perlindungan asuransi
terhadap agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
wajib memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan tingkat kesehatan sesuai yang
ditetapkan institusi yang berwenang; dan
b. bukan merupakan pihak terkait dengan LPEI atau
kelompok peminjam.
- 25 -
Pasal 36
(1) Nilai agunan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang
dalam pembentukan PPA ditetapkan sebagai berikut:
a. Surat Berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di
bursa efek atau termasuk dalam kategori yang layak
untuk investasi (investment grade), ditetapkan paling tinggi
sebesar 50% (lima puluh persen) dari nilai yang tercatat di
bursa efek pada akhir bulan;
b. tanah, gedung, rumah tinggal, mesin yang dianggap
sebagai satu kesatuan dengan tanah, pesawat udara, kapal
laut, kendaraan bermotor, persediaan, dan resi gudang,
ditetapkan paling tinggi sebesar:
1. 70% (tujuh puluh persen) dari penilaian, apabila
penilaian dilakukan dalam 18 (delapan belas) bulan
terakhir;
2. 50% (lima puluh persen) dari penilaian, apabila
penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka
waktu 18 (delapan belas) bulan namun belum
melampaui 24 (dua puluh empat) bulan;
3. 30% (tiga puluh persen) dari penilaian, apabila
penilaian yang dilakukan telah melampaui jangka
waktu 24 (dua puluh empat) bulan namun belum
melampaui 30 (tiga puluh) bulan; atau
4. 0% (nol persen) dari penilaian, apabila penilaian yang
dilakukan telah melampaui jangka waktu 30 (tiga
puluh) bulan.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penilai eksternal.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 37
(1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan kualitas
aktiva sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini paling lama
setiap tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
- 26 -
(2) Direktur Eksekutif
yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 15 (lima
belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan
sanksi administratif berupa teguran lisan.
(3) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan
berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
BAB VII
BMPP
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 38
(1) Dalam memberikan Pembiayaan dan penempatan dana, LPEI
wajib memperhatikan BMPP.
(2) LPEI dilarang membuat suatu perikatan atau perjanjian atau
menetapkan persyaratan yang mewajibkan LPEI untuk
memberikan Pembiayaan yang akan mengakibatkan
terjadinya Pelanggaran BMPP.
(3) BMPP unit kerja syariah mengacu kepada BMPP LPEI.
Bagian Kedua
BMPP Kepada Pihak Terkait
Pasal 39
BMPP kepada pihak terkait ditetapkan sebesar 10% (sepuluh
persen) dari Modal.
Pasal 40
(1) LPEI dilarang memberikan perlakuan yang berbeda dalam
penanaman dana kepada pihak terkait.
- 27 -
(2) Penanaman dana kepada pihak tidak terkait, untuk
keuntungan pihak terkait, digolongkan sebagai penanaman
dana kepada pihak terkait.
Pasal 41
(1) Pihak terkait meliputi:
a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Pelaksana LPEI;
b. perusahaan/badan dimana LPEI bertindak sebagai
pengendali;
c. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horisontal maupun vertikal
dari anggota Dewan Direktur dan Direktur Pelaksana
pada LPEI; dan
d. perusahaan/badan dimana Dewan Direktur dan/atau
Direktur Pelaksana LPEI bertindak sebagai pengendali.
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dan huruf d adalah LPEI, Dewan Direktur dan/atau
Direktur Pelaksana, atau perusahaan/badan secara langsung
atau tidak langsung:
a. memiliki secara sendiri atau bersama-sama 10% (sepuluh
persen) atau lebih saham perusahaan/badan lain;
b. memiliki hak opsi atau hak lainnya yang menyebabkan
kepemilikan secara sendiri atau bersama-sama 10%
(sepuluh persen) atau lebih saham perusahaan/badan
lain;
c. melakukan kerjasama pengendalian perusahaan/badan
lain;
d. melakukan kerjasama dalam mengendalikan
perusahaan/badan (acting in concert), sehingga secara
bersama-sama mempunyai hak opsi atau hak lainnya
yang menyebabkan kepemilikan secara sendiri atau
bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih saham
perusahaan/badan lain;
e. memiliki kewenangan dan/atau kemampuan untuk
menyetujui, mengangkat dan/atau memberhentikan
- 28 -
anggota Komisaris dan/atau Direksi perusahaan/badan
lain;
f. memiliki kemampuan untuk menentukan (controlling
influence) kebijakan operasional atau kebijakan strategi
perusahaan/badan lain;
g. mengendalikan 1 (satu) atau lebih perusahaan lain yang
secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan
secara bersama-sama 10% (sepuluh persen) atau lebih
saham perusahaan/badan lain; dan/atau
h. melakukan pengendalian terhadap pengendali di
perusahaan/badan lain.
Bagian Ketiga
BMPP Kepada Pihak Tidak Terkait
Pasal 42
(1) BMPP kepada 1 (satu) peminjam ditetapkan sebesar 20%
(dua puluh persen) dari Modal.
(2) BMPP kepada kelompok peminjam ditetapkan sebesar 25%
(dua puluh lima persen) dari Modal.
Pasal 43
(1) Peminjam digolongkan sebagai kelompok peminjam apabila:
a. peminjam merupakan pengendali peminjam lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan pengendali dari
beberapa peminjam (common ownership);
c. peminjam memiliki ketergantungan keuangan (financial
interdependence) dengan peminjam lain;
d. peminjam menerbitkan jaminan (guarantee) untuk
mengambil alih dan atau melunasi sebagian atau seluruh
kewajiban peminjam lain dalam hal peminjam lain
tersebut gagal memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
kepada LPEI; dan/atau
e. Direksi, Komisaris, dan/atau pejabat eksekutif peminjam
menjadi Direksi dan/atau Komisaris pada peminjam lain.
(2) Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan
huruf b adalah pengendali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 ayat (2).
- 29 -
Bagian Keempat
Perhitungan BMPP
Paragraf 1
Pembiayaan
Pasal 44
(1) BMPP untuk Pembiayaan dihitung berdasarkan baki debet.
(2) Peminjam untuk pengambilalihan tagihan dalam rangka
anjak piutang atau pembelian pembiayaan dengan
persyaratan tanpa janji untuk membeli kembali (without
recourse) adalah pihak yang berkewajiban untuk melunasi
piutang.
(3) Peminjam untuk pengambilalihan dalam rangka anjak
piutang atau pembelian pembiayaan dengan persyaratan
janji untuk membeli kembali (with recourse) adalah pihak
yang menjual tagihan/pembiayaan.
(4) Baki debet untuk pengambilalihan dalam rangka anjak
piutang atau pembelian pembiayaan dihitung berdasarkan
harga beli.
Paragraf 2
Surat Berharga
Pasal 45
BMPP untuk penempatan dalam bentuk surat berharga dihitung
berdasarkan harga beli.
Paragraf 3
Tagihan Akseptasi
Pasal 46
BMPP untuk Tagihan Akseptasi dihitung sebesar nilai wesel yang
diaksep.
- 30 -
Paragraf 4
Transaksi Rekening Administratif
Pasal 47
(1) Transaksi Rekening Administratif berupa jaminan (guarantee),
letter of credit (L/C), standby letter of credit (SBLC), atau
instrumen serupa lainnya ditetapkan sebagai Pembiayaan
kepada pemohon (applicant).
(2) BMPP untuk Transaksi Rekening Administratif dihitung
sebesar nilai yang telah diterbitkan (outstanding).
(3) Jaminan untuk peminjam dan/atau kelompok peminjam
yang diterima LPEI dari bank dan/atau pihak lain tidak
diperhitungkan sebagai pengurang Pembiayaan.
Bagian Kelima
Pelampauan BMPP
Pasal 48
(1) Pelampauan BMPP dapat disebabkan oleh hal-hal sebagai
berikut:
a. penurunan Modal;
b. perubahan nilai tukar;
c. perubahan nilai wajar;
d. penggabungan usaha dan/atau perubahan struktur
kepengurusan yang menyebabkan perubahan pihak
terkait dan atau kelompok peminjam; dan/atau
e. perubahan ketentuan.
(2) Pelampauan BMPP dihitung berdasarkan nilai yang tercatat
pada tanggal laporan.
Bagian Keenam
Penyelesaian Pelanggaran dan Pelampauan BMPP
Pasal 49
(1) LPEI wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak
(action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran dan/atau
Pelampauan BMPP.
- 31 -
(2) Action plan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat paling kurang langkah-langkah untuk penyelesaian
Pelanggaran dan/atau Pelampauan BMPP serta target waktu
penyelesaian.
(3) Target waktu penyelesaian ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Pelanggaran BMPP paling lama dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal action plan disetujui
oleh Menteri.
b. untuk Pelampauan BMPP ditetapkan paling lama 12 (dua
belas) bulan sejak tanggal action plan disetujui oleh
Menteri.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b tidak tercapai, LPEI dapat melakukan perubahan
action plan dengan persetujuan Menteri.
Pasal 50
(1) Action plan untuk penyelesaian atas Pelanggaran dan
Pelampauan BMPP harus diterima Menteri paling lama 1
(satu) bulan sejak terjadinya Pelanggaran dan Pelampauan
BMPP.
(2) Menteri memberikan persetujuan action plan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari sejak
action plan diterima.
(3) LPEI wajib menyampaikan laporan pelaksanaan action plan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu)
bulan setelah realisasi action plan.
Bagian Ketujuh
Pengecualian BMPP
Pasal 51
(1) Ketentuan BMPP tidak berlaku untuk:
a. Pembiayaan yang dilakukan setelah memperoleh
persetujuan Menteri;
b. pembelian surat berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah, Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga
- 32 -
yang diterbitkan oleh pemerintah negara donor,
dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga
keuangan multilateral;
c. Pembiayaan yang dijamin oleh Pemerintah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
d. Pembiayaan yang dijamin dengan:
1. agunan dalam bentuk agunan tunai berupa giro,
deposito, tabungan, setoran jaminan dan/atau emas;
atau
2. agunan berupa Surat Berharga yang diterbitkan oleh
Pemerintah, Bank Indonesia, pemerintah negara
donor, atau lembaga keuangan multilateral.
e. Pembiayaan kepada peminjam yang dijamin oleh:
1. bank berperingkat sampai dengan 200 Banker’s
Almanac; atau
2. Export Credit Agency (ECA) yang termasuk dalam
kategori yang layak untuk investasi (investment
grade).
(2) Pemerintah negara donor dan/atau lembaga keuangan
multilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib termasuk dalam kategori yang layak untuk investasi
(investment grade).
(3) Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa pencairan
dari pemilik agunan;
b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan (irrevocable);
c.
jangka waktu pemblokiran paling kurang sama dengan
jangka waktu Pembiayaan atau penempatan dana; dan
d. memiliki pengikatan hukum yang kuat (legally
enforceable).
(4) Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk standby letter of credit sesuai dengan Uniform
Customs and Practice for Documentary Credits (UCP) atau
International Standby Practices (ISP) yang berlaku;
b. bersifat tanpa syarat (unconditional) dan tidak dapat
dibatalkan (irrevocable);
- 33 -
c. harus dapat dicairkan paling lama 5 (lima) hari kerja
sejak diajukan klaim, termasuk pencairan sebagian; dan
d. mempunyai jangka waktu paling kurang sama dengan
jangka waktu Pembiayaan.
Pasal 52
Pengambilalihan (negosiasi) wesel ekspor berjangka dikecualikan
dari perhitungan BMPP sepanjang memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. wesel ekspor berjangka yang diterbitkan atas dasar Usance
Letter of Credit sesuai dengan Uniform Customs and Practice for
Documentary Credits (UCP) yang berlaku dan diterbitkan atau
dikonfirmasi oleh bank berperingkat sampai dengan 200
dalam Banker’s Almanac; dan
b. telah diaksep oleh bank.
Pasal 53
Pengecualian dari perhitungan BMPP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) huruf d angka 2 dan huruf e ditetapkan
paling tinggi:
a. 90% (sembilan puluh persen) dari Modal untuk Pembiayaan
kepada pihak terkait;
b. 80% (delapan puluh persen) dari Modal untuk Pembiayaan
kepada peminjam yang merupakan pihak tidak terkait; dan
c. 75% (tujuh puluh lima persen) dari Modal untuk Pembiayaan
kepada kelompok peminjam yang merupakan pihak tidak
terkait.
Pasal 54
(1) Penyertaan Modal Sementara untuk mengatasi kegagalan
Pembiayaan dikecualikan dari perhitungan BMPP.
(2) Dalam hal terdapat Pembiayaan baru yang diberikan kepada
perusahaan dimana LPEI melakukan Penyertaan Modal
Sementara, Pembiayaan baru tersebut diperhitungkan dalam
BMPP.
- 34 -
Pasal 55
Pemberian Pembiayaan dengan pola kemitraan inti-plasma
dimana perusahaan inti menjamin Pembiayaan yang diberikan
kepada plasma dikecualikan dari pengertian kelompok peminjam
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sepanjang:
a. Pembiayaan diberikan dengan pola kemitraan;
b. perusahaan inti bukan merupakan pihak terkait dengan
LPEI;
c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau cabang yang
dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi dengan inti;
d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan inti sebagai bagian dari produksi perusahaan
inti; dan
e. perjanjian Pembiayaan dengan plasma dilakukan oleh LPEI
secara langsung dengan plasma.
Pasal 56
(1) BMPP kepada 1 (satu) Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ditetapkan sebesar
25%(dua puluh lima persen) dari Modal.
(2) BUMN dan BUMD tidak diperlakukan sebagai kelompok
peminjam.
Bagian Kedelapan
Pelaporan
Pasal 57
(1) LPEI wajib menyampaikan laporan BMPP secara bulanan
dengan benar dan lengkap kepada Menteri paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
(2) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran III Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(3) Direktur Eksekutif
yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 15 (lima
- 35 -
belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan
sanksi administratif berupa teguran lisan.
(4) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan
berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
BAB VIII
RASIO KECUKUPAN MODAL
Pasal 58
(1) LPEI wajib memelihara rasio kecukupan Modal paling
rendah sebesar 8% (delapan persen).
(2) Rasio kecukupan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merupakan perbandingan antara Modal dengan aktiva
tertimbang menurut risiko.
(3) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri dari:
a. modal inti;
b. modal pelengkap; dan
c. modal pelengkap tambahan.
(4) Aktiva tertimbang menurut risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) terdiri dari:
a. Aktiva tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit;
dan
b. Aktiva tertimbang menurut risiko untuk risiko pasar.
(5) LPEI wajib menyampaikan laporan rasio kecukupan Modal
secara bulanan dengan benar kepada Menteri paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
(6) Tata cara penyusunan dan penyampaian laporan rasio
kecukupan Modal ditetapkan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan ini.
(7) Direktur Eksekutif
yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah tanggal 15 (lima
belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya dikenakan
sanksi administratif berupa teguran lisan.
- 36 -
(8) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) sampai dengan akhir bulan
berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Pasal 59
(1) Dalam hal rasio kecukupan Modal LPEI menjadi berkurang
dari 8% (delapan persen), Direktur Eksekutif:
a. dilarang melakukan kegiatan Pembiayaan, Asuransi,
dan/atau Penjaminan baru yang menyebabkan
menurunnya rasio kecukupan Modal; dan
b. wajib menyusun rencana tindak pemenuhan rasio
kecukupan Modal.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib disampaikan kepada Menteri paling lama 15 (lima
belas) hari sejak pelanggaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Menteri memberikan persetujuan rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima
belas) hari sejak rencana tindak diterima.
(4) Pemenuhan rasio kecukupan Modal dilakukan paling lama
12 (dua belas) bulan sejak tanggal rencana tindak disetujui
oleh Menteri.
BAB IX
POSISI DEVISA NETO
Pasal 60
(1) LPEI wajib mengelola dan memelihara posisi devisa neto
secara keseluruhan maupun neraca paling tinggi 20% (dua
puluh persen) dari Modal.
(2) Posisi devisa neto secara keseluruhan adalah angka yang
merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah
dari:
a. selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk
setiap valuta asing; ditambah dengan
b. selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang
merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam
- 37 -
rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang
semuanya dinyatakan dalam rupiah.
Pasal 61
(1) Perhitungan posisi devisa neto dilakukan pada setiap akhir
hari dengan menggunakan kurs reuters jam 16.00 WIB pada
hari yang bersangkutan.
(2) Dalam hal kurs reuters untuk valuta asing tertentu tidak
tersedia, LPEI hanya dapat menggunakan crossing rate pada
waktu yang sama dengan kurs reuters.
Pasal 62
Posisi devisa neto dihitung secara gabungan yaitu mencakup
seluruh kantor cabang LPEI di dalam maupun di luar negeri.
Pasal 63
(1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan posisi
devisa neto pada akhir hari kerja setiap bulan kepada
Menteri.
(2) Dalam hal terjadi pelanggaran atau pelampauan posisi
devisa neto, LPEI wajib menyampaikan laporan kepada
Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja berikutnya.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
berakhirnya periode laporan sesuai dengan format
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(4) Direktur Eksekutif yang belum menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal
5 (lima) setelah berakhirnya periode laporan dikenakan
sanksi administratif berupa teguran lisan.
- 38 -
BAB X
ASURANSI DAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Retensi Sendiri
Pasal 64
(1) Dalam melakukan aktivitas Asuransi dan Penjaminan, LPEI
harus memiliki retensi sendiri untuk setiap penutupan risiko.
(2) Retensi sendiri untuk aktivitas Asuransi dan Penjaminan
LPEI masing-masing ditetapkan paling tinggi sebesar 2,5 ‰
(dua koma lima permil) dari Modal.
(3) Setiap penutupan Asuransi atau Penjaminan yang nilai
retensinya melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), harus memperoleh dukungan reasuransi.
Pasal 65
Jumlah retensi sendiri untuk seluruh aktivitas Asuransi dan
Penjaminan LPEI ditetapkan paling tinggi 10 % (sepuluh persen)
dari Modal.
Bagian Kedua
Cadangan Teknis
Pasal 66
(1) LPEI wajib membentuk cadangan yang terdiri dari:
a. cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan yang
belum merupakan pendapatan; dan
b. estimasi klaim retensi sendiri.
(2) Besarnya cadangan atas premi Asuransi dan fee Penjaminan
yang belum merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dihitung secara proporsional selama
jangka waktu pertanggungan Asuransi atau Penjaminan.
(3) Pembentukan estimasi klaim retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
- 39 -
a. untuk estimasi atas klaim yang masih dalam proses
penyelesaian, dihitung berdasarkan estimasi yang wajar
atas klaim yang sudah terjadi dan sudah dilaporkan
tetapi masih dalam proses penyelesaian, berikut biaya
jasa penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim
yang akan menjadi bagian penanggung ulang; dan
b. untuk estimasi atas klaim yang sudah terjadi tetapi belum
dilaporkan (Incurred But Not Reported atau IBNR),
dihitung berdasarkan estimasi yang wajar atas klaim
yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan
menggunakan metode rasio klaim, berikut biaya jasa
penilai kerugian, dikurangi dengan beban klaim yang
akan menjadi bagian penanggung ulang.
BAB XI
PELAPORAN
Pasal 67
(1) LPEI wajib menyampaikan kepada Menteri:
a. Laporan Keuangan Bulanan;
b. Laporan Kegiatan Usaha Semesteran;
c. Laporan Keuangan Tahunan yang diaudit oleh kantor
akuntan publik; dan
d. Hal-hal lain yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha
atau keadaan keuangan LPEI.
(2) Laporan keuangan bulanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a wajib disampaikan paling lama tanggal 15
(lima belas) bulan berikutnya.
(3) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b wajib disampaikan paling lama 1 (satu)
bulan setelah periode semester berakhir.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c wajib disampaikan paling lama 4 (empat)
bulan sejak tahun buku berakhir.
(5) Hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
wajib disampaikan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak hal-
hal lain tersebut ditemukan.
- 40 -
(6) Unit kerja syariah wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf d secara terpisah.
(7) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan
ini.
(8) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun
berdasarkan ketentuan standar akuntansi keuangan syariah
yang berlaku.
(9) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a setelah tanggal
15 (lima belas) sampai dengan akhir bulan berikutnya
dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan.
(10) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan akhir bulan
berikutnya dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(11) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah 1 (satu)
bulan sampai dengan akhir bulan kedua setelah periode
semester berakhir dikenakan sanksi administratif berupa
teguran lisan.
(12) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan akhir bulan
kedua setelah periode semester berakhir dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4).
(13) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c setelah 4
(empat) bulan sampai dengan akhir bulan kelima setelah
tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif berupa
teguran lisan.
(14) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan akhir bulan
kelima setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4).
- 41 -
(15) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d melampaui batas waktu 5
(lima) hari kerja sejak hal-hal lain tersebut ditemukan
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
Pasal 68
(1) Dalam rangka meningkatkan transparansi, LPEI wajib
membuat laporan tahunan.
(2) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang mencakup:
a. informasi umum, yang meliputi antara lain:
1. organ LPEI;
2. perkembangan usaha LPEI;
3. strategi dan kebijakan Dewan Direktur; dan
4. laporan Dewan Direktur,
b. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh kantor
akuntan publik yang terdiri dari:
1. neraca;
2. laporan laba rugi;
3. laporan perubahan ekuitas;
4. laporan arus kas; dan
5. catatan atas laporan keuangan, termasuk informasi
tentang Komitmen dan Kontinjensi,
c. opini dari kantor akuntan publik;
d. seluruh aspek pengungkapan (disclosure) sebagaimana
diwajibkan dalam Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku;
e. jenis risiko dan potensi kerugian (risk exposure) yang
dihadapi LPEI serta praktek manajemen risiko yang
diterapkan LPEI; dan
f.
informasi lain.
(3) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dibuat untuk 1 (satu) tahun buku dan disajikan paling
kurang dengan perbandingan 1 (satu) tahun buku
sebelumnya.
- 42 -
Pasal 69
(1) Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68
ayat (1) wajib disampaikan kepada Menteri dan paling
kurang kepada:
a. menteri yang membidangi perdagangan;
b. menteri yang membidangi perindustrian;
c. menteri yang membidangi pertanian;
d. Bank Indonesia;
e. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI);
f.
lembaga pemeringkat di Indonesia;
g. 2 (dua) lembaga penelitian di bidang ekonomi dan
keuangan; dan
h. 2 (dua) majalah ekonomi dan keuangan,
paling lama 5 (lima) bulan setelah tahun buku berakhir.
(2) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 5 (lima) bulan
sampai dengan akhir bulan keenam setelah tahun buku
berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran
lisan.
(3) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan keenam
setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4).
(4) Dalam surat pengantar penyampaian laporan tahunan
kepada Menteri, LPEI melaporkan juga mengenai
penyampaian laporan tahunan kepada pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) LPEI harus menginformasikan laporan tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada home page LPEI paling lama
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 70
(1) LPEI harus mengumumkan laporan keuangan yang telah
diaudit dan informasi keuangan lain melalui media massa
elektronik dan paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang
memiliki peredaran luas secara nasional, paling lama tanggal
30 April tahun berikutnya.
- 43 -
(2) Direktur Eksekutif yang mengumumkan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah tanggal 30
April sampai dengan akhir bulan kelima setelah tahun buku
berakhir dikenakan sanksi administratif berupa teguran
lisan.
(3) Dalam hal LPEI belum mengumumkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir bulan kelima
setelah tahun buku berakhir dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4).
(4) Laporan keuangan dan informasi keuangan lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. neraca;
b. laporan laba rugi;
c. laporan perubahan ekuitas;
d. komitmen dan kontinjensi;
e. PPA untuk Aktiva Produktif yang telah dibentuk
dibandingkan dengan PPA untuk Aktiva Produktif yang
wajib dibentuk;
f. perhitungan rasio kecukupan Modal; dan
g. rasio keuangan lainnya.
(5) Bukti pengumuman laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib disampaikan kepada Menteri
paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal publikasi.
BAB XII
PEMERIKSAAN
Pasal 71
(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
LPEI.
(2) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan
Pemeriksaan.
- 44 -
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atau pihak lain yang ditunjuk oleh Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 72
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dilakukan:
a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga) tahun;
dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a bersifat lengkap yang meliputi kebenaran aspek
substansi laporan periodik dan kepatuhan terhadap
ketentuan undang-undang yang mengatur tentang LPEI
beserta peraturan pelaksanaannya.
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik, patut
diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI
menyimpang dari ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya
serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku;
dan/atau
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat
atau surat pengaduan yang diterima oleh Menteri, patut
diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan LPEI
menyimpang dari ketentuan undang-undang yang
mengatur tentang LPEI dan peraturan pelaksanaannya
serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 73
(1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur
Pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi
ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8, Pasal 9 ayat
- 45 -
(2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 14,
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat
(3), ayat (4) dan ayat (6), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20,
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal
27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal
43 ayat (1), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat
(2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (2),
ayat (3) dan ayat (4), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55,
Pasal 56, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 59 ayat (1), ayat
(2), dan ayat (4), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 64, Pasal
65, Pasal 66, dan Pasal 68 dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan; dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur
Eksekutif, dan Direktur Pelaksana yang melakukan
pelanggaran.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir
dan anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan
Direktur Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka:
a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang
bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009
tentang Tata Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan
Pemberhentian Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia; atau
b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan
Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan
Direktur.
- 46 -
Pasal 74
(1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat
memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 8,
Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) dan ayat (3), Pasal
12, Pasal 14, Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan
ayat (6), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal
36, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42, Pasal 43 ayat (1),
Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48 ayat (2), Pasal
49, Pasal 50 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (2), ayat (3)
dan ayat (4), Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56,
Pasal 58 ayat (1) dan ayat (6), Pasal 59 ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4), Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 64, Pasal 65, Pasal
66, dan Pasal 68 dalam Peraturan Menteri Keuangan ini,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran
tertulis, atau pemberhentian.
(2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan
lisan yang bersifat pembinaan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan; dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir
dan pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang
bersangkutan dapat diberhentikan.
(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI.
- 47 -
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 75
Apabila tidak diatur lain, maka ketentuan dalam Peraturan
Menteri Keuangan ini berlaku juga untuk seluruh kegiatan usaha
atau transaksi berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 76
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 276
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 140/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> PEMBINAAN DAN PENGAWASAN LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Agustus 2009 </set_date>
<effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date>
<issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII', 'BAB VI Bagian Kesatu Pasal 13 Ayat (3)', 'BAB VI Bagian Kelima Pasal 37 Ayat (2)', 'BAB VI Bagian Kelima Pasal 37 Ayat (3)', 'BAB VII Bagian Kedelapan Pasal 57 Ayat (3)', 'BAB VII Bagian Kedelapan Pasal 57 Ayat (4)', 'BAB VIII Pasal 58 Ayat (7)', 'BAB VIII Pasal 58 Ayat (8)', 'BAB IX Pasal 63 Ayat (4)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (9)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (10)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (11)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (12)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (13)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (14)', 'BAB XI Pasal 67 Ayat (15)', 'BAB XI Pasal 69 Ayat (2)', 'BAB XI Pasal 69 Ayat (3)', 'BAB XI Pasal 70 Ayat (2)', 'BAB XI Pasal 70 Ayat (3)' </penalty_list>
|
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 168 /PMK.010/2010
TENTANG
PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas pembinaan dan
pengawasan terhadap perusahaan perasuransian, meningkatkan
upaya perlindungan terhadap tertanggung atau pemegang polis,
dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada
industri perasuransian nasional, perlu dilakukan penyempurnaan
mengenai pelaksanaan pemeriksaan perusahaan perasuransian
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
423/KMK.06/2003;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian
Mengingat : 1. Undang-Undang, Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4954);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010,
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMERIKSAAN
PERUSAHAAN PERASURANSIAN.
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan
1. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan perasuransian
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian.
Perusahaan Asuransi Kerugian adalah perusahaan asuransi
kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian.
Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian.
5. Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi adalah Perusahaan
Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang, Reasuransi, Perusahaan
Agen Asuransi, Perusahaan Penilai Kerugian Asuransi dan
kariasehbagaimana dimaksnd daam
peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan usaha
perasuransian.
6. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan yang secara langsung
mencari, mengumpulkan, mengolah, serta mengevaluasi data
dan informasi mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha
Perusahaan Perasuransian.
7. Pemeriksa adalah pegawai Biro Perasuransian atau pihak lain
yang ditunjuk oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk
melakukan Pemeriksaan.
8. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang digunakan oleh
Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan di
kantor Perusahaan Perasuransian.
9. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang
disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian yang akan
diperiksa dalam rangka Pemeriksaan.
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
-3-
10. Risiko adalah potensi terjadinya peristiwa yang dapat
menyebabkan Perusahaan Perasuransian tidak dapat
menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan peraturan
perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik
penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat.
11. Manajemen Risiko adalah kegiatan mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko beserta
seluruh aspek yang terkait dengan kegiatan tersebut, termasuk
prosedur, inetodologi, sumber daya manusia, dan organ
perusahaan.
12. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Kewenangan dan Tujuan Pemeriksaan
Pasal 2
Pemeriksaan terhadap Perusahaan Perasuransian merupakan
kewenangan dan dilakukan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 3
Pemeriksaan bertujuan untuk
a. memperoleh keyakinan mengenai kondisi Perusahaan
Perasuransian yang sebenarnya;
b. meneliti kesesuaian kondisi Perusahaan Perasuransian dengan
peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan
praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang,sehat
c. memastikan bahwa Perusahaan Perasuransian telah
menerapkan Manajemen Risiko dengan baik yang meliputi
antara lain Risiko tatakelola dan kepengurusan, Risiko strategi
dan perencanaan, Risiko kepatuhan, Risiko operasional, Risiko
asuransi, Risiko likuiditas, Risiko pasar dan investasi, serta
Risiko modal; dan/ atau
d. memastikan bahwa Perusahaan Perasuransian telah melakukan
upaya untuk dapat memenuhi kewaiban kepada tertanggung
atau pemegang polis.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
-4-
BAB II
JENIS DAN FREKUENSI PEMERIKSAAN
Pasal 4
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan
dengan cara Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
dan/atau Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian.
(2) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dapat
dilakukan, terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan
usaha Perusahaan Perasuramsian dan/atau terhadap aspek
tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan
Perasuransian.
(3) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilakukan hanya
terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha
Perusahaan Perasuransian.
Pasal5
(1) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Asuransi Kerugian,
Perusahaan Asuransi Jiwa, dan Perusahaan Reasuransi
dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Pemeriksaan terhadap Perusahaan Penunjang Usaha Asurans:
dilakukan paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
BAB III
RENCANA DAN PELAPORAN PEMERIKSAAN
Pasal 6
Dalam rangka pelaksanaan Pemeriksaan Perasuransian, Kepala Biro
Perasuransian menyampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan
1. rencana tahunan Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian untuk
1 (satu) tahun berikutnya; dan
2. laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan Perusahaan
Perasuransian.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
-5-
Pasal 7
(1) Rencana tahunan Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka :
disampaikan paling lambat setiap tanggal 15 Desember.
2) Rencana tahunan Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka 1
harus dilengkapi dengan
a. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan
Pemeriksaan untuk 1 (satu) tahun berikutnya, beserta
cakupan aspek Pemeriksaannya,
b. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan
Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian untuk
1 (satu) tahun berikutnya, beserta pertimbangan yang
mendasari pemilihannya; dan
c. daftar Perusahaan Perasuransian yang akan dilakukan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian untuk 1 (satu)
tahun berikutnya.
Pasal 8
(1) Laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 angka 2
untuk periode 1 (satu) tahun dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut
a. Untuk pelaksanaan hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian semester l, disampaikan paling lambat
tanggal 31 Agustus tahun berjalan.
b. Untuk pelaksanaan hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian semester Il, disampaikan paling lambat
tanggal 28 Februari tahun berikutnya.
(2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
melaporkan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap
Perusahaan Perasuransian untuk periode 1 (satu) tahun kepada
Menteri paling lambat tanggal 15 Maret tahun berikutnya.
(3) Laporan hasil pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
paling kurang memuat
a. rencana tahunan Penteriksaan terhadap Perusahaan
b. pelaksanaan dari rencana tahunan Pemeriksaan terhadap
Perusahaan Perasuransian;
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
c. temuan dari hasil Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian;
d. hambatan pelaksanaan Pemeriksaan terhadap Perusahaan
Perasuransian dan usulan pemecahan masalah.
BAB IV
PEMERIKSAAN DI KANTOR
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Pemeriksaan
di Kantor Perusahaan Perasuransian
Pasal 9
(1) Ruang lingkup Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian terhadap seluruh aspek penyelenggaraan
kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi aspek sistem dan
prosedur, aspek kelembagaan, aspek keuangan, aspek
operasional, aspek manajemen, aspek Manajemen Risiko, dan
aspek lain yang relevan dengan penyelenggaraan kegiatan
usaha Perusahaan Perasuransian.
(2) Ruang lingkup Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian terhadap aspek tertentu sebagaimana dimaksud
pada pasal 4 ayat (2) hanya meliputi aspek tertentu dari
penyelenggaraan kegiatan usaha yang antara lain didasarkan
pada
a. hasil analisis atas laporan periodik, informasi yang diperoleh
atau surat pengaduan yang diterima oleh Biro
Perasuransian
1) patut diduga bahwa Perusahaan Perasuransian yang
akan diperiksa melakukan pelanggaran terhadap
peraturan perundang-undangan di bidang usaha
perasuransian dan/atau
2) patut diduga bahwa Perusahaan Perasuransian yang
akan diperiksa melakukan penyelenggaraan kegiatan
usaha perasuransian yang tidak sesuai dengan standar,
prinsip, dan praktik penyelenggaraan kegiatan usaha
yang sehat.
b. dibutuhkan tindak lanjut atas hasil Pemeriksaan di kantor
Biro Perasuransian; atau
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
c. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan
Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian, termasuk
namun tidak terbatas pada, Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian dalam rangka
1) terjadinya merger atau akuisisi, pemberian izin merger
atau akuisisi
2) pemberian izin pengalihan portofolio pertanggungan
atau
5) pemantauan pelaksanaan salah satu aspek peraturan
perundang-undangan di bidang usaha perasuransian.
d. Risiko yang dihadapi oleht Perusahaan Perasuransian;
e. rekomendasi hasil Pemeriksaan sebelumnya; atau
f. informasi yang diterima oleh Biro Perasuransian.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemeriksaan
di Kantor Perusahaan Perasuransian
Pasal 10
(1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilaksanakan
oleh Pemeriksa berdasarkan Surat Perintah Pemeriksaan dan
Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
(2) Surat Perintah Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditandatangani oleh Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling kurang memuat
a. jenis Pemeriksaan;
b. waktu pelaksanaan Pemeriksaan;
c. Pemeriksa yang akan melakukan Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian; dan
d. permintaan data atau dokumen awal yang dibutuhkan.
(4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian
yang diperiksa paling lama 1 (satu) hari kalender sebelum
dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian.
End of Page 7
REPUBLIK INDONESIA
-8 -
(5) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dapat
dilakukan tanpa terlebih dahulu menyampaikan Surat
Pembenitahuan Pemeriksaan, apablia
penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan akan dapat
memungkinkan dilakukannya
a. tindakan untuk mengaburkan keadaan yang sebenarnya;
dan/atau
b. tindakan untuk menyembunyikan data, keterangan,
dan/atau laporan yang diperlukan dalam pelaksanaan
Pemeriksaan.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilaksanakan
berdasarkan pedoman Pemeriksaan yang ditetapkant oleh Ketue
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang memuat.
a. penentuan obyek Pemeriksaan
b. prosedur dan program Pemeriksaan;
c. penyusunan kertas kerja Pemeriksaan
d. pelaporan Pemeriksaan,
e. tindak lanjut Pemeriksaan; dan
pengawasan Pemeriksaan.
Bagian Ketiga
Tahapan Pemeriksaan
di Kantor Perusahaan Perasuransian
Pasal 12
(1) Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dilakukan
melalui tahapan sebagai berikut
a. persiapan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian;
d. pemantauan pelaksanaan rekomendasi Pemeriksaan di
kantor Perusahaan Perasuransian.
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
-9-
(2) Persiapan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk
menghasilkan program Pemeriksaan yang didasarkan pada
semua informasi yang tersedia termasuk hasil analisis laporan
periodik.
() Pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan di
kantor Perusahaan Perasuransian yang diperiksa, dan apabila
dianggap perlu dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak
ketiga yang terkait dengan perusahaan yang diperiksa.
(4) Pelaporan hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat () huruf c
harus disusun segera setelah pelaksanaan Pemeriksaan di
kantor Perusahaan Perasuransian berakhir dan harus
berdasarkan atas data atau keterangan yang diperoleh selama
proses Pemeriksaan berlangsung yang dituangkan dalam kertas
kerja Pemeriksaan.
5) Pemantauan pelaksanaan rekomendasi Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf d dilakukan oleh Pemeriksa untuk memastikan bahwa
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa telah melaksanakan
hal-hal yang direkomendasikan dalam laporan hasil
Pemeriksaan final.
Bagian Keempat
Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa
Pasal 13
(1) Dalam hal Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
dilakukan dengan penyampaian terlebih dahulu Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (4), Pemeriksa harus menunjukkan Surat Perintah
Pemeriksaan pada saat dimulainya Pemeriksaan.
(4) Dalam hal Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
dilakukan tanpa penyampaian terlebih dahulu Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Perusahaan Perasuransian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5), Pemeriksa
harus menunjukkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan dan
Surat Perintah Pemeriksaan pada saat dimulainya Pemeriksaan.
End of Page 9
MENTERI KEUANGAN
-10-
Pasal 14
Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa
berwenang untuk
a. memeriksa dan/atau meminjam buku, catatan, dan dokumen
pendukungnya termasuk keluaran (output) dari pengolahan
data atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah
data lainnya;
b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa
. memasuki dan memeriksa tempat atau ruangan yang diduga
merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, atau barang
yang dapat memberikan petunjuk tentang keadaan Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa;
d. mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan yang
diperlukan dari pihak ketiga yang, mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau
e. meminta Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk
menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris
ekstemal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau
Keterangan terkait dengan Pemeriksaan.
Pasal 15
Pemeriksa wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau keterangan
yang diperoleh dari Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian dari pihak yang tidak berhak.
Bagian Kelima
Kewajiban dan Larangan
Perusahaan Perasuransian
Pasal 16
Dalam hal Pemeriksa tidak dapat menunjukkan surat Perintah
Pemeriksaan, Perusahaan Perasuransian yang akan diperiksa waijib
menolak dilakukan Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian.
Pasal 17
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak
dan/atau menghambat proses Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
-11 -
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian, Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, catatan, dan dokumen yang diperlukan
untuk kelancaran Pemeriksaan
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara lisan
dan/atau tertulis;
c. memberi kesempatan kepada Pemeriksa untuk memasuki
dan memeriksa tempat atau ruangan yang dipandang perlu.
i. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris
eksternal untuk memberikan data, dokumen, dan/atau
keterangan kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan.
(3) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dinyatakan
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian apabila tidak melaksanakan
kewaiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
meminjamkan buku, memberikan catatan, dokumen, atau
keterangan yang tidak benar.
(4) Dalam hal Perusahaan Perasuransian menolak dilakukan
Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian wajib
menandatangani Berita Acara Penolakan Pemeriksaan.
Bagian Keenam
Laporan Hasil Pemeriksaan
di Kantor Perusahaan Perasuransian
Pasal 18
(1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
huruf b berakhir, Pemeriksa harus menyusun laporan hasil
Pemeriksaan.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari:
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a paling kurang memuat
a. hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian; dan
b. kesimpulan Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian.
(4) Laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b paling kurang memuat:
a. hasil Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian,
termasuk tanggapan Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa jika ada
b. kesimpulan Pemeriksaan di kantor Perusahaan
Perasuransian; dan
rekomendasi kepada Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa.
(5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c,
disusun berdasarkan kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian dan memuat perintah kepada
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk melakukan
a. perbaikan atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang usaha perasuransian yang dilakukan
oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau
b. perbaikan terhadap aspek penyelenggaraan kegiatan usaha
tertentu yang tidak sesuai dengan standar, prinsip, dan
praktik penyelenggaraan usaha yang sehat.
(6) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Kepala
Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 19
(1) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan laporan
hasil Pemeriksaan sementara kepada direksi atau pengurus
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja setelah pelaksanaan Pemeriksaan di kantor
Perusahaan Perasuransian berakhir.
(2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan
tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima
belas) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat penyampaian
laporan hasil Pemeriksaan sementara.
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
-13 -
(3) Dalam hal Perusahaan Perasuransian mengajukan tanggapan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tanggapan dimaksud
disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Perasuransian disertai
alasan dan dokumen pendukung,
(4) Pemeriksa dan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat
melakukan pembahasan mengenai tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara yang disampaikan oleh Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa.
(5) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) harus sudah dilakukan paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak diterimanya tanggapan dari
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
5) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) harus sudah selesai paling lama 10
(sepuluh) hari kerja sejak dilakukannya pembahasan atas
tanggapan.
Pasal 20
(1) Penetapan laporan hasil Pemeriksaan final dilakukan dengan
ketentuan sebagai berikut
a. berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sementara apabila
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa tidak
menyampaikan tanggapan laporan hasil Pemeriksaan
sementara; atau
b. berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sementara dan
tanggapan yang disampaikan Perusahaan Perasuransian
yang diperiksa apabila Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa menyampaikan tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara.
(2) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan laporan
hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada direksi atau pengurus dan komisaris Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja setelah:
a. batas akhir penyampaian tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara, dalam hal Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa tidak menyampaikan
tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan sementara; atau
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-14-
b. tanggal selesai pembahasan tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan sementara dalam hal Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa menyampaikan tanggapan
atas laporan hasil Pemeriksaan sementara.
Bagian Ketujuh
Pelaksanaan Rekomendasi Pemeriksaan
di Kantor Perusahaan Perasuransian
Pasal 21
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib melaksanakan
rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5)
sesuai dengan batas waktu yang ditetapkan dalam
rekomendasi.
(2) Dalam rangka Pelaksanaan rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
aidenan data resmi, dokumen, danjatau
Keterangan, serta dokumen pendukung lain yang cukup.
Pasal 22
Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan tanggapan atas
pelaksanaan rekomendasi yang dilakukan oleh Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa.
BAB V
PEMERIKSAAN DI KANTOR
BIRO PERASURANSIAN
Pelaksanaan Pemeriksaan
di kantor Biro Perasuransian
Pasal 23
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik dan keterangan
tertulis dari pihak lain yang diterima oleh Biro Perasuransian
1) diperlukan penjelasan lebih lanjut dari Perusahaan
Perasuransian untuk aspek tertentu dari laporan periodik,
dan/atau
End of Page 14
MENTERI KEUANGAN
- 15 -
2) patut diduga bahwa terdapat ketidakwajaran di dalam
laporan periodik yang disampaikan Perusahaan
Perasuransian.
b tedapat alasan khusus yang mendasan periunya
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian, antara lain dalam
rangka menindaklanjuti pengaduan yang disampaikan
tertanggung bahwa Perusahaan Perasuransian yang akan
diperiksa diduga tidak menjalankan praktik usaha yang sehat
dan/atau tidak memenuhi kewajiban kepada tertanggung.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemeriksaan
di kantor Biro Perasuransian
Pasal 24
(1) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilaksanakan
berdasarkan pedoman Pemeriksaan yang ditetapkan oleh Ketu
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang memuat
a. kriteria atau alasan-alasan khusus untuk dapat dilakukan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian,
b. prosedur pemberitahuan dan permintaan data
c. penyusunan hasil Pemeriksaan; dan
d. tindak lanjut Pemeriksaan dan pemantauannya.
Pasal 25
(1) Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dilaksanakan oleh
pegawai Biro Perasuransian.
2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian
sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Kepala Biro
Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan menyampaikan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat () ditandatangani oleh Kepala Biro Perasuransian atas
nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
(4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) paling kurang memuat
End of Page 15
MENTERI KEUANGAN
- 16-
a. permasalahan yang menjadi pertimbangan untuk dilakukan
a. permasalahan yang menjadi pertimbangan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian,
b. permintaan data atau dokumen yang dibutuhkan;
c. waktu pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian; dan
d. pegawai Biro Perasuransian yang akan melakukan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian.
) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus disampaikan kepada Perusahaan Perasuransian
paling lama 3 (tiga) hari kerja sebelum dilakukan Pemeriksaan
di kantor Biro Perasuransian.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Kewenangan
Pegawai Biro Perasuransian
Pasal 26
Pegawai Biro Perasuransian yang melakukan Pemeriksaan di kantor
Biro Perasuransian wajib merahasiakan data, dokumen, dan/atau
keterangan yang diperoleh dari Pemeriksaan di kantor Biro
Perasutansian dari pihak yang tidak berhak.
Pasal 27
Pegawai Biro Perasuransian yang melakukan Pemeriksaan di kantor
Biro Perasuransian berwenang untuk
1. memeriksa dan/atau meminjam data dan/atau dokumen-
dokumen yang dibutuhkan;
2. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa,
3. mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan
4. meminta Perusahaan Perasuransian yang diperiksa untuk
menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris
ekstemal dalam rangka mendapatkan data, dokumen, dan/atau
keterangan terkait dengan Pemeriksaan.
End of Page 16
MENTERI KEUANGAN
-17 -
Bagjan Keempat
Kewajiban dan Larangan
Perusahaan Perasuransian
Pasal 28
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa berdasarkan
kantor Biro Perasuransian sesuai dengan waktu yang
ditetapkan dalam Surat Pemberitahuan Pemeriksaan.
2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa berdasarkan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian wajib memberikan
data dan/atau dokumen sebagaimana tercantum dalam Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan.
(3) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian,
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib.
a. memenuhi permintaan untuk memberikan data dan/atau
dokumen yang diperlukan untuk kelancaran Pemeriksaan
sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara lisan
dan/atau tertulis;
c. memberikan data, dokumen, dan/atau keterangan yang
diperiukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan
dengan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau
d. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor dan aktuaris
ekstermal dalam rangka mendapatkan data, dokumen,
dan/atau keterangan terkait dengan Pemeriksaan di kantor
Biro Perasuransian.
Pasal 29
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dilarang menolak
dan/atau menghambat proses Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian.
(2) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dinyatakan
menghambat proses Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian
apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 atau memberikan data, dokumen, dan/atau
keterangan yang tidak benar.
End of Page 17
MENERIKEUANG
18
Bagian Kelima
Hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian
Pasal 30
(1) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan
kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian
kepada Perusahaan Perasuransian yang diperiksa.
(2) Hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama
15 (lima belas) hari kerja sejak berakhirnya pelaksanaan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian.
(3) Berdasarkan kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat
memerintahkan kepada Perusahaan Perasuransian yang
diperiksa untuk melakukan
a. perbaikan atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang usaha perasuransian yang dilakukan
oleh Perusahaan Perasuransian yang diperiksa; dan/atau
b. perbaikan terhadap aspek penyelenggaraan kegiatan usaha
tertentu yang tidak sesuai dengan praktik penyelenggaraan
usaha perasuransian yang sehat.
Pasal 31
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa waiib melaksanakan
perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3)
sesuai batas waktu yang ditetapkan.
(2) Dalam rangka pelaksanaan perbaikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa wajib
inenyampaikan laporan pelaksanaan perbaikan disertai dengan
data resmi, dokumen, dan/atau keterangan, serta dokumen
pendukung lain yang cukup.
Pasal 32
Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan menyampaikan tanggapan atas
pelaksanaan perbaikan yang dilakukan oleh Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa.
End of Page 18
REPUBLIK INDONESIA
NENTERI KEUAKGA
-19 -
Pasal 33
(1) Perusahaan Perasuransian yang diperiksa dapat mengajukan
tanggapan terhadap hasil Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya
hasil Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian.
(2) Kepala Biro Perasuransian atas nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan memberikan jawaban atas
tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Perusahaan Perasuransian yang diperiksa paling lama 5 (ima)
hari kerja sejak diterimanya pengajuan tanggapan.
(3) Jawaban atas tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa pernyataan bahwa
a. tanggapan diterima dan akan dilanjutkan dengan
Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
b. tanggapan diterima tanpa dilanjutkan dengan Pemeriksaan
di kantor Perusahaan Perasuransian; atau
c. tanggapan ditolak,
Pasal 34
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian dapat ditindaklanjuti
dengan Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian apabila
1. Data, dokumen, dan/atau keterangan dari Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa tidak dapat memberikan dasar
yang cukup bagi pegawai Biro Perasuransian yang melakukan
Pemeriksaan di kantor Biro Perasuransian untuk membuat
kesimpulan atas hasil Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian.
2. Adanya tanggapan Perusahaan Perasuransian yang diperiksa
terhadap kesimpulan hasil Pemeriksaan di kantor Biro
Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
aa
tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
End of Page 19
REPUBLIK INDONESIA
-20-
(2) Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
Kep.2150/LK/2004 tentang Pedoman Pemeriksaan Perusahaan
Perasuransian tetap berlaku sampai diberlakukannya peraturan
perundang-undangan yang menggantikannya berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 36
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 September 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
. pada tanggal 16 September 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA RBPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR .450
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bigo
Kepidasbagian T.U. Depotemen
OUMUM
Giaro.
NIP19590390198400260/
End of Page 20
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 168/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 16 September 2010 </set_date>
<effective_date> 16 September 2010 </effective_date>
<issued_date> 16 September 2010 </issued_date>
<replaced_reg> '423/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 37 /PMK.010/2008
TENTANG
BESAR SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB
KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN PENUMPANG UMUM
DI DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN UDARA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan periindungan dasar kepada
masyarakat yang menjadi korban Kecelakaan yang terjadi di dalam
alat angkutan yang ditumpanginya, perlu meningkatkan besar
santunan dengan mempertimbangkan peningkatan kebutuhan hidup
dan tingkat inflasi;
b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut, perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai besar
santunan dan iuran wajib dana pertanggungan wajib kecelakaan
penumpang . alat angkutan penumpang umum di darat,
sungai/ danau, ferry/penyeberangan, laut dan udara,
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Besar Santunan dan luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di
Darat, Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana
Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 137, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2720);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-
ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965
Nomor 28):
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
-2-
4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Asuransi Kerugian 'Jasa Raharja'
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaga Negara Republik
Indonesia Tahun 1980 Nomor 62);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3861);
6. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tentang
Penunjukan Perusahaan Perseroan (Fersero) Asuransi Kerugian Jasa
Raharja untuk menyelenggarakan Dana Pertanggunan Wajib
Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESAR
SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB
KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN UMUM DI
DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN
UDARA.
Pasal 1
(1) luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang,
yang selanjutnya disebut luran Wajib, adalah iuran wajib
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
juncto Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang
Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang.
(2) luran Wajib merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh para
penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang umum
di darat, sungai/danau, ferry/penyeberangan, laut, dan udara
kepada perusahaan yang menyelenggarakan Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Penumpang.
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
-3-
Pasal 2
(1) Penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada
di dalam alat angkutan penumpang umum di darat, sungai/ danau,
ferry/penyeberangan dan di laut atau ahli warisnya berhak
memperoleh santunan.
(2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
sebagai berikut
a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak
memperoleh santunan sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
b. Penumpang yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh
santunan yang dihitung berdasarkan angka prosentase
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan
berhak memperoleh penggantian biaya perawatan dan
pengobatan dokter paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Pasal 3
(1) Penumpang yang menjadi korban akibat kecelakaan selama berada
di dalam angkutan penumpang umum di udara atau ahli warisnya
berhak memperoleh santunan.
(2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
sebagai berikut.
a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia berhak
memperoleh santunan sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).
o. Penumpang yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh
santunan yang dihitung berdasarkan angka prosentase
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan
Pelaksanaan Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang
dari besar santunan meninggal dunia sebagaimana dimaksud
dalam huruf a.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4-
c. Penumpang yang memerlukan perawatan dan pengobatan
berhak memperoleh penggantian biaya perawatan dan
pengobatan dokter paling besar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
Pasal 4
Dalam hal penumpang yang meninggal dunia akibat kecelakaan selama
berada di dalam alat angkutan umum di darat, sungai/ danau,
ferry/penyeberangan, laut dan udara tidak mempunyai ahii waris,
kepada pihak yang menyelenggarakan : penguburan diberikan
penggantian biaya penguburan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta
rupiah).
Pasal 5
(1) Setiap penumpang yang menggunakan alat angkutan penumpang
umum di darat, sungai/ danau, ferry/penyeberangan, laut, dan
udara untuk setiap kali perjalanan diwajibkan membayar Juran
Wajib.
(2) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang
menggunakan alat angkutan penumpang umum di darat ditentukan
sebagai berikut
a. Kendaraan bermotor umum sebesar Rp.60,00 (enam puluh
rupiah).
b. Kereta api sebesar Rp120,00 (seratus dua puluh rupiah).
Pasal 6
(1) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang
menggunakan alat angkutan penumpang umum di sungai/ danau,
ditentukan sebagai berikut
a. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan
sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar
Rp 100,00 (seratus rupiah).
b Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas
Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar Rp. 200,00 (dua
ratus rupiah).
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
(2) Besar luran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang
menggunakan alat angkutan penumpang umum ferry
penyeberangan dan laut, ditentukan sebagai berikut:
a. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan
sampai dengan Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sebesar
Rp 100,00 (seratus rupiah).
b. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas
Rp 2.500,00 (dua ribu lima ratus rupiah) sampai dengan
Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sebesar Rp 200,00 (dua ratus
rupiah).
c. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas
Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah) sampai dengan Rp 10.000,00
(sepuluh ribu rupiah) sebesar Rp. 400,00 (empat ratus rupiah).
d. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas
Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 25.000,00
(dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 800,00 (delapan ratus
rupiah).
e. Alat angkutan penumpang umum dengan biaya angkutan di atas
Rp 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) sebesar Rp 2.000,00
(dua ribu rupiah).
Pasal7
Besar Juran Wajib yang harus dibayar oleh setiap penumpang yang
menggunakan alat angkutan penumpang umum di udara sebesar
Rp 5.000,00 (lima ribu rupiah).
Pasal 8
Ketentuan mengenai santunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Juran Wajib angkutan umum di udara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 hanya berlaku bagi penumpang perusahaan penerbangan
nasional dengan rute perjalanan dalam negeri dan penumpang
angkutan haji melalui udara.
Pasal 9
Tambahan besar santunan di atas besar santunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan ini
dapat dilakukan melalui penutupan asuransi atas dasar sukarela
berdasarkan perjanjian pertanggungan tersendiri.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Pasal 10
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 415/KMK.06/2001 tentang Penetapan
Santunan dan luran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat,
Sungai/Danau, Ferry/Penyeberangan, Laut dan Udara, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 11
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Februari 2008
MENTERI KEUANGAN
Salinan sesual dengan aslinya ttd
l Biro Umum
SRIMULYANI INDRAWATI
End of Page 6
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 37/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id>
<reg_title> BESAR SANTUNAN DAN IURAN WAJIB DANA PERTANGGUNGAN WAJIB KECELAKAAN PENUMPANG ALAT ANGKUTAN PENUMPANG UMUM DI DARAT, SUNGAI/DANAU, FERRY/PENYEBERANGAN, LAUT DAN UDARA </reg_title>
<set_date> 26 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 26 Februari 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '415/KMK.06/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '33/UU/1964', '2/UU/1992', '17/PP/1965', '39/PP/1980', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '337/KMK.011/1981|KEP-MENKEU/1981', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 234/PMK.03/2009
TENTANG
BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN
KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK
PENGHASILAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai
penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun pada
bidang-bidang tertentu yang dikecualikan sebagai objek Pajak
Penghasilan, perlu mengatur kembali mengenai bidang-bidang
penanaman modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada
dana pensiun yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan;
b.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (3)
huruf h Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan tentang Bidang Penanaman Modal
Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada Dana Pensiun
yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak Penghasilan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 ;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BIDANG
PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN
PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG
DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN.
Pasal 1
Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman
modal berupa:
a. bunga, diskonto, dan imbalan dari deposito, sertifikat deposito, dan
tabungan, pada bank di Indonesia yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah, serta
Sertifikat Bank Indonesia;
b. bunga, diskonto, dan imbalan dari obligasi, obligasi syariah
(sukuk), Surat Berharga Syariah Negara, dan Surat Perbendaharaan
Negara, yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan
perdagangannya pada bursa efek di Indonesia; atau
c. dividen dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat pada
bursa efek di Indonesia,
dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.
Pasal 2
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengecualian objek Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 diatur dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 3
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 651/KMK.04/1994 tentang Bidang
Penanaman Modal Tertentu yang Memberikan Penghasilan Kepada
Dana Pensiun yang Tidak Termasuk Sebagai Objek Pajak Penghasilan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember
2009
MENTERI KEUANGAN
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 529
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 234/PMK.03/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> BIDANG PENANAMAN MODAL TERTENTU YANG MEMBERIKAN PENGHASILAN KEPADA DANA PENSIUN YANG DIKECUALIKAN SEBAGAI OBJEK PAJAK PENGHASILAN </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2009 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2009 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '651/KMK.04/1994|KEP-MENKEU/1994' </replaced_reg>
<related_reg> '6/UU/1983', '16/UU/2009', '36/UU/2008', '7/UU/1983', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
|
NENTERIKEUANGA
SALINAN
PERATURAN MENTBRI KEUANGAN
NOMOR 01 /PMK.010/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
OMOR 74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENCGARAAN PERTANGGUNG.
ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memperoleh perhitungan tarif premi
referensi, biaya dan cadangan premi yang belum merupakan
pendapatan terkait dengan pemasaran asuransi pada lini usaha
asuransi kendaraan bermotor, perlu menyempurnakan format
laporan profil risiko dan kerugian serta data biaya administrasi
dan biaya umum lainnya untuk lini usaha asuransi kendaraan
bermotor sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan
Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan
Bermotor;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan . Nomor
74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4954);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
-2-
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang
Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha
Asuransi Kendaraan Bermotor
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN
PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINT USAHA ASURANSI
KENDARAAN BERMOTOR.
PasalI
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor, diubah
sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyiscbagai berikut
Pasal7
(1) Perusahaan Asuransi Unuum yang memasarkan produk
Asuransi Kendaraan Bermotor setiap tahun wajib
menyampaikan laporan data profil risiko dan kerugian serta
data biaya administrasi dan biaya umum lainnya untuk lini
usaha Asuransi Kendaraan Bermotor yang disajikan
berdasarkan tahun kalender kepada Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan paling lambat setiap tanggal 30 April
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilengkapi dengan:
a. surat pengantar yang ditandatangani oleh direksi
Perusahaan Asuransi Umum yang antara lain memuat
1) penyampaian laporan data profil risiko dan
kerugian AsuransiKendaraan bermotor dan
2) penunjukan pegawai yang bertugas memberikan
informasi berkaitan dengan laporan data profil
risiko dan kerugian Asuransi Kendaraan Bermotor
disertai dengan nomor telepon dan o-nail;
End of Page 2
MENTERI KEUANGA
-3-
b. pernyataan direksi dan tenaga ahli yang menyatakan
bahwa Perusahaan Asuransi Umum telah menyajikan
data dengan benar,
c. data pertanggungan;
d. data klaim,
e. rekapitulasi data pertanggungan;
f. rekapitulasi data klaim;
8, analisis premi;
h. analisis ldlaim; dan
. analisis surplus underaoriting.
(4) Dokumen laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus memenuhi ketentuan sebagai berikut
. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a dan
huruf b disampaikan dalam bentuk hard copis
b. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c dan
huruf d disampaikan dalam bentuk soft copy dengan
format datahase file ('.dop;
c. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e sampai
dengan huruf i disampaikan dalam bentuk hard copu
dan soft copy dengan format sprendsheet; dan
d. dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c sampai
dengan huruf i berisi data profil risiko dan kerugian
serta data biaya administrasi dan biaya umum lainnya
untuk 1 (satu) tahun kalender sebelurnya.
(5) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalaht
sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(6) Format laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
ditinjau kembali dan perubahannya ditetapkan oleh Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
2. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyisebagai berikut:
Pasal 8
Dalam penyampaian laporan tahun 2011, Perusahaan Asuransi
Umum wajib melaporkan data profil risiko dan kerugian serta
data biaya administrasi dan biava ..
endaraan Bermotor sebagaimama dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (), untuk tahtm kalender 2009 dan 2010.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4-
3. Lampiran 2 Peraturan Menteri Keuangan . Nomor
74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendataan Bermotor diubaht
sehingga menjadi sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran
Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang
tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal I
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, menterintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempataanya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4. Januari 2011
MENTERI KRUANGAN,
ttd,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta -.. AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011NOMOR 1
Galnan seatual dengan aslinya
KEPALA BIRO
KEPALAANTU. DER
2
BIRO UMUM
GIARTO
End of Page 4
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 01 /PMK.010/2011 TENTANG
74/PMK.010/2007 TENTANG
ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAPORAN DATA PROFIL RISIKO DAN KERUGIAN
ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
Tahun Pelaporan . .......
Nama Perusahaan
**********************************
.*********************
********.*........................
Nomor Telepon/Faxinile
************************
E-nail :...............**********
B-mail
*********************************
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
2-
PERNYATAAN DIREKSI DAN TENAGA AHLI
Yang bertandatangan di bawah ini, dengan ini menyatakan bahwa data yang
disampaikan dalam Laporan Data Profil Risiko dan Kerugian Asuransi Kendaraan
Bermotor PT XXX Tahun 20XX adalah benar. Apabila dikemudian hari ditemui bahwa
data yang disampaikan dalamn Laporan Data Profil Risiko dan Kerugian Asuransi
Kendaraan Bermotor PT XXX Tahun 20XX tidak benar, maka kami bersedia untuk
mempertanggungjawabkannya.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sesungguhnya.
Direksi (Disi nama jabatan) Tenaga Ahli
tandias tangant tanda tangan
(Nama) (Nama dan Nomor Registrasi)
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR ISI
Judul Halaman
Halaman Cover
Pernyataan Direksi dan Tenaga Ahli
Daftar Isi
A. Format Database Laporan Data Pertanggungan
B. Format Database Laporan Data Klaim
C.. Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan
C.. Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan
D. Format Laporan Rekapitulasi Data Klaim
E. Format Laporan Analisis Premi 16
E. Format Laporan Analisis Premi
F. Format Laporan Analisis Klain 16
G. Format Laporan Analisis Surplus Underaoriting 1
H. Daftar Kode Merek dan Tipe Kendaraan Bermotor 17
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
A. FORMAT DATABASE LAPORAN DATA PERTANGCUNGAN
Data pertanggungan yang dilaporkan adalah database kendaraan bermotor dengan
masa pertanggungan yang dimulai pada periode pengamatan. Adapun rincian
format data adalahisebagai berikut
No | Nama Pield | Tipe Field| Ukuran Field
No | Nama Field Tipe Field
2 Kode Polis | Text
3 Nomor Rangka TText
Nar laer
4| Nomor Mesin Text 6
5 | Nomor Polisi Text 110
5| Nomor. Polisi Tect 10
6 Kode Pertariggungan| Number (Integer) 20
7| Kode Kendaraan| Text |10
7 | Kode Kendaraan| Text
8 | Kode Penggunaan| Text |2
8 | Kode Penggunaan Text
8 | Kode Penggunaan| Text
9| Kode Wilayah| Teat
10 | Tahun Kendaraan | Number (Integer)
10 | Tahun Kendaraan | Number (Inuteger) |4
11 | Harga. Pertanggungan Currency
12 Mulai Pertanggungan| Date (dd/mm/yyyy)
13 Akhir Pertanggungan Date (dd/mm/yyyy)
14 | Premi_Bruto
(Kontribusi Bruto) | Currency
15 Diskon Premi| Currency
16 | Biaya Akusisi| Currency
17 | Biaya Operasional
17 | Biaya Operdsional Currency
18 | Premi Murni Ref
(Kontribusi Murni)
19 Premi_ LIneainted
(Kontribusi LInearned)
(Kontribusi (Inenmed)| Currency
20 | Deductible CCurrenicy
21 | Mata Uang
21 Mata Uang | Text
22 Validitas Text
Untuk diperhatikan, nama field tidak boleh diubah untuk kepentingan proses
Penjelasan tentang, format database laporan data pertanggungan adalah sebagai
1. Kode Perusahaan
Kode Perusabaan adalah kode tunggal yang, ditetapkan dan disampaikan oleh
Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
kepada masing-masing Perusahaan Asuransi Umum.
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
DDBLK INDONESIA
-5-
2. Kode_Polis
Kode Polis adalah kode internal Perusahaan Asuransi Umum yang
mengidentifikasi polis yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum.
Kode Polis ini tidak dibedakan antara pertanggungan individt dan
pertanggungan kelompok.
3. Nomor Rangka
Nomor Rangka adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi rangka
kendaraan yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Umum pembuat
Kendaraan Nomor Rangka ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat
individu.
4. Nomor Mesin
Nomor Mesin adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi mesin
yang, dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan. Nomor Mesin ini
bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu.
5. Nomor Polisi
Nomor Polisi adalah kode standar yang merupakan identitas kendaraan yang
dikeluarkan oleh kepolisian.
6. Kode_ Pertanggungan
Kode Pertanggungan adalah kode yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis
pertanggungan. Kode Pertanggungan didefinisikan sebagai penjumlahan dari
Kode Bobot Pertanggungan yang ditanggung dalam polis. Kode Bobot
Pertanggungan untuk setiap jenis pertanggungan adalah sebagai berikut:
No Pertanggungan Pertanecnea
Pertanggungan 008 6000f
|Konvensional: Total Loss Only (Non Standar) 20000
Konvensional : Comprehensine (Standar) | 40000
4 Syariah : Total Loss Only (Standar) 60000
5 Syariah : Total Loss Only (Nom Standar) 70000
Syariali : Comprehensice (Standar) 90000
7 Perluasan : Tanggung jawab pihak ketiga (TPL) 1
8 | Perluasan : Kecelakaan Diri (Penumpang/Pengendara) 2
10 | Perluasan Banjr
11 | Perluasan : Kerusuhan dan Huru-Hara 1
12 | Perluasan : Angin Ribut
12 Perluasan : Angin Ribut 3.
Perluasan : Lain-lain 1 128
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Khusus pertanggungan Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa
saldo kredit, kode yang digunakan adalah pertanggungan Total Los Onrtly (Non
Standar) yang mengganti maksimum sebesar saldo kredit pemilik kendaraan
dan bukan harga pertanggungan awal. Untuk jenis ini harga pertanggungannya
diisi sebesar harga pertanggungan awal.
7. Kode Kendaraan
Kode Kendaraan adalah kode kendaraan scbagaimana dimaksud pada huruf H
lampiran ini.
8. Kode_ Penggunaan
Kode Penggunaan adalah kode standar yang digunakan untuk mengidentifikasi
kendaraan yang digunakan untuk pribadi, kantor atau unnum. Kode untuk
setiap jenis penggunaan adalah sebagai berikut
No.. Penggunaan
No|.. Penggunaan| Kode
1 Angkutan Penumpang - Mobil Pribadi PO
2 Angkutan Penumpang - Dinas atau Mobil Kantor DO
3 Angkutan Penumpang - Sewa
SO
4 Angkutan Penumpang Umum - Regular (rute tetap) UO
5 Angkutan Penumpang Umum - Non Regular (rute tidak tetap) U.
6 Angkutfan Barang
TO
9. Kode_ Wilayah
Kode wilayah adalah kode atas dasar alamat yang, tercantum dalam Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK). Kode tersebut dibagi berdasarkan daerah
pengamatan yaitu
No
No Wilayah
1 Jabodetabek (akarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi)
2 | Provinsi Jawa Barat
3 Provinsi Banten
4 Provinsi Jawa Tengah
5 Provinsi Jawa Timur
6 Provinsi DI Yogyakarta
Provinsi DlYogyakarta
Provinsi Bali0
8 Provinsi Nusa Tenggara Barat 08
10 | Provinsi Maluku 10
10 | Provinsi Maluku
11 Provinsi Maluku Utara | 11
12 | Provinsi Papua Barat 12
13 | Provinsi Papua 13
14 | Provinsi Sulawesi Utara
15 Provinsi Gorontalo
17 : Provinsi Sulawesi Barat
18 Provinsi Sulawesi Tenggara
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
-7-
19 Provinsi Sulawesi Selatan
2 PorisiKaimantan
20 | Provinsi Kalimantan Timur
21 | Provinsi Kalimantan Selatan
21 Provinsi Kalimantan Selatan
22 / Provinsi Kalimantan Barat
22 | Provinsi Kalimantan Barat 22
23 | Provinsi Kalimantan Tengahi 29
24 | Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
25 | Provinsi Sumatera Utara 2
7 Provinsi Riau
28 Daerah Otoritas Batam 28
28 Daerah Otoritas Batam
29 | Provinsi Kepulauan Riau (tidak termasuk kode 28) 29
30 : Provinsi Bangka Belitung
31 Provinsi Jambi 31
32 / Provinsi Bengkulu 32
34 Provinsi Lampung 34
35 | Lain-lain
10. Tabun Kendaraan
Tahun_ Kendaraan adalah tahun pembuatan kendaraan yang tereatat dalam
Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dengan format sebanyak 4 (empat)
digit.
11. Harga_Pertanggungan
Harga.Pertanggungan adalah harga kendaraan saat bara atau taksiran harga
kendaraan apabila dibeli pada saat pertanggungan dimulai dengan kondisi yang
sama. Khusus untuk polis Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa
saldo kredit, maka Harga Pertanggungan diisi dengan nilai pinjaman awal
kredit dan dihitung termasuk bunga kredit.
12. Mulai Pertanggungan
Mulai Pertanggungan adalah saat berlakunya pertanggungan yang diterbitkan
pada periode penganatan dengan format tanggal (dd/mm/yyyy).
13. Akhir Pertanggungan
Akhir Pertanggungan adalah saat berakhirnya pertanggungan yang tergantung
pada pengakuan pendapatan premi yang digunakan pada sistem akuntansi
Perusahaan Asuransi Umum dengan format tanggal (dd/mm/yyyy).
14. Premi Bruto (Kontribusi Bruto)
Premi_Bruto (Kontribusi Bruto) adalah nilai rupiah prenii yang dibayar oleh
pemegang polis terhadap 1 (satu) kendaraan yang terdaftar sesuai dengan
Harga Pertanggungan yang, dicantumkan dalam polis untuk setiap kendaraan.
Premi_ Bruto (Kontribusi Bruto) termasuk juga nilai rupiah yang dikenakan
sebagai tambahan premi ekstra dari risiko yang ditanggung. Nilai Premi_Bruto
(Kontribusi Bruto) sebelum dikenakan diskon atau /e based incnme pihak ketiga.
End of Page 11
REPUBLIK INDONESIA
-8-
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah, Premi_Bruto
(Kontribusi Druto) adalah nilai rupiah dari kontribusi yang dibayar oleh
pemegang polis terhadap 1 (satu) mobil yang terdaftar sesuai dengan harga
pertanggungan yang dicantumkan dalam polis untuk setiap kendaraan.
Premi_ Bruto (Kontribusi Bruto) termasuk juga tambahan nilai rupiah yang
dikenakan sebagai perluasan perlindungan yang ditanggung. Nilai Premi Bruto
(Kontribusi Bruto) adalah nilai rupiah sebelum dikenakan ujyah/(fe.
Khusus untuk masa pertanggungan yang melebihi satu tahun maka
pelaporannya premi dicatat sebagai pertanggungan satu tahun dan sisa premi
berikutnya dicatat dan disampaikan pada periode-periode pelaporan berikutnya
sampai dengan polis berakhir.
15. Diskon Premi
Diskon Premi adalah nilai rupiah diskon premi yang diberikan kepada
pemegang polis atas pertimbangan tertentu pada Preni_ Bruto yang, dilaporkan.
Diskon-Premi seperti uolume discotnt, reneteni discoint, nto-clain discounit, atau
discount teknis lainnya.
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah,
Diskon. Premi adalah nilai rupiah diskon yang diberikan kepada pemegang polis
atas dasar pertimbangan tertentu seperti oolume discount, perpanjangan, no clain
bonus atau diskon teknis yang merupakan bagian dari ujrah/jee dan berasal dari
operator.
16. Biaya_Akuisisi
Biaya_Akuisisi adalah biaya-biaya yang dibayarkan penanggung kepada
pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka peroleban bisnis.
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah,
Biaya. Akuisisi adalah biaya biaya yang dibayarkan penanggung kepada
pemegang polis atau pihak ketiga dalam rangka perolehan bisnis. Biaya tersebut
merupakan bagian dari ujrai/ fee dan berasal dari operator.
17. Biaya Operasional
Biaya Operasional adalah nilai rupiah yang merupakan proporsi pendapatan
yang diterima Perusahaan Asuransi Umum dan dimaksudkan untuk menutup
biaya operasional tahunan Perusahaan Asuransi Umum. Proporsi ini harus
sesuai dengan persentase alokasi biaya operasional yang dicantumkan dalam
dokumen pelaporan produk.
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah,
Sima Opemasiomal adalah biaya operasional tahma.
persentase alokasi biaya operasional yang tercantum dalam dokumen pelaporan
produk bagian dari ujrah/ fee dan berasal dari operator.
End of Page 12
REPUBLIK INDONESIA
-9-
18. Premi_ Mumi Ref (Kontribusi Murni)
Premi_ Murni_Ref (Kontribuisi Murni) adalah nilai rupiah yang merupakan
perkalian antara Harga Pertanggungan dengan Tarif Referensi yang diatur
dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007
tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada I.ini Usaha Asuransi
Kendaraan Bermotor.
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah,
Premi. Mumni Ref (Kontribusi Mumi) adalah nilai rupiah kontribusi yang di
alokasikan ke dana tabamt, berasal dari kontribusi bruto setelah dikurangi
ujyah/ fec. Kontribusi Mumi merupakan hasil perkalian antara harga
pertanggungan dengan Tarif Referensi yang diatur dalam Lampiran 1 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan
Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor.
19. Premi Lnearned (Kontribusi Unenmed)
Premi_Lintearned (Kontribusi Untearned) adalah jumlah rupiah yang belum
menjadi pendapatan Perusahaan Asuransi Umum berdasarkan Pasal 5 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan
Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
mengenai pembentukan cadangan yang belum merupakan pendapata
berdasarkan Premi Murni Ref.
Khusus untuk Perusahaan Asuransi Umum dengan prinsip syariah,
Premi_Uneaned (Kontribusi Uneamed) adalah jumlah rupiah yang belum
menjadi pendapatan/hak sesuai dengan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangart
Nomor 74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi
Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor mengenai pembentukan
cadangan yang belum merupakan pendapatan.
20. Dedactible
Dedhctible adalah jumlah mupiah yang menjadi tanggungan pemilik mobil
berdasarkan ketentuan polis untuk risiko dasar (tidak termasuk deductible risiko
perluasan).
21. Mata. Uang
Mata Uang adalah kode mata uang yang digunakan dalam pertanggungan.
Kode mata uang yang digunakan adalah sebagai berikut
No | Mata Uang Kode
1 | Rupiah 01
2 US Dollar 02
3 Singapore Dollar 03
4| Ringgit Malaysia 04
5 enJepang 05
7 | Lain-lain 06
End of Page 13
WENTERIKEUANGA
REPUBLIK INDONESIA
22. Validitas
Validitas merupakan kode status informasi data pertanggungan.
Kode status informasi data pertanggungan adalah sebagai berikut:
1 | Polis yang diterbitkan sendiri A
1206ADasurasi B
3 | Lndorsment Penambahan C
Endorsment Pengurangan D
X
Endorsntent Penambahan soperti reinstalentent, perpanjangan masa
pertanggungan, penambahan perluasan, dan sejenisnya.
Sedangkan Endorsment Pengurangan seperti pembatalan pertanggungan,
pengurangan perluasan, pengembalian premi, dan sejenisnya.
B. FORMAT DATABASE LAPORAN DATA KLAIM
Data klaim yang dilaporkan adalah semua klaim yang terjadi pada tahun kalender
yang dilaporkan dengan memperhatikan tanggal kejadian klaim dan tanggal
persetujuan klaim. Adapun rincian format data adalah sebagai berikut
No | Nama Field Tipe Ficld| Ukuran Field
2 | Nomor Register Klain| Text 20
3 Kode Polis Text 20
6
6| Kode Pertanggungan| Number (Iinteger)
Kode Pertanggungan| Number (Integer)
7| Tanggal Kejadian Date (dd/mm/yyyy)
8 | Kode Wilayah_ Kejadian | Text
9| Kode Klaim. Text
9| Kode Klaim Text
10 | Kode Penyebab Text
10 | Kode Penyebab Text
11 | Klaim Diajukan| Currency
12 Dedhctible Currency..
12 | Deductible Cuarrency
13 Biaya Klaim | Currency
14 | Klaim Disetujui Currency
15 Mata Uang Teat
16 | Tanggal _Disetujui DDate (dd/mm/yyyy)
17 Validitas Teaf
Untuk diperhatikan, nama field tidak boleh diubah untuk kepentingan proses
pengolahan data.
End of Page 14
MENTERI KEUANGAN
EPUBLK INDONESA
Penjelasan Format Database Laporan Data Klaim
Penjelasan tentang format database laporan data klaim adalah sebagai berikut
1. Kode Perusahaan
Kode Perusahaan adalah kode tunggal yang ditetapkan dan disampaikan oleh
Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
kepada masing-masing Perusahaan Asuransi Umum
2. Nomor Register Klaim
Nomor Register Klaim adalah kode internal Perusahaan Asuransi Umum yang
mengidentifikasi satu kejadian klain yang dikeluarkan oleh Perusahaan
Asuransi Umum.
3. Kode Polis
Kode Polis adalah kode intemal Perusahaan Asuransi Umum yang
mengidentifikasi polis yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi Unuum.
Kode Polis ini tidak dibedakan antara pertanggungan individu dan
pertanggungan kelompok.
4. Nomor Rangka
Nomor Rangka adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi rangka
kendaraan yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan.
Nomor Rangka ini bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu
5. Nomor Mesin
Nomor Mesin adalah kode standar kendaraan yang mengidentifikasi niesin
yang dikeluarkan oleh perusahaan pembuat kendaraan. Nomor Mesin ini
bersifat tunggal sehingga identifikasinya bersifat individu.
6. Kode Pertanggungan
Kode Pertanggungan adalah kode yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis
pertanggungan. Kode Pertanggungan didefinisikan sebagai penjumlahan dari
Kode Bobot Pertanggungan yang ditanggung dalam polis. Kode Pertanggungan
harus sesuai dengan Kode Perianggungan yang didefinisikan dalam database
pertanggungan. Kode Bobot Pertanggungan untuk setiap jenis pertanggungan
adalah sebagai berikut
No Pertanggungan | Rode B0bot
Konvensional : Total Loss Onlh (Standar) 10000
22 | Konvensional : Total Loss Only (Non Standar) 20000
3 / Konvensional : Comprehensibe (Standar) |40000
Syariah : Total Loss Only (Standar) 60000
5 Syariah : Total Los Only (Non Standar) 770000
Syariah : Comprehenisice (Standar) | 90000
7 | Perluasan : Tanggung jawab pihak ketiga (IPL) |11
8 | Perluasan : Kecelakaan Diri (Penumpang/Pengendara) 2
9 Perluasan : Gempa Bumi
10 | Perjuasan : Banjir
End of Page 15
MENTERI KEUANGAN
-12-
11 | Perluasan : Kerusuhan dan Huru-Hara 116
12 Perluasan : Angin Ribut .32
Khusus pertanggungan Asuransi Kendaraan Bermotor yang menanggung sisa
saldo kredit, kode yang digunakan adalah pertanggungan Zotal Los Onty (Non
Standar) yang mengganti maksimum sebesar saldo kredit pemuilik kendaraan
dan bukan harga pertanggungan awal. Untuk jenis ini harga pertanggungannya
diisi sebesar harga pertanggungan awal.
7. Tanggal Kejadian
Tanggal Kejadian adalah tanggal terjadinya kecelakaan dan bukan tanggal lclaim
disetujui atau dibayar dengan format tanggal (dd/mm/yyyy)
8. Kode Wilayah Kejadian
Kode Wilayah Kejadian adalah kode standar yang mengindikasikan lokasi
terjadinya klaim atau alamat kantor polisi terdekat dalam wilayah kejadian
klaim tersebut. Kode tersebut dibagi berdasarkan daerah pengamatan yaitu
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) 01
oins 3
Provinsi Jawa lengah 04
7 ProvinsiBali
7| Provinsi Bali
8 Provinsi Nusa Tenggara Barat 08
9 | Provinsi Nusa Tenggara Timur 09
10 | Provinsi Maluku
11 Provinsi Maluku Utara
12 Provinsi Papua Barat
13 Provinsi Papua
13 Provinsi Papua 13
14 Provinsi Sulawesi Utara
15 Provinsi Gorontalo 15
15 Provinsi Gorontalo
15 Bhonas SolanesiTengah9
16 Provinsi Sulawesi Tengah
17 Provinsi Sulawesi Barat 17
17 | Provinsi Sulawesi Barat
18 Provinsi Sulawesi Tenggara 15
19 | Provinsi Sulawesi Selatan 19
20 | Provinsi Kalimantan Timur 20
21 Provinsi Kalimantan Selatan 21
22 Provinsi Kalimantan Barat 22
23 Provinsi Kalimantan Tengah 23
24 Provinsi Nanggrpe Aceh Darussalam
25 Provinsi Sumatera Utara
End of Page 16
REPUBLIK INDONESIA
-13-
26 | Provinsi Sumatera Barat
27 | Provinsi Riau
28 Daerah Otoritas Batam
29 | Provinsi Kepulauan Riau (tidak termasuk kode 28)
30 Provinsi Bangka Belitung
31 Provinsi Jambi
32 Provinsi Bengkulu
32 Provinsi Bengkultt 32
33 | Provinsi Sumatera Selatan 33
34 Provinsi Lampung
34 | Provinsi Lampung 34
35 / Lain-lain
9. Kode Klaim
Kode Klaim adalah kode standar yang mengindikasikan jenis klaim tersebut.
Kode untuk setiap jenis klaim adalah sebagai berikut:
No | Jenis Klaim Kode
No| Jenis Klaim
2 Kerugian Total (Total Toss)
2 / Keragian Total (Total loss)
3 | Tanggung Jawab Hukum Pihak Ketiga
4 Kecelakaan Diri
5 | Lain-Lain
10. Kode Penyebab
Kode_Penyebab adalah kode standar yang mengindikasikan jenis penyebab
klaim (Nature of Loss) tersebut. Kode untuk setiap jenis penyebab adalah sebagat
berikut
Benturan Akibat Kesalahan Sendiri
Benturan Akibat Kesalahan Orang Lain
Pencurian Sebagian
4 Pencurian Total (Kehilangan Kendaraan)
6 | Kebakaran
7 Gempa Bumi
8 Banjir
8 Banjir
9 | Kerusuhan (Riots) dan Huru-Hara (Cioil Commotion)
10 | Angin Ribut
11 Terorisme atau Sabotase
12 Lain-Lain
End of Page 17
MENTERI KEUANGAN
-14-
11. Klaim Diajukan
Klaim Diajukan adalah jumlah rupiah klaim yang diajukan oleh bengkel atau
pemegang polis atau perkiraan besaran klaim yang akan dibayar.
12. Deductible
Dedactibile adalah jumlah rupiah yang mnenjadi tanggungan pemilik kendaraan
yang diterapkan pada klaim tersebut.
13. Biaya Klaim
Biaya. Klaim adalah jumlah rupiah yang dikeluarkan Perusahaan Asuransi
Umum yang terkait dengan klain misalkan biaya investigasi, biaya penilai,
biaya mediasi, biaya pengacara, biaya derek, dan lain-lain.
14. Klaim Disetujui
Klaim Disetujui adalah jumlah rupiah yang disetujui Perusahaan Asuransi
Umum untuk membayar klaim yang terjadi besamya maksimum sebesar
Total Klaim dikurangi deinctible. Klaim Disetujui tersebut tidak termasuk
Biaya Klaim.
15. Mata Uang
Mata_Uang adalah kode mata uang yang digunakan dalam persetujuan klaim.
Kode mata uang yang digunakan adalah sebagai berikut:
No Mata Uang Ko
Rupiah........... 01
2 US Dollar 02
5 / Yen Jepang 05
6 uro
7 | Lain-lain 99
7 Lain-lain
16. Tanggal. Disetujui
Tanggal_ Disetujui adalah tanggal setilentent.
17. Validitas
Validitas adalah kode status informasi data klaim. Kode status informasi data
klaim adalah sebagai berikut
No | Penggunaan | Kode
NNo | Penggunaan
1 Klaim Normal (sesuai ketentuan polis) A
1 Klaim Normal (sesuai ketentuan polis)
2 Klaim Ex Gratia (diluar ketentuan polis/ termasuk pengecualian)
3 Saluage
4 | Subrogasi
5 | Lain-lain X
5 Lain-lain
End of Page 18
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-15-
C. FORMAT LAPORAN REKAPITULASI DATA PERTANGGUNGAN
Laporan rekapitulasi data pertanggungan adalah laporan kontrol atas data rincian
ang disampakan oleh Perusahan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format
Laporan Rekapitulasi Pertanggungan adalah sebagai berikut.
No Rekapitulasi | Pertanggungan Mata| Pertanggungan Mata
Uang Rupiah Uang Asing
Banyaknya Record
2 | Harga Pertanggungan
3 | Premi Bruto
4 Diskon Premi
5 Biaya Akusisi
6 | Biaya Operasional
7 | Premi Murni Referensi
8 | Premi Lineamed
Penjelasan Format Laporan Rekapitulasi Data Pertanggungan
Banyaknya Record adalah jumlah record atau baris informasi data pertanggungan
yang disimpan dalam tabel sesuai dengan mata uang yang digunakan dalam polis.
Apabila ada mata uang asing yang digunakan, maka Perusahaan Asuransi Umum
harus membuat rekapitulasi data pertanggungan dalam mata uang asing tersebut.
Harga Pertanggungan, Premi Bruto, Diskon Premi, Biaya Akuisisi, Biaye
Operasional, Premi Murni Referensi dan Premi Uneamed adalah penjumlahan
pertanggungan dalam mata uang asing disampaikan dalam satuan rupiah dengan
kurs per tanggal 31 Desember yang digunakan Perusahaan Asuransi Umum.
D. FORMAT LAPORAN REKAPITULASI DATA KLAIM
Laporan rekapitulasi data klaim adalah laporan kontrol atas data rincian klaim
yang disampaikan oleh Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format
Laporan Rekapitulasi Data Klaim adalah sebagai berikut
Uang Rupiah Uang Asing
1 | Banyaknya Record
2 Klaim Diajukan
3 Deductible
5 Klaim Disetujui
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN
Penjelasan Format Laporan Rekapitulasi Data Klaim
Banyaknya Record adalah jumlah record atau baris informasi data klaim yang
disimpan dalam tabel sesuai dengan mata uang yang digunakan dalam polis.
Apabila ada mata uang asing yang digunakan, maka Perusahaan Asuransi Umum
harus membuat rekapitulasi data klaim dalam mata uang asing tersebut.
Klaim Diajukan, Deductible, Biaya Klaim dan Klaim Disetujui adalah penjumlahan
semua data pertanggungan dalam mata uang rupiah dan mata uang asing, Khusus
klaim yang dibayar berdasarkan mata uang asing akan disampaikan dalam satuan
rupiah dengan kurs per fanggal 31 Desember yang digunakan Perusahaan Asuransi
Umum.
E. FORMAT LAPORAN ANALISIS PREMI
Laporan analisis premi merupakan analisa awal atas data yang disampaikan
Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Analisis
Premi adalah sebagai berikut
No| Keteldilgdst
NNo Keterangan Jumlah Dalam Rupiah | Persentase
1 Premi Bruto
2 Diskan Puen
2 / Diskon Premi
3| Biava Akuisisi
3 Biaya Akuisisi
4| Biaya Operasional
5 | Premi Murni
6 Premi Unearned
Penjelasan Format Laporan Analisis Premi
Jumlah dalam rupiah dari Premi Bruto, Diskon Premi, Biaya Akuisisi, Biaya
Operasional, Premi Muni dan Premi Uneared adalah penjumlahan semua data
dalam mata uang rupiah ditambah jumlah data dalam mata uang asing yang telah
dikonversi ke dalam mata uang rupial. Konversi ke dalam mata uang rupiah
menggunakan kurs per -tanggal 31 Desember. Persentase merupakan besaran
persentase setiap baris berdasarkan jumlah rupiah masing-masing baris dibagi
dengan jumlah dalam rupiah Premi Bruto.
Premi Mumi sebagaimana dimaksud pada nomor 5 adalah nilai rupiah yang
merupakan perkalian antara Harga Pertanggungan dengan Tarif Referensi yang
diatur dalam Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.010/2007
tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi
Kendaraan Bermotor.
End of Page 20
REPUBLIK INDONESIA
-17-
F. FORMAT LAPORAN ANALISIS KLAIM
Laporan analisis klaim merupakan analisa awal atas data yang disampaikan
Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database. Format Laporan Analisis
Klaim adalah sebagai berikut
No | Keterangan Jumlah Dalam Rupiah | Persentase
1 | Klaim Yang Diajukan 100%
1 | Klaim Yang Diajukan
2 Klaim Telah Disetujui
2| Klaim Telah Disetuju
4 | Biaya Klaim
Penjelasan Format Laporan Analisis Klaim
Klaim Yang Diajukan, Klaim Telah Disetujui, Klaim Belum Disetujui dan Biaya
Klaim adalah penjumlahan semua data dalam mata uang rupiah ditambah jumlah
data dalam mata uang asing yang telah dikonversi dalam mata uang rupiah.
Konversi ke dalam mata uang rupiah menggunakan kurs per tanggal 31 Desember.
Persentase merupakan besaran persentase setiap baris berdasarkan jumlah rupiah
masing-masing baris dibagi dengan jumlah dalam rupiah Klaim Yang Diajukan.
C. FORMAT LAPORAN ANALISIS SURPLUS UNDERWRITING
Laporan Analisis Surplus Unuderoriting merupakan analisis awal atas data yang
disampaikan Perusahaan Asuransi Umum dalam bentuk database dan bukan
Analisis Surplus Underoriting yang, sebenarnya. Analisis Surplus Underoriting ini
belum lengkap karena nilai transaksi reasuransi/koasuransi, hasil investasi dan
biaya lainnya belum dimasukan dalam perhitungan. Tormat Analisis Surplus
Underuoriting adalah sebagai berikut:
No | Keterangan | Jumlalt dalam rupiah
1 Premi Bruto - (Biaya Akusisi + Diskon Premi+ Biaya
Operasional)
2| Kenaikan/Penurunan Cadangan (Premi Uneamed)
3 Klaim Disetujui + Biaya Klaim
4 Surplus Underwriting, ((1) - (2) - (S)
Rasio Surplus Underwriting ((4)/Premi Bruto
Penjelasan Format Laporan Analisis Surpius Lnderuoriting
Surplus Underuoriting adalah Premi Bruto dikurangi Biaya Akuisisi, Diskon Premi
dan Biaya Operasional dikurangi Klaim Disetujui, Biaya Klaim dan Premi Uneanted.
Setamglan Rasio Suphis Underorifing adalah rasio nomhanioa
Lndertoriting dibagi jumlah pendapatan Premi Bruto.
End of Page 21
MENTERI KEUANGAN
-18-
H. DAFTAR KODE MEREK DAN TIPE KENDARAAN BERMOTOR
No. | Kode Merek Merek Kendaraan
Merek Kendaraan Tipe Kendaraan
dam Tipe
KENDARAAN PENUMPANG
0 001 AUDIA3
10 | 002 AAUDI A4
10 003 |AUDI 1A6
10 004 AUDI TA8
10 005 AUDI ALLROAD
10 | 006 AUDI TT1.8 TURBO
11 001 BIMANTARA ARYA 2
11 002 BIMANTARA CAKRA 1.5
9 | 11 002 BIMANTARA
10 | 11 003 BIMANTARA NENGGALA 1.6
10 | 11 003 BIMANTARA
11| 11 | 099 BIMANTARA
12 | 12 | 001 BMW 1201
12 | 12 | 001 BMW
15 | 12 004 | BMW Serid
16 | 12 005 | BMW /58717
17 | 12 006 BMW /X3
18 | 12 007 BMW 1 X5
19 | 12 | 008. BMW SeriZ
20 | 12 099 BBMW Lainnya
21 | 13 | 001 CHEVROLET AVEO
2 | 13 | 002 CHEVROLET BLAZER
23 | 13 | 003 CHEVROLET EXPRESS
24 | 23 | 004 CHEVROLET OPTRA
25 | 13 | 005 CHEVROLET SPARK
26 | 13 | 006 CHEVROLET TAVERA
27| 13 | 007 CHEVROLET TROOPER
28| 13 | 008 CHEVROLRT AFIRA
29 | 13 | 099 CHEVROLET Lainnya
30 14 001 CHRYSLER | DODGE
31 | 14| 002 CHRYSLER CHEROKEE
32 | 14| 003 CHIRYSLER WRANGLER
33 |14 | 004 CHRYSLER PT CRUISER
34 14 0099 CHRYSLER Lainnya
/15/001 / DAEWOO ESPERO
15| 002 | DAEWOO|LANGS
15 003 | DAEWOO LEGANZA
338 | 15 | 004 ' DAEWOO MATIZ
39 | 15 005 DAEWOO NEXIA
40 | 15 | 006 DABWOO NUBTRA
40 | 15 | 006 DAEWOO
End of Page 22
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONEG
215 | 099 DAEWOO Lainny
316 0001 | DATHATSU CERIA
44| 16| 002 | DAIHATSU CLASSY
45| 16 003 |DATHATSU COPEN
16| 16 | 004 | DATHATSU ESPASS
7| 16| 005 | DAIHATSU PEROZA
49 | 16| 007 DATHATSU TAFT
51|16 009 DATHATSU TERIOS
16 009 DAIHATSU TERIOS
52 | 16 010 DATHATSU XENIA
53| 16 | 011 DAIHATSU YRV
4| 16 | 012 DAIHATSU ZEBRA
5 | 16 099| DAIHATSU | Lainnya
617 | 001..| FORD ESCAPE
59 | 17 | 004 FORD
17 | 006 FORD TBLSTAR
61 | 17| 006 FORD
62 | 17 | 099 | FORD / Lainnya
62 | 17 | 099 | FORD
63| 18 001 HONDA
64 18 | 002 HONDA
66 | 18 004 HONDA
67| 18 | 005 | HONDA
68 18 | 006 / HONDA /0D1551%
69 18 | 007 , HONDA STREAM
19 001 | HYUNDAI ACCENT
19 (000. | HYUNDAI ATOZ
19 ( 003 | HYUNDAL COUPE
19 | 004 | HYUNDAT GETZ
19 | 005 | HYUNDAL GRACE
519 006 | HYUNDAI GRANDEUR
77| 19 | 007 TYUNDAI GRACE
78 19 | 008 HYUNDAI MATRD
79| 19 | 009 | HYUNDAL SANTA
80 19 | 010 | HYUNDAL (SONATN
81| 19 | 011 HYUNDAI TRAJET
82 | 19 012 FYUNDAT ELANTRA
883 | 19 : 099 HYUNDAL Lainnya
84 20 , 001 ISUZU D-MAX
85 20 ; 002 ISUZU PANTIUS
End of Page 23
MENTERI KEUANGAN
-20-
86 | 20 | 099 | ISUZU Lainnya
87| 21 001 DAGUAR DAIMLER
88 21 | 002 JAGUAR
89 21 | 003 JAGUAR
90. 21004 |IAGUAR /-77PF
91 21 099 JAGUAR TT
92| 22 | 001| KIA BIG UP
93| 22| 002| KIA CARNIVAL
94| 22 003 KIA CARRENS
22/ 005/ KIA MAGENTIS
22 006| KIA PPREGIO
98| 22 | 007| KIA RIO
99| 22 | 008 KIA SHUMA
100 22| 009 KKIA SEDONA
101 22. 010 KIA
102 | 22 | 011 KLA SPORTAGI
103 22 | 012 | KIA SORENTO
104| 22 013 KIA / VISTO
105 | 22 014| KIA PICANTO
105 | 22| 014 | KIA PICANTO
106 | 22 | 015| KIA TRAVELO
107| 22| 099 | KIA Lainnya
108 | 23| 001 | LANDROVER DEFENDEK
109| 23 | 002 LANDROVER DISCOVERY
110 | 23 | 003 LAVDROVER FREELANDER
111| 23.| 004 LAVDROVER RANGE ROVER
113| 24 | 001 MAZDA | 323
116 | 24 | 004 MAZDA MPV 2.5
118 2A| 006 | MAZDA MX 6
9| 24 007 MAZDA PREMACY
120| 24 008 MAZDA MAZDA RX 8
121| 24 009 MAZDA VANTRENDST WAGON
122| 24| 010 MAZDA TTRIBUTH
123 | 24 011 MAZDA B-SERIES 2.5
12/4 | 24 099 MAZDA | Lainnja
125 | 25 001 MERCEDEZ BENZ A-CLASS
126| 25 | 002 ERCEDEZ BENZ C-CLASS
127| 25 | 003 MERCEDEZ BENZ E-CLASS
End of Page 24
MENTERI KEUANGAN
-21-
MERCEDEZ BENZ Lainnya
26 | 001 MITSUBISHI | COLT L300
26 | 002 | MITSUBISHT / COLTTI2055
MITSUBISHI COLT T12055
134 26 | 003 MITSUBISHI CHARI
135 | 26 | 004 MTTSUBISHI ETERNA
136 | 26 | 005 MITSUBISHI GALANT
: 137 26 | 006 | MITSUBISHI CRANDIS
1137 26 | 006 MITSUBISHI
138 26 | 007 MITSUBISHI KUDA
138 26 | 007 | MITSUBISHI
139 26| 008 MIISUBISHI
139 26 | 008 MITSUBISHI L.200
140 26 | 009 MTTSUBISHI
140 26 009 | MITSUBISHI LANCER
141 26 010 | MITSUBISHI PAJERO
142| 26| 099 | MITSUBISHI Lainnya
143| 27 | 001 | NISSAN CEFIRO
144| 27 | 002 NISSAN GENESIS
145 27 | 003 NISSAN INFINITY
146 | 27 | 004 NISSAN PATROL
147| 27 |005 NISSAN SENTRA
148| 27| 006 NISSAN SEREVA
150 | 27| 008 NISSAN TERRANO
151| 27|009 NISSAN 07R4IZ
152 | 27 | 010| NISSAN TRANA
153 | 27 | 011 NISSAN SUNNY
154 | 27 | 012 NISSAN NISSAN MARCH
155 27| 099 NSSAN / Lainnja
156| 28 | 001 OPEL BLAZER
157| 28 | 002 OPEL OPTIMA
158 28 | 003 OPEL VECTRA
158 | 28 | 003 | OPEL
159 28 | 099 OPBL Lainnya
159 28 099 OPEL
160 29 | 001 | PEUGEOT Seri2
161 29 002 PEUGEOT Seri3
162 | 29 | 003 PEUGEOT | Seri4
163 | 29 | 004 | PEUGEOT Seris
164 29 005 PEUGEOT PARTNE
164| 29 | 005 | PEUGEOT PARTNER
165 | 29 099 PPEUGEOT Lainny
166| 30 | 001 | RENAULT CLIC
167 | 30 | 002 | RENAULT KANGOO
168 30| 003| RENAULT LAGUNA
169 30 | 004 RENAUUT 1 SCENG.
169 30 004 RENAULT SCENIC
170 | 30 | 099 RENAULT | Lainny
171 31 | 001 SSYANGYONG BBOXER
172 31 002 | SSYANGYONG CHAIRMAN
73 |31 003 SSYANGYONG KORANDO
174 | 31 004 SSYANGYONG MUSSO
175| 31 005 SSYANGYONG RREXTON
End of Page 25
REPUBLIK INDONESIA
-22-
SSYANGYONG Lainnya
32 | 001 SUBAKU FORESTER
8 | 32 002 | SUBARU IMAPREZA
179 | 32 | 003 | SUBARU T.EGACY
179 32 | 003 SUBARU
180 | 32 004 SUBARU OOUTBACK
81 32 099 | SUBARU Lainnya
183 | 33 | 002 | SUZUKI AFRIO
184 33 | 003 1 SUZUKI
184| 33 | 003 1 SUZUKI DALENO
185 33 | 004 | SUZUKI
186| 33 | 005 | SUZUKI | ESCUDO
187 | 33 | 006 SUZUKI ESTEEM
188 | 33 | 007 SUZUKI
188 | 33 | 007 | SUZUKI | HVERY
189 33 008 SUZUKI KARIMUN
190 33 | 009 SUZUKI KATANA
191 33 010 SUZUKI SIDEKICK
192 | 33 | 011 | SUZUKI VITARA
193 | 33 012 | SUZUKI | SWIFT
194 | 33 | 099 | SUZUKI Lainnye
195 | 34 | 001 TIMOR S51
196 | 34 099 TIMOR
196 34| 099 | TMOR / Lainnya
197 | 35 001 TOYOTA ALPHARD
198 35 002 | TOYOTA AVANZA
198 35 002 | TOYOTA AVANZA
199 35 003| TOYOTA CAMRY
200| 35 | 004 | TOYOTA COROLLA
201 35 | 005 TOYOTA | CORONA
202 35 | 006 | TOYOTA NNEW CROWN
202| 35 | 006 | TOYOTA
203 35 | 007 TOYOTA
203|. 35 007 TOYOTA CYGNUS
204 | 35/ 008 TOYOTA
205 1 35 | 009 TOYOTA
205 1 35 | 009 TOYOTA| HARRIER
206 35 010 TOYOTA
206 35 010 TOYOTA HILUX TIGER
:207 | 35 011 TOYOTA IS
208 | 35 | 012 TOYOTA KIJANG
209| 35 | 013 TOYOTA
209| 35 | 013 TOYOTA LAND CRUISER
210 35 | 014 TOXOTA /P94D0
211| 35 | 015 TOYOTA PREVIA
12 | 35 | 016 TOYOTA PROBOX
213 | 35 017 TOYOTA RA
214 | 35 018 TOYOTA SOLUNA
15| 35| 019 TOYOTA STARTET
16 | 35 020 | TOYOTA | VIOS
217 35 | 021 | TOYOTA [HSK
218 | 35 | 022 TOYOTA NOAH / VOXY
219 | 35|099 | TOYOTA / Lainnya
220 | 36| 001 VOLKSWAGEN CARAVBLLE
End of Page 26
MENTERI KEUANGAN
-23-
27 36/ 002 VOIKSWAGEN GOLP
223 | 36/ 004 | VOLKSWAGEN PASSAT
224 | 36 005 VOLKSWAGEN NEW POL
225.| 36|006 VOLKSWAGEN TOUAKEG
225| 36 | 006 | VOLKSWAGEN
227 | 37 | 001 VOLVO 740
228 37 | 002 VVOLVO 850
29 37003 VOIVO
230 37 | 004 VOLVO S90
232| 37| 006 VOLVO 570
233 37|007. VOLVO580
2234| 37|008 | VOLVO| 540
236 | 37 | 010 VOLVO V70
237 370011 | VOLVO XC
KENDARAAN BUS
240 | 60 | 001 | DAIHATSU DELTA
241 | 60 099 | DAIHATSU Lainnya
242 61 001 HINO Seri FF
243| 61 | 002 | HIIVO SeriFL
244 61 | 003 | HINO Seri FM
245| 61 | 004 HINO SeriSG
246 61 005 HINO DUTRO
247 61 | 099 | HINO | Lainnva
248 | 62 001 ISUZU BORNEO
49 62 002 SUZU | CXZ
250 62| 003 SUZU EL
|62/099 ISUZU Lainnya
252| 63 001 MTTSUBISHI COLT
253 63 | 002 MTTSUBISHII FUSC
6166/06 / MITSUBISHI
163/ 003 MTTSUBISHI TRONTO
256 | 64 | 001 NISSAN CDA
257| 64|002 NISSAN CKA
258| 64 | 003 NISSAN CWA
259 | 64| 004 NISSAN PKC
260| 64 | 005 NISSAN PKD
261 | 64 099 NISSAN Lainnya
262 | 65 | 001 TOYOTA DYNA RINO
263| 65 | 002 TOYOTA
263 | 65 | 002 TOYOTA DYNA1
264 65 | 099 | TOYOTA Lainnya
264 65 | 099 | TOXOTA
End of Page 27
REPUBLIK INDONESIA
-24-
266 | 66| 099 | SCANIA
267 | 79 | 001 Lainnya
267 | 79 | 001 Lainnya | Lainnya
KENDARAAN ANGKUTAN BARANG (TRUK)
DAIHATSU DELTA
0 001 DAIHATSU DELTA
980 | 002 DAIHATSU Zebra Pick Up
080 099 | DAIHATSU Lainnya
81 001 TINO Seri FF
81 | 002 | HINO| SeriFL
81 003 | HINO Seri FM
81 004 HHINO SeriSG
004 HHINO SeTISG
81 0005 HINO DUTRO
81 099 HINO L Lainnya
82 001 | ISUZU BORNEO
ISUZU | CXZ
R2 02ISUZU
82 003 ISUZU | BLF
ISUZU BLR
ISUZU / Lainnya
MITSUBISHI COLT DIESEL
8 001 MTSUBISHI | COLT DIESEL
MITSUBISHI USO
MITSUBISHI TRONTON
283 83 003
83 | 004 MITSUBISHI Kuda Pick Up
85 899 1 MITSUBSHI | Lainnya
84 001 | NISSAN CDA
6 84 | 001 NISSAN CD.
84 003 NISSAN CWA
289 84 004 NISSAN PPKC
290 84 | 005 NISSAN PKD
291| 84| 099 NISSAN | Lainnya
292 | 85 001 OYOIA DDYNA RINO
293 | 85 | 002 | TOYOTA DYNA 115S
294 | 85 | 003 | TOYOTA Kjang PickU
295 | 85 | 099 TOYOTA L Lainnya
296| 86 | 001 | SCANIA TRONTON
297| 86 |099 | SCANIA Lainnya
298 99 | 001 | Lainnya
298| 99 | 001 | Lainnya| Lainnya
SalinaidesinyaMENTERI KEUANGAN
Salinan sesuai dengamaslinye
KEPALA BTKO G
GIARTO
End of Page 28
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 01/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 74/PMK.010/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN PERTANGGUNGAN ASURANSI PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR </reg_title>
<set_date> 4 Januari 2011 </set_date>
<effective_date> 4 Januari 2011 </effective_date>
<issued_date> 4 Januari 2011 </issued_date>
<changed_reg> '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007' </changed_reg>
<related_reg> '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992', '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '56/P|KEPPRES/2010' </related_reg>
|
NENTERI KEUANGAN
RK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR36 /PMK.010/2010
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN
PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS
PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan profesionalisme
penyelenggaraan dan pengelolaan Dana Pensiun, pengaturan
mengenai persyaratan Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja dan
Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan
sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 513/KMK.06/2002 perlu disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan
Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas
Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477):
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiur
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3507);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508):
4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
End of Page 1
BLK INDONESA
2
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang
Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi
Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga
Keuangan
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN
DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN
PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA
KEUANGAN.
Pasal
1. Mengubah ketentuan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
513/KMK.06/2002 tentang Persyaratan Pengurus dan Dewan
Pengawas Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Pelaksana Tugas
Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan sehingga Pasal 3
seluruhnya berbunyisebagai berikut:
Pasal3
(1) Orang yang dapat ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana
Tugas Pengurus harus memenuhi persyaratan sebagai berikut
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. memiliki akhlak dan moral yang baik;
c. tidak pernah melakukan tindakan tercela di industri Dana
Pensiun atau jasa keuangan lainnya,
d. tidak pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak
pidana kejahatan yang dijatuhi sanksi pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih dan/ atau tindak pidana di bidang
Dana Pensiun atau jasa keuangan lainnya;
e. memiliki pengetahuan di bidang Dana Pensiun
(2) Persyaratan untuk memiliki pengetahuan di bidang Dana
Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e wajib
dipenuhi Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja paling lama 6
(enam) bulan sejak tanggal pengesahan Menteri atas pendirian
Dana Pensiun Pemberi Kerja.
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan satu pasal yaitu Pasal 3A
yang berbunyisebagai berikut
Pasal 3A
(1) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, bagi
orang yang ditunjuk sebagai Pengurus atau Pelaksana Tugas
Pengurus pada Dana Pensiun dengan kriteria tertentu wajib
Julus penilaian kemampuan dan kepatutan.
(2) Dana Pensiun dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun
sejak tanggal pengundangan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di jakarta
pada tanggal 12 Februari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
***
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 88
Salinan sesuai denganaslinva
Kepala Biro Umum A RE
ub.
Kepal Bagian 1/4 Departemen
ROUMUN
Ahtonius Suharto
KIP5404281974057
End of Page 3
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 513/KMK.06/2002 TENTANG PERSYARATAN PENGURUS DAN DEWAN PENGAWAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA DAN PELAKSANA TUGAS PENGURUS DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 12 Februari 2010 </set_date>
<effective_date> setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pengundangan. </effective_date>
<issued_date> 12 Februari 2010 </issued_date>
<changed_reg> '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg>
<related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '513/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '11/UU/1992', '84/P|KEPPRES/2009' </related_reg>
|
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 91/PMK.05/2005
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa untuk meringankan biaya administrasi pembayaran
bulanan Manfaat Pensiun dan menyesuaikan terjadinya kenaikan
harga, besar Manfaat Pensiun yang dapat dibayarkan secara
sekaligus perlu disesuaikan;
b. bahwa sejalan dengan tujuan tersebut, pengaturan mengenai besar
Manfaat Pensiun yang dapat dibayarkan secara sckaligus
sebagaimana telah ditelapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998, sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002,
perlu untuk disempumakan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 343/KMK.017/1998 tentang luran dan Manfaat Pensiun;
Mengingat : 1. Undang-undang, Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477):
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 3507);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensium
Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508):
4. Kepulusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004,
5. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 tentang
Kepatusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
-2-
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
343/KMK.017/1998 tentang luran dan Manfaat Pensiun, sebagaimana
telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
231/KMK.06/2002, diubah sebagai berikut.
1. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
Pasal 13
(1) Dalam hal jumlah Manfuat Pensiun yang akan dibayarkan per
Pensiun Manfaat Pasti dengan menggunakan rumus bulanan
kurang dari atau sama dengan Rp 750.000,00 (tujuht ratus lima
puluh ribu rupiah), moka Nilai Sekarang dari Monfaat
Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
(2) Dalam hal jumlah Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan
Secara sekaligus oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan
sehaljus kurang dari atau sama dengan Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah), maka Manfaoat Pensiun tersebut dapat
dibayarkan sekaligus.
(3) Dalam hal Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti yang
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini
kurang dari atau sama dengan Rp 750.000.00 (tujuh ratus lima
PLIL TDu Tupiah), Kepada yang bensangotan dp
dibayarkan secara sekaligus Nilai Sekarang, dari Manfoat
Pensiun yang belum dibayarkan.
(4) Pembayaran Manlaat Pensiun secata sekaligus sebagaimana
dmalsud dalam ayat (), ayat (3) dan ayat ()
dilakukan hanya bila Peraturan Dana Pensiun memuat
ketentuan tentang dapat dibayarkannya Manfaat Pensiun
dimaksud secara sekaligus'
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
3-
2. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
Pasal 20
(i) Dalam hal jumlah akumulasi juran dan hasil pengembangan
yang menjadi hak Peserta pada Dana Pensiun yang
menyelenggarakan Program Pensiun luran Pasti kurang, dari
ataut sama dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah),
maka jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan
tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
(2) Pembayaran Manfaat Pensiun sccara sekaligus sebagaimana
menyelenggarakan Program Pensiun luran Pasti kurang, dari
Peraturan Dana Pensiun memuat ketentuan tentang dapat
dibayarkannya Manfoat Pensiun dimaksud secara sekaligus.
3. Ketentuan Pasal 23 dihapus.
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingaga berbunyi sebagai berikut.
Pasal 26
(1) Manfaat Pensiun untuk setiap Peserta berupa dana yang
ferdiri dari jumlah himpunan juran yang telah disetor atas
namanya dan pengalihan dana dori Dana Pensiun Pemberi
Kerja serta hasil pengembangannya.
(2) Perhitungan hasil pengembangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) untuk tiap Peserta harus dilakukan sejak dana
saat pembayaran kepada Peserta atau pada saat pembelian
anuitas seumur hidup pada perusahaan asuransijiwa.
(3) Dalam hal jumlah dana sebagaimana dimaksud dolam ayat (1)
kurang dari atau sama dengan Rp 100.000.000,00 (seratus juta
rupial) dapat dibayarkan secara sekaligus.*
5. Diantara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan ] (satu) pasal,yakni Pasal
26A sehingga berbunyi sebagai berikut.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
Pasal 264
(I) Dalam hal Peserta pada saat pensiun atau pada saat
pemberhentian dan bagi Janda/Duda atau Anak pada saat
Peserta meninggal dunia akan mengambil Manfaat Pensitn
pertamanya secara sekaligus sebesar 20% (dua puluh per
seratus), maka Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 20 ayat (1) dan
Pasal 26 ayat (3) dihitung setelah pengambilan Manfaat
Pensiun pertamanya tersebut.
(2) Pengambilan Manfaat Pensiun pertama sebagaimana
dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila
dimungkinkan oleh Deraturan Dana Pensiun dari Dana
Pensiun tersebut*
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetaluinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Ditelapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Oktober 2005
MENTERI KEUANGAN,
td,-
JUSUT ANWAR
Salinan sesuai dengan aslinya;
Kepala Biro Umum
u.b.
Kepala BagianDpane
Koemoro Wilsite
NIP 060041898
End of Page 4
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title>
<set_date> 5 Oktober 2005 </set_date>
<effective_date> 5 Oktober 2005 </effective_date>
<changed_reg> '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998' </changed_reg>
<extension_of> '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </extension_of>
<related_reg> '11/UU/1992', '76/PP/1992', '77/PP/1992', '187/M|KEPPRES/2004', '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998', '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </related_reg>
|
MENTER!KEUANGAN
REPUBLIK INDONESI~,
.
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 113/PMK.05/2005
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa untuk memberikan jaminan terpeliharanya kesinambungan
penghasilan Peserta pada saat pensiun atau Pihak Yang Berhak
apabila Peserta meninggaI dunia, pendanaan Program Pensiun perlu
diselenggarakan SeCM,)terarah dan terpadu;
b. bahwa sesuai dengc1l1 perkembangan perekonomian Indonesia dan
perkembangan
pemahaman terhi1dap pendanaan Dana Pensiun,
pengaturan mengenai pcndan,)an dan solvabilitas Dana Pensiun
sebagaimana telah ditet'1pkan di11am Keputusan Menteri Keuangan
NomoI' 510/KMK.06/2002 periu disempurnakan;
C. bahwa berdasarkan
pertimbt'll1gan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b perIu menetapkan Peraturan J'vlenteri Keuallgan
ten tang Pendanaan d,)n Solvi1bilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja;
Mengingat
: 1. Undang-undang
NOI11or 11 Tahun 1992 tentang Dana Pen:;iun
(Lembaran NegarCl Republik Indonesia Tahun 1992 NomoI' 37,
Tambahan Lembarcm Negara Republik Indonesia NomoI' 3477);
2. Peratllran Pemerinlc1h Nomur 76 Tc1hun 1992 lenlang Dana Pensiun
Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
NomoI' 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia NomoI'
3507);
3. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004;
4. Keputusan
Menteri
Keuangan
NomoI' 510/KM1<.06/2002
Pendanaan Dan Solvabilitas Dana Pensiun Pemberi Kerja;
tentang
-2-
MEMUTUSKAN:
enetapkan : PERATURAN MENTER!KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS
KEPUTUSAN MENTER! KEUANGAN NOMOR 510/KMKO6/2002
TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN
PEMBERIKERJA.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan NomoI
510/KMK.06/2002 tentang Pendanaan dan Solvabilitas Dana Pensiun
Pemberi Kerja diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasa16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) Dalam rangka penetapan kualitas pendanaan, aktuaris harus
menetapkan besar Kekayaan Untuk Pendanaan.
(2) Kekayaan Untuk Pendanaan dihitung dari aktiva bersih
dikurangi dengan:
a. kekayaan dalam sengketa di pengadilan, atau yang dikuasai
atau disita oleh pihak yang berwenang;
b. iuran, baik sebagian atau seluruhnya, yang pada tanggal
perhitungan
dari 3 (tiga) bulan sejak tanggal jatuh temponya;
c. kekayaan yang ditempatkan di luar negeri;
d. jenis kekayaan yang dikategorikan sebagai piutang lain-lain
dan aktiva lain-lain;
e. seIisih lebih nilai investasi
sebagaimana
ditetapkan
dalam
dari batasan per pihak
Menteri
Keputusan
Keuangan tentang lnvestasi Dana Pensiun; dan atau
f. selisih lebih nilai investasi dari batasan per jenis untuk tanah,
bangunan,
tanah dan bangunan
sebagaimana
ditetapkan
aktuaria belum disetor ke Dana Pensiun lebih
- 3.
dalarn
Keputusan
.t\tlenteri
Keuangan
511/KMKO6/2002 ten tang lnvestasi Dana Pensiw1."
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1) Aktiva bersih sebagairnana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
diperoleh dari laporan keuangan yang diaudit per tanggal
perhitungan aktuaria apabila laporan aktuaris disusun dalam
rangka:
a. laporan aktuaris berkala;
b. pembubaran Dana Pensiun;
c. perubahan Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan dengan
penggabungan atau pemisahan Dana Pensiun; pengakhiran
kelompok peserta yang ditetapkan dalam Peraturan Dana
Pensiun, atau pengakhiran Mih'a Pendiri.
(2) Dalam hal tidak ada laporan keuangan yang diaudit per tanggal
perhitungan aktuaria sebagaimana dimaksud ayat (1) maka
aktiva bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dapat diperoleh dari lapman keuangan Dana Pensiun yang
ditandatangani oleh Pengurus. apabila laporan aktuaris disusun
dalam rangka perubahan Peraturan Dana Pensiun selain tujuan
sebagaimanadimaksud ayat (1)huruf c.
(3) Kekayaan Untuk Pendanaan dalam rangka pengesahan
pembentukan Dana Pensiun ditetapkan nihil atau dihitung
sebesar dana tunai yang dialihkan ke Dana Pensiun sebagaimana
ditetapkan oleh Pendiri."
3. Ketentuan Pasalll diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
NornaI'
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIKINDONESIA
-4-
"Pasall1
(1) Masing-masing bagian dari Defisit sebagaimana dimaksud
dalam Pasall0 ayat (2) harus dilunasi dengan luran Tambahan
dalam jangka waktu paling lama:
a. 36 (tiga puluh enam) bulan, untuk
Defisit yang
diperhitungkan sebagai Kekurangan Solvabilitas; atau
b. 180 (seratus delapan puluh) bulan, untuk Defisit di luar yang
telah diperhitru1gkan sebagai Kekurangan Solvabilitas.
(2) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara sekaligus, pembayaran luran Tambahan
ditetapkan sebesar bagian Defisit yang harus dilunasi dan harus
dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak :
a. diterimanya Laporan Aktuaris Berkala yang memuat hal
pelunasan defisit secara sekaligus oleh Menteri; atau
b. disahkannya Peraturan Dana Pensiun oleh Menteri.
(3) Dalam hal penyetoran luran Tambahan secara sekal~gus
fllelewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka. luran Tambahan tersebut harus dikenakan bunga yang
dihitung sejak tanggal perhitungan ~ktuaria,
(4) Dalam hal pelunasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan seCal'a bulanan, besar luran Tambahan setiap bulan
dihitung sedemikian rupa sehingga nilai sekarang dari
rangkaian luran Tambahan bulanan yang akan dilakukan dalam
periode pengangsuran sama dengan besar bagian Defisit yang
bersangk utan.
(5) Menteri dapat memperkenankan perpanjangan jangka waktu
pelunasan Defisit yang diperhitungkan sebagai Kekurangan
Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi
paling lama 5 (lima) tahun apabila pemberi kerja berada dalam
kondisikeuangan yang buruk dan men~alami kesulitan dalam
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam ayat (I)."
. j
I
I '
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK !NDONESIA
-5-
4. Ketentuan Pasal13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
IIPasal13
(1) Dalam hal perhitungan aktuaria baru menunjukkan bahwa nilai
sekarang dari sisa rangkaian
Defisit tertentu
lebih besar daripada
luran Tambahan untuk bagian
bagian Defisit yang
bersesuaian menurut perhitungan aktuaria baru yang ditetapkan
. pada tanggal perhitungan
bersesuaian dapat dilunasi dengan luran Tambahan baru.
(2) Dalam hal luran Tambahan baru untuk melunasi bagian defisit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
sekaligus, maka pelunasan luran Tambahan baru tersebut diatur
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal11 ayat (2) dan ayat (3).
(3) Dalam hal luran Tambahan bal'll untuk melunasi bagian defisit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
bulanan, maka luran Tambahan bulanan baru dihitung
sedemikian rupa sehingga nilai sekarang rangk~~an luran
Tambahan bulananbaru
yang bersangkutan dan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. luran Tambahan bulanan' baru sarna atau lebih besar
daripada luran Tambahan bulanan sebelumnya, dengan
masa pelunasan lebih penclek dari sisa periocle pelunasan
yang telah ditetapkan dalam laporan aktuaris sebelumnya;
atau
b. luran Tambahan bulanan baI'U lebih kecil daripada luran
Tambahan. bulanan sebelumnya, dengan rnasa pelunasan
sarna dengan sisa periode pelunasan yang telah ditetapkan
dalarn laporan aktuaris sebelu;mnya.
'
(4) '. I?alam l~alterdapa't perubahan asu~si aktuaria dan atau metode
perhihingan ~ktuaria yang mengakib~tkan, penurunan Defisit
.atau kenaikan Surplus, maka laporan aktuaris har~s menetapkan
luran, Tambahan bulanan yang sekurang-kurangnya
sarna
dengan luran Tambahan bulanan pada laporan a~tuaris
sebelumnya.
aktuaria, maka bagian Defisit yang
tersebut. sama dengan bagian Defisit
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
(5) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode
perhitungan aktuaria yang mengakibatkan kenaikan Defisit atau
penurunan Surplus, maka laporan aktuaris berlaku efektif sejak
tanggal perhitungan aktuaria."
5. Ketentuan Pasal15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal15
(1) Pemberi Kerja dari Dana Pensiun yang sampai disahkannya
Peraturan Menteri Keuangan ini masih memiliki sisa Defisit Pra-
Undang-undang wajib melunasi sisa defisit Pra-Undang-undang
tersebut.
(2) Sisa Defisit Pra-Undang-undang sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) adalah nilai. sekarang dari sisa rangkaian luran
Tambahan untuk
melunasi
(3) Masa angsuran
dad
sisa
Defisit Pra-Undang-undang
sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris pertama.
Oefisit Pra-Undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sisa masa
angsuran sebagaimana telah ditetapkan dalam laporan aktuaris
pertama kecuali apabila terdapat perubahan pada laporan
aktuaris berikuh1ya sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri
Keuangan ini.
(4) Pemberi Kerja dapat melunasi sisa defisit Pra Undang-undang
sebagaimana dirnaksud dalam ayat (1) secara sekaligus."
6. Ketentuan Pasal17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal17
(1) Bila laporan aktuaris menunjukkan adanya Surplus, sisa luran
Tambahan"bulanan yang belum jatuh temp.o pada tanggal
perhitungan aktuaria baru harus dihapus:
(2) luran Normal Pemberi Kerja dapat diperhitungkan dari Surplus.
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-7-
"
(3)
Dalam hal Surplus melebihi jumlah yang lebih besar di antara:
a. 20% (dua puluh perseratus) dari Kewajiban Aktuaria; dan
b. bagian luran Normal Pemberi Kelja ditambahlO% (sepuluh
perseratus) dari Kewajiban Aktuaria;
.
maka kelebihanSurplus dimaksud wajib diperhitungkan sebagai
luran Normal Pemberi Kerja.
(4) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode
perhitungan aktuaria yang mengakibatkan adanya Surplus atau
kenaikan Surplus, maka Surplus atau kenaikan Surplus
dimaksud tidak dapat diperhitungkan sebagai luran Normal
Pemberi Kerja.
(5) Dalam hal terdapat perubahan asumsi aktuaria dan atau metode
perhitungan aktuaria yang mengakibatkan penurunan Surplus,
maka Surplus dimaksud tetap dapat diperhitungkan sebagai
luran Normal Pemberi Kerja./I
7. Ketentuan Pasal20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:.
/lPasal20
(1) Laporan aktuaris sekurang-kurangnya
harus memuat :
a. pernyataan Aktuaris;
b. tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan dan tanggal
perhitungan aktuaria sebelumnya;
c. tujuan penyusunan laporan aktuaris;
d. ringkasan
Peraturan
Dana Pensiun
dan
perubahan-
perubahan yang teljadi pada Peraturan Dana Pensiun sejak
tanggal perhitungan aktuaria sebelumnya;
e. ringkasan jumlah Peserta dan jumlah Pihak Yang Berhak
beserta perubahan yang terjadi sejak tanggal perhitungan
aktuaria sebelumnya;
f. metode perhitungan
aktuaria yang digunakan disertai
penjelasan mengenai pemilihan metode tersebut;
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIKINDONESIA
-8
-
g. aSUmSl aktuaria
kewajiban-kewajiban
dalam perhitungan
penjelasan
tersebut;
h. nilai Kekayaan Untllk Pendanaan;
1. analisis perubahan Surplus atau Defisit;
J. hasil perhitungan aktuaria seeara keseluruhan, baik per
tanggal perhitungan aktuaria yang dilaporkan maupun
sebelumnya;
k. nama dan alamat Akhlaris dan penjelasan apakah Aktuaris
yang
bersangkutan
juga
menandatangani
akhl1:uis dalam laporan aktuaris sebelumnya;
1. proyeksi kewajiban akhlaria semesteran minimum 3 (tiga)
tahun pertama.
(2) Laporan aktuaris harus dilengkapi dengan pernyataan yang
ditandatangani Pendiri, yang memuat:
a. pernyataan bahwa data dan Perahuan Dana Pensiun yang
disampaikan kepada Aktuaris lengkap clan benar;
b. pernyataan bahwa Pendiri sanggup membayar iuran-iuran
sesllai dengan pendanaan minimum yang dituangkan dalam
pernyataan aktuaris; dan
c. pernyat:aan bahwa Pendiri bermaksud menggunakan Surplus
yang teljadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
untuk mengurangi Juran Normal Pemberi Kerja, dalam hal
terdapat Surplus.
(3) Dalam hal Dana Pensiun mempunyai
Pemberi Kelja tidak bermaksud
menanggung
MilTa Pendiri, dan
pembiayaan
program pensiun seeara mera ta (slznring pension cost), maka
pernyataan Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir
c harus memuat penegasan penggunaan Surplus untuk masing-
masing Pemberi Kelja yang mengalami Surplus."
pernyataan
yang
mengenai
digunakan
dan perubahan
dalam
aktuaria sebelumnya
pemilihan
perhitungan
dari yang digunakan
disertai dengan
dan perubahan
asumsi
",I
MENTERI KEU.-\NGAN
REPUBLIK :/\jDONESIA
- 9
-
8. KetentuanPasal21 diubah sehingga berbunyi sebagaiberikut:
"Pasal 21
(1) Pernyataan Aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal20 ayat
(1) huruf a harus memuat:
a. pernyataan bahwa data yang diterima aktuaris, sepanjang
pengetahuannya,
lengkap
telah dilakukan
keandalannya;
b. pernyataan bahwa laporan aktuaris diIi1aksud :
1. memenuhi
ketentuan-ketentuan
perundang-undangan
Pensiun;
dalam
peraturan
yang berlaku di bidang Dana
2. telah disusun berclasarkan Peraturan Dana Pensiun;
3. telah disusun berdasarkan Standar Praktik Aktuaria yang
berlaku di Indonesia;
'c. penegasan
mengenai
kewajiban
aktuaria,
kewajiban
solvabilitas, kekayaan untuk pendanaan, surplus atau defisit,
rasio solvabilitas, rasio pendanaan dan kualitas pendanaan;
d. penegasan mengenai :
1. besar luran Normal yang harus dibayarkan sampai akhir
tahun buku pertama setelah tang gal perhitungan aktuaria
serta cliperinci untuk bagian yang harus dibararkan
Peserta clan Pemberi Kerja;
2. persentase luran Normal terhadap penghasilan dasar
pensiun untuk tahun-tahun
sesudah
tahun buku
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 di atas, sampal
saat penyan1paian laporan aktuaris berikutnya;
3. bagian dari luran Normal yang pemenuhannya menjadi
tanggung jawab Pemberi Kelia yang dapat dibayar dari
Surplus yang teliadi beserta periode penggunaannya;
dan dapat
dipertanggung
jawabkan untuk maksud penyusunan laporan aktuaris, dan
untuk itu
pengujian guna menilai
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK !NDONESIA
-10-
e. Penegasan mengenai besar luran Tambahan bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) beserta
periode pembayarannya.
(2) Dalam halo Dana Pensiun mempunyai Mitra Pendiri, dan.
Pemberi Kerja tidak bermaksud menanggung pembiayaan
program pensiun secara merata (shrzringpensioncost),pernyataan
aktuaris harus memuat penegasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) butir c, d, dan e untuk masing-masing Pemberi
Kelia.
.
(3) Pernyataan aktuaris yang disusun dalam rangka pengesahan
perubahan Peraturan Dana Pensiun atau pengalihan kepesertaan
harus memuat informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
butir c, d, dan e untuk keadaan sebelum dan sesudah berlakunya
perubahan tersebut."
9. Ketentuan Pasal22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: ,
1/
Pasal 22
(1) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang
disusun dalam rangka permohonan pe~1gesahan pembentukan
Dana Pensiun adalah tanggal pernyataan tertulis Pendiri tentang
pembentukan Dana Pensiun,
(2) Tanggal perhihmgan aktuaria untuk Japman aktuaris yang
disusun dalam rangka pembubaran Dana Pensiun adalah
tanggal pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana
Pensiun atau tanggal Keputusan Menteri dalam hal tidak ada
pernyataan tertulis Pendiri tentang pembubaran Dana Pensiun.
(3) Tanggal perhitungan aktuaria untuk laporan aktuaris yang
disusun dalam ral1gka permohonan pengesahan perubahan
Peraturan Dana Pensiun yang berkaitan dengan pendanaan
paling lama 3 (tiga) bulan sebelum tanggal permohonan
perubahan Peraturan Dana Pensiun.11
/
",/
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-11-
10. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
"Pasal 27
(1) Dalam hal Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program'
Pensiun Manfaat Pasti memiliki Kekurangan Solvabilitas, maka
setiap pembayaran Ivlanfaat Pensiun seeara sekaligus atau
pengalihan dana ke Dana Pensiun lain hanya dapat
diIaksanakan apabila keadaan berikut terpenuhi:
a. pembayaran Manfaat Pensiun seeara sekaligus
atau
pengalihan ke Dana Pensiun lain diperkenankan oleh
perundang-undangan di bidang Dana pensiun; dan
b. dalam hal laporan aktuaris berikub.1ya menunjukan Rasio
Pendanaan berkurang sebagai akibat terjadinya pembayaran
Manfaat Pensiun secara sekaligus atau pengalihan dana ke
Dana Pensiun lain, maka pemberi kerja wajib rnembayar
iuran tarnbahan seem'a sekaligus untuk rnempertahankan
Rasio Pendanaan seperti sebelum terjadi pembayaran
dirnaksud.
(2) Kewajiban membayar iuran tarnbahan sebagaimana dirnaksud
da1am ayat (1) huruf b tidak diperlukan
dalarn ha1 laporan
aktuaris berikutnya menunjukan Dana Pensiun tidak memiliki
Kekurangan Solvabilitas.
(3) Ketentuan sebagairnana dimaksud dalarn ayat (1) tidak berlaku
dalam hal pengalihan dana disebabkan oleh pengakhiran Mitra
Pendiri atau pemisahan Dana Pensiun."
11. Ketentuan Pasa128 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasa1 28
(1) Dalam ha1 terdapat perubahan program pensiun dari Program
Pensiun Manfaat Pasti menjadi Program Pensiun luran Pasti,
maka kewajiban Pernberi Kelia kepada Peserta sampai dengan
tangga1 perubahan .
kurangnya sebesar Kewajiban SolvabiIitasnya.
program pensiun adalah sekurang-
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK :i\JDONESIA
-12-
,,'
(2) Da1am ha1 Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
masih memiliki kewajiban untuk memenuhi Kekurangan
Solvabilitas, Defisit Pra Undang-undang, dan atau hutang iuran
kepada Da.na Pensiun, maka Pemberi Kelja dimaksud wajib
memenuhi kewajiban-kewajiban tersebut secara sekaligus.
(3) Berdasarkan
permintaan
memperkenankan
Kelja sebagaimana
pemenuhan
sampai selama-lamanya
Pendiri,
Menteri
kewajiban-kewajiban
tidak mampu memenuhi kewajibannya secara sekaligus.
(4) Besar Juran bulanan dalam rangka pemenuhan kewajiban-
kewajiban Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud da1am ayat (3)
dihitung oleh Aktuaris.
~
(5) Dalam hal Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kelebihan kekayaan atas kewajiban, maka ke1ebihan
kekayaan tersebut dapat diperhitungkan sebagai tambahan pada
rekening awal Peserta,/I
12. Diantara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni pasal
28A dan Pasal 28B sehingga berbunyi se?agai berikut :
/IBagian Ketiga
Pengakhiran Iv1itraPendiri
Pasal 28A
(1) Dalam hal terdapat pengakhiran Mih'a Pendiri, maka besarnya
dana yang merupakan hak dari Peserta Mitra Pendiri dimaksud
ditetapkan
aleh aktuaris dengan mempertimbangkan
Solvabilitas Dana Pensiun dan kewajiban-kewajiban
Kerja yang sudah jatuh tempo kepada Dana Pensiun.
dapat
Pemberi
. dimaksud dalam ayat (2) secara bulanan
3. (tiga) tahun apabila Pemberi Kerja
Rasia
Pemberi
"
(2) Apabi1a Mih'a Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
masih mempunyai kewajiban kepada Peserta maka Mitra
Pendiri di maksud tetap harus menyelesaikan kewajibannya
kepada Peserta.
/
,.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-13 -
(3) PembayaranManfaat
dilanjutkan.
pengalihan
jiwa.
Pensiun, bagi Pensiunan,
pada Dana Pensiun
Janda/Duda,
Anak dari t0ih'a Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat
yang
atau dibelikan anuitas pada perusahaan
menerima
asuransi
Bagian Keempat
Pembubaran Dana Pensiun
Pasal 28B
(1) Penetapan nilai likuidasi
ditetapkan oleh Akuntan Publik.
dari
kekayaan Dana Pensiun
(2) Pembagian kekayaan Dana Pensiun bagi Peserta, Pensiunan,
Janda/ Duda, clan Anak ditetapkan oleh Aktuaris dan dibagi
secara prorata sesuai Kewajiban Solvabilitasnya.
(3) Pemberi Kerja wajib membayar luran Normal dan atau ~uran
Tambahan sampai dengan tanggal pembubaran Dana Pensiun
yang ditetapkan dalam Kepuhlsan Menteri."
Pasal II
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 November 2005
MENTERIKEUANGAN,
',.
ttd,-
JUSUFANWAR'
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 113/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 510/KMK.06/2002 TENTANG PENDANAAN DAN SOLVABILITAS DANA PENSIUN PEMBERI KERJA </reg_title>
<set_date> 18 November 2005 </set_date>
<effective_date> 18 November 2005 </effective_date>
<changed_reg> '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '11/UU/1992', '510/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '187/M|KEPPRES/2004' </related_reg>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 143 /PMK.010/2009
TENTANG
PRINSIP MENGENAL NASABAH
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Prinsip Mengenal Nasabah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4957);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun
2005;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PRINSIP
MENGENAL NASABAH LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR
INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya
disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
- 2 -
2. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
adalah prinsip yang diterapkan LPEI untuk mengetahui
identitas Nasabah, memantau kegiatan transaksi Nasabah
termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.
3. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa LPEI.
4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
5. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
6. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang
diangkat Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional
LPEI.
7. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan
Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam
menjalankan kegiatan operasional LPEI.
8. Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan yang
selanjutnya disingkat PPATK adalah lembaga independen yang
dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak
pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
9. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
BAB II
PRINSIP MENGENAL NASABAH
Bagian Kesatu
Kewajiban Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 2
LPEI wajib menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 3
Dalam rangka menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, LPEI wajib:
- 3 -
a. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah;
b. menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi
Nasabah;
c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap
rekening dan transaksi Nasabah; dan
d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang
berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Pasal 4
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah oleh LPEI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan dengan cara:
a. menyusun dan menetapkan kebijakan dan prosedur penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
b. menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah kepada Menteri paling lambat 6 (enam)
bulan sejak diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan ini;
c. menyampaikan setiap perubahan atas Pedoman Pelaksanaan
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Menteri paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan
tersebut; dan
d. menerapkan kebijakan mengenai Nasabah berdasarkan
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Pasal 5
(1) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling sedikit mencakup
uraian tentang:
a. unit kerja khusus atau petugas khusus yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah;
- 4 -
b. tugas Direktur Eksekutif, Dewan Direktur, dan/atau
Direktur Pelaksana, dan unit kerja khusus atau petugas
khusus sebagaimana dimaksud pada huruf a, dalam
pelaksanaan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. kebijakan penerimaan dan identifikasi Nasabah, kebijakan
pemantauan dan pelaporan transaksi yang mencurigakan,
dan kebijakan manajemen risiko serta kebijakan bermitra
bisnis, apabila ada;
d. prosedur penerimaan dan identifikasi Nasabah serta
prosedur pemantauan dan pelaporan transaksi yang
mencurigakan;
e. kebijakan pelatihan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
bagi pegawai LPEI; dan
f. contoh-contoh bentuk transaksi yang mencurigakan.
(2) Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dalam satu
pedoman yang berdiri sendiri atau menjadi bagian dari satu
atau lebih pedoman operasional lain yang mengatur transaksi
dengan Nasabah.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disusun dalam
satu pedoman yang berdiri sendiri, maka yang wajib
disampaikan kepada Menteri adalah pedoman tersebut.
(2) Dalam hal Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan
bagian dari satu atau lebih pedoman operasional lain yang
mengatur transaksi dengan Nasabah, yang wajib disampaikan
kepada Menteri adalah:
a. pokok-pokok atau daftar isi secara keseluruhan dari tiap-tiap
pedoman operasional yang terkait; dan
b. bagian dari tiap-tiap pedoman operasional tersebut yang
mengatur tentang Prinsip Mengenal Nasabah.
Pasal 7
Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
- 5 -
ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan ini.
Pasal 8
LPEI wajib bertanggung jawab atas:
a. penerapan pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah;
b. pemberian pengetahuan dan/atau pelatihan bagi karyawan
mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. penyusunan kebijakan Prinsip Mengenal Nasabah;
d. pemantauan pengkinian profil Nasabah;
e. pemantauan penyusunan Transaksi Keuangan Mencurigakan
dan melaporkannya kepada PPATK; dan
f. penanganan Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi
dan/atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan Transaksi
Keuangan Mencurigakan (suspicious transactions).
BAB III
KEBIJAKAN PENERIMAAN DAN IDENTIFIKASI NASABAH
Pasal 9
(1) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan Nasabah, LPEI
wajib meminta informasi mengenai:
a. identitas calon Nasabah;
b. maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan hubungan
usaha dengan LPEI; dan
c. informasi lain yang memungkinkan LPEI untuk dapat
mengetahui profil calon Nasabah.
(2) Identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dapat dibuktikan dengan keberadaan dokumen
pendukung.
(3) LPEI wajib meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas
calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 10
Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
bagi:
- 6 -
a. Nasabah perorangan paling sedikit terdiri dari:
1. identitas Nasabah yang memuat:
a) nama;
b)
c)
alamat tinggal tetap;
tempat dan tanggal lahir; dan
d) kewarganegaraan.
2. keterangan mengenai pekerjaan;
3. spesimen tanda tangan; dan
4. keterangan mengenai sumber dan tujuan penggunaan dana.
b. Nasabah perusahaan paling sedikit terdiri dari:
1. akte pendirian/anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2. izin usaha dari instansi berwenang;
3. nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha
dengan LPEI;
4. keterangan sumber dana dan tujuan penggunaan dana;
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); dan
6. dokumen identitas pengurus yang berwenang mewakili
perusahaan.
c. Nasabah berupa:
1. bank:
terdiri dari dokumen-dokumen yang lazim dalam melakukan
hubungan transaksi dengan bank, antara lain:
a) akte pendirian / anggaran dasar bank;
b) izin usaha dari instansi yang berwenang; dan
c) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-
pihak yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak
untuk dan atas nama bank dalam melakukan hubungan
usaha dengan LPEI.
2. bank perantara dalam negeri yang merupakan kuasa dari
pihak lain (beneficial owner), terdiri dari dokumen pendukung
- 7 -
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, atau huruf c
angka 1 dan menjadi tanggung jawab bank perantara
dimaksud.
3. bank perantara luar negeri yang menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah, berupa pernyataan tertulis yang
menyatakan bahwa kuasa pihak lain (beneficial owner) telah
diperoleh dan ditatausahakan oleh bank perantara di luar
negeri tersebut.
4. bank perantara luar negeri yang tidak menerapkan Prinsip
Mengenal Nasabah, berupa identitas dan informasi lainnya
atas kuasa pihak lain (beneficial owner), sumber dana dan
tujuan penggunaan dana dari calon Nasabah sebagai berikut:
a. bagi kuasa pihak lain (beneficial owner) perorangan:
1) informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur
penerimaan Nasabah perorangan;
2) hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa
atau kewenangan bertindak sebagai perantara; dan
3) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan
penelitian kebenaran identitas maupun sumber dana
dari kuasa pihak lain (beneficial owner) perorangan.
b. bagi kuasa pihak lain (beneficial owner) perusahaan:
1) informasi yang relevan sebagaimana halnya prosedur
penerimaan Nasabah perusahaan kecuali lembaga
pemerintah, lembaga internasional atau perwakilan
negara asing;
2) hubungan hukum seperti bukti penugasan, surat kuasa
atau kewenangan bertindak sebagai perantara;
3) dokumen identitas pengurus yang berwenang
mewakili perusahaan; dan
4) pernyataan dari calon Nasabah bahwa telah dilakukan
penelitian kebenaran identitas maupun sumber dana
dari kuasa pihak lain (beneficial owner) perusahaan.
Pasal 11
LPEI dilarang melakukan hubungan usaha dengan calon Nasabah
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 dan Pasal 10.
- 8 -
BAB IV
PEMANTAUAN REKENING DAN TRANSAKSI NASABAH
Pasal 12
(1) LPEI wajib melakukan pengkinian data dalam hal terdapat
perubahan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 atau Pasal 10.
(2) LPEI wajib menatausahakan dokumen-dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 sampai dengan paling
kurang 5 (lima) tahun sejak Nasabah menutup rekening di LPEI.
Pasal 13
LPEI wajib memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi,
menganalisa, memantau dan menyediakan laporan secara efektif
mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
Pasal 14
LPEI wajib memelihara profil Nasabah yang paling sedikit meliputi
informasi mengenai:
a. bidang usaha;
b. jumlah pendapatan usaha dan transaksi;
c. rekening lain yang dimiliki, apabila ada;
d. aktivitas transaksi normal; dan
e. tujuan membuka hubungan dengan LPEI.
BAB V
MANAJEMEN RISIKO
Pasal 15
Kebijakan dan prosedur manajemen risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf d paling sedikit mencakup:
a. pengawasan oleh Direktur Eksekutif dan Dewan Direktur;
b. pendelegasian wewenang; dan
c. sistem pengendalian intern termasuk audit intern.
- 9 -
BAB VI
PELAPORAN
Pasal 16
LPEI wajib memenuhi ketentuan pelaporan kepada PPATK sesuai
dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
dan peraturan pelaksanaannya.
BAB VII
SANKSI
Pasal 17
(1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur
Pelaksana yang menyebabkan LPEI tidak memenuhi ketentuan
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 8, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan; dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif,
dan Direktur Pelaksana yang melakukan pelanggaran.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan
anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur
Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka:
a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang
bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri
berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009 tentang Tata
- 10 -
Cara Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian
Dewan Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
atau
b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan
Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan
Direktur.
Pasal 18
(1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak memenuhi
ketentuan Pasal 2, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13, dan Pasal 14, dikenakan sanksi administratif
berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pemberhentian.
(2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan
lisan yang bersifat pembinaan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan; dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan ketiga berakhir dan
pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang
bersangkutan dapat diberhentikan.
(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku pada tanggal diundangkan.
- 11 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 279
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 143/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP MENGENAL NASABAH LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Agustus 2009 </set_date>
<effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date>
<issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
DRUKNDOB
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 43 /PMK.010/2012
TENTANG
UANG MUKA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR
PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Merimbang a. bahwa dalam rangka menangkatkan pean
pembiayaan dalam pembangunan nasional, telah ditetapkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan;
b. bahwa dengan semakin tingginya permintaan pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor oleh masyarakat dan
untuk mengurangi risiko pembiayaan serta meningkatkan
perlu pengaturan mengenai uang muka pembiayaan konsumen
untuk kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan,
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen
Untuk Kendaraan Bermotor Pada Perusahaan Pembiayaan;
Pembiayaan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan;
MEMUTUSKAN
Menthaplan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG UA
PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PADA
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha
pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor wajib
menerapkan ketentuan uang muka (doun pajment) kepada
konsumen sebagai berikut:
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
2
a. bagi kendaraan bermotor roda dua, paling rendah 20% (dua
puluh per seratus) dari harga jual kendaraan yang
bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk
tujuan produktif, paling rendah 20% (dua puluh per seratus)
dari harga jual kendaraan yang bersangkutan, atau
c. bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk
tujuan non-produktif, paling rendah 25% (dua puluh lima
per seratus) dari harga jual kendaraan yang bersangkutan.
(2) Kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan
produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
memenuhi kriteria paling sedikit sebagai berikut
a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang
memiliki izin yang diterbitkan oleh pihale berwenang untuk
melakukan kegiatan usaha tertentu; atau
b. diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki
iain usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan
untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang
(3) Dalam hal kendaraan bermotor roda empat tidak memenuhi
salah satu kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
kendaraan yang bersangkutan digolongkan sebagai kendaraan
bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan non-
produktif.
Pasal 2
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha;, atau
c. pencabutan izin usaha.
(2) Menteri Keuangan memberikan sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a secara tertulis paling banyak
3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
2 (dua) bulan kepada Perusahaan Pembiayaan yang melanggar
ketentuan Pasal 1 ayat (1). -
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan.
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan Pembiayaan
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha harus diberikan secara
tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan yang melakukan
pelanggaran dan pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku
selama jangka waktu 1 (satu) bulan sejak surat sanksi
pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku
hingga hari kerja pertama berikutnya.
(7) Perusahaan Pembiayaan yang dikenakan sanksi pembekuan
melakukan kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan rasio
piutang pembiayaan terhadap total aset sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 Peraturan Menteri Keuangan Nonior
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri
Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegjatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1), Menteri
Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang
bersangkutan.
Pasal 3
Perusahaan Pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha sebelum
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, wajib menerapkan
ketentuan uang muka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)
dalam perjanjian pembiayaan konsumen dalam jangka waltu paling
lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini mulai
berlaku.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
Pasal 4
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Maret 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 312
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
KBPALP BACATT 4514, KEMENTERIAN
GIAR
End of Page 4
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 43/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> UANG MUKA PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR PADA PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 15 Maret 2012 </set_date>
<effective_date> 15 Maret 2012 </effective_date>
<issued_date> 15 Maret 2012 </issued_date>
<related_reg> '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 2' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 100/PMK.010/2007
TENTANG
LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun dan dalam rangka
meningkatkan pembinaan dan pengawasan agar lebih efektif dan
efisien terhadap industri Dana Pensiun, maka diperlukan laporan
teknis Dana Pensiun yang menyampaikan data dan informasi
teknis operasional Dana Pensiun yang mutakhir dan akurat;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Laporan Teknis Dana Pensiun;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3507);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Lembaga Keuangan
(Lembaran Negara
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG LAPORAN
TEKNIS DANA PENSIUN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun.
Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3508);
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESI
- 2 -
2. Laporan Teknis adalah laporan yang wajib disampaikan oleh
Dana Pensiun kepada Menteri Keuangan, yang menyajikan
informas`i mengenai kepesertaan dan kegiatan operasional Dana
Pensiun selama 1 (satu) tahun.
3. Biro Dana Pensiun adalah Biro Dana Pensiun pada Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN
LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN
Pasal 2
Dana Pensiun wajib menyampaikan Laporan Teknis setiap tahun
kepada Menteri.
BAB III
BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN
Pasal 3
(1) Laporan Teknis sekurang-kurangnya memuat informasi
mengenai:
a. Dana Pensiun dan Pendiri Dana Pensiun;
b. penyelenggaraan program pensiun;
c. kepesertaan program pensiun; dan
d. pensiunan dan pihak yang berhak.
(2) Penyampaian Laporan Teknis dilengkapi dengan pernyataan
mengenai kelengkapan dan kebenaran data yang ditandatangani
oleh Pengurus Dana Pensiun dan disertai dengan Laporan
Teknis dalam format digital.
Pasal 4
Laporan Teknis wajib disusun sesuai dengan bentuk dan susunan
Laporan Teknis yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESI
- 3 -
BAB IV
PERIODE LAPORAN
Pasal 5
(1) Laporan Teknis mencakup periode kegiatan sejak tanggal 1
Januari sampai dengan tanggal 31 Desember tahun yang
bersangkutan.
(2) Dana Pensiun yang disahkan pendiriannya oleh Menteri setelah
tanggal 1 Januari pada tahun Laporan Teknis wajib disampaikan,
periode kegiatan Laporan Teknis dihitung sejak
tanggal
pengesahan Dana Pensiun oleh Menteri sampai dengan tanggal
31 Desember pada tahun yang bersangkutan.
BAB V
PENYAMPAIAN LAPORAN
Pasal 6
(1) Penyampaian Laporan Teknis
ditujukan kepada Menteri
Keuangan cq. Kepala Biro Dana Pensiun Bapepam dan Lembaga
Keuangan.
(2) Laporan Teknis disampaikan paling lambat pada akhir bulan
ketiga setelah berakhirnya periode
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
kegiatan sebagaimana
(3) Penyampaian Laporan Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 7
(1) Dalam hal Dana Pensiun terlambat menyampaikan Laporan
Teknis, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah)
untuk setiap hari keterlambatan, terhitung sejak hari pertama
setelah batas akhir masa penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dengan ketentuan bahwa
jumlah
keseluruhan
denda
paling
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
banyak
sebesar
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESI
- 4 -
(2) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian
laporan adalah :
a. tanggal penerimaan oleh Biro Dana Pensiun, apabila laporan
diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun; dan
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui
kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan.
(3) Perhitungan jumlah hari keterlambatan untuk pengenaan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), berakhir pada tanggal penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), wajib dibayarkan ke Kantor Kas Negara dengan
menggunakan formulir surat setoran penerimaan negara bukan
pajak (SSBP) dengan kode MAP. 423475 dan bukti pembayaran
tersebut wajib disampaikan kepada Biro Dana Pensiun.
(5) Dalam hal
Pendiri Dana Pensiun belum membayar sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), denda tersebut dinyatakan sebagai utang Pendiri Dana
Pensiun kepada Negara dan harus dicantumkan dalam laporan
keuangan Pendiri Dana Pensiun yang bersangkutan.
Pasal 8
(1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi dan menyampaikan bukti
pembayaran sanksi administratif berupa denda kepada Biro
Dana Pensiun dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak
surat sanksi administratif berupa denda ditetapkan.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sanksi administratif berupa denda tidak dilunasi, Biro Dana
Pensiun akan memberikan surat teguran pertama kepada Dana
Pensiun untuk segera melunasi sanksi administratif berupa
denda beserta bunga atas denda selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sejak ditetapkannya surat teguran pertama tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat
teguran pertama, sanksi administratif berupa denda beserta
bunga atas denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun akan
memberikan surat
pelunasan paling
teguran kedua dengan jangka
lambat 14
(empat
ditetapkannya surat teguran kedua tersebut.
belas) hari sejak
waktu
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESI
- 5 -
Pasal 9
Bunga atas denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)
ditetapkan sebesar 2% (dua perseratus) per bulan sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara
Bukan Pajak, dan dikenakan sejak berakhirnya
jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
Pasal 10
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada surat
teguran kedua, denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, maka
sanksi administratif berupa denda beserta bunga atas denda tersebut
dikategorikan sebagai piutang
macet yang
Pasal 11
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2007
MENTERI KEUANGAN,
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
pengurusannya
dilimpahkan/diserahkan oleh Biro Dana Pensiun kepada Panitia
Urusan Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 100/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN TEKNIS DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 5 September 2007 </set_date>
<effective_date> 5 September 2007 </effective_date>
<related_reg> '77/PP/1992', '76/PP/1992', '11/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
PERATURAN MENTBRI KEUANGAN
NOMOR 99 /PMK.010/2011
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
OMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDI
DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menumbuhkembangkan industri penjaminan yang
mampu memberikan manfaat jasa penjaminan bagi masyarakat yang
dinamis, diperlukan peraturan yang lebih komprehensif dan
memenuhi prinsip kehati-hatian (prudent);
b. bahwa agar peraturan di bidang penjaminan menjadi lebih
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu dilakukan perubahan
atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit,
Mengingat : 1. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang Lembaga
Penjaminan
2. Peraturan Menteri Keuangant Nomor 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Kredit
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN
KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT.
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
-2-
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 6, angka 8, angka 11, angka 12, angka 14,
angka 18, angka 29, angka 20, angka 25, angka 27, angka 28 dan angka
31 diubah sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan
Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan
Penjaminan.
2. Perusahaan Penjaminan Kredit, yang selanjutnya disebut Penjamin,
adalah Perusahaan Penjaminan yang kegiatan usaha pokoknya
melakukan Penjaminan Kredit.
3. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak
di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan
Penjaminan Ulang,
4. Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit, yang selanjutnya disebut
usaha pokoknya melakukan Penjaminan Ulang Kredit.
5. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan
kewajiban finansial penerima Kredit dan/atau Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Penjaminan Kredit adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
7. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewaiban finansial Perusahaan Penjaminan yang telah
menjamin pemenuhan kewajiban finansial penerima Kredit
dan/atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
8. Penjaminan Ulang Kredit adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Penjamin yang telah menjamin
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
9. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
10. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, yang selanjutnya disebut
Pembiayaan, adalah pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan.
11. Usaha Produktif adalah kegiatan untuk menghasilkan barang
dan/atau jasa yang memberikan nilai tambah dan meningkatkan
pendapatan bagi Terjamin.
12. Gearing Ratio adalah batasan yang ditetapkan untuk mengukur
Kemampuan Penjamin atau Penjamin Ulang dalam melakukan
kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang.
13. Lembaga Keuangan adalah Bank dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank.
14. Kantor Cabang adalah kantor Penjamin atau Penjamin Ulang yang
secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Penjamin
atau Penjamin Ulang.
5. Kantor Anak Cabang adalah kantor di bawah Kantor Cabang yang
kegiatan usahanya membantu Kantor Cabang induknya.
16. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau di luar
Lembaga Keuangan yang telah memberikan Kredit dan/atau
Pembiayaan kepada Terjamin.
17. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh Kredit dan/atau
Pembiayaan dari Lembaga Keuangan atau di Juar Lembaga
Keuangan yang dijamin oleh Penjamin baik perorangan, badan
usaha, perseroan terbatas, unit usalia suatu yayasan, koperasi dan
usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
8. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan Penjaminan dari
Penjamin kepada Penerima Jaminan atas kewajiban Terjamin
19. Imbal Jasa Penjaminan, yang selanjuinya disingkat UP, adalah
sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin dari Terjamin dalam
rangka kegiatan usaha Penjaminan.
20. Imbal Jasa Penjaminan Ulang, yang selanjutnya disingkat UPU,
adalah sejumlah uang yang diterima oleh Penjamin Ulang dar
Penjamin dalam rangka kegiatan usaha Penjaminan Ulang.
21. Klaim adalah tuntutan pembayaran oleh Penerima Jaminan kepada
Penjamin diakibatkan Terjamin tidak dapat memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjan atau tuntutan pembayaran
Penjamin kepada Penjamin Ulang, yang telah membayar kewajiban
finansial Terjamin kepada Penerima Jaminan.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4-
22. Subrogasi adalah peralihan hak tagih dari Penerima Jaminan
kepada Penjamin setelah Penerima Jaminan menerima pembayaran
Klaim dari Penjamin.
23. Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah adalah kegiatan usaha
Penjamin atatt Penjamin Ulang yang dilakukan berdasarkan
Prinsip Syariah.
4. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau
hukum Islam.
25. Pengurus adalah anggota direksi dan dewan komisaris bagi
Penjamin atau Penjamin Ulang yang berbentuk perusahaan
perseroan dan perseroan terbatas atau direksi dan dewan
pengawas bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang berbentuk
perusahaan umum dan perusahaan daerah atau pengurus dan
badan pengawas bagi Penjamin atau Penjamin Ulang yang
berbentuk koperasi.
26. Dewan Syariah Nasional, yang selanjutnya disingkat DSN, adalah
dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk
menangani hal-hal yang berkaitan dengan aktifitas lembaga
keuangan syariah.
27. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang direkomendasikan
oleh DSN yang ditempatkan di Penjamin atau Penjamin Ulang
yang bertugas melakukan pengawasan kegiatan usaha Penjamin
atau Penjamin Ulang agar sesuai dengan Prinsip Syariah yang
difatwakan oleh DSN.
28. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan, mencari,
mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi mengenai
kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang, yang bertujuan
untuk memperoleh keyakinan atas kebenaran laporan periodik,
kepatuhan terhadap ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan di bidang lembaga penjaminan serta memastikan bahwa
laporan periodik sesuai dengan keadaan perusahaan yang
sebenarnya.
29. Pemeriksa adalah pegawai Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau pihak
Jain yang ditunjuk oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
30. Surat Perintah Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan oleh
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang digunakan
oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan Pemeriksaan.
End of Page 4
REPUBLIK INDONESIA
31. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang dikeluarkan
oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan atas nama Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
disampaikan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang yang akan
diperiksa.
32. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
2 Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut
Pasal 3
(4) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), Penjamin dapat melakukan kegiatan usaha lain,
yaitu
a. Penjaminan pinjaman yang disalurkan koperasi kepada
anggotanya;
b. Penjaminan kredit dan/atau pinjaman program kemitraan
yang disalurkan badan usaha milik negara dalam rangka
program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL):
c. Penjaminan penyaluran uang pinjaman dengan jaminan gadai
dan fidusia,
d. Penjaminan atas surat utang
e. Penjaminan transaksi dagang
f. Penjaminan pengadaan barang dan/atau jasa (surety bond);
Penjaminan bank garansi (kontra bank garansi);
h. Penjaminan surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN),
1. Penjaminan letler of credit (L/C)
j. Penjaminan kepabeanan (custom borud);
k. jasa konsultasi manajemen terkait dengan kegiatan usaha
Penjaminan
1. penyediaan informasi/ database Terjamin terkait dengan
kegiatan usaha Penjaminan; dan/atau
m. Penjaminan lainnya setelah memperoleh persetujuan Menteri.
(2) Penjamin Ulang dapat melakukan Penjaminan Ulang atas
Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai
dengan huruf m.
End of Page 5
REPUBUK INDONCEA
6.
3. Diantara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A
yang berbunyi sebagai berikut.
Pasal 3A
(1) Dalam melakukan kegiatan usahanya, Penjamin dapat
menggunakan jasa agen Penjamin,
(2) Agen Penjamin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
seseorang atau badan hukum yang melakukan pemasara
kegiatan usaha Penjaminan untuk dan atas nama Penjamin.
(3) Dalam hal Penjamin menggunakan jasa agen Penjamin, Penjamin
waib menggunakan agen Penjamin yang tercatat sebagai anggota
asosiasi Penjamin.
(4) Penjamin wajib memiliki perjanjian keagenan dengan agen
Penjamin yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama
Penjamin.
5) Semua tindakan agen Penjamin yang berkaitan dengan transaksi
Penjaminan menjadi tanggung jawab Penjamin yang diageni.
(6) Dalam perjanjian keagenan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Penjamin wajib mencantumkan klausula pemberian komisi kepada
agen Penjamin paling tinggi sebesar 159 (lima belas per seratus)
dari IjP.
() Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), ayat (4), dan ayat (6) yaitu:
a. menggunakan jasa agen Penjamin yang tidak tercatat sebagai
anggota asosiasi Penjamin;
b. tidak memiliki perjanjian keagenan dengan agen Penjamin
yang melakukan pemasaran untuk dan atas nama Penjamin,
dan/atau
c. tidak mencantumkan klausula pemberian komisi kepada agen
Penjamin atau mencantumkan klausula pemberian komisi
kepada agen Penjamin melebihi 15% (lima belas per seratus)
dari I)P dalam perjanjian keagenan,
Penjamin dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
End of Page 6
REPUBLIK INDONESIA
-7.
4. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah, ayat (2) dihapus serta ditambah 3
(tiga) ayat, yakni ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sehingga keseluruhan
Pasal 4 berbunyi sebagai berikut
Pasal 4
(1) Penjamin atau Penjamin Ulang wajib menjaga likuiditasnya.
(2) Dihapus.
(3) Rasio likuiditas Penjamin atau Penjamin Ulang ditetapkan paling
sedikit 150% (seratus lima puluh per seratus).
4) Rasio likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung
dengan menggunakan current ratio yaitu perbandingan antara aset
lancar dengan utang lancar.
(5) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), yaitu tidak
menjaga likuiditas atau memiliki rasio likuiditas kurang dari 150%
(seratus lima puluh per seratus), Penjamin atau Penjamin Ulang
dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara
Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
5. Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 4A
dan 4B yang berbunyi sebagai berikut
Pasal 4A
(1) Penjamin hanya dapat melakukan investasi dalam bentuk
a. deposito pada bank umum,
b. surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah negara;
c. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia,
d. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk
peringkat investasi (investnent grnde);
e. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia,
f. reksadana dan/atau reksadana syariah; dan/ atau
8. penyertaan langsung pada Penjamin Ulang.
End of Page 7
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
(2) Penjamin Ulang hanya dapat melakukan investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf f.
(3) Pembatasan atas investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) adalah sebagai berikut
a. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum
ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh per seratus) dari
jumlah investasi;
b. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau surat
berharga syariah negara ditetapkan paling tinggi 50% (lima
puluh per seratus) dari jumlah investasi;
c. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat berharga
syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia ditetapkan paling
tinggi 509 (lima puluh perseratus) dari jumlah investasi:
d. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk
korporasi yang masuk peringkat investasi (inuesiment gyade)
pada saat penempatan ditetapkan paling tinggi 20% (dua puluh
per seratus) darijumlah investasi;
e. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek
Indonesia ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus)
dari jumlah investasi;
f. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana syariah
ditetapkan paling tinggi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi; dan/ atau
8. investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada Penjamin
Ulang ditetapkan paling tinggi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi.
(4) Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3), yaitu
a. melakukan investasi selain dalam bentuk:
1. deposito pada bank umum,
2. surat berharga negara dan/atau surat berharga syariah
negara,
. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia,
4. obligasi korporasi dan/atau sukuk korporasi yang masuk
peringkat Investasi (investment grade);
5. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia;
End of Page 8
REPUBUK INDONESIA
-9-
6. reksadana dan/atau reksadana syariah; dan/atau
7, penyertaan langsung pada Penjamin Ulang,
b. tidak memenuhi batasan investasi sebagai berikut.
1. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum
melebihi 50% (ima puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
2. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau
surat berharga syariahi negara melebihi 50% (lima puluh
per seratus) darijumlah investasi;
3. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
4. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk
korporasi yang masuk peringkat investasi (inoestmnent
grade) pada saat penempatan melebihi 209 (dua puluh per
seratus) dari jumlah investasi;
5. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek
Indonesia melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah
Investasi;
6. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana
syarial melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi; dan/ atau
7, investasi dalam bentuk penyertaan langsung pada
Penjamin Ulang melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari
jumlah investasi,
Penjamin dimaksud dikenakan sanksi adauinistratif sesuai dengan
Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
(5) Jika Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dinuaksud
pada ayat (2) dan ayat (6), yaitu
a. melakukan investasi selain dalam bentuk:
1. deposito pada bank umum;
2. surat berharga negara dan/atau surat berharga syarial
negara
End of Page 9
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-10-
3. surat berharga dan/atau surat berharga syariah yang
diterbitkan olch Bank Indonesia,
4. obligasi korporasi dan/ atau sukuk korporasi yang masuk
peringkat investasi (investment grade).
5. saham yang tercatat di bursa efek Indonesia; dan/ atau
6. reksadana dan/atau reksadana syariah,
b. tidak memenuhi batasan investasi sebagai berikut.
1. investasi dalam bentuk deposito pada setiap bank umum
melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah
investasi;
2. investasi dalam bentuk surat berharga negara dan/atau
surat berharga syariah negara melebihi 50% (lima puluh
per seratus) dari jumlah investasi;
3. investasi dalam bentuk surat berharga dan/atau surat
berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
melebihi 50% (lima puluh per seratus) dari jumlah
investasi,
4. investasi dalam bentuk obligasi korporasi dan/atau sukuk
korporasi yang masuk peringkat investasi (inpeshment
grade) pada saat penempatan melebihi 209 (dua puluh per
Seratus) dari jumlah investasi;
5. investasi dalam bentuk saham yang tercatat di bursa efek
Indonesia melebihi 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah
investasi; dan/atau
5. investasi dalam bentuk reksadana dan/atau reksadana
syariah melebihi 5% (lima per seratus) dari jumlah
investasi,
Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi administzatif sesuai
dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang
Perusahaan Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Kredit.
Pasal 4B
(1) Penjamin atau penjamin ulang wajib memiliki cadangan Klaim
paling sedikit 0,259 (nol koma dua puluh lima per seratus) dari
total nilai Penjaminan yang ditanggung Penjamin atau Penjamin
Ulang.
End of Page 10
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Penjamin atau Penjamin ulang wajib memiliki cadangan umum
paling sedikit 25% (dua puluh lima per seratus) dari laba bersih
pada tiap akhir periode laporan tahunan.
(3) Cadangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya
dapat dipergunakan untak menatup kerugian yang tidak dapat
dipenuhi oleh cadangan Klaim.
(4) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3),
yaitu:
a. tidak membentuk cadangan Klaim atau membentuk cadangan
Klaim namun kurang dari 0,259 (nol koma dua puluh lima per
seratus) dari total nulai Penjaminan yang ditanggung Penjamin
atau Penjamin Ulang
b. tidak membentuk cadangan umum atau membentuk cadangan
umum namun kurang dari 25% (dua puluh lima per seratus)
dari laba bersih pada tiap akhir periode laporan tahunan,
dan/atau
mnenggunakan cadangan umum selain untuk menutup
kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan Klaim,
Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
6. Ketentuan Pasal 7 huruf i diubah sehingga keseluruhan Pasal 7
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Permohonan untuk mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1), diajukan kepada Menteri oleh direksi atau
pengurus sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini dan harus dilampiri
dengan:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang sekurang-kurangnya
memuat:
1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup wilayah operasional,
2. kegiatan usaha sebagai Penjamin atau Penjamin Ulang;
3. permodalan,
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-12-
4. kepemilikan; dan
wewenang, tanggung jawab, masa jabatan Pengurus.
b. data calon Pengurus meliputi:
1. pas photo terbaru ukuzan 4 x 6 cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor yang masih berlaku,
3. daftar riwayat hidup; dan
4. surat pernyataan
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan;
b. tidak pemah dihukum karena tindak pidana kejahatan
c. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalat
yang mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap
d. tidak merangkap jabatan pada Penjamin dan/atau Penjamin
Ulang lain kecuali jabatan sebagai komisaris/dewan
pengawas/badan pengawas Penjamin Ulang bagi direksi
atau pengurus; dan
e. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang
Penjaminan atau perbankan atau Lembaga Keuangan lainnya
selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus.
c. data pemegang saham/ anggota dalam hal:
1. perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah dokumen
sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan
angka 3 serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak
berasal dari pinjaman dan kegiatan pencucian uang (money
laundering)
2. badan hukum, dokumen yang dilampirkan adalah.
a) akte pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan yang telah mendapat
pengesahan dari instansi berwenang;
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik
dan/atau laporan kettangan terakhir; dan
c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1,
angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham dan direksi atau
pengurus badan hukum tersebut.
d. struktur organisasi yang memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi
pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan pengembangan
informasi/ database Terjamin;
e. sistem dan prosedur kerja Penjamin atau Penjamin Ulang
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
LK INDONESA
-13-
f rencana kerja (business plan) uatuk tiga tallun pertama yang
sekurang-kurangnya memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
2. rencana kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang dan
langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas
bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak
Penjamin dan Penjamin Ulang melakukan kegiatan operasional.
g. daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang
Penjaminan;
h. fotokopi bukti pelunasan setoran modal minimum dalam bentuk
deposito berjangka atas nama badan hukum Penjamin atau
Penjamin Ulang pada salah satu bank umum di Indonesia dan
dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama
dalam proses pengajuan izin usaha;
1. bukti kesiapan operasional antara lain berupa
1. daftar aktiva tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa
gedung kantor;
3. contoh formulir, termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan
digunakan untuk operasional Penjamin atau Penjamin Ulang;
dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
7. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah dan
ditambahkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (4) dan ayat (5) sehingga
keseluruhan Pasal 11 berbunyi sebagai berikut.
Pasal 11
(1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah
Penjamin ditetapkan berdasarkan lingkup operasi yaitu nasional
atau provinsi.
(2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan
hibah Penjamin ditetapkan paling sedikit:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), untuk lingkup
b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), untuk
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-14-
(3) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan
hibah Penjamin Ulang ditetapkan paling sedikit
Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(4) Jika Penjamin melanggar ketentuan selbagaimana dimaksud pada
ayat (2) yaitu
a. memiliki modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib
dan hibah kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), untuk lingkup nasional; atau
b. memiliki modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib
dan hibah kurang, dari Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah), untuk lingkup provinsi,
Penjamin dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan
Tate Cara Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
(5) Jika Penjamin Ulang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), yaitu memiliki modal disetor atau simpanan pokok,
simpanan wajb dan hibah kurang dari Rp200.000.000.000,00 (dua
tatus miliar rupiah), maka Penjamin Ulang dimaksud dikenakan
sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
8. Ketentuan Pasal 22 ayat(2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan
Pasal 22 berbunyisebagai berikut:
Pasal 22
(1) Pengambilalihan dapat dilakukan Penjamin atau Penjamin Ulang
dengan mengambil alih seluruh atau sebagian besar saham
Penjamin atau Penjamin Ulang lain sehingga mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap perusahaan tersebut.
(2) Pelaksanaan pengambilalihan terhadap Penjamin atau Penjamin
Ulang, sebagpimana dimaksud pada ayat (t) dapat dilakukan
dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut
a. pelaksanaan pengambilalihan tersebut tidak mengakibatkan
berkurangnya hak Penerima Jaminan atau hak Penjamin; dan
End of Page 14
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-15-
b. pelaksanaan pengambilalihan tersebut wajib memenuhi
ketentuan Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42A ayat (4) dan total Gearing Ratio
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (5) sehingga
tidak mengakibatkan perusahaan yang melakukan
pengambilalihan menjadi tidak memenuhi ketentuan Gearing
Ratio yang diperkenankan.
(3) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yaitu:
a. melakukan pengambilalihan sehingga mengakibatkan
berkurangnya hak Penerima Jaminan atau hak Penjamin lain,
atau
b. melakukan pengambilalihan sehingga mengakibatkan
Penjamin atau Penjamin Ulang tidak memenuhi ketentuan
Gearing Raho Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 42A ayat (4) dan total Goaring Ratio sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42A ayat (5),
Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kait Dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
9. Ketentuan Pasal 38 ayat (2) dan ayat (4) diubah serta ayat (3) dihapus,
sehingga keseluruhan Pasal 38 berbunyisebagai berikut.
Pasal 38
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usahanya, Penjamin menerima I)P
dan Penjamin Ulang menerima IIPU.
(2) Besamya tarif U)P atau I)PU ditetapkan dengan pertimbangan,
antara lain:
a. risiko yang dijamin
b. jangka waktu Penjaminan
d. keuntungan.
(3) Dihapus.
End of Page 15
REPUBUK INDONESIA
-16-
(4) Dalam hal Penjamin melaksanakan penjaminan yang merupakan
program Pemerintah maka ketentuan mengenai UP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi Penjamin dimaksud
dan kriteria penetapan T)P bagi Penjamin tersebut diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
10. Judul BAB XVI diubah, sehingga berbunyisebagai berikut
BAB XVI
GEARING RATIO DAN NILAI PENJAMINAN
BAGI USAHA PRODUKTIF
11. Ketentuan Pasal 42 dihapus.
12. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
42A yang berbunyisebagai berikut.
Pasal 42A
(1) Dalam rangka menyelenggarakan usaha Penjaminan atau
Penjaminan Ulang yang sehat, Penjamin atau Penjamin Ulang
wajib menjaga Gearing Ratio.
(2) Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perbandingan antara total nilai Penjaminan atau Penjaminan
Ulang yang ditanggung sendiri dengan modal sendiri bersih
Penjamin atau Penjamin Ulang pada waktu tertentu.
(3) Modal sendiri bersih Penjamin atau Penjamin Ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan, dan laba, dikurangi
kerugian, dalam hal Penjamin atau Penjamin Ulang berbentuk
badan hukum perseroan terbatas, perusahaan umum,
perusahaan perseroan dan perusahaan daerah; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, hibah,
dana cadangan, dan sisa hasil usaha, dikurangi penyertaan dan
kerugian, dalam hal Penjamin atau Penjamin Ulang berbentuk
badan hukum koperasi.
(4) Gearing Ratio untuk Penjaminan atau Penjaminan Ulang bag
Usaha Produktif ditetapkan paling tinggi 10 (sepuluh) kali.
(5) Total Gearing Ratio bagi Penjamin atau Penjamin Ulang ditetapkan
paling tinggi 40 (empat puluh) kali.
End of Page 16
MENTERI KEUANGAN
-17-
(6) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), dan ayat (5), yaitu
a. memiliki Gearing Ratio Usaha Produktif melebihi 10 (sepuluh)
kali; dan/atau
b. memiliki total Gearing Ratio melebihi 40 (empat puluh) kali,
Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan ' Sanksi
daam Peraturan Menteri Keuangan Nomo
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
13. Ketentuan Pasal 43 ayat (2) dihapus, ayat (1) dan ayat (3) diubah, serta
di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 3 (tiga) ayat, yakni ayat (2a),
ayat (2b), dan ayat (2c), sehingga keseluruhan Pasal 43 berbunyi
sebagai berikut
Pasal 43
(4) Penjamin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuhi ketentuan
Gearing Ratio Usaha Produktif sebagaimana dimaksud dalan
Pasal 42A ayat (4) dan total Gearing Ratio sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 42A ayat (5) diberikan jangka waktu paling lama
4 (empat) bulan setelah tanggal surat pemberitahuan kepada
Penjamin atau Penjamin Ulang untuk memenuhi ketentuan
Gearing Ratio.
(2) Dihapus.
(2a)Penjarmin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuhi ketentuan
Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan kepada Menteri mengenai rencana pemenuhan
Gearing Ratio yang telah disetujui oleh dewan komisaris/dewan
pengawas/badan pengawas.
(2b)Rencana pemenuhan Gearing Ratio memuat langkah-langkah antara
lain
a. restrukturisasi Penjaminan atau Penjaminan Ulang;
baru;
. penambahan modal atau simpanan pokok, simpanan wajib dan
hibah oleh pemegang saham;
d. penggabungan badan usaha.
End of Page 17
MENTERI KEUANGAN
-18-
(2e)Rencana pemenuhan Gearing Ratia sebagaimana dimaksud pada
ayat (2a) disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah tanggal
surat pemberitahuan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang,
(3) Jika Penjamin atau Penjamin Ulang yang tidak memenuh
Ketentuan Gearing Ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan
ayat (2c) yaitu
a. tidak menyampaikan rencana pemenuhan Gearing Ratio yang
telah disetujui oleh dewan komisaris/ dewan pengawas/badan
pengawas kepada Menteri;
b. menyampaikan rencana pemenuhan Gearing Ratio melampaui
jangka waktu 1 (satu) bulan setelah tanggal surat
pemberitahuan kepada Penjamin atau Penjamin Ulang,
Penjamin atau Penjamin Ulang dimaksud dikenakan sanksi
administratif sesuai dengan Tata Cara Pengenaan Sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit Dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
14. Ketentuan Pasal 44 dihapus.
15. Di antara Pasal 44 dan Pasal 45, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni pasal
44A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44A
(]) Penjamin wapb memiliki nilai Penjaminan bagi Usaha Produktif
paling sedikit 20% (dua puluh per seratus) dari total nilai
Penjaminan paling lama 2 (dua) tahun sejak mendapatkan izin
usaha.
(2) Jika Penjamin melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), yaitu memiliki nilai Penjaminan Usaha Produktif kurang
dari 20% (dua puluh per seratus) dari total nilai Penjaminan
setelah 2 (dua) tahun mendapatkan izin usaha, Penjamin
dimaksud dikenakan sanksi administratif sesuai dengan Tata Cara
Pengenaan Sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit Dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit.
16. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
End of Page 18
REPUBLIK INDONESIA
-19-
(1) Pemeriksaan terhadap setiap Penjamin atau Penjamin Ulang
dilakukan secara berkala sekurang-kurangnya satu kali dalam 2
(dua) tahun atau setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersifat
lengkap yang meliputi aspek substansi laporan periodik,
kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang
lembaga penjaminan.
(3) Pemeriksaan berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimuat
dalam rencana pemeriksaan tahunan dan disesuaikan dengan
skala prioritas dari jenis usaha Penjamin atau Penjamin Ulang
yang ditetapkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(4) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Pemeriksaan yang bersifat khusus dan dilakukan
apabila
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik Penjamin atau
Penjamin Ulang patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan
usaha perusahaan dimaksud menyimpang dari peraturan
perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan sehingga
dapat menimbulkan risiko atas kepentingan para pihak dalam
kegiatan Penjaminan atau Penjaminan Ulang
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atau surat
pengaduan yang diterima oleh Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan patut diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan
usaha perusahaan dimaksud menyimpang dari peraturan
perundang-undangan di bidang lembaga penjaminan sehingga
dapat menimbulkan risiko atas kepentingan para Penerima
Jaminan; atau
c.. terdapat alasan khusus yang mendasari perlunya dilakukan
. verifikasi kegiatan operasional perusahaan;
penggabungan,
peleburan;
pengambilalihan; dan/atau
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN
-20
17. Mengubah Lampiran 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
222/PMK.010/2008 tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit sehingga menjadi sebagaimana
tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini sebagai
bagian yang tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal IT
1. Ketentuan Pasal 80 dihapus.
2. Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal
80A ditempatkan dalam BAB XXII dan Pasal 80B ditempatkan dalam
BAB XXIII, yang berbunyi sebagai berikut
Pasal 80A
(1) Icin usaha Penjamin atau Penjamin Ulang yang masih berlaku
pada saat diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini,
dinyatakan tetap berlaku.
(2) Penjamin atau Penjamin Ulang yang izin usahanya masih berlaku
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyesuaikan
likuiditas dan rasio likuiditas, bentuk investasi dan batasan
investasi, cadangan umum dan cadangan Klaim, Gearing Ratio
Usaha Produktif dan total Gearing Ratio, serta nilai Penjaminan
bagi Usaha Produktif dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 4A ayat (1) sampai
dengan ayat (3), Pasal 4B ayat (1) sampai dengan ayat (3), Pasal
42A ayat (4) dan ayat (5), dan Pasal 44A ayat (1) Peraturan Menteri
Keuangan ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal
diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 80B
(1) Ketentuan mengenai penggunaan jasa agen Penjamin oleh
Penjamin dan Penjamin Ulang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3A ayat (3) mulai berlaku 1 (satu) tahun setelah diundangkannya
Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Ketentuan mengenai jumlah modal disetor atau simpanan pokok,
simpanan wajib, dan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (2) dan ayat (3) dikecualikan bagi Penjamin atau Penjamin
Ulang yang izin usahanya masih berlaku pada saat
diundangkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
End of Page 20
MENTERI KEUANGAN
-21-
3. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd,
AGUSD.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di jakarta
pada tanggal 8 Juli 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 391
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
u.b.
KEPALA/ BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
NIP. 19590220
End of Page 21
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEDANGAN
220/PMKOI0/2008TEVA
DAT PERUSAHAAN PENIAMIKIAN
ULANG KREDT
MENTERI KEUANGAN
EPIIBLIK INDONESA
PERMOHONAN IZIN USAHA
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
g, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4
Jakarta 10710
Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK 010/2008 tanggal 16 Desember 2008
tentang Perusahaan Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan Ulang Kredit sebagaimana telah
dabahi dengan Peratuiran Menteri Keuangan Nomor taa
Ulang:
Nama : PT/Perum/PD/Koperasi') Penjamin/ Penjamin Ulang.....
Untuk melengkapl permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen- dokumen sebagai
berikut
1. Akta pendirian PT/Perum/PD/Koperasi) Penjamin/Penjamnin Ulang............. termasuk
anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang
2 Data calon pengurus meliputi
a. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm;
b. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku,
c. daftar riwayat hidup; dan
. surat pernyataan:
tidak tercatat dalam daftar kredit macet disektor perbankan;
tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan
tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu
kekuatan hukum tetap:
tidak merangkap jabatan pada penjamin dan/atau penjamin ulang lain kecuali jabatan
sebagai komisaris/ dewan pengawas/badan pengawas Penjauin Ulang bagi
Direksi/Pengurus;
surat Keterangan atau bukti tertulis berpengalaman di bidang penjaminan atau perbankan atau
Jembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi salah satu direksi atau pengurus;
3. data pemegang saham atau anggota dalam hal:
perorangan, wajib dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf a, b,
dan huruf c serta surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjainan dan kegjatan
pencucian uang (noitey laundering)
b. badan hukum, wajib dilampiri dengan:
terasuk anggaran dasar beriaeaa
telahi mendapat pengesahan dari instansi berwenang
terakhir;
End of Page 22
LAMPIRAN
NOMOR 99 /PMK010/2011 TENTANG
222/PMK010/2008 TENTANG
DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN
ULANG KREDIT
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2 huruf a, b dan huruf c bagi pemegang
saham dan direksi atau pengurus.
pengelolaan tisiko, angsi pengebanag e
pelayanan dan pengembangan informasi/ database terjamin
5. Sistem dan prosedur kerja Penjamin atau Penjamin Ulang,
6. Rencana kerja (business plan) untuk 3 (tiga) tahun pertama yang sekurang- kurangnya memuat
studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
rencana kegiatan usaha Penjamin atau Penjamin Ulang dan langkah-langkah kegiatan yang akan
rencana kegiatan usaha Penjamin alau Penjamin Ulang da
dilakukan dalam mewujudkan rencana dimaksud; dan
proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang
dimulai sejak Penjamin dan Penjamin Ulang melakukan kegiatan operasional.
7. daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang Penjaminan
. dolopi boikdi petunasan seloran mmodal minimum dalam bentuk deposit e
PT/PD/Perum ..... pada salah satu bank umum di Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima
setoran yang masih berlaku selama dalam proses pengajuan izin usaha;
9. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor;
c. contoh formulir, termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan untuk operasional
Penjamin/Penjamin Ulang;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP.
Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu'), kami mnengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus PT/Perum/PD/Koperasi')
Penjamin/Penjamin Ulang..
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
*) coret yang tidak perlu
MENTERI KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan adlinya MENTERI KBUANGAN,
KEPALA, BIRO UMUM
EPALA BIRO UMUM ttd,
b
KEPALA BAGIAN KU. KEMENTERIAN AGUSD.W. MARTOWARDOJO
KEPALA BAGIAN U. KEMENTERIAN
GIARTO
NIR, 195904201984021001
End of Page 23
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 99/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 222/PMK.010/2008 TENTANG PERUSAHAAN PENJAMINAN KREDIT DAN PERUSAHAAN PENJAMINAN ULANG KREDIT </reg_title>
<set_date> 8 Juli 2011 </set_date>
<effective_date> 8 Juli 2011 </effective_date>
<issued_date> 8 Juli 2011 </issued_date>
<changed_reg> '222/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </changed_reg>
<related_reg> '2/PERPRES/2008', '222/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I Angka 3 Pasal 3A Ayat (7)', 'Pasal I Angka 4 Pasal 4 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4A Ayat (4)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4A Ayat (5)', 'Pasal I Angka 5 Pasal 4B Ayat (4)', 'Pasal I Angka 7 Pasal 11 Ayat (4)', 'Pasal I Angka 7 Pasal 11 Ayat (5)', 'Pasal I Angka 8 Pasal 22 Ayat (3)', 'Pasal I Angka 12 Pasal 42A Ayat (6)', 'Pasal I Angka 13 Pasal 43 Ayat (3)', 'Pasal I Angka 15 Pasal 44A Ayat (2)' </penalty_list>
|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20/PMK.01/2007
TENTANG
PENGADMINISTRASIAN, PELAPORAN DAN PENGAWASAN
PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL
DAN PEJABAT NEGARA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan terhadap
peserta program pensiun Pegawai Negeri Sipil dan Pejabat
Negara, pengawasan atas pengadministrasian penitipan
dana yang berasal dari iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil
dan Pejabat Negara yang dititipkan kepada PT Taspen
(Persero) berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor: S-
244/MK.011/1985 perlu dilaksanakan secara efektif dan
efisien untuk mencapai hasil yang optimal;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan efektifitas dan
efisiensi pengawasan atas pengadministrasian penitipan
dana yang berasal dari iuran pensiun Pegawai Negeri Sipil
dan
Pejabat Negara, perlu adanya
ketentuan yang
mengatur mengenai pengadministrasian, pelaporan dan
pengawasan penitipan dana iuran pensiun Pegawai Negeri
Sipil dan Pejabat Negara;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Pengadministrasian, Pelaporan
dan Pengawasan Penitipan Dana Iuran Pensiun Pegawai
Negeri Sipil dan Pejabat Negara;
Mengingat
: 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata
Kerja Kementerian
Negara Republik
Indonesia
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 94 Tahun 2006;
2. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit
Organisasi dan Tugas Eselon
I Kementerian Negara
Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006;
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
- 2 -
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan;
Memperhatikan : Surat Menteri Keuangan No. S-244/MK.011/1985 tanggal 12
Februari 1985 hal Penempatan Dana Pensiun Pegawai Negeri
Sipil pada PT Taspen (Persero);
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG
PENGADMINISTRASIAN,
PELAPORAN
PENGAWASAN PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN
PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. PT Taspen adalah PT Taspen (Persero)
sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri menjadi
Perusahaan Perseroan (Persero).
2. Iuran Pensiun adalah iuran bulanan yang dipungut dari setiap Pegawai
Negeri dan Pejabat Negara sebagaimana dimaksud dalam Keputusan
Presiden Nomor 56 Tahun 1974 tentang Pembagian, Penggunaan, Cara
Pemotongan, Penyetoran dan Besarnya Iuran-iuran Yang Dipungut Dari
Pegawai Negeri, Pejabat Negara dan Penerima Pensiun dan perubahannya.
3. Dana Iuran Pensiun adalah kumpulan dana yang merupakan akumulasi
Iuran Pensiun beserta hasil pengembangannya.
4. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PELAKSANA ADMINISTRASI
Pasal 2
Pelaksanaan administrasi atas penitipan Dana Iuran Pensiun dilakukan oleh
PT Taspen (Persero).
Pasal 3
DAN
- 3 -
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
PT Taspen wajib membuat dan memelihara buku, catatan dan dokumen yang
berkaitan dengan administrasi dan pengelolaan Dana Iuran Pensiun.
(2) Tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diselenggarakan secara
terpisah dari tugas lain yang dikelola PT Taspen (Persero).
BAB III
PELAPORAN
Pasal 4
(1) PT Taspen (Persero) wajib membuat laporan secara berkala sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Laporan berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:
a. Laporan Tahunan;
b. Laporan Semesteran;
c. Laporan Bulanan.
(3) Laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir a dan b
sekurang-kurangnya mencakup aspek operasional, keuangan, investasi,
aktuaria dan statistik.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) butir c hanya mencakup
aspek investasi.
(5) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a harus
disusun berdasarkan dan disertai dengan:
a. laporan keuangan yang disusun oleh PT Taspen (Persero) dan diaudit
oleh akuntan publik, dan
b. laporan aktuaris yang disusun oleh aktuaris independen.
(6) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b dapat
disusun berdasarkan dan disertai dengan:
a. laporan keuangan yang disusun oleh PT Taspen (Persero), dan
b. laporan aktuaris yang disusun oleh aktuaris internal dari PT Taspen
(Persero) berdasarkan laporan aktuaris terakhir yang disusun oleh
aktuaris yang independen.
(7) Akuntan publik dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) harus
memiliki ijin dari instansi berwenang, memiliki pengalaman yang relevan
di bidang program pensiun sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, dan tidak
pernah melakukan tindak tercela di bidang keuangan.
(8) Akuntan publik dan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dipilih
dan ditunjuk oleh PT Taspen (Persero) sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Pasal 5
- 4 -
(1) Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a
disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan dan tembusannya disampaikan kepada Direktur
Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Kepala Badan
Kebijakan Fiskal, paling lambat 6 (enam) bulan setelah tanggal tutup buku
tahun yang bersangkutan.
(2) Laporan Semesteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b
disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan, paling lambat 2 (dua) bulan setelah tanggal tutup
buku semester yang bersangkutan.
(3) Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c
disampaikan kepada Menteri u.p Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari
tanggal tutup (buku) bulan pelaporan.
Pasal 6
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 terdiri atas
laporan aktiva bersih, laporan perubahan aktiva bersih, laporan portofolio
investasi,
masing-masing laporan-laporan.
(2) Laporan aktuaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 memuat analisis
atas arus kas Dana Iuran Pensiun berdasarkan data historis sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun sebelum valuasi dan proyeksi tahunan untuk
periode sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun setelah valuasi, dengan
menggunakan data, asumsi-asumsi dan metode aktuaria yang dapat
dipertanggungjawabkan serta mempertimbangkan perkiraan iuran peserta,
pembayaran manfaat pensiun dan biaya-biaya lain yang dibebankan pada
Dana Iuran Pensiun.
(3) Bentuk dan susunan dari Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 7
(1) Tanggal dari laporan keuangan dan laporan aktuaris
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dan ayat (6) harus sama dengan tanggal
dari Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
(2) Tanggal dari laporan-laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) adalah:
a. Per 31 Desember untuk tanggal tahun buku Laporan Tahunan;
b. Per 30 Juni dan 31 Desember untuk tanggal tengah tahun buku
Laporan Semesteran;
laporan hasil investasi, laporan arus kas dan catatan atas
- 5 -
c. Per tanggal terakhir dari bulan yang bersangkutan untuk Laporan
Bulanan.
(3) Menteri dapat meminta laporan selain laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 8
(1) Menteri melakukan dan menetapkan mekanisme
pengawasan
atas
pengadministrasian penitipan Dana Iuran Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
(2) Pelaksanaan kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
didelegasikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
BAB V
SANKSI
Pasal 9
(1) Dalam hal penyampaian Laporan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) terlambat dilakukan, PT Taspen (Persero)
dikenakan denda sebesar Rp 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk
setiap hari keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir
masa penyampaian laporan, dan paling banyak sebesar Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah) serta wajib dibayarkan ke Kas Negara.
(2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
tanggal penyampaian laporan adalah :
a.
tanggal penerimaan laporan, apabila laporan diserahkan langsung;
atau
b.
tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman, apabila laporan
dikirim melalui kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan.
(3) Perhitungan hari keterlambatan untuk pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir pada tanggal penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
(4) Dalam hal PT Taspen (Persero) belum membayar denda, denda tersebut
dinyatakan sebagai utang PT Taspen (Persero) pada Negara yang harus
dicantumkan dalam neraca PT Taspen (Persero) yang bersangkutan.
Pasal 10
- 6 -
(1) Dalam hal penyampaian Laporan Bulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (3) terlambat dilakukan, Menteri mengenakan sanksi
peringatan tertulis kepada PT Taspen (Persero).
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditembuskan
kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
(1) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(3) diterapkan mulai tahun buku 2008.
(2) Untuk tahun buku sebelum 2008, PT Taspen tetap diwajibkan untuk
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini
dengan bentuk dan susunan yang sesuai dengan standar yang berlaku
umum.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan
Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Februari 2007
MENTERI KEUANGAN
ttd
SRI MULYANI INDRAWATI
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 20/PMK.01/2007|PER-MENKEU/2007 </reg_id>
<reg_title> PENGADMINISTRASIAN, PELAPORAN DAN PENGAWASAN PENITIPAN DANA IURAN PENSIUN PEGAWAI NEGERI SIPIL DAN PEJABAT NEGARA </reg_title>
<set_date> 22 Februari 2007 </set_date>
<effective_date> 22 Februari 2007 </effective_date>
<related_reg> '66/PERPRES/2006', '10/PERPRES/2005', '94/PERPRES/2006', '131/PMK.01/2006|PER-MENKEU/2006', '9/PERPRES/2005', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 100 /PMK.010/2009
TENTANG
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Peraturan Presiden
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Keuangan
tentang
Infrastruktur;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
3. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
4. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Menteri adalah Menteri Keuangan.
2. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
khusus didirikan untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur.
Perusahaan
Pembiayaan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
3. Infrastruktur adalah prasarana yang dapat memperlancar mobilitas
arus barang dan jasa.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk Pembiayaan
Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi
Pembiayaan
(subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan
Infrastruktur dapat
melakukan:
a. Pemberian dukungan kredit (credit
penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;
b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services);
c. Penyertaan modal (equity investment);
d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan
Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
e. Kegiatan atau pemberian fasilitas
Pasal 3
(1) Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a
ditetapkan paling banyak sebesar modal sendiri dikurangi
penyertaan modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
(2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan harga perolehan.
Pasal 4
(1) Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur yang melampaui batas
maksimum penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
pula
enhancement), termasuk
dengan
lain yang terkait dengan
Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan
Menteri.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
(1), wajib menyampaikan
rencana kerja (action plan) untuk
memenuhi ketentuan batas maksimum penjaminan kepada Menteri
paling lama 1 (satu) bulan setelah periode pelaporan triwulanan
yang bersangkutan berakhir.
(2) Rencana kerja (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memperoleh persetujuan dewan komisaris atau pengawas.
(3) Pemenuhan batas maksimum penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan paling lama 6 (enam) bulan setelah jangka
waktu penyampaian rencana kerja berakhir.
Pasal 5
Infrastruktur yang dapat menjadi obyek Pembiayaan Infrastruktur
meliputi:
a. infrastruktur transportasi, meliputi pelabuhan laut, sungai atau
danau, bandar udara, jaringan rel, dan stasiun kereta api;
b. infrastruktur jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol;
c. infrastruktur pengairan, meliputi saluran pembawa air baku;
d. infrastruktur air minum, meliputi bangunan pengambilan air baku,
jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air
minum;
e. infrastruktur air limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah,
jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan
yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan;
f.
infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi;
g. infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit,
atau distribusi tenaga listrik;
h. infrastruktur minyak dan gas
i.
bumi, meliputi pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak
dan gas bumi; dan/atau
infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam huruf a sampai
dengan huruf h atas persetujuan Menteri.
transmisi
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
BAB III
TATA CARA PENDIRIAN
Bagian Kesatu
Perizinan
Pasal 6
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur didirikan dalam bentuk
badan hukum Perseroan Terbatas atau Koperasi.
(2) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat didirikan oleh:
a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia;
atau
b. badan usaha asing dan warga negara Indonesia dan/atau badan
hukum Indonesia (usaha patungan).
(3) Badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
termasuk organisasi multilateral
yang merupakan
keuangan internasional dan bergerak di bidang pembangunan.
Pasal 7
Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur, wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha
dari Menteri.
Pasal 8
Permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, diajukan kepada Menteri sesuai dengan format dalam
Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini dan harus dilampiri
dengan :
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang, yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur ;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan direksi atau pengurus
dan dewan komisaris atau pengawas.
lembaga
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
b. data direksi atau pengurus dan dewan komisaris atau pengawas,
meliputi:
1. fotokopi
tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor bagi yang berkewarganegaraan
asing;
2. daftar riwayat hidup;
3. surat pernyataan:
a) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan; dan
b) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah
yang mengakibatkan
suatu
perseroan/perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
4. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi
surat izin bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau
pengurus berkewarganegaraan asing.
c. data pemegang saham dalam hal:
1. perorangan, wajib
dilampiri dengan dokumen sebagaimana
tidak berasal dari
dimaksud dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3 serta
surat pernyataan bahwa setoran modal
kegiatan pencucian uang (money laundering);
2. badan hukum, wajib dilampiri dengan:
a) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar
berikut perubahan-perubahan
pengesahan dari
yang telah mendapat
instansi berwenang termasuk bagi badan
usaha asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara
asal;
b) laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik dan laporan keuangan interim terakhir; dan
c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b angka 1,
angka 2, dan angka 3 bagi pemegang saham atau anggota
dan direksi atau pengurus.
3. Negara Republik Indonesia, wajib
Pemerintah
tentang
dilampiri Peraturan
Penyertaan Modal Negara Republik
Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di
Bidang Pembiayaan Infrastruktur;
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
4. Organisasi multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3), wajib dilampiri Akta Pendirian (Articles of Agreement)
atau dokumen pendirian sejenis.
d. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia;
e. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang paling sedikit
memuat:
1. rencana pembiayaan dan
untuk mewujudkan rencana dimaksud; dan
2. proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan
dimulai sejak Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur melakukan
kegiatan operasional.
f. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. bukti kepemilikan, penguasaan atau perjanjian sewa-menyewa
gedung kantor;
2. contoh perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain yang akan
digunakan; dan
3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
g. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia
bagi perusahaan patungan; dan
h. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah.
Pasal 9
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin usaha bagi
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur diberikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
(2) Setiap penolakan terhadap permohonan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan
disertai alasan penolakannya.
(3) Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
tanggal ditetapkan.
Pasal 10
langkah-langkah yang dilakukan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang telah mendapat izin usaha
dari Menteri wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
kepada Menteri paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal dimulainya
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, sesuai dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri
Keuangan ini.
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 11
(1) Modal disetor dalam rangka pendirian Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur ditetapkan paling sedikit sebesar Rp100.000.000.000,00
(seratus milyar rupiah).
(2) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib meningkatkan modal
disetor menjadi paling sedikit Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun
rupiah) dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
diterbitkannya izin usaha.
sejak
tanggal
(3) Rencana peningkatan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib disampaikan pada saat pengajuan izin usaha.
(4) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
terpenuhi
karena
kondisi
pasar, Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur dapat melakukan perubahan rencana peningkatan
modal disetor dengan persetujuan Menteri.
(5) Modal disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berasal
dari kegiatan pencucian uang (money laundering).
Pasal 12
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib memiliki modal sendiri
paling sedikit sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal
disetor.
(2) Dalam hal modal sendiri Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
kurang dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemegang saham wajib menutup kekurangan tersebut.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
BAB IV
KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN
Pasal 13
(1) Kepemilikan saham pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
oleh badan usaha asing ditetapkan paling tinggi sebesar 85%
(delapan puluh lima per seratus) dari modal disetor.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang telah go public.
Pasal 14
(1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum, jumlah
penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
ditetapkan paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima per seratus)
dari modal sendiri badan hukum yang bersangkutan.
(2) Dalam hal badan hukum tersebut telah melakukan penyertaan,
maka maksimum penyertaan
pada Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur adalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah
memperhitungkan penyertaan yang telah dilakukan.
(3) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi pemegang
saham yang berbentuk badan hukum:
a. Perseroan
Terbatas merupakan
penjumlahan
penjumlahan
simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah.
c. Yayasan adalah sebesar aktiva bersih yang terdiri dari aktiva
bersih terikat secara permanen, aktiva bersih terikat secara
temporer, dan aktiva bersih tidak terikat.
(4) Dalam hal
menetapkan
regulasi yang berlaku bagi pemegang saham telah
ketentuan mengenai modal
sendiri,
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku.
Pasal 15
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku
bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum Dana
Pensiun.
ketentuan
dari modal
disetor, agio saham, cadangan, dan saldo laba/rugi.
b. Koperasi merupakan
dari simpanan
pokok,
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
(2) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum Dana
Pensiun, jumlah
penyertaan
Infrastruktur
investasi Dana Pensiun.
Pasal 16
(1) Pemegang saham, direksi atau pengurus, dan dewan komisaris
atau
pengawas Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib
memenuhi persyaratan:
a. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
b. paling sedikit 1 (satu) orang anggota direksi harus
berpengalaman di bidang jasa keuangan paling kurang 2 (dua)
tahun; dan
c. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu badan usaha dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
(2) Dalam hal pemegang saham berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
huruf b berlaku bagi direksi, komisaris, dan/atau pemegang saham
perseorangan Perseroan Terbatas tersebut.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
dalam hal pemegang saham Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
adalah Negara Republik Indonesia atau organisasi multilateral
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
Pasal 17
(1) Direksi atau pengurus Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur:
a. wajib menetap di Indonesia; dan
b. dilarang melakukan perangkapan jabatan sebagai direksi atau
pengurus pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain.
(2) Direksi atau pengurus dan dewan komisaris atau pengawas
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur hanya dapat melakukan
perangkapan jabatan sebagai komisaris atau pengawas pada 1
(satu) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain atau perusahaan
yang bergerak dalam proyek Infrastruktur.
pada Perusahaan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur
Pembiayaan
tentang
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
Pasal 18
(1) Setiap perubahan anggaran dasar, pemegang saham, direksi,
dewan komisaris, pengurus, dan/atau pengawas wajib dilaporkan
oleh direksi atau pengurus kepada Menteri paling lama 15 (lima
belas) hari
setelah perubahan berlaku efektif sesuai ketentuan
perundangan yang berlaku.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai
dengan
format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III,
Lampiran IV, atau Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan ini
serta wajib dilampiri dengan:
a. perubahan anggaran dasar yang telah memperoleh persetujuan
dari instansi yang berwenang; dan/atau
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b
dan/atau huruf c.
BAB V
KANTOR CABANG
Pasal 19
(1) Pembukaan kantor cabang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
wajib dilaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari
sejak tanggal pembukaan dengan format sebagaimana tercantum
dalam Lampiran VI Peraturan Menteri Keuangan ini, dengan
melampirkan:
a. rencana kerja tahunan kantor cabang;
b. bukti penguasaan gedung kantor; dan
c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia
termasuk nama calon kepala cabang serta jumlah karyawan.
(2) Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dapat menjalankan semua jenis usaha Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur
b. menyelenggarakan tata usaha pembukuan sendiri; dan
c. tunduk pada segala ketentuan yang berlaku bagi kantor pusat
Perusahaan Pembiayaan Infratruktur yang bersangkutan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Pasal 20
Penutupan kantor cabang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib
dilaporkan kepada Menteri paling lambat 15 (lima belas) hari sejak
tanggal
penutupan
dengan menggunakan
format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran VII Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 21
Pemindahan alamat kantor pusat atau kantor cabang Perusahaan
Pembiayaan Infastruktur wajib
dilaporkan kepada Menteri paling
lambat 15 (lima belas) hari sejak pelaksanaan pemindahan dengan
menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII
Peraturan Menteri Keuangan ini.
BAB VI
PINJAMAN, PENYERTAAN DAN PENEMPATAN DANA
Bagian Kesatu
Pinjaman
Pasal 22
Untuk membiayai kegiatannya, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
dapat memperoleh dana antara lain dari:
a. penerbitan surat-surat berharga;
b. pinjaman jangka menengah dan
atau jangka panjang yang
bersumber dari:
1. Pemerintah Republik Indonesia;
2. pemerintah asing;
3. organisasi multilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (3);
4. bank dan/atau lembaga keuangan baik dalam maupun luar
negeri; dan
c. hibah (grant).
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 12 -
Pasal 23
(1) Jumlah pinjaman bagi setiap Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
ditetapkan paling tinggi 10 (sepuluh) kali dari jumlah modal sendiri
dan pinjaman subordinasi.
(2) Pinjaman subordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan pinjaman yang diterima Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur dengan persyaratan sebagai berikut:
a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari
segala pinjaman yang ada; dan
c. dituangkan dalam perjanjian
(3) Pinjaman
tertulis
antara Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur dengan pemberi pinjaman.
subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam
perhitungan jumlah pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
paling banyak sebesar 50 % (lima puluh per seratus) dari modal
disetor.
Bagian Kedua
Penyertaan
Pasal 24
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur hanya dapat melakukan
penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain
dan/atau perusahaan yang bergerak dalam proyek Infrastruktur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(2) Penyertaan modal pada Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain
atau perusahaan
yang bergerak dalam proyek Infrastruktur
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling banyak
45% (empat puluh lima per seratus) dari modal disetor perusahaan
yang menerima penyertaan.
(3) Jumlah seluruh penyertaan modal Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur ditetapkan paling banyak 75% (tujuh puluh lima per
seratus)
dari jumlah modal sendiri Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur yang bersangkutan.
(4) Modal sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan
pada laporan keuangan audit terakhir
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
Bagian Ketiga
Penempatan Dana
Pasal 25
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat menempatkan dana dalam
bentuk Surat Utang Negara, Sertifikat Bank Indonesia dan/atau
instrumen keuangan lainnya yang mempunyai peringkat investasi.
BAB VII
PEMBATASAN
Pasal 26
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dilarang menarik dana secara
langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito; dan/atau
c. Tabungan.
BAB VIII
PERUBAHAN NAMA
Pasal 27
(1) Perubahan nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib
dilaporkan kepada Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak
perubahan nama dilaksanakan sesuai dengan format sebagaimana
tercantum dalam Lampiran IX Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan:
a. risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota;
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi
berwenang; dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur yang baru.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
menetapkan perubahan atas Keputusan Menteri mengenai
pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang
bersangkutan.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 28
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib menyampaikan kepada
Menteri:
a. laporan keuangan triwulanan untuk periode yang berakhir 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember;
b. laporan kegiatan usaha semesteran untuk periode yang berakhir
30 Juni dan 31 Desember; dan
c. laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan
Publik.
(2) Bentuk dan susunan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b, mengikuti pedoman yang ditetapkan oleh
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(3) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib mengumumkan neraca
dan perhitungan laba rugi singkat paling sedikit dalam 1 (satu)
surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas di Indonesia,
paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku berakhir.
(4) Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi singkat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wajib dilaporkan kepada
Menteri paling lama 15 (lima belas) hari
pengumuman.
setelah pelaksanaan
Pasal 29
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a,
wajib disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah
berakhirnya periode laporan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b,
wajib disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah berakhirnya
periode laporan.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 15 -
(3) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c,
wajib disampaikan paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(4) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan
berdasarkan tahun takwim.
BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 30
(1) Menteri melakukan
pembinaan
dan pengawasan terhadap
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Menteri melakukan pemeriksaan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
(3) Tata cara mengenai pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) mengikuti pedoman
yang ditetapkan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB XI
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 31
(1) Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
dilakukan oleh Menteri.
(2) Pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam hal Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur:
a. bubar;
b. dikenakan
sanksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Peraturan Menteri Keuangan ini;
c. tidak lagi menjadi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur; atau
d. melakukan penggabungan atau peleburan ke dalam Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur lain.
37
oleh Ketua Badan
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 16 -
Pasal 32
Dalam hal
Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur bubar karena
keputusan rapat umum pemegang saham, likuidator wajib melaporkan
hasil rapat umum pemegang saham kepada Menteri paling lama 15
(lima belas) hari sejak rapat umum pemegang saham dilaksanakan.
Pasal 33
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, berlaku pula bagi
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bubar karena jangka waktu
berdirinya sudah berakhir.
Pasal 34
(1) Dalam
hal Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur bubar
berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan pemerintah,
likuidator atau penyelesai wajib melaporkan pembubaran tersebut
kepada Menteri paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak putusan
pengadilan
mempunyai
kekuatan
dikeluarkannya keputusan pemerintah.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan:
a. putusan pengadilan dan/atau
keterangan
menyatakan
putusan
hukum tetap; atau
b. keputusan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
Pasal 35
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang melakukan
perubahan
kegiatan
usaha sehingga tidak lagi menjadi
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur harus melaporkan kepada
Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak perubahan anggaran
dasar memperoleh persetujuan dari instansi berwenang.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota; dan
b. perubahan
anggaran
persetujuan dari instansi berwenang.
Pasal 36
resmi
pengadilan mempunyai
yang
kekuatan
hukum
tetap
atau
dasar yang telah memperoleh
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 17 -
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33,
Pasal 34, dan Pasal 35, Menteri mencabut izin usaha.
BAB XII
SANKSI
Pasal 37
(1) Setiap
Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur
yang
tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal
4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1),
Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1),
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (3),
Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (3) dan
ayat (4), serta Pasal 29 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan, pembekuan kegiatan usaha, dan
pencabutan Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
(2) Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan secara
tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku
masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), berakhir dan Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), maka Menteri menetapkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan berakhir jatuh pada hari libur
nasional maka peringatan berlaku hingga hari kerja berikutnya.
(5) Pembekuan kegiatan usaha diberikan secara tertulis kepada
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan dan
pembekuan kegiatan usaha tersebut berlaku selama jangka waktu
3 (tiga) bulan sejak surat pembekuan ditetapkan.
(6) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang dikenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
dilarang melakukan kontrak pembiayaan baru.
(7) Dalam hal
sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur telah memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri mencabut sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur tidak juga memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Menteri Keuangan ini, Menteri mencabut izin usaha
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang bersangkutan dengan
Keputusan Menteri.
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
Peraturan Menteri Keuangan
diundangkan.
ini mulai
berlaku
pada
tanggal
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 27 Mei 2009
MENTERI KEUANGAN
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Mei 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 19 -
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 117
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100
/PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
PERMOHONAN IZIN USAHA
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor ..................
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, bersama ini kami:
Nama
Alamat
: PT/Koperasi*) ......................
:
mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha dalam bidang Pembiayaan
Infrastruktur. Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami
sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. akta pendirian PT/Koperasi *) ..................... termasuk anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang.
2. data direksi/pengurus *) dan dewan komisaris/pengawas *), meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
2) tidak pernah
mengakibatkan
dinyatakan
suatu
pailit atau dinyatakan
perseroan/perusahaan
bersalah
dinyatakan
tanggal........... tentang
yang
pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap; dan
d. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat
bekerja dari instansi berwenang bagi direksi atau
berkewarganegaraan asing.
izin
pengurus
3. data pemegang saham:
a. perorangan, berupa:
1) fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor bagi yang berkewarganegaraan asing;
2) daftar riwayat hidup;
3) surat pernyataan:
a) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
b) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan
mengakibatkan
suatu
perseroan/perusahaan
4) surat pernyataan bahwa setoran modal
pencucian uang (money laundering);
bersalah
dinyatakan
yang
pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap; dan
tidak berasal dari kegiatan
LAMPIRAN I
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100
/PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
b. badan hukum, berupa:
1) akta pendirian
badan
hukum, termasuk anggaran
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
dasar berikut
instansi
berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal;
2) laporan keuangan tahunan terakhir yang telah diaudit oleh akuntan
publik dan laporan keuangan interim terakhir;
3) dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 2, huruf a, huruf b, dan
huruf c bagi pemegang saham atau anggota dan direksi atau pengurus.
c. Negara Republik Indonesia, berupa Peraturan Pemerintah tentang
Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan
Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
d. organisasi multilateral, berupa Akta Pendirian (Articles of Agreement) atau
dokumen pendirian sejenis.
4. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia.
5. rencana kerja untuk 5 (lima) tahun pertama yang paling kurang memuat:
a. rencana pembiayaan
dan
langkah-langkah yang
mewujudkan rencana dimaksud;
b. proyeksi arus kas, neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan dimulai sejak
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur melakukan kegiatan operasional.
c. rencana peningkatan modal disetor.
6. bukti kesiapan operasional, antara lain berupa:
a. bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa gedung
kantor;
b. contoh perjanjian pembiayaan atau perjanjian lain yang akan digunakan;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
7. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi
perusahaan patungan.
8. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN).
Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami ucapkan terima
kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*) ........................
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
*) Coret yang tidak perlu
dilakukan untuk
LAMPIRAN II
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA
PT/Koperasi*).......................
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor ............... tanggal
...............tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur kepada
PT/Koperasi*)......................., dengan ini dilaporkan bahwa kami telah memulai
kegiatan usaha pada tanggal ...................
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi perjanjian
pembiayaan atau perjanjian lain yang telah dilakukan.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
............
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN III
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota tanggal ..............
telah dilakukan perubahan anggaran dasar, modal dasar, dan modal disetor*), yaitu:
Lama
(Rp)
Modal dasar
Modal disetor
Komposisi pemegang saham:
Nama Pemegang Saham
...............
...............
...............
...............
Baru
(Rp)
...............
...............
Nilai saham
(Rp)
Persentase
(%)
...............
...............
...............
...............
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan perubahan anggaran dasar
yang telah disahkan/dilaporkan*) kepada instansi berwenang.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami
ucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*) ..........
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
*) coret yang tidak perlu
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM/PEMILIK
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS tanggal .............. telah
dilakukan perubahan modal dasar, modal disetor dan pemegang saham/pemilik,
yaitu:
Lama
(Rp)
Modal dasar
Modal disetor
Lama
Nama Pemegang
Saham
...............
...............
Nilai saham
(Rp)
...............
...............
Nama Pemegang
Saham
...............
...............
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
1. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan/dilaporkan*) kepada instansi
berwenang;
2. data pemegang saham:
a. perorangan, berupa:
1) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
2) daftar riwayat hidup; dan
3) surat pernyataan:
i. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
ii. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan
suatu
berdasarkan
hukum tetap
b. badan hukum, berupa:
1) akta pendirian
perseroan/perusahaan
keputusan pengadilan
badan
dinyatakan
yang mempunyai
hukum, termasuk anggaran
kekuatan
perubahan-perubahan yang telah mendapat pengesahan dari
dasar berikut
instansi
pailit
...............
...............
Baru
Nilai saham
(Rp)
...............
...............
Baru
(Rp)
...............
...............
LAMPIRAN IV
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
- 2 -
berwenang termasuk bagi badan usaha asing sesuai dengan ketentuan
yang berlaku di negara asal;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan
keuangan terakhir;
3) bagi pemegang saham badan hukum tersebut:
i. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
ii. daftar riwayat hidup; dan
iii. surat pernyataan:
-
-
tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap
c. Negara Republik Indonesia, berupa Peraturan Pemerintah tentang Penyertaan
Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
(Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur.
d. organisasi multilateral, berupa Akta Pendirian (Articles of Agreement) atau
dokumen pendirian sejenis.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)................
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI/PENGURUS DAN
DEWAN KOMISARIS/PENGAWAS
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
.............. telah
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota tanggal
dilakukan
perubahan
komisaris/pengawas, yaitu:
Lama
Komisaris Utama/Pengawas
Komisaris/Pengawas
Direktur Utama/Pengurus
Direktur/Pengurus
..............
..............
..............
..............
Baru
..............
..............
..............
..............
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
Data direksi/pengurus dan/atau dewan komisaris/pengawas meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor bagi yang berkewarganegaraan asing;
2. daftar riwayat hidup;
3. surat pernyataan:
1) tidak pernah dihukum karena tindakan pidana kejahatan;
2) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan
suatu
perseroan/perusahaan
3) tidak merangkap
dinyatakan
pailit berdasarkan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
jabatan sebagai
direksi/pengurus
Pembiayaan Infrastruktur lain bagi direksi/pengurus;
4) tidak merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas pada lebih dari 1 (satu)
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur lain atau perusahaan yang bergerak
dalam proyek Infrastruktur.
putusan
pada Perusahaan
direksi/pengurus
dan/atau
dewan
LAMPIRAN V
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100
/PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
-2-
4. fotokopi Kartu Izin Menetap Sementara (KIMS) dan fotokopi surat izin bekerja
dari instansi berwenang bagi direksi atau pengurus berkewarganegaraan asing;
dan
5. bukti berpengalaman di bidang jasa keuangan paling kurang 2 (dua) tahun bagi
salah satu direksi/pengurus.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu,*) kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
...............
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN VI
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG
PT/Koperasi*).........
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Bersama ini kami melaporkan pembukaan Kantor Cabang di ... dengan alamat
lengkap ...
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan:
a. rencana kerja tahunan kantor cabang;
b. bukti penguasaan gedung kantor; dan
c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama
calon kepala cabang serta jumlah karyawan.
Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami mengucapkan
terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
........
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN V II
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PENUTUPAN KANTOR CABANG
PT/Koperasi*) .........
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Bersama ini kami melaporkan penutupan Kantor Cabang di ......... dengan
alasan ...........
Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/lbu,*) kami mengucapkan
terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
..........
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN VIII
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
PT/Koperasi*) .........
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Bersama ini kami melaporkan pemindahan alamat kantor dari ...........................
ke ................................... dengan alasan .................................................................................
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan bukti kesiapan kantor
termasuk sarananya.
Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/lbu,*) kami mengucapkan
terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
.................................
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN IX
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR
100 /PMK.010/2009
TENTANG PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
LAPORAN PERUBAHAN NAMA
PT/Koperasi*).......................
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan,
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Bersama ini kami laporkan bahwa sesuai dengan RUPS/Rapat Anggota
tanggal ..., nama PT/Koperasi*) ... berubah menjadi PT/ Koperasi*) ............................
Perubahan nama tersebut telah mendapat persetujuan dari Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia dalam Keputusan ........... Nomor .............. tanggal .................
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
a. risalah Rapat Umum Pemegang Saham/Rapat Anggota;
b. perubahan Anggaran Dasar yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
atas nama Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur yang baru.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu*)
untuk memberlakukan izin usaha PT/Koperasi*) ................. kepada PT/Koperasi*)
........................
Demikian
permohonan
mengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi*)
...................................
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
*) Coret yang tidak perlu
kami
dan
atas perhatian
Bapak/lbu*), kami
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR </reg_title>
<set_date> 27 Mei 2009 </set_date>
<effective_date> 27 Mei 2009 </effective_date>
<issued_date> 27 Mei 2009 </issued_date>
<related_reg> '9/PERPRES/2009', '40/UU/2007', '25/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
EUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 /PMK.010/2012
TENTANG
PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menumbuhkembangkan
penyelenggaraan program pensiun, telah diatur besaran
Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998 scbagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005;
b. bahwa untuk mengimbangi kenaikan tingkat biaya hidup,
dipandang perlu untuk mengubah ketentuan mengenai
besar manfaat pensiun yang dapat dibayarkan secara
sekaligus;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Ketiga Atas
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998
tentang Juran dan Manfaat Pensiun;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Tahun 1992 Nomor 37, Tambal
Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3507)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang
Dana. Pensiun Lembaga. Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahar
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508)
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998
beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005;
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT
PENSIUN.
Pasal I
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 343/KMK.017/1998
tentang luran dan Manfaat Pensiun yang telah beberapa kali
diubah dengan
a. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.06/2002;
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2005;
diubah sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal l angka 1 dan angka 5 diubah, angka 4
dan angka 6 dihapus, serta ditambahkan 8 (delapan)
angka, yakni angka 7, angka 8, angka 9, angka 10,
angka 11, angka 12, angka 13, dan angka 14 sehingga
Pasal 1 berbunyi sebagai berikut
Pasal 1
1. Asumsi Aktuaria adalah kumpulan estimasi mengenai
perubahan-perubahan di masa yang akan datang,
yang dipergunakan untuk menghitung nilai sekarang
suatu pembayaran atau pembayaran-pembayaran
dan mencakup antara lain tingkat
bunga, tingkat probabilitas terjadinya kematian, cacat,
serta tingkat kenaikan penghasilan dasar pensiun.
2. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
3. Nilai Sekarang adalah nilai, pada suatu tanggal
tertentu, dari pembayaran atau pembayaran-
pembayaran yang akan dilakukan setelah tanggal
tersebut, yang dihitung dengan mendiskonto
secara aktuaria berdasarkan asumsi tingkat bunga
dan tingkat probabilitas tertentu untuk terjadinya
4. Dihapus.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
5, Penghasilan Dasar Pensiun a
seluruh penghasilan karyawan yang diterima dari
pemberi kerja dan ditetapkan dalam peraturan
dana pensiun suatu dana pensiun pemberi kerja,
sebagai dasar perhitungan besar iuran dan atau
manfaat pensiun peserta.
6. Dihapus.
7. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola
dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat
pensiun.
8. Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun
yang dibentuk oleh orang atau badan yang
mempekerjakan karyawan, selaku pendiri,
untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat
bagi kepentingan scbagian atau seluruh karyawannya
sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban
terhadap pemberi kerja.
9. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah
Dana Pensiun yang dibentuk oleh bank atau
perusahaan asuransi jiwa untuk menyelenggarakan
baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah
dari Dana Pensiun Pemberi Kerja bagi karyawan bank
atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.
10. Program Pensiun Manfaat Pasti adalah program
pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam peraturan
dana pensiun atau program pensiun lain yang bukan
merupakan program pensiun iuran pasti.
11. Program Pensiun luran Pasti adalah program pensiun
yang iurannya ditetapkan dalam peraturan dana
pensiun dan seluruh iuran serta hasil
pengembangannya dibukukan pada rekening masing-
masing peserta sebagai manfaat pensiun.
12. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi
ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan
13. Peserta adalah setiap orang yang memenuhi
persyaratan Peraturan Dana Pensiun.
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
14. Manfaat Pensiun adalah pembayaran berkala yang
dibayarkan kepada Peserta pada saat dan dengan cara
yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
2. Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diubah serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (5)
sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) Dalam hal Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan
per bulan oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan
Program Pensiun Manfaat Pasti dengan menggunakan
tumus bulanan kurang dan atau Satha esa
Rp1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah),
Nilai Sekarang dari Manfaat Pensiun tersebut dapat
dibayarkan sekaligus.
(2) Dalam hal Manfaat Pensiun yang akan dibayarkan
oleh Dana Pensiun yang menyelenggarakan
rumus sekaligus kurang dari atau sama dengan
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
Manfaat Pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
(3) Dalam hal Manfaat Pensiun dari Dana Pensiun yang
menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti
yang telah diterima sctiap bulan oleh pensiunan,
janda/duda atau anak yang besarnya kurang dari
ratus ribu rupiah), Nilai Sekarang dari
Manfaat Pensiun yang belum dibayarkan tersebut
dapat dibayarkan secara sekaligus
(4) Pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus
sebagalmana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dapat dilakukan dalam hal ketentuan
tersebut dimuat dalam Peraturan Dana Pensiun.
(5) Pendiri dapat menetapkan Manfaat Pensiun yang
dapat dibayarkan sekaligus dengan nilai yang lebih
rendah dari jumlah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dalam
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
-5-
3. Ketentuan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) diubah serta
ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (3) sehingga
Pasal 20 berbunyi scbagai berikut
Pasal 20
(1) Dalam hal jumlah akumulasi iuran dan hasil
pengembangan yang menjadi hak Peserta pada
Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan
dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
jumlah akumulasi iuran dan hasil pengembangan
tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
(2) Pembayaran jumlah akumulasi iuran dan hasil
pengembangan secara sekaligus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal
ketentuan tersebut dimuat dalam
Peraturan Dana Pensiun.
(3) Pendiri dapat menetapkan jumlah akumulasi iuran
dan hasil pengembangan yang dapat dibayarkan
sekaligus dengan nilai yang lebih rendah dari jumlah
sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dalam
Peraturan Dana Pensiun.
4. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 26
(1) Manfaat Pensiun Peserta berupa dana yang terdiri
dari jumlah himpunan iuran yang telah disetor atas
namanya dan pengalihan dana dari Dana Pensiun lain
serta hasil pengembangannya.
dimaksud pada ayat (1) untuk tiap Peserta harus
dilakukan sejak dana dibukukan pada Dana Pensiun
Lembaga Keuangan sampai saat pembayaran kepada
Peserta atau pada saat pembelian anuitas seumur
hidup pada perusahaan asuransi jiwa.
(3) Dalam hal besarnya Manfaat Pensiun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kurang dari atau sama
manfaat pensiun tersebut dapat dibayarkan sekaligus.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
-6-
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan
terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 April 2012
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
pada tanggal 3 April 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
AMIR SYAMSUDIN
BBRITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 372.
Salinan sesuai dengan aslinya
BRALA BIRO UMUM
KEPALA BAGIAN T.U. KEMENTERIAN
BIRO UMUN A
04201984021001
End of Page 6
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 50/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KETIGA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 343/KMK.017/1998 TENTANG IURAN DAN MANFAAT PENSIUN </reg_title>
<set_date> 3 April 2012 </set_date>
<effective_date> setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal 3 April 2012 </effective_date>
<issued_date> 3 April 2012 </issued_date>
<changed_reg> '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998' </changed_reg>
<extension_of> '231/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005' </extension_of>
<related_reg> '76/PP/1992', '343/KMK.017/1998|KEP-MENKEU/1998', '77/PP/1992', '91/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '11/UU/1992' </related_reg>
|
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 21 /PMK.010/ 2011
TENTANG
PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN
PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang penyelenggaraan Program Pensiun
Dana Pensiun Lembaga Keuangan, memerlukan adanya pengaturan
mengenai pengesahan pendirian dana pensiun lembaga keuangan
dan perubahan peraturan dana pensiun dari dana pensiun lembaga
keuangan;
b. bahwa dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan yang
terjadi pada industri dana pensiun, ketentuan yang mengatur
persyaratan dan tata cara permohonan pengesahan pendirian dana
pensiun lembaga keuangan dan pengesahan atas perubahan
peraturan dana pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga
Keuangan Dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun
Dari Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993 perlu
untuk disempurnakan
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b di atas, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga
Keuangan Dan Perubahan Peraturan Dana Pensiun Dari Dana
Pensiun Lembaga Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 3
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3508);
3. Keputusan Presiden Nomor 56/PTahun 2010,
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
2-
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 513/KMK.06/2002 tentang
Persyaratan Pengurus dan Dewan Pengawas Dana Pensiun Pemberi
Kerja dan Pelaksana Tugas Pengurus Dana Pensiun Lembaga
Keuangan sebagaimana tclah diubah dengan Peraturan Menteri
Kcuangan Nomor 36/PMK.010/2010,
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.010/2010 tentan
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Calon Pengurus Dana
Pensiun Pemberi Kerja Dan Calon Pelaksana Tugas Pengurus Dana
Pensiun Lembaga Keuangan;
MEMUTUSKAN.
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGISAHAN
PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN
PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN
LEMBAGA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah dana pensiun lembaga
dana pensiun.
2. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai perbankan.
3. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha
perasuransian.
4. Pendiri adalah Bank atau Perusahaan Asuransi Jiwa yang
membentuk Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
. Pelaksana Tugas Pengurus adalah pejabat dari Pendiri Dana Pensiun
Lembaga Keuangan yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan
operasional Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
6. Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan dana pensiun
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai dana
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
BAB I
PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal 2
Bank atau Perusahaan Asuransi Jjiwa yang akan mendirikan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan harus memenuhi persyaratan sebagai
beriku:
a. berbentuk badan hukum Indonesia dan berkantor pusat di
Indonesia,
b. paling kurang dalam 1 ( satu) tahun terakhir sebelum mengajukan
permohonan, dinyatakan sehat olelt instansi pengawas dari Bank
atau Perusahaan Asuransi jiwa yang bersangkutan; dan
c. memiliki kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun
Lembaga Keuangan.
Pasal 3
(1) Untuk mendapatkan pengesahan pendirian Dana Pensiun Lembaga
Menteri c.g. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiun, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran l yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini
(2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan
a. fotokopi Anggaran Dasar Pendiri;
b. rekomendasi tertulis dari instansi pengawas yang menunjukkan
Pasal 2huruf b dan
. bukti kesiapan untuk menyelenggarakan Dana Pensiun Lembaga
Keuangan, meliputi
1. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendiri, dibuat
dalam rangkap 2 (dua):
2. program kerja Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
3. struktur organisasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang
dilengkapi dengan uraian tugas;
4. manual sistem administrasi dan pengolahan data Dana
Pensiun Lembaga Keuangan;
5. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabahi
bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan;
rangka kepesertaan Dana Pensiun Lembaga Keuangan; dan
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
-4
7. fotokopi keputusan Pendiri mengenai penunjukan Pelaksana
Tugas Pengurus.
(3) Program kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e angka
2 paling kurang disusun untuk periode jangka waktu 2 (dlua) tahun,
5 (lima) tahun, dan 10 (sepuluh) tahun serta memtat
a. calon peserta Dana Pensiun Lembaga Keuangan baik
perseorangan maupun kelompok atau pemberi kerja yang akan
ikut serta dalam program pensiun, dan langkah-langkah yang
dilakukan untuk mewujudkannya; dan
b. proyeksi biaya yang diperiukan oleh Dana Pensiun Lembaga
Keuangan dan besarnya imbalan jasa yang akan diterima oleh
Pendiri atas penyelenggaraan Dana Pensiun Lembaga
Keuangan.
(4) Fotokopi Keputusan Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c angka 7 harus disertai dengan
. totokopl Kartu Tanda Penduduk dari Pelaksana Tugas
Pengurus yang ditunjuk;
b. pernyataan tertulis dari Pelaksana Tugas Pengurus untuk
mengelola Dana Pensiun Lembaga Keuangan sesuai Peraturan
Dana Pensiun dan peraturan perundangan di bidang dana
pensiun;
:. fotokopi tanda lulus ujian pengetahuan dasar di bidang dana
pensiun bagi Pelaksana Tugas Pengurus; dan
d. fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan
kepatutan dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
embaga Keuangan bagi Pelaksana Tugas Pengurus.
BAB II
PENGESAHAN ATAS PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN
Pasal 4
(1) Untuk mendapatkan pengesahan atas perubahan Peraturan Dana
Pensiun, Pendiri harus mengajukan permohonan tertulis kepada
Menteri c.g Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan u.p. Kepala Biro Dana Pensiun, Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan dengan menggunakan formulir
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Il yang merupakan bagiat
yang tidak terpisalkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Pengajuan permohonan pengesahan atas perubahan Peraturan
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri
dengan:
a. Peraturan Dana Pensiun asli yang ditetapkan Pendini, dibuat
dalam rangkap 2 (dua); dan
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
APUBLK INDONE
b. pokok-pokok perubahan dan uraian tentang latar belakang
dan tujuan setiap pokok perubahan Peraturan Dana Pensiun.
(3) Dalam hal latar belakang perubahan Peraturan Dana Pensiun
didasarkan atas perubahan nama Pendiri, pengajuan permohonan
pengesahan atas perubahan Peraturan Dana Pensiun selain harus
menyampaikan Peraturan Dana Pensiun dan pokok-pokok
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), juga
melampirkan:
. fotokopi anggaran dasar Pendiri yang memuat perubahan
nama Pendiri; dan
b. fotokopi ijin usaha Pendiri.
Pasal 5
Permohonan dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 4 harus disusun dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 6
(1) Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(2) huruf c angka 1 dan Pasal 4 ayat (2) huruf a, setelah disahkan
oleh Menteri, satu diantaranya dikembalikan kepada Pendiri dan
yang lainnya disimpan di Kementerian Keuangan.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan di antara kedua Peraturan Dana
Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka yang
dianggap benar adalah Peraturan Dana Pensiun yang disimpan di
Kementerian Keuangan.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Permohonan pengesahan pendirian dan perubahan Peraturan Dana
Pensiun yang telah diterima Menteri secara lengkap dan memenuhi
ketentuan perundangan di bidang Dana Pensiun sebelum Peraturan
Menteri Keuangan ini berlaku, diproses berdasarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun Dari Dana
Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
-6-
Pasal 8
Persyaratan dokumen fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(4) hurul d, tidak berlaku bagi Dana Pensiun Lembaga Keliangan yang
pendiriannya disahkan sebelum tanggal 12 Februari 2011.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 228/KMK.017/1993 tentang Tata Cara
Permohonan Pengesahan Pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan
dan Pengesahan Atas Perubahan Peraturan Dana Pensiun dari Dana
Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana diubah dengan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 802/KMK.01/1993, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negata Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Februari 2011
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
Diundangkan di Jakarta
Diundangkan di jakaita ttd.
Pada tanggal 7 Februari 2011
AGUS D.W. MARTOWARDOO
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 61
Shen sgasoas bsoeon ohoo
KEPALA BDRC CMd
BIRC Jus
NIP195904207984921.001
End of Page 6
JLAMPIRANI
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 21 /PMK010/201.LTENTANG
PERUBAHAN PERATURAN DANA
CNDARI DANA PEXSIN
LEMBAGA KEUANGAN
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Nomor
Lampiran
Hal : Permohoman Pengesahan Pendirian
Dana Pensiun Lembaga Keuangan
Kepada Yth.
Menteri Keuangan
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Dana Pensiun
Gedung Soemitro Djojohadikoesoemo Lt. 15
Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4
Jakarta Pusat 10710
Bersama ini kami mengajukan permohonan pengesahan pendirian Dana Pensiun
Lembaga Keuangan, dengan menyampaikan hal sebagai berikut.
1. Dana Pensiun
Nama
Alamat
Nomor Telepon
Nomor Fax
Website
Email
II. Pendiri
Nama
Alamat
Nomor Telepon :
Nomor Fax
Website
Email
End of Page 7
REPUBLIK INDONESIA
-2-
III. Dokumen yang Dilampirkan
Fotokopi Anggaran Dasar Pendiri
Peraturan Dana Pensiun yang ditetapkan Pendiri asli rangkap dua
Rekomendasi tertulis dari instansi pengawas yang menunjukkan bahwa
Pendiri dinyatakan sehat
Fotokopi Keputusan Pendiri tentang penunjukan Pelaksana Tugas
Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pelaksana Tugas Pegurus
Pernyataan tertulis mengenai kesediaan Pelaksana Tugas Pengurus untuk
mengelola Dana Pensiun sesuai Peraturan Dana Pensiun dan Undang-
Undang Dana Pensiun dan Peraturan pelaksanaannya
Undang Dana Pensiun dan Peraturan pelaksanaannya
Fotokopi tanda lulus pengetahuan dasar di bidang Dana Pensiun untuk
Pelaksana Tugas Pengurus
Fotokopi tanda bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan
dari Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk
Pelaksana Tugas Pengurus
Progtam kerja Dana Pensiun
Manual sistem administrasi dan pengolahan data Dana Pensiun
Formulir-formulir atau dokumen yang akan digunakan dalam rangk
kepesertaan Dana Pensiun
Struktur organisasi yang dilengkapi dengan uraian tugas yang, terkait
dengan Dana Pensiun
Podoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Demikian permohonan ini disampaikan untuk diproses sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Tanda Tangan
Nama Jelas
Jabatan
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN
KEPALA BDOM
KEPAVA DAGIAN O,NPPARTEMEN AGUS D.W. MARTOWARDOJO
KEPAVA LAGIAN NO,BEPARTEMEN
GIARTO
NIP199004201984021001/
End of Page 8
LAMPIKAN II
NOMOR 21 /PMK010/2011 TENTANG
PENGESAHAN PENDIRIAN DANA
LEMBAGA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
Nomor
Lampiran
Hal :Permohonan Pengesahan Perubahan
Peraturan Dana Pensiun
Kepada Yth.
Menteri Keuangan
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Dana Pensiur
Godung Soemitro Djojohadikoesoemo Lt. 15
JlI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta Pusat 10710
Bersama ini kami mengajukan permohonan pengesahan perubahan Peraturan Dana
Pensiun, dengan menyampaikan hal sebagai berikut.
IV. Dana Pensiun
Nama
Alamat
Nomor Telepon
Nomor Fax
Website
Email
V. Pendiri
Nama
Nomor Telepon
Nomor Fax
Website:
Email
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-2-
VI. Dokumen yang Dilampirkan
Peraturan Dana Pensiun yang ditetapkan Pendiri asli rangkap dua
/Potokopi Anggaran Dasar Pendiri ya
Fotokopi Anggaran Dasar Pendiri yang memuat perubahan nama Pendiri
| (apabila mengubah nama Pendiri)
Fotokopi ijin usaha asuransi jiwa atau bank umum dari instansi yang
| berwenang (apabila mengubah nama Pendiri)
Persandingan pokok-pokok perubahan Peraturan Dana Pensiun yang
|mnemuat peraturan lama, peraturan baru dan alasan perubahan, untuk
| ketentuan yang diubah
Demikian permohonan ini disampaikan untuk diproses sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku.
Tanda Tangan
Nama Jelas
Jabatan
Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEUANGAN
KEPALA BERO TM
Itd.
EPATA AGIAN T.U DRPARTEMEN AGUS D.W. MARTOWARDOJO
KEPAIA HAGIAN T.U. BRPARTEMEN
NTP195904201984021001 .
End of Page 10
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 21/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PENGESAHAN PENDIRIAN DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN DAN PERUBAHAN PERATURAN DANA PENSIUN DARI DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 7 Februari 2011 </set_date>
<effective_date> 7 Februari 2011 </effective_date>
<issued_date> 7 Februari 2011 </issued_date>
<replaced_reg> '802/KMK.01/1993|KEP-MENKEU/1993', '228/KMK.017/1993|KEP-MENKEU/1993' </replaced_reg>
<related_reg> '11/UU/1992', '77/PP/1992', '56/P|KEPPRES/2010', '513/KMK.06/2002|PER-MENKEU/2002', '36/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '37/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55/PMK.010/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN
BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA
PEGAWAI NEGERI SIPIL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan pilihan investasi yang
lebih luas kepada badan penyelenggara program tabungan
hari tua pegawai negeri sipil dengan tetap menjaga prinsip
kehati-hatian terhadap penempatan Kekayaan Yang
Diperkenankan dalam bentuk investasi berupa obligasi
dan sukuk, dipandang perlu mengubah ketentuan
mengenai Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk
investasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang
Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara Program
Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan
Keuangan Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari
Tua Pegawai Negeri Sipil;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3890);
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1981 tentang
Asuransi Sosial Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 37, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3200);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1981 tentang
Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum Dana Tabungan
dan Asuransi Pegawai Negeri Menjadi Perusahaan
Perseroan (Persero) (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 38);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.010/2011
tentang Kesehatan Keuangan Badan Penyelenggara
Program Tabungan Hari Tua Pegawai Negeri Sipil;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN
BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA
PEGAWAI NEGERI SIPIL.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 79/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan
Badan Penyelenggara Program Tabungan Hari Tua Pegawai
Negeri Sipil diubah sebagai berikut:
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
1. Ketentuan huruf c dan huruf d Pasal 6 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
Kekayaan Yang Diperkenankan dalam bentuk investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
huruf a terdiri dari:
a. deposito pada Bank;
b. saham yang diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia;
c. obligasi yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
d. sukuk yang paling kurang memiliki peringkat BBB
atau yang setara dari perusahaan pemeringkat efek
yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
e. Surat Berharga Negara;
f. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
g. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak
investasi kolektif yang telah mendapat pernyataan
efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan;
h. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak
investasi kolektif yang unit penyertaannya
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
i. efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan
kontrak investasi kolektif dan telah mendapat
pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan;
j. unit penyertaan dana investasi real estat yang telah
mendapat pernyataan efektif dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan; dan/atau
k. penyertaan langsung.
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
2. Ketentuan huruf c dan dan huruf d Pasal 7 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
Penilaian atas Kekayaan Yang Diperkenankan dalam
bentuk investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
adalah sebagai berikut:
a. deposito pada Bank, berdasarkan nilai nominal;
b. saham yang diperdagangkan di bursa efek
di Indonesia,
berdasarkan nilai pasar dengan
menggunakan informasi harga perdagangan terakhir
di bursa efek;
c. obligasi dan sukuk, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
d. Surat Berharga Negara, berdasarkan nilai pasar wajar
yang ditetapkan oleh lembaga penilaian harga efek
yang telah memperoleh izin usaha dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atau
lembaga penilaian harga efek yang telah diakui secara
internasional;
e. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
berdasarkan nilai pasar;
f. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak
investasi kolektif, berdasarkan nilai aktiva bersih;
g. unit penyertaan reksa dana berbentuk kontrak
investasi kolektif yang unit
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia,
berdasarkan nilai pasar;
h. efek beragun aset yang diterbitkan
berdasarkan
kontrak investasi kolektif, berdasarkan nilai pasar;
i. unit penyertaan dana investasi real estat,
berdasarkan nilai pasar; dan
j. penyertaan langsung, berdasarkan nilai ekuitas
sesuai porsi kepemilikannya.
penyertaannya
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 55/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 79/PMK.010/2011 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN BADAN PENYELENGGARA PROGRAM TABUNGAN HARI TUA PEGAWAI NEGERI SIPIL </reg_title>
<set_date> 16 April 2012 </set_date>
<effective_date> 16 April 2012 </effective_date>
<issued_date> 16 April 2012 </issued_date>
<changed_reg> '79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011' </changed_reg>
<related_reg> '8/UU/1974', '43/UU/1999', '2/UU/1992', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '25/PP/1981', '26/PP/1981', '79/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011' </related_reg>
|
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 142 /PMK.010/2009
TENTANG
MANAJEMEN RISIKO
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor
Indonesia, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang
Manajemen Risiko Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4957);
2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MANAJEMEN
RISIKO LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
2. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang selanjutnya
disingkat LPEI adalah Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia.
- 2 -
3. Dewan Direktur adalah Dewan Direktur LPEI sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia.
4. Direktur Eksekutif adalah anggota Dewan Direktur yang diangkat
Menteri untuk menjalankan kegiatan operasional LPEI.
5. Direktur Pelaksana adalah direktur yang diangkat oleh Dewan
Direktur untuk membantu Direktur Eksekutif dalam menjalankan
kegiatan operasional LPEI.
6. Pembiayaan adalah kredit dan/atau Pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah yang disediakan oleh Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia.
7. Risiko adalah potensi terjadinya suatu peristiwa yang dapat
menimbulkan kerugian.
8. Manajemen Risiko adalah serangkaian prosedur dan metodologi
yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha.
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) LPEI wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling kurang mencakup:
a. pengawasan aktif Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif;
b. kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan,
dan pengendalian Risiko serta sistem informasi Manajemen
Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 3
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
mencakup:
a. Risiko kredit;
- 3 -
b. Risiko pasar;
c. Risiko likuiditas;
d. Risiko operasional;
e. Risiko hukum;
f. Risiko reputasi;
g. Risiko stratejik; dan
h. Risiko kepatuhan.
BAB III
PENGAWASAN AKTIF
DEWAN DIREKTUR DAN DIREKTUR EKSEKUTIF
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
LPEI wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab yang jelas
pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
Bagian Kedua
Pengawasan Aktif Dewan Direktur
Pasal 5
Tugas Dewan Direktur paling kurang meliputi:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen Risiko; dan
b. mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Bagian Ketiga
Pengawasan Aktif Direktur Eksekutif
Pasal 6
(1) Tugas Direktur Eksekutif paling kurang meliputi:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen Risiko secara
tertulis dan komprehensif;
- 4 -
b. melaksanakan kebijakan Manajemen Risiko dan eksposur
Risiko yang diambil oleh LPEI secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang memerlukan
persetujuan Direktur Eksekutif;
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada seluruh
jenjang organisasi;
e. memastikan peningkatan kompetensi sumber daya manusia
yang terkait dengan Manajemen Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko telah
beroperasi secara independen; dan
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi manajemen;
dan
3. ketepatan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Direktur Eksekutif harus memiliki pemahaman yang
memadai mengenai Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas
LPEI dan mampu mengambil tindakan yang diperlukan sesuai
dengan profil Risiko LPEI.
BAB IV
KEBIJAKAN, PROSEDUR, DAN PENETAPAN LIMIT RISIKO
Bagian Kesatu
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 7
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2) huruf b paling kurang memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan transaksi;
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan sistem
informasi Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
- 5 -
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam kondisi
terburuk (worst case scenario); dan
f. penetapan sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 8
(1) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat
Risiko yang akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko LPEI.
(2) Prosedur dan penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling kurang memuat:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur dan penetapan
limit secara berkala; dan
c. pendokumentasian atas kegiatan sebagaimana dimaksud
pada huruf b secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c. limit per aktivitas tertentu yang memiliki eksposur Risiko.
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN,
PEMANTAUAN, PENGENDALIAN,
DAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan
Pengendalian Risiko
Pasal 9
(1) LPEI wajib melakukan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud
- 6 -
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c terhadap seluruh faktor-faktor
Risiko (risk factors) yang bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
didukung oleh:
a. sistem informasi Manajemen Risiko yang tepat waktu; dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai kondisi
keuangan, kinerja, dan eksposur Risiko LPEI.
Pasal 10
(1) Pelaksanaan proses pengendalian Risiko wajib digunakan untuk
mengelola Risiko yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha LPEI.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko pasar dan
Risiko likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b
dan huruf c, LPEI paling kurang menerapkan Assets and
Liabilities Management (ALMA).
Bagian Kedua
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 11
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, paling kurang mencakup laporan
atau informasi mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur serta penetapan
limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8; dan
c. realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko dibandingkan
dengan target yang ditetapkan.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan sistem informasi
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara rutin oleh Direktur Eksekutif kepada Dewan
Direktur.
- 7 -
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 12
LPEI wajib melaksanakan sistem pengendalian intern secara efektif
terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan operasional pada seluruh
jenjang organisasi LPEI.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 paling kurang mampu secara tepat waktu
mendeteksi kelemahan dan penyimpangan yang terjadi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku serta kebijakan atau ketentuan intern LPEI;
b.
tersedianya informasi keuangan dan manajemen yang
lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat waktu;
c. efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional; dan
d. efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada organisasi LPEI
secara menyeluruh.
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern
dalam Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 14
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan Manajemen Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d paling
kurang mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan jenis dan
tingkat Risiko yang melekat pada kegiatan usaha LPEI;
- 8 -
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan kebijakan, prosedur dan penetapan
limit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8;
c. penetapan jalur pelaporan dari satuan kerja operasional
kepada satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;
d. pemisahan fungsi yang jelas antara satuan kerja operasional
dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian;
e. struktur organisasi yang menggambarkan secara jelas
kegiatan usaha LPEI;
f. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional yang akurat
dan tepat waktu;
g. kecukupan prosedur untuk memastikan kepatuhan LPEI
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku;
h. kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif terhadap
prosedur penilaian kegiatan operasional LPEI;
i. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap sistem
informasi Manajemen Risiko;
j. dokumentasi secara lengkap dan memadai terhadap prosedur
operasional, cakupan dan temuan audit, serta tanggapan atas
hasil audit; dan
k. verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan
berkesinambungan terhadap penanganan kelemahan-
kelemahan yang bersifat material dan tindakan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dilakukan oleh satuan kerja audit intern (SKAI).
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 15
Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen Risiko
yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPEI wajib
membentuk:
- 9 -
a. komite pemantau Risiko;
b. komite manajemen Risiko; dan
c. satuan kerja manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Komite Pemantau Risiko
Pasal 16
(1) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf a terdiri dari:
a. 1 (satu) orang anggota Dewan Direktur sebagai ketua;
b. 1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di
bidang manajemen risiko sebagai anggota; dan
c. 1 (satu) orang pihak independen yang memiliki keahlian di
bidang keuangan sebagai anggota.
(2) Komite pemantau Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertugas melakukan penilaian secara berkala dan memberikan
rekomendasi tentang risiko usaha dalam hubungannya dengan
Pembiayaan Ekspor Nasional yang diberikan oleh LPEI paling
kurang dengan melakukan:
a. evaluasi tentang kesesuaian antara kebijakan Manajemen
Risiko dengan pelaksanaan kebijakan; dan
b. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan tugas satuan kerja
Manajemen Risiko.
Bagian Ketiga
Komite Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf b paling kurang terdiri dari Direktur Pelaksana dan pejabat
satu tingkat di bawah Direktur Pelaksana.
(2) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf b bertugas memberikan rekomendasi kepada Direktur
Eksekutif atas:
a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman penerapan
Manajemen Risiko;
- 10 -
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan Manajemen
Risiko berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan; dan
c. penetapan (justification) hal-hal yang terkait dengan keputusan
bisnis yang menyimpang dari prosedur normal (irregularities).
Bagian Keempat
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 18
(1) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 huruf c harus independen terhadap satuan kerja
operasional (risk-taking unit) dan terhadap satuan kerja yang
melaksanakan fungsi pengendalian intern.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung jawab langsung kepada Direktur Eksekutif
atau kepada Direktur Pelaksana yang ditugaskan secara khusus.
(3) Tugas satuan kerja Manajemen Risiko paling kurang meliputi:
a. memantau pelaksanaan strategi Manajemen Risiko;
b. memantau posisi Risiko secara keseluruhan (composite), per
jenis Risiko dan per jenis aktivitas serta melakukan stress
testing;
c. mengkaji ulang secara berkala terhadap proses Manajemen
Risiko;
d. mengkaji usulan aktivitas dan/atau produk baru;
e. mengevaluasi terhadap akurasi model dan validitas data
yang digunakan untuk mengukur Risiko;
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja operasional
(risk taking unit) sesuai kewenangan yang dimiliki; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil/komposisi
Risiko kepada Direktur Eksekutif atau Direktur Pelaksana
yang ditugaskan secara khusus.
Bagian Kelima
Hubungan Satuan Kerja Operasional
dengan Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 19
Satuan kerja operasional (risk taking unit) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) wajib menginformasikan eksposur Risiko
- 11 -
yang melekat pada satuan kerja yang bersangkutan kepada satuan
kerja Manajemen Risiko secara berkala.
BAB VIII
PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Pasal 20
(1) Dalam rangka pengelolaan Risiko yang melekat pada produk
dan aktivitas baru, LPEI wajib memiliki kebijakan dan prosedur
secara tertulis.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling kurang meliputi:
a. sistem dan prosedur (standard operating procedures) dan
kewenangan dalam pengelolaan produk dan aktivitas baru;
b. identifikasi seluruh Risiko yang terkait dengan produk dan
aktivitas baru;
c. masa uji coba metode pengukuran dan pemantauan Risiko
terhadap produk dan aktivitas baru;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan aktivitas baru;
dan
e. analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas baru.
Pasal 21
LPEI wajib mengungkapkan Risiko yang melekat pada produk dan
aktivitas baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b
kepada nasabah.
BAB IX
PELAPORAN
Pasal 22
(1) LPEI wajib menyampaikan laporan profil Risiko kepada Menteri.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara triwulanan untuk posisi bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
- 12 -
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan paling lama 1 (satu) bulan sejak periode laporan
berakhir.
(4) Direktur Eksekutif yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) setelah akhir bulan sampai dengan bulan
kedua sejak periode laporan berakhir dikenakan sanksi
administratif berupa teguran lisan.
(5) Dalam hal LPEI belum menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan bulan kedua sejak
periode laporan berakhir dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4).
Pasal 23
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disampaikan kepada
Menteri c.q. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
dengan alamat Gedung Sumitro Djojohadikusumo, Jalan Lapangan
Banteng Timur Nomor 2 - 4, Jakarta Pusat 10710.
Pasal 24
(1) Direktur Eksekutif wajib menyampaikan laporan setiap
penerbitan produk dan aktivitas baru kepada Dewan Direktur.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak produk dan aktivitas baru
dimaksud efektif dilaksanakan.
BAB X
PENILAIAN PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO
Pasal 25
Menteri dapat melakukan penilaian terhadap penerapan Manajemen
Risiko pada LPEI.
Pasal 26
LPEI wajib menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan
penerapan Manajemen Risiko kepada Menteri.
- 13 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 27
(1) Anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur
Pelaksana yang:
a. menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi ketentuan Pasal 2,
Pasal 4 Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 12,
Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16 ayat (2), Pasal 17 ayat (2),
Pasal 18, Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 26; atau
b. tidak memenuhi ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6,
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dikenakan kepada anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif,
dan Direktur Pelaksana yang melakukan pelanggaran.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan Ketiga berakhir dan
anggota Dewan Direktur, Direktur Eksekutif, dan Direktur
Pelaksana yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka:
a. anggota Dewan Direktur dan Direktur Eksekutif yang
bersangkutan dapat diberhentikan oleh Menteri berdasarkan
ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 106/PMK.06/2009 tentang Tata Cara
Pengusulan, Pengangkatan Dan Pemberhentian Dewan
Direktur Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia; atau
b. Direktur Pelaksana dapat diberhentikan oleh Dewan
Direktur berdasarkan ketentuan yang diatur oleh Dewan
Direktur.
- 14 -
Pasal 28
(1) Pegawai LPEI yang menyebabkan LPEI tidak dapat memenuhi
ketentuan Pasal 2, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 17 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal
26 dikenakan sanksi administratif berupa teguran lisan, teguran
tertulis, atau pemberhentian.
(2) Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan dalam bentuk peringatan lisan yang
bersifat pembinaan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Surat Peringatan Kesatu, dengan jangka waktu 1 (satu)
bulan;
b. Surat Peringatan Kedua, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan;
dan
c. Surat Peringatan Ketiga, dengan jangka waktu 1 (satu) bulan.
(4) Dalam hal jangka waktu Surat Peringatan ketiga berakhir dan
pegawai yang bersangkutan belum memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka pegawai yang
bersangkutan dapat diberhentikan.
(5) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan yang mengatur sistem kepegawaian LPEI.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
- 15 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Agustus 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
ttd.
ANDI MATTALATTA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 278
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 142/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> MANAJEMEN RISIKO LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA </reg_title>
<set_date> 31 Agustus 2009 </set_date>
<effective_date> 31 Agustus 2009 </effective_date>
<issued_date> 31 Agustus 2009 </issued_date>
<related_reg> '2/UU/2009', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IX Pasal 22 Ayat (4)', 'BAB IX Pasal 22 Ayat (5)', 'BAB XI' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 /PMK.010/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan tertib administrasi
pengenaan sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian laporan keuangan kepada
mengenai sanksi administratif berupa denda atas
keterlambatan penyampaian laporan keuangan
sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan
Keuangan Dana Pensiun,
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002 tentang
Laporan Keuangan Dana Pensiun;
Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3477);
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Paioloh
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
.Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang
Dana Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 126, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3507);
End of Page 1
REPUBLIK INDONESIA
-2 -
Dana Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3508);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang
Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313.);
6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang
Panitia Urusan Piutang Negara,
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 509/KMK.06/2002
tentang Laporan Keuangan Dana Pensiun;
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007
tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
88/PMK.06/2009 (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 86);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA
PENSIUN.
Pasal l
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana
Pensiun, diubah sebagai berikut
1. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut
Pasal 8
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) ditetapkan
oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
0
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
3-
2. Ketentuan Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (S)
sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut
Pasal 10
(1) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (3) dan data elektronik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) disampaikan
kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Kcuangan.
(2) Laporan keuangan semesteran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf a
disampaikan paling lama 2 (dua) bulan setelah
periode semesteran berakhir.
(3) Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3)
huruf b, wajib disampaikan paling lama 5 (lima)
bulan setelah berakhirnya tahun buku Dana
Pensiun.
(4) Penyampaian laporan keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut
a. diserahkan langsung ke kantor Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat, atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa
pengiriman/titipan.
(5) Dalam hal batas akhir penyampaian laporan
keuangan semesteran dan laporan keuangan yang
diaudit oleh akuntan publik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari libur,
batas akhir penyampaian laporan adalah hari kerja
pertama berikutnya.
3. Ketentuan Pasal 11 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5)
(4) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (3a) sehingga Pasal
11 berbunyi sebagai berikut:
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
-4
Pasal 11
(1) Dalam hal penyampaian laporan keuangan yang
telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal l ayat (3) huruf b terlambat
dilakukan, Pendiri Dana Pensiun dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah) untuk sctiap hari
keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah
batas akhir penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) sampai dengan
tanggal penyampaian laporan keuangan.
2) Dalam rangka pengenaan denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian
laporan keuangan adalah
a. tanggal penerimaan laporan keuangan, apabila
laporan keuangan diserahkan langsung ke kantor
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan; atau
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti
pengiriman, apabila laporan dikirim melalui
kantor pos atau perusahaan jasa
pengiriman/ titipan.
(3) Dihapus.
(3a) Surat pengenaan sanksi administratif berupa denda
ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan atas nama Menteri
Keuangan.
(4) Sanksi administratif berupa denda atas
telah diaudit oleh akuntan publik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib dibayarkan ke Kas
Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Bukan Pajak (SSBP) dengan kode Mata Anggaran
Penerimaan (MAP) sebagaimana disebutkan dalam
surat pengenaan sanksinya.
(5) Fotocopy Surat Setoran Bukan Pajak (SSBP) yang
merupakan bukti pembayaran sanksi administratif
berupa denda scbagaimana dimaksud pada ayat (4)
disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala
Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Kepala
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-5
Biro Dana Pensiun, paling lama 7 (tujuh) hari kerja
setelah denda dibayarkan ke Kas Negara.
Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut
Pasal 12A
(1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dalam jangka waktu paling
lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan
sanksi administratif berupa denda tersebut
ditetapkan.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
tersebut tidak dilunasi, Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Kcuangan menetapkan
surat teguran pertama kepada Pendiri Dana Pensiun
untuk segera melunasi sanksi administratif berupa
denda beserta bunga sebesar 2
per bulan, paling lama 14 (empat belas) hari sejak
ditetapkannya surat teguran pertama tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada surat teguran pertama sanksi administratif
berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi,
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan menetapkan surat teguran kedua kepada
Pendiri Dana Pensiun dalam jangka waktu
ditetapkannya surat teguran kedua tersebut.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada surat teguran kedua sanksi administratif
berupa denda beserta bunganya tidak dilunasi,
sanksi administratif berupa denda beserta bunganya
dikategorikan scbagai piutang macet.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
-6-
(5) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
pengurusannya dilimpahkan/ diserahkan oleh Badan
kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
paling lama 14 (empat belas) hari sejak sanksi
administratif berupa denda dikategorikan sebagai
piutang macet
5. Ketentuan ayat (2) Pasal 13 diubah, sehingga berbunyi
sebagai berikut
Pasal 13
(a Dama Pensiun Lembaga Keuangan Wa
laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b
selain catatan atas laporan keuangan, dalam surat
kabar yang memiliki peredaran nasional paling
lambat 1 (satu) bulan setelah tanggal penyampaian
laporan keuangan kepada Menteri Keuangan.
(2) Bukti pemuatan dalam surat kabar sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) wajib disampaikan kepada
Meriteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal II
1. Piutang negara yang timbul dari pengenaan sanksi
administratif berupa denda atas keterlambatan
penyampaian laporan keuangan yang sudah ada
scbelum ditetapkannya Peraturan Menteri ini
dilimpahkan / diserahkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan
Piutang Negara/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
2. Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semue
peraturan pelaksanaan yang merupakan peraturan
pelaksanaan dari Keputusan Menteri Keuangan Nomor
509/KMK.06/2002 tentang Laporan Keuangan Dana
Pensiun, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri
End of Page 6
REPUDLIRG INDONEDIA
3. Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal l Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 145
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
KEPALP ISAGIAN T.0, KBMENTERIAN
BIRO UMUM
GIARTRA
NIP 19580420198402a8001
End of Page 7
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 20/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 509/KMK.06/2002 TENTANG LAPORAN KEUANGAN DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 1 Februari 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date>
<issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date>
<changed_reg> '509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </changed_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '44/PP/2003', '509/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002', '77/PP/1992', '20/UU/1997', '88/PMK.06/2009|PER-MENKEU/2009', '128/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '11/UU/1992', '89/PERPRES/2006' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal I angka 3 Pasal 11', 'Pasal I angka 4 Pasal 12A' </penalty_list>
|
ENTERI KEUANGAN
REPUBUK INDO
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 18 /PMK.010/2012
TENTANG
PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 dan
Pasal 11 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perusahaan Modal Ventura;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3502);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4866);
4. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank;
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUSAHAAN
MODAL VENTURA.
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
2. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) yang
selanjutnya disingkat PMV adalah badan usaha yang
melakukan usaha pembiayaan/penyertaan modal ke dalam
suatu perusahaan yang menerima bantuan pembiayaan
(Inuestee Company) untuk jangka waktu tertentu dalam bentuk
penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi, dan/ atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas
hasil usaha.
3. Perusahaan Pasangan Usaha (Investee Company) yang
selanjutnya disingkat PPU adalah perusahaan atau Usaha
Mikro, Kecil, dan Menengah yang menerima bantuan
pembiayaan dan/atau penyertaan dari PMV.
Usaha Mikro, Keci, dan Memengah yang selanjutnya disingkat
:UMKM adalah usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai usaha mikro, kecil,
dan menengah.
5. Perusahaan Nasional adalah PMV yang seluruh
kepemilikannya oleh warga negara Indonesia, badan usaha
Indonesia, ; lembaga Indonesia, Negara Republik Indonesia,
dan/atau Pemerintah Daerah.
6. Perusahaan Patungan (Joint Venture) adalah PMV yang
sebagian kepemilikannya terdapat penyertaan langsung badan
usaha asing dan/atau lembaga asing.
7. Divestasi adalah penjualan saham PMV yang berada pada PPU
yang bersangkutan.
8. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
1 (satu) PMV atau lebih untuk menggabungkan diri dengan
PMV lain yang telah ada yang mengakibatkan asct dan
liabilitas dari PMV yang menggabungkan diri beralih karena
hukum kepada PMV yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum PMV yang menggabungkan
diri berakhir karena hukum.
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
33-
9. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
2 (dua) PMV atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara
acu adan labilitas dari PMV vangrelh.......
dan status badan hukum PMV yang meleburkan diri berakhir
karena hukum.
10. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan
oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil
alih saham PMV yang mengakibatkan beralihnya pengendalian
atas PMV tersebut.
11. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh PMV
untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aset
dan liabilitas PMV beralih karena hukum kepada 2 (dua) PMV
atau lebih atau sebagian aset dan liabilitas PMV beralih karena
hukum kepada 1 (satu) PMV atau lebih.
12. Kantor Cabang adalah unit usaha dari suatu PMV yang
menjalankan kegiatan usaha. modal ventura dan dapat
menyelenggarakan tata usaha pembukuan sendiri, yang dalam
mengatur usahanya tunduk pada segala ketentuan yang
berlaku bagi kantor pusat PMV yang bersangkutan.
13. Hari adalah hari kerja.
untuk koperasi.
15. Dewan Komisaris adalah dewan komisaris untuk perseroan
terbatas atau pengawas untuk koperasi.
16. Pemeriksaan adalah rangkaian kegiatan mengumpulkan,
mencari, mengolah, dan mengevaluasi data dan informasi
mengenai kegiatan usaha PMV.
17. Pemeriksa adalah pegawai Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Kepala Biro
cbyaan dan Peniaminan Badan Da..
dan Lembaga Keuangan atas nama Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas nama Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan yang
digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk melakukan
Pemeriksaan.
#
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
19. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan adalah surat yang
dikeluarkan oleh Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan atas
nama Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan yang disampaikan kepada PMV yang akan diperiksa.
20. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
21. Kepala Biro adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
.Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
Kegiatan usaha PMV meliputi
a. penyertaan saham (equity participation);
. penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
participation); dan/ atau
. pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
(profit/revenue sharing).
Pasal 3
Kegiatan usaha PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
bertujuan untuk
a. pengembangan suatu penemuan baru;
. pengembangan perusahaan atau UMKM yang pada tahap awal
usahanya mengalami kesulitan dana,
. membantu perusahaan atau UMKM yang berada pada
tahap pengembangan;
1. membantu perusahaan atau UMKM yang berada dalam
tahap kemunduran usaha;
e. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa;
. pengembangan berbagai penggunaan teknologi baru dan
alih teknologi baik dari dalam maupun luar negeri; dan/atau
s. membantu pengalihan kepemilikan perusahaan.
m
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Pasal 4
Penyertaan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a
wajib dilakukan oleh PMV dalam bentuk penyertaan modal secara
langsung kepada PPU yang berbentuk badan hukum perseroan
aaimama dimaksud
dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 5
(4) Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf b wajib dilakukan oleh PMV
dalam bentuk pembelian obligasi konversi yang diterbitkan
oleh PPU yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas,
(2) Obligasi konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dikontensi meniadi penvertaan saham toit
pada saat jatuh tempo untuk suatu jangka waktu tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Pengkonversian menjadi penyertaan saham
(equity participation) sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan berdasarkan perjanjian yang telah disepakati
bersama oleh PMV dan PPU.
Pasal 6
(1) Penyertaan oleh PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dan Pasal 5 ayat (2) bersifat sementara dengan jangka waktu
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(2) Setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (I) berakhir, PMV wajib melakukan
Divestasi.
(3) Kewajiban melakukan Divestasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikecualikan bagi PMV yang melakukan restrukturisasi
hanya pada PPU yang mengalami kesulitan keuangan.
(4) Dalam hal PMV melakukan restrukturisasi scbagaimana
dimaksud pada ayat (3), jangka waktu Divestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama
5 (lima) tahun.
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
Pasal 7
Divestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dapat
dilakukan dengan cara
a. penawaran umum melalui pasar modal (initial public offering);
b. menjual kembali kepada PPU (buy back); atau
c. menjual kepada perusahaan lain/investor baru.
Pasal 8
(1) Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c yan
dilaksanakan oleh PMV kepada PPU dilakukan dengan pola
a. pembagian atas hasil usaha berdasarkan labe
(profit sharing) yang dihasilkan dari selisih lebih total
pendapatan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan;, atau
b. pembagian atas hasil usaha berdasarkan pendapatan
(revenue sharing).
(2) Pembagian atas hasil usaha sebagaimana dimaksud pada
asarkan persentase tertentu jang tea
disepakati di awal dan harus dituangkan dalam perjanjian
tertulis antara PMV dan PPU.
Pasal 9
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus
dilakukan PMV pada PPU yang melakukan usaha produktif.
(2) Usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan PPU untuk menghasilkan barang dan/atau jasa
yang dapat memberikan nilai tambah dan meningkatkan
pendapatan bagi PPU.
Pasal 10
Kegiatan usaha PMV sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat
disertai dengan pemberian pelatihan dan pendampingan kepada
PPU di bidang administrasi, akuntansi, manajemen, dan pemasaran,
serta bidang lainnya yang mendukung kegiatan usaha PMV.
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
-7-
BAB III
PENDIRIAN, PERIZINAN, DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Pendirian dan lzin Usaha
Pasal 11
(1) PMV didirikan dalam bentuk badan hukum
a. perseroan terbatas; atau
b. koperasi.
(2) PMV yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sahamnya
dapat dimiliki oleh
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha atau lembaga Indonesia;
c. badan usaha atau lembaga asing
d. Negara Republik Indonesia; dan/atau
e. Pemerintah Daerah.
(3) PMV yang berbentuk badan hukum koperasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, kepemilikannya diatur
berdasarkan undang-undang mengenai perkoperasian.
Pasal 12
(1) Badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
yang melakukan kegiatan sebagai PMV harus terlebih dahulu
memperoleh izin usaha dari Menteri.
(2) Pemberian izin usaha oleh Menteri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua atas nama Menteri.
Pasal 13
PMV scbagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) wajib
mencantumkan secara jelas dalam anggaran dasar mengenai
maksud dan tujuan badan hukum hanya untuk menjalankan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
End of Page 7
MENTERI KEUANGAN
8-
Pasal 14
(1) Permohonan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) diajukan oleh Direksi
kepada Menteri c.q. Ketua dengan menggunakan format
Lampiran angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
2) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilampiri dengan
a. akta. pendirian dan/atau perubahan anggaran, dasar
terakhir yang telah disahkan dan/atau disetujui olch
instansi berwenang, yang paling sedikit memuat:
1. nama dan tempat kedudukan;
2. kegiatan usaha sebagai PMV,
3. permodalan,
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, dan masa jabatan Direksi
dan Dewan Komisaris;
b. data calon Direksi dan calon Dewan Komisaris meliputi:
1. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor yang masih berlaku,
2. daftar riwayat hidup;
3. surat pemyataan yang mencantumkan bahwa calon
Direksi dan calon Dewan Komisaris
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor
perbankan;
) tidak pernah dihukum karena tindak pidana
kejahatan; dan
) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan
bersalah yang mengakibatkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap;
4. surat pernyataan bagi calon Direksi yang menyatakan
bahwa calon Direksi dimaksud tidak merangkap jabatan
sebagai Direksi pada PMV lain dan tidak merangkap
jabatan sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau
lebih PMV lain,
5. surat pernyataan calon Dewan Komisaris yang
menyatakan bahwa
a) calon Dewan Komisaris dimaksud tidak memangku
jabatan sebagai Direksi pada PMV lain dan tidak
merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada
4 (empat) atau lebih PMV lain; atau
1
End of Page 8
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-9-
b) calon Dewan Komisaris dimaksud telah memangku
merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada
3 (tiga) atau lebih pada PMV lain;, dan
6. surat keterangan atau bukti tertulis berpengalaman
di bidang PMV atau lembaga keuangan lainnya selama
2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi,
c. data pemegang saham atau anggota, dalam hal
1. perorangan, dokumen yang harus dilampirkan adalah
dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1,
huruf b angka 2, dan huruf b angka 3 serta surat
hahwa setoran modal tidak berasal dan
pinjaman dan kegiatan pencucian uang
(money.laundering); atau
2. badan usaha atau lembaga, dokumen yang harus
dilampirkan adalah:
a) akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar
terakchir yang telah disahkan dan/atau disetujui oleh
instansi berwenang bagi badan usaha atau lembaga
Indonesia yang berbadan hukum atau dokumen yang
Setara dengan akta pendirian dan/atau perubahan
anggaran dasar sesuai dengan ketentuan di negara
asalnya bagi badan usaha atau lembaga asing yang
berbadan hukum;
b) akta pendirian dan/atau perubahan anggaran dasar
terakhir bagi badan usaha atau lembaga Indonesia
yang tidak berbadan hukum atau dokumen yang
setara dengan akta pendirian dan/atau perubahan
anggaran dasar sesuai dengan ketentuan di negara
asalnya bagi badan usaha atau lembaga asing yang
tidak berbadan hukum;
c) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dan/atau laporan keuangan terakhir, dan
d) dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
hurut b angka l, huruf b angka 2, dan huruf b
angka 3 bagi Direksi dari badan usaha atau lembaga
tersebut;
dstnuktur orgarisasi yang memaliki ugs peg
fungsi pengelolaan keuangan, fungsi pelayanan dan fungsi
pengembangan informasi PPU;
e. sistem dan prosedur kerja PMV;
f. rencana kerja (business plan) untuk 2 (dua) tahun pertama
yang paling sedikit memuat
ekonomi;
4
End of Page 9
REPUBLIK INDONESIA
-10-
2. rencana kegiatan usaha PMV dan langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan
rencana dimaksud; dan
B. proyeksi neraca, laporan laba rugi, dan laporan arus kas
bulanan selama 12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak
PMV melakukan kegiatan operasional;
g. fotokopi bukti setoran modal;
h. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor,
3. contoh formulir, termasuk perjanjian pembiayaan dan
penyertaan yang akan digunakan untuk operasional
PMV; dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
i. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak
Indonesia bagi Perusahaan Patungan; dan
J. Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
(P4MN).
Pasal 15
(1) Menteri menetapkan persetujuan atau penolakan permohonan
izin usaha dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
Hari setelah dokumen permohonan untuk mendapatkan izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diterima sccara
lengkap.
(2) Sebelum Menteri menetapkan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
melakukan
a. penelitian atas kelengkapan dokumen dan analisis
kelayakan atas rencana kerja;
b. wawancara terhadap pemilik dan/atau calon Direksi apabila
diperlukan; dan
. verifikasi langsung ke kantor pemohon izin usaha apabila
diperlukan.
Pasal 16
(1) PMV yang telah memperoleh, izin usaha dari Menteri wajib
melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak izin
usaha ditetapkan.
#)
End of Page 10
REPUBLIK INDONESIA
-11-
(2) PMV wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri
C.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal dimulainya kegiatan usaha
(3) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua u.p.
Kepala Biro dengan menggunakan format Lampiran angka 2
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
Pasal 17
Dalam pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, PMV harus melaksanakan ketentuan mengenai
penerapan prinsip mengenal nasabah bagi lembaga keuangan non
bank.
Pasal 18
PMV wajib mencantumkan Nama PMV secara jelas pada gedung
kantor PMV.
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 19
(1) PMV wajib memenuhi ketentuan permodalan sebagai berikut
a. Perusahaan Nasional:
1) koperasi, memiliki simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
) perseroan terbatas, memiliki modal disctor paling sedikit
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Perusahaan Patungan, memiliki modal disetor paling sedikit
sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).
(2) Ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 2) dan ayat (1) huruf b dilakukan dalam bentuk
setoran tunai pada salah satu bank umum di Indonesia.
End of Page 11
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-12-
(3) PMV yang telah mendapat izin usaha sebelum
diundangkannya Peraturan Menteri ini wajib memenuhi
ketentuan permodalan sebagai berikut.
a. Perusahaan Nasional
hibah paling sedikit sebesar Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
) perseroan terbatas, memiliki modal disetor paling sedikit
2) perseroan terbatas, memiliki modal disetor paling s
sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
b. Perusahaan Patungan, memiliki modal disetor paling s
odal disetor palagsde
sebesar Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(4) PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang melakukan
perubahan pemegang saham pengendali wajib menyesuaikan
permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pemegang Saham Pengendali adalah badan hukum,
perorangan, dan/atau kelompok usaha yang
perorangan, dan/atau kelompok usaha yang
. memiliki saham PMV lebih dari, 509 (lima puluh
prseahis) jumlah saham vang dikeh
mempunyai hak suara; atau
b. memiliki saham PMV sebesar 50% (lima puluh perseratus)
atau kurang dari jumlah saham yang dikeluarkan PMV
dan mempunyai hak suara, namun dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian PMV baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 20
Kepemilikan saham oleh badan usaha atau lembaga asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c
wajib memenuhi ketentuan paling tinggi sebesar 859 (delapan
puluh lima perseratus) dari modal disetor PMV.
Pasal 21
(1) Pemegang saham yang berbentuk badan usaha atau lembaga,
pada saat melakukan penyertaan modal pada PMV,
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut
a. apabila tidak ada penyertaan modal yang dilakukan, jumlah
penyertaan modal paling banyak sebesar ekuitas badan
usaha atau lembaga yang bersangkutan; atau
b. apabila terdapat penyertaan modal yang telah dilakukan,
Jumlah penyertaan modal paling banyak sebesar ckuitas
badan usaha atau lembaga yang bersangkutan sctelah
dikurangi dengan penyertaan yang telah dilakukan.
End of Page 12
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-13-
(2) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas merupakan penjumlahan dari modal
disetor, agio saham, cadangan dan saldo laba/rugi.
(3) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk badan hukum
koperasi merupakan penjumlahan dari simpanan pokok
simpanan wajib, dana cadangan, dan hibah.
(4) Ekuitas bagi pemegang saham yang berbentuk lembaga
yayasan adalah sebesar aset bersih yang terdiri dari aset bersih
terikat secara permanen, aset bersih terikat secara temporer,
dan aset bersih tidak terikat.
(5) Ekuitas bagi pemegang Saham berbentuk badan usaha atau
lembaga yang tidak berbadan hukum adalah sebesar kekayaan
bersih yaitu selisih lebih aset dengan liabilitas.
(6) Ekuitas bagi pemegang saham berbentuk badan usaha atau
lembaga asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negar:
tempat badan usaha atau lembaga tersebut didirikan.
Pasal 22
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1)
tidak beraku baai pemegang saham PMV
badan hukum dana pensiun.
(2) Pemegang saham yang berbentuk badan hukum dana pensiun,
pada saat melakukan penyertaan modal pada PMV, jumlah
penyertaan modal wajib dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang mengatur mengenai investasi dana pensiun.
Pasal 23
Pemegang saham PMV wajib memenuhi persyaratan
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan
b. tidak pemah dihukum karena tindak pidana kejahatan,
setoran modal pemegang saham tidak berasal dari pinjamar
c. setoran modal pemegang saham tidak berasal dari
dan kegiatan pencucian uang (money laundering); dan
d. tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
End of Page 13
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-14
BAB IV
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Pasal 24
Direksi dan Dewan Komisaris PMV paling sedikit harus memenuhi
persyaratan
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan,
b. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
c. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional
di bidang PMV atau perbankan atau lembaga keuangan lainnya
paling singkat 2 (dua) tahun, dan
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
sua perseroan/peruisahaan dinyatakan palit
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
Pasal 25
(1) Setiap Direksi dan Dewan Komisaris PMV wajib memenuhi
persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(2) Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap
calon Direksi dan/atau Dewan Komisaris PMV dilakukan oleh
Ketua.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan pelaksanaan
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Ketua.
Pasal 26
(1) Direksi PMV wajib menetap di Indonesia.
(2) PMV wajib memiliki paling sedikit seorang Direksi yang
berkewarganegaraan Indonesia.
(3) Direksi PMV dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai
Direksi pada PMV lain.
4) Direksi PMV dilarang melakukan rangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain.
(5) Dewan Komisaris PMV yang tidak memangku jabatan sebagai
Direksi pada PMV lain dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai Dewan Komisaris pada 4 (empat) atau lebih PMV lain.
End of Page 14
REPUBLIK INDONESIA
-15-
BAB V
PENGGABUNGAN, PELEBURAN,
PENGAMBILALIHAN, DAN PEMISAHAN
Bagian Kesatu
Penggabungan dan Peleburan
Pasal 27
(1) PMV wajib menyampaikan laporan Penggabungan atau
Peleburan kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro paling
lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal anggaran
dasar PMV disetujui dan/atau dicatat oleh instansi yang
berwenang.
(2) Laporan Penggabungan atau Peleburan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri
c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format
Lampiran angka 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
(3) Penyampaian laporan Penggabungan . atau Peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilampiri dengan
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
b. akta hasil Penggabungan atau Peleburan yang telah
disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang; dan
c. data pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi.
(4) Berdasarkan laporan Penggabungan atau Peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Ketua atas
nama Menteri menctapkan
a. pencabutan izin usaha PMV yang menggabungkan diri atau
yang melakukan Peleburan; dan/atau
b. pemberian izin usaha kepada PMV hasil Peleburan.
5) Penetapan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b berlaku surut sesuai dengan tanggal efektifnya
persetujuan atau pencatatan badan hukum hasil Peleburan
oleh instansi yang berwenang.
(6) Sebelum izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
huruf b diberikan, PMV hasil Peleburan dapat menjalankan
kegiatan usaha.
End of Page 15
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-16-
Bagian Kedua
Pengambilalihan
Pasal 28
(1) Pengambilalihan dapat dilakukan dengan memenuhi
ketentuan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2),
Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24
Peraturan Menteri ini.
(2) PMV wajib menyampaikan laporan Pengambilalihan kepada
Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas)
Hari terhitung sejak tanggal akta Pengambilalihan yang dibuat
di hadapan notaris.
(3) Laporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala
Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 4 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(4) Penyampaian laporan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus dilampiri dengan
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
b. akta Pengambilalihan; dan
c. data pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi.
Bagian Ketiga
Pemisahan
Pasal 29
(1) PMV yang melakukan Pemisahan wajib menyampaikan laporan
kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama
15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal akta Pemisahan
disetujui atau dicatat oleh instansi yang berwenang.
(2) Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dapat
dilakukan dengan cara
pemisahan murni; atau
b. pemisahan tidak murni.
(3) Pemisahan murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a mengakibatkan seluruh aset dan liabilitas PMV beralih
karena hukum kepada 2 (dua) PMV lain atau lebih yang
menerima peralihan dan PMV yang melakukan Pemisahan
tersebut berakhir karena hukum.
End of Page 16
REPUBLIK INDONESIA
-17-
4) Pemisahan tidak murni sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b mengakibatkan sebagian aset dan liabilitas PMV
beralih karena hukum kepada 1 (satu) PMV lain atau lebih
yang menerima peralihan dan PMV yang melakukan
Pemisahan tersebut tetap ada.
(5) Laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p.
Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 5
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
(6) Penyampaian laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) harus dilampiri dengan
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
dan
b. akta Pemisahan.
(7) Berdasarkan laporan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Ketua atas nama Menteri mencabut izin usaha PMV
yang melakukan Pemisahan murni sebagaimana dimaksud
pada ayat (3).
Pasal 30
(1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(2) PMV hasil Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan
Pemisahan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri ini.
BAB VI
PEMBUKAAN KANTOR CABANG
Pasal 31
(1) PMV dapat membuka Kantor Cabang di seluruh wilayah negara
Republik Indonesia.
(2) PMV wajib menyampaikan laporan pembukaan Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri
c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal pembukaan Kantor Cabang.
End of Page 17
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONE
-18-
(3) Laporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua
u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran
angka 6 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(4) Penyampaian laporan pembukaan Kantor Cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus dilampiri dengan
a remcana kerja tahunan PMV yang memua
pembukaan Kantor Cabang dengan mencantumkan lokasi
Kantor Cabang
b. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor, dan
c. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan
personalia termasuk nama kepala cabang serta jumlah
karyawan.
BAB VII
PENUTUPAN KANTOR CABANG
Pasal 32
(1). PMV wajib menyampaikan laporan penutupan Kantor Cabang
secara tertulis kepada Menteri c.g. Ketua u.p. Kepala Biro
paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal
penutupan Kantor Cabang.
(2) Laporan penutupan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.g. Ketua u.p.
Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 7
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Menteri ini.
BAB VIII
PINJAMAN, PEMBIAYAAN, DAN PENYERTAAN
Bagian Kesatu
Pinjaman
Pasal 33
(1) PMV dapat menerima pinjaman dari bank, industri keuangan
non-bank, badan usaha, dan/atau lembaga berdasarkan
perjanjian pinjam-meminjam.
(2) Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berbentuk pinjaman subordinasi.
End of Page 18
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-19-
(3) PMV yang menerima pinjaman senilai Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah) atau lebih dari badan usaha dan/atau
lembaga harus terlebih dahulu dinilai oleh penilai independen.
(4) Penilaian terhadap PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi
a. latar belakang dan keadaan keuangan;
b. kemampuan untuk memenuhi kewajiban baik jangka
pendek maupuin jangka panjang
c. manajemen risiko; dan
d. kemampuan memperoleh laba secara berkesinambungan.
5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
dikecualikan bagi pinjaman dari badan usaha dan/atau
lembaga
a. yang kedudukannya sebagai pemegang saham dan afiliasi;
atau
b. yang kegiatannya mendukung program pemerintah.
Pasal 34
Pinjaman subordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) merupakan pinjaman yang harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut
a. berjangka waktu paling singkat 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir dari
segala pinjaman yang ada; dan
c. perjanjian pinjaman dituangkan dalam akta notariil.
Pasal 35
(1) PMV yang menerima pinjaman subordinasi wajib
menyampaikan laporan pinjaman subordinasi kepada Menteri
c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 10 (sepuluh) Hari
terhitung sejak tanggal pinjaman diterima.
(2) Laporan pinjaman subordinasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala
Biro, dengan menggunakan format Lampiran angka 8 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
Pasal 36
(1) Jumlah pinjaman PMV dibatasi dengan ketentuan gearing ratio
paling tinggi sebesar 10 (sepuluh) kali.
#
End of Page 19
MENTERI KEUANGAN
20-
(2) PMV wajib memenuhi ketentuan gearing ratio sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dihitung
berdasarkan perbandingan antara jumlah pinjaman dan
jumlah ekuitas ditambah pinjaman subordinasi.
(4) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan
a. penjumlahan dari modal disetor, agio saham, cadangan dan
saldo laba/rugi, dalam hal PMV berbentuk badan hukum
perseroan terbatas; atau
b. penjumlahan dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana
cadangan, dan hibah, dalam hal PMV berbentuk badan
hukum koperasi.
(5) Pinjaman . subordinasi yang dapat diperhitungkan dalam
perhitungan gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling tinggi sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari modal
disetor.
Bagian Kedua
Pembiayaan dan Penyertaan
Pasal 37
(1) Dalam menjalankan usahanya, PMV dapat melakukan
pembiayaan dalam bentuk.
a. pembiayaan penerusan (channeling); atau
b. pembiayaan bersama (jioint financing).
(2) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan
a. risiko yang timbul dari kegiatan channeling berada pada
pemilik dana; dan
b. PMV hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh
imbalan (fee) dari pemilik dana tersebut.
5) Dalam pembiayaan bersama (joint finarcing) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b, risiko yang timbul dari
pembiayaan bersama menjadi beban masing-masing pihak
secara proporsional.
Pasal 38
(1) PMV yang merupakan Perusahaan Nasional wajib memiliki
nilai penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi
konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas
paling rendah scbesar 40% (empat puluh perseratus) dari total
9
End of Page 20
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-21-
(2) PMV yang merupakan Perusahaan Patungan wajib memiliki
nilai penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui
pembelian obligasi konversi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 paling rendah sebesar 40% (empat puluh perseratus)
dari total aset.
(3) Pemenuhan nilai penyertaan saham, penyertaan melalui
pembelian obligasi konversi, dan/atau pembiayaan
berdasarkan pembagian atas . hasil usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan paling
lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal izin usaha
ditetapkan.
Pasal 39
(1) Jumlah penyertaan saham atau penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi oleh PMV kepada setiap PPU dibatasi paling
(2) Dalam hal jumlah penyertaan saham atau penyertaan melalui
pembelian obligasi konversi kepada sctiap PPU melebihi
ketentuan 209 (dua puluh perseratus) sebagaimana dimaksud
anoiigasi konversi kenada setion DDT
diperhitungkan dalam pemenuhan ketentuan Pasal 38 ayat (1)
dan ayat (2) paling tinggi sebesar 20% (dua puluh perseratus).
(3) Jumlah penyertaan saham dan/atau penyertaan melalui
e i h
(4) Besarnya ekuitas PMV sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan laporan keuangan audit terakhir.
Pasal 40
(1) Jumlah Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha
leh PMV kepada setiap PPU dibatasi paling tinggi sebesa
109 (sepuluh perseratus) dari total aset PMV.
(2) Dalam hal jumlah pembiayaan berdasarkan pembagian atas
hasil usaha kepada setiap PPU melebihi ketentuan
10% (sepuluh perseratus), scbagaimana dimaksud pada
usaha kepada setiap PPU yang diperhitungkan dalam
pemenuhan ketentuan Pasal 38 ayat (1) paling tinggi sebesar
10% (sepuluh perseratus).
(3) Besarnya total aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sesuai dengan laporan keuangan audit teralehir.
End of Page 21
MENTERI KEUANGAN
-22-
BAB IX
PEMBATASAN
Pasal 41
(1) PMV dilarang menarik dana secara langsung dari masyarakat
lainnya yang dipersamakan dengan itu.
dengan memenuhi prinsip kchati-hatian (prudential principles).
(3) Penerbitan surat sanggup bayar sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus memenuhi persyaratan paling sedikit
. mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari Dewan
Komisaris dan disetujui rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota; dan
b. dibuat dalam suatu akta notariil.
(4) Surat sanggup bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
digunakan sebagai jaminan atas utang PMV kepada kreditur.
(5) Uang yang berasal dari utang yang dijamin dengan sura
pembagian atas hasil usaha.
BAB X
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Penyampaian Laporan
Keuangan dan Kegiatan Usaha
Pasal 42
(1) PMV harus menyampaikan laporan keuangan bulanan paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya kepada Menteri c.q. Ketua
u.p. Kepala Biro.
(2) PMV wajib menyampaikan laporan kepada Menteri c.g. Ketua
u.p. Kepala Biro dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Laporan kegiatan usaha semesteran paling lama 1 (satu)
a. Laporan kegiatan usaha semesteran paling la
bulan setelah periode semester berakhir; dan
b. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan
publik paling lama 4 (empat) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(3) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b
ditetapkan berdasarkan tahun takwim
m
End of Page 22
MENTERI KEUANGAN
-23-
(4) Laporan keuangan bulanan sebagaimana dimaksud pada
poran kegiatan usaha semesteran dan ayat (2
u.p. Kepala Biro melalui email dalam bentuk file excel, dengan
menggunakan format Lampiran angka 9 dan angka 10 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
5) Setiap perubahan format laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditetapkan oleh Ketua.
(6) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b disampaikan secara tertulis kepada Menteri
c.9. Ketua u.p. Kepala Biro dengan alamat Gedung Sumitro
Nomor 1-4, Jakarta Pusat 10710.
(7) PMV yang terlambat dan/atau tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan surat
pemberitahuan untuk menyampaikan laporan keuangan
bulanan.
(8) PMV wajib menyampaikan laporan keuangan bulanan paling
Jama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak diterimanya surat
pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Bagian Kedua
Penyampaian Laporan
Perubahan Anggaran Dasar dan Alamat
Pasal 43
(1) Perubahan anggaran dasar tertentu wajib dilaporkan kepada
Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro paling lama 15 (lima belas)
Hari setelah perubahan tersebut disetujui atau dicatat oleh
instansi berwenang.
2) Perubahan anggaran dasar tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi
a. nama perusahaan;
b. modal;
c. pemegang saham,
d. Direksi; dan/ atau
c. Dewan Komisaris.
(3) Laporan perubahan nama perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a disampaikan oleh PMV kepada Menteri
c.q. Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format
Lampiran angka 11 yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Menteri ini.
#
End of Page 23
REPUBLIK INDONESIA
-24-
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan
a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh
instansi berwenang; dan
b. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama PMV yang baru.
(5) Laporan perubahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b. disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.q.
Ketua u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran
. angka 12 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(6) Penyampaian laporan perubahan modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilampiri dengan
a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dicatat
oleh instansi berwenang; dan
o. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
huruf c dan huruf g.
7) Laporan perubahan pemegang saham, Direksi, dan/atau
Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
oleh PMV kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro,
dengan menggunakan format Lampiran angka 13 dan 14 yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri
ini.
(8) Penyampaian laporan perubahan pemegang saham, Direksi,
dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) harus dilampiri dengan
a. perubahan anggaran dasar yang telah disetujui atau dicatat
a. perubahan anggaran dasar yat
oleh instansi berwenang; dan
b. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2)
huruf b dan/atau huruf c.
Pasal 44
(4) PMV wajib menyampaikan laporan perubahan alamat kantor
secara tertulis kepada Menteri c.q. Ketua u.p. Kepala Biro
paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal
perubahan.
(2) Laporan perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.g. Ketua
u.p. Kepala Biro, dengan menggunakan format Lampiran
angka is yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini, dengan dilampiri bukti kepemilikan atau
penguasaan atas gedung kantor yang baru.
End of Page 24
-25-
BAB XI
PEMERIKSAAN
Tujuan Pemeriksaan
Pasal 45
(1) Dalam rangka pelaksanaan salah satu fungsi pembinaan dan
pengawasan, Menteri melakukan Pemeriksaan terhadap PMV.
(2) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh Ketua.
Pasal 46
Pemeriksaan bertujuan untuk
a. memastikan bahwa laporan periodik sesuai dengan keadaan
perusahaan yang sebenarnya;
b. memperoleh keyakinan yang memadai atas kebenaran laporan
periodik; dan
c. menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang
PMV.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemeriksaan
Pasal 47
(1) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1)
dilakukan
a. secara berkala paling sedikit sekali dalam 3 (tiga) tahun
dan/atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pemeriksaan secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a. meliputi kebenaran aspek substansi lapora
(3) Pemeriksaan setiap waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b perlu dilakukan apabila
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan periodik PMV patut
diduga bahwa penyelenggaraan kegiatan usaha PMV
menyimpang dari ketentuan yang berlaku di bidang PMV
dan/atau peraturan perundang-undangan;
End of Page 25
MENTERI KEUANGAN
-26-
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang didapat atas
surat pengaduan yang diterima olch Menteri patut diduga
dari ketentuan yang berlaku di bidang PMV, dan/atau
peraturan perundang-undangan;, atau
. PMV patut diduga tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan.
Ketentuan yang, berkaitan dengan penerapan prinsip
mengenal nasabah.
Pasal 48
(1) Pemeriksaan dilaksanakan berdasarkan Pedoman Pemeriksaan
yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Ketua.
(2) Pedoman Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memuat
a. penentuan obyek Pemeriksaan;
b. prosedur dan program Pemeriksaan;
c. penyusunan kertas kerja Pemeriksaan;
d. pelaporan Pemeriksaan; dan
e. tindak lanjut Pemeriksaan.
Pasal 49
(1) Pemeriksaan harus dilaksanakan oleh pemeriksa berdasarkan
Surat Tugas Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan.
(2) Surat Tugas Pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat
dengan menggunakan format Lampiran angka 16 dan
angka 17 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
(3) Sebelum dilakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (I), Kepala Biro atas nama Ketua menyampaikan terlebik
dahulu Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada PMV.
(4) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) paling sedikit memuat
a. nomor dan tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan;
b. nama Pemeriksa;
c. jangka waktu Pemeriksaan; dan
d. dokumen-dokumen yang diperlukan untuk Pemeriksaan.
End of Page 26
MENTERI KEUANGAN
-27-
Pemeriksaan dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu
menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan apabila
wapenyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksan
mengaburkan keadaan yang sebenarnya atau tindakan untuk
menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang
diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan.
Pasal 50
(1) Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk
menunjukkan Surat Tugas Pemeriksaan dan tanda pengena
Pemeriksa pada saat akan dimulainya Pemeriksaan
2) Pihak yang diperiksa berhak meminta kepada Pemeriksa untuk
memberikan penjelasan mengenai tujuan Pemeriksaan.
(3) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi ketentua
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2),
PMV yang akan diperiksa berhak menolak dilakukan
Pemeriksaan.
(4) Dalam hal Pemeriksa telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Pemeriksa berhak:
a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku, catatan-
catatan, dan dokumen-dokumen pendukungnya termasuk
keluaran (output) dari pengolahan data atau media
komputer dan perangkat clektronik pengolah data lainnya;
bb. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis dari PMV
yang diperiksa;
. memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan
tempt menyimapan dokumen atau baranovone
memberikan petunjuk tentang keadaan PMV yang diperiksa;
d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang diperlukan
dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan PMV
yang diperiksa; dan
e. meminta PMV yang diperiksa untuk menghadirkan pihak
ketiga termasuk auditor eksternal dalam rangka
mendapatkan data, dokumen, dan/atau keterangan terkait
dengan Pemeriksaan.
(5) Pemeriksa harus merahasiakan data, dokumen, dan/atau
keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan terhadap pihak
yang tidak berhak.
End of Page 27
MENTERI KEUANGAN
REPJBUK IND
-28-
Tahapan Pemeriksaan
Pasal 51
(1) Pemeriksaan dilakukan melalui tahapan sebagai berikut
a. persiapan Pemeriksaan;
b. pelaksanaan Pemeriksaan; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan.
(2) Persiapan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a paling sedikit meliputi
a. analisa terhadap laporan periodik PMV;
b. penelitian atas keterangan yang didapat atau yang diterima
oleh Menteri mengenai ada atau tidaknya penyimpangan
penyelenggaraan kegiatan yang dilakukan oleh PMV atas
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
c. penelitian atas:
1. pemenuhan kewajiban PMV yang diatur dalam Peraturan
Menteri ini; dan
2. pemenuhan ketentuan mengenai penerapan prinsip
mengenal nasabah bagi lembaga keuangan non bank.
3) Pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilakukan sebagai berikut:
. Pemeriksaan hanya dapat dilakukan oleh lebih dari (1) satu
orang Pemeriksa;
o. Pemeriksaan dilaksanakan di kantor dan/atau tempat
kegiatan PMV,
c. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam dan hari kerja, dan
d. hasil Pemeriksaan dituangkan dalam laporan Pemeriksaan.
(4) Pelaporan hasil Pemeriksaan PMV sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c harus disusun berdasarkan data atau
ieterangan yang diperoleh selama proses Pemeriksaan
berlangsung yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan.
Pasal 52
(1) PMV yang diperiksa dilarang menolak atau menghambat
kelancaran proses Pemeriksaan.
(2) Dalam hal PMV menolak dilakukan Pemeriksaan, PMV harus
menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
End of Page 28
MENTERI KEUANGAN
REPUBI IK INDONESIA
-29-
Pasal 53
(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan, PMV yang diperiksa wajib.
a. memberikan atau meminjamkan buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk :kelancaran
Pemeriksaan;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara tertulis
dan/atau lisan,
c. memberikan kesempatan kepada Pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yang diperlukan oleh
pemeriksa,
d. memberikan keterangan dan/atau data yang diperlukan
dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan PMV
yang diperiksa; dan
e. menghadirkan pihak ketiga termasuk auditor cksternal
untuk memberikan data, dokumen, dan/atau keterangar
kepada Pemeriksa terkait dengan Pemeriksaan.
2) PMV wajib menandatangani berita acara pelaksanaar
Pemeriksaan setelah Pemeriksaan selesai dilakukan.
(3) Berita acara pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), dibuat dengan menggunakan format Lampiran
agmerupakan bagian tidak terpisahkan dar
Peraturan Menteri ini.
Bagian Keempat
Laporan Hasil Pemeriksaan
Pasal 54
(1) Pemeriksa menyusun laporan hasil Pemeriksaan setelah
jangka waktu pelaksanaan Pemeriksaan beralchir.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan terdiri dari
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara; dan
b. laporan hasil Pemeriksaan final.
(3) Laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditandatangani Pemeriksa dan ditetapkan oleh Kepala Biro
atas nama Ketua.
Pasal 55
(1) Kepala Biro atas nama Ketua menyampaikan laporan hasil
Pemeriksaan sementara kepada Direksi PMV paling lama
30 (tiga puluh) Hari setelah berakhirnya pelaksanaan
Pemeriksaan.
End of Page 29
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-30-
(2) PMV yang diperiksa dapat mengajukan tanggapan atas laporan
hasil Pemeriksaan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Ketua c.q. Kepala Biro disertai dengan alasan,
dukung, paling lama
15 (lima belas) Hari setelah diterimanya laporan hasil
Pemeriksaan sementara.
(3) Pembahasan terhadap tanggapan atas . laporan hasil
Pemeriksaan sementara dapat dilakukan apabila PMV
menyampaikan tanggapan yang memuat keberatan.
(4) Pelaksanaan pembahasan atas tanggapan sebagaimana
dimakaud pada ayat (3) dilakukan paling lama 10 (sepuluh)
Hari sejak diterimanya tanggapan dari PMV yang diperiksa.
Pasal 56
Penetapan laporan hasil Pemeriksaan final sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan
a. laporan hasil Pemeriksaan sementara, apabila PMV tidak
mengajukan tanggapan; atau
b. laporan hasil Pemeriksaan sementara dan tanggapan yang
diajukan PMV dengan ketentuan sebagai berikut
1. tidak terdapat keberatan;,
2. terdapat keberatan, namun keberatan ditolak; atau
3. terdapat keberatan, dengan keberatan yang diterima
sebagian atau seluruhnya.
BAB XII
PEMBUBARAN, PERUBAHAN KEGIATAN USAHA,
DAN PENGEMBALIAN IZIN USAHA
Pasal 57
(1) Dalam hal PMV bubar karena keputusan rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota atau. karena jangka
waktu berdirinya sudah berakhir, likuidator atau penyclesai
harus melaporkan pembubaran tersebut kepada Menteri c.q.
Ketua paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak tanggal
rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
(2) Laporan pembubaran scbagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilampiri risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota.
End of Page 30
MENTERI KEUANGAN
REPUBI.IK INDONESIA
. -31-
Pasal 58
(1) Dalam hal PMV bubar berdasarkan penetapan pengadilan atau
keputusan pemerintah, likuidator atau penyelesai harus
melaporkan pembubaran tersebut kepada Menteri c.q. Ketua
paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal
penctapan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau
dikeluarkannya keputusan pemerintah.
(2) Laporan pembubaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.o. Ketua dengan
dilampiri
a. penetapan pengadilan dan/atau keterangan resmi yang
menyatakan mengenai pembubaran, bagi perseroan
terbatas; atau
b. keputusan pemerintah mengenai pembubaran, bagi
Pasal 59
(1) PMV yang melakukan perubahan kegiatan usaha sehingga
tidak lagi menjadi PMV harus melaporkan kepada Menteri
paling lama 15 (lima belas) Hari sejak perubahan anggaran
dasar disahkan oleh instansi berwenang.
(2) Laporan perubahan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disampaikan oleh PMV kepada Menteri c.g. Ketua
dengan dilampiri
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
dan
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh
instansi berwenang.
Pasal 60
Dalam hal PMV mengembalikan izin usaha, Direksi harus
melaporkan hasil rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota mengenai keputusan pengembalian izin usaha kepada
Menteri c.q. Ketua paling lama 15 (lima belas) Hari terhitung sejak
sapat mum pemegang saham atau rapat angpta
dilaksanakan.
Pasal 61
Berdasarkan laporan scbagaimana dimaksud dalam Pasal 57,
Pasal 58, Pasal 59, dan Pasal 60 Peraturan Menteri ini, Ketua atas
nama Menteri mencabut izin usaha PMV yang bersangkutan
dengan Keputusan Menteri.
End of Page 31
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-32-
BAB XIII
SANKSI
Pasal 62
(1) PMV yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 16 ayat (1), Pasal 16 ayat (2), Pasal 18, Pasal 19 ayat (1),
Pasal 19 ayat (3), dan Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, Pasal 21 ayat
(1), Pasal 22 ayat (2), Pasal 23, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26,
Pasal 27 ayat (i), Pasal 28 ayat (2), Pasal 29 ayat (1), Pasal 30
ayat (2), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1),
Pasal 36 ayat (2), Pasal 38, Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (2)
dan Pasal 42 ayat (8), Pasal 43 ayat (1), Pasal 44 ayat (1),
Pasal 52 ayat (1), dan/atau Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 53
ayat (2) Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif
secara bertahap berupa
a. Peringatan;
b. Pembekuan kegiatan usaha; dan
c. Pencabutan izin usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hurut
a diberikan secara tertulis oleh Kepala Biro u.b. Ketua atas
nama Menteri kepada PMV sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut
dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) Hari.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PMV telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Biro u.b. Ketua atas nama Menteri mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berakhir dan PMV tetap tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Ketua atas nama Menteri mengenakan sanksi pembekuan
kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b diberikan secara tertulis oleh Kepala Biro
u.b. Ketua atas nama Menteri kepada PMV yang bersangkutan
jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak surat sanksj
pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur nasional,
sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku hingga hari kerja berikutnya.
End of Page 32
MENTERI KEUANGAN
-33-
(7) PMV yang dikenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha
kegiatan usaha kecuali untuk pemenuhan nilai penyertaan
ytmelalu pembelian obligasi komresj
dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), PMV telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Ketua atas nama Menteri mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sanksi
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (5), PMV tidak juga memenuhi ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini, Ketua atas nama Menteri mencabut izin usaha
PMV yang bersangkutan dengan Keputusan Menteri.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
(1) PMV yang telah mendapat izin usaha sebelum
diundangkannya Peraturan Menteri ini, izin usahanya
dinyatakan tetap berlaku.
(2) PMV yang telah mendapat izin usaha wajib menyesuaikan
Pasal 6 ayat (2), Pasal 13, Pasal 23, Pasal 25 ayat (1), Pasal 26
ayat (4) dan Pasal 26 ayat (5), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 38
Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua) tahun terhitung
sejak tanggal diundangkannya Peraturan Menteri ini.
Pasal 64
(1) Segala sanksi yang telah dikenakan terhadap PMV
Nomor 469/KMK.017/1995 tentang Pendirian dan Pembinaan
Usaha Modal Ventura dan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, dinyatakan tetap sah dan
berlaku.
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
End of Page 33
REPUBUIK INDONESIA
-34-
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.017/1995
tentang Pendirian dan Pembinaan Usaha Modal Ventura; dan
b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988
tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 66
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Februari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 143
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO-UMUM
KEPALA BAGIAN 1A KEMENTERIAN
RO UMUM
GIARTO8
NIP 099049019849
End of Page 34
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 /PMK.010/2012
TENTANG PERUSAHAAN MODAL VENTURA
MENTERI KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 /PMK.010/2012
TENTANG
PERUSAHAAN MODAL VENTURA
End of Page 35
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-1-
1. CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN USAHA
(tanggal.bulan.. tahun)
Lampiran :
Perihal : Permohonan Iain Usaha
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor
| tanggal ........... dengan ini kami:
Nama : PT/Koperasi
: PT/Koperasi') .....
Alamat
jukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha dalam bidang ......
Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan dokumen
|dokumen sebagai berikut:
|1. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi
berwenang
|2. data Direksi dan Dewan Komisaris;
|3. data pemegang saham atau anggota;
|4. struktur organisasi Perusahaan Modal Ventura;
|5. sistem dan prosedur kerja Perusahaan Modal Ventura
|6. rencana kerja (business plan) untuk 2 (dua) tahun pertama;
|7. fotokopi bukti setoran modal;
8. bukti kesiapan operasional;
. perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia bagi Perusahaan Swasta
Patungan; dan
10. pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah (P4MN).
Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibur) kami mengucapkan
|terima kasih.
Direksi FT/Koperasi ')
..
| Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
Jcoretyang tidak perlu
End of Page 36
REPUBLIK INDONESIA
- 2-
2. CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA
PT/KOPERASI').
Nomor:
(tanggal..bulan.. tahun)
Lampiran:
Perihal : Pelaksanaan Kegiatan Usaha PT/Koperasi').......
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Repubik Indonesia
cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
|JI. Lapangan Banteng Timur No.1-4
| Jakarta 10710
Menunjuk surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor ............tentang Pemberian lain
| Usaha Perusahan Modal Ventura tanggal .......... kepada PT/Koperasi')
| dengan int dilaporkan bahwa kamni telah memulai kegiatan usaha pada tanggal ..
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi perjanjan pembiayaan/
penyertaan modal.')
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/lbu') kami mengucapkan
| terima kasih.
Direksi PT/Koperasi ')
) Coret yang tidak perlu
#
End of Page 37
MENTERI KEUANGAN
3-
3. CONTOH FORMAT LAPORAN PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN
Nomor:
(tanggal.bulan.. tahun)
Lampiran :
Perihal : Penggabungan dan Peleburan
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.g. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
up. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djgjohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
|Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
tanggal ........... telah dilakukan Penggabungan/Peleburan') antara PT/Koperasi')
| dan PT/Koperasi')...
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut
1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggotar')
2. Akta hasil Penggabungan/Peleburan') yang telah disetujui/ dicatat') oleh instansi yang
berwenang;
|3. Data pemegang saham dan Direksi dan
4. Status kantor Perusahaan Modal Ventura yang menggabungkan atau meleburkan diri.')
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibu') kami mengucapkan
Direksi PT/Koperasi ')
3 Coret yang tidak perlu
End of Page 38
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
4. CONTOH FORMAT LAPORAN PENGAMBILALIHAN
Nomor:
(tanggal. bulan. tahun)
|Lampiran:
Perihal : Pengambilalihan
Kepada Yth.
| Menteri Keuangan Republik Indonesia
|c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
|u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
| JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
| Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen dokumen sebagai berikut:
|1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota'):
|2. Akta Pengambilalihan;
3. Data pemegang saham, Direksi dan Dewan Komisaris.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan
| terima kasih.
Direksi PT/Koperasi ')
**.**.**************
) Coretyang tidak perlu
End of Page 39
REPUBLIK INDONESIA
-5-
5. CONTOH FORMAT LAPORAN PEMISAHAN
Nomor :
(tanggal..bulan.. tahun)
| Lampiran:
|Perihal : Pemisahan
|Kepada Yth.
| Menteri Keuangan Republik Indonesia
cq.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
| JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
| Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
| tanggal .......telah dilakukan Pemisahan mumni/tidak mumni') PT/Koperasi').
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Risalah rapat umum pemegang saham/rapat anggota'); dan
2. Akta Pemisahan.
|terima kasih.
Direksi PT/Koperasi ')
) Coret yang tidak perlu
End of Page 40
MENTERI KEUANGAN
REPUBUIK INDON
-6-
5. CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KANTOR CABANG
PT/KOPERASI')........... DI
Nomor:
(tanggal. .bulan.. tahun)
Lampiran:
Perihal. : Pembukaan Kantor Cabang PT/Koperasi')...di.
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
Cq. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
|u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
a banteng limurNo.14
| Jakarta 10710
Dengan ini kami melaporkan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang di
dengan alamat .............yang telah dibuka pada tangga
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen sebagai berikut
rencana kerja tahunan Perusahaan Modal Ventura yang, memuat rencana pembukaan Kantor
Cabang dengan mencantumkan lokasi Kantor Cabang yang akan dibuka:
2. bukti kepemilikan atau penguasaan gedung kantor; dan
|3. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk nama calon kepala
|3. sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan pe
cabang serta jumlah karyawan.
Demuikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibut) kami mengucapkan
terima kasih.
Direksi PT/Koperasi ')
|) Coret yang tidak periu
m
End of Page 41
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INO
7. CONTOH PORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PENUTUPAN KANTOR CABANG
PT/KOPERASI
(langgal. bulan.. tahun)
Nomor
| Lampiran
Perihal : Penutupan Kantor Cabang PT/Koperasi').....di.
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
|u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
|Gedung Sumitro Djojohadikusumo
|JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
|Jakarta 10710
Dengan Ini kami melaporkan pelaksanaan penutupan Kantor Cabang di......... dengan
|alamat .............. yang telah ditutup pada tanggal
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan
| terima kasih.
Direksi PT/Koperasi ')
......................
|) Coret yang tidak perlu
m
End of Page 42
MENTERI KEUANGAN
8
8. CONTOH FORMAT LAPORAN PINJAMAN SUBORDINASI
Nomor
(tanggal.bulan.. tahun)
Lampiran
Perihal : Pinjaman Subordinasi
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
cq, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
esuali dengan Retentuan Pasal 35 Peraturan M/enteri Keuangan Nomo.................
..................*****, dengan ini kami melaporkan bahwa PT/Koperasi')
.telah menerima pinjaman subordinasi masing-masing daris
.**....senilai Rp ........... yang jatuh tempo tanggal......... tahun.......
|1........senilai Rp ...........yang jatuh tempo tanggal.... hahun.
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan, fotokopi perjanjan pinjaman
| subordinasi tersebut.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibu') kami mengucapkan
Direksi PT/Koperasi ')
|) Coret yang tidak perlu
ml
End of Page 43
REPUBLIK INDONESIA
9. FORMAT LAPORAN KEUANGAN BULANAN PT/KOPERASI*) -
.NERACA PER ....
No
ASET
Aset Lancar
b. Surat Berharga
c. Deposito
d. Piutang
.Aset Lancar Lain-lain
| Pembiayaan/Penyertaan Modal Ventura
|a. Penyertaan Saham
|b. Obligasi Konversi
|c. Pembiayaan Bagi Hasil (Net)
1) Pembiayaan Bagi Hasil
2) -/- Akumulasi Penyisihan
||Aset Lain-lain
|a. Penyertaan pada Anak Perusahaan
|b. Aset Pajak Tangguhan
C. Rupa-rupa Asel
| Total Aset
LIABILITAS
Hutang Lancar
|a. Pinjaman Jangka Pendek
| Hutang/Pinjaman Jangka Panjang ')
Keterangan:
*) selain Pinjaman Subordinasi
End of Page 44
MENTERI KEUANGAN
10 -
-2-
. LAPORAN PERHITUNGAN LABA RUGI PERIODE.
Keterangan
Keterangan Jumlah (Rp)
PENDAPATAN
|Pendapatan Operasional
a. Penyertaan Saham
c. Pembiayaan Bagi Hasil
Pendapatan Non-Operasional
Total Pendapatan
BEBAN
|Beban Operasional
a. Bunga
c. Umum dan Administrasi
d. Penyisihan
e. Amortisasi/ Penyusutan
f. Lain-lain
Beban Non-Operasional
| Total Beban
Laba (Rugi) Sebelum Pajak
Taksiran Pajak Penghasilan
|Laba (Rugi) Setelah Pajak
End of Page 45
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-11-
10. FORMAT LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN SEMESTER.
TAHUN...
-1-
1 PROFIL
Nama Perusahaan
Nama Perusahaan : ********************************************************
NPWP
Bentuk Badan Usaha : Perseroan Terbatas / Koperasi ')
Status Perusahaan : Tertutup / Terbuka *)
Tahun Pendirian :
Izin Usaha**)
|Tanggal: ***********************************************
Izin Perubahan Nama*')
a. Pertama
2 Tanggal : *******
2) Tanggal
|b. Kedua
. Kedua.
2) Tangal : ******************************************************
|Alamat
a. Alamat : *******************************************************
b. Datill : Kotamadya/Kabupaten *) .
|d. Kode Pos * : *************************
|e. Nomor Telepon :
f. Nomor Faksimili
f. Nomor Faksimnili : ........................................
|8. Status Gedung Kantor : Milik sendiri / Sewa s.d. tanggal .
Th. Website :
9.| Permodalan
a. Modal Dasar
s. Modal Daar : *********************************************************
End of Page 46
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 12-
10. | Daftar Pemegang Saham / Anggota *)
No. Nama
11. | Daftar Kepengurusan
No.| Jabatan
No. | Jabatan Nama
dst
|Daftar Kantor Cabang
M
No. | Alamat Dati II Provinsi
Alamat Dati II Provinsi
| Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah Tenaga Kerja
| b. Kantor Cabang: .................................................
Conboct Person : ***************
/Telp/HP
Coret salah sabu
") Izin dari Menteri Keuangan
End of Page 47
REPUBLIK INDONESIA
- 13 -
-2-
11. IL. KEGIATAN USAHA
angka Waktu Kontrak
Tgl Mulai Tgl
PPU | Provinsi| Usaha | Usaha embiayaan | Pembiayaan
Pembiayaan | Pembiaa
(dd/mnyyy)| Berakhir
Penyertaan / Penyertaan
((dd/mm/yy)
Keterangan:
a. Bentuk Usaha
1. PT
2. Koperasi
3. Pirma (CV, UD, dl)
4. Perseorangan
b. Sektor Usaha:
1. Pertnian, Perikanan dan Kehutanan: usaha-usaha untuk memproots
2. Pertambangan: usaha penggalian dan pengumpulan bahan-bahan tambang
. Perindustrian: kegiatan untuk mengubah bentuk/pengolahan, baik secara mekanis maupun
kimiawi, dari suahi bahan menjadi barang baru
4. Konstruksi: usaha dalam rangka pembangunan dan perbaikan gedung, rumah, dan proyek
lainnya
5. Perdagangan, Restoran dan Hotel: usaha penjualan kembali barang-barang kepada
konsumen akhir tanpa adanya pengubahan bentuk, pengadaan/ penyediaan minuman
untuk dijual langsung kepada konsumen, dan penyediaan tempat
penginapan/peristirahatan
. Pengangkutan, Pergudangan dan Komunikasi: usala di bidang pengangkutan darat, udara,
sungai, biro perjalanan, penyediaan fasilitas penyewaan, penyimpanan dan komunikasi pos,
telepon, dan lain-lain
7. Jasa Pendukung Bisnis: advokat/ pengacara, notaris, Insinyur, dan lain-lain
Jasa Sosial/Masyarakat: jasa hiburan/kebudayaan (distributor film, pemancar radio/TV
bioskop. tempat hiburan lainnya), jasa kesehatan (dokter, rumah sakit), pendidikan
(penyelenggaraan kursus)
. Lain-lain: yang tidak termasuk sektor di atas, seperti konsumsi, alat rumah tangea
c. Jenis Pembiayaan/Penyertaan
1. Penyertaan Saham
2. Obligasi Konversi
3. Bagi Hasil
End of Page 48
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 14 -
d. Nilai Pembiayaan/Penyertaan
1. s.d Rp 50juta
2. diatas Rp 50juta s.d Rp 500juta
3. diatas Rp 500 juta s.d Rp 5 miliar
4. diatas Rp 5 miliar
. BENTUK USAHA
3 Outstanding 1 Kumulatif 2
Bentuk Usaha
Bentuk Usaha Jumlah | Pembiayaan Jumlah Pembiayaan
PPU (Rp) PPU (Rp
1. PT
Koperasi
Firma (CV, UD, dil)
Perseorangan
Jumlah
Keterangan
Keterangan:
saldo pada akhir semester
2 jumlah kontrak/ pembiayaan baru selama satu semester
2. SEKTOR USAHA
Konstruksi
Perdagangan, Restoran
dan Hotel
Pergudangan dan
Komunikasi
7. Jasa Pendukung Bisnis
8. Jasa Sosial/Masyarakat
9. Lain-lair
Jumlah
Keterangan:
1 saldo pada akhir semester
jumlah kontrak/ pembiayaan baru selama satu semester
End of Page 49
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONE
- 15 -
3. JENIS PEMBIAYAAN/PENYERTAAN
Jenis Pembiayaan Jumlah | Pembiayaan
Penvertaay | Jumlah | Pembiayaan Jumlah | Pembiayan
Penyertaan PPU. (Rp)
Penyertaan Saham
1. | Penyertaan Sahar
Obligasi Konversi
3. Bagi Hasil
Jumlah
Keterangan:
1 saldo pada akhir semester
2jumlah kontrak/pembiayaan baru selama satu semester
4. NILAI PEMBIAYAAN/PENYERTAAN
NiaPembiayaanJumlah | Pembiayaan Jumlah | Pembiayaan
Penyertaan
mlah ( Rembinas
1. S.d. 50 juta
2. 950juta s.d. 500 juta
3. > 500 juta s.d. 5 miliar
4. > 5 miliar
Jumlah
Jumlah
Keterangan
1 saldo pada akhir semester
2jumlah kontrak/pembiayaan baru selama satu semester
End of Page 50
MENTERI KEUANGAN
- 16 -
12. CONTOH FORMAT PERUBAHAN NAMA PERUSAHAAN MODAL VENTURA
Nomor :
(tanggal.bulan. tahun)
Lampiran :
Perihal : Perubahan Nama Perusahaan
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
c.q, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
|Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
ggal....... nama PT/Koperasi').
. berubah menjadi PT/Koperasi')
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen-dokumen
1. risalah rapat umum pemegang saham/ rapat anggotar').
2 perubahan anggaran dasar yang telah disetujui oleh instansi yang berwenang; dan
3. nomor pokok wajib pajak (NPWP) atas nama Perusahaan Modal Ventura yang baru.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu') untuk
Demikian permohonan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/ibu') kami mengucapkan
Direksi PT/Koperasi ')
) Coret yang tidak perlu
End of Page 51
MENTERI KEUANGAN
- 17 .
13. CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN MODAL
(tanggal.bulan. tahun)
Lampiran:
Perihal. : Perubahan Modal
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
Menteri Keuangan Republik Indonesia
cq. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
tanggal ......... telah dilakukan perubahan anggaran dasar mengenai modal dasar, dan modal
disetor') yaitu
Lama Ba
Lama Baru
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
perubahan anggaran dasar yang telah disetujui dan/ atau dicatat oleh instansi berwenang; dan
b. data pemegang saham atau anggota dan/atau fotokopi bukti setoran modal.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/Ibut) kami mengucapkan
Direksi PT/Koperasi ')
) Coret yang tidak perlu
End of Page 52
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 18 -
14. CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM
Nomor
(tanggal.bulan...tahun)
Perubahan PemegangSahan
Kepada Yth.
eer keuangan Republik indonesia
c.q.Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u,p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
JI. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/rapat anggota')
Lama
Lama
Baru
Nama Pemegang Saham| NilaiSaham | Nama Pemegang Saham (Ro)
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
1. Perubahan anggaran dasar yang telah disetujui/ dilaporkan') kepada instansi berwenang.
2. Data pemegang saham atauranggota:
a. Dalam hal perorangan dilampiri dengan
1 fotokopi KTP/ paspor') yang masih berlaku
2) daftar riwayat hidup
3) surat pemyataan
tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan;
- tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
- tidak pemah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap; dan
amandan kegaan e a
Iaundering).
b. Dalam hal badan hukum dilampiri dengan:
1)aita pandirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut perubanan-peruuanan
pengesahan dari instans berenan er a
asing sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asal; dan
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan laporan keuangan terakhir.
3) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a di atas bagi pemegang saham
perseorangan dan Direksi dari badan hukum tersebut.
Demikian laporan ini kami sampaikan, atas perhatian Bapak/lbu,) kami mengucapkan
Direksi PT/Koperasi')
> Coretyang tidak perlu
End of Page 53
MENTERI KEUANGAN
- 19
15. LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI DAN/ATAU DEWAN KOMISARIS
Nomor :
(tanggal.bulan. tahun)
Lampiran:
Perihal : Perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Kepada Yth.
eangan Republik Indonesa
c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
banteng linurNo.14
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan rapat umum pemegang saham/ rapat anggota')
nggal ......... telah dilakukan perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris'), yaitu
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan
1. Perubahan anggaran dasar yang telah disetujui/ dilaporkan') kepada instansi berwenang,
Data Direksi dan/atau Dewan Komisaris *) meliputi:
a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa kartu tanda penduduk (KTP) atau paspor;
b. daftar riwayat hidup
c. surat pernyataan
1) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor perbankan:
2) tidak pemah dihukum karena tindakan pidana kejahatan;
5) tidak pemnah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap
4) tidak merangkap jabatan pada Perusahaan Perusahaan Modal Ventura lain kecuali
jabatan sebagai Pengawas pada 3 (tiga) Perusahaan Modal Ventura, bagi Direksi; dan
tidak merangkap jabatan Pengawas lebih dari 4 (empat) Perusahaan Modal Ventura, bagi
Dewan Komisaris;
. bukti berpengalaman operasional di bidang Perusahaan Modal Ventura atau lembaga
keuangan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi
. fotokopi dokumen izin menetap dan izin bekerja dari instansi berwenang bagi Direksi
berkewarganegaraan asing.
Direksi PT/Koperasi')
*) Coret yang tidak periu
End of Page 54
MENTERI KEUANGAN
- 20 -
16. LAPORAN PERUBAHAN ALAMAT KANTOR PT/KOPERASI*) .......
(tanggal. .bulan.. tahun)
Lampiran
Perihal : Perubahan Alamat Kantor PT/Koperas/').
Kepada Yth.
Menteri Keuangan Republik Indonesia
cd, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
|u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
| Jl. Lapangan Banteng Timur No.1-4
Jakarta 10710
Dengan ini kami melaporkan perubahan alamat kantor pusat/Kantor Cabang') dari
. ke ............... sejak tangga
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan bukti kepemilikan atau penguasaan
atas gedung kantor yang baru.
terima kasih.
) Coret yang tidak perlu
n
End of Page 55
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 21
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
GEDUNG SUMTRO A A N A -
SURAT TUGAS PEMERIKSAAN
NOMOR: ..................
NOMOR
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan selaku Penanggung Jawab Pemeriksaan dengan ini
menugaskan
1. Nama / NUP : ................./ NIP.
batan
2. Nama / NIP : .............../ NIP .
Jlatan
3. Nama / NIP : .............../ NIP .
Pangkat / Golongan
Jabatan:.......................
Nama / NIP . : ............../ NIP
Pangkat / Golongan
Pangkat / Golongan:...........................
Jabatan
Tanggal Berangkat
Tanggal Berangkat : ***********************
Penugasan : Melakukan Pemeriksaan Lapangan terhadap PT/Koperasi')
abas penydemggaran kegiatansaba
dan/atau pembiayaan, serta aspek keuangannya di
Demikian untuk dimaklumi dan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ketua;
|2. Sekretaris Badan.
End of Page 56
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 22 -
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TEGEDUNG SIUNAITR D AO AOA A AO A A AN TA AN AN TE NO TAO A 1 000
Nomor : S-..
Stfat :
Hal : Pemberitahuan Pemeriksaan
Yth. Direksi PT/Koperasi')
Di
Sesuai dengan Pasal ... Peraturan Menteri Keuangan Nomor../PMK.010/2011 tentang
erusahaan Modal Ventura dengan ini kami beritahukan bahwa Menteri selaku Pembina dan
Pengawas Perusahaan Modal Ventura akan melakukan Pemeriksaan ke PT/Koperasi')
Tujuan pemeriksaan tersebut adalah dalam rangka pembinaan dan pengawasan terhadap
Perusahaan Pembiayaan. Adapun nama-nama yang akan melakukan pemeriksaan adalah:
1. ................/ NIP .......... selaku Koordinator.
............... / NIP......... selaku Penyelia
./ NIP.......... selaku Penyelia;
. ..... / NITP ........ selaku Ketua Tim
/ NIP .......... selaku Anggota Tim.
Jangka waktu pemeriksaan terhitung dari tanggal ...... s.d. .........Sehubungan dengan
relaksanaan tersebut maka kami minta agar Saudara menyiapkan dokumen sebagai berikut :
Demikian agar Saudara maklum.
a.n. Ketua
mbaad
Penjaminan,
NIP .......................
Tembusan Yth.:
1. Ketua,
2. Sekretaris Badan.
End of Page 57
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 23
19. CONTOH FORMAT BERITA ACARA PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
GEDUNG SUMITRO DJQUOHADIKUSUMO JALAN LAPANGAN BANTENG TIMUR NOMOR. 1-4,JAKARTA 10710
BERITA ACARA PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Nomor
Pada hari ini, ......... tanggal ................ Tim Pemeriksa Biro Pembiayaan dan Penjaminan
, Tim Pemeriksa Biro Pembiayaan dan Penjaminan
berdasarkan Surat Tugas Pemeriksaan Nomor ............... tanggal .............. dalam hal ini
telah melaksanakan pemeriksaan terhadap PT/Koperasi)
Kepada perusahaan telah ditunjukkan Surat Tugas Pemeriksaan dan dijelaskan tentang tujuan
Pemeriksaan yaitu untuk melakukan pemeriksaan lapangan atas penyelenggaraan kegiatan usaha
penyertaan dan/atau pembiayaan, serta aspek keuangannya.
Untuk keperluan pemeriksaan tersebut, Tim Pemeriksa telah meminta dokumen-dokumen yang
diperlukan dalam rangka memperlancar proses pemeriksaan, yaitu.
**********************
AAAA******.
*********************
Demikian berita acara ini dibuat dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pemeriksa dan pthak yang
mewakili PT/Koperasi')..
Jakarta, ..................
Ketua Tim Pemeriksa, DireksiPT/Koperasi')
MENTERI KEUANGAN,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO,
End of Page 58
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 18/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title>
<set_date> 1 Februari 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Februari 2012 </effective_date>
<issued_date> 1 Februari 2012 </issued_date>
<replaced_reg> '1251/KMK.013/1988|KEP-MENKEU/1988', '469/KMK.017/1995|KEP-MENKEU/1995' </replaced_reg>
<related_reg> '20/UU/2008', '9/PERPRES/2009', '25/UU/1992', '40/UU/2007', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
- 1 -
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 199/PMK.010/2008
TENTANG
INVESTASI DANA PENSIUN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a.
bahwa dalam rangka menunjang keberhasilan penyelenggaraan
Program Pensiun, investasi kekayaan Dana Pensiun harus
dikelola secara sehat untuk mencapai hasil yang optimum;
b. bahwa dengan semakin berkembangnya instrumen investasi di
pasar modal dan perlunya evaluasi atas penempatan investasi
yang telah dilakukan Dana Pensiun, perlu untuk melakukan
pengaturan kembali ketentuan mengenai Investasi Dana
Pensiun;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Keuangan tentang Investasi Dana Pensiun;
Mengingat :
1.
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Pemberi Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3507);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun Lembaga Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3508);
4.
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG INVESTASI
DANA PENSIUN.
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Pihak adalah perorangan, perusahaan, koperasi, kontrak investasi
kolektif, usaha bersama, asosiasi, baik sendiri-sendiri, maupun
secara bersama-sama merupakan kelompok
yang mempunyai
hubungan Afiliasi.
2. Afiliasi adalah hubungan di antara Pihak dimana:
a. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat
setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang juga
menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di bawah
direktur atau komisaris pada Pihak lain;
b. salah satu Pihak memiliki satu atau lebih direktur atau pejabat
setingkat di bawah direktur atau komisaris, yang memiliki
hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan
sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal
yang menjabat sebagai direktur atau pejabat setingkat di
bawah direktur atau komisaris pada Pihak lain;
c. salah satu Pihak memiliki wewenang untuk menunjuk atau
memberhentikan direksi atau yang setara dari Pihak lain; atau
d. salah satu Pihak secara langsung atau tidak langsung
mengendalikan, dikendalikan, atau di bawah satu
pengendalian Pihak lain kecuali pengendalian dimaksud oleh
Pemerintah Republik Indonesia, yang meliputi namun tidak
terbatas pada:
1)
salah satu Pihak memiliki sekurang-kurangnya 25%
(dua puluh lima perseratus) saham Pihak lain atau
merupakan pemegang saham terbesar;
2)
salah satu Pihak merupakan kreditur terbesar dari Pihak
yang lain;
3) salah satu Pihak mempunyai hak suara pada Pihak lain
yang lebih dari 50% (lima puluh perseratus) berdasarkan
suatu perjanjian; atau
4)
salah satu Pihak dapat mengendalikan operasional,
pengawasan, atau pengambilan keputusan baik langsung
maupun tidak langsung, atas hak untuk mengatur dan
menentukan kebijakan finansial dan operasional pihak
lain berdasarkan anggaran dasar, anggaran rumah
tangga, atau perjanjian.
- 3 -
3. Arahan Investasi adalah kebijakan investasi yang ditetapkan oleh
Pendiri atau Pendiri dan Dewan Pengawas, yang harus dijadikan
pedoman bagi Pengurus dalam melaksanakan investasi.
4. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perbankan.
5. Bursa Efek adalah bursa efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal.
6. Surat Berharga Negara adalah surat berharga yang diterbitkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia termasuk surat utang negara
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat
Utang Negara, dan surat berharga syariah negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga
Syariah Negara.
7. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
8. Dana Pensiun adalah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun.
9. Pendiri adalah Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Dana Pensiun.
10. Pengurus adalah Pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Dana Pensiun.
11. Dewan Pengawas adalah Dewan Pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun.
12. Peserta adalah Peserta sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Dana Pensiun.
13. Penerima
Titipan adalah
Penerima Titipan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Dana Pensiun.
14. Manajer Investasi adalah Manajer Investasi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pasar Modal.
BAB II
ARAHAN INVESTASI DANA PENSIUN
PEMBERI KERJA
Pasal 2
(1) Pendiri atau Pendiri dan Dewan Pengawas, wajib menetapkan
Arahan Investasi.
- 4 -
(2) Dalam Arahan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
sekurang-kurangnya harus dicantumkan hal-hal sebagai berikut:
a. sasaran hasil investasi setiap tahun dalam bentuk kuantitatif
yang harus dicapai oleh Pengurus;
b.
batas maksimum proporsi kekayaan Dana Pensiun yang
dapat ditempatkan untuk setiap jenis investasi;
c. batas maksimum proporsi kekayaan Dana Pensiun yang
dapat ditempatkan pada satu Pihak;
d. obyek investasi yang dilarang untuk penempatan kekayaan
Dana Pensiun;
e.
ketentuan
Pensiun untuk mendukung
likuiditas minimum portofolio investasi Dana
ketersediaan dana guna
pembayaran manfaat pensiun dan operasional Dana Pensiun;
f. ketentuan yang memuat kewajiban dilakukannya pengkajian
yang memadai untuk penempatan dan pelepasan investasi;
g. sistem pengawasan dan pelaporan pelaksanaan pengelolaan
investasi;
h. ketentuan mengenai penggunaan tenaga ahli, penasihat,
lembaga keuangan dan jasa lain yang dipergunakan dalam
pengelolaan investasi; dan
i. sanksi yang akan diterapkan Dana Pensiun kepada Pengurus
atas pelanggaran ketentuan mengenai investasi yang
ditetapkan
dalam Undang-undang Dana Pensiun dan
peraturan pelaksanaannya.
BAB III
KEWAJIBAN PENGURUS DALAM MENGELOLA
INVESTASI DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
Pasal 3
(1) Pengurus wajib melaksanakan pengelolaan investasi sesuai
dengan Arahan Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
(2) Pengurus wajib bertindak sedemikian rupa sehingga keputusan
investasi yang diambil merupakan keputusan investasi yang
obyektif, yang semata-mata untuk kepentingan Peserta, Dana
Pensiun, dan/atau Pemberi Kerja.
- 5 -
Pasal 4
(1) Pengurus wajib menyusun rencana investasi tahunan, yang
memuat sekurang-kurangnya:
a. rencana komposisi jenis investasi;
b. perkiraan tingkat hasil investasi untuk masing-masing jenis
investasi; dan
c. pertimbangan yang mendasari rencana komposisi jenis
investasi.
(2) Rencana investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus merupakan penjabaran Arahan Investasi serta
mencerminkan penerapan prinsip-prinsip penyebaran risiko dan
keputusan investasi yang obyektif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2).
(3) Rencana investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya akan berlaku setelah paling kurang mendapat persetujuan
Dewan Pengawas Dana Pensiun yang bersangkutan.
Pasal 5
Penggunaan jasa dalam pengelolaan investasi Dana Pensiun atau
pemanfaatan saran, pendapat, dorongan, dan hal-hal lain dari pihak
ketiga selain yang telah ditetapkan dalam Arahan Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan rencana investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dapat
mempengaruhi Pengurus dalam mengambil keputusan atau
tindakan dalam rangka pelaksanaan pengelolaan kekayaan Dana
Pensiun, tidak mengurangi kewajiban Pengurus untuk mematuhi
ketentuan yang berlaku dalam investasi Dana Pensiun dan tidak
menghilangkan tanggung jawab Pengurus atas pelaksanaan investasi
dimaksud.
BAB IV
PENGELOLAAN INVESTASI
DANA PENSIUN PEMBERI KERJA
Bagian Pertama
Jenis Investasi
Pasal 6
(1) Investasi Dana Pensiun hanya dapat ditempatkan pada jenis
investasi sebagai berikut:
- 6 -
a. Surat Berharga Negara;
b. tabungan pada Bank;
c. deposito berjangka pada Bank;
d. deposito on call pada Bank;
e. sertifikat deposito pada Bank;
f. Sertifikat Bank Indonesia;
g. saham yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
h. obligasi yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
i. sukuk yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
j. Unit Penyertaan Reksa Dana dari:
1. Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana Pendapatan Tetap,
Reksa Dana Campuran, dan Reksa Dana Saham;
2. Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana dengan Penjaminan
dan Reksa Dana Indeks;
3. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas;
4. Reksa Dana yang Unit Penyertaannya Diperdagangkan di
Bursa Efek;
k. Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek
Beragun Aset;
l. Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif;
m. Kontrak Opsi Saham yang tercatat di Bursa Efek di Indonesia;
n. penempatan langsung pada saham;
o. tanah di Indonesia; dan/atau
p. bangunan di Indonesia.
(2) Penghasilan Dana Pensiun dari kekayaan yang diinvestasikan
dalam bidang-bidang tertentu yang bukan merupakan obyek
pajak ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.
Bagian Kedua
Pembatasan Investasi Dana Pensiun
Pasal 7
(1) Investasi pada obligasi, sukuk, dan Efek Beragun Aset dari
Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset sebagaimana
- 7 -
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h, huruf i, dan huruf k,
hanya dapat ditempatkan pada obligasi, sukuk dan Efek Beragun
Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset yang
memperoleh peringkat sekurang-kurangnya A atau yang setara
dari lembaga pemeringkat Efek yang telah mendapat izin usaha
dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Investasi pada Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf k dan huruf l, hanya dapat
ditempatkan pada Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi
Kolektif Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi
Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dilakukan
melalui penawaran umum sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal.
Pasal 8
(1) Investasi pada Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf m tidak dilakukan untuk tujuan
spekulasi dan hanya dapat ditempatkan pada opsi jual (put
option) dalam rangka lindung nilai atas investasi yang telah
dimiliki Dana Pensiun, yang dibuktikan dengan dokumen
strategi lindung nilai.
(2) Investasi pada Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Dana Pensiun yang telah
memiliki investasi pada saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf g paling rendah 10% (sepuluh perseratus)
dari total investasi Dana Pensiun.
Pasal 9
(1) Investasi penempatan langsung pada saham sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n, hanya dapat dilakukan
pada saham yang diterbitkan oleh badan hukum yang didirikan
berdasarkan hukum Indonesia dan saham dimaksud tidak
tercatat di Bursa Efek di Indonesia maupun di luar negeri.
(2) Dalam hal Dana Pensiun memiliki penempatan langsung pada
saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Dana Pensiun
merupakan pemegang saham terbesar atau memiliki paling
rendah 25% (dua puluh lima perseratus) saham dari perusahaan
dimaksud, Dana Pensiun harus:
- 8 -
a. memiliki wakil pada anak perusahaan untuk memelihara dan
menjaga kepentingan Dana Pensiun selaku pemegang saham
berdasarkan perjanjian tertulis; dan
b. memiliki hak untuk mendapatkan informasi keuangan dan
bisnis dari anak perusahaan secara berkala berdasarkan
perjanjian tertulis.
Pasal 10
Investasi pada Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf j angka 3 hanya dapat dilakukan oleh Dana Pensiun yang:
a. memiliki total investasi paling sedikit Rp200.000.000.000,- (dua
ratus miliar rupiah); dan
b. memiliki manajemen risiko yang memadai.
Pasal 11
(1) Investasi pada tanah dan/atau bangunan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf o dan/atau huruf p
harus :
a. dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Dana
Pensiun; dan
b. memberikan penghasilan ke Dana Pensiun atau bertambah
nilainya karena pembangunan, penggunaan, dan/atau
pengelolaan oleh pihak lain yang dilakukan melalui transaksi
yang didasarkan pada harga pasar yang berlaku.
(2) Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus
didasarkan pada perjanjian yang sah di hadapan notaris.
(3) Penempatan pada tanah dan/atau bangunan tidak dapat
dilakukan pada tanah dan/atau bangunan yang diagunkan,
dalam sengketa atau diblokir pihak lain.
Pasal 12
(1) Investasi pada Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas atau penempatan
langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf j angka 3 dan huruf n, masing-masing dilarang melebihi
10% (sepuluh perseratus) dari total investasi Dana Pensiun.
(2) Investasi pada tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf o dan/atau huruf p dilarang
melebihi 15% (lima belas perseratus) dari total investasi Dana
Pensiun.
- 9 -
Pasal 13
(1) Seluruh investasi Dana Pensiun dapat ditempatkan pada Surat
Berharga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf a.
(2) Jumlah seluruh investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf b sampai dengan huruf n, pada satu Pihak dilarang
melebihi 20% (dua puluh perseratus) dari total investasi Dana
Pensiun.
(3) Tanpa mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), investasi pada
penempatan langsung pada saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n pada satu
Pihak dilarang melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari total
investasi Dana Pensiun.
(4) Jumlah seluruh investasi pada satu Pihak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk Unit Penyertaan Reksa Dana, Efek Beragun
Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset, dan/atau
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf j, huruf k, dan huruf l adalah Unit Penyertaan Reksa Dana,
Efek Beragun Aset dari Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun
Aset dan/atau Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dikelola oleh Manajer
Investasi yang sama.
(5) Dana Pensiun yang berkedudukan di daerah yang tidak
memungkinkan dilakukannya penempatan kekayaan dalam
bentuk deposito berjangka, deposito on call dan sertifikat deposito
sesuai dengan ketentuan pada ayat (2), dan di dalam Arahan
Investasi Dana Pensiun tersebut tidak ditetapkan jenis investasi
lain, dapat menempatkan kekayaan dalam bentuk-bentuk
investasi dimaksud pada setiap Bank di daerah tersebut melebihi
batas 20% (dua puluh perseratus) dari total investasi Dana
Pensiun, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip
penyebaran risiko.
Pasal 14
Seluruh investasi Dana Pensiun yang ditempatkan pada:
a. semua Pihak yang dalam tahun buku terakhir mengalami
kerugian atau mengalami kegagalan dalam memenuhi kewajiban
keuangannya;
b. penempatan langsung pada saham sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf n; dan
- 10 -
c. tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf o dan/atau huruf p,
dilarang melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari total
investasi Dana Pensiun.
Pasal 15
(1) Dana Pensiun dilarang melakukan transaksi derivatif atau
memiliki instrumen derivatif, kecuali:
a. Kontrak Opsi Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf m;
b. instrumen derivatif tersebut diperoleh Dana Pensiun sebagai
instrumen yang melekat pada saham atau obligasi yang
tercatat di Bursa Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf g dan huruf h.
(2) Dana Pensiun dapat menjual instrumen derivatif yang melekat
pada saham atau obligasi yang tercatat di Bursa Efek
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara terpisah dari saham
atau obligasi yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Dalam hal terjadi penggabungan para Pihak tempat Dana
Pensiun melakukan investasi dan total investasi pada Pihak hasil
penggabungan tersebut menjadi lebih besar dari batas
penempatan pada satu Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13, investasi Dana Pensiun pada Pihak hasil penggabungan
tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13,
paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal penggabungan.
(2) Dana Pensiun dilarang melakukan investasi baru pada Pihak
hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama
penyesuaian belum selesai dilakukan.
Bagian Ketiga
Penilaian Investasi Dana Pensiun
Pasal 17
Ketentuan mengenai dasar
penilaian investasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) diatur dengan Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
- 11 -
Pasal 18
(1) Kesesuaian terhadap batasan investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14
ditentukan pada saat dilakukan penempatan investasi.
(2) Total investasi dalam rangka menentukan kesesuaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhitungkan nilai
seluruh investasi yang dimiliki Dana Pensiun dengan didasarkan
pada nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
(3) Pembuktian kesesuaian terhadap batasan investasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan tanggung jawab
Pengurus.
BAB V
PENGELOLAAN INVESTASI
DANA PENSIUN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal 19
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan
Pasal 18 berlaku juga bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Pasal 20
(1) Dana Pensiun Lembaga Keuangan sekurang-kurangnya harus
menawarkan jenis investasi atau paket investasi yang terdiri dari
jenis-jenis investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h.
(2) Penawaran setiap jenis investasi atau paket investasi oleh Dana
Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
BAB VI
PENGENDALIAN ATAS PENGELOLAAN
INVESTASI DANA PENSIUN
Bagian Pertama
Laporan Investasi
Pasal 21
(1) Pengurus wajib menyampaikan kepada Menteri:
a. daftar investasi bulanan;
b. laporan investasi tahunan; dan
- 12 -
c. hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi
tahunan.
(2) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, tidak berlaku bagi Dana Pensiun Pemberi
Kerja yang pada akhir periode pelaporan memiliki total investasi
kurang dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan
investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
tidak berlaku bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang memenuhi
seluruh kriteria sebagai berikut:
a. selama tahun buku, investasi Dana Pensiun hanya berupa
deposito berjangka, deposito on
call, sertifikat deposito,
Sertifikat Bank Indonesia, dan/atau Surat Berharga Negara;
dan
b. pada akhir tahun buku, total investasi Dana Pensiun kurang
dari Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(4) Dana Pensiun yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat memenuhi kewajiban penyampaian laporan
investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dengan menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan publik atas
laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis
kepada Kepala Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan paling lama 2 (dua) bulan sejak akhir
tahun buku.
(5) Tanggal penyampaian pemberitahuan secara tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah tanggal penerimaan
oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan atau tanggal pengiriman dalam tanda bukti
pengiriman melalui kantor
pengiriman/titipan.
Pasal 22
(1) Daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (1) huruf a menyajikan posisi investasi Dana Pensiun setiap
akhir bulan.
(2) Daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus disusun sesuai dengan lampiran dalam Peraturan Menteri
Keuangan ini.
pos atau perusahaan jasa
- 13 -
Pasal 23
(1) Laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (1) huruf b harus memuat sekurang-kurangnya:
a. pernyataan Pengurus tentang kesesuaian portofolio investasi
terhadap:
1. ketentuan peraturan-perundang-undangan yang mengatur
investasi Dana Pensiun;
2. Arahan Investasi, bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja; dan
3. Pilihan jenis investasi oleh Peserta bagi Dana Pensiun
Lembaga Keuangan;
b. laporan perkembangan portofolio serta hasil investasi Dana
Pensiun; dan
c. analisis mengenai kegiatan investasi.
(2) Analisis mengenai kegiatan investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c sekurang-kurangnya harus mencakup
evaluasi atas:
a. pelaksanaan prinsip-prinsip penyebaran risiko dan keputusan
investasi yang obyektif;
b. pelaksanaan tanggung jawab Pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3);
c. kesesuaian investasi terhadap ketentuan Arahan Investasi;
d. jumlah dan komposisi portofolio investasi untuk tiap-tiap
paket investasi atau jenis investasi yang ditawarkan Dana
Pensiun Lembaga Keuangan; dan
e. jumlah dan karakteristik investasi pada para Pihak yang
memiliki hubungan Afiliasi dengan Dana Pensiun.
(3) Hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c harus
memuat:
a. pendapat akuntan atas pernyataan Pengurus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
b. laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(4) Dana Pensiun yang menyampaikan hasil pemeriksaan akuntan
publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dinyatakan telah menyampaikan laporan investasi
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b.
- 14 -
(5) Isi dan susunan laporan investasi tahunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 24
(1) Dalam rangka pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik
atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf c, Dewan Pengawas dilarang menunjuk
akuntan publik yang sama dalam hal:
a. akuntan publik tersebut telah melakukan pemeriksaan atas
laporan investasi tahunan selama 3 (tiga) kali periode
pemeriksaan berturut-turut; atau
b. akuntan publik dimaksud dinyatakan telah melanggar
standar praktik akuntan publik yang berlaku di Indonesia
oleh asosiasi akuntan atau Menteri.
(2) Kantor akuntan publik yang sama tidak dapat ditunjuk untuk
melakukan pemeriksaan atas laporan
Pasal 25
Daftar investasi bulanan, laporan investasi tahunan, dan hasil
pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a, huruf b, dan
huruf c disampaikan kepada Menteri c.q. Kepala Biro Dana Pensiun
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 26
(1) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dilakukan paling lama 15 (lima belas) hari setelah
akhir periode yang dilaporkan.
(2) Penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan
investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 harus
dilakukan paling lama 5 (lima) bulan setelah akhir tahun buku.
(3) Dana Pensiun yang tidak diwajibkan menyampaikan hasil
pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan
karena memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
ayat (3), harus menyampaikan laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 paling lama 2 (dua) bulan
setelah akhir tahun buku.
investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c lebih dari
5 (lima) kali berturut-turut.
- 15 -
(4) Dalam hal batas akhir penyampaian daftar investasi bulanan,
hasil pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan,
dan laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3) adalah hari libur, batas akhir
penyampaian laporan dimaksud adalah hari kerja pertama
setelah tanggal batas akhir penyampaian tersebut.
Pasal 27
Bagi Dana Pensiun yang disahkan Menteri Keuangan dalam periode
3 (tiga) bulan sebelum akhir tahun buku, pemeriksaan akuntan
publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 ayat (1) huruf c dapat dilakukan bersamaan dengan
pemeriksaan atas laporan investasi tahun buku berikutnya.
Pasal 28
(1) Penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 dilakukan dalam bentuk dokumen fisik (hard copy)
dan format digital yang disediakan oleh Biro Dana Pensiun
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
(2) Penyampaian laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan
akuntan publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 dapat dilakukan dengan salah satu cara
sebagai berikut:
a. diserahkan langsung ke kantor Biro Dana Pensiun Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. dikirim melalui kantor pos secara tercatat; atau
c. dikirim melalui perusahaan jasa pengiriman/titipan.
Bagian Kedua
Penilaian Kinerja Investasi Dana Pensiun
Pasal 29
(1) Dewan Pengawas wajib mengevaluasi kinerja investasi Dana
Pensiun sekurang-kurangnya sekali untuk satu tahun buku yang
didasarkan antara lain pada:
a. laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan
publik atas laporan investasi tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan huruf c; dan
dan saran Peserta kepada
b. pendapat
Pendiri,
Dewan
Pengawas, dan Pengurus mengenai perkembangan portofolio
dan hasil investasi kekayaan Dana Pensiun.
- 16 -
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang
mencakup kewajaran alasan Pengurus dalam menjelaskan
ketidaksesuaian kinerja investasi Dana Pensiun dengan Arahan
Investasi dan rencana investasi tahunan.
(3) Dewan Pengawas dapat mengusulkan kepada Pendiri untuk
mengenakan sanksi kepada Pengurus apabila hasil evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menunjukkan alasan
Pengurus dalam menjelaskan ketidaksesuaian kinerja investasi
Dana Pensiun dengan Arahan Investasi dan rencana investasi
tahunan, tidak dapat diterima.
Bagian Ketiga
Transparansi Pengelolaan Investasi Dana Pensiun
Pasal 30
(1) Pengurus wajib mengumumkan kepada Peserta mengenai:
a. ringkasan dari laporan investasi tahunan dan hasil
pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan
huruf c paling lama 1 (satu) bulan setelah disampaikan
kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat
(2) dan ayat (3); dan
b. ringkasan hasil evaluasi Dewan Pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1).
(2) Pengurus wajib menyusun tata cara bagi Peserta untuk
menyampaikan pendapat dan saran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b.
Pasal 31
Pengurus harus menyampaikan laporan investasi tahunan dan hasil
pemeriksaan akuntan publik atas laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan huruf c
kepada Pendiri dan Dewan Pengawas.
BAB VII
PENGALIHAN PENGELOLAAN INVESTASI
Pasal 32
(1) Pengelolaan investasi Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat
dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang tentang Dana Pensiun,
dengan memperoleh persetujuan tertulis dari Pendiri dan Dewan
Pengawas.
- 17 -
(2) Pengelolaan investasi Dana Pensiun oleh lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di
bidang Dana Pensiun.
(3) Dalam hal pengelolaan investasi Dana Pensiun dialihkan kepada
lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(4) Undang-Undang tentang Dana Pensiun, lembaga keuangan
dimaksud harus memenuhi seluruh persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki ijin
usaha
Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Manajer Investasi dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
b. tidak sedang dikenakan sanksi administratif berupa
pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, atau
pencabutan izin usaha oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan;
c. memiliki pengalaman dalam memberikan jasa pengelolaan
investasi; dan
d. mampu mengelola portofolio investasi sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan di bidang investasi Dana
Pensiun.
(4) Pengalihan pengelolaan investasi Dana Pensiun kepada lembaga
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dituangkan
dalam perjanjian tertulis antara Dana Pensiun dan lembaga
keuangan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. tugas, wewenang, dan tanggung jawab Dana Pensiun dan
lembaga keuangan;
b. jenis dan besar biaya yang dibebankan kepada Dana Pensiun;
c. pernyataan lembaga keuangan untuk memberikan informasi
dan menyediakan buku, catatan, dan dokumen yang
berkenaan dengan kekayaan Dana Pensiun yang dikelola
kepada Dana Pensiun;
d. pernyataan lembaga keuangan untuk tunduk terhadap
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
e. ketentuan terkait penyelesaian perselisihan dan pengakhiran
perjanjian.
(5) Dana Pensiun yang mengalihkan pengelolaan kekayaan kepada
lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menitipkan kekayaan yang dialihkan tersebut kepada Penerima
Titipan yang ditunjuk Pendiri dan tidak memiliki hubungan
Afiliasi dengan lembaga keuangan dimaksud.
- 18 -
(6) Pengalihan pengelolaan kekayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak mengurangi tanggung jawab Pengurus.
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 33
(1) Dalam hal penyampaian hasil pemeriksaan akuntan publik atas
laporan investasi tahunan atau laporan investasi tahunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3)
terlambat dilakukan, Pendiri Dana Pensiun dikenakan denda
sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) untuk setiap hari
keterlambatan terhitung sejak hari pertama setelah batas akhir
masa penyampaian dimaksud.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Dalam rangka pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanggal penyampaian
laporan investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik
atas laporan investasi tahunan adalah:
a. tanggal penerimaan oleh Biro Dana Pensiun Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, apabila laporan
investasi tahunan dan hasil pemeriksaan akuntan publik atas
laporan investasi tahunan diserahkan langsung ke kantor Biro
Dana Pensiun; dan
b. tanggal pengiriman dalam tanda bukti pengiriman melalui
kantor pos atau perusahaan jasa pengiriman/titipan.
(4) Perhitungan jumlah hari keterlambatan untuk pengenaan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berakhir pada tanggal penyampaian laporan
dimaksud pada ayat (3).
sebagaimana
(5) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib disetor ke Kas
Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan
Pajak (SSBP) yang digunakan untuk pembayaran denda
pelanggaran di bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan, dan
bukti penyetoran atas denda ke Kas Negara tersebut wajib
disampaikan kepada Biro Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan.
(6) Dalam hal Pendiri Dana Pensiun belum membayar denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), denda tersebut dinyatakan
sebagai utang Pendiri Dana Pensiun kepada Negara dan harus
dicantumkan dalam laporan keuangan Pendiri Dana Pensiun
yang bersangkutan.
- 19 -
Pasal 34
(1) Pendiri Dana Pensiun wajib melunasi denda dan menyampaikan
bukti penyetoran atas denda ke Kas Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 33 ayat (5) kepada Biro Dana Pensiun
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dalam
jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak surat sanksi administratif
berupa denda ditetapkan.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) denda tidak dilunasi, Biro Dana Pensiun Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan memberikan surat teguran
pertama untuk segera melunasi denda beserta bunga atas denda
paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya surat
teguran pertama tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, Biro Dana
Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
memberikan surat teguran kedua dengan jangka
waktu
pelunasan paling lama 14 (empat belas) hari sejak ditetapkannya
surat teguran kedua tersebut.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), denda beserta bunga atas denda tidak dilunasi, maka denda
beserta bunga atas denda tersebut dikategorikan sebagai piutang
macet yang pengurusannya dilimpahkan/diserahkan oleh Biro
Dana Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang Negara/Direktorat
Jenderal Kekayaan Negara.
Pasal 35
Bunga atas denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2)
dan ayat (3) ditetapkan sebesar 2% (dua perseratus) per bulan sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak, dan dikenakan sejak berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
Pasal 36
Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada Dana
Pensiun, Pendiri, Dewan Pengawas, Pengurus dan/atau Pelaksana
Tugas Pengurus dalam hal terjadi pelanggaran atas ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 32,
termasuk mewajibkan Pendiri untuk mengganti Pengurus dan/atau
Pelaksana Tugas Pengurus, atau mewajibkan Pengurus untuk
menghentikan pengelolaan investasi oleh lembaga keuangan.
- 20 -
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 37
Pelampauan batas investasi pada setiap Pihak akibat ditetapkannya
Peraturan Menteri Keuangan ini wajib disesuaikan paling lama 1
(satu) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan.
Pasal 38
(1) Surat pengakuan utang yang dimiliki Dana Pensiun sebelum
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini dapat
diperhitungkan sebagai investasi Dana Pensiun sampai dengan
jatuh temponya.
(2) Pengurus wajib menyampaikan rincian surat pengakuan utang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk posisi sesuai tanggal
penetapan Peraturan Menteri Keuangan ini.
(3) Rincian surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Kepala Biro Dana
Pensiun Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
paling lama 3 (tiga) bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini
ditetapkan.
(4) Rincian surat pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) sekurang-kurangnya memuat:
a. nama penerbit;
b. nominal penempatan;
c. suku bunga;
d. besar dan jenis agunan; dan
e. tanggal perolehan dan tanggal jatuh tempo.
(5) Dana Pensiun dilarang memperpanjang jatuh tempo surat
pengakuan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e.
Pasal 39
(1) Pemenuhan ketentuan Pasal 9 dilakukan paling lama 2 (dua)
tahun sejak ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
(2) Dalam hal Dana Pensiun tidak dapat memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Dana Pensiun wajib
melepas investasi pada penempatan langsung pada saham
dimaksud paling lama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 21 -
(3) Dalam hal pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan ini
mengakibatkan investasi penempatan langsung pada saham yang
telah dilakukan Dana Pensiun sebelum berlakunya Peraturan
Menteri Keuangan ini melampaui batasan investasi penempatan
langsung pada saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1), maka Dana Pensiun dilarang melakukan penambahan
pada investasi penempatan langsung pada saham dimaksud.
Pasal 40
Kewajiban penyampaian daftar investasi bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a mulai berlaku 2 (dua)
bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan.
Pasal 41
Peraturan pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
511/KMK.06/2002 tentang Investasi Dana Pensiun yang mengatur
mengenai isi dan susunan laporan investasi Dana Pensiun tetap
berlaku sampai dengan diterbitkannya peraturan pelaksanaan yang
baru berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini,
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 511/KMK.06/2002 tentang
Investasi Dana Pensiun, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 43
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Desember 2008
MENTERI KEUANGAN,
SRI MULYANI INDRAWATI
LAMPIRAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 199/PMK.010/2008 TENTANG
INVESTASI DANA PENSIUN
- 22 -
DAFTAR INVESTASI BULANAN
DANA PENSIUN……….
Posisi per tanggal …..
dalam Rupiah
Jenis Investasi (Nilai Wajar)
Surat Berharga Negara
Tabungan
Deposito on call
Deposito berjangka
Sertifikat deposito
Sertifikat Bank Indonesia
Saham
Obligasi
Sukuk
Unit penyertaan Reksa Dana pada:
- Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana
Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham dan
Reksadana Campuran
- Reksa Dana terproteksi, Reksa Dana dengan
Penjaminan dan Reksa Dana Indeks
- Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas
- Reksa Dana yang Unit Penyertaannya
diperdagangkan di Bursa Efek
Efek Beragun Aset dari KIK EBA
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk KIK
Kontrak Opsi Saham
Penempatan langsung pada saham
Tanah
Bangunan
Tanah dan Bangunan
Jumlah
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
XX
MENTERI KEUANGAN,
SRI MULYANI INDRAWATI
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 199/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id>
<reg_title> INVESTASI DANA PENSIUN </reg_title>
<set_date> 5 Desember 2008 </set_date>
<effective_date> 5 Desember 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '511/KMK.06/2002|KEP-MENKEU/2002' </replaced_reg>
<related_reg> '76/PP/1992', '77/PP/1992', '11/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VIII' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 130 / PMK.010/2012
TENTANG
PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
NG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTC
DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN RIDUSIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang a. bahwa dalam rangka pembiayaan konsumen kendaraan
bermotor oleh perusahaan pembiayaan, konsumen
menyerahkan hak milik atas kendaraan bermotor secara
kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan,
pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan
hak milik atas kendaraan bermotor dari konsumen secara
kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan, perlu
dilakukan pendaftaran jaminan fidusia pada kantor
pendaftaran fidusia,
. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
Menteri Keuangan tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi
Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan
Jaminan Fidusia,
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3889);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang
Perusahaan Pembiayaan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN
MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN
BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA.
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
-2-
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan
konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan
jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia
dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-
undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.
(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud pada. ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan
Pembiayaan yang melakukan
a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor
berdasarkan prinsip syariah; dan/atau
b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang
pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan
(channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).
Pasal 2
Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia
pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari
kalender. terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan
konsumen.
Pasal 3
Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda
jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor
Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia
dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.
Pasal 4
Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor
oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan
persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai
jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam
perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor.
Pasal 5
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2,
Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi
administratif secara bertahap berupa
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan izin usaha.
#
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali
berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60
(enam puluh) hari kalender.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang
diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur
dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha scbagaimana dimaksud
pada ayat (4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan
Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan
kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi
pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.
(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang
diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha
(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi
ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin
usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan perjanjian
pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan
pembebanan jaminan fidusia sebelum berlakunya Peraturan
Menteri ini dapat melakukan pendaftaran jaminan fidusia sesuai
kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara
Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen.
End of Page 3
MENTETI KEUANGAN
Pasal 7
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan
terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Agustus 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 786
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BIRO UMUM
GAREPU
KEPALA BAGIAN TRO. KEMENTERIAN
PRO UMAUM
GIART
NIP 195809291984021001
End of Page 4
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 130/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012 </reg_id>
<reg_title> PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA </reg_title>
<set_date> 7 Agustus 2012 </set_date>
<effective_date> setelah 2 (dua) bulan terhitung sejak 7 Agustus 2012 </effective_date>
<issued_date> 7 Agustus 2012 </issued_date>
<related_reg> '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '42/UU/1999', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
<penalty_list> 'Pasal 5' </penalty_list>
|
MENTERI KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 158 /PMK.010/2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang, Penyelenggaraan Usaha
Perasuransian, dan memperhatikan perkembangan kondisi
perekonomian yang terjadi saat ini, perlu melakukan penyempumaan
terhadap ketentuan mengenai dana jaminan dan penilaian kekayaan
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan
Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3306) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4856);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Reasuransi, sebagaimana telah diubah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 135/PMK.05/2005;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN
KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
NK6/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
-2 -
PasalI
Beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 135/PMK.05/2005, diubah sebagai berikut
1. Menambah 1 (satu) bagian pada Bab III yaitu Bagian Kedelapan,
dengan menyisipkan 1 (satu) pasal di antara Pasal 26 dan Pasal 27,
yakni Pasal 26A sehingga berbunyi sebagai berikut
Bagian Kedelapan
Penilaian Surat Utang Negara, Surat Berharga Lain Yang Diterbitkan
Oleh Negara Atau Efek Lain Dalam Hal Nilai Pasar Tidak Wajar
Pasal 26A
(1) Dalam hal nilai pasar dari surat utang, surat berharga lain yang
diterbitkan oleh negara atau efek lain menunjukkan nilai yang
tidak wajar, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
dapat melakukan penilaian surat utang, surat berharga lain yang
diterbitkan oleh negara atau efek lain tersebut dengan
menggunakan nilai lain yang dianggap wajar.
(2) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus kembali
menggunakan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan Pasal 17 ayat (1) dalam hal nilai pasar dari surat
utang, surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara atau efek
lain kembali menunjukkan nilai yang wajar.
(3) Penetapan nilai selain nilai pasar dan keadaan yang
memungkinkan penggunaan nilai selain nilai pasar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta keadaan yang mengharuskan
penggunaan kembali penilaian sebagaimana dinaksud pada
ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modai dan
Lembaga Keuangan.
2. Mengubah Pasal 36 sehinggga Pasal 36 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut
Pasal 36
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi harus memiliki
dana jaminan sekurang-kurangnya sebesar:
. Bagi Perusahaan Asuransi Jiwa, yaitu jumlah yang lebih
1. 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri yang
dipersyaratkan; dan
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
2. hasil penjumlahan 2% (dua persen) dari cadangan premi
untuk Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan
Investasi dengan 5% (lima per seratus) dari cadangan
premi untuk produk yang lain, termasuk cadangan atas
premi yang belum merupakan pendapatan.
b. Bagi Perusahaan Asuransi Kerugian dan Perusahaan
Reasuransi, yaitu jumlah yang lebih besar antara
1. 20% (dua puluh persen) dari modal sendiri yang
dipersyaratkan; dan
2. hasil penjumlahan 1% (satu persen) dari premi neto
dengan 0/25% (nol koma dua lima persen) dari premi
reasuransi.
(2) Cadangan premi termasuk cadangan atas premi yang belum
merupakan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a serta premi neto dan premi reasuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari laporan keuangan
per 31 Desember terakhir yang diaudit
(3) Dalam hal dana jaminan kurang dari jumlah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi harus segera menambah dana jaminan yang
dimilikinya, paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah tanggal 30
April tahun berjalan.
(4) Dalam hal dana jaminan yang telah dimiliki lebih dari jumlah
sebagaimana dimaksud pada ayat (i), Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi dapat mengurangi dana jaminan yang
dimilikinya setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Kepala Biro Perasuransian.
3. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal
36A sehingga berbunyisebagai berikut
Pasal 36A
(1) Dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1)
berupa deposito dan/atau surat utang atau surat berharga lain
yang diterbitkan oleh negara.
(2) Surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sisa
jangka waktu sampai jatuh tempo sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun pada saat penempatan sebagai dana jaminan.
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
-4-
4. Mengubah Pasal 37 sehingsga Pasal 37 seluruhnya berbunyi sebagai
berikut
Pasal 37
(1) Seluruh dana jaminan harus ditatausahakan pada Bank
Kustodian.
(2) Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Bank Umum yang telah mendapat persetujuan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan untuk bertindak sebagai
Bank Kustodian dan bukan merupakan afiliasi dari Perusahaan
Asuransi atau Perusahaan Reasuransi.
5. Di antara Pasal 37 dan 38 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 37A,
Pasal 378, Pasal 37C dan Pasal 37D sehingga berbunyisebagai berikut
Pasal 37A
(1) Penatausahaan dana jaminan oleh Bank Kustodian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 harus didasarkan pada perjanjian
antara Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dan
Bank Kustodian.
(2) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat
pendelegasian atau pemberian kuasa oleh Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi kepada Bank Kustodian untuk tidak
mencairkan, memindahkan atau menyerahkan dana jaminan
tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari Kepala Biro
Perasuransian.
(3) Bank Kustodian tidak dapat menjalankan instruksi dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi maupun pihak
Jain untuk melakukan pencairan, pemindahan dan penyerahan
asurat utang atau surat berharga lain ang
diterbitkan oleh negara yang digunakan sebagai dana jaminan
tersebut kecuali telah mendapat persetujuan Kepala Biro
Perasuransian.
(4) Dalam hal Kepala Biro Perasuransian berhalangan, Kepala Biro
Perasuransian menunjuk 2 (dua) Kepala Bagian di lingkungan
Biro Perasuransian untuk menolak atau memberikan persetujuan
End of Page 4
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Pasal 37B
(1) Pembentukan atau penambahan dana jaminan dapat dilakukan
dengan cara:
a. penempatan baru deposito dan/atau surat utang atau surat
berharga lain yang diterbitkan oleh negara sebagai dana
jaminan;
b. konversi deposito yang bukan dana jaminan menjadi dana
jaminan
konversi surat utang atau surat berharga lain yang
diterbitkan oleh negara yang bukan dana jaminan menjadi
dana jaminan.
(2) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dapat
melakukan penggantian dana jaminan dengan cara sebagai
berikut
a. dari deposito menjadi surat utang atau surat berharga lain
yang diterbitkan oleh negara;
b. dari surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan
oleh negara menjadi deposito;
c. dari deposito pada bank dan dengan tenor tertentu menjadi
deposito pada bank atau dengan tenor yang berbeda;
d. dari surat utang atau surat berharga lain yang diterbitkan
oleh negara dengan seri tertentu menjadi surat utang atau
surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara dengan seri
yang lain.
(3) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan
mengganti dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib menempatkan teriebih dahulu dana jaminan pengganti
sekurang-kurangnya sebesar nilai dana jaminan yang akan
diganti.
(4) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang memiliki
dana jaminan dalam bentuk surat utang atau surat berharga lain
yang diterbitkan oleh negara yang akan jatuh tempo, harus
sudah menempatkan dana jaminan baru sebesar nilai surat utang
atau surat berharga lain yang diterbitkan oleh negara yang akan
jatuh tempo, paling lambat 1 (satu) hari sebelum tanggal jatuh
End of Page 5
MENTERI KEUANGAN
-6-
(5) Dalam hal dana jaminan dalam bentuk surat utang atau surat
berharga lain yang diterbitkan oleh negara telah jatuh tempo,
dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi belum
melakukan penggantian dana jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4), Bank Kustodian wajib menempatkan dana yang
diperoleh dari pencairan surat utang atau surat berharga lain
yang diterbitkan oleh negara yang jatuh tempo tersebut dalam
bentuk deposito jaminan berjangka 1 (satu) bulan pada Bank
Kustodian yang bersangkutan.
Pasal 37C
(1) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi wajib
menyampaikan laporan dana jaminan per 31 Maret, 30 Juni, 30
September dan 31 Desember kepada Biro Perasuransian
bersamaan dengan penyampaian laporan perhitungan tingkat
solvabilitas triwulanan.
(2) Laporan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (i)
sekurang-kurangnya memuat
a. nama Bank Kustodian yang menatausahakan dana jaminan;
b. jenis dana jaminan;
c. nomor bilyet dan bank penerbit untuk deposito;
d. seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh negara;
e. nilai dana jaminan; dan
f. tanggal jatuh tempo.
(3) Bentuk dan susunan laporan perkembangan dana jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Pasal 37D
(i) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan bulanan dana
jaminan yang dimiliki oleh Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi kepada Biro Perasuransian paling lambat
tanggal 15 bulan berikutnya.
a. nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi
pemilik dana jaminan;
b. jenis dana jaminan;
d. seri dari surat berharga yang diterbitkan oleh negara;
e. nilai nominal dana jaminan; dan
End of Page 6
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONE
(3) Bentuk dan susunan laporan perkembangan dana jaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam
Peraturan Kelua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Pasal II
1. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
menyesuaikan penatausahaan dana jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37 paling lambat 2 (dua) bulan sejak
tanggal ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini.
2. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang telah
melakukan penatausahaan dana jaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (i) tetapi masih memiliki dana jaminan dalam bentuk
deposito atas nama Menteri Keuangan gg perusahaan yang
bersangkutan, wajib mengganti deposito dimaksud menjadi
deposito dan/atau surat utang atau surat berharga lain yang
diterbitkan oleh negara atas nama perusahaan yang bersangkutan
paling lambat tanggal 31 Desember 2009.
3. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib
menyesuaikan kepemilikan besamya dana jaminan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), terhitung sejak tanggal 1 Januari
2009.
4. Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Oktober 2008
SRIMULYANT INDRAWATI
Salinan sesuai dengan aslinya,
Kepala Biro Umum
d.b.
Kepala Bpgian T.U. Teortemen
Antonigs Sublrto (*
Antonids Subarto ( BIRO UMUM
NIP 020041/07
End of Page 7
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 424/KMK.06/2003 TENTANG KESEHATAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 28 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 28 Oktober 2008 </effective_date>
<changed_reg> '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </changed_reg>
<extension_of> '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005' </extension_of>
<related_reg> '73/PP/1992', '39/PP/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '135/PMK.05/2005|PER-MENKEU/2005', '2/UU/1992', '20/P|KEPPRES/2005' </related_reg>
|
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 36 /PMK.010/2008
TENTANG
BESAR SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB
DANA KECELAKAAN LALU LINTASJALAN
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk memenuhi kecukupan sosial (social adeguacu) dalam
pemberian perlindungan dasar kepada masyarakat yang menjadi
korban kecelakaan alat angkutan lalu-lintas jalan, perlu
meningkatkan besar santunan dengan mempertimbangkan
peningkatan kebutuhan hidup dan tingkat inflasi;
b. bahwa sehubungan dengan huruf a tersebut, perlu melakukan
penyesuaian terhadap ketentuan yang mengatur mengenai besai
santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di maksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan
tentang Besar Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan;
Mengjngat : 1. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2721);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-
ketentuan Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jala
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 29):
4. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1980 tentang Pengalihan
Bentuk Perusahaan Umum Asuransi Kerugian 'Jasa Raharja'
menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 62);
End of Page 1
MENTERI KEUANGAN
-2-
5. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3861);
6. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
7. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 337/KMK.011/1981 tentang
Penunjukan Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kerugian Jasa
Raharja untuk menyelenggarakan Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jjalan,
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BESAR
SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB DANA KECELAKAAN
LALU LINTASJALAN.
Pasal 1
(1) Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, yang
selanjutnya disebut SWDKLL), adalah sumbangan wajib
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun
1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan
Pelaksanaan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.
(2) SWDKLL) merupakan premi asuransi yang dibayarkan oleh para
pengusaha/ pemilik alat angkutan lalu lintas jalan kepada
perusahaan yang menyelenggarakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas
Jalan.
Pasal 2
(1) Korban kecelakaan alat angkutan lalu lintas jalan atau ahli warisnya
berhak atas santunan.
(2) Besar santunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
sebagai berikut
End of Page 2
MENTERI KEUANGAN
-3-
a. Ahli waris dari korban yang meninggal dunia berhak
memperoleh santunan sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah).
b. Korban yang mengalami cacat tetap berhak memperoleh
santunan yang besarnya dihitung berdasarkan angka prosentase
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan
Pemerintah Nomor 18 Tahun 1965 dari besar santunan meninggal
dunia sebagaimana dimaksud dalam huruf (a).
c. Korban yang memerlukan perawatan dan pengobatan berhak
memperoleh santunan berupa penggantian biaya perawatan dan
pengobatan dokter paling besar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah).
Pasal3
Dalam hal korban meninggal dunia akibat kecelakaan alat angkutan
lalu lintas jalan tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang
menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya
penguburan sebesar Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Pasal 4
(1) SWDKLL) dipungut dari para pengusaha/ pemilik alat angkutan lalu
Jintas jalan.
(2) Besar SWDKLL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan
sebagai berikut:
a. Sepeda motor di bawah 50 cc, mobil ambulance, mobil jenazah
dan mobil pemadam kebakaran dibebaskan dari kewajiban
membayar SWDKLL).
b. Traktor, buldozer, forklift, mobil derek, excavator, crane dan
sejenisnya sebesar Rp 20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).
Sepeda motor, sepeda kumbang dan scooter di atas 50 cc sampai
250 ce dan kendaraan bermotor roda tiga sebesar Rp 32.000,00
(tiga puluh dua ribu rupiah).
d. Sepeda motor di atas 250 co sebesar Rp 80.000,00 (delapan puluh
ribu rupiah).
e. Pick up/mobil barang sampai dengan 2400 co, sedan, jeep dan
mobil penumpang bukan angkutan umum sebesar Rp140.000,00
(seratus empat puluh ribu rupiah).
End of Page 3
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
f. Mobil penumpang angkutan umum sampai dengan 1600 ce
sebesar Rp70.000,00 (tujuh puluh ribu rupiah).
8. Bus dan mikro bus bukan angkutan umum sebesar Rp150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah).
h. Bus dan mikro bus angkutan umum, serta mobil penumpang
angkutan umum lainnya di atas 1600 cc sebesar Rp87.000,00
(delapan puluh tujuh ribu rupiah).
i. Truk, mobil tangki, mobil gandengan, mobil barang di atas 2400
cc, truk container dan sejenisnya sebesar Rp 160.000,00 (seratus
enam puluh ribu rupiah).
Pasal 5
Setiap jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan
biaya penggantian pembuatan Kartu Dana/Sertifikat sebesar
Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah).
Pasal 6
(1) Pelunasan SWDKLL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
dilakukan paling lambat pada tanggal jatuh tempo pengesahan
ulang setiap tahun atau pendaftaran/ perpanjangan ulang Surat
Tanda Nomor Kendaraan Bermotor sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal pembayaran SWDKLL) dilakukan setelah melewati batas
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dikenakan denda
sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah SWDKLL) yang
seharusnya dibayar dengan ketentuan denda yang dikenakan paling
besar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(3) Dalam hal ketentuan mengenai batas waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak dapat dipenuhi karena pertimbangan kondisi
geografis daerah setempat, Direksi perusahaan yang ditunjuk untuk
menyelenggarakan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan diberi
kewenangan untuk menetapkan batas waktu pelunasan dan
besarnya denda SWDKLL), dengan ketentuan batas waktu dimaksud
paling lama 15 (lima belas) hari kerja.
End of Page 4
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-5-
Pasal 7
Dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pembebasan terhadap Pajak
Kendaraan Bermotor yang tertunggak untuk tahun yang lewat, Direksi
perusahaan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan Dana Kecelakaan
Lalu Lintas Jalan dapat menetapkan kebijakan pembebasan pembayaran
SWDKLLI, Kartu Dana/Sertifikat, dan besar denda SWDKLL] yang
tertunggak untuk tahun yang lewat, dengan mempertimbangkan
kebijakan Pemerintah Daerah setempat.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 416/KMK.06/2001 tentang Penetapan
Santunan dan Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Februari 2008
MENTERI KEUANGAN
ttd
Salinan sesuai dengan aslinya
MULYANI INDRAWATI
End of Page 5
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 36/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008 </reg_id>
<reg_title> BESAR SANTUNAN DAN SUMBANGAN WAJIB DANA KECELAKAAN LALU LINTAS JALAN </reg_title>
<set_date> 26 Februari 2008 </set_date>
<effective_date> setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 26 Februari 2008 </effective_date>
<replaced_reg> '416/KMK.06/2001|KEP-MENKEU/2001' </replaced_reg>
<related_reg> '34/UU/1964', '2/UU/1992', '18/PP/1965', '39/PP/1980', '73/PP/1992', '63/PP/1999', '20/P|KEPPRES/2005', '337/KMK.011/1981|KEP-MENKEU/1981' </related_reg>
|
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 79 /PMK.010/2009
TENTANG
SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA
DAN TATA CARA PEN AGIHANNY A TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN PEN UN}ANG
USAHA ASURANSI
MENTERI KEUANGAN,
Menimbang
a. bahwa dalam rangka meningkatkan
pelaksanaan
pembayaran
ketertiban
dalam
denda yang telah dikenakan
kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi yang terlambat atau
tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan, laporan
auditor
danJatau
independen
laporan
atas laporan
operasional
keuangan
tahunan,
tahunan,
maka perlu
menyempurnakan ketentuan mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaks1;ld
dalam huru£ a,· perlu menetapkan
Peraturan
Menteri
Keuangan tentang Sanksi Administratif Berupa Denda dan
Tata Cara Penagihannya Terhadap Perusahaan
Asuransl,
Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Penunjang Usaha
Asuransi;
Mengingat
1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 ten tang Panitia
Urusan
Piutang
2. Undang-Undang
Negara (Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Tahun 1960 Nomer 156, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
Nomor 2 Tahun 1992 ten tang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan
Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 4-3, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3687);
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-2-
4. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembal'an Negara Republik Indonesia NomOI
4954);
5. Peraturan Pemerintah NomOI 22 Tahun 1997 tentarig Jenis
dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 57,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3694);
6. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia
Urusan Piutang Negara;
7. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK06/2003
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir d.enganPeraturan Menteri Keuangan Nomor
158/ PMKOI0/2008;
10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.06/2003
tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha
Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi;
11. Peraturan Menteri Keuangan NomOI 122/PMK.06/2007
tentang Keanggotaan dan Tata Kerja Panitia Urusan Piutang
Negara;
12. Peraturan Menteri Keuangan NomoI' 128/KMK06/2007
tentang Pengurusan Piutang NegaI'a;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SANKSI
ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA
PENAGIHANNYA TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI,
PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN
PENUNJANG USAHA ASURANSI.
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Denda adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan kepada
Negara sebagai sanksi atas pelanggaran terhadap Und,ang-
Undang Nomor 2·Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
dan/ atau peraturan pelaksanaannya.
2. Bunga adalah sejumlah uang yang timbul sebagai akibat
tidak dipenuhinya kewajiban pembayaran denda dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.
3. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, atau Perusahaaan Penunjang Usaha Asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 1992 sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008,yang wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan,
laporan auditor independen atas laporan keuangan tahunan,
dan/ atau laporan operasional tahunan.
4. Laporan adalah laporan keuangan tahunan, laporan auditor
independen atas laporan keuangan tahunan, dan/ atau
laporan operasional tahunan yang wajib disampaikan oleh
Perusahaan kepada Menteri Keuangan sesuai peraturan
perundang-undangan di bidangperasuransian.
5. Piutang Negara adalah sejumlah uang yang wajib
dibayarkan kepada Negara atau badan-badan yang secara
langsung ataupun tidak langsung ·dikuasai oleh Negara,
berdasarkan suatu perjanjian, peraturan, atau sebab apapun.
6. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
PENGENAAN SANKSIADMINISTRATIF
BERUPA DENDA
Pasal 2
(1) Perusahaan wajib menyampaikan Laporan kepada Menteri.
(2) Perusahaan yang terlambat atau tidak menyampaikan
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam
Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan
Usaha
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-4-
Perasuransian sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun
2008.
(3) Batas akhir penyampaian Laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)adalah tanggal30 April puku117.00 WIB.
(4) Dalam hal tanggal 30 April adalah hari libur,maka batas
akhir penyampaian Laporan adalah hari kerja pertama
setelah tanggal30 April puku117.00 WIB.
Pasal 3
Perhitungan jumlah sanksi administratif berupa denda dimulai
sejak hari pertama setelah batas akhir masa penyampaian
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat
(4), sampai dengan tanggal diterimanya Laporan tersebut oleh
Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
Pasal 4
Surat pengenaan sanksi adminish"atif berupa denda ditetapkan
oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan atas nama Menteri setelah:
a. Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
diterima oleh Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan; atau
b. jumlah denda telah mencapai nilai maksimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 73 tahun 1992 sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81
Tahun 2008.
Pasal 5
(1) Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan memiliki
kewajiban untuk membayar denda atas keterlambatan
penyampaian Laporan atau tidak menyampaikan Laporan,
tetap diwajibkan untuk membayar denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal2 ayat (2).
(2) Bagi Perusahaan yang dicabut izin usahanya dan tidak
menyampaikan Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penghitungan jumlah hari keterlambatan dihitung
setelah batas akhir kewajiban penyampaian Laporan sampai
dengan 1 (satu) hari sebelum tanggal pencabutan izin usaha.
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
BAB III
TATA CARA PEMBAYARANDAN
PENAGIHAN DENDA
Pasal 6
(1) Sanksi administratif berupa denda wajib dibayarkan ke Kas
Negara dengan menggunakan formulir Surat Setoran Bukan
Pajak (SSBP) dengan kode Mata Anggaran Penerimaan
(MAP) sebagaimana disebutkan dalam surat penetapan
sanksinya.
(2) Fotocopy SSBP yang merupakan bukti pembayaran sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Sekretaris Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Bagian
Keuangan dengan tembusan
kepada
Perasuransian Badan Pengawas PasarModal dan Lembaga
Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal
pembayaran denda dimaksud ..
Pasal 7
(1) Pembayaran sanksi administratif berupa denda. dilakukan
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan sanksi
administratif berupa denda ditetapkan.
(2) Apabila sanksi administratif berupa denda belum dilunasi
dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan pada ayat (I),
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan menetapkan surat teguran pertama kepada
Perusahaan untuk segera melunasi sanksi administratif
berupa denda beserta bunganya sebesar 2% (dua perseratus)
per bulan paling lama 14 (empat belas) hari sejak
ditetapkannya surat teguran pertama tersebut.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
surat teguran pertama, sanksi administratif berupa denda
beserta bunganya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak
dilunasi, Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan menetapkan surat teguran kedua dengan jangka
waktu pelunasan paling lama 14 (empat belas) hari sejak
ditetapkannya surat teguran kedua tersebut.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
surat teguran kedua, sanksi administratif berupa denda
beserta bunganya tidak dilunasi, maka sanksi administratif
berupa denda beserta bunganya tersebut dikategorikan
sebagai piutang macet.
Kepala Biro
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
(5) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
pengurusannya dilimpahkan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan kepada Panitia Drusan
Piutang NegarajDirektorat
Jenderal Kekayaan Negara
paling lama 14 (empat belas) hari sejak sanksi administratif
berupa denda dikategorikan sebagai piutang macet.
Pasal 8
Dalam hal Perusahaan belum membayar sanksi administratif
berupa denda, maka sanksi administratif berupa denda tersebut
dinyatakan sebagai utang Perusahaan kepada Negara dan harus
dicantumkan dalam laporan keuangan Perusahaan yang
bersangku tan.
Pasal 9
Terhadap Perusahaan yang telah dikenakan sanksi administratif
berupa denda dan sebelum berakhirnya jangka. waktu
..
kewajiban pembayaran sanksi .administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 izin usaha Perusahaan
dicabut, makaketentuan
mengenai tata cara penagihan
pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tetap
berlaku.
Pasal 10
(1) Dalam hal Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan menetapkan sanksi administratif berupa denda
disertai dengan pencabutan izin us~ha Perusahaan, maka
pembayaran sanksi administratif berupa denda dilakukan
sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Peraturan
Menteri Keuangan ini.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sanksi administratif berupa denda belum dilunasi,
maka sanksi administratif berupa denda dimaksud
dikategorikan sebagai piutang macet.
(3) Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dilimpahkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan kepada Panitia Drusan Piutang
NegarajDirektorat Jenderal Kekayaan Negara paling lama 14
(empat belas) hari sejak sanksi administratif berupa denda
dikategorikan sebagai piutang macet.
MENTERIKEUANGAN
REPUBUK INDONESIA
-7-
Pasal 11
PeI'atuI'an Menteri Keuangan ini berlaku untuk penyampaian
Laporan yang berakhir per tanggal 31 Desember 2008 dan
.seterusnya.
Pasal 12
Dalam hal Perusahaan dikenakan 'sanksi Pembatasan Kegiatan
Usaha karena tidak menyampaikan LapoI'an, maka pencabutan
sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha hanya dapat dilakukan
apabila Laporan telah disampaikan kepada Menteri dan
fotocopy SSBP telah disampaikan kepada SekretarisBadan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala
Bagian Keuangan dengan tembusan kepada Kepala Biro
Perasuransian Badan' Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13
Terhadap Piutang Negara yang timbul dari pengenaan sanksi
administrasi berupa denda pada Perusahaan yang sudah ada
sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan ini, akan
dilakukan tindakan sebagai berikut:
a. Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan
sejak ditetapkannya PeI'atuI'an Menteri Keuangan ini, akan
mengeluarkan surat pemberitahuan
tersebut.
kepada Perusahaan
surat pemberitahuan
pemberitahuan
untuk dapat segera melunasi denda paling lama 14 (empat
belas) hari sejak ditetapkannya
b. Apabila denda belum, dilunasi dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam surat
sebagaimana dimaksud pada huruf a, maka sanksi
administratif berupa denda tersebut dikategorikan sebagai
piutang macet yang pengurusannya dilimpahkan atau
diseI'ahkan oleh Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan kepada Panitia Urusan Piutang NegaI'aj
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara.
MENTERIKEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
-8-
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Dengan ditetapkannya
Keuangan
Peraturan
Nomor
Menteri Keuangan
422/KMK.06/2003
ini,
ketentuan mengenai pembayaran sanksi administratif berupa
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Keputusan
Menteri
tentang
Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 15
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar
setiap
pengundangan
orang
Peraturan
mengetahuinya,
Menteri Keuangan
memerintahkan
ini dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 April 2009
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
SRI MULYANI INDRA WATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 22 April 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
ANDIMATTALATIA
72
2009
..
| <reg_type> PER-MEN </reg_type>
<reg_id> 79/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009 </reg_id>
<reg_title> SANKSI ADMINISTRATIF BERUPA DENDA DAN TATA CARA PENAGIHANNYA TERHADAP PERUSAHAAN ASURANSI, PERUSAHAAN REASURANSI, ATAU PERUSAHAAN PENUNJANG USAHA ASURANSI </reg_title>
<set_date> 22 April 2009 </set_date>
<effective_date> 22 April 2009 </effective_date>
<issued_date> 22 April 2009 </issued_date>
<replaced_reg> '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '49/PERPPU/1960', '2/UU/1992', '20/UU/1997', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '22/PP/1997', '89/PERPRES/2006', '20/P|KEPPRES/2005', '422/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '425/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '122/PMK.06/2007|PER-MENKEU/2007', '128/KMK.06/2007|KEP-MENKEU/2007' </related_reg>
<penalty_list> '79/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009' </penalty_list>
|
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999
TENTANG BANK INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a.
bahwa sehubungan dengan telah terjadi krisis
ekonomi secara global yang mempengaruhi stabilitas
sistem keuangan, diperlukan upaya untuk menjaga
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan;
b.
bahwa dalam rangka menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan dipandang perlu
untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang
mengatur mengenai kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia
kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek bank;
c.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia;
Mengingat
: 1. Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang …
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4357);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-
UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG
BANK INDONESIA.
Pasal I
Ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4357) diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 11 ...
- 3 -
Pasal 11
(1) Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk
jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari
kepada Bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek Bank yang bersangkutan.
(2) Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), wajib dijamin oleh Bank penerima
dengan agunan yang berkualitas tinggi yang nilainya
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang
diterimanya.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan
Bank Indonesia.
(4) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan keuangan
yang berdampak sistemik dan berpotensi
mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem
keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas
pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi
beban Pemerintah.
(5) Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan
mengenai kesulitan keuangan Bank yang berdampak
sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-
undang tersendiri.
Pasal II
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini
mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
- 4 -
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan
pengudangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Oktober 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 142
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Perekonomian dan Industri,
SETIO SAPTO NUGROHO
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH
PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999
TENTANG BANK INDONESIA
I. UMUM
Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini di Amerika Serikat yang merupakan
terbesar sejak krisis 1929 telah memaksa pemerintah Amerika Serikat
memberikan dana talangan atau bantuan likuiditas kepada industri
keuangan yang bermasalah sebesar USD700 miliar. Krisis keuangan ini
dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime mortgage) yang
dilakukan kurang hati-hati.
Dampak krisis keuangan ini berimbas pada berbagai negara termasuk
Indonesia, karena sistem keuangan global saling interdependensi.
Pemerintah Indonesia sudah, tengah, dan akan terus melakukan berbagai
langkah antisipatif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam
membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas
sistem keuangan tetap terpelihara.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka untuk memenuhi kebutuhan yang
sangat mendesak dan hal ihwal kegentingan yang memaksa perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Pasal 11
Ayat (1)
Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
kepada Bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan
untuk mengatasi kesulitan Bank karena adanya ketidaksesuaian
antara arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan
arus dana keluar.
Yang . . .
- 2 -
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kalender. Jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari yang dimaksud pada ayat ini
merupakan jangka waktu maksimum yang dimungkinkan
termasuk perpanjangannya.
Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak
dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya
berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah Bank yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
misalnya secara nyata berdasarkan informasi yang diperoleh Bank
Indonesia bahwa Bank yang bersangkutan mengalami kesulitan
likuiditas jangka pendek, memiliki agunan yang cukup dan apabila
diperlukan, akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap
kondisi Bank tersebut.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “agunan yang berkualitas tinggi” meliputi
surat berharga dan/atau tagihan yang diterbitkan oleh Pemerintah
atau badan hukum lain yang mempunyai peringkat tinggi
berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten
dan sewaktu-waktu dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk
dijadikan uang tunai dan aset kredit kolektibilitas lancar.
Yang dimaksud dengan “pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah”
misalnya bagi hasil atau risiko yang ditanggung bersama secara
proporsional.
Ayat (3)
Pokok-pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan
Bank Indonesia memuat antara lain:
a. persyaratan dan tata cara pemberian kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk didalamnya persyaratan
Bank penerima. Dalam rangka meneliti pemenuhan kesehatan
Bank tersebut, Bank Indonesia melakukan pemeriksaan Bank
calon penerima kredit atau pembiayaan;
b. jangka waktu, tingkat suku bunga atau nisbah bagi hasil dan
biaya lainnya;
c. jenis agunan berupa surat berharga dan/atau tagihan yang
mempunyai peringkat tinggi; dan
d. tata cara pengikatan agunan.
Ayat (4) …
- 3 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal II
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4901
| <reg_type> PERPPU </reg_type>
<reg_id> 2/PERPPU/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1999 TENTANG BANK INDONESIA </reg_title>
<set_date> 13 Oktober 2008 </set_date>
<effective_date> 13 Oktober 2008 </effective_date>
<issued_date> 13 Oktober 2008 </issued_date>
<changed_reg> '23/UU/1999' </changed_reg>
<extension_of> '3/UU/2004' </extension_of>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 22 ayat (1)', '3/UU/2004', '7/UU/1992', '23/UU/1999', '10/UU/1998' </related_reg>
|
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2009
TENTANG
LEMBAGA PEMBIAYAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka upaya meningkatkan peran Lembaga
Pembiayaan dalam proses pembangunan nasional, perlu
didukung oleh ketentuan mengenai Lembaga Pembiayaan yang
memadai;
b. bahwa untuk dapat meningkatkan peran sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988
tentang Lembaga Pembiayaan perlu disempurnakan dengan
mengganti Keputusan Presiden dimaksud dengan Peraturan
Presiden yang baru;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Lembaga Pembiayaan;
Menimbang : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor
23);
3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116,
Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 3502);
4. Undang-Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG LEMBAGA
PEMBIAYAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang
modal.
2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang khusus
didirikan untuk melakukan Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Pembiayaan Konsumen, dan/atau usaha Kartu Kredit.
3. Perusahaan Modal Ventura (Venture Capital Company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan/penyertaan
modal ke dalam suatu Perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan (investee Company) untuk jangka waktu tertentu
dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian
obligasi konversi, dan/atau pembiayaan berdasarkan pembagian
atas hasil usaha.
4. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang
didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana pada proyek infrastruktur.
5. Sewa ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
5. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan barang modal baik secara Sewa Guna Usaha
dengan hak opsi (Finance Lease) maupun Sewa Guna Usaha
tanpa hak opsi (Operating Lease) untuk digunakan oleh Penyewa
Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran.
6. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pembiayaan dalam
bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu
Perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut.
7. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan
konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
8. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah kegiatan pembiayaan
untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan
kartu kredit.
9. Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) adalah surat pernyataan
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar sejumlah uang
tertentu kepada pihak yang tercantum dalam surat tersebut atau
kepada penggantinya.
10. Menteri adalah Menteri Keuangan.
BAB II
JENIS, KEGIATAN USAHA, DAN PENDIRIAN LEMBAGA PEMBIAYAAN
Pasal 2
Lembaga Pembiayaan meliputi:
a. Perusahaan Pembiayaan;
b. Perusahaan Modal Ventura; dan
c. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur.
Pasal 3 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
Pasal 3
Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan meliputi:
a. Sewa Guna Usaha;
b. Anjak Piutang;
c. Usaha Kartu Kredit; dan/atau
d. Pembiayaan Konsumen.
Pasal 4
Kegiatan usaha Perusahaan Modal Ventura meliputi:
a. Penyertaan saham (equity participation);
b. Penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity
participation); dan/atau
c. Pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/
revenue sharing).
Pasal 5
(1) Kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi:
a. Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk
Pembiayaan Infrastruktur;
b. Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain;
dan/atau
c. Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang
berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur;
(2) Untuk mendukung kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula
melakukan:
a. Pemberian ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
a. Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk
penjaminan untuk Pembiayaan Infrastruktur;
b. Pemberian jasa konsultasi (advisory services);
c. Penyertaan modal (equity investment);
d. Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan
Pembiayaan Infrastruktur; dan/atau
e. Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan
Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan
dari Menteri.
Pasal 6
Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
Pasal 7
(1) Saham Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang berbentuk Perseroan
Terbatas dapat dimiliki oleh :
a. Warga Negara Indonesia dan/atau Badan Hukum Indonesia;
b. Badan Usaha Asing dan Warga Negara Indonesia atau Badan
Hukum Indonesia (usaha patungan).
(2) Pemilikan saham oleh Badan Usaha Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b ditentukan paling besar 85% (delapan
puluh lima per seratus) dari Modal Disetor.
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan, tata cara pendirian
perusahaan dan pelaksanaan kegiatan usaha diatur oleh Menteri.
BAB III …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
BAB III
PEMBATASAN
Pasal 9
Lembaga Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilarang
menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk:
a. Giro;
b. Deposito;
c. Tabungan.
Pasal 10
(1) Lembaga Pembiayaan dapat menerbitkan Surat Sanggup Bayar
(Promissory Note) dengan memenuhi prinsip kehati-hatian
(prudential principles).
(2) Penerbitan Surat Sanggup Bayar (Promissory Note) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 11
Menteri melakukan pengawasan dan pembinaan atas Lembaga
Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
BAB V ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 12
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini, Perusahaan Pembiayaan
dan Perusahaan Modal Ventura yang telah memperoleh izin usaha
dari Menteri tetap dapat melanjutkan kegiatannya dengan melakukan
penyesuaian terhadap Peraturan Presiden ini paling lambat 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Presiden ini ditetapkan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden ini:
a. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988
Nomor 53) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
b. Semua peraturan perundangan-undangan yang merupakan
peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
1988 tentang Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 53) dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
Peraturan Presiden ini.
Pasal 14 ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
Pasal 14
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Maret 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum,
Dr. M. Iman Santoso
| <reg_type> PERPRES </reg_type>
<reg_id> 9/PERPRES/2009 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 18 Maret 2009 </set_date>
<effective_date> 18 Maret 2009 </effective_date>
<replaced_reg> '61/KEPPRES/1988' </replaced_reg>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '40/UU/2007', '25/UU/1992', '23/STBLD/1847' </related_reg>
|
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2008
TENTANG
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19'TAHUN 2005 TENTANG
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menunjang tersedianya dana pembangunan
perumahan yang lebih efektif dan efisien melalui pembiayaan
sekunder perumahan, perlu didukung oleh ketentuan mengenai
pembiayaan sekunder perumahan yang nemadai;
b. bahwa Peraturant Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan, perlu disesuaikan dengan
kebutuhan pembiayaan perumahan dan perkembangan skim
pembiayaan sekunder perumahan,
c. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a dan
huruf b, perlu menclapkan Peraturan Presiden tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Pembiayaan Sekunder Perumahan;
Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Kitab...
End of Page 1
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerljk Wetbock,
Staatsblad 1847 Nomor 23);
3. Undang-Undang Nomot 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
(lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (tembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4297);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan
Perseroan (PERSERO) (lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3731) sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4101);
8. Peraturan ....
End of Page 2
REPUBLIK INDONESIA
. Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 tentang Pembiayaan
Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4479);
MEMUTUSKAN:
Menetapkant : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN
PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN
SEKUNDER PERUMAHAN.
Pasall
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005
tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4479) diubah scbagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 1 dihapus dan diantara angka 5 dan angka
6 disisipkan 1 (satu) angka baru yaitu angka 5a serta mengubah
angka 13, angka 15, dan angka 18, sehingga keseluruhan Pasal 1
menjadi berbunyi sebagai berikut:
4Pasal 1
1. Dihapus.
2. Aset Keuangan adalah piutang yang diperoleh dari penerbitan
KPR, termasuk hak agunan yang melekat padanya.
3. Bank..
End of Page 3
REPUBLIK INDONESIA
3. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Perbankan.
4. Dokumen Transaksi adalah seluruh dokumen yang dibuat oleh
para pihak dalam transaksi Sekuritisasi.
5. Efek Beragun Aset adalah surat berharga yang dapat berupa
Surat Utang atau Surat Partisipasi yang diterbitkan oleh Penerbit
yang pembayarannya terutama bersumber dari Kumpulan
Piutang.
5a. Pendukung Kredit (Credit Enhancer) adalah pihak yang
memberikan fasilitas untuk meningkatkan kualitas dan nilai Aset
Keuangan dan/ataut surat berharga dalam transaksi Sekuritisasi
maupun untuk pemberian fasilitas pinjaman.
6. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) adalah fasilitas kredit yang
diterbitkan oleh Kreditor Asal untuk membeli rumah siap huni.
7. Kreditor Asal adalah setiap Bank atau lembaga keuangan yang
mempunyai Aset Keuangan.
8. Kumpulan Piutang adalah keseluruhan Aset Keuiangan yang
dibeli oleh Penerbit dari Kreditor Asal.
9. Kustodian adalah lembaga sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Pasar Modal.
10. Menteri adalah Menteri Keuangan.
kegiatan penyaluran dana jangka menengah dan/atau panjang
kepada Kreditor Asal dengan melakukan Sekuritisasi.
12. Pemodal adalah orang atau badan pemegang Efek Beragun Aset.
13. Penerbit ..
End of Page 4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
13. Penerbit adalah pihak yang melakukan penerbitan efek beragun
aset dalam rangka sckuritisasi.
14. Sekuritisasi adalah transformasi aset yang tidak liquid menjadi
liquid dengan cara pembelian Aset Keuangan dari Kreditor Asal
dan penerbitan Efek Beragun Aset.
15. Special Purpose Vehicle (SPV) adalah peiseroan terbatas yang
ditunjuk oleh lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk
membeli Aset Keuangan dan menerbitkan Efek Beragun Aset.
16. Surat Partisipasi adalah bukti pemilikan secara proporsional atas
Kumpulan Piutang yang dimiliki bersama oleh sejumlah Pemodal
yang diterbitkan oleh Penerbit.
17. Surat Utang adalah bukti utang yang dikeluarkan oleh Penerbit
yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh
pembayaran sebagai Pemodal.
18. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan Pemodal
dalam transaksi sekuritisasi dan terdaftar di Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan/
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (4) diubah, Sehingga
keseluruhan Pasal 4 menjadi berbunyi scbagai berikut:
4Pasal 4
(1) Pembiayaan Sekunder Perumahan dilakukan dengan cara
pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan
penerbitan Efek Beragun Aset.
(2) Efek...
End of Page 5
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
-6-
(2) Efek Beragun Aset dapat berbentuk Surat Utang atau Surat
Partisipasi.
(3) Efek Beragun Aset -harus diperingkat oleh lembaga
pemeringkat.
(4) Surat Utang atau Surat Partisipasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterbitkan atas unjuk (aan toonder) dan/atau atas
nama (aan order).
3. Ketentuan Pasal G ayat (1) dan ayat (2) diubah serta ayat (3)
dihapus, sehingga keseluruhan Pasal G menjadi berbunyi sebagai
berikut:
*Pasal 6
(1) Dalam hal Efek Beragur Aset berbentuk Surat Utang, SPV
membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dan
menerbitkan Suarat Utang.
(2) Dalam hal Bfek Beragun Aset berbentuk Surat Partisipasi,
Jembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau
Wali Amanat membeli kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor
Asal dan menerbitkan Surat Partisipasi.
(3) Dihapus.
4. Diantara ...
End of Page 6
REPUBLIK INDONESIA
4. Diantara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu
Pasal GA, yang berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 6A
Dalam rangka melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), SPV hanya dapat melakukan satu transaksi
sekuritisasir
5. Ketentuan Pasal & diubah, schingga kescluruhan Pasal 8 menjadi
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
Pembelian kumpulan Aset Keuangan scbagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) hanya dapat dilakukan atas Aset Ketiangan yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan olch lembaga keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.7
6. Ketentuan Pasal 9 dihapus.
7. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu
Pasal 9A, yang berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 9A
Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
melakukan pembelian Efek Beragun Aset/
8. Ketentuan ...
End of Page 7
PRESIDEN
8. Ketentuart Pasal 10 ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 10
menjadi berbunyi scbagai berikut:
*Pasal 10
(1) Pembayaran atas Efek Beragun Aset kepada Penodal terutama
bersumber dari arus kas yang diperoleh dari Kumpulan Piutang.
(2) Dalam hal arus kas scbagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
mencukupi, pembayaran kekurangannya bersumber dari
Pendukung Kredit.
(3) Pembayaran atas Efek Beragun Aset sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan oleh Wali Amanat, Kustodian
atau pihak lain yang ditunjuk oleh para pihak dalam Dokumen
Transaksip
9. Ketentuan Pasal 11 dihapus.
10. Ketentuan Pasal 12 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 12 menjadi
berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 12
(1) Pihak-pihak dalam Sekuritisasi antara lain Kreditor Asal,
Pencrbit, Pemodal, penata sekuritisasi, Wali Amanat, Kustodian,
Pendukung Kredit, dan pemberijasa.
(2) Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
bertindak sebagai. koordinator global, penjamin, penata
sekuritisasi, dan/atau Pendukung Kredit dalam transaksi
Sekuritisasi7
11. Di antara ...
End of Page 8
PRESIDEN
- 9 -
11. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal baru yaitu
Pasal 12A, yang berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 12A
Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat
menunjuk penata sekuritisasi untuk mengatur dan menyiapkan
proses Sekuritisasir
12. Ketentuan dalam Pasal 14 ditambah 1 (satu) huruf yaitu huruf d,
Sehingga keseluruhan Pasal 14 menjadi berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 14
Lembaga keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib
menyampaikan laporan kepada Menteri, berupa:
a. laporan keuangan triwulanan;
b. Laporan kegiatan uasaha semesteran;
c. Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit Akuntan Publik;
d. Laporan dan/atau hal-hal lain yang diperlukan.
13. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 18 menjadi
berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 18
(1) Dalam rangka melaksanakan Pembiayaan Sekunder Perumahan,
perusahaan dapat melakukan penyertaan langsung.
2) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) hanya dapat
dilakukan pada perusahaan yang kegiatan usahanya terkait
langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar
pembiayaan sekunder perumahan.
(3) Penyertaan ..
End of Page 9
PRESIDEN
- 10 -
(S) Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari pemegang saham.
(4) Perusahaan dilarang melakukan pembelian saham melalui pasar
modal/ *%
modal_
14. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 19 menjadi
berbunyi sebagai berikut:
*Pasal 19
Perusahaan dapat menempatkan dana dalam bentuk Surat Utang
Negara, Sertifikat Bank Indonesia, Deposito, dan/ataut instrumen
keuiangan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.p
15. Ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diubah serta ayat
(2) dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 20 menjadi berbunyi sebagai
berikut:
4Pasal 20
(1) Dalam zangka membangun dan mengembangkan pasar sekunder
perumahan, perusahaan dapat memberikan fasilitas pinjaman
kepada Bank dan/atau lembaga keuangan untuk disalurkan
sebagai KPR dengan tata cara dan persyaratan yang ditetapkan
perusahaan.
(2) Dihapus
(3) Pemberian fasilitas pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal
ditetapkannya Peraturan Presiden ini.
(4) Jangka waktu penyaluran fasilitas pinjaman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) tahun/
Pasal II.
End of Page 10
REPUBLIK INDONESIA
- 11 -
Pasal II
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
tid
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDIIOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deptrti Sekretaris Kabinet
End of Page 11
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2008
TENTANG'
PERUBAHAN ATAS
PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG
PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN
UMUM
Sejalan dengan program Pemerintah untuk meningkatkan kegiatan pembangunan di
bidang perumahan sebagai salah satu upaya penyediaan perumahan yang layak dan
terjangkau oleh masyarakat, perlu diupayakan tersedianya dana yang memadai melalui
pembiayaan sekunder perumahan. Untuk melakukan kegiatan pembiayaan dimaksud,
Pemerintah telah mendirikan perusahaan pembiayaan sekunder perumahan.
Perusahaan pembiayaan sekunder perumahan mempunyai tugas untuk membangun
dan mengembangkan pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui sekuritisasi,
penyaluran pinjaman kepada bank dan/atau lembaga keuangan. Selain itu, perusahaan
dapat juga melakukan penyertaan langsung pada perusahaan yang kegiatan uisahanya
terkait langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar pembiayaan
sekunder perumahan, dan berfungsi sebagai mortgage guarantor serta dapat
melakukan pembelian efek yang berkaitan dengan mortgage dalam rangka
menggerakkan pasar (market maker).
Untuk membangun pasar pembiayaan sekunder perumahan melalui sekuritisasi,
Perusahaan membeli kumpulan aset keuangan dari bank dan/atau lembaga keuangan
dan selanjutnya menjual kepada investor, baik melalui penawaran umum maupun
penawaran terbatas (private placement. Selain itu, dalam transaksi sekuritisasi,
perusahaan dapat bertindak sebagai koordinator global, penjamin, penata sekuritisasi,
dan/atau Pendukung Kredit. Selanjutnya, mengenai penyaluran pinjaman kepada bank
dan/atau lembaga keuangan dimaksudkan untuk memperbanyak volume KPR yang
disalurkan oleh bank dan/atau lembaga keuangan dimaksud.
Sumber ...
End of Page 12
PRESIDEN
Sumber pembiayaan sekunder perumahan di samping berasal dari modal sendiri, juga
diperoleh dari penerbitan Bfek Beragun Aset dalam bentuk Surat Utang dan Surat
Partisipasi. Dalam rangka penerbitan Surat Utang, Special Purpose Velicle (SPV)
bertindak sebagai penerbit. Sedangkan dalam rahgka penerbitan Surat Partisipasi yang
bertindak sebagai penerbit adalah Perusahaan atau Wali Amanat.
Berkenaan dengan belum siapnya pasar primer perumahan, sehingga belum terdapat
kumpulan aset KPR yang eligible untuk dilakukan sekuritisasi, maka Perusahaan dapat
memberikan pinjaman kepada bank atau lembaga keuangan untuk menerbitkan KPR
dengan persyaratan menggunakan standardisasi dokumen yang ditetapkan oleh
Perusahaan. Terkait dengan hal tersebut, maka jangka waktu pemberian pinjaman
disesuaikan dengan rata-rata jangka waktu KPR. Dengan demikian, perlu dilakukan
perubahan jangka waktu pemberian pinjaman oleh Perusahaan.
Dengan dilakukannya perubahan terhadap beberapa substansi tersebut, dihamapkan
Perusahaan dapat menjalankan fungsinya sebagai pembangun dan pengembang pasar
pembiayaan sekunder perumahan.
PASAL DEMI PASAL
Pasall
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Pembelian kumpulan Aset Keuangan dari Kreditor Asal dimaksudkan
untuk mengalihkan hak milik Kreditor Asal atas kumpulan Aset
sesuai dengan ketentuan Pasal.584..Kitak LIndans-lladang Hukum
sesuai dengan ketentuan Pasal.584..Kitak LIndans-lladang Hukum
Perdata (KUHPer) yang mengatur cara diperolehnya hak milik,
dimana ...
End of Page 13
PRESIDEN
dimana salah satunya adalah adanya penyerahan (evering) benda
tersebut berdasarkan peristiwa perdata pemindahan hak milik.
Dalam kaitannya dengan Sekuritisasi, benda yang akan dipindahkan
adalah hak tagih atau piutang sehingga untuk penyerahan piutang
dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal G13 ayat (1) KUHPer dengan
membuat suatu perjanjian penyerahan yang dikenal sebagai cessic,
Sedangkan peristiwa perdatanya berupa perjanjian jual beli. Dengan
demikian, kepastian hukum pemindahan hak milik atas kumpulan
Aset Keuangan dari Kreditor Asal kepada pembeli telah terjadi
dengan adanya perjanjian jual beli dan perjanjian penyerahan
(cessie. Perjanjian jual beli dan perjanjian penyerahan (cessie)
dapat digabungkan dalam satu perjanjian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukupjelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 6
Ayat (1)
Dalam transaksi ini kepemilikan Kumpulan Piutang tersebut
berpindah kepada Penerbit (SPV).
Ayat (2) ..
End of Page 14
PRESIDEN
Ayat (2)
Dalam transaksi ini yang menjadi pemilik akhir dari Kumpulan
Piutang tersebut adalah Pemodal secara bersama-sama. Lembaga
keuangan sebagaimana dimaksud dalan Pasal 3 atau Wali Amanat
hanya menjadi perantara saja dalam rangka mentransformasi
kumpulan piutang menjadi surat berharga (Efek Beragun Aset yang
berbentuk Surat Partisipasi).
Angka 4
Pasal 6A
SPV merupakan perseroan terbatas yang khusus didirikan untuk
mendukung satu transaksi sekuritisasi. SPV tidak bersifat permanen
namun hanya sementara waktu sampai berakhirnya fungsi dan tugas SPV
dalam transaksi sekuritisasi tersebut.
Angka 5
Pasal 8
Persyaratan Aset Keuangan yang dapat dibeli dalam transaksi sekuritisasi
sekurang-kurangnya memenuhi standardisasi dokumen KPR yang antara
lain meliputi standardisasi desain, pedoman analisa risiko, dan pedoman
penilaian real estat.
Angka 6
Pasal 9
Cukup jelas
Angka 7..
End of Page 15
REPUBLIK INDONESIA
Angka 7
Pasal 9A
Lembaga keuangan sebagaimang dimaksud dalam Pasal 3 dapat
melakukan pembelian Efek Beragun Aset yang terkait dengan KPR
(mortgage relafed securities), sehingga dalam hal ini lembaga keuangan
tersebut bertindak sebagai pengserak pasar (market maken.
Angka 8
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 9
Pasal 11
Cukup jelas
Angka 10
Pasal 12
End of Page 16
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
Ayat (1)
Penata sekuritisasi adalah pihak yang menyiapkan dan mengatur
seluruh transaksi Sekuritisasi.
Yang menjadi Pendukung Kredit adalah Kreditor Asal atau pihak lain
seperti perusahaan asuransi, bank dan perusahaan efek.
Pemberi jasa adalah pihak yang ditunjuk oleh Wali Amanat untuk
mengurus Aset Keuangan. Pemberijasa bertugas, antara lain
a. mengatur, memproses, memantau, dan menagih Aset Keuangan;
b. meneruskan hasil tagihan sebagaimana dimaksud pada huruf a
kepada Wali Amanat atau Kustodian;
c. melaksanakan eksekusi agunan yang melekat pada Aset
Keuangan; dan
d. melaksanakan hal-hal lain sebagaimana dimuat dalam Dokumen
Transaksi.
Dalam hal pemberi jasa tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka
tugas-tugas tersebut dilakukan oleh pemberi jasa cadangan yang
ditunjuk oleh Penerbit atau Wali Amanat yang penunjukannya
ditentukan dalam Dokumen Transaksi.
Ayat (2)
Koordinator global adalah pihak yang bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan secara keseluruhan proses transaksi, termasuk
melakukan penunjukan para pihak yang terlibat dalam transaksi
sekuritisasi, mengkoordinir dan menjadi penghubung dengan
instansi dan lembaga pemerintah terkait, serta bertanggung jawab
terhadap kinerja pihak-pihak penunjang transaksi sekuritisasi KPR.
Penjamin ..
End of Page 17
PRESIDEN
Penjamin adalah pihak yang menjamin pembayaran efek beragun
aset sesuai Dokumen Transaksi, -
Angka 11
Pasal 12A
Cukup jelas
Angka 12
Pasal 14
Cukupjelas
Angka 13
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud perusahaan yang kegiatan usahanya terkait
langsung dengan pembangunan dan pengembangan pasar
pembiayaan sekunder perumahan, misalnya perusahaan yang
mempunyai fungsi di bidang mortgage insurance.
Ayat (S)
Cukupjelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Angka 14..
End of Page 18
PRESIDEN
Angka 14
Pasal 19
Penempatan dana dalam Pasal ini dimaksudkan dalam rangka manajemen
Jikuiditas pada instrumen keuangan yang aman.
Angka 15
Pasal 20
Ayat (1)
Pemberian fasilitas pinjaman kepada Bank dan/atau lembaga
keuangan harus dipergunakan untuk penyaluran KPR termasuk
untuk rumah yang dalam proses pembangunan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukupjelas
Pasal II
Cukupjelas
End of Page 19
| <reg_type> PERPRES </reg_type>
<reg_id> 1/PERPRES/2008 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2005 TENTANG PEMBIAYAAN SEKUNDER PERUMAHAN </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2008 </set_date>
<effective_date> 26 Januari 2008 </effective_date>
<changed_reg> '19/PERPRES/2005' </changed_reg>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '8/UU/1995', '19/UU/2003', '40/UU/2007', '12/PP/1998', '45/PP/2001', '19/PERPRES/2005', '23/STBLD/1847' </related_reg>
|
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
LEMBAGA PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa usaha penjaminan yang
Penjaminan selama ini
belum cukup diatur
dilakukan oleh Lembaga
berdasarkan
prinsip-prinsip usaha penjaminan yang prudent,
serta memberikan kepastian hukum;
transparan
b. bahwa dalam rangka mendorong kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan yang
berkesinambungan,
diselenggarakan secara efisien,
serta bermanfaat bagi masyarakat dan
perekonomian nasional, dipandang perlu melakukan
pengaturan terhadap Lembaga Penjaminan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden
tentang Lembaga Penjaminan;
Mengingat
: 1. Pasal 4 ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962
Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 2387);
3. Undang ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3790);
4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3502);
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2003 Nomor 70,
Indonesia Nomor 4297);
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN PRESIDEN TENTANG LEMBAGA PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan atas pemenuhan
kewajiban finansial Penerima Kredit dan/atau Pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah.
2. Penjaminan ...
Tambahan Lembaran Negara Republik
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 3 -
2. Penjaminan Ulang
adalah kegiatan pemberian jaminan atas
pemenuhan kewajiban finansial Perusahaan Penjaminan yang
telah menjamin pemenuhan kewajiban finansial Penerima Kredit
dan/atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah.
3. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum yang bergerak di
bidang keuangan dengan kegiatan usaha pokok melakukan
Penjaminan.
4. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan hukum yang bergerak
di bidang keuangan dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang.
5. Lembaga
Penjaminan adalah Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Ulang.
6. Lembaga Keuangan adalah Bank dan Lembaga Keuangan Bukan
Bank.
7. Penerima Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
adalah pihak yang telah memperoleh kredit dan/atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah dari Lembaga Keuangan.
8. Kredit
adalah penyediaan uang
atau
tagihan yang
dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara Lembaga Keuangan dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
9. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh Lembaga
Keuangan.
10. Prinsip Syariah adalah prinsip yang didasarkan atas ajaran atau
hukum Islam.
11. Menteri ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 4 -
11. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
BAB II
KEGIATAN USAHA
Pasal 2
(1) Perusahaan Penjaminan melakukan kegiatan usaha Penjaminan.
(2) Perusahaan Penjaminan Ulang melakukan kegiatan usaha
Penjaminan Ulang.
(3) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang dapat
melakukan usaha lain yang mendukung kegiatan usaha Lembaga
Penjaminan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Perusahaan
Penjaminan dan Perusahaan Penjaminan Ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB III
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN DAN PERIZINAN
Pasal 3
(1) Bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan berupa:
a. Perusahaan Umum;
b. Perusahaan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 5 -
b. Perusahaan Perseroan (Persero);
c. Perusahaan Daerah;
d. Perseroan Terbatas; atau
e. Koperasi.
(2) Perusahaan Penjaminan berbadan hukum Perseroan Terbatas,
sahamnya hanya dapat dimiliki oleh :
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
c. Pemerintah Pusat; dan/atau
d. Pemerintah Daerah.
(3) Perusahaan Penjaminan Ulang
berbadan hukum Perseroan
Terbatas, sahamnya hanya dapat dimiliki oleh :
a. sekurang-kurangnya oleh dua Perusahaan Penjaminan;
b. Pemerintah Pusat; dan/atau
c. Pemerintah Daerah.
(4) Perusahaan Penjaminan Ulang berbadan hukum Koperasi hanya
dapat dimiliki oleh gabungan Perusahaan Penjaminan berbadan
hukum Koperasi.
Pasal 4
(1) Untuk melakukan kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan, badan
hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus
terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Menteri.
(2) Pencabutan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 6 -
(2) Pencabutan izin usaha kegiatan sebagai Lembaga Penjaminan
dilakukan oleh Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pendirian Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan pencabutan izin usaha Lembaga
Penjaminan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk permodalan
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 5
(1) Lembaga
Penjaminan
berkedudukan
di
wilayah
Republik
Indonesia, dengan lingkup wilayah operasional nasional atau
provinsi.
(2) Lembaga Penjaminan dapat mendirikan Kantor Cabang dan
Kantor Anak Cabang sesuai lingkup wilayah operasionalnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara
pembukaan kantor Lembaga Penjaminan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
KELEMBAGAAN
Pasal 6
(1) Susunan organisasi Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya
memiliki fungsi pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan keuangan,
fungsi pelayanan dan pengembangan informasi debitur.
(2) Pengelolaan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 7 -
(2) Pengelolaan Lembaga
Penjaminan sekurang-kurangnya
didukung dengan :
a. sistem pengembangan sumber daya manusia;
b. sistem dan prosedur kerja;
c. sistem administrasi, pengolahan data; dan
d. rencana kerja dan anggaran tahunan.
(3) Pengurus Lembaga Penjaminan sekurang-kurangnya memenuhi
kriteria:
a. memiliki pengetahuan, pengalaman atau keahlian di bidang
pengelolaan risiko, manajerial atas perusahaan yang bergerak
di bidang jasa keuangan; dan
b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan pada Lembaga
Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
PEMBATASAN
Pasal 7
(1) Lembaga Penjaminan dilarang:
a. memberikan pinjaman; dan/atau
b. menerima pinjaman; dan/atau
c. melakukan penyertaan langsung.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf
a
dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka
melakukan restrukturisasi penjaminan bagi usaha mikro, kecil,
dan menengah.
(3) Ketentuan ...
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 8 -
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
dikecualikan bagi
(1) huruf
pinjaman dalam bentuk Obligasi Wajib Konversi
convertible bonds).
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
b
Perusahaan Penjaminan yang menerima
(mandatory
(1) huruf
c
dikecualikan bagi Perusahaan Penjaminan dalam rangka
penyertaan pada Perusahaan Penjaminan Ulang.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 8
(1) Pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan dilakukan
oleh Menteri.
(2) Dalam rangka
pembinaan
dan
pengawasan
Lembaga
Penjaminan, Menteri berwenang melakukan pemeriksaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan
Lembaga Penjaminan diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 9
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan Lembaga Penjaminan,
Menteri berwenang menetapkan sanksi administratif atas pelanggaran
Peraturan Presiden ini.
BAB VII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 9 -
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, maka:
a. Badan usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri
untuk
melakukan
kegiatan
usaha
sebagai
Perusahaan
Penjaminan, tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan untuk
selanjutnya dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun,
wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Presiden ini; atau
b. Badan usaha
yang
kegiatan
usaha pokoknya melakukan
Penjaminan namun belum memperoleh izin usaha dari Menteri,
tetap dapat melanjutkan kegiatannya dan dinyatakan telah
mendapatkan izin usaha dari Menteri dan dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun, wajib memenuhi ketentuan dalam
Peraturan Presiden ini.
Pasal 11
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, ketentuan yang mengatur
tentang Perusahaan Penjaminan sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Presiden ini dinyatakan tetap berlaku.
BAB VIII …
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
- 10 -
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 12
Peraturan Presiden ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum,
Dr. M. Iman Santoso
| <reg_type> PERPRES </reg_type>
<reg_id> 2/PERPRES/2008 </reg_id>
<reg_title> LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2008 </set_date>
<effective_date> 26 Januari 2008 </effective_date>
<related_reg> 'UUD 1945 | Pasal 4 ayat (1)', '25/UU/1992', '5/UU/1962', '40/UU/2007', '19/UU/2003', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan
keuangan bagi perusahaan asuransi dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip konvensional maupun
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan
prinsip konvensional yang memiliki unit usaha asuransi
dengan prinsip syariah, perlu dilakukan penyesuaian
terhadap Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan Nomor Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan
Susunan Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan
Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
bahwa dalam rangka menyempurnakan ketentuan
mengenai bentuk dan susunan pengumuman laporan
keuangan bagi perusahaan asuransi berbentuk badan
hukum bukan Perseroan Terbatas, perlu dilakukan
penyesuaian terhadap Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor Kep-300/LK10005
Pedoman Perhitungan Tingkat Kesehatan Keuangan serta
Perusahaan Asuransi Non PT sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor Per-09/BL/2008 tentang
Perubahan Atas Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan Nomor Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman
Perhitungan Tingkat Keschatan Keuangan serta Bentuk
dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan
Asuransi Non PT.
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu untuk
menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan tentang Bentuk dan
Susunan Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
End of Page 1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506),
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambalan Lembaran Negara Republik lndonit
4954);
3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang, Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 158/PMK.010/2008;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.06/2004
tentang Kesehatan Keuangan Bagi Perusahaan Asurans
Berbentuk Badan Hukum Bukan Perseroan Terbatas;
5. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan
Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan
Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi;
6. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman Perhitungan Tingkat
Kesehatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan Laporan
Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT
sebagaimana telah diubah dongan Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
Rep 390/6K/2005 Tentang Pedoman F
Tingkat Kesehatan Keuangan serta Bentuk dan Susunan
Laporan Keuangan Bagi Perusahaan Asuransi Non PT,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN
SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
End of Page 2
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal
Bentuk dan susunan pengumuman laporan keuangan
tahunan perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi
adalah sebagai berikut:
a. bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip konvensional, disusun sesuai
dengan Lampiran 1 yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua ini;
b. bagi perusahaan asuransi kerugian dan perusahaan
reasuransi dengan prinsip konvensional yang memiliki unit
usaha asuransi dengan prinsip syariah, disusun sesuai
dengan Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
erpisahkan dari Peraturan Ketua in
c. bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip
kanvensional, disusun sesuai dengan Lampiran IIl yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Ketua ini;
d. bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip
konvensional yang memiliki unit usaha asuransi dengan
prinsip syariah, disusun sesuai dengan Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan
Ketua ini;
. bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip
konvensional yang memasarkan produk asuransi yang
dikaitkan dengan investasi, disusun sesuai dengan
Lampiran V yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua ini; dan
bagi perusahaan asuransi jiwa dengan prinsip
prinsip syariah dan memasarkan produk asuransi yang
dikaitkan dengan investasi, disusun sesuai dengan
Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua ini.
Pasal 2
Bentuk dan susunan pengumuman laporan keuangan
tahunan bagi perusahaan asuransi berbentuk badan hukum
bukan Perseroan Terbatas, disusun sesuai dengan Lampiran
VII yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua ini.
End of Page 3
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Pasal 3
Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku
a. Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
Nomor Kep-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan
Laporan Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan
Perusahaan Reasuransi; dan
b. Pasal 24 huruf b Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan Nomor Kep-390/LK/2005 tentang Pedoman
Perhitungan Tingkat Kesehatan. Keuangan serta Bentuk
dan Susunan Laporan Keuangan Bagi Perusahaan
Asuransi Non PT,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 10 April 2012
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Kellangan
ttd.
Nurhaida
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
AG
Prasety& Wahyu Adi Suryo
N 195710281985121001 P
End of Page 4
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN I
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 5
End of Page 6
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN II
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 7
*********
.
S..
I
End of Page 8
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN III
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 9
End of Page 10
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN IV
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAIAAN REASURANSI
End of Page 11
T
End of Page 12
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN V
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 13
End of Page 14
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN VI
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 15
A AHER
End of Page 16
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN VII
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 03/BL/2012
TENTANG
BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
End of Page 17
B
End of Page 18
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-03/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> BENTUK DAN SUSUNAN PENGUMUMAN LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 10 April 2012 </set_date>
<effective_date> 10 April 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'Kep-390/LK/2005|KEPDIRJEN-LK/2005 | Pasal 24 huruf b', 'Kep-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 2' </replaced_reg>
<related_reg> 'Kep-390/LK/2005|KEPDIRJEN-LK/2005', '504/KMK.06/2004|KEP-MENKEU/2004', 'Kep-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', 'Per-09/BL/2008|PERTA-BAPEPAM-LK/2008', '73/PP/1992', '81/PP/2008' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-1-
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 10/BL/2012
TENTANG
LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI
DAN PERUSAHAAN REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 41 ayat
(10) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Laporan Aktuaris Perusahaan Asuransi Dan
Perusahaan Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,
Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
53/PMK.010/2012 Tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG LAPORAN AKTUARIS
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
Pasal 1
Bentuk dan susunan laporan aktuaris perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi disusun sesuai dengan
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Ketua ini.
Pasal 2
Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Pasal 6
Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
KEP-4033/LK/2004 tentang Bentuk dan Susunan Laporan
Usaha Perasuransian serta Bentuk dan Susunan
Pengumuman Laporan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 3
Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2013.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 10/BL/2012
TENTANG
LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI
DAN PERUSAHAAN REASURANSI
Lampiran
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
Laporan Aktuaris
[Nama Perusahaan Asuransi atau Reasuransi]
[Periode Laporan]
I. PERNYATAAN AKTUARIS
Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat:
1.1 Informasi aktuaris perusahaan antara lain:
- Nama Perusahaan;
- Nama Aktuaris;
- Alamat Rumah dan Nomor Telepon;
- Alamat Kantor dan Nomor Telepon;
- Tanggal Pengangkatan;
- Tempat dan Tanggal Lahir;
- Kualifikasi Profesi;
- Pengalaman Kerja.
1.2 Uraian atas prosedur-prosedur yang telah dijalankan dan kesesuaian
dengan standard praktik yang sehat
1.3 Pendapat dan tanggung jawab aktuaris atas laporan
Pernyataan aktuaris
Kepada Dewan Komisaris dan Direksi
PT [Perusahaan Asuransi/Reasuransi …]
Kami yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:
1. Seluruh informasi yang disampaikan telah dibuat berdasarkan
professional judgment dan telah menerapkan tes yang memadai
sehingga penilaian yang diperoleh adalah wajar;
2. Kami bertanggung jawab penuh atas hasil penilaian dalam laporan
aktuaris ini secara keseluruhan, termasuk bagian dari pekerjaan
yang telah didelegasikan kepada orang lain; dan
3. Laporan ini disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan prinsip-prinsip aktuaria yang berlaku umum.
Tempat, tanggal pembuatan
Ttd.
Nama
No. Register PAI
1.4 Pernyataan Direksi
Kami yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa:
1. Prosedur penentuan liabilitas telah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
2. Informasi yang diberikan kepada Aktuaris dalam laporan aktuaris
PT … tahun … sudah akurat dan lengkap.
3. Telah memahami isi dari Laporan Aktuaris ini dan akan
melaksanakan rekomendasi yang diuraikan dalam Laporan
Aktuaris ini.
: PER- 10/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
Tempat, tanggal pembuatan
Jabatan
Ttd.
Nama
II.
IKHTISAR EKSEKUTIF
Pada bagian ini memuat tujuan penyusunan laporan, ruang lingkup
laporan, ikhtisar perubahan yang terjadi sejak laporan terakhir,
kesimpulan utama (key finding) dari laporan dan rekomendasi yang
diberikan Aktuaris kepada Direksi Perusahaan.
III. PENDAHULUAN
Pada bagian ini memuat latar belakang dan tujuan laporan, ruang
lingkup laporan, dasar hukum, dan materialitas (materiality),
ketergantungan (reliance) danketerbatasan (limitation) dalam penyusunan
laporan.
IV. TINDAK LANJUT REKOMENDASI PERIODE SEBELUMNYA
Pada bagian ini memuat rekomendasi yang sudah dilaksanakan dan
rekomendasi yang belum dilaksanakan.
V. KUALITAS DATA
Pada bagian ini, Aktuaris harus menjelaskan mengenai kelengkapan data,
keandalan data, prosedur yang telah dilakukan untuk meyakini
kelengkapan dan keandalan data dan kelemahan data (jika ada).
VI. GAMBARAN BISNIS PERUSAHAAN
Pada bagian ini, aktuaris memberikan uraian mengenai informasi umum
perusahaan yang terdiri dari struktur dan operasional perusahaan
meliputi:
6.1 Lini usaha atau produk yang dipasarkan
Aktuaris harus menguraikan komposisi produk yang dipasarkan
pada saat ini dan komposisi produk yang akan dipasarkan sesuai
rencana perusahaan ke depan.
Selain itu, Aktuaris harus memberikan uraian atas penghentian
pemasaran produk atau rencana untuk menghentikan pemasaran
produk, jika ada, disertai dengan alasan penghentian dan uraian
mengenai pengelolaan portofolio untuk produk yang sudah tidak
dipasarkan lagi tersebut
6.2 Target pasar
Aktuaris harus menguraikan target pasar untuk setiap lini atau
produk yang dipasarkan pada saat ini dan rencana perusahaan ke
depan.
6.3 Saluran distribusi yang digunakan
Perusahaan harus menguraikan saluran distribusi untuk setiap lini
atau produk yang dipasarkan pada saat ini dan rencana perusahaan
ke depan.
6.4 Sumber daya manusia yang dimiliki dan kompetensi teknisnya.
6.5 Dukungan teknologi informasi dan komunikasi yang dimiliki.
: PER- 10/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
VII. TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN DAN KECUKUPAN MODAL
Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat:
7.1 Analisis kesehatan keuangan dan kecukupan permodalan
Dalam Laporan Aktuaris harus memuat tingkat kesehatan keuangan
dan modal sendiri perusahaan paling kurang selama 5 (lima) tahun
terakhir dalam bentuk tabel atau grafik. Aktuaris harus memberikan
uraian mengenai kejadian-kejadian yang mengakibatkan kenaikan
atau penurunan tingkat kesehatan keuangan dan modal sendiri
perusahaan.Selain itu, perlu diuraikan pula pendorong utama yang
menyebabkan pergerakan tingkat kesehatan keuangan dan modal
sendiri perusahaan apabila terdapat pergerakan yang signifikan.
7.2 Proyeksi kesehatan keuangan dan kecukupan modal
Dalam Laporan Aktuaris harus memuat proyeksi tingkat kesehatan
keuangan dan modal sendiri perusahaan paling kurang selama 5
(lima) tahun ke depan dalam bentuk tabel atau grafik.
Dalam bagian ini juga harus memuat analisis deviasi antara proyeksi
profitabilitas tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk
memberikan gambaran apakah terdapat deviasi yang besar atau
tidak dan sekaligus menjadi kontrol bagi aktuaris dalam melakukan
proyeksi sehingga proyeksi yang dibuat bisa reliable/handal.
Aktuaris perusahaan harus melakukan stress test untuk mengetahui
dampak dari berbagai kejadian dan skenario terhadap posisi tingkat
kesehatan keuangan dan modal sendiri perusahaan untuk
menunjukkan kejadian yang dapat mengancam kecukupan tingkat
kesehatan keuangan dan pemenuhan modal minimum.
7.3 Asumsi yang digunakan
Aktuaris harus memberikan penjelasan atas asumsi yang digunakan
dalam proyeksi kesehatan keuangan dan permodalan, dan
penjelasan atas kewajaran asumsi yang digunakan tersebut.
7.4 Analisis akses perusahaan terhadap kebutuhan modal
Aktuaris harus memberikan penjelasan mengenai kemampuan
perusahaan untuk mendapatkan penambahan modal dari pemegang
saham atau dari sumber lain.
VIII. PENETAPAN HARGA PREMI DAN PROFITABILITAS
Pada bagian ini sekurang-kurangnya memuat:
8.1 Kebijakan penetapan harga premi
Aktuaris harus memberikan analisis atas kebijakan dan prosedur
penetapan harga premi (pricing policy) untuk tiap lini usaha atau
produk yang dipasarkan, termasuk asumsi-asumsi yang digunakan.
8.2 Reviu atas pricing policy
Aktuaris harus memberikan riviu atas kebijakan penetapan premi
apabila terdapat perubahan kebijakan penetapan premi atau asumsi
yang digunakan dalam penetapan premi.
8.3 Analisis realisasi biaya dan profitabilitas
Aktuaris harus memberikan analisis atas realisasi biaya dan
profitabilitas untuk tiap lini usaha atau produk yang dipasarkan.
Selain itu, Aktuaris harus menilai profitabilitas yang dihasilkan dari
suatu produk dan pengaruhnya terhadap kondisi keuangan
perusahaan secara keseluruhan.
: PER- 10/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
8.4 Analisis profitabilitas untuk pertanggungan baru dan lama
Untuk perusahaan asuransi jiwa, Aktuaris harus memberikan
analisis profitabilitas untuk pertanggungan baru dan lama. Aktuaris
perusahaan harus menunjukkan apakah pertanggungan baru yang
diproduksi pada tahun berjalan menghasilkan profit ataukah
mengakibatkan adanya kerugian.
8.5 Distribusi profit
Aktuaris harus memberikan penjelasan mengenai besarnya
keuntungan pemegang polis dan pemegang saham untuk produk
asuransi jiwa yang mengandung unsur partisipasi. Apabila
perusahaan asuransi jiwa tidak mempunyai produk partisipasi,
keseluruhan pembahasan difokuskan pada keuntungan bagi
pemegang saham.
8.6 Analisis historis profitabilitas
Aktuaris harus menberikan analisis historis profitabilitas selama
paling kurang 5 tahun terakhir dan proyeksi 5 tahun ke depan.
Untuk mendukung penggambaran analisis profitabilitas, dalam
Laporan Aktuaris harus memuat tabel atau grafik tren profitabilitas
selama 5 (lima) tahun terakhir.
Dalam bagian ini juga harus memuat analisis deviasi antara proyeksi
profitabilitas tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk
memberikan gambaran apakah terdapat deviasi yang besar atau
tidak dan sekaligus menjadi kontrol bagi aktuaris dalam melakukan
proyeksi sehingga proyeksi yang dibuat bisa reliable/handal.
IX. LIABILITAS
9.1 Metode,asumsi dan model perhitungan yang digunakan
Aktuaris harus memberikan uraian tentang metode, asumsi dan
model perhitungan yang digunakan perusahaan dalam membentuk
liabilitas, khususnya cadangan teknis untuk tiap lini usaha dan
produk.
9.2 Pendapat aktuaris
Aktuaris harus memberikan pendapat terhadap metode, asumsi dan
model perhitungan yang digunakan oleh perusahaan.
X. KESESUAIAN ASET TERHADAP LIABILITAS
Aktuaris diharapkan memberikan uraian mengenai:
10.1 Analisis atas metode valuasi aset yang dilakukan perusahaan
10.2 Analisis terkait diversifikasi aset termasuk risiko pasar, risiko kredit
dan risiko fluktuasi mata uang yang dihadapi
10.3 Analisis atas profil aset dikaitkan dengan liabilitas perusahaan,
mencakup tingkat imbal hasil, durasi dan likuiditas
XI. REASURANSI
Aktuaris diharapkan memberikan uraian mengenai:
11.1 Analisis atas dukungan reasuransi yang dimiliki perusahaan dan
kesesuaian dengan karakteristik lini usaha atau produk yang
dipasarkan.
11.2 Analisis atas retensi sendiri yang ditetapkan oleh perusahaan.
11.3 Kualitas reasuradur yang mendukung program reasuransi
perusahaan
: PER- 10/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
XII. MANAJEMEN RISIKO
Dalam Laporan aktuaris harus diuraikan mengenai:
12.1 Deskripsi dan pendapat aktuaris mengenai kerangka manajemen
risiko yang ada di perusahaan
12.2 Analisis atas efektivitas pelaksanaan manajemen risiko yang ada di
perusahaan
XIII. PROYEKSI KEUANGAN
Perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban di masa
depan berupa proyeksi 5 (lima) tahun ke depan dari bisnis perusahaan,
pertumbuhan aset dan liabilitas, dan kesehatan keuangan perusahaan.
Dalam melakukan proyeksi, Aktuaris harus menggunakan skenario
optimis, normal dan pesimis. Asumsi dalam pessimistic assumptions
sekurang-kurangnya meliputi:
a. Terjadinya krisis finansial
b. Inflasi lebih tinggi dari yang diharapkan
c. Adanya kerugian katastropik
d. Penurunan tingkat hasil investasi
e. Penurunan jumlah pertanggungan baru
f. Kenaikan tingkat penghentian
g. Kenaikan tingkat klaim
Aktuaris harus melakukan analisis deviasi antara proyeksi profitabilitas
tahun lalu dengan realisasi tahun ini untuk memberikan gambaran
apakah terdapat deviasi yang besar atau tidak dan sekaligus menjadi
kontrol bagi aktuaris dalam melakukan proyeksi sehingga proyeksi yang
dibuat bisa reliable/handal.
XIV. AREA LAIN YANG PERLU MENDAPAT PERHATIAN
Aktuaris perusahaan diharapkan memberikan uraian mengenai hal-hal
lain yang menurut aktuaris perusahaan penting untuk diungkapkan
terutama yang berpotensi secara negatif mempengaruhi perusahaan.
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd.
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
: PER- 10/BL/2012
: 27 Desember 2012
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-10/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN AKTUARIS PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Juni 2013 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 6' </replaced_reg>
<related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER- 08 /BL/2011
TENTANG
BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU
PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU
SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (3) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/2010 tentang Penerapan
Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha
Reasuransi dengan Prinsip Syariah, perlu menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Bentuk dan Tata Cara Penyampaian Laporan Hasil
Pengawasan Dewan Pengawas Syariah pada Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Reasuransi yang Menyelenggarakan Seluruh atau
Sebagian Usahanya dengan Prinsip Syariah,
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467):
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506),
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954),
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun
2011:
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan
Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah:
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
Menetapkan
-2-
MEMUTUSKAN:
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK DAN TATA CARA
PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU
PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN
SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP
SYARIAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
(1) Perusahaan adalah perusahaan asuransi atau perusahaan
reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau sebagian
usahanya dengan prinsip syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ Perusahaan
yang melakukan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
usaha asuransi dan usaha reasuransi sesuai dengan prinsip
syariah.
Pasal 2
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib menyusun laporan tahunan
hasil pengawasan terhadap penerapan prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan
prinsip syariah yang dilakukan oleh Perusahaan, untuk periode
1 Januari sampai dengan 31 Desember.
(2) Dalam hal Perusahaan memperoleh izin usaha setelah tanggal 1
Januari, laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup periode mulai tanggal diperolehnya izin
usaha dimaksud sampai dengan tanggal 31 Desember.
(3) Bentuk dan susunan laporan hasil pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disusun sesuai
dengan Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 3
(1) Perusahaan wajib menyampaikan laporan hasil pengawasan
Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dalam bentuk dokumen fisik (hardcopy) dan format digital
(softcopy) kepada Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, paling lambat tanggal 31 Maret
tahun berikutnya.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
(2) Dalam hal tanggal 31 Maret sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) adalah hari libur, batas akhir penyampaian laporan hasil
pengawasan Dewan Pengawas Syariah adalah hari kerja
pertama setelah tanggal 31 Maret tersebut.
Pasal 4
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal : 18 Juli 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Moda
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
APA 9571008 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN I
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER-08/BL/2011
TENTANG
BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU
PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU
SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-1-
PEDOMAN PENYUSUNAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN
PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN
REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN
USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH
I. Pendahuluan
1. Pedoman Penyusunan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah
Pada Perusahaan Asuransi Atau Perusahaan Reasuransi Yang Menyelenggarakan
Seluruh Atau Sebagian Usahanya Dengan Prinsip Syariah ditujukan untuk
memberikan panduan dalam menyusun laporan atas hasil pengawasan Dewan
Pengawas Syariah terhadap Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tanggal 25 Januari 2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
Dengan Prinsip Syariah (PMK 18/ 2010).
2. Pedoman ini mengatur pokok materi minimum yang harus dimuat dalam
laporan hasil pengawasan Dewan Pengawas Syariah Perusahaan, yaitu:
a. Informasi Umum:
b. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah, dan
C. Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi.
II. Informasi Umum
Lembar informasi umum menyajikan rincian informasi mengenai hal-hal sebagai
berikut:
a. nama, alamat, nomor telepon, nomor faksimili, alamat email dan website resmi
Perusahaan:
b. nama, jabatan dan surat pengangkatan, Dewan Pengawas Syariah Perusahaan:
Cc. ringkasan korespondensi dan/atau notulen terkait hasil pengawasan Dewan
Pengawas Syariah, dan
d. nama penyusun laporan, jabatan, nomor telepon dan alamat email dari salah satu
anggota Dewan Pengawas Syariah, yang dapat dihubungi dalam rangka proses
klarifikasi dan konfirmasi mengenai laporan hasil pengawasan.
Il. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah
1. Lembar pernyataan Dewan Pengawas Syariah memuat pernyataan mengenai
kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan yang diawasinya dengan ketentuan
perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar penyelenggaraan usaha
asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, fatwa-fatwa Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia, dan ketentuan lain yang terkait
dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, selama periode laporan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
2. Pernyataan Dewan Pengawas Syariah disajikan berdasarkan pada salah satu dari
4 (empat) kategori di bawah ini:
a.
sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi telah sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
dan ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan
usaha reasuransi dengan prinsip syariah,
belum sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi belum
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi
dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, namun praktik
penyelenggaraan Perusahaan yang belum sesuai dengan prinsip syariah
tersebut terjadi atau dilakukan karena situasi dan kondisi yang bersifat
darurat dan sementara, atau dengan pengertian selama jangka waktu kurang
dari satu periode yang dilaporkan dan tidak berulang kali terjadi di periode-
periode berikutnya:
tidak sesuai, dalam hal penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi tidak
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi
dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, atau
tidak memberikan pendapat, dalam hal Perusahaan yang diawasi tidak
memberikan akses yang memadai kepada anggota Dewan Pengawas Syariah
untuk memperoleh dokumen dan/atau informasi yang diperlukan dalam
rangka melakukan pengawasan. Ketiadaan atau ketidakcukupan dokumen
dan/atau informasi tersebut mengakibatkan Dewan Pengawas Syariah tidak
dapat menilai kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi dengan
ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
atau ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi
dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah. Sebagai bukti tertulis terkait
dengan tidak diperolehnya akses terhadap dokumen dan/atau informasi
tersebut, Dewan Pengawas Syariah harus menyertakan fotokopi
korespondensi anggota Dewan Pengawas Syariah dengan Perusahaan
mengenai permintaan dokumen dan/atau informasi yang diperlukan dalam
pengawasan namun tidak diberikan oleh Perusahaan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-3-
Dalam memberikan pernyataannya, Dewan Pengawas Syariah tidak
menggunakan prinsip materialitas, dengan pengertian bahwa setiap praktik
penyelenggaraan Perusahaan yang diawasi belum sesuai atau tidak sesuai
terhadap ketentuan yang mengatur, sekecil apa pun, dinyatakan sebagai bentuk
ketidaksesuaian dalam penyelenggaraannya.
3. Lembar pernyataan Dewan Pengawas Syariah disusun dengan sistematika
penulisan sebagai berikut :
a. pada bagian atas diberi judul “Penyataan Dewan Pengawas Syariah”,
b. paragraf pertama berisi ruang lingkup pernyataan Dewan Pengawas Syariah
yang mencakup pengawasan atas penerapan prinsip dasar penyelenggaraan
usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang dilakukan
Perusahaan yang diawasi selama periode laporan:
C. paragraf kedua berisi pernyataan kesesuaian penyelenggaraan Perusahaan
terhadap ketentuan perundang-undangan yang mengatur prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
dan ketentuan lain yang terkait dengan penyelenggaraan usaha asuransi dan
usaha reasuransi dengan prinsip syariah,
d. apabila Dewan Pengawas Syariah memberikan pernyataan “belum sesuai”
atau “tidak sesuai”, pernyataan Dewan Pengawas Syariah harus diberi
paragraf penjelasan yang berisi ringkasan praktik penyelenggaraan
Perusahaan yang diawasi, dan dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan
prinsip syariah, beserta latar belakang atau alasannya. Paragraf penjelasan
tersebut ditulis di bawah paragraf kedua, sebelum nama jelas dan tanda
tangan seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah: dan
e. nama jelas dan tanda tangan seluruh anggota Dewan Pengawas Syariah,
serta nama kota dan tanggal ditandatanganinya pernyataan Dewan
Pengawas Syariah.
4. Seluruh Dewan Pengawas Syariah, termasuk ketua dan anggota, wajib
menandatangani pernyataan Dewan Pengawas Syariah dan memberikan paraf
pada setiap halaman laporan. Apabila terdapat anggota Dewan Pengawas
Syariah yang tidak menandatangani pernyataan Dewan Pengawas Syariah dan
atau tidak memberikan paraf pada setiap halaman laporan, kondisi atau alasan
terjadinya hal tersebut wajib dituliskan sebagai keterangan dalam lembar
pernyataan dimaksud.
IV. Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi
1. Ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi memuat uraian mengenai status
kesesuaian, keterangan status dan rekomendasi atas praktik Perusahaan dalam
menyelenggarakan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah.
Status kesesuaian merupakan pendapat Dewan Pengawas Syariah yang terdiri
atas sesuai, belum sesuai atau tidak sesuai, atau tidak memberikan pendapat.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-4-
Adapun keterangan status berisi tentang uraian ringkas mengenai praktik
Operasional yang terjadi, baik yang sesuai, belum sesuai maupun yang tidak
sesuai dengan prinsip syariah, termasuk situasi dan kondisi yang menyebabkan
hal tersebut. Dalam hal Dewan Pengawas Syariah tidak memberikan pendapat,
keterangan status diisi dengan uraian mengenai jenis dokumen dan/atau
informasi yang tidak diberikan oleh perusahaan. Apabila terjadi praktik
penyelenggaraan Perusahaan yang dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan
prinsip syariah, Dewan Pengawas Syariah harus menginformasikan saran,
nasihat dan/atau rekomendasi yang diberikan kepada Perusahaan dalam rangka
mencegah, mengubah, dan memperbaiki praktik penyelenggaraan Perusahaan
yang dinilai belum sesuai atau tidak sesuai dengan prinsip syariah tersebut.
2. Bagian ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi disajikan berdasarkan
aspek-aspek yang diawasi, yang terdiri atas:
a. Pengelolaan kekayaan dan kewajiban
1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek pengelolaan kekayaan dan
kewajiban, yang terdiri atas kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru',
kekayaan dan kewajiban Dana Perusahaan, serta kekayaan dan kewajiban
Dana Investasi Peserta, berkaitan dengan sistem dan prosedur pencatatan,
praktik pencatatan dan penyajian seluruh kekayaan dan kewajiban
Perusahaan, termasuk praktik penanganan data dan dokumen
pendukungnya.
Berkenaan dengan aspek ini, beberapa sumber data dan informasi yang
perlu diperoleh dan dievaluasi oleh Dewan Pengawas Syariah meliputi:
a) sistem akuntansi atau prosedur operasi standar yang terkait dengan
pengelolaan kekayaan dan kewajiban,
b) akta-akta atau kontrak perjanjian yang terkait dengan pengelolaan
kekayaan dan investasi:
C) bukti kepemilikan atas kekayaan dan investasi, dan/atau
d) sumber-sumber lainnya.
2) Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, antara lain meliputi:
a) sistem dan prosedur terkait dengan pengelolaan kekayaan dan
kewajiban Perusahaan disusun dengan mengacu pada prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah, ketentuan mengenai pengelolaan kekayaan dan kewajiban,
dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia,
b) pelaksanaan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha
reasuransi dengan prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam
PMK 18/2010, dalam rangka pengelolaan kekayaan dan kewajiban
dilakukan dengan baik, konsisten dan menyeluruh oleh Perusahaan,
antara lain:
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-5-
(1) pemisahan pencatatan kekayaan dan kewajiban Dana Tabarru',
Dana Perusahaan dan Dana Investasi Peserta,
(2) pembatasan penggunaan Dana Tabarru',
(3) pembentukan Dana Tabarru' untuk setiap lini usaha atau gabungan
dari beberapa lini usaha:
(4) pembentukan Dana Investasi Peserta untuk setiap jenis portofolio
investasi sesuai dengan akadnya,
(5) pencatatan dan pengadministrasian akun peserta secara individual
sebagai bagian dari kekayaan dan kewajiban Dana Investasi
Peserta: dan
(6) pemberian gardh (pinjaman) kepada Dana Tabarru' serta
pengembaliannya:
c) pengelolaan kekayaan Dana Tabarru', Dana Perusahaan dan Dana
Investasi Peserta dilakukan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip
syariah, misalnya kekayaan tersebut hanya ditempatkan pada bentuk
instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah,
d) pengadministrasian bukti kepemilikan kekayaan, pencatatan dan
penyajian atas setiap jenis kekayaan dan kewajiban wajib dipisahkan
dan diklasifikasikan dengan jelas dan tegas antara kekayaan dan
kewajiban Dana Tabarru', kekayaan dan kewajiban Dana Perusahaan,
serta kekayaan dan kewajiban Dana Investasi Peserta (khusus untuk
usaha asuransi jiwa dengan prinsip syariah yang menjual produk
asuransi jiwa yang mengandung unsur investasi) sesuai dengan
kesepakatan dalam polis:
e) penghitungan dan pembagian surplus underwriting telah dilakukan
sesuai dengan kesepakatan dalam polis serta tidak bertentangan
dengan peraturan yang berlaku: dan/atau
f) dalam hal peserta mengamanahkan kepada Perusahaan untuk
memungut dan membayar zakatnya atas pengelolaan Dana Investasi
Peserta dan/ atau membayarkan bagian surplus underwriting yang
menjadi hak peserta sebagai shadagah peserta, penghitungan dan
pembayaran zakat dan/atau shadagah peserta dimaksud harus
dilakukan oleh Perusahaan sesuai dengan prinsip syariah.
b. Produk-produk yang dipasarkan
1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek produk-produk yang dipasarkan,
baik produk yang sedang dipasarkan maupun produk yang akan
dipasarkan, meliputi:
a) objek yang akan dipertanggungkan,
b) akad yang digunakan dalam setiap produk:
2)
9
d)
e)
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-6-
penetapan ujrah (imbalan) dan nisbah (bagi hasil) yang wajar (fair) dan
transparan,
prosedur pelaksanaan underwriting: dan
pembagian surplus underwriting.
Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek produk-
produk yang dipasarkan, antara lain meliputi:
a)
b)
d)
sistem dan prosedur terkait dengan perancangan, penerbitan,
pelaksanaan dan pemantauan produk-produk yang dipasarkan oleh
Perusahaan yang disusun dengan mengacu pada prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip
syariah dan fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia,
penyusunan dan pelaksanaan polis dan surat permohonan permintaan
asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan dilakukan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan dalam PMK 18/2010, antara lain
penggunaan akad tabarru' dan akad tijarah, substansi minimum yang
harus dimuat dalam setiap akad yang digunakan, dan pembagian
surplus underwriting yang adil dan wajar bagi semua peserta:
penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan
risiko dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah yang tercantum di
polis dan surat permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat
permohonan kepesertaan yang dilakukan secara wajar (fair) dan
memenuhi prinsip keadilan ('adl), keseimbangan (tawazun), dan
kemaslahatan (maslahah), serta menghindari adanya
ketidakpastian/ ketidakjelasan (gharar) dan penganiayaan (zhulm),
sebagaimana dimaksud dalam PMK 18/2010:
penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam pengelolaan
investasi dengan penggunaan akad wakalah bil ujrah dan atau besar
nisbah/bagi hasil dalam akad mudharabah dan akad mudharabah
musytarakah yang tercantum pada polis dan surat permohonan
permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan
dilakukan secara wajar (fair) dan memenuhi prinsip keadilan ('ad!),
keseimbangan (tawazun), kemaslahatan (maslahah), dan menghindari
adanya ketidakpastian/ketidakjelasan (gharar) dan penganiayaan
(zhulm), sebagaimana dimaksud dalam PMK 18/2010,
pemungutan atau pembebanan biaya-biaya selain yang disepakati di
dalam polis kepada peserta:
pelaksanaan prosedur underwriting untuk setiap produk dilakukan
secara adil, wajar dan tidak diterapkan secara diskriminatif: dan/atau
9)
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-7-
dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru” menggunakan akad
wakalah bil ujrah, Perusahaan tidak berhak memperoleh bagian dari
hasil investasi.
c. Praktik Pemasaran yang Dilakukan oleh Perusahaan
1) Ruang lingkup pengawasan atas aspek praktik pemasaran yang
dilakukan oleh Perusahaan antara lain meliputi:
2)
a)
b)
pelaksanaan prinsip syariah yang dilakukan oleh seluruh tenaga
pemasar dalam interaksinya memasarkan produk dan memberikan
pelayanan kepada peserta, misalnya tidak memberikan riswah/ suap
dan memberikan informasi yang — mengandung unsur
ketidakbenaran/ kebohongan, dan
perumusan kontrak perjanjian yang dilakukan Perusahaan dalam
rangka pemasaran dengan pihak lain, misalnya perjanjian kerjasama
pemasaran memperlakukan kedua pihak secara adil dan kedua pihak
telah menjalankan isi perjanjian dengan amanah, serta besar komisi
yang disepakati wajar dan adil baik bagi kedua pihak yang
menyepakatinya maupun bagi peserta.
Hal-hal yang perlu menjadi perhatian dalam penilaian atas aspek praktik
pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan, antara lain meliputi:
a)
b)
d)
Perusahaan, dalam hal ini para tenaga pemasar atau agen asuransi,
telah memberikan penjelasan dengan benar, akurat dan lengkap
kepada calon peserta mengenai akad-akad yang akan disepakati
dalam polis asuransi, serta kedudukan, hak dan kewajiban masing-
masing pihak dalam akad tersebut:
Setiap penerbitan polis asuransi harus dilengkapi dengan surat
permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat permohonan
kepesertaan yang telah diisi dengan benar dan lengkap, serta
ditandatangani oleh peserta dan Perusahaan sebagai bentuk
persetujuan (ijab gabul) masing-masing pihak atas akad-akad dalam
polis:
Perjanjian dengan rekan bisnis Perusahaan, yang terdiri atas agen
asuransi, pialang asuransi/reasuransi, penilai kerugian, reasuradur,
dan pihak lainnya dilakukan sesuai dengan prinsip syariah,
Pencegahan dan pendeteksian dini terhadap praktik-praktik
pemasaran yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, misalnya
pencegahan tenaga pemasar atau agen asuransi dan peserta
menjanjikan dan atau memberikan riswah/suap dalam praktik
pemasaran, dan/ atau
Pemberian komisi secara wajar, proporsional dan adil oleh Perusahaan
kepada pihak-pihak yang terkait sehubungan dengan kegiatan
perolehan bisnis dan/atau penutupan polis.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
d. Kegiatan lainnya.
Ruang lingkup pengawasan atas aspek ini meliputi semua kegiatan yang
dilakukan oleh Perusahaan selain dari ketiga aspek tersebut di atas, yang
menurut Dewan Pengawas Syariah perlu untuk diawasi dan dilaporkan.
Sebagai contoh, Perusahaan melakukan kegiatan-kegiatan yang belum diatur
dalam peraturan-peraturan di bidang usaha asuransi dan usaha reasuransi
dengan prinsip syariah, termasuk fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
K#P19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN II
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER- 08/BL/2011
TENTANG
BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU
PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU
SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
Yth.
Kepala Biro Perasuransian
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lt. 14
Jalan Lapangan Banteng Timur No. 2-4
Jakarta - 10710
LAPORAN HASIL PENGAWASAN
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Nama Perusahaan : PT/ Unit Syariah PT ...............oo.oooka
Alamat Perusahaan : .........oo.ooeknnnnnnnnnnlnnenlnlnlan
Periode Laporan Do nananannnannaaaanaan sampai dengan .............
Tanggal Laporan — : .....oooocoWoooWooWoWoWW mna
TI.
II.
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-2-
DAFTAR ISI
Halaman
Informasi Umum 1
Pernyataan Dewan Pengawas Syariah 2
Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi 3
A. Pengelolaan Kekayaan dan Kewajiban
B. Produk-produk yang Dipasarkan
C. Praktik Pemasaran yang Dilakukan oleh Perusahaan
D
. Kegiatan Lainnya
ND Dr w
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-3-
Informasi Umum
Nama Perusahaan : PT/ Unit Syariah PT ............oo.ooooWo
Alamat Perusahaan PO nkaaananannaal ena
Nomor Telepon Po annkaaaanaaaaaaae maan
Nomor Faksimili PO nnkaaakanannaee aan
Email Perusahaan PO nnkaaakanannaee aan
Website Perusahaan PO akaaalakannaee ana
Anggota Dewan Pengawas Syariah:
Surat Pengangkatan
No | Nama Lengkap Jabatan
Nomor Tanggal
1
2
dst
Sumber data: oo aa
Ringkasan korespondensi dan/atau notulen terkait hasil pengawasan Dewan
Pengawas Syariah
Korespondensi dan/atau notulen
No Ringkasan Substansi
Nomor | Tanggal Hal
1
2
dst
Informasi mengenai penyusun laporan (contact person) :
a. Nama Pannaanananannananaanananan aan aa ana ana aman
b. Jabatan Pkakanaan nana an aan ana ana ana aa na aan
c. Nomor Telepon: ....ooooWorWoWoWoW Wan
d. Email DanKenanaan anna naa aan ana ana aan anna Nan aan ana aan aan aa anna
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-4-
Pernyataan Dewan Pengawas Syariah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang
dilakukan oleh PT/Unit Syariah PT. ..................... (“Perusahaan”) selama periode
tanggal... sampai dengan tanggal .........i..... , sebagaimana
diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami
melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek
praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan
Operasional lainnya.
Dari hasil pengawasan, tidak ditemukan adanya praktik operasional yang
melanggar prinsip-prinsip syariah Islam. Dengan demikian, berdasarkan hasil
penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas, menurut kami, pelaksanaan hal-
hal tersebut oleh Perusahaan telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun)
Dewan Pengawas Syariah :
No Nama Tanda Tangan Keterangan
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-5-
Pernyataan Dewan Pengawas Syariah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang
dilakukan oleh PT/Unit Syariah PT. ..................... (“Perusahaan”) selama periode
tanggal... sampai dengan tanggal.................. , sebagaimana
diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami
melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek
praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan
Operasional lainnya.
Dari hasil pengawasan, diketahui Perusahaan telah melakukan praktik
Operasional yang melanggar prinsip-prinsip syariah Islam, meskipun hal tersebut
terjadi karena situasi dan kondisi yang bersifat darurat dan sementara. Dengan
demikian, berdasarkan hasil penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas,
menurut kami, pelaksanaan hal-hal tersebut oleh Perusahaan belum sesuai
sepenuhnya dengan prinsip-prinsip syariah Islam.
Ringkasan praktik operasional perusahaan yang belum sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah Islam, periode terjadi dan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun)
Dewan Pengawas Syariah :
No Nama Tanda Tangan Keterangan
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-6-
Pernyataan Dewan Pengawas Syariah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang
diselenggarakan oleh PT. .........oooo. /Unit Syariah PT...
(“perusahaan”) selama periode tanggal .................. sampai dengan tanggal
Dnnaakaa nanas , sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 18/ PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha
Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan
pengawasan tersebut, kami melaksanakan penilaian atas operasional perusahaan
dimaksud yang mencakup aspek pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek
produk-produk yang dipasarkan, dan aspek praktik kegiatan pemasaran yang
dilakukan oleh perusahaan dimaksud, dan kegiatan operasional lainnya.
Dari hasil pengawasan, diketahui bahwa Perusahaan telah melakukan praktik
Operasional yang melanggar prinsip-prinsip syariah Islam. Dengan demikian,
berdasarkan hasil penilaian atas aspek-aspek pada paragraf 1 di atas, menurut kami,
pelaksanaan hal-hal tersebut oleh Perusahaan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
syariah Islam.
Ringkasan praktik operasional perusahaan yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip syariah Islam, periode terjadi dan faktor penyebabnya adalah sebagai berikut:
knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun)
Dewan Pengawas Syariah :
No Nama Tanda Tangan Keterangan
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-7-
Bagian Kedua: Pernyataan Dewan Pengawas Syariah
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Kami telah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip-prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi/usaha reasuransi dengan prinsip syariah yang
dilakukan oleh PT/ Unit Syariah PT. ............JJ.... (“Perusahaan”) selama periode
tanggal... sampai dengan tanggal .................. , sebagaimana
diamanatkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/ PMK.010/ 2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan Usaha Reasuransi
Dengan Prinsip Syariah. Dalam rangka melakukan pengawasan tersebut, kami
melaksanakan penilaian atas operasional Perusahaan dimaksud yang meliputi aspek
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, aspek produk-produk yang dipasarkan, aspek
praktik kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh Perusahaan dimaksud, dan kegiatan
Operasional lainnya.
Perusahaan tidak memberikan akses kepada kami untuk memperoleh
dokumen dan informasi yang kami perlukan untuk melakukan penilaian atas aspek-
aspek pada paragraf 1 di atas, sehingga kami tidak memberikan pendapat mengenai
penerapan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi / usaha reasuransi
dengan prinsip syariah dalam operasional Perusahaan.
knaanananaa (Nama Kota), ...............(Tanggal-Bulan-Tahun)
Dewan Pengawas Syariah :
No Nama Tanda Tangan Keterangan
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-8-
Ringkasan Hasil Pengawasan dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil pengawasan dan penilaian kami terhadap penerapan prinsip dasar
penyelenggaraan usaha asuransi atau usaha reasuransi dengan prinsip syariah dalam
praktik operasional PT/ Unit Syariah PT ...ooooooooocoooooo selama periode
tanggal ......ioii... sampai dengan tanggal .................. , dapat disampaikan
ringkasan hasil pengawasan dan rekomendasi sebagai berikut:
A. Pengelolaan Kekayaan dan Kewajiban
Pokok Materi 1: Status Kesesuaian:
Sistem dan prosedur pengelolaan kekayaan dan
kewajiban.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 2: Status Kesesuaian:
Pemisahan pencatatan kekayaan dan kewajiban secara
jelas dan tegas antara Dana Tabarru', Dana Perusahaan,
dan Dana Investasi Peserta, termasuk pengadministrasian
bukti kepemilikan kekayaannya dan kewajibannya yang
dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam polis.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-9-
Pokok Materi 3: Status Kesesuaian:
Pembatasan penggunaan Dana Tabarru' sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (2) PMK No. 18/ PMK.010/ 2010.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 4: Status Kesesuaian:
Pembentukan Dana Tabarru' dibuat terpisah:
- per lini usaha atau gabungan lini usaha dan
- perjenis akad.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-10-
Pokok Materi 5: Status Kesesuaian:
Pembentukan Dana Investasi Peserta untuk setiap jenis
portofolio investasi sesuai dengan akadnya.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 6: Status Kesesuaian:
Pencatatan dan pengadministrasian akun peserta secara
individual sebagai bagian dari kekayaan dan kewajiban
Dana Investasi Peserta.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-11-
Pokok Materi 7: Status Kesesuaian:
Pemberian dan pengembalian Oardh ke/ dari Dana
Tabarru'.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 8: Status Kesesuaian:
Pengelolaan kekayaan Dana Tabarru', Dana Perusahaan
dan Dana Investasi Peserta dilakukan dengan berpedoman
pada prinsip-prinsip syariah, misalnya kekayaan tersebut
hanya ditempatkan pada bentuk instrumen investasi yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
12-
Pokok Materi 9: Status Kesesuaian:
Penghitungan dan pembagian surplus underwriting sesuai
dengan polis. Dalam hal peserta memberikan amanah
untuk membayarkan bagian surplus underwriting yang
menjadi hak peserta sebagai shadagah, pembayaran
shadagah dimaksud dilakukan sesuai dengan prinsip
syariah.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 10: Status Kesesuaian:
Dalam hal peserta memberikan amanah untuk
membayarkan zakat atas dana investasi peserta,
penghitungan, pemungutan dan pembayaran zakat
dimaksud dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-13-
B. Produk-produk Yang Dipasarkan
Pengawasan dilakukan atas semua produk yang dipasarkan oleh Perusahaan,
yakni produk-produk yang telah disetujui oleh Dewan Pengawas Syariah dan
telah dicatat oleh Kementerian Keuangan, baik selama periode yang diawasi
maupun pada periode-periode sebelumnya. Sampai dengan tanggal pelaporan ini,
jumlah produk yang dipasarkan oleh Perusahaan sebanyak ......
Nama Produk: woo com mena (diisi sesuai dengan nama produk yang diawasi)
Pokok Materi 1: Status Kesesuaian
Sistem dan prosedur perancangan, penerbitan,
pelaksanaan dan pemantauan produk-produk yang
dipasarkan.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 2: Status Kesesuaian
Penyusunan dan pelaksanaan isi polis dan surat
permohonan permintaan asuransi (SPPA)/surat
permohonan kepesertaan yang meliputi:
a. Penggunaan akad tabarru' dan akad tijarah.
b. Substansi minimum yang harus termuat dalam setiap
akad.
c. Metode pengalokasian dan pembagian surplus
underwriting yang adil dan wajar bagi semua peserta.
d. Pemberian gard oleh Perusahaan dan pembayaran
kembali gard kepada Perusahaan.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
14 -
Pokok Materi 3: Status Kesesuaian
Penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam
pengelolaan risiko dengan penggunaan akad wakalah bil
ujrah yang tertuang di polis dan surat permohonan
permintaan — asuransi (SPPA)/surat — permohonan
kepesertaan dilakukan secara wajar dan memenuhi
prinsip-prinsip dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 PMK No. 18/ PMK.010/ 2010.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 4: Status Kesesuaian
Penetapan dan pembebanan besar ujrah/imbalan dalam
pengelolaan investasi dengan penggunaan akad wakalah bil
ujrah dan atau besar nisbah/bagi hasil dalam akad
mudharabah dan akad mudharabah musytarakah yang
tertuang di polis dan surat permohonan permintaan
asuransi (SPPA)/surat permohonan kepesertaan
dilakukan secara wajar dan memenuhi prinsip-prinsip
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK
No. 18/ PMK.010/ 2010.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-15-
Pokok Materi 5: Status Kesesuaian
Pemungutan atau pembebanan biaya kepada Peserta
sesuai dengan yang tercantum di dalam polis.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 6: Status Kesesuaian
Pelaksanaan prosedur underwriting untuk setiap produk
dilakukan secara adil, wajar dan tidak diterapkan secara
diskriminatif.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 7: Status Kesesuaian
Dalam hal pengelolaan investasi Dana Tabarru”
menggunakan akad wakalah bil ujrah, Perusahaan tidak
berhak memperoleh bagian dari hasil investasi.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
16 -
. Praktik Pemasaran Yang Dilakukan Oleh Perusahaan
Pokok Materi 1: Status Kesesuaian
Perusahaan, dalam hal ini para tenaga pemasar atau agen
asuransi, telah memperoleh pelatihan mengenai produk
yang dipasarkan serta telah memberikan penjelasan dengan
benar, akurat dan lengkap kepada calon peserta, antara lain:
a. Akad-akad yang disepakati.
b. Kedudukan, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 2: Status Kesesuaian
Setiap penerbitan polis harus dilengkapi dengan surat
permohonan — permintaan — asuransi (SPPA)/surat
permohonan kepesertaan yang diisi benar dan lengkap,
ditandatangani peserta dan Perusahaan sebagai bentuk
persetujuan (ijab gabul) atas akad-akad di dalam polis.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
17 -
Pokok Materi 3: Status Kesesuaian
Perjanjian Perusahaan dengan rekan bisnis, antara lain agen
asuransi, pialang asuransi/reasuransi, penilai kerugian,
reasuradur, dan pihak lainnya, dilakukan sesuai dengan
prinsip syariah.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Pokok Materi 4: Status Kesesuaian
Praktik pemasaran produk dan pelayanan peserta tidak
bertentangan dengan prinsip syariah, misalnya tidak
memberikan riswah/ suap dalam rangka pemasaran produk
dan pelayanan Peserta.
Keterangan Status:
Rekomendasi:
“18 -
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
Pokok Materi 5:
Pemberian komisi pemasaran dilakukan secara wajar, adil
dan proporsional, termasuk tetapi tidak terbatas pada
kegiatan perolehan bisnis/ penutupan polis.
Status Kesesuaian
Keterangan Status:
Rekomendasi:
. Kegiatan Lainnya
Pokok Materi 1:
(Uraian pokok materi yang diawasi)
Status Kesesuaian
Keterangan Status:
Rekomendasi:
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 08/BL/2011
Tanggal :18 Juli 2011
-19 -
Pokok Materi 2: Status Kesesuaian
(Uraian pokok materi yang diawasi)
Keterangan Status:
Rekomendasi:
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-08/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> BENTUK DAN TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN HASIL PENGAWASAN DEWAN PENGAWAS SYARIAH PADA PERUSAHAAN ASURANSI ATAU PERUSAHAAN REASURANSI YANG MENYELENGGARAKAN SELURUH ATAU SEBAGIAN USAHANYA DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 18 Juli 2011 </set_date>
<effective_date> 18 Juli 2011 </effective_date>
<related_reg> '2/UU/1992', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '20/M|KEPPRES/2011', '81/PP/2008', '73/PP/1992' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-1-
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 09/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PEMBENTUKAN CADANGAN TEKNIS
BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 19
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, perlu untuk menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Pedoman Pembentukan Cadangan Teknis Bagi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506),
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,
Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN
CADANGAN TEKNIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN
PERUSAHAAN REASURANSI
Bagian Pertama
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam peraturan ini, yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Reasuransi baik yang berbentuk badan
hukum perseroan terbatas maupun bukan perseroan
terbatas.
2. Manfaat Turunan Melekat adalah suatu manfaat masa
depan yang dijanjikan perusahaan asuransi kepada
tertanggung/pemegang polis yang dikaitkan suatu
kondisi tertentu.
3. Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat adalah suatu
opsi yang diberikan oleh perusahaan asuransi kepada
tertanggung/pemegang polis untuk mendapatkan
manfaat tertentu dengan atau tanpa membayar premi
tambahan.
4. Cadangan Atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan
(unearned premium reserve) yang selanjutnya disingkat
CAPYBMP adalah sejumlah dana yang harus dibentuk
untuk menggambarkan bagian dari premi yang masa
asuransinya belum dijalani.
5. Cadangan Atas Risiko Yang Belum Dijalani (unexpired risk
reserve) yang selanjutnya disingkat CARYBD adalah
estimasi pembayaran klaim yang akan terjadi selama masa
pertanggungan di masa depan yang timbul dari polis-polis
yang aktif pada tanggal pembentukan cadangan teknis
termasuk biaya-biaya penanganan klaim yang terjadi.
Bagian Kedua
Pedoman Umum
Pasal 2
(1) Perusahaan wajib membentuk cadangan teknis dengan
metode dan asumsi sebagai berikut:
a. sesuai dengan karakteristik produk dan profil risiko
yang relevan;
b. konsisten untuk berbagai produk dalam kelompok
produk yang sama;
c. konsisten untuk produk yang sama antar tanggal
pelaporan cadangan teknis;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
d. menjamin pengakuan liabilitas yang wajar dan adil bagi
seluruh pemegang polis;
e. sesuai dengan manfaat yang dijanjikan atau yang
dijamin di dalam polis; dan
f. sesuai dengan standar praktik aktuaria yang berlaku di
Indonesia.
(2) Dalam hal terdapat perubahan metode dan asumsi
pembentukan cadangan teknis, aktuaris Perusahaan yang
ditunjuk harus menjelaskan alasan dan dampak dari
perubahan tersebut terhadap jumlah cadangan teknis
yang dilaporkan dan tingkat solvabillitas Perusahaan.
Pasal 3
(1) Dalam membentuk cadangan teknis, aktuaris Perusahaan
yang ditunjuk wajib melakukan prosedur yang memadai
untuk memperoleh keyakinan bahwa:
a. kualitas data yang disajikan oleh Perusahaan lengkap,
akurat dan reliabel; dan
b. asumsi estimasi sentral atau estimasi terbaik (best
estimate) yang digunakan Perusahaan adalah asumsi
yang terkini dan berdasarkan pengalaman antara 3
(tiga) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun terakhir.
(2) Dalam membentuk cadangan teknis, aktuaris Perusahaan
yang ditunjuk harus memberikan justifikasi untuk setiap
penggunaan asumsi.
Bagian Ketiga
Cadangan Premi
Pasal 4
(1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan premi untuk
produk asuransi yang berjangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat
diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang
tahun polis, dihitung berdasarkan estimasi sentral atau
estimasi terbaik (best estimate) dari pengeluaran dan
penerimaan yang dapat terjadi di masa yang akan datang
ditambah marjin untuk risiko pemburukan (margin for
adverse deviation) dengan tingkat keyakinan (confidence
level) paling kurang 75% (tujuh puluh lima per seratus)
pada level Perusahaan.
(2) Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi pengeluaran:
a. manfaat asuransi utama;
b. Manfaat Turunan Melekat;
c. Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat;
d. biaya pemasaran;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-4-
e. biaya penerbitan polis;
f. biaya perawatan polis; dan
g. pajak kecuali pajak penghasilan.
(3) Penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi penerimaan:
a. pendapatan premi, yaitu berdasarkan premi bruto,
termasuk premi tambahan (extra premium) karena
adanya tambahan risiko medis, risiko pekerjaan, dan
risiko lainnya;
b. pendapatan premi atas Manfaat Turunan Melekat;
c. pendapatan premi atas Manfaat Fitur Partisipasi Tidak
Mengikat; dan
d. pendapatan lain yang terkait langsung dengan kontrak
asuransi.
(4) Penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak termasuk:
a. penerimaan hasil investasi;
b. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke
pertanggungan ulang;
c. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke cadangan
akumulasi dana;
d. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke cadangan
klaim; dan
e. penerimaan dan pengeluaran dari dan ke entitas
pemegang polis yang berbeda.
Pasal 5
(1) Asumsi tingkat diskonto yang digunakan dalam
menghitung cadangan premi paling tinggi sebesar rata-
rata tingkat imbal hasil (yield) surat berharga yang
diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia pada akhir
tahun selama 3 (tiga) tahun terakhir.
(2) Asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat ditambah paling tinggi sebesar 0,5%.
(3) Untuk polis dengan denominasi rupiah, surat berharga
yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
seri benchmark.
(4) Untuk polis dengan denominasi selain rupiah, surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah surat
berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik Indonesia
dengan denominasi dollar Amerika Serikat.
(5) Surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-5-
surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia yang memiliki sisa masa jatuh tempo yang
sesuai/mendekati rata-rata sisa masa kontrak asuransi
dari polis Perusahaan yang masih aktif (inforce).
(6) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2013, Perusahaan
dapat menggunakan:
a. asumsi tingkat diskonto yang digunakan Perusahaan
dalam laporan akhir tahun 2012; atau
b. asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(7) Sampai dengan tanggal 31 Desember 2014, Perusahaan
dapat menggunakan:
a. rata-rata asumsi tingkat diskonto antara asumsi
tingkat diskonto yang digunakan Perusahaan dalam
laporan akhir tahun 2012 dan asumsi tingkat diskonto
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
b. asumsi tingkat diskonto sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Pasal 6
(1) Perusahaan dalam membentuk cadangan premi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. untuk asumsi biaya, menggunakan pengalaman terkini
perusahaan yang terdiri dari biaya tetap dan biaya
variabel yang dikaitkan pada jumlah polis/peserta aktif
(in force), penagihan premi, pengajuan klaim, besarnya
premi dan uang pertanggungan polis/peserta aktif;
b. untuk
asumsi
tingkat
klaim
(mortalita/morbidita/incidence rate), menggunakan
tabel pengalaman industri asuransi di Indonesia;
c. untuk asumsi mutasi polis atau peserta (lapse/
surrender/reinstatement/withdrawal),
pengalaman terkini perusahaan; dan
menggunakan
d. untuk asumsi inflasi menggunakan pengalaman di
Indonesia paling sedikit 3 (tiga) tahun terakhir.
(2) Apabila Perusahaan menggunakan asumsi biaya, asumsi
tingkat klaim, asumsi mutasi polis atau peserta dan/atau
asumsi inflasi selain yang dimaksud pada huruf a sampai
dengan huruf d, Aktuaris Perusahaan yang ditunjuk
harus menjelaskan bahwa asumsi yang digunakan sudah
mencerminkan kondisi Perusahaan secara wajar.
(3) Nilai total cadangan premi untuk polis dalam kelompok
produk yang sama tidak boleh kurang dari nol.
(4) Dalam hal keseluruhan cadangan premi yang dibentuk
lebih kecil dari keseluruhan nilai tunai, Perusahaan wajib
menambah nilai cadangan premi menjadi paling sedikit
sebesar nilai tunai.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-6-
Bagian Keempat
Cadangan atas Premi Yang Belum Merupakan Pendapatan
dan Cadangan atas Risiko Yang Belum Dijalani
Pasal 7
(1) Untuk produk yang berjangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1 (satu)
tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat
diperbaharui kembali (renewable) pada setiap ulang
tahun polis, Perusahaan harus menghitung CAPYBMP
dan CARYBD.
(2) Cadangan yang dibentuk untuk produk sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah cadangan yang
lebih besar antara hasil perhitungan CAPYBMP dan
CARYBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 8
(1) CAPYBMP dihitung berdasarkan proporsi premi bruto
secara harian untuk masa asuransi yang belum dijalani.
(2) Premi bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
premi bruto setelah dikurangi komisi langsung.
(3) Komisi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diperhitungkan dalam pembentukan CAPYBMP
adalah komisi aktual yang dibayar oleh Perusahaan.
(4) Komisi langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
yang diperhitungkan dalam pembentukan CAPYBMP
paling tinggi sebesar 20% (dua puluh per seratus) dari
premi bruto.
Pasal 9
(1) CARYBD dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a. CARYBD dihitung untuk tiap lini usaha atau produk
yang memiliki karakteristik risiko yang sejenis
termasuk risiko bencana (catastrophic risks)
berdasarkan rata-rata rasio klaim selama 3 (tiga) tahun
terakhir dikalikan dengan CAPYBMP;
b. rasio klaim sebagaimana dimaksud pada huruf a
dihitung dari klaim dibayar selama periode 1 (satu)
tahun dibagi pendapatan premi selama periode 1 (satu)
tahun untuk tahun yang sama;
c. rata-rata rasio klaim merupakan hasil penjumlahan
rasio klaim sebagaimana dimaksud pada huruf b
selama 3 (tiga) tahun terakhir dibagi 3 (tiga);
d. pendapatan premi sebagaimana dimaksud pada huruf
b adalah pendapatan premi selama 1 (satu) tahun
terakhir ditambah penurunan CAPYBMP atau
dikurangi kenaikan CAPYBMP selama 1 (satu) tahun
terakhir.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-7-
(2) Nilai CAPYBMP untuk tiap polis tidak boleh kurang dari
nol.
(3) Dalam hal keseluruhan CAPYBMP atau CARYBD yang
dibentuk lebih kecil dari nilai pengembalian premi yang
dijanjikan, Perusahaan harus menambah nilai cadangan
yang dilaporkan menjadi paling sedikit sebesar nilai
keseluruhan pengembalian premi yang dijanjikan.
Bagian Kelima
Cadangan Akumulasi Dana
Pasal 10
(1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan akumulasi
dana untuk produk atau bagian dari produk yang
memberikan manfaat berupa akumulasi dana paling
sedikit sebesar penjumlahan:
a. nilai wajar akumulasi aset;
b. nilai estimasi Manfaat Turunan Melekat; dan
c. nilai estimasi Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat.
(2) Nilai estimasi Manfaat Turunan Melekat dan nilai
estimasi Manfaat Fitur Partisipasi Tidak Mengikat
dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk produk asuransi yang memberikan jaminan
pengembalian dana, paling sedikit sebesar selisih
positif nilai kewajiban pengembalian dana dikurangi
dengan nilai wajar akumulasi aset sampai dengan
tanggal pembentukan cadangan teknis; dan
b. untuk produk asuransi yang memberikan jaminan
manfaat yang didasarkan pada perubahan suatu
variabel dan menjadi syarat pemberian manfaat,
dihitung berdasarkan estimasi sentral atau estimasi
terbaik (best estimate) dari pengeluaran dan
penerimaan yang dapat terjadi di masa yang akan
datang ditambah marjin untuk risiko pemburukan
(margin for adverse deviation) dengan tingkat keyakinan
(confidence level) paling kurang 75% (tujuh puluh lima
per seratus) pada level Perusahaan.
(3) Jangka waktu yang digunakan dalam melakukan estimasi
Manfaat Turunan Melekat dan nilai estimasi Manfaat
Fitur Partisipasi Tidak Mengikat sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) mengacu pada jangka waktu kontrak
sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan polis.
(4) Nilai cadangan akumulasi dana untuk tiap polis tidak
boleh kurang dari nol.
(5) Dalam hal keseluruhan cadangan akumulasi dana yang
dibentuk lebih kecil dari nilai manfaat akumulasi dana
yang dijanjikan, Perusahaan wajib menambah nilai
cadangan akumulasi dana menjadi paling sedikit sebesar
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-8-
nilai manfaat akumulasi dana yang dijanjikan pada
tanggal pembentukan cadangan teknis.
Bagian Keenam
Cadangan Klaim
Pasal 11
(1) Cadangan teknis dalam bentuk cadangan klaim paling
sedikit dihitung sebesar penjumlahan:
a. nilai estimasi klaim yang masih dalam proses
penyelesaian; dan
b. nilai estimasi klaim yang terjadi tetapi belum
dilaporkan (Incurred But Not Reported).
(2) Nilai klaim untuk produk asuransi dan atau produk
reasuransi yang masih dalam proses penyelesaian paling
sedikit dihitung berdasarkan estimasi sentral atau
estimasi terbaik (best estimate) atas klaim yang sudah
terjadi dan sudah dilaporkan tetapi masih dalam proses
penyelesaian, berikut biaya jasa penilai kerugian
asuransi, biaya penyelesaian hukum dan biaya-biaya lain
yang terkait dengan penyelesaian klaim.
(3) Nilai klaim yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan
(Incurred But Not Reported) dihitung berdasarkan estimasi
sentral atau estimasi terbaik (best estimate) atas klaim
yang sudah terjadi tetapi belum dilaporkan dengan
menggunakan metode rasio klaim atau salah satu dari
metode segitiga (triangle method), berikut biaya jasa
penilai kerugian asuransi.
(4) Dalam hal cadangan klaim dalam proses sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a belum bisa diestimasi,
jumlah yang dicadangkan adalah persentase rata-rata
klaim dibayar terhadap uang pertanggungan untuk lini
usaha yang sama pada tahun buku terakhir dikalikan
dengan uang pertanggungan dari klaim tersebut.
Bagian Ketujuh
Aset Reasuransi
Pasal 12
(1) Dalam hal Perusahaan melakukan pertanggungan ulang
atas risiko yang ditanggung, nilai estimasi pemulihan
klaim atas porsi pertanggungan ulang yang dibentuk
Perusahaan
dihitung secara konsisten dengan
pembentukan cadangan teknis sebagaimana yang diatur
pada Peraturan Ketua ini;
(2) Nilai estimasi pemulihan klaim atas porsi pertanggungan
ulang yang dibentuk Perusahaan disajikan sebagai aset
yang merupakan bagian dari tagihan reasuransi dan
termasuk dalam aset yang diperkenankan dalam
perhitungan tingkat kesehatan keuangan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-9-
Pasal 13
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2013.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-09/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PEMBENTUKAN CADANGAN TEKNIS BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date>
<related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PP/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER- 06/BL/2012
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efisiensi dan meningkatkan tata
kelola perusahaan yang lebih baik, perlu dilakukan
penyesuaian ketentuan kegiatan perusahaan pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah dengan mengubah
ketentuan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007
tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan
Prinsip Syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor PER-03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat
: 1. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan;
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
3. Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor PER-03/BL/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007
TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-
03/BL/2007 tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah, diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 10 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki
paling sedikit 2 (dua) orang Dewan Pengawas Syariah
yang terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua merangkap anggota; dan
b. 1 (satu) orang anggota.
(2) Ketua dan anggota Dewan Pengawas Syariah
diangkat dalam rapat umum pemegang saham atas
rekomendasi DSN-MUI.
(3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan
nasihat dan saran kepada direksi, mengawasi aspek
syariah kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan
dan sebagai mediator antara Perusahaan Pembiayaan
dengan DSN-MUI.
2. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 10A, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
(1) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan
Pembiayaan dilarang melakukan rangkap jabatan
sebagai anggota direksi atau dewan komisaris pada
Perusahaan Pembiayaan.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah Perusahaan
Pembiayaan dilarang merangkap jabatan sebagai
anggota Dewan Pengawas Syariah lebih dari 2 (dua)
Perusahaan Pembiayaan lain.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
Pasal II
Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
ttd
NGALIM SAWEGA
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-06/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN NOMOR PER-03/BL/2007 TENTANG KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 22 November 2012 </set_date>
<effective_date> 22 November 2012 </effective_date>
<changed_reg> 'PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007' </changed_reg>
<related_reg> '9/PERPRES/2009', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', 'PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER-09/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan daya tahan keuangan perusahaan
asuransi
dan perusahaan
reasuransi
asuransi dan perusahaan
Batas
reasuransi
terhadap dinamika
keuangan global, maka perlu dilakukan penyesuaian terhadap
faktor risiko dalam rangka perhitungan batas tingkat solvabilitas
minimum perusahaan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-02/BL/2009
tentang Pedoman
Perhitungan
Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Pedoman
Perhitungan
Mengingat
Batas
Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi
yang baru;
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 73 Tahun
1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506) sebagaimana
telah
beberapa kali
diubah,
terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4954);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun
2011;
4. Keputusan
Menteri
terakhir dengan
158/PMK.010/2008;
Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
sebagaimana beberapa kali diubah,
Menteri
Keuangan
Nomor
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi
Peraturan
Tingkat Solvabilitas
Tingkat Solvabilitas
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN
BATAS
TINGKAT
SOLVABILITAS
MINIMUM
BAGI
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI.
Pasal 1
Batas tingkat solvabilitas minimum bagi perusahaan asuransi dan
perusahaan
Keuangan
reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
Perusahaan Asuransi
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan
dan Perusahaan
Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008, ditetapkan
berdasarkan besarnya risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai
akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban.
Pasal 2
Perhitungan besarnya risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai
akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 wajib dilakukan berdasarkan
pedoman
perhitungan
batas
tingkat solvabilitas minimum
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 3
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini
tidak berlaku untuk laporan perhitungan tingkat
seluruh usahanya dengan prinsip syariah
Pasal 4
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini berlaku untuk laporan perhitungan tingkat solvabilitas
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi periode Triwulan I
yang berakhir 31 Maret 2012 dan seterusnya.
solvabilitas perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang
menyelenggarakan
maupun unit usaha syariah dari perusahaan asuransi dan reasuransi
yang tidak berdasarkan prinsip syariah.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
Pasal 5
Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini, Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor PER-
02/BL/2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat
Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 6
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 2012.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal : 1 Desember 2011
Kelua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 195906271989022001
ai dengan aslinya
Umum
Kepala bagian Umu
Kepala Bagi
SEKRETARIAT *
d Wahyt Adi Suryo
NIP 195710281985121001
End of Page 3
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER-09/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI
PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 1 -
PEDOMAN PERHITUNGAN
BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
I. Pendahuluan
Batas Tingkat Solvabilitas Minimum (BTSM) adalah jumlah minimum tingkat
solvabilitas yang harus dimiliki perusahaan asuransi atau perusahaan reasuransi,
yaitu sebesar jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko kerugian yang
mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan dan
kewajiban. BTSM terdiri dari komponen-komponen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tentang
Kesehatan
Keuangan
Perusahaan Asuransi
dan
Perusahaan
Reasuransi
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 158/PMK.010/2008, yang akan diuraikan dalam Lampiran ini.
Kekayaan adalah kekayaan yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas.
Kewajiban adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas.
II. Pedoman Umum Perhitungan
1. Perhitungan solvabilitas dan BTSM perusahaan asuransi dan reasuransi yang
memiliki unit usaha syariah dilakukan secara terpisah antara perusahaan induk
dengan unit usaha syariahnya.
2. Untuk keperluan perhitungan solvabilitas, saldo modal bersih perusahaan
asuransi dan reasuransi yang ditempatkan pada unit usaha syariah dapat dicatat
sebagai aktiva lain.
3. Perhitungan BTSM untuk Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi
(PAYDI), misalnya unit link atau produk lain yang setara, dilakukan dengan
berpedoman pada ketentuan berikut:
a. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur proteksi
produk tersebut∗)
, pencatatan kekayaan dan kewajiban tersebut dimasukkan
dalam neraca sebagai produk asuransi tradisional;
b. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi
produk tersebut, yang hasil investasinya sepenuhnya mengacu pada kinerja
pasar (tidak ada jaminan atas hasil investasi minimum), perhitungan BTSM
tidak dilakukan; dan
∗) Sesuai ketentuan, PAYDI selalu mengandung unsur proteksi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 2 -
c. Untuk bagian kekayaan dan kewajiban yang bersumber dari unsur investasi
produk tersebut yang dijamin hasil minimumnya, perhitungan BTSM
dilakukan sebagaimana diuraikan dalam Lampiran ini.
4. Bagi perusahaan asuransi yang menjual PAYDI yang menjamin hasil investasi
minimum, BTSM total
perusahaan
asuransi
tersebut merupakan
hasil
penjumlahan BTSM untuk produk-produk tradisional (non-PAYDI) dan BTSM
untuk PAYDI. Sebagai contoh untuk perusahaan asuransi jiwa yang menjual
PAYDI yang memberikan jaminan atas hasil investasi minimum, BTSM total
perusahaan adalah sebagai berikut:
Perhitungan BTSM untuk
Usaha Asuransi
PAYDI
(a)
Produk
Non PAYDI
(b)
Schedule A 25 Schedule A
Schedule B 150 Schedule B
Schedule C 15 Schedule C
Schedule D 95 Schedule D
Schedule E
Schedule F
25 Schedule E
8 Schedule F
Jumlah
318 Jumlah
BTSM Total
Perusahaan
(a) + (b)
250 Schedule A
1.500 Schedule B
150 Schedule C
275
1.650
165
950 Schedule D 1.045
250 Schedule E
75 Schedule F
275
83
3.175 Jumlah
3.493
III. Pedoman Perhitungan BTSM untuk Usaha Asuransi atau Usaha Reasuransi
1. Komponen BTSM terdiri dari:
a. kegagalan pengelolaan kekayaan;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban;
c. ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis
mata uang asing;
d. perbedaan
antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang
diperkirakan;
e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang diasumsikan
dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang diperoleh;
f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar
klaim.
Komponen b dan e di atas tidak diperhitungkan dalam BTSM untuk perusahaan
asuransi kerugian atau perusahaan reasuransi.
2. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di
berikut:
a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks)
atas adalah sebagai
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 3 -
1) Risiko kegagalan dalam pengelolaan kekayaan timbul dari kemungkinan
adanya:
a) kehilangan atau penurunan nilai kekayaan; dan
b) kehilangan atau penurunan hasil pengembangan kekayaan.
2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko kegagalan
pengelolaan tiap-tiap jenis kekayaan yang diperkenankan ditentukan
dengan mengalikan faktor risiko untuk jenis kekayaan tersebut dengan
nilai kekayaannya.
3) Faktor risiko untuk setiap jenis kekayaan yang diperkenankan adalah
sebagai berikut:
Jenis Kekayaan
Investasi
Deposito berjangka
dan
sertifikat
deposito
• Yang masuk dalam
kategori khusus
adalah
deposito/sertifikat
deposito pada satu bank
yang memenuhi
syarat
penjaminan (antara lain
batas
- Kategori
khusus
dengan
0,00%
sampai
tingkat bunga)
jumlah
dengan jumlah
maksimum yang dijamin
oleh lembaga penjamin
simpanan.
Kelebihan di atas jumlah
yang dijamin
lembaga
oleh
penjamin
dengan
simpanan masuk dalam
kategori lain
- Kategori lain
- CAR > 8%
- 8% > CAR >
5%
- CAR < 5%
Saham yang tercatat
di bursa efek
- LQ 45 di Bursa
Efek Indonesia,
atau
yang
setara di bursa
efek lainnya
faktor risiko yang
didasarkan
2,00%
4,00%
16,00%
bank yang bersangkutan.
• CAR berdasarkan
laporan keuangan tahun
terakhir yang telah diaudit
dan
disampaikan bank
kepada Bank Indonesia.
10,00%
pada CAR
data
Kategori
Faktor
Keterangan
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 4 -
Jenis Kekayaan
Kategori
- Di luar LQ 45,
atau
yang
setara
Obligasi dan MTN Peringkat
penerbitnya:
- AAA, atau
yang setara
- AA, atau yang
setara
- A, atau
setara
yang
- BBB, atau yang
setara
- BB, atau yang
setara
- B, atau
setara
yang
- Kurang dari B
atau
yang
setara atau
yang tidak
diperingkat
Surat Berharga Negara
Surat berharga yang diterbitkan oleh
Bank Indonesia
Unit penyertaan
reksadana
Portofolio efek
reksadana:
- Sepenuhnya
berupa surat
utang
pemerintah
- Sepenuhnya
berupa surat
utang swasta
dan atau surat
berharga pasar
uang
0,00%
16,00%
0,00%
0,00%
Contoh perhitungan faktor
untuk reksadana campuran
adalah sebagai berikut:
0,25%
0,50%
1,00%
2,00%
4,00%
8,00%
Termasuk dalam kategori
masing-masing peringkat
adalah + dan -.
Sebagai
peringkat A,
contoh: untuk
termasuk di
dalamnya adalah A+ dan A-.
Faktor
15,00%
Keterangan
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
2,00%
Portofolio Efek Komposisi
Obligasi
pemerintah
40%
Obligasi
swasta
40%
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 5 -
Jenis Kekayaan
Kategori
Faktor
Ekuitas
Keterangan
20%
Faktor yang dikenakan
untuk reksadana ini adalah:
Komposisi
portofolio
- Sepenuhnya
berupa surat
berharga
ekuitas
10,00%
- Campuran
Rata-rata
tertimbang
berdasarkan
komposisi
portofolio
efek
reksadana
Penyertaan langsung
Bangunan dengan
hak strata (strata
title)
atau tanah
dengan bangunan
untuk investasi
- 4% atau lebih
7,00%
Hasil investasi
bersih per tahun
16,00%
− Persentase hasil investasi
merupakan pembagian
hasil investasi dengan
nilai appraisal atau NJOP.
− Termasuk hasil investasi
adalah pendapatan sewa
bersih.
- kurang dari 4%
Pinjaman hipotik
Pinjaman polis
Bukan Investasi
Kas dan bank
Tagihan premi penutupan langsung
Tagihan reasuransi Perusahaan
- Dalam negeri
- Luar negeri
15,00%
5,00%
0,00%
0,00%
8,00%
4,00%
Bagi perusahaan reasuransi,
faktor risiko untuk tagihan
retrosesi sama dengan faktor
risiko untuk tagihan
− Kenaikan
unrealized gain
diperhitungkan
hasil investasi.
harga berupa
tidak
sebagai
40%
40%
20%
Faktor Rata-
rata
0%
2%
10%
0%
0.8%
2.0%
2.8%
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 6 -
Jenis Kekayaan
Kategori
a. Peringkat
BBB atau
yang lebih
tinggi
b. Peringkat
kurang dari
BBB
c. Tidak punya
peringkat
Tagihan hasil investasi
Bangunan dengan hak strata (strata title)
atau tanah dengan bangunan untuk
dipakai sendiri
Perangkat keras komputer
Investasi pada satu pihak
Faktor
4,00%
Keterangan
reasuransi.
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
8,00%
24,00%
2,00%
4,00%
8,00%
• Pihak adalah satu perusahaan atau
sekelompok perusahaan
memiliki hubungan
dengan yang lain.
afiliasi satu
• Contoh perhitungan:
Sebuah perusahaan asuransi memiliki
total
investasi
10,00% x rata-rata
tertimbang faktor
risiko.
milyar. Termasuk dalam
investasi tersebut adalah investasi
pada satu pihak sebesar Rp 300 milyar
terdiri dari deposito sebanyak Rp 150
milyar pada bank dengan CAR 8%
(faktor
risiko 2%), obligasi dengan
rating BB (faktor risiko 4%) sebanyak
Rp 90 milyar dan saham kategori LQ
45 (faktor risiko 10%) sebanyak Rp 60
milyar.
Rata-rata
tertimbang
faktor
risiko
investasi pada satu pihak adalah:
(Rp 150 milyar x 2% + Rp 90 milyar x
4% + Rp 60 milyar x 10%) : Rp 300
milyar = 4,2%
Tambahan dana yang dibutuhkan
untuk
mengantisipasi
kegagalan
sebesar Rp 1.000
total
yang
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 7 -
Jenis Kekayaan
Kategori
Faktor
pengelolaan
Keterangan
kekayaan
= 10% x faktor
tertimbang x
karena
eksposur pada satu pihak tersebut
adalah:
risiko rata-rata
kekayaan
diperkenankan untuk investasi
yang
satu
pihak (maksimum 25% total investasi)
= 10% x 4,2% x Rp 249,9 milyar (Rp
250 milyar – Rp 100 juta sebagai
deposito kategori khusus)
= Rp 1,05 milyar.
contoh
(Dalam
di
atas, jumlah
satu bank
sebagai
maksimum deposito berjangka dan
sertifikat deposito pada
yang dijamin
lembaga penjamin
• Faktor ini
simpanan adalah Rp 100 juta)
dikenakan
tambahan atas faktor dasar yang telah
dikenakan sesuai dengan jenis
investasinya.
Investasi yang direstrukturisasi
Suatu
investasi dikategorikan
pokok
dan
sebagai
25,00% dari nilai
investasi
direstrukturisasi
investasi yang direstrukturisasi apabila
telah dilakukan penjadwalan ulang atas
pembayaran
investasinya.
atau hasil
yang
Jika pembayaran untuk periode
sekurang-kurangnya
satu
diterima sesuai dengan
restrukturisasi,
maka
Investasi yang diragukan (impaired investment)
12,50% dari nilai
investasi
diragukan
Impaired investment adalah investasi yang
diragukan
pemenuhan
yang
Suatu
investasi dikategorikan
jadwal
pembayaran pokok investasi dan atau
hasil investasinya.
sebagai
impaired investment apabila investasi
tahun
faktor yang
digunakan kembali ke faktor dasar sesuai
dengan jenis investasinya.
telah
persyaratan
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 8 -
Jenis Kekayaan
Kategori
Faktor
Keterangan
dimaksud mengalami sekurang-
kurangnya salah satu dari hal-hal sebagai
berikut:
− keragu-raguan terhadap pemenuhan
jadwal
pembayaran
atas
investasi dan atau hasil investasinya;
atau
− penangguhan pembayaran pokok
investasi dan atau hasil investasinya
lebih dari 30 hari.
Faktor ini dikenakan sebagai tambahan
atas faktor dasar yang telah dikenakan
sesuai dengan jenis investasinya.
4) Peringkat sebagaimana dimaksud dalam tabel pada butir III 2 a. 3)
adalah peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang
terdaftar pada instansi yang berwenang atau yang telah memperoleh
pengakuan internasional.
5) Dalam hal peringkat atas suatu jenis investasi diterbitkan oleh lebih dari
satu lembaga pemeringkat, maka peringkat yang digunakan adalah
peringkat yang paling rendah.
b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cash-
flow Mismatch Risks)
1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan arus
kewajiban timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh
temponya kewajiban berbeda dengan besar dan saat jatuh temponya
kekayaan.
2) Risiko ketidakseimbangan ini dihitung untuk produk-produk yang
membentuk cadangan premi.
3) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup risiko ketidakseimbangan
tersebut ditentukan dengan menggunakan rumusan sebagai berikut:
a) 4,00% (empat per seratus) dari cadangan premi
cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan).
(tidak termasuk
b) Cadangan premi yang digunakan dalam perhitungan BTSM tersebut
adalah cadangan premi yang pembentukannya memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 424/KMK.06/2003 tersebut di atas.
c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban Dalam Setiap
Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks)
pokok
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 9 -
1) Risiko ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam
setiap jenis mata uang asing (foreign currency mismatch risks) timbul
karena adanya perbedaan nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam mata
uang asing, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah.
2) Jumlah
dana
yang dibutuhkan
Jumlah Kekayaan Yang
Diperkenankan
Dikurangi Jumlah
Kewajiban
I. Kurang dari
sama dengan nol
II. Lebih
namun
atau
30%
dari nol
tidak
melebihi 20% dari
Jumlah Kewajiban
III. Melebihi 20% dari
Jumlah Kewajiban
0%
10%
Nol
10% x (Kekayaan
Yang
Diperkenankan - 120% x
Kewajiban)
3) Hasil perhitungan jumlah dana pada butir 2) dikonversikan ke dalam
mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada
tanggal neraca.
4) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam perhitungan BTSM adalah
jumlah
dana
yang dibutuhkan
untuk menanggulangi
ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan nilai kewajiban untuk
seluruh mata uang asing.
5) Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing
terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak asuransi
dalam mata uang rupiah.
6) Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi memiliki kekayaan dan
kewajiban untuk mata uang rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura dan
yen Jepang setelah dikonversi ke rupiah adalah sebagai berikut:
Keterangan
IDR
Kekayaan
Diperkenankan
Kewajiban
USD
SGD
JPY
Yang Rp5 M Rp9 M Rp3 M Rp12 M
Rp7 M Rp4 M Rp6 M Rp11 M
risiko
untuk menanggulangi
risiko
ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam satu
jenis mata uang asing tertentu ditentukan sebagai berikut:
Faktor
Risiko
Jumlah dana yang dibutuhkan
30% x (Kewajiban – Kekayaan
Yang Diperkenankan)
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 10 -
Berdasarkan data di atas, jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup
risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap
jenis mata uang asing adalah sebesar:
a) Mata uang dolar Amerika
Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 9 M – 4 M = 5 M,
melebihi 20% dari kewajiban (0,8M)
Jumlah dana yang dibutuhkan = 10% x (9- 4,8 M) = 0,42 M
b) Mata uang dolar Singapura
Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 3 M – 6 M = - 3 M
(kurang dari nol)
Jumlah dana yang dibutuhkan = 30% x (Kewajiban – Kekayaan Yang
Diperkenakan) = 30% x (6 M – 3 M) = 0,9 M
c) Mata uang yen Jepang
Kekayaan Yang Diperkenankan – Kewajiban = 12M – 11M = 1M,
lebih besar dari nol namun kurang dari 20% jumlah kewajiban (2,2
M)
Jumlah dana yang dibutuhkan = Nol
Dengan demikian total dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk
risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban dalam mata
uang asing adalah 0,42 M + 0,9 M + 0 = 1,32 M
d. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi Dan Beban Klaim Yang
Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected)
1) Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang
diperkirakan timbul dari kemungkinan pengalaman klaim yang terjadi
lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan.
2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk risiko ini
ditentukan sebagai berikut:
a) Komponen mortalita
Produk
1. Asuransi
Jiwa
Jumlah Dana untuk
Menanggulangi Risiko
• 1‰ dari NAR beban
sendiri, untuk polis
asuransi
• 2‰ dari NAR beban
sendiri, untuk polis
asuransi jiwa lainnya.
jiwa yang
menjanjikan pembayaran
dividen;
Keterangan
NAR (Net Amount at
Risk) adalah selisih
antara Uang
Pertanggungan
dengan Cadangan
Premi polis
bersangkutan.
yang
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 11 -
2. Anuitas
3. Asuransi
Kecelakaan
Diri
• 1% dari cadangan premi
polis-polis anuitas beban
sendiri.
• 0,15‰ dari
pertanggungan
jumlah uang
polis
asuransi kecelakaan diri
beban sendiri
Untuk asuransi kecelakaan diri yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 33 tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan
Wajib Kecelakaan Penumpang, jumlah uang pertanggungan retensi
sendiri untuk cabang asuransi dimaksud dihitung berdasarkan
rumusan sebagai berikut:
UPrs = UPgross
- UPReasuransi
dimana:
• UPgross
• JT
• P
• UPrs
• UPgross
= UPper polis x JT
=
360
P
x MP
= PB : T
= jumlah total uang pertanggungan retensi sendiri
= jumlah total
uang pertanggungan
reasuransi
• UPper polis = jumlah uang pertanggungan untuk individual
polis
• JT
• P
• MP
• PB
• T
= jumlah tertanggung
= jumlah penumpang angkutan umum
= masa pertanggungan
= premi bruto (untuk 4 triwulan terakhir)
= tarif premi
Masa pertanggungan untuk masing-masing jenis angkutan ditentukan
sebagai berikut:
Jenis Angkutan
Kendaraan Bermotor
Kereta Api
Kapal Laut
Pesawat Udara
Masa Pertanggungan
2 hari
1 hari
2 hari
1 hari
sebelum
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 12 -
b) Komponen morbidita asuransi kesehatan
Komponen
1. Morbidita
klaim-klaim
baru
Jumlah Dana untuk
Menanggulangi
Risiko
10% dari pendapatan
premi satu tahun (4
triwulan) terakhir atas
polis-polis
setelah
2. Morbidita
klaim-klaim
lanjutan
10% dari
teknis
dimaksud,
dimaksud,
dikurangi
dengan beban
reasuransi.
cadangan
polis-polis
setelah
dikurangi dengan
beban reasuransi.
Untuk polis-polis yang
sudah
pernah
klaim
sebelum tanggal
neraca.
Dalam cadangan teknis
termasuk klaim yang
sudah terjadi namun
belum
dilaporkan
(Incurred But Not
Reported/IBNR).
c) Komponen klaim asuransi kerugian
i.) Komponen klaim masa depan
Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen
klaim masa depan dilakukan berdasarkan rumusan sebagai
berikut:
A = P fP + PK fK
dimana:
A = jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim
masa depan
P = pendapatan premi neto
fP = faktor risiko untuk pendapatan premi neto
PK = proyeksi beban klaim neto
fK = faktor risiko untuk beban klaim neto
dengan ketentuan bahwa
i. P dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
P = (PPL + PPTL – C) - (PR – C) – (CAPYBMPakhir
CAPYBMPawal)
Keterangan
Untuk polis-polis yang
belum pernah klaim
sampai dengan tanggal
neraca.
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
-
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 13 -
dimana:
P
PPL
PPTL
PR
C
= pendapatan premi neto
= premi penutupan langsung
= premi penutupan tidak langsung
= premi reasuransi
= komisi
CAPYBMPawal = cadangan
CAPYBMPakhir
= cadangan
atas
atas
premi
yang belum
merupakan pendapatan awal tahun
premi
ii. PK dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
PK = P1 x CR
PK > K1
dimana:
PK =
CR =
P1
K1
proyeksi beban klaim neto
klaim rasio tiga tahun terakhir
=
=
pendapatan premi neto periode berjalan
beban klaim neto periode berjalan
Dengan ketentuan bahwa:
• CR (klaim rasio)
CR =
K K K3
P P P
1 +
1
+ +
+
2
2
,
tiga tahun terakhir dihitung dengan
rumusan sebagai berikut:
3
dimana:
P1
P2
P3
= pendapatan premi neto periode berjalan, P1 ≥ 0
= pendapatan premi neto periode sebelumnya,
P2 ≥ 0
= pendapatan premi neto dua periode sebelumnya,
P3 ≥ 0
K1 = beban klaim neto periode berjalan, K1 ≥ 0
K2 = beban klaim neto periode sebelumnya, K2 ≥ 0
K3 = beban klaim neto dua periode sebelumnya, K3 ≥ 0
CR = rasio klaim tiga tahun terakhir untuk setiap lini
usaha, dengan catatan tidak kurang dari rasio
klaim dalam tabel berikut:
yang belum
merupakan pendapatan akhir tahun
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 14 -
Lini Usaha
Harta benda (property)
Kendaraan bermotor (own
damage, third party liability, dan
personal accident)
Pengangkutan (marine cargo)
Rangka kapal (marine hull)
Rangka pesawat (aviation hull)
Satellite
Energi Onshore (oil and gas)
Energi Offshore (oil and gas)
Rekayasa (engineering)
Tanggung gugat (liability)
Kredit (Credit)
Suretyship
Aneka
rasio klaim tiga
tahun
Rasio Klaim
45%
45%
30%
45%
30%
30%
30%
30%
30%
30%
30%
30%
30%
Untuk triwulan I, II, dan triwulan III tahun berjalan,
digunakan
terakhir yang
digunakan pada laporan tahunan tahun sebelumnya,
sedangkan untuk triwulan IV tahun berjalan digunakan
rasio klaim tiga tahun terakhir sesuai data tahun
berjalan.
Contoh:
Untuk triwulan IV tahun 2011
K
CR =
CR =
K
P
2009 + K2010 + K2011
2009 + P2010 + P 2011
Untuk triwulan I, II, dan III tahun 2012
2011
P
2009 + K2010 + K2011
2009 + P2010 + P
• K (Beban Klaim Neto) dihitung dengan rumusan sebagai
berikut:
K = (BK - KR) + (CK akhir - CK awal)
dimana:
K
BK
KR
= beban klaim neto
= beban klaim bruto (termasuk biaya adjuster)
= klaim reasuransi
CK awal = cadangan klaim awal tahun
CK akhir
= cadangan klaim akhir tahun
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 15 -
iii.
faktor risiko yang digunakan untuk setiap cabang asuransi
adalah sebagai berikut:
Faktor pengali terhadap
Cabang Asuransi
Harta benda (property)
Kendaraan bermotor (own
damage, third party liability, dan
personal accident)
Pengangkutan (marine cargo)
Rangka kapal (marine hull)
Rangka pesawat (aviation hull)
Satellite
Energi Onshore (oil and gas)
Energi Offshore (oil and gas)
Rekayasa (engineering)
Tanggung-gugat (liability)
Kredit (Credit)
Suretyship
Aneka
ii.) Komponen klaim masa lalu
Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen
klaim masa lalu dilakukan berdasarkan rumusan sebagai
berikut:
B = (CKDPP x f CKDPP) + (IBNR x f IBNR)
dimana:
B
Pendapatan
premi neto
(fP)
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
10%
Proyeksi
klaim
(fK)
10%
15%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
= dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim
masa lalu
CKDPP = cadangan klaim dalam proses penyelesaian yang
menjadi beban sendiri
f CKDPP = faktor risiko untuk cadangan klaim dalam proses
penyelesaian yang menjadi beban sendiri
IBNR = cadangan klaim yang sudah terjadi tetapi belum
dilaporkan yang menjadi beban sendiri
f IBNR
= faktor risiko untuk cadangan klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan yang menjadi
beban sendiri
dengan ketentuan:
i. Besar CKDPP dan IBNR, masing-masing ≥ 25% dari
CKDPP dan IBNR sebelum reasuransi;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 16 -
ii. Faktor
risiko yang digunakan untuk setiap cabang
asuransi adalah sebagai berikut:
Cabang
Asuransi
Harta benda (property)
Kendaraan bermotor (own
damage, third party liability, dan
personal accident)
Pengangkutan (marine cargo)
Rangka kapal (marine hull)
Rangka pesawat (aviation hull)
Satellite
Energi Onshore (oil and gas)
Energi Offshore (oil and gas)
Rekayasa (engineering)
Tanggung-gugat (liability)
Kredit (Credit)
Suretyship
Aneka
Faktor pengali terhadap
Klaim dalam
proses
10%
15%
15%
15%
15%
15%
15%
15%
15%
15%
10%
10%
10%
Klaim IBNR
15%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
20%
e. Ketidakcukupan Premi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang Diasumsikan
dalam Penetapan Premi dengan Hasil Investasi yang Diperoleh (Risks of
Insufficient Premium due to realized investment return worse than expected)
1) Risiko ketidakcukupan premi dapat disebabkan oleh tingkat hasil
investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi
yang diperkirakan dalam penetapan premi.
2) Jumlah dana
yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko
ketidakcukupan premi ditentukan dengan cara mengalikan cadangan
premi dengan faktor risiko.
3) Faktor risiko yang diperhitungkan dalam perhitungan jumlah dana
tersebut di atas adalah sebagai berikut:
Faktor
0,5% untuk polis-polis
yang
menjanjikan pembayaran dividen
1% untuk polis-polis lainnya
Ketentuan
Keterangan
mengenai
risiko
ketidakcukupan premi ini tidak
berlaku bagi:
• Polis-polis yang tidak memiliki
komponen premi lanjutan,
seperti polis-polis dengan
premi tunggal atau paid-up
insurance;
• Polis-polis
cadangan
yang perhitungan
preminya tidak
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 17 -
menggunakan tingkat bunga,
seperti cadangan atas
f. Risiko Reasuransi (Reinsurance Risks)
1) Komponen
risiko
premi
yang belum merupakan
pendapatan.
reasuransi dikaitkan
dengan
penanggung ulang untuk memenuhi kewajibannya.
2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk menanggulangi
risiko reasuransi ditentukan dengan cara mengalikan cadangan teknis
beban penanggung ulang dengan faktor risiko.
3) Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut:
Faktor
Penanggung
ulang
Dalam Negeri:
menyimpan
deposit
4% x (1 – (deposit/
cadangan teknis
beban penanggung
ulang))
Keterangan
Deposit adalah segala bentuk
simpanan yang ditempatkan oleh
reasuradur pada asuradur,
termasuk premi
yang ditahan
oleh asuradur dimana asuradur
memiliki otoritas penuh untuk
menggunakan simpanan
tersebut.
tidak
menyimpan
deposit
Luar negeri
4%
dengan peringkat
sekurang-kurangnya BBB:
menyimpan
deposit
tidak
menyimpan
deposit
Luar negeri
4%
dengan peringkat
kurang dari BBB:
4% x (1 – (deposit/
cadangan teknis
beban penanggung
ulang))
ketidak-mampuan
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
- 18 -
Penanggung
ulang
menyimpan
deposit
tidak
menyimpan
deposit
Faktor
8% x (1 – (deposit/
cadangan teknis
beban penanggung
ulang))
8%
Tidak mempunyai peringkat
menyimpan
deposit
Keterangan
: PER-09/BL/2011
: 1 Desember 2011
24% x (1
penanggung
ulang))
tidak
menyimpan
deposit
24%
–
(deposit/ cadangan
teknis
beban
IV. Pedoman Perhitungan BTSM untuk Perusahaan Asuransi yang Menjual PAYDI
dengan Komponen Investasi yang Dijamin Hasil Minimumnya
1. Perusahaan asuransi yang menjual PAYDI dengan komponen investasi yang
dijamin hasil minimumnya harus
dapat menentukan besar kewajiban
minimumnya kepada pemegang polis untuk komponen investasi berdasarkan
jaminan yang diberikannya dalam polis. Apabila perusahaan tidak secara khusus
menentukan jumlah kewajiban minimum kepada pemegang polis untuk
komponen investasi berdasarkan jaminan yang diberikan dalam polis, maka
kewajiban minimum tersebut dihitung dengan mengakumulasikan bagian premi
untuk komponen investasi dengan menggunakan tingkat bunga minimum yang
setara dengan jaminan dalam polis.
2. Komponen BTSM terdiri dari:
a. kegagalan pengelolaan kekayaan;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban;
c. ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam setiap jenis
mata uang asing;
3. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di
berikut:
a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks)
atas adalah sebagai
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-09/BL/2011
Tanggal :1 Desember 2011
-19-
1) Faktor risike yang dikenakan untuk setiap jenis kekayaan yang
diperkenankan dan perhitungan jumlah dana untuk BTSM sama dengan
yang berlaku untuk produk asuransi lain sebagaimana diuraikan dalam
bagian III 2 a.
2) Jumlah kekayaan yang diperkenankan yang digunakan untuk
menentukan jumlah dana dalam BTSM adalah sebesar jumlah kewajiban
minimum perusahaan kepada pemegang polis untuk komponen
investasi dari PAYDI tersebut.
) Apabila jumlah kekayaan yang diperkenankan yang telah terakumulasi
ternyata lebih kecil daripada jumlah kewajiban minimum kepada
pemegang polis sebagaimana dimaksud pada butir IV 3 a. 2), maka
jumlah kekayaan yang diperkenankan yang digunakan dalam
perhitungan adalah total akumulasi kekayaan yang diperkenankan.
. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cnsh
fiom Misnutch Risks)
1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban
timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh temponya
kewajiban berbeda dengan besar dan saat jatuh temponya kekayaan.
2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam BTSM untuk menutup risik
ketidakseimbangan tersebut ditentukan sebesar 1% (satu per seratus)
dari kewajiban minimum kepada pemegang polis untuk komponen
investasi PAYDI tersebut.
c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban dalam Setiap
Jenis Mata Uang Asing (Foreignt Curreney Mismatch Risks)
dalam BTSM untuk komponen ini sama dengan yang diuraikan dalam
bagian JII 2 c.
) Kewajiban adalah kewajiban minimum dalam mata uang asing kepada
pemegang, polis untuk komponen investasi PAYDT tersebut
3) Kekayaan adalah kekayaan yang diperkenankan dalam mata uang asing
yang dihitung menggunakan aturan sebagaimana dimaksud dalam butir
IV 3 a. 2) dan IV 3 a. 3).
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
agan Umum NIP19590627196922000
Prasetyo Wahyd Adi Suryo
End of Page 23
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-09/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN BATAS TINGKAT SOLVABILITAS MINIMUM BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 1 Desember 2011 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2012 </effective_date>
<replaced_reg> 'PER-02/BL/2009|PERTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '20/M|KEPPRES/2011', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '73/PP/1992', '81/PP/2008' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 03 /BL/2007
TENTANG
KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa industri perusahaan pembiayaan memerlukan
keragaman sumber pembiayaan dan investasi, termasuk
melalui sumber pembiayaan dan investasi yang didasarkan
pada Syariat Islam;
b. bahwa dalam rangka memberikan kerangka hukum yang
memadai terhadap sumber pendanaan bagi perusahaan
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, maka dipandang
perlu untuk menetapkan Peraturan Bapepam dan Lembaga
Keuangan tentang Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor
106 Tahun 2007);
2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 53);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI) Nomor: B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal 29 Nopember
2007 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan Bapepam
dan LK;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG
KEGIATAN PERUSAHAAN
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH.
PEMBIAYAAN
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Anjak Piutang (Factoring) adalah kegiatan pengalihan
piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut
pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan Prinsip
Syariah.
2. Dewan Pengawas Syariah adalah badan yang ditunjuk oleh
Dewan Syariah Nasional yang ditempatkan di lembaga
keuangan atau bisnis syariah yang bertugas mengawasi
kegiatan usaha perusahaan agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
3. Dewan Syariah Nasional adalah Dewan yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia untuk menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga
keuangan syariah, yang selanjutnya disebut DSN-MUI.
4. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
5. Menteri adalah Menteri Keuangan.
6. Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan
pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan
kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran
sesuai dengan Prinsip Syariah.
7. Perusahaan Pembiayaan adalah Perusahaan Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan tentang Perusahaan Pembiayaan.
8. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam yang
menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan
dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis
syariah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh
DSN-MUI.
9. Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa
guna usaha dengan hak opsi (Finance Lease) maupun sewa
guna usaha tanpa hak opsi
(Operating Lease) untuk
digunakan oleh penyewa guna usaha (Lessee) selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran
sesuai dengan Prinsip Syariah.
10. Usaha Kartu Kredit (Credit Card) adalah fasilitas jaminan
pembayaran untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan
menggunakan kartu kredit sesuai dengan Prinsip Syariah.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
BAB II
SUMBER PENDANAAN DAN KEGIATAN PEMBIAYAAN
Bagian Pertama
Sumber Pendanaan
Pasal 2
(1) Sumber pendanaan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
wajib diperoleh berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Sumber pendanaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh Perusahaan
Pembiayaan melalui:
a. Pendanaan
Mudharabah
investment);
b. Pendanaan
investment);
Mudharabah Muqayyadah
(restricted
c. Pendanaan Mudharabah Musytarakah;
d. Pendanaan Musyarakah (Equity participation); dan
e. Pendanaan lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah.
Pasal 3
(1) Pendanaan Mudharabah Mutlaqah diperoleh Perusahaan
Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain
yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal),
dimana shahibul mal tersebut membiayai 100% (seratus
perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang
tidak ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan
keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
(2) Pendanaan Mudharabah Muqayyadah diperoleh Perusahaan
Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain
yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), di
mana shahibul mal tersebut membiayai 100% (seratus
perseratus) modal kegiatan pembiayaan untuk proyek yang
telah ditentukan oleh Perusahan Pembiayaan, dan
keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan yang
dituangkan dalam akad.
(3) Pendanaan Mudharabah Musytarakah diperoleh Perusahaan
Pembiayaan melalui akad kerja sama dengan pihak lain
yang bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal),
dimana shahibul mal dan Perusahaan Pembiayaan selaku
pengelola (mudharib) turut menyertakan modalnya dalam
kerja sama investasi dan keuntungan usaha dibagi sesuai
kesepakatan yang dituangkan dalam akad.
Mutlaqah
(unrestricted
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-4-
(4) Pendanaan Musyarakah diperoleh Perusahaan Pembiayaan
melalui akad kerja sama dengan pihak lain untuk usaha
tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan
risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
yang dituangkan dalam akad.
Pasal 4
Sumber pendanaan berdasarkan Prinsip Syariah
yang
diperoleh Perusahaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib diperhitungkan sebagai
komponen dalam menghitung gearing ratio Perusahaan
Pembiayaan.
Bagian Kedua
Kegiatan Pembiayaan
Pasal 5
Setiap Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib menyalurkan dana
untuk kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
Pasal 6
Kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah:
a. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan:
1) Ijarah; atau
2) Ijarah Muntahiyah Bittamlik.
b. Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah
bil Ujrah.
c. Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan:
1) Murabahah;
2) Salam; atau
3) Istishna’.
d. Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip
Syariah.
e. Kegiatan pembiayaan lainnya yang dilakukan sesuai
dengan Prinsip Syariah.
Pasal 7
Kegiatan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang tidak
diatur dalam Pasal 6 hanya dapat dilakukan setelah mendapat
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-5-
opini Dewan Pengawas Syariah dan disetujui oleh Ketua.
Pasal 8
(1) Ijarah dalam pembiayaan Sewa Guna Usaha adalah akad
penyaluran dana untuk pemindahan hak guna (manfaat)
atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan Pembiayaan
sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir)
tanpa diikuti pengalihan kepemilikan barang itu sendiri.
(2) Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah)
antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada
penyewa setelah selesai masa sewa.
(3) Wakalah bil Ujra adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak
(al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
(4) Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan
suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga
perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya
secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.
(5) Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu
barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga
lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati
para pihak.
(6) Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati antara pemesan (pembeli,
mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`) dengan harga
yang disepakati bersama oleh para pihak.
Pasal 9
(1) Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang disalurkan
oleh Perusahaan Pembiayaan dapat merupakan komponen
investasi, piutang pembiayaan, atau piutang sewa.
(2) Komponen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
akan diperhitungkan sebagai pembandingan dengan total
aktiva Perusahaan Pembiayaan yang paling kurang 40 %
(empat puluh perseratus).
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-6-
BAB III
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 10
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki Dewan
Pengawas Syariah yang terdiri dari paling kurang 2 (dua)
orang anggota dan satu orang ketua.
(2) Anggota Dewan Pengawas Syariah diangkat dalam rapat
umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama
Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat
dan saran kepada direksi, mengawasi aspek syariah
kegiatan operasional Perusahaan Pembiayaan dan sebagai
mediator antara Perusahaan Pembiayaan dengan DSN-
MUI.
BAB IV
PELAPORAN
Pasal 11
(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan
berdasarkan Prinsip Syariah wajib melaporkan kegiatannya
kepada Ketua dengan menggunakan formulir A, formulir
B, formulir C, formulir D, dan formulir E Lampiran 1
Peraturan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendapatkan pernyataan kesesuaian Syariah oleh Dewan
Pengawas Syariah yang dengan tembusan kepada DSN-
MUI.
(3) Dokumen laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Menteri c.q. Biro Pembiayaan dan
Penjaminan dengan tembusan kepada Bank Indonesia c.q.
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter-Bagian Statistik
Moneter disertai dengan softcopy yang disimpan dalam
media penyimpanan disket atau compact disc.
Pasal 12
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
wajib disampaikan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
wajib disampaikan secara lengkap dan benar.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-7-
BAB V
SANKSI
Pasal 13
Pelanggaran terhadap Peraturan ini akan dikenakan sanksi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahan Pembiayaan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Perusahaan Pembiayaan yang telah melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum Peraturan ini
ditetapkan, wajib menyesuaikan pelaporan kegiatannya
dengan peraturan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak
peraturan ini ditetapkan.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 10 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-03/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 10 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 10 Desember 2007 </effective_date>
<related_reg> '20/P|KEPPRES/2005', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '1169/KMK.01/1991|KEP-MENKEU/1991', '61/KEPPRES/1988' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 07 /BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN
PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN
UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL
ALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANS
DENGAN PRINSIP SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) dan
Pasal 25 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi
dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah, perlu untuk
menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan tentang Pedoman Perhitungan Jumlah Dana
Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian
Pengelolaan Dana Tabarn dan Perhitungan Jumlah Dana Yang
Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko
Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha
Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506),
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954);
3. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/M Tahun
2011;
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 424/KMK.06/2003
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi sebagaimana telah beberapa kali diubah,
End of Page 1
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
158/PMK.010/2008;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.010/2010 tentang
Penerapan Prinsip Dasar Penyelenggaraan Usaha Asuransi dan
Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2011 tentang
Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi Dan Usaha Reasuransi
Dengan Prinsip Syariah;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN
JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KBRUGIAN PENGELOLAAN DANA
TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS
DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO
KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM
PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA
REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH.
Pasal 1
Perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya dengan prinsip
syariah wajib menghitung
a. jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalan
pengelolaan kekayaan dan/ atau kewajiban dana tabaru'; dan
b. jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses
produksi, ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau
sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian lain
yang merugikan.
Pasal 2
Perhitungan jumlah dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
wajib dilakukan berdasarkan Pedoman Perhitungan Jumlah Dana
Yang Diperlukan Untuk Mengantisipasi Risiko Kerugian
Pengelolaan Dana Tabarru' dan Perhitungan Jumlah Dana Yang
Harus Disediakan Perusahaan Untuk Mengantisipasi Risiko
Kerugian Yang Mungkin Timbul Dalam Penyelenggaraan Usaha
Asuransi dan Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah,
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian
End of Page 2
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3
yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 3
Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini, Peraturan Ketua Badan
Rengawas Pasar Modal dan Lembaoa Ko
02/BL/2009 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat
Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi dinyatakan tidak berlaku bagi perusahaan asuransi dan
perusahaan reasuransi yang menyelenggarakan seluruh atau
sebagian usahanya dengan prinsip syariah.
Pasal 4
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di: Jakarta
pada tanggal : 29 April 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
aan sesuai dengan aslinya
Kep alBagian Umum
()
Feasdtyo Wahyu AdiSuryo
End of Page 3
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER-07/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN
PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM
ENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN
PRINSIP SYARIAH
End of Page 4
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK
MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN
PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN
UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL
DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI
DENGAN PRINSIP SYARIAH.
I. Perhitungan jumlah dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian
yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan kekayaan
dan/atau kewajiban dana tabarr.
1. Komponen risiko kerugian yang mungkin timbul terdiri dari
a. kegagalan pengelolaan kekayaan;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan kewajiban;
c. ketidakseimbangan antara nilai kckayaan dan kewajiban dalam setiap jenis
mata uang,
d perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban idlaim yang
diperkirakan
e. ketidakcukupan kontribusi akibat perbedaan hasil investasi yang
diasumsikan dalam penetapan kontribusi dengan hasil investasi yang
diperoleh; dan
t. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi kewajiban membayar
klaim.
2. Jumlah dana diperoleh dengan menjumlahkan seluruh komponen pada angka
3. Cara Perhitungan untuk masing-masing komponen risiko pada angka 1 adalah
sebagai berikut
a. Kegagalan Pengelolaan Kekayaan (Asset Default Risks)
1) Risiko kegagalan dalam pengelolaan kekayaan timbul dari kemungkinan
adanya
a) kehilangan atau penurunan nilai kekayaan; dan
b) kehilangan atau penurunan hasil pengembangan kekayaan.
2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian
yang mungkin timbul sebagai akibat dari kegagalan pengelolaan setiap
jenis kekayaan yang diperkenankan diperoleh dengan menjumlahkan
hasil perkalian antara nilai kekayaan yang diperkenankan dengan faktor
risiko untuk setiap jenis kekayaan tersebut.
End of Page 5
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal :29 April 2011
sebagai berikut:
|Deposito pada |a. Kategori khusus 0,00%- Yang termasuk dalam
kategori khusus adalah
|Bank b. Kategori lain:| kategori khusus dadalah
b. Kategori lain | jumlah deposito yang dijamin
jumlah deposito yang dijamin
- CAR> 8% 2,009| oleh Lembaga Penjamin
200%/ oleh Lembaga Penjamin
Kelebihan di abas
-895 CAR25%| 4,00%| Simpanan. Kelebihan di atas
4,0096| Simpanan. Kelebihan di atas
jumlah yang dijamin oleh
16,009| Lembaga Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan
dikelompokkan ke dalam
kategori lain dengan faktor
CAR bank yang
bersangkutan.
-CAR berdasarkan data
laporan keuangan tahun
terakhir yang telah diaudit
dan disampaikan bank
kepada Bank Indonesia
|Saham syariah
s. Seham yang
termasuk dalam
Jakarta Islamic
Index (II) di
Bursa Efek| 10,009
Indonesia, atau
bursa efek
lainnya.
Saham yang tidak
termasuk dalam
Jakarta Islamic
Index (ll) di
Bursa Efek| 15,009
Indonesia, atau
yang setara dil
bursa efek
lainnya.
Sukuk atau
Peringkat
obligasi syariah;
a. PeringkatI| 0,259 |- peringkatIl: AA
End of Page 6
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
b. Peringkat II0,50%
peringkat II: A
peringkat IV BBB
. Peringkat II | 1,00%- peringkat IV. BBB
c. Peringkat III |11,00%
d. Peringkat IV| 2,00%
d. Peringkat IV
Surat Berharga Syariah Negara;
|Surat berharga syariah yang
diterbitkan ojeh Banklndog| 0,00%
diterbitkan oleh Bank Indonesia;
Surat berharga | Peringkat:
syariah yang
syarahiyanga. Peringkat I|0,25% |- peringkat I AAA
aga. Peringkat I0,25
|diterbitkan oleh
negara selain |b. Peringkat II | 0,50%
peringkat Il: A
Negara 1c. Peringkat II | 1,00%- peringkat IV. BBB
Negata c. Peringkat III | 1,00%
Indonesia, | d.Peringkat IV| 2,00%
Surat berharga | Peringkat:| | Contoh peringkat:
5arban a einat259 ia
|diterbitkan oleh
lembaga (b. Peringkat II
lembaga [b. Peringkat II| 0,50%|_ peringkat UII A
multinasional
multinasional |c. Peringkat III
maultinasionalc Peringkat III1.00% |- peringkat IV. BBB
yang Negara
|Republik
|Indonesia
menjadi salah
menjadi salah 1d. Peringkat IV | 2,00%
satu anggota
atau pemegang
sahamnya;
Reksa dana| Portofolio efek reksa
syariah| dana:
a. Sepenuhnya
berupa SBSN
b. Sepenuhnya
berupa sukuk
c. Sepenuhnya
berupa saham
syariah
|Rata- |Contoh perhitungan faktor
|tertim- |campuran adalah sebagail
bang berikut
|berda- |Portofolio Efek| Komposisi
End of Page 7
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
arkan SBSN
kompo-
mpe-Sukuk dengan 40
peringkat keempat
[peringkat keempat
-lio efek(Saham Syariah 20%
reksa |yang termasuk
(yang termasuk/
dana |dalam Jakarta
Islamic Index (ID)
|Faktor risiko yang dikenakan
|2,8% yang diperoleh dari
perhitungan berikut:
Komposisi |Faktor| Rata-
portofolio| Risiko | rata
40%0%|0%
40% 290.89
209 10% | 2.0%,
2,8%
|Efek beragun
Peringkat EBA:
|Contoh peringkat:
aset syariah
yang diterbitkan |a. Peringkat I 0,25%
yang diterbitkan
peringkatII: AA
berdasarkan |b. Peringkat II| 0,50%
investas |c. Peringkat III| 1,00%
d.Peringkat IV 2,00%
Noekt erekdPeringkat I 200
svaiahe.Peringkat V 4,00%
e. Peringkat V| 4.00%
. Peringkat VI 8,00%
g. Kurang dari
Peringkat VIatau
Peringkat VIatau| 16.00%
yang tidak | 16,009
yang tidak
diperingkat
Pembiayaan melalui mekanisme
|kerjasama dengan pihak lain dalam
|bentuk pembelian pembiayaan
(refinuancing) syarialt;
Emas mumni
Emas murni- 0,25%
Bukan Investasi:
End of Page 8
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
0,00%
|Bank |a. Jumlah dana yang
dijamin oleh LPS
b.Jumlah dana yangl
tidak dijamin LPS
Tagihan kontribusi 8,00%
Tagihan kontribusi
8,00%
an |a. Reasuradur
Tagihan |a. Reasuradur
|Bagi perusahaan reasuransi,
dalam neger.
retrosesi sama dengan faktor
b. Reasuradur Juar
|risiko untuk tagihan reasuransi.
negeri;
1. Reasuradur
dengan
prinsip syariah
- Reputasi baik | 4,00%
Tidak
catatan 16,00%
Peringkat
empat ke atas /
- Peringkat
kelima dan| 16,009
seterusnya
- Tidak punya
peringkat| 25,0070
Tagihan |a. Investasi yang |1% | Tagihan investasi termasuk)
Investasi| belum dicairkan diatas |semua investasi yang memiliki
belum dicairkan diatas (semua investasi yang memiliki|
perusahaan pada faktor |salah satu dari karakteristik
tanggal jatuh risiko |sebagai berikut
tempo. |awal - Perusahaan belum
b.Investasi yang 25,00% mencairkannya pada|
gagal bayar pada| tanggal jatuh tempo.
End of Page 9
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
tanggal jatuh
Tidak dapat dicairkan
(gagal bayar) pada tanggal
tempo atau saat
dicairkan
jatuh tempo, tanpa
pemberitahuan mengenail
penangguhan pembayaran
atau restrukturisasi|
maupun tidak ada|
restrukturisasi.
|Tagihan hasil investasi
|2,00%
|Investasi pada satu pihak
10,009 | Contoh perhitungan
x rata-l Sebuah perusahaan
rata asuransi memiliki total
bang miliar. Termasuk dalam
|faktor total investasi tersebut
risiko. adalah investasi pada satu
adalah investasi pada satu
pihak sebesar Rp300 miliar
terdiri dari deposito sebesar
Rp150 miliar pada bank
dengan CAR 89 (faktor
saham kategori jll (faktor
risiko 10%) sebesar Rp60
miliar.
Rata-Tata tertimbang faktor
risiko investasi pada satu
pihak adalah:
(Rp150 miliar x 2% + Rp90
miliar x 29 + Rp60 miliar x
10%) : Rp 300 miliar - 3,6%
dibutulkan untuk
End of Page 10
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
satu pihak (maksimum 20%
dari total investasi)
- 10% x 3,69 x Rp198 miliar
(Rp200 miliar - Rp2 miliar
sebagai deposito kategori
khusus)
- Rp 712,8 juta.
(Dalam contoh di atas,
jumlah maksimum deposito
pada satu bank yang
dijamin Lembaga Penjamin
Simpanan adalah Rp2
miliar)
Faktor ini dikenakan
sebagai tambahan atas
faktor dasar yang telah
dikenakan sesuai dengan
jenis investasinya.
b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Kekayaan dan Kewajiban (Cash
fiou Mismatch Risks)
1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus kekayaan dan arus
kewajiban merupakan risiko yang terjadi karena adanya perbedaan
jumlah dan saat jatuh tempo antara kewajiban dan kekayaan
2) Risiko ketidakseimbangan ini dihitung untuk produk-produk yang
membentuk penyisihan kontribusi.
3) Jumlah dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari dana yang
diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian pada komponen risiko
ketidakseimbangan ini ditentukan dengan menggunakan rumusan
sebagai berikut
) 4,00% (empat per seratus) dari penyisihan kontribusi (tidak termasu
penyisihan kontribusi yang belum menjadi pendapatan/hak).
b) Penyisihan kontribusi yang digunakan dalam perhitungan pada
huruf a tersebut adalah penyisihan kontribusi yang
pembentukannya memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor
11/PMK.010/2011 tentang Kesehatan Keuangan Usaha Asuransi dan
Usaha Reasuransi Dengan Prinsip Syariah.
c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Kekayaan dan Kewajiban Dalam Setiap
Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks)
End of Page 11
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
1) Risiko ketidakseimbangan antara nilai kekayaan dan kewajiban dalam
setiap jenis mata uang asing (foreign currency nismatch risks) timbul
karena adanya perbedaan nilai kekayaan dan nilai kewajiban dalam
mata uang asing, serta fluktuasi nilai tukar mata uang asing terhadap
rupiah.
2) Untuk menghitung jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi
risiko kerugian akibat ketidakseimbangan ini, terlebih dahulu jumlah
kekayaan dan kewajiban dalam mata uang asing tersebut dikonversikan
ke dalam mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia
pada tanggal neraca.
3) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko kerugian
akibat ketidakseimbangan ini, ditentukan sebagai berikut:
Jumlah Kekayaan Dana Tabara
enis mata uang yang samia
I. Kurang dari atau sama | 30% | 30% x (Kewajiban - Kekayaan
dengan nal /jang diperkenankan)
II. Lebih dari nol namun tidak 0% | Nol
melebihi 209 dari Jumlah
Kewajiban
III. Melebihi 20% dari Jumlah 10% | 10% x (Kekayaan yang
Kemaian dinoslon
Kewajiban)
4) Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing
terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak asuransi
dalam mata uang rupiah.
5) Sebagai contoh, sebuah perusahaan asuransi memiliki kekayaan dan
kewajiban untuk mata uang rupiah, dolar Amerika, dolar Singapura dan
yen Jepang setelah dikonversi ke rupiah adalah sebagai berikut.
Keterangan IDR| USD SSGD JPY
Kekayaan yang diperkenankan Rp5M / Rp9M /Rp3M Rpi2M
Kewajiban Rp7M Rp4M | Rp6 M Rp11M
Berdasarkan data di atas, jumlah dana yang dibutuhkan untuk menutup
risiko kerugian sebagai akibat dari ketidakseimbangan nilai kekayaan
dan kewajiban dalam setiapjenis mata uang asing adalah sebesar
a) Mata uang dolar Amerika
Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 9 M - 4 M = 5 M,
melebihi 209 dari kewajiban (0,8M)
Jumlah dana yang dibutuhkan = 10% x (9M - 4,8 M) =- 0,42M
b) Mata uang dolar Singapura
End of Page 12
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
9-
Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 3 M - 6 M = - 3 M
(kurang dari nol)
Jumlah dana yang dibutuhkan = 309 x (Kewajiban - Kekayaan) -
30% x (6M - 3 M) - 0,9 M
c) Mata uang yen Jepang
Kekayaan yang diperkenankan - Kewajiban = 12M - 11M - 1M,
lebih besar dari nol namun kurang dari 20% jumlah kewajiban (2,2
M)
Jumlah dana yang dibutuhkan = Nol
Dengan denikian total dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari
dana yang diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian pada
komponen risiko ketidakseimbangan nilai kekayaan dan kewajiban
dalam mata uang asing adalah 0,42 M + 0,9 M + 0 = 1,32 M.
d. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi dan Beban
. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi dan Beban Klaina Yang
Diperkirakan (Risks of Clain Experience Worse Than Expected)
Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected)
1) Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang
daenaan a ai einan eala .
lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan.
2) Jumlah dana yang diperhitungkan untuk mengantisipasi risiko ini
ditentukan sebagai berikut
a) Komponen mortalita
a Dama untuk
Prodtk Mengantisipasi Keterasgaf
Risiko
1. Asuransi | 2%a dari NAR beban | NAR (Net Amount at Risk)
Jiwa | sendiri, untuk polis | adalah selisih antara Uang
| asuransi jiwa | Pertanggungan dengan
lainnya. | penyisihan kontribusi untuk
polis yang bersangkutan,
2. Asuransi | 0,15%o dari jumlah
Kecelakaan | uang pertanggungan
Diri | polis asuransi
| kecelakaan diri
beban sendiri
b) Komponen morbidita asuransi kesehatan
Kompoinen Jutilalhi Dania tuntuk Keterarigaan
Mengantisipasi Risike
1. Morbidita klaim | 10% dari kontribusi | Untuk polis-polis
klaim baru | para peserta satu yang belum pemah
para peserta satu yang belum pemah
tahun terakhir atas klaim sampai dengan
polis-polis dimaksud, | tanggal neraca.
setelah dikurangi
dengan beban
reasuransi.
End of Page 13
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal :29 April 2011
10-
2. Morbidita klaim- | 109 dari penyisihan Untuk polis-polis
Klaim lanjutan | teknis polis-polis | yang sudah pemah
teknis polis-polis | yang sudah pemah
dimaksud, setelah | klaim sebelum
dikurangi dengan tanggal neraca.
beban reasuransi.| Dalam penyisihan /
teknis termasuk
terjadi namun belum
dilaporkan (Incurred
But Not |
Reported/IBNR).
c) Komponen klaim asuransi kerugian
(1) Komponen klaim masa depan
Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen
klaim masa depan dilakukan berdasarkan rumusan sebagai
berikut:
A= Kf+ PC fe
dimana
A = jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim
masa depan
K = kontribusi para peserta neto
fk = faktor risiko untuk kontribusi para peserta neto
PC = proyeksi beban klaim neto
fe - faktor risiko untuk beban klaim neto
dengan ketentuan bahwa
(a) K dihitung dengan rumusan sebagai berikut
K -(KPL+ KPTL)-KR-(PAKYBMPakhir - PAKYBMPawai)
dimana
K = kontribusi para peserta
KPL - kontribusi penutupan langsung
KPTL = kontribusi penutupan tidak langsung
KR - kontribusi reasuransi
PAKYBMPawal = penyisihan atas kontribusi yang belum
merupakan pendapatan di awal tahun
PAKYBMPakhis - penyisihan atas kontribusi yang belum
merupakan pendapatan di akhir tahun
(b) PC dihitung dengan rumusan sebagai berikut:
PC - Ki x CR
PC > KI
dimana
End of Page 14
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
-11-
PC = proyeksibeban klaim neto
CR = rasio klaim tiga tahun terakhir
Ki = kontribusi para peserta periode berjalan
C= beban klaim neto periode berjalan
Dengan ketentuan bahwa
- CR (rasio klaim) tiga tahun terakhir dihitung dengan
rumusan sebagai berikut:
G,+C,+C,
K, +K,+K,
dimana
Ki -kontribusi para peserta periode berjalan, Ki 2 0
Ka-kontribusi para peserta periode sebelumnya, K22 0
Ks -kontribusi para peserta dua periode sebelumnya, K
20
Ci -beban klaim neto periode berjalan, C 20
Cz-beban klaim neto periode sebelumnya, Ga2 0
Cs -beban klaim neto dua periode sebelumnya, Cs 2 0
CR = rasio klaim tiga tahun terakhir untuk setiap lini
usaha, dengan catatan tidak kurang dari rasio
klaim dalam tabel berikut:
Harta benda (properti)
Kendaraan bermotor (orun damage, thrird
partu liabilihu, dan personal accident)
Pengangkutan (muarine cargo)
Pengangkutan (maririe Corgo) 309te
Rangka kapal (marine Null)
Rangka pesawat (aoiation hull) 30%
Sateilite
Satellite 309
Energi Onshore (oil and gas) 30%
Energi Offshore (oil and gas) 30%
Rekayasa (engineering) 30%
Tanggung-gugat (iabiliti) 33096
Aneka | 30%
Aneka
Untuk triwulan I, Il, dan triwulan III tahun berjalan,
digunakan rasio klaim tiga tahun terakhir yang
digunakan pada laporan tahunan tahun sebelumnya,
sedangkan untuk triwulan IV tahun berjalan digunakan
rasio klaim tiga tahun terakhir sesuai data tahun
End of Page 15
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
-12-
Contoh
Untuk triwulan I, II, dan III tahun 2010
Cao + Coos + Caoog
K.00 +K.00+K.9
Untuk triwulan IV tahun 2010
Capns + Capo + Croio
K.os +K.oog + K.010
C (Beban Klaim Neto) dihitung dengan rumusan sebagai
berikut
C - (BC - CR) + (PC akhir - PC awa)
dimana:
C - beban klaim neto
BC - beban klaim bruto (termasuk biaya adjuster)
CR - klaim reasuransi
PC awal - penyisihan klaim awal tahun
PC akhir - penyisihan klaim akhir tahun
%
Harta benda (groperty) 10%| 10%
Kendaraan bermotor (oron
|Kendaraan bermotor (otun 10% 15%
|dmage, third party linbilitu, dan
personal accident)
Pengangkutan (marine cargo)
Rangka kapal (marine hull) 10% 20%
Rangka pesawat (auintion hull) | 10% 20%
Satellite| 10% 20%
Energi Onshore (oil and gas)| 10% 20%
Energi Olishore (oil and gas) | 10% 20%
Rekayasa (engineering) | 10% 20%
Tanggung-gugat (liabilit) | 10% 20%
Aneka 10% 20%
End of Page 16
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
-13 -
(2) Komponen klaim masa lalu
Perhitungan jumlah dana yang dibutuhkan untuk komponen
klaim masa lalu dilakukan berdasarkan rumusan sebagai
berikut
B = (PCDPP x f pcorp) + (IBNR x f isNR)
dimana
B = dana yang dibutuhkan untuk komponen klaim masa
lalu
PCDPP= penyisihan klaim dalam proses penyelesaian yang
menjadi beban sendiri
f pcoPp = faktor risiko untuk penyisihan klaim dalam prose
penyelesaian yang menjadi beban senditi
BNR = penyisihan klaim yang sudah terjadi tetapi belu
dilaparkan yang menjad beban sendini
fTBNR = faktor risiko untuk penyisihan klaim yang sudah
terjadi tetapi belum dilaporkan yang menjadi beban
sendiri
dengan ketentuan
i. Besar PCDPP dan IBNR, masing-masing 2 25 dari PCDPP
dan IBNR sebelum reasuransi;
i. Faktor risiko yang digunakan untuk setiap cabang asuransi
adalah sebagai berikut
Harta benda (property)
Harta benda (properti) | 10% | 15%
parhy liability, dan personal accident)
Pengangkutan (narine cargo) | 159 20%
Rangkakapal(inarime hal) 1570 2070
Rangka pesawat (auiation hul) 159 20%
Satellite 15% 20%
Energi Onshore (oil and gas) | 15% 20%
Energi Offshore (oil and gas) | 15% 20%
Rekayasa (engineering) | 15% 20%
Tanggung-gugat (iabilih) 15% 20%
Aneka
e. Ketidakcukupan Kontribusi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang
Diasumsikan dalam Penetapan Kontribusi dengan Hasil Investasi yang
Diperoleh (Risks of Insufficient Contribution due to experienced inpestment return
toorse than expected)
End of Page 17
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
1) Risiko ketidakcukupan kontribusi dapat disebabkan oleh tingkat hasil
investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi
yang diperkirakan dalam penetapan kontribusi.
2) Jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko
ketidakcukupan kontribusi ditetapkan sebesar 1 % dari penyisihan
kontribusi.
f. Ketidakmampuan Pihak Reasuradur Untuk Memenuhi Kewajiban
Membayar klaim (Reinsurance Risks).
1) Jumlah dana yang diperhitungkan sebagai bagian dari dana yang
diperlukan untuk mengantisipasi risiko kerugian sebagai akibat dari
devisasi dalam pengelolaan kekayaan dan/atau kewajiban untuk
komponen risiko ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi
kewajiban membayar klaim ditentukan dengan cara mengalikan
penyisihan teknis beban reasuradur dengan faktor risiko.
2) Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut:
ReBauradin FARtol Ketefalhigas
Dalam Negeri
* menyimpan |49 x (1 - Deposit adalah sejumlah dana yang
|(deposit/ ditempatkan oleh reasuradur pada
penyisihan teknis | asuradur, termasuk kontribusi yang
reasuradur) | asuradur memiliki otoritas penuh
asuradur memiliki otoritas penuh
untuk menggunakan simpanan
tersebut.
tidak
menyimpan
deposit
Teasuradur dengan prinsip syariah
memiliki peringkat dalam kategori
. reputasi baik | 49
reputasi baik
|empat peringkat teratas dari lembaga
pemeringkat yang diakui secara
internasional atau surat keterangan
di negara reasuradur berdomisili
memiliki peringkat dalam kategori
peringkat kelima dan seterusnya.
tidak memiliki peringkat.
. tidak memiliki | 25
catatan
reputasi baik
reasuradur konvensional
End of Page 18
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 07/BL/2011
Tanggal : 29 April 2011
- 15
Reasifadur Faktot Kefefangan
| peringkat | 4%
empat ke atas
* peringkat| 16%6
kelima dan
seterusnya.
tidak memiliki | 25%
peringkat
II. Perhitungan jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul dari kegagalan dalam proses produksi,
ketidakmampuan sumber daya manusia, dan/atau sistem untuk berkinerja baik,
atau adanya kejadian-kejadian lain yang merugikan.
Jumlah dana yang harus disediakan untuk mengantisipasi risiko kerugian yang
mungkin timbul dari kegagalan proses produksi, ketidakmampuan sumber daya
manusia dan/atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian-kejadian
lain yang merugikan adalah sebesar 29 dari total beban usaha Dana Perusahaan
untuk periode berjalan.
Beban usaha terdiri dari biaya akuisisi, ujralh reasuransi, beban pemasaran, beban
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Ssindh sesuai dengan aslinya
Kepa Bagian Umum
oa Kasyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
End of Page 19
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-07/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG DIPERLUKAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN PENGELOLAAN DANA TABARRU' DAN PERHITUNGAN JUMLAH DANA YANG HARUS DISEDIAKAN PERUSAHAAN UNTUK MENGANTISIPASI RISIKO KERUGIAN YANG MUNGKIN TIMBUL DALAM PENYELENGGARAAN USAHA ASURANSI DAN USAHA REASURANSI DENGAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 29 April 2011 </set_date>
<effective_date> 29 April 2011 </effective_date>
<replaced_reg> 'PER-02/BL/2009|PERTA-BAPEPAM-LK/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '20/M|KEPPRES/2011', '11/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011', '2/UU/1992', '158/PMK.010/2008|PER-MENKEU/2008', '424/KMK.06/2003|KEP-MENKEU/2003', '73/PP/1992', '18/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '81/PP/2008' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-1-
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 11/BL/2012
TENTANG
DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK
DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 27, Pasal 28
ayat (3), dan Pasal 41 ayat (10) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu untuk
menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan tentang Dukungan Reasuransi, Batas Retensi
Sendiri, Serta Bentuk Dan Susunan Laporan Program
Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4954);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2010
tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi Kementerian Negara
Serta Susunan Organisasi, Tugas, Dan Fungsi Eselon I
Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
92 Tahun 2011;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
53/PMK.010/2012 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan
Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG DUKUNGAN REASURANSI,
BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN
LAPORAN PROGRAM REASURANSI.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Ketua ini, yang dimaksud dengan:
1. Perusahaan adalah Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Reasuransi baik yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas maupun bukan perseroan terbatas.
2. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan
perusahaan asuransi jiwa.
3. Perusahaan Reasuransi adalah perusahaan reasuransi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
usaha perasuransian.
4. Perusahaan Asuransi Umum adalah perusahaan asuransi
kerugian sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai usaha perasuransian.
5. Perusahaan Asuransi Jiwa adalah perusahaan asuransi jiwa
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai
usaha perasuransian.
BAB II
STRATEGI DUKUNGAN REASURANSI
Pasal 2
(1) Direksi Perusahaan
mengimplementasikan
wajib mengembangkan dan
reasuransi untuk
strategi
penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi agar memiliki kapasitas yang cukup untuk
memenuhi liabilitas.
(2) Perusahaan wajib menelaah strategi reasuransi paling sedikit
sekali dalam setahun.
(3) Untuk pertama kali, strategi reasuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Biro
Perasuransian paling lambat tanggal 15 Januari 2014.
(4) Dalam hal Perusahaan mengubah strategi reasuransi,
Perusahaan wajib melaporkan perubahan dimaksud beserta
alasannya dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
sejak strategi reasuransi dimaksud ditetapkan oleh direksi.
Pasal 3
Strategi reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
harus memuat:
1. Kebijakan reasuransi secara komprehensif yang ditetapkan
oleh direksi Perusahaan dengan memperhitungkan manfaat
diversifikasi dan kelayakan pihak reasuransi (counterparty);
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
2. Sistem yang sehat dalam melakukan pemilihan dan
pemantauan program reasuransi;
3. Ringkasan proses pembentukan retensi sendiri dan monitoring
retensi sendiri;
4. Penanggungjawab pelaksana program reasuransi dan
pengendaliannya.
Pasal 4
Dalam mengembangkan strategi reasuransi, Perusahaan harus
memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Profil risiko dari risiko yang ditanggung;
2. Kecukupan modal dan akses terhadap penambahan modal;
3. Volatilitas klaim masa lalu dan/atau klaim yang diperkirakan;
4. Tingkat profitabilitas masing-masing lini usaha;
5. Ukuran retensi yang sesuai dengan Perusahaan;
6. Penggunaan program reasuransi proporsional dan non-
proporsional;
7. Kondisi lingkungan, khususnya untuk daerah yang rawan
bencana;
8. Kapasitas treaty otomatis;
9. Optimalisasi kualitas, penggunaan, dan biaya reasuransi;
10. Dampak bila Perusahaan Reasuransi dengan porsi treaty
reasuransi mengalami kebangkrutan;.
11. Peringkat Perusahaan Reasuransi; dan
12. Kondisi pasar reasuransi.
Pasal 5
(1) Perusahaan Asuransi Umum wajib memperoleh dukungan
reasuransi otomatis di dalam negeri dalam bentuk perjanjian
reasuransi otomatis prioritas (priority treaty) untuk setiap lini
usaha asuransi.
(2) Perjanjian reasuransi otomatis prioritas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan treaty reasuransi
proporsional yang ada bersama-sama dengan retensi sendiri
(quota share) dan/atau yang langsung setelah retensi sendiri
(surplus) dan treaty reasuransi excess of loss.
Pasal 6
(1) Apabila dalam program reasuransi otomatis proporsional
terdapat treaty yang bersama-sama dengan retensi sendiri
(quota share) dan treaty yang langsung setelah retensi sendiri
(surplus), maka yang harus mendapatkan prioritas
penempatan treaty dalam negeri sebagaimana dimaksud
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-4-
dalam Pasal 5 ayat (2) adalah treaty yang bersama-sama
dengan retensi sendiri (quota share) tersebut.
(2) Apabila program reasuransi otomatis proporsional hanya
berupa treaty yang langsung setelah retensi sendiri yang
terdiri dari satu atau lebih treaty surplus, yang harus
mendapatkan prioritas penempatan dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) adalah treaty
surplus yang terlebih dahulu digunakan setelah retensi
sendiri.
(3) Besar dukungan reasuransi otomatis proporsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) harus
memenuhi jumlah paling sedikit 10% (sepuluh per seratus)
dari kapasitas treaty untuk program reasuransi otomatis
treaty proporsional dari masing-masing lini usaha asuransi
atau sejumlah sebagaimana terlampir dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Ketua
ini, yang mana yang lebih besar.
(4) Perusahaan Asuransi Umum yang mempunyai kapasitas
treaty prioritas proporsional untuk suatu lini usaha asuransi
lebih kecil dari jumlah minimum treaty prioritas sebagaimana
dimaksud dalam Lampiran I wajib menempatkan keseluruhan
treaty prioritas proporsional tersebut di dalam negeri untuk
lini usaha asuransi tersebut.
(5) Dalam hal besar dukungan reasuransi otomatis prioritas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masih
belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) maka kekurangannya harus diisi dengan penempatan dari
treaty proporsional berikutnya, jika ada.
Pasal 7
Perusahaan Asuransi Umum wajib menempatkan dukungan
reasuransi dalam bentuk treaty excess of loss di dalam negeri
paling rendah 10% (sepuluh per seratus) dari kapasitas treaty
untuk setiap layer.
Pasal 8
(1) Perusahaan Asuransi Umum dapat memilih untuk
mempunyai dukungan reasuransi katastropik atau
membentuk cadangan atas risiko bencana (catastrophic risks).
(2) Dalam hal Perusahaan Asuransi Umum memilih untuk
mempunyai dukungan reasuransi katastropik, besar minimum
retensi sendiri ditentukan dengan asumsi kejadian risiko
bencana (catastrophic risks) berulang setiap 250 (dua ratus
lima puluh) tahun sekali.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-5-
BAB III
BATAS RETENSI SENDIRI
Pasal 9
(1) Perusahaan wajib memiliki retensi sendiri untuk setiap
risiko yang dikelola sesuai dengan batas retensi sendiri
minimum dan batas retensi sendiri maksimum yang
ditetapkan.
(2) Penetapan batas retensi sendiri minimum dan batas retensi
sendiri maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib didasarkan pada profil risiko dan kerugian (risk and
loss profile) yang dibuat secara tertib, teratur, relevan, dan
akurat.
(3) Untuk Perusahaan Asuransi Umum dan Perusahaan
Reasuransi berlaku ketentuan:
a. penentuan batas minimum retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib mempertimbangkan
persentase tertentu dari modal sendiri untuk setiap
risiko dan besaran premi bruto yang harus ditahan
untuk setiap lini usaha; dan
b. penentuan batas maksimum retensi sendiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) adalah 10% (sepuluh per seratus)
dari modal sendiri untuk setiap risiko,
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini.
(4) Penentuan batas minimum dan batas maksimum retensi
sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga berlaku
bagi Perusahaan Asuransi Jiwa untuk lini usaha asuransi
kematian, asuransi kecelakaan diri dan asuransi kesehatan.
BAB IV
LAPORAN PROGRAM REASURANSI
Pasal 10
(1) Perusahaan setiap tahun wajib menyampaikan laporan
program reasuransi otomatis (treaty) kepada Biro
Perasuransian, paling lambat tanggal 15 Januari.
(2) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur,
batas akhir penyampaian laporan menjadi pada hari kerja
pertama setelah batas waktu terakhir dimaksud.
(3) Laporan program reasuransi otomatis (treaty) disertai dengan
grafik yang menggambarkan retensi sendiri dan dukungan
reasuransi otomatis yang diterima serta limit dukungan
reasuransi.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-6-
(4) Laporan program reasuransi otomatis (treaty) harus
dilengkapi dengan perjanjian reasuransi yang telah
ditandatangani oleh Perusahaan Asuransi Umum dan
reasuradur.
(5) Bentuk dan susunan laporan program reasuransi otomatis
(treaty) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran III untuk Perusahaan Asuransi Umum dan
Perusahaan Reasuransi dan Lampiran IV untuk Perusahaan
Asuransi Jiwa yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan Ketua ini.
Pasal 11
Perusahaan dikecualikan dari kewajiban penyampaian laporan
program reasuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(1) apabila Perusahaan dimaksud:
a. dikenai sanksi pembatasan kegiatan usaha untuk seluruh lini
usaha; dan/atau
b. dalam proses untuk mengembalikan izin usaha.
Pasal 12
Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku:
a. Keputusan Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Nomor
KEP-5443/LK/2004 tanggal 25 Oktober 2004 tentang
Dukungan Reasuransi Otomatis Dalam Negeri dan Retensi
Sendiri; dan
b. Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan
Nomor KEP-4033/LK/2004 tanggal 14 September 2004
tentang Bentuk serta Susunan Laporan Usaha Perasuransian
serta Bentuk dan Susunan Laporan Keuangan Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 20 Januari 2013.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN I
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 11/BL/2012
TENTANG
DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK
DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
Lampiran I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Ketentuan Dukungan Reasuransi Otomatis Proporsional Dalam Negeri
No
Lini Usaha Asuransi
1. Harta Benda **)
2. Kendaraan Bermotor
3. Pengangkutan
4. Rangka Kapal
5. Rangka Pesawat
6. Satelit
7. Energi Offshore
8. Energi Onshore
9. Rekayasa
10. Tanggung gugat
11. Kematian
12. Kecelakaan Diri
13. Kesehatan
14. Kredit
15. Suretyship
16. Aneka
*) dihitung dari kapasitas (limit) treaty
**)Termasuk di dalamnya sessi statistik 2.5% atau maximal Rp 500 juta setiap
risiko
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
Besar Dukungan Reasuransi
Otomatis dalam bentuk Priority
Treaty dalam negeri *)
11.000.000.000
1.500.000.000
6.500.000.000
3.500.000.000
3.500.000.000
3.500.000.000
3.500.000.000
11.000.000.000
10.000.000.000
6.500.000.000
1.500.000.000
1.500.000.000
1.500.000.000
6.500.000.000
6.500.000.000
1.500.000.000
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN II
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 11/BL/2012
TENTANG
DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK
DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
BATAS MINIMUM DAN MAKSIMUM RETENSI SENDIRI
PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DAN PERUSAHAAN REASURANSI
Batas Minimum Retensi Sendiri
No
Lini Usaha
Asuransi
1. Harta Benda
Modal Sendiri (MS)
Setiap Risiko (persentase
tertentu dari modal sendiri)
<500 Miliar
>500 Miliar – 1 Triliun
>1 Triliun-2 Triliun
>2 Triliun
2. Kendaraan
Bermotor
3. Pengangkutan
<500 Miliar
>500 Miliar – 1 Triliun
>1 Triliun-2 Triliun
>2 Triliun
4. Rangka Kapal
<500 Miliar
>500 Miliar – 1 Triliun
1% MS
0,75% MS min 5 Miliar
0,5% MS min 7,5 Miliar
10 Miliar
100 Juta
1% MS
0,75% MS min 5 Miliar
0,5% MS min 7,5 Miliar
10 Miliar
0,4% MS
0,3% MS min 2 Miliar
30% premi bruto
30% premi bruto
Setiap Lini Usaha
(persentase tertentu
dari premi bruto)
Batas Maksimum
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
60% premi bruto
40% premi bruto
10% MS
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
Batas Minimum Retensi Sendiri
No
Lini Usaha
Asuransi
Modal Sendiri (MS)
Setiap Risiko (persentase
tertentu dari modal sendiri)
>1 Triliun-2 Triliun
>2 Triliun
5. Rangka Pesawat
Satelit
6.
7. Energi Onshore
<500 Miliar
>500 Miliar – 1 Triliun
>1 Triliun-2 Triliun
>2 Triliun
8. Energi Offshore
9. Rekayasa
50% dari Retensi
<500 Miliar
>500 Miliar – 1 Triliun
>1 Triliun-2 Triliun
>2 Triliun
10. Tanggung gugat
11. Kematian
0,2% MS min 3 Miliar
4 Miliar
0,25% MS
0,05% MS
1% MS
0,75% MS min 5 Miliar
0,5% MS min 7,5 Miliar
10 Miliar
Neto Onshore
1% MS
0,75% MS min 5 Miliar
0,5% MS min 7,5 Miliar
10 Miliar
500 Juta
100 Juta
10% premi bruto
25% premi bruto
4% premi bruto
4% premi bruto
5% premi bruto
Setiap Lini Usaha
(persentase tertentu
dari premi bruto)
Batas Maksimum
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
15% premi bruto
50% premi bruto
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
Batas Minimum Retensi Sendiri
No
Lini Usaha
Asuransi
12. Kecelakaan Diri
13. Kesehatan
14. Kredit
15. Suretyship
16. Aneka
Modal Sendiri (MS)
Setiap Risiko (persentase
tertentu dari modal sendiri)
100 Juta
100 Juta
500 Juta
500 Juta
500 Juta
Setiap Lini Usaha
(persentase tertentu
dari premi bruto)
50% premi bruto
50% premi bruto
50% premi bruto
40% premi bruto
40% premi bruto
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
Batas Maksimum
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN III
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 11/BL/2012
TENTANG
DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK
DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
K e p a d a
Yth. BIRO PERASURANSIAN
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Kementerian Keuangan RI
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14
Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4
Jakarta 10710
Telepon (021) 3858001: Faksimile (021) 3857917
Situs www.bapepam.go.id
LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS (TREATY)
Perusahaan Asuransi Umum / Perusahaan Reasuransi Konvensional
Tahun ………..
(diisi nama dan alamat perusahaan)
_________, ________________________ 200x ______
Direktur
(CAP PERUSAHAAN )
N a m a J e l a s
Jabatan
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
PERUSAHAAN ASURANSI UMUM DAN PERUSAHAAN REASURANSI
LAPORAN PROGRAM REASURANSI TREATY TAHUN 20XX
PERUSAHAAN ASURANSI UMUM/PERUSAHAAN REASURANSI KONVENSIONAL
Daftar Isi
Cover
Daftar Isi
Daftar Lini Usaha Asuransi Yang Dipasarkan
A.
Laporan Program Reasuransi
Penetapan Retensi Sendiri
Seluruh Lini Usaha Asuransi
A-1
A-2
A-3
A-4
A-5
A-6
A-7
A-8
A-9
Harta Benda
Kendaraan Bermotor
Pengangkutan
Rangka Kapal
Rangka Pesawat
Satelit
Energi Onshore
Energi Offshore
Rekayasa
A-10 Tanggung Gugat
A-11 Kecelakaan Diri
A-12 Kesehatan
A-13 Kredit
A-14 Suretyship
A-15 Aneka
B.
Proyeksi Perhitungan Surplus Underwritting
Seluruh Lini Usaha Asuransi
B-1
Harta Benda
B-2
B-3
B-4
B-5
B-6
B-7
B-8
B-9
Kendaraan Bermotor
Pengangkutan
Rangka Kapal
Rangka Pesawat
Satelit
Energi Onshore
Energi Offshore
Rekayasa
B-10 Tanggung Gugat
B-11 Kecelakaan Diri
B-12 Kesehatan
B-13 Kredit
B-14 Suretyship
B-15 Aneka
C.
Lampiran: Konfirmasi Dukungan Reasuradur
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Daftar
Lini Usaha Asuransi
No.
Lini Usaha Asuransi
1 Harta Benda
2 Kendaraan Bermotor
3 Pengangkutan
4 Rangka Kapal
5 Rangka Pesawat
6 Satelit
7 Energi Onshore
8 Energi Offshore
9 Rekayasa
10 Tanggung Gugat
11 Kecelakaan Diri
12 Kesehatan
13 Kredit
14 Suretyship
15 Aneka
Catatan:
1. Hanya Lini Usaha Asuransi yang produknya dipasarkan yang dimuat dalam
laporan ini
2. Beri tanda "√" untuk lini usaha asuransi yang produknya dipasarkan
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Penetapan Retensi Sendiri
Tahun 20xx
Modal Sendiri :
Retensi Sendiri
No.
(1)
Lini Usaha Asuransi
(2)
1 Harta Benda
2 Kendaraan Bermotor
3 Pengangkutan
4 Rangka Kapal
5 Rangka Pesawat
6 Satelit
7 Energi Onshore
8 Energi Offshore
9 Rekayasa
10 Tanggung Gugat
11 Kecelakaan Diri
12 Kesehatan
13 Kredit
14 Suretyship
15 Aneka
Retensi Sendiri Bruto : termasuk dukungan
reasuransi X/L jika ada.
Retensi Sendiri Neto : tidak termasuk dukungan
reasuransi X/L jika ada.
*) : Prosentase dari Modal
Sendiri
**) : Prosentase dari Retensi Sendiri Bruto
Bruto
Jumlah
(3)
% *)
(4)
Neto
Jumlah % **)
(5)
(6)
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A
Seluruh Lini Usaha Asuransi
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
B. Luar Negeri
(4)
Prioritas Working X/L Stop Loss
QS Surplus QS Surplus
(3)
(5)
(6)
(7)
(8)
Catastrophe X/L
(9)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-1
Lini Usaha Asuransi : Harta Benda
(dalam jutaan rupiah)
No
(1)
Keterangan
Prioritas
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
(6)
(7)
Proporsional
Non-Prioritas
Rating QS Surplus Surplus.... QS Surplus Surplus.....
(3)
(8)
(9)
Non-Proporsional
Working X/L Stop Loss Catastrophe X/L
(10)
(11)
(12)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-2
Lini Usaha Asuransi : Kendaraan Bermotor
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-3
Lini Usaha Asuransi : Pengangkutan
(dalam jutaan rupiah)
No
(1)
Keterangan
Prioritas
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
Rating QS Surplus QS
(3)
(4)
(5)
(6)
Proporsional
Non-Prioritas
Surplus
(7)
Non-Proporsional
Working X/L Stop Loss Catastrophe X/L
(8)
(9)
(10)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-9-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-4
Lini Usaha Asuransi : Rangka Kapal
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-10-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-5
Lini Usaha Asuransi : Rangka Pesawat
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-11-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-6
Lini Usaha Asuransi : Satelit
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-12-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-7
Lini Usaha Asuransi : Energi - Onshore
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-13-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-8
Lini Usaha Asuransi : Energi - Offshore
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-14-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-9
Lini Usaha Asuransi :
Rekayasa
No
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-15-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-10
Lini Usaha Asuransi : Tanggung Gugat
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-16-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-11
Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-17-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-12
Lini Usaha Asuransi :
Kesehatan
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-18-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-13
Lini Usaha Asuransi : Kredit
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-19-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-14
Lini Usaha Asuransi :Penjaminan
(dalam jutaan rupiah)
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
Stop Loss
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-20-
Laporan Program Reasuransi Treaty
Tahun 20xx
Lembar A-15
Lini Usaha Asuransi : Aneka
No
Keterangan
Proporsional
Non-
Prioritas
(1)
(2)
1 Retensi Sendiri Bruto
2 Dukungan Reasuradur
A. Dalam Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
B. Luar Negeri
1. …..
2. …..
3. …..
…..
Sub Jumlah
(4)
(5)
Prioritas Working X/L Stop Loss
Rating QS Surplus QS Surplus
(3)
(6)
(7)
(8)
(9)
Catastrophe X/L
(10)
Non-Proporsional
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-21-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B Seluruh Lini Usaha Asuransi
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Dalam
Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *) Non ASEAN
(5)
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
(dalam jutaan rupiah)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-
8-9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-22-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-1 Lini Usaha Asuransi : Harta Benda
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Masuk
(5)
(6)
(7)
Keluar
Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN
(4)
(8)
(9)
Tahun Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
(dalam jutaan rupiah)
Jumlah
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-23-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-2
Lini Usaha Asuransi : Kendaraan Bermotor
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
Keterangan
(2)
1 Premi
2 Komisi
3 Cadangan Atas Premi Yang
Belum Merupakan Pendapatan
:
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding Klaim
:
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Langsung
(3)
Masuk
Dalam
Negeri
(4)
ASEAN
*)
(5)
Non
ASEAN
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Jumlah
Tahun Berjalan
(3+4+5+6-7-8-9)
(10)
Jumlah
Tahun
Lalu
(11)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-24-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-3
Lini Usaha Asuransi : Pengangkutan
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Pos Langsung
(3)
Masuk
Dalam
Negeri ASEAN *)
(4)
(5)
Non
ASEAN
(6)
Keluar
(8)
(9)
Jumlah
Tahun Berjalan
Dalam
Negeri ASEAN *) Non ASEAN (3+4+5+6-7-8-9)
(7)
(10)
Jumlah
Tahun Lalu
(11)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-25-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-4
Lini Usaha Asuransi : Rangka Kapal
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
Keterangan
(2)
1 Premi
2 Komisi
3 Cadangan Atas Premi Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Langsung
(3)
Dalam
Negeri
(4)
Masuk
Non
ASEAN *)
(5)
ASEAN
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Jumlah
Tahun
(3+4+5+6-
7-8-9)
(10)
(11)
Jumlah
Berjalan Tahun Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-26-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-5
Lini Usaha Asuransi : Rangka Pesawat
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Pos Langsung
(3)
Dalam
Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *)
(5)
Non ASEAN
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN
(8)
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-
8-9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-27-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-6
Lini Usaha Asuransi : Satelit
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Masuk
Dalam Negeri ASEAN *)
(4)
(5)
Non ASEAN Dalam Negeri
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN
(8)
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-28-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-7
Lini Usaha Asuransi : Energi - Onshore
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Dalam Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *)
(5)
Non ASEAN
(6)
Dalam Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Tahun Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-29-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-8
Lini Usaha Asuransi : Energi - Offshore
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Masuk
Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri
(4)
(5)
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Tahun Berjalan Tahun Lalu
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Jumlah
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-30-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-9
Lini Usaha Asuransi : Rekayasa
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Pos Langsung
(3)
Masuk
Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN
(4)
(5)
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN
(8)
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-31-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-10
Lini Usaha Asuransi : Tanggung Gugat
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
Keterangan
(2)
1 Premi
2 Komisi
3 Cadangan Atas Premi Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Langsung
(3)
Dalam Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *)
(5)
(7)
Keluar
(8)
(9)
Tahun Berjalan
Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN (3+4+5+6-7-8-9)
(6)
(10)
Jumlah
Jumlah
Tahun
Lalu
(11)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-32-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-11
Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Masuk
Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri
(4)
(5)
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN
(8)
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-33-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-12
Lini Usaha Asuransi : Kesehatan
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Masuk
Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri
(4)
(5)
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-34-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-13
Lini Usaha Asuransi : Kredit
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Dalam Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *)
(5)
Non ASEAN Dalam Negeri
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *)
(8)
Non ASEAN
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-35-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-14
Lini Usaha Asuransi :Penjaminan
(dalam jutaan rupiah)
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Dalam Negeri
(4)
Masuk
ASEAN *)
(5)
Non ASEAN
(6)
Dalam
Negeri
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN
(8)
(9)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-36-
PROYEKSI PERHITUNGAN SURPLUS UNDERWRITING
Periode 1 Januari s.d. 31 Desember 20xx
Lembar B-15
Lini Usaha Asuransi : Aneka
REASURANSI
Pos
No.
(1)
1 Premi
2 Komisi
3
Cadangan Atas Premi
Yang
Belum Merupakan
Pendapatan :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
4 Pendapatan Premi
(1 - 2 + 3a - 3b)
5 Klaim Dibayar
6 Biaya Adjuster
7
Cadangan/Outstanding
Klaim :
a. Tahun lalu
b. Tahun Berjalan
Keterangan
(2)
Langsung
(3)
Dalam
Negeri
(4)
Masuk
(6)
(7)
Keluar
ASEAN *) Non ASEAN Dalam Negeri ASEAN *) Non ASEAN
(5)
(8)
(9)
(dalam jutaan rupiah)
Jumlah
Tahun
Berjalan
(3+4+5+6-7-8-
9)
(10)
(11)
Jumlah
Tahun
Lalu
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-37-
8 Beban Klaim
(5 + 6 + 7b - 7a)
9 Surplus Underwriting
(4 - 8)
* Pemisahan didasarkan pada tempat perusahaan didirikan sebagai suatu badan hukum
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN IV
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 11/BL/2012
TENTANG
DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK
DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
: PER-11/BL/2012
: 27 Desember 2012
K e p a d a
Yth. BIRO PERASURANSIAN
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Kementerian Keuangan RI
Gedung Sumitro Djojohadikusumo Lantai 14
Jalan Lapangan Banteng Timur No.2-4
Jakarta 10710
Telepon (021) 3858001: Faksimile (021) 3857917
Situs www.bapepam.go.id
LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS (TREATY)
Perusahaan Asuransi Jiwa Konvensional
Tahun ………..
(diisi nama dan alamat perusahaan)
_________, ________________________ 200x ______
Direktur
(CAP PERUSAHAAN )
N a m a J e l a s
Jabatan
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI OTOMATIS
BAGI PERUSAHAAN ASURANSI ASURANSI JIWA
LAPORAN PROGRAM REASURANSI TREATY TAHUN 20xx
PERUSAHAAN ASURANSI JIWA
Daftar Isi
Cover
Daftar Isi
Semua Lini Usaha Asuransi Jiwa dan Anuitas
1. Lini Usaha Asuransi Ekawarsa
2. Lini Usaha Asuransi Kematian Berjangka Selain Ekawarsa
3. Lini Usaha Asuransi Dwiguna
4. Lini Usaha Asuransi Dwiguna Kombinasi
5. Lini Usaha Asuransi Seumur Hidup
6. Lini Usaha Asuransi Seumur Hidup Kombinasi
7. Lini Usaha Asuransi Anuitas Umum
8. Lini Usaha Asuransi Anuitas Dana Pensiun
9. Lini Usaha Asuransi Non-Tradisional
10. Lini Usaha Asuransi Kesehatan (quota share & surplus treaty
reinsurance)
11. Lini Usaha Asuransi Kecelakaan Diri (quota share & surplus treaty
reinsurance)
12. Lini Usaha Asuransi Kesehatan (excess of loss treaty reinsurance)
13. Lini Usaha Asuransi Kecelakaan Diri (excess of loss treaty
reinsurance)
: PER-11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Semua Lini Usaha Asuransi Jiwa dan Anuitas.
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Ekawarsa
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 2-xx
Lini Usaha Asuransi : Kematian Berjangka Selain Ekawarsa
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Dwiguna
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Dwiguna Kombinasi
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Seumur Hidup
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-9-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun ....
Lini Usaha Asuransi : Seumur Hidup Kombinasi
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-10-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Anuitas Umum
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-11-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun ....
Lini Usaha Asuransi : Anuitas Dana Pensiun
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-12-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Kesehatan
No.
(1)
I
II
Keterangan
(2)
Retensi Sendiri (d)
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...............
2. ........ dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
(Rp / %) (e)
Q.S.
(3)
(a)
S.I
(4)
(b)
S.II
(5)
(Dalam jutaan rupiah)
.......................
(c)
(6)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
(Rp / %) (e)
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-13-
2. NON ASEAN
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
Keterangan :
(a). Q.S. = Quota Share Treaty Reinsurance.
(b). S
= Surplus Treaty Reinsurance.
(c). Diisi sesuai dengan kebutuhan.
(d). Retensi Sendiri Bruto = termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada.
(e). Coret yang tidak perlu.
(Rp / %) (e)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-14-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Non Tradisonal
No.
U r a i a n
(1)
I
II
(2)
Retensi sendiri
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...........................
2. ..................... dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
2. NON ASEAN
a. ...........................
b. ...........................
c. ..................... dst.
Bentuk Reasuransi
Yearly Renewable Term (YRT)
(3)
Koasuransi
(4)
Modifikasi Koasuransi
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-15-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi : Kecelakaan Diri
No.
(1)
I
II
Keterangan
(2)
Retensi Sendiri (d)
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...............
2. ........ dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
(Rp / %) (e)
Q.S.
(3)
(a)
S.I
(4)
(b)
S.II
(5)
(Dalam jutaan rupiah)
.......................
(c)
(6)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
(Rp / %) (e)
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-16-
2. NON ASEAN
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
Keterangan :
(a). Q.S. = Quota Share Treaty Reinsurance.
(b). S
= Surplus Treaty Reinsurance.
(c). Diisi sesuai dengan kebutuhan.
(d). Retensi Sendiri Bruto = termasuk dukungan reasuransi X/L jika ada.
(e). Coret yang tidak perlu.
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
(Rp / %) (e)
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-17-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun 20xx
Lini Usaha Asuransi Asuransi :
Kesehatan
No.
(1)
I
II
Keterangan
(2)
Retensi Sendiri (c)
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...............
2. ........ dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
(Rp / %) (d)
(Rp / %) (d)
X/L 1 (a)
(3)
X/L 2
(4)
(Dalam jutaan rupiah)
....................... (b)
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-18-
2. NON ASEAN
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
Keterangan :
(a). X/L = Excess of Loss Treaty Reinsurance.
(b). Diisi sesuai dengan kebutuhan.
(c). R.S. Neto = Tidak termasuk dukungan reasuransi X/L.
(d). Coret yang tidak perlu.
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
(Rp / %) (d)
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-19-
Nama Perusahaan :
PROGRAM REASURANSI JIWA
Tahun ....
No.
(1)
I
II
Lini Usaha Asuransi: Kecelakaan Diri
Keterangan
(2)
Retensi Sendiri (c)
Reasuradur Dukungan
A. Dalam Negeri
1. ...............
2. ........ dst.
B. Luar Negeri
1. A S E A N
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
(Rp / %) (d)
(Rp / %) (d)
X/L 1 (a)
(3)
X/L 2
(4)
(Dalam jutaan rupiah)
....................... (b)
(5)
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-20-
: PER- 11/BL/2012
: 27 Desember 2012
2. NON ASEAN
a. ......
b. ......
c. ...... dst.
Keterangan :
(a). X/L = Excess of Loss Treaty Reinsurance.
(b). Diisi sesuai dengan kebutuhan.
(c). R.S. Neto = Tidak termasuk dukungan reasuransi X/L.
(d). Coret yang tidak perlu.
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
(Rp / %) (d)
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-11/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> DUKUNGAN REASURANSI, BATAS RETENSI SENDIRI, SERTA BENTUK DAN SUSUNAN LAPORAN PROGRAM REASURANSI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 20 Januari 2013 </effective_date>
<replaced_reg> 'KEP-4033/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004 | Pasal 3', 'KEP-5443/LK/2004|KEPDIRJEN-LK/2004' </replaced_reg>
<related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR : PER- 03/BL/2010
TENTANG
BENTUK, SUSUNAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN
TRIWULANAN DAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (2) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan
Pembiayaan Infrastruktur, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Bentuk,
Susunan, dan Penyampaian Laporan Keuangan Triwulanan Dan
Laporan Kegiatan Usaha Semesteran Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur;
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun 2006;
2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2009
tentang Lembaga Pembiayaan;
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.010/2009 tentang
Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.01/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 143.1/PMK.01/2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN TENTANG BENTUK, SUSUNAN, DAN
PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN DAN
LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
(1) Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur wajib menyampaikan
laporan sebagai berikut:
a. laporan keuangan triwulanan untuk periode yang berakhir 31
Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember;
b. laporan kegiatan usaha semesteran untuk periode yang
berakhir 30 Juni dan 31 Desember.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
direksi/pengurus Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dalam
bentuk dokumen fisik (hard copy) dan format digital (soft copy)
kepada Menteri Keuangan c.q. Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan u.p. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan.
Pasal 2
(1) Laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib disusun sesuai dengan pedoman
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
(2) Pengakuan dan pengukuran pos-pos dalam laporan keuangan
triwulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a,
wajib didasarkan pada Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku umum.
(3) Dalam hal terdapat perubahan Standar Akuntansi Keuangan yang
relevan dengan pengakuan dan pengukuran pos-pos dalam
laporan keuangan triwulanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf a, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
wajib mengungkapkannya dalam laporan.
Pasal 3
Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf b, wajib disusun sesuai dengan pedoman
sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 4
(1) Laporan keuangan triwulananan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf a, wajib disampaikan paling lama 15 (lima
belas) hari kalender setelah berakhirnya periode laporan.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
(2) Laporan kegiatan usaha semesteran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, wajib disampaikan paling lama 1
(satu) bulan setelah berakhirnya periode laporan.
(3) Dalam hal batas waktu terakhir penyampaian laporan jatuh
bukan pada hari kerja, batas waktu terakhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah hari
kerja berikutnya.
Pasal 5
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 28 September 2010
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 195411111981121001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 195710281985121001
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
PEDOMAN MENGENAI BENTUK, SUSUNAN,
DAN PENGISIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 1 -
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….....
: Profil Perusahaan …………………….....................……....
FORMULIR I.1
FORMULIR I.1.1 : Daftar Rincian Pemegang Saham………………………...
hal
1
2
6
FORMULIR I.1.2 : Daftar Rincian Kepengurusan……...……………………...... 7
FORMULIR I.1.3 : Daftar Rincian Kantor Cabang.....................................…...
FORMULIR I.1.4 : Daftar Rincian Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja………... 9
8
FORMULIR I.2
: Neraca……………………………………………………....
FORMULIR I.2.1 : Daftar Rincian Penempatan Pada Bank……………..….
11
18
FORMULIR I.3
FORMULIR I.4
FORMULIR I.5
FORMULIR I.6
FORMULIR I.2.2 : Daftar Rincian Surat Berharga yang Dimiliki…………… 20
FORMULIR I.2.3 : Daftar Rincian Pinjaman yang Diberikan……………… 23
FORMULIR I.2.4 : Daftar Rincian Penyertaan Modal……………………… 28
FORMULIR I.2.5 : Daftar Rincian Surat Berharga Yang Diterbitkan……… 30
FORMULIR I.2.6 : Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima………………… 33
FORMULIR I.2.7 : Daftar Rincian Hibah yang Diterima…………………… 36
: Laporan Laba Rugi………………………………………… 38
: Laporan Perubahan Ekuitas……………………………… 44
: Laporan Arus Kas………………………………………… 47
: Rekening Administratif…………………………………… 52
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 2 -
FORMULIR I.1
:
1. Nama perusahaan
a. nama lengkap
b. nama terdahulu
2. NPWP
3.
4.
5.
Tahun pendirian
Izin usaha
a. nomor
b. tanggal
PROFIL PERUSAHAAN
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
Surat pernyataan efektif pernyataan
pendaftaran penawaran umum saham
perdana (go public) dari Bapepam LK
a. nomor
b. tanggal
6. Alamat
a. alamat lengkap
b. nama kota
c. kode pos
7.
a. PT
- - modal dasar
b. koperasi
- - simpanan pokok
- - simpanan wajib
8.
9.
Kurs
Jumlah pemegang saham (formulir I.1.1)
10. Kepengurusan (formulir I.1.2)
a. jumlah dewan komisaris/pengawas
b. jumlah direksi/pengurus
11.
12.
Jumlah kantor cabang (formulir I.1.3)
Jumlah tenaga kerja (formulir I.1.4)
a. kantor pusat
b. kantor cabang
13. Penyusun dan penyelia laporan
a. penyusun
- - nama lengkap
- - bagian/divisi
- - nomor telepon
- - nomor faksimili
- - email
b. penyelia (supervisor)
- - nama lengkap
- - bagian/divisi
- - nomor telepon
- - nomor faksimili
- - email
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
d. status pemilikan atau penguasaan gedung : ………………………………..........
Permodalan
: ………………………………..........
: ………………………………..........
- - modal ditempatkan dan disetor penuh : ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: …………………… ext: ………..
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ………………………………..........
: ……………………. ext: ………..
: ………………………………..........
: ………………………………..........
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 3 -
Petunjuk pengisian:
1. Nama perusahaan
Diisi dengan nama Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur (PPI) pelapor.
a. nama lengkap
Diisi dengan nama lengkap perusahaan.
b. nama terdahulu
Diisi dengan nama lengkap perusahaan sebelumnya apabila perusahaan telah
berubah nama.
2. NPWP
Diisi dengan nomor pokok wajib pajak PPI pelapor.
3. Tahun pendirian
Diisi dengan tahun pendirian sebagaimana tercantum dalam akta pendirian badan
hukum PPI pelapor.
4.
Izin usaha
a. nomor
Diisi nomor izin usaha sebagai PPI dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
b. tanggal
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun ditetapkannya izin usaha sebagai PPI
dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.
5.
Surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go
public) dari Bapepam LK (khusus bagi PPI pelapor yang telah go public)
a. nomor
Diisi dengan nomor surat pernyataan efektif pernyataan pendaftaran
penawaran umum saham perdana (go public) dari Bapepam LK.
b. tanggal
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun dikeluarkannya surat pernyataan
efektif pernyataan pendaftaran penawaran umum saham perdana (go public)
dari Bapepam LK.
6. Alamat
a. alamat lengkap
Cukup jelas.
b. nama kota
Cukup jelas.
c. kode pos
Cukup jelas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 4 -
d. status kepemilikan atau penguasaan gedung
Diisi dengan status kepemilikan atau penguasaan gedung yaitu sewa, milik
sendiri atau jenis kepemilikan atau penguasaan lainnya.
7. Permodalan
a. PT
- modal dasar
- modal ditempatkan dan disetor penuh
b. koperasi
- simpanan pokok
- simpanan wajib
Cukup jelas.
8. Kurs
Diisi sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal laporan.
9.
Jumlah pemegang saham
Diisi dengan jumlah pemegang saham dan harus dirinci pada Formulir I.1.1 Daftar
Rincian Pemegang Saham.
Bagi PPI pelapor yang merupakan Perseroan Terbuka, penyebutan pemegang
saham sesuai dengan ketentuan yang berlaku di pasar modal.
Apabila badan hukum berbentuk koperasi diisi dengan banyaknya jumlah
anggota.
10. Kepengurusan
a. jumlah anggota dewan komisaris/pengawas
b. jumlah direksi/pengurus
Untuk PPI pelapor yang berbadan hukum PT diisi dengan banyaknya jumlah
anggota dewan komisaris dan jumlah direksi. Bagi yang berbadan hukum
koperasi diisi dengan banyaknya jumlah pengawas dan jumlah pengurus.
Kolom ini harus dirinci pada Formulir I.1.2 Daftar Rincian Kepengurusan.
11. Jumlah kantor cabang
Diisi dengan jumlah kantor cabang PPI pelapor.
Jumlah kantor cabang ini harus dirinci pada Formulir I.1.3 Daftar Rincian Kantor
Cabang.
12. Jumlah tenaga kerja
a. kantor pusat
b. kantor cabang
Diisi dengan banyaknya tenaga kerja masing-masing di kantor pusat dan
kantor cabang dan harus dirinci pada Formulir I.1.4 Daftar Rincian Tingkat
Pendidikan Tenaga Kerja.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 5 -
13. Penyusun dan penyelia laporan
Diisi dengan data lengkap masing-masing personil yang bertindak sebagai
petugas penyusun laporan dan pejabat penyelia.
a. penyusun
- nama lengkap
Cukup jelas.
- bagian/divisi
Diisi dengan bagian/divisi/unit kerja personil yang bertanggungjawab
menyusun laporan.
- nomor telepon
Cukup jelas.
- nomor faksimili
Cukup jelas.
- email
Cukup jelas.
b. penyelia (supervisor)
- nama lengkap
Cukup jelas.
- bagian/divisi
Diisi dengan bagian/divisi/unit kerja penyelia.
- nomor telepon
Cukup jelas.
- nomor faksimili
Cukup jelas.
- email
Cukup jelas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 6 -
FORMULIR I.1.1
: DAFTAR RINCIAN PEMEGANG SAHAM
PT/Koperasi ……………………………
Periode Triwulan ……. Tahun ……….
I
No
1.
2.
3.
dst
Petunjuk pengisian:
I. No
Cukup jelas.
II. Nama
Diisi dengan nama pemegang saham (dalam hal PPI pelapor berbadan hukum PT).
Diisi dengan nama anggota (dalam hal PPI pelapor berbadan hukum koperasi).
Untuk pemegang saham yang berbentuk badan usaha harus dicantumkan secara
lengkap status badan usahanya misalnya PT xxx Tbk. dan Koperasi xxx.
III. Golongan pemilik
Diisi dengan sandi berupa nomor untuk golongan pemilik PPI pelapor, sebagai
berikut:
1. Perorangan;
2. Negara Republik Indonesia;
3. Organisasi multilateral;
4. Badan hukum Indonesia;
5. Badan usaha asing; atau
6. Publik (apabila pemilik memperoleh saham melalui pasar modal).
IV. Kepemilikan
1. Nilai
Diisi dengan nilai nominal kepemilikan dalam jutaan rupiah.
2. Persentase
Diisi dengan nilai prosentase kepemilikan.
II
Nama
III
Golongan
pemilik
Nilai
(juta Rp)
IV
Kepemilikan
Persentase
(%)
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 7 -
FORMULIR I.1.2 : DAFTAR RINCIAN KEPENGURUSAN
PT/Koperasi …………………………
Periode Triwulan ……. Tahun ……….
I
No
1.
2.
3.
dst
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini berisi informasi kepengurusan PPI pelapor yang terdiri komisaris dan
direksi untuk PPI pelapor yang berbadan hukum PT atau pengawas dan pengurus
untuk PPI pelapor yang berbadan hukum koperasi.
I. No
Cukup jelas.
II. Nama
Diisi dengan nama-nama kepengurusan PPI pelapor.
III. Jabatan
Diisi dengan sandi berupa nomor untuk jabatan kepengurusan PPI
pelapor, sebagai berikut:
1. Komisaris utama atau yang setara;
2. Komisaris;
3. Direktur utama atau yang setara;
4. Direktur;
5. Pengawas;
6. Pengurus.
IV. Tanggal mulai menjabat
Diisi dengan tanggal mulai menjabat.
II
Nama
III
Jabatan
IV
Tanggal mulai
menjabat
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 8 -
FORMULIR I.1.3 : DAFTAR RINCIAN KANTOR CABANG
PT/Koperasi ……………………………
Periode Triwulan ……. Tahun ……….
I
No
1.
2.
3.
dst
Petunjuk pengisian:
I. No
Cukup jelas.
II. Nama kantor cabang
Cukup jelas.
III. Alamat
1. Alamat lengkap
Diisi dengan alamat lengkap masing-masing kantor cabang.
2. Dati II
Diisi dengan nama daerah tingkat II masing-masing kantor cabang
berkedudukan.
3. Propinsi
Diisi dengan nama propinsi masing-masing kantor cabang berkedudukan.
4. Kode pos
Diisi dengan nomor kode pos masing-masing kantor cabang berkedudukan.
IV. Telepon
Diisi dengan kode area dan nomor telepon masing-masing kantor cabang.
V. Faksimili
Diisi dengan kode area dan nomor faksimili masing-masing kantor cabang.
VI. Jumlah tenaga kerja
Diisi dengan jumlah pegawai termasuk tenaga honorarium.
VII. Nama pemimpin
Diisi dengan nama pemimpin kantor cabang.
II
Nama kantor
cabang
Alamat
lengkap
Dati
II
III
Alamat
Propinsi Kode
pos
Telepon Faksimili
IV
V
VI
Jumlah
tenaga
kerja
VII
Nama
pemimpin
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 9 -
FORMULIR I.1.4 : DAFTAR RINCIAN TINGKAT PENDIDIKAN TENAGA KERJA
PT/Koperasi ……………………………
Periode Triwulan ……. Tahun ……….
Tingkat Pendidikan dan Tenaga Kerja Asing
1. Kantor Pusat:
a. tingkat pendidikan (tidak termasuk tenaga kerja asing)
1) s.d. SLTA
2) D1 s.d. D3
3) S1
4) S2
5) S3
b. tenaga kerja asing
2. Kantor Cabang:
a. tingkat pendidikan (tidak termasuk tenaga kerja asing)
1) s.d. SLTA
2) D1 s.d. D3
3) S1
4) S2
5) S3
3.
b. tenaga kerja asing
Jumlah
Petunjuk pengisian:
1. Kantor Pusat
a. tingkat pendidikan
1) s.d. SLTA
2) D1 s.d. D3
3) S1
4) S2
5) S3
Cukup jelas.
b. tenaga kerja asing
Diisi dengan jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh PPI pelapor.
L
Jumlah
P
Total
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
……… ……… ………
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 10 -
2. Kantor cabang
a. tingkat pendidikan
1) s.d. SLTA
2) D1 s.d. D3
3) S1
4) S2
5) S3
Cukup jelas.
b. tenaga kerja asing
Diisi dengan jumlah tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh PPI pelapor.
3. Jumlah
a. laki-laki (L)
b. perempuan (P)
c. total
Cukup jelas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 11 -
FORMULIR I.2 : NERACA
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan …….. Tanggal ……….. Tahun ……
(dalam jutaan rupiah)
No.
A. ASET
1. Kas
2. Penempatan pada bank (I.2.1)
3. Surat berharga yang dimiliki (I.2.2)
4. Pendapatan yang masih akan diterima
5.
Pinjaman yang diberikan (I.2.3)
a. pinjaman langsung
b. refinancing
c. pinjaman subordinasi
d. lain-lain
6. Penyertaan modal (I.2.4)
7. Cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan
a. penempatan pada bank -/-
b. surat berharga yang dimiliki -/-
c. pinjaman yang diberikan -/-
d. lain-lain -/-
8. Aset tidak berwujud
Akumulasi amortisasi aset tidak berwujud -/-
9. Aset tetap
Akumulasi penyusutan aset tetap -/-
10. Aset pajak tangguhan
11. Aset lain-lain
TOTAL ASET
B.
LIABILITAS
1. Beban yang masih harus dibayar
2. Utang pajak
3. Pendapatan diterima dimuka
4. Liabilitas lancar lainnya
5. Surat berharga yang diterbitkan (I.2.5)
6. Utang klaim penjaminan
7.
Pinjaman yang diterima (I.2.6)
a. Pemerintah Republik Indonesia
Pos-pos
Rupiah
Valas
Jumlah
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 12 -
No.
Pos-pos
b. pemerintah asing
c. lembaga multilateral
d. bank/lembaga keuangan
1) dalam negeri
2) luar negeri
8. Imbalan pasca kerja
9. Liabilitas pajak tangguhan
10. Liabilitas lain-lain
TOTAL LIABILITAS
C.
EKUITAS
1. Modal
a. modal disetor
b. agio
c. disagio -/-
2. Cadangan
a. cadangan umum
b. cadangan tujuan
c. cadangan lainnya
3. Hibah (I.2.7)
4. Saldo laba (rugi)
a. laba
b. rugi -/-
5. Laba (rugi) tahun berjalan
a. laba
b. rugi -/-
6. Pendapatan komprehensif lainnya:
a. keuntungan
b. kerugian -/-
TOTAL EKUITAS
TOTAL LIABILITAS DAN EKUITAS
Petunjuk pengisian:
Neraca PPI pelapor disajikan dalam mata uang rupiah. Aset, liabilitas, dan ekuitas
dalam mata uang rupiah dilaporkan pada kolom rupiah, sedangkan aset, liabilitas, dan
ekuitas dalam valuta asing (valas) dilaporkan pada kolom valuta asing (valas).
Rupiah
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
Valas
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
Jumlah
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
..........
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 13 -
Untuk PPI pelapor yang berbadan hukum koperasi dapat melakukan penyesuaian atas
penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik koperasi.
A. ASET
1. Kas
Adalah uang kartal yang ada dalam kas berupa uang kertas dan uang logam,
yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang menjadi alat pembayaran yang sah
di Indonesia. Termasuk pula dalam pengertian kas adalah uang kertas dan uang
logam asing yang masih berlaku sebagai alat pembayaran yang sah.
Commemorative coin dan commemorative note yang dikeluarkan oleh Bank
Indonesia dilaporkan pada aset lain-lain.
2. Penempatan pada bank
Adalah simpanan PPI pelapor dalam rupiah dan valuta asing di bank, misalnya
simpanan dalam rekening giro, deposito berjangka, dan rekening simpanan
lainnya pada bank.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.1 Daftar Rincian Penempatan Pada Bank.
3. Surat berharga yang dimiliki
Adalah penempatan dana PPI pelapor dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia,
Surat Utang Negara, dan/atau instrumen keuangan lainnya yang mempunyai
peringkat investasi.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.2 Daftar Rincian Surat Berharga Yang
Dimiliki.
4. Pendapatan yang masih akan diterima
Adalah pendapatan PPI pelapor yang telah diakui pada periode laporan namun
belum diterima pembayarannya seperti pendapatan dari pemberian jasa
konsultasi, bunga pinjaman dan bunga penempatan dana yang belum diterima
pembayarannya.
5. Pinjaman yang diberikan
Pos ini dirinci atas:
a. pinjaman langsung
Adalah penyediaan uang dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara PPI pelapor dengan
pihak lain.
b. refinancing
Adalah penyediaan uang dalam rupiah dan valuta asing, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara PPI pelapor dengan
pihak lain melalui mekanisme pembiayaan ulang atas infrastruktur yang
telah dibiayai oleh pihak lain.
c. pinjaman subordinasi
Adalah pinjaman yang diberikan PPI pelapor kepada pihak lain yang
berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur dengan jangka waktu minimal
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 14 -
5 (lima) tahun dan dalam hal terjadi likuidasi, hak tagihnya berlaku paling
akhir dari semua pinjaman.
d. lain-lain
Adalah pinjaman yang diberikan PPI pelapor kepada pihak lain yang
berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur dan tidak termasuk dalam
kategori pinjaman sebagaimana dimaksud pada huruf a, b, dan c.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.3 Daftar Rincian Pinjaman Yang Diberikan.
6. Penyertaan modal
Adalah penanaman dana dalam bentuk kepemilikan pada PPI lain dan/atau
perusahaan yang bergerak dalam proyek infrastruktur.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.4 Daftar Rincian Penyertaan Modal.
7. Cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan
Adalah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk
oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan.
Pos ini dirinci atas cadangan penurunan nilai aset keuangan berupa:
a. penempatan pada bank
b. surat berharga yang dimiliki
c. pinjaman yang diberikan
d. lain-lain
8. Aset tidak berwujud
Adalah aset yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta
dimiliki PPI pelapor untuk digunakan dalam kegiatan operasional selama lebih
dari satu tahun.
Akumulasi amortisasi aset tidak berwujud
Adalah akumulasi sampai dengan akhir triwulan laporan dari alokasi sistematis
jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.
9. Aset tetap
Adalah aset berwujud yang dimiliki PPI pelapor dan digunakan dalam kegiatan
operasional untuk digunakan selama lebih dari satu tahun.
Akumulasi penyusutan aset tetap
Adalah akumulasi sampai dengan akhir triwulan laporan dari alokasi sistematis
jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur manfaatnya.
10. Aset pajak tangguhan
Adalah jumlah pajak penghasilan terpulihkan (revocable) pada periode
mendatang sebagai akibat adanya perbedaan temporer yang boleh dikurangkan
dan sisa kompensasi kerugian.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 15 -
11. Aset lain-lain
Adalah aset yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari pos 1
sampai dengan 10 di atas. Dalam pos ini dimasukkan pula commemorative
coin/note yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
B. LIABILITAS
1. Beban yang masih harus dibayar
Adalah beban-beban yang telah terjadi namun belum ditunaikan
pembayarannya seperti beban gaji, beban sewa, beban konsultasi, dan beban
bunga.
2. Utang pajak
Adalah jumlah pajak-pajak terutang yang harus dibayar oleh PPI pelapor.
3. Pendapatan diterima dimuka
Adalah pendapatan yang telah diterima pembayarannya oleh PPI pelapor
namun belum diakui sebagai pendapatan pada tanggal neraca seperti bagian
penerimaan fee penjaminan dan pembayaran dimuka atas jasa konsultasi yang
akan dilakukan.
4. Liabilitas lancar lainnya
Adalah liabilitas lancar yang tidak termasuk dalam klasifikasi liabilitas lancar di
atas.
5. Surat berharga yang diterbitkan
Adalah surat pengakuan utang berjangka pendek, menengah, dan panjang
dalam rupiah dan valuta asing baik atas nama maupun atas unjuk yang
diterbitkan oleh PPI pelapor yang dibeli atau dimiliki oleh pihak lain.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.5 Daftar Rincian Surat Berharga yang
Diterbitkan.
6. Utang klaim penjaminan
Adalah utang yang timbul sehubungan dengan adanya persetujuan atas klaim
yang diajukan oleh penerima jaminan yang belum dibayar oleh PPI pelapor.
Utang klaim diakui dan dicatat pada saat klaim disetujui untuk dibayar (claim
settled).
7. Pinjaman yang diterima
Adalah pinjaman jangka pendek, jangka menengah dan/atau jangka panjang
dalam rupiah dan valuta asing yang diterima PPI pelapor dari Pemerintah
Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan bank serta
lembaga keuangan, baik dari dalam maupun luar negeri.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.6 Daftar Rincian Pinjaman yang Diterima.
8. Imbalan pasca kerja
Adalah imbalan kerja selain pesangon pemutusan kontrak kerja dan imbalan
berbasis ekuitas yang terutang setelah pekerja menyelesaikan masa kerjanya.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 16 -
9. Liabilitas pajak tangguhan
Adalah jumlah pajak penghasilan terutang (payable) untuk periode mendatang
sebagai akibat adanya perbedaan temporer kena pajak.
10. Liabilitas lain-lain
Adalah liabilitas yang tidak dapat digolongkan ke dalam salah satu dari pos 1
sampai dengan 9 di atas.
C. EKUITAS
1. Modal
a. modal disetor
Adalah modal disetor PPI pelapor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
b. agio
Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah selisih lebih setoran modal
yang diterima oleh PPI pelapor sebagai akibat harga saham yang melebihi
nilai nominalnya.
c. disagio
Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah selisih kurang setoran modal
sebagai akibat harga saham lebih rendah dari nilai nominalnya.
2. Cadangan
Adalah cadangan-cadangan yang dibentuk menurut ketentuan anggaran dasar
dan/atau keputusan pemilik/rapat pemegang saham. Dalam pengertian ini
meliputi:
a. cadangan umum
Yang dimasukkan ke dalam subpos ini adalah cadangan yang dibentuk dari
penyisihan laba bersih setelah dikurangi pajak yang digunakan untuk
menutup kerugian yang timbul dari pelaksanaan kegiatan usaha PPI
pelapor.
b. cadangan tujuan
Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah bagian laba setelah
dikurangi pajak yang disisihkan untuk tujuan tertentu.
c. cadangan lainnya
Yang dimasukkan ke dalam sub pos ini adalah cadangan yang tidak
termasuk dalam cadangan umum dan cadangan tujuan pada butir a dan b,
antara lain cadangan yang dibentuk dari selisih penilaian kembali aset tetap.
3. Hibah
Adalah hibah yang diterima PPI pelapor dari pihak lain. Hibah dilaporkan
dalam rupiah. Dalam hal hibah diterima dalam valuta asing, hibah tersebut
harus dikonversikan ke dalam rupiah.
Pos ini harus dirinci pada Formulir I.2.7 Daftar Rincian Hibah yang Diterima.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 17 -
4. Saldo laba (rugi)
Yang dimasukkan ke dalam pos ini adalah saldo laba (rugi) yang ditahan
(ditanggung) oleh PPI pelapor pada periode awal tahun.
Pos ini dirinci atas:
a. laba
b. rugi
5. Laba (rugi) tahun berjalan
Yang dimasukkan ke dalam pos ini adalah laba (rugi) PPI pelapor selama
periode akuntansi sampai dengan tanggal laporan.
Pos ini dirinci atas:
a. laba
b. rugi
6. Pendapatan komprehensif lainnya
a. keuntungan
Yang dimasukkan ke dalam pos ini antara lain adanya potensi keuntungan
yang berasal dari peningkatan nilai wajar surat berharga dalam kelompok
tersedia untuk dijual.
b. kerugian
Yang dimasukkan ke dalam pos ini antara lain adanya potensi kerugian
yang berasal dari penurunan nilai wajar surat berharga dalam kelompok
tersedia untuk dijual.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 18 -
FORMULIR I.2.1 : DAFTAR RINCIAN PENEMPATAN PADA BANK
PT/Koperasi ……………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
No
1.
2.
3.
dst
Petunjuk pengisian:
Pada daftar rincian ini dilaporkan posisi penempatan dana PPI pelapor pada bank
dimana PPI pelapor akan menerima imbal hasil tertentu. Dalam sistem pelaporan ini
setiap rekening penempatan pada bank harus dilaporkan secara individual. Guna
penyederhanaan laporan, pada daftar rincian ini dapat dilakukan penggabungan
sepanjang memiliki karakteristik yang sama.
I. No
Cukup jelas.
II. Nama bank
Diisi dengan nama lengkap bank tempat PPI pelapor menempatkan dana.
III. Hubungan dengan PPI
Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan bank.
1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah:
a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara,
mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah
pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries);
b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung,
suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara
signifikan;
c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi
PPI pelapor;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi,
dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa
dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1.
II
Nama
bank
III
Hubungan
dengan PPI
IV
Jenis
V
Jenis
valuta
VI
Jangka
waktu
VII
Suku
bunga
VIII
Nominal
Periode
lalu
IX
Jumlah
Periode
laporan
X
Pendapatan
bunga yang
akan
diterima
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 19 -
2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah:
Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2.
IV. Jenis
Yaitu bentuk simpanan dana PPI pelapor pada bank dalam rupiah dan valuta
asing. Diisi dengan sandi berupa nomor sebagai berikut:
1. Giro
2. Deposit on call
3. Deposito berjangka
4. Sertifikat deposito
5. Lain-lain
Penempatan dana PPI pada bank selain jenis 1 sampai dengan 4 di atas.
V. Jenis valuta
Diisi dengan jenis valuta penempatan dana PPI pelapor pada bank seperti US
dollar, yen, Singapore dollar, dan sebagainya.
VI. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu jatuh tempo simpanan dana PPI pelapor pada bank.
VII. Suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga simpanan dana PPI pelapor pada bank.
VIII. Nominal
Yaitu nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak yang
diperjanjikan.
IX. Jumlah
Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan
sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya
perolehan diamortisasi atau nilai wajar.
1. Periode lalu
Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya.
2. Periode laporan
Diisi dengan jumlah pada periode laporan.
X. Pendapatan bunga yang akan diterima
Diisi dengan pendapatan bunga yang telah diakui pada tanggal laporan namun
belum diterima pembayarannya.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 20 -
FORMULIR I.2.2
: DAFTAR RINCIAN SURAT BERHARGA YANG DIMILIKI
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
II
Jenis
Jenis
valuta
III
Nama
penerbit
IV
Negara
penerbit
V
Kategori
pengukuran
VI
Jangka
waktu
Tanggal
penerbitan
Jatuh
tempo
VII
Suku
bunga
Tingkat
suku
bunga
Jenis
suku
bunga
Nominal
VIII
IX
Harga
perolehan
X
Premium/
diskonto
XI
Jumlah (biaya perolehan
diamortisasi atau nilai wajar)
Periode lalu
Periode
laporan
XII
Cadangan
kerugian
penurunan
nilai
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 21 -
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini melaporkan posisi surat berharga yang dimiliki PPI pelapor dalam
rupiah dan valuta asing. Pada dasarnya setiap rekening surat berharga harus
dilaporkan secara individual. Namun demikian guna penyederhanaan laporan,
pelaporan surat berharga pada daftar rincian ini dapat dilakukan penggabungan
sepanjang surat berharga diterbitkan oleh penerbit yang sama dan memiliki
karakteristik yang sama.
I.
Jenis
Diisi dengan salah satu bentuk surat berharga yang dimiliki PPI pelapor sebagai
berikut:
1. Surat Utang Negara
2. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
3. Lainnya
II.
Jenis valuta
Diisi dengan jenis valuta surat berharga.
III. Nama penerbit
Diisi dengan nama pihak yang menjadi penerbit surat berharga.
IV. Negara penerbit
Diisi dengan nama negara tempat penerbit berdomisili.
V. Kategori pengukuran
Diisi dengan kategori pengukuran untuk aset keuangan sesuai dengan SAK
mengenai instrumen keuangan, yaitu:
1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
a. diperdagangkan.
b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi.
2. Pinjaman yang diberikan dan piutang.
3. Dimiliki hingga jatuh tempo.
4. Tersedia untuk dijual.
VI. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu dari surat berharga yang dimiliki PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penerbitan awal yang tercantum dalam
perjanjian.
2. Jatuh tempo
Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 22 -
VII. Suku bunga
1. Tingkat suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga surat berharga sebagaimana tercantum dalam
perjanjian.
2. Jenis suku bunga
Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut:
a. tetap (Fixed)
Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu
atau sampai dengan jatuh tempo.
b. variabel
Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
VIII. Nominal
Diisi dengan nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak
yang diperjanjikan.
IX. Harga perolehan
Diisi dengan jumlah dana yang dikeluarkan PPI pelapor untuk membeli surat
berharga.
X. Premium/diskonto
Diisi dengan sisa premium/diskonto dalam rupiah atau valuta asing yang belum
diamortisasi.
XI. Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar)
Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan
sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya
perolehan diamortisasi atau nilai wajar.
1. Periode lalu
Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya.
2. Periode laporan
Diisi dengan jumlah pada periode laporan.
XII. Cadangan kerugian penurunan nilai
Adalah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang wajib dibentuk
oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 23 -
FORMULIR I.2.3
: DAFTAR RINCIAN PINJAMAN YANG DIBERIKAN
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
No.
perjanjian
II
No.
rekening
III
Jumlah
rekening
IV
Nama
peminjam
V
Hubungan
dengan
PPI
VI
Jenis
pinjaman
VII
Jenis
penggunaan
VIII
Jenis
valuta
IX
Jenis
infrastruktur
X
Kategori
pengukuran
Tanggal
penerbitan
Jatuh
tempo
Tingkat
suku
bunga
Jenis
suku
bunga
XI
Jangka waktu
XII
Suku bunga
Plafon Nominal
XIII
XIV
XV
Jumlah (biaya
perolehan
diamortisasi
atau nilai wajar)
Periode
lalu
Periode
laporan
XVI
Cadangan
kerugian
penurunan
nilai
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 24 -
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini melaporkan semua realisasi pemberian pinjaman dalam rupiah dan
valuta asing. Pinjaman yang diberikan dalam rangka pembiayaan
bersama/konsorsium/sindikasi baik PPI pelapor berperan sebagai arranger maupun
participant dilaporkan sebesar tagihan PPI pelapor kepada peminjam yang
bersangkutan atau sebesar pangsa PPI pelapor. Pada dasarnya setiap rekening
pinjaman yang diberikan harus dilaporkan secara individual. Namun demikian guna
penyederhanaan laporan, pelaporan pinjaman yang diberikan pada daftar rincian ini
dapat dilakukan penggabungan sepanjang pinjaman diberikan pada debitur yang sama
dan pinjaman yang diberikan memiliki karakteristik yang sama.
I. No. perjanjian
Diisi dengan nomor yang tercantum dalam perjanjian pinjaman (pinjaman
langsung, refinancing, pinjaman subordinasi).
II. No. rekening
Diisi dengan nomor rekening pinjaman.
III. Jumlah rekening
Diisi dengan jumlah rekening pinjaman yang diberikan kepada peminjam.
IV. Nama peminjam
Diisi dengan nama peminjam yang menandatangani perjanjian pinjaman.
V. Hubungan dengan PPI
Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan peminjam.
1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah:
a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih perantara,
mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah
pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries);
b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung,
suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara
signifikan;
c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi
PPI pelapor;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris, direksi,
dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa
dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1.
2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah:
Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 25 -
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2.
VI. Jenis pinjaman
Diisi dengan sandi berupa nomor jenis pinjaman yang diberikan oleh PPI, yaitu:
1. Pinjaman langsung
2. Refinancing
3. Pinjaman subordinasi
4. Lainnya
VII. Jenis penggunaan
Diisi dengan salah satu tujuan penggunaan pinjaman sebagai berikut:
1. modal kerja
Yaitu pembiayaan jangka pendek untuk membiayai keperluan modal kerja
peminjam.
2. investasi
Yaitu pembiayaan jangka menengah atau panjang untuk pembangunan proyek
infrastruktur.
3. lainnya
Yaitu pembiayaan yang diberikan oleh PPI pelapor kepada pihak lain dengan
tujuan pembiayaan selain angka 1 dan angka 2.
VIII. Jenis valuta
Diisi dengan jenis valuta yang digunakan dalam pemberian fasilitas pinjaman
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
IX. Jenis infrastruktur
Diisi dengan sandi berupa nomor jenis infrastruktur, sebagai berikut:
1. Infrastruktur transportasi
2. Infrastruktur jalan
3. Infrastruktur pengairan
4. Infrastruktur air minum
5. Infrastruktur air limbah
6. Infrastruktur telekomunikasi
7. Infrastruktur ketenagalistrikan
8. Infrastruktur minyak dan gas bumi
9. Multisektor (lebih dari 1 jenis)
10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas
persetujuan Menteri.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 26 -
X. Kategori pengukuran
Diisi dengan kategori pengukuran untuk aset keuangan sesuai dengan SAK
mengenai instrumen keuangan, yaitu:
1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
a. diperdagangkan
b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
2. Pinjaman yang diberikan dan piutang
3. Dimiliki hingga jatuh tempo
4. Tersedia untuk dijual
XI. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu pinjaman yang diberikan oleh PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun pemberian pinjaman yang tercantum
dalam perjanjian.
2. Jatuh tempo
Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
XII. Suku bunga
1. Tingkat suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga yang digunakan dalam pemberian fasilitas
pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian/akad.
2. Jenis suku bunga
Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut:
a. tetap (fixed)
Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu
atau sampai dengan jatuh tempo.
b. variabel
Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
XIII. Plafon
Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh peminjam
sebagaimana tercantum dalam surat perjanjian.
XIV. Nominal
Diisi dengan saldo baki debet pada tanggal laporan.
XV. Jumlah (biaya perolehan diamortisasi atau nilai wajar)
Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari aset keuangan
sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 27 -
perolehan diamortisasi atau nilai wajar.
1. Periode lalu
Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya.
2. Periode laporan
Diisi dengan jumlah pada periode laporan.
XVI. Cadangan kerugian penurunan nilai
Diisi dengan jumlah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang
wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan.
Untuk pinjaman yang mengalami kegagalan/keterlambatan pembayaran cicilan
pokok maupun bunga namun belum dilakukan penurunan nilai maka wajib
diungkapkan sesuai dengan format sebagai berikut:
1. Nomor rekening peminjam;
2. Nama peminjam; dan
3. Nilai pinjaman yang lewat waktu, yang dirinci menjadi:
a. nilai pinjaman yang lewat waktu sampai dengan 30 hari;
b. nilai pinjaman yang lewat waktu antara 31 hari sampai dengan 60 hari;
c. nilai pinjaman yang lewat waktu antara 61 hari sampai dengan 90 hari; dan
d. nilai pinjaman yang lewat waktu lebih dari 90 hari.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 28 -
FORMULIR I.2.4
: DAFTAR RINCIAN PENYERTAAN MODAL
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
Nama
investee
II
Metode
penyertaan
III
Jenis
valuta
IV
Tujuan
penyertaan
V
Waktu
penyertaan
VI
Bagian
penyertaan
VII
Nilai
perolehan
VIII
Jumlah
IX
Cadangan
Kerugian
Penurunan
Nilai
Jumlah
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini melaporkan posisi penyertaan PPI pelapor pada pihak lain, termasuk
penyertaan dalam rangka restrukturisasi pinjaman yang diberikan.
Sesuai ketentuan PMK Nomor 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur, penyertaan hanya dapat dilakukan pada PPI lain dan/atau perusahaan
yang bergerak dalam proyek infrastruktur.
I. Nama investee
Diisi dengan nama perusahaan investee tempat PPI pelapor melakukan
penyertaan.
II. Metode penyertaan
Diisi dengan salah satu metode penyertaan sebagai berikut:
1. Metode biaya (cost method)
Metode akuntansi yang mencatat investasi sebesar biaya perolehan.
Penghasilan baru diakui oleh investor apabila investee mendistribusikan laba
bersih (kecuali dividen saham) yang berasal dari laba setelah tanggal
perolehan.
2. Metode ekuitas (equity method)
Metode akuntansi yang mencatat investasi pada mulanya sebesar biaya
perolehan dan selanjutnya disesuaikan untuk perubahan dalam bagian
kepemilikan investor atas aset bersih investee yang terjadi setelah perolehan.
Laporan laba rugi investor merefleksikan bagian laba atau rugi investor atas
hasil usaha investee.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 29 -
III. Jenis valuta
Diisi dengan jenis mata uang yang digunakan dalam melakukan transaksi antara
PPI pelapor dengan investee.
IV. Tujuan penyertaan
Diisi dengan salah satu tujuan penyertaan sebagai berikut:
1. Penyertaan modal
Yaitu penyertaan modal pada PPI lain dan/atau perusahaan yang bergerak
dalam proyek infrastruktur.
2. Penyertaan modal sementara
Yaitu penyertaan modal oleh PPI pelapor pada perusahaan peminjam untuk
mengatasi kegagalan pembayaran pinjaman (debt to equity swap), sesuai
ketentuan yang berlaku.
V. Waktu penyertaan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun efektif dimulainya penyertaan pada
perusahaan investee.
VI. Bagian penyertaan
Diisi dengan persentase penyertaan pada perusahaan investee.
VII. Nilai perolehan
Diisi dengan nilai perolehan pada saat melakukan penyertaan.
VIII. Jumlah
Diisi dengan nilai penyertaan pada tanggal laporan.
IX. Cadangan kerugian penurunan nilai
Diisi dengan jumlah cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan yang
wajib dibentuk oleh PPI pelapor sesuai SAK mengenai instrumen keuangan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 30 -
FORMULIR I.2.5
: DAFTAR RINCIAN SURAT BERHARGA YANG DITERBITKAN
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
Jenis
II
Jenis
valuta
III
Pembeli
IV
Negara
pembeli
V
Kategori
pengukuran
Tanggal
penerbitan
VI
Jangka waktu
Jatuh
tempo
Tingkat
suku
bunga
VII
Suku bunga
Jenis suku
bunga
Nominal
VIII
IX
Premium/diskonto
yang belum
diamortisasi
Periode
lalu
X
Jumlah
Periode
laporan
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 31 -
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini melaporkan seluruh posisi surat pengakuan utang jangka pendek,
jangka menengah, dan jangka panjang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing
baik atas nama maupun atas unjuk yang diterbitkan oleh PPI pelapor yang dibeli atau
dimiliki oleh pihak lain.
I.
Jenis
Diisi dengan jenis surat berharga yang diterbitkan, misalnya medium term notes
(MTN) atau obligasi.
II. Jenis valuta
Diisi dengan jenis valuta surat berharga.
III. Pembeli
Diisi dengan nama pembeli surat berharga.
IV. Negara pembeli
Diisi dengan negara domisili dari pihak-pihak membeli surat berharga yang
diterbitkan oleh PPI pelapor.
V. Kategori pengukuran
Diisi dengan kategori pengukuran untuk liabilitas keuangan sesuai dengan SAK
mengenai instrumen keuangan, yaitu:
1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
a. diperdagangkan
b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
2. Diukur pada biaya perolehan diamortisasi
VI. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu dari surat berharga yang diterbitkan oleh PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penerbitan awal yang tercantum dalam
perjanjian.
2. Jatuh tempo
Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
VII. Suku bunga
1. Tingkat suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga surat berharga yang diterbitkan oleh PPI
pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 32 -
2. Jenis suku bunga
a. tetap (fixed)
Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu
atau sampai dengan jatuh tempo.
b. variabel
Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
VIII. Nominal
Diisi dengan nilai nominal yang tercantum dalam surat berharga atau kontrak
yang diperjanjikan.
IX. Premium/diskonto yang belum diamortisasi
Diisi dengan sisa premium/diskonto dalam rupiah atau valuta asing yang belum
diamortisasi.
X. Jumlah
Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari liabilitas keuangan
sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya
perolehan diamortisasi atau nilai wajar.
1. Periode lalu
Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya.
2. Periode laporan
Diisi dengan jumlah pada periode laporan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 33 -
FORMULIR I.2.6 : DAFTAR RINCIAN PINJAMAN YANG DITERIMA
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
Sumber
II
Jenis
III
Jenis
valuta
IV
Kreditur
V
Negara
kreditur
VI
Kategori
pengukuran
Tanggal
penerbitan
VII
Jangka waktu
Jatuh
tempo
Tingkat
suku
bunga
VIII
Suku bunga
Jenis
suku
bunga
Plafon
Nominal
IX
X
Periode
lalu
XI
Jumlah
Periode
laporan
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 34 -
Petunjuk pengisian:
I.
Sumber
Diisi dengan sandi berupa nomor untuk sumber pinjaman sebagai berikut:
1. Pemerintah Republik Indonesia;
2. Pemerintah asing;
3. Lembaga multilateral;
4. Bank serta lembaga keuangan baik dalam maupun luar negeri.
II. Jenis
Diisi dengan sandi berupa nomor untuk jenis pinjaman sebagai berikut:
1. Senior debt
Pinjaman yang memiliki prioritas dibanding pinjaman lainnya dalam hal
pembayaran
2. Subordinasi
Pinjaman yang memenuhi kriteria subordinasi.
3. Lainnya
Pinjaman selain angka 1 dan 2 di atas .
III. Jenis valuta
Diisi dengan jenis mata uang pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor.
IV. Kreditur
Diisi dengan nama kreditur yang memberikan pinjaman kepada PPI pelapor.
V. Negara pihak kreditur
Diisi dengan nama negara domisili dari pihak-pihak yang memberikan pinjaman
kepada PPI pelapor.
VI. Kategori pengukuran
Diisi dengan kategori pengukuran untuk liabilitas keuangan sesuai dengan SAK
mengenai instrumen keuangan, yaitu:
1. Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
a. diperdagangkan
b. ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi
2. Diukur pada biaya perolehan diamortisasi.
VII. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu dari pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Yaitu tanggal, bulan, dan tahun pinjaman diterima yang tercantum dalam
perjanjian.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 35 -
2. Jatuh tempo
Yaitu tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
VIII. Suku bunga
1. Tingkat suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga pinjaman yang diterima sebagaimana
tercantum dalam perjanjian.
2. Jenis suku bunga
Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut:
a. tetap (fixed)
Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu tertentu
atau sampai dengan jatuh tempo.
b. variabel
Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
IX. Plafon
Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
X. Nominal
Diisi dengan nilai pinjaman yang telah ditarik.
XI. Jumlah
Diisi untuk pengakuan awal atau pengakuan selanjutnya dari liabilitas keuangan
sesuai dengan SAK mengenai instrumen keuangan yaitu berdasarkan biaya
perolehan diamortisasi atau nilai wajar.
1. Periode lalu
Diisi dengan jumlah pada periode laporan sebelumnya.
2. Periode laporan
Diisi dengan jumlah pada periode laporan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 36 -
FORMULIR I.2.7
: DAFTAR RINCIAN HIBAH YANG DITERIMA
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tahun ……….
I
Pemberi hibah
II
Hubungan
dengan PPI
III
Negara asal
IV
Jenis
V
Jumlah
Jumlah
Petunjuk pengisian:
Daftar rincian ini melaporkan posisi hibah yang diterima PPI pelapor dari pihak lain.
Hibah dilaporkan dalam rupiah. Dalam hal hibah diterima dalam valuta asing,
dilaporkan ke dalam rupiah menurut kurs tengah Bank Indonesia pada saat hibah
tersebut diterima.
I. Pemberi hibah
Diisi dengan nama pihak pemberi hibah.
II. Hubungan dengan PPI
Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan pemberi hibah.
1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah:
a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih
perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah
pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries);
b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung,
suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh secara
signifikan;
c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi
PPI pelapor;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua
baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan komisaris,
direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 37 -
2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah:
Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2.
III. Negara asal
Diisi dengan nama negara domisili dari pihak-pihak yang memberikan hibah
kepada PPI pelapor.
IV. Jenis
Diisi dengan jenis hibah yang diterima, misalnya tunai.
V. Jumlah
Diisi dengan nilai hibah yang diterima.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 38 -
FORMULIR I.3
: LAPORAN LABA RUGI
PT/Koperasi ………………………………
Periode Yang Berakhir Tanggal …..... Tahun ….…
(dalam jutaan rupiah)
Jumlah
Pos-pos
I.
PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL
1. Pendapatan Operasional
a. pendapatan bunga, provisi, dan fee pinjaman yang diberikan
1) pinjaman langsung
2) refinancing
3) pinjaman subordinasi
4) lainnya
b. pendapatan fee penjaminan
c. pendapatan jasa konsultasi
d. pendapatan dividen
e. pendapatan bunga investasi
f. peningkatan nilai wajar aset keuangan
g. penurunan nilai wajar liabilitas keuangan
h. keuntungan penjualan aset keuangan
i.
j.
keuntungan dari penyertaan modal dengan metode ekuitas
pendapatan operasional lainnya
Jumlah pendapatan operasional
2.
Beban Operasional
a. bunga pinjaman, provisi dan fee
1) bunga pinjaman
2) beban provisi dan fee
b. beban klaim penjaminan
c. penurunan nilai wajar aset keuangan
d. peningkatan nilai wajar liabilitas keuangan
e. kerugian penjualan aset keuangan
f. kerugian dari penyertaan modal dengan metode ekuitas
g. beban penurunan nilai aset keuangan
1) penempatan pada bank
2) surat berharga yang dimiliki
3) pinjaman yang diberikan
4) lainnya
h. beban gaji dan tunjangan
beban pengembangan usaha
beban depresiasi dan amortisasi
i.
j.
k. beban umum dan administrasi
l.
beban operasional lainnya
Jumlah beban operasional
Rupiah Valas
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 39 -
Pos-pos
II. LABA/RUGI OPERASIONAL
1.
Laba operasional
2. Rugi operasional
III. PENDAPATAN DAN BEBAN NON OPERASIONAL
1. Pendapatan non operasional
2.
Beban non operasional
IV. LABA/RUGI SEBELUM PAJAK PENGHASILAN
1.
Laba sebelum pajak penghasilan
2. Rugi sebelum pajak penghasilan
V. PAJAK PENGHASILAN
1. Taksiran pajak penghasilan -/-
2. Pajak tangguhan
a. beban pajak tangguhan -/-
b. pendapatan pajak tangguhan
VI. LABA/RUGI BERSIH
1.
Laba bersih
2. Rugi bersih
Rupiah Valas
………
………
………
………
Jumlah
………
………
……… ……… ………
……… ……… ………
………
………
………
………
………
………
……… ……… ………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
………
Petunjuk pengisian:
Laporan laba rugi PPI pelapor disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberikan
gambaran mengenai hasil usaha PPI pelapor dalam suatu periode tertentu. Yang
dimasukkan ke dalam laporan laba rugi adalah angka-angka kumulatif pendapatan dan
beban PPI pelapor dalam rupiah dan valuta asing sejak awal tahun buku sampai
dengan tanggal laporan. Pendapatan dan beban dalam rupiah dimasukkan dalam
kolom rupiah, sedangkan pendapatan dan beban dalam valuta asing dimasukkan
dalam kolom valas.
Laporan laba rugi PPI pelapor disusun dalam bentuk berjenjang (multiple steps) yang
menggambarkan pendapatan atau beban yang berasal dari kegiatan PPI pelapor.
Cara penyajian laporan laba rugi PPI pelapor adalah sebagai berikut:
1. Memuat secara rinci unsur pendapatan dan beban; dan
2. Unsur pendapatan dan beban harus dibedakan antara pendapatan dan beban yang
berasal dari kegiatan operasional dan bukan operasional.
Laporan Laba Rugi dirinci sebagai berikut :
I. PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL
1. Pendapatan Operasional
Adalah semua pendapatan dalam rupiah dan valuta asing yang diperoleh PPI
pelapor dari kegiatan operasional.
a. pendapatan bunga, provisi, dan fee pinjaman yang diberikan
Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak
dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian pinjaman.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 40 -
1) pinjaman langsung
Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak
dikapitalisasi yang diperoleh PPI dari kegiatan pemberian pinjaman
secara langsung.
2) refinancing
Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak
dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian
pinjaman melalui mekanisme refinancing.
3) pinjaman subordinasi
Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak
dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari kegiatan pemberian
pinjaman subordinasi.
4) lainnya
Adalah semua pendapatan bunga serta provisi dan fee yang tidak
dikapitalisasi yang diperoleh PPI pelapor dari jenis kegiatan pemberian
pinjaman lainnya.
b. pendapatan fee penjaminan
Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor sebagai imbalan atas
pemberian jasa penjaminan.
c. pendapatan jasa konsultasi
Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor dari pemberian jasa
konsultasi
d. pendapatan dividen
Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor dari pembagian laba atas
investasi berupa penyertaan modal.
e. pendapatan bunga investasi
Adalah pendapatan bunga yang diperoleh PPI pelapor dari penempatan
dana, antara lain dalam bentuk deposito berjangka, Sertifikat Bank
Indonesia, Surat Utang Negara, dan surat-surat berharga lainnya.
f. peningkatan nilai wajar aset keuangan
Adalah potensi keuntungan yang belum direalisasikan dari surat berharga
dan aset keuangan lainnya yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba
rugi, yang merupakan selisih positif antara nilai wajar surat berharga dan
aset keuangan lainnya pada tanggal laporan dan nilai wajar surat berharga
dan aset keuangan lainnya pada periode sebelumnya.
g. penurunan nilai wajar liabilitas keuangan
Adalah potensi keuntungan yang belum terealisasi dari liabilitas keuangan
yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan
selisih negatif antara nilai wajar liabilitas keuangan pada tanggal laporan dan
nilai wajar liabilitas keuangan tersebut pada periode sebelumnya.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 41 -
h. keuntungan penjualan aset keuangan
Adalah keuntungan yang dapat direalisasikan dari penjualan aset keuangan.
i. keuntungan dari penyertaan modal dengan metode ekuitas (equity method)
Adalah keuntungan yang diperoleh PPI pelapor dari penyertaan modal pada
perusahaan lain (investee) dengan metode ekuitas, yang merupakan
pengakuan secara proporsional atas perolehan laba bersih investee.
j. pendapatan operasional lainnya
Adalah pendapatan yang diperoleh PPI pelapor selain pendapatan
operasional dalam kelompok a sampai dengan i di atas.
2. Beban Operasional
Adalah semua beban dalam rupiah dan valuta asing yang dikeluarkan PPI
pelapor untuk kegiatan operasional.
a. bunga pinjaman, provisi, dan fee
1) bunga pinjaman
Adalah semua beban bunga yang dikeluarkan oleh PPI pelapor berkaitan
dengan pendanaan yang diterima.
2) beban provisi dan fee
Adalah biaya provisi dan fee yang tidak dikapitaliasi yang dikeluarkan
oleh PPI pelapor berkaitan dengan pendanaan yang diterima.
b. beban klaim penjaminan
Adalah beban klaim yang timbul sehubungan dengan kegiatan penjaminan.
c. penurunan nilai wajar aset keuangan
Adalah potensi kerugian yang belum direalisasikan dari surat berharga dan
aset keuangan lainnya yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba
rugi, yang merupakan selisih negatif antara nilai wajar surat berharga dan
aset keuangan lainnya pada tanggal laporan dan nilai wajar surat berharga
dan aset keuangan lainnya pada periode sebelumnya.
d. peningkatan nilai wajar liabilitas keuangan
Adalah potensi kerugian yang belum terealisasi dari liabilitas keuangan
yang diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi, yang merupakan
selisih positif antara nilai wajar liabilitas keuangan pada tanggal laporan dan
nilai wajar liabilitas keuangan tersebut pada periode sebelumnya.
e. kerugian penjualan aset keuangan
Adalah kerugian yang direalisasikan dari penjualan aset keuangan.
f. kerugian dari penyertaan modal dengan metode ekuitas (equity method)
Adalah kerugian yang diperoleh PPI pelapor dari penyertaan modal pada
perusahaan lain (investee) dengan metode ekuitas, yang merupakan
pengakuan secara proporsional atas kerugian yang dialami investee.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 42 -
g. beban penurunan nilai aset keuangan
Adalah beban pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan, yang dirinci berdasarkan jenis aset keuangan yaitu penempatan
pada bank, surat berharga yang dimiliki, pinjaman yang diberikan, dan aset
keuangan lainnya.
h. beban gaji dan tunjangan
Adalah beban gaji pokok, upah, tunjangan, honorarium, dan beban sumber
daya manusia lainnya di luar gaji, upah, tunjangan, dan honorarium.
i. beban pengembangan usaha
Adalah beban yang terkait langsung dengan kegiatan usaha PPI pelapor
antara lain beban konsultan, beban survey lapangan, dan biaya kegiatan
lainnya, tidak termasuk beban gaji dan tunjangan sebagaimana dimaksud
pada butir h di atas.
j. beban depresiasi dan amortisasi
Adalah beban depresiasi aset tetap dan beban amortisasi aset tidak
berwujud.
k. beban umum dan administrasi
Adalah beban operasional yang dapat dikelompokkan ke dalam beban
umum dan administrasi, antara lain beban sewa dan beban operasional
kantor.
l. beban operasional lainnya
Adalah beban operasional yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari
kelompok a sampai dengan k di atas.
II. LABA (RUGI) OPERASIONAL
1. Laba operasional
Adalah selisih positif dari pendapatan operasional dikurangi beban operasional.
2. Rugi operasional
Adalah selisih negatif dari pendapatan operasional dikurangi beban operasional.
III. PENDAPATAN DAN BEBAN NON OPERASIONAL
1. Pendapatan non operasional
Adalah semua pendapatan/keuntungan yang diperoleh selain dari kegiatan
utama PPI pelapor, antara lain keuntungan penjualan aset tetap.
2. Beban non operasional
Adalah semua beban/kerugian yang ditanggung PPI pelapor yang tidak terkait
dengan kegiatan usaha PPI pelapor.
IV. LABA (RUGI) SEBELUM PAJAK PENGHASILAN
1. Laba sebelum pajak penghasilan
Adalah selisih positif dari laba (rugi) operasional ditambah/dikurangi
pendapatan/beban non operasional.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 43 -
2. Rugi sebelum pajak penghasilan
Adalah selisih negatif dari laba (rugi) operasional ditambah/dikurangi
pendapatan/beban non operasional.
V. PAJAK PENGHASILAN
1. Taksiran pajak penghasilan
Adalah taksiran pajak penghasilan yang dihitung atas laba periode tahun
berjalan sampai dengan tanggal laporan.
2. Pajak tangguhan
a. beban pajak tangguhan
Adalah besarnya beban pajak tangguhan terkait dengan besarnya liabilitas
pajak tangguhan yang diakui untuk periode tahun berjalan sampai dengan
tanggal laporan. Pos ini disajikan di laporan laba rugi atas dasar kompensasi
(offset) dengan pos Pendapatan Pajak Tangguhan.
b. pendapatan pajak tangguhan
Adalah besarnya pendapatan pajak tangguhan terkait dengan besarnya aset
pajak tangguhan yang diakui untuk periode tahun berjalan sampai dengan
tanggal laporan. Pos ini disajikan di laporan laba rugi atas dasar kompensasi
(offset) dengan pos Beban Pajak Tangguhan.
VI. LABA (RUGI) BERSIH
1. Laba bersih
Adalah laba setelah pajak penghasilan pada periode berjalan.
2. Rugi bersih
Adalah rugi setelah pajak penghasilan pada periode berjalan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 44 -
FORMULIR I.4
: LAPORAN PERUBAHAN EKUITAS
PT/Koperasi ………………………………
Periode Yang Berakhir Tanggal……. Tahun ……….
Keterangan
I.
II.
Saldo awal tahun
Perubahan kebijakan akuntansi
III. Koreksi tahun sebelumnya
IV.
V.
Saldo awal tahun yang disajikan kembali
Selisih penilaian kembali aset tetap
VI. Keuntungan (kerugian) belum direalisasikan
dari pemilikan aset keuangan
VII. Keuntungan (kerugian) neto yang tidak diakui
pada laporan laba rugi
VIII. Laba/Rugi bersih periode berjalan
IX. Pembentukan cadangan
X.
Dividen
XI. Penerbitan saham
XII. Lain-lain
XIII. Saldo per triwulan laporan
Modal
disetor
Agio
(Disagio)
Umum
Cadangan
Tujuan
(dalam jutaan rupiah)
Pendapatan
Lainnya
Hibah
Saldo laba
komprehensif
lainnya
Jumlah
ekuitas
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 45 -
Petunjuk pengisian:
Laporan perubahan ekuitas merupakan laporan yang menunjukkan perubahan ekuitas
PPI pelapor yang menggambarkan peningkatan atau penurunan aset bersih atau
kekayaan perusahaan selama periode laporan yaitu sejak awal tahun sampai dengan
periode laporan triwulan berjalan. Untuk PPI yang berbadan hukum koperasi dapat
melakukan penyesuaian atas penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik
koperasi. Setiap transaksi yang mempengaruhi nilai ekuitas dilaporkan pada pos-pos
ekuitas yang sesuai, yaitu:
1. Modal disetor.
2. Agio (Disagio)
3. Cadangan, yang terdiri dari:
a. cadangan umum
b. cadangan tujuan
c. cadangan lainnya
4. Hibah
5. Saldo Laba
6. Pendapatan komprehensif lainnya
Transaksi-transaksi yang mempengaruhi ekuitas dirinci sebagai berikut:
I.
II. Perubahan kebijakan akuntansi
Adalah jumlah penyesuaian terhadap saldo awal pos-pos ekuitas yang berubah
akibat terjadinya perubahan kebijakan akuntansi pada periode berjalan.
III. Koreksi tahun sebelumnya
Adalah jumlah penyesuaian terhadap saldo awal pos-pos ekuitas yang berubah
akibat terjadinya kesalahan pencatatan tahun sebelumnya yang baru diketahui
pada periode berjalan.
IV. Saldo awal tahun yang disajikan kembali
Adalah jumlah saldo awal tahun periode laporan pos-pos ekuitas setelah
penyesuian akibat perubahan kebijakan akuntansi dan koreksi tahun sebelumnya.
V. Selisih penilaian kembali aset tetap
Adalah keuntungan/kerugian dari penilaian kembali aset tetap.
VI. Keuntungan (kerugian) belum direalisasikan dari pemilikan aset keuangan
Adalah keuntungan/kerugian yang belum dapat diakui sebagai pendapatan pada
laporan laba rugi dari kepemilikan aset keuangan.
VII. Keuntungan (kerugian) neto yang tidak diakui pada laporan laba rugi
Adalah keuntungan (kerugian) yang diakui pada pendapatan komprehensif
lainnya.
Saldo awal tahun
Adalah saldo awal tahun periode laporan untuk masing-masing pos ekuitas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 46 -
VIII. Laba (Rugi) bersih periode berjalan
Adalah laba (rugi) bersih kumulatif sejak awal tahun sampai dengan triwulan
laporan.
IX. Pembentukan cadangan
Adalah pembentukan cadangan dari penyisihan laba bersih setelah dikurangi
pajak (cadangan umum) atau penyisihan bagian laba setelah dikurangi pajak
untuk tujuan tertentu (cadangan tujuan) yang dilakukan oleh PPI pelapor.
X. Dividen
Adalah jumlah dividen yang dibayarkan oleh PPI pelapor selama awal tahun
sampai dengan triwulan laporan.
XI. Penerbitan saham
Adalah jumlah yang diterima PPI pelapor dari penerbitan saham baru.
XII. Lain-lain
Adalah semua transaksi yang mempengaruhi pos-pos ekuitas selain dari I – XI di
atas.
XIII. Saldo per triwulan laporan
Adalah saldo masing-masing pos ekuitas per akhir triwulan laporan.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 47 -
FORMULIR I.5 : LAPORAN ARUS KAS
PT/Koperasi ………………………………
Periode Yang Berakhir Tanggal…. Tahun ..
Pos-pos
I.
Arua Kas bersih dari Aktivitas Operasi
1. Penerimaan kas dari aktivitas operasi
a. penerimaan bunga pinjaman yang diberikan
b. penerimaan pokok pinjaman yang diberikan
c. penerimaan fee
d. penerimaan dividen
e. penerimaan bunga dari penempatan dana pada bank
f. penerimaan lainnya dari aktivitas operasi
2. Pengeluaran kas untuk aktivitas operasi
a. penyaluran pinjaman yang diberikan
b. pembayaran untuk kegiatan penjaminan
c. pembayaran biaya usaha
d. pembayaran bunga pinjaman
e. pembayaran lainnya untuk aktivitas operasional
II. Arus Kas bersih dari Aktivitas Investasi
1. Penerimaan kas dari aktivitas investasi
a. penerimaan bunga dari investasi pada surat berharga
b. penerimaan atas penjualan surat berharga
c. penerimaan dari penjualan aset tetap
d. penerimaan atas pelepasan penyertaan modal
e. penerimaan lainnya dari aktivitas investasi
2. Pengeluaran kas untuk aktivitas investasi
a. pembayaran untuk perolehan surat berharga
b. pembayaran untuk pembelian aset tetap
c. pembayaran untuk penyertaan modal
d. pembayaran lainnya untuk aktivitas investasi
III Arus Kas bersih dari Aktivitas Pendanaan
1 Penerimaan kas dari aktivitas pendanaan
a. penerimaan dari setoran modal
b. penerimaan atas penerbitan surat utang
c. penerimaan pinjaman
d. penerimaan dari hibah/grant
e. penerimaan lainnya dari aktivitas pendanaan
2 Pengeluaran kas untuk aktivitas pendanaan
a. pembayaran pokok pinjaman
b. pembayaran dividen
Rupiah
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
c. pembayaran untuk penarikan kembali saham dan surat utang ..........
d. pembayaran lainnya untuk aktivitas pendanaan
...........
(dalam jutaan rupiah)
Valas
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
.........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
...........
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 48 -
Pos-pos
IV
V
Kenaikan (Penurunan) Bersih Kas dan Setara Kas
Pengaruh Perubahan Kurs
VI Kas dan Setara Kas pada Awal Periode
VII Kas dan Setara Kas pada Akhir Periode
Petunjuk pengisian:
Arus kas merupakan laporan keuangan yang dalam penyusunannya menggunakan
dasar pergerakan kas. Semua pos yang ada dalam laporan arus kas dibuat dan dihitung
berdasarkan keterlibatan kas dan setara kas dari awal tahun laporan sampai dengan
tanggal laporan. Hal ini berlaku bagi pos penerimaan maupun pengeluaran.
Untuk PPI pelapor berbadan hukum koperasi dapat melakukan penyesuaian atas
penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai karakteristik koperasi.
I. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Operasi
1. Penerimaan kas dari aktivitas operasi
a. penerimaan bunga pinjaman yang diberikan
Rekening ini memuat semua penerimaan atas bunga pemberian pinjaman
infrastruktur oleh PPI pelapor kepada pihak lain, antara lain berupa
penerimaan bunga, provisi maupun denda keterlambatan atas angsuran.
b. penerimaan pokok pinjaman yang diberikan
Rekening ini memuat semua penerimaan pokok pinjaman atas pemberian
pinjaman infrastruktur oleh PPI pelapor kepada pihak lain.
c. penerimaan fee
Rekening ini memuat semua penerimaan imbalan atas pemberian dukungan
pembiayaan termasuk penjaminan.
d. penerimaan dividen
Rekening ini memuat penerimaan dividen atas penyertaan modal yang
dilakukan oleh PPI pelapor pada perusahaan lain.
e. penerimaan bunga dari penempatan dana pada bank
Rekening ini memuat penerimaan bunga atas penempatan dana pada bank
yang dilakukan oleh PPI pelapor.
f. penerimaan dari aktivitas operasi lainnya
Rekening ini memuat semua penerimaan kas dari kegiatan operasional
selain dari kegiatan operasional utama di atas.
2. Pengeluaran kas untuk aktivitas operasi
a. penyaluran pinjaman yang diberikan
Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait dengan kegiatan
pemberian pinjaman yang dilakukan PPI pelapor, termasuk pemberian
pinjaman langsung, refinancing, dan pinjaman subordinasi.
Rupiah
...........
...........
...........
...........
Valas
...........
...........
...........
...........
Jumlah
...........
...........
...........
...........
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 49 -
b. pembayaran untuk kegiatan penjaminan
Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait dengan kegiatan
penjaminan yang dilakukan PPI pelapor, antara lain pembayaran klaim
penjaminan kepada nasabah.
c. pembayaran biaya usaha
Rekening ini memuat semua pengeluaran terkait langsung dengan kegiatan
usaha PPI pelapor yang tidak termasuk dalam huruf a dan huruf b di atas.
d. pembayaran bunga pinjaman
Rekening ini mencakup pengeluaran yang dilakukan PPI pelapor untuk
membayar bunga pinjaman kepada kreditur.
e. pembayaran lainnya untuk kegiatan operasional
Rekening ini menampung semua pengeluaran kas untuk kegiatan
operasional yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas.
II. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Investasi
1. Penerimaan kas dari aktivitas investasi
a. penerimaan bunga dari investasi pada surat berharga
Rekening ini memuat penerimaan bunga atas aktivitas investasi perusahaan
pada surat berharga.
b. penerimaan atas penjualan surat berharga
Rekening ini memuat penerimaan kas dari penjualan surat berharga.
c. penerimaan dari penjualan aset tetap
Rekening ini memuat penerimaan kas dari hasil penjualan aset tetap antara
lain: tanah, bangunan dan peralatan.
d. penerimaan atas pelepasan penyertaan modal
Rekening ini memuat hasil pelepasan penyertaan modal yang melibatkan
kas dan pendapatan lain yang berhubungan dengannya.
e. penerimaan lainnya dari aktivitas investasi
Rekening ini memuat penerimaan kas lain yang tidak termasuk dalam
rekening-rekening di atas namun merupakan bagian kegiatan investasi
perusahaan dan melibatkan kas.
2. Pengeluaran kas untuk aktivitas investasi
a. pembayaran untuk perolehan surat berharga
Rekening ini memuat semua pengeluaran kas untuk investasi dalam surat
berharga.
b. pembayaran untuk pembelian aset tetap
Rekening ini memuat pengeluaran kas untuk transaksi pembelian aset tetap,
antara lain tanah, bangunan dan peralatan yang melibatkan kas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 50 -
c. pembayaran untuk penyertaan modal.
Rekening ini memuat pengeluaran kas untuk memperoleh kepemilikan
melalui penyertaan modal pada perusahaan lain.
d. pembayaran lainnya untuk aktivitas investasi.
Rekening ini menampung pencatatan semua pengeluaran kas untuk
kegiatan investasi yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas.
III. Arus Kas Bersih dari Aktivitas Pendanaan
1. Penerimaan kas dari aktivitas pendanaan
a. penerimaan dari setoran modal
Rekening ini memuat setiap setoran/penambahan modal PPI pelapor dari
pemegang saham.
b. penerimaan atas penerbitan surat utang
Rekening ini memuat perolehan dana dari penerbitan obligasi dan bentuk
surat utang lainnya.
c. penerimaan pinjaman
Rekening ini memuat perolehan dana pinjaman yang berasal dari
Pemerintah Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan
bank serta lembaga keuangan dan pembiayaan, baik dari dalam maupun
luar negeri.
d. penerimaan dari hibah/grant
Rekening ini memuat perolehan dana dari hibah /grant dalam bentuk rupiah
maupun valuta asing.
e. penerimaan lainnya dari aktivitas pendanaan
Rekening ini menampung semua penerimaan kas untuk aktivitas pendanaan
yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas.
2. Pengeluaran kas untuk aktivitas pendanaan
a. pembayaran pokok pinjaman
Rekening ini mencakup pengeluaran yang dilakukan PPI pelapor untuk
membayar kembali pokok pinjaman kepada kreditur.
b. pembayaran dividen
Rekening ini mencakup setiap pembayaran dividen yang dilakukan PPI
pelapor kepada para pemegang saham perusahaan.
c. pembayaran untuk penarikan kembali saham dan surat utang
Rekening ini menampung pengeluaran kas untuk transaksi penarikan
kembali modal saham dan surat utang, termasuk pelunasan obligasi yang
jatuh tempo, yang dilakukan PPI pelapor.
d. pembayaran lainnya untuk aktivitas pendanaan
Rekening ini menampung pencatatan semua pengeluaran kas untuk
aktivitas pendanaan yang tidak termasuk dalam rekening-rekening di atas.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 51 -
IV. Kenaikan (Penurunan) Bersih Kas dan Setara Kas
Rekening ini memuat jumlah kenaikan atau penurunan bersih kas dan setara kas
sampai periode tanggal laporan.
V. Pengaruh Perubahan Kurs Valuta
Rekening ini memuat jumlah perbedaan valuta kas dan setara kas dengan nilai
yang seharusnya tercatat pada tanggal laporan.
VI. Kas dan Setara Kas pada Awal Periode
Posisi kas dan setara kas pada awal tahun buku laporan PPI pelapor.
VII. Kas dan Setara Kas pada Akhir Periode
Posisi kas dan setara kas pada tanggal laporan PPI pelapor.
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 52 -
FORMULIR I.6
: REKENING ADMINISTRATIF
PT/Koperasi ………………………………
Per Akhir Triwulan ……. Tanggal ……….. Tahun ……….
(dalam jutaan rupiah)
Valas
Pos-pos
I.
Tagihan Komitmen
1. Fasilitas pinjaman yang diterima dan belum ditarik
2. Lainnya
Jumlah Tagihan Komitmen
II. Liabilitas Komitmen
1. Fasilitas pinjaman yang diberikan yang belum ditarik
2. Lainnya
Jumlah Liabilitas Komitmen
Jumlah Komitmen Bersih
III. Tagihan Kontinjensi
1. Penjaminan ulang yang diterima
2. Lainnya
Jumlah Tagihan Kontinjensi
IV. Liabilitas Kontinjensi
1. Penjaminan yang diberikan
2. Lainnya
Jumlah Liabilitas Kontinjensi
Jumlah Kontinjensi Bersih
Petunjuk pengisian:
Yang dimaksud dengan rekening administratif adalah transaksi-transaksi rupiah dan
valuta asing yang pada tanggal laporan belum secara efektif menimbulkan perubahan
aset dan utang.
Rekening administratif ini dirinci atas :
I. Tagihan komitmen
1. Fasilitas pinjaman yang diterima dan belum ditarik
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah fasilitas pinjaman yang
diperoleh PPI pelapor dan belum digunakan yang berasal dari Pemerintah
Republik Indonesia, pemerintah asing, lembaga multilateral, dan bank serta
lembaga keuangan dan pembiayaan, baik dari dalam maupun luar negeri.
2. Lainnya
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini seluruh tagihan komitmen, termasuk
tagihan terkait subrogasi kegiatan penjaminan, yang tidak dapat digolongkan ke
dalam rekening diatas.
Rupiah
Jumlah
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 53 -
II. Liabilitas komitmen
1. Fasilitas pinjaman yang diberikan yang belum ditarik
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah fasilitas pinjaman yang masih
disediakan oleh PPI pelapor bagi peminjam dan belum ditarik.
2. Lainnya
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh liabilitas komitmen PPI
pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas.
III. Tagihan kontinjensi
1. Penjaminan ulang yang diterima
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah nilai penjaminan ulang yang
diterima PPI pelapor.
2. Lainnya
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh tagihan kontinjensi PPI
pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas.
IV. Liabilitas kontinjensi
1. Penjaminan yang diberikan
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah nilai penjaminan, baik dalam
rupiah maupun valuta asing yang diterbitkan oleh PPI pelapor untuk
kepentingan nasabah yang pada tanggal laporan masih berjalan (outstanding).
2. Lainnya
Yang dimasukkan ke dalam rekening ini adalah seluruh liabilitas kontinjensi
PPI pelapor yang tidak dapat digolongkan ke dalam rekening di atas.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03 /BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
PEDOMAN MENGENAI BENTUK, SUSUNAN,
DAN PENGISIAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal : 28 September 2010
- 1 -
DAFTAR ISI
hal
DAFTAR ISI
: .........………………..………………………………………….
FORMULIR II.1 : Laporan Kegiatan Penyaluran Pinjaman……
FORMULIR II.2 : Laporan Kegiatan Penjaminan..................…………..
FORMULIR II.3 : Laporan Kegiatan Lainnya ..…...………………………
1
2
7
11
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 2 -
FORMULIR II.1
: LAPORAN KEGIATAN PENYALURAN PINJAMAN
PT/Koperasi…………………………
Semester ….. Tahun ……………
I
No.
perjanjian
II
No.
rekening
III
Jumlah
rekening
IV
Nama
peminjam
V
Hubungan
dengan
PPI
VI
Jenis
pinjaman
VII
Jenis
penggunaan
VIII
Jenis
valuta
IX
Jenis
infrastruktur
Tanggal
penerbitan
X
Jangka waktu
Jatuh
tempo
Tingkat
suku
bunga
XI
Suku bunga
Jenis
suku
bunga
XII
Jumlah
Plafon
Jumlah
ditarik
Jumlah
XIII. Penjelasan
...........................................................................................................................................................
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 3 -
Petunjuk pengisian:
Pada laporan kegiatan penyaluran pinjaman semesteran ini dilaporkan semua
realisasi penyaluran pinjaman dalam rupiah dan valuta asing yang dilakukan PPI
pelapor selama semester yang bersangkutan. Penyaluran pinjaman yang diberikan
dalam rangka pembiayaan bersama/konsorsium/sindikasi baik PPI pelapor
berperan sebagai arranger maupun participant dilaporkan sebesar tagihan kepada
peminjam yang bersangkutan. Pada dasarnya setiap rekening pinjaman harus
dilaporkan secara individual. Namun demikian guna penyederhanaan laporan,
pelaporan pinjaman pada daftar ini dapat dilakukan penggabungan sepanjang
pinjaman diberikan kepada peminjam yang sama dan memiliki karakteristik (antara
lain suku bunga, tenor, jenis) pinjaman yang sama.
I. No. perjanjian
Diisi dengan nomor yang tercantum dalam perjanjian pinjaman.
II. No. rekening
Diisi dengan nomor rekening fasilitas pinjaman yang diberikan kepada
peminjam.
III. Jumlah rekening
Diisi dengan jumlah rekening fasilitas pinjaman yang diberikan kepada
peminjam.
IV. Nama peminjam
Diisi dengan nama peminjam yang menandatangani perjanjian pinjaman.
V. Hubungan dengan PPI
Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan peminjam.
1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah:
a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih
perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah
pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries);
b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak
langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh
secara signifikan;
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 4 -
c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi
PPI pelapor; atau
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan
komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa dengan PPI, kolom ini diisi dengan sandi 1.
2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah:
Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2.
VI. Jenis pinjaman
Diisi dengan sandi berupa nomor jenis pinjaman sebagai berikut:
1. Pinjaman langsung
2. Refinancing
3. Pinjaman subordinasi
4. Lainnya
VII. Jenis penggunaan
Diisi dengan sandi berupa nomor tujuan penggunaan penyaluran pinjaman
sebagai berikut:
1. Modal kerja
Pinjaman jangka pendek untuk membiayai keperluan modal kerja
peminjam.
2. Investasi
Pinjaman jangka menengah atau panjang untuk pembangunan proyek
infrastruktur.
3. Lainnya
Penyaluran pinjaman yang diberikan oleh PPI pelapor dengan tujuan
penyaluran pinjaman selain angka 1 dan angka 2.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 5 -
VIII. Jenis valuta
Diisi dengan jenis valuta yang digunakan dalam pemberian penyaluran
pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
IX. Jenis infrastruktur
Diisi dengan sandi berupa nomor jenis infrastruktur, sebagai berikut:
1. Infrastruktur transportasi
2. Infrastruktur jalan
3. Infrastruktur pengairan
4. Infrastruktur air minum
5. Infrastruktur air limbah
6. Infrastruktur telekomunikasi
7. Infrastruktur ketenagalistrikan
8. Infrastruktur minyak dan gas bumi
9. Multisektor (lebih dari 1 jenis)
10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas
persetujuan Menteri.
X. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu penyaluran pinjaman yang diberikan oleh PPI
pelapor sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun penyaluran pinjaman yang
tercantum dalam perjanjian.
2. Jatuh tempo
Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
XI. Suku bunga
1. Tingkat suku bunga
Diisi dengan tingkat suku bunga yang digunakan dalam penyaluran
pinjaman sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
2. Jenis suku bunga
Diisi dengan salah satu jenis suku bunga sebagai berikut:
a. tetap (fixed)
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 6 -
Yaitu suku bunga yang bersifat tetap sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
b. variabel
Yaitu suku bunga yang dapat berubah sampai dengan jangka waktu
tertentu atau sampai dengan jatuh tempo.
XII. Jumlah
1. Plafon
Diisi dengan jumlah maksimum pinjaman yang diterima oleh peminjam
sebagaimana tercantum dalam perjanjian pinjaman.
2. Jumlah ditarik
Diisi dengan jumlah pinjaman yang telah ditarik oleh nasabah PPI pelapor
pada semester yang bersangkutan.
XIII. Penjelasan
Diisi dengan pengungkapan dan penjelasan naratif atas kegiatan penyaluran
pinjaman yang dilakukan selama semester yang bersangkutan. Perlu juga
disampaikan analisis atas kegiatan penyaluran pinjaman yang telah dilakukan,
misalnya realisasi dibandingkan dengan target dan kondisi perekonomian yang
relevan.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 7 -
FORMULIR II.2
: LAPORAN KEGIATAN PENJAMINAN
PT/Koperasi……………………
Semester ….. Tahun ……………
I
Nama
penerima
jaminan
II
Nama
terjamin
Penerima
jaminan
III
Hubungan dengan PPI
Terjamin
IV
Jenis valuta
V
Jenis
infrastruktur
Tanggal
penerbitan
VI
Jangka waktu
Jatuh tempo
VII
Imbal jasa
penjaminan
Total
penjaminan
VIII
Jumlah
Retensi
sendiri
Jumlah
IX. Penjelasan
……………………………………………………………………….
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 8 -
Petunjuk pengisian:
Pada laporan kegiatan penjaminan semesteran ini dilaporkan semua realisasi
pemberian penjaminan dalam rupiah dan valuta asing selama semester yang
bersangkutan.
I. Nama penerima jaminan
Diisi dengan nama penerima jaminan.
II. Nama terjamin
Diisi dengan nama terjamin.
III. Hubungan dengan PPI
Adalah status keterkaitan antara PPI pelapor dengan penerima jaminan atau
terjamin.
1. Pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah:
a. perusahaan baik langsung maupun yang melalui satu atau lebih
perantara, mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah
pengendalian bersama dengan PPI pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries);
b. perusahaan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak
langsung, suatu kepentingan hak suara di PPI pelapor yang berpengaruh
secara signifikan;
c. anggota dewan komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah
direksi PPI pelapor; atau
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai dengan derajat
kedua baik horisontal maupun vertikal dengan anggota dewan
komisaris, direksi, dan pejabat setingkat di bawah direksi PPI pelapor.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 1.
2. Pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa adalah:
Pihak yang tidak mempunyai hubungan dengan PPI pelapor sebagaimana
dimaksud dalam angka 1.
Apabila transaksi dilakukan dengan pihak yang tidak memiliki hubungan
istimewa dengan PPI pelapor, kolom ini diisi dengan sandi 2.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 9 -
IV. Jenis valuta
Diisi jenis mata uang yang digunakan dalam melakukan transaksi antara PPI
pelapor dengan pihak lain.
V. Jenis infrastruktur
Diisi dengan sandi berupa nomor jenis sektor ekonomi, sebagai berikut:
1. Infrastruktur transportasi
2. Infrastruktur jalan
3. Infrastruktur pengairan
4. Infrastruktur air minum
5. Infrastruktur air limbah
6. Infrastruktur telekomunikasi
7. Infrastruktur ketenagalistrikan
8. Infrastruktur minyak dan gas bumi
9. Multisektor (lebih dari 1 jenis)
10. Infrastruktur lain yang tidak termasuk dalam angka 1 sampai dengan 9 atas
persetujuan Menteri.
VI. Jangka waktu
Diisi dengan jangka waktu dari penjaminan yang diberikan oleh PPI pelapor
sebagaimana tercantum dalam perjanjian.
1. Tanggal penerbitan
Diisi dengan tanggal, bulan, dan tahun pemberian penjaminan yang
tercantum dalam perjanjian.
2. Jatuh tempo
Diisi dengan tanggal, bulan dan tahun berakhirnya perjanjian.
VII. Imbal Jasa penjaminan
Diisi dengan imbal jasa penjaminan yang dibebankan oleh PPI pelapor.
VIII. Jumlah
1. Total penjaminan
Diisi dengan jumlah penutupan penjaminan.
2. Retensi sendiri
Diisi dengan bagian/porsi penjaminan yang ditanggung oleh PPI pelapor.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 10 -
IX. Penjelasan
Diisi dengan pengungkapan dan penjelasan naratif atas kegiatan penjaminan
yang dilakukan selama semester yang bersangkutan. Perlu juga disampaikan
analisis atas kegiatan penjaminan yang telah dilakukan, misalnya realisasi
dibandingkan dengan target dan kondisi perekonomian yang relevan.
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER-03/BL/2010
Tanggal
: 28 September 2010
- 11 -
FORMULIR II.3 : LAPORAN KEGIATAN LAINNYA
PT/Koperasi……………………
Semester ….. Tahun ……………
Diisi dengan laporan sesuai dengan karakteristik kegiatan lain yang dilakukan PPI
pelapor selain pembiayaan, penjaminan, dan pinjaman subordinasi.
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-03/BL/2010|PERTA-BAPEPAM-LK/2010 </reg_id>
<reg_title> BENTUK, SUSUNAN, DAN PENYAMPAIAN LAPORAN KEUANGAN TRIWULANAN DAN LAPORAN KEGIATAN USAHA SEMESTERAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR </reg_title>
<set_date> 28 September 2010 </set_date>
<effective_date> 28 September 2010 </effective_date>
<related_reg> '143.1/PMK.01/2009|PER-MENKEU/2009', '45/M|KEPPRES/2006', '100/PMK.010/2009|PER-MENKEU/2009', '100/PMK.01/2008|PER-MENKEU/2008', '9/PERPRES/2009' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 05/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN
PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (5)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank, pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah pada lembaga keuangan non bank
khususnya bagi perusahaan pembiayaan sebagaimana
ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Lembaga
Keuangan Nomor Kep 2833/LK/2003 perlu disempurnakan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
pada huruf a, dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah Bagi Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5164);
2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga
Pembiayaan;
3. Keputusan Presiden Nomor 20/M Tahun 2011;
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga
Keuangan Non Bank;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL
NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
Pasal 1
(1) Perusahaan pembiayaan wajib menyusun pedoman
pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah sesuai
dengan petunjuk penyusunan sebagaimana dimaksud dalam
lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini.
(2) Perusahaan pembiayaan wajib menyampaikan pedoman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Biro
Pembiayaan dan Penjaminan.
Pasal 2
(1) Perusahaan pembiayaan yang telah memperoleh izin usaha
wajib menyampaikan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah yang telah disesuaikan berdasarkan
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan, dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh)
hari kerja sejak ditetapkannya Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
(2) Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan melakukan
penilaian atas pedoman yang disampaikan oleh perusahaan
pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berdasarkan penilaian Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan belum sesuai dengan petunjuk penyusunan
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
perusahaan pembiayaan wajib melakukan perbaikan terhadap
pedoman dimaksud.
(4) Jangka waktu penyampaian perbaikan pedoman sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak diterima pemberitahuan dari Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro
Pembiayaan dan Penjaminan mengenai hasil penilaian
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah.
(5) Dalam hal Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan tidak
menyampaikan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal penerimaan pedoman pelaksanaan penerapan prinsip
mengenal nasabah, perusahaan pembiayaan dapat menerapkan
pedoman dimaksud.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
Pasal 3
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan c.q.
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan berwenang untuk
meminta perusahaan pembiayaan melakukan perbaikan atas
pedoman pelaksanaan penerapan prinsip mengenal nasabah,
apabila di kemudian hari diketahui bahwa pedoman pelaksanaan
penerapan prinsip mengenal nasabah dimaksud tidak sesuai
dengan petunjuk penyusunan pedoman pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal nasabah.
Pasal 4
Dengan ditetapkannya Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini, Keputusan Direktur Jenderal
Lembaga Keuangan Nomor 2833/LK/2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Pada Lembaga
Keuangan Non Bank dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 5
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Maret 2011
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
Nurhaida
NIP 19590627 198902 2 001
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS
PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 05/BL/2011
TENTANG
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN
PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 2011
2011
PETUNJUK PENYUSUNAN
PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tanggal 9 Februari 2010, Menteri Keuangan telah menetapkan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank. Salah satu tujuan
ditetapkannya Peraturan Menteri Keuangan tersebut sebagai upaya untuk
menciptakan Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) yang sehat yang mengacu
kepada praktik-praktik terbaik yang berlaku secara internasional (international best
practices) serta terlindungi dari kemungkinan disalahgunakan untuk Pencucian
Uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung oleh pelaku
kejahatan.
Peraturan Menteri Keuangan tersebut mewajibkan setiap LKNB untuk menyusun
Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (P4MN). Yang
dimaksud dengan LKNB adalah Perusahaan Perasuransian, Dana Pensiun, dan
Lembaga Pembiayaan. Sedangkan Lembaga Pembiayaan terdiri dari Perusahaan
Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, dan Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur. Perusahaan Pembiayaan sebagai salah satu Lembaga Pembiayaan,
juga diwajibkan menyusun P4MN, agar mempunyai acuan baku dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang.
P4MN Perusahaan Pembiayaan wajib menjabarkan paling kurang hal-hal sebagai
berikut:
1. Penanggung Jawab Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
2. Kebijakan dan Prosedur Penerimaan Nasabah.
3. Kebijakan dan Prosedur dalam Mengidentifikasi dan Memverifikasi Nasabah.
4. Kebijakan dan Prosedur Pemantauan Rekening dan Pelaksanaan Transaksi
Nasabah.
5. Kebijakan dan Prosedur Manajemen Risiko yang Berkaitan dengan Penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah.
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini dimaksudkan sebagai petunjuk kepada Perusahaan Pembiayaan
dalam menyusun P4MN.
2. Tujuan
Penyusunan Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini bertujuan agar Perusahaan Pembiayaan mempunyai pedoman
yang baku untuk dapat mengenali profil nasabahnya sehingga pada gilirannya
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 2 -
dapat mengidentifikasi adanya transaksi yang tidak wajar yang dapat menjadi
Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transactions) dan Transaksi
Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai (Cash Transactions). Berdasarkan hasil
identifikasi tersebut, Perusahaan Pembiayaan menyampaikan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan/Suspicious Transactions Report (laporan
TKM) dan/atau laporan Transaksi Keuangan Tunai/Cash Transactions Report
(laporan TKT) kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK).
C. Ketentuan Umum
Dalam petunjuk penyusunan P4MN ini, yang dimaksud dengan:
1. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Perusahaan Pembiayaan,
termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. klien atau penjual piutang pada kegiatan anjak piutang;
b. lessee atau penyewa guna usaha pada kegiatan leasing atau sewa guna
usaha;
c. konsumen pada kegiatan pembiayaan konsumen; dan
d. pemegang kartu kredit pada usaha kartu kredit.
2. Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pencegahan
dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
3. Transaksi Keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima
penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah
uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang.
4. Transaksi Keuangan Mencurigakan yang selanjutnya disingkat TKM adalah:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi Nasabah yang bersangkutan;
b. Transaksi Keuangan Nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan
untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan;
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak
pidana; atau
d. Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh
Perusahaan Pembiayaan karena melibatkan harta kekayaan yang diduga
berasal dari hasil tindak pidana.
5. Transaksi Keuangan Tunai yang selanjutnya disingkat TKT adalah Transaksi
Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang
logam dilakukan melalui Perusahaan Pembiayaan.
6. Beneficial Owner yang selanjutnya disingkat BO adalah setiap orang atau badan
hukum yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi Nasabah, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan
pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 3 -
Contoh:
a. BO perorangan:
Seorang ibu rumah tangga mengajukan permohonan pembiayaan alat-alat
rumah tangga. Sumber dana ibu tersebut adalah dari suami pemohon yang
bersangkutan. Jadi yang menjadi BO-nya adalah suami pemohon tersebut.
b. BO badan hukum (perusahaan, yayasan, atau perkumpulan):
Calon Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan sewa guna usaha
sebuah mesin untuk perusahaan tempat calon Nasabah tersebut bekerja.
Sumber dana pembayaran sewa berasal dari perusahaan yang
bersangkutan. Jadi perlu ditelaah yang menjadi BO-nya adalah pemilik
atau Pemegang Saham Pengendali perusahaan tersebut.
7. Customer Due Diligence yang selanjutnya disingkat CDD adalah proses
identifikasi calon Nasabah dan verifikasi atas dokumen pendukung calon
Nasabah.
8. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap mengenai Nasabah termasuk
tetapi tidak terbatas pada identitas, transaksi, atau perikatan antara
Perusahaan Pembiayaan dan Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 4 -
BAB II
PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH
Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai penanggung jawab
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (PMN), dengan pengaturan paling kurang
memuat:
1. Pembentukan unit kerja khusus, penugasan anggota direksi, atau penugasan
pejabat setingkat di bawah direksi sebagai penanggung jawab penerapan PMN di
kantor pusat yang bertanggung jawab langsung kepada direktur utama/direksi.
2. Unit kerja khusus atau anggota direksi diangkat oleh rapat umum pemegang
saham sedangkan pejabat setingkat di bawah direksi diangkat oleh direktur
utama/direksi.
3. Latar belakang pemilihan bentuk penanggung jawab penerapan PMN yang
disesuaikan dengan struktur organisasi dan volume bisnis perusahaan.
4. Kedudukan penanggung jawab penerapan PMN dalam struktur organisasi
perusahaan.
5. Penanggung jawab penerapan PMN dapat menugaskan satu atau beberapa orang
staf yang ditugaskan untuk itu, disamping tugas-tugas rutinnya sesuai dengan
struktur organisasi.
6. Penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat mempunyai uraian tugas,
wewenang, dan tanggung jawab termasuk jalur pelaporan paling kurang sebagai
berikut:
a. Tugas
1) Menyusun dan memelihara P4MN.
2) Memastikan adanya sistem informasi dan prosedur identifikasi Nasabah
yang memadai, termasuk memastikan bahwa formulir yang berkaitan
dengan Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan dalam
pelaksanaan PMN.
3) Memantau Rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah.
4) Melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan analisis transaksi
Nasabah untuk memastikan ada tidaknya TKM dan/atau TKT.
5) Menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi.
6) Memantau pengkinian data dan profil Nasabah.
7) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan
TKT yang disampaikan oleh unit-unit kerja yang ditugaskan.
8) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan dilaporkan
kepada PPATK.
b. Wewenang
1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di
seluruh unit organisasi.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 5 -
2) Melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap pelaksanaan PMN oleh
unit-unit kerja terkait.
3) Melaporkan TKM yang terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu
TKM dengan direksi atau dewan komisaris.
4) Mengusulkan kepala cabang dan/atau staf pada unit kerja terkait untuk
membantu pelaksanaan PMN.
c. Tanggung jawab
1) Memastikan seluruh kegiatan dalam rangka penerapan PMN di
Perusahaan Pembiayaan terlaksana.
2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan
kepada PPATK.
3) Memantau, menganalisis, dan merekomendasi kebutuhan pelatihan
tentang PMN bagi para pejabat dan pegawai Perusahaan Pembiayaan.
4) Menjaga kerahasiaan data Nasabah.
7. Penanggung jawab penerapan PMN dibantu oleh kepala cabang dalam
pelaksanaan PMN di kantor cabang. Kepala cabang berada di bawah koordinasi
penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat.
8. Uraian tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepala cabang dalam pelaksanaan
PMN di kantor cabang paling kurang sebagai berikut:
a. Tugas
1) Melakukan pengkinian data dan profil Nasabah di kantor cabang yang
bersangkutan.
2) Menerima dan melakukan analisis atas laporan TKM dan/atau laporan
TKT yang disampaikan oleh pegawai di kantor cabang.
3) Meneruskan laporan TKM dan/atau laporan TKT kepada penanggung
jawab penerapan PMN di kantor pusat.
4) Melakukan pemantauan dan evaluasi Rekening dan pelaksanaan transaksi
Nasabah.
b. Wewenang
1) Memperoleh akses terhadap informasi yang dibutuhkan yang ada di
kantor cabang.
2) Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan sistem dan prosedur
identifikasi Nasabah dan transaksi yang mencurigakan di kantor cabang.
3) Menugaskan staf pada unit kerja terkait untuk membantu pelaksanaan
PMN.
c. Tanggung jawab
1) Memastikan PMN diterapkan di kantor cabang.
2) Menyusun laporan TKM dan/atau laporan TKT yang akan disampaikan
kepada penanggung jawab penerapan PMN di kantor pusat.
3) Menjaga kerahasiaan data Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 6 -
BAB III
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PENERIMAAN NASABAH
1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan
prosedur penerimaan Nasabah. Selanjutnya, dalam P4MN tersebut juga harus
dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah adalah
untuk mengetahui latar belakang dan identitas, maksud dan tujuan pembiayaan,
serta profil keuangan Nasabah.
2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur penerimaan
Nasabah, Perusahaan Pembiayaan harus mengatur paling kurang sebagai berikut:
a. Kebijakan penerimaan Nasabah
Dalam kebijakan penerimaan Nasabah, Perusahaan Pembiayaan paling
kurang harus menetapkan bahwa:
1) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan setelah
Perusahaan Pembiayaan dapat menyakini kebenaran identitas dan
kelengkapan dokumen calon Nasabah serta mempertimbangkan faktor-
faktor yang dapat memungkinkan calon Nasabah melakukan tindak
pidana Pencucian Uang.
Pertimbangan mengenai faktor-faktor yang dapat memungkinkan calon
Nasabah melakukan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan untuk
mengukur tingkat risiko terjadinya tindak pidana Pencucian Uang. Tingkat
risiko tersebut menjadi dasar penentuan jenis CDD yang akan dilakukan.
2) Persetujuan penerimaan Nasabah hanya dapat dilakukan apabila:
a) penerimaan Nasabah baru atau Nasabah lama untuk perikatan baru
menggunakan formulir aplikasi standar yang berlaku.
Formulir ini harus telah dievaluasi oleh penanggung jawab penerapan
PMN untuk memastikan bahwa data yang diperlukan untuk keperluan
PMN telah terakomodasi dalam formulir tersebut.
b) calon Nasabah telah melengkapi seluruh informasi dan data
sebagaimana ditentukan dalam formulir aplikasi dengan dilengkapi
dokumen pendukung sebagaimana mestinya.
c) petugas front liner Perusahaan Pembiayaan telah meneliti kebenaran
dan keabsahan dokumen pendukung yang disampaikan oleh calon
Nasabah dengan cara:
(1) mencocokkan dokumen pendukung dengan dokumen aslinya.
(2) pada waktu melihat dokumen aslinya, agar dilihat dan diyakini
bahwa dokumen asli tersebut bentuknya tidak meragukan.
(3) bila diperlukan, lakukan wawancara dengan calon Nasabah sesuai
dengan prosedur pengisian formulir aplikasi yang berlaku.
d) telah dipastikan apakah calon Nasabah bertindak untuk diri sendiri
dalam melakukan transaksi atau mewakili BO.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 7 -
Pertanyaan mengenai apakah seseorang bertindak untuk diri sendiri
atau mewakili BO atau orang lain dapat dicantumkan dalam formulir
aplikasi pembiayaan.
e) telah dilakukan konfirmasi mengenai kebenaran kewenangan pihak
yang mewakili atau bertindak untuk dan atas nama pihak lain, jika
calon Nasabah diwakili pihak lain, misalnya untuk Nasabah
perorangan dilakukan pengecekan melalui telepon atau untuk badan
hukum dilakukan pengecekan dengan data yang terdapat pada
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
3) Informasi dan data yang tercantum dalam formulir aplikasi tersebut pada
angka 2) huruf a) paling kurang sebagai berikut:
a) Latar belakang dan identitas calon Nasabah.
(1) Untuk calon Nasabah perorangan, informasi latar belakang dan
identitas, paling kurang sebagai berikut:
(a) nama, alamat atau tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan
nomor telepon;
(b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(c) tempat dan tanggal lahir;
(d) kewarganegaraan; dan
(e) spesimen tanda tangan.
(2) Untuk calon Nasabah perusahaan, informasi latar belakang dan
identitas paling kurang sebagai berikut:
(a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
(b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
(c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
(d) surat keterangan domisili;
(e) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak
yang ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan
atas nama perusahaan dalam melakukan hubungan usaha
dengan Perusahaan Pembiayaan; dan
(f) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan.
b) Maksud dan tujuan calon Nasabah melakukan perikatan pembiayaan.
c) Profil keuangan calon Nasabah.
(1) Untuk calon Nasabah perorangan paling kurang sebagai berikut:
(a) keterangan mengenai pekerjaan termasuk jabatannya;
(b) keterangan mengenai sumber dana dan rata-rata penghasilan
dan pengeluaran per bulan; dan
(c) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 8 -
(2) Untuk calon Nasabah perusahaan paling kurang sebagai berikut:
(a) laporan keuangan terkini;
(b) keterangan mengenai sumber dana dan tujuan penggunaan
dana; dan
(c) nomor pokok wajib pajak (NPWP).
d) Informasi lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan untuk
dapat mengetahui profil calon Nasabah, termasuk perikatan yang telah
dimiliki sebelumnya dengan Perusahaan Pembiayaan yang
bersangkutan.
Informasi lain tersebut ditujukan untuk dapat lebih menganalisa
apakah penghasilan yang bersangkutan wajar untuk membayar
kewajiban yang akan timbul dari perikatan pembiayaan.
contoh:
(1) pembiayaan yang telah dimiliki termasuk di Perusahaan
Pembiayaan lainnya.
(2) jenis investasi/usaha/pekerjaan lain yang dimiliki.
e) Informasi penerima kuasa yang bertindak untuk dan atas nama calon
Nasabah paling kurang sebagai berikut:
(1) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor dan nomor
telepon;
(2) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(3) tempat dan tanggal lahir;
(4) kewarganegaraan; dan
(5) spesimen tanda tangan.
4) Permohonan calon Nasabah yang tidak memenuhi kelengkapan data dan
dokumen pendukung yang ditentukan dan/atau diragukan kebenarannya
harus ditolak.
5) Penolakan terhadap permohonan calon Nasabah hanya dapat dilakukan
oleh pejabat atau pegawai yang diberikan kewenangan untuk itu
berdasarkan surat keputusan direksi.
6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 2) dan angka 3) tidak
berlaku bagi calon Nasabah lembaga pemerintah dan lembaga keuangan
multilateral.
b. Prosedur penerimaan Nasabah
Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa penerapan PMN harus
dilakukan sejak proses penerimaan seorang calon Nasabah baru dan harus
dilakukan secara berkesinambungan selama Nasabah tersebut menjadi
Nasabah Perusahaan Pembiayaan.
Selain itu, P4MN juga harus memuat standard operating procedure (SOP)
penerimaan atau penolakan calon Nasabah, yang paling kurang memberikan
gambaran yang jelas mengenai prosedur penerimaan atau penolakan calon
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 9 -
Nasabah, dokumen yang dibutuhkan dalam proses tersebut, serta penetapan
pihak yang berwenang untuk menerima atau menolak calon Nasabah.
c. Dokumen
Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai dokumen
yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah, yang
paling kurang terdiri dari:
1) Surat keputusan direksi kepada bagian/pejabat/pegawai yang dapat
menerima atau menolak calon Nasabah.
2) Formulir standar permohonan pembiayaan.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban untuk menggunakan formulir standar yang ditetapkan
bagi perikatan baru dengan Nasabah lama dan/atau Nasabah baru.
3) Dokumen-dokumen pendukung.
Dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah harus dinyatakan
adanya kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk mengupayakan yang
terbaik dalam memperoleh dokumen-dokumen pendukung dari calon
Nasabah.
a) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah perorangan
paling kurang terdiri dari:
(1) identitas calon Nasabah yang memuat:
(a) nama, alamat tempat tinggal sesuai KTP/SIM/Paspor untuk
WNI atau Paspor/KIMS/KITAS/KITAP untuk WNA;
(b) alamat tempat tinggal terkini dan nomor telepon (jika ada);
(c) tempat dan tanggal lahir;
(d) kewarganegaraan;
(2) keterangan mengenai pekerjaan;
(3) spesimen tanda tangan;
(4) keterangan mengenai sumber dana;
(5) rata-rata penghasilan;
(6) nama dan nomor rekening bank calon Nasabah, jika ada;
(7) NPWP, apabila sudah mempunyai; dan
(8) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
b) Dokumen-dokumen pendukung untuk calon Nasabah yang berbentuk
perusahaan paling kurang terdiri dari:
(1) dokumen mengenai perusahaan:
(a) keterangan mengenai nama, alamat, dan nomor telepon
perusahaan;
(b) akta pendirian atau anggaran dasar bagi perusahaan yang
bentuknya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku berikut perubahan anggaran dasar yang terakhir;
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 10 -
(c) izin usaha atau izin lainnya dari instansi yang berwenang;
(d) surat keterangan domisili, contoh dari RT/RW setempat;
(e) laporan keuangan terkini;
(f) tanda daftar perusahaan (TDP); dan
(g) nomor pokok wajib pajak (NPWP).
(2) nama, spesimen tanda tangan, dan kuasa kepada pihak-pihak yang
ditunjuk mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan usaha dengan Perusahaan
Pembiayaan;
(3) dokumen identitas pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama perusahaan;
(4) keterangan mengenai sumber dana bagi calon Nasabah; dan
(5) dokumen lain yang memungkinkan Perusahaan Pembiayaan
mengetahui profil calon Nasabah.
c) Apabila calon Nasabah mewakili BO perorangan, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf a);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
d) Apabila calon Nasabah mewakili BO badan hukum, identitas dan/atau
informasi yang harus dilengkapi mengenai BO antara lain:
(1) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c angka 3) huruf b);
(2) pernyataan dari calon Nasabah mengenai identitas maupun sumber
dana dari BO; dan
(3) hubungan hukum antara calon Nasabah dengan BO dalam bentuk
surat penugasan, surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk lainnya.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 11 -
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR IDENTIFIKASI DAN VERIFIKASI
NASABAH DAN/ATAU BENEFICIAL OWNER (BO)
1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan, dan
prosedur identifikasi calon Nasabah dan/atau BO. Selanjutnya, dalam P4MN
tersebut juga harus dinyatakan bahwa tujuan kebijakan dan prosedur identifikasi
dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO adalah untuk menilai kewajaran
transaksi, kebenaran/keabsahan dokumen pendukung, dan untuk memastikan
bahwa calon Nasabah mewakili BO atau bertindak untuk diri sendiri.
2. Dalam bagian yang menguraikan mengenai kebijakan dan prosedur identifikasi
dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO, Perusahaan Pembiayaan harus
mengatur paling kurang mengenai:
a. Kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO
Dalam kebijakan identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang menetapkan:
1) Kebijakan proses identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO
atas dokumen pendukungnya (CDD).
a) Kebijakan tersebut meliputi kebijakan identifikasi dan verifikasi calon
Nasabah perorangan, calon Nasabah perusahaan, dan BO.
b) Kriteria untuk menerapkan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih
ketat (E-DD).
(1) Perusahaan Pembiayaan harus menetapkan kriteria untuk
penerapan CDD lebih sederhana, standar, dan lebih ketat secara
jelas di dalam P4MN sesuai besarnya nilai pembiayaan, profil
Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal Nasabah.
(2) Penetapan kriteria tersebut harus dilengkapi dengan besaran nilai
pembiayaan, profil Nasabah, profil bisnis Nasabah, dan negara asal
Nasabah yang diterapkan untuk masing-masing jenis CDD.
(3) Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan
kriteria penerapan CDD oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai
berikut:
(a) CDD lebih sederhana
CDD lebih sederhana dapat diterapkan apabila tingkat risiko
terjadinya
tindak
pidana
Pencucian
Uang
dianggap/diklasifikasikan rendah atau memenuhi kriteria
sebagai berikut:
i. pembiayaan kendaraan bermotor, alat-alat elektronik, dan
alat-alat rumah tangga yang nilainya tidak melebihi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); atau
ii. Nasabah berupa perusahaan publik.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 12 -
(b) CDD standar
CDD standar harus diterapkan apabila tingkat risiko terjadinya
tindak pidana Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan
menengah atau memenuhi kriteria sebagai berikut:
i.
calon Nasabah dan BO berkeberatan untuk memberikan
informasi yang lengkap; atau
ii.
nilai pembiayaan melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dengan kondisi:
latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO tidak
termasuk kategori orang yang populer secara politis
(politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko
tinggi (high risk customer);
bidang usaha Nasabah dan BO tidak termasuk kategori
usaha yang berisiko tinggi (high risk business);
negara atau teritorial asal Nasabah dan BO, domisili
Nasabah dan BO, atau dilakukannya transaksi tidak
termasuk negara yang berisiko tinggi (high risk countries);
dan/atau
Nasabah dan BO tidak tercantum dalam daftar nama-
nama teroris.
(c) CDD lebih ketat/ Enhanced Customer Due Diligence (E-DD)
E-DD adalah proses verifikasi yang lebih ketat terhadap calon
Nasabah dan BO yang dianggap dan/atau diklasifikasikan
mempunyai risiko tinggi terhadap praktik Pencucian Uang.
E-DD dilakukan apabila tingkat risiko terjadinya tindak pidana
Pencucian Uang dianggap/diklasifikasikan tinggi, risiko yang
dapat dilihat dari:
i. latar belakang atau profil calon Nasabah dan BO yang
termasuk kategori orang yang populer secara politis
(politically exposed persons) atau Nasabah yang berisiko tinggi
(high risk customer);
ii. bidang usaha yang termasuk kategori usaha yang berisiko
tinggi (high risk business);
iii. negara atau teritorial asal Nasabah, domisili Nasabah, atau
dilakukannya transaksi yang termasuk negara yang berisiko
tinggi (high risk countries); dan/atau
iv. pihak-pihak yang tercantum dalam daftar nama-nama teroris.
Rincian orang, bidang usaha, dan negara yang termasuk
dalam tingkat risiko tinggi adalah sebagaimana terdapat
dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan
perubahannya, jika
ada. Data-data tersebut perlu
dicantumkan di dalam P4MN dan di-update secara regular
pada sistem informasi Perusahaan Pembiayaan.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 13 -
2) Kriteria dari TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan.
TKM dan/atau transaksi yang tidak wajar terkait permohonan
pembiayaan, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a) transaksi yang tidak biasa dalam jumlah besar;
b) transaksi yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan
ekonomi yang jelas;
c) transaksi yang diduga akan digunakan untuk melakukan perbuatan
melanggar hukum; dan
d) transaksi yang tidak sesuai dengan pola aktivitas Rekening.
3) Kriteria TKT yang wajib dilaporkan kepada PPATK sesuai undang-undang
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang,
yaitu TKT dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, baik yang
dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam
1 (satu) hari kerja.
4) Kebijakan khusus untuk calon Nasabah dan/atau BO yang diklasifikasikan
mempunyai tingkat risiko tinggi terhadap tindak pidana Pencucian Uang
dan/atau calon Nasabah yang berasal dari negara-negara yang tidak
menerapkan rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
5) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi
dan/atau verifikasi transaksi calon Nasabah dan/atau BO, yang ditunjuk
oleh direksi.
6) Pejabat atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah
dan/atau BO termasuk klasifikasi risiko tinggi dan/atau transaksi yang
tidak wajar, yang ditunjuk oleh direksi dan bukan merupakan pejabat atau
pegawai yang telah ditunjuk untuk bertanggung jawab melakukan
identifikasi dan/atau verifikasi calon Nasabah dan/atau BO.
7) Kriteria perikatan dengan calon Nasabah dan/atau BO yang
diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan wajib memperoleh
persetujuan dari direksi.
8) Kebijakan untuk menolak perikatan atau transaksi dengan calon Nasabah
dan/atau BO, apabila perikatan atau transaksi tersebut meragukan
Perusahaan Pembiayaan atau Perusahaan Pembiayaan tidak dapat
meyakini kebenaran/keabsahan dokumen atau bukti atas identitas
dan/atau informasi lain mengenai BO.
b. Prosedur identifikasi dan verifikasi calon Nasabah dan/atau BO
Dalam P4MN harus diatur dengan jelas bahwa CDD harus dilakukan sesuai
dengan kriteria yang telah ditetapkan yaitu CDD secara lebih sederhana,
standar, dan lebih ketat (E-DD).
Selain itu, dalam P4MN juga harus dimuat standard operating procedure (SOP)
mengenai identifikasi dan verifikasi calon Nasabah perorangan atau
perusahaan (prosedur CDD) yang menggambarkan secara jelas proses
identifikasi calon Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 14 -
Prosedur CDD, paling kurang mengatur mengenai:
1) Prosedur CDD lebih sederhana
Di dalam prosedur CDD lebih sederhana paling kurang harus dimuat
kegiatan untuk meminta informasi calon Nasabah dan mencocokkan
dokumen pendukung tersebut dengan dokumen aslinya untuk
memastikan keabsahannya.
2) Prosedur CDD standar
Di dalam prosedur CDD standar paling kurang harus dimuat kegiatan
sebagai berikut:
a) melakukan CDD lebih sederhana;
b) meneliti hal-hal yang tidak wajar atau mencurigakan;
c) melakukan penelaahan mengenai BO; dan
d) memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah, dalam hal terdapat
kecurigaan atas dokumen yang diterima, antara lain dengan cara:
(1) melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
(2) meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh pihak yang
berwewenang; dan
(3) melakukan pemeriksaan silang dari berbagai informasi yang
disampaikan oleh calon Nasabah.
3) Prosedur CDD lebih ketat (E-DD)
Di dalam prosedur E-DD paling kurang harus dimuat kegiatan sebagai
berikut:
a) melakukan CDD standar;
b) melakukan verifikasi terhadap informasi calon Nasabah atau BO, yang
dilakukan berdasarkan pada kebenaran informasi, kebenaran sumber
informasi, dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya didasarkan
pada informasi yang diberikan oleh calon Nasabah dan/atau BO
tersebut;
c) melakukan verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon
Nasabah dan/atau BO dengan pihak ketiga; dan
d) melakukan CDD secara berkala paling kurang berupa analisis terhadap
informasi mengenai calon Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan
hubungan usaha dengan pihak terkait.
c. Dokumen
Dokumen yang perlu dibuat dalam kebijakan dan prosedur identifikasi dan
verifikasi calon Nasabah dan/atau BO paling kurang sebagai berikut:
1) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat
atau pegawai yang bertanggung jawab melakukan identifikasi dan/atau
verifikasi calon Nasabah dan/atau BO;
2) Surat keputusan direktur utama atau direksi mengenai penunjukan pejabat
atau pegawai yang bertanggung jawab menetapkan calon Nasabah
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 15 -
dan/atau BO diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi dan/atau
melakukan transaksi yang tidak wajar;
3) Formulir check list kelengkapan data CDD calon Nasabah dan/atau BO;
dan
4) Bukti hasil analisis calon Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 16 -
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR PEMANTAUAN REKENING
DAN PELAKSANAAN TRANSAKSI NASABAH
1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan
prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah, yang paling
kurang mengatur mengenai:
a. Kebijakan pemantauan Rekening Nasabah dan pelaksanaan transaksi.
Dalam kebijakan pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan:
1) Kriteria dari transaksi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar, antara
lain adalah sebagai berikut:
a) menyimpang dari pola kebiasaan transaksi Nasabah.
Contoh: pelunasan angsuran sekaligus, pembatalan pembiayaan dalam
jangka waktu singkat, pembatalan secara sepihak oleh Nasabah tanpa
alasan yang jelas/wajar.
b) diduga berasal dari tindak pidana.
Contoh: Nasabah sudah diumumkan di koran bahwa yang
bersangkutan terlibat kasus pidana ekonomi.
2) Kebijakan mengenai evaluasi dan penatausahaan atas hasil pemantauan
dan analisis rekening dan transaksi Nasabah untuk mengidentifikasi TKM,
TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
3) Kebijakan mengenai pengkinian data dalam hal terdapat perubahan
dokumen-dokumen pendukung untuk kepentingan internal Perusahaan
Pembiayaan dan keperluan regulator atau pelaporan TKM, TKT, dan/atau
transaksi tidak wajar kepada PPATK.
4) Kebijakan penyimpanan dokumen yang berkaitan dengan identitas
Nasabah, BO, termasuk perantara dan/atau pihak lain sampai dengan
jangka waktu 5 (lima) tahun sejak perikatan dengan Nasabah diakhiri.
5) Kebijakan mengenai pemantauan yang berkesinambungan terhadap
hubungan usaha atau transaksi dengan calon Nasabah, bank dan/atau
LKNB yang berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan
rekomendasi Financial Action Task Force (FATF).
6) Pejabat atau pegawai yang bertugas melakukan pemantauan dan
menyusun laporan pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi; dan
7) Kebijakan bahwa pelaporan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar
adalah bersifat rahasia dan kewajiban merahasiakan pelaporan TKM, TKT,
dan/atau transaksi tidak wajar bagi pejabat serta pegawai Perusahaan
Pembiayaan.
b. Prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan transaksi
Dalam prosedur pemantauan rekening dan pelaksanaan transaksi Nasabah,
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus menetapkan:
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 17 -
1) Kegiatan untuk melakukan:
a) pengujian kelengkapan informasi/data Nasabah pada field-field database
sistem informasi;
b) penyimpanan bukti pendukung tersebut; dan
c) pengkinian perubahan data Nasabah.
2) Jangka waktu minimum dilakukannya review atas data/informasi Nasabah.
3) Prosedur pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi Nasabah
dengan sistem yang dapat dilakukan secara manual ataupun otomatisasi
agar memungkinkan petugas
mengidentifikasi TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
4) Prosedur pelaporan Rekening dan pelaksanaan transaksi yang
diindikasikan TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar secara internal
maupun ke PPATK.
5) Prosedur penatausahaan hasil pemantauan dan evaluasi rekening dan
transaksi Nasabah, baik yang dilaporkan maupun tidak dilaporkan ke
PPATK.
c. Dokumen
Dokumen yang perlu dibuat dalam pemantauan Rekening dan pelaksanaan
transaksi Nasabah paling kurang sebagai berikut:
1) bentuk laporan kepada PPATK dan manajemen Perusahaan Pembiayaan;
dan
2) formulir pencatatan dokumen yang disimpan.
2. Pelaksanaan kebijakan dan prosedur pemantauan Rekening dan pelaksanaan
transaksi Nasabah tersebut wajib didukung dengan penggunaan sistem informasi
yang memadai guna memastikan ada tidaknya TKM, TKT, dan/atau transaksi
tidak wajar serta melaporkan temuan tersebut kepada PPATK. Sistem informasi
Perusahaan Pembiayaan paling kurang harus dapat menyediakan:
a. Data profil Nasabah
Data profil Nasabah paling kurang mencakup informasi mengenai:
1) identitas Nasabah;
2) pekerjaan atau bidang usaha;
3) jumlah penghasilan;
4) rekening/perikatan yang dimiliki;
5) aktivitas transaksi normal;
6) tujuan penggunaan dana pembiayaan; dan
7) perikatan lain yang dimiliki Nasabah pada bank dan LKNB lain.
Data tersebut harus dapat digunakan untuk mengidentifikasi, menganalisa,
memantau, dan menyediakan laporan karakteristik transaksi Nasabah guna
memberikan indikator red flag kemungkinan terjadinya TKM, TKT, dan/atau
transaksi tidak wajar.
Perusahaan Pembiayaan untuk
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 18 -
b. Data Penting Lainnya
Data mengenai orang yang populer secara politis (Politically Exposed Persons),
Nasabah yang berisiko tinggi (high risk customer), usaha yang berisiko tinggi
(High Risk Business), negara yang berisiko tinggi (High Risk Countries) ada di
website PPATK ataupun FATF (www.fatf-gafi.org), dan pihak-pihak yang
tercantum dalam daftar nama-nama teroris, antara lain tercatat pada:
1) Kepolisian Negara Republik Indonesia; atau
2) Resolusi Dewan Keamanan PBB 1267 yang dipublikasikan melalui media
internet
seperti
situs
http://un.org/sc/committees/1267/consolist.shtml,
sehingga
PBB
dapat
dilakukan pemantauan yang lebih ketat terhadap aktivitas transaksi yang
dilakukan oleh Nasabah.
Data tersebut berguna untuk dapat dilakukan pemantauan yang lebih ketat
terhadap aktivitas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
Daftar pihak-pihak yang termasuk dalam kategori orang yang populer secara
politis (Politically Exposed Persons), Nasabah yang berisiko tinggi (high risk
customer), usaha yang berisiko tinggi (High Risk Business), negara yang berisiko
tinggi (High Risk Countries), serta pihak-pihak yang tercantum dalam daftar
nama-nama teroris adalah sebagaimana terdapat pada Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank dan perubahannya,
jika ada.
c. Indikator red flag
Indikator red flag berfungsi sebagai panduan untuk menilai Nasabah atau pola
transaksi Nasabah yang memenuhi kriteria CDD lebih sederhana, CDD
standar, dan CDD lebih ketat serta TKM, TKT, dan/atau transaksi tidak wajar.
3. Perusahaan harus mengembangkan sistem informasi secara berkesinambungan
dan mengkinikan data profil Nasabah.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 19 -
BAB VI
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO
YANG BERKAITAN DENGAN PENERAPAN PMN
1. Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib mengatur mengenai kebijakan dan
prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan PMN, dan harus merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan dan prosedur manajemen risiko
Perusahaan Pembiayaan secara keseluruhan.
2. Uraian mengenai kebijakan manajemen risiko paling kurang mengatur hal
sebagai berikut:
a. Pengawasan oleh direktur utama/direksi dan dewan komisaris Perusahaan
Pembiayaan (management oversight).
Dalam kebijakan mengenai pengawasan oleh direktur utama/direksi dan
dewan komisaris harus diatur paling kurang hal sebagai berikut:
1) Pedoman P4MN dan perubahannya ditetapkan dengan surat keputusan
direktur utama/direksi dan harus mendapat persetujuan dewan komisaris.
2) Pengawasan atas pelaksanaan penerapan PMN pada Perusahaan
Pembiayaan serta pemberian usulan dan masukan atas pelaksanaan PMN
oleh dewan komisaris.
3) Adanya pelaporan secara berkala kepada direktur utama/direksi atau
dewan komisaris tentang pelaporan TKM ke PPATK.
4) Adanya pembahasan masalah Pencucian Uang dalam rapat direksi dan
dewan komisaris.
5) Prosedur penetapan tugas penanggung jawab penerapan PMN yang paling
kurang sebagai berikut:
a) direktur utama/direksi harus menetapkan penanggung jawab
penerapan PMN yang telah diangkat oleh rapat umum pemegang
saham atau direktur utama/direksi pada Perusahaan Pembiayaan yang
dipimpinnya dengan surat keputusan direktur utama/direksi.
b) dalam pengangkatan penanggung jawab penerapan PMN, rapat umum
pemegang
saham
atau
direktur
utama/direksi
mempertimbangkan kompetensi dan integritas personil yang
ditugaskan sebagai anggota atau penanggung jawab penerapan PMN.
c) direktur utama/direksi wajib menetapkan tugas, wewenang dan
tanggung jawab penanggung jawab penerapan PMN.
6) Prosedur pemantauan direktur utama/direksi atas pelaksanaan PMN yang
paling kurang sebagai berikut:
a) direktur utama/direksi wajib menyusun prosedur pemantauan
pelaksanaan PMN.
b) prosedur pemantauan pelaksanaan PMN paling kurang mengenai:
(1) pemantauan pelaksanaan tugas penanggung jawab penerapan PMN
oleh direktur utama/direksi.
harus
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 20 -
(2) pemantauan pelaksanaan pedoman PMN oleh unit-unit kerja
terkait.
(3) pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung
jawab penerapan PMN.
b. Prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT yang telah disusun oleh penanggung
jawab penerapan PMN kepada PPATK.
Dalam prosedur pelaporan TKM dan/atau TKT harus diatur paling kurang
hal sebagai berikut:
1) Pembuatan surat pelaporan mengenai TKM dan/atau TKT dari direktur
utama/direksi disertai dengan dokumen atau data profil yang masuk
dalam kategori mencurigakan.
2) Kewajiban menjaga kerahasiaan data profil yang dilaporkan kepada
PPATK.
3) Pemantauan kembali data profil yang mencurigakan yang telah dilaporkan
kepada PPATK.
c. Pendelegasian wewenang.
1) Dalam kebijakan mengenai pendelegasian wewenang harus diuraikan
paling kurang kewenangan yang diberikan direktur utama/direksi kepada
penanggung jawab penerapan PMN.
2) Selain itu, dalam kebijakan tersebut harus dinyatakan dengan jelas bahwa:
a) dalam hal penanggung jawab penerapan PMN menemukan bahwa
direktur utama/direksi terafiliasi atau memiliki kepentingan atas suatu
TKM dan/atau TKT, maka penanggung jawab penerapan PMN dapat
diberikan wewenang untuk melaporkan langsung TKM dan/atau TKT
tersebut kepada PPATK dengan sepengetahuan dewan komisaris.
b) sebaliknya apabila penanggung jawab penerapan PMN memiliki
kepentingan atas suatu TKM dan/atau TKT, maka direktur
utama/direksi dapat menyusun sendiri laporan PMN kepada PPATK.
d. Pemisahan tugas.
Dalam kebijakan mengenai pemisahan tugas paling kurang harus diatur
mengenai pemisahan tugas penanggung jawab penerapan PMN dalam
struktur
organisasi
perusahaan
(pemisahan
tugas
penerima
informasi/data/dokumen, tugas identifikasi dan verifikasi, tugas pemantauan
rekening dan pelaksanaan transaksi, tugas pelaporan ke direktur
utama/direksi/PPATK/regulator) sehingga terdapat mekanisme kontrol bagi
perusahaan untuk mencegah perusahaan digunakan sebagai sarana Pencucian
Uang oleh Nasabah.
e. Sistem pengawasan internal termasuk audit internal.
Dalam sistem pengawasan internal dan audit internal, paling kurang harus
diatur bahwa:
1) Dalam melakukan audit, internal auditor Perusahaan Pembiayaan harus
melakukan audit dan evaluasi kepatuhan unit-unit kerja Perusahaan
Pembiayaan terhadap P4MN.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 21 -
2) Audit internal perusahaan yang dilakukan harus meliputi pengecekan
pelaksanaan kewajiban pelaporan kepada PPATK termasuk di dalamnya
pengecekan apakah terdapat TKM dan/atau TKT yang belum dilaporkan
kepada PPATK.
f. Program pelatihan mengenai penerapan PMN bagi pejabat dan pegawai
Perusahaan Pembiayaan.
Dalam uraian mengenai program pelatihan harus diatur paling kurang sebagai
berikut:
1) Program pelatihan PMN dilaksanakan sesuai dengan usulan penanggung
jawab penerapan PMN dan dilakukan secara berkala dan
berkesinambungan untuk meningkatkan kemampuan pejabat dan pegawai
Perusahaan Pembiayaan dalam penerapan PMN termasuk petugas front
liner, petugas back office, dan pegawai baru.
2) Penyusunan program pelatihan PMN setiap tahun dan pelaporan
pelaksanaan program pelatihan PMN disampaikan paling lama pada
tanggal 15 Januari tahun berikutnya kepada Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan
Penjaminan.
3) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas front liner sesuai
dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada:
a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah
sesuai dengan bidang tugasnya;
b) teknik persuasif untuk meminta data Nasabah guna memenuhi
ketentuan dalam kebijakan dan prosedur penerimaan Nasabah;
c) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam
mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan
profil Nasabah;
d) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak
lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan
e) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil
Nasabah.
4) Program pelatihan PMN diberikan kepada petugas back office sesuai
dengan bidang tugasnya dengan penekanan pada:
a) pemahaman tentang kebijakan dan prosedur pemantauan profil
Nasabah;
b) pemahaman terhadap tugas dan tanggung jawab dalam
mengidentifikasi transaksi yang tidak normal atau tidak sesuai dengan
profil Nasabah;
c) pemahaman terhadap langkah-langkah yang diperlukan sebagai tindak
lanjut bila terdapat transaksi yang mencurigakan; dan
d) pemahaman terhadap pentingnya melakukan pengkinian profil
Nasabah.
5) Program pelatihan PMN diberikan kepada pegawai baru agar memahami
P4MN.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 22 -
g. Penerimaan pegawai baru
Perusahaan Pembiayaan wajib melakukan prosedur penyaringan (screening)
dalam rangka penerimaan pegawai baru, antara lain namun tidak terbatas
pada meminta surat kelakuan baik dari Polisi.
h. Prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko
Masing-masing kebijakan manajemen risiko tersebut di atas harus dilengkapi
dengan prosedur pelaksanaan kebijakan manajemen risiko.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 23 -
BAB VII
PROSEDUR KHUSUS
Dalam P4MN, Perusahaan Pembiayaan wajib menetapkan kebijakan dan prosedur
khusus untuk meyakini identitas calon Nasabah dan menilai kewajaran informasi
yang diberikan oleh calon Nasabah apabila:
a. Untuk bank atau LKNB lain yang menjadi sarana pembayaran angsuran dimana
bank atau LKNB lain tersebut menerima dokumen dari Nasabah, apabila
Perusahaan Pembiayaan tidak memperoleh dokumen pendukung dimaksud,
maka dalam P4MN harus diatur kewajiban Perusahaan Pembiayaan untuk
memperoleh pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon
Nasabah tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi atas dokumen
pendukung sebagaimana dimaksud dalam Bab III angka 2 huruf a angka 3).
b. Calon Nasabah merupakan bank atau LKNB lain yang mewakili BO
Dalam P4MN dapat diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan dapat menerima
pernyataan tertulis dari bank atau LKNB lain bahwa terhadap calon Nasabah
tersebut telah dilakukan identifikasi dan verifikasi terhadap BO.
c. Calon Nasabah berasal dari negara-negara yang tidak menerapkan rekomendasi
Financial Action Task Force (FATF).
d. Pembayaran angsuran melalui jaringan kantor atau anak perusahaan, bank, atau
LKNB lain di negara lain yang belum menerapkan rekomendasi Financial Action
Task Force (FATF) atau yang menerapkan PMN lebih longgar dari Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non Bank.
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 05/BL/20112011
Tanggal : 30 Maret 201111
- 24 -
BAB VIII
PENUTUP
1. Dalam P4MN harus diatur bahwa Perusahaan Pembiayaan melakukan
pemutakhiran pedoman secara berkala. Selanjutnya, setiap perubahan P4MN
ini harus dilaporkan kembali kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan c.q. Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
2. Petunjuk Penyusunan Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah agar dijadikan acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan penerapan
Prinsip Mengenal Nasabah oleh Perusahaan Pembiayaan.
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-05/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PELAKSANAAN PENERAPAN PRINSIP MENGENAL NASABAH BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 30 Maret 2011 </set_date>
<effective_date> 30 Maret 2011 </effective_date>
<replaced_reg> '2833/LK/2003|KEPDIRJEN-LK/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '9/PERPRES/2009', '20/M|KEPPRES/2011', '30/PMK.010/2010|PER-MENKEU/2010', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '8/UU/2010' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-1-
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 07 /BL/2012
TENTANG
REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN
BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR TAHUN 2013
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri
Keuangan
Nomor
74/PMK.010/2007
tentang
Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi Pada Lini
Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
01/PMK.010/2011, referensi unsur premi murni serta
unsur biaya administrasi dan biaya umum lainnya perlu
ditinjau setiap tahun dan perubahannya ditetapkan oleh
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu untuk menetapkan
referensi unsur premi serta unsur biaya administrasi dan
biaya umum lainnya yang baru dengan Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3506)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 212,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4954);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,
Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/ PMK.010/ 2007 tentang Penyelenggaraan
Pertanggungan Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi
Kendaraan Bermotor sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011;
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2010
tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian
Keuangan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG REFERENSI UNSUR
PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN
BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI
KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013.
Pasal 1
Referensi unsur premi murni pada lini usaha asuransi
kendaraan bermotor yang dapat digunakan oleh Perusahaan
Asuransi Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011 adalah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 1 yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan Ketua ini.
Pasal 2
(1) Perusahaan asuransi umum yang memiliki data profil
risiko dan kerugian untuk periode 5 (lima) tahun atau
lebih wajib menggunakan data sendiri dalam
menetapkan tarif premi murni,
memperhitungkan faktor kredibilitas.
dengan
(2) Penggunaan faktor kredibilitas dalam penetapan tarif
premi murni dilakukan dengan tata cara dan formula
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran 2 yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua ini.
Pasal 3
(1) Perusahaan asuransi umum yang memiliki data biaya
administrasi dan biaya umum lain untuk periode 5
(lima) tahun atau lebih wajib menggunakan data sendiri
dalam menetapkan tingkat biaya administrasi dan
biaya umum lain.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
(2) Perusahaan asuransi umum yang tidak memiliki data
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
membebankan biaya administrasi dan biaya umum lain
paling tinggi 15% (lima belas per seratus) dari premi
bruto.
Pasal 4
Pembentukan cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
74/PMK.010/2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan
Asuransi Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 01/PMK.010/2011 dihitung dengan
menggunakan referensi unsur premi murni sesuai Lampiran
1 yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Ketua ini.
Pasal 5
(1) Perusahaan asuransi umum yang memasarkan produk
asuransi pada lini usaha asuransi kendaraan bermotor
yang jangka waktu kontraknya lebih dari 1 (satu) tahun
serta syarat dan kondisi polisnya tidak dapat
diperbaharui kembali pada setiap ulang tahun polis,
wajib menghitung risiko liabilitas asuransi dengan
mempertimbangkan kemungkinan klaim yang terjadi
lebih buruk dari yang diperkirakan.
(2) Risiko liabilitas asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dihitung dengan mempertimbangkan kecukupan
cadangan premi untuk mengatasi pemburukan
pengalaman klaim dengan tingkat keyakinan 95%.
(3) Perhitungan risiko liabilitas asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) di atas harus
mengacu pada Lampiran 3 Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 6
Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor PER-04/BL/2011 tentang Referensi Unsur Premi
Murni Serta Unsur Biaya Administrasi Dan Biaya Umum
Lainnya Pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor
Tahun 2011 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-4-
Pasal 7
Peraturan Ketua ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
2013.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN I
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 07/BL/2012
TENTANG
REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN
BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN
BERMOTOR TAHUN 2013
Lampiran I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
REFERENSI UNSUR PREMI MURNI
PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR
I. REFERENSI UNSUR PREMI MURNI
KATEGORI
UANG
PERTANGGUNGAN
(1)
Kategori 2
Kategori 3
Kategori 4
Kategori 5
(2)
Jenis Kendaraan Non Bus dan Non Truk
Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000
Rp150.000.001 s.d.
Rp300.000.000
Rp300.000.001 s.d.
Rp500.000.000
Rp500.000.001 s.d.
Rp800.000.000
Lebih dari
Rp800.000.000
Jenis Kendaraan Bus dan Truk
Kategori 6
Kategori 7
Jenis Kendaraan Roda 2 (dua)
Kategori 8
Truk, semua uang
pertanggungan
Bus, semua uang
pertanggungan
Semua uang
pertanggungan
PERTANGGUNGAN
TOTAL LOSS ONLY
(TLO)
(3)
0,24%
0,17%
0,14%
0,12%
0,11%
0,20%
0,08%
0,37%
: PER- 07/BL/2012
: 27 Desember 2012
PERTANGGUNGAN
COMPREHENSIVE
(4)
1,82%
1,40%
0,87%
0,65%
0,37%
0,73%
0,48%
0,59%
Penerapan unsur premi murni pada tabel di atas dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Unsur premi murni di atas berlaku untuk penutupan dasar.
2. Untuk perluasan Strike, Riot, Civil Commotion (SRCC), Flood, Earthquake,
dan Third Party Liability (TPL) harus dikenakan premi tambahan.
3. Unsur premi murni di atas merupakan persentase dari uang
pertanggungan.
4. Premi murni paling sedikit 50% dari premi bruto.
II. PREMI YANG DIBEBANKAN PADA TERTANGGUNG
Premi yang dibebankan pada tertanggung adalah premi murni ditambah biaya
administrasi dan umum, biaya akuisisi, dan keuntungan perusahaan.
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
TATA CARA PENGGUNAAN FAKTOR KREDIBILITAS
DALAM MENETAPKAN UNSUR PREMI MURNI PERUSAHAAN
1. Perusahaan asuransi umum yang memiliki data profil risiko dan kerugian
untuk periode 5 (lima) tahun atau lebih menghitung unsur premi murni
berdasarkan data profil risiko dan kerugian yang dimilikinya sendiri ( PS
untuk tiap-tiap kategori.
R )
2. Perusahaan asuransi umum menghitung faktor kredibilitas untuk PS
R ,
selanjutnya dinyatakan dengan Z. Perhitungan nilai Z dilakukan untuk setiap
kategori pertanggungan. Nilai Z dihitung dengan formula sebagai berikut:
Z = min
K
N
,1
dengan
Z = faktor kredibilitas
N = rata-rata besarnya klaim perusahaan untuk setiap kategori
pertanggungan dalam tahun underwriting 2008, 2009, dan 2010
K = nilai sesuai dengan kategori kendaraan dalam tabel di bawah ini:
K
KATEGORI
(1)
UANG
PERTANGGUNGAN
(2)
Jenis Kendaraan Non Bus dan Non Truk
Kategori 1 0 s.d. Rp150.000.000
Kategori 2
Kategori 3
Kategori 4
Kategori 5
Rp150.000.001 s.d.
Rp300.000.000
Rp300.000.001 s.d.
Rp500.000.000
Rp500.000.001 s.d.
Rp800.000.000
Lebih dari
Rp800.000.000
Jenis Kendaraan Bus dan Truk
Kategori 6
Kategori 7
Truk, semua uang
pertanggungan
Bus, semua uang
pertanggungan
Jenis Kendaraan Roda 2 (dua)
Kategori 8
Semua uang
pertanggungan
PERTANGGUNGAN
TOTAL LOSS ONLY
(TLO)
(3)
200.000.000
300.000.000
450.000.000
550.000.000
1.000.000.000
200.000.000
100.000.000
50.000.000
PERTANGGUNGAN
COMPREHENSIVE
(4)
2.000.000.000
2.500.000.000
3.000.000.000
4.000.000.000
4.000.000.000
1.000.000.000
1.200.000.000
100.000.000
: PER- 07 /BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
3. Perusahaan asuransi umum menetapkan unsur premi murni perusahaan (R)
dengan mengkombinasikan PS
R dan unsur premi murni referensi
R berdasarkan formula sebagai berikut:
REF
REF
R Z R
dengan
R
Z
R
R
PS
PS
)
(1 Z R
= unsur premi murni perusahaan
= faktor kredibilitas
= unsur premi murni berdasarkan data profil risiko dan kerugian yang
dimiliki
perusahaan
REF
= unsur premi murni referensi berdasarkan Lampiran 1
*********************A. FUAD RAHMANY
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN
LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
: PER- 07 /BL/2012
: 27 Desember 2012
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: PER- 07/BL/2012
Tanggal : 27 Desember 2012
-1-
PERHITUNGAN RISIKO LIABILITAS ASURANSI
I. Perhitungan risiko liabilitas asuransi untuk produk asuransi pada lini usaha
asuransi kendaraan bermotor yang jangka waktu kontraknya lebih dari 1
(satu) tahun dan yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat diperbaharui
kembali pada setiap ulang tahun polis menggunakan formula sebagai
berikut:
R M PaxLA
RLA = Risiko Liabilitas Asuransi
CP = Cadangan premi sesuai dengan laporan posisi keuangan (neraca)
dan sesuai dengan perhitungan aktuaris perusahaan
CP* = Cadangan Premi yang dihitung dengan estimasi terbaik ditambah
marjin untuk risiko pemburukan dengan tingkat keyakinan 95%
II. Tabel CP* untuk Pertanggungan Total Loss Only (TLO)
KATEGORI
PERTANGGUNGAN
(1)
Kategori 1
Kategori 2
Kategori 3
Kategori 4
Kategori 5
Kategori 6
Kategori 7
Kategori 8
ESTIMASI
SENTRAL
(2)
0,20%
0,13%
0,10%
0,08%
0,07%
0,16%
0,06%
0,31%
MARJIN
RISIKO
(3)
0,04%
0,04%
0,04%
0,04%
0,04%
0,04%
0,02%
0,06%
C * CP ,0
CP*
(per 1 Uang
Pertanggungan)
(4)
0,28%
0,21%
0,18%
0,16%
0,15%
0,24%
0,10%
0,43%
Lampiran III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
: PER- 07/BL/2012
Tanggal : 27 Desember 2012
-2-
III. Tabel CP* untuk Pertanggungan Komprehensif
KATEGORI
PERTANGGUNGAN
(1)
Kategori 1
Kategori 2
Kategori 3
Kategori 4
Kategori 5
Kategori 6
Kategori 7
Kategori 8
ESTIMASI
SENTRAL
(2)
1,70%
1,28%
0,75%
0,53%
0,25%
0,65%
0,42%
0,52%
MARJIN
RISIKO
(3)
0,12%
0,12%
0,12%
0,12%
0,12%
0,08%
0,06%
0,07%
CP*
(per 1 Uang
Pertanggungan)
(4)
1,94%
1,52%
0,99%
0,77%
0,49%
0,81%
0,54%
0,66%
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-07/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> REFERENSI UNSUR PREMI MURNI SERTA UNSUR BIAYA ADMINISTRASI DAN BIAYA UMUM LAINNYA PADA LINI USAHA ASURANSI KENDARAAN BERMOTOR TAHUN 2013 </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2013 </effective_date>
<replaced_reg> 'PER-04/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '74/PMK.010/2007|PER-MENKEU/2007', '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '01/PMK.010/2011|PER-MENKEU/2011', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '24/PERPRES/2010', '92/PERPRES/2011' </related_reg>
|
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-1-
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 08/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO
BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3
ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor
53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, perlu
untuk menetapkan Peraturan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang Pedoman
Perhitungan Modal Minimum Berbasis Risiko Bagi
Perusahaan Asuransi Dan Perusahaan Reasuransi;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13 dan Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3467);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 120,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3506), sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 81
Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 212, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4954);
3. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, Dan Fungsi
Kementerian Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas,
Dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2011;
4. Peraturan
5. Peraturan
Menteri
Menteri
Keuangan Nomor
184/PMK.01/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Kementerian Keuangan;
Keuangan Nomor
53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan Keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PEDOMAN
PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO
BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN
REASURANSI.
Pasal 1
Modal Minimum Berbasis Risiko bagi Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Reasuransi ditetapkan berdasarkan besar
risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari
deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas.
Pasal 2
Perhitungan besar risiko kerugian yang mungkin timbul
sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan
liabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 harus
dilakukan berdasarkan Pedoman Perhitungan Modal
Minimum Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan Ketua ini.
Pasal 3
Peraturan Ketua ini tidak berlaku untuk laporan keuangan
Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Syariah maupun
Unit Usaha Syariah dari Perusahaan Asuransi dan
Reasuransi konvensional.
Pasal 4
Peraturan Ketua ini mulai berlaku untuk laporan keuangan
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi periode
Triwulan I yang berakhir 31 Maret 2013.
Pasal 5
Pada saat Peraturan Ketua ini mulai berlaku, Peraturan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan Nomor PER-09/BL/2011 tentang Pedoman
Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2012
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
LAMPIRAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR PER- 08/BL/2012
TENTANG
PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO
BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-1-
PEDOMAN PERHITUNGAN
MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO
I. Ketentuan Umum
1. Modal Minimum Berbasis Risiko, yang selanjutnya disingkat MMBR,
adalah jumlah dana yang dibutuhkan untuk mengantisipasi risiko
kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan aset dan liabilitas. Risiko kerugian yang mungkin timbul
sebagai akibat dari deviasi dalam pengelolaan aset dan liabilitas terdiri
atas komponen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012 tentang Kesehatan
Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
2. Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi yang selanjutnya
disingkat PAYDI adalah produk asuransi yang selain memberikan
proteksi juga memberikan hasil investasi yang mengacu pada hasil
investasi pasar baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan
unit.
3. Aset Yang Diperkenankan yang selanjutnya disingkat AYD adalah
kekayaan yang diperkenankan yang diperhitungkan dalam perhitungan
Tingkat Solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 53/PMK.010/2012.
4. Liabilitas adalah kewajiban sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
II. Pedoman Umum Perhitungan MMBR
1. Perhitungan tingkat solvabilitas dan MMBR Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi yang memiliki unit usaha syariah dilakukan
secara terpisah antara perusahaan induk dengan unit usaha
syariahnya.
2. Untuk keperluan perhitungan tingkat solvabilitas, saldo modal bersih
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang ditempatkan
pada unit usaha syariah dicatat sebagai aktiva lain.
3. Perhitungan MMBR untuk PAYDI, dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur proteksi
PAYDI tersebut1, pencatatan Aset dan Liabilitas tersebut dimasukkan
dalam neraca sebagai produk asuransi tradisional.
b. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur
investasi PAYDI tersebut, yang hasil investasinya sepenuhnya
1Sesuai ketentuan, PAYDI selalu mengandung unsur proteksi.
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-2-
mengacu pada kinerja pasar (tidak ada jaminan atas hasil investasi
minimum), perhitungan MMBR tidak dilakukan.
c. Untuk bagian Aset dan Liabilitas yang bersumber dari unsur
investasi PAYDI tersebut yang dijamin hasil minimumnya,
perhitungan MMBR dilakukan sebagaimana diuraikan dalam
Lampiran ini.
4. Bagi perusahaan asuransi yang menjual PAYDI yang menjamin hasil
investasi minimum, MMBR total perusahaan asuransi tersebut
merupakan hasil penjumlahan MMBR untuk produk-produk tradisional
(non-PAYDI) dan MMBR untuk PAYDI. Sebagai contoh untuk
perusahaan asuransi jiwa yang menjual PAYDI yang memberikan
jaminan atas hasil investasi minimum, MMBR total perusahaan adalah
sebagai berikut:
MMBR untuk
Usaha Asuransi dengan Prinsip
Konvensional
Produk
PAYDI
(a)
Schedule A
Schedule B
Schedule C
Schedule D
Schedule E
Schedule F
Schedule G
Schedule H
Jumlah
Non PAYDI
(b)
25 Schedule A
150 Schedule B
15 Schedule C
TB Schedule D
TB Schedule E
TB Schedule F
TB Schedule G
TB Schedule H
190 Jumlah
Catatan: TB= tidak berlaku
III. Pedoman Perhitungan MMBR untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi
1. Risiko kerugian yang mungkin timbul sebagai akibat dari deviasi dalam
pengelolaan aset dan liabilitas terdiri atas:
a. kegagalan pengelolaan Aset;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas;
250 Schedule A
1.500 Schedule B
150 Schedule C
950 Schedule D
250 Schedule E
50 Schedule F
50 Schedule G
50 Schedule H
3.250 Jumlah
275
1.650
165
950
250
50
50
50
3.440
(a) + (b)
MMBR Total
Perusahaan
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-3-
c. ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam setiap jenis
mata uang asing;
d. perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim yang
diperkirakan;
e. ketidakcukupan premi akibat perbedaan hasil investasi yang
diasumsikan dalam penetapan premi dengan hasil investasi yang
diperoleh;
f. ketidakmampuan pihak reasuradur untuk memenuhi Liabilitas
membayar klaim;
g. kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya
manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian
lain yang merugikan;
2. Dalam hal Perusahaan Asuransi Jiwa memasarkan PAYDI, selain risiko
kerugian sebagaimana disebut dalam angka 1, Perusahaan wajib
memperhitungkan risiko kerugian akibat kegagalan dalam proses
produksi, ketidakmampuan sumberdaya manusia atau sistem untuk
berkinerja baik, atau adanya kejadian lain yang merugikan berkaitan
dengan pengelolaan dana investasi yang bersumber dari PAYDI.
3. Kegagalan Pengelolaan Aset (Asset Default Risks) atau Schedule A
a. Risiko kegagalan dalam pengelolaan Aset timbul dari kemungkinan
adanya kehilangan atau penurunan nilai Aset yang disebabkan oleh
faktor risiko pasar atau risiko kredit.
b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko
kegagalan pengelolaan Aset ditentukan dengan mengalikan faktor
risiko (fr) untuk jenis Aset tersebut dengan nilai AYD.
Jumlah dana = ∑ (fri x AYDi)
fri
AYDi
= Faktor risiko jenis aset i
= AYD jenis aset i
c. Peringkat yang digunakan mengacu pada ketentuan pada romawi
III.3.e
d. Faktor risiko untuk setiap jenis Aset dan contoh perhitungan beban
modal untuk masing-masing jenis aset investasi adalah sebagai
berikut:
1) Deposito berjangka pada Bank, termasuk depositon call dan
deposito yang berjangka waktu kurang dari atau sama dengan 1
(satu) bulan, dan sertifikat deposito yang tidak dapat
diperdagangkan (non negotiable certificate deposit) pada Bank;
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-4-
a) Faktor risiko
Kategori
i. Kategori khusus
ii. Kategori
lain,
peringkat Bank
Peringkat Klaster 1
Peringkat Klaster 2
Peringkat Klaster 3
Peringkat Klaster 4
Peringkat Klaster 5
sesuai
1,2%
2,1%
3,0%
4,5%
9,0%
b) Deposito/sertifikat deposito yang termasuk dalam kategori
khusus adalah deposito/sertifikat deposito pada satu bank
yang memenuhi syarat penjaminan (antara lain batas
tingkat bunga) dengan jumlah sampai dengan jumlah
maksimum yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
2) Saham yang diperdagangkan di bursa efek;
a) Faktor risiko
Keterangan
i. Saham yang termasuk LQ45, atau JII
ii. Saham diperdagangkan di bursa di
Indonesia, selain kelompok i.
iii. Saham diperdagangkan di bursa luar
negeri:
Saham penyusun indeks utama bursa
utama negara asia pasifik dan eropa
anggota World Federation of Exchanges
Saham lainnya
20,0%
30,0%
b) Nilai saham yang dikenakan faktor risiko adalah nilai bersih
setelah diperhitungkan komponen lindung nilai.
3) Surat utang korporasi,sukuk korporasi, dan surat berharga
yang diterbitkan oleh negara selain Negara Republik Indonesia
Peringkat surat utang/sukuk
Faktor
i. Peringkat klaster 1
ii. Peringkat klaster 2
iii. Peringkat klaster 3
iv. Peringkat klaster 4
1,6%
2,8%
4,0%
6,0%
Faktor
16,0%
20,0%
Faktor
0,0%
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-5-
4) Surat berharga yang diterbitkan oleh Negara Republik
Indonesia, surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia,
dan surat berharga yang diterbitkan oleh lembaga multinasional
yang Negara Republik Indonesia menjadi salah satu anggota
atau pemegang sahamnya;
a) Faktor risiko 0%
b) lembaga multinasional yang Negara Republik Indonesia
menjadi salah satu anggota atau pemegang sahamnya antara
lain adalah World bank, IMF, IDB, dan ADB
5) Reksadana
Portofolio efek reksadana:
i. Sepenuhnya berupa surat utang
pemerintah
ii. Sepenuhnya berupa surat utang
swasta dan atau surat berharga
pasar uang
iii. Sepenuhnya berupa surat
berharga ekuitas
iv. Campuran
Faktor
0,00%
6,00%
16,00%
Rata-rata tertimbang
berdasarkan
komposisi portofolio
efek reksadana
6) Efek beragun aset yang diterbitkan berdasarkan kontrak
investasi kolektif efek beragun aset (KIK-EBA) dan dana
investasi real estat (DIRE):
Peringkat KIK-EBA/DIRE
i. Peringkat klaster 1
ii. Peringkat klaster 2
iii. Peringkat klaster 3
iv. Peringkat klaster 4
Faktor
1,6%
2,8%
4,0%
6,0%
7) Penyertaan langsung (saham yang tidak tercatat di bursa efek);
a) Faktor risiko
Faktor risiko untuk penyertaan langsung diklasifikasikan
berdasarkan kategori, sebagai berikut:
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-6-
Kategori
Dalam pengawasan Bapepam dan LK
Tidak Dalam pengawasan Bapepam
dan LK
Faktor
Risiko
10,0%
20,0%
b) Penyertaan langsung pada perusahaan dengan tujuan
khusus (Special Purpose Vehicle) yang selanjutnya disebut
SPV atau perusahaan induk yang tidak melakukan operasi
(holding company), faktor risikonya disesuaikan dengan
bidang usaha anak usaha yang dominan yang dibobot
berdasarkan aset perusahaan.
8) Bangunan dengan hak strata (strata title) atau tanah dengan
bangunan, untuk investasi;
a) Faktor risiko
Faktor risiko untuk Bangunan dengan hak strata (strata title)
atau tanah dengan bangunan, untuk investasi
diklasifikasikan berdasarkan tingkat hasil investasi yang
diperoleh, sebagai berikut:
Kelompok
Faktor
Hasil investasi bersih per tahun lebih dari
4%
Hasil investasi bersih per tahun antara
2% s.d. 4%
Hasil investasi bersih per tahun kurang
dari 2%
7,0%
15,0%
40,0%
b) Hasil investasi bersih per tahun tidak memperhitungkan
keuntungan dari penjualan atau revaluasi bangunan dengan
hak strata (strata title) atau tanah dengan bangunan
9) Pembiayaan melalui mekanisme kerja sama dengan pihak lain
dalam bentuk pembelian piutang (refinancing);
Faktor risiko untuk pembiayaan melalui mekanisme kerja sama
dengan pihak lain dalam bentuk pembelian piutang (refinancing)
diklasifikasikan berdasarkan underlying pembiayaannya,
sebagai berikut:
Underlying Pembiayaan
Sewa guna usaha
Kartu kredit
Pembiayaan konsumen
Faktor Risiko
3,0%
20,0%
8,0%
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-7-
10) Emas murni, faktor risiko 3,0%
11) Pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan
a) faktor risiko pinjaman yang dijamin dengan hak tanggungan
diklasifikasikan berdasarkan rasio loan to value (LTV) dan
jenis penggunaan property
b) LTV dihitung berdasarkan saldo pinjaman dan nilai pasar
property yang diikat hak tanggungan
c) Faktor risiko untuk masing-masing kategori sebagai berikut:
Kategori
Faktor
risiko
i. Properti residensial
LTV < 80%
80%<LTV <90%
ii. Properti komersial lainnya
LTV < 80%
80%<LTV <90%
iii. Properti yang tidak digunakan
2,8%
4,0%
5,6%
8,0%
12,0%
12) Faktor risiko untuk setiap jenis AYD untuk aset bukan investasi
adalah sebagai berikut:
Jenis Kekayaan
Kas dan bank
Kategori
Tagihan premi penutupan langsung,
termasuk tagihan premi koasuransi yang
menjadi bagian perusahaan
Tagihan klaim
koasuransi
Koasuradur dalam
pengawasan Bapepam dan
LK
Koasuradur tidak dalam
pengawasan Bapepam dan
LK
Peringkat klaster 1
Peringkat klaster 2
Peringkat klaster 3
Peringkat klaster 4
Peringkat klaster 5
2,8%
4,0%
6,0%
12,0%
15,0%
Faktor
0,0%
8,0%
2,8%
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-8-
Jenis Kekayaan
Tagihan
reasuransi
(catatan: bagi
perusahaan
reasuransi,
faktor risiko
untuk tagihan
retrosesi sama
dengan faktor
risiko untuk
tagihan
reasuransi.)
Tagihan investasi
Tagihan hasil investasi
Pinjaman Polis
Bangunan dengan hak strata atau tanah
dengan bangunan, untuk dipakai sendiri
Kategori
Reasuradur dalam
pengawasan Bapepam dan
LK
Reasuradur tidak dalam
pengawasan Bapepam dan
LK
Peringkat klaster 1
Peringkat klaster 2
Peringkat klaster 3
Peringkat klaster 4
Peringkat klaster 5
2,8%
4,0%
6,0%
12,0%
15,0%
2,0%
2,0%
0,0%
4,0%
e. Ketentuan penggunaan peringkat sebagai berikut:
1) Peringkat sebagaimana dimaksud dalam peraturan ini adalah
peringkat yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat yang
terdaftar di Bapepam dan LK atau yang telah memperoleh
pengakuan internasional.
2) Untuk setiap instrumen investasi, peringkat yang digunakan
adalah peringkat instrumen tersebut. Apabila peringkat
instrumen tidak tersedia, maka dapat digunakan peringkat
instrumen sejenis yang diterbitkan oleh emiten yang
bersangkutan atau satu level dibawah peringkat dari peringkat
emiten yang bersangkutan.
3) Untuk instrumen investasi yang diterbitkan badan hukum
Indonesia atau SPV di luar negeri yang didirikan oleh badan
hukum Indonesia, peringkat instrumen investasi dapat
didasarkan pada:
a) peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat di
Indonesia;
b) peringkat yang dikeluarkan lembaga pemeringkat yang
memiliki afiliasi dengan lembaga pemeringkat di Indonesia;
atau
Faktor
2,8%
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-9-
c) peringkat instrumen sejenis yang diterbitkan oleh emiten
yang bersangkutan yang telah mendapat peringkat dari
lembaga pemeringkat di Indonesia; atau
d) peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat yang diakui
secara internasional.
4) Untuk instrumen investasi yang diterbitkan oleh badan hukum
asing maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang
diterbitkan lembaga rating yang diakui secara internasional.
5) Pengelompokan peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat
sebagai berikut:
a) peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat yang
terdaftar di Bapepam dan LK
Klaster
1
2
Pefindo
idAAA
idAA+
idAA
idAA-
3
idA+
idA
idA-
4
idBBB+
idBBB
idBBB-
dibawah
5
idBB+, atau
tidak
diperingkat
Fitch Indonesia
AAA (idn)
AA+ (idn)
AA (idn)
AA- (idn)
A+(idn)
A (idn)
A- (idn)
BBB+ (idn)
BBB (idn)
BBB- (idn)
dibawah
BB+(idn),
atau tidak
diperingkat
ICRA Indonesia
[Idr]AAA
[Idr]AA+
[Idr]AA
[Idr]AA-
[Idr]A+
[Idr]A
[Idr]A-
[Idr]BBB+
[Idr]BBB
[Idr]BBB-
dibawah
[Idr]BB+,
atau tidak
diperingkat
b) peringkat yang diterbitkan lembaga rating yang diakui secara
internasional
Klaster Standard
& Poor’s
1
2
AAA
AA+
AA
AA-
Moody’s
Aaa
Aa1
Aa2
Aa3
AM Best
A++
A+
Fitch
AAA
AA+
AA
AA-
ICRA
AAA
AA+
AA
AA-
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-10-
3
4
5
A+
A A-
BBB+
BBB
BBB-
BB+ ,
dibawah
BB+, atau
tidak
diperingkat
f. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam schedule A sebagai berikut:
1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 50% dari jumlah
dana yang dibutuhkan;
2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 75% dari jumlah
dana yang dibutuhkan ;
3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 100% dari jumlah
dana yang dibutuhkan.
4. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Aset dan Liabilitas (Cash-flow
Mismatch Risks), atau Schedule B
a. Risiko Ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan arus
Liabilitas (RKAAL) timbul karena adanya ketidaksesuaian antara
besar dan saat jatuh tempo Liabilitas dengan besar dan saat jatuh
tempo Aset.
b. Untuk menghitung Schedule B, nilai AYD dan liabilitas yang
mengacu pada nilai buku pada Laporan Posisi Keuangan,
dikelompokkan berdasarkan saat jatuh temponya (maturity):
1) Jatuh tempo dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun;
2) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun;
3) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun tetapi
kurang dari 5 (lima) tahun;
4) Jatuh tempo dalam jangka waktu lebih dari 5 (lima) tahun tetapi
kurang dari 10 (sepuluh) tahun; dan
5) Jatuh tempo dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun atau lebih.
c. AYD berupa efek yang diperdagangkan dan dinilai berdasarkan nilai
pasar (antara lain saham) diklasifikasikan sebagai aset yang jatuh
tempo dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun.
d. AYD yang bertujuan untuk dimiliki sampai dengan jatuh tempo,
diklasifikasikan sesuai dengan sisa umurnya
e. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi RKAAL
dihitung sebagai berikut:
A1
A2
A3
Baa1
Baa2
Baa3
dibawah
Ba1, atau
tidak
diperingkat
A A-
B++
B+
dibawah B,
atau tidak
diperingkat
A+
A
A-
BBB+
BBB
BBB-
dibawah
BB+, atau
tidak
diperingkat
A+
A
A-
BBB+
BBB
BBB-
dibawah
BB+, atau
tidak
diperingkat
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-11-
RKAAL = ∑ 4,0% x (Max (Li - AYDi), 0)
AYDi
Li
= nilai buku AYD yang jatuh tempo/maturity pada periode i
= nilai buku liabilitas yang jatuh tempo/maturity pada periode i
f. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam schedule B sebagai berikut:
1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 50% dari jumlah
dana yang dibutuhkan;
2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 75% dari jumlah
dana yang dibutuhkan;
3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 100% dari jumlah
dana yang dibutuhkan.
5. Ketidakseimbangan Antara Nilai Aset dan Liabilitas Dalam Setiap Jenis
Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks), atau Schedule C
a. Risiko ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam
setiap jenis mata uang asing (foreign currency mismatch risks),
selanjutnya disebut RKMA, timbul karena adanya perbedaan nilai
Aset dan nilai Liabilitas dalam mata uang asing, serta fluktuasi nilai
tukar mata uang asing terhadap rupiah.
b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi risiko
ketidakseimbangan antara nilai Aset dan nilai Liabilitas untuk setiap
satu jenis mata uang asing tertentu dihitung sebagai berikut:
AYDi- Li
Kurang dari atau sama
dengan nol
Lebih dari nol namun
tidak melebihi 20% dari
Jumlah Kewajiban
Melebihi 20% dari Jumlah
Kewajiban
Faktor
30%
0%
10%
AYDi = nilai buku AYD mata uangi
Li
RKMA
∑ 30% x (Li – AYDi)
Nol
10% x ∑ (AYDi – (120% x
Li)
= nilai buku liabilitas mata uang i
c. Hasil perhitungan jumlah dana pada huruf b dikonversikan ke dalam
mata uang rupiah sesuai dengan kurs tengah Bank Indonesia pada
tanggal laporan.
d. Kontrak asuransi yang memuat ketentuan konversi mata uang asing
terhadap rupiah dengan menggunakan nilai tukar tertentu yang
ditetapkan dalam kontrak, harus diperlakukan sebagai kontrak
asuransi dalam mata uang rupiah.
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-12-
e. Dalam hal terdapat kontrak lindung nilai, maka nilai aset dan
liabilitas adalah nilai aset dan liabilitas bersih yang telah
memperhitungkan lindung nilai.
6. Perbedaan Antara Beban Klaim Yang Terjadi Dan Beban Klaim Yang
Diperkirakan (Risks of Claim Experience Worse Than Expected) atau
Schedule D
a. Risiko perbedaan antara beban klaim yang terjadi dan beban klaim
yang diperkirakan (selanjutnya disebut Risiko Liabilitas Asuransi
atau RLA) timbul dari kemungkinan pengalaman klaim yang terjadi
lebih buruk daripada klaim yang diperkirakan dan perhitungan
cadangan teknis yang terlalu rendah
b. Perhitungan RLA untuk produk asuransi yang berjangka waktu lebih
dari 1 (satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya tidak dapat
diperbaharui kembali (non renewable) pada setiap ulang tahun polis
atau Schedule D1, ditentukan dengan menggunakan formula sebagai
berikut:
RLA = max ((CP* - CP), 0)
CP = cadangan premisesuai laporan posisi keuangan (neraca) dan
sesuai dengan perhitungan aktuaris perusahaan
CP* = adalah cadangan premi yang dihitung dengan estimate terbaik
ditambah Margin Untuk Risiko Pemburukan dengan tingkat
keyakinan kecukupan cadangan premi 95% (company level).
c. Stress test untuk mencapai tingkat keyakinan 95% dilakukan pada
semua variabel pembentuk perhitungan cadangan premi, kecuali
variabel tingkat bunga (stress testvariabel tingkat bunga dikalkulasi
dalam schedule G).
d. Perhitungan RLA untuk produk asuransi yang berjangka waktu
sampai dengan 1 (satu) tahun atau berjangka waktu lebih dari 1
(satu) tahun yang syarat dan kondisi polisnya dapat diperbaharui
kembali (renewable) pada setiap ulang tahun polis atau Schedule D2,
ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
RLA = (( CAPYBMPi – ARi)fcpi + (CKi– ARi)fcki)
CAPYBMP = cadangan atas premi yang belum merupakan pendapatan
AR
fcpi
= Aset Reasuransi
= faktor risiko untuk cadangan atas premi yang belum merupakan
pendapatan untuk lini usaha i
CKi
fcki
= cadangan klaim untuk lini usaha i
= faktor risiko untuk cadangan klaim untuk lini usaha i
Dengan besar fcp dan fck untuk masing-masing lini bisnis asuransi
sebagai berikut:
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-13-
Faktor
Cabang Asuransi
Harta benda (property)
Kendaraan bermotor (own damage,
third party liability, dan personal
accident)
Pengangkutan (marine cargo)
Rangka kapal (marine hull)
Rangka pesawat (aviation hull)
Satellite
Energi Onshore (oil and gas)
Energi Offshore (oil and gas)
Rekayasa (engineering)
Tanggung-gugat (liability)
Kredit (Credit)
Suretyship
Aneka
Jiwa
fcP
25%
25%
30%
30%
30%
25%
35%
35%
25%
35%
30%
25%
25%
10%
fcK
20%
20%
25%
25%
25%
20%
30%
30%
20%
30%
25%
20%
20%
10%
7. Ketidakcukupan Premi Akibat Perbedaan Hasil Investasi yang
Diasumsikan dalam Penetapan Premi dengan Hasil Investasi yang
Diperoleh (Risks of Insufficient Premium due to realized investment return
worse than expected) atau Schedule E
a. Risiko ketidakcukupan premi dapat disebabkan oleh tingkat hasil
investasi yang diperoleh lebih rendah daripada tingkat hasil investasi
yang diperkirakan dalam penetapan premi dan cadangan
(selanjutnya disebut Risiko Tingkat Bunga atau RTB).
b. Jumlah dana yang dibutuhkan untuk menanggulangi RTB dihitung
dengan formula
RTB = fRTB Max((CPrf - CPo), 0)
fRTB
CPrf
CPo
= faktor RTB
= cadangan premi yang dihitung dengan bunga bebas risiko
=adalah cadangan premi yang dihitung aktuaris perusahaan
(cadangan premi yang disajikan di laporan posisi
keuangan/neraca)
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-14-
c. Tingkat bunga bebas risiko mengacu kepada yield SUN rata-rata 3
(tiga) tahun terakhir seri benchmark dengan jangka waktu yang
sesuai dengan rata-rata jangka waktu polis pada tingkat perusahaan
(company level)
d. Faktor RTB (fRTB) ditentukan sebagai berikut:
1) untuk laporan keuangan tahun 2013, sebesar 5%;
2) untuk laporan keuangan tahun 2014, sebesar 10%;
3) untuk laporan keuangan sejak 2015, sebesar 15%.
8. Risiko Reasuransi (Reinsurance Risks)
a. Komponen risiko reasuransi, merupakan bagian dari Risiko Kredit
yang
diperhitungkan
untuk
kegagalan/ketidakmampuan penanggung ulang untuk memenuhi
kewajibannya kepada perusahaaan asuransi.
b. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk
menanggulangi risiko reasuransi ditentukan dengan cara mengalikan
besar eksposur reasuransi dengan faktor risiko.
c. Besar eksposur reasuransi dihitung dari cadangan teknis beban
penanggung ulang dikurangi deposit reasuradur yang berupa segala
bentuk simpanan yang ditempatkan oleh reasuradur pada asuradur,
termasuk premi yang ditahan oleh asuradur dimana asuradur
memiliki otoritas penuh untuk menggunakan simpanan tersebut.
d. Faktor risiko yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kategori Perusahaan/reasuradur
Dalam pengawasan Bapepam dan LK
Tidak Dalam pengawasan Bapepam
dan LK
Peringkat Reasuradur Klaster 1
Peringkat Reasuradur Klaster 2
Peringkat Reasuradur Klaster 3
Peringkat Reasuradur Klaster 4
Peringkat Reasuradur Klaster 5
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
mengantisipasi
Faktor
2,8%
2,8%
4,0%
6,0%
12,0%
15,0%
9. Kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumberdaya
manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain
yang merugikan atau Schedule G
a. Komponen risiko ini digunakan untuk mengantisipasi kerugian yang
disebabkan kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan
sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau
adanya kejadian lain atau yang dikenal dengan risiko operasional
(RO).
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-15-
b. Semakin komplek struktur perusahaan, risiko operasional akan
meningkat. Proxy untuk kompleksitas operasional adalah besar
Beban Umum dan Administrasi (BUA) setelah dikurangi Biaya
Pendidikan dan Pelatihan (BPL)
c. Besarnya faktor risiko operasional ditentukan sebagai berikut:
RO = 1%(BUA - BPL)
10. Kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan sumber daya
manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau adanya kejadian lain
yang merugikan berkaitan dengan pengelolaan dana investasi yang
bersumber dari PAYDI atau Schedule H
a. Komponen risiko ini digunakan untuk mengantisipasi kerugian yang
disebabkan kegagalan dalam proses produksi, ketidakmampuan
sumber daya manusia atau sistem untuk berkinerja baik, atau
adanya kejadian lain berkaitan dengan pengelolaan dana investasi
yang bersumber dari PAYDI atau yang dikenal dengan risiko
operasional PAYDI (ROPAYDI).
b. Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk
menanggulangi risiko operasional PAYDI ditentukan dengan cara
mengalikan besar dana kelolaan PAYDI perusahaan dengan faktor
risiko operasional PAYDI, dengan formula sebagai berikut:
ROPAYDI = 1%o X Dana Kelolaan PAYDI
IV. Pedoman Perhitungan MMBR untuk Perusahaan Asuransi yang
Menjual PAYDI dengan Komponen Investasi yang Dijamin Hasil
Minimumnya
1. Perusahaan asuransi yang menjual PAYDI dengan komponen investasi
yang dijamin hasil minimumnya harus dapat menentukan besar
Liabilitas minimumnya kepada pemegang polis untuk komponen
investasi berdasarkan jaminan yang diberikannya dalam polis. Apabila
perusahaan tidak secara khusus menentukan jumlah Liabilitas
minimum kepada pemegang polis untuk komponen investasi
berdasarkan jaminan yang diberikan dalam polis, maka Liabilitas
minimum tersebut dihitung dengan mengakumulasikan bagian premi
untuk komponen investasi dengan menggunakan tingkat bunga
minimum yang setara dengan jaminan dalam polis.
2. Komponen MMBR terdiri dari:
a. kegagalan pengelolaan Aset;
b. ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas;
c. ketidakseimbangan antara nilai Aset dan Liabilitas dalam setiap jenis
mata uang asing;
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
LAMPIRAN
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor
Tanggal
-16-
3. Cara perhitungan untuk masing-masing komponen di atas adalah
sebagai berikut.
a. Kegagalan Pengelolaan Aset (Asset Default Risks)
1) Faktor risiko yang dikenakan untuk setiap jenis AYD dan
perhitungan jumlah dana untuk MMBR sama dengan yang
berlaku untuk produk asuransi lain sebagaimana diuraikan dalam
bagian III 3.
2) Jumlah AYD yang digunakan untuk menentukan jumlah dana
dalam MMBR adalah sebesar jumlah Liabilitas minimum
perusahaan kepada pemegang polis untuk komponen investasi
dari PAYDI tersebut.
3) Apabila jumlah AYD yang telah terakumulasi ternyata lebih kecil
daripada jumlah Liabilitas minimum kepada pemegang polis
sebagaimana dimaksud pada butir IV 3 a. 2), maka jumlah AYD
yang digunakan dalam perhitungan adalah total akumulasi AYD.
b. Ketidakseimbangan Antara Proyeksi Arus Aset dan Liabilitas (Cash-
flow Mismatch Risks)
1) Risiko ketidakseimbangan antara proyeksi arus Aset dan Liabilitas
timbul karena adanya kemungkinan besar dan saat jatuh
temponya Liabilitas berbeda dengan besar dan saat jatuh
temponya Aset.
2) Jumlah dana yang diperhitungkan dalam MMBR untuk menutup
risiko ketidakseimbangan tersebut ditentukan sebesar 2% (satu
per seratus) dari Liabilitas minimum kepada pemegang polis
untuk komponen investasi PAYDI tersebut.
c. Ketidakseimbangan Antara Nilai Aset dan Liabilitas dalam Setiap
Jenis Mata Uang Asing (Foreign Currency Mismatch Risks)
1) Ketentuan dan tatacara perhitungan jumlah dana yang
diperhitungkan dalam MMBR untuk komponen ini sama dengan
yang diuraikan dalam bagian III 3.
2) Liabilitas adalah Liabilitas minimum dalam mata uang asing
kepada pemegang polis untuk komponen investasi PAYDI tersebut.
3) Aset adalah AYD dalam mata uang asing yang dihitung
menggunakan aturan sebagaimana dimaksud dalam butir IV 3 a.
2) dan IV 3 a. 3).
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
ttd
NGALIM SAWEGA
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 19571028 198512 1 001
: PER- 08/BL/2012
: 27 Desember 2012
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-08/BL/2012|PERTA-BAPEPAM-LK/2012 </reg_id>
<reg_title> PEDOMAN PERHITUNGAN MODAL MINIMUM BERBASIS RISIKO BAGI PERUSAHAAN ASURANSI DAN PERUSAHAAN REASURANSI </reg_title>
<set_date> 27 Desember 2012 </set_date>
<effective_date> laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi periode Triwulan I yang berakhir 31 Maret 2013 </effective_date>
<replaced_reg> 'PER-09/BL/2011|PERTA-BAPEPAM-LK/2011' </replaced_reg>
<related_reg> '2/UU/1992', '184/PMK.01/2010|PER-MENKEU/2010', '53/PMK.010/2012|PER-MENKEU/2012', '73/PP/1992', '81/PP/2008', '92/PERPRES/2011', '24/PERPRES/2010' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 03/BL/2008
TENTANG
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa untuk mendorong terciptanya dan terlaksananya tata
kelola perusahaan yang baik di industri Perusahaan
Pembiayaan diperlukan sumber daya manusia yang memiliki
kemampuan dan kepatutan yang tinggi dalam menjalankan
Perusahaan Pembiayaan;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan tentang
Penilaian Kemampuan Dan Kepatutan Bagi Anggota Direksi
Dan Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan;
Mengingat :
1.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 116 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3502);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 106 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4756);
3. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 53);
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 45/M Tahun
2006;
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG PENILAIAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI
DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ini yang dimaksud dengan:
1. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
2. Kepala Biro adalah Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan,
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
3. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha di luar Bank dan
Lembaga Keuangan Bukan Bank yang khusus didirikan untuk
melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha
Lembaga Pembiayaan.
4. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum perseroan
terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
5. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum perseroan
terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana dimaksud
Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas.
b. bagi Perusahaan Pembiayaan berbentuk hukum koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang tentang Perkoperasian.
6. Tim Penguji adalah tim yang dibentuk untuk melakukan
pengujian kemampuan dan kepatutan calon anggota Direksi
dan Dewan Komisaris.
7. Tim Penilai adalah tim yang dibentuk untuk memberikan
penilaian terhadap status kelulusan calon anggota Direksi dan
Dewan Komisaris.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 3 -
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Penilaian kemampuan dan kepatutan mempunyai maksud dan
tujuan sebagai berikut:
a. Perusahaan Pembiayaan mempunyai Direksi dan Dewan
Komisaris yang memiliki kemampuan yang layak; dan
b. Perusahaan Pembiayaan mempunyai Direksi dan Dewan
Komisaris yang memiliki kepatutan yang layak.
BAB III
KEWAJIBAN MEMENUHI PERSYARATAN
KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Pasal 3
(1) Setiap anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perusahaan
Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan
kepatutan sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Direksi atau Dewan
Komisaris Perusahaan Pembiayaan, calon anggota Direksi
atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan wajib
memenuhi
persyaratan kemampuan
Pasal 4
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dilakukan:
a. pada saat seseorang akan memangku jabatan sebagai anggota
Direksi atau Dewan Komisaris; dan
b. setiap waktu apabila di kemudian hari anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris tidak memenuhi atau diduga
tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan/atau
kepatutan.
BAB IV
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Bagian Pertama
Penetapan Penilaian
dan kepatutan
sebagaimana diatur dalam Peraturan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 4 -
Pasal 5
(1) Ketua melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan, serta
menetapkan bahwa calon anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris lulus dan memenuhi persyaratan kemampuan dan
kepatutan, atau tidak lulus dan tidak memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan.
(2) Tata cara pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan
bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Pasal 6
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan kepada calon
anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan
Pembiayaan untuk menilai bahwa calon tersebut memenuhi
persyaratan:
a. kemampuan; dan
b. kepatutan.
Pasal 7
(1) Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap
faktor kemampuan dan kepatutan.
(2) Faktor kemampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pengetahuan yang memadai dan relevan dengan
jabatannya;
b. pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di
bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang-
undangan lain yang berhubungan dengan Perusahaan
Pembiayaan;
c. pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau
bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya; dan
d. kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan Perusahaan Pembiayaan yang sehat.
(3) Faktor kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. memiliki akhlak dan moral yang baik;
b. tidak pernah melakukan praktik-praktik tercela di bidang
usaha Perusahaan Pembiayaan dan/atau jasa keuangan
lainnya;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 5 -
c. tidak pernah melakukan pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
dan/atau jasa keuangan lainnya;
d. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
e. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah
yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
f. tidak pernah melanggar komitmen yang telah disepakati
dengan instansi pembina dan pengawas Perusahaan
Pembiayaan; dan
g. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara
tidak wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris,
pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau
Perusahaan Pembiayaan.
(4) Bobot penilaian atas faktor kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum
dalam Lampiran IV Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini.
Bagian Kedua
Tim Penguji Dan Tim Penilai
Pasal 8
(1) Dalam melakukan penilaian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7, Ketua membentuk Tim Penguji
dan Tim Penilai.
(2) Ketua melimpahkan kewenangan penilaian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Biro.
(3) Tim Penguji berjumlah paling kurang 2 (dua) orang anggota
dan satu orang ketua yang terdiri atas unsur Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dan asosiasi Perusahaan
Pembiayaan.
(4) Tim Penilai berjumlah 3 (tiga) orang yang berasal dari Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan.
Pasal 9
(1) Tim Penguji mempunyai tugas sebagai berikut:
a. penelitian administratif;
b. wawancara; dan
c. hal lain yang dianggap perlu.
(2) Tim Penilai mempunyai tugas melakukan penilaian atas hasil
uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Tim
Penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 6 -
(3) Tim Penguji dan Tim Penilai wajib melaporkan hasil
pekerjaannya kepada Kepala Biro.
BAB V
PERMOHONAN PENILAIAN KEMAMPUAN DAN
KEPATUTAN
Pasal 10
(1) Untuk memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direksi dari
Perusahaan Pembiayaan tempat calon anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan akan
bekerja wajib mengajukan permohonan kepada Ketua.
(2) Bagi perseroan terbatas atau koperasi yang mengajukan izin
usaha sebagai Perusahaan Pembiayaan, pengajuan
permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang belum memenuhi
persyaratan kemampuan dan kepatutan kepada Ketua
dilakukan oleh Direksi dimaksud.
Pasal 11
Permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon
anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 diajukan sebelum Rapat Umum
Pemegang Saham atau Rapat Umum Anggota pengangkatan
anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris.
Pasal 12
(1) Pengajuan permohonan penilaian kemampuan dan kepatutan
calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 wajib dilakukan sesuai
dengan format dalam Lampiran I Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini dan wajib
dilampiri dengan dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk
(KTP) atau paspor yang masih berlaku;
b. daftar riwayat hidup sesuai dengan format Lampiran II
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan ini;
c. surat pernyataan dengan meterai cukup sebagaimana
dimuat dalam Lampiran III Peraturan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini, yang
wajib memuat sekurang-kurangnya:
1. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di
sektor perbankan;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 7 -
2. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di
sektor perbankan;
3. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah
yang mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur pada
Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris
pada lebih dari satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada
saat menduduki jabatan sebagai direktur Perusahaan
Pembiayaan; dan
6. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris lebih
dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat
menduduki jabatan sebagai
Pembiayaan.
d. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin
bekerja dari instansi berwenang bagi calon anggota Direksi
berkewarganegaraan asing.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka
5 hanya berlaku bagi calon anggota Direksi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka
6 hanya berlaku bagi calon anggota Dewan Komisaris.
BAB VI
TAHAPAN PELAKSANAAN PENILAIAN
Bagian Pertama
Persiapan Pelaksanaan Penilaian
Pasal 13
Tahapan persiapan pelaksanaan penilaian meliputi:
a. Pembentukan Tim Penguji dan Tim Penilai oleh Ketua
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
b. Pengajuan surat permohonan penilaian kemampuan dan
kepatutan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10.
c. Pengecekan kelengkapan dokumen atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada huruf b yang disampaikan oleh
Direksi Perusahaan Pembiayaan.
d. Penentuan jadual pelaksanaan penilaian kemampuan dan
kepatutan oleh Kepala Biro.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Komisaris Perusahaan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 8 -
Pasal 14
Pelaksanaan penilaian kemampuan dan kepatutan meliputi:
a. Kepala Biro melakukan pemanggilan kepada calon anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk
dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
b. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang
diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan wajib hadir pada waktu yang ditentukan oleh
Kepala Biro.
c. Tim Penguji melakukan pengujian kepada calon anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang diajukan untuk
dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
d. Tim Penilai melakukan penilaian atas calon anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris berdasarkan hasil pengujian yang
dilakukan oleh Tim Penguji sebagaimana dimaksud pada
huruf c.
Pasal 15
Dalam hal calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
yang diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan tidak hadir pada waktu yang ditentukan setelah
dilakukan pemanggilan oleh Kepala Biro sebanyak 2 (dua) kali,
maka permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dianggap batal.
Pasal 16
(1) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c
dilakukan dengan prosedur wawancara.
(2) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tatap muka langsung di kantor Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan atau tempat lain yang
ditetapkan oleh Kepala Biro.
(3) Wawancara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam Bahasa Indonesia.
(4) Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang tidak
menguasai Bahasa Indonesia wajib didampingi oleh
penerjemah dalam proses penilaian
kepatutan.
kemampuan dan
(5) Biaya jasa penerjemah sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) ditanggung oleh Perusahaan Pembiayaan
bersangkutan.
Pasal 17
Penilaian kemampuan dan kepatutan bagi calon anggota Dewan
Komisaris yang berdomisili di luar negeri dapat dilakukan secara
tertulis.
yang
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 9 -
Pasal 18
(1) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan setiap 2
(dua) bulan sekali pada minggu kedua bulan genap.
(2) Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan dapat
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan di luar jadual
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila dianggap perlu.
Bagian Ketiga
Pasal 19
(1) Hasil penilaian Tim Penilai atas kemampuan dan kepatutan
sebagai calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
ditetapkan oleh Ketua dan dibagi menjadi 2 (dua) predikat
sebagai berikut:
a. lulus; atau
b. tidak lulus.
(2) Penentuan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didasarkan pada:
a. penjumlahan atas nilai dari masing-masing faktor
kemampuan dan kepatutan sebagaimana dicantumkan
dalam Lampiran IV Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini; dan
b. satu atau lebih faktor dalam kemampuan dan kepatutan
yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan predikat
lulus.
(3) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
diklasifikasikan lulus apabila yang bersangkutan memperoleh
hasil penilaian akhir sebesar 70 (tujuh puluh) atau lebih dan
tidak terdapat nilai 0 (nol) pada faktor kepatutan.
(4) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
diklasifikasikan tidak lulus apabila yang bersangkutan
memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 70 (tujuh puluh)
atau terdapat nilai 0 (nol) pada faktor kepatutan.
Pasal 20
(1) Ketua memberitahukan hasil penilaian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) secara tertulis kepada Perusahaan
Pembiayaan yang mengajukan permohonan penilaian
kepatutan dan kemampuan calon anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris perusahaan dimaksud.
(2) Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang
dinyatakan tidak lulus dapat mengajukan permintaan
keterangan mengenai ketidaklulusannya kepada Ketua.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 10 -
Pasal 21
(1) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan yang dinyatakan tidak lulus
diberikan kesempatan untuk mengikuti kembali penilaian
kemampuan dan kepatutan kecuali dinyatakan tidak lulus
karena faktor kepatutan.
(2) Untuk dapat mengikuti penilaian kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi dari Perusahaan
Pembiayaan tempat calon anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris Perusahaan Pembiayaan akan bekerja wajib
mengajukan kembali permohonan kepada Ketua.
BAB VII
KEBERATAN
Pasal 22
(1) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan yang dinyatakan tidak lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan, dapat mengajukan keberatan
kepada Ketua dengan disertai alasan keberatannya.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya hasil
penilaian oleh Perusahaan Pembiayaan.
(3) Terhadap keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Ketua wajib memberikan jawaban paling lambat 10 (sepuluh)
hari kerja sejak diterimanya surat keberatan dimaksud.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) Ketua tidak memberikan jawaban, maka keberatan
tersebut ditolak.
BAB VIII
HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN DARI
INDUSTRI JASA KEUANGAN LAIN
Pasal 23
(1) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan yang sudah pernah lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan untuk menduduki posisi atau
jabatan tersebut yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, tidak perlu dilakukan
penilaian kemampuan dan kepatutan lagi.
(2) Bagi calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan yang sudah pernah lulus penilaian
kemampuan dan kepatutan pada industri jasa keuangan lain
yang dilakukan oleh lembaga pengawas industri jasa
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 11 -
keuangan lain dimaksud, tidak perlu dilakukan penilaian
kemampuan dan kepatutan lagi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
tidak berlaku apabila di kemudian hari calon anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris tidak memenuhi atau diduga
tidak memenuhi persyaratan kemampuan dan/atau
kepatutan.
(4) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang
tidak lulus penilaian kemampuan dan kepatutan pada industri
jasa keuangan lain yang disebabkan oleh faktor kemampuan,
dapat diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan kepada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan.
(5) Setiap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris
Perusahaan Pembiayaan yang tidak lulus pada industri jasa
keuangan lain yang disebabkan oleh faktor kepatutan, tidak
dapat diajukan untuk dilakukan penilaian kemampuan dan
kepatutan sebagai calon anggota Direksi atau Dewan
Komisaris Perusahaan Pembiayaan.
BAB IX
KERAHASIAAN
Pasal 24
Anggota Tim Penilai dan Tim Penguji atau yang pernah menjadi
anggota Tim Penilai dan Tim Penguji wajib merahasiakan
dokumen, informasi, dan hasil penilaian kemampuan dan
kepatutan, kecuali diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
BAB X
SANKSI
Pasal 25
Pelanggaran terhadap Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ini dikenakan sanksi
sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan
Pembiayaan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang pada saat Peraturan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ini mulai
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
- 12 -
berlaku dalam proses pelaporan perubahan anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris kepada Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan, maka anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris yang dilaporkan wajib memenuhi ketentuan
persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di
pada tanggal
: Jakarta
: 30 Juni 2008
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd.
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd.
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
Nomor :
Lampiran :
Perihal
............... ,….............................20....
: Permohonan Penilaian Kemampuan Dan
Kepatutan Calon Anggota Direksi/Dewan
Komisaris*) PT ................... Atau Calon
Anggota Pengurus/Pengawas *) Koperasi
................
Kepada Yth.
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur 1 - 4
Jakarta 10710
Dengan ini kami mengajukan permohonan untuk mengikuti uji kemampuan
dan kepatutan atas nama:
1. Nama : .........................................................................................................................
Status
2. Nama : ........................................................................................................................
Status
3.
......dst
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan
dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor
yang masih berlaku;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan dengan meterai cukup yang memuat:
1) tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan;
2) tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada
5) tidak akan
Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu
Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai
direktur/pengurus*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Direksi;
dan
6) tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih dari 3
(tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai
: Calon anggota direksi/dewan komisaris*) atau
pengurus/pengawas*)
: Calon anggota direksi/dewan komisaris*) atau
pengurus/pengawas*)
LAMPIRAN I
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 2 -
komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon anggota Dewan
Komisaris.
d. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin bekerja dari instansi
berwenang bagi calon anggota Direksi berkewarganegaraan asing
Demikian permohonan kami ajukan dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi/Pengurus
PT/Koperasi ........................
Tembusan:
Kepala Biro Pembiayaan dan Penjaminan.
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN II
Photo berwarna
4 X 6
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
(untuk diisi oleh calon direktur/pengurus/komisaris/pengawas)
I. Data Pribadi
1. Nama Lengkap
:
2. Tempat/Tanggal Lahir :
5. Alamat Rumah
6. Alamat Kantor
8. Ijin Kerja Tenaga
Asing (bagi WNA)
:
:
:
................................................................................
................................................................................
3. Kebangsaan : ................................................................................
4. Status Perkawinan
................................................................................
................................................................................
................................................................................
7. Nomor KTP/Paspor :
:
9. Tanda Bukti Ijin
Menetap Sementara
(bagi WNA)
:
................................................................................
................................................................................
................................................................................
10. NPWP : ................................................................................
II. Riwayat Pendidikan Formal
No Tahun Institusi
Dari…s.d …
Jurusan/ Program
Keterangan
III. Pelatihan dan Seminar yang Pernah Diikuti
No Tahun
Institusi
Penyelenggara
Dari…s.d …
Uraian Topik Yang
Diikuti
Keterangan
IV. Riwayat Pekerjaan *)
No.
Uraian **)
Tahun ……………..
PT …………………..
(Jabatan) …………..
Tahun ……………..
PT …………………..
(Jabatan) …………..
dst.
LAMPIRAN II
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 2 -
V. Penghargaan Yang Relevan Dengan Industri Keuangan yang Pernah Dicapai
No. Tahun Alasan Mendapatkan
Penghargaan
Keterangan
VI. Uraian Kemampuan Keterampilan Lain yang Dikuasai Seperti Keterampilan di
bidang Komputer atau Bahasa Asing
No. Jenis Keterampilan
yang Dikuasai
Tingkat Penguasaan
Keterangan
Demikian Daftar Riwayat Hidup ini kami buat dengan sebenar-benarnya.
…………, ……….…20..
(tanda tangan)
(Nama Lengkap)
Keterangan:
*) Dilampiri dengan bukti surat keterangan pengalaman bekerja
**) Diuraikan sejelas-jelasnya mengenai tugas dan tanggung jawab pekerjaan,
jumlah bawahan. Termasuk keputusan-keputusan penting yang pernah
ditetapkan selama memangku jabatan/posisi dimaksud.
LAMPIRAN III
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
SURAT PERNYATAAN
(untuk diisi oleh calon direktur/pengurus/komisaris/pengawas)
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : ………………………………………………………………………..
Alamat : ………………………………………………………………………..
Pekerjaan : ………………………………………………………………………..
dengan ini menyatakan bahwa:
1. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan;
2. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan;
3. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
4. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang mengakibatkan
suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
5. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada Perusahaan
Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari satu Perusahaan
Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai direktur/pengurus*)
Perusahaan Pembiayaan (bagi calon anggota Direksi); dan
6. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih dari 3 (tiga)
Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan sebagai
komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan (bagi calon anggota Dewan
Komisaris).
Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan untuk dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
……….. , ……………20..
Tanda tangan
(meterai)
(Nama Lengkap)
*) Coret yang tidak perlu
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 1 -
PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI
DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
I. RUANG LINGKUP DAN KRITERIA PENILAIAN FAKTOR KEMAMPUAN
DAN KEPATUTAN
A. Faktor Kemampuan
1. Ruang Lingkup Faktor Kemampuan
Penilaian faktor kemampuan dilakukan untuk memastikan bahwa anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris memiliki:
a. Pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya;
b. Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan usaha
Perusahaan Pembiayaan;
c. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau
bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya; dan
d. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan.
2. Kriteria Penilaian Faktor Kemampuan
Kriteria penilaian faktor kemampuan bagi anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris sebagai berikut:
a. Pengetahuan yang memadai dan relevan dengan jabatannya, meliputi:
1) Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi organisasi serta uraian
tugas dan tanggung jawab direksi;
2) Kemampuan individual untuk melakukan analisis pemasaran dan
pembiayaan;
3) Kemampuan memimpin sebuah organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi; dan
4) Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya untuk mencapai
tujuan organisasi.
b. Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan usaha
Perusahaan Pembiayaan, meliputi:
1) Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan; dan
2) Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan lain yang
berhubungan dengan kegiatan usaha Perusahaan Pembiayaan
seperti peraturan tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal,
Perbankan, Asuransi, Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
c. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan Pembiayaan dan/atau
bidang lainnya yang relevan dengan jabatannya, meliputi:
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 2 -
1) Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan meliputi masa kerja,
variasi bidang tugas, dan catatan karier pada jabatan struktural atau
fungsional;
2) Pengalaman di bidang lain di antaranya pada industri perbankan,
lembaga penilai, lembaga pembina dan pengawas lembaga
keuangan, dan lembaga pendidikan;
3) Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha, Anjak Piutang,
Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan Konsumen; dan
4) Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan keuangan,
pemasaran, operasional dan sebagainya yang cukup berkaitan
dengan jabatan yang akan dijabat oleh yang bersangkutan.
d. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam rangka
pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan, meliputi:
1) Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan;
2) Kemampuan melakukan analisis situasi industri Perusahaan
Pembiayaan, antara lain analisis terhadap pesaing, struktur industri
Perusahaan Pembiayaan, dan persaingan dengan lembaga keuangan
lainnya seperti perbankan;
3) Kemampuan melakukan analisis perkembangan kondisi internal
perusahaan, antara lain kondisi kesehatan keuangan, sumber daya
manusia, dan teknologi;
4) Kemampuan menetapkan arah serta sasaran perusahaan yang harus
dicapai; dan
5) Kemampuan merancang strategi jangka pendek, menengah, dan
panjang dalam rangka mencapai sasaran perusahaan seperti
kemampuan untuk menyusun rencana bisnis tahunan, jangka
menengah, dan jangka panjang dengan menggunakan asumsi-
asumsi yang realistis dan terukur.
B. Faktor Kepatutan
1. Ruang Lingkup Faktor Kepatutan
Penilaian faktor kepatutan dilakukan untuk memastikan bahwa anggota
Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak melakukan tindakan-tindakan
meliputi:
a. perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan moral yang baik;
b. praktik-praktik tercela di bidang usaha Perusahaan Pembiayaan atau
jasa keuangan lainnya;
c. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan
Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya;
d. melakukan tindak pidana kejahatan;
e. perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan dinyatakan pailit
atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 3 -
berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
f. melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina
dan pengawas Perusahaan Pembiayaan;
g. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan;
h. perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau diluar
kewenangannya;
i. tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi; dan
j. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara tidak wajar
kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan atau pihak
lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah
dan/atau Perusahaan Pembiayaan.
2. Kriteria Penilaian Faktor Kepatutan
Kriteria penilaian faktor kepatutan bagi anggota Direksi dan/atau Dewan
Komisaris sebagai berikut:
a. perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan moral yang baik.
b. praktik-praktik tercela di bidang Perusahaan Pembiayaan atau
Lembaga Keuangan lainnya:
1) melakukan 2 kali atau lebih praktik tercela;
2) melakukan 1 kali praktik tercela;
3) tidak pernah melakukan praktik tercela.
c. melanggar peraturan perundang-undangan di bidang Perusahaan
Pembiayaan dan atau jasa keuangan lainnya:
1) yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan telah dikenakan sanksi;
2) yang dilakukan dalam rangka menjalankan jabatannya dan
mengakibatkan perusahaan melanggar peraturan perundang-
undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan dan atau jasa
keuangan lainnya sehingga:
a) pernah dikenakan pencabutan izin usaha;
b) pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha;
c) pernah dikenakan sanksi peringatan;
d) tidak pernah dikenakan sanksi.
d. melakukan tindak pidana kejahatan:
1) perbuatan tindak pidana kejahatan yang telah dijatuhi hukuman
yang berkekuatan hukum tetap;
2) menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan;
3) menjadi tersangka tindak pidana kejahatan;
4) melakukan atau diduga melakukan perbuatan tindak pidana;
5) tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana.
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 4 -
e. melanggar komitmen yang telah disepakati dengan instansi pembina
dan pengawas usaha Perusahaan Pembiayaan:
1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memenuhi komitmen;
2) melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi komitmen;
3) tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi komitmen.
f. melanggar prinsip kehati-hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan:
1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar prinsip kehati-
hatian;
2) melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian;
3) melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-hatian.
g. perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya atau di luar
kewenangannya;
1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya atau di luar kewenangannya;
2) melakukan 1 kali perbuatan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya atau di luar kewenangannya;
3) tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya atau di luar kewenangannya.
h. tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi atau
Dewan Komisaris:
1) pernah terbukti 2 kali atau lebih tidak mampu menjalankan
kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris;
2) pernah terbukti 1 kali atau lebih tidak mampu menjalankan
kewenangan sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris;
3) belum pernah terbukti tidak mampu menjalankan kewenangan
sebagai anggota Direksi atau Dewan Komisaris.
i. memberikan keuntungan dan/atau manfaat lainnya secara tidak wajar
kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai dan/atau pihak
lainnya yang dapat merugikan atau mengurangi keuntungan nasabah
dan/atau Perusahaan Pembiayaan:
1) melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan keuntungan
tidak wajar;
2) melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan tidak wajar;
3) tidak pernah melakukan perbuatan memberikan keuntungan tidak
wajar.
j. perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan dinyatakan pailit
atau mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap:
1) Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang mengakibatkan yang
bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit;
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 5 -
2) Belum pernah melakukan perbuatan yang mengakibatkan yang
bersangkutan atau suatu perseroan dinyatakan pailit.
k. Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik:
1) Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai dengan
prinsip akhlak dan moral yang baik;
2) Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar prinsip akhlak
dan moral yang baik.
II. MATRIKS KRITERIA DAN BOBOT PENILAIAN KEMAMPUAN DAN
KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
1. Matriks Kriteria dan Bobot Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi
Anggota Direksi
No
Kriteria Faktor Kemampuan
1. Pengetahuan yang memadai dan relevan sebagai direksi
Perusahaan Pembiayaan
a. Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi
organisasi serta uraian tugas dan tanggung jawab
direksi
b. Kemampuan individual untuk melakukan analisis
pemasaran dan pembiayaan
c. Kemampuan memimpin sebuah organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi
d. Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya
untuk mencapai tujuan organisasi
2.
Pemahaman tentang ketentuan di bidang Perusahaan
Pembiayaan dan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan usaha perusahaan pembiayaan
a. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan
di bidang Perusahaan Pembiayaan
b. Pemahaman terhadap peraturan perundang-
undangan lain yang berhubungan dengan kegiatan
usaha Perusahaan Pembiayaan seperti peraturan
tentang Perseroan Terbatas, Pasar Modal, Perbankan,
Asuransi, Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak
Pidana Pencucian Uang
3. Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan
Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan
dengan jabatannya
a. Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan
meliputi masa kerja, variasi bidang tugas, dan catatan
karier pada jabatan struktural atau fungsional
b. Pengalaman di bidang lain di antaranya pada
industri perbankan, lembaga penilai, lembaga
pembina dan pengawas lembaga keuangan, dan
lembaga pendidikan
Bobot Nilai
10
2,5
2,5
2,5
2,5
15
10
5
15
4
4
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 6 -
a. Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha,
Anjak Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan
Konsumen
b. Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan
keuangan, pemasaran, operasional dan sebagainya
yang cukup berkaitan dengan jabatan yang akan
dijabat oleh yang bersangkutan
4. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis
dalam rangka pengembangan usaha Perusahaan
Pembiayaan
a. Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan
b. Kemampuan melakukan analisis situasi industri
Perusahaan Pembiayaan, antara lain analisis
terhadap pesaing, struktur industri Perusahaan
Pembiayaan, dan persaingan dengan lembaga
keuangan lainnya seperti perbankan
c. Kemampuan melakukan analisis perkembangan
kondisi internal perusahaan, antara lain kondisi
kesehatan keuangan, sumber daya manusia, dan
teknologi
d. Kemampuan menetapkan arah serta sasaran
perusahaan yang harus dicapai
e. Kemampuan merancang strategi jangka pendek,
menengah, dan panjang dalam rangka mencapai
sasaran perusahaan seperti kemampuan untuk
menyusun bussiness plan tahunan, jangka menengah,
dan jangka panjang dengan menggunakan asumsi-
asumsi yang realistis dan terukur
TOTAL
No
Kriteria Faktor Kepatutan
1. Melakukan praktik-praktik tercela di bidang Perusahaan
Pembiayaan atau Lembaga Keuangan lainnya
a. melakukan 2 kali atau lebih praktik tercela
b. melakukan 1 kali praktik tercela
c. tidak pernah melakukan praktik tercela
2.
Melakukan perbuatan yang melanggar peraturan
perundang-undangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
dan atau jasa keuangan lainnya
a. yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan telah
dikenakan sanksi
b. perbuatan yang mengakibatkan perusahaan
melanggar peraturan perundangan di bidang
Perusahaan Pembiayaan dan/atau peraturan
5
2
20
4
4
4
4
4
60
Bobot Nilai
5
0
2
5
5
0
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 7 -
perundangan lain
1) pernah dikenakan pencabutan izin usaha
2) pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha
3) pernah dikenakan sanksi peringatan
4) tidak pernah dikenakan sanksi
3. Melakukan tindak pidana kejahatan
a. perbuatan tindak pidana kejahatan yang telah dijatuhi
hukuman yang berkekuatan hukum tetap
b. menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan
c. menjadi tersangka tindak pidana kejahatan
d. melakukan atau diduga melakukan perbuatan tindak
pidana
e. tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana
4. Melakukan perbuatan yang melanggar komitmen yang
telah disepakati dengan instansi pembina dan pengawas
usaha Perusahaan Pembiayaan
a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak
memenuhi komitmen
b. melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi
komitmen
c. tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi
komitmen
5. Melakukan perbuatan yang melanggar prinsip kehati-
hatian di bidang Perusahaan Pembiayaan
a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar
prinsip kehati-hatian
b. melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip
kehati-hatian
c. tidak pernah melakukan perbuatan melanggar prinsip
kehati-hatian
6. Perbuatan yang tidak sesuai dengan kewenangannya
atau diluar kewenangannya
a. melakukan 2 kali atau lebih perbuatan yang tidak
sesuai dengan kewenangannya atau di luar
kewenangannya
b. melakukan 1 kali perbuatan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya atau di luar kewenangannya
c. tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak sesuai
dengan kewenangannya atau di luar kewenangannya
0
2
3
5
5
0
1
2
3
5
5
0
2
5
5
0
2
5
2,5
0
2
2,5
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 8 -
7. Tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai anggota
Direksi
a. Pernah terbukti 2 kali atau lebih tidak mampu
menjalankan kewenangan sebagai anggota Direksi
b. Pernah terbukti 1 kali tidak mampu menjalankan
kewenangan sebagai anggota Direksi
c. Belum pernah terbukti tidak mampu menjalankan
kewenangan sebagai anggota Direksi
8. Perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak
wajar kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris,
pegawai dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan
atau mengurangi keuntungan nasabah dan/atau
Perusahaan Pembiayaan
a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan
keuntungan tidak wajar
b. Melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan
tidak wajar
c. Tidak pernah melakukan perbuatan memberikan
keuntungan tidak wajar
9. Perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan
pernah dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu
perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan
keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap.
a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang
mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu
perseroan dinyatakan pailit
b. Belum pernah melakukan perbuatan yang
mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu
perseroan dinyatakan pailit
10. Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik
a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak
sesuai dengan prinsip akhlak dan moral yang baik
b. Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar
prinsip akhlak dan moral yang baik
TOTAL
5
0
3
5
2,5
0
1
2,5
2,5
0
2,5
2,5
0
2,5
40
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- /BL/2008
Tanggal : Juni 2008
- 9 -
2. Matriks Kriteria dan Bobot Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Anggota
Dewan Komisaris
No
Kriteria Faktor Kemampuan
1. Pengetahuan yang memadai dan relevan sebagai komisaris
Perusahaan Pembiayaan
a. Pengetahuan mengenai struktur dan fungsi organisasi
serta uraian tugas dan tanggung jawab dewan komisaris
b. Kemampuan individual untuk melakukan analisis
pemasaran dan pembiayaan
c. Kemampuan memimpin sebuah organisasi (leadership)
untuk mencapai tujuan organisasi
d. Kemampuan untuk memberdayakan sumber daya
(resources) untuk mencapai tujuan organisasi
2. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di
bidang Perusahaan Pembiayaan dan peraturan perundang-
undangan lain yang berhubungan dengan Perusahaan
Pembiayaan
a. Pemahaman tentang peraturan perundang-undangan di
bidang Perusahaan Pembiayaan
b. Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan
lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha
Perusahaan Pembiayaan seperti peraturan tentang
Perseroan Terbatas, Pasar Modal, Perbankan, Asuransi,
Dana Pensiun, Kepailitan, dan Tindak Pidana Pencucian
Uang
3.
Pengalaman dan keahlian di bidang Perusahaan
Pembiayaan dan/atau bidang lainnya yang relevan dengan
jabatannya
a. Pengalaman di bidang Perusahaan Pembiayaan meliputi
lama bertugas, variasi bidang tugas, dan catatan karier
pada jabatan struktural atau fungsional
b. Pengalaman di bidang lain di antaranya pada industri
perbankan, lembaga penilai, lembaga pembina dan
pengawas lembaga keuangan, dan lembaga pendidikan
c. Pengetahuan dasar tentang Sewa Guna Usaha, Anjak
Piutang, Usaha Kartu Kredit, dan Pembiayaan
Konsumen
d. Pengetahuan dasar lain seperti administrasi dan
keuangan, pemasaran, operasional dan sebagainya yang
cukup berkaitan dengan jabatan yang akan dijabat oleh
yang bersangkutan
4. Kemampuan untuk melakukan pengelolaan strategis dalam
rangka pengembangan usaha Perusahaan Pembiayaan
a. Kemampuan merancang visi dan misi perusahaan
b. Kemampuan melakukan analisis situasi industri
Perusahaan Pembiayaan, antara lain analisis terhadap
pesaing, struktur industri Perusahaan Pembiayaan, dan
Bobot Nilai
10
2,5
2,5
2,5
2,5
10
5
5
10
2,5
2,5
2,5
2,5
10
2
2
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- /BL/2008
Tanggal : Juni 2008
- 10 -
persaingan dengan lembaga keuangan lainnya seperti
perbankan
c. Kemampuan melakukan analisis perkembangan kondisi
internal perusahaan, antara lain kondisi kesehatan
keuangan, sumber daya manusia, dan teknologi
d. Kemampuan menetapkan arah serta sasaran perusahaan
yang harus dicapai
e. Kemampuan merancang strategi jangka pendek,
menengah, dan panjang dalam rangka mencapai sasaran
perusahaan seperti kemampuan untuk menyusun
bussiness plan tahunan, jangka menengah, dan jangka
panjang dengan menggunakan asumsi-asumsi yang
realistis dan terukur
TOTAL
No
Kriteria Faktor Kepatutan
1. Praktek-praktek tercela di bidang Perusahaan Pembiayaan
atau Lembaga Keuangan lainnya
a. Melakukan 2 kali atau lebih praktek tercela
b. Melakukan 1 kali praktek tercela
c. Tidak pernah melakukan praktek tercela
2. Perbuatan tindak pidana di bidang Perusahaan Pembiayaan
dan/atau Perekonomian
a. Perbuatan tindak pidana yang telah berkekuatan hukum
tetap
b. Perbuatan tindak pidana yang sedang dalam proses
pengadilan
c. Perbuatan tindak pidana yang sedang dalam proses
penyidikan
d. Terindikasi melakukan perbuatan tindak pidana
e. Tidak pernah melakukan perbuatan tindak pidana
3. Perbuatan tidak memenuhi komitmen yang telah disepakati
dengan instansi pembina dan pengawas Usaha Perusahaan
Pembiayaan
a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memenuhi
komitmen
2
2
2
40
Bobot Nilai
10
0
4
10
10
0
3
5
7
10
5
0
b. Melakukan 1 kali perbuatan tidak memenuhi komitmen 3
c. Tidak pernah melakukan perbuatan tidak memenuhi
komitmen
4. Perbuatan yang memberikan keuntungan secara tidak wajar
kepada pemegang saham, Direksi, Komisaris, pegawai
dan/atau pihak lainnya yang dapat merugikan atau
mengurangi keuntungan nasabah dan/atau Perusahaan
Pembiayaan
a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan memberikan
keuntungan tidak wajar
5
5
0
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- /BL/2008
Tanggal : Juni 2008
- 11 -
b. Melakukan 1 kali perbuatan memberikan keuntungan
tidak wajar
c. Tidak pernah melakukan perbuatan memberikan
keuntungan tidak wajar
5. Perbuatan yang melanggar prinsip kehati-hatian di bidang
Perusahaan Pembiayaan
a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan melanggar
prinsip kehati-hatian
b. Melakukan 1 kali perbuatan melanggar prinsip kehati-
hatian
c. Tidak pernah melakukan perbuatan melanggar prinsip
kehati-hatian
6.
Perbuatan yang menunjukkan bahwa calon Dewan
Komisaris yang bersangkutan tidak memiliki kewenangan
atau tidak mampu menjalankan kewenangan sebagai
Komisaris pada perusahaan sebelumnya
a. Melakukan 2 kali atau lebih perbuatan tidak memiliki
kewenangan atau tidak mampu menjalankan
3
5
10
0
5
10
5
0
b. Melakukan 1 kali perbuatan tidak memiliki kewenangan 2,5
c. Tidak pernah melakukan perbuatan tidak memiliki
kewenangan
7. Perbuatan yang mengakibatkan perusahaan melanggar
peraturan perundangan di bidang Perusahaan Pembiayaan
dan/atau peraturan perundangan lain
a. Pernah dikenakan pencabutan izin usaha
b. Pernah dikenakan pembekuan kegiatan usaha
c. Pernah dikenakan sanksi peringatan
d. Tidak pernah dikenakan sanksi
8.
Perbuatan yang mengakibatkan yang bersangkutan pernah
dinyatakan pailit atau mengakibatkan suatu perseroan atau
perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap
a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang
mengakibatkan yang bersangkutan atau mengakibatkan
suatu perseroan dinyatakan pailit
b. Belum pernah melakukan perbuatan yang
mengakibatkan yang bersangkutan atau suatu perseroan
dinyatakan pailit
9 Perbuatan yang melanggar akhlak dan moral yang baik
a. Melakukan 1 kali atau lebih perbuatan yang tidak sesuai
dengan prinsip akhlak dan moral yang baik
b. Belum pernah melakukan perbuatan yang melanggar
prinsip akhlak dan moral yang baik
TOTAL
5
5
0
2
3
5
5
0
5
5
0
5
60
LAMPIRAN IV
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- /BL/2008
Tanggal : Juni 2008
- 12 -
III. SKALA NILAI
Setiap faktor penilaian kemampuan dan kepatutan menggunakan skala penilaian
0 – 100.
IV. HASIL PENILAIAN
1. Lulus
Setiap pihak yang dinilai diklasifikasikan Lulus apabila yang bersangkutan
memperoleh hasil penilaian akhir sebesar 70 (tujuh puluh) atau lebih dan
tidak terdapat nilai 0 (nol) pada kriteria faktor kepatutan.
2. Tidak Lulus
Setiap pihak yang dinilai diklasifikasikan Tidak Lulus apabila yang
bersangkutan memperoleh hasil penilaian akhir kurang dari 70 (tujuh puluh)
atau terdapat penilaian 0 (nol) pada satu kriteria atau lebih dalam faktor
kepatutan.
LAMPIRAN V
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
TATA CARA DAN PELAKSANAAN PENILAIAN KEMAMPUAN DAN
KEPATUTAN BAGI CALON ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
I. PEMBENTUKAN TIM
Dalam rangka penilian kemampuan dan kepatutan Ketua membentuk Tim
Penguji dan Tim Penilai.
II. PENGAJUAN PERMOHONAN UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Perusahaan Pembiayaan mengajukan permohonan uji kemampuan dan
kepatutan calon anggota Direksi dan Dewan Komisaris kepada Ketua sesuai
dengan format dalam Lampiran I dan wajib dilampiri dengan dokumen
sebagai berikut:
1. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
2. daftar riwayat hidup;
3. surat pernyataan dengan meterai cukup yang wajib memuat paling
kurang:
a. tidak tercatat dalam Daftar Kredit Macet (DKM) di sektor perbankan;
b. tidak tercantum dalam Daftar Tidak Lulus (DTL) di sektor perbankan;
c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana kejahatan;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan bersalah yang
mengakibatkan suatu perseroan atau perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum
tetap;
e. tidak akan merangkap jabatan sebagai direktur/pengurus*) pada
Perusahaan Pembiayaan lain atau menjadi komisaris pada lebih dari
satu Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki jabatan
sebagai direktur/pengurus*) Perusahaan Pembiayaan, bagi calon
anggota Direksi;
f. tidak akan merangkap jabatan sebagai komisaris/pengawas*) lebih
dari 3 (tiga) Perusahaan Pembiayaan lain, pada saat menduduki
jabatan sebagai komisaris/pengawas*) Perusahaan Pembiayaan, bagi
calon anggota Dewan Komisaris; dan
g. tidak akan melakukan pelanggaran atas segala peraturan di bidang
Perusahaan Pembiayaan.
4. fotokopi dokumen keimigrasian dan fotokopi surat izin bekerja dari
instansi berwenang bagi calon anggota Direksi berkewarganegaraan
asing.
III. PROSES ATAS PERMOHONAN
Ketua menerima dan memproses surat permohonan penilaian Kemampuan
dan Kepatutan yang disampaikan oleh Direksi Perusahaan Pembiayaan.
LAMPIRAN V
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 2 -
1. Pengecekan Kelengkapan Dokumen
Terhadap pengajuan permohonan penilaian, Kepala Biro melakukan
pengecekan kelengkapan data. Apabila data belum lengkap, maka Direksi
Perusahaan Pembiayaan yang mengajukan permohonan tersebut diminta
untuk melengkapi kekurangan data sebagaimana tercantum dalam angka
romawi II di atas dan apabila data telah lengkap, maka akan dilakukan
penelitian administrasi.
2. Penelitian Administrasi
Tim Penguji melakukan penelitian administrasi terhadap permohonan
penilaian kemampuan dan kepatutan setelah pengecekan data-data
sebelumnya telah dinyatakan lengkap.
IV. JADUAL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Kepala Biro menentukan jadual penilaian Kemampuan dan Kepatutan.
Penilaian diadakan pada minggu kedua bulan genap (bulan Februari, April,
Juni, Agustus, Oktober, Desember). Apabila diperlukan, Kepala Biro dapat
menjadwalkan penilaian kemampuan dan kepatutan dalam waktu lain.
V. PEMANGGILAN CALON ANGGOTA DIREKSI DAN/ATAU DEWAN
KOMISARIS
Kepala Biro melakukan pemanggilan terhadap calon anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir pada tanggal yang telah ditentukan.
Tanggal tersebut merujuk pada waktu sebagaimana angka romawi IV di atas.
Atas pemanggilan tersebut, maka :
1. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris harus hadir pada
waktu yang telah ditentukan tersebut.
2. Apabila calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris pada waktu
yang telah ditentukan tidak dapat hadir dengan alasan yang dapat
diterima, akan dilakukan pemanggilan kembali sebanyak satu kali.
3. Apabila setelah dilakukan pemanggilan ulang sebagaimana dimaksud
dalam angka 2, calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris tidak
hadir, maka permohonan sebagaimana dimaksud dalam angka romawi II
dianggap batal.
4. Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang permohonannya
dianggap batal tersebut apabila akan mengajukan permohonan penilaian
kemampuan dan kepatutan, wajib menyampaikan permohonan kembali
sebagaimana terdapat dalam angka romawi II.
VI. PELAKSANAAN UJI KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
1. Pihak-pihak dalam uji kemampuan dan kepatutan:
a. Tim Penguji yang terdiri dari satu ketua dan paling kurang 2 (dua)
anggota.
b. Tim Penilai yang terdiri dari 3 (tiga) orang penilai.
c. Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang akan diuji
kemampuan dan kepatutan.
LAMPIRAN V
Peraturan Ketua Bapepam dan LK
Nomor : PER- 03/BL/2008
Tanggal : 30 Juni 2008
- 3 -
2. Peralatan uji kemampuan dan kepatutan:
a. Daftar Pertanyaan.
b. Alat tulis.
c. Alat Perekam.
d. Peralatan lain jika dipandang perlu.
3. Penilaian uji kemampuan dan kepatutan dilakukan terhadap faktor
kemampuan dan kepatutan.
VII. HASIL PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota Direksi
dan/atau Dewan Komisaris dibagi menjadi 2 (dua) predikat sebagai berikut:
1. Lulus; atau
2. Tidak lulus.
a. Tidak lulus kemampuan; dan / atau
b. Tidak lulus kepatutan
Terhadap calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dinyatakan
lulus diberikan surat lulus untuk dapat menjabat anggota Direksi dan/atau
Dewan Komisaris. Hasil penilaian kemampuan dan kepatutan ditetapkan oleh
Ketua.
Calon anggota Direksi atau Dewan Komisaris yang dinyatakan tidak lulus
dapat mengajukan permintaan keterangan mengenai ketidaklulusannya
kepada Ketua.
VIII. KEBERATAN TERHADAP PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN
Calon anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris yang dinyatakan tidak
lulus dapat mengajukan keberatan yang paling lambat disampaikan 10
(sepuluh) hari kerja sejak diterimanya hasil penilaian oleh Perusahaan
Pembiayaan. Ketua akan kembali meneliti terhadap pelaksanaan penilaian
kemampuan dan kepatutan yang telah dilaksanakan.
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-03/BL/2008|PERTA-BAPEPAM-LK/2008 </reg_id>
<reg_title> PENILAIAN KEMAMPUAN DAN KEPATUTAN BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS PERUSAHAAN PEMBIAYAAN </reg_title>
<set_date> 30 Juni 2008 </set_date>
<effective_date> 30 Juni 2008 </effective_date>
<related_reg> '45/M|KEPPRES/2006', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '25/UU/1992', '61/KEPPRES/1988' </related_reg>
|
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
SALINAN
PERATURAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN
NOMOR: PER- 04 /BL/2007
TENTANG
AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
KETUA BADAN PENGAWAS PASAR MODAL
DAN LEMBAGA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa kegiatan ekonomi berbasis syariah harus
dilaksanakan berdasarkan asas kesepakatan diantara para
pelaku kegiatan ekonomi;
b. bahwa dalam syariah Islam asas-asas kesepakatan dalam
kegiatan ekonomi diatur dalam berbagai bentuk perjanjian
(akad);
c. bahwa dalam rangka memberikan kerangka hukum yang
memadai terhadap akad syariah yang menjadi dasar
kegiatan ekonomi di industri perusahaan pembiayaan,
maka dipandang perlu untuk menetapkan Peraturan
Bapepam dan Lembaga Keuangan tentang Akad-akad
Yang Digunakan Dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan
Berdasarkan Prinsip Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor
106 Tahun 2007);
2. Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
Lembaga Pembiayaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1988 Nomor 53);
3. Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991
tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing);
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006
tentang Perusahaan Pembiayaan;
6. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Per-
/BL/2007 tentang
Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip
Syariah;
Memperhatikan : Surat Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia
(DSN-MUI) Nomor: B-323/DSN-MUI/XI/2007 tanggal
29
Nopember 2007 perihal Pernyataan DSN-MUI Atas Peraturan
Bapepam dan LK;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-2-
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: KEPUTUSAN KETUA BADAN PENGAWAS PASAR
MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN TENTANG AKAD-
AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Ijarah adalah akad penyaluran dana untuk pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), antara Perusahaan
Pembiayaan sebagai pemberi sewa (mu’ajjir) dengan
penyewa (musta’jir) tanpa diikuti pengalihan kepemilikan
barang itu sendiri.
2. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah akad penyaluran dana
untuk pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah),
antara Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(mu’ajjir) dengan penyewa (musta’jir) disertai opsi
pemindahan hak milik atas barang tersebut kepada
penyewa setelah selesai masa sewa.
3. Istishna’ adalah akad pembiayaan untuk pemesanan
pembuatan
barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan
(pembeli, mustashni`) dan penjual (pembuat, shani`) dengan
harga yang disepakati bersama oleh para pihak.
4. Ketua adalah Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan.
5. Murabahah adalah akad pembiayaan untuk pengadaan
suatu barang dengan menegaskan harga belinya (harga
perolehan) kepada pembeli dan pembeli membayarnya
secara angsuran dengan harga lebih sebagai laba.
6. Perusahaan Pembiayaan adalah Perusahaan Pembiayaan
sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri
Keuangan tentang Perusahaan Pembiayaan.
7. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam yang
menjadi pedoman dalam kegiatan operasional perusahaan
dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga
bisnis syariah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur
oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI).
8. Salam adalah akad pembiayaan untuk pengadaan suatu
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-3-
barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga
lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu yang disepakati
para pihak.
9. Wakalah bil Ujra adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak
(al muwakkil) kepada pihak lain (al wakil) dalam hal-hal yang
boleh diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).
BAB II
Bagian Pertama
IJARAH
Pasal 2
(1) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) antara lain meliputi:
a. memperoleh pembayaran sewa dan atau biaya lainnya
dari penyewa (musta’jir); dan
b. mengakhiri akad Ijarah dan menarik obyek Ijarah
apabila penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar
sewa sebagaimana diperjanjikan.
(2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) antara lain meliputi:
a. menyediakan obyek Ijarah yang disewakan;
b. menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah; dan
c. menjamin obyek Ijarah yang disewakan tidak terdapat
cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
Pasal 3
(1) Hak penyewa (musta’jir) antara lain meliputi:
a. menerima obyek Ijarah dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan; dan
b. menggunakan obyek Ijarah yang disewakan sesuai
dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan.
(2) Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain meliputi:
a. membayar sewa dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan;
b. mengembalikan obyek Ijarah apabila tidak mampu
membayar sewa;
c. menjaga dan menggunakan obyek Ijarah sesuai yang
diperjanjikan; dan
d. tidak menyewakan kembali dan atau
memindahtangankan obyek Ijarah kepada pihak lain.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-4-
Pasal 4
Obyek Ijarah adalah berupa barang modal yang memenuhi
ketentuan antara lain:
a. obyek Ijarah merupakan milik dan atau dalam penguasaan
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b. manfaat obyek Ijarah harus dapat dinilai;
c. manfaat obyek Ijarah harus dapat diserahkan Penyewa
(musta’jir);
d. pemanfaatan obyek Ijarah harus bersifat tidak dilarang
secara syariah (tidak diharamkan);
e. manfaat obyek Ijarah harus dapat ditentukan dengan jelas;
dan
f. spesifikasi obyek Ijarah harus dinyatakan dengan jelas,
antara lain melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka
waktu pemanfaatannya.
Pasal 5
Obyek Ijarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 antara lain:
a. alat-alat berat (Heavy Equipment);
b. alat-alat kantor (Office Equipment);
c. alat-alat foto (Photo Equipment);
d. alat-alat medis (Medical Equipment);
e. alat-alat printer (Printing Equipment);
f. mesin-mesin (Machineries);
g. alat-alat pengangkutan (Vehicle);
h. gedung (Building);
i. komputer; dan
j. peralatan telekomunikasi atau satelit.
Pasal 6
Persyaratan penetapan harga sewa (ujrah) atas obyek Ijarah
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. besarnya harga sewa (ujrah) atas obyek Ijarah dan cara
pembayaran ditetapkan menurut kesepakatan yang dibuat
dalam akad secara tertulis; dan
b. alat pembayaran harga sewa (ujrah) obyek Ijarah adalah
berupa uang atau bentuk lain yang memiliki nilai yang
sama yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-5-
Pasal 7
Dalam Ijarah paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) dan penyewa (musta’jir);
b. spesifikasi obyek Ijarah meliputi nama, jenis, jumlah,
ukuran, tipe dan lokasi penggunaan/penempatan obyek
Ijarah;
c. spesifikasi manfaat obyek Ijarah;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, dan pembayaran sewa
Ijarah;
e. jangka waktu sewa;
f. saat penyerahan obyek Ijarah;
g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum
jatuh tempo;
h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa
sewa;
i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan,
kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah;
j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah
oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi
(muajjir) kepada pihak lain; dan
k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pasal 8
Dokumentasi dalam Ijarah oleh Perusahaan Pembiayaan
sebagai pemberi sewa (muajjir) paling kurang meliputi:
a. surat persetujuan prinsip (offering letter);
b. akad Ijarah;
c. perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa; dan
d. tanda terima barang.
Bagian Kedua
IJARAH MUNTAHIAH BIT TAMLIK
Pasal 9
(1) Dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiah
Bit Tamlik,
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir)
wajib membuat wa’ad, yaitu janji pemindahan kepemilikan
obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik pada akhir masa sewa.
(2) Wa’ad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tidak
sewa
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-6-
mengikat bagi penyewa (musta’jir) dan apabila wa’ad
dilaksanakan, maka pada akhir masa sewa wajib dibuat
akad pemindahan kepemilikan.
Pasal 10
(1) Hak Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) antara lain adalah:
a. memperoleh pembayaran sewa dari penyewa
(musta’jir);
b. Menarik obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik apabila
penyewa (musta’jir) tidak mampu membayar sewa
sebagaimana diperjanjikan; dan
c. Pada akhir masa sewa, mengalihkan obyek Ijarah
Muntahiah
Bit Tamlik kepada penyewa lain yang
mampu dalam hal penyewa (musta’jir) sama sekali
tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek
Ijarah Muntahiah Bit Tamlik atau memperpanjang masa
sewa atau mencari calon penggantinya.
(2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(Muajjir) antara lain adalah:
a. Menyediakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik yang
disewakan;
b. Menanggung biaya pemeliharaan obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik kecuali diperjanjikan lain; dan
c. Menjamin obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik tidak
terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik.
Pasal 11
(1) Hak penyewa (musta’jir) antara lain adalah:
a. menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sesuai
dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan;
b. menerima obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik dalam
keadaan baik dan siap dioperasikan;
c. pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan
obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik, atau memperpanjang
masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal
tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan
atas obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik atau
memperpanjang masa sewa; dan
d. membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan;
(2) Kewajiban penyewa (musta’jir) antara lain adalah:
a. membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan;
b. menjaga dan menggunakan obyek Ijarah Muntahiah Bit
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-7-
Tamlik sesuai yang diperjanjikan;
c. tidak menyewakan kembali obyek Ijarah Muntahiah Bit
Tamlik kepada pihak lain; dan
d. melakukan pemeliharaan kecil (tidak material)
terhadap obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik.
Pasal 12
Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik adalah berupa barang modal
yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik merupakan milik
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir);
b. manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang;
c. manfaatnya dapat diserahkan kepada penyewa (musta’jir);
d. manfaatnya tidak diharamkan oleh syariah Islam;
e. manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan
f. spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain
melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu
pemanfataannya.
Pasal 13
Obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 antara lain:
a. alat-alat berat (Heavy Equipment);
b. alat-alat kantor (Office Equipment);
c. alat-alat foto (Photo Equipment);
d. alat-alat medis (Medical Equipment);
e. alat-alat printer (Printing Equipment);
f. mesin-mesin (Machineries);
g. alat-alat pengangkutan (Vehicle);
h. gedung (Building);
i. komputer; dan
j. peralatan telekomunikasi atau satelit.
Pasal 14
(1) Harga sewa (ujrah) dan cara pembayaran atas obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan berdasarkan kesepakatan
di awal akad.
(2) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik ditetapkan setelah berakhirnya masa
sewa.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-8-
(3) Harga untuk opsi pemindahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibuat secara tertulis dalam
perjanjian pemindahan kepemilikan.
(4) Alat pembayaran atas harga sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) adalah berupa uang atau bentuk lain
yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara
syariah.
Pasal 15
Dalam Ijarah Muntahiah Bit Tamlik paling kurang memuat hal-
hal sebagai berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa
(muajjir) dan penyewa (musta’jir);
b. spesifikasi obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik meliputi nama,
jenis, jumlah, ukuran, tipe dan lokasi penggunaan obyek
sewa;
c. spesifikasi manfaat obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran harga
sewa (ujrah), ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek
Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
e. jangka waktu sewa;
f. saat penyerahan obyek Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum
jatuh tempo;
h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama masa
sewa;
i. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan,
kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Ijarah Muntahiah
Bit Tamlik;
j. ketentuan mengenai pengalihan kepemilikan obyek Ijarah
Muntahiah Bit Tamlik oleh Perusahaan Pembiayaan sebagai
pemberi sewa (muajjir) kepada pihak lain; dan
k. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pasal 16
Dokumentasi dalam Ijarah Muntahiah
Bit Tamlik oleh
Perusahaan Pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) paling
kurang meliputi:
a. surat permohonan Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
b. surat persetujuan prinsip (offering letter);
c. akad Ijarah Muntahiah Bit Tamlik;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-9-
d. dokumen wa’ad;
e. perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran sewa;
f. tanda terima barang; dan
g. perjanjian pemindahan kepemilikan.
BAB III
WAKALAH BIL UJRAH
Pasal 17
Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan (wakil) antara lain:
a. menagih piutang pengalih piutang (muwakkil) kepada
pihak yang berhutang (muwakkal ’alaih);
b. dapat memperoleh upah (ujrah) atas jasa penagihan
piutang pengalih piutang (muwakkil) dalam hal
diperjanjikan;
c. meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with
recourse) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang
(muwakkil) (without recourse); dan
d. membayar atau melunasi hutang pihak yang berhutang
(muwakkal ’alaih) kepada pengalih piutang (muwakkil).
Pasal 18
Hak dan kewajiban pengalih piutang (muwakkil) antara lain:
a. memperoleh pelunasan piutang dari Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil;
b. membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang
sesuai yang diperjanjikan;
c. dapat menyediakan jaminan kepada Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil dalam hal diperjanjikan; dan
d. memberitahukan kepada pihak yang berhutang (muwakkal
’alaih) mengenai transaksi pemindahan piutang kepada
Perusahaan Pembiayaan selaku wakil.
Pasal 19
Hak dan kewajiban pihak yang berhutang (muwakkal ’alaihl)
antara lain:
a. memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi
pemindahan hutangnya dari pengalih piutang (muwakkil)
kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil; dan
b. membayar atau melunasi hutang kepada Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-10-
Pasal 20
Piutang (muwakkal bih) yang menjadi obyek Wakalah bil Ujrah
adalah piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang
dari 1 (satu) tahun yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. piutang pengalih piutang (muwakkil) yang dipindahkan
kepada Perusahaan Pembiayaan selaku wakil harus
dipastikan oleh para pihak belum jatuh tempo dan tidak
dalam kategori piutang macet;
b. piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi yang
diharamkan oleh syariah Islam; dan
c. piutang pengalih piutang (muwakkil) harus dibuktikan
dengan dokumen tagihan dan dipastikan keasliannya oleh
para pihak.
Pasal 21
(1) Wakalah bil Ujrah antara Perusahaan Pembiayaan selaku
wakil, pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang
berhutang (muwakkal, alaih) wajib ditetapkan secara
tertulis dalam akad Wakalah bil Ujrah.
(2) Dalam Wakalah bil Ujrah paling kurang memuat hal-hal
sebagai berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan selaku wakil,
pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang berhutang
(muwakkal’ alaih);
b. nilai, jumlah dan waktu jatuh tempo piutang (muwakkal
bih);
c. ketentuan mengenai upah (ujrah) (jika ada);
d. ketentuan jaminan yang diperoleh Perusahaan
Pembiayaan (wakil) (jika ada);
e. ketentuan mengenai cara-cara pembayaran hutang
atau piutang oleh Perusahaan Pembiayaan selaku
wakil, pengalih piutang (muwakkil) dan pihak yang
berhutang (muwakkal’ alaih); dan
f. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pasal 22
Dokumentasi dalam Wakalah
bil Ujrah oleh Perusahaan
Pembiayaan selaku wakil paling kurang meliputi:
a. surat persetujuan prinsip (offering letter);
b. akad Wakalah bil Ujrah sebagai induk perjanjian;
c. perjanjian pengikatan jaminan;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-11-
d. bukti hutang piutang;
e. surat permohonan realisasi Wakalah bil Ujrah; dan
f. bukti pelunasan.
BAB IV
MURABAHAH
Pasal 23
(1) Murabahah dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa
pesanan.
(2) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan,
Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i) melakukan
pembelian barang setelah ada pemesanan dari konsumen
sebagai pembeli (musytari).
(3) Murabahah berdasarkan pesanan bersifat mengikat atau
tidak mengikat pihak yang berhutang untuk membeli
barang yang dipesannya.
(4) Dalam pelaksanaan Murabahah berdasarkan pesanan
bersifat mengikat, konsumen sebagai pembeli (musytari)
tidak dapat membatalkan pesanannya.
Pasal 24
(1) Hak Perusahaan Pembiayaan antara lain:
a. memperoleh pembayaran dari konsumen sebesar
harganya secara angsuran sesuai yang diperjanjikan;
b. mengambil kembali obyek Murabahah apabila
konsumen sebagai pembeli (musytari) tidak mampu
membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan; dan
c. menentukan penyedia barang (supplier) dalam
pembelian obyek Murabahah.
(2) Kewajiban Perusahaan Pembiayaan sebagai penjual (ba’i)
antara lain:
a. menyediakan obyek Murabahah sesuai yang disepakati
bersama dengan konsumen sebagai pembeli (musytari);
dan
b. menjamin obyek Murabahah tidak terdapat cacat dan
dapat berfungsi dengan baik.
Pasal 25
Dalam menyediakan obyek Murabahah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 huruf c, Perusahaan Pembiayaan dapat
mewakilkan pembelian barang tersebut kepada konsumen
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-12-
berdasarkan prinsip wakalah, yaitu perjanjian (akad) dimana
pihak yang memberi kuasa (muwakkil) memberikan kuasa
kepada pihak yang menerima kuasa (wakil) untuk melakukan
tindakan atau perbuatan tertentu.
Pasal 26
Hak dan kewajiban konsumen antara lain:
a. menerima obyek Murabahah dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan;
b. membayar angsuran dan biaya-biaya lainnya sesuai yang
diperjanjikan; dan
c. mengembalikan atau menitipjualkan obyek yang dibiayai.
Pasal 27
Obyek Murabahah harus memenuhi ketentuan paling kurang:
a. dapat dinilai dengan uang;
b. dapat diterima oleh konsumen;
c. tidak dilarang oleh syariah Islam; dan
d. spesifikasinya harus dinyatakan dengan jelas, antara lain
melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu
pemanfataannya.
Pasal 28
Obyek Murabahah di antaranya meliputi:
a. kendaraan bermotor ;
b. rumah;
c. barang-barang elektronik;
d. alat-alat rumah tangga bukan elektronik; dan
e. barang konsumsi lainnya.
Pasal 29
Persyaratan penetapan harga barang dalam Murabahah wajib
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. ketentuan harga jual (pricing) ditetapkan di awal perjanjian
dan tidak boleh berubah selama waktu perjanjian;
b. pembayaran Murabahah dapat dilakukan secara tunai atau
angsuran;
c. diperkenankan adanya perbedaan dalam harga barang
untuk cara pembayaran yang berbeda; dan
d. harga yang disepakati adalah harga jual (harga perolehan)
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-13-
sedangkan harga beli harus diberitahukan kepada
konsumen; dan
Pasal 30
Persyaratan penetapan uang muka (’urbun) dalam Murabahah
wajib memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan meminta
konsumen untuk membayar uang muka (’urbun) saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan;
b. dalam hal konsumen menolak untuk membeli barang
tersebut, maka biaya riil Perusahaan Pembiayaan harus
dibayar dari uang muka (’urbun) tersebut; dan
c. dalam hal nilai uang muka (’urbun) lebih kecil dari
kerugian yang harus ditanggung oleh
Perusahaan
Pembiayaan, maka Perusahaan Pembiayaan dapat meminta
kembali sisa kerugiannya kepada konsumen.
Pasal 31
Persyaratan mengenai pengakhiran transaksi Murabahah
sebelum jatuh tempo wajib memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. dalam hal konsumen dalam Murabahah melakukan
pelunasan pembayaran lebih cepat dari waktu yang telah
disepakati, Perusahaan Pembiayaan diperbolehkan
memberikan potongan dari kewajiban pembayaran
tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad
Murabahah; dan
b. besarnya potongan sebagaimana dimaksud pada huruf a
diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan Perusahaan
Pembiayaan.
Pasal 32
Apabila konsumen telah dinyatakan pailit dan gagal
menyelesaikan hutang dalam Murabahah, maka Perusahaan
Pembiayaan wajib menunda tagihan hutang sampai dengan
konsumen ia menjadi sanggup kembali membayar tagihan
hutang atau adanya penyelesaian berdasarkan kesepakatan
bersama.
Pasal 33
Persyaratan penetapan sanksi dalam Murabahah harus sesuai
ketentuan sebagai berikut:
a. konsumen yang mampu, namun menunda-nunda
pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-14-
itikad baik untuk membayar angsuran dapat dikenakan
sanksi;
b. sanksi dapat berupa denda sosial (ta’zir ) ataupun ganti
rugi (ta`widh) berdasarkan atas sebab tertundanya
pembayaran dan akibat yang ditimbulkan dari penundaan
tersebut;
c. konsumen yang tidak atau belum mampu membayar
disebabkan keadaan memaksa (force majeure) tidak dapat
dikenakan sanksi.
Pasal 34
Dalam Murabahah paling kurang memuat hal-hal sebagai
berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen;
b. spesifikasi obyek Murabahah meliputi nama, jenis, jumlah,
ukuran dan tipe;
c. harga jual, harga beli dan cara pembayaran angsuran;
d. jangka waktu ;
e. ketentuan jaminan dan asuransi;
f. ketentuan mengenai uang muka;
g. ketentuan mengenai diskon/potongan;
h. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum
jatuh tempo;
i. ketentuan mengenai wanprestasi dan sanksi bagi konsumen
yang menunda pembayaran angsuran; dan
j. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pasal 35
Dokumentasi dalam Murabahah oleh Perusahaan Pembiayaan
paling kurang meliputi:
a. surat persetujuan prinsip (offering letter);
b. surat permohonan realisasi Murabahah;
c. akad Wakalah (bila diperlukan);
d. tanda terima uang konsumen, dalam hal Perusahaan
Pembiayaan (ba’i) mewakilkan kepada konsumen (musytari)
melalui Wakalah;
e. akad Murabahah;
f. perjanjian pengikatan jaminan; dan
g. tanda terima barang.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-15-
SALAM
Pasal 36
(1) Dalam pelaksanaan transaksi Salam, wajib ditetapkan
spesifikasi, waktu dan tempat barang akan diterima.
(2) Transaksi Salam wajib didahului dengan akad pembiayaan
pengadaan barang pesanan antara Perusahaan
Pembiayaan dengan konsumen atas suatu produk yang
dikehendaki (pesanan).
(3) Akad pembiayaan pengadaan barang pesanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bersifat
independen dan terpisah dengan akad Salam yang
dilakukan antara Perusahaan Pembiayaan dan produsen.
Pasal 37
Hak Perusahaan Pembiayaan dalam transaksi Salam antara lain
adalah:
a. menerima barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan
baik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang
diperjanjikan;
b. menerima barang pesanan (muslam fiih) pada waktu dan
tempat sesuai yang diperjanjikan;
c. menerima penggantian seluruh biaya-biaya yang telah
dikeluarkan sehubungan transaksi salam, apabila Produsen
sebagai penjual (muslam Ilaihi) ingkar janji; dan
d. membayar barang pesanan (muslam fiih) sesuai dengan
harga yang disepakati.
Pasal 38
Hak dan kewajiban produsen (muslam ilaihi) dalam transaksi
Salam antara lain adalah:
a. memperoleh pembayaran di muka atas harga barang
pesanan (muslam fiih) dari Perusahaan Pembiayaan
(muslim);
b. menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) dalam keadaan
baik dan tidak cacat sesuai dengan spesifikasi yang
diperjanjikan;
c. menyerahkan barang pesanan (muslam fiih) pada waktu
dan tempat sesuai yang diperjanjikan; dan
d. menanggung seluruh biaya-biaya yang telah dikeluarkan
Perusahaan Pembiayaan (muslim), dalam hal produsen
sebagai (muslam ilaihi) ingkar janji.
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-16-
Pasal 39
Barang pesanan (muslam fiih) wajib memenuhi ketentuan
sebagai berikut antara lain:
a. barang yang halal;
b. dapat diakui sebagai utang;
c. harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
d. penyerahannya dilakukan kemudian;
e. waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan; dan
f. tidak boleh ditukar kecuali dengan barang sejenis sesuai
kesepakatan.
Pasal 40
Penyerahan barang pesanan (muslam fiih) harus memenuhi
ketentuan sebagai berikut:
a. produsen (muslam alaih) harus menyerahkan barang
pesanan (muslam fiih) tepat pada waktunya sesuai dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati;
b. dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang
pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih tinggi,
produsen (muslam alaih) tidak boleh meminta tambahan
harga;
c. dalam hal produsen (muslam alaih) menyerahkan barang
pesanan (muslam fiih) dengan kualitas yang lebih rendah
dan Perusahaan Pembiayaan rela menerimanya, maka
Perusahaan Pembiayaan tidak diperbolehkan menuntut
pengurangan harga (diskon);
d. produsen (muslam alaih) dapat menyerahkan barang
pesanan (muslam fiih) lebih cepat dari waktu yang
disepakati dengan kualitas dan jumlah barang pesanan
(muslam fiih) sesuai dengan kesepakatan dan tidak
diperbolehkan menuntut tambahan harga; dan
e. dalam hal semua atau sebagian barang pesanan (muslam
fiih) tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau
kualitasnya lebih rendah dan Perusahaan Pembiayaan
tidak rela menerimanya, maka Perusahaan Pembiayaan
memiliki dua pilihan yaitu membatalkan kontrak dan
meminta kembali pembayaran yang telah dilakukan; atau
menunggu sampai barang pesanan (muslam fiih) tersedia.
Pasal 41
Penetapan harga barang pesanan (muslam fiih) wajib
ditetapkan sesuai kesepakatan dan tidak diperbolehkan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-17-
berubah selama masa akad.
Pasal 42
Pembayaran harga barang pesanan (muslam fiih) dilakukan
secara penuh dan tunai oleh Perusahaan Pembiayaan kepada
produsen pada saat perjanjian disepakati.
Pasal 43
Dalam Salam paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan (muslim) dan produsen;
b. spesifikasi barang pesanan (muslam fiih) meliputi nama,
jenis, jumlah, ukuran, tipe dan mutu barang;
c. waktu dan lokasi penyerahan barang pesanan (muslam fiih);
d. harga barang pesanan (muslam fiih) dan cara
pembayarannya;
e. ketentuan jaminan dan asuransi atas barang pesanan
(muslam fiih);
f. jangka waktu Salam;
g. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan,
kehilangan atau tidak berfungsinya barang pesanan
(muslam fiih); dan
h. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
BAB V
ISTISHNA’
Pasal 44
(1) Dalam pelaksanaan transaksi Istishna’, Perusahaan
Pembiayaan dapat bertindak sebagai pembeli untuk
memesan kepada produsen sebagai pembuat (shani’ II)
untuk menyediakan obyek Istishna’ dengan akad Istishna.
(2) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
Perusahaan Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat
(shani’ II) bersifat independen dan terpisah dari akad
Istishna’ antara Perusahaan Pembiayaan dan konsumen .
(3) Akad Istishna’ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara
Perusahaan Pembiayaan dan produsen sebagai pembuat
(shani’ II) harus dilakukan setelah akad Istishna’ antara
Perusahaan Pembiayaan dan konsumen atau pemesan
(mustashni’).
Pasal 45
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-18-
Hak dan kewajiban Perusahaan Pembiayaan antara lain
adalah:
a. memperoleh pembayaran dari konsumen atau pemesan
(mustashni’) sebesar harga jual barang secara angsuran
sesuai yang diperjanjikan;
b. mengambil kembali obyek Istishna’ apabila konsumen
sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) tidak mampu
membayar angsuran sebagaimana diperjanjikan;
c. menentukan produsen sebagai pembuat (shani’ II) dalam
pemesanan obyek Istishna’;
d. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi
yang disepakati bersama dengan konsumen sebagai
pembeli atau pemesan (mustashni’); dan
e. menjamin obyek istishna’ tidak cacat dan/atau tidak
berfungsi.
Pasal 46
Hak dan kewajiban produsen sebagai pembuat (Shani’ II)
adalah:
a. memperoleh pembayaran dari Perusahaan Pembiayaan
sesuai yang diperjanjikan;
b. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan spesifikasi
yang disepakati bersama dengan Perusahaan Pembiayaan;
c. menjamin obyek Istishna’ tidak cacat dan/atau tidak
berfungsi; dan
d. menyediakan obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan.
Pasal 47
Hak dan kewajiban konsumen (mustashni’) antara adalah:
a. menerima obyek Istishna’ dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan sesuai spesifikasi yang diperjanjikan;
b. menerima obyek Istishna’ sesuai dengan waktu yang
diperjanjikan; dan
c. membayar angsuran dan atau biaya-biaya lainya sesuai
yang diperjanjikan.
Pasal 48
Obyek Istishna’ (mashnu’) harus memenuhi ketentuan sebagai
berikut:
a. barang yang halal;
b. bapat diakui sebagai utang;
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-19-
c. harus dapat dijelaskan spesifikasinya;
d. penyerahannya dilakukan kemudian;
e. waktu dan tempat penyerahan harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan;
f. tidak diperbolehkan ditukar kecuali dengan barang sejenis
sesuai kesepakatan; dan
g. dalam hal terdapat cacat atau tidak sesuai kesepakatan
maka pemesan memiliki hak memilih (khiyar) untuk
melanjutkan atau membatalkan akad.
Pasal 49
Penetapan harga jual atas obyek Istishna’ wajib ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara Perusahaan Pembiayaan dan
konsumen sebagai pembeli atau pemesan (mustashni’) di awal
perjanjian dan tidak boleh berubah selama masa Istishna’.
Pasal 50
Konsumen (mustashni’) dapat melakukan pembayaran cicilan
pembiayaan obyek Istishna’ (Mashnu’) atas pemesanan barang
sejak akad ditandatangani atau dengan cara pembayaran lain
yang disepakati bersama.
Pasal 51
Dalam Istishna’ paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas Perusahaan Pembiayaan dan konsumen;
b. spesifikasi obyek Istishna’ (Mashnu’) meliputi nama, jenis,
jumlah, ukuran, tipe dan kualitas obyek Istishna’;
c. harga jual dan cara pembayarannnya;
d. ketentuan jaminan dan asuransi;
e. jangka waktu;
f. lokasi dan waktu penyerahan;
g. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi yang belum
jatuh tempo;
h. ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh
masing-masing pihak apabila terdapat kerusakan,
kehilangan atau tidak berfungsinya obyek Istishna’
(mashnu’); dan
i. hak dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pasal 52
Dokumentasi dalam Istishna’ oleh Perusahaan Pembiayaan
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-20-
paling kurang meliputi:
a. surat kesanggupan menyelesaikan barang pesanan dari
produsen sebagai pembuat (shani’ II);
b. surat persetujuan prinsip (offering letter) dari Perusahaan
Pembiayaan;
c. akad Istishna’;
d. perjanjian pengikatan jaminan;
e. barang/obyek pesanan;
f. surat permohonan realisasi Istishna’;
g. tanda terima uang dari produsen sebagai pembuat (shani`
II); dan
h. tanda terima barang oleh konsumen sebagai pembeli atau
pemesan (mustashni`).
BAB VI
KETENTUAN LAIN
Pasal 53
Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan syariah sebagaimana
diatur dalam peraturan ini wajib tidak bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Pasal 54
Akad-akad syariah yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak tidak dapat dibatalkan secara sepihak, kecuali
memenuhi kondisi:
a. kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya;
b. akad bertentangan dengan Prinsip Syariah, atau
c. akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang
dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
Pasal 55
Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan ini, setiap pihak
yang bertransaksi wajib memiliki kecakapan dan kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum baik menurut syariah
maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 57
Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana diatur dalam peraturan ini, wajib
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN PENGAWAS PASAR MODAL DAN LEMBAGA KEUANGAN
-21-
dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak yang
berakad atau bertransaksi.
Pasal 58
Untuk setiap jenis transaksi pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan ini, yang diikuti
dengan kewajiban melaksanakan asuransi atas obyek
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, maka obyek yang
diasuransikan wajib diasuransikan pada perusahaan asuransi
dengan Prinsip Syariah juga.
Pasal 59
Pencatatan akuntansi untuk setiap jenis transaksi pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam
peraturan ini wajib disusun berdasarkan pernyataan standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
Pasal 60
Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengumuman Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di
:
Jakarta
pada tanggal
: 10 Desember 2007
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan
ttd
A. Fuad Rahmany
NIP 060063058
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Umum
ttd
Prasetyo Wahyu Adi Suryo
NIP 060076008
| <reg_type> PERTA-BAPEPAM-LK </reg_type>
<reg_id> PER-04/BL/2007|PERTA-BAPEPAM-LK/2007 </reg_id>
<reg_title> AKAD-AKAD YANG DIGUNAKAN DALAM KEGIATAN PERUSAHAAN PEMBIAYAAN BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH </reg_title>
<set_date> 10 Desember 2007 </set_date>
<effective_date> 10 Desember 2007 </effective_date>
<related_reg> '20/P|KEPPRES/2005', '40/UU/2007', '84/PMK.012/2006|PER-MENKEU/2006', '1169/KMK.01/1991|KEP-MENKEU/1991', '61/KEPPRES/1988', 'PER- /BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV Pasal 33' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk Penilai sebagai Profesi
Penunjang Pasar Modal beralih dari Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan
berkala kegiatan Penilai, peraturan mengenai Laporan
Berkala Kegiatan Penilai yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Berkala Kegiatan Penilai;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan:
1.
Penilai adalah seseorang yang dengan keahliannya
menjalankan kegiatan penilaian di Pasar Modal.
2. Kantor Jasa Penilai Publik yang selanjutnya disingkat
KJPP adalah badan usaha yang berbentuk persekutuan
dan telah mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan
sebagai wadah bagi Penilai dalam melakukan kegiatan
penilaian.
3. Laporan Berkala Kegiatan Penilai adalah laporan yang
memuat informasi tentang kegiatan yang berkaitan
dengan penugasan Penilai termasuk penugasan
profesional selama 1 (satu) tahun terhitung sejak 1
Januari sampai dengan 31 Desember atau sejak terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan apabila terdaftar kurang dari
1 (satu) tahun.
4. Laporan Penilaian Properti adalah laporan tertulis yang
dibuat oleh Penilai Properti yang memuat opini Penilai
Properti mengenai obyek penilaian serta menyajikan
informasi tentang proses penilaian.
- 3 -
5. Laporan Penilaian Usaha adalah laporan tertulis yang
dibuat oleh Penilai Usaha yang memuat pendapat Penilai
Usaha mengenai Obyek Penilaian serta menyajikan
informasi tentang proses penilaian.
6. Pemberi Penugasan adalah pihak yang telah memperoleh
izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan serta pihak yang mengajukan Pernyataan
Pendaftaran atau yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah
menjadi efektif.
BAB II
LAPORAN BERKALA
Pasal 2
Penilai yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan wajib
menyampaikan Laporan Berkala Kegiatan Penilai sesuai ruang
lingkup kegiatan penilaian atas penugasan dari Pemberi
Penugasan yaitu:
a. Laporan Penilaian Properti, yang disusun dengan
menggunakan format Laporan Berkala Kegiatan Penilai
Bidang Jasa Penilaian Properti sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
dan/atau
b. Laporan Penilaian Usaha, yang disusun dengan
menggunakan format Laporan Berkala Kegiatan Penilai
Bidang Jasa Penilaian Usaha sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 3
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disampaikan setiap tahun kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada tanggal 15 Januari tahun
berikutnya.
- 4 -
(2) Dalam hal tanggal 15 Januari jatuh pada hari libur,
Laporan Berkala Penilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Pasal 4
Laporan Berkala Kegiatan Penilai wajib disertai dengan
laporan dalam salinan dokumen dalam bentuk elektronik dan
dilengkapi dengan surat pernyataan mengenai kebenaran data
dan informasi yang dilaporkan dengan menggunakan format
Surat Pernyataan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Dalam hal Penilai bekerja pada KJPP yang memiliki lebih dari
1 (satu) rekan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan,
Laporan Berkala Kegiatan Penilai dapat disampaikan secara
bersamaan dalam 1 (satu) surat pengantar yang
ditandatangani oleh pimpinan rekan KJPP.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pembatalan pendaftaran;
- 5 -
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-396/BL/2008 tanggal
6 Oktober 2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan Penilai,
beserta Peraturan Nomor X.J.4 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 6 -
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 283
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Laporan Berkala Kegiatan Penilai yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor:
Kep-396/PM/2008 tanggal 6 Oktober 2008 tentang Laporan Berkala
Kegiatan Penilai, beserta Peraturan Nomor X.J.4 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Berkala Kegiatan Penilai.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Kewajiban penyampaian Laporan Berkala berlaku bagi Penilai yang
memperoleh penugasan maupun yang tidak memperoleh penugasan
dari Pemberi Penugasan selama periode pelaporan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
elektronik, penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Penilai dapat
disampaikan melalui sistem elektronik tersebut.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5979
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 54 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
- 2 -
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
BIDANG JASA PENILAIAN PROPERTI
Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20....
Nama Penilai
Nomor STTD
Usaha Jasa Penilai
No
Nama Klien
:
:
:
.........
.........
.........
Jenis
Penilaian
Properti*)
Tujuan
Penilaian
Objek
Penilaian
Tanggal
Penilaian
Opini
Nilai
Penugasan Penilaian
Profesional
Tanggal
Mulai
1
2
3
PT A
PT B
PT.... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan UJP)
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(Tanda Tangan)
(Nama Jelas)
Keterangan: *) Pengertian properti adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan di bidang Pasar Modal di bidang Pasar Modal
yang mengatur mengenai Pendaftaran Penilai Yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal.
**) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan.
Tanggal
Berakhir
Penugasan
Penilaian
Profesional
tahun ke -
Anggota Tim
Penugasan Penilaian
Profesional **)
Nama
Jabatan
- 3 -
LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI
BIDANG JASA PENILAIAN USAHA
Periode 1 Januari Sampai Dengan 31 Desember 20....
Nama Penilai
Nomor STTD
Usaha Jasa Penilai
No
Nama Klien
:
:
:
.........
.........
.........
Jenis
Penilaian
Usaha
Tujuan
Penilaian
Objek
Penilaian
Tanggal
Penilaian
Opini
Nilai
Penugasan Penilaian
Profesional
Tanggal
Mulai
1
2
3
PT A
PT B
PT .... dst
Mengetahui,
(tanda tangan dan cap)
(nama Jelas Pimpinan UJP)
Keterangan:
*) Dalam hal tidak mencukupi dapat diuraikan dalam lembar terpisah untuk setiap penugasan.
Dalam hal terdapat kolom yang belum dapat diisi, maka wajib diberi keterangan
.......... (domisili), ...........(tanggal)
Pelapor,
(Tanda Tangan)
(Nama Jelas)
Tanggal
Berakhir
Penugasan
Penilaian
Profesional
tahun ke -
Anggota Tim
Penugasan Penilaian
Profesional *)
Nama
Jabatan
- 4 -
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
:
Nomor STTD :
Tanggal
STTD
Alamat
:
Nama KJPP :
:
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
..............................................................
menyatakan dengan sesungguhnya bahwa data dan informasi yang saya
laporkan dalam Laporan Berkala Kegiatan Penilai untuk periode 1 Januari
20..... sampai dengan 31 Desember 20..... adalah benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Apabila dikemudian hari diketahui bahwa data dan informasi yang saya
laporkan tersebut dan pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia untuk
mempertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
........ (domisili), ………..…(tanggal)
Pelapor,
(tanda tangan)
(nama jelas)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 54/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN BERKALA KEGIATAN PENILAI </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'Kep-396/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.4' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39/POJK.04/2014
TENTANG
AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka pengembangan industri Reksa
Dana, perlu perluasan jalur distribusi penjualan
Reksa Dana, peningkatan basis investor domestik,
dan peningkatan capacity building Agen Penjual Efek
Reksa Dana;
b. bahwa perluasan jalur distribusi penjualan Reksa
Dana, peningkatan basis investor domestik, dan
peningkatan capacity building Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada huruf a,
perlu didukung dengan kemampuan dan kesiapan
sumber daya tenaga pemasaran untuk lebih
menjamin kepatuhan dan kepastian hukum serta
melindungi kepentingan masyarakat pemodal dari
praktik yang merugikan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Agen Penjual Efek Reksa Dana;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Repubilk Indonesia Nomor 3608);
2. Undang...
- 2 -
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah Pihak yang
melakukan penjualan Efek Reksa Dana berdasarkan
kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi
pengelola Reksa Dana.
2. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan
usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para
nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif
untuk sekelompok nasabah, kecuali perusahaan
asuransi, dana pensiun, dan bank yang melakukan
sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
3. Perseroan adalah perseroan terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai
perseroan terbatas.
BAB II
PERSYARATAN AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Pasal 2
Yang dapat melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana adalah:
a. Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek
yang...
- 3 -
yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin
Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek;
b. Bank umum, perusahaan yang menyelenggarakan
kegiatan usaha di bidang pos dan giro, perusahaan
pergadaian, perusahaan perasuransian, perusahaan
pembiayaan, dana pensiun, dan perusahaan
penjaminan sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan dan telah
memperoleh Surat Tanda Terdaftar dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana, yang
telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan,
berdasarkan kontrak kerja sama dengan Manajer
Investasi pengelola Reksa Dana.
Pasal 3
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 wajib:
a. memiliki tenaga pemasaran di setiap kantor dan/atau
gerai yang melakukan penjualan Efek Reksa Dana;
b. memiliki pejabat penanggung jawab penjualan Efek
Reksa Dana;
c. mempunyai dan melaksanakan fungsi-fungsi yang
terpisah paling kurang:
1. fungsi pemasaran dan penanganan pengaduan
investor; dan
2. fungsi kepatuhan dan manajemen risiko;
d. memastikan pelaksanaan kepatuhan fungsi-fungsi
sebagaimana dimaksud pada huruf c didasarkan
pada prosedur operasi standar yang dibuat secara
tertulis; dan
e. memiliki...
- 4 -
e. memiliki sarana dan prasarana yang memadai guna
mendukung terlaksananya proses penjualan dan
pembelian kembali Efek Reksa Dana.
Pasal 4
Tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a wajib:
a. memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan
b. mendapat penugasan khusus secara tertulis dari
Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk bertindak
sebagai tenaga pemasaran.
Pasal 5
(1) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c wajib:
a. memiliki modal disetor paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan
b. memiliki paling kurang 1 (satu) orang anggota
direksi yang memiliki izin Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
(2) Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c
dikecualikan dari pemenuhan kewajiban Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Perantara Pedagang Efek sebagaimana diatur dalam
peraturan
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek.
Pasal 6
(1) Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek
yang...
perundang-undangan mengenai
- 5 -
yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa
Dana wajib mempunyai sistem pengendalian internal
yang memadai.
(2) Bank umum yang bertindak sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian untuk Reksa
Dana yang sama wajib mempunyai sistem
pengendalian internal yang memadai.
Pasal 7
(1) Sistem pengendalian internal yang memadai bagi
Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek
yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dan
melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) wajib dituangkan secara tertulis yang paling
kurang meliputi:
a. pemisahan fungsi Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek dengan fungsi Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
b. pemberian wewenang dan tanggung jawab yang
dapat menghindari timbulnya benturan
kepentingan (conflict of interest);
c. pelaksanaan evaluasi secara berkala dan
berkesinambungan atas aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
d. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan
Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan
e. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi.
(2) Sistem pengendalian internal yang memadai bagi
bank...
- 6 -
bank umum yang bertindak sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian untuk Reksa
Dana yang sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (2) wajib dituangkan secara tertulis yang
paling kurang meliputi:
a. pemisahan fungsi pelaksanaan kegiatan bank
umum sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
dan Bank Kustodian, antara lain:
1. pemisahan pejabat dan pegawai bank
umum yang menjalankan fungsi sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan yang
menjalankan fungsi sebagai Bank
Kustodian; dan
2. pemberian wewenang dan tanggung jawab
yang dapat menghindari timbulnya
benturan kepentingan (conflict of interest);
b. pelaksanaan evaluasi secara berkala dan
berkesinambungan atas aktivitas sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana dan Bank Kustodian;
dan
c. upaya dan tindakan yang dilakukan untuk
memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi.
BAB III
PEMBERITAHUAN, PENDAFTARAN, DAN PERIZINAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan Melakukan Kegiatan
Agen Penjual Efek Reksa Dana
Pasal 8
Perseroan yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas
Jasa Keuangan sebagai Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a...
- 7 -
huruf a yang bermaksud melakukan kegiatan sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib terlebih dahulu
memberitahukan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum melakukan
kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan
melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:
a. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor
pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa
Dana beserta
alamat
kantor dan
penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan
Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar
Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai
Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan
Penanggung Jawabnya, serta Daftar Wakil
Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Penjual
Efek Reksa Dana yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2.
3.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor
yang masih berlaku;
fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), bagi warga negara asing;
4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan
(jika ada);
6. dokumen pendukung yang menunjukkan
berpengalaman dalam kegiatan penjualan Efek
Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
7. pasfoto...
- 8 -
7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 1
(satu) lembar;
c. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis
pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi
kepada penanggung jawab atau anggota direksi yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan
penjualan Efek Reksa Dana beserta uraian tugasnya;
d. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
e. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek
Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan
yang paling sedikit mencakup informasi sebagai
berikut:
1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan;
2.
target investor sesuai dengan produk yang akan
ditawarkan;
3. target nilai penjualan; dan
4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana
kepada calon investor;
f.
strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi
Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
g. strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa
Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen
Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Bagian...
- 9 -
Bagian Kedua
Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana
Pasal 9
Permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf
b diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
format surat permohonan pendaftaran sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen-
dokumen sebagai berikut:
a. fotokopi akta pendirian yang telah disahkan oleh
menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan hak asasi manusia, serta perubahan
anggaran dasar terakhir sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan;
c. fotokopi izin usaha dari instansi yang berwenang;
d. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor
pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa
Dana beserta
alamat
kantor dan
penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan
Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar
Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai
Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan
Penanggung Jawabnya, Serta Daftar Wakil
Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
e. dokumen pejabat penanggung jawab Agen Penjual
Efek Reksa Dana yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup terbaru yang telah
ditandatangani;
2. fotokopi...
- 10 -
2.
3.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor
yang masih berlaku;
fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), bagi warga negara asing;
4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan
(jika ada);
6. dokumen pendukung yang menunjukkan
berpengalaman dalam kegiatan penjualan Efek
Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun; dan
7. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 1
(satu) lembar;
f. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis
pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi
kepada penanggung jawab atau anggota direksi yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan
penjualan Efek Reksa Dana beserta uraian tugasnya;
g. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
h. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek
Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan
yang paling kurang mencakup informasi sebagai
berikut:
1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan;
2.
target investor sesuai dengan produk yang akan
ditawarkan;
3. target nilai penjualan; dan
4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana
kepada calon investor;
i.
strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang...
- 11 -
di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi
Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
j.
strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa
Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen
Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini; dan
k. fotokopi bukti pembayaran biaya permohonan
pendaftaran sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 10
Dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 wajib pula disiapkan dalam format digital dan
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan media digital cakram padat (compact disk)
atau lainnya, atau surat elektronik (email) dengan alamat
[email protected].
Pasal 11
(1) Dalam rangka memproses permohonan pendaftaran
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penelitian atas kelengkapan
dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang:
a. melakukan pemeriksaan di kantor pemohon;
dan
b. meminta pemohon untuk memaparkan rencana
operasi kegiatan perusahaan sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 12...
- 12 -
Pasal 12
Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana kepada pemohon.
Pasal 13
Dalam hal permohonan pendaftaran sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap; atau
b. permohonan ditolak.
Pasal 14
(1) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 huruf a dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari
setelah tanggal surat pemberitahuan.
(2) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari setelah tanggal surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah
membatalkan permohonan pendaftaran sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Bagian Ketiga
Perizinan Perusahaan Efek Yang Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai
Perantara Pedagang Efek Yang Khusus Didirikan Untuk Memasarkan Efek
Reksa Dana
Pasal 15
Permohonan izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan...
- 13 -
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format
surat Permohonan Izin Usaha Perusahaan Efek Yang
Melakukan Kegiatan Usaha Sebagai Perantara Pedagang
Efek yang Khusus Didirikan Untuk Memasarkan Efek
Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen-dokumen
sebagai berikut:
a. fotokopi akta pendirian Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk
memasarkan Efek Reksa Dana yang telah disahkan
oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan hak asasi manusia, serta
perubahan anggaran dasar terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai
perseroan terbatas;
b. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Badan;
c. fotokopi bukti penyetoran modal;
d. fotokopi rekening koran;
e. laporan keuangan yang diperiksa akuntan yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
f. surat keterangan domisili dari pengelola gedung atau
instansi berwenang, fotokopi bukti kepemilikan jika
tempat usaha milik sendiri atau perjanjian sewa jika
tempat usaha bukan milik sendiri, tata letak ruangan
kantor, dan foto ruangan Agen Penjual Efek Reksa
Dana yang disertai peruntukan ruangan;
g. surat rekomendasi dari asosiasi terkait penjualan
Efek Reksa Dana;
h. fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA), bagi Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan...
- 14 -
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek
yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek
Reksa Dana yang mempekerjakan Warga Negara
Asing;
i. data kantor pusat, daftar kantor lain selain kantor
pusat dan/atau gerai yang akan menjual Efek Reksa
Dana beserta
alamat
kantor dan
penanggungjawabnya serta daftar Wakil Perusahaan
Efek dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
sesuai dengan format Data Kantor Pusat, Daftar
Kantor Lain Selain Kantor Pusat Dan/Atau Gerai
Yang Akan Menjual Efek Reksa Dana Dan
Penanggung Jawabnya, Serta Daftar Wakil
Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
j. daftar nama dan data anggota direksi dan pejabat
penanggung jawab kegiatan penjualan Efek Reksa
Dana, meliputi:
1. daftar riwayat hidup yang ditandatangani oleh
yang bersangkutan, antara lain mencantumkan
riwayat singkat pekerjaan yang meliputi: nama
jabatan, alasan keluar atau mengundurkan diri,
serta uraian singkat atas tugas dan tanggung
jawab jabatan;
2. fotokopi ijazah pendidikan formal dan/atau
sertifikat keahlian;
3. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
4. fotokopi sertifikat pendidikan profesi lanjutan
(jika ada);
5. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau Paspor yang
masih berlaku; dan
6. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar...
- 15 -
latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu)
lembar;
k. diagram struktur organisasi yang menunjukkan garis
pertanggungjawaban dari masing-masing fungsi
kepada anggota direksi yang bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan kegiatan penjualan Efek Reksa
Dana beserta uraian tugasnya;
l. prosedur operasi standar pelaksanaan kegiatan Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
m. proyeksi rencana operasi kegiatan Agen Penjual Efek
Reksa Dana paling singkat 1 (satu) tahun ke depan
yang paling kurang mencakup informasi sebagai
berikut:
1. produk Efek Reksa Dana yang akan ditawarkan;
2. target investor sesuai dengan produk yang akan
ditawarkan;
3. target nilai penjualan; dan
4. metode penjualan produk Efek Reksa Dana
kepada calon investor;
n. strategi kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal sesuai dengan format Strategi
Kepatuhan Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini;
o. strategi manajemen risiko Agen Penjual Efek Reksa
Dana sesuai dengan format Strategi Manajemen
Risiko Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; dan
p. fotokopi bukti pembayaran biaya permohonan
perizinan sebagai Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan...
- 16 -
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek
yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek
Reksa Dana.
Pasal 16
Dokumen permohonan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 wajib pula disiapkan dalam format digital
dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan media digital cakram padat (compact disk)
atau lainnya, atau surat elektronik (email) dengan alamat
[email protected].
Pasal 17
(1) Dalam rangka memproses permohonan izin usaha
sebagai Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana,
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelitian atas
kelengkapan dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka menilai kesiapan pemohon sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas Jasa
Keuangan berwenang:
a. melakukan pemeriksaan di kantor pemohon;
dan
b. meminta pemohon untuk memaparkan rencana
operasi kegiatan perusahaan.
Pasal 18
Dalam hal permohonan izin usaha sebagai Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan
Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa Keuangan
memberikan izin usaha sebagai Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek
Reksa Dana.
Pasal 19...
- 17 -
Pasal 19
Dalam hal permohonan izin usaha sebagai Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan
Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap; atau
b. permohonan ditolak.
Pasal 20
(1) Pemohon wajib melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 huruf a dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari
setelah tanggal surat pemberitahuan.
(2) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari setelah tanggal surat pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah
membatalkan permohonan izin usaha sebagai
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana.
BAB IV
KONTRAK PENJUALAN EFEK REKSA DANA
Pasal 21
Kegiatan penjualan Efek Reksa Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 wajib didasarkan pada kontrak
kerja sama antara Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan
Manajer Investasi sebagai pengelola Reksa Dana.
Pasal 22
Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21...
- 18 -
Pasal 21 paling kurang memuat hal-hal sebagai berikut:
a. identitas masing-masing pihak yang terlibat dalam
kontrak;
b. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
c. kewajiban Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk
memberikan informasi data pemegang Efek Reksa
Dana kepada Manajer Investasi yang hanya dapat
digunakan untuk kepentingan aktivitas yang
berkaitan dengan Reksa Dana yang bersangkutan;
d. komisi yang diterima Agen Penjual Efek Reksa Dana
dan biaya yang menjadi beban Agen Penjual Efek
Reksa Dana dan/atau Manajer Investasi;
e. tata cara pencantuman informasi dan data tentang
identitas Agen Penjual Efek Reksa Dana, Manajer
Investasi, dan Bank Kustodian Reksa Dana dalam
dokumen yang terkait dengan pemesanan penjualan
atau pembelian kembali Efek Reksa Dana oleh
pemegang Efek Reksa Dana;
f.
tata cara pembayaran dan penyerahan dana terkait
penjualan, pembelian kembali, dan pengalihan Efek
Reksa Dana;
g. jangka waktu kontrak keagenan;
h. penunjukan lembaga peradilan, lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di bidang Pasar Modal, atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya
sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan
dan sengketa perdata antar para Pihak; dan
i. ketentuan pengakhiran kontrak.
BAB V
PEJABAT PENANGGUNG JAWAB
Pasal 23
(1) Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menunjuk
paling kurang:
a. 1 (satu)...
- 19 -
a. 1 (satu) orang pejabat penanggung jawab atas
kegiatan penjualan Efek Reksa Dana di kantor
pusat; dan
b. 1 (satu) orang pejabat penanggung jawab atas
kegiatan penjualan Efek Reksa Dana pada 1
(satu) atau lebih kantor lain selain kantor pusat
dan/atau gerai.
(2) Pejabat penanggung jawab kegiatan penjualan Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, serta
mempunyai pengalaman dalam kegiatan penjualan
Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga) tahun.
(3) Pejabat penanggung jawab sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memiliki tugas dan fungsi paling kurang
sebagai berikut:
a. memastikan proses penjualan dan pembelian
kembali Efek Reksa Dana telah berjalan sesuai
dengan:
1. kontrak kerja sama penjualan Efek Reksa
Dana yang dibuat oleh Agen Penjual Efek
Reksa Dana dengan Manajer Investasi
pengelola Reksa Dana;
2. prosedur operasi standar Agen Penjual Efek
Reksa Dana;
3. kontrak kerja sama yang dibuat oleh Agen
Penjual Efek Reksa Dana dengan pihak lain
yang memiliki jaringan luas sebagai gerai
penjualan Efek Reksa Dana, jika Agen
Penjual Efek Reksa Dana menggunakan
gerai penjualan; dan
4. ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal; dan
b. memastikan dokumen atas proses penjualan
dan/atau...
- 20 -
dan/atau pembelian kembali Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud pada huruf a telah
lengkap.
Pasal 24
Pejabat penanggung jawab Agen Penjual Efek Reksa Dana
dilarang merangkap:
a. sebagai tenaga pemasaran Efek Reksa Dana;
dan/atau
b. bekerja pada perusahaan lain.
BAB VI
KANTOR LAIN SELAIN KANTOR PUSAT DAN/ATAU GERAI PENJUALAN
EFEK REKSA DANA
Pasal 25
Agen Penjual Efek Reksa Dana dapat melakukan
penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor
pusat dan/atau gerai penjualan.
Bagian Kesatu
Kantor Lain Selain Kantor Pusat
Pasal 26
(1) Penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain
kantor pusat dapat dilakukan oleh Agen Penjual Efek
Reksa Dana setelah memperoleh persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan persetujuan penjualan Efek Reksa Dana
di kantor lain selain kantor pusat diajukan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format surat
Permohonan Persetujuan Penjualan Efek Reksa Dana
di Kantor Lain Selain Kantor Pusat sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini disertai dokumen-dokumen sebagai
berikut:
a. dokumen terkait pejabat penanggung jawab
kantor...
- 21 -
kantor lain selain kantor pusat yang meliputi:
1. daftar riwayat hidup;
2. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penempatan sebagai
pejabat penanggung jawab kantor lain selain
kantor pusat;
3. dokumen pendukung yang menunjukkan
berpengalaman dalam kegiatan penjualan
Efek Reksa Dana paling singkat 3 (tiga)
tahun;
4. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa
Dana atas nama pejabat penanggung jawab;
dan
5. fotokopi sertifikat pendidikan profesi
lanjutan terakhir atas nama pejabat
penanggung jawab (jika ada);
b. dokumen terkait Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
di kantor lain selain kantor pusat yang meliputi:
1. fotokopi surat keputusan Direksi terkait
pengangkatan atau penempatan Wakil
Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana di kantor lain
selain kantor pusat sebagai tenaga
pemasaran;
2. fotokopi izin sebagai Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa
Dana atas nama tenaga pemasaran; dan
3. fotokopi sertifikat pendidikan profesi
lanjutan terakhir atas nama yang
bersangkutan (jika ada);
c.
surat keterangan domisili kantor lain selain
kantor pusat dari pengelola gedung atau instansi
berwenang...
- 22 -
berwenang; dan
d.
daftar kantor lain selain kantor pusat yang akan
menjual Efek Reksa Dana beserta alamat kantor
dan penanggungjawabnya serta daftar Wakil
Perusahaan Efek dan/atau Wakil Agen Penjual
Efek Reksa Dana, sesuai dengan format Data
Kantor Pusat, Daftar Kantor Lain Selain Kantor
Pusat Dan/Atau Gerai Yang Akan Menjual Efek
Reksa Dana Dan Penanggung Jawabnya, Serta
Daftar Wakil Perusahaan Efek Dan/Atau Wakil
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 27
Dokumen permohonan persetujuan Penjualan Efek Reksa
Dana di kantor lain selain kantor pusat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 wajib pula disiapkan dalam
format digital dan disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan media digital cakram
padat (compact disk) atau lainnya, atau surat elektronik
(email) dengan alamat [email protected].
Pasal 28
(1) Dalam rangka memproses permohonan persetujuan
penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain
kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana, Otoritas
Jasa Keuangan melakukan penelitian atas
kelengkapan dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka menilai kesiapan kantor lain selain
kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana untuk
menyelenggarakan penjualan Efek Reksa Dana,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan
pemeriksaan kantor lain selain kantor pusat Agen
Penjual Efek Reksa Dana dimaksud.
Pasal 29...
- 23 -
Pasal 29
Dalam hal permohonan persetujuan Penjualan Efek
Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 memenuhi syarat, paling lama 45 (empat puluh
lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas Jasa
Keuangan memberikan persetujuan penjualan Efek
Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 30
Dalam hal permohonan persetujuan penjualan Efek
Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 tidak memenuhi syarat, paling lama 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap; atau
b. permohonan ditolak.
Pasal 31
Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen
yang dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima)
hari setelah tanggal surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 huruf a, dianggap telah
membatalkan permohonan persetujuan penjualan Efek
Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 32
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 untuk menghentikan kegiatan penjualan Efek
Reksa Dana di kantor lain selain kantor pusat
berdasarkan atas hal-hal antara lain:
a. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak
ditemukan;
b. kantor...
- 24 -
b. kantor lain selain kantor pusat tersebut ditemukan,
namun dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
berturut-turut tidak aktif melakukan kegiatan
transaksi Efek Reksa Dana;
c. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak
memiliki pejabat penanggung jawab dan/atau tenaga
pemasaran yang mempunyai izin Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
dan/atau
d. kantor lain selain kantor pusat tersebut tidak dapat
memenuhi syarat sebagai kantor lain selain kantor
pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana sesuai dengan
peraturan yang berlaku setelah kesempatan dan
jangka waktu yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan
terlewati.
Bagian Kedua
Gerai Penjualan
Pasal 33
(1) Dalam melakukan penjualan Efek Reksa Dana, Agen
Penjual Efek Reksa Dana dapat membuka gerai
penjualan Efek Reksa Dana dengan cara melakukan
kerja sama dengan pihak lain yang memiliki jaringan
luas dalam kegiatan usahanya termasuk kerja sama
sistem pembayaran dalam rangka penambahan (top
up) Efek Reksa Dana melalui sistem yang ada di gerai
penjualan.
(2) Kerja sama dengan pihak lain untuk membuka gerai
penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan setelah memperoleh persetujuan Manajer
Investasi.
(3) Penjualan Efek Reksa Dana di gerai penjualan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan
oleh tenaga pemasaran Agen Penjual Efek Reksa
Dana yang mempunyai izin Wakil Perusahaan Efek
atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
(4) Agen...
- 25 -
(4) Agen Penjual Efek Reksa Dana yang melakukan
kegiatan penjualan Efek Reksa Dana pada gerai
penjualan wajib melaporkan kegiatan penjualannya
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2 (dua)
hari kerja sejak dimulainya kegiatan penjualan.
BAB VII
PERILAKU AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Bagian Kesatu
Kewajiban
Pasal 34
Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib:
a. menjadi anggota asosiasi terkait penjualan Efek
Reksa Dana, kecuali bagi Agen Penjual Efek Reksa
Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a;
b. melakukan pengawasan secara terus-menerus
terhadap semua pegawai dan/atau Pihak lain yang
bekerja untuk Agen Penjual Efek Reksa Dana
tersebut;
c. bertanggung jawab atas segala tindakan yang
berkaitan dengan penjualan Efek Reksa Dana yang
dilakukan oleh pegawai dan/atau Pihak lain yang
bekerja untuk Agen Penjual Efek Reksa Dana
tersebut;
d. mempunyai sistem pengawasan atas kegiatan para
Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana dan setiap
pegawainya untuk menjamin dipatuhinya semua
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal;
e. memastikan bahwa pegawai tenaga pemasaran telah
memahami Kontrak Investasi Kolektif dan Prospektus
Reksa Dana yang dipasarkan;
f. memastikan bahwa Prospektus yang digunakan
dalam pemasaran Reksa Dana telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal...
- 26 -
Modal;
g. menyediakan Prospektus terkini yang diterbitkan
oleh Manajer Investasi kepada calon pemegang Efek
Reksa Dana;
h. menyediakan dan menyampaikan kepada calon
pemegang Efek Reksa Dana informasi ringkas
tentang Efek Reksa Dana yang dipasarkan yang
berasal dari Prospektus dan telah memperoleh
persetujuan dari Manajer Investasi;
i. memastikan pemegang Efek Reksa Dana memperoleh
kesempatan membaca Prospektus atau informasi
penting lainnya sebelum atau pada saat pembelian
Efek Reksa Dana dilakukan;
j. menjaga kerahasiaan transaksi pemegang Efek Reksa
Dana, kecuali kepada Manajer Investasi dan Bank
Kustodian pengelola Reksa Dana dimaksud, Otoritas
Jasa Keuangan, dan pihak lain jika diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan;
k. mengetahui latar belakang, keadaan keuangan,
tujuan investasi, dan profil risiko calon pemegang
Efek Reksa Dana;
l. mengutamakan kepentingan dan kesesuaian dengan
sumber keuangan, dan kemampuan keuangan serta
tujuan investasi calon pemegang Efek Reksa Dana
pada saat menawarkan beberapa Reksa Dana;
m. memastikan bahwa penghitungan Nilai Aktiva Bersih
yang digunakan dan/atau diterima oleh pemegang
Efek Reksa Dana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
n. memiliki sarana yang memadai dalam melakukan
penjualan Efek Reksa Dana;
o. menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your
customer) sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang Pasar
Modal...
- 27 -
Modal;
p. menjalankan tugas sebaik mungkin dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan
kontrak kerja sama dengan Manajer Investasi dan
untuk kepentingan pemegang Efek Reksa Dana;
q. bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul
karena tidak melaksanakan kewajibannya; dan
r. memiliki unit kerja dan/atau fungsi untuk
menangani dan menyelesaikan pengaduan yang
diajukan pemegang Efek Reksa Dana.
Pasal 35
Informasi ringkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf h paling kurang memuat:
a. informasi bahwa Reksa Dana merupakan produk
Pasar Modal dan bukan produk yang diterbitkan oleh
Agen Penjual Efek Reksa Dana serta Agen Penjual
Efek Reksa Dana tidak bertanggung jawab atas
tuntutan dan risiko pengelolaan portofolio Reksa
Dana yang dilakukan oleh Manajer Investasi;
b. jenis Reksa Dana dan risiko yang melekat pada
produk Reksa Dana termasuk kemungkinan kerugian
nilai investasi yang akan diderita oleh pemegang Efek
Reksa Dana akibat berfluktuasinya Nilai Aktiva
Bersih sesuai dengan kondisi pasar dan kualitas aset
yang mendasari;
c. kebijakan investasi serta komposisi portofolio;
d. biaya-biaya yang timbul berkaitan dengan investasi
pada Reksa Dana termasuk komisi yang diperoleh
Agen Penjual Efek Reksa Dana;
e. informasi mengenai Manajer Investasi yang mengelola
Reksa Dana dan Bank Kustodian;
f. informasi bahwa konfirmasi atas investasi pemegang
Efek Reksa Dana akan diterbitkan oleh Bank
Kustodian;
g. informasi...
- 28 -
g. informasi bahwa tanda bukti kepemilikan atas Efek
Reksa Dana yang sah adalah konfirmasi dari Bank
Kustodian; dan
h. informasi kinerja Reksa Dana (jika ada).
Pasal 36
Dalam hal Agen Penjual Efek Reksa Dana membuat tabel
perbandingan antara beberapa Reksa Dana dari beberapa
Manajer Investasi yang dipasarkannya, maka
perbandingan tersebut harus dibuat atas jenis produk
yang sama dan dapat diperbandingkan.
Bagian Kedua
Larangan
Pasal 37
Agen Penjual Efek Reksa Dana dilarang:
a. menerbitkan konfirmasi atas penjualan (subscription)
dan pembelian kembali (redemption) Efek Reksa Dana
yang dilakukan oleh pemegang Efek Reksa Dana;
b. menjual Efek Reksa Dana tanpa instruksi dari
pemegang Efek Reksa Dana;
c. memberikan penjelasan yang tidak benar dan
ungkapan yang berlebihan tentang suatu Reksa
Dana;
d. memastikan atau menjanjikan hasil investasi;
e. mengindikasikan hasil investasi, kecuali telah
dinyatakan dalam Prospektus;
f. memberikan rekomendasi kepada calon atau
pemegang Efek Reksa Dana untuk membeli dan/atau
menjual Efek Reksa Dana tanpa memperhatikan
tujuan investasi, keadaan keuangan, dan profil risiko
calon atau pemegang Efek Reksa Dana;
g. menyarankan untuk melakukan transaksi yang
berlebihan dalam Reksa Dana untuk memperoleh
komisi yang lebih besar;
h. membuat...
- 29 -
h. membuat pernyataan yang negatif terhadap Manajer
Investasi atau Reksa Dana tertentu;
i. memberikan rekomendasi atas produk Reksa Dana
tertentu kepada calon atau pemegang Efek Reksa
Dana untuk mendapatkan komisi tambahan atau
insentif;
j. memberikan potongan komisi atau hadiah kepada
calon atau pemegang Efek Reksa Dana yang diambil
dari kekayaan Reksa Dana; dan/atau
k. menerima titipan dana penjualan (subscription) dan
pembelian kembali (redemption) Efek Reksa Dana dari
calon atau pemegang Efek Reksa Dana.
BAB VIII
PELAPORAN
Pasal 38
Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menyampaikan
laporan rencana kegiatan tahun berjalan kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat pada setiap tanggal 15
Januari sesuai dengan format Rencana Kegiatan Tahun
Berjalan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 39
Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan setiap perubahan berkaitan
dengan:
a. identitas Perseroan, yang meliputi nama dan/atau
logo;
b. strategi kepatuhan dan manajemen risiko;
c. alamat kantor pusat atau kantor lain selain kantor
pusat;
d. penutupan kantor lain selain kantor pusat;
e. penambahan atau penghentian kerja sama penjualan
dengan...
- 30 -
dengan Manajer Investasi;
f. penambahan atau penghentian kerja sama gerai
penjualan; dan
g. Pejabat Penanggung Jawab dan tenaga pemasaran
Efek Reksa Dana, sesuai dengan format Laporan
Perubahan Pejabat Penanggung Jawab Dan Tenaga
Pemasaran sebagaimana tercantum dalam Lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadinya
perubahan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 40
Agen Penjual Efek Reksa Dana wajib menyampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan laporan bulanan sebagai
berikut:
a. total nilai transaksi penjualan Efek Reksa Dana di
setiap kantor dan/atau gerai penjualan sesuai
dengan format Laporan Penjualan Reksa Dana Oleh
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini;
b. profil investor Efek Reksa Dana sesuai dengan format
Laporan Profil Investor Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; dan
c. daftar rekapitulasi pengaduan nasabah Reksa Dana
dan penanganannya (jika ada),
paling lambat pada tanggal 12 (dua belas) bulan
berikutnya.
Pasal 41
Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan
rencana kegiatan tahun berjalan sebagaimana dimaksud
dalam...
- 31 -
dalam Pasal 38 dan laporan bulanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 jatuh pada hari libur, laporan
tersebut disampaikan pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
BAB IX
SISTEM ELEKTRONIK PENDAFTARAN, PERIZINAN, PERSETUJUAN, DAN
PELAPORAN AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Pasal 42
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem elektronik permohonan pendaftaran, perizinan
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana, persetujuan
penjualan Efek Reksa Dana di kantor lain selain kantor
pusat, dan/atau pelaporan Agen Penjual Efek Reksa
Dana, permohonan pendaftaran, perizinan, persetujuan,
dan/atau pelaporan tersebut dapat disampaikan melalui
sistem elektronik dimaksud.
BAB X
BERAKHIRNYA KEGIATAN SEBAGAI AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
YANG DILAKUKAN OLEH PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN SEBAGAI PENJAMIN EMISI EFEK DAN/ATAU PERANTARA
PEDAGANG EFEK
Pasal 43
(1) Kegiatan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
yang dilakukan oleh Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek
dan/atau Perantara Pedagang Efek sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berakhir apabila
terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. badan hukum Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek bubar;
b. izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek dicabut oleh Otoritas
Jasa Keuangan;
c. Perusahaan...
- 32 -
c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek tidak dapat memenuhi
persyaratan untuk melakukan kegiatan sebagai
Agen Penjual Efek Reksa Dana setelah
kesempatan dan jangka waktu yang diberikan
terlewati; atau
d. Otoritas Jasa Keuangan memberikan sanksi
administratif kepada Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek untuk
tidak melakukan kegiatan sebagai Agen Penjual
Efek Reksa Dana.
(2) Dalam hal berakhirnya kegiatan sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau
Perantara Pedagang Efek serta melakukan penjualan
Efek Reksa Dana wajib memenuhi dan
menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait
penjualan Efek Reksa Dana dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. sebelum badan hukum Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek bubar;
b. sebelum izin usaha Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi
Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek dicabut
oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau
c. dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam
surat sanksi Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XI...
- 33 -
BAB XI
PEMBATALAN SURAT TANDA TERDAFTAR
AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Pasal 44
Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan Surat
Tanda Terdaftar Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b apabila
terjadi hal-hal sebagai berikut:
a. Agen Penjual Efek Reksa Dana mengembalikan Surat
Tanda Terdaftar yang dimilikinya; atau
b. Agen Penjual Efek Reksa Dana melakukan
pelanggaran
undangan di bidang Pasar Modal.
Pasal 45
Surat Tanda Terdaftar Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b menjadi
batal apabila:
a. badan hukum pihak yang melakukan kegiatan
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana bubar;
dan/atau
b. izin usaha utama Pihak yang melakukan kegiatan
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dicabut oleh
instansi yang berwenang.
Pasal 46
(1) Pengembalian Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 huruf a wajib memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
a. Agen Penjual Efek Reksa Dana mengajukan
surat permohonan pengembalian Surat Tanda
Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. Agen Penjual Efek Reksa Dana telah
menyelesaikan...
terhadap peraturan perundang-
- 34 -
menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait
penjualan Efek Reksa Dana, termasuk
pembayaran atas sanksi administratif berupa
denda dalam jangka waktu yang ditetapkan
dalam surat sanksi Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan pengembalian Surat Tanda Terdaftar
sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disertai dokumen sebagai
berikut:
a. keterangan mengenai alasan pengembalian
Surat Tanda Terdaftar tersebut;
b. Surat Tanda Terdaftar sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana; dan
c. laporan tentang penyelesaian hak dan kewajiban
Agen Penjual Efek Reksa Dana disertai dokumen
pendukungnya.
Pasal 47
Pembatalan Surat Tanda Terdaftar yang disebabkan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di
bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
44 huruf b dilakukan antara lain apabila:
a. kantor pusat Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak
ditemukan;
b. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak memiliki
pegawai yang memiliki izin Wakil Perusahaan Efek
dan/atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana;
c. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak melakukan
kegiatan penjualan Efek Reksa Dana selama 12 (dua
belas) bulan berturut-turut; dan/atau
d. Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak dapat memenuhi
persyaratan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana
setelah kesempatan dan jangka waktu yang diberikan
terlewati.
Pasal 48...
- 35 -
Pasal 48
Agen Penjual Efek Reksa Dana yang Surat Tanda
Terdaftarnya dibatalkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
wajib memenuhi dan menyelesaikan seluruh
kewajibannya kepada Manajer Investasi dan/atau
pemegang Efek Reksa Dana.
BAB XII
PENCABUTAN IZIN USAHA PERUSAHAAN EFEK YANG MELAKUKAN
KEGIATAN USAHA SEBAGAI PERANTARA PEDAGANG EFEK YANG
KHUSUS DIDIRIKAN UNTUK MEMASARKAN EFEK REKSA DANA
Pasal 49
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk
memasarkan Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf c apabila terjadi hal-hal sebagai
berikut:
a. izin usaha dikembalikan oleh Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk
memasarkan Efek Reksa Dana kepada Otoritas Jasa
Keuangan;
b. pelanggaran
terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal; atau
c. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
bubar.
Pasal 50
Pengembalian izin usaha Perusahaan Efek yang
melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang
Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf
a wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. mengajukan...
- 36 -
a. mengajukan surat permohonan pengembalian izin
usaha Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
kepada Otoritas Jasa Keuangan;
b. telah memperoleh persetujuan Rapat Umum
Pemegang Saham atas rencana permohonan
pengembalian izin usaha tersebut;
c. telah mengumumkan rencana pengembalian izin
usaha paling kurang pada 1 (satu) surat kabar yang
berperedaran nasional yang berisi antara lain
pemberitahuan penyelesaian hak dan kewajiban; dan
d. telah menyelesaikan seluruh kewajibannya terkait
dengan penjualan Efek Reksa Dana.
Pasal 51
Pencabutan izin usaha Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
akibat pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 49 huruf b meliputi:
a. pelanggaran administratif, antara lain sebagai
berikut:
1. kantor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa
Dana tidak ditemukan;
2. kantor Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan
usaha sebagai Perantara Pedagang Efek yang
khusus didirikan untuk memasarkan Efek Reksa
Dana ditemukan, namun dalam jangka waktu 2
(dua) tahun berturut-turut tidak melakukan
kegiatan pemasaran Efek Reksa Dana;
3. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai...
- 37 -
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
tidak memiliki pegawai; dan/atau
4. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
tidak dapat memenuhi kekurangan yang
dipersyaratkan sesuai dengan peraturan yang
berlaku setelah kesempatan dan jangka waktu
yang diberikan terlewati; dan/atau
b. Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal.
Pasal 52
Surat permohonan pengembalian izin usaha Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai Perantara
Pedagang Efek yang khusus didirikan untuk memasarkan
Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
huruf a disertai dokumen sebagai berikut:
a. keterangan mengenai alasan pengembalian izin usaha
tersebut;
b. hasil keputusan Rapat Umum Pemegang Saham
tentang persetujuan atas rencana permohonan
pengembalian izin usaha tersebut;
c. Surat Keputusan Dewan Komisioner Otoritas Jasa
Keuangan tentang Pemberian Izin Usaha Perusahaan
Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai
Perantara Pedagang Efek yang khusus didirikan
untuk memasarkan Efek Reksa Dana yang dimiliki;
d. bukti pengumuman rencana pengembalian izin usaha
paling kurang pada 1 (satu) surat kabar yang
berperedaran nasional yang berisi antara lain
pemberitahuan...
- 38 -
pemberitahuan penyelesaian hak dan kewajiban; dan
e. laporan tentang penyelesaian hak dan kewajiban
Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha
sebagai Perantara Pedagang Efek yang khusus
didirikan untuk memasarkan Efek Reksa Dana
kepada nasabah dan Manajer Investasi pengelola
Reksa Dana beserta dokumen pendukungnya.
BAB XIII
SANKSI
Pasal 53
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana
di bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan peraturan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara...
- 39 -
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g.
Pasal 54
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 53 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 55
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 kepada masyarakat.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 56
(1) Pihak yang telah terdaftar sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebelum berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini:
a. tetap dapat menjalankan kegiatan sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana tanpa harus
melakukan pendaftaran kembali sebagai Agen
Penjual Efek Reksa Dana; dan
b. wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini paling lama 3 (tiga)
bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(2) Dalam hal substansi yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini sama dengan:
a. Peraturan Nomor V.B.3, Lampiran Keputusan
Ketua...
- 40 -
Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-10/BL/2006
tanggal 30 Agustus 2006 tentang Pendaftaran
Agen Penjual Efek Reksa Dana; dan
b. Peraturan Nomor V.B.4, Lampiran Keputusan
Ketua Bapepam dan LK Nomor KEP-11/BL/2006
tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perilaku Agen
Penjual Efek Reksa Dana,
substansi yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini berlaku sejak diundangkan.
Pasal 57
Pihak yang telah terdaftar sebagai Agen Penjual Efek
Reksa Dana dan Perusahaan Efek yang melakukan
kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara
Pedagang Efek yang saat ini telah melakukan kegiatan
penjualan Efek Reksa Dana wajib menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39 dan
Pasal 40 kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 3
(tiga) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 58
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai pendaftaran Agen Penjual
Efek Reksa Dana dan perilaku Agen Penjual Efek Reksa
Dana tunduk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 59
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-10/BL/2006 tanggal
30 Agustus 2006 tentang Pendaftaran Agen Penjual
Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.3
yang merupakan lampirannya; dan
b. Keputusan...
- 41 -
b. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor KEP-11/BL/2006 tanggal
30 Agustus 2006 tentang Perilaku Agen Penjual Efek
Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.4 yang
merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 60
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 30 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 396
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum I
Departemen Hukum,
Ttd.
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 39/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA </reg_title>
<set_date> 29 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 30 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 30 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-10/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'KEP-11/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'KEP-10/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.3', 'KEP-11/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.4' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13 /POJK.03/2017
TENTANG
PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK
DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a.
bahwa pihak yang melaksanakan kegiatan jasa
keuangan yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan perlu menyusun dan menyajikan informasi
keuangan yang berkualitas;
b.
bahwa tersedianya informasi keuangan yang
berkualitas merupakan cerminan penerapan tata
kelola yang baik yang memerlukan peran dari komite
audit dalam mengawasi efektivitas penyelenggaraan
fungsi audit eksternal oleh akuntan publik dan kantor
akuntan publik;
c.
bahwa akuntan publik dan kantor akuntan publik
sebagai penunjang kegiatan jasa keuangan memiliki
peran yang penting untuk meningkatkan kualitas
informasi keuangan yang disusun dan disajikan oleh
pihak yang melaksanakan kegiatan jasa keuangan
yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
d.
bahwa dalam menjalankan tugas pengawasan
terhadap pihak yang melaksanakan kegiatan jasa
keuangan, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai
- 2 -
wewenang untuk melakukan pengawasan,
pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen,
dan tindakan lain terhadap penunjang kegiatan
jasa keuangan;
e.
bahwa dalam menjaga kepercayaan publik terhadap
kualitas informasi keuangan,
pihak yang
melaksanakan kegiatan jasa keuangan harus menjaga
hubungan yang independen dengan akuntan publik
dan kantor akuntan publik;
f.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf e, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penggunaan Jasa Akuntan Publik dan Kantor
Akuntan Publik dalam Kegiatan Jasa Keuangan;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana
Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3477);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3068);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
- 3 -
5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4957);
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Akuntan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5215);
7. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
8. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
9. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang
Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5835);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR
AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
adalah pihak yang melaksanakan kegiatan jasa
keuangan di sektor Perbankan, Pasar Modal, dan/atau
Industri Keuangan Non-Bank yang diatur dan diawasi
- 4 -
oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
2. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan
prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Perbankan dan Undang-
Undang mengenai Perbankan Syariah.
3. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan
dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek,
Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkan, serta lembaga dan profesi yang berkaitan
dengan Efek sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai Pasar Modal.
4.
Industri Keuangan Non-Bank yang selanjutnya
disingkat IKNB adalah industri yang terdiri dari
lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan,
dan lembaga jasa keuangan lain, baik yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional maupun yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usaha
berdasarkan prinsip syariah.
5. Akuntan Publik yang selanjutnya disingkat AP adalah
seseorang yang telah memperoleh izin untuk
memberikan jasa sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Akuntan Publik.
6. Kantor Akuntan Publik yang selanjutnya disingkat
KAP adalah badan usaha yang didirikan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan
mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik.
7. Komite Audit adalah suatu komite yang dibentuk oleh
dan bertanggung jawab kepada dewan komisaris
dalam membantu melaksanakan tugas dan fungsi
dewan komisaris.
- 5 -
8. Asosiasi Profesi Akuntan Publik adalah organisasi
profesi Akuntan Publik yang bersifat nasional
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai Akuntan Publik.
9. Rekan adalah sekutu pada Kantor Akuntan Publik
yang berbentuk usaha persekutuan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan
Publik.
10. Pendidikan Profesional Berkelanjutan
yang
selanjutnya disebut PPL adalah suatu pendidikan
dan/atau pelatihan profesi bagi Akuntan Publik yang
bersifat berkelanjutan dan bertujuan untuk menjaga
kompetensi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai praktik
akuntan publik.
11. Periode Audit adalah periode yang mencakup periode
laporan keuangan yang menjadi obyek audit, reviu
atau asurans lainnya.
12. Periode Penugasan Profesional adalah periode
penugasan untuk melakukan pekerjaan asurans
termasuk menyiapkan laporan kepada Otoritas Jasa
Keuangan, yang dimulai sejak pekerjaan lapangan
atau penandatanganan penugasan, mana yang lebih
dahulu, dan berakhir pada saat tanggal laporan
Akuntan Publik atau pemberitahuan tertulis oleh
Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik atau
klien kepada Otoritas Jasa Keuangan bahwa
penugasan telah selesai, mana yang lebih dahulu.
13. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang keuangan.
- 6 -
Pasal 2
(1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
wajib menggunakan AP dan KAP yang:
a.
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. memiliki kompetensi sesuai dengan kompleksitas
usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan.
(2) Kewajiban penggunaan AP dan KAP yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terkait dengan laporan yang wajib
diaudit atau diperiksa oleh AP berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang jasa
keuangan atau perintah tertulis dari Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB II
PENGELOLAAN ADMINISTRASI
AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK
Pasal 3
(1) Sebelum memberikan jasa kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP
wajib terlebih dahulu terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
memenuhi persyaratan paling kurang:
a. memiliki izin yang masih berlaku dari Menteri;
b.
tidak pernah dikenakan sanksi administratif
berupa pembatalan Surat Tanda Terdaftar (STTD)
dari Otoritas Jasa Keuangan atau otoritas
sebelumnya; dan
c.
tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti melakukan
tindak pidana di bidang keuangan serta tidak
tercantum dalam daftar kredit atau pembiayaan
macet.
- 7 -
(3) Bagi AP, selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditambahkan persyaratan:
a.
tidak memiliki rangkap jabatan;
b. berkedudukan sebagai Rekan AP pada KAP
persekutuan atau pemimpin KAP perseorangan
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan; dan
c. memiliki kompetensi dan pengetahuan di bidang
jasa keuangan dan industri yang menggunakan
jasa AP.
(4) Bagi AP yang akan memberikan jasa kepada bank
yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah, selain memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3),
harus memiliki pengetahuan akuntansi syariah.
(5) Bagi KAP selain memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditambahkan persyaratan:
a. memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Rekan AP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yaitu
pemimpin Rekan KAP; dan
b. dalam hal KAP hanya memiliki 1 (satu) orang
Rekan AP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan, KAP harus membuat surat perjanjian
kerja sama dengan KAP lain tentang pengalihan
tanggung jawab apabila Rekan AP yang
bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan
tugas, dengan ketentuan bahwa KAP lain
mempunyai Rekan AP yang tercatat pada daftar
AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Selain
persyaratan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5), dalam
hal diperlukan Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta
tambahan persyaratan pendaftaran AP dan/atau KAP.
- 8 -
Pasal 4
(1) Permohonan pendaftaran AP disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2), Pasal 3 ayat (3), dan Pasal 3 ayat (4),
disertai dokumen paling sedikit:
a. fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri;
b. daftar riwayat hidup terbaru yang ditandatangani
di atas meterai yang cukup;
c.
fotokopi Kartu Tanda Penduduk yang masih
berlaku;
d. pas foto berwarna terbaru dengan ukuran
4x6 cm;
e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
f.
fotokopi
sertifikat program sertifikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf c dan/atau Pasal 3 ayat (4);
g.
fotokopi perjanjian kerjasama yang disahkan oleh
notaris mengenai AP sebagai Rekan pada KAP
persekutuan atau izin sebagai KAP berbadan
usaha perseorangan yang terdaftar pada Otoritas
Jasa Keuangan;
h. surat pernyataan yang ditandatangani di atas
meterai yang cukup yang menyatakan bahwa AP:
1. tidak pernah dikenakan sanksi administratif
berupa pembatalan STTD dari Otoritas Jasa
Keuangan atau otoritas sebelumnya;
2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang
keuangan serta tidak tercantum dalam daftar
kredit atau pembiayaan macet; dan
3. tidak memiliki rangkap jabatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
(2) Permohonan pendaftaran KAP disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) dan ayat (5), disertai dokumen paling
sedikit:
- 9 -
a. fotokopi izin yang masih berlaku dari Menteri;
b. fotokopi akta pendirian KAP
perubahannya;
beserta
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. fotokopi surat perjanjian kerja sama dengan KAP
lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (5) huruf b;
e.
f.
g.
fotokopi perjanjian kerja sama yang disahkan oleh
notaris bagi KAP yang berbentuk persekutuan;
fotokopi izin pendirian cabang KAP dari Menteri
bagi KAP yang mempunyai cabang;
fotokopi surat persetujuan dari Menteri mengenai
pencantuman nama Kantor Akuntan Publik Asing
(KAPA) atau Organisasi Audit Asing (OAA), apabila
KAP bekerjasama dengan KAPA atau OAA; dan
h. surat pernyataan yang ditandatangani di atas
meterai yang cukup oleh pemimpin Rekan KAP,
yang menyatakan bahwa KAP:
1. tidak pernah dikenakan sanksi administratif
berupa pembatalan STTD dari Otoritas Jasa
Keuangan atau otoritas sebelumnya; dan
2. tidak pernah melakukan perbuatan tercela
dan/atau dihukum karena terbukti
melakukan tindak pidana di bidang
keuangan serta tidak tercantum dalam daftar
kredit atau pembiayaan macet.
Pasal 5
(1) Dalam hal dokumen permohonan pendaftaran
AP dan/atau KAP dinyatakan tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4,
AP dan/atau KAP harus menyampaikan pemenuhan
dokumen persyaratan paling lama 45 (empat puluh
lima) hari sejak tanggal pemberitahuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
- 10 -
(2) Dalam hal AP dan/atau KAP tidak memenuhi
dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), AP dan/atau KAP dianggap telah
membatalkan permohonan pendaftaran AP dan/atau
KAP kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Dalam hal AP dan/atau KAP mengajukan kembali
permohonan pendaftaran kepada Otoritas Jasa
Keuangan, AP dan/atau KAP harus menyampaikan
kembali permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan disertai dokumen
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 6
(1) Dalam hal permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP
telah dinyatakan memenuhi persyaratan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa
Keuangan memberitahukan kepada AP dan/atau KAP
paling lama 20 (dua puluh) hari kerja, bahwa:
a. permohonan pendaftaran diterima; atau
b. permohonan pendaftaran ditolak dengan disertai
alasan penolakan.
(2) AP dan KAP yang permohonan pendaftarannya
disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan diberikan STTD
dan dicantumkan dalam daftar AP dan KAP pada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 7
AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
wajib:
a. menjaga kerahasiaan data dan informasi yang
diperoleh dalam pemberian jasa kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
b. menjalani pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas
Jasa Keuangan atas kepatuhan terhadap pekerjaan
pemeriksaan dan penerapan pengendalian mutu atas
kegiatan jasa yang diberikan oleh AP dan/atau KAP
- 11 -
kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan;
c. menerapkan standar akuntansi keuangan dalam
pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi
keuangan historis tahunan, sepanjang tidak diatur
lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
di sektor jasa keuangan;
d. memperhatikan kesesuaian transaksi yang dilakukan
oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, pada saat pelaksanaan
pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis
tahunan; dan
e. mengikuti PPL khusus bagi AP, yang diselenggarakan
oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan, paling sedikit sesuai dengan jumlah Satuan
Kredit Pendidikan Profesional Berkelanjutan (SKP)
yang wajib dipenuhi setiap tahun sebagaimana
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
(1) Pada saat mengajukan permohonan pendaftaran
untuk pertama kali kepada Otoritas Jasa Keuangan,
AP dapat memilih ruang lingkup pemberian jasa pada
satu atau lebih sektor jasa keuangan yang diatur dan
diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada
sektor jasa keuangan selain yang telah terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan dilakukan dengan memenuhi
persyaratan khusus.
(3) Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) yaitu memiliki kompetensi dan pengetahuan di
sektor jasa keuangan sesuai dengan pilihan sektor
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf c dan/atau Pasal 3 ayat (4).
- 12 -
BAB III
PUBLIKASI DAFTAR AP DAN KAP
PADA OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 9
(1) Daftar AP dan KAP pada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
dipublikasikan pada situs web Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Daftar AP dan KAP yang dipublikasikan pada situs
web Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. AP dan KAP yang aktif;
b. AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu;
dan
c. AP dan KAP yang tidak aktif tetap.
(3) AP dan KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang
aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dalam hal permohonan pendaftaran telah disetujui
oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan diberikan STTD
dan STTD masih berlaku.
(4) AP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak
aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dalam hal AP yang terdaftar:
a. sedang menjalani penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu berdasarkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan;
b. sedang menjalani penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu berdasarkan persetujuan
Menteri;
c. sedang dikenakan sanksi administratif berupa
pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan atau sanksi pembekuan izin AP dari
Menteri;
- 13 -
d. sedang dikenakan sanksi administratif berupa
pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan atau pembekuan izin usaha KAP dari
Menteri; atau
e.
tidak lagi merupakan Rekan AP atau pemimpin
pada KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan.
(5) KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak
aktif sementara waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b dalam hal:
a. KAP mendapat sanksi administratif berupa
pembekuan pendaftaran dari Otoritas Jasa
Keuangan;
b.
izin usaha KAP dibekukan oleh Menteri; atau
c. sebab lain.
(6) Bagi AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP
dan KAP yang tidak aktif sementara waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b:
a. STTD atas nama AP dan/atau KAP dinyatakan
tidak berlaku untuk sementara waktu;
b. AP dan/atau KAP tidak dapat memberikan jasa;
dan
c. AP dapat menunda pemenuhan PPL setiap tahun
sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 7
huruf e.
(7) AP dan/atau KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP
yang tidak aktif tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c, dalam hal:
a. AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif
oleh Otoritas Jasa Keuangan yang mengakibatkan
pembatalan STTD;
b. AP dan/atau KAP mengundurkan diri sebagai AP
dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan; atau
c. sebab lain.
- 14 -
(8) KAP dinyatakan pada daftar AP dan KAP yang tidak
aktif tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
dalam hal AP pada KAP perseorangan atau Rekan AP
pada KAP persekutuan yang hanya memiliki 1 (satu)
orang AP terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
termasuk pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif
tetap.
Pasal 10
(1) AP yang tercatat pada daftar AP dan KAP yang aktif
pada Otoritas Jasa Keuangan dapat mengajukan
permohonan penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (4) huruf a paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Pengajuan permohonan penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan melalui surat kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lama 2 (dua) bulan sebelum
tanggal rencana penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu.
(3) Surat permohonan
penghentian
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan
dokumen dan informasi paling sedikit:
a. surat rekomendasi dari KAP bagi AP yang menjadi
Rekan pada KAP;
b. alamat lengkap selama menjalani penghentian
pemberian jasa AP untuk sementara waktu;
c. surat pernyataan bahwa AP tidak sedang
memberikan jasa kepada
Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
d. jangka waktu yang dimohonkan untuk menjalani
penghentian pemberian jasa AP untuk sementara
waktu; dan
e. alasan pengajuan permohonan penghentian
pemberian jasa AP untuk sementara waktu.
- 15 -
(4) Persetujuan permohonan penghentian pemberian jasa
untuk sementara waktu diterbitkan dalam jangka
waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak permohonan
yang disertai dokumen dan informasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Dalam hal AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar
AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu
bermaksud untuk aktif kembali dan tercatat pada
daftar AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa
Keuangan, AP dan/atau KAP yang bersangkutan
mengajukan permohonan pengaktifan kembali kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 2 (dua) bulan
sebelum rencana aktif kembali.
(2) Permohonan pengaktifan kembali bagi AP
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai
dokumen berupa bukti keikutsertaan PPL sesuai
dengan jumlah SKP yang wajib dipenuhi setiap tahun
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf e dengan
cara mengikuti PPL:
a.
setiap tahun selama masa tidak aktif; atau
b. secara akumulasi selama 2 (dua) tahun terakhir,
sebelum pengaktifan kembali dan tercatat pada daftar
AP dan KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) AP dan/atau KAP dianggap mengundurkan diri
sebagai AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan, dalam hal:
a. AP dan/atau KAP tidak mengajukan permohonan
pengaktifan kembali sebagaimana dimaksud pada
ayat (1); atau
b. pengajuan permohonan pengaktifan kembali oleh
AP tidak memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2),
dalam jangka waktu paling lama sampai dengan
6 (enam) bulan setelah masa penghentian pemberian
jasa untuk sementara waktu berakhir.
- 16 -
(4) Dalam hal AP dan/atau KAP dianggap mengundurkan
diri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), STTD atas
nama AP dan/atau KAP dibatalkan dan dicatat pada
daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Otoritas
Jasa Keuangan.
(5) Persetujuan permohonan pengaktifan kembali AP
dan/atau KAP diterbitkan dalam jangka waktu 20 (dua
puluh) hari kerja sejak permohonan yang disertai
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diterima secara lengkap oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB IV
PENGUNDURAN DIRI
AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK
Pasal 12
(1) AP dan/atau KAP dapat mengajukan permohonan
pengunduran diri sebagai AP dan KAP yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan, dengan disertai
dokumen pendukung paling sedikit:
a. surat keterangan dari KAP bagi AP yang menjadi
Rekan KAP;
b. surat pernyataan bahwa AP dan/atau KAP tidak
sedang memberikan jasa kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan
c. alasan pengunduran diri AP dan/atau KAP,
yang disampaikan paling lama 2 (dua) bulan sebelum
tanggal rencana pengunduran diri.
(2) Permohonan pengunduran diri sebagai AP dan KAP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. dalam hal disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan:
1. STTD atas nama AP dan/atau KAP
dibatalkan; dan
- 17 -
2. AP dan/atau KAP dicatat pada daftar AP dan
KAP yang tidak aktif tetap pada Otoritas Jasa
Keuangan; atau
b. dalam hal ditolak, Otoritas Jasa Keuangan
memberi pertimbangan tertentu.
(3) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
pengunduran diri AP dan/atau KAP diterbitkan dalam
jangka waktu 20 (dua puluh) hari kerja sejak
permohonan pengunduran diri sebagai AP dan KAP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan yang
disertai dengan dokumen pendukung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterima secara lengkap oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
PERAN KOMITE AUDIT
Pasal 13
(1) Penunjukan AP dan/atau KAP yang akan memberikan
jasa audit atas informasi keuangan historis tahunan
wajib diputuskan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dengan mempertimbangkan usulan dewan komisaris.
(2) Dalam hal Rapat Umum Pemegang Saham tidak dapat
memutuskan penunjukan AP dan/atau KAP yang akan
memberikan jasa audit atas informasi keuangan
historis tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Rapat Umum Pemegang Saham dapat mendelegasikan
kewenangan penunjukan AP dan/atau KAP kepada
dewan komisaris, disertai penjelasan mengenai:
a. alasan pendelegasian kewenangan; dan
b. kriteria atau batasan AP dan/atau KAP yang
dapat ditunjuk.
(3) Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan tidak memiliki organ Rapat Umum
Pemegang Saham, fungsi dan kewenangan Rapat
Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud pada
- 18 -
ayat (1) dilaksanakan oleh organ tertinggi yang setara
dengan Rapat Umum Pemegang Saham sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Usulan penunjukan AP dan/atau KAP yang diajukan
oleh dewan komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memperhatikan rekomendasi Komite
Audit.
(5) Dalam hal AP dan/atau KAP yang telah diputuskan
oleh Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat menyelesaikan
pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis
tahunan pada Periode Penugasan Profesional,
penunjukan AP dan/atau KAP pengganti dapat
dilakukan oleh dewan komisaris
sepanjang
diamanatkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham
dengan memperhatikan rekomendasi Komite Audit.
(6) Dalam menyusun rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Komite Audit dapat
mempertimbangkan:
a. independensi AP, KAP, dan orang dalam KAP;
b. ruang lingkup audit;
c. imbalan jasa audit;
d. keahlian dan pengalaman AP, KAP, dan Tim Audit
dari KAP;
e.
metodologi, teknik, dan sarana audit yang
digunakan KAP;
f. manfaat fresh eye perspectives yang akan
diperoleh melalui penggantian AP, KAP, dan Tim
Audit dari KAP;
g. potensi risiko atas penggunaan jasa audit oleh
KAP yang sama secara berturut-turut untuk
kurun waktu yang cukup panjang; dan/atau
h. hasil evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian
jasa audit atas informasi keuangan historis
tahunan oleh AP dan KAP pada periode
sebelumnya, apabila ada.
- 19 -
(7) KAP dapat dikategorikan sebagai KAP yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf g dalam
hal:
a. nama KAP tidak berubah dan tidak terjadi
perubahan komposisi AP lebih dari 50% (lima
puluh persen) atau lebih; atau
b. terdapat pendirian atau perubahan nama KAP,
namun komposisi AP 50% (lima puluh persen)
atau lebih berasal dari KAP yang sebelumnya.
(8) Bagi Komite Audit bank, pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) merupakan persyaratan
minimal yang wajib dipenuhi.
Pasal 14
(1) Komite
Audit melakukan evaluasi
terhadap
pelaksanaan pemberian jasa audit atas informasi
keuangan historis tahunan oleh AP dan/atau KAP.
(2) Evaluasi terhadap pelaksanaan pemberian jasa audit
atas informasi keuangan historis tahunan oleh AP
dan/atau KAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling sedikit melalui:
a. kesesuaian pelaksanaan audit oleh AP dan/atau
KAP dengan standar audit yang berlaku;
b. kecukupan waktu pekerjaan lapangan;
c. pengkajian cakupan jasa yang diberikan dan
kecukupan uji petik; dan
d. rekomendasi perbaikan yang diberikan oleh AP
dan/atau KAP.
Pasal 15
Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan tidak diwajibkan memiliki Komite Audit, tugas
dan tanggung jawab Komite Audit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan Pasal 14 dilaksanakan oleh dewan
komisaris, dewan pengawas, atau pihak yang melakukan
fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan oleh dewan
komisaris.
- 20 -
BAB VI
PEMBATASAN PENGGUNAAN JASA AUDIT
Pasal 16
(1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
wajib membatasi penggunaan jasa audit atas informasi
keuangan historis tahunan dari AP yang sama paling
lama untuk periode audit selama 3 (tiga) tahun buku
pelaporan secara berturut-turut.
(2) Pembatasan penggunaan jasa audit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi AP yang
merupakan pihak terasosiasi.
(3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
hanya dapat menggunakan kembali jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan dari AP yang
sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah
2 (dua) tahun buku pelaporan secara berturut-turut
tidak menggunakan jasa audit atas informasi
keuangan historis tahunan dari AP yang sama
(cooling-off period).
BAB VII
RUANG LINGKUP AUDIT
Pasal 17
(1) Pelaksanaan audit informasi keuangan historis
tahunan oleh AP dan/atau KAP didasarkan pada
perjanjian kerja antara Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan dengan KAP.
(2) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat mencantumkan ruang lingkup audit.
(3) Bank wajib mencantumkan ruang lingkup audit
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada perjanjian
kerja antara bank dengan KAP.
(4) Ruang lingkup audit dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih
lanjut dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
- 21 -
BAB VIII
INDEPENDENSI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR
AKUNTAN PUBLIK TERHADAP PIHAK YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN JASA KEUANGAN
Pasal 18
(1) AP, KAP, dan orang dalam KAP dalam memberikan
jasa kepada Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan wajib memenuhi kondisi independen selama
Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional.
(2) Kondisi independen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dinyatakan dalam Surat Pernyataan dan
diserahkan
oleh KAP kepada
Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, sebelum
Periode Penugasan Profesional dimulai.
(3) Dalam menyusun tim audit dan pihak yang turut serta
secara langsung dalam pemberian jasa audit atas
informasi keuangan historis tahunan, KAP mengacu
pada kode etik profesi AP.
BAB IX
KOMUNIKASI AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR
AKUNTAN PUBLIK DENGAN OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 19
(1) Dalam rangka persiapan dan pelaksanaan audit atas
informasi keuangan historis tahunan kepada Lembaga
Jasa Keuangan, AP dan/atau KAP wajib melakukan
komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam komunikasi dengan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. AP dan/atau KAP dapat meminta informasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Pihak
yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang akan diaudit; dan/atau
b. Otoritas Jasa Keuangan dapat menginformasikan
hal-hal yang perlu menjadi perhatian AP
- 22 -
dan/atau KAP dalam rangka persiapan dan
pelaksanaan audit.
(3) AP dan KAP wajib menyampaikan informasi yang
diminta oleh Otoritas Jasa Keuangan meskipun
perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) telah berakhir.
BAB X
PENYAMPAIAN LAPORAN DARI AKUNTAN PUBLIK
DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK KEPADA
OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 20
(1) AP dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan
KAP yang aktif pada Otoritas Jasa Keuangan wajib
menyampaikan laporan secara lengkap dan benar
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a.
b.
laporan berkala tahunan; dan
laporan insidentil.
(3) Laporan berkala tahunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a berupa laporan kegiatan
pemberian jasa KAP kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan.
(4) Laporan insidentil sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b berupa:
a.
b.
laporan KAP mengenai perubahan data AP
dan/atau KAP;
laporan AP dalam hal terdapat informasi
mengenai:
1. pelanggaran signifikan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan
dilakukan oleh Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan;
2. kelemahan yang signifikan dalam
pengendalian proses penyusunan dan
yang
- 23 -
penyajian laporan keuangan Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
3. kelemahan yang signifikan dalam
pengendalian intern
Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
dan/atau
4. kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Pihak
yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan; dan
c.
laporan insidentil AP dan/atau KAP lainnya
apabila sewaktu-waktu diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(5) Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP kepada Pihak
yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat
informasi paling kurang mengenai:
a. nama KAP dan nomor izin dari Menteri;
b. nama AP dan nomor izin dari Menteri;
c. nama Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan dan jenis jasa yang diberikan oleh AP
dan/atau KAP kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan dalam kurun
waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal 1 April sampai
dengan tanggal 31 Maret tahun berikutnya atau
sejak terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
apabila terdaftar kurang dari 1 (satu) tahun;
d. opini audit yang diterbitkan oleh AP dan/atau
KAP;
e. susunan tim audit dan pihak yang turut serta
secara langsung dalam pemberian jasa audit;
f. jumlah tahun periode audit AP dan/atau KAP
terhadap Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan yang sama; dan
g. imbalan jasa audit.
- 24 -
Pasal 21
(1) KAP wajib menyampaikan laporan kegiatan pemberian
jasa KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (3) setiap tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan
disertai dengan bukti pendukung paling lambat
tanggal 15 April.
(2) KAP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
kegiatan pemberian jasa KAP apabila laporan
disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan paling lambat tanggal 15 Mei.
(3) KAP dinyatakan tidak menyampaikan laporan kegiatan
pemberian jasa KAP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) apabila laporan belum disampaikan setelah
batas akhir waktu keterlambatan penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 22
(1) KAP wajib menyampaikan laporan perubahan data AP
dan/atau KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (4) huruf a kepada Otoritas Jasa Keuangan
disertai dengan bukti pendukung paling lama
10 (sepuluh) hari setelah persetujuan atau
pemberitahuan perubahan data dari Kementerian
Keuangan diterima oleh AP dan/atau KAP.
(2) KAP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
perubahan data AP dan/atau KAP apabila laporan
disampaikan setelah batas akhir waktu penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan 30 (tiga puluh) hari berikutnya.
(3) KAP dinyatakan tidak menyampaikan laporan
perubahan data AP dan/atau KAP sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) apabila laporan belum
disampaikan setelah batas akhir waktu keterlambatan
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
- 25 -
Pasal 23
Berdasarkan laporan perubahan data AP dan/atau KAP
yang diterima Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) maupun berdasarkan
informasi dari pihak lain, Otoritas Jasa Keuangan
melakukan pengkinian data dan informasi mengenai AP
dan/atau KAP yang tercatat pada daftar AP dan KAP pada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 24
(1) AP wajib menyampaikan laporan
mengenai
pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, kelemahan yang signifikan
dalam pengendalian proses penyusunan dan penyajian
laporan keuangan, kelemahan yang signifikan dalam
pengendalian intern, dan/atau kondisi atau perkiraan
kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan
usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (4) huruf b kepada Otoritas Jasa Keuangan,
disertai dengan bukti pendukung, paling lama 3 (tiga)
hari kerja sejak ditemukan.
(2) AP dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
apabila disampaikan setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) sampai dengan 2 (dua) hari kerja berikutnya.
(3) AP dinyatakan tidak menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila laporan
belum disampaikan setelah batas akhir waktu
keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
- 26 -
BAB XI
MEDIA PENYAMPAIAN PERMOHONAN DAN LAPORAN
AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK
KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 25
(1) AP dan/atau KAP menyampaikan:
a. permohonan pendaftaran AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dengan
disertai dokumen persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4;
b. permohonan persetujuan penambahan ruang
lingkup pemberian jasa pada sektor jasa
keuangan selain yang telah terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2);
c. permohonan penghentian pemberian jasa untuk
sementara waktu oleh AP sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10;
d. permohonan pengaktifan kembali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
e. permohonan pengunduran diri AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1);
f.
laporan kegiatan pemberian jasa KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
dan
g. laporan perubahan data AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1),
kepada Otoritas Jasa Keuangan u.p. Kepala Eksekutif
Pengawas Pasar Modal.
(2) Permohonan dan/atau
laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh KAP secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
belum dapat digunakan untuk penyampaian
permohonan dan/atau laporan secara daring (online)
- 27 -
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KAP
menyampaikan permohonan dan/atau laporan
dimaksud secara luring (offline) kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 26
(1) Dalam hal sistem pelaporan KAP secara daring (online)
mengalami gangguan teknis atau terjadi keadaan
kahar pada hari terakhir batas waktu penyampaian
permohonan dan/atau laporan, KAP menyampaikan
secara luring (offline):
a. surat pemberitahuan yang ditandatangani oleh
pemimpin KAP yang memuat alasan adanya
gangguan teknis atau terjadinya keadaan kahar,
disertai dokumen pendukung; dan
b. permohonan dan/atau laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf c
sampai dengan huruf g,
pada hari terakhir batas waktu penyampaian
permohonan dan/atau laporan.
(2) Surat pemberitahuan serta permohonan dan/atau
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
u.p. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal.
Pasal 27
Laporan mengenai pelanggaran signifikan terhadap
ketentuan peraturan perundang-undangan, kelemahan
yang signifikan dalam pengendalian proses penyusunan
dan penyajian laporan keuangan, kelemahan yang
signifikan dalam pengendalian intern, dan/atau kondisi
atau perkiraan kondisi yang dapat membahayakan
kelangsungan usaha Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (1) disampaikan secara luring (offline) kepada Otoritas
Jasa Keuangan:
- 28 -
a. bagi bank, dengan alamat:
1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah bagi bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri yang berada di
wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
atau
2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai
dengan wilayah tempat kedudukan kantor pusat
bank;
b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan di sektor Pasar Modal, ditujukan kepada
Departemen Pengawasan Pasar Modal terkait; dan
c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan di sektor IKNB, ditujukan kepada
Departemen Pengawasan IKNB terkait.
BAB XII
PENYAMPAIAN LAPORAN DARI PIHAK YANG
MELAKSANAKAN KEGIATAN JASA KEUANGAN
KEPADA OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 28
(1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
wajib menyampaikan laporan berkala setiap tahun
kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. penunjukan AP dan/atau KAP dalam rangka
audit atas informasi keuangan historis tahunan
dengan melampirkan dokumen penunjukan AP
dan/atau KAP disertai rekomendasi Komite Audit
dan pertimbangan yang digunakan dalam
memberikan rekomendasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (6), paling lama 10 (sepuluh)
hari kerja setelah penunjukan AP dan/atau KAP;
dan
b. hasil evaluasi Komite Audit terhadap pelaksanaan
pemberian jasa audit atas informasi keuangan
- 29 -
historis tahunan oleh AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, paling
lama 6 (enam) bulan setelah tahun buku
berakhir.
(2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dinyatakan terlambat menyampaikan laporan berkala
apabila laporan disampaikan setelah batas akhir
waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
berikutnya.
(3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila laporan
belum disampaikan setelah batas akhir waktu
keterlambatan penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 29
(1) Laporan Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. bagi bank, dengan alamat:
1. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah bagi bank
yang berkantor pusat atau kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yang
berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
2. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau
Kantor Otoritas Jasa Keuangan setempat
sesuai dengan wilayah tempat kedudukan
kantor pusat bank;
b. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan di sektor Pasar Modal, ditujukan
kepada Departemen Pengawasan Pasar Modal
terkait; dan
- 30 -
c. bagi Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan di sektor IKNB, ditujukan kepada
Departemen Pengawasan IKNB terkait.
(2) Dalam hal Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan melaksanakan kegiatan lebih dari 1 (satu)
sektor jasa keuangan, laporan berkala sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) disampaikan kepada
Satuan Kerja Pengawasan sesuai dengan jenis lembaga
sektor jasa keuangan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang memerintahkan
secara tertulis kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan untuk melakukan:
a. penggantian AP dan/atau KAP yang telah
ditunjuk oleh Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan; dan/atau
b. audit atau pemeriksaan ulang terhadap laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
wajib memenuhi perintah Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 31
Dalam hal batas akhir waktu penyampaian permohonan
dan/atau laporan yang wajib disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan secara luring (offline) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini jatuh pada
hari libur, permohonan dan/atau laporan dapat
disampaikan pada hari kerja berikutnya.
- 31 -
BAB XIV
SANKSI
Pasal 32
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan
sanksi administratif terhadap setiap pihak yang
melanggar ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini termasuk pihak yang menyebabkan
terjadinya pelanggaran.
(2) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
dan/atau pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis atau peringatan tertulis;
b. denda; dan/atau
c. pencantuman pemegang saham, anggota direksi,
dewan komisaris atau pejabat eksekutif dalam
daftar pihak yang dilarang menjadi:
1. pemegang saham pengendali atau pemilik
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan; dan/atau
2. anggota direksi, dewan komisaris, atau
pejabat eksekutif Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan.
(3) AP dan KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan dapat dikenakan sanksi administratif
berupa:
a. teguran tertulis atau peringatan tertulis;
b. denda;
c. pembekuan pendaftaran; dan/atau
d. pembatalan pendaftaran.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3) dapat dikenakan secara tersendiri
atau secara bersama-sama atau dengan perintah
tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
ayat (1).
- 32 -
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan kepada
masyarakat pengenaan sanksi administratif kepada
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
serta AP dan KAP sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 33
(1) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang melakukan pelanggaran berupa:
a. penunjukan AP dan/atau KAP tanpa
mempertimbangkan usulan dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1);
atau
b. usulan dewan komisaris dalam penunjukan AP
dan/atau
KAP
rekomendasi Komite
tanpa memperhatikan
Audit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2) huruf a.
(2) Bank yang melakukan pelanggaran berupa:
a. rekomendasi Komite Audit bank tidak
mempertimbangkan persyaratan minimal yang
wajib dipenuhi dalam penunjukan AP dan/atau
KAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (8); dan/atau
b. ruang lingkup audit tidak dicantumkan dalam
perjanjian kerja antara bank dengan KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (2) huruf a.
(3) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
- 33 -
huruf b masing-masing sebesar Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) per hari atau paling banyak
Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah) per laporan.
(4) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan berkala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3),
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
huruf b masing-masing sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) per laporan.
(5) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang melakukan pelanggaran dalam hal tidak
memenuhi perintah
Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa pencantuman
pemegang saham, anggota direksi, dewan komisaris
atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang
dilarang menjadi:
a. pemegang saham pengendali atau pemilik Pihak
yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan;
dan/atau
b. anggota direksi, dewan komisaris, atau pejabat
eksekutif Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
Jasa Keuangan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2)
huruf c.
Pasal 34
AP dan/atau KAP yang melakukan pelanggaran:
a. tidak melakukan komunikasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1);
b. tidak menyampaikan informasi yang diminta oleh
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (3); dan/atau
- 34 -
c.
tidak memenuhi persyaratan sebagai AP dan/atau KAP
yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a
dan/atau huruf b, dan/atau Pasal 3 ayat (5),
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis
atau peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (3) huruf a.
Pasal 35
(1) AP yang tidak memenuhi paling sedikit sesuai dengan
jumlah SKP PPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf e, dikenakan sanksi administratif berupa
teguran tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf a.
(2) Selain dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis atau peringatan tertulis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), AP tetap diwajibkan untuk
memenuhi kewajiban paling sedikit sesuai dengan
jumlah SKP PPL dengan menambahkan kekurangan
jumlah SKP PPL pada pemenuhan SKP PPL pada
tahun berikut.
(3) Dalam hal AP tidak dapat memenuhi kewajiban
jumlah SKP PPL pada tahun berikut sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), AP dianggap tidak memenuhi
kewajiban jumlah SKP PPL sebagaimana ditetapkan
Otoritas Jasa Keuangan selama 2 (dua) tahun
berturut-turut.
Pasal 36
(1) KAP yang dinyatakan terlambat menyampaikan:
a. laporan kegiatan
pemberian
jasa KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2);
dan/atau
b. laporan perubahan data AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2),
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3)
huruf b masing-masing sebesar Rp100.000,00
- 35 -
(seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan
paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah)
per laporan.
(2) KAP yang dinyatakan tidak menyampaikan:
a. laporan kegiatan
pemberian
jasa KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3);
dan/atau
b. laporan perubahan data AP dan/atau KAP
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3),
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3)
huruf b masing-masing sebesar Rp5.000.000,00 (lima
juta rupiah) per laporan.
(3) Bagi KAP yang belum menyampaikan laporan, selain
dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap harus
menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 ayat (3) dan/atau Pasal 20 ayat (4) huruf a.
Pasal 37
AP yang terlambat menyampaikan laporan mengenai
pelanggaran signifikan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, kelemahan yang signifikan dalam
pengendalian proses penyusunan dan penyajian laporan
keuangan, kelemahan yang signifikan dalam pengendalian
intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 ayat (3) huruf b sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta
rupiah).
Pasal 38
(1) AP dan/atau KAP yang melakukan pelanggaran:
a. tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan/atau
- 36 -
huruf b, dan/atau Pasal 3 ayat (5), setelah batas
waktu sesuai dengan teguran tertulis atau
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 huruf c;
b. tidak dapat memenuhi persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7;
c.
tidak memenuhi kewajiban jumlah SKP PPL
selama 2 (dua) tahun berturut-turut sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3);
d.
e.
tidak memenuhi kondisi independen selama
Periode Audit dan Periode Penugasan Profesional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1);
tidak menyampaikan
laporan
mengenai
pelanggaran signifikan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, kelemahan yang
signifikan dalam pengendalian proses
penyusunan dan penyajian laporan keuangan,
kelemahan yang signifikan dalam pengendalian
intern, dan/atau kondisi atau perkiraan kondisi
yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (3); atau
f. AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif
berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis
sebanyak 3 (tiga) kali dalam kurun waktu 2 (dua)
tahun,
dikenakan sanksi administratif berupa pembekuan
pendaftaran di Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf c.
(2) Jangka waktu pembekuan pendaftaran pada Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikenakan selama 1 (satu) tahun.
- 37 -
Pasal 39
Pelanggaran ketentuan:
a. AP dan/atau KAP yang tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 7 setelah masa pembekuan berakhir;
b. AP dan/atau KAP yang dinilai oleh Otoritas Jasa
Keuangan melakukan pelanggaran berat terhadap
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini maupun
ketentuan peraturan perundang-undangan lain;
c. AP dan/atau KAP yang dikenakan sanksi administratif
berupa pembekuan pendaftaran sebanyak 2 (dua) kali
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun;
d. KAP berbentuk perseorangan dengan AP yang terkena
sanksi berupa pembatalan pendaftaran pada Otoritas
Jasa Keuangan; dan/atau
e. KAP berbentuk persekutuan dengan paling sedikit
2 (dua) AP terkena sanksi berupa pembatalan
pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan,
dikenakan sanksi administratif berupa pembatalan
pendaftaran pada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) huruf d.
Pasal 40
Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan pidana
pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi terhadap setiap pihak yang melanggar
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk
pihak yang menyebabkan terjadinya pelanggaran.
BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
(1) AP dan/atau KAP yang telah terdaftar pada Otoritas
Jasa Keuangan sebelum berlakunya Peraturan
- 38 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, harus melakukan
pendaftaran ulang.
(2) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan sesuai dengan sektor jasa keuangan
AP sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku.
(3) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan
menyampaikan kelengkapan dokumen sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4, kecuali:
a. persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dan/atau
Pasal 3 ayat (4); dan
b.
sertifikat program sertifikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f.
(4) Jangka waktu pendaftaran ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah paling lama 1 (satu)
tahun setelah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku.
(5) AP dan/atau KAP yang tidak melakukan pendaftaran
ulang sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (4):
a. dianggap mengundurkan diri dari AP dan/atau
KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan;
dan
b. STTD atas nama AP dan/atau KAP dibatalkan
dan dicatat pada daftar AP dan KAP yang tidak
aktif tetap pada Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Kewajiban penyampaian permohonan dan laporan
secara daring (online) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (2), untuk pertama kalinya berlaku sejak
tanggal 1 April 2017.
(7) Dalam rangka persiapan penerapan secara efektif
untuk penyampaian permohonan dan laporan secara
daring (online) sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
KAP dapat melaksanakan uji coba sejak Peraturan
- 39 -
Otoritas Jasa Keuangan ini berlaku sampai dengan
tanggal 31 Maret 2017.
(8) Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan
yang telah melakukan penunjukan AP yang sama
sebelum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
berlaku:
a. tetap dapat menggunakan AP yang ditunjuk
untuk tahun buku yang dimulai pada
tahun 2017 dengan menyampaikan dokumen
penunjukan AP dan/atau KAP; dan
b. penunjukan AP untuk tahun berikutnya
dilakukan dengan mengacu pada Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan jasa
AP dan KAP dalam kegiatan jasa keuangan diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 43
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
ketentuan di bidang:
a. Perbankan
1. Peraturan
Bank Indonesia Nomor
3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank (Lembaran Negara Republik
Indonesia
Tahun
2001
Nomor
150,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4159);
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/50/PBI/2005
tentang
Perubahan
atas
PBI
Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi
Kondisi Keuangan Bank (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 135,
- 40 -
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4573);
3. Pasal 16, 17, 18, 19, dan 26 Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
15/3/PBI/2013
tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank
Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5418); dan
4. Pasal 12, 13, 14, 15, dan 23 Peraturan Bank
Indonesia
Nomor
7/47/PBI/2005
tentang Tentang Transparansi Kondisi Keuangan
Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4564);
b. Pasar Modal
1. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-41/BL/2008
tentang Pendaftaran Akuntan yang Melakukan
Kegiatan di Pasar Modal, beserta Peraturan
Nomor VIII.A.1 yang merupakan lampiran;
2. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-86/BL/2011
tentang Independensi Akuntan yang Memberikan
Jasa di Pasar Modal, beserta Peraturan
Nomor VIII.A.2 yang merupakan lampiran;
3. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-
395/BL/2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan
Akuntan, beserta Peraturan Nomor X.J.2 yang
merupakan lampiran; dan
4. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-79/PM/1996
tentang Laporan Kepada Bapepam Oleh Akuntan
beserta Peraturan Nomor X.J.1 yang merupakan
lampiran;
- 41 -
c.
Industri Keuangan Non-Bank;
Pengaturan terkait Akuntan Publik yang diatur dalam
Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 38/POJK.05/2015 tentang Pendaftaran dan
Pengawasan Konsultan Aktuaria, Akuntan Publik, dan
Penilai yang Melakukan Kegiatan di Industri Keuangan
Non-Bank (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 361, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5807),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, kecuali untuk:
1. Pasal 18 ayat (4) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 3/22/PBI/2001 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4159);
2. Pasal 17 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 15/3/PBI/2013 tentang Transparansi Kondisi
Keuangan Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5418);
3. Peraturan yang mengatur mengenai kewajiban
pemenuhan PPL bagi AP sebagaimana diatur dalam
Peraturan Nomor VIII.A.1. lampiran Keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor KEP-41/BL/2008 tentang Pendaftaran
Akuntan yang Melakukan Kegiatan di Pasar Modal,
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan; dan
4. Pasal 19 huruf c dan Pasal 27 Peraturan Bank
Indonesia Nomor 15/3/PBI/2013 tentang
Transparansi Kondisi Keuangan Bank Perkreditan
Rakyat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2013 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5418), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
- 42 -
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 44
Peraturan yang mengatur mengenai Laporan Berkala
Kegiatan Akuntan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Nomor X.J.2. lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
KEP-395/BL/2008 tentang Laporan Berkala Kegiatan
Akuntan, dinyatakan masih tetap berlaku bagi
penyampaian Laporan Berkala Kegiatan Akuntan untuk
periode 1 April 2016 sampai dengan 31 Maret 2017 kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 43 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Maret 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 62
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 13 /POJK.03/2017
TENTANG
PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK
DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN
I. UMUM
Terciptanya disiplin pasar (market discipline) perlu didukung oleh
adanya informasi keuangan yang transparan dari Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan. Hal ini mengingat adanya
transparansi informasi keuangan memudahkan penilaian yang wajar
bagi kepentingan publik dan pelaku pasar. Untuk itu, Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan harus menyusun dan
menyajikan informasi keuangan yang berkualitas.
Tersedianya informasi keuangan yang berkualitas merupakan
cerminan penerapan tata kelola yang baik yang diantaranya melibatkan
peran dari Komite Audit dalam rangka mengawasi efektivitas
penyelenggaraan fungsi audit eksternal oleh Akuntan Publik dan
Kantor Akuntan Publik.
Dalam rangka peningkatan kualitas informasi keuangan tersebut,
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan menggunakan jasa
yang diberikan oleh Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Dengan demikian, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik memiliki
peran yang penting sebagai penunjang kegiatan sektor jasa keuangan
dalam penegakan disiplin pasar.
Untuk itu, dalam rangka menjaga kepercayaan publik terhadap
kualitas informasi keuangan, Pihak yang Melaksanakan Kegiatan
- 2 -
Jasa Keuangan harus menjaga hubungan yang independen dengan
Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, diperlukan
pengaturan mengenai penggunaan jasa Akuntan Publik dan Kantor
Akuntan Publik dalam kegiatan jasa keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan termasuk
Lembaga Jasa Keuangan dan/atau orang perseorangan atau
badan hukum yang melaksanakan kegiatan di sektor jasa
keuangan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “AP yang terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan” adalah AP yang terdaftar
pada satu atau lebih sektor jasa keuangan pada
Otoritas Jasa Keuangan.
Contoh:
PT Bank “ABC” Tbk. harus menggunakan jasa:
1. KAP yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
2. AP yang paling kurang terdaftar pada sektor
Perbankan dan sektor Pasar Modal.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “melakukan perbuatan tercela”
antara lain tercantum dalam rekam jejak negatif yang
ditatausahakan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan “kredit atau pembiayaan macet”
adalah kredit atau pembiayaan macet sebagaimana
tercantum dalam sistem informasi perkreditan yang
dikelola oleh otoritas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rangkap jabatan” adalah:
1. bekerja pada KAP lain atau profesi penunjang lain
dalam kegiatan jasa keuangan yang terdaftar pada
Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
2. bekerja pada perusahaan klien maupun kelompok
usaha dari klien yang laporan keuangannya akan
dikonsolidasikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kompetensi dan pengetahuan di bidang jasa keuangan
dan industri yang menggunakan jasa AP, antara lain
dipenuhi
melalui program sertifikasi yang
diselenggarakan oleh lembaga yang diakui oleh Otoritas
Jasa Keuangan, paling sedikit sesuai jumlah SKP yang
wajib dipenuhi sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan,
antara lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang
ditetapkan oleh Menteri.
Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka penentuan materi sertifikasi,
- 4 -
jumlah SKP, dan penyampaian data rekapitulasi peserta
sertifikasi.
Ayat (4)
Pengetahuan akuntansi syariah antara lain dipenuhi melalui
program sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga yang
diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, antara
lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik dan asosiasi profesi
akuntan yang ditetapkan oleh Menteri.
Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan antara lain dalam rangka penentuan materi
sertifikasi.
Yang dimaksud dengan “asosiasi profesi akuntan” adalah
organisasi profesi akuntan yang bersifat nasional
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai akuntan beregister negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Daftar riwayat hidup antara lain meliputi riwayat
pendidikan dan pengalaman kerja sebagai auditor,
dilengkapi dengan penjelasan tentang penugasan yang
pernah diterima dalam 3 (tiga) tahun terakhir pada KAP
serta keterangan tentang nama perusahaan yang diaudit,
tahun penugasan, dan jenis penugasan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 5 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Untuk keperluan pemeriksaan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Lembaga yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan, antara
lain Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan oleh
Menteri.
Lembaga dimaksud berkoordinasi dengan Otoritas Jasa
Keuangan dalam rangka penentuan materi PPL dan
penyampaian data rekapitulasi realisasi PPL yang diikuti oleh
AP, paling lambat akhir bulan Januari tahun berikutnya.
Data rekapitulasi realisasi PPL yang diikuti oleh AP, antara
lain dipergunakan untuk penilaian kepatuhan pemenuhan
kewajiban PPL.
- 6 -
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “sektor jasa keuangan” adalah sektor
Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB.
Ayat (2)
Contoh:
AP “X” telah terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan sektor
Perbankan. Jika AP “X” juga ingin memberikan jasa kepada
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan di sektor
Pasar Modal dan/atau IKNB maka AP “X” perlu melakukan
penambahan ruang lingkup pemberian jasa pada sektor Pasar
Modal dan/atau IKNB di Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain KAP
hanya memiliki 1 (satu) orang Rekan AP yang terdaftar
pada Otoritas Jasa Keuangan namun tidak memiliki
perjanjian kerjasama dengan KAP lain yang mempunyai
Rekan AP yang terdaftar pada daftar AP dan KAP yang
Aktif pada Otoritas Jasa Keuangan.
- 7 -
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
AP dapat menunda PPL setiap tahun namun tidak
menghilangkan kewajiban untuk memenuhi jumlah
SKP PPL setiap tahun sebagaimana ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sebab lain” antara lain izin
dicabut atau dinyatakan tidak berlaku oleh Menteri atau
meninggal dunia.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Dalam hal sisa masa berlaku izin AP yang diberikan oleh
Menteri kurang dari 3 (tiga) tahun sejak tanggal rencana
penghentian pemberian jasa untuk sementara waktu,
permohonan penghentian pemberian jasa paling lama sampai
dengan masa berlaku izin AP dari Menteri berakhir.
Contoh 1:
Masa berlaku izin AP dari Menteri adalah sampai dengan
tanggal 1 Maret 2020 dan tanggal rencana penghentian
pemberian jasa untuk sementara waktu adalah sejak
tanggal 1 Januari 2017 maka masa penghentian pemberian
jasa untuk sementara waktu adalah paling lama sampai
dengan tanggal 31 Desember 2019.
- 8 -
Contoh 2:
Masa berlaku izin AP dari Menteri adalah sampai dengan
tanggal 1 Maret 2019 dan tanggal rencana penghentian
pemberian jasa untuk sementara waktu adalah sejak
tanggal 1 Januari 2017 maka masa penghentian pemberian
jasa adalah paling lama sampai dengan tanggal 1 Maret 2019.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
AP yang telah mendapatkan persetujuan penghentian
pemberian jasa untuk sementara waktu selama 3 (tiga) tahun
yaitu sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2019 dapat aktif kembali dengan cara:
a. mengikuti PPL per tahun pada tahun 2017, 2018,
dan 2019; atau
b. mengikuti PPL
periode
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
secara akumulasi dalam
1 Januari 2018 sampai dengan
31 Desember 2019.
- 9 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” adalah:
1. sedang diperiksa oleh Otoritas Jasa Keuangan
dan/atau otoritas lain;
2. sedang memberikan jasa kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan; dan/atau
3. pertimbangan lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “AP dan/atau KAP yang tidak dapat
menyelesaikan pemberian jasa audit atas informasi keuangan
historis tahunan” adalah AP dan/atau KAP yang termasuk
pada daftar AP dan KAP yang tidak aktif sementara waktu
atau daftar AP dan KAP yang tidak aktif tetap pada Periode
Penugasan Profesional.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Contoh:
PT “ABC” menggunakan jasa audit atas informasi keuangan
historis dari AP “X” mulai tahun buku 2015 maka PT “ABC”
hanya dapat menggunakan jasa AP “X” berturut-turut untuk
tahun buku 2015, 2016, dan 2017.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “AP yang merupakan pihak
terasosiasi” adalah AP yang tidak menandatangani laporan
auditor independen namun terlibat langsung dalam
pemberian jasa audit atas informasi keuangan historis
tahunan.
Ayat (3)
Contoh:
Bank “ABC” telah menggunakan jasa audit atas informasi
keuangan historis dari AP “X” untuk tahun buku 2015, 2016,
dan 2017 maka Bank “ABC” hanya dapat menggunakan
kembali jasa AP “X” mulai tahun buku 2020.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Dalam memberikan jasa kepada Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan, AP dan KAP menjaga independensi
serta bebas dari benturan kepentingan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Akuntan Publik.
- 11 -
Yang dimaksud dengan “kondisi independen bagi AP, KAP,
dan orang dalam KAP terhadap Pihak yang Melaksanakan
Kegiatan Jasa Keuangan selama Periode Audit dan Periode
Penugasan Profesional” adalah apabila dalam pemberian jasa
tersebut tidak terdapat kondisi:
a. kepentingan keuangan yang material;
b. hubungan pekerjaan;
c. hubungan usaha yang material, termasuk dengan
karyawan kunci atau pemegang saham utama;
d. pemberian jasa non asurans;
e. pemberian jasa atau produk dengan dasar fee kontinjen
atau komisi;
f. sengketa hukum; dan/atau
g. hal-hal lain yang dapat menimbulkan benturan
kepentingan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
AP dan/atau KAP berkomunikasi dengan Satuan Kerja
Pengawasan sesuai dengan jenis lembaga sektor jasa
keuangan terkait.
Yang dimaksud dengan “Lembaga Jasa Keuangan” adalah
lembaga jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan Bagi Pihak Utama Lembaga Jasa
Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Informasi yang diminta Otoritas Jasa Keuangan kepada AP
dan/atau KAP termasuk kertas kerja pemeriksaan audit,
apabila diperlukan.
- 12 -
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Laporan perubahan data AP dan/atau KAP antara lain
perpanjangan izin AP, perubahan izin usaha KAP,
perpindahan AP ke KAP lain, perubahan perjanjian kerja
sama antar Rekan bagi KAP yang berbentuk
persekutuan, perubahan nama KAP, perubahan alamat
domisili KAP dan/atau kantor cabang KAP, perubahan
susunan Rekan KAP, perubahan pemimpin KAP,
perubahan kerjasama KAP dengan KAP lain yang
terdaftar pada Otoritas Jasa Keuangan, perubahan
kerjasama KAP dengan kantor akuntan publik asing atau
organisasi audit asing, penghentian pemberian jasa
sementara waktu, pembukaan cabang KAP, dan/atau
permohonan pengunduran diri AP atau pencabutan izin
usaha KAP kepada Menteri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
- 13 -
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh:
1. AP “X” yang tergabung dengan KAP “XYZ”
melakukan audit informasi keuangan historis
tahunan terhadap PT “ABC” pada posisi keuangan
tanggal 31 Desember 2016,
31 Desember 2017, dan tanggal 31 Desember 2018
sehingga jumlah tahun periode audit:
a) AP “X” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan
dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP
Tahun 2019 terhitung sebanyak 3 (tiga) tahun;
b) KAP “XYZ” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan
dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP
Tahun 2019 terhitung sebanyak 3 (tiga) tahun.
2. AP “Y” yang tergabung dengan KAP “XYZ”
melakukan audit informasi keuangan historis
tahunan terhadap PT “ABC” pada posisi keuangan
tanggal 31 Desember 2019 dan tanggal
31 Desember 2020 sehingga jumlah tahun periode
audit:
a) AP “Y” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan
dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP
Tahun 2021 terhitung sebanyak 2 (dua) tahun;
b) KAP “XYZ” terhadap PT “ABC” yang dilaporkan
dalam Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP
Tahun 2021 terhitung sebanyak 5 (lima) tahun.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Contoh:
Laporan Kegiatan Pemberian Jasa KAP untuk periode
1 April 2017 sampai dengan 31 Maret 2018 disertai dengan
bukti pendukung disampaikan oleh KAP “XYZ” kepada
tanggal
- 14 -
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 15 April 2018.
Bukti pendukung, antara lain berupa tanda terima
pembayaran atas pemberian jasa KAP kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Persetujuan atau pemberitahuan perubahan data dari
Kementerian Keuangan diterima oleh AP dan/atau KAP
dibuktikan dengan dokumen tanda terima persetujuan atau
pemberitahuan perubahan data dari Kementerian Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Data dan informasi tersebut dapat diperoleh Otoritas Jasa
Keuangan melalui koordinasi dengan pihak lain.
Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain Kementerian
Keuangan dan Asosiasi Profesi Akuntan Publik yang ditetapkan
oleh Menteri.
Data dan informasi untuk pengkinian data AP dan KAP yaitu data
dan informasi sebagaimana penjelasan dalam Pasal 20 ayat (4)
huruf a. Selain itu juga data dan informasi mengenai AP dan/atau
KAP yang dikenakan sanksi, antara lain pencabutan atau
pembekuan izin oleh Menteri, masa berlaku izin AP dari Menteri
telah habis, AP mengundurkan diri, AP meninggal dunia, KAP
membubarkan diri, AP dan/atau KAP menghadapi permasalahan
hukum yang berpotensi mengganggu kelangsungan pemberian
jasa.
- 15 -
Pasal 24
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan” adalah pada saat laporan pelanggaran signifikan,
kelemahan yang signifikan dan/atau kondisi atau perkiraan
kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha
Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan, diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Dokumen penunjukan AP dan/atau KAP antara lain
Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham atau
Risalah Rapat Umum Pemegang Saham, Perjanjian Kerja
antara Pihak yang Melaksanakan Kegiatan Jasa
Keuangan dengan KAP.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh:
PT Bank “ABC” Tbk. melakukan kegiatan di sektor Perbankan
dan Pasar Modal maka PT Bank “ABC” Tbk. menyampaikan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
kepada pengawas sektor Perbankan karena PT Bank “ABC”
Tbk. memiliki kelembagaan berbentuk bank.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Contoh:
1. Batas akhir waktu penyampaian permohonan dan/atau
laporan yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan secara luring (offline) jatuh pada hari Sabtu maka
permohonan dan/atau laporan dapat disampaikan pada hari
kerja berikutnya yaitu hari Senin.
2. Dalam hal permohonan dan/atau laporan disampaikan pada
hari Selasa maka KAP dinyatakan terlambat menyampaikan
permohonan dan/atau laporan terhitung 1 (satu) hari.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan
Kementerian Keuangan dalam memberikan informasi
dan/atau rekomendasi untuk pencabutan izin AP dan/atau
KAP, atas pelanggaran yang dilakukan oleh AP dan/atau KAP
- 17 -
terhadap Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Contoh:
AP dikenakan sanksi berupa teguran tertulis atau
- 18 -
peringatan tertulis sebagai berikut:
1. pertama kali pada tanggal 15 April 2017;
2. kedua kali pada tanggal 30 November 2018; dan
3. ketiga kali pada tanggal 1 April 2019.
Dengan demikian, AP telah mendapat 3 (tiga) kali sanksi
berupa teguran tertulis atau peringatan tertulis dalam
kurun waktu 2 (dua) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh:
Pelanggaran berat antara lain:
1. AP dan/atau KAP melakukan manipulasi, membantu
melakukan manipulasi, dan/atau memalsukan data
yang berkaitan dengan jasa yang diberikan; dan/atau
2. AP dan/atau KAP memberikan jasa kepada Pihak yang
Melaksanakan Kegiatan Jasa Keuangan pada masa tidak
aktif sementara waktu.
Huruf c
Contoh:
AP dan/atau KAP dikenakan sanksi administratif berupa
pembekuan pendaftaran yaitu:
1. pertama kali pada tanggal 15 Januari 2017; dan
2. kedua kali pada tanggal 10 Januari 2019.
Dengan demikian, AP dan/atau KAP telah mendapat 2 (dua)
kali sanksi administratif berupa pembekuan pendaftaran
dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 19 -
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Contoh:
PT “ABC” pada tahun 2014 telah menunjuk AP “X” sebagai
auditor selama 5 (lima) tahun, yaitu untuk tahun buku yang
dimulai pada 2014 sampai dengan tahun 2018, PT “ABC”
hanya dapat menggunakan jasa AP “X” sampai dengan
tahun buku 2017 sehingga untuk tahun buku 2018
PT “ABC” harus menunjuk AP lain selain AP “X”, sesuai
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6036
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 13/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PENGGUNAAN JASA AKUNTAN PUBLIK DAN KANTOR AKUNTAN PUBLIK DALAM KEGIATAN JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 27 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 27 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 27 Maret 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '3/22/PBI/2001 | kecuali Pasal 18 ayat (4) berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan', '7/50/PBI/2005', '15/3/PBI/2013 | Pasal 16, 17, 18, 19, dan 26 kecuali Pasal 17 ayat (3) berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini sampai dengan diterbitkannya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan dan Pasal 19 huruf c dan Pasal 27 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini', '7/47/PBI/2005 | Pasal 12, 13, 14, 15, dan 23', 'KEP-41/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | kecuali lampiran Peraturan yang mengatur mengenai kewajiban pemenuhan PPL bagi AP sebagaimana diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1', 'KEP-86/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011', 'KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-79/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996', '38/POJK.05/2015', 'KEP-86/BL/2011|KEPTA-BAPEPAM-LK/2011 | Lampiran Peraturan Nomor VIII.A.2', 'KEP-395/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.2', 'KEP-79/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM-LK/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.J.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995', '7/UU/1992', '10/UU/1998', '2/UU/2009', '5/UU/2011', '21/UU/2008', '40/UU/2014', '1/UU/2016', '11/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'Bab XIV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45 /POJK.03/2015
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI
BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menghadapi dinamika
perekonomian global, industri perbankan perlu
meningkatkan ketahanan;
b. bahwa peningkatan ketahanan tersebut dilakukan
melalui peningkatan tata kelola dalam pemberian
Remunerasi;
c. bahwa peningkatan tata kelola dalam pemberian
Remunerasi
bertujuan untuk
dilakukannya
prudent risk taking
kelangsungan usaha Bank dapat terjaga;
d. bahwa dalam rangka menciptakan disiplin pasar dan
sesuai dengan perkembangan standar internasional
perlu transparansi informasi mengenai pemberian
Remunerasi baik yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d
perlu mengatur ketentuan tentang penerapan tata
kelola dalam pemberian remunerasi bagi bank umum
mendorong
sehingga
- 2 -
dalam suatu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN
REMUNERASI BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
2. Bank Asing adalah:
a. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri;
b. Bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing sebesar 50% (lima puluh
persen) atau lebih; atau
- 3 -
c. Bank yang dimiliki baik secara sendiri atau
bersama-sama oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing kurang dari 50% (lima puluh
persen) namun terdapat pengendalian oleh warga
negara asing dan/atau badan hukum asing
tersebut.
3. Direksi adalah:
a. bagi Bank berbentuk hukum Perseroan Terbatas
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai perseroan terbatas;
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai perusahaan daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri adalah pemimpin kantor cabang
dan pejabat satu tingkat di bawah pemimpin
kantor cabang.
4. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud
dalam
perundang-undangan mengenai
terbatas;
ketentuan peraturan
perseroan
b. bagi Bank berbentuk hukum Perusahaan Daerah
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai perusahaan daerah;
c. bagi Bank berbentuk hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai perkoperasian.
- 4 -
5. Remunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan
diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris dan/atau Pegawai baik yang bersifat tetap
maupun variabel dalam bentuk tunai maupun tidak
tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung
jawabnya.
6. Remunerasi yang Bersifat Tetap adalah remunerasi
yang tidak dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara
lain gaji pokok, fasilitas, tunjangan perumahan,
tunjangan kesehatan, tunjangan pendidikan,
tunjangan hari raya, dan pensiun.
7. Remunerasi yang Bersifat Variabel adalah Remunerasi
yang dikaitkan dengan kinerja dan risiko, antara lain
bonus atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
8. Pegawai Bank yang selanjutnya disebut Pegawai
adalah orang yang bekerja pada Bank berdasarkan
perjanjian untuk melaksanakan suatu pekerjaan
dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan
memperoleh imbalan, termasuk Pegawai dengan
perjanjian kerja waktu tertentu.
9. Malus adalah kebijakan yang mengizinkan Bank
berdasarkan kriteria tertentu menunda pembayaran
sebagian atau seluruh dari Remunerasi yang Bersifat
Variabel yang ditangguhkan.
10. Clawback adalah suatu perjanjian antara Bank
dengan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris
atau Pegawai dimana anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris atau Pegawai setuju untuk mengembalikan
Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diterima
sepanjang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana
ditetapkan oleh Bank.
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan tata kelola dalam pemberian
Remunerasi.
- 5 -
(2) Penerapan tata kelola dalam pemberian Remunerasi
paling sedikit mencakup:
a.
tugas dan tanggung jawab Direksi dan Dewan
Komisaris;
b. tugas dan tanggung jawab Komite Remunerasi;
c. penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian
Remunerasi; dan
d. pengungkapan Remunerasi (disclosure).
BAB II
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB DIREKSI DAN DEWAN
KOMISARIS
Pasal 3
Bank wajib memiliki kebijakan tertulis Remunerasi bagi
Direksi, Dewan Komisaris, dan Pegawai.
Pasal 4
Direksi wajib menyusun kebijakan Remunerasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang paling sedikit
memuat:
a. struktur Remunerasi yang paling sedikit mencakup:
1) skala Remunerasi berdasarkan tingkat dan
jabatan; dan
2) komponen Remunerasi
b. metode dan mekanisme penetapan Remunerasi.
Pasal 5
Penyusunan kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 wajib paling sedikit mempertimbangkan:
a. terciptanya manajemen risiko yang efektif;
b. stabilitas keuangan Bank;
c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank;
d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka
panjang; dan
e. potensi pendapatan di masa yang akan datang.
- 6 -
Pasal 6
Dewan Komisaris wajib paling sedikit melaksanakan:
a. pengawasan
Remunerasi; dan
b. evaluasi secara berkala atas kebijakan Remunerasi
atas dasar hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada huruf a.
BAB III
TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB KOMITE REMUNERASI
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Dewan Komisaris wajib membentuk
Komite Remunerasi.
(2) Komite Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling sedikit beranggotakan:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang Komisaris; dan
c. seorang Pejabat Eksekutif yang membawahkan
Sumber Daya Manusia atau seorang perwakilan
Pegawai.
(3) Komite Remunerasi diketuai oleh Komisaris
Independen.
(4) Anggota Direksi dilarang menjadi anggota Komite
Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Dalam hal anggota Komite Remunerasi ditetapkan
lebih dari 3 (tiga) orang maka anggota Komisaris
Independen berjumlah paling sedikit 2 (dua) orang.
Pasal 8
Pembentukan Komite Remunerasi bagi kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri disesuaikan
dengan struktur organisasi yang berlaku pada bank yang
bersangkutan.
terhadap penerapan kebijakan
- 7 -
Pasal 9
Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan
tanggung jawab secara independen.
Pasal 10
Komite Remunerasi wajib melaksanakan tugas dan
tanggung jawab paling sedikit:
a. melakukan evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi
yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran
dengan peer group, sasaran, dan strategi jangka
panjang Bank, pemenuhan cadangan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan dan
potensi pendapatan Bank di masa yang akan datang;
b. menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi
kepada Dewan Komisaris mengenai:
1) kebijakan Remunerasi bagi Direksi dan Dewan
Komisaris untuk disampaikan kepada Rapat
Umum Pemegang Saham;
2) kebijakan Remunerasi bagi Pegawai secara
keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi;
c. memastikan bahwa kebijakan Remunerasi telah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan
d. melakukan evaluasi secara berkala terhadap
penerapan kebijakan Remunerasi.
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM
PEMBERIAN REMUNERASI
Pasal 11
Dalam menerapkan tata kelola sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 Bank wajib memperhatikan prinsip kehati-
hatian dalam pemberian Remunerasi baik Remunerasi yang
Bersifat Tetap maupun Remunerasi yang Bersifat Variabel.
- 8 -
Bagian Pertama
Remunerasi yang Bersifat Tetap
Pasal 12
Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Tetap wajib paling
sedikit memperhatikan skala usaha, kompleksitas usaha,
peer group, tingkat inflasi, kondisi, dan kemampuan
keuangan, serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Kedua
Remunerasi yang Bersifat Variabel
Pasal 13
Kebijakan Remunerasi yang Bersifat Variabel selain
memperhatikan Pasal 12, juga wajib mendorong
dilakukannya prudent risk taking.
Pasal 14
Dalam menetapkan kebijakan Remunerasi yang Bersifat
Variabel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Komite
Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1)
wajib berkoordinasi dengan satuan kerja manajemen risiko.
Pasal 15
Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi,
Dewan Komisaris dan/atau Pegawai
mempertimbangkan:
a. kinerja, yaitu :
1) kinerja Direksi, Dewan Komisaris, atau Pegawai;
2) kinerja unit bisnis;
3) kinerja Bank; dan
b.
risiko.
wajib
- 9 -
Pasal 16
Bank menentukan metode pengukuran kinerja dan jenis
risiko dalam menetapkan pemberian Remunerasi yang
Bersifat Variabel sesuai skala dan kompleksitas kegiatan
usaha Bank.
Pasal 17
(1) Remunerasi yang Bersifat Variabel dapat diberikan
dalam bentuk:
a. tunai; dan/atau
b. saham atau instrumen yang berbasis saham yang
diterbitkan Bank.
(2) Remunerasi yang Bersifat Variabel yang diberikan oleh
Bank berstatus perseroan terbuka (go public) wajib
dalam bentuk saham atau instrumen yang berbasis
saham yang diterbitkan Bank yang bersangkutan
sebesar persentase tertentu dari Remunerasi yang
Bersifat Variabel.
Pasal 18
Remunerasi yang Bersifat Variabel dalam bentuk saham
atau instrumen yang berbasis saham bagi Komisaris
Independen dikonversi dan diberikan dalam bentuk tunai.
Pasal 19
Dalam hal Bank mengalami kerugian, Bank dapat:
a. tidak membagikan; atau
b. membagikan dengan nilai yang relatif kecil,
Remunerasi yang Bersifat Variabel kepada Direksi, Dewan
Komisaris dan/atau Pegawai.
Pasal 20
Pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Pegawai
pada unit pengawasan (control unit) dilakukan sesuai
dengan kinerja dengan tetap memperhatikan objektivitas
dan independensi.
- 10 -
Pasal 21
(1) Bank dilarang menjamin tanpa syarat pemberian
besaran tertentu Remunerasi yang Bersifat Variabel
kepada Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk tahun pertama sejak yang
bersangkutan bekerja pada Bank.
Bagian Ketiga
Material Risk Takers
Pasal 22
Bank wajib menetapkan pihak yang menjadi material risk
takers, yang paling sedikit memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. Direksi dan/atau Pegawai lainnya yang karena tugas
dan tanggung jawabnya mengambil keputusan yang
berdampak signifikan terhadap profil risiko Bank; atau
b. Direksi, Dewan Komisaris dan/atau Pegawai yang
memperoleh Remunerasi yang Bersifat Variabel
dengan nilai yang besar.
Pasal 23
(1) Bank wajib menangguhkan pembayaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel kepada pihak yang menjadi
material risk takers sebesar persentase tertentu.
(2) Besarnya persentase penangguhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan tingkat
jabatan.
Pasal 24
(1) Jangka waktu penangguhan pembayaran Remunerasi
yang Bersifat Variabel sebagaimana dimaksud pada
Pasal 23 ayat (1) paling sedikit 3 (tiga) tahun.
(2) Penetapan jangka waktu penangguhan pembayaran
Remunerasi yang Bersifat Variabel sebagaimana
- 11 -
dimaksud dalam ayat (1) dapat disesuaikan jangka
waktunya menjadi lebih panjang sesuai dengan jangka
waktu risiko (time horizon of risks).
Pasal 25
Pembayaran Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat
(1) wajib diberikan secara prorata sesuai dengan jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Pasal 26
(1) Bank dapat menunda pembayaran Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang ditangguhkan (malus) atau
menarik kembali Remunerasi yang Bersifat Variabel
yang sudah dibayarkan (clawback) kepada pihak yang
menjadi material risk takers dalam kondisi tertentu.
(2) Bank menetapkan kondisi tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 27
Pihak yang menjadi material risk takers dilarang
melakukan lindung nilai atas Remunerasi yang Bersifat
Variabel yang ditangguhkan.
BAB V
PENGUNGKAPAN (DISCLOSURE)
Pasal 28
(1) Bank wajib mengungkapkan informasi kebijakan
Remunerasi dalam laporan tahunan pelaksanaan tata
kelola sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai
pelaksanaan Good Corporate Governance bagi bank
umum.
(2) Informasi kebijakan Remunerasi yang wajib
diungkapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup:
- 12 -
a. Komite Remunerasi antara lain:
1) nama anggota, komposisi, tugas dan
tanggung jawab;
2) jumlah rapat yang dilakukan; dan
3) Remunerasi yang telah dibayarkan kepada
anggota Komite Remunerasi selama 1 (satu)
tahun;
b. proses penyusunan kebijakan Remunerasi yang
meliputi:
1) tinjauan mengenai latar belakang dan tujuan
kebijakan Remunerasi;
2) pelaksanaan kaji ulang atas kebijakan
Remunerasi pada tahun sebelumnya, beserta
perbaikannya; dan
3) mekanisme untuk memastikan bahwa
Remunerasi bagi Pegawai di unit kontrol
bersifat independen dari unit kerja yang
diawasinya;
c. cakupan kebijakan Remunerasi dan
implementasinya per unit bisnis, per wilayah dan
pada perusahaan anak atau kantor cabang yang
berlokasi di luar negeri;
d. Remunerasi dikaitkan dengan risiko yang
meliputi:
1)
jenis risiko utama (key risk) yang digunakan
dalam menerapkan Remunerasi;
2)
kriteria untuk menentukan jenis risiko
utama, termasuk untuk risiko yang sulit
diukur;
3) dampak penetapan risiko utama terhadap
kebijakan
Remunerasi
Variabel; dan
4) perubahan penentuan jenis risiko utama
dibandingkan dengan tahun lalu beserta
alasannya, apabila ada;
yang Bersifat
- 13 -
e. pengukuran kinerja dikaitkan dengan
Remunerasi yang meliputi:
1) tinjauan mengenai kebijakan Remunerasi
yang dikaitkan dengan penilaian kinerja;
2) metode dalam mengaitkan Remunerasi
individu dengan kinerja Bank, kinerja unit
kerja dan kinerja individu; dan
3) uraian mengenai metode yang digunakan
Bank untuk menyatakan bahwa kinerja yang
disepakati tidak dapat tercapai sehingga
perlu dilakukan penyesuaian atas
remunerasi serta besarnya penyesuaian
remunerasi jika kondisi tersebut terjadi;
f.
penyesuaian Remunerasi dikaitkan dengan
Kinerja dan Risiko yang meliputi:
1) kebijakan mengenai Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang ditangguhkan,
besarannya, dan kriteria untuk menetapkan
besaran tersebut; dan
2) kebijakan Bank mengenai Remunerasi yang
Bersifat Variabel yang ditangguhkan yang
ditunda pembayarannya (malus), atau ditarik
kembali apabila sudah dibayarkan
(clawback);
g. nama konsultan ekstern dan tugas konsultan
terkait kebijakan Remunerasi, apabila Bank
menggunakan jasa konsultan ekstern;
h. paket Remunerasi dan fasilitas yang diterima oleh
Direksi dan Dewan Komisaris mencakup struktur
Remunerasi dan rincian jumlah nominal;
i.
Remunerasi yang Bersifat Variabel, meliputi:
1) bentuk Remunerasi yang Bersifat Variabel
beserta alasan pemilihan bentuk tersebut;
dan
2) penjelasan apabila terdapat perbedaan
pemberian Remunerasi yang Bersifat
- 14 -
Variabel di antara para Direksi, Dewan
Komisaris dan/atau Pegawai;
j.
jumlah Direksi, Dewan Komisaris dan Pegawai
yang menerima Remunerasi yang Bersifat
Variabel selama 1 (satu) tahun, dan total
nominalnya;
k. jabatan dan jumlah pihak yang menjadi material
risk takers;
l. shares option yang dimiliki Direksi, Dewan
Komisaris, dan Pejabat Eksekutif;
m. rasio gaji tertinggi dan terendah;
n. jumlah penerima dan jumlah total Remunerasi
yang Bersifat Variabel yang dijamin tanpa syarat
akan diberikan oleh Bank kepada calon Direksi,
calon Dewan Komisaris, dan/atau calon Pegawai
selama 1 (satu) tahun pertama bekerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
o. jumlah Pegawai yang terkena pemutusan
hubungan kerja dan total nominal pesangon yang
dibayarkan;
p. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel
yang ditangguhkan, yang terdiri dari tunai
dan/atau saham atau instrumen yang berbasis
saham yang diterbitkan Bank;
q. jumlah total Remunerasi yang Bersifat Variabel
yang ditangguhkan yang dibayarkan selama 1
(satu) tahun;
r.
rincian jumlah Remunerasi yang diberikan dalam
satu tahun meliputi:
1) Remunerasi yang bersifat tetap maupun
variabel;
2) Remunerasi yang ditangguhkan dan tidak
ditangguhkan; dan
3) bentuk Remunerasi yang diberikan secara
tunai dan/atau saham atau instrumen yang
berbasis saham yang diterbitkan Bank;
- 15 -
s. informasi kuantitatif mengenai:
1)
total sisa Remunerasi
ditangguhkan
2)
pengurangan
yang masih
baik yang terekspos
penyesuaian implisit maupun eksplisit;
total
Remunerasi yang
3)
disebabkan karena penyesuaian eksplisit
selama periode laporan;
pengurangan
total
Remunerasi yang
disebabkan karena penyesuaian implisit
selama periode laporan.
Pasal 29
Bank menyajikan informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28 ayat (2) dalam bentuk:
a. tabel atau grafik; dan/atau
b. perbandingan dengan periode laporan 1 (satu) tahun
sebelumnya.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 30
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan atas
implementasi kebijakan Remunerasi Bank sesuai
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank
belum mengimplementasikan kebijakan Remunerasi
sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan Bank untuk
melakukan langkah-langkah perbaikan.
Pasal 31
(1) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang untuk:
a. melakukan kaji ulang terhadap besaran
- 16 -
Remunerasi yang Bersifat Variabel bagi Direksi,
Dewan Komisaris, dan/atau Pegawai; dan/atau
b. memerintahkan Bank untuk melakukan
penyesuaian kebijakan Remunerasi yang Bersifat
Variabel.
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menunjuk pihak
independen untuk melakukan kaji ulang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a.
Pasal 32
(1) Bank yang berbadan hukum Indonesia wajib
menerapkan dan memantau pelaksanaan kebijakan
Remunerasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini kepada jaringan kantor Bank di luar
negeri.
(2) Dalam hal ketentuan Remunerasi di negara tempat
kedudukan jaringan kantor Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan ketentuan ini,
Bank wajib menerapkan kebijakan Remunerasi paling
sedikit sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan
koordinasi dalam rangka home-host supervision untuk
memastikan penerapan kebijakan Remunerasi.
BAB VII
SANKSI
Pasal 33
Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), Pasal 22,
Pasal 23 ayat (1), Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 32
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 atau Pasal 35, dikenakan
sanksi administratif antara lain berupa:
- 17 -
a. teguran tertulis; dan/atau
b. penurunan peringkat
Governance.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Bagi Bank yang belum memiliki atau telah memiliki
kebijakan Remunerasi namun belum sesuai dengan
kebijakan Remunerasi sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib melakukan
penyesuaian kebijakan Remunerasi dengan mengacu
kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dalam jangka
waktu paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
faktor Good Corporate
Pasal 35
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
tugas dan tanggung jawab Komite Remunerasi yang telah
ada namun belum sesuai dengan yang diatur dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyesuaikan
dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 36
Ketentuan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
mulai berlaku sejak tanggal:
(1) 1 Januari 2019, bagi Bank Asing, Bank BUKU 3, dan
BUKU 4; dan
(2) 1 Januari 2020, bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2 yang
bukan merupakan Bank Asing.
- 18 -
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan tata kelola
dalam pemberian remunerasi berdasarkan kinerja dan
risiko diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 38
Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat
(3) Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006
tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank
Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/14/PBI/2006 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/4/PBI/2006 tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 39
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal:
(1) 1 Januari 2016 bagi Bank Asing, Bank BUKU 3, dan
BUKU 4; dan
(2) 1 Januari 2017 bagi Bank BUKU 1 dan BUKU 2 yang
bukan merupakan Bank Asing.
- 19 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 371
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 45 /POJK.03/2015
TENTANG
PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI
BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya krisis
ekonomi dunia tahun 2007 adalah pemberian bonus yang tinggi karena
pencapaian target yang ditetapkan dengan mengabaikan risiko yang
akan timbul di masa yang akan datang sehingga membahayakan
kondisi keuangan Bank apabila Bank tidak mampu menyerap kerugian
tersebut. Tindakan perbaikan untuk mengoreksi praktik pemberian
bonus yang tidak sehat tersebut kemudian menjadi agenda dalam
program reformasi sistem keuangan global dan pada tanggal 25
September 2009 Financial Stability Board menerbitkan Principles for
Sound Compensation Practices.
Program reformasi tersebut bertujuan untuk (i) mencegah
timbulnya moral hazard dan mengedepankan unsur prudensial dalam
pengelolaan Bank; (ii) menjaga kesehatan Bank secara individual; dan
(iii) memitigasi adanya excessive risk taking yang dilakukan oleh para
pengambil keputusan. Indonesia sebagai salah satu anggota G-20
berkomitmen untuk mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dalam bentuk
regulasi.
Sejalan dengan penerapan Basel II khususnya Pilar 3 (Market
Discipline), Bank dituntut mengungkapkan informasi yang lebih
transparan kepada publik dan pelaku pasar khususnya terkait dengan
Remunerasi untuk mendorong disiplin dan agar pemangku
- 2 -
kepentingan dapat memberikan penilaian yang wajar.
Namun demikian, pengungkapan informasi ini dilakukan dengan
tetap menjaga keunggulan bersaing Bank. Oleh karena itu perlu diatur
cakupan informasi baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif
yang wajib diungkapkan sehingga kompetisi antar Bank tetap terjaga.
Sehubungan dengan itu, perlu diatur mengenai penerapan tata
kelola dalam pemberian remunerasi dalam suatu Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kecukupan dan penguatan
permodalan Bank” adalah bahwa kebijakan Remunerasi
dapat menjaga kelangsungan usaha Bank agar mampu hidup
dan berkembang, dan mampu bersaing di pasar global dan di
peer groupnya.
Kecukupan permodalan Bank meliputi kecukupan
permodalan dalam rangka pemenuhan regulatory capital
- 3 -
maupun Individual Capital Adequacy Assessment Process
(ICAAP).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengaturan mengenai keanggotaan Komite Remunerasi
mengacu kepada ketentuan mengenai pelaksanaan Good
Corporate Governance bagi bank umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “independen” adalah pelaksanaan tugas
secara objektif dan bebas dari tekanan dan kepentingan pihak
manapun.
- 4 -
Pasal 10
Pengaturan mengenai tugas dan tanggung jawab Komite
Remunerasi mengacu kepada ketentuan mengenai pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi bank umum.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kinerja” adalah kinerja
keuangan, kinerja Bank, kinerja unit bisnis, dan kinerja
individu.
Yang dimaksud dengan “cadangan” adalah cadangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
mengenai perseroan terbatas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Evaluasi terhadap kebijakan Remunerasi dan
penerapannya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kerangka manajemen risiko Bank.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “memperhatikan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian Remunerasi” adalah mempertimbangkan:
a. terciptanya manajemen risiko yang efektif;
b. stabilitas keuangan Bank;
c. kecukupan dan penguatan permodalan Bank;
d. kebutuhan likuiditas jangka pendek dan jangka panjang; dan
e. potensi pendapatan di masa yang akan datang.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Yang dimaksud dengan “prudent risk taking” adalah pengambilan
risiko dalam melakukan kegiatan usaha dilakukan secara terukur
dan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai manajemen risiko.
- 5 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “risiko” meliputi risiko yang sudah
terjadi maupun risiko yang mungkin terjadi. Jenis-jenis risiko
mengacu kepada ketentuan yang mengatur mengenai
penerapan manajemen risiko bagi bank umum.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a.
Cukup jelas.
Huruf b.
Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham
baru yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang
bersangkutan yang dibeli di bursa dengan menggunakan
uang Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “saham” adalah berupa saham baru
yang diterbitkan Bank atau saham Bank yang bersangkutan
yang dibeli di bursa dengan menggunakan uang Bank.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “kerugian” adalah Bank tidak memperoleh
laba dalam tahun buku yang menjadi dasar perhitungan
pemberian Remunerasi yang Bersifat Variabel.
- 6 -
Dalam menetapkan Remunerasi yang Bersifat Variabel relatif kecil
atau tidak membagikan sama sekali karena Bank mengalami
kerugian, didasarkan atas prinsip kehati-hatian dalam pemberian
Remunerasi.
Pasal 20
Yang termasuk dalam unit pengawasan (control unit) antara lain
satuan kerja manajemen risiko, fungsi kepatuhan dan satuan
kerja audit intern.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “disesuaikan dengan tingkat jabatan”
adalah semakin tinggi jabatan, maka semakin besar
persentase Remunerasi yang Bersifat Variabel yang
ditangguhkan.
Pasal 24
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu paling sedikit 3 (tiga) tahun sudah
memperhitungkan risiko yang akan terjadi.
Ayat (2)
Contoh:
Pegawai A termasuk kategori material risk takers telah
memutuskan kredit valuta asing dalam jumlah besar untuk
pelunasan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Bank menilai adanya potensi (risiko) terjadinya kegagalan
pengembalian kredit valas karena terjadinya penguatan nilai
- 7 -
valas. Untuk itu Remunerasi Pegawai A tersebut dapat
ditangguhkan pemberiannya oleh Bank lebih dari 3 (tiga)
tahun misalnya 4 (empat) tahun.
Pasal 25
Contoh:
Pegawai A termasuk pihak yang menjadi material risk takers. Pada
bulan Januari 2015, A telah diputuskan menerima bonus tahun
2014 sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sesuai
kebijakan Bank, pembayaran bonus dilakukan akhir bulan
Januari 2015 dan persentase bonus yang ditangguhkan sebesar
60% (enam puluh persen). Pada akhir bulan Januari 2015, A
menerima 40% (empat puluh persen) atau
sebesar
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Sisanya sebesar 60%
(enam puluh persen) atau sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah) ditangguhkan selama 3 tahun dan akan dibayarkan
dalam 3 tahun yaitu tahun 2015 (setelah bulan Januari), tahun
2016, dan tahun 2017 secara prorata, yaitu masing-masing
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per tahun.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank
mengalami kerugian, terjadinya risiko yang berdampak
negatif terhadap keuangan Bank, atau terjadi fraud yang
dilakukan oleh pihak yang menjadi material risk takers yang
merugikan Bank.
Pasal 27
Contoh lindung nilai antara lain mengasuransikan Remunerasi
yang Bersifat Variabel yang ditangguhkan.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 8 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Angka 1)
Yang dimaksud dengan “bentuk Remunerasi yang
Bersifat Variabel” adalah tunai dan/atau saham
atau instrumen berbasis saham.
Angka 2).
Perbedaan dalam pemberian Remunerasi yang
Bersifat Variabel dapat berupa perbedaan dalam
komposisi (tunai dan/atau saham atau instrumen
yang berbasis saham) maupun persentase besaran
Remunerasi.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
- 9 -
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “pemutusan hubungan kerja”
adalah pemutusan hubungan kerja yang terjadi bukan
karena permintaan dari Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Pegawai yang bersangkutan namun karena
adanya kebijakan Bank seperti adanya merger,
konsolidasi, akuisisi, atau perampingan struktur
organisasi Bank.
Tidak termasuk dalam pengertian pemutusan hubungan
kerja pada ayat ini adalah pemutusan hubungan kerja
yang disebabkan karena pelanggaran ketentuan atau
fraud.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Penyesuaian implisit merupakan penyesuaian yang
terjadi dikarenakan faktor diluar kekuasaan Bank seperti
pergerakan harga saham, sedangkan penyesuaian
eksplisit merupakan penyesuaian yang secara langsung
dipengaruhi oleh Bank seperti pengurangan pembayaran
remunerasi karena tidak tercapainya target tertentu.
Pasal 29
Penyajian dalam bentuk tabel atau grafik serta perbandingan
dengan periode laporan sebelumnya dimaksudkan untuk antara
lain mengetahui tren perkembangan yang terjadi dan untuk
meningkatkan kejelasan informasi.
- 10 -
Pasal 30
Ayat (1)
Pengawasan atas implementasi kebijakan Remunerasi Bank
dilakukan antara lain dalam kerangka manajemen risiko
Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kondisi tertentu” antara lain Bank
dalam status pengawasan khusus atau Bank dalam
penyehatan sesuai dengan ketentuan mengenai penetapan
status dan tindak lanjut pengawasan bank umum
konvensional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5811
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 45/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN TATA KELOLA DALAM PEMBERIAN REMUNERASI BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '8/4/PBI/2006 | Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat (3)', '8/14/PBI/2006 | Pasal 61 ayat (2) huruf d, huruf e, dan huruf f, serta ayat (3)' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 33 /POJK.04/2014
TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan penerapan prinsip tata
kelola perusahaan yang baik bagi Emiten atau Perusahaan
Publik yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab
Direksi dan Dewan Komisaris, perlu menyempurnakan
peraturan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris Emiten
atau Perusahaan Publik dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Direksi dan Dewan
Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik;
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia…
-2-
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disebut RUPS adalah organ Emiten atau Perusahaan
Publik yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan
kepada Direksi atau Dewan Komisaris sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas dan/atau anggaran dasar.
2.
Direksi adalah organ Emiten atau Perusahaan Publik
yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas
pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk
kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik, sesuai
dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan
Publik serta mewakili Emiten atau Perusahaan Publik,
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan
ketentuan anggaran dasar.
3. Dewan Komisaris adalah organ Emiten atau Perusahaan
Publik yang bertugas melakukan pengawasan secara
umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar
serta memberi nasihat kepada Direksi.
4.
Komisaris Independen adalah anggota Dewan Komisaris
yang berasal dari luar Emiten atau Perusahaan Publik
dan memenuhi persyaratan sebagai Komisaris
Independen…
-3-
Independen sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB II
DIREKSI
Bagian Kesatu
Keanggotaan
Pasal 2
(1) Direksi Emiten atau Perusahaan Publik paling kurang
terdiri dari 2 (dua) orang anggota Direksi.
(2) 1 (satu) di antara anggota Direksi diangkat menjadi
direktur utama atau presiden direktur.
Pasal 3
(1) Anggota Direksi diangkat dan diberhentikan oleh RUPS.
(2) Anggota Direksi diangkat untuk masa jabatan tertentu
dan dapat diangkat kembali.
(3) 1 (satu) periode masa jabatan anggota Direksi paling
lama 5 (lima) tahun atau sampai dengan penutupan
RUPS tahunan pada akhir 1 (satu) periode masa jabatan
dimaksud.
Pasal 4
(1) Yang dapat menjadi anggota Direksi adalah orang
perseorangan yang memenuhi persyaratan pada saat
diangkat dan selama menjabat:
a. mempunyai akhlak, moral, dan integritas yang
baik;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. dalam 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan dan
selama menjabat:
1.
tidak pernah dinyatakan pailit;
2. tidak…
-4-
2.
tidak pernah menjadi anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu
perusahaan dinyatakan pailit;
3.
tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana yang merugikan keuangan
negara dan/atau yang berkaitan dengan
sektor keuangan; dan
4.
tidak pernah menjadi anggota Direksi
dan/atau anggota Dewan Komisaris yang
selama menjabat:
a)
pernah tidak menyelenggarakan RUPS
tahunan;
b)
pertanggungjawabannya sebagai anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris pernah tidak diterima oleh
RUPS atau pernah tidak memberikan
pertanggungjawaban sebagai anggota
Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris kepada RUPS; dan
c)
pernah menyebabkan perusahaan yang
memperoleh izin, persetujuan, atau
pendaftaran
dari Otoritas Jasa
Keuangan tidak memenuhi kewajiban
menyampaikan laporan tahunan
dan/atau laporan keuangan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
d.
e.
memiliki komitmen untuk mematuhi peraturan
perundang-undangan; dan
memiliki pengetahuan dan/atau keahlian di bidang
yang dibutuhkan Emiten atau Perusahaan Publik.
(2) Pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dimuat dalam surat pernyataan dan
disampaikan…
-5-
disampaikan kepada Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib diteliti dan didokumentasikan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 5
Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan
RUPS untuk melakukan penggantian anggota Direksi yang
tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4.
Pasal 6
(1) Anggota Direksi dapat merangkap jabatan sebagai:
a.
b.
anggota Direksi paling banyak pada 1 (satu) Emiten
atau Perusahaan Publik lain;
anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 3
(tiga) Emiten atau Perusahaan Publik lain;
dan/atau
c.
anggota komite paling banyak pada 5 (lima) komite
di Emiten atau Perusahaan Publik dimana yang
bersangkutan juga menjabat sebagai anggota
Direksi atau anggota Dewan Komisaris.
(2) Rangkap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
(3) Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan
lainnya yang mengatur ketentuan mengenai rangkap
jabatan yang berbeda dengan ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku
ketentuan yang mengatur lebih ketat.
Pasal 7
Usulan pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian
anggota Direksi kepada RUPS harus memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Komisaris atau komite yang
menjalankan fungsi nominasi.
Bagian…
-6-
Bagian Kedua
Pengunduran Diri dan Pemberhentian Sementara
Pasal 8
(1) Anggota Direksi dapat mengundurkan diri dari
jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir.
(2) Dalam hal terdapat anggota Direksi yang mengundurkan
diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota
Direksi yang bersangkutan wajib menyampaikan
permohonan pengunduran diri kepada Emiten atau
Perusahaan Publik.
(3) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan
RUPS untuk memutuskan permohonan pengunduran
diri anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) paling lambat 90 (sembilan puluh) hari setelah
diterimanya permohonan pengunduran diri dimaksud.
Pasal 9
Emiten atau Perusahaan Publik wajib melakukan
keterbukaan
informasi
kepada masyarakat dan
menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah:
a.
diterimanya permohonan pengunduran diri Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); dan
b.
hasil penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3).
Pasal 10
(1) Anggota Direksi dapat diberhentikan untuk sementara
oleh Dewan Komisaris dengan menyebutkan alasannya.
(2) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diberitahukan secara tertulis kepada
anggota Direksi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal terdapat anggota Direksi yang diberhentikan
untuk sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Dewan…
-7-
Dewan Komisaris harus menyelenggarakan RUPS untuk
mencabut atau menguatkan keputusan pemberhentian
sementara tersebut.
(4) RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari setelah tanggal pemberhentian
sementara.
(5) Dengan lampaunya jangka waktu penyelenggaraan
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau RUPS
tidak dapat mengambil keputusan, pemberhentian
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
batal.
(6) Dalam RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
anggota Direksi yang bersangkutan diberi kesempatan
untuk membela diri.
(7) Anggota Direksi yang diberhentikan untuk sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berwenang:
a. menjalankan pengurusan Emiten atau Perusahaan
Publik untuk kepentingan Emiten atau Perusahaan
Publik sesuai dengan maksud dan tujuan Emiten
atau Perusahaan Publik; dan
b.
mewakili Emiten atau Perusahaan Publik di dalam
maupun di luar pengadilan.
(8) Pembatasan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) berlaku sejak keputusan pemberhentian
sementara oleh Dewan Komisaris sampai dengan:
a.
terdapat keputusan RUPS yang menguatkan atau
membatalkan
pemberhentian
sementara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
b. lampaunya jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
Pasal 11
Emiten atau Perusahaan Publik wajib melakukan
keterbukaan…
-8-
keterbukaan informasi
kepada
masyarakat dan
menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. keputusan pemberhentian sementara; dan
b.
hasil penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (3) atau informasi mengenai
batalnya pemberhentian sementara oleh Dewan
Komisaris karena tidak terselenggaranya RUPS sampai
dengan lampaunya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5),
paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya peristiwa
tersebut.
Bagian Ketiga
Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang
Pasal 12
(1) Direksi bertugas menjalankan dan bertanggung jawab
atas pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik untuk
kepentingan Emiten atau Perusahaan Publik sesuai
dengan maksud dan tujuan Emiten atau Perusahaan
Publik yang ditetapkan dalam anggaran dasar.
(2) Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab atas
pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Direksi wajib menyelenggarakan RUPS tahunan dan
RUPS lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan dan anggaran dasar.
(3) Setiap anggota Direksi wajib melaksanakan tugas dan
tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-
hatian.
(4) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Direksi dapat membentuk komite.
(5) Dalam hal dibentuk komite sebagaimana dimaksud pada
ayat…
-9-
ayat (4), Direksi wajib melakukan evaluasi terhadap
kinerja komite setiap akhir tahun buku.
Pasal 13
(1) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab secara
tanggung renteng atas kerugian Emiten atau
Perusahaan Publik yang disebabkan oleh kesalahan
atau kelalaian anggota Direksi dalam menjalankan
tugasnya.
(2) Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas kerugian Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila dapat
membuktikan:
a.
b.
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau
kelalaiannya;
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik,
penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian untuk
kepentingan dan sesuai dengan maksud dan
tujuan Emiten atau Perusahaan Publik;
c.
tidak mempunyai benturan kepentingan baik
langsung maupun tidak langsung atas tindakan
pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d.
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul
atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal 14
Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 sesuai dengan kebijakan yang
dipandang tepat, sesuai dengan maksud dan tujuan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar.
Pasal 15
(1) Direksi berwenang mewakili Emiten atau Perusahaan
Publik di dalam dan di luar pengadilan.
(2) Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Emiten atau
Perusahaan Publik apabila:
a. terdapat…
-10-
a.
terdapat perkara di pengadilan antara Emiten atau
Perusahaan Publik dengan anggota Direksi yang
bersangkutan; dan
b.
anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai
kepentingan yang berbenturan dengan kepentingan
Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Dalam hal terdapat keadaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), yang berhak mewakili Emiten atau
Perusahaan Publik adalah:
a.
anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai
benturan kepentingan dengan Emiten atau
Perusahaan Publik;
b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota
Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan
Emiten atau Perusahaan Publik; atau
c.
pihak lain yang ditunjuk oleh RUPS dalam hal
seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris
mempunyai benturan kepentingan dengan Emiten
atau Perusahaan Publik.
Bagian Keempat
Rapat Direksi
Pasal 16
(1) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi secara berkala
paling kurang 1 (satu) kali dalam setiap bulan.
(2) Rapat Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilangsungkan apabila dihadiri mayoritas dari
seluruh anggota Direksi.
(3) Direksi wajib mengadakan rapat Direksi bersama Dewan
Komisaris secara berkala paling kurang 1 (satu) kali
dalam 4 (empat) bulan.
(4) Kehadiran anggota Direksi dalam rapat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib diungkapkan
dalam…
-11-
dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 17
(1) Direksi harus menjadwalkan rapat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) untuk
tahun berikutnya sebelum berakhirnya tahun buku.
(2) Pada rapat yang telah dijadwalkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), bahan rapat disampaikan
kepada peserta paling lambat 5 (lima) hari sebelum rapat
diselenggarakan.
(3) Dalam hal terdapat rapat yang diselenggarakan di luar
jadwal yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), bahan rapat disampaikan kepada peserta rapat
paling lambat sebelum rapat diselenggarakan.
Pasal 18
(1) Pengambilan keputusan rapat Direksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dilakukan
berdasarkan musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal tidak tercapai keputusan musyawarah
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
Pasal 19
(1) Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(1) wajib dituangkan dalam risalah rapat, ditandatangani
oleh seluruh anggota Direksi yang hadir, dan
disampaikan kepada seluruh anggota Direksi.
(2) Hasil rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat
(3) wajib dituangkan dalam risalah rapat, ditandatangani
oleh anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris yang
hadir, dan disampaikan kepada seluruh anggota Direksi
dan anggota Dewan Komisaris.
(3) Dalam hal terdapat anggota Direksi dan/atau anggota
Dewan Komisaris yang tidak menandatangani hasil
rapat…
-12-
rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
yang bersangkutan wajib menyebutkan alasannya
secara tertulis dalam surat tersendiri yang dilekatkan
pada risalah rapat.
(4) Risalah rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib didokumentasikan oleh Emiten atau
Perusahaan Publik.
BAB III
DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Keanggotaan
Pasal 20
(1) Dewan Komisaris paling kurang terdiri dari 2 (dua) orang
anggota Dewan Komisaris.
(2) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri dari 2 (dua) orang
anggota Dewan Komisaris, 1 (satu) di antaranya adalah
Komisaris Independen.
(3) Dalam hal Dewan Komisaris terdiri lebih dari 2 (dua)
orang anggota Dewan Komisaris, jumlah Komisaris
Independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen)
dari jumlah seluruh anggota Dewan Komisaris.
(4) 1 (satu) di antara anggota Dewan Komisaris diangkat
menjadi komisaris utama atau presiden komisaris.
Pasal 21
(1) Ketentuan mengenai persyaratan dan pemenuhan
persyaratan untuk menjadi anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mutatis mutandis
berlaku bagi anggota Dewan Komisaris.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Komisaris Independen wajib memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. bukan…
-13-
a. bukan merupakan orang yang bekerja atau
mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk
merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau
mengawasi kegiatan Emiten atau Perusahaan
Publik tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan
terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali
sebagai Komisaris Independen Emiten atau
Perusahaan Publik pada periode berikutnya;
b.
tidak mempunyai saham baik langsung maupun
tidak langsung pada Emiten atau Perusahaan
Publik tersebut;
c.
tidak mempunyai hubungan Afiliasi dengan Emiten
atau Perusahaan Publik, anggota Dewan Komisaris,
anggota Direksi, atau pemegang saham utama
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut; dan
d.
tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung
maupun tidak langsung yang berkaitan dengan
kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan Publik
tersebut.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) wajib dipenuhi anggota Dewan Komisaris selama
menjabat.
Pasal 22
Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyelenggarakan
RUPS untuk melakukan penggantian anggota Dewan
Komisaris yang dalam masa jabatannya tidak lagi memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Pasal 23
Ketentuan mengenai pengangkatan, pemberhentian, dan
masa jabatan Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
dan Pasal 4 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan
Komisaris.
Pasal 24…
-14-
Pasal 24
(1) Anggota Dewan Komisaris dapat merangkap jabatan
sebagai:
a.
anggota Direksi paling banyak pada 2 (dua) Emiten
atau Perusahaan Publik lain; dan
b.
anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 2
(dua) Emiten atau Perusahaan Publik lain.
(2) Dalam hal anggota Dewan Komisaris tidak merangkap
jabatan sebagai anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris yang bersangkutan dapat merangkap jabatan
sebagai anggota Dewan Komisaris paling banyak pada 4
(empat) Emiten atau Perusahaan Publik lain.
(3) Anggota Dewan Komisaris dapat merangkap sebagai
anggota komite paling banyak pada 5 (lima) komite di
Emiten atau Perusahaan Publik dimana yang
bersangkutan juga menjabat sebagai anggota Direksi
atau anggota Dewan Komisaris.
(4) Rangkap jabatan sebagai anggota komite sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
(5) Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan
lainnya yang mengatur ketentuan mengenai rangkap
jabatan yang berbeda dengan ketentuan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, berlaku
ketentuan yang mengatur lebih ketat.
Pasal 25
(1) Komisaris Independen yang telah menjabat selama 2
(dua) periode masa jabatan dapat diangkat kembali pada
periode selanjutnya sepanjang Komisaris Independen
tersebut menyatakan dirinya tetap independen kepada
RUPS.
(2) Pernyataan…
-15-
(2) Pernyataan independensi Komisaris Independen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diungkapkan
dalam laporan tahunan.
(3) Dalam hal Komisaris Independen menjabat pada Komite
Audit, Komisaris Independen yang bersangkutan hanya
dapat diangkat kembali pada Komite Audit untuk 1
(satu) periode masa jabatan Komite Audit berikutnya.
Pasal 26
Usulan pengangkatan, pemberhentian, dan/atau penggantian
anggota Direksi kepada RUPS sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 mutatis mutandis berlaku bagi anggota Dewan
Komisaris.
Pasal 27
Ketentuan mengenai pengunduran diri anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 mutatis
mutandis berlaku bagi anggota Dewan Komisaris.
Bagian Kedua
Tugas, Tanggung Jawab, dan Wewenang
Pasal 28
(1) Dewan Komisaris bertugas melakukan pengawasan dan
bertanggung jawab atas pengawasan terhadap kebijakan
pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik
mengenai Emiten atau Perusahaan Publik maupun
usaha Emiten atau Perusahaan Publik, dan memberi
nasihat kepada Direksi.
(2) Dalam kondisi tertentu, Dewan Komisaris wajib
menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya
sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran
dasar.
(3) Anggota Dewan Komisaris wajib melaksanakan tugas
dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada
ayat…
-16-
ayat (1) dengan itikad baik, penuh tanggung jawab, dan
kehati-hatian.
(4) Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas
dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Dewan Komisaris wajib membentuk Komite
Audit dan dapat membentuk komite lainnya.
(5) Dewan Komisaris wajib melakukan evaluasi terhadap
kinerja komite yang membantu pelaksanaan tugas dan
tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) setiap akhir tahun buku.
Pasal 29
Ketentuan mengenai pertanggungjawaban Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 mutatis mutandis
berlaku bagi Dewan Komisaris.
Pasal 30
(1) Dewan Komisaris berwenang memberhentikan
sementara anggota Direksi dengan menyebutkan
alasannya.
(2) Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan
pengurusan Emiten atau Perusahaan Publik dalam
keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu.
(3) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan berdasarkan anggaran dasar atau keputusan
RUPS.
Bagian Ketiga
Rapat Dewan Komisaris
Pasal 31
(1) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat paling
kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
(2) Rapat Dewan Komisaris sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat dilangsungkan apabila dihadiri mayoritas
dari seluruh anggota Dewan Komisaris.
(3) Dewan…
-17-
(3) Dewan Komisaris wajib mengadakan rapat bersama
Direksi secara berkala paling kurang 1 (satu) kali dalam
4 (empat) bulan.
(4) Kehadiran anggota Dewan Komisaris dalam rapat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) wajib
diungkapkan dalam laporan tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 32
Ketentuan mengenai penjadwalan rapat dan penyampaian
bahan rapat Direksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
mutatis mutandis berlaku bagi rapat Dewan Komisaris.
Pasal 33
(1) Pengambilan keputusan rapat Dewan Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1)
dilakukan berdasarkan musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal tidak tercapai keputusan musyawarah
mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara
terbanyak.
Pasal 34
Ketentuan mengenai hasil rapat dan risalah rapat Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mutatis mutandis
berlaku bagi rapat Dewan Komisaris.
BAB IV
PEDOMAN DAN KODE ETIK
Pasal 35
(1) Direksi dan Dewan Komisaris wajib menyusun pedoman
yang mengikat setiap anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris.
(2) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a. landasan…
-18-
a.
landasan hukum;
b. deskripsi tugas, tanggung jawab, dan wewenang;
c.
nilai-nilai;
d.
e.
f.
waktu kerja;
kebijakan rapat, termasuk kebijakan kehadiran
dalam rapat dan risalah rapat; dan
pelaporan dan pertanggungjawaban.
(3) Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengungkapkan
dalam laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik
informasi bahwa Direksi dan/atau Dewan Komisaris
telah memiliki pedoman.
(4) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara
lengkap wajib dimuat dalam situs web Emiten atau
Perusahaan Publik.
Pasal 36
(1) Direksi dan Dewan Komisaris wajib menyusun kode etik
yang berlaku bagi seluruh anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, serta pendukung
organ yang dimiliki Emiten atau Perusahaan Publik.
(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang memuat:
a.
karyawan/pegawai,
prinsip pelaksanaan tugas Direksi, Dewan
Komisaris,
dan/atau
pendukung organ yang dimiliki Emiten atau
Perusahaan Publik wajib dilakukan dengan itikad
baik, penuh tanggung jawab, dan kehati-hatian;
dan
b.
ketentuan mengenai sikap profesional Direksi,
Dewan Komisaris, karyawan/pegawai, dan/atau
pendukung organ yang dimiliki Emiten atau
Perusahaan Publik apabila terdapat benturan
kepentingan dengan Emiten atau Perusahaan
Publik.
(3) Kode…
-19-
(3) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disosialisasikan kepada seluruh karyawan/pegawai yang
bekerja pada Emiten atau Perusahaan Publik.
(4) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dimuat secara lengkap dalam situs web Emiten atau
Perusahaan Publik.
BAB V
LARANGAN
Pasal 37
Setiap anggota Direksi dan/atau anggota Dewan Komisaris
dilarang mengambil keuntungan pribadi baik secara langsung
maupun tidak langsung dari kegiatan Emiten atau
Perusahaan Publik selain penghasilan yang sah.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 38
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a.
peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e.
f.
pencabutan izin usaha;
pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi…
-20-
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 39
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 38 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 40
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 41
Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyesuaikan dengan
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini paling
lambat 1 (satu) tahun sejak diundangkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Ketentuan mengenai Direksi dan Dewan Komisaris dalam
peraturan perundang-undangan lain tetap berlaku bagi
Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan
dengan…
-21-
dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 43
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor: Kep-45/PM/2004 tanggal 29 November 2004 tentang
Direksi dan Komisaris Emiten dan Perusahaan Publik beserta
Peraturan Nomor IX.I.6 yang merupakan lampirannya dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 44
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 375
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 33/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 8 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004', 'Kep-45/PM/2004|KEPTA-BAPEPAM/2004 | Lampiran Peraturan Nomor IX.I.6' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '40/UU/2007', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka menciptakan sistem perbankan yang
sehat, mampu berkembang dan bersaing secara nasional
maupun internasional
serta
sejalan dengan
perkembangan standar internasional, perlu melakukan
penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2016 tentang
Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5872);
4. Peraturan
Otoritas
Jasa
Keuangan
Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5848);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN
PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
Nomor 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan
Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5848) diubah sebagai berikut:
- 3 -
1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melakukan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Bank Sistemik adalah bank sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan.
3. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
- 4 -
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat
satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
4. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
- 5 -
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk
melaksanakan fungsi pengawasan.
5. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau
perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik
di dalam maupun di luar negeri, yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company)
yaitu Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank lebih dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank sebesar 50% (lima puluh persen) atau
kurang, namun Bank memiliki pengendalian
terhadap perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih
dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 50%
(lima puluh persen) yang memenuhi
persyaratan:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya
pada Perusahaan Anak masing-masing
sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d.
entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan harus dikonsolidasikan, namun tidak
termasuk perusahaan asuransi dan perusahaan
yang dimiliki dalam rangka restrukturisasi
kredit.
- 6 -
6. Pengendalian adalah pengendalian sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Penerapan Manajemen Risiko Terintegrasi
bagi Konglomerasi Keuangan.
7. Capital Equivalency Maintained Assets yang
selanjutnya disingkat CEMA adalah alokasi dana
usaha kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri yang wajib ditempatkan pada aset
keuangan dalam jumlah dan persyaratan tertentu.
8.
Internal Capital Adequacy Assessment Process yang
selanjutnya disingkat ICAAP adalah proses yang
dilakukan Bank untuk menetapkan kecukupan
modal sesuai profil risiko Bank dan penetapan
strategi untuk memelihara tingkat permodalan.
9. Supervisory Review and Evaluation Process yang
selanjutnya disingkat SREP adalah proses kaji ulang
yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atas
hasil ICAAP Bank.
10. Capital Conservation Buffer adalah tambahan modal
yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila
terjadi kerugian pada periode krisis.
11. Countercyclical Buffer adalah tambahan modal yang
berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila
terjadi
pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan
sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem
keuangan.
12. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik adalah
tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi
dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan
dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank
Sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank
dalam menyerap kerugian.
13. Risiko Kredit adalah risiko akibat kegagalan debitur
dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada Bank.
- 7 -
14. Risiko Pasar adalah risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk risiko perubahan harga option.
Operasional
15. Risiko
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
16. Trading Book adalah seluruh posisi instrumen
keuangan dalam neraca dan rekening administratif
termasuk transaksi derivatif yang dimiliki Bank
dengan tujuan untuk:
a. diperdagangkan dan dapat dipindahtangankan
dengan bebas atau dapat dilindung nilai secara
keseluruhan, baik dari transaksi untuk
kepentingan sendiri (proprietary positions), atas
permintaan nasabah maupun kegiatan
perantaraan (brokering), dan dalam rangka
pembentukan pasar (market making), yang
meliputi:
1)
posisi yang dimiliki untuk dijual kembali
dalam jangka pendek;
2)
posisi yang dimiliki untuk tujuan
memperoleh keuntungan jangka pendek
secara aktual dan/atau potensi dari
pergerakan harga (price movement); atau
3)
posisi yang dimiliki untuk tujuan
mempertahankan keuntungan arbitrase
(locking in arbitrage profits); dan
b. lindung nilai atas posisi lainnya dalam Trading
Book.
17. Banking Book adalah semua posisi lainnya yang tidak
termasuk dalam Trading Book.
adalah risiko akibat
- 8 -
2. Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 3
(1) Selain kewajiban penyediaan modal minimum sesuai
profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk tambahan modal sebagai
penyangga (buffer) sesuai kriteria yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Tambahan modal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa:
a. Capital Conservation Buffer;
b. Countercyclical Buffer; dan/atau
c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik.
(3) Besarnya tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur:
a. Capital Conservation Buffer
sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR;
b. Countercyclical Buffer ditetapkan dalam kisaran
sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5%
(dua koma lima persen) dari ATMR;
c. Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu
persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima
persen) dari ATMR.
(4) Besarnya persentase
Countercyclical Buffer
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b
berdasarkan penetapan otoritas yang berwenang.
(5) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan besarnya
persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(6) Dalam menetapkan besar Capital Surcharge untuk
Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang.
ditetapkan
- 9 -
(7) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan
persentase Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
yang lebih besar dari kisaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf c.
(8) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dipenuhi dengan komponen modal inti
utama (Common Equity Tier 1).
(9) Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen
modal inti utama (Common Equity Tier 1) dialokasikan
untuk memenuhi kewajiban penyediaan:
a. modal inti utama minimum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);
b. modal inti minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2); dan
c. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 4
(1) Bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan
Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4 wajib membentuk
Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a.
(2) Seluruh Bank wajib membentuk Countercyclical
Buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf b.
(3) Bank yang ditetapkan sebagai Bank Sistemik wajib
membentuk Capital Surcharge untuk Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)
huruf c.
- 10 -
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 5
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Sistemik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang dalam menetapkan Bank
Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 6
(1) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa
Capital Conservation Buffer sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a secara bertahap mulai
tanggal 1 Januari 2016.
(2) Bank wajib memenuhi pembentukan Capital
Conservation Buffer sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) secara bertahap:
a. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh
lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari
2016;
b. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima
persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari 2017;
c. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh
puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal
1 Januari 2018; dan
d. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR
mulai tanggal 1 Januari 2019.
(3) Bank wajib membentuk tambahan modal berupa
Countercyclical Buffer sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) huruf b mulai tanggal 1 Januari 2016.
(4) Bank wajib membentuk Capital Surcharge bagi Bank
Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(3) huruf c mulai tanggal 1 Januari 2016.
- 11 -
(5) Metode perhitungan dan tata cara pembentukan
Capital Surcharge untuk Bank Sistemik diatur dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan
otoritas yang berwenang dalam menetapkan metode
perhitungan dan tata cara pembentukan Capital
Surcharge untuk Bank Sistemik sebagaimana
dimaksud pada ayat (5).
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 10
(1) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri terdiri atas:
a. dana usaha;
b. laba ditahan dan laba tahun lalu setelah
dikeluarkan
pengaruh
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2);
c. laba tahun berjalan setelah dikeluarkan
pengaruh faktor-faktor sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2);
d. cadangan umum;
e. saldo surplus revaluasi aset tetap;
f. pendapatan komprehensif lainnya berupa
potensi keuntungan yang berasal dari
peningkatan nilai wajar aset keuangan yang
diklasifikasikan dalam kelompok tersedia untuk
dijual;
g. cadangan umum Penyisihan Penghapusan Aset
(PPA) atas aset produktif dengan perhitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
huruf c; dan
h. lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
faktor-faktor
- 12 -
(2) Modal bagi kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memperhitungkan faktor-faktor
yang menjadi pengurang modal sebagaimana diatur
dalam Pasal 14 ayat (1) huruf b, Pasal 17, dan
Pasal 22.
(3) Perhitungan dana usaha sebagai komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilakukan dalam hal:
a. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih besar dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha);
b. posisi dana usaha yang sebenarnya (actual dana
usaha) lebih kecil dari dana usaha yang
dinyatakan (declared dana usaha), yang
diperhitungkan adalah dana usaha yang
sebenarnya (actual dana usaha); atau
c.
posisi dana usaha yang sebenarnya negatif,
menjadi faktor pengurang komponen modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
7. Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 12
Instrumen modal disetor sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a angka 1 wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. bersifat subordinasi terhadap komponen modal lain;
c. bersifat permanen;
d. tidak dapat dibayar kembali oleh Bank, kecuali
memenuhi kriteria pembelian kembali saham
(treasury stock) atau pada saat likuidasi;
- 13 -
e.
f.
g.
tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi
sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi;
perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan dan
tidak dapat diakumulasikan antar periode;
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
h. tidak terdapat kesepakatan yang dapat meningkatkan
senioritas instrumen secara legal atau ekonomis;
i.
memiliki karakteristik pembayaran dividen atau
imbal hasil:
1. hanya dapat dilakukan jika Bank telah
memenuhi seluruh kewajiban legal dan
kontraktual serta melakukan pembayaran atas
imbal hasil instrumen modal lainnya;
2. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun
berjalan;
3. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait
dengan nilai yang dibayarkan atas instrumen
modal; dan
4. tidak memiliki fitur preferensi;
j. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank penerbit
baik secara langsung atau tidak langsung; dan
k. diklasifikasikan sebagai ekuitas berdasarkan standar
akuntansi keuangan.
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 13
Bank yang melakukan pembelian kembali saham (treasury
stock) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d
yang telah diakui sebagai komponen modal disetor, wajib
memenuhi persyaratan:
a. setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak penerbitan;
b. untuk tujuan tertentu;
c. dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
- 14 -
d. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
e.
tidak menyebabkan penurunan modal di bawah
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7.
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 14
(1) Cadangan tambahan modal (disclosed reserve)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1)
huruf a angka 2 terdiri atas:
a. faktor penambah, yaitu:
1. Pendapatan komprehensif lainnya berupa:
a)
selisih lebih penjabaran laporan
keuangan;
b) potensi keuntungan yang berasal dari
peningkatan nilai wajar aset keuangan
yang dikategorikan sebagai kelompok
tersedia untuk dijual; dan
c) saldo surplus revaluasi aset tetap;
2. cadangan tambahan modal lainnya (other
disclosed reserves) berupa:
a) agio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai
modal inti utama (Common Equity
Tier 1);
b) cadangan umum;
c) laba tahun-tahun lalu;
d) laba tahun berjalan;
e) dana setoran modal, yang memenuhi
persyaratan:
1) telah disetor penuh untuk tujuan
penambahan modal namun belum
didukung dengan kelengkapan
- 15 -
1) persyaratan untuk dapat
digolongkan sebagai modal disetor
seperti pelaksanaan rapat umum
pemegang saham maupun
pengesahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang;
2) ditempatkan pada rekening
khusus (escrow account) yang
tidak diberikan imbal hasil;
3) tidak boleh ditarik kembali oleh
pemegang saham atau calon
pemegang saham dan tersedia
untuk menyerap kerugian; dan
4) penggunaan dana harus dengan
persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
f)
lainnya berdasarkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan;
b. faktor pengurang, yaitu:
1. pendapatan komprehensif lainnya berupa:
a)
selisih kurang penjabaran laporan
keuangan; dan
b) potensi kerugian yang berasal dari
penurunan nilai wajar aset keuangan
yang dikategorikan sebagai kelompok
tersedia untuk dijual;
2. cadangan tambahan modal lainnya (other
disclosed reserves) berupa:
a)
disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen yang tergolong sebagai
modal inti utama (Common Equity
Tier 1);
b) rugi tahun-tahun lalu;
c) rugi tahun berjalan;
- 16 -
d)
selisih kurang antara PPA atas aset
produktif dan Cadangan Kerugian
Penurunan Nilai (CKPN) atas aset
produktif;
e)
selisih kurang antara jumlah
penyesuaian terhadap hasil valuasi
dari instrumen keuangan dalam
Trading Book dan jumlah penyesuaian
berdasarkan standar akuntansi
keuangan;
f) PPA non-produktif; dan
g) lainnya berdasarkan persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam perhitungan laba rugi tahun-tahun lalu
dan/atau tahun berjalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a angka 2 huruf c) dan huruf d)
harus dikeluarkan dari pengaruh faktor:
a. peningkatan atau penurunan nilai wajar atas
kewajiban keuangan; dan/atau
b. keuntungan atas penjualan aset dalam transaksi
sekuritisasi (gain on sale).
10. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 15
(1) Instrumen modal inti tambahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b wajib
memenuhi persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat
persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh
Bank di masa mendatang;
c. pembelian kembali atau pembayaran pokok
instrumen harus mendapat persetujuan
pengawas;
d. tidak memiliki fitur step-up;
- 17 -
e. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank
berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non-viability) yang dinyatakan secara
jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
f.
bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang
secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi
penerbitan atau perjanjian;
g. perolehan imbal hasil tidak dapat dipastikan
baik jumlah maupun waktu dan tidak dapat
diakumulasikan antar periode serta bank
memiliki kewenangan penuh (full access) untuk
membatalkan pembayaran imbal hasil pada saat
timbul kewajiban pembayaran imbal hasil;
h. tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
i.
tidak terdapat kesepakatan yang dapat
meningkatkan senioritas instrumen secara legal
atau ekonomi;
j.
tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
k. dalam hal disertai dengan fitur opsi beli (call
option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan
membeli kembali, atau melakukan aktivitas
lain yang dapat memberikan ekspektasi
tersebut;
l.
tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
- 18 -
m. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung;
n. tidak memiliki fitur yang menghambat proses
penambahan modal pada masa mendatang;
o. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan
tambahan modal melalui penerbitan instrumen
oleh entitas lain yang berada diluar cakupan
konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus
segera diserahkan kepada Bank; dan
p. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call
option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang
baik;
c.
setelah eksekusi opsi beli (call option),
permodalan Bank tetap berada di atas
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7; dan
d. digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai kualitas sama atau lebih baik.
11. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 17
(1) Modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf a angka 1 diperhitungkan
dengan faktor pengurang berupa:
a. pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. seluruh aset tidak berwujud lainnya;
- 19 -
d. seluruh penyertaan Bank yang meliputi:
1. penyertaan Bank kepada Perusahaan Anak
kecuali penyertaan modal sementara Bank
kepada Perusahaan Anak dalam rangka
restrukturisasi kredit;
2. penyertaan kepada perusahaan atau badan
hukum dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan
50% (lima puluh persen) namun Bank tidak
memiliki Pengendalian; dan
3. penyertaan kepada perusahaan asuransi;
e. kekurangan modal (shortfall) dari pemenuhan
tingkat rasio solvabilitas minimum (Risk Based
Capital atau RBC minimum) pada perusahaan
asuransi yang dimiliki dan dikendalikan oleh
Bank;
f.
g.
eksposur sekuritisasi; dan
faktor pengurang modal inti utama lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Faktor pengurang modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, dan huruf g tidak diperhitungkan dalam ATMR
untuk Risiko Kredit.
12. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 19
(1) Instrumen modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b wajib memenuhi
persyaratan:
a. diterbitkan dan telah dibayar penuh;
b. memiliki jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih
dan hanya dapat dilunasi setelah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
- 20 -
c. memiliki fitur untuk dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down dalam hal Bank
berpotensi terganggu kelangsungan usahanya
(point of non-viability), yang dinyatakan secara
jelas dalam dokumentasi penerbitan atau
perjanjian;
d.
bersifat subordinasi yang dinyatakan dalam
dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
e. pembayaran pokok dan/atau imbal hasil
ditangguhkan dan diakumulasikan antar
periode (cummulative) apabila pembayaran dapat
menyebabkan rasio KPMM secara individu atau
secara konsolidasi tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3,
dan Pasal 7;
f.
tidak diproteksi maupun dijamin oleh Bank atau
Perusahaan Anak;
g. tidak memiliki fitur pembayaran dividen atau
imbal hasil yang sensitif terhadap Risiko Kredit;
h. tidak memiliki fitur step-up;
i.
apabila disertai dengan fitur opsi beli (call
option), harus memenuhi persyaratan:
1. hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima)
tahun setelah instrumen modal diterbitkan;
2. dokumentasi penerbitan harus menyatakan
bahwa opsi hanya dapat dieksekusi atas
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan; dan
3. Bank tidak memberikan ekspektasi akan
membeli kembali atau melakukan aktivitas
lain yang dapat memberikan ekspektasi
akan membeli kembali;
j.
tidak memiliki persyaratan percepatan
pembayaran bunga atau pokok yang dinyatakan
dalam dokumentasi penerbitan atau perjanjian;
k. tidak dapat dibeli oleh Bank penerbit dan/atau
Perusahaan Anak;
- 21 -
l. sumber pendanaan tidak berasal dari Bank
penerbit baik secara langsung maupun tidak
langsung;
m. dalam kondisi tertentu apabila dibutuhkan
tambahan modal melalui penerbitan instrumen
oleh entitas lain yang berada diluar cakupan
konsolidasi maka dana hasil penerbitan harus
segera diserahkan kepada Bank; dan
n. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal.
(2) Bank hanya dapat melakukan eksekusi opsi beli (call
option) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
sepanjang:
a. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan;
b. kondisi rentabilitas Bank dalam keadaan yang
baik; dan
c.
setelah eksekusi opsi beli (call option),
permodalan Bank tetap berada di atas
persyaratan minimum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 7 atau
digantikan dengan instrumen modal yang
mempunyai:
1. kualitas sama atau lebih baik; dan
2. dalam jumlah yang sama atau jumlah yang
berbeda sepanjang tidak melebihi batasan
modal pelengkap sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18.
(3) Jumlah yang dapat diperhitungkan sebagai modal
pelengkap adalah jumlah modal pelengkap dikurangi
amortisasi yang dihitung dengan menggunakan
metode garis lurus.
(4) Amortisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan untuk sisa jangka waktu instrumen 5
(lima) tahun terakhir.
- 22 -
(5) Dalam hal terdapat opsi beli (call option), jangka
waktu sampai Bank dapat mengeksekusi opsi beli
(call option) merupakan sisa jangka waktu instrumen.
13. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 20
(1) Modal pelengkap meliputi:
a. instrumen modal dalam bentuk saham atau
dalam bentuk lainnya yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19;
b. agio atau disagio yang berasal dari penerbitan
instrumen modal yang tergolong sebagai modal
pelengkap; dan
c. cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dihitung dengan jumlah paling tinggi
sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima
persen) dari ATMR untuk Risiko Kredit.
(2) Selisih lebih cadangan umum yang wajib dihitung
dari batasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c dapat diperhitungkan sebagai faktor
pengurang perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
14. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 22
(1) Faktor-faktor yang menjadi pengurang modal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dan
Pasal 10 ayat (2) mencakup:
a. pembelian kembali instrumen modal yang telah
diakui sebagai komponen permodalan Bank;
b. penempatan dana pada instrumen utang Bank
lain yang diakui sebagai komponen modal oleh
Bank lain (Bank penerbit); dan
- 23 -
c. kepemilikan silang yang diperoleh berdasarkan
peralihan karena hukum, hibah, atau hibah
wasiat sebagaimana
dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Perseroan Terbatas
sepanjang belum dialihkan kepada pihak lain.
(2) Seluruh faktor pengurang modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak
diperhitungkan lagi dalam ATMR untuk Risiko Kredit.
15. Ketentuan dalam Pasal 41 tetap, dengan perubahan
penjelasan Pasal 41 ayat (1) menjadi sebagaimana
ditetapkan dalam penjelasan pasal demi pasal Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
- 24 -
Pasal II
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 September 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 September 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 188
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 34 /POJK.03/2016
TENTANG
PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL
MINIMUM BANK UMUM
I. UMUM
Sejalan dengan standar internasional “Global Regulatory Framework
for More Resilient Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan
Basel III, Bank dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas
modal Bank sehingga Bank lebih mampu menyerap potensi kerugian.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyesuaian terhadap
ketentuan kewajiban penyediaan modal minimum Bank Umum antara lain
dengan melakukan penyesuaian terhadap persyaratan instrumen modal
dan komponen modal Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
- 2 -
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Pembentukan tambahan modal selain modal minimum
sebagaimana dimaksud dalam ayat ini berfungsi sebagai
penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan
ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas sistem
keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) untuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dipenuhi dari bagian dana
usaha yang ditempatkan dalam CEMA.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan kantor
berdasarkan modal inti Bank.
- 3 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “otoritas yang berwenang”
adalah Bank Indonesia.
Angka 6
Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “dana usaha” adalah
penempatan yang berasal dari kantor pusat bank
pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan
di luar negeri setelah dikurangi dengan
- 4 -
penempatan yang berasal dari kantor cabang bank
yang berkedudukan di luar negeri pada:
1. kantor pusat;
2. kantor-kantor bank yang bersangkutan di luar
negeri; dan
3. kantor lainnya seperti perusahaan terelasi
dari bank yang berkedudukan di luar negeri,
yang telah dinyatakan sebagai dana usaha
(declared dana usaha) dan harus selalu tercatat
setiap waktu di Indonesia selama kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
beroperasi di Indonesia.
Dana usaha tidak termasuk komponen dalam
rekening antar kantor yang bukan merupakan
dana bersih seperti kewajiban bunga dan
kewajiban lainnya serta tagihan bunga dan tagihan
lainnya.
Yang dimaksud dengan penempatan mencakup
penempatan pada seluruh aset keuangan sesuai
standar akuntansi keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “laba ditahan” adalah saldo
laba bersih setelah dikurangi pajak yang oleh
kantor pusatnya diputuskan untuk ditahan di
kantor cabangnya di Indonesia.
Yang dimaksud dengan “laba tahun lalu” adalah
seluruh laba bersih tahun-tahun yang lalu setelah
dikurangi pajak dan belum ditetapkan
penggunaannya oleh kantor pusat.
Dalam hal bank mempunyai saldo rugi
tahun-tahun lalu seluruh kerugian menjadi faktor
pengurang modal.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “laba tahun berjalan”
adalah laba yang diperoleh dalam tahun buku
berjalan setelah dikurangi taksiran pajak.
- 5 -
Dalam hal pada tahun buku berjalan bank
mengalami kerugian, seluruh kerugian menjadi
faktor pengurang modal.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “cadangan umum” adalah
cadangan yang dibentuk dari penyisihan saldo laba
setelah dikurangi pajak dan mendapat persetujuan
kantor pusatnya sebagai cadangan umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “saldo surplus revaluasi
aset tetap” adalah selisih penilaian kembali aset
tetap milik bank.
Pengakuan surplus revaluasi aset tetap mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai aset
tetap.
Huruf f
Pengertian aset keuangan yang diklasifikasikan
dalam kelompok tersedia untuk dijual mengacu
pada standar akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penetapan jumlah dana usaha yang dinyatakan
mengacu kepada ketentuan mengenai pinjaman luar
negeri.
Angka 7
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Instrumen modal inti utama bersifat subordinasi
terhadap antara lain pemegang instrumen yang
memenuhi kriteria modal inti tambahan, modal
pelengkap, deposan, dan kreditur.
Huruf c
Termasuk dalam pengertian fitur bersifat permanen
antara lain tidak terdapat ekspektasi bahwa penerbit
akan membeli kembali, atau aktivitas lain yang dapat
memberikan ekspektasi tersebut.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun dijamin
oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu proteksi
maupun jaminan yang diterima dari pihak lain tetapi
dilakukan melalui Bank atau Perusahaan Anak,
misalnya premi atau fee dalam rangka penjaminan
dibayar oleh Bank atau Perusahaan Anak.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Angka 1
Termasuk kewajiban legal dan kontraktual adalah
kewajiban legal dan kontraktual yang jatuh tempo
pada saat pembayaran dividen atau imbal hasil
akan dilakukan.
Yang dimaksud dengan “kewajiban legal” adalah
kewajiban yang timbul karena perbuatan dan/atau
peristiwa hukum tertentu.
Yang dimaksud dengan “instrumen modal lainnya”
adalah instrumen modal inti tambahan dan
instrumen modal pelengkap.
- 7 -
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tujuan tertentu untuk melakukan pembelian kembali
saham yang telah diakui sebagai komponen modal
disetor yaitu sebagai persediaan saham dalam rangka
program employee stock option atau management stock
option atau menghindari upaya take over.
Huruf c
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku antara lain Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan
peraturan perundang-undangan lainnya di bidang
pasar modal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
- 8 -
Angka 9
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “selisih lebih
penjabaran laporan keuangan” adalah
selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank
dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan.
Huruf b)
Pengertian aset keuangan yang
dikategorikan sebagai kelompok tersedia
untuk dijual mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “saldo surplus
revaluasi aset tetap” adalah selisih
penilaian kembali aset tetap milik Bank.
Pengakuan saldo surplus revaluasi aset
tetap mengikuti standar akuntansi
keuangan mengenai aset tetap.
Angka 2
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “agio” adalah
selisih lebih setoran modal yang diterima
oleh Bank pada saat penerbitan saham
karena harga pasar saham lebih tinggi
dari nilai nominal.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “cadangan
umum” adalah cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba setelah
- 9 -
dikurangi pajak, dan mendapat
persetujuan rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota sebagai
cadangan umum.
Huruf c)
Laba tahun-tahun lalu setelah
diperhitungkan pajak mencakup:
1) laba tahun lalu yaitu seluruh laba
bersih tahun-tahun yang lalu
setelah dikurangi pajak dan belum
ditetapkan penggunaannya oleh
rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota; dan
2) laba ditahan (retained earnings)
yaitu saldo laba bersih setelah
dikurangi pajak yang oleh rapat
umum pemegang saham atau rapat
anggota diputuskan untuk tidak
dibagikan.
Huruf d)
Yang dimaksud dengan “laba tahun
berjalan” adalah laba yang diperoleh
dalam tahun buku berjalan setelah
dikurangi taksiran pajak dan
pembayaran dividen.
Huruf e)
Dalam hal berdasarkan penelitian
Otoritas Jasa Keuangan, calon pemegang
saham Bank atau dana setoran modal
diketahui tidak memenuhi syarat sebagai
pemegang saham atau sebagai modal,
dana tersebut tidak dapat diakui sebagai
komponen modal.
Huruf f)
Cukup jelas.
- 10 -
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “selisih kurang
penjabaran laporan keuangan” adalah
selisih kurs yang timbul dari penjabaran
laporan keuangan kantor cabang Bank
dan/atau Perusahaan Anak di luar negeri
sebagaimana diatur dalam standar
akuntansi keuangan mengenai
penjabaran laporan keuangan dalam
mata uang asing.
Huruf b)
Pengertian aset keuangan yang
dikategorikan sebagai kelompok tersedia
untuk dijual mengacu pada standar
akuntansi keuangan mengenai
instrumen keuangan.
Angka 2
Huruf a)
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah
selisih kurang setoran modal yang
diterima oleh Bank pada saat penerbitan
saham karena harga pasar saham lebih
rendah dari nilai nominal.
Huruf b)
Yang dimaksud dengan “rugi tahun-
tahun lalu” adalah seluruh rugi yang
dibukukan Bank pada tahun-tahun lalu.
Huruf c)
Yang dimaksud dengan “rugi tahun
berjalan” adalah seluruh rugi yang
dibukukan Bank dalam tahun buku
berjalan.
- 11 -
Huruf d)
Yang dimaksud dengan “selisih kurang
antara PPA atas aset produktif dan
cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan atas aset produktif” adalah
selisih kurang antara total PPA (cadangan
umum dan cadangan khusus atas
seluruh aset produktif) yang wajib
dibentuk sesuai ketentuan mengenai
penilaian kualitas aset Bank dengan total
cadangan kerugian penurunan nilai aset
keuangan (impairment) atas seluruh aset
produktif (secara individu dan secara
kolektif) sesuai standar akuntansi
keuangan.
Huruf e)
Selisih kurang ini timbul karena jumlah
penyesuaian terhadap hasil valuasi (mark
to market) dari instrumen keuangan
dalam
Trading Book
yang
mempertimbangkan berbagai faktor
tertentu antara lain karena posisi yang
kurang likuid melebihi jumlah
penyesuaian yang dipersyaratkan sesuai
standar akuntansi keuangan mengenai
pengukuran instrumen keuangan,
khususnya instrumen keuangan yang
diukur berdasarkan nilai wajar.
Sesuai Pedoman Akuntansi Perbankan
Indonesia, penyesuaian terhadap hasil
valuasi instrumen keuangan akan
langsung mengurangi atau menambah
nilai tercatat instrumen keuangan.
- 12 -
Huruf f)
Yang dimaksud dengan “PPA
non-produktif” adalah cadangan yang
wajib dibentuk untuk aset non-produktif
sesuai ketentuan yang mengatur
mengenai penilaian kualitas aset Bank.
Huruf g)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Hal ini terjadi apabila Bank menetapkan untuk
mengukur kewajiban keuangan pada nilai wajar
melalui laba rugi (fair value option) sesuai standar
akuntansi keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keuntungan atas
penjualan aset dalam transaksi sekuritisasi (gain
on sale)” adalah keuntungan yang diperoleh Bank
sebagai kreditur asal (originator) atas penjualan
aset dalam transaksi sekuritisasi yang bersumber
dari kapitalisasi pendapatan masa mendatang
(expected future margin) atau kapitalisasi
pendapatan dari penyediaan jasa (servicing
income).
Angka 10
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam rangka memperoleh persetujuan pengawas,
Bank tidak dapat mengasumsikan atau
menciptakan ekspektasi pasar bahwa persetujuan
pengawas akan diberikan.
- 13 -
Huruf d
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur
yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga
atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi
pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf e
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk
menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi
terganggu kelangsungan usahanya (point of
non-viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal inti tambahan
menjadi saham biasa atau melakukan write down.
Dampak dilakukan write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran
imbal hasil.
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal
inti tambahan dapat dikonversi menjadi saham
biasa atau dilakukan write down apabila terdapat
perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf f
Instrumen modal inti tambahan bersifat
subordinasi terhadap antara lain deposan,
kreditur, dan pemegang instrumen yang memenuhi
kriteria modal pelengkap.
Huruf g
Dalam hal imbal hasil tidak dibayarkan maka tidak
menyebabkan adanya pembatasan pembayaran
dividen atau kupon, untuk instrumen lain, kecuali
untuk saham biasa (common stock).
- 14 -
Huruf h
Termasuk dalam kategori diproteksi maupun
dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu
proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak
lain tetapi dilakukan melalui Bank
atau
Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam
rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil
yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat
dividen atau imbal hasil yang ditetapkan
berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit
Bank penerbit.
Huruf k
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Contoh memberikan ekspektasi adalah
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu
yang memungkinkan opsi beli (call option)
dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau
kondisi tersebut adalah sebagaimana
tercantum pada Pasal ini.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
- 15 -
Huruf n
Fitur yang menghambat proses penambahan modal
di masa mendatang yaitu antara lain persyaratan
yang mewajibkan Bank untuk memberikan
kompensasi kepada investor apabila Bank
menerbitkan instrumen modal baru dengan harga
yang lebih rendah.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank
dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi
opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu
kelangsungan rentabilitas Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau lebih
baik” adalah instrumen modal yang paling sedikit
memenuhi persyaratan sebagai komponen modal
inti tambahan.
Angka 11
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Pajak tangguhan dikurangkan sebesar 100%
(seratus persen) baik atas perhitungan pajak
tangguhan pada tahun-tahun lalu maupun pada
tahun berjalan.
- 16 -
Pajak tangguhan merupakan transaksi yang timbul
sebagai akibat penerapan standar akuntansi
keuangan mengenai akuntansi pajak penghasilan.
Dalam perhitungan KPMM secara individu, pajak
tangguhan yang dikeluarkan sebesar selisih lebih
dari aset pajak tangguhan dikurangi kewajiban
pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan yang
dikurangkan dari aset pajak tangguhan tidak
termasuk kewajiban pajak tangguhan yang terkait
dengan goodwill dan aset tidak berwujud lainnya.
Dalam hal terjadi selisih kurang, perhitungan
pajak tangguhan yang akan dikeluarkan adalah
nihil.
Dalam perhitungan KPMM secara konsolidasi, aset
pajak tangguhan satu perusahaan tidak boleh
saling hapus dengan kewajiban pajak tangguhan
perusahaan lain dalam kelompok usaha Bank.
Oleh karena itu, pengaruh pajak tangguhan dalam
perhitungan KPMM secara konsolidasi harus
dihitung dan dikeluarkan secara terpisah untuk
masing-masing entitas.
Dengan dikeluarkannya dampak pajak tangguhan
dari perhitungan modal inti utama, aset pajak
tangguhan tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ATMR.
Huruf b
Pengertian goodwill mengacu pada standar
akuntansi keuangan.
Goodwill diperhitungkan sebagai faktor pengurang
baik dalam perhitungan modal minimum Bank
secara individu maupun secara konsolidasi.
Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama
mencakup goodwill baik yang berasal dari
penyertaan modal Bank kepada entitas yang
dikonsolidasikan maupun yang tidak
dikonsolidasikan, contohnya perusahaan asuransi.
- 17 -
Goodwill yang dikurangkan dari modal inti utama
adalah sebesar nilai tercatat goodwill dikurangi
kewajiban pajak tangguhan yang terkait dengan
goodwill.
Huruf c
Pengertian aset tidak berwujud lainnya mengacu
kepada standar akuntansi keuangan mengenai
aset tidak berwujud.
Seluruh aset tidak berwujud lainnya
diperhitungkan sebagai faktor pengurang modal
inti utama.
Contoh aset tidak berwujud lainnya antara lain
copyright, hak paten, dan hak milik intelektual
(intellectual property right) lainnya termasuk
aplikasi piranti lunak (software) yang
dikembangkan oleh Bank.
Aset tidak berwujud lainnya yang dikurangkan dari
modal inti utama adalah sebesar nilai tercatat aset
tidak berwujud dikurangi kewajiban pajak
tangguhan yang terkait dengan aset tidak
berwujud.
Huruf d
Nilai penyertaan yang diperhitungkan adalah nilai
buku yang tercatat pada laporan posisi keuangan
(neraca).
Huruf e
Kekurangan modal (shortfall) diperhitungkan
sebagai faktor pengurang hanya dalam
perhitungan rasio KPMM secara konsolidasi.
Kekurangan modal (shortfall) perusahaan asuransi
dari RBC minimum diperhitungkan apabila
perusahaan dimaksud tidak dapat memenuhi RBC
minimum sampai dengan jangka waktu yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 18 -
Huruf f
Perlakuan terhadap eksposur sekuritisasi sebagai
pengurang modal atau diperhitungkan sebagai
ATMR mengacu pada ketentuan mengenai
sekuritisasi aset.
Yang dimaksud dengan “eksposur sekuritisasi”
adalah kredit pendukung (credit enhancement),
fasilitas likuiditas (liquidity support), dan efek
beragun aset (asset backed securities).
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk
menetapkan kondisi dimana Bank berpotensi
terganggu kelangsungan usahanya (point of
non-viability) dan memerintahkan Bank untuk
mengkonversi instrumen modal pelengkap menjadi
saham biasa atau melakukan write down.
Dampak dilakukan write down antara lain
pengurangan nilai kewajiban, pengurangan nilai
kewajiban pada saat opsi beli dieksekusi atau
pengurangan sebagian atau seluruh pembayaran
imbal hasil.
- 19 -
Dalam dokumentasi penerbitan wajib terdapat
klausul yang menyatakan bahwa instrumen modal
pelengkap dapat dikonversi menjadi saham biasa
atau dilakukan write down apabila terdapat
perintah dari Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf d
Instrumen modal pelengkap bersifat subordinasi
terhadap antara lain deposan dan kreditur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Termasuk dalam pengertian diproteksi maupun
dijamin oleh Bank atau Perusahaan Anak yaitu
proteksi maupun jaminan yang diterima dari pihak
lain tetapi dilakukan melalui Bank atau
Perusahaan Anak, misalnya premi atau fee dalam
rangka penjaminan dibayar oleh Bank atau
Perusahaan Anak.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “dividen atau imbal hasil
yang sensitif terhadap Risiko Kredit” adalah tingkat
dividen atau imbal hasil yang ditetapkan
berdasarkan peringkat atau tingkat Risiko Kredit
Bank penerbit.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “fitur step-up” adalah fitur
yang menjanjikan kenaikan tingkat suku bunga
atau imbal hasil apabila opsi beli tidak dieksekusi
pada jangka waktu yang telah ditetapkan.
Huruf i
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
- 20 -
Angka 3
Contoh memberikan ekspektasi adalah
mempersiapkan kriteria atau kondisi tertentu
yang memungkinkan opsi beli (call option)
dapat dilakukan, kecuali apabila kriteria atau
kondisi
tercantum pada Pasal ini.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kondisi rentabilitas Bank
dalam keadaan yang baik” adalah apabila eksekusi
opsi beli (call option) tersebut tidak mengganggu
kelangsungan rentabilitas Bank.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kualitas sama atau
lebih baik” adalah instrumen modal yang
paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai
komponen modal pelengkap.
Angka 2
Batasan modal pelengkap diperhitungkan
dengan memperhatikan seluruh instrumen
modal pelengkap yang tersedia.
tersebut adalah sebagaimana
- 21 -
Contoh “jumlah yang berbeda”:
Modal pelengkap yang dieksekusi adalah
Rp500 juta namun pada saat penggantian,
modal inti Bank mengalami perubahan
sehingga batasan modal pelengkap menjadi
paling tinggi sebesar Rp400 juta.
Dengan kondisi ini, Bank dapat menggantikan
modal pelengkap sebesar Rp400 juta.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “metode garis lurus” adalah
perhitungan amortisasi secara prorata.
Ayat (4)
Amortisasi dihitung berdasarkan nilai instrumen modal
yang telah memperhitungkan pengurangan dari
cadangan pelunasan (sinking fund).
Ayat (5)
Contoh ilustrasi pelaksanaan amortisasi:
a. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang
memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki opsi beli pada akhir tahun kelima. Dalam
kondisi ini, Bank mulai menghitung amortisasi
sejak tahun pertama.
Apabila pada akhir tahun kelima, Bank tidak
mengeksekusi opsi beli (call option), mulai awal
tahun keenam obligasi subordinasi dapat
diperhitungkan kembali dalam perhitungan KPMM
dengan memperhatikan batasan yang
dipersyaratkan, termasuk kewajiban untuk
memperhitungkan amortisasi.
b. Bank menerbitkan obligasi subordinasi yang
memiliki jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan
memiliki opsi beli (call option) setelah lewat tahun
kelima. Dalam kondisi ini, sisa jangka waktu
instrumen pada awal penerbitan adalah 5 (lima)
tahun. Amortisasi mulai diperhitungkan oleh Bank
sejak tahun pertama.
- 22 -
Setelah lewat tahun kelima sampai dengan jatuh
tempo, Bank tidak dapat memperhitungkan
kembali obligasi subordinasi sebagai modal
pelengkap meskipun Bank belum mengeksekusi
opsi beli (call option).
Angka 13
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh instrumen modal dalam bentuk saham
atau dalam bentuk lainnya yang memenuhi
persyaratan adalah:
1. saham preferen (yang memberikan hak
kepada pemegangnya untuk menerima
dividen lebih dahulu dari pemegang saham
klasifikasi lain) secara kumulatif (cumulative
preference share);
2. instrumen utang yang memiliki karakteristik
modal, bersifat subordinasi, bersifat kumulatif
dan memenuhi seluruh persyaratan untuk
dapat diperhitungkan sebagai komponen
modal pelengkap (cumulative subordinated
debt); dan
3. instrumen utang yang memiliki karakteristik
seperti modal yang secara otomatis tanpa
persyaratan dapat dikonversi menjadi saham
setelah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan (mandatory convertible bond).
Kondisi dan nilai konversi harus ditetapkan
pada saat penerbitan yang besarnya sejalan
dengan kondisi pasar.
- 23 -
Huruf b
Yang dimaksud dengan “agio” adalah selisih lebih
setoran modal yang diterima oleh Bank pada saat
penerbitan instrumen modal pelengkap karena
harga pasar instrumen modal lebih tinggi dari nilai
nominal.
Yang dimaksud dengan “disagio” adalah selisih
kurang setoran modal yang diterima oleh Bank
pada saat penerbitan instrumen modal pelengkap
karena harga pasar instrumen modal lebih rendah
dari nilai nominal.
Huruf c
Pembentukan cadangan umum PPA atas aset
produktif yang wajib dibentuk mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai penilaian
kualitas aset Bank.
Contoh:
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang
wajib dibentuk sebesar Rp15 juta dan ATMR Bank
untuk Risiko Kredit sebesar Rp1 miliar.
Cadangan umum PPA atas aset produktif yang
dapat diperhitungkan sebagai komponen modal
pelengkap paling tinggi 1,25% dari Rp1 miliar yaitu
sebesar Rp12,5 juta.
Dalam hal ini terdapat kelebihan cadangan umum
sebesar Rp2,5 juta yang tidak dapat
diperhitungkan sebagai komponen modal
pelengkap.
Ayat (2)
Kelebihan cadangan umum PPA atas aset produktif
sesuai contoh pada penjelasan ayat (1) huruf c yaitu
sebesar Rp2,5 juta menjadi faktor pengurang
perhitungan ATMR untuk Risiko Kredit.
- 24 -
Angka 14
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Pembelian kembali instrumen modal inti utama,
modal inti tambahan atau modal pelengkap yang
telah diakui sebagai komponen permodalan Bank
menjadi faktor pengurang masing-masing
komponen modal yang bersangkutan.
Contoh 1:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen
modal yang harus dikurangkan dari modal inti
utama adalah antara lain pembelian kembali
instrumen modal yang telah diterbitkan Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Contoh 2:
Termasuk dalam pembelian kembali instrumen
modal yang harus dikurangkan dari modal inti
tambahan antara lain eksekusi opsi beli (call
option).
Huruf b
Penempatan dana pada instrumen utang yang
telah diakui sebagai komponen modal Bank lain
menjadi faktor pengurang modal bagi Bank yang
melakukan penempatan dana pada komponen
modal yang memiliki kualitas sama dan/atau lebih
baik.
Contoh 1:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap
sebesar Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar
- 25 -
Rp80 miliar tersebut di atas selanjutnya diakui
sebagai modal pelengkap dengan memperhatikan
batasan modal pelengkap yang diperkenankan.
Contoh 2:
Bank A memiliki komponen modal pelengkap
sebesar Rp10 miliar dan modal inti utama sebesar
Rp100 miliar.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal pelengkap Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp10 miliar - Rp20 miliar = (Rp10 miliar)
Rp10 miliar tersebut di atas selanjutnya akan
dikurangkan terhadap modal inti utama Bank A.
Contoh 3:
Bank A hanya memiliki komponen modal inti
utama sebesar Rp100 miliar dan tidak memiliki
komponen modal lainnya.
Bank A membeli obligasi subordinasi yang
diterbitkan Bank B yang merupakan komponen
modal pelengkap Bank B sebesar Rp20 miliar.
Dalam kondisi ini, modal inti utama Bank A akan
dikurangi dengan obligasi subordinasi yang dibeli
Bank A dari Bank B yaitu:
Rp100 miliar - Rp20 miliar = Rp80 miliar.
Huruf c
Pengaturan mengenai kepemilikan silang mengacu
pada Undang-Undang mengenai Perseroan
Terbatas.
Kepemilikan silang menjadi faktor pengurang
modal pada komponen modal yang memiliki
kualitas sama dan/atau lebih baik bagi Bank yang
melakukan penempatan dana.
- 26 -
Kepemilikan silang yang telah menjadi faktor
pengurang modal tidak lagi diperhitungkan baik
dalam perhitungan ATMR untuk risiko kredit
maupun faktor pengurang modal lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 41
Ayat (1)
Termasuk posisi yang kurang likuid adalah portofolio
yang terkonsentrasi dan berpotensi tidak memiliki pasar
yang aktif dan memadai.
Yang dimaksud dengan memiliki “pasar yang aktif dan
memadai” adalah aset harus memiliki pasar repo atau
jual putus (outright sale) yang aktif sepanjang waktu,
yang antara lain ditunjukkan dengan:
1. terdapat bukti historis mengenai keluasan pasar
(market breadth) dan kedalaman pasar (market
depth) antara lain:
a. rendahnya spread antara bid dan ask price;
b. tingginya volume perdagangan;
c. banyak dan beragamnya jumlah peserta
pasar; dan/atau
2. terdapat infrastruktur pasar yang handal.
Faktor-faktor tertentu mencakup antara lain rata-rata
dan volatilitas volume perdagangan, rata-rata volatilitas
dari rentang kuotasi penawaran dan permintaan (bid
atau ask spreads), serta ketersediaan kuotasi pasar.
Ayat (2)
Penyesuaian tidak akan mengurangi nilai instrumen
keuangan pada laporan posisi keuangan (neraca) dan
tidak mempengaruhi laporan laba rugi.
- 27 -
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5929
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 34/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2016 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 22 September 2016 </set_date>
<effective_date> 26 September 2016 </effective_date>
<issued_date> 26 September 2016 </issued_date>
<changed_reg> '11/POJK.03/2016' </changed_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2011', '9/UU/2016', '11/POJK.03/2016' </related_reg>
|
-1-
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a.
bahwa
dengan
berlakunya
Undang-Undang
Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
laporan wali amanat beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal
dan
Lembaga
Keuangan
ke
Otoritas
Jasa
Keuangan;
b.
bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap laporan wali amanat,
ketentuan
pasar
peraturan
modal
diterbitkan
perundang-undangan
mengenai
sebelum
laporan
wali
terbentuknya
di sektor
amanat
Otoritas
yang
Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c.
bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Wali
Amanat;
-2Mengingat
: 1.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor
64,
Tambahan
Lembaran
Negara
Republik
Indonesia Nomor 3608);
2.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
: PERATURAN
OTORITAS
JASA
KEUANGAN
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1.
Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek yang bersifat utang.
2.
Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3.
Kontrak
Perwaliamanatan
adalah
perjanjian
antara
Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan efek
bersifat utang dan/atau sukuk yang dibuat dalam
bentuk akta notariil.
4.
Sukuk adalah efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang
tidak
terpisahkan
atau
tidak
terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
5.
Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
-3BAB II
LAPORAN
Pasal 2
(1)
Wali Amanat wajib menyampaikan laporan kegiatan
kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a.
laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali
Amanat; dan
b.
(2)
laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat.
Dalam hal terjadi peristiwa penting yang menyangkut
kegiatan
perwaliamanatan,
menyampaikan
laporan
Wali
mengenai
Amanat
peristiwa
wajib
penting
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3)
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) disampaikan dalam bentuk dokumen cetak paling
sedikit 2 (dua) rangkap disertai dengan salinan dokumen
elektronik.
Pasal 3
(1)
Laporan tengah tahunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) huruf a wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 30 (tiga puluh)
hari setelah periode laporan, yang disusun dengan
menggunakan
sebagaimana
format
Laporan
tercantum
dalam
Tengah
Tahunan
Lampiran
yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2)
Laporan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) huruf b wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah
periode laporan, yang disusun dengan menggunakan
format Laporan Tahunan sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3)
Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) jatuh pada hari libur, penyampaian
-4laporan wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
(4)
Dalam hal penyampaian laporan melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian
laporan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (3).
Pasal 4
Laporan peristiwa penting sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya
peristiwa atau sejak diketahuinya peristiwa tersebut.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar
modal,
Otoritas
Jasa
Keuangan
berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang
melakukan
pelanggaran
Otoritas Jasa Keuangan
ketentuan
Peraturan
ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a.
peringatan tertulis;
b.
denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
(2)
c.
pembatasan kegiatan usaha;
d.
pembekuan kegiatan usaha;
e.
pencabutan izin usaha;
f.
pembatalan persetujuan; dan/atau
g.
pembatalan pendaftaran.
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
-5pengenaan
sanksi
administratif
berupa
peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3)
Sanksi
administratif
berupa
denda
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-77/PM/1996 tentang Laporan Wali Amanat,
beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-6Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 129
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
I.
UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai laporan Wali Amanat yaitu Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-77/PM/1996 tentang
Laporan Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.1 yang merupakan
lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Wali Amanat.
-2-
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Laporan tengah tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat
antara lain memuat:
1.
jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk
yang masih beredar;
2.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk;
3.
jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan
menjadi saham; dan
4.
pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh
Wali Amanat terhadap Emiten.
Huruf b
Laporan tahunan mengenai kegiatan Wali Amanat antara
lain memuat:
1.
jumlah dan jenis Efek bersifat utang dan/atau Sukuk
yang masih beredar;
2.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk;
3.
jumlah Efek bersifat utang yang telah dikonversikan
menjadi saham; dan
4.
pelaksanaan pengawasan yang telah dilakukan oleh
Wali Amanat terhadap Emiten.
Ayat (2)
Laporan
peristiwa
penting
yang
menyangkut
kegiatan
perwaliamanatan, antara lain:
a.
pembayaran pokok dan bunga Efek bersifat utang sebelum
jatuh
tempo,
jika
dimungkinkan
di
dalam
kontrak
perwaliamanatan;
b.
pelanggaran
atas
ketentuan
perwaliamanatan termasuk:
dalam
kontrak
-3-
1.
pembayaran pokok dan/atau bunga Efek bersifat
utang yang tidak tepat waktu; dan
2.
pengurangan,
penambahan,
pengalihan,
atau
penukaran jaminan; dan
c.
penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Efek bersifat
utang.
Ayat (3)
Dalam praktiknya “salinan dokumen elektronik” dimaksud
dikenal dengan sebutan soft copy.
Salinan dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
ini dapat disampaikan dengan menggunakan antara lain media
digital cakram padat (compact disc), flashdisk, atau lainnya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyampaikan kembali laporan yang telah diperbaiki
sesuai dengan hasil pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
-4-
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6076
[Grab your reader’s attention with a great
- 5 - or use this space
quote from the document
to emphasize a key point. To place this
text box anywhere on the page, just drag
it.]
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2017
TENTANG
LAPORAN WALI AMANAT
-2-
LAPORAN WALI AMANAT
Laporan Tengah Tahunan / Tahunan *)
Nama Wali Amanat
: .........
1. Obligasi dan/atau Sukuk yang Diwaliamanatkan
No
1.
Emiten
Nama Obligasi
dan/atau Sukuk
Tanggal
Emisi
Tanggal Jatuh
Tempo
Nilai
Outstanding
Pembayaran
Bunga/Kupon
Konversi
PT. …..
*) sesuai jenis laporan
2. Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten yang Diwaliamanatkan
No
1.
Emiten
Pelaksanaan Pengawasan Terhadap Emiten
PT. ……
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
-3-
Laporan Peristiwa Penting
No
1.
Emiten
Tanggal Peristiwa Penting
Jenis Peristiwa Penting
Keterangan
PT. ……
.......... , ................20.......
PT ...........
...................
(Nama Lengkap & Jabatan)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 29/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN WALI AMANAT </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-77/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-77/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.I.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 66 /POJK.03/2016
TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN PEMENUHAN MODAL INTI
MINIMUM BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan industri Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah yang sehat, kuat, dan
produktif, diperlukan penyesuaian terhadap struktur
permodalan agar sejalan dengan praktik terbaik
perbankan;
b. bahwa penyesuaian struktur permodalan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah dalam menyediakan dana bagi sektor riil
terutama bagi usaha mikro dan kecil;
c. bahwa penguatan kelembagaan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah perlu didukung dengan permodalan yang kuat;
d. bahwa sehubungan dengan hal tersebut perlu ditetapkan
jumlah modal dengan karakteristik yang kuat untuk
mendukung penguatan kelembagaan maupun
kemampuan untuk menyerap risiko bagi Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam bentuk modal inti
minimum bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah;
-2-
e. bahwa sehubungan dengan huruf a sampai dengan huruf
d di atas diperlukan penyesuaian terhadap ketentuan
tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM DAN
PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM BANK PEMBIAYAAN
RAKYAT SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yang selanjutnya
disingkat KPMM adalah rasio modal terhadap Aset
Tertimbang Menurut Risiko yang wajib disediakan oleh
BPRS.
-3-
3. Aset Tertimbang Menurut Risiko yang selanjutnya
disingkat ATMR adalah jumlah aset dalam neraca yang
diberikan bobot sesuai dengan kadar risiko yang melekat
pada setiap pos aset sesuai ketentuan.
4. Agunan Yang Diambil Alih yang selanjutnya disingkat
AYDA adalah sebagian atau seluruh agunan yang dibeli
BPRS, baik melalui pelelangan maupun di luar
pelelangan, berdasarkan penyerahan sukarela oleh
pemilik agunan atau berdasarkan pemberian kuasa
untuk menjual dari pemilik agunan dalam hal nasabah
pembiayaan telah digolongkan macet, dengan kewajiban
untuk dicairkan kembali.
5. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya
disingkat RUPS adalah Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
6. Penyisihan Penghapusan Aset Produktif yang selanjutnya
disingkat PPAP adalah cadangan yang harus dibentuk
sebesar persentase tertentu dari baki debet berdasarkan
penggolongan Kualitas Aset Produktif.
BAB II
KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM
Pasal 2
BPRS wajib menyediakan modal minimum yang dihitung
dengan menggunakan rasio KPMM paling rendah sebesar 12%
(dua belas persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020.
Pasal 3
(1) Modal terdiri atas:
a. modal inti (tier 1) yang meliputi :
1. modal inti utama;
2. modal inti tambahan; dan
b. modal pelengkap (tier 2).
-4-
(2) Modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar
100% (seratus persen) dari modal inti.
Pasal 4
BPRS wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 8%
(delapan persen) dari ATMR sejak 1 Januari 2020.
Pasal 5
(1) Modal inti utama terdiri atas:
a. modal disetor; dan
b. cadangan tambahan modal, yang terdiri atas:
1. agio yaitu selisih lebih setoran modal yang
diterima BPRS sebagai akibat harga saham
yang melebihi nilai nominalnya;
2. dana setoran modal yaitu dana yang telah
disetor penuh untuk tujuan penambahan modal
namun belum didukung dengan kelengkapan
persyaratan untuk dapat digolongkan sebagai
modal disetor seperti pelaksanaan RUPS
maupun pengesahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang, dengan memenuhi
persyaratan:
a) ditempatkan dalam bentuk deposito pada
Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha
Syariah di Indonesia dengan cara
mencantumkan atas nama ”Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q.
(nama BPRS)”, dan mencantumkan
keterangan nama penyetor tambahan
modal serta keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan. Bagi hasil yang diperoleh
dari penempatan dana setoran modal
dalam bentuk deposito di Bank Umum
-5-
Syariah atau Unit Usaha Syariah menjadi
pendapatan BPRS;
b) ditempatkan dalam bentuk deposito pada
BPRS yang bersangkutan dengan cara
mencantumkan atas nama “Dewan
Komisioner Otoritas Jasa Keuangan q.q.
(nama pemegang saham penyetor)” dan
mencantumkan keterangan bahwa
pencairannya hanya dapat dilakukan
setelah mendapat persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan;
c) penambahan modal disetor yang
ditempatkan dalam bentuk deposito pada
BPRS yang bersangkutan sebagaimana
dimaksud pada huruf b) hanya berlaku
bagi BPRS yang tidak dalam status
pengawasan khusus dan penambahan
modal disetor dilakukan oleh pemegang
saham BPRS yang bersangkutan;
d) telah dilakukan pemeriksaan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dan dinyatakan telah
memenuhi ketentuan;
e)
f)
tidak diberikan bagi hasil dan/atau dividen
atas dana setoran modal dimaksud;
tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang
saham atau calon pemegang saham.
3. modal sumbangan yaitu sumbangan yang
berasal dari pemilik BPRS dan/atau pihak luar
dalam bentuk dana atau aset lainnya termasuk
pengembalian saham pemilik;
4. cadangan umum yaitu cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba atau laba neto
setelah dikurangi pajak untuk tujuan
memperkuat modal dan telah mendapat
persetujuan RUPS;
5. cadangan tujuan yaitu cadangan yang dibentuk
dari penyisihan saldo laba atau laba neto
-6-
setelah dikurangi pajak yang tujuan
penggunaannya telah ditetapkan dan telah
mendapat persetujuan RUPS;
6. laba tahun-tahun lalu yaitu laba tahun-tahun
lalu setelah dikurangi pajak kecuali apabila
diperkenankan untuk dikompensasi dengan
kerugian sesuai ketentuan perpajakan dan
belum ditetapkan penggunaannya oleh RUPS;
dan
7. laba tahun berjalan yaitu laba yang diperoleh
dalam tahun buku berjalan setelah
diperhitungkan
dengan
kekurangan
pembentukan PPAP, yang diperhitungkan
paling tinggi sebesar 50% (lima puluh persen)
setelah taksiran pajak, kecuali apabila
diperkenankan untuk dikompensasi dengan
kerugian sesuai ketentuan perpajakan.
(2) Komponen modal inti tambahan harus memenuhi
persyaratan:
a. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan dan
telah disetor penuh;
b. mempunyai kedudukan yang sama dengan modal
disetor dalam hal jumlah kerugian BPRS melebihi
laba tahun-tahun lalu dan cadangan-cadangan yang
termasuk modal inti utama, meskipun BPRS belum
dilikuidasi;
c. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS yang
bersangkutan baik secara langsung maupun tidak
langsung;
d. tidak memiliki jangka waktu dan tidak terdapat
persyaratan yang mewajibkan pelunasan oleh BPRS
di masa mendatang;
e. tidak memiliki hak menerima pembayaran dividen;
f.
telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai komponen
modal;
-7-
g. dapat dikonversi menjadi saham biasa yang
dinyatakan secara jelas dalam dokumen perjanjian
dengan memenuhi persyaratan dan tata cara
penambahan modal disetor sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
BPRS;
h. pembayaran kembali atau pelunasan harus
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
dan dengan pembayaran kembali atau pelunasan
tersebut permodalan BPRS tetap sehat serta tidak
mengakibatkan rasio modal tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 4.
(3) Modal inti tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2):
a. memperoleh tingkat imbal hasil paling tinggi sama
dengan tingkat imbal hasil dana pihak ketiga
terendah di BPRS tersebut;
b.
tidak memperoleh imbal hasil apabila BPRS dalam
keadaan rugi atau memiliki laba yang tidak
mencukupi untuk membayar imbal hasil dan
pembayaran tidak diakumulasikan pada tahun-
tahun buku berikutnya.
(4) Modal inti utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diperhitungkan dengan faktor pengurang berupa:
a. perhitungan pajak tangguhan (deferred tax);
b. goodwill;
c. disagio;
d. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak pengambilalihan sebesar nilai yang
tercatat pada neraca BPRS;
e. rugi tahun-tahun lalu; dan
f.
rugi tahun berjalan.
Pasal 6
(1) BPRS wajib menyelesaikan kelengkapan administrasi
dana setoran modal paling lambat 90 (sembilan puluh)
-8-
hari kerja sejak tanggal persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) BPRS yang telah memiliki dana setoran modal pada saat
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib
segera menyelesaikan kelengkapan administrasi dana
setoran modal paling lambat 31 Desember 2020.
(3) Dana setoran modal dicatat sebagai modal disetor setelah
BPRS memenuhi kelengkapan administrasi.
Pasal 7
(1) BPRS dapat menerima modal sumbangan dalam bentuk
aset lainnya berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Modal sumbangan dalam bentuk aset lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berupa
tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk
operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas
nama BPRS.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus
menggunakan aset berupa tanah dan bangunan untuk
kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat
(2).
(4) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) terlampaui dan BPRS belum menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai
penggunaan aset berupa tanah dan bangunan untuk
kegiatan operasional BPRS, aset dimaksud tidak dapat
lagi diperhitungkan sebagai komponen modal
sumbangan.
(5) Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
diperhitungkan sebagai modal sumbangan pada saat aset
dimaksud dipergunakan dalam operasional BPRS.
(6) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana
ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut
penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan
khusus tidak dapat menerima modal sumbangan dalam
-9-
bentuk aset lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
Pasal 8
(1) BPRS dapat melakukan tambahan setoran modal dalam
bentuk aset tetap berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Aset tetap yang digunakan sebagai tambahan setoran
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
berupa tanah dan bangunan yang dimaksudkan untuk
operasional BPRS dan telah dibalik nama menjadi atas
nama BPRS.
(3) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, BPRS harus
menggunakan aset tetap untuk kegiatan operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) BPRS yang telah memiliki modal disetor berupa aset
tetap dan belum digunakan dalam operasional BPRS
pada saat berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini harus menggunakan aset dimaksud dalam
operasional BPRS paling lambat 3 (tiga) tahun sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) terlampaui dan BPRS belum
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
mengenai penggunaan aset tetap untuk kegiatan
operasional BPRS, aset tetap tidak dapat lagi
diperhitungkan sebagai komponen modal disetor.
(6) Aset tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat
diperhitungkan sebagai tambahan setoran modal pada
saat aset tetap dipergunakan dalam operasional BPRS.
(7) BPRS dalam status pengawasan khusus sebagaimana
ketentuan yang mengatur mengenai tindak lanjut
penanganan terhadap BPRS dalam status pengawasan
khusus tidak dapat menerima tambahan modal disetor
dalam bentuk aset tetap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
-10-
Pasal 9
(1) Modal pelengkap terdiri atas:
a. komponen modal yang memenuhi persyaratan:
1. tidak dijamin oleh BPRS yang bersangkutan
dan telah disetor penuh;
2. mempunyai kedudukan yang sama dengan
modal dalam hal jumlah kerugian BPRS
melebihi laba tahun-tahun lalu dan cadangan-
cadangan yang termasuk modal inti utama,
meskipun BPRS belum dilikuidasi;
3. sumber pendanaan tidak berasal dari BPRS
yang bersangkutan secara langsung maupun
tidak langsung;
4. terdapat perjanjian yang paling sedikit memuat
klausul:
a) mencantumkan pembayaran pokok
dan/atau imbal hasil;
b) tidak memiliki persyaratan percepatan
pembayaran pokok dan/atau imbal hasil;
c) pembayaran pokok dan/atau imbal hasil
ditangguhkan dan diakumulasikan antar
periode apabila pembayaran dimaksud
dapat menyebabkan rasio KPMM tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2;
d) hak tagih dalam hal terjadi likuidasi
berlaku paling akhir;
e) memiliki jangka waktu 5
(lima)
tahun atau lebih dan hanya dapat dilunasi
setelah memperoleh persetujuan Otoritas
Jasa Keuangan.
5. telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk diperhitungkan sebagai
komponen modal pelengkap;
6. pelunasan sebelum jatuh tempo harus
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa
-11-
Keuangan dengan syarat setelah pelunasan
tersebut permodalan BPRS tetap sehat;
b. surplus revaluasi aset tetap; dan
c. cadangan umum dari PPAP paling tinggi sebesar
1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari
ATMR.
(2) Komponen modal pelengkap sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a paling tinggi sebesar 50% (lima puluh
persen) dari modal inti.
Pasal 10
Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
yang wajib dihitung oleh BPRS meliputi aset dalam neraca.
Pasal 11
Dalam perhitungan ATMR:
a.
selisih lebih cadangan umum dari PPAP yang wajib
dihitung dari batasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) huruf c dapat diperhitungkan sebagai
faktor pengurang perhitungan ATMR.
b. AYDA yang telah melampaui jangka waktu 1 (satu) tahun
sejak pengambilalihan tidak diperhitungkan dalam
perhitungan ATMR.
Pasal 12
BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal distribusi
dimaksud mengakibatkan kondisi permodalan BPRS tidak
mencapai rasio modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 4.
BAB III
MODAL INTI MINIMUM
Pasal 13
Modal inti minimum BPRS ditetapkan sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dengan ketentuan:
-12-
1. BPRS dengan modal inti kurang dari Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah) wajib memenuhi modal inti minimum
sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) paling
lambat pada tanggal 31 Desember 2020.
2. BPRS sebagaimana dimaksud pada angka 1 wajib
memenuhi modal
inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2025.
3. BPRS dengan modal inti paling sedikit sebesar
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) namun kurang
dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), wajib
memenuhi modal
inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) paling lambat
pada tanggal 31 Desember 2020.
Pasal 14
BPRS yang belum memenuhi persyaratan modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 tidak dapat menerima
modal sumbangan dan tambahan modal disetor dalam bentuk
aset tetap.
Pasal 15
(1) BPRS wajib menjaga jumlah modal inti minimum paling
sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 angka 2 dan angka 3.
(2) BPRS dilarang melakukan distribusi laba dalam hal:
a.
distribusi dimaksud mengakibatkan menurunnya
modal inti menjadi kurang dari Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah); atau
b. BPRS belum memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) BPRS dilarang melakukan pembayaran kembali atau
pelunasan komponen modal inti tambahan, apabila
pembayaran kembali atau pelunasan mengakibatkan
menurunnya modal inti minimum BPRS menjadi kurang
dari Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
-13-
(4) Dalam hal BPRS tidak dapat menjaga modal inti
minimum paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00
(enam miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), BPRS wajib meningkatkan modal inti menjadi paling
sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah)
dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak:
a. laporan bulanan yang disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan menunjukkan modal inti di bawah
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah); atau
b. tanggal risalah hasil pemeriksaan Otoritas Jasa
Keuangan menunjukkan modal inti di bawah
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 16
BPRS yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa
Keuangan dengan modal disetor kurang dari
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) setelah berlakunya
ketentuan ini wajib memenuhi jumlah modal inti minimum
paling lambat 5 (lima) tahun setelah memperoleh izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
LAIN-LAIN
Pasal 17
(1) BPRS yang pada saat mulai berlakunya ketentuan ini
belum memenuhi rasio modal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dan/atau jumlah modal inti
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 wajib
menyusun rencana pemenuhan rasio modal dan/atau
modal inti minimum dalam bentuk rencana tindak
dengan persetujuan RUPS.
(2) Rencana tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 6 (enam) bulan setelah berlakunya ketentuan ini.
-14-
Pasal 18
Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian rencana tindak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) jatuh pada
hari Sabtu atau hari libur, penyampaian rencana tindak
dilakukan pada hari kerja pertama setelah hari Sabtu atau
hari libur dimaksud.
BAB V
SANKSI
Pasal 19
BPRS yang tidak memenuhi rasio modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. larangan pembukaan jaringan kantor; dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan operasional
BPRS.
Pasal 20
BPRS yang tidak menyelesaikan kelengkapan administrasi
dana setoran modal dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan
sanksi administratif:
a. dana setoran modal tidak dapat diperhitungkan sebagai
komponen modal inti; dan
b. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan
saham dari pemegang saham yang melakukan setoran
modal;
sampai dengan terpenuhinya kelengkapan administrasi.
Pasal 21
BPRS yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 17
dikenakan sanksi administratif:
a. teguran tertulis; dan/atau
-15-
b. penurunan tingkat kesehatan.
Pasal 22
(1) BPRS yang tidak memenuhi jumlah modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 dan
angka 2, dikenakan sanksi administratif:
a. penurunan tingkat kesehatan BPRS;
b. larangan membuka jaringan kantor;
c. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis;
d. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten/kota yang sama dengan lokasi kantor
BPRS; dan
e. pembatasan remunerasi atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu kepada anggota Dewan
Komisaris dan/atau Direksi BPRS, atau imbalan
kepada pihak terkait.
(2) BPRS yang telah memenuhi modal inti minimum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 1 namun
belum mencapai Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) atau BPRS yang belum memenuhi modal inti
minimum sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 angka 3
pada tanggal 31 Desember 2020 dikenakan sanksi
administratif:
a. larangan membuka jaringan kantor;
b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis; dan
c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS.
(3) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 angka 3 sampai dengan
tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
-16-
(4) BPRS yang tidak mampu menjaga modal inti minimum
paling sedikit sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah) sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (4),
setelah tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 namun
sebelum batas waktu pemenuhan modal inti minimum
pada tanggal 31 Desember 2025 dikenakan sanksi
administratif:
a. larangan membuka jaringan kantor;
b. larangan melakukan Kegiatan Usaha Penukaran
Valuta Asing dan layanan perangkat perbankan
elektronis; dan
c. pembatasan wilayah penyaluran dana menjadi satu
kabupaten yang sama dengan lokasi kantor BPRS.
(6) BPRS yang tidak memenuhi modal inti minimum sebesar
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah) dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan batas
waktu pemenuhan modal inti minimum melampaui
tanggal 31 Desember 2025, dikenakan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
(1) Komponen dan persyaratan modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat
(3), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 9 Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2020.
(2) BPRS yang memiliki komponen modal pelengkap berupa
modal pinjaman dan investasi subordinasi yang telah ada
sebelum berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, harus mengajukan permohonan persetujuan kepada
Otoritas Jasa Keuangan disertai dengan dokumen
-17-
perjanjian yang sesuai persyaratan sebagaimana
tercantum dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) atau Pasal
9 ayat (1) huruf a sebelum 31 Desember 2019 untuk
dapat diakui sebagai komponen modal inti tambahan
atau komponen modal pelengkap.
(3) Larangan distribusi laba sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dan Pasal 15 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku pertama kali untuk laba
tahun 2017.
(4) Perhitungan ATMR sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
sejak 1 Januari 2020.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini diatur dengan Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 25
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006
tanggal 5 Oktober 2006 tentang Kewajiban Penyediaan Modal
Minimum Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006
Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4648), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku kecuali
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dinyatakan tetap
berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2019.
Pasal 26
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/22/PBI/2006 tentang Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Perkreditan Rakyat
-18-
Berdasarkan Prinsip Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2006 Nomor 79, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4648), dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 27
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
-19-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 299
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 6/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> KEGIATAN USAHA DAN JARINGAN KANTOR BERDASARKAN MODAL INTI BANK </reg_title>
<set_date> 26 Januari 2016 </set_date>
<effective_date> 27 Januari 2016 </effective_date>
<issued_date> 27 Januari 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '14/26/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23 /POJK.04/2016
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung perkembangan dan
pertumbuhan Reksa Dana yang sehat serta
meningkatkan daya saing industri Reksa Dana secara
internasional diperlukan penyempurnaan pengaturan
pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG REKSA
DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk
selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh
Manajer Investasi.
2. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian yang mengikat pemegang
Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif
dan Bank Kustodian diberi wewenang untuk
melaksanakan Penitipan Kolektif.
3. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam
portofolio investasi kolektif.
4. Manajer Investasi adalah Pihak yang kegiatan usahanya
mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan
Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta
jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-
hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili
pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
6. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai
- 3 -
Bank Kustodian.
7. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau
Perusahaan Publik.
8. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain
membeli Efek.
9. Efek Bersifat Utang adalah Efek yang menunjukkan
hubungan utang piutang antara pemegang Efek
(kreditur) dengan Pihak yang menerbitkan Efek (debitur).
10. Nilai Pasar Wajar dari Efek adalah nilai yang dapat
diperoleh dari transaksi Efek yang dilakukan antar para
Pihak yang bebas bukan karena paksaan atau likuidasi.
11. Transaksi Unit Penyertaan adalah transaksi dalam
rangka penjualan, pembelian kembali, pelunasan,
dan/atau pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa
Dana ke Unit Penyertaan Reksa Dana lain yang dikelola
oleh Manajer Investasi yang sama.
12. Afiliasi adalah:
a. hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara
horizontal maupun vertikal;
b. hubungan antara Pihak dengan pegawai, direktur,
atau komisaris dari Pihak tersebut;
c. hubungan antara 2 (dua) perusahaan dimana
terdapat 1 (satu) atau lebih anggota direksi atau
dewan komisaris yang sama;
d. hubungan antara perusahaan dan Pihak, baik
langsung maupun tidak langsung, mengendalikan
atau dikendalikan oleh perusahaan tersebut;
e. hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang
dikendalikan, baik langsung maupun tidak
langsung, oleh Pihak yang sama; atau
f. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham
utama.
- 4 -
13. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang tentang Pasar Modal dan peraturan
pelaksanaannya yang:
a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha;
b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan,
kegiatan usaha; dan/atau
c.
aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan
penerbitnya,
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
BAB II
PEDOMAN PENGELOLAAN REKSA DANA BERBENTUK
KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
Pasal 2
(1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan
tugas sebaik mungkin untuk kepentingan Reksa Dana
sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian
tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Manajer Investasi dan/atau
Bank Kustodian tersebut wajib bertanggung jawab atas
segala kerugian yang timbul karena tindakannya masing-
masing.
Bagian Kesatu
Nama Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 3
(1) Nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
wajib menggambarkan:
a. nama Manajer Investasi;
b. nama yang mencerminkan jenis Reksa Dana; dan
- 5 -
c. denominasi mata uang asing yang digunakan, jika
menggunakan mata uang selain Rupiah.
(2) Nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dilarang:
a. sama dengan nama Reksa Dana lain;
b. mengandung ungkapan Reksa Dana tersebut
memiliki manfaat tertentu yang belum tentu benar;
c. mengandung ungkapan Manajer Investasi memiliki
keunggulan tertentu yang belum tentu benar;
dan/atau
d. tidak konsisten dengan kebijakan investasi Reksa
Dana.
Bagian Kedua
Portofolio Efek Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif
Pasal 4
(1) Manajer Investasi wajib menentukan komposisi Portofolio
Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dengan ketentuan sebagai berikut:
a. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) dari
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada:
1. Efek yang diterbitkan, ditawarkan, dan/atau
diperdagangkan di Indonesia berdasarkan
peraturan perundang-undangan di Indonesia;
2. Efek yang diperdagangkan di luar negeri,
namun diterbitkan oleh:
a) Pemerintah Republik Indonesia;
b) badan hukum Indonesia yang merupakan
Emiten dan/atau Perusahaan Publik;
c) badan hukum asing yang sebagian besar
atau seluruh sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung dimiliki oleh
Emiten atau Perusahaan Publik
sebagaimana dimaksud dalam huruf b)
- 6 -
dan badan hukum asing tersebut khusus
didirikan untuk menghimpun dana dari
luar negeri untuk kepentingan Emiten atau
Perusahaan Publik dimaksud; dan/atau
d) badan hukum asing yang sebagian besar
atau seluruh sahamnya secara langsung
maupun tidak langsung dimiliki Badan
Usaha Milik Negara; dan/atau
3. instrumen pasar uang dalam negeri;
b. paling banyak 15% (lima belas persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana diinvestasikan pada Efek
yang diperdagangkan di Bursa Efek luar negeri yang
informasinya dapat diakses dari Indonesia melalui
media massa atau situs web.
(2) Dalam hal investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dilakukan pada Efek yang
diperdagangkan di luar negeri yang diterbitkan oleh
badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a angka 2 huruf c) dan/atau huruf d), Manajer
Investasi Reksa Dana dimaksud wajib memberikan
informasi mengenai nama dan persentase kepemilikan
Emiten, Perusahaan Publik, dan/atau Badan Usaha Milik
Negara yang memiliki baik langsung maupun tidak
langsung badan hukum asing yang menerbitkan Efek
dimaksud kepada Bank Kustodian bersamaan dengan
penyampaian instruksi pembayaran penyelesaian
transaksi kepada Bank Kustodian.
Pasal 5
(1) Investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif hanya dapat berupa:
a. Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum
dan/atau diperdagangkan di Bursa Efek di dalam
maupun di luar negeri;
b. Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh
Pemerintah Republik Indonesia, dan/atau Efek yang
- 7 -
diterbitkan oleh lembaga internasional dimana
Pemerintah Republik Indonesia menjadi salah satu
anggotanya;
c. Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah
berpendapatan tetap yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum dan telah mendapat peringkat
dari Perusahaan Pemeringkat Efek;
d. Efek Beragun Aset yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum dan sudah mendapat peringkat
dari Perusahaan Pemeringkat Efek;
e. Efek pasar uang dalam negeri yang mempunyai
jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) tahun, baik
dalam Rupiah maupun dalam mata uang asing;
f.
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum;
g. Efek derivatif; dan/atau
h. Efek lainnya yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Efek Bersifat Utang atau Efek Syariah berpendapatan
tetap yang ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diterbitkan oleh:
1. Emiten atau Perusahaan Publik;
2. anak perusahaan Emiten atau Perusahaan
Publik yang mendapat jaminan penuh dari
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut;
3. Badan Usaha Milik Negara atau anak
perusahaan Badan Usaha Milik Negara;
4. Pemerintah Republik Indonesia;
5. Pemerintah Daerah; dan/atau
6. Lembaga Jasa Keuangan yang telah mendapat
izin usaha atau di bawah pengawasan Otoritas
Jasa Keuangan;
- 8 -
b. memiliki peringkat layak investasi dan diperingkat
secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali;
dan
c. masuk dalam Penitipan Kolektif di Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) Efek derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf g wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. diperdagangkan di:
1. Bursa Efek; atau
2. luar Bursa Efek, dengan ketentuan:
a) pihak penerbit (lawan transaksi) derivatif
adalah Lembaga Jasa Keuangan yang telah
mendapat izin usaha dan/atau di bawah
pengawasan Otoritas Jasa Keuangan serta
memperoleh peringkat layak investasi dari
Perusahaan Pemeringkat Efek;
b) valuasi dilakukan secara harian dan wajar;
dan
c) Efek derivatif dapat dijual atau ditutup
posisinya melalui transaksi saling hapus
sewaktu-waktu pada nilai wajar.
b. memiliki dasar obyek acuan derivatif berupa:
1. Efek; atau
2.
Indeks Efek, sepanjang memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a)
nilai indeks Efek dipublikasikan secara
harian melalui media massa; dan
b) informasi tentang indeks Efek
dipublikasikan dan tersedia untuk umum;
dan
c.
tidak memiliki potensi kerugian yang lebih besar
dari nilai eksposur awal pada saat pembelian Efek
derivatif dimaksud.
- 9 -
Pasal 6
(1) Manajer Investasi dilarang melakukan tindakan yang
dapat menyebabkan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif:
a. memiliki Efek yang diperdagangkan di Bursa Efek
luar negeri yang informasinya tidak dapat diakses
dari Indonesia melalui media massa atau situs web;
b. memiliki Efek yang diterbitkan oleh 1 (satu)
perusahaan berbadan hukum Indonesia atau
berbadan hukum asing yang diperdagangkan di
Bursa Efek luar negeri lebih dari 5% (lima persen)
dari modal disetor perusahaan dimaksud atau lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana pada setiap saat;
c. memiliki Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang telah mencatatkan Efek-nya pada
Bursa Efek di Indonesia lebih dari 5% (lima persen)
dari modal disetor perusahaan dimaksud;
d. memiliki Efek yang diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak
lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana pada setiap saat;
e. memiliki Efek derivatif:
1. yang ditransaksikan di luar Bursa Efek dengan
1 (satu) pihak Lembaga Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)
huruf a angka 2 dengan nilai eksposur lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana pada setiap saat; dan
2. dengan nilai eksposur global bersih lebih dari
20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana pada setiap saat;
f.
memiliki Efek Beragun Aset yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum lebih dari 20% (dua puluh persen)
dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat
dengan ketentuan setiap seri Efek Beragun Aset
- 10 -
tidak lebih dari 10% (sepuluh persen) dari Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap saat;
g. memiliki Efek Bersifat Utang, Efek Syariah
berpendapatan tetap, Efek Beragun Aset, dan/atau
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat yang
ditawarkan tidak melalui Penawaran Umum yang
diterbitkan oleh 1 (satu) Pihak lebih dari 5% (lima
persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada
setiap saat atau secara keseluruhan lebih dari 15%
(lima belas persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana pada setiap saat;
h. memiliki Unit Penyertaan suatu Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
ditawarkan melalui Penawaran Umum lebih dari
20% (dua puluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana pada setiap saat dengan ketentuan
setiap Dana Investasi Real Estat tidak lebih dari 10%
(sepuluh persen) dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
pada setiap saat;
i.
memiliki Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, jika Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif tersebut dan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif dikelola oleh Manajer Investasi
yang sama;
j.
memiliki Portofolio Efek berupa Efek yang
diterbitkan oleh Pihak yang terafiliasi dengan
Manajer Investasi lebih dari 20% (dua puluh persen)
dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana pada setiap
saat, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah
Republik Indonesia;
k. memiliki Efek yang diterbitkan oleh pemegang Unit
Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari pemegang
Unit Penyertaan berdasarkan komitmen yang telah
disepakati oleh Manajer Investasi dengan pemegang
- 11 -
Unit Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari
pemegang Unit Penyertaan;
l. membeli Efek dari calon atau pemegang Unit
Penyertaan dan/atau Pihak terafiliasi dari calon
atau pemegang Unit Penyertaan kecuali dilakukan
pada harga pasar wajar;
m. terlibat dalam kegiatan selain dari investasi,
investasi kembali, atau perdagangan Efek
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini;
n. terlibat dalam penjualan Efek yang belum dimiliki;
o. terlibat dalam transaksi marjin;
p. menerima pinjaman secara langsung termasuk
melakukan penerbitan obligasi atau Efek bersifat
utang lainnya, kecuali pinjaman jangka pendek
dengan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan
dalam rangka pemenuhan transaksi pembelian
kembali dan/atau pelunasan paling banyak 10%
(sepuluh persen) dari nilai portofolio Reksa Dana
pada saat terjadinya pinjaman;
q. memberikan pinjaman secara langsung, kecuali
pembelian obligasi, Efek bersifat utang lainnya,
dan/atau penyimpanan dana di bank;
r. membeli Efek yang sedang ditawarkan dalam
Penawaran Umum, jika Penjamin Emisi Efek dari
Penawaran Umum tersebut adalah Perusahaan Efek
yang merupakan Manajer Investasi itu sendiri atau
Afiliasi dari Manajer Investasi tersebut, kecuali:
1. Efek Bersifat Utang yang ditawarkan mendapat
peringkat layak investasi; dan/atau
2.
s.
terjadi kelebihan permintaan beli dari Efek yang
ditawarkan;
terlibat dalam transaksi bersama atau kontrak bagi
hasil dengan Manajer Investasi itu sendiri atau
Afiliasi dari Manajer Investasi dimaksud;
t. membeli Efek Beragun Aset, jika:
- 12 -
1. Efek Beragun Aset tersebut dan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dimaksud
dikelola oleh Manajer Investasi yang sama;
dan/atau
2. Manajer Investasi Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif terafiliasi dengan
kreditur awal Efek Beragun Aset, kecuali
hubungan Afiliasi tersebut terjadi karena
kepemilikan atau penyertaan modal
Pemerintah; dan
u. terlibat dalam transaksi penjualan Efek dengan janji
membeli kembali dan pembelian Efek dengan janji
menjual kembali.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
tidak berlaku bagi:
a. Sertifikat Bank Indonesia;
b. Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh
Pemerintah Republik Indonesia; dan/atau
c. Efek yang diterbitkan oleh lembaga keuangan
internasional dimana Pemerintah Republik Indonesia
menjadi salah satu anggotanya.
(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
tidak berlaku bagi Efek Bersifat Utang dan/atau Efek
Syariah berpendapatan tetap yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dan/atau Pemerintah
Daerah.
(4) Larangan bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif untuk membeli Efek yang ditawarkan melalui
Penawaran Umum dari Pihak terafiliasi dengan Manajer
Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf r
tidak berlaku jika hubungan Afiliasi tersebut terjadi
karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.
Pasal 7
(1) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak sesuai dengan
- 13 -
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau
kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak
Investasi Kolektif yang tidak disebabkan karena tindakan
transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi, paling
lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya perubahan
komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif, Bank Kustodian wajib
memberikan surat pemberitahuan kepada Manajer
Investasi.
(2) Manajer Investasi wajib menyesuaikan komposisi
Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf
j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah
ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif paling
lambat 20 (dua puluh) hari bursa sejak diterimanya surat
pemberitahuan dari Bank Kustodian dan jangka waktu
penyesuaian dimaksud dapat diperpanjang semata-mata
untuk kepentingan Reksa Dana dan pemegang Unit
Penyertaan sepanjang telah mendapat persetujuan Bank
Kustodian.
(3) Penyesuaian komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan oleh Manajer
Investasi kepada Bank Kustodian paling lambat 2 (dua)
hari kerja sejak dilakukannya penyesuaian dengan
tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 8
(1) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf
- 14 -
f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p dan/atau
kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak
Investasi Kolektif yang disebabkan karena tindakan
transaksi yang dilakukan oleh Manajer Investasi, maka
paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya
perubahan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Bank Kustodian
wajib memberikan surat pemberitahuan kepada Manajer
Investasi dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Manajer Investasi wajib menyesuaikan komposisi
Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b,
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf
j, dan huruf p dan/atau kebijakan investasi yang telah
ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif paling
lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak diterimanya surat
pemberitahuan dari Bank Kustodian.
(3) Dalam hal komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif belum sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1), Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf
e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, dan huruf p atau
kebijakan investasi yang telah ditetapkan dalam Kontrak
Investasi Kolektif dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Bank Kustodian wajib
melaporkan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan tembusan kepada Manajer Investasi paling
lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya batas waktu
penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 9
Manajer Investasi dilarang melakukan perubahan atas
kebijakan investasi Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, kecuali dalam rangka:
- 15 -
a. penyesuaian terhadap peraturan baru dan/atau
perubahan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. penyesuaian terhadap kondisi tertentu yang ditetapkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 10
Bank Kustodian wajib melakukan pembayaran atas pembelian
Efek dan investasi lainnya yang akan menjadi bagian dari
Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif atau menerima pembayaran atas penjualan Efek atau
pencairan investasi lainnya dalam Portofolio Efek dari Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang dilakukan
Manajer Investasi.
Pasal 11
Bank Kustodian wajib menolak instruksi Manajer Investasi
secara tertulis dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh
Bank Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal dan/atau Kontrak Investasi
Kolektif Reksa Dana.
Bagian Ketiga
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
Pasal 12
Bank Kustodian wajib menghitung Nilai Aktiva Bersih per Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
setiap hari bursa dan mengumumkannya melalui media
massa.
Pasal 13
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib
menggunakan denominasi Rupiah kecuali mayoritas Portofolio
Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
berdenominasi mata uang asing.
- 16 -
Pasal 14
(1) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan
dari Reksa Dana wajib ditetapkan sebesar Rp1.000,00
(seribu rupiah) berdasarkan Nilai Pasar Wajar Portofolio
Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang disampaikan Manajer Investasi kepada
Bank Kustodian.
(2) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan
dari Reksa Dana yang menggunakan denominasi mata
uang asing wajib ditetapkan sebesar US$ 1 (satu Dolar
Amerika Serikat) atau EUR 1 (satu Euro), atau dalam
besaran tertentu mata uang asing lainnya setelah
mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) selanjutnya dihitung
berdasarkan Nilai Pasar Wajar Portofolio Efek dari Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
disampaikan Manajer Investasi kepada Bank Kustodian.
(4) Nilai Aktiva Bersih awal untuk setiap Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dapat
tidak mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), sepanjang telah diatur dalam Kontrak Investasi
Kolektif dan dicantumkan dalam Prospektus Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek.
Pasal 15
(1) Dalam rangka penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana terbuka berbentuk Kontrak Investasi Kolektif oleh
Bank Kustodian, Manajer Investasi wajib menghitung
Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam Portofolio Efek dari
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif setiap
hari bursa dan menyampaikannya segera kepada Bank
Kustodian.
- 17 -
(2) Penghitungan dan penyampaian Nilai Pasar Wajar dari
Efek dalam Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam
Portofolio Reksa Dana.
Bagian Keempat
Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
Pasal 16
Manajer Investasi wajib menyusun tata cara Transaksi Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 17
(1) Manajer Investasi wajib memastikan semua dana
pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif dikreditkan ke rekening atas
nama Reksa Dana di Bank Kustodian paling lambat pada
akhir hari bursa disampaikannya perintah transaksi
pembelian secara lengkap.
(2) Dana pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat berasal dari:
a. calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
b. anggota keluarga calon pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
c. perusahaan tempat bekerja dari calon pemegang
Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif; dan/atau
d. Manajer Investasi, Agen Penjual Efek Reksa Dana
dan/atau asosiasi yang terkait dengan Reksa Dana,
untuk pemberian hadiah dalam rangka kegiatan
- 18 -
pemasaran Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.
(3) Sumber dana yang berasal dari pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d
disertai dengan lampiran surat pernyataan dan bukti
pendukung yang menunjukkan hubungan antara calon
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif dengan pihak dimaksud.
Pasal 18
(1) Perintah Transaksi Unit Penyertaan dari pemegang Unit
Penyertaan yang diterima secara lengkap oleh Manajer
Investasi:
a. sampai dengan pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat
wajib diproses berdasarkan Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana yang ditetapkan pada akhir hari bursa
yang bersangkutan; atau
b. setelah pukul 13.00 Waktu Indonesia Barat wajib
diproses berdasarkan Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana yang ditetapkan pada akhir hari bursa
berikutnya.
(2) Ketentuan mengenai Transaksi Unit Penyertaan bagi
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek dapat
tidak mengikuti ketentuan mengenai Transaksi Unit
Penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang telah dimuat dalam Kontrak Investasi Kolektif
dan Prospektus Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di
Bursa Efek dimaksud.
Pasal 19
(1) Transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif ke Unit
Penyertaan Reksa Dana yang lain hanya dapat dilakukan
- 19 -
antar Reksa Dana yang dikelola oleh Manajer Investasi
yang sama.
(2) Transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif ke Unit
Penyertaan Reksa Dana yang lain dilakukan melalui
mekanisme transaksi pembelian kembali Unit Penyertaan
suatu Reksa Dana dan penjualan Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang lain pada
waktu yang bersamaan dengan menggunakan Nilai
Aktiva Bersih per Unit Penyertaan dari masing-masing
Reksa Dana sesuai dengan saat diterimanya perintah
pengalihan secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18.
(3) Manajer Investasi wajib memastikan dana dari hasil
transaksi pengalihan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), diterima rekening Reksa Dana
dimaksud pada Bank Kustodian paling lambat 4 (empat)
hari bursa sejak diterimanya perintah pengalihan secara
lengkap.
Pasal 20
(1) Untuk kepentingan operasional Transaksi Unit
Penyertaan Reksa Dana, Bank Kustodian dapat
membuka rekening atas nama Reksa Dana di Bank lain
atas permintaan tertulis dari Manajer Investasi.
(2) Rekening atas nama Reksa Dana di Bank lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diadministrasikan
kepentingan Reksa Dana dimaksud.
Pasal 21
Manajer Investasi atas nama Reksa Dana terbuka berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif wajib melakukan pembelian
kembali atas Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang dijual oleh pemegang Unit Penyertaan.
wajib
oleh Bank Kustodian untuk
- 20 -
Pasal 22
Bank Kustodian wajib memastikan dana hasil pembelian
kembali Unit Penyertaan atau likuidasi Reksa Dana
disampaikan ke rekening bank atas nama pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 23
(1) Manajer Investasi dapat menolak pembelian kembali
dan/atau pelunasan atau menginstruksikan Agen
Penjual Efek Reksa Dana untuk melakukan penolakan
pembelian kembali dan/atau pelunasan apabila terjadi
hal sebagai berikut:
a. Bursa Efek di mana sebagian besar Portofolio Efek
dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif diperdagangkan ditutup;
b. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio
Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif di Bursa Efek dihentikan;
c. keadaan darurat; atau
d. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam Kontrak
Investasi Kolektif setelah mendapat persetujuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penolakan pembelian kembali dan/atau pelunasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah
Manajer Investasi memberitahukan secara tertulis
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan
kepada Bank Kustodian.
(3) Dalam hal kebijakan penolakan pembelian kembali
dan/atau pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diterapkan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Manajer Investasi dilarang melakukan penjualan
Unit Penyertaan baru; dan
b. Bank Kustodian dilarang menerbitkan Unit
Penyertaan baru,
selama periode penolakan pembelian kembali dan/atau
pelunasan dimaksud.
- 21 -
(4) Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis
kepada pemegang Unit Penyertaan apabila melakukan
hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 1
(satu) hari kerja setelah tanggal perintah pembelian
kembali dan/atau pelunasan diterima oleh Manajer
Investasi.
Pasal 24
Pembayaran atas pembelian kembali atau pelunasan Unit
Penyertaan pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling
lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak perintah pembelian kembali
telah diterima Manajer Investasi secara lengkap.
Bagian Kelima
Pengalihan Kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 25
(1) Kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif hanya dapat beralih atau
dialihkan oleh pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif kepada Pihak lain
tanpa melalui mekanisme penjualan, pembelian kembali
atau pelunasan dalam rangka:
a. pewarisan; atau
b. hibah.
(2) Pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan oleh ahli
waris, pemberi hibah, atau penerima hibah kepada
Manajer Investasi atau Agen Penjual Efek Reksa Dana
dengan bukti pendukung sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
untuk
selanjutnya
diadministrasikan di Bank Kustodian Reksa Dana.
(3) Pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana
- 22 -
dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
(4) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana atau Agen
Penjual Efek Reksa Dana yang ditunjuk oleh Manajer
Investasi wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan Di Sektor Pasar Modal terhadap
Pihak yang menerima pengalihan kepemilikan Unit
Penyertaan Reksa Dana dalam rangka pewarisan
dan/atau hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Bagian Keenam
Penerbitan Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
Pasal 26
Bank Kustodian wajib:
a. mengurus penerbitan Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
b. melakukan pembayaran pembelian kembali atau
pelunasan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif kepada pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
c. melakukan pembukuan Reksa Dana; dan
d. mengambil tindakan yang diperlukan untuk
melaksanakan kewajiban sesuai dengan Kontrak
Investasi Kolektif Reksa Dana.
Pasal 27
(1) Bank Kustodian wajib memastikan Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
diterbitkan setelah diterimanya perintah pembelian Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif secara lengkap dan diterimanya dana di rekening
- 23 -
Reksa Dana yang diadministrasikan oleh Bank
Kustodian.
(2) Untuk transaksi pengalihan dari Unit Penyertaan suatu
Reksa Dana ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain,
Bank Kustodian wajib memastikan penerbitan Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif dilakukan setelah perintah pengalihan dimaksud
diterima secara lengkap oleh Manajer Investasi atau Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Bagian Ketujuh
Konfirmasi Kepemilikan Unit Penyertaan dan Laporan Kepada
Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
Pasal 28
(1) Bank Kustodian wajib menerbitkan dan menyampaikan
surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif atas pelaksanaan perintah pemegang Unit
Penyertaan secara langsung kepada pemegang Unit
Penyertaan.
(2) Surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. dikirimkan kepada pemegang Unit Penyertaan paling
lambat 7 (tujuh) hari bursa setelah Unit Penyertaan
diterbitkan, untuk penjualan Unit Penyertaan; atau
b. dikirimkan kepada pemegang Unit Penyertaan paling
lambat 7 (tujuh) hari bursa setelah diterimanya
perintah pembelian kembali Unit Penyertaan secara
lengkap, untuk pembelian kembali Unit Penyertaan.
(3) Penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis
kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif kepada pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
- 24 -
Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui:
a. media elektronik, jika telah memperoleh persetujuan
dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif; dan/atau
b. jasa pengiriman.
Pasal 29
(1) Bank Kustodian wajib menyampaikan laporan Reksa
Dana kepada setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sesuai dengan
ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai laporan Reksa Dana.
(2) Laporan kepada setiap pemegang Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui:
a. media elektronik, jika telah memperoleh persetujuan
dari pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana;
dan/atau
b. jasa pengiriman.
Bagian Kedelapan
Biaya Dalam Pengelolaan Reksa Dana
Pasal 30
Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, biaya yang menjadi beban Manajer Investasi antara
lain:
a. biaya persiapan pembentukan Reksa Dana;
b. biaya administrasi pengelolaan Reksa Dana;
c. biaya pemasaran;
d. biaya pencetakan dan distribusi formulir pembukaan
rekening dan formulir transaksi;
e. biaya cetak dan distribusi Prospektus pertama kali;
f. biaya pembubaran Reksa Dana; dan
- 25 -
g. biaya jasa Dewan Pengawas dan/atau tenaga ahli, jika
terkait pengelolaan Reksa Dana Syariah.
Pasal 31
(1) Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, biaya yang menjadi beban Reksa Dana
meliputi:
a. biaya pengelolaan Manajer Investasi;
b. biaya Bank Kustodian;
c. biaya asuransi Portofolio Efek Reksa Dana, jika ada;
d. biaya transaksi pembelian dan/atau penjualan
Portofolio Efek Reksa Dana;
e. biaya pembaharuan Prospektus
pendistribusiannya;
f.
dan
biaya atas jasa Akuntan yang memeriksa Laporan
Keuangan Tahunan Reksa Dana; dan
g. biaya lain yang ditetapkan dalam kontrak.
(2) Bank Kustodian wajib membayar biaya yang menjadi
beban Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sesuai dengan perintah Manajer Investasi.
Pasal 32
Dalam pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, biaya yang menjadi beban pemegang Unit Penyertaan
antara lain:
a. biaya penjualan, jika ada;
b. biaya pembelian kembali dan/atau pelunasan, jika ada;
c. biaya pengalihan dari Unit Penyertaan suatu Reksa Dana
ke Unit Penyertaan Reksa Dana yang lain jika ada; dan
d. biaya transfer dana sehubungan dengan Transaksi Unit
Penyertaan Reksa Dana, jika ada.
Pasal 33
(1) Selain biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30,
Pasal 31, dan Pasal 32, terdapat biaya lain dalam
- 26 -
pengelolaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif antara lain:
a. biaya Konsultan Hukum;
b. biaya Notaris; dan/atau
c. biaya Akuntan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
beban Manajer Investasi, Bank Kustodian, dan/atau
Reksa Dana sesuai dengan pihak yang memperoleh
manfaat atau yang melakukan kesalahan sehingga
diperlukan jasa profesi dimaksud.
Bagian Kesembilan
Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Melalui Pihak Lain
Pasal 34
(1) Manajer Investasi dapat melakukan kerja sama dengan
Agen Penjual Efek Reksa Dana berkaitan dengan
pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana.
(2) Kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan perjanjian tertulis antara Manajer Investasi
dengan Agen Penjual Efek Reksa Dana.
(3) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib:
a. dibuat dalam Bahasa Indonesia;
b. memuat hal sebagaimana diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Agen Penjual Efek
Reksa Dana; dan
c.
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
setelah perjanjian ditandatangani.
(4) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan
Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib diberitahukan kepada Bank
Kustodian Reksa Dana.
- 27 -
Pasal 35
(1) Dalam melakukan penjualan Efek Reksa Dana, Manajer
Investasi dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain
yang memiliki:
a. jaringan luas dalam kegiatan usahanya dalam
bentuk penyediaan tempat atau gerai penjualan;
dan/atau
b. sistem elektronik yang teruji keandalannya.
(2) Pihak lain yang memiliki sistem elektronik yang teruji
keandalannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib terlebih dahulu memperoleh izin,
persetujuan, atau pengakuan dari otoritas yang
berwenang.
(3) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia;
b. memperhatikan ketentuan yang berkaitan dengan
Transaksi Unit Penyertaan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
peraturan terkait lainnya di sektor Pasar Modal serta
paling sedikit memuat:
1. identitas masing-masing Pihak;
2. hak dan kewajiban masing-masing Pihak;
3. imbalan atas jasa pemilik gerai dan/atau
pemilik sistem elektronik serta biaya;
4. jangka waktu perjanjian; dan
5. ketentuan pengakhiran perjanjian.
(4) Perjanjian kerja sama antara Manajer Investasi dengan
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
perjanjian ditandatangani.
(5) Penjualan Unit Penyertaan Reksa Dana pertama kali
kepada calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
yang dilakukan oleh Manajer Investasi melalui gerai
penjualan wajib dilakukan oleh tenaga pemasaran
- 28 -
Manajer Investasi yang mempunyai izin Wakil
Perusahaan Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa
Dana.
(6) Manajer Investasi yang melakukan kerja sama dengan
pihak lain dalam rangka Transaksi Unit Penyertaan
Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
a. bertanggung jawab atas Transaksi Unit Penyertaan
yang dilakukan oleh pihak lain yang melakukan
kerja sama dengan Manajer Investasi;
b. bertanggung jawab atas penerapan prinsip mengenal
nasabah sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Prinsip Mengenal Nasabah Oleh
Penyedia Jasa Keuangan Di Bidang Pasar Modal;
c. memastikan keandalan dan keamanan sistem yang
ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan
d. memiliki prosedur operasional standar berkaitan
dengan Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana yang
dilakukan oleh pihak lain yang melakukan kerja
sama dengan Manajer Investasi.
Bagian Kesepuluh
Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana Secara Elektronik
Pasal 36
(1) Dalam melakukan Transaksi Unit Penyertaan Reksa
Dana secara elektronik, Manajer Investasi dapat
menggunakan sistem elektronik yang dibangun sendiri
oleh Manajer Investasi atau oleh pihak lain yang memiliki
kerja sama dengan Manajer Investasi.
(2) Ketentuan mengenai tata cara Transaksi Unit Penyertaan
Reksa Dana dengan menggunakan sistem elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
- 29 -
Pasal 37
(1) Pembayaran atas pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana
dapat menggunakan sistem pembayaran elektronik
dan/atau mekanisme pendebetan rekening bank sesuai
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembayaran atas pembelian kembali atau pelunasan
Unit Penyertaan Reksa Dana dapat menggunakan sistem
pembayaran elektronik dan/atau mekanisme
pengkreditan kepada rekening bank pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana sesuai peraturan perundang-
undangan.
Bagian Kesebelas
Penyimpanan, Pencatatan, dan Pembukuan Kekayaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 38
(1) Manajer Investasi wajib menyimpan semua kekayaan
Reksa Dana pada Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian yang mengadministrasikan Reksa Dana
wajib:
a. memberikan jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian
sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana; dan
b. mendaftarkan atau mencatatkan kekayaan Reksa
Dana atas nama Bank Kustodian tersebut untuk
kepentingan pemegang Unit Penyertaan sesuai
peraturan perundang-undangan serta melakukan
tindakan yang diperlukan terkait dengan
pendaftaran atau pencatatan kekayaan dimaksud.
Pasal 39
(1) Manajer Investasi wajib:
a. menyimpan dan memelihara semua pembukuan dan
catatan penting sesuai dengan tugas dan tanggung
jawabnya berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif,
yang berkaitan dengan:
- 30 -
1. laporan keuangan Reksa Dana; dan
2. pengelolaan Reksa Dana,
paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana
tersebut dibubarkan; dan
b. memisahkan pembukuan dan catatan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dari pembukuan dan
catatan Manajer Investasi serta nasabah lain dan
produk lain dari Manajer Investasi.
(2) Bank Kustodian wajib menyimpan dan memelihara
catatan secara terpisah yang menunjukkan:
a. semua pembukuan dan catatan penting sesuai
dengan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan
Kontrak Investasi Kolektif, yang berkaitan dengan:
1. laporan keuangan; dan
2. pengelolaan Reksa Dana,
paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana
tersebut dibubarkan;
b. semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan
paling singkat 5 (lima) tahun sejak Reksa Dana
tersebut dibubarkan; dan
c. jumlah Unit Penyertaan yang dimiliki setiap
pemegang Unit Penyertaan, nama, kewarganegaraan,
alamat, dan identitas lain dari para pemegang Unit
Penyertaan paling singkat 5 (lima) tahun sejak
rekening pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
tersebut ditutup.
Bagian Kedua belas
Penggantian Bank Kustodian
Pasal 40
(1) Manajer Investasi dapat mengganti Bank Kustodian
dalam hal:
a. Bank Kustodian terbukti melakukan kesalahan atau
kelalaian dalam melaksanakan Kontrak Investasi
Kolektif atau peraturan perundang-undangan;
- 31 -
b. Bank Kustodian tidak lagi memiliki kecakapan
hukum atau kemampuan untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya berdasarkan Kontrak
Investasi Kolektif; dan/atau
c. terdapat kesepakatan bersama antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian.
(2) Penggantian Bank Kustodian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan
dari Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 41
Bank Kustodian wajib bertanggung jawab atas tugas sebagai
Bank Kustodian sampai dengan adanya Bank Kustodian
pengganti.
Bagian Ketiga belas
Perubahan Anggota Direksi, Komisaris, dan Pemegang Saham
Pasal 42
(1) Manajer Investasi wajib memberitahukan secara tertulis
kepada Bank Kustodian setiap ada perubahan anggota
Direksi, Komisaris, dan/atau pemegang saham
pengendali Manajer Investasi dengan tembusan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank Kustodian wajib memberitahukan secara tertulis
kepada Manajer Investasi setiap ada perubahan
penanggung jawab, anggota Direksi, Komisaris, dan/atau
pemegang saham pengendali bank yang menjadi Bank
Kustodian dengan tembusan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
- 32 -
Bagian Keempat belas
Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif
Pasal 43
(1) Manajer Investasi dan Bank Kustodian wajib bertanggung
jawab terhadap penyusunan laporan keuangan tahunan
Reksa Dana sesuai dengan fungsi dan kewajiban masing-
masing sebagaimana dimaksud dalam Kontrak Investasi
Kolektif.
(2) Tahun buku Reksa Dana dimulai sejak tanggal 1 Januari
dan ditutup pada tanggal 31 Desember.
(3) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana wajib diaudit
oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana wajib
ditandatangani oleh anggota Direksi Manajer Investasi
dan penanggung jawab Bank Kustodian.
(5) Laporan keuangan tahunan Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan oleh Manajer Investasi paling
lambat pada akhir bulan ketiga setelah tanggal laporan
keuangan tahunan berakhir dan tersedia bagi pemegang
Unit Penyertaan.
(6) Dalam hal pada akhir periode laporan keuangan tahunan
Reksa Dana tersebut belum memiliki pemegang Unit
Penyertaan, kewajiban audit sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dan penyampaian laporan keuangan
tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.
(7) Dalam hal Manajer Investasi menyampaikan rencana
pembubaran Reksa Dana sebelum berakhirnya periode
laporan keuangan tahunan, kewajiban penyampaian
laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) tidak berlaku.
(8) Dalam hal batas akhir waktu penyampaian laporan
keuangan tahunan Reksa Dana sebagaimana dimaksud
- 33 -
pada ayat (5) jatuh pada hari libur, laporan tersebut
disampaikan paling lambat pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
Bagian Kelimabelas
Minimum Dana Kelolaan, Pembubaran, dan Likuidasi Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 44
(1) Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif wajib
memiliki dana kelolaan
paling
sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam
jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa setelah
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif.
(2) Bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan
Penawaran Umum yang bersifat terbatas, kewajiban
memiliki dana kelolaan
paling
sedikit
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dapat
dilakukan dalam jangka waktu 120 (seratus dua puluh)
hari bursa setelah Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana
menjadi efektif.
(3) Manajer
Investasi wajib menyampaikan laporan
penghimpunan dana kelolaan Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 90 (sembilan puluh) hari bursa setelah
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif.
(4) Bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan
Penawaran Umum yang bersifat terbatas, kewajiban
penyampaian laporan penghimpunan dana kelolaan
Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan dilakukan
paling lambat 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif.
- 34 -
Pasal 45
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif wajib
dibubarkan, apabila terjadi hal sebagai berikut:
a. dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari bursa,
Reksa Dana yang Pernyataan Pendaftaran-nya telah
menjadi efektif memiliki dana kelolaan kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
b. bagi Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks yang melakukan
Penawaran Umum yang bersifat terbatas, dalam jangka
waktu 120 (seratus dua puluh) hari bursa setelah
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana menjadi efektif,
memiliki dana kelolaan kurang dari Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah);
c. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal;
d.
total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana kurang dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) selama 120
(seratus dua puluh) hari bursa berturut-turut; dan/atau
e. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat
untuk membubarkan Reksa Dana.
Pasal 46
Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf a atau huruf b, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan laporan kondisi tersebut kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan mengumumkan rencana
pembubaran Reksa Dana kepada para pemegang Unit
Penyertaan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional,
paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45
huruf a atau huruf b;
- 35 -
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat
2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau
huruf b, untuk membayarkan dana hasil likuidasi yang
menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan
ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara
proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat
pembubaran namun tidak boleh lebih kecil dari Nilai
Aktiva Bersih awal (harga par) dan dana tersebut diterima
pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari
bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf a atau huruf b; dan
c. membubarkan Reksa Dana dalam jangka waktu paling
lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a
atau huruf b, serta menyampaikan laporan pembubaran
Reksa Dana kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari bursa sejak Reksa Dana
dibubarkan yang disertai dengan:
1. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan; dan
2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan, jika Reksa Dana telah memiliki dana
kelolaan.
Pasal 47
Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf c, Manajer Investasi wajib:
a. mengumumkan rencana pembubaran Reksa Dana paling
sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional paling lambat
2 (dua) hari bursa sejak diperintahkan Otoritas Jasa
Keuangan dan pada hari yang sama memberitahukan
secara tertulis kepada Bank Kustodian untuk
- 36 -
menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat
2 (dua) hari bursa sejak diperintahkan Otoritas Jasa
Keuangan, untuk membayarkan dana hasil likuidasi
yang menjadi hak pemegang Unit Penyertaan dengan
ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan secara
proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat
pembubaran dan dana tersebut diterima pemegang Unit
Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak
likuidasi selesai dilakukan; dan
c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh)
hari bursa sejak diperintahkan pembubaran Reksa Dana
oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan dokumen sebagai
berikut:
1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 48
Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf d, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan laporan kondisi tersebut kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan dilengkapi kondisi keuangan
terakhir Reksa Dana dan mengumumkan kepada para
pemegang Unit Penyertaan rencana pembubaran Reksa
Dana paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional, dalam
jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari bursa sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam
- 37 -
Pasal 45 huruf d serta pada hari yang sama
memberitahukan secara tertulis kepada Bank Kustodian
untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva Bersih
Reksa Dana;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat
2 (dua) hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf d, untuk
membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak
pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan bahwa
perhitungannya dilakukan secara proporsional dari Nilai
Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai dilakukan dan
dana tersebut diterima pemegang Unit Penyertaan paling
lambat 7 (tujuh) hari bursa sejak likuidasi selesai
dilakukan; dan
c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh)
hari bursa sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 huruf d dengan dokumen
sebagai berikut:
1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 49
Dalam hal Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
dibubarkan karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 huruf e, maka Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan rencana pembubaran Reksa Dana kepada
Otoritas Jasa Keuangan dalam jangka waktu paling
lambat 2 (dua) hari bursa sejak terjadinya kesepakatan
pembubaran Reksa Dana oleh Manajer Investasi dan
Bank Kustodian dengan melampirkan:
- 38 -
1. kesepakatan pembubaran Reksa Dana antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian disertai
alasan pembubaran; dan
2. kondisi keuangan terakhir;
dan pada hari yang sama mengumumkan rencana
pembubaran Reksa Dana kepada para pemegang Unit
Penyertaan paling sedikit dalam 1 (satu) surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional
serta memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai Aktiva
Bersih Reksa Dana;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian paling lambat
2 (dua) hari bursa sejak terjadinya kesepakatan
pembubaran Reksa Dana, untuk membayarkan dana
hasil likuidasi yang menjadi hak pemegang Unit
Penyertaan dengan ketentuan perhitungannya dilakukan
secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada saat
likuidasi selesai dilakukan dan dana tersebut diterima
pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh) hari
bursa sejak likuidasi selesai dilakukan; dan
c. menyampaikan laporan pembubaran Reksa Dana kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam puluh)
hari bursa sejak disepakatinya pembubaran Reksa Dana
disertai dengan dokumen sebagai berikut:
1. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 50
Pemegang Unit Penyertaan tidak dapat melakukan penjualan
kembali setelah dilakukannya pengumuman rencana
pembubaran Reksa Dana.
- 39 -
Pasal 51
Laporan keuangan pembubaran Reksa Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf c angka 2, Pasal 47 huruf c
angka 2, Pasal 48 huruf c angka 2, dan Pasal 49 huruf c
angka 2 mencakup:
a. laporan posisi keuangan;
b. laporan laba rugi komprehensif; dan
c. catatan atas laporan keuangan.
Pasal 52
(1) Dalam hal Manajer Investasi tidak lagi memiliki izin
usaha atau Bank Kustodian tidak lagi memiliki surat
persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. menunjuk Manajer Investasi lain untuk melakukan
pengelolaan atau Bank Kustodian lain untuk
mengadministrasikan Reksa Dana; atau
b. menunjuk salah 1 (satu) pihak yang masih memiliki
izin usaha atau surat persetujuan untuk melakukan
pembubaran Reksa Dana, jika tidak terdapat
Manajer Investasi atau Bank Kustodian pengganti.
(2) Dalam hal pihak yang ditunjuk untuk melakukan
pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b adalah Bank Kustodian, Bank Kustodian
dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan likuidasi
Reksa Dana dengan pemberitahuan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Manajer Investasi atau Bank Kustodian yang ditunjuk
untuk melakukan pembubaran Reksa Dana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menyampaikan
laporan penyelesaian pembubaran kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 60 (enam puluh) hari bursa
sejak ditunjuk untuk membubarkan Reksa Dana yang
disertai dengan dokumen sebagai berikut:
a. pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan;
- 40 -
b. laporan keuangan pembubaran Reksa Dana yang
diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. akta pembubaran Reksa Dana dari Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 53
Dalam hal masih terdapat dana hasil likuidasi yang belum
diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau terdapat
dana yang tersisa setelah tanggal pembagian hasil likuidasi
kepada pemegang Unit Penyertaan maka:
a.
jika Bank Kustodian telah memberitahukan dana
tersebut kepada pemegang Unit Penyertaan sebanyak
3 (tiga) kali dalam tenggang waktu masing-masing
10 (sepuluh) hari bursa serta telah mengumumkannya
dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia yang
berperedaran nasional maka dana tersebut wajib
disimpan dalam rekening giro di Bank Kustodian selaku
Bank Umum, atas nama Bank Kustodian untuk
kepentingan pemegang Unit Penyertaan yang belum
mengambil dana hasil likuidasi dan/atau untuk
kepentingan pemegang Unit Penyertaan yang tercatat
pada tanggal pembubaran, dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) tahun;
b. setiap biaya yang timbul atas penyimpanan dana
tersebut dibebankan kepada rekening giro tersebut;
c. apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun tidak
diambil oleh pemegang Unit Penyertaan, dana tersebut
wajib diserahkan oleh Bank Kustodian kepada
Pemerintah Republik Indonesia untuk keperluan
pengembangan industri Pasar Modal; dan
d. dalam Kontrak Investasi Kolektif dapat ditetapkan jangka
waktu yang lebih singkat dari 30 (tiga puluh) tahun
dengan ketentuan paling cepat 3 (tiga) tahun.
- 41 -
Pasal 54
(1) Dalam hal Reksa Dana dibubarkan dan dilikuidasi oleh
Manajer Investasi maka biaya pembubaran dan likuidasi
Reksa Dana termasuk biaya Konsultan Hukum, Akuntan,
dan Notaris serta biaya lain kepada pihak ketiga menjadi
beban Manajer Investasi.
(2) Dalam hal Bank Kustodian atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Bank Kustodian melakukan pembubaran dan
likuidasi Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 52 ayat (2) maka biaya pembubaran dan likuidasi,
termasuk biaya Konsultan Hukum, Akuntan, dan Notaris
serta biaya lain kepada pihak ketiga dapat dibebankan
kepada Reksa Dana.
Bagian Keenam belas
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan Dalam Rangka
Melindungi Kepentingan Para Pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 55
Untuk melindungi kepentingan para pemegang Unit
Penyertaan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. mengalihkan, membekukan, dan/atau mengamankan
kekayaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif;
b. menunjuk Manajer Investasi lain untuk mengelola Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif;
c. menunjuk Bank Kustodian
lain untuk
mengadministrasikan kekayaan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif;
d. membubarkan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif; dan/atau
e. melakukan tindakan lain terhadap Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
- 42 -
BAB III
PEDOMAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF REKSA DANA
BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
Bagian Kesatu
Bentuk dan Isi Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 56
Manajer Investasi dilarang terafiliasi dengan Bank Kustodian.
Pasal 57
Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana dan perubahannya
wajib dibuat secara notariil.
Pasal 58
Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana wajib memuat hak dan
tanggung jawab Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang
mengikat pemegang Unit Penyertaan.
Pasal 59
Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana paling sedikit memuat
ketentuan mengenai:
a. nama dan alamat Manajer Investasi;
b. nama dan alamat Bank Kustodian;
c. komposisi diversifikasi Portofolio Efek di pasar uang dan
Pasar Modal;
d. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi,
Reksa Dana, dan pemegang Unit Penyertaan;
e. keadaan yang memperbolehkan Manajer Investasi
menolak pembelian kembali Unit Penyertaan;
f.
komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif, batasan investasi Reksa Dana,
dan tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi;
g. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi;
h. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian;
i.
penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian
dalam Kontrak Investasi Kolektif;
- 43 -
j. hak pemegang Unit Penyertaan;
k. batas minimum penjualan awal Unit Penyertaan;
l. tata cara pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan;
m. tata cara pelaksanaan Transaksi Unit Penyertaan melalui
sistem elektronik, jika ada;
n. tata cara pembayaran Transaksi Unit Penyertaan;
o.
tata cara pembayaran Transaksi Unit Penyertaan melalui
sistem pembayaran elektronik, jika ada;
p. tata cara penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana;
q. prosedur penyelesaian kesalahan penghitungan Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana;
r. penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa Dana;
s. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer Investasi
dan/atau Bank Kustodian yang menyebabkan para pihak
tersebut menjadi tidak dapat menjalankan atau
melakukan tugas dan kewajibannya (keadaan darurat);
t. pembubaran Reksa Dana;
u. perlakuan terhadap dana hasil likuidasi yang belum
diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau
terdapat dana yang tersisa;
v. pihak yang bertanggung jawab atas biaya pembubaran
Reksa Dana; dan
w. penunjukan lembaga alternatif penyelesaian sengketa di
sektor Pasar Modal, atau lembaga penyelesaian sengketa
alternatif lainnya sebagai lembaga untuk menyelesaikan
perselisihan dan sengketa perdata antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian.
Pasal 60
Komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, batasan investasi Reksa Dana, dan
tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi yang mengelola
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf f,
paling sedikit memuat hal sebagaimana diatur dalam Pasal 4,
Pasal 5, dan Pasal 6.
- 44 -
Pasal 61
Kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf g, paling sedikit
memuat ketentuan mengenai:
a. pembukuan dan pelaporan;
b. tanggung jawab Manajer Investasi atas segala kerugian
yang timbul karena kesalahannya;
c. larangan penghentian pengelolaan Reksa Dana sebelum
ditunjuk Manajer Investasi pengganti;
d. pemisahan kekayaan Reksa Dana dengan kekayaan
Manajer Investasi;
e. tata cara Transaksi Unit Penyertaan;
f.
penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam
portofolio setiap hari bursa dan penyampaiannya kepada
Bank Kustodian;
g. penunjukan Bank Kustodian pengganti dalam hal Bank
Kustodian karena hukum tidak lagi dapat melaksanakan
fungsinya sebagai Bank Kustodian, misalnya izin usaha
sebagai Bank Umum dicabut atau persetujuan sebagai
Bank Kustodian dibatalkan;
h. pelaksanaan investasi sesuai dengan kebijakan investasi
yang telah ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif;
i.
pembelian kembali Unit Penyertaan atas nama Reksa
Dana untuk kepentingan rekening Reksa Dana;
j. penyusunan dan penyampaian laporan keuangan
tahunan kepada pemegang Unit Penyertaan dan Otoritas
Jasa Keuangan; dan
k. penerbitan pembaharuan Prospektus yang disertai
laporan keuangan tahunan terakhir serta wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh
Manajer Investasi pada akhir bulan ketiga setelah tanggal
laporan keuangan tahunan berakhir.
- 45 -
Pasal 62
Kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 huruf h, paling sedikit memuat
ketentuan mengenai:
a. pembukuan dan pelaporan;
b. tanggung jawab Bank Kustodian atas segala kerugian
yang timbul karena kesalahannya;
c. penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana setiap hari
bursa;
d. penyelesaian transaksi Efek sesuai dengan instruksi
Manajer Investasi;
e. pembayaran biaya pengelolaan dan biaya lain yang
dibebankan pada Reksa Dana sesuai kontrak;
f. pembayaran kepada pemegang Unit Penyertaan setiap
pembagian uang tunai yang berhubungan dengan
kontrak, dalam hal Kontrak Investasi Kolektif
menetapkan adanya kebijakan mengenai pembagian hasil
secara berkala kepada pemegang Unit Penyertaan;
g. penyimpanan dan pemeliharaan catatan secara terpisah
yang menunjukkan semua perubahan dalam jumlah Unit
Penyertaan yang dimiliki setiap pemegang Unit
Penyertaan, nama, kewarganegaraan, alamat, serta
identitas lain dari para pemegang Unit Penyertaan;
h. kepastian bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas
penerimaan dana dari:
1. calon pemegang Unit Penyertaan;
2. pihak yang sudah ditentukan pada saat pembukaan
rekening; dan/atau
3. pihak yang ditentukan oleh pemegang Unit
Penyertaan setelah pembukaan rekening;
i. pengurusan Transaksi Unit Penyertaan;
j. pemisahan kekayaan Reksa Dana dari kekayaan Bank
Kustodian;
k. pemberian jasa Penitipan Kolektif dan Kustodian
sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana;
- 46 -
l. penyusunan dan penyampaian laporan kepada Manajer
Investasi, Otoritas Jasa Keuangan, dan pemegang Unit
Penyertaan; dan
m. penolakan instruksi Manajer Investasi secara tertulis
dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan
apabila instruksi tersebut pada saat diterima oleh Bank
Kustodian secara jelas melanggar peraturan perundang-
undangan di bidang Pasar Modal dan/atau Kontrak
Investasi Kolektif.
Pasal 63
Hak pemegang Unit Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 59 huruf j, paling sedikit memuat ketentuan mengenai:
a. hak untuk mendapat bukti konfirmasi kepemilikan Unit
Penyertaan;
b. hak untuk memperoleh laporan keuangan tahunan;
c. hak untuk memperoleh informasi mengenai Nilai Aktiva
Bersih harian per Unit Penyertaan Reksa Dana;
d. hak untuk menjual kembali dan mengalihkan sebagian
atau seluruh Unit Penyertaan;
e. hak untuk memperoleh laporan sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai laporan Reksa Dana;
f. hak untuk menerima pembagian hasil investasi, jika ada;
dan
g. hak untuk memperoleh bagian atas hasil likuidasi.
Pasal 64
Ketentuan mengenai pembubaran Reksa Dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 huruf t, paling sedikit wajib
memuat:
a. alasan pembubaran Reksa Dana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45; dan
b. tindakan yang dilakukan dalam rangka pembubaran
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46,
Pasal 47, Pasal 48, dan/atau Pasal 49.
- 47 -
Bagian Kedua
Perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan Perubahan
Prospektus Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Pasal 65
Manajer Investasi dan/atau Agen Penjual Efek Reksa Dana
wajib memastikan bahwa calon pemegang Unit Penyertaan
telah menerima atau memperoleh kesempatan untuk
membaca Prospektus Reksa Dana sebelum atau pada saat
pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana.
Pasal 66
Manajer Investasi wajib melakukan pembaharuan Prospektus
dalam hal terdapat:
a. perubahan material terkait pengelolaan Reksa Dana;
dan/atau
b. laporan keuangan tahunan Reksa Dana.
Pasal 67
(1) Rencana perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan/atau
Prospektus Reksa Dana wajib disampaikan oleh Manajer
Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
diumumkan kepada publik melalui 1 (satu) surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional,
paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum
perubahan dimaksud dilakukan.
(2) Rencana perubahan Kontrak Investasi Kolektif dan/atau
Prospektus Reksa Dana yang belum memiliki pemegang
Unit Penyertaan wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sebelum
perubahan dimaksud dilakukan.
(3) Perubahan Kontrak Investasi Kolektif wajib disampaikan
oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan diumumkan kepada publik melalui 1 (satu) surat
kabar harian berbahasa Indonesia yang berperedaran
- 48 -
nasional paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah
dilakukannya perubahan.
(4) Perubahan Prospektus wajib disampaikan oleh Manajer
Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dan tersedia
bagi publik dan pemegang Unit Penyertaan paling lambat
2 (dua) hari kerja setelah dilakukannya pembaharuan
Prospektus.
(5) Kewajiban mengumumkan rencana perubahan Kontrak
Investasi Kolektif dan/atau Prospektus Reksa Dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak berlaku bagi Reksa Dana yang belum
memiliki pemegang Unit Penyertaan.
(6) Pengumuman melalui
surat kabar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat memuat
informasi bahwa rincian perubahan Kontrak Investasi
Kolektif dapat dibaca atau diakses melalui situs web
Manajer Investasi.
BAB IV
PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN
UMUM REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF
Pasal 68
Dalam rangka penerbitan Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, Manajer Investasi wajib membuat,
menyimpan, dan mengadministrasikan dokumen sebagai
berikut:
a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat oleh Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
b. rancangan terakhir Prospektus Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang diberi materai dan
ditandatangani oleh para Pihak;
- 49 -
c.
perjanjian kerja sama dengan Agen Penjual Efek Reksa
Dana dan/atau pihak yang memiliki jaringan luas
dalam kegiatan usahanya (jika ada);
d. rencana pemasaran dan operasional Reksa Dana;
e. laporan pemeriksaan hukum dan pendapat hukum dari
Konsultan Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan;
f. brosur penawaran Reksa Dana;
g. khusus untuk Reksa Dana Terproteksi, dokumen
simulasi terkait kalkulasi kinerja atau indikasi hasil
termasuk kemungkinan kinerja atau hasil yang dapat
terjadi dengan mempertimbangkan hal antara lain
sebagai berikut:
1. asumsi;
2. jatuh tempo tiap Efek;
3.
peringkat Efek Bersifat Utang yang menjadi basis
proteksi;
4. dana investasi awal tiap Efek;
5. tingkat kupon tiap Efek;
6. estimasi harga perolehan tiap Efek;
7. biaya;
8.
perkiraan/indikasi hasil investasi;
9. pembelian kembali atau pelunasan sebagian, jika
ada;
10. penjualan; dan
11. pelunasan saat jatuh tempo;
h. kontrak dengan Sponsor, bagi Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya
diperdagangkan di Bursa Efek jika dalam penciptaan
Unit Penyertaan Reksa Dana dimaksud melibatkan
Sponsor;
i.
perjanjian antara Manajer Investasi dengan Dealer
Partisipan, bagi Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya
diperdagangkan di Bursa Efek;
- 50 -
j.
perjanjian pendahuluan pencatatan antara Manajer
Investasi dengan Bursa Efek, jika Unit Penyertaan
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
diperdagangkan di Bursa Efek;
k. perjanjian penyimpanan Unit Penyertaan dalam
penitipan kolektif antara Manajer Investasi dengan
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, jika Unit
Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif diperdagangkan di Bursa Efek; dan
l. dokumen terkait Efek derivatif, dalam hal Reksa Dana
akan berinvestasi pada Efek derivatif.
Pasal 69
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif disampaikan
oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam
rangkap 2 (dua) sesuai dengan format Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disertai dokumen
dan/atau informasi sebagai berikut:
a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat oleh Notaris yang
terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan;
b. rancangan terakhir Prospektus Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang diberi materai dan
ditandatangani oleh para Pihak; dan
c.
digital seluruh dokumen Pernyataan Pendaftaran Produk
dengan menggunakan media digital cakram padat atau
lainnya.
Pasal 70
(1) Dalam rangka memproses permohonan Pernyataan
Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam
- 51 -
Pasal 69, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penelaahan
atas kelengkapan dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas Pernyataan
Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. meminta Manajer Investasi pengelola Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan para pihak
yang terlibat dalam Penawaran Umum Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif untuk
melakukan presentasi; dan/atau
b. meminta perubahan dan/atau tambahan informasi
berkaitan dengan kelengkapan dokumen Pernyataan
Pendaftaran Penawaran Umum Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 71
(1) Pernyataan Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menjadi
efektif pada hari ke-45 (keempat puluh lima) sejak
diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap atau
pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif wajib menyampaikan dokumen
perubahan dan/atau tambahan informasi terkait
Pernyataan Pendaftaran paling lambat 45 (empat puluh
lima) hari sejak tanggal surat permintaan dokumen
perubahan dan/atau tambahan informasi dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif yang tidak melengkapi
dokumen perubahan dan/atau tambahan informasi
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dianggap membatalkan permohonan Pernyataan
- 52 -
Pendaftaran yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Manajer Investasi wajib menyampaikan Prospektus final
yang telah dicetak beserta format digital dokumen
tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
30 (tiga puluh) hari kerja setelah tanggal efektifnya
Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif.
Pasal 72
Dalam hal Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
69 tidak memenuhi syarat atau memenuhi syarat, paling
lambat 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya
permohonan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat
pemberitahuan kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. Pernyataan Pendaftaran belum memenuhi persyaratan;
atau
b. Pernyataan Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 73
Manajer Investasi wajib mengelola Portofolio Efek dari Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif menurut kebijakan
investasi yang dicantumkan dalam Kontrak Investasi Kolektif
dan/atau Prospektus serta memenuhi kebijakan investasinya
paling lambat 150 (seratus lima puluh) hari bursa setelah
efektifnya Pernyataan Pendaftaran Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif.
Pasal 74
Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana dapat digunakan untuk
penerbitan Reksa Dana berikutnya, sepanjang pihak yang
terikat dalam Kontrak Investasi Kolektif, jenis Reksa Dana,
dan kebijakan investasinya masih tetap sama.
- 53 -
BAB V
SISTEM ELEKTRONIK PENDAFTARAN, PERIZINAN,
PERSETUJUAN, DAN PELAPORAN
Pasal 75
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan sistem
elektronik terkait permohonan Pernyataan Pendaftaran
dan/atau penyampaian laporan Reksa Dana berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif, maka permohonan Pernyataan
Pendaftaran dan/atau penyampaian laporan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tersebut dapat
disampaikan melalui sistem elektronik.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 76
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
- 54 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 77
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 78
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat (1) serta tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 79
Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang
Pernyataan Pendaftaran-nya telah menjadi efektif sebelum
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
khususnya mengenai:
a. kebijakan investasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6;
b. sumber dana pembelian Unit Penyertaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;
c. pengalihan kepemilikan Unit Penyertaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25;
d. penyampaian konfirmasi bukti kepemilikan Unit
Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28;
- 55 -
e. penyampaian laporan kepada setiap pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 29; dan
f. minimum dana kelolaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44,
wajib menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku.
Pasal 80
Ketentuan mengenai nama Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, tidak
berlaku untuk Reksa Dana yang Pernyataan Pendaftaran-nya
telah menjadi efektif sebelum Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini mulai berlaku.
Pasal 81
Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan,
dan Reksa Dana Indeks serta Reksa Dana berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya diperdagangkan di
Bursa Efek dapat tidak mengikuti Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini sepanjang diatur lain dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 48/POJK.04/2015 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan
Penjaminan, dan Reksa Dana Indeks dan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan Nomor 49/POJK.04/2015 tentang Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif Yang Unit
Penyertaannya Diperdagangkan Di Bursa Efek.
- 56 -
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan teknis Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif diatur dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 83
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, maka:
a. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-
552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, beserta Peraturan Nomor IV.B.1 yang
merupakan lampirannya;
b. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-
553/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang
Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif, beserta Peraturan Nomor IV.B.2 yang
merupakan lampirannya; dan
c. Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor: KEP-
430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang
Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran
Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif,
beserta Peraturan Nomor IX.C.5 yang merupakan
lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 84
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 57 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2016
016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Juni 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H.LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 23 /POJK.04/2016
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
I. UMUM
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun
dana dari masyarakat pemodal guna selanjutnya diinvestasikan dalam
Portofolio Efek oleh Manajer Investasi. Sebagai wadah yang dipergunakan
untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, Reksa Dana memiliki
peran strategis sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat
pemodal.
Perkembangan Reksa Dana di Indonesia yang cukup signifikan telah
menyebabkan permintaan atas produk Reksa Dana semakin tinggi, yang
dibarengi dengan harapan bahwa Reksa Dana tidak hanya memberikan
keuntungan yang relatif tinggi tetapi juga alternatif investasi yang aman
bagi pemodal. Sehubungan dengan hal tersebut di atas dan dalam rangka
lebih meningkatkan pertumbuhan Reksa Dana sesuai dengan kebutuhan
Pasar Modal, maka perlu dilakukan penyempurnaan peraturan
perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang mengatur tentang
Reksa Dana, khususnya Peraturan Nomor IV.B.1 lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor:
Kep-552/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang Pedoman
Pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, Peraturan
Nomor IV.B.2 lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-553/BL/2010 tanggal 30 Desember
2010 tentang Pedoman Kontrak Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, dan Peraturan Nomor IX.C.5 lampiran Keputusan Ketua Badan
- 2 -
Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-
430/BL/2007 tanggal 19 Desember 2007 tentang Pernyataan Pendaftaran
Dalam Rangka Penawaran Umum Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif.
Penyempurnaan ketiga peraturan Reksa Dana tersebut meliputi
pengaturan baru terkait ketentuan pengalihan Unit Penyertaan Reksa
Dana, sumber dana Transaksi Unit Penyertaan Reksa Dana, dan
penyempurnaan atas ketentuan mengenai Portofolio Efek dari Reksa
Dana, batasan investasi Reksa Dana, minimum dana kelolaan Reksa
Dana, serta pembubaran Reksa Dana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Jenis Reksa Dana meliputi Reksa Dana Pasar Uang, Reksa Dana
Pendapatan Tetap, Reksa Dana Saham, Reksa Dana Campuran,
Reksa Dana Terproteksi, Reksa Dana Dengan Penjaminan, dan
Reksa Dana Indeks, atau jenis Reksa Dana lainnya sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal.
Sebagai contoh, nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang dikelola oleh Manajer Investasi XYZ dengan
kebijakan investasi sesuai ketentuan jenis Reksa Dana
Pendapatan Tetap dapat diberi nama “Reksa Dana XYZ Fixed
Income Merdeka”. Contoh lainnya, Reksa Dana yang dikelola
oleh Manajer Investasi yang sama namun dengan kebijakan
investasi yang sesuai dengan ketentuan jenis Reksa Dana saham
dan dengan denominasi mata uang dollar Amerika Serikat dapat
diberi nama “XYZ USD Equity Fund”.
- 3 -
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang mengandung ungkapan Reksa Dana tersebut
memiliki manfaat yang belum tentu benar antara lain
“Reksa Dana Pasti Untung” atau “Reksa Dana Anti Rugi”.
Huruf c
Contoh nama Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif yang mengandung ungkapan Manajer Investasi
memiliki keunggulan tertentu yang belum tentu benar
antara lain “Reksa Dana ABC (nama Manajer Investasi)
Terbaik Saham”.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Angka 1
Efek mencakup Efek konvensional maupun Efek
Syariah.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Instrumen pasar uang dalam negeri baik konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah.
Huruf b
Efek mencakup Efek konvensional maupun Efek syariah.
Yang dimaksud dengan “media massa” adalah surat kabar,
majalah, televisi, radio, dan media elektronik lainnya.
Yang dimaksud dengan “situs web” adalah kumpulan
halaman web yang memuat informasi atau data yang dapat
diakses melalui suatu sistem jaringan internet.
- 4 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Efek yang ditawarkan melalui Penawaran Umum termasuk
Efek Beragun Aset dan Unit Penyertaan Dana Investasi Real
Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang ditawarkan
melalui Penawaran Umum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Pemeringkat Efek”
dalam huruf ini adalah Perusahaan Pemeringkat Efek yang
telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
Contoh Efek Bersifat Utang yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum antara lain seperti medium term notes,
promissory notes, dan surat berharga komersial yang
diterbitkan secara konvensional.
Contoh Efek Syariah berpendapatan tetap yang ditawarkan
tidak melalui Penawaran Umum antara lain adalah Obligasi
Pemerintah Daerah (Municipal Bonds) dan surat berharga
komersial yang diterbitkan sesuai Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
Huruf d
Efek Beragun Aset meliputi Efek Beragun Aset dari Kontrak
Investasi Kolektif Efek Beragun Aset maupun Efek Beragun
Aset Berbentuk Surat Partisipasi yang diterbitkan baik
secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Huruf e
Efek pasar uang dalam negeri meliputi Efek pasar uang
dalam negeri yang diterbitkan baik secara konvensional
maupun berdasarkan prinsip syariah.
Contoh Efek pasar uang dalam negeri yang mempunyai
jatuh tempo tidak lebih dari 1 (satu) tahun antara lain
Sertifikat Bank Indonesia, surat berharga pasar uang, surat
- 5 -
pengakuan utang, dan sertifikat deposito.
Huruf f
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif meliputi Unit Penyertaan Dana
Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
yang diterbitkan baik secara konvensional maupun
berdasarkan prinsip syariah.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pada praktiknya “peringkat layak investasi” dimaksud biasa
disebut juga dengan sebutan investment grade.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pada praktiknya “di luar bursa efek” dimaksud biasa
disebut juga dengan sebutan over the counter.
Huruf a)
Pada praktiknya “peringkat layak investasi”
dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan
investment grade.
Huruf b)
Valuasi yang dilakukan secara harian dan wajar
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat
dilihat melalui adanya Nilai Pasar Wajar yang
dihitung sesuai dengan peraturan mengenai Nilai
Pasar Wajar Dalam Portofolio Efek Reksa Dana.
- 6 -
Huruf c)
Pada praktiknya “saling hapus” dimaksud biasa
disebut juga dengan sebutan offsetting.
Huruf b
Pada praktiknya “acuan derivatif” dimaksud biasa disebut
juga dengan sebutan derivative underlying.
Huruf c
Potensi kerugian yang lebih besar dari nilai eksposur awal
pada saat pembelian Efek derivatif sebagaimana dimaksud
dalam huruf ini adalah potensi kewajiban dan/atau
pembayaran yang dapat timbul dari posisi jual bersih (net
short position) atas Efek derivatif serta Efek acuannya.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Efek dalam ketentuan ini mencakup semua jenis Efek, baik
Efek bersifat ekuitas, Efek Bersifat Utang, maupun
instrumen pasar uang.
Huruf e
Nilai eksposur sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf
ini dihitung sebagai jumlah Nilai Pasar Wajar Efek derivatif
ditambah dengan nilai acuan (underlying) Efek derivatif
yang dikalikan dengan faktor pengali sesuai dengan tabel di
bawah ini:
Jangka Waktu
Derivatif
Kurang dari 1
(satu) tahun
1 (satu) sampai 5
Derivatif dari Efek
bersifat ekuitas
6%
8%
Derivatif
lainnya
10%
12%
- 7 -
(lima) tahun
Lebih dari 5 (lima
tahun)
10%
15%
Nilai eksposur global bersih sebagaimana dimaksud pada
angka 2 huruf ini dihitung sebagai nilai posisi Efek derivatif
setelah dikurangi posisi saling tutup dan lindung nilai,
dikalikan dengan faktor pengali sesuai dengan jenis dan
jenis aset dasar Efek derivatif tersebut sesuai dengan
aturan sebagai berikut:
1. Kontrak berjangka Efek Bersifat Utang
Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali Nilai Pasar
Wajar Efek Bersifat Utang setara Aset Dasar yang
terendah.
2. Kontrak berjangka Efek bersifat ekuitas
Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali Nilai Pasar
Wajar Efek bersifat ekuitas.
3. Kontrak Berjangka Indeks
Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali tingkat
Indeks.
4. Kontrak Opsi Efek Bersifat Utang
Jumlah kontrak dikali harga kontrak dikali Nilai Pasar
Wajar Efek Bersifat Utang dikali Delta.
5. Kontrak Opsi Efek bersifat ekuitas
Jumlah kontrak dikali jumlah Efek bersifat ekuitas
dikali Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas dikali
Delta.
6. Kontrak Opsi Indeks
Jumlah kontrak dikali nilai kontrak dikali tingkat
Indeks dikali Delta.
7. Waran dan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
(HMETD)
Jumlah Efek bersifat ekuitas/Efek Bersifat Utang dikali
Nilai Pasar Wajar Efek bersifat ekuitas/Efek Bersifat
Utang dikali Delta.
Yang dimaksud dengan Delta adalah besaran
perubahan nilai dari Efek derivatif dibanding
perubahan nilai acuan (underlying) Efek derivatif
- 8 -
tersebut.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud Pihak bagi Efek Beragun Aset dan/atau
Unit Penyertaan Dana Investasi Real Estat adalah kontrak
investasi kolektif atau penerbit Efek Beragun Aset
Berbentuk Surat Partisipasi.
Yang dimaksud Pihak bagi Efek Bersifat Utang dan Efek
Syariah berpendapatan tetap adalah penerbit (issuer) Efek
dimaksud.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Pada praktiknya “penjualan Efek yang belum dimiliki”
dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan short sale.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Yang dimaksud dengan pinjaman jangka pendek adalah
pinjaman dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Angka 1
Pada praktiknya “peringkat layak investasi” dimaksud
biasa disebut juga dengan sebutan investment grade.
- 9 -
Angka 2
Pada praktiknya “kelebihan permintaan beli dari Efek
yang ditawarkan” dimaksud biasa disebut juga dengan
sebutan over subscription.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Pada praktiknya “kontrak jual atau beli Efek dengan janji
beli atau jual kembali pada waktu dan harga yang telah
ditetapkan” dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan
transaksi repurchase agreement.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini
dapat disampaikan melalui media elektronik.
Contoh perubahan komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang tidak disebabkan
karena tindakan transaksi yang dilakukan oleh Manajer
Investasi yaitu:
1. pembelian kembali (redemption) dan/atau pelunasan;
2. pembayaran dividen dan biaya lainnya;
3. pergerakan Nilai Pasar Wajar Efek;
4. perubahan modal disetor Emiten; dan/atau
5. perubahan bobot suatu Efek dalam indeks acuan Reksa
Dana.
- 10 -
Ayat (2)
Sebagai contoh:
Apabila dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari bursa masa
penyesuaian komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif telah berakhir namun
harga Efek yang harus dijual untuk menyesuaikan komposisi
Portofolio Efek tersebut mengalami penurunan di bawah harga
perolehan maka Manajer Investasi dapat meminta persetujuan
Bank Kustodian untuk memperpanjang masa penyesuaian
komposisi Portofolio Efek dari Reksa Dana Kontrak Investasi
Kolektif sampai dengan kondisi pasar membaik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini seperti
kondisi kahar (force majeur).
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 11 -
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Reksa Dana terbuka berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif adalah Reksa Dana yang dapat menawarkan
dan membeli kembali Unit Penyertaan dari pemodal sampai
dengan sejumlah Unit Penyertaan yang telah ditetapkan dalam
Kontrak Investasi Kolektif.
Ayat (2)
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio
Reksa Dana yang berlaku adalah Peraturan Nomor IV.C.2,
Lampiran Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor: Kep-367/BL/2012, tanggal 9 Juli
2012 tentang Nilai Pasar Wajar Dari Efek Dalam Portofolio Reksa
Dana.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Anggota keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat ini
adalah suami/istri, anak, orangtua, dan saudara kandung.
Huruf c
Cukup jelas.
- 12 -
Huruf d
Kegiatan pemasaran dalam hal ini mencakup kegiatan
promosi atau program loyalitas (calon) nasabah Reksa
Dana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan mengenai Transaksi Unit Penyertaan bagi Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit
Penyertaan-nya diperdagangkan di Bursa Efek sebagaimana
dimaksud dalam ayat ini dimaksudkan untuk penjualan Unit
Penyertaan yang dilakukan oleh Dealer Partisipan dan/atau
Sponsor kepada Manajer Investasi pengelola Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang Unit Penyertaan-nya
diperdagangkan di Bursa Efek.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
- 13 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “keadaan darurat” dalam huruf ini
adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak
sebagai akibat, antara lain, adanya perang, peristiwa alam
seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase atau
huru-hara, turunnya sebagian besar atau keseluruhan
harga Efek yang tercatat di Bursa Efek sedemikian besar
dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash),
atau kegagalan sistem perdagangan atau penyelesaian
transaksi.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan secara tertulis pada ayat ini dapat disampaikan
secara elektronik.
Pasal 24
Pada praktiknya “perintah pembelian Unit Penyertaan Reksa Dana
berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara lengkap” dimaksud biasa
disebut juga dengan sebutan complete application.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Pada praktiknya “perintah pembelian Unit Penyertaan Reksa
Dana berbentuk Kontrak Investasi Kolektif secara lengkap”
- 14 -
dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan complete
application.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis kepemilikan
Unit Penyertaan Reksa Dana berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif secara langsung kepada pemegang Unit Penyertaan
termasuk melalui bukti rekening yang menunjukkan
kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana yang bersangkutan di
Bank Kustodian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penentuan cara penyampaian surat atau bukti konfirmasi
tertulis kepemilikan Unit Penyertaan Reksa Dana kepada
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana dimaksud
dalam ayat ini dilakukan pada saat pengisian formulir
pembukaan rekening atau pada saat pemutakhiran data
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana.
Contoh penyampaian surat atau bukti konfirmasi tertulis
melalui media elektronik dimaksud antara lain dapat melalui
surat elektronik (e-mail).
Pasal 29
Ayat (1)
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai laporan Reksa Dana yang berlaku adalah
Peraturan Nomor X.D.1, lampiran Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-06/PM/2004 tanggal
9 Februari 2004 tentang Laporan Reksa Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 15 -
Pasal 30
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan biaya pemasaran termasuk komisi Agen
Penjual Efek Reksa Dana.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan biaya asuransi adalah biaya
asuransi Portofolio Efek Reksa Dana.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 16 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pihak lain yang memiliki sistem elektronik yang teruji
keandalannya dalam huruf ini antara lain:
1. penyedia (provider) jasa telekomunikasi; dan
2. penyedia (provider) jasa perdagangan melalui sistem
elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pada praktiknya “imbalan” dimaksud biasa disebut
juga dengan sebutan fee.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara
lain situs web.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Sistem pembayaran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
ini antara lain Anjungan Tunai Mandiri (ATM) dan internet
banking.
Pendebetan otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat
dilakukan secara berkala (installment).
Ayat (2)
Contoh pembayaran elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat ini antara lain pembayaran melalui uang elektronik.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
- 18 -
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Laporan keuangan pembubaran Reksa Dana didasarkan pada
2 (dua) basis laporan keuangan yaitu laporan keuangan dengan
- 19 -
basis kelangsungan usaha (going concern) dan laporan keuangan
dengan basis likuidasi.
Laporan keuangan dengan basis kelangsungan usaha (going
concern) dimulai sejak awal tahun buku sampai dengan tanggal
penghentian penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana.
Laporan keuangan dengan basis likuidasi dimulai sejak tanggal
penghentian penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
sampai dengan tanggal dilakukannya distribusi hasil likuidasi
Reksa Dana.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat ini antara lain:
a. Manajer Investasi lain; atau
b. Perantara Pedagang Efek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
- 20 -
Pasal 59
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Pada praktiknya “penjualan awal” dimaksud biasa disebut juga
dengan sebutan initial subscription.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
- 21 -
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Huruf a
Pembukuan sebagaimana dimaksud dalam huruf ini meliputi
semua perubahan dalam Portofolio Efek, jumlah Unit
Penyertaan, pengeluaran, biaya pengelolaan, dividen,
pendapatan bunga atau pendapatan lain yang sesuai dengan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 22 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Laporan keuangan tahunan dapat disediakan melalui situs web
Manajer Investasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
- 23 -
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Huruf a
Perubahan material sebagaimana dimaksud dalam huruf ini
antara lain:
1. perubahan direksi dan/atau komisaris Manajer Investasi;
2. perubahan komite investasi Reksa Dana dan/atau tim
pengelola investasi Reksa Dana;
3. penggantian Bank Kustodian; dan/atau
4. penggantian Manajer Investasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Perubahan Prospektus dapat disediakan oleh Manajer Investasi
bagi publik dan pemegang Unit Penyertaan melalui media massa
atau media elektronik seperti situs web Manajer Investasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 68
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
- 24 -
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pada praktiknya “pemeriksaan hukum” dimaksud biasa disebut
juga dengan sebutan legal audit dan “pendapat hukum”
dimaksud biasa disebut juga dengan sebutan legal opinion.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pada praktiknya “tingkat kupon” dimaksud biasa disebut
juga dengan sebutan coupon rate.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
- 25 -
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
- 26 -
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Kewajiban penyesuaian dalam Pasal ini dapat diikuti dengan
perubahan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana. Jika tidak diikuti
dengan perubahan Kontrak Investasi Kolektif Reksa Dana,
pelaksanaan pengelolaan Reksa Dana harus didasarkan pada
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5886
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 23/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF </reg_title>
<set_date> 13 Juni 2016 </set_date>
<effective_date> 19 Juni 2016 </effective_date>
<issued_date> 19 Juni 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-553/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007', 'KEP-552/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.1', 'KEP-553/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IV.B.2', 'KEP-430/BL/2007|KEPTA-BAPEPAM-LK/2007 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.5' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37/POJK.04/2014
TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
PENYERTAAN TERBATAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menunjang pertumbuhan kegiatan
usaha sektor riil diperlukan suatu wadah untuk
mendanai kegiatan usaha sektor riil tersebut;
b. bahwa pengaturan mengenai Reksa Dana Berbentuk
Kontrak Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas perlu
disempurnakan agar sesuai dengan tujuan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas dalam menunjang
pembangunan sektor riil;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif Penyertaan Terbatas;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN...
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI
KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas selanjutnya disebut Reksa
Dana Penyertaan Terbatas adalah wadah yang
digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal
profesional yang selanjutnya diinvestasikan oleh
Manajer Investasi pada Portofolio Efek yang berbasis
Kegiatan Sektor Riil.
2. Kegiatan Sektor Riil adalah kegiatan baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang berkaitan
dengan produksi barang, penyediaan jasa di sektor
riil termasuk tetapi tidak terbatas dalam rangka
produksi barang, dan/atau modal kerja dari kegiatan
tersebut.
3. Perusahaan Sasaran adalah perusahaan yang
menerbitkan Efek yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum yang akan menjadi Portofolio Efek
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
4. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang
menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak
dalam portofolio investasi kolektif.
5. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara
Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang
mengikat pemegang Unit Penyertaan dimana
Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola
portofolio investasi kolektif dan Bank Kustodian
diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan
Kolektif.
6. Penitipan...
- 3 -
6. Penitipan Kolektif adalah jasa penitipan atas Efek
yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu Pihak
yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian.
7. Bank Kustodian adalah Bank Umum yang telah
mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
sebagai Bank Kustodian.
8. Nilai Aktiva Bersih adalah adalah nilai pasar yang
wajar dari suatu Efek dan kekayaan lain dari Reksa
Dana dikurangi seluruh kewajibannya.
9. Info Memo adalah setiap informasi tertulis yang
memuat Informasi atau Fakta Material terkait
dengan Efek Perusahaan Sasaran yang dibuat oleh
Perusahaan Sasaran dalam rangka penawaran Efek
Perusahaan Sasaran yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum, dengan tujuan agar Pihak lain
membeli Efek dimaksud.
10. Komite Investasi adalah komite yang bertugas
mengarahkan dan mengawasi Tim Pengelola
Investasi dalam menjalankan kebijakan dan strategi
investasi.
11. Tim Pengelola Investasi adalah tim yang bertugas
mengelola Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan
Terbatas untuk kepentingan pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
12. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki
oleh Pihak.
BAB II
PENGELOLAAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 2
Pedoman pengelolaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
wajib mengikuti
peraturan mengenai pedoman
pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif, kecuali diatur lain dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 3...
- 4 -
Pasal 3
(1) Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
hanya dapat ditawarkan kepada dan dibeli oleh
pemodal profesional serta dilarang ditawarkan
melalui Penawaran Umum.
(2) Peralihan Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas hanya dapat dilakukan sepanjang tidak
menyebabkan pemenuhan kriteria ketentuan
Penawaran Umum.
Pasal 4
(1) Portofolio Efek dari Reksa Dana Penyertaan Terbatas
terdiri dari satu atau lebih Efek yang menjadi aset
dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas, guna
mendanai satu atau beberapa Kegiatan Sektor Riil.
(2) Dalam hal Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan
Terbatas terdiri atas lebih dari satu Efek, harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Efek yang membentuk Portofolio Efek Reksa
Dana Penyertaan Terbatas tersebut harus
merupakan Efek sejenis; dan
b. setiap penambahan Efek dalam Portofolio Efek
Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib
mendapatkan persetujuan dari seluruh
pemegang Unit Penyertaan melalui mekanisme
rapat umum pemegang Unit Penyertaan.
Pasal 5
(1) Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas wajib ditetapkan sebesar
Rp1.000,00 (seribu rupiah).
(2) Dalam hal Nilai Aktiva Bersih awal Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas ditetapkan dalam
denominasi mata uang asing maka Nilai Aktiva
Bersih awal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib ditetapkan sebesar US$ 1 (satu dolar
Amerika Serikat) atau EUR 1 (satu Euro).
Pasal 6...
- 5 -
Pasal 6
(1) Minimum Investasi setiap pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebesar 5.000.000
(lima juta) Unit Penyertaan dengan nilai pada
investasi awal sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Dalam hal Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas diterbitkan
dengan
menggunakan
denominasi mata uang asing, minimum investasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar nilai
yang setara dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dengan menggunakan kurs tengah Bank
Indonesia yang berlaku.
(3) Nilai minimum investasi Reksa Dana Penyertaan
Terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dimiliki dan/atau diperjanjikan untuk
dimiliki bersama oleh lebih dari 1 (satu) Pihak.
Pasal 7
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib memenuhi ketentuan:
a. memiliki Unit Penyertaan dari masing-masing Reksa
Dana Penyertaan Terbatas yang dikelolanya dengan
ketentuan sebagai berikut:
1. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas sampai
dengan Rp500.000.000.000,00 (lima ratus
miliar rupiah) wajib memiliki Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
dikelolanya paling sedikit 5.000.000 (lima juta)
Unit Penyertaan;
2. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas lebih dari
Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar
rupiah)
sampai
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
wajib...
dengan
- 6 -
wajib memiliki Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling
sedikit 10.000.000 (sepuluh juta) Unit
Penyertaan; dan
3. bagi Manajer Investasi dengan dana kelolaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas lebih dari
Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah)
wajib memiliki Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang dikelolanya paling
sedikit 15.000.000 (lima belas juta) Unit
Penyertaan,
sampai dengan bubarnya Reksa Dana Penyertaan
Terbatas.
b. memiliki paling kurang 1 (satu) orang pegawai yang
memiliki keahlian di bidang investasi yang
dibuktikan dengan:
1. sertifikat Chartered Financial Analyst (CFA);
atau
2. izin orang perseorangan sebagai Wakil Manajer
Investasi dan memiliki pengalaman dalam
mengelola Portofolio Efek Reksa Dana paling
kurang 5 (lima) tahun,
yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas tersebut.
c. memiliki Komite Investasi yang bertugas untuk:
1. menetapkan kebijakan dan strategi investasi
pada Kegiatan Sektor Riil; dan
2. mengawasi seluruh kegiatan investasi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas dari awal investasi
sampai dengan divestasi atau selama masa
berlaku Kontrak Investasi Kolektif;
d. melakukan uji
tuntas (due dilligence) atas
Perusahaan Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang
akan didanai;
e. melakukan...
- 7 -
e. melakukan pemantauan perkembangan investasi
Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Kegiatan
Sektor Riil tersebut secara berkala;
f. menyampaikan informasi kepada calon pemegang
Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
tentang gambaran struktur produk dan risiko
investasi dalam dokumen keterbukaan;
g. memastikan pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas telah memahami dan mengerti
tentang struktur produk maupun risiko investasi
pada Reksa Dana Penyertaan Terbatas, yang
dibuktikan dalam bentuk pernyataan tertulis dari
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas pada saat membeli Unit Penyertaan;
h. memastikan realisasi penggunaan dana Reksa Dana
Penyertaan Terbatas sesuai dengan rencana
penggunaan dana sebagaimana tercantum di dalam
Info Memo dari Efek dimaksud;
i. memastikan Perusahaan Sasaran menyampaikan
laporan realisasi penggunaan dana kepada Manajer
Investasi; dan
j. menyimpan Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dalam penitipan kolektif pada Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian.
Pasal 8
Ketentuan yang berkaitan dengan tindakan yang dilarang
dilakukan oleh Manajer Investasi sebagaimana diatur
dalam peraturan mengenai pedoman pengelolaan Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif dan tindakan
yang dilarang bagi Reksa Dana sebagaimana diatur
dalam peraturan mengenai pedoman kontrak Reksa Dana
Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak berlaku bagi
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
Pasal 9...
- 8 -
Pasal 9
Dalam rangka melakukan pengelolaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas, Manajer Investasi dilarang:
a. membeli Efek luar negeri;
b. membeli Efek yang diterbitkan oleh pihak yang
terafiliasi dengan Manajer Investasi, kecuali
hubungan Afiliasi yang terjadi karena penyertaan
modal pemerintah;
c. melakukan penerbitan Efek bersifat utang atau Efek
bersifat ekuitas; dan/atau
d. terlibat dalam berbagai bentuk pinjaman.
Pasal 10
Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat memiliki
perwakilan pemodal sebagai penghubung komunikasi
antara para Pemegang Unit Penyertaan dan Manajer
Investasi mengenai kegiatan investasi dan perkembangan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
Pasal 11
(1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib dengan itikad baik dan penuh
tanggung jawab menjalankan tugas sebaik mungkin
semata-mata untuk kepentingan pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
(2) Dalam hal Manajer Investasi tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Manajer Investasi wajib bertanggung jawab
atas segala kerugian yang timbul karena
tindakannya.
Pasal 12
(1) Bank Kustodian wajib melakukan penghitungan
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas
setiap 3 (tiga) bulan sekali dan menyampaikannya
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara elektronik
melalui sistem pelaporan elektronik yang disediakan
Otoritas...
- 9 -
Otoritas Jasa Keuangan dan tersedia bagi pemegang
Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pelaporan
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Ketentuan mengenai pembelian dan penjualan kembali
(pelunasan) Unit Penyertaan Reksa Dana sebagaimana
diatur dalam peraturan mengenai pedoman pengelolaan
Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif tidak
berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
Pasal 14
Ketentuan mengenai pemenuhan jangka waktu untuk
memiliki dana kelolaan
paling kurang
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)
sebagaimana diatur dalam peraturan mengenai pedoman
pengelolaan Reksa Dana Berbentuk Kontrak Investasi
Kolektif tidak berlaku bagi Reksa Dana Penyertaan
Terbatas.
Pasal 15
Kewajiban
penyampaian laporan
Reksa Dana
sebagaimana dimaksud dalam peraturan mengenai
laporan Reksa Dana tidak berlaku bagi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas, kecuali ketentuan penyampaian
laporan mengenai:
a. Laporan aktiva dan kewajiban Reksa Dana;
b. Laporan operasi Reksa Dana;
c. Laporan perubahan aktiva bersih Reksa Dana; dan
d. Ringkasan portofolio Reksa Dana.
BAB III
KONTRAK REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 16
Kontrak Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib
mengikuti...
- 10 -
mengikuti peraturan mengenai pedoman kontrak Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif, kecuali diatur
lain dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 17
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib mencantumkan dalam Kontrak Investasi
Kolektif paling kurang:
a. nama dan alamat Manajer Investasi;
b. nama dan alamat Bank Kustodian;
c. kebijakan investasi;
d. alokasi biaya yang menjadi beban Manajer Investasi,
Bank Kustodian, Reksa Dana Penyertaan Terbatas,
dan pemodal;
e. komposisi Portofolio Efek dan batasan investasi
Reksa Dana Penyertaan Terbatas, serta tindakan-
tindakan yang dilarang bagi Manajer Investasi;
f. kewajiban dan tanggung jawab Manajer Investasi;
g. kewajiban dan tanggung jawab Bank Kustodian;
h. penggantian Manajer Investasi atau Bank Kustodian;
i. hak pemegang Unit Penyertaan, antara lain untuk:
1. memperoleh informasi mengenai perkembangan
aktivitas Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan
Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan
Terbatas setiap 3 (tiga) bulan sekali; dan
2. meminta diselenggarakannya rapat umum
pemegang Unit Penyertaan, dalam hal
pemegang Unit Penyertaan mewakili 1/10 (satu
per sepuluh) bagian atau lebih dari jumlah
seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang diterbitkan;
j. hak Manajer Investasi dan Bank Kustodian untuk
meminta diselenggarakan rapat umum pemegang
Unit Penyertaan;
k. ketentuan...
- 11 -
k. ketentuan mengenai akses informasi terhadap
Perusahaan Sasaran dan pengendalian Perusahaan
Sasaran, dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas
melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas;
l.
tata cara pemrosesan pembelian Unit Penyertaan;
m. tata cara pengalihan Unit Penyertaan;
n. tata cara metode penghitungan nilai pasar wajar
sebagai dasar penetapan Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana Penyertaan Terbatas;
o. penyampaian laporan keuangan tahunan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas;
p. keadaan memaksa di luar kemampuan Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian atau kondisi
kahar yang menyebabkan Manajer Investasi
dan/atau Bank Kustodian menjadi tidak dapat
menjalankan atau melakukan tugas dan
kewajibannya;
q. pembubaran dan likuidasi Reksa Dana Penyertaan
Terbatas;
r. perlakuan terhadap dana hasil likuidasi yang belum
diambil oleh pemegang Unit Penyertaan dan/atau
terdapat dana yang tersisa;
s. pihak yang bertanggung jawab atas biaya
pembubaran dan likuidasi Reksa Dana;
t. penunjukan lembaga peradilan, lembaga alternatif
penyelesaian sengketa di bidang Pasar Modal, atau
lembaga alternatif penyelesaian sengketa lainnya
sebagai lembaga untuk menyelesaikan perselisihan
dan sengketa perdata antara Manajer Investasi,
Bank Kustodian, dan/atau pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
u. Kegiatan Sektor Riil yang menjadi sasaran investasi
Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
v. jangka waktu Kontrak Investasi Kolektif;
w. jumlah...
- 12 -
w. jumlah minimum dan maksimum Unit Penyertaan
yang akan diterbitkan;
x. mekanisme pengakhiran investasi pada Efek
Perusahaan Sasaran;
y. mekanisme penyelesaian dan/atau pengembalian
dana yang telah dihimpun dari pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas,
apabila setelah jangka waktu yang telah ditetapkan
dalam Kontrak Investasi Kolektif terlewati, Manajer
Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan Terbatas
tidak dapat melakukan investasi pada Efek
Perusahaan Sasaran; dan
z. mekanisme rapat umum pemegang Unit Penyertaan.
BAB IV
INVESTASI REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 18
Reksa Dana Penyertaan Terbatas hanya dapat melakukan
investasi pada:
a. Efek bersifat utang yang ditawarkan tidak melalui
Penawaran Umum; atau
b. Efek bersifat ekuitas yang diterbitkan oleh
perusahaan yang bukan Perusahaan Terbuka.
Pasal 19
(1) Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas belum
dapat melakukan investasi pada Perusahaan
Sasaran, Reksa Dana Penyertaan Terbatas dapat
melakukan penempatan dana pada deposito paling
lama 6 (enam) bulan sejak Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dicatatkan.
(2) Penempatan dana pada deposito sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di
bank umum yang tidak terafiliasi dengan Manajer
Investasi kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi
karena penyertaan modal pemerintah, dengan
ketentuan...
- 13 -
ketentuan bahwa penempatan dana pada deposito di
satu bank umum paling banyak 10% (sepuluh
persen) dari total Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
(3) Rencana penempatan dana pada deposito
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat
5 (lima) hari kerja sebelum penempatan dana
disertai dengan alasan dan pengaruhnya terhadap
investasi pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
Pasal 20
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan sebagai berikut:
a. laporan investasi yang disusun oleh Manajer
Investasi setiap kali Reksa Dana Penyertaan
Terbatas melakukan investasi pada suatu Kegiatan
Sektor Riil;
b. laporan divestasi yang disusun oleh Manajer
Investasi setiap kali Reksa Dana Penyertaan
Terbatas melakukan divestasi atas suatu Kegiatan
Sektor Riil; dan
c. laporan berkala atas pelaksanaan Kegiatan Sektor
Riil yang dibuat oleh tenaga ahli Reksa Dana
Penyertaan Terbatas setiap 6 (enam) bulan.
Bagian Kesatu
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang Melakukan Investasi Pada Efek
Bersifat Utang
Pasal 21
Dalam rangka melakukan pemantauan investasi pada
Efek bersifat utang, Reksa Dana Penyertaan Terbatas
dapat menunjuk Wali Amanat yang terdaftar di Otoritas
Jasa...
- 14 -
Jasa Keuangan untuk mewakili kepentingan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas sebagai pemegang Efek bersifat
utang untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian
penerbitan Efek bersifat utang.
Pasal 22
(1) Efek bersifat utang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 wajib didukung dengan jaminan kebendaan
berupa jaminan fidusia dan/atau hak tanggungan
senilai paling kurang 100% (seratus persen) dari
nilai nominal Efek bersifat utang dimaksud, kecuali
Efek bersifat utang yang telah diperingkat oleh
Perusahaan Pemeringkat Efek yang memperoleh izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dengan
peringkat layak investasi (investment grade).
(2) Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas
wajib mendaftarkan hak tanggungan dan/atau
jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) atas nama Bank Kustodian untuk
kepentingan Reksa Dana Penyertaan Terbatas sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai hak tanggungan atau jaminan
fidusia.
(3) Dalam hal Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan
Terbatas tidak dapat mendaftarkan Hak Tanggungan
dan/atau Jaminan Fidusia sesuai dengan
kebendaan yang menjadi jaminan Efek bersifat
utang, Bank Kustodian wajib menyampaikan alasan
dan konsekuensi hukumnya kepada pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan
Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan laporan Efek bersifat utang dalam
Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan Terbatas
yang akan jatuh tempo.
Bagian...
- 15 -
Bagian Kedua
Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang Melakukan Investasi Pada Efek
Bersifat Ekuitas
Pasal 23
(1) Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan
investasi pada Efek bersifat ekuitas wajib memiliki
Komite Investasi.
(2) Komite Investasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memiliki paling kurang 1 (satu) orang
anggota yang berpengalaman di bidang penilaian
keuangan perusahaan paling kurang selama 5 (lima)
tahun.
(3) Anggota Komite Investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berasal dari pegawai Manajer
Investasi dan/atau pihak ketiga yang terikat dalam
perjanjian dengan Manajer Investasi.
(4) Perjanjian Manajer Investasi dengan anggota Komite
Investasi yang berasal dari pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) paling kurang memuat
ketentuan sebagai berikut:
a. jangka waktu perjanjian paling kurang sama
dengan jangka waktu investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas;
b. perjanjian wajib mengikuti ketentuan hukum di
Indonesia; dan
c. pengakhiran perjanjian hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh persetujuan Manajer
Investasi semata-mata untuk kepentingan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
(5) Dalam hal terjadi pengakhiran perjanjian anggota
Komite Investasi yang berasal dari pihak ketiga
sebelum berakhirnya masa perjanjian, Manajer
Investasi wajib menunjuk anggota Komite Investasi
pengganti paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak
terjadinya pengakhiran perjanjian dimaksud.
Pasal 24...
- 16 -
Pasal 24
(1) Dalam hal Manajer Investasi pengelola Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang melakukan investasi pada
Efek bersifat ekuitas tidak memiliki pengetahuan
mengenai bidang usaha Perusahaan Sasaran,
Manajer Investasi wajib menunjuk tenaga ahli yang
memiliki kemampuan dan keahlian sesuai dengan
bidang usaha Perusahaan Sasaran.
(2) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang melakukan investasi pada Efek
bersifat ekuitas dapat menunjuk wakil Reksa Dana
Penyertaan Terbatas sebagai anggota Direksi
dan/atau Komisaris pada Perusahaan Sasaran.
(3) Tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat berasal dari pegawai Manajer Investasi atau
pihak ketiga.
(4) Dalam hal Manajer Investasi menunjuk pihak ketiga
sebagai tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau anggota Direksi dan/atau
Komisaris pada Perusahaan Sasaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Manajer Investasi wajib
mengikat pihak ketiga tersebut dengan perjanjian.
(5) Perjanjian dengan pihak ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) paling kurang memuat
ketentuan sebagai berikut:
a. jangka waktu perjanjian paling kurang sama
dengan jangka waktu investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas;
b. perjanjian wajib mengikuti ketentuan hukum di
Indonesia; dan
c. pengakhiran perjanjian hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh persetujuan Manajer
Investasi.
(6) Dalam hal perjanjian dengan pihak ketiga diakhiri
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c
sebelum...
- 17 -
sebelum masa perjanjian berakhir, Manajer Investasi
wajib menunjuk pengganti paling lambat
10 (sepuluh) hari kerja sejak terjadinya pengakhiran
perjanjian dimaksud.
Pasal 25
Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan
investasi pada Efek bersifat ekuitas wajib:.
a. memiliki akses informasi terhadap Perusahaan
Sasaran; dan
b. mengendalikan Perusahaan Sasaran.
Pasal 26
Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang melakukan
investasi pada Efek bersifat ekuitas Perusahaan Sasaran
wajib menjual Efek bersifat ekuitas dimaksud jika
Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran Umum
dengan ketentuan:
a. paling lama 6 (enam) bulan setelah Pernyataan
Pendaftaran dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa
Keuangan; atau
b. paling lama 6 (enam) bulan setelah berakhirnya
masa larangan pengalihan sebagaimana diatur
dalam peraturan mengenai pembatasan atas saham
yang diterbitkan sebelum Penawaran Umum.
BAB V
PENCATATAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 27
(1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas
wajib menyampaikan permohonan
pencatatan atas penerbitan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal
ditandatanganinya Kontrak Investasi Kolektif.
(2) Permohonan pencatatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) disertai dengan:
a. Kontrak...
- 18 -
a. Kontrak Investasi Kolektif yang dibuat dengan
akta notaris oleh Notaris yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. dokumen-dokumen pendukung atas investasi
Reksa Dana Penyertaan Terbatas pada Efek
bersifat utang atau Efek bersifat ekuitas.
Pasal 28
(1) Dalam memproses permohonan pencatatan atas
Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan melakukan penelaahan atas kelengkapan
dokumen permohonan.
(2) Dalam rangka mendukung penelaahan atas Kontrak
Investasi Kolektif Reksa Dana Penyertaan Terbatas,
Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. meminta Manajer Investasi pengelola Reksa
Dana Penyertaan Terbatas untuk melakukan
presentasi; dan/atau
b. melakukan pemeriksaan setempat atas
Kegiatan Sektor Riil dan/atau Perusahaan
Sasaran.
Bagian Kesatu
Permohonan Pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Utang
Pasal 29
(1) Dokumen-dokumen pendukung
permohonan
pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
melakukan investasi pada Efek bersifat utang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf b terdiri dari:
a. perjanjian-perjanjian yang terkait dengan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas;
b. dokumen jaminan yang dilengkapi dengan Akta
Jaminan Fidusia dan/atau Akta Pemberian Hak
Tanggungan...
- 19 -
Tanggungan atas nama Reksa Dana Penyertaan
Terbatas apabila dipersyaratkan adanya
jaminan (jika sudah ada dokumennya);
c. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan
pendapat hukum yang dibuat oleh Konsultan
Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan terkait penerbitan:
1. Efek bersifat utang yang menjadi aset
dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
dan
2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
d. hasil uji tuntas (due diligence) atas Perusahaan
Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang
ditandatangani oleh Direksi Manajer Investasi;
e.
ikhtisar keuangan ringkas Perusahaan Sasaran
yang menerbitkan Efek bersifat utang untuk
periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak
berdirinya;
f.
laporan hasil penilaian yang dibuat oleh Penilai
yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait
Kegiatan Sektor Riil yang akan didanai (jika
ada);
g.
Info Memo Perusahaan Sasaran;
h. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas;
i. dokumen-dokumen terkait penerbitan Efek
bersifat utang antara lain Perjanjian Penerbitan
Efek bersifat utang dan perjanjian-perjanjian
lainnya yang terkait;
j.
daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi
yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas disertai dengan:
1. fotokopi sertifikat Chartered Financial
Analyst (CFA); atau
2. fotokopi...
- 20 -
2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai
Wakil Manajer Investasi dan surat
keterangan pengalaman dalam mengelola
Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang
5 (lima) tahun dari perusahaan tempat
yang bersangkutan bekerja.
k. surat pernyataan yang ditandatangani oleh
calon pemegang Unit Penyertaan atau
pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang
menyatakan calon pemegang Unit Penyertaan
atau pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas telah mengerti dan
memahami struktur investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dan risiko-risiko yang
mungkin terjadi; dan
l.
surat pernyataan yang ditandatangani oleh
pihak yang berwenang sesuai dengan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga yang
menyatakan investasi pada Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dilakukan oleh pihak yang
berwenang atas nama korporasi, dalam hal
calon pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas berbentuk korporasi.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen-dokumen kepada
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf i, huruf k, dan huruf l
dapat dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
kerja sejak tanggal surat pencatatan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas ditetapkan Otoritas Jasa
Keuangan.
Bagian Kedua
Permohonan Pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas Yang
Melakukan Investasi Pada Efek Bersifat Ekuitas
Pasal 30
(1) Dokumen-dokumen pendukung permohonan
pencatatan...
- 21 -
pencatatan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
melakukan investasi pada Efek bersifat ekuitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2)
huruf b terdiri dari:
a. perjanjian-perjanjian yang terkait dengan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
b. perjanjian dengan anggota Komite Investasi
yang berasal dari pihak ketiga sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) (jika ada);
c.
perjanjian dengan pihak ketiga yang mewakili
Reksa Dana Penyertaan Terbatas sebagai
tenaga ahli dan/atau anggota Direksi dan/atau
Komisaris pada Perusahaan Sasaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4);
d. laporan pemeriksaan dari segi hukum dan
pendapat hukum yang dibuat oleh Konsultan
Hukum yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan terkait penerbitan:
1. Efek bersifat ekuitas yang menjadi aset
dasar Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
dan
2. Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
e. laporan hasil penilaian yang dibuat oleh Penilai
yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan terkait
Kegiatan Sektor Riil yang akan didanai atau
Efek bersifat ekuitas;
f.
hasil uji tuntas (due diligence) atas Perusahaan
Sasaran dan Kegiatan Sektor Riil yang
ditandatangani oleh Direksi Manajer Investasi;
g.
ikhtisar keuangan ringkas Perusahaan Sasaran
yang menerbitkan Efek bersifat ekuitas untuk
periode 3 (tiga) tahun terakhir atau sejak
berdirinya;
h. Info Memo Perusahaan Sasaran;
i. dokumen...
- 22 -
i. dokumen keterbukaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas;
j. dokumen-dokumen terkait penerbitan Efek
antara lain Perjanjian Penerbitan Efek bersifat
ekuitas dan perjanjian-perjanjian lainnya yang
terkait;
k. daftar riwayat hidup pegawai Manajer Investasi
yang terlibat langsung dalam pengelolaan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas disertai dengan:
1. fotokopi sertifikat Chartered Financial
Analyst (CFA); atau
2. fotokopi izin orang perseorangan sebagai
Wakil Manajer Investasi dan surat
keterangan pengalaman dalam mengelola
Portofolio Efek Reksa Dana paling kurang
5 (lima) tahun dari perusahaan tempat
yang bersangkutan bekerja.
l.
surat Pernyataan yang ditandatangani oleh
calon pemegang Unit Penyertaan atau
pemegang Unit Penyertaan yang paling kurang
menyatakan bahwa calon pemegang Unit
Penyertaan atau pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas telah mengerti
dan memahami struktur investasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dan risiko-risiko yang
mungkin terjadi; dan
m. surat pernyataan yang ditandatangani oleh
pihak yang berwenang sesuai dengan Anggaran
Dasar yang menyatakan bahwa investasi pada
Reksa Dana Penyertaan Terbatas dilakukan
oleh pihak yang berwenang atas nama
korporasi, dalam hal calon pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
berbentuk korporasi.
(2) Kewajiban penyampaian dokumen-dokumen kepada
Otoritas...
- 23 -
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf j, huruf l, dan huruf m dapat
dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
sejak tanggal surat pencatatan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas ditetapkan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB VI
NILAI PASAR WAJAR DARI EFEK DALAM PORTOFOLIO
EFEK REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 31
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib menghitung Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan
menyampaikannya kepada Bank Kustodian setiap
3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari ke-10
(kesepuluh) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Pasal 32
(1) Penghitungan Nilai Pasar Wajar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 tidak tunduk pada
peraturan mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio Reksa Dana.
(2) Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas memiliki
Portofolio Efek yang terdiri dari Efek bersifat ekuitas
yang dicatat dan diperdagangkan di Bursa Efek
karena Perusahaan Sasaran melakukan Penawaran
Umum, penghitungan Nilai Pasar Wajar Efek bersifat
ekuitas tersebut wajib mengacu pada peraturan
mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam
portofolio Reksa Dana.
(3) Dalam hal penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa
Dana Berbentuk Kontrak Investasi Kolektif
Penyertaan Terbatas tidak tunduk pada peraturan
mengenai Nilai Pasar Wajar dari Efek dalam
portofolio Reksa Dana, Manajer Investasi pengelola
Reksa...
- 24 -
Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib menetapkan
metode penghitungan Nilai Pasar Wajar dari Efek
dalam portofolio Reksa Dana Penyertaan Terbatas
secara konsisten sebagai dasar penghitungan Nilai
Aktiva Bersih.
BAB VII
RAPAT UMUM PEMEGANG UNIT PENYERTAAN REKSA DANA
PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 33
(1) Rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
diselenggarakan oleh Manajer Investasi pengelola
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
(2) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat
diselenggarakan atas:
a.
inisiatif Manajer Investasi;
b. permintaan Bank Kustodian; atau
c. permintaan 1 (satu) orang atau lebih pemegang
Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang bersama-sama mewakili 1/10
(satu per sepuluh) atau lebih dari jumlah
seluruh
Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
Pasal 34
(1) Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dapat menyelenggarakan
rapat umum
pemegang Unit Penyertaan dalam hal terjadi antara
lain:
a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang
terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi
Kolektif yang diduga dilakukan oleh Bank
Kustodian;
b. permintaan persetujuan perubahan Kontrak
Investasi Kolektif;
c. penambahan...
- 25 -
c. penambahan, pengurangan, dan/atau
penggantian anggota Komite Investasi;
d. permintaan persetujuan atas rencana Reksa
Dana Penyertaan Terbatas
melakukan
penambahan Portofolio Efek Reksa Dana
Penyertaan Terbatas;
e. permintaan persetujuan atas rencana Reksa
Dana Penyertaan Terbatas melakukan divestasi
pada Efek bersifat ekuitas dari Kegiatan Sektor
Riil; dan/atau
f. pembubaran dan likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
(2) Bank Kustodian dapat meminta diselenggarakan
rapat umum pemegang Unit Penyertaan kepada
Manajer Investasi melalui surat tercatat disertai
alasannya dengan tembusan kepada pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan
Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terjadi antara
lain:
a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang
terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi
Kolektif yang diduga dilakukan oleh Manajer
Investasi; dan/atau
b. permintaan persetujuan perubahan Kontrak
Investasi Kolektif.
(3) Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dapat meminta diselenggarakan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan kepada Manajer
Investasi melalui surat tercatat disertai alasannya
dengan tembusan kepada Bank Kustodian dan
Otoritas Jasa Keuangan dalam hal terjadi antara
lain:
a. terdapat pelanggaran atas perjanjian yang
terkait dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
termasuk...
- 26 -
termasuk pelanggaran atas Kontrak Investasi
Kolektif yang diduga dilakukan oleh Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian;
b. usulan rencana penggantian Manajer Investasi;
c. usulan rencana penggantian Bank Kustodian;
dan/atau
d. usulan penambahan, pengurangan, dan/atau
penggantian anggota Komite Investasi.
Pasal 35
Manajer Investasi wajib melakukan pemanggilan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan dalam jangka waktu
paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal
permintaan penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan diterima.
Pasal 36
(1) Dalam hal Manajer Investasi tidak melakukan
pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, permintaan
penyelenggaraan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (3) diajukan kembali kepada Bank Kustodian.
(2) Bank Kustodian wajib melakukan pemanggilan
rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung
sejak tanggal permintaan penyelenggaraan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan diterima.
(3) Dalam hal Bank Kustodian tidak melakukan
pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas yang meminta penyelenggaraan
rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat
mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk menetapkan pemberian izin kepada
pemohon...
- 27 -
pemohon melakukan sendiri pemanggilan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan tersebut.
(4) Otoritas Jasa Keuangan setelah memanggil dan
mendengar pemegang Unit Penyertaan, Manajer
Investasi dan/atau Bank Kustodian, menetapkan
pemberian izin untuk menyelenggarakan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan apabila pemohon
telah membuktikan adanya alasan perlu
diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit
Penyertaan dan mempunyai kepentingan yang wajar
untuk diselenggarakannya rapat umum pemegang
Unit Penyertaan.
(5) Penetapan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) memuat juga ketentuan
mengenai:
a. bentuk
rapat umum pemegang Unit
Penyertaan, mata acara rapat umum pemegang
Unit Penyertaan sesuai dengan permohonan
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas, jangka waktu
pemanggilan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan, kuorum kehadiran, dan/atau
ketentuan tentang persyaratan pengambilan
keputusan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan, serta penunjukan ketua rapat,
sesuai dengan atau tanpa terikat pada
ketentuan Undang-Undang tentang Perseroan
Terbatas; dan/atau
b. perintah yang mewajibkan Manajer Investasi
dan/atau Bank Kustodian untuk hadir dalam
rapat umum pemegang Unit Penyertaan.
(6) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menolak
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan
adanya alasan perlu diselenggarakannya rapat
umum pemegang Unit Penyertaan dan tidak
mempunyai...
- 28 -
mempunyai kepentingan yang wajar untuk
diselenggarakannya rapat umum pemegang Unit
Penyertaan.
(7) Rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat
membicarakan mata acara rapat sebagaimana
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 37
Dalam hal Manajer Investasi tidak melakukan
pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan atas
permintaan Bank Kustodian dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Bank Kustodian
dapat melakukan sendiri pemanggilan rapat umum
pemegang Unit Penyertaan.
Pasal 38
(1) Manajer Investasi wajib menyampaikan agenda
rapat umum pemegang Unit Penyertaan secara jelas
dan rinci kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemanggilan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan disampaikan
kepada Pemegang Unit Penyertaan.
(2) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kepada pemegang Unit Penyertaan dilakukan paling
lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan
rapat umum pemegang Unit Penyertaan disertai
dengan penyampaian agenda rapat umum pemegang
Unit Penyertaan.
(3) Ketentuan penyampaian agenda dan pemanggilan
rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mutatis mutandis berlaku bagi penyelenggaraan
rapat umum pemegang Unit Penyertaan yang
dilakukan oleh Bank Kustodian atau pemegang Unit
Penyertaan.
Pasal 39...
- 29 -
Pasal 39
(1) Rapat umum pemegang Unit Penyertaan dapat
dilangsungkan jika dihadiri oleh pemegang Unit
Penyertaan yang mewakili lebih dari 2/3 (dua per
tiga) bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
(2) Dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas diselenggarakan
berkaitan dengan permintaan persetujuan
penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan
Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf b, rapat umum pemegang Unit
Penyertaan wajib dihadiri oleh pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
mewakili seluruh Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas.
(3) Dalam hal kuorum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak tercapai, Manajer Investasi
wajib melakukan pemanggilan rapat umum
pemegang Unit Penyertaan kedua kepada pemegang
Unit Penyertaan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dan menyebutkan rapat
umum pemegang Unit Penyertaan pertama telah
dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.
(4) Rapat Umum Pemegang Unit Penyertaan kedua
dianggap sah dan berhak mengambil keputusan jika
dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kedua dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua)
bagian dari jumlah seluruh Unit Penyertaan.
(5) Ketentuan kuorum kehadiran rapat umum
pemegang Unit Penyertaan kedua sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku bagi rapat
umum pemegang
Unit Penyertaan
yang
diselenggarakan berkaitan dengan permintaan
persetujuan penambahan Portofolio Efek Reksa
Dana Penyertaan Terbatas.
(6) Dalam...
- 30 -
(6) Dalam hal kuorum rapat umum pemegang Unit
Penyertaan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak tercapai, Manajer Investasi atau Bank
Kustodian dapat memohon kepada Otoritas Jasa
Keuangan agar ditetapkan kuorum untuk rapat
umum pemegang Unit Penyertaan ketiga.
(7) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
ketiga harus menyebutkan rapat umum pemegang
Unit Penyertaan kedua telah dilangsungkan dan
tidak mencapai kuorum dan rapat umum pemegang
Unit Penyertaan ketiga akan dilangsungkan dengan
kuorum yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
(8) Pemanggilan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum rapat umum
pemegang Unit Penyertaan kedua atau ketiga
dilangsungkan.
Pasal 40
(1) Penggantian Manajer Investasi berdasarkan hasil
rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
huruf b dilaksanakan setelah memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penggantian Bank Kustodian berdasarkan hasil
rapat umum pemegang
Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
huruf c dilaksanakan setelah memperoleh
persetujuan Manajer Investasi dan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 41
(1) Keputusan rapat umum pemegang Unit Penyertaan
diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah
untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)...
- 31 -
ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika
disetujui lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari
jumlah suara Unit Penyertaan yang dikeluarkan
dalam rapat umum pemegang Unit Penyertaan .
(3) Pemegang Unit Penyertaan yang hadir dalam rapat
umum pemegang Unit Penyertaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), namun tidak mengeluarkan
suara (abstain) dianggap mengeluarkan suara yang
sama dengan suara mayoritas Unit Penyertaan yang
dikeluarkan dalam rapat umum pemegang Unit
Penyertaan .
(4) Dalam hal rapat umum pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas diselenggarakan
berkaitan dengan permintaan persetujuan
penambahan Portofolio Efek Reksa Dana Penyertaan
Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf b, Keputusan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan adalah sah jika disetujui oleh seluruh
pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas.
Pasal 42
Manajer Investasi, Bank Kustodian, atau Pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas yang
menyelenggarakan rapat umum pemegang Unit
Penyertaan wajib menyampaikan laporan hasil Rapat
Umum Pemegang Unit Penyertaan kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan tembusan kepada masing-masing
pihak terkait.
BAB VIII
LAPORAN KEUANGAN TAHUNAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 43
Manajer Investasi bersama dengan Bank Kustodian wajib
menyusun Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dengan berdasarkan prinsip
akuntansi yang berlaku umum.
Pasal 44...
- 32 -
Pasal 44
Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas wajib diaudit oleh Akuntan yang terdaftar di
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
(1) Manajer Investasi wajib menyampaikan Laporan
Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 wajib tersedia bagi pemegang Unit
Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas.
BAB IX
PEMBUBARAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 46
Reksa Dana Penyertaan Terbatas wajib dibubarkan dalam
hal sebagai berikut:
a. diperintahkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan di bidang
Pasar Modal;
b. Manajer Investasi dan Bank Kustodian telah sepakat
untuk membubarkan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dengan terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari seluruh pemegang Unit Penyertaan;
atau
c. Reksa Dana Penyertaan Terbatas tidak berinvestasi
pada Efek Perusahaan Sasaran dalam jangka waktu
6 (enam) bulan sejak Reksa Dana Penyertaan
Terbatas dicatatkan di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 47
Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan
karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf a, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan...
- 33 -
a. menyampaikan pembubaran, likuidasi, dan rencana
pembagian hasil likuidasi Reksa Dana Penyertaan
Terbatas kepada seluruh pemegang Unit Penyertaan
Reksa Dana Penyertaan Terbatas paling lambat
2 (dua) hari kerja sejak diperintahkan Otoritas Jasa
Keuangan, dan pada hari yang sama
memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk
membayarkan dana hasil likuidasi yang menjadi hak
pemegang Unit Penyertaan dengan ketentuan
perhitungannya dilakukan secara proporsional dari
Nilai Aktiva Bersih pada saat pembubaran dan hasil
likuidasi tersebut diterima pemegang Unit
Penyertaan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
sejak diperintahkan pembubaran Reksa Dana
Penyertaan Terbatas oleh Otoritas Jasa Keuangan;
dan
c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi,
dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
diperintahkan pembubaran oleh Otoritas Jasa
Keuangan dengan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi
pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan terkait pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh
Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta...
- 34 -
3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 48
Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan
karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf b, Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) hari kerja
sejak terjadinya kesepakatan pembubaran Reksa
Dana Penyertaan Terbatas oleh Manajer Investasi
dan Bank Kustodian dengan melampirkan:
1. kesepakatan pembubaran dan likuidasi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas antara Manajer
Investasi dan Bank Kustodian;
2. persetujuan pemegang Unit Penyertaan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas;
3. alasan pembubaran; dan
4. kondisi keuangan terakhir Reksa Dana
Penyertaan Terbatas;
dan pada hari yang sama menyampaikan rencana
pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil
likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada
para pemegang Unit Penyertaan serta
memberitahukan secara tertulis kepada Bank
Kustodian untuk menghentikan perhitungan Nilai
Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan Terbatas;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk
membayarkan atau membagikan hasil likuidasi yang
menjadi hak pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dengan ketentuan bahwa
perhitungannya dilakukan secara proporsional dari
Nilai Aktiva Bersih pada saat likuidasi selesai
dilakukan dan hasil likuidasi tersebut diterima
pemegang Unit Penyertaan paling lambat 7 (tujuh)
hari...
- 35 -
hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan; dan
c. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi,
dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
dibubarkan dengan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi
pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan terkait pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh
Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 49
Dalam hal Reksa Dana Penyertaan Terbatas dibubarkan
karena kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf c maka Manajer Investasi wajib:
a. menyampaikan laporan kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf c dan rencana
pembubaran, likuidasi, dan pembagian hasil
likuidasi Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada
Otoritas Jasa Keuangan serta menginformasikannya
kepada pemegang Unit Penyertaan (jika ada) paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak berakhirnya jangka
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
huruf c;
b. menginstruksikan kepada Bank Kustodian untuk
membayarkan atau membagikan hasil likuidasi yang
menjadi...
- 36 -
menjadi hak pemegang Unit Penyertaan (jika ada)
dengan ketentuan bahwa perhitungannya dilakukan
secara proporsional dari Nilai Aktiva Bersih pada
saat pembubaran dan hasil likuidasi tersebut
diterima pemegang Unit Penyertaan paling lambat
7 (tujuh) hari kerja sejak likuidasi selesai dilakukan;
c. membubarkan Reksa Dana Penyertaan Terbatas
dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari
kerja sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 huruf c; dan
d. menyampaikan laporan hasil pembubaran, likuidasi,
dan pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak
pembubaran Reksa Dana Penyertaan Terbatas
dengan dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. laporan hasil pembubaran, likuidasi, dan
pembagian hasil likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dengan dilengkapi
pendapat dari Konsultan Hukum yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan;
2. laporan keuangan
terkait pembubaran,
likuidasi, dan pembagian hasil likuidasi Reksa
Dana Penyertaan Terbatas yang diaudit oleh
Akuntan yang terdaftar di Otoritas Jasa
Keuangan; dan
3. akta pembubaran dan likuidasi Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dari Notaris yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
PELAPORAN REKSA DANA PENYERTAAN TERBATAS
Pasal 50
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas atau Bank Kustodian wajib menyampaikan
laporan Informasi atau Fakta Material yang berkaitan
dengan...
- 37 -
dengan Reksa Dana Penyertaan Terbatas kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa
Dana Penyertaan Terbatas paling lambat 2 (dua) hari
kerja sejak terjadinya Informasi atau Fakta Material
tersebut.
Pasal 51
Laporan realisasi penggunaan dana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf i wajib disampaikan oleh
Manajer Investasi pengelola Reksa Dana Penyertaan
Terbatas kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang
Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan Terbatas setiap
3 (tiga) bulan sekali paling lambat pada hari
ke-12 (dua belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
Pasal 52
(1) Bank Kustodian Reksa Dana Penyertaan Terbatas
wajib menyampaikan:
a. Laporan aktiva dan kewajiban Reksa Dana
Penyertaan Terbatas;
b. Laporan operasi Reksa Dana Penyertaan
Terbatas;
c. Laporan perubahan aktiva bersih Reksa Dana
Penyertaan Terbatas; dan
d. Ringkasan portofolio Reksa Dana Penyertaan
Terbatas,
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang Unit
Penyertaan setiap 3 (tiga) bulan sekali dengan
menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam
lampiran peraturan mengenai laporan Reksa Dana.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
disampaikan secara elektronik melalui sistem
pelaporan yang disediakan oleh Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (kedua
belas) setelah berakhirnya bulan Maret, Juni,
September, dan Desember.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem pelaporan
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur...
- 38 -
diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 53
Penghitungan Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Penyertaan
Terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 wajib
disampaikan oleh Bank Kustodian kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari ke-12 (kedua belas)
setelah berakhirnya bulan Maret, Juni, September, dan
Desember.
Pasal 54
Laporan investasi dan laporan divestasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dan huruf b wajib
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas paling lambat 5 (lima) hari kerja
sejak Reksa Dana Penyertaan Terbatas melakukan
investasi atau divestasi pada suatu Kegiatan Sektor Riil.
Pasal 55
Laporan berkala atas pelaksanaan Kegiatan Sektor Riil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c wajib
disampaikan Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan dan Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana
Penyertaan Terbatas paling lambat 5 (lima) hari kerja
sejak berakhirnya periode 6 (enam) bulan.
Pasal 56
Laporan Efek bersifat utang dalam portofolio Efek Reksa
Dana Penyertaan Terbatas yang akan jatuh tempo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) wajib
disampaikan oleh Manajer Investasi kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum
tanggal jatuh tempo Efek bersifat utang tersebut.
Pasal 57
Laporan hasil rapat umum pemegang Unit Penyertaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 wajib
disampaikan oleh Manajer Investasi, Bank Kustodian,
atau Pemegang Unit Penyertaan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang menyelenggarakan rapat umum pemegang
Unit Penyertaan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat...
- 39 -
lambat 2 (dua) hari kerja setelah rapat umum pemegang
Unit Penyertaan diselenggarakan.
Pasal 58
Laporan Keuangan Tahunan Reksa Dana Penyertaan
Terbatas yang telah diaudit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 ayat (1) wajib disampaikan oleh Manajer
Investasi kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
pada akhir bulan ketiga setelah periode Laporan
Keuangan Tahunan berakhir.
Pasal 59
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 52,
Pasal 53, dan Pasal 58 jatuh pada hari libur, laporan
tersebut wajib disampaikan pada 1 (satu) hari kerja
berikutnya.
BAB XI
SANKSI
Pasal 60
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini,
termasuk pihak-pihak yang menyebabkan terjadinya
pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f,
atau huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa
didahului...
- 40 -
didahului pengenaan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama dengan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g.
Pasal 61
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang
melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
Pasal 62
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
60 ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 61 kepada masyarakat.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 63
Manajer Investasi yang telah mengelola Reksa Dana
Penyertaan Terbatas dan Portofolionya merupakan Efek
yang ditawarkan melalui Penawaran Umum wajib
menyesuaikan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini diundangkan.
Pasal 64
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan belum menyediakan
sistem pelaporan elektronik, laporan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan peraturan
mengenai surat, laporan dan dokumen lain yang dikirim
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XIII...
- 41 -
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-43/BL/2008 tanggal
14 Februari 2008 tentang Reksa Dana Berbentuk Kontrak
Investasi Kolektif Penyertaan Terbatas beserta Peraturan
Nomor IV.C.5 sebagai lampirannya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 379
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 37/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> REKSA DANA BERBENTUK KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF PENYERTAAN TERBATAS </reg_title>
<set_date> 8 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-43/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008', 'KEP-43/BL/2008|KEPTA-BAPEPAM-LK/2008 | Lampiran Peraturan Nomor IV.C.5' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 / POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2),
Pasal 10, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 27, dan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan
Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan
Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5616);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO.
BAB I...
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.
4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan
dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana.
5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya
pada LKM berdasarkan perjanjian.
6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah
dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI).
7. Direksi:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas;
b. bagi...
-3-
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai perseroan terbatas;
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
9. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai OJK.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, PERIZINAN
USAHA, DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan
Pasal 2
(1) Bentuk badan hukum LKM adalah:
a. koperasi; atau
b. perseroan terbatas.
(2) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh
persen) wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
(3) Sisa...
-4-
(3) Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dilarang melebihi 20% (dua puluh persen).
Pasal 3
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini, LKM hanya
dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha milik desa/kelurahan;
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau
d. koperasi.
Pasal 4
LKM dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha
yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara
asing atau badan usaha asing.
Bagian Kedua
Perizinan Usaha
Pasal 5
(1) LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus
memiliki izin usaha dari OJK.
(3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi LKM mengajukan permohonan izin
usaha kepada OJK sesuai dengan format dalam
Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dengan:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau...
-5-
atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang,
yang paling sedikit memuat:
1) nama dan tempat kedudukan;
2) kegiatan usaha sebagai LKM secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah;
3) permodalan;
4) kepemilikan; dan
5) wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS;
b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS meliputi:
1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
3) daftar riwayat hidup;
4) surat pernyataan bermeterai dari Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di
sektor jasa keuangan;
b) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan
dan/atau perekonomian
keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan
berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
d) tidak pernah dinyatakan pailit
atau
menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada
LKM lain bagi Direksi;
f) tidak...
berdasarkan
-6-
f) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris lebih dari 2 (dua) LKM lain bagi
Direksi; dan
g) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris lebih dari 3 (tiga) LKM lain bagi
Dewan Komisaris;
5) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki
pengalaman operasional di bidang lembaga
keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan
lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah
satu Direksi; dan
6) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki
pengalaman operasional di bidang lembaga
keuangan mikro yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah atau lembaga jasa
keuangan syariah lainnya paling singkat 1 (satu)
tahun bagi salah satu Direksi, bagi LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
c. data pemegang saham atau anggota:
1) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah
perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b
angka 1), angka 2), dan angka 3) serta surat
pernyataan bermeterai bahwa setoran modal:
a) tidak berasal dari pinjaman; dan
b) tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang;
2) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah
badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau
koperasi, dokumen yang dilampirkan adalah:
a) akta pendirian termasuk anggaran dasar
berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui
oleh
instansi yang
berwenang atau diberitahukan kepada instansi
yang...
-7-
yang berwenang, atau bukti pendirian badan
usaha milik desa/kelurahan;
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan
terakhir atau pembukuan keuangan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf
b angka 1), angka 2), dan angka 3) bagi
Direksi atau pengurus badan usaha milik
desa/kelurahan dan/atau koperasi; dan
d) surat pernyataan bermeterai bahwa setoran
modal:
i. tidak berasal dari pinjaman; dan
ii. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang;
3) Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota, dokumen yang
dilampirkan adalah berupa keputusan atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait
penyertaan modal pada LKM;
d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI
bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;
e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling
kurang memiliki fungsi pemutus kredit, penagihan,
dan administrasi;
f. sistem dan prosedur kerja LKM, paling kurang
meliputi:
1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan;
2) penerimaan Simpanan;
3) penagihan kepada pihak peminjam atau pihak
yang menerima Pembiayaan;
4) prosedur penyelesaian piutang macet; dan
5) prosedur penutupan Simpanan;
g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang
paling kurang memuat:
1) data...
-8-
1) data mengenai jumlah lembaga keuangan mikro
lainnya pada wilayah kerja LKM yang
bersangkutan;
2) rencana kegiatan usaha LKM yang memuat
proyeksi Simpanan dan penyaluran Pinjaman
atau Pembiayaan serta langkah-langkah kegiatan
yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana
dimaksud;
3) uraian mengenai potensi ekonomi pada wilayah
kerja LKM yang bersangkutan;
4) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai
sejak LKM melakukan kegiatan operasional; dan
5) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada
angka 4) mengacu pada ketentuan mengenai
laporan keuangan LKM;
h. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau
simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah dalam
bentuk deposito berjangka yang masih berlaku atas
nama LKM yang bersangkutan pada salah satu bank
di Indonesia atau salah satu bank syariah atau unit
usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
i. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1) daftar aset tetap (jika ada) dan inventaris;
2) bukti kepemilikan atau penguasaan kantor; dan
3) contoh formulir yang akan digunakan untuk
operasional LKM.
(4) Dokumen berupa surat pernyataan dan bukti setoran
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
angka 1) huruf a) dan b), huruf c angka 2) huruf d), dan
huruf h tidak berlaku bagi LKM yang sudah beroperasi
pada saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro diundangkan.
Pasal 6...
-9-
Pasal 6
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama
40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin
usaha diterima secara lengkap dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
permohonan izin usaha, OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang LKM.
(3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan
tidak lengkap dan/atau tidak
benar, OJK
menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat
syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon,
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah
permohonan diterima.
(4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan
alasan penolakan.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada pemohon.
Pasal 7
(1) LKM yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib
melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan.
(2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi
LKM kepada OJK dengan dilampiri fotokopi bukti
pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau
penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan paling lama 20
(dua puluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya
kegiatan operasional sesuai dengan format dalam
Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Apabila...
-10-
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) LKM belum melakukan kegiatan usaha,
OJK mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan.
Pasal 8
Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a
angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti
dengan frasa:
a. ”Lembaga Keuangan Mikro” atau disingkat ”LKM” dan
nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional;
b. ”Lembaga Keuangan Mikro Syariah” atau disingkat
”LKMS” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian Ketiga
Permodalan
Pasal 9
(1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib,
dan hibah LKM ditetapkan berdasarkan cakupan
wilayah usaha yaitu desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota.
(2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan
wajib, dan hibah LKM ditetapkan paling sedikit:
a. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha desa/kelurahan;
b. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha kecamatan; atau
c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha kabupaten/kota.
(3) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah wajib digunakan untuk modal kerja.
(4) Setoran modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi persyaratan:
a. tidak berasal dari pinjaman; dan
b. tidak...
-11-
b. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang.
BAB III
KEPENGURUSAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 10
Direksi dan Dewan Komisaris LKM harus memenuhi
persyaratan:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa
keuangan;
b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu
badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional
di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa
keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun; dan
f. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman
operasional di bidang lembaga keuangan mikro syariah
atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya bagi LKM
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 11
(1) Direksi LKM dilarang merangkap jabatan sebagai Direksi
pada LKM lain.
(2) Direksi LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris paling banyak pada 2 (dua) LKM lain.
(3) Dewan...
-12-
(3) Dewan Komisaris LKM dapat merangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) LKM lain.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 12
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah wajib membentuk DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
atas rekomendasi DSN MUI.
(3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau beberapa LKM secara
bersama-sama.
(4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi
agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah.
(5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan
operasional LKM terhadap fatwa yang telah
ditetapkan oleh DSN MUI;
b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional
dan produk yang dikeluarkan LKM;
c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa
untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan Dewan
Komisaris LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
kecuali huruf e dan f, mutatis mutandis berlaku bagi DPS.
BAB IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris,
Dewan Pengawas Syariah, dan Modal
Pasal 13
(1) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas wajib melaporkan setiap perubahan pemegang
saham...
-13-
saham, Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan modal
kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan
perubahan dimaksud dari instansi yang berwenang.
(2) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum koperasi
wajib melaporkan setiap perubahan Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS kepada OJK paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah tanggal perubahan dilakukan
sebagaimana tercantum dalam risalah rapat anggota.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan sesuai dengan format Lampiran III,
Lampiran IV, atau Lampiran V yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang
dilampiri dengan:
a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi
yang berwenang;
b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dan/atau data pemegang saham dan/atau DPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf
b dan/atau huruf c dan/atau huruf d.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan:
a. risalah rapat anggota; dan
b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) huruf b dan/atau huruf d.
Bagian Kedua
Perubahan Nama
Pasal 14
(1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM kepada
OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah
diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari
instansi ...
-14-
instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri
dengan dokumen:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota koperasi mengenai perubahan nama LKM;
b. bukti perubahan anggaran dasar atas perubahan
nama yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas; dan
c. bukti pengumuman perubahan nama melalui surat
kabar harian lokal atau papan pengumuman di
kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencatat perubahan nama LKM dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya laporan secara lengkap dan benar.
BAB V
PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN
Pasal 15
(1) LKM dapat melakukan penggabungan dengan satu atau
lebih LKM dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM
lainnya tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
(2) LKM dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih
LKM dengan cara mendirikan satu LKM baru dan
membubarkan LKM yang melakukan peleburan.
(3) Penggabungan atau Peleburan dilakukan oleh LKM yang
berbentuk badan hukum sama.
(4) Proses penggabungan atau peleburan LKM wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK.
(5) Penggabungan atau peleburan hanya dapat dilakukan
antar LKM yang berada dalam 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota.
(6) Penggabungan...
-15-
(6) Penggabungan atau peleburan harus memperhatikan
ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 Peraturan OJK ini.
Pasal 16
(1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(4), Direksi LKM yang akan menerima penggabungan
atau Direksi salah satu LKM yang akan melakukan
peleburan harus mengajukan permohonan kepada OJK
sesuai dengan format dalam Lampiran VII atau
Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan rancangan penggabungan atau
peleburan yang paling kurang memuat:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota LKM yang melakukan penggabungan atau
peleburan;
b. rancangan perubahan anggaran dasar LKM yang
menerima penggabungan jika ada atau rancangan
anggaran dasar LKM hasil peleburan;
c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari LKM
yang akan melakukan penggabungan atau peleburan
dengan tidak mengurangi hak Penyimpan dan
nasabah peminjam; dan
d. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan dari LKM yang akan menerima
penggabungan atau hasil peleburan selama 2 (dua)
tahun.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan:
a. penelitian...
-16-
a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan
b. analisis pemenuhan
perundang-undangan di bidang LKM.
(5) Dalam hal permohonan persetujuan penggabungan atau
peleburan yang disampaikan tidak lengkap, OJK
menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat
syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
permohonan diterima.
(6) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan
persetujuan dimaksud secara tertulis kepada LKM untuk
dapat melakukan penggabungan atau peleburan.
(7) Hak dan kewajiban yang timbul setelah melakukan
penggabungan atau peleburan, menjadi tanggung jawab
LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil
peleburan.
Pasal 17
(1) LKM yang menerima penggabungan wajib melaporkan
hasil pelaksanaan penggabungan kepada OJK sesuai
dengan format dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini
dan wajib dilampiri dokumen:
a. fotokopi perubahan anggaran dasar LKM yang
menerima penggabungan yang telah disahkan,
disetujui, atau dicatat oleh instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM, data
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data
pemegang saham atau anggota LKM yang menerima
penggabungan;
c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan LKM yang menerima penggabungan; dan
d. alamat lengkap LKM yang menerima penggabungan.
(2) LKM hasil peleburan wajib melaporkan hasil pelaksanaan
peleburan kepada OJK sesuai dengan format dalam
Lampiran...
ketentuan peraturan
-17-
Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri
dokumen:
a. fotokopi anggaran dasar LKM hasil peleburan yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM hasil
peleburan, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf
b serta data pemegang saham atau anggota LKM
hasil peleburan;
c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan LKM hasil peleburan; dan
d. alamat lengkap LKM hasil peleburan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) wajib disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja setelah tanggal diterimanya pengesahan,
persetujuan, atau pencatatan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang.
(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha LKM yang
menggabungkan diri.
(5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), OJK mencabut izin usaha LKM yang melakukan
Peleburan dan menerbitkan izin usaha LKM hasil
Peleburan.
Pasal 18
(1) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang
menggabungkan diri dapat digunakan sebagai kantor
cabang LKM hasil penggabungan.
(2) Salah satu kantor pusat dari LKM yang meleburkan diri
dapat digunakan sebagai kantor pusat LKM hasil
peleburan.
(3) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang
meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang
LKM hasil peleburan.
Pasal 19...
-18-
Pasal 19
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah hanya dapat melakukan penggabungan
atau peleburan dengan satu atau lebih LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Ketentuan mengenai penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18, mutatis mutandis berlaku bagi LKM
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pasal 20
Penggabungan dan peleburan LKM dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
KANTOR CABANG
Pasal 21
(1) LKM yang luas cakupan wilayah usahanya di
kabupaten/kota dapat membuka kantor cabang di
dalam cakupan wilayah usahanya dengan memenuhi
ketentuan minimum rasio solvabilitas dan likuiditas
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha LKM.
(2) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan
pembukaan kantor cabang sesuai dengan format dalam
Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Laporan pembukaan kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan:
a. fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan
Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau
Pembiayaan;
b. bukti penguasaan kantor; dan
c. struktur organisasi dan personalia kantor cabang.
Pasal 22...
-19-
Pasal 22
(1) Penutupan kantor cabang LKM wajib dilaporkan ke OJK.
(2) Laporan penutupan kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan
format dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja setelah penutupan kantor
cabang dilaksanakan dengan disertai:
a. alasan penutupan; dan
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban kantor cabang
LKM kepada Penyimpan, nasabah peminjam
dan/atau pihak lainnya.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 23
(1) Rencana pemindahan alamat kantor diumumkan
terlebih dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar
harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM, di
tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat, paling
lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pemindahan
alamat kantor.
(2) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Direksi
kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai dengan
format dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilampiri
dengan:
a. bukti pengumuman kepada masyarakat mengenai
pemindahan alamat kantor melalui surat kabar
harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM
yang lama, di tempat yang mudah diketahui oleh
masyarakat; dan
b. bukti penguasaan kantor.
(4) Pemindahan...
-20-
(4) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat
(2), dilakukan dalam cakupan wilayah usaha yang sama.
BAB VIII
PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH AKIBAT PEMEKARAN
Pasal 24
(1) LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah
usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari
pemekaran wilayah, wajib menyampaikan laporan kepada
OJK mengenai pemekaran wilayah yang disertai informasi
Pinjaman/Pembiayaan dan/atau Simpanan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
efektifnya pemekaran wilayah dimaksud sesuai dengan
format dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah:
a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan
LKM di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan
sampai dengan jangka waktu pengembalian Pinjaman
atau Pembiayaan berakhir; dan
b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan
di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan
sampai dengan penutupan Simpanan.
BAB IX
PEMBUBARAN LKM
Pasal 25
(1) Dalam hal upaya penyehatan LKM yang dilakukan tidak
berhasil mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha LKM, OJK mencabut izin usaha
LKM yang bersangkutan dan memerintahkan Direksi
LKM untuk segera menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota guna membubarkan
badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi.
(2) Tim likudasi bertugas untuk melakukan penyelesaian
atas segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh LKM.
(3) Pembubaran...
-21-
(3) Pembubaran badan hukum LKM, pembentukan tim
likuidasi, dan penyelesaian hak dan kewajiban
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Tim likuidasi menyampaikan laporan perkembangan
pelaksanaan likuidasi kepada OJK paling kurang 1
(satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(5) Tim Likuidasi melaporkan pelaksanaan likuidasi kepada
pemegang saham atau anggota, dan OJK, paling lambat
3 (tiga) bulan sejak tanggal selesainya pelaksanaan
likuidasi.
BAB X
TRANSFORMASI LKM
Pasal 26
(1) LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan
rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika:
a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memiliki:
1. ekuitas paling kurang 5 (lima) kali dari
persyaratan modal disetor minimum bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk
Simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun
terakhir paling kurang 25 (dua puluh lima) kali
dari persyaratan modal disetor minimum bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah
dalam...
-22-
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak
tanggal pemberitahuan dari OJK.
(3) Dalam hal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum memperoleh izin usaha sebagai bank perkreditan
rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah, LKM
dilarang menyalurkan Pinjaman atau Pembiayaan diluar
cakupan wilayah usahanya.
(4) Tata cara pelaksanaan transformasi LKM menjadi bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah.
(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditolak, LKM dimaksud tetap dapat menjalankan
kegiatan usahanya.
BAB XI
SANKSI
Pasal 27
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat
(2), 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12
ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3),
Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan
Pasal 26 ayat (3) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
40 (empat puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK atau pemerintah kabupaten/kota
setempat...
-23-
setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat
anggota untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan
dari OJK.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK
memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk
serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK.
Pasal 28
(1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal
21 ayat (1) Peraturan OJK ini, OJK menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada LKM untuk memenuhi
ketentuan dimaksud dalam jangka waktu paling lama
40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak
pemberitahuan dari OJK.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1)
Peraturan OJK ini, maka LKM yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 Peraturan OJK ini.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit...
-24-
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),
Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM),
dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu yang telah berdiri dan telah beroperasi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum
mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh
izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK
paling lambat tanggal 8 Januari 2016.
(2) Permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai
LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada OJK, sesuai dengan format dalam Lampiran XV
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a;
b. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM
melakukan kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun
pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf g angka 5);
c. laporan keuangan tahunan yang paling kurang terdiri
dari laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir;
d. laporan posisi keuangan penutupan dan laporan
posisi keuangan pembukaan dari LKM yang akan
dikukuhkan;
e. kinerja pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun
terakhir; dan
f. data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham
atau anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat...
-25-
ayat (3) huruf b dan c kecuali surat pernyataan
mengenai setoran modal.
(3) Pemenuhan ketentuan modal disetor atau simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah bagi permohonan izin
usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ekuitas
pada laporan posisi keuangan pembukaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(4) Dalam hal permohonan izin usaha melalui pengukuhan
sebagai LKM yang disampaikan tidak lengkap dan/atau
tidak benar, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah permohonan diterima, OJK menyampaikan
kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan.
(5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin
usaha melalui pengukuhan sebagai LKM dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya permohonan secara lengkap dan benar.
Pasal 30
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan
Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu
serta telah dikukuhkan menjadi LKM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Peraturan OJK ini, wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal
4 Peraturan OJK ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung
sejak tanggal pengukuhan sebagai LKM dari OJK.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal 31
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari
2015.
Agar...
-26-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Nopember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 342
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 2/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> TATA KELOLA PERUSAHAAN YANG BAIK BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN </reg_title>
<set_date> 28 Maret 2014 </set_date>
<effective_date> 8 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 April 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '81/PP/2008', '73/PP/1992', '2/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XX' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 12 / POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (2),
Pasal 10, Pasal 22 ayat (2), Pasal 23 ayat (3), Pasal 27, dan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013
tentang Lembaga Keuangan Mikro, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Lembaga Keuangan Mikro;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga
Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5394);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 89 Tahun 2014 tentang
Suku Bunga Pinjaman atau Imbal Hasil Pembiayaan dan
Luas Cakupan Wilayah Usaha Lembaga Keuangan
Mikro) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2014 Nomor 321, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5616);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA
KEUANGAN MIKRO.
BAB I...
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan
untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan
pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau
pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota
dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang
tidak semata-mata mencari keuntungan.
2. Pinjaman adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan.
3. Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh LKM kepada
masyarakat yang harus dikembalikan sesuai dengan
yang diperjanjikan dengan prinsip syariah.
4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada LKM dalam bentuk tabungan
dan/atau deposito berdasarkan perjanjian penyimpanan
dana.
5. Penyimpan adalah pihak yang menempatkan dananya
pada LKM berdasarkan perjanjian.
6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian syariah
dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI).
7. Direksi:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam peraturan perundang-undangan mengenai
perseroan terbatas;
b. bagi...
-3-
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
8. Dewan Komisaris:
a. bagi LKM berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam peraturan perundang-undangan
mengenai perseroan terbatas;
b. bagi LKM berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam peraturan
perundang-undangan mengenai perkoperasian.
9. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat
DPS adalah bagian dari organ LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
10. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur
tangan pihak lain yang mempunyai fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang mengenai OJK.
BAB II
BENTUK BADAN HUKUM, KEPEMILIKAN, PERIZINAN
USAHA, DAN PERMODALAN
Bagian Kesatu
Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan
Pasal 2
(1) Bentuk badan hukum LKM adalah:
a. koperasi; atau
b. perseroan terbatas.
(2) Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, sahamnya paling sedikit 60% (enam puluh
persen) wajib dimiliki oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota atau badan usaha milik
desa/kelurahan.
(3) Sisa...
-4-
(3) Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia; dan/atau
b. koperasi.
(4) Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham
perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a dilarang melebihi 20% (dua puluh persen).
Pasal 3
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan OJK ini, LKM hanya
dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan usaha milik desa/kelurahan;
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan/atau
d. koperasi.
Pasal 4
LKM dilarang dimiliki baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh warga negara asing dan/atau badan usaha
yang sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh warga negara
asing atau badan usaha asing.
Bagian Kedua
Perizinan Usaha
Pasal 5
(1) LKM dapat melakukan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus
memiliki izin usaha dari OJK.
(3) Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Direksi LKM mengajukan permohonan izin
usaha kepada OJK sesuai dengan format dalam
Lampiran I yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan harus dilampiri
dengan:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang
atau...
-5-
atau diberitahukan kepada instansi yang berwenang,
yang paling sedikit memuat:
1) nama dan tempat kedudukan;
2) kegiatan usaha sebagai LKM secara konvensional
atau berdasarkan Prinsip Syariah;
3) permodalan;
4) kepemilikan; dan
5) wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS;
b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS meliputi:
1) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) yang masih berlaku;
3) daftar riwayat hidup;
4) surat pernyataan bermeterai dari Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah:
a) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di
sektor jasa keuangan;
b) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana di bidang usaha jasa keuangan
dan/atau perekonomian
keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
c) tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak pidana kejahatan
berdasarkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
d) tidak pernah dinyatakan pailit
atau
menyebabkan suatu badan usaha dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap
dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi pada
LKM lain bagi Direksi;
f) tidak...
berdasarkan
-6-
f) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris lebih dari 2 (dua) LKM lain bagi
Direksi; dan
g) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris lebih dari 3 (tiga) LKM lain bagi
Dewan Komisaris;
5) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki
pengalaman operasional di bidang lembaga
keuangan mikro atau lembaga jasa keuangan
lainnya paling singkat 1 (satu) tahun bagi salah
satu Direksi; dan
6) surat keterangan atau bukti tertulis memiliki
pengalaman operasional di bidang lembaga
keuangan mikro yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah atau lembaga jasa
keuangan syariah lainnya paling singkat 1 (satu)
tahun bagi salah satu Direksi, bagi LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah;
c. data pemegang saham atau anggota:
1) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah
perorangan, dokumen yang dilampirkan adalah
dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf b
angka 1), angka 2), dan angka 3) serta surat
pernyataan bermeterai bahwa setoran modal:
a) tidak berasal dari pinjaman; dan
b) tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang;
2) dalam hal pemegang saham atau anggota adalah
badan usaha milik desa/kelurahan dan/atau
koperasi, dokumen yang dilampirkan adalah:
a) akta pendirian termasuk anggaran dasar
berikut perubahannya (jika ada) yang telah
disahkan/disetujui
oleh
instansi yang
berwenang atau diberitahukan kepada instansi
yang...
-7-
yang berwenang, atau bukti pendirian badan
usaha milik desa/kelurahan;
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik atau laporan keuangan
terakhir atau pembukuan keuangan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf
b angka 1), angka 2), dan angka 3) bagi
Direksi atau pengurus badan usaha milik
desa/kelurahan dan/atau koperasi; dan
d) surat pernyataan bermeterai bahwa setoran
modal:
i. tidak berasal dari pinjaman; dan
ii. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang;
3) Dalam hal pemegang saham adalah Pemerintah
Daerah
Kabupaten/Kota, dokumen yang
dilampirkan adalah berupa keputusan atau
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota terkait
penyertaan modal pada LKM;
d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari DSN MUI
bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah;
e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling
kurang memiliki fungsi pemutus kredit, penagihan,
dan administrasi;
f. sistem dan prosedur kerja LKM, paling kurang
meliputi:
1) pemberian Pinjaman atau Pembiayaan;
2) penerimaan Simpanan;
3) penagihan kepada pihak peminjam atau pihak
yang menerima Pembiayaan;
4) prosedur penyelesaian piutang macet; dan
5) prosedur penutupan Simpanan;
g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama yang
paling kurang memuat:
1) data...
-8-
1) data mengenai jumlah lembaga keuangan mikro
lainnya pada wilayah kerja LKM yang
bersangkutan;
2) rencana kegiatan usaha LKM yang memuat
proyeksi Simpanan dan penyaluran Pinjaman
atau Pembiayaan serta langkah-langkah kegiatan
yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana
dimaksud;
3) uraian mengenai potensi ekonomi pada wilayah
kerja LKM yang bersangkutan;
4) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai
sejak LKM melakukan kegiatan operasional; dan
5) proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan sebagaimana dimaksud pada
angka 4) mengacu pada ketentuan mengenai
laporan keuangan LKM;
h. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau
simpanan pokok, simpanan wajib dan hibah dalam
bentuk deposito berjangka yang masih berlaku atas
nama LKM yang bersangkutan pada salah satu bank
di Indonesia atau salah satu bank syariah atau unit
usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
i. bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1) daftar aset tetap (jika ada) dan inventaris;
2) bukti kepemilikan atau penguasaan kantor; dan
3) contoh formulir yang akan digunakan untuk
operasional LKM.
(4) Dokumen berupa surat pernyataan dan bukti setoran
modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
angka 1) huruf a) dan b), huruf c angka 2) huruf d), dan
huruf h tidak berlaku bagi LKM yang sudah beroperasi
pada saat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro diundangkan.
Pasal 6...
-9-
Pasal 6
(1) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan izin usaha dalam jangka waktu paling lama
40 (empat puluh) hari kerja sejak permohonan izin
usaha diterima secara lengkap dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan
permohonan izin usaha, OJK melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang LKM.
(3) Dalam hal permohonan izin usaha yang disampaikan
tidak lengkap dan/atau tidak
benar, OJK
menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat
syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon,
paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja setelah
permohonan diterima.
(4) Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan
alasan penolakan.
(5) Dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK
menetapkan izin usaha sebagai LKM kepada pemohon.
Pasal 7
(1) LKM yang telah mendapat izin usaha dari OJK wajib
melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan.
(2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Direksi
LKM kepada OJK dengan dilampiri fotokopi bukti
pelaksanaan kegiatan pengelolaan Simpanan dan/atau
penyaluran Pinjaman atau Pembiayaan paling lama 20
(dua puluh) hari kerja setelah tanggal dimulainya
kegiatan operasional sesuai dengan format dalam
Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Apabila...
-10-
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) LKM belum melakukan kegiatan usaha,
OJK mencabut izin usaha yang telah dikeluarkan.
Pasal 8
Nama LKM harus dicantumkan secara jelas dalam anggaran
dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a
angka 1 yang dimulai dengan bentuk badan hukum diikuti
dengan frasa:
a. ”Lembaga Keuangan Mikro” atau disingkat ”LKM” dan
nama LKM bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional;
b. ”Lembaga Keuangan Mikro Syariah” atau disingkat
”LKMS” dan nama LKM bagi LKM yang melakukan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagian Ketiga
Permodalan
Pasal 9
(1) Modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib,
dan hibah LKM ditetapkan berdasarkan cakupan
wilayah usaha yaitu desa/kelurahan, kecamatan, atau
kabupaten/kota.
(2) Jumlah modal disetor atau simpanan pokok, simpanan
wajib, dan hibah LKM ditetapkan paling sedikit:
a. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha desa/kelurahan;
b. Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha kecamatan; atau
c. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), untuk
cakupan wilayah usaha kabupaten/kota.
(3) Paling kurang 50% (lima puluh persen) dari modal
disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah wajib digunakan untuk modal kerja.
(4) Setoran modal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) harus memenuhi persyaratan:
a. tidak berasal dari pinjaman; dan
b. tidak...
-11-
b. tidak berasal dari dan untuk tindak pidana
pencucian uang.
BAB III
KEPENGURUSAN DAN PENGAWASAN
Bagian Kesatu
Direksi dan Dewan Komisaris
Pasal 10
Direksi dan Dewan Komisaris LKM harus memenuhi
persyaratan:
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di sektor jasa
keuangan;
b. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
di bidang usaha jasa keuangan dan/atau perekonomian
berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap;
c. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana
kejahatan berdasarkan keputusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dalam 5 (lima) tahun
terakhir;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau menyebabkan suatu
badan usaha dinyatakan pailit berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam 5 (lima) tahun terakhir;
e. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman operasional
di bidang lembaga keuangan mikro atau lembaga jasa
keuangan lainnya paling singkat 1 (satu) tahun; dan
f. salah satu Direksi harus memiliki pengalaman
operasional di bidang lembaga keuangan mikro syariah
atau lembaga jasa keuangan syariah lainnya bagi LKM
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 11
(1) Direksi LKM dilarang merangkap jabatan sebagai Direksi
pada LKM lain.
(2) Direksi LKM dapat merangkap jabatan sebagai Dewan
Komisaris paling banyak pada 2 (dua) LKM lain.
(3) Dewan...
-12-
(3) Dewan Komisaris LKM dapat merangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris paling banyak pada 3 (tiga) LKM lain.
Bagian Kedua
Dewan Pengawas Syariah
Pasal 12
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah wajib membentuk DPS.
(2) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota
atas rekomendasi DSN MUI.
(3) Pembentukan DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau beberapa LKM secara
bersama-sama.
(4) DPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi
agar kegiatan usahanya sesuai dengan Prinsip Syariah.
(5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dalam bentuk:
a. memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan
operasional LKM terhadap fatwa yang telah
ditetapkan oleh DSN MUI;
b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman operasional
dan produk yang dikeluarkan LKM;
c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa
untuk dimintakan fatwa kepada DSN MUI.
(6) Ketentuan mengenai persyaratan Direksi dan Dewan
Komisaris LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
kecuali huruf e dan f, mutatis mutandis berlaku bagi DPS.
BAB IV
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan Komisaris,
Dewan Pengawas Syariah, dan Modal
Pasal 13
(1) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum perseroan
terbatas wajib melaporkan setiap perubahan pemegang
saham...
-13-
saham, Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan modal
kepada OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah tanggal diterimanya persetujuan atau pencatatan
perubahan dimaksud dari instansi yang berwenang.
(2) Direksi LKM yang berbentuk badan hukum koperasi
wajib melaporkan setiap perubahan Direksi, Dewan
Komisaris, dan DPS kepada OJK paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja setelah tanggal perubahan dilakukan
sebagaimana tercantum dalam risalah rapat anggota.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan sesuai dengan format Lampiran III,
Lampiran IV, atau Lampiran V yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang
dilampiri dengan:
a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang telah disetujui atau dicatat oleh instansi
yang berwenang;
b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dan/atau data pemegang saham dan/atau DPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf
b dan/atau huruf c dan/atau huruf d.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini, yang dilampiri dengan:
a. risalah rapat anggota; dan
b. dokumen Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dan/atau DPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (3) huruf b dan/atau huruf d.
Bagian Kedua
Perubahan Nama
Pasal 14
(1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama LKM kepada
OJK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja setelah
diperolehnya surat persetujuan perubahan nama dari
instansi ...
-14-
instansi berwenang, dengan menggunakan format dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini, yang dilampiri
dengan dokumen:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota koperasi mengenai perubahan nama LKM;
b. bukti perubahan anggaran dasar atas perubahan
nama yang telah disetujui oleh instansi yang
berwenang bagi LKM yang berbentuk badan hukum
perseroan terbatas; dan
c. bukti pengumuman perubahan nama melalui surat
kabar harian lokal atau papan pengumuman di
kantor LKM yang mudah diketahui oleh masyarakat.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencatat perubahan nama LKM dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya laporan secara lengkap dan benar.
BAB V
PENGGABUNGAN DAN PELEBURAN
Pasal 15
(1) LKM dapat melakukan penggabungan dengan satu atau
lebih LKM dengan cara tetap mempertahankan
berdirinya salah satu LKM dan membubarkan LKM
lainnya tanpa dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
(2) LKM dapat melakukan peleburan dengan satu atau lebih
LKM dengan cara mendirikan satu LKM baru dan
membubarkan LKM yang melakukan peleburan.
(3) Penggabungan atau Peleburan dilakukan oleh LKM yang
berbentuk badan hukum sama.
(4) Proses penggabungan atau peleburan LKM wajib
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari OJK.
(5) Penggabungan atau peleburan hanya dapat dilakukan
antar LKM yang berada dalam 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota.
(6) Penggabungan...
-15-
(6) Penggabungan atau peleburan harus memperhatikan
ketentuan permodalan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 Peraturan OJK ini.
Pasal 16
(1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan atau
peleburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(4), Direksi LKM yang akan menerima penggabungan
atau Direksi salah satu LKM yang akan melakukan
peleburan harus mengajukan permohonan kepada OJK
sesuai dengan format dalam Lampiran VII atau
Lampiran VIII yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan rancangan penggabungan atau
peleburan yang paling kurang memuat:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota LKM yang melakukan penggabungan atau
peleburan;
b. rancangan perubahan anggaran dasar LKM yang
menerima penggabungan jika ada atau rancangan
anggaran dasar LKM hasil peleburan;
c. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari LKM
yang akan melakukan penggabungan atau peleburan
dengan tidak mengurangi hak Penyimpan dan
nasabah peminjam; dan
d. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan
kinerja keuangan dari LKM yang akan menerima
penggabungan atau hasil peleburan selama 2 (dua)
tahun.
(3) OJK memberikan persetujuan atau penolakan atas
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.
(4) Dalam rangka memberikan persetujuan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK melakukan:
a. penelitian...
-16-
a. penelitian atas kelengkapan dokumen; dan
b. analisis pemenuhan
perundang-undangan di bidang LKM.
(5) Dalam hal permohonan persetujuan penggabungan atau
peleburan yang disampaikan tidak lengkap, OJK
menyampaikan surat pemberitahuan yang memuat
syarat-syarat yang belum terpenuhi kepada pemohon
paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah
permohonan diterima.
(6) Dalam hal OJK menyetujui permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK menyampaikan
persetujuan dimaksud secara tertulis kepada LKM untuk
dapat melakukan penggabungan atau peleburan.
(7) Hak dan kewajiban yang timbul setelah melakukan
penggabungan atau peleburan, menjadi tanggung jawab
LKM yang akan menerima penggabungan atau hasil
peleburan.
Pasal 17
(1) LKM yang menerima penggabungan wajib melaporkan
hasil pelaksanaan penggabungan kepada OJK sesuai
dengan format dalam Lampiran IX yang merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini
dan wajib dilampiri dokumen:
a. fotokopi perubahan anggaran dasar LKM yang
menerima penggabungan yang telah disahkan,
disetujui, atau dicatat oleh instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM, data
Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b serta data
pemegang saham atau anggota LKM yang menerima
penggabungan;
c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan LKM yang menerima penggabungan; dan
d. alamat lengkap LKM yang menerima penggabungan.
(2) LKM hasil peleburan wajib melaporkan hasil pelaksanaan
peleburan kepada OJK sesuai dengan format dalam
Lampiran...
ketentuan peraturan
-17-
Lampiran X yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini dan wajib dilampiri
dokumen:
a. fotokopi anggaran dasar LKM hasil peleburan yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
b. susunan organisasi dan kepengurusan LKM hasil
peleburan, data Direksi, Dewan Komisaris, dan DPS
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf
b serta data pemegang saham atau anggota LKM
hasil peleburan;
c. laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan LKM hasil peleburan; dan
d. alamat lengkap LKM hasil peleburan.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) wajib disampaikan paling lambat 20 (dua puluh) hari
kerja setelah tanggal diterimanya pengesahan,
persetujuan, atau pencatatan perubahan anggaran
dasar dari instansi yang berwenang.
(4) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut izin usaha LKM yang
menggabungkan diri.
(5) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), OJK mencabut izin usaha LKM yang melakukan
Peleburan dan menerbitkan izin usaha LKM hasil
Peleburan.
Pasal 18
(1) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang
menggabungkan diri dapat digunakan sebagai kantor
cabang LKM hasil penggabungan.
(2) Salah satu kantor pusat dari LKM yang meleburkan diri
dapat digunakan sebagai kantor pusat LKM hasil
peleburan.
(3) Kantor pusat dan kantor cabang dari LKM yang
meleburkan diri dapat digunakan sebagai kantor cabang
LKM hasil peleburan.
Pasal 19...
-18-
Pasal 19
(1) LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Prinsip Syariah hanya dapat melakukan penggabungan
atau peleburan dengan satu atau lebih LKM yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Ketentuan mengenai penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal
17, dan Pasal 18, mutatis mutandis berlaku bagi LKM
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah.
Pasal 20
Penggabungan dan peleburan LKM dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
BAB VI
KANTOR CABANG
Pasal 21
(1) LKM yang luas cakupan wilayah usahanya di
kabupaten/kota dapat membuka kantor cabang di
dalam cakupan wilayah usahanya dengan memenuhi
ketentuan minimum rasio solvabilitas dan likuiditas
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha LKM.
(2) Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilaporkan kepada OJK paling lambat 20
(dua puluh) hari kerja sejak tanggal pelaksanaan
pembukaan kantor cabang sesuai dengan format dalam
Lampiran XI yang merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Laporan pembukaan kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilampiri dengan:
a. fotokopi bukti pelaksanaan kegiatan pengelolaan
Simpanan dan/atau penyaluran Pinjaman atau
Pembiayaan;
b. bukti penguasaan kantor; dan
c. struktur organisasi dan personalia kantor cabang.
Pasal 22...
-19-
Pasal 22
(1) Penutupan kantor cabang LKM wajib dilaporkan ke OJK.
(2) Laporan penutupan kantor cabang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), disampaikan sesuai dengan
format dalam Lampiran XII yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini, paling lambat
20 (dua puluh) hari kerja setelah penutupan kantor
cabang dilaksanakan dengan disertai:
a. alasan penutupan; dan
b. bukti penyelesaian hak dan kewajiban kantor cabang
LKM kepada Penyimpan, nasabah peminjam
dan/atau pihak lainnya.
BAB VII
PEMINDAHAN ALAMAT KANTOR
Pasal 23
(1) Rencana pemindahan alamat kantor diumumkan
terlebih dahulu kepada masyarakat melalui surat kabar
harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM, di
tempat yang mudah diketahui oleh masyarakat, paling
lambat 20 (dua puluh) hari kerja sebelum pemindahan
alamat kantor.
(2) Pemindahan alamat kantor wajib dilaporkan oleh Direksi
kepada OJK paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja
setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai dengan
format dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilampiri
dengan:
a. bukti pengumuman kepada masyarakat mengenai
pemindahan alamat kantor melalui surat kabar
harian lokal atau papan pengumuman di kantor LKM
yang lama, di tempat yang mudah diketahui oleh
masyarakat; dan
b. bukti penguasaan kantor.
(4) Pemindahan...
-20-
(4) Pemindahan alamat kantor sebagaimana dimaksud ayat
(2), dilakukan dalam cakupan wilayah usaha yang sama.
BAB VIII
PERUBAHAN CAKUPAN WILAYAH AKIBAT PEMEKARAN
Pasal 24
(1) LKM yang tempat kedudukan dan cakupan wilayah
usahanya mengalami perubahan sebagai akibat dari
pemekaran wilayah, wajib menyampaikan laporan kepada
OJK mengenai pemekaran wilayah yang disertai informasi
Pinjaman/Pembiayaan dan/atau Simpanan dalam jangka
waktu paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak
efektifnya pemekaran wilayah dimaksud sesuai dengan
format dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari Peraturan OJK ini.
(2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah:
a. Pinjaman atau Pembiayaan yang telah disalurkan
LKM di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan
sampai dengan jangka waktu pengembalian Pinjaman
atau Pembiayaan berakhir; dan
b. Simpanan yang telah diterima LKM dari Penyimpan
di luar wilayah usahanya tetap dapat dilanjutkan
sampai dengan penutupan Simpanan.
BAB IX
PEMBUBARAN LKM
Pasal 25
(1) Dalam hal upaya penyehatan LKM yang dilakukan tidak
berhasil mengatasi kesulitan likuiditas dan solvabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan OJK mengenai
penyelenggaraan usaha LKM, OJK mencabut izin usaha
LKM yang bersangkutan dan memerintahkan Direksi
LKM untuk segera menyelenggarakan rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota guna membubarkan
badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi.
(2) Tim likudasi bertugas untuk melakukan penyelesaian
atas segala hak dan kewajiban yang dimiliki oleh LKM.
(3) Pembubaran...
-21-
(3) Pembubaran badan hukum LKM, pembentukan tim
likuidasi, dan penyelesaian hak dan kewajiban
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(4) Tim likuidasi menyampaikan laporan perkembangan
pelaksanaan likuidasi kepada OJK paling kurang 1
(satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
(5) Tim Likuidasi melaporkan pelaksanaan likuidasi kepada
pemegang saham atau anggota, dan OJK, paling lambat
3 (tiga) bulan sejak tanggal selesainya pelaksanaan
likuidasi.
BAB X
TRANSFORMASI LKM
Pasal 26
(1) LKM wajib bertransformasi menjadi bank perkreditan
rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah jika:
a. melakukan kegiatan usaha melebihi 1 (satu) wilayah
Kabupaten/Kota tempat kedudukan LKM; atau
b. LKM telah memiliki:
1. ekuitas paling kurang 5 (lima) kali dari
persyaratan modal disetor minimum bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
2. jumlah dana pihak ketiga dalam bentuk
Simpanan yang dihimpun dalam 1 (satu) tahun
terakhir paling kurang 25 (dua puluh lima) kali
dari persyaratan modal disetor minimum bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah
dalam...
-22-
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak
tanggal pemberitahuan dari OJK.
(3) Dalam hal LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
belum memperoleh izin usaha sebagai bank perkreditan
rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah, LKM
dilarang menyalurkan Pinjaman atau Pembiayaan diluar
cakupan wilayah usahanya.
(4) Tata cara pelaksanaan transformasi LKM menjadi bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai bank
perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat
syariah.
(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditolak, LKM dimaksud tetap dapat menjalankan
kegiatan usahanya.
BAB XI
SANKSI
Pasal 27
(1) LKM yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 ayat
(2), 2 ayat (4), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 7 ayat (2), Pasal 12
ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 14 ayat
(1), Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 17 ayat (3),
Pasal 21 ayat (2), Pasal 22 ayat (1), Pasal 23 ayat (2),
Pasal 24 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), dan
Pasal 26 ayat (3) Peraturan OJK ini, dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing
40 (empat puluh) hari kerja.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
LKM telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK atau pemerintah kabupaten/kota
setempat...
-23-
setempat atau pihak lain yang ditunjuk oleh OJK
mencabut sanksi peringatan tertulis.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan tertulis ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan LKM
tetap tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), OJK meminta pemegang saham atau rapat
anggota untuk mengganti Direksi LKM dalam jangka
waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan
dari OJK.
(5) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) berakhir dan rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota tidak mengganti Direksi LKM dimaksud, OJK
memberhentikan Direksi LKM dan selanjutnya menunjuk
serta mengangkat pengganti sementara sampai rapat
umum pemegang saham atau rapat anggota mengangkat
pengganti yang tetap dengan persetujuan OJK.
Pasal 28
(1) Dalam hal LKM tidak dapat memenuhi ketentuan dalam
Pasal 9 ayat (3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal
21 ayat (1) Peraturan OJK ini, OJK menyampaikan
pemberitahuan tertulis kepada LKM untuk memenuhi
ketentuan dimaksud dalam jangka waktu paling lama
40 (empat puluh) hari kerja terhitung sejak
pemberitahuan dari OJK.
(2) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) telah berakhir dan LKM tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3), Pasal 11, Pasal 15 ayat (4), dan Pasal 21 ayat (1)
Peraturan OJK ini, maka LKM yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 Peraturan OJK ini.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 29
(1) Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit...
-24-
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD),
Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa
Tamwil (BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM),
dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan
dengan itu yang telah berdiri dan telah beroperasi
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, serta belum
mendapatkan izin usaha berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, wajib memperoleh
izin usaha melalui pengukuhan sebagai LKM kepada OJK
paling lambat tanggal 8 Januari 2016.
(2) Permohonan izin usaha melalui pengukuhan sebagai
LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan
kepada OJK, sesuai dengan format dalam Lampiran XV
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan OJK ini dengan dilampiri:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran
dasar berikut perubahannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a;
b. proyeksi laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan 4 (empat) bulanan yang dimulai sejak LKM
melakukan kegiatan operasional untuk 2 (dua) tahun
pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(3) huruf g angka 5);
c. laporan keuangan tahunan yang paling kurang terdiri
dari laporan posisi keuangan dan laporan kinerja
keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir;
d. laporan posisi keuangan penutupan dan laporan
posisi keuangan pembukaan dari LKM yang akan
dikukuhkan;
e. kinerja pembiayaan LKM selama 2 (dua) tahun
terakhir; dan
f. data Direksi, Dewan Komisaris, DPS, pemegang saham
atau anggota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat...
-25-
ayat (3) huruf b dan c kecuali surat pernyataan
mengenai setoran modal.
(3) Pemenuhan ketentuan modal disetor atau simpanan
pokok, simpanan wajib, dan hibah bagi permohonan izin
usaha melalui pengukuhan sebagai LKM sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan ekuitas
pada laporan posisi keuangan pembukaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(4) Dalam hal permohonan izin usaha melalui pengukuhan
sebagai LKM yang disampaikan tidak lengkap dan/atau
tidak benar, paling lama 20 (dua puluh) hari kerja
setelah permohonan diterima, OJK menyampaikan
kepada pemohon untuk memenuhi persyaratan.
(5) OJK memberikan persetujuan atas permohonan izin
usaha melalui pengukuhan sebagai LKM dalam jangka
waktu paling lama 40 (empat puluh) hari kerja terhitung
sejak diterimanya permohonan secara lengkap dan benar.
Pasal 30
Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai,
Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK),
Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan
Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), Badan
Usaha Kredit Pedesaan (BUKP), Baitul Maal wa Tamwil
(BMT), Baitul Tamwil Muhammadiyah (BTM), dan/atau
lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu
serta telah dikukuhkan menjadi LKM sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Peraturan OJK ini, wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4), Pasal 3, dan Pasal
4 Peraturan OJK ini paling lama 5 (lima) tahun terhitung
sejak tanggal pengukuhan sebagai LKM dari OJK.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal 31
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal 8 Januari
2015.
Agar...
-26-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Oktober 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Nopember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 342
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 12/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO </reg_title>
<set_date> 31 Oktober 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Januari 2015 </effective_date>
<issued_date> 11 Nopember 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '1/UU/2013', '89/PP/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /POJK.05/2015
TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN
PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN
DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin kompleksnya produk,
aktivitas, dan teknologi informasi di lingkungan
Industri Keuangan Non-Bank, maka risiko
pemanfaatan penyedia jasa keuangan di sektor
Industri Keuangan Non-Bank digunakan sebagai
sarana pencucian uang dan pendanaan terorisme
semakin terbuka;
b. bahwa ketentuan tentang prinsip mengenal nasabah
oleh penyedia jasa keuangan di sektor Industri
Keuangan Non-Bank perlu disesuaikan dengan
standar internasional mengenai penerapan program
anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan
terorisme;
c. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 32 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian, perlu mengatur mengenai penerapan
kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan terorisme bagi perusahaan asuransi,
- 2 -
perusahaan asuransi syariah, dan perusahaan pialang
asuransi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme oleh Penyedia Jasa
Keuangan di Sektor Industri Keuangan Non-Bank;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5164);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2013 Nomor 50, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406);
4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5618);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang
Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 148,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5709);
- 3 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA
JASA KEUANGAN DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-
BANK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
2. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang
Perasuransian.
3. Perusahaan Pialang Asuransi adalah perusahaan yang
menyelenggarakan usaha pialang asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
4. Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang selanjutnya
disingkat DPLK adalah dana pensiun lembaga
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
5. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa, termasuk yang
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah.
6. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat
PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
usaha modal ventura, pengelolaan dana ventura,
kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, termasuk yang
- 4 -
menyelenggarakan seluruh atau sebagian usahanya
berdasarkan prinsip syariah.
7. Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan
usaha yang didirikan khusus untuk melakukan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada
proyek infrastruktur.
8. Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia yang
selanjutnya disingkat LPEI adalah Lembaga
Pembiayaan Ekspor Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
9. Perusahaan Pergadaian adalah perusahaan
pergadaian swasta dan perusahaan pergadaian
pemerintah yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
10. Lembaga Keuangan Mikro yang selanjutnya disingkat
LKM adalah lembaga keuangan mikro sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.
11. Penyedia Jasa Keuangan di Sektor Industri Keuangan
Non-Bank yang selanjutnya disebut PJK adalah
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
Perusahaan Pialang Asuransi, DPLK, Perusahaan
Pembiayaan,
PMV, Perusahaan Pembiayaan
Infrastruktur, LPEI, Perusahaan Pergadaian, dan
LKM.
12. Pencucian Uang adalah pencucian uang sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang.
13. Pendanaan Terorisme adalah pendanaan terorisme
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
14. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan
Terorisme yang untuk selanjutnya disebut sebagai
APU dan PPT adalah upaya pencegahan dan
- 5 -
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme.
15. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa PJK.
16. Rekening adalah rincian catatan yang lengkap
mengenai Nasabah termasuk tetapi tidak terbatas
pada identitas, transaksi, atau perikatan antara PJK
dan Nasabah.
17. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) adalah setiap
pihak yang:
a. merupakan pemilik sebenarnya dari dana yang
ditempatkan pada PJK (ultimately own account);
b. mengendalikan transaksi Nasabah;
c. memberikan kuasa untuk melakukan transaksi;
dan/atau
d. melakukan pengendalian melalui badan hukum
atau perjanjian.
18. Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence) yang
selanjutnya disebut CDD adalah kegiatan berupa
identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang
dilakukan oleh PJK untuk memastikan transaksi
sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau pola
transaksi calon Nasabah atau Nasabah.
19. Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligence) yang
selanjutnya disebut EDD adalah tindakan CDD lebih
mendalam yang dilakukan PJK terhadap calon
Nasabah atau Nasabah yang tergolong dalam area
berisiko tinggi terhadap kemungkinan Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme.
20. Nasabah yang Berisiko Tinggi (High Risk Customers)
adalah Nasabah yang berdasarkan latar belakang
identitas dan riwayatnya dianggap memiliki risiko
tinggi melakukan kegiatan terkait dengan tindak
pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme.
21. Orang yang Populer secara Politis (Politically Exposed
Person) yang selanjutnya disebut PEP adalah orang
yang memiliki atau pernah memiliki kewenangan
- 6 -
publik, diantaranya adalah penyelenggara negara
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang
penyelenggara negara, dan/atau orang yang tercatat
atau pernah tercatat sebagai anggota partai politik
yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan
operasional
partai
berkewarganegaraan Indonesia maupun yang
berkewarganegaraan asing.
22. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi
keuangan mencurigakan sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan
Terorisme.
23. Transaksi Keuangan Tunai adalah transaksi keuangan
tunai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
24. Negara yang Berisiko Tinggi (High Risk Countries)
adalah:
a. negara asing yang dinyatakan belum memadai
dalam melaksanakan rekomendasi Financial
Action Task Force di bidang pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang
dan Pendanaan Terorisme berdasarkan hasil
evaluasi (mutual assessment) oleh Financial
Action Task Force dan/atau badan asosiasi
regional diantaranya Asia Pacific Group on Money
Laundering (APG), Caribbean Financial Action
Task Force (CFATF), MONEYVAL, Eastern and
Southern Africa Anti Money Laundering Group
(ESAAMLG), The Eurasian Group on Money
Laundering and Financing of Terrorism (EAG),
politik, baik yang
- 7 -
GAFISUD, Inter Governmental Action Group
against Money Laundering in West Africa (GIABA),
atau MiddleEast & North Africa Financial Action
Task Force (MENAFATF);
b. negara asing yang diketahui secara luas sebagai
tempat penghasil dan pusat perdagangan
narkoba;
c. negara asing yang memiliki tingkat tata kelola
kepemerintahan yang rendah atau dibawah 50
(lima puluh) berdasarkan world wide governance
indicators terkini yang diterbitkan oleh World
Bank;
d. negara asing yang diidentifikasi sebagai tax
heaven antara lain berdasarkan data dari
Organisation for Economic Cooperation and
Development; dan/atau
e. negara asing yang dikenal memiliki indeks
persepsi korupsi yang rendah atau indeks
dibawah 40 (empat puluh) berdasarkan
transparency international.
25. Direksi:
a. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur,
Perusahaan
Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur,
Perusahaan
Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum
koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
- 8 -
c. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi
berbentuk badan hukum usaha bersama adalah
direksi sebagaimana dimaksud dalam anggaran
dasar perusahaan;
d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan
komanditer adalah yang setara dengan Direksi
sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasar
perusahaan;
e. bagi DPLK adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau
f.
bagi LPEI adalah direktur eksekutif yang
merupakan anggota dewan direktur yang
diangkat menteri untuk menjalankan kegiatan
operasional LPEI sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
26. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur,
Perusahaan
Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum
perseroan terbatas adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas;
b. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Pialang Asuransi,
Perusahaan Pembiayaan, PMV, Perusahaan
Pembiayaan
Infrastruktur,
Perusahaan
Pergadaian, atau LKM berbentuk badan hukum
koperasi adalah pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian;
- 9 -
c. bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, atau Perusahaan Pialang Asuransi
berbentuk badan hukum usaha bersama adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
anggaran dasar perusahaan;
d. bagi PMV berbentuk badan usaha perseroan
komanditer adalah yang setara dengan Dewan
Komisaris
sebagaimana dimaksud dalam
anggaran dasar perusahaan;
e. bagi DPLK adalah dewan pengawas sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1992 tentang Dana Pensiun; atau
f.
bagi LPEI adalah dewan direktur sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan
Ekspor Indonesia.
27. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
yang selanjutnya disingkat PPATK adalah Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
28. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
BAB II
KEWAJIBAN PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN
UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
Pasal 2
(1) PJK wajib menerapkan program APU dan PPT.
(2) Dalam rangka penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK wajib
memiliki pedoman penerapan program APU dan PPT.
- 10 -
(3) Program APU dan PPT merupakan bagian dari
penerapan manajemen risiko PJK secara keseluruhan.
(4) Penerapan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kebijakan dan prosedur;
c. pengendalian intern;
d. sistem informasi manajemen; dan
e. sumber daya manusia dan pelatihan.
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Pengawasan Aktif oleh Direksi
Pasal 3
Pengawasan aktif Direksi terhadap penerapan program
APU dan PPT paling sedikit dengan cara:
a. memastikan bahwa PJK memiliki kebijakan dan
prosedur penerapan program APU dan PPT;
b. memastikan bahwa penerapan program APU dan PPT
dilaksanakan sesuai dengan pedoman penerapan
program APU dan PPT yang telah ditetapkan;
c. memastikan bahwa pedoman penerapan program APU
dan PPT sejalan dengan perubahan dan
pengembangan produk, jasa, dan teknologi PJK serta
sesuai dengan perkembangan modus Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme; dan
d. memastikan bahwa seluruh pegawai yang terkait
dengan penerapan program APU dan PPT telah
mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan penerapan
program APU dan PPT secara berkala.
- 11 -
Bagian Kedua
Pengawasan Aktif oleh Dewan Komisaris
Pasal 4
Pengawasan aktif Dewan Komisaris terhadap penerapan
program APU dan PPT paling sedikit dengan cara:
a. melakukan pengawasan atas pelaksanaan tanggung
jawab Direksi terhadap penerapan program APU dan
PPT; dan
b. memastikan adanya pembahasan terkait Pencucian
Uang dan Pendanaan Terorisme dalam rapat Direksi
dan Dewan Komisaris.
BAB IV
PENANGGUNG JAWAB PENERAPAN PROGRAM
ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) PJK wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau
menunjuk pejabat PJK yang bertanggung jawab atas
penerapan program APU dan PPT.
(2) Unit kerja khusus dan/atau pejabat PJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai bagian dari
struktur organisasi PJK dan bertanggung jawab
kepada Direksi.
(3) PJK wajib memastikan bahwa unit kerja khusus
dan/atau pejabat PJK yang bertanggung jawab atas
penerapan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), memiliki kemampuan yang
memadai dan memiliki kewenangan untuk mengakses
seluruh data Nasabah dan informasi lainnya yang
terkait.
- 12 -
(4) Unit kerja khusus dan/atau pejabat PJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh kepala kantor
cabang dalam penerapan program APU dan PPT di
kantor cabang.
Bagian Kedua
Unit Kerja Khusus
Pasal 6
Dalam hal PJK membentuk unit kerja khusus sebagai
penanggung jawab penerapan program APU dan PPT,
berlaku ketentuan:
a. unit kerja khusus paling sedikit terdiri dari 1 (satu)
orang yang bertindak sebagai pimpinan dan 1 (satu)
orang yang bertindak sebagai pelaksana;
b. pimpinan dan pelaksana pada unit kerja khusus tidak
merangkap fungsi lainnya;
c. pimpinan unit kerja khusus ditetapkan/diangkat oleh
Direksi;
d. unit kerja khusus berada di bawah koordinasi Direksi
secara langsung dalam struktur organisasi PJK; dan
e.
unit kerja khusus bersifat independen dari fungsi
lainnya.
Bagian Ketiga
Penugasan Pejabat
Pasal 7
Dalam hal PJK menugaskan pejabat sebagai penanggung
jawab penerapan program APU dan PPT, pejabat tersebut
harus ditetapkan atau diangkat oleh Direksi dan hanya
dapat merangkap untuk melaksanakan fungsi manajemen
risiko, fungsi kepatuhan, dan/atau fungsi audit internal.
- 13 -
Bagian Keempat
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab
Paragraf 1
Tugas
Pasal 8
Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
tugas paling sedikit sebagai berikut:
a. menyusun dan melakukan pengkinian pedoman
penerapan program APU dan PPT;
b. memastikan adanya sistem informasi dan prosedur
identifikasi Nasabah yang memadai, termasuk
memastikan bahwa formulir yang berkaitan dengan
Nasabah telah mengakomodasi data yang diperlukan
dalam penerapan program APU dan PPT;
c. memantau Rekening dan pelaksanaan transaksi
Nasabah yang berkaitan dengan Nasabah;
d. melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan dan
analisis transaksi Nasabah untuk memastikan ada
tidaknya Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau
Transaksi Keuangan Tunai;
e. menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi;
f. memantau pengkinian data dan profil Nasabah;
g. menerima dan melakukan analisis atas laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan/atau
Transaksi Keuangan Tunai yang disampaikan oleh
unit kerja yang ditugaskan; dan
h. menyusun laporan
Transaksi Keuangan
Mencurigakan dan/atau Transaksi Keuangan Tunai
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai pencucian uang dan/atau
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pendanaan terorisme yang wajib dilaporkan kepada
PPATK.
- 14 -
Paragraf 2
Wewenang
Pasal 9
Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
wewenang paling sedikit sebagai berikut:
a. memperoleh akses terhadap informasi yang
dibutuhkan yang ada di seluruh unit organisasi PJK;
b. melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap
penerapan program APU dan PPT oleh unit kerja
terkait; dan
c. mengusulkan pejabat dan/atau pegawai unit kerja
terkait untuk membantu penerapan program APU dan
PPT.
Paragraf 3
Tanggung Jawab
Pasal 10
Penanggung jawab penerapan program APU dan PPT
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) mempunyai
tanggung jawab paling sedikit sebagai berikut:
a. memastikan seluruh kegiatan dalam rangka
penerapan program APU dan PPT terlaksana;
b. memantau, menganalisis, dan merekomendasikan
kebutuhan pelatihan tentang penerapan program
APU dan PPT bagi pejabat dan/atau pegawai PJK;
dan
c. menjaga kerahasiaan informasi terkait penerapan
program APU dan PPT.
- 15 -
BAB V
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 11
Pedoman penerapan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) memuat kebijakan dan
prosedur tertulis, yang paling sedikit mencakup:
a. pelaksanaan CDD, yang terdiri dari:
1. permintaan informasi dan dokumen;
2. verifikasi dokumen; dan
3. pemantauan dan pengkinian data Nasabah.
b. Pemilik Manfaat (Beneficial Owner);
c. pelaksanaan CDD yang lebih sederhana;
d. pelaksanaan EDD;
e. penutupan hubungan usaha dan/atau penolakan
transaksi;
f. pelaksanaan CDD oleh pihak ketiga;
g. penatausahaan dokumen; dan
h. pelaporan kepada PPATK.
Pasal 12
PJK wajib menerapkan pedoman penerapan program APU
dan PPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 secara
konsisten dan berkesinambungan.
Pasal 13
Pedoman penerapan program APU dan PPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 wajib mendapat persetujuan dari
Dewan Komisaris sebelum ditetapkan oleh Direksi.
- 16 -
Bagian Kedua
Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence)
Paragraf 1
Umum
Pasal 14
PJK wajib melakukan prosedur CDD pada saat:
a. akan melakukan hubungan usaha dengan calon
Nasabah;
b. melakukan hubungan usaha dengan Nasabah;
c. terdapat keraguan kebenaran data, informasi,
dan/atau dokumen pendukung yang diberikan oleh
calon Nasabah, Nasabah dan/atau Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner); dan/atau
d. terdapat indikasi transaksi keuangan yang tidak wajar
yang terkait dengan Pencucian Uang dan Pendanaan
Terorisme.
Pasal 15
(1) Dalam rangka PJK akan melakukan hubungan usaha
dengan calon Nasabah, PJK wajib:
a. meminta informasi untuk mengetahui profil calon
Nasabah, termasuk identitas yang dibuktikan
dengan keberadaan dokumen pendukung;
b. meneliti
kebenaran dokumen pendukung
identitas calon Nasabah sebagaimana dimaksud
pada huruf a; dan/atau
c. melakukan pertemuan langsung (face to face)
dengan calon Nasabah pada awal melakukan
hubungan usaha dalam rangka meyakini
kebenaran identitas calon Nasabah.
(2) Pertemuan langsung (face to face) dengan calon
Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat tidak dilakukan pada awal hubungan usaha,
sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
- 17 -
a. transaksi dalam setahun paling banyak
Rp5.000.000 (lima juta rupiah); atau
b. dokumen pendukung yang memuat identitas
telah dilegalisir oleh pihak yang berwenang.
(3) PJK dilarang membuka atau memelihara Rekening
anonim atau Rekening yang menggunakan nama fiktif.
Paragraf 2
Permintaan Informasi dan Dokumen
Pasal 16
PJK wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon
Nasabah atau Nasabah ke dalam kelompok perorangan
atau perusahaan.
Pasal 17
(1) Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) huruf a paling sedikit mencakup:
a. untuk calon Nasabah perorangan:
1. data sesuai identitas calon Nasabah yaitu:
a) nama;
b) nomor identitas;
c) alamat;
d) tempat dan tanggal lahir;
e) jenis kelamin; dan
f)
kewarganegaraan.
2. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda
dengan dokumen identitas);
3. nomor telepon (jika ada);
4. status perkawinan;
5. pekerjaan;
6. alamat dan nomor telepon tempat kerja (jika
ada);
7. sumber dana;
8. rata-rata penghasilan;
- 18 -
9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan calon
Nasabah dengan PJK; dan
10. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
apabila calon Nasabah memiliki Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner);
b. untuk
calon Nasabah yang berbentuk
perusahaan:
1. nama;
2. nomor izin usaha dari instansi yang
berwenang;
3. bidang usaha/kegiatan;
4. alamat kedudukan;
5. nomor telepon (jika ada);
6. tempat dan tanggal pendirian;
7. identitas Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
apabila calon Nasabah memiliki Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner);
8. sumber dana; dan
9. maksud dan tujuan hubungan usaha atau
transaksi yang akan dilakukan calon
Nasabah dengan PJK.
(2) Informasi untuk calon Nasabah perorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib
didukung dengan dokumen identitas calon Nasabah
berupa fotokopi KTP atau fotokopi paspor yang masih
berlaku disertai dengan spesimen tanda tangan.
(3) Informasi untuk calon Nasabah perusahaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib
didukung dengan dokumen identitas perusahaan dan:
a. untuk calon Nasabah perusahaan yang tergolong
usaha mikro dan usaha kecil ditambah dengan:
1. spesimen tanda tangan dan kuasa kepada
pihak-pihak yang ditunjuk mempunyai
wewenang bertindak untuk dan atas nama
perusahaan dalam melakukan hubungan
usaha dengan PJK;
- 19 -
2. kartu NPWP bagi calon Nasabah yang
diwajibkan untuk memiliki NPWP sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan
3. surat izin tempat usaha atau dokumen lain
yang dipersyaratkan oleh instansi yang
berwenang;
b. untuk calon Nasabah perusahaan yang tidak
tergolong usaha mikro dan usaha kecil selain
disertai dokumen sebagaimana dimaksud pada
huruf a angka 2 dan angka 3, ditambah dengan:
1. laporan keuangan atau deskripsi kegiatan
usaha perusahaan;
2. struktur manajemen perusahaan;
3. struktur kepemilikan perusahaan; dan
4. dokumen identitas anggota Direksi yang
berwenang mewakili perusahaan untuk
melakukan hubungan usaha dengan PJK.
Pasal 18
(1) Untuk calon Nasabah selain calon Nasabah
perorangan dan perusahaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16, PJK wajib meminta informasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf
b.
(2) PJK wajib meminta dokumen pendukung informasi
untuk calon Nasabah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a. untuk calon Nasabah berbentuk badan hukum
yayasan berupa:
1. izin bidang kegiatan yayasan;
2. deskripsi kegiatan yayasan;
3. struktur dan nama pengurus yayasan; dan
4. dokumen identitas anggota pengurus yang
berwenang mewakili yayasan untuk
melakukan hubungan usaha dengan PJK;
- 20 -
b. untuk calon Nasabah berbentuk perkumpulan
yang berbadan hukum berupa:
1. bukti pendaftaran pada instansi yang
berwenang;
2. nama perkumpulan; dan
3. dokumen identitas pihak yang berwenang
mewakili perkumpulan dalam melakukan
hubungan usaha dengan PJK.
Pasal 19
(1) Untuk calon Nasabah berupa lembaga pemerintahan,
instansi pemerintah, lembaga internasional, dan
perwakilan negara asing, PJK wajib meminta informasi
mengenai nama dan alamat kedudukan lembaga,
instansi, atau perwakilan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
didukung dengan dokumen sebagai berikut:
a. surat penunjukan bagi pihak yang berwenang
mewakili lembaga, instansi, atau perwakilan
dalam melakukan hubungan usaha dengan PJK;
dan
b. spesimen tanda tangan.
Paragraf 3
Verifikasi Dokumen
Pasal 20
PJK wajib melakukan verifikasi atas dokumen pendukung
dengan cara:
a. meneliti kemungkinan adanya hal-hal yang tidak
wajar atau mencurigakan;
b. memastikan kebenaran dokumen calon Nasabah,
dalam hal terdapat kecurigaan atas dokumen yang
diterima, dengan cara:
1. melakukan wawancara dengan calon Nasabah;
2. meminta dokumen lain yang dikeluarkan oleh
pihak yang berwenang; atau
- 21 -
3. melakukan pemeriksaan silang dari berbagai
informasi yang disampaikan oleh calon Nasabah;
dan
c. melakukan penelaahan mengenai Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner).
Paragraf 4
Pemantauan dan Pengkinian Data Nasabah
Pasal 21
(1) PJK wajib melakukan pemantauan data Nasabah
secara berkesinambungan untuk memastikan
transaksi yang dilakukan Nasabah sesuai dengan
profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola
transaksi Nasabah yang bersangkutan.
(2) Dalam melaksanakan pemantauan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) PJK wajib memiliki sistem
pemantauan yang dapat:
a. mengidentifikasi, menganalisa, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai
profil, karakteristik, dan/atau kebiasaan pola
transaksi yang dilakukan oleh Nasabah; dan
b. menelusuri setiap transaksi, apabila diperlukan,
termasuk penelusuran atas identitas Nasabah,
bentuk transaksi, tanggal transaksi, jumlah dan
denominasi transaksi, serta sumber dana yang
digunakan untuk transaksi.
(3) PJK dapat meminta data dan/atau informasi lebih
lanjut kepada Nasabah terhadap transaksi yang tidak
sesuai dengan profil, karakteristik, dan/atau
kebiasaan pola transaksi.
(4) PJK wajib melakukan evaluasi terhadap hasil
pemantauan data Nasabah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk mengidentifikasikan ada atau
tidak adanya
Mencurigakan.
indikasi Transaksi Keuangan
- 22 -
(5) Dalam hal terdapat indikasi Transaksi Keuangan
Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
PJK wajib meminta data dan/atau informasi lebih
lanjut kepada Nasabah.
(6) Dalam hal data dan/atau informasi yang disampaikan
Nasabah tidak memberikan penjelasan yang
meyakinkan, maka PJK wajib melaporkan Transaksi
Keuangan Mencurigakan tersebut kepada PPATK.
(7) Dalam hal terdapat kesamaan nama dan informasi
lain atas Nasabah dengan nama dan informasi yang
tercantum dalam daftar terduga teroris, PJK wajib
melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Pasal 22
(1) PJK wajib melakukan upaya pengkinian data,
informasi, dan/atau dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan
Pasal 19 dalam hal terdapat perubahan yang
diketahui dari pemantauan PJK terhadap Nasabah
atau
informasi
dipertanggungjawabkan.
(2) PJK wajib mendokumentasikan upaya pengkinian
data sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 23
(1) PJK wajib memelihara database daftar terduga teroris
berdasarkan data yang dipublikasikan oleh
pemerintah atau organisasi internasional.
(2) PJK harus memastikan secara berkala nama Nasabah
yang memiliki kesamaan atau kemiripan dengan
nama yang tercantum dalam database daftar terduga
teroris.
(3) Dalam hal terdapat kemiripan nama Nasabah dengan
nama yang tercantum dalam database daftar terduga
teroris, PJK wajib memastikan kesesuaian identitas
Nasabah.
lain
yang
dapat
- 23 -
(4) Dalam hal terdapat kesamaan nama Nasabah dan
kesamaan informasi lainnya dengan nama yang
tercantum dalam database daftar terduga teroris, PJK
wajib melaporkan Nasabah tersebut dalam laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Bagian Ketiga
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
Pasal 24
(1) PJK wajib memastikan bahwa calon Nasabah
bertindak untuk diri sendiri atau untuk kepentingan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
(2) Dalam hal calon Nasabah bertindak untuk
kepentingan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK
wajib melakukan CDD terhadap Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) yang sama dengan CDD bagi calon
Nasabah.
(3) Dalam hal Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tergolong
sebagai PEP maka prosedur yang diterapkan adalah
prosedur EDD.
Pasal 25
(1) PJK wajib memperoleh bukti atas identitas dan/atau
informasi lainnya mengenai Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner).
(2) Bukti atas identitas dan/atau informasi lainnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa:
a. bagi
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
perorangan:
1. informasi dan dokumen identitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1) huruf a dan ayat (2);
2. hubungan hukum antara calon Nasabah
dengan Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
yang ditunjukkan dengan surat penugasan,
- 24 -
surat perjanjian, surat kuasa, atau bentuk
lainnya; dan
b. bagi
3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai
kebenaran identitas maupun sumber dana
dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
berbentuk perusahaan, yayasan,
atau
perkumpulan yang berbadan hukum, identitas
dan/atau informasi antara lain berupa:
1. informasi dan dokumen identitas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
1 huruf b, Pasal 17 ayat (3), dan Pasal 18
ayat (2);
2. dokumen dan/atau informasi identitas
pemilik atau pengendali akhir perusahaan,
yayasan, atau perkumpulan (ultimate
owner/ultimate controller); dan
3. pernyataan dari calon Nasabah mengenai
kebenaran identitas ataupun sumber dana
dari Pemilik Manfaat (Beneficial Owner).
(3) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau
penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri
Keuangan Non-Bank di dalam negeri yang mewakili
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib
meminta dokumen berupa pernyataan tertulis dari
bank atau penyedia jasa keuangan lain di sektor
Industri Keuangan Non-Bank dalam negeri yang telah
melakukan verifikasi terhadap identitas Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner).
(4) Dalam hal calon Nasabah merupakan bank atau
penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri
Keuangan Non-Bank di luar negeri dan menerapkan
program APU dan PPT yang paling kurang setara
dengan Peraturan OJK ini yang mewakili Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), PJK wajib meminta
dokumen berupa pernyataan tertulis dari bank atau
penyedia jasa keuangan lain di sektor Industri
- 25 -
Keuangan Non-Bank luar negeri yang telah
melakukan verifikasi terhadap identitas Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner).
(5) Dalam hal PJK meragukan atau tidak dapat meyakini
dokumen atau bukti atas identitas dan/atau informasi
lain mengenai Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), PJK
wajib menolak hubungan usaha atau transaksi
dengan calon Nasabah.
Pasal 26
Kewajiban penyampaian dokumen dan/atau informasi
identitas pemilik atau pengendali akhir Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (2) huruf b, tidak berlaku bagi Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) berupa:
a.
b.
lembaga pemerintah;
lembaga keuangan multilateral; atau
c. perusahaan yang terdaftar di bursa efek.
Bagian Keempat
Uji Tuntas Nasabah (Customer Due Diligence)
yang Lebih Sederhana
Pasal 27
(1) PJK dapat menerapkan prosedur CDD yang lebih
sederhana dari prosedur CDD sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 22 terhadap
calon Nasabah yang memiliki transaksi dengan
tingkat risiko terjadinya Pencucian Uang dan
Pendanaan Terorisme tergolong rendah atau
memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. peserta DPLK yang diikutsertakan oleh pemberi
kerja atau peserta mandiri yang membayar iuran
ke DPLK, yang jumlahnya paling banyak 20%
(dua puluh persen) dari penghasilan setiap bulan
atau lebih dari 20% (dua puluh persen) dari
- 26 -
penghasilan tetapi tidak melebihi Rp5.000.000,00
(lima juta rupiah) setiap bulan;
b. produk asuransi yang tidak menjanjikan
pengembalian dana sebelum atau setelah
berakhirnya masa pertanggungan;
c. produk asuransi yang jumlah pembayaran premi
regulernya apabila di setahunkan tidak melebihi
Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah);
d. produk asuransi yang pembayaran premi
tunggalnya tidak melebihi Rp25.000.000,00 (dua
puluh lima juta rupiah);
e. pembiayaan yang dilakukan oleh Perusahaan
Pembiayaan atau PMV yang nilainya tidak
melebihi Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah);
f.
g.
calon Nasabah dan/atau Nasabah berupa
perusahaan publik;
jenis barang jaminan berupa alat rumah tangga
atau barang gudang dengan nilai nominal paling
banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah); dan/atau
h. nominal uang pinjaman atau penghimpunan
dana paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh
juta rupiah).
(2) Bagi calon Nasabah perorangan yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PJK
wajib meminta informasi mengenai:
a. nama lengkap termasuk alias apabila ada;
b. nomor dokumen identitas (KTP/paspor) yang
dibuktikan dengan menunjukkan dokumen
dimaksud;
c. alamat tempat tinggal yang tercantum dalam
kartu identitas;
d. alamat tempat tinggal terkini (jika berbeda
dengan dokumen identitas);
e. nomor telepon (jika ada); dan
f. tempat dan tanggal lahir.
- 27 -
(3) Bagi calon Nasabah dan Nasabah yang berbentuk
perusahaan yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), PJK wajib meminta informasi
mengenai:
a. nama perusahaan;
b. alamat perusahaan dan nomor telepon; dan
c. dokumen identitas pihak yang ditunjuk
mempunyai wewenang bertindak untuk dan atas
nama perusahaan.
(4) Prosedur CDD yang lebih sederhana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila terdapat
dugaan terjadi transaksi Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme.
(5) PJK wajib membuat dan menyimpan daftar calon
Nasabah dan Nasabah yang mendapat perlakuan CDD
yang lebih sederhana.
Bagian Kelima
Uji Tuntas Lanjut (Enhanced Due Diligince)
Pasal 28
(1) PJK wajib melakukan EDD terhadap calon Nasabah,
Nasabah, dan Pemilik Manfaaat (Beneficial Owner)
yang dianggap dan/atau diklasifikasikan mempunyai
risiko tinggi terhadap praktik Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
(2) Tingkat risiko tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilihat dari:
a.
latar belakang atau profil calon Nasabah dan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang
termasuk PEP atau Nasabah yang Berisiko Tinggi
(High Risk Customers);
b. bidang usaha yang termasuk usaha yang berisiko
tinggi (high risk business);
c. negara asal atau domisili calon Nasabah atau
Nasabah termasuk Negara yang Berisiko Tinggi
(High Risk Countries);
- 28 -
d. pihak yang tercantum dalam daftar terduga
teroris; dan/atau
e. transaksi yang dilakukan diduga terkait dengan
tindak pidana di sektor Industri Keuangan Non-
Bank, tindak pidana Pencucian Uang dan/atau
tindak pidana Pendanaan Terorisme.
(3) Calon Nasabah, Nasabah, dan Pemilik Manfaat
(Beneficial Owner) yang memenuhi kriteria berisiko
tinggi atau PEP dibuat dalam daftar tersendiri.
Pasal 29
EDD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a.
verifikasi informasi calon Nasabah atau Pemilik
Manfaat (Beneficial Owner), didasarkan pada
kebenaran informasi, kebenaran sumber informasi,
dan jenis informasi yang terkait, tidak hanya
didasarkan pada informasi yang diberikan oleh calon
Nasabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
Pasal 18, dan/atau Pasal 19;
b.
verifikasi hubungan bisnis yang dilakukan oleh calon
Nasabah atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner)
dimaksud dengan pihak ketiga; dan
c.
analisis secara berkala terhadap informasi mengenai
Nasabah, sumber dana, tujuan transaksi, dan
hubungan usaha dengan pihak yang terkait.
Pasal 30
(1) PJK yang akan melakukan hubungan usaha dengan
calon Nasabah yang dianggap dan/atau
diklasifikasikan mempunyai tingkat risiko tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib
menunjuk pejabat senior yang bertanggung jawab atas
hubungan usaha dengan calon Nasabah tersebut.
- 29 -
(2) Pejabat senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang untuk:
a. memberikan persetujuan atau penolakan
terhadap calon Nasabah yang tergolong berisiko
tinggi; dan
b. membuat keputusan untuk meneruskan atau
menghentikan hubungan usaha dengan Nasabah
atau Pemilik Manfaat (Beneficial Owner) yang
tergolong berisiko tinggi.
Bagian Keenam
Penutupan Hubungan Usaha dan/atau
Penolakan Transaksi
Pasal 31
(1) PJK wajib menolak melakukan hubungan usaha
dengan calon Nasabah, dalam hal calon Nasabah:
a. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18,
Pasal 19, dan Pasal 25;
b. diketahui dan/atau patut diduga menggunakan
dokumen palsu; dan/atau
c. menyampaikan informasi yang diragukan
kebenarannya.
(2) PJK wajib menolak transaksi, membatalkan transaksi,
dan/atau menutup hubungan usaha dengan calon
Nasabah atau Nasabah dalam hal:
a. kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terpenuhi; dan/atau
b. memiliki sumber dana transaksi yang diketahui
dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak
pidana.
(3) PJK tetap wajib menyelesaikan proses identifikasi dan
verifikasi terhadap identitas calon Nasabah dan
Pemilik Manfaat (Beneficial Owner), dalam hal
penolakan hubungan usaha dengan calon Nasabah
- 30 -
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dan huruf c.
(4) PJK wajib mendokumentasikan calon Nasabah atau
Nasabah yang memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) PJK wajib melaporkan calon Nasabah atau Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (3) dalam laporan Transaksi Keuangan
Mencurigakan apabila transaksinya mencurigakan.
(6) Kewajiban PJK untuk menolak
transaksi,
transaksi,
membatalkan
dan/atau menutup
hubungan usaha dengan calon Nasabah atau Nasabah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
dicantumkan dalam perjanjian pembukaan rekening
dan diberitahukan kepada calon Nasabah dan
Nasabah.
Pasal 32
(1) Dalam hal dilakukan penutupan hubungan usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), PJK
wajib memberitahukan secara tertulis kepada
Nasabah mengenai penutupan hubungan usaha
tersebut.
(2) Dalam hal setelah dilakukan pemberitahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian
transaksi dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Pelaksanaan CDD oleh Pihak Ketiga
Pasal 33
(1) PJK dapat menunjuk pihak ketiga untuk
melaksanakan identifikasi dan verifikasi sebagai
bagian dari pelaksanaan CDD.
- 31 -
(2) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut:
a. penyedia jasa keuangan lain di dalam negeri;
b. penyedia jasa keuangan di sektor Industri
Keuangan Non-Bank di luar negeri; atau
c. pihak lain di dalam negeri yang bukan
merupakan penyedia jasa keuangan,
yang melakukan kerja sama dengan PJK.
(3) Dalam hal PJK menunjuk pihak ketiga untuk
melaksanakan CDD, PJK dapat menggunakan hasil
CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga.
(4) Pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki prosedur CDD sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
b. memiliki kontrak kerja sama dengan PJK dalam
bentuk perjanjian tertulis;
c. bersedia memenuhi permintaan data, informasi,
dan dokumen pendukung dengan segera apabila
dibutuhkan oleh PJK dalam rangka penerapan
program APU dan PPT; dan
d. tidak berkedudukan di Negara yang Berisiko
Tinggi (High Risk Countries).
(5) Dalam hal pihak ketiga berkedudukan di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, wajib
memenuhi kriteria bahwa pihak ketiga tersebut telah
menjalankan program APU dan PPT secara efektif
sesuai dengan rekomendasi Financial Action Task
Force (FATF).
(6) Dalam hal pihak ketiga bukan merupakan penyedia
jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf c, prosedur CDD ditetapkan oleh dan di bawah
koordinasi PJK.
(7) Dalam hal PJK menunjuk pihak ketiga, PJK wajib:
a. memiliki dan melaksanakan prosedur uji
kelayakan dan pengawasan terhadap pihak ketiga
dalam penerapan CDD;
- 32 -
b. memastikan penerapan CDD yang dilakukan oleh
pihak ketiga telah sesuai dengan prosedur CDD
yang telah ditetapkan PJK;
c. melaksanakan penatausahaan dokumen hasil
CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga; dan
d. bertanggung jawab atas hasil CDD yang
dilakukan oleh pihak ketiga.
Pasal 34
(1) Dalam hal PJK bertindak sebagai agen penjual produk
penyedia jasa keuangan lainnya, PJK wajib
menyerahkan hasil CDD dan salinan dokumen
pendukung kepada penyedia jasa keuangan lainnya.
(2) Tata cara pemenuhan permintaan informasi hasil CDD
dan salinan dokumen pendukung dituangkan dalam
perjanjian kerja sama antara PJK dengan penyedia
jasa keuangan lainnya tersebut.
Bagian Kedelapan
Penatausahaan Dokumen
Pasal 35
(1) PJK wajib tetap menatausahakan dokumen yang
terkait dengan data Nasabah dan dokumen Nasabah
yang terkait dengan transaksi keuangan dengan
jangka waktu selama 10 (sepuluh) tahun sejak:
a. berakhirnya hubungan usaha atau transaksi
dengan Nasabah; atau
b. ditemukannya ketidaksesuaian transaksi dengan
tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha.
(2) Dokumen yang terkait dengan data Nasabah
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit mencakup:
a. identitas Nasabah; dan
b. informasi transaksi yang meliputi jenis dan
jumlah mata uang yang digunakan, tanggal
perintah transaksi, asal dan tujuan transaksi,
- 33 -
serta nomor rekening yang terkait dengan
transaksi.
(3) PJK wajib memberikan informasi dan/atau dokumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada OJK
dan/atau otoritas lain yang berwenang sebagaimana
diperintahkan oleh undang-undang, pada saat
diperlukan.
BAB VI
PENGENDALIAN INTERN
Pasal 36
(1) Dalam memastikan efektivitas penerapan program
APU dan PPT oleh PJK, PJK wajib memiliki sistem
pengendalian intern yang efektif.
(2) Pelaksanaan sistem pengendalian intern yang efektif
antara lain dibuktikan dengan:
a. dimilikinya kebijakan, prosedur, dan pemantauan
internal yang memadai;
b. adanya batasan wewenang dan tanggung jawab
satuan kerja terkait dengan penerapan program
APU dan PPT; dan
c. dilakukannya pemeriksaan untuk memastikan
efektivitas penerapan program APU dan PPT oleh
satuan kerja audit intern.
Pasal 37
(1) PJK wajib melakukan pengujian terhadap keefektifan
dari penerapan program APU dan PPT.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mengambil contoh secara acak
(random sampling).
(3) PJK wajib mendokumentasikan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 34 -
Pasal 38
PJK wajib mendokumentasikan dan melakukan
pemutakhiran jenis, indikator, dan contoh dari transaksi
yang mencurigakan yang ditemukan di berbagai unit kerja
terkait.
BAB VII
SISTEM INFORMASI MANAJEMEN
Pasal 39
(1) PJK wajib memiliki sistem informasi manajemen yang
dapat mengidentifikasi, menganalisis, memantau, dan
menyediakan laporan secara efektif mengenai
karakteristik transaksi yang dilakukan oleh Nasabah.
(2) Sistem informasi manajemen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dilakukan secara manual maupun
dengan sistem komputerisasi.
BAB VIII
SUMBER DAYA MANUSIA DAN PELATIHAN
Pasal 40
Dalam rangka mencegah digunakannya PJK sebagai media
atau tujuan Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme yang melibatkan pihak intern PJK, PJK wajib
melakukan:
a. prosedur penyaringan (screening) dalam rangka
penerimaan pegawai; dan
b. pengenalan dan pemantauan terhadap profil
karyawan.
Pasal 41
PJK wajib melaksanakan program pelatihan penerapan
program APU dan PPT kepada semua pegawai yang terkait,
yang dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. menyusun program pelatihan yang dilaksanakan
paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
- 35 -
b. melaksanakan program pelatihan sesuai dengan
jadwal program yang telah disusun; dan
c. melaporkan pelaksanaan program pelatihan kepada
OJK paling lambat pada tahun berikutnya setelah
tahun pelaksanaan program pelatihan.
Pasal 42
PJK wajib menyelenggarakan pelatihan yang
berkesinambungan tentang:
a. implementasi ketentuan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan program APU dan PPT;
b. teknik, metode, dan tipologi Pencucian Uang dan/atau
Pendanaan Terorisme; dan
c. kebijakan dan prosedur penerapan program APU dan
PPT serta peran dan tanggung jawab pegawai dalam
mencegah dan memberantas Pencucian Uang
dan/atau Pendanaan Terorisme.
BAB IX
PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN
PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME
BAGI KANTOR CABANG DARI PENYEDIA JASA
KEUANGAN YANG BERBENTUK BADAN HUKUM
INDONESIA DI LUAR NEGERI
Pasal 43
(1) PJK yang berbentuk badan hukum Indonesia wajib
meneruskan kebijakan dan prosedur program APU
dan PPT ke seluruh jaringan kantor dan anak
perusahaan di luar negeri, dan memantau
pelaksanaannya.
(2) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan
kantor dan anak perusahaan di luar negeri
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
peraturan APU dan PPT yang lebih ketat dari yang
diatur dalam Peraturan OJK ini, jaringan kantor dan
anak perusahaan dimaksud wajib tunduk pada
- 36 -
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas negara
dimaksud.
(3) Dalam hal di negara tempat kedudukan jaringan
kantor dan anak perusahaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) belum mematuhi rekomendasi FATF
atau sudah mematuhi namun standar Program APU
dan PPT yang dimiliki lebih longgar dari yang diatur
dalam Peraturan OJK ini, jaringan kantor dan anak
perusahaan dimaksud wajib menerapkan program
APU dan PPT sebagaimana diatur dalam Peraturan
OJK ini.
(4) Dalam hal penerapan program APU dan PPT
sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini
mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan
perundang-undangan yang berlaku di negara tempat
kedudukan jaringan kantor dan anak perusahaan
berada, maka pejabat kantor PJK di luar negeri
tersebut wajib menginformasikan kepada kantor pusat
PJK dan OJK bahwa kantor PJK dimaksud tidak dapat
menerapkan program APU dan PPT sebagaimana
diatur dalam Peraturan OJK ini.
BAB X
PELAPORAN
Pasal 44
(1) Dalam rangka menerapkan program APU dan PPT
berdasarkan Peraturan OJK ini, PJK wajib
menyampaikan kepada OJK:
a. pedoman penerapan APU dan PPT sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2); dan
b. laporan pelaksanaan program pelatihan program
penerapan APU dan PPT sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41 huruf c.
(2) Pedoman penerapan APU dan PPT sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan paling
lambat tanggal 30 Juni 2016.
- 37 -
(3) Laporan pelaksanaan program pelatihan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan paling
lambat tanggal 15 Januari tahun berikutnya.
(4) Apabila batas akhir penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian
laporan adalah hari kerja pertama berikutnya.
Pasal 45
(1) PJK wajib menyampaikan laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan, laporan Transaksi
Keuangan Tunai, dan/atau laporan lain kepada
PPATK sebagaimana diatur dalam ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana Pencucian Uang dan/atau Pendanaan
Terorisme.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada
ketentuan yang dikeluarkan oleh PPATK.
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 46
PJK wajib mengambil tindakan yang diperlukan untuk
mencegah penyalahgunaan pengembangan teknologi dalam
skema Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
Pasal 47
PJK wajib bekerja sama dengan penegak hukum dan
otoritas yang berwenang dalam rangka memberantas
Pencucian Uang dan/atau Pendanaan Terorisme.
- 38 -
BAB XII
SANKSI
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 5
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15 ayat (1), Pasal 16, Pasal 17 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 19 ayat (1),
Pasal 20, Pasal 21 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5),
ayat (6), dan ayat (7), Pasal 22, Pasal 23 ayat (1), ayat
(3), dan ayat (4), Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), Pasal
25 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 27
ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), Pasal 28 ayat (1), Pasal
30 ayat (1), Pasal 31, Pasal 32 ayat (1), Pasal 33 ayat
(4), ayat (5), dan ayat (7), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35
ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 38, Pasal 39 ayat (1), Pasal 40,
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1), Pasal
45 ayat (1), Pasal 46, dan Pasal 47 Peraturan OJK ini
dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha; atau
c. pembekuan kegiatan usaha.
(2) Sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, dapat diberikan paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku
masing-masing paling lama 2 (dua) bulan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b, atau huruf c dapat dikenakan dengan
atau tanpa didahului pengenaan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a.
- 39 -
Pasal 49
Sanksi administratif bagi LPEI hanya berupa sanksi
peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (1) huruf a.
Pasal 50
OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) kepada
masyarakat.
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
PJK yang telah memiliki pedoman pelaksanaan penerapan
prinsip mengenal nasabah sebelum berlakunya Peraturan
OJK ini, tetap berlaku dan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan harus menyesuaikan dengan Peraturan OJK ini
menjadi pedoman penerapan program APU dan PPT.
Pasal 52
Bagi LKM, ketentuan pada Peraturan OJK ini dinyatakan
berlaku setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan
OJK ini diundangkan.
Pasal 53
Bagi perusahaan pergadaian swasta yang telah
mendapatkan izin usaha dari OJK, ketentuan pada
Peraturan OJK ini dinyatakan berlaku setelah 1 (satu)
tahun terhitung sejak Peraturan OJK ini diundangkan.
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 54
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai penerapan program APU dan PPT bagi PJK
tunduk pada Peraturan OJK ini.
- 40 -
Pasal 55
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 320
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 39/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN PROGRAM ANTI PENCUCIAN UANG DAN PENCEGAHAN PENDANAAN TERORISME OLEH PENYEDIA JASA KEUANGAN DI SEKTOR INDUSTRI KEUANGAN NON-BANK </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/2010', '21/UU/2011', '9/UU/2013', '40/UU/2014', '43/PP/2015' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XII' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 49 /POJK.03/2017
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, Bank
Perkreditan Rakyat perlu meningkatkan pembiayaan
kepada sektor produktif, terutama membiayai usaha
mikro, kecil, dan menengah;
b. bahwa dalam upaya meningkatkan pembiayaan kepada
usaha mikro, kecil, dan menengah serta melindungi
kepentingan masyarakat, Bank Perkreditan Rakyat wajib
memelihara kesehatan dan kelangsungan usahanya
dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
penyediaan dana;
c. bahwa penerapan prinsip kehati-hatian dalam
penyediaan dana perlu dilakukan, antara lain dengan
penyebaran portofolio penyediaan dana yang diberikan
agar risiko penyediaan dana tersebut tidak terpusat pada
peminjam atau kelompok peminjam tertentu;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke
- 2 -
Otoritas Jasa Keuangan, diperlukan pengaturan kembali
mengenai batas maksimum pemberian kredit Bank
Pekreditan Rakyat;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Perkreditan
Rakyat;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG BATAS
MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN
RAKYAT
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR
adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
- 3 -
konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran.
2. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya
disingkat BMPK adalah persentase maksimum realisasi
penyediaan dana yang diperkenankan terhadap modal
BPR.
3. Penyediaan Dana adalah penanaman dana BPR dalam
bentuk kredit dan/atau penempatan dana antar bank.
4. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara BPR dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.
5. Penempatan Dana Antar Bank adalah penanaman dana
BPR pada bank lain, dalam bentuk giro, tabungan,
deposito berjangka, sertifikat deposito, kredit yang
diberikan, dan penanaman dana lainnya yang sejenis.
6. Modal adalah modal inti dan modal pelengkap
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai kewajiban penyediaan modal
minimum dan pemenuhan modal inti minimum BPR.
7. Pihak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau badan
yang mempunyai hubungan kepemilikan, hubungan
kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan dengan
BPR.
8. Pihak Tidak Terkait adalah perorangan, perusahaan atau
badan yang tidak mempunyai hubungan kepemilikan,
hubungan kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan
dengan BPR.
9. Pelanggaran BMPK adalah selisih lebih antara persentase
Penyediaan Dana pada saat direalisasikan terhadap
Modal BPR dengan BMPK yang diperkenankan.
- 4 -
10. Pelampauan BMPK adalah selisih lebih antara persentase
Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap
Modal BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang
diperkenankan dan tidak termasuk Pelanggaran BMPK.
11. Peminjam adalah nasabah perorangan, perusahaan atau
badan yang memperoleh Penyediaan Dana dari BPR
berupa Kredit.
12. Direksi:
a. bagi BPR berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada BPR
yang belum berubah bentuk badan hukum
menjadi Perusahaan Umum Daerah atau
Perusahaan Perseroan Daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
- 5 -
13. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas adalah dewan komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada BPR
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
- 6 -
Pasal 2
BPR wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
membuat perjanjian Kredit antara BPR dan Peminjam yang
mencantumkan Penyediaan Dana.
Pasal 3
(1) BPR dilarang membuat perjanjian Kredit sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dalam hal perjanjian Kredit
tersebut mewajibkan BPR untuk menyediakan dana yang
akan mengakibatkan terjadinya Pelanggaran BMPK.
(2) BPR dilarang memberikan Penyediaan Dana yang
mengakibatkan Pelanggaran BMPK.
BAB II
DASAR PERHITUNGAN BMPK
Pasal 4
(1) BMPK untuk Kredit dihitung berdasarkan baki debet
Kredit.
(2) BMPK untuk Penempatan Dana Antar Bank pada BPR
lain dihitung berdasarkan nominal Penempatan Dana
Antar Bank.
BAB III
BMPK KEPADA PIHAK TERKAIT
Pasal 5
Penyediaan Dana kepada seluruh Pihak Terkait ditetapkan
paling banyak 10% (sepuluh persen) dari Modal BPR.
Pasal 6
Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada Pihak Terkait
wajib memperoleh persetujuan dari 1 (satu) orang anggota
Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris BPR.
- 7 -
Pasal 7
Pihak Terkait meliputi:
a. pemegang saham yang memiliki saham paling sedikit
10% (sepuluh persen) dari modal disetor;
b. anggota Direksi;
c. anggota Dewan Komisaris;
d. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horizontal maupun vertikal,
dengan pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf c;
e. pejabat eksekutif;
f. perusahaan bukan bank yang dimiliki oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan
huruf e yang kepemilikannya baik secara individu
maupun keseluruhan paling sedikit 25% (dua puluh lima
persen) dari modal disetor perusahaan;
g. BPR lain yang dimiliki oleh pihak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf e yang
kepemilikannya secara individu paling sedikit 10%
(sepuluh persen) dari modal disetor pada BPR lain
tersebut;
h. BPR lain yang anggota Dewan Komisarisnya merangkap
jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris BPR dan
rangkap jabatan pada BPR lain dimaksud paling sedikit
50% (lima puluh persen) dari jumlah keseluruhan
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris pada BPR
lain;
i. perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen)
dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris merupakan anggota Dewan Komisaris
BPR; dan
j. Peminjam yang diberikan jaminan oleh pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan
huruf i.
- 8 -
Pasal 8
Penyediaan Dana kepada pihak selain yang dimaksud dalam
Pasal 7 dapat dikategorikan sebagai Penyediaan Dana kepada
Pihak Terkait dalam hal Penyediaan Dana tersebut digunakan
untuk keuntungan Pihak Terkait.
BAB IV
BMPK KEPADA PIHAK TIDAK TERKAIT
Pasal 9
(1) Penyediaan Dana dalam bentuk Penempatan Dana Antar
Bank pada BPR lain yang merupakan Pihak Tidak Terkait
ditetapkan paling banyak 20% (dua puluh persen) dari
Modal BPR.
(2) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu)
Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan paling banyak
20% (dua puluh persen) dari Modal BPR.
(3) Penyediaan Dana dalam bentuk Kredit kepada 1 (satu)
kelompok Peminjam Pihak Tidak Terkait ditetapkan
paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari Modal BPR.
Pasal 10
Peminjam digolongkan sebagai anggota suatu kelompok
Peminjam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
dalam hal Peminjam mempunyai keterkaitan dengan
Peminjam lain baik melalui hubungan kepemilikan, hubungan
kepengurusan, dan/atau hubungan keuangan, yang meliputi:
a. perusahaan yang masing-masing paling sedikit 25% (dua
puluh lima persen) modal disetornya dimiliki oleh suatu
perusahaan, badan usaha atau perorangan, atau secara
bersama oleh suatu keluarga;
b. perusahaan yang salah satunya memiliki paling sedikit
25% (dua puluh lima persen) modal disetor perusahaan
lainnya;
c. perusahaan yang paling sedikit 50% (lima puluh persen)
dari jumlah keseluruhan anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris pada suatu perusahaan merangkap
- 9 -
jabatan sebagai anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris pada perusahaan lainnya;
d. perusahaan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, namun
terdapat bantuan keuangan dari salah satu perusahaan
tersebut terhadap perusahaan lainnya yang
mengakibatkan adanya pengendalian oleh perusahaan
tersebut terhadap perusahaan lainnya; dan
e. perusahaan dan/atau perorangan yang salah satunya
bertindak sebagai penjamin Kredit atas Kredit yang
diterima oleh perusahaan atau perorangan lainnya.
BAB V
PELAMPAUAN BMPK
Pasal 11
Penyediaan Dana oleh BPR dikategorikan sebagai Pelampauan
BMPK dalam hal terjadi selisih lebih antara persentase
Penyediaan Dana yang telah direalisasikan terhadap Modal
BPR pada saat tanggal laporan dengan BMPK yang
diperkenankan, yang disebabkan oleh:
a. penurunan Modal BPR;
b. penggabungan usaha, peleburan usaha, pengambilalihan
usaha, perubahan struktur kepemilikan, dan/atau
perubahan kepengurusan yang menyebabkan perubahan
Pihak Terkait dan/atau kelompok Peminjam; dan/atau
c. perubahan ketentuan.
BAB VI
PENYELESAIAN PELANGGARAN DAN/ATAU
PELAMPAUAN BMPK
Pasal 12
(1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan rencana tindak
(action plan) untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK
dan/atau Pelampauan BMPK.
- 10 -
(2) Rencana tindak untuk Pelanggaran BMPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1
(satu) bulan setelah batas akhir penyampaian laporan
BMPK bulan yang bersangkutan atau 14 (empat belas)
hari sejak exit meeting untuk Pelanggaran BMPK yang
ditemukan dalam pemeriksaan.
(3) Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a dan
huruf b wajib disampaikan oleh BPR dan diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 1 (satu) bulan
setelah akhir bulan laporan BMPK bulan yang
bersangkutan atau 14 (empat belas) hari sejak exit
meeting untuk Pelampauan BMPK yang ditemukan dalam
pemeriksaan.
(4) Rencana tindak untuk Pelampauan BMPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang disebabkan karena hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c wajib
disampaikan oleh BPR dan diterima oleh Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak berlakunya
perubahan ketentuan.
(5) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan
rencana tindak pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 13
(1) BPR wajib melaksanakan rencana tindak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang memuat paling
sedikit langkah untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK
dan/atau Pelampauan BMPK serta target waktu
penyelesaian.
- 11 -
(2) Target waktu penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk Pelanggaran BMPK, paling lambat 3 (tiga)
bulan sejak rencana tindak disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
b. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf a
dan huruf b, paling lambat 6 (enam) bulan sejak
rencana tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan; dan
c. untuk Pelampauan BMPK yang disebabkan oleh hal-
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 huruf c,
paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak rencana
tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam hal sisa jangka waktu Penyediaan Dana sampai
dengan jatuh tempo lebih pendek dari pada target waktu
penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), target
waktu penyelesaian paling lambat sampai dengan
Penyediaan Dana jatuh tempo.
(4) Target waktu penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau
Pelampauan BMPK atas Penempatan Dana Antar Bank
yang tidak memiliki jatuh tempo berupa tabungan pada
BPR lain, paling lambat 1 (satu) bulan sejak rencana
tindak disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta BPR melakukan
penyesuaian rencana tindak yang disampaikan apabila
menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan langkah-
langkah dan/atau target waktu penyelesaian tidak
mungkin tercapai.
Pasal 14
(1) BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan rencana
tindak untuk penyelesaian Pelanggaran BMPK dan/atau
Pelampauan BMPK disertai dengan bukti pendukung.
(2) Laporan pelaksanaan rencana tindak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh BPR dan
- 12 -
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 14
(empat belas) hari sejak realisasi rencana tindak.
(3) Dalam hal jangka waktu 14 (empat belas) hari
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari
libur, BPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
rencana tindak pada hari kerja sebelumnya.
BAB VII
PENGECUALIAN
Pasal 15
Ketentuan BMPK dikecualikan untuk:
a. Penempatan Dana Antar Bank pada bank umum,
termasuk bank umum yang memenuhi kriteria Pihak
Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
b. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh:
1. agunan dalam bentuk agunan tunai berupa deposito
atau tabungan di BPR;
2. emas dan/atau logam mulia; dan/atau
3. Sertifikat Bank Indonesia,
sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a) agunan diblokir dan dilengkapi dengan surat kuasa
pencairan atau penjualan yang tidak dapat
dibatalkan dari pemilik agunan untuk keuntungan
BPR penerima agunan, termasuk pencairan atau
penjualan sebagian untuk membayar tunggakan
angsuran pokok atau bunga;
b) jangka waktu pemblokiran sebagaimana dimaksud
pada huruf a) paling singkat sama dengan jangka
waktu Penyediaan Dana; dan
c) untuk agunan tunai sebagaimana dimaksud pada
huruf b angka 1 dan angka 2, disimpan atau
ditatausahakan pada BPR yang bersangkutan;
c. Bagian Penyediaan Dana yang dijamin oleh Pemerintah
Indonesia secara langsung maupun melalui Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah
- 13 -
(BUMD) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. jaminan bersifat tanpa syarat (unconditional) dan
tidak dapat dibatalkan (irrevocable);
2. harus dapat dicairkan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja sejak klaim diajukan, termasuk pencairan
sebagian; dan
3. mempunyai jangka waktu penjaminan paling singkat
sama dengan jangka waktu Penyediaan Dana; dan
d. Bagian Penempatan Dana Antar Bank pada BPR lain
sepanjang memenuhi persyaratan:
1. terdapat kesepakatan
antara BPR yang
menempatkan dana dengan BPR lain yang menerima
Penempatan Dana Antar Bank;
2. dalam rangka menanggulangi kesulitan likuiditas
BPR; dan
3. bagian Penempatan Dana Antar Bank dimaksud:
a) merupakan simpanan, iuran, atau porsi dana
yang wajib ditempatkan oleh BPR pada BPR lain
sesuai kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam huruf d angka 1; atau
b) berasal dari simpanan, iuran, atau porsi dana
dari masing-masing BPR yang ditujukan untuk
menanggulangi kesulitan likuiditas masing-
masing BPR.
Pasal 16
(1) Penyediaan Dana BPR berupa Kredit dengan pola
kemitraan inti-plasma atau pola Pengembangan
Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3).
(2) Pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam
Pihak Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (3), sepanjang memenuhi persyaratan:
- 14 -
a. Kredit diberikan dengan pola kemitraan;
b. perusahaan inti merupakan Pihak Tidak Terkait
dengan BPR;
c. plasma bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi
dengan perusahaan inti;
d. plasma memproduksi komponen yang diperlukan
perusahaan inti sebagai bagian dari produksi
perusahaan inti; dan
e.
perjanjian Kredit antara BPR dengan plasma
dilakukan secara langsung.
(3) Pola PHBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan dari pengertian kelompok Peminjam Pihak
Tidak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(3), sepanjang memenuhi persyaratan:
a. Kredit diberikan kepada kelompok;
b. partisipan PHBK telah melalui seleksi;
c. menghargai otonomi lembaga partisipan;
d. mempromosikan tabungan dan mengaitkan
tabungan dengan Kredit;
e. mengenakan tingkat bunga pasar;
f. mengembangkan dan menerima agunan alternatif;
dan
g. terdapat bantuan teknis atau pendampingan untuk
membina kelompok.
Pasal 17
Kredit kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau pegawai BPR yang memenuhi kriteria Pihak Terkait
yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan serta
dibayar kembali dari pendapatan yang diperoleh dari BPR
yang bersangkutan dikecualikan sebagai pemberian Kredit
kepada Pihak Terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
- 15 -
BAB VIII
TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN BMPK DAN
KOREKSI LAPORAN BMPK
Pasal 18
(1) BPR wajib menyusun dan menyampaikan laporan BMPK
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online)
melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan setiap
bulan secara benar, lengkap, dan tepat waktu.
(2) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum dapat dilakukan, BPR
menyampaikan laporan secara daring (online) kepada
Bank Indonesia melalui aplikasi Laporan Berkala BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang mengatur
mengenai laporan bulanan BPR.
(3) Laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. Penyediaan Dana kepada Pihak Tidak Terkait yang
melanggar dan melampaui BMPK; dan
b. seluruh Penyediaan Dana kepada Pihak Terkait.
Pasal 19
(1) BPR bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan
isi laporan BMPK yang disampaikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18.
(2) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas
laporan BMPK yang telah disampaikan kepada Otoritas
Jasa Keuangan, BPR wajib menyampaikan koreksi atas
laporan BMPK secara daring (online) dengan memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 20
(1) Kewajiban penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK secara daring (online) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (2)
dikecualikan dalam hal:
- 16 -
a. BPR berkedudukan di daerah yang belum tersedia
fasilitas komunikasi sehingga tidak memungkinkan
untuk menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK secara daring (online);
b. BPR baru beroperasi, dengan batas waktu paling
lambat 2 (dua) bulan setelah melakukan kegiatan
operasional;
c. BPR mengalami gangguan teknis; atau
d.
terjadi kerusakan dan/atau gangguan pada
pangkalan data (database) atau jaringan komunikasi
Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia dalam
hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
(2) BPR memperoleh pengecualian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, huruf b, atau huruf c setelah
menyampaikan surat pemberitahuan disertai penjelasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b,
atau huruf c terlebih dahulu kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan tembusan kepada Bank Indonesia
dalam hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
(3) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK secara daring (online) setelah
kegiatan operasional kembali berjalan secara normal.
Pasal 21
(1) BPR yang tidak dapat menyampaikan laporan BMPK
dan/atau koreksi laporan BMPK secara daring (online)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, wajib
menyampaikan secara luring (offline), berupa rekaman
data dalam bentuk cakram digital (compact disk) atau
media perekam data elektronik lain disertai hasil validasi
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal penyampaian melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan, BPR
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan
BMPK berupa rekaman data dalam bentuk cakram
- 17 -
digital (compact disk) atau media perekam data
elektronik lain disertai hasil validasi kepada Bank
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan yang
mengatur mengenai laporan bulanan BPR dengan
tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 22
(1) Laporan BMPK wajib disampaikan oleh BPR kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat tanggal 14 pada
bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan yang
bersangkutan.
(2) Apabila tanggal 14 jatuh pada hari libur, BPR yang
menyampaikan laporan BMPK secara luring (offline) wajib
menyampaikan laporan BMPK pada hari kerja
sebelumnya.
(3) BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan BMPK
pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal BPR menyampaikan laporan BMPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal
21 ayat (2), BPR dinyatakan telah menyampaikan laporan
BMPK pada tanggal diterimanya laporan BMPK oleh Bank
Indonesia.
(5) Dalam hal terdapat kekeliruan dan/atau kesalahan atas
laporan BMPK yang telah disampaikan, BPR wajib
menyampaikan koreksi atas laporan BMPK dimaksud
kepada Otoritas Jasa Keuangan secara daring (online)
paling lambat tanggal 20 pada bulan berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan yang bersangkutan.
(6) Apabila tanggal 20 sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
jatuh pada hari libur, BPR yang menyampaikan koreksi
laporan BMPK secara luring (offline) wajib menyampaikan
laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
(7) Dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat
dilakukan, BPR menyampaikan koreksi laporan BMPK
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) kepada
- 18 -
Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
yang mengatur mengenai laporan bulanan BPR.
(8) BPR dinyatakan telah menyampaikan koreksi laporan
BMPK pada tanggal koreksi laporan BMPK diterima oleh
Otoritas Jasa Keuangan atau oleh Bank Indonesia dalam
hal penyampaian laporan melalui sistem pelaporan
Otoritas Jasa Keuangan belum dapat dilakukan.
Pasal 23
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan laporan BMPK
apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) BPR belum
menyampaikan laporan BMPK.
(2) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
laporan BMPK apabila sampai dengan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (5) BPR
belum menyampaikan koreksi laporan BMPK.
(3) BPR dinyatakan tidak menyampaikan laporan BMPK
dan/atau koreksi laporan BMPK apabila sampai dengan
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan
laporan yang bersangkutan BPR belum menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
(4) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tetap wajib menyampaikan
laporan BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK.
Pasal 24
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan koreksi
terhadap pelaksanaan ketentuan BMPK oleh BPR.
(2) BPR wajib melakukan koreksi yang ditetapkan Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam laporan BMPK kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam hal terdapat koreksi Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPR wajib
menyampaikan koreksi laporan BMPK kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak
- 19 -
tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau
sejak tanggal exit meeting.
(4) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) jatuh pada hari libur, BPR wajib menyampaikan
koreksi atas laporan BMPK pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 25
(1) BPR dinyatakan terlambat menyampaikan koreksi
laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (2) apabila sampai dengan batas waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) BPR belum
menyampaikan koreksi laporan BMPK.
(2) BPR dinyatakan tidak menyampaikan koreksi laporan
BMPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2)
dalam hal sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sejak
tanggal pemberitahuan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau
sejak tanggal exit meeting, BPR belum menyampaikan
koreksi laporan BMPK.
(3) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan koreksi
laporan BMPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
tetap wajib menyampaikan koreksi laporan BMPK.
BAB IX
KEADAAN KAHAR (FORCE MAJEURE)
Pasal 26
(1) BPR yang mengalami keadaan kahar (force majeure)
selama paling singkat satu periode penyampaian laporan
BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK dikecualikan dari
kewajiban menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (3).
(2) BPR yang mengalami keadaan kahar kurang dari satu
periode penyampaian laporan BMPK dan/atau koreksi
laporan BMPK dikecualikan dari kewajiban
menyampaikan laporan BMPK dan/atau koreksi laporan
BMPK sampai dengan batas waktu sebagaimana
- 20 -
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), ayat (2), ayat (5), dan
ayat (6).
(3) BPR yang mengalami keadaan kahar, menyampaikan
surat pemberitahuan secara tertulis dengan disertai
penjelasan mengenai keadaan kahar yang dialami kepada
Otoritas Jasa Keuangan dengan tembusan kepada Bank
Indonesia dalam hal penyampaian laporan melalui sistem
pelaporan Otoritas Jasa Keuangan belum dapat
dilakukan dengan disertai penjelasan mengenai keadaan
kahar yang dialami.
(4) BPR wajib menyampaikan laporan BMPK dan/atau
koreksi laporan BMPK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan Pasal 24 ayat (3) setelah kembali
melakukan kegiatan operasional secara normal.
BAB X
KETENTUAN LAIN
Pasal 27
Ketentuan lebih lanjut mengenai dasar perhitungan BMPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 serta tata cara
penyampaian laporan BMPK dan koreksi laporan BMPK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal
25 diatur dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XI
SANKSI
Pasal 28
(1) BPR yang melakukan Pelanggaran BMPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dikenakan sanksi
administratif berupa penurunan tingkat kesehatan BPR
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai penilaian tingkat
kesehatan BPR.
(2) Terhadap setiap kesalahan laporan BMPK yang
ditemukan berdasarkan penelitian dan/atau
- 21 -
pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan, dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp10.000,00
(sepuluh ribu rupiah) per jenis kesalahan atau paling
banyak sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(3) Dalam hal jenis kesalahan yang sama terjadi pada
laporan bulanan BPR sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai laporan bulanan BPR
dan atas kesalahan tersebut BPR telah dikenakan sanksi
administratif berupa denda, BPR tidak lagi dikenakan
sanksi administratif berupa denda atas jenis kesalahan
yang sama tersebut pada laporan BMPK.
(4) BPR yang dinyatakan terlambat menyampaikan laporan
BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal
25 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per hari
keterlambatan.
(5) BPR yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan
BMPK dan/atau koreksi laporan BMPK sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 25 ayat (2)
dikenakan denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
rupiah).
(6) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta
Pasal 24 ayat (2), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. penurunan nilai kredit aspek manajemen dalam
perhitungan tingkat kesehatan.
(7) BPR yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 6, Pasal 12, Pasal 14, serta
Pasal 24 ayat (2) selain dikenakan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dikenakan
sanksi administratif berupa pencantuman anggota
Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan/atau pemegang
saham dalam daftar pihak-pihak yang memperoleh
predikat tidak lulus dalam uji kemampuan dan
kepatutan BPR sebagaimana diatur dalam ketentuan
- 22 -
peraturan perundang-undangan mengenai
kemampuan dan kepatutan BPR.
uji
(8) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK
dan/atau Pelampauan BMPK sesuai dengan rencana
tindak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
dan/atau tidak melaksanakan langkah penyelesaian
sesuai koreksi yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), setelah
diberi peringatan 2 (dua) kali oleh Otoritas Jasa
Keuangan, dikenakan sanksi administratif berupa:
a. pencantuman anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan/atau pemegang saham dalam daftar
pihak yang memperoleh predikat tidak lulus dalam
uji kemampuan dan kepatutan BPR sebagaimana
dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai
kepatutan; dan/atau
uji kemampuan dan
b. pembekuan kegiatan usaha tertentu.
(9) BPR yang tidak menyelesaikan Pelanggaran BMPK selain
dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (7), terhadap anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, pemegang saham maupun pihak terafiliasi
lainnya dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, Pasal 50, dan
Pasal 50 A Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/13/PBI/2009
tanggal 17 April 2009 tentang Batas Maksimum Pemberian
- 23 -
Kredit Bank Perkreditan Rakyat (Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 66 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5002), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 155
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 49/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '11/13/PBI/2009' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37 /POJK.05/2015
TENTANG
PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka efektivitas pelaksanaan
pengaturan dan pengawasan terhadap perusahaan
modal ventura, perlu dilakukan pemeriksaan langsung
terhadap perusahaan modal ventura guna memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku di bidang
perusahaan modal ventura;
b. bahwa untuk mendukung tugas Otoritas Jasa
Keuangan dalam melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap perusahaan modal ventura
melalui proses pemeriksaan langsung agar sejalan
dengan amanat Undang-Undang mengenai Otoritas
Jasa Keuangan, perlu dibentuk peraturan
perundangan guna memberikan dasar hukum bagi
Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Pemeriksaan Langsung Perusahaan Modal
Ventura;
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL
VENTURA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Usaha Modal Ventura adalah usaha pembiayaan
melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan
untuk jangka waktu tertentu dalam rangka
pengembangan usaha pasangan usaha atau debitur.
2. Perusahaan Modal Ventura yang selanjutnya disingkat
PMV adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
Usaha Modal Ventura, pengelolaan dana ventura,
kegiatan jasa berbasis fee, dan kegiatan usaha lain
dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
3. Usaha Modal Ventura Syariah adalah usaha
pembiayaan melalui kegiatan investasi dan/atau
pelayanan jasa yang dilakukan dalam jangka waktu
tertentu dalam rangka pengembangan usaha pasangan
usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
4. Perusahaan Modal Ventura Syariah yang selanjutnya
disingkat PMVS adalah badan usaha yang melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah, pengelolaan
dana ventura, dan kegiatan usaha lain dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan yang seluruhnya
dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.
- 3 -
5. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat PMV yang
berfungsi sebagai kantor induk dari kantor yang
melaksanakan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah.
6.
Direksi adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau yang
setara dengan Direksi bagi PMV atau PMVS yang
berbentuk badan hukum koperasi atau yang
berbentuk badan usaha perseroan komanditer.
7. Pemeriksaan Langsung adalah rangkaian kegiatan
mengumpulkan, mencari, mengolah, dan mengevaluasi
data dan informasi mengenai kegiatan usaha PMV,
PMVS, dan/atau UUS, yang dilakukan di kantor PMV,
PMVS, dan/atau UUS, serta di tempat lain yang terkait
langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan
PMV, PMVS, dan/atau UUS.
8. Pemeriksa adalah pegawai Otoritas Jasa Keuangan
atau pihak lain yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa
Keuangan untuk melakukan Pemeriksaan Langsung.
9. Surat Perintah Pemeriksaan Langsung adalah surat
yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang
digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk
melakukan Pemeriksaan Langsung.
10. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung adalah
surat yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan
yang disampaikan kepada PMV, PMVS, dan/atau UUS
yang akan diperiksa.
11. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat
OJK adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- 4 -
BAB II
PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 2
(1) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan dan
pengawasan, OJK melakukan Pemeriksaan Langsung
terhadap PMV, PMVS, dan/atau UUS.
(2) Pemeriksaan Langsung bertujuan untuk:
a. memastikan bahwa laporan berkala sesuai
dengan keadaan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang
sebenarnya;
b. memperoleh keyakinan yang memadai atas
kebenaran laporan periodik; dan
c. menilai kepatuhan terhadap ketentuan yang
berlaku di bidang PMV, PMVS, dan/atau UUS.
Pasal 3
(1) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung terhadap setiap
PMV, PMVS, dan/atau UUS dilakukan:
a. secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) tahun; atau
b. setiap waktu bila diperlukan.
(2) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung secara berkala
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
Pemeriksaan Langsung atas substansi laporan berkala
dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku pada PMV, PMVS,
dan/atau UUS.
(3) Pemeriksaan Langsung setiap waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan
Pemeriksaan Langsung yang bersifat khusus dan
dilakukan apabila:
a. berdasarkan hasil analisis atas laporan berkala
yang disampaikan oleh PMV, PMVS, dan/atau
UUS, patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS
menyimpang dari
ketentuan
peraturan
- 5 -
perundang-undangan di bidang PMV, PMVS,
dan/atau UUS;
b. berdasarkan penelitian atas keterangan yang
didapat atau surat pengaduan yang diterima oleh
OJK, patut diduga bahwa penyelenggaraan
kegiatan usaha PMV, PMVS, dan/atau UUS
dimaksud menyimpang dari ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang PMV, PMVS,
dan/atau UUS;
c. PMV, PMVS, dan/atau UUS patut diduga tidak
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan
yang berkaitan dengan penerapan prinsip
mengenal nasabah; dan/atau
d. berdasarkan pertimbangan dan alasan-alasan
yang mengakibatkan OJK perlu untuk melakukan
Pemeriksaan Langsung.
Pasal 4
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilaksanakan oleh Pemeriksa berdasarkan
Surat Perintah Pemeriksaan Langsung.
(2) Sebelum dilakukan Pemeriksaan Langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu
disampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Langsung kepada PMV, PMVS, dan/atau UUS.
(3) Surat
Pemberitahuan
Pemeriksaan Langsung
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum tanggal
pelaksanaan kegiatan Pemeriksaan Langsung.
(4) Ketentuan ayat (2) dikecualikan apabila diduga bahwa
penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan
Langsung dapat menyebabkan tindakan mengaburkan
keadaan yang sebenarnya atau tindakan
menyembunyikan data, keterangan, atau laporan yang
diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan
Langsung.
- 6 -
Pasal 5
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan pedoman
pemeriksaan langsung.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman
pemeriksaan langsung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Surat Edaran Dewan Komisioner
OJK.
Pasal 6
(1) OJK dapat menunjuk pihak lain sebagai Pemeriksa.
(2) Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam surat perintah kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pihak
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 7
(1) Pemeriksaan Langsung sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
a. persiapan Pemeriksaan Langsung;
b. pelaksanaan Pemeriksaan Langsung; dan
c. pelaporan hasil Pemeriksaan Langsung.
(2) Persiapan Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berdasarkan
hasil analisis laporan berkala dan data lain yang
mendukung.
(3) Pelaksanaan Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan
cara:
a. Pemeriksaan Langsung di kantor PMV, PMVS,
dan/atau UUS;
b. Pemeriksaan Langsung di kantor OJK; dan/atau
c. Pemeriksaan Langsung di tempat lain yang
ditentukan oleh OJK.
(4) Untuk mendukung pelaksanaan Pemeriksaan
Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
- 7 -
b, dapat dilakukan konfirmasi kepada pihak ketiga
yang terkait dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang
bersangkutan.
(5) Pelaporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c harus disusun
berdasarkan data atau keterangan yang diperoleh
selama proses Pemeriksaan Langsung berlangsung
yang dituangkan dalam kertas kerja Pemeriksaan
Langsung.
Pasal 8
(1) Pada saat akan dimulai Pemeriksaan Langsung,
Pemeriksa menunjukkan Surat Perintah Pemeriksaan
Langsung dan tanda pengenal Pemeriksa.
(2) Dalam hal Pemeriksa tidak dapat memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PMV,
PMVS, dan/atau UUS yang akan diperiksa dapat
menolak dilakukannya Pemeriksaan Langsung.
(3) Dalam hal Pemeriksa telah menunjukkan Surat
Pemberitahuan Pemeriksaan Langsung, Surat Perintah
Pemeriksaan Langsung beserta tanda pengenal
Pemeriksa, Pemeriksa berhak:
a. memeriksa dan/atau meminjam buku-buku,
catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen
pendukungnya termasuk keluaran (output) dari
pengolahan data atau media komputer dan
perangkat elektronik pengolah data lainnya;
b. mendapatkan keterangan lisan dan/atau tertulis
dari PMV, PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa;
c. memasuki tempat atau ruangan yang diduga
merupakan tempat menyimpan dokumen, uang,
atau barang yang dapat memberikan petunjuk
tentang keadaan PMV, PMVS, dan/atau UUS yang
diperiksa; dan
d. mendapatkan keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
- 8 -
hubungan dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS
yang diperiksa.
(4) Pemeriksa wajib merahasiakan data dan/atau
keterangan yang diperoleh selama Pemeriksaan
Langsung terhadap pihak yang tidak berhak, kecuali
dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan Dewan
Komisioner OJK atau diwajibkan oleh Undang-
Undang.
Pasal 9
(1) Dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), PMV, PMVS,
dan/atau UUS yang diperiksa dilarang menolak
dan/atau menghambat
Pemeriksaan Langsung.
kelancaran proses
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan Langsung, PMV,
PMVS, dan/atau UUS yang diperiksa wajib:
a. memenuhi permintaan untuk memberikan atau
meminjamkan buku, catatan-catatan, dan
dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
kelancaran Pemeriksaan Langsung selama proses
Pemeriksaan Langsung;
b. memberikan keterangan yang diperlukan secara
tertulis dan/atau lisan;
c. memberi akses kepada Pemeriksa untuk
memasuki tempat atau ruangan yang dipandang
perlu;
d. memberikan keterangan dan/atau data yang
diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai
hubungan dengan PMV, PMVS, dan/atau UUS
yang diperiksa; dan
e. bekerja sama dalam hal-hal lain yang diperlukan
dalam Pemeriksaan Langsung.
(3) PMV, PMVS, dan/atau UUS dianggap menghambat
kelancaran proses Pemeriksaan Langsung apabila
tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud
- 9 -
pada ayat (2) dan/atau melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) namun buku,
catatan, dokumen atau keterangan yang diberikan
tidak benar atau menyesatkan.
(4) Dalam hal PMV, PMVS, dan/atau UUS dianggap
menghambat kelancaran proses Pemeriksaan
Langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka
akan dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan
Langsung.
(5) Dalam hal PMV, PMVS, dan/atau UUS menolak
dilakukannya Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), maka Pemeriksa menetapkan
berita acara penolakan Pemeriksaan Langsung dengan
atau tanpa ditandatangani oleh Direksi PMV atau
PMVS.
Pasal 10
(1) Setelah pelaksanaan Pemeriksaan Langsung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b
berakhir, Pemeriksa menyusun laporan hasil
Pemeriksaan Langsung.
(2) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara;
dan
b. laporan hasil Pemeriksaan Langsung final.
(3) Laporan hasil Pemeriksaan Langsung sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh OJK.
Pasal 11
(1) OJK menyampaikan laporan hasil Pemeriksaan
Langsung sementara kepada Direksi PMV atau PMVS
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah
berakhirnya pelaksanaan Pemeriksaan Langsung.
(2) PMV atau PMVS yang diperiksa dapat mengajukan
tanggapan atas laporan hasil Pemeriksaan Langsung
sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
- 10 -
kepada OJK paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
setelah diterimanya laporan hasil Pemeriksaan
Langsung sementara oleh PMV atau PMVS.
(3) Dalam hal setelah lewat jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), PMV atau PMVS tidak
memberikan
tanggapan atas laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara secara tertulis, OJK
menetapkan laporan hasil Pemeriksaan Langsung
sementara menjadi laporan hasil Pemeriksaan
Langsung final paling lambat 15 (lima belas) hari kerja
setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berakhir.
(4) Dalam hal PMV atau PMVS menyampaikan tanggapan
yang tidak memuat sanggahan atas laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara yang telah
disampaikan sehingga tidak diperlukan adanya
pembahasan, OJK menetapkan laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara menjadi laporan
hasil Pemeriksaan Langsung final paling lambat 15
(lima belas) hari kerja setelah diterimanya tanggapan
dari PMV atau PMVS yang diperiksa.
(5) Dalam hal PMV atau PMVS menyampaikan tanggapan
yang memuat sanggahan atas laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara yang telah
disampaikan dan diperlukan adanya pembahasan atas
laporan hasil Pemeriksaan Langsung sementara, maka
OJK mengundang PMV atau PMVS yang bersangkutan
guna melakukan pembahasan atas tanggapan yang
disampaikan.
(6) Proses pembahasan atas tanggapan laporan hasil
Pemeriksaan Langsung sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dilakukan paling lambat 15
(lima belas) hari kerja sejak diterimanya surat
tanggapan.
(7) Berdasarkan hasil pembahasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), OJK menetapkan laporan
hasil Pemeriksaan Langsung sementara menjadi
- 11 -
laporan hasil Pemeriksaan Langsung final paling
lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah selesainya
pembahasan bersama PMV atau PMVS yang diperiksa.
BAB III
TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN LANGSUNG
Pasal 12
(1) Dalam rangka menindaklanjuti hasil rekomendasi
yang terdapat dalam laporan hasil pemeriksaan
langsung final sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (7), PMV, PMVS, dan/atau UUS
wajib melaporkan pelaksanaan langkah-langkah
tindak lanjut kepada OJK.
melaporkan
(2) Kewajiban
pelaksanaan
langkah-
langkah tindak lanjut sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berakhir apabila OJK menilai
bahwa PMV, PMVS, dan/atau UUS telah
melaksanakan
langkah-langkah
(3) OJK
tindak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
melakukan
pemantauan
lanjut
terhadap
pelaksanaan tindak lanjut oleh PMV, PMVS,
dan/atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sebagai bagian dari kegiatan pengawasan
terhadap PMV, PMVS, dan/atau UUS.
BAB IV
SANKSI
Pasal 13
(1) PMV dan PMVS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
dan ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif secara bertahap
berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
- 12 -
c. pencabutan izin kegiatan usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis oleh
OJK kepada PMV atau PMVS sebanyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), PMV atau PMVS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir
dan PMV atau PMVS tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
OJK mengenakan sanksi pembekuan kegiatan
usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV atau PMVS yang
bersangkutan dan pembekuan kegiatan usaha
tersebut berlaku selama 6 (enam) bulan sejak
surat
sanksi
diterbitkan.
(6) Apabila
masa
berlaku
kegiatan
sanksi
usaha
peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi
pembekuan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) berakhir pada hari libur,
sanksi peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan
usaha berlaku sampai dengan hari kerja pertama
berikutnya.
(7) PMV atau PMVS yang
pembekuan
kegiatan
usaha
kecuali
dikenakan
usaha
sanksi
sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan
kegiatan
untuk pemenuhan
ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau
nilai piutang terhadap total aset (Investment and
pembekuan
kegiatan
usaha
- 13 -
Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana
diatur
dalam
Peraturan
OJK
mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut sanksi pembekuan
kegiatan usaha.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat
berlaku dan PMV atau PMVS tetap melakukan
kegiatan Usaha Modal Ventura atau Usaha Modal
Ventura Syariah, OJK dapat langsung mengenakan
sanksi pencabutan izin usaha.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV atau PMVS tidak juga
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut izin usaha PMV atau PMVS
yang bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
Pasal 14
(1) PMV yang mempunyai UUS dan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan ayat (2), dan/atau Pasal 12 ayat
(1)
Peraturan OJK ini
dikenakan
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan UUS; atau
c. pencabutan izin UUS.
sanksi
(5) masih
- 14 -
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis oleh
OJK kepada PMV yang mempunyai UUS paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa
berlaku masing-masing paling lama 2 (dua)
bulan.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(2), PMV yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut sanksi peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir
dan PMV yang mempunyai UUS tetap tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mengenakan sanksi pembekuan
kegiatan UUS.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan secara
tertulis oleh OJK kepada PMV yang mempunyai
UUS dan pembekuan kegiatan UUS tersebut
berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan UUS diterbitkan.
(6) Apabila
masa
berlaku
sanksi
peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi
pembekuan kegiatan UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berakhir pada hari libur, sanksi
peringatan dan sanksi pembekuan kegiatan UUS
berlaku sampai dengan hari
berikutnya.
kerja pertama
(7) PMV yang mempunyai UUS yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilarang melakukan
kegiatan UUS kecuali
untuk
pemenuhan
ketentuan nilai investasi, penyertaan, dan/atau
nilai piutang terhadap total aset (Investment and
Financing to Assets Ratio) minimum sebagaimana
- 15 -
diatur
dalam
Peraturan
OJK
mengenai
penyelenggaraan usaha perusahaan modal ventura.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai
UUS telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut sanksi
pembekuan kegiatan UUS.
(9) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat
berlaku dan PMV yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan Usaha Modal Ventura Syariah,
OJK dapat langsung mengenakan sanksi pencabutan
izin UUS.
(10) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa waktu
sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), PMV yang mempunyai UUS
tidak juga memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), OJK mencabut izin UUS yang
bersangkutan.
(11) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan
kegiatan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
atau sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) kepada
masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai Pemeriksaan Langsung PMV, PMVS, dan/atau
UUS tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 16
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
(5) masih
- 16 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2015 TAHUN 2015
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 37/POJK.05/2015 </reg_id>
<reg_title> PEMERIKSAAN LANGSUNG PERUSAHAAN MODAL VENTURA </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 29 /POJK.04/2015
TENTANG
EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI
KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan perlindungan kepada
pemodal serta efektivitas pengawasan Otoritas Jasa
Keuangan, peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik
menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut
kepada masyarakat;
b. bahwa terdapat Emiten atau Perusahaan Publik dengan
kondisi tertentu tidak dapat menyampaikan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan
laporan tersebut kepada masyarakat;
c. bahwa Pasal 86 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1995 tentang Pasar Modal memberikan kewenangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan
Emiten atau Perusahaan Publik dari kewajiban
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
dan mengumumkan laporan tersebut kepada
masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Emiten atau Perusahaan Publik Yang Dikecualikan Dari
Kewajiban Pelaporan dan Pengumuman;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG EMITEN
ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI
KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Pelaporan adalah penyampaian laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
memenuhi kewajiban sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
- 3 -
2. Pengumuman adalah publikasi kepada masyarakat
melalui pengumuman surat kabar harian berperedaran
nasional dan/atau pemuatan dalam Situs Web Emiten
atau Perusahaan Publik atas laporan keuangan tengah
tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan dalam rangka memenuhi kewajiban
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai pengumuman dalam surat kabar harian
dan/atau pemuatan dalam Situs Web atas laporan
keuangan tengah tahunan, laporan keuangan tahunan,
dan laporan tahunan Emiten atau Perusahaan Publik.
BAB II
KONDISI TERTENTU EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DAPAT DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN
DAN PENGUMUMAN
Pasal 2
(1) Emiten atau Perusahaan Publik yang memenuhi kondisi
tertentu dapat dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
dan Pengumuman.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah sebagai berikut:
a. tidak berlakunya seluruh izin usaha dari pihak yang
berwenang;
b. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau
c. memenuhi paling sedikit 3 (tiga) dari 6 (enam)
kondisi sebagai berikut:
1. sudah tidak beroperasi secara penuh selama
paling singkat 3 (tiga) tahun terakhir;
2. mendapatkan pembatasan kegiatan usaha dari
pihak berwenang
yang menyebabkan
kelangsungan usaha terganggu selama paling
- 4 -
singkat 3 (tiga) tahun terakhir;
3. mendapatkan pembekuan seluruh kegiatan
usaha;
4. Otoritas Jasa Keuangan tidak dapat melakukan
korespondensi dengan Emiten atau Perusahaan
Publik selama paling singkat 3 (tiga) tahun
terakhir;
5. tidak terdapat anggota Direksi, anggota Dewan
Komisaris, dan pemegang saham utama yang
dapat dihubungi selama paling singkat 3 (tiga)
tahun terakhir; dan
6. telah efektifnya penghapusan pencatatan Efek
Emiten atau Perusahaan Publik di Bursa Efek.
BAB III
PENETAPAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG
DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN
PENGUMUMAN
Pasal 3
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban
Pelaporan dan Pengumuman.
(2) Pengecualian dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak
tanggal penetapan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang dikecualikan dari kewajiban
Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pertama kali paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
yang memuat:
a. pengecualian kewajiban
Pelaporan dan
Pengumuman yang akan timbul sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) yang berlaku sejak tanggal
- 5 -
penetapan Otoritas Jasa Keuangan; dan
b. kewajiban Pelaporan dan Pengumuman yang
dikecualikan sebelum penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 4
Emiten atau Perusahaan Publik yang dikecualikan dari
kewajiban Pelaporan dan Pengumuman dapat melakukan aksi
korporasi dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang berkaitan dengan aksi
korporasi tersebut.
Pasal 5
(1) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang
dikecualikan dari kewajiban Pelaporan dan Pengumuman
tidak lagi memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
Emiten atau Perusahaan Publik tersebut tidak lagi
merupakan Emiten atau Perusahaan Publik yang
dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
Pengumuman.
dan
(2) Emiten atau Perusahaan Publik wajib memenuhi
kewajiban Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di sektor
Pasar Modal yang mengatur mengenai laporan keuangan
tengah tahunan, laporan keuangan tahunan, dan laporan
tahunan sejak memperoleh penetapan dari Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
akhir periode:
a. laporan
keuangan
tengah tahunan yang
bersangkutan paling sedikit 120 (seratus dua puluh)
hari; atau
- 6 -
b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan
yang bersangkutan paling sedikit 180 (seratus
delapan puluh) hari,
kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk
melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing-
masing laporan periode yang bersangkutan.
(4) Dalam hal jangka waktu antara penetapan Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
akhir periode:
a. laporan
keuangan
tengah tahunan yang
bersangkutan kurang dari 120 (seratus dua puluh)
hari; atau
b. laporan keuangan tahunan dan laporan tahunan
yang bersangkutan kurang dari 180 (seratus delapan
puluh) hari,
kewajiban Emiten atau Perusahaan Publik untuk
melakukan Pelaporan dan Pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mulai berlaku untuk masing-
masing laporan periode berikutnya.
Pasal 6
Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan Emiten atau
Perusahaan Publik yang ditetapkan untuk dikecualikan
dan/atau tidak lagi dikecualikan dari kewajiban Pelaporan
dan Pengumuman dalam Situs Web Otoritas Jasa Keuangan.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 7
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
- 7 -
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 8
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 9
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 kepada masyarakat.
pembatalan persetujuan; dan
- 8 -
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal .16 Desember 2015.
............
...
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 304
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 29/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIKECUALIKAN DARI KEWAJIBAN PELAPORAN DAN PENGUMUMAN </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 4 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 44 /POJK.03/2015
TENTANG
SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN
ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK
PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka mendukung pertumbuhan
ekonomi Indonesia secara optimal dan
berkesinambungan, perlu meningkatkan ketahanan
dan daya saing industri perbankan nasional;
b. bahwa untuk meningkatkan peran dan kontribusi
industri Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah terhadap ekonomi
daerah, dan memperkuat daya saing Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah, perlu upaya peningkatan kompetensi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris Bank
Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah melalui program sertifikasi;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Sertifikasi
Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi dan anggota
- 2 -
Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat dan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 351, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5629);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA
DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK
PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT
SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
- 3 -
dimaksud dengan:
1. Bank Perkreditan Rakyat yang selanjutnya disingkat
BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha
secara konvensional yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu-lintas pembayaran
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang selanjutnya
disingkat BPRS adalah Bank Syariah yang dalam
kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
3. Direksi:
a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah
adalah direksi sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
4. Dewan Komisaris:
a. bagi BPR dan BPRS berbadan hukum Perseroan
Terbatas adalah komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi BPR berbadan hukum Perusahaan Daerah
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
- 4 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
c. bagi BPR berbadan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
5. Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang selanjutnya
disingkat BNSP adalah lembaga independen
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
6.
Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi BPR dan BPRS yang
selanjutnya disebut Sertifikasi Kompetensi Kerja
adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang
dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji
kompetensi yang mengacu kepada Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang berlaku
bagi BPR dan BPRS.
7. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia yang
selanjutnya disingkat SKKNI adalah rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek
pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta
sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas
dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
8. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga pelaksana
Sertifikasi Kompetensi Kerja yang mendapatkan
lisensi dari BNSP.
9. Program Pemeliharaan Kompetensi Kerja yang
selanjutnya disebut dengan Program Pemeliharaan
adalah program pengkinian kompetensi kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
dan BPRS pemegang Sertifikat Kompetensi Kerja.
- 5 -
BAB II
KEWAJIBAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI
ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
BPR DAN BPRS
Pasal 2
Maksud dan tujuan Sertifikasi Kompetensi Kerja, yaitu:
a. memastikan dan memelihara kompetensi kerja
sumber daya manusia BPR dan BPRS mencakup
aspek pengetahuan, keterampilan, dan/atau keahlian
serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan
tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan; dan
b. meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya
manusia BPR dan BPRS menuju terciptanya industri
BPR dan BPRS yang sehat, kuat, efisien, dan
berkesinambungan.
Pasal 3
(1) BPR dan BPRS harus menerapkan tata kelola
termasuk manajemen sumber daya manusia berbasis
kompetensi secara efektif dan terencana.
(2) Dalam rangka menerapkan tata kelola termasuk
manajemen sumber daya manusia secara efektif dan
terencana, BPR dan BPRS harus mengisi jabatan
Direksi dan Dewan Komisaris dengan sumber daya
manusia yang memiliki kompetensi yang relevan
dengan bidang pekerjaannya.
Pasal 4
(1) BPR atau BPRS wajib memiliki anggota Direksi dan
anggota Dewan Komisaris yang seluruhnya memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja yang diterbitkan oleh
Lembaga Sertifikasi Profesi.
(2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
- 6 -
salah satu persyaratan bagi calon anggota Direksi dan
calon anggota Dewan Komisaris.
(3) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja bagi
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai BPRS.
BAB III
TINGKATAN SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI
ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS
BPR DAN BPRS
Pasal 5
(1) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Direksi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
ditetapkan dalam 2 (dua) tingkat berdasarkan total
aset BPR dan BPRS, yaitu Sertifikat Kompetensi Kerja
tingkat 1 dan Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
(2) Sertifikat Kompetensi Kerja bagi anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) ditetapkan dalam 1 (satu) tingkat dan tidak
memperhitungkan total aset BPR dan BPRS.
Pasal 6
(1) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh
anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset
kurang dari Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah).
(2) Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) wajib dimiliki oleh
anggota Direksi BPR dan BPRS dengan total aset
paling sedikit Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar
rupiah).
- 7 -
Pasal 7
Anggota Direksi BPR dan BPRS yang memiliki Sertifikat
Kompetensi Kerja tingkat 1 yang masih berlaku, dapat
memperoleh Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 dengan
menambah jumlah unit kompetensi yang dipersyaratkan
pada Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 sesuai dengan
SKKNI yang tidak tercakup pada unit kompetensi untuk
memperoleh Sertifikasi Kompetensi Kerja tingkat 1.
Pasal 8
(1) Dalam hal BPR dan BPRS mengalami peningkatan
total
aset
menjadi
paling
sedikit
Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah)
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut,
anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
(2) Anggota Direksi BPR dan BPRS wajib memiliki
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2 paling lambat 12
(dua belas) bulan sejak total aset BPR dan BPRS
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan sisa batas waktu
pemenuhan kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai
kelembagaan BPRS, pemenuhan Sertifikat
Kompetensi Kerja tingkat 2 bagi anggota Direksi BPRS
dapat menggunakan sisa batas waktu yang lebih
lama.
Pasal 9
(1) Bagi BPR dan BPRS yang berdasarkan laporan
bulanan mengalami penurunan total aset setelah
memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada Pasal
8 ayat (1), anggota Direksi BPR dan BPRS tetap wajib
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 2.
- 8 -
(2) Kewajiban memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja
tingkat 2 bagi BPR yang mengalami penurunan total
aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
juga bagi calon anggota Direksi BPR.
BAB IV
PENYELENGGARA SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA
Pasal 10
Lembaga Sertifikasi Profesi yang dapat menyelenggarakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja wajib terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 11
(1) Untuk memenuhi kewajiban pendaftaran
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Lembaga
Sertifikasi Profesi harus memenuhi persyaratan paling
sedikit:
a. didirikan oleh asosiasi industri dan/atau asosiasi
profesi perbankan yang menyelenggarakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja bagi sumber daya
manusia BPR dan BPRS;
b. memiliki lisensi dari BNSP;
c. memiliki visi, misi, dan strategi yang menunjang
peningkatan kompetensi kerja sumber daya
manusia BPR dan BPRS;
d. merupakan badan hukum yang terpisah dari
pendirinya dan mampu bertindak secara
profesional serta independen termasuk terhadap
industri BPR dan BPRS;
e. memiliki struktur organisasi paling kurang terdiri
dari unsur pengarah, dan unsur pelaksana yang
independen dan tidak merangkap sebagai
anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris,
dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah,
serta pegawai BPR dan BPRS; dan
- 9 -
f. merupakan organisasi tingkat nasional yang
berkedudukan di wilayah Republik Indonesia.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengajukan pendaftaran kepada Otoritas Jasa
Keuangan c.q. Departemen Perizinan dan Informasi
Perbankan, dengan melampirkan dokumen sebagai
berikut:
a. fotokopi Anggaran Dasar Lembaga Sertifikasi
Profesi;
b. fotokopi lisensi yang masih berlaku dari BNSP
yang mencakup ruang lingkup kegiatan
sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi;
c. struktur organisasi dan wilayah operasional
Lembaga Sertifikasi Profesi;
d. skema sertifikasi Lembaga Sertifikasi Profesi; dan
e. kebijakan dan prosedur dalam pelaksanaan
proses sertifikasi.
Pasal 12
(1) Berdasarkan penelitian terhadap persyaratan dan
kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11, Otoritas Jasa Keuangan mencantumkan
nama Lembaga Sertifikasi Profesi dalam daftar
Lembaga Sertifikasi Profesi yang melaksanakan
Sertifikasi Kompetensi Kerja.
(2) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan nama
Lembaga Sertifikasi Profesi yang terdaftar di Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dalam situs jejaring (website) Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
Lembaga Sertifikasi Profesi wajib memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 selama
melaksanakan program Sertifikasi Kompetensi Kerja.
- 10 -
Pasal 14
Standar kompetensi kerja yang digunakan dalam
pelaksanaan uji kompetensi dalam rangka Sertifikasi
Kompetensi Kerja adalah SKKNI yang diberlakukan bagi
BPR dan BPRS berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
(1) Lembaga Sertifikasi Profesi harus menerapkan metode
dan prosedur uji kompetensi sebagaimana ditetapkan
dalam skema sertifikasi.
(2) Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menggunakan metode yang menjamin
penilaian secara objektif dan sistematis.
Pasal 16
Lembaga Sertifikasi Profesi memiliki tugas dan tanggung
jawab:
a. mengembangkan dan mendokumentasikan kebijakan
dan prosedur tertulis yang diperlukan untuk
menjamin terselenggaranya seluruh proses sertifikasi
dengan baik dan mengambil tindakan perbaikan
apabila ditemukan kelemahan atau pelanggaran;
b. menerbitkan Sertifikat Kompetensi Kerja atas nama
BNSP yang mencantumkan antara lain nama
pemegang sertifikat, jenjang kualifikasi, bidang
pekerjaan atau profesi, unit kompetensi, dan masa
berlaku sertifikat;
c. menyesuaikan materi uji Sertifikasi Kompetensi Kerja
dengan perkembangan pengetahuan dan kebutuhan
dalam industri BPR dan BPRS; dan
d. menyampaikan laporan kegiatan yang terkait dengan
pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Kerja dalam hal
diperlukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 11 -
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai keanggotaan, tugas,
wewenang, dan tanggung jawab unsur pengarah dan
unsur pelaksana ditetapkan oleh Lembaga Sertifikasi
Profesi dengan memperhatikan ketentuan BNSP.
BAB V
PROGRAM PEMELIHARAAN
Pasal 18
(1) BPR dan BPRS wajib mengikutsertakan setiap
anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR
dan BPRS yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi
Kerja dalam Program Pemeliharaan kompetensi kerja
secara berkala.
(2) Jangka waktu Program Pemeliharaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam masa
berlakunya Sertifikat Kompetensi Kerja sebagai salah
satu persyaratan perpanjangan masa berlaku
Sertifikat Kompetensi Kerja.
(3) Program Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib diikuti oleh anggota Direksi dan anggota
Dewan Komisaris BPR dan BPRS paling sedikit 1
(satu) kali dalam 5 (lima) tahun sejak berlakunya
Sertifikat Kompetensi Kerja.
(4) BPR dan BPRS wajib mengadministrasikan dengan
tertib dokumen Program Pemeliharaan bagi anggota
Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan BPRS.
BAB VI
LAIN-LAIN
Pasal 19
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk:
a. melakukan koordinasi dengan BNSP dalam
rangka evaluasi terhadap kualitas standar
- 12 -
Sertifikasi Kompetensi Kerja dan materi yang
diujikan dalam Sertifikasi Kompetensi Kerja; dan
b. mencantumkan atau menghapus nama Lembaga
Sertifikasi Profesi dalam daftar Lembaga
Sertifikasi Profesi di OJK dan
di
dalam situs web Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi wajib menyampaikan
laporan mengenai pelaksanaan program Sertifikasi
Kompetensi Kerja yang diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
huruf d.
BAB VII
SANKSI
Pasal 20
(1) BPR dan BPRS yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal
6, Pasal 8, dan/atau Pasal 9 dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a.
teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan BPR dan BPRS
satu predikat;
c. larangan pembukaan jaringan kantor dan
kegiatan Pedagang Valuta Asing (PVA); dan/atau
d. penghentian sementara sebagian kegiatan
operasional BPR dan BPRS.
(2) Lembaga Sertifikasi Profesi yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan/atau Pasal 19 ayat (2) dapat dikenakan sanksi
berupa penghapusan nama Lembaga Sertifikasi
Profesi dalam daftar Lembaga Sertifikasi Profesi di
Otoritas Jasa Keuangan dan di dalam pengumuman
pada situs web Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan setelah Otoritas Jasa Keuangan
menyampaikan 3 (tiga) surat peringatan dengan
- 13 -
tenggang waktu surat peringatan masing-masing
selama 1 (satu) bulan.
Pasal 21
Anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris BPR dan
BPRS yang tidak mengikuti Program Pemeliharaan dalam
jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat
(2) yang mengakibatkan Sertifikat Kompetensi Kerja yang
dimiliki tidak berlaku, dikenakan sanksi wajib mengikuti
uji kompetensi kerja untuk memperoleh Sertifikat
Kompetensi Kerja.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 22
Sejak Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
sertifikat kompetensi kerja bagi anggota Direksi dan
Dewan Komisaris BPR dan BPRS yang masih berlaku
berdasarkan SKKNI bagi BPR dan BPRS diakui sebagai
Sertifikat Kompetensi Kerja tingkat 1.
Pasal 23
Lembaga Sertifikasi Profesi yang telah melakukan kegiatan
Sertifikasi Kompetensi Kerja sebelum berlakunya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini wajib mengajukan
pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan c.q.
Departemen Perizinan dan Informasi Perbankan paling
lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini, dengan melampirkan dokumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
- 14 -
berlaku:
1. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/34/DPBPR
tanggal 13 Agustus 2004 tentang Lembaga Sertifikasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat; dan
2. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 8/23/DPbS
tanggal 20 Oktober 2006 tentang Lembaga Sertifikasi
bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip
Syariah,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 15 -
Pasal 25
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 2017.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 397
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 44/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> SERTIFIKASI KOMPETENSI KERJA BAGI ANGGOTA DIREKSI DAN ANGGOTA DEWAN KOMISARIS BANK PERKREDITAN RAKYAT DAN BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH </reg_title>
<set_date> 21 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 1 Januari 2017 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> '6/34/DPBPR|SE-BI/2004', '8/23/DPbS|SE-BI/2006' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2008', '20/POJK.03/2014', '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VII' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
SSALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.04/2015
TENTANG
KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN
ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas keterbukaan oleh
Emiten atau Perusahaan Publik khususnya terkait Informasi
atau Fakta Material, perlu menyempurnakan peraturan
mengenai Keterbukaan Informasi yang Harus Segera
Diumumkan Kepada Publik dengan menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan Atas Informasi
Atau Fakta Material Oleh Emiten atau Perusahaan Publik;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL
OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta
penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta
yang dapat mempengaruhi harga Efek pada Bursa Efek
dan/atau keputusan pemodal, calon pemodal, atau Pihak lain
yang berkepentingan atas informasi atau fakta tersebut.
BAB II
KEWAJIBAN PENYAMPAIAN DAN JENIS INFORMASI
ATAU FAKTA MATERIAL
Pasal 2
(1) Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan
laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan melakukan pengumuman Informasi
atau Fakta Material kepada masyarakat.
(2) Informasi atau Fakta Material dalam laporan dan
pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
paling sedikit memuat:
a. tanggal kejadian;
b. jenis Informasi atau Fakta Material;
c. uraian Informasi atau Fakta Material; dan
d. dampak kejadian Informasi atau Fakta Material
(3) Penyampaian laporan dan pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesegera mungkin
paling lambat pada akhir hari kerja ke-2 (kedua) setelah
terdapatnya Informasi atau Fakta Material.
- 3 -
Pasal 3
(1) Laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) disusun dengan menggunakan format Laporan
Informasi atau Fakta Material sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas
Jasa Keuangan yang disusun sesuai dengan format
Laporan Informasi atau Fakta Material sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh anggota Direksi
atau Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan
Publik sepanjang diberi kuasa tertulis oleh Direksi.
Pasal 4
(1) Pengumuman Informasi atau Fakta Material sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang sahamnya tercatat pada Bursa
Efek paling sedikit melalui:
a. Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik, dalam
Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan
ketentuan bahasa asing yang digunakan paling
sedikit bahasa Inggris; dan
b. Situs Web Bursa Efek atau 1 (satu) surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang berperedaran
nasional.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang sahamnya
tidak tercatat pada Bursa Efek paling sedikit melalui:
a. Situs Web Emiten atau Perusahaan Publik, dalam
Bahasa Indonesia dan bahasa asing, dengan
ketentuan bahasa asing yang digunakan paling
sedikit bahasa Inggris; dan
b. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa Indonesia
yang berperedaran nasional.
(3) Pengumuman yang menggunakan bahasa asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2)
- 4 -
huruf a wajib memuat informasi yang sama dengan
informasi dalam pengumuman yang menggunakan
Bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perbedaan penafsiran informasi yang
diumumkan dalam bahasa asing dengan yang
diumumkan dengan Bahasa Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), informasi yang digunakan
sebagai acuan adalah informasi dalam Bahasa Indonesia.
Pasal 5
Jika Informasi atau Fakta Material belum dilaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan diumumkan kepada masyarakat
namun sudah diketahui oleh Pihak lain selain orang dalam,
Emiten atau Perusahaan Publik wajib sesegera mungkin,
menyampaikan laporan Informasi atau Fakta Material
dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan serta
mengumumkan kepada masyarakat dengan ketentuan:
a. apabila Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui
Informasi atau Fakta Material tersebut diketahui oleh
Pihak lain pada hari kerja, Emiten atau Perusahaan
Publik wajib menyampaikan laporan Informasi atau
Fakta Material dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan
serta mengumumkan kepada masyarakat pada hari kerja
tersebut; atau
b. apabila Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui
Informasi atau Fakta Material tersebut diketahui oleh
Pihak lain pada hari libur, Emiten atau Perusahaan
Publik wajib menyampaikan laporan Informasi atau
Fakta Material dimaksud kepada Otoritas Jasa Keuangan
serta mengumumkan kepada masyarakat pada hari kerja
pertama setelah hari libur tersebut.
Pasal 6
Informasi atau Fakta Material sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) meliputi:
a. penggabungan usaha, pemisahan usaha, peleburan
usaha, atau pembentukan usaha patungan;
- 5 -
b. pengajuan tawaran untuk pembelian Efek perusahaan
lain;
c. pembelian atau penjualan saham perusahaan yang
nilainya material;
d. pemecahan saham atau penggabungan saham;
e. pembagian dividen interim;
f. penghapusan pencatatan dan pencatatan kembali saham
di Bursa Efek;
g. pendapatan berupa dividen yang luar biasa sifatnya;
h. perolehan atau kehilangan kontrak penting;
i. penemuan baru atau produk baru yang memberi nilai
tambah bagi perusahaan;
j.
penjualan tambahan Efek kepada masyarakat atau
secara terbatas yang material jumlahnya;
k. perubahan dalam pengendalian baik langsung maupun
tidak langsung terhadap Emiten atau Perusahaan Publik;
l. perubahan anggota Direksi dan/atau anggota Dewan
Komisaris
m. pembelian kembali atau pembayaran Efek Bersifat Utang
dan/ atau Sukuk;
n. pembelian atau penjualan aset yang sifatnya penting;
o. perselisihan tenaga kerja yang dapat mengganggu
operasional perusahaan;
p. perkara hukum terhadap Emiten atau Perusahaan Publik
dan/atau anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris
Emiten atau Perusahaan Publik yang berdampak
material;
q. penggantian Akuntan yang sedang diberi tugas
mengaudit Emiten atau Perusahaan Publik;
r. penggantian Wali Amanat;
s. penggantian Biro Administrasi Efek;
t. perubahan tahun buku Emiten atau Perusahaan Publik;
u. perubahan penggunaan mata uang pelaporan dalam
laporan keuangan;
v. Emiten atau Perusahaan Publik berada dalam
pengawasan khusus dari regulator terkait yang dapat
- 6 -
mempengaruhi kelangsungan usaha Emiten atau
Perusahaan Publik;
w. pembatasan kegiatan usaha Emiten atau Perusahaan
Publik oleh regulator terkait;
x. perubahan atau tidak tercapainya proyeksi keuangan
yang telah dipublikasikan, secara material;
y. adanya kejadian yang akan menyebabkan bertambahnya
kewajiban keuangan atau menurunnya pendapatan
Emiten atau Perusahaan Publik secara material;
restrukturisasi utang;
z.
aa. penghentian atau penutupan sebagian atau seluruh
segmen usaha;
bb. dampak yang bersifat material terhadap Emiten atau
Perusahaan Publik karena kejadian yang bersifat
memaksa; dan/atau
cc. Informasi atau Fakta Material lainnya.
Pasal 7
(1) Dalam hal Informasi atau Fakta Material sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 selain huruf d, huruf e, huruf f,
huruf r, dan huruf s, terjadi pada perusahaan terkendali
yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan
Emiten atau Perusahaan Publik dan perusahaan
terkendali bukan merupakan Emiten atau Perusahaan
Publik, Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material
tersebut kepada masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Dalam hal Informasi atau Fakta Material sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 terjadi pada perusahaan
terkendali yang laporan keuangannya dikonsolidasikan
dengan Emiten atau Perusahaan Publik dan merupakan
Emiten atau Perusahaan Publik,
kewajiban
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dan mengumumkan Informasi atau Fakta Material
- 7 -
kepada masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (1) hanya berlaku bagi perusahaan terkendali.
Pasal 8
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik telah
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
mengumumkan Informasi atau Fakta Material kepada
masyarakat dalam rangka memenuhi Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan lainnya, Emiten atau Perusahaan Publik tersebut
dianggap telah memenuhi kewajiban laporan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan mengumumkan Informasi atau Fakta
Material kepada masyarakat berdasarkan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
pembatalan persetujuan; dan
- 8 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau bersama-sama dengan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 10
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 11
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Bapepam Nomor: KEP-
86/PM/1996 tanggal 24 Januari 1996 tentang Keterbukaan
Informasi Yang Harus Segera Diumumkan Kepada Publik
beserta Peraturan Nomor X.K.1 yang merupakan lampirannya
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 13
Ketentuan peraturan perundang-undangan lain terkait
keterbukaan Informasi atau Fakta Material tetap berlaku bagi
Emiten atau Perusahaan Publik sepanjang tidak bertentangan
dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
- 9 -
Pasal 14
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 306
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31 /POJK.04/2015
TENTANG
KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN
ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
I. UMUM
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995
tentang Pasar Modal, Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan keterbukaan Informasi atau Fakta Material dalam rangka
pemenuhan prinsip keterbukaan informasi yang mempunyai arti penting
bagi masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan
keputusan investasi.
Sehubungan dengan pemenuhan keterbukaan informasi tersebut,
Emiten atau Perusahaan Publik diwajibkan untuk menyampaikan laporan
keterbukaan Informasi atau Fakta Material kepada Otoritas Jasa
Keuangan serta mengumumkan keterbukaan Informasi atau Fakta
Material tersebut kepada publik.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mengatur mengenai kewajiban
penyampaian keterbukaan Informasi atau Fakta Material serta jenis-jenis
informasi apa saja yang wajib disampaikan oleh Emiten atau Perusahaan
Publik sehingga terdapat pedoman bagi Emiten atau Perusahaan Publik
atas Informasi atau Fakta Material yang harus dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dan diumumkan kepada publik. Dengan ditetapkannya
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, diharapkan kepentingan investor
dapat semakin terlindungi dan kualitas keterbukaan Informasi atau Fakta
Material dapat terus ditingkatkan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik adalah
Sekretaris Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.04/2014 tentang
Sekretaris Perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “orang dalam” adalah:
a. komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan
Publik;
b. pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
c. orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya
atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau
Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh
informasi orang dalam; atau
d. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi
menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
atau huruf c di atas.
Pemegang saham utama sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas
adalah Pihak yang, baik secara langsung maupun tidak langsung,
memiliki sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) hak suara
dari seluruh saham yang mempunyai hak suara yang dikeluarkan
- 3 -
oleh suatu Perseroan atau jumlah yang lebih kecil dari itu
sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan “kedudukan” dalam penjelasan huruf c ini
adalah jabatan pada lembaga, institusi, atau badan pemerintah.
Yang dimaksud dengan “hubungan usaha” dalam penjelasan huruf c
ini adalah hubungan kerja atau kemitraan dalam kegiatan usaha,
antara lain hubungan nasabah, pemasok, kontraktor, pelanggan, dan
kreditur.
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Contoh dari “Pendapatan berupa dividen yang luar biasa
sifatnya”:
1. Jumlah dividen yang diperoleh sangat material
dibandingkan dengan laba bersih Perusahaan.
2. Jumlah dividen yang diperoleh lebih besar atau lebih kecil
secara signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
- 4 -
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Huruf y
Cukup jelas.
Huruf z
Cukup jelas.
Huruf aa
Cukup jelas.
Huruf bb
Kejadian yang bersifat memaksa dikenal juga dengan istilah
keadaan kahar (overmacht/force majeure).
Huruf cc
Cukup jelas.
- 5 -
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan perusahaan terkendali pada ayat ini
adalah perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan perusahaan terkendali pada ayat ini
adalah perusahaan yang dikendalikan baik secara langsung
maupun tidak langsung oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain dapat berupa:
a. penundaan pemberian pernyataan efektif, misalnya pernyataan
efektif untuk penggabungan usaha, peleburan usaha; dan
b. penundaan pemberian pernyataan Otoritas Jasa Keuangan
bahwa tidak ada tanggapan lebih lanjut atas dokumen yang
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka
penambahan modal dengan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu
Perusahaan Terbuka.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 14
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5780
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 31/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> KETERBUKAAN ATAS INFORMASI ATAU FAKTA MATERIAL OLEH EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 22 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 22 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-86/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'KEP-86/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.04/2015
TENTANG
PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan maka sejak
tanggal 31 Desember 2012 pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal termasuk
perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan atas perizinan Wakil Agen Penjual
Efek Reksa Dana perlu mengganti peraturan perizinan
Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana yang diterbitkan
sebelum terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan dengan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana adalah orang
perseorangan yang mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan
untuk bertindak sebagai penjual Efek Reksa Dana.
BAB II
PERSYARATAN DAN PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL
EFEK REKSA DANA
Pasal 2
Untuk dapat memperoleh izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana orang perseorangan wajib:
a. memiliki sertifikat lulus ujian kecakapan Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana yang diselenggarakan oleh
asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau memiliki
sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh Otoritas
Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan penjualan Efek
Reksa Dana;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
- 3 -
c. memiliki akhlak dan moral yang baik; dan
d. tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di
bidang keuangan atau Pasar Modal.
Pasal 3
Materi kecakapan dalam ujian dan sertifikat kecakapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a paling sedikit
meliputi:
a. Struktur/kelembagaan Pasar Modal;
b. Pengetahuan Efek;
c. Pengetahuan tentang produk dan kegiatan Reksa Dana;
d. Peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal;
e. Strategi pemasaran; dan
f.
Strategi investasi.
Pasal 4
Dalam hal dipandang perlu, Otoritas Jasa Keuangan dapat
menambah materi kecakapan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3.
Pasal 5
Orang perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana semata-mata berfungsi untuk
memasarkan dan/atau menjual Efek Reksa Dana dan dilarang
menjalankan fungsi sebagai Wakil Perusahaan Efek.
Pasal 6
Penjualan Efek Reksa Dana hanya dapat dilakukan oleh orang
perseorangan yang memiliki izin sebagai Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
BAB II
TATA CARA PERMOHONAN IZIN WAKIL AGEN PENJUAL
EFEK REKSA DANA
Pasal 7
(1) Permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa
- 4 -
Dana diajukan oleh pemohon kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan menggunakan formulir Permohonan
Izin Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disertai kelengkapan dokumen sebagai berikut:
a.
daftar riwayat hidup;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor;
c. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir;
d.
sertifikat bukti telah mengikuti pendidikan dan
pelatihan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana (jika
ada);
e.
sertifikat bukti lulus ujian kecakapan Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana yang diselenggarakan oleh
Asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau
sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan kegiatan
penjualan Efek Reksa Dana;
f.
referensi dari perusahaan tempat bekerja (jika ada);
g. pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 1 (satu)
lembar; dan
h. surat pernyataan pemohon yang menyatakan bahwa
yang bersangkutan cakap melakukan perbuatan
hukum, memiliki akhlak dan moral yang baik, dan
tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan/atau
dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana
di bidang keuangan atau Pasar Modal sesuai dengan
format Pernyataan Pemohon sebagaimana tercantum
dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
Pasal 8
Dalam hal permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana tidak lengkap atau tidak memenuhi syarat, maka
- 5 -
paling lambat dalam jangka waktu 45 (empat puluh lima) hari
sejak diterimanya permohonan tersebut, Otoritas Jasa
Keuangan wajib memberikan surat pemberitahuan kepada
pemohon yang menyatakan bahwa:
a. Permohonan tidak lengkap; atau
b. Permohonan ditolak.
Pasal 9
Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan dokumen yang
dipersyaratkan dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah
tanggal surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 huruf a, dianggap telah membatalkan permohonan izin
sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 10
Dalam hal permohonan izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 telah
memenuhi syarat, maka paling lambat dalam jangka waktu 45
(empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan
tersebut Otoritas Jasa Keuangan memberikan surat keputusan
pemberian izin sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 11
Dalam rangka penjualan Efek Reksa Dana, Wakil Perusahaan
Efek atau Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana harus dapat
menunjukkan bukti penugasan dari suatu Perusahaan Efek
atau Agen Penjual Efek Reksa Dana.
BAB IV
KEWAJIBAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Pasal 12
Orang perseorangan yang memiliki izin Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana wajib:
a. mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan yang
diselenggarakan oleh asosiasi yang berkaitan dengan
Reksa Dana paling sedikit 2 (dua) tahun sekali untuk
- 6 -
meningkatkan pengetahuan yang berkaitan dengan
peraturan dan produk Reksa Dana; dan
b. melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat
14 (empat belas) hari terhitung sejak yang bersangkutan
selesai mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan
tersebut disertai bukti pendukung.
Pasal 13
Dalam hal Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana tidak mengikuti
program Pendidikan Profesi Lanjutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, maka akan dikenakan sanksi pencabutan izin
sebagai Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
Pasal 14
Apabila dalam 2 (dua) tahun program Pendidikan Profesi
Lanjutan tidak diselenggarakan oleh Asosiasi yang berkaitan
dengan Reksa Dana, maka Otoritas Jasa Keuangan dapat
menetapkan ketentuan lain berkaitan dengan kewajiban
mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan dan
penyelenggaraan program Pendidikan Profesi Lanjutan.
BAB V
KETENTUAN SANKSI
Pasal 15
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. Peringatan tertulis;
b. Denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. Pembatasan kegiatan usaha;
d. Pembekuan kegiatan usaha;
e. Pencabutan izin usaha;
- 7 -
f. Pembatalan persetujuan; dan
g. Pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 16
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan
tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan pelanggaran
ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 17
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 kepada masyarakat.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku,
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan
Nomor
Kep-09/BL/2006
tanggal
30 Agustus 2006 tentang Perizinan Wakil Agen Penjual Efek
Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.2 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
- 8 -
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 401
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.04/2015
TENTANG
PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal,
Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur Peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor Pasar
Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Bapepam dan LK terkait
sektor Pasar Modal menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan
dimaksud dilakukan agar terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
terkait sektor Pasar Modal yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal yang
mengatur mengenai Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana, yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan
Nomor Kep-09/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006 tentang Perizinan Wakil
Agen Penjual Efek Reksa Dana, beserta Peraturan Nomor V.B.2 sebagai
lampirannya menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
- 2 -
Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5819
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
LAMPIRAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.04/2015
TENTANG
PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
- 2 -
PERMOHONAN IZIN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA
Nomor
: ....................
Lampiran : ....................
Perihal
........, ................... 20.....
: Permohonan Izin
Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
Kepada
Yth. Kepala Eksekutif Pengawas
Pasar Modal Otoritas Jasa
Keuangan
di Jakarta.
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin sebagai Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana sebagai berikut:
1. Nama Pemohon
2. Alamat Pemohon
: ...............................................................
: ...............................................................
...............................................................
.................................................-
3. Perusahaan tempat bekerja : ...............................................................
(jika sudah bekerja pada Perusahaan Efek atau Agen Penjual Efek Reksa
Dana)
4. Alamat Perusahaan
: ...............................................................
...............................................................
.................................................-
5. Nomor
rumah/kantor
Telepon
: ...............................................................
...............................................................
.................................................-
Melengkapi permohonan ini, kami lampirkan dokumen-dokumen sebagai
berikut:
1. daftar riwayat hidup;
2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk atau paspor;
3. fotokopi ijazah pendidikan formal terakhir;
4. sertifikat bukti telah mengikuti pendidikan dan pelatihan Wakil Agen
Penjual Efek Reksa Dana (jika ada);
5. sertifikat bukti lulus ujian kecakapan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana
yang diselenggarakan oleh Asosiasi yang berkaitan dengan Reksa Dana atau
sertifikat kecakapan profesi lain yang diakui oleh Otoritas Jasa Keuangan
untuk melakukan kegiatan penjualan Efek Reksa Dana;
6. surat referensi dari perusahaan tempat bekerja (jika ada);
- 3 -
7. 1 (satu) lembar pasfoto berwarna terbaru ukuran 4x6 dengan latar belakang
berwarna merah; dan
8. Surat Pernyataan pemohon.
Demikian permohonan ini kami ajukan dan atas perhatiannya kami
ucapkan terima kasih.
Pemohon,
meterai
..............................................
(nama jelas dan tanda tangan)
- 4 -
Nama : ………………….
Pasfoto
4x6 cm
PERNYATAAN PEMOHON
PETUNJUK DALAM MENJAWAB PERTANYAAN
1. Semua pertanyaan wajib dijawab oleh pemohon.
2. Berilah tanda dalam kotak di depan kata “ya”, jika jawaban Saudara “ya”,
atau berilah tanda dalam kotak di depan kata “tidak” jika jawaban
Saudara atas pertanyaan berikut adalah “tidak”.
1. Dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terakhir, apakah Saudara
pernah dihukum karena:
a. tindak pidana yang berhubungan dengan Pasar Modal?
ya
tidak
b. atau kejahatan lain?
ya
tidak
2. Apakah Otoritas Jasa Keuangan pernah:
a. menyatakan Saudara membuat pernyataan palsu atau lalai?
ya
tidak
b. mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal?
ya
tidak
3. Apakah Bursa Efek pernah:
a. mendapatkan Saudara membuat pernyataan palsu atau lalai
memberikan keterangan yang seharusnya diberikan?
ya
tidak
b. mendapatkan Saudara terlibat dalam pelanggaran terhadap
Peraturan Bursa Efek?
ya
tidak
4. Apakah Saudara bekerja rangkap pada Perusahaan Efek lain?
ya
tidak
5. Sebelum bekerja pada perusahaan sekarang, terakhir saya bekerja
pada?
Perusahaan
Jabaran/tugas
: ……………………………….
: ……………………………….
- 5 -
6. Pendidikan formal terakhir ……………………………….
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya agar dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya.
.........., ...................... 20.....
(tempat dan tanggal)
Yang membuat pernyataan,
Meterai
..............................................
(nama jelas)
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
ttd
MULIAMAN D. HADAD
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 50/POJK.04/2015 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN WAKIL AGEN PENJUAL EFEK REKSA DANA </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 29 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 29 Desember 2015 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-09/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006', 'Kep-09/BL/2006|KEPTA-BAPEPAM-LK/2006 | Lampiran Peraturan Nomor V.B.2' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V', 'BAB IV Pasal 13' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 43 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor Pasar Modal termasuk terkait dengan pengaturan
mengenai Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan
beralih dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan ke Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa dalam rangka memberikan kejelasan dan
kepastian mengenai pengaturan terhadap laporan
Lembaga Kliring dan Penjaminan, peraturan mengenai
laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan
Lembaga Kliring dan Penjaminan;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang dimaksud
dengan Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah Pihak yang
menyelenggarakan jasa kliring dan penjaminan penyelesaian
Transaksi Bursa.
BAB II
JENIS LAPORAN
Pasal 2
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menyampaikan laporan
kegiatan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang meliputi:
a. laporan harian mengenai kliring dan penjaminan;
b. laporan bulanan yang memuat:
1)
rekapitulasi kegiatan selama periode tersebut
dilengkapi dengan statistik perkembangan volume
kliring dan penjaminan;
2) laporan mengenai Anggota Bursa Efek yang menjadi
anggota Lembaga Kliring dan Penjaminan; dan
- 3 -
3) kegiatan pemakai jasa Lembaga Kliring dan
Penjaminan;
c. laporan keuangan tengah tahunan dan laporan keuangan
tahunan yang telah diaudit oleh Akuntan yang terdaftar
di Otoritas Jasa Keuangan disertai pendapat dari
Akuntan tersebut;
d. laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba;
e. laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham;
f.
laporan mengenai perubahan status pemakai jasa
Lembaga Kliring dan Penjaminan;
g. laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga
Kliring dan Penjaminan terhadap pemakai jasa Lembaga
Kliring dan Penjaminan; dan
h. laporan mengenai peristiwa khusus, seperti kesulitan
keuangan pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan.
BAB III
PENYAMPAIAN LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN
PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Dokumen Elektronik
Pasal 3
Penyampaian laporan kegiatan oleh Lembaga Kliring dan
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan secara elektronik
melalui dokumen cetak atau dalam bentuk dokumen
elektronik.
Pasal 4
Penerimaan Otoritas Jasa Keuangan terhadap laporan
kegiatan yang disampaikan oleh Lembaga Kliring dan
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3 dihitung berdasarkan waktu diterimanya laporan tersebut
oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam bentuk dokumen cetak
atau dalam bentuk dokumen elektronik.
- 4 -
Bagian Kedua
Jangka Waktu Penyampaian dan Pengumuman Laporan
Pasal 5
Laporan harian kliring dan penjaminan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf a wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Pasal 6
(1) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf b meliputi jumlah dan jenis Efek yang dikliring dan
dijamin, jumlah penyelesaian Transaksi Bursa yang
dijamin, serta keterangan lain yang diminta oleh Otoritas
Jasa Keuangan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai
Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada hari ke-12 (dua belas) pada bulan berikutnya.
Pasal 7
(1) Laporan keuangan tengah tahunan wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sejak tanggal akhir periode.
(2) Laporan keuangan tahunan wajib disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari sejak tanggal akhir tahun buku.
(3) Laporan keuangan tengah tahunan dan laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) wajib diumumkan paling sedikit dalam 2
(dua) surat kabar harian berbahasa Indonesia yang 1
(satu) diantaranya berperedaran nasional, dalam waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal laporan
Akuntan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Akuntan memberikan pendapat selain Wajar
Tanpa Pengecualian terhadap laporan keuangan tengah
tahunan dan laporan keuangan tahunan sebagaimana
- 5 -
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan dapat memanggil anggota Direksi dan/atau
melakukan pemeriksaan untuk memperoleh keterangan
lebih lanjut.
Pasal 8
Laporan realisasi anggaran dan penggunaan laba sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 huruf d wajib disusun secara
triwulanan dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
melalui dewan komisaris, dengan ketentuan bahwa laporan
tersebut disampaikan secara kumulatif triwulanan dan diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada hari ke-12
(dua belas) setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
Pasal 9
Laporan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2
(dua) hari setelah tanggal penyelenggaraan Rapat Umum
Pemegang Saham Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Pasal 10
Laporan mengenai perubahan status pemakai jasa Lembaga
Kliring dan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf f wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 2 (dua) hari setelah adanya perubahan tersebut.
Pasal 11
Laporan mengenai pengenaan sanksi oleh Lembaga Kliring
dan Penjaminan terhadap pemakai jasa Lembaga Kliring dan
Penjaminan dan laporan mengenai peristiwa khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g dan huruf h
wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada hari berikutnya.
- 6 -
Pasal 12
Dalam hal batas waktu penyampaian laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 jatuh pada hari libur, laporan
tersebut wajib disampaikan pada hari kerja berikutnya.
BAB IV
KETENTUAN SANKSI
Pasal 13
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
- 7 -
Pasal 14
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 15
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 kepada masyarakat.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-66/PM/1996 tanggal 17 Januari 1996 tentang
Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan, beserta Peraturan
Nomor X.B.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 17
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 8 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Desember 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Desember 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 272
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 43 /POJK.04/2016
TENTANG
LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
Pasar Modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor Pasar Modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor Pasar Modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
untuk mengganti Peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal
yang mengatur mengenai Laporan Lembaga Kliring dan Penjaminan yaitu
Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-66/PM/1996
tanggal 17 Januari 1996 tentang Laporan Lembaga Kliring dan
Penjaminan beserta Peraturan Nomor X.B.1 yang merupakan lampirannya
menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Laporan Lembaga
Kliring dan Penjaminan.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5968
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 43/POJK.04/2016 </reg_id>
<reg_title> LAPORAN LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 2 Desember 2016 </set_date>
<effective_date> 7 Desember 2016 </effective_date>
<issued_date> 7 Desember 2016 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-66/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-66/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | lampiran Peraturan Nomor X.B.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2017
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan
publik yang dimohonkan pernyataan pailit beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap keterbukaan informasi
bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan
pernyataan pailit, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai keterbukaan
informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang
dimohonkan pernyataan pailit yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Keterbukaan
Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU
PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN
PAILIT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
2. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya
telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
- 3 -
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
4. Bursa Efek adalah pihak yang menyelenggarakan dan
menyediakan sistem dan/atau sarana untuk
mempertemukan penawaran jual dan beli Efek pihak lain
dengan tujuan memperdagangkan Efek di antara mereka.
5. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal serta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 2
Emiten atau Perusahaan Publik yang gagal atau tidak mampu
menghindari kegagalan untuk membayar kewajibannya
terhadap pemberi pinjaman yang tidak terafiliasi wajib
menyampaikan laporan mengenai hal tersebut kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek dimana Efek Emiten
atau Perusahaan Publik tercatat, sesegera mungkin paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak Emiten atau Perusahaan
Publik mengalami kegagalan atau mengetahui
ketidakmampuan menghindari kegagalan dimaksud.
Pasal 3
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik diajukan ke
pengadilan untuk dimohonkan pernyataan pailit, Emiten atau
Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan mengenai
hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek
dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik tercatat,
sesegera mungkin paling lambat 2 (dua) hari kerja sejak
Emiten atau Perusahaan Publik mengetahui adanya
permohonan pernyataan pailit.
Pasal 4
Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang
mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada pengadilan
- 4 -
terhadap Emiten atau Perusahaan Publik wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
Bursa Efek dimana Efek Emiten atau Perusahaan Publik
tercatat mengenai hal tersebut, sesegera mungkin paling
lambat 2 (dua) hari kerja sejak pengajuan permohonan
pernyataan pailit.
Pasal 5
Bursa Efek wajib mengumumkan informasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 yang diterima
oleh Bursa Efek, di Bursa Efek pada hari yang sama dengan
diterimanya informasi tersebut.
BAB II
KETENTUAN SANKSI
Pasal 6
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f.
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
pembatalan persetujuan; dan/atau
- 5 -
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 7
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 8
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 kepada masyarakat.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 9
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-46/PM/1998 tentang Keterbukaan Informasi bagi
Emiten atau Perusahaan Publik yang Dimohonkan Pernyataan
Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 10
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 126
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 1 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 26 /POJK.04/2017
TENTANG
KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK
YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai keterbukaan informasi bagi Emiten atau
Perusahaan Publik yang dimohonkan pernyataan pailit yaitu Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-46/PM/1998 tentang
Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit, beserta Peraturan Nomor X.K.5 yang
merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
- 2 -
tentang Keterbukaan Informasi bagi Emiten atau Perusahaan Publik yang
Dimohonkan Pernyataan Pailit.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Yang dimaksud dengan “pemberi pinjaman” adalah kreditur
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.
Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain rincian
mengenai pinjaman termasuk:
a. jumlah pokok dan bunga;
b. jangka waktu pinjaman;
c. nama pemberi pinjaman;
d. penggunaan pinjaman; dan
e. alasan kegagalan atau ketidakmampuan menghindari kegagalan.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “mengetahui” antara lain diterimanya
panggilan sidang dari pengadilan kepada Emiten atau Perusahaan
Publik.
Informasi yang dimuat dalam laporan yang disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan dan Bursa Efek memuat antara lain:
a. nama pemberi pinjaman yang mengajukan pailit;
b. ringkasan permohonan pernyataan pailit; dan
c. jumlah pinjaman lainnya.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk pernyataan
pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6073
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 26/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> KETERBUKAAN INFORMASI BAGI EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK YANG DIMOHONKAN PERNYATAAN PAILIT </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-46/PM/1998|KEPTA-BAPEPAM/1998', 'Kep-46/PM/1998|KEPTA-BAPEPAM/1998 | Lampiran Peraturan Nomor X.K.5' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB II' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36/POJK.04/2014
TENTANG
PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN
EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: bahwa dalam rangka meningkatkan akses
pembiayaan Emiten atau Perusahaan Publik di Pasar
Modal sehingga membuat Pasar Modal sebagai pilihan
alternatif utama sumber pembiayaan yang lebih
kompetitif bagi dunia usaha dan untuk memberikan
kepastian mengenai pelaporan Emiten atau
Perusahaan Publik yang melakukan Penawaran
Umum Berkelanjutan, perlu menyempurnakan
peraturan mengenai Penawaran Umum Berkelanjutan
dengan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penawaran Umum Berkelanjutan
Efek Bersifat Utang Dan/Atau Sukuk;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3608);
2. Undang…
-2-
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK
BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penawaran Umum Berkelanjutan Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk yang selanjutnya disebut
PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk
adalah kegiatan penawaran Efek bersifat utang
dan/atau Sukuk yang dilakukan secara
bertahap.
2. Gagal Bayar adalah kondisi dimana Emiten atau
Perusahaan Publik tidak mampu memenuhi
kewajiban keuangan terhadap kreditur pada
saat jatuh tempo yang nilainya lebih besar dari
0,5% (nol koma lima persen) dari modal disetor.
Pasal 2
PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk dapat
dilaksanakan dalam periode 2 (dua) tahun dengan
ketentuan pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk terakhir disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat pada
ulang tahun kedua sejak efektifnya Pernyataan
Pendaftaran…
-3-
Pendaftaran dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk.
BAB II
PERSYARATAN PIHAK
Pasal 3
Pihak yang dapat melakukan PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. merupakan Emiten atau Perusahaan Publik
dalam kurun waktu paling singkat 2 (dua) tahun
dan tidak pernah mengalami Gagal Bayar
selama 2 (dua) tahun terakhir sebelum
penyampaian Pernyataan Pendaftaran dalam
rangka PUB Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk; atau
b.
tidak lagi merupakan Emiten atau Perusahaan
Publik sebagaimana dimaksud pada huruf a,
namun:
1. pernah melakukan Penawaran Umum atas
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk;
2. telah melunasi Efek sebagaimana dimaksud
pada angka 1 tidak lebih dari 2 (dua) tahun
sebelum menyampaikan Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk; dan
3. sejak 2 (dua) tahun terakhir sebelum
melunasi Efek bersifat utang dan/atau
Sukuk sampai dengan tanggal
penyampaian Pernyataan Pendaftaran
dalam rangka PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk sebagaimana dimaksud
pada angka 2 tidak pernah mengalami
Gagal Bayar.
Pasal 4…
-4-
Pasal 4
Dalam hal Emiten mengalami Gagal Bayar dalam
periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk,
Emiten dimaksud dilarang melanjutkan penawaran
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk di sisa waktu
dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk bersangkutan.
BAB III
PERSYARATAN EFEK
Pasal 5
Efek yang dapat diterbitkan melalui PUB Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk merupakan Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk yang memiliki peringkat yang
termasuk dalam kategori 4 (empat) peringkat teratas
yang merupakan urutan 4 (empat) peringkat terbaik
dan masuk dalam kategori peringkat layak investasi
berdasarkan standar yang dimiliki oleh Perusahaan
Pemeringkat Efek.
Pasal 6
Emiten dilarang melaksanakan penawaran Efek
bersifat utang dan/atau Sukuk tahap berikutnya
dalam periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk apabila seluruh Efek bersifat utang dan/atau
Sukuk yang telah diterbitkan melalui PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 7
Emiten yang mengalami kondisi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 hanya dapat melaksanakan
penawaran Efek bersifat utang dan/atau Sukuk tahap
berikutnya dalam periode PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk apabila:
a.
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang akan
ditawarkan…
-5-
ditawarkan dalam tahap berikutnya dan seluruh
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang telah
diterbitkan melalui PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk telah memenuhi persyaratan
peringkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
dan
b.
periode PUB Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk belum berakhir.
BAB IV
PERNYATAAN PENDAFTARAN
Pasal 8
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib:
a.
mengikuti ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor Pasar Modal yang mengatur
mengenai Pernyataan Pendaftaran, Penawaran
Umum dan peraturan terkait lainnya, kecuali
diatur lain dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; dan
b.
dilengkapi dengan:
1.
surat pernyataan dari Emiten atau
Perusahaan Publik yang menyatakan
Emiten atau Perusahaan Publik tidak
pernah mengalami Gagal Bayar selama
jangka waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal 3 huruf b
angka 3; dan
2.
surat pernyataan dari Akuntan yang
melakukan audit atas laporan keuangan
Emiten atau Perusahaan Publik yang
menyatakan Emiten atau Perusahaan
Publik tidak pernah mengalami Gagal
Bayar selama jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan Pasal
3 huruf b angka 3.
Pasal 9…
-6-
Pasal 9
Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan PUB
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk wajib
mencantumkan dalam Prospektus pada:
a. halaman luar kulit muka sebagai berikut:
1.
“Prospektus
Penawaran Umum
Berkelanjutan Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk”, dengan menyebutkan
pula nama Efek; dan
2.
total jumlah dana yang akan dihimpun dan
jenis Efek yaitu Efek bersifat utang
dan/atau Sukuk, yang akan diterbitkan
selama periode PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk.
b. bab mengenai Penawaran Umum mengenai
akad-akad yang akan digunakan, dalam hal Efek
yang diterbitkan berupa Sukuk.
BAB V
PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 10
(1) Penjamin Emisi Efek atau Emiten, dalam hal
tidak menggunakan Penjamin Emisi Efek, wajib
menyampaikan laporan hasil PUB Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah tanggal penjatahan dalam bentuk dan isi
sesuai dengan Formulir pada lampiran
peraturan perundang-undangan di sektor Pasar
Modal yang mengatur mengenai tata cara
Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disertai…
-7-
disertai dengan laporan penjatahan sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan di
sektor Pasar Modal yang mengatur mengenai
laporan penjatahan.
Pasal 11
(1) Dalam hal dana yang dihimpun selama periode
PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 kurang
dari yang direncanakan, paling lambat 5 (lima)
hari kerja setelah periode PUB Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk berakhir, Emiten wajib:
a. menyampaikan informasi mengenai jumlah
total dana yang dihimpun kepada Otoritas
Jasa Keuangan disertai dengan alasan tidak
tercapainya target dana yang akan
dihimpun; dan
b. mengumumkan
kepada masyarakat
mengenai jumlah total dana yang dihimpun
disertai dengan alasan tidak tercapainya
target dana yang akan dihimpun paling
kurang melalui:
1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional
atau situs web Bursa Efek; dan
2. situs web Emiten.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah tanggal pengumuman
dimaksud.
Pasal 12
(1) Dalam hal Emiten akan menghentikan PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk sebelum periode
2 (dua) tahun, paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah…
-8-
setelah keputusan mengenai penghentian PUB
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk diambil,
Emiten wajib:
a. menyampaikan informasi mengenai
penghentian PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk kepada Otoritas Jasa
Keuangan disertai dengan alasan
penghentian dan jumlah total dana yang
telah dihimpun; dan
b. mengumumkan kepada masyarakat
mengenai penghentian PUB Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk disertai dengan
alasan penghentian dan jumlah total dana
yang telah dihimpun dalam paling kurang
melalui:
1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional
atau situs web Bursa Efek; dan
2. situs web Emiten.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
Pasal 13
(1) Sebelum melaksanakan penawaran Efek bersifat
utang dan/atau Sukuk tahap kedua dan
seterusnya, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
sebelum dimulainya masa penawaran yang
direncanakan, Emiten wajib:
a. menyampaikan
pemberitahuan
pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk dimaksud disertai
informasi tambahan dan dokumen
pendukungnya kepada Otoritas Jasa
Keuangan…
-9-
Keuangan; dan
b. mengumumkan
pemberitahuan
pelaksanaan PUB Efek Bersifat Utang
dan/atau Sukuk beserta informasi
tambahan dimaksud paling kurang melalui:
1. 1 (satu) surat kabar harian berbahasa
Indonesia yang berperedaran nasional
atau situs web Bursa Efek; dan
2. situs web Emiten.
(2) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b angka 1 wajib disampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 2
(dua) hari kerja setelah pengumuman dimaksud.
Pasal 14
Informasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1), paling kurang memuat:
a. jumlah dana yang telah dihimpun dalam PUB
Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk;
b. jumlah Efek yang ditawarkan;
c.
d.
tingkat bunga Efek bersifat utang/imbal hasil
Sukuk;
hasil pemeringkatan atas Efek atau perubahan
hasil pemeringkatan atas Efek (jika terdapat
perubahan hasil pemeringkatan atas Efek);
e.
f.
g.
jadwal PUB Efek Bersifat Utang dan/atau
Sukuk;
rencana penggunaan dana atau perubahan
penggunaan dana;
ikhtisar data keuangan penting untuk laporan
keuangan terkini yang dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya;
h. Penjamin Emisi Efek (jika ada);
i. pernyataan…
-10-
i.
pernyataan Emiten bahwa seluruh Informasi
atau Fakta Material telah diungkapkan dan
Informasi atau Fakta Material tersebut tidak
menyesatkan;
j.
pernyataan dalam huruf cetak tebal bahwa:
1. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN
PENAWARAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN
SUKUK TAHAP KE-…. DARI PENAWARAN
UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT
UTANG DAN SUKUK YANG TELAH
MENJADI EFEKTIF”;
2. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN
PENAWARAN EFEK BERSIFAT UTANG
TAHAP KE-…. DARI PENAWARAN UMUM
BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG
YANG TELAH MENJADI EFEKTIF”; atau
3. “PENAWARAN UMUM INI MERUPAKAN
PENAWARAN SUKUK TAHAP KE-…. DARI
PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN
EFEK BERSIFAT SUKUK YANG TELAH
MENJADI EFEKTIF”;
k. pernyataan dari Emiten yang menyatakan bahwa
Emiten tidak sedang mengalami Gagal Bayar
sampai dengan penyampaian informasi
tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 ayat (1);
l.
informasi mengenai kewajiban-kewajiban
keuangan Emiten yang akan jatuh tempo dalam
jangka waktu 3 (tiga) bulan kedepan disertai
dengan keterangan mengenai cara pemenuhan
kewajiban-kewajiban keuangan dimaksud; dan
m. perubahan dan/atau tambahan informasi atas
Prospektus dalam rangka PUB Efek Bersifat
Utang dan/atau Sukuk (jika ada).
Pasal 15…
-11-
Pasal 15
Penyampaian pemberitahuan pelaksanaan PUB Efek
Bersifat Utang dan/atau Sukuk terakhir beserta
informasi tambahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (1) paling lambat disampaikan kepada
Otoritas Jasa Keuangan pada ulang tahun kedua
sejak efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam rangka
PUB Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 16
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di
bidang Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi administratif
terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, termasuk pihak-pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut,
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda yaitu kewajiban untuk membayar
sejumlah uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,
huruf f, atau huruf g dapat dikenakan dengan
atau tanpa didahului pengenaan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis
sebagaimana…
-12-
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan
secara tersendiri atau secara bersama-sama
dengan pengenaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 17
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan
dapat melakukan tindakan tertentu terhadap setiap
pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 18
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan
pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dan tindakan
tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: KEP-
555/BL/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang
Penawaran Umum Berkelanjutan beserta Peraturan
Nomor IX.A.15 yang merupakan lampirannya dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.
Agar…
-13-
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 378
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.d.Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 36/POJK.04/2014 </reg_id>
<reg_title> PENAWARAN UMUM BERKELANJUTAN EFEK BERSIFAT UTANG DAN/ATAU SUKUK </reg_title>
<set_date> 8 Desember 2014 </set_date>
<effective_date> 8 Desember 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 Desember 2014 </issued_date>
<replaced_reg> 'KEP-555/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010', 'KEP-555/BL/2010|KEPTA-BAPEPAM-LK/2010 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.15' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36 /POJK.03/2017
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa untuk peningkatan ketahanan, daya saing, dan
efisiensi perbankan nasional, perlu dilakukan penataan
terhadap pengaturan penyediaan dana dalam bentuk
penyertaan modal sebagai salah satu kegiatan usaha
bank;
b.
bahwa seiring dengan perkembangan kegiatan usaha bank
dan dinamika global, dibutuhkan keleluasaan pada
beberapa aspek dalam kegiatan penyertaan modal;
c.
bahwa sejalan dengan beberapa ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang terkait dengan penyertaan modal dan
perkembangan standar internasional, perlu dilakukan
harmonisasi ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian
dalam kegiatan penyertaan modal;
d.
bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali prinsip kehati-
hatian dalam kegiatan penyertaan modal;
e.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan
-2-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Prinsip Kehati-
hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG PRINSIP
KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Bank
Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
-3-
2. Modal Bank adalah modal sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bank umum dan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan mengenai kewajiban penyediaan
modal minimum bank umum syariah.
3. Penyertaan Modal adalah penanaman dana Bank dalam
bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang
keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang
konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat
investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau
jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau
akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di
bidang keuangan.
4. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal oleh
Bank, unit usaha syariah atau kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, dalam bentuk saham
pada perusahaan debitur untuk mengatasi akibat
kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan adalah
bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, dan
perusahaan di bidang keuangan lainnya sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan
penyimpanan.
6.
Investee adalah Perusahaan yang Bergerak di Bidang
Keuangan tempat Bank melakukan Penyertaan Modal.
7. Perusahaan Anak adalah entitas anak sebagaimana diatur
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai transparansi dan publikasi laporan bank.
-4-
8. Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha yang selanjutnya
disebut BUKU adalah pengelompokan Bank berdasarkan
kegiatan usaha yang disesuaikan dengan modal inti yang
dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas
Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha
dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.
9. Batas Maksimum Pemberian Kredit yang selanjutnya
disingkat BMPK adalah persentase maksimum penyediaan
dana yang diperkenankan terhadap Modal Bank
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan
mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN
PERSYARATAN PENYERTAAN MODAL
Pasal 2
Kegiatan Penyertaan Modal wajib dilaksanakan berdasarkan
prinsip kehati-hatian.
Pasal 3
(1) Bank umum dilarang melakukan Penyertaan Modal selain
pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan.
(2) Bank umum syariah dilarang melakukan Penyertaan Modal
selain pada Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan
berdasarkan prinsip syariah.
(3) Unit usaha syariah dan kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dilarang melakukan kegiatan
penyertaan modal selain Penyertaan Modal Sementara.
Pasal 4
(1) Bank wajib memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan untuk setiap kali melakukan Penyertaan Modal.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
pula diperoleh untuk setiap Penyertaan Modal lanjutan
pada Investee yang sama (subsequent investment).
-5-
(3) Penyertaan Modal yang berasal dari dividen saham tidak
memerlukan persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Penyertaan Modal dapat dilakukan secara langsung atau
melalui pasar modal.
(2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilarang dilakukan selain untuk investasi jangka panjang
dan tidak dimaksudkan untuk jual beli saham.
Pasal 6
(1) Bank wajib menetapkan jumlah seluruh portofolio
Penyertaan Modal paling tinggi sebesar Penyertaan Modal
sesuai pengelompokan Bank berdasarkan BUKU.
(2) Jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) termasuk peningkatan Penyertaan
Modal dan dividen saham.
Pasal 7
Bank dilarang melakukan Penyertaan Modal melebihi batas
penyediaan dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum.
Pasal 8
(1) Dalam hal Bank telah menerapkan manajemen risiko
secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak:
a. Penyertaan Modal pada Perusahaan Anak tidak
diperhitungkan sebagai penyediaan dana dalam
perhitungan BMPK; dan
b. peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal
yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan
Anak yang sama dikecualikan dari batas Penyertaan
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
dan Pasal 7.
Otoritas Jasa Keuangan
-6-
(2) Peningkatan Penyertaan Modal yang berasal dari akumulasi
laba pada Investee yang menggunakan metode ekuitas
dikecualikan dari batas Penyertaan Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 7, sepanjang
tidak melebihi jangka waktu 1 (satu) tahun sejak akhir
tahun buku Investee.
Pasal 9
(1) Kegiatan Penyertaan Modal pada Investee di luar negeri
hanya dapat dilakukan oleh Bank sesuai pengelompokan
Bank berdasarkan BUKU.
(2) Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan dalam valuta asing.
Pasal 10
Bank yang akan melakukan Penyertaan Modal paling sedikit
wajib:
a. mencantumkan rencana Penyertaan Modal dalam Rencana
Bisnis Bank;
b. memenuhi rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
(KPMM) sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bank
umum dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum syariah;
c. memiliki tingkat kesehatan dengan peringkat
komposit 1 (satu) atau 2 (dua) sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum dan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah
dan unit usaha syariah, selama:
1. 3 (tiga) periode penilaian berturut-turut; atau
2. 4 (empat) periode penilaian berturut-turut dalam hal
calon Investee merupakan perusahaan baru dan/atau
perusahaan di luar negeri;
-7-
d. memastikan Penyertaan Modal tidak mengganggu
kelangsungan usaha Bank dan tidak meningkatkan profil
risiko Bank secara signifikan;
e. memiliki kebijakan dan prosedur tertulis yang dibuat oleh
direksi Bank dan disetujui oleh dewan komisaris Bank; dan
f.
memiliki sistem pengendalian intern yang memadai untuk
kegiatan Penyertaan Modal, paling sedikit untuk
memastikan bahwa terdapat:
1. analisis yang dilakukan secara komprehensif;
2. prosedur pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip
manajemen risiko;
3. dokumentasi dan pemantauan secara periodik; dan
4. prosedur akuntansi dan valuasi yang tepat.
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN DAN PERSETUJUAN
PENYERTAAN MODAL
Pasal 11
(1) Bank wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh
persetujuan Penyertaan Modal kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum
Penyertaan Modal dilakukan, dengan melampirkan paling
sedikit:
a.
hasil analisis kondisi dan proyeksi keuangan Bank,
termasuk proyeksi kecukupan permodalan sebelum
dan sesudah Penyertaan Modal;
b. hasil analisis profil risiko Bank sebelum dan sesudah
Penyertaan Modal, baik secara individu maupun
konsolidasi;
c. sistem pengelolaan risiko Penyertaan Modal;
d. sumber pendanaan Bank untuk melakukan
Penyertaan Modal;
e. surat pernyataan dari direksi Bank yang menyatakan
bahwa Penyertaan Modal yang dilakukan dalam rangka
investasi jangka panjang dan tidak dimaksudkan
untuk jual beli saham;
-8-
f.
sistem pengendalian intern dan sistem informasi
akuntansi;
g. Penyertaan Modal dan/atau rencana Penyertaan Modal
yang dilakukan oleh pihak terkait dengan Bank pada
Investee yang sama;
h. hasil analisis mengenai profil usaha Investee, termasuk
dukungan dan manfaat usaha Investee terhadap
perkembangan usaha Bank;
i.
laporan keuangan tahun terakhir dan laporan
keuangan interim triwulan terakhir, serta proyeksi
keuangan Investee;
j.
k.
struktur kepemilikan dan kepengurusan terakhir
Investee;
identitas dari pemegang saham mayoritas atau pihak
yang melakukan pengendalian terhadap Investee atau
pihak lain yang akan melakukan Penyertaan Modal
bersama-sama dengan Bank;
l.
perjanjian dan/atau konsep perjanjian yang ada:
1. antar pemegang saham Investee; dan/atau
2. antara Bank dengan pemegang saham Investee
yang menjual saham kepada Bank; dan
m. fotokopi akta pendirian badan hukum dan anggaran
dasar Investee.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i
tidak berlaku bagi Investee berupa perusahaan baru.
(3) Dalam hal Investee merupakan perusahaan baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib
menyampaikan dokumen mengenai:
a. tujuan pendirian perusahaan;
b. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business
forecasting) dan peluang pasar Investee; dan
c. dokumentasi pengajuan pendirian kepada atau
persetujuan pendirian perusahaan baru dari otoritas
yang berwenang.
(4) Bagi Bank yang melakukan Penyertaan Modal
sebesar 20% (dua puluh persen) atau lebih dari modal
Investee atau memenuhi kriteria pengendalian, selain
-9-
menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib menyampaikan dokumen berupa:
a. studi kelayakan mengenai perkiraan usaha (business
forecasting) dan peluang pasar Investee;
b. informasi mengenai kompetensi dan integritas dari
anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan pejabat
eksekutif serta integritas pemegang saham pengendali
dari Investee;
c. rencana penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi; dan
d. surat keterangan dari otoritas yang berwenang yang
mengawasi kegiatan usaha Investee beserta pernyataan
tidak keberatan bahwa Otoritas Jasa Keuangan dapat
melakukan pemeriksaan kepada Investee.
(5) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (3) dan/atau ayat (4), Bank menyampaikan hasil uji
tuntas (due diligence) terhadap Investee dan/atau dokumen
pendukung lainnya, dalam hal diminta oleh Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 12
Bank wajib menyampaikan surat pernyataan yang menjamin
kebenaran dokumen dan data sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), dan/atau Pasal 11 ayat (4)
yang disampaikan dalam permohonan persetujuan Penyertaan
Modal kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 13
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan Penyertaan
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diberikan
setelah mempertimbangkan kelengkapan dokumen dan
analisis kemampuan Bank serta kelayakan dan kesesuaian
kegiatan Penyertaan Modal yang akan dilakukan oleh Bank.
(2) Dalam memberikan persetujuan, Otoritas Jasa Keuangan
dapat meminta Bank dan/atau Investee untuk memberikan
komitmen tertulis.
-10-
Pasal 14
Dalam hal
terdapat pelanggaran terhadap komitmen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2), Otoritas Jasa
Keuangan memerintahkan Bank untuk melakukan tindakan
tertentu.
Pasal 15
(1) Bank harus merealisasikan rencana Penyertaan Modal
paling lama 6 (enam) bulan sejak persetujuan Penyertaan
Modal diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank
tidak merealisasikan Penyertaan Modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan menjadi tidak berlaku.
(3) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan permohonan Bank,
dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan
mempertimbangkan faktor tertentu.
(4) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi Penyertaan
Modal paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah Penyertaan
Modal efektif dilakukan.
BAB IV
PELAMPAUAN BATASAN
PENYERTAAN MODAL SESUAI PENGELOMPOKAN BANK UMUM
BERDASARKAN KEGIATAN USAHA
Pasal 16
(1) Bank wajib menyampaikan rencana tindak (action plan)
dalam hal jumlah seluruh portofolio Penyertaan Modal
melampaui batasan Penyertaan Modal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut, yang disebabkan oleh:
a. penurunan modal inti;
b. peningkatan Penyertaan Modal pada Investee;
dan/atau
-11-
c. penurunan Modal Bank.
(2) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa rencana tindak (action plan) dalam rangka:
a. pemenuhan persyaratan modal inti dan/atau Modal
Bank; atau
b. penyesuaian jumlah Penyertaan Modal.
(3) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat pada akhir bulan keempat sejak terjadinya
pelampauan batasan Penyertaan Modal.
(4) Rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(5) Penyelesaian rencana tindak (action plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 1 (satu)
tahun sejak persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
DIVESTASI PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 17
(1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal dalam
hal:
a. Penyertaan Modal yang dilakukan mengakibatkan atau
diperkirakan mengakibatkan penurunan permodalan
Bank dan/atau peningkatan profil risiko Bank secara
signifikan; atau
b. terdapat rekomendasi dari otoritas Perusahaan Anak.
(2) Bank wajib menyampaikan rencana divestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 7 (tujuh) hari kerja sebelum divestasi
Penyertaan Modal dilakukan.
Pasal 18
(1) Bank dapat melakukan divestasi Penyertaan Modal atas
inisiatif sendiri dengan memenuhi persyaratan:
-12-
a.
divestasi ditujukan untuk menyesuaikan dengan
strategi bisnis Bank;
b. Penyertaan Modal telah dilakukan paling singkat
selama 5 (lima) tahun;
c. dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank untuk tahun
yang sama dengan tahun pengajuan permohonan;
d.
e.
f.
g.
divestasi dilakukan paling sedikit sebesar 50% (lima
puluh persen) dari saham yang dimiliki;
divestasi dilakukan melalui suatu transaksi yang wajar
(arm’s length transaction);
divestasi tidak semata-mata ditujukan untuk
memperoleh keuntungan (capital gain); dan
telah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku untuk divestasi pada Investee yang dinyatakan
pailit atau dalam proses likuidasi.
(3) Bank wajib mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa
Keuangan untuk memperoleh persetujuan divestasi atas
inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 30 (tiga puluh) hari sebelum divestasi dilakukan
dengan melampirkan informasi dan dokumen paling sedikit:
a. latar belakang dan tujuan divestasi;
b. analisis dampak divestasi terhadap kinerja Bank; dan
c. informasi mengenai calon pemegang saham baru dan
analisis dampak divestasi pada Investee, dalam hal
divestasi dilakukan atas sebagian Penyertaan Modal
pada Investee.
(4) Dalam hal batas waktu pengajuan permohonan persetujuan
divestasi atas inisiatif sendiri jatuh pada hari libur,
pengajuan permohonan persetujuan divestasi atas inisiatif
sendiri disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal divestasi atas inisiatif sendiri dilakukan pada
Perusahaan Anak, selain persyaratan informasi dan
dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank wajib
menyampaikan hasil keputusan Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) atau persetujuan dewan komisaris yang
-13-
memuat rencana divestasi Penyertaan Modal Bank pada
Perusahaan Anak.
(6) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta dokumen pendukung selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (5).
Pasal 19
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan divestasi
Penyertaan Modal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 18 ayat (3) diberikan setelah mempertimbangkan
kelengkapan dokumen, analisis kewajaran, dan kesesuaian
rencana divestasi atas inisiatif sendiri.
(2) Bank harus merealisasikan rencana divestasi Penyertaan
Modal atas inisiatif sendiri paling lama 6 (enam) bulan sejak
persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
persetujuan diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan Bank
tidak merealisasikan divestasi Penyertaan Modal atas
inisiatif sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan menjadi tidak berlaku.
Pasal 20
(1) Bank wajib melakukan divestasi Penyertaan Modal
Sementara apabila Penyertaan Modal Sementara telah
melebihi jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau
perusahaan debitur tempat Penyertaan Modal Sementara
telah memperoleh laba kumulatif.
(2) Dalam hal jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) akan berakhir dan perusahaan
debitur tempat Penyertaan Modal Sementara belum
memperoleh laba, untuk persiapan divestasi, Bank wajib
menyampaikan rencana pelaksanaan divestasi kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 30 (tiga puluh) hari
sebelum jangka waktu tersebut berakhir.
(3) Dalam hal batas waktu penyampaian rencana pelaksanaan
divestasi Penyertaan Modal Sementara jatuh pada hari
-14-
libur, rencana pelaksanaan divestasi Penyertaan Modal
Sementara disampaikan pada hari kerja berikutnya.
Pasal 21
Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan divestasi
Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal Sementara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 19, dan Pasal 20
paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pelaksanaan divestasi.
BAB VI
PENYERTAAN MODAL OLEH PERUSAHAAN ANAK
Pasal 22
(1) Dalam hal Perusahaan Anak melakukan Penyertaan Modal,
Bank wajib memastikan hal-hal sebagai berikut:
a. Penyertaan Modal hanya dapat dilakukan pada
Perusahaan yang Bergerak di Bidang Keuangan
dan/atau di perusahaan penunjang jasa keuangan dan
dalam bentuk saham;
b. Perusahaan Anak menerapkan prinsip kehati-hatian
dan manajemen risiko yang memadai atas Penyertaan
Modal yang akan dilakukan; dan
c. Penyertaan Modal dilakukan dengan memperhatikan
ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas berwenang
yang mengatur Perusahaan Anak.
(2) Bank wajib melakukan pemantauan perhitungan
kecukupan modal secara konsolidasi sampai dengan
perusahaan yang dikendalikan oleh Perusahaan Anak.
(3) Perusahaan Anak yang melakukan kegiatan usaha sesuai
dengan prinsip syariah hanya dapat melakukan Penyertaan
Modal pada perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
Pasal 23
(1) Bank wajib memastikan bahwa perusahaan penunjang jasa
keuangan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 22 ayat (1) huruf a merupakan perusahaan yang
-15-
didirikan atau kegiatan usahanya ditujukan hanya untuk
menunjang kegiatan usaha Bank melalui sistem
pembayaran, meliputi perusahaan yang melakukan
kegiatan usaha sebagai berikut:
a.
prinsipal Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)
atau uang elektronik;
b. penerbit APMK atau uang elektronik;
c. acquirer APMK atau uang elektronik;
d. penyelenggara kliring APMK atau uang elektronik;
e. penyelenggara penyelesaian akhir APMK atau uang
elektronik;
f.
penyelenggara transfer dana;
g. penyelenggara switching;
h. pelaksanaan sertifikasi sistem pembayaran;
i.
penyedia jaringan sistem pembayaran;
j. pengelola standar APMK atau uang elektronik;
k. penyedia perangkat pembayaran; dan/atau
l.
pelaksana personalisasi.
(2) Pelaksanaan kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mematuhi ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait.
BAB VII
ALAMAT PELAPORAN
Pasal 24
Permohonan persetujuan Penyertaan Modal dan pelaporan
terkait dengan pelaksanaan Penyertaan Modal dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen
Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri
yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota
Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat
kedudukan kantor pusat Bank.
-16-
BAB VIII
PERLAKUAN AKUNTANSI DAN KUALITAS PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 25
Perlakuan akuntansi atas Penyertaan Modal dan Penyertaan
Modal Sementara mengacu pada standar akuntansi keuangan di
Indonesia.
Pasal 26
Kualitas dan penyisihan penghapusan aset atas Penyertaan
Modal dan Penyertaan Modal Sementara mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian
kualitas aset bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bank
umum syariah dan unit usaha syariah.
BAB IX
TRANSPARANSI DAN PENGELOLAAN PENYERTAAN MODAL
DAN PENYERTAAN MODAL SEMENTARA
Pasal 27
Bank wajib mengungkapkan kegiatan Penyertaan Modal dan
Penyertaan Modal Sementara dalam laporan tahunan
sebagaimana diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai transparansi dan publikasi laporan
bank.
Pasal 28
(1) Bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam mengelola
kegiatan Penyertaan Modal dan Penyertaan Modal
Sementara dengan mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko bagi bank umum dan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai penerapan manajemen
risiko bagi bank umum syariah dan unit usaha syariah.
-17-
(2) Penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. pengawasan aktif direksi dan dewan komisaris;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur manajemen risiko
serta penetapan limit risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem
informasi manajemen risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
(3) Bank wajib memantau jumlah seluruh portofolio Penyertaan
Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
termasuk peningkatan Penyertaan Modal dan Penyertaan
Modal yang berasal dari dividen saham pada Perusahaan
Anak yang sudah dikecualikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu dalam
mengendalikan risiko Penyertaan Modal berdasarkan hasil
pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 29
Bank dilarang:
a. menerima penyertaan saham dari Investee atau melakukan
Penyertaan Modal pada perusahaan pemegang saham
Bank, baik secara langsung maupun tidak langsung; dan
b. melakukan Penyertaan Modal yang mengakibatkan Bank
memiliki kewajiban yang tidak terbatas (open-ended liability)
pada Investee.
Pasal 30
Penyertaan Modal pada Investee berupa Bank, selain tunduk
pada ketentuan ini juga mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan terkait.
-18-
Pasal 31
(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank untuk
mengambil langkah-langkah perbaikan (corrective actions)
dan/atau merekomendasikan kepada otoritas yang
berwenang untuk melakukan tindakan perbaikan atau
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan Investee.
(2) Perintah dan/atau rekomendasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam hal berdasarkan penilaian
Otoritas Jasa Keuangan kegiatan Investee:
a. mencerminkan kondisi keuangan dan non-keuangan
yang tidak sehat; dan/atau
b. mengganggu kondisi keuangan dan non-keuangan
Bank.
Pasal 32
(1) Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pertimbangan
tertentu dapat memerintahkan Bank untuk melakukan
divestasi Penyertaan Modal atau menolak permohonan
Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri.
(2) Pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sebagai berikut:
a. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri
dapat
berdampak negatif terhadap kondisi
perekonomian nasional atau tidak sejalan dengan
kepentingan nasional;
b. Penyertaan Modal atau divestasi atas inisiatif sendiri
tidak sejalan dengan arah kebijakan pengembangan
perbankan di Indonesia; dan/atau
c. Penyertaan Modal atau rencana Penyertaan Modal
Bank pada perusahaan yang berlokasi di dalam
maupun di luar negeri yang menyebabkan atau
diindikasikan akan menyebabkan kesulitan
pengawasan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan.
-19-
BAB XI
SANKSI
Pasal 33
Bank yang melanggar ketentuan dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4
ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1),
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 11 ayat (3),
Pasal 11 ayat (4), Pasal 12, Pasal 15 ayat (4), Pasal 16 ayat (1),
Pasal 17, Pasal 18 ayat (3), Pasal 18 ayat (5), Pasal 20 ayat (1),
Pasal 20 ayat (2), Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 22 ayat (2),
Pasal 23 ayat (1), Pasal 27, Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3),
dan/atau Pasal 29 dikenakan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan atau Pasal 58
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/6/PBI/2013 tentang
Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
187 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5466); dan
b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 23/10/BPPP perihal
Penyertaan pada Bank dan Lembaga Keuangan Lain di Luar
Negeri,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
-20-
Pasal 35
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 142
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 36 /POJK.03/2017
TENTANG
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL
I. UMUM
Kegiatan Penyertaan Modal oleh Bank merupakan salah satu bagian
dari kegiatan penanaman dana Bank disamping kegiatan lainnya seperti
penyaluran kredit atau pembiayaan, penanaman dana dalam bentuk surat-
surat berharga, dan kegiatan pasar uang antar Bank. Sebagai kegiatan
penanaman dana, Bank disamping menerima manfaat berupa pendapatan
hasil Penyertaan Modal, juga berpotensi terpapar risiko dari kegiatan
tersebut.
Untuk meningkatkan daya tahan Bank, dilakukan penataan ulang
terhadap persyaratan Penyertaan Modal, penerapan manajeman risiko, dan
jumlah maksimum Penyertaan Modal yang dapat dilakukan sesuai dengan
kapasitas permodalan yang dimiliki. Selain itu, untuk menerapkan prinsip
kehati-hatian dan aspek pengawasan terhadap kegiatan Penyertaan Modal
oleh Bank, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan persyaratan tingkat
kesehatan yang harus dipenuhi oleh Bank sebelum melakukan Penyertaan
Modal.
Dengan adanya dinamika industri perbankan, Bank perlu
menyesuaikan kegiatan Penyertaan Modal sesuai dengan rencana strategis
ke depan. Dengan demikian, perlu dibuka kemungkinan bagi Bank untuk
melakukan divestasi atas Penyertaan Modal dengan inisiatif sendiri,
disamping divestasi yang memang wajib dilakukan karena ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, perlu ditetapkan persyaratan
-2-
agar divestasi yang dilakukan atas inisiatif sendiri tidak dimanfaatkan Bank
untuk melakukan kegiatan investment banking.
Dalam rangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar, kegiatan
Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal Sementara Bank harus
disajikan sesuai dengan standar akuntansi di Indonesia. Standar akuntansi
tersebut telah mempertimbangkan dinamika standar akuntansi keuangan
yang berlaku secara internasional.
Selain itu, seiring dengan dinamika pengaturan perbankan yang
berdampak pada pengaturan Penyertaan Modal dan/atau Penyertaan Modal
Sementara diperlukan harmonisasi dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai kualitas aset, penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi bagi bank yang melakukan pengendalian terhadap perusahaan
anak, serta kegiatan usaha dan jaringan kantor bank berdasarkan modal
inti bank.
Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Bank hanya
dapat melakukan Penyertaan Modal pada Perusahaan yang Bergerak di
Bidang Keuangan atau melakukan Penyertaan Modal Sementara pada
perusahaan debitur dalam rangka restrukturisasi kredit atau restrukturisasi
pembiayaan. Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya
peran pihak lain dalam mendukung pelaksanaan transaksi perbankan,
diperlukan upaya tertentu agar pengendalian pelaksanaan transaksi
perbankan lebih terintegrasi. Salah satu upaya adalah dengan membuka
peluang bagi Bank melalui Penyertaan Modal kepada perusahaan penunjang
jasa keuangan melalui Perusahaan Anak.
Peluang ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Bank dalam
memperluas kegiatan Penyertaan Modal sehingga memberikan keuntungan
bagi Bank dalam rangka meningkatkan daya saing. Namun demikian, perlu
disadari bahwa peluang perluasan kegiatan Penyertaan Modal harus
diimbangi dengan peningkatan kualitas manajemen risiko untuk
mengantisipasi risiko eksternal yang dapat timbul dari Perusahaan Anak
dan perusahaan penunjang jasa keuangan yang pada akhirnya dapat
mempengaruhi profil risiko Bank.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
-3-
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “unit usaha syariah” adalah unit usaha
syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Yang dimaksud dengan “kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri” adalah kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai persyaratan dan tata
cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang pembantu, dan
kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh Penyertaan Modal lanjutan:
Bank “A” memiliki Penyertaan Modal berupa saham pada PT “XYZ”
sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kemudian Bank “A” berencana untuk membeli surat utang
konversi wajib (mandatory convertible bonds) yang diterbitkan oleh
PT “XYZ” sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Dengan demikian pembelian tersebut merupakan Penyertaan
Modal lanjutan sehingga Penyertaan Modal Bank “A” pada PT
“XYZ” menjadi sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
Ayat (3)
Dividen saham adalah bagian laba yang dibagikan kepada
pemegang saham dalam bentuk saham.
-4-
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Peningkatan Penyertaan Modal terjadi karena akumulasi laba
dan/atau perubahan nilai tukar dan/atau nilai wajar sesuai
dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Investee dalam ayat ini dapat berupa Perusahaan Anak yang belum
menerapkan manajemen risiko secara konsolidasi dengan Bank
atau bukan Perusahaan Anak.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Huruf a
Rencana Penyertaan Modal dalam Rencana Bisnis Bank paling
sedikit memuat mengenai bidang usaha, perkiraan jumlah dana
yang akan ditanamkan, dan persentase kepemilikan, termasuk
aspek pengendalian.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rasio KPMM” adalah rasio KPMM periode
bulan terakhir sebelum pengajuan permohonan persetujuan
Penyertaan Modal maupun sebelum realisasi Penyertaan Modal.
-5-
Huruf c
Penilaian tingkat kesehatan yang digunakan adalah penilaian
tingkat kesehatan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 1
Yang dimaksud dengan “periode penilaian” adalah penilaian
yang dilakukan secara berkala setiap semester sebagaimana
diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum
dan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penilaian tingkat kesehatan bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
Angka 2
Yang dimaksud “perusahaan baru” adalah perusahaan yang
sedang dalam proses pendirian atau telah berjalan kurang
dari 1 (satu) tahun.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “mengganggu kelangsungan usaha Bank”
adalah penurunan kondisi keuangan Bank secara signifikan antara
lain dari aspek likuiditas dan solvabilitas.
Profil risiko Bank tercermin dari risiko yang melekat (inherent risk)
pada seluruh bidang usaha Bank dan kualitas penerapan
manajemen risiko.
Profil risiko Bank meningkat secara signifikan apabila
peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil risiko.
Huruf e
Kebijakan dimaksud antara lain meliputi kebijakan dalam
pengelolaan risiko dan pengendalian intern dalam kegiatan
Penyertaan Modal.
Prosedur tertulis memuat antara lain:
1. evaluasi secara berkala;
2. laporan berkala dari Investee; dan
3. tindakan Bank dalam hal terjadi penurunan nilai Penyertaan
Modal (contingency plan).
-6-
Huruf f
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Dokumentasi dapat berupa hardcopy maupun secara
elektronik, dengan tujuan untuk memudahkan dilakukannya
jejak audit (audit trail).
Angka 4
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “pihak terkait dengan Bank” adalah
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai batas maksimum
pemberian kredit bank umum.
Huruf h
Dalam melakukan analisis, Bank mempertimbangkan faktor-
faktor antara lain:
1. karakteristik usaha Investee;
2. Penyertaan Modal yang telah dan/atau akan dilakukan oleh
Investee; dan
-7-
3. kesesuaian kegiatan usaha Investee dengan peraturan
intern dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam hal Investee adalah perusahaan baru, persyaratan
dalam huruf ini dapat berupa rancangan struktur kepemilikan
dan kepengurusan.
Huruf k
Dalam hal Investee adalah perusahaan baru, persyaratan
dalam huruf ini dapat berupa identitas dari calon.
Huruf l
Termasuk perjanjian atau konsep perjanjian adalah perjanjian
jual beli saham atau konsep perjanjian lain yang merujuk
pada anggaran dasar Investee.
Huruf m
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “perkiraan usaha” adalah perkiraan usaha
dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan keuangan
dan aspek non-keuangan dari Investee, sedangkan “peluang
pasar” adalah peluang dalam industri atau pasar lembaga
keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “modal Investee” adalah modal disetor
Investee.
Kriteria pengendalian mengacu pada Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai transparansi dan publikasi laporan bank.
-8-
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perkiraan usaha” adalah perkiraan
usaha dari aspek keuangan termasuk proyeksi laporan
keuangan dan aspek non-keuangan dari Investee, sedangkan
peluang pasar adalah peluang dalam industri atau pasar
lembaga keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Manajemen risiko konsolidasi diperlukan dalam hal Investee
merupakan Perusahaan Anak.
Huruf d
Surat keterangan dari otoritas yang berwenang antara lain
menjelaskan kinerja dan/atau kondisi keuangan dan
non-keuangan dari Investee.
Surat pernyataan tidak keberatan untuk melakukan
pemeriksaan diperlukan dalam hal Investee berkedudukan di
luar negeri dan belum terdapat nota kesepahaman terkait
dengan cross border supervision.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Komitmen tertulis antara lain dapat berupa komitmen Bank bahwa
Investee tidak akan melakukan kegiatan tertentu yang
diperkirakan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan dan
non-keuangan Bank.
Pasal 14
Termasuk dalam tindakan tertentu antara lain berupa perintah
divestasi saham.
-9-
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Faktor tertentu antara lain penyebab terlampauinya jangka waktu
seperti faktor eksternal yang tidak dapat dikendalikan oleh Bank,
dan/atau hambatan yang timbul untuk memenuhi kebijakan atau
ketentuan otoritas yang berwenang.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “efektif” adalah:
a. pada saat memperoleh persetujuan dari otoritas yang terkait,
untuk Investee yang perubahan kepemilikannya harus
memperoleh persetujuan otoritas yang berwenang;
b. pada saat terjadi perubahan kepemilikan saham di kustodian,
untuk saham yang diperdagangkan di pasar modal dan
perubahan kepemilikan atas Investee tidak perlu mendapatkan
persetujuan dari otoritas yang berwenang; atau
c. pada saat menyampaikan laporan kepada Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia, untuk Investee yang tidak perlu
mendapatkan persetujuan dari otoritas yang berwenang dan
saham tidak diperdagangkan di pasar modal.
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Penurunan modal inti yang mengakibatkan perubahan
kategori BUKU menurunkan batasan Penyertaan Modal yang
diperbolehkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Penyebab penurunan Modal Bank antara lain karena Bank
mengalami kerugian.
-10-
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh penyesuaian jumlah Penyertaan Modal dilakukan
melalui divestasi saham pada Investee.
Ayat (3)
Contoh batas waktu penyampaian rencana tindak (action plan)
adalah sebagai berikut:
Bank “X” dengan modal inti sebesar Rp5.050.000.000.000,00
(lima triliun lima puluh miliar rupiah) (BUKU 3) dan Modal Bank
Rp8.500.000.000.000,00 (delapan triliun lima ratus miliar rupiah)
pada bulan Januari 2017, mempunyai total Penyertaan Modal
pada Bank “Y” dan Lembaga Keuangan “Z” sebesar
Rp1.700.000.000.000,00 (satu triliun tujuh ratus miliar rupiah)
setara dengan 20% (dua puluh persen) dari Modal Bank.
Pada posisi bulan Februari, bulan Maret, dan bulan April 2017,
modal inti Bank “X” mengalami penurunan menjadi:
Bulan
Modal Inti
Februari
Maret
April
Rp4.950.000.000.000,00
Rp4.910.000.000.000,00
Rp4.880.000.000.000,00
Dengan demikian Bank “X” berubah menjadi BUKU 2 dan harus
menyampaikan rencana tindak (action plan) kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat akhir bulan Mei 2017.
Rencana tindak (action plan) tersebut dapat berupa:
a. rencana peningkatan modal inti untuk pemenuhan persyaratan
modal inti dari BUKU 2 menjadi BUKU 3, atau
b. rencana penurunan Penyertaan Modal dari 20% (dua puluh
persen) dari Modal Bank menjadi paling tinggi 15% (lima belas
persen) dari Modal Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
-11-
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “divestasi” adalah pelepasan atau
pengurangan Penyertaan Modal pada Investee, baik yang
dilakukan secara langsung maupun melalui pasar modal.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penurunan permodalan Bank secara
signifikan” adalah penurunan permodalan mengakibatkan
jumlah Modal Bank lebih rendah dari kewajiban penyediaan
modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana diatur dalam
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
kewajiban penyediaan modal minimum bank umum syariah.
Profil risiko Bank meningkat secara signifikan dalam hal
peningkatannya menyebabkan perubahan peringkat profil
risiko. Peningkatan ini dapat disebabkan antara lain oleh
meningkatnya risiko reputasi dan/atau risiko hukum yang
mempengaruhi kelangsungan usaha Investee.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laba kumulatif” adalah laba perusahaan
setelah diperhitungkan dengan kerugian tahun-tahun sebelumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
-12-
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Divestasi Penyertaan Modal mencakup divestasi wajib atau divestasi
atas inisiatif sendiri.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam bentuk saham adalah penanaman dalam
bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible
bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory
convertible sukuk).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko” adalah penerapan manajemen risiko sebagaimana
diatur dalam ketentuan bagi Perusahaan Anak, antara lain:
1. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum,
dalam hal Perusahaan Anak berupa bank umum; atau
2. ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai penerapan manajemen risiko bagi bank umum
syariah dan unit usaha syariah, dalam hal Perusahaan
Anak berupa bank umum syariah.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan
huruf l mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai:
-13-
a. APMK;
b. uang elektronik;
c. transfer dana; dan/atau
d. ketentuan peraturan perundang-undangan terkait lainnya di
bidang sistem pembayaran.
Ayat (2)
Ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas terkait yang dimaksud
dalam ayat ini antara lain ketentuan mengenai perizinan dan
kegiatan usaha perusahaan penunjang jasa keuangan.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Perlakuan akuntansi mencakup pengakuan, pengukuran, penyajian,
dan pengungkapan.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan agar Bank terhindar dari eksposur
Penyertaan Modal pada perusahaan yang memiliki kewajiban yang
tidak terbatas (open-ended liability), seperti adanya letter of
undertaking yang mengikat Investee secara akuntansi maupun
secara hukum kepada pihak lain sedemikian rupa sehingga Bank
memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas.
-14-
Pasal 30
Ketentuan peraturan perundang-undangan terkait antara lain mengenai
pembelian saham bank, kepemilikan saham bank, dan kepemilikan
tunggal pada perbankan Indonesia, serta penggabungan, peleburan,
dan pengambilalihan bank.
Pasal 31
Ayat (1)
Termasuk dalam tindakan perbaikan (corrective actions) antara lain
perbaikan tata kelola (good corporate governance) dan/atau
manajemen risiko Perusahaan Anak, dan/atau divestasi seluruh
atau sebagian Penyertaan Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Penyertaan Modal” adalah
Penyertaan Modal yang sudah berjalan atau Penyertaan
Modal yang sedang diajukan permohonannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Indikasi kesulitan pengawasan antara lain:
1.
2.
kesulitan otoritas pengawas dalam akses terhadap data
dan informasi Investee;
kesulitan dalam pelaksanaan pemeriksaan terhadap
Investee;
3. kurang efektifnya atau tidak adanya otoritas pengawas
Investee di tempat kedudukan Investee; dan/atau
4.
Investee digunakan sebagai media untuk melakukan
rekayasa keuangan.
-15-
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6085
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 36/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM KEGIATAN PENYERTAAN MODAL </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '15/6/PBI/2013', '23/10/BPPP|SE-BI' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.03/2015
TENTANG
PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk mengidentifikasi bank-bank yang
memiliki dampak signifikan terhadap sistem keuangan
domestik, diperlukan suatu metodologi dalam rangka
menetapkan systemically important bank dengan
mengacu pada standar internasional yang berlaku;
b. bahwa risiko yang bersumber dari systemically
important bank perlu dimitigasi melalui penetapan
capital surcharge berdasarkan tingkat dampak
sistemik bank terhadap sistem keuangan domestik;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
tentang Penetapan Systemically Important Bank dan
Capital Surcharge;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
- 2 -
1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN
CAPITAL SURCHARGE.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998, dan Bank Umum
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
2. Systemically Important Bank, yang selanjutnya
disingkat SIB, adalah suatu Bank yang karena ukuran
aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau
kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta
keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat
mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara
keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa
- 3 -
keuangan, baik secara operasional maupun finansial,
apabila Bank mengalami gangguan atau gagal.
3. Capital Surcharge untuk SIB adalah tambahan modal
yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif
terhadap stabilitas sistem keuangan dan
perekonomian apabila terjadi kegagalan SIB melalui
peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap
kerugian.
Pasal 2
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB dan Capital
Surcharge untuk SIB.
(2) Dalam menetapkan SIB dan Capital Surcharge untuk
SIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas
Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(3) Penetapan SIB dan Capital Surcharge untuk SIB
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
semesteran setiap tahun pada:
a. bulan Maret dengan menggunakan data posisi
bulan Desember tahun sebelumnya; dan
b. bulan September dengan menggunakan data posisi
bulan Juni.
Pasal 3
Bank yang ditetapkan sebagai SIB wajib membentuk
Capital Surcharge untuk SIB.
Pasal 4
(1) Penetapan SIB dilakukan menggunakan metodologi
tertentu berdasarkan indikator tertentu.
(2) Otoritas Jasa Keuangan mengkaji ulang metodologi
penetapan SIB paling kurang 1 (satu) kali dalam 3
(tiga) tahun.
- 4 -
BAB II
INDIKATOR SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK (SIB)
Pasal 5
Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) terdiri atas:
a. ukuran Bank (size);
b. keterkaitan
dengan
(interconnectedness); dan
c. kompleksitas kegiatan usaha (complexity).
Pasal 6
Indikator ukuran Bank (size) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 huruf a diukur dari sub-indikator yaitu total
eksposur Bank.
Pasal 7
Indikator
keterkaitan dengan sistem keuangan
(interconnectedness) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b terdiri atas sub-indikator:
a. aset keuangan berupa tagihan atau penempatan
kepada lembaga jasa keuangan (intra financial system
assets);
b. kewajiban keuangan kepada lembaga jasa keuangan
(intra financial system liabilities); dan
c. surat berharga yang diterbitkan oleh Bank (securities
outstanding).
Pasal 8
Indikator kompleksitas kegiatan usaha (complexity)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terdiri atas
sub-indikator:
a. nilai nosional spot dan derivatif over the counter;
b. surat berharga yang diklasifikasikan sebagai tersedia
untuk dijual dan diperdagangkan namun tidak
termasuk surat berharga yang dijadikan sebagai high
sistem
keuangan
- 5 -
quality liquid asset dalam perhitungan liquidity
coverage ratio;
c.
indikator domestik yang bersifat spesifik yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
d. ketergantian (substitutability) peran Bank dalam
aktivitas sistem pembayaran dan kustodian.
Pasal 9
(1) Bobot setiap indikator SIB sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ditetapkan sama besar (equal weight).
(2) Bobot setiap sub-indikator sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 ditetapkan sama
besar (equal weight).
BAB III
METODOLOGI PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT
BANK (SIB)
Pasal 10
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan SIB berdasarkan
perhitungan skor sistemik (systemic importance score).
Pasal 11
Skor sistemik (systemic importance score) setiap Bank
dihitung dengan cara:
a. menghitung nilai masing-masing sub-indikator dalam
satuan basis poin, dengan cara menghitung proporsi
nilai masing-masing sub-indikator terhadap nilai
agregat industri perbankan;
b. menghitung
nilai
pembobotan
masing-masing
sub-indikator, dengan cara mengalikan nilai masing-
masing sub-indikator sebagaimana dimaksud pada
huruf a dengan bobot sub-indikator;
c. menghitung nilai masing-masing indikator, dengan
cara menjumlahkan nilai pembobotan masing-masing
sub-indikator sebagaimana dimaksud pada huruf b;
- 6 -
d. menghitung
nilai
pembobotan
masing-masing
indikator, dengan cara mengalikan nilai masing-
masing indikator sebagaimana dimaksud pada huruf c
dengan bobot indikator; dan
e. menghitung nilai skor sistemik (systemic importance
score), dengan cara menjumlahkan nilai pembobotan
masing-masing indikator sebagaimana dimaksud pada
huruf d.
BAB IV
CAPITAL SURCHARGE UNTUK SYSTEMICALLY IMPORTANT
BANK (SIB)
Pasal 12
(1) Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Capital
Surcharge untuk SIB dalam 5 (lima) kelompok (bucket).
(2) Besaran Capital Surcharge untuk SIB pada setiap
kelompok (bucket) ditetapkan:
a. 1% (satu persen) dari Aset Tertimbang Menurut
Risiko (ATMR) bagi SIB yang digolongkan dalam
kelompok (bucket) 1;
b. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR bagi SIB
yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 2;
c. 2% (dua persen) dari ATMR bagi SIB yang
digolongkan dalam kelompok (bucket) 3;
d. 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR bagi SIB
yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 4; dan
e. 3,5% (tiga koma lima persen) dari ATMR bagi SIB
yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 5.
(3) Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) wajib dipenuhi dengan menggunakan
komponen modal inti utama (Common Equity Tier 1).
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meninjau ulang
dan menyesuaikan penetapan besaran serta waktu
pemenuhan Capital Surcharge untuk SIB, dengan
mempertimbangkan kondisi perekonomian dan
stabilitas sistem keuangan.
- 7 -
Pasal 13
Berdasarkan penetapan Capital Surcharge untuk SIB dalam
5 (lima) kelompok (bucket) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (1), untuk pertama kali Otoritas Jasa
Keuangan menetapkan SIB dalam 4 (empat) kelompok
(bucket) Capital Surcharge untuk SIB yaitu kelompok
(bucket) 1, kelompok (bucket) 2, kelompok (bucket) 3, dan
kelompok (bucket) 4.
Pasal 14
(1) Dalam hal terdapat Bank yang memiliki skor sistemik
(systemic importance score) yang sangat tinggi sehingga
digolongkan dalam kelompok yang tertinggi, Otoritas
Jasa Keuangan menetapkan:
a. pengelompokan SIB bertambah 1 (satu) kelompok
(bucket) di atas kelompok tertinggi; dan
b. tidak terdapat SIB yang digolongkan dalam
kelompok
(bucket)
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(2) Setiap penambahan 1 (satu) kelompok (bucket)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran Capital
Surcharge untuk SIB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (2) ditetapkan meningkat sebesar 1%
(satu persen) dari ATMR.
Pasal 15
Pembentukan Capital Surcharge untuk SIB sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) wajib dipenuhi secara
bertahap:
1. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 1,
sebesar:
a. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari
ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016;
b. 0,5% (nol koma lima persen) dari ATMR sejak
tanggal 1 Januari 2017;
c. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari
ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018;
tertinggi yang baru
- 8 -
d. 1% (satu persen) dari ATMR sejak tanggal 1
Januari 2019;
2. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 2,
sebesar:
a. 0,375% (nol koma tiga ratus tujuh puluh lima
persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016;
b. 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari
ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017;
c. 1,125% (satu koma seratus dua puluh lima
persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2018;
d. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR sejak
tanggal 1 Januari 2019;
3. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 3,
sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) dari ATMR sejak
tanggal 1 Januari 2016;
b. 1% (satu persen) dari ATMR sejak tanggal 1
Januari 2017;
c. 1,5% (satu koma lima persen) dari ATMR sejak
tanggal 1 Januari 2018;
d. 2% (dua persen) dari ATMR sejak tanggal 1
Januari 2019;
4. bagi SIB yang digolongkan dalam kelompok (bucket) 4,
sebesar:
a. 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima
persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari 2016;
b. 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari
ATMR sejak tanggal 1 Januari 2017;
c. 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh
lima persen) dari ATMR sejak tanggal 1 Januari
2018;
d. 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR sejak
tanggal 1 Januari 2019.
- 9 -
BAB V
SANKSI
Pasal 16
Bank yang ditetapkan sebagai SIB, yang tidak memenuhi
kewajiban penyediaan Capital Surcharge untuk SIB,
dikenakan sanksi sebagaimana ketentuan yang mengatur
mengenai kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank
umum konvensional atau bagi bank umum syariah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 17
Untuk pertama kali, penetapan SIB dan Capital Surcharge
untuk SIB dilakukan pada bulan Januari 2016 dengan
menggunakan data posisi bulan Juni 2015.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 10 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 372
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 46 /POJK.03/2015
TENTANG
PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE
I. UMUM
Penentuan SIB di pasar keuangan domestik bertujuan untuk
mengidentifikasi Bank yang memiliki dampak signifikan terhadap
sistem keuangan domestik. Dengan demikian diperlukan suatu
metodologi dalam melakukan asesmen tingkat sistemik suatu Bank
secara domestik yang mencerminkan adverse effect yang berpotensi
terjadi apabila SIB mengalami kegagalan.
Risiko yang bersumber dari SIB dimitigasi melalui penetapan
Capital Surcharge untuk SIB berdasarkan tingkat dampak sistemik
Bank terhadap sistem keuangan domestik. Penetapan Capital Surcharge
untuk SIB tersebut merupakan bagian dari supervisory action yang
dilakukan dalam kondisi normal.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka perlu adanya
pengaturan tentang Penetapan Systemically Important Bank dan Capital
Surcharge.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
- 2 -
Yang dimaksud dengan “Capital Surcharge untuk SIB” adalah
Capital Surcharge untuk Domestic Systemically Important
Bank sebagaimana ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bagi bank umum konvensional atau bagi bank umum syariah.
Domestic Systemically Important Bank adalah Bank di
Indonesia yang ditetapkan sebagai SIB.
Ayat (2)
Koordinasi antara Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank
Indonesia dilakukan melalui mekanisme koordinasi.
Ayat (3)
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis
kepada Bank yang ditetapkan sebagai SIB dan besaran
Capital Surcharge untuk SIB.
Pasal 3
Penetapan Bank sebagai SIB tidak mencakup kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “metodologi tertentu” adalah
metodologi yang digunakan sesuai standar internasional
dalam menentukan SIB.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “total eksposur Bank” adalah penjumlahan
dari eksposur pada neraca, eksposur pada rekening administratif,
dan potential future exposure dari transaksi derivatif.
Yang dimaksud dengan “eksposur pada neraca” adalah total aset
setelah dikurangi pos antar kantor.
- 3 -
Yang dimaksud dengan “eksposur pada rekening administratif”
adalah total kewajiban komitmen dan kontijensi.
Perhitungan potential future exposure dari transaksi derivatif
mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan
aset tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar.
Transaksi derivatif di Bank Umum Syariah adalah transaksi
lindung nilai syariah yang mengacu pada ketentuan yang
mengatur mengenai perhitungan aset tertimbang menurut risiko
untuk risiko kredit dengan menggunakan pendekatan standar bagi
bank umum syariah.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Huruf a
Bagi Bank Umum Syariah, yang dimaksud dengan “nilai
nosional derivatif over the counter” adalah nilai nosional
lindung nilai syariah over the counter yang mengacu pada
ketentuan yang mengatur mengenai perhitungan aset
tertimbang menurut risiko untuk risiko kredit dengan
menggunakan pendekatan standar bagi bank umum syariah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan indikator domestik yang bersifat
spesifik antara lain terdiri atas:
1.
2.
3.
nilai outstanding bank garansi;
nilai outstanding irrevocable Letter of Credit;
nilai portofolio Surat Berharga Negara dan/atau Surat
Berharga Syariah Negara yang dimiliki;
4. jumlah rekening dana pihak ketiga;
5. jumlah rekening kredit; dan
6. jumlah kantor cabang dalam dan luar negeri.
Huruf d
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 9
Ayat (1)
Indikator yang digunakan dalam metodologi penetapan SIB
terdiri atas 3 (tiga) indikator sehingga setiap indikator
memiliki bobot (100/3)%.
Ayat (2)
Sebagai contoh, indikator keterkaitan dengan sistem
keuangan (interconnectedness) terdiri atas 3 (tiga) sub-
indikator sehingga setiap sub-indikator keterkaitan dengan
sistem keuangan (interconnectedness) memiliki bobot
(100/3)%.
Pasal 10
Skor sistemik (systemic importance score) setiap Bank adalah nilai
yang mencerminkan tingkat (level) sistemik dari setiap Bank.
Pasal 11
Nilai Sub Indikator
1
Menghitung proporsi nilai
masing-masing sub-indikator
terhadap nilai agregat industri
perbankan.
2
Melakukan pembobotan
terhadap sub-indikator.
Nilai Indikator
3
Skor Sistemik
5
Menghitung nilai setiap indikator
dengan cara menjumlahkan nilai
sub-indikator yang telah
dibobotkan.
4
Melakukan pembobotan terhadap
nilai indikator.
Menghitung nilai skor sistemik
dengan cara menjumlahkan
nilai indikator yang telah
dibobotkan.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “komponen modal inti utama
(Common Equity Tier 1)” adalah modal inti utama (Common
Equity Tier 1) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai kewajiban
penyediaan modal minimum bagi bank umum konvensional
atau bagi bank umum syariah.
- 5 -
Ayat (4)
Pertimbangan untuk meninjau ulang dan menyesuaikan
penetapan besaran serta waktu pemenuhan Capital Surcharge
untuk SIB didasarkan antara lain pada pertumbuhan
ekonomi, pertumbuhan kredit, dan/atau kinerja industri
perbankan.
Pasal 13
Kelompok (bucket) 5 Capital Surcharge untuk SIB tidak diisi atau
dikosongkan karena kelompok (bucket) 5 merupakan kelompok
bagi Bank yang memiliki skor sistemik (systemic importance score)
yang sangat tinggi.
Pasal 14
Ayat (1)
Capital Surcharge pada kelompok (bucket) 5 dan seterusnya
merupakan disinsentif bagi Bank yang memiliki skor sistemik
(systemic importance score) sangat tinggi sehingga mendorong
Bank menurunkan risiko sistemik.
Sebagai contoh, dalam hal terdapat Bank yang memiliki skor
sistemik (systemic importance score) yang sangat tinggi
sehingga digolongkan dalam kelompok (bucket) 5, Otoritas
Jasa Keuangan menetapkan:
a. penambahan pengelompokan SIB yaitu kelompok
(bucket) 6; dan
b. tidak terdapat SIB yang digolongkan dalam kelompok
(bucket) 6.
Ayat (2)
Sebagai contoh, besaran Capital Surcharge untuk kelompok
(bucket) 5 sebesar 3,5 % (tiga koma lima persen) sehingga
Capital Surcharge untuk kelompok (bucket) 6 ditetapkan
sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR.
Pasal 15
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5812
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 46/POJK.03/2015 </reg_id>
<reg_title> PENETAPAN SYSTEMICALLY IMPORTANT BANK DAN CAPITAL SURCHARGE </reg_title>
<set_date> 23 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2008', '7/UU/1992', '21/UU/2011', '10/UU/1998' </related_reg>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 22 /POJK.01/2015
TENTANG
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan memberikan kewenangan
kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di Sektor Jasa Keuangan;
b. bahwa pelaksanaan kewenangan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilaksanakan
oleh Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang
dipekerjakan di Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa penyidikan dilaksanakan secara cepat, biaya
ringan dan sederhana yang diarahkan untuk membuat
terang tindak pidana yang terjadi guna mewujudkan
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum,
menumbuhkan dan menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap sektor jasa keuangan, serta memperkuat
stabilitas sistem keuangan;
d. bahwa pelaku industri jasa keuangan dan masyarakat
perlu diberikan akses untuk turut serta dalam
pencegahan dan penanganan tindak pidana di sektor
jasa keuangan;
- 2 -
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf
d, perlu menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor
Jasa Keuangan;
Mengingat
: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA
KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah lembaga yang independen, yang
mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap
perbuatan/peristiwa yang diancam pidana yang diatur
dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai OJK,
Perbankan, Perbankan Syariah, Pasar Modal, Dana
Pensiun, Lembaga Keuangan Mikro, Perasuransian,
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial, Bank Indonesia
sepanjang berkaitan dengan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas OJK dalam pengaturan dan
- 3 -
pengawasan bank, serta Undang-Undang mengenai
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2011 tentang OJK.
3. Dewan Komisioner adalah Pimpinan Tertinggi OJK
yang bersifat kolektif dan kolegial.
4. Penyidik OJK adalah Pejabat Penyidik Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan/atau Pejabat Pegawai
Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus sebagai
Penyidik, yang dipekerjakan di OJK untuk melakukan
Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang OJK.
5. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik OJK
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi di sektor jasa keuangan
dan guna menemukan tersangkanya.
6. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya atau serta nasabah
investor dan investasinya.
7. Rekening Efek adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
pemilik rekening efek pada kustodian, termasuk
catatan yang menunjukkan posisi efek dan dana
nasabah pada kustodian.
BAB II
KEWENANGAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 2
(1) OJK berwenang melakukan Penyidikan Tindak Pidana
di Sektor Jasa Keuangan.
- 4 -
(2) Kewenangan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh Penyidik OJK.
Pasal 3
Penyidik OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) terdiri atas:
a. Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang dipekerjakan di OJK; dan/atau
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang dipekerjakan di OJK
dan diberi wewenang khusus sebagai Penyidik.
Pasal 4
(1) Penyidik OJK sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal
3 huruf a berwenang melakukan tindakan Penyidikan
sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang lainnya yang memberikan kewenangan
kepada Penyidik Polri.
(2) Penyidik OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf b berwenang melakukan tindakan Penyidikan
sesuai ketentuan mengenai Penyidikan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
OJK.
Pasal 5
(1) Dalam hal diperlukan, pegawai atau pejabat OJK yang
bukan Penyidik OJK dapat ditugaskan untuk membantu
kegiatan Penyidik OJK.
(2) Pegawai atau pejabat OJK sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak bertindak selaku Penyidik OJK.
Pasal 6
(1) Penyidik OJK, sesuai kewenangannya, menyampaikan
hasil Penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan
penuntutan.
(2) Jaksa menindaklanjuti dan memutuskan tindak lanjut
hasil Penyidikan sesuai kewenangannya paling lama 90
(sembilan puluh) hari sejak diterimanya hasil Penyidikan
- 5 -
dari Penyidik OJK sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1).
BAB III
PERMINTAAN INFORMASI TENTANG RAHASIA BANK DAN
INFORMASI TENTANG REKENING EFEK NASABAH
PADA KUSTODIAN
Pasal 7
(1) Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik OJK dapat
meminta keterangan dari bank tentang keadaan
keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat
dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-
undangan di sektor jasa keuangan.
(2) Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik OJK dapat
meminta keterangan kepada Kustodian mengenai
Rekening Efek pihak yang diduga melakukan atau
terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Pasal 8
Bank atau Kustodian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7 wajib memenuhi permintaan Penyidik OJK.
BAB IV
LAPORAN DAN/ATAU INFORMASI MENGENAI DUGAAN
TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 9
Setiap pihak dapat menyampaikan laporan dan/atau
informasi mengenai dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa
Keuangan kepada OJK.
Pasal 10
(1) Laporan dan/atau informasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 disampaikan secara tertulis dan/atau
datang secara langsung kepada OJK.
- 6 -
(2) Laporan dan/atau informasi yang disampaikan secara
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
kurang mencantumkan:
a. Nama pelapor;
b. Identitas pelapor; dan
c. Uraian kejadian dan/atau tindakan yang diduga
merupakan Tindak Pidana di Sektor Jasa
Keuangan.
Pasal 11
(1) Atas permintaan tertulis pelapor, OJK menyampaikan
perkembangan penanganan laporan dan/atau
informasi dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa
Keuangan yang dilaporkan oleh pelapor.
(2) Perkembangan penanganan laporan dan/atau
informasi dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat disampaikan setelah OJK menetapkan
dimulainya Penyidikan.
BAB V
ADMINISTRASI PENYIDIKAN
Pasal 12
(1) Setiap tindakan Penyidik sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 4 dituangkan dalam administrasi
Penyidikan.
(2) Administrasi Penyidikan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan
Komisioner OJK.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 13
Tanpa mengurangi ketentuan pidana di sektor jasa
keuangan, pelanggaran terhadap Pasal 8 Peraturan OJK ini
dikenakan sanksi Administratif.
- 7 -
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan OJK ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Desember 2015
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 315
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Sudarmaji
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 22/POJK.01/2015 </reg_id>
<reg_title> PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 16 Desember 2015 </set_date>
<effective_date> 28 Desember 2015 </effective_date>
<issued_date> 28 Desember 2015 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang :
a. bahwa untuk menumbuhkembangkan Lembaga
Penjaminan yang dinamis sesuai dengan
perkembangan, diperlukan pengaturan yang
komprehensif mengenai
perizinan dan
kelembagaan Lembaga Penjaminan;
b. bahwa untuk menciptakan peraturan yang dinamis
dan komprehensif di bidang perizinan dan
kelembagaan Lembaga Penjaminan dengan tetap
memperhatikan prinsip kehati-hatian, perlu untuk
menyempurnakan ketentuan mengenai perizinan
dan kelembagaan Lembaga Penjaminan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga
Penjaminan;
Mengingat
:
1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5253);
2. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Lembaga Penjaminan;
MEMUTUSKAN
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA
PENJAMINAN.
BAB I...
-2-
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Penjaminan adalah kegiatan pemberian jaminan
atas pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
2. Penjaminan Ulang adalah kegiatan pemberian
jaminan atas pemenuhan kewajiban finansial
Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan
Penjaminan Syariah yang telah menjamin
pemenuhan kewajiban finansial Terjamin.
3. Lembaga Penjaminan adalah Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Syariah,
Perusahaan Penjaminan Ulang, dan Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
4. Perusahaan Penjaminan adalah badan hukum
yang bergerak di bidang keuangan dengan kegiatan
usaha melakukan Penjaminan.
5. Perusahaan Penjaminan Syariah adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan
berdasarkan Prinsip Syariah.
6. Perusahaan Penjaminan Ulang adalah badan
hukum yang bergerak di bidang keuangan dengan
kegiatan usaha melakukan Penjaminan Ulang.
7. Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah adalah
badan hukum yang bergerak di bidang keuangan
dengan kegiatan usaha melakukan Penjaminan
Ulang berdasarkan Prinsip Syariah.
8. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam
antara Lembaga Keuangan dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya dalam jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.
9. Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah adalah
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang
diberikan oleh Lembaga Keuangan berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara Lembaga
Keuangan dengan pihak lain.
10. Prinsip…
Penjaminan
-3-
10. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
11. Unit Usaha Syariah adalah unit kerja di kantor
pusat Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang berfungsi sebagai kantor
pusat dari kantor cabang dan/atau kantor selain
kantor cabang yang menjalankan kegiatan usaha
Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan
Prinsip Syariah.
12. Lembaga Keuangan adalah bank dan lembaga
keuangan bukan bank.
13. Kantor Cabang adalah kantor Lembaga Penjaminan
yang secara langsung bertanggung jawab kepada
kantor pusat.
14. Penerima Jaminan adalah Lembaga Keuangan atau
di luar Lembaga Keuangan yang telah memberikan
fasilitas finansial kepada Terjamin.
15. Terjamin adalah pihak yang telah memperoleh
fasilitas finansial dari Lembaga Keuangan atau di
luar Lembaga Keuangan yang dijamin oleh
Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Syariah baik perorangan, badan
usaha, perseroan terbatas, unit usaha suatu
yayasan, koperasi dan usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM).
16. Sertifikat Penjaminan adalah bukti persetujuan
Penjaminan dari Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Syariah kepada Penerima
Jaminan atas kewajiban finansial Terjamin.
17. Direksi:
a. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Perusahaan Umum adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai badan usaha milik negara;
b. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perseroan terbatas;
c. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Koperasi adalah pengurus
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perkoperasian.
18. Dewan…
-4-
18. Dewan Komisaris:
a. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Perusahaan Umum adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai badan usaha milik
negara;
b. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang mengenai perseroan terbatas;
c. bagi Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum Koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perkoperasian.
19. Dewan Pengawas Syariah adalah bagian dari organ
Lembaga Penjaminan yang melakukan fungsi
pengawasan atas penyelenggaraan usaha yang
dilaksanakan Lembaga Penjaminan agar sesuai
dengan Prinsip Syariah.
20. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang
independen dan bebas dari campur tangan pihak
lain yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan
penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB II
IZIN USAHA, PERMODALAN, DAN BENTUK BADAN
HUKUM
Bagian Kesatu
Izin Usaha
Pasal 2
(1) Lembaga Penjaminan hanya dapat melakukan
kegiatan usaha setelah mendapat izin usaha dari
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan untuk mendapatkan izin usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan
oleh Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai
dengan format dalam Lampiran I Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dan harus dilampiri
dengan:
a. akta…
-5-
a. akta pendirian badan hukum termasuk
anggaran dasar yang telah disahkan oleh
instansi berwenang, yang paling sedikit
memuat:
1. nama, tempat kedudukan, dan lingkup
wilayah operasional;
2. kegiatan usaha sebagai
Perusahaan
Penjaminan, Perusahaan Penjaminan Ulang,
Perusahaan Penjaminan Syariah, atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah;
3. permodalan;
4. kepemilikan; dan
5. wewenang, tanggung jawab, masa jabatan
Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan
Pengawas Syariah bagi yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah.
b. data Direksi dan Dewan Komisaris meliputi:
1. 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran 4 x 6
cm;
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda
Penduduk (KTP) atau paspor yang masih
berlaku;
3. daftar riwayat hidup; dan
4. surat pernyataan bahwa Direksi dan Dewan
Komisaris akan mengikuti
penilaian
kemampuan dan kepatutan kepada Otoritas
Jasa Keuangan;
5. surat pernyataan bahwa:
a) Direksi Lembaga Penjaminan tidak
melakukan rangkap jabatan pada
Lembaga Penjaminan atau badan usaha
lain; atau
b) Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan
tidak melakukan rangkap jabatan sebagai
Dewan Komisaris pada lebih dari 3 (tiga)
Lembaga Penjaminan atau badan usaha
lain.
6. surat keterangan atau bukti tertulis
berpengalaman di bidang Penjaminan atau
perbankan atau Lembaga Keuangan lainnya
selama 2 (dua) tahun bagi salah satu Direksi.
7. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan
kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan.
c. data...
-6-
c. data pemegang saham atau anggota:
1. dalam hal pemegang saham adalah
perorangan, dokumen yang dilampirkan
adalah dokumen sebagaimana dimaksud
dalam huruf b angka 1, angka 2, dan angka
3 serta surat pernyataan bahwa setoran
modal tidak berasal dari pinjaman dan
tindak pidana pencucian uang;
2. dalam hal pemegang saham adalah badan
hukum, dokumen yang dilampirkan adalah:
a) akta pendirian badan hukum, termasuk
anggaran dasar berikut perubahan yang
terakhir yang telah berlaku sesuai
ketentuan perundang-undangan;
b) laporan keuangan yang telah diaudit oleh
akuntan publik dan/atau laporan
keuangan terakhir;
c) dokumen sebagaimana dimaksud dalam
huruf b angka 1, angka 2, dan angka 3
bagi pemegang saham dan Direksi badan
hukum tersebut; dan
d) surat pernyataan bahwa setoran modal
tidak berasal dari tindak pidana
pencucian uang.
3. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan
kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan bagi
pemegang saham pengendali Lembaga
Penjaminan.
d. Dokumen persyaratan Dewan Pengawas
Syariah, bagi yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah, meliputi:
1. Surat rekomendasi dari Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia; dan
2. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan
kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan;
e. struktur organisasi yang memiliki fungsi
pengelolaan risiko, fungsi pengelolaan
keuangan, fungsi pelayanan dan pengembangan
informasi/database Terjamin;
f. sistem dan prosedur kerja Lembaga Penjaminan;
g. rencana kerja untuk tiga tahun pertama yang
sekurang-kurangnya memuat:
1. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan
potensi ekonomi;
2. rencana…
-7-
2. rencana kegiatan usaha Penjaminan atau
Penjaminan Ulang dan langkah-langkah
kegiatan yang akan dilakukan dalam
mewujudkan rencana dimaksud; dan
3. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan
laporan arus kas bulanan selama 12 (dua
belas) bulan yang dimulai sejak Lembaga
Penjaminan melakukan kegiatan operasional.
h. Keterangan mengenai pegawai yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki pengalaman dibidang Penjaminan
(termasuk surety di bidang asuransi) atau
pengalaman sebagai analis kredit paling
sedikit 1 (satu) tahun;
2. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan
di bidang Penjaminan atau Lembaga
Keuangan bagi Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Ulang; dan
3. pernah mengikuti pendidikan atau pelatihan
di bidang penjaminan atau penjaminan
syariah bagi Perusahaan Penjaminan
Syariah dan Perusahaan Penjaminan Ulang
Syariah.
i. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau
setoran pokok dan sertifikat modal dalam
bentuk deposito berjangka atas nama Lembaga
Penjaminan yang bersangkutan pada:
1. salah satu bank umum di Indonesia bagi
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang; atau
2. salah satu bank umum syariah di Indonesia
bagi Perusahaan Penjaminan Syariah atau
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah.
j. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa:
1. daftar aset tetap dan inventaris;
2. bukti kepemilikan, penguasaan atau
perjanjian sewa menyewa gedung kantor;
3. contoh formulir, termasuk Sertifikat
Penjaminan yang akan digunakan untuk
operasional Lembaga Penjaminan; dan
4. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pasal 3…
-8-
Pasal 3
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
usaha diberikan paling lama 45 (empat puluh lima)
hari setelah dokumen permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 diterima secara lengkap
dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Penjaminan.
(3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan
alasan penolakan.
Pasal 4
(1) Lembaga Penjaminan yang telah mendapat izin
usaha dari Otoritas Jasa Keuangan wajib
melakukan kegiatan usaha paling lambat 4 (empat)
bulan setelah tanggal izin usaha ditetapkan.
(2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh
Direksi Lembaga Penjaminan kepada Otoritas
Jasa Keuangan dengan dilampiri fotokopi Sertifikat
Penjaminan atau perjanjian kerja sama paling
lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal
dimulainya kegiatan operasional sesuai dengan
format dalam Lampiran II Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Lembaga Penjaminan
belum melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa
Keuangan mencabut izin usaha yang telah
dikeluarkan.
Pasal 5
Nama Lembaga Penjaminan harus dicantumkan secara
jelas dalam anggaran dasar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1 yang dimulai
dengan bentuk badan hukum diikuti kata:
a. Penjaminan atau Jaminan, bagi Perusahaan
Penjaminan;
b. Penjaminan…
-9-
b. Penjaminan Ulang atau Jaminan Ulang, bagi
Perusahaan Penjaminan Ulang;
c. Penjaminan atau Jaminan serta diakhiri dengan
kata syariah, bagi Perusahaan Penjaminan Syariah;
atau
d. Penjaminan Ulang atau Jaminan Ulang serta
diakhiri dengan kata syariah, bagi Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah.
Bagian Kedua
Permodalan
Pasal 6
(1) Modal disetor atau setoran pokok dan sertifikat
modal Lembaga Penjaminan
ditetapkan
berdasarkan lingkup operasi yaitu nasional atau
provinsi.
(2) Jumlah modal disetor atau setoran pokok dan
sertifikat modal Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah ditetapkan paling
sedikit:
a. Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah), untuk lingkup nasional; atau
b. Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar
rupiah), untuk lingkup provinsi.
(3) Jumlah modal disetor atau setoran pokok dan
sertifikat modal Perusahaan Penjaminan Ulang dan
Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah ditetapkan
paling sedikit Rp200.000.000.000,00 (dua ratus
miliar rupiah).
Bagian Ketiga
Bentuk Badan Hukum
Pasal 7
(1) Bentuk badan hukum Lembaga Penjaminan
adalah:
a. Perusahaan Umum;
b. Perseroan Terbatas; atau
c. Koperasi.
(2) Lembaga Penjaminan yang berbentuk badan
hukum Perseroan Terbatas, sahamnya hanya
dapat dimiliki oleh:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum Indonesia;
c. badan usaha asing;
d. Pemerintah Pusat; dan/atau
e. Pemerintah Daerah.
(3) Badan…
-10-
(3) Badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c hanya dapat memiliki saham pada
Lembaga Penjaminan berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas.
(4) Total kepemilikan asing pada Lembaga Penjaminan
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas baik
secara langsung maupun tidak langsung paling
banyak sebesar 49% (empat puluh sembilan per
seratus) dari modal disetor.
(5) Perusahaan Penjaminan Ulang atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah yang berbentuk badan
hukum Koperasi hanya dapat dimiliki oleh
gabungan
Perusahaan Penjaminan
BAB III
KEPEMILIKAN DAN KEPENGURUSAN
Pasal 8
(1) Bagi pemegang saham yang berbentuk badan
hukum Indonesia, jumlah penyertaan modal pada
Lembaga Penjaminan ditetapkan paling banyak
sebesar:
a. ekuitas badan hukum yang bersangkutan
apabila tidak terdapat penyertaan lain; atau
b. ekuitas badan hukum yang bersangkutan
dikurangi jumlah penyertaan lain yang telah
dilakukan apabila terdapat penyertaan lain.
(2) Ekuitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan:
a. penjumlahan dari modal disetor, cadangan,
dan laba, dikurangi kerugian, dalam hal
Lembaga Penjaminan berbentuk badan
hukum perseroan terbatas dan perusahaan
umum; atau
b. penjumlahan dari setoran pokok, sertifikat
modal, dan sisa hasil usaha, dikurangi
penyertaan dan kerugian, dalam hal Lembaga
Penjaminan berbentuk badan hukum
koperasi.
Pasal 9
(1) Pemegang saham, Direksi, dan Dewan Komisaris
Lembaga Penjaminan paling kurang harus
memenuhi persyaratan:
a. tidak...
atau
Perusahaan Penjaminan Syariah yang berbentuk
badan hukum Koperasi.
-11-
a. tidak tercatat dalam daftar kredit macet di
sektor perbankan;
b. tidak tercantum dalam DTL di sektor
perbankan;
c. tidak pernah dihukum karena tindak pidana
kejahatan dan/atau tindak pidana di bidang
ekonomi atau sektor keuangan;
d. setoran modal bagi pemegang saham:
1. tidak berasal dari pinjaman dan tindak
pidana pencucian uang bagi pemegang
saham perorangan;
2. tidak berasal dari tindak pidana pencucian
uang bagi pemegang saham badan hukum.
e. tidak pernah dikenakan sanksi administratif
akibat pelanggaran atas ketentuan perundang-
undangan di bidang jasa keuangan;
f. salah satu Direksi Lembaga Penjaminan harus
memiliki pengalaman operasional di bidang
Penjaminan,
perbankan atau lembaga
keuangan lainnya paling sedikit 2 (dua) tahun
di tingkat manajerial;
g. salah satu direksi harus memiliki pengalaman
operasional di bidang Lembaga Keuangan yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah bagi Perusahaan Penjaminan Syariah
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah;
dan
h. tidak pernah dinyatakan pailit atau dinyatakan
bersalah yang mengakibatkan
suatu
perseroan/perusahaan dinyatakan pailit
berdasarkan keputusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal pemegang saham Lembaga Penjaminan
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas,
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
kecuali huruf f dan huruf g berlaku bagi pemegang
saham dan Direksi dari Perseroan Terbatas
tersebut.
(3) Dalam hal pemegang saham Lembaga Penjaminan
berbentuk badan hukum Koperasi, ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali
huruf f dan huruf g berlaku bagi pengurus
Koperasi tersebut.
Pasal 10
(1) Direksi Lembaga Penjaminan dilarang merangkap
jabatan...
-12-
jabatan pada Lembaga Penjaminan atau badan
usaha lain.
(2) Dewan Komisaris Lembaga Penjaminan dilarang
merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris
pada lebih dari 3 (tiga) Lembaga Penjaminan atau
badan usaha lain.
BAB IV
UNIT USAHA SYARIAH
Pasal 11
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang dapat melakukan sebagian
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
dengan membentuk Unit Usaha Syariah.
(2) Perusahaan
Penjaminan atau
Perusahaan
Penjaminan Ulang yang membentuk Unit Usaha
Syariah dalam anggaran dasarnya wajib memuat
ketentuan mengenai maksud dan tujuan
perusahaan untuk menjalankan usaha
Penjaminan atau usaha Penjaminan Ulang
termasuk
menjalankan
sebagian
Penjaminan atau Penjaminan Ulang berdasarkan
prinsip Syariah.
(3) Pembentukan Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu
mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Untuk mendapat izin pembentukan Unit Usaha
Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang harus memenuhi persyaratan:
a. melakukan perubahan anggaran dasar yang
menyatakan maksud dan tujuan perusahaan
menjalankan usaha Penjaminan atau usaha
Penjaminan Ulang termasuk usaha dengan
Prinsip Syariah;
b. memiliki Dewan Pengawas Syariah yang telah
mendapat rekomendasi Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia dengan ketentuan:
1. diangkat dalam rapat umum pemegang
saham atau rapat anggota;
2. memenuhi
persyaratan
penilaian
kemampuan dan kepatutan yang
dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
c. memiliki calon pimpinan Unit Usaha Syariah
dengan memenuhi ketentuan:
1. mempunyai…
usaha
-13-
1. mempunyai pengalaman di bidang
manajerial paling kurang 1 (satu) tahun;
2. mempunyai pengetahuan di bidang
Penjaminan syariah dan/atau ekonomi
syariah;
3. menyampaikan surat pernyataan:
1) tidak tercatat dalam daftar kredit macet di
sektor perbankan;
2) tidak tercantum dalam DTL di sektor
perbankan;
3) tidak pernah dihukum karena tindak
pidana kejahatan dan/atau tindak pidana
di bidang ekonomi atau sektor keuangan;
4) tidak pernah dinyatakan pailit atau
dinyatakan bersalah yang mengakibatkan
suatu perseroan/perusahaan dinyatakan
pailit berdasarkan keputusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
dan
5) tidak pernah
dikenakan sanksi
administratif akibat pelanggaran atas
ketentuan perundang-undangan di bidang
jasa keuangan.
d. menyisihkan modal kerja untuk pembentukan
Unit Usaha Syariah yang ditetapkan dalam
rapat umum pemegang saham atau rapat
anggota, sebesar:
1. Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) untuk Unit Usaha Syariah dari
Perusahaan Penjaminan; atau
2. Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar
rupiah) untuk Unit Usaha Syariah dari
Perusahaan Penjaminan Ulang;
modal kerja dimaksud harus telah disetor
penuh pada bank umum syariah dan telah
dilegalisasi oleh bank penerima setoran serta
masih berlaku selama dalam proses pengajuan
izin Unit Usaha Syariah.
e. memiliki
sistem akuntansi dan sistem
pengelolaan data yang memenuhi fungsi
pengendalian intern yang terpisah bagi Unit
Usaha Syariah;
(5) Untuk mendapat izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang harus mengajukan permohonan
kepada…
-14-
kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
melampirkan:
a. dokumen bukti pemenuhan persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4);
b. dokumen pendukung lainnya meliputi :
1. uraian tugas dan wewenang pimpinan unit
syariah dalam kegiatan Penjaminan atau
Penjaminan Ulang, penetapan imbal jasa
Penjaminan, penetapan besarnya komisi,
dan penyelesaian klaim;
2. neraca pembukaan, yang dilengkapi dengan
bukti pendukungnya;
3. data bagi calon pimpinan unit syariah
meliputi:
a) 1 (satu) lembar pas foto terbaru ukuran
4x6 cm;
b) fotokopi tanda pengenal berupa KTP atau
paspor yang masih berlaku;
c) daftar riwayat hidup; dan
d) surat pernyataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf c angka 3.
Pasal 12
(1) Persetujuan atau penolakan atas permohonan izin
Unit Usaha Syariah diberikan paling lambat 45
(empat puluh lima) hari setelah dokumen
permohonan diterima secara lengkap dan benar.
(2) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang Penjaminan.
(3) Penolakan atas permohonan izin sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disertai dengan
alasan penolakan.
Pasal 13
(1) Unit Usaha Syariah yang telah mendapat izin dari
Otoritas Jasa Keuangan wajib melakukan kegiatan
usaha paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
tanggal izin dikeluarkan.
(2) Laporan pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh
Direksi…
-15-
Direksi kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
dilampiri fotokopi Sertifikat Penjaminan atau
perjanjian kerja sama paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah tanggal dimulainya kegiatan
operasional sesuai dengan format dalam Lampiran
III Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(3) Apabila setelah jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) Unit Usaha Syariah belum
melakukan kegiatan usaha, Otoritas Jasa
Keuangan mencabut izin Unit Usaha Syariah yang
telah dikeluarkan.
Pasal 14
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang dapat menghentikan kegiatan
usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan terlebih
dahulu mengajukan permohonan pencabutan izin
Unit Usaha Syariah kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Penghentian kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah
yang dijalankan oleh Unit Usaha Syariah wajib
memenuhi ketentuan:
a. tidak merugikan kepentingan terjamin dan
penerima jaminan;
b. memberitahukan kepada penerima jaminan;
c. mengalihkan portofolio Penjaminan syariah ke
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Unit
Usaha Syariah lainnya; dan
d. menyelesaikan kewajiban yang dimiliki.
(3) Permohonan pencabutan izin Unit Usaha Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
b. asli keputusan izin pembukaan Unit Usaha
Syariah;
c. alasan penutupan; dan
d. bukti pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
(4) Pencabutan izin Unit Usaha Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam batas
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap dan
benar.
BAB V…
-16-
BAB V
DEWAN PENGAWAS SYARIAH
Pasal 15
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah, Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dan Unit Usaha Syariah
wajib memiliki paling sedikit 1 (satu) orang Dewan
Pengawas Syariah.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diangkat dalam rapat umum
pemegang saham atau rapat anggota atas
rekomendasi Dewan Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia.
(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilarang:
a. Rangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris
pada Lembaga Penjaminan dan/atau pimpinan
Unit Usaha Syariah; dan
b. Rangkap jabatan sebagai Dewan pengawas
Syariah pada lebih dari 2 (dua) badan usaha
lain.
(4) Dewan Pengawas Syariah Perusahaan Penjaminan
Syariah, Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah
dan Unit Usaha Syariah wajib melaksanakan tugas
pengawasan dan pemberian nasihat serta saran
kepada Direksi agar kegiatan usahanya sesuai
dengan Prinsip Syariah.
(5) Tugas pengawasan dan pemberian nasihat
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dalam bentuk:
a. memastikan dan mengawasi kesesuaian
kegiatan operasional Lembaga Penjaminan
terhadap fatwa yang telah ditetapkan oleh
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
b. menilai aspek Syariah terhadap pedoman
operasional dan produk yang dikeluarkan
Lembaga Penjaminan.
c. mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada
fatwa untuk dimintakan fatwa kepada Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(6) Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi
persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan
yang dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
BAB VI...
-17-
BAB VI
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Perubahan Pemegang Saham, Direksi, Dewan
Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Modal
Pasal 16
(1) Direksi wajib melaporkan setiap perubahan
pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris,
Dewan Pengawas Syariah, dan modal kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah tanggal diterimanya persetujuan
atau pencatatan perubahan dimaksud dari
instansi yang berwenang.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
disampaikan sesuai dengan format Lampiran IV,
Lampiran V, atau Lampiran VI Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini serta wajib dilampiri dengan:
a. bukti perubahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang telah disahkan atau dilaporkan
kepada instansi berwenang dan/atau
didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
b. dokumen data Direksi dan/atau Dewan
Komisaris dan/atau data pemegang saham
dan/atau Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b dan/atau huruf c dan/atau huruf d;
dan/atau
c. fotokopi bukti tambahan modal dalam bentuk
deposito berjangka atas nama Lembaga
Penjaminan pada salah satu bank umum di
Indonesia dan dilegalisasi oleh bank penerima
setoran yang masih berlaku selama proses
pelaporan perubahan modal.
Bagian Kedua
Perubahan Nama
Pasal 17
(1) Direksi wajib melaporkan perubahan nama
Lembaga Penjaminan secara tertulis kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 15 (lima belas)
hari setelah diperolehnya surat persetujuan
perubahan nama dari instansi berwenang, dengan
menggunakan format dalam Lampiran VII
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan harus
dilampiri dokumen:
a. risalah…
-18-
a. risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota atau penetapan dari instansi
yang berwenang mengenai perubahan nama
Lembaga Penjaminan;
b. bukti perubahan nama yang telah disahkan
oleh instansi yang berwenang; dan
c. NPWP atas nama Lembaga Penjaminan yang
baru.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
pencatatan perubahan nama Lembaga Penjaminan
dengan keputusan Dewan Komisoner Otoritas Jasa
Keuangan mengenai perubahan nama Lembaga
Penjaminan.
Bagian Ketiga
Perubahan Bentuk Badan Hukum
Pasal 18
(1) Direksi wajib melaporkan Perubahan bentuk badan
hukum Lembaga Penjaminan secara tertulis kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak diperolehnya surat persetujuan
perubahan bentuk badan hukum dari instansi
berwenang sesuai dengan format dalam Lampiran
VIII Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan
dilampiri dokumen:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota mengenai perubahan bentuk
badan hukum Lembaga Penjaminan;
b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
c. berita acara pengalihan seluruh hak dan
kewajiban dari badan hukum lama kepada
badan hukum baru; dan
d. NPWP atas nama Lembaga Penjaminan yang
baru.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
pencatatan perubahan bentuk badan hukum
Lembaga Penjaminan dengan keputusan Dewan
Komisoner Otoritas Jasa Keuangan mengenai
perubahan bentuk badan hukum Lembaga
Penjaminan.
BAB VII…
-19-
BAB VII
PENGGABUNGAN, PELEBURAN, DAN
PENGAMBILALIHAN
Bagian Kesatu
Penggabungan dan Peleburan
Pasal 19
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang dapat melakukan
penggabungan dengan satu atau lebih Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya
salah satu Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang dan membubarkan
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang lainnya tanpa dilakukan
likuidasi terlebih dahulu.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang dapat melakukan peleburan
dengan satu atau lebih Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Ulang dengan cara
mendirikan satu Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang baru dan
membubarkan Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang yang melakukan
peleburan.
(3) Perusahaan Penjaminan dan Perusahaan
Penjaminan Ulang yang akan melakukan
penggabungan atau peleburan wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 20
(1) Untuk memperoleh persetujuan penggabungan
atau peleburan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 ayat (3), Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang harus mengajukan
permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sesuai dengan format dalam Lampiran IX
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilampiri dengan rancangan penggabungan
atau peleburan yang paling kurang memuat:
a. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan…
-20-
Penjaminan Ulang yang akan melakukan
penggabungan atau peleburan dengan tidak
mengurangi hak Penerima Jaminan atau
Terjamin; dan
b. laporan keuangan proforma dari Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang menerima penggabungan atau hasil
peleburan dan memenuhi ketentuan tingkat
Gearing Ratio yang diperkenankan.
(3) Hak dan kewajiban yang timbul dari semua obyek
Penjaminan yang dilakukan oleh Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
setelah melakukan penggabungan atau peleburan,
menjadi tanggung jawab Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Ulang baru hasil
penggabungan atau peleburan.
Pasal 21
(1) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang hasil penggabungan, wajib
melaporkan hasil pelaksanaan penggabungan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
format dalam Lampiran X dan wajib dilampiri
dokumen:
a. Fotokopi perubahan
anggaran dasar
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang bagi yang berbentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi;
b. Peraturan Pemerintah mengenai pendirian
berikut perubahannya bagi Lembaga
Penjaminan yang berbentuk Perusahaan
Umum;
c. susunan organisasi dan kepengurusan
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang hasil penggabungan;
d. NPWP Lembaga Penjaminan, Direksi, Dewan
Komisaris, dan pemegang saham; dan
e. alamat lengkap Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan
Penjaminan
penggabungan.
(2) Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang hasil
peleburan, wajib
melaporkan hasil pelaksanaan peleburan kepada
Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan format
dalam Lampiran XI dan wajib dilampiri dokumen:
a. fotokopi...
Ulang
hasil
-21-
a. fotokopi
anggaran dasar Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang telah disahkan oleh instansi yang
berwenang bagi yang berbentuk Perseroan
Terbatas atau Koperasi;
b. Peraturan Pemerintah mengenai pendirian bagi
Lembaga Penjaminan yang berbentuk
Perusahaan Umum;
c. susunan organisasi dan kepengurusan
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang hasil peleburan;
d. NPWP Lembaga Penjaminan, Direksi, Dewan
Komisaris, dan pemegang saham; dan
e. alamat lengkap Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan.
(3) Laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
harus disampaikan paling lambat 15 (lima belas)
hari setelah tanggal diterimanya persetujuan atau
pencatatan perubahan anggaran dasar dari
instansi yang berwenang atau sejak tanggal
ditetapkannya Peraturan Pemerintah.
(4) Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang melakukan penggabungan
setelah mendapatkan laporan hasil penggabungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha
Perusahaan Penjaminan atau Perusahaan
Penjaminan Ulang yang melakukan peleburan dan
menerbitkan izin usaha Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil
peleburan setelah mendapatkan laporan hasil
peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 22
(1) Kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang menggabungkan diri dapat diberlakukan
sebagai Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan
atau Perusahaan Penjaminan Ulang hasil
penggabungan.
(2) Salah satu kantor pusat dari Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang meleburkan diri dapat diberlakukan sebagai
kantor...
-22-
kantor pusat Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan.
(3) Kantor pusat dan Kantor Cabang dari Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Ulang
yang meleburkan diri dapat diberlakukan sebagai
Kantor Cabang Perusahaan Penjaminan atau
Perusahaan Penjaminan Ulang hasil peleburan.
Pasal 23
(1) Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan
penggabungan dengan satu atau lebih
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dengan cara tetap
mempertahankan berdirinya salah satu
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dan membubarkan
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah
dilakukan likuidasi terlebih dahulu.
(2) Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah dapat melakukan
peleburan dengan satu atau lebih Perusahaan
Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah dengan cara mendirikan satu
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang
Syariah
baru dan
membubarkan Perusahaan Penjaminan Syariah
atau Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah yang
melakukan peleburan.
(3) Perusahaan Penjaminan Syariah dan Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan
penggabungan atau peleburan wajib terlebih
dahulu memperoleh persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Ketentuan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21,
dan Pasal 22 mutatis mutandis berlaku bagi
Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan
Penjaminan Ulang Syariah yang akan melakukan
penggabungan atau peleburan.
Bagian Kedua
Pengambilalihan
Pasal 24
(1) Pengambilalihan
dapat
dilakukan dengan
mengambil…
lainnya tanpa
-23-
mengambil alih seluruh atau sebagian besar
saham Lembaga Penjaminan lain sehingga
mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap
Lembaga Penjaminan tersebut.
(2) Pelaksanaan pengambilalihan terhadap Lembaga
Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan
sebagai berikut:
a. pelaksanaan
pengambilalihan
b. pelaksanaan
pengambilalihan
tidak
mengakibatkan berkurangnya hak Penerima
Jaminan atau hak Lembaga Penjaminan;
wajib
memenuhi ketentuan Gearing Ratio Usaha
Produktif dan total Gearing Ratio sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Penyelenggaraan Usaha
Lembaga Penjaminan; dan
c. pelaksanaan pengambilalihan harus tetap
memenuhi ketentuan mengenai pembatasan
atas investasi sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penyelenggaraan Usaha Lembaga Penjaminan.
Pasal 25
Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
BAB VIII
KANTOR CABANG DAN KANTOR CABANG DENGAN
OTORITAS KESYARIAHAN
Bagian Kesatu
Kantor Cabang
Pasal 26
(1) Lembaga Penjaminan dapat membuka Kantor
Cabang di wilayah negara Republik Indonesia
sesuai lingkup wilayah operasionalnya.
(2) Untuk dapat membuka Kantor Cabang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga
Penjaminan wajib terlebih dahulu mendapatkan
izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Direksi mengajukan permohonan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan
format dalam Lampiran XII Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini dan harus dilampiri dengan:
a. hasil…
-24-
a. hasil studi kelayakan yang sekurang-
kurangnya memuat potensi ekonomi, peluang
pasar, dan proyeksi arus kas bulanan selama
12 (dua belas) bulan;
b. bukti penguasaan gedung kantor; dan
c. sistem dan prosedur kerja, struktur
organisasi, dan personalia termasuk nama
calon kepala Kantor Cabang serta jumlah
karyawan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas permohonan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap
dan benar.
(5) Dalam rangka memberikan persetujuan atau
penolakan atas permohonan pembukaan kantor
cabang, Otoritas Jasa Keuangan melakukan
penelitian atas
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
huruf b, dan huruf c.
(6) Pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang
dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari
setelah tanggal dikeluarkan izin Otoritas Jasa
Keuangan.
(7) Laporan pelaksanaan pembukaan Kantor Cabang
wajib disampaikan oleh Direksi
Lembaga
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang
dilampiri dengan fotokopi Sertifikat Penjaminan
atau perjanjian kerja sama paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak tanggal pembukaan sesuai
dengan format dalam Lampiran XIII Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) Lembaga Penjaminan
tidak melaksanakan pembukaan Kantor Cabang,
Otoritas Jasa Keuangan membatalkan izin
pembukaan Kantor Cabang yang telah ditetapkan.
Pasal 27
Kantor Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
mempunyai kewenangan antara lain:
a. memutuskan penutupan perjanjian penjaminan;
b. menandatangani Sertifikat Penjaminan; dan
c. menetapkan untuk membayar atau menolak klaim.
Pasal 28…
kelengkapan dokumen
-25-
Pasal 28
(1) Penutupan Kantor Cabang Lembaga Penjaminan
wajib mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan penutupan kantor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada Otoritas
Jasa Keuangan sesuai dengan format dalam
Lampiran XIV Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini dengan disertai:
a. alasan penutupan; dan
b. surat pernyataan dari Direksi bahwa seluruh
kewajiban Kantor Cabang kepada Penerima
Jaminan dan pihak lainnya menjadi tanggung
jawab Lembaga Penjaminan.
(3) Persetujuan atau penolakan penutupan kantor
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah
dokumen permohonan diterima secara lengkap
dan benar.
(4) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah
mendapat izin penutupan, dilaksanakan paling
lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal
diterimanya izin penutupan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
(5) Pelaksanaan penutupan kantor yang telah
mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) dilaporkan oleh Lembaga
Penjaminan kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lambat 15 (lima belas) hari setelah tanggal
penutupan.
Bagian Kedua
Penugasan Kantor Cabang dengan
Otoritas Kesyariahan
Pasal 29
(1) Perusahaan
Penjaminan
dan
Perusahaan
Penjaminan Ulang dapat melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah dengan cara
menugaskan kantor cabang konvensional dengan
memberikan otoritas kesyariahan (sharia authority
channeling).
(2) Perusahaan
Penjaminan
dan
Perusahaan
Penjaminan Ulang yang menugaskan kantor
cabang konvensional dengan memberikan otoritas
kesyariahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
melapor…
(sharia authority channeling)
-26-
melapor kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 15 (lima belas) hari sebelum pelaksanaan
penugasan otoritas kesyariahan (sharia authority
channeling).
(3) Kepala kantor cabang konvensional yang
diberikan otoritas kesyariahan (sharia authority
channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
wajib mempunyai pengetahuan di bidang
Penjaminan syariah dan/atau ekonomi syariah.
BAB IX
PERUBAHAN ALAMAT KANTOR
LEMBAGA PENJAMINAN
Pasal 30
(1) Perubahan alamat kantor wajib dilaporkan secara
tertulis oleh Direksi kepada Otoritas Jasa
Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari
setelah tanggal pelaksanaan perubahan sesuai
dengan format dalam Lampiran XV Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Perubahan alamat kantor sebagaimana dimaksud
ayat (1) bagi Perusahaan Penjaminan dan
Perusahaan Penjaminan Syariah lingkup provinsi,
hanya dapat dilakukan dalam provinsi yang sama.
BAB X
PENCABUTAN IZIN USAHA
Pasal 31
(1) Pencabutan Izin Usaha Lembaga Penjaminan
dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pencabutan Izin Usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam hal Lembaga
Penjaminan:
a. bubar;
b. dikenakan sanksi administratif pencabutan
izin usaha;
c. tidak lagi menjadi Lembaga Penjaminan;
d. bubar sebagai
akibat
Penggabungan atau Peleburan; atau
e. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
Pasal 32
Lembaga Penjaminan bubar karena:
a. keputusan…
melakukan
-27-
a. keputusan rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota;
b. jangka waktu berdirinya perusahaan yang
ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir;
c. putusan pengadilan; atau
d. keputusan pemerintah.
Pasal 33
Dalam hal Lembaga Penjaminan bubar karena
keputusan rapat umum pemegang saham, likuidator
harus melaporkan hasil rapat umum pemegang saham
kepada Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima
belas) hari setelah rapat umum pemegang saham
dilaksanakan.
Pasal 34
(1) Dalam hal Lembaga Penjaminan
bubar
berdasarkan putusan pengadilan atau keputusan
pemerintah, likuidator atau penyelesai harus
melaporkan pembubaran tersebut kepada Otoritas
Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima belas) hari
sejak diterimanya putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap atau
diterimanya keputusan pemerintah.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus dilampiri dengan:
a. putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap; atau
b. keputusan pemerintah.
Pasal 35
(1) Lembaga Penjaminan yang melakukan perubahan
kegiatan usaha sehingga tidak lagi menjadi
Lembaga Penjaminan harus melaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak diterimanya persetujuan atas
perubahan anggaran dasar
berwenang.
dari
instansi
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
harus dilampiri dengan dokumen:
a. risalah rapat umum pemegang saham atau
rapat anggota; dan
b. perubahan anggaran dasar yang telah
disahkan oleh instansi berwenang atau
Peraturan Pemerintah bagi Lembaga
Penjaminan yang berbentuk badan hukum
Perusahaan Umum.
Pasal 36…
-28-
Pasal 36
(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 35, Otoritas
Jasa Keuangan mencabut Izin Usaha Lembaga
Penjaminan.
(2) Pencabutan izin usaha Lembaga Penjaminan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2)
wajib diikuti dengan pembubaran badan hukum.
BAB XI
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 37
(1) Lembaga Penjaminan yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11 ayat
(2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 14 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 19 ayat (3), Pasal 23 ayat (3), Pasal 26 ayat
(2), Pasal 28 ayat (1), dan Pasal 29 ayat (3)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan
sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha; atau
c. pencabutan Izin Usaha.
(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, diberikan secara tertulis paling
banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa
berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari.
(3) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Lembaga Penjaminan telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mencabut sanksi
peringatan.
(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir
serta Lembaga Penjaminan tetap tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Otoritas Jasa Keuangan mengenakan sanksi
pembekuan kegiatan usaha.
(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis
dan berlaku selama 6 (enam) bulan sejak surat
sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.
(6) Selama…
-29-
(6) Selama masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Lembaga Penjaminan:
a. dilarang melakukan Penjaminan atau
Penjaminan Ulang baru; dan
b. tetap bertanggung jawab untuk menyelesaikan
segala kewajiban termasuk kewajiban
Penjaminan atau Penjaminan Ulang yang telah
dilakukan sebagaimana tercantum dalam
sertifikat penjaminan dan/atau perjanjian kerja
sama.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
berakhir pada hari libur, sanksi peringatan
dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha
berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.
(8) Dalam hal sebelum berakhirnya masa berlaku
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), Lembaga Penjaminan
telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mencabut
sanksi pembekuan kegiatan usaha dimaksud.
(9) Dalam hal sampai dengan berakhirnya masa
berlaku sanksi pembekuan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Lembaga
Penjaminan tidak juga memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas
Jasa Keuangan mencabut izin usaha Lembaga
Penjaminan yang bersangkutan.
Pasal 38
Lembaga Penjaminan yang menyampaikan pelaporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pasal
17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal
21 ayat (2), Pasal 29 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini namun telah
lewat dari jangka waktu pelaporan, dikenakan sanksi
administratif peringatan dan berakhir dengan
sendirinya.
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
(1) Izin usaha Lembaga Penjaminan yang telah
diterbitkan…
-30-
diterbitkan sebelum ditetapkannya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, dinyatakan tetap
berlaku.
(2) Dalam hal terdapat permohonan izin usaha yang
belum mendapatkan persetujuan pada saat
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, maka terhadap permohonan dimaksud
berlaku ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Ketentuan mengenai permodalan bagi Lembaga
Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
dikecualikan bagi Lembaga Penjaminan yang izin
usahanya masih berlaku pada saat
diundangkannya Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
Pasal 40
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Lembaga Penjaminan berdasarkan
Peraturan
222/PMK.010/2008
Menteri Keuangan Nomor
tentang Perusahaan
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan
Ulang Kredit dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 99/PMK.010/2011 tentang Perubahan atas
Peraturan
222/PMK.010/2008
Penjaminan Kredit dan Perusahaan Penjaminan
Ulang Kredit, dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Lembaga Penjaminan yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan
sanksi lanjutan sesuai dengan Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal 41
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, ketentuan mengenai perizinan usaha dan
kelembagaan Lembaga Penjaminan tunduk pada
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 42
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku
pada…
Menteri Keuangan Nomor
tentang Perusahaan
-31-
pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Ttd
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 72
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
I. UMUM
Keberadaan Lembaga Penjaminan sebagai salah satu lembaga keuangan
non bank diharapkan mampu untuk menjembatani akses UMKM pada
fasilitas pembiayaan perbankan, sehingga dengan tumbuhnya sektor
UMKM dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu
bagi Lembaga Penjaminan yang telah ada, diperlukan kelembagaan yang
terstruktur dan terkelola dengan baik yang meliputi persyaratan
kepengurusan, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan Lembaga
Penjaminan, mekanisme pembukaan kantor cabang dan kantor selain
kantor cabang, pelaporan perubahan tertentu, yang meliputi: perubahan
nama, perubahan badan hukum, perubahan modal disetor/pemegang
saham, perubahan direksi/komisaris, dan perubahan alamat kantor.
Kemudian untuk mendorong pertumbuhan jumlah Lembaga Penjaminan
terutama yang berasal dari inisiatif Pemerintah Daerah, diperlukan
penyempurnaan pada ketentuan yang mengatur mengenai prosedur
perizinan bagi Lembaga Penjaminan.
Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal 22 November 2011, maka tugas
pengawasan atas Lembaga Penjaminan beralih kepada Otoritas Jasa
Keuangan sejak tanggal 31 Desember 2012, tentunya dibutuhkan landasan
hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi dan
kewenangannya khususnya yang terkait dengan aspek kelembagaan dan
kewenangan pemberian izin bagi Lembaga Penjaminan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Otoritas Jasa Keuangan
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Perizinan Usaha
dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2…
-2-
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup Jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan kepemilikan pihak asing secara langsung
adalah dalam bentuk pemilikan saham Lembaga Penjaminan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas oleh badan usaha
asing. Sedangkan kepemilikan pihak asing secara tidak langsung
adalah dalam bentuk pemilikan saham Lembaga Penjaminan yang
berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas oleh badan hukum
Indonesia, yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh
pihak asing.
Misalnya, PT Penjaminan EFG komposisi kepemilikannya sebagai
berikut:
WNI 1
50%
Pemegang saham:
WNI 2
50%
BHI 1
30%
PT Penjaminan EFG
Kepemilikan pihak asing secara langsung = 20% (BUA 2)
Kepemilikan…
BUA 1
50%
BUA 2
20%
-3-
Kepemilikan pihak asing secara tidak langsung = 50% x 30%
= 15% (BUA 1)
Jumlah total kepemilikan asing 20% (BUA 2) + 15% (BUA 1)
= 35%
WNI = warga negara Indonesia
BUA = badan usaha asing
BHI = badan hukum Indonesia
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22…
-4-
Pasal 22
Cukupjelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini hanya dapat
dilaksanakan oleh Kantor Cabang Lembaga Penjaminan yang telah
memiliki izin pembukaan Kantor Cabang dari instansi yang berwenang.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38…
-5-
Pasal 38
Yang dimaksud dengan dikenakan sanksi administratif peringatan dan
berakhir dengan sendirinya adalah Lembaga Penjaminan menyampaikan
pelaporan perubahan pemegang saham, perubahan Direksi dan/atau
Dewan Komisaris, Perubahan Dewan Pengawas Syariah, perubahan
modal, perubahan nama, perubahan bentuk badan hukum, laporan
hasil pelaksanaan penggabungan, laporan hasil pelaksanaan peleburan,
dan laporan penugasan kantor cabang dengan otoritas kesyariahan,
namun lewat dari ketentuan yang ditetapkan, sehingga pelanggaran
keterlambatan penyampaian laporan dimaksud dikenakan sanksi
peringatan pertama, namun dikarenakan pelaporannya telah diterima
oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka terhadap Lembaga Penjaminan
dimaksud dikenakan sanksi administratif peringatan pertama dan
berakhir dengan sendirinya.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5527
LAMPIRAN I
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN USAHA LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor /POJK.05/2014
tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Lembaga Penjaminan, bersama ini
kami mengajukan permohonan untuk mendapatkan izin usaha sebagai
Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Penjaminan Syariah/Perusahaan
Penjaminan Ulang/Perusahaan Penjaminan Ulang Syariah*):
Nama
Alamat
: PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
: .....
Kota .....
Provinsi .....
No. telepon/fax : .....
Email
: .....
Untuk melengkapi permohonan dimaksud, bersama ini kami sampaikan
dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Akta pendirian PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... termasuk anggaran
dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang.
2. Daftar pemegang saham berikut rincian kepemilikan saham/daftar
anggota*) serta bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari
Otoritas Jasa Keuangan bagi pemegang saham pengendali.
3. Daftar susunan Direksi dan Dewan Komisaris, disertai dengan:
a. pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm;
b. fotokopi identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau paspor;
c. daftar riwayat hidup;
d. surat keterangan/bukti tertulis dari lembaga tempat bekerja sebelumnya
mengenai pengalaman operasional di bidang penjaminan atau
perbankan atau lembaga keuangan lainnya selama 2 (dua) tahun bagi
salah satu Direksi;
e. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
4. Bukti pengesahan dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
tentang penunjukan Dewan Pengawas Syariah serta bukti kelulusan
penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa Keuangan bagi
pendirian Perusahaan Penjaminan Syariah atau Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah.
5. Sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan susunan personalia.
6. Rencana kerja untuk tiga tahun pertama yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. studi kelayakan mengenai peluang pasar dan potensi ekonomi;
b. rencana kegiatan usaha Penjaminan atau Penjaminan Ulang dan
langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan
rencana dimaksud; dan
c. proyeksi neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas bulanan selama
-3-
12 (dua belas) bulan yang dimulai sejak Lembaga Penjaminan melakukan
kegiatan operasional.
7. Daftar sumber daya manusia yang memiliki pengalaman di bidang
Penjaminan (termasuk surety di bidang asuransi) atau pengalaman sebagai
analis kredit paling sedikit 1 (satu) tahun dan pernah mengikuti pendidikan
atau pelatihan di bidang Penjaminan atau Lembaga Keuangan.
8. Bukti pelunasan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib, dan
hibah sebesar Rp ..... (.....) dalam bentuk deposito berjangka atas nama PT/
Perum/Koperasi*) ….. pada salah satu bank umum di Indonesia dan
dilegalisasi oleh bank penerima setoran yang masih berlaku selama dalam
proses pengajuan izin usaha.
9. Bukti kesiapan operasional, antara lain berupa:
a. daftar aktiva tetap dan inventaris;
b. bukti kepemilikan, penguasaan, atau perjanjian sewa-menyewa gedung
kantor;
c. contoh formulir termasuk Sertifikat Penjaminan yang akan digunakan
dalam operasional perusahaan penjaminan;
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
10. Surat pernyataan dari pemegang saham bahwa modal disetor atau setoran
pokok dan sertifikat modal:
a. tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk
apapun dari bank dan atau pihak lain (khusus bagi pemegang saham
perorangan); dan
b. tidak berasal dari pencucian uang.
11. Surat pernyataan dari anggota Direksi yang menyatakan tidak merangkap
jabatan sebagai anggota Direksi atau pejabat eksekutif pada Perusahaan
Penjaminan atau Perusahaan Penjaminan Syariah atau badan usaha lain.
12. Surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris, yang menyatakan tidak
merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris melebihi 3 (tiga) Lembaga
penjaminan atau badan usaha lain.
Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan....................
………………………………
*) coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN II
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA
LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor .....
tanggal ..... mengenai pemberian izin usaha Lembaga Penjaminan
kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., dengan ini dilaporkan
bahwa kami telah memulai kegiatan penjaminan/penjaminan ulang*)
pada tanggal .....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi
Sertifikat Penjaminan/Perjanjian Kerja Sama*).
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian
Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN III
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN USAHA UNIT
USAHA SYARIAH
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Menunjuk surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor .....
tanggal ..... mengenai pemberian izin pembukaan Unit Usaha Syariah
kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., dengan ini dilaporkan
bahwa kami telah memulai kegiatan Penjaminan/Penjaminan Ulang*)
pada Unit Usaha Syariah pada tanggal .....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan fotokopi
Sertifikat Penjaminan/perjanjian kerja sama*).
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian
Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
.........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN IV
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN PEMEGANG SAHAM
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS tanggal ..... telah
dilakukan perubahan pemegang saham, yaitu:
Lama
Baru
Nama Pemegang
Saham
.....
.....
Nilai saham
(Rp)
.....
.....
Nama Pemegang
Saham
.....
.....
Nilai saham
(Rp)
.....
.....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
1. Bukti perubahan pemegang saham yang telah disahkan atau dilaporkan
kepada instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
2. Data pemegang saham:
a. Dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan:
1) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
3) daftar riwayat hidup; dan
4) surat pernyataan dari pemegang saham bahwa setoran modal tidak
berasal dari pinjaman dan tindak pidana pencucian uang.
b. Dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan yang terakhir yang telah mendapat pengesahan dari
instansi berwenang;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau
laporan keuangan terakhir;
3) dokumen bagi pemegang saham dan Direksi badan hukum tersebut
berupa:
a) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
b) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku; dan
c) daftar riwayat hidup.
4) surat pernyataan dari pemegang saham bahwa setoran modal tidak
berasal dari tindak pidana pencucian uang.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*),
kami mengucapkan terima kasih.
-3-
Direksi
PT Penjaminan .....
..............................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN V
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT
LAPORAN PERUBAHAN DIREKSI/DEWAN
KOMISARIS/DEWAN PENGAWAS SYARIAH LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan
Menteri/rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan perubahan Direksi dan/atau
Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas Syariah, yaitu:
Lama
.....
.....
.....
.....
.....
.....
Komisaris Utama
Komisaris
Direktur Utama
Direktur
Dewan Pengawas Syariah
Dewan Pengawas Syariah
Baru
.....
.....
.....
.....
.....
.....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
1. Bukti perubahan Direksi dan/atau Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas
Syariah yang telah disahkan atau dilaporkan kepada instansi berwenang
dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan.
2. Data Direksi dan/atau Dewan Komisaris meliputi: **)
a. fotokopi tanda pengenal yang dapat berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau paspor;
b. daftar riwayat hidup;
c. surat pernyataan:
1) tidak merangkap jabatan pada Lembaga Penjaminan atau badan usaha
lain bagi Direksi;
2) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan Komisaris pada lebih dari 3
(tiga) Lembaga Penjaminan atau badan usaha lain.
d. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
3. Data Dewan Pengawas Syariah meliputi: **)
a. surat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia;
b. surat pernyataan:
1) tidak merangkap jabatan sebagai Direksi atau Komisaris pada
Lembaga Penjaminan dan/atau pimpinan Unit Usaha Syariah;
2) tidak merangkap jabatan sebagai Dewan pengawas Syariah pada lebih
dari 2 (dua) badan usaha lain.
c. bukti kelulusan penilaian kemampuan dan kepatutan dari Otoritas Jasa
Keuangan.
-3-
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*),
kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan ..................
………………………………
*) Coret yang tidak perlu
**) pilih salah satu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN VI
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN MODAL LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri*)
tanggal ..... telah dilakukan perubahan modal, yaitu:
Modal dasar
Modal disetor
Lama
Nama Pemegang
Saham
.....
.....
Nilai saham
(Rp)
.....
.....
.....
.....
Lama
.....
.....
Baru
Nama Pemegang
Saham
Nilai saham
(Rp)
.....
.....
**) khusus bagi Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT)
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
1. Bukti perubahan modal yang telah disahkan atau dilaporkan kepada
instansi berwenang dan/atau didaftarkan dalam Daftar Perusahaan;
2. Data pemegang saham:
a. Dalam hal perorangan wajib dilampiri dengan:
1) pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
2) fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku;
3) daftar riwayat hidup; dan
4) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari pinjaman
dan tindak pidana pencucian uang.
b. Dalam hal badan hukum wajib dilampiri dengan:
1) akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar berikut
perubahan yang terakhir yang telah mendapat pengesahan dari
instansi berwenang;
2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dan/atau
laporan keuangan terakhir;
3) dokumen bagi pemegang saham dan Direksi badan hukum tersebut
berupa:
1. pas foto terbaru ukuran 4 x 6 cm;
Baru
.....
.....
-3-
2. fotokopi tanda pengenal berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau
paspor yang masih berlaku; dan
3. daftar riwayat hidup.
4) surat pernyataan bahwa setoran modal tidak berasal dari tindak
pidana pencucian uang.
3. Fotokopi bukti pelunasan modal disetor bagi yang melakukan penambahan
modal.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*),
kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum*)
Penjaminan ..................
………………………………
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN VII
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN NAMA LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri
rapat anggota*) tanggal ..... nama PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
berubah menjadi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
Perubahan nama tersebut telah mendapat persetujuan dari instansi yang
berwenang dengan keputusan nomor ..... tanggal .....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
a. risalah RUPS/rapat anggota/penetapan Menteri*);
b. perubahan anggaran dasar yang telah disahkan oleh instansi berwenang;
dan
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan ..... yang baru.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas kami mohon kepada Bapak/lbu*)
untuk memberlakukan izin usaha PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
kepada PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
……………………
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN VIII
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PERUBAHAN BENTUK BADAN HUKUM
LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri/
rapat anggota *) tanggal ..... telah diputuskan perubahan bentuk badan hukum
PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... menjadi PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan:
a. risalah RUPS/penetapan Menteri/rapat anggota*);
b. bukti perubahan bentuk badan hukum yang telah disahkan oleh instansi
yang berwenang;
c. berita acara pengalihan seluruh hak dan kewajiban dari badan hukum lama
kepada badan hukum baru; dan
d. NPWP atas nama PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan yang baru.
Demikian permohonan kami dan atas perhatian Bapak/lbu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
……………………
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN IX
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT PERMOHONAN PERSETUJUAN PENGGABUNGAN ATAU
PELEBURAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini kami mengajukan permohonan persetujuan untuk
melakukan penggabungan/peleburan*) Perusahaan Penjaminan/Perusahaan
Penjaminan Ulang/Perusahaan Penjaminan Syariah/Perusahaan Penjaminan
Ulang Syariah*).
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai
berikut:
1. rencana penyelesaian hak dan kewajiban dari PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan ..... yang akan melakukan penggabungan/peleburan*); dan
2. laporan keuangan proforma dari PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang
menerima penggabungan/hasil peleburan*).
Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian
Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN X
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PENGGABUNGAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporkan bahwa sesuai dengan RUPS/penetapan Menteri/
rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan penggabungan antara PT/
Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... dan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai
berikut:
1) fotokopi perubahan anggaran dasar PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang bagi yang berbentuk
Perseroan Terbatas atau Koperasi**);
2) Peraturan Pemerintah mengenai pendirian berikut perubahannya bagi
Lembaga Penjaminan yang berbentuk Perusahaan Umum**);
3) susunan organisasi dan kepengurusan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan
..... hasil penggabungan;
4) NPWP PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., Direksi, Dewan Komisaris,
dan pemegang saham; dan
5) alamat lengkap PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil penggabungan.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*),
kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
..........................
*) Coret yang tidak perlu
**) pilihan sesuai dengan bentuk badan hukum
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN XI
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PELEBURAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini dilaporakan bahwa sesuai dengan RUPS/ penetapan
Menteri/ rapat anggota*) tanggal ..... telah dilakukan peleburan antara
PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... dan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan
..... menjadi PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
Sebagai bahan pertimbangan, bersama ini kami sampaikan dokumen sebagai
berikut:
1) fotokopi
anggaran
dasar/Peraturan Pemerintah*)
dari
PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... yang telah disahkan atau
ditetapkan oleh instansi yang berwenang;
2) susunan organisasi dan kepengurusan PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan
..... hasil peleburan;
3) NPWP PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ....., Direksi, Dewan Komisaris,
dan pemegang saham; dan
4) alamat lengkap PT/Perum/Koperasi*) Penjaminan ..... hasil peleburan.
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/Ibu*),
kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan ..................
......................................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
LAMPIRAN XII
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN PEMBUKAAN KANTOR CABANG
LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin pembukaan Kantor Cabang
dengan alamat .....
Sebagai kelengkapan data, terlampir kami sampaikan dokumen sebagai berikut:
1) hasil studi kelayakan yang sekurang-kurangnya memuat potensi ekonomi,
peluang pasar, dan proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) bulan;
2) bukti penguasaan gedung kantor; dan
3) sistem dan prosedur kerja, struktur organisasi, dan personalia termasuk
nama calon kepala Kantor Cabang serta jumlah karyawan.
Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian
Bapak/Ibu*), kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi *)
Penjaminan .....
.........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN XIII
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KANTOR
CABANG LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Berdasarkan Surat Keputusan Otoritas Jasa Keuangan nomor .....
tanggal ..... mengenai izin Pembukaan Kantor Cabang PT/Perum/Koperasi *)
Penjaminan ...., dengan ini dilaporkan bahwa Kantor Cabang kami dengan
alamat ..... telah melakukan kegiatan usaha sejak tanggal .....
Sebagai kelengkapan data, bersama ini kami lampirkan fotokopi
Sertifikat Penjaminan/perjanjian kerja sama*).
Demikian laporan kami dan atas perhatian Bapak/Ibu*), kami
mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
.........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN XIV
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT PERMOHONAN IZIN PENUTUPAN KANTOR
CABANG LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Dengan ini kami mengajukan permohonan izin penutupan kantor
cabang yang beralamat di ..... dengan alasan .....
Sebagai bahan pertimbangan terlampir kami sampaikan surat
pernyataan bahwa seluruh kewajiban Kantor Cabang kepada Penerima
Jaminan dan pihak lainnya menjadi tanggung jawab PT/
Perum/Koperasi*) Penjaminan .....
Demikian permohonan ini kami sampaikan dan atas perhatian
Bapak/Ibu,*) kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
……………………
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
LAMPIRAN XV
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 5/POJK.05/2014
TENTANG
PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN
-2-
CONTOH FORMAT LAPORAN PELAKSANAAN PERUBAHAN ALAMAT
KANTOR LEMBAGA PENJAMINAN
Kepada Yth.
Kepala Eksekutif Pengawas IKNB
u.p Direktur Kelembagaan dan Produk IKNB
Gedung Sumitro Djojohadikusumo
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 1-4
Jakarta 10710
Bersama ini kami laporkan bahwa Kantor Pusat/Cabang*) kami di .....
telah kami pindahkan dengan data sebagai berikut:
Alamat lama
Telepon
Alamat baru
Telepon
: .....
: .....
: .....
: .....
Tanggal pemindahan : .....
Demikian laporan ini kami sampaikan dan atas perhatian Bapak/lbu*),
kami mengucapkan terima kasih.
Direksi
PT/Perum/Koperasi*)
Penjaminan .....
.........................
*) Coret yang tidak perlu
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN
ttd.
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Salinan sesuai dengan aslinya
KEPALA BAGIAN BANTUAN HUKUM
DIREKTORAT HUKUM,
Ttd.
MUFLI ASMAWIDJAJA
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 5/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PERIZINAN USAHA DAN KELEMBAGAAN LEMBAGA PENJAMINAN </reg_title>
<set_date> 7 April 2014 </set_date>
<effective_date> 8 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 8 April 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '2/PERPRES/2008' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMBATASAN ATAS SAHAM
YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pembatasan atas saham yang diterbitkan sebelum
penawaran umum beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pembatasan atas saham
yang diterbitkan sebelum penawaran umum, ketentuan
peraturan perundang-undangan di sektor pasar modal
mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan
sebelum penawaran umum yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pembatasan
atas Saham yang Diterbitkan Sebelum Penawaran
Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM
PENAWARAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek yang
dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
- 3 -
4. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten
dalam rangka Penawaran Umum atau perusahaan
publik.
5. Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan
dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar pihak lain
membeli Efek.
Pasal 2
(1) Setiap pihak yang memperoleh Efek bersifat ekuitas dari
Emiten dengan harga dan/atau nilai konversi dan/atau
harga pelaksanaan di bawah harga Penawaran Umum
perdana saham dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan, dilarang untuk mengalihkan
sebagian atau seluruh kepemilikan atas Efek bersifat
ekuitas Emiten tersebut sampai dengan 8 (delapan) bulan
setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi kepemilikan atas Efek bersifat ekuitas baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh pemerintah
pusat, pemerintah daerah, atau lembaga yang
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
memiliki kewenangan melakukan penyehatan perbankan.
BAB II
LAPORAN DAN PERNYATAAN DALAM PROSPEKTUS
Pasal 3
Emiten wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan
menyatakan dalam Prospektus, setiap transaksi yang dapat
dikategorikan sebagai transaksi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2.
- 4 -
Pasal 4
(1) Informasi dalam laporan dan pernyataan dalam
Prospektus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 paling
sedikit harus memuat:
a. nama pemegang Efek bersifat ekuitas;
b. jumlah Efek bersifat ekuitas yang dimiliki;
c.
nilai yang diterima oleh Emiten sehubungan dengan
penerbitan Efek bersifat ekuitas tersebut serta
bentuk pembayaran dan metode penilaian;
d. tanggal transaksi dan/atau tanggal pelaksanaan
atau konversi dari Efek bersifat ekuitas; dan
e. rencana pengalihan kepemilikan atas Efek bersifat
ekuitas oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) dalam jangka waktu 8 (delapan)
bulan setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi
efektif.
(2) Informasi mengenai rencana pengalihan kepemilikan atas
Efek bersifat ekuitas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e paling sedikit meliputi:
a. jumlah Efek bersifat ekuitas yang akan dialihkan;
b. metode atau cara pengalihan; dan
c. informasi lain yang relevan.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
- 5 -
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g
dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului pengenaan
sanksi
administratif berupa peringatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 6
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 7
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-06/PM/2001 tentang Pembatasan atas Saham
yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum, beserta
Peraturan Nomor IX.A.6 yang merupakan lampirannya,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
tertulis
- 6 -
Pasal 9
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap
orang
mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 125
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 25 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMBATASAN ATAS SAHAM
YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pembatasan atas saham yang diterbitkan
sebelum Penawaran Umum yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas
Pasar Modal Nomor Kep-06/PM/2001 tentang Pembatasan atas Saham
yang Diterbitkan Sebelum Penawaran Umum, beserta Peraturan Nomor
IX.A.6 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan Otoritas Jasa
- 2 -
Keuangan tentang Pembatasan atas Saham yang Diterbitkan Sebelum
Penawaran Umum.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Larangan pengalihan Efek bersifat ekuitas kepada pihak yang
memperoleh Efek bersifat ekuitas pada harga di bawah harga
Penawaran Umum perdana saham dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran kepada
Otoritas Jasa Keuangan berlaku atas seluruh Efek bersifat
ekuitas yang dimiliki oleh pihak tersebut (baik yang diperoleh
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian
Pernyataan Pendaftaran maupun yang telah diperoleh di luar
jangka waktu 6 (enam) bulan sebelum penyampaian Pernyataan
Pendaftaran).
Contoh:
Struktur permodalan PT ABC:
Modal dasar sebesar Rp100.000.000.000,00 terdiri dari
200.000.000 lembar saham dengan nilai nominal Rp500,00.
Modal
ditempatkan dan disetor
sebesar
Rp25.000.000.000,00 terdiri dari 50.000.000 lembar
saham.
Susunan pemegang saham:
Tuan A memiliki 25% dari modal ditempatkan dan disetor,
sehingga memiliki 12.500.000 lembar saham dengan
jumlah nominal Rp6.250.000.000,00.
Tuan B memiliki 25% dari modal ditempatkan dan disetor,
sehingga memiliki 12.500.000 lembar saham dengan
jumlah nominal Rp6.250.000.000,00.
Tuan C memiliki 50% dari modal ditempatkan dan disetor,
sehingga memiliki 25.000.000 lembar saham dengan
jumlah nominal Rp12.500.000.000,00.
- 3 -
5 (lima) bulan sebelum penyampaian Pernyataan Pendaftaran
dalam rangka Penawaran Umum perdana saham PT ABC kepada
Otoritas Jasa Keuangan, PT ABC melakukan peningkatan modal
ditempatkan dan disetor sebesar Rp25.000.000.000,00 dengan
jumlah saham 50.000.000 lembar saham. Masing-masing
pemegang saham PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C)
mengambil bagian dalam peningkatan modal ditempatkan dan
disetor PT ABC tersebut secara proporsional pada harga
nominal, yaitu Rp500,00 per lembar saham, sehingga setelah
peningkatan modal Tuan A memiliki 25.000.000 lembar saham,
Tuan B memiliki 25.000.000 lembar saham, dan Tuan C
memiliki 50.000.000 lembar saham.
PT ABC melakukan Penawaran Umum perdana dengan
menawarkan 50.000.000 lembar saham kepada masyarakat
dengan harga Penawaran Umum sebesar Rp1.000,00 per lembar
saham.
Dalam kasus tersebut, maka mengingat pemegang saham
PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C) dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sebelum Penawaran Umum memperoleh saham
PT ABC pada harga di bawah harga Penawaran Umum,
pemegang saham PT ABC (Tuan A, Tuan B, dan Tuan C) dilarang
mengalihkan sebagian atau seluruh saham PT ABC yang
dimilikinya sampai dengan 8 (delapan) bulan setelah Pernyataan
Pendaftaran menjadi efektif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
- 4 -
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
penundaan pemberian pernyataan efektif untuk Pernyataan
Pendaftaran dalam rangka Penawaran Umum.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6072
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 25/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMBATASAN ATAS SAHAM YANG DITERBITKAN SEBELUM PENAWARAN UMUM </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-06/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001', 'Kep-06/PM/2001|KEPTA-BAPEPAM/2001 | Lampiran Peraturan Nomor IX.A.6' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.03/2017
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH
(NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk menciptakan sistem perbankan yang sehat
dan mampu berkembang serta bersaing secara nasional
maupun internasional, bank perlu mengelola likuiditas
sesuai dengan prinsip kehati-hatian;
b. bahwa untuk mengelola likuiditas bank, diperlukan
pemeliharaan profil pendanaan stabil berdasarkan
komposisi aset dan transaksi rekening administratif
sesuai dengan standar internasional;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Kewajiban
Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable
Funding Ratio) bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
- 2 -
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL
BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri, yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional.
2. Pendanaan Stabil yang Tersedia atau Available Stable
Funding yang selanjutnya disingkat ASF adalah jumlah
liabilitas dan ekuitas yang stabil selama periode 1 (satu)
tahun untuk mendanai aktivitas Bank.
3. Pendanaan Stabil yang Diperlukan atau Required Stable
Funding yang selanjutnya disingkat RSF adalah jumlah
aset dan transaksi rekening administratif yang perlu
didanai oleh pendanaan stabil.
- 3 -
4. Rasio Pendanaan Stabil Bersih atau Net Stable Funding
Ratio yang selanjutnya disingkat NSFR adalah
perbandingan antara ASF dengan RSF.
5. Laporan NSFR adalah laporan yang menyajikan informasi
kuantitatif berupa perhitungan dan nilai NSFR, serta
informasi kualitatif berupa analisis perkembangan NSFR.
6. Kertas Kerja NSFR adalah laporan yang memuat
perhitungan NSFR secara rinci sebagai sumber data
dalam menyusun Laporan NSFR.
7. Rencana Tindak Pemenuhan NSFR adalah laporan yang
paling sedikit memuat rencana perbaikan untuk
pemenuhan kecukupan NSFR disertai jangka waktu
penyelesaian.
Pasal 2
(1) Bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai.
(2) Pemenuhan pendanaan stabil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung dengan menggunakan NSFR.
(3) Perhitungan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dihitung dalam denominasi rupiah.
(4) Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan paling rendah 100% (seratus persen).
(5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan NSFR
yang berbeda dari kewajiban pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 3
Dalam hal Bank memiliki dan/atau melakukan pengendalian
terhadap perusahaan anak, kewajiban pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) berlaku bagi
Bank baik secara individu maupun secara konsolidasi.
Pasal 4
Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (4) berlaku untuk:
a. Bank yang termasuk dalam kelompok Bank Umum
Kegiatan Usaha (BUKU) 4;
- 4 -
b. Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 3; dan
c. bank asing.
BAB II
PERHITUNGAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH
(NET STABLE FUNDING RATIO)
Pasal 5
(1) Untuk pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4), Bank wajib menghitung nilai ASF dan
RSF.
(2) Nilai ASF yang diperhitungkan dalam perhitungan NSFR
merupakan penjumlahan dari seluruh hasil perkalian
antara seluruh nilai tercatat (carrying value) liabilitas dan
ekuitas pada laporan posisi keuangan (neraca) dengan
faktor ASF.
(3) Nilai RSF yang diperhitungkan dalam perhitungan NSFR
merupakan penjumlahan dari seluruh hasil perkalian
antara seluruh nilai tercatat (carrying value) aset pada
laporan posisi keuangan (neraca) dan seluruh nilai
transaksi rekening administratif pada laporan komitmen
dan kontinjensi dengan faktor RSF.
(4) Ketentuan mengenai perhitungan nilai ASF dan RSF
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
mengacu pada Lampiran I yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB III
PEMANTAUAN, PELAPORAN, DAN PUBLIKASI RASIO
PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO)
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
Bank yang memenuhi kewajiban untuk melakukan
perhitungan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
- 5 -
wajib melakukan pemantauan pemenuhan NSFR dan
menyampaikan laporan perhitungan NSFR baik secara
individu maupun konsolidasi.
Bagian Kedua
Pemantauan Rasio Pendanaan Stabil Bersih
(Net Stable Funding Ratio)
Pasal 7
(1) Bank wajib memantau pemenuhan NSFR secara bulanan.
(2) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh Bank dengan menyusun Kertas Kerja
NSFR dan Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir bulan
laporan.
(3) Laporan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
paling sedikit memuat informasi:
a. perhitungan NSFR; dan
b. analisis perkembangan NSFR.
(4) Analisis perkembangan NSFR sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf b paling sedikit menjelaskan:
a. faktor utama yang mempengaruhi perhitungan NSFR;
b. faktor atau kondisi yang menyebabkan penurunan
atau peningkatan NSFR; dan
c. komposisi aset dan liabilitas yang saling bergantung
(interdependent) serta keterkaitan transaksi antara
aset dan liabilitas.
(5) Bank wajib mendokumentasikan Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
Pasal 8
(1) Kewajiban pemantauan pemenuhan NSFR bulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) pertama
kali dilakukan untuk posisi laporan akhir bulan Januari
tahun 2018.
(2) Ketentuan mengenai penyusunan Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2) mengacu pada Lampiran I, Lampiran II, dan
- 6 -
Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 9
(1) Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai
dengan 100% (seratus persen) berdasarkan hasil
pemantauan dalam Pasal 7 ayat (1), Bank wajib
menyusun Rencana Tindak Pemenuhan NSFR baik
secara individu maupun konsolidasi.
(2) Ketentuan mengenai format Rencana Tindak Pemenuhan
NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu
pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Bagian Ketiga
Pelaporan Rasio Pendanaan Stabil Bersih
(Net Stable Funding Ratio)
Pasal 10
(1) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir triwulan laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Posisi akhir triwulan laporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan laporan untuk posisi akhir
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan bulan
Desember.
Pasal 11
(1) Dalam hal terdapat kondisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 9 ayat (1), Bank wajib menyampaikan
kepada Otoritas Jasa Keuangan:
a. Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR posisi akhir
bulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (2); dan
b. Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
- 7 -
(2) Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta Bank untuk
melakukan penyesuaian terhadap Rencana Tindak
Pemenuhan NSFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b.
Pasal 12
(1) Bank wajib menyampaikan laporan pelaksanaan
Rencana Tindak Pemenuhan NSFR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b kepada
Otoritas Jasa Keuangan paling lama 10 (sepuluh) hari
kerja setelah target waktu penyelesaian Rencana Tindak
Pemenuhan NSFR.
(2) Laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling
sedikit:
a. tindakan perbaikan yang telah dilakukan oleh
Bank;
b. kendala dalam melaksanakan tindakan perbaikan;
dan
c. waktu pelaksanaan perbaikan.
Pasal 13
(1) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) huruf a paling lambat:
a. tanggal 15 setelah akhir bulan laporan, untuk
Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara
individu; dan
b. akhir bulan setelah akhir bulan laporan, untuk
Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara
konsolidasi.
(2) Bank wajib menyampaikan Rencana Tindak Pemenuhan
NSFR baik secara individu maupun konsolidasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 huruf (b)
paling lambat akhir bulan berikutnya sejak Bank
menghadapi kondisi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1).
- 8 -
(3) Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR, Laporan
NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara
daring (online) melalui sistem pelaporan Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Dalam hal sistem pelaporan Otoritas Jasa Keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia,
Bank wajib menyampaikan Kertas Kerja NSFR, Laporan
NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR secara
luring (offline).
(5) Apabila batas waktu penyampaian Kertas Kerja NSFR,
Laporan NSFR, dan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) jatuh
pada hari Sabtu, hari Minggu, dan/atau hari libur,
laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(6) Penyampaian secara luring
(offline) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dan penyampaian laporan
pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1)
disampaikan kepada:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait bagi Bank
yang berkantor pusat atau kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri yang berada di
wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
atau
b. Kantor Regional atau Kantor Otoritas Jasa Keuangan
setempat, bagi Bank yang berkantor pusat di luar
wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Bagian Keempat
Publikasi Rasio Pendanaan Stabil Bersih
(Net Stable Funding Ratio)
Pasal 14
(1) Bank wajib mempublikasikan dan mengungkapkan
Laporan NSFR berdasarkan posisi akhir triwulan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) untuk
- 9 -
posisi akhir bulan Maret, bulan Juni, bulan September,
dan bulan Desember.
(2) Publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR posisi akhir
triwulan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilakukan melalui:
a.
situs web Bank untuk Laporan NSFR posisi akhir
triwulan laporan; dan
b. paling sedikit 1 (satu) surat kabar harian cetak
berbahasa Indonesia yang memiliki peredaran luas,
situs web Bank, dan secara daring (online) untuk
nilai persentase NSFR posisi akhir triwulan laporan
yang dicantumkan pada laporan publikasi
triwulanan.
(3) Kewajiban publikasi Laporan NSFR posisi akhir triwulan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan
paling lambat:
a. tanggal 15 bulan kedua setelah berakhirnya bulan
laporan untuk laporan posisi akhir bulan Maret,
bulan Juni, dan bulan September; dan
b. akhir bulan Maret tahun berikutnya setelah
berakhirnya bulan laporan, untuk laporan akhir
bulan Desember.
(4) Tata cara, format, dan jangka waktu penyampaian
laporan publikasi triwulanan untuk nilai persentase
NSFR triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b dilakukan sesuai tata cara, format, dan jangka
waktu publikasi sebagaimana diatur dalam ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
transparansi dan publikasi laporan Bank.
(5) Bank wajib memelihara pengumuman Laporan NSFR
posisi akhir triwulan laporan pada situs web Bank
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling
sedikit untuk 5 (lima) tahun buku terakhir.
Pasal 15
(1) Kewajiban penyampaian Laporan NSFR posisi akhir
triwulan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
- 10 -
dan publikasi Laporan NSFR posisi akhir triwulan
laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
pertama kali dilakukan untuk posisi laporan akhir bulan
Maret 2018.
(2) Bank dinyatakan tidak mempublikasikan nilai NSFR
posisi akhir triwulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dalam hal laporan publikasi triwulanan yang
diumumkan tidak mencantumkan informasi mengenai
nilai persentase NSFR posisi akhir triwulan laporan.
Bagian Kelima
Laporan bagi Bank yang Berpindah Kelompok
Pasal 16
(1) Bank yang termasuk dalam kelompok BUKU 1 dan
BUKU 2 yang pada awalnya tidak diwajibkan memenuhi
ketentuan NSFR, kemudian menjadi Bank yang
termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4, atau bank
asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, wajib
memenuhi ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini.
(2) Kewajiban pemantauan pemenuhan NSFR sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 dilakukan pertama kali pada
bulan ketiga sejak dinyatakan sebagai Bank yang
termasuk dalam kelompok BUKU 3, BUKU 4 atau bank
asing.
(3) Kewajiban penyampaian perhitungan NSFR serta
publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 14
dilakukan pertama kali pada periode triwulan berikutnya
setelah melaksanakan pemantauan pemenuhan NSFR
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal terdapat Bank yang termasuk dalam
kelompok BUKU 3, BUKU 4, atau bank asing kemudian
menjadi Bank yang tidak termasuk dalam kelompok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Bank tetap wajib
memenuhi ketentuan perhitungan dan pelaporan
- 11 -
NSFR sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
BAB IV
SANKSI
Pasal 17
Bank yang tidak memenuhi Peratuan Otoritas Jasa Keuangan
ini dan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7
ayat (1), Pasal 7 ayat (5), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1),
Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13
ayat (1), Pasal 13 ayat (2), Pasal 13 ayat (3), Pasal 13 ayat (4),
Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), Pasal 14
ayat (5), Pasal 15 ayat (1), dan/atau Pasal 16 dikenakan
sanksi administratif berupa:
a.
b.
teguran tertulis;
larangan transfer laba bagi kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri;
c. penundaan pembagian dividen atas seluruh kepemilikan
saham dari pemegang saham yang melakukan setoran
modal;
d. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
e.
f.
larangan pembukaan jaringan kantor;
penurunan tingkat kesehatan Bank; dan/atau
g. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham
lembaga jasa keuangan dalam daftar orang yang dilarang
menjadi pemegang saham dan pengurus lembaga jasa
keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai uji kemampuan dan
kepatutan (fit and proper test).
Pasal 18
Bank yang terlambat menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR posisi akhir triwulan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta
- 12 -
rupiah) per hari kerja keterlambatan atau paling banyak
sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 19
Bank yang tidak mencantumkan nilai persentase NSFR posisi
akhir triwulan laporan dalam laporan publikasi triwulanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b
dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai transparansi dan
publikasi laporan Bank.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 20
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 13 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 159
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 50 /POJK.03/2017
TENTANG
KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH
(NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Pengalaman krisis keuangan dan ekonomi yang terjadi di berbagai
negara pada tahun 2008 menunjukkan bahwa meskipun permodalan
Bank memadai namun apabila Bank tidak memerhatikan prinsip kehati-
hatian dalam mengelola likuiditas maka dapat mengganggu kelangsungan
usaha Bank.
Dengan demikian seperti halnya permodalan, dibutuhkan suatu
standar perhitungan rasio likuiditas terkait sumber pendanaan untuk
mengukur tingkat minimum pendanaan stabil yang harus dipelihara oleh
Bank dan disesuaikan dengan standar internasional yang berlaku yaitu
Basel III: The Net Stable Funding Ratio.
Penetapan NSFR bertujuan untuk memastikan bahwa Bank
memelihara pendanaan stabil yang disesuaikan dengan komposisi aset
dan rekening administratif. Bank diharapkan dapat mengurangi risiko
likuiditas terkait sumber pendanaan untuk jangka waktu yang lebih
panjang. Dengan demikian, Bank perlu untuk meningkatkan stabilitas
pendanaan dengan membatasi ketergantungan yang berlebihan terhadap
sumber pendanaan jangka pendek yang berasal dari korporasi.
Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan pengaturan tentang
Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih (Net Stable Funding
Ratio) bagi Bank Umum.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
NSFR dihitung dengan formula sebagai berikut:
Ayat (3)
Konversi mata uang asing menjadi rupiah dilakukan dengan
menggunakan kurs tengah penutupan Bank Indonesia pada
tanggal laporan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan NSFR yang berbeda didasarkan antara lain dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan menilai Bank menghadapi potensi risiko
likuiditas terkait pendanaan yang lebih tinggi sehingga
membutuhkan pemenuhan NSFR lebih tinggi dari pemenuhan
NSFR minimum.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan “pengendalian” adalah pengendalian
sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan.
Yang dimaksud dengan “perusahaan anak” adalah perusahaan anak
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai penerapan manajemen risiko secara
konsolidasi bagi Bank yang melakukan pengendalian terhadap
perusahaan anak.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan “Bank dalam kelompok BUKU 3 dan BUKU 4”
adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai kegiatan usaha dan jaringan
.
- 3 -
kantor berdasarkan modal inti Bank.
Yang dimaksud dengan “bank asing” adalah:
1. kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri;
2. bank umum berbentuk badan hukum Indonesia yang lebih dari
50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing baik secara sendiri atau
secara bersama-sama; dan/atau
3. bank yang dimiliki baik secara sendiri atau bersama-sama oleh
warga negara asing dan/atau badan hukum asing kurang dari
atau sama dengan 50% (lima puluh persen) namun terdapat
pengendalian oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Nilai tercatat (carrying value) yang diperhitungkan adalah nilai
tercatat (carrying value) sebelum faktor pengurang berdasarkan
pengaturan (regulatory deductions), atau penyesuaian lain.
Contoh:
Modal inti (Tier 1) dan modal pelengkap (Tier 2) tidak
memperhitungkan faktor-faktor yang menjadi pengurang modal
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum
Bank Umum.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “seluruh nilai tercatat (carrying value)
aset pada laporan posisi keuangan (neraca)” dalam ketentuan ini
termasuk giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai giro wajib
minimum, dan Capital Equivalency Maintained Assets (CEMA)
sebagaimana dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum dan CEMA.
Untuk aset pada laporan posisi keuangan (neraca), nilai tercatat
(carrying value) yang diperhitungkan adalah nilai tercatat
- 4 -
(carrying value) aset setelah dikurangi dengan Cadangan
Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) atas aset yang dihitung sesuai
standar akuntansi keuangan.
Khusus untuk aset yang penurunan nilai atas aset tersebut
dihitung secara kolektif, CKPN yang dapat dikurangkan adalah
CKPN atas aset yang telah teridentifikasi mengalami penurunan
nilai secara individu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Format Laporan NSFR disusun sesuai dengan yang ditetapkan
oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) pada
dokumen Basel III : The Net Stable Funding Ratio.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh: terdapat perubahan strategi dan struktur
pendanaan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “saling bergantung (interdependent)”
adalah aset dan liabilitas tertentu saling bergantung satu
sama lain berdasarkan perjanjian kontraktual sehingga
liabilitas tidak akan jatuh tempo selama aset yang terkait
masih tercatat di neraca, arus pembayaran pokok dari aset
yang terkait hanya dapat digunakan untuk melunasi
liabilitas yang terkait, dan liabilitas yang terkait tidak dapat
digunakan untuk mendanai aset lain.
- 5 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Rencana Tindak Pemenuhan NSFR memuat langkah perbaikan
yang akan dilaksanakan oleh Bank untuk memperbaiki kondisi
likuiditas Bank dan target waktu penyelesaian, antara lain:
a. penambahan jumlah dana stabil yang tersedia;
b. pembatasan eksposur Bank terhadap risiko likuiditas
melalui pembatasan ekspansi kredit jangka panjang;
dan/atau
c. penguatan kebijakan, proses, dan prosedur Bank terkait
manajemen risiko likuiditas.
Rencana Tindak Pemenuhan NSFR yang disampaikan oleh Bank
merupakan komitmen Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Target waktu penyelesaian Rencana Tindak Pemenuhan NSFR
meliputi target waktu penyelesaian setiap tahapan Rencana
Tindak Pemenuhan NSFR maupun penyelesaian secara
keseluruhan.
Ayat (2)
Laporan pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR yang
disampaikan oleh Bank antara lain memuat penjelasan
- 6 -
mengenai realisasi pelaksanaan Rencana Tindak Pemenuhan
NSFR, disertai bukti pelaksanaan dan/atau dokumen
pendukung terkait.
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai dengan
100% (seratus persen) pada bulan Februari 2018, Bank wajib
menyampaikan Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR paling
lambat tanggal 15 Maret 2018 untuk Kertas Kerja NSFR dan
Laporan NSFR secara individu dan tanggal 31 Maret 2018 untuk
Kertas Kerja NSFR dan Laporan NSFR secara konsolidasi.
Ayat (2)
Dalam hal Bank tidak mampu memenuhi NSFR sampai dengan
100% (seratus persen) pada bulan Februari 2018, Bank wajib
menyampaikan Rencana Tindak Pemenuhan NSFR baik secara
individu dan konsolidasi paling lambat tanggal 31 Maret 2018.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hari libur” adalah hari libur nasional
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau hari libur lokal
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pencantuman dalam situs web Bank dilakukan secara rinci
dengan memuat perhitungan NSFR dalam bentuk
perbandingan dengan perhitungan NSFR triwulanan periode
sebelumnya.
- 7 -
Yang dimaksud dengan ”situs web Bank” adalah situs web
berdomain Indonesia yang bukan merupakan bagian dari
situs web entitas induk atau kelompok usaha Bank.
Pengumuman laporan pada situs web Bank ditempatkan
pada halaman yang mudah diakses, misalnya dengan
memberikan tautan khusus untuk laporan publikasi NSFR
pada halaman depan situs web Bank.
Huruf b
Publikasi dalam surat kabar harian cetak berbahasa
Indonesia dilakukan dengan mencantumkan nilai NSFR
dalam bentuk perbandingan dengan nilai NSFR triwulanan
periode tahun sebelumnya.
Surat kabar harian cetak berbahasa Indonesia yang
memiliki peredaran luas di tempat kedudukan kantor pusat
Bank atau di tempat kedudukan kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Contoh: Laporan NSFR posisi akhir bulan Maret 2018 dipelihara
pada situs web Bank sampai dengan bulan Maret 2023.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Bank kelompok BUKU 1 dan BUKU 2 dapat menjadi Bank
kelompok BUKU 3 atau BUKU 4 karena peningkatan modal atau
menjadi bank asing.
Pemenuhan kewajiban sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini antara lain melakukan pemantauan pemenuhan
NSFR, menyampaikan laporan perhitungan NSFR, serta
melakukan publikasi dan pengungkapan Laporan NSFR.
- 8 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6099
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 50/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KEWAJIBAN PEMENUHAN RASIO PENDANAAN STABIL BERSIH (NET STABLE FUNDING RATIO) BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 13 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 17 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 17 Juli 2017 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '7/UU/1992', '10/UU/1998' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB IV' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /POJK.04/2017
TENTANG
KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk mendorong perkembangan industri pasar
modal syariah di Indonesia, perlu menyempurnakan
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal mengenai kriteria dan penerbitan daftar efek
syariah;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Kriteria dan Penerbitan
Daftar Efek Syariah;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
- 2 -
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
2. Prinsip Syariah di Pasar Modal adalah prinsip hukum
Islam dalam kegiatan syariah di pasar modal
berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia, sepanjang fatwa dimaksud tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
mengenai Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dan/atau Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lainnya
yang didasarkan pada fatwa Dewan Syariah Nasional -
Majelis Ulama Indonesia.
3. Efek Syariah adalah Efek sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya yang:
a. akad, cara pengelolaan, kegiatan usaha;
b. aset yang menjadi landasan akad, cara pengelolaan,
kegiatan usaha; dan/atau
c. aset yang terkait dengan Efek dimaksud dan
penerbitnya,
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal.
4. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau
- 3 -
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Manajer Investasi Syariah adalah Manajer Investasi yang
dalam anggaran dasarnya menyatakan bahwa:
a. kegiatan dan jenis usaha;
b. cara pengelolaan; dan/atau
c. jasa yang diberikan,
dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
6. Unit Pengelolaan Investasi Syariah adalah bagian dari
Manajer Investasi yang memiliki tugas dan tanggung
jawab mengelola portofolio Efek atau portofolio investasi
kolektif yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah
di Pasar Modal, mengembangkan dan memasarkan jasa
atau produk pengelolaan investasi syariah.
7. Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah adalah:
a. pihak yang telah mendapatkan persetujuan dari
Otoritas Jasa Keuangan untuk menerbitkan Daftar
Efek Syariah;
b. Manajer Investasi Syariah yang telah memenuhi
ketentuan yang dipersyaratkan untuk menjalankan
kegiatan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini; atau
c. Manajer Investasi yang memiliki Unit Pengelolaan
Investasi Syariah yang telah memenuhi ketentuan
yang dipersyaratkan untuk menjalankan kegiatan
sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
sebagaimana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
8. Daftar Efek Syariah adalah kumpulan Efek Syariah, yang
ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau diterbitkan
oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
9. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang
dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
- 4 -
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal dan peraturan pelaksanaannya.
10. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
11. Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya
telah dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus)
pemegang saham dan memiliki modal disetor paling
sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau
suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
12. Emiten Syariah adalah Emiten yang anggaran dasarnya
menyatakan kegiatan dan jenis usaha serta cara
pengelolaan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah di
Pasar Modal.
13. Perusahaan Publik Syariah adalah Perusahaan Publik
yang anggaran dasarnya menyatakan bahwa kegiatan
dan jenis usaha serta cara pengelolaan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar Modal.
14. Ahli Syariah Pasar Modal yang selanjutnya disingkat
ASPM adalah:
a. orang perseorangan yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman di bidang syariah; atau
b. badan usaha yang pengurus dan pegawainya
memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
syariah,
yang memberikan nasihat dan/atau mengawasi
pelaksanaan penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal
dalam kegiatan usaha perusahaan dan/atau memberikan
pernyataan kesesuaian syariah atas produk atau jasa
syariah di pasar modal.
15. Dewan Pengawas Syariah yang selanjutnya disingkat DPS
adalah dewan yang bertanggung jawab memberikan
nasihat dan saran serta mengawasi pemenuhan Prinsip
Syariah di Pasar Modal terhadap pihak yang melakukan
kegiatan syariah di pasar modal.
- 5 -
BAB II
EFEK DAN KRITERIA EFEK DALAM DAFTAR EFEK SYARIAH
Pasal 2
(1) Efek yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah meliputi:
a. Efek Syariah berupa saham termasuk hak memesan
Efek terlebih dahulu syariah dan waran syariah yang
diterbitkan oleh Emiten Syariah atau Perusahaan
Publik Syariah;
b. Efek berupa saham termasuk hak memesan Efek
terlebih dahulu syariah dan waran syariah yang
diterbitkan oleh Emiten atau Perusahaan Publik
yang tidak menyatakan kegiatan dan jenis usaha,
cara pengelolaannya, dan/atau jasa yang
diberikannya berdasarkan Prinsip Syariah di Pasar
Modal, sepanjang Emiten atau Perusahaan Publik
tersebut:
1. tidak melakukan kegiatan dan jenis usaha yang
bertentangan dengan Prinsip Syariah di Pasar
Modal yang meliputi:
a) perjudian dan permainan yang tergolong
judi;
b) jasa keuangan ribawi;
c)
jual beli risiko yang mengandung unsur
ketidakpastian (gharar) dan/atau judi
(maisir);
d) memproduksi,
memperdagangkan,
mendistribusikan,
dan/atau
menyediakan:
1) barang atau jasa haram zatnya (haram
li-dzatihi);
2) barang atau jasa haram bukan karena
zatnya (haram li-ghairihi) yang
ditetapkan oleh Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia;
3) barang atau jasa yang merusak moral
dan bersifat mudarat; dan/atau
- 6 -
4) barang atau jasa lainnya yang
bertentangan dengan prinsip syariah
berdasarkan ketetapan dari Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama
Indonesia; dan
e) melakukan
kegiatan lain yang
bertentangan dengan prinsip syariah
berdasarkan ketetapan dari Dewan Syariah
Nasional - Majelis Ulama Indonesia;
2. tidak melakukan transaksi yang bertentangan
dengan Prinsip Syariah di Pasar Modal;
3. memenuhi rasio keuangan sebagai berikut:
a)
total utang yang berbasis bunga
dibandingkan dengan total aset tidak lebih
dari 45% (empat puluh lima persen); dan
b)
total pendapatan bunga dan pendapatan
tidak halal lainnya dibandingkan dengan
total pendapatan usaha dan pendapatan
lain-lain tidak lebih dari 10% (sepuluh
persen); dan
c. Efek lainnya, yang meliputi:
1. Efek Syariah selain saham yang diterbitkan
melalui Penawaran Umum; dan
2. Efek Syariah selain saham yang diterbitkan:
a) tanpa melalui Penawaran Umum; dan
b) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di sektor pasar
modal.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan rasio
keuangan yang berbeda dengan rasio keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3
dengan memperhatikan kondisi dan perkembangan pasar
modal syariah.
- 7 -
BAB III
DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITETAPKAN OLEH
OTORITAS JASA KEUANGAN
Pasal 3
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Daftar Efek Syariah
dengan menggunakan kriteria Efek Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4
Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan memuat Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1) yang diterbitkan Emiten melalui Penawaran Umum
atau Perusahaan Publik di Indonesia.
Pasal 5
(1) Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ditetapkan secara berkala 2 (dua) kali dalam
1 (satu) tahun yaitu:
a. penetapan Daftar Efek Syariah pertama dilakukan
paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum
berakhirnya bulan Mei dan berlaku efektif pada
tanggal 1 Juni; dan
b. penetapan Daftar Efek Syariah kedua dilakukan
paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum
berakhirnya bulan November dan berlaku efektif
pada tanggal 1 Desember.
(2) Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan melalui situs
web Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media massa
lainnya.
Pasal 6
Dalam hal terdapat Penawaran Umum, aksi korporasi,
informasi, atau fakta dari Emiten atau Perusahaan Publik
yang dapat menyebabkan terpenuhi atau tidak terpenuhinya
- 8 -
kriteria Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Otoritas Jasa Keuangan dapat:
a. mengumumkan penambahan Efek yang memenuhi
kriteria Efek Syariah dalam Daftar Efek Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
b. mengumumkan bahwa Efek Syariah tertentu dalam
Daftar Efek Syariah tidak lagi memenuhi kriteria Efek
Syariah.
Pasal 7
Daftar Efek Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 wajib
digunakan sebagai acuan bagi:
a. pihak yang menerbitkan indeks Efek Syariah di dalam
negeri;
b. Manajer Investasi yang mengelola portofolio investasi
Efek Syariah dalam negeri;
c. Perusahaan Efek yang memiliki sistem online trading
syariah; dan
d. pihak lain yang melakukan penyusunan dan/atau
pengelolaan portofolio investasi Efek Syariah dalam
negeri untuk kepentingan nasabahnya atau kepentingan
pihak lain, sepanjang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB IV
DAFTAR EFEK SYARIAH YANG DITERBITKAN OLEH PIHAK
PENERBIT DAFTAR EFEK SYARIAH
Bagian Kesatu
Daftar Efek Syariah
Pasal 8
(1) Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah hanya dapat memuat Efek Syariah
yang diperdagangkan di luar negeri.
- 9 -
(2) Efek Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. saham yang memenuhi Prinsip Syariah di Pasar
Modal yang diperdagangkan di bursa efek luar
negeri;
b. sukuk yang dicatatkan di bursa efek luar negeri;
c. surat berharga komersial syariah yang jatuh
temponya 1 (satu) tahun atau lebih; dan
d. Efek Syariah luar negeri lainnya.
(3) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dilarang memuat Efek
Syariah yang telah dimuat dalam Daftar Efek Syariah
yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 9
(1) Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 ayat (1) dapat:
a.
diumumkan kepada publik; dan/atau
b. digunakan secara terbatas untuk kepentingan pihak
tertentu.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a dilakukan paling sedikit melalui surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau
media elektronik yang dapat diakses oleh publik.
Pasal 10
Saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf a
dapat dimuat dalam Daftar Efek Syariah apabila saham
tersebut:
a. termasuk saham syariah luar negeri yang ditetapkan oleh
regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak
lain yang melakukan seleksi berdasarkan kegiatan usaha
dan rasio keuangan yang paling sedikit terdiri atas rasio
terkait utang dan/atau utang berbasis bunga dan rasio
terkait pendapatan tidak halal; atau
b.
diseleksi dengan menggunakan kriteria sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2.
- 10 -
Pasal 11
(1) Dalam hal Daftar Efek Syariah mengacu pada efek
syariah luar negeri yang ditetapkan oleh regulator di
negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak lain, Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah wajib mencantumkan
regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak
lain yang dijadikan sebagai acuan.
(2) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib memastikan
bahwa penyedia indeks dan/atau pihak lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) memiliki pengawas kesyariahan
dan metodologi seleksi efek syariah luar negeri.
Pasal 12
DPS wajib memastikan pemenuhan terhadap Prinsip Syariah
di Pasar Modal atas Efek Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah
yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Bagian Kedua
Persetujuan dan Persyaratan
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
Pasal 13
(1) Pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah wajib mendapatkan persetujuan dari Otoritas
Jasa Keuangan.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berbentuk badan hukum yang berkedudukan di
Indonesia;
b. memiliki DPS yang mempunyai izin ASPM dari
Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai Ahli
Syariah Pasar Modal;
c. memiliki standar prosedur operasi penyusunan
Daftar Efek Syariah yang paling sedikit meliputi:
- 11 -
1. prosedur pengumpulan data termasuk
mekanisme permintaan informasi tambahan;
2. prosedur seleksi berdasarkan kriteria Daftar
Efek Syariah yang digunakan dan prosedur
penelaahan;
3. tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah;
4. prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah; dan
5. prosedur perubahan Daftar Efek Syariah.
(3) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah mengacu
kepada efek syariah luar negeri yang ditetapkan oleh
regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau pihak
lain, persyaratan standar prosedur operasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c paling sedikit meliputi:
a. prosedur seleksi pihak yang akan menjadi acuan
(regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau
pihak lain);
b. prosedur pengumpulan informasi efek syariah luar
negeri dari pihak yang menjadi acuan tersebut;
c. tujuan penerbitan Daftar Efek Syariah;
d. prosedur pemantauan Daftar Efek Syariah;
e. prosedur perubahan Daftar Efek Syariah; dan
f.
keterangan mengenai penggunaan acuan berbayar,
dalam hal menggunakan acuan berbayar.
Pasal 14
(1) Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam hal akan
melakukan perubahan mekanisme penyusunan Daftar
Efek Syariah.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan bersamaan
dengan penerbitan Daftar Efek Syariah periode
berikutnya.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harus disertai standar prosedur operasi
penyusunan Daftar Efek Syariah yang dilakukan.
- 12 -
Pasal 15
(1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)
melakukan kontrak kerja sama dengan penyedia indeks
dan/atau pihak lain, Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
wajib menyampaikan kontrak kerja sama kepada Otoritas
Jasa Keuangan:
a. paling lambat 6 (enam) bulan sejak permohonan
sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah disetujui
oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau
b. paling lambat 1 (satu) bulan sejak Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah membuat kontrak kerja sama
baru dengan penyedia indeks dan/atau pihak lain.
(2) Dalam hal batas waktu penyampaian kontrak kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari
libur, kontrak kerja sama wajib disampaikan paling
lambat pada hari kerja berikutnya.
(3) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
menyampaikan kontrak kerja sama melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 16
(1) Dalam hal pihak yang akan menjadi Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah merupakan Manajer Investasi
Syariah dan/atau Manajer Investasi yang memiliki Unit
Pengelolaan Investasi Syariah, Manajer Investasi Syariah
dan/atau Manajer Investasi yang memiliki Unit
Pengelolaan Investasi Syariah tersebut tidak wajib
mengajukan permohonan persetujuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2).
- 13 -
(2) Manajer Investasi Syariah dan/atau Manajer Investasi
yang memiliki Unit Pengelolaan Investasi Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan melampirkan standar prosedur operasi
penyusunan Daftar Efek Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf c atau ayat (3).
Bagian Ketiga
Tata Cara Permohonan Persetujuan
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
Pasal 17
(1) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2) harus diajukan dalam bentuk dokumen
cetak kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format Surat Permohonan Persetujuan
sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus disertai kelengkapan dokumen sebagai
berikut:
a. dokumen yang menyangkut pemohon:
1. fotokopi bukti pembayaran atas permohonan
persetujuan sebagai Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah;
2. fotokopi anggaran dasar terakhir atau dokumen
sejenis yang telah memperoleh persetujuan dari
instansi yang berwenang, dalam hal pemohon
belum mendapatkan izin, persetujuan, atau
pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan;
3. struktur organisasi perusahaan;
4. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak atas nama
pemohon;
5. daftar nama dan data anggota direksi, yang
meliputi:
- 14 -
a)
daftar riwayat hidup terbaru yang
ditandatangani oleh yang bersangkutan;
b) fotokopi Kartu Tanda Penduduk/Paspor
yang masih berlaku;
c)
fotokopi Izin Kerja Tenaga Asing bagi
direksi berkewarganegaraan asing dari
instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan
peraturan
undangan; dan
d) pasfoto terbaru ukuran 4x6 cm dengan
latar belakang berwarna merah sebanyak 2
(dua) lembar; dan
6. surat pernyataan direksi sebagai pihak yang
bertanggung jawab atas penyusunan Daftar
Efek Syariah dengan menggunakan format
Surat Pernyataan Direksi yang Bertanggung
Jawab atas Penyusunan Daftar Efek Syariah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini;
b. dokumen terkait DPS:
1. fotokopi surat izin ASPM anggota DPS yang
bertanggung jawab terhadap pemenuhan
kepatuhan syariah Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan;
2. surat penunjukan direksi kepada DPS sebagai
pihak yang bertanggung jawab terhadap
pemenuhan kepatuhan syariah Daftar Efek
Syariah yang diterbitkan;
3. surat pernyataan kesediaan DPS atas
penunjukan direksi sebagai pihak yang
bertanggung jawab terhadap pemenuhan
kepatuhan syariah Daftar Efek Syariah yang
diterbitkan, dengan menggunakan format Surat
Pernyataan DPS tentang Kesediaan Sebagai
Pihak yang Bertanggung Jawab terhadap
Pemenuhan Kepatuhan Syariah Daftar Efek
perundang-
- 15 -
Syariah
yang Diterbitkan
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
4. surat pernyataan DPS mengenai pernyataan
kesyariahan Efek Syariah yang dimuat dalam
Daftar Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah, dengan
menggunakan format
Surat Pernyataan
Kesesuaian Syariah Dewan Pengawas Syariah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini; dan
c. dokumen terkait standar prosedur operasi, yaitu
fotokopi dokumen standar prosedur operasi
penyusunan Daftar Efek Syariah dengan
menggunakan kertas berlogo perusahaan serta
mencantumkan tanggal pengesahan dan
ditandatangani oleh anggota direksi.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah secara elektronik, permohonan persetujuan
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dapat dilakukan
secara elektronik.
(4) Ketentuan mengenai penyampaian permohonan
persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah secara
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dengan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta tambahan dokumen
dan/atau informasi untuk melengkapi permohonan
persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17.
- 16 -
Pasal 19
(1) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 tidak memenuhi syarat, paling lambat 45 (empat
puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan, Otoritas
Jasa Keuangan memberikan surat pemberitahuan
kepada pemohon yang menyatakan bahwa:
a. permohonan tidak lengkap; atau
b. permohonan ditolak karena tidak memenuhi
persyaratan.
(2) Pemohon wajib melengkapi kekurangan dokumen
dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dalam jangka waktu 45 (empat
puluh lima) hari setelah tanggal surat pemberitahuan
Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyampaian kelengkapan dokumen dan/atau tambahan
informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
telah diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tanggal
diterimanya perubahan dokumen dan/atau tambahan
informasi.
(4) Sejak diterimanya perubahan dokumen, tambahan
informasi, dan/atau kelengkapan kekurangan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
permohonan persetujuan tersebut dianggap baru
diterima oleh Otoritas Jasa Keuangan dan diproses
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Pemohon yang tidak melengkapi kekurangan yang
dipersyaratkan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap membatalkan
permohonan persetujuan Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah yang sudah diajukan kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan tidak meminta
tambahan dokumen dan/atau informasi dalam jangka
waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah penyampaian
permohonan persetujuan dan/atau tambahan informasi
- 17 -
terakhir dari permohonan persetujuan kepada Otoritas
Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan memberikan
surat persetujuan kepada pemohon.
Bagian Keempat
Pengumuman dan Pelaporan
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
Pasal 20
(1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
mengumumkan Daftar Efek Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah wajib mengumumkan setiap
perubahan Daftar Efek Syariah.
(2) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling sedikit melalui surat kabar harian
berbahasa Indonesia yang berperedaran nasional atau
media elektronik yang dapat diakses oleh publik paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah perubahan Daftar Efek
Syariah dinyatakan efektif.
(3) Bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling
lambat 2 (dua) hari kerja setelah Daftar Efek Syariah
tersebut dipublikasikan.
(4) Penyampaian bukti pengumuman sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) harus disertai surat pernyataan
kesesuaian syariah dari DPS dengan menggunakan
format Surat Pernyataan Kesesuaian Syariah Dewan
Pengawas Syariah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 21
(1) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
menggunakan Daftar Efek Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah wajib menyampaikan laporan setiap
- 18 -
tahun kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan
menggunakan format Laporan Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disertai dokumen sebagai berikut:
a. Daftar Efek Syariah yang diterbitkan beserta
perubahannya selama tahun berjalan dengan batas
akhir periode laporan per tanggal 31 Desember; dan
b. Surat pernyataan kesesuaian syariah dari DPS
untuk setiap penerbitan Daftar Efek Syariah dengan
menggunakan format Surat Pernyataan Kesesuaian
Syariah Dewan Pengawas Syariah sebagaimana
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
(3) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan paling lambat pada tanggal 31 Januari
tahun berikutnya.
(4) Dalam hal batas waktu penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari
libur, penyampaian laporan wajib dilakukan paling
lambat pada 1 (satu) hari kerja berikutnya.
(5) Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
menyampaikan laporan melewati batas waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penghitungan
jumlah hari keterlambatan atas penyampaian laporan
dihitung sejak hari pertama setelah batas akhir waktu
penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4).
Pasal 22
Dalam hal Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah menerbitkan
Daftar Efek Syariah baik untuk diumumkan kepada publik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a
- 19 -
maupun untuk digunakan secara terbatas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah wajib mengikuti ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 21.
Pasal 23
(1) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan telah menyediakan
sistem pelaporan Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah
secara elektronik, penyampaian laporan Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah dapat dilakukan melalui sistem
elektronik.
(2) Ketentuan mengenai penyampaian laporan Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah secara elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah wajib menyimpan seluruh
dokumen yang terkait dengan pencantuman Efek Syariah
dalam Daftar Efek Syariah untuk jangka waktu sebagaimana
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai dokumen perusahaan.
BAB VI
KETENTUAN SANKSI
Pasal 25
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
- 20 -
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf
g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 26
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 27
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 kepada masyarakat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Pihak yang telah mendapatkan persetujuan sebagai Pihak
Penerbit Daftar Efek Syariah sebelum berlakunya Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini wajib menyesuaikan dengan
- 21 -
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan ini paling lambat 6 (enam) bulan sejak
berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria
dan Penerbitan Daftar Efek Syariah, beserta Peraturan Nomor
II.K.1 yang merupakan lampirannya, dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 30
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 22 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 137
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
- 2 -
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 35 /POJK.04/2017
TENTANG
KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH
I. UMUM
Dalam upaya pengembangan pasar modal syariah agar dapat tumbuh
stabil dan berkelanjutan diperlukan pengembangan infrastruktur pasar
yang memadai. Salah satu infrastruktur penting adalah tersedianya
regulasi yang jelas dan mudah dipahami, serta dapat diterapkan.
Disamping itu, dinamika perkembangan pasar modal syariah menuntut
adanya penyempurnaan atas Peraturan Nomor II.K.1, lampiran Keputusan
Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor
Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
Penyempurnaan Peraturan Nomor II.K.1 tersebut dilakukan untuk
mendukung pengembangan pasar modal syariah melalui pertumbuhan
Efek Syariah serta menyelaraskan dengan beberapa Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan terkait pasar modal syariah, antara lain POJK
Nomor 16/POJK.04/2015 tentang Ahli Syariah Pasar Modal, POJK
Nomor 19/POJK.04/2015 tentang Penerbitan dan Persyaratan Reksa
Dana Syariah, dan POJK Nomor 61/POJK.04/2016 tentang Penerapan
Prinsip Syariah di Pasar Modal pada Manajer Investasi.
Adapun penyempurnaan terhadap peraturan mengenai kriteria dan
penerbitan Daftar Efek Syariah yang berlaku sebelumnya dilakukan
dengan menambahkan ketentuan baru dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini, yaitu antara lain:
- 2 -
a. memperluas cakupan pihak yang wajib menggunakan Daftar Efek
Syariah yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b. memperluas cakupan jenis Efek yang dapat dimuat dalam Daftar
Efek Syariah yang diterbitkan oleh Pihak Penerbit Daftar Efek
Syariah;
c. menambahkan ketentuan yang mewajibkan Pihak Penerbit Daftar
Efek Syariah memiliki DPS yang memiliki izin ASPM dari Otoritas
Jasa Keuangan; dan
d. menambahkan ketentuan yang mewajibkan DPS untuk memastikan
pemenuhan terhadap Prinsip Syariah di Pasar Modal atas Efek
Syariah yang dimuat dalam Daftar Efek Syariah diterbitkan oleh
Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengubah ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai kriteria dan penerbitan Daftar Efek
Syariah, yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan Nomor Kep-208/BL/2012 tentang Kriteria dan
Penerbitan Daftar Efek Syariah, beserta Peraturan Nomor II.K.1 yang
merupakan lampirannya dengan menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “hak memesan efek terlebih dahulu
syariah” adalah hak yang melekat pada saham yang
termasuk dalam Daftar Efek Syariah yang memberikan
kesempatan pemegang saham yang bersangkutan untuk
membeli saham dan/atau Efek bersifat ekuitas lainnya baik
yang dapat dikonversikan menjadi saham atau yang
memberikan hak untuk membeli saham, sebelum
- 3 -
ditawarkan kepada pihak lain. Hak tersebut wajib dapat
dialihkan.
Yang dimaksud dengan “waran syariah” adalah Efek yang
diterbitkan oleh suatu perusahaan yang memberi hak
kepada pemegang Efek untuk memesan saham syariah dari
perusahaan tersebut pada harga tertentu setelah 6 (enam)
bulan atau lebih sejak Efek dimaksud diterbitkan.
Huruf b
Angka 1
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Contoh jasa keuangan ribawi antara lain bank
konvensional (berbasis bunga) dan perusahaan
pembiayaan konvensional (berbasis bunga).
Huruf c)
Contoh jual beli risiko yang mengandung unsur
ketidakpastian (gharar) dan/atau judi (maisir)
antara lain asuransi konvensional.
Huruf d)
Cukup jelas.
Huruf e)
Ketetapan Dewan Syariah Nasional - Majelis
Ulama Indonesia dapat berupa fatwa, opini, atau
keputusan lain yang dikeluarkan oleh Dewan
Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia.
Angka 2
Contoh transaksi yang bertentangan dengan Prinsip
Syariah di Pasar Modal antara lain sebagai berikut:
a. perdagangan atau transaksi dengan penawaran
dan/atau permintaan palsu;
b. perdagangan atau transaksi yang tidak disertai
dengan penyerahan barang dan/atau jasa, antara
lain perdagangan indeks;
c. penjualan atas barang yang belum dimiliki;
- 4 -
d. pembelian atau penjualan atas Efek yang
menggunakan atau memanfaatkan informasi
orang dalam dari Emiten atau Perusahaan Publik;
e. transaksi marjin atas Efek Syariah yang
mengandung unsur bunga (riba);
f.
perdagangan atau transaksi dengan tujuan
penimbunan (ihtikar);
g. melakukan perdagangan atau transaksi yang
mengandung unsur suap (risywah); dan
h. transaksi lain yang mengandung unsur spekulasi
(gharar),
penipuan (tadlis) termasuk
menyembunyikan kecacatan (ghisysy), dan upaya
untuk mempengaruhi pihak lain yang
mengandung kebohongan (taghrir).
Angka 3
Huruf a)
Cukup jelas.
Huruf b)
Contoh pendapatan tidak halal lainnya antara lain
pendapatan yang berasal dari:
a. penjualan makanan yang mengandung babi;
b. penjualan minuman beralkohol; dan
c. penjualan rokok.
Huruf c
Angka 1
Contoh Efek Syariah selain saham yang diterbitkan
melalui Penawaran Umum antara lain sukuk, unit
penyertaan reksa dana syariah, Efek beragun aset
syariah, dana investasi real estat syariah berbentuk
kontrak investasi kolektif.
Angka 2
Huruf a)
Contoh Efek Syariah selain saham yang
diterbitkan tanpa melalui Penawaran Umum
antara lain unit penyertaan reksa dana syariah
berbentuk kontrak investasi kolektif penyertaan
terbatas, medium term note syariah.
- 5 -
Huruf b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “aksi korporasi” antara lain transaksi afiliasi,
transaksi material, perubahan kegiatan usaha utama, dan
penggabungan usaha atau peleburan usaha.
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh pihak lain yang melakukan penyusunan portofolio
investasi Efek Syariah antara lain asuransi syariah dan dana
pensiun syariah.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 6 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh dari Efek Syariah luar negeri lainnya antara lain
islamic real estate investment trusts (iREITS), islamic asset
backed securities, islamic ETF, dan depositary receipt.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh pihak tertentu adalah Manajer Investasi yang
menerbitkan reksa dana syariah berbasis efek syariah luar
negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “media elektronik” antara lain situs web.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Contoh regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau
pihak lain yang dijadikan acuan antara lain Securities
Commission Malaysia, Dow Jones Islamic Market, Financial Times
Stock Exchange, Morgan Stanley Capital International dan bursa
efek baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
- 7 -
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
DPS dapat berasal dari dalam perusahaan maupun dari
luar perusahaan.
Huruf c
Yang dimaksud “standar prosedur operasi” adalah standar
prosedur operasi yang berupa flowchart dan penjelasan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Contoh perubahan mekanisme penyusunan Daftar Efek Syariah
antara lain:
a. perubahan penyusunan Daftar Efek Syariah dari semula
dengan mekanisme seleksi sendiri oleh Pihak Penerbit
Daftar Efek Syariah menjadi dengan mekanisme mengacu
kepada regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau
pihak lain atau sebaliknya; dan
b. perubahan penyusunan Daftar Efek Syariah dari semula
hanya dengan salah
satu mekanisme menjadi
menggunakan 2 (dua) mekanisme baik menggunakan
mekanisme seleksi sendiri maupun mekanisme mengacu
kepada regulator di negara lain, penyedia indeks, dan/atau
pihak lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “membuat kontrak kerja sama baru
dengan penyedia indeks dan/atau pihak lain di luar negeri”
adalah apabila terdapat:
a. perubahan mekanisme penyusunan Daftar Efek Syariah
oleh Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah dari semula
menyusun sendiri menjadi mengacu kepada penyedia
indeks dan/atau pihak lain; atau
b. perubahan atas penyedia indeks dan/atau pihak lain yang
menjadi acuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Apabila dalam 1 (satu) tahun tersebut terdapat beberapa kali
perubahan Daftar Efek Syariah, isi dari laporan yang
disampaikan adalah rekapan dari perubahan Daftar Efek
Syariah tersebut yang disertai surat pernyataan kesesuaian
syariah dari DPS untuk setiap Daftar Efek Syariah yang
berubah.
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
memerintahkan kepada Pihak Penerbit Daftar Efek Syariah untuk
mengeluarkan Efek yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dari Daftar Efek
Syariah yang diterbitkannya.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
- 10 -
Pasal 30
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6083
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 35/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> KRITERIA DAN PENERBITAN DAFTAR EFEK SYARIAH </reg_title>
<set_date> 7 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 10 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 10 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-208/BL/2012|KEPTA-BAPEPAM-LK/2012 | Lampiran Peraturan Nomor II.K.1' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB VI' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39/POJK.03/2017
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa untuk mengantisipasi dinamika perkembangan
perekonomian regional dan global, industri perbankan
nasional perlu meningkatkan ketahanan dan daya saing;
b. bahwa peningkatan ketahanan dan daya saing
perbankan nasional memerlukan struktur perbankan
yang kuat;
c. bahwa struktur perbankan yang kuat dapat dicapai
dengan melakukan penataan struktur kepemilikan bank
melalui kebijakan kepemilikan tunggal pada perbankan
Indonesia;
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali kepemilikan
tunggal pada perbankan Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d tersebut
di atas, perlu untuk menetapkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan
Indonesia;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan Bank Umum Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah, tidak termasuk kantor
cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
- 3 -
2. Kepemilikan Tunggal adalah suatu kondisi dimana suatu
pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali
pada 1 (satu) Bank.
3. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat
PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau
kelompok usaha yang:
a.
memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar
25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak
suara; atau
b.
memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara
namun yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan pengendalian perusahaan atau Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
4. Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) adalah badan hukum yang dibentuk dan/atau
dimiliki oleh PSP untuk mengonsolidasikan dan
mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank
yang menjadi anak perusahaannya.
5. Fungsi Holding adalah suatu fungsi yang dimiliki oleh
PSP berupa Bank yang berbadan hukum Indonesia atau
instansi Pemerintah Pusat untuk mengonsolidasikan dan
mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas Bank
yang menjadi anak perusahaannya.
Pasal 2
(1) Setiap pihak hanya dapat menjadi PSP pada 1 (satu)
Bank.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi:
a. PSP pada 2 (dua) Bank yang masing-masing
melakukan kegiatan usaha dengan prinsip berbeda,
yakni secara konvensional dan berdasarkan prinsip
syariah; dan
b. PSP pada 2 (dua) Bank yang salah satunya
merupakan bank campuran (joint venture bank).
- 4 -
Pasal 3
(1) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) melakukan pembelian saham Bank lain sehingga
menjadi PSP pada lebih dari 1 (satu) Bank, yang
bersangkutan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
(2) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), dilakukan dengan cara:
a. penggabungan atau peleburan atas Bank yang
dikendalikan;
b. membentuk Perusahaan Induk di Bidang Perbankan
(Bank Holding Company); atau
c. membentuk Fungsi Holding.
(3) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib dilakukan dalam
waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan
pembelian saham Bank lain yang mengakibatkan yang
bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP dari Bank
yang dibeli sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(4) Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c wajib dilakukan dalam waktu paling
lama 6 (enam) bulan setelah pelaksanaan pembelian
saham Bank lain yang mengakibatkan yang
bersangkutan memenuhi kriteria sebagai PSP dari Bank
yang dibeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Berdasarkan permintaan PSP dan Bank yang
dikendalikan, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan
perpanjangan jangka waktu penyesuaian pemenuhan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1),
dalam hal menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan
permasalahan yang dihadapi PSP dan/atau Bank yang
dikendalikan cukup kompleks sehingga menyebabkan
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) tidak dapat diselesaikan dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
- 5 -
Pasal 4
(1) Bank yang melakukan penggabungan atau peleburan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a
diberikan insentif berupa:
a. perpanjangan waktu penyelesaian pelampauan
Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK);
b. kemudahan pembukaan kantor cabang;
c. pelonggaran sementara penerapan tata kelola;
dan/atau
d.
insentif lain, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai insentif dalam
rangka konsolidasi perbankan.
(2) Tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai insentif dalam rangka
konsolidasi perbankan.
BAB II
TATA CARA PEMBENTUKAN PERUSAHAAN INDUK
DI BIDANG PERBANKAN (BANK HOLDING COMPANY)
DAN PEMBENTUKAN FUNGSI HOLDING
Pasal 5
(1) Bentuk badan hukum Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan (Bank Holding Company) yaitu perseroan
terbatas yang didirikan di Indonesia dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
(2) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) hanya dapat melakukan kegiatan penyertaan,
mencakup penyediaan jasa manajemen untuk
meningkatkan efektivitas konsolidasi, strategi usaha, dan
optimalisasi keuangan kelompok usaha yang
dikendalikan.
(3) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) berada 1 (satu) tingkat di atas Bank yang
dikendalikan secara langsung.
- 6 -
(4) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) dapat berdiri sendiri sebagai 1 (satu) badan
hukum atau berupa perusahaan induk di bidang
keuangan
(financial holding company)
yang
mengonsolidasikan lembaga keuangan yang dimiliki oleh
PSP.
Pasal 6
(1) Fungsi Holding hanya dapat dilakukan PSP berupa Bank
yang berbadan hukum Indonesia atau instansi
Pemerintah Pusat.
(2) Fungsi Holding dipimpin oleh:
a. salah satu anggota direksi pada Bank yang menjadi
PSP; atau
b. salah satu pejabat yang ditunjuk oleh pimpinan
tertinggi instansi Pemerintah Pusat.
Pasal 7
(1) PSP yang memilih untuk membentuk Perusahaan Induk
di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) wajib
menyampaikan rencana pelaksanaan pembentukan
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) dan pengalihan saham dari PSP kepada
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyampaian rencana pelaksanaan pembentukan
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) dan pengalihan saham dari PSP kepada
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan
melampirkan dokumen pendukung paling sedikit:
a.
berita acara Rapat Umum Pemegang Saham masing-
masing Bank;
b. rancangan anggaran dasar pendirian Perusahaan
Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company);
c. rancangan akta pengalihan saham Bank; dan
- 7 -
d.
daftar calon anggota direksi dan/atau anggota
dewan komisaris Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan (Bank Holding Company).
(3) Proses pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dikecualikan dari ketentuan peraturan
perundang-undangan
mengenai
penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan bank umum, serta
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
pembelian saham bank umum.
(4) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
yang dilakukan berdasarkan kewajiban dalam ketentuan
ini dikecualikan dari ketentuan yang berlaku bagi calon
pemegang saham Bank untuk menyesuaikan kepemilikan
sahamnya dengan batas maksimum kepemilikan saham
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai kepemilikan saham
bank umum.
Pasal 8
(1) Otoritas Jasa Keuangan melakukan
penilaian
kemampuan dan kepatutan terhadap calon anggota
direksi dan calon anggota dewan komisaris Perusahaan
Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company)
sesuai dengan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai
kepatutan.
penilaian kemampuan dan
(2) Bank yang membentuk Fungsi Holding wajib
menyampaikan informasi dan dokumen pendukung
mengenai pelaksana Fungsi Holding dan rencana
pelaksanaannya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 9
(1) Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) dan Fungsi Holding wajib memberikan arah
strategis dan mengonsolidasikan laporan keuangan Bank
yang menjadi anak perusahaan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan
pengawasan terhadap Perusahaan Induk di Bidang
- 8 -
Perbankan (Bank Holding Company) dan terhadap Fungsi
Holding sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas
pengaturan dan pengawasan Bank.
(3) Dalam pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
pemeriksaan terhadap Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan (Bank Holding Company) dan Fungsi Holding
baik secara berkala maupun sewaktu-waktu dalam hal
diperlukan.
Pasal 10
(1) Bank yang akan diambil alih oleh pihak yang telah
menjadi PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) wajib menyampaikan rencana pemenuhan
ketentuan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan pada
saat mengajukan izin pengambilalihan.
(2) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit memuat cara yang dipilih,
rencana tindak (action plan), dan jadwal waktu
pelaksanaan.
(3) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat disusun dan disampaikan oleh
masing-masing Bank atau bersama-sama oleh beberapa
Bank dengan PSP yang sama dan wajib ditandatangani
oleh direksi dan dewan komisaris masing-masing Bank
serta diketahui oleh PSP.
(4) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap triwulan
terhitung sejak persetujuan Bank atas rencana
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1).
(5) Rencana pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta laporan perkembangan pelaksanaan
pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) disampaikan kepada:
- 9 -
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah bagi Bank yang
berkantor pusat di wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat, sesuai dengan
wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank.
Pasal 11
(1) PSP yang tidak melakukan pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilarang
melakukan pengendalian dan dilarang memiliki saham
dengan hak suara pada masing-masing Bank lebih
dari 10% (sepuluh persen) dari jumlah saham Bank.
(2) Bank dengan PSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib mencatat kepemilikan saham dan hak suara dalam
Rapat Umum Pemegang Saham paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen) dari jumlah saham Bank.
(3) Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
menatausahakan jumlah kelebihan saham di atas 10%
(sepuluh persen) milik PSP sebagai saham tanpa hak
suara sampai dengan saham dimaksud dialihkan kepada
pihak lain.
Pasal 12
PSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) wajib
mengalihkan kelebihan saham di atas 10% (sepuluh persen)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) kepada pihak
lain paling lama 1 (satu) tahun setelah berakhirnya jangka
waktu pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) dan Pasal 3 ayat (4).
- 10 -
BAB III
SANKSI
Pasal 13
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (4), Pasal 7 ayat (1),
Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), Pasal 10
ayat (3), dan/atau Pasal 10 ayat (4) Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini dikenakan sanksi administratif berupa:
1. teguran tertulis; dan/atau
2. pencantuman anggota direksi, anggota dewan komisaris,
dan/atau pejabat eksekutif dalam daftar pihak yang
mendapat predikat Tidak Lulus dalam uji kemampuan
dan kepatutan sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai uji
kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Pasal 14
Bank yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan/atau Pasal 11 ayat (3)
dikenakan:
1. sanksi administratif berupa
denda
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); dan/atau
2. sanksi dalam penilaian aspek tata kelola pada penilaian
tingkat kesehatan Bank.
Pasal 15
(1) PSP yang memiliki lebih dari 1 (satu) Bank namun tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 dikenakan sanksi administratif berupa larangan
menjadi PSP pada seluruh bank di Indonesia untuk
jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak menghilangkan kewajiban PSP untuk mengalihkan
kelebihan saham di atas 10% (sepuluh persen)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
sebesar
- 11 -
Pasal 16
Anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company) yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa
pencantuman anggota direksi dan/atau anggota dewan
komisaris Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank
Holding Company) dalam daftar pihak yang mendapat predikat
Tidak Lulus dalam uji kemampuan dan kepatutan
sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan mengenai uji kemampuan dan kepatutan (fit and
proper test).
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggabungan atau
peleburan atas Bank yang dikendalikan, pembentukan
Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding
Company), dan pembentukan Fungsi Holding dalam rangka
Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia diatur dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/24/PBI/2012
tentang Kepemilikan Tunggal pada Perbankan Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 284, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5382), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 19
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 12 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 145
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 39 /POJK.03/2017
TENTANG
KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA
I. UMUM
Konsolidasi perbankan merupakan salah satu prasyarat untuk
mewujudkan struktur perbankan Indonesia yang sehat dan kuat. Dengan
konsolidasi perbankan diharapkan terjadi peningkatan skala ekonomis
dari Bank di Indonesia dan peningkatan efektivitas pengawasan Bank,
khususnya melalui pengawasan Bank secara terkonsolidasi.
Sementara itu, rencana integrasi sektor keuangan ASEAN pada
tahun 2020 yang memungkinkan Bank dengan kualifikasi tertentu
(Qualified ASEAN Banks–QAB) bebas beroperasi di kawasan ASEAN, akan
meningkatkan persaingan antara Bank nasional dengan bank dari
kawasan ASEAN.
Untuk mengantisipasi integrasi sektor keuangan regional dan global
tersebut, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan ketahanan dan
daya saing perbankan nasional, baik melalui akselerasi konsolidasi
perbankan maupun upaya-upaya untuk meningkatkan kesehatan Bank,
kualitas penerapan tata kelola, maupun meningkatkan permodalan Bank.
Di samping itu, perlu disadari bahwa ketahanan dan daya saing
perbankan yang kuat sangat dipengaruhi dan membutuhkan dukungan
struktur perbankan yang kuat pula. Struktur perbankan yang kuat
menjadi kerangka dasar yang diharapkan mampu mendukung
peningkatan perekonomian nasional, antara lain dapat dicapai melalui
penataan struktur kepemilikan Bank.
- 2 -
Dengan mempertimbangkan hal di atas dan sehubungan dengan
beralihnya fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan jasa
keuangan di sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, perlu untuk melakukan pengaturan kembali mengenai
Kepemilikan Tunggal pada perbankan Indonesia, yang salah satunya
dilakukan dengan memberikan alternatif penyesuaian struktur
kepemilikan saham Bank melalui pembentukan Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan (Bank Holding Company) maupun pelaksanaan Fungsi
Holding.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dalam hal PSP berbentuk badan hukum, pengertian PSP adalah
sampai dengan pemilik dan pengendali terakhir dari badan
hukum tersebut (ultimate shareholders) sesuai dengan ketentuan
Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian
kemampuan dan kepatutan.
Sejalan dengan itu, pengertian telah melakukan pengendalian
perusahaan atau Bank, baik secara langsung maupun tidak
langsung juga mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan
yang mengatur mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan.
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan ketentuan ini, dalam hal PSP memiliki lebih
dari 2 (dua) Bank dan diantaranya terdapat beberapa Bank
yang melakukan kegiatan usaha dengan prinsip yang sama,
kepemilikan atas Bank yang melakukan kegiatan usaha
dengan prinsip yang sama tersebut tidak memperoleh
pengecualian.
Contoh:
PSP yang telah memiliki 1 (satu) Bank konvensional dan 1
(satu) Bank berdasarkan prinsip syariah yang kemudian
- 3 -
mengambil alih Bank berdasarkan prinsip syariah, PSP
melakukan penyesuaian struktur kepemilikan atas kedua
Bank berdasarkan prinsip syariah tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “bank campuran” dalam ketentuan
ini adalah Bank yang didirikan dan dimiliki oleh bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia, yang
telah memperoleh izin usaha sebelum mulai berlakunya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
dan pada saat mulai berlakunya ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai Kepemilikan Tunggal pada
perbankan Indonesia tanggal 5 Oktober 2006, komposisi
pemegang saham masih tetap terdiri dari bank yang
berkedudukan di luar negeri dan Bank di Indonesia.
Sejalan dengan penjelasan dalam huruf a, dalam hal PSP
bank campuran memiliki lebih dari 1 (satu) Bank lain
bukan bank campuran, kepemilikan atas Bank bukan bank
campuran tersebut tidak memperoleh pengecualian.
Contoh:
PSP yang telah memiliki 1 (satu) bank campuran
dan 1 (satu) Bank lain bukan bank campuran yang
kemudian mengambil alih lagi Bank lain yang bukan bank
campuran, PSP melakukan penyesuaian struktur
kepemilikan atas kedua Bank yang bukan bank campuran
tersebut.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pelaksanaan penggabungan atau peleburan dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan
bank umum.
- 4 -
Huruf b
Dengan ketentuan ini maka Bank yang dikendalikan oleh
PSP tetap ada sebagaimana semula namun saham yang
semula dimiliki secara langsung atau tidak langsung oleh
PSP dialihkan kepemilikannya kepada Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan (Bank Holding Company).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Kewajiban pembentukan Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan (Bank Holding Company) sebagai badan hukum
Indonesia diberlakukan bagi PSP berupa:
a. orang perseorangan dan badan hukum non-bank yang
berkedudukan di Indonesia; dan/atau
b. orang perseorangan dan badan hukum yang berkedudukan
di luar wilayah Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “perusahaan induk di bidang keuangan
(financial holding company)” adalah badan hukum yang dibentuk
dan/atau dimiliki oleh PSP untuk mengonsolidasikan dan
mengendalikan secara langsung seluruh aktivitas perusahaan
keuangan yang menjadi anak perusahaan.
- 5 -
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “instansi Pemerintah Pusat” adalah instansi
yang berwenang menangani Bank yang dimiliki oleh Pemerintah
Pusat.
Pasal 7
Ayat (1)
Rencana pelaksanaan pembentukan Perusahaan Induk di
Bidang Perbankan (Bank Holding Company) dilaporkan dalam
Rencana Bisnis Bank dan dituangkan secara detail dalam
rencana pembentukan Perusahaan Induk di Bidang Perbankan
(Bank Holding Company) dan rencana pengalihan saham dari
PSP kepada Perusahaan Induk di Bidang Perbankan (Bank
Holding Company).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
mengenai kepemilikan saham bank umum, calon pemegang
saham Bank menyesuaikan kepemilikan sahamnya dengan
batas maksimum kepemilikan saham pada saat menjadi
pemegang saham Bank. Dengan ketentuan ini maka seluruh
saham PSP dapat dialihkan kepada Perusahaan Induk di Bidang
Perbankan (Bank Holding Company). Namun demikian,
ketentuan tersebut tidak menghilangkan kewajiban Perusahaan
Induk di Bidang Perbankan (Bank Holding Company) untuk
menyesuaikan kepemilikan sahamnya dalam hal setelah
pengalihan saham tersebut Bank yang dimiliki tidak memenuhi
kriteria tingkat kesehatan Bank, dan/atau penilaian tata kelola
sesuai yang dipersyaratkan dalam ketentuan Otoritas Jasa
Keuangan yang mengatur mengenai kepemilikan saham bank
umum.
Pasal 8
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “saham Bank” adalah saham Bank yang
memiliki hak suara.
Ayat (2)
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak
mempengaruhi pencatatan akuntansi maupun permodalan
Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di luar kelompok
usaha dan/atau keluarga sampai dengan derajat kedua dari PSP.
Pengalihan saham dari PSP kepada pihak lain dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan bank umum, serta
ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembelian
saham bank umum.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan “penilaian tingkat kesehatan Bank” adalah
penilaian tingkat kesehatan Bank sebagaimana diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
a. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, untuk Bank Umum
Konvensional; dan
- 7 -
b. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah, untuk aktivitas perbankan dengan prinsip
syariah.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bank” adalah Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan dan Bank Syariah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6088
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 39/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> KEPEMILIKAN TUNGGAL PADA PERBANKAN INDONESIA </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '14/24/PBI/2012' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
- 1 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pemeliharaan dokumen oleh wali amanat beralih dari
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pemeliharaan dokumen
oleh wali amanat, ketentuan peraturan perundang-
undangan di sektor pasar modal mengenai pemeliharaan
dokumen oleh wali amanat yang diterbitkan sebelum
terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan perlu diubah ke
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan
Dokumen oleh Wali Amanat;
- 2 -
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Wali Amanat adalah pihak yang mewakili kepentingan
pemegang efek yang bersifat utang.
2. Emiten adalah pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
4. Sukuk adalah Efek syariah berupa sertifikat atau bukti
kepemilikan yang bernilai sama dan mewakili bagian
yang tidak terpisahkan atau tidak terbagi
(syuyu’/undivided share), atas aset yang mendasarinya.
5. Kontrak Perwaliamanatan adalah perjanjian antara
Emiten dan Wali Amanat dalam rangka penerbitan Efek
bersifat utang dan/atau Sukuk yang dibuat dalam
bentuk akta notariil.
- 3 -
BAB II
PEMELIHARAAN DOKUMEN
Pasal 2
Setiap Wali Amanat wajib mengadministrasikan, menyimpan,
dan memelihara catatan, pembukuan, data, dan keterangan
tertulis yang berhubungan dengan Emiten yang menggunakan
jasa Wali Amanat.
Pasal 3
(1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disimpan di tempat yang aman dan terpisah dari kegiatan
bank lainnya dan wajib tersedia setiap saat untuk
kepentingan pemeriksaan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib
disimpan paling singkat untuk jangka waktu 5 (lima)
tahun sejak seluruh kewajiban Emiten terhadap
pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk telah
dipenuhi.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 4
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut, berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
- 4 -
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 5
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 6
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 7
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh
Wali Amanat, beserta Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
- 5 -
Pasal 8
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 128
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 28 /POJK.04/2017
TENTANG
PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pemeliharaan dokumen oleh Wali Amanat
yaitu Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-
78/PM/1996 tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali Amanat, beserta
Peraturan Nomor X.I.2 yang merupakan lampirannya, menjadi Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan tentang Pemeliharaan Dokumen oleh Wali
Amanat.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Catatan, pembukuan, data, dan keterangan tertulis yang wajib
diadministrasikan, disimpan, dan dipelihara antara lain:
a. Kontrak Perwaliamanatan;
b. kontrak yang berkaitan dengan pemberian jaminan dan bukti
pemilikan atau penguasaan atas harta yang dijaminkan;
c.
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang masih beredar dan
yang telah dilunasi;
d. catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai pelaksanaan
pengawasan terhadap Emiten termasuk tindakan yang
dilakukan oleh Wali Amanat karena tidak dipenuhinya
persyaratan Kontrak Perwaliamanatan, antara lain tidak
dibayarnya pokok dan bunga, atau adanya pelanggaran
terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal
yang dilakukan oleh Emiten;
e.
f.
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai rapat umum
pemegang Efek bersifat utang dan/atau Sukuk;
catatan, risalah, dan/atau laporan mengenai jumlah dan jenis
Efek bersifat utang dan/atau Sukuk yang dapat dikonversikan
menjadi saham;
g. daftar Emiten yang menggunakan jasa Wali Amanat; dan
h. buku pedoman operasional Wali Amanat.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
- 3 -
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “tindakan tertentu” antara lain berupa
perintah untuk menyalin atau melakukan dokumentasi ulang atas
dokumen yang rusak.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6075
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 28/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMELIHARAAN DOKUMEN OLEH WALI AMANAT </reg_title>
<set_date> 21 Juni 2017 </set_date>
<effective_date> 22 Juni 2017 </effective_date>
<issued_date> 22 Juni 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'Kep-78/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996', 'Kep-78/PM/1996|KEPTA-BAPEPAM/1996 | Lampiran Peraturan Nomor X.I.2' </replaced_reg>
<related_reg> '8/UU/1995', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 3/POJK.02/2014
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa untuk melaksanakan pasal 37 ayat (6) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan, telah ditetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang
Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
b. bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014
tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan
mengamanatkan untuk menyusun aturan pelaksanaan
dalam bentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang
Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 33, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5504);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS
JASA KEUANGAN.
BAB I...
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, yang
dimaksud dengan:
1. Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.
2. Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh
pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
3. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan
yang selanjutnya disebut Pihak adalah Lembaga Jasa
Keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan
yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
4. Sektor Jasa Keuangan adalah sektor Perbankan, Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
5. Wajib Bayar adalah Pihak yang wajib membayar
Pungutan kepada OJK.
6. Bank Umum adalah Bank Umum yang melakukan
kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan prinsip syariah, termasuk kantor cabang
dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di
luar negeri.
7. Bank Tempat Pembayaran adalah Bank Indonesia
dan/atau bank umum yang ditunjuk oleh OJK untuk
menerima setoran penerimaan yang berasal dari
Pungutan OJK.
8. Rekening OJK adalah rekening di Bank Tempat
Pembayaran yang dipergunakan OJK untuk menerima,
menyimpan, dan menyalurkan dana yang berasal dari
penerimaan Pungutan OJK.
9. Verifikasi adalah serangkaian kegiatan pengujian atas
penghitungan dan pembayaran Pungutan OJK,
berdasarkan data dan informasi penghitungan dan
pembayaran yang dimiliki atau diperoleh OJK.
10. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran efek
yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual efek kepada
masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam
Peraturan Perundang-undangan di sektor jasa
keuangan.
11. Efek...
- 3 -
11. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
BAB II
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PERHITUNGAN PUNGUTAN
OJK
Pasal 2
(1) Jenis Pungutan yang berlaku di OJK meliputi:
a. Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran,
pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi
korporasi; dan
b. Biaya tahunan dalam rangka pengaturan,
pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian.
(2) Jenis, satuan, dan besaran Pungutan OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah tentang Pungutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Sanksi administratif berupa denda atas pelanggaran
peraturan perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan
merupakan bagian dari penerimaan Pungutan OJK.
Pasal 3
(1) Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) wajib dibayar ke Rekening OJK pada Bank Tempat
Pembayaran yang ditunjuk oleh OJK.
(2) Dalam hal rekening OJK tidak dapat menerima
pembayaran Pungutan, Pungutan dibayarkan melalui
cara pembayaran lain yang ditetapkan OJK.
(3) Pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan terlebih dahulu
mengisi formulir yang diatur lebih lanjut dalam Surat
Edaran OJK.
(4) Pembayaran sanksi administratif berupa denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur
dalam Peraturan OJK tentang tata cara penagihan
sanksi administratif berupa denda di Sektor Jasa
Keuangan.
(5) Pembayaran...
- 4 -
(5) Pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibulatkan ke satuan rupiah terdekat.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai mekanisme
pembayaran kewajiban Pungutan diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Pasal 4
(1) Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan
pengesahan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa
Keuangan wajib dibayar oleh Wajib Bayar sebelum
pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan
pengesahan kepada OJK.
(2) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan wajib
dibayar oleh Wajib Bayar sebelum penyampaian
rencana aksi korporasi.
(3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak disertai dengan penyampaian
dokumen pengajuan perizinan, persetujuan,
pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas
rencana aksi korporasi dalam jangka waktu paling
lama 45 (empat puluh lima) hari, maka pembayaran
tersebut bersifat final dan tidak dapat dimintakan
kembali.
(4) Dalam hal Wajib Bayar tidak melakukan pembayaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
maka pengajuan perizinan, persetujuan, pendaftaran,
pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi
korporasi tersebut dianggap belum diajukan kepada
OJK.
(5) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) tidak menentukan disetujui atau ditolaknya
perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan
penelaahaan atas rencana aksi korporasi.
(6) Dengan memperhatikan ketentuan pada ayat (3),
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) bersifat final dan tidak dapat dimintakan
kembali.
Pasal 5
(1) Biaya pendaftaran bagi Wajib Bayar yang melakukan
Penawaran Umum sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas
Jasa Keuangan dihitung berdasarkan nilai emisi.
(2) Nilai...
- 5 -
(2) Nilai emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan total dana bruto yang diperoleh oleh Wajib
Bayar yang melakukan Penawaran Umum setelah
pelaksanaan penjatahan dalam rangka Penawaran
Umum.
(3) Pembayaran biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bagi Wajib Bayar yang melakukan
Penawaran Umum dihitung
berdasarkan jumlah dana yang akan dihimpun
sebagaimana tercantum dalam dokumen pernyataan
pendaftaran.
(4) Keseluruhan biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dihitung kembali berdasarkan nilai emisi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Wajib Bayar yang melakukan Penawaran Umum wajib
menyampaikan konfirmasi nilai emisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lambat 2 (dua) hari kerja
setelah penjatahan dalam rangka Penawaran Umum.
(6) Dalam
hal keseluruhan biaya pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih besar dari
pembayaran berdasarkan jumlah dana yang akan
dihimpun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih
kurang bayar wajib dibayar kepada OJK paling lambat
5 (lima) hari kerja setelah konfirmasi nilai emisi.
(7) Dalam hal keseluruhan biaya pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih kecil dari
pembayaran berdasarkan jumlah dana yang akan
dihimpun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), selisih
lebih bayar akan dikembalikan oleh OJK setelah
konfirmasi nilai emisi diterima oleh OJK.
(8) Dalam hal pernyataan pendaftaran dalam rangka
Penawaran Umum batal, pembayaran biaya
pendaftaran bersifat final dan tidak dapat dimintakan
kembali.
Pasal 6
(1) Besarnya biaya penelaahan aksi korporasi berupa
penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka
dihitung berdasarkan nilai aset yang terakhir dalam
laporan keuangan proforma penggabungan atau
peleburan perusahaan terbuka sebelum efektifnya
pernyataan penggabungan atau peleburan perusahaan
terbuka.
(2) Dalam hal biaya penelaahan dalam rangka rencana aksi
korporasi berupa penggabungan atau peleburan
perusahaan terbuka yang telah dibayarkan lebih kecil
dari perhitungan biaya berdasarkan nilai aset yang
terakhir dalam laporan keuangan proforma, perusahaan
terbuka wajib membayar selisih kurang bayar dimaksud
paling...
secara mandiri
- 6 -
paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah efektifnya
pernyataan penggabungan atau peleburan perusahaan
terbuka.
(3) Dalam hal biaya penelaahan dalam rangka rencana aksi
korporasi berupa penggabungan atau peleburan
perusahaan terbuka yang telah dibayarkan lebih besar
dari perhitungan biaya berdasarkan nilai aset yang
terakhir dalam laporan keuangan proforma, OJK
mengembalikan selisih lebih bayar paling lambat 5
(lima) hari kerja setelah efektifnya pernyataan
penggabungan atau peleburan perusahaan terbuka.
(4) Biaya penelaahan atas rencana aksi korporasi berupa
pengambilalihan perusahaan terbuka wajib dibayar oleh
Wajib Bayar pada tanggal yang sama dengan tanggal
penyampaian bukti pengumuman negosiasi atau dalam
rangka pengambilalihan perusahaan terbuka kepada
OJK.
Pasal 7
(1) Perhitungan biaya tahunan manajer investasi dihitung
berdasarkan tarif persentase tertentu sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan dari rata-rata harian atas
dana kelolaan selama 1 (satu) tahun periode pelaporan
sebelum kewajiban pembayaran Pungutan.
(2) Dana kelolaan manajer investasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan
dana kelolaan harian atas produk reksa dana, efek
beragun aset, pengelolaan portofolio efek untuk
kepentingan nasabah secara individual, reksa dana
penyertaan terbatas, dana investasi real estate dan
produk investasi lain yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 8
(1) Kantor akuntan publik, kantor jasa penilai publik,
kantor konsultan hukum, kantor notaris, dan
perusahaan konsultan aktuaria, sepanjang kantor
dimaksud memiliki izin, persetujuan, pengesahan, atau
pendaftaran dari OJK dikenakan Pungutan oleh OJK.
(2) Perhitungan biaya tahunan kantor akuntan publik,
kantor jasa penilai publik, kantor konsultan hukum,
kantor notaris, dan perusahaan konsultan aktuaria yang
besaran tarifnya berdasarkan nilai kontrak di Sektor
Jasa Keuangan dilakukan dengan dasar nilai kontrak
per triwulanan pada tahun berjalan.
Pasal 9...
- 7 -
Pasal 9
(1) Biaya tahunan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang dibayar dalam 4 tahap, pembayaran
setiap tahap dihitung dengan cara:
a. Pembayaran biaya tahunan tahap I paling lambat
tanggal 15 April untuk pembayaran atas kewajiban
triwulan I yaitu mulai tanggal 1 Januari sampai
dengan 31 Maret tahun berjalan;
b. Pembayaran biaya tahunan tahap II paling lambat
tanggal 15 Juli untuk pembayaran atas kewajiban
triwulan II yaitu mulai tanggal 1 April sampai
dengan 30 Juni tahun berjalan;
c. Pembayaran biaya tahunan tahap III paling lambat
tanggal 15 Oktober untuk pembayaran atas
kewajiban triwulan III yaitu mulai tanggal 1 Juli
sampai dengan 30 September tahun berjalan; dan
d. Pembayaran biaya tahunan tahap IV paling lambat
tanggal 31 Desember untuk pembayaran atas
kewajiban triwulan IV yaitu mulai tanggal 1
Oktober sampai dengan tanggal 31 Desember tahun
berjalan.
(2) Dalam hal biaya tahunan yang besaran tarifnya
ditetapkan dalam nominal tertentu yang tidak mengacu
pada laporan keuangan, pembayaran dilakukan paling
lambat tanggal 15 Juni untuk pembayaran atas
kewajiban periode satu tahun yaitu mulai tanggal 1
Januari sampai dengan 31 Desember tahun berjalan.
Pasal 10
(1) Kewajiban biaya tahunan dimulai sejak Wajib Bayar
memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan
pengesahan dan berakhir setelah perizinan,
persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan dicabut,
dibatalkan, dibubarkan, atau perusahaan terbuka
menjadi perusahaan tertutup.
(2) Kewajiban biaya tahunan bagi Wajib Bayar yang baru
memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran dan
pengesahan dan belum mempunyai acuan sebagai
dasar perhitungan biaya tahunan dikenakan biaya
tahunan pada besaran paling sedikit sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam hal kewajiban biaya tahunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 tidak dalam satu tahun
penuh, biaya tahunan dihitung secara proporsional
bulanan dengan bagian bulan dihitung secara harian.
(4) Dalam...
- 8 -
(4) Dalam hal perizinan, persetujuan, pendaftaran dan
pengesahan bagi Wajib Bayar yang dikenakan biaya
tahunan yang besaran tarifnya ditetapkan dalam
nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(2) diperoleh setelah tanggal 15 Juni, pembayaran biaya
tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib
dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember.
(5) Dalam hal tanggal 31 Desember sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) jatuh pada hari libur, pembayaran
dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
Pasal 11
(1) Biaya tahunan emiten dihitung berdasarkan nilai seluruh
outstanding emisi yang tercakup dalam laporan keuangan
tahunan tahun sebelumnya yang telah diaudit.
(2) Dalam rangka perhitungan biaya tahunan bagi emiten,
nilai emisi outstanding dihitung berdasarkan jumlah
keseluruhan nilai emisi yang meliputi:
a) jumlah nilai penerbitan Efek yang bersifat ekuitas
pada saat Penawaran Umum, Penawaran Umum
dalam rangka penambahan modal dengan hak
memesan Efek terlebih dahulu (Penawaran Umum
terbatas/right issue), penambahan modal tanpa hak
memesan Efek terlebih dahulu, pelaksanaan Efek yang
dapat dikonversi menjadi saham, dikurangi dengan
nilai saham dari emisi yang dibeli kembali dan
menurunkan modal disetor;
b) jumlah nilai Efek bersifat utang yang diterbitkan
melalui Penawaran Umum dan belum lunas; dan
c) jumlah nilai sukuk yang diterbitkan melalui
Penawaran Umum dan belum lunas.
BAB III
TATA CARA PENAGIHAN PUNGUTAN OJK
Pasal 12
(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajiban biaya
tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana
ditetapkan pada Peraturan Pemerintah tentang
Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, OJK
memberikan surat teguran pertama yang memuat:
a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal teguran pertama;
dan
b. pengenaan...
- 9 -
b. pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kewajiban
pembayaran Pungutan yang wajib dibayar karena
terlambat melakukan pembayaran dan paling
banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari
Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
(2) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajiban biaya
tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana
ditetapkan pada surat teguran pertama, OJK
memberikan surat teguran kedua yang memuat:
a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat
30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya jangka
waktu sebagaimana ditetapkan pada surat teguran
pertama; dan
b. pengenaan sanksi administratif berupa denda
sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kewajiban
pembayaran Pungutan yang wajib dibayar karena
terlambat melakukan pembayaran dan paling
banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari
Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan
bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.
(3) Selain sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), OJK dapat
menetapkan sanksi administratif tambahan atau
tindakan tertentu kepada Wajib Bayar yang tidak
melakukan atau terlambat melakukan pembayaran
sesuai dengan jenis sanksi atau tindakan tertentu
sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan
Perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
(4) Pengenaan sanksi administratif tambahan atau
tindakan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditetapkan OJK berdasarkan ketentuan tentang sanksi
administratif yang berlaku untuk setiap sektor jasa
keuangan.
(5) OJK dapat mengumumkan pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
kepada masyarakat.
(6) Tata cara penagihan sanksi administratif berupa denda
di Sektor Jasa Keuangan yang dikenakan kepada Pihak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) diatur
dalam Peraturan OJK tentang Tata Cara Penagihan
Sanksi Administratif Berupa Denda Di Sektor Jasa
Keuangan.
Pasal 13...
- 10 -
Pasal 13
(1) Dalam hal Wajib Bayar tidak melunasi kewajibannya
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak tanggal
berakhirnya jangka waktu pembayaran Pungutan, OJK
menetapkan kewajiban tersebut sebagai piutang macet.
(2) OJK menyerahkan penagihan
atas Pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Panitia
Urusan Piutang Negara sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pembayaran atas piutang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan melalui Panitia Urusan Piutang
Negara.
BAB IV
TATA CARA VERIFIKASI PUNGUTAN OJK
Pasal 14
(1) OJK dapat melakukan Verifikasi terhadap kewajiban
biaya tahunan secara:
a. rutin; dan/atau
b. khusus.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk memastikan:
a. pembayaran telah tercatat pada Rekening OJK; dan
b. jumlah pembayaran telah sesuai dengan jumlah
kewajiban.
(3) Verifikasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dilakukan terhadap setiap transaksi pembayaran
biaya tahunan.
(4) Verifikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dilakukan terhadap kewajiban pembayaran
biaya tahunan yang terjadi lebih dari 1 (satu) tahun
sejak dilakukannya pembayaran biaya tahunan.
(5) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
dilakukan dalam hal terdapat antara lain:
a. keterangan tertulis dari Wajib Bayar atas kehendak
sendiri yang menyatakan bahwa biaya tahunan yang
telah dibayar tidak sesuai dengan kewajibannya;
b. perubahan nilai dasar pengenaan biaya tahunan;
c. indikasi ketidaksesuaian perhitungan kewajiban dan
pembayaran biaya tahunan.
(6) OJK...
- 11 -
(6) OJK menyampaikan hasil Verifikasi kepada Wajib Bayar.
(7) Wajib Bayar dapat meminta klarifikasi secara tertulis
kepada OJK atas hasil Verifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
diterimanya hasil Verifikasi dari OJK.
(8) Jika setelah lewatnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (7) OJK tidak menerima permintaan
klarifikasi tertulis dari Wajib Bayar, maka hasil verifikasi
OJK bersifat final dan tidak dapat dimintakan kembali.
(9) OJK memberikan penjelasan atas permintaan klarifikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) paling lambat 40
(empat puluh) hari kerja sejak permintaan klarifikasi
diterima OJK.
(10) Dalam hal terdapat selisih negatif antara biaya
tahunan berdasarkan Verifikasi OJK dikurangi biaya
tahunan berdasarkan perhitungan secara mandiri,
selisih negatif tersebut ditambahkan sebagai kewajiban
biaya tahunan pada tahun ditetapkan hasil verifikasi.
(11) Dalam hal terdapat selisih positif antara biaya tahunan
berdasarkan Verifikasi OJK dikurangi biaya tahunan
berdasarkan perhitungan secara mandiri, selisih positif
tersebut dikurangkan dari kewajiban biaya tahunan
pada tahun ditetapkan hasil verifikasi.
(12) Selisih negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (10)
atau selisih positif sebagaimana dimaksud pada ayat
(11) ditambahkan atau dikurangkan pada tahap
pembayaran terdekat setelah ditetapkannya selisih
berdasarkan hasil Verifikasi.
BAB V
PENYESUAIAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN PUNGUTAN
Pasal 15
(1) OJK dapat menyesuaikan kewajiban pembayaran
Pungutan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa
Keuangan dalam hal:
a. Wajib Bayar sedang mengalami kesulitan keuangan
dan dalam upaya penyehatan dan/atau sedang dalam
pemberesan;
b. sebagian besar atau seluruh Pihak:
1. tidak mampu mempertahankan tingkat
kesehatannya sesuai Peraturan Perundang-
undangan; dan/atau
2. mengalami
kesulitan keuangan sehingga
berpotensi terjadinya kegagalan untuk memenuhi
kewajiban...
- 12 -
kewajiban kepada konsumennya atau dapat
membahayakan kelangsungan usahanya; dan
c. OJK akan atau sedang memprioritaskan
pengembangan industri, jenis layanan, atau produk
keuangan tertentu, baik secara nasional ataupun di
daerah tertentu.
(2) Kriteria kesulitan keuangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah sebagaimana ditetapkan dalam
lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari Peraturan OJK ini.
(3) Penyesuaian
kewajiban pembayaran
Pasal 16
(1) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a dimaksudkan untuk
mengurangi kemungkinan semakin memburuknya
kondisi keuangan dan/atau membantu proses
penyehatan keuangan Wajib Bayar.
(2) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pengajuan
permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran
Pungutan secara tertulis kepada OJK.
(3) Permohonan penyesuaian
kewajiban pembayaran
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima
OJK paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum batas
akhir pembayaran Pungutan.
(4) Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), paling kurang memuat informasi sebagai
berikut:
a. terpenuhinya
kriteria kesulitan keuangan
sebagaimana terdapat pada Pasal 15 ayat (2);
b. kemampuan keuangan Wajib Bayar yang mengajukan
permohonan;
c. program kerja dalam rangka perbaikan kondisi
perusahaan jika OJK menetapkan Pungutan lebih
kecil dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh OJK, OJK
dapat menentukan Wajib Bayar memenuhi kondisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf a.
(6) Penyesuaian...
Pungutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
OJK.
- 13 -
(6) Penyesuaian besaran Pungutan yang ditetapkan kepada
Wajib Bayar berdasarkan hasil analisis sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan tanpa
pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).
Pasal 17
Selain kriteria kesulitan keuangan sebagaimana ditetapkan
dalam lampiran Peraturan OJK ini, berdasarkan analisis
yang dilakukan oleh OJK, OJK dapat menentukan kondisi
tertentu sebagai ukuran untuk menetapkan Wajib Bayar
sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya
penyehatan.
Pasal 18
(1) Penyesuaian besaran Pungutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 15 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan OJK terhadap sebagian
besar atau seluruh industri, serta pengaruhnya pada
pembiayaan kegiatan OJK.
(2) Penetapan
penyesuaian kewajiban pembayaran
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Pasal 19
(1) Penyesuaian
kewajiban pembayaran
Pungutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c
dilakukan OJK berdasarkan prioritas pengembangan
industri, jenis layanan, atau produk keuangan yang
ditetapkan OJK.
(2) Penetapan
penyesuaian
kewajiban pembayaran
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan OJK setelah berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Pasal 20
(1) Dalam hal sebelum berakhirnya tahun berjalan
penerimaan OJK yang berasal dari Pungutan lebih besar
dari rencana kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya
yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat, OJK
mengenakan biaya tahunan sebesar 0% (nol persen) pada
sisa tahun berjalan.
(2) OJK mengumumkan pengenaan biaya tahunan sebesar
0% (nol persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam...
- 14 -
(3) Dalam hal Wajib Bayar telah melunasi seluruh
kewajiban biaya tahunan pada saat OJK mengenakan
biaya tahunan sebesar 0% (nol persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kelebihan pembayaran yang
dihitung secara proporsional triwulanan diperhitungkan
pada kewajiban pembayaran periode berikutnya.
(4) Dalam hal kegiatan usaha Wajib Bayar berakhir
berdasarkan Peraturan Perundang-undangan, kelebihan
pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
diajukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran kepada OJK.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 21
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan
Pungutan oleh OJK diatur dengan Surat Edaran OJK.
Pasal 22
(1) Pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada Pasal 4
ayat (1) berlaku bagi Wajib Bayar yang mengajukan
perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan
penelaahaan atas rencana aksi korporasi pada atau
setelah tanggal 12 Februari 2014.
(2) Bagi Wajib Bayar yang telah mengajukan perizinan,
persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan
atas rencana aksi korporasi pada tanggal 12 Februari
2014 sampai dengan diundangkannya Peraturan OJK ini
dan belum membayar biaya sebagaimana dimaksud
pada Pasal 4 ayat (1) wajib membayar biaya dimaksud
paling lambat tanggal 15 April 2014.
(3) Pembayaran biaya tahunan sebagaimana dimaksud
pada Pasal 6 ayat (1) berlaku sejak tanggal 12 Februari
2014.
Pasal 23...
- 15 -
Pasal 23
Peraturan OJK ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 66
Salinan sesuai dengan aslinya
Kepala Bagian Bantuan Hukum
Direktorat Hukum,
Ttd.
Mufli Asmawidjaja
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 3/POJK.02/2014 </reg_id>
<reg_title> TATA CARA PELAKSANAAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN </reg_title>
<set_date> 1 April 2014 </set_date>
<effective_date> 1 April 2014 </effective_date>
<issued_date> 1 April 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011', '11/PP/2014' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III Pasal 12' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 31/POJK.05/2014
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang
: a. bahwa usaha perusahaan pembiayaan dengan prinsip
syariah, harus senantiasa memenuhi prinsip syariah
Islam, termasuk fatwa-fatwa yang ditetapkan oleh
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia;
b. bahwa dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip syariah
Islam sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu
kepastian hukum dalam penyelenggaraan usaha
perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah bagi
pihak-pihak yang memiliki kepentingan terhadap usaha
perusahaan pembiayaan dengan prinsip syariah;
c. bahwa dalam rangka meningkatkan perkembangan
usaha perusahaan pembiayaan yang menyelenggarakan
usaha dengan syariah, perlu diterbitkan ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha oleh perusahaan
pembiayaan yang menyelenggarakan usaha dengan
prinsip syariah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Penyelenggaraan Usaha Pembiayaan Syariah;
Mengingat ...
- 2 -
Mengingat
: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Perusahaan Syariah adalah perusahaan pembiayaan
syariah dan unit usaha syariah.
2. Perusahaan Pembiayaan adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan
barang dan/atau jasa.
3. Perusahaan Pembiayaan Syariah adalah Perusahaan
Pembiayaan yang seluruh kegiatan usahanya
melakukan pembiayaan syariah.
4. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS
adalah unit kerja dari kantor pusat Perusahaan
Pembiayaan yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor yang melaksanakan pembiayaan syariah.
5. Pembiayaan Syariah adalah penyaluran pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah.
6. Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam
berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian
syariah dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia.
7. Pembiayaan Jual Beli adalah pembiayaan dalam bentuk
penyediaan barang melalui transaksi jual beli sesuai
dengan ...
- 3 -
dengan perjanjian pembiayaan syariah yang disepakati
oleh para pihak.
8. Pembiayaan Investasi adalah pembiayaan dalam bentuk
penyediaan modal dengan jangka waktu tertentu untuk
kegiatan usaha produktif dengan pembagian
keuntungan sesuai dengan perjanjian pembiayaan
syariah yang disepakati oleh para pihak.
9. Pembiayaan Jasa adalah pemberian/penyediaan jasa
baik dalam bentuk pemberian manfaat atas suatu
barang, pemberian pinjaman (dana talangan) dan/atau
pemberian pelayanan dengan dan/atau tanpa
pembayaran imbal jasa (ujrah) sesuai dengan perjanjian
pembiayaan syariah yang disepakati oleh para pihak.
10. Perjanjian Pembiayaan Syariah adalah kesepakatan
tertulis antara Perusahaan Syariah dengan pihak lain
yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-
masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
11. Murabahah adalah jual beli suatu barang dengan
menegaskan harga belinya (harga perolehan) kepada
pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga lebih
(margin) sebagai laba sesuai dengan kesepakatan para
pihak.
12. Salam adalah jual beli suatu barang dengan pemesanan
sesuai dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran
harga barang terlebih dahulu secara penuh.
13. Istishna’ adalah jual beli suatu barang dengan
pemesanan pembuatan barang sesuai dengan kriteria
dan persyaratan tertentu dan pembayaran harga barang
sesuai dengan kesepakatan oleh para pihak.
14. Mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha
antara dua pihak di mana pihak pertama (shahib mal)
menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua
(mudharib) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan
usaha ...
- 4 -
usaha dibagi di antara mereka sesuai dengan
kesepakatan para pihak.
15. Musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad
kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu
usaha tertentu, di mana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa
keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
16. Mudharabah Musytarakah adalah bentuk Mudharabah
di mana pengelola dana (mudharib) turut menyertakan
modal dalam kerjasama dimana keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan
para pihak.
17. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau
syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian
porsi kepemilikan (hishshah) secara bertahap oleh pihak
lainnya.
18. Ijarah adalah pemindahan hak guna (manfaat) atas
suatu barang dalam jangka waktu tertentu dengan
pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
19. Ijarah Muntahiyah Bittamlik adalah Ijarah yang disertai
dengan janji pemindahan kepemilikan (wa’d) setelah
masa Ijarah selesai.
20. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak yang
berutang kepada pihak lain yang wajib menanggung
pembayarannya.
21. Hawalah bil Ujrah adalah Hawalah dengan pengenaan
imbal jasa (ujrah).
22. Wakalah adalah pemberian kuasa dari pemberi kuasa
(muwakkil) kepada penerima kuasa (wakil) dalam hal
yang boleh diwakilkan, dimana penerima kuasa (wakil)
tidak menanggung risiko terhadap apa yang diwakilkan,
kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
23. Wakalah ...
- 5 -
23. Wakalah Bil Ujrah adalah Wakalah dengan pengenaan
imbal jasa (ujrah).
24. Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh
penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung
(makfuul ‘anhu, ashil).
25. Kafalah bil ujrah adalah Kafalah dengan pengenaan
imbal jasa (ujrah).
26. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk
memberikan imbalan (reward/’iwadh/ju’l) tertentu atas
pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan.
27. Qardh adalah pinjam meminjam dana (dana talangan)
tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau
cicilan dalam jangka waktu tertentu.
28. Konsumen adalah perusahaan atau orang perseorangan
yang melakukan Perjanjian Pembiayaan Syariah dengan
Perusahaan Syariah terkait dengan kegiatan usaha
Perusahaan Syariah.
29. Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah
adalah hasil penilaian kondisi permodalan, likuiditas,
kualitas aset produktif, dan kinerja keuangan
Perusahaan Syariah.
30. Modal Disetor:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang
berbentuk badan hukum perseroan terbatas adalah
modal disetor; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang
berbentuk badan hukum koperasi adalah simpanan
pokok dan simpanan wajib.
31. Ekuitas:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk
badan hukum perseroan terbatas,
penjumlahan dari:
1. Modal ...
adalah
- 6 -
1. Modal Disetor;
2. tambahan Modal Disetor, terdiri atas:
a) agio/disagio saham;
b) biaya emisi efek Ekuitas; dan
c) lainnya sesuai dengan prinsip standar
akuntansi keuangan;
3. selisih nilai transaksi restrukturisasi entitas
sepengendali;
4. saldo laba/rugi;
5. laba/rugi tahun berjalan;
6. saham tresuri (treasury stock); dan
7. komponen Ekuitas lainnya, terdiri atas:
a) perubahan dalam surplus revaluasi;
b) selisih kurs karena penjabaran laporan
keuangan dalam mata uang asing;
c) keuntungan dan kerugian dari pengukuran
kembali aset keuangan tersedia untuk dijual;
dan
d) bagian efektif dari keuntungan dan kerugian
instrumen keuangan lindung nilai dalam
rangka lindung nilai arus kas; dan
e) komponen Ekuitas lainnya sesuai prinsip
standar akuntansi keuangan;
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk
badan hukum koperasi harus sebesar penjumlahan
dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana
cadangan, hibah, dan sisa hasil usaha yang belum
dibagikan; atau
c. bagi UUS harus sebesar selisih antara jumlah aset
dengan penjumlahan antara liabilitas dan pendanaan
bersifat temporer.
32. Direksi:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan
hukum perseroan terbatas adalah direksi sebagaimana
dimaksud ...
- 7 -
dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan
terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk badan
hukum koperasi adalah pengurus sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai
perkoperasian.
33. Dewan Komisaris:
a. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk
badan hukum perseroan terbatas adalah dewan
komisaris sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang mengenai perseroan terbatas; atau
b. bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah berbentuk
badan hukum koperasi adalah pengawas
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
mengenai perkoperasian.
34. Batas Maksimum Pemberian Pembiayaan Syariah yang
selanjutnya disebut dengan BMPPS adalah batasan
tertentu dalam penyaluran Pembiayaan Syariah yang
diperkenankan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
35. Pengendali:
a. bagi badan hukum perseroan terbatas, adalah badan
hukum, orang perseorangan dan/atau kelompok
usaha yang:
1. memiliki saham sebesar 25% (dua puluh lima
persen) atau lebih dari jumlah saham yang
dikeluarkan dan mempunyai hak suara; atau
2. memiliki saham kurang dari 25% (dua puluh lima
persen) dari jumlah saham yang dikeluarkan dan
mempunyai hak suara namun yang bersangkutan
dapat dibuktikan telah melakukan pengendalian
perusahaan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
b. bagi badan usaha lainnya adalah pihak yang secara
langsung ataupun tidak langsung mempunyai
kemampuan ...
- 8 -
kemampuan untuk menentukan pengurus,
pengawas atau yang setara dan/atau mempengaruhi
tindakan pengurus, pengawas atau yang setara.
36. Aset Produktif adalah semua aset yang dimiliki oleh
Perusahaan Syariah dengan maksud untuk memperoleh
penghasilan dalam bentuk Pembiayaan Syariah.
37. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK
adalah lembaga yang independen sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB II
KEGIATAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 2
Penyelenggaraan kegiatan Pembiayaan Syariah wajib
memenuhi prinsip keadilan (‘adl), keseimbangan (tawazun),
kemaslahatan (maslahah), dan universalisme (alamiyah)
serta tidak mengandung gharar, maysir, riba, zhulm,
risywah, dan objek haram.
Pasal 3
Kegiatan Pembiayaan Syariah meliputi:
a. Pembiayaan Jual Beli;
b. Pembiayaan Investasi; dan/atau
c. Pembiayaan Jasa.
Pasal 4
(1) Kegiatan Pembiayaan Jual Beli sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a dilakukan dengan menggunakan
akad:
a. Murabahah;
b. Salam; dan/atau
c. Istishna’.
(2) Kegiatan ...
- 9 -
(2) Kegiatan Pembiayaan Investasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf b dilakukan dengan menggunakan
akad:
a. Mudharabah;
b. Musyarakah;
c. Mudharabah Musytarakah; dan/atau
d. Musyarakah Mutanaqishoh;
(3) Kegiatan Pembiayaan Jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c dilakukan dengan menggunakan
akad:
a. Ijarah;
b. Ijarah Muntahiyah Bittamlik;
c. Hawalah atau Hawalah bil Ujrah;
d. Wakalah atau Wakalah bil Ujrah;
e. Kafalah atau Kafalah bil Ujrah;
f. Ju’alah; dan/atau
g. Qardh.
(4) Kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dapat dilakukan dengan menggunakan
akad selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3), dengan terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari OJK.
(5) Ketentuan mengenai akad yang digunakan dalam
kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta persetujuan akad
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam
Surat Edaran OJK.
Pasal 5
(1) Kegiatan Pembiayaan Syariah dapat dilakukan dengan
menggunakan akad tunggal dan/atau gabungan akad
dari akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(2) Gabungan ...
- 10 -
(2) Gabungan akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan menggunakan beberapa akad
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) untuk suatu kegiatan Pembiayaan
Syariah tertentu.
(3) Akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf e, huruf f, dan huruf g, hanya dapat dilakukan
oleh Perusahaan Syariah melalui gabungan akad.
Pasal 6
(1) Perusahaan Syariah wajib terlebih dahulu melaporkan
setiap penggunaan akad tunggal dan/atau gabungan
akad sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1)
kepada OJK.
(2) Ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 7
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib secara jelas
mencantumkan kegiatan Pembiayaan Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dalam anggaran dasarnya.
BAB III
PERJANJIAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 8
(1) Perjanjian Pembiayaan Syariah antara Perusahaan
Syariah dengan Konsumen wajib dibuat secara tertulis.
(2) Perjanjian Pembiayaan Syariah dalam kegiatan
Pembiayaan Syariah wajib memenuhi ketentuan
penyusunan perjanjian sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK mengenai perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan.
Pasal 9 ...
- 11 -
Pasal 9
Perjanjian Pembiayaan Syariah sebagaimana diatur dalam
Peraturan OJK ini, wajib memenuhi ketentuan:
a. dilaksanakan tanpa unsur paksaan di antara para pihak
yang berakad atau bertransaksi; dan
b. obyek yang terdapat dalam Perjanjian Pembiayaan
Syariah sesuai dengan Prinsip Syariah dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 10
Perjanjian Pembiayaan Syariah yang telah disepakati oleh
para pihak tidak dapat dibatalkan, kecuali:
a. para pihak setuju untuk menghentikannya;
b. tidak terpenuhinya kondisi hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9.
Pasal 11
(1) Perjanjian Pembiayaan Syariah dalam Pembiayaan
Syariah wajib paling sedikit memuat:
a. judul
Perjanjian Pembiayaan Syariah yang
menggambarkan jenis akad Pembiayaan Syariah
yang digunakan;
b. nomor dan tanggal Perjanjian Pembiayaan Syariah;
c. identitas para pihak;
d. objek Perjanjian Pembiayaan Syariah (modal, barang
dan/atau jasa);
e. tujuan pembiayaan;
f. nilai objek Perjanjian Pembiayaan Syariah (modal,
barang dan/atau jasa);
g. mekanisme dan cara pembayaran dan besarannya;
h. kurs mata uang yang digunakan, apabila diperlukan;
i. jangka waktu Pembiayaan Syariah;
j. nisbah ...
- 12 -
j. nisbah, margin, dan/atau imbal jasa (ujrah)
Pembiayaan Syariah;
k. objek jaminan (jika ada);
l. rincian biaya-biaya terkait dengan Pembiayaan
Syariah yang diberikan antara lain memuat:
1. biaya survey;
2. biaya asuransi/penjaminan/fidusia;
3. biaya provisi; dan
4. biaya notaris.
m. klausul pembebanan fidusia secara jelas, apabila
terdapat pembebanan jaminan fidusia dalam
Pembiayaan Syariah;
n. mekanisme apabila terjadi perselisihan dan
pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;
o. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
dan
p. ketentuan mengenai denda (ta’jir) dan/atau ganti rugi
(ta`widh).
(2) Dalam hal Perusahaan Syariah melakukan Pembiayaan
Jual Beli untuk kendaraan bermotor, Perjanjian
Pembiayaan Syariah wajib mencantumkan nilai uang
muka (down payment/urbun).
BAB IV
UANG MUKA PEMBIAYAAN JUAL BELI
KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 12
(1) Perusahaan Syariah yang melakukan Pembiayaan Jual
Beli untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan
ketentuan uang muka (down payment/urbun) kepada
Konsumen sebagai berikut:
a. bagi ...
- 13 -
a. bagi kendaraan bermotor roda dua atau tiga, paling
rendah 20% (dua puluh persen) dari harga jual
kendaraan yang bersangkutan;
b. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah
20% (dua puluh persen) dari harga jual kendaraan
yang bersangkutan; atau
c. bagi kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk tujuan non-produktif, paling
rendah 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual
kendaraan yang bersangkutan.
(2) Kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang
digunakan untuk tujuan produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria
paling kurang sebagai berikut:
a. merupakan kendaraan angkutan orang atau barang
yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak
berwenang untuk melakukan kegiatan usaha
tertentu; atau
b. diajukan oleh orang perseorangan atau badan
hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak
berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha
yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki.
(3) Ketentuan mengenai besaran uang muka (down
payment/urbun) kepada Konsumen sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali dan
perubahannya diatur dengan Surat Edaran OJK.
BAB V
MITIGASI RISIKO PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 13
(1) Perusahaan Syariah wajib melakukan mitigasi risiko
Pembiayaan Syariah.
(2) Mitigasi ...
- 14 -
(2) Mitigasi risiko Pembiayaan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan risiko Pembiayaan Syariah melalui
mekanisme penjaminan syariah;
b. mengalihkan risiko atas barang yang dibiayai atau
barang yang menjadi agunan dari kegiatan
Pembiayaan Syariah melalui mekanisme asuransi
syariah; dan/atau
c. melakukan pembebanan jaminan fidusia atas barang
yang dibiayai atau barang yang menjadi agunan dari
kegiatan Pembiayaan Syariah.
Pasal 14
(1) Perusahaan Syariah yang melakukan pengalihan risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a
wajib menggunakan lembaga penjaminan yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembekuan kegiatan
usaha dari OJK.
(2) Jangka waktu penjaminan syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a paling singkat
sama dengan jangka waktu Pembiayaan Syariah.
Pasal 15
(1) Perusahaan Syariah yang melakukan asuransi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b
wajib menggunakan perusahaan asuransi yang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah mendapatkan izin usaha dari OJK; dan
b. tidak dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan
usaha dari OJK.
(2) Jangka ...
- 15 -
(2) Jangka waktu pertanggungan asuransi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b paling singkat
sama dengan jangka waktu Pembiayaan Syariah.
Pasal 16
(1) Perusahaan Syariah yang melakukan Pembiayaan
Syariah dengan pembebanan jaminan fidusia wajib
mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada kantor
pendaftaran fidusia, sesuai undang-undang yang
mengatur mengenai jaminan fidusia.
(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan
Syariah yang melakukan Pembiayaan Jual Beli dengan
pembebanan jaminan fidusia yang pembiayaannya
berasal dari pembiayaan penerusan (channeling).
(3) Pendaftaran fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) wajib dilakukan paling lambat 1 (satu)
bulan terhitung sejak tanggal Perjanjian Pembiayaan
Syariah.
Pasal 17
Perusahaan Syariah dilarang melakukan eksekusi atas
barang yang menjadi obyek jaminan fidusia apabila kantor
pendaftaran fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan
fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Syariah.
Pasal 18
Eksekusi atas barang yang menjadi obyek jaminan fidusia
wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana
diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan
telah disepakati oleh para pihak dalam Perjanjian
Pembiayaan Syariah.
BAB VI ...
- 16 -
BAB VI
TINGKAT KESEHATAN KEUANGAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
(1) Perusahaan Syariah wajib setiap waktu memenuhi
persyaratan Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan
Syariah.
(2) Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan Syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rasio permodalan;
b. kualitas Aset Produktif;
c. rentabilitas; dan
d. likuiditas.
Bagian Kedua
Rasio Permodalan
Pasal 20
(1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi rasio permodalan
paling rendah sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Rasio permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan perbandingan antara modal yang
disesuaikan dan aset yang disesuaikan.
(3) Ketentuan mengenai besaran rasio permodalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau
kembali dan perubahannya diatur dalam Surat Edaran
OJK.
(3) Ketentuan mengenai tata cara perhitungan
perbandingan antara modal yang disesuaikan dengan
aset yang disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian ...
- 17 -
Bagian Ketiga
Kualitas Aset Produktif
Paragraf 1
Penilaian Kualitas Aset Produktif
Pasal 21
Perusahaan Syariah wajib menilai, memantau dan
melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menjaga kualitas Aset Produktif.
Pasal 22
(1) Penilaian
kualitas Aset Produktif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ditetapkan menjadi:
a. lancar;
b. dalam perhatian khusus;
c. kurang lancar;
d. diragukan; atau
e. macet.
(2) Penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan faktor
ketepatan pembayaran pokok, margin,
investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah).
hasil
(3) Penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikategorikan sebagai berikut:
a. lancar apabila tidak terdapat keterlambatan
pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi
hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) atau terdapat
keterlambatan pembayaran pembayaran pokok,
margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau imbal
jasa (ujrah) sampai dengan 30 (tiga puluh) hari
kalender;
b. dalam perhatian khusus apabila terdapat
keterlambatan pembayaran pokok, margin, hasil
investasi/bagi hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang
telah ...
- 18 -
telah melampaui 30 (tiga puluh) hari kalender sampai
dengan 90 (sembilan puluh) hari kalender;
c. kurang lancar apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi
hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah
melampaui 90 (sembilan puluh) hari kalender sampai
dengan 120 (seratus dua puluh) hari kalender;
d. diragukan apabila terdapat keterlambatan
pembayaran pokok, margin, hasil investasi/bagi
hasil, dan/atau imbal jasa (ujrah) yang telah
melampaui 120 (seratus dua puluh) hari kalender
sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) hari
kalender; atau
e. macet apabila terdapat keterlambatan pembayaran
pokok, margin, hasil investasi/bagi hasil, dan/atau
imbal jasa (ujrah) yang telah melampaui 180 (seratus
delapan puluh) hari kalender.
Pasal 23
(1) Selain faktor ketepatan pembayaran pokok dan/atau
hasil investasi/bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2), penilaian kualitas Aset Produktif untuk
Pembiayaan Investasi sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga
miliar rupiah) atau lebih dapat ditetapkan dengan
mempertimbangkan faktor:
a. kemampuan membayar Konsumen;
b. kinerja keuangan (financial performance) Konsumen;
dan
c. prospek usaha Konsumen.
(2) Penilaian terhadap kemampuan membayar Konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. ketersediaan ...
- 19 -
a. ketersediaan dan keakuratan informasi keuangan
Konsumen;
b. kelengkapan dokumentasi Pembiayaan Syariah;
c. kepatuhan terhadap Perjanjian Pembiayaan Syariah;
d. kesesuaian penggunaan dana Pembiayaan Syariah;
dan
e. kewajaran sumber pembayaran kewajiban.
(3) Penilaian terhadap kinerja keuangan (financial
performance) Konsumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b meliputi penilaian terhadap komponen-
komponen sebagai berikut:
a. perolehan laba;
b. struktur permodalan;
c. arus kas; dan
d. sensitivitas terhadap risiko pasar.
(4) Penilaian terhadap prospek usaha Konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi
penilaian terhadap komponen-komponen sebagai
berikut:
a. potensi pertumbuhan usaha;
b. kondisi pasar dan posisi Konsumen dalam
persaingan;
c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja;
d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan
e. upaya yang dilakukan Konsumen dalam rangka
memelihara lingkungan hidup.
(5) Dalam hal terdapat perbedaan antara penilaian kualitas
Aset Produktif oleh Perusahaan Syariah dengan OJK,
kualitas Aset Produktif yang berlaku adalah yang
ditetapkan oleh OJK.
(6) Perusahaan Syariah wajib melakukan penyesuaian
kualitas Aset Produktif sesuai dengan penilaian kualitas
Aset ...
- 20 -
Aset Produktif yang ditetapkan oleh OJK sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) dalam laporan yang
disampaikan kepada OJK.
(7) Pedoman penilaian kualitas Aset Produktif sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 2
Kualitas Aset Produktif untuk Konsumen Dengan Lebih
Dari Satu Perjanjian Pembiayaan Syariah
Pasal 24
(1) Perusahaan Syariah wajib menetapkan kualitas Aset
Produktif yang sama terhadap 1 (satu) Konsumen
dengan lebih dari 1 (satu) Perjanjian Pembiayaan
Syariah.
(2) Perusahaan Syariah dapat menetapkan kualitas Aset
Produktif yang berbeda untuk lebih dari 1 (satu)
Perjanjian Pembiayaan Syariah yang dimiliki oleh 1
(satu) Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dalam hal:
a. Aset Produktif yang memiliki kualitas paling rendah
telah dihapus buku; dan/atau
b. nilai Pembiayaan Syariah sampai dengan jumlah
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Dalam hal terdapat perbedaan kualitas Aset Produktif
dalam Perjanjian Pembiayaan Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Syariah wajib
menggunakan kualitas Aset Produktif yang paling
rendah.
Paragraf 3
Aset Produktif Bermasalah
Pasal 25
(1) Perusahaan Syariah
wajib
setiap waktu
mempertahankan rasio Aset Produktif bermasalah
setelah ...
- 21 -
setelah dikurangi cadangan penyisihan penghapusan
Aset Produktif paling tinggi sebesar 5% (lima persen) dari
total Aset Produktif.
(2) Aset Produktif bermasalah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri dari Aset Produktif dengan kualitas
kurang lancar, diragukan, dan/atau macet.
(3) Ketentuan mengenai besaran rasio Aset Produktif
bermasalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
ditinjau kembali dan perubahannya diatur dalam Surat
Edaran OJK.
Paragraf 4
Cadangan Penyisihan Penghapusan Aset Produktif
Pasal 26
(1) Perusahaan Syariah wajib menghitung cadangan
penyisihan penghapusan Aset Produktif.
(2) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan Aset
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan paling rendah sebesar:
a. 1% (satu persen) dari saldo Aset Produktif yang
memiliki kualitas lancar setelah dikurangi agunan;
b. 5% (lima persen) dari saldo Aset Produktif yang
memiliki kualitas dalam perhatian khusus setelah
dikurangi agunan;
c. 15% (lima belas persen) dari saldo Aset Produktif yang
memiliki kualitas kurang lancar setelah dikurangi
agunan;
d. 50% (lima puluh persen) dari saldo Aset Produktif
yang memiliki kualitas meragukan setelah dikurangi
agunan; dan
e. 100% (seratus persen) dari saldo Aset Produktif yang
memiliki kualitas macet setelah dikurangi agunan.
(3) Perusahaan Syariah wajib membentuk cadangan
penyisihan penghapusan Aset Produktif paling rendah
sesuai ...
- 22 -
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dalam laporan bulanan.
(4) Nilai agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang
dapat dipehitungkan sebagai pengurang saldo Aset
Produktif ditetapkan paling tinggi senilai saldo Aset
Produktifnya.
(5) Perhitungan cadangan penyisihan penghapusan Aset
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan Perusahaan Syariah dalam rangka
perhitungan rasio permodalan, gearing ratio, rasio
Ekuitas terhadap Modal Disetor, BMPPS, rasio Aset
Produktif bermasalah, dan perbandingan Aset Produktif
dengan total aset.
(6) Ketentuan mengenai jenis, tata cara perhitungan, dan
pengembalian agunan, serta tata cara perhitungan
cadangan diatur dalam Surat Edaran OJK.
Paragraf 5
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset Produktif
Pasal 27
(1) Perusahaan Syariah wajib membentuk cadangan
kerugian penurunan nilai Aset Produktif sesuai standar
akuntansi keuangan yang berlaku.
(2) Pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai Aset
Produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilakukan dalam penyusunan laporan keuangan yang
telah diaudit oleh kantor akuntan publik.
Bagian Keempat
Rentabilitas
Pasal 28
(1) Rentabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c merupakan kemampuan Perusahaan Syariah
dalam menghasilkan laba.
(2) Penilaian ...
- 23 -
(2) Penilaian terhadap faktor rentabilitas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c meliputi
penilaian terhadap kinerja aset dan efisiensi
operasional.
(3) Ketentuan mengenai tata cara penilaian terhadap faktor
rentabilitas diatur dalam Surat Edaran OJK.
Bagian Kelima
Likuiditas
Pasal 29
(1) Penilaian likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
19 ayat (2) huruf d merupakan penilaian terhadap
tingkat ketersesuaian antara aset lancar dan liabiltas
lancar.
(2) Ketentuan mengenai tata cara penilaian likuiditas diatur
dalam Surat Edaran OJK.
BAB VII
RASIO ASET PRODUKTIF TERHADAP TOTAL ASET
Pasal 30
(1) Perusahaan Syariah wajib memiliki Aset Produktif neto
paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total aset.
(2) Aset Produktif neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus diperoleh dari pengurangan Aset Produktif bruto
dengan pendapatan yang belum diakui dan cadangan
penyisihan penghapusan Aset Produktif.
(3) Pemenuhan ketentuan Aset Produktif neto sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi Perusahaan
Syariah paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak
tanggal izin ditetapkan.
(4) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah melakukan
peningkatan Modal Disetor dalam rangka pemenuhan
rasio permodalan, gearing ratio, dan perbandingan
Ekuitas dengan Modal Disetor, Perusahaan Pembiayaan
Syariah ...
- 24 -
Syariah dikecualikan dari pemenuhan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka
waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal
peningkatan Modal Disetor dicatat oleh instansi yang
berwenang.
BAB VIII
EKUITAS
Pasal 31
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berbentuk badan
hukum:
a. perseroan terbatas wajib memiliki Ekuitas paling
sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah); atau
b. koperasi wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) UUS wajib memiliki Ekuitas paling sedikit
Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah).
(3) Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebelum
berlakunya Peraturan OJK ini wajib memenuhi
ketentuan Ekuitas bagi UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dengan tahapan sebagai berikut:
a. paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember 2015;
b. paling sedikit Rp15.000.000.000,00 (lima belas
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2016; dan
c. paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima
miliar rupiah) paling lambat tanggal 31 Desember
2017.
(4) Bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah yang berasal dari
konversi, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mulai berlaku 5 (lima) tahun sejak perusahaan
dimaksud ...
- 25 -
dimaksud memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan
Pembiayaan Syariah.
Pasal 32
Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memiliki rasio
Ekuitas terhadap Modal Disetor paling rendah sebesar 50%
(lima puluh persen).
BAB IX
BATAS MAKSIMUM PEMBERIAN PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 33
(1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS
kepada seluruh pihak terkait paling tinggi 50% (lima
puluh persen) dari Ekuitas Perusahaan Syariah.
(2) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. orang perseorangan atau badan usaha yang
merupakan Pengendali Perusahaan Syariah;
b. badan usaha dimana Perusahaan Syariah bertindak
sebagai Pengendali;
c. orang perseorangan atau badan usaha yang
bertindak sebagai pengendali dari badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf b;
d. badan usaha yang pengendaliannya dilakukan oleh:
1. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a;
2. orang perseorangan dan/atau badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf c;
e. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan
Syariah;
f. pihak yang mempunyai hubungan keluarga sampai
dengan derajat kedua, baik horisontal maupun
vertikal:
1. dari ...
- 26 -
1. dari orang perseorangan yang merupakan
pengendali Perusahaan Syariah sebagaimana
dimaksud pada huruf a;
2. dari dewan komisaris atau direksi pada
Perusahaan Syariah sebagaimana dimaksud pada
huruf e.
g. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf
c, dan/atau huruf d;
h. badan usaha yang dewan komisaris dan/atau direksi
merupakan:
1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan
Syariah;
2. dewan komisaris atau direksi pada badan usaha
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d;
i. badan usaha dimana:
1. dewan komisaris atau direksi pada Perusahaan
Syariah sebagaimana dimaksud pada huruf e
bertindak sebagai Pengendali;
2. dewan komisaris atau direksi dari pihak-pihak
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
huruf c, dan/atau huruf d, bertindak sebagai
Pengendali; dan
j. badan usaha yang memiliki ketergantungan
keuangan (financial interdependence) dengan
Perusahaan Syariah dan/atau pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan/atau huruf i.
(3) Perusahaan Syariah wajib memiliki dan menata-
usahakan daftar rincian pihak terkait sebagaimana
dimaksud pada ayat (2).
Pasal 34 ...
- 27 -
Pasal 34
(1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS
kepada 1 (satu) Konsumen yang bukan merupakan
pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (2) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari
Ekuitas Perusahaan Syariah.
(2) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan BMPPS
kepada 1 (satu) kelompok Konsumen yang bukan
merupakan pihak terkait sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 ayat (2) paling tinggi 50% (lima puluh persen)
dari Ekuitas Perusahaan Syariah.
(3) Konsumen digolongkan sebagai anggota suatu kelompok
Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila
Konsumen mempunyai hubungan pengendalian dengan
Konsumen lain baik melalui hubungan kepemilikan,
kepengurusan, dan/atau keuangan, yang meliputi:
a. Konsumen merupakan pengendali Konsumen lain;
b. 1 (satu) pihak yang sama merupakan Pengendali dari
beberapa Konsumen (common ownership);
c. Konsumen memiliki ketergantungan keuangan
(financial interdependence) dengan Konsumen lain;
d. Konsumen menerbitkan jaminan (guarantee) untuk
mengambil alih dan/atau melunasi sebagian atau
seluruh kewajiban Konsumen lain dalam hal
Konsumen lain tersebut gagal memenuhi
kewajibannya (wanprestasi) kepada Perusahaan
Syariah; dan/atau
e. dewan komisaris dan/atau direksi Konsumen
menjadi komisaris dan/atau direksi pada Konsumen
lain.
Pasal 35
Ketentuan BMPPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33
ayat (1), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dikecualikan
bagi ...
- 28 -
bagi Pembiayaan Syariah untuk pengadaan barang
dan/atau jasa dalam rangka program pemerintah.
BAB X
KERJA SAMA PEMBIAYAAN SYARIAH
Pasal 36
(1) Perusahaan Syariah dapat bekerjasama dengan pihak
lain melalui pembiayaan penerusan (channeling) dan
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan serta dilarang bertentangan
dengan Prinsip Syariah.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. bank;
b. perusahaan pembiayaan sekunder perumahan;
c. lembaga keuangan mikro; dan/atau
d. Perusahaan Syariah.
(3) Pembiayaan penerusan (channeling) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan dengan akad
Wakalah bil Ujrah.
(4) Dalam melakukan pembiayaan penerusan (channeling)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan
Syariah dapat bertindak sebagai:
a. pihak yang menyalurkan (pengelola/wakil) melalui
kegiatan Pembiayaan Syariah; dan/atau
b. selaku penyedia dana/modal/barang yaitu pihak
yang mewakilkan kepada pihak lain.
(5) Dalam hal Perusahaan Syariah bertindak sebagai pihak
yang menyalurkan (pengelola/wakil) sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) huruf a, Perusahaan Syariah
hanya bertindak sebagai pengelola dan memperoleh
imbalan (ujrah) dari pengelolaan dana tersebut.
(6) Risiko ...
- 29 -
(6) Risiko yang timbul dari pembiayaan penerusan
(channeling) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
berada pada pihak penyedia dana/modal/barang.
BAB XI
PENDANAAN
Pasal 37
(1) Dalam rangka memperoleh pendanaan, Perusahaan
Syariah dapat:
a. menerima pendanaan dari lembaga pemerintah,
bank, industri keuangan non bank, lembaga,
dan/atau badan usaha lain;
b. menerima pinjaman (Qardh) subordinasi;
c. menerbitkan obligasi syariah (sukuk) sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan/atau
d. melakukan sekuritisasi sesuai dengan Prinsip
Syariah dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Perusahaan Syariah wajib melakukan kegiatan
pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
dan tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.
Pasal 38
(1) Pendanaan dari lembaga dan/atau badan usaha lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a
dapat berasal dari:
a. lembaga dan/atau badan usaha Indonesia; dan/atau
b. lembaga dan/atau badan usaha asing.
(2) Pendanaan/pembiayaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib dilakukan dengan menggunakan akad:
a. Mudharabah;
b. Mudharabah Musytarakah;
c. Musyarakah ...
- 30 -
c. Musyarakah;
d. Ijarah;
e. Qardh; dan/atau
f. akad pendanaan lainnya sesuai dengan Prinsip
Syariah.
(3) Jumlah pendanaan/pembiayaan dari lembaga dan/atau
badan usaha lain yang berasal dari lembaga dan/atau
badan usaha Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a, wajib memenuhi ketentuan paling
sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) untuk
setiap pemberi pendanaan/pembiayaan dengan jangka
waktu pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun.
(4) Jumlah pendanaan/pembiayaan dari lembaga dan/atau
badan usaha lain yang berasal dari lembaga dan/atau
badan usaha asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, wajib memenuhi ketentuan paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) untuk setiap
pemberi pendanaan/pembiayaan dengan jangka waktu
pengembalian paling singkat 1 (satu) tahun.
Pasal 39
Pinjaman (Qardh) subordinasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan:
a. paling singkat berjangka waktu 5 (lima) tahun;
b. dalam hal terjadi likuidasi, hak tagih berlaku paling akhir
dari segala pinjaman yang ada; dan
c. dituangkan dalam bentuk perjanjian akta notariil antara
Perusahaan Syariah dengan pemberi pinjaman.
Pasal 40
(1) Perusahaan Syariah wajib memenuhi ketentuan gearing
ratio paling tinggi 10 (sepuluh) kali.
(2) Gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
diperoleh dari perbandingan antara jumlah pendanaan
yang ...
- 31 -
yang berasal dari ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a, Pasal 37 ayat (1) huruf
b, dan Pasal 37 ayat (1) huruf c dengan selisih
penjumlahan Ekuitas dan pinjaman (Qardh) subordinasi
dengan penyertaan.
(3) Pinjaman
(Qardh)
subordinasi yang dapat
diperhitungkan sebagai pembagi dalam perhitungan
gearing ratio sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari Modal Disetor.
(4) Ketentuan mengenai besaran gearing ratio sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), dapat ditinjau kembali dan
perubahannya diatur dalam Surat Edaran OJK.
Pasal 41
(1) Perusahaan Syariah yang menerima pendanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dalam valuta
asing wajib melakukan lindung nilai secara penuh (full
hedge).
(2) Lindung nilai secara penuh (full hedge) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan untuk pokok
pendanaan/pembiayaan, hasil investasi/bagi hasil,
margin, imbal jasa (ujrah) dan/atau jangka waktu
pembayaran.
Pasal 42
Perusahaan Syariah yang akan menerima pendanaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dalam valuta asing
wajib memenuhi Tingkat Kesehatan Keuangan Pembiayaan
Syariah sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK ini.
BAB XII
PENYERTAAN
Pasal 43
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah hanya dapat
melakukan penyertaan langsung pada:
a. perusahaan ...
- 32 -
a. perusahaan di sektor jasa keuangan di Indonesia;
dan/atau
b. perusahaan yang terkait dengan kegiatan
Perusahaan Pembiayaan Syariah.
(2) Jumlah seluruh penyertaan langsung Perusahaan
Pembiayaan Syariah pada perusahaan di sektor jasa
keuangan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling tinggi 40% (empat puluh persen) dari
jumlah Ekuitas Perusahaan Pembiayaan Syariah.
(3) Jumlah penyertaan langsung Perusahaan Pembiayaan
Syariah kepada entitas dalam 1 (satu) grup paling tinggi
10% (sepuluh persen) dari jumlah Ekuitas Perusahaan
Pembiayaan Syariah.
(4) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memenuhi
ketentuan jumlah penyertaan modal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pada saat
melakukan penyertaan.
BAB XIII
SERTIFIKASI
Pasal 44
(1) Pegawai Perusahaan Syariah yang menduduki posisi
manajerial mulai dari tingkat kepala kantor cabang
sampai dengan satu tingkat dibawah Direksi dan
pimpinan UUS wajib memiliki sertifikat tingkat dasar di
bidang pembiayaan dan/atau pembiayaan syariah dari
lembaga yang ditunjuk oleh asosiasi dengan
menyampaikan pemberitahuan kepada OJK dan disertai
dengan alasan penunjukan.
(2) Direksi Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib memiliki
sertifikat keahlian di bidang pembiayaan dan/atau
pembiayaan syariah dari lembaga yang ditunjuk oleh
asosiasi dengan menyampaikan pemberitahuan kepada
OJK dan disertai dengan alasan penunjukan.
(3) Dewan ...
- 33 -
(3) Dewan Komisaris Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib
memiliki sertifikat tingkat dasar di bidang pembiayaan
dan/atau pembiayaan syariah dari lembaga yang
ditunjuk oleh
asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
(4) Direksi dan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah Direksi
Perusahaan Pembiayaan Syariah yang membawahkan
fungsi manajemen risiko wajib memiliki sertifikat
keahlian di bidang manajemen risiko dari lembaga yang
ditunjuk oleh
asosiasi dengan menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
(5) Pegawai dan/atau tenaga alih daya Perusahaan Syariah
yang menangani bidang penagihan wajib memiliki
sertifikat profesi di bidang penagihan dari lembaga yang
ditunjuk
asosiasi dengan
menyampaikan
pemberitahuan kepada OJK dan disertai dengan alasan
penunjukan.
BAB XIV
LARANGAN
Pasal 45
Perusahaan Syariah dilarang:
a. menghimpun dana secara langsung dari masyarakat
berbentuk giro, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu;
b. memberikan jaminan atas pemenuhan kewajiban pihak
lain;
c. menerbitkan surat sanggup bayar (promisorry note),
kecuali sebagai jaminan atas pendanaan kepada pihak
yang memberikan pendanaan;
d. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan ...
- 34 -
pengawasan OJK melanggar peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan/atau
e. melakukan tindakan yang menyebabkan atau memaksa
lembaga keuangan lainnya yang berada di bawah
pengawasan OJK menghindari peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Pasal 46
Perusahaan Syariah dilarang melakukan penyediaan dana
secara tunai kepada Konsumen.
Pasal 47
Perusahaan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya
dilarang menggunakan informasi yang tidak benar yang
dapat merugikan kepentingan Konsumen, kreditur, dan
pemangku kepentingan termasuk OJK.
BAB XV
PENYAMPAIAN LAPORAN BERKALA
Pasal 48
(1) Perusahaan Syariah wajib menyampaikan laporan
bulanan kepada OJK.
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik kepada OJK.
(3) Ketentuan mengenai laporan bulanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan OJK
mengenai laporan bulanan.
Pasal 49
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (2) kepada OJK paling lambat 4 (empat) bulan
setelah tahun buku terakhir.
(2) Perusahaan ...
- 35 -
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib menyampaikan
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
secara lengkap dan benar dalam bentuk hard copy dan
soft copy.
(3) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) wajib
disusun berdasarkan standar akuntansi keuangan yang
berlaku di Indonesia.
(4) Laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (2) wajib mencantumkan
perhitungan hal-hal yang diatur khusus di dalam
Peraturan OJK ini.
(5) Laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh
akuntan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48
ayat (2) wajib disusun dalam mata uang rupiah.
(6) Tahun buku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berdasarkan tahun takwim.
(7) Akuntan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus terdaftar di OJK.
(8) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah memperoleh
izin usaha kurang dari 6 (enam) bulan hingga tahun
takwim berakhir, kewajiban penyampaian laporan
keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mulai berlaku pada tahun takwim berikutnya.
Pasal 50
Dalam hal batas akhir penyampaian laporan keuangan
tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
jatuh pada hari libur, batas akhir penyampaian laporan
adalah hari kerja pertama berikutnya.
Pasal 51
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib mengumumkan
laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi
komprehensif singkat paling lambat 4 (empat) bulan
setelah ...
- 36 -
setelah tahun buku berakhir paling sedikit pada 1 (satu)
surat kabar harian di Indonesia yang memiliki peredaran
nasional.
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah wajib melaporkan
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) secara tertulis kepada OJK paling lambat
20 (dua puluh) hari kalender setelah pelaksanaan
pengumuman, dilampiri dengan bukti pengumuman.
(3) Dalam hal batas akhir penyampaian pelaporan
pelaksanaan pengumuman sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) jatuh pada hari libur, batas akhir
penyampaian laporan adalah hari kerja pertama
berikutnya.
BAB XVI
SISTEM INFORMASI DAN TEKNOLOGI
Pasal 52
(1) Dalam rangka mendukung penyelenggaraan usaha yang
sehat, Perusahaan Pembiayaan Syariah
wajib
mempunyai sistem informasi dan teknologi yang
terintegrasi.
(2) Kewajiban sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat
(1) berlaku untuk Perusahaan Pembiayaan Syariah yang
mempunyai kantor cabang lebih dari 5 (lima).
BAB XVII
PERUSAHAAN SYARIAH DI BIDANG
KETENAGALISTRIKAN DAN PELAYARAN
Pasal 53
Perusahaan Syariah yang khusus melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah di bidang ketenagalistrikan tidak wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
20 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1).
Pasal 54 ...
- 37 -
Pasal 54
Perusahaan Syariah yang khusus melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah di bidang pelayaran tidak wajib
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
43 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
BAB XVIII
PENEGAKAN KEPATUHAN
Bagian Kesatu
Pemberitahuan
Pasal 55
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2, Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal
11, Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1),
Pasal 15 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 36 ayat (1),
Pasal 36 ayat (3), Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2),
Pasal 41, Pasal 48 ayat (2), Pasal 49 ayat (1), Pasal 49
ayat (2), Pasal 49 ayat (3), Pasal 49 ayat (4), Pasal 49 ayat
(5), Pasal 49 ayat (6), dan Pasal 51, ayat (1), dan/atau
Pasal 51 ayat (2) Peraturan OJK ini diberikan surat
pemberitahuan.
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib melakukan
pemenuhan atas ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
tanggal surat pemberitahuan.
Bagian Kedua
Rencana Pemenuhan
Pasal 56
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak memenuhi
ketentuan ...
- 38 -
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (6), Pasal
24 ayat (1), Pasal 24 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26
ayat (1), Pasal 26 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 30 ayat
(1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2),
Pasal 31 ayat (3) huruf a, Pasal 31 ayat (3) huruf b, Pasal
32, Pasal 33 ayat (1), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2),
Pasal 40 ayat (1), Pasal 44, dan/atau Pasal 52 ayat (1)
Peraturan OJK ini wajib menyampaikan rencana
pemenuhan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penetapan terjadinya pelanggaran oleh OJK.
(2) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), paling sedikit memuat rencana yang akan dilakukan
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS untuk pemenuhan
ketentuan yang disertai dengan jangka waktu tertentu
yang dibutuhkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Langkah pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), memuat antara lain:
a. restrukturisasi aset dan/atau liabilitas;
b. penambahan Modal Disetor;
c. pembatasan penerimaan pinjaman baru;
d. penerimaaan pinjaman subordinasi;
e. pengalihan sebagian atau seluruh aset;
f. pembatasan pembagian laba;
g. pembatasan kegiatan yang menyebabkan
pelanggaran ketentuan;
h. pembatasan pembukaan kantor cabang baru;
dan/atau
i. penggabungan badan usaha.
(4) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus ditandatangani oleh seluruh direksi dan dewan
komisaris.
(5) Rencana ...
- 39 -
(5) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus terlebih dahulu disetujui oleh rapat umum
pemegang saham apabila rencana dimaksud memuat
rencana penambahan Modal Disetor atau rencana
penggabungan usaha dan/atau badan usaha.
(6) Rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) harus memperoleh pernyataan tidak keberatan dari
OJK.
(7) Dalam hal rencana pemenuhan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dinilai oleh OJK tidak cukup untuk
mengatasi permasalahan, Perusahaan Pembiayaan
Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai
UUS wajib melakukan perbaikan atas rencana
pemenuhan tersebut.
(8) OJK memberikan pernyataan tidak keberatan atas
rencana pemenuhan yang disampaikan oleh Perusahaan
Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS dengan memperhatikan kondisi
permasalahan yang dihadapi oleh Pembiayaan Syariah
dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS
paling lama 14 (empat belas) hari kalender terhitung
sejak tanggal diterimanya rencana pemenuhan secara
lengkap.
(9) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), OJK tidak memberikan pernyataan tidak
keberatan atau tanggapan, Perusahaan Pembiayaan
Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai
UUS dapat melaksanakan rencana pemenuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(10) Perusahaan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS wajib
melaksanakan rencana pemenuhan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
BAB XIX ...
- 40 -
BAB XIX
SANKSI
Pasal 57
(1) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
dalam Pasal 55 ayat (1), Perusahaan Pembiayaan
Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai
UUS dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha UUS;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e. pencabutan izin UUS.
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah
diselesaikan, tetap
dkenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir
dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat
(1), OJK mencabut sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan ...
- 41 -
Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), OJK
mengenakan:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) diberikan secara tertulis
berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak:
a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), dilarang melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (1), OJK mencabut:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi ...
- 42 -
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK
dapat langsung mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (6), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (1), OJK mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(12) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b;
b. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c;
c. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau
d. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e.
Pasal 58
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar
ketentuan ...
- 43 -
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(1), ayat (7), atau ayat (10) Peraturan OJK ini,
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS dikenaan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha
c. pembekuan kegiatan usaha UUS;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e. pencabutan izin UUS.
(2) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
dapat memberikan sanksi tambahan berupa:
a. pembatasan kegiatan usaha tertentu;
b. penurunan tingkat kesehatan;
c. pembatalan persetujuan; dan/atau
d. penilaian kembali kemampuan dan kepatutan.
(3) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dkenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir
dengan sendirinya.
(4) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga)
kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(1), ayat (7), atau ayat (10), OJK mencabut sanksi
peringatan.
(6) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan ...
- 44 -
Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat
(7), atau ayat (10), OJK mengenakan:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(7) Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS
melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 30 ayat (1) atau ayat (3) dan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(1), ayat (7), atau ayat (10) sampai dengan berakhirnya
jangka waktu peringatan ketiga sebaimana dimaksud
pada ayat (4), maka:
a. Perusahaan
Pembiayaan
Syariah dimaksud
dikenakan sanksi pencabutan izin usaha; atau
b. Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS
dimaksud dikenakan sanksi pencabutan izin UUS,
tanpa didahului sanksi pembekuan kegiatan usaha
atau sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS
sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) diberikan secara tertulis
berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak:
a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(9) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiataan ...
- 45 -
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(10) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), dilarang melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah.
(11) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), ayat
(7), atau ayat (10), OJK mencabut:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(12) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK
dapat langsung mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(13) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (1), ayat (7), atau ayat (10), OJK
mencabut:
a. izin ...
- 46 -
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(14) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat:
a. sanksi pembatasan kegiatan usaha tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b;
c. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c;
d. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau
e. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e.
Pasal 59
(1) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16,
Pasal 17, Pasal 18, Pasal 31 ayat (3) huruf c, Pasal 38
ayat (3), Pasal 38 ayat (4), Pasal 42, Pasal 43 ayat (4),
Pasal 45, Pasal 46, dan/atau Pasal 47 Peraturan OJK
ini dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha UUS;
d. pencabutan izin usaha; dan/atau
e. pencabutan izin UUS.
(2) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) namun
pelanggaran tersebut telah diselesaikan, tetap
dikenakan ...
- 47 -
dikenakan sanksi peringatan pertama yang berakhir
dengan sendirinya.
(3) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dapat diberikan secara tertulis paling banyak 3
(tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-
masing paling lama 2 (dua) bulan.
(4) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS telah memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mencabut sanksi peringatan.
(5) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berakhir dan Perusahaan
Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS tetap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), OJK
mengenakan:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(6) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis
berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan sejak:
a. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. tanggal surat sanksi pembekuan kegiatan usaha
UUS diterbitkan bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(7) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau
sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari
libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan
kegiatan ...
- 48 -
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(8) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), dilarang melakukan kegiatan
Pembiayaan Syariah.
(9) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS.
(10) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK
dapat langsung mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(11) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin ...
- 49 -
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(12) OJK dapat mengumumkan kepada masyarakat:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b;
b. sanksi pembekuan kegiatan UUS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c;
c. sanksi pencabutan izin usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau
d. sanksi pencabutan izin UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e.
Pasal 60
(1) OJK dapat mengenakan:
a. sanksi pembekuan kegiatan usaha bagi Perusahaan
Pembiayaan Syariah; atau
b. sanksi pembekuan kegiatan usaha UUS bagi
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS,
tanpa didahului pengenaan sanksi peringatan apabila
Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS melakukan
pelanggaran atas Pasal 45 huruf a.
(2) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis dan
berlaku sejak ditetapkan untuk jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan.
(3) Dalam hal masa berlaku sanksi pembekuan kegiatan
usaha berakhir pada hari libur, sanksi pembekuan
kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama
berikutnya.
(4) Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS yang dikenakan
sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud ...
- 50 -
dimaksud pada ayat (1), dilarang melakukan kegiatan
usaha.
(5) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS telah
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), OJK mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.
(6) Dalam hal sanksi pembekuan kegiatan usaha masih
berlaku dan Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tetap
melakukan kegiatan usaha Pembiayaan Syariah, OJK
dapat langsung mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah; atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(7) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu
pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan Syariah dan
Perusahaan Pembiayaan yang mempunyai UUS tidak
juga memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), OJK mencabut:
a. izin usaha bagi Perusahaan Pembiayaan Syariah;
atau
b. izin UUS bagi Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS.
(8) OJK dapat mengumumkan sanksi pembekuan kegiatan
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sanksi
pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) atau ayat (7) kepada masyarakat.
Pasal 61
Dalam hal Perusahaan Pembiayaan Syariah dan Perusahaan
Pembiayaan yang mempunyai UUS mendapatkan sanksi
administratif berupa sanksi peringatan sebagaimana
dimaksud ...
- 51 -
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a, Pasal 58 ayat (1)
huruf a, dan/atau Pasal 59 ayat (1) huruf a secara kumulatif
sebanyak 5 (lima) kali atau lebih dalam jangka waktu 2 (dua)
tahun, OJK dapat meminta Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Perusahaan
Pembiayaan Syariah dan Perusahaan Pembiayaan yang
mempunyai UUS untuk mengikuti penilaian kembali
kemampuan dan kepatutan.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 62
(1) Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan sebagian
atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, dapat
melaksanakan
kegiatan Pembiayaan Syariah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dalam jangka
waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan OJK
ini ditetapkan.
(2) Perjanjian Pembiayaan Syariah yang telah dilakukan
oleh Perusahaan Syariah sebelum Peraturan OJK ini
ditetapkan dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
berakhirnya Perjanjian Pembiayaan Syariah tersebut.
Pasal 63
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20
ayat (1), Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25,
dan Pasal 26 dinyatakan berlaku 1 (satu) tahun sejak
Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 64
(1) Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan ...
- 52 -
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1), Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) dinyatakan
berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan OJK ini
ditetapkan.
(2) Penyaluran pembiayaan yang melampaui ketentuan
BMPPS sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1),
Pasal 34 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat dilanjutkan
sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian
pembiayaan tersebut dan tidak diperhitungkan sebagai
dasar perhitungan BMPPS.
Pasal 65
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
dinyatakan tidak berlaku bagi pendanaan dalam valuta
asing yang telah diterima oleh Perusahaan Syariah sebelum
Peraturan OJK ini ditetapkan.
Pasal 66
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44
dinyatakan berlaku 3 (tiga) tahun sejak Peraturan OJK ini
ditetapkan.
Pasal 67
Perjanjian Pembiayaan Syariah terkait Pembiayaan Syariah
berupa penyediaan dana secara tunai yang telah dilakukan
sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan, tetap dapat
dilanjutkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu
perjanjian tersebut.
Pasal 68
Ketentuan dan mekanisme pelaporan bulanan Perusahaan
Syariah dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum terdapat
peraturan yang mengatur mengenai ketentuan pelaporan
bulanan ...
- 53 -
bulanan sesuai dengan kegiatan usaha dalam Peraturan
OJK ini.
Pasal 69
Bagi Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan
sebagian atau seluruh kegiatan usahanya berdasarkan
Prinsip Syariah sebelum Peraturan OJK ini ditetapkan,
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1)
dinyatakan mulai berlaku 2 (dua) tahun sejak Peraturan
OJK ini ditetapkan.
Pasal 70
(1) Setiap sanksi administratif yang telah dikenakan
terhadap Perusahaan Syariah berdasarkan:
a. Peraturan
Menteri
b. Peraturan
Keuangan Nomor
84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;
Menteri
Keuangan Nomor
30/PMK.010/2010 tentang Penerapan Prinsip
Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Non
Bank;
c. Peraturan
Menteri
Keuangan Nomor
d. Peraturan
43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan
Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Pada
Perusahaan Pembiayaan sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
220/PMK.010/2012; dan/atau
Menteri
Keuangan
Nomor
130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan
Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang
Melakukan
Pembiayaan
Konsumen
Untuk
Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan
Fidusia,
dinyatakan tetap sah dan berlaku.
(2) Perusahaan Syariah yang belum dapat mengatasi
penyebab dikenakannya sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi
lanjutan sesuai dengan Peraturan OJK ini.
BAB XXI ...
administratif
- 54 -
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 71
Pada saat Peraturan OJK ini mulai berlaku, ketentuan
mengenai penyelenggaraan usaha Perusahaan Syariah
tunduk pada Peraturan OJK ini.
Pasal 72
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
Ttd.
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 November 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 366
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum,
Ttd.
Tini Kustini
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 31/POJK.05/2014 </reg_id>
<reg_title> PENYELENGGARAAN USAHA PEMBIAYAAN SYARIAH </reg_title>
<set_date> 19 November 2014 </set_date>
<effective_date> 19 November 2014 </effective_date>
<issued_date> 19 November 2014 </issued_date>
<related_reg> '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XIX' </penalty_list>
|
- 2 -
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor
21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, sejak
tanggal 31 Desember 2012 fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di
sektor pasar modal termasuk pengaturan mengenai
pedoman kontrak penyimpanan kekayaan reksa dana
berbentuk perseroan beralih dari Badan Pengawas Pasar
Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan;
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai pengaturan terhadap pedoman kontrak
penyimpanan kekayaan reksa dana berbentuk perseroan,
ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor
pasar modal mengenai pedoman kontrak penyimpanan
kekayaan reksa dana berbentuk perseroan yang
diterbitkan sebelum terbentuknya Otoritas Jasa
Keuangan perlu diubah ke dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan;
- 2 -
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman
Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar
Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995
Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3608);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA
DANA BERBENTUK PERSEROAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Reksa Dana Berbentuk Perseroan adalah Emiten yang
kegiatan usahanya menghimpun dana dengan menjual
saham dan selanjutnya dana dari penjualan saham
tersebut diinvestasikan pada berbagai jenis Efek yang
diperdagangkan di pasar modal dan pasar uang.
2. Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda
bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif,
kontrak berjangka atas Efek, dan setiap derivatif dari
Efek.
- 3 -
3. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya
mengelola portofolio Efek untuk para nasabah atau
mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok
nasabah, kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun,
dan bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
4. Bank Kustodian adalah bank umum yang telah
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan untuk
melakukan kegiatan usaha sebagai kustodian.
BAB II
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN
REKSA DANA BERBENTUK PERSEROAN
Pasal 2
Pedoman kontrak penyimpanan kekayaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan dengan Bank Kustodian paling sedikit
memuat:
a. nama dan alamat Bank Kustodian;
b.
tata cara penjualan atau pembelian kembali (pelunasan)
saham, bagi Reksa Dana Berbentuk Perseroan yang
bersifat terbuka;
c. pemisahan rekening Efek atas nama Reksa Dana
Berbentuk Perseroan;
d. kewajiban mengadministrasikan Efek dan dana dari
Reksa Dana Berbentuk Perseroan, memberikan jasa
penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek
serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, hak
lain, dan menyelesaikan transaksi Efek;
e. kewajiban membuat dan menyampaikan laporan kepada
Manajer Investasi, Reksa Dana Berbentuk Perseroan, dan
Otoritas Jasa Keuangan;
f. memperbolehkan akuntan memeriksa laporan keuangan
dan prosedur operasional Reksa Dana Berbentuk
Perseroan;
- 4 -
g. kewajiban untuk melaksanakan pencatatan, balik nama
dalam pemilikan Efek, pembagian hak yang berkaitan
dengan saham Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
h. kewajiban memberikan ganti rugi kepada Reksa Dana
Berbentuk Perseroan setiap kerugian atau kesalahan
yang berkaitan dengan Efek dan dana dalam rekening
Reksa Dana Berbentuk Perseroan;
i. biaya bagi Bank Kustodian berkaitan dengan jasa yang
diberikan dan biaya yang dibebankan kepada Reksa
Dana Berbentuk Perseroan;
j. kewajiban mengasuransikan kekayaan Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, jika para pihak memandang perlu;
k.
larangan penghentian kegiatan Bank Kustodian sebelum
dialihkan kepada Bank Kustodian pengganti; dan
l. kewajiban menentukan nilai aktiva bersih Reksa Dana
Berbentuk Perseroan, apabila Bank Kustodian
ditugaskan untuk melakukan perhitungan nilai aktiva
bersih.
BAB III
KETENTUAN SANKSI
Pasal 3
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana di bidang
pasar modal, Otoritas Jasa Keuangan berwenang
mengenakan sanksi administratif terhadap setiap pihak
yang melakukan pelanggaran ketentuan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini, termasuk pihak yang
menyebabkan terjadinya pelanggaran tersebut berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda, yaitu kewajiban untuk membayar sejumlah
uang tertentu;
c. pembatasan kegiatan usaha;
d. pembekuan kegiatan usaha;
e. pencabutan izin usaha;
f. pembatalan persetujuan; dan/atau
g. pembatalan pendaftaran.
- 5 -
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau
huruf g dapat dikenakan dengan atau tanpa didahului
pengenaan sanksi administratif berupa peringatan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikenakan secara
tersendiri atau secara bersama-sama dengan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, atau huruf g.
Pasal 4
Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan
tindakan tertentu terhadap setiap pihak yang melakukan
pelanggaran ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 5
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (1) dan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 kepada masyarakat.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 6
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal
Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman Kontrak
Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
beserta
Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan
lampirannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 7
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 6 -
Agar
setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 127
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 27 /POJK.04/2017
TENTANG
PEDOMAN KONTRAK PENYIMPANAN KEKAYAAN REKSA DANA
BERBENTUK PERSEROAN
I. UMUM
Bahwa sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor
pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke Otoritas Jasa
Keuangan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu dilakukan penataan
kembali struktur peraturan yang ada, khususnya yang terkait sektor
pasar modal dengan cara melakukan konversi Peraturan Badan Pengawas
Pasar Modal dan Lembaga Keuangan terkait sektor pasar modal menjadi
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penataan dimaksud dilakukan agar
terdapat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan terkait sektor pasar modal
yang selaras dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sektor lainnya.
Berdasarkan latar belakang pemikiran dan aspek tersebut, perlu
mengganti ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor pasar
modal yang mengatur mengenai pedoman kontrak penyimpanan kekayaan
Reksa Dana Berbentuk Perseroan yaitu Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal Nomor Kep-21/PM/1996 tentang Pedoman
Kontrak Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan,
beserta Peraturan Nomor IV.A.5 yang merupakan lampirannya, menjadi
-2-
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Pedoman Kontrak
Penyimpanan Kekayaan Reksa Dana Berbentuk Perseroan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6074
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 7/POJK.04/2017 </reg_id>
<reg_title> DOKUMEN PERNYATAAN PENDAFTARAN DALAM RANGKA PENAWARAN UMUM EFEK BERSIFAT EKUITAS, EFEK BERSIFAT UTANG, DAN/ATAU SUKUK </reg_title>
<set_date> 14 Maret 2017 </set_date>
<effective_date> 14 Maret 2017 </effective_date>
<issued_date> 14 Maret 2017 </issued_date>
<replaced_reg> 'SE-13/BL/2012|SE-BAPEPAM-LK/2012', 'Kep-42/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000', 'SE-01/BL/2007|SE-BAPEPAM/2007', 'Kep-42/PM/2000|KEPTA-BAPEPAM/2000 | Lampiran Peraturan Nomor IX.C.1' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '8/UU/1995' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB III' </penalty_list>
|
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37/POJK.03/2017
TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN
PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa dengan semakin terbukanya kesempatan bagi
pihak asing untuk melakukan investasi di sektor
perbankan nasional, membawa konsekuensi terhadap
meningkatnya pemanfaatan tenaga kerja asing oleh bank;
b. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing tersebut juga
untuk memenuhi kekurangan tenaga ahli di bidang
tertentu yang terus berkembang di sektor perbankan;
c. bahwa pemanfaatan tenaga kerja asing oleh perbankan
harus dapat meningkatkan kemampuan tenaga kerja
Indonesia melalui alih pengetahuan (transfer of
knowledge);
d. bahwa sehubungan dengan beralihnya fungsi, tugas, dan
wewenang pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di
sektor perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa
Keuangan, diperlukan pengaturan kembali pemanfaatan
tenaga kerja asing dan program alih pengetahuan di
sektor perbankan;
- 2 -
e. bahwa
berdasarkan
pertimbangan
sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu
menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang
Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih
Pengetahuan di Sektor Perbankan;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4279);
3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4867);
4. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas
Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH
PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang dimaksud
dengan:
1. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, termasuk kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri, dan Bank Umum
Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
2. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang
visa dengan maksud bekerja di wilayah Republik
Indonesia.
3. Tenaga Kerja Indonesia adalah tenaga kerja warga negara
Indonesia.
4. Kualifikasi Keahlian adalah pemenuhan persyaratan
suatu keahlian di bidang tertentu yang didapatkan dari
pendidikan dan pengalaman kerja.
5. Direksi adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
- 4 -
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada Bank
yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di
luar negeri adalah pimpinan kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri yaitu
pemimpin kantor cabang dan pejabat satu tingkat di
bawah pemimpin kantor cabang.
6. Dewan Komisaris adalah:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
beberapa kali diubah,
terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
- 5 -
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah komisaris
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah beberapa kali
diubah,
terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
c.
bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi adalah
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian.
7. Pimpinan Kantor Cabang dari Bank yang Berkedudukan
di Luar Negeri adalah pemimpin kantor cabang dan
pejabat satu tingkat di bawah pemimpin kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri.
8. Pemimpin Kantor Perwakilan adalah pejabat yang
diangkat oleh kantor pusat bank yang berkedudukan
di luar negeri untuk memimpin kantor perwakilan
di Indonesia.
9. Pejabat Eksekutif adalah pejabat yang bertanggung jawab
langsung kepada anggota Direksi atau mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan/atau
operasional Bank.
- 6 -
10. Tenaga Ahli atau Konsultan adalah perorangan yang
memiliki pengetahuan teknis tertentu dengan standar
Kualifikasi Keahlian yang memadai.
11. Pengendalian adalah suatu tindakan yang bertujuan
untuk mempengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan
perusahaan, termasuk Bank, dengan cara apapun, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
12. Pemegang Saham Pengendali bagi Bank yang selanjutnya
disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan
dan/atau kelompok usaha yang:
a. memiliki saham perusahaan atau Bank sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah
saham yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara;
atau
b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang
dari 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah saham
yang dikeluarkan dan mempunyai hak suara namun
yang bersangkutan dapat dibuktikan telah
melakukan Pengendalian perusahaan atau Bank,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pasal 2
(1) Bank dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing dalam
menjalankan kegiatan usahanya dengan memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing oleh Bank sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan
ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia.
Pasal 3
Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 untuk jabatan sebagai
berikut atau yang setara:
a. Direksi dan Dewan Komisaris;
b. Pejabat Eksekutif; dan/atau
c. Tenaga Ahli atau Konsultan.
- 7 -
Pasal 4
(1) Bank hanya dapat memanfaatkan Tenaga Kerja Asing
pada bidang tugas tertentu.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing pada bidang tugas
selain bidang tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapat
persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar
rekomendasi penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh Bank
kepada instansi yang menangani bidang
ketenagakerjaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan Tenaga
Kerja Asing pada bidang tugas tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta persyaratan dan tata cara
permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 5
Bank dilarang memanfaatkan Tenaga Kerja Asing pada bidang
tugas:
a. Personalia; dan
b. Kepatuhan.
BAB II
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK
Pasal 6
(1) Bank wajib menyampaikan rencana pemanfaatan Tenaga
Kerja Asing kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dicantumkan dalam
Rencana Bisnis Bank.
(3) Perubahan terhadap rencana pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
dicantumkan dalam perubahan Rencana Bisnis Bank.
- 8 -
(4) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing di luar rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan
dan memenuhi ketentuan:
a. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
dilakukan sebelum penyampaian perubahan
Rencana Bisnis Bank, Bank wajib melaporkan
pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam perubahan
Rencana Bisnis Bank; atau
b. dalam hal pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
dilakukan setelah penyampaian perubahan Rencana
Bisnis Bank, Bank wajib melaporkan pemanfaatan
Tenaga Kerja Asing dalam Laporan Realisasi
Rencana Bisnis Bank.
Pasal 7
Bank wajib meminta persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan
sebelum mengangkat Tenaga Kerja Asing untuk menduduki
jabatan sebagai Direksi, Dewan Komisaris, dan/atau Pejabat
Eksekutif.
Pasal 8
Tenaga Kerja Asing sebagai Direksi dan/atau Dewan
Komisaris harus memenuhi persyaratan:
a. dinyatakan disetujui dalam penilaian kemampuan dan
kepatutan; dan
b. memiliki pengetahuan tentang Indonesia, terutama
mengenai ekonomi, budaya, dan bahasa Indonesia.
Pasal 9
(1) Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki pengalaman dan keahlian sesuai dengan
bidang tugas yang akan ditempati;
b. tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan,
atau lembaga lain; dan
- 9 -
c. mampu menggunakan bahasa Indonesia secara
memadai.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan:
a. jabatan eksekutif yang akan ditempati berada pada
1 (satu) tingkat di bawah direktur;
b. hanya diperkenankan untuk jabatan yang berada di
kantor pusat Bank;
c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja
Indonesia untuk bidang dan keahlian yang
dibutuhkan; dan
d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja
Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu)
kali paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 10
(1) Bank wajib melaporkan pengangkatan Tenaga Kerja
Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank wajib menyampaikan laporan pengangkatan Tenaga
Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10
(sepuluh) hari kerja setelah pengangkatan.
Pasal 11
Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan harus
memenuhi persyaratan:
a. Kualifikasi Keahlian;
b. tidak merangkap jabatan pada Bank, perusahaan, atau
lembaga lain;
c. mempertimbangkan ketersediaan Tenaga Kerja Indonesia
untuk bidang dan keahlian yang dibutuhkan; dan
d. jangka waktu pemanfaatan setiap Tenaga Kerja Asing
sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan paling lama 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 1
(satu) tahun.
- 10 -
Pasal 12
(1) Bank yang 25% (dua puluh lima persen) atau lebih
sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing dapat memanfaatkan Tenaga Kerja
Asing untuk jabatan:
a. Direksi;
b. Dewan Komisaris;
c. Pejabat Eksekutif; dan/atau
d. Tenaga Ahli atau Konsultan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku bagi Bank yang berbentuk kantor cabang dari
bank yang berkedudukan di luar negeri.
(3) Mayoritas anggota Direksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(4) 50% (lima puluh persen) atau lebih dari anggota Dewan
Komisaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
wajib berkewarganegaraan Indonesia.
(5) Mayoritas Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank wajib
berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 13
(1) Bank yang kurang dari 25% (dua puluh lima persen)
sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau
badan hukum asing, hanya dapat menggunakan Tenaga
Kerja Asing untuk jabatan Tenaga Ahli atau Konsultan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikecualikan bagi Bank yang memenuhi kriteria:
a. kepemilikan warga negara asing dan/atau badan
hukum asing terhadap bank kurang dari 25% (dua
puluh lima persen), namun warga negara asing
dan/atau badan hukum asing merupakan PSP
Bank; atau
b. terdapat unsur Pengendalian dari warga negara
asing dan/atau badan hukum asing terhadap Bank.
(3) Bank yang memenuhi kriteria pengecualian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan Tenaga
- 11 -
Kerja Asing untuk jabatan Direksi, Dewan Komisaris,
dan/atau Tenaga Ahli atau Konsultan.
Pasal 14
(1) Kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing
untuk jabatan:
a. pimpinan kantor cabang; dan/atau
b. Tenaga Ahli atau Konsultan.
(2) Diantara anggota Pimpinan Kantor Cabang dari Bank
yang Berkedudukan di Luar Negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit terdapat
1 (satu) orang pejabat yang berkewarganegaraan
Indonesia.
Pasal 15
Kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di luar
negeri hanya dapat menggunakan Tenaga Kerja Asing untuk
jabatan:
a. Pemimpin Kantor Perwakilan; dan/atau
b. Tenaga Ahli atau Konsultan.
Pasal 16
(1) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan selain
yang diperkenankan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 hanya dapat
dipertimbangkan untuk kasus tertentu dengan
persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bersifat sementara dengan jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Dalam hal diperlukan perpanjangan jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank wajib
memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terlebih
dahulu.
- 12 -
BAB III
KEWAJIBAN ALIH PENGETAHUAN
(TRANSFER OF KNOWLEDGE)
Pasal 17
(1) Bank wajib menjamin terjadinya alih pengetahuan
(transfer of knowledge) dalam pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing.
(2) Kewajiban alih pengetahuan (transfer of knowledge)
dalam pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Bank yang
memanfaatkan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat
Eksekutif dan/atau Tenaga Ahli atau Konsultan.
(3) Kewajiban alih pengetahuan (transfer of knowledge)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penunjukan 2 (dua) orang tenaga pendamping untuk
1 (satu) orang Tenaga Kerja Asing;
b. pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga
pendamping sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki
oleh Tenaga Kerja Asing; dan
c. pelaksanaan pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga
Kerja Asing dalam jangka waktu tertentu terutama
kepada pegawai Bank, pelajar, mahasiswa, dan/atau
masyarakat umum.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewajiban
pelatihan atau pengajaran oleh Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditetapkan
dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
Bank wajib melaporkan hasil pelaksanaan kewajiban alih
pengetahuan (transfer of knowledge) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 pada setiap akhir tahun dalam Laporan
Realisasi Rencana Bisnis Bank.
- 13 -
BAB IV
PERMOHONAN PERSETUJUAN DAN PELAPORAN ATAS
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING OLEH BANK
Pasal 19
(1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing sebagai Direksi dan/atau Dewan Komisaris
dilakukan dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundang-undangan mengenai kepengurusan bank.
(2) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebelum Bank
menyampaikan permohonan izin menggunakan Tenaga
Kerja Asing kepada instansi yang menangani bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 20
(1) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 diajukan oleh Bank kepada Otoritas Jasa
Keuangan dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau
Departemen Perbankan Syariah, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai dengan
wilayah tempat kedudukan kantor pusat Bank.
(2) Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja
Asing sebagai Pejabat Eksekutif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan
sebelum Bank menyampaikan permohonan izin
menggunakan Tenaga Kerja Asing kepada instansi yang
menangani bidang ketenagakerjaan.
(3) Untuk memberikan persetujuan atau penolakan
pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat
- 14 -
Eksekutif atas permohonan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) Otoritas Jasa Keuangan melakukan:
a.
penelitian atas kelengkapan dan kebenaran
dokumen; dan
b. wawancara terhadap calon Pejabat Eksekutif dalam
hal diperlukan.
(4) Persetujuan atau penolakan atas pemanfaatan Tenaga
Kerja Asing sebagai Pejabat Eksekutif diberikan paling
lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
(5) Pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Pejabat
Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib
dilaporkan oleh Bank kepada Otoritas Jasa Keuangan
paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal
pengangkatan efektif dilampiri dengan dokumen
pendukung.
Pasal 21
Pelaporan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga
Ahli atau Konsultan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait atau Departemen
Perbankan Syariah, bagi Bank yang berkantor pusat atau
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri yang berada di wilayah Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta; atau
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah tempat
kedudukan kantor pusat Bank.
Pasal 22
(1) Bank wajib menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan
Tenaga Kerja Asing kepada Otoritas Jasa Keuangan 1
(satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Laporan realisasi pemanfaatan Tenaga Kerja Asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam
- 15 -
Laporan Realisasi Rencana Bisnis Bank setiap akhir
tahun.
BAB V
SANKSI
Pasal 23
(1) Bank yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4
ayat (1), Pasal 4 ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9
ayat (2), Pasal 10 ayat (1), Pasal 12 ayat (3), Pasal 12
ayat (4), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14
ayat (1), Pasal 15, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1),
Pasal 18, dan/atau Pasal 22 ayat (1) dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan ini dikenakan sanksi
administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan atau Pasal 58 Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
(2) Bank yang tidak menyampaikan laporan dalam waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dan/atau
Pasal 20 ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari
keterlambatan per laporan dengan denda paling banyak
sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)
per laporan.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak menghilangkan kewajiban Bank
untuk menyampaikan laporan.
- 16 -
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 24
Semua ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai
Direksi, Dewan Komisaris, dan Pejabat Eksekutif Bank
sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini tetap berlaku bagi Tenaga Kerja Asing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku, Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/8/PBI/2007
tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih
Pengetahuan di Sektor Perbankan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 76, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4732), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
- 17 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juli 2017
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 143
Salinan ini sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 37 /POJK.03/2017
TENTANG
PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN
PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN
I. UMUM
Perbankan Indonesia dewasa ini dituntut untuk melakukan
penguatan permodalan antara lain untuk meningkatkan daya saing dalam
menghadapi era globalisasi. Dalam memperkuat struktur permodalan,
bank antara lain menggunakan sumber dana asing. Masuknya investasi
asing pada gilirannya dapat membawa konsekuensi semakin
meningkatnya pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dalam kegiatan
operasional Bank.
Sementara itu, persaingan yang semakin ketat juga mendorong Bank
untuk selalu melakukan inovasi di bidang teknologi, produk dan jasa
Bank yang tidak jarang memerlukan keahlian tertentu yang belum
sepenuhnya dapat diisi oleh Tenaga Kerja Indonesia.
Oleh karena itu, selain untuk mengisi kelangkaan tenaga ahli
Indonesia pada bidang tertentu, pemanfaatan Tenaga Kerja Asing harus
mendorong terciptanya alih pengetahuan (transfer of knowledge) kepada
Tenaga Kerja Indonesia.
Untuk itu pemanfaatan Tenaga Kerja Asing harus diatur lebih lanjut
sehingga dapat mendukung upaya menciptakan sistem perbankan yang
sehat dan tidak merugikan kepentingan nasional.
- 2 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Huruf a
Pada kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang disetarakan dengan Direksi adalah Pimpinan Kantor
Cabang dari Bank yang Berkedudukan di Luar Negeri,
sedangkan pada kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri adalah Pemimpin Kantor
Perwakilan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli atau Konsultan tidak
menduduki jabatan struktural pada Bank dan tidak mempunyai
wewenang untuk membuat keputusan operasional Bank.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada dasarnya Tenaga Kerja Asing hanya dapat menduduki
jabatan pada bidang tugas tertentu yang telah dirinci dalam
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan hanya diberikan dengan
mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi Bank secara kasus
perkasus serta bersifat sementara.
Yang dimaksud dengan bidang tugas dalam ayat ini tidak
termasuk bidang tugas personalia dan bidang tugas kepatuhan,
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 3 -
Ayat (3)
Pemberian rekomendasi Tenaga Kerja Asing kepada instansi
yang menangani bidang ketenagakerjaan merupakan salah satu
bentuk koordinasi antar instansi untuk penanganan Tenaga
Kerja Asing.
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat ini tidak serta merta menyebabkan Tenaga Kerja Asing
dapat menduduki jabatan pada bidang tersebut sebelum adanya
izin dari instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tata cara penyusunan dan penyampaian rencana pemanfaatan
Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat ini
mengacu pada ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang
mengatur mengenai rencana bisnis bank umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Permohonan persetujuan pemanfaatan Tenaga Kerja Asing sebagai
Pejabat Eksekutif disertai dengan dokumen berupa:
a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran 4x6 (empat
kali enam) cm;
b. fotokopi paspor;
c. riwayat hidup;
- 4 -
d. fotokopi surat keterangan pengalaman kerja dari perusahaan
sebelumnya dan sertifikat keahlian, profesi, pendidikan atau
pelatihan;
e.
fotokopi konsep kontrak kerja atau surat penugasan dari Bank;
dan
f. contoh tanda tangan dan paraf.
Yang dimaksud dengan “surat penugasan” dalam huruf e adalah
surat penugasan kerja dari kantor pusat, kantor cabang dari bank
yang berkedudukan di luar negeri atau kantor perwakilan dalam hal
terdapat pemanfaatan Tenaga Kerja Asing.
Pasal 8
Huruf a
Penilaian kemampuan dan kepatutan dilakukan sesuai dengan
ketentuan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Pemenuhan persyaratan ini antara lain dilakukan dengan
menyampaikan surat keterangan mengenai pengalaman
kerja dan sertifikat keahlian, profesi, pendidikan dan/atau
pelatihan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan kemampuan berbahasa Indonesia
yang memadai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu)
tahun setelah yang bersangkutan menduduki jabatan
tersebut.
Ayat (2)
Huruf a
Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan
menyampaikan struktur organisasi Bank.
- 5 -
Huruf b
Bagi kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang dimaksud dengan “kantor pusat Bank” adalah
kantor yang menjadi induk operasional Bank tersebut di
Indonesia.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain
dengan menyampaikan penjelasan mengenai dasar
pertimbangan Bank untuk menggunakan Tenaga Kerja
Asing dan menyampaikan bukti tentang upaya yang telah
dilakukan Bank dalam mencari Tenaga Kerja Indonesia
yang dibutuhkan, sebelum akhirnya memutuskan untuk
menggunakan Tenaga Kerja Asing.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Laporan pengangkatan Tenaga Kerja Asing sebagai Tenaga Ahli
atau Konsultan disertai dengan dokumen berupa:
a. 1 (satu) buah pas foto 1 (satu) bulan terakhir ukuran
4x6 (empat kali enam) cm;
b. fotokopi paspor;
c. riwayat hidup;
d. fotokopi kontrak kerja;
e. contoh tanda tangan dan paraf;
f.
g.
fotokopi bukti atau keterangan tentang Kualifikasi
Keahlian;
fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Izin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; dan
h. surat pernyataan tidak merangkap jabatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
- 6 -
Pasal 11
Huruf a
Pemenuhan persyaratan Kualifikasi Keahlian antara lain
dilakukan dengan menyampaikan surat keterangan mengenai
pengalaman kerja dan/atau sertifikat keahlian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan ini dilakukan Bank antara lain dengan
menyampaikan penjelasan mengenai dasar pertimbangan Bank
untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing dan menyampaikan
bukti tentang upaya yang telah dilakukan Bank dalam mencari
Tenaga Kerja Indonesia yang dibutuhkan, sebelum akhirnya
memutuskan untuk menggunakan Tenaga Kerja Asing.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Kepemilikan saham bank 25% (dua puluh lima persen) tersebut
merupakan saham yang tercatat dalam administrasi Otoritas
Jasa Keuangan.
Dalam hal terdapat kepemilikan saham Bank oleh warga negara
asing dan/atau badan hukum asing yang diperoleh melalui
pembelian di bursa efek dan tidak dicatatkan dalam
administrasi Otoritas Jasa Keuangan, kepemilikan asing pada
Bank dimaksud belum dapat diakui oleh Otoritas Jasa
Keuangan sampai dengan diperbaruinya catatan Otoritas Jasa
Keuangan berdasarkan laporan dari Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima
puluh persen).
Ayat (4)
Cukup jelas.
- 7 -
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan mayoritas adalah lebih dari 50% (lima
puluh persen).
Pemenuhan persyaratan ini dapat dilakukan dengan
menyampaikan daftar Pejabat Eksekutif di kantor pusat Bank
beserta komposisinya.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Warga negara asing dan/atau badan hukum asing yang dinyatakan
Bank sebagai PSP atau melakukan Pengendalian harus telah diakui
oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dicatat dalam administrasi Otoritas
Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kasus tertentu” antara lain:
a. kondisi apabila Tenaga Kerja Asing tidak digunakan, Bank akan
menghadapi risiko kerugian yang cukup signifikan; dan
b. Tenaga Kerja Indonesia yang ada dinilai belum dapat memenuhi
syarat keahlian yang dibutuhkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pendampingan Tenaga Kerja Asing lebih dititikberatkan pada
alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga pendamping
memiliki kemampuan yang dibutuhkan sehingga pada waktunya
diharapkan dapat menggantikan Tenaga Kerja Asing yang
didampingi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup Jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai kepengurusan bank” antara lain ketentuan mengenai:
a. bank umum;
b. bank umum syariah;
c. perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank
syariah;
d. persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor
cabang pembantu dan kantor perwakilan dari bank yang
berkedudukan di luar negeri;
e. penilaian kemampuan dan kepatutan;
f. penerapan tata kelola bagi bank umum; dan/atau
g. pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah
dan unit usaha syariah.
- 9 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dokumen pendukung berupa:
a.
b.
fotokopi kontrak kerja;
fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) yang dikeluarkan
oleh instansi yang berwenang; dan
c.
fotokopi Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang
dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Direksi, Dewan
Komisaris, dan Pejabat Eksekutif Bank antara lain berpedoman pada
ketentuan mengenai:
a. bank umum;
b. bank umum syariah;
c. perubahan kegiatan usaha bank konvensional menjadi bank syariah;
- 10 -
d. persyaratan dan tata cara pembukaan kantor cabang, kantor cabang
pembantu dan kantor perwakilan dari bank yang berkedudukan di
luar negeri;
e. penilaian kemampuan dan kepatutan;
f.
penerapan tata kelola bagi bank umum; dan/atau
g. pelaksanaan good corporate governance bagi bank umum syariah dan
unit usaha syariah.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6086
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 37/POJK.03/2017 </reg_id>
<reg_title> PEMANFAATAN TENAGA KERJA ASING DAN PROGRAM ALIH PENGETAHUAN DI SEKTOR PERBANKAN </reg_title>
<set_date> 12 Juli 2017 </set_date>
<effective_date> 12 Juli 2017 </effective_date>
<issued_date> 12 Juli 2017 </issued_date>
<replaced_reg> '9/8/PBI/2007' </replaced_reg>
<related_reg> '7/UU/1992', '10/UU/1998', '13/UU/2003', '21/UU/2008', '21/UU/2011' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB V' </penalty_list>
|
OTORITAS JASA KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA
SALINAN
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DEWAN KOMISIONER OTORITAS JASA KEUANGAN,
Menimbang : a. bahwa situasi lingkungan eksternal dan internal
perbankan mengalami perkembangan pesat yang akan
diikuti oleh semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan
usaha perbankan tersebut;
b. bahwa semakin kompleksnya risiko bagi kegiatan
usaha perbankan akan meningkatkan kebutuhan
praktek tata kelola yang baik (good governance) serta
fungsi identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan
pengendalian risiko bank;
c. bahwa peningkatan fungsi identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian risiko dimaksudkan
agar aktivitas usaha yang dilakukan oleh bank tidak
menimbulkan kerugian yang melebihi kemampuan
bank atau yang dapat mengganggu kelangsungan
usaha bank;
d. bahwa pengelolaan setiap aktivitas fungsional bank
harus sedapat mungkin terintegrasi ke dalam suatu
sistem dan proses pengelolaan risiko yang akurat dan
komprehensif;
- 2 -
e. bahwa dalam rangka menciptakan prakondisi dan
infrastruktur pengelolaan risiko, bank wajib
mengambil langkah-langkah persiapan pelaksanaan
pengelolaan risikonya;
f. bahwa transparansi merupakan salah satu aspek yang
perlu diperhatikan dalam pengendalian risiko yang
dihadapi bank;
g. bahwa peningkatan kualitas penerapan manajemen
risiko akan mendukung efektivitas kerangka
pengawasan bank berbasis risiko;
h. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf e, huruf f, dan huruf g perlu menetapkan
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum;
Mengingat
: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790);
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM.
- 3 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini yang
dimaksud dengan:
1. Bank adalah bank umum sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, termasuk
kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar
negeri, yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional.
2. Risiko adalah potensi kerugian akibat terjadinya suatu
peristiwa tertentu.
3. Manajemen Risiko adalah serangkaian metodologi dan
prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi,
mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko
yang timbul dari seluruh kegiatan usaha Bank.
4. Risiko Kredit adalah Risiko akibat kegagalan pihak
lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank,
termasuk Risiko Kredit akibat kegagalan debitur,
Risiko konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan
settlement risk.
5. Risiko Pasar adalah Risiko pada posisi neraca dan
rekening administratif, termasuk transaksi derivatif,
akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi
pasar, termasuk Risiko perubahan harga option.
6. Risiko Likuiditas adalah Risiko akibat
ketidakmampuan Bank untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas
dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat
diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi
keuangan Bank.
- 4 -
7. Risiko Operasional adalah Risiko akibat
ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses
internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
8. Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat Bank tidak
mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan.
9. Risiko Hukum adalah Risiko akibat tuntutan hukum
dan/atau kelemahan aspek yuridis.
10. Risiko Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan
pemangku kepentingan
(stakeholder) yang bersumber dari persepsi negatif
terhadap Bank.
11. Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan
dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu
keputusan stratejik serta kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
12. Direksi:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah direksi sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah adalah direksi
sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Daerah adalah direksi pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
- 5 -
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor
Tahun 2015;
9
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengurus sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pemimpin kantor cabang dan pejabat satu
tingkat di bawah pemimpin kantor cabang.
13. Dewan Komisaris:
a. bagi Bank berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas adalah dewan komisaris sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
b. bagi Bank berbentuk badan hukum:
1) Perusahaan Umum Daerah adalah dewan
pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
2) Perusahaan Perseroan Daerah adalah
komisaris sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015;
3) Perusahaan Daerah adalah pengawas pada
Bank yang belum berubah bentuk menjadi
Perusahaan Umum Daerah atau Perusahaan
Perseroan Daerah sesuai Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2015;
- 6 -
c. bagi Bank berbentuk badan hukum Koperasi
adalah pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian;
d. bagi Bank yang berstatus sebagai kantor cabang
dari bank yang berkedudukan di luar negeri
adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan
fungsi pengawasan.
14. Perusahaan Anak adalah badan hukum atau
perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh
Bank secara langsung maupun tidak langsung, baik di
dalam maupun di luar negeri yang melakukan
kegiatan usaha di bidang keuangan, yang terdiri atas:
a. perusahaan subsidiari (subsidiary company) yaitu
Perusahaan Anak dengan kepemilikan Bank lebih
dari 50% (lima puluh persen);
b. perusahaan partisipasi (participation company)
adalah Perusahaan Anak dengan kepemilikan
Bank 50% (lima puluh persen) atau kurang,
namun Bank memiliki pengendalian terhadap
perusahaan;
c. perusahaan dengan kepemilikan Bank lebih dari
20% (dua puluh persen) sampai dengan 50% (lima
puluh persen) yang memenuhi persyaratan yaitu:
1) kepemilikan Bank dan para pihak lainnya
pada Perusahaan Anak adalah masing-
masing sama besar; dan
2) masing-masing pemilik melakukan
pengendalian secara bersama terhadap
Perusahaan Anak;
d. entitas lain yang berdasarkan standar akuntansi
keuangan harus dikonsolidasikan.
- 7 -
BAB II
RUANG LINGKUP MANAJEMEN RISIKO
Pasal 2
(1) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko secara
efektif, baik untuk Bank secara individu maupun
untuk Bank secara konsolidasi dengan Perusahaan
Anak.
(2) Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris;
b. kecukupan kebijakan dan prosedur Manajemen
Risiko serta penetapan limit Risiko;
c. kecukupan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko, serta
sistem informasi Manajemen Risiko; dan
d. sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Pasal 3
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 wajib disesuaikan dengan tujuan, kebijakan
usaha, ukuran dan kompleksitas usaha, serta kemampuan
Bank.
Pasal 4
(1) Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
mencakup:
a. Risiko Kredit;
b. Risiko Pasar;
c.
Risiko Likuiditas;
d. Risiko Operasional;
e. Risiko Hukum;
f.
Risiko Reputasi;
g.
Risiko Stratejik; dan
h. Risiko Kepatuhan.
(2) Bank wajib menerapkan Manajemen Risiko untuk
seluruh Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- 8 -
BAB III
PENGAWASAN AKTIF DIREKSI DAN DEWAN KOMISARIS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
Bank wajib menetapkan wewenang dan tanggung jawab
yang jelas pada setiap jenjang jabatan yang terkait dengan
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2.
Bagian Kedua
Wewenang dan Tanggung Jawab Direksi
Pasal 6
(1) Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 bagi Direksi paling sedikit:
a. menyusun kebijakan dan strategi Manajemen
Risiko secara tertulis dan komprehensif;
b. bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko dan eksposur Risiko yang
diambil oleh Bank secara keseluruhan;
c. mengevaluasi dan memutuskan transaksi yang
memerlukan persetujuan Direksi;
d. mengembangkan budaya Manajemen Risiko pada
seluruh jenjang organisasi;
e. memastikan peningkatan kompetensi sumber
daya manusia yang terkait dengan Manajemen
Risiko;
f. memastikan bahwa fungsi Manajemen Risiko
telah beroperasi secara independen; dan
g. melaksanakan kaji ulang secara berkala untuk
memastikan:
1. keakuratan metodologi penilaian Risiko;
2. kecukupan implementasi sistem informasi
Manajemen Risiko; dan
- 9 -
3. ketepatan kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko serta penetapan limit
Risiko.
(2) Dalam rangka melaksanakan wewenang dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi
harus memiliki pemahaman yang memadai mengenai
Risiko yang melekat pada seluruh aktivitas fungsional
Bank dan mampu mengambil tindakan yang
diperlukan sesuai dengan profil Risiko Bank.
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris
Pasal 7
Wewenang dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 bagi Dewan Komisaris paling sedikit:
a. menyetujui dan mengevaluasi kebijakan Manajemen
Risiko;
b. mengevaluasi pertanggungjawaban Direksi atas
pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan
c. mengevaluasi dan memutuskan permohonan Direksi
yang berkaitan dengan transaksi yang memerlukan
persetujuan Dewan Komisaris.
BAB IV
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR MANAJEMEN RISIKO
SERTA PENETAPAN LIMIT RISIKO
Bagian Kesatu
Kebijakan Manajemen Risiko
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf b paling sedikit memuat:
a. penetapan Risiko yang terkait dengan produk dan
transaksi perbankan;
Manajemen Risiko
- 10 -
b. penetapan penggunaan metode pengukuran dan
sistem informasi Manajemen Risiko;
c. penentuan limit dan penetapan toleransi Risiko;
d. penetapan penilaian peringkat Risiko;
e. penyusunan rencana darurat (contingency plan) dalam
kondisi terburuk (worst case scenario); dan
f.
penetapan sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Prosedur Manajemen Risiko dan Penetapan Limit Risiko
Pasal 9
(1) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit
Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
huruf b wajib disesuaikan dengan tingkat Risiko yang
akan diambil (risk appetite) terhadap Risiko Bank.
(2) Prosedur Manajemen Risiko dan penetapan limit
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit memuat:
a. akuntabilitas dan jenjang delegasi wewenang yang
jelas;
b. pelaksanaan kaji ulang terhadap prosedur
Manajemen Risiko dan penetapan limit Risiko
secara berkala; dan
c. dokumentasi prosedur Manajemen Risiko dan
penetapan limit Risiko secara memadai.
(3) Penetapan limit Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) wajib mencakup:
a. limit secara keseluruhan;
b. limit per jenis Risiko; dan
c.
limit per aktivitas fungsional tertentu yang
memiliki eksposur Risiko.
- 11 -
BAB V
PROSES IDENTIFIKASI, PENGUKURAN, PEMANTAUAN,
DAN PENGENDALIAN RISIKO SERTA SISTEM INFORMASI
MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
(1) Bank wajib melakukan proses identifikasi,
pengukuran, pemantauan, dan pengendalian Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c
terhadap faktor-faktor Risiko (risk factors) yang
bersifat material.
(2) Pelaksanaan proses identifikasi, pengukuran,
pemantauan, dan pengendalian Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib didukung oleh:
a. sistem informasi manajemen yang tepat waktu;
dan
b. laporan yang akurat dan informatif mengenai
kondisi keuangan, kinerja aktivitas fungsional,
dan eksposur Risiko Bank.
Bagian Kedua
Proses Identifikasi, Pengukuran, Pemantauan, dan
Pengendalian Risiko
Pasal 11
(1) Dalam rangka melaksanakan proses identifikasi
Risiko, Bank wajib melakukan analisis paling sedikit
terhadap:
a. karakteristik Risiko yang melekat pada Bank; dan
b. Risiko dari produk dan kegiatan usaha Bank.
(2) Dalam rangka melaksanakan pengukuran Risiko,
Bank wajib paling sedikit melakukan:
- 12 -
a. evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian
asumsi, sumber data, dan prosedur yang
digunakan untuk mengukur Risiko; dan
b. penyempurnaan terhadap sistem pengukuran
Risiko dalam hal terdapat perubahan kegiatan
usaha Bank, produk, transaksi dan faktor Risiko,
yang bersifat material.
(3) Dalam rangka melaksanakan pemantauan Risiko,
Bank wajib paling sedikit melakukan:
a. evaluasi terhadap eksposur Risiko; dan
b. penyempurnaan proses pelaporan dalam hal
terdapat perubahan kegiatan usaha, produk,
transaksi, faktor Risiko, teknologi informasi, dan
sistem informasi Manajemen Risiko Bank yang
bersifat material.
(4) Bank wajib melaksanakan proses pengendalian Risiko
untuk mengelola Risiko tertentu yang dapat
membahayakan kelangsungan usaha Bank.
(5) Dalam melaksanakan fungsi pengendalian Risiko suku
bunga, Risiko nilai tukar, dan Risiko Likuiditas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b
dan huruf c, Bank paling sedikit menerapkan Assets
and Liabilities Management (ALMA).
Bagian Ketiga
Sistem Informasi Manajemen Risiko
Pasal 12
(1) Sistem informasi Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, mencakup
laporan atau informasi paling sedikit mengenai:
a. eksposur Risiko;
b. kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9; dan
- 13 -
c.
realisasi pelaksanaan Manajemen Risiko
dibandingkan dengan target yang ditetapkan.
(2) Laporan atau informasi yang dihasilkan dari sistem
informasi Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disampaikan secara rutin kepada
Direksi.
BAB VI
SISTEM PENGENDALIAN INTERN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 13
Bank wajib melaksanakan sistem pengendalian intern
secara efektif terhadap pelaksanaan kegiatan usaha dan
operasional pada seluruh jenjang organisasi Bank.
Pasal 14
(1) Pelaksanaan sistem pengendalian intern sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 paling sedikit mampu secara
tepat waktu mendeteksi kelemahan dan
penyimpangan yang terjadi.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib memastikan:
a. kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-
undangan serta kebijakan atau ketentuan intern
Bank;
b. tersedianya informasi keuangan dan manajemen
yang lengkap, akurat, tepat guna, dan tepat
waktu;
c.
d.
efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan
operasional; dan
efektivitas budaya Risiko (risk culture) pada
organisasi Bank secara menyeluruh.
- 14 -
Bagian Kedua
Sistem Pengendalian Intern dalam
Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 15
(1) Sistem pengendalian intern dalam penerapan
Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) huruf d paling sedikit mencakup:
a. kesesuaian sistem pengendalian intern dengan
jenis dan tingkat Risiko yang melekat pada
kegiatan usaha Bank;
b. penetapan wewenang dan tanggung jawab untuk
pemantauan kepatuhan kebijakan dan prosedur
Manajemen Risiko, serta penetapan limit Risiko
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan
Pasal 9;
c. penetapan jalur pelaporan dan pemisahan fungsi
yang jelas dari satuan kerja operasional kepada
satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian;
d. struktur organisasi yang menggambarkan secara
jelas kegiatan usaha Bank;
e. pelaporan keuangan dan kegiatan operasional
yang akurat dan tepat waktu;
f. kecukupan prosedur untuk memastikan
kepatuhan Bank terhadap ketentuan dan
perundang-undangan;
g.
kaji ulang yang efektif, independen, dan obyektif
terhadap prosedur penilaian kegiatan operasional
Bank;
h. pengujian dan kaji ulang yang memadai terhadap
sistem informasi Manajemen Risiko;
i.
dokumentasi secara lengkap dan memadai
terhadap prosedur operasional, cakupan, dan
temuan audit, serta tanggapan pengurus Bank
berdasarkan hasil audit; dan
- 15 -
j.
verifikasi dan kaji ulang secara berkala dan
berkesinambungan terhadap penanganan
kelemahan Bank yang bersifat material dan
tindakan pengurus Bank untuk memperbaiki
penyimpangan yang terjadi.
(2) Penilaian terhadap sistem pengendalian intern dalam
penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib dilakukan oleh satuan kerja audit
intern.
BAB VII
ORGANISASI DAN FUNGSI MANAJEMEN RISIKO
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 16
Dalam rangka pelaksanaan proses dan sistem Manajemen
Risiko yang efektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Bank wajib membentuk:
a. komite Manajemen Risiko; dan
b. satuan kerja Manajemen Risiko.
Bagian Kedua
Komite Manajemen Risiko
Pasal 17
(1) Komite Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf a paling sedikit terdiri atas:
a. mayoritas Direksi; dan
b. pejabat eksekutif terkait.
(2) Wewenang dan tanggung jawab komite Manajemen
Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
memberikan rekomendasi kepada direktur utama,
yang paling sedikit mencakup:
a. penyusunan kebijakan, strategi, dan pedoman
penerapan Manajemen Risiko;
- 16 -
b. perbaikan atau penyempurnaan pelaksanaan
Manajemen Risiko berdasarkan hasil evaluasi
pelaksanaan Manajemen Risiko; dan
c. penetapan hal-hal yang terkait dengan keputusan
bisnis yang menyimpang dari prosedur normal.
Bagian Ketiga
Satuan Kerja Manajemen Risiko
Pasal 18
(1) Struktur organisasi satuan kerja Manajemen Risiko
Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b
disesuaikan dengan ukuran dan kompleksitas usaha
Bank serta Risiko yang melekat pada Bank.
(2) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus independen terhadap
satuan kerja operasional (risk-taking unit) dan
terhadap satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian intern.
(3) Satuan kerja Manajemen Risiko sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab langsung
kepada direktur utama atau kepada direktur yang
ditugaskan secara khusus.
(4) Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja
Manajemen Risiko meliputi:
a. pemantauan pelaksanaan strategi Manajemen
Risiko yang telah disetujui oleh Direksi;
b. pemantauan posisi Risiko secara keseluruhan
(composite), per jenis Risiko, dan per jenis
aktivitas fungsional serta melakukan stress
testing;
c.
kaji ulang secara berkala terhadap proses
Manajemen Risiko;
d. pengkajian usulan aktivitas dan/atau produk
baru;
e.
evaluasi terhadap akurasi model dan validitas
data yang digunakan untuk mengukur Risiko,
- 17 -
bagi Bank yang menggunakan model untuk
keperluan intern (internal model);
f. memberikan rekomendasi kepada satuan kerja
operasional (risk-taking unit) dan/atau kepada
komite Manajemen Risiko, sesuai kewenangan
yang dimiliki; dan
g. menyusun dan menyampaikan laporan profil
Risiko kepada direktur utama atau direktur yang
ditugaskan secara khusus dan komite Manajemen
Risiko secara berkala.
Bagian Keempat
Hubungan Satuan Kerja Operasional dengan Satuan Kerja
Manajemen Risiko
Pasal 19
Satuan kerja operasional (risk-taking unit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) wajib menginformasikan
eksposur Risiko yang melekat pada satuan kerja yang
bersangkutan kepada satuan kerja Manajemen Risiko
secara berkala.
BAB VIII
PENGELOLAAN RISIKO PRODUK DAN AKTIVITAS BARU
Pasal 20
(1) Bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur secara
tertulis untuk mengelola Risiko yang melekat pada
produk atau aktivitas baru Bank.
(2) Kebijakan dan prosedur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. sistem dan prosedur (standard operating
procedures) serta kewenangan dalam pengelolaan
produk dan aktivitas baru;
b.
identifikasi seluruh Risiko yang melekat pada
produk atau aktivitas baru, baik yang terkait
dengan Bank maupun nasabah;
- 18 -
c. masa uji coba metode pengukuran dan
pemantauan Risiko terhadap produk dan
aktivitas baru;
d. sistem informasi akuntansi untuk produk dan
aktivitas baru;
e.
f.
analisa aspek hukum untuk produk dan aktivitas
baru; dan
transparansi informasi kepada nasabah.
(3) Produk atau aktivitas Bank merupakan suatu produk
baru atau aktivitas baru jika memenuhi kriteria:
a. tidak pernah diterbitkan atau dilakukan
sebelumnya oleh Bank; atau
b. telah diterbitkan atau dilaksanakan sebelumnya
oleh Bank namun dilakukan pengembangan yang
mengubah atau meningkatkan eksposur Risiko
tertentu pada Bank.
Pasal 21
Bank dilarang menugaskan atau menyetujui pengurus
dan/atau pegawai Bank untuk memasarkan produk atau
melaksanakan aktivitas yang bukan merupakan produk
atau aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau
fasilitas Bank.
Pasal 22
Bank wajib menerapkan transparansi informasi produk
atau aktivitas Bank kepada nasabah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f, baik secara
tertulis maupun lisan.
- 19 -
BAB IX
PELAPORAN
Bagian Kesatu
Laporan Profil Risiko serta Laporan Produk dan
Aktivitas Baru
Pasal 23
(1) Bank wajib menyampaikan laporan profil Risiko
kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang disampaikan oleh satuan kerja
Manajemen Risiko, wajib memuat substansi yang
sama dengan laporan profil Risiko yang disampaikan
oleh satuan kerja Manajemen Risiko kepada direktur
utama dan komite Manajemen Risiko.
(3) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan secara triwulanan untuk posisi
bulan Maret, bulan Juni, bulan September, dan
bulan Desember.
(4) Laporan profil Risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari
kerja setelah akhir bulan laporan.
(5) Dalam hal diperlukan, Otoritas Jasa Keuangan dapat
meminta Bank menyampaikan laporan profil Risiko
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di luar jangka
waktu yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).
Pasal 24
(1) Bank wajib menyampaikan laporan produk atau
aktivitas baru kepada Otoritas Jasa Keuangan, yang
terdiri atas:
a. Laporan rencana penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru; dan
b. Laporan realisasi penerbitan produk atau
pelaksanaan aktivitas baru.
- 20 -
(2) Laporan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a wajib disampaikan paling lambat 60 (enam
puluh) hari sebelum penerbitan atau pelaksanaan
produk atau aktivitas baru.
(3) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah produk atau aktivitas baru dilakukan.
(4) Selain memenuhi ketentuan pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), rencana penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas baru yang memenuhi
kriteria dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a wajib
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank.
(5) Berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas
Jasa Keuangan dapat melarang Bank untuk
menerbitkan produk atau melaksanakan aktivitas
baru yang direncanakan.
(6) Dalam hal dikemudian hari berdasarkan evaluasi
Otoritas Jasa Keuangan, produk yang diterbitkan atau
aktivitas yang dilaksanakan memenuhi kondisi:
a. tidak sesuai dengan rencana penerbitan produk
atau aktivitas baru yang dilaporkan kepada
Otoritas Jasa Keuangan;
b. berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank; dan/atau
c. tidak sesuai dengan ketentuan,
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Bank
untuk menghentikan produk yang diterbitkan atau
aktivitas yang dilaksanakan.
(7) Laporan rencana dan realisasi atas penerbitan produk
atau pelaksanaan aktivitas tertentu diatur secara
tersendiri dalam Surat Edaran Otoritas Jasa
Keuangan.
- 21 -
Bagian Kedua
Laporan Lain
Pasal 25
(1) Bank wajib menyampaikan laporan lain kepada
Otoritas Jasa Keuangan selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23, dalam hal terdapat kondisi yang
berpotensi menimbulkan kerugian yang signifikan
terhadap kondisi keuangan Bank.
(2) Bank wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa
Keuangan laporan lain yang terkait dengan penerapan
Manajemen Risiko dan/atau terkait dengan penerbitan
produk atau pelaksanaan aktivitas tertentu secara
berkala atau sewaktu-waktu dalam hal diperlukan.
(3) Format dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur tersendiri dalam Surat
Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian Laporan
Pasal 26
Bank dianggap terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dan Pasal 24
apabila laporan disampaikan melampaui batas waktu
penyampaian.
Bagian Keempat
Alamat Penyampaian
Pasal 27
Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24,
dan Pasal 25 disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan
dengan alamat:
a. Departemen Pengawasan Bank terkait, bagi Bank yang
berkantor pusat atau kantor cabang dari bank yang
berkedudukan di luar negeri yang berada di wilayah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta; atau
- 22 -
b. Kantor Regional Otoritas Jasa Keuangan atau Kantor
Otoritas Jasa Keuangan setempat sesuai wilayah
tempat kedudukan kantor pusat Bank.
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Bagian Kesatu
Penilaian Penerapan Manajemen Risiko
Pasal 28
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan penilaian
terhadap penerapan Manajemen Risiko pada Bank.
Pasal 29
Bank wajib menyediakan data dan informasi yang
berkaitan dengan penerapan Manajemen Risiko kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
Bagian Kedua
Aspek Pengungkapan Kinerja dan Kebijakan Manajemen
Risiko
Pasal 30
(1) Bank wajib melakukan pengungkapan Manajemen
Risiko dalam laporan publikasi tahunan Bank.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit mencakup kinerja Manajemen Risiko
dan arah kebijakan Manajemen Risiko.
- 23 -
BAB XI
SANKSI
Pasal 31
(1) Bank yang terlambat menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2), dikenakan sanksi
administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah) per hari keterlambatan per laporan.
(2) Bank yang belum menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) setelah 1 (satu) bulan
sejak batas akhir waktu penyampaian laporan,
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) per laporan.
(3) Bank yang belum menyampaikan laporan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1),
Pasal 24 ayat (1) huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24
ayat (7) atau Pasal 25 ayat (2) dan telah dikenakan
sanksi administratif berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), tetap wajib menyampaikan
laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Bank yang tidak menyampaikan laporan rencana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1)
huruf a dikenakan sanksi administratif berupa denda
sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(5) Bank yang menyampaikan laporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), Pasal 24 ayat (1)
huruf b, Pasal 24 ayat (3), Pasal 24 ayat (7) atau Pasal
25 ayat (2), namun:
a. dinilai tidak lengkap secara signifikan; dan/atau
b. tidak dilampiri dengan dokumen dan informasi
yang material,
sesuai dengan format yang ditentukan, dikenakan
sanksi
administratif
berupa denda
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
sebesar
- 24 -
(6) Bank dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) setelah:
a. Bank diberikan 2 (dua) kali surat teguran oleh
Otoritas Jasa Keuangan dengan tenggang waktu
7 (tujuh) hari kerja untuk setiap surat teguran;
dan
b. Bank tidak memperbaiki laporan dalam jangka
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
surat teguran terakhir.
Pasal 32
Bank yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 4 ayat (2),
Pasal 5, Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (3), Pasal 10, Pasal 11
ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 11 ayat (3), Pasal 11
ayat (4), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 14 ayat (2),
Pasal 15 ayat (2), Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1),
Pasal 21, Pasal 22, Pasal 29 atau Pasal 30 ayat (1)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini dan ketentuan
pelaksanaan terkait lainnya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penurunan tingkat kesehatan Bank;
c. pembekuan kegiatan usaha tertentu;
d. pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank,
dan/atau pemegang saham dalam daftar pihak-pihak
yang mendapat predikat Tidak Lulus dalam penilaian
kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan
administrasi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana
diatur dalam ketentuan Otoritas Jasa Keuangan;
dan/atau
e. pemberhentian pengurus Bank.
- 25 -
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Manajemen
Risiko bagi Bank Umum diatur dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 34
(1) Pada saat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai
berlaku:
a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003
tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan
Manajemen Risiko Bagi Bank Umum (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor
56, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4292); dan
b. Peraturan
Bank
Indonesia
Nomor 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009
tentang Perubahan atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 103, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5029),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia
Nomor 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009
tanggal 1 Juli 2009 tentang Perubahan atas Peraturan
Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan ini.
- 26 -
(3) Dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
ini, pengaturan yang sebelumnya mengacu pada
ketentuan Bank Indonesia mengenai penerapan
Manajemen Risiko bagi bank umum menjadi mengacu
pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini.
Pasal 35
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2016
KETUA DEWAN KOMISIONER
OTORITAS JASA KEUANGAN,
ttd
MULIAMAN D. HADAD
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Maret 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 53
Salinan sesuai dengan aslinya
Direktur Hukum 1
Departemen Hukum
ttd
Yuliana
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN
NOMOR 18 /POJK.03/2016
TENTANG
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM
I. UMUM
Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko
yang berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi
keuangan. Pesatnya perkembangan lingkungan eksternal dan internal
perbankan juga menyebabkan semakin kompleksnya risiko kegiatan
usaha perbankan. Oleh karena itu, agar mampu beradaptasi dalam
lingkungan bisnis perbankan, Bank dituntut untuk menerapkan
Manajemen Risiko. Dalam kaitan ini, prinsip-prinsip Manajemen Risiko
yang akan dianut dan diterapkan pada perbankan Indonesia diarahkan
sejalan dengan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Bank for
International Settlements melalui Basel Committee on Banking
Supervision. Prinsip-prinsip tersebut pada dasarnya merupakan
standar bagi dunia perbankan untuk dapat beroperasi secara lebih
berhati-hati dalam ruang lingkup perkembangan kegiatan usaha dan
operasional perbankan yang sangat pesat dewasa ini.
Melalui penerapan Manajemen Risiko, Bank diharapkan dapat
mengukur dan mengendalikan Risiko yang dihadapi dalam melakukan
kegiatan usahanya dengan lebih baik. Selanjutnya, penerapan
Manajemen Risiko yang dilakukan perbankan akan mendukung
efektivitas kerangka pengawasan Bank berbasis Risiko yang dilakukan
oleh Otoritas Jasa Keuangan.
- 2 -
Upaya penerapan Manajemen Risiko dimaksud tidak hanya
ditujukan bagi kepentingan Bank tetapi juga bagi kepentingan
nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan
nasabah dan dalam rangka pengendalian Risiko adalah transparansi
informasi terkait produk atau aktivitas Bank.
Penerapan Manajemen Risiko dapat bervariasi antara satu Bank
dengan Bank lain sesuai dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran dan
kompleksitas usaha, kemampuan keuangan, infrastruktur pendukung
serta kemampuan sumber daya manusia.
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan ketentuan ini sebagai
standar minimal yang harus dipenuhi oleh perbankan Indonesia dalam
menerapkan Manajemen Risiko. Dengan ketentuan ini, Bank
diharapkan mampu melaksanakan seluruh aktivitasnya secara
terintegrasi dalam suatu sistem pengelolaan Risiko yang akurat dan
komprehensif.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Termasuk dalam cakupan penerapan Manajemen Risiko
adalah penerapan program Anti Pencucian Uang dan
Pencegahan Pendanaan Terorisme.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Kompleksitas usaha antara lain keragaman dalam jenis transaksi,
produk atau jasa, dan jaringan usaha.
Kemampuan Bank antara lain kemampuan keuangan,
infrastruktur pendukung, dan kemampuan sumber daya manusia.
- 3 -
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kelompok Risiko Kredit adalah Risiko
konsentrasi kredit, counterparty credit risk, dan
settlement risk.
Risiko konsentrasi kredit merupakan Risiko yang timbul
akibat terkonsentrasinya penyediaan dana kepada
1 (satu) pihak atau sekelompok pihak, industri, sektor,
dan/atau area geografis tertentu yang berpotensi
menimbulkan kerugian cukup besar yang dapat
mengancam kelangsungan usaha Bank.
Counterparty credit risk merupakan Risiko yang timbul
akibat terjadinya kegagalan pihak lawan dalam
memenuhi kewajibannya dan timbul dari jenis transaksi
yang memiliki karakteristik tertentu, misalnya transaksi
yang dipengaruhi oleh pergerakan nilai wajar atau nilai
pasar.
Settlement risk merupakan Risiko yang timbul akibat
kegagalan penyerahan kas dan/atau instrumen
keuangan pada tanggal penyelesaian (settlement date)
yang telah disepakati dari transaksi penjualan dan/atau
pembelian instrumen keuangan.
Huruf b
Risiko Pasar meliputi antara lain Risiko suku bunga,
Risiko nilai tukar, Risiko komoditas, dan Risiko ekuitas.
Yang dimaksud dengan “Risiko suku bunga” adalah
Risiko akibat perubahan harga instrumen keuangan dari
posisi trading book atau akibat perubahan nilai ekonomis
dari posisi banking book, yang disebabkan oleh
perubahan suku bunga.
Dalam kategori Risiko suku bunga termasuk pula Risiko
suku bunga dari posisi banking book yang antara lain
meliputi repricing risk, yield curve risk, basis risk, dan
optionality risk.
Yang dimaksud dengan “Risiko nilai tukar” adalah Risiko
akibat perubahan nilai posisi trading book dan banking
- 4 -
book yang disebabkan oleh perubahan nilai tukar valuta
asing atau perubahan harga emas.
Yang dimaksud dengan “Risiko komoditas” adalah Risiko
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
trading book dan banking book yang disebabkan oleh
perubahan harga komoditas.
Yang dimaksud dengan “Risiko ekuitas” adalah Risiko
akibat perubahan harga instrumen keuangan dari posisi
trading book yang disebabkan oleh perubahan harga
saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Risiko Hukum timbul antara lain karena ketiadaan
peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat
sahnya kontrak atau pengikatan agunan yang tidak
sempurna.
Huruf f
Risiko Reputasi timbul antara lain karena adanya
pemberitaan media dan/atau rumor mengenai Bank
yang bersifat negatif, serta adanya strategi komunikasi
Bank yang kurang efektif.
Huruf g
Risiko Stratejik timbul antara lain karena Bank
menetapkan strategi yang kurang sejalan dengan visi
dan misi Bank, melakukan analisis lingkungan stratejik
yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat
ketidaksesuaian rencana stratejik (strategic plan) antar
level stratejik. Selain itu, Risiko Stratejik juga timbul
karena kegagalan dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis mencakup kegagalan dalam
mengantisipasi perubahan teknologi, perubahan kondisi
ekonomi makro, dinamika kompetisi di pasar, dan
perubahan kebijakan otoritas terkait.
- 5 -
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Termasuk dalam kebijakan dan strategi Manajemen
Risiko adalah penetapan dan persetujuan limit Risiko
baik Risiko secara keseluruhan (composite), per jenis
Risiko, maupun per aktivitas fungsional.
Kebijakan dan strategi Manajemen Risiko disusun paling
sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi
yang lebih tinggi dalam hal terdapat perubahan
faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha Bank
secara signifikan.
Huruf b
Termasuk tanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan
Manajemen Risiko adalah:
1. mengevaluasi dan memberikan arahan berdasarkan
laporan yang disampaikan oleh satuan kerja
Manajemen Risiko; dan
2. penyampaian laporan pertanggungjawaban kepada
Dewan Komisaris secara triwulanan.
Huruf c
Transaksi yang memerlukan persetujuan Direksi antara
lain transaksi yang telah melampaui kewenangan pejabat
Bank satu tingkat di bawah Direksi, sesuai dengan
kebijakan dan prosedur intern Bank yang berlaku.
Huruf d
Pengembangan budaya Manajemen Risiko antara lain
meliputi komunikasi yang memadai kepada seluruh
jenjang organisasi tentang pentingnya pengendalian
intern yang efektif.
- 6 -
Huruf e
Peningkatan kompetensi sumber daya manusia antara
lain melalui program pendidikan dan pelatihan secara
berkesinambungan mengenai penerapan Manajemen
Risiko.
Huruf f
Yang dimaksud dengan independen antara lain adanya
pemisahan fungsi antara satuan kerja Manajemen Risiko
yang melakukan identifikasi, pengukuran, dan
pemantauan Risiko dengan satuan kerja yang
melakukan dan menyelesaikan transaksi.
Huruf g
Kaji ulang secara berkala antara lain dimaksudkan
untuk mengantisipasi jika terjadi perubahan faktor
eksternal dan faktor internal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Evaluasi kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan
Komisaris paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
atau frekuensi yang lebih tinggi dalam hal terdapat
perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan usaha
Bank secara signifikan.
Huruf b
Evaluasi pertanggungjawaban Direksi atas pelaksanaan
kebijakan Manajemen Risiko dilakukan oleh Dewan Komisaris
paling sedikit secara triwulanan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “transaksi yang memerlukan
persetujuan Dewan Komisaris” adalah transaksi yang telah
melampaui kewenangan Direksi untuk memutuskan
transaksi, sesuai dengan kebijakan dan prosedur intern Bank
yang berlaku.
- 7 -
Pasal 8
Kebijakan Manajemen Risiko ditetapkan antara lain dengan cara
menyusun strategi Manajemen Risiko untuk memastikan bahwa:
a. Bank tetap mempertahankan eksposur Risiko sesuai
kebijakan dan prosedur intern Bank dan peraturan
perundang-undangan serta ketentuan lain; dan
b. Bank dikelola oleh sumber daya manusia yang memiliki
pengetahuan, pengalaman, dan keahlian di bidang
Manajemen Risiko sesuai kompleksitas usaha Bank.
Penyusunan strategi Manajemen Risiko dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi keuangan Bank, organisasi Bank, dan
Risiko yang timbul sebagai akibat perubahan faktor eksternal dan
faktor internal.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Toleransi Risiko merupakan potensi kerugian yang dapat
diserap oleh permodalan Bank.
Huruf d
Penetapan penilaian peringkat Risiko merupakan dasar bagi
Bank untuk mengategorikan peringkat Risiko Bank.
Peringkat Risiko bagi Bank dikategorikan menjadi 5 (lima)
peringkat, yaitu:
1. Peringkat 1 (Low);
2. Peringkat 2 (Low to Moderate);
3. Peringkat 3 (Moderate);
4. Peringkat 4 (Moderate to High); dan
5. Peringkat 5 (High).
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
- 8 -
Pasal 9
Ayat (1)
Tingkat
Risiko yang akan diambil (risk appetite)
memperhatikan pengalaman yang dimiliki Bank dalam
mengelola Risiko.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengertian secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun atau frekuensi yang lebih tinggi,
sesuai jenis Risiko, kebutuhan, dan perkembangan
Bank.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “dokumentasi yang memadai”
adalah dokumentasi yang tertulis, lengkap, dan
memudahkan untuk dilakukan jejak audit (audit trail)
untuk keperluan pengendalian intern Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko” adalah berbagai
parameter yang mempengaruhi eksposur Risiko.
Yang dimaksud dengan “faktor-faktor Risiko (risk factors)
yang bersifat material” adalah faktor-faktor Risiko baik
kuantitatif maupun kualitatif yang berpengaruh secara
signifikan terhadap kondisi keuangan Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Proses identifikasi Risiko antara lain dapat didasarkan pada
pengalaman kerugian Bank yang pernah terjadi.
- 9 -
Ayat (2)
Untuk memperkirakan Risiko, Bank dapat menggunakan
berbagai pendekatan, baik kualitatif maupun kuantitatif,
disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas usaha, dan
kemampuan Bank.
Huruf a
Pengertian secara berkala paling sedikit secara
triwulanan atau frekuensi yang lebih tinggi, sesuai
dengan perkembangan usaha Bank dan kondisi
eksternal yang langsung mempengaruhi kondisi Bank.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perubahan yang bersifat
material” adalah perubahan kegiatan usaha Bank,
produk, transaksi, dan/atau faktor Risiko, yang dapat
mempengaruhi kondisi keuangan Bank.
Ayat (3)
Huruf a
Evaluasi terhadap eksposur Risiko dilakukan dengan
cara pemantauan dan pelaporan Risiko yang bersifat
material atau yang berdampak kepada kondisi
permodalan Bank, yang antara lain didasarkan atas
penilaian potensi Risiko dengan menggunakan historical
trend.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengendalian Risiko dapat dilakukan antara lain dengan cara
lindung nilai, metode mitigasi Risiko, dan penambahan modal
untuk menyerap potensi kerugian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Laporan atau informasi eksposur Risiko mencakup
eksposur kuantitatif dan kualitatif, secara keseluruhan
- 10 -
(composite) maupun rincian per jenis Risiko dan per jenis
aktivitas fungsional.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan atau informasi yang disampaikan kepada Direksi
dapat ditingkatkan frekuensinya sesuai kebutuhan Bank.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Informasi keuangan dan manajemen yang lengkap,
akurat, tepat guna, dan tepat waktu diperlukan dalam
rangka pengambilan keputusan yang tepat dan dapat
dipertanggungjawabkan, serta dikomunikasikan kepada
pihak yang berkepentingan.
Huruf c
Efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasional
antara lain diperlukan untuk melindungi aset dan
sumber daya Bank lainnya dari Risiko terkait.
Huruf d
Efektivitas budaya Risiko (risk culture) dimaksudkan
untuk mengidentifikasi kelemahan dan penyimpangan
secara lebih dini dan menilai kembali kewajaran
kebijakan dan prosedur yang ada pada Bank secara
berkesinambungan.
- 11 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Huruf a
Komite Manajemen Risiko harus bersifat non-struktural.
Huruf b
Satuan kerja Manajemen Risiko harus bersifat struktural.
Pasal 17
Ayat (1)
Keanggotaan komite Manajemen Risiko dapat berupa
keanggotaan tetap dan tidak tetap, sesuai kebutuhan Bank.
Huruf a
Salah satu anggota dari mayoritas Direksi dalam komite
Manajemen Risiko adalah direktur yang membawahkan
fungsi kepatuhan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah
pejabat yang bertanggung jawab langsung kepada
Direksi atau mempunyai pengaruh yang signifikan
terhadap kebijakan atau operasional Bank.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Termasuk dalam keputusan bisnis yang menyimpang
dari prosedur normal antara lain pelampauan ekspansi
usaha yang signifikan dibandingkan rencana bisnis Bank
dan pengambilan posisi atau eksposur Risiko yang
menyimpang dari limit yang telah ditetapkan.
- 12 -
Pasal 18
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan agar Bank dapat menentukan
struktur organisasi yang tepat dan sesuai kondisi Bank,
termasuk kemampuan keuangan dan sumber daya manusia.
Ayat (2)
Pengertian independen antara lain tercermin dari adanya:
a. pemisahan fungsi dan tugas antara satuan kerja
Manajemen Risiko dengan satuan kerja operasional (risk-
taking unit) dan satuan kerja yang melaksanakan fungsi
pengendalian intern; dan
b. proses pengambilan keputusan yang tidak memihak atau
menguntungkan satuan kerja operasional tertentu atau
mengabaikan satuan kerja operasional lainnya.
Ayat (3)
Mengingat ukuran dan kompleksitas usaha Bank yang
berbeda, satuan kerja Manajemen Risiko dapat bertanggung
jawab langsung kepada direktur yang ditugaskan secara
khusus oleh Bank seperti direktur yang membawahkan fungsi
kepatuhan atau direktur Manajemen Risiko.
Istilah direktur utama dapat dipersamakan dengan presiden
direktur.
Ayat (4)
Wewenang dan tanggung jawab satuan kerja Manajemen
Risiko disesuaikan dengan tujuan usaha, kompleksitas
usaha, dan kemampuan Bank.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Stress testing dilakukan guna mengetahui dampak dari
implementasi kebijakan dan strategi Manajemen Risiko
terhadap kinerja dan pendapatan masing-masing satuan
kerja operasional atau aktivitas fungsional Bank.
Huruf c
Kaji ulang antara lain dilakukan berdasarkan temuan
audit intern dan/atau perkembangan praktek-praktek
Manajemen Risiko yang berlaku secara internasional.
- 13 -
Huruf d
Termasuk dalam pengkajian adalah penilaian
kemampuan Bank untuk melakukan aktivitas dan/atau
produk baru dan kajian usulan perubahan sistem dan
prosedur.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Rekomendasi antara lain memuat rekomendasi yang
terkait dengan besaran atau maksimum eksposur Risiko
yang wajib dipelihara oleh Bank.
Huruf g
Profil Risiko merupakan gambaran secara menyeluruh
atas besarnya potensi Risiko yang melekat pada seluruh
portofolio atau eksposur Bank.
Frekuensi penyampaian laporan ditingkatkan dalam hal
kondisi pasar berubah dengan cepat. Untuk eksposur
Risiko yang berubah relatif lama, seperti Risiko Kredit,
penyampaian laporan disampaikan paling sedikit 1 (satu)
kali dalam 1 (satu) bulan.
Pasal 19
Frekuensi penyampaian informasi eksposur Risiko disesuaikan
dengan karakteristik jenis Risiko.
Termasuk dalam definisi satuan kerja operasional (risk-taking unit)
antara lain satuan kerja perkreditan, treasuri, dan pendanaan.
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “produk Bank” adalah instrumen
keuangan yang diterbitkan oleh Bank.
Yang dimaksud dengan “aktivitas Bank” adalah jasa yang
disediakan oleh Bank kepada nasabah, antara lain jasa
keagenan dan/atau kustodian.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
- 14 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Masa uji coba dimaksudkan untuk memastikan bahwa
metode pengukuran dan pemantauan Risiko telah teruji.
Huruf d
Sistem
informasi
akuntansi paling kurang
menggambarkan profil Risiko dan tingkat keuntungan
maupun kerugian untuk produk atau aktivitas baru
secara akurat.
Huruf e
Analisa aspek hukum mencakup kemungkinan adanya
Risiko Hukum yang ditimbulkan oleh produk atau
aktivitas baru serta kesesuaian dengan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Aspek-aspek dalam menerapkan transparansi informasi
kepada nasabah memperhatikan paling sedikit:
1. informasi yang disampaikan lengkap, benar, dan
tidak menyesatkan nasabah;
2. informasi yang berimbang antara potensi manfaat
yang mungkin diperoleh dengan Risiko yang
mungkin timbul bagi nasabah; dan
3. informasi yang disampaikan tidak menyamarkan,
mengurangi, atau menutupi hal-hal yang penting
terkait dengan Risiko yang mungkin timbul.
Ayat (3)
Huruf a
Termasuk dalam kriteria tidak pernah diterbitkan atau
dilakukan sebelumnya adalah produk atau aktivitas yang
telah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank lain namun
belum pernah diterbitkan atau dilakukan oleh Bank yang
bersangkutan.
Huruf b
Perubahan eksposur Risiko dalam pengaturan ini tidak
mencakup perubahan eksposur Risiko yang terkait
produk atau aktivitas konvensional seperti giro,
- 15 -
tabungan, deposito, kredit, produk derivatif yang bersifat
plain vanilla, dan aktivitas kustodian.
Pasal 21
Termasuk dalam kategori tindakan menyetujui adalah mengetahui
namun tidak melarang atau membiarkan terjadinya pemasaran
produk atau aktivitas yang bukan merupakan produk atau
aktivitas Bank dengan menggunakan sarana atau fasilitas Bank
oleh pengurus dan/atau pegawai.
Pasal 22
Cakupan transparansi informasi yang perlu diungkapkan kepada
nasabah mengacu pada ketentuan yang mengatur mengenai
transparansi informasi produk Bank. Selain itu transparansi
informasi juga mencakup prosedur, skim, dan materi yang perlu
diungkapkan, seperti karakteristik produk atau aktivitas, Risiko,
serta hak dan kewajiban nasabah.
Pasal 23
Ayat (1)
Laporan profil Risiko memuat antara lain informasi tentang
tingkat dan tren seluruh eksposur Risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Laporan profil Risiko disajikan secara komparatif dengan
posisi triwulan sebelumnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 16 -
Ayat (2)
Produk atau aktivitas baru yang wajib dilaporkan mencakup
seluruh produk atau aktivitas baru sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (3).
Laporan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru paling sedikit memuat hal-hal yang ditetapkan
dalam Pasal 20 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Rencana penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas baru
dicantumkan dalam rencana bisnis Bank untuk tahun yang
sama dengan rencana penerbitan produk atau pelaksanaan
aktivitas baru.
Ayat (5)
Evaluasi Otoritas Jasa Keuangan mencakup antara lain aspek
kesiapan Bank, penerapan Manajemen Risiko, transparansi
informasi produk, dan perlindungan nasabah.
Ayat (6)
Huruf a
Ketidaksesuaian tersebut meliputi antara lain prosedur,
skim, karakteristik produk atau aktivitas, Risiko serta
hak dan kewajiban nasabah.
Huruf b
Kondisi yang berpotensi menimbulkan kerugian yang
signifikan terhadap kondisi keuangan Bank antara lain
dapat disebabkan oleh Risiko Reputasi dan Risiko Pasar
dari penerbitan produk atau pelaksanaan aktivitas Bank.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
- 17 -
Ayat (2)
Laporan terkait penerapan Manajemen Risiko meliputi antara
lain laporan proyeksi arus kas dan laporan profil maturitas
dalam rangka penerapan Manajemen Risiko untuk Risiko
Likuiditas.
Laporan terkait aktivitas tertentu meliputi antara lain laporan
pelaksanaan keagenan reksadana dan/atau laporan
pelaksanaan kegiatan bancassurance.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Penilaian terhadap Manajemen Risiko Bank termasuk penilaian
Risiko yang melekat (inherent risk) dan kecukupan sistem
pengendalian Risiko (risk control system).
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja Manajemen Risiko merupakan hasil penerapan
Manajemen Risiko untuk periode awal tahun (bulan Januari)
sampai dengan akhir tahun (bulan Desember) termasuk profil
Risiko, sedangkan arah kebijakan Manajemen Risiko
merupakan arah dan strategi Manajemen Risiko periode
1 (satu) tahun ke depan.
- 18 -
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hari” adalah hari kerja.
Ayat (2)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa
denda dalam ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bank yang telah dikenakan sanksi administratif berupa
denda pada ayat ini tidak dikenakan sanksi keterlambatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5861
| <reg_type> POJK </reg_type>
<reg_id> 18/POJK.03/2016 </reg_id>
<reg_title> PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM </reg_title>
<set_date> 16 Maret 2016 </set_date>
<effective_date> 22 Maret 2016 </effective_date>
<issued_date> 22 Maret 2016 </issued_date>
<replaced_reg> '11/25/PBI/2009', '5/8/PBI/2003' </replaced_reg>
<related_reg> '21/UU/2011', '10/UU/1998', '7/UU/1992' </related_reg>
<penalty_list> 'BAB XI' </penalty_list>
|