0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Keluarga saya mempunyai kasus sengketa tanah. Pada tingkat pertama (PN) dan kedua (PT) pihak kami menang namun pada tingkat kasasi kami kalah. Pertanyaannya adalah: 1. Apakah benar alasan PK hanya satu saja dan tidak boleh lebih, sedangkan kami mempunyai 2 alasan PK yaitu adanyanya novum dan adanya kehilafan hakim? 2. Apakah benar yang dijadikan novum harus ditemukan kurang dari 180 hari sebelum pernyataan PK? 3. Apakah benar novum harus disumpah mengenai kapan, di mana dan oleh siapa ditemukannya, oleh pejabat serendah-rendahnya adalah Camat? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Peninjauan Kembali (“PK”) merupakan salah satu bentuk upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Adapun landasan filosofis yang terkandung dalam upaya hukum luar biasa PK ini ialah untuk memberikan rasa keadilan terhadap pihak-pihak yang berkepentingan, dengan jalan membuka kembali perkara yang telah diputus oleh pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. KLINIK TERKAIT Aturan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) Perkara Perdata 26 Jul 2022 KUHAP Sebagai \"Tertib Acara\"? 22 Jul 2010 Alasan-alasan yang dapat dipakai dalam mengajukan PK , diatur di dalam Pasal 67 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 , yakni : “ Pasal 67 Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan ; c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut; d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain; f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.” Adapun alasan-alasan yang dapat diajukan dalam PK sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 67 UU MA ini tidak bersifat kumulatif . Artinya, tidak diwajibkan semua alasan harus terpenuhi baru bisa diajukan PK . Apabila hanya terdapat salah satu alasan saja yang terpenuhi dalam Pasal 67, maka hal tersebut sudah dapat dijadikan alasan untuk mengajukan PK. Oleh karena itu, jika Anda memiliki surat-surat bukti baru serta mengetahui tentang adanya kekhilafan hakim, maka kedua alasan tersebut dapat diajukan sekaligus sebagai alasan PK Anda. Sedangkan, yang dimaksud dengan novum apabila dilihat berdasarkan pengertian “Kamus Besar Bahasa Indonesia” ialah “alasan atau peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul (ditemukan) dari suatu masalah yang sedang diperkarakan; bukti-bukti baru.” Sementara, definisi novum menurut “Kamus Hukum” terbitan Aksara Baru ialah “alasan/peristiwa yang baru dikemukakan atau baru muncul di kemudian hari”. Di dalam proses PK perkara perdata, definisi novum dapat dilihat pada rumusan Pasal 67 huruf b UU MA yakni “ apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan ” 2. Jangka waktu pengajuan PK yang didasarkan pada adanya novum dapat dilihat pada ketentuan Pasal 69 UU MA : “Pasal 69 Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk : a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang; c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara; d. yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.” Dari pengertian Pasal 69 UU MA tersebut dapat dilihat bahwa tenggang waktu dalam mengajukan novum ialah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditemukannya surat-surat bukti, yang mana tanggal dan hari ditemukannya itu harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat berwenang . 3. Dalam pengajuan novum ini, sesuai dengan ketentuan Pasal 69 huruf b UU MA , maka surat-surat yang diajukan sebagai bukti baru tersebut (novum) harus terlebih dahulu dinyatakan di bawah sumpah serta disahkan oleh pejabat yang berwenang mengenai hari dan tanggal ditemukannya surat-surat tersebut. Menurut Yahya Harahap, S.H. di dalam buku “Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata”, pengertian pejabat yang berwenang dapat diklasifikasi sebagai pejabat yang memangku jabatan pemerintah umum, maupun pejabat yang bertugas di bidang tertentu. Misalnya, camat atau kepala desa dapat dikategorikan sebagai pejabat yang berwenang untuk mengesahkan pernyataan sumpah pemohon PK atas penemuan surat bukti, sepanjang surat bukti tersebut ada kaitan dan korelasinya dengan fungsi dan kewenangan pejabat tersebut (jika surat tersebut merupakan surat yang diterbitkan oleh camat atau kepala desa misalnya). Atau bisa juga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai pejabat yang berwenang membuat akta atas tanah, pejabat KUA yang membuat akta nikah, dan juga terhadap Hakim dan Panitera, di hadapan mereka dapat dinyatakan sumpah dan pengesahan walaupun surat bukti yang bersangkutan tidak ada kaitannya dengan fungsi mereka. Jadi, kurang tepat jika dikatakan pejabat yang berwenang untuk memberi pengesahan dan sumpah tentang hari dan tanggal ditemukannya novum minimal harus berstatus sebagai Camat. Karena Perangkat daerah seperti Lurah ( Pasal 120 ayat (2) jo . Pasal 127 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah /“UU Pemda” sebagaimana dua kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008 ) maupun perangkat desa seperti kepala desa ( Pasal 202 UU Pemda ) pun bisa memberi pengesahan dan sumpah terhadap novum tersebut, sepanjang novum tersebut memang berkaitan dengan fungsi dan kewenangan pejabat tersebut. Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga membantu menjawab permasalahan Anda. Terima Kasih. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UU No. 3 Tahun 2009 2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2008"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah aset yang dimiliki oleh BUM Desa termasuk dalam aset desa? Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami jelaskan terlebih dahulu pengertian desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Indonesia.[1]\n\nApa yang dimaksud dengan aset desa? Desa sendiri memiliki aset desa yaitu barang milik desa yang berasal dari kekayaan asli desa, dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja desa (“APBDesa”) atau perolehan hak lainnya yang sah.[2]\nApa saja yang termasuk dalam aset desa? Aset desa dapat berupa tanah kas desa, tanah ulayat, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan, pelelangan hasil pertanian, hutan milik desa, mata air milik desa, pemandian umum, dan aset lainnya milik desa.[3]\n\nSementara itu, aset lainnya milik desa antara lain:[4]\n\nkekayaan desa yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta APBDesa;kekayaan desa yang diperoleh dari hibah dan sumbangan atau yang sejenis;kekayaan desa yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak dan lain-lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;hasil kerja sama desa; dankekayaan desa yang berasal dari perolehan lainnya yang sah.\n\nSedangkan yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Desa (“BUM Desa”) adalah badan hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan, dan/atau menyediakan jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat desa.[5]\n\nBUM Desa memiliki aset BUM Desa yang mana pengertiannya terdapat dalam Pasal 1 angka 14 PP 11/2011 yaitu harta atau kekayaan milik BUM Desa, baik yang berupa uang maupun benda lain yang dapat dinilai dengan uang baik berwujud ataupun tidak berwujud, sebagai sumber ekonomi yang diharapkan memberikan manfaat atau hasil.\n\nAdapun sumber-sumber aset BUM Desa pun adalah dari:[6]\n\npenyertaan modal;bantuan tidak mengikat termasuk hibah;hasil usaha;pinjaman; dan/atausumber lain yang sah.\n\nSumber aset BUM Desa juga dapat dari bantuan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau pihak lain yang tidak mengikat, dan menjadi aset BUM Desa.[7]\n\nMengenai penyertaan modal desa dapat dilakukan untuk modal awal pendirian dan/atau penambahan modal BUM Desa, berupa uang dan/atau barang selain tanah dan bangunan yang mana dibahas dan diputuskan dalam musyawarah desa.[8]\nAset BUM Desa = Aset Desa?\n\nKemudian menjawab pertanyaan, perlu Anda ketahui bahwa bisa jadi BUM Desa seluruh atau sebagian besar modalnya diperoleh melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan.[9] Kekayaan desa yang dipisahkan berarti neraca dan pertanggungjawaban pengurusan BUM Desa dipisahkan dari neraca dan pertanggungjawaban pemerintah desa.[10]\n\nDengan demikian, aset BUM Desa dan aset desa tidaklah sama. Aset BUM Desa dimiliki oleh BUM Desa, sedangkan aset desa dimiliki oleh desa. Kedua aset tersebut merupakan aset yang terpisah dan dimiliki oleh masing-masing entitas.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8c12d3ce4a/undang-undang-nomor-6-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2014)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53a7ff51a08a7/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_43_2014)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt6032152802a21/peraturan-pemerintah-nomor-11-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_11_2021)\n[1] Pasal 117 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“Perppu Ciptaker”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”)[2] Pasal 117 angka 1 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 1 angka 11 UU Desa[3] Pasal 76 ayat (1) UU Desa[4] Pasal 76 ayat (2) UU Desa[5] Pasal 117 angka 1 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 1 angka 6 UU Desa[6] Pasal 45 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (“PP 11/2021”)[7] Pasal 47 ayat (1) dan (2) PP 11/2021[8] Pasal 41 ayat (1), (2), dan (4) PP 11/2021[9] Pasal 1 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (“PP 43/2014”)[10] Penjelasan Pasal 135 ayat (3) PP 43/2014"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya membeli sebuah barang secara online, tetapi pada saat sampai barangnya tidak sesuai dengan ekspektasi. Saya ingin melakukan refund pada penjual, tetapi kata penjualnya barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Padahal sebelumnya tidak ada disepakati seperti ini dan juga ternyata teman saya pernah melakukan refund pada penjual yang sama. Saya merasa dibeda-bedakan. Bisakah saya menuntut penjual tersebut mengingat saya sudah rugi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan pernyataan Anda, kami berasumsi bahwa arti refund barang yang Anda maksud yaitu Anda ingin mengembalikan barang tersebut dan meminta uang Anda kembali.\nPenting untuk diketahui apabila jual-beli dilakukan melalui platform belanja daring, setiap platform memiliki kebijakan refund yang berbeda. Dalam konteks ini, cara refund barang di Shopee, pasti akan berbeda dengan cara refund barang di Lazada, Tokopedia, atau e-commerce lainnya.\n\nUmumnya, setiap e-commerce memiliki layanan untuk mengadukan masalah pelanggan, termasuk halnya keluhan perihal refund. Anda dapat menanyakan apakah kebijakan barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan ini benar berlaku di penjual tersebut dan meminta platform untuk melakukan mediasi.\n\nNamun, jika proses jual-beli dilakukan secara langsung kepada penjual, kebijakan refund sebagaimana diterangkan mungkin tidak berlaku. Oleh karenanya, mari simak lebih lanjut perihal hak Anda sebagai konsumen.\nHak Konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen\n\nPenting juga untuk diketahui bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.[1]\n\nSehubungan dengan definisi tersebut, penjual dapat disebut dengan pelaku usaha. Sementara, Anda sebagai orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan disebut dengan konsumen.[2]\n\nAdapun hak konsumen dalam UU Perlindungan Konsumen, antara lain:[3]\n\nhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya.[4]hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; danhak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.\n\nDi sisi lain, pelaku usaha juga dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.[5]\n\nDari sini perlu dicermati “barang tidak sesuai ekspektasi/harapan” yang Anda maksud ini seperti apa. Jika sebelumnya Anda telah melihat informasi keterangan barang dalam katalog berupa merek, bentuk, warna, model, atau kondisi-kondisi spesifik lainnya, kemudian barang yang datang memang sesuai dengan informasi katalog, menurut hemat kami tidak ada alasan bagi Anda untuk meminta ganti rugi atau refund. Dengan kata lain, benar adanya bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan.\n\nAkan tetapi, jika ternyata merek, bentuk, warna, model, atau kondisi-kondisi spesifik lainnya perihal barang itu tidak sesuai dengan informasi katalog online, maka Anda sebagai konsumen bisa menuntut kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Anda dapat mempertanyakan mengapa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan, pasalnya Anda sebagai konsumen berhak mendapatkan barang yang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.\nKewajiban Pelaku Usaha\n\nMenyorot keterangan Anda soal penjual yang memperlakukan Anda dan teman Anda (yang sama-sama pembeli) secara berbeda, pada dasarnya pelaku usaha berkewajiban untuk:[6]\n\nberiktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; danmemberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.\n\nTindakan penjual yang membeda-bedakan pelayanan dengan memberikan ketentuan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan pada Anda seorang merupakan tindakan yang diskriminatif.\n\nSelain itu, sejalan dengan kewajiban pelaku usaha sebagaimana telah diuraikan di atas, pelaku usaha bertanggung jawab memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian.[7]\n\nGanti rugi yang dimaksud dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya.[8]\nKetentuan Klausula Baku\n\nKemudian, jika ada ketentuan dari penjual berupa “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan/ditukarkan”, tercantum dalam (misalnya) website si penjual, hal tersebut merupakan bentuk klausula baku.\n\nKlausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.[9]\n\nLarangan pengusaha mencantumkan klausula baku ini terdapat dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:\n\nPelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:\n\nmenyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.\n\nPelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.[10]\n\nSetiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang dilarang di atas maka dapat dinyatakan batal demi hukum.[11] Artinya, dari semula dianggap tidak pernah dianggap ada klausula baku tersebut.\n\nJadi jika penjual membuat ketentuan bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan, maka hal tersebut merupakan klausula baku yang dilarang undang-undang.\nSanksi Bagi Pelaku Usaha\n\nPelaku usaha yang mencantumkan klausula baku maupun pelaku usaha yang memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang tersebut diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[12]\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami perihal ketentuan barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.\n\n[1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”)[2] Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen[3] Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen[4] Penjelasan Pasal 4 huruf g UU Perlindungan Konsumen[5] Pasal 8 ayat (1) huruf f UU Perlindungan Konsumen[6] Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen[7] Pasal 7 huruf g UU Perlindungan Konsumen[8] Pasal 19 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen[9] Pasal 1 angka 10 UU Perlindungan Konsumen[10] Pasal 18 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen[11] Pasal 18 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen[12] Pasal 62 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (1) huruf f dan Pasal 18 UU Perlindungan Konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah benar saat ini untuk menjadi dosen harus berpendidikan minimal S3?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan penelusuran kami, pengaturan yang relevan berkaitan dengan kualifikasi pendidikan minimal seorang dosen pada dasarnya tersebar pada beberapa peraturan perundang-undangan. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU Dikti”) . Tugas Dosen Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. [1] Dosen sebagai anggota sivitas akademika memiliki tugas mentransformasikan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi yang dikuasainya kepada mahasiswa dengan mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran sehingga mahasiswa aktif mengembangkan potensinya. sementara sebagai ilmuwan , dosen bertugas mengembangkan suatu cabang ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Adapun sebagai perseorangan atau berkelompok , ia wajib menulis buku ajar atau buku teks, yang diterbitkan oleh perguruan tinggi dan/atau publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar dan untuk pengembangan budaya akademik serta pembudayaan kegiatan baca tulis bagi sivitas akademika. [2] Kualifikasi Pendidikan Dosen Menurut UU Dikti Berdasarkan Program Pendidikan Masing-masing jenjang pendidikan pada perguruan tinggi mensyaratkan kualifikasi yang berbeda bagi dosen-dosennya,yaitu: Program sarjana wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program magister atau sederajat. [3] Ketentuan yang sama berlaku bagi program diploma . [4] Program magister dan doktor wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat. [5] Ketentuan yang sama berlaku bagi program magister terapan dan doktor terapan . [6] Program profesi , dosen diwajibkan memiliki kualifikasi akademik minimum lulusan program profesi dan/atau lulusan program magister atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat dua tahun. [7] Program spesialis wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik minimum lulusan program spesialis dan/atau lulusan program doktor atau yang sederajat dengan pengalaman kerja paling singkat dua tahun. [8] Pengangkatan Dosen Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan dan penempatan dosen dan tenaga kependidikan oleh badan penyelenggara dilakukan berdasarkan perjanjian kerja atau kesepakatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan penyelenggara wajib memberikan gaji pokok serta tunjangan kepada dosen dan tenaga kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri dapat menugasi dosen yang diangkat oleh pemerintah di Perguruan Tinggi Negeri (“PTN”) untuk peningkatan mutu pendidikan tinggi. Pemerintah memberikan insentif kepada dosen. [9] Pemimpin PTN dapat mengangkat dosen tetap sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi atas persetujuan pemerintah. PTN memberikan gaji pokok dan tunjangan kepada dosen tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah memberikan tunjangan jabatan akademik, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan kehormatan kepada Dosen tetap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [10] Polemik Dosen dengan Kualifikasi Minimal S3 Kebijakan yang menetapkan kualifikasi Pendidikan minimal S3 yang Anda maksud sendiri dapat ditemukan dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 tentang Jabatan Dokter, Dokter Gigi, Dokter Pendidik Klinis, Dosen, Peneliti, dan Perekayasa sebagai Jabatan Tertentu dengan Batas Usia Pelamar Paling Tinggi 40 (Empat Puluh) Tahun (Keppres 17/2019) . Menariknya, Keppres tersebut sama sekali tidak merujuk pada UU Dikti. Peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dari Keppres 17/2019 sendiri adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) . [11] Peraturan tersebut menetapkan bahwa dosen termasuk jabatan dengan usia pelamar paling tinggi 40 tahun. [12] Bagian Ketiga Keppres 17/2019 kemudian menyatakan: Untuk jabatan Dosen, Peneliti, dan Perekayasa sebagaimana Diktum PERTAMA angka 4, angka 5, dan angka 6 dengan kualifikasi pendidikan Strata 3 (Doktor) . Penyusunan kriteria-kriteria pelamar untuk jabatan dosen dengan usia paling tinggi 40 tahun tersebut lebih lanjut diserahkan kepada Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. [13] Menurut hemat kami, ketentuan Bagian Ketiga Keppres 17/2019 tersebut dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengecualian bagi mereka yang telah memiliki gelar S3, sehingga tetap diperbolehkan untuk melamar sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) hingga usia 40 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 23 ayat (2) PP 11/2017 , yang berbunyi: Batas usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dikecualikan bagi Jabatan tertentu, yaitu paling tinggi 40 (empat puluh) tahun. Jenis jabatan yang dikecualikan tersebut kemudian ditetapkan oleh Presiden. [14] Ketentuan inilah yang secara spesifik dirujuk oleh Keppres 17/2019. [15] Dengan demikian, menurut hemat kami, sampai sejauh ini belum terdapat pengecualian yang tegas bagi lulusan S2 atau magister untuk melamar sebagai dosen. Keppres tersebut justru memberikan rentang usia yang lebih luas bagi pelamar profesi dosen, sepanjang yang bersangkutan menyandang gelar S3. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 tentang Jabatan Dokter, Dokter Gigi, Dokter Pendidik Klinis, Dosen, Peneliti, dan Perekayasa sebagai Jabatan Tertentu dengan Batas Usia Pelamar Paling Tinggi 40 (Empat Puluh) Tahun [1] Pasal 1 angka 14 UU Dikti [2] Pasal 12 UU Dikti [3] Pasal 18 ayat (3) UU Dikti [4] Pasal 21 ayat (4) UU Dikti [5] Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3) UU Dikti [6] Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU Dikti [7] Pasal 24 ayat (4) UU Dikti [8] Pasal 25 ayat (4) UU Dikti [9] Pasal 70 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) UU Dikti [10] Pasal 71 ayat (1), (2), dan (3) UU Dikti [11] Bagian Mengingat Keppres 17/2019 [12] Bagian Pertama Keppres 17/2019 [13] Bagian Keempat vide Bagian Pertama Keppres 17/2019 [14] Pasal 23 ayat (3) PP 11/2017 [15] Bagian Menimbang huruf a Keppres 17/2019 perguruan tinggi hukumonline google gelar sarjana universitas hukum klinik ptn doktor klinik hukumonline pendidikan dan kebudayaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Benarkah ada kartu nikah yang akan menggantikan buku nikah? Apa dasar hukum kartu nikah itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Kartu nikah diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan yang berarti buku pencatatan perkawinan dalam bentuk kartu elektronik. Penerbitan kartu nikah sebagai konsekuensi logis dari pengembangan sistem aplikasi manajemen pernikahan (Simkah). Kartu perkawinan (kartu nikah) tidak menggantikan buku pencatatan perkawinan (buku nikah) . Karena pada dasarnya baik itu buku pencatatan perkawinan (buku nikah) maupun kartu perkawinan (kartu nikah), keduanya sama-sama merupakan buku pencatatan perkawinan, bedanya adalah kartu nikah adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk elektronik. Selain itu kedua hal tersebut diperoleh pasangan suami istri yang mencatatkan perkawinan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pencatatan Perkawinan dan Buku Nikah Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Selain itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. [1] Dijelaskan dalam bagian P enjelasan U mum UU Perkawinan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat. Kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) lebih lanjut mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 34 ayat (1) UU 23/2006 yang menyakatan bahwa: Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan. Berdasarkan laporan tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan . Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud masing-masing diberikan kepada suami dan istri. [2] Pencatatan perkawinan dalam akta perkawinan dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan. [3] Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan (“Permenag 19/2018”) akta perkawinan atau akta nikah adalah akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan. Setelah perkawinan dicatatkan, pasangan yang menikah akan diberikan buku nikah atau buku pencatatan perkawinan . [4] Buku pencatatan perkawinan adalah kutipan akta perkawinan. [5] Apakah Kartu Nikah Menggantikan Buku Nikah? Pasangan suami istri memperoleh buku pencatatan perkawinan (buku nikah) dan kartu perkawinan (kartu nikah) . [6] Kartu nikah atau kartu perkawinan adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk kartu elektronik. [7] Menjawab pertanyaan Anda , berdasarkan penjelasan tersebut kartu perkawinan (kartu nikah) tidak menggantikan buku pencatatan perkawinan (buku nikah) . Karena pada dasarnya baik itu buku pencatatan perkawinan (buku nikah) maupun kartu perkawinan (kartu nikah), keduanya sama-sama merupakan buku pencatatan perkawinan, bedanya adalah kartu nikah adalah buku pencatatan perkawinan dalam bentuk elektronik. Selain itu, kedua hal tersebut diperoleh pasangan suami istri yang mencatatkan perkawinan. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan pendaftaran, pemeriksaan, dan pencatatan perkawinan dan rujuk melalui aplikasi sistem informasi manajemen perkawinan, dibutuhkan formulir diantaranya adalah akta perkawinan, buku pencatatan perkawinan, kartu perkawinan. [8] Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Agama , Lukman Hakim Saifuddin dalam artikel Menimbang Urgensi Penerbitan Kartu Nikah , Lukman membantah tudingan bahwa kartu nikah ini bakal menghapus atau menggantikan keberadaan buku nikah . Sebaliknya, penerbitan kartu nikah sebagai konsekuensi logis dari pengembangan sistem aplikasi manajemen pernikahan (“Simkah”). Lukman menjamin keberadaan kartu nikah tidak akan meniadakan buku nikah yang selama ini menjadi bukti sah secara hukum atas terjadinya peristiwa hukum pernikahan. Justru, buku nikah merupakan dokumen resmi dari negara bagi warga negara yang menikah secara sah secara agama dan dicatatkan oleh negara. Buku nikah tetap terjaga dan tetap ada . Masih dari sumber yang sama, bagi Lukman, penjelasan rencana penerbitan kartu nikah ini ke publik amat penting. Apalagi, terjadi kerisauan masyarakat di media sosial yang menuding pemerintah berencana menghapus keberadaan buku nikah dengan menggantinya dengan kartu nikah. Lebih lanjut, Lukman mengatakan seluruh peristiwa pernikahan dan pencatatannya terintegrasi dalam sebuah sistem aplikasi yang bernama Simkah. Nantinya, Simkah tersebut berkaitan dengan data kependudukan dan catatan sipil di dinas Dukcapil di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri (“Kemendagri”). Dengan demikian, data kependudukan masyarakat dapat terintegrasi dengan baik. Lukman menambahkan, dengan adanya Simkah ini, mempermudah pencatatan, registrasi, dan memantau pernikahan setiap warga negara di mana, kapan, dan seterusnya. Sehingga, kita memerlukan adanya kartu nikah ini. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan [1] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan [2] Pasal 34 ayat (2) dan (3) UU 23/3006 [3] Pasal 34 ayat (4) UU 23/3006 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan [4] Pasal 2 ayat (3) huruf d Permenag 19/2018 [5] Pasal 1 angka 6 Permenag 19/2018 [6] Pasal 18 ayat (1) Permenag 19/2018 [7] Pasal 1 angka 7 Permenag 19/2018 [8] Pasal 33 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (1) huruf j, k dan l Permenag 19/2018 keluarga kawin hukumonline buku nikah online nikah pernikahan hukum waris perkawinan keluarga dan perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya menggunakan GPS ketika berkendara, kata temen saya itu bisa dipidana. Memangnya benar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Penggunaan GPS dinilai dapat mengganggu konsentrasi saat mengemudi sehingga dapat dipidana menurut Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 283 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 23/PUU-XVI/2018 , Mahkamah berpendapat penggunaan telepon seluler yang di dalamnya terdapat GPS pada saat berkendara, dalam batas penalaran wajar termasuk dalam hal mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Walupun tidak semua pengendara yang menggunakan GPS dapat dinilai mengganggu konsentrasi mengemudi yang membahayakan penggunanya, sehingga penerapannya harus dilihat secara kasuistis . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Lalu lintas dan angkutan jalan berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan, serta pengelolaannya. Lalu lintas dan angkutan jalan diselenggarakan dengan tujuan yang dijelaskan dalam Pasal 3 UU LLAJ sebagai berikut: terwujudnya pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan yang aman , selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa ; dan terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat. Setiap orang yang menggunakan jalan wajib: [1] berperilaku tertib; dan/atau mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan , atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. Sebagaimana disebutkan di Pasal 106 (1) UU LLAJ , ketika berkendara pengemudi harus menjalankan kewajiban sebagai berikut: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Artinya pengemudi harus fokus ketika berkendara, tanpa menyebabkan konsentrasi terganggu ketika berkendara. Yang dimaksud dengan \"penuh konsentrasi\" dalam Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ adalah setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di k endaraan , atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan k endaraan . Adapun sanksi jika pengemudi tidak berkonsentrasi saat mengemudi diatur di Pasal 283 UU LLAJ , bunyinya: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah). Menggunakan GPS = Mengganggu Konsentrasi? Berdasarkan berita Alasan MK Tetap Larang Penggunaan GPS , Ketua Umum dan Sekjen Toyota Soluna Community (TSC) Sanjaya Adi Putra dan Naldi Zen, serta Irvan yang berprofesi sebagai driver transportasi online yang diwakili kuasa hukumnya Victor Santoso Tandiasa, merasa aktivitasnya mencari nafkah telah dirugikan secara konstitusional oleh Penjelasan Pasal 106 ayat (1) dan Pasal 283 UU LLAJ, terutama ketika menggunakan GPS saat berkendara, mereka melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (“MK”). MK menilai permohonan di atas tidak beralasan menurut hukum. Seiring perkembangan teknologi kendaraan bermotor, Mahkamah memahami telah banyak kendaraan bermotor yang diproduksi sekaligus dilengkapi teknologi peta jalan dengan fitur GPS untuk membantu pengemudi mencapai lokasi tujuan. Namun, Mahkamah berpendapat penggunaan telepon seluler yang di dalamnya terdapat berbagai fitur termasuk aplikasi sistem navigasi yang berbasiskan satelit yang biasa disebut GPS pada saat berkendara, dalam batas penalaran wajar termasuk dalam hal mengganggu konsentrasi berlalu lintas yang berdampak pada kecelakaan lalu lintas. Walupun tidak semua pengendara yang menggunakan GPS dapat dinilai mengganggu konsentrasi mengemudi yang membahayakan penggunanya, sehingga penerapannya harus dilihat secara kasuistis . Menanggapi Putusan M ahkamah K onstitusi No mor 23/PUU-XVI/2018 yang menolak permohonan para p emohon untuk seluruhnya , Victor Santoso Tandiasa menilai putusan MK ini semakin menimbulkan polemik dan justru tidak memberi keadilan bagi pengendara motor dan mobil. Sebab, MK dalam salah satu pertimbangannya menyebut penggunaan GPS di handphone (HP) mengganggu konsentrasi. Namun, penggunaan GPS yang sudah terpasang (build in) di mobil tidak terkena sanksi pidana. Sehingga demikian p enggunaan GPS melalui handphone dapat dipidana menurut Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 283 UU LLAJ. Namun menurut Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan di Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) , Arsil , pada dasarnya memang Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 283 UU LLAJ melarang penggunaan GPS di handphone maupun GPS yang sudah terpasang di mobil karena menggangu konsentrasi saat mengemudi sehingga dapat ditilang. Akan tetapi menurutnya harus dilihat kapan penggunaan GPS itu dilarang? Secara normatif, pelarangan menggunakan GPS yaitu pada saat mengemudi. Berarti penggunaan GPS dalam bentuk apapun, jika dilakukan dalam keadaan berhenti tidak masalah/tidak ditilang. Kalaupun ditilang, masyarakat memiliki hak untuk melakukan pembelaan di persidangan. Menurut hemat kami, apa yang dikatakan Arsil tersebut harus diketahui oleh masyarakat bahwa sebenarnya pembenaran penggunaan atau pelarangan penggunaan GPS bukan menyoal alat yang digunakan, tetapi lebih ke waktu penggunaan saat seseorang di dalam mobil. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi No mor 23/PUU-XVI/2018 . Catatan : Kami telah melakukan wawancara via telepon dengan Arsil, Kepala Divisi Kajian Hukum dan Kebijakan Peradilan di Lembaga Kajian & Advokasi Independensi Peradilan (LeIP) , pada 11 Februari 2019, pukul 10:20 WIB. [1] Pasal 105 UU LLAJ jalan ojol hukumonline pidana peta google gojek online driver angkutan jalan motor hukum lalu lintas mobil llaj"
} |
{
"from": "human",
"value": "Benarkah saat ini setiap nama gedung termasuk mal, apartemen, perkantoran, dan gedung-gedung lainnya diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia? Bagaimana ketentuannya dan apa saja hal-hal lainnya yang diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Berbahasa Indonesia Sebagaimana diberitakan dalam artikel Jokowi Teken Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia , Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (“Perpres 63/2019”) . Pasal 43 Perpres 63/2019 menyatakan bahwa pada saat Perpres 63/2019 mulai berlaku, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Pidato Resmi Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat Negara Lainnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pertimbangan diterbitkannya Perpres 63/2019 ini merupakan amanat dari Pasal 40 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) . [1] Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen, forum, maupun media komunikasi tertentu sebagaimana diatur dalam UU 24/2009, secara khusus pada Bagian Kedua Bab III UU 24/2009 . Setidaknya, terdapat 15 (lima belas) hal yang harus menggunakan bahasa Indonesia . Sebagai contoh , bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri. [2] Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia. [3] Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. [4] Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. [5] Salah satu ketentuan lain dalam UU 24/2009 adalah bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia . [6] Maka dari itu, patut dicatat bahwa yang wajib menggunakan bahasa Indonesia hanya bangunan atau gedung yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Ketentuan Nama Gedung Wajib Menggunakan Bahasa Indonesia Selain pada Bagian Kedua Bab III UU 24/2009, ketentuan mengenai penggunaan bahasa Indonesia juga dicantumkan pada BAB II Perpres 63/2019 yang secara khusus terkait nama bangunan diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Perpres 63/2009 yang menerangkan bahwa: Bahasa Indonesia wajib digunakan pada nama bangunan atau gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia Bangunan/gedung, apartemen atau permukiman, perkantoran, dan kompleks perdagangan yang dimaksud meliputi: [7] perhotelan; penginapan; bandar udara; pelabuhan; terminal; stasiun; pabrik; menara; monumen; waduk; bendungan; bendung; terowongan; tempat usaha; tempat pertemuan umum; tempat hiburan; tempat pertunjukan; kompleks olahraga; stadion olahraga; rumah sakit; perumahan; rumah susun; kompleks permakaman; dan/atau bangunan atau gedung lain. Akan tetapi terdapat pengecualian berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Perpres 63/2019 , apabila bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan memiliki nilai sejarah, budaya, adat-istiadat, dan/atau keagamaan, maka nama geografi dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing. Penggunaan Bahasa daerah atau bahasa asing tersebut ditulis dengan menggunakan aksara latin sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (4) Perpres 63/2019 . Khusus untuk penggunaan bahasa daerah dapat disertai dengan aksara daerah sesuai bunyi Pasal 33 ayat (5) Perpres 63/2019 . Pengawasan Penggunaan Bahasa Indonesia Pasal 42 Perpres 63/2019 menerangkan bahwa: Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan terhadap penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden ini. Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Pengawasan penggunaan Bahasa Indonesia oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh gubernur dan/atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Untuk pelaksanaan pengawasan pusat maupun daerah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan pedoman pengawasan penggunaan bahasa Indonesia. Dalam rangka pengawasan penggunaan bahasa Indonesia di daerah, pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dengan mengacu pada pedoman pengawasan penggunaan bahasa Indonesia yang dibuat oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia [1] Bagian Menimbang huruf b Perpres 63/2019 [2] Pasal 28 UU 24/2009 [3] Pasal 35 ayat (1) UU 24/2009 [4] Pasal 38 ayat (1) UU 24/2009 [5] Pasal 37 ayat (1) UU 24/2009 [6] Pasal 36 ayat (3) UU 24/2009 [7] Pasal 33 ayat (2) Perpres 63/2019 bahasa indonesia properti hukumonline pendidikan dan kebudayaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya tentang kepastian mengenai siapakah yang dapat dinyatakan secara sah sebagai pemegang hak cipta. Jika kita lihat di bagian penjelasan UU no.19/2002, Pasal 5 (2) dan 35 (4), maka secara awam dapat disimpulkan bahwa kita tidak perlu \"capek-capek\" mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap terlindungi. Apakah pengertian awam ini benar atau tidak? Mohon penjelasan, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ pemegang hak cipta ” yang dibuat oleh Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu , 2 9 Oktober 20 03 . Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertama-tama perlu dipahami bahwa Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta sudah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ( “ UU HC” ) . Hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [1] Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. [2] Berkaitan dengan pertanyaan Anda, maka pemahaman mengenai pemegang Hak Cipta yang dinyatakan secara sah dapat disimpulkan dari Pasal 1 angka 4 UUHC yang menyatakan bahwa: Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi. [3] Selanjutnya sehubungan dengan pemahaman awam mengenai sebenarnya kita tidak perlu capek-capek mendaftarkan ciptaan kita, karena tetap dilindungi adalah tidak benar . Pertama perlu diluruskan bahwa dalam ranah hak cipta, frasa yang digunakan bukanlah pendaftaran, melainkan pencatatan . Dalam Pasal 64 ayat (2) UUHC disebutkan sebagai berikut: Pencatatan Ciptaan dan produk Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan syarat untuk mendapatkan Hak Cipta dan Hak Terkait. Dapat dipahami bahwa pencatatan hak cipta memang bukan suatu keharusan bagi pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait karena baik ciptaan yang sudah tercatat maupun tidak tercatat tetap dilindungi. [4] Namun demikian apabila terjadi suatu perselisihan/persengketaan/klaim antara dua belah pihak yang menyatakan bahwa masing-masing dari mereka itu adalah pemegang hak cipta atas suatu ciptaan, maka pencatatan atas ciptaan yang dilakukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta atau kuasanya dapat menjadi suatu alat bukti yang kuat di depan persidangan yang sekaligus juga menjadi suatu bahan pertimbangan bagi Hakim untuk menentukan siapa pemegang hak cipta yang sah. Sebagai informasi tambahan, kekuatan hukum pencatatan ciptaan dan produk hak terkait hapus karena: [5] permintaan orang atau badan hukum yang namanya tercatat sebagai pencipta, pemegang Hak Cipta, atau pemilik hak terkait; lampaunya waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 61 UUHC; putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembatalan pencatatan Ciptaan atau produk hak terkait; atau melanggar norma agama, norma susila, ketertiban umum, pertahanan dan keamanan negara, atau peraturan perundang-undangan yang penghapusannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. [6] Simak juga artikel Adakah Akibat Hukum Jika Tidak Mencatatkan Ciptaan? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Pasal 1 angka 1 UUHC [2] Pasal 1 angka 3 UUHC [3] Pasal 1 angka 2 UUHC [4] Penjelasan Pasal 64 ayat (2) UUHC [5] Pasal 74 ayat (1) UUHC [6] Pasal 1 angka 26 UUHC hki hukumonline hak cipta online pencipta hukum klinik klinik hukumonline cipta kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa benar pengacara kebal hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Advokat memiliki hak imunitas atau kekebalan hukum dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di dalam maupun di luar persidangan. Akan tetapi, jika ada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang advokat, maka hak imunitas atau kekebalan hukum advokat itu tidak berlaku. Contohnya seorang advokat merintangi atau menghalangi supaya proses pengadilan atas kliennya tidak berjalan, yang dilakukan dengan menyuruh kliennya berpura-pura sakit atau pergi ke luar negeri. Hal itu merupakan dugaan tindak pidana dan tidak dilindungi hak imunitas. Lain halnya apabila seorang advokat menasihati kliennya dengan itikad baik, seperti memberi masukan kepada kliennya untuk mempersiapkan tim ahli yang banyak agar menyatakan bahwa kliennya tidak bersalah. Hal ini dilindungi oleh hak imunitas. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Bolehkah Advokat Bersaksi untuk Mantan Klien? 06 Nov 2013 Bukti Berita Acara Sumpah Advokat untuk Bersidang 21 Okt 2013 Jika Advokat Bekerja Sama dengan Lawan Berperkara 03 Okt 2012 Fee yang Wajar untuk Advokat (Success Fee) 12 Jan 2012 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Advokat Berpegang Pada Kode Etik Profesi dan Peraturan Perundang-undangan Advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) berlaku dinyatakan sebagai advokat. [1] Terkait tugas profesinya, Pasal 15 UU Advokat telah mengatur: Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan tetap berpegang pada kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan . Ketentuan ini mengatur mengenai kekebalan Advokat dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya di luar sidang pengadilan dan dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat. [2] Kekebalan Advokat Masih berkaitan dengan kekebalan atau imunitas bagi advokat, selain Pasal 15 UU Advokat yang mengatur mengenai hal tersebut, Pasal 16 UU Advokat jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 mengatur lebih rinci terkait tidak dapat dituntutnya advokat dalam menjalankan tugas profesinya sebagai berikut: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan . Yang dimaksud dengan “ iktikad baik ” adalah menjalankan tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya. Sementara, yang dimaksud dengan “ sidang pengadilan ” adalah sidang pengadilan dalam setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan. [3] Jadi, memang benar bahwa advokat memiliki kekebalan dalam menjalankan tugas profesinya untuk kepentingan kliennya. Dengan catatan, kekebalan ini berlaku saat: 1. di dalam dan di luar sidang pengadilan, dan 2. dalam mendampingi kliennya pada dengar pendapat di lembaga perwakilan rakyat. Mengenai hal ini, Luhut M.P. Pangaribuan , advokat sekaligus penulis buku Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi , menjelaskan bahwa jika ada dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh seorang advokat, maka hak imunitas atau kekebalan hukum advokat itu tidak berlaku , misalnya dengan cara-cara yang melanggar hukum. Contoh: seorang advokat merintangi atau menghalangi supaya proses pengadilan atas kliennya tidak berjalan, yang dilakukan dengan menyuruh kliennya berpura-pura sakit atau pergi ke luar negeri. Hal itu merupakan dugaan tindak pidana dan tidak dilindungi hak imunitas. Lebih lanjut menurut Luhut, lain halnya apabila seorang advokat menasihati kliennya dengan itikad baik, seperti memberi masukan kepada kliennya untuk mempersiapkan tim ahli yang banyak agar menyatakan bahwa kliennya tidak bersalah. Hal ini dilindungi oleh hak imunitas. Tata cara melaporkan advokat yang diduga melanggar hukum atau kode etik dijelaskan lebih jauh dalam artikel Prosedur Pemanggilan Advokat yang Diduga Melanggar Hukum . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XI/2013 . Catatan: Klinik hukumonline telah menanyakan pertanyaan ini melalui wawancara via telepon dengan advokat sekaligus penulis buku Advokat dan Contempt of Court: Suatu Proses di Dewan Kehormatan Profesi , Luhut M.P. Pangaribuan, pada 23 November 2017 pukul 13.00 WIB. [1] Pasal 32 ayat (1) UU Advokat [2] Penjelasan Pasal 15 UU Advokat [3] Penjelasan Pasal 16 UU Advokat hukumonline hak imunitas profesi hukum hak imunitas advokat hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya tahu bahwa perkawinan katolik tidak bisa cerai. Namun, saya sudah menikah 10 tahun dengan 2 orang anak melalui perkawinan secara agama Katolik. Kami memutuskan berpisah karena tidak cocok lagi, dan saya telah pindah agama (mualaf). Bagaimana cara mengurus surat perceraian dalam agama Katolik ini? Dan bagaimana hak asuh anak? Terima kasih, mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami turut prihatin atas kondisi rumah tangga yang Anda alami. Akan tetapi patut diperhatikan, sebenarnya dalam ajaran agama Katolik tidak dikenal adanya perceraian.\n\nUntuk itu, mengenai cara mengurus surat perceraian yang Anda tanyakan, Romo Giovanni Mahendra Christi, MSF menegaskan bahwa dalam Kitab Hukum Kanonik yang mengikat bagi umat Katolik, tidak dikenal adanya perceraian.\n\nRomo Giovanni juga menjelaskan, bagi Anda yang telah melangsungkan pernikahan sah secara Katolik dan kemudian memutuskan untuk berpisah dengan kesepakatan bersama pasangannya, dalam kacamata Gereja Katolik tidak ada perpisahan atau bisa dibilang benar adanya bahwa perceraian dalam Katolik tidaklah ada, yang mana dengan kata lain, persatuan pernikahan tetaplah ada.\n\nDalam Injil Matius 19:6 TB pun ditegaskan sebagai berikut:\n\nDemikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.\n\nLebih lanjut, terkait perkawinan menurut Gereja Katolik dalam Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia yang kami kutip dari laman Gereja Katolik Keuskupan Surabaya menyatakan:\n\nKan. 1055 - § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.\n\nKan. 1141 - Perkawinan ratum dan consummatum tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.\n\nKemudian, Keuskupan Agung Jakarta melalui Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik juga turut menegaskan bahwa perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan, bersifat monogami dan indissolubile.\n\nMonogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedangkan indissolubile berarti setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian.\n\nSementara itu, dalam hukum positif Indonesia, arti perkawinan berdasarkan Pasal 1 UU Perkawinan yaitu:\n\nIkatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.\n\nSebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Pidana Selingkuh Tanpa Bersetubuh bagi Pasangan, Adakah?, ikatan lahir terkait hubungan biologis, yaitu ikatan badaniah. Artinya suami dan istri hanya dapat melakukan hubungan biologis di antara mereka berdua saja.\n\nKemudian, ikatan batin adalah suatu ikatan yang datang dari lubuk hati seseorang, lubuk hati yang suci sesuai dengan ajaran agama masing-masing, baik suami dan istri bertekad membentuk mahligai rumah tangga, dalam keadaan suka maupun duka.\n\nSelain itu, dikenal pula ikatan hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban secara hukum melekat pada suami dan istri berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nDi sisi lain, tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Jadi suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.[1] Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.[2]\n\nOleh karena itu, kami meluruskan pertanyaan Anda terkait surat perceraian dalam agama Katolik, bahwa menurut Kitab Hukum Kanonik tidak ada perceraian.\n\nKemudian Romo Giovanni mencontohkan, dalam hal Anda telah berpindah agama, dan misalnya hendak menikah kembali dengan umat Katolik, hal ini tidak bisa dilakukan. Namun perlu digarisbawahi, meskipun Anda telah berpindah agama, baptis yang telah Anda lakukan tetap berlaku seumur hidup. Sebab meterai baptis tidak akan pernah hilang sampai mati.\nHak Asuh\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan kedua mengenai hak asuh, Anda dapat merujuk Pasal 41 UU Perkawinan yang berbunyi:\n\nAkibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:\nBaik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya; Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut; Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.\n\nNamun, sekali lagi, yang perlu Anda garisbawahi adalah bahwasanya putusnya perkawinan di sini dilakukan berdasarkan ketentuan hukum sipil menurut peraturan perundang-undangan, dan bukan merupakan surat perceraian dalam agama Katolik sebagaimana Anda tanyakan.\nDemikian jawaban dari kami terkait perceraian dalam Katolik, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.\nREFERENSI:\n1. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia, yang diakses pada 15 September 2023, pukul 16.01 WIB\n2. Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik, yang diakses pada 15 September 2023, pukul 16.26 WIB.\n\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara dengan Romo Giovanni Mahendra Christi, MSF via telepon pada Kamis, 4 Februari 2021 pukul 15.59 WIB.\n\n[1] Angka 4 huruf a Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)[2] Pasal 33 UU Perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di perusahaan kami, pesangon rencananya tetap dibayarkan penuh sebanyak 32 kali. Hanya skemanya diubah dari yang semula dibayar penuh oleh perusahaan, menjadi 23 kali dibayar perusahaan dan 9 kali dibayar pemerintah. Apakah pernyataan ini tercantum dalam UU Cipta Kerja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”), pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. [1] Mengenai uang pesangon, dalam Pasal 81 angka 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah ketentuan Pasal 156 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) disebutkan: Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut: masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah; masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah; masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah; masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah; masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah; masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah; masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah; masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah; masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah. Patut diperhatikan, UU Cipta Kerja mengamanatkan agar ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon diatur dalam Peraturan Pemerintah , [2] yang sepanjang penelusuran kami belum diatur lebih lanjut hingga saat ini. Singkatnya, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengusahalah yang tetap berkewajiban membayar uang pesangon dalam hal terjadi PHK. Adapun komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. [3] Jika penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, upah sebulan sama dengan 30 kali upah sehari. [4] Sedangkan jika upah dibayar atas dasar perhitungan satuan hasil, upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 bulan terakhir. [5] Namun, jika jumlah rata-rata tersebut lebih rendah dari upah minimum, upah yang jadi dasar perhitungan pesangon adalah upah minimum yang berlaku di wilayah domisili perusahaan. [6] Patut dicatat pula, ketentuan pemberian pesangon khusus untuk alasan-alasan PHK tertentu berdasarkan Pasal 161, [7] 163, [8] 164, [9] 165, [10] 166, [11] 167, [12] 169, [13] 172 [14] UU Ketenagakerjaan dihapuskan oleh UU Cipta Kerja . Berkenaan dengan pertanyaan Anda, kami kurang memahami apa yang Anda maksud dengan pembayaran pesangon 32 kali. Namun apabila yang Anda maksud adalah 32 bulan upah, maka hal tersebut melebihi jumlah uang pesangon terbesar yang harus dibayar oleh pengusaha bedasarkan UU Cipta Kerja, yaitu 9 bulan upah untuk pekerja/buruh dengan masa kerja 8 tahun atau lebih. Dengan kata lain, pernyataan bahwa pembayaran pesangon 23 kali oleh perusahaan dan 9 kali dibayar pemerintah tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tetang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja . [1] Pasal 81 angka 44 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) [2] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja [3] Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja [4] Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja [5] Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja [6] Pasal 81 angka 45 UU Cipta Kerja [7] Pasal 81 angka 50 UU Cipta Kerja [8] Pasal 81 angka 52 UU Cipta Kerja [9] Pasal 81 angka 53 UU Cipta Kerja [10] Pasal 81 angka 54 UU Cipta Kerja [11] Pasal 81 angka 55 UU Cipta Kerja [12] Pasal 81 angka 56 UU Cipta Kerja [13] Pasal 81 angka 58 UU Cipta Kerja [14] Pasal 81 angka 61 UU Cipta Kerja ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Benarkah visum terhadap perempuan korban KDRT yang diakui hanya dari RSCM?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“KDRT”), pengaturannya merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU 23/2004”). KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan , yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. [1] Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: [2] kekerasan fisik; [3] perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. kekerasan psikis; [4] perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. kekerasan seksual; [5] atau kekerasan seksual meliputi: pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. penelantaran rumah tangga. Apa Itu Visum et Repertum? Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Visum et repertum , menurut Kamus Hukum oleh JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo , visum et repertum adalah surat keterangan/laporan dari seorang ahli mengenai hasil pemeriksaannya terhadap sesuatu, misalnya terhadap mayat dan lain-lain dan ini dipergunakan untuk pembuktian di pengadilan. Meninjau pada definisi di atas, maka visum et repertum dapat digunakan sebagai alat bukti surat, sebagaimana diatur dalam Pasal 187 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) : Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Lebih lanjut, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Apakah Tersangka Berhak Mengetahui Hasil Visum et Repertum? , visum et repertum masuk dalam kategori keterangan ahli berdasarkan Pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka , keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana , ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Jadi, visum dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam suatu tindak pidana. Visum Bagi Korban KDRT Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga disebut dengan korban. [6] Lebih lanjut Pasal 10 UU 23/2004 mengatur bahwa korban KDRT berhak mendapatkan: perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pelayanan bimbingan rohani. Perlindungan korban KDRT, diberikan salah satunya oleh kepolisian yang berkordinasi dengan pelayanan kesehatan, sebagaimana disebutkan pada Pasal 21 UU 23/2004 , yaitu: Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada korban, tenaga kesehatan harus: memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya; membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti. Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Jadi berdasarkan penjelasan di atas disebutkan bahwa laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan hasil visum et repertum (visum) merupakan salah satu pelayanan kesehatan atas permintaan penyidik dilakukan di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat terhadap korban KDRT. Apakah benar bahwa visum harus dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (“RSCM”)? Berdasarkan informasi yang kami peroleh dari laman Tentang RSCM , RSCM atau Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (“RSUPN”) Dr. Cipto Mangunkusumo adalah rumah sakit pemerintah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 553/Menkes/SK/VI/1994 . Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang khusus mengatur tentang keharusan visum dilakukan di RSCM/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Tapi jika kita cermati berdasarkan penjelasan di atas, visum et repertum tersebut dibuatkan oleh tenaga kesehatan atas permintaan penyidik di sarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Itu artinya, visum tidak harus dilakukan di RSCM tetapi dapat dilakukan di sarana kesehatan mana saja selama itu milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Selain itu sepanjang penelusuran kami memang biasanya di Jakarta, visum dilakukan di RS Polri atau RSCM/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Referensi : Tentang RSCM , diakses pada Selasa, 9 April 2019, pukul 17:00 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 UU 23/2004 [2] Pasal 5 UU 23/2004 [3] Pasal 6 UU 23/2004 [4] Pasal 7 UU 23/2004 [5] Pasal 8 UU 23/2004 [6] Pasal 1 angka 3 UU 23/2004 perempuan acara peradilan hukumonline kekerasan anak kdrt klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selama ini kita mengenal wakaf hanya untuk tanah saja. Karena kemajuan teknologi serta mahalnya harga tanah, bisakah objek wakaf diganti dengan benda yang lebih dibutuhkan seperti mobil ambulans, gadget, uang, emas dan lain-lain? Apakah ada aturan mengenai wakaf selain dari Al-Qur’an saja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Yayasan Menyewakan Asetnya kepada Pihak Lain? 13 Feb 2023 Aturan Tentang Makam Fiktif 13 Jan 2017 Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat 05 Okt 2016 Mana Lebih Kuat, SHM atau Surat Camat Disertai Dokumen Tua? 03 Mei 2016 Intisari: Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. Harta benda wakaf terdiri dari: a. benda tidak bergerak; b. benda bergerak selain uang; dan c. benda bergerak berupa uang. Benda yang bisa di wakafkan tidak hanya berupa benda tidak bergerak seperti hak atas tanah saja, tetapi bisa juga benda tidak bergerak lainnya seperti bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, atau benda bergerak seperti uang, logam mulia, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan sebagainya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wakaf diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) , serta lebih khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”) . Pengertian Wakaf Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. [1] Badan-badan Hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [2] Wakaf berfungsi mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. [3] Wakaf bertujuan memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. [4] Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: [5] a. sarana dan kegiatan ibadah; b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, bea siswa; d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau e. kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan. Benda Wakaf Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam. [6] Benda wakaf harus merupakan benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa. [7] Harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya) secara sah. [8] Harta benda wakaf terdiri dari: [9] a. benda tidak bergerak; b. benda bergerak selain uang; dan c. benda bergerak berupa uang. Benda tidak bergerak meliputi: [10] a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar; b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah; d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak atas tanah yang dapat diwakafkan terdiri dari: [11] a. hak milik atas tanah baik yang sudah atau belum terdaftar; b. hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai di atas tanah negara; c. hak guna bangunan atau hak pakai di atas hak pengelolaan atau hak milik wajib mendapat izin tertulis pemegang hak pengelolaan atau hak milik; d. hak milik atas satuan rumah susun. Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi: [12] a. uang; b. logam dan batu mulia; c. surat berharga; d. kendaraan (kapal, pesawat terbang, kendaraan bermotor); e. mesin atau alat industri yang tidak tertancap pada tanah f. hak atas kekayaan intelektual; g. hak sewa; dan/atau h. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku k arena sifatnya dan memiliki manfaat jangka panjang. Benda bergerak selain uang karena Peraturan Perundang-undangan yang dapat diwakafkan sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah sebagai berikut: [13] a. surat berharga yang berupa: 1) saham; 2) Surat Utang Negara; 3) obligasi pada umumnya; dan/atau 4) surat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang. b. Hak Atas Kekayaan intelektual yang berupa: 1) hak cipta; 2) hak merk; 3) hak paten; 4) hak desain industri; 5) hak rahasia dagang; 6) hak sirkuit terpadu; 7) hak perlindungan varietas tanaman; dan/atau 8) hak lainnya. c. hak atas benda bergerak lainnya yang berupa: 1) hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atau 2) perikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak Jadi, benda yang bisa diwakafkan tidak hanya berupa benda tidak bergerak seperti hak atas tanah saja, tetapi bisa juga benda tidak bergerak lainnya seperti bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, hak milik atas satuan rumah susun, atau benda bergerak seperti uang, logam mulia, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, dan sebagainya. Cara Mewakafkan Benda Bergerak Berupa Uang Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah yang ditunjuk oleh Menteri Agama. [14] Wakaf benda bergerak berupa uang dilaksanakan oleh Wakif dengan pernyataan kehendak Wakif yang dilakukan secara tertulis. [15] Wakaf benda bergerak berupa uang diterbitkan dalam bentuk sertifikat wakaf uang. [16] Sertifikat wakaf uang diterbitkan dan disampaikan oleh lembaga keuangan syariah kepada Wakif dan Nazhir (pihak yang menerima harta benda wakaf dari Wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya) sebagai bukti penyerahan harta benda wakaf. [17] Lembaga keuangan syariah atas nama Nazhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang kepada Menteri selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterbitkannya Sertifikat Wakaf Uang. [18] Unsur dan Cara Wakaf Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut: [19] a. Wakif; b. Nazhir; c. Harta Benda Wakaf; d. Ikrar Wakaf; e. peruntukan harta benda wakaf; f. jangka waktu wakaf. Pihak yang mewakafkan harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (“PPAIW”) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 orang saksi. [20] Ikrar Wakaf tersebut dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. [21] Dalam hal Wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena atasan yang dibenarkan oleh hukum, Wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi. [22] Untuk dapat melaksanakan ikrar wakaf, wakif atau kuasanya menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf kepada PPAIW. [23] Kemudian, Ikrar wakaf dituangkan dalam akta ikrar wakaf. [24] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf ; 2. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf . [1] Pasal 215 ayat (1) KHI jo. Pasal 1 angka 1 UU Wakaf [2] Pasal 217 ayat (1) KHI [3] Pasal 5 UU Wakaf [4] Pasal 216 KHI jo. Pasal 4 UU Wakaf [5] Pasal 22 UU Wakaf [6] Pasal 215 ayat (4) KHI [7] Pasal 217 ayat (3) KHI [8] Pasal 15 jo. Pasal 1 angka 2 UU Wakaf [9] Pasal 16 ayat (1) UU Wakaf jo. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“PP Wakaf”) [10] Pasal 16 ayat (2) UU Wakaf [11] Pasal 17 ayat (1) PP Wakaf [12] Pasal 16 ayat (3) UU Wakaf jo. Pasal 20 PP Wakaf [13] Pasal 21 PP Wakaf [14] Pasal 28 UU Wakaf [15] Pasal 29 ayat (1) UU Wakaf [16] Pasal 29 ayat (2) UU Wakaf [17] Pasal 29 ayat (3) jo. Pasal 1 angka 4 UU Wakaf [18] Pasal 30 UU Wakaf [19] Pasal 6 UU Wakaf [20] Pasal 218 ayat (1) KHI jo. Pasal 17 ayat (1) UU Wakaf [21] Pasal 17 ayat (2) UU Wakaf [22] Pasal 18 UU Wakaf [23] Pasal 19 UU Wakaf [24] Pasal 21 ayat (1) UU Wakaf perdata hukum perdata wasiat waris benda bergerak uang klinik hukumonline tanah mobil kekayaan intelektual pertanahan gadai sengketa masjid agama hak milik tanah wakaf adat fidusia hukumonline kendaraan wakaf hak atas tanah surat berharga jasa keuangan google warisan teknologi saham rumah susun hukum klinik emas hak kekayaan intelektual"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bapak/ Ibu yth. redaksi hukumonline, bagaimana prosedur mendirikan sebuah Perguruan Tinggi di Indonesia? Apakah harus dengan Yayasan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi saat ini diatur dengan UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU 12/2012”). Perguruan Tinggi terdiri dari perguruan tinggi negeri (“PTN”) dan perguruan tinggi swasta (“PTS”). Kami asumsikan perguruan tinggi yang Saudara maksud untuk didirikan adalah PTS, yaitu perguruan tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat ( Pasal 1 angka 8 UU 12/2012 ). Kemudian yang dimaksud dengan masyarakat dalam hal ini adalah kelompok warga negara Indonesia nonpemerintah yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang Pendidikan Tinggi ( Pasal 1 angka 16 UU 12/2012 ). Bentuk dari perguruan tinggi yang dapat didirikan oleh masyarakat antara lain ( Pasal 59 ayat [1] UU 12/2012 ): Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. universitas; b. institut; c. sekolah tinggi; d. politeknik; e. akademi; dan f. akademi komunitas Kemudian, syarat untuk mendirikan perguruan tinggi (PTS) diatur dalam Pasal 60 UU 12/2012 yaitu: 1. PTS didirikan dengan membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri 2. Badan penyelenggara dapat berbentuk yayasan, perkumpulan, dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan 3. PTS yang didirikan harus memenuhi standar minimum akreditasi 4. PTS yang didirikan wajib memiliki Statuta Statuta PTS ditetapkan melalui surat keputusan badan penyelenggara ( Pasal 66 ayat (3) UU 12/2012 ). Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian PTS diatur dalam Peraturan Pemerintah ( Pasal 60 ayat [7] UU 12/2012 ). Sayangnya, peraturan pemerintah yang dimaksud sampai saat ini belum diterbitkan. Boleh jadi, hal ini karena UU 12/2012 baru disahkan pada 10 Agustus 2012. Selama belum ada peraturan pelaksana, berdasarkan Pasal 99 UU 12/2012 , semua peraturan pelaksana dari UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan tinggi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan UU 12/2012. Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, untuk mendirikan PTS tidak harus berbentuk yayasan, karena UU 12/2012 juga membolehkan berbentuk perkumpulan dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan, apakah yang menjadi latar belakang bagi kantor-kantor konsultan hukum terutama yang ada di Indonesia untuk memilih bentuk hukum firma dibandingkan dengan bentuk hukum lain seperti misalnya PT? Hal ini karena bila dilihat dari segi pertanggungjawaban perdata, bentuk hukum firma lebih berisiko tinggi karena si sekutu dapat dituntut hingga ke harta pribadinya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, tidak ada larangan bagi kantor hukum atau kantor advokat di Indonesia untuk memilih bentuk badan usaha selain firma. Namun, memang pada praktiknya, seperti dikatakan notaris Irma Devita , kantor advokat di Indonesia cenderung menggunakan bentuk firma (berdasarkan Pasal 16 KUHD ). Selain itu, tidak sedikit pula kantor advokat yang memilih bentuk persekutuan perdata atau maatschap (berdasarkan Pasal 1618 KUHPerdata atau lihat juga Pasal 1 angka 4 Kepmenhukham No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 ). Mohamad Kadri , pendiri dan partner pada kantor advokat/firma hukum AKSET , berpendapat bahwa yang melatarbelakangi kantor-kantor hukum di Indonesia menggunakan bentuk firma adalah karena sudah menjadi tradisi yang diadopsi dari Belanda. Menurut Kadri, bisnis jasa hukum dibangun berdasarkan konsep pertanggungjawaban perorangan seperti pada profesi dokter. Mulai dari income (pendapatan), image (citra) dan banyak hal lainnya sangat bergantung pada profil atau nama “orang”, termasuk pertanggungjawabannya. KLINIK TERKAIT Tarif Advokat di Jakarta 22 Mar 2011 Jasa Advokat 24 Jan 2011 Seputar Profesi Pengacara (Pengertian Senior Lawyer, Associate, dan Junior Lawyer) 27 Agt 2010 Lisensi Advokat untuk In House Lawyer 27 Agt 2010 Menurut Kadri, dalam perkembangannya beberapa kantor advokat di Indonesia mulai mengadopsi konsep-konsep Perseroan Terbatas (“PT”). Kantor-kantor advokat, kata Kadri, mulai melakukan corporatizing yang ditandai antara lain dengan adanya pengalihan tanggung jawab pribadi ke penanggung jawab yang lebih tinggi. Dengan begitu, yang dilihat bukan lagi “orangnya” tapi “kantornya”. Namun, sejauh yang dia ketahui, dalam praktiknya di Indonesia belum ada kantor advokat yang berbentuk PT. Sementara itu, menurut Irma Devita, kantor advokat lebih tepat menggunakan bentuk maatschap karena dalam maatschap masing-masing advokat yang menjadi teman serikat bertindak sendiri dan bertanggung jawab secara pribadi (lihat Pasal 1642 KUHPer ). Lebih jauh simak artikel kami; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Tentang Kantor Hukum, Lembaga bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum ; - Kantor Advokat, Antara Firma dan Persekutuan Perdata . Berdasarkan penelusuran kami, jika melihat pada negara tetangga kita yaitu Singapura, bentuk kantor advokat sudah lebih luas dan tidak terbatas pada bentuk firma. Dapat kita temui beberapa bentuk kantor hukum yang membatasi tanggung jawab para partner yang tergabung di dalamnya seperti Limited Liability Partnership (“LLP”) yang diatur dalam Limited Liability Partnerships Act 2005 atau bentuk Limited Liability Company (“LLC”). Bentuk-bentuk yang demikian juga terdapat di beberapa negara lainnya seperti Kanada, Inggris atau Amerika. Pada umumnya, LLP memisahkan tanggung jawab salah satu partner yang melakukan kesalahan atau kelalaian dengan partner lainnya, sehingga tidak menerapkan prinsip tanggung-menanggung seperti pada firma (lihat Pasal 18 KUHD ). Dan bentuk LLC, dalam hal model pertanggungjawaban, lebih seperti PT di Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang juga tidak menerapkan prinsip tanggung-menanggung. Demikian jawaban dari kami, semoga dapat dipahami. Catatan: Klinik Hukum meminta pendapat Mohamad Kadri pada 15 April 2011 melalui sambungan telepon. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel voor Indonesie, Staasblad 1847, No. 23) 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 4. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.11-HT.04.02 Tahun 2004 tentang Tatacara Memperkerjakan Advokat Asing serta Kewajiban Memberikan Bantuan Hukum Cuma-Cuma kepada Dunia Pendidikan dan Penelitian Hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau buka pabrik kecil produksi minuman. Karena modalnya sangat terbatas (+ Rp60 juta), apa bentuk usaha yang paling cocok? UD/PD, Firma, PT atau CV? Apa perlu izin dari Depkes RI? Apakah bentuk usaha UD/PD cocok untuk pabrik?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Bentuk dan modal badan usaha Untuk pendirian Badan Usaha dalam bentuk UD/PD (Usaha Dagang/Perusahaan Dagang), Firma atau CV tidak diatur mengenai minimum modal yang diharuskan. Namun, untuk pendirian Perseroan Terbatas disyaratkan untuk memiliki minimum modal dasar sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Adapun Klasifikasi dari badan usaha kami uraikan sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya 14 Jun 2024 Berbisnis Toko Kelontong, Perlukah Izin Usaha? 05 Jul 2023 Perusahaan Pemborong Pekerjaan Wajib Berbadan Hukum 11 Mei 2022 Mau Mendaftarkan Nama Usaha? Ikuti Panduan Ini! 03 Feb 2021 A. Badan Usaha berbentuk Badan Hukum Karakteristik suatu badan hukum yaitu terdapat pemisahan kekayaan pemilik dengan kekayaan badan usaha, sehingga pemilik hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Badan Usaha yang berbentuk Badan Hukum, dalam hal ini Perseroan Terbatas (“PT”) - Memiliki ketentuan minimal modal dasar, dalam UU No. 40/2007 minimum modal dasar PT yaitu Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Minimal 25% dari modal dasar telah disetorkan ke dalam PT; - Pemegang Saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang dimilikinya; - Berdasarkan peraturan perundang-undangan tertentu diwajibkan agar suatu badan usaha berbentuk PT. B. Badan Usaha bukan berbentuk Badan Hukum Lain halnya dengan badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum, pada bentuk badan usaha ini, tidak terdapat pemisahan antara kekayaan Badan usaha dengan kekayaan pemiliknya. Badan usaha bukan berbentuk badan hukum terdiri dari : (1) Persekutuan Perdata § Suatu perjanjian di mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya; § Para sekutu bertanggung jawab secara pribadi atas Persekutuan Perdata. (2) Firma § Suatu Perseroan yang didirikan untuk melakukan suatu usaha di bawah nama bersama; § Para anggota memiliki tanggung jawab renteng terhadap Firma. (3) Persekutuan Komanditer (CV) § Terdiri dari Pesero Aktif dan Pesero Pasif/komanditer. § Pesero Aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi, sedangkan pesero pasif hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV. Apabila PD/UD akan \"diubah\" dengan badan usaha lainnya, maka PD/UD tersebut harus dibubarkan serta izin yang dimiliki oleh PD/UD tersebut akan dicabut. Hal ini dikarenakan pemberian izin melekat pada subjek penerima izin tersebut baik perorangan maupun badan hukum/tidak berbadan hukum. Selanjutnya, dapat mendirikan badan usaha yang dinilai sesuai dengan karakteristik dan visi dan misi yang diinginkan. 2. Izin Depkes untuk produksi minuman Karena pertanyaan dalam produksi minuman tidak spesifik jenisnya, maka kami mengasumsikan minuman ke dalam pangan olahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Kepala BPOM No. hk.03.1.5.12.11.09955/2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan (“Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011”). Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 menjelaskan bahwa: “Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan, termasuk Pangan Olahan Tertentu, Bahan Tambahan Pangan, Pangan Produk Rekayasa Genetika, dan Pangan Iradiasi.” Pasal 2 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 mewajibkan setiap pangan olahan untuk mendaftarkan pangan olahannya: “Setiap Pangan Olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib memiliki Surat Persetujuan Pendaftaran.” Pengecualian terhadap Industri Rumah Tangga terhadap wajib memiliki Surat Persetujuan Pendaftaran yaitu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 berikut ini: (1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Pangan Olahan yang: a. diproduksi oleh industri rumah tangga; b. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari pada suhu kamar; c. dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dalam jumlah kecil untuk keperluan: 1. sampel dalam rangka permohonan pendaftaran; 2. penelitian; 3. konsumsi sendiri; dan/atau d. d. digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual secara langsung kepada konsumen akhir. (2) Jumlah kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah jumlah yang dibutuhkan hanya untuk keperluan terkait sesuai dengan hasil kajian kelayakan atas permohonan keperluan impotir pada saat pengajuan surat rekomendasi impor. (3) Ketentuan lebih lanjut tentang jenis Pangan Olahan yang dapat diproduksi oleh industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Kepala Badan. Terhadap pengecualian sebagaimana diatur pada Pasal 3 di atas, Industri Rumah Tangga wajib memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 di bawah ini: “Industri rumah tangga Pangan yang memproduksi Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a wajib memiliki sertifikat produksi Pangan industri rumah tangga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.” Para produsen minuman selain diharuskan untuk mendaftarkan produksi minumannya juga harus memenuhi persyaratan untuk memberikan label pada produksinya sebagaimana dicantumkan pada Pasal 6 Peraturan Kepala BPOM No. 03/2011 : (1) Pangan Olahan yang akan didaftarkan harus memenuhi kriteria keamanan, mutu, dan gizi. (2) Kriteria keamanan, mutu, dan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. parameter keamanan, yaitu batas maksimum cemaran mikroba, cemaran fisik, dan cemaran kimia; b. parameter mutu, yaitu pemenuhan persyaratan mutu sesuai dengan standar dan persyaratan yang berlaku serta cara produksi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang diproduksi di dalam negeri atau cara distribusi Pangan yang baik untuk Pangan Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia; dan c. parameter gizi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. (3) Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), juga harus memenuhi persyaratan label. Untuk persyaratan mengenai label lebih diatur kembali di dalam PP No. 69/1999 . Dalam label hasil produksi menurut Pasal 3 ayat (2) PP No. 69/1999 sekurang-kurangnya harus mencantumkan: a. Nama produk; b. Dafrtar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih; d. Nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia; dan e. Tanggal, bulan, dam tahun kadaluarsa. Jadi, produsen minuman dalam hal ini yang kami artikan ke dalam pangan olahan, harus mendaftarkan kepada BPOM untuk memproduksi pangan olahannya, kecuali Industri Rumah Tangga yang hanya memerlukan sertifikat pendaftarannya saja sebagaimana dijelaskan di atas. 3. Bentuk usaha UD/PD untuk pabrik Menurut UU No. 5 Tahun 1984 . Industri adalah kegiatan ekonomi mengolah bahan mentah, barang baku, barang setengah jadi dan atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi penggunaanya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri Kemudian, Pasal 2 PP No. 13 Tahun 1995 menyatakan bahwa: 1. setiap pendirian Persuahaan industri wajib memperoleh Izin Usaha Industri. 2. Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk perorangan, perusahaan persekutuan, atau badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Namun, Pasal 3 PP No. 13/1995 mengecualikan terhadap beberapa jenis industri tertentu dari kewajiban untuk memperoleh Izin Usaha Industri (“IUI”). Beberapa Jenis Industri tertentu cukup diberikan Tanda Daftar Industri (“TDI”) yang diberlakukan sebagai Izin. Ketentuan di atas ditegaskan kembali dalam Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 yang menyatakan setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki IUI, kecuali bagi Industri Kecil. Pengertian Perusahaan Industri pada Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 adalah perusahaan yang melakukan kegiatan di bidang usaha industri yang dapat berbentuk perorangan, badan usaha, badan hukum yang berkedudukan di Indonesia. Jenis industri tertentu menurut Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 yang cukup diberikan TDI adalah Industri Kecil dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya sebagai berikut: a. Sampai dengan Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, tidak wajib memiliki TDI, kecuali perusahaan yang bersangkutan menghendaki TDI; b. Di atas Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki TDI. Adapun jenis Industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki IUI. Industri kecil yang wajib memiliki TDI sebagaimana dimaksud di atas, meliputi jenis industri yang tercantum dalam huruf D Lampiran Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005 dan atau perubahannya, adapun beberapa di antara jenis industri dalam huruf D Lampiran Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005 adalah: Direktorat Industri Pangan menangani: · Industri Pengolahan dan Pengawetan daging · Industri Pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya · Industri Pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya · Industri Susu · Industri Makanan dan Susu · Industri Gula · Industri Makaroni, Mie, Spagheti Bihun, So’un dan sejenisnya · Industri Rokok Kretek · Industri Minuman Ringan · Dan lain-lain yang tercantum dalam lampiran Huruf D Permen Perindustrian No.07/M-IND/PER/5/2005. Pilihan mengenai badan usaha bergantung pada kebutuhan dan keinginan pengusaha dengan mempertimbangkan karakter jenis badan usaha. Pada prinsipnya, pabrik dapat berbentuk UD/PD sepanjang memiliki izin menjalankan usahanya yaitu berupa IUI ataupun TDI. Untuk mendirikan Perusahaan Industri tidak mewajibkan sebuah usaha industri harus berbentuk badan usaha tertentu, sebagaimana dijelaskan di atas Perusahaan Industri dapat berbentuk perorangan, badan usaha dan/atau badan hukum. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian ; 3. Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan ; 4. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri ; 5. Peraturan Menteri Perindustrian No. 07/MIND/PER/5/2005 tentang Penetapan Jenis-Jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jenderal di Lingkungan Departemen Perindustrian; dan 6. Peraturan Menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri (“Permen Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008”). 7. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor hk.03.1.5.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan Olahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah bentuk usaha dari WNA (Bidang Restoran) di Indonesia dengan modal kecil?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 04 Februari 2014. Intisari: Warga negara asing (“WNA”) yang membuat usaha di bidang restoran termasuk sebagai penanaman modal asing. Karena merupakan penanaman modal asing, maka untuk melakukan usaha, wajib dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. Jadi, jika restoran ini dibuat oleh WNA, maka harus dalam bentuk perseroan terbatas, terlepas dari berapa besarnya modal WNA tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perlu diketahui bahwa jika warga negara asing (“WNA”) ingin membuat usaha di bidang restoran, maka akan termasuk sebagai penanaman modal asing. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”) , yang dimaksud dengan penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Penanam modal asing adalah perseorangan WNA , badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. [1] Karena ini merupakan penanaman modal asing, maka untuk melakukan usaha, wajib dilakukan dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal : Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Penanaman modal asing dalam bentuk perseroan terbatas ini dapat dilakukan dengan: [2] mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; membeli saham; dan melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, jika restoran ini dibuat oleh WNA, maka harus dalam bentuk perseroan terbatas, terlepas dari berapa besarnya modal WNA tersebut. Selain itu, Anda perlu melakukan pengecekan apakah ada pembatasan kepemilikan asing dalam bidang usaha restoran, sebagaimana bisa dilihat dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpres 44/2016”) . Dalam Perpres 44/2016, tidak ada pembatasan kepemilikan asing dalam bidang usaha restoran . Hal ini berbeda dari peraturan presiden sebelumnya yaitu Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpres 39/2014”) yang membatasi kepemilikan asing dalam bidang restoran. Dengan berlakunya Perpres 44/2016, Perpres 39/2014 ini dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Hal ini juga sebagaimana dijelaskan dalam artikel DNI Berubah, Asing Makin Leluasa Berinvestasi , bahwa sebanyak 35 bidang usaha dikeluarkan dari Daftar Negatif Investasi (“DNI”). Antara lain industri crumb rubber; cold storage; pariwisata ( restoran ; bar; cafe; usaha rekreasi, seni, dan hiburan: gelanggang olah raga); industri perfilman; penyelenggara transaksi perdagangan secara elektronik yang bernilai Rp.100 milyar ke atas; pembentukan lembaga pengujian perangkat telekomunikasi; pengusahaan jalan tol; pengelolaan dan pembuangan sampah yang tidak berbahaya; industri bahan baku obat, dikeluarkan dari DNI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal [1] Pasal 1 angka 6 UU Penanaman Modal [2] Pasal 5 ayat (3) UU Penanaman Modal penanaman modal asing hukumonline daftar negatif investasi badan usaha dni perseroan terbatas pma hukum klinik investasi restoran badan hukum perusahaan klinik hukumonline warga negara asing kafe rumah makan perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dulu pernah memiliki keinginan untuk membentuk usaha sendiri yang legal di mata hukum, dan bisa mengikuti kegiatan tender yang dilaksanakan oleh beberapa perusahaan, dan usaha yang akan saya dirikan ini bergerak di bidang Creative Agency. Akan tetapi, karena saya orang awam di mengenai hukum, saya bingung mau membentuk dari mana, dan akan saya jadikan CV atau PT. Selain itu, modal saya yang masih terbilang kecil, saya juga kurang paham akan persyaratan apa saja yang harus saya penuhi agar usaha yang akan saya jalankan ini tidak bermasalah di kemudian hari. Mohon bantuannya untuk menjelaskan langkah-langkah yang harus saya jalankan agar dapat mendirikan usaha tersebut."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Badan usaha yang lebih dikenal dan sering digunakan oleh masyarakat umum adalah Perseroan Terbatas ( “ PT ” ) dan Persekutuan Komanditer ( “ CV ” ). Secara garis besar, karateristik keduanya terdapat perbedaan, di antaranya tidak adanya ketentuan minimal modal dasar bagi CV sebagaimana diwajibkan pada PT. Di samping itu, dalam CV tidak ada pemisahan kekayaan antara pendiri dengan badan usahanya. KLINIK TERKAIT Perizinan Rumah Biliar yang Tergolong Usaha Mikro/Kecil 05 Mar 2013 Perizinan Peternakan yang Dekat Daerah Permukiman 02 Agt 2012 Syarat Pendirian Perusahaan Media Online 18 Jul 2012 Membeli Rumah Sakit yang Berbentuk Yayasan 11 Jul 2012 Selanjutnya, mengenai badan usaha untuk lebih jelasnya silahkan lihat pembahasan mengenai Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya . Dan untuk mempermudah Saudara, berikut kami sampaikan penjelasan mengenai proses pendirian PT dan CV yang dapat anda lihat pada artikel kami sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas A. Proses Pendirian PT B. Proses Pendirian CV Selanjutnya, mengenai maksud Saudara untuk dapat mengikuti tender, maka dapat kami sampaikan bahwa pada kebiasaannya pihak penyelenggara tender mensyaratkan untuk setiap peserta tender adalah berbadan hukum. Dalam hal ini berbentuk PT. Satu dan lain hal karena PT adalah subjek hukum mandiri dan terpisah kekayaannya dari para pendirinya. Sehingga, dinilai lebih bonafid e ketimbang CV. Sepanjang yang kami pahami, creative agency , merupakan kegiatan usaha yang melaksanakan pengembangan identitas suatu badan usaha, perusahaan, ataupun suatu produk. Hal mana creative agency berfokus untuk membentuk strategi pemasaran yang efektif dengan mengkomunikasikan pesan atau merek dari suatu badan usaha/produk untuk mencapai sasarannya. Jasa atau produk yang biasanya disediakan creative agency termasuk namun tidak terbatas pada membuat desain/logo, desain website, dan juga mempersiapkan/membuat promosi untuk memperlihatkan perbedaan unik suatu usaha/produk dengan usaha/produk lainnya atau kompetitor usaha tentunya. Berdasarkan hal di atas, dalam kegiatan usaha creative agency juga menjalankan usaha yang bergerak di bidang Periklanan atau biasa disebut dengan Advertising. Karena itu, maka untuk badan usaha creative agency, menurut hemat kami, juga membutuhkan izin operasional lainnya, yang antara lain: a) Bergabung menjadi Anggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI/P3I) atau Asosiasi Media Luar Ruang Indonesia (AMLI); b) Izin Pemasangan Reklame (Billboard); c) Izin Mendirikan Bangunan Bangun Bangunan Reklame (IMBBBR); d) Izin HO ( Hinder Ordonantie ) atau izin Undang-Undang Gangguan (UUG). Akan tetapi, yang perlu diperhatikan adalah hasil kerja dari Creative Agency, seperti: desain, logo atau karya cipta. Hasil kerja dari Creative Agency sangat erat kaitannya dengan hak kekayaan intelektual (HKI) antara lain merek dan hak cipta. Untuk Hak Cipta, perlindungannya sudah melekat sejak karya cipta tersebut diwujudkan. Sedangkan untuk merek perlu dilakukan pendaftaran terlebih dahulu ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan perlindungan dari negara. Dengan demikian, hasil kerja yang telah dilahirkan selain bernilai secara ekonomi dan juga aman di mata hukum. Apabila terdapat pihak lain yang ingin menggunakan ataupun menjiplak karya Saudara, maka Saudara berhak atas hak royalti atau meminta ganti rugi hingga mengajukan upaya hukum dalam hal karya Saudara digunakan atau dijiplak oleh pihak lain tanpa seizin Saudara. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih. badan usaha"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sociopreneur sendiri secara singkat bisa kita gambarkan sebagai bisnis yang mengedepankan dampak sosial, bukan sekedar keuntungan semata. Namun tidak bisa kita pungkiri sociopreneur adalah sebuah bisnis yang di dalam terdapat 2 tujuan yaitu keuntungan bagi pelaku & dampak sosial bagi masyarakat. Hal ini membuat kami bingung dalam menentukan badan hukum, ada yang bilang berbadan hukum Yayasan. Tapi yang saya tahu Yayasan biasanya untuk usaha non-profit di mana seluruh kekayaan bisnisnya adalah milik Yayasan berarti kami tidak dapat keuntungan. Sementara ada yang bilang jika dalam bentuk CV atau PT, orang tidak akan percaya terhadap bisnis sosial yang kita lakukan. NB: Kami membuat sebuah web crowdfounding. Mohon saran, bentuk badan usaha apa yang tepat?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Izin Mendirikan Café dengan Chef Warga Negara Asing 14 Jun 2023 Ketentuan Nilai Investasi dan Permodalan dalam PMDN dan PMA 19 Nov 2018 Siapkan Hal Ini Jika Ingin Mendirikan Jasa Konsultasi Akuntansi 18 Okt 2017 Bolehkah Kepala Daerah Menjadi Pengurus Yayasan? 27 Okt 2016 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Easybiz adalah anak perusahaan hukumonline.com yang menawarkan solusi kemudahan, kenyamanan dan legalitas dalam berbisnis di Indonesia. Kami memberikan layanan pendirian badan usaha dan perizinan untuk UKM dan startup di Indonesia. Mulai dari proses pendirian PT, domisili, hingga pengurusan izin-izin yang diperlukan untuk memulai usaha. www.easybiz.id Intisari: Yang harus Anda tentukan pertama kali adalah orientasi dari organisasi yang akan didirikan, apakah berorientasi pada profit atau non profit. Kalau orientasi organisasinya adalah profit , maka Anda bisa memilih untuk mendirikan badan usaha yang berbadan hukum seperti membuat Perseroan Terbatas (PT) atau koperasi , atau bisa juga badan usaha yang tidak berbadan hukum seperti membuat CV (Persekutuan Komanditer), Firma, atau perusahaan perorangan . Namun kalau orientasi organisasi nya adalah non profit , maka pilihan badan usaha nya adalah mendirikan Yayasan atau Perkumpulan berbadan hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tentukan Orientasi Organisasi Anda Yang harus Anda tentukan pertama kali adalah orientasi dari organisasi yang akan didirikan, apakah berorientasi pada profit atau non profit. Ini penting agar ada kejelasan bagi para stakeholders dan counter part organisasi Anda. Yang perlu kami garisbawahi di sini adalah kalaupun organisasi Anda bermaksud memperoleh profit atau keuntungan, bukan berarti tidak bisa melakukan kegiatan sosial. Sebaliknya, kalau berorientasi non profit atau nirlaba bukan berarti tidak bisa melakukan kegiatan usaha. Kami menyarankan Anda mendiskusikan terlebih dahulu secara internal mengenai orientasi organisasi Anda. Jika Orientasi Organisasinya adalah Profit Kalau orientasi organisasinya adalah profit , maka Anda bisa memilih untuk mendirikan badan usaha yang berbadan hukum atau yang tidak berbadan hukum. Yang berbadan hukum pilihannya adalah membuat Perseroan Terbatas (“PT” ) atau koperasi . S ementara yang tidak berbadan hukum adalah membuat CV (Persekutuan Komanditer) , Firma, atau perusahaan perorangan . Jika Orientasi Organisasinya adalah Non Profit Kalau orientasi organisasi nya adalah non profit , maka pilihan badan usaha nya adalah mendirikan Yayasan atau Perkumpulan berbadan hukum. Ciri utama Yayasan adalah adanya sekumpulan kekayaan yang dipisahka n. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota [1] , sementara perkumpulan adanya sekumpulan orang yang memiliki kesamaan maksud dan tujuan [2] . Arti Crowdfunding Pengertian crowdfunding berdasarkan artikel yang dimuat dalam Forbes adalah: “ The practice of funding a project or venture by raising many small amount of money from a large number of people, typically via internet.” Sepanjang pengetahuan kami, crowdfunding ada yang hanya menyediakan platform untuk mempertemukan mereka yang akan mendonasikan sebuah project dengan mereka yang akan mengelola dan mengerjakan project tersebut ; dan ada crowdfunding yang hakikatnya mengumpulkan dan mengelola dana masyarakat atau kombinasi keduanya. Apabila melakukan pengumpulan dana masyarakat, maka Anda perlu mempelajari U ndang- U ndang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (“UU 9/1961”) . Pengumpulan uang atau barang adalah setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan. [3] Kegiatan pengumpulan uang ini harus mendapatkan izin dari pejabat terkait. [4] Pejabat yang berwenang memberikan izin pengumpulan uang atau barang ialah: [5] a. Menteri Kesejahteraan Sosial, setelah mendengar pendapat Panitia Pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam seluruh wilayah negara atau melampui daerah tingkat I atau untuk menyelenggarakan/membantu suatu usaha sosial di luar negeri; b. Gubernur, kepala Daerah tingkat I, setelah mendengar pendapat Panitia Pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan di dalam seluruh wilayahnya yang melampui suatu daerah tingkat II dalam wilayah daerah tingkat I yang bersangkutan; c. Bupati/Walikota, Kepala Daerah tingkat II, setelah mendengar pendapat Panitia Pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam wilayah daerah tingkat II yang bersangkutan. Meski UU 9/1961 tidak menyebutkan secara spesifik badan usaha atau badan hukum yang bisa digunakan, kalau crowdfunding yang akan Anda dirikan mendekati apa yang diatur di undang-undang tersebut , menurut hemat kami yang cocok adalah dengan mendirikan Yayasan . Yayasan dan Karakteristiknya Bila Anda memilih untuk mendirikan Yayasan, yang perlu diketahui adalah Yayasan tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usaha secara langsung. Yayasan hanya diperkenankan melakukan kegiatan usaha melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana Yayasan menyertakan kekayaannya dengan persyaratan-persyaratan tertentu seperti kekayaan Yayasan yang disertakan ke dalam badan usaha tersebut tidak boleh melebihi dari 25% dari total nilai kekayaan Yayasan. Kemudian, hasil dari usaha tersebut hanya bisa digunakan untuk kepentingan Yayasan untuk mencapai tujuannya. Selain itu, Pembina/Pengurus/Pengurus Yayasan juga tidak diperkenankan menjadi direksi atau komisaris di perusahaan yang didirikan oleh Yayasan tersebut. [6] H al lain yang perlu diketahui mengenai Yayasan adalah badan hukum ini tidak diperkenankan untuk memberikan gaji kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawasnya. [7] Akan tetapi terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut, Pembina, Pengurus, dan Pengawasnya dapat menerima gaji, upah, atau honorarium sesuai yang telah ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Pengecualian ini pun memiliki persyaratan untuk pelaksanaannya. Persyaratan untuk pengurus boleh mendapatkan gaji adalah yang bersangkutan bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas Yayasan. Selain itu, pengurus yang digaji harus melaksanakan pengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. [8] Perkumpulan Berbadan Hukum Bentuk badan hukum lain yang bisa dijadikan pertimbangan untuk organisasi nirlaba adalah Perkumpulan Berbadan Hukum . Aturan mengenai perkumpulan yang berlaku saat ini masih peninggalan pemerintah kolonial Belanda yakni Staatsblad 1870 No. 64 (“Stb. 1870-64”) dan KUH Perdata Buku III Bab IX. Mengenai perkumpulan berbadan hukum bisa dipelajari di artikel Prosedur Pendirian Perkumpulan Berbadan Hukum . Perlu kami tambahkan bahwa Perkumpulan memiliki arti luas dan sempit . Dalam arti luas adalah perkumpulan yang ada dalam bidang hukum dagang dan merupakan bentuk asal dari segala persekutuan (firma, CV , Pesekutuan perdata). Sedangkan perkumpulan dalam arti sempit merupakan perkumpulan yang tidak termasuk dalam hukum dagang. Sehingga perkumpulan tersebut tidak bertujuan ekonomi/mencari untung dan tidak menjalankan perusahaan. Oleh karena itu, bentuk perkumpulan yang melakukan kegiatan sosial merupakan pengertian dari perkumpulan dalam arti sempit. Berbeda dengan Yayasan yang bisa menjalankan kegiatan usaha dengan batasan tertentu, untuk perkumpulan berbadan hukum di Stb. 1870-64 tidak ada ketentuannya. Seperti yang telah kami ulas di atas, bila orientasinya adalah nirlaba Anda bisa mendirikan Yayasan atau Perkumpulan berbadan hukum, namu n apabila orientasi nya bisnis/mencari profit, maka mendirikan PT bisa dijadikan pertimbangan . Perseroan Terbatas dan Karakteristiknya Terlepas apakah crowdfunding Anda hanya menyediakan platform atau mengelola dana masyarakat atau kombinasi keduanya, Perseroan Terbatas (“ PT ”) memiliki pengertian sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha, dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyar a tan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) dan peraturan pelaksananya. [9] Berdasarkan pengertian PT tersebut, ada 3 (tiga) karakteristik suatu PT : 1. PT merupakan b adan hukum, dengan itu PT merupakan subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban layaknya subjek hukum orang; 2. PT adalah merupakan persekutuan modal, berbeda dengan CV atau persekutuan perdata yang merupakan persekutuan orang. Pendirian PT ini didasarkan oleh perjanjian antara pendiri PT untuk mendirikan PT tersebut. 3. PT melakukan kegiatan usaha. Melakukan kegiatan usaha ini bertujuan untuk meraih keuntungan. Kemudian keuntungan tersebut akan dibagikan kepada pemegang saham sesuai dengan saham yang mereka miliki. Dari penjelasan mengenai karakteristik PT, bisa dilihat bahwa tujuan dari PT adalah untuk melakukan kegiatan usaha untuk mendapat keuntungan. Jadi, apabila Anda ingin mendirikan badan usaha- dalam hal ini crowdfunding - yang berorientasi pada keuntungan yang diperoleh bagi pemegang saham, maka PT merupakan pilihan yang tepat. Apalagi saat ini pemerintah telah mengeluarkan serangkaian aturan baru untuk membuat proses pendirian PT menjadi lebih mudah . Konsisten dengan tujuannya yang untuk mendapatkan profit , maka pada anggaran dasar PT tidak dimungkinkan untuk memasukkan kegiatan sosial. Akan tetapi tidak ada larangan bagi perusahaan untuk menggunakan hasil keuntungan dari usahanya untuk kegiatan sosial misalnya melalui kegiatan C orporate S ocial R esponsibility atau kegiatan lainnya . Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: 1. Staatsblad 1870 No. 64; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 3. U ndang- U ndang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang ; 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 5. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan . REFERENSI:\n1. 1. Chidir Ali S.H., Badan Hukum. 2. M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas , terbitan Sinar Grafika, cetakan 2011. 3. Prof. Agus Sardjono, S.H., M.H., Pengantar Hukum Dagang. 4. http://forbes.com , diakses pada 22 November 2016 pukul 13.36 WIB. 5. https://kitabisa.com/faq , diakses pada 22 November 2016 pukul 13.42 WIB. 6. https://wujudkan.com/static_page/syarat , diakses pada 22 November 2016 pukul 13.45 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No mor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) [2] Buku III Bab IX Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) [3] Pasal 1 UU 9/1961 [4] Pasal 2 ayat (1) UU 9/1961 [5] Pasal 4 ayat (1) UU 9/1961 [6] Pasal 3 dan Pasal 7 UU Yayasan [7] Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU 28/2004”) [8] Pasal 5 ayat (2) UU 28/2004 [9] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) bisnis pt hukumonline persekutuan perdata yayasan badan usaha pembina organisasi masyarakat klinik hukum sosial perusahaan klinik hukumonline pengurus cv"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa macamkah eksepsi di dalam hukum acara perdata? Dan tolong disebutkan serta diuraikan masing-masing eksepsi tersebut? Terima Kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Eksepsi pada dasarnya dapat kita bagi atas dua macam yaitu: 1. Eksepsi yang ditujukan bukan pada pokok perkara; dan 2. Eksepsi yang ditujukan pada pokok perkara. Eksepsi atau penjawaban (sangkaan) dalam perkara perdata dari tergugat yang tidak ditujukan pada pokok perkara, tetapi apabila ternyata kebenarannya dapat mengakibatkan tidak berhasilnya gugatan tersebut, misalnya eksepsi bahwa hakim yang memeriksa gugatan itu tidak kompeten; eksepsi bahwa perkara itu berhubungan erat dengan gugatan yang sedang diperiksa oleh hakim lain, dan supaya pemeriksa perkara tersebut diserahkan kepada hakim lain tersebut; eksepsi bahwa dalam perkara yang sama telah ada satu keputusan pengadilan yang telah beroleh kekuatan mutlak, dsb. Eksepsi-eksepsi yang mungkin dimajukan oleh tergugat, terkecuali mengenai tidak berwenangnya hakim, tidak boleh diusulkan dan dipertimbangkan secara terpisah-pisah, akan tetapi harus bersama-sama diperiksa dan diputus dengan pokok perkara (HIR ps.136). Ada bentuk eksepsi yang lain yaitu exeptio non adimpleti contractus dimana penjawaban (sangkalan) yang berisikan bahwa pihak yang (ketiga) lainnya juga berada dalam keadaan lalai (alpa), dan oleh karena itu dari pihaknya tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi."
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah hukumnya apabila vas bunga keramik milik kafe pecah/rusak oleh pelanggan? Kafe tidak mau menerima biaya ganti rugi. Kafe meminta ganti barang yang persis sama, yang di mana situasinya untuk mencari barang yang persis sama sangat susah dan mungkin hampir tidak ada. Sehingga uang deposito pelanggan karena kejadian kerusakan tersebut belum bisa dikembalikan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perbuatan Melawan Hukum dan Ganti Ruginya\n\nMenyambung pertanyaan Anda, pelanggan memecahkan atau merusak vas bunga kafe dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Dalam hal ini terdapat perikatan yang timbul antara pelanggan dan pemilik kafe sebagai akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelanggan.\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITLangkah Hukum Jika Mantan Karyawan Membocorkan Rahasia Perusahaan 25 Jan 2024Hukumnya Sengaja Taruh Racun Agar Hewan Orang Lain Mati13 Sep 2022Contoh Perbuatan Melawan Hukum dan Dasar Gugatannya09 Sep 2022Langkah Hukum Jika Dokter Salah Diagnosis dalam Pengobatan08 Sep 2022\n\nKUH Perdata menyebutkan bahwa perikatan timbul dari persetujuan dan undang-undang. Terhadap perikatan yang lahir dari undang-undang, KUH Perdata membaginya menjadi perikatan yang hanya terjadi karena undang-undang saja dan perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia.[1] Perikatan yang timbul dari undang-undang karena perbuatan manusia muncul dari suatu perbuatan yang sah atau perbuatan yang melanggar hukum.[2] Adapun pasal perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.\n\nApa bunyi Pasal 1365 KUH Perdata? Perbuatan melawan hukum dikonstruksikan sebagai setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.[3]\nNamun demikian, perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) tidak diartikan secara sempit yakni sebatas perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan (onwetmatigedaad), namun juga perbuatan yang:[4]\n\nbertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;melanggar hak subjektif orang lain;melanggar kaidah tata susila; danbertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta orang lain.\n\nApa saja ganti rugi dalam perbuatan melawan hukum? Terdapat beberapa jenis penuntutan yang dapat dilakukan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata menurut M.A. Moegni Djojodirdjo dalam bukunya berjudul Perbuatan Melawan Hukum (hal. 102):\n\nganti kerugian atas kerugian dalam bentuk uang;ganti kerugian dalam bentuk natura atau pengembalian keadaan pada keadaan semula;pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan hukum;larangan untuk melakukan suatu perbuatan;meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum;pengumuman daripada keputusan atau dari sesuatu yang telah diperbaiki.\nSehingga, pembayaran ganti kerugian tidak selalu harus berwujud uang. Keputusan Hoge Raad tertanggal 24 Mei 1918 telah mempertimbangkan bahwa pengembalian pada keadaan semula adalah merupakan pembayaran ganti kerugian yang paling tepat. In casu, permintaan dari kafe agar pelanggan mengganti barang yang persis sama merupakan tuntutan untuk mengembalikan keadaan pada keadaan semula.\n\nBaca juga: Contoh Perbuatan Melawan Hukum dan Dasar Gugatannya\nGanti Rugi Uang dalam Perbuatan Melawan Hukum\n\nNamun demikian, ternyata pelanggan kesulitan untuk mengganti dengan barang yang persis sama sebab mencari barang yang sama adalah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, berlaku Pasal 1236 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut.\n\nDebitur wajib memberi ganti biaya, kerugian dan bunga kepada kreditur bila ia menjadikan dirinya tidak mampu untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya dengan sebaik-baiknya untuk menyelamatkannya.\n\nDengan demikian, menurut hemat kami, pelanggan dapat memberikan ganti rugi kepada kafe dalam bentuk uang apabila pelanggan memang benar-benar kesulitan mencari barang yang sama.\n\nKami menyarankan antara pelanggan dengan pihak kafe melakukan negosiasi dengan iktikad baik agar tercapai penyelesaian. Pelanggan dapat menyampaikan upaya atau usaha yang telah dilakukan untuk mencari barang yang sama, namun tidak menemukannya. Pelanggan pun dapat memberikan opsi penawaran pembayaran ganti rugi dalam bentuk uang. Di sisi lain, pihak kafe dapat saja memberikan referensi tempat membeli barang yang sama dan membuka ruang negosiasi untuk penyelesaian masalah.\n\nDalam hal negosiasi tidak mencapai kesepakatan, maka proses hukum melalui pengadilan dibutuhkan untuk menyelesaikan persoalan ini, sebab nantinya dalam putusan pengadilan dapat ditetapkan penentuan jumlah ganti rugi yang pantas atas kerugian yang dialami pihak kafe tersebut.\n\nBaca juga: Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\nREFERENSI:\n1. M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 1976\n2. Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919\n3. Keputusan Hoge Raad tertanggal 24 Mei 1918.\n\n[1] Pasal 1352 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)[2] Pasal 1353 KUH Perdata[3] Pasal 1365 KUH Perdata[4] Putusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919, termuat dalam majalah “Nederlandsche Jurisprudentie” 1919-101"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan kepada saksi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bentuk perlindungan yang dapat diberikan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) kepada saksi dan korban tindak pidana, sesuai ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, dan Pasal 10 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”). Sesuai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU 13/2006 , LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban. KLINIK TERKAIT Sahkah Keterangan Anak sebagai Saksi Tindak Pidana? 19 Sep 2023 Begini Peran dan Fungsi Advokat dalam Perkara Pidana 14 Agt 2023 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Hambatan-hambatan Pelaksanaan Perlindungan Saksi dan Korban 15 Mei 2012 Bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan LPSK kepada saksi dan korban dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Perlindungan fisik dan psikis : Pengamanan dan pengawalan,penempatan di rumah aman, mendapat identitas baru, bantuan medis dan pemberian kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan, bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Perlindungan hukum : Keringanan hukuman, dan saksi dan korban serta pelapor tidak dapat dituntut secara hukum (Pasal 10 UU 13/2006). 3. Pemenuhan hak prosedural saksi : Pendampingan, mendapat penerjemah, mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, penggantian biaya transportasi, mendapat nasihat hukum, bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan dan lain sebagainya sesuai ketentuan Pasal 5 UU 13/2006. Demikian semoga berkenan. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan oleh bank kepada pengguna jasa layanan perbankan (nasabah) berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Perlindungan hukum yang diberikan oleh bank atas penggunaan jasa layanan perbankan jika dilihat berdasarkan UU 10/1998 terdiri atas: Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah, yang dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia Perbankan. Rahasia bank, yang dimaksudkan agar kepecayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dan mewajibkan setiap bank menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank bersangkutan. Selain itu, usaha pemerintah untuk melindungi nasabah/konsumen secara umum juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Terdapat beberapa ketentuan yang dapat digunakan untuk memberikan perlindungan hukum kepada pengguna jasa layanan perbankan (nasabah) berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (\"UU 10/1998\") , di antaranya sebagai berikut: Penyediaan Informasi Mengenai Kemungkinan Timbulnya Risiko Kerugian Pasal 29 ayat (4) UU 10/1998 menyatakan: Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia Perbankan. [1] Rahasia Bank Berdasarkan Pasal 1 angka 28 UU 10/1998 : Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Kemudian, Pasal 40 ayat (1) dan (2) UU 10/1998 menyatakan: Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak Terafiliasi. Menurut Muhamad Djumhana dalam bukunya Hukum Perbankan di Indonesia , dengan adanya jaminan kerahasiaan atas semua data masyarakat dalam hubungannya dengan bank, maka masyarakat memercayai bank tersebut. Selanjutnya, mereka akan memercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank. Kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan. [2] Terdapat beberapa pengecualian untuk dapat dibukanya rahasia perbankan seperti yang dimaksud dalam Pasal 41 UU 10/1998, Pasal 41A UU 10/1998, Pasal 42 UU 10/1998, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 7/1992”) , Pasal 44 UU 7/1992 dan Pasal 44A UU 10/1998 , yaitu: untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank yang diserahkan ke Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (BUPLN/PUPN), kepentingan peradilan di dalam perkara pidana, perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, tukar–menukar informasi antar bank, atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, dan dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia. Penjelasan lebih lanjut tentang pengecualian-pengecualian ini dapat Anda simak Bolehkah Bank Memberikan Informasi Data Nasabah Kepada Bank Lain? . Khusus untuk kepentingan perpajakan, telah diterbitkan juga peraturan yang dapat mengenyampingkan rahasia bank, yaitu dalam Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra (“POJK 25/2015”) . Melalui aturan ini, Lembaga Jasa Keuangan (LJK) wajib menyampaikan laporan kepada otoritas pajak berupa informasi nasabah asing terkait perpajakan untuk diteruskan kepada otoritas negara mitra atau yurisdiksi mitra. [3] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak Regulasi yang Harus Dipersiapkan Jelang Implementasi Automatic Exchange of Information . Jaminan Atas Simpanan Nasabah Melalui Lembaga Penjamin Simpanan Perlindungan lainnya yang diberikan UU 10/1998 adalah dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana disebut dalam Pasal 37B ayat (1) dan (2) UU 10/1998 : Setiap bank wajib menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan. Untuk menjamin simpanan masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan. Lembaga Penjamin Simpanan adalah badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan penjaminan atas simpanan Nasabah Penyimpan melalui skim asuransi, dana penyangga, atau skim lainnya. [4] Jadi, UU 10/1998 mengamanatkan dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dan mewajibkan setiap bank menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank bersangkutan. Adapun dasar hukum dari lembaga ini adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 . Di samping UU 10/1998, usaha pemerintah untuk melindungi nasabah/konsumen secara umum juga dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (\"UU 8/1999\") . Berlakunya UU 8/1999 ini memberikan konsekuensi logis terhadap pelayanan jasa perbankan. Pelaku usaha jasa perbankan oleh karenanya dituntut untuk: [5] Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan jasa yang diberikannya; Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Menjamin kegiatan usaha perbankannya berdasarkan ketentuan standar perbankan yang berlaku; Dan sebagainya. UU 8/1999 juga berupaya untuk melindungi nasabah bank dengan cara memberikan batasan terhadap klausula baku yang ditetapkan oleh bank dengan dicantumkannya Pasal 18 dalam undang-undang tersebut. Jadi menjawab pertanyaan Anda , perlindungan hukum yang diberikan oleh bank atas penggunaan jasa layanan perbankan jika dilihat berdasarkan UU 10/1998 terdiri atas: Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah, yang dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia Perbankan; Rahasia bank, yang dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat lahir apabila dari bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan; Dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan dan mewajibkan setiap bank menjamin dana masyarakat yang disimpan dalam bank bersangkutan. Selain itu, usaha pemerintah untuk melindungi nasabah/konsumen secara umum juga dapat ditemukan yaitu dalam UU 8/1999. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 Peraturan OJK (POJK) No. 25/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Penyampaian Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan Kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra Referensi : Muhammad Djumhana. 2012. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. [1] Penjelasan Pasal 29 ayat (4) UU 10/1998 [2] Muhammad Djumhana, hal. 157 [3] Pasal 2 ayat (1) UU 10/1998 [4] Pasal 1 angka 24 UU 10/1998 [5] Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, hlm. 303-304 ojk hukumonline google lps otoritas jasa keuangan bank nasabah klinik hukum lembaga penjamin simpanan klinik hukumonline perbankan rahasia bank perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, bagaimana bentuk perlindungan konsumen terhadap nasabah bank syariah jika dilihat dari UU Perbankan Syariah? Apa bedanya dengan perlindungan konsumen terhadap nasabah bank konvensional?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Belanja Online 25 Apr 2022 Plafon Rumah Ambruk, Kontraktor atau Developer yang Bertanggungjawab? 03 Sep 2020 Kompensasi yang Didapat Konsumen Jika Mengalami Gangguan Listrik 14 Agt 2020 Hukumnya Membuat Banyak Akun agar Mendapat Promo E-Commerce 28 Jul 2020 Bank Syariah dan Bank Konvensional Jika dilihat dari fungsi dan perannya, bank syariah sebenarnya tidak berbeda dengan bank konvensional, yaitu sebagai lembaga intermediasi keuangan. Maksudnya, bank syariah berfungsi menjembatani antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang memerlukan dana. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Baik bank syariah maupun bank konvensional, keduanya tunduk pada peraturan perbankan secara umum, seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”) . Kedua lembaga ini juga sama-sama harus patuh terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan tentang persyaratan permodalan, prinsip kehati-hatian, dan berbagai regulasi terkait dengan kesehatan perbankan. Perbedaan mendasarnya adalah terkait dengan pengelolaan dana, keuntungan yang didapat bank dan nasabah, serta pengawasan yang dilakukan. Mengenai pengawasan, dalam bank syariah terdapat Dewan Pengawas Syariah, yang mana dewan tersebut tidak ada pada bank konvensional, kecuali yang memiliki unit usaha syariah (“UUS”). [1] Nasabah Bank Syariah sebagai Konsumen Lembaga Perbankan Kontrak atau akad antara bank konvensional dan bank syariah dengan nasabahnya memang sangat berbeda. Namun nasabah pada dasarnya merupakan pihak yang memerlukan aliran dana untuk suatu keperluan, pihak yang justru mengalirkan dana ke bank, ataupun pihak yang mendapatkan layanan keuangan. Sehingga, nasabah merupakan konsumen lembaga perbankan. Sebagai konsumen, nasabah bank syariah memperoleh perlindungan dari regulasi di bidang perlindungan konsumen selain UU 21/2008, meliputi: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) ; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (“POJK 1/2013”) ; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan ; dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/SEOJK.07/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan . Meskipun UU OJK sekilas bersifat umum dan tidak mengindikasikan adanya ketentuan tentang perlindungan konsumen, namun Pasal 1 angka 15 UU OJK berbunyi: Konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan\npelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan , pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Bahkan pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 21 Bab VI UU OJK ini juga mengatur secara khusus tentang perlindungan konsumen dan masyarakat, yang lebih lanjut diatur melalui POJK 1/2013. Perlindungan Konsumen dalam UU 21/2008 Patut dicatat Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) bersifat lex spesialis , karena secara khusus mengatur perbankan syariah. Meskipun UU 21/2008 memang tidak menyebutkan nasabah sebagai konsumen, bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya. [2] Kemudian Pasal 66 ayat (2) UU 21/2008 , menyebutkan: Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 8 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2 miliar dan paling banyak Rp4 miliar. Jadi dari penjelasan di atas, perlindungan nasabah dalam perbankan syariah, meliputi: Menjaga dana nasabah agar tetap aman, dalam artian penyaluran dan pengembangan dana nasabah harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian ( prudent ). Selain itu, tidak rentan terhadap pencurian dalam arti secara riil. Menjamin keamanan dan kerahasiaan data nasabah, termasuk kerahasiaan jumlah dana yang disimpan. Sehingga, nasabah aman dari tawaran-tawaran yang tidak dikehendakinya, serta terhindar dari target kejahatan. Memperoleh penjelasan mengenai kemungkinan timbulnya potensi risiko sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan. [3] Mendapatkan kesempatan untuk secara sukarela menyerahkan agunan atau dapat memberikan kuasa terhadap ekskusi jaminan jika terjadi gagal bayar (wanprestasi). [4] Penjaminan dana nasabah oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [5] Memanfaatkan pelayanan produk-produk bank syariah, dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip syariah. [6] Dengan demikian, nasabah bank syariah merupakan konsumen dari lembaga perbankan yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, yaitu prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan lembaga yang berwenang, dan memperoleh perlindungan konsumen berdasarkan UU 21/2008 dan peraturan terkait lainnya. [7] Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17/SEOJK.07/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan [1] Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”) [2] Pasal 41 UU 21/2008 [3] Pasal 39 UU 21/2008 [4] Pasal 40 ayat (1) UU 21/2008 [5] Pasal 54 ayat (3) UU 21/2008 [6] Pasal 51 ayat (1) UU 21/2008 [7] Pasal 1 angka 7 dan 12 UU 21/2008 jasa keuangan bank syariah investasi perbankan perbankan syariah rahasia bank perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ada berapa macam putusan bebas?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab mengenai bentuk-bentuk putusan bebas, terlebih dahulu kami akan jelaskan tentang arti putusan bebas dan alasan-alasan dijatuhkannya putusan bebas itu. Mengenai putusan bebas dapat kita temui pengaturannya dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Perbedaan Putusan Bebas dan Lepas 13 Jun 2024 Syarat Pembebasan Bersyarat Kasus Narkoba 12 Okt 2023 Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap? 21 Sep 2023 Hukumnya Pakai Uang yang Ditemukan di Jalan 05 Sep 2023 “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Yang dimaksud dengan \"perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan\" adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana [penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP mengatakan bahwa putusan bebas berarti terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum ( vrijspraak ) atau acquittal , dalam arti dibebaskan dari pemidanaan. Tegasnya, terdakwa tidak dipidana (hal. 347). Berbeda halnya jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak dipidana. Terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana disebut dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, maka ini dinamakan putusan lepas. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan kedua putusan di atas dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Putusan Bebas dengan Putusan Lepas. Penilaian bebas sebuah putusan tersebut tergantung pada 2 hal, yaitu ( Ibid hal. 348): Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif Pembuktian yang diperoleh di persidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu tidak diyakini oleh hakim. Tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Bertitik tolak pada kedua asas yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas dan dihubungkan dengan Pasal 191 ayat (1) tentang putusan bebas, maka putusan bebas pada umumnya didasarkan pada penilaian dan pendapat hakim: 1) kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak terbukti, semua alat bukti yang diajukan ke persidangan baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan petunjuk maupun keterangan terdakwa tidak dapat membuktikan kesalahan yang didakwakan. Perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena menurut penilaian hakim semua alat bukti yang diajukan tidak cukup atau tidak memadai membuktikan kesahan yang didakwakan 2) secara nyata hakim menilai pembuktian kesalahan yang didakwakan tidak memenuhi ketentuan minimum batas pembuktian. Misalnya, alat bukti yang diajukan di persidangan hanya terdiri dari seorang saksi saja. Di samping tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian, juga bertentangan dengan Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan unus testis nullus testis atau seorang saksi bukan saksi 3) putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian, kesalahan yang terbukti itu tidak didukung oleh keyakinan hakim. Keterbuktian kesalahan yang didakwakan dengan alat bukti yang sah harus didukung oleh keyakinan hakim. Sekalipun secara formal kesalahan terdakwa dapat dinilai cukup terbukti, namun nilai pembuktian yang cukup ini akan lumpuh apabila tidak didukung oleh keyakinan hakim Selanjutnya kami akan membahas tentang bentuk-bentuk putusan bebas. Pada dasarnya, KUHAP tidak membagi bentuk putusan bebas. Bentuk-bentuk putusan pengadilan yang dikenal dalam KUHAP yaitu: putusan bebas, putusan lepas, putusan pemidanaan, penetapan tidak berwenang mengadili, putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapat diterima, dan putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum ( Ibid hal. 347-358). Namun dalam praktiknya, kemudian dikenal ada putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni yang dikenalkan dalam yurisprudensi pertama kali lewat Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 275 K/Pid/1983 , yakni kasus vonis bebas Natalegawa yang dikasasi jaksa. Mahkamah Agung menerima kasasi jaksa berdasarkan argumentasi murni tidaknya putusan bebas. Maklum, saat itu Pasal 244 KUHAP tegas melarang upaya kasasi atas putusan bebas. Akhirnya s ejak saat itu, praktek hukum acara di Indonesia mengenal istilah putusan bebas murni atau tidak murni. Pihak jaksa penuntut umum biasanya selalu menggunakan dalil ketika mengajukan kasasi bahwa hakim dalam tingkat persidangan sebelumnya telah menjatuhkan putusan bebas tidak murni. Pasal 244 KUHAP Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas . Belakangan, Mahkamah Konstitusi ‘meralat’ Pasal 244 KUHAP dengan menyatakan frasa ‘ kecuali terhadap putusan bebas ’ tidak berlaku lagi sejak Maret 2013 lalu. Dengan demikian, sejak saat itu, terhadap putusan bebas pun dapat diajukan kasasi. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa KUHAP tidak membagi bentuk-bentuk putusan bebas. Akan tetapi, dalam sejarahnya lahirlah putusan bebas murni dan putusan bebas tidak murni yang dikenal dari yurisprudensi. Namun, saat ini, hakim pada Mahkamah Agung mengatakan bebas murni atau tidak murni sudah tidak relevan lagi dipertimbangkan karena semua vonis bebas boleh dikasasi. Penjelasan lebih lanjut mengenai kedua bentuk putusan bebas ini dapat Anda simak dalam artikel Bebas Murni atau Tidak Murni Sudah Tak Relevan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; Referensi: Harahap, Yahya. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu lebih jelas tentang penerapan pasal pada tindak pidana dengan menggunakan “juncto”, “subsidair” atau “dan”? Apabila suatu tindak pidana ada 2 (dua) undang-undang yang mengatur kita menggunakan “juncto”, “subsidair” atau “dan”? Mohon bantuannya supaya saya lebih jelas. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya. Jika berbicara mengenai penerapan pasal pada tindak pidana, maka hal ini berkaitan erat dengan tahap penuntutan. Tahap penuntutan dalam hukum acara pidana diatur secara merinci dalam Bab XV Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Pasal 143 KUHAP menyatakan secara jelas bahwa untuk mengadili suatu perkara, Penuntut Umum wajib mengajukan permintaan disertai dengan suatu surat dakwaan. KLINIK TERKAIT Yang Boleh Beracara di Pengadilan Selain Advokat 31 Okt 2023 Perbedaan dan Persamaan Surat Dakwaan dengan Surat Tuntutan 12 Okt 2023 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Arti Error in Persona dan Error in Objecto Serta Contoh Kasusnya 24 Jun 2021 Menyadari betapa pentingnya peranan Surat Dakwaan dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan, Jaksa Agung mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-004/J.A/11/1993 tentang Pembuatan Surat Dakwaan . Surat Edaran tersebut ditujukan agar dapat keseragaman para Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan. Dalam Surat Edaran ini, disebutkan tentang bentuk-bentuk surat dakwaan antara lain: 1. Dakwaan Tunggal Dalam surat dakwaan ini hanya satu Tindak Pidana saja yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya; 2. Dakwaan Alternatif Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam surat dakwaan ini terdapat beberapa dakwaan yang disusun secara berlapis, lapisan yang satu merupakan alternatif dan bersifat mengecualikan dakwaan pada lapisan lainnya. Bentuk dakwaan ini digunakan bila belum didapat kepastian tentang Tindak Pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan. Dalam dakwaan alternatif, meskipun dakwaan terdiri dari beberapa lapisan, hanya satu dakwaan saja yang dibuktikan tanpa harus memperhatikan urutannya dan jika salah satu telah terbukti maka dakwaan pada lapisan lainnya tidak perlu dibuktikan lagi. Dalam bentuk Surat Dakwaan ini, antara lapisan satu dengan yang lainnya menggunakan kata sambung atau. Contoh dakwaan alternatif: Pertama: Pencurian (Pasal 362 KUHP) atau Kedua: Penadahan (Pasal 480 KUHP) 3. Dakwaan Subsidair Sama halnya dengan dakwaan alternatif, dakwaan subsidair juga terdiri dari beberapa lapisan dakwaan yang disusun secara berlapis dengan maksud lapisan yang satu berfungsi sebagai pengganti lapisan sebelumnya. Sistematik lapisan disusun secara berurut dimulai dari Tindak Pidana yang diancam dengan pidana tertinggi sampai dengan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana terendah. Pembuktian dalam surat dakwaan ini harus dilakukan secara berurut dimulai dari lapisan teratas sampai dengan lapisan selanjutnya. Lapisan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut agar terdakwa dibebaskan dari lapisan dakwaan yang bersangkutan. Contoh dakwaan subsidair: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) Subsidair: Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) 4. Dakwaan Kumulatif Dalam Surat Dakwaan ini, didakwakan beberapa Tindak Pidana sekaligus, ke semua dakwaan harus dibuktikan satu demi satu. Dakwaan yang tidak terbukti harus dinyatakan secara tegas dan dituntut pembebasan dari dakwaan tersebut. Dakwaan ini dipergunakan dalam hal Terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri. Contoh dakwaan kumulatif: Kesatu:Pembunuhan (Pasal 338 KUHP) dan Kedua: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP) dan Ketiga: Perkosaan (Pasal 285 KUHP) 5. Dakwaan Kombinasi Disebut dakwaan kombinasi, karena di dalam bentuk ini dikombinasikan atau digabungkan antara dakwaan kumulatif dengan dakwaan alternatif atau subsidair. Contoh dakwaan kombinasi: Kesatu: Primair: Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP); Subsidair: Pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP); dan Kedua: Primair: Pencurian dengan pemberatan (Pasal 363 KUHP); Subsidair: Pencurian (Pasal 362 KUHP) Berbeda halnya dengan dan, atau dan subsidair , untuk kata juncto , kata ini digunakan untuk menjelaskan pasal yang memiliki hubungan satu dengan lainnya. Pasal-pasal ini tidak dibatasi hanya untuk satu undang-undang, pula tidak dibatasi hanya untuk penerapan pasal pada tindak pidana. Contoh penggunaan kata juncto misalnya: A membantu B dalam melakukan tindak pidana pembunuhan, maka A akan didakwa dengan Pasal 338 KUHP (tentang pembunuhan) jo. Pasal 55 KUHP (tentang Membantu Melakukan Tindak Pidana), sedangkan B akan didakwa dengan Pasal 338 KUHP. Dakwaan di antara keduanya berbeda agar menjelaskan bahwa A bukan merupakan pelaku utama seperti yang diatur dalam Pasal 340 KUHP melainkan merupakan pembantu tindak pidana tersebut sebagaimana dijelaskan keadaannya dalam Pasal 55 KUHP. Mengingat hal-hal yang telah dijabarkan di atas, maka penggunaan kata dan , atau, juncto , atau primair-subsidair disesuaikan dengan jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Dalam hal terdakwa melakukan satu Tindak Pidana yang menyentuh beberapa perumusan Tindak Pidana dalam undang-undang dan belum dapat dipastikan tentang kualifikasi dan ketentuan pidana yang dilanggar, dipergunakan dakwaan alternatif (menggunakan kata atau ) atau dakwaan subsidair. Sedangkan, dalam hal terdakwa melakukan beberapa Tindak Pidana yang masing-masing merupakan Tindak Pidana yang berdiri sendiri-sendiri dipergunakan bentuk dakwaan kumulatif (menggunakan kata dan ). Demikian jawaban dari kami, semoga dapat menjawab pertanyaan Saudara. Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat tempat Penjawab bekerja. DASAR HUKUM: Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Menyambut Pilkada 2020 nanti, apakah sudah ada aturan yang mengatur pelaksanaan kampanye di tengah pandemi ini?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebagaimana yang diberitakan dalam artikel Pilkada Tetap Dilaksanakan dengan Penegakkan Disiplin Protokol Kesehatan dan Sanksi Hukum pada laman Direktorat Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan Kementerian Dalam Negeri bahwa rapat kerja dan rapat dengar pendapat yang dihadiri Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di ruang rapat Komisi II DPR RI menyepakati bahwa pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 tetap dilaksanakan sesuai jadwal dengan penegakkan disiplin dan sanksi hukum terhadap pelanggaran protokol kesehatan COVID-19. Sebagai informasi, Anda dapat mengakses jadwal tahapan persiapan dan tahap penyelenggaraan melalui Tahapan Pilkada 2020 pada laman KPU . Pelaksanaan Kampanye Berkaitan dengan pertanyaan Anda, kampanye pilkada 2020 dilaksanakan dengan metode: [1] pertemuan terbatas; pertemuan tatap muka dan dialog; debat publik atau debat terbuka antar-pasangan calon; penyebaran bahan kampanye kepada umum; pemasangan alat peraga kampanye; penayangan iklan kampanye di media massa cetak, media massa elektronik, media sosial, dan/atau media daring; dan/atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang dilaksanakan dalam bentuk kampanye melalui media sosial dan media daring. [2] Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU 13/2020 mengatur agar partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau pihak lain mengutamakan metode kampanye pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog melalui media sosial dan media daring. [3] Jika pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dan dialog tidak dapat dilakukan melalui media sosial dan media daring, pertemuan dilakukan dengan ketentuan: [4] dilaksanakan dalam ruangan atau gedung; membatasi jumlah peserta maksimal 50 orang dan memperhitungkan jaga jarak minimal 1 meter antarpeserta kampanye, serta dapat diikuti melalui media sosial dan media daring; wajib menggunakan alat pelindung diri minimal berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu; menyediakan sarana sanitasi yang memadai minimal berupa fasilitas cuci tangan dengan air mengalir dan sabun, dan/atau cairan antiseptik berbasis alkohol (handsanitizer); dan wajib mematuhi ketentuan mengenai status penanganan COVID-19 pada daerah pemilihan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan/atau gugus tugas percepatan penanganan COVID-19. Bahan Kampanye Selain mengatur pelaksanaan kampanye, KPU juga menyesuaikan pengaturan bahan kampanye di masa pandemi COVID-19. Penyebaran bahan kampanye kepada umum dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan, yaitu: [5] sebelum dibagikan, bahan kampanye yang akan dibagikan harus dalam keadaan bersih, dibungkus dengan bahan yang tahan terhadap zat cair, dan telah disterilisasi; petugas yang membagikan bahan kampanye menggunakan masker yang menutupi hidung dan mulut hingga dagu dan sarung tangan; dan pembagian bahan kampanye tidak menimbulkan kerumunan. Selain itu, diperbolehkan juga untuk membuat dan mencetak bahan kampanye berupa alat pelindung diri yang terdiri atas masker, sarung tangan, pelindung wajah ( face shield ) dan/atau cairan antiseptik berbasis alkohol (handsanitizer). [6] Sedangkan waktu penayangan iklan kampanye dilaksanakan selama 14 hari sebelum dimulainya masa tenang. [7] Kegiatan yang Dilarang Partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon, tim kampanye, dan/atau pihak lain dilarang melaksanakan kegiatan dalam bentuk: [8] rapat umum; kegiatan kebudayaan berupa pentas seni, panen raya, dan/atau konser musik; kegiatan olahraga berupa gerak jalan santai, dan/atau sepeda santai; perlombaan; kegiatan sosial berupa bazar dan/atau donor darah; dan/atau peringatan hari ulang tahun partai politik. Bagi pihak yang melanggar larangan tersebut dikenai sanksi: [9] peringatan tertulis oleh bawaslu provinsi atau bawaslu kabupaten/kota pada saat terjadinya pelanggaran; dan/atau penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran oleh bawaslu provinsi atau bawaslu kabupaten/kota jika tidak melaksanakan peringatan tertulis dalam waktu 1 jam sejak diterbitkan peringatan tertulis. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan diubah terakhir kali dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) . Referensi : Pilkada Tetap Dilaksanakan dengan Penegakkan Disiplin Protokol Kesehatan dan Sanksi Hukum , diakses pada 29 September 2020, pukul 19.38 WIB; Tahapan Pilkada 2020 , diakses pada 29 September 2020, pukul 19.41 WIB. [1] Pasal 57 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Peraturan KPU 13/2020”) [2] Pasal 63 Peraturan KPU 13/2020 [3] Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU 13/2020 [4] Pasal 58 ayat (2) Peraturan KPU 13/2020 [5] Pasal 60 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Wali Kota Dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Peraturan KPU 10/2020”) [6] Pasal 60 ayat (3) Peraturan KPU 10/2020 [7] Pasal 62 Peraturan KPU 13/2020 [8] Pasal 88C ayat (1) Peraturan KPU 13/2020 [9] Pasal 88C ayat (2) Peraturan KPU 13/2020 tata negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pihak Perum Perhutani diperbolehkan membuat MoU dengan Kelompok Tani Hutan (KTH), yang kemudian menjadi dasar bagi KTH untuk melakukan pengukuran dan pematokan? Padahal di sisi lain, KTH itu sendiri belum mengantongi SK dari KLHK."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) dan Masyarakat Kami asumsikan Perhutani yang Anda maksud merupakan Perusahaan Umum Kehutanan Negara yang keberadaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (“PP 72/2010”) . Melalui PP 72/2010, Pemerintah melanjutkan penugasan kepada Perum Perhutani untuk melakukan pengelolaan hutan di hutan negara yang berada di provinsi Jawa Tengah, provinsi Jawa Timur, provinsi Jawa Barat, dan provinsi Banten, kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. [1] Pengelolaan hutan di hutan negara dimaksud meliputi kegiatan : [2] tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan perlindungan hutan dan konservasi alam. Yang dimaksud hutan negara dalam ketentuan ini sendiri adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. [3] Lebih lanjut, maksud dan tujuan Perum Perhutani adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan pengelolaan hutan dan hasil hutan yang berkualitas, dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. [4] Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut, Perum Perhutani menyelenggarakan kegiatan usaha utama: [5] tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; pemanfaatan hutan, yang meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu; rehabilitasi dan reklamasi hutan; perlindungan hutan dan konservasi alam; pengolahan hasil hutan menjadi bahan baku atau bahan jadi; pendidikan dan pelatihan di bidang kehutanan; penelitian dan pengembangan di bidang kehutanan; pengembangan agroforestri; membangun dan mengembangkan hutan rakyat (“HR”) dan/atau hutan tanaman rakyat (“HTR”); dan perdagangan hasil hutan dan hasil produksi sendiri maupun produksi pihak lain. Selain itu, Perum Perhutani dapat menyelenggarakan kegiatan usaha lain berupa: [6] usaha optimalisasi potensi sumber daya yang dimiliki untuk trading house , agroindustrial complex , agrobisnis, properti, pergudangan, pariwisata, hotel, resort , rest area , rumah sakit, pertambangan galian C, prasarana telekomunikasi, pemanfaatan sumber daya air, dan sumber daya alam lainnya; dan kegiatan usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan Perum Perhutani. Dalam melaksanakan pengelolaan hutan, Perum Perhutani juga wajib melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik . Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dapat dilakukan dengan cara: [7] memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, dan/atau pelatihan; menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan melindungi masyarakat dalam berperan serta pada pelaksanaan pengelolaan hutan, antara lain memperhatikan dan menindaklanjuti saran dan usul dari masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan sepanjang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan dalam rangka perlindungan hutan. Kelompok Tani Hutan (KTH) Ketentuan mengenai Kelompok Tani Hutan (“KTH”) diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.89/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 Tahun 2018 tentang Pedoman Kelompok Tani Hutan (“Permen LHK 89/2018”) . KTH adalah kumpulan petani warga negara Indonesia yang mengelola usaha di bidang kehutanan di dalam dan di luar kawasan hutan. [8] KTH memiliki fungsi sebagai media: [9] pembelajaran masyarakat; peningkatan kapasitas sumber daya manusia; pemecahan permasalahan; kerja sama dan gotong royong; pengembangan usaha produktif, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan; dan peningkatan kepedulian terhadap kelestarian hutan. KTH dibentuk berdasarkan usulan atas prakarsa pelaku utama dan/atau penyuluh kehutanan/pendamping. Usulan pembentukan KTH dilakukan dengan ketentuan: [10] keanggotaan KTH paling sedikit 15 orang; terdapat unsur pelaku utama yang berdomisili dalam satu wilayah administrasi desa/kelurahan dan dibuktikan dengan kartu tanda penduduk (KTP); dan melakukan kegiatan di bidang kehutanan. Kegiatan di bidang kehutanan sendiri terdiri atas dalam bentuk: [11] HTR; Hutan Kemasyarakatan (“HKm”); HR; pembibitan tanaman kehutanan; penanaman, pemeliharaan dan pemanenan tanaman kehutanan; agroforestry / agrosilvopasture / agrosilvofishery ; pemanfaatan jasa lingkungan; pemanfaatan kawasan hutan; pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar; pemungutan hasil hutan bukan kayu; pemanfaatan hutan bakau dan hutan pantai; konservasi tanah dan air; rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan/atau perlindungan dan konservasi alam. KTH yang telah terbentuk wajib memiliki nomor registrasi yang dikeluarkan oleh kepala dinas provinsi yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan. [12] Nomor registrasi yang dimaksud diperoleh melalui permohonan oleh ketua KTH kepada kepala dinas. Bagi KTH yang berada di dalam wilayah kawasan hutan yang dikelola oleh Perum Perhutani, permohonan tersebut disertai tembusan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan Perhutani . [13] Kepala dinas dalam waktu paling lama lima hari kerja sejak menerima surat permohonan registrasi memberikan nomor registrasi. [14] Uraian di atas menunjukkan bahwa sebuah kelompok petani tidak membutuhkan Surat Keputusan (SK) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“LHK”) untuk dapat menjadi suatu KTH. Sebuah kelompok petani hanya diwajibkan untuk memiliki nomor registrasi yang dikeluarkan oleh dinas provinsi setempat yang menyelenggarakan urusan penyuluhan kehutanan . Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan Melalui Pasal 7 ayat (6) dan (7) PP 72/2010, PP 72/2010 telah mendorong Perum Perhutani agar bekerja sama dengan masyarakat sekitar dalam melaksanakan pengelolaan hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Sayangnya, Anda tidak merinci bentuk kerja sama antara KTH dan Perum Perhutani yang dimaksud. Perlu diketahui bahwa dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial (“Permen LHK 83/2016”) , hubungan hukum antara KTH dan Perum Perhutani dapat terbentuk melalui dua skema, yaitu melalui Izin Usaha Pemanfaatan HKm (“IUPHKm”) dan kemitraan kehutanan. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk hutan desa, HKm, HTR, HR, hutan adat dan kemitraan kehutanan . [15] Ketua Gabungan KTH dimungkinkan oleh Permen LHK 83/2016 untuk mengajukan permohonan IUPHKm. [16] IUPHKm adalah izin usaha yang diberikan kepada kelompok atau gabungan kelompok masyarakat setempat untuk memanfaatkan hutan pada kawasan hutan lindung dan atau kawasan hutan produksi. [17] IUPHKm, salah satunya, diberikan pada hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani . [18] Permohonan IUPHKm diajukan kepada Menteri LHK dengan tembusan kepada gubernur, bupati/walikota, kepala Unit Pelaksana Teknis, dan kepala KPH. [19] Dalam hal hasil verifikasi telah memenuhi persyaratan paling lambat lima hari kerja sejak hasil verifikasi diterima, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan atas nama Menteri menerbitkan keputusan tentang pemberian IUPHKm . [20] Kemitraan Kehutanan Kemitraan kehutanan adalah kerja sama antara masyarakat setempat dengan pengelola hutan, pemegang izin usaha pemanfaatan hutan/jasa hutan, izin pinjam pakai kawasan hutan, atau pemegang izin usaha industri primer hasil hutan. [21] Pengelola hutan atau pemegang izin wajib melaksanakan pemberdayaan masyarakat setempat melalui kemitraan kehutanan. Pengelola hutan yang dimaksud, salah satunya, adalah badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah pengelola hutan negara , [22] sehingga Perum Perhutani termasuk pula pengelola hutan yang dimaksud. Sedangkan, persyaratan masyarakat setempat calon mitra pengelola hutan atau pemegang izin harus memiliki: [23] kartu tanda penduduk atau surat keterangan tempat tinggal dari Kepala Desa setempat yang membuktikan bahwa calon mitra bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar areal pengelola hutan dan pemegang izin; dalam hal masyarakat berada di dalam kawasan konservasi sebagai penggarap dibuktikan dengan areal garapan sebelum ditunjuk/ditetapkan kawasan konservasi berupa tanaman kehidupan berumur paling sedikit 20 tahun atau keberadaan situs budaya; dalam hal masyarakat setempat berasal dari lintas desa, diberikan surat keterangan oleh camat setempat atau lembaga adat setempat; mempunyai mata pencaharian pokok bergantung pada lahan garapan/pungutan hasil hutan bukan kayu di areal kerja pengelola hutan atau pemegang izin; dan mempunyai potensi untuk pengembangan usaha padat karya secara berkelanjutan. Pasal 44 ayat (1) Permen LHK 83/2016 menyatakan bahwa pengelola atau pemegang izin memohon kepada Menteri LHK untuk melakukan kemitraan dengan masyarakat setempat dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dan gubernur. Berdasarkan laporan, Menteri LHK melalui Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan memberikan persetujuan kemitraan kehutanan dengan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Permen LHK 83/2016. [24] Menurut hemat kami, persetujuan tersebut dapat tercantum dalam suatu keputusan. Berdasarkan uraian diatas , kelompok petani memang tidak memerlukan keputusan menteri untuk penetapannya sebagai KTH . Namun jika ingin mendapatkan izin usaha pemanfaatan maupun persetujuan kemitraan, kegiatan KTH harus berdasarkan keputusan Menteri LHK. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.89/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2018 Tahun 2018 tentang Pedoman Kelompok Tani Hutan [1] Pasal 3 ayat (1) PP 72/2010 [2] Pasal 3 ayat (3) PP 72/2010 [3] Pasal 1 angka 6 PP 72/2010 [4] Pasal 11 ayat (1) PP 72/2010 [5] Pasal 11 ayat (2) PP 72/2010 [6] Pasal 11 ayat (3) PP 72/2010 [7] Pasal 7 ayat (6) dan (7) PP 72/2010 [8] Pasal 1 angka 1 Permen LHK 89/2018 [9] Pasal 2 Permen LHK 89/2018 [10] Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) Permen LHK 89/2018 [11] Pasal 4 ayat (2) Permen LHK 89/2018 [12] Pasal 10 jo . Pasal 1 angka 15 Permen LHK 89/2018 [13] Pasal 11 ayat (1) dan (2) huruf b Permen LHK 89/2018 [14] Pasal 12 ayat (1) Permen LHK 89/2018 [15] Pasal 1 angka 1 Permen LHK 83/2016 [16] Pasal 19 ayat (1) huruf b Permen LHK 83/2016 [17] Pasal 1 angka 6 Permen LHK 83/2016 [18] Pasal 16 ayat (1) huruf b Permen LHK 83/2016 [19] Pasal 20 ayat (1) Permen LHK 83/2016 [20] Pasal 23 Permen LHK 83/2016 [21] Pasal 1 angka 9 Permen LHK 83/2016 [22] Pasal 40 ayat (1) dan (2) huruf f Permen LHK 83/2016 [23] Pasal 42 ayat (1) Permen LHK 83/2016 [24] Pasal 44 ayat (2) Permen LHK 83/2016 hukumonline pertanahan lingkungan hidup lembaga pemerintah"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menjelaskan mengenai fungsi koordinasi KPK dengan instansi penegak hukum lain selain yang telah dijelaskan dalam UU No. 30 Tahun 2002?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi menjabarkan fungsi koordinasi dari organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) secara lebih detail. Sebagai informasi tambahan, terdapat Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, B/23/III/2012 dan SPJ-39/01/03/2012 Tahun 2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Kesepakatan Bersama”) dengan maksud untuk meningkatkan kerja sama antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara optimal. Mengenai fungsi koordinasi, dijelaskan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Kesepakatan Bersama. Apa bentuk-bentuk koordinasinya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tugas Koordinasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Perppu 1/2015”) yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang , bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun . Selain itu perlu diketahui bahwa tindakan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi , supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [1] Adapun yang dimaksud dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun. [2] Perlu dipahami, KPK memiliki beberapa tugas, yang salah satu di antaranya disebutkan dalam Pasal 6 huruf a UU KPK , yaitu tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (“BPK”), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (“BPKP”), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (“KPKPN”), inspektorat pada Departemen (saat ini Kementerian) atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. [3] Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a UU KPK, KPK berwenang untuk: [4] mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Selain itu, dalam Pasal 42 UU KPK dijelaskan sebagai berikut: Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Pasal 50 UU KPK menjelaskan juga salah satu bentuk koordinasi dan supervisi dari KPK, yaitu sebagai berikut: Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Apakah Ada Peraturan Lain Berkaitan dengan Tugas Koordinasi dari KPK? Jika melihat aturan dalam Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (“Peraturan KPK 3/2018”) , dijelaskan mengenai susunan organisasi KPK beserta tugas dan fungsinya. Susunan organisasi KPK terdiri atas: [5] Pimpinan; Sekretariat Jenderal; Deputi Bidang Pencegahan; Deputi Bidang Penindakan; Deputi Bidang Informasi dan Data; Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat; Tim Penasihat; dan Sekretariat Pimpinan. Sebagai contoh, Deputi Bidang Penindakan mempunyai tugas menyiapkan rumusan dan melaksanakan kebijakan di bidang penindakan Tindak Pidana Korupsi (“TPK”) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (“TPPU”). [6] Dari tugas tersebut, dijabarkan juga beberapa fungsinya, salah satunya adalah pelaksanaan kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap aparat penegak hukum lain yang melaksanakan kegiatan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara TPK dan/atau TPPU oleh penegak hukum lain, serta pelacakan asset, pengelolaan barang bukti, dan eksekusi. [7] Jadi, dapat dilihat bahwa Peraturan KPK 3/2018 menjabarkan fungsi koordinasi dari organisasi KPK secara lebih detail. Sebagai informasi tambahan, terdapat Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, B/23/III/2012 dan SPJ-39/01/03/2012 Tahun 2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Kesepakatan Bersama”) dengan maksud untuk meningkatkan kerja sama antara Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK (selanjutnya disebut “PARA PIHAK”) dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara optimal. [8] Kerja sama pencegahan tindak pidana korupsi, salah satunya dilakukan melalui desain kegiatan koordinasi dan supervisi pemberantasan tindak pidana korupsi dalam rangka meningkatkan akuntabilitas dan integritas kelembagaan PARA PIHAK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [9] Perlu dipahami bahwa salah satu cara yang dilakukan perihal kerja sama penanganan tindak pidana korupsi adalah koordinasi . [10] Mengenai koordinasi, dijelaskan dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Kesepakatan Bersama sebagai berikut: Pasal 7 Kesepakatan Bersama Rapat koordinasi tingkat pimpinan PARA PIHAK diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan dan dapat mengikutsertakan Kepala Kejaksaan Tinggi dan atau Kepala Kepolisian Daerah, untuk mengoptimalkan kecepatan dan hasil penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi, baik tingkat penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan. Rapat koordinasi tingkat Pejabat Pengendali yaitu Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, dan Deputi Penindakan pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diadakan sekurang-kurangnya sekali dalam 3 (tiga) bulan untuk mengoptimalkan kecepatan hasil penyelesaian penanganan perkara tindak pidana korupsi baik tingkat penyelidikan, penyidikan maupun penuntutan. Rapat Koordinasi dapat dilakukan sewaktu-waktu apabila dipandang perlu oleh PARA PIHAK serta dapat mengikutsertakan lembaga terkait lainnya. Pasal 8 Kesepakatan Bersama Dalam hal PARA PIHAK melakukan penyelidikan pada sasaran yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan instansi yang mempunyai kewajiban untuk menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan PARA PIHAK. Penyidikan yang dilakukan pihak Kejaksaan dan pihak POLRI diberitahukan kepada pihak KPK, dan perkembangannya diberitahukan kepada pihak KPK paling lama 3 (tiga) bulan sekali. Pihak KPK menerima rekapitulasi penyampaian bulanan atas kegiatan penyidikan yang dilaksanakan oleh pihak Kejaksaan dan pihak Polri. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh salah satu pihak dapat dialihkan ke pihak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan terlebih dahulu dilakukan gelar perkara yang dihadiri oleh PARA PIHAK, yang pelaksanaannya dituangkan dalam Berita Acara. Tidak hanya itu, menurut informasi yang kami peroleh dari website KPK melalui berita Kelola Dana Rp370 Triliun, KPK - BPJS Ketenagakerjaan Tanda Tangani Nota Kesepahaman , dijelaskan bahwa dalam rangka menunaikan tugasnya untuk memberantas korupsi di sektor ketenagakerjaan Indonesia, KPK juga melakukan koordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk itu pada 6 Februari 2019 lalu KPK dan BPJK Ketenagakerjaan baru saja menandatangai nota kesepahaman untuk meningkatkan kerja sama dan koordinasi dalam pemberantasan korupsi di sektor ketenagakerjaan Indonesia. Dalam nota kesepahaman tersebut KPK dan BPJS Ketenagakerjaan menyepakati beberapa ruang lingkup, yakni; Pertukaran data dan informasi; Pencegahan tindak pidana korupsi; Pendidikan, pelatihan dan sosialisasi; Kajian dan penelitian; Narasumber; dan Ringkup lainnya sesuai dengan kesepakatan para pihak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menjadi Undang-Undang Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi Kesepakatan Bersama Antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor KEP-049/A/J.A/03/2012, B/23/III/2012 dan SPJ-39/01/03/2012 Tahun 2012 tentang Optimalisasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Referensi : Kelola Dana Rp370 Triliun, KPK - BPJS Ketenagakerjaan Tanda Tangani Nota Kesepahaman , diakses pada Rabu, 27 Februari 2019, pukul 11.44 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 UU KPK [2] Penjelasan Pasal 3 UU KPK [3] Penjelasan Pasal 6 UU KPK [4] Pasal 7 UU KPK [5] Pasal 2 ayat (1) Peraturan KPK 3/2018 [6] Pasal 36 ayat (3) Peraturan KPK 3/2018 [7] Pasal 36 ayat (4) huruf a Peraturan KPK 3/2018 [8] Pasal 2 Kesepakatan Bersama [9] Pasal 5 huruf e Kesepakatan Bersama [10] Pasal 6 huruf a Kesepakatan Bersama nota kesepahaman nepotisme korupsi hukumonline kpk online klinik hukumonline tata negara klinik hukum dewan perwakilan rakyat koordinasi kejaksaan bpk"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salah satu bentuk manipulasi pasar adalah cornering the market. Saya ingin mendapatkan penjelasan yang dimaksud dengan cornering the market disertai dengan ilustrasi contoh kasus. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan Anda. Manipulasi p asar menjadi salah satu bab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”), yaitu dalam Bab XI. Sebagaimana ketentuan Pasal 91 UU Pasar Modal , m anipulasi p asar adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap pihak secara langsung maupun tidak dengan maksud untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai perdagangan, keadaan pasar, atau harga efek di bursa efek. Sementara itu, definisi cornering the market ( cornering ) menurut Blacks Law Dictionary adalah: KLINIK TERKAIT Dapatkah Perusahaan Membeli Saham Perusahaan Lainnya? 27 Sep 2023 Saham dan Obligasi: Dari Pengertian Hingga Perbedaannya 25 Jan 2023 Modal Dasar PT PMA 03 Mar 2021 Persyaratan Menjadi Konsultan Hukum Pasar Modal 19 Jun 2014 “A \"corner (cornering the market)\" is a condition arising when a much greater quantity of any given commodity is sold for future delivery within a given period than can be purchased in the market.” Dalam ruang lingkup Pasar Modal di Indonesia, definisi tersebut di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 92 UU Pasar Modal , yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, sehingga menyebabkan harga Efek di Bursa Efek tetap, naik, atau turun dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, unsur-unsur tindakan yang dilarang adalah: - Melakukan 2 transaksi efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung; - Menyebabkan harga efek di bursa efek tetap, naik, atau turun; - Dengan tujuan mempengaruhi pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan efek. Sebagaimana ketentuan Pasal 104 UU Pasar Moda l , setiap pihak yang melanggar ketentuan Pasal 92 tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar. Salah satu contoh kasus mengenai tindak pidana cornering the market ( cornering ) ini adalah kasus transaksi saham PT Bank Pikko Tbk yang terjadi sekitar tahun 1997. Pada bulan Maret 1997, Benny Tjokrosaputro melalui PT Multi Prakarsa Investama Securities melakukan transaksi saham PT Bank Pikko Tbk sehingga jumlah pemilikan saham oleh Benny mencapai 4.500.000 saham. Transaksi tersebut dilakukan dengan menggunakan 13 nama pihak lain. Pada bulan April 1997 perdagangan saham PT Bank Pikko menjadi sangat aktif dan harga saham meningkat hingga 20%. Pendi Tjandra, Direktur PT Multi Prakarsa Investama Securities (dikendalikan oleh Benny) melakukan transaksi saham Bank Pikko secara aktif melalui PT Putra Saridaya Persada Securities (PSP Securities). Atas permintaan Pendi Tjandra, PSP Securities memecah order beli dan jual saham Bank Pikko melalui perusahaan efek lain. Spekulan yang saat itu memperkirakan harga saham Bank Pikko akan turun kemudian melakukan transaksi jual saham Bank Pikko meskipun tidak memiliki saham tersebut dengan harapan harga saham akan turun. Akibatnya, terdapat 52 dari 127 Perusahaan Efek yang gagal menyerahkan saham Bank Pikko. Mengenai penjelasan kasus secara utuh, silakan baca artikel Kasus Saham PT Bank Pikko Tbk yang terdapat dalam laman resmi Badan Pengawas Pasar Modal . Semoga penjelasan kami tersebut di atas dapat membantu Anda. Terima kasih. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal . pasar modal"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja bentuk pelanggaran HAM ringan di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bentuk Pelanggaran HAM Ringan di Indonesia, Adakah?\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai salah satu bentuk pelanggaran HAM ringan di Indonesia, perlu diketahui hukum di Indonesia hanya mengenal 2 istilah pelanggaran HAM, yaitu:\n\nPelanggaran HAM, yakni setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU HAM, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.[1]Pelanggaran HAM yang berat, yakni pelanggaran HAM sebagaimana dimaksud dalam UU Pengadilan HAM, yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[2]\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKetentuan Terbaru Anak Pidana, Anak Negara, dan Anak Sipil 14 Des 2023Karyawan Wajib Share Location saat Liburan, Langgar Privasi?24 Feb 2022Penjelasan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan Bedanya dengan Lex Specialis11 Feb 2022Arti Privasi, Derogable Rights, dan Non-derogable Rights09 Feb 2022\n\nMerujuk pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan istilah pelanggaran HAM ringan tidak dikenal dalam hukum Indonesia.\n\nOleh karena itu, kami mengasumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan, salah satu bentuk pelanggaran HAM ringan adalah mencakup apa saja bentuk pelanggaran HAM di luar kategori pelanggaran HAM berat.\nBaca juga: Ini 2 Pelanggaran HAM Berat yang Diatur di Indonesia\nBentuk Pelanggaran HAM di Indonesia\nPelanggaran HAM apa saja bentuknya? Pada prinsipnya, setiap perbuatan yang melanggar UU HAM dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Beberapa bentuk pelanggaran HAM di Indonesia di antaranya:\n\nPenyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan;[3]Penghilangan paksa dan penghilangan nyawa;[4]Perbudakan, perdagangan budak, perdagangan wanita, dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa;[5]Perampasan hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani;[6]Perampasan hak untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;[7]Perampasan hak untuk memperoleh pendidikan;[8]Perampasan hak memperoleh keadilan dengan menghalangi hak manusia untuk mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar;[9]Perampasan hak menyampaikan pendapat di muka umum.[10]\n\nDengan demikian, jika ditanya salah satu bentuk pelanggaran HAM ringan adalah jawabannya bisa jadi perbuatan-perbuatan di atas. Namun perlu dicatat, istilah “pelanggaran HAM ringan” memang tidak dikenal, melainkan peraturan perundang-undangan di Indonesia hanya mengenal pelanggaran HAM dan pelanggaran HAM berat.\nCara Lapor Pelanggaran HAM ke Komnas HAM\n\nSebagai informasi tambahan, hak dan kebebasan yang diatur dalam UU HAM hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap HAM serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.[11]\n\nOleh karenanya, pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun tidak dibenarkan mengurangi, merusak, atau menghapuskan HAM atau kebebasan dasar.[12]\nKemudian apa yang dilakukan jika melihat pelanggaran HAM? Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM ke Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM.[13]\n\nUntuk mengetahui cara lapor pelanggaran HAM ke Komnas HAM, Anda dapat mengikuti petunjuk dalam laman Cara Lapor Pelanggaran HAM.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d5b5fc6abcb2/undangundang-nomor-39-tahun-1999)\n2. [Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17499/nprt/541/uu-no-26-tahun-2000-pengadilan-hak-asasi-manusia)\nREFERENSI:\n1. Cara Lapor Pelanggaran HAM, yang diakses pada 9 Maret 2022, pukul 17.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)[2] Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia[3] Pasal 4 jo. Pasal 33 ayat (1) UU HAM[4] Pasal 33 ayat (2) UU HAM[5] Pasal 4 jo. Pasal 20 ayat (2) UU HAM[6] Pasal 4 UU HAM[7] Pasal 4 jo. Pasal 22 UU HAM[8] Pasal 12 UU HAM[9] Pasal 17 UU HAM[10] Pasal 25 UU HAM[11] Pasal 73 UU HAM[12] Pasal 74 UU HAM[13] Pasal 101 UU HAM"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat siang, saya ingin menanyakan terkait apakah terdapat ketentuan praktik bisnis antara induk perusahaan kepada anak perusahaan, contohnya: penentuan bentuk hubungan bisnis ketika induk perusahaan ingin menunjuk/menugaskan kepada anak perusahaan untuk menjalankan salah satu objek pekerjaan induk perusahaan. Mohon dijelaskan terkait bentuk penugasan dan bentuk kerjasama serta implikasinya bagi masing-masing entitas baik induk maupun anak perusahaan."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Holding company atau disebut juga sebagai perusahaan induk dalam bahasa Indonesia, secara harfiah tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, beberapa ahli mendefinisikan pengertian holding company sebagai berikut:\n\nM. Manullang: Holding company adalah suatu badan usaha yang berbentuk corporation (korporasi) yang memiliki sebagian dari saham-saham beberapa badan usaha.[1]Munir Fuady: Holding company adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut.[2]Emmy Pangaribuan Simanjuntak: Holding company atau perusahaan induk merupakan sebuah perusahaan sentral yang mempunyai tujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain, untuk mengatur satu hal atau berjumlah lebih pada perusahaan lain tersebut.[3]\n\nWalaupun di Indonesia tidak ada pengaturan secara khusus yang membahas tentang holding company, dalam praktiknya, aturan pendirian holding company pada dasarnya tunduk pada UU PT dan perubahannya. Selain itu, syarat pendirian PT juga dapat Anda baca dalam Permenkumham 21/2021.\nKemudian, yang dimaksud dengan subsidiary company atau anak perusahaan adalah perusahaan yang lebih dari separuh sahamnya dimiliki oleh perusahaan lain atau sepenuhnya dimiliki oleh perusahaan lain.[4]\n\nLebih lanjut sebagai informasi, suatu kesatuan ekonomi yang tersusun dari perusahaan-perusahaan berbadan hukum mandiri yang dipandang sebagai induk dan anak perusahaan disebut dengan perusahaan grup.[5]\nHubungan Hukum Holding Company dengan Subsidiary Company\n\nHubungan antara holding company dengan subsidiary company mencakup prinsip separate entity (entitas yang terpisah) serta limited liability (tanggung jawab terbatas).\n\nSeparate entity adalah prinsip yang menyatakan bahwa pemegang saham tidak dapat memiliki maupun mengalihkan kekayaan yang dimiliki oleh perseroan kepada pihak\nketiga. Sehingga, harta kekayaan yang dimiliki oleh Perseroan Terbatas (“PT”) menjadi milik PT seutuhnya yang mengakibatkan PT wajib bertanggung jawab penuh atas kerugian yang timbul dengan menggunakan harta kekayaan PT tanpa menggunakan harta kekayaan dari organ PT. Sedangkan limited liability adalah tanggung jawab yang terbatas berlaku bagi masing-masing organ pada PT di mana direksi maupun komisaris wajib melakukan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan maupun pada Anggaran Dasar Rumah Tangga PT.[6]\n\nKedua prinsip tersebut diatur dalam Pasal 3 UU PT sebagai berikut:\n\nPemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; ataupemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.\n\nNamun, meskipun ada prinsip separate entity dan limited liability, terdapat pengecualian prinsip tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT yang dikenal dengan piercing the corporate veil.\n\nPenjelasan lebih lanjut mengenai hubungan antara perusahaan induk dengan anak perusahaan dapat Anda baca pada artikel Hubungan Induk Perusahaan dengan Anak Perusahaan.\nDerajat Pengendalian Induk Perusahaan terhadap Anak Perusahaan\n\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai anak perusahaan yang menjalankan pekerjaan induk perusahaan, pada dasarnya hal tersebut berkaitan dengan derajat pengendalian induk perusahaan terhadap anak perusahaan. Menurut Sulistiowati, secara umum, derajat pengendalian tersebut dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dominasi dan pengaruh. Berikut masing-masing penjelasannya:[7]\n\nDerajat Pengendalian sebagai Pengaruh\nInduk perusahaan hanya mempengaruhi kebijakan strategik anak perusahaan, sehingga anak perusahaan memiliki kemandirian untuk menjalankan pengurusan perseroan sehari-hari.\nDerajat Pengendalian sebagai Dominasi\n\nDerajat pengendalian sebagai dominasi induk terhadap anak perusahaan, adalah ketika induk perusahaan memberikan instruksi yang harus dijalankan oleh anak perusahaan, sehingga menyebabkan seluruh pengurusan anak perusahaan ditujukan untuk kepentingan perusahaan grup. Anak perusahaan seolah-olah kehilangan kemandirian untuk melakukan pengurusan untuk kepentingan anak perusahaan yang bersangkutan. Dalam pengertian lain, anak perusahaan semakin tidak mandiri atau bahkan kehilangan kemandiriannya ketika induk perusahaan mendominasi pengurusan anak perusahaan karena hanya menjadi instrumen atau bayang-bayang induk perusahaan.[8]\n\nUntuk mempermudah pemahaman sekaligus menyambung pertanyaan Anda, berikut kami berikan satu contoh pengendalian perusahaan induk, misalnya terhadap Persekutuan Komanditer/CV.[9]\n\nDalam menjalankan perannya, perusahaan induk mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan dalam suatu kesatuan ekonomi. Pengendalian perusahaan induk terhadap anak perusahaan dapat dilihat dari beberapa contoh aspek di mana perusahaan induk diizinkan:[10]\n\nmengangkat anggota direksi dan/atau dewan komisaris pada anak perusahaan;mempengaruhi pembuatan kebijakan anak perusahaan;mempengaruhi kepentingan usaha anak perusahaan, dan lain-lain.\n\nKeterkaitan perusahaan induk dan anak perusahaan dapat memberikan kebebasan dan ruang kepada perusahaan induk untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan yang telah didirikannya. Artinya, pimpinan sentral perusahaan induk menggambarkan kemungkinan melaksanakan hak atau pengaruh yang bersifat menentukan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian perusahaan induk yang berbentuk PT terhadap anak perusahaan yang berbentuk CV diperlukan untuk menjamin keberlangsungan dari perusahaan grup. Pengendalian tersebut tidak menghapuskan kemandirian dari anak perusahaan, melainkan hanya kebijakan strategis dari perusahaan induklah yang harus diutamakan.[11]\nInduk Perusahaan sebagai Pimpinan Sentral\n\nSelanjutnya, sebagai suatu induk perusahaan yang kegiatan utamanya adalah melaksanakan investasi dan pengawasan pada anak perusahaan, maka ada beberapa ketentuan dalam UU PT dan perubahannya yang perlu diperhatikan, baik dari induk perusahaan maupun anak perusahaan yang berada di bawah pengawasannya. Menurut Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, ketentuan yang memerlukan perhatian khusus adalah sebagai berikut (hal. 20):\n\nKetentuan mengenai batas-batas kewenangan dan tanggung jawab Direksi, Komisaris dan pemegang saham. Sebagai contoh Pasal 97 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan, yang dilakukan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab.[12]Ketentuan mengenai merger,[13] konsolidasi[14] dan akuisisi[15] yang diatur dalam UU Cipta Kerja.Ketentuan mengenai kepemilikan saham, misalnya aturan mengenai perseroan dilarang mengeluarkan saham baik untuk dimiliki sendiri maupun dimiliki oleh perseroan lain, yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU PT.Ketentuan mengenai treasury stock (pembelian kembali saham), yaitu perseroan dapat membeli kembali saham yang telah dikeluarkan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 UU PT.Ketentuan mengenai penjaminan saham dan jual beli saham. Berkaitan dengan jual beli saham, ada proses dan aturan yang harus ditaati dalam UU PT maupun Anggaran Dasar Perseroan, seperti halnya yang diatur dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 UU PT.\n\nBerdasarkan uraian di atas, menurut hemat kami induk perusahaan memegang posisi sentral dalam struktur pengambilan keputusan perusahaan. Dengan demikian, induk perusahaan berhak melakukan pengawasan dan memberikan instruksi terhadap anak perusahaan dalam melaksanakan pekerjaan. Posisi pimpinan sentral ini menggambarkan suatu kemungkinan melaksanakan hak atau pengaruh yang bersifat menentukan. Sehingga, pelaksanaan pengaruh dalam perusahaan grup dapat bersifat mengurangi dan atau mendominasi hak perusahaan lain.[16]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 21 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Badan Hukum Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt60a60d9e60b72/peraturan-menteri-hukum-dan-hak-asasi-manusia-nomor-21-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_21_2021)\nREFERENSI:\n1. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000\n2. Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Seri Hukum Dagang: Perusahaan Kelompok (Group Company /Concern). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1997\n3. Julio Thimotius Kapitan Smaud Natun. Status Kepemilikan Anak Perusahaan BUMN. Jurnal Mimbar Keadilan, Vol. 12, No. 1, 2019\n4. M. Manullang. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: BLKM, 1984\n5. Munir Fuady. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999\n6. Ni Komang Nea Adiningsih dan Marwanto. Tanggungjawab Organ Perseroan Terbatas (PT) dalam Hal Kepailitan. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 7, No. 6, 2019\n7. Sahur Ramsay. Pertanggungjawaban Direksi atas Kerugian Perseroan dalam Perusahaan Grup. Jurnal Justisi, Vol. 8, No. 3, 2022\n8. Sri Dana dan Ida Bagus Wyasa Putra. Analisis Hukum Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 4, 2022\n9. Sulistiowati. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2013.\n\n[1] M. Manullang. Pengantar Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: BLKM, 1984, hal. 70[2] Munir Fuady. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 84[3] Emmy Pangaribuan Simanjuntak. Seri Hukum Dagang: Perusahaan Kelompok (Group Company /Concern). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1997, hal. 7[4] Julio Thimotius Kapitan Smaud Natun. Status Kepemilikan Anak Perusahaan BUMN. Jurnal Mimbar Keadilan, Vol. 12, No. 1, 2019, hal. 4[5] Sulistiowati. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2013, hal. 16[6] Ni Komang Nea Adiningsih dan Marwanto. Tanggungjawab Organ Perseroan Terbatas (PT) dalam Hal Kepailitan. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 7, No. 6, 2019, hal. 3[7] Sulistiowati. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2013, hal. 37[8] Sahur Ramsay. Pertanggungjawaban Direksi atas Kerugian Perseroan dalam Perusahaan Grup. Jurnal Justisi, Vol. 8, No. 3, 2022, hal. 219[9] Sri Dana dan Ida Bagus Wyasa Putra. Analisis Hukum Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 4, 2022, hal. 832[10] Sri Dana dan Ida Bagus Wyasa Putra. Analisis Hukum Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 4, 2022, hal. 832[11] Sri Dana dan Ida Bagus Wyasa Putra. Analisis Hukum Antara Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan berbentuk Persekutuan Komanditer. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 4, 2022, hal. 832[12] Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)[13] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 9 UU PT[14] Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 10 UU PT[15] Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 11 UU PT[16] Sulistiowati. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2013, hal. 23"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah dijelaskan dengan rinci bagaimana perlindungan terhadap pemegang saham?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pemegang Saham Sebagai Separate Legal Personality\n\nApabila kita membahas apa saja bentuk perlindungan hak pemegang saham?, perlu dipahami dulu perihal prinsip dasar yang menentukan status pertanggungjawaban hukum pemegang saham sebagai prinsip separate legal personality. Prinsip ini menjelaskan bahwa PT sebagai badan hukum memiliki kepribadian hukum yang terpisah dari pemegang saham, sehingga pertanggungjawaban pemegang saham menjadi terbatas dan terpisah dari pertanggungjawaban PT.\nMenurut Robert. R. Penington, perusahaan adalah sebuah perkumpulan, yang di mata hukum sebagai subjek hukum mandiri yang terpisah dari individu-individu yang mendirikannya. Para anggota perusahaan tidak dapat menggugat hak-hak mereka yang dimiliki oleh perusahaan baik terhadap pihak ketiga dan anggota tersebut tidak dapat digugat berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban perusahaan.[1] Doktrin ini merupakan salah satu elaborasi ilmiah dari prinsip separate legal personality yang berlaku bagi PT.\n\nPrinsip separate legal personality diatur secara normatif dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT yang menyebutkan bahwa pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertanggung jawab atas kerugian PT melebihi saham yang dimiliki.\n\nKetentuan tersebut memisahkan pertanggungjawaban PT dengan pemegang saham serta mempertegas bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya.\n\nWalaupun terdapat pemisahan pertanggungjawaban, ketentuan di atas tidak berlaku dan pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban hukum berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT apabila:\n\npersyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan PT untuk kepentingan pribadi;pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT; ataupemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan PT, yang mengakibatkan kekayaan PT menjadi tidak cukup untuk melunasi utang PT.[2]\nPerlindungan Hukum bagi Pemegang Saham PT Persekutuan Modal\n\nMengajukan Gugatan Terhadap PT\n\nTidak menutup kemungkinan perbuatan hukum yang dilakukan oleh PT dapat merugikan kepentingan pemegang saham, khususnya ketika perbuatan tersebut dilakukan secara melawan hukum.\n\nPasal 61 ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa setiap Pemegang Saham berhak mengajukan gugatan terhadap PT ke Pengadilan Negeri apabila dirugikan karena tindakan PT yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, direksi, dan/atau dewan komisaris. Hak ini diberikan kepada setiap pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas.\n\nGugatan yang diajukan oleh pemegang saham terhadap PT pada dasarnya memuat permohonan agar PT menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari.[3]\nPerseroan Membeli Kembali Saham dengan Harga Wajar\n\nSaat perbuatan hukum yang dilakukan PT secara sah, namun dinilai telah merugikan kepentingan pemegang saham, maka ia dapat meminta agar PT membeli kembali saham-saham yang dimilikinya dengan ketentuan yang berlaku.\n\nPasal 62 ayat (1) UU PT menyebutkan bahwa setiap pemegang saham berhak meminta kepada PT agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan PT yang merugikan pemegang saham atau PT, berupa:\n\nperubahan anggaran dasar;pengalihan atau penjaminan kekayaan PT yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan bersih PT; ataupenggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.\n\nPerlu dicatat bahwa pembelian kembali saham oleh PT wajib menaati ketentuan Pasal 37 UU PT yang mengatur tentang perlindungan modal dan kekayaan PT serta ketentuan yang berlaku dalam anggaran dasar.\nHak Pemeriksaan Terhadap PT\n\nPasal 138 UU PT menjelaskan bahwa pemegang saham dapat mengajukan permohonan pemeriksaan PT dengan tujuan untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa:\n\nPT melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga; atauanggota direksi atau dewan komisaris melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan perseroan atau pemegang saham atau pihak ketiga.\n\nPemeriksaan dilakukan dengan mengajukan permohonan secara tertulis beserta alasannya ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan PT.[4] Permohonan pemeriksaan PT hanya dapat dilakukan oleh:[5]\n\n1 pemegang saham atau lebih yang mewakili paling sedikit 1/10 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara;pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar atau perjanjian dengan PT diberi wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan; ataukejaksaan untuk kepentingan umum.\n\nSebelum mengajukan permohonan pemeriksaan PT kepada Pengadilan Negeri, Pemegang Saham selaku pemohon harus terlebih dahulu meminta data atau keterangan yang dibutuhkan kepada PT melalui RUPS.[6] Apabila PT menolak atau mengabaikan, upaya permohonan pemeriksaan terhadap PT dapat diajukan. Permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang PT harus didasarkan atas alasan yang wajar dan iktikad baik.[7]\nPerlindungan Hukum bagi Pemegang Saham PT Perorangan\n\nSejak berlakunya UU Cipta Kerja, selain PT persekutuan modal sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, terdapat konsep perseroan baru yaitu PT perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil (“UMK”). PT ini dapat didirikan oleh 1 orang (natuurlijke persoon),[8] sehingga terdapat pemegang saham tunggal.\n\nBagaimana perlindungan terhadap pemegang saham PT perorangan? Prinsip separate legal personality juga berlaku bagi PT perorangan walaupun hanya didirikan oleh seorang pemegang saham. Pasal 153J UU PT menyebutkan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertanggung jawab atas kerugian PT melebihi saham yang dimiliki. Pengecualian pembatasan pertanggungjawaban tersebut apabila:[9]\n\npersyaratan PT sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;pemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan PT untuk kepentingan pribadi;pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT; ataupemegang saham yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan PT, yang mengakibatkan kekayaan PT menjadi tidak cukup untuk melunasi utang.\n\nSebagai informasi, khusus untuk PT terbuka berlaku ketentuan dalam UU PT jika tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, dengan tidak boleh bertentangan asas hukum perseroan dalam UU PT.[10]\n\nDemikian jawaban dari kami tentang apa saja bentuk perlindungan hak pemegang saham, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_pt)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\nREFERENSI:\n1. Robert. R. Penington, Company Law, Eighth Edition, Claverdon, Warwick: Butterworths, 2001.\n[1] Robert. R. Penington, Company Law, Eighth Edition, Claverdon, Warwick: Butterworths, 2001, hal. 36[2] Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)[3] Penjelasan Pasal 61 ayat (1) UU PT[4] Pasal 138 ayat (2) UU PT[5] Pasal 138 ayat (3) UU PT[6] Pasal 138 ayat (4) UU PT[7] Pasal 138 ayat (5) UU PT[8] Pasal 109 angka 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 153A jo. Pasal 153E UU PT[9] Pasal 109 angka 5 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153J ayat (2) UU PT[10] Pasal 154 UU PT"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pemilu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Pemilu ” yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 12 Juli 2012 . Intisari : Bentuk pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana oleh badan hukum korporasi (perusahaan) dalam pemilu menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah pidana penjara dan denda . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pidana Korporasi dalam Pemilu Pemilu menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pidana bagi badan usaha atau korporasi, dapat kita temui dalam beberapa pasal dalam UU Pemilu, antara lain yaitu: Pasal 525 ayat (1) UU Pemilu: Setiap orang, kelompok, perusahaan , dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (1) dan Pasal 331 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 526 ayat (1) UU Pemilu: Setiap orang, kelompok, perusahaan , dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana Kampanye Pemilu melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah Pasal 529 UU Pemilu: Setiap perusahaan pencetak surat suara yang dengan sengaja mencetak surat suara melebihi jumlah yang ditetapkan oleh KPU untuk kepentingan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 345 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Pasal 530 UU Pemilu: Setiap perusahaan pencetak surat suara yang tidak menjaga kerahasiaan, keamanan, dan keutuhan surat suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 345 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Perusahaan/korporasi tidak boleh memberikan sumbangan dana kampanye melebihi dari ketentuan yang diatur dalam UU Pemilu yaitu: Dana Kampanye Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan , dan/atau badan usaha nonpemerintah tidak melebihi Rp 25 miliar. [1] Dana Kampanye Presiden dan Wakil Presiden yang berasal dari kelompok, perusahaan , atau badan usaha nonpemerintah tidak boleh melebihi Rp 25 miliar. [2] Dana Kampanye Pemilu calon anggota DPD yang berasal dari sumbangan pihak lain kelompok, perusahaan , dan/atau badan usaha nonpemerintah tidak melebihi Rp 1,5 miliar. [3] Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Jadi, bentuk pertanggungjawaban pidana atas perbuatan pidana oleh badan hukum korporasi (perusahaan) dalam pemilu, adalah pidana penjara dan denda . Penjelasan lebih jauh mengenai tanggung jawab pidana korporasi simak artikel Tanggung Jawab Pidana Korporasi dan Apakah Badan Hukum Dapat Dipidana? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum . [1] Pasal 331 ayat (2) UU Pemilu [2] Pasal 327 ayat (2) UU Pemilu [3] Pasal 333 ayat (2) UU Pemilu penjara pt hukumonline denda perseroan terbatas pemilu klinik hukumonline pidana denda tindak pidana pemilu tata negara hukum klinik pemilihan umum perusahaan direksi korporasi pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana bentuk pertanggungjawaban Direksi dalam hal melakukan tindakan di luar tanggung jawabnya (ultra vires)?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Secara sederhana ultra vires itu adalah tindakan Direksi di luar maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (AD). Tindakan tersebut dianggap merupakan tindakan yang “melampaui kapasitas” Perseroan. Jika seorang Direksi melakukan tindakan ultra vires dalam menjalankan tugasnya, maka Direksi tersebut dapat digugat oleh pemegang saham. Gugatan yang diajukan memuat permohonan agar Perseroan menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari. Direksi yang melakukan perbuatan ultra vires bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita Perseroan . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tindakan Ultra Vires Direksi Direksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) adalah: Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan , baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Perlu dipahami bahwa Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. [1] Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha tersebut juga wajib dimuat dalam Anggaran Dasar (“AD”) dari Perseroan. [2] Selanjutnya, definisi dari ultra vires dapat ditemukan dalam Black’s Law Dictionary 9 th Edition sebagai berikut: Unauthorized; beyond the scope of power allowed or granted by a corporate charter or by law. Selain itu ultra vires menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 65-66) adalah sebuah doktrin yang menyatakan bahwa tindakan Direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam AD. Tindakan tersebut dianggap merupakan tindakan yang “melampaui kapasitas” Perseroan. Pengertian ultra vires dalam Dictionay of English Law adalah beyond the powers . [3] Menurut Yahya dalam buku yang sama, berarti tindakan Direksi yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha adalah tindakan di luar kekuasaannya ( beyond the power ). [4] Menurut Yahya, bertitik dari pengertian yang dijelaskan di atas, doktrin ultra vires dihubungkan dengan Perseroan merupakan permasalahan yang menyangkut dengan transaksi atau kontrak yang dilakukan Direksi dengan pihak ketiga. Pada dasarnya kontrak atau transaksi yang mengandung ultra vires adalah batal ( nullity ): [5] Perseroan dapat menolak untuk memenuhi kontrak atau transaksi yang mengandung ultra vires ; Meskipun pihak ketiga melakukan kontrak atau transaksi dengan good faith , hal itu belum mencukupi, karena untuk melindungi pihak ketiga atas kontrak atau transaksi yang mengandung ultra vires , semestinya pihak ketiga itu harus melihat secara konstruktif maksud dan tujuan atau kapasitas Perseroan yang tercantum dalam AD. Hal ini dapat dilakukannya dalam Daftar Perseroan. Jadi, tindakan Direksi dibatasi oleh tujuan Perseroan, kapasitas perseroan mengadakan kontrak atau transaksi maupun sebagai donasi hanya sebatas tujuan yang ditentukan dalam AD. Di luar itu, sudah berada di luar kapasitas perseroan. Oleh karena itu, tindakan tersebut dikatagorikan sebagai ultra vires dan batal karena hukum. Sehubungan dengan itu, sesuai dengan doktrin ultra vires : [6] Perseroan tidak dapat dituntut atas kontrak atau transaksi yang ultra vires ; Perseroan juga tidak dapat mengukuhkan dan melaksanakannya; Juga Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) tidak dapat mensahkan atau menyetujui tindakan Direksi yang mengandung ultra vires . Pasal 92 ayat (1) UU PT menjelaskan bahwa Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. [7] Doktrin ultra vires dalam UU PT dapat ditemukan dalam Pasal 92 ayat (2) UU PT yang menjelaskan bahwa: Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. Secara sederhana, dapat disimpulkan ultra vires itu adalah tindakan Direksi di luar maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang ditentukan dalam AD. Tanggung Jawab Direksi yang Bertindak Ultra Vires Apabila pengurus atau Direksi perseroan melakukan ultra vires , atau dengan kata lain Direksi melakukan tindakan yang melampaui batas kewenangan dan kapasitas perseroan yang ditentukan dalam AD, undang-undang memberi hak kepada setiap pemegang saham mengajukan gugatan terhadap perseroan ke Pengadilan Negeri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 61 UU PT yang berbunyi: [8] Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Itu artinya jika Direksi (yang mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan) [9] melakukan perbuatan ultra vires , maka bisa digugat oleh pemegang saham. Gugatan yang diajukan pada dasarnya memuat permohonan agar Perseroan menghentikan tindakan yang merugikan tersebut dan mengambil langkah tertentu baik untuk mengatasi akibat yang sudah timbul maupun untuk mencegah tindakan serupa di kemudian hari. [10] Selain itu, sehubungan dengan kewenangan Direksi untuk menjalankan pengurusan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan yang terdapat dalam Pasal 92 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), (2), dan (3) UU PT berbunyi: Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1). Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Hal senada juga dijelaskan oleh Fred B. G. Tumbuan dalam artikel Pandangan Yuridis tentang PT dan Organ-organnya , bahwa Direksi tidak boleh melakukan ultra vires . Anggota Direksi yang melakukan perbuatan ultra vires bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita Perseroan . Perbuatan hukum yang Perseroan tidak cakap melakukannya adalah perbuatan ultra vires yang tidak boleh dilakukan oleh Direksi. Anggota Direksi yang melakukan perbuatan ultra vires bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita Perseroan. Menjawab pertanyaan Anda, jika seorang Direksi melakukan tindakan ultra vires dalam menjalankan tugasnya, maka Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang diderita perseroan, bahkan pemegang saham dapat menggugatnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Referensi : Black’s Law Dictionary 9 th Edition; Jowitt’s Dictionary of English Law , Vol L-Z, London: Sweet & Maxwell’ Ltd, 1977; Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika, 2016. [1] Pasal 2 UU PT [2] Pasal 15 ayat (1) huruf b UU PT [3] Jowitt’s Dictionary of English Law, hal. 824 [4] Yahya Harahap, hal. 66 [5] Yahya Harahap, hal. 66 [6] Yahya Harahap, hal. 67 [7] Pasal 92 ayat (1) UU PT [8] Yahya Harahap, hal. 69 [9] Pasal 98 ayat (1) UU PT [10] Penjelasan Pasal 61 ayat (1) UU PT pemegang saham rups pt hukumonline komisaris perseroan perseroan terbatas online direktur hukum perusahaan direksi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya menyewakan ruko sudah selama 2 bulan kepada A, tiba-tiba yang bersangkutan menghilang begitu saja hingga saat ini. Dalam waktu yang sama datanglah penagih dari suatu perusahaan distributor atas orderan si A yang nilainya ratusan juta. Secara materi saya memang tidak dirugikan, akan tetapi yang saya pikirkan adalah status ruko. Sahkah bila saya sewakan ruko ke pihak lain? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan uraian Anda, kami berasumsi bahwa perjanjian sewa menyewa tersebut belum berakhir, dan si A dalam hal ini telah membayar uang sewa ruko kepada Anda sehingga secara materi Anda tidak dirugikan. KLINIK TERKAIT Bolehkah Pemilik Bangunan Menaikkan Harga Sewa Sepihak? 18 Okt 2013 Langkah Hukum Jika Pemilik Tempat Ingin Mengusir dalam Masa Sewa 23 Sep 2013 Jika Rumah yang Disewa Dijaminkan Pemiliknya 28 Jun 2013 Jika Pemilik Indekos Masuk Kamar Penyewa Tanpa Izin 09 Mei 2013 Sewa menyewa adalah suatu perjanjian , dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak yang lain itu. Demikian ketentuan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) . Jadi, sewa menyewa tersebut pada dasarnya adalah perjanjian. Sebagaimana perjanjian pada umumnya, perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan dari kedua belah pihak ( Pasal 1338 KUHPer ). Dalam hal perjanjian sewa menyewa dibuat secara tertulis, perjanjian sewa menyewa berakhir bila jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian sewa telah lampau ( Pasal 1570 KUHPer ). Jika perjanjian sewa menyewa hanya secara lisan, maka sewa menyewa tersebut berakhir pada saat salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya ( Pasal 1571 KUHPer ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ini berarti bahwa apabila perjanjian sewa menyewa antara Anda dan si A belum berakhir, maka Anda tidak berhak untuk menyewakan ruko kepada orang lain. Hal ini karena Anda sebagai orang yang menyewakan masih mempunyai kewajiban untuk memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa ( Pasal 1550 KUHPer ). Akan tetapi, perlu diingat bahwa dalam hukum perjanjian, para pihak boleh menambahkan ketentuan-ketentuan lain dalam suatu perjanjian. Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian (hal. 13), hukum perjanjian menganut sistem terbuka, yang artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Selain itu, pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan apa yang dinamakan hukum pelengkap, yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian. Mereka diperbolehkan membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Oleh karena itu, Anda perlu melihat lagi perjanjian sewa menyewa ruko antara Anda dan si A. Apakah ada atau tidak pasal-pasal yang mengatur mengenai hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh penyewa yang dapat mengakibatkan perjanjian sewa menyewa berakhir sebelum jangka waktu yang diperjanjikan, misalnya, pasal mengenai apabila pihak penyewa melakukan tindakan melanggar hukum atau tidak diketahui keberadaannya selama jangka waktu yang diperjanjikan, maka perjanjian sewa akan berakhir. Jika ada pasal-pasal yang mengatur hal-hal yang dilarang untuk dilakukan oleh si A yang dapat mengakibatkan berakhirnya perjanjian sewa menyewa, dan perkara yang menimpa A termasuk salah satu di dalamnya, maka Anda dapat mengakhiri perjanjian sewa menyewa dengan si A. Dengan berakhirnya perjanjian sewa menyewa Anda dengan si A, Anda dapat menyewakan ruko tersebut kepada pihak lain. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sewa menyewa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Orangtua saya menghibahkan sebidang tanah dan rumah yang dilakukan dengan akta hibah pada tahun 2000, namun tanah dan rumah tersebut sejak tahun 1990 telah dilakukan sewa menyewa melalui perjanjian lisan tanpa batas waktu. Kemudian, saya ingin mengakhiri sewa menyewa tersebut, namun pihak penyewa tidak menghiraukan saya. Bagaimana hukum sewa menyewa yang terjadi secara lisan dan tanpa batas waktu serta bagaimana prosedur untuk mengakhirinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami asumsikan bahwa Anda diberikan kuasa oleh orangtua Anda untuk mengurus perihal sewa menyewa tersebut atas nama orangtua Anda. Jika tidak, maka pihak yang berhak mengakhiri sewa menyewa adalah orangtua Anda. Berakhirnya Sewa Menyewa Sewa menyewa menurut Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) adalah: Sewa menyewa adalah suatu persetujuan , dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu , dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Meskipun disebutkan “selama waktu tertentu”, Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan dalam sewa menyewa tidak perlu disebutkan untuk berapa lama barang itu disewanya, asal sudah disetujui berapa harga sewanya untuk satu hari, satu bulan, atau satu tahun (hal. 90). Jika seseorang menyewakan barang tanpa menetapkan suatu waktu tertentu, sudah tentu ia berhak menghentikan sewa setiap waktu , asalkan memberitahukan jauh sebelumnya tentang pengakhiran sewa sesuai dengan kebiasaan setempat (hal. 91). Subekti menjelaskan, pihak yang menyewakan diwajibkan (hal. 91): Menyerahkan barang yang disewakan itu kepada penyewa; Memelihara barang yang disewakan sedemikian rupa, sehingga barang itu dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud; Memberikan penyewa kenikmatan yang tenteram dari barang yang disewakan selama berlangsungnya persewaan. Sedangkan bagi penyewa terdapat kewajiban utama (hal. 91 – 92): Memakai barang yang disewa sebagai seorang “bapak rumah yang baik” (artinya: merawatnya seakan-akan barang kepunyaannya sendiri), sesuai dengan tujuan yang diberikan pada barang itu menurut perjanjian sewanya; Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Menjawab pertanyaan Anda, dikarenakan sewa menyewa yang dilakukan atas dasar perjanjian lisan maka berlaku Pasal 1571 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi: Jika sewa tidak dibuat dengan tulisan , maka sewa itu tidak berakhir pada waktu yang ditentukan, melainkan setelah salah satu pihak memberitahukan kepada pihak yang lain bahwa ia hendak menghentikan sewanya dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Berdasarkan uraian tersebut, sewa menyewa yang dilakukan dengan lisan dan tanpa batas waktu tertentu dapat diakhiri sepanjang pihak yang satu memberitahukan kepada pihak lain tentang pengakhiran tersebut dengan mengindahkan tenggang waktu yang diharuskan menurut kebiasaan setempat. Subekti menambahkan jika tidak ada pemberitahuan seperti itu, dianggap sewa itu diperpanjang untuk waktu yang sama (hal. 94). Perbuatan Melawan Hukum Atas perbuatan penyewa yang tidak menghiraukan pernyataan Anda untuk mengakhiri sewa, maka menurut hemat kami, penyewa melakukan perbuatan melawan hukum . Anda dapat mengajukan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut . Munir Fuady dalam buku Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer menerangkan bahwa unsur melawan hukum meliputi (hal. 11): Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku ; Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum ; Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan; atau Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memerhatikan kepentingan orang lain . Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, perbuatan penyewa merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 1571 KUH Perdata, karena Anda telah memberitahukan dan memberikan tenggang waktu bagi penyewa untuk mengakhiri sewa, namun penyewa tidak menghiraukan pemberitahuan Anda. Selain itu, perbuatan tersebut juga bertentangan dengan hak pemberi sewa yang merupakan pemilik tanah dan bangunan yang disewakan serta bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memerhatikan kepentingan orang lain. Penggelapan Anda juga dapat melaporkan penyewa dengan dugaan tindak pidana penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Tindak pidana penggelapan tersebut dapat dikenakan kepada penyewa, karena telah secara melawan hak menduduki tanah dan rumah yang bukan miliknya , padahal masa sewa telah berakhir sebagaimana diatur Pasal 1571 KUH Perdata. Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , dipandang memiliki, misalnya menjual, memakan, membuang, menggadaikan, membelanjakan uang, dan sebagainya (hal. 258). Berdasarkan uraian tersebut, menurut hemat kami, konsep “memiliki” berarti mencakup pula memakai barang tersebut sebagaimana penyewa dalam pertanyaan Anda yang memakai tanah dan rumah yang bukan miliknya. Baca juga: Penyelesaian Kasus Sewa Menyewa Rumah Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Referensi : Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer . Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2013; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1994; Subekti. Hukum Perjanjian . Jakarta: Intermasa, 2005. sewa menyewa perjanjian hukumonline perdata"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa persenkah dana CSR yang wajib dikeluarkan perusahaan setiap tahunnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) menyebut Corporate Social Responsibility (“CSR”) dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (“TJSL”). Sehingga, dalam menjawab pertanyaan Anda, kami juga akan menyesuaikan penyebutannya menjadi TJSL. TJSL adalah komitmen Perseroan Terbatas (“PT”) untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. [1] Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP 47/2012”) mengatur bahwa setiap PT selaku subjek hukum mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun, perlu digaris bawahi bahwa berdasarkan PP 47/2012, kewajiban melaksanakan TJSL hanya ditujukan bagi PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan sumber daya alam (“SDA”) berdasarkan undang-undang. [2] Yang dimaksud dengan PT yang menjalankan kegiatan usaha yang di bidang SDA adalah PT yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, sedangkan PT yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan SDA adalah PT yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam termasuk pelestarian fungsi lingkungan hidup. [3] Sehingga, meskipun suatu PT tidak menjalankan usaha di bidang SDA, apabila kegiatan usaha yang dilakukan berakibat pada kerusakan lingkungan atau menurunnya fungsi kemampuan SDA, PT tersebut wajib melaksanakan TJSL. Pembedaan kewajiban terhadap PT yang menjalankan kegiatan usaha di bidang dan/atau yang berkaitan dengan SDA tersebut, menurut pandangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 disebabkan karena PT yang mengelola SDA berkaitan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sehingga negara berhak untuk mengatur secara berbeda (hal. 96). Selain itu, MK juga berpendapat bahwa kewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial juga berlaku terhadap badan usaha lain seperti Koperasi, CV, Firma, dan Usaha Dagang berdasarkan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”) (hal. 96). Besaran Dana TJSL Perusahaan Setiap Tahunnya Baik UU PT maupun PP 47/2012 selaku peraturan pelaksananya tidak mengatur spesifik besaran minimal dana yang wajib dialokasikan untuk TJSL. Pasal 74 ayat (2) UU 40/2007 hanya mengatur bahwa TJSL merupakan kewajiban PT yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya PT yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran . Meski demikian, dalam praktiknya, beberapa daerah telah mengatur besaran minimal anggaran TJSL dalam Peraturan Daerah (“Perda”). Sebagai contoh, kami merujuk kepada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (“Perda Kaltim 3/2013”) Pasal 23 ayat (1) Perda Kaltim 3/2013 mengatur bahwa pembiayaan pelaksanaan TJSL dialokasikan sebesar minimal 3% dari keuntungan bersih perusahaan setiap tahunnya. Dengan demikian, kami sarankan agar Anda mencari tahu lebih lanjut Peraturan Daerah di tempat domisili perusahaan Anda yang mengatur tentang TJSL untuk mengetahui ketentuan alokasi dana TJSL lebih lanjut. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas serta Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 . [1] Pasal 109 Undang-Undang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) [2] Pasal 3 ayat (1) PP 47/2012 [3] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) PP 47/2012 perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kepada yang terhormat pengasuh rubrik hukum online, ada dua pertanyaan yang saya ajukan : 1) Berapa sebenarnya biaya mediasi yang dikenakan seorang pengacara ke kliennya secara profesional pada umumnya meskipun relatif? 2) Apakah seorang klien diperbolehkan mencabut gugatan sendiri? Dan bagaimana cara mencabut gugatan tersebut di pengadilan negeri? Terima kasih sebelumnya kepada bapak pengasuh rubrik."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Biaya mediasi KLINIK TERKAIT Tahapan Menjadi Advokat di Indonesia 14 Des 2023 Adakah Daluarsa Pembayaran Fee Advokat? 05 Mar 2012 Aturan Benturan Kepentingan Mediator yang Berprofesi Advokat 10 Feb 2012 Fee yang Wajar untuk Advokat (Success Fee) 12 Jan 2012 DASAR HUKUM:"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear hukumonline, apakah dapat diinformasikan berapakah undang-undang yang dikeluarkan pemerintah per tahun? Tahun 2011 kemarin ada berapa undang-undang yang dikeluarkan? Mohon jawabannya ya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Bisakah Judicial Review? 23 Agt 2023 Perbedaan Peraturan dan Keputusan 06 Jan 2023 Sebutan Tepat untuk UUD 1945 yang Sudah Diamendemen 20 Des 2022 Mekanisme Pengujian Perda Kabupaten/Kota yang Bertentangan dengan UU 20 Mar 2017 Berdasarkan penelusuran kami, jumlah undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah setidaknya dalam 5 (lima) tahun terakhir (selama tahun 2007 s/d 2011) adalah sebagai berikut: Tahun Jumlah Undang-Undang 2007 2008 2009 2010 2011 48 56 52 13 24 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (sumber: Pusat Data Hukumonline dan www.setneg.go.id ) Jadi, memang untuk setiap tahunnya jumlah undang-undang yang diundangkan atau \"dikeluarkan\" oleh Pemerintah tidaklah pasti dan sama jumlahnya. Diundangkan di sini maksudnya adalah pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (lihat Pasal 73 ayat [4] jo Pasal 1 angka [12] UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ). Untuk 2011 sendiri, ada 24 undang-undang yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah yang kami rinci dalam tabel di bawah ini disertai undang-undang sebelumnya: No. Undang-Undang Undang-Undang Sebelumnya 1. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (dicabut) 2. UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 2/2008 tentang Partai Politik UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik 3. UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana - 4. UU No. 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial - 5. UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik UU No. 34 Tahun 1954 tentang Pemakaian Gelar Akuntan (Accountant) (dicabut) 6. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian UU No. 37 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas U No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (dicabut) 7. UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang - 8. UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 9. UU No. 9 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 9/2006 tentang Sistem Resi Gudang UU No. 9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang 10. UU No. 10 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU 32/1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi UU No. 32 tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi 11. UU No. 11 Tahun 2011 tentang Perubahan Tentang UU 10/2010 tentang APBN Tahun 2011 UU No. 10 Tahun 2010 tentang APBN Tahun 2011 12. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (dicabut) 13. UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin - 14. UU No. 14 Tahun 2011 tentang Pertanggungjawaban Atas Pelaksanaan APBN Tahun 2010 - 15. UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum UU N0. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (dicabut) 16. UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum - 17. UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara - 18. UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU 22/2004 Tentang Komisi Yudisial UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial 19. UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) - 20. UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (dicabut) 21. UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan - 22. UU No. 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2012 UU No. 10 Tahun 2010 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2011 23. UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (dicabut) 24. UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial - Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat."
} |
{
"from": "human",
"value": "Karyawan kantor saya sudah izin karena sakit sampai dua minggu. Memang sakitnya cukup parah. Namun, bagaimana pengaturan cuti sakit dalam UU Ketenagakerjaan di Indonesia? Dan bagaimana aturan cuti sakit UU Cipta Kerja? Cuti sakit apakah dibayar dan cuti sakit berapa hari? Mohon penjelasannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Aturan Cuti Sakit Karyawan Swasta\nKaryawan yang sedang dalam keadaan sakit, berhak untuk mengajukan cuti sakit dengan ketentuan sakitnya tersebut berdasarkan keterangan dokter.[1]\nLantas, apakah cuti sakit dapat gaji? Prinsipnya, upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan, kecuali jika pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya. Dengan kata lain, apabila karyawan cuti karena sakit berdasarkan keterangan dokter, maka ia berhak untuk tetap mendapatkan gaji.[2]\n\nUpah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang sakit adalah sebagai berikut:[3]\n\nUntuk 4 bulan pertama, dibayar 100% dari upah.Untuk 4 bulan kedua, dibayar 75% dari upah.Untuk 4 bulan ketiga, dibayar 50% dari upah.Untuk bulan selanjutnya dibayar 25% dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.\nBerapa Lama Waktu Cuti Sakit?\n\nUntuk menjawab pertanyaan cuti sakit berapa hari, maka kita dapat mengacu pada ketentuan Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja buruh dengan alasan berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus menerus.\n\nDalam kondisi pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan, maka dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja.[4]\n\nDengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa aturan mengenai jangka waktu cuti sakit UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan adalah maksimal 12 bulan secara terus menerus dengan catatan ada surat keterangan dokter. Karyawan yang sakit tetap bisa mendapatkan gaji, sesuai dengan ketentuan sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.\n\nOleh karena itu, karyawan kantor Anda yang cuti sakit dalam waktu 2 minggu, selama ada surat keterangan dokter tetap berhak memperoleh gaji dan tidak dapat dilakukan pemutusan hubungan kerja.\n\nNamun, apabila karyawan cuti sakit tanpa surat keterangan dokter, maka dapat dikategorikan mangkir. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Aturan PHK karena Sakit Tanpa Surat Dokter.\n\nJika kemudian karyawan tersebut menambah cuti sakit karena sakit berkepanjangan atau karena cacat akibat kecelakaan kerja hingga melampaui 12 bulan, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja dengan memberikan hak karyawan berupa:[5]\n\nuang pesangon 2 kali ketentuan;uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan; danuang penggantian hak.\n\nSelengkapnya mengenai cara hitung uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak tersebut dalam artikel Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n[1] Lihat Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 93 ayat (1) dan (2) huruf a jo. Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 81 angka 45 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf m UU Ketenagakerjaan[5] Pasal 55 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adik saya adalah seorang perempuan baik-baik, dan ternyata dia disiksa oleh suaminya (ditampar, ditendang, bahkan disulut pakai rokok menyala). Apakah saya bisa menggugat adik ipar saya ini? Kalau boleh tahu berapa tahun penjara hukuman untuk kasus ini? Bekas lukanya sekarang tinggal sedikit (memarnya sudah hilang tanpa bekas), tinggal tersisa bekas bakar akibat rokok. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami turut prihatin atas apa yang dialami adik Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan atas Dasar KDRT? 17 Nov 2023 Cara Mendapatkan Akta Cerai 25 Agt 2023 Begini Peran dan Fungsi Advokat dalam Perkara Pidana 14 Agt 2023 Kedudukan Anak dalam Hukum 21 Jul 2017 Terkait apa yang dilakukan oleh adik ipar Anda terhadap istrinya yaitu adik Anda, dapat dikategorikan sebagai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”). Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik , seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga ( lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga –“UU KDRT” ) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas UU KDRT juga telah memberikan larangan bagi setiap orang untuk melakukan kekerasan baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun penelantaran rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya ( lihat Pasal 5 UU KDRT ). Kekerasan fisik yang dimaksud pasal tersebut adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat ( lihat Pasal 6 UU KDRT ) sehingga termasuk pula perbuatan menampar, menendang dan menyulut dengan rokok adalah dilarang. Pasal 26 ayat (1) UU KDRT menentukan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT ). Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.” Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kakak adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. UU KDRT menyebutkan bahwa permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Ditegaskan pula dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya . Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT ). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Simak pula Bagaimana Jika Korban KDRT Tidak Mau Melapor ke Polisi? Selain itu, korban KDRT dilindungi haknya oleh UU KDRT yaitu untuk mendapatkan ( Pasal 10 UU KDRT ): a. perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; b. pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; c. penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan e. pelayanan bimbingan rohani. Ancaman pidana terhadap kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga ini adalah pidana penjara pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp15 juta ( lihat Pasal 44 ayat [1] UU KDRT ). Dan khusus bagi KDRT yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, ancaman pidananya adalah pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp5 juta ( lihat Pasal 44 ayat [4] UU KDRT ). Kami tidak mengetahui apakah KDRT yang dialami adik Anda melibatkan pula kekerasan psikis atau tidak, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan/atau penderitaan psikis yang berat. Namun, apabila adik ipar Anda juga melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya, ada ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya yaitu pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9 juta dan d alam hal perbuatan tersebut tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp3 juta ( lihat Pasal 45 UU KDRT ). Untuk kekerasan fisik maupun psikis yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari adalah merupakan delik aduan ( lihat Pasal 51 dan 52 UU KDRT ) yaitu proses pidana hanya bisa di lakukan apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban tindak pidana (atau kuasanya) . Menurut Mr. Drs. E Utrecht dalam bukunya Hukum Pidana II , dalam delik aduan , penuntutan terhadap delik tersebut digantungkan pada persetujuan dari yang dirugikan (korban). Pada delik aduan ini, korban tindak pidana dapat mencabut laporannya kepada pihak yang berwenang apabila di antara mereka telah terjadi suatu perdamaian. Pencabutan pengaduan ini dapat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah pengaduan diajukan (lihat Pasal 75 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73); 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya, kewajiban lapor itu sebenarnya harus dilaksanakan berapa bulan atau dengan kata lain berapa lama wajib lapor polisi? Soalnya saya sudah wajib lapor dua bulan dan mau berhenti wajib lapor, sama penyidik kok disuruh lapor terus sampai penyidik bilang berhenti. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang wajib lapor, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai penangguhan penahanan. Pengertian penangguhan penahanan tidak secara eksplisit di diatur dalam undang-undang. Akan tetapi, penangguhan penahanan dijelaskan dalam Pasal 31 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:\n\nAtas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.\nMaksud dari penangguhan penahanan dalam pasal tersebut adalah bahwa tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan sebelum masa atau waktu penahanannya berakhir. Tidak hanya itu, penangguhan penahanan tersebut harus disertai dengan jaminan uang atau jaminan orang sebagai penjamin apabila di kemudian hari selama masa penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa melarikan diri.\n\nPerlu dipahami bahwa penangguhan penahanan tidak sama dengan pembebasan dari tahanan. Hal ini disampaikan oleh Puteri Hikmawati dalam tulisan berjudul Politik Hukum Pidana Pemberian Penangguhan Penahanan dalam Pemeriksaan Perkara (hal. 9) menjelaskan perbedaan penangguhan penahanan dengan pembebasan dari tahanan adalah pada penangguhan penahanan, seorang tahanan masih sah dan resmi serta masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan oleh undang-undang. Sedangkan pembebasan penahanan dilakukan tanpa syarat jaminan dan masa penahanan telah selesai dijalankan oleh tersangka atau terdakwa berdasarkan ketentuan dalam undang-undang.\n\nMenurut M. Yahya harahap dalam buku Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) (hal. 164) perbedaan antara penangguhan penahanan dan pembebasan tahanan terletak pada \"syarat\". Faktor \"syarat\" ini merupakan \"dasar\" atau landasan pemberian penangguhan penahanan. Sedangkan dalam tindakan pembebasan tahanan dilakukan tanpa syarat, sehingga hal tadi tidak merupakan faktor yang mendasari pembebasan.\n\nMengenai syarat penangguhan penahanan telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 31 KUHAP yang berbunyi:\n\nYang dimaksud dengan \"syarat yang ditentukan\" ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau kota. Masa Penangguhan penahanan dari seorang tersangka atau terdakwa tidak termasuk masa status tahanan.\n\nBerdasarkan keterangan di atas, sebagaimana disarikan dari artikel Syarat Penangguhan Penahanan dan Sejumlah Prosedurnya (hal. 2), syarat-syarat penangguhan penahanan adalah sebagai berikut:\n\nWajib lapor. Tersangka atau terdakwa diwajibkan untuk melapor ke penegak hukum yang mengabulkan penangguhan penahanan tersebut. Frekuensi melapor ini bisa berbeda-beda, bisa setiap hari, satu kali dalam tiga hari, satu kali dalam seminggu dan lainnya.Tidak keluar rumah. Tersangka atau terdakwa harus tetap tinggal di rumahnya selama masa penangguhan penahanan. Hal ini dimaksudkan agar proses penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan dapat berjalan dengan baik.Tidak keluar kota. Tersangka atau terdakwa tidak diperbolehkan keluar kota karena mempunyai kewajiban untuk melapor pada waktu yang ditentukan.\n\nDengan demikian, dapat kami sampaikan mengenai apa yang dimaksud dengan wajib lapor adalah syarat dalam penangguhan penahanan, dimana tersangka atau terdakwa diwajibkan untuk melapor ke penegak hukum.\nJangka Waktu Wajib Lapor Penangguhan Penahanan\n\nSebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya, penangguhan penahanan dijalankan oleh tersangka atau terdakwa masih berada dalam batas waktu penahanan yang dibenarkan oleh undang-undang. Namun, pelaksanaan penahanan dihentikan dengan mengeluarkan tahanan setelah instansi yang menahan menetapkan syarat-syarat penangguhan penahanan.\n\nAdapun jangka waktu penahanan diatur di dalam Pasal 24 KUHAP s.d. Pasal 28 KUHAP, yang kami uraikan sebagai berikut:\n\nPada tingkat penyidikan, jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari;[1]Pada tingkat penuntutan, jangka waktu penahanan paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 30 hari;[2]Pada tingkat pemeriksaan di pengadilan negeri, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri paling lama 60 hari;[3]Pada tingkat pemeriksaan pengadilan tinggi, jangka waktu penahanan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan tinggi paling lama 60 hari;[4]Pada tingkat pemeriksaan pengadilan kasasi, jangka waktu penahanan paling lama 50 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua mahkamah agung paling lama 60 hari.[5]\n\nNamun demikian, patut diperhatikan bahwa terdapat pengecualian jangka waktu penahanan sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) KUHAP yang menerangkan bahwa guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang lagi paling lama 30 hari dalam hal:\n\ntersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atauperkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih.\n\nMenjawab pertanyaan Anda berapa lama tersangka wajib lapor? menurut hemat kami, jangka waktu wajib lapor pada saat menjalani penangguhan penahanan di tingkat kepolisian atau di tingkat penyidikan paling lama 60 hari.\n\nAkan tetapi, jika pasal yang disangkakan terhadap Anda diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih maka wajib lapor dapat diperpanjang maksimal ditambah 60 hari. Sehingga maksimal wajib lapor penangguhan penahanan di tingkat kepolisian/penyidikan adalah 120 hari.\n\nJadi apabila Anda telah melalui masa penangguhan penahanan tersebut, Anda tidak perlu wajib lapor ke penyidik meskipun Anda masih berstatus sebagai tersangka atau terdakwa.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\n\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Pembebasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan). Cetakan Kelima. Jakarta: Sinar Grafika, 2003\n2. Puteri Himawati. Politik Hukum Pidana Pemberian Penangguhan Penahanan dalam Pemeriksaan Perkara. Jurnal Negara Hukum, Vol. 5, No. 1, 2014.\n\n[1] Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[2] Pasal 25 ayat (1) dan (2) KUHAP[3] Pasal 26 ayat (1) dan (2) KUHAP[4] Pasal 27 ayat (1) dan (2) KUHAP[5] Pasal 28 ayat (1) dan (2) KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tolong beri kami saran berapa lama seharusnya perusahaan menyimpan dokumen seperti dokumen keuangan, dokumen hukum, perjanjian, invoice, dan lain-lain. Mohon sebutkan pula dasar hukumnya dalam KUHD. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITFungsi Meterai dan Objek Bea Meterai 03 Mei 2024Apakah UU Dokumen Perusahaan Berlaku bagi Instansi Pemerintah?07 Mei 2021Dasar Kewenangan Notaris untuk Legalisir Dokumen30 Apr 2021Catat! Ini 3 Dokumen Penting Terkait Bangunan Gedung22 Mar 2021\n\nDikarenakan Anda secara spesifik menyebut dasar hukum dalam KUHD yang menggunakan istilah pembukuan, Pasal 6 KUHD mengatur setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan menurut syarat-syarat perusahaan tentang keadaan harta perusahaan dan tentang apa yang berhubungan dengan perusahaannya. Sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui semua hak dan kewajibannya.\n\nAdapun buku dan surat catatan di atas wajib disimpan selama 30 tahun, dan selama 10 tahun untuk surat dan telegram yang diterima dan salinan surat dan telegram yang dikeluarkan.[1]\nNamun patut Anda garisbawahi, seiring perkembangan bisnis, berdasarkan Pasal 30 UU 8/1997, kini Pasal 6 KUHD dan semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dokumen perusahaan, penyimpanan, pemindahan, penyerahan, dan pemusnahan arsip yang bertentangan dengan UU 8/1997 dinyatakan tidak berlaku lagi.[2]\n\nAlasan ketidakberlakuan Pasal 6 KUHD adalah untuk mengurangi efektivitas dan efisiensi perusahaan, di mana jangka waktu penyimpanan 30 tahun dan 10 tahun tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat khususnya di bidang ekonomi dan perdagangan, dan justru menimbulkan beban ekonomis dan administratif yang memberatkan perusahaan.[3]\nAturan Penyimpanan Dokumen Perusahaan\nNamun demikian, pembuatan dan penyimpanan dokumen, tetap diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi kepentingan para pihak dalam suatu hubungan hukum.[4]\n\nOleh karena itu, kewajiban membuat dan menyimpan dokumen harus tetap dijalankan dengan mengupayakan tidak menimbulkan beban ekonomis dan administratif yang memberatkan, sehingga perlu ada pembaharuan mengenai media yang memuat dokumen dan pengurangan jangka waktu penyimpanannya.[5]\n\nDokumen perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya, baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun terekam dalam bentuk corak apapun yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar. Dokumen perusahaan terdiri dari dokumen keuangan dan dokumen lainnya yang punya nilai guna bagi perusahaan.[6]\n\nSetiap perusahaan wajib membuat catatan sesuai kebutuhan perusahaan yakni neraca tahunan, perhitungan laba rugi tahunan, rekening, jurnal transaksi harian, atau setiap tulisan yang berisi keterangan mengenai hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu perusahaan.[7]\n\nCatatan, bukti pembukuan, dan data pendukung administrasi keuangan wajib disimpan selama 10 tahun terhitung sejak akhir tahun buku perusahaan. Kecuali jangka waktu penyimpanan data pendukung administrasi keuangan yang tidak merupakan bagian dari bukti pembukuan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan. Sedangkan untuk jangka waktu penyimpanan dokumen lainnya ditetapkan berdasarkan nilai guna dokumen itu, yang mana ditetapkan dengan keputusan pimpinan perusahaan dalam suatu jadwal retensi. [8]\n\nTapi, kewajiban penyimpanan ini tidak menghilangkan fungsi dokumen sebagai alat bukti atau untuk kepentingan hukum lainnya.[9]\n\nSehingga menjawab pertanyaan Anda, berapa lama seharusnya perusahaan menyimpan dokumen seperti dokumen keuangan adalah selama 10 tahun terhitung sejak akhir tahun buku perusahaan. Namun untuk jangka waktu penyimpanan data pendukung administrasi keuangan yang tidak merupakan bagian dari bukti pembukuan disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan.\n\nKemudian jangka waktu penyimpanan dokumen hukum, perjanjian, invoice yang menurut hemat kami termasuk dokumen lainnya yang punya nilai guna bagi perusahaan disimpan berdasarkan keputusan pimpinan perusahaan dalam suatu jadwal retensi.\n\nJadwal retensi adalah jangka waktu penyimpanan dokumen perusahaan yang disusun dalam suatu daftar sesuai dengan jenis dan nilai kegunaannya dan dipakai sebagai pedoman pemusnahan dokumen perusahaan.[10]\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Dagang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/507/wetboek-van-koophandel-voor-indonesie/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHD)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/37/undangundang-nomor-8-tahun-1997?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1997)\n[1] Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”)[2] Pasal 30 KUHD[3] Konsiderans huruf c dan d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan (“UU 8/1997”)[4] Konsiderans huruf e UU 8/1997[5] Konsiderans huruf e UU 8/1997[6] Pasal 1 angka 2 dan 3 UU 8/1997[7] Pasal 5 dan 8 ayat (1) UU 8/1997[8] Pasal 11 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 8/1997[9] Pasal 11 ayat (5) UU 8/1997[10] Pasal 1 angka 3 UU 8/1997"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa lama daluwarsa pidana penggelapan biasa dan penggelapan dengan pemberatan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Di dalam ketentuan KUHP yang lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026, daluwarsa merupakan salah satu alasan hapusnya kewenangan menuntut dan menjalankan hukuman.\nKUHP maupun UU 1/2023 mengenal adanya 2 macam daluwarsa pidana adalah daluwarsa untuk menuntut dan daluwarsa untuk menjalankan hukuman pidana. Pasal 1 angka 7 KUHAP mendefinisikan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.\n\nSelain berwenang melakukan penuntutan sebagai penuntut umum, jaksa juga berwenang melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Demikian yang diatur dalam Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP.\n\nBagaimana bunyi ketentuan daluwarsa penuntutan?\nKUHPUU 1/2023Pasal 78Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah 1 tahun;terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun, sesudah 6 tahun;terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, sesudah 12 tahun;terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun.Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum 18 tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi 1/3. Pasal 136Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila:\nsetelah melampaui waktu 3 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III;setelah melampaui waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 tahun dan paling lama 3 tahun;setelah melampaui waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 tahun dan paling lama 7 tahun;setelah melampaui waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun; dansetelah melampaui waktu 20 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi menjadi 1/3.Pasal 79Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.Pasal 137Jangka waltu kedaluwarsa dihitung mulai keesokan hari setelah perbuatan dilalukan, kecuali bagi:Tindak pidana pemalsuan dan tindak pidana perusakan mata uang, kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan; atauTindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450, Pasal 451, dan Pasal 452 kedaluwarsa dihitung mulai keesokan harinya setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut.Pasal 80Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.Pasal 138Tindakan penuntutan tindak pidana menghentikan tenggang waktu kedaluwarsa.Penghentian tenggang waktu kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung keesokan hari setelah tersangka atau terdakwa mengetahui atau diberitahukan mengenai penuntutan terhadap dirinya yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Setelah kedaluwarsa dihentikan karena tindakan penuntutan, mulai diberlakukan tenggang waktu kedaluwarsa baru.Pasal 81Penundaan penuntutan pidana berhubung\ndengan adanya perselisihan pra-yudisial,\nmenunda daluwarsa.Pasal 139Apabila penuntutan dihentikan untuk sementara waktu karena ada sengketa hukum yang harus diputuskan lebih dahulu, tenggang waktu kedaluwarsa penuntutan menjadi tertunda sampai sengketa tersebut mendapatkan putusan.\n\nSedangkan daluwarsa menjalankan hukuman pidana diatur di pasal berikut ini.\nKUHPUU 1/2023Pasal 84Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluwarsa.Tenggang daluwarsa mengenai semua pelanggaran lamanya 2 tahun, mengenai kejahatan yang\ndilakukan dengan sarana percetakan lamanya 5 tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya\nlamanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah 1/3.Bagaimanapun juga, tenggang daluwarsa tidak boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan.Wewenang menjalankan pidana mati tidak daluwarsa.Pasal 142Kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ditambah 1/3.Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana harus melebihi lama pidana yang dijatuhkan kecuali untuk pidana penjara seumur hidup.Pelaksanaan pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa.Jika pidana mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, kewenangan pelaksanaan pidana gugur karena kedaluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) huruf e ditambah 1/3 dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut.Pasal 85Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok harinya setelah\nmelarikan diri itu mulai berlaku tenggang daluwarsa baru. Jika suatu pelepasan bersyarat dicabut, maka\npada esok harinya setelah pencabutan, mulai berlaku tenggang daluwarsa baru.Tenggang daluwarsa tertuduh selama penjalanan pidana ditunda menurut perintah dalam suatu peraturan\numum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya, meskipun perampasan kemerdekaan itu\nberhubung dengan pemidanaan lainPasal 143Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana dihitung keesokan harinya sejak putusan pengadilan dapat dilaksanakan.Apabila terpidana melarikan diri sewaktu menjalani pidana maka tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan harinya sejak tanggal terpidana tersebut melarikan diri.Apabila pembebasan bersyarat terhadap narapidana dicabut, tenggang waktu kedaluwarsa dihitung keesokan harinya sejak tanggal pencabutan.Tenggang waktu kedaluwarsa pelaksanaan pidana ditunda selama:pelaksanaan pidana tersebut ditunda berdasarkan peraturan perundang-undangan; atauterpidana dirampas kemerdekaannya meskipun perampasan kemerdekaan tersebut berkaitan dengan putusan pengadilan untuk tindak pidana lain.\nDaluwarsa Tindak Pidana Penggelapan\n\nSementara itu, Anda menyebutkan secara spesifik tindak pidana penggelapan dan penggelapan dengan pemberatan. Bagaimana bunyi jerat hukum keduanya?\nKUHPUU 1/2023Pasal 372Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2]Pasal 486Setiap orang yang secara melawan hukum memiliki suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena tindak pidana, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[3]Penggelapan dengan PemberatanPasal 374 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.Pasal 488Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang tersebut karena ada hubungan kerja, karena profesinya, atau karena mendapat upah untuk penguasaan barang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[4]Pasal 375 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh wali pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.Pasal 489Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486 dilakukan oleh orang yang menerima barang dari orang lain yang karena terpaksa menyerahkan barang padanya untuk disimpan atau oleh wali, pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan terhadap barang yang dikuasainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[5]\n\nSehingga apabila pelaku tindak pidana masih hidup, daluwarsa pidana untuk melakukan penuntutan tindak pidana penggelapan maupun penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 12 tahun.[6] Perhitungan daluwarsa penuntutan tersebut mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan.[7] Jadi, apabila dalam kurun waktu yang telah disebutkan setelah dilakukan tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan, penuntut umum tidak melakukan penuntutan, maka hapuslah kewenangan untuk menuntut si pelaku (strafsactie).\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, kami memberikan contoh, A berusia 21 tahun melakukan penggelapan uang kantor pada 1 Januari 2023, maka jika sampai sesudah 12 tahun kemudian yakni hingga 1 Januari 2035 tidak dilakukan penuntutan, maka kewenangan penuntut umum untuk menuntut A menjadi hapus.\n\nSelain daluwarsa penuntutan, diatur pula mengenai daluwarsa menjalankan hukuman pidana. Untuk tindak pidana penggelapan, maka daluwarsa menjalankan hukuman pidana adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.[8]\n\nGuna menjelaskan hal ini, kami mencontohkan A yang telah dituntut penggelapan di pengadilan kemudian diputus hakim dengan hukuman penjara selama 4 tahun pada 10 Agustus 2021 dan putusan sudah dapat dijalankan pada 18 Agustus 2021, maka mulai 19 Agustus 2021 sampai dengan 19 Agustus 2037 berlakulah tenggang daluwarsa menjalankan hukuman pidana dan dalam hal ini penuntut umum sebagai eksekutor putusan hakim harus memasukkan A ke penjara.\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, masa daluwarsa menuntut tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 12 tahun mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan atau hari sesudah pelaku melakukan tindak pidana. Sedangkan, masa daluwarsa menjalankan hukuman pidana untuk tindak pidana penggelapan/penggelapan dengan pemberatan adalah sesudah 16 tahun dan mulai berlaku pada esok harinya setelah putusan hakim dapat dijalankan.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait daluwarsa pidana penggelapan dan penggelapan dengan pemberatan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n4. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[3] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023[4] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[6] Pasal 78 ayat (1) angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)[7] Pasal 79 KUHP[8] Pasal 84 ayat (2) jo. Pasal 85 ayat (1) KUHP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana jika seorang anak berusia 5 tahun mengalami pemerkosaan tetapi baru terungkap setelah ia berusia 20 tahun? Apakah pemerkosaan yang terjadi 15 tahun lalu ada daluwarsa penuntutan pidana? Mengapa diatur masa daluwarsa pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terhadap tindak pidana pemerkosaan terhadap anak, berlaku ancaman pidana dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya yang selengkapnya diatur dalam bunyi pasal berikut ini:\n\nPasal 76D UU 35/2014\n\nSetiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.\n\nPasal 81 Perppu 1/2016\nSetiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun.Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.\nMasa Daluwarsa Perkara Pidana Pemerkosaan Anak\n\nSebelum menjawab inti pertanyaan Anda tentang masa daluwarsa tindak pidana pemerkosaan anak, patut diketahui ketentuan umum daluwarsa penuntutan pidana yang tercantum dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, yang berbunyi:\nPasal 78 KUHPPasal 136 UU 1/2023Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.Kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila:\nsetelah melampaui waktu 3 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau hanya denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;setelah melampaui waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 tahun dan paling lama 3 tahun;setelah melampaui waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 tahun dan paling lama 7 tahun;setelah melampaui waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun; dansetelah melampaui waktu 20 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak, tenggang waktu gugurnya kewenangan untuk menuntut karena kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi menjadi 1/3.\nSelengkapnya pembahasan mendetail mengenai masa daluwarsa pidana dapat Anda simak dalam Berapa Lama Masa Daluwarsa Penuntutan dan Menjalankan Pidana?\n\nSehingga menyambung pertanyaan Anda, atas tindakan pemerkosaan anak yang terjadi 15 tahun lalu dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, maka masa daluwarsa penuntutan pidana sebagai berikut:\n\n12 tahun (Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP); atau12 tahun atau 18 tahun (Pasal 136 ayat (1) huruf c dan d UU 1/2023).\n\nHal lain yang perlu Anda perhatikan adalah cara menghitung daluwarsa pidana yakni perhitungan daluwarsa penuntutan tersebut mulai berlaku pada keesokan hari sesudah perbuatan dilakukan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 79 KUHP atau Pasal 137 UU 1/2023.\n\nDengan demikian, atas perhitungan masa daluwarsa perkara pidana pemerkosaan anak yang terjadi 15 tahun lalu pada saat anak berusia 5 tahun sudah kedaluwarsa (melewati batas 12 tahun) berdasarkan Pasal 78 ayat (1) angka 3 KUHP yang berlaku pada saat artikel ini diterbitkan.\n\nKemudian menjawab pertanyaan Anda yang lain perihal alasan mengapa adanya daluwarsa dalam penuntutan tindak pidana adalah demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Lebih lanjut Anda bisa membaca jawaban dari Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H. dalam Ini Alasan Mengapa Ada Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang masa daluwarsa pidana perkara pemerkosaan anak, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapakah maksimal jumlah dan lama persidangan kasus Hukum Pidana? Apakah ada batas maksimalnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda terkait jangka waktu persidangan pidana, kami asumsikan bahwa lama persidangan pidana yang Anda maksud dalam pertanyaan Anda adalah perkara pidana pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri). Maka, perlu dipahami terlebih dahulu tahapan persidangan pidana pada tingkat pertama berdasarkan pengalaman kami dalam beracara, yaitu sebagai berikut: Dakwaan oleh jaksa penuntut umum; Eksepsi (nota keberatan) oleh terdakwa/penasihat hukum (jika ada); Tanggapan atas eksepsi oleh jaksa penuntut umum (jika ada); Putusan sela (jika ada eksepsi); Pembuktian (pemeriksaan alat bukti dan barang bukti); Tuntutan oleh jaksa penuntut umum; Pledoi (nota pembelaan) oleh terdakwa/penasihat hukum; Replik (jawaban atas pledoi oleh jaksa penuntut umum); Duplik (tanggapan atas replik oleh terdakwa/penasihat hukum); dan Putusan hakim. Jumlah persidangan dalam suatu perkara pidana tidak dibatasi, mengingat jumlah persidangan juga bergantung kepada jumlah saksi yang dihadirkan dan faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, secara umum proses persidangan pidana pada tahap pertama (Pengadilan Negeri) dapat berlangsung selama satu bulan hingga tiga bulan, hal ini dikarenakan majelis hakim berusaha untuk menyelesaikan persidangan sebelum masa penahanan seorang terdakwa habis (jika terdakwa ditahan). Masa penahanan terdakwa dalam proses pemeriksaan diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (“ KUHAP ”) yang berbunyi: Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari . Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari . Ketentuan sebagimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi, Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Meski demikian, dalam fakta yang terjadi di lapangan, berdasarkan pengalaman kami, persidangan pidana masih memakan waktu yang cukup lama, bahkan tidak jarang sidang pertama baru dimulai ketika sudah mendekati berakhirnya masa penahanan. Jeda waktu satu minggu antara satu tahap agenda persidangan ke tahap agenda sidang berikutnya masih sering mengalami penundaan dikarenakan berbagai faktor. Beberapa contohnya adalah saksi yang tidak datang dalam agenda persidangan pembuktian, surat tuntutan yang belum dipersiapkan oleh jaksa penuntut umum, dan kendala-kendala lain yang memperlambat proses persidangan. Penundaan sidang seperti ini tentu membuat ketidakpastian hukum bagi terdakwa yang menjalani persidangan, terlebih lagi untuk terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum. Menyikapi persoalan tersebut, serta guna mewujudkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan (“ SEMA 2/2014 ”) mengatur masa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama (termasuk perkara pidana) agar diselesaikan paling lambat dalam waktu 5 bulan . [1] Terhadap sifat dan keadaan perkara tertentu yang penyelesaian perkaranya memakan waktu lebih dari 5 bulan, majelis hakim membuat laporan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang tembusannya ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Mahkamah Agung. [2] Oleh karena itu, dengan adanya jangka waktu proses persidangan pidana yang diatur dalam SEMA 2 /2014 , yakni selama 5 bulan pada tingkat pertama (Pengadilan Negeri), diharapkan apabila persidangan pidana tidak dapat diselesaikan selama 1 hingga 3 bulan, persidangan dapat diselesaikan selambat-lambatnya dalam 5 bulan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara lebih dari 5 bulan dalam keadaan tertentu. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama dan Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan [1] SEMA 2/2014 hal. 1 [2] SEMA 2/2014 hal. 2 acara peradilan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat siang mba/mas, saya ingin menanyakan apa saja syarat-syarat yang dibutuhkan jika ingin mengajukan uji materi terhadap suatu Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi. Berapa biayanya dan berapa lama prosesnya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Menguji Kembali Pasal yang Sama ke MK? 14 Agt 2023 Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma? 03 Mei 2023 Memahami Arti Putusan MK Bersifat Final 06 Sep 2022 Berbagai Putusan MK yang Mengubah UU Ketenagakerjaan 23 Sep 2020 Pengaturan Mahkamah Konstitusi dapat kita temui dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) dan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”’). Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 UU 8/2011. Menurut Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10 UU MK ,salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945. Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pengujian Undang-Undang mengatakan bahwa pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil , sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil . Jika pengujian undang-undang tersebut dilakukan atas materinya, maka pengujian demikian disebut pengujian materiil yang dapat berakibat dibatalkannya sebagian materi undang-undang yang bersangkutan (hal. 51-52). Menjawab pertanyaan Anda, berikut akan kami jelaskan mengenai syarat pengajuan uji materil undang-undang terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (“MK”). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Syarat dan tata cara pengajuan uji materiil UU terhadap UUD 1945 ke MK adalah sebagai berikut: 1. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Konstitusi dan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya dalam 12 (dua belas) rangkap ( Pasal 29 UU MK ) 2. Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( Pasal 30 UU MK ) 3. pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut ( Pasal 31 ayat [2] UU MK ) 4. Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( Pasal 50 UU MK) 5. Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalny a dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu ( Pasal 51 ayat [1] UU MK ) : a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. 6. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya ( Pasal 51 ayat [2] UU MK ) 7. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa ( Pasal 51 ayat [3] UU MK ) : a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8. Permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus memuat ( Pasal 51 ayat [1] UU 8/2011 ): a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus. 9. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa ( Pasal 51 ayat [3] UU MK ) : a. pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau b. materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan uji materiil ke MK dapat Anda simak dalam artikel Syarat dan Tata Cara Pengajuan Judicial Review ke MA dan MK . Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai biaya dan berapa lama proses pengajuan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 ke MK. Menurut Pasal 6 ayat (7) Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (“Peraturan MK 6/2005”), permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara. Artinya, tidak ada sejumlah uang harus dibayar pemohon saat mengajukan uji materiil suatu undang-undang. Mengenai berapa lama proses pengajuan uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945 ke MK, sepanjang penelusuran kami, baik UU MK maupun Peraturan MK tidak mengatur secara jelas berapa lama proses uji materiil undang-undang hingga adanya putusan MK. Hal ini sesuai dengan uraian yang tercantum dalam Laporan Kinerja Mahkamah Konstitusi Tahun 2012 (hal. 15) yang antara lain menyatakan bahwa Pengujian Undang-Undang (PUU) secara normatif, jangka waktu penyelesaiannya non limitatif (tidak dibatasi). Namun, dalam laporan tersebut juga diinformasikan lamanya waktu penyelesaian perkara pengujian undang-undang. Disampaikan bahwa perkara paling singkat yang ditangani oleh MK pada tahun 2012 adalah Perkara No.101/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden , dengan lama uji 11 hari . Sementara itu, perkara terlama pada 2012 ini terjadi saat MK mengadili Perkara Nomor 10/PUU-X/2012 yang menguji UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang waktu penyelesaian hingga 309 hari (hal. 28). Dalam laporan tersebut disampaikan juga mengenai faktor-faktor yang menyebabkan penanganan perkara menjadi relatif lama, yaitu (hal. 26-27): · kebutuhan para pihak yang mana biasanya meminta persidangan terus dibuka untuk menghadirkan ahli atau saksi untuk didengarkan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus. Hal ini didasari atas asas audi et alteram partem , yakni seluruh pihak yang berperkara harus didengarkan pendapatnya · membutuhkan kajian yang sangat mendalam dan komprehensif sebagai bahan merumuskan pertimbangan hukumnya. Karena itu, meskipun MK pada dasarnya ingin memutus secara cepat pada semua perkara, namun MK juga tidak mau terburu-buru dalam menangani perkara yang sedang diadili. Karena memang, pada perkara pengujian undang-undang secara ketentuan pun MK tidak diberikan limitasi waktu dalam menjatuhkan putusan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3. Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden , 4. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara . 5. Undang-Undang No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 6. Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Referensi: Jimly Asshiddique. 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Yarsif Watampone: Jakarta. www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=download.LaporanKinerjaMK&id=4 , diakses pada 10 September 2013 pukul 16.44 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa lama saya bisa mendapatkan salinan putusan kasasi dari Mahkamah Agung (MA)? Di web MA saya melihat permohonan kasasi mantan suami terhadap gugatan perceraian sudah tersedia dengan status di-TOLAK pada tanggal 22 Desember 2017, tetapi sampai pada hari ini salinan atau surat putusan dari MA belum tersedia. Pertanyaan saya: 1. Berapa lama saya bisa mendapatkan surat putusan MA? 2. Bagaimana cara untuk meminta surat putusan ke MA? Terima kasih atas petunjuk dan tuntunannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Menurut Pasal 53 dan Pasal 57 ayat (4) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) dan perubahannya, Anda memiliki hak untuk menerima salinan putusan kasasi. Untuk Putusan Kasasi , salinan putusan itu disampaikan oleh Mahkamah Agung kepada para pihak melalui Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama (dalam hal ini Pengadilan Agama) yang memutus perkara tersebut. Putusan Mahkamah Agung (Putusan Kasasi) diberikan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat Pertama tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Permohonan Kasasi Perdata Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan ini adalah perkara perceraian menurut agama Islam, maka sesuai Pasal 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”): Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara. Permohonan kasasi dalam perkara perdata (termasuk perkara perceraian) berdasarkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”) disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Penjelasan lebih lanjut mengenai kasasi, selengkapnya silakan baca artikel Alur Pemeriksaan Perkara Kasasi Kasus Perdata dan Jangka Waktu Pengajuan Kasasi . Hak untuk Memperoleh Salinan Putusan Setelah adanya Putusan Kasasi , salinan putusan itu dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus perkara tersebut. Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat Pertama tersebut . [1] Pasal 57 ayat (4) UU MA pun menegaskan, putusan tersebut disampaikan kepada: Para pihak melalui Ketua Pengadilan; Ketua Pengadilan yang bersangkutan. Maka menurut Pasal 53 dan Pasal 57 ayat (4) UU MA tersebut, Anda memiliki hak untuk menerima salinan putusan MA atau putusan kasasi, sedangkan yang berkewajiban memberikan salinan putusan kasasi adalah Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Agama) tempat perkara cerai diputuskan . Jadi dalam konteks pertanyaan Anda, para pihak menerima salinan Putusan Kasasi itu paling lambat 30 hari setelah Putusan Kasasi dijatuhkan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Agama. Yang menjadi permasalahan adalah tidak ada pengaturan yang jelas mengenai jangka waktu pemberitahuan/penyerahan salinan putusan dan berkas perkara dari Mahkamah Agung ke Pengadilan Tingkat Pertama (dalam hal ini Pengadilan Agama). Sehingga dimungkinkan pemberitahuan tersebut terjadi dalam waktu lama. Anda dapat menanyakan hal tersebut ke Ketua Pengadilan Agama yang bersangkutan tempat perceraian diputuskan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun\n2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama [1] Pasal 53 UU MA pengadilan perdata ma cerai putusan kasasi salinan putusan klinik hukumonline peradilan agama mahkamah agung kasasi hukumonline acara peradilan banding google putusan hakim putusan pengadilan agama hukum klinik perceraian"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa lama maksimum suatu masa pencekalan berlaku untuk seseorang yang dituduh dalam suatu tindakan pidana. Dan apakah suatu pencekalan secara otomatis gugur apabila telah melewati masa tersebut? Bagaimana caranya apabila setelah masa tersebut pencekalan masih terjadi di Imigrasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Surat Keterangan Lapor Diri dan Surat Keterangan Tempat Tinggal untuk WNA 21 Agt 2023 Status Hukum Seorang Refugee dan Akibat Hukumnya 06 Jun 2023 Visa Kunjungan Saat Kedatangan, Ini Syarat dan Aturannya 17 Mar 2023 Bila Hukum Positif Bertentangan dengan Asas Hukum 17 Feb 2014 Intisari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. Jika tidak ada keputusan perpanjangan masa pencegahan, pencegahan berakhir demi hukum, dan yang bersangkutan dapat melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia . Dalam hal Pencegahan berakhir, Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kesempatan pertama harus mencabut nama orang yang dikenai Pencegahan dari daftar Pencegahan . Pencabutan tersebut disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia, dan Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Wilayah Indonesia melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Keimigrasian”) , tidak mengenal istilah pencekalan. Yang ada adalah pencegahan. Pencegahan adalah larangan sementara terhadap orang untuk keluar dari Wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian atau alasan lain yang ditentukan oleh undang-undang. [1] Prosedur Pencegahan Terkait pencegahan yang menyangkut keimigrasian ini, yang berwenang dan bertanggung jawab melakukannya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menteri”). [2] Pelaksanaan pencegahan oleh Menteri dilakukan berdasarkan: [3] a. hasil pengawasan Keimigrasian dan keputusan Tindakan Administratif Keimigrasian; b. Keputusan Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sesuai bidang tugasnya masing-masing dan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. permintaan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; d. perintah Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; e. permintaan Kepala Badan Narkotika Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau f. keputusan, perintah, atau permintaan pimpinan kementerian/lembaga lain yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenangan Pencegahan. Pencegahan ini ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh pejabat yang berwenang [4] , yang diterbitkan oleh instansi yang memintanya atau memohonkan untuk pelaksanaannya. Pelaksanaan atas keputusan pencegahan ini dilakukan oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk. [5] Keputusan pencegahan sekurang-kurangnya memuat: [6] a. nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, serta foto yang dikenai Pencegahan; b. alasan Pencegahan; dan c. jangka waktu Pencegahan. Keputusan pencegahan ini disampaikan kepada orang yang dikenai pencegahan paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan. [7] Keputusan pencegahan disampaikan ke alamat domisili orang yang dikenai pencegahan, keluarga, atau perwakilan negara di tempat orang tersebut berada. [8] Jika keputusan pencegahan dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Narkotika Nasional, atau pimpinan kementerian/lembaga yang memiliki kewenangan pencegahan, keputusan tersebut juga disampaikan kepada Menteri paling lambat 3 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan dengan permintaan untuk dilaksanakan . [9] Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kesempatan pertama harus memasukkan identitas orang yang dikenai keputusan Pencegahan ke dalam daftar Pencegahan melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian. [10] Yang dimaksud dengan “pada kesempatan pertama” adalah sesaat setelah menerima surat keputusan pencegahan. [11] Identitas orang yang dikenai keputusan Pencegahan paling sedikit memuat: [12] a. nama; b. jenis kelamin; c. tempat dan tanggal lahir atau umur; d. foto; e. alamat, kewarganegaraan, dan pekerjaan orang yang dikenai keputusan pencegahan (jika diketahui) Berdasarkan daftar pencegahan tersebutlah, Pejabat Imigrasi wajib menolak orang yang dikenai pencegahan keluar Wilayah Indonesia. [13] Terhadap orang yang masuk daftar pencegahan juga dilakukan penarikan paspor (Paspor biasa dan Surat Perjalanan Laksana Paspor) oleh Menteri atau Pejabat Imigrasi. [14] Jika orang tersebut (warga negara Indonesia) memiliki Paspor diplomatik atau Paspor dinas, Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk wajib melakukan penarikan paspor tersebut. [15] Orang yang dikenai pencegahan dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada pejabat yang mengeluarkan keputusan pencegahan. Akan tetapi, pengajuan keberatan tersebut tidak menunda pelaksanaan pencegahan. [16] Jangka Waktu Pencegahan Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 bulan. [17] Jika tidak ada keputusan perpanjangan masa pencegahan, pencegahan berakhir demi hukum, dan yang bersangkutan dapat melakukan perjalanan keluar Wilayah Indonesia . [18] Selain karena habisnya jangka waktu pencegahan, pencegahan juga berakhir karena: [19] a. dicabut berdasarkan keputusan tertulis oleh Menteri atau pejabat yang berwenang menetapkan pencegahan; b. dicabut oleh pejabat yang menetapkan pencegahan berdasarkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkekuatan hukum tetap; atau c. berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bebas atas perkara yang menjadi alasan pencegahan. [20] Dalam hal pencegahan berakhir berdasarkan alasan dalam poin (a) dan (b) di atas, pencabutan pencegahan dinyatakan dalam bentuk keputusan pencabutan. [21] Keputusan pencabutan pencegahan ini disampaikan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk dalam waktu paling lambat 3 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan. Serta disampaikan kepada orang yang dikenai pencegahan dengan surat tercatat dalam waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan ditetapkan. [22] Dalam hal terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (sebagaimana poin c), orang yang diputus bebas harus menyampaikan salinan putusan kepada Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk. [23] Menjawab pertanyaan Anda, berarti pencegahan memang secara otomatis berakhir jika jangka waktunya telah berakhir. Dalam hal Pencegahan berakhir, Pejabat Imigrasi yang ditunjuk pada kesempatan pertama harus mencabut nama orang yang dikenai Pencegahan dari daftar Pencegahan . [24] Pencabutan tersebut disampaikan kepada Menteri Luar Negeri, Kepala Perwakilan Republik Indonesia, dan Kepala Kantor Imigrasi di seluruh Wilayah Indonesia melalui Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian. Mengenai pertanyaan Anda selanjutnya mengenai bagaimana jika setelah masa pencegahan berakhir, pencegahan masih terjadi di imigrasi, hal tersebut tidak diatur dalam UU Keimigrasian maupun PP Keimigrasian. Menurut kami, Anda dapat melakukan pengaduan kepada pihak imigrasi melalui layanan pengaduan masyarakat . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011. [1] Pasal 1 angka 28 UU Keimigrasian [2] Pasal 91 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 4 UU Keimigrasian [3] Pasal 91 ayat (2) UU Keimigrasian [4] Pasal 94 ayat (1) UU Keimigrasian dan penjelasannya [5] Pasal 93 UU Keimigrasian [6] Pasal 94 ayat (2) UU Keimigrasian [7] Pasal 94 ayat (3) UU Keimigrasian [8] Pasal 229 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“PP Keimigrasian”) [9] Pasal 94 ayat (4) UU Keimigrasian [10] Pasal 230 ayat (1) PP Keimigrasian [11] Penjelasan Pasal 230 ayat (1) PP Keimigrasian [12] Pasal 230 ayat (2) dan (3) PP Keimigrasian [13] Pasal 95 UU Keimigrasian [14] Pasal 231 ayat (1) PP Keimigrasian [15] Pasal 231 ayat (2) PP Keimigrasian [16] Pasal 96 UU Keimigrasian [17] Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-IX/2011 [18] Pasal 97 ayat (2) UU Keimigrasian [19] Pasal 239 PP Keimigrasian [20] Pasal 97 ayat (3) UU Keimigrasian [21] Pasal 240 ayat (1) PP Keimigrasian [22] Pasal 240 ayat (2) dan (3) PP Keimigrasian [23] Pasal 241 PP Keimigrasian [24] Pasal 242 PP Keimigrasian hukumonline keimigrasian imigrasi hukum klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Berapa lama seseorang menyadang status sebagai tersangka? Dan apakah dapat dilakukan prapradilan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Seseorang menyandang status tersangka selama perkaranya dalam proses penyidikan. Jika perkaranya telah disidangkan di pengadilan, maka statusnya berubah menjadi terdakwa. Selain itu, seorang tersangka bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Ini berdasarkan definisi yang diberikan dalam Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Definisi serupa juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 14/2012”) . Sedangkan yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan ( Pasal 1 angka 21 Perkapolri 14/2012 ). Mengenai berapa lama seseorang menjadi tersangka, ini bergantung dari berapa lama proses penyidikan tersebut. Karena selama proses penyidikan tersebut berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka . S edangkan jika penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi terdakwa. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan ( Pasal 1 angka 15 KUHAP ). KLINIK TERKAIT Penangguhan Penahanan Bagi Tersangka Ibu yang Menyusui 12 Jan 2015 Siapa Saja yang Berwenang Menetapkan Saksi Menjadi Tersangka? 02 Mei 2014 Kapan Tersangka Dapat Meminta Penangguhan Penahanan? 07 Mar 2014 Jangka Waktu Maksimal Penahanan di Kepolisian 16 Des 2013 Selain itu, seseorang juga bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap perkaranya dilakukan penghentian penyidikan ( Pasal 109 ayat (2) KUHAP ). Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila: (lihat Pasal 76 ayat (1) Perkapolri 14/2012 ) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. tidak terdapat cukup bukti; b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan c. demi hukum, karena: 1. tersangka meninggal dunia; 2. perkara telah kadaluarsa; 3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan 4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem). Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada pelapor, JPU, dan tersangka atau penasihat hukumnya ( Pasal 76 ayat (3) Perkapolri 14/2012 ). Sebagai referensi mengenai penghentian penyidikan, Anda dapat membaca artikel Apakah Perkara yang Sama Bisa Dua Kali di-SP3? Kemudian apakah mengenai dapat dilakukan praperadilan atas status seseorang sebagai tersangka, maka kita perlu melihat apa saja yang dapat dimintakan praperadilan. Berdasarkan Pasal 1 angka 10 dan Pasal 77 KUHAP , praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Sebagai referensi, silakan baca artikel Objek Praperadilan Menurut KUHAP . Pada praktiknya, status seseorang sebagai tersangka dapat dijadikan objek praperadilan, seperti yang pernah diberitakan dalam artikel Hakim Perintahkan Jaksa Bebaskan Karyawan Chevron . Yang teranyar adalah putusan dalam praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan sebagaimana diberitakan dalam artikel Ini Rekaman Putusan Praperadilan Budi Gunawan . Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa Hakim Sarpin Rizaldi membata lkan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka. Dalam pertimbangannya, Sarpin menafsirkan penetapan tersangka sebagai salah satu upaya paksa yang masuk dalam lingkup praperadilan. Sarpin beralasan karena undang-undang tidak mengatur secara jelas apa yang dimaksud upaya paksa, maka hakim berhak menafsirkan apa saja yang dikategorikan sebagai upaya paksa. Ia menilai penetapan tersangka merupakan salah satu upaya paksa karena tindakan itu dilakukan dalam ranah pro justisia. Perlu diketahui bahwa tidak adanya jangka waktu penyidikan terkadang membuat proses penyidikan begitu lama sehingga muncul kekhawatiran secara de facto sebenarnya penyidikan telah dihentikan namun penyidik tidak mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Hal ini yang mendorong LSM Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk mengajukan praperadilan. Salah satunya untuk mengetahui apakah satu perkara memang masih sedang disidik atau malah sudah dihentikan penyidikannya. Lebih lanjut silakan baca artikel Praperadilan, SP3, dan Egoisme Sektoral Aparat Hukum . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana. hukum hukumonline status tersangka klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya berapa lamakah penerbitan Tambahan Berita Negara untuk PT? Akte Pendirian Perusahaan terbit tanggal 15 November 2016. SK Menhukam terbit tanggal 16 Januari 2016. Saya membuat dokumen PT melalui agen jasa pembuatan dokumen PT. Namun hingga saat ini Juli 2018 setiap kali ditanyakan selalu jawabannya untuk penerbitan Tambahan Berita Negara PT butuh waktu 2 tahun sejak SK Menhukam terbit dan tidak ada cara lain selain menunggu. Apakah benar seperti itu? Mohon masukannya dan terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "JAZ & Partners merupakan firma hukum yang memberikan jasa hukum di bidang korporasi, khususnya di bidang general corporate , merger & acquisition , dan corporate restructuring . Website : www.jazplaw.com Telp\n: 021-7947388 E-mail\n: [email protected] Intisari : Sepengetahuan kami, tidak ada pengaturan yang secara khusus tentang pengumuman Tambahan Berita Negara Perseroan terbatas (“ PT ”) harus diterbitkan/dicetak dalam waktu tertentu sejak penerbitan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (“ SK Menkumham ”) . Pengaturan yang ada hanya mengatur bahwa pengumuman dalam Tambahan Berita Negara harus dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak SK Menkumham diterbitkan. Lalu bagaimana cara mengetahui status dari pengumuman Tambahan Berita Negara PT itu? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berita Negara ( official gazette ) adalah koran atau media resmi yang diterbitkan oleh pemerintah untuk mengumumkan peraturan perundang-undangan dan pengumuman resmi lainnya. Berita yang lebih rinci dapat diterbitkan Tambahan Berita Negara ( supplement to gazzete ). Penerbitan Berita Negara dan Tambahan Berita Negara merupakan penerbitan berita resmi pemerintah yang otentik dan isinya dapat dijadikan referensi bagi negara dan masyarakat dalam menjalankan kehidupan bernegara. Penerbitan Negara merupakan mekanisme penyebaran informasi perundang-undangan dan/atau sistem dalam memberikan informasi publik kepada masyarakat secara luas. Demikian penjelasan singkat Berita Negara dan Tambahan Berita Negara sebagaimana dimuat dalam laman Berita Negara Republik Indonesia . Pengumuman dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara dilakukan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Negara yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Negara Republik Indonesia (“PP 72/2012”) , yang mengatakan: Pasal 3 PP 72/2012 Dengan Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah menugaskan Perusahaan untuk: ... mencetak dan menyebarluaskan Berita Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang berfungsi sebagai tempat pengumuman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. … … Selain Perum Percetakan Negara RI, pengumuman Tambahan Berita Negara juga dilakukan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, yang mana hal ini diatur dalam Pasal 318 ayat (4) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (“Permenkumham 29/2015”) yang selengkapnya berbunyi: Seksi Dokumentasi dan Pengumuman Badan Hukum mempunyai tugas melakukan perumusan dan pelaksanaan kebijakan, pemberian bimbingan teknis dan supervisi, serta pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang pengelolaan, pengecekan, pencatatan dan pendistribusian berkas permohonan serta pengelolaan arsip dan dokumentasi perseroan tertutup, perseroan terbuka, lembaga keuangan dan penanaman modal dan badan hukum sosial, pemberian data, pengumuman Tambahan Berita Negara Republik Indonesia , akta pendirian perseroan dan badan hukum sosial beserta keputusan menteri , akta perubahan anggaran dasar perseroan dan badan hukum sosial beserta keputusan menteri , akta perubahan anggaran dasar perseroan dan badan hukum sosial yang telah diterima pemberitahuannya oleh menteri serta pengumuman pembubaran, rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi dan berakhirnya status badan hukum perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT ” ) , pengaturan mengenai kewajiban pengumuman dalam Tambahan Berita Negara diatur di dalam Pasal 30 ayat ( 1 ) dan ( 2 ) sebagaimana dikatakan bahwa: Pasal 30 UU PT Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4); akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri . Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannnya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b atau sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. Pengumuman perseroan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia juga diatur di dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (“Permenkumham M.HH 02/2010”) , khususnya dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 9 ayat (3) yang mengatakan: Pasal 3 Permenkumham M.HH 02/2010 … Pengumuman Perseroan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b meliputi: akta pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan; akta perubahan anggaran dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan; dan/atau akta perubahan anggaran dasar Perseroan yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri . Pasal 9 Permenkumham M.HH 02/2010 … … Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dilaksanakan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak: tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan status badan hukum Perseroan diterbitkan ; tanggal Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar Perseroan diterbitkan ; dan/atau pemberitahuan akta perubahan anggaran dasar Perseroan diterima. Dengan melihat pengaturan-pengaturan di atas, maka pengumuman Perseroan Terbatas (“PT”) dalam Tambahan Berita Negara harus dilaksanakan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri atau penerimaan pemberitahuan diterima. Untuk dapat dilakukan pengumuman Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, pertama-tama harus diajukan permohonan terlebih dahulu kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau Perum Percetakan Negara RI. Umumnya permohonan tersebut diajukan oleh Notaris yang membuat akta pendirian dan/atau akta perubahan tersebut. Hal ini dikarenakan Tambahan Berita Negara akan disampaikan kepada Direksi Perseroan melalui Notaris , sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 ayat (3) Permenkumham M.HH 02/2010 yang mengatakan: Pasal 12 … … Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan kepada: Direksi Perseroan yang bersangkutan melalui notaris sebanyak 25 (dua puluh lima) eksemplar; Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum sebanyak 5 (lima) eksemplar. Selain itu, permohonan untuk pengumuman perseroan terbatas dalam Tambahan Berita Negara juga harus melampirkan data-data perseroan, yang biasanya disimpan oleh notaris, antara lain: Akta pendirian perseroan; Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai pengesahan badan hukum Perseroan; Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar Perseroan; Surat Penerimaan Pemberitahuan Menteri Hukum mengenai pemberitahuan perubahan anggaran dasar Perseroan; Bukti pembayaran pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; Dokumen pendukung lainnya yang diperlukan. Menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan jangka waktu penerbitan Tambahan Berita Negara PT, sepengetahuan kami tidak ada pengaturan yang secara khusus mengatur bahwa pengumuman Tambahan Berita Negara PT harus diterbitkan/dicetak dalam waktu tertentu sejak penerbitan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM (“ SK Menkumham ”) . Pengaturan yang ada hanya mengatur bahwa pengumuman dalam Tambahan Berita Negara harus dilakukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak SK Menkumham diterbitkan. Karena tidak adanya pengaturan khusus tersebut, maka jangka waktu penerbitan pengumuman Tambahan Berita Negara Republik Indonesia bergantung pada faktor-faktor teknis pada instansi yang terkait, dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Percetakan Negara Republik Indonesia. Adapun agar Anda dapat mengetahui status dari pengumuman Tambahan Berita Negara untuk PT Anda, cara-cara yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: Menanyakan kepada Notaris perihal pengumuman perseroan dimaksud. Melihat laman beritanegara.co.id untuk mengetahui status pengumuman perseroan. Menanyakan secara langsung perihal pengumuman Tambahan Berita Negara pada instansi terkait (Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan Percetakan Negara Republik Indonesia). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2012 tentang Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Negara Republik Indonesia Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Referensi : Berita Negara Republik Indonesia , diakses pada 19 Oktober 2018, pukul 14.00 WIB. pt hukumonline perseroan terbatas online tata negara hukum perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang laki-laki dengan umur 37 dan telah menikah dengan di karuniai 3 anak laki-laki dengan 12 tahun usia perkawinan. Namun sudah 1 1/5 tahun ini istri saya diambil orang tuanya dan meninggalkan saya tanpa seizin dan sepengetahuan saya dan keluarga besar saya. Nah yang ingin saya tanyakan adalah: 1) Apakah saya bisa mengurus perceraian tanpa harus datang ke kota istri, mengingat tempat pernikahan saya terjadi di kota istri? 2) Berapa lamakah proses perceraian mulai dari masuknya data hingga sampai selesai? 3) Adakah proses perceraian yang cepat tanpa harus mondar-mandir? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami turut prihatin terhadap masalah yang Anda hadapi saat ini. Perceraian hendaknya menjadi jalan terakhir setelah semua upaya penyelesaian perselisihan antara suami-istri telah dilakukan. KLINIK TERKAIT Perbedaan Cerai Talak dan Cerai Gugat 31 Mei 2024 Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara 25 Apr 2024 Biaya Gugat Cerai dari Pihak Istri yang Perlu Dikeluarkan 29 Agt 2023 Syarat dan Cara Rujuk Talak 1 Tanpa Menikah Lagi 21 Jul 2023 1. Kompetensi Relatif Pengadilan yang Memproses Gugatan Cerai Pengaturan masalah perceraian di Indonesia terdapat dalam U ndang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 (“PP 9/1975”) sebagai peraturan pelaksananya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan Pasal 38 UU Perkawinan , perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian , dan atas keputusan pengadilan. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri ( lihat Pasal 39 ayat [2] UU Perkawinan ). Dalam hukum Indonesia dibedakan cara mengajukan gugatan cerai. Bagi yang beragama Islam, gugatan cerai (oleh istri) dan permohonan talak (oleh suami) diajukan ke pengadilan agama. Sedangkan, bagi yang beragama selain Islam, gugatan cerai diajukan ke pengadilan negeri. Penjelasan mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat? Berdasarkan Pasal 14 PP 9/1975 , s eorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu. Di dalam penjelasan Pasal 14 PP 9/1975 dikatakan bahwa pasal ini mengatur tentang cerai talak. Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami di depan pengadilan yang dikenal dalam hukum Islam. Penjelasan lebih lanjut mengenai cerai talak dapaat Anda simak dalam artikel Cerai Karena Gugatan dan Cerai Karena Talak . Mengacu pada pasal tersebut, jika Anda beragama Islam, maka Anda dapat mengajukan surat (permohonan) yang menerangkan bahwa Anda bermaksud menceraikan istri Anda ke pengadilan di daerah tempat tinggal Anda. Pengadilan yang dimaksud adalah pengadilan agama di daerah tempat tinggal Anda. Jadi, Anda tetap dapat memproses perceraian Anda tanpa harus ke kota tempat istri Anda tinggal saat ini. Nantinya, pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari isi surat tersebut dan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil Anda dan juga istri untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu (lihat Pasal 15 PP 9/1975 ). Seperti yang kami sebutkan tadi, bagi yang beragama selain Islam, gugatan cerai dilakukan ke pengadilan negeri. Dalam hal ini, menurut Pasal 20 ayat (1) PP 9/1975 , gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat . Jadi, apabila Anda beragama selain Islam, maka gugatan diajukan diajukan ke pengadilan tempat kediaman tergugat, dalam hal ini pengadilan di wilayah tempat tinggal istri Anda saat ini. Lebih lanjut dikatakan oleh Pasal 20 ayat (2) UU 9/1975 , dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Jadi, dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa apabila Anda beragama selain Islam, maka Anda memang harus mengajukan gugatan cerai ke pengadilan di wilayah tempat tinggal Istri Anda (selaku tergugat) saat ini. Anda bisa mengajukan gugatan cerai tanpa perlu ke kota tempat tinggal istri Anda hanya dalam hal tempat tinggal istri Anda tidak jelas atau tidak memiliki kediaman yang tetap. Anda mengatakan bahwa sudah 1 1/5 tahun istri Anda pergi meninggalkan Anda tanpa alasan yang jelas. Apabila nantinya jangka waktu tersebut menjadi 2 (dua tahun), maka berdasarkan Pasal 21 ayat (1) PP 9/1975 , gugatan perceraian karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat, yakni kediaman Anda. Dengan demikian, Anda dapat mengajukan gugatan cerai di daerah tempat tinggal Anda tanpa harus ke kota tempat istri Anda tinggal sekarang asalkan dengan alasan perceraian tersebut. 2. Jangka Waktu Pemeriksaan Gugatan Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai lamanya waktu proses pengajuan gugatan cerai ke pengadilan hingga adanya putusan, maka kami akan merujuk pada pendapat Prof. H. Hilman Hadisukuma, S.H dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Indonesia (hal. 175) . Menurut Hilman, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterima berkas/surat gugatan perceraian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim. Dalam menetapkan waktu persidangan untuk memeriksa gugatan perceraian perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negara, maka sidang pemeriksaan gugatan ditetapkan sekurang-kurangnya enam bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian itu pada kepaniteraan pengadilan ( Pasal 29 ayat [1] s.d ayat [3] PP 9/1975 ). Sebagaimana yang pernah dijelaskan sebelumnya dalam artikel Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat? , pada umumnya proses perceraian akan memakan waktu maksimal 6 (enam) bulan di tingkat pertama, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Agama. Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel tersebut. 3. Proses Perceraian yang Cepat Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai adakah proses perceraian yang cepat tanpa harus mondar-mandir, dengan ini kami berpendapat bahwa hal tersebut bergantung pada proses di pengadilan tempat diperiksanya gugatan perceraian tersebut. Kami telah menjelaskan bahwa Anda dapat mengajukan gugatan cerai ke pengadilan di daerah tempat tinggal Anda asalkan didasarkan karena alasan yang telah kami sebutkan di atas. Dengan demikian, Anda tidak perlu bolak-balik mengurus perceraian dari daerah tempat tinggal Anda ke daerah tempat dilangsungkannya perkawinan Anda/tempat tinggal istri Anda sekarang. Selain itu, UU Perkawinan maupun peraturan pelaksananya juga tidak membatasi secara mutlak jangka waktu pemeriksaan suatu gugatan cerai, kecuali apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri yang mana gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan di tempat kediaman penggugat, maka sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada kepaniteraan pengadilan (lihat Pasal 29 ayat [3] jo. Pasal 20 ayat [3] PP 9/1975). Namun, biasanya proses perceraian itu memakan waktu maksimal 6 (enam) bulan sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas. Berdasarkan Pasal 34 ayat (2) PP 9/1975 , suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. U ndang- U ndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Referensi: Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Mandar Maju: Bandung. pengadilan agama cerai talak cerai gugat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon pencerahan terkait peraturan yang membahas bahwa hanya 50% dari pegawai dalam suatu perusahaan yang diizinkan untuk WFO. Apakah peraturan tersebut dari Pergub? Jika bukan, mohon informasinya peraturan mana yang membahas hal tersebut dan apakah di kota selain Jakarta, ada peraturan seperti itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "None"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon informasinya, lulusan apa yang bisa menjadi notaris? Dan berapa lama waktu yang dibutuhkan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Apa Syarat Menjadi Seorang Notaris?\nProfesi notaris adalah salah satu profesi hukum yang banyak diminati di Indonesia. Notaris sendiri adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki sejumlah kewenangan lainnya menurut undang-undang.[1]\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda terkait berapa tahun yang dibutuhkan untuk jadi notaris, maka perlu dipaparkan terlebih dahulu mengenai apa syarat menjadi seorang notaris, yaitu:[2]\n\nwarga negara Indonesia;bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;berumur minimal 27 tahun;sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater;berijazah sarjana hukum dan lulusan strata dua kenotariatan;telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu paling singkat 24 bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan;tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris; dantidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.\nBerapa Tahun yang Dibutuhkan untuk Jadi Notaris?\nUntuk menjawab pertanyaan berapa tahun yang dibutuhkan untuk menjadi notaris, maka Anda perlu mengetahui tahapan-tahapan untuk bisa menjadi notaris sebagai berikut:\n\nKuliah untuk Jadi Notaris\n\nBerdasarkan syarat-syarat yang dipaparkan di atas, maka untuk menjawab pertanyaan apakah notaris harus S1? Benar. Kemudian, untuk menjadi notaris kuliah jurusan apa? Jawabannya adalah kuliah strata satu (“S1”) dengan gelar sarjana hukum yang didapat dari jurusan ilmu hukum, hukum keluarga Islam, hukum pidana Islam, atau hukum tata negara Islam, dan strata dua (“S2”) kenotariatan.\n\nDengan demikian, jika Anda berencana untuk berprofesi sebagai notaris, maka Anda perlu menempuh sekolah notaris di Indonesia yaitu dengan mengambil jenjang S2 magister kenotariatan dan nantinya bergelar M.Kn ketika sudah lulus.\n\nLalu, berapa lama kuliah notaris? Untuk jenjang S2 magister kenotariatan, waktu studinya disesuaikan dengan kebijakan dari masing-masing universitas atau perguruan tinggi yang dituju. Namun, sepanjang penelusuran kami, rata-rata waktu tempuh studi magister kenotariatan adalah 2 – 4 tahun dengan perkiraan studi tepat waktu.\n\nJika ditambah dengan studi pada jenjang S1, maka sekolah notaris berapa lama? Dengan perkiraan masa studi S1 di fakultas hukum 3,5 – 4 tahun yang mana masa tempuh studi tepat waktu, sehingga menjawab sekolah notaris berapa lama adalah 5,5 – 8 tahun.\nMenjadi Anggota Luar Biasa (ALB) INI\n\nSeorang calon notaris, setelah lulus S2 kenotariatan perlu mendaftarkan diri menjadi Anggota Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (“ALB INI”). ALB INI adalah setiap orang yang memiliki ijazah S1 program studi ilmu hukum, ijazah magister kenotariatan/pendidikan spesialis notariat dan terdaftar sebagai anggota perkumpulan INI.[3]\n\nMenjadi ALB INI merupakan salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Kode Etik Notaris (“UKEN”)[4] agar selanjutnya dapat diangkat menjadi notaris.\n\nAdapun untuk dapat menjadi ALB INI harus mengikuti seleksi yang diselenggarakan oleh INI melalui tes tertulis dan wawancara yang diadakan secara periodik yaitu pada bulan Februari, Mei, Agustus, dan November.[5]\n\nArtinya untuk dapat menjadi ALB INI membutuhkan setidaknya waktu 3 bulan – 1 tahun dengan catatan lulus seleksi ALB INI pada tahun tersebut.\nMagang atau Menjadi Karyawan Notaris\n\nSetelah lulus dari S2 kenotariatan, untuk menjadi notaris berdasarkan UU Jabatan Notaris dan perubahannya maka calon notaris perlu menjalani magang atau bekerja sebagai karyawan notaris.\n\nMagang pada dasarnya adalah magang di kantor notaris dan magang bersama yang diselenggarakan oleh perkumpulan (INI).[6] Magang di kantor notaris dilaksanakan di kantor notaris yang bersangkutan. Sementara, magang bersama dilaksanakan oleh pengurus wilayah INI.[7]\n\nMagang bersama dilaksanakan secara berjenjang dan bertahap sesuai masa magang yang telah dijalankan di kantor notaris dengan ketentuan:[8]\n\ntelah menjalani magang 6 bulan dapat mengikuti magang bersama untuk materi semester pertama;telah menjalani magang 12 bulan dapat mengikuti magang bersama untuk materi semester kedua;telah menjalani magang 18 bulan dapat mengikuti magang bersama untuk materi semester ketiga;telah menjalani magang 24 bulan dapat mengikuti magang bersama untuk materi semester keempat.\n\nAdapun, pelaksanaan magang di kantor notaris sekurang-kurangnya 24 bulan atau 2 tahun berturut-turut setelah lulus pendidikan kenotariatan yang dibuktikan dengan ijazah dan telah terdaftar sebagai ALB INI. Sementara itu, pelaksanaan magang bersama oleh pengurus wilayah sekurang-kurangnya 1 kali dalam waktu 6 bulan dan dilaksanakan pada periode bulan Februari, Mei, Agustus, dan November.[9]\n\nSehingga, proses magang dan magang bersama ini dapat saja melebihi waktu 2 tahun apabila calon notaris berhalangan mengikuti magang bersama sesuai waktu yang telah ditentukan, sehingga perlu menunggu periode magang bersama selanjutnya. Hal ini diatur di dalam Pasal 4 angka 5 dan 7 Perkum INI 19/2019.\nUjian Kode Etik Notaris (UKEN)\n\nSelanjutnya, untuk dapat mengikuti UKEN, calon notaris harus mengumpulkan sekurang-kurangnya 18 poin dari kegiatan yang diselenggarakan oleh INI.[10] Adapun yang dimaksud dengan poin adalah nilai yang diberikan oleh INI baik di tingkat daerah, wilayah dan pusat terkait dengan kegiatan peningkatan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya, serta terkait dengan keaktifan dari anggota perkumpulan dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh INI maupun keaktifan anggota INI dalam organ-organ INI dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan INI.[11]\n\nPada umumnya, kegiatan untuk dapat menambah poin ini diselenggarakan oleh INI dalam kurun waktu yang variatif, seperti 6 bulan sekali.\n\nSetelah syarat-syarat di atas, yaitu mendapat gelar sarjana hukum, lulus S2 kenotariatan, menjadi ALB INI, mengikuti magang dan magang bersama, dan mendapatkan 18 poin, maka calon notaris dapat mengikuti UKEN. UKEN diselenggarakan oleh pengurus pusat atau pengurus wilayah yang ditunjuk pengurus pusat INI pada bulan Maret dan/atau Oktober sesuai kebutuhan berdasarkan pertimbangan dari pengurus pusat INI.[12]\n\nSehingga, untuk dapat mengikuti UKEN perlu waktu 6 bulan hingga 1 tahun, sesuai dengan penyelenggaraan UKEN oleh pengurus pusat atau wilayah INI.\nPengangkatan Notaris\nSebelum menjalankan jabatannya, notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri Hukum dan HAM atau pejabat yang ditunjuk.[13]\n\nSumpah jabatan notaris tersebut dilakukan dalam waktu paling lambat dua bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai notaris.[14] Kemudian, dalam waktu paling lambat 60 hari sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan notaris, maka yang bersangkutan wajib menjalankan jabatannya dengan nyata.[15]\n\nBaca juga: Panduan dan Syarat Menjadi Notaris Terbaru\n\nCalon notaris yang telah berusia minimal 27 tahun dan telah memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam UU Jabatan Notaris dan perubahannya dapat diangkat menjadi notaris dengan mengucapkan sumpah atau janji jabatan notaris. Jika dijumlah, maka berapa tahun yang dibutuhkan untuk jadi notaris adalah sekitar 9 – 13 tahun.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19754/undangundang-nomor-30-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_30_2004)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61d0707fe3/undang-undang-nomor-2-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2014)\n3. [Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 18/PERKUM/INI/2018 tentang Perubahan Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 13/PERKUM/INI/2018 tentang Tata Cara Pemberian dan Penggunaan Poin](https://www.ini.id/uploads/images/Perkum_18_pdf_750x_5d923d653c52b.pdf)\n4. [Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 19/PERKUM/INI/2019 tentang Magang](https://ini.id/uploads/images/Perkum_no__19__MAGANG_pdf_750x_5f1d0f6d5362a.pdf)\n5. [Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 22/PERKUM/INI/2021 tentang Pendaftaran Anggota Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia](https://ini.id/uploads/images/Perkum_22_PENDAFTARAN_ALB_INI_nett_pdf_750x_60a681cae2369.pdf)\n6. [Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 23/PERKUM/INI/2021 tentang Penyelenggaraan Ujian Kode Etik Notaris](https://ini.id/uploads/images/Perkum_23_Penyelenggaraan_UKEN_nett_pdf_750x_60a681fa20d74.pdf)\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 2/2014”)[2] Pasal 3 UU 2/2014[3] Pasal 1 Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 22/PERKUM/INI/2021 tentang Pendaftaran Anggota Luar Biasa Ikatan Notaris Indonesia (“Perkum INI 22/2021”)[4] Pasal 2 angka 1 Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 23/PERKUM/INI/2021 tentang Penyelenggaraan Ujian Kode Etik Notaris (“Perkum INI 23/2021”)[5] Pasal 2 angka 1 dan Pasal 4 angka 1 Perkum INI 22/2021[6] Pasal 1 angka 2 Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 19/PERKUM/INI/2019 tentang Magang (“Perkum INI 19/2019”)[7] Pasal 4 angka 1 Perkum INI 19/2019[8] Pasal 4 angka 4 Perkum INI 19/2019[9] Pasal 5 Perkum INI 19/2019[10] Pasal 2 angka 4 Perkum INI 23/2021[11] Pasal 1 Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 18/PERKUM/INI/2018 tentang Perubahan Peraturan Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia Nomor 13/PERKUM/INI/2018 tentang Tata Cara Pemberian dan Penggunaan Poin[12] Pasal 5 Perkum INI 23/2021[13] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 30/2004”)[14] Pasal 5 UU 30/2004[15] Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 2/2014"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, pada usia berapakah anak-anak dapat menjadi saksi mata di pengadilan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 24 Juni 2014. Intisari: Pada dasarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah menetapkan bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Sedangkan jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana , maka tidak dibatasi minimal usia anak untuk dapat menjadi saksi, hanya saja jika usianya kurang dari 15 tahun, maka boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk lebih menyederhanakan jawaban, kami asumsikan pertanyaan Anda mengenai anak sebagai saksi adalah anak dalam perkara pidana, bukan perkara perdata. Jika melihat dari definisi anak yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) , anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sebagai informasi, dalam artikel Apakah Anak Boleh Menolak Jadi Saksi? dikatakan bahwa meskipun anak-anak yang belum cukup usia 15 tahun dipandang sebagai saksi yang ‘tidak cakap secara relatif’, Pasal 145 Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) tegas menyebutkan bahwa yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi adalah anak-anak yang umurnya belum sampai 15 tahun. Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata , dalam bukunya Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek , aturan semacam ini dilatarbelakangi kekhawatiran anak akan berkhayal sewaktu memberikan kesaksian, atau setidak-tidaknya keterangan mereka belum dapat dipertanggungjawabkan. Usia Anak Bisa Bersaksi di Pengadilan Lalu berapa usia anak yang bisa didengarkan keterangannya di persidangan? Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) terdapat pengaturan mengenai anak yang didengarkan keterangannya tanpa sumpah, yakni yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin. [1] Dalam penjelasan pasal ini dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Undang-Undang yang lebih spesifik mengatur tentang anak sebagai saksi adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) . Mengenai pengertian ‘anak saksi’ terdapat dalam Pasal 1 angka 5 UU SPPA : Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Dalam menangani Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara. [2] Dalam setiap tingkat pemeriksaan, Anak Saksi wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya oleh Anak Saksi, atau Pekerja Sosial. [3] Hak-Hak Anak Saksi Anak Saksi berhak atas semua perlindungan dan hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. [4] Anak Saksi juga berhak atas: [5] upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Menjawab pertanyaan Anda, dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa pada dasarnya UU SPPA telah menetapkan bahwa anak yang menjadi saksi tindak pidana adalah anak yang belum berumur 18 tahun. Sedangkan jika merujuk pada KUHAP, maka tidak dibatasi minimal usia anak untuk dapat menjadi saksi, hanya saja jika usianya kurang dari 15 tahun, maka boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah dan keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak Referensi: Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek . Bandung: CV Mandar Maju, 1995. [1] Pasal 171 huruf a KUHAP [2] Pasal 18 UU SPPA [3] Pasal 23 ayat (2) UU SPPA [4] Pasal 89 UU SPPA [5] Pasal 90 ayat (1) UU SPPA hukumonline anak hukum klinik saksi anak bantuan hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yang ingin saya tanyakan bisakah keponakan saya yang berusia 21 tahun membeli rumah atau tanah? Karena dia telah mempunyai perkerjaan yang mapan semenjak 3 tahun lalu dan sekarang dia berencana membeli rumah."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, jual beli rumah sama dengan jual beli pada umumnya. Jual beli, menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Oleh karena jual beli merupakan perjanjian, maka jual beli tersebut harus memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 KUHPer , yaitu: 1. Kata sepakat dari mereka yang mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut; 2. Kecakapan (para pihak) untuk membuat suatu perikatan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Mengenai umur keponakan Anda, maka itu termasuk ke dalam syarat kedua yaitu kecakapan keponakan Anda dalam mengikatkan diri dalam suatu perikatan. Berdasarkan Pasal 1329 jo. 1330 KUHPer , setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, selama ia tidak dinyatakan tidak cakap berdasarkan undang-undang. Pihak yang tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa; 2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan (pada artikel Batasan Umur Peminjam dalam Penandatanganan Kontrak Pinjaman dikatakan bahwa “namun sejak 1963 yang terakhir ini tidak lagi berlaku berdasarkan putusan Mahkamah Agung”). Mengenai batasan umur dewasa sendiri, terdapat perbedaan dalam berbagai undang-undang (dapat Anda baca lebih lanjut dalam artikel Perbedaan Batasan Usia Cakap Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan ). Merujuk pada Pasal 330 KUHPer , keponakan Anda yang berumur 21 tahun tersebut sudah dianggap dewasa sehingga dapat membuat perjanjian. Oleh karena itu, keponakan Anda dapat melakukan jual beli tanah atau rumah. Pasal 330 KUHPer: “ Yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali berstatus belum dewasa. ” Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat pagi, apakah di dalam UU No 13 Tahun 2003 terdapat perubahan isi pasal atau isi ayat yang disebabkan oleh putusan MK? Jika memang ada, pasal berapa saja atau ayat berapa saja? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Putusan-putusan MK yang Mengubah Aturan Ketenagakerjaan yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 29 Oktober 2012. Sifat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Merujuk pada artikel Apakah MK Berwenang Membuat Norma Hukum Baru? , pada dasarnya, MK tidak dapat mengubah isi suatu pasal atau suatu ayat dalam undang-undang yang dimintakan pengujiannya terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) , termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . MK hanya memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan pengujiannya. Tafsir Aturan UU Ketenagakerjaan oleh MK Di bawah ini kami sajikan informasi mengenai berbagai putusan MK berkaitan dengan pengujian UU Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945 di mana permohonan pemohon dikabulkan: Pertama , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 yang menyatakan pasal-pasal berikut ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena bertentangan dengan UUD 1945 (hal. 115): Pasal 158 UU Ketenagakerjaan ; Pasal 159 UU Ketenagakerjaan ; Pasal 160 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… kecuali Pasal 158 ayat (1), …”; Pasal 171 UU Ketenagakerjaan sepanjang menyangkut anak kalimat “… Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 186 UU Ketenagakerjaan sepanjang mengenai anak kalimat “… Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …”. Kedua , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 yang menyatakan (hal. 55 – 56): Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat; Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang : frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka …”, dihapuska n sehingga berbunyi “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing masing serikat pekerja/serikat buruh” dan ketentuan tersebut dimaknai , “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”. Ketiga , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa frasa ”belum ditetapkan” pada Pasal 155 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai belum berkekuatan hukum tetap (hal. 38 – 39). Keempat , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 yang menyatakan (hal. 46 – 47): frasa “…perjanjian kerja waktu tertentu” dalam Pasal 65 ayat (7) UU Ketenagakerjaan ; dan frasa “…perjanjian kerja untuk waktu tertentu” dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan , bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Kelima, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai “perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu” (hal. 59). Keenam , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 yang menyatakan Pasal 169 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 25): Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu Ketujuh , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 96 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 63 – 64). Kedelapan , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 45): pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis Kesembilan , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 yang menyatakan frasa “demi hukum” dalam Pasal 59 ayat (7) , Pasal 65 ayat (8) , dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 53 – 55): Pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat: Telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding; dan Telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan Kesepuluh , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sepanjang frasa “tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 40). Kesebelas , Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 yang menyatakan frasa “kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (hal. 52). Jadi, putusan MK tidak untuk mengubah isi pasal atau ayat dalam undang-undang, termasuk UU Ketenagakerjaan, tetapi memberikan tafsir atas isi ketentuan pasal atau ayat dalam undang-undang yang diajukan pengujiannya terhadap UUD 1945 tersebut. Guna mempermudah pembaca dan pengguna Pusat Data Hukumonline, Hukumonline menyajikan peraturan konsolidasi untuk UU Ketenagakerjaan berupa naskah yang rapi, komprehensif, terkini, beserta putusan-putusan MK yang mengujinya dalam format yang nyaman dan mudah digunakan. Peraturan konsolidasi hanya dapat diakses oleh Pelanggan Professional Hukumonline.com, klik di sini untuk berlangganan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012/PUU-I/2003 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 115/PUU-VII/2009 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-IX/2011 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-IX/2011 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 58/PUU-IX/2011 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-X/2012 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-XII/2014 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-XIII/2015 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 . ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau menanyakan mengenai perizinan usaha. Saya baru membuka usaha kecil seperti toko kelontong dengan luas ruangan 4x3 meter2 dengan penghasilan per hari Rp100-200 ribu. Tempat usaha tersebut saya kontrak dari pemilik tanah. Pertanyaan saya adalah apakah saya harus mendapatkan perizinan usaha?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Guna menjawab pertanyaan Anda, haruslah dianalisis terlebih dahulu mengenai usaha Anda termasuk ke dalam klasifikasi usaha mikro, kecil, atau menengah. Berdasarkan Pasal 87 angka 1 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 6 ayat (1) UU UMKM menyebutkan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMKM”) dapat memuat modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria UMKM diatur dalam PP 7/2021.\n\nLebih lanjut, UMKM dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. Kriteria modal usaha terdiri atas:[1]\n\nUsaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1 miliar sampai dengan paling banyak Rp5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; danUsaha Menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp5 miliar sampai dengan paling banyak Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.\n\nUntuk pemberian kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan UMKM selain kriteria modal usaha, digunakan kriteria hasil penjualan tahunan, yang terdiri atas:[2]\n\nUsaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan paling banyak Rp2 miliar;Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2 miliar sampai dengan paling banyak Rp15 miliar; danUsaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15 miliar sampai dengan paling banyak Rp50 miliar.\n\nNamun dikarenakan Anda tidak menyebutkan nilai modal usaha, maka untuk mengklasifikasikan usaha anda, hanya dapat dihitung berdasarkan hasil penjualan tahunannya saja, yaitu dengan cara menghitung penghasilan usaha setiap harinya selama satu tahun. Dengan asumsi penghasilan maksimal per hari Rp200 ribu dikalikan selama 365 hari, maka nilai total hasil penjualan tahunan usaha Anda adalah Rp73 juta. Oleh karena itu, usaha Anda tersebut termasuk dalam kriteria usaha mikro. Sehingga untuk menjalankan toko kelontong Anda yang termasuk usaha mikro harus memiliki perizinan berusaha. [3]\nPerizinan Berusaha Berdasarkan OSS RBA\n\nSaat ini, Anda dapat mengurus perizinan berusaha melalui Online Single Submission (OSS). Melalui sistem ini, Anda juga sekaligus akan memperoleh Nomor Induk Berusaha (“NIB”) yang merupakan identitas pelaku usaha untuk menjalankan usahanya. Setelah memiliki NIB, pelaku usaha bisa mengajukan izin usaha dan izin komersial atau operasional, sesuai dengan bidang usahanya masing-masing sesuai dengan PP 5/2021.\n\nPerlu Anda ketahui, bahwa perizinan berusaha kini berbasis risiko yang dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. Adapun jenis risiko usaha diklasifikasikan menjadi:[4]\n\nRisiko Rendah\n\nUsaha dengan tingkat risiko rendah, pelaku usaha cukup melakukan pendaftaran di sistem OSS Risk Based Approach (OSS RBA) untuk mendapatkan NIB.[5]\n\nRisiko Menengah Rendah\n\nKegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah, jenis perizinan berusahanya adalah NIB dan sertifikat standar.[6]\n\nRisiko Menengah Tinggi\n\nUsaha tingkat risiko menengah tinggi jenis perizinan berusahanya adalah NIB dan sertifikat standar.[7]\n\nRisiko Tinggi\n\nKegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi, jenis perizinan berusahanya adalah NIB dan izin.[8]\n\nBerkaitan dengan itu, untuk mengetahui izin apa saja yang harus dimiliki, haruslah terlebih dahulu mencari dan menentukan terlebih dahulu Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”).\n\nKBLI diperlukan untuk memberikan keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi lapangan usaha dalam perkembangan dan pergeseran kegiatan ekonomi di Indonesia. Sepanjang penelusuran kami, usaha toko kelontong termasuk ke dalam KBLI 47192 dengan tingkat risiko rendah. KBLI 47192 merupakan kategori perdagangan eceran berbagai macam barang yang utamanya bukan makanan, minuman, atau tembakau (barang-barang kelontong) bukan di toserba (department store). Oleh karena itu, usaha anda hanya membutuhkan hanya NIB saja. Sehingga ketika sudah memiliki NIB, Anda sudah dapat memulai kegiatan usaha toko kelontong Anda.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28029/nprt/1011/uu-no-20-tahun-2008-usaha-mikro,-kecil,-dan-menengah?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2008)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt6032548acffe0/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt60320cfe8e3b3/peraturan-pemerintah-nomor-7-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_7_2021)\n[1] Pasal 35 ayat (1) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“PP 7/2021”)[2] Pasal 35 ayat (4) dan (5) PP 7/2021[3] Pasal 37 ayat (1) PP 7/2021[4] Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”)[5] Pasal 12 ayat (1) PP 5/2021[6] Pasal 13 ayat (1) PP 5/2021[7] Pasal 14 ayat (1) PP 5/2021[8] Pasal 15 ayat (1) PP 5/2021"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin menanyakan ketika seseorang (sebut saja A) mengeluarkan statement di depan publik (misalnya di hadapan pers dan media) dan mengakui bahwa dirinya adalah pelaku dari suatu tindak pidana, sedangkan pelaku sebenarnya (sebut saja B) adalah orang lain.\nHal ini dilakukan untuk melindungi kesalahan B sebagai pelaku dari tindak pidana tersebut. Setelah dilakukan penyidikan, A baru mengakui kepada polisi bahwa pelaku sebenarnya adalah B. Apakah A yang berbohong di depan publik dapat dipidana? Bagaimana dengan A yang memberikan pernyataan sumpah palsu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, berkata bohong bukanlah suatu tindak pidana. Sepanjang penelusuran kami, tidak ada satupun pasal dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku maupun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, yang menyatakan bahwa seseorang yang berkata bohong dapat dijerat pidana.\n\nLain halnya apabila kebohongan itu dibersamakan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum misalnya dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya. Adapun tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023 sebagai berikut:\nPasal 378 KUHPPasal 492 UU 1/2023Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.Setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau kedudukan palsu, menggunakan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong, menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang, dipidana karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[2]\nBerdasarkan bunyi pasal penipuan di atas, terdapat beberapa unsur tindak pidana penipuan. R. Sugandhi dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana penipuan yang terkandung dalam Pasal 378 KUHP adalah tindakan seseorang dengan tipu muslihat, rangkaian kebohongan, nama palsu dan keadaan palsu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dengan tiada hak (hal. 396-397).\n\nLebih lanjut menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan bahwa kejahatan pada Pasal 378 KUHP dinamakan “penipuan”, yang mana penipu itu pekerjaannya (hal. 261):\n\nmembujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;maksud pembujukan itu ialah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;membujuknya itu dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau karangan perkataan bohong.\n\nPenjelasan selengkapnya mengenai pasal penipuan dapat Anda simak dalam artikel Bunyi dan Unsur Pasal 378 KUHP tentang Penipuan.\n\nOleh karena itu, dapat disimpulkan jika si A hanya berkata bohong di hadapan pers dan media, dan perbuatannya tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 378 KUHP atau Pasal 492 UU 1/2023, maka perbuatan tersebut tidak dapat dipidana.\nTindak Pidana Pernyataan Sumpah Palsu\n\nSelanjutnya, jika A memberikan pernyataan yang tidak benar di atas sumpah, maka A dapat dipidana berdasarkan Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 sebagai berikut:\nPasal 242 KUHPPasal 373 UU 1/2023Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan yang diharuskan menurut aturan-aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan.Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.Disamakan dengan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah janji atau pernyataan yang menguatkan yang diharuskan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang menjadi pengganti sumpah.Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.\n\nDari bunyi Pasal 242 KUHP di atas, kejahatan sumpah palsu dirumuskan dalam ayat (1). Sementara ayat (2) merumuskan alasan pemberatan pidana sumpah palsu, dan ayat (3) merumuskan tentang perluasan pengertian dari sumpah palsu sebagaimana dirumuskan dalam ayat (1).[3]\n\nUntuk mempersingkat jawaban, apabila tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 242 ayat (1) KUHP dirinci, unsur-unsurnya adalah:[4]\n\nUnsur objektif, terdiri dari:\n\ndalam keadaan UU menentukan agar memberikan keterangan di atas sumpah, atau mengadakan akibat hukum pada keterangan di atas sumpah;perbuatan, yaitu memberikan keterangan di atas sumpah;objek, yaitu keterangan palsu;dengan lisan atau tulisan;secara pribadi atau oleh kuasanya.\n\nUnsur subjektif, yaitu kesalahan dengan sengaja.\n\nLebih lanjut, terkait pasal ini, menurut R. Soesilo, supaya pelaku dapat dihukum harus memenuhi unsur-unsur:\n\nketerangan itu harus atas sumpah;keterangan itu harus diwajibkan menurut undang-undang atau menurut peraturan yang menentukan akibat hukum pada keterangan itu;keterangan itu harus palsu (tidak benar) dan kepalsuan ini diketahui oleh pemberi keterangan.\n\nSedangkan menurut Penjelasan Pasal 373 ayat (1) UU 1/2023, ketidakbenaran dari keterangan palsu yang dimaksud dalam ketentuan ini harus diketahui oleh orang\nyang memberi keterangan tersebut.\n\nMenurut hemat kami, Pasal 242 KUHP atau Pasal 373 UU 1/2023 ini berhubungan dengan pemberian keterangan seseorang di persidangan yang memang diwajibkan menurut undang-undang, yakni saksi di persidangan. Dengan demikian, sebenarnya keterangan yang diberikan oleh A di hadapan media meskipun sifatnya palsu namun tidak dilakukan atas sumpah dan tidak memiliki keterkaitan dengan pemberian keterangan yang diwajibkan menurut undang-undang. Oleh karena itu menurut hemat kami, perbuatan A yang mengaku sebagai pelaku pidana demi melindungi B bukan merupakan tindak pidana.\n\nSelanjutnya dalam artikel berjudul Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan dikatakan bahwa untuk menerapkan Pasal 242 KUHP setidaknya harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 174 KUHAP:\n\nApabila keterangan saksi di sidang disangka palsu, hakim ketua sidang memperingatkan dengan sungguh-sungguh kepadanya supaya memberikan keterangan yang sebenarnya dan mengemukakan ancaman pidana yang dapat dikenakan kepadanya apabila ia tetap memberikan keterangan palsu;Apabila saksi tetap pada keterangannya itu, hakim ketua sidang karena jabatannya atau atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah supaya saksi itu ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah palsu;Dalam hal yang demikian oleh panitera segera dibuat berita acara pemeriksaan sidang yang memuat keterangan saksi dengan menyebutkan alasan persangkaan, bahwa keterangan saksi itu adalah palsu dan berita acara tersebut ditandatangani oleh hakim ketua sidang serta panitera dan segera diserahkan kepada penuntut umum untuk diselesaikan menurut ketentuan undang-undang ini;Jika perlu hakim ketua sidang menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai pemeriksaan perkara pidana terhadap saksi itu selesai.\nLebih lanjut dalam artikel tersebut diketahui sebuah contoh kasus penerapan Pasal 242 ayat (1) KUHP jo. Pasal 174 KUHAP, yaitu ketika saksi mengingkari keterangannya. Kasus tersebut adalah tentang Hakim Pengadilan Negeri Makassar (tahun 1994) yang memerintahkan kepada polisi untuk menahan salah seorang saksi kasus pembunuhan terhadap satu keluarga di Makassar. Dalam kasus ini, saksi mengingkari keterangannya di depan sidang pengadilan dengan alasan ditekan secara psikis dan fisik oleh penyidik saat diperiksa.\n\nTernyata, setelah dikonfrontir di depan sidang pengadilan antara saksi yang mengingkari keterangannya dengan penyidik, hakim yakin bahwa penyidik tidak melakukan penyiksaan atau tekanan psikis atau fisik terhadap saksi saat diperiksa, sehingga Hakim Ketua memerintahkan polisi agar menahan saksi dan memprosesnya karena diduga melanggar Pasal 242 ayat (1) KUHP.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014\n2. Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016\n3. R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional. 1980\n4. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1986\n5. Mengurai Kebenaran di Antara Kebohongan yang Berserakan, Pengadilan Negeri Palopo Sulawesi Selatan, diakses pada 29 Mei 2020, pukul 15.08 WIB.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[3] Aldi Indra Tambuwun. Sanksi Terhadap Saksi yang Memberikan Keterangan Palsu di atas Sumpah Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 242 tentang Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu. Lex Privatum, Vol. IV/No. 6/Juli/2016, hal. 36-37[4] Adami Chazawi dan Ardi Ferdian. Tindak Pidana Pemalsuan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 9"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belakangan ini viral rekaman video pasangan sesama jenis mesum di masjid. Dalam video tersebut, ada sepasang laki-laki melakukan adegan tidak senonoh dalam masjid. Tindakan asusila itu pun terekam dalam CCTV masjid dan video beredar di media sosial. Lantas, apa sanksi hukum bagi orang yang mesum di masjid?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan informasi yang Anda berikan, terdapat pasangan yang melakukan tindakan asusila di masjid. Menurut hemat kami, tempat ibadah dalam hal ini masjid, memiliki kriteria sebagai suatu tempat umum dikarenakan diperuntukkan bagi masyarakat umum.\nDisarikan dari WNA Mesum di Tempat Umum, Ini Sanksi Pidananya, asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma atau kaidah kesopanan yang cenderung banyak terjadi di kalangan masyarakat. Dilihat dari perspektif Pancasila, perbuatan asusila merupakan pelanggaran dan menyimpang dari nilai moral manusia.\n\nBerdasarkan KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, [1] yaitu tahun 2026, tindak pidana asusila diatur dalam pasal berikut.\nPasal 281 KUHPPasal 406 UU 1/2023Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta[2]:barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta[3] setiap orang yang:melanggar kesusilaan di muka umum; ataumelanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut.\nBerdasarkan bunyi Pasal 281 KUHP, setidaknya terdapat beberapa unsur:\n\nbarang siapa;dengan sengaja dan terbuka;dengan sengaja dan di depan orang lain;melanggar kesusilaan.\n\nLalu, menurut Penjelasan Pasal 406 huruf a UU 1/2023, yang dimaksud dengan \"melanggar kesusilaan\" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.\n\nMenurut S. R. Sianturi, perbuatan yang melanggar kesopanan juga merupakan pelanggaran kesusilaan. Perbuatan tersebut harus berhubungan dengan kelamin dan/atau bagian badan tertentu lainnya yang pada umumnya dapat menimbulkan rasa malu, rasa jijik, atau menimbulkan rangsangan nafsu birahi orang lain.[4]\n\nSerupa dengan pendapat S.R. Sianturi, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 204), mencontohkan kasus asusila adalah bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya.\n\nJadi, jika memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 281 KUHP atau Pasal 406 UU 1/2023, orang yang melakukan tindakan asusila di masjid dapat dipidana berdasarkan ketentuan tersebut.\n\nNamun, berdasarkan pertanyaan Anda, pasangan yang mesum di masjid adalah pasangan sesama jenis. Lantas, bagaimana aturan mengenai homoseksual dalam KUHP maupun UU 1/2023?\nHomoseksual dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia\n\nPada dasarnya, ketentuan mengenai jerat pidana bagi pelaku homoseksualitas dapat ditemukan pada Pasal 292 KUHP. Akan tetapi, ketentuan ini tidak secara tegas melarang homoseksual yang dilakukan antar orang dewasa.\n\nPasal 292 KUHP mengatur tentang larangan perbuatan homoseksual terhadap orang yang belum dewasa yang berbunyi:\n\nOrang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.\n\nBerapa usia dewasa atau batasan usia anak di Indonesia? Disarikan dari Ragam Ketentuan Usia Dewasa di Indonesia, ketentuan usia dewasa menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah 18 tahun atau 21 tahun. Adapun, menurut R. Soesilo, yang dimaksud “belum dewasa” adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin. Jika orang kawin dan bercerai sebelum umur 21 tahun, ia tetap dipandang dengan dewasa.\n\nSedangkan dalam UU 1/2023, ketentuan mengenai homoseksualitas diatur dalam Pasal 414 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:\n\ndi depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[5]secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atauyang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.\n\nDari bunyi Pasal 292 KUHP dan Pasal 414 ayat (1) UU 1/2023 di atas, dapat disimpulkan bahwa jerat pidana bagi pelaku homoseksualitas memang ada tetapi apabila diikuti dengan perbuatan cabul, dilakukan di depan umum, disertai adanya kekerasan ataupun dipublikasikan sebagai muatan pornografi. Namun, memiliki sifat penyuka atau ketertarikan dengan sesama jenis tidak dipidana.\n\nBaca juga: Apakah Homoseksual Bisa Dipidana?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. Gabriela Wowiling (et.al). Merusak Kesusilaan di Depan Umum Sebagai Delik Susila Berdasarkan Pasal 281 KUHP. Lex Crimen, Vol. 10, No. 2, 2021\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1995.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP (“Perma 2/2012”)[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[4] J.M Van Bemmelen. Hukum Pidana III: Bagian Khusus Delik- Delik Khusus. Jakarta: Bina Cipta, 1986, hal. 177-178, yang dikutip ulang dari Gabriela Wowiling (et.al). Merusak Kesusilaan di Depan Umum Sebagai Delik Susila Berdasarkan Pasal 281 KUHP. Lex Crimen, Vol. 10, No. 2, 2021, hal. 114[5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana jika TKI menjadi pelaku tindak pidana di luar Indonesia? Hukum Indonesia atau hukum negara tersebut yang dijadikan dasar untuk menghakimi pelaku? Apa pelaku bisa memilih salah satu hukum yang meringankan saja?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc 26 Jan 2023 Hukumnya Ekstradisi Buron Internasional di Indonesia 05 Mei 2021 Penanganan Pencemaran Nama Baik di Medsos Harus Mengedepankan Restorative Justice 02 Mar 2021 Ekstradisi dalam Kasus Narkotika dan Psikotropika 17 Feb 2021 Asas-asas Hukum Pidana Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana suatu negara menurut tempat, yakni: Asas Teritorial Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada umumnya asas teritorial ini dianut oleh semua negara di dunia. [1] Asas ini dilandasi oleh kedaulatan negara bahwa setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan barangsiapa yang melakukan tindak pidana maka negara berhak untuk memidana. [2] Di Indonesia, asas teritorial terkandung di dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia . Asas teritorial ini kemudian diperluas kembali oleh Pasal 3 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia. Dengan demikian, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia, atau dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia tunduk pada hukum pidana Indonesia. Hal ini berdasarkan satu postulat interest reipublicae ne maleficia remaneant impunita , yang artinya ialah kepentingan suatu negara agar kejahatan yang terjadi di negaranya tidak dibiarkan saja. [3] Asas Nasional Aktif Asas nasional aktif disebut juga dengan asas personalitas yang berarti perundang-undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara di mana pun berada termasuk juga di luar wilayah negaranya. Tegasnya, asas ini dikaitkan dengan orangnya (warga negara) tanpa mempersoalkan di manapun ia berada. [4] Asas ini hanya berlaku apabila perbuatan yang dilakukan di negara lain, menurut hukum nasional negara tersebut juga merupakan tindak pidana. Sebaliknya, asas nasional aktif ini tidak berlaku jika perbuatan yang dilakukan menurut hukum negara asalnya adalah tindak pidana, sedangkan menurut hukum negara tempat perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana. [5] Asas ini tercantum di dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 KUHP , dengan bunyi sebagai berikut: Pasal 5 KUHP : Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia: Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451; Suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan. Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu. Pasal 6 KUHP : Berlakunya Pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi sedemikian rupa hingga tidak dijatuhi pidana mati jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati. Selanjutnya, asas nasional aktif diperluas dengan berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang melakukan kejahatan yakni sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 KUHP : Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua . Baca juga: Arti Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif dalam Hukum Pidana Asas Nasional Pasif Menurut asas ini, berlakunya perundang-undangan pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah negara atau di luar negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana apakah warga negara atau orang asing. [6] Asas nasional pasif ini didasarkan pada prinsip interest reipublicae quod homines conserventur yang artinya kepentingan suatu negara agar warga negaranya dilindungi. [7] Tegasnya, dengan asas ini ada unsur melindungi kepentingan nasional terhadap siapapun juga dan di manapun juga. [8] Adapun asas nasional pasif ini terkandung di dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP yang berbunyi: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131; suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu. Asas nasional pasif ini diperluas oleh Pasal 8 KUHP yang menyebutkan: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan. Asas Universal Asas ini melihat pada suatu tata hukum internasional, di mana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia . Maka jika ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara itu, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, tanpa melihat siapa yang melakukan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan. [9] Arti penting dari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman. Oleh karena itu setiap negara berhak untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional. Namun, bilamana pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara, maka negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional atas kasus yang sama . Asas universal ini berlaku bagi tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional dan bukan kejahatan transnasional . [10] Asas universal terdapat dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP yang menyatakan: Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia; 4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan ba jak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. Patut dicatat, berkenaan dengan penerapan keempat asas sebagaimana telah dijelaskan di atas, KUHP memberikan pembatasan berdasarkan bunyi Pasal 9 KUHP : Diterapkannya pasal-pasal 2 - 5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui d alam hukum internasional . [11] Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menyebutkan pengecualian-pengecualian yang dimaksud ialah antara lain: Bahwa rumah dan pekarangan dari para duta besar dan duta dari negara asing dianggap wilayah dari negara asing yang bersangkutan; Bahwa para diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan dari negara tempat mereka ditugaskan; Bahwa kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan negara awak, dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan. Dalam hal ini diperlakukan prinsip “ex-teritorialitas”, yang berarti bahwa orang-orang dianggap ada di luar suatu wilayah tempat mereka sebenarnya ada. [12] Jika Pekerja Migran Indonesia Melakukan Tindak Pidana di Luar Indonesia Sebagaimana disebutkan melalui Aspek Hukum Isi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia , istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kini dikenal dengan pekerja migran Indonesia. Kembali ke pertanyaan, sayangnya Anda tidak menyebutkan secara spesifik mengenai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja migran Indonesia yang dimaksud. Namun yang pasti, berdasarkan asas teritorial yang dianut seluruh negara di dunia, negara tempat di mana pelaku berada, dapat menerapkan hukum pidana di negaranya terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayahnya, termasuk warga negara asing. Namun menurut hemat kami, dalam keadaan tertentu terdapat 3 kemungkinan hukum pidana Indonesia juga dapat diterapkan pada pekerja migran Indonesia tersebut, yakni: Asas nasional aktif , hukum pidana Indonesia juga dapat diterapkan jika tindak pidana yang dilakukan diatur dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam pula dengan pidana. Apabila dirinci, kejahatan Pasal 5 KUHP dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama mencakup: Dari Bab I dan II Buku II KUHP yang meliputi kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen de veiligheid van de staat) ; Dari Pasal 160 dan 161 KUHP yang berupa penghasutan (opruiing) untuk melakukan tindak pidana; Dari Pasal 240 KUHP berupa tidak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan negara; Dari Pasal 279 KUHP berupa melakukan perkawinan melebihi jumlah yang diperbolehkan; Dari Pasal 450 dan 451 KUHP berupa turut serta, tanpa izin pemerintah Indonesia dalam kapal dinas negara asing yang melakukan pengambilan kapal-kapal lain. [13] Pada kejahatan golongan pertama ini tidak mempersoalkan apakah perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak di negara asing yang bersangkutan. [14] Sedangkan golongan kedua, mensyaratkan bahwa hukum pidana Indonesia dapat diterapkan bilamana di samping perbuatan itu merupakan tindak pidana di negara Indonesia juga merupakan tindak pidana di luar negeri (double criminality principle) . [15] Asas nasional pasif , jika pekerja migran yang bersangkutan melakukan tindak pidana Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP seperti yang telah diterangkan sebelumnya. Asas universal , jika perbuatan pekerja migran Indonesia melakukan perbuatan dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP sebagaimana disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, selain hukum pidana dari negara tindak pidana dilakukan, juga terdapat kemungkinan hukum pidana Indonesia dapat diterapkan dengan persyaratan tertentu. Keadaan semacam ini disebut dengan concurrent jurisdiction , yang dalam The Law Dictionary didefinisikan an authority that has been conferred on 2 or more courts to hear and decide similar cases . [16] Langkah Hukum Upaya yang dapat ditempuh bilamana hukum pidana Indonesia hendak diterapkan pada pelaku, sedangkan pelaku berada di negara tempat dilakukan tindak pidana ialah melalui mekanisme ekstradisi. Mengenai ekstradisi, Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi mengatur: Apabila seseorang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia dan diduga berada di negara asing , maka atas permintaan Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang diajukannya melalui saluran diplomatik. Baca juga: Hukumnya Ekstradisi Buron Internasional di Indonesia Namun, ditolak atau diterimanya permintaan ekstradisi sepenuhnya merupakan hak prerogatif pemerintah dari negara tempat dilakukannya tindak pidana tersebut. Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik dan bersifat dwingenrecht , maka pekerja migran Indonesia yang menjadi pelaku tindak pidana tidak dapat memilih akan menundukkan diri pada hukum yang dianggap lebih dapat menguntungkan dirinya. Akan tetapi perlu digarisbawahi, jika pekerja migran Indonesia telah diadili dan mendapatkan hukuman dari negara tempat tindak pidana dilakukan, maka si pelaku tidak dapat diadili oleh pengadilan di Indonesia atas kasus yang sama, hal ini merujuk pada asas ne bis in idem dalam Pasal 76 ayat 2 KUHP : Jika putusan yang menjadi tetap berasal dari Hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal: putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum; putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa. Baca juga: Ekstradisi dalam Kasus Narkotika dan Psikotropika Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi REFERENSI:\n1. Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016\n2. Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016\n3. Hanafi Amrani. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Ne gara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum . Yogyakarta: UII Press, 2015\n4. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Eresco, 1986\n5. The Law Dictionary , y ang diakses pada 21 Mei 2021 pukul 15.00 WIB. [1] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 301 [2] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 42 [3] Eddy O.S. Hiariej . Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016 , hal. 301-302 [4] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016 , hal. 44 [5] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 306-307 [6] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 47 [7] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 306-307 [8] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Eresco, 1986, hal. 51 [9] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Eresco, 1986, hal. 53 [10] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana . Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 313 [11] Pasal 9 KUHP [12] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Eresco, 1986, hal. 54 [13] Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia . Bandung: Eresco, 1986 , hal. 49-50 [14] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 45 [15] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana . Makassar: Pustaka Pena Press, 2016 , hal. 45 [16] The Law Dictionary ,y ang diakses pada 21 Mei 2021 pukul 15.00 WIB, Hanafi Amrani. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Ne gara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum . Yogyakarta: UII Press, 2015, hal. 201 tki ne bis in idem pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya seorang mahasiswa jurusan hukum yang bercita-cita untuk menjadi seorang lawyer profesional. Tapi, saya mempunyai dua piercing (tindikan/lubang) sebesar 8 mm di kedua daun telinga. Apakah hal tersebut menghambat saya untuk menggapai cita-cita saya sebagai lawyer profesional?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Lawyer atau dalam Bahasa Indonesia berarti Advokat (sejak diundangkannya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat – UU Advokat ) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU Advokat (lihat Pasal 1 ayat [1] UU Advokat ). KLINIK TERKAIT Tahapan Menjadi Advokat di Indonesia 14 Des 2023 Lapangan Pekerjaan Bidang Hukum 08 Mar 2011 Daftar Menjadi Anggota Organisasi Advokat 02 Des 2010 Kriteria Penilaian Ujian Advokat 29 Okt 2010 Terkait dengan adanya piercing atau tindikan pada kedua telinga Anda, advokat senior Denny Kailimang berpendapat bahwa hal tersebut tidak menjadi masalah bagi mereka yang ingin menjadi advokat. Menurut Denny yang juga anggota Dewan Penasihat Pusat Bantuan Hukum Peradi, sepanjang Anda memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan dan melalui tahapan/prosedur yang harus dilalui untuk menjadi advokat yang telah diatur dalam UU Advokat, Anda tidak akan terhambat untuk menjadi advokat. Persyaratan untuk dapat diangkat menjadi Advokat dapat kita temui dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat , sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. Sedangkan, tahapan-tahapan untuk dapat diangkat menjadi advokat adalah: 1. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (“PKPA”); 2. Mengikuti Ujian Profesi Advokat (“UPA”); 3. Mengikuti magang di kantor advokat sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun secara terus-menerus di kantor advokat; 4. Pengangkatan dan Sumpah Advokat. Lebih jauh mengenai prosedur untuk menjadi advokat simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tante saya adalah anak kandung dari alm. eyang. Namun tante saya telah diadopsi (diakui di pengadilan) oleh sanak saudara (extended family) alm. eyang di kampung. Ia telah dibawa tinggal di sana sejak kecil. Nah, alasan utama mengapa tante bisa adopsi karena saat itu keluarga tersebut tidak memiliki anak. Kemudian, apakah tante saya (anak kandung yang kemudian diadopsi orang lain) masih berhak menerima hak warisan alm. eyang?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "M. Budiarto dalam bukunya Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum menerangkan bahwa pengangkatan anak berdampak pada perwalian dan waris. Berikut kami kutip penjelasannya:\n\nPerwalian\n\nDalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanyalah orang tua kandungnya atau saudara sedarahnya.\nWaris\n\nKhazanah hukum baik hukum adat, hukum Islam maupun hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya memiliki kekuatan yang sama, artinya seorang bisa memilih hukum mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak angkat.\n\nHukum Adat\n\nBila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak angkat tergantung pada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga yang parental-jawa misalnya pengangkatan anak tidak otomatis memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orang tua kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari orang tua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua kandungnya.\n\nBerbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari bapak angkatnya.\nHukum Islam\n\nDalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali dan hubungan waris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.\nHukum Perdata Barat\n\nDalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut.\n\nKembali ke pertanyaan, apakah tante Anda yang sudah diadopsi orang lain masih berhak menerima hak warisan alm. kakek dan nenek Anda? Kami berpendapat berdasarkan Pasal 4 PP 54/2007 maka tante Anda yang sudah diangkat/diadopsi orang lain masih dapat menerima hak waris dari alm. kakek dan nenek Anda.\n\nBaca juga: Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat\n\nNamun demikian, kami menyarankan agar Anda terlebih dahulu mendalami lebih lanjut mengenai keyakinan atau agama dari alm. kakek dan nenek selaku pewaris dan tante Anda, hal ini penting diketahui untuk memastikan karakteristik hukum waris yang mana yang akan dianut, apakah menggunakan hukum adat, hukum Islam, atau hukum perdata barat.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_perlindungan_anak)\n2. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n3. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584786efd1075?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_17_2016)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27072/peraturan-pemerintah-nomor-54-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_54_2007)\nREFERENSI:\n1. M. Budiarto. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum. Jakarta: Akademika Pressindo, 1991.\n\n[1] Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam hal kredit investasi dan modal kerja, apakah pihak bank sebagai kreditur berhak menolak permohonan reschedule kredit? Adakah dasar hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Dapatkah Bank Menolak Permohonan Reschedule Kredit Nasabah? yang dibuat oleh Maria Astri Yunita, S.H., M.H. dari Advokat dan Konsultan yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 3 Oktober 2016. Rescheduling Kredit Rescheduling merupakan upaya penyelesaian kredit bermasalah (kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit) yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu kredit atau memperpanjang grace period (masa kelonggaran untuk tidak membayar utang pokok). Reschedule kredit merupakan salah satu upaya restrukturisasi kredit yang dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum (“POJK 11/2015”) didefinisikan sebagai upaya perbaikan yang dilakukan bank dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui: penurunan suku bunga kredit; perpanjangan jangka waktu kredit; pengurangan tunggakan bunga kredit; pengurangan tunggakan pokok kredit; penambahan fasilitas kredit; dan/atau konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara. Menurut Muhamad Djumhana dalam buku Hukum Perbankan di Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam artikel Langkah-Langkah Penyelesaian Kredit Macet , penjadwalan kembali ( rescheduling ) , yaitu perubahan syarat kredit yang menyangkut jadwal pembayaran dan/atau jangka waktu termasuk masa tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak. Kriteria Kredit yang Dapat Direstrukturisasi Bank hanya dapat melakukan reschedule kredit sebagai bagian dari restrukturisasi kredit terhadap debitur yang memenuhi kriteria: [1] debitur mengalami kesulitan pembayaran pokok dan/atau bunga kredit; dan debitur masih memiliki prospek usaha yang baik dan dinilai mampu memenuhi kewajiban setelah kredit direstrukturisasi. Kredit yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis berdasarkan prospek usaha debitur dan kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas. Kredit kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi wajib dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. [2] Sebagai informasi tambahan, setiap bank memiliki ketentuan internal berupa standar kebijakan dan prosedur yang mengatur perihal pemberian r escheduling kredit , sehingga segala analisis dan keputusan persetujuan atau penolakan, selain mengacu pada peraturan perundang-undangan, juga akan mengacu pada ketentuan internal tersebut. [3] Pedoman dalam pembuatan kebijakan dan prosedur internal dalam pemberian restrukturisasi kredit tercantum dalam Lampiran POJK 40/2019 , seperti evaluasi terhadap permasalahan debitur dan terhadap pendekatan serta asumsi yang digunakan dalam perhitungan proyeksi arus kas dan nilai kini dari angsuran pokok dan/atau bunga yang akan diterima (hal. 64). Kemudian, keputusan restrukturisasi kredit wajib dilakukan oleh pihak yang lebih tinggi dari pihak yang memutuskan pemberian kredit. [4] Jika keputusan pemberian kredit dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi, restrukturisasi kredit dilakukan melalui keputusan dalam rapat direksi. [5] Restrukturisasi kredit wajib dilakukan oleh pejabat atau pegawai yang tidak terlibat dalam pemberian kredit yang direstrukturisasi. [6] Patut Anda ketahui, bank juga dapat melakukan restrukturisasi kredit dalam bentuk penyertaan modal sementara yang hanya dapat diberikan untuk kredit yang memiliki kualitas kurang lancar, diragukan atau macet. [7] Penyertaan modal yang dimaksud adalah penanaman dana bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib ( mandatory convertible bonds ) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan tersebut. [8] Sanksi Hukum Menjawab pertanyaan Anda, bank berhak untuk menolak pengajuan rescheduling kredit yang dilakukan debitur sepanjang hasil analisis bank sudah mempertimbangkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan serta prosedur internalnya dalam pemberian restrukturisasi kredit. Jika dalam pemberian rescheduling kredit, ternyata bank tidak memenuhi ketentuan restrukturisasi kredit di atas, maka bank dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis . [9] Apabila bank tidak memenuhi teguran tertulis, bank dapat dikenai sanksi administratif : [10] pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau larangan sebagai pihak utama lembaga jasa keuangan sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai penilaian kembali bagi pihak utama lembaga jasa keuangan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.03/2015 Tahun 2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian Nasional Bagi Bank Umum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 Tahun 2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum [1] Pasal 53 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 40/POJK.03/2019 Tahun 2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum (“POJK 40/2019”) [2] Pasal 59 ayat (1) dan (2) POJK 40/2019 [3] Pasal 57 ayat (1) POJK 40/2019 [4] Pasal 58 ayat (1) POJK 40/2019 [5] Pasal 58 ayat (2) POJK 40/2019 [6] Pasal 58 ayat (3) POJK 40/2019 [7] Pasal 63 POJK 40/2019 [8] Pasal 1 angka 5 POJK 11/2015 [9] Pasal 66 ayat (1) POJK 40/2019 [10] Pasal 66 ayat (2) POJK 40/2019 hutang debitor hukumonline nasabah bank restrukturisasi restrukturisasi utang nasabah kredit debitur utang hukum klinik klinik hukumonline perbankan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah seorang karyawan di BUMN konstruksi di Jakarta. Saya mendengar selentingan berita bahwa saya akan dimutasi ke luar Jakarta, yaitu ke Makassar. Akan tetapi dari pihak manajemen perusahaan belum menyampaikan hal tersebut secara langsung kepada saya. Kalau hal ini memang benar terjadi kepada saya nantinya, terus terang saya akan menolak mutasi ini, dengan alasan tidak bisa jauh dari keluarga karena keluarga saya di Jakarta. Pertanyaannya adalah bolehkah perusahaan merotasi karyawan secara sepihak? Apakah karyawan berhak menolak mutasi dengan alasan keluarga? Kalau saya menolak mutasi tersebut apa konsekuensi hukumnya? Mohon penjelasannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mutasi menurut KBBI berarti pemindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan lain. Dengan demikian, kami mengasumsikan bahwa mutasi karyawan yang Anda maksud adalah berkaitan dengan pemindahan karyawan dari satu jabatan ke jabatan lainnya, sekaligus mutasi lokasi kerja.\nKemudian, sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa karyawan badan usaha milik negara (“BUMN”) merupakan pekerja BUMN yang pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.[1]\n\nLebih lanjut, bagi BUMN tidak berlaku segala ketentuan kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi pegawai negeri sipil.[2] Dengan demikian, karyawan BUMN tunduk pada ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksananya.\n\nTerkait dengan pertanyaan Anda, dalam UU Ketenagakerjaan, mutasi dikenal dengan istilah penempatan tenaga kerja. Pelaksanaan mutasi tersebut seyogianya mengacu pada Pasal 32 UU Ketenagakerjaan, sebagai berikut:\n\npenempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum.penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah.\nApakah Karyawan Berhak Menolak Mutasi?\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda, dijelaskan dalam artikel Menolak Mutasi Berarti Menolak Perintah Kerja bahwa perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) kepada seorang pekerja karena menolak mutasi. Dalam putusannya, majelis hakim mengabulkan gugatan PHK oleh perusahaan tersebut (hal. 1). Pertimbangan majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”) dalam perkara tersebut adalah menolak mutasi sama dengan menolak perintah kerja (hal. 2)\n\nSelain itu, dalam perkara tersebut, memang disebutkan dalam peraturan perusahaan bahwa perusahaan berwenang untuk mengangkat, menetapkan, atau mengalihtugaskan satu jabatan ke jabatan lainnya atau satu tempat ke tempat lainnya di lingkungan perusahaan (hal. 1)\n\nHal serupa juga dijelaskan dalam artikel Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan ‘Kompas’ Sah. Dalam kasus ini, pekerja juga di-PHK karena menolak mutasi. Majelis hakim mengabulkan gugatan perusahaan dengan dasar bahwa menolak mutasi berarti dianggap melanggar syarat perjanjian kerja. Hal ini didasarkan pada surat pernyataan calon koresponden yang ditandatangani oleh pekerja. Sebab, dalam kasus ini, ketentuan mutasi tidak diatur dalam perjanjian kerja dan peraturan perusahaan telah kedaluwarsa (hal. 2).\n\nAnda juga dapat melihat ke dalam Putusan MA No. 82 K/Pdt.Sus-PHI/2021 yang telah berkekuatan hukum tetap. Majelis hakim berpendapat bahwa kebijakan mutasi yang dilakukan oleh tergugat/pemohon kasasi (dalam hal ini adalah perusahaan) telah sesuai dengan dan telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perusahaan (hal. 4).\n\nBerdasarkan argumen tersebut, maka menjawab pertanyaan Anda, apakah karyawan berhak menolak mutasi, jawabannya adalah tergantung dengan ketentuan dalam perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama, atau dalam peraturan perusahaan tempat Anda bekerja.\n\nJika memang menolak mutasi dikualifikasikan sebagai menolak perintah kerja atau melanggar perjanjian kerja, konsekuensinya adalah Anda dianggap melanggar perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.\nNamun, karena Anda adalah karyawan BUMN, maka yang menjadi dasar pengangkatan, pemberhentian, kedudukan, hak dan kewajiban ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja bersama, yaitu perjanjian yang dibuat antara pekerja BUMN dengan pemberi kerja yaitu manajemen BUMN.[3] Artinya, Anda perlu memeriksa kembali dasar mutasi karyawan dalam peraturan kerja bersama di perusahaan Anda.\n\nLalu, bagaimana cara menolak mutasi kerja? Anda pertama-tama dapat mengupayakan cara kekeluargaan dengan menyampaikan latar belakang mengapa Anda keberatan untuk dipindah atau dimutasi ke tempat lain karena alasan keluarga.\n\nHal ini juga berkaitan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, bahwa penempatan tenaga kerja harus memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum pekerja. Dengan demikian, sudah seyogianya perusahaan memperhatikan kondisi pekerja yang akan dimutasi, termasuk kondisi keluarganya.\n\nJadi, menurut hemat kami, seandainya Anda dimutasi, Anda bisa saja menyampaikan keberatan Anda atas mutasi tersebut secara baik-baik atau “menawar” kebijakan mutasi tersebut agar perusahaan mempertimbangkan alasan Anda untuk tidak jauh dari keluarga. Dengan harapan, perusahaan akan mempertimbangkan kembali rencana mutasi tersebut.\n\nNamun demikian, perlu dicatat bahwa apabila kewenangan perusahaan untuk melakukan mutasi ini secara tegas diatur dalam perjanjian kerja bersama, maka perusahaan/BUMN mempunyai dasar yang kuat untuk memutus hubungan kerja Anda jika Anda menolak mutasi.\n\nHal ini berdasarkan ketentuan Pasal 36 huruf k PP 35/2021 bahwa salah satu alasan dapat dilakukan PHK oleh perusahaan adalah pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nBaca juga: Hak-hak Karyawan yang di-PHK dan yang Resign\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13588/undangundang-nomor-19-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_19_2003)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/23130/peraturan-pemerintah-nomor-45-tahun-2005?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_45_2005)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62a6cbd560233?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_23_2022)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 82 K/Pdt.Sus-PHI/2021.\n\nREFERENSI:\n1. Mutasi, yang diakses pada Selasa, 26 September 2023, pukul 08.31 WIB.\n\n[1] Pasal 95 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara (“PP 23/2022”)[2] Pasal 95 ayat (2) PP 23/2022[3] Pasal 87 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan penjelasannya"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebelumnya saya sampaikan terima kasih telah diizinkan bergabung, selanjutnya saya ingin bertanya tentang hak waris anak dari istri pertama. Kronologisnya seperti ini: Ayah saya mempunyai satu anak perempuan hasil dari perkawinan pertama, dan istri ayah saya yang pertama itu sudah meninggal dunia. Kemudian ayah saya menikah lagi dengan istri yang kedua dan dikarunia lima anak. Pada saat menikah dengan istri yang pertama ayah saya tidak punya apa-apa, baru setelah menikah dengan istri yang kedua perekonomian ayah saya membaik. Pertanyaan saya, apakah anak perempuan dari perkawinan pertama masih mempunyai hak waris dari harta yang diperoleh setelah menikah dengan istri kedua ayah saya? Demikian terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Anda tidak menyebutkan apa agama yang dianut oleh pewaris. Kami berasumsi bahwa pewaris tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Perlu diketahui bahwa yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidup terlama ( Pasal 832 KUHPer ) . Berdasarkan prinsip pewarisan dalam hukum perdata tersebut, dapat disimpulkan bahwa anak ayah Anda dari istrinya yang pertama tetap mendapatkan warisan terlepas dari bagaimana perekonomian ayah Anda pada saat masih dengan istri pertamanya. KLINIK TERKAIT Pembagian Harta Warisan Ayah Jika Ibu Masih Hidup 09 Jul 2024 Sebab Penghalang Waris dalam Hukum Islam 30 Agt 2023 Daluarsa Gugatan Hak Waris Anak Luar Kawin 26 Feb 2014 Hak Saudara Tiri atas Warisan dan Hibah Orang Tua 28 Des 2013 Yang perlu diperhatikan justru warisan yang akan diterima oleh istri kedua. Berdasarkan Pasal 852a ayat (1) KUHPer , dikatakan bahwa bagian suami atau istri yang ditinggal mati oleh pewaris adalah sama dengan seorang anak sah. Dengan ketentuan bila perkawinan tersebut adalah perkawinan kedua dan selanjutnya, sedangkan dari perkawinan sebelumnya ada anak-anak atau keturunan dari anak-anak tersebut, suami atau istri yang baru tidak boleh mewarisi lebih da ri bagian terkecil yang diterima oleh salah seorang dan anak-anak dari perkawinan sebelumnya , atau oleh semua keturunan penggantinya bila ia meninggal lebih dahulu, dan bagaimanapun juga bagian warisan istri atau suami itu tidak boleh melebihi seperempat dan harta peninggalan si pewaris. Jika si pewaris meninggalkan wasiat yang isinya memberikan sebagian hartanya kepada suami atau istri kedua (atau perkawinan selanjutnya), jumlah bagian yang diberikan tersebut tetap tidak boleh melebihi ketentuan Pasal 852a ayat (1) KUHPer di atas ( Pasal 852a ayat (2) KUHPer ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagai contoh, dari istri pertama si pewaris mempunyai satu anak (istri pertama meninggal dunia), kemudian dari istri kedua pewaris mempunyai satu orang anak juga. Dalam hal ini yang menjadi ahli waris adalah 3 (tiga) orang yaitu: anak dari istri pertama, istri kedua, dan anak dari istri kedua. Karena ada 3 (tiga) orang ahli waris, maka masing-masing seharusnya mendapatkan bagian 1/3. Akan tetapi, perlu diingat ketentuan Pasal 852a KUHPer bahwa bagian dari istri kedua tidak boleh lebih besar dari bagian terkecil anak dari istri pertama dan tidak boleh lebih besar dari 1/4 bagian. Maka, istri kedua tetap hanya mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya diberikan kepada kedua anak pewaris. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . hukum hak waris hukumonline warisan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya bekerja di salah satu instansi pemerintah dengan status kepegawaian BLU/Non-PNS. Apakah saya berhak untuk mendapatkan dana pensiun/pesangon dari instansi jika keluar atau menginjak usia pensiun? Karena selama ini kami mendapatkan info dari pihak manajemen instansi bahwa tidak ada biaya untuk dana tersebut dan tidak didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Istilah Non-PNS Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PP 49/2018”) . Di satu sisi, penyebutan istilah “ Non-PNS” dapat ditemukan dalam Pasal 106 ayat (1) PP 11/2017 , yang berbunyi: JPT utama dan JPT madya tertentu dapat diisi dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden yang pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompetitif serta ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Adapun yang dimaksud sebagai non-PNS dalam pasal tersebut adalah warga negara Indonesia di luar kalangan PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. [1] Di sisi lain, norma yang spesifik menyebut istilah “ Pegawai Non-PNS ” dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 96 PP 49/2018 , yang berbunyi: Yang dimaksud pegawai non-PNS dan non-PPPK antara lain: pegawai yang saat ini dikenal dengan sebutan tenaga honorer atau sebutan lain. Menurut hemat kami, terdapat perbedaan konteks antara kedua penggunaan istilah “Non-PNS” pada dua ketentuan di atas. Penyebutan “Non-PNS” pada Pasal 106 PP 11/2017 hanya digunakan untuk mengidentifikasi siapa yang dapat mengisi Jabatan Pimpinan Tinggi (“JPT”) utama dan JPT madya, sebagaimana ketentuan Pasal 106 ayat (1) PP 11/2017. Sedangkan istilah “pegawai non-PNS” dalam Pasal 96 PP 49/2018 merujuk pada tenaga honorer yang telah dikenal sebelum PP 49/2018. Menurut hemat kami, peristilahan kedua inilah yang lebih relevan dengan pertanyaan Anda. Baca juga: Solusi Penyelesaian Status Pegawai Non-PNS Ada di RUU ASN Pegawai Non-PNS pada Badan Layanan Umum Perlu diketahui bahwa sistem kepegawaian pada Badan Layanan Umum (“BLU”) memiliki pengaturan tersendiri. Status pegawai non-PNS dalam BLU diatur secara eksplisit melalui Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (“PP 74/2012”) . Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri atas PNS dan/atau tenaga profesional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU yang berasal dari tenaga profesional non-PNS dapat dipekerjakan secara tetap atau berdasarkan kontrak. [2] Syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU di lingkungan kementerian negara/lembaga yang berasal dari tenaga profesional non-PNS diatur oleh pemimpin BLU. Sementara syarat pengangkatan dan pemberhentian pejabat pengelola dan pegawai BLU di lingkungan pemerintah daerah yang berasal dari tenaga profesional non-PNS diatur oleh kepala daerah atas usul pemimpin BLU. [3] Hak Pegawai Non-PNS Sayangnya, PP 74/2012 sendiri tidak merinci lebih lanjut mengenai hak-hak apa saja yang diperoleh seorang tenaga professional non-PNS. Dengan demikian, ketentuan terkait hal tersebut dikembalikan kepada PP 49/2018, khususnya Pasal 99 ayat (1) PP 49/2018 yang mengatur bahwa: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pegawai non-PNS yang bertugas pada instansi pemerintah termasuk pegawai yang bertugas pada lembaga non struktural, instansi pemerintah yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum/badan layanan umum daerah , lembaga penyiaran publik, dan perguruan tinggi negeri baru berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2016 tentang Dosen dan Tenaga Kependidikan pada Perguruan Tinggi Negeri Baru sebelum diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, masih tetap melaksanakan tugas paling lama 5 (lima) tahun. Sehubungan dengan pertanyaan Anda terkait hak untuk mendapat pensiun/pesangon, kami terlebih dahulu mengasumsikan bahwa Anda telah bekerja di instansi pemerintah berbentuk BLU sebelum diberlakukannya PP 49/2018. Ketentuan mengenai perlindungan hak yang dapat diterima oleh Anda (pegawai non-PNS) telah diatur secara jelas dalam Pasal 99 ayat (3) PP 49/2018 yang menyebut: Pegawai Non-PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan perlindungan berupa manfaat jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sebagaimana berlaku bagi PPPK. Dengan demikian, sebagai pegawai non-PNS di BLU, Anda hanya berhak atas jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Hak atas jaminan pensiun maupun pesangon sejak semula dikecualikan dari ketentuan ini, sehingga Anda tidak berhak atas masing-masing komponen hak tersebut. Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, dan Jaminan Kematian Sekalipun tidak dijelaskan secara eksplisit, namun pengertian jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian dapat Anda temukan pada sejumlah peraturan perundang-undangan. Ketentuan mengenai jaminan kesehatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (“UU SJSN”) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) . Adapun pengaturan pemberian jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (“PP 70/2015”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (“PP 66/2017”) . Lebih lanjut, masing-masing kategori hak pegawai non-PNS diuraikan sebagai berikut: Jaminan Kesehatan. Program jaminan kesehatan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. [4] Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan kecelakaan kerja adalah perlindungan atas risiko kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja berupa perawatan, santunan, dan tunjangan cacat. [5] Perlu diketahui bahwa jaminan kecelakaan kerja bagi pegawai non-PNS dikelola oleh PT Dana Tabungan dan PT TASPEN. [6] Jaminan Kematian Jaminan kematian adalah perlindungan atas risiko kematian bukan akibat kecelakaan kerja berupa santunan kematian. [7] Sebagaimana jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian bagi Pegawai Non-PNS dikelola oleh PT Dana Tabungan dan PT TASPEN. [8] Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja [1] Penjelasan Pasal 106 ayat (1) PP 11/2017 [2] Pasal 33 ayat (1) dan (2) PP 74/2012 [3] Pasal 33 ayat (6) dan (7) PP 74/2012 [4] Pasal 6 ayat (1) UU BPJS vide Pasal 19 ayat (2) UU SJSN [5] Pasal 1 angka 4 PP 70/2015 [6] Penjelasan Umum PP 70/2015 [7] Pasal 1 angka 5 PP 70/2015 [8] Penjelasan Umum PP 70/2015 hukumonline lembaga pemerintah ketenagakerjaan hak pesangon pppk tata negara pns lembaga negara pensiun penyelenggara negara jaminan sosial"
} |
{
"from": "human",
"value": "Beberapa minggu lalu saya memesan jasa prostitusi melalui telepon dan kemudian bertemu di tempat yang sudah disepakati. Pekerja seks tersebut meminta untuk tidak menggunakan kondom dan bersedia menggugurkan bayi (aborsi) jika ternyata dia hamil. Singkatnya, sebulan setelah berhubungan badan dengannya, dia tiba-tiba kirim SMS yang intinya menyatakan dia hamil. Saya sudah mengingatkan bahwa berdasarkan kesepakatan awal, saya tidak akan bertanggung jawab jika dia hamil dan dia bersedia menggugurkan kandungannya. Dia saat ini memang tidak langsung menuntut pertanggungjawaban saya. Tapi yang saya takutkan sekarang adalah orang tuanya tetap tidak terima dan menuntut saya. Bagaimana hukumnya? Saya yang salah atau pekerja seks tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sepanjang penelusuran kami, di dalam KUHP tidak ada pasal eksplisit yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna jasa PSK maupun menjadi PSK itu sendiri. Jerat pasal untuk pengguna jasa PSK maupun menjadi PSK antara lain tertuang dalam peraturan daerah setempat, sebagai contoh di DKI Jakarta seperti yang dijelaskan dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK.\n\nNamun, di dalam KUHP terdapat ketentuan untuk menjerat penyedia PSK/germo/muncikari, sebagai berikut:\nKUHPUU 1/2023Pasal 296Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp15 juta.[2]Pasal 506Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun.Pasal 420Setiap orang yang menghubungkan atau memudahkan orang lain melakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun.Pasal 421Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 atau Pasal 420 dilakukan sebagai kebiasaan atau untuk menarik keuntungan sebagai mata pencaharian pidananya dapat ditambah 1/3.\n\nUnsur perbuatan yang harus dipenuhi pada Pasal 296 KUHP adalah:[3]\n\nbarangsiapa;dengan sengaja;menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain; danmenjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan.\n\nSedangkan unsur-unsur Pasal 506 KUHP adalah:[4]\n\nbarangsiapa;menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita; danmenjadikannya sebagai pencarian.\n\nMengacu pada pasal tersebut diatas, dikaji dari sisi perbuatannya, tidak ditemukan kata “prostitusi”, yang ada adalah kalimat “perbuatan cabul”. Berkaitan dengan perbuatan cabul, R.Soesilo mengatakan bahwa perbuatan cabul diartikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan yang keji, dan semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.[5]\n\nPenjelasan lengkap mengenai jerat hukum bagi muncikari dapat Anda simak dalam artikel Pasal untuk Menjerat Pemakai Jasa PSK.\nJerat Hukum Pengguna Jasa PSK dan PSK\n\nSelanjutnya, dalam hal pelanggan PSK tersebut telah memiliki pasangan resmi (atas dasar pernikahan yang sah), dan kemudian pasangannya tersebut mengadukan perbuatan pasangannya yang memakai jasa PSK, maka orang yang memakai jasa PSK dan PSK tersebut dapat dijerat dengan pasal perzinaan.\n\nDisarikan dari artikel Bisakah Dipenjara karena Berhubungan Seks dengan Pacar?, pelaku perzinaan dapat dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHP dengan pidana penjara paling lama 9 bulan.\n\nSebagai informasi, berbeda dengan Pasal 284 KUHP lama yang mensyaratkan tindak pidana perzinaan dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah,[6] dalam KUHP baru, perzinaan dapat dijerat kepada pria dan wanita yang belum menikah. Menurut Pasal 411 UU 1/2023, perzinaan atau persetubuhan yang dilakukan oleh orang yang bukan suami atau istrinya dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 1 tahun atau pidana denda maksimal Rp10 juta.[7]\n\nAnda dapat membaca selengkapnya mengenai pidana perzinaan dalam artikel Risiko Hukum Menjadi ‘Pelakor’.\nKeabsahan Kesepakatan\n\nSelanjutnya, kami akan menjelaskan mengenai kesepakatan antara Anda dengan PSK untuk tidak bertanggungjawab atas kehamilan dan melakukan aborsi apabila ternyata di kemudian hari diketahui bahwa PSK hamil.\n\nNamun sebelumnya, kita perlu ketahui tentang syarat sah perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata , yaitu:\n\nkesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu pokok persoalan tertentu; dansuatu sebab yang tidak terlarang.\n\nPersyaratan pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian atau dikenal dengan syarat subjektif. Sedangkan persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian atau dikenal dengan syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan dengan keabsahan perjanjian (nieteg atau void ab initio) dan dapat dibatalkannya suatu perjanjian (vernietigbaar).[8]\n\nDikutip dari artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif (kesepakatan dan/atau kecakapan), akibatnya perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan, jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan/atau sebab yang halal), akibatnya perjanjian batal demi hukum.\n\nLebih jauh mengenai sebab yang halal, dalam Pasal 1337 KUHPerdata dijelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.\n\nArtinya, objek perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam konteks pertanyaan Anda, perjanjian untuk berhubungan badan dengan PSK dan perjanjian untuk melakukan aborsi merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan. Oleh karena itu, perjanjian tersebut batal demi hukum dan PSK tersebut tidak bisa menuntut pemenuhan janji untuk bertanggungjawab kepada Anda atas kehamilan yang timbul.\nRisiko Hukum Aborsi\n\nRisiko pidana lain yang dapat dijerat kepada Anda adalah perbuatan menyuruh melakukan aborsi. Aborsi diatur dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, dan Pasal 194 UU Kesehatan. Kemudian, pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi,[9] namun, Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya aborsi, yaitu:\n\nindikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan;kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.\n\nKemudian, berdasarkan Pasal 194 UU Kesehatan, orang yang sengaja melakukan aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.\n\nSelain UU Kesehatan, ketentuan mengenai aborsi juga diatur dalam Pasal 346 s.d. Pasal 349 KUHP dan Pasal 463 s.d. Pasal 465 UU 1/2023.\n\nBerdasarkan Pasal 346 KUHP, seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Sedangkan menurut Pasal 463 ayat (1) UU 1/2023, setiap perempuan yang melakukan aborsi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.\n\nKetentuan mengenai aborsi menurut hukum positif di Indonesia dapat Anda baca selengkapnya pada artikel Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.\n\nReferensi:\n\nAM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019;R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1994;Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Ilmu Pelangi Universitas Negeri Gorontalo, Vol. 5, No. 1, 2012.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”). [3] AM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019, hal. 90.[4] AM. Endah Sri Astuti dan Cindy Eka Febriana. Penegakan Hukum terhadap Prostitusi Online (Pemahaman dan Akar Permasalahan Penegakan Hukum). Jurnal Pembaharuan Hukum Pidana Undip, Vol. 2, No. 2, 2019, hal. 90.[5] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor : Politeia, 1994, hal. 327.[6] Pasal 284 ayat (1) angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).[7] Pasal 411 ayat (1) jo. Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023.[8] Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Ilmu Pelangi Universitas Negeri Gorontalo, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4.[9] Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan."
} |
{
"from": "human",
"value": "Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki adalah berupa sebidang tanah. Namun, ternyata sebidang tanah yang diberikan waktu pernikahan tersebut sudah digadaikan dan belum ditebus. Mempelai wanita baru mengetahuinya setelah akad nikah, karena mempelai wanita ingin menjual tanah tersebut. Bagaimana hukumnya mahar yang diberikan kepada pihak perempuan tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITAturan Besaran Nominal Mahar Pernikahan dalam Islam16 Mar 2023Status Mahar Jika Gagal Nikah, Bisakah Diminta Lagi?11 Nov 2022Hukum Mahar yang Masih Utang Jika Tidak Kunjung Dilunasi 03 Jun 2022Kedudukan Mahar dalam Pernikahan sebagai Harta Bersama, Tepatkah?02 Jun 2022\n\nKami asumsikan bahwa perkawinan tersebut dilakukan dengan tata cara agama Islam dan tanah yang menjadi mahar tersebut masih milik mempelai pria karena statusnya masih digadaikan. Mahar dalam Islam adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[1]\n\nAdapun, hukum mahar dalam Islam adalah wajib. Hal ini diatur di dalam Pasal 30 KHI yang berbunyi:\nCalon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.\n\nLebih lanjut, mahar berupa tanah sebagaimana Anda sebutkan, kemudian menjadi milik calon mempelai perempuan. Namun, karena yang menjadi mahar berwujud tanah, untuk menjadi milik mempelai perempuan harus melalui proses peralihan hak atas tanah dan harus memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\nBaca juga: Simak! 2 Langkah Hibah Tanah dan Bangunan ke Keluarga\n\nSehingga, jika tanah tersebut masih menjadi milik calon mempelai pria, maka proses penyerahan atau peralihan kepemilikan mahar berupa tanah tersebut dapat dikatakan tertunda. Secara hukum, penyerahan mahar dilakukan secara tunai. Namun, apabila calon mempelai perempuan menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruh atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi utang dari calon mempelai pria.[2]\nMahar Tanah yang Dibebankan Hak Tanggungan\nDalam hal mahar tanah tersebut masih digadaikan dan belum ditebus, kami asumsikan bahwa tanah tersebut dibebankan hak tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU PA berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.[3]\n\nApabila tanah yang dijadikan mahar dibebankan hak tanggungan, maka menurut hemat kami, mahar dari calon mempelai pria belum diterima secara penuh oleh calon mempelai perempuan. Namun demikian, hal tersebut tidak mengurangi sahnya perkawinan, karena mahar bukanlah rukun nikah.[4]\n\nDengan kata lain, mahar perkawinan berupa tanah yang dibebankan hak tanggungan termasuk mahar terutang. Terkait dengan mahar terutang, berdasarkan ketentuan Pasal 38 KHI, jika calon mempelai perempuan bersedia menerimanya tanpa syarat, maka penyerahan mahar atas tanah tersebut dianggap lunas.\n\nNamun, apabila pihak mempelai perempuan menolak mahar tersebut karena baru diketahui tanahnya digadaikan setelah akad nikah, maka suami harus mengganti mahar tersebut dengan mahar lain yang tidak cacat atau tidak kurang. Selama penggantiannya belum diserahkan, maka mahar dianggap masih belum dibayar.[5]\n\nJika ada perselisihan mengenai mahar terkait jenis ataupun nilai mahar yang ditetapkan, misalnya karena mahar ternyata digadaikan atau dibebankan hak tanggungan, maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan Agama.[6]\n\nBaca juga: Hukum Mahar yang Masih Utang Jika Tidak Kunjung Dilunasi\n\nDemikian jawaban dari saya, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11822/undangundang-nomor-4-tahun-1996?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_1996)\n2. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\n[1] Pasal 1 huruf d Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)[2] Pasal 33 KHI[3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah[4] Pasal 14 dan Pasal 34 ayat (1) KHI[5] Pasal 38 ayat (2) KHI[6] Pasal 37 KHI"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa itu subjek hukum internasional dan apa saja yang termasuk subjek hukum internasional itu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAIT Unsur-Unsur Terbentuknya Negara02 Feb 20243 Kewajiban Pokok Negara dalam Hukum HAM Internasional21 Apr 2022Dapatkah ICC Melakukan Peninjauan Kembali Kasus Timor Timur?29 Mar 2022Makna Asas Equality Before The Law dan Contohnya17 Mar 2022\n\nPada awal mulanya hukum internasional hanya memandang negara sebagai subjek hukum internasional. Hal itu karena pada masa awal tersebut dapat dikatakan tidak ada atau bahkan jarang sekali adanya pribadi-pribadi hukum internasional selain negara yang melakukan hubungan-hubungan internasional.[1]\n\nHukum internasional dapat diartikan sebagai hukum yang mengatur entitas berskala internasional. Inilah yang membedakan dengan hukum nasional negara masing-masing yang mengatur hanya mengatur entitas berskala nasional.\nMenurut J.G. Starke, hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya negara-negara merasa dirinya terikat untuk mentaati dan karenanya, benar-benar ditaati secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan yang meliputi juga:[2]\n\nKaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu; danKaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-badan non negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non negara tersebut penting bagi masyarakat internasional.[3]\n\nKemudian menurut Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara: antara negara dengan negara; dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek bukan negara satu sama lain.[4]\nPada umumnya hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara Negara-Negara dan subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.[5]\nSubjek Hukum Internasional\n\nSelanjutnya menjawab inti pertanyaan Anda tentang apa itu subjek hukum dan apa saja yang termasuk subjek hukum internasional, perlu diketahui bahwa secara umum subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Sehingga, singkatnya, pengertian subjek hukum internasional adalah pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional.\n\nLebih lanjut, masih dari buku yang sama, diterangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum internasional adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat memiliki hak dan kewajiban, serta memiliki kewenangan untuk melakukan hubungan hukum atau bertindak menurut ketentuan hukum internasional yang berlaku.\n\nSubjek hukum internasional, antara lain:\n\nNegara\nNegara merupakan subjek hukum internasional penuh.[6] Menurut Konvensi Montevideo 1949, kualifikasi suatu negara sebagai subjek hukum internasional adalah mempunyai penduduk yang tetap, wilayah tertentu, pemerintahan yang sah atau berdaulat, dan negara tersebut mempunyai kemampuan mengadakan hubungan dengan negara lain.Organisasi Internasional\nKlasifikasi organisasi internasional antara lain:\n\nOrganisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum. Misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik. Contohnya World Bank atau Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), dan World Health Organization (WHO), dan lain-lain.Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global. Contohnya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations), European Union, dan lain-lain.\n\nKedudukan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional kini tidak diragukan lagi, dan mempunyai hak dan kewajiban yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi internasional yang merupakan semacam anggaran dasarnya.[7]\n\nPalang Merah Internasional\nPalang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri dalam sejarah hukum Internasional. Palang Merah Internasional (PMI) sebagai subjek hukum internasional memiliki ruang lingkup terbatas. Namun, kedudukan PMI diperkuat dengan adanya perjanjian dan konvensi internasional. Mengingat misi PMI adalah untuk kemanusiaan, organisasi internasional ini harus independen dan dilaksanakan tanpa intervensi negara mana pun.Takhta Suci Vatikan\nMengutip dari artikel Vatikan Sebagai Subjek Hukum Internasional, Vatikan adalah subjek hukum internasional karena diakui oleh negara-negara di dunia dan menjadi pihak pada perjanjian-perjanjian internasional dan anggota pada beberapa organisasi internasional.\n\nHal tersebut terjadi setelah diadakannya perjanjian antara Italia dengan Takhta Suci pada tanggal 11 Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya negara Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.[8]\n\nPemberontak\nMenurut hukum perang, kelompok pemberontak dapat menjadi subjek hukum internasional jika telah terorganisir, menaati hukum perang, memiliki wilayah yang dikuasai, memiliki kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain, dapat menentukan nasibnya sendiri, menguasai sumber daya alam di wilayah yang dikuasainya, dan memilih sistem ekonomi, politik, dan sosial sendiri.\nIndividu\nManusia sebagai individu juga termasuk dalam subjek hukum internasional. Masih bersumber dari buku yang sama, diterangkan Mochtar Kusumaatmadja, Perjanjian Versailles 1919 memuat sejumlah pasal yang memungkinkan individu untuk mengajukan perkara secara internasional ke Mahkamah Arbitrase Internasional.\n\nDengan demikian, dapat dirangkum terdapat enam subjek hukum internasional, yaitu negara, organisasi internasional, Palang Merah Internasional, Takhta Suci Vatikan, pemberontak, dan individu.\n\nBaca juga: Pengertian Hukum Internasional dan 6 Subjek Hukumnya\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang subjek hukum internasional, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2005\n2. I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003\n3. J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2001\n4. Sumitro L.S. Dauredjo. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1984\n5. Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997\n6. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003.\n\n[1] I Wayan Phartiana. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Mandar Maju, 2003, hal. 85[2] J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika, 2001, hal. 3[3] J.G. Starke. Introduction to International Law, Edisi-9, diterjemahkan oleh Sumitro L.S. Dauredjo, Pengantar Hukum Intrnasional, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1984, hal. 1[4] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997, hal. 3-4[5] Boer Mauna. Hukum Internasional, Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2005, hal. 1[6] Mochtar Kusumaatmadja. Pengantar Hukum Internasional. Jakarta: Binacipta, 1997, hal. 97[7] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003, hal. 101[8] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT Alumni, 2003, hal. 100"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah kepala lembaga pemasyarakatan dapat dikatakan subjek tergugat dalam kasus praperadilan karena tidak mengeluarkan tahanan yang sudah habis masa penahanannya? Apa dasar hukumnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan praperadilan, dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP disebutkan praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:\n\nsah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.\n\nSenada dengan ketentuan a quo, dalam Pasal 77 KUHAP disebutkan pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:\n\nsah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.\n\nDari kedua pasal a quo, objek praperadilan yang semula ditentukan secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP jo. Pasal 77 KUHAP, dalam perkembangannya kemudian diperluas oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 meliputi sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan[1] dengan demikian yang menjadi obyek praperadilan ialah:\n\n1. Sah tidaknya:\n\nPenangkapan;Penahanan;Penghentian penyidikan;Penghentian penuntutan;Penetapan tersangka;Penggeledahan;Penyitaan.\n\n2. Ganti Rugi\n\n3. Rehabilitasi\n\nTujuan utama dibentuknya lembaga praperadilan dalam KUHAP adalah untuk melakukan pengawasan secara horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum kepada tersangka dalam pemeriksaan di tingkat penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan yang dilakukan tidak bertentangan dengan ketentuan dan undang-undang yang berlaku.[2] Tegasnya yang menjadi domain bekerjanya lembaga praperadilan adalah berada pada tahap pra-ajudikasi.\nPejabat yang Melakukan Penahanan\n\nBerkaitan dengan penahanan sebagai objek lembaga praperadilan, perlu dipahami mengenai pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Dalam Pasal 20 KUHAP disebutkan:[3]\n\nUntuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas\nperintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan penahanan;Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan;Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.\n\nDari pasal a quo dapat disarikan bahwa pejabat yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, dan hakim. Kendati demikian pejabat yang dapat menjadi termohon dalam praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan hanyalah penyidik dan penuntut umum, sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa yang menjadi domain bekerjanya lembaga praperadilan adalah berada pada tahap pra-ajudikasi. Hakim tidak dapat menjadi termohon mengenai sah tidaknya penahanan dalam praperadilan, karena penahanan yang dilakukan oleh hakim adalah pada saat pemeriksaan pokok perkara,[4] tegasnya penahanan yang dilakukan oleh hakim sudah berada pada tahap ajudikasi, sehingga lembaga praperadilan sudah tidak lagi berwenang.\nBahkan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP disebutkan dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Lebih lanjut melalui dijelaskan pasal a quo tidak memphnyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa suatu perkara sudah mulai diperiksa tidak dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan.[5]\n\nSehingga, pejabat yang dapat menjadi termohon praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan adalah penyidik dan penuntut umum, sedangkan kepala Lapas sebagaimana Anda tanyakan tidak dapat menjadi termohon praperadilan mengenai sah tidaknya penahanan, hal ini karena ia tidak mempunyai kewenangan melakukan penahanan, kendati pun penahanan terhadap tersangka ditempatkan (dititipkan) di Lapas, kewenangan penahanan tetap melekat pada pejabat pada setiap tingkat pemeriksaan (penyidik/penuntut umum) yang melakukan penahanan tersebut. Dengan demikian, kasus praperadilan tidak dapat dipakai untuk mempersoalkan tahanan yang belum dikeluarkan oleh kepala Lapas.\nPemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan\n\nGuna mempermudah pemahaman Anda, kami rangkum tentang pemohon, termohon, dan alasan praperadilan melalui tabel berikut ini.[6]\n|\n| 0\n| 1\n| 2\n|\n|---:|:-----------------------------------|:------------------------------------------------------------------------------------------------|:------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | Pemohon\n| Termohon\n| Alasan Praperadilan\n|\n| 1 | Tersangka/keluarga/penasihat hukum | Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek;Jaksa Agung/Kajati/Kajari;Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). | Sah atau tidaknya:Penggeledahan;Penyitaan;Penangkapan;Penahanan;Penetapan tersangka.\n|\n| 2 | Penyidik\n| Jaksa Agung/Kajati/Kajari\n| Penghentian penuntutan, misalnya kejaksaan tidak melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri padahal perkara sudah dinyatakan P-21.\n|\n| 3 | Penuntut Umum\n| Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek\n| Penghentian penyidikan, misalnya penyidik tidak menyerahkan berkas perkara ke Kejaksaan padahal sudah ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan ke kejaksaan. |\n| 4 | Pihak ketiga\n| Kapolri/Kapolda/Kapolres/Kapolsek;Jaksa Agung/Kajati/Kajari.\n| Penghentian penyidikan; Penghentian penuntutan.\n|\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\nPutusan:\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015.\nReferensi:\n\nAndi Muhammad Sofyan, dkk. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Kencana, 2014;Didik Endro Purwoleksono. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University Press, 2015.\n\n[1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 110[2] Andi Muhammad Sofyan, dkk. Hukum Acara Pidana. Jakarta: Kencana, 2014, hal. 183[3] Pasal 20 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[4] Pasal 26 KUHAP[5] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, hal. 56[6] Didik Endro Purwoleksono. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University Press, 2015, hal. 84-85"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah advokat itu? Apa yang membedakan antara advokat dengan pengacara biasa? Bagaimana kedudukan advokat sebelum dan sesudah UU Advokat dalam peradilan di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu diketahui bahwa sebelum UU Advokat diundang-undangkan, memang dikenal adanya perbedaan advokat dan pengacara. Singkatnya, advokat adalah seseorang yang memiliki profesi memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseorang yang mempunyai izin praktik beracara di pengadilan di seluruh wilayah Indonesia.\nSementara itu, pengacara praktik atau pengacara adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktik beracara yang dimilikinya. Sehingga, jika pengacara hendak beracara di luar lingkup wilayah izin praktiknya, ia harus meminta izin ke pengadilan tempat ia akan beracara terlebih dahulu.\n\nNamun, perlu diketahui bahwa setelah adanya UU Advokat yang mana merupakan dasar hukum advokat saat ini, istilah pengacara praktik tidak lagi dikenal.\nDalam Pasal 32 UU Advokat ditegaskan bahwa advokat, penasihat hukum, pengacara praktik, dan konsultan hukum yang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku dinyatakan sebagai advokat sebagaimana diatur dalam UU Advokat.\n\nDengan demikian, berdasarkan UU Advokat, yang dinyatakan sebagai advokat mencakup atau meliputi:\n\nAdvokat;Penasihat hukum;Pengacara praktik; danKonsultan hukum;\n\nyang telah diangkat pada saat UU Advokat mulai berlaku.\nTugas Advokat\n\nLalu, apa itu advokat? Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan dan berdasarkan ketentuan UU Advokat.[1]\n\nKemudian, tugas advokat adalah memberikan jasa hukum. Adapun jasa hukum yang diberikan advokat meliputi:[2]\n\nMemberikan konsultasi hukum.Memberikan bantuan hukum.Menjalankan kuasa.Mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait perbedaan advokat dengan pengacara sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”)[2] Pasal 1 angka 2 UU Advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Setahun lalu mantan pacar saya meminjam kartu kredit saya untuk pembelian HP. Karena dia memakai penuh limit kartu kredit saya, maka saya membuat surat pernyataan yang isinya bahwa mantan saya harus melunasi tagihan kartu kredit saya selama 3 bulan. Dan isi surat pernyataan itu ditanda-tangani oleh mantan pacar saya di atas meterai. Masalahnya, sampai saat ini dia tidak membayar tagihan yang tiap bulan muncul. Otomatis saya selalu yang membayarnya, yang ingin saya tanyakan; apakah saya bisa melaporkan dia kepada yang berwajib untuk kasus penipuan? Atau hal apa yang harus saya lakukan? Sebab saya sudah lelah sekali menagihnya dan dia selalu memberi alasan dan tidak pernah membayarnya? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab permasalahan yang Anda alami tersebut, kami ingin memberitahukan bahwa kasus Anda adalah di dalam lingkup ranah Hukum Perdata. Sebab telah terjadi hubungan Keperdataan antara Anda dengan mantan pacar Anda. Perlu kami beritahukan bahwa tidak serta-merta, permasalahan Perdata yang terjadi dapat dibawa ke kantor Polisi dengan dalil penipuan, seperti yang Anda tanyakan. KLINIK TERKAIT Bisakah Minta Operator Seluler Melacak Pemilik Nomor HP? 01 Apr 2024 Hukum Kawin Kontrak di Indonesia 21 Sep 2023 Nekat Putus Meski Pacar Mengancam Bunuh Diri, Bisakah Dipidana? 06 Sep 2023 Bolehkah Nikah Beda Agama di Indonesia? Ini Hukumnya 31 Jul 2023 Jadi dalam hal ini kami menjawab, tidak bisa permasalahan tersebut dibawa ke ranah Hukum Pidana . Sebab dengan adanya surat pernyataan secara tertulis yang telah dibuat dan telah ditanda-tangani oleh para pihak (Anda dan mantan pacar Anda), maka seketika saat itulah telah terjadi Hubungan Keperdataan sebagaimana diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata , yang menegaskan bahwa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Memang sering kali Polisi juga menindak-lanjuti kasus laporan seperti ini. Namun, pada akhirnya saat sampai di Pengadilan Negeri, kasus ini akan dinyatakan tidak dapat diterima (NO atau Niet Onvankelijk verklard ), karena bukan merupakan kasus Pidana. Perlu kami tegaskan untuk permasalahan Anda di atas, hendaknya masyarakat tidak menggunakan Polisi, Jaksa, Hakim untuk menjadi ”Juru Tagih” atas kasus Keperdataan yang dikriminalisasikan. Hal ini merupakan penerapan Hukum Pidana yang sifatnya dipaksakan. Semoga dengan membaca jawaban kami ini, Anda serta masyarakat lainnya bisa mengambil jalan yang lebih tepat, yakni Gugatan Perdata karena dasar dari permasalahan yang timbul dalam kasus ini adalah Hukum Perdata. Namun, sebelum mengajukan Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri setempat, ada baiknya Anda melewati proses mediasi terlebih dahulu. Ini untuk menunjukkan iktikad baik bahwa Anda sebenarnya ingin menyelesaikan permasalahan yang dialami secara kekeluargaan. Karena, menurut hemat kami, seharusnya upaya hukum adalah upaya akhir ( ultimum remedium ) yang ditempuh. Semoga tanggapan kami ini dapat berguna untuk kepentingan Anda. Terima kasih. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tetangga saya baru saja membangun rumah dengan posisi dinding/tembok rumah ngepres/pas-pas-an dengan tanah miliknya. Namun yang menjadi masalah di sini adalah perancak/panjatan untuk memasang batako berada di dalam pekarangan samping rumah saya dan merusak tanaman yang ada. Apakah ini termasuk dalam pelanggaran hukum dan bagaimana solusinya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Soal tembok yang dibangun pas-pasan di atas tanah milik tetangga Anda sebenarnya bukanlah masalah karena didirikan di atas tanah yang memang haknya. Akan tetapi, ada sejumlah aturan di KUH Perdata yang perlu diperhatkan soal pembangunan tembok yang bersebelahan dengan tetangga. Soal panjatan yang diletakkan di pekarangan samping rumah Anda (yang merupakan hak Anda) inilah yang merupakan masalah hukum karena menyangkut kerugian dan pelanggaran hak. Upaya kekeluargaan wajib dilakukan dalam penyelesaian masalah dalam kehidupan bertetangga. Namun jika tidak berhasil, jalur hukum dapat dijadikan pilihan terakhir. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Menggugat Tetangga Pemilik Kandang Hewan yang Bau? 27 Jun 2024 Hukumnya Parkir Sembarangan di Depan Rumah Tetangga 10 Feb 2023 Jerat Hukum bagi Tetangga yang Mencuri Air PAM 26 Jun 2015 Terganggu Tumpahan Air Hujan dari Atap Tetangga 06 Feb 2015 Sebelumnya, kami kurang mengerti yang Anda maksud dengan perancak/panjatan. Panjatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah tempat memanjat, tempat kaki berpijak ketika memanjat. Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa peletakan panjatan untuk memasang batako berada di dalam pekarangan samping rumah Anda ini sifatnya sementara. Pemilik atau tetangga Anda akan mengambilnya kembali setelah pemasangan batako di temboknya selesai dilakukan. Pokok Masalah Berdasarkan keterangan yang Anda berikan ini, kami menangkap bahwa saat ini Anda memiliki masalah dengan tembok rumah tetangga Anda yang pas-pasan dipasang di atas tanah miliknya namun panjatannya melampaui hingga ke pekarangan Anda sehingga merusak tanaman di halaman rumah Anda. Untuk hal ini, soal tembok yang dipasang pas-pasan di atas tanah miliknya bukanlah masalah karena didirikan di atas tanah yang memang haknya. Namun, soal panjatan yang diletakkan di pekarangan samping rumah Anda (yang merupakan hak Anda) inilah yang merupakan masalah hukum. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun demikian, masalah dalam kehidupan bertetangga sepatutnya diselesaikan secara musyawarah dengan semangat kekeluargaan. Untuk menghadapinya, Anda perlu berkepala dingin dan membicarakan masalah ini baik-baik dengan tetangga Anda. Jalur hukum hendaknya digunakan sebagai alat terakhir ( ultimum remedium ) setelah upaya perdamaian tidak berhasil dilakukan. Aturan tentang Hak dan Kewajiban Antara Pemilik-Pemilik Pekarangan yang Satu Sama Lain Bertetanggaan Menurut KUH Perdata Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel Bermasalah dengan Tetangga karena Tembok Batas Pekarangan , menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“ KUH Perdata”) , ada sejumlah pasal yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan. Berdasarkan pasal-pasal dalam KUH Perdata, pemilik rumah berhak saja memasang tembok, namun pelaksanaan hak tersebut tidaklah mutlak. Hak tersebut dapat dilaksanakan sepanjang tidak melanggar hak dan kepentingan orang lain, dalam hal ini hak dan kepentingan Anda. Hal yang diatur dalam KUH Perdata soal tembok antara lain adalah: Pasal 640 Tiada sebuah tembok pun boleh dijadikan milik bersama, tanpa kehendak pemiliknya. Pasal 641 Seorang pemilik peserta, tanpa izin dan yang lainnya, tidak boleh membuat liang atau galian pada tembok bersama atau membuat suatu bangunan yang menyandar pada tembok itu. Dalam hal, sebagaimana diatur dalam Pasal 636 dan Pasal 637, pemilik peserta dapat menuntut supaya oleh ahli-ahli diadakan perencanaan sebelumnya agar pekerjaan baru itu tidak sampai merugikan haknya. Bila hasil pekerjaan yang baru itu ternyata merugikan hak milik tetangga, ia harus memberi ganti rugi, tetapi kerugian sehubungan dengan keindahan tembok tidak boleh diperhitungkan. Pasal 642 Di kota, kota satelit, dan di desa, setiap orang berhak menuntut tetangganya untuk menyumbang guna membuat atau memperbaiki alat penutup yang dipergunakan untuk memisahkan rumah, pekarangan dan kebun mereka satu sama lain. Cara membuat dan tinggi penutup itu diatur menurut peraturan-peraturan khusus dan kebiasaan setempat. Cara Menghadapi Masalah dengan Tetangga Soal Pembangunan Tembok Soal keberatan Anda atas perbuatan tetangga yang memasang panjatan untuk meletakkan batako guna membangun temboknya ini, kami lebih menyarankan agar masalah dalam kehidupan bertetangga hendaknya lebih mengedepankan upaya musyawarah secara kekeluargaan terlebih dahulu. Anda bisa menyampaikan keberatan ini baik secara langsung kepada tetangga Anda atau melalui ketua lingkungan setempat. Saran lain yang kami berikan adalah karena sifatnya sementara, Anda dapat bersabar sampai pemasangan tembok tetangga Anda selesai dilakukan dan panjatan diambil kembali oleh tetangga Anda. Soal kerusakan tanaman Anda, Anda dapat meminta tetangga Anda untuk memperbaikinya atau meminta ganti rugi senilai kerusakan tanaman sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Jika upaya tersebut tidak berhasil, apabila dengan adanya peletakan panjatan itu Anda merasa hak Anda dilanggar dan merugikan kepentingan Anda, maka perbuatan tetangga Anda tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (“PMH”). Anda dapat menggugat tetangga Anda secara perdata untuk meminta ganti kerugian atas dasar PMH sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras , dikatakan antara lain Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagai berikut: a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); b. Perbuatan itu harus melawan hukum; c. Ada kerugian; d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; e. Ada kesalahan. Menurut Rosa Agustina, (hal. 117) yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain 3. Bertentangan dengan kesusilaan 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Contoh Kasus Tidak sama persis dengan kasus Anda yang merasa dirugikan karena pemasangan tanjakan untuk memasang tembok. Kasus tentang masalah tembok tetangga dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 568/Pdt.G/2012/PN.JKT.BAR. Kasus ini bermula saat penggugat merasa dirugikan akibat pendirian rumah tembok yang didir i kan oleh tergugat. Pendirian ini tidak sesuai dengan IMB. Di samping itu, akibat beban berat dari bangunan rumah tersebut berpengaruh pada keadaan tanah dan bangunan di sekitarnya, sehingga pondasi bangunan bangunan rumah disekitarnya akan bergerak dan turun, sehingga menimbulkan keretakan kerusakan pada di n ding bangunan rumah dan mengakibatkan tembok/dinding rumah Penggugat yang bersebelahan dengan Tergugat keadaan bagian depan kanan pecah. Akibat pembangunan rumah tergugat ini, penggugat mengalami kerugian materiil dan meminta pengadilan untuk menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum tergugat untuk membayar kerugian materiil yang ditimbulkan oleh tergugat. Ganti kerugian yang diakibatkan rusaknya bangunan rumah milik Penggugat yang dianggarkan sebesar Rp 450.000.000 dan Majelis Hakim sependapat dan oleh karenya tuntutan ganti rugi tersebut dapat dikabulkan. Hakim menyatakan Tergugat melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Tergugat I untuk membayar ganti rugi seketika dan sekaligus sebesar Rp 490.000.000,- ( empat ratus sembilan puluh juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Referensi : 1. Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia. 2. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 28 Juli 2015 pukul 15.20 WIB. Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 568/Pdt.G/2012/PN.JKT.BAR. kewajiban hukum klinik hukumonline hukumonline tanah pmh rumah bangunan ganti rugi tetangga perbuatan melawan hukum hak klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mengontrak sebuah kamar kos kepada seorang yang ditugaskan oleh yang punya kos. Proses kontrak sudah selesai dan dibuat kuitansinya, tapi ternyata oleh yang mengurus kontrak itu uangnya tidak diberikan kepada yang punya kontrakan. Sehingga yang punya kontrakan tidak merasa mengontrakan kamarnya pada saya. Kejadian ini pernah terjadi pada pengontrak yang lain dan pengontrak itu diusir oleh yang punya kontrakan. Bagaimana hukumnya kejadian ini? Apakah saya bisa tetap mempertahankan posisi saya yang telah mengontrak dengan adanya bukti kuitansi? Terima kasih. Salam, fahmy."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dari yang Anda ceritakan, sepanjang ada bukti-bukti yang cukup (misalnya, kuitansi dan saksi), orang yang ditugaskan menjaga rumah indekos tersebut dapat dijerat dengan pasal penggelapan karena menggelapkan uang yang telah Anda bayarkan kepada penjaga kos. Penggelapan diatur dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Yang termasuk penggelapan adalah perbuatan mengambil barang milik orang lain (sebagian atau seluruhnya) di mana penguasaan atas barang itu sudah ada pada pelaku, tapi penguasaan itu terjadi secara sah. Tujuan dari penggelapan adalah memiliki barang atau uang yang ada dalam penguasaannya yang mana barang/uang tersebut pada dasarnya adalah milik orang lain. KLINIK TERKAIT Mengembalikan Uang yang Digelapkan, Apakah Tetap Dipidana? 03 Jun 2024 Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan 12 Des 2023 Bolehkah Menyewakan Kembali Rumah Sewaan? 28 Jun 2011 Penyelesaian Kasus Sewa Menyewa Rumah 24 Mar 2011 Selain itu, penjaga rumah indekos tersebut juga dapat dilaporkan ke polisi atas dasar penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP . Yaitu dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang. Kemudian, dari sisi hukum perdata Anda sebagai pengontrak/penyewa yang beriktikad baik telah mengadakan persetujuan/perjanjian dengan penjaga rumah indekos tersebut, hak Anda sebagai pengontrak yang beriktikad baik harus dilindungi. Hal tersebut di dasarkan pada Pasal 13 38 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik . Karena itu, sebaiknya Anda menyampaikan kepada pemilik rumah indekos/kontrakan tersebut mengenai persetujuan yang telah Anda buat dengan penjaga indekos dengan menunjukkan bukti yang ada (kuitansi). Dengan dasar kuitansi itu, si pemilik kamar indekos seharusnya tidak berhak mengusir Anda dari kamar indekos yang telah Anda bayar biaya sewanya. Namun, jika hak Anda sebagai penyewa yang beritikad baik tetap dilanggar, karena telah ada perjanjian sewa-menyewa sebelumnya (baik secara lisan maupun tulisan), maka jika salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) dengan tidak memenuhi isi perjanjian, maka pihak yang ingkar (dalam hal ini penjaga dan pemilik kamar indekos), dapat digugat secara perdata atas dasar wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPer : “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan.” Untuk wanprestasi, upaya yang dapat Anda lakukan adalah mengajukan gugatan atas dasar wanprestasi. Namun sebelumnya, Anda perlu memberikan somasi pada si penjaga dan pemilik indekos tersebut. Apabila setelah diberikan somasi ternyata penjaga dan pemilik kamar indekos tersebut tetap tidak memenuhi kewajibannya (misalnya, dengan mengusir Anda dari kamar indekos tersebut), maka Anda bisa mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri yang wilayahnya meliputi tempat pemilik indekos itu tinggal. Sehingga Anda dapat menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya perjanjian melalui proses di pengadilan. Meskipun, menurut hemat kami, proses tersebut akan memakan banyak waktu, biaya dan tenaga dibandingkan dengan jika Anda menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan. Jadi, pada dasarnya hak Anda sebagai penyewa yang beriktikad baik dilindungi oleh undang-undang berdasarkan hal-hal yang kami kemukakan di atas. Pada sisi lain, jika Anda hendak menempuh jalur pidana (melaporkan orang yang telah merugikan Anda ke polisi), sebaiknya hal tersebut menjadi pilihan yang terakhir. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya memiliki rumah dengan teras belakang halaman rumah tempat berkumpul keluarga (di sebelah barat). Untuk mendapatkan privasi dan kenyamanan di teras belakang dari balkon belakang tetangga yang menghadap selatan, saya menambah tinggi tembok batas pekarangan saya dengan kayu bingkiray. Dengan pertimbangan, tidak menambah berat struktur tembok batas pekarangan dan mencegah dari ambruknya tembok. Akan tetapi, kemudian tetangga tersebut datang dengan marah-marah dengan alasan saya menambah tinggi tembok saya melebihi temboknya dan meminta saya mengecat kayu bagian belakang sama seperti bagian depan. Sebagai info, saya telah mengecat kayu bagian belakang yang menghadap rumahnya dengan cat pelapis kayu dan beberapa skrup penahan kayu terpasang sedalam 2 cm di bagian temboknya tanpa merusak tembok tetangga tersebut. Adakah dasar hukum yang melandasi bahwa saya bersalah untuk memperoleh privasi? Karena saya berpegang teguh pada KUHPerdata pasal 631, pasal 636, pasal 637, dan pasal 645. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pasal 631, Pasal 636, Pasal 637, dan Pasal 645 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) adalah sebagian pasal di dalam Bab Keempat tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan (Buku Kedua tentang Kebendaan). KLINIK TERKAIT Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum 17 Mar 2022 Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH 08 Sep 2010 Cerobong Asap, Hak dan Lingkungan 06 Sep 2005 Boleh jadi benar bahwa Anda memiliki hak untuk menambah tinggi tembok batas pekarangan Anda berdasarkan pasal-pasal KUHPer di atas. Namun, pelaksanaan atas hak tersebut tidaklah mutlak. Hak tersebut dapat dilaksanakan sepanjang tidak melanggar hak dan kepentingan orang lain, dalam hal ini tetangga Anda. Apabila pelaksanaan hak tersebut melanggar hak orang lain sehingga merugikan kepentingan orang lain maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (“PMH”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai perbuatan melawan hukum ini diatur dalam Pasal 1365 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut: “ Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. ” Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku “ Perbuatan Melawan Hukum ” (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur PMH dalam Pasal 1365 KUHPer adalah sebagai berikut: 1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); 2. Perbuatan itu harus melawan hukum; 3. Ada kerugian; 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; 5. Ada kesalahan. Sementara itu, Rosa Agustina dalam buku “ Perbuatan Melawan Hukum ” (hal. 53) mengutip pendapat Mr. C. Assers’s L.E.H Rutten , yang menyatakan bahwa “ schade ” dalam Pasal 1365 KUHPer adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Rosa menjelaskan bahwa tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup . Sebagaimana dalam putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Keruningen v. van Bessum cs. telah mempertimbangkan sebagai berikut (hal. 55): “Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh pasal 1371 KUH Perdata harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga Hakim adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan dan kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya ( gederfdelevensvreugde )”. Jadi, dalam hal ini tidak ada hukum yang melarang Anda untuk memperoleh privasi. Namun, jika tetangga Anda dirugikan (secara moril, idiil atau materiil) dengan ditinggikannya tembok batas perkarangan Anda untuk tujuan privasi, maka tetangga Anda dapat menggugat Anda ke pengadilan dengan alasan melakukan PMH. Pengadilanlah yang akan memutuskan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur PMH atau tidak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 23, 1847)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya mengenai tetangga yang seenaknya menjemur pakaian di jalan/depan pagar (jemuran tersebut mendominasi rumah saya). Hal itu bisa dikenakan hukum/pasal/UU apa ya? Mohon pencerahannya. Demikian disampaikan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan cerita yang Anda sampaikan, kami berkesimpulan bahwa pakaian dijemur oleh tetangga Anda di depan pagar rumah Anda, bukan di pagar rumah Anda sehingga cenderung ke jalanan tempat orang berlalu lalang. Akibatnya, fungsi jalan menjadi terganggu akibat jemuran pakaian tetangga Anda. KLINIK TERKAIT Hukumnya Hewan Peliharaan Tetangga Mengotori Depan Rumah 13 Okt 2023 Tetangga Berisik Setel Musik Keras-keras, Adakah Pidananya? 23 Feb 2023 Hukumnya Parkir Sembarangan di Depan Rumah Tetangga 10 Feb 2023 Menghadapi Tetangga Baru yang Meresahkan 20 Sep 2018 Terkait hal ini, pada dasarnya Pasal 671 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) telah mengatur: “Jalan setapak, lorong atau jalan besar milik bersama dan beberapa tetangga, yang digunakan untuk jalan keluar bersama, tidak boleh dipindahkan, dirusak atau dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang telah ditetapkan , kecuali dengan izin semua yang berkepentingan.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ini artinya, pada dasarnya Anda memiliki hak untuk menggunakan jalan di depan rumah Anda sebagaimana mestinya, terlebih apabila jemuran tersebut mendominasi ke rumah Anda. Atas dasar ini, seharusnya tetangga Anda meminta izin tetangga lain di sekitarnya, termasuk Anda karena jalan yang harusnya milik bersama dipakai untuk keperluan lain dari tujuan yang seharusnya. Atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh perbuatan tetangga Anda yang menjemur pakaiannya ini, kami lebih menyarankan agar masalah dalam kehidupan bertetangga hendaknya lebih mengedepankan upaya-upaya kekeluargaan dan melakukan pendekatan dengan cara musyawarah terlebih dahulu. Apabila upaya musyawarah secara kekeluargaan tidak berhasil, Anda dapat menggugat tetangga Anda secara perdata untuk meminta ganti kerugian atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer : “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Seperti yang sering dijelaskan dalam beberapa artikel sebelumnya, salah satunya dalam artikel Merasa Dirugikan Tetangga yang Menyetel Musik Keras-keras , dikatakan antara lain Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku Perbuatan Melawan Hukum (hal. 36) yang menjabarkan unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut: a. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); b. Perbuatan itu harus melawan hukum; c. Ada kerugian; d. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; e. Ada kesalahan. Menurut Rosa Agustina, (hal. 117) yang dimaksud dengan “perbuatan melawan hukum”, antara lain: 1. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; 2. Bertentangan dengan hak subjektif orang lain; 3. Bertentangan dengan kesusilaan; 4. Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Dalam hal ini, harus kembali dilihat , apakah perbuatan orang yang menjemur pakaiannya sembarangan itu telah memenuhi semua unsur-unsur dalam Pasal 1365 KUHPer di atas. Jika telah memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam pasal tersebut, maka Anda sebagai pihak yang merasa terganggu dan dirugikan dapat menggugat tetangga Anda yang menjemur pakaian sembarangan itu secara perdata. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, dalam hal ini tidak ada hukum/pasal dalam undang-undang yang dapat dikenakan kepada tetangga Anda atau melarang tetangga Anda untuk menjemur pakaiannya sembarangan di jalan. Namun, jika Anda dirugikan (secara moril atau materiil) dengan dijemurnya pakaian di depan pagar rumah Anda, maka Anda dapat menggugat tetangga Anda ke pengadilan atas dasar PMH. Sekedar informasi untuk Anda, penggunaan jalan selain untuk kegiatan lalu lintas diartikan sebagai kegiatan yang menggunakan ruas jalan sebagian atau seluruhnya di luar fungsi utama dari jalan. Hal ini dikenal dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas (“Perkapolri 10/2012”) . Akan tetapi, adapun penggunaan jalan untuk kepentingan pribadi yang dimaksud dalam peraturan ini antara lain untuk pesta perkawinan, kematian, atau kegiatan lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, maka peraturan ini tidak dapat diterapkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai peraturan ini dapat Anda simak dalam artikel Aturan Penggunaan Jalan untuk Pesta Pernikahan dan Kepentingan Pribadi Lainnya . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 10 Tahun 2012 tentang Pengaturan Lalu Lintas Dalam Keadaan Tertentu dan Penggunaan Jalan Selain Untuk Kegiatan Lalu Lintas. Referensi : Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia. jalan hukum izin klinik hukumonline pmh rumah gugatan tetangga perbuatan melawan hukum gugat hukumonline klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam, Saya adalah laki-laki berumur 25 Tahun saya menggunakan nama marga \"NASUTION\" pada nama akhir saya, padahal saya tidak memiliki asal usul keturunan penyabungan Sumut atau keturunan Batak. Orang tua saya bilang itu hanya sebuah nama yang diberikan warga Medan sewaktu saya lahir, tapi orang tua tidak memiliki bukti tertulis soal pemberian marga tersebut. Masalahnya, setiap saya bertemu orang baru saya dikira orang Sumut padahal tidak, saya asli keturunan Sumbar, Padang Panjang dengan suku ayah Tanjung dan ibu Ketapang. Pertanyaan: 1. Haruskah saya mengganti nama Alma Nasution tersebut? 2. Adakah UU yang bisa menguatkan saya kalau saya tetap menggunakan marga tersebut? 3. Apakah saya bersalah atas penggunaan marga tersebut? Mohon dibantu diberikan jawaban sedetail mungkin. Terima kasih, Wassalam."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Anda menyebutkan bahwa marga yang disematkan di belakang nama Anda adalah Nasution. Karena Nasution merupakan salah satu marga yang ada dan lahir di Tapanuli Bagian Selatan, sub suku Mandailing, maka kami akan mencoba menjelaskan dan menjawab beberapa pertanyaan Anda menggunakan hukum adat yang berlaku di Tapanuli Bagian Selatan. KLINIK TERKAIT Yang Harus Dilakukan Jika Punya Akta Kelahiran Ganda 18 Jun 2021 Menantu Ingin Menuntut Ganti Rugi Biaya Renovasi Rumah Mertua 30 Mei 2012 Kedudukan Istri Menurut Hukum Waris Adat Batak 20 Apr 2012 Masalah Pemakaian Nama Marga dalam Dokumen Kependudukan 14 Apr 2012 Secara prinsip (dan dalam praktik), setidaknya ada tiga cara menyematkan marga ke nama seseorang. Pertama , berdasarkan keturunan yang berasal dari marga Ayah. Karena Adat Istiadat Batak/Mandailing menggunakan sistem patrilineal, maka seorang anak mewarisi marga dari ayahnya. Misalnya, seorang anak otomatis bermarga Nasution bila ayahnya juga bermarga Nasution. Kedua , pemberian marga karena perkawinan. Misalnya, seorang laki-laki Batak/Mandailing menikah dengan perempuan dari suku atau bangsa lain, begitu juga sebaliknya, maka pasangannya bisa juga diberikan marga. Biasanya, apabila si perempuan berasal dari suku/bangsa non-Batak/Mandailing, maka marga yang diberikan kepada si perempuan itu adalah marga ibunda (calon) suaminya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan, apabila laki-laki yang berasal dari suku/bangsa non-Batak maka diberikan marga ‘anak boru’ dari pasangan wanita Batak itu. Walaupun orang Batak menganut garis keturunan patrilineal, pemberian marga kepada pasangan laki-laki non Batak itu tidak lagi dipersoalkan orang ( Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu , 1993). Ketiga , penabalan marga kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi masyarakat Batak/Mandailing. Beberapa tokoh yang diberikan marga tercatat dalam Buku Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu, di antaranya, Prof. Hazairin, dan Siti Hardiyanti Rukmana yang diberikan marga Harahap, serta (mantan) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef yang diberikan marga Nasution. Penabalan marga bukan hanya diberikan kepada tokoh yang berasal dari Indonesia. Seorang Sosiolog dan Antropolog dari Amerika Serikat, Prof. Susan Rodgers juga tercatat pernah diberikan marga Siregar di daerah Sipirok, Tapanuli Bagian Selatan. Namun, perlu diketahui bahwa, pencantuman atau penabalan marga dalam perkawinan dan penabalan kepada tokoh-tokoh itu tak bisa dilakukan sembarangan. Proses pemberian dan penabalan marga kepada orang-orang non-Batak/Mandailing itu harus dilakukan pada suatu sidang adat dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan dan syarat dalam adat istiadat Dalihan Na Tolu . Dengan penjelasan di atas, kami akan mencoba menjawab pertanyaan Anda satu per satu: 1. Anda harus memastikan apakah pemberian/penabalan marga Nasution untuk Anda yang bukan berasal dari Suku Batak/Mandailing, dahulu sudah sesuai dengan syarat-syarat di atas (dalam sidang adat dan mengacu kepada Adat Istiadat Dalihan Na Tolu)? Bila tidak, mengacu kepada hukum adat, tentu Anda tak berhak menyandang marga Nasution. Namun, setiap warga negara Indonesia tentu berhak memilih nama untuk anak dan dirinya sendiri. Karenanya, kami menyerahkan sepenuhnya kepada Anda apakah tetap menggunakan nama Nasution, dengan konsekuensi tetap memperlakukan Nasution sebagai nama, bukan sebagai marga. Meski begitu, kami menyarankan untuk mengakhiri masalah yang berkepanjangan, apalagi Anda merasa tak nyaman karena dikira sebagai orang Sumut (padahal Anda orang Sumbar), maka Anda bisa mengganti nama ‘Nasution’ Anda ke pengadilan negeri. Prosedur mengganti nama bisa Anda lihat dalam artikel Prosedur Ganti Nama . 2. Sepengetahuan kami, belum ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur persoalan pemberian marga. Pemberian marga itu hanya diatur dalam hukum adat (sebagaimana yang kami jelaskan di atas), yang juga diakui sebagai salah satu hukum yang hidup dalam sistem hukum Indonesia. 3. Anda tentu tak bisa dinyatakan bersalah, karena Anda tak mengetahui pemberian marga/nama Nasution itu ketika Anda lahir. Demikian yang kami ketahui. Semoga bisa membantu persoalan Anda."
} |
{
"from": "human",
"value": "Misalnya terjadi sebuah kecelakaan lalu lintas antara sebuah bus dengan seorang pejalan kaki. Kronologi: 1. Sebuah bus sedang melaju di jalan raya. 2. Tiba-tiba seorang pejalan kaki memotong jalan/menyeberang tanpa memperhatikan kendaraan dari arah manapun yang mengakibatkan ia tertabrak. 3. Menurut pengakuan para saksi, pejalan kaki yang bersalah. Apakah dalam hal ini sopir bus dapat dituntut sedangkan ia tidak bersalah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai bersalah atau tidak bersalah, merupakan hal yang harus dibuktikan di depan pengadilan. Pengadilan yang akan memutuskan apakah si tersangka/terdakwa memenuhi unsur dalam melakukan tindak pidana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum. KLINIK TERKAIT Bagaimana Pertanggungjawaban Hukum Jika Kecelakaan Disebabkan Pihak Lain? 20 Jun 2011 Bantuan Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan 06 Apr 2011 Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal 23 Mar 2011 Pertanggungjawaban Pelanggar Lalu Lintas 23 Mar 2011 Biasanya untuk kecelakaan yang mengakibatkan kematian, Jaksa Penuntut Umum biasanya mengenakan Pasal 359 KUHP , yang menyatakan sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana paling lama 5 tahun atau pidana paling lama satu tahun.” Jika orang lain yang menjadi korban kecelakaan tidak mengalami kematian maka akan dikenakan Pasal 360 KUHP , dengan ancaman yang sama. Berdasarkan hal di atas, maka perlu dibuktikan apakah: 1. Pelaku memang lalai? 2. Kelalaian pelaku mengakibatkan orang lain mati/luka? Dalam kasus yang Saudara tanyakan, maka harus dibuktikan apakah si sopir bus dalam melaksanakan pekerjaannya (menyetir bus) sudah melaksanakan pekerjaannya dengan hati-hati? Misalnya, mematuhi rambu-rambu lalu lintas, menjalankan bus dengan kecepatan yang diatur oleh Undang-Undang, mengendarai bus yang laik pakai, memuat penumpang tidak melebihi kapasitas, dan menyopir tidak dalam keadaan mengantuk/mabuk atau tidak menelpon/melakukan komunikasi dalam keadaan menyetir. Jika memang dapat dibuktikan bahwa pelaku tidak lalai, dalam arti tidak memenuhi unsur kealpaan, maka pelaku tidak dapat dipersalahkan. Tentu saja hal tersebut dibuktikan dengan alat bukti yang sah, dan memenuhi syarat minimal pembuktian. Artinya, pembuktian tersebut tidak boleh hanya didapat dari keterangan yang diberikan oleh sopir bus sebagai tersangka/terdakwa, tetapi dari alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP , misalnya surat keterangan dokter (alat bukti surat), keterangan saksi atau keterangan ahli. Demikian jawaban dari Saya, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Malam hari saat mengendarai motor menuju perjalanan pulang ke daerah Jakarta Barat, saya hendak mendahului mobil di depan. Saya kaget bukan main karena dalam keadaan gelap, di depan ada rombongan asik bersepeda di tengah jalan. Untungnya saya bisa mengendalikan motor dan tidak terjadi kecelakaan. Apakah dibenarkan pesepeda yang demikian? Saya tahu memang sekarang lagi trend orang-orang naik sepeda, tapi ya masa dibiarkan melanggar hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan Terkait Sepeda Sebagaimana disarikan dari artikel Hukumnya Mengendarai Sepeda dengan Ditarik Mobil di Jalanan , sepeda dikategorikan sebagai kendaraan tidak bermotor . Kendaraan tidak bermotor adalah kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. [1] Setiap kendaraan tidak bermotor yang dioperasikan di jalan wajib memenuhi persyaratan keselamatan, meliputi persyaratan teknis dan persyaratan tata cara memuat barang. [2] Persyaratan teknis tersebut sekurang-kurangnya meliputi: [3] konstruksi; sistem kemudi; sistem roda; sistem rem; lampu dan pemantul cahaya ; dan alat peringatan dengan bunyi. Sedangkan persyaratan tata cara memuat barang sekurang-kurangnya meliputi dimensi dan berat. [4] Lajur Khusus Sepeda Di sisi lain, pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda . [5] Setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi dengan perlengkapan jalan, salah satunya berupa fasilitas untuk sepeda . [6] Lajur sepeda juga diakui sebagai salah satu fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan. [7] Patut Anda perhatikan, penyediaan fasilitas pendukung ini diselenggarakan oleh: [8] Pemerintah untuk jalan nasional; Pemerintah provinsi untuk jalan provinsi; Pemerintah kabupaten untuk jalan kabupaten dan jalan desa; Pemerintah kota untuk jalan kota; dan Badan usaha jalan tol untuk jalan tol. Penyediaan Lajur Sepeda di Jakarta Pada dasarnya, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda . [9] Dalam hal seseorang mengemudikan kendaraan bermotor tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda, ia dapat dikenai pidana kurungan maksimal dua bulan atau denda maksimal Rp500 ribu. [10] Namun harus diingat, pengendara kendaraan tidak bermotor juga dilarang menggunakan jalur jalan kendaraan bermotor jika telah disediakan jalur jalan khusus bagi kendaraan tidak bermotor . [11] Di Jakarta, penyediaan lajur sepeda telah diatur dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 128 Tahun 2019 tentang Penyediaan Lajur Sepeda (“Pergub DKI 128/2019”) . Penyediaan lajur sepeda dilaksanakan pada badan jalan , terpisah dari kendaraan bermotor dengan dilengkapi marka jalan, rambu lalu lintas, dan perlengkapan jalan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [12] Selain pada badan jalan, penyediaan lajur sepeda dapat dilaksanakan pada trotoar , dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pejalan kaki sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [13] Adapun lajur sepeda di Jakarta berlokasi pada ruas jalan: [14] Jl. Medan Merdeka Selatan; Jl. M.H. Thamrin; Jl. Imam Bonjol; Jl. Pangeran Diponegoro; Jl. Salemba Raya; Jl. Proklamasi; Jl. Penataran; Jl. Pramuka; Jl. Pemuda; Jl. Jenderal Sudirman; Jl. Sisingamangaraja; Jl. Panglima Polim; Jl. RS. Fatmawati Raya; Jl. Tomang Raya; Jl. Kyai Caringin; Jl. Cideng Timur; Jl. Cideng Barat; Jl. Kebon Sirih; Jl. Fachrudin; Jl. Matraman Raya; Jl. Jatinegara Barat; dan Jl. Jatinegara Timur. Apabila di jalan yang Anda maksud telah tersedia lajur khusus sepeda, namun pesepeda dengan sengaja menggunakan lajur jalan kendaraan bermotor , yang bersangkutan dapat dipidana kurungan maksimal 15 hari atau denda maksimal Rp100 ribu. [15] Dalam artikel berita Ingat! Aturan Jalur Sepeda di Jakarta Mulai Berlaku , Kepala Bidang Operasional Dinas Perhubungan DKI Jakarta Maruli Sijabat mengharapkan pengguna sepeda menggunakan lajur sepeda. Tujuannya, untuk meminimalisasi pelanggaran di lajur sepeda yang malah digunakan oleh kendaraan bermotor (hal. 3). Menjawab pertanyaan Anda, kewajiban bersepeda di lajur sepeda dan sanksinya hanya berlaku apabila telah tersedia lajur khusus sepeda pada suatu ruas jalan. Akan tetapi, kami sarankan mereka yang bersepeda tetap harus berhati-hati dan menjaga keselamatan diri sendiri, serta pengendara lainnya yang melintas. Pengendara sepeda sebaiknya tetap berada pada lajur kiri jalan, mengingat lajur sebelah kanan diperuntukkan bagi kendaraan-kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah, atau mendahului kendaraan lain. [16] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 128 Tahun 2019 tentang Penyediaan Lajur Sepeda [1] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU 22/2009”) [2] Pasal 61 ayat (1) UU 22/2009 [3] Pasal 61 ayat (2) UU 22/2009 [4] Pasal 61 ayat (3) UU 22/2009 [5] Pasal 62 ayat (1) UU 22/2009 [6] Pasal 25 ayat (1) huruf g UU 22/2009 [7] Pasal 45 ayat (1) huruf b UU 22/2009 [8] Pasal 45 ayat (2) UU 22/2009 [9] Pasal 106 ayat (2) UU 22/2009 [10] Pasal 284 UU 22/2009 [11] Pasal 122 ayat (1) huruf c UU 22/2009 [12] Pasal 1 ayat (1) Pergub DKI 128/2019 [13] Pasal 1 ayat (2) Pergub DKI 128/2019 [14] Pasal 1 ayat (3) Pergub DKI 128/2019 [15] Pasal 299 UU 22/2009 [16] Pasal 108 ayat (3) dan (4) UU 22/2009 sepeda hukumonline google uu llaj lalu lintas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah nelayan Indonesia yang menjual ikan dengan pihak asing di laut melanggar aturan? Lalu, jika pembayarannya menggunakan mata uang asing, apakah hal ini juga merupakan pelanggaran hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa laut yang Anda maksud merupakan laut yang berada di wilayah Indonesia. Kedaulatan Indonesia sebagai negara kepulauan meliputi wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial, termasuk ruang udara di atasnya serta dasar Laut dan tanah di bawahnya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.[1]\nBaca juga: Batas Zona Maritim dan Penyelesaian Sengketa Hukum Laut Internasional\n\nKemudian, pada dasarnya Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan Pengelolaan Kelautan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan Sumber Daya Kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru.[2] Salah satu pemanfaatan sumber daya kelautan adalah perikanan,[3] yaitu semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pascaproduksi, dan pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.[4]\nBolehkah Nelayan Menjual Ikan Kepada Pihak Asing?\nPada dasarnya, boleh saja nelayan Indonesia menjual ikan ke pihak asing, namun ada ketentuan dari peraturan perundang-undangan dan menteri yang mengatur perihal penetapan jenis ikan apa yang boleh diperdagangkan ke dan dari wilayah Indonesia.\nKetentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 7 ayat (1) huruf t dan u UU 45/2009 yang berbunyi:\n\nDalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan jenis ikan yang dilarang untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke dan dari wilayah Negara Republik Indonesia dan jenis ikan yang dilindungi.\n\nContoh ketentuan mengenai pelarangan mengeluarkan jenis ikan tertentu terdapat dalam Pasal 1 Permen KP 18/2020, yaitu:\n\nSetiap orang atau korporasi dilarang mengeluarkan ikan arwana (Scleropages sp.) dan ikan botia (Chromobotia macracanthus) dari wilayah Negara Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Republik Indonesia. Ikan arwana (Scleropages sp.) meliputi:\nikan arwana super red (Scleropages formosus), merupakan ikan hidup berukuran kurang dari 12 cm (dua belas sentimeter) termasuk telur; dan ikan arwana jardinii (Scleropages jardinii), merupakan ikan hidup berukuran kurang dari 10 cm (sepuluh sentimeter) termasuk telur.\nIkan botia (Chromobotia macracanthus) merupakan ikan hidup berukuran kurang dari 3,5 cm (tiga koma lima sentimeter) dan lebih dari 10 cm (sepuluh sentimeter). Deskripsi ikan arwana (Scleropages sp.) dan ikan botia (Chromobotia macracanthus) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.\nKetentuan Transaksi dengan Pihak Asing\n\nBerdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, rupiah wajib digunakan dalam:\n\nsetiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atautransaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.\nMaka, menjawab pertanyaan Anda, ketentuan di atas mempertegas bahwa transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran di wilayah Indonesia wajib menggunakan rupiah. Masih berkaitan dengan Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, berikut bunyi Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang:\n\nSetiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:\n\nsetiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).\n\nLantas, jika nelayan menerima mata uang asing, apakah nelayan berhak untuk menolak mata uang asing yang ia terima dari pihak asing tersebut? Hal ini diatur dalam Pasal 23 UU Mata Uang yang berbunyi:\n\nSetiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.\n\nMaka, menurut pendapat kami, dari ketentuan di atas dapat ditafsirkan bahwa nelayan yang menerima mata uang (valuta) asing sebagai pembayaran di wilayah Indonesia adalah pelanggaran hukum. Kecuali, ia ragu atas keaslian rupiah atau terdapat kewajiban pembayaran dalam valuta asing telah diperjanjikan secara tertulis.\nAdapun sanksi bagi setiap orang yang menolak untuk menerima rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU Mata Uang, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).[5]\n\nBaca juga: Begini Pengaturan Penggunaan Mata Uang Rupiah di Indonesia\n\nKesimpulannya, nelayan boleh menjual ikan ke pihak asing dengan memperhatikan aturan mengenai larangan pengeluaran jenis ikan tertentu sesuai dengan Permen KP 18/2020. Selain itu, pihak asing yang melakukan transaksi jual beli ikan dengan nelayan Indonesia di perairan Indonesia wajib menggunakan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Jika para pihak melanggar ketentuan, maka para pihak dapat diancam pidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200 juta.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20143/undangundang-nomor-31-tahun-2004/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_31_2004)\n2. [Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b22031a01f26?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_45_2009)\n3. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e13df4da78a5/undangundang-nomor-7-tahun-2011/document/lt4e13dfa81c3e1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2011)\n4. [Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54535ba76713f/undang-undang-nomor-32-tahun-2014/document?utm_medium=pusatdata?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_32_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5734059a9e5e7/undang-undang-nomor-7-tahun-2016?r=1&p=1&q=uu%207%202016&rs=1847&re=2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2016)\n6. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n7. [Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor 18/PERMEN-KP/2020 Tahun 2020 tentang Larangan Pengeluaran Ikan Arwana (Scleropages sp.) dan Ikan Botia (Chromobotia macracanthus) dari Wilayah Negara Republik Indonesia ke Luar Wilayah Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f2b7a45aa605?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkp_18_2020)\n[1] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan (“UU Kelautan”).[2] Pasal 14 ayat (1) UU Kelautan.[3] Pasal 14 ayat (2) huruf a UU Kelautan.[4] Pasal 115 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Ciptaker”) yang mengubah Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (“UU 7/2016”).[5] Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau tanya berapa besar santunan yang seharusnya diberikan kepada karyawan kontrak atas kecelakan kerja yang mengakibatkan hilangnya satu ruas ibu jari sebelah kanan, dan siapa yang wajib membayarnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 21 Agustus 2013. KLINIK TERKAIT Jaminan Kecelakaan Kerja untuk Karyawan Kontrak 16 Apr 2024 Pembayaran Jaminan dan Santunan Kecelakaan Kerja 31 Jan 2018 Jika Perusahaan Menahan Pencairan Dana Jamsostek 18 Jul 2013 Aturan tentang Santunan Cacat Akibat Kecelakaan Kerja 17 Mei 2013 Intisari: Kondisi di mana satu ruas ibu jari sebelah kanan hilang termasuk ke dalam cacat sebagian anatomis. Atas cacat sebagian anatomis tersebut, pekerja berhak untuk mendapatkan santunan cacat. Santunan cacat untuk cacat sebagian anatomis sebesar: 15 % x 80 x upah sebulan . Jika pekerja telah diikutsertakan dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (“JKK”), maka BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar biayanya. Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan santunan sementara tidak mampu bekerja . Pemberi Kerja dapat meminta penggantian santunan berupa uang tersebut kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan Kecelakaan Kerja tahap 2 dengan melampirkan: a. kuitansi biaya pengangkutan dan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan b. bukti pembayaran upah selama pekerja tidak mampu bekerja atau santunan sementara tidak mampu bekerja. Berdasarkan pengajuan di atas, BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja melakukan verifikasi dan membayar penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja. Jika peserta yang mengalami kecelakaan kerja dirawat pada fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, karena di lokasi kecelakaan tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, maka biaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis dibayar terlebih dahulu oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara . Setelah itu akan diberikan penggantian oleh BPJS Ketenagakerjaan sebesar biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dengan ketentuan biaya penggantian yang diberikan setara dengan standar fasilitas pelayanan kesehatan tertinggi di daerah setempat yang telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan jika belum diikutsertakan dalam program JKK, maka pemberi kerja (pengusaha) yang wajib membayar hak pekerja. Penjelasan lebih lanjut silakan Anda simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jaminan Sosial Bagi Pekerja Mengenai jaminan sosial diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (“UU SJSN”) . Dengan UU BPJS ini dibentuk 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“BPJS”), yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja , jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. [1] Pada dasarnya, setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial . [2] Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS , sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS. [3] Yang dimaksud dengan pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain. [4] Ini berarti tidak ada perbedaan antara pekerja tetap (dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) dengan pekerja kontrak (dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu). Mengenai kecelakaan kerja, maka ini berhubungan dengan Jaminan Kecelakaan Kerja (“JKK”). Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (“PP 44/2015”) , setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta dalam program JKK dan Jaminan Kematian kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang bekerja juga memiliki kewajiban untuk mendaftarkan dirinya. Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara nyata-nyata lalai tidak mendaftarkan Pekerjanya, Pekerja berhak mendaftarkan dirinya sendiri dalam program jaminan sosial kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai program yang diwajibkan dalam penahapan kepesertaan. [5] Kecelakaan Kerja dan Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja Berdasarkan UU SJSN, kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi dalam hubungan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya, dan penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja. [6] Berdasarkan uraian pertanyaan Anda, kecelakaan kerja yang membuat satu ruas ibu jari sebelah kanan hilang ini merupakan suatu kondisi yang dalam Pasal 1 angka 15 UU SJSN disebut dengan cacat. Cacat adalah keadaan berkurang atau hilangnya fungsi tubuh atau hilangnya anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. Hal serupa juga disebutkan dalam Pasal 1 angka 7 PP 44/2015 dan Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah (“Permenaker 26/2015”) . Peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja berhak atas manfaat JKK, [7] salah satunya adalah santunan Cacat sebagian anatomis, Cacat sebagian fungsi, dan Cacat total tetap . [8] Yang dimaksud dengan “cacat sebagian anatomis”, “cacat sebagian fungsi”, dan “cacat total tetap” adalah sebagai berikut: [9] · Cacat sebagian anatomis adalah keadaan berkurang atau hilangnya sebagian anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan Pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. · Cacat sebagian fungsi adalah keadaan berkurang atau hilangnya sebagian fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan berkurang atau hilangnya kemampuan Pekerja untuk menjalankan pekerjaannya. · Cacat total tetap adalah cacat yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan. Kondisi di mana satu ruas ibu jari sebelah kanan hilang termasuk ke dalam cacat sebagian anatomis. Atas cacat sebagian tersebut, pekerja berhak untuk mendapatkan santunan cacat. Santunan cacat untuk cacat sebagian anatomis sebesar: % sesuai tabel x 80 x upah sebulan . [10] Tabel persentase santunan yang diberikan dapat dilihat dalam tabel pada Romawi II Lampiran III PP 44/2015 . Berdasarkan tabel persentase santunan tersebut, jika pekerja kehilangan ibu jari tangan kanan, maka presentasenya adalah 15% dari upah. Tata Cara Pelaporan dan Penetapan Jaminan Bagi Peserta BPJS Ketenagakerjaan Pemberi Kerja wajib melaporkan setiap kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja yang menimpa pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan dan dinas yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak terjadinya kecelakaan kerja sebagai laporan tahap I. [11] Pemberi Kerja wajib melaporkan akibat kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan dan Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat tidak lebih dari 2 x 24 jam sejak pekerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia sebagai laporan tahap II , berdasarkan surat keterangan dokter yang menerangkan bahwa: [12] a. keadaan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) telah berakhir; b. cacat total tetap; c. cacat sebagian anatomis; d. cacat sebagian fungsi; atau e. meninggal dunia. Laporan tahap II tersebut sekaligus merupakan pengajuan manfaat JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut: [13] a. fotokopi kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan; b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP); c. surat keterangan dokter yang memeriksa/merawat dan/atau dokter penasehat; d. kuitansi biaya pengangkutan; e. kuitansi biaya pengobatan dan/atau perawatan ( dapat dimintakan penggantian kepada BPJS Ketenagakerjaan dalam hal fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan belum bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan karena di lokasi tempat terjadinya kecelakaan tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Ketenagakerjaan) [14] ; dan f. dokumen pendukung lainnya apabila diperlukan. Apabila persyaratan di atas telah lengkap, BPJS Ketenagakerjaan menghitung dan membayar kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [15] Menjawab pertanyaan Anda, Pasal 22 ayat (1) Permenaker 26/2015 mengatur bahwa Pemberi Kerja wajib membayar terlebih dahulu biaya pengangkutan peserta yang mengalami Kecelakaan Kerja atau penyakit akibat kerja ke rumah sakit dan/atau ke rumahnya termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan dan santunan sementara tidak mampu bekerja . Pemberi Kerja dapat meminta penggantian santunan berupa uang tersebut kepada BPJS Ketenagakerjaan pada saat pelaporan Kecelakaan Kerja tahap 2 dengan melampirkan: [16] a. kuitansi biaya pengangkutan dan pertolongan pertama pada kecelakaan; dan b. bukti pembayaran upah selama pekerja tidak mampu bekerja atau santunan sementara tidak mampu bekerja. Berdasarkan pengajuan di atas, BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja melakukan verifikasi dan membayar penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja. [17] Selain ketentuan di atas, Pasal 33 ayat (1) PP 44/2015 mengatur mengenai peserta yang mengalami kecelakaan kerja dan dirawat pada fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan, karena di lokasi kecelakaan tidak terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam keadaan ini, biaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis bagi Peserta penerima Upah dibayar terlebih dahulu oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara , sedangkan bagi Peserta bukan penerima Upah dibayar terlebih dahulu oleh Peserta. Yang mana setelah itu akan diberikan penggantian oleh BPJS Ketenagakerjaan sebesar biaya yang telah dikeluarkan oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara atau Peserta bukan penerima Upah dengan ketentuan biaya penggantian yang diberikan setara dengan standar fasilitas pelayanan kesehatan tertinggi di daerah setempat yang telah bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan. Dalam hal penggantian biaya yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan terdapat kekurangan, maka selisih biaya ditanggung oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara atau Peserta bukan penerima Upah. [18] Bagaimana jika pekerja belum diikutsertakan dalam program JKK? Dalam hal Pemberi Kerja belum mengikutsertakan pekerjanya dalam program JKK kepada BPJS Ketenagakerjaan, apabila terjadi resiko terhadap pekerjanya, pemberi kerja wajib membayar hak pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . [19] Jadi, jika pekerja telah diikutsertakan dalam program JKK, maka BPJS Ketenagakerjaan yang akan membayar biayanya. Sedangkan jika belum diikutsertakan dalam program JKK, maka pemberi kerja (pengusaha) yang wajib membayar hak pekerja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ; 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian ; 4. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 26 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Penerima Upah . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 . [1] [1] Pasal 5 dan Pasal 6 UU BPJS [2] Pasal 14 UU BPJS [3] Pasal 15 ayat (1) UU BPJS jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012 serta Pasal 13 ayat (1) UU SJSN [4] Pasal 1 angka 11 UU SJSN dan Pasal 1 angka 8 UU BPJS [5] Pasal 10 ayat (1) PP 44/2015 [6] Pasal 1 angka 14 UU SJSN [7] Pasal 25 ayat (1) PP 44/2015 [8] Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3 PP 44/2015 [9] Penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf b angka 3 PP 44/2015 [10] Lampiran III huruf b angka 3)a) PP 44/2015 [11] Pasal 7 ayat (1) Permenaker 26/2015 [12] Pasal 7 ayat (2) Permenaker 26/2015 [13] Pasal 7 ayat (3) Permenaker 26/2015 [14] Pasal 7 ayat (4) Permenaker 26/2015 [15] Pasal 7 ayat (5) Permenaker 26/2015 [16] Pasal 22 ayat (2) Permenaker 26/2015 [17] Pasal 22 ayat (3) Permenaker 26/2015 [18] Pasal 33 ayat (2) dan (3) PP 44/2015 [19] Pasal 10 Permenaker 26/2015 hukumonline google ketenagakerjaan kecelakaan kerja hukum klinik perusahaan klinik hukumonline jaminan sosial"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya dengar bahwa gaji dipotong iuran Tapera untuk karyawan swasta. Apakah iuran Tapera wajib? Berapa potongan gaji untuk Tapera? Lantas, apakah Tapera bisa dicairkan? Mohon pencerahannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Pendaftaran, Iuran, dan Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan 08 Mar 2021Seluk Beluk Kepesertaan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera)04 Jun 2020Kewajiban Perusahaan Membayar Iuran BPJS Kesehatan Karyawan yang Di-PHK10 Des 2018Perusahaan Tidak Pernah Membayar Iuran BPJS Pekerja, Disebut Penggelapan?26 Jul 2018\n\nSebelumnya perlu kami terangkan terlebih dahulu, Tabungan Perumahan Rakyat (“Tapera”) adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir.[1]\n\nPatut digarisbawahi, dana Tapera merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan simpanan peserta beserta hasil pemupukannya. Pemanfaatan dana Tapera dilakukan untuk pembiayaan perumahan bagi peserta. Untuk mewujudkan tata kelola yang baik dalam pemanfaatan dana Tapera, bank atau perusahaan pembiayaan wajib melaporkan pelaksanaan penyaluran pembiayaan perumahan kepada badan pengelola Tapera (“BP Tapera”) dan bank kustodian. Pelaporan penyaluran pembiayaan perumahan dilakukan dengan ketentuan bentuk, isi, dan waktu pelaporan yang diatur oleh BP Tapera.[2]\nSiapa peserta dana Tapera? Pekerja dan pekerja mandiri yang telah berusia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin pada saat mendaftar serta yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta dana Tapera. Sedangkan untuk pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum dapat menjadi peserta.[3]\n\nSiapa saja yang dimaksud pekerja?[4]\n\ncalon Pegawai Negeri Sipil (“PNS”);pegawai Aparatur Sipil Negara (PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK));prajurit Tentara Nasional Indonesia;prajurit siswa Tentara Nasional Indonesia;anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;pejabat negara;pekerja/buruh badan usaha milik negara/daerah;pekerja/buruh badan usaha milik desa;pekerja/buruh badan usaha milik swasta; danPekerja yang tidak termasuk pekerja sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i yang menerima gaji atau upah, antara lain pegawai BP Tapera, pegawai Bank Indonesia, pegawai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan warga negara asing (WNA) yang bekerja di Indonesia paling singkat dalam waktu 6 bulan.\nJadi, apakah iuran Tapera wajib? Iya, iuran Tapera diwajibkan sepanjang pekerja (termasuk karyawan swasta) dan pekerja mandiri telah memenuhi syarat sebagai peserta. Untuk pekerja wajib didaftarkan sebagai peserta oleh pemberi kerja kepada BP Tapera.[5] Sementara pekerja mandiri harus mendaftarkan dirinya sendiri.[6]\n\nMengenai tata cara pendaftaran kepesertaan dana Tapera, Anda dapat menyimak alur dalam Pendaftaran Peserta BP Tapera. Peserta nantinya akan diberikan nomor identitas kepesertaan yang digunakan sebagai bukti kepesertaan berupa unit penyertaan investasi, pencatatan administrasi, simpanan, dan akses informasi Tapera. Peserta lalu dibuatkan rekening individu yang menggambarkan saldo simpanan Tapera.[7]\n\nApa saja hak peserta dana Tapera?[8]\n\nmendapatkan pemanfaatan dana Tapera;memperoleh nomor identitas kepesertaan dan nomor rekening individu;menerima pengembalian simpanan beserta hasil pemupukannya pada akhir masa kepesertaan;mendapatkan informasi dari BP Tapera mengenai kondisi dan kinerja dana Tapera;mendapatkan informasi atas penempatan dana Tapera dari manajer investasi dan/atau bank kustodian; danmendapatkan informasi dari manajer investasi dan/atau bank kustodian mengenai posisi nilai kekayaan atas simpanan dan hasil pemupukannya.\nGaji Dipotong untuk Tapera\n\nKemudian sebelum menjawab pertanyaan Anda, tentang berapa potongan gaji untuk Tapera? Pada prinsipnya simpanan peserta pekerja dibayarkan oleh pemberi kerja dan pekerja. Besaran simpanan tersebut ditetapkan sebesar 3% dari gaji atau upah pekerja dengan rincian ditanggung bersama oleh pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.[9]\n\nAkan tetapi, dasar perhitungan untuk menentukan perkalian besaran simpanan peserta karyawan swasta diatur oleh Menteri Ketenagakerjaan.[10] Adapun untuk besaran simpanan ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari gaji atau upah pekerja yang dilaporkan setiap bulan.[11]\n\nDengan demikian, benar bahwa gaji dipotong iuran Tapera untuk karyawan swasta dengan rincian besaran ditanggung bersama antara pemberi kerja sebesar 0,5% dan pekerja sebesar 2,5%.\n\nMengenai cara pembayaran, pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang jadi kewajibannya dan memungut simpanan peserta yang jadi kewajiban pekerja kemudian menyetorkannya setiap bulan selambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dari bulan simpanan yang bersangkutan ke rekening dana Tapera.[12] Akan tetapi, jika tanggal 10 jatuh pada hari libur, simpanan dibayarkan pada hari kerja pertama setelah hari libur.[13]\n\nLantas, kapan iuran Tapera mulai berlaku? Dalam Pasal 68 PP 25/2020ditegaskan bahwa pemberi kerja untuk pekerja (karyawan) swasta mendaftarkan pekerjanya kepada BP Tapera paling lambat 7 tahun sejak tanggal berlakunya PP 25/2020. Adapun, PP 25/2020 berlaku sejak tanggal 20 Mei 2020.[14] Dengan demikian, paling lambat tanggal 20 Mei 2027, karyawan swasta wajib sudah terdaftar sebagai peserta Tapera.\nApakah Tapera Bisa Dicairkan?\n\nLantas, mengingat gaji dipotong untuk Tapera, timbullah pertanyaan, apakah Tapera bisa dicairkan? Perlu Anda ketahui, kepesertaan Tapera dapat berakhir karena:[15]\n\ntelah pensiun bagi pekerja;telah mencapai usia 58 tahun bagi pekerja mandiri;peserta meninggal dunia; ataupeserta tidak memenuhi lagi kriteria sebagai peserta selama 5 tahun berturut-turut, yaitu tidak lagi memiliki gaji, upah, atau penghasilan selama 5 tahun berturut-turut termasuk karena cacat total atau karena pemutusan hubungan kerja yang dibuktikan selama 5 tahun berturut-turut tidak melakukan setoran simpanan.\n\nPeserta yang berakhir kepesertaannya berhak memperoleh pengambilan simpanan dan hasil pemupukannya, yang mana wajib diberikan paling lama 3 bulan setelah kepesertaannya berakhir.[16]\n\nPeserta memperoleh pengembalian simpanan dan hasil pemupukan dana Tapera berdasarkan jumlah unit penyertaan yang dimiliki peserta dikalikan nilai aktiva bersih per unit penyertaan pada tanggal berakhirnya kepesertaan.[17]\n\nUntuk peserta yang berakhir kepesertaannya karena telah pensiun dapat kembali menjadi peserta pekerja mandiri selama memenuhi persyaratan dan kemudian berakhir kepesertaannya apabila meninggal dunia atau mengundurkan diri dan mengklaim pengembalian simpanan.[18]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt57077b5a0dcfb/undang-undang-nomor-4-tahun-2016/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2016)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ed5f7044a975/peraturan-pemerintah-nomor-25-tahun-2020/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_25_2020)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt664c7764d30c7/peraturan-pemerintah-nomor-21-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_21_2024)\nREFERENSI:\n1. Pendaftaran Peserta BP Tapera, yang diakses pada 29 Mei 2024, pukul 10.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (“PP 21/2024”)\n\n[2] Penjelasan Umum PP 21/2024\n\n[3] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (“PP 25/2020”) jo. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (“UU Tapera”)\n\n[4] Pasal 7 PP 25/2020 jo. Penjelasan Pasal 7 PP 21/2024\n\n[5] Pasal 64 huruf a UU Tapera jo. Pasal 8 ayat (1) PP 25/2020\n\n[6] Pasal 8 ayat (2) PP 25/2020\n\n[7] Pasal 10 dan 11 UU Tapera\n\n[8] Pasal 65 UU Tapera\n\n[9] Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP 21/2024\n\n[10] Pasal 15 ayat (4) huruf b PP 21/2024\n\n[11] Pasal 14 ayat (3) huruf a PP 25/2020\n\n[12] Pasal 20 ayat (1) dan (2) PP 25/2020\n\n[13] Pasal 20 ayat (3) PP 25/2020\n\n[14] Pasal 70 PP 25/2020\n\n[15] Pasal 23 dan penjelasannya PP 25/2020\n\n[16] Pasal 24 ayat (2) PP 25/2020\n\n[17] Pasal 24 ayat (3) PP 25/2020\n\n[18] Pasal 25 PP 25/2020"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tenaga kesehatan yang telah berjuang dan meninggal karena menangani COVID-19, apakah mendapat santunan tersendiri dari pemerintah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani COVID-19 yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 5 Juni 2020. Besaran Santunan Kematian Tenaga Kesehatan Sebelumnya besaran santunan dan insentif diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 Tahun 2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah dicabut dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 tentang Pemberian Insentif Dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“Kepmenkes 392/2020”) . Pada bagian Lampiran Kepmenkes 392/2020, besaran santunan kematian sebesar Rp300 juta diberikan ke tenaga kesehatan yang meninggal karena terpapar COVID-19 yang memberikan pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan, termasuk dokter yang mengikuti penugasan khusus residen, dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia, dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis, dan tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam Mendukung Program Nusantara Sehat, dan relawan yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan (hal. 26). Mekanisme pengusulan santunan kematian (hal. 26-27): Verifikasi santunan kematian fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan melakukan verifikasi terhadap tenaga kesehatan yang meninggal dan akan mendapatkan santunan kematian dalam penanganan COVID-19. Pengusulan Santunan Kematian Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau institusi kesehatan mengusulkan santunan kematian berdasarkan hasil verifikasi kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan melalui email [email protected] atau [email protected] . Pengusulan santunan kematian tersebut dengan melampirkan soft file format pdf: Penetapan atau surat tugas pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan, pimpinan institusi kesehatan atau penetapan Kementerian Kesehatan; Hasil laboratorium RT-PCR atau rapid test yang menyatakan bahwa tenaga kesehatan yang bersangkutan positif/reaktif COVID-19; Surat keterangan kematian dari pihak yang berwenang; Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) tenaga kesehatan yang bersangkutan dan ahli waris serta Kartu Keluarga (KK); Surat keterangan ahli waris dari lurah/kepala desa; Fotokopi buku rekening bank ahli waris; Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) yang dibuat oleh pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi kesehatan dengan dibubuhi meterai Rp 6.000; dan Surat usulan dari pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan atau pimpinan institusi kesehatan kepada tim verifikasi. Usulan santunan kematian dilakukan verifikasi oleh Tim Verifikator Kementerian Kesehatan yang selanjutnya hasilnya disampaikan kepada Kepala Badan PPSDM Kesehatan. Kepala Badan PPSDM Kesehatan melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan pembayaran secara langsung kepada rekening ahli waris tenaga kesehatan yang mendapatkan santunan kematian. Besaran Insentif Tenaga Kesehatan Di samping itu, dalam Lampiran Kepmenkes 392/2020, tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 juga memperoleh insentif dengan ketentuan (hal. 17-18): Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan COVID-19 di rumah sakit setinggi-tingginya sebesar: Dokter spesialis: Rp15 juta/OB Dokter umum dan gigi: Rp10 juta/OB Bidan dan perawat: Rp7.5 juta/OB Tenaga medis lainnya: Rp5 juta/OB Dokter yang mengikuti penugasan khusus residen dan dokter yang mengikuti Program Internsip Dokter Indonesia di rumah sakit paling tinggi sebesar Rp 10 juta, dan jika di Puskesmas sebesar Rp5 juta. Dokter yang mengikuti Pendayagunaan Dokter Spesialis paling tinggi sebesar Rp15 juta. Tenaga kesehatan di Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit ( BTKL-PP ) dan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit ( BBTKL-PP ) Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan, diberikan sesuai dengan besaran tiap jenis tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan ( KKP ), Dinas Kesehatan Daerah Provinsi dan Dinas Kesehatan Daerah Kabupaten/Kota , Puskesmas termasuk tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam mendukung Program Nusantara Sehat setinggi-setingginya sebesar Rp5 juta setara dengan besaran insentif tenaga medis lainnya. Tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlibat dalam pemeriksaan spesimen COVID-19 secara langsung di laboratorium yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan setinggi-setingginya sebesar Rp 5 juta setara dengan besaran insentif tenaga medis lainnya. Tenaga kesehatan di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Unit Pelaksana Teknis Kementerian Kesehatan setara dengan besaran insentif tenaga kesehatan di puskesmas. Tenaga kesehatan yang mengikuti Penugasan Khusus Tenaga Kesehatan dalam mendukung Program Nusantara Sehat di rumah sakit diberikan sesuai dengan besaran tiap jenis tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 di rumah sakit. Lebih lanjut, Kementerian Keuangan telah merangkum sejumlah simplifikasi berdasarkan Kepmenkes 392/2020 dengan judul artikel Simplifikasi Prosedur dan Penyediaan Uang Muka Percepat Pencairan Anggaran Kesehatan COVID-19 . Kami telah mengompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari, mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/392/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) . Referensi : Simplifikasi Prosedur dan Penyediaan Uang Muka Percepat Pencairan Anggaran Kesehatan COVID-19 , diakses pada Jumat 10 Juli 2020 pukul 15.40 WIB. virus corona kesehatan covid-19 tenaga kesehatan hukumonline google corona faskes hak asasi manusia dokter"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah boleh mendirikan suatu start up berbasis software/digital dengan pihak asing di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pihak asing diperbolehkan menanamkan modalnya di Indonesia, sepanjang bidang usaha yang dimaksudkan bukan termasuk bidang usaha yang tertutup bagi investasi. Mengacu pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpes 44/2016”) , dijelaskan bahwa: Bidang usaha adalah segala bentuk kegiatan usaha yang dilakukan untuk memproduksi barang atau jasa pada sektor ekonomi. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 2, 3, dan 4 Perpres 44/2016 , dijelaskan definisi bidang usaha terbuka, tertutup dan terbuka dengan persyaratan, yaitu: Pasal 1 angka 2 Perpres 44/2016 Bidang Usaha Yang Terbuka adalah Bidang Usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka Penanaman Modal. Pasal 1 angka 3 Perpres 44/2016 Bidang Usaha Yang Tertutup adalah Bidang Usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan Penanaman Modal. Pasal 1 angka 4 Perpres 44/2016 Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan adalah Bidang Usaha tertentu yang dapat diusahakan untuk kegiatan Penanaman Modal dengan persyaratan, yaitu dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta Koperasi, Kemitraan, kepemilikan modal, lokasi tertentu, perizinan khusus, dan penanam modal dari negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). Mengacu pada definisi Pasal 1 angka 4 Perpres 44/2016 tersebut, maka pihak asing/perusahaan asing (berbadan hukum asing atau terdaftar sebagai Penanaman Modal Asing (“PMA”) oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (“BKPM”)) pada dasarnya dapat mendirikan usaha start up software dengan modal patungan ( joint venture ) dengan perusahaan Indonesia (berbadan hukum Indonesia atau terdaftar sebagai Penanaman Modal Dalam Negeri (“PMDN”) oleh BKPM), sepanjang memenuhi syarat tertentu. Mengacu pada Lampiran III Perpres 44/2016 huruf K nomor 300 , jika software yang Anda maksud menyelenggarakan transaksi perdagangan melalui sistem elektronik dengan nilai investasi kurang dari Rp100 miliar, maka besaran kepemilikan asing yang diizinkan adalah maksimal 49% . Sedangkan jika nilai investasi yang ditanamkan asing pada software tersebut bernilai di atas Rp100 miliar, maka ia dapat dikategorikan sebagai bidang usaha yang terbuka. Dalam artian, tidak ada pembatasan kepemilikan oleh pihak asing. Hal ini mengacu pada ketentuan Pasal 3 Perpres 44/2016 , yakni: Bidang usaha yang tidak tercantum dalam bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan sebagaimana tercantum dalam lampiran artinya merupakan bidang usaha yang terbuka. Di sisi lain, jika software yang Anda maksudkan menyelenggarakan jasa telekomunikasi, layanan informasi, sistem komunikasi data, maupun internet, maka besaran kepemilikan asing yang diizinkan adalah maksimal 67 persen . Hal ini sesuai dengan Lampiran III Perpres 44/2016 huruf K nomor 286-290 . Dalam hal ini, yang dimaksud “terbuka dengan persyaratan” adalah adanya batasan maksimal kepemilikan asing, sehingga tetap harus ada kepemilikan PMDN. Guna menghindari restriksi (pembatasan) yang timbul berdasarkan Perpres 44/2016, serta agar usaha modal patungan ( joint venture ) dapat memperoleh izin usaha tetap (“IUT”) dari BKPM sebelum memulai operasinya, maka usaha tersebut harus mendapatkan pertimbangan teknis dari instansi terkait, sebagaimana diuraikan selengkapnya dalam Buku Pedoman Investasi Asing ( Foreign Direct Investment ) . Terkait usaha start up software berbasis digital, maka permohonan IUT pada BKPM harus disertai rekomendasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, serta kementerian terkait lainnya. Jadi dalam hal ini, kepastian dan disetujuinya usaha modal patungan ( joint venture ) yang melibatkan modal asing atau PMA di bidang software berbasis digital diindikasikan dengan diterbitkannya izin usaha oleh BKPM yang menyebutkan bidang usaha, nilai investasi dan rincian proyek start up tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal . Referensi : Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Buku Pedoman Investasi Asing ( Foreign Direct Investment ). Jakarta: Penerbit BKPM, 2018. bkpm hukumonline modal asing ukm pmdn pma start-up investasi investasi asing fintech"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Bapak/Ibu yang terhormat. Saya seorang karyawan swasta yang hendak mengundurkan diri dari perusahaan saya yang sekarang. Sisa kontrak saya tinggal 3 bulan lagi. Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 62, saya harus membayar ganti rugi. Komponen gaji saya ada 2, gaji pokok dan tunjangan. Yang mau saya tanyakan adalah berapa ganti rugi yang harus saya bayarkan? 3 x (Gaji pokok) atau 3 x (gaji pokok + Tunjangan)? Mohon masukan dari bapak/ibu sekalian."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Intisari: Jika mengundurkan diri ( resign) sebelum waktu kontrak selesai, pihak yang mengakhiri hubungan kerjatersebut wajib membayar ganti rugi sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Anda benar bahwa apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“ UU Ketenagakerjaan”) pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja . Demikian yang disebut dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan . KLINIK TERKAIT Begini Rincian Hak Pekerja Resign 24 Jul 2024 Bisakah Karyawan Dipecat karena Hamil di Luar Nikah? 17 Jul 2024 Stres karena Pekerjaan, Bisakah Jadi Alasan Resign ? 11 Sep 2023 Langkah Jika Surat Keterangan Kerja Tak Kunjung Diberikan 11 Mar 2022 Adapun selengkapnya bunyi selengkapnya Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang dimaksud adalah: “Perjanjian kerja berakhir apabila: a. pekerja meninggal dunia; b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.” Mengundurkan diri ( resign ) bukanlah salah satu berakhirnya perjanjian kerja yang disebut pada Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas. Ini artinya, jika mengundurkan diri sebelum waktu kontrak selesai, maka Anda selaku pihak yang mengakhiri hubungan kerja tersebut wajib membayar ganti rugi. Adapun perhitungan ganti rugi kepada pihak lainnya yaitu sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Sebelum menghitung berapa jumlah ganti rugi yang harus Anda bayar, terlebih dahulu kita perlu memahami definisi upah dan komponen yang ada di dalamnya. Pasal 1 angka 30 UU Ketenagakerjaan berbunyi: “Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.” Berdasarkan definisi di atas, maka upah terdiri dari hak pekerja yang dinyatakan dalam bentuk uang ditambah tunjangan. Jika dikaitkan dengan pertanyaan Anda, maka upah adalah gaji pokok termasuk tunjangan yang Anda peroleh setiap bulannya. Upah = Gaji Pokok + Tunjangan Sebagai tambahan penjelasan, hal ini juga sejalan dengan yang dimaksud dengan upah minimum menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum (“Permenaker 7/2013”) : “Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri atas upah pokok termasuk tunjangan tetap yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman.” Anda mengatakan bahwa jika Anda mengundurkan diri, sisa kontrak Anda seharusnya adalah tiga bulan lagi. Dengan demikian, mengacu pada komponen upah dan aturan soal ganti rugi yang kami sebutkan di atas dapat kita simpulkan bahwa jumlah ganti rugi yang wajib Anda bayar yaitu: Ganti rugi= 3 x (gaji pokok + tunjangan) Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. perjanjian kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya membeli rumah pada tahun 2012, tapi karena kelambatan developer, hingga saat ini sertifikat rumah/tanah belum selesai. Jika pada tahun 2020 ini sertifikat tanah diproses, mohon masukan terkait peraturan dan undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak lainnya, apakah dihitung berdasarkan harga saat saya membeli rumah di tahun 2012? Atau harus mengikuti harga rumah di tahun 2020? Pada tahun 2012, harga rumah saya Rp254 juta, dan pada tahun 2020 jika mengikuti NJOP akan seharga lebih dari Rp600 juta. Mohon bantuan dan infonya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan pertanyaan Anda, kami hanya akan menerangkan mengenai Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”). PPN pada Properti PPN adalah pajak yang dikenakan pada barang kena pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan perubahannya. [1] Yang termasuk dalam pengertian penyerahan barang kena pajak, salah satunya, adalah penyerahan hak atas barang kena pajak karena suatu perjanjian. [2] Dalam artikel Dasar Hukum Pengenaan PPN atas Pembelian Properti , properti yang dibeli dari developer adalah salah satu barang kena pajak yang penyerahannya dibebani PPN. Ketentuan Besaran PPN Dengan melihat ketentuan tersebut, maka akan dikenakan PPN pada saat penyerahan barang kena pajak tesebut sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 42/2009 . Yang menjadi pertanyaan, kapan pembayaran dan penerimaan unit rumah yang Anda maksud? Apabila pembayaran dan penerimaan unit adalah pada tahun 2012, maka dikenakan perhitungan PPN yang berlaku pada saat tahun pajak 2012 dan apabila pembayaran dan penerimaan unit baru terjadi pada tahun 2020, maka tidak lagi dapat didasarkan atas harga tanah pada tahun 2012. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah , kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah , dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah . [1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU 42/2009”) [2] Pasal 1A ayat (1) huruf a UU 42/2009 pajak hukumonline perpajakan ppn"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika pesawat mengalami kecelakaan, bagaimana bentuk tanggung jawab maskapai penerbangan tersebut? Berapa besaran ganti rugi yang diperoleh korban/ahli waris korban? Bagaimana cara memperoleh ganti rugi tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan? 12 Des 2019 Dasar Keluarga Korban Kecelakaan Bisa Menggugat Produsen Pesawat 22 Nov 2018 Ketentuan Pengoperasian Balon Udara di Indonesia 24 Mei 2018 Pertanggungjawaban Hukum Jika Terjadi Kecelakaan di Atas Kapal 02 Mar 2017 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Ini Besaran Hak Korban/Ahli Warisnya Jika Terjadi Kecelakaan Pesawat yang pertama kali dipublikasikan pada 13 Januari 2021, dan dimutakhirkan pertama kali pada 16 November 2021. Untuk menjawab pertanyaan mengenai besar santunan kecelakaan pesawat, pertama-tama harus dilihat terlebih dahulu apakah kecelakaan pesawat tersebut terjadi dalam penerbangan domestik atau internasional. Sebab, ketentuan hukum yang berlaku bisa jadi berbeda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk itu, kami asumsikan bahwa kecelakaan pesawat yang Anda tanyakan terjadi dalam penerbangan domestik . Terkait hal ini, dapat disimpulkan jika kecelakaan tersebut terjadi dalam penerbangan yang menghubungkan antara 2 titik/wilayah di Indonesia tanpa transit ( agreed stopping place ) di negara lain. Di Indonesia, ketentuan mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan dan besaran santunan kecelakaan pesawat diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara beserta perubahannya. Tanggung Jawab Hukum Jika Terjadi Kecelakaan Pesawat Pasal 1 angka 12 Permenhub 77/2011 mendefinisikan kecelakaan pesawat (“kecelakaan”) sebagai peristiwa pengoperasian pesawat udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius. Pengangkut yang mengoperasikan pesawat wajib bertanggung jawab atas kerugian terhad ap: [1] penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka ; hilang atau rusaknya bagasi kabin; hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; hilang, musnah, atau rusaknya kargo; keterlambatan angkutan udara; dan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Adapun yang dimaksud dengan pengangkut adalah: [2] Badan usaha angkutan udara, yaitu badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, yang kegiatan utamanya mengoperasikan pesawat udara untuk digunakan mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos dengan memungut pembayaran; [3] Pemegang izin kegiatan angkutan udara bukan niaga yang melakukan kegiatan angkutan udara niaga berdasarkan ketentuan undang-undang tentang penerbangan; dan/atau Badan usaha selain badan usaha angkutan udara yang membuat kontrak perjanjian angkutan udara niaga. Menyambung pertanyaan Anda, maskapai masuk dalam kategori pengangkut. Jika terjadi hal yang tidak diinginkan, maskapai wajib bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang telah disebutkan. Penumpang Meninggal Dunia Dalam hal penumpang meninggal dunia, yang berhak menerima santunan kecelakaan pesawatnya adalah ahli waris penumpang tersebut. [4] Namun, jika tidak ada ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian, santunan kecelakaan pesawat akan diserahkan kepada negara setelah dikurangi biaya pengurusan jenazah. [5] Meski tidak dikabarkan meninggal dunia, apabila penumpang tidak juga ditemukan dalam jangka 3 bulan setelah pesawat dinyatakan hilang, penumpang tersebut dianggap telah meninggal dunia. Penetapan status meninggal dunia ini dilakukan tanpa memerlukan putusan pengadilan. [6] Adapun hak penerimaan ganti kerugiannya dapat diajukan setelah lewat jangka waktu 3 bulan tersebut. [7] Hak Korban/Ahli Waris atas Kerugian Besaran santunan kecelakaan pesawat atau ganti rugi bagi penumpang yang menjadi korban kecelakaan pesawat adalah sebagai berikut: Jika penumpang meninggal dunia di dalam pesawat udara akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara, diberikan ganti kerugian sebesar Rp1,25 miliar per penumpang. [8] Jika penumpang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang semata-mata berhubungan dengan pengangkutan udara pada saat proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara persinggahan (transit), ganti kerugiannya adalah sebesar Rp500 juta per penumpang. [9] Jika penumpang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan, yang bersangkutan diberikan ganti kerugian sebesar Rp1,25 miliar per penumpang. [10] Adapun yang termasuk ke dalam cacat tetap total yaitu: [11] Kehilangan penglihatan total dari 2 mata yang tidak dapat disembuhkan; atau Terputusnya 2 tangan atau 2 kaki atau satu tangan dan satu kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki; atau Kehilangan penglihatan total dari 1 mata yang tidak dapat disembuhkan dan terputusnya 1 tangan atau kaki pada atau di atas pergelangan tangan atau kaki. Jika penumpang dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan, diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam Lampiran Permenhub 77/201 1. [12] P enjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam Ketentuan Ganti Kerugian Jika Penumpang Cacat Karena Kesalahan Maskapai . Jika penumpang mengalami luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau bala i pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, yang bersangkutan akan diberikan ganti kerugian sebesar biaya perawatan yang nyata, paling banyak Rp200 juta per penumpang. [13] Berapa Santunan Kecelakaan Pesawat jika Disengaja? Ridha Aditya Nugraha [14] menerangkan bahwa ketentuan di atas hanya berlaku jika maskapai penerbangan dan agennya tidak melakukan tindakan sengaja. Jika terjadi kecelakaan yang disengaja, maka ganti kerugian atau santunan kecelakaan pesawatnya dapat menjadi tidak terbatas, sebagaimana diatur Pasal 141 ayat (1) dan (2) UU Penerbangan : Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara. Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya. Ridha menegaskan, konsep Pasal 141 ayat (2) UU Penerbangan mengadopsi konsep pertanggungjawaban Konvensi Warsawa 1929 dan Konvensi Montreal 1999, terutama ketika berbicara soal penumpang yang meninggal dunia. Ganti kerugian tidak terbatas dengan menyesuaikan keadaan ekonomi penumpang dianggap sebagai perwujudan keadilan. Pada saat bersamaan, maskapai penerbangan dilindungi melalui batasan Rp1,25 miliar atau Rp500 juta per-penumpang seandainya telah melakukan segala tindakan yang diperlukan serta beroperasi sesuai prosedur. Selain itu, jumlah santunan kecelakaan pesawat sebagaimana dimaksud di atas adalah jumlah ganti kerugian di luar yang diberikan oleh lembaga asuransi yang ditetapkan oleh pemerintah . [15] Merujuk informasi terkait asuransi pesawat jatuh Sriwijaya pada artikel Sriwijaya Air Jatuh, Begini Aturan Asuransi Penumpang Kecelakaan Pesawat (hal. 3), berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, dan Udara, santunan korban kecelakaan pesawat bagi korban meninggal dunia adalah sebesar Rp50 juta. Sementara bagi korban luka-luka, Jasa Raharja akan berkoordinasi dengan rumah sakit di mana korban dirawat guna penerbitan surat jaminan biaya perawatan kepada rumah sakit dengan biaya perawatan maksimal Rp25 juta, serta bantuan biaya P3K maksimal Rp1 juta, dan bantuan biaya ambulans maksimal Rp500 ribu. Hak Ganti Rugi Pihak Ketiga Adapun bagi pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-luka dan kerugian harta benda sebagai akibat dari pe ristiwa pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari pesawat udara yang dioperasikan, besaran santunan kecelakaan pesawatnya ialah sebagai berikut: [16] Jika meninggal dunia, diberikan santunan kecelakaan pesawat atau ganti rugi sebesar Rp500 juta per orang; Jika dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan, diberikan ganti kerugian sebesar Rp750 juta per orang; Jika dinyatakan cacat tetap sebagian oleh dokter dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak terjadinya kecelakaan, diberikan ganti kerugian sebagaimana termuat dalam Lampiran Permenhub 77/2011 . Jika menderita luka-luka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, besaran ganti kerugian ditetapkan maksimal Rp100 juta per orang; Jika barang milik pihak ketiga rusak, besaran ganti rugi ditetapkan terhadap kerugian yang secara nyata diderita berdasarkan penilaian yang layak, sebagai berikut: Untuk pesawat udara berkapasitas sampai dengan 30 tempat duduk, maksimal Rp50 miliar. Untuk pesawat udara berkapasitas lebih dari 30 tempat duduk sampai dengan 70 tempat duduk, maksimal Rp100 miliar. Untuk pesawat udara berkapasitas lebih dari 70 tempat duduk sampai dengan 150 tempat duduk, maksimal Rp175 miliar. Pesawat udara berkapasitas lebih dari 150 tempat duduk, maksimal Rp250 miliar. Persyaratan Klaim Ganti Rugi Akibat Kecelakaan Pesawat Untuk dapat mengajukan tuntutan ganti rugi atau santunan kecelakaan pesawat, pihak yang berhak wajib melampirkan bukti sebaga i berikut: [17] Bila korban merupakan penumpang, wajib melampirkan dokumen terkait, seperti: dokumen yang membuktikan bahwa ia merupakan ahli waris korban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (jika korban meninggal dunia); tiket; bukti bagasi tercatat ( claim tag ); surat muatan udara ( airway bill ); dan/atau bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan. Bila korban merupakan pihak ketiga, wajib melampirkan surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga dan/atau harta benda akibat pengoperasian pesawat udara. Penumpang atau ahli warisnya yang menderita kerugian dapat mengajukan gugatan santunan kecelakaan pesawat terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia . [18] Adapun untuk memudahkan korban/ahli waris korban, gugatan tersebut dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik Indonesia . [19] Pe rlu dicatat, hak untuk menggugat kerugian ini dinyatakan kedaluwarsa dalam jangka waktu 2 tahun . [20] Baca juga: Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan? Sebagai tambahan, besaran ganti kerugian atau santunan kecelakaan pesawat yang telah diatur sebagaimana kami je laskan di atas tidak menutup kesempatan bagi penumpang, ahli waris, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya. [21] Faktor Tiket Pesawat Menentukan Peraturan Ganti Rugi Selain penyebab kecelakaan pesawat, Ridha juga menekankan faktor cara atau metode pembelian tiket guna menentukan hukum yang berlaku. Patut diperhatikan, ketentuan santunan kecelakaan pesawat di atas tidak berlaku dalam hal perjalanan bertiket penumpang yang bersangkutan lebih luas daripada rute penerbangan yang pada saat itu mengalami kecelakaan atau yang dikenal dengan the journey of passenger . Misalnya, pada tahun 2021, A membeli tiket pesawat dengan rute Surabaya – Jakarta – Singapura dalam 1 tiket yang sama. Kemudian, paruh pertama perjalanan dengan pesawat rute Surabaya-Jakarta mengalami kecelakaan. Dalam kasus ini, ketentuan santunan kecelakaan pesawat yang berlaku bagi A bukanlah hukum nasional yakni Permenhub 77/2011 sebagaimana dijabarkan di atas, melainkan Konvensi Montreal 1999. Sebab, destinasi akhir yang tercantum dalam tiket yang dimiliki A adalah Singapura, dan per-2021 baik Indonesia maupun Singapura telah meratifikasi Konvensi Montreal 1999. Baca juga: Aturan Ganti Rugi Kecelakaan Pesawat Penerbangan Internasional Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2016 tentang Pengesahan C onvention For The Unification of Certain Rules for International Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-Aturan Tertentu tentang Angkutan Udara Internasional) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.010/2017 Tahun 2017 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau, Feri/Penyeberangan, Laut, dan Udara Catatan : Kami telah mewawancarai Dosen Hukum Udara dan Antariksa dari Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya Ridha Aditya Nugraha via telepon pada Senin, 15 November 2021 pukul 16.45 WIB. [1] Pasal 2 Permenhub 77/2011 [2] Pasal 1 angka 2 Permenhub 77/2011 [3] Pasal 1 angka 5 Permenhub 77/2011 [4] Pasal 173 ayat (1) UU 1/2009 [5] Pasal 173 ayat (2) UU 1/2009 [6] Pasal 178 ayat (1) UU 1/2009 [7] Pasal 178 ayat (2) UU 1/2009 [8] Pasal 3 huruf a Permenhub 77/2011 [9] Pasal 3 huruf b Permenhub 77/2011 [10] Pasal 3 huruf c angka 1 Permenhub 77/2011 [11] Pasal 3 huruf d Permenhub 77/2011 [12] Pasal 3 huruf c angka 2 Permenhub 77/2011 [13] Pasal 3 huruf e Permenhub 77/2011 [14] Dosen Hukum Udara dan Antariksa dari Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya yang juga merupakan salah satu instruktur mewakili European Union Aviation Safety Agency (EASA) serta tenaga ahli perlindungan penumpang ASEAN pada EU-EASA ARISE Plus Civil Aviation Enhance Passenger Protection di Bandar Seri Begawan (2018), Vientiane dan Yangon (2019), dan Phnom Penh (2020) [15] Pasal 165 ayat (2) UU 1/2009 [16] Pasal 14 Permenhub 77/2011 [17] Pasal 21 Permenhub 77/2011 [18] Pasal 176 UU 1/2009 [19] Penjelasan Pasal 176 UU 1/2009 [20] Pasal 177 UU 1/2009 [21] Pasal 23 Permenhub 77/2011 transportasi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di dalam Peraturan Perusahaan (PP) tempat saya bekerja, diatur jika pekerja mengundurkan diri dari perusahaan maka ia akan menerima uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan. Bagaimana dengan uang pisah kalau tidak diatur dalam perusahaan? Apakah ini berarti perusahaan memberikan saya UPMK sesuai UU Ketenagakerjaan? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Jika merujuk Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, sebelumnya memang mengatur pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak (“UPH”). Sedangkan pekerja yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung berhak atas UPH dan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”).[1] Tapi, kini pasal tersebut sudah dihapus Pasal 81 angka 54 Perppu Cipta Kerja.\n\nSaat ini, ketentuan mengenai hak-hak pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri diatur dalam Pasal 50 PP 35/2021 yang menyatakan bahwa pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat, berhak atas UPH dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”).\n\nAdapun, syarat karyawan mengundurkan diri adalah sebagai berikut:[2]\n\nmengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;tidak terikat dalam ikatan dinas; dantetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.\n\nDari ketentuan tersebut, seluruh karyawan yang resign dapat uang pisah dan UPH apabila mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri dan memenuhi syarat.\n\nBaca juga: Hak-hak Karyawan yang di-PHK dan yang Resign\n\nTapi, bagaimana jika besaran uang pisah tidak diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB?\nJika Besaran Uang Pisah Tidak Diatur\n\nDisarikan dari Uang Pisah: Hak Buruh yang Terbengkalai, Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemnakertrans pada waktu itu, Sahat Sinurat menegaskan ketiadaan pengaturan uang pisah di dalam peraturan perusahaan tak otomatis menghilangkan hak pekerja atas uang pisah. Ini penting diluruskan karena dalam praktik banyak hak pekerja atas uang pisah yang diabaikan karena tak diatur oleh perusahaan (hal. 2).\n\nHal ini juga ditegaskan dalam artikel Dasar Kewajiban Perusahaan Bayar Uang Pisah ke Karyawan bahwa ada atau tidaknya aturan tentang pemberian uang pisah dalam perjanjian kerja, PP atau PKB, tetap mewajibkan perusahaan membayar uang pisah karyawan resign. Sebab, berdasarkan PP 35/2021 uang pisah adalah hak dari karyawan yang harus dibayarkan oleh perusahaan.\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, perusahaan tetap wajib membayar uang pisah meskipun tidak diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.\n\nDengan demikian, Anda dapat menempuh penyelesaian perselisihan hak ke Pengadilan Hubungan Industrial, untuk mendapatkan hak Anda berupa pembayaran uang pisah. Baca prosedur penyelesaian perselisihan selengkapnya dalam 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.\nContoh Putusan\n\nJika perusahaan tak mengatur besaran uang pisah, sebagai contoh kasus serupa terkait perselisihan hak, Anda bisa merujuk pada Putusan MA No. 104 K/Pdt.Sus/2010.\n\nBerdasarkan hal-hal yang dikemukakan di persidangan, didapatkan fakta sebagai berikut (hal. 1 – 2):\n\nPekerja (penggugat) mengundurkan diri setelah 9 tahun lebih bekerja di perusahaan (tergugat). Upah penggugat sebesar Rp1,3 juta per bulan.Tergugat enggan memberikan hak-hak penggugat, sehingga penggugat mengajukan gugatan ke PHI.Tergugat belum memiliki PP maupun PKB yang mengatur besaran uang pisah yang berhak diterima pekerja yang mengundurkan diri.\n\nAtas hal-hal tersebut, kemudian Majelis Hakim PHI dalam amar putusannya menghukum tergugat untuk membayar uang pisah sebesar 4 bulan upah, yakni sebesar Rp5.2 juta (hal. 5). Atas putusan tersebut, tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan tersebut ditolak (hal. 10).\n\nPerlu diketahui, hitungan uang pisah tersebut adalah sama dengan hitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) yang dianjurkan oleh mediator hubungan industrial (hal. 2).\n\nUntuk selanjutnya, kami menyarankan agar Anda bersama-sama dengan serikat pekerja sebaiknya mengajukan pembahasan PP atau PKB ke pengusaha untuk mengatur besaran uang pisah lebih lanjut, sehingga hak-hak pekerja dapat terlindungi dan terjamin.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang karyawan resign dapat uang pisah, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 104 K/Pdt.Sus/2010.\n\n[1] Pasal 162 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebelum dihapus oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”)[2] Pasal 36 huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belum lama ini ramai berita tentang PSE yang diblokir oleh Kominfo karena belum didaftarkan. Bagaimana sih proses pendaftaran PSE lingkup privat agar tidak diblokir?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kewajiban Pendaftaran PSE Lingkup Privat\n\nPenyelenggara sistem elektronik (“PSE”) adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.[1]\nPSE dibagi menjadi dua jenis, yaitu PSE lingkup publik dan PSE lingkup privat.[2] PSE lingkup publik meliputi instansi dan institusi yang ditunjuk oleh instansi. Instansi dalam hal ini tidak termasuk PSE yang merupakan otoritas pengatur dan pengawas sektor keuangan.[3]\n\nAdapun PSE lingkup privat meliputi PSE yang diatur atau diawasi kementerian/lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan PSE yang memiliki portal, situs atau aplikasi dalam jaringan internet[4] yang digunakan untuk:[5]\n\nmenyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan penawaran dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa;menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan layanan transaksi keuangan;pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data, baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat pengguna;menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi namun tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik, dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial;layanan mesin pencari, layanan penyediaan informasi elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, dan permainan atau kombinasi dari sebagian atau seluruhnya; dan/ataupemrosesan data pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat yang terkait dengan aktivitas transaksi elektronik.\nApa itu pendaftaran PSE dan mengapa perlu didaftarkan? Pada dasarnya baik PSE lingkup publik maupun PSE lingkup privat wajib melakukan pendaftaran melalui pelayanan perizinan terintegrasi secara elektronik[6] atau OSS.\n\nApabila PSE tidak melakukan pendaftaran maka akan dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda administratif, penghentian sementara, pemutusan akses (blokir) dan/atau dikeluarkan dari daftar.[7]\n\nBaca juga: Tak Semua PSE Wajib Daftar, Simak Kategorinya\nCara Pendaftaran PSE Lingkup Privat Domestik\n\nSebelum mengajukan pendaftaran PSE, usaha Anda harus memenuhi syarat pendaftaran terlebih dahulu. Untuk melakukan pendaftaran PSE privat menurut Aulia Zulfa, analis kebijakan ahli muda Direktorat Tata Kelola Aplikasi Informatika Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, langkah pendaftaran PSE di OSS adalah sebagai berikut:[8]\n\nPSE harus memenuhi prasyarat pendaftaran yaitu Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan izin usaha terkait (dengan kode KBLI terkait);Setelah prasyarat terpenuhi, maka PSE dapat melakukan pendaftaran melalui OSS dengan input NIB dan izin usaha terkait;Cetak tanda daftar PSE;Muncul tanda PSE telah terdaftar.\n\nPerlu Anda perhatikan juga bahwa untuk melakukan pendaftaran PSE, semua KBLI bisa melakukan pendaftaran dan tidak dibatasi kode KBLI tertentu. Apabila dalam prosesnya jenis usaha tidak ada kode KBLI-nya, maka dapat menggunakan kode KBLI bisnis utamanya terlebih dahulu, karena semua jenis KBLI dapat melakukan pendaftaran PSE apabila memenuhi kriteria PSE lingkup privat.[9]\n\nSyarat pendaftaran PSE lingkup privat dilakukan sebelum sistem elektronik mulai digunakan oleh PSE dengan langkah sebagai berikut:[10]\n\nDiajukan kepada Menteri Kominfo (“Menteri”);Pengajuan pendaftaran dilakukan melalui OSS, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;Mengajukan permohonan pendaftaran dengan mengisi formulir yang memuat informasi yang benar mengenai:\n\ngambaran umum pengoperasian sistem elektronik;kewajiban untuk memastikan keamanan informasi;kewajiban melakukan pelindungan data pribadi;kewajiban untuk melakukan uji kelaikan sistem elektronik;\n\nAdapun gambaran umum pengoperasian sistem elektronik yang dimaksud angka 3 huruf a di atas terdiri atas:[11]\n\nnama sistem elektronik;sektor sistem elektronik;uniform resource locator (URL) website;sistem nama domain (domain name system) dan/atau alamat internet protocol (IP) server;deskripsi model bisnis;deskripsi singkat fungsi sistem elektronik dan proses bisnis sistem elektronik;keterangan data pribadi yang diproses;keterangan lokasi pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik; danketerangan yang menyatakan bahwa PSE menjamin dan melaksanakan kewajiban pemberian akses terhadap sistem elektronik dan data elektronik dalam rangka memastikan efektivitas pengawasan dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nKeterangan data pribadi yang diproses sebagaimana dimaksud angka 7 di atas, menurut Aulia Zulfa adalah jenis-jenis data pribadi yang diproses oleh PSE yang bersangkutan. Contohnya untuk mendaftar PSE, syarat yang diperlukan adalah nomor KTP, nama, dan KK. Maka, yang ditulis ke dalam sistem OSS ketika PSE mendaftar adalah KK, nomor KTP dan nama pengguna.[12]\nPendaftaran PSE Lingkup Privat Asing\n\nSelain PSE lingkup privat domestik, PSE lingkup privat asing juga wajib untuk mendaftarkan usahanya.\n\nAdapun kriteria PSE lingkup privat asing yaitu PSE yang didirikan menurut hukum negara lain atau yang berdomisili tetap di negara lain tetapi:[13]\n\nmemberikan layanan di dalam wilayah Indonesia;melakukan usaha di Indonesia; dan/atausistem elektroniknya digunakan dan/atau ditawarkan di wilayah Indonesia.\n\nPada dasarnya, pendaftaran PSE asing atau PSE lingkup privat asing sama dengan pendaftaran PSE lingkup privat domestik. Hanya saja perlu ditambah informasi sebagai berikut:[14]\n\nidentitas PSE lingkup privat asing;identitas pimpinan perusahaan dan/atau identitas penanggung jawab;keterangan domisili dan/atau akta pendirian perusahaan (certificate of incorporation), dengan melampirkan dokumen pendukung yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah;jumlah pelanggan (user) dari Indonesia; dannilai transaksi yang berasal dari Indonesia;dokumen pendukung tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah.\n\nSetelah persyaratan pendaftaran dinyatakan lengkap, baik PSE lingkup privat domestik maupun asing, maka Menteri akan menerbitkan tanda daftar PSE yang dimuat di laman website yang dikelola oleh kementerian[15] atau OSS.\n\nSelengkapnya cara pendaftaran PSE melalui OSS dapat Anda lihat dalam panduan pendaftaran PSE lingkup privat melalui Panduan dan Infografis PSE Lingkup Privat.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dad2315ee51a/nprt/lt50f64aea0fb9f/peraturan-pemerintah-nomor-71-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_71_2019)\n2. [Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fc72cf2b41de/peraturan-menteri-komunikasi-dan-informatika-nomor-5-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkominfo_5_2020)\n3. [Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60b6f693304f6?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkominfo_10_2021)\nREFERENSI:\n1. Webinar Hukum Compliance Talks #6. Kupas Tuntas Pendaftaran Pendaftaran Sistem Elektronik (PSE) dan Manfaatnya bagi Pengusaha yang diselenggarakan pada Kamis, 25 Agustus 2020, pukul 14.30 – 15.55 WIB\n2. OSS, yang diakses pada tanggal 29 Agustus 2022, pukul 19.05 WIB\n3. Panduan dan Infografis PSE Lingkup Privat, yang diakses pada 0 Agustus 2022, pukul 08.05 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”)[2] Pasal 2 ayat (2) PP 71/2019[3] Pasal 2 ayat (3) dan (4) PP 71/2019[4] Pasal 2 ayat (5) huruf a dan b PP 71/2019[5] Pasal 2 ayat (5) huruf b PP 71/2019[6] Pasal 6 ayat (1) dan (3) PP 71/2019[7] Pasal 100 ayat (1) dan (2) PP 71/2019[8] Aulia Zulfa dalam Webinar Hukum Compliance Talks #6. Kupas Tuntas Pendaftaran Pendaftaran Sistem Elektronik (PSE) dan Manfaatnya bagi Pengusaha yang diselenggarakan pada Kamis, 25 Agustus 2020, pukul 14.30 – 15.55 WIB[9]Aulia Zulfa dalam Webinar Hukum Compliance Talks #6. Kupas Tuntas Pendaftaran Pendaftaran Sistem Elektronik (PSE) dan Manfaatnya bagi Pengusaha yang diselenggarakan pada Kamis, 25 Agustus 2020, pukul 14.30 – 15.55 WIB[10] Pasal 2 ayat (3) jo. Pasal 3 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat (“Permenkominfo 5/2020”)[11] Pasal 3 ayat (4) Permenkominfo 5/2020[12] Aulia Zulfa dalam Webinar Hukum Compliance Talks #6. Kupas Tuntas Pendaftaran Pendaftaran Sistem Elektronik (PSE) dan Manfaatnya bagi Pengusaha yang diselenggarakan pada Kamis, 25 Agustus 2020, pukul 14.30 – 15.55 WIB[13] Pasal 4 ayat (1) Permenkominfo 5/2020[14] Pasal 4 ayat (2) dan (3) Permenkominfo 5/2020[15] Pasal 6 Permenkominfo 5/2020"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya membeli tanah seluas 130m2, dengan harga Rp5,5 juta. Saat ini bermaksud untuk dibuatkan akta jual beli (AJB), dari pihak Desa setempat mematok harga AJB Rp500 ribu. Saya merasa harga itu terlalu tinggi, mohon berikan informasi untuk harga AJB yang normal. Lokasi tanah di Kp. Parunglesang Ds. Pasirranji-Cikarang Pusat Bekasi. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Setahu kami, harga akta jual beli (AJB) berbeda-beda di setiap daerah. Namun, lazimnya harga AJB tersebut sekitar 1% dari Nilai Jual Objek Pajak. Selain biaya AJB, biaya lain yang wajib dibayar adalah Pajak Penghasilan (5% dr NJOP) dan Bea atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Terima kasih."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah menikah kurang lebih 4 tahun. Saya berniat untuk menceraikan suami saya, kira-kira berapa biaya yang dibutuhkan berikut dengan pengacara? Sebagai catatan, saya dulu menikah dan sampai saat ini masih tinggal di Bogor. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebagian orang menggunakan jasa advokat karena alasan waktu dan praktis. Kehadiran advokat dapat dikategorikan sebagai salah satu cara mengurus surat cerai tanpa sidang. Semua hal akan diwakilkan kepada advokat sebagai kuasa hukum.\nLalu, berapa biaya pengacara perceraian yang dibutuhkan? Pada dasarnya, tidak ada standar baku untuk biaya perceraian. Pasal 21 UU Advokat menerangkan bahwa advokat berhak menerima honor atas jasa yang diberikan.[1] Akan tetapi, tidak ada “harga” pasti mengenai honor seorang advokat, jumlah ditentukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.[2]\nUmumnya, pengacara/advokat menawarkan biaya perceraian dengan dua skema pembayaran, yaitu secara lump sum (pembayaran tunai) atau hourly-basis (dihitung per jam). Klien tinggal menentukan skema mana yang cocok dengan kemampuan dan kebutuhannya.\n\nSelain itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam Fee yang Wajar untuk Advokat (Success Fee), gambaran mengenai fee advokat juga dapat dilihat dalam Advokat Indonesia Mencari Legitimasi yang menerangkan bahwa sebuah kantor hukum di Jakarta menetapkan komponen biaya jasa hukum untuk kasus perceraian sebagai berikut (hal 315):\n\nhonorarium advokat;biaya transport;biaya akomodasi;biaya perkara;biaya sidang; danbiaya kemenangan perkara (success fee) yang besarnya antara 5-20%.\n\nPenjelasan lainnya seputar biaya advokat ini dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut:\n\nPanduan Menemukan Pengacara yang Berkualitas dengan Biaya TerukurBingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium Advokat\nPanjar Biaya Perkara\n\nBiaya perceraian tanpa pengacara tentu lebih ringan. Sebab, biaya mengurus perceraian sendiri yang perlu dibayarkan hanyalah panjar biaya perkara di pengadilan.\nBesaran panjar biaya perkara bergantung pada pengadilan mana Anda akan mengajukan perceraian tersebut. Contohnya, apabila Anda beragama Islam, maka Anda mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (dalam hal ini suami) sebagaimana disebut dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) UU 7/1989.\nBerdasarkan keterangan yang disebutkan, di mana suami Anda berkediaman di Bogor, permohonan cerai harus diajukan ke Pengadilan Agama Bogor.\nTerkait biaya perceraian di pengadilan agama, berikut biaya perceraian atau panjar biaya perkara terbaru Pengadilan Agama Bogor berdasarkan SK Ketua PA Bogor No. W10-A18/53/HK.05/I/2023.\nPanjar Biaya Perkara Cerai TalakNo.KomponenSatuanTotal1Pendaftaran30,00030,0002Redaksi10,00010,0003Relaas Pertama kepada Pemohon10,00010,0004Relaas Pertama kepada Termohon10,00010,0005Relaas Pemberitahuan Putusan kepada Pemohon10,00010,0006Relaas Pemberitahuan Putusan kepada Termohon10,00010,0007Biaya Proses50,00050,0008Biaya Panggilan Pemohon (2 kali)150,000300,0009Biaya Panggilan Termohon (2 kali)150,000300,00010Pemberitahuan kepada Termohon150,000150,00011Panggilan Ikrar (2 kali)150,000300,00012Meterai10,00010,000TotalRp1.190,000\n\nBaca Juga: Cerai Karena Gugatan dan Cerai Karena Talak\n\nKemudian, apabila Anda beragama selain Islam, gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Perlu diketahui, panjar biaya perkara perceraian pengadilan negeri dapat berbeda dengan yang dikenakan di pengadilan agama.\nBerdasarkan SK Ketua PN Bogor Kelas IA No. W11.U2/90/HK.02/II/2023 tentang penetapan biaya perceraian di pengadilan negeri adalah sebagai berikut.\nPanjar Biaya Perkara Gugatan No.KomponenSatuanTotal 1Pendaftaran30,00030,0002Biaya proses100,000100,0003Biaya redaksi10,00010,0004Meterai10,00010,0005Panggilan kepada penggugat melalui email sebanyak 3 kali--6PNBP panggilan pertama kepada penggugat10,00010,0007Panggilan kepada tergugat sebanyak 4 kali125,000600,0008PNBP Panggilan pertama kepada tergugat10,00010,0009Biaya sumpah sebanyak 4 kali10,00040,00010Pemberitahuan putusan kepada penggugat--11PNBP pemberitahuan putusan kepada penggugat10,00010,00012Pemberitahuan putusan kepada tergugat150,000150,00013PNBP pemberitahuan putusan kepada tergugat10,00010,00014Pemberitahuan pencabutan perkara pada tergugat150,000150,00015PNBP permohonan pencabutan perkara150,000150,000Total Rp1.280.000\nBiaya Pencatatan Perceraian\n\nSesudah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, perceraian itu harus dicatatkan di Catatan Sipil. Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban untuk mengirimkan satu helai salinan putusan pengadilan kepada pegawai pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan pegawai pencatat akan mendaftarkan putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.[3]\n\nPencatatan perceraian di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[4]\n\nsalinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; kutipan akta perkawinan; kartu keluarga (KK); dan KTP-el.\n\nPencatatan ini dilakukan dalam register Pencatatan Sipil pada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil.[5] Kemudian, setelah melalui tahapan demi tahapan pencatatan sipil, kemudian diterbitkanlah Kutipan Akta Perceraian sebagai dokumen kependudukan[6].\n\nPenerbitan Kutipan Akta Perceraian yang merupakan kelanjutan dari proses pencatatan perceraian ini tidak dipungut biaya dan tidak masuk dalam daftar biaya perceraian yang perlu dibayarkan. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 79A UU 24/2013 yang menerangkan bahwa pengurusan dan penerbitan dokumen kependudukan tidak dipungut biaya.\nDemikian jawaban dari kami terkait biaya gugat cerai yang perlu dikeluarkan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](/cdn-cgi/l/email-protection#acc4d8d8dcdf968383dbdbdb82c4d9c7d9c1c3c2c0c5c2c982cfc3c183dcd9dfcdd8c8cdd8cd83c8c9d8cdc5c0839e9a949f9883d9c2c8cdc2cbd9c2c8cdc2cb81c2c3c1c3de819d81d8cdc4d9c2819d959b9883c8c3cfd9c1c9c2d893d9d8c1f3dfc3d9decfc991dbc9cedfc5d8c98acdc1dc97d9d8c1f3c1c9c8c5d9c191c5c2d8c9dec2cdc0f3c0c5c2c7f3c7c0c5c2c5c78acdc1dc97d9d8c1f3cfcdc1dccdc5cbc291d9d9f39df39d959b98)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](/cdn-cgi/l/email-protection#18706c6c686b2237376f6f6f36706d736d7577767471767d367b777537686d6b796c7c796c79377c7d6c79717437746c2d7c797e7d7c7e2c7b7c28292c276d6c75476b776d6a7b7d256f7d7a6b716c7d3e797568236d6c7547757d7c716d752571766c7d6a7679744774717673477374717671733e797568236d6c75477b79756879717f76256d6d47292e472a282921)\n3. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17803/undangundang-nomor-7-tahun-1989/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1989)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25602?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2006)\n5. [Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt546457ffe3747?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_50_2009)\n6. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13147/node/303/uu-no-18-tahun-2003-advokat?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2003)\n7. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/undangundang-nomor-23-tahun-2006/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2006)\n8. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n9. [Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1700/peraturan-pemerintah-nomor-9-tahun-1975?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_9_1975)\n10. [Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5bd96b5e9e94d/peraturan-presiden-nomor-96-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_96_2018)\n11. [Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Bogor Nomor W10-A18/53/HK.05/I/2023 tentang Panjar Biaya Perkara Pada Pengadilan Agama Bogor](https://www.pa-bogor.go.id/pelayanan/biaya-perkara/2019-10-12-03-10-50)\n12. [Surat Keputusan Ketua Pengadilan Negeri Bogor Kelas IA Nomor W11.U2/90/HK.02/II/2023 tentang Penetapan Biaya Perkara Perdata Pada Pengadilan Negeri Bogor Kelas IA](https://pn-bogor.go.id/biaya-proses-perkara-perdata/)\nREFERENSI:\n1. Binziad Kadafi. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum& Kebijakan Indonesia, 2001.\n\n[1] Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”)[2] Pasal 21 ayat (2) UU Advokat[3] Pasal 35 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 42 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”)[4] Pasal 42 ayat (1) Perpres 96/2018[5] Pasal 1 angka 2 Perpres 96/2018[6] Pasal 63 Perpres 96/2018"
} |
{
"from": "human",
"value": "Orang tuaku mau beli tanah dan bangunan sebesar Rp200 juta. Berapa biaya yang harus dikeluarkan orang tuaku untuk pajak penjualan, biaya notaris, balik nama dan sebagainya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Selasa, 30 Maret 2010. KLINIK TERKAIT Kepemilikan Properti (Kaitannya dengan Pernikahan dengan Pria WNA) 28 Jul 2017 Dasar Hukum Dibuatnya Akta Notaris untuk Pendirian Perusahaan 07 Jul 2017 Prosedur Pemecahan Tanah SHM yang Ingin Diwakafkan Sebagian 15 Jun 2017 Surat Kepemilikan Tanah atau Surat Keterangan Riwayat Tanah 23 Mei 2017 Intisari: Beberapa biaya yang sekiranya akan dikeluarkan dalam membeli tanah dan bangunan antara lain : 1. Uang jasa (honorarium) PPAT, termasuk uang jasa (honorarium) saksi, yang jumlahnya tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta; 2. BPHTB sebesar paling tinggi 5% (lima persen) dari Nilai Transaksi/NJOP dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak; Untuk DKI Jakarta, ada pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak untuk pertama kali meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru, hanya untuk wajib pajak orang pribadi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp 2 miliar. 3. Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah (balik nama) yang dihitung dengan rumus sebagai berikut: T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp 50.000,00 4. Biaya pelayanan informasi untuk Nilai Tanah atau Nilai Aset Properti per bidang adalah Rp 50.000; 5. Biaya pengecekan sertifikat adalah Rp 50.000. Sedangkan pajak penghasilan dikenakan kepada penjual. Penjelasan lebih lanjut, silakan simak ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam hal ini, orang tua Anda bertindak sebagai pembeli tanah dan bangunan. Berikut beberapa biaya yang dikenakan kepada pembeli tanah dan bangunan, antara lain : Honorarium Pejabat Pembuat Akta Tanah Perlu kami luruskan bahwa yang membuat akta jual beli terkait tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”). PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP 24/2016”) . Uang jasa (honorarium) PPAT , termasuk uang jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta . [1] Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi administrasi. [2] Jadi pada dasarnya honorarium PPAT tergantung dari masing-masing PPAT, akan tetapi tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam akta. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Perlu diketahui bahwa dalam hal orang tua Anda mau membeli tanah dan bangunan, maka biaya yang dikenakan terhadap orang tua Anda sebagai pembeli adalah Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“BPHTB”). Aturan mengenai BPHTB dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) serta peraturan masing-masing daerah, misalnya di DKI Jakarta diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (“Perda DKI Jakarta 18/2010”) . BPHTB adalah Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. [3] Objek Pajak BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. [4] Sedangkan yang menjadi Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan. [5] Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan tersebut salah satunya adalah melalui pemindahan hak karena jual beli. [6] Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). [7] Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah . [8] Untuk di DKI Jakarta, b erdasarkan Perda DKI Jakarta 18/2010, tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen). [9] Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. [10] Dalam hal jual beli, Nilai Perolehan Objek Pajak adalah harga transaksi. [11] Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak (nilai transaksi) tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. [12] Cara Menghitung BPHTB [13] Tarif BPTHB x (Nilai Transaksi/NJOP – Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak) Besaran Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NPOPTKP”) ditetapkan sebagai berikut: [14] a. besaran Rp 80 juta untuk setiap Wajib Pajak; dan b. besaran Rp 350 juta untuk Waris dan Hibah Wasiat. Pengenaan 0% Atas BPHTB di DKI Jakarta Perlu diketahui bahwa ada pengenaan 0% atas BPHTB terhadap perolehan hak untuk pertama kali meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru, sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang Pengenaan 0% (Nol Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Perolehan Hak Pertama Kali Dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Sampai dengan RP2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) (“Pergub DKI Jakarta 126/2017”) . Pemindahan hak tersebut karena: [15] a. jual beli; b. hibah c. hibah wasiat; atau d. waris Sedangkan pemberian hak baru tersebut karena: [16] a. kelanjutan pelepasan hak; atau b. di luar pelepasan hak. Ketentuan pengenaan 0% (nol persen) atas BPTHB adalah sebagai berikut: [17] a. hanya untuk wajib pajak orang pribadi , yang merupakan Warga Negara Indonesia yang berdomisili di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta paling sedikit selama 2 (dua) tahun berturut-turut, berdasarkan Kartu Tanda Penduduk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau Kartu Keluarga atau surat keterangan domisili dari pejabat yang berwenang; [18] b. diberikan untuk pertama kali perolehan hak karena pemindahan hak atau pemberian hak baru; dan c. dengan Nilai Perolehan Objek Pajak sampai dengan Rp2 miliar . Pengenaan 0% (nol persen) atas BPHTB ini diberikan dengan cara mengajukan permohonan yang harus dilengkapi dokumen persyaratan umum dan khusus. [19] Dokumen persyaratan umum terdiri atas: [20] a. surat permohonan harus memuat: 1. Nomor Induk Kependudukan (NIK); 2. nama wajib pajak; 3. alamat wajib pajak 4. alamat objek pajak; dan 5. uraian permohonan. b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib pajak atau Kartu Keluarga yang telah dilegalisir atau surat keterangan domisili dari pemerintah setempat sesuai aslinya; c. surat kuasa pengurusan permohonan pengenaan 0% (nol persen) BPHTB apabila dikuasakan disertai fotokopi KTP penerima kuasa yang telah dilegalisir; d. surat pernyataan wajib pajak orang pribadi belum pernah memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan karena jual beli atau belum pernah diberikan hak atas tanah dan/atau bangunan karena pemberian hak baru atau belum pernah menerima hak atas tanah dan/atau bangunan karena hibah atau hibah wasiat atau waris sebagaimana tercantum dalam Lampiran Pergub DKI Jakarta 126/2017; dan e. perhitungan BPHTB terutang yang terdapat dalam Surat Setoran Pajak Daerah (“SSPD”) BPHTB. Dokumen persyaratan khusus karena jual beli pertama kali terdiri atas: [21] a. draft akta autentik dari Notaris atau PPAT berupa pemindahan hak atas tanah karena jual beli dengan melampirkan fotokopi bukti transfer atau bukti pembayaran jual beli dengan menunjukkan aslinya; b. fotokopi sertifikat hak atas tanah dalam hal perolehan hak atas tanah dilakukan dari tanah yang telah bersertifikat dan untuk tanah yang belum bersertifikat wajib melampirkan bukti dokumen yang menunjukkan kepemilikan atas tanah tersebut; dan c. fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“SPPT PBB-P2”) yang dimohonkan pengenaan 0% (nol persen) atas BPHTB dan bukti lunas SPPT PBB-P2 atau tidak memiliki tunggakan. Setelah permohonan beserta dokumen persyaratan umum dan persyaratan khusus diterima oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (“Kepala Badan Pajak dan Retda”) atau Pejabat yang ditunjuknya, dilakukan penelitian kelengkapan. [22] Dalam hal setelah dilakukan penelitian dokumen persyaratan permohonan pengenaan BPHTB terpenuhi, maka Kepala Badan Pajak dan Retda atau Pejabat yang ditunjuknya melakukan validasi pengesahan pada SSPD BPHTB paling lama dalam waktu 3 (tiga) hari. [23] Akan tetapi, jika setelah dilakukan penelitian dokumen persyaratan permohonan pengenaan 0% (nol persen) atas BPHTB tidak terpenuhi, maka permohonan ditolak sehingga terutang BPHTB. [24] Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel Peraturan Baru Fasilitas BPHTB di Jakarta atau New Provisions on BPHTB Facilities in Jakarta . Biaya Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah (Balik Nama) Balik nama termasuk pemeliharaan data pendaftaran tanah. Mengenai pemeliharaan data pendaftaran tanah, dapat merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”) dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria 3/1997”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. [25] Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi: [26] a. pendaftaran perubahan dan pembebanan hak; b. pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar. [27] Perubahan data yuridis salah satunya berupa peralihan hak karena jual beli , tukar menukar, hibah pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. [28] Mengenai tarif pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah berupa pelayanan pendaftaran pemindahan peralihan hak atas tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“PP 128/2015”) . Tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum, dihitung berdasarkan rumus: [29] T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp 50.000,00 Yang dimaksud dengan Nilai Tanah adalah nilai pasar ( market value ) yang ditetapkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dalam peta zona nilai tanah yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk tahun berkenaan dan untuk wilayah yang belum tersedia peta zona nilai tanah digunakan NJOP atas tanah pada tahun berkenaan. [30] Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut: [31] Penghitungan berdasarkan nilai pasar per meter persegi (m²) adalah Rp100.000,00. Luas Tanah adalah 100 m². Jadi nilai tanah dihitung menjadi: = Rp100.000,00 x 100 = Rp10.000.000,00 Dengan demikian, penghitungan tarif Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah berupa Pelayanan Pendaftaran Pemindahan Peralihan Hak Atas Tanah untuk Perorangan dan Badan Hukum menjadi: T = 1‰ x Rp10.000.000,00 + Rp50.000,00 = Rp10.000,00 + Rp50.000,00 = Rp60.000,00 Jadi, tarif yang dikenakan sebesar Rp60.000,00. Sebagai informasi, zona nilai tanah dapat dilihat melalui Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik melalui sistem elektronik berupa aplikasi Layanan Informasi Pertanahan yang disediakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2017 tentang Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik (“Permen Agraria 5/2017”) . Berdasarkan Permen Agraria 5/2017, jenis Layanan Informasi Pertanahan secara Elektronik tersebut salah satunya terdiri dari informasi Zona Nilai Tanah. [32] Permohonan layanan informasi pertanahan tersebut diajukan secara elektronik oleh: [33] a. pemegang Hak atas Tanah dan/atau kuasanya; b. PPAT; c. Notaris; d. Kantor Lelang Negara; e. Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi; f. pihak bank; dan g. pihak lain yang ditetapkan oleh Menteri. Pajak Penghasilan Pajak penghasilan pada dasarnya dikenakan kepada penjual, bukan kepada Anda sebagai pembeli , hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”) : (1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari : a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ; atau b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final . (2) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan , tukar-menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak. (3) …. Besarnya pajak penghasilan adalah 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. [34] Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hal jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan hak kepada pemerintah dan pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang, adalah nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh . [35] Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan, salah satunya adalah orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah. [36] Biaya Pelayanan Informasi Nilai Tanah Berdasarkan PP 128/2015, biaya pelayanan informasi untuk Nilai Tanah atau Nilai Aset Properti per bidang adalah Rp 50.000. [37] Biaya Pengecekan Sertifikat Berdasarkan PP 128/2015, biaya pengecekan sertifikat adalah Rp 50.000. [38] Perlu diketahui bahwa uraian di atas adalah sebagian dari biaya-biaya yang dikenakan kepada pembeli tanah dan bangunan. Untuk lebih lengkapnya, Anda dapat menghubungi PPAT setempat mengenai biaya-biaya lainnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional ; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya ; 6. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ; 7. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ; 8. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2017 tentang Layanan Informasi Pertanahan Secara Elektronik ; 9. Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir oleh Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ; 10. Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2017 tentang Pengenaan 0% (Nol Persen) Atas Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Terhadap Perolehan Hak Pertama Kali dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Sampai dengan RP2.000.000.000,00 (Dua Miliar Rupiah) . [1] Pasal 32 ayat (1) PP 24/2016 [2] Pasal 32 ayat (5) PP 24/2016 [3] Pasal 1 angka 41 UU 28/2009 dan Pasal 1 angka 18 Perda DKI Jakarta 18/2010 [4] Pasal 85 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 3 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010 [5] Pasal 86 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 4 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010 [6] Pasal 85 ayat (2) huruf a angka 1) UU 28/2009 dan Pasal 3 ayat (2) huruf a angka 1 Perda DKI Jakarta 18/2010 [7] Pasal 88 ayat (1) UU 28/2009 [8] Pasal 88 ayat (2) UU 28/2009 [9] Pasal 6 Perda DKI Jakarta 18/2010 [10] Pasal 87 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (1) Perda DKI Jakarta 18/2010 [11] Pasal 87 ayat (2) huruf a UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (2) huruf a Perda DKI Jakarta 18/2010 [12] Pasal 87 ayat (3) UU 28/2009 dan Pasal 5 ayat (3) Perda DKI Jakarta 18/2010 [13] Pasal 89 ayat (1) UU 28/2009 dan Pasal 7 Perda DKI Jakarta 18/2010 [14] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2011 tentang Prosedur Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan [15] Pasal 2 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [16] Pasal 2 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [17] Pasal 3 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [18] Pasal 3 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [19] Pasal 4 Pergub DKI Jakarta 126/2017 [20] Pasal 5 Pergub DKI Jakarta 126/2017 [21] Pasal 6 Pergub DKI Jakarta 126/2017 [22] Pasal 10 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [23] Pasal 11 ayat (1) dan (2) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [24] Pasal 11 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 126/2017 [25] Pasal 1 angka 12 PP Pendaftaran Tanah [26] Pasal 12 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah [27] Pasal 36 ayat (1) PP Pendaftaran Tanah dan Pasal 94 ayat (1) Permen Agraria 3/1997 [28] Pasal 94 ayat (2) huruf a Permen Agraria 3/1997 [29] Pasal 16 ayat (2) PP 128/2015 [30] Penjelasan Pasal 16 ayat (1) PP 128/2015 [31] Penjelasan Pasal 16 ayat (2) PP 128/2015 [32] Pasal 2 ayat (2) huruf d Permen Agraria 5/2017 [33] Pasal 3 ayat (1) Permen Agraria 5/2017 [34] Pasal 2 ayat (1) huruf a PP 34/2016 [35] Pasal 2 ayat (2) huruf d PP 34/2016 [36] Pasal 6 huruf a PP 34/2016 [37] Romawi III tentang Pelayanan Informasi Pertanahan huruf D nomor 1 Lampiran PP 128/2015 [38] Romawi III tentang Pelayanan Informasi Pertanahan huruf F nomor 1 Lampiran PP 128/2015 pajak penghasilan perdata pajak ppat lelang waris hibah klinik hukumonline tanah pertanahan properti imb hak milik pejabat pembuat akta tanah hukumonline sertifikat hak milik konstruksi bank hak atas tanah google bphtb shm hukum klinik bangunan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya sudah mengajukan permohonan pengaduan sengketa melalui Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen atau APPK. Apakah terdapat biaya jika saya memohonkan untuk menyelesaikan pengaduan tersebut di LAPS SJK?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Penyelesaian Sengketa Jarak Jauh Dilakukan Melalui LAPS SJK?02 Feb 2023Alur Penyelesaian Sengketa Jasa Keuangan Melalui LAPS SJK01 Feb 2023Mengenal LAPS SJK (Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan)30 Jan 2023Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan via LAPS SJK25 Mei 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, kami terlebih dahulu akan menjelaskan mengenai jenis-jenis sengketa yang ditangani oleh Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (“LAPS SJK”).\n\nPada dasarnya, pengaduan sengketa yang dilayani oleh LAPS SJK yaitu sengketa retail & small claims dan sengketa komersil. Pembagian jenis sengketa ini berlaku untuk penyelesaian sengketa sektor jasa keuangan melalui mediasi.\nAdapun yang menjadi tolok ukur penentuan jenis sengketa tersebut diatur dalam Peraturan LAPS SJK No. 06. Sengketa yang masuk ke dalam kategori retail & small claims dikategorikan berdasarkan nilai sengketa yang akan diselesaikan di LAPS SJK, yaitu:[1]\nJenis SengketaNilai Tuntutan Konsumen ke PUJK Bidang pergadaian, pembiayaan dan financial technologyRp200.000.000,00 Perbankan, pasar modal, asuransi jiwa, dana pensiun, modal ventura, dan penjaminanRp500.000.000,00 Asuransi umumRp750.000.000,00\nApabila nilai sengketa yang dimohonkan melalui Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen (“APPK”) tidak melebihi dari ambang batas nilai sengketa sebagaimana disebutkan di atas, maka termasuk kategori sengketa retail & small claims sehingga tidak dikenakan biaya apapun.[2]\nNamun, apabila nilai sengketa yang dimohonkan melalui APPK melebihi ambang batas nilai sengketa sebagaimana disebutkan di atas, maka akan dikategorikan sebagai sengketa komersil.\n\nTerhadap sengketa komersil, jika penyelesaian sengketa diselesaikan melalui mediasi, maka akan dikenakan biaya penanganan aduan yang terdiri dari biaya wajib yang harus dibayarkan serta biaya tentatif yaitu biaya yang harus dibayarkan jika diperlukan dalam rangkaian proses mediasi. Biaya wajib terdiri dari biaya pendaftaran permohonan mediasi, biaya administrasi mediasi serta honorarium mediator. Sedangkan biaya tentatif terdiri dari biaya pertemuan dan biaya pelaksanaan hasil mediasi.[3]\n\nAdapun rincian biayanya dapat Anda lihat dalam Lampiran III Peraturan LAPS SJK No. 06. Sebagai ilustrasi, dapat Anda simak perhitungan berikut ini:[4]\n\nBiaya pendaftaran: Rp2,5 jutaBiaya administrasi mediasi adalah 33,33% dari biaya administrasi arbitrase dengan ketentuan minimum biaya Rp5 juta. Misalnya nilai sengketa Rp3,5 miliar, maka biaya administrasi mediasinya menjadi [(2.500.000.000 x 7%) + (1.000.000.000 x 6%) x 30% x 80%] x 33,33%. Honorarium mediator adalah 33,33% dari honorarium arbiter dengan minimum biaya Rp12 juta. Misalnya nilai sengketa Rp3,5 miliar, maka biaya administrasi mediasinya menjadi [(2.500.000.000 x 7%) + (1.000.000.000 x 6%) x 70% x 80%] x 33,33%\n\nApabila honorarium mediator dibagi per jam karena mediasi berakhir tanpa kesepakatan perdamaian maka LAPS SJK memberikan honorarium kepada mediator Rp2,5 juta dan maksimal Rp7,5 juta per sesi pertemuan.\n\nDeposit biaya pertemuan: Rp2,5 juta.\nBiaya Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase\n\nSementara, apabila sengketa diselesaikan melalui arbitrase di LAPS SJK, maka biaya yang diperlukan antara lain biaya pendaftaran permohonan arbitrase, biaya administrasi arbitrase, honorarium arbiter, biaya pemeriksaan, dan biaya pelaksanaan hasil arbitrase serta biaya-biaya permohonan rekonvensi.[5]\n\nAdapun terkait dengan rincian biaya arbitrase dapat Anda baca di dalam Lampiran II Peraturan LAPS SJK No. 06. Sebagai ilustrasi, berikut akan kami tampilkan rincian biaya sengketa melalui arbitrase yang nilai sengketanya Rp3,5 miliar.[6]\n\nBiaya pendaftaran permohonan arbitrase: Rp2,5 juta.Biaya administrasi arbitrase menggunakan skala tarif secara berjenjang yakni sebagai berikut: [(2.500.000.000 x 7%) + (1.000.000.000 x 6%) x 30% x 80%].Honorarium arbiter juga menggunakan skala tarif berjenjang dengan perhitungan sebagai berikut: [(2.500.000.000 x 7%) + (1.000.000.000 x 6%) x 70% x 80%].\n\nJika majelis arbitrase terdiri dari 5 orang, maka dikenakan honor arbiter sebesar 150% dari hasil perhitungan tarif tersebut.\n\nDeposit biaya pemeriksaan: termohon dan pemohon masing-masing menyetor Rp5 juta.\n\nUntuk informasi lebih lengkap mengenai biaya, Anda dapat mengakses peraturan biaya tersebut melalui laman LAPS SJK.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Nomor 06 tentang Biaya Layanan Penyelesaian Sengketa.\n\nREFERENSI:\n1. Aplikasi Portal Perlindungan Konsumen yang diakses pada Kamis, 9 Maret 2023 pukul 10.05 WIB\n2. LAPS SJK yang diakses pada Kamis, 9 Maret 2023 pukul 10.59 WIB.\n\n[1] Pasal 19 ayat (1) Peraturan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan Nomor 6 tentang Biaya Layanan Penyelesaian Sengketa (“Peraturan LAPS SJK No. 06”)[2] Pasal19 ayat (2) Peraturan LAPS SJK No. 06[3] Pasal 2 huruf (b) Peraturan LAPS SJK No. 06[4] Lampiran III Peraturan LAPS SJK No. 06[5] Pasal 2 huruf (a) Peraturan LAPS SJK No. 06[6] Lampiran II Peraturan LAPS SJK No. 06"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sehubungan dengan medical checkup atau pemeriksaan kesehatan, berdasarkan peraturan perundang-undangan ada 3 macam pemeriksaan kesehatan, yaitu pemeriksaan sebelum bekerja, pemeriksaan kesehatan berkala dan pemeriksaan kesehatan khusus. Dari ketiga macam pemeriksaan tersebut, pertanyaannya:\n\nPihak manakah yang harus menanggung ketiga macam pemeriksaan tersebut terhadap pekerja outsourcing berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan?\nDapatkah para pihak (pengguna jasa dan penyedia jasa) memberlakukan biaya pemeriksaan berkala dengan persentase pengguna jasa 50% dan persentase penyedia jasa tenaga kerja (vendor) 50% yang dituangkan dalam surat perjanjian kerjasama serta bagaimana menurut segi hukumnya baik hukum kontrak maupun peraturan perundang-undangan tentang ketenagakerjaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Keselamatan dan Kesehatan Kerja\nBerdasarkan Pasal 1 angka 2 PP 50/2012 mendefinisikan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“K3”) adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.\n\nKesehatan kerja merupakan bagian dari keselamatan kerja. Hal ini dapat dilihat dari syarat-syarat keselamatan kerja salah satunya adalah untuk memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban.[1]\n\nKeselamatan kerja ini berlaku dalam tempat kerja di mana salah satuya dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan.[2]\n\nBerkaitan dengan pengertian K3, Pasal 1 angka 3 PP 50/2012 juga menjelaskan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.\n\nSedangkan, yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan adalah usaha kesehatan yang dilaksanakan dengan tujuan:[3]\n\nMemberikan bantuan kepada tenaga kerja dalam penyesuaian diri baik fisik maupun mental, terutama dalam penyesuaian pekerjaan dengan tenaga kerja;Melindungi tenaga kerja terhadap setiap gangguan kesehatan yang timbul dari pekerjaan atau lingkungan kerja;Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani) dan kemampuan fisik tenaga kerja;Memberikan pengobatan dan perawatan serta rehabilitasi bagi tenaga kerja yang menderita sakit.\n\nTugas pokok pelayanan kesehatan kerja salah satunya meliputi pembinaan dan pengawasan perlengkapan untuk kesehatan tenaga kerja.[4] Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan pelayanan kesehatan kerja, dan hal ini menjadi kewajiban pengurus dalam memberikan pelayanan.[5] Adapun yang dimaksud dengan pengurus adalah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.[6]\n\nPenyelenggaraan pelayanan kesehatan kerja ini dapat:[7]\nDiselenggarakan sendiri oleh pengurus;Diselenggarakan oleh pengurus dengan mengadakan ikatan dengan dokter atau pelayanan kesehatan lain;Pengurus dari beberapa perusahaan secara bersama-sama menyelenggarakan suatu pelayanan kesehatan kerja.\nJenis-jenis Pemeriksaan Kesehatan\n\nPemeriksaan Kesehatan Sebelum Kerja\n\nPemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter sebelum seorang tenaga kerja diterima untuk melakukan pekerjaan.[8] Pemeriksaan ini bertujuan agar tenaga kerja yang diterima berada dalam kondisi kesehatan yang setinggi-tingginya, tidak mempunyai penyakit menular yang akan mengenai tenaga kerja lainnya, dan cocok untuk pekerjaan yang akan dilakukan sehingga keselamatan dan kesehatan tenaga kerja yang bersangkutan dan tenaga kerja lain-lainnya yang dapat dijamin.[9]\nPemeriksaan Kesehatan Berkala\n\nPemeriksaan kesehatan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu terhadap tenaga kerja yang dilakukan oleh dokter.[10] Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk mempertahankan derajat kesehatan tenaga kerja sesudah berada dalam pekerjaannya, serta menilai kemungkinan adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan seawal mungkin yang perlu dikendalikan dengan usaha-usaha pencegahan.[11]\nPemeriksaan Kesehatan Khusus\n\nPemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh dokter secara khusus terhadap tenaga kerja tertentu.[12] Pemeriksaan Kesehatan khusus dimaksudkan untuk menilai adanya pengaruh-pengaruh dari pekerjaan tertentu terhadap tenaga kerja atau golongan-golongan tenaga kerja tertentu.[13]\nMenjawab pertanyaan Anda terkait pihak mana yang harus menanggung biaya pemeriksaan kesehatan tersebut, perlu digarisbawahi pemeriksaan kesehatan hanya diberlakukan terhadap tenaga kerja. Kemudian, Pasal 9 Permen 02/1980 telah ditegaskan bahwa pengurus bertanggung jawab atas biaya pemeriksaan kesehatan berkala atau pemeriksaan kesehatan khusus yang dilaksanakan atas perintah baik oleh Pertimbangan Kesehatan Daerah ataupun oleh Majelis Pertimbangan Kesehatan Pusat.\n\nLantas, bagaimana dengan penanggung jawab biaya pemeriksaan kesehatan sebelum kerja? Hal ini memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Namun, menurut hemat kami istilah ‘pemeriksaan kesehatan sebelum kerja’ memiliki pengertian yang sama dengan ‘pemeriksaan kesehatan tenaga kerja yang akan diterima disebuah perusahaan’. Dengan demikian, merujuk bunyi Pasal 8 ayat (1) UU 1/1970 mewajibkan pengurus memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.\nPelindungan Pekerja Outsourcing\n\nSistem outsourcing adalah adanya pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu perusahaan dengan sistem kontrak, namun kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja tetapi oleh perusahaan lain yang merupakan perusahaan pengerah tenaga kerja.[14] Definisi outsourcing juga dapat disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan yang diatur dalam Pasal 1601b KUH Perdata.[15]\n\nMenurut Maurice Greaver, outsourcing adalah tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain yang terikat dalam suatu kontrak kerja sama.[16]\n\nLebih lanjut, Pasal 81 angka 18 dan 20 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 64 dan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan mengatur sejumlah ketentuan perusahaan alih daya (outsourcing) dengan karyawan outsourcing itu sendiri.\n\nSalah satunya ketentuan pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya (outsourcing).[17]\n\nKetentuan pelindungan pekerja/buruh diatur lebih lanjut pada Pasal 18 ayat (3) PP 35/2021 jo. Pasal 81 angka 20 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi pelindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.\n\nDi sini kami mengasumsikan bahwa perusahaan penyedia jasa yang Anda maksud adalah perusahaan alih daya atau perusahaan outsourcing. Dengan demikian, kami berpendapat seharusnya yang bertanggung jawab atas biaya pemeriksaan kesehatan yang akan dilaksanakan adalah pada perusahaan alih daya, dan bukan pada perusahaan pengguna jasa sebagaimana Anda sebutkan atau yang kami asumsikan perusahaan pemberi kerja.\nBisakah Biaya Pemeriksaan Kesehatan Ditanggung Bersama?\n\nMengingat bunyi ketentuan bahwa segala pelindungan ditanggung oleh perusahaan alih daya atau perusahaan outsourcing, kami menyimpulkan bahwa biaya pemeriksaan kesehatan tidak dapat ditanggung bersama antara perusahaan pemberi kerja dan perusahaan outsourcing.\n\nSebagai tambahan informasi, Pasal 18 ayat (4) PP 35/2021 mengatur bahwa pelindungan pekerja/buruh, upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nSehingga dari pasal tersebut, perjanjian yang dibuat antara perusahaan pemberi kerja dengan perusahaan outsourcing untuk menanggung biaya pemeriksaan Kesehatan bersama-sama dapat dikatakan berpotensi melanggar syarat sah perjanjian, yakni bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.\n\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akbatnya Jika Tak Dipenuhi\n\nJadi, seluruh biaya pemeriksaan kesehatan bagi tenaga kerja ditanggung oleh pihak pengurus atau dalam hal ini ditanggung oleh perusahaan alih daya atau perusahaan outsourcing yang mempekerjakan karyawan outsourcing.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/715/node/183/uu-no-1-tahun-1970-keselamatan-kerja?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1970)\n3. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4fc34b51b2bc3/peraturan-pemerintah-nomor-50-tahun-2012?r=0&p=1&q=3.Peraturan%20Pemerintah%20Republik%20Indonesia%20Nomor%2050%20Tahun%202012%20Tentang%20Penerapan%20Sistem%20Manajemen%20Keselamatan%20Dan%20Kesehatan%20Kerja&rs=1847&re=2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_50_2012)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja, dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n7. [Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/1980 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28287/peraturan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-per02men1980-tahun-1980?r=0&p=1&q=5.Peraturan%20Menteri%20Tenaga%20Kerja%20Dan%20Transmigrasi%20Nomor%20Per.02%2FMen%2F1980%20Tahun%201980%20tentang%20Pemeriksaan%20Kesehatan%20Tenaga%20Kerja%20Dalam%20Penyelenggaraan%20Keselamatan%20Kerja&rs=1847&re=2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permen_2_1980)\n8. [Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.03/MEN/1982 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4afa5f74861dd/peraturan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-per-03-men-1982-tahun-1982?r=0&p=1&q=6.Peraturan%20Menteri%20Tenaga%20Kerja%20Dan%20Transmigrasi%20Republik%20Indonesia%20Nomor%20Per.03%2FMen%2F1982%20Tahun%201982%20tentang%20Pelayanan%20Kesehatan%20Tenaga%20Kerja&rs=1847&re=2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permen_3_1982)\nREFERENSI:\n1. Dinar Wahyuni, Posisi Pekerja Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Aspirasi, Vol. 2, No. 2, Desember, 2011\n2. H.P. Rajagukguk, Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (Co- determination), Cet. ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.\n\n[1] Pasal 3 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”)[2] Pasal 2 ayat (2) huruf a UU 1/1970[3] Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.03/MEN/1982 Tahun 1982 tentang Pelayanan Kesehatan Tenaga Kerja (“Permen 03/1982”)[4] Pasal 2 huruf e Permen 03/1982[5] Pasal 3 Permen 03/1982[6] Pasal 1 angka 2 UU 1/1970[7] Pasal 4 ayat (1) Permen 03/1982[8] Pasal 1 huruf a Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.02/MEN/1980 Tahun 1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja (“Permen 02/1980”)[9] Pasal 2 ayat (1) Permen 02/1980[10] Pasal 1 huruf b Permen 02/1980[11] Pasal 3 ayat (1) Permen 02/1980[12] Pasal 1 huruf c Permen 02/1980[13] Pasal 5 ayat (1) Permen 02/1980[14] H.P. Rajagukguk, Peran Serta Pekerja dalam Pengelolaan Perusahaan (Co- determination), Cet. ke-1, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002, hal. 79[15] Dinar Wahyuni, Posisi Pekerja Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Aspirasi, Vol. 2, No. 2, Desember, 2011, hal. 142[16] Dinar Wahyuni, Posisi Pekerja Outsourcing dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Jurnal Aspirasi, Vol. 2, No. 2, Desember, 2011, hal. 142[17] Pasal 81 angka 20 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam hormat. Saya sedang mengurus itsbat nikah mertua saya. Bapak mertua sudah meninggal dunia pada tahun 2011. Bagaimana prosedur permohonan itsbat nikah dan berapakah biaya pengurusan itsbat nikah tersebut? Sebelum dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada dasarnya, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) dan Pasal 5 ayat (1 ) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berlaku berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Itsbat nikah dilakukan sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) UUP yaitu nikah tanpa dicatat/ tidak punya akta nikah. Itsbat nikah itu sendiri adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Penjelasan lebih lanjut mengenai prosedur permohonan itsbat nikah dapat Anda simak dalam artikel Prosedur Permohonan Itsbat Nikah . KLINIK TERKAIT Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah 14 Jul 2023 Hukum Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Keluarga 03 Mar 2023 Bisakah Menuntut Pasangan yang Membatalkan Perkawinan? 06 Jan 2023 Langkah yang Harus Dilakukan Jika Buku Nikah Hilang 31 Des 2018 Dalam artikel Perkawinan Campuran , Drs. H. Tata Taofiqurrohman, S.H., M.H. dalam makalahnya Isbat Nikah Hubungannya dengan Nikah Massal mengatakan bahwa permohonan itsbat nikah diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu mohon agar perkawinan tersebut dinyatakan sah dan diperintahkan kepada PPN/KUA Kecamatan setempat mencatat perkawinan ini dan memberikan Kutipan Akta Nikah berdasarkan Keputusan Pengadilan Agama tersebut [ Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk (“UU 22/1946”) dan Pasal 7 KHI. Terkait dengan alasan dilakukannya pengajuan itsbat nikah, dalam Pasal 7 ayat (3) KHI antara lain disebutkan bahwa dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian Perceraian b. Hilangnya Akta Nikah c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UUP dan e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki halangan perkawinan menurut UUP Adapun yang berhak mengajukan permohonan Istbat nikah berdasarkan Pasal 7 ayat (4) KHI ialah pihak suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Oleh karena itu, sebelum mengajukan itsbat nikah, Anda sebagai pihak yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah perlu memastikan bahwa pengajuan itsbat nikah itu dilakukan hanya karena alasan-alasan di atas. Menjawab pertanyaan Anda, membayar biaya perkara permohonan itsbat nikah itu sendiri merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi seseorang dalam pengajuan itsbat nikah sebagaimana disebut dalam artikel Prosedur Permohonan Itsbat Nikah . Namun hal itu bergantung pada prosedur pengadilan agama setempat, yang mana pengadilan agama yang satu dengan yang lainnya bisa saja berbeda syaratnya. Artinya, biaya panjar perkara pengajuan itsbat nikah itu sendiri disesuaikan dengan pengadilan agama di wilayah tempat tinggal Anda. Anda tidak menyebutkan di mana wilayah tempat tinggal Anda. Sebagai contoh, dalam laman resmi Pengadilan Agama Pelaihari Kalimantan Selatan disebutkan bahwa Pihak Pemohon yang mengajukan itsbat nikah (perkara voluntair), terlebih dahulu harus membayar panjar biaya perkara. Untuk PA Pelaihari pembayarannya dilakukan melaui Bank BRI Unit Gagas Pelaihari yang jumlahnya sesuai dengan taksiran meja 1 seperti tersebut dalam SKUM. Bagi yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat mengajukannya dengan cuma-cuma/prodeo. Biaya panjar dalam Pengadilan Agama Pelaihari itu sendiri ditetapkan berdasarkan Panjar Biaya Perkara di Pengadilan Agama Pelaihari Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2008 Dan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Pelaihari Nomor: W.15a7/663/Ku.04.2/Xi/2010 . Yang mana biaya itsbat nikah termasuk dalam biaya perkara voluntair. Setelah pembayaran panjar biaya perkara dilakukan, kemudian pemohon mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Agama dengan melampirkan bukti slip pembayarkan lewat Bank tersebut, dan selanjutnya pemohon pulang dan menunggu panggilan sidang. Contoh lain kami dapatkan dari laman resmi Pengadilan Agama Batam yang mengatakan bahwa kalau biaya itsbat nikah berdasarkan radius tempat tinggal, yang dekat dengan Kantor Pengadilan Agama Batam (“PA Batam”) akan memakan biaya kecil sekitar Rp. 600.000,-. Sedangkan yang jauh dari kantor PA Batam akan memakan biaya yang besar pula. Namun demikian, secara umum biaya pendaftaran perkara dapat Anda lihat di Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya (“PP 53/2008”) . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pentjatatan Nikah, Talak dan Rudjuk ; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Yang Berada Di Bawahnya ; 4. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam . Referensi: 1. http://pa-pelaihari.go.id/index.php?content=umum&id=148 , diakses pada 6 Mei 2014 pukul 17.15 WIB 2. http://www.pa-batam.net/index.php?option=com_content&task=view&id=150&Itemid=1 , diakses pada 6 Mei 2014 pukul 17.30 WIB uu perkawinan hukum hukumonline khi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam, Saya adalah customer yang membeli sebuah unit apartemen di salah satu apartemen di Jakarta. Di tempat kami akan ada pengurusan AJB. Dalam proses tersebut developer menagihkan biaya pecah sertifikat (yang baru pecah 3 tahun sejak serah terima unit) yang jumlahnya luar biasa mahalnya dan angkanya bulat y.i. puluhan juta. Apakah biaya pecah sertifikat menjadi kewajiban pembeli? Apakah ada peraturan yang mengatur/melindungi customer mengenai pecah sertifikat? Berapa dan bagaimana atau komponen apa saja yang menentukan besaran biaya pecah sertifikat sehingga sedemikian mahal? Atas penjelasan dan bimbingan dari Bapak/Ibu saya haturkan terima kasih, Arinto Muha."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sehubungan dengan pertanyaan Anda, maka kami berasumsi bahwa di antara Anda dan developer telah terdapat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“ PPJB ”). Sehingga, untuk mengetahui biaya-biaya apa saja yang ditanggung penjual dan pembeli, maka hal tersebut dapat dilihat di dalam PPJB. Namun, jika belum ada pengaturannya, maka Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 Tahun 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun (“ Kepmenpera No. 11/KPTS/1994 ”) dapat dijadikan rujukan. KLINIK TERKAIT Jangka Waktu HGB Berakhir, Bagaimana Nasib Kepemilikan Apartemen? 04 Jul 2023 Sanksi Bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data 15 Sep 2020 Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 20 Jul 2016 Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah 08 Agt 2012 Berdasarkan Angka 5.4 Lampiran dari Kepmenpera No. 11/KPTS/1994 , disebutkan bahwa yang menjadi tanggung jawab pemesan (calon pembeli) adalah: 1. biaya pembayaran akta-akta yang diperlukan ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. biaya jasa P ejabat P embuat A kta T anah (PPAT) untuk pembuatan akta jual beli satuan rumah susun; 3. biaya untuk memperoleh h ak m ilik atas satuan rumah susun, biaya pendaftaran jual beli atas satuan rumah susun (biaya pengalihan hak milik atas nama) di Kantor Badan Pertanahan setempat; Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa biaya untuk memperoleh hak milik atas satuan rumah susun dapat dikategorikan ke dalam biaya pemecahan sertifikat. Tentunya, Anda sebagai konsumen atau pembeli berhak memperoleh keterangan yang lengkap dan jelas tentang perhitungan biaya-biaya tersebut. Pengaturan pemecahan atas sebidang tanah yang sudah terdaftar diatur pada Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 133 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . Untuk tiap bidang tanah yang dipecahkan akan dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertifikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertifikat asalnya. Komponen biaya pemecahan sertifikat diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (“ PP No. 13/2010 ”), yang antara lain mengatur sebagai berikut: 1. Pemetaan t ematik b idang t anah untuk p emecahan s ertifikat s kala 1 : 1.000 , yang dihitung per bidang tanah, dengan tarif Rp. Rp 75.000,00 (tujuh puluh lima ribu Rupiah); 2. Pelayanan p endaftaran p emisahan, p emecahan, dan p enggabungan , yang dihitung per bidang tanah, dengan tarif Rp 50.000,00 (lima puluh ribu Rupiah); Demikian jawaban dan penjelasan kami atas pertanyaan Anda. Atas perhatian dan kerja samanya kami ucapkan terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak 3. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 4. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 11/KPTS/1994 Tahun 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rumah Susun"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa saja syarat untuk mengajukan permohonan penetapan ahli waris di pengadilan negeri? Berapa lama prosesnya dan berapa biayanya? Untuk menghemat biaya, saya ingin mengurus sendiri, langkah-langkah apa saja yang harus saya lakukan di pengadilan negeri? Beberapa waktu lalu saya sempat mengurusnya di kantor kecamatan Pasar Manggis daerah Jaksel, kami dituntut biaya sebesar 20 juta rupiah. Besar sekali ya biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah surat penetapan ahli waris tersebut. Padahal, hanya untuk mengambil dana pensiunan saja. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dapat kami jelaskan bahwa untuk mengurus permohonan penetapan ahli waris bukanlah melalui kecamatan, permohonan penetapan ahli waris diajukan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Produk hukum berupa ‘penetapan’ merupakan produk hukum yang hanya dapat dihasilkan oleh lembaga Pengadilan, dengan demikian kantor kecamatan tidak memiliki wewenang dalam mengeluarkan penetapan tentang ahli waris . KLINIK TERKAIT Bagaimana Proses Permohonan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama? 24 Jun 2011 Dasar Hukum Penetapan Waris dan Akta Waris 04 Mei 2011 Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya 17 Mar 2011 Hak Waris dan Mekanismemya 08 Okt 2010 Terkait penetapan ahli waris sebagaimana yang Anda kehendaki, maka prosedur yang harus ditempuh ialah mengajukan surat permohonan penetapan ahli waris ke Pengadilan . Apabila Anda beragama Islam, maka permohonan diajukan kepada Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“ UU Peradilan Agama”) yang berbunyi sebagai berikut: “Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang waris…” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan, apabila Anda beragama selain Islam, maka surat permohonan tersebut Anda ajukan ke Pengadilan Negeri (lihat P asal 833 KUHPerdata ). Adapun hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain ialah layaknya sebuah proses permohonan di pengadilan. Anda harus menyiapkan bukti-bukti yang bisa memperkuat dasar permohonan Anda, seperti misalnya bukti tertulis (surat) berupa akta nikah, silsilah keluarga yang biasanya terdapat pada kartu keluarga , surat keterangan kematian, surat pengantar dari kepala desa, serta juga bisa berupa saksi-saksi yang bisa memperkuat keterangan Anda. Untuk biaya dalam mengurus surat keterangan/pengantar dari kepala desa setahu kami tidak dikenakan biaya apapun. Sedangakan mengenai jangka waktu proses dan besar biaya yang diperlukan dalam proses pengadilan , pada prinsipnya hal ini kembali berpijak pada asas peradilan yaitu cepat, sederhana, dan biaya ringan . Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara maka segala jenis perkara yang berada di Pengadilan harus sudah diputus atau diselesaikan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan . Sedangkan mengenai biaya, Anda hanya akan dikenakan biaya administrasi ketika mendaftarkan permohonan serta biaya perkara di Pengadilan . Biaya perkara berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (1) UU Peradilan Agama meliputi: a. biaya materai dan biaya kepaniteraan yang diperlukan untuk perkara tersebut b. biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah, dan biaya pengambilan sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut c. biaya yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan setempat dan tindakan-tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut d. biaya pemanggilan, pemberitahuan, dan lain-lain atas perintah pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut. Sedangkan, mengenai nominal biaya perkara tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 90 ayat (2) UU Peradilan Agama ditentukan oleh Mahkamah Agung. Untuk informasi lebih lanjut A nda dapat melihat sendiri daftar biaya yang diperlukan untuk proses pemohonan penetapan ahli waris ini pada pengadilan yang terkait. Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa sebenarnya kantor kecamatan tidak berwenang untuk mengeluarkan surat penetapan waris, karena hanya pengadilanlah yang berhak untuk melakukan hal tersebut . Dengan demikian, biaya sebesar Rp20 juta yang diminta oleh kantor kecamatan di daerah Anda tersebut pastinya merupakan suatu “pungutan liar” yang tidak memiliki dasar hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Saran kami , lebih baik A nda mengurus sendiri mengenai permohonan penetapan waris tersebut di pengadilan daripada membayar sejumlah uang tertentu ke kantor kecamatan untuk mengurus penetapan waris tersebut Demikian penjelasan kami, kiranya dapat membantu permasalahan Anda. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 3. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bagaimana sih konsep pertanggungan dari asuransi kesehatan? Apakah asuransi kesehatan bisa menjamin biaya keseluruhan untuk ditanggung atau ada batasan tertentu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi? 14 Mar 2022Dokter Malapraktik, Bisakah Asuransi yang 'Tanggung Jawab'?01 Mar 2022Klaim Uang Pisah yang Diasuransikan Perusahaan13 Jan 2022Hukumnya Asuransi Anggota Tubuh di Indonesia12 Jan 2022\n\nManusia dalam menjalani hidupnya selalu disertai dengan berbagai risiko yang bisa saja terjadi, tetapi tidak dapat diprediksikan kapan akan terjadi. Risiko adalah suatu peristiwa yang dapat terjadi, tetapi tidak dapat diprediksikan kapan peristiwa itu akan terjadi, dan apabila risiko itu terjadi, dapat menimbulkan kemalangan maupun kerugian materiil yang tidak sedikit. Demikian juga sakit atau musibah terkadang tidak dapat diprediksikan kapan akan terjadi.\n\nGuna mengatasi dan menghindari risiko dan biaya tinggi yang timbul di kemudian hari, seseorang dapat mengalihkan risiko kesehatannya kepada perusahaan asuransi kesehatan melalui perjanjian asuransi.\nAdapun pengertian asuransi kesehatan adalah sebuah jenis produk asuransi yang secara khusus menjamin biaya kesehatan atau perawatan para anggota asuransi jika jatuh sakit atau mengalami kecelakaan. Dari pengertian ini, dapat dimaknai bahwa asuransi kesehatan akan menutup biaya perawatan peserta asuransi yang sakit atau mengalami kecelakaan.\n\nBiaya yang diberikan oleh perusahaan asuransi dapat berupa biaya rawat inap dan rawat jalan, termasuk obat-obatan. Namun, yang harus diperhatikan sebelum memutuskan untuk menjadi peserta asuransi kesehatan adalah poin-poin biaya asuransi mana saja yang di-cover, sebab beberapa jenis asuransi kesehatan hanya membayar biaya selama rawat inap di rumah sakit dengan nominal pertanggungan yang sudah ditentukan dalam polis asuransi sebelumnya.\nBaca juga: Wajibkah Polis Asuransi Bermeterai?\n\nPatut Anda catat, dari perspektif hukum, asuransi adalah perjanjian, hal ini sebagaimana dapat disimpulkan dari ketentuan yang berlaku:\n\nAsuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk penggantian kepadanya karena suatu kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.[1]Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:[2]\n\nmemberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; ataumemberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.\nSyarat Sahnya Perjanjian Asuransi\n\nSetelah memahami asuransi kesehatan adalah perjanjian, adapun suatu perjanjian asuransi akan mengikat manakala memenuhi syarat sahnya perjanjian asuransi yang antara lain meliputi:\n\nSyarat umum, yang dapat disimpulkan dari ketentuan tentang syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:[3]\n\nKesepakatan (consensus), yaitu harus ada kesepakatan para pihak terkait objek asuransi, pengalihan risiko dan pembayaran premi, ganti kerugian, serta syarat-syarat khusus asuransi dalam polis asuransi.Kewenangan (authority), yaitu kedua belah pihak harus cakap dalam hukum dan mempunyai kewenangan objektif, di mana tertanggung mempunyai hubungan dengan benda yang menjadi objek asuransi, dan penanggung adalah pihak yang sah mewakili perusahaan asuransi.Objek tertentu (fixed objective), yaitu yang dapat menjadi objek asuransi adalah berupa harta kekayaan dan kepentingan yang melekat pada harta kekayaan, dan dapat berupa jiwa atau raga manusia dengan identitas yang jelas.Kausa yang halal (legal cause), yaitu benda yang menjadi objek asuransi tidak dilarang oleh undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan.\nSyarat khusus pemberitahuan (notification) artinya semua pemberitahuan yang keliru atau tidak benar, atau semua penyembunyian keadaan yang diketahui oleh tertanggung, meskipun dilakukan dengan iktikad baik, yang sifatnya sedemikian, sehingga perjanjian itu tidak akan diadakan, atau tidak diadakan dengan syarat-syarat yang sama, bila penanggung mengetahui keadaan yang sesungguhnya dari semua hal itu, membuat pertanggungan itu batal.[4]\n\nBaca juga: Kekuatan Perjanjian Asuransi Mengikat Para Pihak, Ini Dasarnya\nKesimpulan\n\nOleh karena itu, semua hal terkait dengan hak dan kewajiban para pihak harus tertulis dan dituangkan dalam polis asuransi sebagaimana diatur Pasal 255 KUHD, yang menyebutkan:\n\nPertanggungan harus dilakukan secara tertulis dengan akta, yang diberi nama polis.\nJadi, karena asuransi adalah perjanjian, maka apabila seseorang telah membuat polis asuransi kesehatan tidak berarti secara otomatis pada saat menderita sakit dan mengakses pelayanan kesehatan, semua biaya pengobatan akan di-cover oleh perusahaan asuransi (penanggung), tetapi bergantung pada isi kesepakatan yang dituangkan dalam polis asuransi yang berisi hak dan kewajiban para pihak, apakah biaya keseluruhan atau ada batasan tertentu yang ditanggung.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Dagang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/507/wetboek-van-koophandel-voor-indonesie/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHD)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54606a95b1521/undang-undang-nomor-40-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Asuransi)\n[1] Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”)[2] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Usaha Perasuransian[3] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[4] Pasal 251 KUHD"
} |
Subsets and Splits