0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Saya membaca berita bahwa di Jakarta ada kos-kosan yang mengadopsi konsep apartemen mini di Hong Kong. Kosan tersebut diduga tidak memenuhi standar layak huni karena berukuran sangat sempit (ukuran 2x1 meter) dan memiliki IMB yang tidak sesuai. Lalu saya baca juga bahwa Pemda setempat langsung mengambil sikap untuk menyegel kos tersebut. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana sesungguhnya standar kelaikan sebuah kos-kosan menurut hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengertian Kos Sebelum membahas lebih jauh pertanyaan Anda, ada perlunya peristilahan kos-kosan itu sendiri kita pahami terlebih dulu. Sepanjang penelusuran kami, berbagai peraturan perundang-undangan terkait tidak mengenal istilah “kos” secara eksplisit. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia mengenal istilah “indekos” yang merupakan bentuk baku dari “kos”, yaitu: Tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok . Dengan demikian, kata indekos memiliki sinonim dengan memondok. Lebih lanjut kami menemukan istilah “ pondokan ” dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) huruf d Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung (“Perda DKI 7/2010”) yang menyatakan bahwa pondokan merupakan salah satu jenis rumah tinggal sementara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kos yang Anda maksud adalah sebuah bangunan gedung yang memiliki fungsi hunian sebagai rumah tinggal sementara. Penyelenggaraannya tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang bangunan gedung, khususnya di DKI Jakarta yang menjadi fokus pertanyaan Anda. Izin Mendirikan Kos-kosan Salah satu syarat penting dalam pendirian bangunan adalah Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”). IMB adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, dan/atau mengurangi bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan teknis yang berlaku. [1] Pada dasarnya setiap orang yang akan mendirikan bangunan wajib memiliki IMB. [2] Untuk mengajukan permohonan IMB, setiap orang sekurang-kurangnya harus melengkapi persyaratan, antara lain: [3] tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau tanda bukti perjanjian; izin pemanfaatan tanah dari pemilik tanah; identitas/data pemilik bangunan gedung; rencana teknis bangunan gedung; dan hasil analisis mengenai dampak lingkungan bagi bangunan gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan. IMB, sebagaimana tercantum pada laman Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi DKI Jakarta, menjadi salah satu syarat untuk Izin Pendirian Kos . Selengkapnya, syarat yang dibutuhkan terdiri atas: Surat permohonan yang didalamnya terdapat pernyataan kebenaran dan keabsahan dokumen dan data bermaterai Rp 6.000; Identitas pemohon/penanggung jawab, yaitu fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) bagi Warga Negara Indonesia dan Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau VISA/Paspor untuk Warga Negara Asing. Jika dikuasakan, dibutuhkan surat kuasa bermaterai Rp 6.000 dan KTP orang yang diberi kuasa; Persetujuan tetangga dan KTP tetangga (kiri, kanan, depan, belakang); Fotokopi IMB; Izin rumah kost terdahulu; Fotokopi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun terakhir; Bukti pembayaran pajak hotel untuk rumah kos yang memiliki 10 kamar atau lebih; Surat pernyataan dari pemilik mengenai perubahan kepemilikan atau pengelolaan; Proposal teknis yang dilengkapi dengan: Jumlah kamar yang akan disewakan; Penjelasan tetang jasa yang akan ditawarkan; Kisaran harga sewa kamar kost; Denah bangunan dengan rincian rencana penggunaan setiap ruangan; Daftar fasilitas. Sertifikat Laik Fungsi bagi Kos-kosan Sementara agar dapat dimanfaatkan, sebuah gedung juga harus memiliki Sertifikat Laik Fungsi (“SLF”). [4] Yang dimaksud sebagai  SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan . [5] SLF diberikan kepada bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan keandalan bangunan gedung serta sesuai dengan izin yang diberikan. [6] Pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung berdasarkan kesesuaian IMB yang telah diberikan, meliputi: [7] Kesesuaian fungsi; Persyaratan tata bangunan; Keselamatan; Kesehatan; Kenyamanan; dan Kemudahan. Lebih lanjut, standar kelayakan hunian kos sebagai rumah tinggal sementara, antara lain: Minimal memiliki ruang yang terdiri dari ruang penggunaan pribadi, ruang bersama dan ruang pelayanan . Selain itu, bangunan tersebut juga dapat ditambahkan ruang penunjang dengan tujuan memenuhi kebutuhan kegiatan penghuni sepanjang tidak menyimpang dari penggunaan utama sebagai hunian. [8] Ruang rongga atap pada bangunan gedung fungsi hunian rumah tinggal harus mempunyai penghawaan dan pencahayaan alami yang memadai ; [9] Mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami ; [10] Menyediakan sarana evakuasi apabila terjadi bencana atau keadaan darurat , meliputi: [11] sistem peringatan bahaya; pintu keluar darurat; dan jalur evakuasi. Penyegelan Kos Mencermati pernyataan Anda terkait terjadinya penyegelan kos, kami mengasumsikan telah terjadi pelanggaran Pasal 3 ayat (1) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 128 Tahun 2012 tentang Pengenaan Sanksi Pelanggaran Penyelenggaraan Bangunan Gedung (“Pergub DKI 128/2012”) yang berbunyi: Setiap pemilik, pengguna, penyedia jasa konstruksi dan pengelola bangunan gedung yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi persyaratan dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenakan sanksi. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi berupa pembatasan kegiatan. [12] Penyegelan merupakan salah satu bentuk sanksi pembatasan kegiatan yang dimaksud. [13] Penyegelan dapat dikenakan pada pelanggaran sebagai berikut: [14] pembangunan bangunan gedung tanpa izin; pembangunan bangunan gedung tidak sesuai izin; penggunaan bangunan gedung tanpa SLF; pembangunan bangunan gedung dengan izin tetapi tidak dilaksanakan oleh pelaksana; pembangunan bangunan gedung dengan izin tetapi tidak diawasi oleh pengawas pelaksanaan yang disyaratkan; pembongkaran bangunan gedung pelestarian golongan A dan golongan B tanpa izin; penggunaan bangunan gedung yang tidak sesuai SLF; bangunan gedung yang sudah habis masa berlaku SLF dan tidak diperpanjang; bangunan gedung yang dimanfaatkan dengan SLF tetapi tidak dilakukan pemeliharaan oleh divisi pemeliharaan bangunan gedung yang disyaratkan; perubahan fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai izin; dan/atau pembongkaran bangunan gedung tanpa Persetujuan Rencana Teknis Bangunan (PRTB). Ketentuan-ketentuan tersebutlah yang mungkin dilanggar oleh pemilik kos-kosan yang Anda maksud. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 128 Tahun 2012 tentang Pengenaan Sanksi Pelanggaran Penyelenggaraan Bangunan Gedung Referensi : Izin Pendirian Kos , diakses pada 6 September 2019, pukul 15.45 WIB. [1] Pasal 1 angka 15 Perda DKI 7/2010 [2] Pasal 15 ayat (1) Perda DKI 7/2010 [3] Pasal 233 ayat (1) Perda DKI 7/2010 [4] Pasal 148 ayat (1) Perda DKI 7/2010 [5] Pasal 1 angka 16 Perda DKI 7/2010 [6] Pasal 148 ayat (2) Perda DKI 7/2010 [7] Pasal 153 Perda DKI 7/2010 [8] Pasal 38 Perda DKI 7/2010 [9] Pasal 39 ayat (2) Perda DKI 7/2010 [10] Pasal 82 ayat (2) Perda DKI 7/2010 [11] Pasal 106 ayat (1) Perda DKI 7/2010 [12] Pasal 3 ayat (2) huruf b Pergub DKI 128/2012 [13] Pasal 10 huruf a Pergub DKI 128/2012 [14] Pasal 14 ayat (1) Pergub DKI 128/2012 pertanahan hukumonline properti imb kos-kosan sertifikat laik fungsi dki jakarta" }
{ "from": "human", "value": "Bolehkah seorang polisi berbisnis di perusahaan dan menyalahgunakan jabatannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran 03 Jun 2024 Bolehkah Polisi Menggelar Razia Kendaraan di Tikungan Jalan? 02 Okt 2015 Bolehkah Meminta Polisi Menunjukkan Surat Tugas Razia? 25 Agt 2015 Bolehkah Aparat TNI Menjadi Debt Collector? 24 Agt 2015 Intisari: Salah satu larangan bagi anggota Kepolisian adalah memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya . Jadi, anggota Kepolisian tidak boleh melakukan bisnis atau memiliki usaha terlebih lagi dilakukan dengan cara menyalahgunakan wewenangnya. Jika melanggar, maka terhadapnya dapat dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Fungsi dan Tugas Pokok Kepolisian Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”) Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sementara, yang dimaksud dengan Anggota Kepolisian RI adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. [1] Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. [2] Tugas pokok Kepolisian RI adalah: [3] a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b. menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok, Kepolisian RI bertugas: [4] a. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; c. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-undangan; d. turut serta dalam pembinaan hukum nasional; e. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; f. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; h. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; i. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; j. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; k. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan Larangan Bagi Anggota Kepolisian Dalam melaksanakan tugas memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat , ada beberapa larangan bagi anggota Kepolisian. Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”) mengatur beberapa larangan bagi anggota Kepolisian RI d alam rangka memelihara kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu : a. melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan dan martabat negara, pemerintah, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; b. melakukan kegiatan politik praktis; c. mengikuti aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; d. bekerjasama dengan orang lain di dalam atau di luar lingkungan kerja dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan kepentingan negara; e. bertindak selaku perantara bagi pengusaha atau golongan untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari kantor/instansi Kepolisian Negara Republik Indonesia demi kepentingan pribadi; f. memiliki saham/modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya berada dalam ruang lingkup kekuasaannya ; g. bertindak sebagai pelindung di tempat perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan; h. menjadi penagih piutang atau menjadi pelindung orang yang punya utang; i. menjadi perantara/makelar perkara; j. menelantarkan keluarga. Selain itu, dalam pelaksanaan tugas anggota Kepolisian RI dilarang: [5] a. membocorkan rahasia operasi kepolisian; b. meninggalkan wilayah tugas tanpa izin pimpinan; c. menghindarkan tanggung jawab dinas; d. menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi; e. menguasai barang milik dinas yang bukan diperuntukkan baginya; f. mengontrakkan/menyewakan rumah dinas; g. menguasai rumah dinas lebih dari 1 (satu) unit; h. mengalihkan rumah dinas kepada yang tidak berhak; i. menggunakan barang bukti untuk kepentingan pribadi; j. berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani; k. memanipulasi perkara; l. membuat opini negatif tentang rekan sekerja, pimpinan, dan/atau kesatuan; m. mengurusi, mensponsori, dan/atau mempengaruhi petugas dengan pangkat dan jabatannya dalam penerimaan calon anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia; n. mempengaruhi proses penyidikan untuk kepentingan pribadi sehingga mengubah arah kebenaran materil perkara; o. melakukan upaya paksa penyidikan yang bukan kewenangannya; p. melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani; q. menyalahgunakan wewenang; r. menghambat kelancaran pelaksanaan tugas kedinasan; s. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahan; t. menyalahgunakan barang, uang, atau surat berharga milik dinas; u. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, meminjamkan, atau menghilangkan barang, dokumen, atau surat berharga milik dinas secara tidak sah; v. memasuki tempat yang dapat mencemarkan kehormatan atau martabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, kecuali karena tugasnya; w. melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apa pun untuk kepentingan pribadi, golongan, atau pihak lain; x. memakai perhiasan secara berlebihan pada saat berpakaian dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anggota kepolisian tidak boleh berbisnis atau memiliki usaha terlebih lagi dilakukan dengan cara menyalahgunakan wewenangnya. Jika melanggar, maka anggota kepolisian tersebut dapat dikenakan hukuman disiplin. Tindakan Disiplin dan/atau Hukuman Disiplin Anggota Kepolisian RI yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau hukuman disiplin . [6] Tindakan disiplin berupa teguran lisan dan/atau tindakan fisik. [7] Tindakan disiplin yang berupa teguran dan/atau tindakan fisik tidak menghapus kewenangan Atasan yang berhak menghukum ( Ankum ) untuk menjatuhkan Hukuman Disiplin. [8] Tindakan disiplin dapat dijatuhkan secara kumulatif. [9] Sementara itu, hukuman disiplin berupa: [10] a. teguran tertulis; b. penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun; c. penundaan kenaikan gaji berkala; d. penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. mutasi yang bersifat demosi; f. pembebasan dari jabatan; g. penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 hari. Hukuman disiplin ini dijatuhkan secara alternatif atau kumulatif. [11] Dalam artikel yang berjudul Larangan Polri Berbisnis Harus Dipertegas diberitakan bahwa rekening para perwira tinggi kepolisian sempat menggegerkan karena jumlahnya fantastis. Bahkan, salah seorang Perwira Tinggi mempunyai uang senilai Rp95 miliar dalam rekening. Masih bersumber dari artikel yang sama, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Pol Ito Sumardi (yang menjabat saat itu) mengatakan bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan bisnis yang sah dan tidak melanggar hukum. Menanggapi hal tersebut, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho (yang menjabat saat itu) berpendapat lain. Menurutnya, tak ada bisnis yang halal bagi para perwira kepolisian. Pasalnya, peraturan perundang-undangan menyatakan anggota kepolisian tidak boleh melakukan bisnis yang terkait dengan pekerjaannya. Emerson mengatakan bahwa anggota Kepolisian dilarang berbisnis. Ia menunjuk PP 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai dasar hukumnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia . [1] Pasal 1 angka 2 UU 2/2002 [2] Pasal 2 UU 2/2002 [3] Pasal 13 UU 2/2002 [4] Pasal 14 ayat (1) UU 2/2002 [5] Pasal 6 PP 2/2003 [6] Pasal 7 PP 2/2003 [7] Pasal 8 ayat (1) PP 2/2003 [8] Pasal 8 ayat (2) PP 2/2003 [9] Pasal 11 ayat (1) PP 2/2003 [10] Pasal 9 PP 2/2003 [11] Pasal 11 ayat (2) PP 2/2003 mutasi yayasan anggota polri hukumonline google jabatan ekonomi perseroan terbatas kepolisian wewenang profesi hukum hukum klinik polri klinik hukumonline polisi cv pidana" }
{ "from": "human", "value": "Teman saya, seorang ibu dengan 1 anak yang masih ASI eksklusif. Rencananya teman saya akan dinas ke Singapura selama 3 hari. Ketika pulang, rencananya dia ingin membawa ASI perah. Pertanyaannya, adakah aturan yang membolehkan membawa ASI perah ke kabin pesawat yang pastinya lebih dari 100 ml? Soalnya setahu saya untuk membawa cairan di kabin pesawat ada batasannya. Sedangkan kalau ASI perah teman saya dimasukan ke bagasi dia takut akan pecah/rusak. Mohon pencerahannya." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Hukumnya Mencantumkan Klausul Eksonerasi dalam Perjanjian 04 Okt 2021 Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan? 12 Des 2019 Ketentuan Ganti Kerugian bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat 05 Nov 2015 Ketentuan Ganti Kerugian Jika Penumpang Cacat Karena Kesalahan Maskapai 15 Sep 2011 Ketentuan Ganti Kerugian Jika Penumpang Cacat Karena Kesalahan Maskapai 15 Sep 2011 Saudari benar bahwa terdapat aturan yang memberikan batasan kepada penumpang pesawat udara untuk membawa cairan, aerosol dan gel ke dalam kabin pesawat. Namun, pembatasan ini hanya berlaku untuk penerbangan internasional. Pembatasan ini diatur dalam Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel ( Liquid, Aerosol, Gel ) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional (“Perdirjenhub 43/2007”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Di dalam Pasal 3 ayat (1) Perdirjenhub 43/2007 diatur bahwa cairan, aerosol dan gel yang dibawa sendiri oleh calon penumpang sebelum masuk ke dalam  bandar udara harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Kapasitas  wadah atau tempat cairan, aerosol, dan gel maksimum 100 ml atau ukuran sejenis; b. Wadah  berisi cairan, aerosol dan gel tersebut dimasukan ke dalam 1 (satu) kantong  plastik transparan ukuran 30 x 40 cm yang disediakan oleh pihak pengelola  bandara dan maskapai penerbangan, dengan kapasitas cairan, aerosol dan gel  maksimum 1000 ml atau 1 (satu) liter atau ukuran sejenis dan disegel ulang; c. Setiap  calon penumpang pesawat udara hanya diijinkan membawa maksimum 1 (satu) kantong  plastik transparan yang berisi cairan, aerosol dan gel. Adapun yang dimaksud dengan cairan, aerosol, dan gel dapat berupa: a. minuman; b. perlengkapan kosmetik; c. obat-obatan; d. keperluan sehari-hari, dll. (lihat Pasal 1 ayat [2] Perdirjenhub 43/2007 ) Tapi, menurut Pasal 3 ayat (2) Perdirjenhub 43/2007 , ketentuan di atas tidak berlaku untuk: a. Obat-obatan medis; b. Makanan/minuman/susu bayi ; dan c. Makanan/ minuman penumpang untuk program diet khusus. Jadi, berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Anda dapat membawa ASI perah ke dalam kabin pesawat udara saat berangkat dari bandar udara di Indonesia menuju Singapura. Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah bagaimana aturan mengenai penanganan cairan, aerosol dan gel di bandar udara Singapura saat Anda akan kembali ke Indonesia? Apakah ASI perah juga diperbolehkan dibawa ke kabin pesawat oleh pihak bandar udara Singapura? Dalam boks di bawah ini adalah informasi mengenai penanganan cairan, aerosol, dan gel ( liquid, aerosol, gel ) di bandar udara Singapura yang kami salin dari laman changiairport.com : Guidelines on Hand-Carried Luggage On 8 May 2007, Singapore implemented guidelines that restrict the amount of liquids, aerosols and gels that passengers can carry in their hand-carried luggage. The guidelines apply to all flights departing Singapore. Passengers are advised to check-in all liquids, aerosols and gels (LAGs) that do not meet the new guidelines. Liquids, aerosols and gels in hand-carried luggage should be packed in accordance with the new guidelines, before passengers arrive at the airport. The guidelines on hand-carried luggage are : 1. Liquids, aerosols and gels must be in containers with a maximum capacity of not more than 100ml each. Liquids, aerosols and gels in containers larger than 100ml will not be accepted, even if the container is partially-filled; 2. Containers must be placed in a transparent re-sealable plastic bag with a maximum capacity not exceeding 1-litre. These containers must fit comfortably within the transparent re-sealable plastic bag, which must be completely closed; 3. Each passenger is allowed to carry only one transparent re-sealable plastic bag, which must be presented separately for examination at the security screening point; 4. Exemptions will be made for medications, baby food and special dietary items. These items will be subjected to additional checks at the security screening point . Liquids, aerosols and gels include: - Drinks, including water and juices - Soups and sauces - Perfumes and deodorants (liquid or liquid-solid mixture) - Creams, balms, lotions and oils - Cosmetics such as mascara and lip gloss - Pastes, including toothpaste - Pressurised foams and sprays, including shaving foam, hairspray and spray deodorants - Gels, including hair and shower gels - Contact lens solution - Any other items of similar consistency Sumber: changiairport.com Dari informasi di atas dapat diketahui bahwa makanan dan minuman bayi juga dapat dibawa oleh penumpang ke dalam kabin pesawat udara yang berangkat dari Singapura. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel ( Liquid, Aerosol, Gel ) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional." }
{ "from": "human", "value": "Apa dasar hukumnya bagi penumpang pesawat terbang untuk melepaskan jam tangan pada saat check in dan sebelum boarding?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 10 Juli 2017. Intisari: Setiap penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan yang memasuki daerah keamanan terbatas serta barang bawaan harus dilakukan pemeriksaan keamanan. Pemeriksaan keamanan dilakukan oleh personel keamanan bandar udara. Personel keamanan bandar udara yang bertugas sebagai pengatur arus masuk penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan serta barang bawaan, antara lain mengatur, memeriksa dan mengarahkan serta memastikan mantel, jaket, topi, ikat pinggang, ponsel, jam tangan , kunci dan barang-barang yang mengandung unsur logam diperiksa melalui mesin x-ray. Penumpang, personel pesawat udara, dan orang perorangan serta barang bawaan yang memasuki ruang tunggu dan menolak untuk diperiksa wajib ditolak oleh personel keamanan bandar udara. Namun, apabila penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan serta barang bawaan yang menolak untuk diperiksa telah berada di ruang tunggu, mereka harus dikeluarkan dari ruang tunggu oleh personel keamanan bandar udara. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertanyaan Anda ini berkaitan dengan sejumlah ketentuan pelayanan sebelum penerbangan. Standar Pelayanan Sebelum Penerbangan ( Pre – Flight ) Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri (“Permenhub 185/2015”) standar pelayanan sebelum penerbangan ( pre-flight ) terdiri dari: [1] informasi penerbangan; pemesanan tiket (reservation); penerbitan tiket (ticketing); pelaporan tiket sebelum keberangkatan ( check-in ); proses boarding ( boarding ) ; dan penanganan keterlambatan penerbangan, pembatalan penerbangan dan denied boarding passenger. Mengenai pemeriksaan pada saat check in dan sebelum boarding yang Anda sebutkan, sebelumnya perlu diketahui bahwa unit penyelenggara Bandar udara dan badan usaha Bandar udara harus melakukan pengawasan dan pengendalian Daerah Keamanan Terbatas di Bandar Udara. [2] Daerah Keamanan Terbatas merupakan salah satu daerah yang digunakan untuk kegiatan operasional penerbangan. Untuk kepentingan Keamanan Penerbangan, Unit Penyelenggara Bandar Udara dan Badan Usaha Bandar Udara harus mengidentifikasi daerah-daerah yang digunakan untuk kegiatan operasional penerbangan dan ditetapkan sebagai: [3] Daerah Keamanan Terbatas Daerah Keamanan Terbatas ( Security Restricted Area ) adalah daerah di sisi udara di bandar udara yang diidentifikasi sebagai daerah berisiko tinggi dan dilakukan langkah-langkah pengendalian keamanan, dimana jalan masuknya dikendalikan serta dilakukan pemeriksaan keamanan, termasuk: [4] daerah keberangkatan penumpang antara tempat pemeriksaan keamanan dan pesawat udara; daerah service road ( ramp ); fasilitas perbaikan pesawat udara (hangar) tempat penyiapan bagasi ( baggage make up area ); tempat penurunan dan pengambilan bagasi tercatat; daerah gudang kargo ( cargo sheds ); daerah penempatan bagasi tercatat dan kargo yang telah diperiksa yang akan dimuat ke pesawat udara; pusat pengiriman pos; daerah sisi udara catering; dan fasilitas pembersihan pesawat udara. Daerah Steril Daerah Steril ( Sterile Area ) adalah daerah di antara tempat pemeriksaan penumpang atau tempat pemeriksaan keamanan dan Pesawat Udara, yang mana aksesnya dikendalikan secara ketat. [5] Daerah Sisi Darat Sisi Darat adalah daerah di Bandar Udara dan gedung-gedung dimana penumpang dan non-penumpang mempunyai akses tanpa batas. [6] Izin Memasuki Daerah Keamanan Terbatas Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/2765/XII/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personel Pesawat Udara dan Barang Bawaan yang Diangkut dengan Pesawat Udara dan Orang Perseorangan (“Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010”) , setiap penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan yang memasuki daerah keamanan terbatas harus mempunyai izin masuk yang berlaku. Izin masuk sebagaimana dimaksud berupa: [7] tiket penumpang atau pas masuk pesawat udara ( boarding pass ) sesuai dengan identitas diri yang sah; pas bandar udara; identitas penerbang dan personel kabin (Crew ID Card); atau tanda pengenal inspektor penerbangan Direktorat Jenderal. Pemeriksaan Penumpang Setiap penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan yang memasuki daerah keamanan terbatas serta barang bawaan harus dilakukan pemeriksaan keamanan. [8] Pemeriksaan keamanan dilakukan oleh personel keamanan bandar udara. [9] Personel keamanan bandar udara harus memastikan penumpang, personel pesawat udara dan barang bawaan dan orang perseorangan yang memasuki daerah keamanan terbatas dan/atau ruang tunggu tidak membawa barang dilarang ( prohibited items ) yang dapat digunakan untuk melakukan tindakan melawan hukum dalam penerbangan. [10] Pemeriksaan keamanan tersebut dilakukan di tempat pemeriksaan keamanan (Security Check Point/SCP). [11] Tempat pemeriksaan keamanan (Security Check Point/SCP) dibagi 2 (dua) area yaitu : [12] tempat pemeriksaan keamanan pertama (Security Check Point/SCP-1) di daerah keamanan terbatas; tempat pemeriksaan keamanan kedua (Security Check Point/SCP-2) di daerah pintu masuk menuju ruang tunggu. Tempat pemeriksaan keamanan pertama (Security Check Point/SCP-1) terletak pada pintu masuk menuju daerah sekitar tempat pelaporan keberangkatan ( counter check-in ). [13] Sedangkan tempat pemeriksaan keamanan kedua (Security Check Point/SCP-2) terletak pada pintu masuk menuju ruang tunggu. [14] Jalur pemeriksaan keamanan pertama dan kedua yang menggunakan peralatan keamanan penerbangan harus mempunyai peralatan keamanan paling sedikit meliputi: [15] mesin x-ray bagasi kabin; gawang detektor logam (Walk Through Metal Detector / WTMD ); dan detektor logam genggam (Hand Held Metal Detector / HHMD). Jam Tangan Termasuk Barang Berbahaya yang Diizinkan Jam tangan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 Tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional . (Permenhub 80/2017”) termasuk dalam daftar barang berbahaya yang diizinkan. [16] Pada dasarnya, Unit Penyelenggara Bandar Udara atau Badan Usaha Bandar Udara bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan keamanan terhadap penumpang dan bagasi kabin yang akan naik ke pesawat udara. [17] Pemeriksaan keamanan bertujuan untuk mencegah terangkutnya barang dilarang yang dapat dipakai untuk melakukan tindakan melawan hukum atau mengganggu keamanan penerbangan. [18] Apabila dalam pemeriksaan keamanan ditemukan barang dilarang ( prohibited items ) yang ada pada penumpang dan bagasi kabin yang dilarang masuk pesawat udara, harus ditahan/disita oleh personel keamanan bandar udara dan selanjutnya diproses sesuai ketentuan yang berlaku. [19] Barang dilarang ( prohibited items ) yang ditahan/disita dapat disimpan selama 1 (satu) bulan sebelum dimusnahkan. [20] Jadi barang yang tidak dapat masuk ke dalam pesawat udara itu adalah barang yang dilarang ( Prohibited Items ). Sedangkan jam tangan sebagai barang berbahaya yang diizinkan diperbolehkan masuk ke dalam pesawat. Jenis barang lain yang juga dikategorikan sebagai barang yang dilarang ( Prohibited Items ), dapat Anda simak dalam artikel Ketentuan Membawa Power Bank ke Pesawat Udara . Wajibkah Penumpang Melepas Jam Tangan Saat Pemeriksaan oleh Personel Keamanan? Personel keamanan bandar udara yang bertugas sebagai pengatur arus masuk penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan serta barang bawaan, melakukan kegiatan: [21] memeriksa izin masuk ke daerah keamanan terbatas dan ruang tunggu; mengatur, memeriksa dan mengarahkan serta memastikan, antara lain: bagasi atau barang bawaan yang ditempatkan pada conveyor belt mesin x-ray pada posisi yang tepat untuk pemeriksaan dan memastikan jarak antara dua bagasi atau barang bawaan; mantel, jaket, topi, ikat pinggang, ponsel, jam tangan , kunci dan barang-barang yang mengandung unsur logam diperiksa melalui mesin x-ray ; laptop dan barang elektronik lainnya dengan ukuran yang sama dikeluarkan dari tas/bagasi dan diperiksa melalui mesin x-ray; semua cairan, aerosol dan gel diperiksa melalui mesin x-ray; dan setiap penumpang, personel pesawat udara, orang perseorangan dan barang bawaan masuk melalui jalur pemeriksaan pada Tempat Pemeriksaan Keamanan (Security Check Point/SCP); mengatur antrian penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan yang akan dilakukan pemeriksaan keamanan. Itu artinya, jam tangan harus diperiksa melalui mesin x-ray . Personel keamanan bandar udara wajib menolak penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan serta barang bawaan yang memasuki ruang tunggu apabila tidak memiliki izin masuk dan/atau menolak untuk diperiksa . [22] Personel keamanan bandar udara harus mengeluarkan penumpang, personel pesawat udara dan orang perseorangan serta barang bawaan yang tidak memiliki izin masuk dan/atau menolak untuk diperiksa yang telah berada di ruang tunggu, dan memeriksa ulang seluruh penumpang serta memastikan keamanan ruang tunggu. [23] Menurut Head of Corporate Secretary and Legal PT Angkasa Pura II Agus Haryadi yang kami kutip dari artikel Calon Penumpang Pesawat Kini Wajib Lepas Ikat Pinggang dan Jam Tangan di Bandara pada laman berita Kompas.com selain menjalani pemeriksaan melalui metal detector , kini penumpang pesawat yang masuk ke bandara harus melepas ikat pinggang dan jam tangan. Kebijakan baru ini diterapkan setelah sebelumnya ada modus menyembunyikan senjata tajam di ikat pinggang maupun jam tangan. Masih dari sumber yang sama, dengan diterapkannya kebijakan baru tersebut, petugas Avsec berhak melakukan pemeriksaan badan menyeluruh terhadap para penumpang pesawat. Untuk efisiensi waktu pemeriksaan, Agus juga mengingatkan agar penumpang pesawat sudah terlebih dahulu memilah barang-barang saat menjalani pos-pos pemeriksaan di bandara. Adapun barang-barang yang perlu dikeluarkan yaitu yang berunsur logam, seperti telepon seluler, kamera saku, koin, dan barang-barang sejenis lainnya. Selain itu, menurut informasi dalam artikel Jam dan Ikat Pinggang Wajib Dilepas Saat Masuki X-Ray Terminal Bandara yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Suprasetyo saat melakukan Sosialisasi Peraturan di Bidang Penerbangan dikatakan bahwa sabuk atau ikat pinggang harus diperiksa demi keamanan karena bisa saja penumpang yang berniat jahat menyimpan senjata atau pisau yang tipis di dalam kulit ikat pinggangnya. Jam tangan yang canggih juga bisa menjadi senjata seperti menyiapkan jarum-jarum beracun yang mengoperasikannya melalui tombol-tombol yang ada pada jam tangan. Jadi pada saat personel keamanan melakukan pemeriksaan keamanan terhadap penumpang serta barang bawaan, barang penumpang yang mengandung logam harus diperiksa melalui mesin x-ray. Memang tidak disebutkan bahwa wajib melepaskannya, tetapi jika petugas meminta untuk melepaskan supaya bisa diperiksa melalui mesin x-ray, maka penumpang seharusnya melepaskan sesuai dengan perintah. Karena apabila penumpang menolak untuk diperiksa, maka petugas harus mengeluarkannya dan memeriksa ulang seluruh penumpang serta memastikan keamanan ruang tunggu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 185 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 Tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor SKEP/2765/XII/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemeriksaan Keamanan Penumpang, Personel Pesawat Udara dan Barang Bawaan yang Diangkut dengan Pesawat Udara dan Orang Perseorangan Referensi : Kompas.com diakses pada 2 April 2018 pukul 13.15 WIB; Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan , diakses pada 2 April 2018 pukul 13.50 WIB. [1] Pasal 4 ayat (1) Permenhub 185/2015 [2] Bab V Poin 5.2.1 Lampiran Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 80 Tahun 2017 tentang Program Keamanan Penerbangan Nasional (Permenhub 80/2017”) [3] Bab V Poin 5.1.1 Lampiran Permenhub 80/2017 [4] Bab II angka 29 Lampiran Permenhub 80/2017 [5] Bab II angka 30 Lampiran Permenhub 80/2017 [6] Bab II angka 33 Lampiran Permenhub 80/2017 [7] Pasal 3 Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [8] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [9] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [10] Pasal 5 ayat (2) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [11] Pasal 5 ayat (3) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [12] Pasal 7 Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [13] Pasal 8 ayat (1) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [14] Pasal 10 ayat (1) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [15] Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 10 ayat (3) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [16] Lampiran II huruf C Permenhub 80/2017 [17] Bab VI angka 6.2.1 Lampiran I Permenhub 80/2017 [18] Bab VI angka 6.2.2 Lampiran I Permenhub 80/2017 [19] Bab VI angka 6.2.8 huruf a Lampiran I Permenhub 80/2017 [20] Bab VI angka 6.2.8 huruf b Lampiran I Permenhub 80/2017 [21] Pasal 23 Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [22] Pasal 15 ayat (1) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 [23] Pasal 15 ayat (2) Peraturan Direktur Perhubungan SKEP 2765/2010 penumpang bandara hukumonline google pesawat terbang hukum transportasi klinik hukumonline penerbangan perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "How do I apply a halal label? How do you get halal accreditation? Is it to MUI or the Ministry of Religious Affairs?" }
{ "from": "gpt", "value": "Prior to answering your question, we should first understand what is meant by halal products, which are Products that have been declared halal in accordance with Islamic law.[1] Meanwhile, a halal label is a sign of the halal status of a product.[2] Furthermore, Halal Product Guarantee or Jaminan Produk Halal, from this point onwards is referred to as JPH, is the legal certainty of the halal status of a product as proven by a halal certificate.[3]\nThe Authority of the Issuance of Halal Certificate\nBasically, a halal certificate is an acknowledgment of the halal status of a product that is issued by the Halal Product Guarantee Organizer (in Bahasa Indonesia is known as Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal/ “BPJPH\") based on a written halal fatwa or the stipulation of halal Product by the Indonesian Ulema Council (Majelis Ulama Indonesia/ \"MUI\"), Provincial MUI, Regency/City-level MUI, Aceh Ulema Consultative Council, or Halal Product Fatwa Committee. [4]\n\nFor your information, before the existence of Law 33/2014 which was amended by the Perppu 2/2022 which has been enacted as a law through Law 6/2023, there were several institutions that became stakeholders related to the issuance of halal products, namely:\n\nFatwa Commission of the Indonesian Ulema Council as the provider of halal fatwa and the party that issues halal certificates;Institute for the Assessment Institute for Foods, Drugs, and Cosmetics MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika MUI \"LPPOM MUI\") as a researcher of product halalness from a scientific aspect;Indonesian Food and Drug Authority as the licensor of halal labeling;Ministry of Religious Affairs as the party that makes policies, conducts socialization, and educates the public; andOther related ministries.\nAccording to Article 48 number 3 Perppu 2/2002 which amended Article 5 section (1) Law 33/2014, the government shall be responsible for the organization of JPH. The organization of JPH as referred to in paragraph (1) shall be implemented by the Minister of Religious Affairs (“Minister”).[5] Then, in order to implement the organization of JPH, the BPJPH shall be formed whose position is under and shall be responsible to the Minister.[6] Thus, it can be concluded that it is this BPJPH that replaces the role of MUI as the holder of halal certification authority. The role of LPPOM MUI which was in charge of examining and/or testing the halalness of products is also replaced by the Halal Inspection Agency (Lembaga Pemeriksa Halal/ \"LPH\").[7]\n\nIn organizing halal product guarantees, BPJPH has the authority, namely:[8]\n\nformulate and establish halal product guarantee policies;establish norms, standards, procedures, and criteria for halal product assurance;issue and revoke halal certificates and halal labels on products;registering halal certificates on foreign products;conduct socialization, education, and publication of halal products;carry out accreditation of LPH;carry out registration of halal auditors;supervise the guarantee of halal products;fostering halal auditors; andcooperate with domestic and foreign institutions in the field of organizing halal product assurance.\n\nAlthough MUI's position was replaced by BPJPH, MUI still has a role in the halal certification process. Because, BPJH can cooperate with MUI, Provincial MUI, Regency/ City-level MUI, or Aceh Ulema Consultative Council in carrying out its authority,[9] in terms of determining the halalness of products.[10]\n\nSo, what is the process of applying for halal certification and labeling? Here is the explanation.\nThe Process of Applying for Halal Certification and Halal Label\n\nAs explained above, the halal label is a sign of the halalness of a product obtained based on the halal certification process. Products that have received a halal certificate are required to include a halal label.\n\nThe halal certification process by BPJPH itself can be summarized as follows:\n\nApplication for a halal certificate shall be submitted by business actors to BPJPH, which must be equipped with the following documents: data of business actor, name and type of product, list of products and materials used, and the processing of the product.[11]BPJPH stipulates LPH to carry out the inspection and/or testing of the halal status of products based on the application from business actors. The stipulation of LPH is carried out within a maximum period of 1 (one) business day after the application documents are declared complete.[12]Inspection and/or testing of the halal status of products shall be carried out by halal auditor by no later than 15 (fifteen) business days, and the inspection toward products shall be carried out in the business location at the time of production process. In the event that there is a material whose halal status is doubtful, it can be tested in the laboratory. Then, in the event that product inspection requires additional inspection time, LPH may apply for an extension of time to BPJPH.[13]LPH shall convey the result of inspection and/or testing of the halal status of products to MUI, Provincial MUI, Regency/City-Level MUI, or Aceh Ulema Consultative Council with a copy being sent to BPJPH, through an integrated electronic system.[14]Stipulation of the halal status of products shall be carried out by MUI, Provincial MUI, Regency/City-Level MUI, or Aceh Ulema Consultative Council in a Halal Fatwa Session.[15]Halal Fatwa Session of MUI, Provincial MUI, Regency/City-Level MUI, or Aceh Ulema Consultative Council shall decide the halal status of products within a maximum period of 3 (three) business days after they receive the result of inspection and/or testing of products from LPH.[16]\n\nHalal certificate is legitimate from its issuance by the BPJPH and shall remain valid insofar as there is no change in the composition of materials and/or Halal Product Processing. In the event that there is a change in the composition of materials and/or Halal Product Processing, business actors must renew the halal certificate.[17]\n\nAlso read: Here are the Regulations for Halal Certification of Food Products\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nLaw Number 33 of 2014 on Halal Product Guarantee as amended by  Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation which has been enacted into law under Law Number 6 of 2023;\n\n[1] Article 48 number 1 Regulation of the Government in Lieu of Law Number 2 of 2022 on Job Creation (“Perppu 2/2022”) which amended Article 1 number 2 Law Number 33 of 2014 on Halal Product Guarantee (“Law 33/2014”).[2] Article 48 number 1 Perppu 2/2022 which amended Article 1 number 11 Law 33/2014.[3] Article 48 number 1 Perppu 2/2022 which amended Article 1 number 5 Law 33/2014.[4] Article 48 number 1 Perppu 2/2022 which amended Article 1 number 10 Law 33/2014.[5] Article 48 number 3 Perppu 2/2022 which amended Article 5 section (2) Law 33/2014.[6] Article 48 number 3 Perppu 2/2022 which amended Article 5 section (3) Law 33/2014.[7] Article 48 number 1 Perppu 2/2022 which amended Article 1 number 8 Law 33/2014.[8] Article 6 Law 33/2014.[9] Article 48 number 4 Perppu 2/2022 which amended Article 7 Law 33/2014.[10] Article 48 number 5 Perppu 2/2022 which amended Article 10 section (1) Law 33/2014.[11] Article 48 number 15 Perppu 2/2022 which amended Article 29 section (1) and (2) Law 33/2014.[12] Article 48 number 16 Perppu 2/2022 which amended Article 30 section (1) and (2) Law 33/2014.[13] Article 48 number 17 Perppu 2/2022 which amended Article 31 section (1), (2), and (3) Law 33/2014.[14] Article 48 number 18 Perppu 2/2022 which amended Article 32 Law 33/2014.[15] Article 48 number 19 Perppu 2/2022 which amended Article 33 section (1) and (2) section Law 33/2014.[16] Article 48 number 19 Perppu 2/2022 which amended Article 33 section (3) Law 33/2014.[17] Article 48 number 25 Perppu 2/2022 which amended Article 42 section (1) and (2) Law 33/2014." }
{ "from": "human", "value": "Pada umur berapakah dan pada situasi apakah seorang anak perempuan dapat mengambil keputusan untuk lepas dari kungkungan orangtuanya dan sah menurut hukum di Indonesia?" }
{ "from": "gpt", "value": "Secara hukum perdata, seseorang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sendiri salah satunya adalah apabila ia telah dewasa. Apabila seseorang belum dewasa, maka ia masih berada di bawah kekuasaan orangtua/walinya ( pasal 47 ayat [1] jo. pasal 50 ayat [1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Jadi, salah satu faktor yang menentukan kapan seorang perempuan dapat mengambil keputusan untuk lepas dari kekuasaan orangtuanya, adalah kedewasaannya. Menurut pasal 330 KUHPer yang belum cukup umur (dewasa) adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan belum kawin sebelumnya . Jadi, secara a contrario , seseorang menjadi dewasa setelah ia mencapai umur 21 tahun . Pengecualiannya adalah apabila ia telah kawin sebelum umur 21 tahun tersebut, maka ia dianggap telah dewasa karena perkawinannya tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan, berdasarkan pasal 47 ayat (1) jo. pasal 50 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, usia kedewasaan seseorang adalah umur 18 tahun . Pengecualiannya juga sama, yaitu apabila ia telah lebih dahulu kawin sebelum umur 18 tahun, maka ia dianggap sudah dewasa dan sudah cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Saya punya kakak ipar. Beliau ditusuk pakai pisau oleh seseorang hingga menyebabkan dua luka pada tulang belikat dan satu lagi hampir tembus ke depan dada. Kemudian beliau menghajar si penusuk hingga kepala bagian belakang membentur batu dan menyebabkan si penusuk meninggal dunia. Kemudian kakak ipar saya dirawat hanya 2 hari di rumah sakit lalu dijemput polisi dan dimasukkan ke dalam sel. Pertanyaan saya, bagaimana ketentuan hukumnya karena awalnya kakak saya menjadi korban kemudian bisa jadi tersangka? Sebagai catatan, sekarang kakak ipar saya dengan keluarga yang meninggal sudah berdamai. Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Jika penusukan dilakukan dengan niat untuk menghilangkan nyawa kakak ipar Anda, maka orang tersebut melakukan tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 338 – 340 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan Pasal 458 ayat (1), (3) dan Pasal 459 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.[1]\n\nNamun, karena kakak ipar Anda tidak sampai terbunuh, maka tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut dapat dikatakan sebagai percobaan pembunuhan yang diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP dan Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 yang berbunyi sebagai berikut.\nPasal 53 ayat (1) KUHPPasal 17 ayat (1) UU 1/2023Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Percobaan melakukan tindak pidana terjadi jika niat pelaku telah nyata dari adanya permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil, atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri.\nAdapun ancaman hukuman untuk percobaan tindak pidana adalah maksimum pidana pokok dikurangi 1/3 atau 2/3 dari maksimum ancaman pidana pokok. Terhadap tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dipidana penjara maksimal 15 tahun.[2]\nTindak Pidana Penganiayaan\n\nAkan tetapi, jika orang tersebut hanya ingin membuat kakak ipar Anda merasakan rasa sakit atau hanya ingin menganiaya kakak ipar Anda, maka orang tersebut telah melakukan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam Pasal 351 – Pasal 358 KUHP dan Pasal 466 – Pasal 471 UU 1/2023.\nHukuman dari tindak pidana penganiayaan bergantung pada akibat yang ditimbulkannya, yakni apakah luka berat atau ringan. Selain itu, pemidanaan dalam pasal-pasal tersebut juga bergantung pada sengaja atau tidak dilakukannya penganiayaan itu. Lebih lanjut mengenai penganiayaan, Anda dapat membaca artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Penganiayaan.\nJika Pelaku Meninggal Dunia\n\nPerlu Anda ketahui bahwa jika pelaku meninggal dunia, maka kewenangan menuntut pidana menjadi hapus. Hal ini diatur dalam Pasal 77 KUHP dan Pasal 132 ayat (1) huruf b UU 1/2023.\nMenurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 91), penuntutan hukuman itu harus ditujukan kepada diri pribadi orang. Jika orang yang dituduh telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis begitu saja, artinya tidak dapat tuntutan itu lalu diarahkan kepada ahli warisnya.\nJika Korban Jadi Tersangka\n\nSama seperti uraian di atas, di samping pelaku yang meninggal dunia tersebut, tindakan yang dilakukan oleh kakak ipar Anda dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pembunuhan jika memang maksud dari tindakan tersebut adalah untuk menghilangkan nyawa orang tersebut. Akan tetapi bisa juga dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan jika maksudnya hanya untuk memberikan rasa sakit.\n\nTetapi bisa juga tindakan yang dilakukan oleh kakak ipar Anda tidak dihukum karena adanya alasan penghapus pidana. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Membunuh karena Membela Diri, Tetap Ditahan Polisi?, dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang uraiannya sebagai berikut.\n\nAlasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Alasan pembenar diatur di dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan Pasal 34 UU 1/2023;Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu atau mengalami keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan seketika yang melawan hukum. Alasan pemaaf ini diatur di dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan Pasal 43 UU 1/2023.\n\nBerdasarkan kronologi yang Anda sampaikan, bahwa tindakan yang dilakukan kakak ipar Anda dilakukan karena kakak ipar Anda sudah ditusuk pisau. Atas dasar hal tersebut, maka perbuatan kakak ipar Anda dapat dikatakan sebagai pembelaan darurat (alasan pembenar) sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dan Pasal 34 UU 1/2023 jika memenuhi syarat-syarat dalam pasal tersebut.\n\nR. Soesilo berkomentar antara lain bahwa supaya orang dapat mengatakan dirinya dalam “pembelaan darurat” dan tidak dapat dihukum harus dipenuhi tiga syarat (hal. 64-66):\n\nPerbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga.\n\nDalam hal kakak ipar Anda dari korban jadi tersangka, pada dasarnya semua orang yang melakukan tindak pidana dapat menjadi tersangka. Pada prinsipnya, hukum pidana itu mencari kebenaran materiel yaitu kebenaran yang sesungguhnya mengenai siapa pelaku tindak pidana yang sesungguhnya yang seharusnya dituntut dan didakwa. Oleh karena itu, perihal apakah nantinya kakak ipar Anda akan dihukum atau tidak, semua bergantung pada bukti-bukti yang ada di persidangan dan keyakinan hakim.\n\nHal lain yang perlu dibahas adalah Anda mengatakan bahwa kakak ipar Anda sudah berdamai dengan keluarga penusuk. Penganiayaan adalah delik laporan (delik biasa) dan bukan delik aduan. Dalam delik laporan, walaupun pihak korban sudah memaafkan pelaku, proses hukum akan tetap dijalankan. Artinya, setelah dilakukannya tindakan pelaporan kepada polisi, maka laporan tersebut tidak dapat ditarik kembali. Oleh karena itu, tuntutan pidana terhadap kakak ipar Anda tetap diproses.\nNamun demikian, perdamaian antara kakak ipar Anda sebagai pelaku dengan keluarga korban dapat menjadi bahan pertimbangan bagi hakim untuk meringankan hukuman. Sebaliknya, tidak adanya perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban bisa menjadi hal yang memberatkan kakak ipar Anda.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.\nReferensi:\n\nR. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor, 1991.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 53 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 17 ayat (3) dan (4) UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Karena pelaku perjalanan wajib menunjukkan hasil swab PCR, kartu, dan sertifikat vaksinasi COVID-19, muncul oknum-oknum yang membuat dan memperjualbelikan kartu dan sertifikat vaksin palsu. Bagaimana jerat hukum bagi si pelaku?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Menolak Vaksinasi COVID-19, Bisakah Dipidana? 18 Feb 2022 Vaksin untuk Anak di Sekolah, Bisakah Orang Tua Menolaknya? 15 Nov 2021 Hukumnya Vaksinasi COVID-19 di Bulan Ramadan 13 Apr 2021 Tolak Vaksinasi COVID-19 Dipidana? Begini Perspektif HAM 25 Jan 2021 Kewajiban Menunjukkan Kartu Vaksin COVID-19 Memang benar, untuk menekan laju pertumbuhan angka penderita COVID-19, Menteri Perhubungan mengeluarkan surat edaran yang mengatur kewajiban pelaku perjalanan untuk menunjukkan kartu vaksinasi COVID-19 dan/atau surat keterangan negatif tes RT-PCR atau hasil negatif rapid rest antigen , di antaranya melalui: Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE. 42 tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“ SE Menhub 42/2021”) beserta perubahannya, yang mengatur: [1] Penumpang kereta api antarkota di Pulau Jawa dan Sumatera wajib menunjukkan surat keterangan hasil tes RT-PCR yang diambil maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan atau hasil negatif rapid test antigen yang diambil maksimal 1x24 jam atau di stasiun sebelum keberangkatan; Khusus penumpang kereta api antarkota di Pulau Jawa , wajib menunjukkan kartu vaksin pertama . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 43 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“SE Menhub 43/2021”) beserta perubahannya, diantaranya mengatur: [2] Pelaku perjalanan jarak jauh dari dan ke Pulau Jawa serta Pulau Bali yang menggunakan moda transportasi darat wajib menunjukkan kartu vaksin pertama dan surat keterangan hasil negatif RT-PCR yang diambil maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan atau hasil negatif rapid test antigen yang diambil maksimal 1x24 jam, dengan ketentuan: Yang termasuk perjalanan jarak jauh yaitu perjalanan dengan jarak minimal 250km atau minimal waktu perjalanan 4 jam; Pengemudi dan pembantu pengemudi kendaraan logistik tidak wajib menunjukkan kartu vaksin pertama; Kewajiban tersebut tidak berlaku bagi perjalanan rutin dengan moda transportasi darat menggunakan kendaraan bermotor perseorangan, kendaraan bermotor umum, transportasi sungai, danau, dan penyebrangan dalam 1 wilayah aglomerasi perkotaan. Pelaku perjalanan selain di pulau Jawa dan Bali yang menggunakan moda transportasi darat wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif RT-PCR yang diambil maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan atau hasil negatif rapid test antigen yang diambil maksimal 1x24 jam, kecuali untuk moda transportasi perintis, termasuk di wilayah perbatasan, daerah tertinggal, terdepan, terluar (“3T”), dan pelayaran terbatas. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 44 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Laut pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“SE Menhub 44/2021”) dan perubahannya, di antaranya mengatur: [3] Penumpang kapal laut dari dan ke Jawa dan Bali , wajib menunjukkan kartu vaksin pertama dan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang diambil maksimal 2x24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang diambil maksimal 1x24 jam , serta mengisi e-HAC Indonesia; Penumpang kapal laut dari daerah di luar Jawa dan Bali wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes yang diambil maksimal RT-PCR 2x24 jam atau hasil negatif rapid test antigen yang diambil maksimal 1x24 jam. Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 45 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“SE Menhub 45/2021”) dan perubahannya, diantaranya mengatur: [4] Pelaku perjalanan penerbangan antar bandara, dari atau ke bandara di Pulau Jawa, dan dari atau ke bandara di Pulau Bali wajib menunjukkan kartu vaksin pertama dan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang diambil maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan. Pelaku penerbangan dari atau ke bandar udara selain disebutkan di atas, wajib menunjukkan surat keterangan hasil negatif tes RT-PCR yang sampelnya diambil maksimal 2x24 jam sebelum keberangkatan atau hasil negatif rapid test antigen yang sampelnya diambil maksimal 1x24 jam sebelum keberangkatan. Kewajiban tersebut dikecualikan bagi penerbangan angkutan udara perintis dan angkutan udara di daerah 3T. Kewajiban menunjukkan kartu vaksin tersebut di atas dikecualikan bagi : [5] Pelaku perjalanan dengan kepentingan khusus medis yang tidak/belum divaksin dengan alasan medis berdasarkan keterangan dari dokter spesialis Pasien dengan kondisi sakit keras Ibu hamil yang didampingi 1 orang anggota keluarga Kepentingan persalinan dengan pendamping maksimal 2 orang Pengantar jenazah non COVID-19 dengan jumlah maksimal 5 orang Jerat Hukum Pelaku Pemalsuan Dokumen Terhadap pemalsuan hasil keterangan tes RT-PCR, rapid test antigen, kartu serta sertifikat vaksin COVID-19, Angka 5 huruf g SE Menhub 42/2021 jo . Angka 5 huruf m SE Menhub 43/2021 jo . Angka 5 huruf g SE Menhub 44/2021 mengatur: P emalsuan kartu vaksin, surat keterangan RT-PCR Test dan Rapid Test Antigen yang digunakan sebagai dokumen persyaratan perjalanan akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perbuatan memalsukan dokumen-dokumen di atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan surat , sebagaimana diatur Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( “KUHP”) : Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan, atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari sesuatu hal, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu , diancam, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat dengan pidana penjara paling lama enam tahun . Khusus bagi pemalsuan dokumen hasil keterangan RT-PCR test dan rapid test antigen, pelaku dapat dijerat Pasal 268 ayat (1) KUHP : Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidaknya penyakit , kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung ( verzekeraar ), diancam pidana penjara paling lama empat tahun . Jika perbuatan tersebut dilakukan oleh dokter, maka dokter dapat dijerat menggunakan Pasal 267 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 4 tahun . Patut diperhatikan, pemakai dokumen palsu juga dapat dijerat pidana dengan ancaman pidana yang sama dengan si pelaku . [6] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE. 42 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.50 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.42 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 54 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE. 42 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Perkeretaapian pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 43 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE.49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 43 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 51 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 43 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Darat pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 44 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri Dengan Menggunakan Transportasi Laut pada Massa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 52 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 44 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Menggunakan Transportasi Laut pada Massa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 45 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 53 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 45 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) [1] Angka 5 huruf a ayat 3 dan 4 SE Menhub 42/2021 [2] Angka 5 huruf a ayat 1-8 SE Menhub 43/2021 [3] Angka 5 huruf a ayat 2 dan 3 SE Menhub 44/2021 [4] Angka 5 huruf a ayat 1 f SE Menhub 45/2021 jo . Angka 5 huruf a ayat 1 c Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor SE 53 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Perhubungan Nomor Se 45 Tahun 2021 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perjalanan Orang Dalam Negeri dengan Transportasi Udara pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“SE Menhub 53/2021”) [5] Angka 5a huruf a ayat 1 d SE Menhub 53/2021 [6] Pasal 263 ayat (2) KUHP, Pasal 267 ayat (3) KUHP, dan Pasal 268 ayat (2) KUHP pemalsuan surat kesehatan pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki sebuah kasus, dimana ayah saya melakukan perbuatan cabul kepada istri saya (menantu ayah saya). Ayah saya sering memeluk istri saya dan ayah saya pernah mencium leher istri saya, lalu berusaha melakukan hubungan seksual. Namun, istri saya menolak dan menjauh, tapi tetap seolah-olah dipaksa untuk melakukan kemauan ayah saya.\nLalu akhir-akhir ini, cukup banyak berita yang beredar tentang ayah mertua melecehkan menantu, misalnya kasus ayah mertua lecehkan menantu yang hamil 7 bulan di Pasuruan, kemudian ibu muda di Tarakan dilecehkan ayah mertuanya. Lantas, apa jerat hukum ayah mertua yang melakukan perbuatan cabul terhadap menantu?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada pertanyaan, Anda menyebutkan beberapa perbuatan ayah mertua Anda seperti memeluk dan mencium istri Anda, dan memaksa istri Anda untuk melakukan hubungan seksual dengannya. Kemudian, Anda juga menyebutkan contoh kasus ayah mertua lecehkan menantu yang hamil 7 bulan, dan ibu muda dilecehkan ayah mertuanya. Kami asumsikan bahwa semua perbuatan tidak pantas yang Anda maksud adalah perbuatan cabul.\n\nPada dasarnya, tindak pidana pelecehan seksual berupa perbuatan cabul diatur dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, sebagai berikut:\nKUHPUU 1/2023Pasal 289Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.Pasal 4141. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:a. di depan umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta;[2]b. secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun; atauc. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.2. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.Pasal 290Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun:barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.Pasal 415Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, setiap orang yang:melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; ataumelakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga Anak.\nBerdasarkan Pasal 289 KUHP, unsur-unsur pasal tersebut adalah:[3]\n\nbarang siapa;dengan kekerasan atau ancaman kekerasan;memaksa seorang;melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.\n\nLalu, menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya (hal.212).\n\nKemudian, masih bersumber dari buku yang sama, R. Soesilo menjelaskan bahwa pingsan dalam Pasal 290 ayat (1) KUHP artinya tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya. Orang yang pingsan itu tidak dapat mengetahui apa yang terjadi akan dirinya. Sedangkan tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun (hal. 98).\n\nLebih lanjut, menurut Penjelasan Pasal 415 UU 1/2023, yang dimaksud dengan \"perbuatan cabul\" adalah kontak seksual yang berkaitan dengan nafsu birahi, kecuali perkosaan.\n\nDengan demikian, jika pelaku (dalam hal ini ayah mertua) memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam salah satu pasal-pasal di atas, maka pelaku berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 289/Pasal 290 KUHP, atau Pasal 414/Pasal 415 UU 1/2023.\n\nSebagai informasi, tindak pidana pelecehan seksual diatur selengkapnya dalam Pasal 289 s.d. 296 KUHP atau Pasal 414 s.d. 422 UU 1/2023 dengan tetap memperhatikan ketentuan unsur-unsur perbuatan tindak pidana masing-masing. Jika bukti-bukti dirasa cukup, penuntut umum yang akan mengajukan dakwaannya terhadap pelaku pelecehan seksual di hadapan pengadilan. Selengkapnya, dapat Anda baca pada artikel Jerat Pidana Pasal Pelecehan Seksual dan Pembuktiannya.\n\nBaca juga: Jerat Hukum Bagi Dosen yang Mencabuli Mahasiswinya\nAncaman Pidana Perbuatan Cabul dalam UU TPKS\n\nSelain diatur dalam KUHP dan UU 1/2023, tindak pidana pencabulan juga diatur dalam UU TPKS. Menurut Pasal 4 ayat (2) huruf c UU TPKS, perbuatan cabul termasuk dalam tindak pidana kekerasan seksual.\n\nKemudian, setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta.[4]\nKekerasan Seksual dalam UU PKDRT\n\nSelain itu, perbuatan ayah mertua yang memeluk, mencium leher, serta memaksa menantu untuk melakukan hubungan seksual dengannya dapat dikategorikan sebagai Kekerasan dalam Rumah Tangga (“KDRT”) yang diatur dalam UU PKDRT. Berikut penjelasannya.\n\nKDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[5]\n\nOrang yang termasuk dalam lingkup rumah tangga menurut Pasal 2 ayat (1) UU PKDRT adalah:\n\nsuami, isteri, dan anak;orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atauorang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.\n\nBerarti, ayah mertua dan menantu termasuk subjek dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud di atas.\n\nKemudian, Pasal 5 UU PKDRT melarang setiap orang melakukan KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:\n\nkekerasan fisik;kekerasan psikis;kekerasan seksual; ataupenelantaran rumah tangga.\n\nAdapun yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.[6]\n\nKemudian, menurut Pasal 8 UU PKDRT, kekerasan seksual meliputi:\n\na. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;\n\nb. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.\n\nLalu, setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a UU PKDRT dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.[7]\n\nAtas perbuatan pelaku (ayah Anda), Anda dapat melaporkannya pada kepolisian dan kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban (istri Anda) dalam 1 x 24 jam sejak laporan diterima oleh pihak kepolisian.[8]  Kemudian, perlindungan sementara diberikan paling lama 7 hari sejak korban ditangani.[9] Lalu, dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak pemberian perlindungan, kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.[10]\n\nBaca juga: Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19748/undangundang-nomor-23-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_23_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt627b23aa80fff/undang-undang-nomor-12-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1988\n2. Swingly Sumangkut. Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 1639 K/Pid/2015). Jurnal Lex Crima, Vol. VIII, No. 1, 2018.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023[3] Swingly Sumangkut. Tindak Pidana dengan Kekerasan Memaksa Perbuatan Cabul Menurut Pasal 289 KUHP (Kajian Putusan Mahkamah Agung Nomor 1639 K/Pid/2015). Jurnal Lex Crima, Vol. VIII, No. 1, 2018, hal. 191[4] Pasal 6 huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”)[5] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”)[6] Penjelasan Pasal 8 UU PKDRT[7] Pasal 46 UU PKDRT[8] Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT[9] Pasal 16 ayat (2) UU PKDRT[10] Pasal 16 ayat (3) UU PKDRT" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana status anak yang kewarganegaraan ganda dan belum memilih menjadi WNI, tetapi ayahnya WNA sudah menjadi WNI? Apakah harus mengikuti prosedur memilih sesudah umur 18 tahun atau otomatis menjadi WNI mengikuti ayah? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah WNA Menjadi Debitur Bank di Indonesia? 15 Mei 2023 Pemberi Jaminan Fidusia Berkewarganegaraan Asing 13 Mar 2015 Apakah WNI Tidak Boleh Menggunakan Nama Tionghoa? 28 Apr 2014 Bisakah WNA Mengajukan Permohonan Uji Materiil ke MK? 09 Des 2013 Intisari: Ayah yang semula berstatus WNA kemudian pindah kewarganegaraan menjadi WNI tidak serta merta membuat anaknya yang berstatus kewarganegaraan ganda menjadi ikut berstatus WNI. Anak berkewarganegaraan ganda yang belum menentukan pililhan kewarganegaraan tidak otomatis ikut menjadi WNI. Ia masih berkewarganegaraan ganda sampai ia memilih salah satu kewarganegaraan saat berusia 18 tahun. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dari keterangan yang Anda sampaikan, kami menyimpulkan hal-hal berikut: - Semula ayahnya berstatus Warga Negara Asing (“WNA”), tapi kemudian pindah menjadi Warga Negara Indonesia (“WNI”); - Ibunya berkewarganegaraan WNI; - Oleh karena itu, anak berkewarganegaraan ganda; - Anak lahir dari perkawinan yang sah menurut negara (dicatatkan); - Anak lahir setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (“UU Kewarganegaraan”) berlaku. Asas-Asas Kewarganegaraan Menurut Undang-Undang Sebelumnya, penting mengetahui asas-asas kewarganegaraan yang dianut dalam UU Kewarganegaraan sebagai berikut: [1] a. Asas ius sanguinis ( law of the blood ) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran. b. Asas ius soli ( law of the soil ) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan. c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang. d. Asas kewarganegaraan gan da terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian dan itupun sifatnya terbatas. Dalam konteks pertanyaan Anda, kami berfokus pada asas kewarganegaraan ganda terbatas dimana anak dari perkawinan campuran, berhak atas kewarganegaraan ganda sampai ia berusia 18 tahun. Setelah itu, ia wajib menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. [2] Status Kewarganegaraan si Anak Menjawab pertanyaan Anda, jika ayah yang semula berstatus WNA kemudian pindah kewarganegaraan menjadi WNI, tidak serta merta membuat anaknya yang berkewarganegaraaan ganda menjadi ikut berstatus WNI. Sampai ia berusia 18 tahun, si anak memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas. Namun, setelah ia berusia 18 tahun, ia wajib menyatakan memilih satu kewarganegaraan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 21 jo. Pasal 6 UU Kewarganegaraan: Pasal 21 UU Kewarganegaraan: (1) Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik, Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia. (2) Anak warga negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara sah menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh Warga Negara Indonesia memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia. (3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memperoleh kewarganegaraan ganda, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. Pasal 6 UU Kewarganegaraan: (1) Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf 1, dan Pasal 5 berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia, 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. (2) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan. (3) Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin . Dengan kata lain, pindahnya kewarganegaraan ayah dari WNA menjadi WNI tidak serta merta membuat anaknya yang berkewarganegaraan ganda menjadi ikut berstatus WNI. Anak tersebut tetap berkewarganegaraan ganda sampai ia berusia 18 tahun. Setelah ia berusia 18 tahun, maka ia harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraan, apakah menjadi WNA atau WNI. Lain halnya apabila keduanya (ayah dan anak) memang berstatus WNA, kemudian ayahnya menjadi, maka anak-anak pemohon yang belum berusia 18 tahun atau belum kawin ikut memperoleh status kewarganegaraan pemohon, yakni WNI . [3] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia . [1] Penjelasan umum UU Kewarganegaraan [2] Pasal 6 ayat (1) UU Kewarganegaraan [3] Pasal 21 ayat (1) UU Kewarganegaraan jo. Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia kewarganegaraan ganda warga negara indonesia hukumonline orang asing klinik hukumonline hukum klinik imigrasi warga negara asing" }
{ "from": "human", "value": "Mohon pencerahan mengenai B to B, G to G, B to G dalam hal Capital Market. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: B to B dalam capital market sebagai contohnya dapat terjadi saat penawaran umum perdana atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offering (“IPO” ) . B to G terjadi saat komponen pihaknya terdiri dari perusahaan dan pemerintah. Contoh dalam praktik adalah pengadaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (“ PKP2B ”) yang merupakan suatu perjanjian antara pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing. Hubungan transaksional G to G dalam capital market terjadi pada saat transaksi utang melalui Surat Utang Negara yang hanya diperjualbelikan melalui Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan transaksional G to G tersebut terjadi karena pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman dari pemerintah negara lain, di samping pinjaman luar negeri yang berasal dari badan-badan internasional lainnya. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pendefinisian umum dari istilah B to B , G to G , dan B to G adalah hubungan transaksi yang dilakukan oleh dua badan usaha yang masing-masing pihaknya dapat berasal dari perusahaan bisnis (“ B ”) dan pihak lainnya berasal dari government atau pemerintah (“ G ”). B to B bukanlah bahasa hukum, melainkan bahasa pemasaran yang mendeskripsikan jenis transaksi perdagangan antara perusahaan dengan perusahaan , bukan antara perusahaan d engan konsumen individu (biasanya disebut sebagai B to C ) . Sedangkan B to G adalah istilah perkembangan dari B to B yang sering didefinisikan dengan pemasaran dalam sektor publik, dimana pemerintah turut berperan sebagai salah satu pihak dalam transaksi. KLINIK TERKAIT Dapatkah Perusahaan Membeli Saham Perusahaan Lainnya? 27 Sep 2023 Eksekusi Saham yang Digadaikan dalam Bursa 26 Jul 2023 Saham dan Obligasi: Dari Pengertian Hingga Perbedaannya 25 Jan 2023 Notaris Pengganti Pasar Modal 26 Jun 2020 1. B to B B to B dalam capital market sebagai contohnya dapat terjadi saat penawaran umum perdana atau lebih dikenal dengan istilah Initial Public Offering (“IPO” ) . Dalam penyelenggaraan IPO terjadi transaksi antara perusahaan yang mengeluarkan saham baru dengan perusahaan pembeli. Transaksi B to B juga dapat terjadi pada saat dilakukan penawaran umum kedua, khususnya saat pemesanan efek terlebih dahulu atau biasa disebut dengan Right Issue. Para pihak dalamhubungan transaksi yang terjadi dalam Right Issue sama dengan hubungan transaksi pada IPO, yaitu antara dua entitas bisnis yang dapat berupa perseorangan, perusahaan, badan hukum, usaha bersama, dan asosiasi (Vide Peraturan Bapepam Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender Sukarela ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. B to G Hubungan transaksional B to G terjadi saat komponen pihaknya terdiri dari perusahaan dan pemerintah. Contoh dalam praktik adalah pengadaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (“ PKP2B ”) yang merupakan suatu perjanjian antara pemerintah RI dengan perusahaan swasta asing. Jika pihak perusahaan swasta asingnya merupakan perusahaan yang sudah listing , maka terdapat kaitan B to G yang berkenaan dengan capital market . 3. G to G Hubungan transaksional G to G dalam capital market terjadi pada saat transaksi utang melalui Surat Utang Negara yang hanya diperjualbelikan melalui Pasar Sekunder baik di dalam maupun di luar negeri. [1] Surat Utang Negara yang pernah diterbitkan pemerintah dalam rangka pinjaman luar negeri tersebut adalah dalam rangka pembiayaan proyek-proyek pembangunan melalui APBN. [2] Kegiatan transaksional G to G tersebut terjadi karena pemerintah Indonesia memperoleh pinjaman dari pemerintah negara lain, di samping pinjaman luar negeri yang berasal dari badan-badan internasional lainnya. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara ; 2. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1978 tentang Pinjaman Luar Negeri Dalam Bentuk Surat Hutang atau Obligasi; 3. Peraturan Bapepam Nomor IX.F.1 tentang Penawaran Tender Sukarela. [1] Pasal 2 ayat (2) dan penjelasan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (“UU24/2002”). [2] Pasal 20 UU 24/2002 jo Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1978 tentang Pinjaman Luar Negeri Dalam Bentuk Surat Hutang atau Obligasi. bisnis" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana syarat-syarat suatu ciptaan lagu dianggap sudah merupakan milik umum? Apabila saya ingin menggunakan lagu yang sudah dianggap sebagai ciptaan yang sudah merupakan milik umum untuk kepentingan komersial, apakah saya tinggal langsung memakainya tanpa izin atau harus izin ke Dirjen HAKI?" }
{ "from": "gpt", "value": "Istilah “milik umum” merupakan istilah yang tidak dikenal atau tidak diatur secara khusus dalam UU Hak Cipta. Namun istilah “milik umum” (public domain) sering dirujuk sebagai karya cipta yang sudah tidak dilindungi oleh hak cipta karena telah berakhir masa perlindungannya sebagaimana didefinisikan oleh World Intellectual Property Organization (“WIPO”) sebagai berikut:\n\nThe public domain is generally defined as encompassing intellectual elements that are not protected by copyright or whose protection has lapsed, due to the expiration of the duration for protection.\n\nNamun sebelum menjawab pertanyaan Anda, sepatutnya perlu dipahami bahwa hak eksklusif dalam hak cipta terdiri dari hak moral dan hak ekonomi, yang memiliki masa perlindungan yang berbeda sebagai berikut.\n\nHak moral tanpa batas waktu terkait mencantumkan atau tidak mencantumkan nama pencipta pada salinan ciptaan, penggunaan nama samara pencipta, dan mempertahankan hak pencipta dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya, tercantum pada Pasal 57 ayat (1) UU Hak Cipta.\n\nSedangkan hak moral selama masa jangka waktu hak cipta tersebut untuk mengubah ciptaan sesuai dengan kepatutan masyarakat dan mengubah judul serta anak judul ciptaan, tercantum pada Pasal 57 ayat (2) UU Hak Cipta.\n\nHak ekonomi untuk karya cipta lagu dan/atau musik berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta.\n\nMerujuk pada ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa apabila jangka waktu perlindungan hak ekonomi suatu karya cipta telah berakhir dan menjadi milik umum (public domain), pencipta atau ahli warisnya dan pemegang hak cipta tidak lagi memiliki eksklusifitas terhadap pemanfaatan karya ciptaan, termasuk melarang pihak ketiga untuk memanfaatkan karya ciptaan tersebut. Dengan kata lain pemanfaatan terhadap karya cipta yang telah menjadi milik umum (public domain) tersebut menjadi bebas.\n\nHal ini sejalan dengan publikasi WIPO yang berbunyi sebagai berikut:\n\nWhile the public domain is by nature free for anyone, without discrimination and in all circumstances of use, …\n\nBaca juga: Begini Cara Pencatatan Hak Cipta Lagu Secara Online\nContoh Lagu yang Menjadi Public Domain\n\nSehubungan dengan penggunaan karya cipta yang telah menjadi milik umum (public domain), kami mencontohkan suatu kasus pada tahun 2015 terdapat suatu sengketa yang diajukan oleh Rupa Marya, dkk kepada Warner/Chappell Music, Inc, et al, yang didasari oleh penarikan royalti atas lagu “Happy Birthday To You” karena lagu “Happy Birthday To You” memiliki kesamaan dengan lagu “Good Morning To You All” yang telah menjadi milik umum (public domain). Oleh karena itu, Warner/Chappell Music, Inc, et al tidak sepatutnya menarik royalti atas penggunaan lagu “Happy Birthday To You”.\nBaca juga: Sengketa Hak Cipta Lagu Happy Birthday Berakhir Damai\n\nMelalui putusan Case No. CV 13-4460-GHK (MRWx), hakim United States District Court for the Central District of California, mengabulkan gugatan Rupa Marya tersebut. Dikarenakan Clayton F Summy Co (pihak yang mencatatkan lagu “Happy Birthday To You” dan mengalihkannya kepada Warner/Chappell Music, Inc, et al) tidak terbukti merupakan pencipta dari lagu “Happy Birthday To You”.\n\nDengan diputusnya sengketa tersebut, pihak-pihak yang telah membayarkan royalti atas penggunaan lagu tersebut mengajukan gugatan kepada Warner/Chappell Music, Inc. Pada akhirnya, para penggugat dan Warner/Chappell Music, Inc sepakat untuk berdamai dan Warner/Chappell Music, Inc mengembalikan royalti yang telah dipungut senilai $14 juta.\nTips Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum\n\nBerdasarkan hal-hal tersebut di atas, pada prinsipnya pemanfaatan hak ekonomi secara komersil terhadap karya cipta yang telah menjadi milik umum (public domain) tidak memerlukan izin terlebih dahulu dari pihak manapun. Namun sebelum menggunakan menggunakan karya cipta milik umum (public domain) tersebut, kami menyarankan kepada Anda untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:\n\nMelakukan riset mendalam terkait kepemilikan karya cipta tersebut. Misalnya apakah jangka waktu perlindungan hak cipta karya cipta tersebut benar-benar sudah habis atau belum.Tetap mencantumkan/menyebutkan nama pencipta pada saat melakukan pemanfaatan karya cipta.Melakukan konsultasi dengan Lembaga Kolektif Manajemen Nasional (“LMKN”) untuk meminimalisir terjadinya sengketa royalti di kemudian hari. Mengingat saat ini penarikan royalti yang dilakukan oleh LMKN menerapkan sistem blanket license.\n\nBaca juga: Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK?\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.\nPutusan:\n\nCase No. CV 13-4460-GHK (MRWx) United States District Court for the Central District of California." }
{ "from": "human", "value": "Apakah badan usaha milik negara (BUMN) dapat memiliki tanah dengan hak milik?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, kita harus ketahui terlebih dahulu apa itu badan usaha milik negara (“BUMN”). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara , BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. KLINIK TERKAIT Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP 20 Feb 2024 Sanksi Bagi PPAT yang Membuat Akta Tak Sesuai Data 15 Sep 2020 Kelengkapan Surat Saat Jual Beli Tanah Waris 26 Sep 2013 Apakah Yayasan Keagamaan Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah? 22 Agt 2013 Mengenai apakah BUMN dapat memiliki tanah dengan hak milik atau tidak, Anda dapat melihat pada ketentuan Pasal 21 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) . Dalam Pasal 21 ayat (1) UUPA dikatakan bahwa hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. Akan tetapi, dalam Pasal 21 ayat (2) UUPA diberikan pengecualian, yaitu bahwa Pemerintah dapat menetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik. Pengecualian subjek hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik ini dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (“PP No. 38/1963”). Berdasarkan Pasal 1 PP No. 38/1963 , badan-badan hukum yang dapat mempunyai tanah hak milik, yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara); b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar atas Undang-Undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran-Negara Tahun 1958 No. 139); c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Berdasarkan uraian pada Pasal 1 PP No. 38/1963, dapat kita lihat bahwa BUMN tidak termasuk ke dalam badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah . Walaupun tidak dapat mempunyai tanah hak milik, BUMN masih dapat mempunyai hak atas tanah yang lain, yaitu: a. Hak Guna Usaha ( Pasal 30 UUPA ); b. Hak Guna Bangunan ( Pasal 36 UUPA ); c. Hak Pakai ( Pasal 42 UUPA ); dan d. Hak Pengelolaan ( Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ; 3. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah ; 4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan. hak pengelolaan hak guna usaha bumn badan usaha milik negara" }
{ "from": "human", "value": "Mengapa badan hukum asing yang ingin beroperasi di Indonesia harus menjadi Perseroan Terbatas dulu?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mungkin yang dimaksud anda adalah bila hal itu terutama berkaitan dengan atau dalam konteks penanaman modal asing (PMA). Alasan untuk hal itu dapat bermacam-macam. Dua alasan dasar yang dapat menggambarkan alasan pembuat undang-undang (dan juga investor) kenapa PT lebih menguntungkan dari bentuk perusahaan lain terutama dalam hal kerjasama antara para investor adalah: a. Tanggung jawab Terbatas Pemegang saham dalam Perseroan Terbatas (PT), pada dasarnya, bertanggung jawab sebatas jumlah modal yang ditempatkan olehnya ke dalam PT yang bersangkutan. Kecuali ia melakukan tindakan-tindakan yang merugikan kepentingan PT sebagai subyek hukum. Dalam hal demikian, seolah-olah PT itu adalah dirinya sendiri (lihat ps.3 Undang-Undang No.1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas). b. Penumpukan Modal Yang Mudah Dan Cepat Dengan menggunakan instrumen saham, yang sifatnya dapat mudah dialihkan atau diperdagangkan, untuk menunjukkan besaran kepentingan pemegang saham dalam PT, maka usaha penumpukan modal (sekaligus pelepasan atau pengurangan modal) dapat dilakukan relatif lebih mudah. Tidak ada ikatan pribadi atau keahlian yang melekat pada pribadi-pribadi manusia seperti halnya bentuk perusahaan persekutan perdata atau Firma atau CV. Semua lebih berpusat pada kekuatan modal yang dimiliki. Namun demikian, perlu anda ingat bahwa tidak setiap badan hukum asing yang beroperasi di Indonesia harus menggunakan perseroan terbatas . Hal itu dapat juga dilakukan oleh badan hukum asing melalui bentuk usaha tetap untuk menjalankan usahanya di Indonesia, yang dapat berupa (lihat ps.2 (5) Undang-undang tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami berbagai perubahan, perubahan terakhir dengan Undang-undang No.17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan): tempat kedudukan manajemen cabang perusahaan kantor perwakilan gedung kantor pabrik bengkel pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan dan kehutanan proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia Jadi, arti beroperasi disini tidak sekedar dilihat dari pemenuhan keberadaan fisik perusahaan saja tetapi juga dilihat dari usaha sebagai sumber penghasilan. Beberapa contoh yang kentara untuk dilihat adalah: a. M empunyai kantor perwakilan asing (lihat Keputusan Presiden No.53 tahun 1987 tentang Kantor Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing) b. M enjadi mitra asing dalam eksplorasi pertambangan (lihat Undang-undang No.11 Tahun 1967 tentang Pertambangan) c. Menjadi kontraktor proyek (lihat Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi) Sebagai ilustrasi singkat, badan usaha asing dapat menawarkan, menjadi peserta dalam tender proyek dan ditunjuk sebagai kontraktor untuk mengerjakan proyek yang bersangkutan tanpa harus melalui pendirian perseroan terbatas. Hal itu dapat dilakukan berdasarkan kontrak dengan mitra mereka di Indonesia berdasarkan perjanjian kontruksi atau kerjasama operasi atau subkontrak. Demikianlah jawaban kami. Semoga berguna." }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan BLU (badan layanan umum). Apa contohnya? Apakah perguruan tinggi negeri merupakan BLU? Tetapi kenapa ada perguruan tinggi negeri Badan Hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPenangkapan karena Bentangkan Poster Kritikan Saat Kunjungan Presiden25 Okt 2021Peluang Mahasiswa Menggugat Kampusnya03 Sep 2015Adakah Alokasi Dana Kegiatan Kemahasiswaan dari Pemerintah?15 Apr 2015Jika Dosen Menolak Menanggapi Protes Nilai dari Mahasiswa05 Jan 2015\n\nBLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.[1]\n\nDasar hukum BLU adalah PP 23/2005 dan aturan perubahannya.\nTujuan BLU\nApa tujuan BLU? Tujuan BLU adalah meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis yang sehat.[2]\nAsas BLU\n\nAsas BLU adalah, di antaranya:\n\nBLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan.[3]\n\nBLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai institusi induk. Karena BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah, maka status hukum BLU tidak terpisah dari kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.[4]\nMenteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan.[5]\n\nSelain itu, pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota.[6]\n\nBLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.[7] Meskipun demikian, BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan.[8] Imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana.[9]\n\nTarif layanan harus mempertimbangkan aspek-aspek:[10]\n\nkontinuitas dan pengembangan layanan;daya beli masyarakat;asas keadilan dan kepatutan; dankompetisi yang sehat.\nKarakteristik BLU\n\nBerdasarkan uraian pengertian dan asas BLU di atas, dapat dilihat bahwa ciri karakteristik dari BLU adalah:\n\nBerkedudukan sebagai instansi di lingkungan pemerintah;Menyediakan barang dan/atau jasa yang dijual kepada masyarakat;Tidak mengutamakan mencari keuntungan;Didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas;Pejabat pengelola BLU dan pegawai BLU dapat terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dan/atau tenaga profesional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU.[11]\nSyarat BLU\n\nSuatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (“PPK-BLU”) apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif berikut ini:[12]\n\nPersyaratan substantif\n\nInstansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:[13]\n\nPenyediaan barang atau jasa layanan umum. Contohnya pelayanan bidang kesehatan seperti rumah sakit pusat atau daerah, penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian.\n\nPengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum. Contohnya otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet).\n\nPengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat. Contohnya pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah, pengelola penerusan pinjaman, dan pengelola tabungan perumahan.\n\nPersyaratan Teknis[14]Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangannya; dan\n\nKinerja keuangan satker instansi yang bersangkutan sehat sebagaimana ditunjukan dalam dokumen usulan penetapan BLU.\n\nPersyaratan Administratif\n\nPersyaratan administratif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen berikut:[15]\n\nPernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;Pola tata kelola;Rencana strategis bisnis;Laporan keuangan pokok;Standar pelayanan minimal; danLaporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.\nContoh Badan Layanan Umum di Indonesia\n\nSeperti yang telah diuraikan, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.\n\nPada umumnya, contoh instansi pemerintah yang merupakan badan layanan umum di Indonesia adalah rumah sakit dan universitas atau perguruan tinggi negeri (“PTN”) selaku penyelenggara pendidikan.\n\nDaftar badan layanan umum universitas atau PTN dapat Anda lihat pada Daftar Badan Layanan Umum.\n\nMerujuk pada daftar tersebut, PTN yang berstatus BLU adalah, di antaranya Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Semarang, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Andalas, Universitas Udayana, Universitas Negeri Padang, Universitas Terbuka.\nApakah Semua Perguruan Tinggi Negeri Berstatus BLU?\n\nPasal 65 ayat (1) UU 12/2012 mengatur:\n\nPenyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan berdasarkan aturan di atas, tidak semua perguruan tinggi itu berstatus BLU, ada juga yang berstatus badan hukum. Penentuan status perguruan tinggi tersebut didasarkan atas evaluasi kinerja oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Pendidikan.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt504716e4cc717/nprt/lt50f3a2f66c18f/uu-no-12-tahun-2012-pendidikan-tinggi)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20819/nprt/707/peraturan-pemerintah-nomor-23-tahun-2005)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt50599d36b439a/nprt/lt4f2a52f2ccd04/peraturan-pemerintah-nomor-74-tahun-2012)\nREFERENSI:\n1. Daftar Badan Layanan Umum, diakses pada 4 Februari 2022 pukul 13.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (“PP 23/2005”)\n\n[2] Pasal 2 PP 23/2005\n\n[3] Pasal 3 ayat (1) PP 23/2005\n\n[4] Pasal 3 ayat (2) PP 23/2005\n\n[5] Pasal 3 ayat (3) PP 23/2005\n\n[6] Pasal 3 ayat (4) PP 23/2005\n\n[7] Pasal 3 ayat (5) PP 23/2005\n\n[8] Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (“PP 74/2012”)\n\n[9] Pasal 9 ayat (2) PP 74/2012\n\n[10] Pasal 9 ayat (3) PP 74/2012\n\n[11] Pasal 33 ayat (1) PP 74/2012\n\n[12] Pasal 4 ayat (1) PP 23/2005\n\n[13] Pasal 4 ayat (2) PP 23/2005 dan penjelasannya\n\n[14] Pasal 4 ayat (3) PP 23/2005\n\n[15] Pasal 4 ayat (4) PP 23/2005" }
{ "from": "human", "value": "Saya bermaksud mendirikan perusahaan, namun jujur saja ada beberapa hal yang saya benar-benar belum paham: 1. Manakah bentuk perusahaan yang lebih baik, perusahaan perseorangan atau perseroan terbatas? Kelebihan dan kekurangan masing-masing apa saja? 2. Seandainya saya ingin mendirikan jasa konsultan, apa bisa dalam satu kantor mengurusi banyak masalah, seperti ada konsultan hukum, pajak, maupun teknik dalam satu atap? Seandainya bisa, sebaiknya bentuk perusahaan apa yang saya pilih?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil 18 Mar 2024 Perbedaan Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor PT 18 Jan 2024 Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA 17 Mei 2023 Modal Dasar PT PMA 03 Mar 2021 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Perbandingan Badan Usaha Berbentuk UD dan PT yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 26 Januari 2012 dan dimutakhirkan pertama kalinya oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada Selasa, 28 November 2017. Pada prinsipnya, dalam setiap pendirian badan usaha, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang kami jelaskan satu per satu berikut ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perusahaan Perseorangan Handri Raharjo dalam buku Hukum Perusahaan mendefinisikan perusahaan perseorangan sebagai perusahaan yang dilakukan oleh satu orang pengusaha dengan tujuan mencari laba atau keuntungan (hal. 26). Mengenai bentuk perusahaan perseorangan, H.M.N. Purwosutjipto dalam buku Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2: Bentuk-bentuk Perusahaan (hal. 2) memaparkan bahwa perusahaan perseorangan dapat berbentuk Perusahaan Dagang (“PD”) atau Usaha Dagang (“UD”) . Dalam pertanyaan, Anda tidak menyebutkan secara spesifik bentuk usaha perusahaan perseroangan yang Anda maksud, sehingga kami mengasumsikan bentuk UD. Irma Devita Purnamasari , dalam bukunya Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha mendefinisikan UD sebagai suatu badan usaha yang dijalankan secara mandiri oleh satu orang saja dan tidak memerlukan suatu partner dalam berusaha. Kalau ada yang membantu usaha tersebut, kedudukannya tidak sama dengan pemilik UD, melainkan hanya bertindak sebagai karyawan atau bawahan (hal. 5). Selain itu, di mata hukum, UD sama dengan pemiliknya, artinya tidak ada pemisahan kekayaan ataupun pemisahan tanggung jawab antara UD dan pemiliknya (hal. 5). Masih dari sumber yang sama, berbagai usaha yang merupakan usaha pribadi , seperti perdagangan umum untuk sembako, pedagang kelontong, salon, fotografer, atau usaha lain yang sifatnya mandiri dan tidak membutuhkan suatu badan usaha yang lebih besar bisa menggunakan bentuk usaha UD . Hal ini karena proses pembuatan UD/PD lebih sederhana dan mudah (hal. 8). Perseroan Terbatas (“PT”) PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal , didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“PP 7/2021”) . [1] Berdasarkan ketentuan tersebut, PT dapat berupa badan hukum perseorangan apabila didirikan oleh pelaku usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil. Lebih lanjut, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil (“PP 8/2021”) menyebut PT yang didirikan pelaku usaha mikro dan kecil salah satunya disebut dengan istilah perseroan perseorangan . Baca juga: Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil Dikarenakan PT merupakan badan hukum, maka kedudukan PT terpisah dari para pendirinya ( separate legal entity ), sehingga tanggung jawab pendiri PT dan pemegang saham PT terbatas hanya sebesar modal yang disetor atau jumlah saham yang dimiliki di PT tersebut. [2] Untuk mendirikan PT (bukan perseroan perseorangan), ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, di antaranya: Didirikan oleh 2 orang/lebih; [3] Setiap pendiri PT wajib mengambil bagian saham; [4] Memiliki modal dasar yang ditentukan berdasarkan keputusan para pendirinya, dengan paling sedikit 25% dari modal dasar itu telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat pendirian, dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah; [5] Didirikan dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. [6] Perbedaan UD dan PT Untuk memudahkan Anda, berikut beberapa perbedaan antara UD dan PT: Dari pemaparan di atas, nampak bahwa PT memang memiliki kelebihan di mana harta kekayaan pribadi pemegang saham dipisahkan dari harta perusahaan, sehingga jika terjadi kerugian atau kebangkrutan hanya akan melibatkan harta sebatas yang disetorkan dalam bentuk kepemilikan saham. Namun di sisi lain, tidak bisa dipungkiri pendirian UD jauh lebih mudah ketimbang pendirian PT yang harus memenuhi syarat-syarat di atas. Selain UD dan PT, ada bentuk-bentuk usaha lain, seperti Commanditaire Vennootschap (CV) dan firma, yang bisa Anda simak dalam Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya . Badan Usaha untuk Jasa Konsultan Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya sah-sah saja jika Anda ingin mendirikan jasa konsultan hukum, konsultan pajak maupun teknik dalam satu badan usaha. Dalam praktik, kantor konsultan hukum berbentuk perseorangan, firma atau persekutuan perdata. Sebagai informasi, untuk mendirikan law firm yang berkualitas, Anda bisa menonton video di YouTube channel Klinik Hukumonline : Catat! Ini 3 Pilar Utama Law Firm Berkualitas . Kemudian misalnya kantor jasa akuntan dapat berbentuk perseorangan, firma, persekutuan perdata atau PT, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) jo . Pasal 18 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK.01/2017 tahun 2017 tentang Akuntan Beregister . Dengan demikian, terkait bentuk badan usaha yang sebaiknya Anda pilih, dapat dipilih sendiri menyesuaikan dengan kebutuhan dan peraturan perundang-undangan terkait. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ; Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ; Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2021 tentang Modal Dasar Perseroan serta Pendaftaran Pendirian, Perubahan, dan Pembubaran Perseroan yang Memenuhi Kriteria untuk Usaha Mikro dan Kecil ; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK.01/2017 tahun 2017 tentang Akuntan Beregister . Referensi : H.M.N. Purwosutjipto. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 2: Bentuk-bentuk Perusahaan. Jakarta: Djambatan, 1986; Handri Raharjo. Hukum Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009; Irma Devita Purnamasari. Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer: Kiat-Kiat Cerdas, Mudah dan Bijak Mendirikan Badan Usaha. Bandung: Kaifa, 2010. [1] Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) [2] Pasal 3 ayat (1) UU PT [3] Pasal 109 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 7 ayat (1) UUPT [4] Pasal 109 angka 2 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 7 ayat (2) UUPT [5] Pasal 3 ayat (2) jo . Pasal 4 ayat (1) PP 8/2021 [6] Pasal 109 angka 2 UU Cipta Kerja yang merubah Pasal 7 ayat (1) UUPT pt hukumonline badan usaha perseroan terbatas hukum klinik badan hukum perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya berencana membuat website e-commerce B2C, semacam marketplace lainnya yang ada di Indonesia. Apakah usaha saya harus berbentuk PT? Jika tidak (karena terkendala modal, dan sebagainya), apakah saya menyalahi aturan hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Badan Usaha yang Aman untuk Berbisnis E-Commerce yang dibuat oleh Easybiz dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 12 April 2017, lalu dimutakhirkan pertama kali pada Jumat, 13 Oktober 2017. Sebelumnya, kami asumsikan bahwa Anda merupakan pelaku usaha dalam negeri yang hendak membuat usaha situs web e-commerce berbentuk e-marketplace dengan model B2C di Indonesia. E-Commerce, E-Marketplace , dan B2C E-Commerce didefinisikan sebagai semua bentuk proses pertukaran informasi antara organisasi dan stakeholder berbasiskan media elektronik yang terhubung ke jaringan internet, [1] yang mana salah satu jenisnya adalah e-marketplace , yaitu tempat untuk berjualan online dengan pengelolaan oleh satu pihak, produk dan informasi produknya disediakan oleh pihak lain. [2] Selain itu, Athanasios Drigas dan Panagiotis Leliopoulos dalam artikel Business to Consumer (B2C) E-Commerce Decade Evolution yang dimuat dalam International Journal of Knowledge Society Research edisi Oktober-Desember 2013 menjelaskan bahwa aktivitas e-commerce umumnya diklasifikasikan sebagai Business to Business (“B2B”) dan Business to Consume r (“B2C”). E-commerce dengan model B2C menggunakan internet sebagai saluran pasar ritel dan dalam hal informasi, sebagai saluran pengiriman produk atau layanan (hal. 1). Bentuk Badan Usaha Pengaturan mengenai penyelenggara e-commerce diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”), Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik (“PP 80/2019”) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (“Permendagri 50/2020”) . Menurut Pasal 1 angka 4 PP 71/2019 , penyelenggara sistem elektronik adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha , dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain. Sejalan dengan definisi di atas, Pasal 1 angka 6 PP 80/2019 dan Pasal 1 angka 4 Permendagri 50/2020 mengatur bahwa pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (“pelaku usaha”) adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang dapat berupa pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri dan melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan melalui sistem elektronik. Berdasarkan ketentuan tersebut, sah-sah saja apabila Anda memilih bentuk badan usaha selain perseroan terbatas (“PT”), misalnya dengan mendirikan koperasi, Persekutuan Komanditer (“CV”), atau firma. Memilih badan usaha bergantung pada kebutuhan dan rencana Anda dalam menjalankan serta mengembangkan bisnis. Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kemampuan permodalan dan risiko usaha. Setiap bisnis pasti memiliki risiko dan dengan mendirikan badan usaha ada beberapa opsi untuk mengelola risiko bisnis Anda. Untuk mengetahui karakteristik masing-masing badan usaha, simak artikel Jenis-Jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya . Meskipun demikian, menurut hemat kami, mendirikan PT untuk usaha penyelenggaraan e-marketplace lebih aman dibandingkan badan usaha lainnya. Sebab, PT berstatus badan hukum sehingga ada pemisahan harta kekayaan dan tanggung jawab antara pemilik perusahaan dengan perusahaannya hanya sebatas nilai sahamnya di perusahaan tersebut. Tidak Ada Ketentuan Besaran Modal Minimum PT Dalam pertanyaan Anda, Anda menerangkan bahwa Anda ingin mendirikan PT namun terkendala modal. Perlu diketahui bahwa melalui Pasal 109 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) , ketentuan mengenai besaran modal minimum PT telah dihapus . Berdasarkan pasal tersebut, modal dasar PT kini ditentukan berdasarkan kesepakatan pendiri PT , sehingga dalam hal ini Anda selaku pelaku usaha dapat menentukan sendiri berapa besaran modal PT yang Anda dan rekan Anda sepakati sebagai modal dasar. Penjelasan selengkapnya mengenai modal PT dapat Anda simak dalam artikel Perbedaan Modal Dasar, Modal Ditempatkan, dan Modal Disetor PT . Perizinan untuk Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Anda menyampaikan bahwa Anda berencana membuat website e-commerce yang berfungsi sebagai e- marketplace, sehingga menurut hemat kami Anda merupakan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (“PPMSE”), yaitu pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. [3] Untuk itu, Anda wajib memiliki izin usaha [4] dan Surat Izin Usaha Perdagangan melalui Sistem Elektronik (“SIUPMSE ” ). [5] Namun, izin usaha tersebut tidak berlaku bagi Penyelenggara Sarana Perantara, yaitu pelaku usaha yang menyediakan sarana komunikasi elektronik selain penyelenggara telekomunikasi yang hanya berfungsi sebagai perantara dalam komunikasi elektronik antara pengirim dengan penerima, [6] jika: [7] Bukan merupakan pihak yang tidak mendapatkan manfaat ( beneficiary ) secara langsung dan transaksi; atau Tidak terlibat langsung dalam hubungan kontraktual para pihak yang melakukan PMSE. Dalam hal ini, untuk memperoleh SIUPMSE, Anda selaku pelaku usaha dapat mengajukan permohonan kepada Menteri Perdagangan melalui Lembaga OSS. [8] Adapun SIUPMSE ini baru berlaku apabila Anda memenuhi komitmen yang terdiri atas [9] : Surat Tanda Terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja setelah SIUPMSE diterbitkan; Alamat situs web dan/atau nama aplikasi; Layanan pengaduan konsumen berupa nomor kontak dan/atau alamat surat elektronik (email) yang dapat dihubungi dan direspon [10] dan ditampilkan dengan jelas pada laman yang mudah dibaca konsumen; [11] dan Layanan pengaduan konsumen yang memuat informasi kontak pengaduan konsumen Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga. Perlu diingat , SIUPMSE ini penting. Apabila PPMSE tidak memiliki SIUPMSE, PPMSE dapat dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis yang dapat diberikan paling banyak 3 kali dengan masa tenggang waktu antara masing-masing peringatan paling lama 14 hari kalender. [12] Apabila dalam jangka waktu tersebut, PPMSE tetap tidak melaksanakan kewajiban memiliki SIUPMSE, maka PPMSE dapat dikenai sanksi administratif berupa dimasukkan dalam daftar hitam dan pemblokiran sementara layanan PPMSE oleh instansi terkait yang berwenang . [13] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui Sistem Elektronik Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Referensi : Athanasios Drigas dan Panagiotis Leliopoulos. “ Business to Consumer (B2C) E-Commerce Decade Evolution .” International Journal of Knowledge Society Research 4 (4), Oktober-Desember 2013; Bambang Agus Herlambang, dkk. “ E-Marketplace Development With C2C Model And Appreciative Inquiry .” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018. [1] Bambang Agus Herlambang, dkk., “ E-Marketplace Development With C2C Model and Appreciative Inquiry ,” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018 (hal. 96) [2] Bambang Agus Herlambang, dkk., “ E-Marketplace Development With C2C Model and Appreciative Inquiry ,” Jurnal Transformatika, Vol.15, No.2, Januari 2018 (hal. 97) [3] Pasal 1 angka 7 Permendagri 50/2020 [4] Pasal 3 ayat (1) Permendagri 50/2020 [5] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 50/2020 [6] Pasal 1 angka 9 Permendagri 50/2020 [7] Pasal 3 ayat (2) Permendagri 50/2020 [8] Pasal 9 ayat (1) Permendagri 50/2020 [9] Pasal 10 ayat (1) jo . Pasal 10 ayat (2) Permendagri 50/2020 [10] Pasal 10 ayat (4) Permendagri 50/2020 [11] Pasal 10 ayat (3) Permendagri 50/2020 [12] Pasal 44 ayat (1) jo . Pasal 44 ayat (2) Permendagri 50/2020 [13] Pasal 44 ayat (3) Permendagri 50/2020 npwp bisnis hukumonline google e-commerce telekomunikasi tdp bukalapak Industri dan manufakturing marketplace hukum klinik online shop perusahaan klinik hukumonline perdagangan siup tokopedia" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau tanya, bagaimana proses Bank melakukan AYDA atas agunan milik Debitur yang macet? Apakah harus dilakukan balik nama atau cukup kuasa jual dari pemilik agunan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan. Berikut uraian kami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas; KLINIK TERKAIT Cara Eksekusi Hak Tanggungan yang Belum Diroya 22 Agt 2023 Sisa Hasil Lelang Milik Debitur yang Sudah Raib 05 Agt 2010 Menyita Agunan atas Tanah yang Dijaminkan 16 Jun 2010 Lelang Eksekusi Hak Tanggungan, Intervensi Pihak Ketiga 24 Mei 2010 a. Apakah yang dimaksud dengan AYDA ( Agunan yang Diambil Alih )? Jika kita merujuk pada ketentuan Bab I Ketentuan Umum, khususnya Pasal 1 angka 24 Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaia n Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah , yang dimaksud dengan AYDA; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “... aktiva yang diperoleh Bank, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan dalam hal nasabah tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank.” Jadi, AYDA adalah suatu aktiva yang diperoleh dari bank baik melalui pelelangan maupun di luar lelang dari pemilik agunan, karena pemilik agunan/Debitur lalai dalam memenuhi kewajibannya. b. Bagaimanakah proses AYDA? Sebagaimana telah dijelaskan dalam ketentuan pada poin a di atas, proses pengalihan terhadap barang-barang agunan dapat dilakukan melalui dua (2) cara yakni; 1. melalui mekanisme lelang, atau 2. melalui mekanisme penjualan di bawah tangan dengan persetujuan dari pemilik agunan. Mekanisme lelang barang agunan milik debitur dapat dilakukan oleh Bank tanpa persetujuan debitur. Pasalnya, dalam hal debitur cedera janji pemilik agunan dapat mengeksekusi haknya (lihat Pasal 6 jo Pasal 20 ayat [1] UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah - UUHT ). Mekanisme lelang sediri dapat ditempuh dengan 3 cara; 1. Melalui penetapan pengadilan negeri, 2. Melalui Lembaga Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL), 3. Melalui Balai Lelang Swasta. Kemudian, mekanisme pelepasan kedua adalah melalui Pengalihan di bawah tanggan atas persetujuan dari pemilik agunan itu sendiri. Dalam praktiknya, pemilik agunan bisa memberikan persetujuan untuk menjual agunannya dengan memberikan surat kuasa untuk menjual (lihat Pasal 20 ayat [2] UUHT ). Namun, yang perlu dicermati lebih lanjut adalah bahwa surat kuasa untuk menjual yang diberikan oleh pemilik agunan tidak boleh berumur kurang dari 1 (satu) tahun. Hal ini karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak jual beli didasarkan surat kuasa yang melebihi masa satu tahun (lihat Pasal 12A ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ). Dalam pelaksanaannya, pelepasan agunan dengan cara di bawah tangan harus dilakukan setelah lewat jangka waktu 1 bulan. Sebelumnya, rencana pelepasan agunan yang dilakukan di bawah tangan tersebut harus terlebih dahulu diumumkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) surat kabar (lihat Pasal 20 ayat [3] UUHT ). Hal lain yang juga perlu dicermati adalah surat kuasa menjual tidak boleh dibuat pada awal perjanjian kredit. Hal ini karena surat kuasa menjual dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) pada awal kredit dapat membatalkan perjanjian. Kemudian, sebelum dilakukannya pengalihan dengan cara lelang maupun di bawah tangan dengan menggunakan surat kuasa untuk menjual dari pemilik agunan, Bank selalu melakukan penilaian terhadap aset. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk mendapatkan nilai wajar terhadap aset yang akan dialihkan tersebut c. Apakah harus dilakukan balik nama dalam proses AYDA? Untuk mencegah permasalahan hukum di kemudian hari, dalam praktiknya proses AYDA selalu diikuti dengan balik nama sebagai bentuk pengalihan kepemilikan di hadapan Notaris/PPAT. Hal ini guna melindungi kepentingan hukum si penerima AYDA dari tuntutan/gugatan di kemudian hari. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah 2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan 3. Peraturan Bank Indonesia No. 9/9/PBI/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006 tentang Penilaia n Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah" }
{ "from": "human", "value": "Apa batasan sebuah foto di media sosial dapat dikatakan pornografi? Apakah harus telanjang bulat? Khusus untuk foto pria, apakah foto bertelanjang dada termasuk pornografi mengingat ada pihak yang terbangkitkan hasrat/birahinya melihat foto itu tapi ada juga yang tidak?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ketentuan Pasal 1 butir kesatu Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU No. 44 Tahun 200 8 ”) telah mengatur definisi pornografi sebagai berikut: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.” KLINIK TERKAIT Hukum Nonton Film Porno dan Mengunduhnya 12 Jul 2022 Hukumnya Jual Sex Toys di Indonesia 19 Jan 2022 Tips Agar Anak Aman dari Kejahatan di Internet 27 Apr 2021 Kekuatan Pembuktian Screenshot Laman Konten Pornografi 19 Feb 2019 Berdasarkan definisi pornografi yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 butir kesatu UU No. 44 Tahun 2008 , batasan pornografi tidak hanya berdasar telanjang bulat atau setengah telanjang. Namun penekanan pornografi adalah pada ada tidaknya termuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat, dan batasannya tidak hanya pada kondisi telanjang. Sebab dalam keadaan berpakaian lengkap atau tertutup, kesan cabul atau eksploitasi seksual dapat diperlihatkan melalui ekspresi muka, gerak tubuh maupun suara. Seperti halnya terdapat beberapa gambar yang sering ditemukan ketika menjelajah dunia maya, khususnya saat hendak mencari informasi hal-hal terkait dengan kesehatan atau medis, banyak sekali disajikan gambar manusia dalam keadaan telanjang untuk menjelaskan kondisi organ dan posisi organ tubuh yang dimaksud guna kepentingan ilmu kesehatan. Contohnya ketika mencari gambar-gambar seputar kehamilan banyak disajikan foto seorang ibu memperlihatkan besarnya kehamilan tanpa penutup pada bagian perutnya, tentu saja hal ini kemudian tidak dapat diklasifikasikan dalam definisi pornografi. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya secara spesifik Pasal 4 UU No. 44 Tahun 2008 menyebutkan batasan pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak. Demikian jawaban kami, kiranya dapat membantu Saudara.Terima kasih. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi klinik hukumonline hukum hukumonline pornografi" }
{ "from": "human", "value": "Di manakah letak perlindungan untuk konsumen apabila produk itu (rokok) nyata-nyata membahayakan bagi konsumen itu sendiri? Bagaimana wujud perlindungan tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 14 Agustus 2012 . Intisari: Aturan tentang hukum perlindungan konsumen di Indonesia saat ini secara umum berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . Khusus mengenai perlindungan bagi pengguna rokok dapat kita temui pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya. Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau (termasuk rokok) bagi kesehatan meliputi: produksi dan impor peredaran perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan kawasan tanpa rokok. Bagaimana bentuk pengamanannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan tentang hukum perlindungan konsumen di Indonesia saat ini secara umum berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”). Khusus mengenai perlindungan bagi pengguna rokok dapat kita temui pengaturannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (“PP 109/2012”) . Rokok adalah salah satu Produk Tembakau [1] yang dimaksudkan untuk dibakar dan dihisap dan/atau dihirup asapnya, termasuk rokok kretek, rokok putih, cerutu atau bentuk lainnya yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica, dan spesies lainnya atau sintetisnya yang asapnya mengandung nikotin dan tar, dengan atau tanpa bahan tambahan. [2] Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif [3] berupa Produk Tembakau (termasuk rokok) bagi kesehatan meliputi: [4] produksi dan impor peredaran perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil; dan kawasan tanpa rokok. Lebih jauh untuk melaksanakan PP 109/2012 ini diterbitkan beberapa peraturan teknis sebagai berikut: Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau (“Permenkes 28/2013”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau (“Permenkes 56/2017”); Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Cara Uji Kandungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok (“Kepmenperindag 62/2004”) ; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pengawasan Produk Tembakau yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam Iklan dan Kemasan Produk Tembakau, dan Promosi (“Perkap BPOM 41/2013”) ; Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (“Peraturan Bersama Menkes dan Mendagri”). Jadi, jika yang Anda tanyakan adalah wujud dari perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok, pemerintah telah menetapkan batasan-batasan yang antara lain adalah: Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau wajib memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [5] Sehingga tidak semua orang bisa memproduksi rokok untuk dikonsumsi masyarakat luas. Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau berupa Rokok harus melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar per batang untuk setiap varian yang diproduksi. [6] Keharusan melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar juga berlaku untuk importir. [7] Keharusan melakukan pengujian kandungan kadar Nikotin dan Tar dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai bahaya merokok . [8] Kadar nikotin dan tar hasil pemeriksaan wajib dicantumkan pada label dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca. [9] Kewajiban mencantumkan informasi kandungan kadar Nikotin dan Tar bertujuan untuk memberikan informasi kepada konsumen tentang bahaya Tar dan Nikotin bagi kesehatan . [10] Selain menyebabkan ketergantungan (adiksi), Nikotin dapat juga menyebabkan penyempitan pembuluh darah termasuk pembuluh darah koroner yang memberi oksigen pada jantung dan penggumpalan sel darah. Karena penyempitan pembuluh darah, maka jantung akan memompa atau bekerja lebih keras, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah, karbondioksida akan mengikat hemoglobin menggantikan oksigen. Tidak adanya aliran oksigen ke otot jantung ditambah penyempitan dan penyumbatan arteri koroner yang mengakibatkan serangan jantung. Sedangkan Tar yang bersifat karsinogenik dapat menyebabkan penyakit kanker. [11] Setiap orang yang memproduksi Produk Tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan. [12] Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau berupa Rokok putih mesin dilarang mengemas kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap Kemasan. [13] Maksud dari pelarangan membuat Kemasan Rokok kurang dari 20 (dua puluh) batang bertujuan agar harga Rokok tidak mudah terjangkau oleh konsumen. [14] Setiap orang yang memproduksi dan/atau mengimpor Produk Tembakau ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan yang berbentuk gambar dan tulisan yang harus mempunyai satu makna yang tercetak menjadi satu dengan Kemasan Produk Tembakau. [15] Pencantuman peringatan kesehatan dalam bentuk gambar dan tulisan dalam Kemasan Produk Tembakau dimaksudkan untuk mengedukasi dan menginformasikan kepada masyarakat tentang bahaya akibat penggunaan Produk Tembakau secara lebih efektif [16] Selain Peringatan Kesehatan, pada setiap Kemasan Produk Tembakau wajib dicantumkan Informasi Kesehatan meliputi: [17] kandungan kadar nikotin dan tar; pernyataan “dilarang menjual atau memberi kepada anak berusia di bawah 18 tahun dan perempuan hamil”; kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen. Selain informasi tersebut, pada Kemasan Produk Tembakau dapat dicantumkan pernyataan: [18] “tidak ada batas aman”; dan “ mengandung lebih dari 4000 zat kimia berbahaya serta lebih dari 43 zat penyebab kanker ”. Pemerintah melakukan pengendalian Iklan Produk Tembakau yang dilakukan pada media cetak, media penyiaran, media teknologi informasi, and/atau media luar ruang. [19] Pengawasan terhadap hal ini juga dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (“BPOM”) sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Perkap BPOM 41/2013. Dalam rangka penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi kesehatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mewujudkan Kawasan Tanpa Rokok, antara lain: [20] fasilitas pelayanan kesehatan; fasilitas proses belajar mengajar; tempat anak bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah contoh wujud perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok secara khusus dan bagi masyarakat secara umum. Pemerintah daerah juga dapat memperingati dan memberikan batasan-batasan untuk melindungi pengguna rokok maupun masyarakat di antaranya seperti yang telah disebutkan di atas dan dengan menetapkan kawasan tanpa rokok seperti yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok sebagaimana telah diubah dengan Pergub DKI Jakarta Nomor 88 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 75 Tahun 2—5 tentang Kawasan Dilarang Merokok . Penjelasan lebih jauh simak artikel Sanksi Pidana Bagi Pelanggar Kawasan Dilarang Merokok . Jadi, perlindungan bagi pengguna atau konsumen rokok memang telah diberikan oleh pemerintah sebagaimana telah diuraikan di atas. Tetapi, mengenai kesadaran bahwa rokok akan berisiko bagi kesehatan pribadi konsumen rokok ada pada masing-masing individu, meskipun upaya tersebut sudah dilakukan oleh pemerintah. Demikian yang dapat kami jelaskan, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan Pada Kemasan Produk Tembakau Peraturan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011; 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 62/MPP/KEP/2/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Cara Uji Kandungan Kadar Nikotin dan Tar Rokok Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 41 Tahun 2013 tentang Pengawasan Produk Tembakau yang Beredar, Pencantuman Peringatan Kesehatan Dalam Iklan dan Kemasan Produk Tembakau, dan Promosi [1] Produk Tembakau adalah suatu produk yang secara keseluruhan atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dihisap, dan dihirup atau dikunyah (Pasal 1 angka 2 PP 109/2012) [2] Pasal 1 angka 3 PP 109/2012 [3] Zat Adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku, kognitif, dan fenomena fisiologis, keinginan kuat untuk mengkonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam mengendalikan penggunaannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan tersebut daripada kegiatan lain, meningkatnya toleransi dan dapat menyebabkan keadaan gejala putus zat. (Pasal 1 angka 1 PP 109/2012) [4] Pasal 8 PP 109/2012 [5] Pasal 9 PP 109/2012 [6] Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012 [7] Pasal 2 ayat (1) Kepmenperindag 62/2004 [8] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) PP 109/2012 [9] Pasal 19 PP 109/2012 dan Pasal 2 ayat (2) Kepmenperindag 62/2004 [10] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012 [11] Penjelasan Pasal 19 PP 109/2012 [12] Pasal 12 ayat (1) PP 109/2012 [13] Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012 [14] Penjelasan Pasal 13 ayat (1) PP 109/2012 [15] Pasal 14 PP 109/2012 [16] Penjelasan Pasal 14 ayat (1) PP 109/2012 [17] Pasal 21 PP 109/2012 dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenkes 28/2013 [18] Pasal 20 PP 109/2012 dan Pasal 11 Permenkes 28/2013 [19] Pasal 26 PP 109/2012 [20] Pasal 50 ayat (1) PP 109/2012 kesehatan bahaya rokok hukumonline google tembakau hukum klinik klinik hukumonline perdagangan rokok perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Pengasuh Rubrik Klinik, saya bekerja di perusahaan swasta ingin menanyakan sehubungan pelaksanaan SKB 3 Menteri terkait cuti bersama, apakah ada sanksi dari Pemerintah bila perusahaan swasta tidak memotong cuti tahunan karyawannya dalam pelaksanaan cuti bersama tersebut? Mohon penjelasannya. Terima kasih Handaya." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagaimana telah pernah saya jawab dan jelaskan dalam artikel yang berjudul Cuti Massal Karyawan (Cuti Bersama) , bahwa cuti bersama adalah merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan secara bersama-sama ( secara massal ) , sehingga sering disebut dengan cuti massal . Dengan mengambil cuti bersama tersebut, berarti mengurang i hak cuti karyawan yang bersangkutan dan memotong hak cuti tahunan nya. Namun demikian, untuk menjawab pertanyaan Saudara (yang terkait dengan sanksi ) mungkin saya perlu menjelaskan kembali mengenai hak cuti tahunan dan kaitannya dengan cuti bersama. KLINIK TERKAIT Apakah Cuti Bersama Memotong Cuti Tahunan? 05 Apr 2024 Hukumnya Potong Gaji Karyawan karena Libur Lebaran 04 Apr 2024 Adakah Hak Cuti Tahunan untuk Pekerja Part Time? 25 Mar 2024 Kapan Hak Cuti Tahunan Bisa Digunakan? 11 Jan 2024 Berdasarkan Pasal 79 ayat (1) dan ayat (2) huruf c Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , bahwa pengusaha wajib memberikan wakt u istirahat dan hak cuti tahunan kepada pekerja/buruh (istilah Saudara, karyawan ) sekurang-kurangnya 12 (duabelas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (duabelas) bulan secara terus-menerus. Dengan terbitnya Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara  No.: 357 Tahun 2003, Kep-191/Men/2003, dan 03/SKB/M.PAN/2003 tentang Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2004 tanggal 17 Juli 2003 yang kemudian berturut-turut terbit surat keputusan serupa setiap tahun nya , yang terakhir adalah Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5, 225, 05/SKB/MENPAN-RB/08/2013 Tahun 2013 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014 ( “SKB 3 Menteri” ) , hal ini mengubah cara pengambilan hak cuti (tahunan) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas B erpedoman pada ketentuan sebagaimana disebutkan dalam amar Keempat SKB 3 Menteri , bahwa pelaksanaan cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan pegawai/karyawan/pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ( vide Pasal 79 ayat (2) huruf c UU Ketenagakerjaan jo . Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 1954 tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh ). Demikian juga dipertegas dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Cuti Bersama di Sektor Swasta Tahun 201 1 , antara lain disebutkan, bahwa cuti bersama merupakan bagian dari pelaksanaan cuti tahunan yang dilakukan (maksudnya, diambil dan dilaksanakan) secara bersama-sama. Sehingga pekerja/buruh yang melaksanakan cuti pada pada hari-hari cuti bersama sesuai SKB, hak cuti yang diambilnya diperhitungkan dengan dan mengurangi hak cuti tahunan pekerja/buruh yang bersangkutan. Artinya, jika seseorang karyawan yang melaksanakan cuti bersama , misalnya selama 2 (dua) hari , seperti pada hari raya Idhul Fitri sebagai tambahan hari libur resmi sebelum/sesudah hari raya Idhul Fitri, maka cuti bersama selama 2 (dua) hari tersebut mengurangi hak cuti tahunan yang berjumlah 12 (duabelas) hari kerja, sehingga dengan demikian hak cuti tahunan yang belum diambil tinggal tersisa 10 (sepuluh) hari kerja. Sehubungan dengan permasalahan Saudara, kalau perusahaan tidak memotong cuti tahunan seseorang karyawannya, bukankah justru lebih baik dan lebih menguntungkan bagi karyawan yang bersangkutan? Maksudnya, hak cuti tahunannya utuh tidak ada potongan tetapi perusahaan juga tetap melaksanakan cuti bersama. Dengan demikian, menurut pendapat dan hemat saya, tidak ada sanksi dari Pemerintah apa bila perusahaan ( swasta ) tidak memotong hak cuti tahunan karyawannya terkait dengan pelaksanaan cuti bersama tersebut. Justru dengan tidak adanya pemotongan hak cuti tahunan , tentunya lebih baik jika perusahaan mematuhi dan melaksanakan SKB 3 Menteri dengan menerapkan cuti bersama sesuai ketentuan waktu dalam SKB 3 Menteri dimaksud dan juga tetap memberikan hak cuti tahunan penuh selama 12 (duabelas) hari kerja kepada masing-masing karyawan. Demikian penjelasan saya, semoga saya tidak salah menangkap maksud pertanyaan Saudara. Saya ucapkan selamat melaksanakan cuti bersama tanpa potongan hak cuti tahunan . Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Pemerintah No.21 Tahun. 1954 tentang Penetapan Peraturan Istirahat Buruh ; 3. Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara  No.: 357 Tahun 2003, Kep-191/Men/2003, dan 03/SKB/M.PAN/2003 tentang Hari-hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2004; 4. Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5, 225, 05/SKB/MENPAN-RB/08/2013 Tahun 2013 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2014; 5. Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. SE.302/MEN/SJ-HK/XII/2010 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Cuti Bersama di Sektor Swasta Tahun 201 1. cuti bersama" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara mengakses dana untuk bantuan hukum versi Mahkamah Agung (SEMA) dan UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (versi Dephumham)? Karena posisi saya di daerah Mataram banyak masyarakat di sini yang buta hukum dan ekonomi yang kurang, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, kami akan menerangkan terlebih dahulu mengenai latar belakang terbentuknya bantuan hukum di Indonesia. A wal mula regulasi pelembagaan bantuan hukum ke dalam hukum positif Indonesia adalah P asal 250 HIR , yang m engatur tentang bantuan hukum bagi terdakwa dalam perkara yang diancam dengan hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup, ahli hukum yang ditunjuk wajib memberikan bantuan hukum dengan cuma-cuma. Kemudian, p ada 1970 lahirlah U U No . 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman , di dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 mengatur tentang bantuan hukum . Selain itu, diatur pula di d alam P asal 56 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , untuk tindak pidana yang dituntut hukuman 15 tahun atau lebih dapat diberikan bantuan hukum secara cuma-cuma , hingga akhirnya pada 2 November 2011 disahkanlah UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”). KLINIK TERKAIT Mau Dirikan Kantor Advokat? Ini Pilihan Badan Usahanya 17 Jun 2021 Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan 05 Sep 2018 Bentuk Badan Usaha Kantor Hukum 18 Apr 2011 Tentang Kantor Hukum, Lembaga Bantuan Hukum, dan Konsultan Hukum 26 Agt 2010 Terhadap cara untuk mengakses dana untuk bantuan hukum sendiri sebenarnya diatur di dalam Pasal 16 s.d. Pasal 19 UU Bantuan Hukum , namun sejalan dengan berlakunya Undang-Undang tersebut, ternyata masih belum bisa berjalan maksimal sebagai akibat dari belum disahkannya Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana dari UU Bantuan Hukum. Akan tetapi, bukan berarti para pemberi bantuan hukum tidak dapat mendapatkan bantuan dana, karena sejalan dengan Pasal 16 ayat (1) UU Bantuan Hukum , disebutkan bahwa: “ Pendanaan Bantuan Hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan Bantuan Hukum sesuai dengan Undang-Undang ini dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ” Kemudian, lebih lanjut pada Pasal 17 UU Bantuan Hukum , disebutkan bahwa: “ Pemerintah wajib mengalokasikan dana penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara , serta Pendanaan penyelenggaraan Bantuan Hukum tersebut dialokasikan pada anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selain dibebankan kepada APBN ( Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ), bantuan dana terhadap pemberi bantuan hukum dapat pula diambil dari APBD (Anggaran Pengeluaran Belanja Daerah), seperti diatur di dalam Pasal 19 UU Bantuan Hukum yang menyebutkan bahwa: “ Daerah dapat mengalokasikan anggaran penyelenggaraan Bantuan Hukum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ” Dalam hal prosedur permohonan dana untuk bantuan hukum yang dialokasikan dalam APBD, dapat dilihat pada Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (“Permendagri 32/2011”), yaitu: Pasal 27 (1) Anggota /kelompok masyarakat men yampaikan u sulan tertulis kepada kepala daerah . (2) Kepala daerah menunjuk SKPD terkait untuk melakukan evaluasi usulan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Kepala SKPD terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan hasil evaluasi berupa rekomendasi kepada kepala daerah melalui TAPD. (4) TAPD memberikan pertimbangan atas rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan prioritas dan kemampuan keuangan daerah. Setelah bantuan tersebut didapat, pemberi bantuan hukum diwajibkan untuk memberikan laporan pertanggungjawaban, sebagaimana diatur di dalam Pasal 34 Permendagri 32/2011 , sebagai berikut: Pasal 34 (1) Penerima bantuan sosial berupa uang menyampaikan laporan penggunaan bantuan sosial kepada kepala daerah melalui PPKD dengan tembusan kepada SKPD terkait. (2) Penerima bantuan sosial berupa barang menyampaikan laporan penggunaan bantuan sosial kepada kepala daerah melalui kepala SKPD terkait. Demikian kami sampaikan, semoga dapat berguna bagi Saudara Catatan editor : - Setelah UU Bantuan Hukum berlaku, maka seharusnya pengelolaan dana bantuan hukum terpusat di Kementerian Hukum dan HAM. Lembaga-lembaga negara yang selama ini mengelola dana bantuan hukum, seperti Mahkamah Agung (“MA”), Kepolisian, dan Kejaksaan, harus menyerahkan dana bantuan hukum itu kepada Kementerian Hukum dan HAM. Namun, sesuai dengan Pasal 22 UU Bantuan Hukum , penyelenggaraan dan anggaran bantuan hukum yang diselenggarakan oleh ketiga lembaga tersebut serta lembaga-lembaga lainnya, tetap dilaksanakan sampai berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan. Jadi, saat ini boleh jadi Saudara masih dapat mengakses dana bantuan hukum di MA sesuai Surat Edaran MA No. 10 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Bantuan Hukum . Selengkapnya, simak artikel Dana Bantuan Hukum Terpusat di Kemenhukham . - Adapun yang berhak mendapatkan bantuan hukum adalah orang yang masuk kriteria miskin berdasarkan UU dan peraturan pelaksana UU Bantuan Hukum yang akan diterbitkan pemerintah (lebih jauh, simak artikel RPP Bantuan Hukum: Pemerintah Diingatkan tentang Pasal 56 KUHAP ). - Mengenai cara mengakses dana bantuan hukum di Kementerian Hukum dan HAM, UU Bantuan Hukum dan RPP Pelaksanaan UU Bantuan Hukum sudah mengatur cara mengaksesnya. Pada intinya, warga dapat mengakses dana bantuan hukum lewat lembaga yang disebut Pemberi Bantuan Hukum (“PBH”). PBH adalah bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang ( Pasal 1 angka 3 UU Bantuan Hukum ). Untuk dapat masuk kategori PBH, maka diperlukan verifikasi dan akreditasi dari Panitia yang dibentuk Kementerian Hukum dan HAM. Hingga saat ini, peraturan menteri tentang verifikasi dan akreditasi belum diterbitkan. Selengkapnya, simak artikel Bocoran Draf Permen Verifikasi dan Akreditasi LBH . Dasar hukum: 1. Herzien Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia Baru (Stbl. 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl. 1941 No. 44); 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang No . 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman ; 4. Undang-Undang No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ; 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara membuat surat gugatan? Hal-hal apa saja yang harus ada dalam surat gugatan perdata?" }
{ "from": "gpt", "value": "Menjawab pertanyaan Anda tentang cara membuat surat gugatan perdata, maka perlu diperhatikan dua syarat penting yaitu syarat materiil dan syarat formil.\nSyarat materiil gugatan adalah syarat yang berkaitan dengan isi atau materi yang harus dimuat dalam surat gugatan.[1] Dalam arti lain, syarat materiil merupakan substansi pokok dalam membuat surat gugatan.\n\nSedangkan syarat formil suatu gugatan adalah syarat untuk memenuhi ketentuan tata tertib beracara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika syarat formil tidak terpenuhi, maka gugatan akan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard) atau pengadilan tidak berwenang mengadili.[2]\nSyarat Materiil Membuat Surat Gugatan\nHal-hal apa saja yang ada dalam surat gugatan? Isi surat gugatan atau syarat materiil surat gugatan mengacu pada Pasal 8 ayat (3) Rv yang pada pokoknya harus memuat:[3]\n\nIdentitas para pihak\n\nCiri-ciri dan keterangan yang lengkap dari para pihak yang berperkara yaitu, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, agama dan tempat tinggal. Kalau perlu agama, umur, status, dan kewarganegaraan.\n\nPihak-pihak yang ada sangkut pautnya dengan persoalan harus disebutkan dengan jelas mengenai kapasitas dan kedudukannya apakah sebagai penggugat atau tergugat.\nDasar Gugatan atau Fundamentum Petendi atau Posita\nDasar gugatan atau posita berisi dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar-dasar dan alasan-alasan dari gugatan.\n\nPosita terdiri dari dua bagian, yaitu:\n\nbagian yang menguraikan kejadian atau peristiwanya (feitelijke gronden); danbagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya (rechts gronden) sebagai uraian tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi dasar yuridis gugatan.\n\nPetitum atau Tuntutan\n\nPetitum berisi apa yang diminta atau tuntutan supaya diputuskan oleh pengadilan. Petitum akan dijawab dalam dictum atau amar putusan.\n\nDalam praktiknya, selain mengajukan tuntutan pokok atau tuntutan primer, juga disertai dengan tuntutan tambahan/pelengkap (accessoir) dan tuntutan pengganti (subsidair) yang dijelaskan sebagai berikut:[4]\n\nTuntutan pokok atau tuntutan primer adalah tuntutan utama yang diminta oleh penggugat untuk diputuskan oleh pengadilan yang berkaitan langsung dengan pokok perkara atau posita.\nContohnya, apabila tergugat punya utang kepada penggugat maka tuntutan utama penggugat adalah melunasi utang yang belum dibayar tergugat.\n\nTuntutan tambahan (accessoir) adalah tuntutan yang sifatnya melengkapi atau sebagai tambahan dari tuntutan pokok. Tuntutan tambahan ini tergantung pada tuntutan pokoknya. Jika tuntutan pokok tidak ada maka tuntutan tambahan juga tidak ada.\n\nTerdapat lima contoh tuntutan tambahan yaitu:\n\nTuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar biaya perkara.Tuntutan agar putusan dapat dilaksanakan lebih dulu meskipun ada perlawanan, banding dan kasasi (uitvoerbaar bij voorraad).Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar bunga (moratoir) apabila tuntutan yang dimintakan oleh penggugat berupa sejumlah uang tertentu.Tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom/astreinte), apabila hukuman itu tidak berupa pembayaran sejumlah uang selama ia tidak memenuhi isi putusan.Tuntutan atas nafkah bagi istri atau pembagian harta bersama dalam gugatan perceraian.\n\nTuntutan pengganti (subsidair) adalah tuntutan yang berfungsi untuk menggantikan tuntutan pokok apabila tuntutan pokok ditolak pengadilan. Tuntutan ini digunakan sebagai tuntutan alternatif agar kemungkinan dikabulkan oleh hakim lebih besar.\n\nBiasanya tuntutan ini berupa permohonan kepada hakim agar dijatuhkan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).\n\nMenurut Ridwan Halim, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membuat surat gugatan khususnya terkait isi gugatan meliputi:[5]\n\nIsi gugatan haruslah berdasarkan alasan-alasan dan fakta-fakta yang sebenarnya. Artinya gugatan dapat dibuktikan kebenarannya dan sesuai dengan alat bukti yang diajukan.Menyebutkan, memaparkan, dan menggambarkan uraian yang benar mengenai fakta-fakta kejadian yang sebenarnya, dari awal hingga kesimpulan.Pengajuan gugatan dilandasi dengan akal sehat atau logika kewajaran yang patut berdasarkan kerugian yang diderita oleh penggugat dan terbukti bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tergugat.\nSyarat Formil Membuat Surat Gugatan\nAdapun syarat formil yang harus terpenuhi dalam surat gugatan adalah:[6]\n\nTidak melanggar kompetensi/kewenangan mengadili, baik kompetensi absolut maupun relatif.Gugatan tidak mengandung error in persona.Gugatan harus jelas dan tegas. Jika gugatan tidak jelas dan tidak tegas (obscuur libel) dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak diterima. Misalnya posita bertentangan dengan petitum.Tidak melanggar asas ne bis in idem. Artinya gugatan tidak boleh diajukan kedua kalinya apabila subjek, objek dan pokok perkaranya sama, di mana perkara pertama sudah ada putusan inkracht yang bersifat positif yaitu menolak atau mengabulkan perkara.Gugatan tidak prematur atau belum saatnya menggugat sudah menggugat.Tidak menggugat hal-hal yang telah dikesampingkan, misalnya gugatan kedaluwarsa.Apa yang digugat sekarang masih dalam proses peradilan (aanhanging geding/rei judicata deductae). Misalnya ketika perkara yang digugat sudah pernah diajukan dan sedang proses banding atau kasasi.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang bagaimana cara membuat surat gugatan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nReglement Op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV).\n\nREFERENSI:\n1. Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007.\n\n[1] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 33[2] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 34[3] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 33[4] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 39[5] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 33-34.[6] Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007, hal. 34-36" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana penumpang bisa menuntut ganti rugi kepada maskapai penerbangan bila penumpang merasa dirugikan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 16 September 2011. Jenis Pertanggungjawaban dalam Hukum Penerbangan Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani dalam buku Pengantar Hukum Penerbangan Privat menerangkan bahwa ada lima jenis pertanggungjawaban dalam hukum pengangkutan. Pertama, based on fault liability , yaitu konsep dasar yang biasa ditemui dalam ranah hukum perdata (hal. 24). Dalam sistem hukum Indonesia, penggunaan konsep ini tertuang jelas dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi: Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut. Dalam hukum pengangkutan, pihak yang dapat dikenai tanggung gugat secara hukum tidak terbatas pada pihak pengangkut saja, namun termasuk juga setiap perbuatan yang dilakukan pihak lain yang terlibat dalam segala proses penyelenggaraan kegiatan pengangkutan, seperti awak kapal atau karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan pengangkutan tersebut (hal. 24). Berdasarkan prinsip ini, beban pembuktian ada pada pihak penumpang atau pengirim barang yang harus dapat memenuhi unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian itu (hal. 24–25). Namun prinsip ini tidak dapat diterapkan, karena adanya kemungkinan pihak penumpang atau pengirim barang tidak mampu membuktikan kesalahan, karena keterbatasan pengetahuan dalam kegiatan penerbangan (hal. 25). Kedua , presumption of liability , yaitu beban pembuktian tidak berada pada pihak penumpang, melainkan di pihak pengangkut. Beban pembuktian ini sering dikenal dengan beban pembuktian terbalik di mana maskapai selalu dianggap bersalah dan wajib membayar ganti kerugian tanpa perlu adanya pembuktian oleh penumpang terlebih dahulu (hal. 26). Salah satu pengecualian prinsip ini adalah Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (“Warsaw Convention”) yang memberikan ruang bagi perusahaan maskapai untuk dapat menghindari ketentuan membayar ganti kerugian jika perusahaan dapat membuktikan bahwa perusahaan telah berusaha menghindari adanya kerugian (hal. 26), sebagaimana tercermin dalam Pasal 20 ayat (1) Warsaw Convention : The carrier is not liable if he proves that he and his agents have taken all necessary measures to avoid the damage or that it was impossible for him or them to take such measures. Ketiga , limitation of liability yang memberikan perlindungan kepada pihak pengangkut terkait kemungkinan penuntutan besaran ganti rugi yang tidak terbatas (hal. 27). Salah satu pembatasan ini tercermin dalam Pasal 22 ayat (1) Warsaw Convention yang berbunyi: In the carriage of passengers, the liability of the carrier for each passenger is limited to the sum of 125,000 francs . Where, in accordance with the law of the Court seized of the case, damages may be awarded in the form of periodical payments, the equivalent capital value of the said payments shall not exceed 125,000 francs. Nevertheless, by special contract, the carrier and the passenger may agree to a higher limit of liability. Jika diterjemahkan secara bebas, ketentuan di atas membatasi jumlah yang dapat diminta oleh pihak yang dirugikan kepada pihak pengangkut. Keempat , presumption of nonliability , yaitu prinsip di mana pengangkut tidak perlu untuk selalu bertanggung gugat sepenuhnya atau bahkan tidak perlu bertanggung gugat sama sekali, kecuali memang adanya bukti bahwa kerugian tersebut memang disebabkan oleh pengangkut. Pembuktian jenis ini bertujuan untuk membuktikan sampai sejauh mana pengangkut dapat bertanggung gugat (hal. 28). Kelima , liability without fault yang merupakan penyimpangan dari prinsip tanggung gugat yang menyatakan bahwa unsur kesalahan yang menyebabkan kerugian merupakan hal yang diperlukan dalam setiap penuntutan ganti rugi. Endang Saefullah Wirapradja sebagaimana dikutip Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani menerangkan bahwa unsur kesalahan tidak relevan untuk dipermasalahkan, karena yang terpenting bila seseorang menderita kerugian atas perbuatan orang lain, maka dia secara mutlak harus bertanggung gugat (hal. 29). Pertanggungjawaban Pihak Pengangkut Sayangnya, Anda tidak menerangkan bentuk kerugian apa yang Anda alami serta perbuatan atau peristiwa hukum apa yang menyebabkan kerugian tersebut. Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara , pengangkut yang mengoperasikan pesawat udara wajib bertanggung jawab atas kerugian terhadap: penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka; hilang atau rusaknya bagasi kabin; hilang, musnah, atau rusaknya bagasi tercatat; hilang, musnah, atau rusaknya kargo; keterlambatan angkutan udara; dan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga. Jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka ditetapkan dalam Pasal 3 Permenhub 77/2011 . Sedangkan jumlah ganti kerugian terhadap penumpang yang mengalami kehilangan, musnah atau rusaknya bagasi tercatat ditetapkan dalam Pasal 5 Permenhub 77/2011 . Namun patut diperhatikan bahwa Pasal 4 ayat (1) Permenhub 77/2011 telah mengatur bahwa: Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum Indonesia, khususnya yang terkait kerusakan bagasi, juga menganut prinsip based on fault liability di mana penumpang harus membuktikan unsur kesalahan pengangkut jika ia mengalami kerugian. Adapun jumlah ganti kerugian terhadap hilang, musnah, atau rusaknya kargo yang dikirim telah ditetapkan dalam Pasal 7 Permenhub 77/2011 . Sedangkan jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan ditetapkan dalam Pasal 10 Permenhub 77/2011 . Jumlah ganti kerugian untuk pihak ketiga yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-luka, dan kerugian harta benda sebagai akibat dari peristiwa pengoperasian pesawat udara, kecelakaan pesawat udara atau jatuhnya benda-benda dari pesawat udara yang dioperasikan ditetapkan dalam Pasal 14 Permenhub 77/2011 . Tanggung jawab pengangkut kepada penumpang dimulai sejak penumpang meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan penumpang memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan. [1] Tuntutan Ganti Kerugian Tuntutan ganti kerugian oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga yang mengalami kerugian hanya dapat dilakukan berdasarkan bukti sebagai berikut: [2] dokumen terkait yang membuktikan sebagai ahli waris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tiket, bukti bagasi tercatat ( claim tag ), atau surat muatan udara ( airway bill ), atau bukti lain yang mendukung dan dapat dipertanggungjawabkan; surat keterangan dari pihak yang berwenang mengeluarkan bukti telah terjadinya kerugian jiwa dan raga dan/atau harta benda terhadap pihak ketiga yang mengalami kerugian akibat pengoperasian pesawat udara. Besaran ganti kerugian yang diatur dalam Pemenhub 77/2011 dan perubahannya tidak menutup kesempatan kepada penumpang, ahli waris, penerima kargo, atau pihak ketiga untuk menuntut pengangkut ke pengadilan negeri di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. [3] Selain itu, Pasal 176 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) menerangkan bahwa: Penumpang, pemilik bagasi kabin, pemilik bagasi tercatat, pengirim kargo, dan/atau ahli waris penumpang, yang menderita kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 141, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, dan Pasal 173 dapat mengajukan gugatan terhadap pengangkut di pengadilan negeri di wilayah Indonesia dengan menggunakan hukum Indonesia. Gugatan dapat diajukan ke pengadilan negeri tempat pembelian tiket, pengiriman barang, domisili kantor pengangkut, kantor cabang dan domisili tergugat atau penggugat di seluruh wilayah Republik Indonesia. [4] Selain itu, ada pula ketentuan dalam Bab XXII UU Penerbangan untuk memberikan sanksi pidana, jika perbuatan yang menyebabkan kerugian tersebut memiliki unsur pidana. Baca juga: Ketentuan Ganti Kerugian Jika Penumpang Cacat Karena Kesalahan Maskapai Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Referensi : Adhy Riadhy Arafah dan Sarah Amalia Nursani. Pengantar Hukum Penerbangan Privat . Jakarta: Prenadamedia Group, 2019. [1] Pasal 18 ayat (1) Permenhub 77/2011 [2] Pasal 21 ayat (1) Permenhub 77/2011 [3] Pasal 23 Permenhub 77/2011 [4] Penjelasan Pasal 176 UU Penerbangan perbuatan melawan hukum hukumonline kecelakaan pesawat ganti rugi tuntutan transportasi kerugian ganti kerugian perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara dan syarat penerbitan Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (SHMSRS) oleh BPN? Apakah harus ada Peraturan Daerah tentang Rumah Susun terlebih dahulu? Mohon penjelasan." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, saya akan menjelaskan sedikit mengenai kepemilikan atas satuan rumah susun terlebih dahulu. Sertifikat Hak Milik atas Rumah Susun (“SHMRS) adalah bentuk kepemilikan yang diberikan terhadap pemegang hak atas Rumah Susun. Bentuk Hak milik atas rumah susun ini harus dibedakan dengan jenis hak milik terhadap rumah dan tanah pada umumnya. SHMRS dalam dunia properti sering juga disebut strata title. Strata title sebenarnya tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Strata title berasal dari negara Barat dan dikenal dalam konsep hunian vertikal maupun horisontal di mana hak kepemilikan atas suatu ruang dalam gedung bertingkat dibagi-bagi untuk beberapa pihak. Lebih jauh, simak jawaban Klinik Hukum sebelumnya: Strata Title . Dalam uraian selanjutnya saya akan jelaskan cara dan syarat penerbitan SHMRS. Pihak developer /pengembang rumah susun wajib untuk menyelesaikan pemisahan terlebih dahulu atas satuan-satuan rumah susun yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama (lihat Pasal 7 ayat [3] UU No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun /UURS jo Pasal 39 PP No. 4 Tahun 1988 tetang Rumah Susun /PP No. 4 Tahun 1988 ). Pemisahan tersebut dilakukan dengan Akta Pemisahan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 2 , Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun ( “PKBPN No. 2 Tahun 1989” ): “Pasal 2 (1) Akta pemisahan dilengkapi dengan pertelaan yang jelas dalam bentuk gambar, uraian dan batas-batas pemilikan satuan rumah susun yang mengandung nilai perbandingan proporsional. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Pertelaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditetapkan oleh penyelenggara pembangunan rumah susun. Pasal 3 (1) Akta pemisahan dibuat dan diisi sendiri oleh penyelenggara pembangunan rumah susun . (2) Tata cara pengisian akta pemisahan sesuai dengan pedoman terlampir. Pasal 4 (1) Penyelenggara pembangunan wajib meminta pengesahan isi akta pemisahan yang bersangkutan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kotamadya setempat atau kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, apabila pembangunan rumah susun terletak di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. (2) Akta pemisahan setelah disahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pasal ini harus didaftarkan oleh penyelenggara pembangunan pada Kantor Pertanahan setempat, dengan melampirkan: a. Sertipikat hak atas tanah; b. Izin Layak Huni; c. Warkah-warkah lainnya yang diperlukan ” Hak milik atas satuan rumah susun terjadi sejak didaftarkannya akta pemisahan dengan dibuatnya Buku Tanah untuk setiap satuan rumah susun yang bersangkutan ( Pasal 39 ayat [5] PP No. 4 Tahun 1988 ). Terhadap buku tanah tersebut kemudian dapat diterbitkan Sertifikat Hak Milik Atas Rumah Susun ( Pasal 7 ayat [1] Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun/PKBPN No. 4 Tahun 1989 ). SHMRS dibuat dengan cara: a. membuat salinan dari buku tanah yang bersangkutan. b. membuat salinan surat ukur atas tanah bersama. c. membuat gambar daerah satuan rumah susun yang bersangkutan Salinan-salinan tersebut kemudian dijilid menjadi sebuah dokumen yang disebut dengan Sertifikat (lihat Pasal 7 ayat [2] dan ayat [3] PKBN No. 4 Tahun 1989 ). Jadi, secara singkat dapat dilihat bahwa dasar dari diterbitkannya SHMRS ini didapat dari akta pemisahan yang telah disahkan dan didaftar, kemudian dari akta pemisahan tersebut dibuatlah buku tanah sebagai dasar penerbitan SHMRS. SHMRS yang diterbitkan tersebut merupakan tanda bukti hak milik terhadap satuan rumah susun yang dimiliki( Pasal 9 ayat (1) UURS jo . Pasal 7 ayat (4) PKBN No. 4 Tahun 1989 ). Demikian yang bisa saya jelaskan, semoga dapat memberi pencerahan. Terima kasih. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun 2. Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah 3. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun 4. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun 5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara penyelidikan yang dilakukan oleh PPATK?" }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang tugas dan kewenangan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (“PPATK”) dibatasi pada melakukan analisis terhadap transaksi keuangan, untuk selanjutnya hasil analisis tersebut diserahkan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti (lihat pasal 32 UU No. 15 Tahun 2002 ). KLINIK TERKAIT Beda Kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Selaku Penyelidik dan Penyidik 09 Nov 2010 Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah R.I. 24 Sep 2010 P-18, P-19, P-21, dan lain-lain 20 Jul 2010 KPK dan Rahasia Bank 15 Feb 2010 Akan tetapi, sejak diundangkannya UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (“UU 8/2010”) , tugas dan kewenangan (PPATK) diperluas. PPATK saat ini bertugas mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang . Kewenangan PPATK juga diperluas, antara lain dengan ditambahkan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang terindikasi tindak pidana pencucian uang . Kewenangan PPATK diatur dalam pasal 41 sampai dengan pasal 46 UU 8/2010 . Akan tetapi, PPATK tetap tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan . Ketiadaan kewenangan melakukan penyelidikan ini diakui oleh H. Harry Witjaksono, S.H. , Ketua Pansus RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam makalah yang disampaikan pada “ Seminar Nasional Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ” (10/11), Harry menjelaskan bahwa memang pada draf awal RUU, kewenangan penyelidikan tersebut dimasukkan sebagai salah satu kewenangan baru PPATK. Akan tetapi, Panja DPR yang membahas RUU tersebut sepakat bahwa kewenangan penyelidikan tersebut tidak sesuai dengan PPATK yang seharusnya hanya sebagai lembaga yang menerima laporan dan menganalisis. Apabila PPATK akan diberikan kewenangan penyelidikan, maka seharusnya nama PPATK diganti. Pada akhirnya, DPR dan pemerintah bersepakat bahwa kewenangan penyelidikan diganti dengan kewenangan melakukan pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, PPATK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Dasar hukum : Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Catatan: Jawaban di atas adalah hasil pemutakhiran jawaban yang kami telah publikasikan pada 13 April 2010 atau sebelum diundangkannya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)" }
{ "from": "human", "value": "Apakah seseorang yang mendapat hukuman mati dan telah melaksanakan eksekusi dan ternyata ia tidak mati (orang berilmu kebal), apakah ia dinyatakan telah menjalani lalu bebas dari hukuman atau bagaimana? Saya sangat mengharapkan responnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 UU No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer (“UU 2/PNPS/1964”) dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati . KLINIK TERKAIT Dasar Hukum dan Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia 04 Jul 2024 Penggelapan dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata? 11 Jan 2024 Mengenal Sanksi Hukum Pidana, Perdata, dan Administratif 19 Okt 2023 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Melihat pada frasa “ditembak sampai mati” maka dapat kita simpulkan bahwa dalam pelaksanaan pidana mati, pemidanaan akan dilakukan sampai terpidana dalam kondisi mati. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal ini ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (4) UU 2/PNPS/1964 bahwa apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menembakkan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat di atas telinganya . Dan untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minta bantuan seorang dokter (lihat Pasal 13 ayat [5] UU 2/PNPS/1964 ). Ketentuan ini sejalan pula dengan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (25) dan ayat (26) Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati (“Perkapolri 12/2010”) bahwa penembakan pengakhir dapat diulangi, apabila menurut keterangan Dokter masih ada tanda-tanda kehidupan, dan p elaksanaan pidana mati dinyatakan selesai, apabila dokter sudah menyatakan bahwa tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan pada terpidana. Lebih jauh mengenai pelaksanaan pidana mati simak artikel Pelaksanaan Hukuman Mati Kejahatan Narkotika . Sehingga, pidana mati baru dapat dikatakan selesai pada saat dokter telah menyatakan terpidana tersebut mati. Jika ternyata terpidana tersebut belum mati, pemidanaan belum dapat dikatakan selesai. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer 2. Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Bapak saya beragama Islam menikah dengan ibu saya yang beragama hindu. Namun, ibu pindah agama ke Islam dan mereka melangsungkan pernikahan secara Islam di KUA. Saya anak tunggal perempuan mereka beragama Islam, namun saya pindah agama Hindu karena saya menikah pada saat ayah hidup. Setelah ayah meninggal, ibu saya pun beralih agama Hindu kembali. Ayah saya meninggalkan sebuah rumah atas namanya. Pertanyaannya, bagaimanakah pembagian waris rumah itu? Apakah benar setengah dari nilai rumah itu adalah milik paman/keluarga bapak saya karena saya sudah pindah agama? Apakah saya berhak mendapatkan warisan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah Saudari ajukan kepada kami. KLINIK TERKAIT Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai? 15 Sep 2023 Apakah Warisan Bisa Jatuh ke Paman dan Tante? 26 Mei 2011 Hak Anak dalam Keluarga (Memiliki Keyakinan Berbeda dengan Orang Tua) 17 Des 2010 Pindah Agama dan Syarat Mendaftar di Catatan Sipil 29 Okt 2010 Sebelum menjawab pertanyaan yang Saudari ajukan, lebih dahulu akan kami jelaskan mengenai status perkawinan antara bapak dan ibu Saudari. Perkawinan kedua orang tua Saudari dilangsungkan menurut agama Islam dan telah dicatatkan pada Kantor Urusan Agama. Oleh karena itu, perkawinan orang tua Saudari telah sah di hadapan hukum Negara dan juga hukum Islam sehingga setiap anak yang lahir dari perkawinan yang sah adalah anak sah. Oleh karena perkawinan yang dilakukan oleh kedua orang tua Saudari secara agama Islam yang telah dicatatkan pada KUA, maka mengenai warisan akan mengacu pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). Yang dimaksud ahli waris menutut Pasal 171 huruf c KHI adalah; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris ” Sesuai Pasal 174 ayat (1) KHI , kelompok–kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: · Golongan laki-laki terdiri dari Ayah anak laki-laki, Saudara laki-laki, paman dan kakek · Golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, Saudara perempuan dan nenek b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda dan janda Dalam Pasal 174 ayat (2) KHI disebutkan bahwa apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. Jadi, jika melihat ketentuan Pasal 171 huruf c KHI di atas maka Saudari seharusnya tidak mendapatkan hak warisan lagi. Namun, Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Putusan No. 368.K/AG/1995, tanggal 16 Juli 1998 yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan telah menjadi yurisprudensi mengenai harta warisan pewaris Islam bagi anak muslim dan non muslim. Selain itu, terdapat juga Putusan Mahkamah Agung RI No: 51K/AG/1999, tanggal 29 September 1999 yang intinya menyatakan bahwa ahli waris yang beragama non muslim tetap bisa mendapat harta dari pewaris yang beragama Islam. Sehingga Saudari tetap mendapat bagian dari harta warisan alm. ayah Saudari walaupun Anda beragama Hindu  berdasarkan “ Wasiat Wajibah ” yang bagiannya sama dengan bagian anak perempuan sebagai ahli waris . Yang dimaksud wasiat wajibah adalah wasiat yang walaupun tidak dibuat secara tertulis atau lisan namun tetap wajib diberikan kepada yang berhak atas warisan dari Pewaris. M aka sesuai Pasal 176 KHI yang menyatakan; “ Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian , bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama dengan anak laki-laki, maka bagian laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan ” . Kemudian, sesuai Pasal 180 KHI yang menyatakan bahwa janda (ibu Saudari) mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian . Sementara itu, kakek nenek dari alm. ayah Saudari, jika masih ada , juga berhak mendapat warisan yaitu sebesar masing-masing seperenam bagian (lihat Pasal 177 dan Pasal 178 KHI ). Sedangkan, paman Saudari tidak berhak menerima warisan dari alm. ayah Saudari karena dia terhijab/terhalang oleh Saudari sebagai anak. Demikianlah jawaban yang dapat kami berikan atas pertanyaan yang Saudari ajukan. Terima kasih. Dasar hukum : Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Putusan : 1. Putusan Mahkamah Agung No.368.K/AG/1995 2. Putusan Mahkamah Agung No. 51K/AG/1999" }
{ "from": "human", "value": "Seorang karyawan mengaku kerja di 2 perusahaan berbeda. Ia kerja di 2 perusahaan demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dari sisi hukum, apakah karyawan boleh double job? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Sepanjang penelusuran kami, baik dalam UU Ketenagakerjaan maupun peraturan pelaksananya tidak diatur secara tegas mengenai larangan kerja di 2 perusahaan berbeda.\n\nNamun demikian, praktik kerja di 2 perusahaan memang banyak dilakukan oleh para karyawan demi mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, agar mendapatkan penghasilan yang lebih banyak.\nPada dasarnya hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan karyawan berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.[1] Sedangkan yang dimaksud dengan perjanjian kerja adalah perjanjian antara karyawan dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[2]\n\nMaka kami berpendapat untuk menjawab pertanyaan apakah boleh kerja di 2 perusahaan, harus diteliti kembali apakah ada ketentuan hukum double job yang diatur dalam masing-masing perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang disepakati antara pengusaha dengan karyawan.\n\nSehingga, jika sebelumnya telah diatur larangan kerja di 2 perusahaan dalam perjanjian kerja, maka dapat dikatakan karyawan tersebut melanggar ketentuan dalam perjanjian kerja. Dengan demikian, hukum bekerja di dua perusahaan bergantung pada kesepakatan yang sebelumnya dituangkan dalam perjanjian kerja. Lalu, apa konsekuensi hukum double job?\nKonsekuensi Hukum Bekerja di Dua Perusahaan\n\nJika dalam perjanjian kerja telah diatur mengenai larangan hukum bekerja di dua perusahaan, konsekuensinya adalah karyawan dapat diputus hubungan kerjanya (“PHK”).\n\nAdapun salah satu alasan PHK adalah karyawan melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama enam bulan kecuali ditetapkan lain.[3]\n\nTerhadap karyawan yang di-PHK dengan alasan pelanggaran ketentuan perjanjian kerja terkait larangan kerja di 2 perusahaan berhak atas:[4]\n\nuang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan;uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali ketentuan;uang penggantian hak sesuai ketentuan.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang hukum bekerja di dua perusahaan, semoga bermanfaat.Dasar Hukum:Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.[1] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja  yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan, apabila seorang anak dari pernikahan terdahulu tidak diadopsi terlebih dahulu sebelum pernikahan oleh orang tua tirinya yang baru menikah dengan orang tua kandungnya. Dan akta kelahiran anak tersebut telah hilang dan digantikan dengan akta kelahiran baru yang mencantumkan orang tua kandung dan orang tua tirinya yang baru sebagai orang tua kandungnya. Dan orang tua kandung dan orang tua tiri anak tersebut adalah beragama muslim, dan telah dikarunia 2 orang anak dari pernikahan yang baru, serta satu anak dari pernikahan terdahulu. Apakah konsekuensi hukum bagi anak dari pernikahan terdahulu tersebut, berkaitan dengan identitas diri, dan hak warisnya di kemudian hari? Selain itu, anak tersebut juga memiliki hubungan silaturahim yang terputus dengan orang tua kandungnya yang lain, yang telah menikah lagi juga dan dikaruniai seorang anak. Apakah konsekuensi hukum bagi anak tersebut? Saran-saran apa yang dapat diberikan kepada anak tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Anak tiri adalah anak salah seorang suami atau isteri sebagai hasil perkawinannya dengan isteri atau suaminya yang terdahulu. Misalnya, anak tiri seorang ayah, ialah anak isterinya sebagai hasil perkawinan isterinya itu dengan suaminya terdahulu. Anak tiri seorang ibu, ialah anak suaminya sebagai hasil hasil perkawinan suaminya itu dengan isterinya terdahulu ( Muslich Maruzi , “ Pokok-Pokok Ilmu Waris ”, hal. 84). KLINIK TERKAIT Akta Kelahiran untuk Anak Luar Kawin 05 Nov 2021 Tempat Pelaporan Akta Kelahiran yang Terlambat Diurus 12 Mar 2019 Hukumnya Jika Mengakui Anak Orang Lain dalam Akta Kelahiran 03 Agt 2017 Masalah Akta Kelahiran Anak Luar Kawin yang Dipalsukan 20 Apr 2017 Pada dasarnya, anak tiri hanya memiliki hubungan kewarisan dan keperdataan dengan orang tua sedarah.  Adanya hubungan dengan orang tua sedarah tersebut dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (lihat Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ).  Untuk kasus Anda, dalam akta kelahiran dinyatakan bahwa anak tiri dinyatakan memiliki hubungan sedarah dengan Anda yang sebenarnya tidak memiliki hubungan sedarah. Ini berarti telah terjadi pelanggaran hukum. Akibat dari pemakaian akta kelahiran tersebut  (tentunya jika bisa dibuktikan di depan persidangan) orang yang menggunakan dan membuat akta lahir tersebut bisa terkena masalah hukum, baik pidana maupun perdata. Adapun tentang anak tiri bukanlah ahli waris (lihat Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam ). Artinya, ia tidak dapat saling mewarisi antara dirinya dengan orang tua tirinya.  Sebab, mewarisi terbatas pada 3 (tiga) sebab saja, yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Sebab kekerabatan ( qarabah ), atau disebut juga sebab nasab (garis keturunan). 2. S ebab perkawinan ( mushaharah ), yaitu antara mayit dengan ahli waris ada hubungan perkawinan. Maksudnya adalah, perkawinan yang sah menurut Islam, bukan perkawinan yang tidak sah, dan perkawinan yang masih utuh (tidak bercerai). 3. S ebab memerdekakan budak ( wala` ). ( Muslich Maruzi , “ Pokok-Pokok Ilmu Waris ”, hal. 10; Imam Ar-Rahbi , “ Fiqih Waris ” (terjemahan), hal. 31, dan; Syifa’uddin Achmadi , “ Pintar Ilmu Faraidl ”, hal. 18). Namun demikian, kepada anak tiri mubah (boleh, ed. ) hukumnya untuk diberi wasiat oleh orang tua tirinya. Dengan syarat, harta yang diberikan sebagai wasiat itu tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta orang tua tirinya yang meninggal. Jika wasiatnya melebihi 1/3 (sepertiga), maka pelaksanaanya bergantung pada persetujuan para ahli waris. (lihat Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam ). Hal lain yang dapat terjadi, andaikata ayah meninggal, maka ahli warisnya adalah seorang isteri,  dan anak kandungnya baik dari perkawinan terdahulu maupun anak dari pernikahan yang baru.  Sedangkan, anak tiri yang dibawa oleh isteri, bukanlah ahli waris namun dapat diberikan hibah wasiat dengan syarat tidak lebih dari 1/3 harta warisan. Saran yang dapat diberikan, sebaiknya membuat akta kelahiran yang sah, dengan menyatakan fakta yang sebenarnya siapa orang tua kandung sang anak. Pemakaian akta palsu atau tidak sah, dapat dikenakan Pasal 263 KUHP mengenai pemalsuan surat dengan ancaman hukuman maksimal tujuh tahun. Demikian jawaban dari saya, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan perihal perceraian. Saat ini Saya memiliki hubungan dengan status pacar. Informasi dari dia, Saya tahu kalau ia adalah seorang janda beranak satu. Saya menjalaninya dengan serius dan berharap hingga ke jenjang pernikahan. Namun kemudian masalah muncul, ternyata ia belum bercerai secara sah dengan suaminya, di mana ia masih dalam proses cerai. Suaminya tahu tentang Saya dan beliau mengambil foto-foto Saya ketika dengan 'pacar' Saya tersebut. Suaminya juga melakukan ancaman terhadap Saya dengan mengatakan bahwa beliau akan mencari Saya (melalui pesan FB). Namun, tidak Saya gubris. Saya mencintai pacar Saya itu, begitupun ia kepada Saya. Bagaimanakah kasus ini menurut pandangan hukum? Adakah perlindungan hukum bagi Saya? Tentang foto-foto Saya, apakah Saya dapat meminta bantuan hukum apabila suami 'pacar' Saya itu menggunakannya untuk ancaman? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Torez Pattiwael, S.H. dan pertama kali dipublikasikan Sabtu, 25 Jun i 2011. Intisari : Karena hubungan perkawinan antara si wanita dengan suaminya belum berakhir secara hukum, maka sebaiknya Anda tidak melanjutkan hubungan dengannya. Sebaiknya Anda harus menunggu sampai proses perceraiannya telah tuntas atau sampai ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, apabila Anda masih berhubungan, terdapat kemungkinan bagi Anda untuk terjerat perzinaan jika Anda melakukan hubungan seksual atau hubungan suami-istri dengan pacar Anda tersebut, didasarkan pada Pasal 248 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Selanjutnya mengenai pengancaman yang dilakukan oleh suami wanita pacar Anda, perlu diketahui bahwa pengancaman yang dilakukan melalui media internet, termasuk pesan Facebook , ialah tindakan melanggar ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik , sehingga terhadap tindakan tersebut dapat dikenakan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Apa langkah hukum yang dapat Anda lakukan untuk memperoleh perlindungan hukum? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berpacaran Dengan Istri Orang Lain Berkaitan dengan pertanyaan Anda, menurut kami, perasaan antara Anda dan wanita tersebut atau sebaliknya, tidak bisa mengenyampingkan fakta hukum bahwa perkawinan wanita tersebut dengan suaminya belum berakhir. Sehingga, saat ini wanita itu masih terikat dalam suatu perkawinan. Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) menyebutkan bahwa: Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena hubungan perkawinan antara si wanita dengan suaminya belum berakhir secara hukum, maka sebaiknya Anda tidak melanjutkan hubungan dengannya. Sebaiknya Anda harus menunggu sampai proses perceraiannya telah tuntas atau sampai ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, apabila Anda masih berhubungan, terdapat kemungkinan bagi Anda untuk terjerat perzinaan jika Anda melakukan hubungan seksual atau hubungan suami-istri dengan pacar Anda tersebut, didasarkan pada Pasal 248 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yakni: Pasal 284 (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: 1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel) , padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak , padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya, 2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin ; b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. (2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga. (3) Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75. (4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. (5) Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. Pengancaman Melalui Facebook Selanjutnya, kita ulas mengenai ancaman yang dilakukan melalui pesan “FB ( Facebook )” dan penggunaan foto Anda yang dipakai sebagai sarana pengancaman. Jika yang Anda maksud FB adalah situs F acebook , maka menurut kami hal itu sudah bisa digolongkan dalam perbuatan yang dilarang dalam Bab VII Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) , khususnya Pasal 29 yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi . Pengancaman yang dilakukan melalui media internet, termasuk pesan Facebook , ialah tindakan melanggar ketentuan Pasal 29 UU ITE, sehingga terhadap tindakan tersebut dapat dikenakan ketentuan pidana sesuai dengan Pasal 45B UU 19/2016 , yang berbunyi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Langkah Hukum Menurut kami untuk mendapatkan perlindungan hukum maka Anda harus mengambil langkah hukum. Tetapi sebelum mengambil langkah hukum, langkah yang baik untuk Anda lakukan adalah memberikan ruang dan waktu bagi wanita tersebut untuk menyelesaikan proses perceraiannya di pengadilan. Dengan itikad baik tersebut, mudah-mudahan tidak terjadi tindakan-tindakan yang tidak diinginkan dari suami wanita tersebut. Jika suami wanita tersebut masih mengancam Anda melalui Facebook , maka Anda dapat mengadukannya melalui laman Aduan Konten dari Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Anda harus mendaftarkan diri sebagai pelapor terlebih dahulu dengan mengisi beberapa kolom isian. Aduan yang dikirim harus ada URL/link, screenshot tampilan serta alasannya. Semua laporan yang masuk dan memenuhi syarat (terdapat link/url, screenshot dan alasannya) akan diproses/ditindaklanjuti. Selain itu, Anda juga dapat menuntut secara terhadap perbuatan pengancaman melalui Facebook tersebut, dengan langkah sebagai berikut: [1] Anda sebagai orang yang merasa haknya dilanggar atau melalui kuasa hukum, datang langsung membuat laporan kejadian kepada penyidik POLRI pada unit/bagian Cybercrime atau kepada penyidik PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) pada Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika. Selanjutnya, penyidik akan melakukan penyelidikan yang dapat dilanjutkan dengan proses penyidikan atas kasus bersangkutan Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam UU ITE. Setelah proses penyidikan selesai, maka berkas perkara oleh penyidik akan dilimpahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di muka pengadilan. Apabila yang melakukan penyidikan adalah PPNS, maka hasil penyidikannya disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik POLRI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Referensi: Aduan Konten , diakses pada 08 Agustus 2018, pukul 10.54 WIB. [1] Pasal 42 UU ITE jo. Pasal 43 UU 19/2016 dan Pasal 102 s.d. Pasal 143 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hukumonline teknologi facebook informasi dan transaksi elektronik pacar hukum pernikahan ite ancaman cyber selingkuh media sosial pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki seorang pacar dan saat ini hamil. Namun, karena orang tua pacar saya tersebut tidak setuju akan hubungan kami, maka pacar saya tersebut dinikahkan dengan orang lain dan pernikahan tersebut dilakukan secara Islam. Bagaimana cara saya agar tetap dapat mendapatkan anak saya tersebut? Bagaimana jalan yang harus saya tempuh mengingat janin yang dikandungnya tersebut adalah benar-benar anak saya, upaya apa yang harus saya lakukan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya a nak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (lihat Pasal 43 ayat [ 1] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UUP” ). Hal yang sama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya (lihat Pasal 186 KHI ). KLINIK TERKAIT Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil 27 Mei 2024 Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? 22 Jun 2023 Hukum Akad Nikah Tanpa Adanya Wali dari Pihak Perempuan 11 Mei 2023 Menurut hukum, seorang perempuan yang hamil di luar perkawinan dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya (lihat Pasal 53 ayat [1] KHI ). Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (lihat Pasal 53 ayat [2] KHI ). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (lihat Pasal 53 ayat [3] KHI ). Di sisi lain, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan melahirkan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, berikut ini pendapat kami: 1. Anak tersebut dapat diklaim sebagai anak Anda apabila suami dari (mantan) pacar Anda memang menolak untuk mengakui anak tersebut. 2. Pada dasarnya, anak yang lahir dalam perkawinan, akan sulit diakui, yang bisa Anda lakukan adalah memohonkan kepada pengadilan untuk menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak biologis Anda. Hal ini tentunya memerlukan mekanisme pembuktian secara medis yaitu dengan tes deoxyribonucleic acid (DNA). Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Sebenarnya bolehkah pacaran beda agama itu? Adakah aturan hukumnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada prinsipnya, pacaran bukan merupakan hubungan hukum seperti halnya suami dengan istri. Oleh karena itu, tidak ada hak dan kewajiban yang timbul di antara kedua orang yang berpacaran. KLINIK TERKAIT Bolehkah Nikah Beda Agama di Indonesia? Ini Hukumnya 31 Jul 2023 Hak Asuh Anak dalam Perceraian Pasangan Beda Agama 19 Jul 2019 Perbedaan Perkawinan Beda Agama Secara ‘Siri’ dan di Luar Negeri 18 Nov 2013 Masalah Hukum Jika Memilih Menikah Menurut Agama Istri 08 Jan 2013 Contoh dari hubungan berpacaran yang tidak menimbulkan akibat hukum adalah seorang wanita yang hamil setelah berhubungan intim dengan pacarnya. Dalam hal ini, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , jika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan melakukan perbuatan tersebut dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki-laki tersebut. Dampaknya, si wanita tidak berhak untuk memaksa si laki-laki untuk menikahinya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab? Dari sini kita bisa melihat bahwa jika salah satu pihak dirugikan dalam hubungan pacaran (wanita tersebut hamil), maka pihak lainnya tidak bisa dituntut oleh karena tidak ada hubungan hukum antara orang berpacaran itu tadi. Namun, berbeda halnya jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina, sepanjang adanya pengaduan dari pasangan sah salah satu atau kedua belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP ). Lebih lanjut mengenai pacaran yang tidak memiliki hubungan hukum ini dapat Anda simak dalam artikel-artikel berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Jika Dipaksa Pacar Kedua untuk Tidak Menikahi Pacar Pertama - Menggugat Janji-Janji Kekasih, Bisakah? Menjawab pertanyaan Anda, berpacaran dengan pasangan yang berbeda agama boleh saja dilakukan jika memperhatikan moral yang ada. Ini karena memang tidak ada aturan hukum yang melarangnya. Namun, apabila hubungan berpacaran itu berlanjut hingga ke jenjang perkawinan (terjadi perkawinan beda agama), maka ada kemungkinan akan menimbulkan masalah-masalah hukum di dalamnya. Seperti misalnya masalah keabsahan perkawinan beda agama, status anak, perceraian, dan sebagainya. Masalah-masalah yang dijumpai dalam perkawinan pasangan beda agama ini dapat Anda simak dalam beberapa artikel kami berikut: - Kawin Beda Agama Itu Kira-Kira Bakal Munculin Permasalahan Apa Saja Ya? - Hukum Perceraian untuk Nikah Beda Agama Sebagai contoh masalah-masalah yang mungkin timbul adalah masalah keabsahan perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Lebih lanjut, dalam Pasal 8 huruf f UU Perkawinan , dikatakan bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Beberapa ajaran agama mengatur mengenai larangan perkawinan beda agama. Misalnya dalam ajaran Islam, wanita beragama Islam tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [ Al Baqarah (2): 221 ]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang ( I Korintus 6: 14-18 ). Walaupun ada kemungkinan bagi pasangan beda agama untuk melaksanakan perkawinan berdasarkan penetapan pengadilan ( Pasal 35 jo. Pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ), akan tetapi tidak menutup kemungkinan Hakim dapat mempertimbangkan larangan-larangan dalam ajaran agama sebagai alasan tidak memberikan penetapan pengadilan. Selain itu, dalam hal perkawinan beda agama karena satu dan lain hal mungkin tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil oleh pasangan suami istri tersebut, hal ini juga berdampak pada status anak. Anak tersebut akan menjadi anak luar kawin yang tidak mempunyai status hukum (legalitas) di hadapan hukum. Lebih lanjut dapat membaca artikel yang berjudul Perbedaan Perkawinan Beda Agama Secara ‘Siri’ dan di Luar Negeri . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan . pacaran" }
{ "from": "human", "value": "Selamat Siang. Buku tabungan pribadi nasabah dalam kasus perkara penggelapan uang koperasi disita oleh polisi dan ditetapkan oleh hakim agar tetap dalam berkas perkara. Saat ini, nasabah telah selesai menjalani hukuman sesuai putusan pengadilan. Nasabah tersebut berkeinginan untuk mencairkan dana dalam rekening tersebut. Sementara, nasabah yang bersangkutan tidak lagi memiliki buku tabungan. Apakah boleh Bank menerbitkan buku tabungan baru mengingat buku tabungan milik nasabah tersebut tetap berada dalam berkas perkara? Mohon penjelasan." }
{ "from": "gpt", "value": "Buku tabungan pribadi nasabah yang terkait dengan kasus perkara penggelapan uang koperasi, dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dapat dikategorikan sebagai  alat bukti surat atau barang bukti. Gunanya alat bukti,  adalah untuk membuktikan apakah benar terjadi tindak pidana penggelapan atau tidak. KLINIK TERKAIT Sewa Menyewa Aset oleh Bank 02 Nov 2010 Klaim atas Bank Garansi Pelaksanaan Tanpa Syarat (Unconditional) 27 Okt 2010 Bolehkah Bank Melaksanakan Penandatanganan Perjanjian Kredit dengan Calon Debitur Berstatus Tersangka? 14 Jul 2010 Pemberian Kredit kepada Debitur yang Pernah Macet, Tindak Pidanakah? 08 Jul 2010 Apabila suatu perkara telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap , maka terhadap barang sitaan terdapat beberapa kemungkinan (lihat Pasal 46 ayat [2] KUHAP ): 1. Dikembalikan kepada orang atau mereka sesuai dalam putusan ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Dirampas untuk negara untuk selanjutnya dieksekusi (dimusnahkan atau dirusakkan; atau 3. Tetap disimpan untuk dimanfaatkan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Hakim masih memegang tanggung jawab yuridis atas benda sitaan ini sampai dilakukannya langkah-langkah yang disebutkan dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP di atas. Untuk melaksanakan eksekusi hakim dengan wewenang yang didapatnya menunjuk jaksa untuk mengesekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian, pada saat eksekusi tanggung jawab yuridis berpindah ke tangan jaksa yang telah ditunjuk oleh hakim untuk menjalankan eksekusi tersebut.  Hal ini sesuai dengan Pasal 28 ayat (2) PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (”PP 27/1983”) yang menyebutkan bahwa, “Pengeluaran barang rampasan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dilakukan atas permintaan jaksa secara tertulis.“ Pada Pasal 28 ayat (3) PP 27/1983 juga menyebutkan bahwa Kepala Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) menyaksikan pemusnahan benda sitaan oleh Jaksa. Dalam hal putusan menyatakan agar buku tabungan tetap dalam berkas perkara, berarti masih terdapat perkara lain yang terkait dengan alat bukti tersebut (buku tabungan)  sehingga buku tabungan masih diperlukan untuk pembuktian.  Dalam hal  ini maka, Bank tidak boleh menerbitkan buku tabungan baru sampai perkara lain yang terkait dengan kasus tersebut selesai diputus.  Jika memang perkara lain yang masih membutuhkan alat bukti berupa buku tabungan tersebut telah diputus, maka hakim dalam putusannya selayaknya menyatakan buku tabungan dikembalikan kepada pihak di mana benda tersebut disita.  Jika memang ternyata tidak ada perkara lain yang membutuhkan bukti tersebut, bank bisa meminta nasabah untuk mengajukan permohonan peminjaman alat bukti atau gugatan  tersendiri. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana jika seorang calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka? Apakah masih bisa mencalonkan diri, dan tetap mengikuti pemilihan?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Haruskah Calon Kepala Daerah Merupakan Putra Daerah? 10 Mei 2023 Aturan Masa Jabatan Kepala Desa 01 Nov 2022 Bolehkah Calon Kepala Desa Tidak Berasal dari Desa yang Bersangkutan? 10 Jan 2017 Intisari: Dalam persyaratan calon kepala daerah tidak ada yang menyebutkan bahwa calon kepala daerah tidak boleh berstatus sebagai tersangka. Yang dipersyaratkan adalah calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sehingga calon kepala daerah yang berstatus sebagai tersangka masih sah sebagai calon kepala daerah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan : Terima kasih atas perntanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 (“UU 1/2015”) dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 (“UU 8/2015”) kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 (“UU 10/2016”) . Definisi Setiap daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan Daerah yang disebut kepala daerah . [1] Kepala daerah untuk Daerah provinsi disebut gubernur , untuk Daerah kabupaten disebut bupati , dan untuk Daerah kota disebut wali kota . [2] Sedangkan yang dimaksud dengan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota secara langsung dan demokratis. [3] Persyaratan Calon Kepala Daerah Untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, yaitu: [4] a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; d. berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; e. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim; f. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana ; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi; m. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama; o. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; p. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; q. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; r. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan s. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon. Status Calon Kepala Daerah Setelah Menjadi Tersangka Berdasarkan ketentuan di atas, tidak ada ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa jika calon kepala daerah ditetapkan menjadi tersangka suatu tindak pidana maka tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah. Calon kepala daerah hanya disyaratkan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sedangkan status tersangka merupakan keadaan dimana seseorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. [5] Sehingga belum ada putusan yang berkuatan hukum tetap. Dalam artikel Status Tersangka Tak Otomatis Gugurkan Calon Kepala Daerah, Benarkah? , Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini , mengatakan pencalonan bisa gugur atau batal kalau calon yang bersangkutan statusnya menjadi terpidana. Kalau statusnya masih tersangka atau terdakwa berarti proses hukumnya belum inkracht , pencalonannya tidak bisa dibatalkan atau digugurkan. Hal serupa juga dikatakan oleh Husni Kamil Malik, Ketua Komisi Komisi Pemilihan Umum (“KPU”), sebagaimana yang kami kutip dari artikel Jadi Tersangka, Pecalonan Kepala Daerah Tetap Sah, Ini Kajiannya , yaitu peraturan KPU tak mengatur pembatalan pasangan calon karena ditetapkan sebagai tersangka. Contoh Kasus Sebagai contoh dapat dilihat pada artikel Jadi Tersangka, Pecalonan Kepala Daerah Tetap Sah, Ini Kajiannya . Seorang calon Walikota Binjai , Sumatera Utara (“Sumut”) Saleh Bangun, ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi lantaran diduga menerima suap dari Gubernur Sumut, terkait kasus keuangan daerah. KPU Binjai, Sumut, menganggap status Saleh Bangun masih sah sebagai calon kepala daerah. Artinya, masih berpeluang memimpin Binjai bila terpilih masyarakat dalam proses pemungutan suara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 ; 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 . [1] Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) [2] Pasal 59 ayat (2) UU 23/2014 [3] Pasal 1 angka 1 UU 8/2015 [4] Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 [5] Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana hukumonline lembaga pemerintah status tersangka kepala daerah tersangka tata negara calon kepala daerah pemilihan umum hukum klinik klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Kepada yang terhormat hukumonline saya ini orang awam tentang hukum. Saya ingin menanyakan bagaimana kalau hukum internasional itu diabaikan atau tidak dipatuhi oleh salah satu negara sedangkan negara yang bersangkutan sudah menjadi anggota (mohon dijawab dengan sejelas-jelasnya)? Terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pertama-tama, perlu dijelaskan bahwa hukum internasional itu lingkupnya sangat luas. Bentuknya pun bermacam-macam, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak. Dalam konteks pertanyaan ini, sepertinya Anda merujuk pada hukum internasional tertulis jika merujuk pada kalimat “…yang bersangkutan sudah menjadi anggota”. Kenapa disimpulkan begitu, karena hanya pada hukum internasional tertulis saja sistem keanggotaan umumnya diberlakukan. Secara sederhana, keanggotaan dapat diartikan sebagai satu bentuk formal keterlibatan satu pihak dalam sebuah perjanjian. KLINIK TERKAIT Status Hukum UU Ratifikasi 15 Mei 2018 Perjanjian Internasional yang Bertentangan dengan Konstitusi 15 Feb 2011 Persetujuan DPR atas Perjanjian Internasional 28 Okt 2010 Vatikan Sebagai Subyek Hukum Internasional 22 Sep 2010 Di lingkup internasional, norma yang mengatur secara khusus tentang perjanjian internasional adalah Law of Treaty yang ditandatangani di Vienna, Austria pada 1969 (“Konvensi Wina 1969”) . Konvensi ini adalah rujukan utama dalam perumusan sebuah perjanjian internasional antarnegara. Di dalamnya mengatur segala aspek dari perjanjian internasional, termasuk soal keanggotaan ( party ) dan keberlakuan ( entry into force ). Dua hal inilah yang menurut hemat kami menjadi inti dari pertanyaan Anda. Pertama-tama, dimulai dari definisi. Berdasarkan Law of Treaty, anggota ( party ) adalah negara yang telah menyatakan diri terikat pada perjanjian, dan karenanya perjanjian itu berlaku bagi negara tersebut ( a state which has consented to be bound by the treaty and for which the treaty is in force ). Pihak di luar definisi ini disebut “ third state ”. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Merujuk pada definisi itu, maka bahwa suatu negara yang menyandang status “anggota” sebuah perjanjian internasional wajib tunduk pada isi perjanjian tersebut. Namun, sebelum menjadi anggota, negara tersebut harus menempuh prosedur pengesahan atau disebut “pernyataan mengikatkan diri”. Lazimnya, prosedur pengesahan atau pernyataan mengikatkan diri diatur dan ditetapkan secara khusus dalam perjanjian internasional terkait. Cara pengesahan atau pernyataan mengikatkan diri sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi Wina 1969 antara lain penandatanganan ( signature ), pertukaran dokumen ( exchange of instruments constituting a treaty ), ratifikasi ( ratification ), penerimaan “ signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed ” ( Article 11 ). Sekali lagi, terlepas dari cara pengesahannya, negara yang berstatus sebagai anggota wajib tunduk pada isi perjanjian tersebut. Namun, hukum internasional membuka peluang bagi suatu negara untuk tidak melaksanakan bagian tertentu dari sebuah perjanjian internasional, meskipun statusnya anggota. Caranya, dengan menyatakan reservation (pensyaratan) yang umumnya dilakukan bersamaan pada saat pengesahan atau pernyataan mengikatkan diri. Reservation atau pensyaratan menurut definisi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Umumnya, reservation diajukan suatu negara jika ada bagian dari perjanjian internasional yang mereka tanda tangani dinilai memberatkan. Karena itu, konsekuensi dari reservation adalah ketidakberlakuan satu atau lebih pasal atau bagian dari perjanjian internasional yang dinyatakan dalam reservation bagi negara anggota yang mengajukannya. Sebagai contoh, Indonesia menyatakan reservation terhadap Pasal 30 ayat (1), Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment . Reservation ini dinyatakan dalam UU No. 5 Tahun 1998 yang meratifikasi Konvensi tersebut. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture And Other Cruel, Inhuman Or Degrading Treatment Or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia)" }
{ "from": "human", "value": "Salah seorang kerabat kami, perempuan selalu mengalami kekerasan oleh suaminya, namun kerabat kami tersebut tidak mau mengaku telah mengalami penyiksaan atau melaporkan ke polisi sebagai korban KDRT. Padahal, secara kasat mata terlihat adanya bekas-bekas penyiksaan tersebut. Sebagai kerabat apakah yang dapat kami lakukan untuk membantu agar penyiksaan tersebut tidak berlanjut? Mohon penjelasan." }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dapat kita temui pengaturannya dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU KDRT”) . Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (lihat Pasal 1 ayat [1] UU KDRT ). KLINIK TERKAIT Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan atas Dasar KDRT? 17 Nov 2023 Kedudukan Anak dalam Hukum 21 Jul 2017 Korban Kekerasan Isteri 22 Apr 2011 Status Laporan KDRT Pasca-Cerai 23 Feb 2011 Kekerasan fisik merupakan salah satu bentuk dari KDRT sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huuf a UU KDRT . Dalam kasus di atas, kerabat Anda tidak mau mengakui dirinya mengalami KDRT oleh suaminya dan menolak melapor ke polisi. Dalam hal ini, kita perlu melihat ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU KDRT yang pada intinya menyatakan bahwa yang dapat melaporkan secara langsung adanya KDRT kepada polisi adalah korban. Sebaliknya, keluarga atau pihak lain tidak dapat melaporkan secara langsung adanya dugaan KDRT kecuali telah mendapat kuasa dari korban (lihat Pasal 26 ayat [2] UU KDRT ). Meski demikian, pihak keluarga masih dapat melakukan tindakan lain untuk mencegah berlanjutnya kekerasan terhadap korban. Kewajiban masyarakat untuk turut serta dalam pencegahan KDRT ini diatur dalam Pasal 15 UU KDRT yang berbunyi sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. memberikan perlindungan kepada korban; c. memberikan pertolongan darurat; dan d. membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.” Dengan demikian, berdasarkan ketentuan di atas, yang dapat Anda lakukan sebagai kerabat adalah sebagaimana disebutkan dalam poin a s.d. poin d di atas. Permohonan (poin d) dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan. Dalam hal permohonan perintah perlindungan diajukan oleh keluarga, teman korban, kepolisian, relawan pendamping, atau pembimbing rohani, maka korban harus memberikan persetujuannya . Namun, dalam keadaan tertentu, permohonan dapat diajukan tanpa persetujuan korban (lihat Pasal 30 ayat [1], ayat [3], dan ayat [4] UU KDRT ). Yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu” dalam ketentuan tersebut, misalnya: pingsan, koma, dan sangat terancam jiwanya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Jika seseorang menandatangani kontrak kerja selama 2 tahun untuk bekerja di sebuah proyek perusahaan, kemudian proyek tersebut berhenti atau selesai di tengah masa kontrak. Bagaimana kelanjutan hubungan kerjanya? Apakah otomatis berhenti atau pekerja tersebut harus melunasi sisanya masa kontraknya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, hubungan kerja yang terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh[1] dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).[2]\n\nAdapun yang dimaksud dengan PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[3] Kemudian, PKWT didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu.[4] Selain itu, PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.[5]\n\nPKWT yang dilangsungkan berdasarkan jangka waktu dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu meliputi:[6]\n\npekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;pekerjaan yang bersifat musiman, yakni pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim/cuaca atau kondisi tertentu.[7] Adapun yang dimaksud dengan kondisi tertentu adalah pekerjaan tambahan yang dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu.[8]pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.\n\nSedangkan PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, dibuat untuk pekerjaan tertentu yaitu:[9]\n\npekerjaan yang sekali selesai; ataupekerjaan yang sementara sifatnya.\n\nBerdasarkan ketentuan tersebut, pekerjaan yang dilakukan berdasarkan suatu proyek tertentu dapat dikategorikan sebagai pekerjaan yang sekali selesai, sehingga hubungan kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja dituangkan dalam PKWT atau kontrak berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu.\n\nDalam hal ini, PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu tersebut didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja.[10] Kemudian, menurut Pasal 9 ayat (2) PP 35/2021, kesepakatan para pihak memuat:\n\na. ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai; dan\n\nb. lamanya waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan.\nJika Pekerjaan Proyek Selesai di Tengah Masa Kontrak\n\nLantas, bagaimana jika suatu proyek selesai di tengah masa kontrak kerja/PKWT? Apakah hubungan kerjanya berakhir atau si pekerja masih terikat hubungan kerja hingga berakhirnya masa kontrak?\n\nPada dasarnya, Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa salah satu kondisi yang mengakibatkan perjanjian kerja berakhir adalah selesainya suatu pekerjaan tertentu.\n\nDalam kaitannya dengan PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, ketentuan tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 9 ayat (3) PP 35/2021 yang berbunyi:\n\nDalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT dapat diselesaikan lebih cepat dari lamanya waktu yang disepakati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b maka PKWT putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, jika pekerjaan yang diperjanjikan antara pekerja dan pemberi kerja sudah selesai berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam PKWT, dan selesainya pekerjaan tersebut lebih cepat dari waktu yang disepakati, maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Selain itu, hubungan kerja antara si pekerja dan pemberi kerja pun juga berakhir. Lalu, dikarenakan PKWT telah berakhir, maka pekerja yang bersangkutan berhak menerima uang kompensasi dari pengusaha.[11]\n\nBaca juga: Jika Kontrak Kerja Berakhir, Apakah Otomatis Diperpanjang?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.\n\n[1] Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 12 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perppu Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”)  yang mengubah Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)[4] Pasal 4 ayat (1) PP 35/2021[5] Pasal 4 ayat (2) PP 35/2021[6] Pasal 5 ayat (1) PP 35/2021[7] Pasal 7 ayat (1) PP 35/2021[8] Pasal 7 ayat (3) PP 35/2021[9] Pasal 5 ayat (2) PP 35/2021[10] Pasal 9 ayat (1) PP 35/2021[11] Pasal 81 angka 17 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 61A ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP 35/2021" }
{ "from": "human", "value": "Lima tahun yang lalu saya (wanita) punya anak. Sekarang anak saya mau masuk sekolah, oleh guru diminta surat keterangan/akta kelahiran. Karena saya tidak menikah dan tidak mau dalam akta kelahiran ada keterangan anak luar kawin, maka sampai sekarang saya tidak punya akta kelahiran untuk anak saya. Sekarang saya sangat membutuhkannya, bila bikin aspal, ngeri dengan risikonya. Apakah di usia anak saya sekarang masih bisa dapat akta kelahiran/surat kenal lahir?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua kali oleh Sovia Hasanah, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 30 November 2011. Kemudian pemutakhiran pertama kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. yang dipublikasikan pada Rabu, 14 September 2016. Intisari : Anda dapat saja melaporkan kelahiran anak Anda untuk dicatatkan meskipun anak Anda sudah berusia 5 (lima) tahun. Pencatatan tersebut dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana setempat . Pelaporan peristiwa penting seperti kelahiran yang pencatatannya melampaui batas waktu dikenakan denda administratif. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pelaporan Kelahiran Sebelumnya perlu dipahami bahwa akta kelahiran merupakan identitas diri anak yang wajib diberikan sejak kelahirannya. Hak anak atas akta kelahiran ini dijamin oleh Pasal 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (\"UU 35/2014\") : Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya . Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahuikeberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian. Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administrasi kependudukan untuk dibuatkan aktanya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) : Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Penjelasan : Pelaporan kelahiran oleh Penduduk dilaksanakan di Instansi Pelaksana tempat Penduduk berdomisili. Penulisan tempat lahir di dalam Akta Kelahiran tetap menunjuk pada tempat terjadinya kelahiran . Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Penjelasan : Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Berdasarkan pasal tersebut, jelas bahwa setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana setempat paling lambat 60 hari sejak kelahiran untuk dicatatkan pada register akta kelahiran dan diterbitkan kutipan akta kelahiran. Anda dapat saja mencatatkan kelahiran anak Anda meskipun anak Anda sudah berusia 5 (lima) tahun. Seperti yang dijelaskan dalam artikel Apakah Pengadilan Berwenang Menerbitkan Akta Kelahiran? , bagi yang terlambat mencatatkan kelahiran , maka pencatatan dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana setempat . [1] Namun, terkait dengan keterlambatan pencatatan kelahiran ini, Anda dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda paling banyak Rp 1 juta. [2] Persyaratan untuk Mengurus Akta Kelahiran Dalam Pasal 33 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perpres 96/2018”) diatur mengenai apa saja persyaratan untuk pencatatan kelahiran, yaitu: surat keterangan kelahiran; buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah; Kartu Keluarga (“KK”); dan Kartu Tanda Penduduk-elektronik (“KTP-el”). Anda juga menyebutkan bahwa Anda tidak menikah, maka apabila Anda tidak memiliki buku nikah/kutipan akta perkawinan atau bukti lain yang sah tetapi status hubungan dalam Kartu Keluarga menunjukan sebagai suami istri, Anda dapat membuat surat pernyataan tanggung jawab mutlak atas kebenaran data dengan diketahui oleh 2 (dua) orang saksi. [3] Perlu diketahui, persyaratan pembuatan akta kelahiran diatur kembali di masing-masing daerah. Sebagai contoh untuk di wilayah DKI Jakarta, ketentuannya diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 93 tahun 2012 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Pergub 93/2012”) . Persyaratan penerbitan akta kelahiran penduduk Warga Negara Indonesia di DKI Jakarta sebagaimana yang kami akses melalui laman Jakarta.go.id yakni: [4] Surat Keterangan Kelahiran dari Kelurahan; Asli dan Fotokopi Surat Keterangan Kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran/Nakhoda Kapal Laut atau Pilot Pesawat Terbang dengan memperlihatkan aslinya; Fotokopi Surat Nikah/Akta Perkawinan orang tua; Fotokopi Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk orang tua; Nama dan identitas saksi pelaporan kelahiran; Persetujuan Kepala Dinas/Suku Dinas. Dalam hal pelaporannya melebihi 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahirannya . Masih dari laman yang sama, dijelaskan bahwa waktu pelayanan pengurusan akta kelahiran adalah 5 hari kerja sejak tanggal diterimanya berkas persyaratan secara lengkap, dan tidak dipungut biaya (gratis). Sebagai informasi juga, masih dari laman yang sama, terdapat dua jenis akta kelahiran, salah satunya adalah Akta dengan Rekomendasi , yaitu akta kelahiran yang dibuat berdasarkan Rekomendasi kepala Dinas atas laporan kelahiran yang telah melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari kerja. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Peraturan Gubernur Nomor 93 tahun 2012 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Referensi : Jakarta.go.id , diakses pada 5 Maret 2019 pukul 14.38 WIB. [1] Pasal 32 ayat (1) UU 24/2013 [2] Pasal 90 ayat (1) huruf a dan ayat (2) UU Adminduk [3] Pasal 34 huruf b Perpres 96/2018 [4] Pasal 54 ayat (1) Pergub 93/2012 hukumonline anak tata negara hukum klinik perkawinan anak luar kawin klinik hukumonline akta kelahiran keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Dimanakah saya bisa mendapatkan pasal dari peraturan atau undang-undang yang menyebutkan bahwa kelebihan jam kerja kurang dari 30 menit tidak diperhitungkan dengan upah lembur? Atas bantuannya saya ucapkan banyak terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Memang tidak diatur secara rinci dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur apakah jika kurang dari 30 menit tidak dihitung lembur. Akan tetapi, pernah ada peraturan yang mengatur mengenai waktu lembur di bawah 30 menit atau ½ jam yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1954 tentang Pekerja Pemerintah . Dalam peraturan pemerintah tersebut disebutkan bagi waktu lembur yang kurang dari 1/2 jam dihapuskan dan 1/2 jam atau lebih dibulatkan ke  atas menjadi satu jam. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Perusahaan Wajib Membayar Upah Lembur Pada dasarnya pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur. [1] Akan tetapi, ketentuan waktu kerja lembur ini tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. [2] KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika Pengusaha Tak Membayar Upah Lembur 03 Jun 2024 Ketentuan Lembur Tenaga Kerja Asing di Perusahaan Pertambangan 03 Jul 2023 Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan 12 Apr 2023 Bolehkah Perusahan Tidak Memberlakukan Libur Pilkada Serentak? 08 Des 2015 Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur ini kemudian diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur (“Kepmen 102/2004”) . Dalam Kepmen 102/2004, dijelaskan mengenai definisi dari waktu kerja lembur. Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah. [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur. [4] Apakah Di Bawah 30 Menit Dihitung Lembur? Sepanjang penelusuran kami, peraturan yang pernah mengatur terkait waktu lembur di bawah 30 menit atau ½ jam adalah Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1954 tentang Pekerja Pemerintah (“PP 31/1954”) . Akan tetapi, kami tidak mengetahui pasti apakah sudah ada peraturan yang secara eksplisit mencabut PP 31/1954. Namun, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia yang menjadi dasar PP 31/1954 sudah tidak berlaku. Sekilas mengenai PP 31/1954 ini, peraturan ini mengatur bahwa dalam menghitung upah lembur: [5] a. bagi waktu lembur yang tiap-tiap kali kurang dari 1/2 jam dihapuskan dan 1/2 jam atau lebih dibulatkan ke atas menjadi satu jam ; b. upah biasa sejam ditetapkan 6/40 kali upah harian penuh dan dibulatkan ke atas menjadi senan penuh. Akan tetapi, saat ini, mengenai lembur pegawai negeri sipil diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.05/2009 Tahun 2009 tentang Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi Pegawai Negeri Sipil . Lebih lanjut, Anda dapat membaca artikel Aturan Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi PNS . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1954 tentang Pekerja Pemerintah ; 3. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur; 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.05/2009 Tahun 2009 tentang Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi Pegawai Negeri Sipil. [1] Pasal 78 ayat (2) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 78 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 1 angka 1 Kepmen 102/2004 [4] Pasal 4 ayat (1) Kepmen 102/2004 [5] Pasal 5 ayat (2) PP 31/1954 klinik hukumonline hukum hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Kami ingin mengetahui jaminan hukum atas utang gaji (12 bulan) apabila karyawan mengajukan pailit ke pengadilan dan berapa lama proses tersebut berlangsung mengingat aset-aset perusahaan (PT) sudah dijaminkan pada debitur? Sebatas mana tanggung jawab dari pemilik saham sehingga hak-hak karyawan terbayar dapat terlunasi 100 persenkah? Mana lebih besar kansnya perorangan ataukah bersama-sama (1000 orang) karyawan? Thanks." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, perlu dipahami bahwa harta kekayaan perusahaan (dalam hal ini Perseroan Terbatas/PT) adalah terpisah dari harta kekayaan pemegang saham . Sesuai Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) beserta penjelasannya, pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Oleh karena itu, dalam hal perusahaan dipailitkan, pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi namun hanya sebatas saham atau modal yang dimasukkan ke dalam PT yang kemudian menjadi harta PT. KLINIK TERKAIT Upaya Hukum atas Putusan PHI yang Inkracht 25 Jul 2023 Gaji Terakhir dan Bonus Tahunan Tidak Dibayar 18 Mei 2017 Penyesuaian Skala Upah pada Perusahaan Multinasional 05 Apr 2017 Pemotongan Gaji 29 Jun 2016 Pada saat perusahaan tidak membayar gaji karyawannya, maka perusahaan tersebut menjadi debitur dari karyawan dan dapat digugat pailit apabila memenuhi syarat-syarat kepailitan. Simak syarat kepailitan dalam artikel ini . Pengadilan harus memutus permohonan pernyataan pailit dalam waktu 60 hari (lihat Pasal 8 ayat [5] UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - “UU Kepailitan” ) . Seluruh harta perusahaan kemudian akan menjadi harta pailit untuk kemudian diserahkan kepada pengurusan kurator untuk memenuhi semua kewajiban perusahaan terhadap para kreditor. Dan pada dasarnya, hak karyawan atas pembayaran upah saat perusahaan dipailitkan telah dilindungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) . Pasal 95 ayat (4) UUK menyatakan bahwa dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun di sisi lain, Pasal 1134 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) menyatakan gadai dan hipotik tempatnya lebih tinggi daripada kreditor lainnya kecuali dinyatakan sebaliknya oleh undang-undang. Apabila kita mengacu pada UUK, UUK telah memberikan posisi pembayaran upah karyawan untuk didahulukan pembayarannya. Akan tetapi, dalam praktiknya apa yang terjadi ternyata tak seindah ketentuan Pasal 95 ayat (4) UUK tersebut di atas. Jika ada kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hak agunan maupun hipotik, maka merekalah yang mendapat prioritas. Prioritas kepada kreditor jenis ini didasarkan pada ketentuan Pasal 138 UU Kepailitan yang berbunyi: “Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, hak agunan atas kebendaan lainnya, atau yang mempunyai hak yang diistimewakan atas suatu benda tertentu dalam harta pailit dan dapat membuktikan bahwa sebagian piutang tersebut kemungkinan tidak akan dapat dilunasi dari hasil penjualan benda yang menjadi agunan, dapat meminta diberikan hak-hak yang dimiliki kreditor konkuren atas bagian piutang tersebut, tanpa mengurangi hak untuk didahulukan atas benda yang menjadi agunan atas piutangnya.” Selain itu, dalam sebuah artikel hukumonline dikatakan bahwa dalam buku “ Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan” (2002), J. Satrio mengklasifikan kedudukan hak kreditor dengan merujuk Buku Dua Bab XIX KUHPer dan Pasal 21 UU No. 6 Tahun 1983 yang diubah oleh UU No. 9 Tahun 1994 . Di sini, menurut Satrio, hak negara (pajak, biaya perkara, dll) ditempatkan sebagai pemegang hak posisi pertama, diikuti oleh kreditor separatis (pemegang hak tanggungan, gadai, fidusia, hipotik). Di sisi lain, Satrio juga mengakui bahwa Pasal 95 ayat (4) UUK meningkatkan kedudukan upah dibanding kreditor lain . Masih dalam artikel yang sama , peneliti dari Pusat Pengkajian Hukum (PPH) Tri Harnowo menyatakan bahwa pemenuhan hak buruh dan pajak dalam hal perusahaan jatuh pailit bisa mencapai 100 persen jika negosiasi (di antara para kreditor) lancar. Tri berpendapat negosiasi setelah pailit merupakan faktor yang cukup menentukan. Lebih jauh simak Hak Pekerja Untuk Didahulukan Dalam Perkara Pailit . Jadi, karena ketentuan peraturan perundang-undangan belum secara spesifik menyatakan dalam hal kepilitan upah karyawan tingkatannya lebih tinggi daripada gadai dan hipotik dan pajak, maka dalam praktiknya Pasal 95 ayat (4) UUK tak mudah dilaksanakan. Kemudian, mengenai pelunasannya apakah bisa diperoleh 100 (seratus) persen atau tidak, hal tersebut bergantung dari harta pailit yang ada. Lebih jauh simak artikel-artikel berikut ini: - Great River International Dinyatakan Pailit . - UU Kepailitan Dianggap Merugikan Buruh . - Hak Karyawan Perusahaan Pailit . Mengenai besar kesempatan untuk memailitkan perusahaan dan memperoleh pengembalian utang (dalam hal ini upah), tidaklah bergantung pada seberapa banyak karyawan yang memohonkan pailit. Sepanjang terpenuhi syarat kepailitan, yaitu perusahaan memiliki setidaknya dua kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan perusahaan dipailitkan, maka seluruh harta perusahaan menjadi harta pailit untuk melunasi kewajiban perusahaan terhadap kreditor. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 3. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; 4. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimanakah kekuatan pembuktian sidik jari di Indonesia? Apakah sidik jari dapat mengikat hakim (hal yang dapat mempengaruhi hakim) dalam menjatuhkan putusan (vonis)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan anda. Pertama-tama saya perlu s ampaikan bahwa dalam membuktikan suatu perkara pidana, hakim secara aktif harus mencari dan menemukan kebenaran materiil (kebenaran yang sesungguhnya), yaitu bahwa tindak pidana sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa adalah benar-benar terjadi, dan benar terdapat kesalahan terdakwa (baik kesengajaan maupun kelalaian), serta dapat dipertanggungjawabkannya tindak pidana tersebut oleh terdakwa. KLINIK TERKAIT Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana 12 Jan 2024 Apakah Polisi Berwenang Melakukan Razia Hotel? 22 Mei 2023 Keabsahan Faksimile Sebagai Alat Bukti 13 Des 2018 Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan 11 Okt 2018 Menjawab pertanyaan anda, kita perlu untuk merujuk pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) , maka alat bukti dalam perkara pidana umum adalah terdiri dari: Keterangan saksi Keterangan ahli Surat Petunjuk Keterangan terdakwa Hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu untuk dibuktikan lagi (fakta notoir) Jika dikaitkan dengan pertanyaan anda, sidik jari dari pelaku suatu tindak pidana tidak secara langsung dapat dikualifisir sebagai salah satu alat bukti dalam suatu perkara pidana, melainkan harus dikonversi dalam jenis-jenis alat bukti tertentu, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP Tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari definisi umum yang penjawab ketahui, sidik jari atau fingerprint didefinisikan sebagai hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki (Wikipedia). Sedangkan ilmu yang mempelajari tentang sidik jadi adalah Daktiloskopi. Dalam hal ini, wujud konkr e t dari keterangan atas suatu sidik jari dalam suatu perkara pidana dapat berbentuk surat keterangan yang dibuat oleh seorang ahli (Pasal 187 huruf c KUHAP) yang dapat dikualifisir sebagai alat bukti surat . S elain itu apabila diperlukan, baik dalam proses penyidikan di kepolisian maupun proses pemeriksaan perkara di pengadilan, seorang ahli Daktiloskopi dapat dipanggil guna didengar keterangannya untuk menjelaskan mengenai keterkaitan adanya sidik jari seseorang dalam suatu peristiwa pidana (Vide: Pasal 186 KUHAP jo.Pasal 1 ayat 24 KUHAP). Mengenai pertanyaan mengenai apakah suatu sidik jari dapat mengikat atau mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan putusan, maka kita perlu kembali memperhatikan ketentuan Pasal  183 KUHAP yang menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pasal 183 KUHAP diatas telah menjadi dasar hukum dari ketentuan minimal pembuktian yaitu terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti ditambah dengan keyakinan hakim bahwa terdakwa benar-benar bersalah. Pembentukan pasal ini didasarkan pada adagium yang terkenal dalam hukum pidana yaitu in dubio pro reo atau beyond a reasonable doubt , yang berarti ditengah-tengah keraguan, hakim harus melepaskan seorang terdakwa. Lalu yang menjadi pertanyaan penting untuk direnungkan bersama terkait dengan permasalahan sidik jari tersebut di atas adalah bagaimana jika tidak ada saksi dalam suatu peristiwa pidana tersebut dan apabila terdakwa dalam keterangannya menyangkal telah melakukan perbuatan pidana yang didakwakan tersebut. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa ketentuan minimal pembuktian (dua alat bukti) tersebut seharusnya dapat dipenuhi dengan adanya surat keterangan mengenai sidik jari tersebut (alat bukti surat) ditambah adanya keterangan ahli Daktiloskopi sebagai salah satu alat bukti . Namun demikian, berangkat dari ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dihubungkan dengan Pasal 191 KUHAP (Vide: Penjelasan Pasalnya), maka penilaian atas suatu pembuktian dan keyakinan bahwa terdakwa benar-benar melakukan tindak pidana tersebut, diserahkan kepada hakim untuk menentukannya. Demikian jawaban saya. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk anda. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana kekuatan hukum/bukti rekam medis dari hasil aborsi? Apakah dengan bukti otentik dari hasil rekam medis dapat membuat seseorang harus bertanggung jawab atas kejadian yang telah berlalu? Pada awalnya pasangan ini melakukan hubungan di luar nikah dan melakukan aborsi karena di luar kuasa sang wanita yang berpikir pria ini mau bertanggung jawab. Setelah aborsi ternyata pria tersebut mengingkari. Justru dia difitnah di depan keluarga sang cowo dan teman-teman cowoknya. Saat ini, yang terlintas di pikirannya karena sakit hati dia mau membuktikan bahwa adanya tindakan aborsi yang hampir menelan jiwa sang wanita. Apakah hanya dari rekaman medis RS saat wanita itu collapse bisa dijadikan pembuktian jika kasus itu telah lewat? Apakah bisa dia menuntut untuk hal aborsi dan pencemaran nama baik (fitnah) yang telah dia lakukan, kalau buktinya hanya rekaman medis, saksi orang, dan sms dari si pria? Mohon bantuan informasi dan langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk melaporkan kasus ini. Apa saja sanksi yang didapat buat si PRIA dan juga buat si WANITA? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Rekam medis memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam bidang kesehatan termasuk upaya penegakan hukum terutama di dalam rangka pembuktian dugaan malpraktek medis. Rekam medis di dalam hukum acara pidana mempunyai kedudukan sebagai alat bukti surat karena pembuatan rekam medis telah memenuhi ketentuan sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 187 KUHAP . Hal ini juga sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis yang menyatakan: KLINIK TERKAIT Hukum Kawin Kontrak di Indonesia 21 Sep 2023 Bisakah Mengakui Anak Hasil Zina? 22 Jun 2023 Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi 10 Mei 2023 Ingin Menikah dengan Ayah Bayi yang Dikandung 02 Mei 2011 “ Pemanfaatan Rekam medis dapat dipakai sebagai alat bukti dalam proses penegakan hukum, disiplin kedokteran dan kedokteran gigi dan penegakan etika kedokteran dan kedokteran gigi . ” Permasalahannya, selama ini sarana pelayanan kesehatan akan sangat berhati-hati sekali dalam mengeluarkan apalagi memberikan rekam medis kepada pihak yang meminta. Hal ini disebabkan rekam medis dianggap berisi keterangan yang bersifat rahasia, apalagi jika akan digunakan untuk keperluan penegakan hukum di pengadilan. Selain itu, orang awam akan mengalami kesulitan dalam membaca dan memahami isi yang terdapat di dalam rekam medis, karena adanya penggunaan istilah dalam dunia kedokteran, kecuali dilakukan oleh seorang yang ahli. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal lain yang perlu diingat adalah penegak hukum pun tidak terikat untuk menggunakan alat bukti rekam medis tersebut. Mengenai contoh kasus pencemaran nama baik dan lain-lain, jika memang terdapat alat bukti lain, seperti keterangan saksi dan alat bukti surat selain rekam medis (misalnya, surat yang memuat berita pencemaran, dan lain-lain), maka besar kemungkinan kasus tersebut dapat dilaporkan, tetapi tidak menjamin bahwa kasus dapat berlanjut sampai ke persidangan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Berdasarkan Pasal 52 huruf e UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran , pasien berhak mendapatkan isi rekam medis. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran 3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan bagaimana kepastian hukum atas pelaksanaan pekerjaan tanpa ditandatanganinya kontrak terlebih dahulu. Pelaksanaan pekerjaan hanya berdasarkan kesepakatan yang terjadi. Pekerjaan yang kami maksudkan adalah pekerjaan desain dan pembuatan 1 unit kapal. Apa yang menjadi dasar pelaksana pekerjaan untuk meminta ditandatanganinya draf kontrak mengingat perkembangan pekerjaan sudah mencapai 30 persen?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pelaksanaan pekerjaan tanpa adanya penandatanganan perjanjian atau kontrak tertulis terlebih dahulu adalah sangat mungkin terjadi dalam praktik. KLINIK TERKAIT Wajibkah Membuat Kontrak dalam Dua Bahasa Jika Melibatkan Pihak Asing? 10 Jun 2024 Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Perpanjangan Perjanjian, Perlukah Meterai Lagi? 15 Mar 2023 Surat Perjanjian Kerja dengan Banyak Addendum 25 Apr 2011 Ketentuan mengenai perjanjian ini dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) . “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari ketentuan tersebut dapat kita amati bahwa pada dasarnya, suatu perjanjian tidak dibatasi pada perjanjian tertulis. Perjanjian dapat terjadi secara lisan maupun tulisan. Hal ini karena tidak adanya kewajiban untuk membuat perjanjian tertulis bagi para pihak yang akan mengikatkan diri. Sehingga, sah-sah saja perjanjian dilakukan tanpa penandatanganan perjanjian atau kontrak tertulis . Untuk mengetahui mengenai sahnya suatu perjanjian, simak artikel Keberlakuan Perjanjian Kerjasama . Lebih jauh mengenai kontrak, menurut Treitel G.H ., dalam bukunya “ Law of Contract” , kontrak didefinisikan sebagai “… an agreement giving rise to obligations which are enforced or recognized at law .” (dikutip dari buku “ Teknik Perancangan Kontrak Bisnis , oleh Ricardo Simanjuntak , hal. 28). Dari definisi tersebut diketahui bahwa perjanjian akan membawa akibat hukum apabila salah satu pihak melanggar perjanjiannya. Dalam hal salah satu pihak melanggar yang telah diperjanjikan (wanprestasi), untuk dapat memaksa pihak yang melakukan wanprestasi untuk memenuhi prestasinya (kewajiban yang timbul karena perjanjian), diperlukan adanya bukti yang menjadi dasar gugatan. Sebagaimana kita ketahui, pembuktian dalam hukum acara perdata menggunakan alat-alat bukti yang terdiri atas bukti ( Pasal 164 Het Herzien Inlandsch Reglement - HIR ): 1. Tulisan; 2. Bukti dengan saksi-saksi; 3. Persangkaan-persangkaan; 4. Pengakuan; dan 5. Sumpah. Bukti tulisan merupakan bukti yang sangat penting dalam proses pembuktian dalam hukum acara perdata. Tanpa adanya perjanjian atau kontrak tertulis, akan cukup sulit membuktikan telah terjadinya suatu kesepakatan atau perjanjian antara Anda dengan pengguna jasa Anda. Walaupun, masih dimungkinkan penggunaan alat-alat bukti lainnya seperti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Untuk alasan pembuktian itulah maka diperlukan adanya perjanjian tertulis antara Anda dengan pengguna jasa Anda. Karena dalam suatu perjanjian kedua belah pihak memiliki posisi yang seimbang , maka masing-masing harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik sehingga tidak merugikan pihak lainnya. Dengan filosofi tersebut, menurut hemat kami, ada baiknya kontrak tersebut ditandatangani terlebih dahulu sebelum pekerjaan tersebut diselesaikan demi menghindari kesulitan pembuktian di kemudian hari apabila terjadi sengketa . Karena kedudukan Anda dan pengguna jasa Anda adalah seimbang, Anda berhak untuk meminta perjanjian tersebut ditandatangani terlebih dahulu dan tidak melanjutkan pekerjaan tersebut sebelum perjanjian ditandatangani. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), ( S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)." }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki sebuah studio foto digital kecil. Dalam menjalankan usaha ini saya membuat dan memakai berbagai macam trik-trik olah digital yang bisa membuat proses pengerjaan menjadi lebih cepat dan hasilnya pun menjadi lebih baik. Keahlian inilah yang menjadi senjata utama dalam menghadapi studio-studio besar. Yang jadi masalah adalah beberapa waktu yang lalu tanpa saya sadari ada studio foto lain yang menyuruh orang untuk menjadi karyawan di tempat saya untuk mendapatkan rahasia pengolahan foto yang saya pakai. Saya baru mengetahuinya ketika orang tersebut berhenti bekerja dan kembali ke studio tempat dia bekerja dulu. Karena tidak ingin hal seperti ini terulang lagi, saya ingin meminta pendapat mengenai langkah-langkah apa yang harus saya lakukan untuk melindungi rahasia usaha saya? Apakah trik-trik pengolahan foto tersebut bisa dipatenkan? Apakah bisa saya membuat perjanjian dengan karyawan yang isinya melarang karyawan menggunakan trik-trik tersebut untuk kepentingan pihak lain walaupun karyawan tersebut sudah berhenti dari tempat saya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai trik-trik yang Anda gunakan dalam mengolah foto digital sehingga membuat proses pengerjaannya menjadi lebih cepat dan memberikan hasil yang lebih baik dilindungi oleh UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UURD”). KLINIK TERKAIT Perusahaan Tidak Memberikan Salinan Kontrak Kerja kepada Pekerja, Bolehkah? 01 Des 2023 Klausul Kerahasiaan dalam Perjanjian Kerja 28 Apr 2011 Layanan Transfer Pulsa 19 Okt 2010 Definisi Pembajakan Karyawan 27 Mei 2010 Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang (lihat Pasal 1 ayat [1] UURD ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Yang menjadi lingkup perlindungan Rahasia Dagang dalam UURD meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum (lihat Pasal 2 UURD ). Untuk memperoleh perlindungan hak Rahasia Dagang tidak perlu melalui proses pendaftaran ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Menurut Pasal 3 ayat (1) UURD , Rahasia Dagang mendaat perlindungan apabila informasi tersebut memiliki sifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya . Ketiga hal tersebut harus terpenuhi untuk suatu informasi dapat dikategorikan sebagai Rahasia Dagang dan mendapat perlindungan hukum berdasarkan UURD. Menurut Pasal 3 ayat (2) s/d ayat (4) UURD suatu informasi dianggap: 1. bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat. 2. memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi. 3. dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut. Dalam rangka menjaga kerahasiaan informasi dagang yang Anda miliki, Anda berhak untuk ( Pasal 4 UURD ): a. menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya; b. memberikan Lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang atau mengungkapkan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial . Jadi, bila Anda ingin melindungi rahasia pengolahan foto digital tersebut, Anda dapat melakukan upaya untuk menjaga kerahasiaannya, misalnya dengan membuat perjanjian dengan setiap pekerja yang bekerja pada studio foto Anda dengan mencantumkan klausul yang melarang setiap pekerja untuk membuka rahasia dagang Anda baik selama mereka masih bekerja pada studio foto Anda ataupun hingga mereka sudah tidak bekerja pada studio foto Anda. Jadi, bukan melalui mekanisme pendaftaran paten karena dengan pendaftaran paten justru informasi yang dirahasiakan akan terbuka. Hal yang sama juga pernah dikatakan Zen Umar Purba dalam salah satu artikel hukumonline berjudul Rahasia Dagang dan Kebebasan Informasi Tidak Bertentangan . Dalam artikel tersebut Zen Umar antara lain menyatakan bahwa Rahasia Dagang berbeda dengan paten yang mengharuskan adanya disclosure atas penemuan yang ada, justru rahasia dagang merupakan informasi yang undisclose . Pasalnya, menurut Zen, hal ini memang diinginkan oleh pemegangnya untuk waktu yang tidak terbatas. Contohnya saja formula Coca-Cola yang sudah sekitar 100 tahun dirahasiakan oleh pemiliknya. Jadi, jika kerahasiaan pengolahan foto digital tersebut telah diperjanjikan dengan pekerja, dan pekerja tersebut dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang sehingga mengingkari kesepakatan atau mengingkari kewajiban tertulis atau tidak tertulis untuk menjaga Rahasia Dagang yang bersangkutan, maka pekerja tersebut melakukan pelanggaran dan dapat digugat ke Pengadilan Negeri (lihat Pasal 11 jo Pasal 13 UURD ). Selain penyelesaian sengketa melalui pengadilan, para pihak dapat menyelesaikan perselisihan tersebut melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa (lihat Pasal 12 UURD ). Sanksi pidana yang dikenakan terhadap pihak yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan Rahasia Dagang pihak lain atau dengan sengaja mengungkapkan Rahasia Dagang pihak lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta (lihat Pasal 17 ayat [1] UURD ). T indak pidana terkait Rahasia Dagang ini merupakan delik aduan. Delik aduan artinya delik yang hanya bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari orang yang menjadi korban atau merasa dirugikan . Dalam artikel Rahasia Dagang dan Kebebasan Informasi Tidak Bertentangan juga dikutip pendapat praktisi hak kekayaan intelektual (“HKI”) Cita Citrawinda Priapantja . Ia mengemukakan bahwa j ika ternyata terjadi kebocoran informasi yang dilakukan oleh pihak yang tidak berhak, pemilik rahasia dagang tersebut dapat menuntut pihak yang membuka rahasia dagang dengan berdasar pada Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 17 UURD . Lebih jauh mengenai Rahasia Dagang simak juga tulisan dari praktisi HKI Setiawan Adi di hukumonline berjudul HaKI dan Sengketa Rahasia Dagang . Jadi, untuk menjaga kerahasiaan informasi yang Anda miliki terkait pengolahan foto digital, Anda dapat saja memperjanjikan dengan para pekerja untuk tidak membuka rahasia dagang Anda baik selama mereka masih bekerja pada Anda maupun nanti pada saat telah tidak bekerja pada Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Mohon informasi tentang langkah-langkah dan tata cara, membentuk sebuah perhimpunan pemilik kios, kebetulan kami dan teman-teman memiliki kios di sebuah trade center. Saya sudah konsultasi dengan beberapa notaris, tetapi jawabannya berbeda-beda. Beberapa poin yang kami belum tahu: 1. Untuk membuat akte pendirian, apa hanya perlu beberapa orang saja untuk tanda tangan sebagai pendiri/pengurus? 2. AD/ART disusun bareng dengan akte pendirian atau setelah itu? 3. Organisasi ini apa mengacu kepada Undang-Undang Rusun? Sedangkan untuk kios/bisnis, pasti kepentingannya berbeda dengan hunian apartemen karena keterlibatan pihak manajemen pengelola mall pasti masih ada 4. Setelah akte jadi, apa harus disahkan atau didaftarkan ke mana (bupati/walikota atau dinas perumahan setempat)? Mohon bantuan, atau informasi untuk notaris yang pengalaman di wilayah Tangerang. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (“UU Rumah Susun”) memang mewajibkan penghuni satuan rumah susun (SRS) untuk membentuk suatu Perhimpunan Penghuni. Perhimpunan Penghuni ini berkewajiban untuk mengurus kepentingan bersama para pemilik dan penghuni yang bersangkutan dengan pemilikan dan penghuniannya. KLINIK TERKAIT Strata Title untuk Commercial Area 15 Okt 2010 Hak Tanggungan atas Apartemen 25 Mar 2010 Menikah di Singapore 18 Mar 2010 Strata Title 04 Mar 2010 Namun yang perlu diingat, UU Rumah Susun dibatasi keberlakuannya untuk bangunan yang diperuntukkan untuk hunian. Ini sesuai dengan pasal 1 angka 2 UU Rumah Susun: “Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian , yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, untuk kios-kios dalam trade center , di mana peruntukan bangunannya bukan untuk hunian, tidak berlaku UU Rumah Susun, termasuk kewajiban pembentukan perhimpunan penghuni. Akan tetapi, apabila pemilik kios ingin membentuk perhimpunan juga, hal ini dimungkinkan. Namun, konstruksi perhimpunannya tidak merujuk pada perhimpunan penghuni yang dimaksud dalam UU Rumah Susun, melainkan perkumpulan. Perkumpulan ini sendiri ada dua macam, yaitu: 1. Perkumpulan biasa (tidak berbadan hukum) yang merupakan organisasi massa dan tidak berbadan hukum. Perkumpulan yang tidak berbadan hukum tunduk pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa . Perkumpulan ini pendiriannya cukup dengan akta notaris saja, dan kemudian didaftarkan ke Kementerian Dalam Negeri. 2. Perkumpulan yang berbadan hukum, yang tunduk pada Staatsblad No. 1870 No. 64 . Perkumpulan seperti ini didirikan dengan akta notaris, dan kemudian disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Selengkapnya lihat dalam artikel ini . Mengenai akta pendirian perkumpulan (baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum), menurut notaris Irma Devita Purnamasari (13/10), dapat ditandatangani oleh beberapa orang saja yang bertindak sebagai pendiri, tidak harus semua pemilik kios. Hal ini, menurut Irma, karena perkumpulan penghuni yang demikian bukanlah suatu kewajiban bagi pemilik kios-kios, dan keanggotannya pun bersifat sukarela, bukan wajib. Apabila nantinya para pemilik kios lain ingin bergabung, mereka dapat bergabung sebagai anggota perkumpulan. Sedangkan untuk Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga perkumpulan, belum ada pengaturannya secara jelas, namun biasanya dibuat bersamaan dengan pembuatan akta pendiriannya. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Staatsblad No. 1870 No. 64 (Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum) 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa 3. Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar hukum perusahaan lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku." }
{ "from": "human", "value": "Saya mempunyai paman yang telah membuat sebuah alat dalam mekanisasi pertanian. Alat ini dapat dibuat massal karena biayanya murah dan manfaatnya besar. Ke manakah paman saya harus mengurus patennya, berapa biayanya, dan apa syarat-syaratnya? Jika ada yang mencontek temuan paman saya itu, apakah ada sanksinya? Benarkah ada jangka waktu untuk massa paten?" }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut sistem perlindungan hukum terhadap paten, pengaturan terhadap masalah paten dilakukan secara negatif. Maksudnya, peraturan perundangan hanya mengatur dan menegaskan bidang-bidang penemuan yang tidak dapat diberi paten. Hal ini didasarkan pada penilaian terhadap sifat dan manfaat hasil penemuan yang dikaitkan dengan kondisi atau tingkat kepentingan bangsa Indonesia terhadap hasil-hasil penemuan tersebut. Pertama-tama yang harus diperiksa adalah apakah barang atau alat mekanisasi pertanian tidak termasuk dalam bidang-bidang penemuan yang tidak dapat diberi paten. Kemudian, memeriksa Daftar Umum Paten untuk melihat apakah sudah pernah ada sebelumnya pendaftaran terhadap alat yang hendak didaftarkan tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Setelah melakukan pengecekan terhadap hal-hal di atas, maka paman Anda, sebagai orang yang membuat alat mekanisasi pertanian itu, dapat mengajukan permohonan paten terhadap alatnya tersebut ke Kantor Paten, Direktorat Jenderal Hak Cipta, Paten dan Merek pada Departemen Hukum dan Perundang-undangan. Atau paman Anda dapat juga memberikan kuasa kepada orang lain (seperti konsultan paten) untuk melakukan pengurusan paten ini. Terdapat dua bentuk paten, yaitu paten dan paten sederhana. Paten diberikan kepada si penemu bila hasil penemuannya di bidang teknologi untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada orang lain untuk melaksanakannya. Sedangkan paten sederhana diberikan bila hasil temuan itu tidak memiliki kualitas penemuan karena diperoleh dengan cara yang sederhana dan tidak melalui prosedur sebagaimana lazimnya kegiatan penelitian dan pengembangan. Dalam hal ini, alat mekanisasi pertanian yang ditemukan oleh paman Anda tampaknya termasuk hasil temuan yang diperoleh dengan cara sederhana. Dan dengan demikian, bentuk paten yang akan dimintakan adalah paten sederhana. Dalam mengajukan permintaan paten (dalam hal ini paten sederhana), diajukan dengan mengisi formulir yang memuat: (1) tanggal surat permintaan; (2) alamat lengkap dan jelas; (3) nama lengkap dan kewarganegaraan penemu; (4) jika permintaan diajukan orang lain selaku kuasa dilengkapi pula nama lengkap dan alamat lengkap kuasa yang bersangkutan; (5) judul penemuan; dan (6) jenis paten yang diminta. Surat Permintaan Paten Sederhana di atas dilampiri dengan dokumen-dokemen sebagai berikut: a. deskripsi tentang penemuan; b. k laim yang terkandung dalam penemuan; c. satu atau lebih gambar yang disebut dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas; d. abstraksi; e. surat kuasa apabila permintaan paten diajukan melalui Konsultan Paten; dan f. surat pernyataan persetujuan dari penemu atau yang berhak atas penemuan, jika permintaan paten yang bersangkutan diajukan bukan atas nama penemu. Biaya dalam mengajukan permohonan paten terdiri atas biaya permintaan dan biaya pemeriksaan paten. Untuk paten sederhana, kedua biaya ini harus dibayarkan sekaligus pada saat pengajuan permohonan. Pada saat terjadi peniruan paten, orang yang berhak atas paten dapat menuntut peniru ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tujuannya, supaya paten yang bersangkutan berikut hak-hak yang melekat pada paten tersebut diserahkan kepadanya untuk seluruhnya atau untuk sebagian ataupun untuk dimiliki bersama. Pemegang paten berhak pula untuk menuntut ganti rugi melalui Pengadilan Negeri ditempat tinggal si penemu. Untuk paten sederhana jangka waktunya 10 (sepuluh) tahun." }
{ "from": "human", "value": "Saat ini begitu mudah mendapatkan lagu dengan cara men-download. Namun ada yang dilakukan dengan cara apa yang disebut legal dan illegal. Bagaimana membedakan dan membuktikan kedua cara download tersebut? Terima kasih sebelumnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Lagu-lagu atau musik yang telah diunduh (di- download ) dari internet baik secara sah atau legal (dari laman resmi pemegang hak cipta) maupun yang tidak sah atau illegal (dari laman tidak resmi) sangat sulit untuk dibedakan keasliannya. File lagu tersebut memiliki kualitas yang sama dengan file aslinya, tapi memiliki sedikit perbedaan pada metadata -nya. Namun, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metadata inipun dapat dimanipulasi. Sehingga, di Indonesia masih sangat sulit untuk membedakan dan membuktikan file lagu yang legal dengan yang illegal . KLINIK TERKAIT Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum 28 Feb 2023 Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK? 09 Jul 2021 Hukumnya Memperbanyak Lagu Tidak untuk Tujuan Komersial 04 Jun 2021 Begini Cara Pencatatan Hak Cipta Lagu Secara Online 17 Feb 2021 Hal yang sama juga ditegaskan oleh pengamat hukum informasi dan teknologi Rapin Mudiardjo dan konsultan hak kekayaan intelektual Ari Juliano Gema . Menurut Rapin, saat ini masih sulit untuk membuktikan apakah hasil download itu adalah legal atau illegal . Rapin mengatakan bahwa hasil download yang legal adalah yang di- download dari laman resmi penyedia data. Senada dengan Rapin, menurut Ari Juliano, secara fisik konten lagu di dalam CD ( compact disc ) asli dan hasil perbanyakan maupun unduhannya tidak ada bedanya. Kualitas suaranya pun hampir tidak ada bedanya meski telah berulangkali diunggah atau diunduh. Ari yang juga advokat itu mengatakan, cara membedakan dan membuktikan file yang di- download secara legal dengan yang illegal yaitu dengan menelusuri sumber file atau konten tersebut. Sementara itu, menurut Staf Ahli Bidang Hukum Departemen Komunikasi dan Informasi Edmon Makarim , penyebaran bebas file audio melalui media internet bisa dikontrol dengan dua pendekatan. Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. mengupayakan orang yang mendengar harus ada izin, bisa membayar bisa pula tidak ; 2. dengan membebaskan distribusi tapi memberikan watermark . Artinya, papar Makarim, setiap distribusi lagu, itu akan menyebut asalnya dari mana. Edmon menawarkan otorisasi lagu yang akan dipasang di laman. Intinya, setiap file yang mau disebarluaskan di jaringan maya harus didaftar, kalau tidak berarti melanggar. Upaya preventifnya, setiap laman diwajibkan membuat digital rights management . Dari situ, data orang yang men- download bisa dilacak. Lebih jauh baca artikel hukumonline berjudul Penyebaran Lagu Lewat Internet Rugikan Pemegang Hak Cipta . Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum meminta pendapat Rapin Mudiardjo dan Ari Juliano Gema melalui sambungan telepon pada 24 Mei 2011." }
{ "from": "human", "value": "Saya menikah dengan seorang wanita yang telah memberi saya 3 orang anak, tertua perempuan 7 tahun dan yang kedua lelaki 5 tahun, dan terkecil perempuan 3 tahun. Kami telah menikah 8 tahun di KUA Bogor, istri saya mualaf. Karena ketidakcocokan dan pertengkaran di antara kami yang hebat beberapa tahun terakhir, kami telah sepakat untuk bercerai. Yang menjadi masalah, istri saya mengaku bahwa anak kami ketiga bukanlah darah daging saya. Saya terkejut luar biasa. Pertanyaan saya: a. Bagaimana status saya sebagai orangtua anak ketiga itu kelak? Apakah secara hukum saya tetap berstatus sebagai ayahnya, sebagaimana akta yang telah diterbitkan? b. Apakah perlu dilakukan tes DNA untuk membuktikan kebenaran ucapan istri saya itu? Jika benar anak ketiga itu bukan anak saya, apakah otomatis kewajiban saya sebagai orang tua hilang? c. Jika ternyata istri saya menikah dengan pria yang ternyata ayah kandung anak ketiga, apakah anak tersebut secara hukum bisa diakui oleh pria itu? d. Bagaimana caranya agar saya bisa mendapat hak perwalian atas 2 anak pertama saya? Apakah bisa menggunakan hasil tes DNA sebagai fakta hukum yang memberatkan istri saya? e. Jika istri saya ternyata murtad di kemudian hari dan kembali kepada agamanya (non-Islam), apakah saya bisa mengambil hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan agama? Terima kasih banyak atas nasehatnya mengatasi masalah pernikahan kusut kami." }
{ "from": "gpt", "value": "a. Bagaimana status saya sebagai orangtua anak ketiga itu kelak? Apakah secara hukum saya tetap berstatus sebagai ayahnya, sebagaimana akta yang telah diterbitkan? KLINIK TERKAIT Cara Mendapatkan Akta Cerai 25 Agt 2023 Jika Suami Tidak Memenuhi Nafkah Istri setelah Bercerai 19 Mei 2023 Pencatatan Pernikahan Penghayat Tuhan yang Maha Esa 12 Jul 2019 Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti) 28 Mar 2018 Status asal usul mengenai anak kandung dapat dibuktikan dengan adanya perkawinan terlebih dahulu. Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan adanya Akta/Buku Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatan Nikah, bahwa telah terdapat pernikahan yang sah.  Kemudian berdasar Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam , jo. Pasal 55 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan , asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. Bila akta kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan adanya Akta Lahir atas nama anak yang bersangkutan, dibuktikan bahwa dari hasil pernikahan yang sah tersebut telah lahir anak dari bapak dan ibu yang namanya disebut dalam akta lahir tersebut. Dengan demikian, anak yang disebut dalam akta kelahiran, memiliki hubungan nasab dengan orang tua (ayah dan ibu) yang namanya tercantum dalam akta lahirnya. b. Apakah perlu dilakukan tes DNA untuk membuktikan kebenaran ucapan istri saya itu? Jika benar anak ketiga itu bukan anak saya, apakah otomatis kewajiban saya sebagai orangtua hilang? Menurut Kompilasi Hukum Islam, Seorang suami yang meningkari sahnya anak, sedangkan istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an ( Pasal 101 ). Jadi dalam Hukum Islam, dalam rangka membuktikan kebenaran ucapan istri, bahwa anak ketiga tersebut bukan anak sah anda, dapat dilakukan dengan cara li’an (bersumpah di depan hakim Pengadilan Agama) .  Tentu dalam rangka meyakini fakta mengenai sahnya anak, dapat dilakukan secara medis, dengan melakukan test DNA. Sebagai tambahan informasi, test  DNA memerlukan biaya yang tidak murah (sekitar Rp10-15 juta), dan dilakukan dengan mengambil sampel darah anak, istri dan ayah. Perlu diingat bahwa Suami yang kemudian mengetahui bahwa anak yang lahir dalam perkawinan bukanlah anaknya, dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama. Dengan adanya keputusan pengadilan mengenai tidak sahnya anak, maka status anak hanya akan memiliki hubungan perdata dengan ibunya, dan status anda bukanlah sebagai ayah yang memiliki kewajiban terhadap anak yang bersangkutan. c. Jika ternyata istri saya menikah dengan pria yang ternyata ayah kandung anak ketiga, apakah anak tersebut secara hukum bisa diakui oleh pria itu? Ayah sebenarnya dari anak yang oleh pengadilan kemudian diakui tidak sah tersebut, dapat mengajukan permohonan pengakuan mengenai status anak yang bersamngkutan ke Pengadilan. d. Bagaimana caranya agar saya bisa mendapat hak perwalian atas dua anak pertama saya? Apakah bisa menggunakan hasil tes DNA sebagai fakta hukum yang memberatkan istri saya? Dalam hal terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.  Anak yang sudah berumur 12 tahun kemudian dapat memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Adapun biaya pemeliharaan tetap ditanggung oleh ayahnya walaupun pemeliharaan dilakukan oleh ibunya ( Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam ). e. Jika istri saya ternyata murtad di kemudian hari dan kembali kepada agamanya (non-Islam), apakah saya bisa mengambil hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan agama? Peralihan agama atau murtad berdasar Kompilasi Hukum Islam, hanya dapat dijadikan salah satu alasan perceraian. Apabila ayah ingin mengambil hak asuh anak, maka Pengadilan Agama dapat menyatakan hak hadhanah kepada ayah, dengan syarat yang harus dibuktikan di depan persidangan bahwa Pemegang hadhanah (ibu) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi ( Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam ). Dalam praktiknya, terdapat putusan hakim Pengadilan Agama yang memberikan hak hadhanah kepada ayah karena adanya pertimbangan ibu melakukan peralihan agama (murtad) tersebut. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991)" }
{ "from": "human", "value": "Berdasarkan UU Perseroan Terbatas, setiap perusahaan yang berdiri di Indonesia haruslah didaftarkan pada Kemenkumham, apakah masyarakat umum dapat mengakses daftar perusahaan yang didaftarkan pada Kemenkumham tersebut? Apabila masyarakat umum dapat mengakses bagaimana prosedurnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (\"UUPT\") , akta pendirian perseroan harus didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Pengesahan akta pendirian dilakukan melalui jasa teknologi informasi Sistem Administrasi Badan Hukum (\"SABH\") secara elektronik (lihat Pasal 9 UUPT ). KLINIK TERKAIT Mau Mendaftarkan Nama Usaha? Ikuti Panduan Ini! 03 Feb 2021 Apakah Perubahan Data Perseroan Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara? 18 Agt 2017 Pengumuman Perseroan dalam Tambahan Berita Negara 24 Jul 2017 Transaksi Keuangan Perusahaan PMA 15 Sep 2010 Sampai saat ini, akses SABH hanya dimiliki oleh setiap Notaris yang memiliki izin praktik yang sah di wilayah Republik Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat umum tidak dapat mengakses atau melakukan pendaftaran akta perusahaan secara langsung ke Kementerian Hukum dan HAM. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Patut diketahui pula bahwa setelah disahkan maka Menteri akan mengumumkannya dalam Tambahan Berita Negara (“TBN”), sebagaimana dimaksud pada Pasal 30 ayat (1) UUPT . TBN tersebut dapat kita akses dengan membeli buku-buku himpunan TBN. Demikian penjelasan kami. Semoga cukup membantu. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Hukum Online, Saya ingin menanyakan dasar hukum atas pembentukan sebuah konsorsium, khususnya jika peserta konsorsium terdiri dari perusahaan Indonesia dan perusahaan asing. Jika terdapat gugatan dari pihak ketiga asing, bisakah menggugat konsorsium tersebut ataukah harus menggugat satu per satu peserta konsorsium? Terima kasih sebelumnya atas jawaban yang diberikan. Salam," }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat kami sampaikan hal-hal sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Bentuk Badan Usaha Kantor Hukum 18 Apr 2011 Pembubaran Maatschap 30 Jul 2010 Definisi Perusahaan Satu Group 15 Sep 2008 a. Dasar Hukum Pembentukan Konsorsium Konsorsium atau yang biasa di kenal dengan Joint Operation (non integrated system/non-administrative /bukan badan hukum) adalah suatu kesepakatan bersama subjek hukum untuk melakukan suatu pembiayaan, atau kesepakatan bersama antara subjek hukum untuk melakukan suatu pekerjaan bersama–sama dengan porsi-porsi pekerjaan yang sudah di tentukan dalam perjanjian. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Konsorsium dalam Hukum Dagang dikenal dengan Persekutuan Perdata ( Maatschap ). Persekutuan perdata ( Maatschap ) bukanlah suatu badan hukum atau rechtpersoon, melainkan hanya dilahirkan dari perjanjian-perjanjian para pendirinya saja (subjek-subjek Hukum). Konsorsium bisa dilakukan antara perusahaan-perusahaan lokal atau pun perusahan lokal dengan perusahaan asing. Salah satu contoh yang dapat kita lihat untuk konsorsium antara perusahan lokal dengan asing adalah dalam kasus tender pengadaan kapal pendukung kegiatan lepas pantai jenis liquefied petroleum gas floating storage and offloading (“LPG FSO”) . Sehingga untuk mengetaui dasar hukum apa yang digunakan dalam pembentukan konsorsium maka tidak bisa lepas dari syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata juncto 1338 KUHPerdata . b. Gugatan terhadap Konsorsium Jika kita merujuk kepada ketentuan Pasal 163 HIR yang mengatur; “ Barang siapa mengaku mempunyai suatu hak, atau menyebutkan suatu kejadian untuk meneguhkan hak itu atau untuk membantah hak orang lain, harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu .” ( Vide Pasal 1865 KUHPerdata ) Jika kita melihat ketentuan dalam pasal tersebut maka siapa pun ( subjek hukum ) yang merasa mempunyai suatu tuntutan kepada “subjek hukum” lainnya dapat mengajukan tuntutan tersebut di muka pengadilan sepanjang dapat membuktikan dalilnya dengan melihat ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR . Seperti telah dijelaskan di atas, esensi dari konsorsium adalah suatu persekutuan perdata ( maatschap ) yang lahir dari persetujuan antara subjek-subjek hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 juncto 1338 KUHPerdata. Dengan demikian, konsorsium bukanlah merupakan badan hukum atau subjek hukum , namun hanya merupakan bentuk kerja sama antara anggotanya (subjek hukum) yang mempunyai tujuan sama, dan oleh karenannya setiap anggota-anggota konsorsium bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukannya. Karena konsorsium bukanlah suatu subjek hukum, maka tuntutan-tuntutan pihak ketiga tidak dapat ditujukan kepada konsorsium melainkan kepada masing-masing anggota konsorsium yang dinilai telah menimbulkan kerugian kepada pihak ketiga tersebut. Demikian penjelasan dari kami semoga bermanfaat. Terima kasih. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44)" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang wanita ingin menikahi seorang warga negara asing (Inggris) yang tidak yakin akan semua agama. Yang menjadi masalah, bagaimana pernikahan kami resmi bila dia tidak mau melakukan atas dasar agama apa pun? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Apabila perkawinan hendak dilakukan di Indonesia, maka hukum di Indonesia menentukan bahwa dalam hal calon pasangan Anda tidak mau melakukan perkawinan atas dasar agama apapun, maka perkawinan tidak dapat dilangsungkan. Hal ini dikarenakan sahnya perkawinan di Indonesia adalah (lihat Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan – “UUP” ): 1. Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UUP dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya itu . 2. Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UUP (“UU 9/1975”) . Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 . Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian, dalam hal perkawinan campuran , Pasal 56 ayat (1) UUP menyatakan: “ Perkawinan di Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini. ” Jadi, apabila perkawinan tetap ingin dilangsungkan di Indonesia, maka pasangan Anda harus menundukkan diri pada suatu agama, dalam hal ini adalah agama yang Anda anut. Apabila pasangan Anda menundukkan diri pada agama selain yang Anda anut, maka akan ada hal-hal yang harus menjadi perhatian Anda karena akan melakukan kawin beda agama. Lebih jauh simak artikel Kawin Beda Agama Menurut Hukum Indonesia . Pada sisi lain, jika perkawinan hendak dilakukan di negara asal calon suami Anda yaitu di Inggris, maka rencana tersebut dapat dilaksanakan kendati pun calon suami Anda tidak memeluk suatu agama pun. Menurut informasi yang kami dapat dari situs direct.gov.uk , berdasarkan hukum Inggris dan Wales, perkawinan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: 1. Religious marriage (perkawinan relijius), yang dilakukan di gereja Anglikan atau tempat relijius ( religious building ) yang terdaftar untuk melangsungkan perkawinan. Dalam perkawinan relijius, sertifikat perkawinan ( marriage certificate ) dikeluarkan oleh gereja;  dan 2. Civil marriage (perkawinan sipil), yang dilakukan di register office (kantor catatan sipil) atau tempat lain yang mendapat izin dari pemerintah setempat (kecuali gereja atau tempat relijius lainnya). Dalam perkawinan sipil, sertifikat perkawinan dikeluarkan oleh register office . Berdasarkan hal di atas, maka orang-orang yang tidak memiliki agama di Inggris tetap dapat melangsungkan perkawinan di register office . Lebih lanjut silahkan simak artikel “ Menikah di Inggris ”. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Saya cewek usia 24 tahun. Tahun 2009 saya kabur dari rumah tanpa paksaan dari siapapun karena orang tua melarang saya menikah dengan pacar (kami pacaran dari 2005), padahal pacar sudah melamar saya di depan orang tua saya secara baik-baik tapi orang tua saya menolak. Selama 2 tahun ini saya masih belum bisa menikah karena saat saya mengurus surat-surat pengantar ke kantor kepala desa/kelurahan selalu dipersulit. Orang tua saya adalah orang terpandang di desa, sehingga pihak-pihak kelurahan tidak berani memberikan surat apapun yang saya minta. Bahkan orang tua memberikan surat pernyataan bahwa saya dicoret dari kartu keluarga dan harus mengembalikan biaya sekolah dari SD sampai perguruan tinggi sebesar Rp500 juta. Menurut hukum, apa yang harus saya lakukan agar saya bisa menikah? Sampai kapanpun dan alasan apapun orang tua tidak mungkin merestui dan akan selalu menghalangi." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, kami bersimpati atas masalah yang Anda hadapi. Pertama , perlu diketahui bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kemudian, di dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan disebutkan tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. KLINIK TERKAIT Hukum Akad Nikah Tanpa Adanya Wali dari Pihak Perempuan 11 Mei 2023 Pencatatan Pernikahan Penghayat Tuhan yang Maha Esa 12 Jul 2019 Bagaimana Hak Waris Anak Tunggal yang Pindah Agama? 17 Jun 2011 Menikah Karena Paksaan Orang Tua 16 Feb 2011 Kedua , perlu juga diketahui bahwa syarat-syarat perkawinan antara lain adalah: 1. Harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua/salah satu, bila ternyata orang tua ada yang sudah meninggal atau wali bila ternyata kedua orang tua sudah tidak ada. (lihat Pasal 6 ayat [1] dan ayat [2] UU Perkawinan ) Ketiga , pihak kelurahan tidak dibenarkan mempersulit Anda memperoleh surat keterangan untuk melakukan perkawinan. Sikap pihak kelurahan itu melanggar asas-asas penyelenggaraan pelayanan publik yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU 25/2009”) , khususnya asas kepastian hukum, kesamaan hak, keprofesionalan, dan persamaan perlakuan/tidak diskriminatif (lihat Pasal 17 jo Pasal 4 ). Sayangnya, sanksi atas pelanggaran tersebut hanya berupa teguran tertulis (lihat Pasal 17 jo Pasal 54 ayat [1] UU 25/2009 ). Dengan demikian, mengacu pada hal-hal yang dijelaskan di atas, kami berpendapat bahwa; - Karena usia Anda telah mencapai 24 tahun, maka Anda tidak wajib untuk mendapat izin orang tua untuk menikah. - Meski tidak lagi memerlukan persetujuan orangtua, Anda tetap perlu memperoleh surat pengantar dari pihak kelurahan di wilayah tempat tinggal Anda. Surat pengantar dari kelurahan ini diperlukan sebagai syarat kelengkapan administrasi pencatatan perkawinan baik di Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau Kantor Catatan Sipil (“KCS”) . Hal ini diatur antara lain dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal 6 ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . - Kami lebih menyarankan agar Anda dan calon suami Anda menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan dengan orangtua Anda. Dalam proses ini ada baiknya Anda mengundang pihak-pihak yang dihormati oleh orangtua Anda, seperti tokoh agama misalnya. - Selain itu, Anda dan calon suami juga bisa berkonsultasi dengan pihak KUA atau KCS setempat mengenai masalah yang Anda hadapi. Mudah-mudahan mereka dapat memberikan jalan keluar terbaik agar niat baik Anda berdua untuk menikah tidak terhalang hanya karena hal-hal yang sifatnya administratif. Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Bapak/Ibu yang saya hormati, saya memiliki tetangga, beliau 2 bersaudara kandung yang masing-masing berumur 82 tahun dan 80 tahun dan tidak memiliki saudara lagi. Sang kakak sudah mulai pikun dan sudah tidak sehat lagi (lumpuh akibat stroke). Beliau memiliki aset sebidang tanah SHM atas nama beliau. Yang ingin saya tanyakan, mengingat kondisi mereka yang sudah tua, apabila aset tersebut dijual, apakah bisa tanda tangan semua akta diwakilkan kepada adiknya? Atas jawaban yang diberikan kami sampaikan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda, sebelumnya kita harus melihat dari sisi hasil diagnosa medis tentang kondisi kesehatan dari dua saudara kandung tersebut, sebut saja dengan nama A untuk yang berumur 82 tahun dan B untuk yang berumur 80 tahun. Hasil diagnosis medis yang dilakukan seorang pakar kesehatan atas kondisi kesehatan orang tersebut penting diketahui karena sangat menentukan dalam memutuskan apakah orang tersebut dianggap mampu/tidak mampu atau cakap/ tidak cakap menggunakan pikirannya untuk melakukan perbuatan hukumnya, dalam hal ini melakukan pemberian kuasa kepada pihak lain. KLINIK TERKAIT 3 Perbedaan Surat Kuasa Umum dan Surat Kuasa Khusus 26 Apr 2024 Surat Kuasa dalam Hal Pemberi Kuasa Meninggal Dunia 14 Agt 2023 Haruskah Surat Kuasa Ditandatangani Penerima Kuasa? 22 Des 2022 Bolehkah Surat Kuasa yang Isinya Mengalihkan Tanggung Jawab? 08 Sep 2011 Berdasarkan Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Sehubungan dengan pemberian kuasa ini, apabila berdasarkan hasil diagnosis medis yang dibuat seorang pakar kesehatan, keputusan medis menilai si A mampu dan cakap pikirannya untuk melakukan perbuatan hukum membuat surat kuasa, tentunya si A, selaku Pemberi kuasa, dapat memberikan kuasa kepada si B, selaku Penerima kuasa untuk melakukan proses penjualan atas tanah SHM milik A tersebut yaitu dengan bertindak selaku Penjual dan menandatangani akta jual belinya di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), untuk dan atas nama A. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada umumnya surat kuasa yang dibuat oleh A dalam kondisi tersebut, sebaiknya diketahui dan ditandatangani juga oleh pakar kesehatan sebagai saksi yang memeriksa keadaan medis yang bersangkutan, bentuknya bisa Akta Notaris atau surat kuasa yang dilegalisir oleh Notaris, mengingat si pemberi kuasa tidak hadir pada saat penandatanganan akta jual beli atas tanah SHM tersebut. Dalam penjualan tanah tersebut hanya bisa menggunakan Surat Kuasa Khusus yang harus khusus obyeknya, tidak boleh terlalu luas karena bila terlalu luas dapat dikategorikan sebagai Surat Kuasa Mutlak, dan surat kuasa khusus tersebut dilekatkan pada Akta Jual Belinya. Mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . Untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa tersebut, mengingat kondisi kesehatan si Pemberi Kuasa tersebut maka sebaiknya si A tidak membuat dan menghindari untuk menandatangani Surat Kuasa Mutlak. Pengertian Surat Kuasa Mutlak ini diatur dalam Instruksi Mendagri No 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah , pada bagian kedua, yang menjelaskan sebagai berikut: a. Kuasa mutlak adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh Pemberi Kuasa. b. Kuasa mutlak merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada Penerima Kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum dapat dilakukan oleh pemegang haknya. Semoga penjelasan ringkas ini dapat bermanfaat. Dasar Hukum ; 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad No. 23 Tahun 1847). 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 3. Instruksi Mendagri No 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah" }
{ "from": "human", "value": "Ada sebuah rumah sakit yang pelayanannya saya anggap buruk. Contoh paling baru adalah tindakan demo dari tenaga medisnya mengenai penolakan seorang pasien AIDS bukan karena mereka tidak mampu menanganinya, tetapi mereka takut tertular. Akhirnya, si pasien keluar dari sana dan akibat dari demo itu. Satu kota tahu penyakit yang diderita si pasien yang mengakibatkan ketika meninggal terjadi kesimpangsiuran berita, di mana mayatnya pun bisa menularkan AIDS. Langkah apa yang harus ditempuh keluarga pasien atau siapapun untuk membuat Rumah Sakit itu meningkatkan pelayanan medisnya dan tidak lagi bersikap arogan?" }
{ "from": "gpt", "value": "AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Infeksi HIV ini diyakini sebagai penyebab AIDS. HIV yang menjadi penyebab AIDS ini dapat ditularkan melalui seks penetratif (vaginal atau anal) dan oral seks; transfusi darah; pemakaian jarum suntik terkontaminasi secara bergantian dalam lingkungan perawatan kesehatan, dan melalui suntikan narkoba; dan melalui ibu ke anak, selama masa kehamilan, persalinan, dan menyusui. KLINIK TERKAIT Perlindungan Pasien pada Praktik Pengobatan Tradisional 16 Apr 2024 Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan? 06 Nov 2023 Perlindungan Hukum bagi Pasien 18 Okt 2010 Hak Pasien atas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit 07 Apr 2010 Sehingga, pada dasarnya, virus HIV tidak mudah menular kecuali melalui beberapa penyebab yang kami sebutkan di atas. Namun, memang masih banyak mitos-mitos yang salah di masyarakat terhadap penyebaran virus HIV ini. Menurut hemat kami, seharusnya setiap tenaga kesehatan/tenaga medis di Rumah Sakit (“RS”) sudah mengetahui bahwa virus HIV tidak akan serta merta menular begitu saja tanpa penyebab-penyebab di atas. Sehingga, setiap tenaga kesehatan di RS tidak perlu khawatir dalam menjalankan tugasnya meskipun harus menangani pasien AIDS atau biasa disebut ODHA. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sehubungan dengan masalah yang Saudara sampaikan, penolakan RS tersebut untuk menangani pasien ODHA adalah melanggar hukum. Dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (“UURS”) disebutkan bahwa setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban antara lain untuk memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi , dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit. Jika RS melanggar kewajiban tersebut, maka berdasarkan Pasal 29 ayat [2] UURS RS yang bersangkutan akan dikenakan sanksi administratif berupa: a. teguran; b. teguran tertulis; atau c. denda dan pencabutan izin Rumah Sakit. Setiap pasien RS (termasuk bagi pasien ODHA yang Anda sebutkan) diberikan hak oleh undang-undang untuk memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi (lihat Pasal 32 huruf c UURS jo. Pasal 4 huruf g UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen – “UUPK” ). Lebih jauh simak artikel Hak Pasien Atas Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit . Jika pasien mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar, pasien berhak untuk: 1. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit baik secara perdata maupun pidana (lihat Pasal 32 huruf q UURS ); atau 2. mengajukan gugatan kepada pelaku usaha, kepada lembaga yang secara khusus berwenang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha (lihat Pasal 45 UUPK ); dan 3. mengeluhkan pelayanan RS yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (lihat Pasal 32 huruf r UURS ). Penginformasian kepada media ini kemudian akan menimbulkan kewenangan bagi Rumah Sakit untuk mengungkap rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab Rumah Sakit (lihat Pasal 44 ayat [3] UURS ). Di sisi lain, pihak RS memang memiliki kewajiban-kewajiban tertentu dalam rangka pencegahan HIV dan AIDS. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain diatur dalam Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS (“Perda 5/2008”) . Pasal 15 huruf e Perda 15/2008 menegaskan bahwa untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS maka transplantasi organ tubuh yang transfusi darah harus dilakukan melalui prosedur standar operasi ( standard operating procedure ). Huruf h pasal yang sama menambahkan setiap pelayanan kesehatan dan kegiatan yang beresiko terjadi kontaminasi darah dan cairan tubuh wajib melaksanakan kewaspadaan umum ( universal precaution ). Para pelanggar Pasal 15 huruf e dan huruf h dapat dikenai sanksi pidana kurungan maksimal tiga bulan, atau denda paling banyak Rp50 juta. Ancaman ini tercantum dalam Pasal 29 Perda 15/2008 . Lebih jauh, simak artikel Sanksi Penularan HIV/AIDS Mengancam Penyedia Layanan Kesehatan . Jadi, pihak RS dilarang mendiskriminasi apalagi menolak memberi layanan kesehatan kepada pasien ODHA. Hal yang wajib dilakukan RS dan para tenaga medisnya adalah menerapkan prosedur standar operasi dan kewaspadaan umum untuk mencegah penularan virus HIV/AIDS. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen 3. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 5 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS Setiap artikel dan jawaban klinik dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Apa yang harus dilakukan pengusaha dalam penerapan outsourcing pasca-putusan MK, jika perusahaan tersebut sebelumnya telah memberlakukan sistem outsourcing di tempatnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam salah satu artikel Klinik Hukum berjudul Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK kami menjelaskan bahwa Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 tidaklah “mencabut” keberlakuan pasal UU Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai outsourcing . KLINIK TERKAIT Bisakah Karyawan Dipecat karena Hamil di Luar Nikah? 17 Jul 2024 Perusahaan Pemborong Pekerjaan Wajib Berbadan Hukum 11 Mei 2022 Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pasca-Putusan MK 31 Jan 2012 Aturan Mengenai Atribut Karyawan Outsourcing 27 Okt 2011 Memang, sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut masih terdapat perbedaan pandangan antara kalangan pekerja dan pengusaha (simak artikel Putusan MK Dianggap Makin Melegalkan Outsourcing ) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Guna menghindari kesimpangsiuran lebih jauh, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi kemudian menindaklanjuti Putusan MK No 27/PUU-IX/2011 itu melalui Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 17 Januari 2012 (“selanjutnya disebut Surat Edaran”) . Dalam atikel hukumonline berjudul Kemenakertrans Terbitkan Aturan Outsourcing dan PKWT Menakertrans Muhaimin Iskandar menyatakan antara lain bahwa putusan Mahkamah Konstitusi  itu ditindaklanjuti dengan Surat Edaran untuk mengatur dengan lebih tepat lagi mekanisme yang selama ini sudah berjalan, sehingga hak-hak para pekerja outsourcing benar-benar terjamin . Dalam Surat Edaran tersebut dijabarkan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Putusan MK No. 27/PUU-IX/2011 yang isinya sebagai berikut: 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap berlaku. 2. Dalam hal perusahaan menerapkan sistem penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada Perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana diatur dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka: a) Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya harus didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). b) Apabila dalam perjanjian kerja antara perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan lain atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain, maka hubungan kerja antara perusahaan penerima pekerjaan borongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 3. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011 tanggal 12 Januari 2012 tersebut, serta dengan mempertimbangkan keberadaan perjanjian kerja yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebelum diterbitkannya putusan Mahkamah Konstitusi ini, maka PKWT  yang saat ini masih berlangsung pada perusahaan pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Sehingga, dari ketentuan tersebut di atas tampak bahwa dalam penerapan outsourcing saat ini, antara perusahaan outsourcing dengan pekerja harus dibuat perjanjian kerja dalam bentuk PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu) jika perjanjian kerjanya tidak memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan outsourcing lain. Sebaliknya, jika perjanjian kerjanya memuat syarat adanya pengalihan perlindungan hak-hak pekerja/buruh yang obyek kerjanya tetap ada (sama), kepada perusahaan outsourcing lain, perjanjian kerjanya dapat didasarkan pada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Jika suatu perusahaan telah memberlakukan sistem outsourcing dan perjanjian kerjanya (PKWT-nya) masih berlangsung/belum habis jangka waktunya, maka PKWT tersebut tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu yang diperjanjikan. Setelah itu, perjanjian kerjanya harus mengikuti ketentuan sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Surat Edaran Nomor B.31/PHIJSK/I/2012 tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-IX/2011. PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana status suatu pasal yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK)? Apakah berdasarkan putusan MK itu kita dapat langsung mengabaikan pasal tersebut atau putusan MK harus diakomodasikan dalam perubahan UU terlebih dulu?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mahkamah Konstitusi (“MK”) merupakan salah satu lembaga negara Indonesia yang menjalankan kekuasaan kehakiman. Salah satu kewenangan MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 yang disebut juga dengan judicial review. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.[1] Hal ini berarti putusan MK telah memiliki kekuatan hukum mengikat sejak dibacakan dalam persidangan MK.\n\nKewenangan MK untuk membatalkan norma dalam undang-undang menjadikan MK juga disebut sebagai negative legislator, yakni lembaga yang berwenang menghapus atau membatalkan norma dalam undang-undang apabila bertentangan dengan UUD 1945.[2] MK tidak berwenang untuk membentuk norma baru karena hal tersebut merupakan kewenangan lembaga legislatif atau positive legislator. Oleh karenanya, apabila terdapat putusan MK yang menyatakan suatu bagian, pasal, atau ayat dalam undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka bagian, pasal, atau ayat itu tidak memiliki daya guna (efficacy) tapi tetap berlaku/tertulis.[3]\n\nMenurut Maria Farida Indrati S, dalam hal putusan judicial review dikabulkan oleh MK, maka bagian, pasal, atau ayat yang bertentangan dengan UUD 1945 masih memiliki daya laku (validity) sampai dinyatakan dicabut oleh lembaga yang berwenang tetapi tidak memiliki daya guna (efficacy).[4] Tidak memiliki daya guna dapat diartikan bahwa pasal tersebut tidak lagi efektif digunakan atau tidak dapat digunakan lagi. Oleh karenanya, pasal yang bertentangan dapat diabaikan dengan mendasarkan pada putusan MK.\n\nSejalan dengan hal tersebut, Pasal 57 ayat (1) UU 7/2020 menyebutkan putusan MK yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.\nTindak Lanjut Putusan MK\n\nLebih lanjut, Muchamad Ali Safa’at menjelaskan bahwa pelaksanaan putusan MK dapat dibagi menjadi 2 yaitu pertama, putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan serta kedua, putusan yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu.[5]\n\nPutusan yang dapat dilaksanakan langsung (self-executing) adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak mengganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Contohnya adalah Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 yang menyatakan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden dalam KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya pasal ini dapat langsung diabaikan meski masih berlaku dalam undang-undang. Kemudian, terdapat pula putusan yang pelaksanaannya membutuhkan aturan lebih lanjut (self-implementing), yaitu putusan yang membatalkan suatu norma tertentu yang mempengaruhi sistem norma yang ada sehingga memerlukan pengaturan lebih lanjut.[6] Contohnya adalah Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan bahwa UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.\n\nKendati demikian, Pasal 10 ayat (1) huruf d UU 12/2011 mengatur bahwa salah satu materi muatan yang harus diatur oleh undang-undang adalah berisi tindak lanjut atas putusan MK, yang mana harus dilakukan oleh DPR atau Presiden.\n\nOleh karenanya untuk menjamin kepastian hukum, DPR atau Presiden sebagai lembaga negara yang berwenang membentuk undang-undang harus menindaklanjuti putusan MK. DPR atau Presiden seyogyanya harus mengakomodir putusan MK dengan melakukan perubahan undang-undang sebagai upaya penyesuaian substansi undang-undang yang terdampak dari putusan MK.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/undangundang-nomor-24-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n3. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n4. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n5. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n6. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n7. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n8. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013-022/PUU-IV/2006;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020.\nREFERENSI:\n1. Adena Fitri Puspitasari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator, Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol. 1, No. 4, 2022\n2. Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020\n3. Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013\n4. Muchamad Ali Safa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, yang diakses pada 3 Mei 2023, pukul 11.02 WIB.\n\n[1] Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945\n[2] Adena Fitri Puspitasari dan Purwono Sungkono Raharjo, Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator dan Positive Legislator, Souvereignty: Jurnal Demokrasi dan Ketahanan Nasional, Vol. 1, No. 4, 2022, hal. 682[3] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020, hal. 42  [4] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Yogyakarta: Kanisius, 2020, hal. 42  [5] Muchamad Ali Safa’at, Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK, yang diakses pada 3 Mei 2023, pukul 11.02 WIB[6] Syukri Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, dan Mohammad Mahrus Ali, Model dan Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Konstitusi Vol. 10 No. 4, 2013, hal. 676" }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki pertanyaan mengenai kontrak:\n\nBagaimana penulisan kontrak yang benar agar sah secara hukum?\nHal-hal apa sajakah yang minimal diatur di dalam suatu kontrak?\nBagaimana suatu kontrak dikategorikan cacat hukum, dan bagaimana penyelesaian hukumnya jika ada perselisihan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum membahas lebih dalam mengenai kontrak, perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari kontrak itu sendiri. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, kontrak didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.\n\nLebih lanjut, Subekti juga berpendapat bahwa kontrak atau yang biasanya disebut perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kontrak merupakan suatu produk kesepakatan antara pihak yang terikat didalamnya.[1]\n\nSedangkan hukum kontrak menurut Michael D. Bayles adalah aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.[2]\nAsas Kebebasan Berkontrak\n\nSelanjutnya, salah satu asas yang berlaku dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak dalam kontrak untuk membuat, menentukan isi maupun bentuk dari perjanjian tersebut.[3] Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, persetujuan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik.\n\nAkan tetapi, walaupun telah terdapat asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat kontrak, suatu kontrak wajib memenuhi syarat keabsahan kontrak,[4] agar kontrak tersebut dapat dikatakan sah secara hukum.\n\nLantas, apa saja syarat keabsahan kontrak? Berikut ulasannya.\nSyarat Keabsahan Kontrak\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai apa yang menjadi syarat keabsahan kontrak atau perjanjian? Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat sebagai berikut:\n\nkesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;kecakapan untuk membuat suatu perikatan;suatu pokok persoalan tertentu;suatu sebab yang tidak terlarang.\n\nSebagaimana dijelaskan dalam artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Syarat subjektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat mengakibatkan kontrak/perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat objektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat mengakibatkan kontrak/perjanjian batal demi hukum.[5]\n\nBerikut kami jelaskan masing-masing syarat keabsahan kontrak secara detail:[6]\n\nSyarat Subjektif\n\nSyarat subjektif dibagi menjadi:\n\nKesepakatan para pihak\n\nSalah satu syarat agar suatu perjanjian dinyatakan sah adalah adanya kesepakatan para pihak. Dalam hal ini, kesepakatan berarti telah adanya kehendak serta persetujuan dari kedua belah pihak untuk membuat perjanjian. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, perjanjian menjadi mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya, perjanjian menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum dalam terdapat unsur paksaan maupun tekanan dalam pembuatannya. Sebagaimana yang dipertegas pula dalam Pasal 1321 KUH Perdata, bahwa tidak ada suatu persetujuan pun yang mempunyai kekuatan dalam hal diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.\n\nKecakapan dalam membuat suatu perikatan\n\nMengenai kecakapan, Pasal 1329 KUH Perdata menerangkan bahwa setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali dalam hal orang tersebut dinyatakan tidak cakap. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.[7]\n\nMaka, Anda harus memastikan bahwa Anda tidak termasuk dalam kualifikasi orang-orang yang tidak cakap untuk membuat kontrak, yaitu anak yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata.\n\nPasal 330 KUH Perdata menjelaskan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan yang sebelumnya tidak pernah kawin. Lebih lanjut, berdasarkan Lampiran SEMA 4/2016 tentang Rumusan Hukum Kamar Perdata (hal. 3), pembatasan usia kedewasaan haruslah dilihat berdasarkan konteks perkara yang bersangkutan (kasuistis), sehingga dalam kasus ini, usia dewasa untuk membuat kontrak adalah 21 tahun sebagaimana dimuat dalam KUHPer.\n\nLalu, ketentuan spesifik mengenai orang yang ditaruh di bawah pengampuan diatur lebih lanjut dalam Pasal 433 KUH Perdata yang mengatur bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.\n\nSyarat Objektif\n\nSyarat objektif dibagi menjadi:\n\nAdanya objek tertentu\n\nSebagaimana diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata, bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat menjadi pokok persetujuan. Selanjutnya, Pasal 1333 KUH Perdata juga mengatur bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.\n\nNamun menurut hemat kami, suatu hal tertentu juga dapat diartikan sebagai prestasi, misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata. Singkatnya, prestasi adalah apa yang jadi kewajiban debitur dan apa yang jadi hak kreditur dalam suatu perjanjian.\n\nAdanya sebab yang halal\n\nDalam hal ini sebab yang halal diartikan sebagai sebab yang tidak terlarang. Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang apabila sebab tersebut dilarang oleh undang-undang atau apabila sebab tersebut bertentangan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.\nHal yang Diatur dalam Kontrak\n\nMenjawab pertanyaan Anda yang kedua, hal-hal yang seminimal mungkin diatur dalam suatu kontrak adalah hal-hal yang termasuk kedalam unsur esensialia. Namun, pengaturan terhadap hal-hal yang tergolong unsur esensialia saja tidaklah cukup. Berdasarkan praktik kami, suatu kontrak dapat dikatakan telah sesuai dengan best practice pembuatan kontrak baik secara nasional maupun internasional apabila kontrak tersebut telah memuat:\n\nJudul yang mencerminkan jenis perjanjian yang dibuat ;Pembukaan yang berisi tanggal pembuatan dan penandatanganan perjanjian;Identitas dan keterangan mengenai kedudukan para pihak dalam kontrak;Premis yang berisi latar belakang dan alasan pembuatan kontrak;Kata-kata kesepakatan sebagai pengantar yang akan menjembatani pembukaan dan isi kontrak;Isi yaitu syarat dan ketentuan yang mencakup hak dan kewajiban para pihak yang unsur-unsurnya terdiri dari:[8]\n\nEsensialia, yaitu hal-hal pokok yang harus ada dalam suatu kontrak. Contohnya seperti pihak, objek (barang), harga, dan jangka waktu.Naturalia, yaitu hal-hal penunjang yang mana apabila tidak diatur dalam kontrak, atau apabila para pihak tidak diperjanjikan lain dari apa yang diatur oleh peraturan perundangan-perundangan, maka akan mengikuti peraturan perundang-undangan. Contohnya seperti kewajiban pembayaran, mekanisme penyerahan barang, instalasi, dan sebagainya.Aksidentalia, yang merupakan hal-hal yang akan mengikat para pihak apabila diperjanjikan. Contohnya seperti pengaturan terkait pernyataan dan jaminan, kekayaan intelektual, kerahasiaan informasi, pelanggaran dan teguran, hukum yang berlaku, penyelesaian sengketa, korespondensi, force majeure, pemutusan dan pengakhiran, pengalihan, pengesampingan, keterpisahan, serta keseluruhan perjanjian.\n\nPenutup yang menyatakan pemahaman dan kesadaran para pihak dalam menandatangani kontrak yang dibuat serta penyebutan terkait jumlah rangkap perjanjian ditandatangani;Meterai dan tanda tangan,\nCacat Hukum dalam Kontrak\n\nLalu, menjawab pertanyaan ketiga Anda, cacat hukum dalam kontrak disebabkan karena terdapat ketidaksesuaian antara kontrak yang dibuat dengan hukum yang berlaku sehingga mengakibatkan kontrak tersebut tidak mengikat secara hukum. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kapan Suatu Kontrak Dinyatakan Cacat Hukum?\n\nKemudian, suatu kontrak juga dikategorikan cacat secara hukum apabila kontrak tidak memenuhi syarat keabsahan kontrak sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah salah satu pihak dapat meminta pembatalan terhadap kontrak tersebut atau singkatnya kontrak tersebut dapat dibatalkan (voidable), sedangkan apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka konsekuensinya adalah kontrak menjadi batal dan dianggap tidak pernah ada, atau singkatnya kontrak tersebut batal demi hukum (null and void).\nMekanisme Penyelesaian Perselisihan\n\nDalam hal terdapat perselisihan terkait kontrak tersebut, berdasarkan praktik kami terdapat dua cara yang dapat ditempuh, antara lain:\n\nPenyelesaian perselisihan melalui pengadilan (litigasi);Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan (non litigasi) atau yang seringkali disebut dengan Alternative Dispute Resolution yaitu melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli maupun melalui arbitrase.\n\nNamun, mekanisme penyelesaian perselisihan mana yang akan digunakan mengacu pada mekanisme penyelesaian perselisihan yang telah disepakati pada kontrak. Pada umumnya, dalam suatu kontrak diatur terlebih dahulu penyelesaian perselisihan secara negosiasi maupun musyawarah mufakat dengan rentang waktu yang disepakati oleh para pihak. Selanjutnya, jika negosiasi maupun musyawarah mufakat tidak dapat terlaksana maupun tidak dapat berhasil dalam rentang waktu tersebut, barulah para pihak menyelesaikan perselisihan tersebut melalui mekanisme yang dipilih oleh para pihak, baik melalui pengadilan maupun arbitrase.\n\nKemudian penting untuk diketahui, apabila dalam suatu perjanjian melibatkan informasi rahasia, berdasarkan praktik kami penyelesaian perselisihan dilakukan melalui arbitrase, karena proses persidangan arbitrase dilaksanakan secara tertutup dan rahasia sehingga menunjang sifat dan karakter dari informasi rahasia tersebut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata;Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.\n\nReferensi:\n\nAgus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana, 2010;Moch. Isnaeni. Hukum Kontrak. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2018;Moch. Isnaeni. Hukum Perikatan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2017;Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUH Perdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012;Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005.\n\n[1] Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 1.[2] Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 3.[3] Moch. Isnaeni. Hukum Perikatan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2017, hal. 31.[4] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.[5] Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4.[6] Moch. Isnaeni. Hukum Kontrak. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2018, hal. 113.[7] Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 17.[8] Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana, 2010, hal. 225-226." }
{ "from": "human", "value": "Dikabarkan ada pejabat kepala daerah dan wakil kepala daerah positif COVID-19, lantas dalam hal mereka menjalani perawatan yang mengharuskan isolasi mandiri, bagaimana pemerintahan di daerah itu berjalan? Apakah dimungkinkan pejabat yang terkena COVID-19 tersebut tetap menjalankan tugasnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. COVID-19 bisa menjangkiti siapa saja tak terkecuali kepala daerah. Hingga saat ini diberitakan di berbagai media memang tidak sedikit kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah di Indonesia yang terpapar COVID-19. Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya kepala daerah yang terpapar COVID-19 masih bisa tetap menjalankan tugas pemerintahannya seperti biasanya. Dalam hal kepala daerah terpapar COVID-19, tidak serta-merta membuat kepala daerah diberhentikan dari jabatannya sehingga tidak dapat menjalankan tugas pemerintahannya. Adapun hal-hal yang membuat kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti dari jabatannya karena: [1] meninggal dunia; permintaan sendiri; atau diberhentikan. Dalam hal kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan , karena: [2] berakhir masa jabatannya; tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan ; dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah; tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf b; melanggar larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), kecuali huruf c, huruf i, dan huruf j; melakukan perbuatan tercela; diberi tugas dalam jabatan tertentu oleh Presiden yang dilarang untuk dirangkap oleh ketentuan peraturan perundang-undangan; menggunakan dokumen dan/atau keterangan palsu sebagai persyaratan pada saat pencalonan kepala daerah/wakil kepala daerah berdasarkan pembuktian dari lembaga yang berwenang menerbitkan dokumen; dan/atau mendapatkan sanksi pemberhentian. Oleh karena itu, menyambung pertanyaan Anda, apabila kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah tersebut berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan, maka keduanya bisa diberhentikan dari jabatannya. Namun patut diperhatikan, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap diartikan yang bersangkutan menderita sakit yang mengakibatkan fisik atau mental tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya. [3] Sehingga meskipun secara fisik tidak bisa hadir menjalankan aktivitas pemerintahan seperti biasanya, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang terpapar COVID-19 menurut hemat kami masih dapat memimpin daerahnya dan berkoordinasi secara virtual, sehingga pengambilan keputusan atau kebijakan tidak terganggu. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja [1] Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) [2] Pasal 78 ayat (2) UU 23/2014 [3] Penjelasan Pasal 78 ayat (2) huruf b UU 23/2014 tata negara lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Seiring meningkatnya pasien COVID-19 di rumah sakit tentu berbanding lurus dengan peningkatan limbah medis. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa limbah medis bekas COVID-19 berbahaya jika dibuang begitu saja, lalu kemana perginya limbah medis COVID-19 ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sepanjang penelusuran kami, pada laman Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerbitkan: Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.167/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah B3 Medis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Darurat Covid-19 (“Surat MENLHK 167/2020”) ; Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) (“SE MENLHK 2/2020”) . Limbah medis penanganan COVID-19 merupakan Limbah Bahan Berbahaya Beracun (“LB3”) yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan: [1] Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun ; dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/MENLHK-SETJEN/2015 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan . Penanganan teknis untuk limbah medis COVID-19 meliputi: [2] Identifikasi, pemilahan dan pewadahan : Setiap penghasil limbah wajib melakukan identifikasi untuk semua limbah yang dihasilkannya. Melakukan pemilahan dan pengemasan LB3 berdasarkan karakter infeksius dan patologis. Bahan kimia dan farmasi kedaluarsa, tumpahan atau sisa kemasan. Penyimpanan Limbah : Penyimpanan dilakukan sesuai karakter dan pengemasan. Khusus limbah infeksius disimpan paling lama 2 hari hingga dimusnahkan bila pada suhu kamar atau 90 hari hingga dimusnahkan bila suhu 0°C. Pemusnahan : Pemusnahan dengan pembakaran menggunakan incinerator yang dioperasionalkan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) atau pihak jasa pengolah limbah medis berizin. Incinerator memiliki ruang bakar dengan suhu minimal 800°C. Lebih lanjut, SE MENLHK 2/2020 juga menguraikan penanganan limbah infeksius dan sampah rumah tangga penanganan COVID-19, yaitu: [3] Limbah infeksius yang berasal dari fasyankes Melakukan penyimpanan dalam kemasan tertutup maksimal 2 hari sejak dihasilkan; Mengangkut dan/atau memusnahkan pada pengolahan LB3 menggunakan fasilitas incinerator dengan suhu pembakaran minimal 800°C atau autoclave yang dilengkapi dengan pencacah; Residu hasil pembakaran atau cacahan hasil autoclave dikemas dan dilekati simbol “Beracun” dan label LB3 yang selanjutnya disimpan di tempat penyimpanan sementara LB3 untuk selanjutnya diserahkan pada pengelola LB3. Limbah infeksius yang berasal dari rumah tangga ODP Mengumpulkan limbah infeksius berupa limbah alat pelindung diri, antara lain, berupa masker, sarung tangan dan baju pelindung diri; Mengemas tersendiri dengan menggunakan wadah tertutup ; Mengangkut dan memusnahkan pada pengolahan LB3; Menyampaikan informasi kepada masyarakat tentang pengelolaan limbah infeksius dari masyarakat, sebagai berikut: Limbah alat pelindung diri, antara lain, masker, sarung tangan, baju pelindung diri, dikemas tersendiri dengan menggunakan wadah tertutup yang bertuliskan “Limbah Infeksius” ; Petugas dari dinas yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup, kebersihan dan kesehatan melakukan pengambilan dari setiap sumber untuk diangkut ke lokasi pengumpulan yang telah ditentukan sebelum diserahkan ke pengolah LB3. Sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga Seluruh petugas kebersihan atau pengangkut sampah wajib dilengkapi alat pelindung diri, khususnya masker, sarung tangan dan safety shoes yang setiap hari harus disucihamakan; Dalam upaya mengurangi timbunan sampah masker, masyarakat yang sehat diimbau untuk menggunakan masker guna ulang yang dapat dicuci setiap hari; Kepada masyarakat yang sehat dan menggunakan masker sekali pakai harus merobek, memotong atau menggunting masker dan dikemas rapi sebelum dibuang ke tempat sampah; Pemerintah daerah menyiapkan tempat sampah khusus masker di ruang publik. Masa berlaku SE MENLHK 2/2020 sampai dengan status keadaan tertentu darurat bencana wabah COVID-19 di Indonesia dicabut. [4] Sebagai contoh, bentuk pelaksanaan dari terbitnya ketentuan di atas, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul telah menerbitkan Surat Edaran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul Nomor: 660/139 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) . Kami juga telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.56/MENLHK-SETJEN/2015 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: SE.2/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor S.167/MENLHK/PSLB3/PLB.3/3/2020 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah B3 Medis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan Darurat Covid-19 Surat Edaran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gunungkidul Nomor: 660/139 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Limbah Infeksius (Limbah B3) dan Sampah Rumah Tangga dari Penanganan Corona Virus Disease (COVID-19) [1] Poin 1 Surat MENLHK 167/2020 [2] Poin 2 Surat MENLHK 167/2020 [3] Bagian C SE MENLHK 2/2020 [4] Bagian D SE MENLHK 2/2020 kesehatan hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Ayah saya adalah adik dari pasangan suami-istri (dr pihak suami) tanpa anak yg asal usul kekayaaannya berasal dari klg istri (bkn harta Gono-gini).Semasa hidup mrk smp dgn meninggal,utk pekerjaan sehari2 mrk dibantu oleh seorang janda &seorg anak tetangga (tdk ada hub klg)&smp saat ini mereka masih mengurusi+merawat rmh & tanah pekarangan kedua Almarhum. Sdgkan Ayah saya sjk kecil hingga mrk meninggal sll perduli & membantu mengurus mrk dalam mengatasi permasalahan2 dlm kehidupan mereka termasuk saat keduanya sakit& meninggal (shg meskipun tdk tinggal serumah,kedua Alharhum menganggap ayah sy sbg anak).Sepeninggal mrk diketemukan Surat keterangan yang dibuat oleh Kades pd saat itu yang isinya menerangkan bahwa tanah pekarangan milik pasangan Almarhum tsb berasal dari pemberian saudara2 kandung ibu dari Almarhumah (karena ia telah yatim-piatu).Smp saat ini anak2 dari penghibah tanah (saudara sepupu Almarhumah tsb msh hidup 3org) namun semasa Almarhumah msh hidup mereka tdk prnah perduli dgn kehidupan kedua Almarhum. Bgmn penyelesaian hak waris dari pasangan Almarhum tsb,karena keduanya telah meninggal dengan tdk meninggalkan keturunan maupun surat2 wasiat yang bs digunakan sbg acuan? Siapakah yang berhak mengurus sertifikat tanah pekarangan milik Almarhumah? (Almarhumah si pemilik harta jg tidak mempunyai saudara kandung). Dalam hal ini siapa yang sebaiknya menyelesaikan & mengurus Surat Penunjukan ahli waris (SKW) & ke Instansi/ lembaga mana? Apakah ayah saya bisa dikaitkan sebagai ahli waris?" }
{ "from": "gpt", "value": "Harta yang diperoleh sebelum perkawinan dan harta benda yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah atau warisan merupakan harta bawaan masing-masing. Harta bawaan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (pasal 35 ayat [2] UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan/UUP jo. pasal 87 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam/KHI). Anda menyebutkan bahwa tanah pekarangan merupakan pemberian dari keluarga dari pihak istri (almarhumah). Kemudian, Anda juga menyebutkan bahwa almarhum kakak dari ayah Anda dan almarhum istrinya tidak meninggalkan surat atau wasiat yang dapat menjadi pegangan dalam menentukan pembagian warisan. Oleh karena itu, menurut hemat kami, tanah pekarangan tersebut merupakan harta bawaan dari almarhumah dan bukan harta bersama. Sehingga dalam hal ini, apabila terjadi kematian maka yang berhak memperoleh harta warisan hanyalah keluarga dari pihak almarhum istri dari kakak ayah Anda. K elompok ahli waris menurut hubungan darah yaitu: (a) golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek dan (b) golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek (Pasal 174 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam atau KHI]. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda (pasal 174 ayat [2] KHI) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait dengan hal di atas, Anda mengatakan bahwa almarhumah adalah yatim-piatu, tidak mempunyai anak, serta tidak memiliki saudara kandung. Tapi, almarhumah masih memiliki tiga saudara sepupu yang masih hidup. Sehingga, menurut hemat kami, yang dapat menjadi ahli waris adalah (1) saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki paman kandung), dan (2) saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah). Mereka termasuk ahli waris golongan Ashabah . Seperti diketahui, hukum waris Islam mengenal dua golongan ahli waris yaitu Dzawil Furud yaitu ahli waris yang mendapatkan harta warisan berdasarkan bagian tertentu dari harta warisan yang prosentasenya telah ditentukan oleh Al Quran dan Hadist. Prosentase pembagian tersebut adalah ½, ¼, 1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6 dari harta waris. Golongan ini merupakan pihak yang pertama kali mendapatkan harta waris setelah pewaris meninggal dunia. Yang kedua adalah golongan Ashabah yaitu ahli waris yang mendapatkan sisa harta warisan pewaris setelah harta warisan tersebut dibagikan kepada golongan ahli waris pertama atau Zawil Furud . Akan tetapi, apabila tidak ada ahli waris yang termasuk dalam golongan Zawil Furud tersebut maka ahli waris yang termasuk golongan Ashabah akan mendapatkan seluruh harta waris yang ditinggalkan oleh Pewaris . Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua (tiga) atau sebagian saudara sepupu almarhumah berhak menjadi ahli waris hanya jika mereka merupakan: a. saudara sepupu laki-laki kandung (anak laki-laki paman kandung), atau b. saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) Ayah Anda tidak termasuk ahli waris karena pekarangan tersebut bukanlah harta bersama melainkan harta bawaan yang berada di bawah penguasaan istri (almarhumah), sedangkan ayah Anda hanya memiliki hubungan darah dengan suami almarhumah. Lembaga yang bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara kewarisan dan wasiat di antara orang-orang beragama Islam adalah Pengadilan Agama (pasal 49 ayat [1] UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama). Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat. Peraturan perundang-undangan terkait: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 3.  Kompilasi Hukum Islam ( Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991)" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimanakah pengakuan dan pelaksanaan putusan pengadilan asing di Indonesia (dalam kaitannya dengan sengketa internasional)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional ( International Court of Justice ) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam perjanjian ( Huala Adolf , “ Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional ”, hal. 3). KLINIK TERKAIT Status Hukum UU Ratifikasi 15 Mei 2018 Bagaimana Jika Hukum Internasional Tidak Dipatuhi? 30 Mei 2011 Perjanjian Internasional yang Bertentangan dengan Konstitusi 15 Feb 2011 Vatikan Sebagai Subyek Hukum Internasional 22 Sep 2010 Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain: - Negara; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Tahta Suci Vatikan. - Organisasi Internasional; - Palang Merah Internasional; - Kelompok Pemberontak; - Perusahaan Multinasional; - Individu; Negara (dalam hal ini Indonesia) sebagai subyek utama hukum internasional mempunyai kedaulatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Boer Mauna dalam bukunya “ Hukum Internasional” (hal. 25), bahwa: 1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi. 2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan. Hal-hal di atas dikemukakan oleh Boer sebagai pengertian negatif dari kedaulatan. Mengenai peradilan internasional, Boer berpendapat bahwa peradilan internasional adalah bersifat fakultatif . Menurutnya, bila suatu negara ingin mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, penyelesaian sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga, setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang kami sarikan dari buku “ Hukum Internasional ” (hal. 220-221). Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional maupun internasional). Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul “ Hukum Acara Perdata ”bahwa putusan pengadilan asing (dalam kaitannya dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui arbitrase internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”) . Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436 ayat (2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan/arbitrase asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu: 1. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat; atau 2. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan hakim. Lebih jauh simak artikel Eksekusi Putusan Pengadilan Asing . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Rv ( Reglement Op De Rechtsvordering , Staatsblad Tahun 1847 No. 52 jo. Staatsblad Tahun 1849 No. 63) Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana tata kelola penggelolaan Dana Penanggulangan Bencana di Indonesia menurut hukum keuangan negara?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Guna menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (“UU 24/2007”) . B encana berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 24/2007 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. KLINIK TERKAIT Ruang Lingkup Keuangan Negara dan Pengelolaannya 29 Mar 2022 Wajibkah Pemerintah Mengganti Rumah Warga yang Hancur karena Bencana? 14 Mar 2014 Bisakah PHK Karena Lumpur Lapindo Menggunakan Alasan Force Majeure? 15 Mar 2012 Banjir dan Gempa Bumi dari Kacamata Hukum 30 Mar 2011 Sedangkan bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah langsor ( Pasal 1 angka 2 UU 24/2007 ) . Pada dasarnya, dana penanggulangan bencana menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah yang mana pemerintah dan pemerintah daerah juga mendorong partisipasi masyarakat di dalamnya sebagaimana disebut dalam Pasal 60 angka (1) dan (2) UU 24/2007 . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lalu bagaimana pengelolaannya? Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, pemerintah memiliki tanggung jawab, antara lain meliputi (lihat Pasal 6 UU 24/2007 ): a. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai ; b. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai . Pemerintah daerah juga turut memiliki tanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang salah satunya meliputi pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan belanja daerah yang memadai (lihat Pasal 8 huruf d UU 24/2007 ). Dari sini dapat kita ketahui bahwa dana penanggulangan bencana itu bersumber dari APBN dan APBD. Pada saat tanggap darurat, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (\"BNPB\") menggunakan dana siap pakai yang disediakan oleh Pemerintah dalam anggaran BNPB. Tanggap darurat itu sendiri adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana (lihat Pasal 1 angka 10 UU 24/2007 ). Yang dimaksud dengan dana ”siap pakai” berdasarkan penjelasan Pasal 6 huruf f UU 24/2007 yaitu dana yang dicadangkan oleh pemerintah untuk dapat dipergunakan sewaktu-waktu apabila terjadi bencana. Dasar hukum lain yang mengatur tentang pengelolaan dana bencana alam adalah Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana (“PP 22/2008”) . Menurut Pasal 3 PP 22/2008, pengaturan pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana meliputi: a. sumber dana penanggulangan bencana; b. penggunaan dana penanggulangan bencana; c. pengelolaan bantuan bencana; dan d. pengawasan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pendanaan dan pengelolaan bantuan bencana. Adapun dana penanggulangan bencana itu berasal dari [ Pasal 4 ayat (2) PP  22/2008 ]: a. APBN; b. APBD; dan/atau c. masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran penanggulangan bencana dalam APBN dan APBD itu secara memadai dan anggaran itu disediakan pada tahap pra bencana, saat tanggap darurat bencana, dan pasca bencana ( lihat Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP 22/2008 ]. Dalam anggaran penanggulangan bencana yang bersumber dari APBN, Pemerintah menyediakan pula ( Pasal 5 ayat (3) PP 22/2008 ): a. dana kontinjensi bencana; b. dana siap pakai; dan c. dana bantuan sosial berpola hibah. Selain itu, menurut Pasal 10 ayat (1) PP 22/2008 , penggunaan dana penanggulangan bencana dilaksanakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, BNPB, dan/atau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Dalam praktiknya, pengelolaan dana penanggulangan bencana diatur lebih khusus dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Sebagai contoh adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/Pmk.05/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan Dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam Di Sumatera (“Permenkeu 173/2010”) . Dalam permenkeu tersebut antara lain diatur bahwa untuk menampung penerimaan bantuan bencana alam Sumatera baik dari dalam negeri maupun luar negeri, dibuatlah Rekening Penerimaan Dana Bantuan Bencana Alam Sumatera, yang selanjutnya disebut Rekening Penerimaan Bantuan Bencana, yakni rekening pada Bank Indonesia. Untuk pengelolaan dana bantuan, berdasarkan Pasal 4 Permenkeu 173/2010 , dana hibah dalam Rekening Penerimaan Bantuan Bencana diberikan Nomor Register Hibah 71004001 Hibah dana bantuan penanggulangan bencana alam Sumatera. Kemudian, Direktorat Jenderal Perbendaharaan secara periodik menyampaikan laporan posisi saldo Rekening Penerimaan Bantuan Bencana kepada Direktorat Jenderal Anggaran dengan tembusan kepada BNPB [ Pasal 10 ayat (1) Permenkeu 173/2010 ]. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Permenkeu 173/2010 , penerimaan dan pengeluaran dalam Rekening Penerimaan Bantuan Bencana dicatat secara rinci dan disajikan dalam Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara. Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyelenggarakan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan atas belanja yang dibiayai dari Hibah dan menyajikannya dalam Laporan Keuangan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana ; 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/Pmk.05/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Dana Bantuan Dalam Rangka Penanggulangan Bencana Alam Di Sumatera. bencana" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana kedudukan seorang direksi bilamana dalam pelaksanaan Perseroan Terbatas dia mengalami sakit jasmani seperti sakit stroke? Masih kah bisa dikatakan bahwa direksi tersebut berwenang atas pekerjaannya di Perseroan Terbatas? Terima kasih dan mohon bantuannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam hal seorang direksi mengalami sakit jasmani, harus dilihat kembali pengaturan pada Anggaran Dasar Perseroan tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang mengatur bahwa d alam anggaran dasar diatur ketentuan mengenai: a. tata cara pengunduran diri anggota Direksi; KLINIK TERKAIT Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA? 03 Okt 2023 Perbedaan Dewan Direksi dan Direksi dalam UU PT 24 Jul 2023 Bisakah Komisaris Menunjuk Direksi Sementara Tanpa RUPS? 11 Jul 2023 Masa Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT 27 Apr 2023 b. tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong; dan c. pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili Perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan atau diberhentikan untuk sementara . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada Perseroan Terbatas, ada kalanya direksi tidak hanya dijabat oleh satu orang saja. Sehingga apabila ada direksi yang berhalangan (misal: sakit), perseroan tersebut masih dapat berjalan. Namun, bila ternyata dalam perseroan itu posisi direksi hanya dijabat oleh satu orang saja, kemudian direksi tersebut sakit, tentu akan menimbulkan persoalan. Oleh karena itu, UUPT menentukan bahwa hal ini harus diatur dalam anggaran dasar (“AD”) yaitu mengenai siapa pihak yang berwenang menjalankan pengurusan dan mewakili perseroan dalam hal seluruh anggota Direksi berhalangan. Demikian menurut M. Yahya Harahap sebagaimana kami sarikan dari buku “ Hukum Perseroan Terbatas ” (hal. 435). Menurutnya, untuk mengatasi kevakuman atau kekosongan jabatan jika direksi berhalangan secara temporer/sementara atau permanen, perseroan harus mengantisipasinya dalam AD dengan jalan mengatur ketentuan, siapa atau pihak mana ataupun organ mana yang berwenang bertindak menjalankan pengurusan perseroan sesuai dengan yang ditentukan Pasal 92 ayat (1) UUPT serta siapa yang berwenang mewakili perseroan ke dalam dan keluar sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat [1] UUPT. Lebih lanjut, Yahya menyatakan bahwa perintah atau anjuran Pasal 107 UUPT tersebut, wajib dengan cermat diperhatikan Notaris yang diminta menyusun Akta Pendirian dan AD Perseroan. Begitu juga Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, seyogyanya memperhatikannya. Jika sekiranya pada saat permintaan pengesahan AD, tidak menemukan aturan tentang hal itu, sebaiknya dianjurkan untuk memperbaikinya. Dengan demikian, pada saat direksi berhalangan sementara atau permanen, kewenangannya diberikan kepada siapa yang disebutkan dalam AD perseroan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya, apakah anak usia 16 tahun bisa dipekerjakan sebagai buruh? Dan anak tersebut melakukan tindak pidana pencurian di rumah majikannya, akan tetapi oleh pihak kepolisian si majikan ini dituduh mempekerjakan anak di bawah umur. Bagaimana cara penyelesaiannya dan berdasarkan UU apa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 30 September 2011. KLINIK TERKAIT Aturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja dengan Persalinan Prematur 12 Apr 2023 Di Usia Berapa Anak Boleh Dipekerjakan? 25 Jan 2021 Anak 14 Tahun Mencuri Motor, Mungkinkah Dibebaskan? 31 Des 2015 Haruskah Membayar Denda karena Resign Sebelum Perjanjian Kerja Berakhir? 13 Jul 2011 Intisari: U ntuk anak yang berumur antara 15 s/d 18 tahun sudah dapat dipekerjakan (secara normal/umum) akan tetapi tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan ( the worst forms ) baik ancaman/bahaya bagi kesehatan maupun keselamatan atau moral si anak. Dengan catatan, pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang ringan dan pihak yang mempekerjakan anak inui memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain: izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali, waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam, dan sebagainya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, perlu kita lihat definisi anak berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun. [1] Pada dasarnya, pengusaha dilarang mempekerjakan anak . [2] Namun, ketentuan tersebut tidak bersifat mutlak. Ketentuan tersebut dikecualikan dalam beberapa kondisi sebagai berikut: 1. Bagi anak yang berumur antara 13 tahun sampai dengan 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental dan sosial. [3] Untuk mempekerjakan anak untuk pekerjaan ringan ini harus ada: [4] a. izin tertulis dari orang tua atau wali; b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; e. keselamatan dan kesehatan kerja; f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku 2. Bagi anak yang berumur sedikitnya 14 tahun, dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. [5] Pekerjaan yang sesuai dengan kurikulum pendidikan dalam praktiknya sering disebut Praktik Kerja Lapangan (PKL). Lebih jauh, simak artikel Praktik Kerja Lapangan . 3. Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minatnya dengan syarat: [6] a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali; b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. 4. Larangan mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk: [7] a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau; d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Jenis-jenis Pekerjaan yang Dilarang Dilakukan Anak. UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara khusus mengenai mempekerjakan anak berusia 16 tahun. Namun, konsultan hukum ketenagakerjaan Umar Kasim dalam artikel Usia Minimum Kerja menyatakan: “ U ntuk anak yang berumur antara 15 s/d 18 tahun sudah dapat dipekerjakan (secara normal/umum) akan tetapi tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan ( the worst forms ) baik ancaman/bahaya bagi kesehatan maupun keselamatan atau moral si anak. Pada usia ini, anak sudah dianggap cakap ( bekwaam ) untuk melakukan hubungan kerja tanpa kuasa/wali ( Pasal 2 ayat [3] Kepmenakertrans No. Kep-235/Men/2003 dan Konvensi ILO No. 138 serta Konvensi ILO No. 182 ). ” Sanksi Mempekerjakan Anak di Bawah Umur Menurut UU Ketenagakerjaan Sebagai kesimpulan, anak berumur 16 tahun dimungkinkan untuk bekerja sepanjang memenuhi kondisi-kondisi sebagaimana telah kami paparkan di atas. Bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam hal mempekerjakan anak, maka ada sanksi yang dapat dikenakan terhadap pengusaha. Sanksinya antara lain sebagai berikut: 1. Barangsiapa mempekerjakan anak dan melanggar Pasal 68 dan Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. [8] 2. Sedangkan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta. [9] Sanksi Mempekerjakan Anak di Bawah Umur Menurut UU Perlindungan Anak Selain diatur dalam UU Ketenagakerjaan, larangan mempekerjakan anak juga diatur dalam Pasal 76I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) yang menyatakan bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak. Adapun sanksi atas pelanggaran pasal di atas yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta. [10] Jadi, bilamana Anda memang mempekerjakan anak dan terbukti melanggar hal-hal tersebut di atas, maka akan ada sanksi hukum yang dikenakan terhadap Anda. Oleh karena itu, sebaiknya Anda memastikan bahwa Anda telah memenuhi syarat-syarat untuk mempekerjakan anak dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan tersebut di atas. Anak yang Melakukan Pencurian Adapun mengenai tindak pidana pencurian yang diduga dilakukan oleh si anak, maka perbuatan tersebut dapat dijerat pasal tentang pencurian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang diatur dari Pasal 362 sampai Pasal 367 KUHP. Pasal 362 KUHP mengatur sebagai berikut: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Terkait pidana penjara terhadap anak, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) diatur bahwa pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada Anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. [11] Perlu diketahui, bagi anak yang berhadapan dengan hukum diberikan perlindungan khusus antara lain berupa penghindaran dari penangkapan, penahanan atau penjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat. [12] Penjelasan lebih lanjut soal anak yang melakukan tindak pidana pencurian dapat Anda simak dalam artikel Anak 14 Tahun Mencuri Motor, Mungkinkah Dibebaskan? Contoh Kasus Sebagai contoh kasus tentang mempekerjakan anak di bawah umur dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 133/PID.SUS/2015/PT.BDG. Terdakwa membantu mempekerjakan anak di bawah umur sebagai perantara perekrutan untuk dipekerjakan di sebuah restoran di Jakarta. Hakim menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana \"Membantu pengusaha mempekerjakan anak“. Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.138 concerning Minimum Age for Admission to Employment ; 3. Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan ILO Convention No. 182 concerning the Prohibition and Immediate Action for the Elimination of the Worst Form of Child Labour ; 4. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 5. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 6. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep-235/Men/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak. PUTUSAN Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 133/PID.SUS/2015/PT.BDG. [1] Pasal 1 angka 26 UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 68 UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 71 UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 74 UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [9] Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 88 UU 35/2014 [11] Pasal 81 ayat (2) UU SPPA [12] Pasal 64 huruf g UU 35/2014 hukumonline pekerja anak diversi pencurian buruh tenaga kerja hukum klinik klinik hukumonline pekerja anak" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah salah satu nasabah perusahaan asuransi yang ijin usahanya sudah dicabut pada bulan Oktober 2013. Pada bulan September 2013, saya mendengar isu kepailitan perusahaan tersebut, kemudian saya coba menghubungi petugas asuransi untuk berkonsultasi. Dari hasil konsultasi itu si petugas menyarankan saya untuk me-redemption (saya kurang paham istilahnya) dan mengajukan klaim/menghentikan asuransi dengan beberapa syarat, diantaranya: kebetulan jatuh tempo asuransi saya adalah bulan September jadi saya diharuskan membayar premi dan sekaligus mengajukan klaim dengan mengisi formulir klaim, fotokopi rekening bank, fotokopi KTP dan menyerahkan polis (asli). Saya tidak tahu apakah langkah saya itu benar atau tidak (ini karena saya tidak mengetahui aturan hukum tentang asuransi). Yang jadi pertanyaan saya, sampai dengan hari ini klaim saya belum ada kabar apakah bisa dibayar atau tidak, langkah hukum atau tindakan apa yang harus saya lakukan? Jujur saya bingung dan merasa dibohongi oleh si petugas dan perusahaan asuransi tersebut." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Saya turut prihatin atas permasalahan yang sedang Anda hadapi, semoga permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Pertama-tama kita perlu mengenal istilah “ redemption” dalam konteks asuransi. Dari definisi bebas yang saya ketahui dari beberapa polis asuransi swasta, redemption dapat diartikan sebagai penarikan unit baik sebagian maupun seluruhnya oleh pemegang polis, setelah dikurangi biaya-biaya yang terkait. Sebagai informasi tambahan untuk Anda, saat ini biasanya perusahaan asuransi  akan menawarkan produksi asuransi jiwa yang terdiri dari layanan perlindungan (proteksi) dan juga sekaligus unit link sebagai kepemilikan satuan investasi. KLINIK TERKAIT Haruskah Mengajukan Somasi Sebelum Permohonan Pailit? 29 Mar 2023 5 Perbedaan Kepailitan dan Wanprestasi 28 Mar 2023 Syarat Pengajuan Actio Pauliana oleh Kurator Kepailitan 16 Nov 2022 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya 05 Agt 2022 Anda mengatakan bahwa ada isu perusahaan asuransi tersebut dipailitkan. Perlu Anda ketahui bahwa secara hukum permohonan pailit atas perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (vide: Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang – “UU Kepailitan dan PKPU” ). Menjawab pertanyaan Anda, jika diasumsikan bahwa isu perusahaan asuransi tersebut sudah dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga adalah benar, maka telah terjadi penyitaan secara umum atas semua kekayaan perusahaan asuransi tersebut selaku debitor pailit, yang pengurusan dan pemberesan harta pailit tersebut dilakukan oleh kurator yang diangkat oleh Pengadilan Niaga dibawah pengawasan oleh hakim pengawas (vide: Pasal 1 angka 1, Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut, sesuai dengan ketentuan Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU telah diatur bahwa selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap debitor pailit, hanya dapat diajukan dengan cara mendaftarkannya untuk dicocokan (pencocokan piutang). Dengan demikian, apa yang disarankan oleh petugas asuransi tersebut kepada Anda untuk mengajukan klaim tersebut dengan cara membayar premi dan mengisi formulir klaim adalah kurang tepat, karena perusahaan tersebut sudah dinyatakan pailit, maka segala tuntutan/klaim harus diajukan kepada kurator dari perusahaan asuransi tersebut. Yang perlu dicermati adalah apakah polis asuransi dan hak Anda untuk mengajukan redemption tersebut dapat dikualifisir sebagai “Utang” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 UU Kepailitan dan PKPU , yang berbunyi sebagai berikut: “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi, memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannnya dari harta kekayaan debitor.” Untuk itu sebagai referensi bagi Anda, saya telah mewawancarai Victor Hutabarat, S.H. selaku mantan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Beliau menyatakan bahwa hak pemegang polis untuk menarik unit bagi sebagian maupun seluruhnya tersebut dari perusahaan asuransi dapat dianggap sebagai utang, namun kedudukannya hanyalah sebagai kreditur konkuren, yang artinya tidak mempunyai hak pengambilan pelunasan lebih dahulu daripada kreditur yang lain (karena piutangnya tidak dijamin dengan suatu hak kebendaan tertentu, misalnya Hak Tanggungan atau Jaminan Fidusia). Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda. Dasar Hukum: Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . pailit" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana perlindungan saksi dan korban penyandang disabilitas dalam perspektif HAM? Apakah ada pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengaturnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya kami akan menyebutkan pengaturan secara umum mengenai hak asasi manusia sehubungan dengan kedudukannya di mata hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dikatakan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan  pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. KLINIK TERKAIT Adakah Aturan Khusus yang Melindungi Anak sebagai Saksi? 20 Nov 2013 Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah 25 Mar 2013 Perlindungan Saksi dan Korban Terkait Tindak Pidana Korupsi 22 Mar 2013 Perlindungan WNI yang Menjadi Saksi di Luar Negeri 27 Feb 2013 UUD 1945 ini menegaskan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, termasuk bagi para penyandang disabilitas seperti yang Anda sebutkan. Prinsip ini dinamakan equality before the law , yakni norma yang melindungi hak asasi warga negara. Dalam artikel Prof. Ramly dan Equality Before the Law dikatakan bahwa teori equality before the law menurut UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah. Ditinjau dari hukum tata negara, maka setiap instansi pemerintah, terutama aparat penegak hukum, terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya kami akan menjelaskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak asasi manusia. Berdasarkan penelusuran kami, pada dasarnya, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) tidak mengenal istilah penyandang disabilitas seperti yang Anda sebutkan. Adapun istilah penyandang disabilitas dapat kita temukan dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) yang telah disahkan oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) (“UU 19/2011”) . Dalam Penjelasan UU 19/2011 mengenai pokok-pokok isi konvensi, dikatakan bahwa penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui berbagai hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Pasal 5 Konvensi Penyandang Disabilitas antara lain mengatakan bahwa negara-negara pihak mengakui bahwa semua manusia adalah sama di hadapan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang sama. Selain itu, negara-negara pihak wajib mencegah semua diskriminasi yang difundamentalkan disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang sama dan efektif bagi penyandang disabilitas. Menurut hemat kami, konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU 19/2011 ini menandakan bahwa perlindungan bagi saksi dan korban baik yang termasuk penyandang disabilitas maupun yang tidak, adalah sama. Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) Konvensi Penyandang Disabilitas bahwa: 1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk diakui dimana pun berada sebagai seorang manusia di muka hukum 2. Negara-Negara Pihak wajib mengakui bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum atas dasar kesamaan dengan orang lain dalam semua aspek kehidupan 3. Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum mereka . Adapun istilah yang dipakai dalam UU HAM yang berkaitan dengan penyandang disabilitas adalah penyandang cacat. Dalam UU HAM, juga diatur mengenai hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum yang terdapat dalam Pasal 4 UU HAM : Hak. untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Mengenai perlindungan bagi penyandang cacat itu sendiri, Pasal 5 ayat (3) UU HAM beserta penjelasannya secara jelas mempertegas bahwa penyandang cacat adalah salah satu kelompok masyarakat yang berhak untuk memperoleh perlindungan yang lebih. Pasal 5 ayat (3) UU HAM: (1) Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. (2) Setiap orang berhak mendapat bantuan dan perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berpihak. (3) Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Pada penjelasan Pasal 5 ayat (3) UU HAM dikatakan bahwa yang dimaksud dengan \"kelompok masyarakat yang rentan\" antara lain adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat . Artinya, penyandang cacat di mata hukum berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan yang lebih. Akan tetapi, tidak dijelaskan secara rinci mengenai perlindungan yang lebih itu seperti apa. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons with Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) cacat" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau menanyakan tentang hukum yang berlaku pada masalah saya. Saya kebetulan bekerja di bidang angkutan barang, dan sopir perusahaan tertimpa musibah yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa. Kronologisnya: Sopir berjalan sesuai jalur kecepatan 20 km/jam, motor menyalip dari arah kanan dan bersenggolan dengan motor lain dari arah yang berlawanan. Satu orang terjatuh di depan roda truk. Motor yang menyebabkan korban jatuh kabur. Sopir mengerem truk hingga korban terseret di roda depan sejauh 1,5 meter. Korban segera dibawa ke klinik untuk penanganan sementara. Pihak klinik membawa korban ke Rumah Sakit, tapi korban meninggal di perjalanan. Yang mau saya tanyakan, bagaimana posisi sopir truk tersebut dalam hukum di Indonesia? Karena keluarga korban menganggap ini sepenuhnya tanggung jawab sopir truk dan meminta uang santunan yang sangat besar. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Jika ditinjau dari hukum pidana, kelalaian yang berakibat orang lain kehilangan nyawa harus dipertanggungjawabkan secara pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 359 KUHP , yang menyatakan : KLINIK TERKAIT Bantuan Biaya Pengobatan Korban Kecelakaan 06 Apr 2011 Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal 23 Mar 2011 Pertanggungjawaban Pelanggar Lalu Lintas 23 Mar 2011 Tentang Jaminan Kecelakaan Diri dan Kematian di Luar Jam Kerja (JKDK) 20 Mei 2010 ” Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun…” Karena itu, sopir truk yang lalai sehingga mengakibatkan orang lain kehilangan nyawa (mati) bertanggung jawab secara pidana. Sedangkan, perusahaan yang mempekerjakan sopir bertanggung jawab perdata untuk membayar ganti kerugian kepada keluarga korban atau ahli warisnya terhadap hilangnya nyawa korban, sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUH Perdata , yang menyatakan antara lain: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “… Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.... ...Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu . Oleh karena itu, secara hukum perdata keluarga korban juga dapat menuntut perusahaan yang mempekerjakan sopir truk tersebut untuk membayar segala ganti kerugian atas hilangnya nyawa korban akibat kecelakaan tersebut. Sehingga tidak tepat apabila keluarga korban hanya menuntut sopir truk yang harus menanggung semua uang santunan kepada keluarga korban atas kecelakaan tersebut. Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia merupakan golongan Kecelakaan lalu lintas berat (lihat Pasal 229 ayat [4] UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan – UU 22/2009 ).Secara khusus kewajiban dan tanggung jawab atas suatu kecelakaan lalu lintas telah telah diatur dalam Pasal 235 ayat (1) huruf c UU 22/2009 , yang menyatakan: ”Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana…” Dengan demikian, pengusaha atau perusahaan yang mempekerjakan sopir truk tersebut tidak dapat diluputkan dari tanggung jawab perdata untuk memberikan ganti kerugian atas biaya pengobatan atau biaya pemakaman dan segala biaya yang ditimbulkan atas hilangnya nyawa korban yang tidak dapat tergantikan nilainya secara materiil. Namun, sangat tidak adil apabila semua kesalahan atas kecelakaan lalu lintas tersebut harus ditimpakan seluruhnya kepada sopir truk. Oleh karena itu, ketika perkara kecelakaan lalu lintas ini nantinya disidangkan di pengadilan, majelis hakim seyogianya tetap mempertimbangkan rasa keadilan bagi sopir truk. Seperti Anda jelaskan, dalam peristiwa tersebut si sopir truk telah mengemudikan truk pada lajur jalan yang seharusnya dan dengan kecepatan rendah. Si sopir juga telah mengerem truknya. Namun, akhirnya kecelakaan tersebut tidak dapat terhindarkan, dan pemicu kecelakaan adalah orang lain (pengendara motor) yang telah melarikan diri. Demikian penjelasan dari kami semoga memberikan pencerahan. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)" }
{ "from": "human", "value": "Akibat hukum apakah yang dapat dijatuhkan kepada anak di bawah usia 18 tahun jika terkait kasus terorisme di Indonesia? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 10 Juni 2011. Intisari: Mengenai akibat hukum apa yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terlibat tindak pidana terorisme, harus dilihat terlebih dahulu tindak pidana apa yang dilakukan oleh anak tersebut. Hukuman penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) hanya diberikan apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak pun paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Selain itu perlu diketahui juga bahwa terhadap anak tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: KLINIK TERKAIT Anak Dianiaya Tetangga, Apa Langkah Hukumnya? 24 Jul 2024 Apakah Sanksi Kebiri Berlaku bagi Anak Pelaku Kejahatan Seksual? 09 Jun 2016 Hukumnya Jika Saat Putusan Pengadilan, Anak Telah Masuk Usia Dewasa 28 Mar 2016 Anak 14 Tahun Mencuri Motor, Mungkinkah Dibebaskan? 31 Des 2015 Terkait anak yang terlibat tindak pidana, Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) menyebutkan dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum. Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Mengenai akibat hukum apa yang dapat dijatuhkan kepada anak yang terlibat tindak pidana terorisme, harus dilihat terlebih dahulu tindak pidana apa yang dilakukan oleh anak tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya mengenai pidana bagi Anak, ada pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: [1] a. pidana peringatan; b. pidana dengan syarat: 1) pembinaan di luar lembaga; 2) pelayanan masyarakat; atau 3) pengawasan. c. pelatihan kerja; d. pembinaan dalam lembaga; dan e. penjara. Sedangkan pidana tambahan terdiri atas: [2] 1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau 2. Pemenuhan kewajiban adat. Yang dimaksud dengan “kewajiban adat” adalah denda atau tindakan yang harus dipenuhi berdasarkan norma adat setempat yang tetap menghormati harkat dan martabat Anak serta tidak membahayakan kesehatan fisik dan mental Anak. Pidana penjara di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) bagi anak hanya dijatuhi apabila keadaan dan perbuatan Anak akan membahayakan masyarakat. [3] Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak pun paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. [4] Selain itu perlu diketahui juga bahwa terhadap anak tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. [5] Jika tindak pidana yang dilakukan Anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, hukuman yang dapat dijatuhkan adalah penjara paling lama 10 tahun. [6] Contohnya anak tersebut dijerat dengan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran  terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Maka bagi anak tersebut, ia tidak dapat dihukum mati atau penjara seumur hidup. Pidana yang dapat dijeratkan kepada anak tersebut adalah pidana penjara paling lama 10 tahun (setengah dari 20 tahun, dan 10 tahun juga berlaku bagi ancaman pidana mati atau penjara seumur hidup). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak . [1] Pasal 71 ayat (1) UU SPPA [2] Pasal 71 ayat (2) UU SPPA [3] Pasal 81 ayat (1) UU SPPA [4] Pasal 81 ayat (2) UU SPPA [5] Pasal 3 huruf f UU SPPA [6] Pasal 81 ayat (6) UU SPPA acara peradilan hukumonline anak uu terorisme uu sppa peradilan anak hukum klinik hukumonline anak berhadapan dengan hukum pidana" }
{ "from": "human", "value": "Mohon info bagaimana prosedur cerai bagi istri yang bersuamikan anggota militer? Apakah bisa diproses di pengadilan non-militer? Sang istri dari kalangan sipil. Alasan cerainya karena suami sering melakukan KDRT dan sudah bertahun-tahun menelantarkan istri beserta dua anak yang masih kecil. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, prosedur perkawinan dan perceraian bagi anggota militer/Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (lihat Pasal 63 ayat [1] UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ). Sehingga, apabila pasangan tersebut beragama Islam, maka permohonan cerai dimohonkan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon, dalam hal ini suami (lihat Pasal 66 ayat [2] UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ). Sedangkan, apabila Anda beragama selain Islam, gugatan cerai diajukan ke Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Lebih jauh mengenai proses perceraian simak Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat? . KLINIK TERKAIT Hukumnya Bercerai karena Pacar Suami Hamil 27 Mei 2024 Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara 25 Apr 2024 Benarkah Pernikahan Katolik Tidak Bisa Cerai? 15 Sep 2023 Izin Cerai Anggota Polri 08 Feb 2011 Untuk dapat melakukan perceraian, harus ada cukup alasan bahwa suami isteri tidak lagi dapat hidup rukun sebagai suami isteri (lihat Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan - “UUP” ). Menurut penjelasan Pasal 39 ayat (2) UUP , alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar perceraian adalah : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga. Selain alasan-alasan tersebut di atas, khusus bagi Pegawai ( Pegawai Negeri Sipil / PNS dan anggota TNI ) yang hendak bercerai, sebenarnya harus mendapat izin dari Pejabat yang berwenang (lihat Pasal 9 ayat [1] Peraturan Menteri Pertahanan No. 23 Tahun 2008 tentan g Perkawinan, Perceraian dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan – “Permenhan 23/2008” ). Kewenangan pemberian izin perceraian bagi Pegawai di lingkungan Departemen Pertahanan menurut Pasal 16 Permenhan 23/2008 adalah sebagai berikut: (1) Presiden untuk Pejabat Menteri Pertahanan. (2) Menteri Pertahanan untuk Pejabat : a. Pejabat Eselon I dan II PNS di lingkungan Departemen Pertahanan; dan b. PNS Golongan Ruang IV/d sampai dengan IV/e di lingkungan (3) Departemen Pertahanan. (4) Panglima TNI untuk Pejabat Perwira Tinggi yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan. (5) Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan untuk Pejabat : a. Pejabat Eselon III dan IV PNS di lingkungan Departemen Pertahanan; b. Prajurit TNI berpangkat Letnan Kolonel dan Mayor yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan; dan c. PNS Golongan Ruang IV/a sampai dengan IV/c di lingkungan Departemen Pertahanan. (6) Kepala Staf Umum TNI untuk Pejabat Perwira menengah berpangkat Kolonel di lingkungan Departemen Pertahanan. (7) Ka Satker/Sub Satker Dephan untuk : a. PNS Golongan Ruang III/d ke bawah di lingkungan Departemen Pertahanan; dan b. Prajurit TNI berpangkat Kapten ke bawah yang bertugas di lingkungan Departemen Pertahanan. Namun, dalam hal istri warga sipil yang ingin mengajukan gugatan perceraian, maka gugatan perceraian terhadap suami disampaikan langsung ke Pengadilan Negeri/Pengadilan Agama (lihat Pasal 14 ayat [1] Permenhan 23/2008 ). Dan suaminya sebagai anggota TNI wajib menyampaikan kepada Pejabat yang berwenang perihal adanya gugatan cerai yang diajukan terhadapnya (lihat Pasal 14 ayat [2] Permenhan 23/2008 ). Selanjutnya, dalam Pasal 14 ayat (3) Permenhan 23/2008 dinyatakan bahwa dalam hal Pegawai digugat melalui pengadilan, atasan yang berwenang wajib memberikan pembelaan. Jadi, sang istri dapat menggugat cerai suaminya yang berstatus anggota TNI melalui Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri dengan alasan telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan menelantarkan istri dan anak-anaknya selama bertahun-tahun. Namun, perceraian sebaiknya menjadi upaya terakhir karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (lihat Pasal 1 UUP ). Sekedar untuk referensi Anda, simak pula beberapa artikel terkait KDRT di bawah ini: - Kekerasan Dalam Rumah Tangga ; - Status Laporan KDRT Pasca Cerai . Demikian jawaban dari kami, semoga dapat membantu. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 3. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia 4. Peraturan Menteri Pertahanan No. 23 Tahun 2008 tentan g Perkawinan, Perceraian Dan Rujuk Bagi Pegawai di Lingkungan Departemen Pertahanan Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Biasanya dapat kita lihat bahwa di seluruh Indonesia aparat POLRI dalam melakukan pemeriksaan/interogasi terhadap tersangka sering melakukan tindak kekerasan. Apakah POLRI tidak memiliki suatu prosedural atau kode etik dalam melakukan pemeriksaan terhadap tersangka sehingga dengan seenaknya main pukul atau maki terhadap tersangka yang juga memiliki hak-hak asasi? Bila melihat masa pendidikan para bintara POLRI apakah mungkin mereka mengerti dalam melaksanakan segala aturan hukum khususnya HUKUM PIDANA?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pemeriksaan Tersangka maupun Saksi di Kepolisian pada dasarnya diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan juga UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU PSK”) . Selain kedua UU tersebut, ada juga UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”) yang pada dasarnya mengamanatkan dalam Bab V tentang Pembinaan Profesi. Turunan dalam UU Kepolisian tersebut di antaranya adalah Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 7/2006”) dan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Perkap 8/2009”) . KLINIK TERKAIT Upaya Hukum atas Putusan Praperadilan, Adakah? 12 Jul 2024 Berikut Ini Pemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan 21 Apr 2023 Seluk Beluk Praperadilan: Dari Objek Hingga Upaya Hukumnya 06 Mar 2023 Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana 15 Nov 2022 Secara khusus, KUHAP telah mengatur pada Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa dan Bab VII tentang Bantuan Hukum. Ketentuan–ketentuan lainnya yang menjamin hak-hak tersangka juga tersebar dalam pasal-pasal lain dalam KUHAP seperti dalam hal pra peradilan ataupun dalam ganti kerugian akibat upaya paksa yang melawan hukum. Selain itu dalam UU PSK, khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) telah merinci dengan cukup baik hak–hak saksi/korban selama menjalani pemeriksaan baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di Pengadilan. Dalam Perkap 7/2006, khususnya dalam Pasal 7 telah dijelaskan bahwa Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya, dengan tidak melakukan tindakan-tindakan berupa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (a) Bertutur kata kasar dan bernada kemarahan; (b) Menyalahi dan atau menyimpang dari prosedur tugas; (c) Bersikap mencari-cari kesalahan masyarakat; (d) Mempersulit masyarakat yang membutuhkan bantuan/pertolongan; (e) Menyebarkan berita yang dapat meresahkan masyarakat; (f) Melakukan perbuatan yang dirasakan merendahkan martabat perempuan; (g) Melakukan tindakan yang dirasakan sebagai perbuatan menelantarkan anak-anak di bawah umur; dan (h) Merendahkan harkat dan martabat manusia Pada Perkap 8/2009, khususnya dalam Pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan: (a) penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum; (b) penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; (c) pelecehan atau kekerasan seksual terhadap tahanan atau orang-orang yang disangka terlibat dalam kejahatan; (d) penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia; (e) korupsi dan menerima suap; (f) menghalangi proses peradilan dan/atau menutup-nutupi kejahatan; (g) penghukuman dan tindakan fisik yang tidak berdasarkan hukum ( corporal punishment ); (h) perlakuan tidak manusiawi terhadap seseorang yang melaporkan kasus pelanggaran HAM oleh orang lain; (i) melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan yang tidak berdasarkan hukum; (j) menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan Dalam Pasal 13 ayat (1) Perkap 8/2009 juga disebutkan bahwa dalam melaksanakan kegiatan penyelidikan, setiap petugas Polri dilarang: (a) melakukan intimidasi, ancaman, siksaan fisik, psikis ataupun seksual untuk mendapatkan informasi, keterangan atau pengakuan; (b) menyuruh atau menghasut orang lain untuk melakukan tindakan kekerasan di luar proses hukum atau secara sewenang-wenang; (c) memberitakan rahasia seseorang yang berperkara; (d) memanipulasi atau berbohong dalam membuat atau menyampaikan laboran hasil penyelidikan; (e) merekayasa laporan sehingga mengaburkan investigasi atau memutarbalikkan kebenaran; (f) melakukan tindakan yang bertujuan untuk meminta imbalan dari pihak yang berperkara. Berdasarkan keseluruhan peraturan ini tentunya diharapkan bahwa setiap anggota kepolisian dapat bertindak sesuai dengan peraturan perundang–undangan yang berlaku di Indonesia. Demikian jawaban kami, terima kasih. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 4. Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia 5. Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah salah seorang pegawai di Kantor Urusan Agama di salah satu Kecamatan di Provinsi Riau. Ada satu kasus yang ingin saya tanyakan. Ketika seorang laki-laki yang tanpa kewarganegaraan (stateless) karena mengungsi dari negaranya dan sekarang berada di wilayah RI dalam proses mencari suaka ke Australia dan sekarang dalam penampungan oleh UNHCR. Laki-laki tersebut ingin menikah dengan perempuan warga negara Indonesia. Bagaimana prosedur pernikahannya menurut aturan yang berlaku di Indonesia? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, perlu dicatat bahwa dengan fakta-fakta yang disebutkan di atas bahwa laki-laki tersebut sekarang berada dalam penampungan oleh UNHCR ( United Nations High Comissioner for Refugees ), maka dapat dikatakan bahwa laki-laki tersebut merupakan pengungsi yang mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan 1951 Convention Relating to the Status of Refugees ( “ Konvensi 1951 ” ). KLINIK TERKAIT Hukum Perceraian bagi Perkawinan Katolik 04 Mei 2021 Cara Mengetahui Keabsahan Perceraian Seseorang 24 Sep 2018 Sahkah Perkawinan Mualaf yang Belum Ber-KTP Islam? 08 Nov 2012 Menikah dengan Warga Negara Korea Selatan 02 Jul 2012 Konvensi 1951 memberikan perlindungan terhadap hak-hak dari seorang pengungsi yang antara lain: 1. Hak untuk tidak dikeluarkan secara paksa dari wilayah negara penerima pengungsi, kecuali dengan ketentuan yang diatur lebih lanjut (Pasal 32); Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Hak untuk tidak dihukum atas tindakan memasuki wilayah negara penerima atau negara anggota Konvensi 1951 secara ilegal (Pasal 31); 3. Hak atas pekerjaan (Pasal 17 sampai dengan 19); 4. Hak atas tempat tinggal (Pasal 21); 5. Hak atas pendidikan (Pasal 22); 6. Hak atas bantuan publik dan pertolongan (Pasal 23); 7. Hak atas kebebasan beragama (Pasal 4); 8. Hak atas akses pada pengadilan (Pasal 16); 9. Hak atas kebebasan berpindah dalam wilayah negara penerima (Pasal 26); dan 10. Hak atas kartu pengenal dan dokumen-dokumen perjalanan (Pasal 27 dan 28). Namun, Indonesia sampai dengan saat ini belum meratifikasi Konvensi 1951 sehingga Indonesia belum terikat dengan ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut. Meskipun demikian, Indonesia tetap terikat pada ketentuan hukum kebiasaan internasional yang mengatur mengenai pengungsi. Sejauh yang kami dapat telusuri, pe r aturan yang mengatur mengenai pengungsi adalah Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal ( “ Peraturan 2010 ” ). Peraturan 2010 tersebut menyatakan bahwa seorang imigran gelap dapat diberikan fasilitas selayaknya pengungsi apabila telah mendapat status sebagai pengungsi dari UNHCR ( Pasal 3 ayat [ 1 ] ). Namun, Peraturan 2010 tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan perlindungan hak-hak pengungsi di Indonesia. Sementara itu, di d alam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ( “ UU Perkawinan ” ), hanya dikenal perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara Indonesia, dan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing, yang sering disebut dengan perkawinan campuran. Ketentuan UU Perkawinan menunjukkan bahwa persyaratan dan prosedur pernikahan yang berlaku mengikuti prosedur dan persyaratan yang berlaku terhadap orang tersebut. Dengan kata lain, prosedur dan persyaratan pernikahan mengikuti status personal dari para mempelai. Hal tersebut ditekankan lebih lanjut oleh Prof. Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Jilid III Bagian I Buku Ke-7, pada halaman 187 , bahwa hukum mengenai perkawinan termasuk bidang status personal. Sehingga warga negara Indonesia ataupun warga negara asing yang ingin melangsungkan pernikahan wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum nasionalnya. Dalam hal prosedur perkawinan, Prof. Sudargo menyatakan bahwa mengenai vorm , cara-cara formalitas, upacara dilangsungkannya perkawinan, dilakukan menurut ketentuan-ketentuan hukum di tempat berlangsungnya perkawinan tersebut, yakni berlakunya adagium locus regit actum dari Pasal 18 Algemeine Bepallingen van wetgeving voor Indonesie . Lebih lanjut, keadaan tanpa kewarganegaraan memperlihatkan tidak adanya status personal dari laki-laki dalam kasus ini. Hukum Indonesia sendiri belum mengakui adanya status personal seorang yang tidak berkewarganegaraan. Walaupun secara internasional Konvensi 1951 menyatakan bahwa status personal seorang pengungsi diatur berdasarkan hukum dari negara tempat domisilinya, atau apabila tidak memiliki tempat domisili, dapat diatur berdasarkan ketentuan negara tempat tinggalnya (Pasal 12 ayat [ 1 ] Konvensi 1951). Ketentuan tersebut memberikan kejelasan mengenai status personal seorang pengungsi sehingga dapat dijadikan dasar penentuan syarat dan prosedur perkawinan dalam hal ini. Namun, perlu diingat bahwa ketentuan tersebut tidak mengikat Indonesia, karena belum diratifikasinya Konvensi 1951. Sehingga dalam permasalahan ini, laki-laki yang tanpa kewarganegaraan, walaupun berstatus sebagai seorang pengungsi, dalam hukum Indonesia tidak dapat melangsungkan perkawinan yang sah secara karena tidak adanya kejelasan status personal yang dapat dijadikan dasar penentuan syarat dan prosedur dari perkawinan tersebut. Dasar hukum : 1. Algemeine Bepallingen van wetgeving voor Indonesia (AB) 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi Nomor IMI-1489.UM.08.05 Tahun 2010 tentang Penanganan Imigran Ilegal; Referensi : 1. 1951 Convention Relating to the Status of Refugees 2. Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian I Buku Ke-7 , Bandung:Penerbit Alumni, 1995. uu perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Mau tanya dong. Abang saya sedang mengajukan ke pengadilan agama mengenai waris. Permasalahannya RT/RW setempat tidak mau membuat surat keterangan ke kami untuk membuat fatwa waris. Kalau kita mengajukan ke pengadilan agama, prosesnya berapa lama dan bagaimana cara kerjanya? Thanks." }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk permasalahan yang sedang Anda alami dapat saya jelaskan sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Dasar Hukum Penetapan Waris dan Akta Waris 04 Mei 2011 Surat Keterangan Hak Waris 31 Mar 2010 Bagaimana Penentuan Ahli Waris dari Pewaris Tanpa Keturunan? 30 Des 2009 Permohonan Penetapan Ahli Waris di Pengadilan Negeri 23 Jun 2009 Penetapan waris bukanlah merupakan wewenang dari RT atau RW setempat, melainkan merupakan wewenang dari Pengadilan agama dalam hal si pewaris dan ahli waris adalah orang yang beragama Islam. Pada Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU Peradilan Agama”) disebutkan bahwa: “…Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: b. waris.. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penjelasan lebih detail mengenai permasalahan waris apa saja yang diatur dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 49 huruf b UU Peradilan Agama yang berbunyi: “…Yang dimaksud dengan \"waris\" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris…” Berdasarkan penjelasan di atas jelas bahwa yang berhak untuk mengeluarkan penetapan ahli waris adalah Pengadilan Agama. Dalam masalah warisan ini dapat ditempuh dua cara, yakni; - melalui gugatan .Dalam hal gugatan yang diajukan, berarti terdapat sengketa terhadap objek waris. Hal ini bisa disebabkan karena adanya ahli waris yang tidak mau membagi warisan sehingga terjadi konflik antara ahli waris. Proses akhir dari gugatan ini akan melahirkan produk hukum berupa putusan , atau - melalui permohonan yang diajukan para ahli waris dalam hal tidak terdapat sengketa. Terhadap permohonan tersebut pengadilan akan mengeluarkan produk hukum berupa penetapan . Adapun proses untuk mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama bisa ditempuh dengan cara mengajukan Surat Permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya yang sah dan ditujukan ke Ketua Pengadilan Agama yang meliputi tempat tinggal Pemohon (lihat Pasal 118 HIR/142 RBG ). Bagi Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Agama (lihat Pasal 120 HIR, Pasal 144 R.Bg ). Kemudian, Pemohon membayar biaya perkara (lihat Pasal 121 ayat [4] HIR, 145 ayat [2] RBG, Pasal 89 dan Pasal 91A UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ). Setelah itu Hakim akan memeriksa perkara Permohonan tersebut dan terhadap permohonan tersebut Hakim kemudian akan mengeluarkan suatu Penetapan . Mengenai berapa lama prosesnya hal itu sulit dipastikan karena akan sangat bergantung pada situasi yang ada. Misalnya, Hakim atau Pemohon berhalangan hadir sehingga sidang harus ditunda, ataupun misalnya bukti yang diajukan pemohon tidak lengkap, sehingga harus dilengkapi lagi dan sidang kembali ditunda. Pada prinsipnya, Pengadilan mengandung asas cepat, sederhana, biaya ringan, sebagaimana hal tersebut ditegaskan kembali dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara , yang menyatakan : “…Untuk itu, Mahkamah Agung memandang perlu menegaskan kembali dan memerintahkan kepada Saudara hal-hal sebagai berikut: 1. Bahwa perkara-perkara di Pengadilan harus diputus dan diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan termasuk minutasi, yaitu: a. perkara-perkara perdata umum, perdata agama dan perkara tata usaha negara , kecuali karena sifat dan keadaan perkaranya terpaksa lebih dari 6 (enam) bulan, dengan ketentuan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang bersangkutan wajib melaporkan alasan-alasannya kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding… ” Oleh karena itu, seharusnya semua perkara baik permohonan atau pun gugatan yang diperiksa di tingkat peradilan pertama baik itu Pengadilan Agama maupun Pengadilan Umum harus diputus atau diselesaikan dalam waktu 6 (enam) bulan. Demikian yang dapat saya jelaskan, semoga dapat membantu menjawab permasalahan Anda. Dasar hukum : 1. Het Herzien Inlandsch Reglement (HIR) / Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), (S. 1848 No. 16, S.1941 No. 44) 2. Rechtsreglement Buiten Gewesten (RBG) (Staatsblad 1927 No. 227) 3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah beberapa kali diubah pertama dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 . 4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 3 Tahun 1998 tentang Penyelesaian Perkara" }
{ "from": "human", "value": "Apakah seorang anak perempuan yang murtad dapat dipersamakan kedudukannya dengan anak kandung perempuan pewaris yang mewaris bersama-sama dengan janda si pewaris? dasar hukumnya apa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Di dalam hukum Islam telah ditetapkan bahwa waris mewarisi terjadi karena: 1. Pertalian Kekeluargaan; 2. Perkawinan; dan 3. Hubungan Agama (hal ini terjadi, apabila orang yang telah meninggal itu tidak mempunyai ahli waris. Harta peninggalannya itu diserahkan ke baitulmal untuk umat Islam, sebagai warisan). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Diantaranya ahli waris ada yang tidak mendapat warisan, karena beberapa sebab: 1. Pembunuh Pembunuh tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang dibunuhnya. Sudah sepantasnya si pembunuh itu tidak mendapat warisan, supaya jangan sampai terjadi bunuh-membunuh karena mengharapkan harta warisan. Demikian pendapat sebagian besar ulama. 2. Orang kafir Orang kafir tidak berhak mendapat warisan dari keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga sebaliknya. Sumber hukumnya adalah salah satu hadist Rasulullah, Rasulullah bersabda bahwa \"Orang Islam tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam\". 3. Orang murtad Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang beragama Isalm. Demikian juga sebaliknya. Rasulullah bersabda, diriwayatkan dari Abi Bardah, beliau berkata: \"Saya telah diutus oleh Rasulullah saw kepada seorang laki-laki yang telah kawin dengan istri bapaknya, maka Rasulullah menyuruh saya untuk memenggal lehernya dan membagi-bagikan hartanya sebagai harta rampasan, sedang dia adalah murtad.\" Dengan demikian seorang anak perempuan yang murtad termasuk salah seorang dari ahli waris yang tidak mendapat warisan, apalagi dipersamakan kedudukannya dengan anak kandung perempuan pewaris." }
{ "from": "human", "value": "Salam klinik hukum, saya ingin bertanya tentang bagaimana proses sebuah Circulair Resolution itu dibuat? Apakah tiba-tiba salah satu pemegang saham mengirimkan surat kepada pemegang saham lainnya atau bagaimana? Apakah ada tindakan-tindakan lainnya? Karena dalam UU PT tidak diatur mengenai proses dari awal atas sebuah Circulair Resolution. Demikian, saya ucapkan terima kasih atas perhatiannya, salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Salam Bapak Diaz Wiriardi. KLINIK TERKAIT Wajibkah Membuat Berita Acara RUPS? 10 Okt 2023 RUPS Tahunan Terlambat Diselenggarakan, Adakah Sanksinya? 04 Okt 2023 Pemberian Corporate Guarantee oleh PT, Perlukah Persetujuan RUPS? 19 Apr 2022 Status Hukum RUPS yang Belum Diberitahukan Kepada Menteri Hukum dan HAM 07 Okt 2010 Secara umum, Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) mensyaratkan para pemegang sahamnya untuk hadir secara fisik untuk memutuskan hal-hal yang diperlukan terkait kepentingan perseroan. Namun, seringkali dirasakan adanya kesulitan untuk mengumpulkan para pemegang saham secara bersama-sama sedangkan putusan RUPS diperlukan untuk memutuskan suatu permasalahan. Oleh karena itu, UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) memberikan solusi dengan diperbolehkannya pengambilan keputusan RUPS melalui keputusan sirkuler. Ketentuan mengenai keputusan sirkuler ( circulair resolution ) ini dapat kita temui dalam Pasal 91 UUPT yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Pemegang saham dapat juga mengambil keputusan yang mengikat di luar RUPS dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul yang bersangkutan.” Berdasarkan ketentuan tersebut, syarat yang harus dipenuhi adalah adanya persetujuan dari 100 (seratus) persen para pemegang saham perseroan. Memang UUPT tidak mengatur mengenai proses dibuatnya keputusan sirkuler ini. Namun, dalam praktiknya, para pemegang saham telah melakukan komunikasi perihal hal-hal apa saja yang akan diputuskan dalam keputusan sirkuler tersebut untuk kemudian dituangkan dalam “Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham”. Lalu keputusan sirkuler itu harus ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan berlaku sejak semua pemegang saham telah menandatanganinya. Irma Devita Purnamasari dalam artikel “ Pokok-Pokok Perbedaan antara UUPT No. 1/1995 dengan UUPT No. 40/2007 ”, menulis bahwa “Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham” dibuat di bawah tangan, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Akta Pernyataan Keputusan di Luar Rapat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Mohon penjelasan di mana saya bisa dapatkan aliran data/proses/prosedur pembuatan sertipikat tanah terima kasih. Wass, Irina." }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk prosedur pembuatan sertipikat untuk tanah yang belum bersertipikat sudah pernah kami bahas, dan dapat Anda lihat di artikel ini . Prosedur penerbitan sertipikat tanah juga Anda bisa lihat di situs resmi BPN ( bpn.go.id ): PENDAFTARAN PERTAMA KALI Jenis Layanan Prosedur Sertipikat Wakaf Untuk Tanah Yang Belum Terdaftar Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Surat Permohonan 2. Identitas diri Wakif (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) 3. Identitas diri Nadzir (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) 4. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan 5. Bukti perolehan kepemilikan tanah disertai: a. pernyataan pemohon bahwa telah menguasai secara fisik selama 20 tahun terus menerus b. keterangan Kepala Desa/Lurah dengan saksi 2 orang tetua adat/penduduk setempat yang membenarkan penguasaan tanah tersebut. 6. Akta Ikrar Wakaf 7. Surat Pengesahan Nadzir 8. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk sporadik). 2. 120 hari 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Pendaftaran Pertama Kali Konversi - Sistematik Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). 3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu: a. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kekitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau g. akta ikrar wakaf/surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau j. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA. l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum berlakunya UUPA. 4. Surat Pernyataan Tdk Dalam Sengketa diketahui Kades/Lurah dan 2 Saksi dari tetua adat / penduduk setempat. 5. Foto copy SPPT PBB tahun berjalan. Biaya dan Waktu 1. Sesuai PP 46/2002 dan SE Ka. BPN No.600-1900 tanggal 31 Juli 2003 (Diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk Sporadik) 2. Waktu: 90 hari/100 bidang. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Pendaftaran Tanah Pertama Kali Konversi - Sporadik Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan 2. Identitas diri para pemilik tanah / pemohon (dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) dan atau kuasanya (untuk Perorangan: fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku atau untuk Badan Hukum: fotocopy Akta Pendirian Perseroan dan Perubahan-perubahannya, serta dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) 3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu: a. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kikitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau g. akta ikrar wakaf / akta pengganti ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau j. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang), atau k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, atau l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakunya UUPA (dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang), atau 4. Bukti lainnya, apabila tidak ada surat bukti kepemilikan : Surat Prnyataan Penguasaan fisik lebih dari 20 thn secara terus-menerus dan surat keterangan Kades / Lurah disaksikan oleh 2 org tetua adat / penduduk setempat. 5. Surat Pernyataan telah memasang tanda batas 6. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan 7. Fotocopy SK Izin Lokasi dan Sket Lokasi (apabila pemohon adalah Badan Hukum) Persyaratan Tanda Batas, bentuk dan ukuran luas di bawah 10 ha: 1. Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm 2. Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang 100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau 3. Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m tinggi 0.40 m, atau 4. Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu. Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk sporadik). 2. 120 hari 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Pendaftaran Tanah Pertama Kali Pengakuan Dan Penegasan Hak - Sporadik Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Surat Permohonan dan Surat kuasa, jika permohonannya dikuasakan 2. Identitas diri para pemilik tanah / pemohon (dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) dan atau kuasanya (untuk perseorangan: fotocopy KTP dan KK yang masih berlaku atau untuk Badan Hukum: fotocopy Akte Pendirian Perseroan dan Perubahan-perubahannya, serta dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang) 3. Bukti tertulis yang membuktikan adanya hak yang bersangkutan, yaitu: a. surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang bersangkutan, atau b. sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959, atau c. surat keputusan pemberian hak milik dari Pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua kewajiban yang disebut didalamnya, atau d. petuk Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kikitir dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya PP No. 10/1961, atau e. akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan yang dibubuhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau f. akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau g. akta ikrar wakaf / akta pengganti ikrar wakaf / surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan PP No. 28/1977 dengan disertai alas hak yang diwakafkan, atau h. risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang berwenang, yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau i. surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah Daerah, atau j. surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan disertai alas hak yang dialihkan dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang), atau k. lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, VI dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, atau l. Surat-surat bukti kepemilikan lainnya yang terbit dan berlaku sebelum diberlakunya UUPA (dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang), atau 4. Bukti lainnya, apabila tidak ada surat bukti kepemilikan : Surat Prnyataan Penguasaan fisik lebih dari 20 thn secara terus-menerus dan surat keterangan Kades / Lurah disaksikan oleh 2 org tetua adat / penduduk setempat. 5. Surat Pernyataan telah memasang tanda batas 6. Fotocopy SPPT PBB tahun berjalan 7. Fotocopy SK Izin Lokasi dan Sket Lokasi (apabila pemohon adalah Badan Hukum) Persyaratan Tanda Batas, bentuk dan ukuran luas di bawah 10 ha: 1. Pipa besi, Panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm, atau Pipa paralon diisi beton, panjang 100 cm dan bergaris tengah 5 cm 2. Kayu besi, bengkirai, jati, atau kayu lainnya yang kuat, panjang 100 cm dan bergaris tengah 7.5 cm, atau 3. Tugu dari batu bata atau batako dilapisi semen 0.20 m X 0.20 m tinggi 0.40 m, atau 4. Tugu dari beton , batu kali atau granit 0.10 m2 tinggi 0,5 m, atau tembok - tembok atau pagar besi / beton / kayu. Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000 / bidang (diluar biaya pengukuran dan pemetaan untuk sporadik). 2. 120 hari 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. TANAH TERDAFTAR Jenis Layanan Prosedur Penggabungan Sertipikat Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Permohonan yang disertai alasan Penggabungan tersebut. 2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). 3. Sertipikat Hak Atas Tanah asli, dengan catatab: a. Jika semua Sertipikat yang digabung sudah menggunakan SU maka tidak diperlukan pengukuran (harus ada pernyataan dari pemohon bahwa bidang tanah yang akan digabung tidak ada perubahan fisik) b. Jika salah satu atau semua Sertipikat yang digabung masih menggunakan Gambar Situasi, maka perlu dilaksanakan pengukuran c. Jika SU pada salah satu atau semua Sertipikat tidak memenuhi syarat teknis atau ada perubahan bentuk dan ukuran, maka perlu dilakukan pengukuran Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000,- untuk setiap Hak Atas Tanah hasil pengabungan. 2. Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Keterangan: Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat yang berwenang diperlukan SE KBPN. Pemisahan Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Permohonan yang disertai alasan Pemisahan tersebut. 2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP). 3. Sertipikat Hak Atas Tanah asli. 4. Site Plan (Untuk Kawasan Pembangunan Perumahan). Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemisahan yang diterbitkan. 2. Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Keterangan: Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat yang berwenang diperlukan SE KBPN. Pemecahan Sertipikat Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997. 4. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 5. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Permohonan yang disertai alasan Pemecahan tersebut. 2. Identitas diri pemohon dan atau kuasanya (fotocopy KTP). 3. Sertipikat Hak Atas Tanah asli. 4. Site Plan (Untuk Kawasan Pembangunan Perumahan). Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000,- dikalikan banyaknya sertipikat pemecahan yang diterbitkan. 2. Waktu: 7 hari kerja = 1 bidang diluar waktu Pengukuran. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Keterangan: Catatan: Untuk menghapus catatan dalam sertipikat tentang ijin pejabat yang berwenang diperlukan SE KBPN. Perubahan HM Menjadi HGB Atau HP Dan HGB Menjadi HP Tanpa Ganti Blanko Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 4. Keputusan Menteri Negara Agraria No. 16 Tahun 1997 5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 6. SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Persyaratan: 1. Surat Permohonan perubahan hak 2. Surat Kuasa jika yang mengajukan permohonan bukan yang bersangkutan bermeterai cukup 3. Identitas pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy) : 1. Perorangan : KTP yang masih berlaku *) 2. Badan Hukum : FC Akta Pendirian Pengesahan Badan Hukum yang telah disahkan *) 4. Sertipikat Hak Atas Tanah (aslinya) 5. Kutipan Risalah Lelang jika perlolehannya melalui proses pelelangan 6. Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT) 7. Bukti pelunasan BPHTB Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000,- / sertipikat 2. Waktu: 3 hari kerja 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Keterangan: *) dilegalisir oleh pejabat berwenang Catatan: 1. Untuk perubahan HM menjadi HGB atau HP, pemohon tidak dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan kepada negara 2. Untuk perubahan HGB menjadi HP, pemohon wajib membayar uang pemasukan kepada negara dengan memperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar kepada negara untuk memperoleh HGB ybs. Perubahan HM Menjadi HGB Atau HP Dan HGB Menjadi HP Dengan Ganti Blanko Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 4. Keputusan Menteri Negara Agraria No. 16 Tahun 1997 5. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 6. SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Persyaratan: 1. Surat Permohonan perubahan hak 2. Surat Kuasa jika yang mengajukan permohonan bukan yang bersangkutan bermeterai cukup 3. Identitas pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy) : 1. Perorangan : KTP yang masih berlaku *) 2. Badan Hukum : FC Akta Pendirian Pengesahan Badan Hukum yang telah disahkan *) 4. Sertipikat  Hak Atas Tanah (aslinya) 5. Kutipan Risalah Lelang jika perlolehannya melalui proses pelelangan 6. Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT) 7. Bukti pelunasan BPHTB Biaya dan Waktu 1. Rp. 50.000,- 2. Waktu: 10 hari kerja 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Keterangan: *) dilegalisir oleh pejabat berwenang Catatan: 1. Untuk perubahan HM menjadi HGB atau HP, pemohon tidak dikenakan kewajiban membayar uang pemasukan kepada negara 2. Untuk perubahan HGB menjadi HP, pemohon wajib membayar uang pemasukan kepada negara dengan memperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar kepada negara untuk memperoleh HGB ybs. Pemberian Informasi surat Ukur dikenakan Biaya Rp.25.000,- meliputi kegiatan: 1. Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena (Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di serahkan karena ekskusi lelang serta penggantian sertipikat berdasarkan Keputusan Pengadilan 2. Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan perubahan hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas tanah. 3. Permohonan informasi tentang satu bidang tanah berupa fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada PMNA/KBPN Nomor 3/1997. Perubahan Hak Dari HGB Menjadi HM Untuk RS/RSS Tanpa Ganti Blanko Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 4. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1997 5. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 15 Tahun 1997 6. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1998 7. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 8. SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Persyaratan: 1. Surat Permohonan perubahan hak 2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy KTP yang masih berlaku)  *) 3. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan 4. Sertipikat HAT (HGB/HP), luas tidak lebih dari 200 m2 untuk perkotaan dan tidak lebih dari 400 m2 untuk luar perkotaan 5. Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari Rp. 30.000.000,-) 6. Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT) 7. Membayar uang pemasukan kepada Negara. Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000,- 2. Waktu: 3 hari kerja 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Keterangan: *)\ndilegalisir oleh pejabat berwenang Catatan : 1. Persyaratan no. 2 tidak diperlukan KK (NIK sudah tercantum dalam KTP) 2. Persyaratan no. 3 Surat kuasa bermeterai cukup Perubahan Hak Dari HGB Menjadi HM Untuk RS/RSS Dengan Ganti Blanko Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 4. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1997 5. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 15 Tahun 1997 6. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1998 7. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 8. SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003 Persyaratan: 1. Surat Permohonan perubahan hak 2. Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (foto copy KTP yang masih berlaku)  *) 3. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan 4. Sertipikat HAT (HGB/HP), luas tidak lebih dari 200 m2 untuk perkotaan dan tidak lebih dari 400 m2 untuk luar perkotaan 5. Akta Jual Beli / Surat Perolehan (harga perolehan tidak lebih dari Rp. 30.000.000,-) 6. Surat Persetujuan dari pemegang HT (jika dibebani HT) 7. Membayar uang pemasukan kepada Negara. Biaya dan Waktu 1. Rp. 50.000,- 2. Waktu: 10 hari kerja 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Keterangan: *)\ndilegalisir oleh pejabat berwenang Catatan : 1. Persyaratan no. 2 tidak diperlukan KK (NIK sudah tercantum dalam KTP) 2. Persyaratan no. 3 Surat kuasa bermeterai cukup 3. 10 hari adalah jangka waktu maksimal Pemberian Informasi surat Ukur di kenakan Biaya Rp.25000 meliputi kegiatan: 1. Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena (Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di serahkan karena ekskusi lelang serta penggantian sertipikat berdasarkan Keputusan Pengadilan 2. Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan  perubahan hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas  tanah. 3. Permohonan informasi tentang satu bidang tanah berupa fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada PMNA/KBPN Nomor 3/1997. Sertipikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun Dasar Hukum: 1. Undang-undang No 5 Tahun 1960 2. Undang-undang No 16 Tahun 1986 3. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1988 tentang Rumah Susun 4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 5. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 6. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 7. SE Ka.BPN-600-1900 tanggal 31 Juli 2003 8. Perda tentang Rumah Susun (Belum semua daerah punya Perda) Persyaratan: 1. Permohonan yang disertai proposal pembangunan rumah susun 2. Identitas pemohon (Perorangan/Badan Hukum) 3. Sertipikat Hak Atas Tanah asli 4. Ijin layak huni 5. Advis Planinng 6. Akta pemisahan yang dibuat oleh penyelenggara pembangunan Rumah Susun, dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan dalam arah vertikal maupun horisontal serta nilai perbandingan proposionalnya *) Biaya dan Waktu 1. Rp. 25.000 / Sarusun (diluar biaya pengukuran) 2. Waktu: 10 hari kerja. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Keterangan: *)\nAkta Pemisahan dengan lampiran gambar dan uraian pertelaan disahkan oleh Pejabat yang berwenang (Bupati/ Walikota) Catatan : 1. Bahwa Kantor Pertanahan menjadii Sekretariat kegiatan pengesahan akta pemisahan dan pertelaan 2. Kepala Kantor Pertanahan menetapkan sistem perhitungan nilai perbandingan proposional dan pembuatan gambar dan uraian pertelaan khususnya dalam menentukan hak perseorangan dan hak bersama atas tanah, bagian dan benda bersama 3. Gambar dan uraian pertelaan dengan nilai perbandingan proposional dilampirkan pada akta pemisahan yang dibuat dan ditandatangani pemohon untuk disahkan oleh Bupati/Walikota (Khusus DKI oleh Gubernur) 4. Kegiatan no 1 dan 3 dibuat alur kegiatan pengesahan akta pertelaan 5. Pemberian Informasi surat Ukur di kenakan Biaya Rp.25000 meliputi Kegiatan: 1. Surat Ukur untuk sertipikat pengganti karena (Rusak,Hillang,ganti blanko dan sertipikat yang tidak di serahkan karena ekskusi lelang serta penggantian sertipikat berdasarkan Keputusan Pengadilan 2. Salinan Surat Ukur untuk keperluan permohonan  perubahan hak,perpajangan dan pembaharuan hak atas  tanah. 3. Permohonan informasi tentang satu bidang tanah berupa fotocopy surat ukur sesuai dengan DI 207pada PMNA/KBPN Nomor 3/1997. 6. 35 hari adalah jangka waktu maksimal 7. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam Sertipikat Wakaf Untuk Tanah Terdaftar Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria (UUPA). 2. UU Tentang Perwakafan Tanah Milik. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977. 4. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. 5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977. 6. Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional. 7. Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.600-1900 Tanggal 31 Juli 2003. Persyaratan: 1. Surat Permohonan. 2. Akta Ikrar Wakaf. 3. Sertipikat Hak Milik asli. 4. Surat Pengesahan Nadzir. 5. Surat Kuasa, jika permohonannya dikuasakan. 6. Identitas Wakif (fotocopy KTP dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). 7. Identitas Nadzir (fotocopy KTP dan dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang). Biaya dan Waktu 1. Rp. 0,- 2. Waktu: maksimal 20 hari kerja. 3. 1 (satu) hari kerja = 8 (delapan) jam. Sumber: bpn.go.id Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas" }
{ "from": "human", "value": "Terima kasih sebelumnya, semoga kami mendapat pencerahan. Ibu kami setelah bercerai dengan Ayah kami, menikah lagi dengan Ayah Tiri kami. Kami kakak beradik 4 orang perempuan. Setelah menikah dengan Ayah Tiri kami, mereka pun mempunyai seorang anak perempuan sebagai Saudara Tiri kami. Sehingga kami kakak beradik 5 orang. Selama hidupnya Ibu kami bekerja, dan lebih dominan dalam penghasilan dan menghidupi keluarga dibanding Ayah Tiri kami, begitulah yang kami lihat dan selalu juga diceritakan Ibu kami. Ibu kami saat ini sudah meninggal sekitar 1 tahun yang lalu. Sebelum meninggal, Ibu kami memberikan Sertifikat Rumah atas nama Ibu Kami dan berpesan bahwa rumah ini didapat dari hasil jerih payah ibu dan diperuntukkan untuk seluruh anak-anaknya. Sekarang Ayah Tiri kami ingin menjual rumah tersebut dan hasilnya dibagi dua. Ayah Tiri kami mendapat 50%, dan 50%nya lagi dibagi rata sesuai jumlah anak (5 orang). Dengan alasan bahwa Ibu bisa membeli rumah tersebut juga setelah menikah dengan dia. Mohon pencerahannya, karena saat ini kami merujuk pesan dari Ibu sebelum meninggal dan kami harapkan dibagikan rata 6 bagian, 5 anak + Ayah Tiri." }
{ "from": "gpt", "value": "Kami kurang mendapat keterangan apakah sebelum menikah Ayah tiri Anda dan Ibu Anda membuat perjanjian kawin yang berisi tentang pemisahan harta yang didapat oleh masing-masing pihak selama perkawinan atau tidak ada. Kami berasumsi bahwa tidak ada perjanjian kawin antara Ayah tiri Anda dengan Ibu Anda. Jika tidak ada perjanjian kawin maka harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, terlepas dari siapa yang lebih dominan dalam mengumpulkan harta bersama tersebut. Ini sebagaimana dikatakan dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan pengecualian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan , harta yang diperoleh masing-masing pihak sebagai hadiah atau warisan bukan harta bersama, melainkan harta bawaan. Harta bawaan berada di bawah penguasaan masing-masing pihak sepanjang tidak ditentukan lain. Pasal 35 ayat (2) UU Perkawinan: KLINIK TERKAIT Pembagian Harta Warisan Ayah Jika Ibu Masih Hidup 09 Jul 2024 Hak Ahli Waris atas Keuntungan Penjualan Tanah 06 Okt 2017 Masalah Pembagian Warisan Berdasarkan Musyawarah Para Ahli Waris 10 Sep 2013 Perlukah Izin Ibu Tiri Jika Ingin Menjual Rumah Warisan Ayah? 04 Sep 2013 “Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.” Oleh karena itu, jika rumah tersebut dibeli dalam perkawinan Ibu Anda dengan Ayah tiri Anda, maka rumah tersebut juga merupakan harta dari Ayah tiri Anda. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jika rumah tersebut dijual, berarti setengah dari uang yang diperoleh dari penjualan tersebut adalah harta Ayah tiri Anda dan setengahnya lagi adalah harta Ibu Anda. Setengah bagian yang merupakan harta Ibu Anda itulah yang menjadi hak dari ahli warisnya. Dalam hal ini, ahli waris dari Ibu Anda adalah Ayah tiri Anda serta anak-anaknya baik dari pernikahan pertama maupun dari pernikahan kedua. Lebih lanjut mengenai ahli waris, Anda dapat membaca beberapa artikel berikut ini: 1. Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata ; 2. Pembagian Harta Warisan Ayah, Ketika Ibu Masih Hidup . Jadi, jika tidak ada perjanjian kawin, maka Ayah tiri Anda memang berhak atas setengah dari hasil penjualan rumah tersebut yang merupakan bagian miliknya dalam harta bersama. Selain itu, Ayah tiri Anda juga berhak mendapat bagian harta warisan Ibu Anda (mendapat bagian dari setengah hasil penjualan rumah yang menjadi bagian dari harta Ibu Anda). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . warisan" }
{ "from": "human", "value": "Mohon Informasi. Siapa saja yang berhak atas warisan seorang lajang menurut hukum waris Islam bila yang bersangkutan tidak menulis wasiat? Perlu diketahui, keluarga yang masih hidup adalah ibu, 4 kakak, 7 adik. 1 kakak telah wafat dan mempunyai 3 anak, apakah 3 anak tersebut semuanya berhak atas warisan ? atau cukup diwakilkan oleh 1 orang yang tertua? Dan siapakah yang menentukan masing-masing besaran pembagian hak waris tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Kelompok ahli waris menurut Pasal 174 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) digolongkan berdasarkan hubungan darah dan hubungan perkawinan. Dalam hal ini pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan/atau istri. Sehingga berdasarkan Pasal 174 ayat (2) KHI , yang dapat menjadi ahli waris adalah Ibu dari pewaris yang masih hidup. Bagian dari Ibu, yang merupakan Zawil Furud atau ahli waris golongan pertama, menurut Pasal 178 ayat (1) KHI adalah sebesar 1/6 bagian dari harta waris si pewaris. Setelah dikeluarkan 1/6 bagian untuk Ibu, maka sisa 5/6 dari harta waris tersebut dibagikan kepada Ashabah, yaitu ahli waris yang mendapat sisa harta warisan pewaris setelah harta warisan tersebut dibagikan kepada golongan ahli waris pertama atau Zawil Furud , yaitu apabila melihat dari pertanyaan, berarti diberikan kepada saudara-saudara yang berjumlah 11 orang dengan pembagian berdasarkan perbandingan 2:1 apabila saudara-saudaranya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Apabila saudara-saudara dari pewaris terdiri dari laki-laki saja atau perempuan saja, maka pembagian dilakukan sama rata di antara para ahli waris KLINIK TERKAIT Haruskah Ahli Waris Membayar Tagihan Kartu Kredit Pewaris? 17 Jul 2023 Hak Waris Perempuan Menurut Hukum Adat Bali 27 Mar 2012 Hak Mewaris Anak Luar Kawin Pasca Putusan MK 22 Mar 2012 Hukum Waris Mana yang Digunakan, Islam, Adat atau KUHPerdata? 19 Mar 2012 Kemudian, mengenai kakak dari pewaris yang meninggal terlebih dahulu dan meninggalkan tiga orang anak, berdasarkan Pasal 185 KHI ketiga anak tersebut dapat tampil sebagai ahli waris pengganti dengan menerima bagian dari ayahnya secara bersama-sama . Mengenai siapa yang berhak untuk menentukan penetapan ahli waris, berdasarkan Pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama , penetapan ahli waris bagi yang beragama islam dibuat oleh Pengadilan Agama atas permohonan para ahli waris. Lebih jauh, simak artikel Bagaimana Proses Permohonan Penetapan Ahli Waris dari Pengadilan Agama? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk penjelasan lebih jauh, Anda dapat simak juga artikel Bagaimana Penentuan Ahli Waris Dari Pewaris Tanpa keturunan? serta Pembagian Harta Waris Istri Tanpa Anak . Sekian jawaban dari kami, semoga bermanfaat DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama 2. Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam" }
{ "from": "human", "value": "Beberapa daerah perairan di dunia dikenal dengan adanya bajak laut di daerah tersebut. Sebenarnya bagaimana aturan hukum tentang bajak laut ini, adakah hukum internasional atau nasional yang mengaturnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Rumus Hitung Pajak untuk Jasa Freight Forwarding 16 Feb 2021 Hukumnya Kapal Perang Negara Lain Melintasi ZEE 05 Feb 2021 Ini Izin yang Diperlukan untuk Pemanfaatan Wilayah Laut 05 Jan 2021 Kenali ZEE dan Hak-hak Berdaulatnya 29 Des 2020 Pembajakan di Laut dalam Hukum Internasional Bajak laut dalam hukum internasional dikenal dengan piracy , yang diatur dalam United Nations Convention on The Law of The Sea (“UNCLOS”) yang telah diratifikasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Adapun yang dimaksud dengan pembajakan di laut menurut UNCLOS adalah: [1] setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak sah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta, dan ditujukan: di laut lepas , terhadap kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada di atas kapal atau pesawat udara demikian; terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang di suatu tempat di luar yurisdiksi negara mana pun ; setiap tindakan turut serta secara sukarela dalam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak; setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam angka 1 atau 2 di atas. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan pembajakan di laut yang diatur UNCLOS diartikan yang terjadi di laut lepas atau di luar yurisdiksi negara mana pun . UNCLOS memberi kewenangan kepada negara mana pun untuk menyita suatu kapal atau pesawat udara pembajak laut (perompak) atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada di bawah pengendaliannya dan menangkap orang-orang serta menyita barang yang ada di dalamnya. [2] Tak hanya itu, pengadilan negara yang melakukan tindakan penyitaan itu juga dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan , dan juga dapat menetapkan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barang-barang, dengan tetap menghormati hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan iktikad baik. [3] Ketentuan ini menjadi dasar universal jurisdiction terhadap pembajakan laut, di mana kewenangan mengadili kejahatan ini dimiliki oleh semua negara. Bahkan, jika kapal perang suatu negara berjumpa dengan kapal asing di laut lepas dan terdapat alasan yang cukup untuk mencurigai bahwa kapal itu terlibat dalam perompakan, dibolehkan untuk menaiki kapal asing tersebut. [4] Sebagai catatan, penindakan terhadap bajak laut dalam hukum internasional bukan hanya kewenangan setiap negara, tapi juga merupakan kewajiban hukum , di mana semua negara harus bekerjasama sepenuhnya dalam penindasan pembajakan di laut lepas atau di tempat lain mana pun di luar yurisdiksi suatu negara. [5] Pembajakan di Laut dalam Hukum Nasional Di Indonesia sendiri, aturan mengenai pembajakan di laut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dalam Bab XXIX tentang Kejahatan Pelayaran. Di antaranya pasal-pasal yang mengatur mengenai hal ini adalah Pasal 438 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Diancam karena melakukan pembajakan di laut : dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, barang siapa masuk bekerja menjadi nakoda atau menjalankan pekerjaan itu di sebuah kapal, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan kekerasan di lautan bebas terhadap kapal lain atau terhadap orang dan barang di atasnya, tanpa mendapat kuasa untuk itu dari sebuah negara yang berperang atau tanpa masuk angkatan laut suatu negara yang diakui; dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, barang siapa mengetahui tentang tujuan atau penggunaan kapal itu, masuk bekerja menjadi kelasi kapal tersebut atau dengan suka rela terus menjalankan pekerjaan tersebut setelah hal itu diketahui olehnya, ataupun termasuk anak buah kapal tersebut. Bahkan, aturan pidana mengenai pembajakan juga berlaku terhadap pembajakan di tepi laut, pantai, dan sungai. [6] Lebih lanjut, untuk komandan atau pemimpin sebuah kapal diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun, padahal diketahuinya bahwa kapal itu diperuntukkan atau digunakan untuk melakukan salah satu perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 439 – 441 KUHP. [7] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) REFERENSI:\n1. United Nations Convention on The Law of The Sea , diakses pada 7 April 2021 pukul 11.00 WIB. [1] Pasal 101 UNLCOS [2] Pasal 105 UNCLOS [3] Pasal 105 UNCLOS [4] Pasal 110 ayat 1 huruf (a) UNCLOS [5] Pasal 100 UNCLOS [6] Pasal 439 ayat (1), Pasal 440 dan Pasal 441 KUHP [7] Pasal 442 KUHP unclos internasional pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa hukumnya bagi seorang wanita yang baru menikah belum ada 2 bulan tetapi sudah menggugat cerai suaminya ke penghulu karena nafkah? Padahal suaminya itu menjadi mualaf karena istrinya dan istrinya sudah berjanji akan mengajari dan membimbing suaminya. Selain itu, istri tersebut membakar buku nikah milik suaminya. Ketika disuruh melanjutkan gugatan cerainya ke pengadilan agama, istri itu tidak mau bahkan meminta cerai di bawah tangan saja." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu alasan perceraian yang dibolehkan oleh undang-undang. Perceraian hendaknya menjadi pilihan terakhir bagi pasangan suami istri setelah semua upaya damai telah ditempuh untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Lalu, untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami dan istri tidak dapat hidup rukun lagi.[1] Dikutip  dari artikel Bisakah Cerai karena Suami Pemabuk, alasan-alasan yang dapat menjadi dasar perceraian diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan, yaitu:\n\nSalah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lainsebagainya yang sukar disembuhkan;Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpaizin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luarkemauannya;Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yangmembahayakan terhadap pihak yang lain;Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidakdapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.\nKemudian, selain diatur dalam UU Perkawinan dan perubahannya, bagi pasangan suami istri yang beragama Islam dapat menjadikan dua alasan tambahan sebagai alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 116 KHI, yaitu:\n\nSuami melanggar taklik talak.Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.\n\nOleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, dalam hal seorang istri menggugat cerai suaminya, ia perlu memberikan alasan-alasan yang cukup untuk melakukan perceraian. Misalnya, masalah nafkah yang diberikan oleh suaminya memicu perselisihan dan pertengkaran hingga tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam berumah tangga sebagaimana disebut dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU Perkawinan. Jika hanya nafkah yang menjadi alasan mengapa ia menggugat cerai suaminya, maka tentu alasan itu belum cukup. Sehingga, perlu diperkuat dengan alasan bahwa tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.\nSelanjutnya, perlu diketahui bahwa usia perkawinan yang baru berusia 2 bulan tidak dapat dijadikan acuan boleh atau tidaknya seseorang melakukan perceraian. Jadi, bisa saja seorang istri menggugat cerai suaminya meski baru 2 bulan menikah, dengan catatan, perceraian itu memang disertai dengan alasan yang cukup sebagaimana yang kami sebut di atas.\nPasal Perusakan Barang dalam KUHP\n\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda, perbuatan istri yang membakar buku nikah milik suami termasuk dalam tindak pidana perusakan barang. Tindak pidana perusakan barang diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026. Berikut ulasannya.\nKUHPUU 1/2023Pasal 406 ayat (1)Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[3]Pasal 521 Setiap orang yang secara melawan hukum merusak, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang yang gedung atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian yang nilainya tidak lebih dari Rp500 ribu, pelaku tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5]\n\nDisarikan dari artikel Jerat Pasal Perusakan Barang Milik Orang Lain dalam KUHP, unsur-unsur dari Pasal 406 ayat (1) KUHP adalah:\n\nBarang siapa;Dengan sengaja dan melawan hukum;Melakukan perbuatan menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu; danBarang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.\n\nR. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menerangkan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal perusakan barang, maka harus dibuktikan hal-hal sebagai berikut (hal. 279):\n\nbahwa terdakwa telah membinasakan, merusakkan, membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, atau menghilangkan suatu barang;bahwa pembinasaan dan sebagainya itu harus dilakukan dengan sengaja dan dengan melawan hak;bahwa barang itu harus sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain.\nTerkait pasal ini, R. Soesilo juga menguraikan hal-hal berikut:\n\nMembinasakan artinya menghancurkan (vernielen) atau merusak sama sekali, misalnya membanting gelas, cangkir, tempat bunga, sehingga hancur.Merusakkan artinya kurang daripada membinasakan (beschadigen), misalnya memukul gelas, piring, cangkir, dsb tidak sampai hancur, akan tetapi hanya pecah sedikit retak atau hanya putus pegangannya.Membuat sehingga tidak dapat dipakai lagi, artinya tindakan itu harus demikian rupa sehingga barang itu tidak dapat diperbaiki lagi.Menghilangkan artinya membuat sehingga barang itu tidak ada lagi, misalnya dibakar sampai habis, dibuang di kali atau laut hingga hilang.Barang yaitu barang yang terangkat maupun barang yang tidak terangkat.\n\nKemudian, menurut hemat kami, pemenuhan unsur Pasal 406 ayat (1) KUHP juga kurang lebih berlaku bagi Pasal 521 UU 1/2023 sebagaimana rumusan yang disebutkan. Adapun Penjelasan Pasal 521 UU 1/2023 menerangkan definisi “merusak”, yaitu membuat tidak dapat dipakai untuk sementara waktu, artinya apabila barang itu diperbaiki maka dapat dipakai lagi. Sementara yang dimaksud dengan \"menghancurkan\" adalah membinasakan atau merusakkan sama sekali sehingga tidak dapat dipakai lagi.\n\nJadi, perbuatan istri yang membakar buku nikah milik suaminya merupakan tindak pidana perusakan barang yang dapat dituntut berdasarkan Pasal 401 ayat (1) KUHP atau Pasal 521 UU 1/2023.\nSyarat Sah Perceraian\n\nSelanjutnya, berdasarkan informasi yang Anda berikan, pihak istri tidak mau melanjutkan gugatan perceraiannya ke pengadilan agama, melainkan meminta cerai di bawah tangan. Menurut hemat kami, hal tersebut tidaklah sah menurut hukum mengingat perceraian diatur dalam Pasal 39 UU Perkawinan yang berbunyi:\n\nPerceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.Tatacara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.\n\nSelain itu, bagi pasangan suami dan istri yang beragama Islam, maka berlaku Pasal 115 KHI yang menegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel Sahkah Perceraian Tanpa Sidang Pengadilan?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-wvs?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n5. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\n6. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nREFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.[2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).[3] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1000.[4] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023.[5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023." }
{ "from": "human", "value": "Saya berencana menjual kapal. Pertanyaan saya, apakah dalam proses jual beli kapal harus dilakukan dengan akta notaris sebagaimana jual beli tanah? Terima kasih banyak atas informasi dan jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari Untuk jual beli kapal harus dilakukan dengan akta notaris karena ini berkaitan dengan balik nama kapal tersebut nantinya. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan Pada dasarnya untuk setiap peralihan hak milik atas kapal yang telah didaftar, pemegang hak yang baru harus mengajukan permohonan pembuatan akte dan pencatatan balik nama kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftar, paling lama 3 (tiga) bulan semenjak peralihan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan (“PP Perkapalan”) . Permohonan balik nama tersebut harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen berupa: (lihat Pasal 30 ayat (2) PP Perkapalan ) KLINIK TERKAIT Pasal untuk Menjerat Orang yang Sengaja Menenggelamkan Kapal 07 Nov 2014 Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak 13 Sep 2013 Tanggung Jawab Perusahaan Angkutan Atas Barang Kiriman Jika Kapal Tenggelam 23 Agt 2013 Hukum yang Mengatur Pekerja di Kapal Pesiar Dalam Negeri 18 Jan 2012 a. bukti kepemilikan; b. identitas pemilik; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. grosse akte pendaftaran atau balik nama; d. surat ukur, dalam hal kapal telah memperoleh surat ukur baru. Pengaturan lebih lanjut lagi mengenai balik nama kapal dapat dilihat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal (“Permenhub Pendaftaran Kapal”) . Dalam Pasal 18 ayat (1) Permenhub Pendaftaran Kapal , diatur bahwa pada setiap pengalihan hak milik atas kapal yang telah didaftar, pemegang hak yang baru harus mengajukan permohonan balik nama kepada Pejabat Pendaftar dan Pejabat Baliknama Kapal di tempat kapal didaftar. Permohonan balik nama tersebut wajib dilengkapi dengan: ( Pasal 18 ayat (2) Permenhub Pendaftaran Kapal ) a. bukti pengalihan hak milik atas kapal; b. identitas pemilik berupa kartu tanda penduduk bagi perorangan dan anggaran dasar pendirian perusahaan bagi Badan Hukum Indonesia; c. Nomor Pokok Wajib Pajak; d. surat ukur; e. grosse akta pendaftaran kapal atau grosse akta baliknama kapal; dan f. bukti pelunasan bea baliknama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam hal jual beli kapal, bukti pengalihan hak milik atas kapal adalah berupa akta jual beli yang dibuat di hadapan notaris ( Pasal 18 ayat (3) huruf a Permenhub Pendaftaran Kapal ). Balik nama kapal tersebut dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Baliknama Kapal dengan membuat akta balik nama kapal dan dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan ( Pasal 18 ayat (4) Permenhub Pendaftaran Kapal ). Perlu diketahui bahwa akta balik nama kapal hanya dapat dibuat apabila menurut catatan dalam daftar induk, kapal dalam keadaan tidak sedang dibebani hipotek dan/atau jaminan lainnya serta bebas dari segala bentuk sitaan ( Pasal 18 ayat (5) Permenhub Pendaftaran Kapal ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2002 tentang Perkapalan ; 2. Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM.13 Tahun 2012 tentang Pendaftaran Dan Kebangsaan Kapal. hukum hukumonline klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Salam sejahtera, saya punya rumah sebelum nikah, tapi sertifikatnya masih atas nama kakak karena waktu pembelian rumah saya kerja di luar negeri. Setelah pulang, saya menikah dan 2 tahun kemudian saya berniat membalik nama sertifikat rumah atas nama saya. Kalau saya balik nama rumah tersebut apakah menjadi harta bersama? Bagaimana cara agar rumah tersebut tidak menjadi harta bersama? Mohon bantuannya dan terima kasih sebelumnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Apakah Jual Beli Tanah Bisa Dibatalkan? , berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , hukum agraria yang berlaku di Indonesia ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara. Dalam hukum adat, jual beli tanah itu bersifat terang dan tunai . Terang itu berarti jual beli tersebut dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (“ PPAT ”). Sedangkan, yang dimaksud dengan tunai adalah hak milik beralih ketika jual beli tanah tersebut dilakukan dan jual beli selesai pada saat itu juga. Apabila harga tanah yang disepakati belum dibayar lunas oleh pembeli, maka sisa harga yang belum dibayar akan menjadi hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli. KLINIK TERKAIT Bolehkah PNS Punya Usaha Sampingan? 12 Jan 2023 Biaya Jual Beli Tanah 07 Des 2017 Masalah Pencatatan Perkawinan dan Dampaknya pada Perjanjian Pisah Harta 15 Sep 2017 Perjanjian Pisah Harta Dibuat Setelah Perkawinan, Bolehkah? 09 Nov 2016 Mengenai pendaftaran tanah berdasarkan Pasal 37 ayat (1) jo. Pasal 40 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah , setelah ditandatanganinya akta jual beli tanah tersebut (yang dibuat oleh PPAT), dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak ditandatanganinya akta jual beli tersebut, PPAT wajib menyampaikan akta jual beli tersebut kepada Kantor Pertanahan . Akan tetapi, perlu Anda ketahui bahwa nama pembeli di akta jual beli tersebut haruslah nama Anda. Karena dalam balik nama sertifikat tanah tersebut dari nama kakak Anda menjadi nama Anda, Anda harus melampirkan fotokopi identitas penerima hak (yaitu Anda sebagai pembeli). Oleh karena itu, nama pembeli dalam akta jual beli haruslah nama Anda sebagai pihak penerima hak. Lebih jauh tentang apa saja yang dibutuhkan untuk balik nama, Anda dapat membaca artikel kami yang berjudul Balik Nama Sertifikat Tanah . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn , dalam bukunya yang berjudul Hukum Pertanahan (hal. 33), mengatakan bahwa untuk kondisi normal, dalam arti tanah tersebut tidak bermasalah, maka proses balik nama tersebut akan berlangsung selama maksimal 1 (satu) bulan sejak didaftarkan. Namun demikian, pembeli sudah berstatus sebagai pemilik tanah yang baru, terhitung sejak ditandatanganinya akta jual beli atas tanah dan/atau bangunan yang dimaksud . Berdasarkan penjelasan di atas, berarti bahwa Anda sudah menjadi pemilik tanah tersebut sejak jual beli terjadi tanpa menunggu adanya balik nama atas tanah tersebut. Dengan demikian, tanah yang telah Anda beli sebelum menikah tersebut, menjadi harta bawaan Anda dan tidak masuk ke dalam harta bersama ( Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ; 3. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah . REFERENSI:\n1. Purnamasari, Irma Devita. 2010. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum Pertanahan. Penerbit Kaifa. pendaftaran tanah" }
{ "from": "human", "value": "Apabila dalam surat tanggapan tertulis yang telah kami berikan atas Hasil Penelitian Keberatan yang tercantum dalam Lampiran Surat Pemberitahuan Untuk Hadir/SPUH (yang disampaikan kepada wajib pajak sebelum Keputusan Keberatan diambil/diterbitkan) ada sebagian kecil materi koreksi yang terlanjur kami setujui pada saat keberatan dari keseluruhan total koreksi, apakah yang sudah terlanjur kami setujui dalam tanggapan tertulis tersebut masih bisa ikut kami ajukan Banding ke Pengadilan Pajak bersama dengan koreksi lainnya yang kami tidak setujui? Lalu, apabila jawabannya adalah \"Bisa\", lantas berapakah nilai PPh yang harus dibayar oleh wajib pajak sebelum mengajukan Banding?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Anda masih bisa mengajukan banding ke Pengadilan Pajak dengan koreksi lainnya disetujui sesuai dengan mekanisme Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (“UU 14/2002”) dengan berdasarkan Surat Keputusan Keberatan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan [1] dan membayar 50% dari pajak terutang yang tercantum dalam Surat Keputusan Keberatan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (4) UU 14/2002 bahwa dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50%. Besaran tersebut harus dibayarkan terlebih dahulu berdasarkan nilai sengketa sebagai syarat pengajuan banding. Selain itu, Anda bisa melakukan banding apabila jangka waktu pengajuan banding belum kedaluarsa sesuai dengan: Pasal 35 ayat (2) UU 14/2002 , bahwa banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan , permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak [1] Pasal 31 ayat (2) UU 14/2002 pajak hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Mohon bantuannya untuk menjelaskan mengenai peraturan IMB, apakah dalam peraturan terbaru mengenai persyaratan IMB masih mempersyaratkan izin Andalalin?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, meluruskan pertanyaan Anda, dikutip dari Catat! Ini 3 Dokumen Penting Terkait Bangunan Gedung , kini dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang merubah, menghapus, dan memuat ketentuan baru dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”) , istilah yang digunakan untuk merujuk pada perizinan pendirian bangunan bukan Izin Mendirikan Bangunan (“IMB”), tetapi Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”). KLINIK TERKAIT Apakah Tanah Terlantar Menjadi Milik Negara? 31 Mei 2024 Pengertian PBG dan Sanksi Jika Bangunan Tak Memilikinya 04 Sep 2023 Rumah Longsor, Begini Tanggung Jawab Developer 03 Jul 2023 Catat! Ini 3 Dokumen Penting Terkait Bangunan Gedung 22 Mar 2021 Baca juga: IMB Diganti PBG, Ini Sanksi Jika Bangunan Tak Memilikinya Sebelum masuk ke pokok pertanyaan, mari kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan Andalalin dan pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Analisis Dampak Lalu Lintas Analisis Dampak Lalu Lintas (“Andalalin”) adalah serangkaian kegiatan kajian mengenai dampak lalu lintas dari pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang hasilnya dituangkan dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas. [1] Andalalin diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) beserta aturan perubahan dan pelaksananya. Pada dasarnya, setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan (“LLAJ”) wajib dilakukan Andalalin . [2] Bangunan yang dimaksud meliputi: Pusat kegiatan , berupa bangunan untuk: [3] kegiatan perdagangan; kegiatan perkantoran; kegiatan industri; kegiatan pariwisata; fasilitas pendidikan; fasilitas pelayanan umum; dan/atau kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas . Pemukiman , berupa: [4] perumahan dan permukiman; rumah susun dan apartemen; dan/atau permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas Infrastruktur, berupa: [5] akses ke dan dari jalan tol; pelabuhan; bandar udara; terminal; stasiun kereta api; tempat penyimpanan kendaraan; fasilitas parkir untuk umum; dan/atau infrastruktur lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas. Pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang wajib dilakukan Andalalin digolongkan dalam 3 kategori skala dampak bangkitan lalu lintas yang ditimbulkan , yakni kegiatan dengan bangkitan lalu lintas yang tinggi, sedang dan rendah. [6] Dalam hal ini, pengembang atau pembangun wajib melaksanakan Andalalin sesuai dengan skala dampak bangkitan lalu lintas, dengan ketentuan: [7] Untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas yang tinggi , pengembang atau pembangun wajib menyampaikan dokumen Andalalin yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun Andalalin, yang minimal memuat: [8] Perencanaan dan metodologi analisis dampak lalu lintas; Analisis kondisi lalu lintas dan angkutan jalan (“LLAJ”) saat ini; Analisis bangkitan/tarikan LLAJ akibat pembangunan berdasarkan kaidah teknis transportasi dengan menggunakan faktor trip rate yang ditetapkan secara nasional; Analisis distribusi perjalanan; Analisis pemilihan moda; Analisis pembebanan perjalanan; Simulasi kinerja lalu lintas yang dilakukan terhadap Andalalin; Rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak lalu lintas; Rincian tanggung jawab pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak lalu lintas; Rencana pemantauan dan evaluasi; dan Gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan. Untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas yang sedang , pengembang atau pembangun wajib menyampaikan rekomendasi teknis penanganan dampak lalu lintas yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki sertifikat kompetensi penyusun Andalalin, yang minimal memuat: [9] Analisis kondisi LLAJ saat ini; Simulasi kinerja lalu lintas yang dilakukan terhadap Andalalin; Rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak lalu lintas; Rincian tanggung jawab pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak lalu lintas; Rencana pemantauan dan evaluasi; Gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan. Untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas yang rendah , pengembang atau pembangun diwajibkan untuk: Memenuhi standar teknis penanganan dampak lalu lintas yang telah ditetapkan oleh Menteri Perhubungan (“Menteri”), meliputi: [10] Rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak lalu lintas; Rincian tanggung jawab pemerintah pusat atau pemerintah daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak lalu lintas; Rencana pemantauan dan evaluasi. Menyampaikan gambaran umum lokasi dan rencana pembangunan atau pengembangan yang akan dilaksanakan. Lalu, hasil Andalalin harus mendapat persetujuan dari: [11] Menteri, untuk jalan nasional; Gubernur, untuk jalan provinsi; Bupati, untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa; atau Wali kota, untuk jalan kota. Dalam hal hasil Andalalin telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya meminta kepada pengembang atau pembangun untuk membuat surat pernyataan kesanggupan melaksanakan semua kewajiban Andalalin yang ditandatangani oleh penanggung jawab perusahaan di atas meterai. [12] Jika Pernyataan kesanggupan tersebut dilanggar, maka pembangun atau pengembang dikenakan sanksi administratif oleh pemberi izin, berupa: [13] Peringatan tertulis; Penghentian sementara kegiatan/pelayanan umum; Denda administratif; dan/atau Pembatalan persetujuan hasil Andalalin dan/atau perizinan berusaha. Hasil Andalalin untuk Pendirian Bangunan Pada dasarnya, Pasal 4 PP 30/2021 menegaskan bahwa hasil Andalin yang terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (“AMDAL”) atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka memenuhi perizinan berusaha dalam kegiatan pendirian bangunan . Selain itu, dalam rangka pemrosesan perizinan berbasis risiko, sistem OSS secara otomatis dapat melakukan validasi serta melakukan pengiriman dan penerimaan data melalui interkoneksi sistem kementerian/lembaga terkait, salah satunya yaitu penerimaan pertimbangan teknis Andalalin dengan sistem yang dikelola oleh kementerian perhubungan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (1) dan (3) huruf h Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara Elektronik . Baca juga: Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Begini Penjelasannya Jadi, menjawab pertanyaan Anda, dalam aturan yang berkaitan dengan Andalalin sebagaimana kami kutip di atas tidak dinyatakan secara tegas bahwa Andalalin merupakan syarat untuk memperoleh PBG sebagai pengganti IMB. Akan tetapi, setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan (“LLAJ”) wajib dilakukan Andalalin , dan hasil Andalalin tersebut merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam perizinan berusaha dalam kegiatan pendirian bangunan . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 46 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 75 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 11 Tahun 2017 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi Secara Elektronik [1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.75 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Analisis Dampak Lalu Lintas (“Permenhub 75/2015”) [2] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 30/2021”) [3] Pasal 3 ayat (1) PP 30/2021 [4] Pasal 3 ayat (2) PP 30/2021 [5] Pasal 3 ayat (3) PP 30/2021 [6] Pasal 3 ayat (4) PP 30/2021 [7] Pasal 5 ayat (1) dan (2) PP 30/2021 [8] Pasal 6 ayat (1) PP 30/2021 [9] Pasal 6 ayat (2) PP 30/2021 [10] Pasal 6 ayat (3) PP 30/2021 [11] Pasal 7 PP 30/2021 [12] Pasal 11 ayat (1) dan (2) PP 30/2021 [13] Pasal 14 PP 30/2021 pengembang hukumonline uu cipta kerja imb konstruksi klinik bangunan" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah banjir dan gempa bumi merupakan peristiwa hukum? Kalau ya, peristiwa hukum apa? Tolong dijelaskan? 2. Apakah semua manusia merupakan subjek hukum? Bagaimana dengan janin, bayi, dan orang sakit ingatan?" }
{ "from": "gpt", "value": "1. Sebelumnya kami akan jelaskan terlebih dahulu apa itu peristiwa hukum. Mengutip penjelasan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. dalam bukunya “ Ilmu Hukum” (hal. 35), peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum. KLINIK TERKAIT Arti Error in Persona dan Error in Objecto Serta Contoh Kasusnya 24 Jun 2021 Arti Mutatis Mutandis dan Contohnya 23 Jul 2020 Penggunaan Kata \"jo\" 26 Jul 2010 P-18, P-19, P-21, dan lain-lain 20 Jul 2010 Peristiwa hukum ini terdiri dari: a. Keadaan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas · Alamiah: siang/malam hari · Kejiwaan: normal/abnormal · Sosial: keadaan perang b. Kejadian: keadaan darurat, kelahiran/kematian, kadaluwarsa c. Sikap tindak dalam hukum: · Menurut hukum: sepihak atau banyak pihak · Melanggar hukum: - exess du pouvoir/ melampaui batas kekuasaan di bidang Hukum Tata Negara - detournement de pouvoir /menyalahgunakan kekuasaan di bidang Hukum Administrasi Negara - di bidang hukum perdata: perbuatan melanggar hukum (lihat Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata /KUH Perdata) - Strafbaar feit /peristiwa pidana yang sesungguhnya merupakan peristiwa atau penyelewengan di tiga bidang lainnya, tetapi diancam dengan straf /pidana. · Sikap tindak lain: zaakwaarneming dalam Burgerlijk Wetboek (KUH Perdata) Banjir dan gempa bumi adalah termasuk force majeure yaitu kejadian atau keadaan yang terjadi di luar kuasa para pihak berkepentingan yang dapat juga disebut keadaan darurat. F orce majeure ini biasanya merujuk pada tindakan alam ( act of God ), seperti bencana alam (banjir, gempa bumi), epidemik, kerusuhan, pernyataan perang, perang dan sebagainya . F orce majeure merupakan peristiwa hukum karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum misalkan karena dengan terjadinya banjir atau gempa membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainnya. Dengan kata lain, banjir atau gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa adalah peristiwa hukum. Klausul force majeur ini biasanya diatur dalam perjanjian. Dalam KUH Perdata, f orce majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245 , dalam bagian mengenai ganti rugi karena f orce majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa atau ruang lingkup f orce majeure yang tersirat dalam pasal-pasal tersebut meliputi: a. Peristiwa alam (seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi); b. Kebakaran; c. Musnah atau hilangnya barang objek perjanjian. (disarikan dari buku “ Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa ” oleh Rahmat S.S. Soemadipradja , hal. 99 dan 101). 2. Semua manusia, termasuk janin, bayi dan orang yang sakit ingatan adalah subyek hukum. Karena subyek hukum terdiri dari: a. Pribadi kodrati yaitu manusia tanpa terkecuali; b. Pribadi Hukum yang mungkin berupa : · Suatu keutuhan harta kekayaan seperti wakaf; · Suatu bentuk susunan relasi seperti perseroan terbatas dan koperasi (badan hukum). c. Tokoh, dikorelasikan dengan “status”. Seperti misalnya pewaris dan ahli waris dalam Hukum Kewarisan. Jadi, baik janin, bayi maupun orang sakit ingatan adalah termasuk subyek hukum tanpa kecuali. Contohnya dapat kita lihat pada Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur mengenai janin yang masih dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya. Yang membedakan adalah janin di dalam kandungan, bayi dan orang sakit ingatan tidak dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)" }
{ "from": "human", "value": "Apa perbedaan yang signifikan antara bank garansi dan kafalah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pada prinsipnya, bank garansi dan kafalah adalah sama, yaitu penjaminan yang diberikan oleh bank. Perbedaannya adalah bank garansi menggunakan prinsip perbankan umum, sedangkan kafalah menggunakan prinsip syariah. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Mengenai bank garansi atau jaminan bank, Prof. Dr. Ny. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H. , di dalam bukunya Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan (hal. 106) menjelaskan bahwa jaminan bank adalah suatu jenis penanggungan, di mana yang bertindak sebagai penanggung adalah Bank. Bank garansi terjadi jika Bank selaku penanggung diwajibkan untuk menanggung pelaksanaan pekerjaan tertentu, atau menanggung dipenuhinya pembayaran tertentu kepada kreditur. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa dalam bank garansi, Bank baru bersedia memberikan garansi jika kepada Bank telah disetorkan sejumlah uang tertentu, sebesar garansi yang akan diberikan oleh Bank. Jika kebetulan pemohon garansi itu telah mempunyai rekening atau deposito pada Bank, maka Bank akan memblokir jumlah uang itu untuk keperluan pemberian surat jaminan Bank. Kemungkinan lainnya, dapat juga si pemohon garansi tidak menyerahkan sejumlah uang kepada Bank, melainkan memberikan kontra garansi yang berwujud jaminan yang bersifat kebendaan. KLINIK TERKAIT Mengenal Jaminan Perorangan, Corporate Guarantee , dan Bank Garansi 26 Feb 2024 7 Perbedaan Bank Konvensional dan Bank Syariah 20 Sep 2023 Tentang Surety Bond 18 Feb 2013 Klaim atas Bank Garansi Pelaksanaan Tanpa Syarat (Unconditional) 27 Okt 2010 Mengenai Bank Garansi ini juga dapat Anda lihat pengaturannya dalam Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/88/KEP/DIR Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank (“Kepdir BI No. 23/1991”) dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No. 23/7/UKU Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank . Dalam Pasal 1 ayat (3) Kepdir No. 23/1991 , dikatakan bahwa yang dimaksud dengan garansi adalah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang menerima garansi apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi). b. Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi). c. Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Sedangkan mengenai kafalah, dapat dilihat dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS tertanggal 17 Maret 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“SEBI 10/2008”) . Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. , dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masakah Akad Syariah (hal. 136-137) mengatakan bahwa kafalah yang diatur dalam konsep syariah bisa dikatakan sama persis dengan konsep pemberian jaminan ( borg ) yang diatur menurut hukum positif. Kafalah berdasarkan SEBI 10/2008: “…merupakan suatu pelayanan bank syariah di mana bank bertindak sebagai pemberi jaminan atas pemenuhan kewajiban nasabah terhadap pihak ketiga. Objek penjaminan dalam kafalah merupakan kewajiban pihak yang meminta jaminan dengan nilai, jumlah dan spesifikasi yang jelas, serta tidak bertentangan dengan syariah (tidak diharamkan). Dalam pelaksanaan pemberian jaminan, bank syariah dapat meminta jaminan berupa cash collateral atau bentuk jaminan lainnya atas nilai penjaminan dan bank dapat memperoleh imbalan atau fee atas jasa pemberian jaminan tersebut.” Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam skema kafalah, bank memberikan jasa dengan bertindak selaku penjamin atas pemenuhan kewajiban (utang) nasabah kepada pihak ketiga, yang dikenal dengan istilah awam garansi bank. Atas pemberian kafalah ini, bank syariah menerima imbalan atau fee ( ujrah ) yang disepakati di awal serta dinyatakan dalam jumlah nominal tetap. Tidak dibolehkan apabila nilai nominal dari barang yang dijamin jumlahnya berubah-ubah atau tidak sesuai dengan kesepakatan awal, kecuali dibuatkan kontrak baru. Irma Devita ( Ibid , 138) menjelaskan juga bahwa walaupun pada awalnya bentuknya adalah jasa, apabila terjadi keadaan nasabah melakukan wanprestasi atas kewajibannya terhadap pihak ketiga sehingga kemudian pihak yang menerima jaminan “mencairkan” jaminan itu, bank garansi ( kafalah ) tersebut berubah menjadi utang. Bank kemudian akan memenuhi kewajiban nasabah kepada pihak ketiga atas dasar Qardh (dana talangan), dan selanjutnya nasabah berutang kepada bank syariah yang wajib dikembalikan oleh nasabah baik secara tunai maupun dengan mencicil. Melihat pada uraian di atas, pada prinsipnya adalah sama, yaitu penjaminan yang diberikan oleh bank. Perbedaannya adalah bank garansi menggunakan prinsip perbankan umum, sedangkan kafalah menggunakan prinsip syariah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/88/KEP/DIR Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank ; 2. Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No. 23/7/UKU Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi Oleh Bank; 3. Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. hukumonline hukum bank garansi" }
{ "from": "human", "value": "Apakah semua bank dibolehkan mengeluarkan bank garansi untuk menggaransikan suatu pekerjaan konstruksi. Adakah landasan hukumnya bahwa hanya bank-bank tertentu yang dibolehkan mengeluarkan garansi itu." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya semua bank dapat mengeluarkan garansi bank atau b ank guarantee , namun hal tersebut harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No.11/110/KEP/DIR/UPPB tanggal 29 Maret 1977 tentang Pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah disempurnakan dengan SK Direksi BI No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 Maret 1991 tentang Pemberian Garansi Bank ( SK Direksi BI tentang Pemberian Bank Garansi ). Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat 3 SK Direksi BI tentang Pemberian Bank Garansi diatur juga tentang bentuk-bentuk garansi bank yang dapat dikeluarkan oleh bank, sebagai berikut: 1. Bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank; 2. Bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat berharga; 3. garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat. Seluruh bentuk garansi bank dimaksud di atas, mewajibkan pihak bank untuk membayar jika pihak yang dijaminkan wanprestasi. Dengan demikian, maka suatu bank garansi untuk menggaransikan pekerjaan suatu proyek konstruksi termasuk ke dalam bentuk sebagaimana diuraikan pada no. 3 di atas, yaitu garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat. Bila kita tinjau dari sudut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), maka garansi bank merupakan perjanjian penanggungan hutang atau Borgtoch, dimana pihak bank selaku penanggung. Berkenaan dengan bentuk bank garansi mengenai garansi lainnya tersebut di atas, maka para pihak yang berkaitan dengan hal tersebut diperbolehkan mengadakan perjanjian yang bentuk dan syarat-syaratnya ditentukan sesuai kebutuhan para pihak itu sendiri. Misalnya, dalam suatu kontrak kerja suatu proyek, ada kalanya pemilik proyek memberikan uang muka kepada pelaksana proyek lebih dahulu, sehingga atas uang muka tersebut diperlukan adanya bank garansi, jenis bank garansi seperti ini merupakan bank garansi untuk jaminan penerima uang muka ( voorschot )." }
{ "from": "human", "value": "Karena wabah corona, mahasiswa tidak lagi dapat menikmati fasilitas kampus sebagaimana mestinya. UKT telah kami bayarkan dan orang tua kami mengeluhkannya. Sementara kami juga harus melangsungkan perkuliahan secara daring, yang mana harus menambah biaya lagi. Apakah kami berhak meminta UKT kami untuk dibelikan kuota internet atau kami berhak mendapatkan secara penuh UKT yang telah kami bayarkan? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pembelajaran Daring Dalam rangka mencegah penyebaran COVID-19, beberapa PTN di Indonesia memang meniadakan kegiatan belajar mengajar (“KBM) di lingkungan kampus dan menggantinya dengan sistem online /daring. Sebagai contoh, di Universitas Gadjah Mada (“UGM”) dikeluarkan Surat Edaran Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1606/UN1.P/HKL/TR/2020 tentang Tanggap Darurat COVID-19 di Lingkungan UGM (“SE 1606/2020”) , tertanggal 16 Maret 2020. Pada bagian Kegiatan Akademik ditetapkan KBM di lingkungan kampus diganti dengan metode KBM dalam jaringan (daring) mulai Selasa, 17 Maret 2020. Langkah-langkah yang dapat dilakukan sebagai berikut: [1] Dosen menyiapkan konten pembelajaran melalui Sistem Manajemen Pembelajaran yang dikembangkan melalui laman elok.ugm.ac.id atau sistem lain sesuai preferensi dosen; Dosen melaksanakan KBM berbasis konten dari rekaman video yang diunggah ke YouTube dan dikombinasikan dengan komunikasi melalui e- mail , grup sosial media, forum diskusi online , website dan bentuk lain yang sesuai dengan preferensi dosen; Dosen mendorong mahasiswa guna penguatan KBM dan pembelajaran terstruktur melalui sumber-sumber belajar berbasis daring ( Massive Open Online Courses ) yang dapat mendukung target Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK); Dosen melakukan interaksi dengan mahasiswa melalui fasilitas interaksi daring melalui Webex di laman ugm-spark.webex.com atau menggunakan aplikasi lain sesuai preferensi, misalnya skype, google hangout, zoom meeting , dll. Student assessment dalam mata kuliah dan/atau praktikum, termasuk Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS) dapat dilakukan menggunakan Sistem Manajemen Pembelajaran yang dikembangkan melalui laman elok.ugm.ac.id atau sistem lain sesuai preferensi dosen dan mahasiswa. Selain itu, untuk kegiatan pembimbingan, konsultasi dan ujian (skripsi, tesis, disertasi dan sejenisnya) dilakukan secara daring dan/atau menggunakan sistem dan aplikasi yang telah disediakan. [2] Uang Kuliah Tunggal (UKT) Terkait kebijakan uang kuliah tunggal (“UKT”) sendiri, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (“Permenristekdikti 39/2017”). UKT dalam Pasal 1 angka 5 Permenristekdikti 39/2017 adalah biaya yang ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya. Perlu Anda ketahui, UKT ditetapkan dengan memperhatikan Biaya Kuliah Tunggal (“BKT”), yaitu keseluruhan biaya operasional yang terkait langsung dengan proses pembelajaran mahasiswa per semester pada program studi di Perguruan Tinggi Negeri (“PTN”). [3] BKT tersebut digunakan sebagai dasar penetapan biaya yang dibebankan kepada masyarakat dan pemerintah. [4] BKT dan UKT ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. [5] PTN sendiri pada dasarnya tidak menanggung biaya mahasiswa yang terdiri atas: [6] biaya yang bersifat pribadi; biaya pelaksanaan kuliah kerja nyata; biaya asrama; dan kegiatan pembelajaran dan penelitian yang dilaksanakan secara mandiri. Kebijakan Bantuan Biaya Internet Merujuk Pasal 7 ayat (2) dan (3) Permenristekdikti 39/2017 , PTN dapat memberi fasilitas biaya bagi mahasiswa untuk jenis biaya tertentu yang diatur lebih lanjut oleh pemimpin PTN masing-masing. Alih-alih mengembalikan biaya UKT, beberapa kampus mengambil kebijakan untuk membantu ongkos internet yang harus dikeluarkan mahasiswanya dalam mendukung pembelajaran daring. Di UGM, hal tersebut dituangkan dalam Surat Edaran Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Keuangan dan Sistem Informasi Universitas Gadjah Mada Nomor 1734/UN1.PII/DIT-KEU/KU/2020 tentang Bantuan Biaya Pulsa/Data Internet Bagi Dosen, Tenaga Kependidikan, dan Mahasiswa (“SE 1734/2020”) . Berdasarkan salinan SE 1734/2020 yang kami dapatkan, diuraikan bahwa untuk mendukung work from home dosen dan tenaga kependidikan, bantuan pulsa/paket data internet dapat diberikan kepada dosen dan tenaga kependidikan di masing-masing unit kerja/fakultas/sekolah dengan besaran minimal Rp100 ribu dan maksimal Rp200 ribu per orang per bulan. Pimpinan unit kerja menetapkan dosen dan tenaga kependidikan yang mendapatkan bantuan pulsa/paket data internet. [7] Sedangkan bagi mahasiswa, diberikan bantuan pulsa/paket data internet sebesar minimal Rp50 ribu dan maksimal Rp150 ribu per mahasiswa per bulan. [8] Bantuan tersebut diberikan mulai bulan Maret 2020 sampai dengan diterbitkannya ketentuan yang baru. [9] Berdasarkan contoh tersebut, menurut hemat kami, alih-alih menuntut pengembalian UKT, Anda dapat menilik kembali aturan di kampus Anda mengenai pemberian fasilitas biaya yang dimaksud. Bisa jadi, kampus Anda telah memiliki kebijakan serupa dengan UGM di atas. Adapun terkait pengembalian biaya UKT, Permenristekdikti 39/2017 hanya mengatur bahwa p emimpin PTN dapat memberikan keringanan UKT dan/atau melakukan penetapan ulang pemberlakuan UKT terhadap mahasiswa apabila terdapat: [10] ketidaksesuaian kemampuan ekonomi mahasiswa yang diajukan oleh mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya; dan/atau perubahan data kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Surat Edaran Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1606/UN1.P/HKL/TR/2020 tentang Tanggap Darurat COVID-19 di Lingkungan UGM [1] Bagian Kegiatan Akademik Poin 1 SE 1606/2020 [2] Bagian Kegiatan Akademik Poin 2 SE 1606/2020 [3] Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 1 angka 4 Permenristekdikti 39/2017 [4] Pasal 2 ayat (1) Permenristekdikti 39/2017 [5] Pasal 4 Permenristekdikti 39/2017 jo Pasal 5 huruf a Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan [6] Pasal 7 ayat (1) Permenristekdikti 39/2017 [7] Poin Pertama SE 1734/2020 [8] Poin Kedua SE 1734/2020 [9] Poin Kelima SE 1734/2020 [10] Pasal 5 ayat (1) Permenristekdikti 39/2017 covid-19 hukumonline online pendidikan bantuan biaya corona kuliah pendidikan dan kebudayaan" }
{ "from": "human", "value": "Dalam pasal 235 ayat 1 dan 2 UU No. 22 Thn 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan bahwa korban akibat kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam pasal 229 ayat 1 huruf b dan c, pengemudi, pemilik dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan. Bagaimana jika pengemudi, pemilik dan/atau perusahaan angkutan umum tidak menepati kewajibannya tersebut? Apakah dapat dituntut secara pidana?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 235 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”) , jika korban meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c , pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. KLINIK TERKAIT Kecelakaan yang Menyebabkan Korban Meninggal 23 Mar 2011 Pertanggungjawaban Pelanggar Lalu Lintas 23 Mar 2011 Denda Sidang Tilang di Pengadilan 01 Nov 2010 Harga Tilang Lalu Lintas 27 Agt 2010 Kemudian, di dalam Pasal 235 ayat (2) UULLAJ diatur bahwa jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat kecelakaan lalu lintas sedang atau kecelakaan lalu lintas berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c , pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Tapi di sisi lain, UULLAJ tidak mengatur adanya sanksi pidana apabila kewajiban pemberian bantuan kepada korban kecelakaan lalu lintas berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman ini tidak dipenuhi/dilakukan oleh pelaku. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Oleh karena itu, menurut hemat kami, hal yang mungkin dilakukan apabila pemberian bantuan biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman ini tidak dilakukan, korban dan/atau ahli warisnya dapat menggugat pelaku ( pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum) secara perdata yakni atas dasar perbuatan melawan hukum (“PMH”) yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) . Dalam gugatan PMH, korban atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi yang nyata-nyata diderita dan juga kerugian immateriil kepada (para) tergugat. Lebih lanjut simak artikel-artikel berikut: - Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH . - Perbuatan Melanggar Hukum atau Wanprestasi? Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan" }
{ "from": "human", "value": "Saya bekerja di perusahaan swasta, tetapi perusahaan saya tidak menanggung biaya persalinan istri saya. Apakah saya bisa memperoleh hak saya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Dari pertanyaan Anda, kami belum jelas apakah perusahaan Anda telah mengikuti program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) atau tidak. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“UU 3/1992”), setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja . Merujuk pada Pasal 4 ayat (1) UU 3/1992 jo Pasal 2 ayat (3) PP No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (“PP 14/1993”), p engusaha yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 10 (sepuluh) orang atau lebih, atau membayar upah paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) sebulan, wajib mengikutsertakan tenaga kerjanya dalam program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diselenggarakan oleh badan penyelenggara (yakni, PT Persero Jamsostek). KLINIK TERKAIT Bisakah Karyawan Dipecat karena Hamil di Luar Nikah? 17 Jul 2024 Masih Haruskah Perusahaan Mendaftar BPJS Jika Sudah Ikut Asuransi Lain? 01 Feb 2021 Suami Ingin Menanggung Hukuman Pidana Istri 07 Jun 2012 Keabsahan Ketentuan Larangan Hamil Sebelum Setahun Kerja 28 Mei 2012 Sesuai Pasal 6 UU No. 3/1992 jo. Pasal 2 ayat (1) PP No. 14/1993, lingkup program jaminan sosial tenaga kerja saat ini adalah meliputi 4 (empat) program, yakni: a) jaminan kecelakaan kerja (“JKK”); Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b) jaminan kematian (“JK”); dan c) jaminan hari tua (“JHT”); serta d) jaminan pemeliharaan kesehatan (“JPK”). Keempat program tersebut, 3 (tiga) dalam bentuk jaminan uang (JKK, JK dan JHT), dan 1 (satu) dalam bentuk jaminan pelayanan (JPK). Lebih jauh, simak artikel Harus Jamsostek atau Cukup Asuransi Kesehatan? Namun khusus untuk JPK, bagi pengusaha yang telah menyelenggarakan program JPK sendiri bagi tenaga kerjanya dengan manfaat lebih baik dari paket jaminan pemeliharaan kesehatan dasar PT Persero Jamsostek (JPK-Dasar) tidak wajib ikut dalam program JPK yang diselenggarakan oleh PT Persero Jamsostek. Artinya, ketiga program dalam bentuk jaminan uang (JKK, JK dan JHT) yang diselenggarakan oleh PT Persero Jamsostek, wajib diikuti oleh semua perusahaan yang telah memenuhi syarat. Sedangkan, untuk program dalam bentuk jaminan pelayanan (JPK), dapat diikutkan pada perusahaan lainnya (termasuk asuransi yang menanggung pelayanan kesehatan) sepanjang memberikan manfaat lebih baik dari pada JPK-Dasar PT Persero Jamsostek. Dalam hal ini, jaminan bagi pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah termasuk dalam JPK sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 9 jo Pasal 16 ayat (2) huruf d UU 3/1992. Dalam penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf d UU 3/1992 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan adalah pertolongan persalinan normal, tidak normal dan/atau gugur kandungan. Jaminan atas pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan ini adalah hak dari pekerja sebagai bagian dari JPK. Seperti disebutkan dalam laman resmi PT Persero Jamsostek , cakupan program JPK ini termasuk Pelayanan Persalinan , yakni pertolongan persalinan yang diberikan kepada tenaga kerja wanita berkeluarga atau istri tenaga kerja peserta program JPK maksimum sampai dengan persalinan ke-3. Besar b antuan biaya persalinan normal setinggi-tinginya ditetapkan Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Selengkapnya bisa dibaca di sini . Jadi, jika Anda telah diikutsertakan pada program JPK pada PT Persero Jamsostek, istri Anda berhak memperoleh bantuan biaya persalinan dari PT Persero Jamsostek. Atau, jika perusahaan mengikutsertakan Anda pada asuransi kesehatan dengan manfaat yang lebih baik dari JPK yang diberikan PT Persero Jamsostek, maka biaya persalinan dapat ditanggung oleh perusahaan asuransi tersebut. Meskipun, pada praktiknya, biaya yang ditanggung bisa berbeda-beda, bergantung pada asuransi kesehatan yang diikuti perusahaan Anda. Karena JPK ini merupakan hak Anda dan sudah menjadi kewajiban perusahaan untuk menjamin pemeliharaan kesehatan Anda, tentu Anda bisa memperoleh hak Anda. Upaya yang Anda lakukan sebaiknya diawali dengan cara-cara kekeluargaan yakni dengan menyampaikan kepada pihak perusahaan apa yang menjadi hak Anda dan kewajiban perusahaan. Jika upaya tersebut tidak membuahkan hasil, Anda bisa melaporkannya ke Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Kependudukan setempat. Upaya akhir yang dapat diambil adalah melaporkan perusahaan Anda secara pidana ke pihak kepolisian atau petugas pengawas ketenagakerjaan setempat. Ancaman pidana bagi perusahaan yang tidak mengikutkan pekerjanya dalam program jamsostek (juga tidak diikutsertakan asuransi kesehatan) adalah hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sesuai Pasal 29 ayat 1 UU 3/1992 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; 2. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ." }
{ "from": "human", "value": "Startup sekarang mulai banyak bermunculan, seiring dengan daya kreatifitas anak bangsa. Selama ini permasalahan startup adalah sulitnya mencari investor yang akan mendanai ide kreatif mereka. Apakah pemerintah bisa menjadi investor bagi startup-startup baru? Kalau bisa apakah ada celah bagi startup untuk meminta suntikan dana dari pemerintah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Startup bisa mendapatkan bantuan dana (bantuan modal) dalam rangka peningkatan dan pengembangan startup melalui bantuan dari pemerintah. Startup yang akan memperoleh bantuan pemerintah ini adalah startup yang sedang atau telah menjadi binaan dalam Inkubator Bisnis, diutamakan yang telah tergabung dalam program BEK-UP (Badan Ekonomi Kreatif for Pre-Startup). Untuk menerima bantuan pemerintah ini startup yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan dan lulus seleksi yang dilakukan oleh Komite Kurasi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Mal dan Swalayan Wajib Menyediakan Lokasi Usaha untuk UMKM, Benarkah? 08 Sep 2023 Pengelolaan Pasar Tradisional oleh Perusahaan Startup 20 Nov 2017 Surat Keterangan Domisili Bagi Pengguna Virtual Office 09 Nov 2017 Seluk Beluk Mendirikan Usaha Toko Buku 19 Okt 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bantuan Pemerintah Untuk Startup Menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemberian Bantuan Pemerintah Untuk Pendanaan Awal Rintisan Usaha Bisnis (Startup) (“Perka Berkraf 10/2016”). Startup adalah rintisan usaha bisnis yang dapat berbentuk sebuah perusahaan, sebuah kerja sama kemitraan, atau organisasi sementara yang dengan pengembangan kapasitas dan kemampuan teknis maupun manajerial wirausaha, berpotensi untuk menumbuhkan nilai usaha dan daya saing secara inovatif dan kreatif dalam jangka waktu tertentu. [1] Perka Berkraf 10/2016 ini khusus mengatur mengenai bantuan pemerintah kepada startup . Bantuan Pemerintah yang dimaksud adalah bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif (“Bekraf”) kepada perseorangan, kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah/non pemerintah dalam bentuk bantuan lainnya yang memiliki karakteristik yang ditetapkan oleh Pengguna Anggaran. [2] Tujuan Bantuan Pemerintah ini adalah: [3] 1. memberikan bantuan permodalan dalam rangka peningkatan dan pengembangan startup ; 2. memacu pertumbuhan startup , komunitas, masyarakat dan lembaga pendidikan terkait startup guna mendukung penciptaan lapangan pekerjaan, daya saing dan kesejahteraan masyarakat; dan 3. menumbuhkan dan mengembangkan ekosistem bagi tumbuh dan berkembangnya daya-saing startup . Penerima bantuan pemerintah adalah startup yang sedang atau telah menjadi binaan dalam Inkubator Bisnis , diutamakan yang telah tergabung dalam program Badan Ekonomi Kreatif for Pre-Startup (“BEK-UP”). Inkubator Bisnis adalah suatu lembaga yang bergerak melakukan proses inkubasi terhadap rintisan usaha bisnis ( startup ) melalui berbagai pembinaan terpadu yang meliputi namun tidak terbatas pada penyediaan tempat kerja/kantor, fasilitas perkantoran, bantuan pelatihan, bimbingan dan konsultasi, penelitian dan pengembangan teknologi, bantuan permodalan, serta penciptaan jaringan usaha. [4] Penerima bantuan pemerintah ini harus memenuhi persyaratan dan lulus seleksi yang dilakukan oleh Komite Kurasi. Persyaratan selanjutnya diatur dalam petunjuk teknis . [5] Penerima bantuan ditetapkan berdasarkan Keputusan Komite Kurasi dan Keputusan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang disahkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran (“KPA”). [6] Jenis bantuan pemerintah yang diberikan berupa pendanaan . Bantuan pemerintah ini, hanya dipergunakan untuk: [7] a. pengembangan permodalan; b. pengembangan sarana dan prasarana; dan/atau c. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia. Sumber bantuan pemerintah berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Bekraf. [8] Bantuan pemerintah diberikan berupa uang melalui transfer dana kepada penerima bantuan . Transfer dana tersebut tidak dikembalikan kepada Negara. Perlakuan akuntansi terhadap bantuan pemerintah yang diterima penerima bantuan dibukukan oleh penerima bantuan. [9] Persyaratan Bagi Calon Penerima Bantuan Dalam Panduan Teknis Bantuan Insentif Penambahan Modal Kerja Dan/Atau Investasi Aktiva Tetap Untuk Meningkatkan Kapasitas Usaha/Produksi Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif (hal. 5) disebutkan bahwa bantuan dapat diterima oleh: 1. Perorangan; 2. Kelompok masyarakat; 3. Lembaga Pemerintah/Non Pemerintah. Persyaratan umum bagi penerima bantuan adalah sebagai berikut (hal. 5-6): a. Warga Negara Indonesia yang memiliki Kartu Tanda Penduduk aktif dan surat keterangan domisili dari Kepala Desa dan/atau Kelurahan. b. Cakap secara Hukum: 1) Berusia minimal 18 tahun; 2) Tidak sedang menjalani hukuman; 3) Berjiwa sehat/berakal sehat. c. Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif, diutamakan yang berbadan hukum Perseroan Terbatas. d. Memiliki nama dan tempat kedudukan usaha ekonomi kreatif yang tetap, ditunjukkan dengan surat keterangan domisili dari Pemerintah Kelurahan/Desa setempat dan surat izin usaha sesuai ketentuan. e. Memiliki Rekening Bank Pemerintah atas nama Pengusul dengan status aktif. f. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”) Pribadi dan/atau NPWP Perusahaan. g. Poin d sampai dengan nomor f nama pengusul, dokumen legalitas perusahaan terbatas, NPWP, dan pemilik rekening bank memiliki penamaan yang sama. h. Mengajukan proposal permohonan Bantuan Insentif Penambahan Modal kerja dan/atau Investasi Aktiva Tetap sesuai dengan petunjuk teknis. i. Diutamakan yang telah mengikuti kegiatan atau program atau pelatihan atau program batch yang diselenggarakan Badan Ekonomi Kreatif. j. Calon penerima tidak sedang menerima bantuan sejenis dari pemerintah pada tahun berjalan. Persyaratan khusus ditentukan dengan kriteria yang ditetapkan oleh Tim Kurator yang disesuaikan dengan subsektor. Pada tahun anggaran 2017 pemberian bantuan diprioritaskan pada sub sektor Aplikasi dan Game Developer (AGD) dan Kuliner. Jadi menjawab pertanyaan Anda, startup bisa mendapatkan bantuan pendanaan (salah satunya bantuan modal) dari pemerintah dalam rangka peningkatan dan pengembangan startup . Startup yang akan memperoleh bantuan pemerintah ini adalah startup yang sedang atau telah menjadi binaan dalam Inkubator Bisnis, diutamakan yang telah tergabung dalam program BEK-UP. Untuk menerima bantuan pemerintah ini startup yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan dan lulus seleksi yang dilakukan oleh Komite Kurasi. Hal serupa juga dijelaskan dalam artikel Bekraf Bakal Salurkan Dana Hibah untuk Bantu Permodalan Startup , sebagaimana yang akses dari TechInAsia, demi membantu pendanaan kepada startup yang belum memiliki aset besar, Bekraf membuka pendaftaran untuk mendapatkan Bantuan Insentif Pemerintah (“BIP”) bagi para pelaku usaha ekonomi kreatif, khususnya subsektor aplikasi digital, developer game, serta kuliner. Ini artinya, bantuan ini pun akan bisa dimanfaatkan oleh para startup di tanah air. BIP merupakan skema bantuan modal nonperbankan berupa penambahan modal kerja dan/atau investasi aktiva tetap yang difasilitasi oleh Bekraf. Masih dalam sumber yang sama, menurut Deputi Akses Permodalan Bekraf, Fadjar Hutomo, founder startup tak perlu memberi jaminan untuk mendapatkan bantuan ini. Namun Bekraf akan tetap melakukan pengawasan terkait penggunaan dana hibah yang disalurkan. Untuk mendapat akses permodalan BIP, pelaku start-up bisa mendaftar secara online mulai tanggal 13 sampai 24 Juli 2017. Bekraf sendiri mengalokasikan total dana sebesar Rp10,8 miliar untuk program BIP, yang mana setiap pelaku usaha akan diberikan modal sebesar Rp200 juta. Realisasi Bantuan Pemerintah dan Penggunaannya Realisasi bantuan pemerintah dilakukan dengan mengikuti mekanisme administrasi keuangan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penerima bantuan wajib menggunakan bantuan pemerintah sesuai dengan peruntukannya. Dalam hal penerima bantuan melanggar ketentuan dapat dikenai sanksi administratif. [10] Sanksi administratif tersebut berupa: [11] a. teguran tertulis; b. pemberhentian dana bantuan pemerintah. Sanksi administratif dilakukan menurut petunjuk teknis yang ditetapkan oleh KPA. [12] Pada Panduan Teknis Bantuan Insentif Penambahan Modal Kerja Dan/Atau Investasi Aktiva Tetap Untuk Meningkatkan Kapasitas Usaha/Produksi Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif (hal. 19) yang diumumkan pihak Bekraf, ada enam ketentuan terkait kegiatan apa saja yang diperbolehkan untuk menggunakan dana hibah. Pada intinya, dana dapat digunakan hanya untuk kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kapasitas usaha dan/atau produksi startup . Berikut urutannya: a. Pemberian jasa selain kepada pemilik atau pendiri usaha. b. Sewa untuk ruang kerja. c. Sewa/beli software dan/atau hardware. d. Lisensi kelayakan kesehatan untuk makanan dan minuman (dari Badan Pengawas Obat dan Makanan)/sertifikasi halal/sertifikasi merek. e. Pembelian bahan baku/bahan penolong. f. Pembelian peralatan dan/atau mesin produksi penunjang. Sedangkan hal-hal yang tak diperbolehkan ketika menggunakan dana hibah yakni: a. Pembelian lahan, tanah untuk usaha. b. Pembangunan gedung. c. Pembelian kendaraan operasional. d. Jaminan atas pinjaman pada pihak lain dalam bentuk apa pun. e. Perjalanan dalam dan luar negeri. f. Sewa jasa akuntansi/administrasi perusahaan/keuangan. Adapun dana lain yang belum dicantumkan dalam ketentuan tersebut, akan ditentukan lebih lanjut oleh kurator. Dana hibah yang tidak terpakai selama masa kontrak akan dikembalikan ke kas negara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemberian Bantuan Pemerintah Untuk Pendanaan Awal Rintisan Usaha Bisnis (Startup) . REFERENSI:\n1. 1. Bekraf Bakal Salurkan Dana Hibah untuk Bantu Permodalan Startup , diakses pada Selasa, 12 Desember 2017, pukul 11.55 WIB. 2. Panduan Teknis Bantuan Insentif Penambahan Modal Kerja Dan/Atau Investasi Aktiva Tetap Untuk Meningkatkan Kapasitas Usaha/Produksi Pelaku Usaha Ekonomi Kreatif , diakses pada Selasa, 12 Desember 2017, pukul 11.55 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 Perka Berkraf 10/2016 [2] Pasal 1 angka 1 Perka Berkraf 10/2016 [3] Pasal 2 Perka Berkraf 10/2016 [4] Pasal 1 angka 4 Perka Berkraf 10/2016 [5] Pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) Perka Berkraf 10/2016 [6] Pasal 3 ayat (4) Perka Berkraf 10/2016 [7] Pasal 4 Perka Berkraf 10/2016 [8] Pasal 5 Perka Berkraf 10/2016 [9] Pasal 6 Perka Berkraf 10/2016 [10] Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Berkraf 10/2016 [11] Pasal 7 ayat (4) Berkraf 10/2016 [12] Pasal 7 ayat (5) Berkraf 10/2016 hukumonline hukum start-up klinik perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah bank BUMN dapat melakukan kerja sama dengan pihak kejaksaan dalam proses penyelesaian kredit bermasalah? Apa dasar hukumnya? Dan sejauh mana wewenang kejaksaan dalam penyelesaian kredit bermasalah tersebut? Serta bagaimana teknis penggunaan jasa kejaksaan tersebut? Apakah terdapat sharing fee dan sebagainya? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Syarat dan Prosedur Menjadi Jaksa 10 Jan 2022 Syarat Fisik/Jasmani untuk Menjadi Jaksa 14 Agt 2015 Bolehkah Sarjana Hukum Islam (S.H.I.) Mencalonkan Diri Menjadi Jaksa? 13 Feb 2015 Sudah Dijatuhi Sanksi Etik, Apakah Jaksa Masih Bisa Dituntut Secara Hukum? 09 Okt 2014 Intisari: Bank yang merupakan BUMN, dapat bekerja sama dengan pihak Kejaksaan dalam penanganan ‘kredit macet’. Kerja sama yang dapat diberikan oleh Kejaksaan adalah berupa bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi, yang mana harus didasari dengan Surat Kuasa Khusus yang diberikan oleh BUMN terkait. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum kami menjawab lebih lanjut pertanyaan Anda, perlu kami menjelaskan terlebih dahulu definisi-definisi sebagai berikut: 1. Definisi B ank berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU Perbankan”) adalah sebagai berikut : “ Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak . ” 2. Definisi Badan Usaha Milik Negara menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ( “UU BUMN”) adalah sebagai berikut : “ Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan . ” 3. Definisi K ejaksaan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”) adalah sebagai berikut : “ Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang . ” Sebagai tambahan, B ank yang merupakan BUMN diantaranya adalah Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI) , Bank Rakyat Indonesia (BRI) , dan Bank Tabungan Negara (BTN) . Penyelesaian kredit bermasalah termasuk dalam bidang perdata. Dalam UU Kejaksaan diatur bahwa di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah . [1] Selain itu, S urat E daran M ahkamah A gung Republik Indonesia No mor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 s ebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA No. 4 Tahun 2014”), di dalam Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Perdata dinyatakan secara jelas bahwa Jaksa sebagai P engacara Negara berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan R epublik Indonesia (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2016 - ed) adalah berwenang untuk dapat mewakili BUMN dan BUMD. Godang Riadi Siregar sebagai Mantan Direktur Perdata pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) , menyampaikan pendapatnya berkenaan dengan tugas dan wewenang Kejaksaan dalam Seminar Hukum Nasional dengan tema “ Quo Vadis Eksekusi Hak Tanggungan ” yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran pada Tahun 2014 yang selengkapnya dinyatakan sebagai berikut: “ Jaksa Pengacara Negara siap mewakili BUMN yang sedang bersengketa bisnis dengan pihak lain, dan melalui SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan , kini Jaksa Pengacara Negara (JPN) sudah leluasa menerima Surat Kuasa dari BUMN atau BUMD untuk perkara-perkara sengketa bisnis, misalnya kredit macet . JPN telah membantu pemulihan keuangan negara dengan mendampingi sejumlah bank milik negara yang sejak 2013 lalu. Misalnya, uang Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang telah diselamatkan sejumlah Rp 5,084 Miliar (2013-Mei 2014) dan uang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) senilai Rp233 juta (2013-Mei 2014) . ” Selain itu, Sutan Remy Sjahdeini di dalam bukunya Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan , berpendapat harus ada pemberian kuasa khusus dari Bank BUMN kepada pihak Kejaksaan apabila Bank BUMN ingin meminta bantuan kepada pihak Kejaksaan dalam menyelesaikan kredit macet. Sutan Remy Sjahdeini juga menyatakan bahwa Bank BUMN dapat mencabut kuasa khusus yang telah diberikan kepada pihak Kejaksaan apabila Bank BUMN tidak puas dengan prestasi kerja Kejaksaan dalam hal penyelesaian kredit macet. Berdasarkan Huruf F angka 10 Lampiran Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain Dan Pelayanan Hukum Di Bidang Perdata Dan Tata Usaha Negara (“Peraturan Jaksa Agung 25/2015”), Bantuan Hukum adalah pemberian Jasa Hukum di Bidang Perdata oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara atau Pemerintah untuk bertindak sebagai kuasa hukum berdasarkan Surat Kuasa Khusus baik secara Non Litigasi maupun Litigasi di Peradilan Perdata serta Arbitrase sebagai Penggugat/Penggugat Intervensi/Pemohon/Pelawan/Pembantah atau Tergugat/Tergugat Intervensi/Termohon/Terlawan/Terbantah, serta pemberian Jasa Hukum di Bidang Tata Usaha Negara oleh Jaksa Pengacara Negara kepada Negara dan Pemerintah sebagai Tergugat/Termohon di Peradilan Tata Usaha Negara dan sebagai wakil Pemerintah atau menjadi Pihak Yang Berkepentingan dalam Perkara Uji Materiil Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi dan sebagai Termohon dalam Perkara Uji Materiil terhadap Peraturan di Bawah Undang-Undang di Mahkamah Agung. Yang dimaksud dengan Negara atau Pemerintah adalah Lembaga/Badan Negara, Lembaga/Instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan Badan Hukum Lain. [2] Biaya Perkara dan Biaya operasional kegiatan pemberian Bantuan Hukum kepada Negara atau Pemerintah dibebankan sepenuhnya kepada Pemberi Kuasa, sedangkan pemberian Bantuan Hukum kepada Internal Kejaksaan dibebankan kepada DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) Kejaksaan. Perlu diketahui bahwa setiap kegiatan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum dilaporkan kepada Pimpinan secara berjenjang, sesuai dengan bentuk laporan Administrasi Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa bank yang merupakan BUMN, dapat bekerja sama dengan pihak Kejaksaan dalam penanganan ‘kredit macet’. Kerja sama yang dapat diberikan oleh Kejaksaan adalah berupa bantuan hukum baik secara litigasi maupun non litigasi, yang mana harus didasari dengan Surat Kuasa Khusus yang diberikan oleh BUMN terkait. Demikian penjelasan Kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ; 2. Undang-Undang R Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ; 3. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ; 4. S urat E daran M ahkamah A gung Republik Indonesia No mor 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 s ebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan; 5. Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-025/A/JA/11/2015 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain Dan Pelayanan Hukum Di Bidang Perdata Dan Tata Usaha Negara REFERENSI:\n1. 1. Gema Yustisia, Diskusi Panel Pengurusan Piutang Negara, Denpasar, 1994\n2. 2. Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, 1999\n3. 3. Data Kepolisian /berita/baca/lt53ada02cc466d/jaksa-pengacara-negara--debt collector-resmi-negara. [1] Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan [2] Huruf F angka 1 Lampiran Peraturan Jaksa Agung 25/2015 hukumonline perdata jaksa agung bank jaksa hukum klinik bumn bantuan hukum klinik hukumonline kejaksaan" }
{ "from": "human", "value": "Assalamualaikum wr wb. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk bisa bergabung di forum ini. Saya mempunyai permasalahan yang agak sulit dan berat saya terima dan di dalam keadaan ini saya hanya bisa berserah dan berusaha untuk meminta bantuan. Permasalahan saya saat ini adalah: Saya mepunyai hubungan dengan wanita yang sudah bersuami dan saya sendiri sudah beristri. Hubungan itu menghasilkan benih cinta kami. Dengan keadaan ini kami sudah tidak kuat untuk membuka hub ini karna alasan kami ingin menuju jalan yang benar untuk kehidupan yang akan datang. Kami saling membuka dengan pasangan kami masing-masing dan disitulah mulai ada masalah. Suami wanita menuntut ke polisi dengan aduan perzinahan yang diajukan ke saya dan saat ini proses yang masih berlanjut adalah si suami bersedia rujuk wanita tersebut dengan persyaratan yang berat diterima sang istri di antaranya : - setelah persalinan si bayi langsung di berikan ke saya - Si wanita putus hubungan dengan si bayi. Demikian cerita yang saat ini saya alami Pertanyaan : 1.Apa yang harus saya lakukan pada saat ini? 2.hukum atau pasal apa yang ada di hadapan saya dan bagaimana saya harus bersikap supaya saya tidak terjerat hukum? 3.Apa yang harus dilakukan sang wanita tersebut dengan persyaratanya sang suami 4.Apa ada hukum yang berlaku tentang \"selesai persalinan si bayi langsung diserahkan ke saya\"? Demikian pertanyaan saya dan terima kasih atas bantuan dan sarannya. Wassalam Dwi j" }
{ "from": "gpt", "value": "1. Kami turut prihatin atas permasalahan yang sedang Anda alami saat ini. Untuk membantu menyelesaikan permasalahan hukum Anda, sebaiknya Anda memperoleh bantuan hukum dari advokat yang berkompeten. 2. Mengenai hubungan khusus yang Anda lakukan dengan wanita yang telah bersuami dapat dikategorikan sebagai perzinahan sebagaimana diatur dalam pasal 284 KUHPidana dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan. Perzinahan merupakan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan atas dasar suka sama suka, di mana salah satu atau dua-duanya sudah menikah dengan orang lain. Pasal 284 KUHPidana mengandung beberapa sifat, di antaranya adalah : Ketentuan dalam pasal 284 KUHPidana merupakan kategori delik aduan absolut . Artinya, pelaku dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan (pasal 284 ayat [2] KUHPidana). Pengaduan tersebut dapat dicabut selama perkara belum diperiksa di muka pengadilan (pasal 284 ayat [4] KUHPidana). Perkara yang dimaksud dalam pasal 284 KUHPidana merupakan perkara yang tidak boleh dipisah. Hal ini berarti pihak yang merasa dirugikan tidak boleh hanya mengadukan salah satu pihak yang melakukan perzinahan. Jadi pihak yang diadukan adalah keduanya, baik laki-laki maupun perempuan yang melakukan zina. 3. Secara hukum seorang anak tidak boleh dipisahkan dari orangtuanya. Pasal 7 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan, anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Selain itu, dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) diatur juga mengenai hak-hak anak. Salah satu hak anak yang diatur dalam pasal 59 UU HAM, yaitu : Setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya secara bertentangan dengan kehendak anak sendiri, kecuali jika ada alasan dan aturan yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orangtuanya tetap dijamin oleh undang-undang Berdasarkan ketentuan UU Perlindungan Anak dan UU HAM tersebut di atas, maka jelas bahwa setiap anak tidak dapat dipisahkan dari orangtuanya meskipun anak tersebut merupakan anak yang dihasilkan di luar perkawinan. Sehingga, persyaratan dari suami kepada istrinya untuk melakukan pemutusan hubungan dengan bayinya adalah sesuatu yang melanggar hukum dan melanggar hak anak itu sendiri. 4. Status anak yang terlahir dari hubungan Anda dan wanita yang telah bersuami tersebut adalah anak luar kawin sebagai akibat dari perzinahan. Secara hukum, anak luar kawin dianggap tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Karena, menurut pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Meski demikian, demi kepentingan si anak, Anda dapat melakukan perbuatan hukum Pengakuan Anak. Akibat hukum dari pengakuan anak adalah timbulnya hubungan perdata antara anak dengan bapak atau ibunya (pasal 280 KUHPerdata) . Pengakuan anak tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan ibunya (pasal 284 KUHPerdata). Pengakuan anak dapat dilakukan dengan akta notaris atau pada akta kelahiran atau akta yang dibuat oleh pejabat Catatan Sipil. Setelah ada pengakuan anak, Anda sebagai bapak wajib memberikan nafkah kepada si anak, menjadi wali dan memberikan warisan kepada anak tersebut. Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Peraturan perundang-undangan terkait : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Perlindungan Anak UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada aturan soal bantuan pemerintah untuk kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah? Jika ada, bagaimana pelaksanaannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bantuan Kepemilikan Rumah Guna menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 20/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Kemudahan dan Bantuan Pemilikan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (“Permen PUPR 20/2019”) . Namun ada perlunya kami jelaskan terlebih dahulu tentang masyarakat berpenghasilan rendah (“MBR”), yaitu: [1] Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Kemudahan dan/atau bantuan pemilikan rumah diberikan kepada MBR melalui dana murah jangka panjang dan subsidi pemilikan rumah . [2] Dana murah jangka panjang berupa Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (“FLPP”) yang dikelola oleh Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (“PPDPP”) dengan menerapkan pengelolaan keuangan badan layanan umum. [3] Sedangkan subsidi pemilikan rumah berupa subsidi bunga kredit perumahan yang dikelola oleh satuan kerja di lingkungan direktorat jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang melaksanakan kegiatan anggaran subsidi bunga kredit perumahan dan/atau subsidi bantuan uang muka perumahan (“Satuan Kerja”) . [4] Patut diperhatikan bahwa MBR dengan batasan penghasilan tertentu hanya dapat memanfaatkan Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) bersubsidi berupa: [5] KPR sejahtera tapak; KPR sejahtera syariah tapak; KPR sejahtera susun; KPR sejahtera syariah susun; KPR Subsidi Selisih Bunga (“SSB”) tapak; KPR SSB susun; KPR Subsidi Selisih Margin (“SSM”) tapak; atau KPR SSM susun. Pengajuan KPR Sejahtera Kelompok sasaran penerima KPR sejahtera merupakan MBR perseorangan yang berstatus tidak kawin atau pasangan suami istri yang melampirkan persyaratan sebagai berikut: [6] surat pemesanan rumah dari pengembang yang paling sedikit memuat harga jual rumah dan alamat rumah; fotokopi kartu tanda penduduk elektronik atau resi kartu tanda penduduk elektronik; fotokopi kartu keluarga; fotokopi akta nikah atau akta perkawinan bagi yang berstatus kawin; fotokopi nomor pokok wajib pajak; fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan orang pribadi; surat pernyataan pemohon; slip gaji yang disahkan oleh pejabat yang berwenang bagi pemohon yang berpenghasilan tetap atau surat pernyataan penghasilan yang ditandatangani oleh pemohon dan diketahui oleh kepala desa/lurah bagi pemohon yang tidak berpenghasilan tetap. Verifikasi akan dilakukan oleh bank pelaksana untuk memastikan ketepatan kelompok sasaran dan kelaikan rumah untuk diberikan KPR sejahtera. [7] PPDP lalu melakukan pengujian terhadap kelompok sasaran yang diajukan oleh bank pelaksana dan surat pernyataan verifikasi. [8] Bank pelaksana kemudian melakukan penandatanganan perjanjian kredit KPR sejahtera dengan kelompok sasaran yang telah memenuhi persyaratan: [9] lolos pengujian data kelompok sasaran oleh PPDPP; dan bangunan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum telah dilengkapi surat pernyataan mengenai kelaikan fungsi bangunan yang dibuat oleh pengkaji teknis, pengawas konstruksi, atau manajemen konstruksi bagi rumah umum tapak sesuai dengan izin mendirikan bangunan, atau sertifikat laik fungsi bagi satuan rumah susun umum. Bank pelaksana selanjutnya mengajukan permintaan pembayaran dana FLPP kepada PPDPP atas perjanjian kredit yang dilakukan pada tahun berjalan. [10] PPDP melakukan pengujian terhadap permintaan pembayaran dan dari hasil pengujian tersebut, PPDP melakukan pembayaran dana FLPP ke rekening program FLPP KPR Sejahtera. [11] Bank pelaksana wajib mengembalikan pokok dana FLPP tanpa syarat kepada PPDPP yang dilakukan secara bulanan sesuai jadwal amortisasi yang ditetapkan. [12] Selain itu, bank pelaksana juga membayar tarif KPR sejahtera berupa bunga/imbal hasil atas penggunaan dana FLPP untuk KPR sejahtera yang diterbitkan sesuai dengan perhitungan dan jadwal yang ditetapkan PPDPP ke rekening dana operasional PPDPP. [13] Jika KPR Sejahtera dibayar sebelum jatuh tempo kredit, bank pelaksana harus melaporkan dan mengembalikan dana pelunasan kepada PPDPP. [14] Pengajuan KPR SSB dan KPR SSM Kelompok sasaran penerima KPR SSB atau KPR SSM merupakan MBR perseorangan yang berstatus tidak kawin atau pasangan suami istri yang memenuhi persyaratan: [15] surat pemesanan rumah dari pengembang yang paling sedikit memuat harga jual rumah dan alamat rumah; fotokopi kartu tanda penduduk elektronik atau resi kartu tanda penduduk elektronik; fotokopi kartu keluarga; fotokopi akta nikah atau akta perkawinan bagi yang berstatus kawin; fotokopi nomor pokok wajib pajak; fotokopi surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan orang pribadi; surat pernyataan pemohon; slip gaji yang disahkan oleh pejabat yang berwenang bagi pemohon yang berpenghasilan tetap, atau surat pernyataan penghasilan yang ditantadangani oleh pemohon yang diketahui oleh kepala desa/lurah bagi pemohon yang tidak berpenghasilan tetap. Verifikasi selanjutnya dilakukan oleh bank pelaksana, sekaligus menunjuk pejabat untuk memverifikasi dan menandatangani surat permintaan pembayaran subsidi bunga kredit perumahan. [16] Satuan kerja lalu melakukan pengujian pada kelompok sasaran yang diajukan oleh bank pelaksana dan surat pernyataan verifikasi. [17] Bank pelaksana menandatangani perjanjian kredit KPR SSB atau akad pembiayaan KPR SSM dengan kelompok sasaran yang telah memenuhi syarat: [18] lolos pengujian data kelompok sasaran oleh satuan kerja; dan bangunan rumah serta prasarana, sarana, dan utilitas umum telah dilengkapi surat pernyataan mengenai kelaikan fungsi bangunan yang dibuat oleh pengkaji teknis, pengawas konstruksi, atau manajemen konstruksi bagi rumah umum tapak sesuai dengan izin mendirikan bangunan, atau sertifikat laik fungsi bagi satuan rumah susun umum. Bank pelaksana lalu mengajukan permintaan pembayaran subsidi bunga kredit perumahan bulan pertama atas perjanjian kredit atau akad pembiayaan yang dilakukan pada tahun berjalan. [19] Satuan kerja kemudian menguji permintaan tersebut dan dari hasilnya pejabat perbendaharaan satuan kerja menerbitkan surat perintah membayar kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara untuk pembayaran subsidi bunga kredit perumahan kepada bank pelaksana. [20] Permintaan pembayaran subsidi bunga kredit perumahan bulan kedua dan selanjutnya selama masa kredit/pembiayaan diajukan pada awal bulan untuk perjanjian kredit/akad pembiayaan bulan sebelumnya. [21] Dalam hal KPR SSB atau KPR SSM dibayar sebelum jatuh tempo kredit, bank pelaksana harus melaporkan pelunasan kepada satuan kerja. [22] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 20/PRT/M/2019 Tahun 2019 tentang Kemudahan dan Bantuan Pemilikan Rumah Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah . [1] Pasal 1 angka 3 Permen Permen PUPR 20/2019 [2] Pasal 3 Permen Permen PUPR 20/2019 [3] Pasal 4 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [4] Pasal 4 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 34 Permen PUPR 20/2019 [5] Pasal 9 ayat (1) dan (3) Permen PUPR 20/2019 [6] Pasal 29 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [7] Pasal 30 Permen PUPR 20/2019 [8] Pasal 32 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [9] Pasal 34 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [10] Pasal 35 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [11] Pasal 36 ayat (1) jo. Pasal 37 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [12] Pasal 38 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [13] Pasal 39 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [14] Pasal 41 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [15] Pasal 47 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [16] Pasal 48 ayat (1) jo . Pasal 49 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [17] Pasal 50 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [18] Pasal 52 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [19] Pasal 53 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [20] Pasal 54 ayat (1) jo . Pasal 55 Permen PUPR 20/2019 [21] Pasal 56 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 [22] Pasal 60 ayat (1) Permen PUPR 20/2019 pertanahan hukumonline properti masyarakat berpenghasilan rendah kpr" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara (Ahli Waris) menuntut ganti rugi atas lahan yang diambil alih secara paksa oleh Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Perkebunan) sejak 1972 yang lalu yang hingga saat ini belum pernah ada ganti rugi? Sementara berdasarkan bukti fisik, surat (rinci) yang menjelaskan keterangan luas tanah milik kami sudah ada. Apakah Ahli Waris masih bisa mengambil haknya? Jika masih bisa, secara teknis bagaimana prosedurnya? Apakah wajib menggunakan jasa Advokasi ataukah ada lembaga hukum (resmi) pemerintah yang bisa membantu? Mengingat kami termasuk tidak mampu 'menghidupi' pengacara dengan modal saat ini. Atas pencerahannya kami sangat berterima kasih. Wassallam" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami. Sebelumnya, kami turut prihatin atas masalah yang sedang keluarga Saudara hadapi pada saat ini. Kami akan memberikan pendapat hukum kami terkait pertanyaan yang disampaikan oleh Saudara. Sebelumnya kami perlu jelaskan bahwa sejak 14 Januari 2012, telah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan Bangunan Untuk Kepentingan Umum (“UU Pengadaan Tanah dan Bangunan Untuk Kepentingan Umum”) , namun mengingat masalah ini terjadi pada tahun 1972 , maka kami akan mengacu pada ketentuan lama. Hal tersebut kami dasarkan pada ketentuan Pasal 58 huruf a UU Pengadaan Tanah dan Bangunan Untuk Kepentingan Umum , yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Apakah Melepaskan Hak Milik atas Tanah Otomatis Jadi Tanah Negara? 16 Okt 2023 Tanah Warga Terkena Pelebaran Jalan, Begini Aturannya 22 Feb 2021 Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah 17 Feb 2021 Bolehkah Pemda Membeli Tanah di Luar Wilayahnya? 18 Des 2013 “Proses pengadaan tanah yang sedang berlangsung sebelum berlakunya Undang-Undang ini diselesaikan berdasarkan ketentuan sebelum berlakunya Undang-Undang ini.” Dalam kasus Saudara, jelas bahwa pengadaan tanah tersebut telah terjadi atau bahkan sudah selesai. Yang masih belum selesai adalah ahli waris pemilik tanah merasa belum mendapatkan ganti rugi atas tanah tersebut , sehingga menurut kami permasalahan ini tetap diselesaikan dengan ketentuan yang lama, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya (“UU Pencabutan Hak-Hak Tanah”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menurut ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria , disebutkan: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.” Hal tersebut ditegaskan kembali dalam ketentuan Pasal 1 UU Pencabutan Hak-Hak Tanah , dijelaskan sebagai berikut: “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.” Bertolak dalam ketentuan yang kami sebutkan di atas, maka Pemerintah dalam hal ini Kementerian Perkebunan (sekarang dilebur dalam Kementerian Pertanian), berhak untuk mengambil alih tanah tersebut untuk kepentingan umum . Namun, perlu digarisbawahi bahwa, proses pengambil alihan (pembebasan lahan) tersebut harus disertai dengan pemberian kompensasi atau ganti rugi kepada si pemilik tanah yang besarannya disesuaikan dengan harga tanah pada saat itu. Hal tersebut senada dengan ketentuan pada Pasal 5 UU Pencabutan Hak-Hak Tanah , yang selengkapnya berbunyi demikian: “Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam Pasal 6 dan 8 ayat (3), maka penguasaan tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan baru dapat dilakukan setelah ada surat keputusan pencabutan hak dari Presiden, sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 1 dan setelah dilakukan pembayaran ganti kerugian , yang jumlahnya ditetapkan dalam surat keputusan tersebut serta diselenggarakannya penampungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e.” Dalam Poin ke-5 Penjelasan Umum UU Pencabutan Hak-hak Tanah , diuraikan sebagai berikut: “...kepada yang berhak atas tanah dan/atau benda yang haknya dicabut itu akan diberikan ganti kerugian , yang ditetapkan oleh Presiden, atas usul suatu Panitia Penaksir, yang anggota-anggotanya mengangkat sumpah. Jumlah ganti kerugian itu menurut Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria haruslah layak. Ganti kerugian yang layak itu akan didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan. Harga yang didasarkan atas nilai yang nyata/sebenarnya itu tidak mesti sama dengan harga umum, karena harga umum bisa merupakan harga “catut”. Tetapi sebaliknya harga tersebut tidak pula berarti harga yang murah...” Maka berdasarkan ketentuan di atas, Pemerintah tentunya telah mengeluarkan ganti kerugian atas tanah milik keluarga Saudara yang telah diambil alih oleh Kementerian Pertanian. Adapun mengenai ganti kerugian yang hingga saat ini belum diterima oleh keluarga Saudara, dapat dilakukan klarifikasi kepada instansi terkait. Jika ternyata dari pihak terkait belum melunasi ganti kerugian tersebut dan tidak mau untuk melunasinya, maka keluarga Saudara (para ahli waris) dapat menempuh jalur hukum melalui gugatan ganti kerugian ke Pengadilan Negeri setempat. Selanjutnya mengenai apakah wajib menggunakan jasa advokat, menurut pendapat kami tidak ada kewajiban bagi Saudara untuk menggunakan jasa advokat. Namun demi membantu segala proses hukum yang akan berjalan, mengingat para ahli waris tidak mengerti hukum, ada baiknya untuk menggunakan jasa pengacara (advokat). Apabila Saudara tidak memiliki biaya untuk membayar jasa pengacara, Saudara dapat menggunakan jasa pengacara pro deo (cuma-cuma) yang tersedia pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum , menyatakan: “Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum.” Selain itu, Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat , menyatakan: “Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu.” Berdasarkan ketentuan di atas, sebenarnya tidak ada alasan bagi Saudara untuk tidak mendapatkan bantuan hukum, karena telah dijamin oleh undang-undang. Demikian yang dapat kami sampaikan, kiranya penjelasan yang kami berikan dapat bermanfaat untuk mengambil langkah hukum bagi Saudara. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ; 2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya ; 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; 4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum ; 5. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah dan Bangunan Untuk Kepentingan Umum . ganti rugi" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dapat digunakan sebagai barang bukti apabila pencemaran nama baik dilakukan di depan umum? Apakah harus ada barang bukti berbentuk surat?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHP ”) disebut dengan penghinaan . Dalam hal ini, kami berasumsi pencemaran nama baik yang Anda maksud dilakukan bukan melalui media elektronik. Pembahasan mengenai pembuktian pencemaran nama baik yang dilakukan melalui media elektronik Anda dapat menyimak artikel-artikel berikut: KLINIK TERKAIT Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 28 Mar 2024 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Jerat Pidana Fitnah bagi Perusahaan yang Tuduh Karyawan 10 Nov 2022 Jerat Hukum Pengancaman Melalui Media Elektronik 04 Jan 2019 - Legalitas Hasil Cetak Tweet Sebagai Alat Bukti Penghinaan ; - Pembuktian Penghinaan Lewat Facebook, Perlukah Keterangan Ahli? Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perlu diketahui bahwa pencemaran nama baik tersebut dapat dilakukan secara lisan ( Pasal 310 ayat [1] KUHP ) maupun dengan tulisan atau gambar ( Pasal 310 ayat [2] KUHP ). Lebih lanjut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa penghinaan itu sendiri ada 6 macam, yaitu: 1. Menista ( Pasal 310 ayat [1] KUHP ); 2. Menista dengan surat ( Pasal 310 ayat [2] KUHP ); 3. Memfitnah ( Pasal 311 KUHP ); 4. Penghinaan ringan ( Pasal 315 KUHP ); 5. Mengadu secara memfitnah ( Pasal 317 KUHP ); dan 6. Tuduhan secara memfitnah ( Pasal 318 KUHP ). Dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan sebagaimana terdapat dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP, menurut R. Soesilo , supaya dapat dihukum maka pencemaran nama baik itu harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan tersiar (diketahui orang banyak). Oleh karena itu, tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa barang bukti berbentuk surat diperlukan dalam membuktikan pencemaran nama baik secara lisan. Yang terpenting adalah bahwa tuduhan tersebut dilakukan di depan orang banyak. Ini berbeda dengan pencemaran nama baik dengan tulisan, dimana media yang digunakan dalam melakukan pencemaran nama baik tersebut dapat berupa tulisan (surat) atau gambar. Dalam hal pencemaran nama baik dengan tulisan, maka surat atau gambar tersebut dibutuhkan sebagai bukti adanya pencemaran nama baik tersebut. Anda juga harus membedakan antara barang bukti dan alat bukti . Yang termasuk ke dalam barang bukti sesuai Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah: 1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; 2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan, yang termasuk alat bukti yang sah ( Pasal 184 ayat [1] KUHAP ) adalah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Lebih lanjut mengenai barang bukti dan alat bukti, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut ini: 1. Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? 2. Apakah Perbedaan antara Barang Bukti dengan Benda Sitaan? 3. Alat Bukti di Pengadilan Jadi, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan secara lisan, Anda dapat membuktikannya dengan keterangan saksi. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang memenuhi kriteria keterangan saksi sebagaimana terdapat dalam Pasal 1 angka 27 KUHAP , yaitu: 1. Yang saksi lihati sendiri; 2. Saksi dengar sendiri; 3. Dan saksi alami sendiri; 4. Serta dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Akan tetapi, Anda harus membuktikan dengan 2 (dua) alat bukti sebagaimana diharuskan oleh Pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Penjelasan mengenai yang dimaksud dengan “dua alat bukti yang sah” dapat kita lihat dalam buku M. Yahya Harahap yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 283-284), yang mengatakan bahwa untuk membuktikan kesalahan terdakwa harus merupakan: 1. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut harus “saling bersesuaian”, “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain; 2. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu berupa keterangan dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, maupun penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa, asal keterangan saksi dengan keterangan terdakwa jelas terdapat saling persesuaian. Sedangkan, dalam hal pencemaran nama baik tersebut dilakukan dengan tulisan, Anda dapat menggunakan surat tersebut sebagai barang bukti , yaitu benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya. Dapat juga digunakan sebagai alat bukti, yaitu termasuk alat bukti surat lain (yaitu surat yang bukan termasuk berita acara atau surat resmi yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan, surat keterangan dari seorang ahli), sebagaimana terdapat dalam Pasal 187 huruf d KUHAP . Dengan syarat bahwa “surat lain” tersebut hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan alat pembuktian yang lain. Jadi, barang bukti berbentuk surat bukan suatu keharusan. Hal itu bergantung kepada pencemaran nama baik seperti apa yang dilakukan oleh orang tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . Referensi : R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Politeia: Bogor. penghinaan pencemaran nama baik barang bukti alat bukti" }
{ "from": "human", "value": "Jika kita sudah melaporkan suatu peristiwa tindak pidana pencurian, tetapi setelah kita melaporkan kepada polisi barang curian dikembalikan oleh si pelaku pencurian. Apakah tindakannya masih dapat dituntut meskipun barang curian yang dikembalikan tersebut utuh?" }
{ "from": "gpt", "value": "Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hal. 136-137) menyatakan pembeda antara delik formil dan delik materiil tidak terlepas dari makna yang terkandung dalam perbuatan itu, yaitu tindakan dan akibat. Delik formil adalah delik yang menitikberatkan pada tindakan, sedangkan delik materiil adalah delik yang menitikberatkan pada akibat.\n\nDelik formil jerat pasal tindak pidana pencurian diatur dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026 adalah sebagai berikut:\nPasal 362 KUHPPasal 476 UU 1/2023Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2]Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[3]\n\nUntuk mempermudah pemahaman Anda, kami mencontohkan suatu tindak pidana pencurian adalah misalnya A masuk ke dalam rumah B dan mengambil handphone yang ada di atas meja. Ketika hendak melarikan diri A tertangkap oleh C yang menjadi satpam di rumah B. Handphone tersebut kemudian dikembalikan kepada B. Tindakan A tetap dikatakan sebagai pencurian meskipun barang yang telah dicuri dikembalikan dan korban tidak mengalami kerugian. Mengapa demikian? Sebab delik pencurian dirumuskan secara formil yang lebih menitikberatkan pada tindakan, bukan akibat pencurian.\nTindak Pidana Pencurian Sebagai Delik Biasa (Gewone Delict)\n\nSelanjutnya mengenai dapat atau tidaknya suatu laporan polisi dicabut setelah pelaku mengembalikan kerugian kepada korban akan terjawab melalui pemahaman akan delik biasa (gewone delict) dan delik aduan (klacht delict).\n\nSebagian besar delik-delik dalam KUHP adalah delik biasa (gewone delict), artinya untuk melakukan proses hukum terhadap perkara-perkara tersebut tidak dibutuhkan pengaduan. Sebaliknya, ada beberapa delik yang membutuhkan pengaduan untuk memproses perkara tersebut lebih lanjut, delik ini dikenal dengan klacht delict atau delik aduan.\n\nEddy O.S. Hiariej menguraikan paling tidak ada tiga bab dalam KUHP yang berkaitan dengan delik aduan. Pertama, Bab XVI KUHP tentang Penghinaan. Kedua, kejahatan pencurian, pemerasan, dan pengancaman serta penggelapan dalam keluarga. Ketiga, kejahatan terhadap kesusilaan, yakni perzinaan.\n\nSalah satu sifat khusus dari delik aduan (klacht delict) adalah orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali pengaduan dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan sebagaimana diatur dalam Pasal 75 KUHAP sebagai berikut:\n\nOrang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.\n\nSebaliknya, dalam perkara-perkara yang tergolong dalam delik biasa (gewone delict), laporan polisi atas perkara tersebut tidak dapat ditarik kembali ataupun dicabut meski telah ada perdamaian dengan korban atau dalam hal ini barang curian dikembalikan.\n\nIn casu, tindak pidana pencurian yang Anda jelaskan bukanlah pencurian dalam keluarga melainkan pencurian biasa, sehingga tergolong sebagai delik biasa (gewone delict). Akibatnya, meskipun telah terjadi perdamaian antara pelaku dan korban karena barang curian yang dikembalikan, laporan polisi tidak dapat ditarik atau dicabut kembali dan proses hukum terhadap pelaku tidak dapat dihentikan kecuali apabila penyidik menyatakan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana.\n\nDi sisi lain, dengan adanya barang curian yang dikembalikan, kami berpendapat bisa saja menjadi alasan peringan hukuman pidana yang lebih lanjut dapat Anda baca ulasannya dalam Alasan Pemberat dan Peringan Hukuman.\nPenanganan Pencurian dengan Pendekatan Keadilan Restoratif\nNamun demikian, penanganan suatu tindak pidana dapat dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif, yaitu penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.[4]\n\nArtinya, suatu tindak pidana, seperti pencurian dapat dihentikan proses penyidikannya jika memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Perpolri 8/2021. Adapun, syarat suatu penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif adalah memenuhi persyaratan formil dan persyaratan materiil.[5] Persyaratan materiil yaitu suatu tindak pidana:[6]\n\ntidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;tidak berdampak konflik sosial;tidak berpotensi memecah belah bangsa;tidak bersidat radikalisme dan separatisme;bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan;bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana keamanan negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.\n\nAdapun persyaratan formilnya meliputi:[7]\n\nPerdamaian kedua belah pihak (kecuali untuk tindak pidana narkoba) yang dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh para pihak.Pemenuhan hak-hak korban korban dan tanggung jawab pelaku (kecuali untuk tindak pidana narkoba) yang dapat berupa mengembalikan barang, mengganti kerugian, menggantikan biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana, dan/atau mengganti kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana. Pemenuhan hak tersebut dibuktikan dengan surat pernyataan sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani oleh pihak korban.\n\nKemudian, pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, atau pihak lain yang terkait dapat mengajukan surat permohonan secara tertulis untuk melakukan penghentian penyelidikan atau penyidikan yang dilengkapi dengan dokumen surat pernyataan perdamaian dan bukti telah dilakukan pemulihan hak korban.[8]\n\nDengan demikian, jika tindak pidana pencurian ditangani dengan pendekatan keadilan restoratif, maka pengembalian barang curian diikuti dengan perdamaian antara pelaku dan korban, dapat menjadi alasan untuk dilakukan penghentian penyelidikan atau penyidikan, sepanjang memenuhi persyaratan yang disebutkan di atas.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang apakah pencuri tetap dipidana jika barang curian dikembalikan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Pidana;Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.\n\nReferensi:\n\nEddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[4] Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perpolri 8/2021”)[5] Pasal 4 Perpolri 8/2021[6] Pasal 5 Perpolri 8/2021[7] Pasal 6 ayat (1) s.d. (4) Perpolri 8/2021[8] Pasal 15 ayat (1) s.d. (3) Perpolri 8/2021" }
{ "from": "human", "value": "Halo saya baru saja membeli sebuah webcam. Pada halaman produk penjualan terdapat foto seperti ilustrasi hasil webcam itu sendiri, gambar ini juga persis seperti yang ada pada kotak produk dan tidak ada penjelasan sama sekali bahwa foto tersebut hanya contoh dan bukan hasil sebenarnya. Untuk produknya sendiri, hasil gambar yang dihasilkan sangat jauh berbeda dari ilustrasi foto tersebut. Apakah penjual melanggar undang-undang yang berlaku dan apakah saya mempunyai hak untuk meminta pengembalian dana atas barang tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab Anda, kami akan mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”). KLINIK TERKAIT Bolehkah Pembeli Membatalkan Transaksi COD di Tempat? 24 Nov 2022 Pembeli Wajib Paham Aturan Marketplace , Ini Alasannya 01 Okt 2021 Apakah Barang Olshop yang Diekspor Kena PPN? 06 Okt 2020 Hukumnya Memfoto Ciptaan Orang Lain untuk Kepentingan Komersial 23 Jul 2020 Hak Konsumen menurut UU Perlindungan Konsumen Secara hukum, yang menjadi hak-hak konsumen di antaranya adalah: [1] Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan ; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian , apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Di sisi lain, pelaku usaha wajib, di antaranya: [2] beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian . Dari ketentuan di atas, maka Anda selaku konsumen memang berhak mendapatkan barang sesuai dengan kondisi dan jaminan yang dijanjikan, serta memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang yang dibeli tersebut. Di sisi lain, pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi jaminan barang yang dijual, serta memberi jaminan/garansi atas barang yang diperdagangkan. Jika dikaitkan dengan permasalahan Anda, menurut hemat kami, perbuatan pelaku usaha yang memajang foto berisi hasil tangkapan gambar webcam yang dijual tersebut, yang ternyata tidak sesuai dengan aslinya, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kewajiban pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang yang dijual. Upaya Hukum Lantas, upaya hukum apa yang bisa dilakukan konsumen? Bisakah konsumen meminta pengembalian dana? Seperti yang telah diterangkan sebelumnya, jika barang yang Anda terima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, maka Anda berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian dan pelaku usaha wajib memberikannya. Untuk menuntut kompensasi/ganti rugi/penggantian tersebut, secara garis besar terdapat 2 mekanisme penyelesaian yang dapat Anda tempuh, yakni dengan menggugat pelaku usaha melalui: [3] Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”); atau Peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum Namun, jika jual-beli tersebut dilakukan melalui marketplace , menurut hemat kami, sebaiknya Anda menempuh prosedur pengajuan pengembalian dana yang terdapat di marketplace yang bersangkutan terlebih dahulu. Jika ternyata marketplace yang bersangkutan juga wanprestasi, Anda dapat menempuh mekanisme penyelesaian sebagaimana diterangkan di atas, jika marketplace yang bersangkutan menggunakan sistem hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai pilihan hukum serta forum penyelesaian sengketa yang dipilih. Untuk itu, kami menyarankan Anda memeriksa terlebih dahulu pilihan hukum dan forum penyelesaian sengketa yang digunakan oleh marketplace yang bersangkutan. Sebab, tidak semua marketplace menggunakan sistem hukum atau peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai pilihan hukum. Forum penyelesaian sengketa ( choice of forum ) pun belum tentu menggunakan pengadilan atau alternative dispute resolution yang ada di Indonesia, sebagaimana diterangkan dalam Pembeli Wajib Paham Aturan Marketplace, Ini Alasannya . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . [1] Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen [2] Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen [3] Pasal 45 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen ganti rugi jual beli kompensasi marketplace uu perlindungan konsumen online shop klinik hukumonline perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Laptop dan tablet saya dicuri ketika saya sedang tidur di dalam perjalanan kereta jarak jauh. Saya sudah lapor ke petugas keamanan kereta dan stasiun. Mereka menjanjikan akan membantu memperlihatkan rekaman CCTV. Tapi sampai sekarang mereka tak kunjung memberikan informasi. Mohon petunjuknya, bisakah saya meminta ganti rugi? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Atas laptop dan tablet yang hilang di kereta api dapat diduga telah terjadi tindak pidana pencurian dengan jerat pidana berdasarkan KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026, berbunyi sebagai berikut.\nPasal 362 KUHPPasal 476 UU 1/2023Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.[2]Setiap orang yang mengambil suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, dipidana karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[3]\nMelaporkan Barang Hilang di Kereta Api kepada Polsuska\n\nSebelumnya, perlu Anda ketahui mengenai kepolisian khusus yang selanjutnya disebut polsus adalah instansi dan/atau badan pemerintah yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya\nmasing-masing.[4]\nSedangkan anggota polsus adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pegawai tetap pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang oleh atau atas kuasa undang-undang diberi wewenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing.[5]\n\nPada Kereta Api Indonesia (KAI), terdapat Polisi Khusus Kereta Api (“polsuska”) yang umumnya bertugas melaksanakan pengamanan, pencegahan, penangkalan, dan penindakan nonyustisiil di bidang perkeretaapian.\n\nAdapun tugas, fungsi, dan wewenang polsus secara umum diatur dalam Pasal 2 Perpol 9/2021 sebagai berikut:\n\nPolsus bertugas melaksanakan pengamanan, pencegahan, penangkalan, dan penindakan nonyustisiil sesuai dengan bidang teknisnya masing-masing.Polsus berfungsi untuk melaksanakan fungsi kepolisian khusus dan terbatas dalam rangka penegakan peraturan perundang-undangan di bidang penugasan masing-masing.Polsus berwenang untuk melaksanakan fungsi kepolisian di bidang teknisnya masing-masing.\n\nSehingga, dari uraian di atas dan dikaitkan dengan kronologis yang Anda ceritakan mengenai barang hilang di kereta api, Anda dapat melaporkan kejadian barang hilang di kereta api dengan dugaan tindak pidana pencurian pada polsuska yang bertugas di tempat.\nBisakah Menuntut Ganti Rugi Atas Barang Penumpang yang Hilang ke Kereta Api?\n\nBerkenaan dengan pertanyaan Anda selanjutnya tentang ganti rugi, kami mengasumsikan Anda hendak meminta pertanggungjawaban pihak kereta api atas barang yang hilang di kereta api.\n\nPada dasarnya, tanggung jawab penyelenggara sarana perkeretaapian, mencakup:[6]\n\ntanggung jawab terhadap penumpang yang diangkut; dantanggung jawab terhadap barang yang diangkut.\n\nPenyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab mengganti kerugian yang ditimbulkan karena kelalaian penyelenggara sarana perkeretaapian dalam pengoperasian angkutan kereta api, seperti:[7]\n\nbarang hilang sebagian atau seluruhnya;rusak sebagian atau seluruhnya;musnah;salah kirim; dan/ataujumlah dan/atau jenis kiriman barang diserahkan dalam keadaan tidak sesuai dengan surat angkutan.\n\nNamun, penyelenggara sarana perkeretaapian dibebaskan dari tanggung jawab mengganti kerugian apabila:[8]\n\npenerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang setelah diberitahukan oleh penyelenggara sarana perkeretaapian;kerugian tidak disebabkan kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian; dankerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.\n\nAdapun angkutan barang dengan kereta dilakukan dengan menggunakan gerbong atau kereta bagasi, yang terdiri atas angkutan barang umum, khusus, bahan berbahaya dan beracun serta limbah bahan berbahaya dan beracun.[9]\n\nSehingga kami berpendapat, bahwa atas barang yang hilang karena kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api (dalam hal ini sepanjang perjalanan kereta api jarak jauh), penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab mengganti kerugian. Kecuali dibuktikan sebaliknya, bahwa ini bukan karena kelalaian dalam pengoperasian angkutan kereta api oleh penyelenggara sarana perkeretaapian.\n\nAkan tetapi, jika disarikan dari Syarat dan Ketentuan Pemesanan Tiket KA (Kerata Antar Kota), pada bagian bagasi disebutkan barang bawaan penumpang bisa ditempatkan pada rak bagasi di atas tempat duduk penumpang atau ditempatkan di tempat lain sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu atau membahayakan penumpang lain dan tidak akan menimbulkan kerusakan pada kereta.\n\nMasih dari laman yang sama, justru disebutkan perusahaan tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan dan/atau kehilangan bagasi penumpang. Setiap penumpang wajib menjaga bagasi yang dibawanya.\n\nOleh karena itu, terlepas dari persoalan kelalaian oleh penyelenggara sarana perkeretaapian atau klausula pada syarat dan ketentuan sebagaimana kami sebutkan di atas, kami berpendapat Anda tetap dapat memproses dugaan tindak pidana pencurian ini dengan membuat laporan ke kepolisian setempat, ikuti langkahnya pada artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4b7a52b0a1106/peraturan-pemerintah-nomor-72-tahun-2009/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_72_2009)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt585a1a6bcc425?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_61_2016)\n5. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\n6. [Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2021 tentang Kepolisian Khusus](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt617140f186d85/peraturan-kepolisian-negara-nomor-9-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpol_9_2021)\nREFERENSI:\n1. Syarat dan Ketentuan Pemesanan Tiket KA (Kereta Antar Kota) yang diakses pada Selasa, 17 Oktober 2023 pukul 12.54 WIB.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[3] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[4] Pasal 1 angka 9 Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2021 tentang Kepolisian Khusus (“Perpol 9/2021”)[5] Pasal 1 angka 10 Perpol 9/2021[6] Bab VI Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api (“PP 72/2009”)[7] Pasal 174 ayat (1) dan (2) PP 72/2009[8] Pasal 177 PP 72/2009[9] Pasal 136 ayat (1) dan (2) PP 72/2009" }
{ "from": "human", "value": "PT X merupakan perusahaan industri yang menjalankan kegiatan usahanya di kawasan industri. PT X berkeinginan untuk membangun pabrikasi yang dimulai dengan pembangunan lantai terlebih dahulu dengan detail ukuran 96 x 18 m dengan concrete tebal 20 cm.\nLalu, apakah PT X wajib untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) hanya untuk lantai yang dibangun tersebut? Apakah lantai tersebut dapat diklasifikasikan sebagai bangunan gedung?" }
{ "from": "gpt", "value": "Disarikan dari artikel Catat! Ini 3 Dokumen Penting Terkait Bangunan Gedung, istilah Izin Mendirikan Bangunan (IMB) tidak lagi dikenal, melainkan istilah yang kini digunakan ialah Persetujuan Bangunan Gedung (“PBG”) yaitu perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung.[1]\n\nPasal 24 angka 34 Perppu 2/2022 yang memuat baru Pasal 36A ayat (1) dan (2) UU Bangunan Gedung menegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan bangunan gedung dilakukan setelah mendapatkan PBG yang diperoleh setelah mendapatkan pernyataan pemenuhan standar teknis bangunan gedung dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.\nPBG meliputi proses konsultasi perencanaan dan penerbitan.[2] Adapun proses konsultasi perencanaan meliputi:[3]\n\npendaftaran, dilakukan oleh pemohon/pemilik melalui Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung (SIMBG)[4] dengan menyampaikan:[5]data pemohon atau pemilik;data bangunan gedung; dandokumen rencana teknis.pemeriksaan pemenuhan standar teknis; danpernyataan pemenuhan standar teknis.\n\nSedangkan proses penerbitan PBG meliputi:[6]\n\npenetapan nilai retribusi daerah;pembayaran retribusi daerah; danpenerbitan PBG.\nBaru Bangun Lantai untuk Pabrik, Perlukah PBG?\n\nBangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat.[7]\n\nAnda menyebutkan PT X akan membangun pabrik dengan pembangunan lantai terlebih dahulu. Pabrik merupakan bangunan gedung perindustrian yang termasuk dalam fungsi usaha yang fungsi utama bangunan gedungnya sebagai tempat melakukan kegiatan usaha.[8]\n\nLalu, menyambung pertanyaan Anda, apakah lantai dapat diklasifikasikan sebagai bangunan gedung? Merujuk Pasal 215 ayat (1) huruf b, ayat (3) huruf b, dan ayat (5) huruf a PP 16/2021 mengatur pemeriksaan pemenuhan standar teknis salah satunya adalah pemeriksaan ketentuan keandalan bangunan gedung yakni keselamatan bangunan gedung.\n\nAdapun pemeriksaan pemenuhan persyaratan keselamatan bangunan gedung dilaksanakan untuk mengetahui kondisi nyata mengenai salah satunya sistem struktur bangunan gedung yang mana mencakup komponen struktur utama yaitu fondasi, kolom, balok, pelat lantai, rangka atap, dinding inti (core wall), basemen.[9]\n\nSedangkan penutup lantai termasuk dalam pemeriksaan tata ruang dalam bangunan gedung yang merupakan pemenuhan persyaratan arsitektur bangunan gedung, yakni bagian dari pemeriksaan ketentuan tata bangunan sebagaimana pemeriksaan pemenuhan standar teknis.[10]\n\nDalam penyelenggaraan bangunan gedung yang mencakup kegiatan pembangunan, penyelenggara yang terdiri dari pemilik bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik, pengkaji teknis, dan pengguna bangunan gedung berkewajiban memenuhi standar teknis bangunan gedung.[11]\n\nMenjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat kami, meskipun pembangunan yang Anda maksud baru akan dimulai dengan pembangunan lantai terlebih dahulu untuk keperluan pembangunan pabrik, maka pembangunan tersebut tetap harus memenuhi standar teknis bangunan gedung dan memiliki PBG.[12]\nSanksi Administratif\n\nLalu adakah sanksi apabila tidak memenuhi penyelenggaran bangunan gedung atau dalam hal ini tidak memenuhi standar teknis atau tidak memiliki PBG?\n\nSetiap pemilik bangunan gedung, pengguna bangunan gedung, penyedia jasa konstruksi, profesi ahli, penilik, dan/atau pengkaji teknis yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, dan/atau penyelenggaraan bangunan gedung dikenai sanksi administratif,[13] dapat berupa:[14]\nperingatan tertulis;pembatasan kegiatan pembangunan;penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan;penghentian sementara atau tetap pada pemanfaatan bangunan gedung;pembekuan PBG;pencabutan PBG;pembekuan sertifikat laik fungsi bangunan gedung;pencabutan sertifikat laik fungsi bangunan gedung; atauperintah pembongkaran.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/12622/undangundang-nomor-28-tahun-2002/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_28_2002)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603228e75f11a?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_16_2021)\n[1] Pasal 24 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu 2/2022”) yang mengubah Pasal 1 angka 19 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“UU Bangunan Gedung”)[2] Pasal 253 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 16/2021”)[3] Pasal 253 ayat (7) PP 16/2021[4] Pasal 253 ayat (9) PP 16/2021[5] Pasal 253 ayat (10) PP 16/2021[6] Pasal 261 ayat (1) PP 16/2021[7] Pasal 24 angka 1 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU Bangunan Gedung[8] Pasal 4 ayat (2) huruf c jo. Pasal 5 ayat (3) dan penjelasannya PP 16/2021[9] Pasal 220 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a PP 16/2021[10] Pasal 218 ayat (1) huruf b dan ayat (4) huruf h jo. Pasal 215 ayat (1) huruf b, ayat (3) huruf a, ayat (4) huruf c PP 16/2021[11] Pasal 24 angka 31 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 34 ayat (1), (2), dan (3) UU Bangunan Gedung[12] Pasal 24 angka 34 Perppu 2/2022 yang memuat baru Pasal 36A ayat (1) dan (2) UU Bangunan Gedung [13] Pasal 24 angka 41 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 44 UU Bangunan Gedung[14] Pasal 24 angka 42 Perppu 2/2022 yang mengubah Pasal 45 ayat (1) UU Bangunan Gedung" }