0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Saya membaca berita katanya ada larangan ASN berpolitik. Misalnya ASN dilarang like, comment, share postingan di medsos milik capres/cawapres. Diatur di mana undang-undang larangan ASN berpolitik? Atau adakah SKB netralitas ASN dalam pemilu 2024 yang lalu? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Aparatur Sipil Negara (“ASN”) adalah profesi bagi Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”) yang bekerja pada instansi pemerintah.[1]\n\nSedangkan PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.[2]\n\nMembahas mengenai larangan ASN berpolitik, ini berkaitan dengan aturan netralitas ASN. Artinya setiap pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan lain di luar kepentingan bangsa dan negara.[3]Lebih lanjut, Pasal 9 ayat (2) UU ASN secara tegas menyebutkan pegawai pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.Kemudian, pada dasarnya untuk melaksanakan amanah membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945, diperlukan adanya birokrasi pemerintahan yang berkinerja baik. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah telah mencanangkan rencana aksi membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan ASN sebagai mesin utama birokrasi yang profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi,  kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, serta mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.[4]Lantas, bagaimana hukumnya jika ASN terlibat berpolitik? Dalam hal ASN/PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, ia diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (4) jo. Pasal 52 ayat (3) huruf j UU ASN.\nNetralitas ASN dalam Pemilu\nSetelah mengetahui adanya larangan ASN berpolitik praktis, berikut patut Anda catat peraturan tentang netralitas ASN dalam pemilu yang secara terperinci tercantum dalam SKB Netralitas ASN.Keberlakuan SKB Netralitas ASN dalam pemilu 2024 yang lalu, maupun pada pemilu tahun-tahun selanjutnya pada prinsipnya bertujuan untuk mewujudkan pegawai ASN yang netral dan profesional serta terselenggaranya pemilu yang berkualitas.Menyambung pernyataan Anda, perbuatan ASN yang membuat posting, comment, share, like, bergabung/follow dalam group/akun pemenangan calon presiden/wakil presiden/DPR/DPD/DPRD/gubernur/wakil gubernur/bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota,[5] termasuk pelanggaran disiplin atas Pasal 9 ayat (2) UU ASN dan Pasal 5 huruf n angka 5 PP 94/2021.Bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan di atas, hukuman disiplin berat dijatuhkan yakni terdiri atas:[6]\n\npenurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan;pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; danpemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.\n\nSelain pelanggaran disiplin, PNS juga dianggap melakukan pelanggaran kode etik pada Pasal 11 huruf c PP 42/2004 yaitu etika terhadap diri sendiri yang mencakup menghindari konflik kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan.[7]Sanksi atas pelanggaran kode etik tersebut adalah sanksi moral yang dibuat secara tertulis dan dinyatakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian, baik berupa pernyataan secara tertutup atau terbuka. Lalu, dalam pemberian sanksi moral tersebut, harus disebutkan jenis pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PNS. Hal ini diatur dalam Pasal 15 PP 42/2004.Demikian jawaban dari kami tentang larangan ASN berpolitik dan aturan netralitas ASN, semoga bermanfaat.Dasar Hukum:\n\nUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara;Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil;Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu tentang Nomor 2 Tahun 2022, 800-5474 Tahun 2022, 246 Tahun 2022, 30 Tahun 2022, 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Pemilihan;Lampiran Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu tentang Nomor 2 Tahun 2022, 800-5474 Tahun 2022, 246 Tahun 2022, 30 Tahun 2022, 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan.\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”)[2] Pasal 1 angka 3 UU ASN[3] Pasal 2 huruf f UU ASN dan penjelasannya[4] Penjelasan Umum UU ASN[5] Lampiran Keputusan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Kepegawaian Negara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu tentang Nomor 2 Tahun 2022, 800-5474 Tahun 2022, 246 Tahun 2022, 30 Tahun 2022, 1447.1/PM.01/K.1/09/2022 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan (“Lampiran SKB Netralitas ASN”), hal. 21-22[6] Pasal 8 ayat (4) jo. Pasal 14 huruf i angka 3 dan 4 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil[7] Lampiran SKB Netralitas ASN, hal. 14" }
{ "from": "human", "value": "Seperti yang kita ketahui, kita memiliki aturan mengenai waktu kerja lembur. Apakah ada aturan lain yang secara spesifik menerangkan waktu kerja lembur untuk karyawan yang bekerja di sebuah perusahaan manufaktur sebagai sopir atau driver baik operational driver maupun driver truk untuk melakukan pengiriman produk? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan sebagaimana diubah dengan Perppu Cipta Kerja beserta peraturan pelaksananya telah mengatur batas waktu maksimal pengusaha dapat mempekerjakan lembur pekerjanya.\n\nSecara umum, yang dimaksud dengan waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi waktu kerja yang diatur dalam Pasal 21 ayat (2) PP 35/2021, yakni:\n\n7 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau8 jam sehari, dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.\n\nNamun, ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.[1] Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (1) Kepmenaker 233/2003, menerangkan bahwa pekerjaan dimaksud meliputi:\n\npekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;pekerjaan di bidang usaha pariwisata;pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;pekerjaan di bidang media massa;pekerjaan di bidang pengamanan;pekerjaan di lembaga konservasi;pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.\n\nKemudian, penting untuk diketahui bahwa untuk dapat mempekerjakan pekerja pada waktu lembur, perusahaan perlu memperhatikan ketentuan berikut:[2]\n\nharus ada persetujuan dari pekerja yang bersangkutan; danhanya dapat dilakukan maksimal 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu, tidak termasuk kerja lembur yang dilakukan pada waktu istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi.\n\nDalam kasus Anda, kami asumsikan bahwa manufaktur yang Anda maksud sesuai dengan pengertian dalam KBBI, yang berarti membuat atau menghasilkan dengan tangan atau mesin, atau proses mengubah bahan mentah menjadi barang untuk dapat digunakan atau dikonsumsi oleh manusia. Apabila tugas sopir apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi atau merusak bahan (misalnya mengantarkan bahan baku), maka Anda sejatinya dapat masuk ke kategori pekerjaan yang dikecualikan dari ketentuan lembur di atas.\nPerjanjian Lembur Sopir dengan Perusahaan\n\nSesuai dengan hakikatnya, ketenagakerjaan adalah sebuah hubungan hukum berdasarkan perjanjian. Situasi dan kondisi pekerjaan tidak selalu bisa cocok dengan ketentuan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan perubahannya. Untuk itulah, perlu dibuat perjanjian antara pekerja dengan pengusaha.\n\nBiasanya memang sopir sebagai pekerja, bersepakat dengan perusahaan untuk bekerja secara borongan saja. Artinya, komponen upah yang diterima, sudah dianggap termasuk komponen lembur di dalamnya. Praktik ini sudah lama terjadi dan sudah dianggap sebagai kebiasaan.\n\nNamun demikian, pengusaha sejatinya tetap wajib membayar upah kerja lembur. Bagi pengusaha yang tidak membayar upah lembur akan dikenai sanksi:[3]\n\nBarang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.\n\nBaca juga: Bingung Hitung Upah Lembur? Ini Rumusnya\n\nKemudian, baiknya sebelum Anda menyetujui perjanjian, termasuk memberikan persetujuan lisan terkait upah lembur sopir perusahaan tersebut, alangkah baiknya Anda menghitung kembali besaran gaji berikut lembur yang seharusnya Anda dapatkan. Dasar perhitungannya setidaknya berdasarkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tempat sopir bekerja.\nDemikian jawaban dari kami terkait aturan lembur sopir perusahaan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-233/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan Secara Terus Menerus.\nREFERENSI:\n1. KBBI, yang diakses pada 21 Juni 2024, pukul 17.00 WIB.\n\n[1] Pasal 21 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (\"PP 35/2021\")[2] Pasal 81 angka 22 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (\"Perppu Ciptaker\") yang mengubah Pasal 78 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (\"UU Ketenagakerjaan\") jo. Pasal 26 PP 35/2021[3] Pasal 81 angka 68 Perppu Ciptaker yang mengubah Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Berapa lama masa jabatan Kepala Desa? Apakah Kepala Desa dapat mencalonkan diri kembali setelah ia selesai menjabat?" }
{ "from": "gpt", "value": "Desa yang terdiri dari desa dan desa adat, sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang berwenang mengatur dan mengurus sendiri pemerintahan serta kepentingan masyarakatnya[1] diselenggarakan oleh pemerintah desa.\n\nPemerintah desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa merupakan unsur penyelenggara pemerintahan desa.[2]\n\nAdapun, menurut UU Desa, kepala desa bertugas untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa serta pemberdayaan masyarakat desa.[3] Jabatan kepala desa tersebut dibatasi berdasarkan kurun waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.\nAturan Masa Jabatan Kepala Desa\n\nLalu, berapa lama masa jabatan kepala desa? Apakah kepala desa yang bersangkutan boleh menjabat lagi setelah ia terpilih dalam 2 periode jabatan?\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, kita mengacu pada Pasal 39 UU Desa sebagai berikut.\n\nKepala desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan.Kepala desa dapat menjabat paling banyak 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut.\n\nArti dari ‘terhitung sejak tanggal pelantikan’ yaitu seseorang yang telah dilantik sebagai kepala desa maka apabila yang bersangkutan mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya dianggap telah menjabat satu periode masa jabatan 6 tahun.[4]\n\nAdapun, masa jabatan kepala desa adat berlaku ketentuan hukum adat di desa adat yang bersangkutan, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan dalam peraturan daerah kabupaten/kota dengan berpedeoman pada peraturan pemerintah.[5]\n\nKemudian, terkait kesempatan kepala desa untuk mencalonkan diri kembali, berdasarkan Putusan MK 42/PUU-XIX/2021 Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Desa berubah menjadi (hal. 30 – 31):\n\nKepala desa yang sudah menjabat 1 (satu) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 2 (dua) periode. Begitu pula, bagi kepala desa yang sudah menjabat 2 (dua) periode, baik berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa maupun berdasarkan undang-undang sebelumnya masih diberi kesempatan untuk menjabat 1 (satu) periode.\nMasa jabatan Kepala Desa juga diatur dalam Pasal 47 PP 43/2014, yaitu:\n\nKepala desa memegang jabatan selama 6 tahun terhitung sejak tanggal pelantikan;Kepala desa yang sudah memegang jabatan selama 6 tahun tersebut dapat menjabat paling lama 3 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut;Ketentuan periodisasi masa jabatan tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia;Ketentuan periodisasi masa jabatan juga termasuk masa jabatan kepala desa yang dipilih melalui musyawarah desa;Dalam hal kepala desa mengundurkan diri sebelum habis masa jabatannya atau diberhentikan, kepala desa dianggap telah menjabat 1 periode masa jabatan.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, masa jabatan kepala desa adalah 3 periode baik secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut, dengan satu periode masa jabatan kepala desa dihitung selama 6 tahun sejak hari pertama dilantik. Sedangkan masa jabatan kepala desa adat ditentukan berdasarkan hukum adat yang berlaku.\n\nBaca juga: Syarat Calon Kepala Desa\n\nDemikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.\n\nPutusan:\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021\n\n[1] Pasal 117 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”)[2] Pasal 117 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 3 UU Desa[3] Pasal 26 ayat (1) UU Desa[4] Penjelasan Pasal 39 ayat (1) UU Desa[5] Penjelasan Umum UU Desa" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada aturan/standar khusus terbaru mengenai pelaksanaan MCU di perusahaan saat situasi COVID-19 ini? Dikarenakan perusahaan kami harus melaksanakan MCU rutin pada awal tahun depan, sehingga membutuhkan aturan tersebut agar tidak melanggar protokol." }
{ "from": "gpt", "value": "None" }
{ "from": "human", "value": "Sebuah perusahaan PT XYZ merupakan perusahaan joint venture antara PT A & PT B, mempunyai seorang karyawan expatriate dari PT A (sebagai perwakilan dari PT A). Izin kerja yang bersangkutan telah dibuat sebagai karyawan PT XYZ. Penggajian dan semua biaya yang bersangkutan akan dilakukan oleh PT A, dan nantinya akan dilakukan penagihan ke PT B seandainya harus ditagihkan. Pertanyaan saya: 1. Apakah hal ini dapat dilakukan atau tidak menyalahi mengingat izin kerja yang bersangkutan adalah di PT XYZ? 2. Bagaimana seharusnya secara legal dan compliance terhadap aturan yang berlaku untuk perlakuan terhadap situasi ini? 3. Peraturan-peraturan mana yang harus saya pakai dan cermati dalam pengaturan kepegawaian seperti ini? Baik dari sisi hukum ketenagakerjaan, keimigrasian, hukum perusahaan dan hukum perpajakan atau bahkan mungkin ada sisi hukum yang lain lagi? 4. Apakah bila tenaga kerja yang bersangkutan bukan tenaga teknisi dapat diterapkan PT B membayar management fee kepada PT A (pemilik sang karyawan), kalau boleh harus seperti apa pengaturannya? Dan dasar hukum yang mana yang dapat dipakai acuan? Terima kasih. Franca." }
{ "from": "gpt", "value": "Perusahaan yang berkewajiban untuk memberikan upah/gaji berdasarkan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku KLINIK TERKAIT Perusahaan Spin Off , Bagaimana Status Karyawan? 18 Jul 2023 Izin Mendirikan Kantor Perusahaan Asing 05 Jun 2023 Syarat Mempekerjakan Pilot Asing di Indonesia 14 Jan 2021 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Penggajian kepada tenaga kerja asing (“ TKA ”) diberikan oleh perusahaan yang menjadi sponsornya (pemberi kerja) dimana hubungan kerja tersebut dibentuk. Hal ini sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 42 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU No. 13/2003”) bahwa TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu . Pemberi kerja TKA dalam hal ini haruslah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain ( Pasal 1 angka 3 Permenakertrans No: PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing - “Permenakertrans No. 02/2008” ). Oleh karena itu, badan hukum yang merupakan pemberi kerjanyalah yang bertanggung jawab terhadap pengupahan TKA yang dimaksud berdasarkan perjanjian kerja. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan demikian, walaupun PT XYZ merupakan perusahaan yang dibentuk oleh PT A dan PT B, maka pemberian upah tetap harus diberikan oleh PT XYZ sebagai pemberi kerja TKA. Selain itu, yang memiliki Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (“ IMTA ”) adalah PT XYZ, bukan PT A. Terkait dengan ilustrasi bahwa TKA adalah perwakilan dari PT A dan PT A adalah sang pemilik karyawan, terdapat beberapa interpretasi: a. TKA bekerja di PT A dan bekerja juga di PT XYZ Apabila kondisi ini yang terjadi, maka PT XYZ tidak dapat mempekerjakan TKA karena pemberi kerja dilarang mempekerjakan TKA yang telah dipekerjakan oleh pemberi kerja lain ( Pasal 26 ayat [2] Permenakertrans No. 02/2008 ). b. TKA berhenti bekerja di PT A kemudian bekerja di PT XYZ berdasarkan perjanjian kerja yang baru. Bila PT XYZ ingin mempekerjakan TKA tersebut, maka PT XYZ harus mengurus perubahan IMTA terlebih dahulu. Perubahan IMTA dapat dilakukan bilamana terdapat perubahan pemberian kerja TKA, dalam hal ini dari PT A menjadi PT XYZ. Tata cara perubahan ini diatur dalam Pasal 39 Permenakertrans No. 02/2008 . Jika IMTA sudah dimiliki oleh PT XYZ, maka PT XYZ lah yang melakukan penggajian kepada TKA tersebut. Oleh karena itu, struktur PT A yang melakukan penggajian tidak dapat dibenarkan karena PT A tidak lagi menjadi pemberi kerja TKA dan oleh karena tidak ada lagi hubungan kerja yang terjalin, terlepas fakta bahwa PT A adalah pemilik PT XYZ. Terlebih apabila PT A meminta penagihan upah, biaya dan pengeluaran kepada PT B. Penggajian dan pemberian imbalan lain bagi TKA juga harus didasarkan pada kewajaran dengan mempertimbangkan kebangsaan TKA yang bersangkutan, jenis usaha dari perusahaan tempat TKA memperoleh penghasilan (pemberi kerja) dan kedudukan atau jabatan TKA dalam perusahaan tempat yang bersangkutan bekerja ( Pasal 3 Keputusan Dirjen Pajak No: KEP-173/PJ./2002 tentang Pedoman Standar Karyawan Asing - “Kepdirjen Pajak No. 173/2002” ). Peraturan Perundang-undangan Terkait dengan Perusahaan dan Keimigrasian TKA Pengaturan hukum tentang penggunaan TKA di Indonesia adalah mengacu pada dasar bahwa setiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki IMTA. Pemberi kerja yang telah memiliki IMTA inilah yang berkewajiban untuk memberikan upah/gaji kepada TKA yang digunakan. ( Pasal 42 ayat [1] UU No. 13/2003 dan Pasal 2 Permenakertrans No. 02/2008 ). Tata cara untuk mendapatkan IMTA adalah sebagai berikut: a. RPTKA PT XYZ mengajukan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”). RPTKA ini memuat alasan penggunaan TKA, jabatan TKA, besarnya upah , tenaga kerja Indonesia pendamping dan syarat lainnya. RPTKA ini merupakan pemenuhan syarat awal yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi cq. Dirjen Bina Penempatan Tenaga Kerja/Direktur Penggunaan Tenaga Kerja Asing ( Pasal 43 ayat [1] UU No. 13/2003 jo. Pasal 3 dan Pasal 11 Permenakertrans No. 02/2008 ). b. Rekomendasi TA.01 PT XYZ mengurus rekomendasi visa untuk maksud bekerja (TA.01) dari Direktur Penggunaan TKA untuk disampaikan kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian Ditjen Imigrasi Kemenkum HAM. Rekomendasi ini disetujui oleh Direktorat Jenderal Imigrasi kepada PT XYZ untuk mendatangkan TKA di Indonesia untuk bekerja. ( Pasal 23 ayat [1] dan ayat [3] Permenakertrans N0.02/2008 ). c. Telex Visa Telex visa merupakan persetujuan dari Direktorat Jenderal Imigrasi kepada KBRI di negara TKA untuk menerbitkan visa untuk TKA yang dimaksud setelah terbitnya Rekomendasi TA.01 di atas. Dalam hal persetujuan diberikan dan di-telex ke KBRI yang dimaksud, maka TKA dapat mengambil persetujuan visa itu dan digunakan masuk ke Indonesia. d. KITAS Bagi TKA, dengan adanya telex visa, maka ia dapat mengurus untuk mendapatkan Kartu Izin Tinggal Terbatas di Indonesia (“ KITAS ”). KITAS ini diberikan kepada TKA yang telah mendapatkan telex visa. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 52 UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU No. 6/2011”) dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.01-IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No: M.02-IZ.0L.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian . e. IMTA Apabila seluruh kelengkapan di atas sudah diperoleh ditambah dengan kelengkapan dokumen lainnya yang diatur dalam Permenakertrans No. 02/2008, maka PT XYZ dapat mengajukan IMTA kepada Disnakertrans, yaitu Direktorat Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja. Apabila disetujui, maka Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja ini menerbitkan IMTA bagi PT XYZ. Dalam hal PT XYZ tidak mempekerjakan TKA sesuai dengan dengan IMTA, maka instansi yang berwenang dapat mencabut IMTA. Peraturan Perundang-undangan Terkait dengan Ketenagakerjaan dan Perpajakan TKA Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa TKA hanya dapat digunakan di Indonesia untuk jabatan atau kedudukan tertentu dan waktu tertentu. Bahkan Pasal 46 UU No. 13/2003 juga memberikan pembatasan bahwa tenaga kerja asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau jabatan tertentu. TKA yang bekerja di perusahaan pengeboran minyak dan gas bumi, misalnya, memiliki pembatasan-pembatasan lain yang lebih spesifik terkait jabatan atau kedudukan tertentu yang diperbolehkan untuk diduduki oleh TKA. Terkait dengan perpajakan, apabila TKA hanya bekerja tidak lebih dari 183 hari dalam 12 bulan penuh, maka ia dianggap sebagai subyek pajak luar negeri sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 2 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana empat kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 (“UU PPh”) dan oleh karenanya termasuk dalam PPh Pasal 26. Sedangkan, apabila ia bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari dalam 12 bulan penuh, maka ia termasuk dalam subyek pajak dalam negeri dan oleh karenanya tunduk pada PPh Pasal 21. Untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai aspek perpajakan, silahkan menghubungi konsultan pajak yang berkompeten dalam hal ini. Pembayaran TKA Berupa Management Fee Apabila TKA yang merupakan karyawan PT XYZ tidak menjabat sebagai tenaga ahli melainkan menduduki jabatan direksi, misalnya, maka ia dimungkinkan untuk bekerja di dua pemberi kerja, yaitu di PT A dan di PT XYZ. Pengecualian ini ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (3) Permenakertrans No. 02/2008 yang menyatakan bahwa larangan TKA bekerja di lebih dari satu pemberi kerja dikecualikan bagi TKA yang diangkat untuk menduduki jabatan Direktur atau Komisaris di perusahaan lain berdasarkan RUPS. Dalam hal ini, maka aturan pengupahan/penggajiannya tidak diatur dalam ranah hukum ketenagakerjaan, melainkan ditentukan oleh RUPS dan Anggaran Dasar serta sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Apabila demikian, maka PT B dapat saja memberikan pembayaran management fee kepada PT A berdasarkan dalam perjanjian kerja dengan TKA sebagai Direktur atau Komisaris dan ditetapkan dalam RUPS ( Pasal 96 ayat [1] UUPT ). Namun, bilamana PT A yang memperkerjakan karyawan (dengan ketentuan bahwa TKA yang dimaksud merupakan Direktur atau Komisaris di PT A dan diangkat melalui RUPS untuk menjabat juga di PT XYZ dan IMTA diperoleh oleh PT A) mengalihkan segala bentuk pembebanan biaya dan pengeluaran lainnya ( management fee ) kepada perusahaan induknya di luar negeri (bukan kepada PT B), maka besarnya penghasilan harus ditentukan kembali dengan memperhatikan tingkat penghasilan yang wajar yang seharusnya diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan di negara asalnya. Besarnya selisih penghasilan setelah ditentukan kembali tidak boleh melebihi jumlah biaya atau pengeluaran lain yang dibebankan atau dibayarkan oleh pemberi kerja kepada perusahaan induknya di luar negeri ( Pasal 3 ayat [3] dan ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Pajak Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia ). Penentuan kembali besarnya penghasilan ini dapat berpedoman pada Kepdirjen Pajak No. 173/2002. Demikian jawaban kami semoga dapat membantu. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana empat kali diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 4. Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 5. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No: KEP-173/PJ./2002 tentang Pedoman Standar Karyawan Asing 6. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. M.01-IZ.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No: M.02-IZ.0L.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian 7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No: PER.02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing 8. Peraturan Menteri Keuangan No. 139/PMK.03/2010 tentang Penentuan Kembali Besarnya Pajak Penghasilan yang Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dari Pemberi Kerja yang Memiliki Hubungan Istimewa dengan Perusahaan Lain yang Tidak Didirikan dan Tidak Bertempat Kedudukan di Indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Saya pengendara roda dua. Saya menaruh barang saya di belakang dan depan dekat soket kunci. Berat total barang tidak lebih dari 45 kg dan dimensi panjang tidak lebih dari panjang tuas kemudi. Apakah saya melanggar Undang Undang Lalu Lintas Pasal 307 tentang tata Cara Pemuatan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pada dasarnya, angkutan barang dengan menggunakan kendaraan bermotor wajib menggunakan mobil barang . Akan tetapi ada pengecualiannya, dalam hal memenuhi persyaratan teknis, angkutan barang dengan kendaraan bermotor itu salah satunya dapat menggunakan sepeda motor. Apa saja persyaratan teknis yang dimaksud? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tata cara pengangkutan barang secara umum diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU 22/2009”) dan secara khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (“PP No. 74/2014”) . Penggolongan Jenis Kendaraan Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan: [1] a. Kendaraan bermotor; dan b. Kendaraan tidak bermotor. Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. [2] Sedangkan Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. [3] Kendaraan bermotor dikelompokkan dalam: [4] a. sepeda motor ; b. mobil penumpang; c. Mobil bus; dan d. Mobil barang. Kendaraan tidak bermotor meliputi: [5] a. Kendaraan yang digerakan oleh tenaga orang; dan b. Kendaraan yang ditarik oleh tenaga hewan. Berdasarkan ciri-ciri yang Anda berikan, kendaraan roda dua yang Anda gunakan termasuk sepeda motor , yaitu kendaraan bermotor beroda dua dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau Kendaraan Bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah. [6] Penerapan Pasal 307 UU 22/2009 Dalam konteks pertanyaan Anda, apakah barang yang dimuat di atas sepeda motor tesebut melanggar ketentuan Pasal 307 UU 22/2009 , perlu kita simak bunyi selengkapnya pasal tersebut: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Sementara, bunyi Pasal 169 ayat (1) UU 22/2009 adalah: Pengemudi dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan. Yang dimaksud Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum . [7] Sedangkan yang dimaksud Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran . [8] Ini berarti jika Anda tidak mengemudikan angkutan umum barang (kendaraan bermotor umum dengan dipungut bayaran) maka Pasal 307 UU 22/2009 tidak dapat diterapkan kepada Anda . Lalu bagaimana dengan pemuatan barang pada sepeda motor Anda? Berikut akan kami jelaskan ketentuannya. Tata Cara Pemuatan Barang di Sepeda Motor Sehubungan dengan Anda yang mengangkut barang dengan menggunakan sepeda motor, hal ini merupakan pelanggaran hukum. Ini karena angkutan barang dengan menggunakan kendaraan bermotor wajib menggunakan mobil barang . [9] Akan tetapi ada pengecualiannya . Dalam hal memenuhi persyaratan teknis , angkutan barang dengan kendaraan bermotor itu dapat menggunakan mobil penumpang, mobil bus, atau sepeda motor . [10] Khusus sepeda motor, persyaratan teknisnya meliputi: [11] a. muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi; b. tinggi muatan tidak melebihi 900 milimeter (mm) dari atas tempat duduk pengemudi; dan c. barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi. Selain persyaratan teknis tersebut, angkutan barang dengan menggunakan mobil penumpang, mobil bus, atau sepeda motor itu juga harus memperhatikan faktor keselamatan . [12] Jadi, jika sepeda motor memenuhi persyaratan teknis dan memperhatikan faktor keselamatan , pengangkutan barang dengan sepeda motor itu diperbolehkan . Menjawab pertanyaan Anda, perlu dilihat kembali apakah Anda memenuhi persyaratan teknis di atas. Apabila Anda tidak memenuhi persyaratan teknis di atas, pada dasarnya tidak ada ketentuan pidana yang mengatur secara khusus. Akan tetapi, jika hal tersebut mengakibatkan pengemudi mengemudikan kendaraan bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan nyawa atau barang (tidak memperhatikan faktor keselamatan) , maka bisa saja dipidana dengan Pasal 311 ayat (1) UU 22/2009 sebagai berikut: Setiap orang yang dengan sengaja mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan cara atau keadaan yang membahayakan bagi nyawa atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp3.000.000,00 (tiga juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan . [1] Pasal 3 ayat (1) PP 74/2014 [2] Pasal 1 angka 3 PP 74/2014 [3] Pasal 1 angka 4 PP 74/2014 [4] Pasal 3 ayat (2) PP 74/2014 [5] Pasal 3 ayat (3) PP 74/2014 [6] Pasal 1 angka 20 UU 22/2009 [7] Pasal 1 angka 21 UU 22/2009 [8] Pasal 1 angka 10 UU 22/2009 [9] Pasal 137 ayat (3) UU 22/2009 dan Pasal 10 ayat (1) PP 74/2014 [10] Pasal 10 ayat (2) PP 74/2014 [11] Pasal 10 ayat (4) PP 74/2014 [12] Pasal 11 PP 74/2014 hukumonline angkutan barang kendaraan bermotor hukum klinik lalu lintas klinik hukumonline sepeda motor" }
{ "from": "human", "value": "Apakah karyawan oursourcing boleh memakai tanda pengenal, kartu nama, baju seragam dan atribut yang identik dengan nama, logo dan atribut perusahaan Pemberi Kerja? Di mana ketentuan yang mengaturnya? Mohon penjelasan." }
{ "from": "gpt", "value": "Sesuai dengan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) , p erusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam praktiknya, perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh ini seringkali dikenal sebagai perusahaan outsourcing . KLINIK TERKAIT Status Hukum Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) 09 Agt 2011 Status Hubungan Kerja Satpam di Perusahaan Outsourcing 08 Agt 2011 Dapatkah Karyawan Outsourcing Diberhentikan Tanpa Peringatan? 23 Jun 2011 Status Ikatan Kerja Teller dan Customer Service pada Bank 11 Okt 2010 UUK tidak mengatur secara khusus mengenai apakah karyawan/pekerja outsourcing boleh memakai tanda pengenal, kartu nama, baju seragam dan atribut yang identik dengan nama, logo dan atribut perusahaan pemberi kerja. Namun, di dalam penjelasan Pasal 66 ayat (2) huruf c UUK disebutkan sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh.” Menurut ketentuan tersebut dalam hal perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun penyelesaian perselisihan, karyawan dari perusahaan outsourcing juga memiliki hak yang sama sesuai dengan perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”) dengan karyawan dari perusahaan pemberi kerja atau pengguna jasa pekerja/buruh. Jadi, merujuk pada ketentuan di atas, menurut hemat kami, mengenai penggunaan atribut perusahaan pemberi kerja atau pengguna jasa pekerja/buruh oleh karyawan perusahaan outsourcing pun Anda harus melihat pengaturannya dalam PK, PP, atau PKB. Di sisi lain, dalam praktik pada umumnya pekerja dari perusahaan outsourcing mendapat atribut yang sama dengan pekerja dari perusahaan pemberi kerja/pengguna jasa outsourcing. Ini merupakan hal yang logis karena pekerja tersebut saat bekerja, terutama dalam hal melibatkan pihak ketiga, harus tetap membawa nama atau “merek” dari perusahaan pemberi kerja dan bukan perusahaan outsourcing . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Apakah dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, mengizinkan ahli asing untuk memberikan keterangan di persidangan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, mengenai ahli, sering terjadi kesalahan dalam penyebutan dengan menyebutnya sebagai “saksi ahli”. Istilah yang dipakai oleh undang-undang adalah “ahli” sehingga hal ini perlu diluruskan. Dalam prinsip pembuktian hukum acara pidana di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , seseorang dapat dijatuhi pidana minimal dengan 2 alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Alat bukti tersebut diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92) yaitu: keterangan saksi tentang suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Selanjutnya, Pasal 1 angka 28 KUHAP menjelaskan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 179 KUHAP keterangan ahli dapat berasal dari ahli kedokteran kehakiman, dokter, atau ahli lainnya. Lalu, sebagaimana yang diliput dalam artikel Memahami Tugas Dokter Forensik di Balik Kematian , dalam praktik, ahli-ahli dari Indonesia juga sudah diakui kemampuannya dalam menangani kasus-kasus yang menyita perhatian masyarakat internasional seperti dalam kasus bom bali atau bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia. Ahli Warganegara Asing Namun bagaimana jika pihak terdakwa, melalui penasihat hukumnya, untuk kepentingan pembelaannya ingin menghadirkan ahli berkewarganegaraan asing? Demi mendapatkan kebenaran hakiki dalam suatu persidangan, permintaan ini sah-sah saja dan tidak dilarang. Namun, berdasarkan praktik, ada poin-poin yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu: Pertama-tama, berdasarkan praktik, terdakwa atau penasihat hukumnya harus memberitahukan hal ini kepada majelis hakim yang memeriksa perkara disertai alasan-alasanya untuk menghadirkan ahli warganegara asing tersebut. Identitas dan keahlian dari si calon ahli juga harus dijelaskan, khususnya berdasar publikasi si ahli yang telah ditulis pada jurnal-jurnal internasional yang telah diakui secara resmi oleh universitas-universitras di Indonensia. Dalam pengajuan ini, biasanya majelis hakim juga meminta pendapat dari jaksa penuntut umum. Kedua, jika permohonan tersebut disetujui oleh Majeis Hakim, si ahli juga wajib datang sesuai dengan peraturan keimigrasian yang sah. Berdasarkan Pasal 102 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian visa yang bisa didapatkan oleh tenaga ahli atau orang yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan profesi dengan menerima bayaran adalah visa tinggal terbatas. Ketiga, karena menerima honorarium, maka ahli asing tersebut juga harus memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Mengingat kunjunagannya yang relatif singkat di Indonesia, ahli asing dapat dikategorikan sebagai subjek pajak luar negeri berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri . Keempat , terdakwa atau penasihat hukumnya harus menyediakan penerjemah resmi (tersumpah) untuk menerjemahkan keterangan ahli tersebut kepada pengadilan. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah (“Permenkumham 4/2019”) penerjemah tersumpah adalah orang atau individu yang mempunyai keahlian dalam menghasilkan terjemahan, yang telah diangkat sumpah oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dan terdaftar pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Namun, selain ketentuan-ketentuan di atas, dalam menghadirkan ahli tidak boleh bertentangan dengan prinsip persidangan di Indonesia, yaitu sederhana, cepat dan biaya ringan yang ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ; Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian ; Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan, Pelaporan, dan Pemberhentian Penerjemah Tersumpah ; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2011 Tahun 2011 tentang Penentuan Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri . Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 . acara peradilan" }
{ "from": "human", "value": "Saya sudah bekerja di suatu perusahaan lebih dari 1 tahun. Saya berencana untuk pindah namun ternyata perusahaan saya menerapkan 2 months notice period. Hal tersebut mengurungkan niat saya untuk pindah. Saya mendengar bahwa menurut hukum ketenagakerjaan Indonesia, pengajuan pengunduran diri tersebut maksimal 1 month notice. Benarkah hal tersebut? Atau tergantung kebijakan perusahaan masing-masing? Kemudian sejak ada ciptaker, bagaimana aturan one month notice UU Cipta Kerja?" }
{ "from": "gpt", "value": "One month notice adalah istilah yang digunakan untuk menyebut kewajiban mengajukan permohonan pengunduran diri karyawan secara tertulis yang diajukan paling lambat 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.\n\nHal tersebut merupakan salah satu dari 3 ketentuan yang harus dipenuhi jika pekerja hendak mengundurkan diri, yang diatur dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja sebagaimana telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i UU Ketenagakerjaan.\n\nAdapun bunyi lengkap ketentuannya adalah sebagai berikut:" }
{ "from": "human", "value": "Mohon informasi mengenai peraturan terkait perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang jasa perantara perdagangan internasional. Sebagai contoh, sebuah perusahaan Indonesia menjual produk ke Filipina, namun produk tersebut berasal dari Thailand. Produk tersebut dikirimkan langsung dari Thailand ke Filipina. Apakah model bisnis seperti ini diizinkan di Indonesia? Jika iya, apa saja jenis pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan Indonesia tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jasa Perantara Perdagangan Internasional Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (“Perpres 44/2016”) , usaha jasa perantara perdagangan internasional yang Anda maksud pada dasarnya dapat dilaksanakan di Indonesia. Hal ini mengingat, usaha tersebut tidak tergolong sebagai bidang usaha yang tertutup sesuai Lampiran I Perpres 44/2016 .  Selain itu, Lampiran III Perpres 44/2016 yang memuat daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu, sejauh penelusuran kami, juga tidak mengatur secara eksplisit jasa perantara perdagangan internasional. Dengan demikian, usaha tersebut termasuk dalam bidang usaha yang terbuka. Pasal 1 angka 2 Perpres 44/2016 menjabarkan bahwa: Bidang Usaha Yang Terbuka adalah Bidang Usaha yang dilakukan tanpa persyaratan dalam rangka Penanaman Modal. Namun, mengacu pada model bisnis ( business model ) yang Anda uraikan, perlu dipastikan bahwa model tersebut dapat diterima di negara terkait. Pengertian dapat diterima di sini adalah tidak bertentangan dengan hukum di negara tersebut. Akan ada potensi masalah jika aturan di Indonesia mengizinkan perantara perdagangan, namun usaha sejenis dilarang di negara lainnya (khususnya terkait jenis barang yang diperdagangkan). Pajak bagi Jasa Perantara Perdagangan Mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (“UU 36/2008”) , yang menjadi sebagai subjek pajak adalah orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan , dan bentuk usaha tetap . [1] Lebih lanjut, Pasal 2 ayat (1a) UU 36/2008 menjelaskan bahwa: Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. Artinya dalam hal ini, perusahaan yang Anda maksud dapat dikategorikan sebagai subjek pajak badan atas pendapatan yang Anda terima. Mengacu pada Pasal 2 ayat (3) huruf b UU 36/2008 , Anda berkedudukan sebagai subjek pajak dalam negeri. Mengingat, perusahaan yang Anda maksud berbadan hukum Indonesia dan/atau berkedudukan di Indonesia. Perusahaan Anda akan dikenakan pajak penghasilan badan (“PPh Badan”). Yang  menjadi  objek  pajak dari usaha jasa perantara perdagangan yang Anda maksud diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, d, e, g, h dan l UU 36/2008 , yang berbunyi: Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: … … laba usaha; keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak; … dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; … … … keuntungan selisih kurs mata uang asing; Besaran PPh Badan Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. [2] Namun apabila pendapatan yang Anda dapatkan dari perusahaan jasa perdagangan dalam bentuk neto, maka perhitungannya mengacu pada Pasal 16 ayat (2) vide Pasal 14 ayat (1) UU 36/2008 , yakni: Pasal 16 ayat (2) UU 36/2008 Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dihitung dengan menggunakan norma penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). Pasal 14 ayat (1) UU 36/2008 Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak . Tata cara perhitungan besaran penghasilan neto guna menentukan besaran jumlah PPh Badan yang harus dibayarkan terakhir kali diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto . Sedangkan tata cara, ketentuan, dan perhitungan penghasilan bruto untuk PPh Badan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu . Pajak bagi Badan Usaha yang Beraktivitas di Luar Negeri Terakhir, mengingat usaha jasa perdagangan yang Anda maksud melakukan aktivitas di luar negeri dan mungkin saja akan terkena pajak di luar negeri, maka berlaku ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU 36/2008 yang berbunyi: Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto [1] Pasal 2 ayat (1) UU 36/2008 [2] Pasal 6 ayat (1) UU 36/2008 ekspor - impor impor hukumonline jasa perdata perdata internasional komisi ekspor pajak pengusaha perdagangan agen internasional" }
{ "from": "human", "value": "Apakah dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi dalam proses uji coba kendaraan bermotor (mobil) yang belum ada izin resmi terdapat unsur pelanggaran hukumnya? Misalnya, dalam kasus kecelakaan mobil Tuxico baru-baru ini." }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UULLAJ”), pada dasarnya setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan . KLINIK TERKAIT Sanksi STNK Mati: Dari Denda Hingga Motor Disita Polisi 05 Sep 2023 Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan 25 Agt 2016 Bolehkah Menerobos Lampu Merah dalam Keadaan Darurat? 19 Agt 2016 Hukum Mengendarai Sepeda Motor Baru Tanpa STNK dan Pelat Nomor 27 Nov 2012 Kemudian, setiap kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di jalan wajib dilakukan pengujian yang meliputi uji tipe dan uji berkala (lihat Pasal 49 UULLAJ ). Uji tipe wajib dilakukan untuk kendaraan bermotor yang dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri, serta modifikasi kendaraan bermotor yang menyebabkan perubahan tipe ( Pasal 50 ayat [1] UULLAJ ). Sedangkan, uji berkala diwajibkan untuk mobil penumpang umum, mobil bus, mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang dioperasikan di jalan ( Pasal 53 ayat [1] UULLAJ ). Mengenai uji tipe, hal tersebut dilaksanakan oleh unit pelaksana uji tipe Pemerintah ( Pasal 50 ayat [3] UULLAJ ). Pengaturan mengenai persyaratan teknis dan laik jalan, diatur dalam PP No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”). Kendaraan bermotor dapat menggunakan motor penggerak berupa motor bakar, motor listrik, atau gabungan motor bakar dan motor listrik ( Pasal 7 huruf b jo. Pasal 12 ayat [1] PP 55/2012 ). Pengujian kendaraan bermotor hanya dapat dilakukan oleh unit pelaksana pengujian kendaraan bermotor yang memiliki ( Pasal 122 ayat [1] PP 55/2012 ): Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. prasarana dan peralatan pengujian yang akurat, sistem dan prosedur pengujian, dan sistem informasi manajemen penyelenggaraan pengujian; dan b. tenaga penguji yang memiliki sertifikat kompetensi penguji Kendaraan Bermotor Pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor dilaksanakan di dalam fasilitas pengujian milik unit pelaksana uji tipe pemerintah diantaranya berupa trek pengujian kecepatan tinggi, trek pengujian tanjakan dan turunan, trek pengujian melalui jalan berlumpur, dan trek pengujian slip (lihat Pasal 141 ayat [1] PP 55/2012 ). Kendaraan bermotor yang belum lulus uji tipe, berarti belum memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan sehingga belum boleh dioperasikan di jalan. Apabila kendaraan yang belum memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan tetapi sudah dioperasikan di jalan maka berdasarkan Pasal 286 UULLAJ pelanggarnya dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Terkait kasus kecelakaan kendaraan yang Saudara contohkan, mungkin yang Saudara maksud adalah kasus kecelakaan mobil Tucuxi yang belakangan sedang ramai diberitakan. Berdasarkan berbagai pemberitaan, diketahui bahwa mobil Tucuxi dengan pelat nomor DI 19 masih berupa purwa rupa ( prototype ) yang sedang dikembangkan produksinya dan belum memiliki sertifikat uji tipe. Oleh karena itu, terdapat pelanggaran dalam pelaksanaan uji tipe kendaraan bermotor. Selain itu, dalam kasus kecelakaan mobil Tucuxi, mobil tersebut memakai pelat nomor “DI 19”, padahal menurut penelusuran kami dalam Lampiran Perkapolri No. 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor , di wilayah Republik Indonesia tidak ada kode registrasi DI. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap hal ini dapat dikenakan ketentuan Pasal 280 UULLAJ , yang menyatakan: Pasal 280 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dipasangi Tanda Nomor Kendaraan Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan 3. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor kecelakaan lalu lintas" }
{ "from": "human", "value": "Memang benar ada aturan yang melarang pemotor lewat Jl. MH Thamrin? Soalnya sosialisasinya kurang nih. Sanksinya apa jika melanggar? Terima kasih. Salam dan jaya selalu Hukumonline!" }
{ "from": "gpt", "value": "None" }
{ "from": "human", "value": "Dengan hormat, saya ingin menanyakan masalah pembaruan akta yayasan tempat ibadah klenteng yang telah berdiri sejak tahun 1951 yang menggunakan nama Tionghoa, mengapa ditolak Departemen Hukum dan HAM?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai penggunaan nama T ionghoa sebagai nama yayasan, setahu kami, tidak ada ketentuan yang melarang hal tersebut . Hanya saja aturannya menyatakan bahwa nama Yayasan yang telah didaftar dalam Daftar Yayasan tidak boleh dipakai oleh Yayasan lain. Demikian bunyi ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (“ PP 63/2008 ” ) . Kemudian, dalam Pasal 4 ayat (1) PP 63/2008 lebih lanjut diatur bahwa Pemakaian Nama Yayasan ditolak jika: a. telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; atau b. bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan. KLINIK TERKAIT Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya 14 Jun 2024 Prosedur Pengesahan Badan Hukum Perkumpulan 14 Mar 2019 Bolehkah Mengangkat Pengurus dari Pihak yang Terafiliasi dengan Yayasan? 28 Agt 2012 Bolehkah Pengurus Yayasan Menjadi Pemegang Saham PT yang Didirikan Yayasan? 28 Agt 2012 Dalam hal pemakaian Nama Yayasan ditolak berdasarkan alasan yang dimaksud Pasal 4 ayat (1), maka Yayasan dapat mengajukan pemakaian nama lain ( Pasal 4 ayat [3] PP 63/2008 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, sebenarnya tidak ada ketentuan di dalam PP 63/2008 yang melarang pemakaian nama atau istilah asing sebagai nama yayasan. Bahkan , di dalam penjelasan Pasal 2 PP 63/2008 yang membahas tentang penggunaan nama yayasan, di berikan contoh nama -nama yayasan yang menggunakan bahasa atau istilah asing antara lain Yayasan Jhonson and Jhonson, Yayasan Al-Muttaqin, Yayasan Matahari, dan Yayasan Rumah Abu Oei . Hal ini men y iratkan diperbolehkannya menggunakan nama yayasan dengan bahasa atau istilah asing. Oleh karena itu, mungkin penolakan nama yayasan yang pihak Anda ajukan adalah karena alasan sebagaimana diatur Pasal 4 ayat (1) PP 63/2008, dan bukan semata-mata karena alasan penggunaan nama Tionghoa. Silakan Anda tanyakan kembali kepada pihak Kementerian Hukum dan HAM yang berwenang mengenai hal tersebut. Secara hukum pihak Anda masih berhak mengajukan pemakaian nama lain sepanjang memenuhi persyaratan. Lebih jauh mengenai pembaharuan akta yayasan, silakan simak artikel Yayasan yang Belum Diperbaharui . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah rumah sakit/klinik/praktik dokter dibolehkan untuk memasang warning light (lampu hati-hati berwarna kuning yang mati nyala secara berulang) di depan fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) untuk mempermudah pasien mengetahui keberadaan fasyankes atau hanya dibolehkan menggunakan papan nama praktik/klinik saja? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Perbedaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan 27 Nov 2023 Hukumnya Membuka Rekam Medis Karyawan Tanpa Persetujuan 21 Nov 2022 Besaran Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani COVID-19 13 Jul 2020 Aspek Hukum Pidana Surat Keterangan Dokter Palsu di Tengah Wabah COVID-19 27 Mei 2020 Pemasangan Warning Light Sepanjang penelusuran kami, istilah warning light dapat kita temukan di Peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: SK.7234/AJ.401/DRJD/2013 tentang Petunjuk Teknis Perlengkapan Jalan (“Perdirjen 7234/2013”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Warning light diartikan sebagai alat pemberi isyarat lalu lintas untuk memberikan peringatan bahaya kepada pemakai jalan. [1] Adapun alat pemberi isyarat lalu lintas merupakan bagian dari perlengkapan jalan , yakni perangkat elektronik yang menggunakan isyarat lampu yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan. [2] Secara umum, dalam Perdirjen 7234/2013, warning light dibagi menjadi 2 yaitu warning light tenaga surya dan warning light tenaga listrik. Warning light tenaga surya dan tenaga listrik sama-sama berfungsi untuk mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan yang dapat dilengkapi dengan isyarat bunyi (hal. IV-1 huruf A dan V-1 huruf A). Sebagai informasi, alat pemberi isyarat lalu lintas memiliki umur teknis 5 tahun. [3] Oleh karena itu, warning light jika dilihat menurut Perdirjen 7234/2013 hanya diperuntukkan sebagai alat pemberi isyarat lalu lintas guna mengatur lalu lintas orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan. Pemasangan Papan Nama Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) Perlu Anda ketahui, jenis-jenis dari fasyankes terdiri atas: [4] tempat praktik mandiri Tenaga Kesehatan; pusat kesehatan masyarakat; klinik; rumah sakit; apotek; unit transfusi darah; laboratorium kesehatan; optikal; fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional. Penanggung jawab fasyankes wajib memasang papan nama sesuai dengan jenisnya, dengan paling sedikit memuat: [5] jenis dan nama fasyankes; dan nomor izin dan masa berlakunya. Untuk fasyankes berupa praktik mandiri tenaga kesehatan, papan nama harus memuat nama lengkap, gelar dan/atau jenis tenaga kesehatan, waktu praktik, dan nomor izin praktik. [6] Papan nama harus dipasang pada tempat yang mudah dilihat. [7] Pemasangan Papan Nama Praktik Kedokteran Di sisi lain, dokter dan dokter gigi yang telah memiliki SIP (Surat Izin Praktik) dan menyelenggarakan praktik perorangan wajib memasang papan nama praktik kedokteran , yang harus memuat nama dokter atau dokter gigi, nomor STR (Surat Tanda Registrasi), dan nomor SIP. [8] Jadi, dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bawah pemasangan warning light hanya diperuntukkan sebagai alat pemberi isyarat lalu lintas, dan bukan untuk menandakan keberadaan fasyankes atau memperlihatkan papan nama fasyankes. Lebih lanjut, pemasangan papan nama praktik menurut Pasal 4 ayat (4) huruf b Kode Etik Kedokteran Indonesia , berbunyi: Memasang papan nama praktek ukuran maksimum 60 x 90cm, dasar putih, huruf hitam, wajib mencantumkan nama, jenis spesialisasi, nomor surat ijin praktek, waktu dan seyogyanya juga nomor rekomendasi IDI, dengan penerang sewajarnya . Bagi praktek perorangan, dipasang di dinding bangunan bagian depan tempat ia praktek atau dipancangkan di tepi jalan. Untuk rumah sakit, puskesmas, klinik bersama, kantor kesehatan merupakan papan nama kolektif dengan ukuran yang sewajarnya di pasang di bagian depan/dinding lorong masuk . Dengan demikian, kami berpendapat bahwa pemasangan papan nama fasyankes cukup dengan penerang sewajarnya dan spesifikasi lain yang telah kami sebutkan di atas dan tidak perlu memakai warning light sebagaimana yang Anda tanyakan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran REFERENSI:\n1. Kode Etik Kedokteran Indonesia , diakses pada 29 Juni 2020 pukul 17.00 WIB. [1] Pasal 5 ayat (3) huruf b Perdirjen 7234/2013 [2] Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 1 Perdirjen 7234/2013 [3] Pasal 5 ayat (4) Perdirjen 7234/2013 [4] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“PP 47/2016”) [5] Pasal 22 ayat (1) dan (2) PP 47/2016 [6] Pasal 22 ayat (3) PP 47/2016 [7] Pasal 22 ayat (4) PP 47/2016 [8] Pasal 26 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran kesehatan tenaga kesehatan hukumonline sakit laboratorium fasilitas kesehatan rumah sakit apoteker tenaga medis kedokteran hukum klinik faskes hak asasi manusia lalu lintas klinik hukumonline dokter" }
{ "from": "human", "value": "Saya mempunyai masalah yaitu: tetangga sebelah rumah membuat septic tank baru yang hanya berjarak 1-2 meter dari sumur pompa air rumah saya dan antara rumah saya dengan rumah tetangga saya itu dibatasi oleh pagar pembatas/dinding batako. Rumah kami berada dalam perumahan, yang mana penempatan septic tank pada tiap rumah bersebelahan. Kami sudah melarang malah dibilang “ngatur2 rumah orang”. Untuk itu, saya menanyakan apakah ada undang-undang yang mengatur pembuatan septic tank dan apa sanksinya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Jika Menumpuk Sampah di Pinggir Jalan 06 Okt 2015 Bermasalah dengan Pemasangan Tembok Tetangga 06 Agt 2015 Terganggu Tumpahan Air Hujan dari Atap Tetangga 06 Feb 2015 Hak Privasi Terganggu Akibat Tetangga Membangun Balkon di Rumahnya 24 Jun 2014 Intisari: Tangki septik ( septic tank ) adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan limbah kotoran manusia (tinja dan urine). Pembangunan septic tank harus dijauhkan dari sumur gali yaitu berjarak >11 meter. Bagaimana akibat hukumnya jika membangun septic tank tidak sesuai aturan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (“Permenkes 3/2014”) . Tangki septik ( septic tank ) adalah suatu bak kedap air yang berfungsi sebagai penampungan limbah kotoran manusia (tinja dan urine). [1] Standar dan Persyaratan Kesehatan Bangunan Jamban Adanya tangki septik merupakan salah satu standar dan syarat kesehatan bangunan bawah jamban. Standar dan persyaratan kesehatan bangunan jamban terdiri dari: [2] 1. Bangunan Atas Jamban (dinding dan/atau atap) Bangunan atas jamban harus berfungsi untuk melindungi pemakai dari gangguan cuaca dan gangguan lainnya. 2. Bangunan Tengah Jamban Terdapat 2 (dua) bagian bangunan tengah jamban, yaitu: - Lubang tempat pembuangan kotoran (tinja dan urine) yang saniter dilengkapi oleh konstruksi leher angsa. Pada konstruksi sederhana (semi saniter), lubang dapat dibuat tanpa konstruksi leher angsa, tetapi harus diberi tutup. - Lantai Jamban terbuat dari bahan kedap air, tidak licin, dan mempunyai saluran untuk pembuangan air bekas ke Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL). 3. Bangunan Bawah Jamban Merupakan bangunan penampungan, pengolah, dan pengurai kotoran/tinja yang berfungsi mencegah terjadinya pencemaran atau kontaminasi dari tinja melalui vektor pembawa penyakit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat 2 (dua) macam bentuk bangunan bawah jamban, yaitu: 1. Tangki Septik Bagian padat dari kotoran manusia akan tertinggal dalam tangki septik, sedangkan bagian cairnya akan keluar dari tangki septik dan diresapkan melalui bidang/sumur resapan. Jika tidak memungkinkan dibuat resapan maka dibuat suatu filter untuk mengelola cairan tersebut. 2. Cubluk Cubluk merupakan lubang galian yang akan menampung limbah padat dan cair dari jamban yang masuk setiap harinya dan akan meresapkan cairan limbah tersebut ke dalam tanah dengan tidak mencemari air tanah, sedangkan bagian padat dari limbah tersebut akan diuraikan secara biologis. Sumur Gali Sebelumnya, kami asumsikan bahwa sumur yang Anda maksud di sini adalah sumur gali, yaitu sumur sumber air bersih yang dipompa dengan mesin untuk mencukupi kebutuhan air di rumah Anda sehari-hari. Sumur gali menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992 tentang Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air Bersih yang kami akses dari laman Pusat Informasi Pengembangan Pemukiman dan Bangunan (PIP2B) Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sarana untuk menyadap dan menampung air tanah dari akuifer yang dipergunakan sebagai sumber air sebanyak minimal 400 liter setiap hari perkeluarga, dibuat dengan cara menggali. Lokasi penempatan sumur: [3] 1. ditempatkan pada lapisan tanah yang mengandung air berkesinambungan; 2. jarak horizontal sumur kearah hulu dari aliran air tanah atau sumber pengotoran (bidang resapan/ tangki septic) > 11 meter ; 3. jarak sumur untuk komunal terhadap perumahan < 50 meter. Menjawab pertanyaan Anda, jadi pembangunan septic tank dengan sumur gali berjarak >11 meter. Namun sebagai perbandingan dan tambahan informasi untuk Anda, Lampiran III Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 33/PRT/M/2016 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur (“PermenPUPR 33/2016”) mengatur pembangunan sumur dangkal terlindungi untuk penyediaan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yaitu jarak unit SPAM ke sumber pencemaran dan cubluk ( septic tank ) harus > 10 meter . Langkah Hukum Jika Pembangunan Septic Tank Tidak Sesuai Aturan Berkaitan dengan pembangunan septic tank yang tidak sesuai dengan aturan, sanksinya tidak diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan yang kami sebutkan di atas. Tetapi jika Anda merasa terganggu dengan pembangunan septic tank yang tidak sesuai dengan aturan serta merasa dirugikan oleh tetangga Anda, maka pembangunan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (“PMH”). Dalam artikel Bermasalah dengan Tetangga karena Tembok Batas Pekarangan dijelaskan bahwa, mengenai perbuatan melawan hukum ini diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang berbunyi sebagai berikut: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.” Mariam Darus Badrulzaman dalam bukunya “ KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan ”, seperti dikutip Rosa Agustina dalam buku “ Perbuatan Melawan Hukum ” (hal. 36) menjabarkan unsur-unsur PMH dalam Pasal 1365 KUHPer adalah sebagai berikut: 1. Harus ada perbuatan (positif maupun negatif); 2. Perbuatan itu harus melawan hukum; 3. Ada kerugian; 4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian; 5. Ada kesalahan. Sementara itu, Rosa Agustina dalam buku “ Perbuatan Melawan Hukum ” (hal. 53) mengutip pendapat Mr. C. Assers’s L.E.H Rutten , yang menyatakan bahwa “ schade ” dalam Pasal 1365 KUHPer adalah kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Rosa menjelaskan bahwa tiap perbuatan melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian uang saja, tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril atau idiil, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan kehilangan kesenangan hidup . Sebagaimana dalam putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943 dalam perkara W.P. Keruningen v. van Bessum cs. Jika Anda merasa dirugikan (secara moril, idiil atau materiil) dengan pembangunan septic tank oleh tetangga Anda yang berdekatan dengan sumur pompa air rumah Anda, maka Anda dapat menggugat tetangga Anda ke pengadilan dengan dasar tetangga Anda melakukan PMH. Pengadilanlah yang akan memutuskan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur PMH atau tidak. Meski demikian, kami menyarankan agar masalah dalam bertetangga hendaknya diselesaikan dengan bermusyawarah secara kekeluargaan terlebih dahulu. Upaya hukum merupakan upaya terakhir yang dapat Anda tempuh apabila upaya secara kekeluargaan telah ditempuh namun tidak berhasil. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; 2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat ; 3. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 33/PRT/M/2016 Tahun 2016 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Dana Alokasi Khusus Bidang Infrastruktur ; REFERENSI:\n1. Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992 tentang Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air Bersih . [1] Huruf B (Lima Pilar STBM) angka 1 poin c) Lampiran Permenkes 3/2014 [2] Huruf B (Lima Pilar STBM) angka 1 Lampiran Permenkes 3/2014 [3] Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-2916-1992 tentang Spesifikasi Sumur Gali untuk Sumber Air Bersih perbuatan melawan hukum pertanahan hukumonline google perdata air pdam tetangga rumah klinik hukum klinik hukumonline kuh perdata" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada sanksi hukum bagi pegawai pengadilan membayar biaya perkara tidak melalui bank? Seperti yang terjadi pada saya, membayar biaya perkara tidak melalui bank sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04 Tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara, akan tetapi saya diberi kuitansi pembayaran dari pengadilan. Terima kasih atas jawabannya. Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Adakah Biaya untuk Pencabutan Pengaduan di Kepolisian? 31 Jul 2012 Uang Panjar Pengadilan 29 Jun 2012 Berapa Besarnya Biaya Jasa Advokat untuk Mediasi? 18 Jun 2012 Bolehkah Menolak Panggilan Sebagai Ahli dalam Persidangan? 16 Jan 2012 Kami asumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah pegawai pengadilan menerima pembayaran biaya perkara secara langsung tanpa lewat bank. Memang benar bahwa berdasarkan Surat Edaran MA No. 04 Tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara , pembayaran biaya perkara perdata, perdata agama, dan perkara tata usaha negara harus dibayar pihak berperkara diwajibkan melalui bank. Oleh karena itu, t idak lagi dibenarkan pegawai menerima pembayaran biaya perkara secara langsung dari pihak-pihak berperkara. Akan tetapi, ketentuan ini dikecualikan apabila di wilayah pengadilan tersebut tidak ada bank. Tujuan pembayaran biaya perkara melalui bank adalah untuk penertiban pembayaran serta transparansi keuangan pengadilan. Apabila di wilayah pengadilan tempat Anda berperkara tidak terdapat bank, maka tindakan pegawai pengadilan yang menerima pembayaran biaya perkara dan menyerahkan kuitansi dapat dibenarkan. Namun, bila ternyata di wilayah tempat kedudukan pengadilan terdapat bank tetapi pembayaran biaya perkara tetap dilakukan kepada pegawai pengadilan, maka hal ini menyalahi ketetapan Mahkamah Agung. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sayangnya, ketentuan Surat Edaran MA ini tidak mengatur mengenai sanksi apabila tidak dilaksanakan. Pada dasarnya, pengadilan berkewajiban membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan ( Pasal 4 ayat [2] UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ). Apabila tindakan pegawai pengadilan tersebut memang menyimpang dari ketetapan MA, kami sarankan Anda untuk mengadukan kepada Ketua Pengadilan tempat ia bertugas. Jika meninjau penyebaran kantor cabang bank-bank milik pemerintah di daerah, serta kedudukan Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan Pengadilan Tata Usaha Negara di setiap Kabupaten/Kotamadya, maka kecil kemungkinan suatu wilayah pengadilan tidak memiliki bank untuk dapat menerima pembayaran biaya perkara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2008 tentang Pemungutan Biaya Perkara" }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan dengan kewajiban melakukan pembayaran dengan Rupiah, saya ingin tanya bagaimana bila perusahaan kami menggunakan jasa tenaga kerja asing, akan tetapi, perjanjian kerja dan rekrutmennya dilakukan di luar negeri (Amerika) yaitu oleh Headquarter perusahaan kami, tapi penempatannya di Indonesia. Apakah tenaga kerja asing tersebut juga harus dibayar menggunakan mata uang Rupiah? Mohon penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sejak 28 Juni 2011 memang telah diundangkan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) . Salah satu yang diatur dalam UU tersebut adalah kewajiban menggunakan Rupiah dalam semua transaksi yang dilakukan di Indonesia. Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang menyebutkan bahwa Rupiah wajib digunakan dalam: a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c. transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia . Terkait hal yang Anda tanyakan, Wakil Ketua Komisi XI DPR Achsanul Qosasi berpendapat bahwa pembayaran upah atau gaji pekerja asing yang direkrut di luar negeri itu tetap dapat dilakukan dengan menggunakan mata uang asing apabila pembayaran tersebut dilakukan dengan cara transfer ke rekening di luar negeri. Dengan demikian, transaksi terjadi di luar negeri , meskipun orang tersebut melakukan pekerjaannya di Indonesia. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kecuali, Achsanul menambahkan, apabila pembayaran dilakukan di Indonesia (dikirim ke rekening di Indonesia) dan tenaga kerja asing tersebut menggunakan dana tersebut untuk melakukan transaksi di Indonesia, yang digunakan haruslah mata uang Rupiah. Hal demikian dia sampaikan dalam Seminar Hukumonline berjudul “ Menghindari Risiko Pidana Penggunaan Mata Uang Asing Dalam Transaksi Bisnis di Indonesia ” (147). Pendapat Achsanul tersebut juga diamini oleh Prof. A. Zen Umar Purba, S.H., LL.M. , salah seorang pengajar senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang juga mejadi narasumber dalam seminar tersebut. Simak juga artikel Pekerja Ekspatriat Harus Digaji Rupiah . Jadi, menurut hemat kami, frasa kunci yang harus diperhatikan sebenarnya adalah “ dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ”. Sehingga, sepanjang pembayaran/transaksi tersebut dilakukan/dibayarkan ke luar negeri, maka dapat menggunakan mata uang asing. Sebaliknya, apabila pembayaran dilakukan di Indonesia, mata uang Rupiahlah yang harus digunakan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Warga Jakarta tidak membayar PBB rumah lagi, tetapi masih ada warga yang tetap membayar PBB. Pertanyaan saya, apakah yang tidak dibayar itu pajaknya atau denda atas keterlambatan tidak membayar PBB? Atau ada kriteria tertentu bagi yang tidak membayar? Bagaimana bentuk bukti pembayaran PBB jika telah dilunasi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (“PBB”) Perdesaan dan Perkotaan terdapat dalam UU 1/2022. Kemudian, Anda menanyakan aturan pembayaran PBB rumah di Jakarta. Untuk itu, kami akan merujuk pada Pergub DKI Jakarta 23/2022.\n\nMenurut Pasal 1 angka 33 UU 1/2022, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“PBB-P2”) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan. Sejalan dengan ketentuan tersebut, definisi PBB-P2 juga diatur dalam Pasal 1 angka 2 Pergub DKI Jakarta 23/2022 sebagai berikut:\n\nPBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan pada sektor perdesaan dan perkotaan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.\n\nAdapun menurut Diana Sari dalam bukunya Konsep Dasar Perpajakan, Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang bersifat objektif yang artinya bahwa besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh keadaan objeknya yaitu bumi (tanah) dan/atau bangunan. Adapun kondisi dan keadaan dari subjek pajaknya (siapa yang menjadi penanggung atau pembayar PBB) tidak ikut dalam menentukan besarnya pajak terutang (hal. 119).\n\nBerdasarkan penjelasan tersebut, dapat kami simpulkan bahwa pembayaran PBB adalah pembayaran besaran pajak yang ditentukan atas keadaan objek berupa bumi (tanah) dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau suatu badan.\n\nLantas, adakah pembebasan terhadap PBB-P2? Berikut ulasannya.\nPenetapan PBB-P2 dan Pembebasannya\n\nPada dasarnya, menurut Pasal 2 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 23/2022, gubernur menetapkan PBB-P2 tahun pajak 2022 terhadap objek PBB-P2 berupa Rumah Tapak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan Wajib Pajak orang pribadi dengan Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”) PBB-P2 sampai dengan kurang dari Rp2 miliar dengan pembebasan sebesar 100%. Sebagai informasi, Rumah Tapak adalah angunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang merupakan kesatuan antara tanah dan bangunan dengan bukti kepemilikan berupa surat keterangan, sertipikat, atau akta yang dikeluarkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.[1]\n\nKemudian berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 23/2022 gubernur menetapkan PBB-P2 tahun pajak 2022 terhadap objek PBB-P2 berupa Rumah Tapak yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan Wajib Pajak orang pribadi dengan NJOP PBB-P2 Rp2 miliar atau lebih, berupa:\n\npembebasan sebagian untuk bumi seluas 60 m2 dan bangunan seluas 36 m2 dari PBB-P2 terutang; danpembebasan sebagian sebesar 10% dari sisa PBB-P2 yang terutang.\n\nLebih lanjut, gubernur menetapkan PBB-P2 tahun pajak 2022 terhadap objek PBB-P2 selain objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) Pergub DKI Jakarta 23/2022 dengan pembebasan sebagian besar 15% dari PBB-P2 yang terutang.[2]\n\nSebagai informasi, objek PBB-P2 berupa jalan tol dikecualikan dari ketentuan di atas.[3]\n\nJadi, terhadap rumah tapak yang dimiliki, dikuasai, maupun dimanfaatkan orang pribadi dengan batasan NJOP sampai dengan kurang dari Rp2 miliar dibebaskan dari kewajiban membayar PBB-P2. Sementara untuk rumah tapak dengan batasan NJOP Rp2 miliar atau lebih diberikan pembebasan sebagian untuk bumi seluas 60m2 dan bangunan seluas 36m2 dari PBB-P2 terutang serta pembebasan sebagian sebesar 10% dari sisa PBB-P2 yang terutang.\n\nKemudian, secara historis pembebasan PBB-P2 atas rumah, rumah susun sederhana sewa (“rusunawa”), dan rumah susun sederhana milik (“rusunami”) dengan NJOP sampai dengan Rp1 miliar berdasarkan Pergub DKI Jakarta 259/2015 dan perubahannya, yang telah diberikan untuk tahun pajak 2015 sampai dengan tahun pajak 2021, sebelum berlakunya Pergub DKI Jakarta 23/2022 dinyatakan tetap berlaku.[4] Namun, kebijakan pembebasan PBB-P2 tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku terhitung mulai tahun pajak 2022, dan selanjutnya diberikan kebijakan berdasarkan Pergub DKI Jakarta 23/2022.[5]\nSPPT dan Pembayaran PBB-P2\n\nSelanjutnya, dalam hal Wajib Pajak memiliki PBB-P2 terutang, maka Wajib Pajak akan mendapatkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (“SPPT”), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 Pergub DKI 23/2022.\n\nAdapun menjawab pertanyaan Anda mengenai apa itu bukti pembayaran PBB, berdasarkan laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi tentang Pelayanan Pembayaran PBB-P2, bukti pembayaran PBB adalah Surat Tanda Terima Setoran apabila Wajib Pajak telah melakukan pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan.\n\nJika Anda merupakan warga DKI Jakarta, Anda dapat melakukan cek pembayaran PBB-P2 pada laman Pajak Online Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta melalui Informasi SPPT PBB-P2 dengan memasukan nomor objek pajak PBB-P2 sesuai SPPT dan Nomor Induk Kependudukan (“NIK”) E-KTP Anda. Selain itu, Anda juga dapat Daftar E-SPPT PBB secara daring dengan mengisi persyaratan-persyaratan tertentu.\n\nBaca juga: Pajak Tanah Milik Pribadi, Begini Aturan PBB-P2\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 23 Tahun 2022 tentang Kebijakan Penetapan dan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Upaya Pemulihan Ekonomi Tahun 2022.\n\nReferensi:\n\nDiana Sari. Konsep Dasar Perpajakan. Bandung: PT. Refika Aditama, 2013;Daftar E-SPPT PBB, Pajak Online Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, diakses pada 16 Oktober 2023, oukul 16.20 WIB;Informasi SPPT PBB-P2, Pajak Online Badan Pendapatan Daerah Provinsi DKI Jakarta, diakses pada 13 Oktober 2023, pukul 16.00 WIB;Pelayanan Pembayaran PBB-P2, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, diakses pada 13 Oktober 2023, pukul 16.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 9 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 23 Tahun 2022 tentang Kebijakan Penetapan dan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Upaya Pemulihan Ekonomi Tahun 2022 (“Pergub DKI Jakarta 23/2022”).[2] Pasal 2 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 23/2022.[3] Pasal 2 ayat (4) Pergub DKI Jakarta 23/2022.[4] Pasal 13 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 23/2022.[5] Pasal 13 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 23/2022." }
{ "from": "human", "value": "Bapak saya mau tanya. Pada tahun 1978 satu objek berupa lahan parkir untuk fasilitas umum sudah dikuasakan developer kepada para pembeli sampai hak substitusi. Tetapi, pada tahun 1985 developer memberi kuasa kepada pihak lain, dan terakhir pengurus developer memberi kuasa lagi kepada pihak lain lagi. Apakah hal tersebut ada dampak pelanggaran hukumnya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam hal ini, yang harus diperhatikan dalam surat kuasa masing-masing adalah: KLINIK TERKAIT Surat Kuasa dalam Hal Pemberi Kuasa Meninggal Dunia 14 Agt 2023 Haruskah Surat Kuasa Ditandatangani Penerima Kuasa? 22 Des 2022 Surat Kuasa Mutlak 01 Apr 2011 Surat Kuasa dan Surat Tugas 04 Feb 2011 - Tindakan apa saja yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa, karena Penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya ( Pasal 1797 BW ), dan - Pengangkatan seorang penerima kuasa baru untuk menjalankan suatu urusan yang sama, menyebabkan ditariknya kembali kuasa penerima kuasa yang pertama, terhitung mulai hari diberitahukannya pengangkatan itu kepada orang yang disebut belakangan ( Pasal 1816 BW ) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal ini didasarkan bahwa pemberian kuasa tidak selalu berlaku selamanya, atau dapat berakhir dalam hal ( Pasal 1813-1815 BW ): 1) Pemberian kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa. 2) Pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya bila hal itu dikehendakinya dan dapat memaksa pemegang kuasa untuk mengembalikan kuasa itu bila ada alasan untuk itu. 3) Akan tetapi Penarikan kuasa yang hanya diberitahukan kepada penerima kuasa tidak dapat diajukan kepada pihak ketiga yang telah mengadakan persetujuan dengan pihak penerima kuasa karena tidak mengetahui penarikan kuasa itu hal ini tidak mengurangi tuntutan hukum dan pemberi kuasa terhadap penerima kuasa. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)" }
{ "from": "human", "value": "Apakah karyawan yang masih dalam status kontrak berhak untuk memperoleh tunjangan fasilitas kerja?" }
{ "from": "gpt", "value": "Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi pekerja/buruh dalam jabatan atau pekerjaan tertentu atau bagi seluruh pekerja/buruh.[3] Penyediaan fasilitas kerja diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.[4]\n\nDalam hal fasilitas bagi pekerja/buruh tidak tersedia atau tidak mencukupi, perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja[5] yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.[6]\n\nAdapun yang dimaksud dengan \"fasilitas kerja\" adalah sarana atau peralatan yang disediakan oleh perusahaan bagi jabatan atau pekerjaan tertentu atau seluruh pekerja/buruh untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan. Apa saja fasilitas kerja? Contohnya antara lain fasilitas kendaraan, kendaraan antar jemput pekerja/buruh, dan/atau alat komunikasi.[7]\n\nSedangkan yang dimaksud dengan \"jabatan atau pekerjaan tertentu\" adalah kedudukan atau kegiatan yang membutuhkan fasilitas tertentu untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas yang ditetapkan oleh perusahaan sebagai penerima fasilitas kerja.[8]\nFasilitas Kerja untuk Karyawan Kontrak\n\nKemudian menyambung pertanyaan Anda, apakah karyawan kontrak atau perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) berhak memperoleh tunjangan fasilitas kerja? Pada dasarnya tidak ada ketentuan yang membedakan apakah fasilitas kerja yang diberikan perusahaan untuk karyawan tetap atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) maupun untuk karyawan kontrak atau PKWT. Sehingga kami berpendapat, pemberian fasilitas kerja atau tunjangan fasilitas kerja merupakan kewenangan pengusaha.\n\nApabila Anda sebagai karyawan kontrak mengharapkan adanya tunjangan fasilitas kerja, kami menyarankan sebaiknya Anda mengecek terlebih dahulu pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama tempat Anda bekerja.\n\nSebab ketentuan pemberian fasilitas kerja kepada karyawan diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jika ada ketentuannya, maka Anda selaku karyawan kontrak atau PKWT berhak atas fasilitas kerja atau tunjangan fasilitas kerja. Sebaliknya apabila tidak diatur, Anda tidak berhak mendapatkan fasilitas kerja atau tunjangan fasilitas kerja.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n[1] Pasal 185 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”)[2] Pasal 184 Perppu Cipta Kerja[3] Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP 36/2021”)[4] Pasal 12 ayat (3) PP 36/2021[5] Pasal 12 ayat (2) jo. Pasal 8 ayat (2) huruf c PP 36/2021[6] Pasal 12 ayat (3) PP 36/2021[7] Penjelasan Pasal 12 ayat (1) PP 36/2021[8] Penjelasan Pasal 12 ayat (1) huruf a PP 36/2021" }
{ "from": "human", "value": "Apakah bisa perusahaan yang sedang mengalami pailit dibeli oleh perusahaan lain yang sejenis? Jika bisa, bagaimana status hukum dan hak karyawan perusahaan yang pailit tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab hak karyawan dan status hukum saat perusahaan pailit, mari kenali arti pailit terlebih dahulu. Ketentuan Pasal 1 angka 1 UU KPKPU mengartikan kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang.\n\nBerdasarkan ketentuan pasal tersebut, apabila seseorang dan/atau badan hukum mengalami pailit, maka dalam hal pengurusan dan pemberesan harta dilakukan oleh kurator.\n\nLebih lanjut, kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UU KPKPU.[1]\nKeberlanjutan Usaha Perusahaan Pailit\n\nSebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Asas Business Going Concern dalam Kepailitan dan PKPU, salah satu asas dalam UU KPKPU adalah asas going concern, yaitu keberlanjutan usaha debitur (perusahaan pailit).\n\nHal tersebut tercermin dari ketentuan Pasal 104 UU KPKPU yang menerangkan hal berikut.\n\nBerdasarkan persetujuan panitia kreditur sementara, kurator dapat melanjutkan usaha debitur yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditur, kurator memerlukan izin hakim pengawas untuk melanjutkan usaha.\n\nMenurut pasal tersebut, kurator tetap bisa menjalankan usaha dari debitur pailit, tentunya apabila perusahaan yang pailit tersebut masih memungkinkan untuk beroperasi dan bisa membayar utang dari para kreditur.\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai bisa tidaknya perusahaan pailit dibeli oleh perusahaan lain yang sejenis, kami asumsikan bahwa pembelian yang Anda maksud berarti akuisisi atau pengambilalihan perusahaan, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.[2]\nHal tersebut tidak diatur secara spesifik dalam UU KPKPU. Akan tetapi, dalam praktiknya akuisisi sebuah perusahaan pailit oleh perusahaan lain diperbolehkan dan umum terjadi.\nHal ini biasanya terjadi dalam proses pengajuan rencana perdamaian yang diajukan kepada para kreditur. Pencapaian terbesar dalam proses kepailitan adalah perdamaian antara debitur dan para kreditur.\n\nDalam hal ini, perdamaian bisa dicapai apabila debitur pailit bisa membuka jalan perdamaian kepada para kreditur. Salah satu skema perdamaian yang dapat ditawarkan kepada para kreditur adalah dengan masuknya perusahaan yang bertindak selaku investor yang akan mengambil alih perusahaan pailit tersebut, dan meyakinkan para kreditur bahwa perusahaan pailit tersebut dapat melanjutkan usahanya dan bahwa piutang-piutang mereka akan dilunasi.\nStatus dan Hak Karyawan saat Perusahaan Pailit\n\nDalam hal suatu perusahaan dinyatakan pailit, karyawan bisa memutuskan hubungan kerja secara sepihak dan sebaliknya kurator juga memiliki hak untuk memberhentikan karyawan tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.\n\nHal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UU KPKPU dan penjelasannya, yang masuk dalam Bagian Kedua UU KPKPU tentang Akibat Kepailitan. Bunyi pasal tersebut adalah sebagai berikut.\n\nPekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.\n\nHal ini juga telah ditegaskan dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan yang menerangkan bahwa salah satu alasan terjadinya pemutusan hubungan kerja (“PHK”) adalah karena perusahaan pailit.\n\nNamun, penting untuk dicatat bahwa dalam hal terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.[3]\nBaca juga: Hak Karyawan yang Di-PHK karena Perusahaan Pailit\n\nSelain itu, status upah dan hak-hak karyawan lainnya yang belum dibayarkan dalam hal perusahaan dinyatakan pailit merupakan utang yang didahulukan pembayarannya, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 81 angka 36 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 95 UU Ketenagakerjaan dengan ketentuan sebagai berikut.\n\nDalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.Upah pekerja/buruh didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur.Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.\n\nBaca juga: Urutan Prioritas Pelunasan Utang dalam Kepailitan\nDemikian jawaban dari kami terkait hak karyawan saat perusahaan pailit sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20144/node/19/uu-no-37-tahun-2004-kepailitan-dan-penundaan-kewajiban-pembayaran-utang?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_37_2004)\n3. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1]  Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang[2] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perppu Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas[3] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Dapatkah atlet asing diberikan kewarganegaraan Indonesia?\nBagaimana kriteria dan proses pemberian rekomendasi agar atlet asing tersebut dapat diberikan kewarganegaraan Indonesia?" }
{ "from": "gpt", "value": "Kewarganegaraan Republik Indonesia diberikan oleh Presiden kepada olahragawan/atlet yang telah berjasa kepada Negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara. Namun dengan catatan, kewarganegaraan Republik Indonesia dapat diberi setelah memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, kecuali dengan pemberian kewarganegaraan tersebut mengakibatkan yang bersangkutan berkewarganegaraan ganda.[2]\nUntuk memperjelasnya, atlet yang dianggap telah berjasa kepada negara Republik Indonesia adalah atlet Warga Negara Asing (“WNA”) yang karena prestasinya yang luar biasa di bidang keolahragaan telah memberikan kemajuan dan keharuman nama bangsa Indonesia.[3] Sedangkan, yang dimaksud dengan alasan kepentingan negara dalam ketentuan tersebut adalah atlet yang dinilai oleh negara telah atau dapat memberikan sumbangan yang luar biasa untuk kepentingan memantapkan kedaulatan negara dan untuk meningkatkan kemajuan perekonomian Indonesia, khususnya melalui industri olahraga.[4]\nKriteria Utama Pemberian Rekomendasi\n\nMenjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya dalam pemberian kewarganegaraan bagi atlet asing penting untuk mengetahui Rekomendasi Pemberian Kewarganegaraan Republik Indonesia (“rekomendasi”), yaitu keterangan tertulis yang diterbitkan oleh Menteri Pemuda dan Olahraga (“Menpora”), yang menyatakan olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing telah memenuhi persyaratan pewarganegaraan.[5]\nSedangkan yang dimaksud dengan pemohon rekomendasi adalah ketua umum Organisasi Olahraga tingkat pusat/nasional.[6]\n\nAdapun kriteria olahragawan asing yang dapat diusulkan untuk diberikan rekomendasi meliputi:[7]\n\nKetentuan usia: berusia antara 18 sampai dengan 30 tahun;Ikatan keluarga: adanya faktor kekerabatan dari kakek, nenek, atau orang tua yang berdarah Indonesia;Prestasi internasional: berprestasi di negara asal pada tingkat internasional; danPertimbangan kepentingan nasional: berprestasi terhadap keolahragaan nasional atau memenuhi pertimbangan kepentingan nasional.\n\nBagi tenaga keolahragaan asing (yang dapat meliputi pelatih, analis, atau pihak lain yang memiliki kualifikasi dan sertifikat kompetisi di bidang olahraga), kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:[8]\n\nPrestasi internasional: berprestasi di negara asal di tingkat internasional;Kontribusi terhadap bidang olahraga di Indonesia: berprestasi terhadap keolahragaan nasional atau memberikan sumbangan luar biasa di bidang keolahragaan di Indonesia;Kualifikasi internasional: memiliki kualifikasi dan kompetensi di bidang keolahragaan tingkat internasional; danPertimbangan kepentingan nasional: memenuhi pertimbangan kepentingan nasional.\n\nPerlu diperhatikan juga bahwa pemberian kewarganegaraan tersebut tidak boleh mengakibatkan yang bersangkutan menjadi berkewarganegaraan ganda.[9]\nProses Pemberian Rekomendasi\n\nKemudian, mengenai proses permohonan untuk mendapatkan rekomendasi kewarganegaraan Indonesia, pada dasarnya pemohon harus mengajukan surat permohonan rekomendasi secara tertulis kepada Menpora oleh ketua umum organisasi olahraga tingkat pusat/nasional dengan menyertakan kajian komprehensif dan dokumen administratif.[10] Surat tersebut diajukan paling lambat 6 bulan sebelum olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing diproyeksikan untuk memperkuat tim nasional Indonesia.[11]\n\nKajian komprehensif tersebut memuat:[12]\n\nkemampuan teknikal dari Olahragawan Asing dan/atau kompetensi Tenaga Keolahragaan Asing;proyeksi jangka pendek bagi Olahragawan Asing untuk memperkuat tim nasional Indonesia dari cabang olahraga pengusul;proyeksi jangka panjang dari Olahragawan Asing dan/atau Tenaga Keolahragaan Asing terhadap pembinaan dan pengembangan cabang olahraga pengusul;capaian prestasi atau sumbangan luar biasa di bidang keolahragaan di Indonesia dari Olahragawan Asing dan/atau Tenaga Keolahragaan Asing;adanya faktor kekerabatan dari kakek, nenek atau orang tua yang berdarah Indonesia bagi Olahragawan Asing; danketentuan dalam statuta federasi olahraga internasional dan peraturan perundang-undangan.\n\nSedangkan persyaratan dokumen administratif meliputi:[13]\n\nfotokopi akta kelahiran;daftar riwayat hidup;surat pernyataan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;surat pernyataan bersedia menjadi Warga Negara Indonesia dan melepaskan kewarganegaraan asalnya;fotokopi paspor atau surat yang bersifat paspor yang masih berlaku;surat keterangan dari perwakilan negara olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing yang diusulkan bahwa yang bersangkutan akan kehilangan kewarganegaraan yang dimilikinya setelah memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia; danfotokopi bukti capaian prestasi bagi olahragawan asing atau fotokopi sertifikat kompetensi bagi tenaga keolahragaan asing.\n\nLebih lanjut, permohonan yang masuk kemudian ditelaah dan diverifikasi melalui verifikasi dokumen administrasi dan tindakan lapangan.[14] Kemudian, dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak permohonan rekomendasi diterima secara lengkap, Menpora akan menerbitkan rekomendasi tersebut.[15] Sebagai informasi, berlaku paling lama 3 bulan sejak tanggal diterbitkan.[16]\n\nAdapun rekomendasi tersebut memuat:[17]\n\nnama olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing;nomor paspor olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing;kewarganegaraan asal olahragawan asing dan/atau tenaga keolahragaan asing; dankajian komprehensif hasil penelaahan dan verifikasi.\n\nBaca juga: Aturan tentang Pemain Sepak Bola Asing di Indonesia\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nPeraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 10 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi atas Usulan Pemberian Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Olahragawan Warga Negara Asing dan Tenaga Keolahragaan Warga Negara Asing\n\n[1] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Pemuda dan Olahraga Nomor 10 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pemberian Rekomendasi atas Usulan Pemberian Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Olahragawan Warga Negara Asing dan Tenaga Keolahragaan Warga Negara Asing (“Permenpora 10/2023”)[2] Pasal 4 ayat (1) Permenpora 10/2023[3] Pasal 4 ayat (2) Permenpora 10/2023[4] Pasal 4 ayat (3) Permenpora 10/2023[5] Pasal 1 angka 10 Permenpora 10/2023[6] Pasal 1 angka 11 Permenpora 10/2023[7] Pasal 5 ayat (1) Permenpora 10/2023[8] Pasal 5 ayat (2) Permenpora 10/2023[9] Pasal 4 ayat (1) Permenpora 10/2023[10] Pasal 6 ayat (1) jo. Pasal 7 Permenpora 10/2023  [11] Pasal 6 ayat (2) Permenpora 10/2023[12] Pasal 7 huruf a Permenpora 10/2023[13] Pasal 7 huruf b Permenpora 10/2023[14] Pasal 9 ayat (1) Permenpora 10/2023[15] Pasal 12 ayat (1) Permenpora 10/2023[16] Pasal 12 ayat (2) Permenpora 10/2023[17] Pasal 12 ayat (3) Permenpora 10/2023" }
{ "from": "human", "value": "Mau tanya nih, sehubungan resign-nya direktur utama dan belum ada perubahan akta pendiriannya soal surat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum ke salah satu karyawannya baiknya diberikan oleh siapa ya? Untuk melakukan perbuatan hukum (ex.: perjanjian sewa, kerjasama, dll.), biasanya saya yang tanda tangan perjanjian kan dapat kuasa dari dirut. Hanya sekarang kasusnya dirut sudah tidak mau tanda tangan lagi nih karena beliau telah resign. Nah baiknya kuasanya sementara dari siapa ya soalnya akta perusahaan sampai saat ini belum mengalami perubahan? Apakah saya bisa minta kuasa dari komisaris utama saja? Nah kalau kuasa dari komisaris utama, komisaris-komisaris lainnya masih perlu tanda tangan gak sebagai pemberi kuasa? Mohon pencerahannya nih soalnya ada perjanjian yang harus ditandatangani dalam waktu minggu ini, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam hal seorang Direksi mengundurkan diri, sesuai dengan ketentuan Pasal 107 huruf b UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) dalam anggaran dasar (“AD”) seharusnya sudah diatur mengenai tata cara pengisian jabatan anggota Direksi yang lowong. Selain itu, selama Perseroan belum mendapatkan pengganti yang akan mengisi posisi Direksi tersebut, tindakan pengurusan Perseroan yang seharusnya menjadi tanggung jawab Direksi, dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris untuk jangka waktu tertentu (lihat Pasal 118 ayat [1] UUPT ). KLINIK TERKAIT RUPS Tahunan Terlambat Diselenggarakan, Adakah Sanksinya? 04 Okt 2023 Perbedaan Dewan Direksi dan Direksi dalam UU PT 24 Jul 2023 Bisakah Komisaris Menunjuk Direksi Sementara Tanpa RUPS? 11 Jul 2023 Masa Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT 27 Apr 2023 Terhadap Dewan Komisaris yang untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan perseroan b erlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap Perseroan dan pihak ketiga (lihat Pasal 118 ayat [2] UUPT ) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Karena kewenangan Direksi berlaku untuk Dewan Komisaris yang menjalankan pengurusan Perseroan sementara karena belum ada Direksi pengganti, maka berlaku pulalah Pasal 130 UUPT yaitu, Di reksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Dengan demikian, Dewan Komisarislah yang kemudian akan memberikan surat kuasa kepada orang yang ditunjuk (dalam hal ini mungkin Anda) untuk menandatangani perjanjian-perjanjian dengan pihak ketiga. Sebenarnya, jika melihat pada ketentuan yang berlaku terhadap Komisaris dalam Pasal 108 ayat (4) UUPT disebutkan bahwa Dewan Komisaris yang terdiri atas lebih dari 1 (satu) orang anggota merupakan majelis dan setiap anggota Dewan Komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris. Merujuk pada ketentuan tersebut, dalam hal Dewan Komisaris kemudian menjalankan pengurusan perseroan sementara, Dewan Komisaris secara keseluruhanlah yang kemudian memberikan surat kuasa kepada orang yang ditunjuk mewakili perusahaan untuk menandatangani suatu perjanjian dengan pihak ketiga. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Apakah di Indonesia ada aturan yang mengatur tentang pemberian nama anak? Misalnya nama-nama yang dilarang digunakan untuk nama anak, seperti di luar negeri." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa nama merupakan hak anak yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan, sebagai berikut: Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia , Pasal 53 ayat (2) yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Status Pernikahan di Gereja Tanpa Didaftarkan 06 Agt 2012 Bermasalah Karena Diberi Marga Batak 25 Jul 2012 Masalah Pemakaian Nama Marga dalam Dokumen Kependudukan 14 Apr 2012 Ganti Nama 26 Agt 2010 “ Setiap anak sejak kelahirannya. berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.” Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”), Pasal 5 , yang berbunyi: “ Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian, mengenai hal yang Anda tanyakan, sepanjang pengetahuan kami, ketentuan hukum yang mengatur mengenai pemberian nama di Indonesia dapat ditemukan pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), Buku Kesatu Bab II Bagian ke-2 tentang Nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan,yaitu mulai Pasal 5a s.d. Pasal 12. Di dalam Pasal 5a KUHPer disebutkan bahwa: “ Anak sah serta anak tidak sah tetapi diakui oleh bapaknya, berhak menggunakan nama keturunan bapaknya. Jika anak tidak sah tidak diakui oleh bapaknya, maka memakai nama keturunan ibunya. ” Selain ketentuan tersebut, kami tidak dapat menemukan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai pemberian nama anak. Demikian pula, kami tidak dapat menemukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan tentang nama-nama yang dilarang digunakan untuk nama anak di Indonesia. Meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemberian nama anak, orang tua diharapkan tetap memperhatikan salah satu prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak sebagaimana diatur Pasal 2 huruf b UU Perlindungan Anak , yaitu kepentingan terbaik bagi anak. Lebih jauh, di dalam Penjelasan Umum UU Perlindungan Anak ditegaskan bahwa orang tua bertanggung jawab untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial . Berdasarkan hal itu, menurut hemat kami, orang tua punya tanggung jawab untuk memberikan nama yang terbaik bagi anak. Hal ini diharapkan dapat menimbulkan kepercayaan diri kepada anak, sehingga anak dapat mengembangkan segala potensi dan bakat yang dimilikinya semaksimal mungkin. Pada sisi lain, hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemberian nama anak adalah soal pencantuman nama marga. Pembahasan mengenai hal ini Anda dapat simak di dalam artikel-artikel berikut: - Masalah Pemakaian Nama Marga dalam Dokumen Kependudukan - Bermasalah Karena Diberi Marga Batak Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek ) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak uu perlindungan anak" }
{ "from": "human", "value": "Adakah aturan untuk memberikan nama terhadap jalan raya (protokol)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai peraturan penamaan jalan, masih menggunakan peraturan daerah masing-masing. Sebagaimana pernah diulas dalam artikel yang berjudul Aturan Penamaan Jalan di Indonesia Tak Seragam , Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Jimly Asshiddiqie mengatakan pola penamaan jalan di seluruh Indonesia saat ini belum jelas sehingga kerap dilakukan dengan cara berbeda-beda. KLINIK TERKAIT Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan 08 Mei 2023 Hukumnya Pakai Nama Jalan yang Sama untuk Warung Makan 05 Sep 2022 Bolehkah Menerobos Lampu Merah dalam Keadaan Darurat? 19 Agt 2016 Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi 15 Agt 2013 Lebih lanjut, Jimly mengatakan bahwa di seluruh Indonesia, tak ada pola aturan dalam penamaan jalan. Di beberapa daerah hal tersebut bergantung pada wali kota. Di tempat lain ditentukan oleh gubernur. Dan ada juga yang harus memperoleh izin dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terlebih dahulu. Mengenai hal ini dapat kita lihat dari adanya beberapa peraturan di daerah yang mengatur mengenai penamaan jalan, antara lain: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Nama Jalan dan Fasilitas Umum Tertentu; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang No. 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Penomoran Bangunan; 3. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 2 Tahun 2010 tentang Nama Jalan dan Sarana Umum; 4. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur No. 1 Tahun 2010 tentang Penamaan Jalan dan Penomoran Bangunan; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 15 Tahun 2012 tentang Nama-Nama Jalan Dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat. Sedangkan untuk di Jakarta, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Nama Jalan, Pahlawan, dan Tokoh Hukum , s ecara umum, pemberian nama jalan di DKI Jakarta diatur dalam Keputusan Gubernur No. 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta . Dalam artikel tersebut, Maulizar, Kabag Litbang Hukum dan Kerjasama Pemprov DKI Jakarta, mengatakan bahwa penabalan nama seseorang menjadi nama jalan bisa atas usulan perseorangan, kelompok organisasi, atau inisiatif Pemda sendiri. Yang pasti, permohonan itu diajukan secara tertulis ditujukan kepada Gubernur. Usulan itu akan dinilai oleh tim yang disebut Badan Pertimbangan Pemberian Nama Jalan, Taman, dan Bangunan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Badan Pertimbangan Pemberian Nama Jalan, Taman, dan Bangunan ini akan melihat pada nilai ketokohan, kepahlawanan atau jasa-jasa orang diusulkan. Sebagian tokoh hukum misalnya, sudah diabadikan namanya di Jakarta sejak 1966 setelah Pemda mengantongi izin dari ahli waris. Penetapan nama jalan juga didasarkan pada sifat promosi nama yang dipilih, mudah dikenal masyarakat, dan tidak bertentangan dengan kesopanan dan ketertiban umum. Sebagai contoh adalah Penetapan nama Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung di Kawasan Mega Kuningan Kota Administrasi Jakarta Selatan berdasarkan Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 227/2012 (“Keputusan Gubernur DKI”). Dalam konsiderans “menimbang” Keputusan Gubernur DKI tersebut antara lain disebutkan bahwa: “ b. bahwa dalam rangka menghormati jasa kepahlawanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan , perlu mensosialisasikan seluas-luasnya kepada masyarakat dengan tujuan memasyarakatkan keteladanan dan menumbuhkan semangat kepahlawanan dan kepatriotan demi kemajuan dan kejayaan bangsa dan negara; c. bahwa Penamaan Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung di Kawasan Mega Kuningan sebagai pengganti nama Jalan Mega Kuningan dan Jalan Lingkar Mega Kuningan dianggap sudah sesuai, mengingat jalan tersebut merupakan areal utama dan banyak dilalui masyarakat serta hampir di semua jalan di sekitar Jalan Mega Kuningan sudah mendapat Penamaan Bali, seperti Jalan Denpasar, Jalan Ubud, Jalan Kintamani, Jalan Klungkung, Jalan Karang Asem dan Jalan Besakih. d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c serta berdasarkan hasil penelitian administrasi dan peninjauan lapangan terhadap surat permohonan Yayasan Sekar Manggis tanggal 2 November 2009 dan tanggal 19 Juli 2010 dan rekomendasi dari Walikota Jakarta Selatan tanggal 22 Agustus 2011 Nomor 737/1.792.1, perlu menetapkan Keputusan Gubernur tentang Penetapan nama Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung di Kawasan Mega Kuningan Kota Administrasi Jakarta Selatan .” Adapun DR. Ide Anak Agung Gde Agung telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional sebagai Pejuang Kemerdekaan Dalam Bidang Diplomasi berdasarkan Keputusan Presiden 066/TK/2007 tanggal 6 November. Jadi, pada dasarnya mengenai penamaan jalan, diatur oleh masing-masing daerah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Keputusan Presiden 066/TK/2007 tentang Pengangkatan Gekar Pahlawan Nasional atas nama DR. Ide Anak Agung Gde Agung yang Merupakan Pahlawan Nasional sebagai Pejuang Kemerdekaan Dalam Bidang Diplomasi 2. Keputusan Gubernur No. 28 Tahun 1999 tentang Pedoman Penetapan Nama Jalan, Tanah dan Bangunan Umum di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 3. Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur No. 1 Tahun 2010 Tentang Penamaan Jalan Dan Penomoran Bangunan; 4. Peraturan Daerah Kota Banjarmasin No. 2 Tahun 2010 tentang Nama Jalan Dan Sarana Umum; 5. Peraturan Daerah Kabupaten Bangka Barat No. 7 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Nama Jalan Dan Fasilitas Umum Tertentu; 6. Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang No. 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Penamaan Jalan dan Penomoran Bangunan; 7. Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat No. 15 Tahun 2012 tentang Nama-Nama Jalan Dalam Wilayah Kabupaten Kutai Barat. 8. Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta No. 227/2012 tentang Penetapan nama Jalan DR. Ide Anak Agung Gde Agung di Kawasan Mega Kuningan Kota Administrasi Jakarta Selatan pahlawan nasional" }
{ "from": "human", "value": "Kenapa dalam pemberian nama suatu perusahaan tidak boleh sama walaupun domisili antara PT yang satu dengan PT yang lain berbeda?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Bingung Cari Nama PT yang Bagus? Simak Aturannya 20 Jul 2022 Jika Nama Perusahaan Sama dengan Perusahaan Lain 19 Sep 2017 Apakah Perubahan Data Perseroan Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara? 18 Agt 2017 Haruskah Mengubah Nama PT yang Berbahasa Asing ke Bahasa Indonesia? 03 Agt 2017 Terima kasih atas pertanyaan Saudara, Nama suatu perseroan terbatas (“PT”) tidak boleh sama dengan nama PT lain, walaupun domisili antara kedua PT tersebut berbeda karena hal itu dilarang peraturan perundang-undangan. Larangan tersebut diatur dalam PP No. 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“ PP 43/2011 “). Dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b PP 43/2011 disebutkan antara lain bahwa: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ (1) Nama Perseroan yang diajukan harus memenuhi persyaratan: b. belum dipakai secara sah oleh Perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan Nama Perseroan lain. ” Apabila terjadi kesamaan nama antara PT yang didaftarkan dengan PT yang telah terdaftar, maka Menteri menolak pendaftaran PT tersebut sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP 43/2011 . Pengajuan tersebut, menurut Pasal 3 ayat (3) PP 43/2011 , diajukan secara elektronik melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) Selain itu, nama suatu PT akan terkait antara lain pada dua faktor berikut: · Citra Perusahaan Citra suatu perusahaan terkait erat dengan nama perusahaan tersebut, apabila terdapat lebih dari satu perusahaan yang terdaftar dengan nama yang sama maka akan timbul kebingungan di masyarakat mengenai citra perusahaan tersebut. Jika satu perusahaan yang memiliki nama tersebut mengalami suatu gugatan hukum atau melakukan kesalahan maka perusahaan lain yang bernama sama akan terkena imbasnya. · Domisili Perusahaan Dalam dunia perusahaan seringkali satu perusahaan memiliki lebih dari satu domisili. Sehingga perbedaan domisili perusahaan bukanlah pembenaran atas penggunaan nama perusahaan yang sama dengan perusahaan pihak lain. DASAR HUKUM: Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hal pengusaha memberikan surat peringatan untuk karyawan, dapatkah surat peringatan 1, 2 dan 3 tersebut diberikan dalam rentang waktu 3 hari berturut-turut, sesuai dengan urutan peringatan yang diberikan? Surat peringatan karyawan itu pula yang dijadikan alasan oleh pengusaha melakukan PHK sepihak dan tanpa pesangon. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "SP adalah suatu bentuk pembinaan perusahaan kepada karyawan sebelum menjatuhkan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) terhadap karyawannya yaitu berupa surat peringatan kesatu, kedua dan ketiga, demikian antara lain yang dikatakan oleh Pengacara Publik LBH Jakarta, Maruli Tua dalam artikel Bank Bukopin Pecat Pengurus Serikat Pekerja.\nPemberian surat peringatan karyawan dan kriteria karyawan yang mendapatkan surat peringatan diatur dalam Pasal 81 angka 42 Perppu Cipta Kerja  yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf k UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:\n\n1. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:\n\nk. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\nBerdasarkan ketentuan di atas, menjawab pertanyaan Anda, pemberian surat peringatan untuk karyawan dapat dilakukan secara berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing paling lama 6 bulan, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nDengan demikian, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dapat mengatur masa berlaku SP yang lebih singkat maupun lebih lama dari 6 bulan.\n\nAdapun yang dimaksud dengan masa berlaku 6 bulan adalah, jika seandainya seorang pekerja melakukan pelanggaran, lalu diberikan SP pertama, kemudian pekerja kembali melakukan pelanggaran dalam masa berlaku tersebut, pengusaha dapat memberikan SP kedua, yang juga berlaku selama 6 bulan.\n\nSelanjutnya jika pekerja tetap melakukan pelanggaran dalam masa berlaku SP kedua, pengusaha dapat menerbitkan SP ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 bulan. Apabila dalam kurun waktu itu, pekerja kembali melakukan pelanggaran, maka ini dapat dijadikan sebagai alasan terjadinya PHK.\nAkan tetapi, dalam hal jangka waktu 6 bulan sejak diterbitkannya SP pertama sudah terlampaui, pekerja melakukan kembali pelanggaran, maka surat peringatan yang diterbitkan pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga.\nMenjawab pertanyaan Anda, ini artinya skenario yang Anda sebutkan dalam pertanyaan bisa saja terjadi jika pekerja terus melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama setiap kali diberi SP. Hal ini berarti, pekerja tersebut melakukan paling tidak 3 kali pelanggaran dalam jangka waktu 3 hari berturut-turut.\n\nLalu menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, apakah surat peringatan harus ditandatangani karyawan? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan yang menyebutkan SP harus ditandatangani karyawan. Melainkan yang diatur adalah ketentuan pemberian SP pertama hingga ketiga.\nProsedur PHK\n\nMengenai PHK, pekerja, serikat pekerja, pengusaha, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK.[1] Kalaupun PHK tak bisa dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan pengusaha kepada pekerja dan/atau serikat pekerja[2] dalam bentuk surat pemberitahuan dan disampaikan secara sah dan patut maksimal 14 hari kerja sebelum PHK.[3]\nJika pekerja telah diberitahu dan tidak menolak PHK, pengusaha harus melaporkan PHK tersebut kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.[4]\n\nAdapun apabila pekerja yang bersangkutan menolak PHK, maka ia harus membuat surat penolakan disertai alasan maksimal 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan.[5]\n\nDalam hal terjadi perbedaan pendapat mengenai PHK, penyelesaian PHK wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja dan/atau serikat pekerja.[6]\n\nNamun jika perundingan bipartit tidak mencapai kesepakatan, PHK dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[7]\nHak Pekerja yang di-PHK akibat Melakukan Pelanggaran Setelah Diberi SP\n\nMengenai pekerja yang mengalami PHK karena telah diberikan SP sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, sebagai berikut:[8]\n\nuang pesangon sebesar 0,5 kali ketentuan pesangon;uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) sebesar 1 kali ketentuan UPMK; danuang penggantian hak (“UPH”) sesuai ketentuan.\n\nKetentuan besaran uang pesangon bergantung pada masa kerja pekerja yang bersangkutan, yaitu:[9]\n\nmasa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.\n\nAdapun ketentuan besaran UPMK ialah sebagai berikut:[10]\n\nmasa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah; danmasa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.\nSedangkan UPH yang seharusnya diterima meliputi:[11]\n\ncuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja; danhal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.\n\n[1] Pasal 81 angka 40 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 40 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 37 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)[4] Pasal 38 PP 35/2021[5] Pasal 39 ayat (1) PP 35/2021[6] Pasal 81 angka 40 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 39 ayat (2) PP 35/2021[7] Pasal 81 angka 40 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (4) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 39 ayat (3) PP 35/2021[8] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[9] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021[10] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021[11] Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana jika seorang notaris memberi selamat kepada sahabatnya yang baru saja mendapatkan gelar doktor, dengan cara memberikan karangan bunga disertai nama dan jabatannya sebagai notaris? Apakah hal ini melanggar kode etik notaris?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Adi Condro Bawono, S.H., M.H. dan pernah dipublikasikan pad a Jumat, 09 Desember 2011. Intisari : Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris mengatur bahwa notaris dilarang melakukan publikasi atau promosi diri , baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya , menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk iklan, ucapan selamat , ucapan belasungkawa, ucapan terima kasih, kegiatan pemasaran, atau kegiatan sponsor (baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga). Akan tetapi , bila ucapan selamat, ucapan berduka cita dengan mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga atau media lainnya hanya memuat namanya saja tanpa jabatan Notaris, hal tersebut diperbolehkan. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penggunaan Nama Notaris Notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UUJN”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 (“UU 2/2014”) . Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. [1] Mengenai penggunaan nama Notaris, berdasarkan UU 2/2014, nama Notaris digunakan pada cap atau stempel Notaris [2] dan pada awal atau kepala akta. [3] Begitu pula ketentuan penggunaan nama Notaris yang diatur dalam Kode Etik Notaris . Yang diatur adalah nama Notaris digunakan pada papan nama di depan/di lingkungan kantor Notaris tersebut. [4] Aturan Pemberian Ucapan Selamat oleh Notaris Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai bolehkah notaris memberi selamat kepada sahabatnya yang baru saja mendapatkan gelar doktor, Pasal 4 angka 3 Kode Etik Notaris menyatakan bahwa notaris dan orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris dilarang melakukan publikasi atau promosi diri , baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya , menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk: Iklan; Ucapan Selamat ; Ucapan belasungkawa; Ucapan terima kasih; Kegiatan pemasaran; Kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olahraga. Akan tetapi, bila ucapan selamat, ucapan berduka cita dengan mempergunakan kartu ucapan, surat, karangan bunga atau media lainnya hanya memuat namanya saja tanpa jabatan Notaris, hal tersebut diperbolehkan. [5] Jadi, pengaturan Kode Etik Notaris sudah memberikan batasan yang jelas mengenai seorang notaris yang hendak memberikan ucapan selamat menggunakan karangan bunga, yaitu hanya diperbolehkan selama tidak disertai dengan pencantuman jabatannya sebagai notaris, melainkan hanya menggunakan nama pribadinya saja. Apabila pemberian karangan bunga tersebut mencantumkan nama dan jabatan seorang notaris, maka notaris tersebut dianggap telah melanggar kode etik notaris. Sebagai aturan penggunaan nama notaris ini selengkapnya Anda dapat simak dalam artikel Penggunaan Nama Notaris/PPAT untuk Nama Badan Usaha . Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Kode Etik Notaris [1] Pasal 1 angka 1 UU 2/2014 [2] Pasal 16 ayat (1) huruf l UU 2/2014 [3] Pasal 38 ayat (2) hurud d UU 2/2014 [4] Pasal 3 angka 9 Kode Etik Notaris [5] Pasal 5 angka 1 Kode Etik Notaris hukumonline google ppat profesi hukum hukum klinik promosi doktor klinik hukumonline notaris pejabat pembuat akta tanah" }
{ "from": "human", "value": "Saya memiliki saham di PT. A, terindikasi direksi dan komisaris bermain mata untuk keuntungan mereka sendiri. Menurut pasal 146 UU PT pemegang saham dapat mengajukan pembubaran PT atas dasar Perseroan tidak dapat dilanjutkan. Apa sebaiknya langkah-langkah hukum yang logis dan sebaiknya saya tempuh?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pada pertanyaan Saudara, kami akan jelaskan terlebih dahulu bahwa sebab-sebab pembubaran suatu Perseroan Terbatas (“PT”) diatur dalam Pasal 142 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) antara lain: KLINIK TERKAIT Apakah Perubahan Data Perseroan Diumumkan dalam Tambahan Berita Negara? 18 Agt 2017 Langkah Hukum Pemegang Saham Jika Laporan Keuangan Direkayasa 06 Nov 2012 Penggunaan Nama PT yang Telah Bubar 13 Jul 2012 Membeli Rumah Sakit yang Berbentuk Yayasan 11 Jul 2012 a. berdasarkan keputusan RUPS; b. karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. berdasarkan penetapan pengadilan; d. dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; e. karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau f. karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, sebab-sebab pembubaran suatu PT adalah seperti yang telah disebutkan. Saudara kemudian menanyakan mengenai Pasal 146 UUPT . Bunyi lengkap dari Pasal 146 UUPT adalah: (1) Pengadilan negeri dapat membubarkan Perseroan atas: a. permohonan kejaksaan berdasarkan alasan Perseroan melanggar kepentingan umum atau Perseroan melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundangundangan; b. permohonan pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan adanya cacat hukum dalam akta pendirian; c. permohonan pemegang saham , Direksi atau Dewan Komisaris berdasarkan alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan . (2) Dalam penetapan pengadilan ditetapkan juga penunjukan likuidator. Berdasarkan Pasal 146 UUPT, pemegang saham memang dapat membubarkan PT dengan cara mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri dengan alasan PT tidak mungkin untuk dilanjutkan. Lantas, apa yang dimaksud dengan “tidak mungkin untuk dilanjutkan”? Di dalam penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UUPT disebutkan bahwa: Yang dimaksud dengan “alasan Perseroan tidak mungkin untuk dilanjutkan”, antara lain: a. Perseroan tidak melakukan kegiatan usaha (non-aktif) selama 3 (tiga) tahun atau lebih, yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan yang disampaikan kepada instansi pajak; b. dalam hal sebagian besar pemegang saham sudah tidak diketahui alamatnya walaupun telah dipanggil melalui iklan dalam Surat Kabar sehingga tidak dapat diadakan RUPS; c. dalam hal perimbangan pemilikan saham dalam Perseroan demikian rupa sehingga RUPS tidak dapat mengambil keputusan yang sah, misalnya 2 (dua) kubu pemegang saham memiliki masing-masing 50% (lima puluh persen) saham; atau d. kekayaan Perseroan telah berkurang demikian rupa sehingga dengan kekayaan yang ada Perseroan tidak mungkin lagi melanjutkan kegiatan usahanya. Jadi, demikianlah alasan-alasan yang dapat dimohonkan oleh pemegang saham kepada pengadilan negeri untuk membubarkan PT. Alasan bahwa Direksi dan Dewan Komisaris yang “bermain mata” untuk keuntungan mereka sendiri, bukan alasan untuk dapat dimohonkan pembubaran PT ke pengadilan negeri. Jika Saudara ingin tetap membubarkan PT, kami sarankan agar dilakukan dengan cara keputusan RUPS. Agar dapat memprakarsai suatu RUPS pembubaran PT, pemegang saham harus memiliki saham minimal 10% (lihat Pasal 144 ayat [1] UUPT ). Di sisi lain, sebagai pemegang saham Saudara berhak mengajukan gugatan terhadap tindakan direksi dan atau Dewan Komisaris yang merugikan pemegan saham. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 61 UUPT yang berbunyi: (1) Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. (2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas" }
{ "from": "human", "value": "Apakah boleh polisi mengadakan razia kendaraan di malam hari tanpa ada plang pengumuman dan tanda lampu kuning di lokasi razia, dan apakah ada aturan atau undang-undangnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Sanksi STNK Mati: Dari Denda Hingga Motor Disita Polisi 05 Sep 2023 Opsi Bagi Pelanggar yang Tidak Bisa Hadiri Sidang Tilang 10 Apr 2013 Ukuran Ban Tidak Sesuai Keluaran Pabrik, Bisakah Ditilang? 27 Mar 2013 Razia atau pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”). Dalam Pasal 3 PP 80 /2012 disebutkan bahwa pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan meliputi pemeriksaan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, atau Tanda Coba Kendaraan Bermotor b. tanda bukti lulus uji bagi kendaraan wajib uji c. fisik Kendaraan Bermotor d. daya angkut dan/atau cara pengangkutan barang dan/atau e. izin penyelenggaraan angkutan Kemudian, dalam Pasal 10 PP 80/2012 disebutkan bahwa pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan yang dilakukan oleh Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia secara berkala atau insidental . Mengenai pemeriksaan kendaraan bermotor di malam hari, maka kita berpedoman pada ketentuan Pasal 22 PP 80/2012 yang berbunyi: (1) Pada tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan , kecuali tertangkap tangan (2) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan (3) Pemeriksaan yang dilakukan pada jalur jalan yang memiliki lajur lalu lintas dua arah yang berlawanan dan hanya dibatasi oleh marka jalan, ditempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum dan sesudah tempat pemeriksaan (4) Tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan (5) Dalam hal Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan pada malam hari, petugas wajib: a. menempatkan tanda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) b. memasang lampu isyarat bercahaya kuning dan c. memakai rompi yang memantulkan cahaya. Dengan demikian, jika pemeriksaan kendaraan bermotor seperti dalam pertanyaan Anda dilakukan oleh petugas kepolisian yang tidak menempatkan tanda/plang pengumuman yang menunjukkan adanya pemeriksaan kendaraan bermotor, tidak memasang lampu isyarat bercahaya kuning, dan tidak memakai rompi yang memantulkan cahaya, maka pemeriksaan kendaraan yang dilakukan polisi tersebut tidak sah secara hukum. Polisi sebagai petugas yang melakukan penindakan pelanggaran lalu lintas harus pula menaati tata cara pemeriksaan kendaraan sesuai aturan yang berlaku (simak juga artikel Jika Pemeriksaan Kendaraan Dilakukan Polisi Tanpa Surat Perintah ). Akan tetapi, dalam hal tertangkap tangan seperti yang disebutkan dalam Pasal 22 ayat (1) PP 80/2012 , tempat pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan tidak wajib dilengkapi tanda adanya pemeriksaan kendaraan bermotor. Yang dimaksud tertangkap tangan dalam pemeriksaan secara insidental yaitu terjadi pelanggaran yang terlihat secara kasat indera atau tertangkap oleh alat penegakan hukum secara elektronik. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2. Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan uu lalu lintas" }
{ "from": "human", "value": "Dalam kondisi pandemi seperti ini, bagaimana pemeriksaan saksi dalam sidang perdata (perceraian) jika para saksi tersebut berada di luar negeri, apakah bisa dilakukan pemeriksaan secara daring (online)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Saksi dalam Perkara Perdata KLINIK TERKAIT Pelaksanaan E-Court dalam Pengadilan dan Manfaatnya 22 Feb 2023 Langkah-langkah Memohon Judicial Review UU ke MK 15 Jun 2021 Tata Cara Sidang Pidana Secara Elektronik 26 Okt 2020 Implementasi Asas Sidang Terbuka untuk Umum di Masa Pandemi 13 Okt 2020 Saksi merupakan salah satu alat bukti, yang keterangannya dibutuhkan untuk keperluan proses pembuktian di muka hakim dalam suatu perkara di persidangan. Dalam perkara perdata, terdapat ketentuan mengenai orang-orang tertentu yang dilarang atau tidak boleh didengar sebagai saksi dalam persidangan sebagaimana ketentuan Pasal 145 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) , Pasal 172 Rechtreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) dan Pasal 1910 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang masing-masing berbunyi : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal 145 HIR Sebagai saksi tidak dapat didengar: keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus; istri atau laki dari salah satu pihak, meskipun sudah ada perceraian; anak-anak yang tidak diketahui benar apa sudah cukup umurnya lima belas tahun; orang gila, meskipun ia terkadang - kadang mempunyai ingatan terang. Pasal 172 RBg Tidak boleh didengar sebagai saksi adalah mereka: yang mempunyai hubungan kekeluargaan dalam garis lurus karena sedarah atau karena perkawinan dengan salah satu pihak; saudara-saudara lelaki atau perempuan dari ibu dan anak-anak dari saudara perempuan di daerah Bengkulu, Sumatera Barat dan Tapanuli sepanjang hukum waris di sana mengikuti ketentuan-ketentuan Melayu; suami atau istri salah satu pihak, juga setelah mereka bercerai; anak-anak yang belum dapat dipastikan sudah berumur lima belas tahun; orang gila, meskipun ia kadang-kadang dapat menggunakan pikirannya dengan baik. Pasal 1910 KUH Perdata Anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis lurus, dianggap tidak cakap untuk menjadi saksi ; begitu pula suami atau isterinya, sekalipun setelah perceraian. Namun demikian anggota keluarga sedarah dan semenda cakap untuk menjadi saksi: dalam perkara mengenai kedudukan keperdataan salah satu pihak; dalam perkara mengenai nafkah yang harus dibayar menurut Buku Kesatu, termasuk biaya pemeliharaan dan pendidikan seorang anak belum dewasa; dalam suatu pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang dapat menyebabkan pembebasan atau pemecatan dari kekuasaan orang tua atau perwalian; dalam perkara mengenai suatu perjanjian kerja. Dalam perkara-perkara ini, mereka yang disebutkan dalam Pasal 1909 nomor 1 dan 2, tidak berhak untuk minta dibebaskan dan kewajiban memberikan kesaksian. Sehingga, orang-orang tersebut tidak dapat diterima keterangannya sebagai saksi dalam perkara perdata. Pemeriksaan Saksi di Masa Pandemi Di tengah mewabahnya COVID-19 saat ini, pelayanan terhadap masyarakat pencari keadilan memerlukan penanganan yang extra , di samping harus memenuhi protokol kesehatan, waktu, biaya dan diberlakukannya pembatasan keluar masuk daerah turut menjadi kendala. Pengunaan sistem teleconference sebagai solusi atau alternatif dalam rangkaian persidangan sudah berlangsung cukup lama. Perkembangan dari kecanggihan internet saat ini juga dapat digunakan sebagai media dilaksanakannya suatu persidangan, sehingga persidangan dapat tetap berjalan tanpa penundaan meskipun masih dalam kondisi wabah COVID-19. Selain itu, tuntutan perkembangan zaman juga mengharuskan adanya pelayanan administrasi perkara dan persidangan di pengadilan yang lebih efektif dan efisien. Oleh karenanya, pemeriksaan saksi menggunakan teleconference (persidangan secara elektronik) ini termasuk bentuk pelayanan kepada masyarakat pencari keadilan pengadilan, termasuk dalam perkara perceraian. Merujuk kepada Pasal 1 angka 7 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik (“Perma 1/2019”) , persidangan secara elektronik adalah serangkaian proses memeriksa dan mengadili perkara oleh Pengadilan yang dilaksanakan dengan dukungan teknologi informasi dan komunikasi. Kemudan, Pasal 4 Perma 1/2019 menyatakan: Pengadilan secara elektronik dalam peraturan ini berlaku untuk proses persidangan dengan acara penyampaian gugatan/permohonan/keberatan, bantahan/perlawanan/ intervensi beserta perubahannya, jawaban, replik, duplik, pembuktian , kesimpulan dan pengucapan putusan/penetapan. Kemudian, khusus mengenai pemeriksaan saksi, hal ini diatur dalam Pasal 24 Perma 1/2019 yang berbunyi: Dalam hal disepakati oleh para pihak, persidangan pembuktian dengan acara pemeriksaan keterangan saksi dan/atau ahli dapat dilaksanakan secara jarak jauh melalui media komunikasi audio visual yang memungkinkan semua pihak dapat berpartisipasi dalam persidangan. Persidangan secara elektronik sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan infrasruktur pada pengadilan. Segala biaya yang timbul dari persidangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada Penggugat. Dengan demikian, jelas bahwa dalam pemeriksaan saksi dalam sidang perdata (termasuk perceraian), jika para saksi tersebut berada di luar negeri, dapat saja dilakukan pemeriksaan secara daring melalui media komunikasi audio visual seperti teleconference . Pihak penggugat/pemohon dan atau tergugat/termohon dapat menyampaikan permintaan pemeriksaan saksi-saksi yang akan dilakukan secara daring tersebut kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara agar dapat dipertimbangkan serta disepakati oleh para pihak dan diatur waktunya agar saksi yang ada di luar negeri dapat menyesuaikan waktu persidangan, mengingat ada perbedaan waktu di wilayah tertentu dengan di Indonesia. Sehingga nantinya proses persidangan/pemeriksaan saksi dapat berjalan dengan lancar. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Herzien Inlandsch Reglement Rechtreglement voor de Buitengewesten Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik sidang online sidang elektronik acara peradilan pembuktian hukumonline keterangan saksi acara perdata klinik hir kuh perdata rbg" }
{ "from": "human", "value": "Beberapa waktu lalu sempat viral fotokopi KK jadi bungkus gorengan. Saya ingin menanyakan, apakah sebenarnya jika kita mengirim berkas fotokopi seperti KK, KTP, akta kelahiran, dan lain-lain itu ada kewajiban bagi lembaga yang menerimanya untuk menghancurkan fotokopi itu jika sudah tidak terpakai? Adakah dasar hukumnya? Sebab, sungguh meresahkan sekali jika fotokopi dokumen penting ini beredar luas dan malah jadi bungkus gorengan." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hati-hati Menjaga Dokumen Kependudukan Masyarakat dan instansi-instansi terkait harus lebih berhati-hati menjaga kerahasiaan data pribadi, termasuk data-data yang termuat di antaranya di dalam Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) dan Kartu Keluarga (“KK”). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan KTP elektronik (“KTP-el”) adalah KTP yang dilengkapi cip yang merupakan identitas resmi penduduk sebagai bukti diri yang diterbitkan oleh instansi pelaksana (Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (“Disdukcapil”) Kabupaten/Kota). [1] Sedangkan KK adalah kartu identitas keluarga yang memuat data tentang nama, susunan dan hubungan dalam keluarga, serta identitas anggota keluarga. [2] Oleh karena itu, sebaiknya masyarakat tidak mengunggah dokumen kependudukan di media sosial. Di sisi lain, kepada lembaga atau instansi yang masih memerlukan fotokopi dokumen kependudukan seperti KTP-el atau KK sebagai persyaratan pelayanan, agar segera dimusnahkan dengan mesin penghancur dokumen bila tidak terpakai lagi. Menyikapi postingan viral beberapa waktu lalu di mana seorang warganet mengunggah foto berisi fotokopi KTP-el dan KK yang jadi kertas pembungkus makanan, hal ini berbahaya sebab nantinya fotokopi tersebut berpotensi dimanfaatkan atau disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Pemusnahan Dokumen Adapun sebenarnya Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri telah mengatur agar berkas fotokopi KTP-el dan KK itu tidak tercecer dan digunakan untuk hal yang tidak sepatutnya, khususnya dalam konteks pendokumentasian administrasi kependudukan oleh Disdukcapil Kabupaten/Kota dan Provinsi. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) dan (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 104 Tahun 2019 tentang Pendokumentasian Administrasi Kependudukan (“Permendagri 104/2019”) yang menyebutkan: (1) Penyusutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, dilakukan untuk: mengurangi volume dokumen yang frekuensi penggunaannya sudah menurun/berkurang atau sudah tidak berlaku; dan mengurangi biaya pemeliharaan. (3) Penyusutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan cara: pemindahan dokumen; dan pemusnahan dokumen. Yang melaksanakan pemusnahan dokumen sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas adalah Disdukcapil Kabupaten/Kota berdasarkan hasil penilaian yang dilengkapi dengan berita acara pemusnahan dokumen. [3] Sehingga, diharapkan agar seluruh Disdukcapil menerapkan aturan tersebut. Selain itu, jika ada dokumen yang tidak valid yang disebabkan karena gagal encode, rusak, gagal cetak, atau perubahan elemen data, dokumen itu dimusnahkan setiap hari dengan cara dibakar dan dilengkapi dengan berita acara pemusnahan dokumen tidak valid. [4] Jadi patut dicatat, pendokumentasian berkas permohonan layanan disimpan dan diarsipkan untuk kemudian dimusnahkan jika sudah masuk masa retensinya . Untuk berkas manual, bagi Disdukcapil dimohon agar dokumentasi dikonversikan ke dalam bentuk digital sebelum dimusnahkan. Untuk memusnahkannya, agar dibentuk tim dan dibuatkan berita acaranya. Selain itu, guna menjaga kerahasiaan data pribadi dalam dokumen kependudukan, hendaknya: Lakukan pemusnahan dokumen kependudukan jika sudah tidak terpakai lagi; Jangan mengunggah dokumen kependudukan di media sosial atau internet, sehingga bisa dilihat oleh publik; Instansi atau lembaga yang membutuhkan dokumen kependudukan sebagai syarat verifikasi atau pendaftaran hendaknya menggunakan card reader (alat baca KTP-el) atau menggunakan hak akses verifikasi data kerja sama dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 104 Tahun 2019 tentang Pendokumentasian Administrasi Kependudukan [1] Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) [2] Pasal 1 angka 13 UU 24/2013 [3] Pasal 9 ayat (5) Permendagri 104/2019 [4] Pasal 15 Permendagri 104/2019 data pribadi hukumonline lembaga pemerintah dirjen dukcapil klinik" }
{ "from": "human", "value": "Di perusahaan kami terdapat robot, dimana sebagai safety saat robot itu berjalan terdapat musik yang berbunyi agar orang di sekitar robot tersebut dapat berhati-hati dan menghindari. Selama bertahun-tahun musik pada robot tidak ada perubahan dan masih bawaan dari originalnya. Saat ini kami ingin me-refresh musik yang ada, agar karyawan dapat lebih berhati-hati kembali. Dan kami ingin menggunakan misalkan theme song opening Mario Bross. Apakah terkait hal ini ada permasalah dengan concern intellectual property? Bagaimana rule-nya terkait hal tersebut? Untuk memastikan tidak ada pelanggaran di kemudian hari. Mohon support untuk pengecekan theme song opening Mario Bross ini, apakah tidak masalah jika digunakan untuk robot tersebut sebagai poin safety." }
{ "from": "gpt", "value": "Theme song opening suatu gim dapat dikategorikan sebagai suatu karya atau ciptaan musik yang dilindungi. Menurut Pasal 11 Konvensi Berne yang telah diratifikasi atau disahkan oleh Indonesia melalui Keppres 18/1997, karya musik merupakan karya yang dilindungi. Adapun hak eksklusif pencipta atas suatu karya musik tersebut yaitu berupa penampilan ciptaan (karya) di publik dan komunikasi ciptaan kepada publik.\n\nHal ini juga diatur di dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta bahwa lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks adalah ciptaan yang dilindungi.\nDalam konteks pertanyaan Anda mengenai theme song Mario Bros., musik atau theme song pada gim tersebut merupakan kekayaan intelektual yang dilindungi dan hak cipta atasnya dimiliki/dipegang oleh Nintendo.[1]\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengasumsikan bahwa pencipta dan pemegang hak cipta atas theme song tersebut adalah warga negara atau perusahaan asing. Lantas, hukum hak cipta manakah yang digunakan dalam hal ini?\nPertama, perlu Anda perhatikan mengenai tiga prinsip dasar yang dianut di dalam Konvensi Berne, yaitu:[2]\n\nPrinsip National Treatment\n\nCiptaan yang berasal dari salah satu negara peserta perjanjian (yaitu ciptaan dari seorang warga negara, negara peserta perjanjian, atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan di salah satu negara peserta perjanjian) harus mendapat pelindungan hukum hak cipta sama seperti diperoleh ciptaan seorang pencipta warga negara sendiri.\n\nPrinsip Automatic Protection\n\nPelindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apapun.\n\nPrinsip Independence of Protection\n\nPelindungan hukum hak cipta diberikan kepada pencipta berkewarganegaraan asing, tanpa harus bergantung kepada pengaturan pelindungan hukum hak cipta negara asal pencipta.\n\nKedua, di dalam Pasal 2 huruf c UU Hak Cipta diatur bahwa UU Hak Cipta berlaku terhadap semua ciptaan dan/atau produk hak terkait dan pengguna ciptaan dan/atau produk hak terkait bukan warga negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, dan bukan badan hukum Indonesia dengan ketentuan:\n\nnegaranya mempunyai perjanjian bilateral dengan negara Republik Indonesia mengenai pelindungan hak cipta dan hak terkait; ataunegaranya dan negara Republik Indonesia merupakan pihak atau peserta dalam perjanjian multilateral yang sama mengenai pelindungan hak cipta dan hak terkait.\n\nDengan demikian, meskipun pencipta dan pemegang hak cipta theme song tersebut bukanlah warga negara atau badan hukum Indonesia, namun apabila ciptaan tersebut digunakan di Indonesia, maka tunduk pada hukum hak cipta Indonesia, sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 2 huruf c UU Hak Cipta.\n\nLebih lanjut, kami mengasumsikan bahwa perusahaan gim yang memiliki hak cipta atas theme song yang Anda maksud mempunyai perjanjian bilateral dengan Indonesia atau menjadi negara pihak dalam perjanjian multilateral mengenai pelindungan hak cipta, misalnya Konvensi Berne. Oleh karenanya, kami akan menggunakan UU Hak Cipta Indonesia dan peraturan pelaksananya untuk mengulas pertanyaan Anda.\nAturan Penggunaan Theme Song Gim\n\nLantas, bagaimana aturan penggunaan theme song suatu gim tersebut? Sebelumnya, perlu kami sampaikan bahwa hak cipta adalah hak eksklusif pencipta atas suatu ciptaan yang terdiri atas hak ekonomi dan hak moral.[3] Berikut ulasannya.\n\nHak Ekonomi\nHak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.[4] Adapun, bentuk-bentuk hak ekonomi adalah:[5]\n\npenerbitan ciptaan;penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;penerjemahan ciptaan;pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;pendistribusian ciptaan atau salinannya;pertunjukan ciptaan;pengumuman ciptaan;komunikasi ciptaan; danpenyewaan ciptaan.\n\nKemudian, pada dasarnya, setiap orang termasuk perusahaan yang melaksanakan hak ekonomi atas suatu ciptaan tersebut wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.[6] Pertanyaannya, apakah penggunaan theme song gim untuk mengisi sound robot pada perusahaan Anda termasuk ke dalam pelaksanaan hak ekonomi?\n\nMenurut hemat kami, memutar theme song gim dalam robot di perusahaan Anda termasuk ke dalam pengumuman ciptaan, yaitu pembacaan, penyiaran, pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.[7] Dengan demikian, penggunaan theme song gim tersebut harus mendapatkan izin dari pemegang hak cipta.\n\nLebih lanjut, dalam PP 56/2021 diatur bahwa penggunaan lagu atau musik di lokasi layanan publik yang bersifat komersial harus membayarkan royalti. Penjelasan selengkapnya dapat Anda baca pada Pemerintah Mengatur Lebih Lanjut Ketentuan Mengenai Pengelolaan Royalti Lagu dan Musik.\n\nAdapun, bentuk layanan publik yang bersifat komersial tersebut salah satunya meliputi bank dan kantor.[8] Dalam hal ini, perusahaan Anda menurut hemat kami dapat dikategorikan sebagai kantor, yaitu balai (gedung, rumah, ruang) tempat mengurus suatu pekerjaan (perusahaan dan sebagainya); tempat bekerja.\n\nKemudian, royalti atas lagu dan/atau musik tersebut dibayarkan kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”).[9] Besaran royalti yang harus dibayarkan kantor atau perusahaan yang menggunakan lagu dan/atau musik tersebut adalah sebesar Rp6 ribu per meter persegi setiap tahun.[10]\n\nSelain membayarkan royalti, setiap orang dapat menggunakan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan mengajukan permohonan lisensi kepada pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait melalui LMKN.[11]\n\nBaca juga: Memahami Aturan Main Royalti Hak Cipta Lagu dan Musik\n\nHak Moral\nDi samping hak ekonomi, terdapat hak moral yaitu hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:[12]\n\ntetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;menggunakan nama aliasnya atau samarannya;mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;mengubah judul dan anak judul ciptaan; danmempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.\n\nLalu, penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan secara seluruh atau sebagian yang substansial merupakan pelanggaran hak cipta kecuali memenuhi ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta.\n\nArtinya, penggunaan suatu ciptaan berupa theme song gim hendaklah tidak dilakukan modifikasi atau pengubahan tanpa izin dari pencipta atau untuk keperluan sebagaimana diatur di dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta.\n\nDengan demikian, penggunaan theme song gim pada robot di perusahaan Anda haruslah mendapatkan izin berupa lisensi dari pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait dan membayarkan royalti melalui LMKN. Selain itu, penggunaan theme song tersebut hendaknya tidak dilakukan dengan mengubah atau memodifikasi lagu dan musik tanpa izin dari pencipta.\n\nMenurut hemat kami, Anda dapat berkonsultasi lebih lanjut kepada LMKN mengenai izin/lisensi dan pembayaran royalti penggunaan theme song gim tersebut. Selain itu, Anda bisa mendapatkan informasi melalui laman Lisensi untuk Bisnis dan Komersil LMKN.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5460681737444/undang-undang-nomor-28-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_hak_cipta)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt606bfe9bcc9b2/peraturan-pemerintah-nomor-56-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_56_2021)\n3. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt627b5fc07172c/peraturan-menteri-hukum-dan-hak-asasi-manusia-nomor-9-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_9_2022)\n4. [Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works](Data Kepolisian /pusatdata/detail/11646/keputusan-presiden-nomor-18-tahun-1997?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=keppres_18_1997)\n5. [Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu](https://www.lmkn.id/wp-content/uploads/2021/04/SK-Menteri-Tarif-Royalti-Musik-Lagu-untuk-Pengguna-1.pdf)\nREFERENSI:\n1. Eddy Damian. Hukum Hak Cipta. Edisi VI. Bandung: PT. Alumni, 2022\n2. FAQ Intellectual Property and Piracy, yang diakses pada Kamis, 11 Januari 2024 pukul 23.01 WIB\n3. Kamus Besar Bahasa Indonesia, kantor, yang diakses pada Jumat, 12 Januari 2024 pukul 11.01 WIB\n4. Lisensi untuk Bisnis dan Komersil LMKN, yang diakses pada Jumat, 12 Januari 2024 pukul 11.07 WIB.\n\n[1] FAQ Intellectual Property and Piracy, yang diakses pada Kamis, 11 Januari 2024 pukul 23.01 WIB.[2] Eddy Damian. Hukum Hak Cipta. Edisi VI. Bandung: PT. Alumni, 2022, hal. 56[3] Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”)[4] Pasal 8 UU Hak Cipta[5] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta[6] Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta[7] Pasal 1 angka 11 UU Hak Cipta[8] Pasal 3 ayat (2) huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”)[9] Pasal 3 ayat (1) PP 56/2021[10] Pasal 1 ayat (5) Lampiran Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu mengenai Keputusan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional tentang Tarif Royalti untuk Nada Tunggu Telepon, Bank dan Kantor[11] Pasal 37 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik[12] Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta" }
{ "from": "human", "value": "Dear hukumonline, Saya ingin bertanya, jika ada suatu perusahaan luar negeri yang bergerak di bidang fashion (merek ternama) ingin melakukan penanaman modal dan membuka toko penjualan di Indonesia (Jakarta), bagaimanakah caranya? Apakah mengenai bidang fashion tersebut diatur dalam DNI, misalnya apakah termasuk dalam jenis perdagangan besar atau direct selling? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan S audara mengenai I ndustri F ashion , dapat kami sampaikan bahwa pada dasarnya tidak terdapat definisi yang jelas mengenai arti dari kata “ fashion ”. F ashion sendiri berasal dari Bahasa Inggris yang menurut Oxford Dictionary Online diartikan sebagai: “a popular or the latest style of clothing, hair, decoration, or behavior .” Terjemahan bebasnya: “ Populer atau gaya mode terbaru/kini akan pakaian, rambut, r iasan, atau perilaku .” Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa fashion merupakan suatu cara berpakaian/berbusana beserta asesorisnya yang dapat menentukan penampilan seseorang. Namun, hal tersebut di atas tidak juga menjelaskan mengenai klasifikasi atas Industri Fashion itu sendiri. KLINIK TERKAIT Bolehkah Menanam Modal Asing untuk Bidang Usaha di Luar DNI? 26 Jul 2018 Bisakah PT PMA Mendirikan Perusahaan Outsourcing? 17 Feb 2012 Status Anak Perusahaan dari PT yang Beralih Jadi PMA 07 Feb 2012 Prosedur Penanaman Modal Asing di Bidang Restoran 09 Jan 2012 Sehubungan dengan pertanyaan saudara tersebut, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 131/M-IND/PER/10/2009 t entang Peta Panduan ( Road Map ) Pengembangan Klaster Industri Fashion (“ Permendag 131 ”), menjelaskan mengenai Industri Fashion . Dalam Permendag 131 terdapat 10 klasifikasi jenis usaha yang termasuk dalam kategori Industri Fashion, yaitu: (a) Industri Bordir/Sulaman (KBLI 17293); Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (b) Industri Pakaian Jadi Rajutan (KBLI 17302); (c) Industri Pakaian Jadi dari Tekstil dan Perlengkapannya (KBLI 18101); (d) Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dan Perlengkapannya dari Kulit (KBLI 18102); (e) Industri Bulu Tiruan (KBLI 18201); (f) Industri Pakaian Jadi/Barang Jadi dari Kulit Berbulu dan atau Aksesoris (KBLI 18202); (g) Industri Pencelupan Bulu (18203); (h) Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Pribadi (KBLI 19121); (i) Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Teknik/ Industri (KBLI 19122); (j) Industri Alas Kaki untuk Keperluan Sehari-hari (KBLI 19201). Merujuk hal di atas, mengenai Industri Fashion sangat luas cakupannya. Atas hal ini, maka kami berasumsi bahwa Industri Fashion yang S audara maksudkan untuk didirikan adalah Industri Pakaian Jadi dari Tekstil dan Perlengkapannya, sebagaimana Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“ KBLI 2005 ”) dengan Nomor Kode Klasifikasi/Kategori bidang usaha 18101. Namun , Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tersebut di atas telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 t entang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“ KBLI 2009 ”) dan berkenaan terdapatnya perubahan tersebut maka bidang usaha tersebut di atas masuk ke dalam Klasifikasi/Kategori bidang usaha dengan Nomor Kode 47511 dan Nomor 4771. Penanaman Modal Asing (“PMA”) Untuk Industri Fashion Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (\" UU 25/2007 \") , khususnya pada Pasal 5 a yat (2) yang menyatakan bahwa suatu PMA wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas ( “ PT ” ) berdasarkan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“ UUPT ”). Berkenaan hal tersebut , maka suatu PMA harus berbentuk badan hukum, dalam hal ini PT. Selanjutnya, mengenai cara pendirian PT PMA, sebagaimana diatur dalam UU 25/2007, khususnya pada Pasal 12 ayat (1) , bahwa tidak seluruh bidang usaha di Indonesia terbuka untuk penanam an modal asing. Terdapat sektor-sektor bidang usaha tertentu berdasarkan UU 25/2007 termasuk dalam bidang usaha atau jenis usaha tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Mengenai hal ini diatur dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (\" Perpres 36/2010 \"), atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi ( Negative List ) (“ DNI ”). Walaupun pada kenyataan Industri Fashion tidak secara rinci dinyatakan dalam DNI akan tetapi dapat kami jelaskan lebih lanjut bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 t entang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal (“ PerBKPM 12/2009 ”) jo Pasal 12 ayat (1) UU 25/2007 , yang menyatakan bahwa segala bidang usaha dapat/terbuka untuk PMA sepanjang bidang usaha tersebut tidak termasuk dalam bidang usaha tertutup, yaitu: Pasal 10 ayat (1) : Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang penetapannya diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 12 ayat (1) : a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Sesuai dengan Perpres 36/2010 bahwa bidang usaha yang S audara maksud bergerak dalam bidang perdagangan, yang mana berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa BKPM memperkenankan bagi setiap PMA untuk membuka bidang usaha perdagangan, namun hanya sebatas membuka bidang usaha perdagangan retail. Dan sepanjang persyaratan mengenai toko yang akan dibuka oleh PMA mempunyai luas bersih, lebih besar dari 2000 m2 . Namun berkenaan modal PT PMA, sejak 2012 BKPM telah membuat kebijakan yaitu nilai investasi PT PMA harus lebih besar dari Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh m il i ar r upiah) dengan minimum modal yang disetor setara dengan USD 250,000 (dua ratus lima puluh ribu Dollar Amerika Serikat). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Industri Fashion tertutup bagi PMA yang tidak termasuk/tergolong dalam bidang usaha perdagangan retail dan juga tidak memiliki toko dengan luas kurang dari 2000 m 2. Setelah dilakukannya pemeriksaan mengenai bidang usaha sebagaimana dimaksud di atas, maka langkah selanjutnya adalah melakukan pendirian PT PMA, hal pertama kali yang patut Saudara lakukan adalah mengajukan aplikasi kepada Badan Kordinasi Penanaman Modal (“ BKPM ”), yaitu dengan mengisi formulir aplikasi yang telah ditentukan dalam Lampiran I PerBKPM 12/ 2009 . Berikut kami paparkan proses pembuatan PT PMA: A. Melengkapi identitas PT yang akan didirikan pada Notaris, yang meliputi: Nama perusahaan; Kota sebagai tempat domisili usaha/perusahaan Jumlah modal; Nama pemegang saham dan persentase modal; Susunan Direksi dan Komisaris. B. Pengajuan permohonan PT PMA pada BKPM (Lampiran I, PerBKPM 12/2009) , dengan melampirkan dokumen-dokumen berikut: 1. Photocopy Paspor Warga Negara Asing (KTP WNI apabila ikut pemegang saham) 2. Surat Kuasa ( Power of Attorney ) untuk mengajukan PT PMA dan menghadap ke Notaris; 3. Rekaman Anggaran Dasar ( Article of Association ) PMA dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah; 4. Surat Kuasa asli bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan PT PMA di BKPM yang tidak dilakukan secara langsung oleh pemohon/Direksi perusahaan (di - Waarmerking oleh Notaris Indonesia); 5. Permohonan Pendaftaran ditandatangani di atas meterai cukup oleh seluruh pemohon (bila perusahaan belum berbadan hukum) atau oleh direksi perusahaan (bila perusahaan sudah berbadan hukum). Catatan: untuk angka 2 (dua) dan 3 (tiga)  dokumen - dokumen tersebut wajib dilegalisasi oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (“ KBRI ”) pada negara asal PMA. Sebagai tambahan catatan, berdasarkan Pasal 16 ayat (3) PerBKPM 12/09 , PMA yang telah memiliki pendaftaran PMA dari BKPM selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkan pendafataran PMA wajib untuk merealisasikan pembentukan badan hukum dan bilamana dalam jangka waktu dimaksud, PMA tersebut belum juga membentuk suatu badan hukum (PT) maka pendaftaran PMA yang dimiliki batal demi hukum. C. Pendirian PT Bahwa, setelah didapatkannya pendaftaran PMA dari BKPM dimaksud maka proses dilanjutkan kepada pembuatan akta pendirian PT, dan se suai ketentuan Pasal 7 ayat (4) UUPT yang mensyaratkan suatu PT memperoleh status badan hukum pada saat tanggal diterbitkannya keputusan menteri mengenai pengesahan PT dan untuk mendirikan suatu PT wajib berdasarkan UUPT, yang mana syarat dalam mendirikan PT adalah sebagai berikut: 1. Memiliki minimal 2 (dua) pemegang saham. 2. Memiliki modal dasar minimal Rp 50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah), yang paling sedikit 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal dasar tersebut telah ditempatkan dan disetor penuh pada saat pendirian; 3. Setiap pendiri wajib mengambil bagian saham; 4. Didirikan dengan akta otentik (Notaris). Adapun PT memiliki suatu karakteristik, dalam hal ini terdapat pada pemisahan kekayaan para pemegang saham/pengurus PT dengan kekayaan badan usaha, sehingga para pemegang saham/pengurus PT hanya bertanggung jawab sebatas harta yang dimilikinya jika memang dalam melaksanakan/menjalankan PT didasarkan pada iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan, hal ini didasarkan pada Pasal 97 ayat (5) UUPT . Mengenai pembahasan lebih rinci mengenai karakteristik suatu badan usaha yang berbadan hukum dapat Anda lihat pada jawaban kami sebelumnya yaitu Jenis-jenis Badan Usaha dan Karakteristiknya . Selanjutnya, masuk ke dalam proses Pendirian PT PMA (setelah keluarnya, izin pendaftaran PMA dari BKPM) adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan Akta Pendirian Perseroan pada Notaris yang ditunjuk berdasarkan daerah asal domisili PT PMA (izin pendaftaran PMA dari BKPM dimaksud, akan memasukkannya dalam Akta Pendirian PT PMA); 2. Membuat Surat Keterangan Domisili Perusahaan (“ SKDP ”) pada kelurahan tempat PT PMA berkedudukan; 3. Membuat Nomor Pokok Wajib Pajak (“ NPWP ”) atas nama PT PMA dimaksud. Catatan: NPWP yang dibuat untuk PT. PMA harus NPWP khusus PT. PMA. Dan pada tahap ini dapat sekaligus mengurus Surat PKP (Pengusaha Kena Pajak) pada Kantor Pajak Pratam (“ KPP ”) khusus PMA tersebut. dan nantinya akan dilakukan survei/ tinjau lokasi perusahaan. 4. Pembukaan rekening atas nama PT PMA dan menyetorkan modal saham dalam bentuk uang tunai ke kas PT PMA Bukti setornya diserahkan kepada Notaris untuk kelengkapan permohonan pengesahan pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 5. Pengajuan Pengesahan Pendirian PT pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; 6. Pengumuman Anggaran Dasar Perseroan di Berita Negara. Izin Usaha Untuk Industri Fashion Setelah mendirikan PT PMA terdapat izin-izin pendukung untuk menjalankan kegiatan usaha Saudara. Adapun izin-izin tersebut, antara lain: 1. Surat Izin Usaha Perdagangan (“ SIUP ”); 2. Tanda Daftar Perseroan (“ TDP ”); 3. Ijin Undang-Undang Gangguan (“ HO ”); 4. Wajib Lapor Ketenagakerjaan ( UU No. 7 Tahun 1981 ); 5. Nomor Pengenal Importir Khusus Tekstil dan Produk Tekstil (“ NPIK TPT ”); 6. Rencana Impor Produk Tertentu untuk 1 tahun Rencana impor produk tertentu (jumlah, jenis barang, HS 10 digit dan pelabuhan tujuan) 7. Nomor Identitas Kepabeanan (“ NIK ”); 8. Angka Pengenal Importir Umum (“ API-U ”); 9. Importir Terdaftar (“ IT ”) Produk Tertentu - Pakaian Jadi; 10. Persetujuan dan/atau izin lain dari BKPM. Catatan: Mengenai izin-izin lain terkait PT PMA, lebih lanjut kami sanrankan agar S audara melihat bahasan mengenai Pendirian PT PMA . Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . 3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenaga Kerjaan di Perusahaan . 4. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.(lampiran:Daftar Negatif Investasi). 5. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal 6. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor: 131/M-IND/PER/10/2009 tentang Peta Panduan ( Road Map ) Pengembangan Klaster Industri Fashion. 7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah. 8. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor. 57/M-DAG/PER/12/2010 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. 9. Peraturan Menteri Perdagangan No 27 Tahun 2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Impor. 10. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. 11. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. 12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.04/2011 tentang Registrasi Kepabeanan. 13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.04/2007 tentang Registrasi Importir." }
{ "from": "human", "value": "Selamat siang Bapak/Ibu di tempat. Singkat saja, beberapa pertanyaan untuk pencerahan dan pemahaman hukum perdata bagi saya dan rekan-rekan. Proses pembelian properti antara developer/pengembang dan pembeli. 1. PPJB telah terjadi dan sepakat 2. Proses pembayaran bertahap 3. Pembeli kesulitan keuangan 4. Mengajukan proses kredit 5. Bank pemberi kredit bekerja sama dengan pengembang dan proses pengajuan kredit oleh pembeli disetujui. 6. Bank Mengajukan permintaan AJB, karena proses AJB belum dilaksanakan 7. Karena bank berkehendak AJB maka timbullah permasalahan tersebut. Permasalahan dan pertanyaannya adalah: 1. Pihak developer ingin dilakukan pembayaran AJB dan proses AJB menunggu kurang lebih 3 bulan kemudian setelah pembayaran AJB dan semua tunggakan terselesaikan; Apakah secara undang-undang dan hukum memang benar demikian? 2. Bank berkehendak pada saat akad kredit langsung dapat dilakukan AJB oleh notaris yang ditunjuk developer dan bank telah sepakat. Apakah hal ini dapat dilakukan? Pihak developer keberatan, dan memang prosedurnya adalah setelah pembayaran uang AJB diterima developer, maka baru proses AJB 3 bulan kemudian. Apakah benar notaris akan kena denda, bila transaksi pembayaran dipindah dari pembayaran bertahap ke developer menjadi kredit bank, tetapi AJB dilakukan terlebih dahulu? Mohon pencerahannya dan bantuannya, saya ucapkan banyak terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "1. Pada dasarnya, mekanisme kapan pelaksanaan penandatanganan Akta Jual Beli diatur di dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“ PPJB ”). Untuk hal tersebut, kami berasumsi bahwa antara Anda dengan developer (pengembang) telah melaksanakan PPJB, dan jual beli properti yang Anda maksud di sini adalah jual beli rumah. Dalam praktiknya, penandatanganan Akta Jual Beli (“ AJB ”) dilaksanakan apabila si pembeli telah melunasi seluruh harga pembelian atas rumah maupun unit rumah susun yang dibelinya. Hal ini sesuai dengan ketentuan AJB di dalam Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah (“ Kepmenpera ”), yang menyatakan bahwa AJB harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam hal: (i) bangunan rumah telah selesai dibangun dan siap dihuni; KLINIK TERKAIT Aturan Cuti Haid, Cuti Melahirkan, dan Cuti Keguguran 11 Jul 2024 Apakah Melepaskan Hak Milik atas Tanah Otomatis Jadi Tanah Negara? 16 Okt 2023 Aturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja dengan Persalinan Prematur 12 Apr 2023 Bisakah PHK Pekerja karena Alasan Sakit Jiwa? 24 Mar 2023 (ii) pembeli telah membayar lunas seluruh harga tanah dan bangunan rumah, serta pajak dan biaya-biaya lainnya yang terkait; dan (iii) proses permohonan Hak Guna Bangunan atas tanah telah selesai diproses, dan sertifikat Hak Guna Bangunan terdaftar atas nama penjual. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk hal ini, Anda dapat melihat ketentuan mengenai pelaksanaan AJB di dalam PPJB antara Anda dan developer . Tidak ada suatu pengaturan hukum yang menyatakan bahwa AJB dilakukan dalam waktu kurang lebih 3 (tiga) bulan sejak pembayaran administratif AJB dan pelunasan atas tunggakan-tunggakan terkait dengan jual beli tersebut. 2. Secara prinsip, bank yang memberikan Kredit Pemilikan Rumah (“KPR”) akan menggantikan posisi si pembeli untuk membayar pembelian rumah kepada penjual ( developer ). Dalam praktiknya, pelaksanaan akad KPR dengan pelaksanaan AJB dapat dilakukan secara bersamaan. Hal ini sesuai dengan kesepakatan antara bank terkait dengan developer tersebut. Terlebih dalam keterangan Anda, disebutkan bahwa bank tersebut memiliki kerja sama dengan developer . Namun, yang perlu diperhatikan adalah, apakah sertifikat tanah atas rumah Anda sudah dipisah/dipecahkan dari sertifikat tanah induk, sehingga setelah AJB selesai dilaksanakan tanah tersebut dapat langsung dijadikan jaminan melalui hak tanggungan oleh bank terkait. Hal ini perlu Anda konfirmasi terlebih dahulu kepada developer , karena kemungkinan mengapa developer menyatakan AJB dapat dilaksanakan kurang lebih 3 (tiga) bulan setelah tunggakan-tunggakan telah dipenuhi adalah karena sertifikat tanah atas rumah tersebut belum dipecahkan dari sertifikat tanah induk. Demikian jawaban ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja samanya, kami ucapkan terima kasih. Dasar hukum : Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan bagaimana legalitas makanan ringan yang dijual tidak mencantumkan kandungan gizi serta muatan komposisi bahan apa saja yang dipergunakan? Apa sanksi bagi produsen tersebut? Bahkan terkadang juga sering keripik olahan yang dikemas menjadi makanan ringan tidak mencantumkan tanggal pembuatan dan kedaluarsa." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Label Bahasa Indonesia Wajib Dicantumkan, Ini Dasarnya 27 Jun 2023 Menjual Makanan yang Mengandung Bahan Berbahaya, Ini Ancaman Pidananya 16 Sep 2021 Begini Aturan Sertifikasi Halal Produk Makanan 25 Nov 2020 Pidana Bagi Penjual Emas Jika Berat Emas Tidak Sesuai Timbangan Sebenarnya 30 Jan 2017 Intisari: Pangan atau makanan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan wajib dicantumkan label yang memuat keterangan mengenai makanan tersebut. Menurut UU Pangan, pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu Namun, ketentuan ini dikecualikan bagi perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (“UU Pangan”) . Pemberian Label Pangan Pada dasarnya, setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan. [1] Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi Pangan. [2] Informasi yang dimaksud adalah informasi terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi , dan keterangan lain yang diperlukan. [3] Selain itu, setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. [4] Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan mengenai: [5] a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu Keterangan pada label ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat. [6] Pangan yang Wajib Mencantumkan Label Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan . [7] Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan Pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. [8] Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pembinaan terhadap usaha mikro dan kecil agar secara bertahap mampu menerapkan ketentuan label. [9] Jadi, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pangan atau makanan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label yang memuat informasi antara lain mengenai daftar bahan yang digunakan, tanggal produksi, dan tanggal kedaluwarsa. Namun, ketentuan ini dikecualikan bagi perdagangan pangan yang dibungkus di hadapan pembeli. Larangan dan Sanksi Jika Tidak Mencantumkan Label Kewajiban dan larangan yang berkaitan dengan label makanan ini antara lain adalah: 1. Setiap orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang diedarkan. [10] 2. Setiap label pangan yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. [11] 3. Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada label. [12] Menjawab pertanyaan Anda, bagi setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan yang tidak mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan dapat dikenai sanksi administratif. [13] Sanksi administratif tersebut berupa: [14] a. denda; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; d. ganti rugi; dan/atau e. pencabutan izin Menurut UU Perlindungan Konsumena Lalu bagaimana sanksi pidananya? Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) juga mengatur larangan bagi pelaku usaha untuk memproduksi barang tanpa mencantumkan label dan tanggal kedaluwarsa. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan \"halal\" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi , aturan pakai, tanggal pembuatan , akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat ; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan(-ketentuan) di atas dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. [15] Contoh Kasus Sebagai contoh dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 310/Pid.Sus/2015/PN.Mpw , di mana terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana percobaan memperdagangkan gula yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa , atau jangka waktu penggunaan/pemanfaat yang paling baik atas barang tertentu, tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label, tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama, barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi , aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunggan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. Oleh karena itu, Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa tersebut selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan . PUTUSAN Putusan Pengadilan Negeri Mempawah Nomor 310/ Pid.Sus/2015/PN.Mpw . [1] Pasal 97 ayat (1) UU Pangan [2] Pasal 96 ayat (1) UU Pangan [3] Pasal 96 ayat (2) UU Pangan [4] Pasal 97 ayat (2) UU Pangan [5] Pasal 97 ayat (3) UU Pangan [6] Pasal 97 ayat (4) UU Pangan [7] Pasal 98 ayat (1) UU Pangan [8] Pasal 98 ayat (2) UU Pangan [9] Pasal 98 ayat (3) Pangan [10] Pasal 99 UU Pangan [11] Pasal 100 ayat (1) UU Pangan [12] Pasal 100 ayat (2) UU Pangan [13] Pasal 102 ayat (1) jo. Pasal 97 ayat (1) UU Pangan [14] Pasal 102 ayat (3) UU Pangan [15] Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen halal hukumonline pidana google kadaluarsa produk produsen konsumen bpom klinik hukum pengusaha klinik hukumonline kadaluwarsa perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah usaha rumahan seperti EO, wedding organizer, jasa cleaning service dan usaha sejenis harus mendaftarkan usahanya sebagai CV atau PT? 2. Dengan mendaftarkan usaha tersebut apakah keuntungan yang bisa diperoleh dari segi hukum? 3. Jika unit usaha sudah terdaftar, apakah ada pengaturan tentang pembayaran pajak? Misalnya harus mengenakan pajak kepada pelanggan sebesar sekian persen? 4. Bagaimana cara mendaftarkan merek/ logo/ slogan? Sebelum mendaftarkan usaha, apakan merek/ logo/ slogan yang dimiliki juga harus didaftarkan?" }
{ "from": "gpt", "value": "1. Sebagai seorang pengusaha, tentunya pertama-tama kita harus menentukan besarnya klasifikasi perusahaan yang akan kita buat. Jika berbentuk usaha rumahan, biasanya membentuk CV merupakan cara yang paling sederhana (karena cukup didaftarkan pada Pengadilan Negeri setempat) dengan biaya pendirian yang lebih murah serta tidak dibutuhkan modal minimum dalam pendiriannya. Alasan lain adalah CV relatif lebih murah dari sisi perpajakannya dibandingkan PT. Namun di sisi lain, karena CV bukan merupakan badan hukum, maka tanggung jawab dari CV tersebut masih tidak terbatas, terutama bagi Pesero Aktif yang bergelar Direktur. Pesero aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya. Hal lain yang perlu dipertimbangkan jika Anda mendirikan CV adalah: jika Anda akan mengikuti tender di pemerintahan. Karena banyak perusahaan besar dan BUMN yang sudah tidak mengizinkan CV sebagai peserta tender, karena bentuknya yang bukan badan hukum tersebut. 2. Perlu atau tidaknya Pendaftaran usaha KLINIK TERKAIT Berbisnis Toko Kelontong, Perlukah Izin Usaha? 05 Jul 2023 Badan Usaha Berbentuk UD dan PT, Apa Bedanya? 23 Mar 2021 SIUP Besar 16 Jul 2010 Inti plasma 18 Feb 2010 Seperti yang saya jelaskan sebelumnya pada poin 1, pada dasarnya semua bergantung pada kebutuhan usaha Anda. Tentunya jika memiliki suatu bentuk usaha, walaupun merupakan industri dengan skala rumahan, akan lebih mudah dalam hal suatu saat akan mengadakan kerja sama dengan pihak lain, mengikuti tender pada perusahaan-perusahaan besar, bertindak sebagai pemasok, supplier maupun pemborong pada berbagai sektor industri. Walaupun demikian, apabila skala perusahaan Anda memang termasuk dalam skala mikro, tidak diwajibkan untuk membentuk suatu usaha tertentu. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan . Jadi, sebenarnya untuk perusahaan kecil perorangan yang dijalankan sendiri oleh pemiliknya, atau hanya mempekerjakan anggota keluarganya sendiri, yang terdekat, serta tidak memerlukan izin dan bukan merupakan suatu badan hukum ataupun persekutuan, tidak wajib mendaftarkan usahanya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag 46/2009”), yaitu untuk perusahaan dengan skala mikro, tidak wajib untuk memiliki SIUP. Suatu usaha disebut sebagai perusahaan dengan skala mikro apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. usaha perseorangan atau persekutuan; 2. kegiatan usaha diurus, dijalankan, atau dikelola oleh pemiliknya atau anggota keluarga/kerabat terdekat; dan 3. memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Namun , dalam Pasal 4 ayat (2) Permendag 46/2009 juga diatur bahwa Perusahaan Perdagangan Mikro dapat diberikan SIUP Mikro, apabila dikehendaki yang bersangkutan. Sebagai catatan, mengenai pertanyaan pada poin 1 dan poin 2 tersebut di atas, bisa dibaca lebih jelasnya lagi di artikel saya: - Bentuk Usaha yang Dikecualikan dari Kewajiban Memiliki SIUP - Perubahan Klasifikasi SIUP 3. Jika usaha sudah terdaftar, apakah itu dalam bentuk CV atau PT atau bentuk lainnya maka perusahaan tersebut akan memiliki Nomor Pokok Wajib pajak (“NPWP”) atas nama perusahaan tersebut. Setelah memiliki NPWP, maka usaha tersebut berkewajiban untuk membuat laporan mengenai penghasilan yang diperolehnya secara berkala (tiap bulannya); walaupun misalnya pada bulan yang bersangkutan penghasilannya NIHIL. Untuk pengenaan pajak kepada konsumen, berarti usaha tersebut harus mengajukan  surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (“PKP”). Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN) 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Jika perputaran usaha Anda masih kurang dari Rp. 600 juta/tahun, sebenarnya tidak wajib memiliki PKP. Namun demikian, walaupun usaha Anda masih skala kecil atau perusahaan perorangan, Anda boleh saja mengajukan PKP, dan karenanya berhak untuk memungut PPN dan PPnBM (pajak penjualan atas barang mewah) atas setiap penjualan barang/jasa yang Anda lakukan. Sebagai konsekuensinya, jika memiliki PKP maka Anda harus membuat laporan bulanan secara berkala, jumlah PPN yang Anda pungut pada tiap bulannya. 4. Untuk pendaftaran merek/logo/slogan, saya kembalikan lagi kepada kebutuhan Anda. Kalau usaha Anda berupa suatu produk yang menjual suatu barang yang akan beredar luas di masyarakat, misalnya dalam bentuk makanan, minuman, fashion , aksesoris, handmade serta produk-produk lainnya, maka saya sarankan agar Anda mendaftarkan merek dagangan Anda. Hal ini untuk mencegah terjadinya suatu peniruan produk dengan menggunakan merek/logo yang sama dari pesaing. Atau misalnya ide Anda tiba-tiba di”curi” oleh orang lain, yang kemudian lebih dahulu mendaftarkan merek tersebut. Untuk prosedur pendaftaran merek/logo/slogan bisa dibaca di Klinik hukumonline ini, atau di artikel saya: Mendaftarkan Merek Dagang . Semoga penjelasan saya ini cukup jelas, dan selamat atas usaha baru Anda. Semoga senantiasa dalam berkah dan kesuksesan. Aamin! Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan 2. Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan." }
{ "from": "human", "value": "Saya pemegang merek asing dari suatu perusahaan asing dan saya juga ditunjuk sebagai distributor tunggal di Indonesia. Pertanyaan, apakah saya perlu mendaftarkan lagi merek asing tersebut mengingat di negaranya merek tersebut sudah didaftarkan? Kalaupun harus mendaftar ulang, lalu apakah saya harus melakukan pengecekan laboratorium lagi untuk formula dari barang tersebut di BPOM dan Depkes?" }
{ "from": "gpt", "value": "Perlindungan Hak Merek di Indonesia\n\nDari kondisi yang Anda sampaikan di atas, kami asumsikan Anda menerima hak untuk menggunakan merek dari suatu perusahaan asing pemegang hak atas merek di negaranya untuk dapat menggunakan merek tersebut di Indonesia.\nPerlu dipahami terlebih dahulu definisi dari hak atas merek sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5 UU MIG:\n\nHak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.\n\nPerlu Anda ketahui bahwa perlindungan hak atas merek adalah bersifat teritorial. Dengan demikian, apabila terhadap merek tersebut ingin diberikan perlindungan hukum di Indonesia maka merek tersebut harus didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Indonesia (“Ditjen KI”).\n\nPada dasarnya pendaftaran merek memberikan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 3 UU MIG yaitu:\n\nHak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar.\n\nJadi walaupun merek yang dimiliki oleh perusahaan asing tersebut telah terdaftar di negaranya, belum tentu merek tersebut telah terdaftar di Indonesia.\nPendaftaran Merek Internasional di Indonesia\n\nDalam perkembangannya, Indonesia telah resmi menjadi anggota Madrid Protocol yang disahkan melalui Perpres 92/2017 yaitu merupakan suatu perjanjian internasional yang mengatur tentang sistem administrasi pendaftaran merek secara internasional bagi para anggotanya.\n\nPada Pasal 52 ayat (1) UU MIG telah diatur juga mengenai permohonan pendaftaran merek internasional dapat berupa:\n\nPermohonan yang berasal dari Indonesia ditujukan ke biro internasional melalui Menteri Hukum dan HAM (“menteri”); atauPermohonan yang ditujukan ke Indonesia sebagai salah satu negara tujuan yang diterima oleh menteri dari biro internasional.\n\nLebih lanjut, dalam Pasal 10 PP 22/2018 mengatur prosedur pendaftaran merek internasional sebagai berikut:\n\nMenteri menerima pendaftaran internasional dari biro internasional.Setelah menerima pendaftaran internasional, menteri melakukan pengumuman.Pengumuman dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang.Terhadap pendaftaran internasional, menteri menerima biaya pendaftaran internasional dari biro internasional.\n\nSelanjutnya setelah merek tersebut didaftarkan, akan dilakukan pemeriksaan substantif.[1] Kemudian menteri menyampaikan hasil pemeriksaan substantif yang dapat berupa didaftar atau ditolak kepada biro internasional dalam jangka waktu paling lambat 18 bulan terhitung sejak tanggal pemberitahuan pendaftaran internasional.[2]\n\nDalam hal hasil pemeriksaan substantif pendaftaran internasional didaftar, menteri:[3]\n\nmenyampaikan pernyataan pemberian pelindungan kepada biro internasional;menerbitkan sertifikat merek; danmelakukan pengumuman di dalam berita resmi merek.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, menurut hemat kami, perusahaan asing yang memegang hak atas merek asing tersebut dapat mendaftarkan mereknya di Indonesia melalui cara pendaftaran internasional menurut Madrid Protocol sebagaimana dijelaskan di atas.\n\nKemudian, apabila produk yang hendak didaftarkan adalah merupakan produk makanan dan/atau obat-obatan, maka perlu didaftarkan juga ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (“BPOM”) untuk dilakukan pengkajian terlebih dahulu sebelum produk tersebut dapat diedarkan di Indonesia.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang prosedur pendaftaran merek internasional di Indonesia, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/undang-undang-nomor-20-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2016)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2017 tentang Pengesahan Protocol Relating to The Madrid Agreement Concerning The International Registration of Mark, 1989 (Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional, 1989)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt59e829c579c56/node/13/perpres-no-92-tahun-2017-pengesahan-protocol-relating-to-the-madrid-agreement-concerning-the-international-registration-of-mark,-1989-(protokol-terkait-dengan-persetujuan-madrid-mengenai-pendaftaran-merek-secara-internasional,-1989)?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=Perpres_92_2017)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b3eeb5b435ea/node/13/pp-no-22-tahun-2018-pendaftaran-merek-internasional-berdasarkan-protokol-terkait-dengan-persetujuan-madrid-mengenai-pendaftaran-merek-secara-internasional?PHPSESSID=f012t9i45sneagfa5nre9v8tu2?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_22_2018)\n[1] Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Merek Internasional Berdasarkan Protokol Terkait dengan Persetujuan Madrid Mengenai Pendaftaran Merek Secara Internasional (“PP 22/2018”)[2] Pasal 13 PP 22/2018[3] Pasal 14 PP 22/2018" }
{ "from": "human", "value": "Akhir-akhir ini seorang public figure transgender menjadi sorotan karena polisi bingung hendak memasukkannya ke sel tahanan mana. Kebingungan itu memang telah teratasi karena yang bersangkutan telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai perempuan. Namun, bagaimana jika transgender tersebut secara hukum masih laki-laki (belum ada penetapan pengadilan yang mensahkan)? Apakah ia dimasukkan ke sel laki-laki? Adakah upaya khusus untuk melindunginya dari pelecehan seksual?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebenarnya di Indonesia saat ini belum ada yang mengatur tentang penjara bagi seorang transgender. Akan tetapi jika secara hukum seorang transgender telah ditetapkan oleh pengadilan sebagai perempuan, maka petugas seharusnya memasukkan yang bersangkutan ke sel khusus perempuan. Perubahan jenis kelamin sendiri merupakan suatu peristiwa yang dimungkinkan oleh hukum. Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) menjelaskan bahwa: Pencatatan Peristiwa Penting lainnya dilakukan oleh Pejabat Pencatatan Sipil atas permintaan Penduduk yang bersangkutan setelah adanya penetapan pengadilan negeri yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Yang dimaksud dengan peristiwa penting lainnya adalah peristiwa yang ditetapkan oleh pengadilan negeri untuk dicatatkan pada instansi pelaksana, antara lain perubahan jenis kelamin . [1] Pencatatan tersebut paling lambat 30 hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan. [2] Jika menurut hukum jenis kelamin seorang transgender berstatus narapidana telah berganti menjadi perempuan, maka sudah sepantasnya yang bersangkutan ditempatkan di penjara perempuan. Demikian pula jika statusnya masih sebagai tahanan, maka yang bersangkutan ditempatkan di sel tahanan perempuan. Namun apabila seorang transgender masih laki-laki secara hukum, maka ia akan ditempatkan di penjara/sel tahanan laki-laki. Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel Penggolongan Penempatan Narapidana dalam Satu Sel LAPAS , penggolongan narapidana berdasarkan jenis kelamin hanya mengenal laki-laki dan perempuan . Untuk menghindari pelecehan seksual, menurut hemat kami, transgender yang secara hukum masih laki-laki sebaiknya terlebih dahulu ditempatkan di sel khusus dalam beberapa hari agar terjadi penyesuaian terlebih dahulu. Ia juga perlu mendapatkan pengawasan khusus, mengingat tujuan hukum pidana adalah pembinaan bukan balas dendam. Dengan dijalananinya proses hukum oleh yang bersangkutan, maka ia harus mendapatkan perlindungan dari pelecehan seksual. Bagaimanapun, ia merupakan warga negara. Walaupun nantinya putusan pengadilan menyatakan ia terbukti bersalah melakukan tindak pidana, akan tetapi hak-hak serta perlidungan hukum bagi seorang terpidana harus tetap diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan . [1] Penjelasan Pasal 56 ayat (1) UU Adminduk [2] Pasal 56 ayat (2) UU Adminduk penjara acara peradilan hukumonline hukum acara pidana acara pidana pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka dapat dikenakan wajib lapor di kepolisian?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wajib lapor kepada kepolisian merupakan salah satu syarat penangguhan penahanan dari bentuk penangguhan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“ KUHAP ”) yang berbunyi: KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika Diganggu Pria Beristri Lewat SMS dan Telepon 27 Jul 2021 Apakah Biaya Selama Penahanan Ditanggung Pihak Keluarga? 18 Jun 2012 Suami Ingin Menanggung Hukuman Pidana Istri 07 Jun 2012 Perbedaan Pidana Kurungan dengan Pidana Penjara 01 Jun 2012 Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan . Yang dimaksud dengan “syarat yang ditentukan”, menurut p enjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP , yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas · Wajib lapor; · Tidak keluar rumah; atau · Tidak keluar kota. Untuk lebih jelasnya, silakan baca artikel Syarat-Syarat Penangguhan Penahanan . Karena wajib lapor merupakan salah satu bentuk penangguhan penahanan, maka kita harus mengacu kepada pengaturan mengenai penahan itu sendiri. Pasal 21 KUHAP menyatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Berdasarkan ketentuan tersebut, wajib lapor hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa dan tidak dapat dikenakan terhadap seseorang yang belum ditetapkan sebagai tersangka. Demikian jawaban kami, semoga dapat menjawab pertanyaan Anda. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ." }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah konsumen pengguna jasa dapat menuntut ganti rugi apabila pesan yang dikirim melalui SMS tidak terkirim atau tidak diterima pihak lain, padahal pulsa kita tetap dipotong oleh penyedia jasa? 2. Jika tidak, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap masalah tersebut? Mohon pejelasannya, karena jika kita kalkulasi apabila hal tersebut sering terjadi dan tidak hanya satu konsumen saja yang mengalami hal tersebut, sudah tentu merupakan suatu masalah yang harus dicari pemecahannya, karena yang dirugikan tetap saja konsumen sebagai pengguna jasa. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "None" }
{ "from": "human", "value": "PT A akan melakukan akuisisi sebagian saham di PT B yang bergerak di Industri Pembuatan Logam Dasar Bukan Besi (KBLI 24202). Praktiknya perusahaan tersebut menjalankan industri penghasil tembaga. Pada salah satu anggaran dasar PT B tercantum \"Pemindahan Hak Atas Saham harus mendapatkan persetujuan dari instansi yang berwenang jika peraturan perundang-undangan mengatur demikian.\" Berkaitan dengan ini, di atur di mana dalam hal pengalihan saham di industri tembaga?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pengambilalihan atau yang dikenal dengan akuisisi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham PT yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas PT tersebut.[1]\n\nPengambilalihan dilakukan dengan cara pengambilalihan saham yang telah dikeluarkan dan/atau akan dikeluarkan oleh PT melalui direksi atau langsung dari pemegang saham.[2]\n\nDalam hal akuisisi dilakukan oleh badan hukum berbentuk PT, direksi sebelum melakukan perbuatan hukum akuisisi harus berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) yang memenuhi kuorum kehadiran dan ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS.[3]\n\nKetentuan RUPS untuk menyetujui pengambilalihan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan yang lebih besar.[4]\n\nDalam hal pengambilalihan dilakukan melalui direksi, pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya untuk melakukan pengambilalihan kepada direksi PT yang akan diambil alih.[5]\n\nKemudian direksi yang akan diambil alih dan PT yang akan mengambil alih dengan persetujuan dewan komisaris masing-masing menyusun rancangan pengambilalihan yang memuat sekurang-kurangnya:[6]\n\nnama dan tempat kedudukan dari PT yang akan mengambil alih dan PT yang akan diambil alih;alasan serta penjelasan direksi PT yang akan mengambil alih dan direksi PT yang akan diambil alih;laporan keuangan untuk tahun buku terakhir dari PT yang akan mengambil alih dan PT yang akan diambil alih;tata cara penilaian dan konversi saham dari PT yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran pengambilalihan dilakukan dengan saham;jumlah saham yang akan diambil alih;kesiapan pendanaan;neraca konsolidasi proforma PT yang akan mengambil alih setelah pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap pengambilalihan;cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan dari PT yang akan diambil alih;perkiraan jangka waktu pelaksanaan pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada direksi PT;rancangan perubahan anggaran dasar PT hasil pengambilalihan apabila ada.\n\nSelanjutnya direksi PT wajib mengumumkan ringkasan rancangan paling sedikit dalam satu surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari PT yang akan melakukan pengambilalihan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sebelum pemanggilan RUPS.[7]\n\nRancangan pengambilalihan yang telah disetujui RUPS dituangkan ke dalam akta pengambilalihan yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia.[8] Kemudian, salinan akta pengambilalihan wajib dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan anggaran dasar.[9]\n\nDireksi PT yang sahamnya diambilalih wajib mengumumkan hasil pengambilalihan tersebut dalam satu surat kabar atau lebih dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal berlakunya penggambilalihan.[10]\n\nBaca juga: Pemindahan Kepemilikan Perusahaan (Akuisisi) oleh Pemegang Saham\nPemindahan Hak Atas Saham\n\nSelanjutnya, kami akan menerangkan terkait pemindahan hak atas saham atau disebut juga dengan pengalihan saham. Pasal 55 UU PT menerangkan dalam anggaran dasar PT ditentukan cara pemindahan hak atas saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]\n\nAdapun pemindahan hak atas saham dilakukan dengan akta pemindahan hak yang dibuat di hadapan notaris maupun akta bawah tangan dan disampaikan secara tertulis kepada PT.[12]\n\nDireksi selanjutnya wajib mencatat pemindahan hak atas saham, tanggal, dan hari pemindahan hak tersebut dalam daftar pemegang saham atau daftar khusus memberitahukan perubahan susunan pemegang saham kepada Menteri Hukum dan HAM untuk dicatat dalam daftar PT paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal pencatatan pemindahan hak.[13]\n\nDalam anggaran dasar dapat diatur persyaratan pemindahan hak atas saham, yaitu: [14]\n\nkeharusan menawarkan terlebih dahulu kepada pemegang saham dengan klasifikasi tertentu atau pemegang saham lainnya;keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari organ perseroan; dan/atau keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nTerkait memerlukan persetujuan organ PT atau penolakannya harus diberikan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal organ PT menerima permintaan persetujuan pemindahan hak tersebut.[15]\n\nApabila jangka waktu persetujuan pemindahan hak atas saham telah lewat dan organ PT tidak memberikan pernyataan tertulis, organ PT dianggap menyetujui pemindahan hak atas saham tersebut.[16]\n\nDalam hal pemindahan hak atas saham disetujui oleh organ PT, pemindahan hak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal persetujuan diberikan.[17]\n\nDengan demikian, dapat dipahami bahwa akuisisi dan pemindahan hak atas saham memiliki tata cara yang berbeda. Singkatnya, akuisisi memerlukan akta pengambilalihan, sedangkan pemindahan hak atas saham memerlukan akta pemindahan hak.\nJika Akuisisi Langsung dari Pemegang Saham\n\nNamun perlu digarisbawahi, apabila pengambilalihan saham dilakukan langsung dari pemegang saham, ketentuan Pasal 125 ayat (5) dan (6) UU PT yaitu tahapan menyampaikan maksud melakukan pengambilalihan dan menyusun rancangan pengambilalihan tidak berlaku.[18]\n\nAdapun pengambilalihan saham langsung dari pemegang saham wajib memperhatikan ketentuan anggaran dasar PT yang diambilalih tentang pemindahan hak atas saham dan perjanjian yang dibuat oleh PT dengan pihak lain.[19]\n\nOleh karena itu, kami berpendapat akuisisi yang Anda tanyakan adalah langsung dari pemegang saham dengan diikuti pemindahan hak atas saham. Sehingga akuisisi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dan tetap memperhatikan anggaran dasar PT yang diakuisisi.[20]\nPemindahan Hak atas Saham Perusahaan Tambang Tembaga\nSebagaimana telah kami sebutkan di atas, persyaratan pemindahan hak atas saham dapat diatur dalam anggaran dasar, salah satunya adalah keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c UU PT.\n\nNamun terkait keharusan ini telah diterangkan lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) UU PT bahwa keharusan mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan adalah berkenaan dengan kewarisan. Adapun terkait kewarisan ini Anda dapat membaca lebih lanjut dalam artikel Prosedur Pemindahan Hak atas Saham karena Pewarisan.\n\nMeski demikian, mengingat Anda menyebutkan industri bergerak di bidang pembuatan logam dasar bukan besi yaitu tembaga sebagaimana disebut dalam KBLI 24202. Regulasi yang dirujuk adalah Permenperin 9/2021 yaitu perizinan berusaha berbasis risiko sektor perindustrian.[21] Hal ini sesuai Lampiran Permen ESDM 5/2021, KBLI 24202 tidak termasuk salah satu kegiatan usaha yang perizinannya masuk ke sektor mineral dan batubara.\n\nSehingga menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami dalam UU 3/2014 dan perubahannya, PP 107/2015, dan Permenperin 9/2021, tidak ada yang mengatur ketentuan khusus terkait persetujuan pengalihan saham industri penghasil tembaga. Dengan demikian, kami berpendapat jika hendak melakukan pengalihan saham industri penghasil tembaga tetap tunduk pada ketentuan UU PT dan perubahannya yang telah kami jelaskan sebelumnya.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_40_2007)\n2. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63a181790d/undang-undang-nomor-3-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2014)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2015 tentang Izin Usaha Industri](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt569ef9c74dd98/peraturan-pemerintah-nomor-107-tahun-2015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_107_2015)\n5. [Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60c040c8e9b53/peraturan-menteri-energi-dan-sumber-daya-mineral-nomor-5-tahun-2021/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permen_esdm_5_2021)\n6. [Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 9 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan/atau Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Perindustrian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60de8ac868d48/peraturan-menteri-perindustrian-nomor-9-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenperin_9_2021)\nREFERENSI:\n1. KBLI 24202, yang diakses pada 22 September 2022, pukul 10.00 WIB.\n\n[1] Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)[2] Pasal 125 ayat (1) UU PT[3] Pasal 125 ayat (4) UU PT[4] Pasal 89 ayat (1) UU PT[5] Pasal 125 ayat (5) UU PT[6] Pasal 125 ayat (6) UU PT[7] Pasal 127 ayat (2) UU PT[8] Pasal 128 ayat (1) UU PT[9] Pasal 131 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (3) UU PT[10] Pasal 133 UU PT[11] Pasal 55 UU PT[12] Pasal 56 ayat (1) dan (2) UU PT[13] Pasal 56 ayat (3) UU PT[14] Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU PT[15] Pasal 59 ayat (1) UU PT[16] Pasal 59 ayat (2) UU PT[17] Pasal 59 ayat (3) jo. Pasal 56 UU PT[18] Pasal 125 ayat (7) UU PT[19] Pasal 125 ayat (8) UU PT[20] Penjelasan Pasal 125 ayat (7) UU PT[21] Pasal 2 Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 9 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan/atau Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Perindustrian" }
{ "from": "human", "value": "Saya membaca berita katanya penelitian memprediksi 710 juta ton plastik akan mencemari lingkungan pada 2040. Untuk mengatasi hal itu, sudah adakah upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi atau mengelola limbah plastik? Mengingat saat ini pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk dan belum merata. Kemudian bagaimana dengan kebijakan impor sampah/limbah yang masih diperbolehkan guna bahan baku industri? Apakah sudah berjalan dengan baik atau justru malah menambah deretan permasalahan sampah/limbah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jenis Limbah yang Boleh Diimpor 25 Jan 2022 Bolehkah Konsep Geopark Dibangun di Taman Nasional Komodo? 28 Okt 2020 Obat Reject Sebagai Limbah B3 17 Jul 2020 Scrap Besi, Apakah Termasuk Limbah B3? 10 Jun 2020 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 1 Februari 2021. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pengurangan dan Penanganan Sampah Pertama-tama, perlu Anda ketahui, persoalan limbah berbahaya pada lingkup internasional, khususnya mengenai perdagangan limbah global diatur dalam Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal 1989 (“Konvensi Basel”) yang di Indonesia telah disahkan dengan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993 tentang Pengesahan Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal (“Perpres 61/1993”) . Sedangkan secara domestik, upaya Indonesia dalam pengurangan dan pengelolaan sampah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (“UU Pengelolaan Sampah”) . Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah . [1] Sampah yang dikelola berdasarkan UU Pengelolaan Sampah terdiri atas: [2] sampah rumah tangga , yaitu yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik; [3] sampah sejenis sampah rumah tangga , yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri , kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya; [4] dan sampah spesifik , yang meliputi sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, sampah yang mengandung limbah bahan berbahaya dan beracun, sampah yang timbul akibat bencana, puing bongkaran bangunan, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan/atau sampah yang timbul secara tidak periodik. [5] Kegiatan dalam pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga meliputi: [6] pembatasan timbulan sampah; pendauran ulang sampah; dan/atau pemanfaatan kembali sampah. Selain itu, UU Pengelolaan Sampah mengatur agar pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatan pengurangan sampah di atas menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. [7] Begitu pula untuk masyarakat. [8] Di sisi lain, pemerintah memberikan insentif kepada setiap orang yang melakukan pengurangan sampah dan disinsentif bagi yang tidak melakukan pengurangan sampah. [9] Sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi: [10] pemilahan : pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah; pengumpulan : pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu; pengangkutan : membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir; pengolahan : mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah; dan/atau pemrosesan akhir sampah : pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Lebih lanjut, untuk pengelolaan sampah spesifik menjadi tanggung jawab pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik . [11] Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, pengaturan yang telah kami jelaskan di atas merupakan bentuk upaya pemerintah dalam mengurangi dan mengelola sampah, termasuk sampah plastik. Kebijakan Impor Limbah Non B3 Menyambung pertanyaan Anda, pada dasarnya impor sampah tidak diperkenankan menurut Pasal 29 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah yang berbunyi: Setiap orang dilarang : memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; mengimpor sampah ; … Selain itu, diatur juga dalam Pasal 22 angka 24 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 69 ayat (1) huruf b, c dan d Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan larangan memasukkan bahan berbahaya dan beracun (“B3”), limbah, dan limbah B3 ke wilayah Indonesia. Meski demikian, benar berdasarkan pernyataan Anda, dahulu impor limbah tertentu diperbolehkan sebagai bahan baku industri, hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Nonbahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri dan perubahannya, namun kini telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor (“Permendag 20/2021”) . Meski telah dicabut keberlakuannya, limbah non B3 sebagai bahan baku industri termasuk barang yang dapat diimpor dalam keadaan tidak baru . Limbah non B3 adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan berupa sisa, skrap, atau reja yang tidak termasuk dalam klasifikasi atau kategori limbah B3 . Di antaranya terdiri dari berbagai kelompok berikut: [12] Kelompok kertas; Kelompok logam; Kelompok plastik; Kelompok karet; Kelompok tekstil dan produk tekstil; dan Kelompok kaca. Masing-masing kelompok memiliki rincian persyaratan impor sendiri yang dapat Anda lihat dalam Lampiran III Permendag 20/2021 . Tantangan dan Permasalahan Impor Limbah Plastik Menjawab pertanyaan Anda terkait implementasi kebijakan impor limbah ini, ada tantangan yang harus diselesaikan yaitu hasil impor limbah plastik yang telah dilakukan sebelum kebijakan yang kami jelaskan di atas dibuat. Tidak hanya itu, verifikasi dan penanganan limbah non B3 yang telah diimpor perlu diatur secara lebih detail dan rigid, sehingga tidak ada pelanggaran yang menyebabkan kerusakan lingkungan akibat impor limbah tersebut. Dalam praktik, pelaksanaan impor limbah sebagai bahan baku industri masih menuai permasalahan di lapangan . Pelanggaran dengan modus penyelundupan limbah B3 lintas negara, pemalsuan dokumen dan mencampurkan limbah B3 ke dalam limbah lainnya masih terjadi. Di sisi lain, kebijakan impor limbah masih belum komprehensif dan tegas dalam mengatur limbah seperti apa yang diperbolehkan dan tidak . Seyogianya kebijakan impor limbah mengatur terperinci mengenai jenis, tingkatan limbah serta kemurniannya untuk dapat diimpor sebagai bahan baku industri, sehingga dapat diterima atau direekspor. Sebagai solusi , permasalahan impor limbah di Indonesia dapat ditangani dengan cara: melakukan harmonisasi kebijakan terkait impor limbah non B3; melakukan standarisasi kriteria limbah yang dapat diimpor dan tidak secara lebih komprehensif; meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai potensi bahaya dan larangan impor limbah B3 hingga tingkat pemerintah daerah; meningkatkan fasilitas dan petugas dalam rangka pengamanan perbatasan dari kegiatan penyelundupan untuk menjamin keberlangsungan lingkungan hidup dan juga kepentingan industri. Kemudian, mengenai reekspor limbah, dikutip dari berita Tujuh Langkah Atasi Dampak Impor Limbah , ada 5 hal yang perlu dilakukan pemerintah dalam mengekspor kembali limbah plastik. Pertama , memberi tahu pemerintah negara penerima tentang pengiriman peti kemas yang direekspor termasuk gambaran tentang limbah yang terkontaminasi di dalamnya. Kedua , bekerja dengan negara asal untuk meminta mereka mengambil kembali limbah untuk diolah dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan, atau untuk memastikan pengelolaan tersebut di negara yang dialihkan. Ketiga , menerima persetujuan dari negara pengimpor sebelum reekspor dilakukan. Keempat , memastikan di negara pengimpor, bahwa fasilitas penerima diketahui dan dikenal sebagai fasilitas daur ulang atau pembuangan yang berwawasan lingkungan. Kelima , secara pidana menuntut pihak yang terlibat dalam perdagangan limbah ini jika gerakan mereka dan pengelolaan akhir, tidak sesuai dengan Konvensi Basel. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1993 tentang Pengesahan Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2021 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor REFERENSI:\n1. Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal 1989 , diakses pada 29 Januari 2021, pukul 22.36 WIB. [1] Pasal 1 angka 5 UU Pengelolaan Sampah [2] Pasal 2 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah [3] Pasal 2 ayat (2) UU Pengelolaan Sampah [4] Pasal 2 ayat (3) UU Pengelolaan Sampah [5] Pasal 2 ayat (4) UU Pengelolaan Sampah [6] Pasal 20 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah [7] Pasal 20 ayat (3) UU Pengelolaan Sampah [8] Pasal 20 ayat (4) UU Pengelolaan Sampah [9] Pasal 21 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah [10] Pasal 22 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah [11] Pasal 23 UU Pengelolaan Sampah [12] Lampiran III Permendag 20/2021 pengelolaan sampah sampah plastik lingkungan hidup limbah b3" }
{ "from": "human", "value": "Bisakah satu pedagang/penjual barang mengenakan bunga kepada pedagang/pembeli dikarenakan pembayarannya agak terlambat/tertunda? Tapi, tidak ada surat pernyataan apapun atas pengenaan bunga tersebut, thanks." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam hukum perdata dikenal tiga macam p restasi yaitu, memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Apabila si Debitur tidak melaksanakan prestasi , maka si Debitur dapat dinyatakan wanprestasi oleh Kreditur. Debitur yang wanprestasi wajib memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 dan Pasal 1239 KUHPerdata . Pengantian biaya, kerugian, atau bunga oleh debitur harus dibuktikan dengan adanya kelalaian seorang debitur dalam hal ini mengenai keterlambatan pembayaran, seorang debitur barulah menjadi wajib untuk membayarkan sebuah ganti biaya, rugi, dan bunga apabila dirinya telah dinyatakan lalai . Demikian sebagaimana diatur Pasal 1243 KUHPerdata yang selengkapnya berbunyi : “Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pernyataan lalainya seorang Debitur harus dibuktikan dengan surat perintah seperti surat peringatan pembayaran atau surat sejenis lainnya, sebagaimana Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Untuk mengetahui lebih khusus mengenai pemenuhan Bunga oleh Debitur, mari kita telaah tiga jenis b unga dalam hukum Indonesia . S ebagaimana dikutip dari b uku Hukum Perikatan yang ditulis oleh J.Satrio , ada tiga jenis bunga yaitu : 1. Bunga Moratoir , yaitu bunga yang terhutang karena Debitur terlambat memenuhi kewajiban membayar sejumlah uang; 2. Bunga Konventional , yaitu bunga yang disepakati para pihak; dan 3. Bunga Kompensatoir , yaitu semua bunga, di luar bunga yang diperjanjikan. Berdasarkan pengertian di atas Bunga Moratoir merupakan Bunga Kompensatoir, sehingga dalam pengertia n nya terdapat Bunga Moratoir Kompensatoir, Bunga Konventional dan Bunga Kompensatoir bukan Moratoir, berikut penjelasan dan perbedaan dari 3 hal tersebut. A. Bunga Moratoir Kompensatoir Bunga Moratoir merupakan ganti rugi dalam wujud sejumlah uang, sebagai akibat dari tidak atau terlambat dipenuhinya perikatan yang berisi kewajiban pembayaran sejumlah uang oleh debitur. Hal ini diatur khusus pada Pasal 1250 paragraf (1) KUHPerdata yang menyatakan: “Dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar disebabkan terlambatnya pelaksanaan, hanya terdiri atas bunga yang ditentukan oleh undang-undang , dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.” Bunga yang ditentukan berdasarkan undang-undang adalah bunga sebesar 6% (enam) persen setahun, hal ini dilihat dari S. 1848: No. 22. Pada prinsipnya , Bunga Moratoir ini tidak perlu dibuktikan adanya suatu kerugian oleh Kreditur, namun untuk pengenaan Bunga Moratoir hanya harus dibayar terhitung mulai dari diminta di muka Pengadilan, kecuali dalam hal-hal yang mana undang-undang menetapkan bahwa ia berlaku demi hukum . Demikian ketentuan Pasal 1250 paragraf (3) KUHPerdata . Kesimpulan dari Bunga Moratoir adalah bunga yang diharapkan menjadi keuntungan atas akibat kelalaian pelaksanaan suatu prestasi Debitur, menjadi Kompensatoir apabila bunga tersebut menjadi pengganti kerugian sehingga menjadi bersifat kompensatoir. B. Bunga Konventional Bunga Konventional adalah bunga yang diperjanjikan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1767 KUHPerdata , dan karenanya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ganti rugi . B unga ini diberikan bukan sebagai ganti rugi, tetapi karena disepakati oleh para pihak dan karenanya mengikat para pihak. H al ini didasari pada asas kebebasan berkontrak yang tercantum pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya ” Mengenai besaran Bunga Konventional ini, karena bunga ini timbul berdasarkan kesepakatan para pihak, maka besarannya dapat ditentukan bersama oleh para pihak dengan mengenyampingkan besaran bunga menurut undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa dalam menyepakati Bunga Konventional ini para pihak yang menyepakati wajib membuat membuat perjanjian dalam bentuk tertulis. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada kutipan P asal 1767 KUHPerdata : “ … Bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian boleh melampaui bunga menurut undang-undang dalam segala hal yang tidak dilarang oleh undang-undang. Besarnya bunga yang diperjanjikan dalam perjanjian harus ditetapkan secara tertulis.” C. Bunga Kompensatoir Bukan Moratoir Bunga Kompensatoir adalah semua bunga yang bukan Bunga Konvensional dan bukan Bunga Moratoir. Yang membedakan antara Bunga Kompensatoir dengan Bunga Moratoir adalah kepentingan perlunya pembuktian atas kerugian. Sebagaimana telah dijelaskan pada Bagian A , Bunga Moratoir tidak perlu dibuktikan adanya kerugian oleh Kreditur. Sedangkan , untuk Bunga Kompensatoir bukan Moratoir harus ada kerugian riil atau dianggap ada. Bunga Kompensatoir ini pada dasarnya diberikan untuk mengganti kerugian atau pembayaran bunga-bunga yang telah dikeluarkan oleh Kreditur sebagai akibat dari wansprestasinya debitur. M enjawab pertanyaan tentang bunga atas keterlambatan atau penundaan pembayaran , dengan tidak ada surat pernyataan atas pengenaan bunga tersebut, kami mengasumsikan bahwa perjanjian jual-beli di antara para penjual dan pembeli tidak mencantumkan bunga sebagai salah satu prasyarat pengganti kerugian atas keterlambatan pembayaran. Sehingga, dapat dipastikan dalam hal ini, Bunga yang dikenakan bukanlah Bunga Konservatoir, melainkan kemungkinannya adalah Bunga Moratoir Kompensatoir, atau Bunga Kompensatoir bukan Bunga Moratoir. Untuk menelaah lebih dalam lagi, perlu diketahui apakah Kreditur dalam meminta bunga dari debitur karena timbulnya kerugian yang riil akibat kelalaian tersebut, a tau kerugian itu karena semata-mata keuntungan yang diharapkan oleh Kreditur. Apabila ternyata kerugian adalah suatu pengharapan keuntungan dari Kreditur ( opportunity loss ), maka Bunga Moratoir lah yang mungkin dikenakan kepada Debitur . Namun , untuk meminta Bunga Moratoir tersebut perlu suatu putusan dari Pengadilan. Sedangkan apabila Bunga Kompensatoir, Kreditur harus benar-benar membuktikan telah terjadi kerugian terhadapnya akibat lalainya Debitur, sehingga penggantian kerugian tersebut dapat diberikan kepada Kreditur. Kesimpulannya, setiap tidak dilaksanakannya suatu prestasi oleh Debitur , atau dalam hal ini tidak melakukan pembayaran/keterlambatan melakukan pembayaran sebagaimana permasalahan yang dipertanyakan, maka Debitur dapat dikenakan penggantian biaya, kerugian, dan bunga oleh Kreditur . Namun, mengingat tidak disepakati mengenai besarnya bunga atas keterlambatan pembayaran tersebut, maka Kreditur tidak dapat meminta penggantian bunga kompensatoir tanpa kejelasan hal-hal sebagai berikut: 1. B ahwa benar-benar terjadi suatu keadaan lalainya Debitur yang tidak melakukan pembayaran/atau terlambatnya pembayaran dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan, 2. Adanya suatu surat perintah pembayaran, disertai dengan informasi kerugian riil yang diderita oleh Kreditur untuk meminta suatu bunga sebagai penggantian kerugian (Kompensatoir) akibat kelalaian Debitur. Semoga jawaban kami dapat bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad No. 23 Tahun 1847)." }
{ "from": "human", "value": "Perusahaan saya bergerak di bidang pertambangan batubara. Konsesi berada di wilayah APL (Area Penggunaan Lain) di luar kawasan hutan. Namun, rencana jalan hauling akan menggunakan jalan koridor salah satu perusahaan HTI (Hutan Tanaman Industri) menuju pelabuhan sungai. Perusahaan HTI tersebut telah memiliki kesepakatan dengan salah satu perusahaan pemegang konsesi pertambangan batubara yang juga bermitra dengan perusahaan kami. Pertanyaan kami adalah, apakah kesepakatan penggunaan jalan hauling batubara dapat kami gunakan juga tanpa menggunakan izin pinjam pakai kawasan hutan? Terima kasih sebelumnya atas masukannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Merujuk pada pertanyaan di atas, berikut di bawah ini adalah jawaban yang dapat kami sampaikan. KLINIK TERKAIT Izin Pertambangan Pihak Asing 19 Feb 2024 Perizinan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit 14 Agt 2017 Tata Cara Jual Beli Batubara 20 Jun 2013 Tata Cara Jual Beli Batubara 20 Jun 2013 Sanksi Hukum Penggunaan Kawasan Hutan Tanpa Izin 12 Des 2011 1. Penggunaan kesepakatan jalan koridor yang dimiliki oleh mitra perusahaan Saudara dengan pemegang Izin Pemanfaatan Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (“ IUPHHK-HTI ”) untuk kegiatan perusahaan S audara . Dapat kami sampaikan bahwa mitra perusahaan S audara dan perusahaan S audara merupakan badan hukum yang terpisah dan berbeda. Karena itu, menurut hemat kami, kesepakatan yang sudah dimiliki oleh mitra perusahaan S audara tersebut tidak dapat digunakan oleh, untuk dan atas nama perusahaan S audara. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Poin yang kami maksudkan di sini adalah terhadap suatu perjanjian dan/atau kesepakatan, ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian dan/atau kesepakatan hanya mengikat bagi para pihak yang ada di dalam perjanjian dan/atau kesepakatan tersebut terkecuali diperjanjikan lain oleh para pihak. Oleh karena itu, dapat kami sampaikan bahwa perusahaan S audara tidak memiliki alas hak yang sah untuk menggunakan kesepakatan tersebut sebagai dasar untuk menggunakan jalan koridor yang dimiliki oleh pemegang IUPHHK-HTI. Selain perbedaan badan hukum, perusahaan S audara yang merupakan pemegang Izin Usaha Pertambangan ( “IUP” ) dan bukan merupakan pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( “IPPKH” ), adalah pihak yang tidak dapat melakukan kerja sama terhadap penggunaan jalan yang sudah dibuat oleh pemilik izin lainnya. Hal tersebut dapat merujuk pada ketentuan yang dijelaskan dalam poin 2 di bawah ini . 2. Penggunaan jalan bersama koridor oleh pemegang izin lainnya Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2013 t entang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/MENHUT-II/2011 t entang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan ( “Per m en h ut 14/ 20 13” ), penggunaan jalan bersama diatur pada ketentuan di bawah ini: - P asal 7A: “Penggunaan jalan oleh pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan terhadap jalan yang dibangun pemegang izin pemanfaatan hutan atau Perum Perhutani atau pengelola Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) atau pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan yang lain dan sebaliknya dilakukan dengan skema penggunaan fasilitas bersama, tidak melalui pemberian izin pinjam pakai” Berdasarkan pengaturan di atas, diketahui bahwa mekanisme penggunaan bersama atas jalan hanya dapat dilakukan di antara pemegang IPPKH dan pemegang izin pemanfaatan hutan atau Perum Perhutani atau pengelola kawasan hutan dengan tujuan khusus atau dengan pemegang IPPKH yang lain dan atau sebaliknya. Sehingga, berdasarkan peraturan di atas, perusahaan pemegang IUP yang bukan merupakan pemegang IPPKH tidak dapat melakukan kerja sama penggunaan jalan koridor milik pemegang IUPHHK-HTI. Berdasarkan ketentuan serta analis is di atas, dapat kami sampaikan bahwa kerja sama yang dimiliki oleh mitra perusahaan S audara tidak dapat digunakan oleh, untuk dan atas nama perusahaan S audara, karena masing-masing merupakan badan hukum yang terpisah dan berbeda. Selain itu, jika pada praktiknya mekanisme tersebut diterapkan, penerapan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 7A Per m en h ut 14/ 20 13 sebagaimana dijelaskan pada poin 2 di atas, yang mana perusahaan S audara bukan merupakan pihak yang dapat melakukan kerja sama dengan pemilik jalan. Demikian jawaban yang dapat kami berikan, terima kasih. Dasar hukum : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.14/Menhut-II/2013 t entang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/MENHUT-II/2011 t entang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau tanya apabila saya ingin membuka usaha gym dengan memakai nama CrossFit namun dengan logo gambar yang berbeda dan penambahan kata misalkan Venom CrossFit, Crossfit 6226, CrossFit Wanderlaust, dan lain-lain. Apakah itu bisa melanggar hak cipta?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : CrossFit termasuk ke dalam merek yang terkenal, dibuktikan dengan banyaknya afiliasi di dunia untuk pusat kebugaran/ gym. Oleh karena CrossFit merupakan merek terkenal, maka permohonan Anda akan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal pihak lain (CrossFit) untuk barang dan/atau jasa sejenis, meskipun merek tersebut belum terdaftar di Indonesia. Namun, jika Anda tetap bersikeras untuk menggunakan nama tersebut, kami sarankan Anda untuk mengajukan kerja sama dalam bentuk afiliasi dengan CrossFit, Inc. dalam laman How to Affiliate , atau dengan kata lain untuk mendapatkan lisensi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya Anda perlu pahami perbedaan antara hak cipta dengan merek. Hak cipta berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) adalah: Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata. [1] Sementara itu, merek berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) adalah Tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar , logo , nama , kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Oleh karena Anda membicarakan mengenai nama suatu tempat gym , maka kami asumsikan pertanyaan Anda berkaitan dengan pelanggaran merek , bukanlah hak cipta . Hak atas Merek Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. [2] Hak atas merek diperoleh setelah merek tersebut terdaftar. [3] Perlu diketahui juga bahwa merek meliputi: [4] Merek dagang , adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Merek jasa , adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Merek CrossFit CrossFit sebagaimana diakses melalui laman FAQ - What is CrossFit? sebagaimana akses melalui website CrossFit, didefinisikan sebagai berikut: CrossFit is a precise combination of exercise and nutrition that has been proven to increase fitness and health for people of all ages and abilities. CrossFit is founded on the first scientifically rigorous definition of fitness: The program produces observable results that can be measured and replicated. Sepanjang penelusuran kami, CrossFit termasuk ke dalam merek yang terkenal, dibuktikan dengan banyaknya afiliasi di dunia untuk pusat kebugaran/ gym sebagaimana dapat dilihat dalam laman Affiliate List . Di Indonesia sendiri, terdapat 6 gym yang menggunakan merek jasa ini, yaitu S2S CrossFit, CrossFit 6221, CrossFit Wanderlust, CrossFit Petitenget, CrossFit Garuda, CrossFit Seminyak. Merek Terkenal Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur , dalam buku Perlindungan Merek yang disunting oleh Tommy Hendra Purwaka (hal. 24), merek terkenal merupakan merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek ini memiliki kekuatan pancaran yang memukau dan menarik, sehingga jenis barang yang berada di bawah merek itu langsung menimbulkan senuhan keakraban ( familiar ) dan ikatan mitos ( mythical context ) kepada segala laporan konsumen. Merek terkenal dilindungi oleh berbagai perjanjian internasional, misalnya Paris Convention for the Protection of Industrial Property (“Paris Convention”) dan the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (“TRIPS Agreement”). Paris Convention dan TRIPS Agreement mensyaratkan negara-negara anggota untuk melindungi merek terkenal bahkan jika merek tersebut tidak terdaftar atau digunakan di negara itu. Perlindungan untuk merek terkenal yang belum terdaftar di bawah Paris Convention biasanya terbatas pada barang dan jasa yang identik atau mirip dengan barang atau jasa merek terkait dan dalam situasi di mana penggunaan cenderung menyebabkan kebingungan. Di dalam hukum merek yang berlaku saat ini di negara kita, ukuran suatu merek dapat dikatakan sebagai merek terkenal ( well-known marks ) dapat dilihat pada Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek (“Permenkumham 67/2016”) sebagai berikut: Kriteria penentuan Merek terkenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan masyarakat konsumen atau masyarakat pada umumnya yang memiliki hubungan baik pada tingkat produksi, promosi, distribusi, maupun penjualan terhadap barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh Merek terkenal dimaksud. Dalam menentukan kriteria Merek sebagai Merek terkenal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan: tingkat pengetahuan atau pengakuan masyarakat terhadap Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan sebagai Merek terkenal; volume penjualan barang dan/atau jasa dan keuntungan yang diperoleh dari penggunaan merek tersebut oleh pemiliknya; pangsa pasar yang dikuasai oleh Merek tersebut dalam hubungannya dengan peredaran barang dan/atau jasa di masyarakat; jangkauan daerah penggunaan Merek; jangka waktu penggunaan Merek; intensitas dan promosi Merek, termasuk nilai investasi yang dipergunakan untuk promosi tersebut; pendaftaran Merek atau permohonan pendaftaran Merek di negara lain; tingkat keberhasilan penegakan hukum di bidang Merek, khususnya mengenai pengakuan Merek tersebut sebagai Merek terkenal oleh lembaga yang berwenang; atau nilai yang melekat pada Merek yang diperoleh karena reputasi dan jaminan kualitas barang dan/atau jasa yang dilindungi oleh Merek tersebut. Perlindungan atas Merek Jasa CrossFit Dalam Pasal 21 ayat (1) UU MIG , telah diatur mengenai perlindungan untuk merek terkenal atas permohonan pendaftaran merek di Indonesia dari pihak lain, sebagai berikut: Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ; Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau Indikasi Geografis terdaftar. Yang dimaksud dengan \"persamaan pada pokoknya\" adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara merek yang satu dengan merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam merek tersebut. [5] Selanjutnya, penting untuk dipahami Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU MIG sebagai berikut: Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa yang sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi Merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran , investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek dimaksud di beberapa negara . Jika hal tersebut belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan. Selanjutnya, akan kami bahas mengenai “bukti pendaftaran merek dimaksud di beberapa negera” dengan mengambil contoh di Indonesia. Sebagaimana kami akses melalui laman Pangkalan Data KI Indonesia - CrossFit , telah diajukan permohonan pendaftaran merek dengan nama CrossFit dengan nomor permohonan J002018001828 oleh pemiliknya yaitu CrossFit, Inc. Saat ini permohonan merek tersebut masih dalam proses dengan status pelayanan teknis. Selain itu, dalam laman Pangkalan Data KI Indonesia – Garuda CrossFit , telah terdaftar merek Garuda CrossFit dengan nomor pendaftaran IDM000636315 pada kode kelas 41 dalam Nice Classification dengan nama pemilik CrossFit, Inc. Garuda CrossFit tersebut termasuk ke dalam daftar afiliasi yang tercantum dalam website resmi CrossFit sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya. Menjawab pertanyaan Anda , oleh karena CrossFit merupakan merek terkenal, maka permohonan Anda akan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal pihak lain (CrossFit) untuk barang dan/atau jasa sejenis, meskipun merek tersebut belum terdaftar di Indonesia. Namun, jika Anda tetap bersikeras untuk menggunakan nama tersebut, kami sarankan Anda untuk mengajukan kerja sama dalam bentuk afiliasi dengan CrossFit, Inc. dalam laman How to Affiliate , atau dengan kata lain untuk mendapatkan lisensi. Lisensi menurut Pasal 1 angka 18 UU MIG adalah izin yang diberikan oleh pemilik merek terdaftar kepada pihak lain berdasarkan perjanjian secara tertulis sesuai peraturan perundang-undangan untuk menggunakan merek terdaftar. Dijelaskan pada What is included in being a CrossFit Affiliate? , jika menjadi pihak yang menggunakan merek CrossFit, maka akan mendapatkan hak atas penggunaan nama, logo materi promosi. Untuk mendapatkannya maka pihak yang akan berafiliasi denga CrossFit harus mengajukan permohonan afiliasi pada CrossFit untuk kemudian mendapatkan lisensi melalui license agreement (perjanjian lisensi) sebagaimna dijelaskan rinci dalam Steps to Affiliation . Apabila Anda Tetap Mendaftarkan dan Menggunakan Merek CrossFit Jika Anda menggunakan merek CrossFit tersebut untuk nama gym Anda tanpa lisensi, maka Anda dapat dilaporkan oleh pihak manapun sebagaimana dijelaskan dalam laman IP Theft Form . Selain itu, pemilik merek yang tidak terdaftar (termasuk pemilik merek terkenal tetapi mereknya tidak terdaftar) dapat mengajukan gugatan pembatalan merek setelah mengajukan permohonan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU MIG (merek mempunyai mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya). [6] Pemilik merek terkenal berdasarkan putusan pengadilan juga dapat mengajukan gugatan ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek CrossFit tersebut. [7] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 67 Tahun 2016 tentang Pendaftaran Merek Paris Convention for the Protection of Industrial Property The Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights Referens i: FAQ - What is CrossFit? , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 14.28 WIB; Affiliate List , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 14.45 WIB; Pangkalan Data KI Indonesia - CrossFit , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 15.03 WIB; Pangkalan Data KI Indonesia – Garuda CrossFit , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 15.18 WIB; Nice Classification , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 15.22 WIB; How to Affiliate , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 15.30 WIB; IP Theft Form , diakses pada Jum’at, 8 Maret 2019, pukul 15.37 WIB. What is included in being a CrossFit Affiliate? , diakses pada Senin,11 Maret 2019, pukul 11.51 WIB; Steps to Affiliation , diakses pada Senin,11 Maret 2019, pukul 11.52 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 UU Hak Cipta [2] Pasal 1 angka 5 UU MIG [3] Pasal 3 UU MIG [4] Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 2 dan angka 3 UU MIG [5] Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG [6] Pasal 76 ayat (1), ayat (2), dan Penjelasan Pasal 76 ayat (2) UU MIG [7] Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) UU MIG hukumonline hak merek online merek klinik hukum klinik hukumonline kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Mohon maaf dan mohon bantuannya kami ada kekhawatiran kecil mengenai penulisan nama perusahaan dengan permasalahan sebagai berikut: Penulisan nama perusahaan kami apakah sudah benar atau tidak dan apakah sah/tidak dalam peraturan hukum di Indonesia?\nContoh 1:\nPT. Sari Jeruk Nipis\nPT Sari Jeruk Nipis\nContoh 2:\nSari Lemon Co. Ltd.\nSari Lemon Co., Ltd\n\nPada contoh 1 (ada atau tidak ada titik setelah penulisan PT), manakah yang sesuai dengan kaidah peraturan? Dan apakah jika yang tidak sesuai dengan kaidah tersebut masih bisa dianggap tetap sah atau dianggap tidak sah?\n\nPada contoh 2 (ada atau tidak ada koma setelah penulisan Co.), info yang kami terima bahwa penulisan yang benar adalah menggunakan koma setelah \"Co.\". Lantas, jika penulisan tersebut tidak menggunakan koma, apakah masih bisa dianggap tetap sah atau dianggap tidak sah?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApa itu Perseroan Terbuka dan Ciri-Cirinya 25 Jun 2024Prosedur Pengurangan Modal Perseroan Terbatas15 Jan 2021Legalitas Nama Direksi yang Tak Tercantum dalam Akta Perubahan Data Perseroan03 Okt 2019Jika Perseroan Tidak Menyesuaikan Aturan dalam UUPT02 Mei 2019\n\nPerseroan terbatas atau perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil.[1]\n\nSedangkan nama perseroan adalah nama yang digunakan sebagai identitas suatu perseroan untuk membedakan dengan perseroan yang lain.[2]\nNama perseroan harus didahului dengan frase \"Perseroan Terbatas\" atau disingkat \"PT\". Lalu, dalam hal PT itu terbuka, selain penulisan PT diletakkan di depan, pada akhir nama ditambahkan kata singkatan “Tbk”.[3]\n\nLalu, penting untuk diketahui bahwa jika PT dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, nama PT wajib menggunakan Bahasa Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 PP 43/2011:\nPerseroan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia wajib memakai Nama Perseroan dalam bahasa Indonesia.\n\nSelanjutnya, menurut Pasal 5 ayat (1) PP 43/2011, nama PT/perseroan harus memenuhi syarat sebagai berikut:\n\nditulis dengan huruf latin;belum dipakai secara sah oleh perseroan lain atau tidak sama pada pokoknya dengan nama perseroan lain;tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;tidak sama atau tidak mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari lembaga yang bersangkutan;tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata;tidak mempunyai arti sebagai perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata;tidak hanya menggunakan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha sebagai nama perseroan; dansesuai dengan maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, dalam hal maksud dan tujuan serta kegiatan usaha akan digunakan sebagai bagian dari nama perseroan.\n\nAdapun yang dimaksud dengan “sama pada pokoknya dengan nama perseroan lain” adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara nama perseroan yang satu dan nama perseroan yang lain yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan mengenai cara penulisan atau persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam Nama Perseroan, walaupun pemiliknya sama. Sekaligus menjawab pertanyaan Anda, berikut adalah contohnya:[4]\n\nPT Bhayangkara dengan PT BayangkaraPT Sampurna dengan PT SampoernaPT Bumi Pertiwi dengan PT Bumi PratiwiPT High-Desert dengan PT High DesertPT Jaya dan Makmur dengan PT Djaja & Makmur.\n\nKemudian, “mempunyai arti sebagai perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata” dalam ketentuan tersebut misalnya: Ltd, Gmbh, SDN, Sdn, Bhd, PTE, Co., & Co., Inc., NV, atau BV, Usaha Dagang (UD), Koperasi Usaha Dagang (KUD), Incorporated, Associate, Association, SA, SARL, AG.[5]\n\nDengan demikian, penulisan PT yang benar menurut peraturan perundang-undangan adalah PT tanpa diakhiri tanda baca titik, sehingga berdasarkan pertanyaan Anda penulisan yang benar adalah “PT Sari Jeruk Nipis”. Sedangkan bagi “Sari Lemon Co., Ltd”, penggunaan istilah “Co.,” diakhiri tanda baca titik dan koma, dan istilah “Ltd” tidak diakhiri tanda baca.\n\nKemudian, dalam praktiknya, orang banyak menggunakan singkatan PT, dalam artian nama yang disertai singkatan. Terkait singkatan PT, penggunaan singkatan harus memenuhi persyaratan di atas kecuali tidak terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata.[6]\n\nSingkatan nama PT dapat berupa:[7]\n\nsingkatan yang terdiri atas huruf depan nama PT; atausingkatan yang merupakan akronim dari nama PT.\n\nContoh PT dengan “singkatan dari huruf depan” misalnya, PT Kereta Api Indonesia disingkat menjadi PT KAI.[8]\n\nSedangkan “akronim” adalah kependekan yang berupa gabungan huruf atau suku kata atau bagian lain yang ditulis dan dilafalkan sebagai kata yang wajar. Misalnya PT Sahabat Finansial Sejahtera disingkat dengan PT SAFIRA, PT Tabungan Asuransi Pegawai Negeri disingkat dengan PT TASPEN, PT Asuransi Kesehatan disingkat dengan PT ASKES, PT Pelabuhan Indonesia disingkat dengan PT PELINDO.[9]\nNama yang Dilarang Dipakai PT\n\nLantas, jika penulisan PT maupun Co., tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, apakah perseroan masih bisa dianggap sah? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan yang mengatur sah atau tidaknya sebuah perseroan, apabila nama perseroan tersebut tidak sesuai dengan aturan penggunaan tanda baca.\n\nNamun, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) UU PT, setidaknya terdapat ketentuan nama yang dilarang dipakai perseroan, yaitu perseroan tidak boleh memakai nama yang:\n\ntelah dipakai secara sah oleh perseroan lain atau sama pada pokoknya dengan nama perseroan lain;bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;sama atau mirip dengan nama lembaga negara, lembaga pemerintah, atau lembaga internasional, kecuali mendapat izin dari yang bersangkutan;tidak sesuai dengan maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha, atau menunjukkan maksud dan tujuan perseroan saja tanpa nama diri;terdiri atas angka atau rangkaian angka, huruf atau rangkaian huruf yang tidak membentuk kata; ataumempunyai arti sebagai perseroan, badan hukum, atau persekutuan perdata.\n\nBaca juga: Memilih Nama PT Tak Boleh Sembarangan, Ini Aturannya\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_pt)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e9543fbce3c2/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2011/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_43_2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_43_2011)\n[1] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”)\n\n[2] Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengajuan dan Pemakaian Nama Perseroan Terbatas (“PP 43/2011”)\n\n[3] Pasal 16 ayat (2) dan (3) UU PT\n\n[4] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a PP 43/2011\n\n[5] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf f PP 43/2011\n\n[6] Pasal 5 ayat (2) jo. ayat (1) huruf e PP 43/2011\n\n[7] Pasal 5 ayat (3) PP 43/2011\n\n[8] Penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf a PP 43/2011\n\n[9] Penjelasan Pasal 5 ayat (3) huruf b PP 43/2011" }
{ "from": "human", "value": "Salam, saya mau tanya, adakah hukum yang mengatur penggunaan pengeras suara oleh masjid. Jika masjid tersebut sangat mengganggu (sehari minimal 5 jam menggunakan pengeras suara), apakah saya bisa menuntut, ke mana? Kemudian, adakah batasan berapa desibel speaker masjid? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Aturan Pengeras Suara Masjid Secara Umum\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, sebenarnya penggunaan pengeras suara masjid diatur dalam Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978 yang tahun 2018 lalu ditindaklanjuti pelaksanaannya melalui SE Dirjen Bimas Islam B.3940/DJ.III/HK.00.7/08/2018. Kemudian, baru-baru ini Menteri Agama menerbitkan SE Menag 1/2024 yang didasari oleh SE Menag 05/2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala dan SE Menag 09/2023 tentang pedoman ceramah keagamaan. Pada dasarnya surat edaran terbaru tersebut tidak memuat aturan baru terkait pengeras suara masjid, melainkan hanya mempertegas dua surat edaran sebelumnya.\n\nUmat Islam diimbau untuk tetap menjaga ukhuwah islamiyah  dan toleransi dalam menyikapi potensi perbedaan penetapan 1 Ramadan 1445 Hijriah/2024 Masehi.[1] Selain itu, umat Islam juga dianjurkan untuk mengisi dan meningkatkan syiar pada bulan Ramadan serta untuk pelaksanaan takbiran Idulfitri berpedoman pada SE Menag 5/2022.[2] Kemudian materi ceramah Ramadan dan khutbah Idulfitri disampaikan dengan mengutamakan toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa, serta tidak bermuatan politik praktis sesuai dengan SE Menag 9/2023.[3]\n\nKemudian lebih lanjut apa pengeras suara di masjid? Yang dimaksud dengan pengeras suara adalah perlengkapan teknik yang terdiri dari mikrofon, amplifier, loud speaker, dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus .[4]\n\nDalam lampiran Instruksi Dirjen Bimas Islam 101/1978 dijelaskan syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain yaitu tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir, dan sholat karena pelanggaran seperti ini bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan bahwa umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya. Lebih lanjut, suara yang memang harus ditinggikan adalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu shalat.[5]\n\nSelain itu, dijelaskan pula dalam SE Menag 05/2022 bahwa suara yang dipancarkan melalui pengeras suara perlu diperhatikan kualitas dan kelayakannya, yakni memenuhi persyaratan suara yang bagus atau tidak sumbang dan pelafazan secara baik dan benar.[6]\nAturan Penggunaan Pengeras Suara dalam Kegiatan Beragama di Masjid\n\nMenjawab pertanyaan Anda, penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:[7]" }
{ "from": "human", "value": "Saya tadinya presiden direktur di perusahaan dan pemegang saham 30%, saya mengundurkan diri dengan surat pengunduran diri bermeterai, tapi pengalihan saham dan penggantian saya sebagai presiden direktur tidak dilakukan dalam bentuk RUPS, apakah tetap sah? Kemudian pertanyaan saya, sahkah seorang komisaris mewakili perusahaan di dalam maupun di luar pengadilan? Demikian pertanyaan saya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul pengunduran diri direktur yang dibuat oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 17 Mei 2006. KLINIK TERKAIT Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil 18 Mar 2024 Simak! Ini 5 Langkah Merger PT 22 Mei 2023 3 Langkah Mengubah PT Perorangan Jadi PT Biasa 03 Jun 2021 Pendelegasian Kewenangan RUPS kepada Dewan Komisaris 11 Mei 2021 Pengunduran Diri Direksi Direksi merupakan organ Perseroan Terbatas (“PT”) yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan PT untuk kepentingan PT, sesuai dengan maksud dan tujuan PT serta mewakili PT, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. [1] Dalam praktik, anggota Direksi biasa disebut dengan Direktur. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tata cara pengunduran diri anggota Direksi diatur dalam anggaran dasar PT. [2] Tata cara pengunduran diri yang diatur adalah terkait permohonan mengundurkan diri yang harus diajukan dalam kurun waktu tertentu . Jika kurun waktu terlampaui, anggota Direksi yang bersangkutan berhenti dari jabatannya tanpa memerlukan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) . [3] Sehingga, sah tidaknya pengunduran diri Anda tidak bergantung pada keputusan RUPS . Dalam hal kurun waktu yang ditentukan dalam anggaran dasar telah lewat, secara hukum pengunduran diri Anda sebagai bagian dari anggota Direksi tetap sah , tanpa memerlukan persetujuan RUPS. Pengangkatan Direksi dan Pemindahan Hak atas Saham Kemudian terkait pengangkatan anggota Direksi yang akan menggantikan posisi Anda, memang harus diangkat oleh RUPS , sesuai bunyi Pasal 94 ayat (1) UU PT , dan kewenangan ini tidak dapat dilimpahkan kepada organ PT lainnya atau pihak lain. [4] Selanjutnya mengenai pengalihan saham, menurut kami, ini hal yang berbeda dengan pengunduran diri Anda. Dalam praktik, pemegang saham memang boleh saja merangkap sekaligus sebagai anggota Direksi, namun perlu dipahami kepemilikan saham bukan syarat seseorang agar bisa diangkat jadi anggota Direksi . [5] Begitu pula sebaliknya, pemegang saham tidak harus menjadi anggota Direksi. Karena keduanya merupakan hal yang berbeda satu sama lain, kami berpendapat Anda tidak wajib untuk mengalihkan saham yang dimiliki meskipun sudah mengundurkan diri sebagai anggota Direksi. Tapi apabila Anda dengan sukarela ingin tetap mengalihkan saham, ketentuan pengalihan saham PT dapat Anda simak dalam Pasal 55 - 59 UU PT . Adapun tata cara pemindahan hak atas saham ditentukan dalam anggaran dasar PT. Hal ini pernah kami ulas dalam Langkah Jika Ingin Menjual Saham Perseroan . Kewenangan Dewan Komisaris Mewakili PT Meskipun pada dasarnya kewenangan Dewan Komisaris adalah mengawasi kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai PT maupun usaha PT, dan memberi nasihat kepada Direksi, [6] namun berdasarkan anggaran dasar atau keputusan RUPS, Dewan Komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan PT dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. [7] Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan wewenang kepada Dewan Komisaris untuk melakukan pengurusan PT dalam hal Direksi tidak ada . [8] Sebagai catatan, ketentuan di atas berlaku juga semua ketentuan mengenai hak, wewenang, dan kewajiban Direksi terhadap PT dan pihak ketiga. [9] Dengan demikian, karena Direksi berwenang mewakili PT baik di dalam maupun di luar pengadilan, [10] maka Dewan Komisaris berwenang mewakili PT di dalam dan di luar pengadilan dalam keadaan dan jangka waktu tertentu sesuai ketentuan anggaran dasar atau keputusan RUPS dan jika Direksi tidak ada . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja [1] Pasal 109 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) [2] Pasal 107 huruf a UU PT [3] Penjelasan Pasal 107 huruf a UU PT [4] Penjelasan Pasal 94 ayat (1) UU PT [5] Pasal 93 UU PT [6] Pasal 108 ayat (1) UU PT [7] Pasal 118 ayat (1) UU PT [8] Penjelasan Pasal 118 ayat (1) UU PT [9] Pasal 118 ayat (2) UU PT [10] Pasal 98 ayat (1) UU PT pemegang saham pt komisaris perseroan terbatas direktur perusahaan direksi" }
{ "from": "human", "value": "Apakah PKL yang dilakukan oleh anak SMA/SMK itu diperbolehkan untuk menjalankan fungsi sales, promosi atau marketing yang tentunya diajarkan dahulu dan nanti salah satu kurikulumnya ada praktik langsung dan mereka diberikan profit sharing/insentif atau hasil yang diperolehnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . KLINIK TERKAIT Apakah Magang Digaji? Cari Tahu di Sini 29 Mei 2023 Bolehkah Perusahaan Mempekerjakan Peserta Magang Melebihi Jam Kerja? 07 Jan 2021 Apakah Magang Dapat Disamakan dengan Bekerja? 28 Jul 2016 Perekrutan Peserta Magang Menjadi Karyawan Perusahaan 03 Feb 2014 PKL atau Praktik Kerja Lapangan adalah pembelajaran bagi peserta didik pada SMK/MAK, SMALB, dan LKP yang dilaksanakan melalui praktik kerja di dunia kerja dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kurikulum dan kebutuhan dunia kerja. [1] Patut Anda ketahui, tujuan praktik kerja lapangan adalah untuk: [2] menumbuhkembangkan karakter dan budaya kerja yang profesional pada peserta didik; meningkatkan kompetensi peserta didik sesuai kurikulum dan kebutuhan dunia kerja; dan menyiapkan kemandirian peserta didik untuk bekerja dan/atau berwirausaha. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Tahapan penyelenggaraan PKL pertama dimulai dari perencanaan yaitu mencakup di antaranya penetapan lokasi, penetapan jangka waktu, pemetaan penempatan peserta didik sesuai kompetensi , penetapan pembimbing PKL dan pembekalan peserta didik. [3] Pun demikian pada saat pelaksanaan, hal yang diperhatikan adalah penempatan peserta didik di dunia kerja sesuai kompetensi , praktik kerja, dan mentoring oleh pembimbing PKL dari dunia kerja. [4] Setelahnya, pembimbing PKL dari dunia kerja akan memberikan penilaian peserta didik yang meliputi aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan. [5] Terakhir, dilakukan tahapan monitoring pelaksanaan PKL dan evaluasi perencanaan dan hasil pelaksanaan PKL paling sedikit sekali dalam satu periode PKL. [6] Baca juga: Apakah Magang Digaji? Adapun terkait pemberian insentif sendiri dapat saja diberikan kepada peserta PKL berupa: [7] transportasi dan akomodasi; konsumsi; uang saku; dan/atau fasilitas dan insentif lainnya . Sehingga menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan bunyi ketentuan di atas, kami berpendapat sepanjang peserta PKL diberikan tugas sesuai dengan kompetensi peserta didik yang bersangkutan dan dilakukan monitoring serta evaluasi yang memadai, maka peserta didik diperbolehkan menjalankan fungsi sales , promosi atau marketing . Hal ini mengingat salah satu tujuan penyelenggaraan PKL adalah meningkatkan kompetensi peserta didik sesuai kurikulum dan kebutuhan dunia kerja serta sejak semula pada tahap perencanaan sudah dilakukan pemetaan penempatan peserta didik sesuai kompetensi, yang kemudian akan dilakukan evaluasi setelahnya. Kemudian terkait pemberian insentif, sebagaimana telah disebutkan, kami berpendapat bahwa peserta didik dapat menerima insentif atau profit sharing dari hasil kerja yang telah dilakukannya sesuai kemampuan dan kesepakatan dengan perusahaan. Namun demikian, kami tetap menyarankan agar perusahaan atau pembimbing PKL dari dunia kerja terlebih dahulu membicarakan pemberian tugas peserta didik untuk menjalankan fungsi sales , promosi atau marketing kepada pihak sekolah yang bersangkutan. Bingung menentukan keterkaitan pasal dan kewajiban bisnis Anda, serta keberlakuan peraturannya? Ketahui kewajiban dan sanksi hukum perusahaan Anda dalam satu platform integratif dengan Regulatory Compliance System dari Hukumonline, klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik . [1] Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2020 tentang Praktik Kerja Lapangan Bagi Peserta Didik (“Permendikbud 50/2020”) [2] Pasal 2 Permendikbud 50/2020 [3] Pasal 11 ayat (1) Permendikbud 50/2020 [4] Pasal 12 Permendikbud 50/2020 [5] Pasal 13 Permendikbud 50/2020 [6] Pasal 14 Permendikbud 50/2020 [7] Pasal 16 ayat (2) Permendikbud 50/2020 magang pemagangan pkl sekolah siswa" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimanakah menyelasaikan sengketa kepegawaian bagi pegawai yang bekerja pada lembaga negara dengan status non-PNS seperti KPK, KPPU, mengingat tidak tercakup dalam definisi buruh maupun PNS? Pengadilan mana yang berhak menanganinya dan memakai undang-undang apa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagaimana diketahui, bahwa h ubungan hukum melakukan pekerjaan dapat dilakukan melalui beberapa jenis persetujuan-persetujuan atau perjanjian-perjanjian. Artinya, perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan, tidak hanya dapat dilakukan melalui hubungan kerja ( employment relation ), akan tetapi dapat juga dilakukan melalui perjanjian-perjanjian di luar hubungan kerja, seperti: perjanjian melakukan jasa-jasa ( overeenkomst tot het verrichten van enkelediensten ), perjanjian pemborongan pekerjaan ( aanneming van werk ), perjanjian kemitraan ( vennootschap atau partnership ), termasuk perjanjian korporasi ( zakelijke relatie atau business relationship ) serta perjanjian pelayanan publik ( publiekrechtelijk verhouding ). KLINIK TERKAIT Status Hukum Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) 09 Agt 2011 Pilihan Hukum Perjanjian Kerja Berkop Surat Perusahaan Singapura 11 Feb 2011 PHK Sepihak pada Perwakilan Negara Asing di Indonesia 18 Jan 2011 PHK yang Batal Demi Hukum 23 Agt 2010 Masing-masing bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan tersebut berbeda ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, dan berbeda syarat-syarat serta konsekuensi hukumnya. Demikian juga, berbeda sifat dan –substansi– hak-hak serta kewajiban para pihak secara bertimbal-balik. Dan apabila terjadi dispute di antara para pihak, berbeda pula ketentuan dan mekanisme penyelesaian perselisihannya ( case by case ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait dengan itu, hubungan hukum antara seorang pegawai dengan instansi atau lembaga negara (seperti: Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha/KPPU) sebagai pemberi kerja nya (termasuk pegawai dengan status non-PNS), lazimnya dikategorikan sebagai hubungan hukum yang didasarkan pada perjanjian pelayanan publik ( publiekrechtelijk verhouding ). Bagi hubungan hukum pelayanan publik, s ejak awal dalam Pasal 1603y Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / KUH Perdata (BW) memang telah mengesampingkan pemberlakuan Bab Ketujuh-A Buku Kedua KUH Perdata , khususnya bagi pejabat Negara, pejabat Daerah atau bagian Daerah, Kota-praja ( cq. Pemerintah Kabupaten/Kota) serta badan-badan yang menyelenggarakan perairan atau badan-badan lainnya , kecuali (sebaliknya) telah diperjanjikan atau dinyatakan berlaku. Sebagai contoh, hubungan hukum antara seorang pegawai (status non-PNS) dengan -lembaga- KPK, diatur (secara umum) dalam Undang-Undang KPK , yakni UU No. 30 Tahun 2002 , khususnya Pasal 24 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 21 ayat (1) huruf c dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 3 PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM KPK (“PP 63/2005”) , yang menyebutkan bahwa Pegawai KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai pegawai pada KPK dengan persyaratan dan tata cara pengangkatan yang  diatur lebih lanjut dengan Keputusan KPK. Lebih lanjut diatur bahwa p egawai KPK tersebut terdiri atas Pegawai Tetap , Pegawai Negeri yang dipekerjakan dan Pegawai Tidak Tetap ( Pasal 3, Pasal 5 dan Pasal 8 PP 63 / 2005 ). - Pegawai Tetap adalah pegawai yang memenuhi syarat yang diangkat oleh Pimpinan KPK melalui pengadaan pegawai untuk menjadi pegawai KPK. - Pegawai Negeri adalah pegawai yang memenuhi syarat yang ditentukan untuk dipekerjakan sebagai pegawai KPK dengan masa penugasan maksimal 4 (empat) tahun. - Sedangkan Pegawai Tidak Tetap KPK adalah pegawai yang memenuhi syarat dan terikat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PK”) sesuai Peraturan KPK ( Pasal 3 PP 63/2005 ). Berakhirnya atau perpanjangan jangka waktu PK (bagi Pegawai Tidak Tetap) dimaksud, dilakukan oleh KPK berdasarkan hasil evaluasi kinerja pelaksanaan PK periode sebelumnya sesuai kebutuhan KPK ( Pasal 8 ayat [1] dan ayat [2] PP 63/2005 ). Demikian juga, hubungan hukum antara seorang pegawai non-PNS dengan KPPU, diatur (secara umum) dengan peraturan perundang-undangan tersendiri, yakni Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawasan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Keppres Nomor 80 Tahun 200 8 , yang kemudian lebih rinci (diamanatkan) diatur dalam Keputusan KPPU No. 161/Kep/KPPU/XI/2006 tentang Pokok-pokok Kepegawaian jo Keputusan KPPU Nomor 97/Kep/KPPU/XII/2003 tentang Tata-tertib dan Pembinaan Disiplin Pegawai KPPU . Selain itu (sebagai contoh lain), untuk pegawai (non-PNS) lainnya, juga diatur secara tersendiri (antara lain) oleh Kementerian Luar Negeri, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri RI No.07/A/KP/x/2006/01 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian dan Pembuatan Kontrak Kerja Pegawai Setempat ( Local Staff ) Pada Perwakilan RI Di Luar Negeri. Dengan demikian, penyelesaian sengketa kepegawaian , khususnya bagi pegawai non-PNS yang bekerja di (setiap) lembaga Negara (seperti di KPK atau KPPU), ditentukan oleh aturan hubungan hukumnya masing-masing lembaga yang bersangkutan. Artinya, setiap membentuk suatu lembaga Negara semacam KPK atau KPPU, masing-masing lembaga tersebut mengatur secara khusus hubungan hukum pegawainya. Termasuk mengatur bagaimana –mekanisme– penyelesaian persengketaan mereka jika terjadi perselisihan diantara para pihak . Mereka tidak tunduk pada UU Kepegawaian ( UU No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian ) karena bukan Pegawai Negeri dan juga tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan karena bukan (murni) pegawai swasta. Walaupun ada beberapa persamaan susbstansi. Namun demikian, menurut hemat kami, apabila sama sekali tidak ada pengaturannya bagi pegawai non-PNS di lembaga Negara tersebut, dan jika menyimak ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , bisa saja (bagi pegawai non-PNS dimaksud) mendasarkan pada ketentuan UU Ketenagakerjaan. Oleh karena itu, pada bagian akhir opini dan penjelasan ini, kami sarankan agar sebagai aparat pelayanan publik ( aambtenaar ) di lembaga-lembaga pemerintah (seperti KPK atau KPPU) tersebut, hendaknya mengatur sendiri beberapa klausul dalam “perjanjian kerja”nya guna mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul, terutama klausul mengenai pilihan hukum ( applicable law ) dan ketentuan penyelesaian sengketa ( dispute settlement clause ). Bahkan jika dipandang perlu, sebaiknya diatur mengenai penyelesaian dispute secara bipartit ( mutual agreement ) dalam bentuk an amicable dispute settlement clause yang berakhir hanya sampai di situ (bipartit) saja, dalam arti final and binding . Demikian opini dan penjelasan kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian . 3. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 5. Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi 6. Keputusan Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan Keppres Nomor 88 Tahun 2008. 7. Keputusan KPPU No. 97/Kep/KPPU/XII/2003 tentang Tata-tertib dan Pembinaan Disiplin Pegawai KPPU. 8. Keputusan KPPU Nomor 161/Kep/KPPU/XI/2006 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. 9. Peraturan Menteri Luar Negeri RI No.07/A/KP/ X /2006/01 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian dan Pembuatan Kontrak Kerja Pegawai Setempat (Local Staff) Pada Perwakilan RI Di Luar Negeri." }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya terkait pendayagunaan aset BUMN. Saya contohkan suatu BUMN A memiliki sebuah aset berupa gudang dengan sertifikat HGB. BUMN A berniat menyewakan gudang tersebut kepada perusahaan B. Perusahaan B dalam menyewa gudang tersebut berniat untuk membongkar/menggusur gudang tersebut dan membangun kembali gudang tersebut dengan bentuk yang sama seperti sebelum dibongkar/digusur dengan pertimbangan konstruksi gudang tersebut sudah tidak kuat untuk menopang kegiatan perusahaan B. Dengan pembongkaran gudang tersebut oleh perusahaaan B, apakah termasuk kategori penghapusbukuan aset BUMN atau apakah cuma termasuk rehabilitasi/renovasi bangunan gudang saja? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Alvin Mediadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 31 Maret 2017. Sebelum membahas mengenai aset dari Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), kami jabarkan terlebih dahulu mengenai BUMN dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) . Kerja Sama BUMN Terkait Aset BUMN BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. [1] Kini aturan tentang pedoman pendayagunaan aset tetap BUMN merujuk pada Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tahun 2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 3/2017) . Adapun untuk menyesuaikan dengan dinamika yang berkembang dan menciptakan iklim investasi di BUMN yang lebih kompetitif dan produktif berdasarkan semangat korporasi, perlu untuk menetapkan pedoman kerja sama BUMN yang meliputi pula pedoman pendayagunaan aset tetap BUMN. [2] Sebelumnya perlu Anda pahami, mitra yang dimaksud di sini adalah pihak yang bekerja sama dengan BUMN yang terdiri dari BUMN, anak perusahaan BUMN, perusahaan terafiliasi BUMN dan/atau pihak lain. [3] Kerja sama BUMN tersebut meliputi: [4] kerja sama di mana BUMN sebagai rekan kerja sama; dan kerja sama di mana BUMN sebagai pihak yang mencari mitra . Karena hendak menyewakan gudang, BUMN A yang Anda maksud adalah BUMN yang mencari mitra yang dilakukan berdasarkan standar operasional prosedur yang ditetapkan direksi , yang paling sedikit mengatur : [5] mekanisme pemilihan mitra, termasuk mekanisme penunjukan langsung; dokumen yang diperlukan, antara lain studi kelayakan (mencakup manfaat paling optimal yang diperoleh BUMN), rencana bisnis (meliputi aspek operasional, finansial, hukum dan pasar), kajian manajemen risiko dan mitigasi risiko; persyaratan/kualifikasi mitra; tata waktu proses pemilihan mitra paling lama 90 hari kerja, sejak dokumen permohonan diajukan calon mitra diterima secara lengkap; mekanisme perpanjangan kerja sama, baik terhadap perjanjian yang telah berakhir, perjanjian yang sedang berjalan, maupun perjanjian yang akan datang; dan materi perjanjian kerja sama yang melindungi kepentingan BUMN. Setiap kerja sama dituangkan dalam perjanjian antara BUMN dengan mitra , yang paling sedikit memuat : [6] jenis dan nilai kompensasi/imbalan, cara pembayaran dan/atau penyerahan, waktu pembayaran dan penyerahan kompensasi/imbalan; hak dan kewajiban para pihak; cidera janji dan sanksi dalam hal mitra tidak memenuhi kewajiban kontraktualnya; penyelesaian sengketa yang mengutamakan penyelesaian melalui cara musyawarah dan mufakat, serta alternatif penyelesaian sengketa beserta domisili/jurisdiksi hukum; pembebasan ( indemnity ) BUMN oleh mitra dari tanggung jawab hukum pada saat perjanjian kerja sama berakhir; alih pengetahuan ( transfer of knowledge ) dari mitra ke BUMN (jika ada); berakhirnya perjanjian dan konsekuensi yang ditimbulkannya, termasuk mengenai penyerahan kembali objek perjanjian kerja sama; dan tidak adanya ketentuan yang mengikat dan/atau mewajibkan BUMN untuk memperpanjang perjanjian kerja sama. Untuk kerja sama terkait tanah, bangunan, dan/atau aset tetap milik BUMN , perjanjian tersebut juga paling sedikit memuat : [7] larangan untuk memindahtangankan, kecuali apabila sejak awal kerja sama dilakukan dalam rangka pemindahtanganan; larangan untuk menjaminkan objek perjanjian; larangan untuk mengikat jaminan yang melampaui masa perjanjian atas bangunan/sarana/prasarana hasil kerja sama; dan jaminan kualitas hasil kerja sama pada saat perjanjian berakhir. Dalam hal ini, kedudukan gudang sebagai aset BUMN merupakan aktiva tetap dari BUMN, yaitu aktiva berwujud yang digunakan dalam operasi BUMN tidak dimaksudkan untuk dijual dalam rangka kegiatan normal perusahaan dan memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun. [8] Penghapusbukuan Aset BUMN Menjawab pertanyaan Anda, yang dilakukan perusahaan B termasuk penghapusbukuan aset BUMN. Penghapusbukuan adalah setiap tindakan menghapuskan aktiva tetap BUMN dari pembukuan atau neraca BUMN, yang dilakukan karena beberapa hal, di antaranya: [9] Pemindahtanganan; Kondisi tertentu, meliputi: hilang; musnah; rusak yang tidak dapat dipindahtangankan ( total lost ); biaya pemindahtanganannya lebih besar dari nilai ekonomis yang diperoleh dari pemindahtanganan tersebut; dibongkar untuk dibangun kembali atau dibangun menjadi aktiva tetap yang lain yang anggarannya telah ditetapkan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”)/Menteri mengenai pengesahan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (“RKAP”) ; dibongkar untuk tidak dibangun kembali sehubungan dengan adanya program lain yang direncanakan dalam RKAP; berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/ atau putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, aktiva tetap tersebut tidak lagi menjadi milik atau dikuasai oleh BUMN. Berdasarkan huruf e di atas, gudang yang dibongkar dan kemudian dibangun kembali, aktivanya tetap dari gudang menjadi gudang dan tetap dimiliki oleh BUMN tersebut, sehingga dilakukan penghapusbukuan aset BUMN oleh perusahaan B. Penghapusbukuan aset BUMN ini dilakukan dengan catatan bahwa anggaran pembongkaran tersebut telah ditetapkan oleh RUPS/Menteri mengenai pengesahan RKAP. Patut diperhatikan pula, penghapusbukuan karena dibongkar untuk dibangun kembali memerlukan persetujuan oleh Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN. [10] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tahun 2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/09/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tahun 2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-06/MBU/2010 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-22/MBU/12/2014 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara [1] Pasal 1 angka 1 UU BUMN [2] Bagian Menimbang huruf d Permen BUMN 3/2017 [3] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/09/2017 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-03/MBU/08/2017 Tahun 2017 tentang Pedoman Kerja Sama Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 4/2017”) [4] Pasal 4 Permen BUMN 3/2017 [5] Pasal 6 ayat (4) Permen BUMN 4/2017 [6] Pasal 8 ayat (2) Permen BUMN 3/2017 [7] Pasal 8 ayat (5) Permen BUMN 3/2017 [8] Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/2010 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penghapusbukuan dan Pemindahtanganan Aktiva Tetap Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 2/2010”) [9] Pasal 1 angka 12 jo. Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permen BUMN 2/2010 [10] Pasal 14 Permen BUMN 2/2010 badan usaha milik negara mesin gedung hukumonline google aset aset bumn hukum klinik bumn perusahaan klinik hukumonline tanah bumd" }
{ "from": "human", "value": "Apakah penyitaan Akta Notaris oleh Kepolisian bisa dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Penyitaan Akta Notaris yang dibuat oleh Alfi Renata, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 03 Maret 2010. Intisari: Untuk keperluan proses pidana, penyitaan Minuta Akta Notaris pada dasarnya hanya dapat dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat dan persetujuan pengambilan minuta akta atau protokol Notaris dari Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sesuai dengan wilayah kerja Notaris yang bersangkutan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami beranggapan Akta Notaris yang Anda maksud adalah Minuta Akta Notaris. Minuta Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. [1] Penyitaan Menurut KUHAP Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 16 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Adapun benda yang disita hanyalah benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat dikenakan penyitaan menurut Pasal 39 ayat (1) KUHAP adalah: benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Penyitaan Minuta Akta Notaris untuk Keperluan Proses Pidana Penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. [2] Notaris merupakan pejabat yang menyimpan Minuta Akta dan dalam menjalankan tugasnya berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain. [3] Jadi menjawab pertanyaan Anda, dalam keperluan proses pidana, penyitaan Minuta Akta Notaris pada dasarnya harus dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat . Selain izin Ketua Pengadilan Negeri, diperlukan juga persetujuan pengambilan minuta akta atau protokol Notaris dari Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sesuai dengan wilayah kerja Notaris yang bersangkutan sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris (“Permenkumham 7/2016”) . Permenkumham ini mengatur tentang tata cara permintaan Minuta Akta untuk keperluan proses pidana. Majelis Kehormatan Notaris adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan untuk melaksanakan pembinaan Notaris dan kewajiban memberikan persetujuan atau penolakan untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan, atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. [4] Salah satu kewenangan Majelis Kehormatan Notaris Wilayah adalah pemberian persetujuan atau penolakan terhadap permintaan persetujuan pengambilan fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris berdasarkan keputusan rapat Majelis Kehormatan Notaris Wilayah. [5] Pengambilan minuta akta dan/atau surat-surat Notaris dalam penyimpanan Notaris dilakukan dalam hal: [6] ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan minuta akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana; ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari salah satu pihak atau lebih; ada dugaan pengurangan atau penambahan dari minuta akta; atau ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal ( antidatum ). Dalam konteks pertanyaan Anda, penyidik Kepolisian mengajukan permohonan persetujuan pengambilan minuta akta atau protokol Notaris dan pemanggilan Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang terkait dengan akta atau protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris kepada Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sesuai dengan wilayah kerja Notaris yang bersangkutan. [7] Permohonan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan tembusannya disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Permohonan harus memuat paling sedikit: [8] nama Notaris; alamat kantor Notaris; nomor akta dan/atau surat yang dilekatkan pada minuta akta atau protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan pokok perkara yang disangkakan. Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah wajib memberikan jawaban berupa persetujuan atau penolakan terhadap permohonan dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. Apabila jangka waktu tersebut terlampaui, dianggap Majelis Kehormatan Notaris Wilayah menerima permintaan persetujuan. [9] Dalam hal majelis pemeriksa memberikan persetujuan atas permohonan penyidik, penuntut umum, atau hakim, Notaris wajib: [10] memberikan fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat yang diperlukan kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim; dan menyerahkan fotokopi minuta akta dan/atau surat-surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan dibuatkan berita acara penyerahan yang ditandatangani oleh Notaris dan penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk keperluan proses pidana, penyitaan Minuta Akta Notaris pada dasarnya hanya dapat dilakukan dengan izin khusus Ketua Pengadilan Negeri setempat dan persetujuan pengambilan minuta akta atau protokol Notaris dari Ketua Majelis Kehormatan Notaris Wilayah sesuai dengan wilayah kerja Notaris yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris [1] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (“UU 2/2014”). Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 13 UU 2/2014). [2] Pasal 43 KUHAP [3] Pasal 16 ayat (1) huruf f UU 2/2014 [4] Pasal 1 angka 1 Permenkumham 7/2016 [5] Pasal 18 ayat (1) huruf b dan Pasal 20 huruf b Permenkumham 7/2016 [6] Pasal 26 Permenkumham 7/2016 [7] Pasal 66 ayat (1) huruf a UU 2/2014 dan Pasal 23 ayat (1) Permenkumham 7/2016 [8] Pasal 23 ayat (2) dan (3) Permenkumham 7/2016 [9] Pasal 23 ayat (4) dan (5) Permenkumham 7/2016 [10] Pasal 25 ayat (3) Permenkumham 7/2016 majelis kehormatan notaris hukumonline klinik hukumonline penyidikan profesi hukum hukum klinik penyitaan akta notaris notaris" }
{ "from": "human", "value": "Saya mempunyai pengalaman pada saat melaporkan suatu kasus teror via sms, oleh petugas polisi akhirnya dibuat laporan \"perbuatan tidak menyenangkan\". Berbekal surat laporan, saya bersama petugas polisi meminta keterangan kepada kantor operator telekomunikasi untuk mengetahui data/posisi pemilik nomor hp yang menteror via sms, tetapi jawaban dari bagian legal-nya adalah mereka tidak bisa memberikan data yang diminta, karena ancaman hukumannya kurang dari 5 tahun. Pertanyaan saya, apakah tindakan dari bagian legal operator itu dibenarkan? Dan dasar hukumnya apa? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sahabat hukumonline yang baik, Permintaan data atau biasa disebut sebagai permintaan “rekaman” atau bisa juga disebut permintaan Call Data Record (“CDR”) terkait penggunaan jasa telekomunikasi diatur secara jelas berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (“UU Telekomunikasi”). Penyelenggara Jasa Telekomunikasi (“operator”) berdasarkan Pasal 18 UU Telekomunikasi dan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (“PP 52”) wajib mencatat/ merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi. KLINIK TERKAIT Bisakah Minta Operator Seluler Melacak Pemilik Nomor HP? 01 Apr 2024 Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan SMS Berhadiah 14 Sep 2023 Cara Mendeteksi Nomor Tidak Dikenal 06 Apr 2022 Jika Terganggu SMS Penawaran Produk/Jasa Keuangan 10 Sep 2021 Pemberian rekaman berdasarkan perspektif UU Telekomunikasi dibagi 2 (dua), yaitu pemberian rekaman kepada pengguna jasa telekomunikasi dalam rangka pembuktian kebenaran pemakaian fasilitas telekomunikasi dan pemberian rekaman untuk keperluan proses peradilan pidana . Berdasarkan Pasal 41 UU Telekomunkasi , terdapat 2 (dua) jenis perekaman yang diatur yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. Perekaman Pemakaian Fasilitas Telekomunikasi yaitu perekaman yang dilakukan penyelenggara jasa telekomunikasi yang bersifat wajib ( mandatory ) untuk keperluan pengguna jasa telekomunikasi itu sendiri, seperti perekaman rincian data tagihan ( billing ) dan lain-lain. 2. Perekaman Informasi yaitu perekaman informasi tertentu yang diatur sesuai peraturan perundang-undangan, seperti rekaman percakapan antarpihak yang bertelekomunikasi. Kendali dari Pasal 41 UU Telekomunikasi tersebut terdapat pada Pasal 42 UU Telekomunikasi, yang mana operator telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang diselenggarakannya. Sanksi jika operator tidak menjaga kerahasiaan tersebut adalah pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp200 juta ( Pasal 57 UU Telekomunikasi ). Permintaan data/rekaman sebagaimana cerita Anda, kami asumsikan permintaan rekaman dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana. Ada baiknya kita melihat terlebih dahulu Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yang mengatur bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana , penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: 1. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; 2. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Cakupan proses peradilan pidana itu sendiri dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UU Telekomunikasi yaitu pada penyidikan, penuntutan, dan penyidangan . Sedangkan, yang dimaksud tindak pidana tertentu adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun ke atas, seumur hidup, atau mati ( penjelasan Pasal 42 ayat [2] huruf a UU Telekomunikasi ). Dalam permasalahan yang Anda sampaikan, delik tentang “perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) merupakan delik yang diancam pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun , sehingga berdasarkan UU Telekomunikasi operator harus menolak permintaan tersebut. Dalam praktik yang kami temui, penolakan permintaan rekaman oleh operator juga dapat terjadi apabila kasus yang diminta masih dalam proses penyelidikan dan belum sampai pada tahap penyidikan . Proses penyidikan ditandai dengan dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan (“Sprindik”) atau Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (“SPDP”), jika permintaan rekaman tersebut melampirkan atau menyebutkan Sprindik atau SPDP, maka tidak ada alasan bagi operator untuk tidak memberikan rekaman yang diminta oleh penyidik dalam kurun waktu 1x24 jam setelah permohonan diterima ( Pasal 89 ayat [2] PP 52 ). Dalam hal teknis rekaman tidak dimungkinkan, penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberitahukan kepada Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan atau Penyidik selambat-lambatnya 6 (enam) jam setelah diterimanya permintaan ( Pasal 89 ayat [2] dan ayat [3] PP 52 ). Di samping syarat formal, secara administratif, permintaan rekaman juga harus tertulis dan sah dengan tembusan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika ( Pasal 88 PP 52 ). Yang dimaksud disampaikan secara tertulis dan sah adalah setiap permintaan perekaman informasi harus dibuat dan disampaikan secara tertulis oleh instansi yang berwenang serta dibubuhi cap instansi pemohon dan tanda tangan pejabat yang mengajukan permintaan ( penjelasan Pasal 88 PP 52 ). Syarat administratif lain sebagaimana Pasal 89 PP 52 juga mengatur bahwa permintaan tertulis perekaman informasi sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat: a. obyek yang direkam; b. masa rekaman; dan c. periode waktu laporan hasil rekaman. Hal yang perlu diingat adalah, betul bahwa salah satu cara untuk mengetahui posisi atau lokasi pemilik no mor seluler dapat dilakukan melalui penelusuran nomor seluler berdasarkan Rekaman Data Panggilan atau CDR, karena CDR di dalamnya berisi Location Area Code Cell ID (“LAC CID”). LAC CID adalah Kode Area Lokasi berupa angka unik yang biasanya digunakan untuk mengidentifikasi lokasi suatu Base Tranceiver Station (“BTS”). Namun demikian, dengan diketahuinya LAC CID tidak serta merta lokasi atau posisi pengguna seluler diketahui secara tepat, karena untuk mengetahui secara akurat lokasi pengguna seluler, diperlukan eksplorasi leih lanjut dengan perangkat tertentu. Penggunaan CDR bisa jadi hanya sebagai petunjuk awal atas penelusuran berikutnya. Demikian jawaban kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi 3. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi uu telekomunikasi" }
{ "from": "human", "value": "Pengajuan PK dalam tenggang waktu 180 hari sesudah penetapan atau putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap atau sejak ditemukan bukti adanya kebohongan atau bukti baru. Bila alasan pemohon PK berdasarkan bukti baru (novum), maka bukti baru tersebut dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. Yang ingin saya tanyakan apabila kita mendapatkan novum berupa akta jual beli atau SHM, apa maksud harus \"dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yg berwenang\"?" }
{ "from": "gpt", "value": "Guna menyederhanakan jawaban, kami akan membahas ketentuan permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata saja. Patut Anda ketahui, ketentuan permohonan peninjauan kembali dilakukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.[1]\nPeninjauan kembali diajukan ke mana? Mahkamah Agung sesuai dengan tugas dan wewenangnya untuk memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[2]\n\nSiapa yang dapat mengajukan peninjauan kembali? Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara atau ahli warisnya atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu. Apabila selama proses peninjauan kembali si pemohon meninggal dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.[3]\nPatut Anda catat, selama belum diputus, permohonan peninjauan kembali dapat dicabut. Lalu apabila sudah dicabut, permohonan peninjauan kembali tidak dapat diajukan lagi.[4] Kemudian apa syarat mengajukan upaya peninjauan kembali?\n\nDalam putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:[5]\n\napabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.\n\nSelanjutnya, tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan tersebut di atas adalah 180 hari untuk:[6]\n\nyang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;yang tersebut pada huruf e sejak sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara.\n\nSebagai tambahan informasi, pemeriksaan permohonan peninjauan kembali atas putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam KUHAP.\nAlat Bukti Surat sebagai Novum\n\nMenjawab pertanyaan Anda, menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya berjudul Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, terdapat empat bagian yang dapat dijelaskan terkait dengan Pasal 67 huruf b jo.Pasal 69 huruf b UU Mahkamah Agung, yaitu:\n\nPenerapan alasan permohonan peninjauan kembali terbatas hanya pada bentuk alat bukti surat.Alat bukti surat, yang memenuhi alasan permohonan peninjauan kembali ini, harus bersifat menentukan.Hari dan tanggal alat bukti surat itu ditemukan, harus dinyatakan di bawah sumpahdandisahkan pejabat yang berwenang.Alat bukti surat itu telah ada sebelum proses pemeriksaan perkara.\n\nPada hari dan tanggal ditemukan alat bukti surat itu, pemohon peninjauan kembali harus menyatakan di bawah sumpah dengan cara:\n\nPernyataan sumpah itu dibuat secara tertulis yang menjelaskan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah menemukan alat bukti surat in casu akta jual beli atau Sertipikat Hak Milik dengan menyebut tempat atau kantor di mana alat bukti surat itu ditemukan.Surat pernyataan sumpah kemudian disahkan oleh pejabat yang berwenang.\n\nKedua syarat ini bersifat imperatif dan kumulatif. Artinya, apabila penemuan surat itu tidak dituangkan dalam bentuk surat pernyataan di bawah sumpah, kemudian surat pernyataan sumpah itu tidak disahkan oleh pejabat yang berwenang, maka alat bukti surat itu tidak memenuhi syarat sebagai alasan permohonan peninjauan kembali. Sementara itu, pernyataan sumpah saja oleh pemohon peninjauan kembali tanpa disahkan oleh pejabat yang berwenang juga mengakibatkan alat bukti surat tidak sah sebagai alasan permohonan peninjauan kembali.\n\nSecara sederhana, pernyataan di bawah sumpah tersebut dapat langsung dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dan pengesahannya dilakukan oleh pejabat tersebut pada surat yang bersamaan di tempat pembuatan pernyataan sumpah.\n\nAdapun terhadap pengertian atau siapa ”pejabat yang berwenang” pada Pasal 69 huruf b UU Mahkamah Agung memang tidak diberikan penjelasan. Oleh karena tidak diberikan penjelasan, maka tidak ada pembatasan siapa ”pejabat yang berwenang” dalam melakukan pengesahan atas alat bukti surat. Namun demikian, pada umumnya, jika suatu surat yang akan dijadikan novum berkaitan erat dengan pejabat tertentu, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dilakukan di hadapan dan oleh pejabat tersebut.\n\nMerujuk pada pernyataan Anda, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa akta jual beli, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Sementara itu, jika alat bukti surat yang diajukan sebagai novum adalah berupa sertipikat hak milik, maka pernyataan sumpah dan pengesahannya dapat dilakukan di hadapan dan oleh pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN).\n\nDemikian jawaban dari kami tentang permohonan peninjauan kembali (PK), semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang kedua kalinya diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.\n\nREFERENSI:\n1. Yahya Harahap. Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.\n\n[1] Pasal 66 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU Mahkamah Agung”)\n\n[2] Pasal 28 ayat (1) huruf c UU Mahkamah Agung\n\n[3] Pasal 68 UU Mahkamah Agung\n\n[4] Pasal 66 ayat (3) UU Mahkamah Agung\n\n[5] Pasal 67 UU Mahkamah Agung\n\n[6] Pasal 69 UU Mahkamah Agung" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan apa perbedaan antara diperpanjang dan diperbaharui dalam Pasal 59 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perbedaan Memperpanjang dan Memperbaharui dalam PKWT oleh Liza Elfitri, S.H., M.H. dari PAHAM Indonesia yang pertama kali dipublikasikan pada 18 Oktober 2016. KLINIK TERKAIT PKWT Tidak Didaftarkan ke Disnaker, Ini Akibat Hukumnya! 27 Mei 2024 Bolehkah Mempekerjakan Kembali Pensiunan? 30 Apr 2024 Status Karyawan Berubah dari Kontrak Menjadi Tetap Jika Tak Penuhi Ketentuan Ini 13 Des 2021 Sanksi Jika Nominal Upah Tak Sesuai yang Didaftarkan ke BPJS 13 Des 2021 Penghapusan Pembaruan PKWT Sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja , Pasal 59 UU Ketenagakerjaan berbunyi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; pekerjaan yang bersifat musiman; atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan. Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri. Namun, kini ketentuan dalam Pasal 59 UU Ketenagakerjaan telah diubah oleh Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja , sehingga bunyinya menjadi: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu sebagai berikut: pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; pekerjaan yang bersifat musiman; pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jika merujuk pada ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa kini, sejak diundangkannya UU Cipta Kerja, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) tidak lagi diatur. Ada pun yang diatur hanyalah ketentuan perpanjangan PKWT . Untuk itu, dalam artikel ini, kami hanya akan membahas mengenai PKWT dan aturan perpanjangannya pasca UU Cipta Kerja diundangkan. Apa Itu PKWT? PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. [1] PKWT didasarkan atas: [2] Jangka waktu , yang dibuat untuk pekerjaan tertentu, yaitu: Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, yakni maksimal 5 tahun; Pekerjaan yang bersifat musiman; atau Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau Selesainya suatu pekerjaan tertentu , yang dibuat untuk pekerjaan tertentu, yaitu: Pekerjaan yang sekali selesai; atau Pekerjaan yang sementara sifatnya. Aturan Perpanjangan PKWT Pada dasarnya, PKWT yang dibuat berdasarkan jangka waktu dapat dibuat untuk maksimal 5 tahun . [3] Namun, dalam hal jangka waktu PKWT akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai, maka dapat dilakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun . [4] Sedangkan PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja, yang memuat: [5] Ruang lingkup dan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai; dan Lamanya waktu penyelesaian pekerjaan disesuaikan dengan selesainya suatu pekerjaan. Dalam hal ini, jika pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan sesuai waktu yang disepakati tersebut, maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan . [6] Patut diperhatikan, masa kerja pekerja dalam hal perpanjangan jangka waktu PKWT baik yang didasarkan atas jangka waktu maupun selesainya suatu pekerjaan tertentu tetap dihitung sejak terjadinya hubungan kerja berdasarkan PKWT. [7] Jadi, menjawab pertanyaan Anda, kini pasca UU Cipta Kerja diundangkan, pembaruan PKWT tidak lagi dikenal. Adapun yang dikenal hanyalah perpanjangan PKWT , yang mana bagi PKWT yang didasarkan atas jangka waktu, maka aturan jangka waktu dan perpanjangan PKWT adalah maksimal 5 tahun. Sedangkan bagi PKWT yang didasarkan pada selesainya suatu pekerjaan tertentu, maka PKWT dapat diperpanjang sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) [2] Pasal 4 ayat (1) jo . Pasal 5 ayat (1) dan (2) jo . Pasal 6 PP 35/2021 [3] Pasal 8 ayat (1) PP 35/2021 [4] Pasal 8 ayat (2) PP 35/2021 [5] Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP 35/2021 [6] Pasal 9 ayat (4) PP 35/2021 [7] Pasal 8 ayat (3) jo . Pasal 9 ayat (5) PP 35/2021 hukumonline ketenagakerjaan jangka waktu pkwt perjanjian kerja kontrak kerja klinik perusahaan klinik hukumonline pkwtt" }
{ "from": "human", "value": "Saya bekerja di sebuah perusahaan selama 2 tahun 4 bulan sebagai supervisor logistic. Selama saya bekerja, saya menandatangani kontrak kerja sebanyak 3 kali (1 tahun + 1 tahun + 4 bulan) dan 1 kali kenaikan gaji. Kemudian saya dinyatakan habis kontrak dan off dari perusahaan tanpa 1 rupiah pun pesangon atau upah jasa karena HRD perusahaan mengatakan saya karyawan PKWT dan saya tidak berhak mendapatkan dana dalam bentuk apapun. Padahal selama 3 kali kontrak di perusahaan tidak ada jeda (tidak dirumahkan), dengan kata lain saya di kontrak terus-menerus selama 3 kali tanpa ada jeda. Pertanyaan apakah saya seorang karyawan PKWT atau PKWTT?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ketentuan Upah Minimum dan Serikat Pekerja Bagi Pekerja PKWT 18 Jul 2024 Apakah Karyawan Kontrak Resign Dapat Pesangon? 01 Des 2023 Perbedaan Pekerja Harian Lepas dengan Pekerja Bulanan 24 Jul 2023 Pengaturan Pekerja Kontrak Pasca UU Cipta Kerja 09 Apr 2021 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Implikasi Perpanjangan PKWT yang Tidak Sesuai Hukum yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Rabu, 5 Desember 2018. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ketentuan Perpanjangan PKWT Dulunya, berdasarkan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) yang tidak memenuhi ketentuan dalam UU Ketanagakerjaan demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) sebagaimana Anda tanyakan. Akan tetapi, Pasal 81 angka 15 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah mengubah bunyi Pasal 59 UU Ketenagakerjaan tersebut, dan ketentuan terkait menjadi PKWTT telah dihapus. Saat ini, ketentuan mengenai PKWT lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”). Dalam PP tersebut, dijelaskan bahwa untuk PKWT yang didasarkan atas jangka waktu dapat dibuat untuk paling lama 5 tahun, [1] dan jika PKWT akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai maka dapat dilakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun . [2] Sedangkan apabila PKWT dibuat berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, maka dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT belum dapat diselesaikan sesuai lamanya waktu yang disepakati maka jangka waktu PKWT dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan . [3] Sehingga menurut hemat kami, jangka waktu maksimal 5 tahun untuk PKWT dan perpanjangan hanya diperuntukkan bagi PKWT yang didasarkan atas jangka waktu. Sedangkan untuk PKWT yang didasarkan atas selesainya suatu pekerjaan tertentu, dilaksanakan hingga selesainya pekerjaan . Untuk memahami perbedaan antara PKWT berdasarkan jangka waktu dan PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu, Anda dapat menyimaknya dalam Pengaturan Pekerja Kontrak Pasca UU Cipta Kerja . Uang Kompensasi Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda, untuk menyederhanakan jawaban, kami asumsikan jenis PKWT Anda adalah PKWT berdasarkan jangka waktu, maka perpanjangan PKWT  Anda tidak menyalahi aturan, karena belum mencapai batas maksimal yaitu 5 tahun . Kemudian perlu diperhatikan pula, kini pada saat berakhirnya PKWT, perusahaan memberikan uang kompensasi bagi pekerja PKWT [4] yang mempunyai masa kerja paling sedikit 1 bulan secara terus menerus . [5] Selanjutnya apabila PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau selesai. [6] Jadi kami berpendapat, Anda seharusnya telah menerima 3 kali uang kompensasi atas 3 kali PKWT dan perpanjangannya yang Anda alami. Oleh karena itu, alih-alih mendapatkan pesangon, pekerja PKWT yang telah berakhir jangka waktu perjanjian kerja atau selesainya suatu pekerjaan tertentu memperoleh uang kompensasi sesuai dengan masa kerja yaitu: [7] PKWT selama 12 bulan secara terus menerus , diberikan sebesar 1 bulan upah PKWT selama 1 bulan atau lebih tetapi kurang dari 12 bulan , dihitung secara proporsional dengan perhitungan: x 1 bulan upah PKWT selama lebih dari 12 bulan, dihitung secara proporsional dengan perhitungan: x 1 bulan upah Baca juga: Perpanjangan Masa Berlaku Peraturan Perusahaan dan Uang Kompensasi bagi Karyawan PKWT Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 8 ayat (1) PP 35/2021 [2] Pasal 8 ayat (2) PP 35/2021 [3] Pasal 9 ayat (1) dan (4) PP 35/2021 [4] Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP 35/2021 [5] Pasal 15 ayat (3) PP 35/2021 [6] Pasal 15 ayat (4) PP 35/2021 [7] Pasal 16 ayat (1) PP 35/2021 hukumonline pekerja ketenagakerjaan pkwt perjanjian kerja online buruh tenaga kerja hukum cipta kerja perusahaan pkwtt" }
{ "from": "human", "value": "Selamat sore, mohon petunjuk terkait masa SIUP perusahaan saya akan berakhir tanggal 23 Januari 2013. Sedangkan pimpinan saya sedang ke luar negeri. Pertanyaan saya adalah: 1) Apa efek ketika masa berlaku SIUP habis? 2) Apakah ada sanksi, Jika SIUP yang habis masa berlakunya. Namun tidak di perpanjang? Apa sanksinya? 3) Apakah SIUP yang habis masa berlakunya, dapat diperpanjang lagi atau harus membuat SIUP yang baru (permohonan baru)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum kami menjawab pertanyaan Saudara, dapat kami informasikan bahwa Surat Izin Usaha Perdagangan atau biasa disingkat dengan SIUP, diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan telah beberapa kali mengalami perubahan, yaitu: KLINIK TERKAIT Perizinan Usaha Industri Pengemasan Minyak Goreng 19 Okt 2017 Jenis-jenis Pekerjaan yang Dilarang Dilakukan Anak 21 Mar 2013 Perizinan Rumah Biliar yang Tergolong Usaha Mikro/Kecil 05 Mar 2013 Bolehkah Bar Menyediakan Pekerja Seks Komersial? 30 Jan 2013 1) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 289/MPP/Kep/10/2001 tanggal 5 Oktober 2001, tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP); 2) Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departemen Perindustrian dan Perdagangan No. 119/SJ/II/2002 tanggal 19 Februari 2002 perihal Petunjuk Pelaksanaan OTODA di Bidang Industri dan Perdagangan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3) Peraturan Menteri Perdagangan No. 09/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan; 4) Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“ Permendag No. 36/2007 ”); 5) Peraturan Menteri Perdagangan No.46/M-DAG/PER/9/2009 TEntang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.36/M-DAG/PER/9/2007 tentang penerbitan Surat izin usaha perdagangan (“ Permendag No. 46/2009 ”); dan terakhir kali diubah, 6) Peraturan Menteri Perdagangan No. 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“ Permendag No. 39/2011 ”). Berdasarkan ketentuan yang tersebut di atas bahwa SIUP diajukan kepada Kepala Dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan atau pejabat yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu setempat. Hal mana kewenangan tersebut dilimpahkan oleh Bupati/Walikota setempat (vide Pasal 8 ayat [ 3 ] Permendag No. 36/2007 ). Selanjutnya, merujuk pada Pasal 7 ayat (2) Permendag No. 36/2007 , SIUP berlaku selama 5 (lima) tahun dan Perusahaan Perdagangan selama melak u kan kegiatan usahanya Wajib untuk melakukan pendaftaran ulang di tempat penerbitan SIUP. Dalam hal di kemudian hari Perusahaan lalai untuk memperpanjang SIUP yang telah habis/lewat waktu masa berlakunya maka Pejabat Penerbit SIUP akan memberikan Sanksi Administratif berupa Peringatan Tertulis kepada Pemilik atau Pengurus atau Penanggung jawab Perusahaan Perdagangan yang telah memiliki SIUP, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Permendag No. 36/2007 . Sanksi sebagaimana dimaksud dalam Permendag No. 36/2007 akan diberikan oleh Pejabat Penerbit SIUP sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat peringatan dikeluarkan. Kemudian, dalam hal sanksi adm i nistrasi tetap tidak dihiraukan Pemilik atau Pengurus atau Penanggung jawab Perusahaan Perdagangan maka Penjabat Penerbit SIUP akan mengenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara SIUP paling lama 3 (tiga) bulan yang dilakukan oleh Pejabat Penerbit SIUP dengan mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara SIUP sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Permendag No. 46/2009 . Dalam hal Pemilik atau Pengurus atau Penanggung jawab Perusahaan Perdagangan tetap melalaikan sanksi administratif yang diberikan oleh Pejabat Penerbit SIUP , yang mana untuk perpanjangan SIUP yang telah habis/lewat waktu masa berlakunya maka Pejabat Penerbit SIUP akan mengenakan sanksi administratif berupa Pencabutan SIUP sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Permendag No. 46/2009 . Namun , p en cabutan SIUP sebagaimana dimaksud diatur lebih terpe rinci melalui peraturan daerah masing-masing wilayah, yang tentunya wajib berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang be r laku. Sepanjang SIUP yang telah habis/lewat waktu masa berlaku dimaksud belum dicabut, maka Saudara tetap dapat memperpanjang SIUP tersebut dengan persyaratan sebagaimana diatur oleh pemerintah Kabupaten atau Kota setempat pada wilayah Pemilik atau Pengurus atau Penanggung jawab Perusahaan Perdagangan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih. Dasar hukum: 1. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 289/MPP/Kep/10/2001 tanggal 5 Oktober 2001, tentang Ketentuan Standar Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). 2. Surat Edaran Sekretaris Jenderal Departmenen Perindustrian dan Perdagangan No. 119/SJ/II/2002 tanggal 19 Februari 2002 perihal Petunjuk Pelaksanaan OTODA di Bidang Industri dan Perdagangan. 3. Peraturan Menteri Perdagangan No. 09/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. 4. Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag No.36/2007”). 5. Peraturan Menteri Perdagangan No.46/M-DAG/PER/9/2009 te ntang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.36/M-DAG/PER/9/2007 tentang penerbitan Surat izin usaha perdagangan (“Permendag No.46/2009”). 6. Peraturan Menteri Perdagangan No. 39/M-DAG/PER/12/2011 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Permendag No. 36/M-DAG/PER/9/2007 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (“Permendag No.39/2011”). REFERENSI:\n1. Petunjuk Mengurus Izin dan Rekomendasi Sektor Industri dan Perdagangan" }
{ "from": "human", "value": "Saya minta penjelasan mengenai karyawan yang tidak masuk kerja oleh karena sakit namun tidak mengirimkan surat dokter. Apakah karyawan tersebut bisa di-PHK karena sakit atau tidak? Mohon petunjuk dan penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan melarang pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (“PHK”) dengan alasan pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.[1]\n\nBerdasarkan ketentuan larangan PHK karena sakit tersebut, larangan PHK karyawan yang sakit (berkepanjangan atau terus-menerus) terbatas hanya dalam jangka waktu 12 bulan berturut-turut. Dengan kata lain, pada bulan ke-13, pengusaha dapat melakukan PHK.\n\nHal ini juga ditegaskan dalam Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf m UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.\nHak Pekerja yang Di-PHK\n\nApa saja hak-hak pekerja yang di-PHK karena sakit? Ketentuan Pasal 55 PP 35/2021 menerangkan bahwa jika terjadi PHK, pekerja yang bersangkutan berhak atas 2 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Adapun besarannya dapat Anda simak dalam artikel Begini Cara Menghitung Pesangon Menurut UU Cipta Kerja.\n\nDi sisi lain, jika dikaitkan dengan pekerja yang sakit dan tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan, Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa pada prinsipnya, upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh (karyawan) tidak melakukan pekerjaan atau yang dikenal dengan prinsip no work no pay.\n\nNamun, dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan beserta penjelasannya jo. Pasal 40 ayat (3) huruf a PP Pengupahan, pekerja dikecualikan dari prinsip no work no pay tersebut jika ia sakit menurut keterangan dokter sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.\n\nArtinya, jika sakit, pekerja harus tetap dibayar upahnya sepanjang sakitnya disertai dengan surat keterangan dokter. Jika tidak disertai surat keterangan dokter, maka tetap diperlakukan no work no pay dan bahkan dapat dilakukan tindakan indisipliner.\n\nUpah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit ialah sebagai berikut:[2]\n\n4 bulan pertama, 100% dari upah;4 bulan kedua, 75% dari upah;4 bulan ketiga, 50% dari upah;bulan selanjutnya sebelum PHK dilakukan, 25% dari upah.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, kami tegaskan bahwa jika yang bersangkutan tidak dapat masuk kerja karena sakit dan ada surat/keterangan dokter yang berwenang, maka ia tidak dapat di-PHK sebelum sakitnya melampaui jangka waktu 12 bulan berturut-turut, sebagaimana yang telah kami sampaikan sebelumnya.\n\nNamun, jika yang bersangkutan sakit dan tidak dapat memberikan surat/keterangan dokter, maka ia dapat dikategorikan mangkir. Jika ia mangkir selama 5 hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis,[3] dapat dilakukan PHK sebagaimana yang telah dijelaskan.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait PHK karena sakit sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.\n\n[1] Pasal 81 angka 43 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)\n\n[2] Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan\n\n[3] Lihat Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf j UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Saya bekerja di lembaga bimbingan belajar sudah hampir 5 tahun. Tetapi, sekarang ini LBB (lembaga bimbingan belajar) dalam keadaan pailit, dan harus mengurangi beberapa karyawannya termasuk saya, dan rencananya tidak ada uang pesangon dan uang jasa. Saya termasuk karyawan tetap karena di LBB tidak ada yang kontrak apalagi outsourcing. Yang saya tanyakan adalah: 1. Di mana saya harus menuntut kalau benar tidak ada pesangon, sedangkan LBB-nya tidak ada izin tetapi omsetnya ratusan juta? 2. Bisakah kasus seperti ini digugat di pengadilan hubungan industrial? Untuk yang sudah jawab, terima kasih, semoga kebahagiaan dan kesehatan selalu menyertai Anda, amiin." }
{ "from": "gpt", "value": "Salam kenal, Sebelum kami masuk dalam jawaban dari pertanyaan yang A nda sampaikan, ada baiknya kami menerangkan terlebih dahulu mengenai istilah pailit. Secara umum pailit menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring berarti bangkrut. Sedangkan, menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) , kepailitan adalah: “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini” Anda tidak menjelaskan apakah perusahaan tempat Anda bekerja pailit berdasarkan putusan pengadilan, ataukah tidak beroperasi lagi karena bangkrut. Karena secara hukum keduanya memiliki implikasi dan proses hukum yang berbeda. Pertama, kami akan jelaskan proses pailit berdasarkan UU 37/2004. Pailit merupakan suatu keadaan yang mana debitur tidak mampu lagi untuk melakukan pembayaran - pembayaran terhadap utang - utang dari para krediturnya. Karena adanya kesulitan yang dihadapi ini , maka kemungkinan akan sulit juga untuk membayar upah karyawan atau pekerja. KLINIK TERKAIT Masih Bisakah Karyawan Perusahaan yang Pailit Dipekerjakan? 19 Okt 2022 Bisakah PHK Karena Lumpur Lapindo Menggunakan Alasan Force Majeure? 15 Mar 2012 Status Hukum Karyawan yang Dirumahkan 21 Sep 2011 Bagaimana Kedudukan Utang Gaji Karyawan Jika Perusahaan Pailit? 30 Jun 2011 Walaupun LBB (Lembaga Bimbingan Belajar) tersebut tidaklah memiliki izin namun hal tersebut tidaklah meniadakan kewajiban pengusaha untuk memberikan hak terhadap pekerjanya atau buruhnya. Dalam hal perusahaan pailit maka yang menggantikan perusahaan atau debitor untuk melakukan perbuatan hukum adalah kreditor. Kurator dalam hal ini tetap berpedoman pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( “ UUK ” ). Dalam Pasal 95 ayat (4) UUK disebutkan bahwa: “(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang - undangan yang berlaku, maka upah dan hak - hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam kata lain, kedudukan buruh atau pekerja dalam saat perusahaan pailit merupakan kreditor preferen atau kreditur yang didahulukan atau diistimewakan. Sehingga upah atau hak lainnya dari buruh yang menjadi utang perusahaan harus didahulukan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , yang berbunyi: “Piutang-piutang yang diistimewakan atas semua benda bergerak dan tak bergerak pada umumnya ialah yang disebutkan dibawah ini, piutang – piutang mana dilunasi dari pendapatan penjualan benda – benda itu menurut urutan sebagai berikut:... 4. upah buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam tahun yang sedang berjalan...” Begitupula yang diatur dalam Pasal 39 ayat (2) U U 37 / 2004 , yang berbunyi: “(2) Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah putusan pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit” Sehingga, jika memang perusahaan atau LBB tempat A nda bekerja sekarang dinyatakan pailit maka perusahaan berutang terhadap A nda untuk membayarkan hak A nda sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 156 ayat (1) U UK , yang berbunyi: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusahan diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Untuk itu , jika memang perusahaan atau LBB tempat A nda bekerja pailit A nda masih memiliki hak untuk mendapatkan uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Namun , perlu diketahui bahwa buruh atau pekerja merupakan kreditor preferen yang kedudukannya di bawah kreditor separatis sehingga bila harta debitor atau perusahaan telah dijadikan agunan dan dikuasai oleh para kreditor separatis hal tersebut dapat berakibat buruh tidak memperoleh apapun. Dalam hal LBB pailit karena putusan pengadilan, maka Anda dan para pekerja yang lain otomatis menjadi kreditor. Untuk menagih hak-hak Anda, silakan mengajukan tagihan kepada kurator yang telah diangkat oleh pengadilan untuk mengurus harta pailit LBB tersebut. Namun, jika pailit LBB tersebut hanya berupa berhenti beroperasi karena bangkrut (bukan karena putusan pengadilan) dan  diketahui bahwa harta dari LBB masih ada namun tidak melaksanakan kewajibannya terhadap buruh atau pekerja, maka buruh atau pekerja dapat menyelesaikan perselisihan ini dengan cara yang ditentukan undang - undang. Cara yang dapat ditempuh bila terjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja ( “ PHK ” ) sesuai dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial , yaitu: 1. Penyelesaian secara damai dengan perundingan bipartit; 2. Bila perundingan bipartit gagal maka instansi ketenagakerjaan akan mencatatnya, dan setelah mencatatnya instansi ketenagakerjaan menawarkan penyelesaian perselisihan dengan konsiliasi atau mediasi; 3. Jika penyelesaian dengan mediasi atau konsiliasi gagal maka penyelesaian akan diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial. Walaupun A nda menginginkan perselisihan diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial , namun dari uraian sebelumnya terlihat bahwa upaya menyelesaikan perselisihan dengan cara damai sangat ditekankan dalam peraturan perundang - undangan. Tanpa adanya upaya penyelesaian perselisihan dengan cara damai maka perselisihan A nda tidak dapat dibawa ke Pengadilan Hubungan Industrial. Waktu yang diperlukan dalam penyelesaian perselisihan PHK pun relatif lama. Untuk menghindari perselisihan ini , kami menyarankan A nda untuk melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan pihak perusahaan terkait permasalahan ini. Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu permasalahan yang A nda alami. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 3. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 4. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang" }
{ "from": "human", "value": "Seorang yang di-PHK karena berada dalam pengaruh alkohol sebagaimana yang diatur dalam salah satu pasal PKB, apakah harus memperoleh keputusan hakim pidana sebagaimana Kep MK No. 012/PUU-I/2003?" }
{ "from": "gpt", "value": "Memang berdasarkan Pasal 158 ayat (1) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pekerja yang mabuk atau meminum minuman keras yang memabukkan di lingkungan kerja dapat diputus hubungan kerjanya. KLINIK TERKAIT Di-PHK karena Kesalahan Berat, Ini Hukumnya 13 Mei 2024 Karyawan Diskors, Apakah Tetap Digaji? 17 Apr 2024 Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat? 18 Mar 2024 Bagaimana Hukum Bekerja di Dua Perusahaan Berbeda? 27 Sep 2023 Namun, pasal tersebut kemudian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003 . Dalam putusan MK tersebut, yang kemudian dijelaskan dalam Surat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 (“SE Menakertrans”),untuk pengusaha dapatmelakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)karena pekerja melakukan kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sehingga, proses PHK tersebut tidak menyalahi proses hukum yang benar ( due process of law ) karena setiap pekerja yang belum memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah berdasarkan asas praduga tidak bersalah ( presumption of innocence ). Jadi, seharusnya tidak ada PHK karena kesalahan berat tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, memang PHK karena kesalahan berat tanpa adanya putusan pengadilan pidana maupun penetapan PHI ini masih terjadi dalam praktik. Mengenai pengaturan dalam PKB yang Anda sebutkan pula, pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas dalam artikel PHK Karena Kesalahan Berat Masih Jadi Perdebatan berpendapat bahwa kesalahan berat sebagai alasan PHK, masih sering menimbulkan perdebatan dalam praktik. Yogo mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi memang telah membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Namun masalah akan muncul ketika isi Pasal 158 dituangkan kedalam PKB. Dan hal ini masih debatable (diperdebatkan) di kalangan hakim ketika pengusaha memindahkan kaedah heteronom ke otonom. Akan tetapi, UU Ketenagakerjaan sudah menentukan bahwa isi suatu peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, jika UU Ketenagakerjaan saja sudah ‘menghapuskan’ kesalahan berat sebagai alasan PHK, maka seyogianya peraturan otonom (dalam hal ini PKB) tak boleh mengaturnya. Dengan demikian, pada dasarnya, pihak perusahaan harus melakukan proses PHK sesuai prosedur yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial , baik ada maupun tidak ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu: a.\nMengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Jadi, cobalah untuk membuka perundingan dengan pihak pengusaha yang mempekerjakan anda mengenai masalah ini. b.\nApabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan. Nantinya, pegawai Dinas Ketenagakerjaan itu akan menawarkan pekerja dan pengusaha untuk memilih proses mediasi atau konsiliasi. Jika proses mediasi atau konsiliasi itu membuahkan kesepakatan, maka kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Perjanjian itu harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”). Apabila di kemudian hari ada pihak yang melanggar perjanjian bersama, maka pihak yang merasa dirugikan bisa langsung memohonkan eksekusi ke PHI. c.\nApabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Bila nanti ada pihak yang merasa tak puas dengan putusan PHI bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Simakjugaartikel Diancam Di-PHK Karena Mengajukan Kuitansi Berganda Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial ; 3.\nSurat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005. PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003" }
{ "from": "human", "value": "Secara hukum, bolehkah perusahaan melakukan potong gaji karyawan secara kolektif untuk melakukan penggantian jika terjadi selisih minus terhadap penjualan barang-barang, sementara untuk penjualan barang yang plus (berlebih) tetap menjadi hak perusahaan (tidak dijadikan pemotong selisih minus)? Pemotongan dilakukan untuk semua karyawan dengan poin berbeda sesuai jenjang jabatan. Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Aturan potong gaji karyawan diatur dalam Pasal 63 PP Pengupahan yang ketentuannya menerangkan bahwa pengusaha dibolehkan untuk melakukan pemotongan upah pekerja atau potong gaji karyawan dengan ketentuan sebagai berikut:\n\nUntuk pembayaran denda, ganti rugi,dan/atau uang muka upah, dilakukan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau peraturan kerja bersama (“PKB”).Untuk sewa rumah, sewa barang milik perusahaan yang disewakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, dan/atau utang atau cicilan utang pekerja/buruh harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.Untuk kelebihan pembayaran upah dilakukan tanpa persetujuan pekerja/buruh.\n\nAdapun dalam hal terjadinya potong gaji karyawan, jumlah potongan maksimal yang diperbolehkan adalah 50% dari setiap pembayaran upah yang diterima pekerja.[1]\nBolehkah Potongan Gaji Karyawan Dilakukan?\nKemudian, menjawab pertanyaan Anda, dapat kami terangkan bahwa pengusaha dapat melakukan potong gaji karyawan untuk pembayaran denda, ganti rugi, maupun uang muka upah, sepanjang hal tersebut telah diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.\n\nAdapun untuk mengetahui sah atau tidaknya pemotongan upah yang dilakukan oleh perusahaan sebagaimana ditanyakan, Anda harus terlebih dahulu mencermati isi perjanjian kerja, PP, atau PKB antara pekerja dengan pengusaha pada perusahaan tersebut.\n\nSelain itu, jika ketentuan tersebut diatur dalam perjanjian kerja atau PKB, maka harus dilandasi kesepakatan kedua belah pihak yang membuatnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a jo. Pasal 116 ayat (1) jo. Pasal 117 UU Ketenagakerjaan.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, jika ternyata dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB tidak diatur mengenai pemotongan upah karena selisih penjualan yang minus, maka perusahaan tidak berhak memotong upah karyawannya. Jika perusahaan tetap melakukan pemotongan upah, karyawan dapat melakukan upaya hukum.\nUpaya Hukum\nPerselisihan yang terjadi akibat pemotongan upah dapat dikategorikan sebagai perselisihan hak, yaitu perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, PP, atau PKB.[2]\n\nJika terjadi perselisihan hak antara pengusaha dengan pekerja, keduanya harus terlebih dahulu menempuh upaya hukum berupa perundingan bipartit, yaitu perundingan antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial, secara musyawarah untuk mencapai mufakat.[3]\n\nKemudian, jika tidak mencapai kesepakatan, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dengan melampirkan bukti bahwa upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[4]\n\nSetelah itu, kedua belah pihak menempuh penyelesaian melalui mediasi.[5] Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan negeri setempat.[6]\n\nBaca juga: 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial\n\nDemikian jawaban kami terkait potong gaji karyawan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6551988895cb1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_51_2023)\n[1] Pasal 65 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan[2] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[3] Pasal 3 ayat (1) jo. 1 angka 10 UU PPHI[4] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI[5] Penjelasan Umum angka 6 dan Pasal 1 angka 11 UU PPHI[6] Pasal 5 UU PPHI" }
{ "from": "human", "value": "Pasca berlakunya UU 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan, benarkan tarif PPN menjadi 11%? Lantas, PPN 11% untuk apa saja dan bagaimana perhitungan PPN 11% tersebut? Bisakah diberikan contoh perhitungannya?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITSanksi Tidak Lapor SPT: Denda hingga Pidana21 Mar 2024Cara Menghitung Pajak Penghasilan untuk Pegawai Lajang dan Menikah06 Jun 2023Apakah Undian Gratis Berhadiah via Online Dipotong Pajak?05 Jun 2023WNA Kena Pajak Penghasilan? Begini Aturannya25 Mei 2023\n\nPajak pertambahan nilai (“PPN”) adalah pajak yang dikenakan atas transaksi penyerahan barang kena pajak (BKP) dan jasa kena pajak (JKP) yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan yang telah menjadi pengusaha kena pajak (PKP).[1]\n\nBarang kena pajak (“BKP”) adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan UU 8/1983 beserta perubahannya.[2] Barang tersebut adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.[3]\nSementara, yang dimaksud dengan jasa kena pajak (“JKP”) adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan surat perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang pesanan atau permintaan dengan bahan dan/atau petunjuk dari pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan UU 8/1983 beserta perubahannya.[4]\n\nAdapun pengusaha kena pajak (“PKP”) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP yang dikenakan pajak berdasarkan UU 8/1983 dan perubahannya, namun tidak termasuk pengusaha kecil.[5]\nKetentuan PPN 11%\nTerkait dengan pertanyaan Anda tentang PPN 11%, hal tersebut benar diatur di dalam UU 7/2021, yaitu Pasal 4 angka 2 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 7 UU 42/2009 sebagai berikut.\n\nTarif PPN yaitu:\n\nsebesar 11% yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;sebesar 12% yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.\n\nTarif PPN sebesar 0% diterapkan atas:\n\nekspor barang kena pajak berwujud;ekspor barang kena pajak tidak berwujud; danekspor jasa kena pajak.\n\nTarif PPN 11% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.Perubahan tarif PPN 11% di atas diatur dengan peraturan pemerintah setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan rancangan APBN.\n\nBerdasarkan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan tarif PPN tersebut dilakukan secara bertahap dimulai pada tanggal 1 April 2022 sebesar 11% dan 12% pada 1 Januari 2025. Dengan demikian, PPN 11% berlaku mulai 1 April 2022.\n\nLalu, apa saja barang yang dikenakan PPN? Menurut Pasal 4 ayat 1 UU 42/2009 PPN dikenakan atas:\n\npenyerahan barang kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;impor barang kena pajak;penyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha;pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;ekspor barang kena pajak berwujud oleh pengusaha kena pajak;ekspor barang kena pajak tidak berwujud oleh pengusaha kena pajak; danekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.\nCara Menghitung PPN\n\nPerhitungan PPN terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang meliputi harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain[6] sebagaimana yang diterangkan di bawah ini.\n\nHarga Jual\n\nNilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan UU 8/1983 beserta perubahannya dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.[7]\n\nPenggantian\n\nNilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP tidak berwujud, tetapi tidak termasuk PPN yang dipungut berdasarkan UU 8/1983 dan perubahannya dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.[8]\n\nNilai Impor\n\nNilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan pajak penjualan atas barang mewah.[9]\n\nNilai Ekspor\n\nNilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.[10]\n\nNilai Lain\n\nNilai lain yaitu nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai dasar DPP[11] yang ditetapkan melalui Pasal 2 PMK 121/2015 jo. PMK 71/2022. Dalam Pasal 3 PMK 71/2022 dijelaskan jika penyerahan JKP tertentu hanya dibebankan tarif 10% dari tarif yang berlaku sekarang yaitu 11%. Contoh dari penerapan DPP nilai lain-lain adalah jasa pengiriman paket, biro perjalanan wisata, freight forwarding.[12]\nContoh Cara Menghitung PPN 11 Persen\n\nPT Sukses Makmur selaku PKP pada bulan Mei 2023 melakukan beberapa transaksi yaitu:\nPenjualan secara langsung barang elektronik kepada konsumen sebesar Rp170.000.000,00;Melakukan pembelian barang dagangan sebesar Rp133.200.000,00 dimana harga tersebut sudah termasuk PPN;Melakukan ekspor barang elektronik dengan nilai ekspor Rp100.000.000.\n\nPT Sukses Makmur juga mengirimkan barang dagangannya kepada konsumen melalui jasa pengiriman Lancar Ekspres dari Jakarta menuju Bali dengan biaya pengiriman Rp5.000.000,00.\n\nPerhitungan Pajak Keluaran\n\nPajak keluaran adalah PPN yang terutang yang wajib dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP, penyerahan JKP, ekspor BKP berwujud, ekspor BPK tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP.[13]\n\nAtas penjualan secara langsung:\n\n= DPP x Tarif PPN\n\n= Rp170.000.000 x 11%\n\n= Rp18.700.000\n\nAtas ekspor barang elektronik, PPN yang dikenakan adalah 0%  karena menurut dengan Pasal 4 angka 2 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 7 ayat (2) huruf a UU 42/2009 ekspor BKP berwujud dikenakan tarif PPN 0%. Meskipun tarif PPN yang dikenakan 0%, PT Sukses Makmur tetap harus membuat faktur pajak[14] dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) masa PPN.\n\nDengan demikian, atas ekspor barang elektronik tersebut PT Sukses Makmur membayar PPN sebesar:\n\n= DPP x Tarif PPN\n\n= Rp100.000.000 x 0%\n\n= Rp0\n\nPajak Masukan\n\nPajak masukan adalah PPN yang seharusnya dibayar oleh PKP karena perolehan BKP dan/atau perolehan JKP dan/atau pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean dan/atau impor BKP.[15]\n\nAtas transaksi pembelian barang dagangan\nDPP= [Nilai BKP/(Nilai BKP+PPN 11%)] x Harga Pembelian Barang  = 100/111 x Rp133.200.000= Rp120.000.000PPN= 11% x Rp120.000.000= Rp13.200.000\n\nAtas pengiriman barang dagangan, Lancar Ekspres memungut PPN yang terutang menggunakan DPP Nilai Lain, yaitu 10%. Berbeda dengan DPP yang seharusnya yaitu 100% dari nilai tagihan, untuk pengiriman barang tersebut menggunakan DPP Nilai Lain yaitu sebesar 10% dari jumlah yang seharusnya ditagih dikalikan dengan tarif PPN 11%.[16] Sehingga menjadi:\n\n= (11% x 10%) x Rp5.000.000\n\n= 1,1% x Rp.5000.000\n\n= Rp55.000\n\nDengan demikian, pembayaran yang harus diserahkan PT Sukses Makmur kepada Lancar Ekspres adalah\n\n= biaya pengiriman + PPN pengiriman barang\n\n= Rp5.000.000 + Rp55.000\n\n= Rp5.055.000.\n\nPPN Masukan dengan DPP nilai lain bersifat final, maka atas transaksi pembayaran tersebut bukan merupakan pajak masukan bagi PT Sumber Makmur, sehingga tidak dapat dikreditkan.[17]\n\nApabila dalam suatu masa pajak, pajak keluaran lebih besar daripada pajak masukan, selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP.[18] Berikut merupakan perhitungan PPN PT Sukses Makmur:\n\n= Pajak Keluaran - Pajak Masukan\n= Rp18.700.000 – Rp13.200.000\n\n= Rp5.500.000\n\nSehingga PPN Kurang Bayar yang harus disetorkan PT Sukses Makmur adalah sebesar Rp5.500.000\n\nSelisih tersebut harus disetorkan PT Sukses Makmur ke kas negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak dan sebelum SPT masa PPN disampaikan. Apabila jumlah pajak masukan lebih besar daripada pajak keluaran, maka selisih tersebut menjadi kredit pajak PPN dan dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya.\n\nBerdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tarif PPN yang berlaku saat ini adalah 0% dan 11% tergantung dari jenis dan lokasi penyerahan BKP atau JKP tersebut.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13493/undangundang-nomor-8-tahun-1983?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1983)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13496?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_1994)\n3. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/812?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2000)\n4. [Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4af14a63036ea?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_42_2009)\n5. [Undang–Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6183566157105?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2021)\n6. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n7. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n8. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4bc2e3a65ea89/peraturan-menteri-keuangan-nomor-68pmk032010-tahun-2010?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_68_2010)\n9. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tahun 2013 Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52cfcab174242?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_197_2013)\n10. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4bc58c5627d8f/peraturan-menteri-keuangan-nomor-75pmk032010-tahun-2010?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_75_2010)\n11. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.011/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt514691298553e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_38_2013)\n12. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.03/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55273249c5217?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_56_2015)\n13. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55a466515a275?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_121_2015)\n14. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt624d37e441e37/peraturan-menteri-keuangan-nomor-71-pmk03-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_71_2022)\n15. [eraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt626a59555b86d/peraturan-direktur-jenderal-pajak-nomor-per-03-pj-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perdirjen_3_2022)\n16. [Peratuan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Faktur Pajak tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62fb21dd5bcce?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perdirjen_11_2022)\n[1] Lihat Pasal 4 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (“UU 42/2009”)[2] Pasal 1 angka 3 UU 42/2009[3] Pasal 1 angka 2 UU 42/2009[4] Pasal 1 angka 5 dan 6 UU 42/2009[5] Pasal 1 angka 15 UU 42/2009 jo. Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai[6] Pasal 4 angka 3 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang mengubah Pasal 8A ayat (1) UU 42/2009[7] Pasal 1 angka 18 UU 42/2009[8] Pasal 1 angka 19 UU 42/2009[9] Pasal 1 angka 20 UU 42/2009[10] Pasal 1 angka 26 UU 42/2009[11] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tahun 2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak[12] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu (“PMK 71/2022”)[13] Pasal 1 angka 25 UU 42/2009[14] Pasal 3 ayat (1) huruf c Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak[15] Pasal 1 angka 24 UU 42/2009[16] Pasal 3 huruf a PMK 71/2022[17] Pasal 3 huruf a Peraturan Menteri Keuangan Nomor 56/PMK.03/2015 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak[18] Pasal 9 ayat 3 UU 42/2009" }
{ "from": "human", "value": "Ada warga bertanya tentang peraturan desa yang berisi tentang pungutan sbb:\n\nbiaya surat talak rujuk: Rp500 ribu\nbiaya kelakuan baik: Rp10 ribu\nbiaya keterangan domisili: Rp10 ribu\nbiaya surat penyerahan hak tanah: 10%\npungutan ayam petelur: Rp200 ribu per bulan\npungutan hasil palawija: Rp500 ribu per hektar\npungutan ayam pedaging Rp100 per ekor\npungutan jual beli ternak sapi: 2% per ekor\npungutan rumah kos: 1% per kamar\n\nSecara hukum legalkah diatur dalam peraturan desa? Apa dasar hukumnya?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITCara Melaporkan Ketua RT yang Pungli08 Nov 2023Hak Masyarakat Desa atas Dokumen Terkait Penggunaan Anggaran Desa09 Jul 2020Pungli oleh Oknum Kades dalam Mengurus Dokumen Kependudukan08 Nov 2019Pencantuman Dasar Hukum dalam Perancangan Peraturan Desa13 Sep 2019\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan keberadaan Peraturan Desa dalam perundang-undangan di Indonesia. Peraturan Desa tidak disebut dalam hierarki peraturan perundang-undangan pada UU 12/2011. Namun, keberadaannya diakui berdasarkan pada Pasal 8 UU 12/2011 yang dimaknai peraturan yang dibentuk oleh kepala desa.\nPenegasan keberadaan Peraturan Desa kemudian diatur lebih lanjut dalam UU Desa. Pasal 117 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 7 UU Desa mendefinisikan peraturan desa sebagai berikut:\nPeraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.\nAdapun Peraturan Desa adalah salah satu dari peraturan yang ada di desa selain Peraturan Kepala Desa dan Peraturan Bersama Kepala Desa. Patut digarisbawahi, Peraturan Desa sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain itu, Peraturan Desa juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum. Maksud dari kepentingan umum adalah kondisi terganggunya kerukunan masyarakat, terjadinya diskriminasi berbasis SARA, terganggunya pelayanan publik, hingga terganggunya keamanan dan ketertiban masyarakat.[1]\nMuatan yang Boleh Diatur dalam Peraturan Desa\n\nSelanjutnya, mengenai materi muatan yang boleh diatur dalam Peraturan Desa pada prinsipnya harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang ada, khususnya pengaturan perundang-undangan lebih tinggi.\n\nSebagai peraturan yang berlaku pada lingkup desa, Peraturan Desa dapat memuat materi tentang pelaksanaan kewenangan desa dan mengatur lebih lanjut materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[2] Sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Desa dapat mengatur hal-hal yang belum atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan catatan hal tersebut harus termasuk ke dalam kewenangan desa.\nBolehkah Peraturan Desa Mengatur tentang Pungutan?\n\nMenyambung pertanyaan Anda terkait pungutan yang diatur dalam Peraturan Desa, sebenarnya Peraturan Desa dapat mengatur tentang pungutan. Ketentuan ini secara tidak langsung tertuang dalam Pasal 69 ayat (4) UU Desa:\n\nRancangan Peraturan Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi Pemerintah Desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa.\n\nDari bunyi ketentuan di atas, dapat dipahami adalah sebuah keharusan pengaturan pungutan hanya diatur melalui Peraturan Desa. Artinya, secara a contrario, pungutan desa tidak dapat diatur dengan Peraturan Kepala Desa atau Peraturan Bersama Kepala Desa.\n\nSelain itu, sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa, sebuah Rancangan Peraturan Desa tentang pungutan pun harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota. Maka, walaupun pungutan diperkenankan diatur, tetap ada pembatasan, yaitu harus dalam bentuk Peraturan Desa dan harus melewati evaluasi dari Bupati/Walikota.\n\nLebih lanjut, penegasan kebolehan pengaturan pungutan desa tercantum dalam Pasal 37 Permendagri 44/2016:\n\nDesa dapat melaksanakan pungutan dalam rangka peningkatan pendapatan asli Desa sesuai dengan kewenangan Desa dan Desa Adat berdasarkan peraturan perundang-undangan.\nAkan tetapi, desa dilarang melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi yang diberikan kepada masyarakat desa, meliputi:[3]\n\nsurat pengantar;surat rekomendasi; dansurat keterangan.\n\nAdapun pungutan yang boleh dilakukan desa adalah pungutan atas jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa, pasar desa, tambatan perahu, karamba ikan, pelelangan ikan, dan lain-lain.[4]\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, pungutan desa terhadap pembuatan surat talak rujuk, kelakuan baik, keterangan domisili, surat penyerahan hak tanah yang merupakan jasa layanan administrasi adalah dilarang.\n\nSedangkan untuk pungutan atas jasa usaha seperti ayam petelur, hasil palawija, ayam pedaging, jual beli ternak sapi, rumah kos sebagaimana Anda sebutkan, diperbolehkan.\nContoh Peraturan Desa tentang Pungutan\n\nKami mencontohkan peraturan desa tentang pungutan di Kabupaten Banyuwangi dalam Pasal 9 ayat (3) Perbup Banyuwangi 47/2018 menyebutkan desa dapat melakukan pungutan seperti pemandian umum, tambatan perahu, wisata desa, pasar desa, pelelangan ikan, dan swadaya masyarakat.\n\nHal serupa juga diterapkan di Kabupaten Kerinci melalui Pasal 12 Perbup Kerinci 30/2018, desa berwenang melakukan pungutan atas jasa pengurusan kartu identitas hewan/ternak, jasa usaha seperti pemandian umum, wisata desa, pasar desa, tambatan perahu, keramba ikan, pelelangan ikan, serta pemanfaatan fasilitas umum milik desa seperti jalan ekonomi, jalan usaha tani, jalan akses pemanfaatan bahan mineral bukan logam dan batuan, dan sebagainya.\n\nSementara itu, Kabupaten Berau melalui Pasal 18 Perbup Berau 21/2017 melarang desa untuk melakukan pungutan atas jasa layanan administrasi kepada penduduk desa seperti penerbitan surat rekomendasi, surat pengantar, dan surat keterangan.\n\nOleh karena itu, jenis atau macam pungutan dapat berbeda dari satu daerah ke daerah lainnya tergantung pada kebijakan pemerintah daerah setempat.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n2. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8c12d3ce4a/undang-undang-nomor-6-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2014)\n4. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n5. [Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt552e0ae8772c8/peraturan-menteri-dalam-negeri-nomor-111-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendagri_111_2014)\n6. [Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54eaaba8d2595/peraturan-menteri-desa--pembangunan-daerah-tertinggal--dan-transmigrasi-nomor-1-tahun-2015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendes_1_2015)\n7. [Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 tentang Kewenangan Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt587749188a135/peraturan-menteri-dalam-negeri-nomor-44-tahun-2016/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendagri_44_2016)\n8. [Peraturan Bupati Berau Nomor 21 Tahun 2017 tentang Daftar Kewenangan Kampung Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Kampung](https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/99078/perbup-kab-berau-no-21-tahun-2017)\n9. [Peraturan Bupati Kerinci Nomor 30 Tahun 2018 tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa di Kabupaten Kerinci](https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/105640/perbup-kab-kerinci-no-30-tahun-2018)\n10. [Peraturan Bupati Banyuwangi Nomor 47 Tahun 2018 tentang Daftar Kewenangan Desa Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa](https://jdih.banyuwangikab.go.id/dokumen/perbup/Perbup_Nomor_47_Tahun_2018.pdf)\n[1] Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa (“Permendagri 111/2014”)[2] Pasal 4 ayat (1) Permendagri 111/2014[3] Pasal 22 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa (“Permendes 1/2015”)[4] Pasal 23 Permendes 1/2015" }
{ "from": "human", "value": "Memangnya jika penumpang di jok belakang tidak menggunakan sabuk pengaman (safety belt) bisa ditilang? Pertanyaan saya, ada di mana aturan tersebut? Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Pengemudi Mobil di Jalan Sebagai pengemudi, Anda harus mematuhi segala ketentuan di Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) . Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi (“SIM”). [1] Kendaraan bermotor dikelompokkan berdasarkan jenis [2] : sepeda motor; mobil penumpang; mobil bus; mobil barang; dan kendaraan khusus. Sayangnya Anda tidak menjelaskan yang Anda maksud  kendaraan bermotor dengan jenis apa, oleh karena itu kami asumsikan dengan jenis mobil penumpang . Anda harus berperilaku tertib dan/atau  mencegah hal-hal yang dapat merintangi, membahayakan keamanan dan keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan, atau yang dapat menimbulkan kerusakan jalan. [3] Ketika mengemudikan mobil, Anda pun wajib berkendara dengan wajar dan penuh konsentrasi. [4] Pengemudi pun wajib mematuhi ketentuan: [5] rambu perintah atau rambu larangan; marka jalan; alat pemberi isyarat lalu lintas; gerakan lalu lintas, berhenti dan parkir; peringatan dengan bunyi dan sinar; kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain. Namun bukan hanya kepada pengemudinya saja, kepada setiap mobil yang dioperasikan di jalan pun harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. [6] Sabuk pengaman ( safety belt) atau istilah hukumnya dikenal dengan sabuk keselamatan , termasuk ke dalam perlengkapan yang merupakan persyaratan teknis setiap mobil. [7] Lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 57 ayat (1) dan ayat (3) UU LLAJ bahwa setiap kendaraan bermotor (termasuk mobil penumpang) yang dioperasikan di jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor, terdiri atas: sabuk keselamatan; ban cadangan; segitiga pengaman; dongkrak; pembuka roda; peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan lalu lintas. Pengemudi dan Penumpang Mobil Wajib Memakai Sabuk Keselamatan Mengenai sabuk keselamatan, wajib digunakkan oleh pengemudi dan penumpang mobil di jalan, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 106 ayat (6) UU LLAJ sebagai berikut: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor beroda empat atau lebih di jalan dan penumpang yang duduk di sampingnya wajib mengenakan sabuk keselamatan. Penumpang adalah orang yang berada di kendaraan selain pengemudi dan awak kendaraan. [8] Jika dilihat dalam Pasal 106 ayat (6) UU LLAJ di atas, yang diwajibkan hanya pengemudi dan penumpang yang duduk di samping pengemudi. Adapun sanksinya jika tidak menggunakan sabuk keselamatan mengacu ke Pasal 289 UU LLAJ sebagai berikut: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor atau Penumpang yang duduk di samping Pengemudi yang tidak mengenakan sabuk keselamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (6) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu. Perbuatan tersebut termasuk ke dalam tindak pidana pelanggaran. [9] Dalam hal terjadi pelanggaran yang tertangkap tangan, maka petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan secara insidential. [10] Pemeriksaan secara insidental karena tertangkap tangan sebagaimana dimaksud di atas dilakukan pada saat terjadi pelanggaran yang terlihat secara kasat indera atau tertangkap oleh alat penegakan hukum secara elektronik. [11] Selengkapnya simak artikel Tentang Tilang Elektronik . Dapat disimpulkan bahwa sanksi tersebut tidak berlaku apabila penumpang yang duduk di baris belakang tidak menggunakan sabuk keselamatan. Hal ini berkaitan dengan asas legalitas pada Pasal 1  ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yaitu: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan [1] Pasal 1 angka 23 UU LLAJ [2] Pasal 47 ayat (2) UU LLAJ [3] Pasal 105 UU LLAJ [4] Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ [5] Pasal 106 ayat (4) UU LLAJ [6] Pasal 48 ayat (1) UU LLAJ [7] Pasal 48  ayat (2) huruf b dan Penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf b UU LLAJ [8] Pasal 1 angka 25 UU LLAJ [9] Pasal 316 ayat (1) UU LLAJ [10] Pasal 10 jo. Pasal 14 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”) [11] Pasal 14 ayat (3) PP 80/2012 penumpang hukumonline pidana google online angkutan jalan keselamatan hukum lalu lintas pengemudi mobil llaj" }
{ "from": "human", "value": "Jelaskan teori hukum acara Mahkamah Konstitusi! Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada dasarnya, aturan mengenai hukum acara di Mahkamah Konstitusi (“MK”) dapat kita lihat dalam Bab V Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“Perppu 1/2013”) yang mana telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 . Pengaturan perihal hukum acara dalam UU MK dan perubahannya, dibagi ke dalam 12 bagian yang dimulai dari Pasal 28 hingga Pasal 85. Sebelum membahas lebih jauh, perlu dilihat ketentuan Pasal 1 angka 1 Perppu 1/2013 berikut ini: Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam bagian Penjelasan Umum UU MK , disebutkan bahwa hukum acara yang diatur dalam UU MK memuat aturan umum beracara di muka MK dan aturan khusus sesuai dengan karakteristik masing-masing perkara yang menjadi kewenangan MK. Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, MK diberi kewenangan untuk melengkapi hukum acara menurut UU MK. Lebih tegasnya dapat dilihat dalam Pasal 86 UU MK sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut Undang-Undang ini. Ketentuan di atas dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan UU MK dan perubahannya. Sebagai contoh aturan khusus yang mengatur menganai bercara di MK di antaranya adalah Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (“PMK 06/2005”) dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 Tahun 2004 tentan Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (“PMK 04/2004”) . Sangat disayangkan dalam pertanyaan Anda tidak dijelaskan lebih rinci teori hukum acara MK seperti apa yang Anda maksud. Guna menyederhanakan jawaban, kami akan merangkum beberapa hal penting seputar hukum acara MK di bawah ini. Asas-Asas Mendasarkan dari tulisan Maruarar Siahaan dalam bukunya Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (hal. 44-57), sebagaimana yang kami sarikan terdapat asas-asas yang telah diakui secara universal yang harus dipatuhi oleh MK, antara lain: Persidangan Terbuka untuk Umum Pasal 40 ayat (1) UU MK menentukan secara khusus bahwa sidang MK terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (“RPH”). Keterbukaan sidang ini merupakan salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas hakim. Tetapi menurut Maruarar, meskipun tidak diatur, MK dapat mengatur sidang pemeriksaan bila yang dilakukan tertutup, jika dipandang ada alasan yang sangat penting, yang fakta-faktanya belum dapat diungkapkan secara terbuka, terutama menghindari tekanan yang merugikan independensi dan imparsial MK dalam memutus. Independen dan Imparsial Pasal 2 UU MK menyatakan bahwa MK merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan erat dengan sikap imparsial atau tidak memihak hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana, dan Murah Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa peradilan dilakukan dengan: Sederhana (pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif). cepat, dan biaya ringan (biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat). Namun demikian, asas tersebut tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. Hak untuk Didengar Secara Seimbang ( Audi et Alteram Partem ) Pada perkara pengujian undang-undang, maka pemohon dan pemerintah serta Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) maupun pihak yang berkaitan langsung dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga diberi hak yang sama untuk didengar. Dalam perkara sengketa kewenangan lembaga negara, sengketa hasil pemilihan umum (“pemilu”), dan pembubaran partai politik, yang secara eksplisit disebut adanya pihak termohon, asas ini akan tampak lebih tegas dalam pelaksanaannya. Termohon harus didengar keterangannya dalam persidangan, dan hal itu merupakan hak prosesual yang tidak dapat dikesampingkan. Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan Maruarar mengatakan bahwa sesungguhnya dapat dilihat paradoksal, karena sikap pasif sekaligus aktif harus dianut hakim. Akan tetapi, adanya karakteristik khusus perkara konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan telah menyebabkan proses persidangan tidak dapat diserahkan melalui inisiatif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu permohonan dan dalam hal demikian, hakim bersifat pasif dan tidak boleh secara aktif melakukan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK memeriksa perkara tanpa diajukan dengan satu permohonan. Maka sekali permohonan didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat di dalamnya secara langsung maupun tidak langsung akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menggantungkan proses hanya pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat jelas dan terang hal yang diajukan dalam permohonan tersebut. Ius Curia Novit Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa: Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Asas ius curio novit ditafsirkan secara luas, yaitu memberikan wewenang kepada pengadilan (hakim) untuk menemukan hukum ( rechts vinding ) untuk mengadili perkara yang diajukan kepadanya. Penemuan hukum itu dimaksudkan agar para pencari keadilan ( justitiabelen ) tetap terjamin haknya untuk memperoleh keadilan, walaupun hukum tertulis belum mengaturnya. Wewenang MK/Jenis Sengketa Berkaitan dengan wewenang dari MK atau jenis sengketa yang dapat diajukan permohonannya ke MK telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU MK sebagai berikut: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Siapa yang Boleh Mengajukan Permohonan? Untuk mempersingkat jawaban, akan kami uraikan pihak yang boleh mengajukan permohonan dalam perkara pengujian undang-undang dan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) , yang boleh mengajukan permohonan ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK jo Pasal 3 PMK 06/2005 sebagai berikut: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. Simak juga artikel Pengertian Legal Standing Terkait Permohonan ke Mahkamah Konstitusi . Sementara itu, untuk perselisihan hasil pemilihan umum, dalam Pasal 74 ayat (1) UU MK jo. Pasal 3 PMK 04/2004 disebutkan bahwa: Pemohon adalah: perorangan warga negara Indonesia calon anggota Dewan Perwakilan Daerah peserta pemilihan umum; pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden; dan partai politik peserta pemilihan umum . Sebagai informasi, menurut Maruarar dalam buku yang sama (hal. 63), hukum acara MK tidak mengenal adanya intervensi baik dengan menggabungkan diri dengan pemohon atau termohon. Dalam hukum acara perdata intervensi ini disebut voeging sehingga gugatan intervensi tidak dikenal. Alasannya adalah karena pengujian undang-undang maupun sengketa kewenangan dan impeachment sesungguhnya tidak mewakili kepentingan pribadi yang bersifat individiual melainkan menyangkut kepentingan umum. Beban Pembuktian Menurut Maruarar dalam buku yang sama (hal. 108-109), bahwa pemohon yang mendalilkan adanya undang-undang yang melanggar konstitusi atau kesalahan perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pemilu atau kewenangan berdasar UUD 1945 yang diambil satu lembaga negara lain maupun pelanggaran hukum yang dilakukan Presiden, wajib meyakinkan hakim akan kebenaran dalil tersebut dengan alat-alat bukti yang sah sebagaimana disebut di dalam undang-undang. Namun apabila pembuktian yang diajukan dipandang tidak mencukupi atau tidak meyakinkan, maka hakim MK karena jabatannya dapat memerintahkan saksi dan/atau ahli tertentu untuk hadir guna didengar keteranganya di depan MK sehubungan dengan permohonan pemohon. Berdasarkan keadaan ini, kita dapat mengatakan bahwa hukum acara MK menganut teori pembuktian bebas karena baik luas maupun beban pembuktian diserahkan pada hakim konstitusi. Lebih lanjut Maruarar mengutip pendapat Indroharto yang menyebutkan hal yang demikian sebagai ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat bukti yang boleh digunakan dalam membuktikan sesuatu sudah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 Tahun 2004 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang Referensi : Maruarar Siahaan. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika. acara peradilan hukumonline konstitusi mahkamah konstitusi online sengketa pemilu tata negara hukum klinik hukumonline sengketa pilkada" }
{ "from": "human", "value": "Apakah pengertian komisaris independen apa dan wajibkah komisaris independen ada di dalam PT? Apa pengertian teori piercing corporate veil?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu dewan komisaris. Dewan Komisaris adalah salah satu bagian dari organ perseroan, bersama dengan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) dan direksi.[1] Lalu, dewan komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.[2]\n\nMenurut Pasal 108 ayat (1) UU PT, dewan komisaris bertugas melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada direksi. Lalu, dewan komisaris terdiri atas satu orang anggota atau lebih.[3] Dalam hal dewan komisaris terdiri atas lebih dari satu orang anggota, maka dewan komisaris bertindak sebagai majelis dan setiap anggota dewan komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan dewan komisaris.[4] Hal ini berarti dewan komisaris tidak dapat menjalankan fungsinya secara perorangan layaknya direktur melainkan satu suara sebagai dewan komisaris.\n\nSelengkapnya mengenai ketentuan dewan komisaris dapat Anda baca pada Pasal 108 s.d. Pasal 121 UU PT.\nDasar Hukum Komisaris Independen\n\nWalaupun Pasal 108 ayat (3) UU PT mengatur bahwa dewan komisaris dapat terdiri dari satu orang atau lebih, pengaturan mengenai jumlah komisaris dapat berbeda-beda. Salah satunya adalah ketentuan mengenai adanya komisaris independen.\n\nApa itu komisaris independen? Komisaris independen diatur dalam Pasal 120 ayat (1) UU PT yang mengatur bahwa anggaran dasar perseroan dapat mengatur adanya satu orang atau lebih komisaris independen dan satu orang komisaris utusan. Sementara itu, pada Pasal 120 ayat (2) UU PT, komisaris independen didefinisikan sebagai komisaris yang diangkat berdasarkan keputusan RUPS dan merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan pemegang saham utama, anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris lainnya.\n\nDengan demikian, komisaris independen haruslah pihak luar, bukan pemegang saham dalam perseroan, dan juga tidak memiliki hubungan dengan pemegang saham perseroan.[5] Hal ini dilakukan dalam pelaksanaan Good Corporate Governance (“GCG”).[6] Adapun prinsip-prinsip GCG menurut Yahya Harahap terdiri dari:[7]\n\nketerbukaan atau transparansi (transparency, disclosure);akuntabilitas (accountability);keadilan (fairness); danpertanggungjawaban (responsibility).\n\nSelanjutnya, komisaris independen memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:[8]\n\ndipilih dan diangkat secara independen;penilaian objektif dan independen;berasal dari luar perusahaan;bebas dari pengaruh;tidak ada hubungan afiliasi;tidak memiliki kepentingan di perusahaan;bertindak secara independen; danmemiliki kompetensi dan integritas yang memadai.\nKewajiban Adanya Komisaris Independen\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait kewajiban adanya komisaris independen pada sebuah perseroan, berdasarkan praktik kami, hal ini bergantung pada sifat perseroan itu sendiri. Dalam UU PT, adanya komisaris independen adalah tidak wajib sebagaimana diuraikan oleh Pasal 120 ayat (1) UU PT di atas. Namun, pada perusahaan tertentu, komisaris independen dapat bersifat wajib, misalnya:\n\nPerusahaan publik, yaitu perseroan yang sahamnya telah dimiliki paling sedikit oleh 300 pemegang saham dan memiliki modal disetor paling sedikit Rp3 miliar atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”).[9] Menurut Pasal 20 ayat (2) POJK 33/04/2014, keanggotaan dewan komisaris perusahaan publik terdiri dari dua orang anggota dewan komisaris, satu di antaranya adalah komisaris independen.Bank umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, termasuk kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.[10] Kemudian, bank umum diwajibkan memiliki komisaris independen sebagaimana diatur dalam Pasal 38 ayat (1) POJK 17/2023.\n\nSebagai informasi, selain komisaris independen, terdapat pula komisaris utusan. Berbeda dari komisaris independen yang merupakan pihak diluar perseroan, komisaris utusan adalah anggota dewan komisaris yang ditunjuk berdasarkan rapat dewan komisaris.[11] Menurut Rudhi Prasetya, komisaris utusan adalah anggota dari dewan komisaris yang diberikan “kuasa” oleh komisaris lainnya yang berhalangan untuk melaksanakan tugas-tugas yang berkaitan dengan dewan komisaris.[12]\n\nBaca juga: Perbedaan Komisaris Independen dengan Komisaris Utusan\nKetentuan Corporate Separate Legal Personality\n\nKemudian, sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai piercing the corporate veil, penting untuk diketahui bahwa UU PT pada dasarnya menganut asas hukum corporate separate legal personality atau separate legal personality sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT sebagai berikut:\n\nPemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki.\n\nKetentuan tersebut menegaskan bahwa Perseroan Terbatas (“PT”) adalah suatu perusahaan yang memiliki satu kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum yang menjadi pendiri atau menjadi pemegang saham dari perusahaan tersebut (prinsip separate legal personality). Sehingga, tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas pada besaran nilai saham nya saja atau limited liability of shareholder.\nKetentuan Piercing The Corporate Veil\n\nApa itu piercing the corporate veil? Piercing the corporate veil didefinisikan sebagai berikut: [13]\n\nThe judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officers, directors, or shareholders for the corporation's wrongful act.\n\nJika diterjemahkan secara bebas, piercing the corporate veil adalah tindakan yudisial yang membebankan tanggung jawab pribadi kepada pejabat, direktur, atau pemegang saham perusahaan yang seharusnya kebal hukum atas tindakan korporasi yang salah.\n\nDefinisi tersebut sejalan dengan pendapat Munir Fuady yang pada pokoknya menyatakan UU PT mengakui teori piercing the corporate veil dengan membebankan tanggung jawab kepada pihak pemegang saham, direksi, atau komisaris.[14]\n\nKemudian, terdapat pengecualian terhadap asas separate legal personality pada Pasal 3 ayat (1) UU PT, yang dikenal dengan piercing the corporate veil. Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) UU PT, ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU PT tidak berlaku apabila:\n\npersyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; ataupemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.\n\nSebagai informasi, keadaan-keadaan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dan d UU PT di atas wajib dibuktikan dengan terdapatnya dominasi dari pemegang saham terhadap PT dengan iktikad tidak baik atau tidak layak. Dominasi tersebut dapat dilihat dengan terdapatnya percampuran harta kekayaan PT dengan pemegang saham atau pendirian PT semata-mata untuk dijadikan alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya.[15]\n\nLebih lanjut, sejalan dengan Pasal 3 ayat (2) huruf a UU PT, selama belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum atas nama PT hanya dapat dilakukan oleh semua anggota direksi, semua pendiri, dan semua anggota dewan komisaris secara bersama-sama dengan bertanggung jawab secara tanggung renteng. Perbuatan hukum menjadi tanggung jawab perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum. Hal tersebut diatur dalam Pasal 14 ayat (1) dan (3) UU PT.\n\nLalu, dalam hal perbuatan hukum tersebut dilakukan oleh pendiri atas nama perseroan yang belum memperoleh status badan hukum, perbuatan hukum tersebut menjadi tanggung jawab pendiri yang bersangkutan dan tidak mengikat perseroan. Perbuatan hukum ini hanya mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan setelah perbuatan hukum tersebut disetujui oleh semua pemegang saham dalam RUPS yang dihadiri oleh semua pemegang saham perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) dan (4) UU PT.\n\nSelengkapnya mengenai piercing the corporate veil dapat Anda baca juga dalam artikel Piercing the Corporate Veil pada Kepailitan Anak Perusahaan.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 Tahun 2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.04/2022 Tahun 2022 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten Atau Perusahaan Publik;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.\n\nReferensi:\n\nBadriyah Rifai. Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Perusahaan Publik. Ius Quia Iustum Law Journal, Vol. 3, No. 16, 2009;Binoto Nadapdap. Hukum Perseroan Terbatas. Bekasi: Jala Permata Aksara, 2020;Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary 9th Edition. St. Paul, West Publishing Co., 2009;Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014;Rudhi Prasetya. Teori & Praktik Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2011;Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.\n\n[1] Pasal 109 angka 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”).[2] Pasal 109 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 6 UU PT.[3] Pasal 108 ayat (3) UU PT.[4] Pasal 108 ayat (4) UU PT.[5] Rudhi Prasetya. Teori & Praktik Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 32.[6] Badriyah Rifai. Peran Komisaris Independen dalam Mewujudkan Good Corporate Governance di Perusahaan Publik. Ius Quia Iustum Law Journal, Vol. 3, No. 16, 2009, hal. 404.[7] Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 476.[8] Binoto Nadapdap. Hukum Perseroan Terbatas. Bekasi: Jala Permata Aksara, 2020, hal. 175.[9] Pasal 1 angka 2 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 14/POJK.04/2022 Tahun 2022 tentang Penyampaian Laporan Keuangan Berkala Emiten Atau Perusahaan Publik.[10] Pasal 1 angka 1 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum.[11] Pasal 120 ayat (3) UU PT.[12] Rudhi Prasetya. Teori & Praktik Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hal. 34-35.[13] Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary 9th Edition. St. Paul, West Publishing Co., 2009, hal. 1264.[14] Munir Fuady. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2014, hal. 16.[15] Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 81." }
{ "from": "human", "value": "Jika UU Merek menyatakan bahwa pendaftaran merek untuk 2 atau lebih jenis kelas yang berbeda dapat didaftarkan dalam satu permohonan, bagaimana mengenai biaya pendaftaran merek itu sendiri pada praktiknya? Apakah biaya pendaftaran merek dibebankan per etiket atau per kelas? Apakah untuk mendaftarkan 1 etiket merek untuk - seandainya - 4 kelas yang berbeda maka biaya yang perlu dibayar untuk pendaftaran 1 merek untuk 1 kelas harus dikalikan 4?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Prosedur Pendaftaran Logo Perusahaan 19 Des 2016 Jika Ada Kemiripan Merek dan Kesamaan Komposisi Pada Produk Makanan 03 Nov 2016 Bolehkah Repackaging Barang Impor dengan Merek Sendiri? 01 Nov 2016 Intisari : Dalam pengajuan permohonan pendaftaran merek, setiap pemilik merek dapat mengajukan merek yang dipergunakannya untuk didaftarkan dalam satu permohonan saja. Apabila Anda memiliki 1 etiket merek yang akan didaftarkan dalam 4 kelas yang berbeda, maka Anda dikenakan tarif untuk masing-masing kelas tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan mengenai pendaftaran merek harus diakui memang agak membingungkan bagi masyararakat awam. Bukan saja mengenai perhitungan tarifnya, akan tetapi pemahaman mengenai bagaimana sebuah merek memenuhi syarat untuk didaftarkan juga masih merupakan tanda tanya bagi sebagian besar masyarakat, meskipun keinginan untuk mendaftarkan merek dagang/jasa mereka sangat tinggi. Itu sebabnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja meresmikan Rancangan Undang-Undang Merek yang baru. Permohonan Pendaftaran Merek Meluruskan pernyataan Anda dengan merujuk pada hukum merek yang berlaku saat ini, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) menyatakan: Permohonan untuk lebih dari 1 (satu) kelas barang dan/atau jasa dapat diajukan dalam satu Permohonan . Pada prinsipnya, Permohonan dapat diajukan untuk lebih dari 1 (satu) kelas barang dan/atau jasa sesuai dengan ketentuan Trademark Law Treaty yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty (“Keppres 17/1997”) . Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pemilik Merek yang akan menggunakan Mereknya untuk beberapa barang dan/atau jasa. [1] Rujukan Trademark Law Treaty yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU MIG dan sudah diratifikasi adalah pada Pasal 3 ayat (5) Lampiran Keppres 17/1997 yang menyatakan: [Single Application for Goods and/or Services in Several Classes] One and the same application may relate to several goods and/or services, irrespective of whether they belong to one class or to several classes of the Nice Classification. Maksud dari Pasal 6 ayat (1) UU MIG dan Penjelasannya tersebut secara teknis adalah dalam pengajuan permohonan pendaftaran merek, setiap pemilik merek dapat mengajukan merek yang dipergunakannya untuk didaftarkan dalam satu permohonan saja. Agar lebih jelas, saya akan berikan ilustrasi berikut ini. Ilustrasi Permohonan Pendaftaran Merek A memiliki usaha di bidang hiburan. Dalam menjalankan usahanya, A akan memberikan jasa pertunjukan dan menjual merchandise (cindera mata). Dalam hal ini, berdasarkan klasifikasi merek, untuk jasa pertunjukan A dapat mendaftarkannya di Kelas 41, yakni Kelas Hiburan, sedangkan untuk cindera mata A dapat mendaftarkannya di Kelas 28 sesuai Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek (“PP 24/1993”) Untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek, pemilik merek harus mengisi formulir ‘Permintaan Pendaftaran Merek’. Contoh formulir dapat Anda lihat di Formulir Terkait Permohonan Merek yang dapat diakses dari laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual . Pada formulir, Anda diminta memasukkan Kelas Barang/Jasa dan Jenis Barang/Jasa. Pada kolom Kelas Barang/Jasa, Anda dapat mengisinya dengan Kelas 41 dan Kelas 28. Sedangkan pada Jenis Barang/Jasa, Anda dapat menyebutkan jenis jasa pertunjukan yang Anda daftarkan di kelas 41 dan jenis barang apa saja yang Anda daftarkan di kelas 28. Biaya Pendaftaran Merek Menjawab pertanyaan Anda mengenai biaya pendaftaran merek, hal tersebut telah diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (“PP 45/2016”) . Untuk jenis pelayanan hak kekayaan intelektual sebagaimana disebutkan pada Lampiran Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini, ditetapkan tarif ‘Per Kelas’ untuk Permohonan Pendaftaran merek. Untuk tarif Permohonan Pendaftaran Merek ditetapkan per kelas , dengan rincian sebagai berikut: [2] a. Usaha Mikro dan Usaha Kecil 1) Secara elektronik ( online ) : Rp. 500.000,00 per kelas 2) Secara non elektronik (manual) : Rp. 600.000,00 per kelas b. Umum 1) Secara elektronik ( online ) : Rp. 1.800.000,00 per kelas 2) Secara non elektronik (manual) : Rp. 2.000.000,00 per kelas Dengan demikian, seperti yang Anda sebut di atas, apabila Anda memiliki 1 etiket merek yang akan didaftarkan dalam 4 kelas yang berbeda, maka Anda dikenakan tarif untuk masing-masing kelas tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1993 tentang Kelas Barang atau Jasa Bagi Pendaftaran Merek ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2016 Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ; 4. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty . REFERENSI:\n1. http://www.dgip.go.id/layanan-kekayaan-intelektual/merek/formulir-terkait-permohonan-merek , diakses pada 19 Desember 2016 pukul 14.19 WIB [1] Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU MIG [2] Lampiran angka V mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari Pelayanan Kekayaan Intelektual Huruf C tentang Merek dan Indikasi Geografis PP 45/2016 hukumonline lembaga pemerintah barang jasa brand paten google rupiah indikasi geografis hak kekayaan intelektual merek klinik hukum klinik hukumonline tarif kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Dear hukumonline.com. Selamat siang, saya mau bertanya hak-hak apa saja yang bisa diterima oleh tenaga kerja asing yang mengundurkan diri? Apakah hak dan kewajiban yang tertera di UU No. 13 Tahun 2003 Pasal 162 ayat 1 dan Pasal 154 ayat 4 juga bisa mereka peroleh?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Intisari: Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu (PKWT). Jika pekerja PKWT mengundurkan diri sebelum masa kontrak selesai, ia wajib mengganti rugi sebesar sisa kontrak yang tidak ia selesaikan. Penjelasan selengkapnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Perlu Anda ketahui, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) berlaku juga untuk Tenaga Kerja Asing (“TKA”). Hal ini dapat dilihat dari definisi tenaga kerja dan pekerja yang dikenal dalam UU Ketenagakerjaan yaitu: Pasal 1 angka 2 UU Ketenagakerjaan: KLINIK TERKAIT Jabatan-Jabatan TKA yang Dapat Memperoleh KITAP 20 Okt 2023 Bolehkah TKA Menjabat Sebagai Presiden Direktur? 16 Jun 2020 Wajibkah Pengusaha Mengurus RPTKA Jika TKA Tidak Bekerja di Indonesia? 30 Jul 2018 Larangan Rangkap Jabatan Tenaga Kerja Asing 24 Jul 2018 “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan  barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Ini artinya, selama TKA itu bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain di Indonesia, maka ia disebut sebagai pekerja/buruh sehingga berlaku pula ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Hal ini dipertegas dengan dikenalnya istilah Tenaga Kerja Asing (“TKA”) dalam Pasal 1 angka 13 UU Ketenagakerjaan : “Tenaga kerja asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.” Selengkapnya mengenai TKA dapat Anda simak dalam artikel Adakah Aturan Soal Perbandingan Jumlah Karyawan Asing dan Lokal? dan Larangan Rangkap Jabatan Tenaga Kerja Asing . Kewajiban TKA yang Resign Sebelum menjawab pertanyaan Anda lebih jauh, kita perlu memahami konsep mempekerjakan TKA di Indonesia terlebih dahulu sebagaimana disebut dalam Pasal 42 ayat (4)  UU Ketenagakerjaan: “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu.” Di sini terlihat bahwa hubungan kerja TKA dengan pengusaha hanya dapat diperjanjikan dengan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) atau yang dikenal dengan kerja dengan sistem kontrak. Jika TKA dipekerjakan dengan sistem kontrak seperti ini, maka ada kewajiban baginya jika resign sebelum kontrak selesai, yaitu membayar ganti rugi sebesar sisa masa kontrak yang tidak ia selesaikan. Ketentuan ini dipertegas dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: “Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja .” Hak TKA yang Resign Anda menyebut dua pasal dalam UU Ketenagakerjaan, yakni Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 154 ayat (4) UU Ketenagakerjaan . Perlu kami luruskan bahwa tidak ada ayat (4) dalam Pasal 154 UU Ketenagakerjaan. Berikut bunyi lengkap Pasal 154 UU Ketenagakerjaan: Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal: a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentuuntuk pertama kali; c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau d. pekerja/buruh meninggal dunia. Selanjutnya kita simak bersama bunyi Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan: Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan: “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).” Jadi, kami asumsikan bahwa Anda keliru dalam mengetik nomor pasal. Di samping itu, berangkat dari bunyi Pasal 162 ayat (1) itu sendiri yang berkaitan dengan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, kami menyimpulkan bahwa maksud dari pasal yang Anda keliru dalam pengetikan bukanlah Pasal 154 ayat (4) UU Ketenagakerjaan, melainkan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan , yakni soal Uang Penggantian Hak (“UPH”). Perlu Anda ketahui, bagi pekerja dengan sistem PKWT seperti TKA tidak memiliki sejumlah hak seperti pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) atau dikenal dengan pekerja tetap saat resign. Untuk pekerja tetap yang resign memang tidak mendapatkan pesangon, ia hanya berhak atas UPH sebagaimana terinci dalam Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Lebih jauh silakan baca artikel Apakah Pekerja yang Mengundurkan Diri Akan Dapat Pesangon? dan artikel Uang Pisah Bagi Karyawan yang Mengundurkan Diri . Namun, TKA yang dipekerjakan dengan sistem PKWT (pekerja kontrak) tidak berhak atas sejumlah hak yang kami sebutkan di atas. Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/Pdt.Sus/2010 . Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung menegaskan bahwa TKA hanya dapat dipekerjakan dengan sistem PKWT sehingga ketika terjadi pemutusan hubungan kerja maka pihak yang memutuskan hubungan kerja harus membayar ganti rugi berupa sisa gaji yang mesti dibayarkan hingga masa kontrak selesai. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Putusan: Putusan Mahkamah Agung Nomor 595 K/Pdt.Sus/2010 hukumonline klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Hukum Online, Saya menanyakan intepretasi tanggal mulai masa berlaku SIM yang 5 tahun sesuai peraturan pemerintah No, 40 Th. 1993, Pasal 214 dan 215, karena menyangkut suatu kejadian hukum. Karena di Pasal 215 hanya tertera tanggal diterbitkan dan tanggal berakhir SIM. Sebagai contoh saya memperpanjang SIM lama yang berakhir tanggal 17 April 2012 pada tanggal 9 Mei 2012. SIM saya diterbitkan tanggal 9 Mei 2012 dan berakhir tanggal 17 April 2017. Apakah tanggal dimulainya SIM baru saya sesuai hukum tanggal 17 April 2012? Karena melanjutkan perpanjangan SIM lama saya yang tanggal berakhirnya 17 April 2012, sesuai dengan pasal 214 yang berbunyi masa berlakunya 5 tahun dan dapat diperpanjang. Terima kasih sebelumnya. Soegiarto Hartono." }
{ "from": "gpt", "value": "Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1993 yang Saudara maksud tidak mengatur tentang perpanjangan Surat Izin Mengemudi, tetapi tentang Pemberian Hak Guna Bangunan atas Tanah dalam Kawasan-Kawasan Tertentu di Propinsi Riau. Mungkin yang Saudara maksud adalah Peraturan Pemerintah No . 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi ( “ PP 44/1993” ) B erdasarkan Pasal 214 PP 44/1993 , Surat Izin Mengemudi (“SIM”) berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang. Perpanjangan SIM diatur lebih lanjut dalam Pasal 224 PP 44/1993 yang berbunyi: Pasal 224 KLINIK TERKAIT Sanksi STNK Mati: Dari Denda Hingga Motor Disita Polisi 05 Sep 2023 Adakah Aturan tentang Daluwarsa Penyelesaian Perkara di Kepolisian? 19 Sep 2018 Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan 11 Feb 2016 Menghadapi Ahli Waris Korban Kecelakaan yang Minta Ganti Rugi 09 Mar 2012 (1) Surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 dapat diperpanjang tanpa keharusan mengikuti ujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dan Pasal 220. (2) Permohonan perpanjangan masa berlaku surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada pelaksana penerbitan surat izin mengemudi dengan menggunakan formulir yang ditetapkan serta melampirkan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. salinan tanda jati diri yang sekurang-kurangnya memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal tetap atau sementara; b. surat izin mengemudi yang dimohonkan untuk diperpanjang; c. surat keterangan dokter yang menyatakan permohonan dalam keadaan sehat jasmani dan rohani; d. pas photo terbaru dari pemohon. (3) Apabila surat izin mengemudi telah habis masa berlakunya lebih dari 1 (satu) tahun, pemohon wajib mengikuti ujian teori dan praktek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dan Pasal 220. (4) Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 1 (satu) hari kerja sejak permohonan perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diterima secara lengkap, pelaksana penerbitan surat izin mengemudi harus menerbitkan surat izin mengemudi atau menolak permohonan. Peraturan yang lebih khusus mengatur tentang SIM yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi (“Perkap 9/2012”). Definisi SIM dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 4 Perkap 9/2012 , yaitu: Surat Izin Mengemudi yang selanjutnya disingkat SIM adalah tanda bukti legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan untuk mengemudikan Ranmor di jalan sesuai dengan persyaratan yang ditentukan berdasarkan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Mengenai perpanjangan SIM , Pasal 28 ayat (2) Perkap 9/2012 mengatur bahwa : Perpanjangan SIM dilakukan sebelum masa berlakunya berakhir . Jadi, berdasarkan penjelasan di atas, menjawab pertanyaan Saudara, tanggal mulai berlakunya SIM baru Anda adalah sejak tanggal berakhirnya SIM lama yaitu 17 April 2012 sampai dengan lima tahun ke depan (17 April 2017) dan bukan pada tanggal pengajuan perpanjangannya (9 Mei 2012) . Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat untuk Anda. Dasar hukum : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi 2. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi" }
{ "from": "human", "value": "Adakah batasan jumlah gerai yang dimiliki oleh pengusaha waralaba? Bagaimana pengaturannya? Jika ingin membuka gerai di mall, berapakah batasan minimum luas atau jumlah gerai yang dimiliki pada satu mall?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern dapat mendirikan outlet/gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri ( company owned outlet ) paling banyak 150 outlet/gerai. Jadi, jumlah maksimal yang ditetapkan untuk jumlah gerai pada usaha waralaba toko modern yaitu paling banyak 150 outlet/gerai. Dalam hal Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern telah memiliki outlet/gerai sebanyak 150 outlet/gerai dan akan melakukan penambahan outlet/gerai lebih lanjut, maka pendirian outlet/gerai tambahan wajib diwaralabakan. Kewajiban mewaralabakan pendirian outlet/gerai tambahan diberlakukan terhadap Toko Modern dengan luas gerai: a. kurang dari atau sama dengan 400 m2 untuk mini market; b. kurang dari atau sama dengan 1200 m2 untuk supermarket; dan c. kurang dari atau sama dengan 2000 m2 untuk departement store. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Aturan tentang Pemakaian Kios di Pasar Tradisional 18 Agt 2017 Macam-macam Pedagang Perantara Berdasarkan Hukum Dagang 26 Apr 2017 Dasar Hukum Kewajiban Minimarket Menyediakan Areal Parkir 16 Feb 2017 Hukumnya Menggunakan Ruas Jalan untuk Pasar 20 Jan 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Waralaba Untuk menjawab pertanyaan Anda, sebelumnya kami asumsikan gerai yang dimiliki pengusaha waralaba ini jenis usahanya adalah usaha toko modern. Untuk itu, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68/M-DAG/PER/10/2012 Tahun 2012 tentang Waralaba untuk Jenis Usaha Toko Modern (“Permendag 68/2012”) . Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan Perjanjian Waralaba. [1] Yang disebut dengan outlet/gerai adalah tempat melaksanakan kegiatan usaha toko modern. [2] Sementara itu, toko modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang dapat berbentuk minimarket, supermarket, department store, hypermarket ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. [3] Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern di mall , dapat mengembangkan kegiatan usahanya melalui pendirian outlet/gerai yang: [4] a. dimiliki dan dikelola sendiri ( company owned outlet ); dan b. diwaralabakan. Batasan Kepemilikan Gerai/Outlet Waralaba Pada Toko Modern Menjawab pertanyaan Anda, Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern dapat mendirikan outlet/gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri ( company owned outlet ) paling banyak 150 outlet/gerai . [5] Dalam hal Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern telah memiliki outlet/gerai sebanyak 150 outlet/gerai dan akan melakukan penambahan outlet/gerai lebih lanjut, maka pendirian outlet/gerai tambahan wajib diwaralabakan. [6] Prosentase jumlah outlet/gerai yang diwaralabakan paling sedikit 40% dari jumlah outlet/gerai yang ditambahkan. Kewajiban mewaralabakan pendirian outlet/gerai tambahan diberlakukan terhadap Toko Modern dengan luas gerai: [7] a. kurang dari atau sama dengan 400 m2 untuk mini market; b. kurang dari atau sama dengan 1200 m2 untuk supermarket; dan c. kurang dari atau sama dengan 2000 m2 untuk departement store. Pengecualian dari ketentuan batasan tersebut dalam hal: [8] a. Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba yang telah memiliki 150 outlet/gerai belum memperoleh keuntungan yang dibuktikan dengan laporan keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Menteri; atau b. Berdasarkan hasil penilaian Tim Penilai, Pemberi Waralaba yang akan menambahkan outlet/gerai di daerah, tidak mendapatkan pelaku usaha setempat yang dapat menjadi Penerima Waralaba. Menteri Perdagangan mendelegasikan kewenangan penetapan sebagai Akuntan Publik kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri. Direktur Jenderal menerbitkan penetapan sebagai Akuntan Publik untuk dan atas nama Menteri Perdagangan. Biaya yang diperlukan untuk mengaudit laporan keuangan dibebankan kepada Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba. [9] Sanksi Jika Melebihi Ketentuan Jumlah Maksimal Gerai Pemberi Waralaba dan Penerima Waralaba untuk jenis usaha Toko Modern yang melanggar ketentuan jumlah maksimal gerai dapat dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: [10] a. peringatan tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu sejak tanggal surat peringatan oleh pejabat penerbit Surat Tanda Pendaftaran Waralaba; b. pemberhentian sementara Surat Tanda Pendaftaran Waralaba paling lama 2 (dua) bulan apabila tidak memenuhi ketentuan dalam peringatan tertulis; dan c. pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba, apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada huruf b. Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang ada jumlah maksimal yang ditetapkan untuk jumlah gerai pada usaha waralaba toko modern yaitu paling banyak 150 outlet/gerai untuk outlet/gerai yang dimiliki dan dikelola sendiri ( company owned outlet ). Batasan Luas Sebuah Outlet Toko Modern Pada Mall Mengenai batasan minimum luas dan jumlah outlet toko modern pada sebuah mall secara eksplisit tidak diatur. Tetapi pada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007”) serta Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Permendag 70/2013”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 dentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern , ada pengaturan mengenai batasan luas lantai penjualan toko modern yaitu: [11] a. Minimarket, kurang dari 400 m2 b. Supermarket, 400 m2 sampai dengan 5.000 m2 ; c. Hypermarket, diatas 5.000 m2 ; d. Department Store, diatas 400 m2; e. Perkulakan, diatas 5.000 m2 . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: 1. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ; 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68/M-DAG/PER/10/2012 Tahun 2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern ; 3. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 Tahun 2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-Dag/Per/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern . [1] Pasal 1 angka 1 Permendag 68/2012 [2] Pasal 1 angka 5 Permendag 68/2012 [3] Pasal 1 angka 4 Permendag 68/2012 [4] Pasal 2 Permendag 68/2012 [5] Pasal 3 Permendag 68/2012 [6] Pasal 4 ayat (1) Permendag 68/2012 [7] Pasal 4 ayat (2) dan (3) Permendag 68/2012 [8] Pasal 5 ayat (1) Permendag 68/2012 [9] Pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) Permendag 68/2012 [10] Pasal 11 Permendag 68/2012 [11] Pasal 3 ayat (2) Perpres 112/2007 dan Pasal 6 Permendag 70/2013 toko franchise waralaba hukumonline persaingan usaha google usaha supermarket mall hukum klinik pengusaha minimarket perusahaan klinik hukumonline perdagangan akuntan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah benar jika sekarang PNS ingin mengajukan pensiun dini minimal harus berumur 50 tahun dan masa kerjanya minimal 20 tahun? Lalu apakah jika pensiun dini masih mendapat uang pensiun?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pensiun dini yang jelas dikenal dalam UU ASN adalah pensiun dini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk perampingan organisasi . Sedangkan, “pengajuan pensiun dini” yang Anda tanyakan dikategorikan sebagai pemberhentian sebagai PNS atas permintaan sendiri . Sehingga, dalam hal ini ada 2 (dua) pensiun dini yang kami bahas, yaitu: a. pensiun dini atas permintaan sendiri; dan b. pensiun dini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk perampingan organisasi. Bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri (syaratnya telah berusia 45 tahun dan masa kerja paling sedikit 20 tahun ), maupun bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini (syaratnya telah berusia paling sedikit 50 tahun dan masa kerja paling sedikit 10 tahun ) tetap berhak atas jaminan pensiun . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Pengusaha Tak Mendaftarkan Pekerja ke BPJS, Adakah Sanksinya? 20 Mei 2024 Bolehkah Melamar Menjadi PNS Lagi Jika Pernah Berhenti dengan Hormat Atas Permintaan Sendiri? 08 Sep 2017 Ketentuan Pembagian Waris Bagi Ahli Waris PNS 18 Agt 2017 Masihkah PNS yang Berstatus Terpidana Berhak atas Jaminan Pensiun? 11 Agt 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Pemberhentian PNS dengan Hormat Pengaturan mengenai pensiun dini dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Di sini kami beranggapan bahwa pensiun dini yang Anda maksud adalah pensiun dini atas kemauan/permintaan sendiri. Dalam Pasal 87 ayat (1) UU ASN diatur bahwa: PNS diberhentikan dengan hormat karena: a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini ; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban Jadi, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang ingin berhenti atas permintaan sendiri termasuk pada kategori pemberhentian dengan hormat. Merujuk pada pasal di atas, pensiun dini yang dikenal dalam UU ASN adalah sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk perampingan organisasi. Sedangkan, “pengajuan pensiun dini” yang Anda tanyakan dikategorikan sebagai pemberhentian atas permintaan sendiri. Sehingga, dalam hal ini ada 2 (dua) pensiun dini yang kami bahas, yaitu: a. pensiun dini atas permintaan sendiri; dan b. pensiun dini sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk perampingan organisasi. Jaminan Pensiun PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. PNS diberikan jaminan pensiun apabila: [1] a. meninggal dunia; b. atas permintaan sendiri dengan usia dan masa kerja tertentu; c. mencapai batas usia pensiun; d. perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini ; atau e. tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS yang bersangkutan. [2] Dalam Pasal 305 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) diatur bahwa jaminan pensiun diberikan kepada : a. PNS yang diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia; b. PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 tahun dan masa kerja paling sedikit 20 tahun; c. PNS yang diberhentikan dengan hormat karena mencapai Batas Usia Pensiun apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling sedikit 10 tahun; d. PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini apabila telah berusia paling sedikit 50 tahun dan masa kerja paling sedikit 10 tahun ; e. PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan tanpa mempertimbangkan usia dan masa kerja; atau f. PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang tidak disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling singkat 4 (empat) tahun. Jadi menjawab pertanyaan Anda, dalam UU ASN istilah pensiun dini adalah akibat kebijakan pemerintah untuk perampingan organisasi. Namun, bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri (syaratnya telah berusia 45 tahun dan masa kerja paling sidikit 20 tahun ), maupun bagi PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini (syaratnya telah berusia paling sedikit 50 tahun dan masa kerja paling sedikit 10 tahun ) tetap berhak atas jaminan pensiun . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil . [1] Pasal 91 ayat (1) dan (2) UU ASN jo. Pasal 304 ayat (1), Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) [2] Pasal 91 ayat (3), (4) dan (5) UU ASN dan Pasal 304 ayat (2), (3), dan (4) PP 11/2017 pensiun dini hukumonline lembaga pemerintah ketenagakerjaan jaminan pensiun google pegawai negeri sipil bpjs hukum klinik pns pensiun pns klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya berumur 45 tahun, masa kerja saya 20 tahun, saya sudah menyusun persyaratan lengkap untuk berhenti dari PNS dengan Hak Pensiun karena menurut PP No. 11 Tahun 2017, umur dan masa kerja saya sudah mencukupi untuk mendapatkan jaminan pensiun apabila mengajukan berhenti dari PNS. Namun sangat mengagetkan saya ternyata berkas usulan saya ditolak katanya umur belum cukup. Pertanyaannya, kapan PP diberlakukan? Apakah PP setelah diundangkan masih membutuhkan aturan teknis terkait batas usia pensiun lagi sehingga BKN berani menggunakan hukum-hukum yang terdapat dalam PP tersebut? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pada dasarnya, seorang Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang telah mencapai batas usia pensiun diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Guna menyederhanakan jawaban, kami asumsikan bahwa Anda adalah seorang PNS yang memangku jabatan sebagai pejabat a dministrasi . Batas usia pensiun menurut Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) yaitu: 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi , pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan; 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama. Berdasarkan keterangan Anda, Anda yang berumur 45 tahun memang belum mencapai batas usia pensiun (58 tahun). Tetapi, PNS dapat diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 tahun dan masa kerja paling sedikit 20 tahun. Artinya, usia Anda memang belum mencapai batas usia pensiun bagi pejabat administrasi (58 tahun). Akan tetapi, di usia Anda sekarang (45 tahun) dengan masa kerja 20 tahun, Anda dapat mengajukan permintaan berhenti dengan hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS dan Anda berhak memperoleh jaminan pensiun . Perlu dicatat, ada beberapa alasan permintaan berhenti ditolak , salah satunya yaitu PNS yang bersangkutan sedang terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah. Kami sarankan agar Anda memastikan lagi kepada pihak Badan Kepegawaian Nasional (BKN) tentang alasan penolakan permintaan pemberhentian Anda sebagai PNS. Apa alasan-alasan lainnya? kemudian apakah keberlakuan PP 11/2017 perlu menunggu aturan teknisnya terlebih dahulu? penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Batasan Usia Pensiun Guna menyederhanakan jawaban, kami akan asumsikan beberapa hal berikut: Anda adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang memangku jabatan sebagai Pejabat Administrasi yang memiliki batas usia pensiun adalah 58 tahun. Berkas Anda ditolak oleh Badan Kepegawaian Nasional (“BKN”) pada proses verifikasi. Pengaturan mengenai pensiun dapat kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Dalam Pasal 87 ayat (1) UU ASN diatur: PNS diberhentikan dengan hormat karena: meninggal dunia; atas permintaan sendiri; mencapai batas usia pensiun; perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban Batas usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c UU ASN yaitu: [1] 58 (lima puluh delapan) tahun bagi Pejabat Administrasi; 60 (enam puluh) tahun bagi Pejabat Pimpinan Tinggi; sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Pejabat Fungsional. Mengenai aturan pensiun PNS lebih rinci ini diatur dalam Pasal 239 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) yaitu: PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Batas Usia Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu: 58 (lima puluh delapan) tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan; 60 (enam puluh) tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan 65 (enam puluh lima) tahun bagi PNS yang memangku pejabat fungsional ahli utama. Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua PNS yang berhenti bekerja berhak atas jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Jaminan pensiun PNS dan jaminan hari tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambungan penghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS. [2] Jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam program jaminan sosial nasional. Sumber pembiayaan jaminan pensiun dan jaminan hari tua PNS berasal dari pemerintah selaku pemberi kerja dan iuran PNS yang bersangkutan. [3] Jaminan pensiun diberikan kepada: [4] PNS yang diberhentikan dengan hormat karena meninggal dunia; PNS yang diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 (empat puluh lima) tahun dan masa kerja paling sedikit 20 (dua puluh) tahun ; PNS yang diberhentikan dengan hormat karena mencapai Batas Usia Pensiun apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; PNS yang diberhentikan dengan hormat karena perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini apabila telah berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun dan masa kerja paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan tanpa mempertimbangkan usia dan masa kerja; atau PNS yang diberhentikan dengan hormat karena dinyatakan tidak dapat bekerja lagi dalam Jabatan apapun karena keadaan jasmani dan/atau rohani yang tidak disebabkan oleh dan karena menjalankan kewajiban Jabatan apabila telah memiliki masa kerja untuk pensiun paling singkat 4 (empat) tahun. Jadi pada dasarnya seorang PNS yang telah mencapai Batas Usia Pensiun diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Anda yang  berumur 45 tahun memang belum mencapai batas usia pensiun, karena batas usia pensiun untuk PNS dengan jabatan administrasi adalah 58 tahun. Tetapi, PNS dapat diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 (empat puluh lima) tahun dan masa kerja paling sedikit 20 tahun. Pemberhentian Dengan Hormat Atas Permintaan Sendiri PNS yang mengajukan permintaan berhenti, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS. Permintaan berhenti tersebut dapat ditunda untuk paling lama 1 (satu) tahun, apabila PNS yang bersangkutan masih diperlukan untuk kepentingan dinas. [5] Namun, permintaan berhenti ditolak karena alasan-alasan sebagai berikut: [6] sedang dalam proses peradilan karena diduga melakukan tindak pidana kejahatan; terikat kewajiban bekerja pada Instansi Pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan; dalam pemeriksaan pejabat yang berwenang memeriksa karena diduga melakukan pelanggaran disiplin PNS; sedang mengajukan upaya banding administratif karena dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; sedang menjalani hukuman disiplin; dan/atau alasan lain menurut pertimbangan Pejabat Pembina Kepegawaian. Menjawab pertanyaan Anda, ketentuan mengenai batas usia pensiun mengacu pada Pasal 90 jo. Pasal 87 ayat (1) huruf c UU ASN dan Pasal 239 PP 11/2017. Sebagaimana telah dijelaskan, batasan usia pensiun bagi PNS yang menduduki jabatan administrasi adalah 58 tahun . Tetapi berdasarkan PP 11/2017 ini seorang PNS dapat diberhentikan dengan hormat atas permintaan sendiri apabila telah berusia 45 (empat puluh lima) tahun dan masa kerja paling sedikit 20 (dua puluh) tahun . Ini artinya, usia Anda memang belum mencapai batas usia pensiun bagi pejabat administrasi (58 tahun). Akan tetapi, di usia Anda sekarang (45 tahun) dengan masa kerja 20 tahun, Anda dapat mengajukan permintaan berhenti dengan hormat atas permintaan sendiri sebagai PNS dan Anda berhak memperoleh jaminan pensiun. Berkaitan dengan penolakan berkas Anda oleh BKN, kami kurang mendapatkan informasi yang jelas mengenai alasan penolakan tersebut. Kami berpandangan bahwa mungkin saja permintaan Anda ditolak oleh BKN karena hal-hal sebagaimana yang kami sebutkan di atas. Kami sarankan agar Anda memastikan lagi kepada pihak BKN tentang alasan penolakan permintaan pemberhentian Anda sebagai PNS. Sebagai referensi Anda dapat baca artikel Aturan tentang Batasan Usia Pensiun Dini PNS . Mengenai keberlakuan PP 11/2017, PP ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu 7 April 2017. [7] Artinya, PP ini sudah berlaku tanpa menunggu aturan teknisnya terbit. Berkaitan dengan aturan terknis, sepanjang penelusuran kami belum ada aturan teknis tentang pemberhentian PNS dengan hormat atas permintaan sendiri. Sistem Informasi Manajemen Pemberhentian dan Pensiun PNS Sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun secara nasional dikelola oleh BKN berdasarkan informasi dan data pengelolaan pemberhentian dan pensiun Instansi Pemerintah. Instansi Pemerintah wajib memutakhirkan informasi dan data PNS melalui sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun. BKN melakukan verifikasi terhadap informasi dan data pengelolaan pensiun untuk pemberian pertimbangan teknis pensiun PNS kepada Instansi Pemerintah. Sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun merupakan bagian dari Sistem Informasi ASN. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi manajemen pemberhentian dan pensiun diatur dengan Peraturan Kepala BKN. [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil [1] Pasal 90 UU ASN [2] Pasal 304 ayat (1) dan (2) PP 11/2017 [3] Pasal 304 ayat (3) dan (4) PP 11/2017 [4] Pasal 305 PP 11/2017 [5] Pasal 238 ayat (1) dan (2) PP 11/2017 [6] Pasal 238 ayat (3) PP 11/2017 [7] Pasal 364 PP 11/2017 [8] Pasal 260 PP 11/2017 aparatur sipil negara hukumonline jaminan pensiun bkn tata negara hukum masa kerja pns pensiun" }
{ "from": "human", "value": "Cuti sakit untuk PNS maksimal diberikan hanya selama 1 tahun, bagaimana jika sakit lebih dari 1 tahun? Apakah PNS tersebut dapat memohonkan cuti sakit tambahan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Perlu diketahui bahwa Hak atas cuti sakit diberikan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun . Namun, apabila Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) sakit lebih dari 1 tahun (tidak sembuh dari penyakitnya), maka PNS tersebut dapat diberikan cuti sakit tambahan selama 6 bulan. Dengan catatan perpanjangan tersebut harus berdasarkan surat keterangan tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Jika masih belum sembuh setelah diberikan waktu perpanjangan tersebut, maka harus diuji kembali kesehatannya oleh tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Apabila berdasarkan hasil pengujian kesehatan belum sembuh dari penyakitnya, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena sakit dengan mendapat uang tunggu . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jenis Cuti PNS Pada dasarnya, Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) berhak memperoleh cuti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . [1] Lebih lanjut aturan mengenai cuti terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) dan Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil (“Peraturan BKN 24/2017”) . Cuti PNS terdiri dari: [2] cuti tahunan; cuti besar; cuti sakit; cuti melahirkan; cuti karena alasan penting cuti bersama; dan cuti di luar tanggungan Negara. Ketentuan Pemberian Cuti Sakit PNS Setiap PNS yang menderita sakit berhak atas cuti sakit. [3] PNS yang sakit 1 (satu) hari menyampaikan surat keterangan sakit secara tertulis kepada atasan langsung dengan melampirkan surat keterangan dokter. [4] Bagi PNS yang sakit lebih dari 1 (satu) hari sampai dengan 14 (empat belas) hari berhak atas cuti sakit, dengan ketentuan PNS yang bersangkutan harus mengajukan permintaan secara tertulis kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (“PPK”) atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti sakit dengan melampirkan surat keterangan dokter. [5] Surat keterangan dokter tersebut paling sedikit memuat pernyataan tentang perlunya diberikan cuti, lamanya cuti, dan keterangan lain yang diperlukan. [6] Sementara itu bagi PNS yang menderita sakit lebih dari 14 (empat belas) hari berhak atas cuti sakit, dengan ketentuan PNS yang bersangkutan harus mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti sakit dengan melampirkan surat keterangan dokter pemerintah. [7] Dokter pemerintah adalah dokter yang berstatus PNS atau dokter yang bekerja pada unit pelayanan kesehatan pemerintah. [8] Perlu diketahui bahwa hak atas cuti sakit diberikan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun . Jangka waktu cuti sakit dapat ditambah untuk paling lama 6 (enam) bulan apabila diperlukan , berdasarkan surat keterangan tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, yaitu Menteri Kesehatan. [9] PNS yang tidak sembuh dari penyakitnya dalam jangka waktu 1 tahun dan setelahnya sudah diberikan tambahan waktu 6 bulan sebagaimana dijelaskan di atas, harus diuji kembali kesehatannya oleh tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, yaitu Menteri Kesehatan. [10] Apabila berdasarkan hasil pengujian kesehatan PNS belum sembuh dari penyakitnya, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatannya karena sakit dengan mendapat uang tunggu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [11] Tidak hanya itu, cuti sakit juga diberikan kepada PNS yang: Mengalami gugur kandungan [12] . PNS tersebut berhak atas cuti sakit untuk paling lama 1 1/2 (satu setengah) bulan. Untuk mendapatkan hak atas cuti sakit karena gugur kandungan, PNS yang mengalami keguguran mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK atau pejabat yang menerima delegasi wewenang untuk memberikan hak atas cuti sakit dengan melampirkan surat keterangan dokter atau bidan. Mengalami kecelakaan dalam dan oleh karena menjalankan tugas kewajibannya sehingga yang bersangkutan perlu mendapat perawatan berhak atas cuti sakit sampai yang bersangkutan sembuh dari penyakitnya. [13] Selama menjalankan cuti sakit, PNS yang bersangkutan berhak menerima penghasilan PNS. [14] Penghasilan tersebut terdiri atas gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan dan tunjangan jabatan sampai dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur gaji, tunjangan, dan fasilitas PNS. [15] Jadi menjawab pertanyan Anda , apabila PNS sakit lebih dari 1 tahun (tidak sembuh dari penyakitnya), maka PNS tersebut dapat diberikan cuti sakit tambahan selama 6 bulan. Dengan catatan perpanjangan tersebut harus berdasarkan surat keterangan tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan. Jika masih belum sembuh setelah diberikan waktu perpanjangan tersebut, maka harus diuji kembali kesehatannya oleh tim penguji kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Apabila berdasarkan hasil pengujian kesehatan belum sembuh dari penyakitnya, PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatannya karena sakit dengan mendapat uang tunggu . Pemberian Uang Tunggu Bagi PNS Uang tunggu diberikan setiap tahun untuk paling lama 5 (lima) tahun. [16] Uang tunggu diberikan dengan ketentuan: [17] 100% (seratus persen) dari gaji, untuk tahun pertama; dan 80% (delapan puluh persen) dari gaji untuk tahun selanjutnya. Besarnya uang tunggu, tidak boleh kurang dari gaji terendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [18] Uang tunggu diberikan mulai bulan berikutnya terhitung sejak tanggal PNS yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat dari Jabatannya. [19] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Pegawai Negeri Sipil [1] Pasal 21 huruf b UU ASN [2] Pasal 310 PP 11/2017 dan Romawi II Bagian B Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [3] Pasal 319 PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 1 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [4] Romawi III Bagian C angka 2 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [5] Pasal 320 ayat (1) PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 3 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [6] Pasal 320 ayat (3) PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 6 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [7] Pasal 320 ayat (2) PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 4 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [8] Romawi III Bagian C angka 5 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [9] Pasal 320 ayat (4) dan (5) PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 7 dan 8 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [10] Pasal 320 ayat (6) PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 9 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [11] Pasal 320 ayat (7) jo. Pasal 242 ayat (1) huruf c PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 10 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [12] Pasal 321 PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 11, 12 dan 13 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [13] Pasal 322 PP 11/2017 dan Romawi III Bagian C angka 15 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [14] Pasal 323 PP 11/2017  dan Romawi III Bagian C angka 16 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [15] Romawi III Bagian C angka 17 Lampiran Peraturan BKN 24/2017 [16] Pasal 296 PP 11/2017 [17] Pasal 297 ayat (1) PP 11/2017 [18] Pasal 297 ayat (2) PP 11/2017 [19] Pasal 297 ayat (3) PP 11/2017 aparatur sipil negara kesehatan hukumonline sakit ketenagakerjaan pegawai negeri sipil cuti tata negara hukum pns penyakit dokter" }
{ "from": "human", "value": "Andai kata ada permasalahan mengenai pornografi dunia maya (cyber pornography) misalnya, website atau pun forum tertentu, undang-undang manakah yang akan berlaku, apakah KUHP, UU Pornografi atau UU ITE? Apakah asas lex specialis derogat legi generalis berlaku terhadap undang-undang tersebut (tiga UU yang dimaksud di atas)? Atau apakah ada pertentangan atau konflik di antara ketiga UU tersebut? (kalau ada, maka UU manakah yang dipergunakan?) Terima kasih sebelumnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ Cyber pornography (pornografi dunia maya) ” yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 18 Maret 2010. Intisari : Aturan hukum mengenai pornografi, diatur dalam beberapa undang-undang, antara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”); Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”); dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”). Dalam hal perbuatan menyebarkan pornografi di internet ( cyber pornography), UU Pornografi merupakan lex specialis (hukum yang khusus) dari UU ITE dan KUHP. Baik UU Pornografi, UU ITE dan perubahannya serta KUHP dapat berlaku untuk menindak perbuatan pornografi di internet. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Sanksi bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi , berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) ; dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”) . Pengaturan Pornografi di Internet dalam KUHP Cyber pornography barangkali dapat diartikan sebagai penyebaran muatan pornografi melalui internet. Penyebarluasan muatan pornografi melalui internet tidak diatur secara khusus dalam KUHP. Dalam KUHP juga tidak dikenal istilah/kejahatan pornografi. Namun, ada pasal KUHP yang bisa dikenakan untuk perbuatan ini, yaitu pasal 282 KUHP mengenai kejahatan terhadap kesusilaan. Pasal 282 ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut: Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan, atau barangsiapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, membikin tulisan, gambaran atau benda tersebut, memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri, atau memiliki persediaan, ataupun barangsiapa secara terang-terangan atau dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah . Pengaturan Pornografi di Internet dalam UU ITE Dalam UU ITE dan perubahannya juga tidak ada istilah pornografi, tetapi “muatan yang melanggar kesusilaan”. Tindakan tersebut diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE , yang berbunyi: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan . Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 , yaitu: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Kemudian dalam Pasal 53 UU ITE dinyatakan bahwa seluruh peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya dinyatakan tetap berlaku, selama tidak bertentangan dengan UU ITE tersebut. Pengaturan Pornografi di Internet dalam UU Pornografi Dari kedua undang-undang yang di atas, Pasal 1 angka 1 UU Pornografi lebih jelas memberikan definisi mengenai pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini. Pelarangan penyebarluasan muatan pornografi, termasuk melalui di internet, diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi , yaitu : Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak. Pelanggaran pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dapat diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Pornografi yaitu: Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar. Pasal 44 UU Pornografi menyatakan bahwa pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pornografi ini. Berdasarkan penjelasan di atas, berikut kesimpulan yang dapat kami rangkum untuk menjawab ketiga pertanyaan Anda: Baik UU Pornografi dan UU ITE dapat dipergunakan untuk menjerat pelaku kejahatan pornografi yang menggunakan media internet. Meski demikian, Pasal 282 KUHP juga masih dapat digunakan untuk menjangkau pornografi di internet karena rumusan pasal tersebut yang cukup luas, ditambah lagi Pasal 44 UU Pornografi menegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU tersebut. Dalam praktiknya bisa saja penegak hukum menggunakan ketiga undang-undang tersebut (UU Pornografi, UU ITE, dan KUHP) atau hanya UU Pornografi dan UU ITE saja. Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat kami, UU Pornografi adalah lex specialis (hukum yang khusus) dari UU ITE dan KUHP dalam kejahatan pornografi melalui internet. Pornografi merupakan salah satu bagian dari muatan yang melanggar kesusilaan yang disebut Pasal 27 ayat (1) UU ITE dan KUHP. Kami tidak melihat ada pertentangan dalam pengaturan kejahatan pornografi di internet, khususnya di antara UU Pornografi dan UU ITE. Sebaliknya, ketiganya justru saling melengkapi. Batasan atau pengertian pornografi diatur dalam UU Pornografi dan cara penyebarluasan pronografi di internet diatur dalam UU ITE. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi hukumonline asusila teknologi hukum pidana video porno undang-undang kuhp uu ite hukum klinik konten negatif klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Perusahaan induk mengirimkan karyawannya kepada anak perusahaan sebagai Direksi, Kadiv, Kabag. Bagi karyawan anak perusahaan apakah tindakan/kebijakan ini dapat dikategorikan sebagai diskriminasi? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Dalam kesempatan ini, kita akan membahas mengenai diskriminasi di tempat kerja sehingga kita mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) . KLINIK TERKAIT Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja 28 Agt 2023 Mau Menyusun Struktur dan Skala Upah? Perhatikan 5 Hal Ini 30 Jan 2023 Hal yang Harus Diperhatikan Saat Penyusunan Struktur dan Skala Upah 08 Des 2022 Hukumnya Jika di-PHK Karena Datang Terlambat 26 Apr 2021 Dalam konsiderans “menimbang” UUK disebutkan bahwa “perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha .” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ditegaskan pula dalam Pasal 6 UUK sebagai berikut: “ Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.” Untuk memahami arti dari istilah diskriminasi, kami merujuk pada Konvensi ILO No. 111 Mengenai Diskriminasi Dalam Hal Pekerjaan dan Jabatan yang telah disahkan dengan UU No. 21 Tahun 1999 . Dalam Konvensi tersebut istilah diskriminasi meliputi: a. setiap pembedaan, pengecualian, atau pengutamaan atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, keyakinan politik, kebangsaan atau asal-usul sosial yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan; b. perbedaan, pengecualian atau pengutamaan lainnya yang berakibat meniadakan atau mengurangi persamaan kesempatan atau perlakuan dalam pekerjaan atau jabatan sebagaimana ditentukan oleh anggota yang bersangkutan setelah berkonsultasi dengan wakil organisasi pengusaha dan pekerja jika ada, dan dengan badan lain yang sesuai. Istilah \"pekerjaan\" dan \"jabatan\" dalam konvensi ini meliputi juga kesempatan mengikuti pelatihan keterampilan, memperoleh pekerjaan dan jabatan tertentu, dan syarat-syarat serta kondisi kerja. Lebih jauh, terkait dengan penempatan tenaga kerja ini, UUK memberikan pengaturan bahwa pengusaha harus memperhatikan hal-hal berikut ( Pasal 32 UUK ): a. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif serta adil, dan setara tanpa diskriminasi; b. Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum; c. Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program nasional dan daerah. Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas, sebenarnya perlindungan hukum sudah disediakan bagi tenaga kerja. Mengenai mengapa perusahaan induk mengirimkan karyawan ke anak perusahaan sebagai Direksi, Kepala Divisi maupun Kepala Bagian, dan bukan memilih dari karyawan anak perusahaan, hal tersebut merupakan kebijakan dari manajemen. Terutama dalam memilih orang untuk menempati posisi-posisi strategis tersebut, pihak manajemen perusahaan induk boleh jadi memiliki lebih banyak persyaratan yang disesuaikan dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan . Salah satu contoh diskriminasi di tempat kerja adalah bila perusahaan induk mengetahui ada perempuan yang berkompeten untuk mengisi posisi tersebut dan memang perempuan tersebut terbukti memiliki kompetensi yang sesuai akan tetapi karena pertimbangan gender /ras/agama perusahaan induk lebih memilih menempatkan laki-laki yang tidak lebih berkompeten untuk mengisi suatu jabatan tertentu di anak perusahaan. Maka, perusahaan tersebut dapat dikatakan telah melakukan diskriminasi. Jane Hodges , Senior Labour Law Specialist dari International Labour Organization (ILO) pernah mengatakan bahwa perusahaan yang melakukan segala bentuk tindakan diskriminasi dalam lingkungan kerja dapat digugat di pengadilan industrial. Lebih jauh simak artikel Perlakuan Diskriminatif Dapat Digugat di Pengadilan Industrial . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention NO. 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan) 2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ." }
{ "from": "human", "value": "Sekarang ini sudah banyak hotel-hotel yang menggunakan label syariah. Sebenarnya, adakah aturan dan persyaratannya agar usaha hotel bisa dikategorikan sebagai hotel syariah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan tentang Hotel Syariah di Indonesia KLINIK TERKAIT Jika Terganggu Aktivitas Hotel ‘Gelap’, Lakukan Ini 06 Agt 2021 Pemberian Kredit Sindikasi oleh Bank Syariah Bersama Bank Konvesional, Bolehkah? 30 Jul 2021 Bedanya Asuransi Syariah dengan Konvensional 21 Apr 2021 Begini Cara Menghitung Besaran Pajak Indekos 02 Des 2020 Menjawab pertanyaan Anda apakah ada aturan khusus tentang usaha hotel syariah, maka jawabannya adalah tidak ada , jika yang Anda maksud adalah peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah (“Permenparekraf 2/2014”) telah dicabut dengan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pencabutan atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah dikarenakan Permenparekraf 2/2014 sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan saat ini. Padahal, Permenparekraf 2/2014 merupakan amanat dari Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (“UU Kepariwisataan”) sebelum diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) . Akan tetapi kemudian Permenparekraf tersebut dicabut sehingga tidak ada lagi peraturan yang khusus mengatur tentang usaha hotel syariah. Maka, kegiatan usaha hotel syariah saat ini hanya berpedoman pada Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (“DSN-MUI”) Nomor 108/DSN-MU/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah (“Fatwa DSN-MUI 108/2016”) yang di dalamnya memuat ketentuan terkait hotel syariah dan ketentuan lain yang bersifat umum, yaitu UU Kepariwisataan dan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 Tahun 2013 tentang Standar Usaha Perhotelan (“Permenparekraf 53/2013”) dan perubahannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebagaimana diketahui bahwa Fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh MUI tentang suatu masalah kehidupan umat Islam. Merujuk pada jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , maka kedudukan Fatwa DSN-MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat. Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh umat Islam yang merasa mempunyai ikatan terhadap MUI itu sendiri. Fatwa MUI tidak punya legalitas untuk memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam, sebagaimana yang disampaikan dalam artikel Kedudukan Fatwa MUI Dalam Hukum Indonesia . Oleh karena itu, dengan dicabutnya Permenparekraf 2/2014 maka terjadi kekosongan hukum khususnya terkait pengaturan usaha hotel syariah. Untuk melaksanakan amanat dari UU Kepariwisataan, maka seharusnya pemerintah segera menerbitkan peraturan baru tentang usaha hotel syariah yang tentunya disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan kepariwisataan saat ini. Apalagi di Indonesia, wisata halal berkembang pesat. Menurut laporan Global Muslim Travel Index 2019 (GMTI) yang menilai kualitas wisata halal dari segi akses, komunikasi, lingkungan, dan pelayanan, Indonesia berada di peringkat pertama dari 130 negara tujuan utama wisata ramah muslim. Di tahun 2018, Indonesia berada di posisi kedua setelah Malaysia. [1] Syarat Agar Hotel Sesuai Syariah Bilamana mendasarkan pada Fatwa DSN-MUI 108/2016, maka yang dimaksud usaha hotel syariah adalah penyediaan akomodasi berupa kamar-kamar di dalam suatu bangunan yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan dan/atau fasilitas lainnya secara harian dengan tujuan memperoleh keuntungan yang dijalankan sesuai prinsip syariah. Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi agar hotel dikategorikan sebagai hotel syariah menurut Diktum Kelima Fatwa DSN-MUI 108/2016 adalah sebagai berikut: Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas akses pornografi dan tindakan asusila. Hotel syariah tidak boleh menyediakan fasilitas hiburan yang mengarah pada kemusyrikan, maksiat, pornografi, dan/atau tindak asusila. Makanan dan minuman yang disediakan hotel syariah wajib telah mendapat sertifikat halal dari MUI. Menyediakan fasilitas, peralatan, dan sarana yang memadai untuk pelaksanaan ibadah, termasuk fasilitas bersuci. Pengelola dan karyawan/karyawati hotel wajib mengenakan pakaian yang sesuai dengan syariah. Hotel syariah wajib memiliki pedoman dan/atau panduan mengenai prosedur pelayanan hotel guna menjamin terselenggaranya pelayanan hotel yang sesuai dengan prinsip syariah. Hotel syariah wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam melakukan pelayanan. Sedangkan apabila mengacu pada Permenparekraf 2/2014 yang saat ini telah dicabut , persyaratan untuk dapat dikategorikan sebagai usaha hotel syariah jauh lebih detail. Salah satunya adalah persyaratan adanya sertifikat usaha hotel syariah yang diberikan oleh DSN-MUI yang merupakan bukti tertulis bahwa hotel tersebut telah memenuhi penilaian kesesuaian kriteria usaha hotel syariah. [2] Pemberian sertifikat usaha hotel syariah dilakukan melalui audit untuk menilai kesesuaian produk, pelayanan dan pengelolaan usaha hotel dengan kriteria usaha hotel syariah [3] sehingga konsumen muslim mendapat perlindungan dari kehalalan aspek produk, pelayanan dan pengelolaan usaha hotel. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 Tahun 2013 tentang Standar Usaha Perhotelan Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 6 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor PM.53/HM.001/MPEK/2013 tentang Standar Usaha Hotel Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pencabutan atas Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 108/DSN-MU/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Prinsip Syariah REFERENSI:\n1. Tantangan Menghidupkan Kembali Wisata Halal di Indonesia , diakses pada tanggal 25 Agustus 2021, pukul 11.35 WIB. [1] Tantangan Menghidupkan Kembali Wisata Halal di Indonesia , diakses pada tanggal 25 Agustus 2021, pukul 11.35 WIB. [2] Pasal 4 jo . Pasal 1 angka 10 Permenparekraf 2/2014 [3] Pasal 1 angka 9 Permenparekraf 2/2014 perusahaan klinik hukumonline pariwisata hotel" }
{ "from": "human", "value": "Hal yang ingin saya tanyakan, ruang lingkup keterlambatan dalam penerbangan itu apa? Dan bagaimana syarat-syarat suatu kejadian dalam penerbangan dapat dikatakan terlambat?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ini Aturan Kompensasi Pembatalan Penerbangan oleh Maskapai 17 Feb 2023 Bagaimana Cara Menuntut Ganti Kerugian dari Maskapai Penerbangan? 12 Des 2019 Ketentuan Ganti Kerugian bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat 05 Nov 2015 Batas Jumlah Cairan yang Dapat Dibawa Dalam Bagasi Penerbangan Internasional 31 Des 2011 Mengenai syarat suatu kejadian dalam penerbangan dikatakan mengalami keterlambatan dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) yang memberikan definisi keterlambatan, yakni: “Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi waktu keberangkatan atau kedatangan .” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Di dalam peberbangan, keterlambatan angkutan udara merupakan salah satu kerugian yang diderita oleh penumpang yang wajib dipertanggungjawabkan oleh pengangkut (badan usaha yang melakukan kegiatan angkutan udara) yang mengoperasikan pesawat udara. Demikian ketentuan Pasal 2 huruf e Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”). Kewajiban pengangkut untuk bertanggung jawab atas kerugian karena keterlambatan juga disebut dalam Pasal 146 UU Penerbangan yang berbunyi: “Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo , kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional .” Di dalam Penjelasan Pasal 146 UU Penerbangan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan \"faktor cuaca\" adalah hujan lebat, petir, badai, kabut, asap, jarak pandang di bawah standar minimal, atau kecepatan angin yang melampaui standar maksimal yang mengganggu keselamatan penerbangan . Adapun, yang dimaksud dengan \"teknis operasional\" antara lain: a. bandar udara untuk keberangkatan dan tujuan tidak dapat digunakan operasional pesawat udara; b. lingkungan menuju bandar udara atau landasan terganggu fungsinya misalnya retak, banjir, ataukebakaran c. terjadinya antrian pesawat udara lepas landas ( take off ), mendarat ( landing ), atau alokasi waktu keberangkatan ( departure slot time ) di bandar udara atau d. keterlambatan pengisian bahan bakar ( refuelling ) Sedangkan, yang tidak termasuk dengan \"teknis operasional\" antara lain: a. keterlambatan pilot, co pilot, dan awak kabin b. keterlambatan jasa boga ( catering ) c. keterlambatan penanganan di darat d. menunggu penumpang, baik yang baru melapor ( check in ), pindah pesawat ( transfer ) atau penerbangan lanjutan ( connecting flight ) dan e. ketidaksiapan pesawat udara Hal tersebut juga diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) Permenhub 77/2011 . Menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai ruang lingkup keterlambatan dalam penerbangan , hal ini disebutkan dalam Pasal 9 Permenhub 77/2011 yang berbunyi: “Keterlambatan angkutan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e terdiri dari: a. keterlambatan penerbangan (flight delayed) b. tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara (denied boarding passanger) dan c. pembatalan penerbangan (cancelation of flight)” Informasi mengenai ketentuan jumlah ganti kerugian untuk penumpang atas keterlambatan penerbangan, Anda dapat baca dalam artikel Ketentuan Ganti Kerugian Bagi Penumpang Jika Penerbangan Terlambat . Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan 2. Peraturan Menteri Perhubungan No. 77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara uu penerbangan" }
{ "from": "human", "value": "Saat ini telah berkembang berbagai tren aplikasi atau website yang menawarkan jasa konsultasi kesehatan online dengan para dokter. Apakah ada ketentuan hukum mengenai hal tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Telemedicine Sebagaimana yang telah Anda sebutkan bahwa saat ini sedang berkembang layanan konsultasi kesehatan online baik berbasis website maupun aplikasi. Hal ini lebih tepatnya disebut dengan telemedicine . Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“Permenkes 20/2019”) menerangkan bahwa: Telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat. Pelayanan telemedicine ini dilaksanakan oleh tenaga kesehatan yang memiliki surat izin praktik di fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) penyelenggara. [1] Fasyankes penyelenggara tersebut meliputi fasyankes pemberi konsultasi dan fasyankes peminta konsultasi . Fasyankes pemberi konsultasi adalah fasyankes yang menerima permintaan dan memberikan pelayanan konsultasi telemedicine , yaitu rumah sakit milik pemerintah pusat, daerah, dan swasta. [2] Sedangkan, fasyankes peminta konsultasi adalah fasyankes yang mengirim permintaan konsultasi telemedicine , berupa rumah sakit, fasyankes tingkat pertama, dan fasyankes lain. [3] Jenis-jenis fasyankes tersebut jika merujuk pada Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (“PP 47/2016”) yang terdiri atas: tempat praktik mandiri tenaga kesehatan; pusat kesehatan masyarakat; klinik; rumah sakit; apotek; unit transfusi darah; laboratorium kesehatan; optikal; fasilitas pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum; dan fasilitas pelayanan kesehatan tradisional. Kemudian pelayanan telemedicine yang diberikan terdiri atas pelayanan: [4] teleradiologi; teleelektrokardiografi; teleultrasonografi; telekonsultasi klinis ; dan pelayanan konsultasi telemedicine lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun yang Anda maksud mengenai konsultasi kesehatan online dapat dikategorikan sebagai telekonsultasi klinis , yaitu pelayanan konsultasi klinis jarak jauh untuk membantu menegakkan diagnosis, dan/atau memberikan pertimbangan/saran tata laksana. [5] Kami mengambil contoh Telemedicine Indonesia (Temenin) , sebuah layanan yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan . Dalam laman resmi Temenin disebutkan terdapat 4 layanan telemedis yang disediakan yaitu radiologi, USG, elektrokardiografi, dan konsultasi . Dari laman yang sama, dijelaskan bahwa telekonsultasi dimaksudkan untuk mempertemukan pasien dengan dokter ahli untuk konsultasi online , mengetahui kondisi pasien, dan membuat rekomendasi pengobatan. Platform Penghubung d engan Pelayanan Kesehatan Selain itu, seperti yang kita ketahui kini juga berkembang platform digital layanan konsultasi yang memiliki konsep konsultasi online dengan para dokter. Namun berdasarkan penelusuran kami, platform digital itu bukan merupakan penyelenggara pelayanan kesehatan , melainkan hanya sebuah platform yang merupakan sarana untuk memudahkan pencarian atas layanan kesehatan. Dikutip dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam artikel Layanan Kesehatan dan Kemajuan Teknologi Digital , pelaku bisnis e-Kesehatan memang diharuskan tercatat sebagai penyelenggara sistem elektronik di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Subbab B Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi E-Kesehatan Nasional menerangkan bahwa e - K esehatan adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk pelayanan dan informasi kesehatan, utamanya untuk meningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan meningkatkan proses kerja yang efektif dan efisien. Sementara itu, istilah “penyelenggara sistem elektronik” didefinisikan dalam Pasal 1 angka 6a Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: Penyelenggara Sistem Elektronik adalah setiap Orang, penyelenggara negara, Badan Usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan Sistem Elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna Sistem Elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain Maka dari itu, harus dibedakan antara platform penghubung atau penyedia jasa d engan pelayanan atau penyelenggara telemedicine . Fasyankes pemberi maupun peminta konsultasi harus melakukan registrasi yang diajukan kepada Menteri Kesehatan melalui Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan. [6] Sementara itu, platform digital layanan konsultasi online dengan para dokter yang banyak kita temui bukanlah bagian dari fasyankes tersebut, sehingga pelayanannya tidak dapat dikatakan sebagai telemedicine . Merujuk pada Pasal 12 ayat (2) dan (3) Permenkes 20/2019 , aplikasi telemedicine disediakan oleh Kementerian Kesehatan, namun jika pelayanan telemedicine menggunakan aplikasi yang dikembangkan secara mandiri, aplikasi tersebut harus teregistrasi di Kementerian Kesehatan. Hak dan Kewajiban dalam Pelayanan Telemedicine Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (1) dan (2) Permenkes 20/2019 , dalam memberikan pelayanan telemedicine , fasyankes pemberi maupun peminta konsultasi memiliki berbagai hak dan kewajiban, antara lain: Berdasarkan uraian-uraian di atas, website maupun aplikasi yang menawarkan ragam layanan dalam bidang kesehatan, salah satunya, konsultasi online dengan para dokter telah menjamur, masyarakat harus tetap berhati-hati dalam menggunakan layanan tersebut. Hal ini mengingat tidak semua website maupun aplikasi merupakan fasyankes , melainkan sekadar platform atau penyelenggara sistem elektronik yang menghubungkan Anda dengan penyedia layanan kesehatan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008  tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2017 tentang Strategi E-Kesehatan Nasional Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan Referensi : Telemedicine Indonesia (Temenin) , diakses pada 22 Oktober 2019, pukul 15.30 WIB; Layanan Kesehatan dan Kemajuan Teknologi Digital , diakses pada 23 Oktober 2019, pukul 17.34 WIB. [1] Pasal 2 Permenkes 20/2019 [2] Pasal 1 angka 4 jo. Pasal 6 ayat (2) Permenkes 20/2019 [3] Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 6 ayat (3) Permenkes 20/2019 [4] Pasal 3 ayat (1) Permenkes 20/2019 [5] Pasal 3 ayat (5) Permenkes 20/2019 [6] Pasal 13 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 9 dan 10 Permenkes 20/2019 telekomunikasi kesehatan teknologi hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Karena keterbatasan lahan pemakaman di Jakarta, saya sekeluarga sudah memesan makam di sebuah TPU. Beberapa waktu lalu pemerintah kota melakukan sidak makam fiktif dan kabarnya oknum akan dipidana. Pertanyaan saya, memang ada aturan mengenai larangan makam fiktif? Adakah sanksinya?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Larangan dan Sanksi Kegiatan Pertambangan di Cagar Budaya 06 Feb 2024 Status Hak atas Tanah Hasil Reklamasi oleh Perusahaan 09 Des 2022 Tata Cara Pemberian Hak Milik Atas Tanah Negara 17 Okt 2016 Status Tanah Hak Milik yang Terkena Pembangunan Trotoar 26 Sep 2016 Intisari: Tempat Pemakaman Umum (“TPU”) adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa . Pada dasarnya, s etiap orang mendapat perlakuan yang sama untuk dimakamkan di TPU. Setiap penggunaan tanah makam di taman pemakaman wajib mendapatkan izin penggunaan tanah makam dari Kepala SKPD yang bertanggung jawab di bidang pemakaman. Petak tanah makam hanya diperuntukan bagi jenazah atau kerangka dan tidak diperbolehkan untuk pesanan persediaan bagi orang yang belum meninggal dunia. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tempat Pemakaman Umum (“TPU”) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat Pemakaman (“PP 9/1987”) adalah areal tanah yang disediakan untuk keperluan pemakaman jenazah bagi setiap orang tanpa membedakan agama dan golongan, yang pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II atau Pemerintah Desa . [1] Status Tanah TPU Areal tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Umum diberikan status Hak Pakai selama dipergunakan untuk keperluan Pemakaman. [2] Sedangkan a real tanah untuk keperluan Tempat Pemakaman Bukan Umum diberikan status Hak Pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku kecuali tanah wakaf yang dipergunakan untuk tempat pemakaman, dengan status Hak Milik. [3] Ketentuan TPU Pada dasarnya, s etiap orang mendapat perlakuan yang sama untuk dimakamkan di TPU . [4] Untuk ketertiban dan keteraturan TPU dan Tempat Pemakaman Bukan Umum diadakan pengelompokan tempat, bagi masing-masing pemeluk agama. Penggunaan tanah untuk pemakaman jenazah seseorang, baik pada pemakaman jenazah di TPU maupun di Tempat Pemakaman Bukan Umum ditetapkan tidak lebih dari 2 1/2 (dua setengah) meter x 1 1/2(satu setengah) meter dengan kedalaman minimum 1 1/2 (satu setengah) meter. [5] Ketentuan TPU ini biasanya tertuang kembali ke dalam peraturan daerah setempat. Oleh karena itu, sebaiknya Anda memeriksa kembali ketentuannya di peraturan daerah tempat tinggal Anda. Di Jakarta pengaturan mengenai pemakaman tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman (“Perda DKI Jakarta 3/2007”) . Taman pemakaman adalah lahan yang digunakan untuk memakamkan jenazah yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana. [6] Taman pemakaman diperuntukkan bagi: [7] a. warga masyarakat Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta yang meninggal dunia didalam/luar wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta; b. warga masyarakat lainnya yang meninggal dunia di wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penggunaan Tanah Makam Setiap penggunaan tanah makam di taman pemakaman wajib mendapatkan izin penggunaan tanah makam dari Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (“SKPD”) yang bertanggung jawab di bidang pemakaman. [8] Untuk mendapatkan izin penggunaan tanah makam tersebut, ahli waris atau penanggung jawab pemakaman mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala SKPD yang bertanggung jawab di bidang pemakaman. [9] Izin penggunaan tanah makam, berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang setiap 3 (tiga) tahun. [10] Untuk mendapatkan perpanjangan izin penggunaan tanah makam, ahli waris atau penanggung jawab atas penggunaan tanah makam, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala SKPD yang bertanggung jawab di bidang pemakaman paling lama 3 (tiga) bulan setelah masa izin penggunaan tanah makam berakhir. [11] Petak Tanah Makam Perpetakan tanah makam diatur dalam Pasal 35 Perda DKI Jakarta 3/2007 sebagai berikut: 1) Ukuran perpetakan tanah makam terdiri atas panjang maksimal 2,50 (dua koma lima puluh) meter dan lebar 1,50 (satu koma lima puluh) meter, dengan kedalaman minimal 1,50 (satu koma lima puluh) meter, kecuali apabila keadaan tanahnya tidak memungkinkan. 2) Setiap perpetakan tanah makam harus diberi tanda nisan berupa plakat makam. 3) Kepala SKPD yang bertanggungjawab dibidang pemakaman dapat menetapkan perpetakan tanah makam selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), apabila terdapat pemakaman secara massal. Makam Fiktif Terkait makam fiktif perlu diketahui bahwa petak tanah makam hanya diperuntukan bagi jenazah atau kerangka dan tidak diperbolehkan untuk pesanan persediaan bagi orang yang belum meninggal dunia. [12] Jadi menjawab pertanyaan Anda, makam fiktif memang dilarang, tetapi berdasarkan penelusuran kami, Perda DKI Jakarta 3/2007 tidak mengatur mengenai sanksi terhadap oknum yang membuat makam fiktif. Namun sebagai informasi, dalam artikel Oknum yang Bermain Proyek Makam Fiktif akan Disanksi , yang kami akses dari laman Republika.co.id, diberitakan bahwa Kepala Bidang Pemakaman Dinas Pemakaman dan Pertamanan DKI Jakarta, Siti Hasni mengatakan pihaknya akan memberikan draft Pergub yang merupakan turunan dari Perda DKI Jakarta 3/2007 tentang sanksi bagi pelanggar. Peraturan tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera bagi oknum pegawai atau masyarakat yang memanfaatkan lahan makam untuk mencari rupiah. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan Penggunaan Tanah untuk Keperluan Tempat Pemakaman ; 2. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2007 tentang Pemakaman . [1] Pasal 1 huruf a PP 9/1987 [2] Pasal 3 ayat (1) PP 9/1987 [3] Pasal 3 ayat (2) PP 9/1987 [4] Pasal 4 ayat (1) PP 9/1987 [5] Pasal 4 ayat (2) dan (3) PP 9/1987 [6] Pasal 1 angka 8 Perda DKI Jakarta 3/2007 [7] Pasal 3 Perda DKI Jakarta 3/2007 [8] Pasal 32 ayat (1) Perda DKI Jakarta 3/2007 [9] Pasal 32 ayat (2) Perda DKI Jakarta 3/2007 [10] Pasal 33 ayat (1) Perda DKI Jakarta 3/2007 [11] Pasal 33 ayat (2) Perda DKI Jakarta 3/2007 [12] Pasal 37 Perda DKI Jakarta 3/2007 hukumonline google pungli pertahanan hukum klinik klinik hukumonline tanah dki jakarta jakarta" }
{ "from": "human", "value": "Pak RT di lingkungan saya menjabat sudah bertahun-tahun hingga ia telah menua. Sebenarnya, adakah aturan tentang batasan berapa lama masa jabatan ketua RT?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya, penting untuk diketahui bahwa Rukun Tetangga (“RT”) adalah salah satu jenis dari Lembaga Kemasyarakatan Desa (“LKD”) berdasarkan pada Pasal 6 ayat (1) huruf a Permendagri 18/2018. Apa itu LKD? LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra pemerintah desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat desa.[1]\nLebih lanjut, berdasarkan Pasal 150 ayat (1) PP 43/2014 dan Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018, disebutkan bahwa LKD dibentuk atas prakarsa pemerintah desa dan masyarakat. Dalam pembentukan LKD, terdapat persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu:[2]\n\nberdasarkan Pancasila dan UUD 1945;berkedudukan di desa setempat;keberadaannya bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat desa;memiliki kepengurusan yang tetap;memiliki sekretariat yang bersifat tetap; dantidak berafiliasi kepada partai politik.\n\nBerkaitan dengan kepengurusan LKD yang tetap, pengurus LKD terdiri dari:[3]\n\nketua;sekretaris;bendahara; danbidang sesuai dengan kebutuhan.\nOleh karena itu, dapat kami simpulkan bahwa ketua RT merupakan bagian dari pengurus LKD.\n\nAdapun tugas RT sebagai salah satu bagian dari LKD adalah:[4]\n\nMelakukan pemberdayaan masyarakat desa;Ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; danMeningkatkan pelayanan masyarakat desa.\n\nLalu, dalam melaksanakan tugasnya, RT memiliki fungsi untuk:[5]\n\nmenampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;meningkatkan kualitas dan mempercepat pelayanan pemerintah desa kepada masyarakat desa;menyusun rencana, melaksanakan, mengendalikan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan secara partisipatif;menumbuhkan, mengembangkan, dan menggerakkan prakarsa, partisipasi, swadaya, serta gotong royong masyarakat;meningkatkan kesejahteraan keluarga; danmeningkatkan kualitas sumber daya manusia.\n\nSelain itu, Pasal 7 ayat (1) Permendagri 18/2018 secara spesifik mengatur bahwa RT bertugas untuk:\n\nmembantu kepala desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;membantu kepala desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; danmelaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala desa.\n\nLantas, berapa lama masa jabatan ketua RT? Berikut ulasannya.\nMasa Jabatan Ketua RT\n\nPerlu Anda ketahui pengurus LKD dalam hal ini termasuk ketua RT dapat memegang jabatan selama 5 tahun terhitung sejak tanggal ditetapkan. Lalu, ketua RT dapat menjabat paling banyak 2 kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3) dan (4) Permendagri 18/2018.\n\nMenyambung pertanyaan Anda, kami memiliki informasi yang terbatas mengenai seberapa lama ketua RT di lingkungan Anda menjabat hingga ia menua. Namun, apabila masih dalam batas masa jabatan ketua RT sebagaimana ditentukan oleh Permendagri 18/2018, maka hal tersebut tidak menyalahi aturan hukum.\n\nBaca juga: Bolehkah Warga yang Mengontrak Rumah Ikut Memilih Ketua RT?\n\nAdapun persyaratan untuk menjadi ketua RT diatur melalui peraturan daerah masing-masing. Sebagai contoh, dalam Pasal 20 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 22/2022, dijelaskan bahwa syarat untuk dapat menjadi ketua RT adalah:\n\nWNI yang berusia paling kurang 18 tahun baik yang sudah menikah atau yang belum menikah;berbadan sehat, dengan dibuktikan surat keterangan sehat yang diterbitkan oleh Puskesmas pada kelurahan atau kecamatan;bertempat tinggal dan menetap paling sedikit 3 tahun terakhir secara berturut-turut pada RT tempat pencalonan, yang dibuktikan dengan KTP dan KK serta Surat Keterangan Bertempat Tinggal 3 tahun berturut-turut dari ketua RT setempat;berpendidikan paling rendah Sekolah Lanjut Tinggi Atas atau sederajat dan cakap berbicara, membaca serta menulis dalam Bahasa Indonesia;berkelakuan baik yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; danbukan merupakan anggota dan/atau pengurus dari;\nPartai politik;Dewan kota/dewan kabupaten pada provinsi DKI Jakarta; danLembaga Kemasyarakatan Kelurahan.\n\nSebagai informasi, menurut Pergub DKI Jakarta 22/2022, khusus untuk RT atau RW pada wilayah dalam perumahan atau sejenisnya untuk Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan di atas, ditambah persyaratan harus merupakan anggota aktif atau purnawirawan Tentara Nasional Indonesia/ Kepolisian Republik Indonesia yang telah bertempat tinggal paling sedikit 3 tahun terakhir, dengan dibuktikan surat izin penghunian atas nama yang bersangkutan.[6]\n\nLalu, untuk memenuhi administrasi persyaratan Ketua RT, calon Ketua RT wajib menandatangani surat pernyataan tidak merangkap jabatan dan Surat Pernyataan Kesanggupan Melaksanakan Tugas dan Tanggung Jawab, Memberikan Informasi yang Benar serta Mendukung dan Membantu Program Provinsi DKI Jakarta.[7]\n\nBaca juga: Bolehkah Ketua RT Mengatur Penerimaan Tamu Warganya?\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b18c2f508309/nprt/lt511c7d2042243/peraturan-menteri-dalam-negeri-nomor-18-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendagri_18_2018)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53a7ff51a08a7/peraturan-pemerintah-nomor-43-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_43_2014)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55a468898a282/peraturan-pemerintah-nomor-47-tahun-2015?r=0&p=1&q=Peraturan%20Pemerintah%20Nomor%2047%20Tahun%202015%20&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_47_2015)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5c8f79c1ddd72?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_11_2019)\n5. [Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6295fea7ded24/peraturan-gubernur-dki-jakarta-nomor-22-tahun-2022/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pergub_dki_22_2022)\n[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (“Permendagri 18/2018”)[2] Pasal 3 ayat (2) Permendagri 18/2018[3] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 18/2018[4] Pasal 4 ayat (1) Permendagri 18/2018[5] Pasal 5 Permendagri 18/2018[6] Pasal 20 ayat (2) Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga (“Pergub DKI Jakarta 22/2022”)[7] Pasal 20 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 22/2022" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana sistem perjanjian untuk pekerja harian lepas? Apakah sama dengan PKWT? Pembayaran gajinya mengacu kepada dasar apa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Bapak/Ibu yang kami hormati, Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami. KLINIK TERKAIT Pekerja Harian Lepas Di-PHK, Dapat Pesangon? 14 Nov 2023 Upah di Bawah Standar Minimum, Ini Langkah Hukumnya 06 Sep 2023 Jenis-jenis Tunjangan yang Jadi Dasar Perhitungan Uang Pesangon 05 Jun 2013 Tunjangan Makan dan Transport, Tunjangan Tetap ataukah Tidak Tetap? 31 Jan 2013 Sehubungan dengan pertanyaan Bapak/Ibu di atas, maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa ketentuan mengenai hubungan kerja antara si pekerja dan si pemberi kerja beserta akibat hukumnya diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”) beserta peraturan pelaksanaannya. Di dalam UUK, kita mengenal dua bentuk perjanjian kerja yaitu pertama, Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”) dan kedua, Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) sebagaimana disebutkan dan diatur di dalam Pasal 56 ayat (1) UUK . Lebih lanjut, menurut Pasal 56 ayat (2) UUK, pelaksanaan PKWT didasarkan pada jangka waktu dan selesainya suatu pekerjaan tertentu . Pasal 56 UUK : (1) Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas: a. jangka waktu; atau b. selesainya suatu pekerjaan tertentu. Ketentuan mengenai PKWT diatur di dalam UUK dari Pasal 56 s.d Pasal 59, yang mana di bagian akhir dari Pasal 59 yaitu pada ayat (8) disebutkan bahwa: “Hal-hal lain yang belum diatur dalam Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri ”. Ketentuan inilah yang kemudian mendasari terbitnya Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“KEPMEN No. 100 Tahun 2004”). KEPMEN No. 100 Tahun 2004 tersebut merupakan peraturan pelaksanaan dari UUK mengenai PKWT, yang di dalamnya mengatur juga mengenai Perjanjian Kerja Harian Lepas . Dengan demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas menurut KEPMEN ini merupakan bagian dari PKWT (lihat Pasal 10 s.d. Pasal 12 KEPMEN No. 100 Tahun 2004 ). Namun demikian, Perjanjian Kerja Harian Lepas ini mengecualikan beberapa ketentuan umum PKWT, yang mana dalam Perjanjian Kerja Harian Lepas dimuat beberapa syarat antara lain: 1. Perjanjian Kerja Harian Lepas dilaksanakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran , 2. Perjanjian kerja harian lepas dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (dua puluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan; 3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (dua puluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT. Sehubungan dengan pertanyaan Bapak/Ibu mengenai dasar upah untuk Pekerja Harian Lepas, maka sebagaimana telah diuraikan di atas, sistem upah untuk Perjanjian Kerja Harian Lepas didasarkan pada kehadiran (lihat Pasal 10 ayat 1 KEPMEN No. 100 Tahun 2004 ). Berdasarkan catatan advokasi PAHAM INDONESIA , besarnya perhitungan upah yang didapat si pekerja biasanya bergantung atau didasarkan pada jumlah atau volume pekerjaan yang telah diselesaikan oleh si pekerja dalam satu hari. Demikian semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep-100/Men/Vi/2004 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu uu ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah pemain sepak bola asing (berasal dari luar negeri) dapat dikategorikan sebagai Tenaga Kerja Asing? Serta apakah pemain sepak bola asing tersebut tunduk pada ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan saja? Atau terdapat lex specialis-nya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya Anda perlu memahami dulu bunyi Pasal 1 angka 13 UU Ketenagakerjaan, tenaga kerja asing (“TKA”) adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.\n\nSetiap pemberi kerja yang mempekerjakan TKA wajib memiliki Rencana Penggunaan TKA (“RPTKA”) yang disahkan oleh pemerintah pusat.[1] TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.[2]\n\nMenjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Lampiran Kepmenaker 228/2019, pemain sepak bola (football player) dengan kode International Standard Classification of Occupations (ISCO) 3421, termasuk ke dalam jabatan yang dapat diduduki oleh TKA (hal. 62). Maka pemain sepak bola asing (berasal dari luar negeri) tunduk pada aturan dalam UU Ketenagakerjaan.\n\nNamun mengenai penggunaan TKA, pengaturannya bukan hanya terdapat dalam UU Ketenagakerjaan saja, melainkan juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain seperti PP 34/2021.\n\nAkan tetapi perlu dipahami bahwa aturan ini bukan merupakan lex specialis dari aturan yang lebih umumnya (lex generalis) karena dalam penerapan asas lex specialis derogat legi generalis, peraturan perundang-undangannya harus setingkat/sederajat, seperti undang-undang dengan undang-undang. Penjelasan lebih lanjut tentang asas ini simak artikel 3 Asas Hukum: Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior Beserta Contohnya.\nKetentuan Penggunaan TKA\n\nPemberi kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.[3] Selanjutnya, pemberi kerja TKA meliputi:[4]\n\ninstansi pemerintah, perwakilan negara asing, dan badan internasional;kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing, dan kantor berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia;perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia;badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas atau yayasan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan usaha asing yang terdaftar di instansi yang berwenang;lembaga sosial, keagamaan, pendidikan, dan kebudayaan;usaha jasa impresariat; danbadan usaha sepanjang diperbolehkan oleh undang-undang untuk menggunakan TKA.\n\nSetiap pemberi kerja TKA yang mempekerjakan TKA wajib memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (“Menaker”) atau pejabat yang ditunjuk.[5] RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu.[6]\n\nUntuk mendapatkan pengesahan RPTKA, pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan secara daring kepada Menaker atau pejabat yang ditunjuk[7] yang memuat paling sedikit:[8]\n\nidentitas pemberi kerja TKA;alasan penggunaan TKA;jabatan atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan;jumlah TKA;jangka waktu penggunaan TKA;lokasi kerja TKA;identitas tenaga kerja pendamping TKA; danrencana penyerapan tenaga kerja Indonesia setiap tahun.\n\nSetelah hasil penilaian kelayakan pengesahan RPTKA, pemberi kerja TKA lalu menyampaikan data calon TKA secara daring ke Menaker atau pejabat yang ditunjuk. Data calon TKA tersebut meliputi:[9]\n\nidentitas TKA;jabatan TKA dan jangka waktu bekerja TKA;lokasi kerja TKA; danpenetapan kode dan lokasi domisili TKA.\n\nSelanjutnya data calon TKA dan dokumen dilakukan verifikasi paling lama 2 hari kerja dan apabila dinyatakan lengkap dan benar serta pemberi kerja TKA telah membayar Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA), Menaker atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan pengesahan RPTKA.[10]\n\nSebagai tambahan informasi, pengesahan RPTKA ini digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal dalam rangka bekerja bagi TKA.[11]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322aa20df10/peraturan-pemerintah-nomor-34-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_34_2021)\n4. [Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d688fd49d6cf?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kepmenaker_228_2019)\n[1] Pasal 81 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 4 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“PP 34/2021”)[4] Pasal 3 ayat (1) PP 34/2021[5] Pasal 6 ayat (1) PP 34/2021[6] Pasal 1 angka 4 PP 34/2021[7] Pasal 12 ayat (1) PP 34/2021[8] Pasal 12 ayat (2) PP 34/2021[9] Pasal 14 ayat (1) dan (2) PP 34/2021[10] Pasal 14 ayat (5) PP 34/2021[11] Pasal 14 ayat (6) PP 34/2021" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin berjualan di pasar tradisional kawasan Jakarta Barat. Bagaimana ketentuan daerah Jakarta mengenai pemakaian kios pasar untuk berjualan? Apakah kios tersebut boleh dipakai saja dengan membayar retribusi atau harus menyewa/membayar uang sewa? Kemudian kalau nanti sedikit mengubah kios demi menarik pelanggan, apakah diperbolehkan?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Adakah Larangan Menetapkan Harga Sangat Tinggi Bagi Pelaku Usaha? 27 Apr 2022 Macam-macam Pedagang Perantara Berdasarkan Hukum Dagang 26 Apr 2017 Perbedaan Agen dengan Distributor 16 Mar 2017 Hukumnya Menggunakan Ruas Jalan untuk Pasar 20 Jan 2017 Intisari: Jika Anda ingin berjualan di kios pasar tradisional, Anda dapat memakainya dengan cara sewa tempat usaha untuk jangka waktu tertentu atau dengan hak Pemakaian Tempat Usaha untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Anda sebagai pemakai tempat dalam area pasar harus membayar kewajiban yang besarnya ditetapkan oleh Direksi PD Pasar Jaya. Kemudian perlu diketahui bahwa setiap orang dan/atau badan usaha dilarang merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha . Jika melanggar, maka dikenakan sanksi administrasi melalui tahapan: a. penutupan sementara tempat usaha; b. pembatalan Surat Izin Pemakaian Tempat Usaha; c. pembatalan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha; dan d. pembatalan perjanjian pemakaian tempat usaha. Selain dikenakan sanksi administrasi, pelanggar yang merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha juga dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pendirian Pasar Tradisional Ketentuan mengenai pasar tradisional dapat kita lihat pada Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (“Perpres 112/2007”) . Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. [1] Lokasi pendirian Pasar Tradisional wajib mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota, termasuk Peraturan Zonasinya. [2] Karena Anda menanyakan peraturan mengenai pemakaian pasar tradisional khusus di daerah Jakarta, maka kami akan berpedoman pada Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar (“Perda DKI Jakarta 3/2009”) . Pemakaian Tempat Pada Pasar Tradisional Jenis Hak Pemakaian Tempat dalam area pasar dapat berupa: [3] 1. Hak Sewa Tempat Usaha untuk jangka waktu tertentu; dan 2. Hak Pemakaian Tempat Usaha untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat usaha dalam area pasar berupa Hak Sewa Tempat Usaha untuk jangka waktu tertentu, wajib menandatangani perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat usaha dalam area pasar berupa Hak Pemakaian Tempat Usaha untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, wajib memiliki Surat Izin Pemakaian Tempat Usaha dan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha. [4] Setiap orang atau badan usaha yang memakai tempat dalam area pasar harus membayar kewajiban yang besarnya ditetapkan oleh Direksi Perusahaan Daerah (PD Pasar Jaya). [5] Kewajiban pembayaran itu menjadi sumber penerimaan pengelolaan area pasar. Sumber penerimaan pengelolaan area pasar meliputi: [6] a. penerimaan dari pemanfaatan area pasar; b. penerimaan jasa administrasi; c. hasil kerja sama; d. penyertaan modal; dan e. pendapatan lain yang sah. Menjawab pertanyaan pertama Anda, jika Anda ingin berjualan di kios pasar tradisional, Anda dapat memakainya dengan cara sewa tempat usaha untuk jangka waktu tertentu atau dengan hak Pemakaian Tempat Usaha untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Anda sebagai pemakai tempat dalam area pasar harus membayar kewajiban yang besarnya ditetapkan oleh Direksi PD Pasar Jaya. Kewajiban dan Larangan Pengguna Tempat Pasar Tradisional Anda sebagai pemakai tempat usaha atau yang berdagang dalam area pasar memiliki kewajiban yaitu: [7] a. menjaga keamanan dan ketertiban tempat usaha, menempatkan dan menyusun barang dagangan beserta inventarisnya dengan teratur, sehingga tidak mengganggu lalu lintas orang dan barang; b. memelihara kebersihan tempat dan barang dagangan serta menyediakan tempat sampah yang ditetapkan; c. memenuhi kewajiban pembayaran tepat waktu berdasarkan ketentuan yang berlaku; d. menyediakan alat pemadam kebakaran dan mencegah kemungkinan timbulnya bahaya kebakaran di tempat usaha masing-masing; e. membuka dan menutup tempat usahanya pada waktu yang telah ditentukan; dan f. melaksanakan ketentuan pemakaian tempat yang berlaku dan kewajiban lain yang ditetapkan. Larangan bagi Anda yang memakai tempat usaha atau berdagang dalam bangunan pasar yaitu: [8] a. memiliki lebih dari 5 (lima) tempat usaha dalam satu pasar; b. merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha; c. mengubah jenis jualan dan atau macam dagangan yang bertentangan dengan persyaratan yang telah ditetapkan; d. mengadakan penyambungan aliran listrik, air, gas, dan telepon; e. bertempat tinggal, berada atau tidur di pasar di luar jam buka pasar; f. menyalahgunakan narkotika dan minuman keras, melakukan perjudian atau sejenis, usaha kegiatan yang dapat mengganggu dan membahayakan keamanan dan ketertiban umum dalam pasar; g. melakukan perbuatan asusila di dalam pasar; h. mengotori, merusak tempat atau bangunan dan barang inventaris; dan i. menempatkan kendaraan, alat angkutan atau binatang beban di luar tempat yang ditentukan. Jadi menjawab pertanyaan Anda berikutnya, Anda dilarang merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha (kios) Anda . Jika melanggar, maka Anda dapat dikenakan sanksi administrasi melalui tahapan: [9] a. penutupan sementara tempat usaha; b. pembatalan Surat Izin Pemakaian Tempat Usaha; c. pembatalan Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha; dan d. pembatalan perjanjian pemakaian tempat usaha. Selain dikenakan sanksi administrasi, setiap orang dan/atau badan usaha yang melakukan pelanggaran merombak, menambah, mengubah dan memperluas tempat usaha, juga dapat dikenakan sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta. [10] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ; 2. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar . [1] Pasal 1 angka 2 Perpres 112/2007 [2] Pasal 2 ayat (1) Perpres 112/2007 [3] Pasal 7 ayat (1) Perda DKI Jakarta 3/2009 [4] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Perda DKI Jakarta 3/2009 [5] Pasal 9 ayat (1) Perda DKI Jakarta 3/2009 [6] Pasal 9 ayat (2) dan (3) Perda DKI Jakarta 3/2009 [7] Pasal 11 Perda DKI Jakarta 3/2009 [8] Pasal 12 Perda DKI Jakarta 3/2009 [9] Pasal 15 Perda DKI Jakarta 3/2009 [10] Pasal 16 Perda DKI Jakarta 3/2009 pedagang koperasi hukumonline google retribusi hukum klinik dagang pasar klinik hukumonline perdagangan pasar tradisional pembeli" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana peraturan bagi anggota direksi yang masih dalam perawatan intensif karena sakit? Hak-hak apa saja yang didapat oleh direksi tersebut selama sakit hingga jika diputuskan untuk diberhentikan? Apakah pembatasan biaya perawatan bisa diberlakukan bagi direksi? Bagaimana peraturan perundang-undangan untuk pemberhentian anggota direksi untuk kasus seperti ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Kemudahan Pendirian PT untuk Usaha Mikro dan Kecil 18 Mar 2024 Perbedaan Komisaris Independen dengan Komisaris Utusan 07 Agt 2017 Aturan Besaran THR Direksi BUMN 29 Mei 2017 Status Hukum Keuangan Anak Perusahaan BUMN 12 Apr 2017 Intisari: Gaji dan tunjangan yang didapat oleh direksi ditetapkan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau dapat juga dilimpahkan kepada Dewan Komisaris berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris . Oleh karena itu, jika Anda ingin mengetahui hak-hak apa saja yang didapat jika seorang anggota direksi sakit beserta batasan atas tunjangan yang didapat, maka Anda dapat merujuk pada keputusan RUPS atau keputusan rapat Dewan Komisaris yang berkaitan dengan gaji dan tunjangan anggota direksi. Seorang direksi dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam UUPT, antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. Jadi, jika seorang anggota direksi sakit kemudian akan diberhentikan, keputusan pemberhentian direksi tersebut terdapat pada RUPS. RUPS-lah yang menilai apakah alasan sakit dapat dibenarkan untuk melakukan pemberhentian anggota direksi dari jabatannya. Sepanjang menurut RUPS anggota direksi yang sakit tersebut tidak memenuhi persyaratan lagi dan tidak bisa menjalankan tugasnya untuk mengurus perusahaan karena sakit, maka anggota direksi yang bersangkutan bisa diberhentikan jika RUPS menyetujuinya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Gaji dan Tunjangan Direksi Di sini kami berasumsi bahwa hak yang Anda maksud merupakan tunjangan kesehatan yang didapatkan oleh anggota direksi apabila sakit. Direksi menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) adalah organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. [1] Pengangkatan anggota direksi dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), ketentuan mengenai besaran gaji dan tunjangan anggota direksi juga ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. [2] Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 369), gaji dan tunjangan anggota direksi disebut juga “imbalan jasa” ( renumeratie, renumeration ) atau disebut juga dengan kompensasi. Yahya menjelaskan dalam ketentuan tradisional, anggota Direksi tidak mempunyai hak imbalan jasa atas pelayanan ( service ) yang diberikannya mengurus perseroan. Pada masa yang lalu, anggota Direksi pada umumnya adalah pemegang saham mayoritas yang akan mendapat kompensasi dalam bentuk “dividen”. Akan tetapi dalam hukum perseroan modern, praktik tersebut tidak dapat diterapkan. Pada umumnya dalam korporasi modern, kedudukan anggota direksi bukan lagi didasarkan atas faktor pemegang atau kepemilikan saham dalam perseroan yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, ada keharusan memberi imbalan jasa atau kompensasi kepada anggota direksi. Karena itu pada umumnya, dalam Anggaran Dasar (“AD”) perseroan terdapat ketentuan yang mengatur gaji anggota direksi. Besaran gaji dan tunjangan anggota direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. [3] Yang dimaksud dengan “ besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ” adalah besarnya gaji dan tunjangan bagi setiap anggota Direksi. [4] Kewenangan RUPS untuk menetapkan besaran gaji dan tunjangan direksi dapat dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. [5] Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris, besarnya gaji dan tunjangan ditetapkan berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. [6] Sehubungan dengan hal itu, maka cara pelimpahannya adalah: [7] 1. Dapat ditentukan dalam AD perseroan, dalam bentuk klausula yang menegaskan, melalui AD, kewenangan RUPS menetapkan keputusan besarnya gaji dan tunjangan anggota direksi, “dilimpahkan”, kepada komisaris, 2. Dapat dilimpahkan secara insidentil berdasar keputusan RUPS yang berisi penegasan, bahwa kewenangan RUPS menetapkan keputusan besarnya gaji dan tunjangan anggota direksi dilimpahkan kepada dewan komisaris. Jadi pada dasarnya, gaji dan tunjangan yang didapat oleh direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Dalam konteks pertanyaan Anda, jika ingin mengetahui hak apa yang didapat jika seorang anggota direksi sakit serta batasan atas tunjangan yang didapat, maka menurut hemat kami Anda dapat merujuk pada keputusan RUPS yang berkaitan dengan gaji dan tunjangan anggota direksi. Sebagai contoh kita dapat merujuk pada Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang kami akses dari laman Garuda Indonesia . Dimana RUPS memutuskan: 1. Memberikan wewenang dan kuasa kepada Pemegang Saham Seri A Dwiwarna untuk menetapkan Remunerasi (Honorarium, Fasilitas, Tunjangan dan Insentif lainnya) untuk tahun buku 2017 serta menetapkan besarnya Tantiem untuk tahun buku 2016 bagi Dewan Komisaris Perseroan. 2. Memberikan wewenang dan kuasa kepada Dewan Komisaris Perseroan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Pemegang Saham Seri A Dwiwarna untuk menetapkan Remunerasi ( Gaji, Fasilitas, Tunjangan dan Insentif lainnya ) untuk Tahun Buku 2017 serta menetapkan besarnya Tantiem untuk Tahun Buku 2016 bagi Direksi Perseroan . Pemberhentian Anggota Direksi Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya . [8] Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam UUPT, antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. [9] Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa pemberhentian anggota direksi didasarkan pada keputusan RUPS, maka perlu dilihat kuorum yang harus dipenuhi agar keputusan tersebut dapat diambil. RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau AD menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. [10] Dalam hal kuorum tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua. [11] RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali AD menentukan jumlah kuorum yang lebih besar. [12] Keputusan RUPS pada dasarnya diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. [13] Akan tetapi dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau AD menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar. Perlu diingat bahwa dalam RUPS tersebut, keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi atau Dewan Komisaris diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk membela diri dalam RUPS. [14] Akan tetapi, pemberian kesempatan untuk membela diri tersebut tidak diperlukan dalam hal yang bersangkutan tidak berkeberatan atas pemberhentian tersebut. [15] Penjelasan selengkapnya mengenai prosedur pemberhentian anggota direksi dapat Anda lihat dalam artikel Bagaimana Cara Memberhentikan Direksi dan Komisaris? . Jadi seorang anggota direksi dapat diberhentikan berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya . Keputusan RUPS untuk memberhentikan anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai anggota Direksi yang ditetapkan dalam UUPT, antara lain melakukan tindakan yang merugikan Perseroan atau karena alasan lain yang dinilai tepat oleh RUPS. Dalam konteks pertanyaan Anda, jika seorang anggota direksi sakit kemudian akan diberhentikan, keputusan pemberhentian direksi tersebut terdapat pada RUPS. RUPS-lah yang menilai apakah alasan sakit dapat dibenarkan untuk melakukan pemberhentian anggota direksi dari jabatannya. Sepanjang menurut RUPS anggota direksi yang sakit tersebut tidak memenuhi persyaratan lagi dan tidak bisa menjalankan tugasnya untuk mengurus perusahaan karena sakit, maka anggota direksi yang bersangkutan bisa diberhentikan jika RUPS menyetujuinya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . REFERENSI:\n1. 1. Yahya Harahap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. 2. Ringkasan Risalah Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk , diakses pada 3 Agustus 2017 pukul 14.30 WIB. [1] Pasal 92 ayat (1) UUPT [2] P asal 94 ayat (1) dan Pasal 96 ayat (1) UUPT [3] Pasal 96 ayat (1) UUPT dan Yahya Harahap, hal. 369 [4] Penjelasan Pasal 96 ayat (1) UUPT [5] Pasal 96 ayat (2) UUPT [6] Pasal 96 ayat (3) UUPT [7] Yahya Harahap, hal. 370 [8] Pasal 105 ayat (1) UUPT [9] Penjelasan Pasal 105 ayat (1) UUPT [10] Pasal 86 ayat (1) UUPT [11] Pasal 86 ayat (2) UUPT [12] Pasal 86 ayat (4) UUPT [13] Pasal 87 ayat (1) UUPT [14] Pasal 105 ayat (2) UUPT [15] Pasal 105 ayat (4) UUPT pemegang saham rups hukumonline sakit google direktur hukum klinik gaji perusahaan klinik hukumonline tunjangan" }
{ "from": "human", "value": "Saya belanja di supermarket barusan, harga ujungnya 765,-. Tidak ada kan kembalian Rp 35, masa disuruh dibulatkan ke 800. Dalam kasus seperti ini, apakah ada peraturan yang mengatakan harga barang harus dibulatkan ke bawah atau ke atas?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Baru Tahu Barang yang Dibeli Hasil Kejahatan, Termasuk Penadahan? 07 Jun 2024 Harga Barang di Kasir dan di Rak Berbeda, Mana yang Dipakai? 14 Jun 2022 Sanksi bagi Rumah Makan yang Tidak Mencantumkan Daftar Harga 05 Feb 2016 Sahkah Jual Beli dengan Orang Mabuk? 04 Jun 2014 Intisari: Dalam hal harga barang itu memuat pecahan nominal Rupiah yang tidak beredar (“harga ujungnya” Rp 765), maka menurut Permendag 35/2013, Pelaku Usaha dapat membulatkan harga barang itu dengan memperhatikan nominal Rupiah yang beredar (menjadi Rp 800). Pembulatan ini diinformasikan kepada Anda sebagai konsumen pada saat transaksi pembayaran. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Memang, ada harga dengan nominal seperti itu yang banyak kita jumpai saat berbelanja di supermarket. Misal dari yang Anda alami, “harga ujungnya” adalah 765, kami contohkan bahwa harga barang tersebut adalah Rp. 12.765; Anda diwajibkan membayar sejumlah Rp. 12.800 sehingga secara hitung-hitungan, ada sisa Rp. 35 sebagai kembalian untuk Anda. Namun kenyataannya, tidak ada pecahan nominal mata uang Rupiah kita yang bernilai Rp. 35. Anda bertanya, adakah undang-undang atau aturan yang mengatur tentang pembulatan harga itu? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada P eraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 35/M-Dag/Per/7/2013 Tahun 2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan (“Permendag 35/2013”) . Aturan Pencantuman Harga Barang Pada dasarnya setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang secara eceran dan/atau jasa kepada konsumen wajib mencantumkan harga barang atau tarif jasa secara jelas, mudah dibaca dan mudah dilihat. [1] Terkait dengan pertanyaan Anda, Pasal 6 Permendag 35/2013 mengatur: (1) Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, Pelaku Usaha yang memperdagangkan Barang secara Eceran dan/atau Jasa, wajib menetapkan Harga Barang dan/atau Tarif Jasa dengan Rupiah. (2) Penetapan Harga Barang dan/atau Tarif Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mata uang dan nominal Rupiah yang berlaku. (3) Dalam hal Harga Barang dan/atau Tarif Jasa memuat pecahan nominal Rupiah yang tidak beredar, Pelaku Usaha dapat membulatkan Harga Barang dan/atau Tarif Jasa dengan memperhatikan nominal Rupiah yang beredar. (4) Pembulatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diinformasikan kepada Konsumen pada saat transaksi pembayaran. Menjawab pertanyaan Anda, dari pasal di atas dapat kita ketahui bahwa memang pelaku usaha dalam hal ini boleh membulatkan barang yang Anda beli karena harga barang itu memuat pecahan nominal rupiah yang tidak beredar (harga ujung Rp 765). Pelaku usaha dapat membulatkannya menjadi Rp 800 karena memperhatikan nominal Rupiah yang beredar. Namun, Permendag ini tidak menjelaskan lebih lanjut apakah pembulatan itu dibulatkan ke atas atau ke bawah dari harga barang tersebut. Meski demikian, menurut hemat kami, sepanjang pembulatan itu (harga ujung menjadi Rp 800) itu diinformasikan kepada Anda saat transaksi pembayaran, hal ini tidak menyalahi aturan hukum. Contoh Hampir seluruh supermarket dan minimarket di Kota Malang memasang harga dengan nilai ganjil yang sudah tidak ada nilai mata uangnya. Hal tersebut dinilai Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Malang sangat merugikan konsumen. Misalnya di rak toko tertulis harga barang Rp 8.720, dan saat konsumen membayar di meja kasir dibulatkan menjadi Rp 8.800, dan ketika konsumen membayar dengan uang Rp 10.000 konsumen hanya mendapatkan kembalian Rp 1.200, padahal seharusnya konsumen mendapat kembalian 1.280. Demikian informasi dalam artikel Supermarket Diminta Bulatkan Harga yang kami akses dari laman media Tribunnews Surabaya. Masih bersumber dari laman yang sama, Siti Mahmudah, Sekretaris Disperindag Kota Malang mengatakan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) sangat jelas tertulis konsumen tidak boleh dirugikan. Hal semacam itu, lanjut Mahmudah, merupakan trik pelaku usaha untuk menarik konsumen. Seharusnya pelaku usaha langsung membulatkan harga, sehingga konsumen juga bisa membayar dan mendapatkan kembalian yang sesuai . Untuk mengantisipasi ini, Disperindag mengaku sudah mensosialisasikan kepada pelaku usaha. Jika pengusaha tetap memberlakukan kebijakan tersebut, maka pelaku usaha harus menyediakan uang kembalian. Dengan adanya kejadian ini, konsumen bisa mengadu atas kerugian yang diderita oleh konsumen. Konsumen bisa mengadu ke Disperindag atau ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: P eraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 35/M-Dag/Per/7/2013 Tahun 2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan. REFERENSI:\n1. Tribunnews Surabaya , diakses pada 22 Februari 2016 pukul 15.06 WIB. [1] Pasal 2 ayat (1) Permendag 35/2013 . hukumonline supermarket klinik hukum klinik hukumonline perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan geoheritage? Bagaimana ketentuan penetapannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Warisan Geologi ( Geoheritage ) Guna menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Penetapan Warisan Geologi ( Geoheritage) (Permen ESDM 1/2020) . Yang dimaksud dengan geoheritage atau warisan geologi adalah keragaman geologi ( geodiversity ) yang memiliki nilai lebih sebagai suatu warisan karena menjadi rekaman yang pernah atau sedang terjadi di bumi yang karena nilai ilmiahnya tinggi, langka, unik, dan indah, sehingga dapat digunakan untuk keperluan penelitian dan pendidikan kebumian . [1] Sedangkan arti dari keragaman geologi ( geodiversity ) adalah gambaran keunikan komponen geologi seperti mineral, batuan, fosil, struktur geologi, dan bentang alam yang menjadi kekayaan hakiki suatu daerah serta keberadaan, kekayaan penyebaran, dan keadaannya yang dapat mewakili proses evolusi geologi daerah tersebut . [2] Selain itu, dikenal pula istilah situs warisan geologi ( geosite ) , yakni objek geoheritage dengan ciri khas tertentu baik individual maupun multiobjek yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sebuah cerita evolusi pembentukan suatu daerah . [3] Penetapan geoheritage bertujuan: [4] melindungi dan melestarikan nilai geoheritage sebagai rekaman sejarah geologi yang pernah atau sedang terjadi; dan/atau sebagai objek penelitian, pendidikan kebumian, dan geowisata. Selain tujuan di atas, penetapan geoheritage juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan geopark . [5] Tata Cara Penetapan Geoheritage Usulan penetapan geoheritage diajukan oleh gubernur kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri”), yang memuat: [6] hasil inventarisasi geodiversity ; dan peta sebaran geodiversity . Penetapan geoheritage harus melalui tahapan identifikasi, verifikasi, dan penetapan geoheritage . [7] Menteri melalui Kepala Badan Geologi nantinya akan melakukan identifikasi dan verifikasi atas usulan penetapan geoheritage . [8] Tahapan identifikasi geoheritage dilakukan melalui: [9] pengkriteriaan; pembandingan; pengklasifikasian; dan diskusi kelompok terpumpun ( focus group discussion ). Diskusi kelompok terpumpun dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang melibatkan pemangku kepentingan, dalam rangka: [10] menyampaikan hasil laporan identifikasi dan rancangan peta geoheritage ; menyamakan persepsi dengan pemangku kepentingan terkait dengan rencana penetapan geoheritage ; dan/atau meningkatkan peran serta pemangku kepentingan dalam rencana pemanfaatan geoheritage . Pemangku kepentingan yang dimaksud terdiri dari: [11] kementerian/lembaga; pemerintah daerah; asosiasi profesi bidang geologi; swasta; lembaga swadaya masyarakat lingkungan; perguruan tinggi; dan/atau masyarakat. Tahapan selanjutnya, verifikasi dilakukan oleh Badan Geologi berdasarkan hasil identifikasi geoheritage dengan mempertimbangkan hasil diskusi kelompok terpumpun. Apabila dapat diterima, maka Kepala Badan Geologi menyampaikan kepada Menteri untuk ditetapkan sebagai geoheritage yang dituangkan dalam peta sebaran geosite . [12] Geosite yang telah ditetapkan dimanfaatkan untuk: [13] kegiatan penelitian dan pendidikan dengan melakukan penggalian atau pengambilan sampel yang terbatas; pemanfaatan geowisata; dan pemanfaatan untuk kegiatan budidaya dapat diizinkan dengan luasan terbatas. Namun pemanfaatan tersebut dilaksanakan tanpa mengurangi perlindungan dan pelestarian geosite . [14] Hal ini dikarenakan pemerintah, pemerintah daerah, pemangku kepentingan dan masyarakat harus menjaga geosite yang sudah ditetapkan. [15] Sebagai informasi, artikel Konferensi Geopark Nasional Indonesia I Resmi Dibuka dalam laman milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan bahwa Indonesia hingga tahun 2018 telah memiliki empat kawasan Geopark Global UNESCO, yaitu Gunung Batur, Gunung Sewu, Ciletuh-Palabuhan Ratu, dan Rinjani, serta tujuh kawasan Geopark Nasional, yaitu Kaldera Toba, Merangin Jambi, Belitong, Maros-Pangkep, Raja Ampat, Bojonegoro, dan Gunung Tambora. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Penetapan Warisan Geologi ( Geoheritage) . Referensi: Konferensi Geopark Nasional Indonesia I Resmi Dibuka , diakses pada 4 Februari 2020, pukul 14.18 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 Permen ESDM 1/2020 [2] Pasal 1 angka 1 Permen ESDM 1/2020 [3] Pasal 1 angka 3 Permen ESDM 1/2020 [4] Pasal 3 ayat (1) Permen ESDM 1/2020 [5] Pasal 3 ayat (2) Permen ESDM 1/2020 [6] Pasal 4 ayat (1) dan (2) Permen ESDM 1/2020 [7] Pasal 5 Permen ESDM 1/2020 [8] Pasal 4 ayat (4) Permen ESDM 1/2020 [9] Pasal 6 ayat (1) Permen ESDM 1/2020 [10] Pasal 6 ayat (3) dan (4) Permen ESDM 1/2020 [11] Pasal 6 ayat (5) Permen ESDM 1/2020 [12] Pasal 8 Permen ESDM 1/2020 [13] Pasal 11 ayat (1) Permen ESDM 1/2020 [14] Pasal 11 ayat (2) Permen ESDM 1/2020 [15] Pasal 12 ayat (1) Permen ESDM 1/2020 pariwisata hukumonline wisata" }
{ "from": "human", "value": "Kemarin saya belanja di salah satu pusat perbelanjaan di kota bogor, eh tapi pas saya selesai bayar, saya tidak dikasih kantong plastik. Alasannya katanya karena ada peraturan yang melarang. Apa yang menjadi dasar tidak diberikannya plastik? Saya merasa dirugikan." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya seperti yang kita ketahui, penggunaan kantong plastik yang kemudian menjadi sampah plastik merupakan persoalan lingkungan hidup global. Oleh karenanya, perlu aturan khusus untuk mengatasinya, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya. Pentingnya Menjaga Lingkungan Hidup Pertama-tama perlu dipahami definisi dari lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”) sebagai berikut: Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Lingkungan hidup harus dilindungi dan dikelola sebagai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi: [1] perencanaan; pemanfaatan; pengendalian; pemeliharaan; pengawasan; dan penegakan hukum. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 3 UU 32/2009 bertujuan untuk: melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup; menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia; menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem; menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup; menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan; menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia; mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana; mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan global. Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan kewenangan, peran, dan tanggung jawab masing-masing. Hal tersebut meliputi: [2] pencegahan; penanggulangan; dan pemulihan. Dalam Pasal 14 huruf i UU 32/2009 disebutkan bahwa salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup. Untuk itu, berkaitan dengan sampah dapat kita lihat ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (“UU 18/2008”) . Aturan Pengelolaan Sampah Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. [3] Dalam Pasal 29 ayat (1) UU 18/2008 disebutkan bahwa setiap orang dilarang: memasukkan sampah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; mengimpor sampah; mencampur sampah dengan limbah berbahaya dan beracun; mengelola sampah yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan; membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan disediakan ; melakukan penanganan sampah dengan pembuangan terbuka di tempat pemrosesan akhir; dan/atau membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Sampah yang dikelola berdasarkan UU 18/2008 terdiri atas: [4] sampah rumah tangga (berasal dari kegiatan sehari-hari dalam rumah tangga, tidak termasuk tinja dan sampah spesifik); sampah sejenis sampah rumah tangga (berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya); dan sampah spesifik (meliputi sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun, sampah yang secara teknologi belum dapat diolah, dan lain sebagainya). Setiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan . Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga diatur dengan peraturan daerah. [5] Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai pengurangan penggunaan kantong plastik, perlu diuraikan terlebih dahulu definisi dari kantong plastik dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik (“Perwal k ot Bogor 6 1 /2018”) berikut ini: Kantong Plastik adalah kantong yang terbuat dari atau mengandung bahan dasar plastik, lateks atau polyethylene, thermoplastic synthetic polymeric, atau bahan-bahan sejenis lainnya, dengan atau tanpa pegangan tangan, yang digunakan sebagai media untuk mengangkat atau mengangkut barang. Pada kenyataannya, banyak sampah yang dihasilkan melalui kantong plastik. Seperti definisi kantong plastik yang tidak ramah lingkungan di Pasal 1 angka 7 Perwal kot Bogor 6 1 /2018 berikut ini: Kantong plastik yang tidak ramah lingkungan adalah kantong plastik yang karena bahan-bahan dasar pembuatannya, atau reaksi kimia antara bahan-bahan dasar tersebut, atau karena sifat, konsentrasinya dan/atau jumlahnya mengakibatkan kesulitan dalam penguraian kembali proses alamiah, sehingga secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak kualitas lingkungan hidup baik secara permanen atau setidak-tidaknya untuk waktu yang proses alami. Pemerintah Daerah Kota Bogor mempunyai tugas menjamin terselenggaranya pengurangan penggunaan kantong plastik, yang meliputi: [6] menumbuhkembangkan dan meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengurangan penggunaan kantong plastik; memfasilitasi, mengembangkan, dan melaksanakan upaya pengurangan penggunaan kantong plastik; melakukan koordinasi antar Perangkat Daerah, masyarakat, dan dunia usaha agar terdapat keterpaduan dalam pengurangan penggunaan kantong plastik. Dalam menyelenggarakan program pengurangan penggunaan kantong plastik, Pemerintah Kota Bogor mempunyai kewenangan: [7] menetapkan kebijakan dan strategi partisipasi masyarakat dalam pengurangan penggunaan kantong plastik; melakukan pembinaan, pengawasan, dan evaluasi secara periodik terhadap penggunaan kantong plastik oleh Pelaku Usaha, Pusat Perbelanjaan, Toko Modern, dan/atau masyarakat yang menjadi konsumen. Perencanaan pengurangan penggunaan kantong plastik dilaksanakan melalui tahapan: [8] inventarisasi penggunaan kantong plastik; penetapan kawasan pengurangan penggunaan kantong plastik ; penyusunan rencana aksi daerah tentang pengurangan penggunaan kantong plastik. Untuk itu, berdasarkan Pasal 8 Perwal k ot  Bogor 6 1 /2018 , Wali Kota Bogor menetapkan kawasan pengurangan penggunaan kantong plastik berdasarkan pada intensitas penggunaan dan potensi pencemaran lingkungan di pusat perbelanjaan dan pertokoan modern . [9] Yang dimaksud P usat Perbelanjaan adalah suatu area tertentu yang terdiri dari satu atau beberapa bangunan yang didirikan secara vertikal maupun horizontal, yang dijual atau disewakan kepada pelaku usaha atau dikelola sendiri untuk melakukan kegiatan perdagangan barang. [10] Sementara itu, Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang secara eceran yang berbentuk minimarket , supermarket , Departemen Store , Hypermarket , ataupun grosir yang berbentuk perkulakan. [11] Larangan pusat perbelanjaan dan toko modern menyediakan kantong plastik di Kota Bogor disebutkan di Pasal 11 Perwal kot Bogor 6 1 /2018 , yang bunyinya: Terhitung tanggal 1 Desember 2018 seluruh Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dilarang untuk menyediakan kantong plastik. Niat serius Pemerintah Daerah Kota Bogor dapat terlihat dalam menentukan kebijakan pengurangan penggunaan kantong plastik sebagai salah satu upaya pencegahan melalui persyaratan perizinan usaha. [12] Wali Kota Bogor atau pejabat yang membidangi lingkungan hidup dan Perangkat Daerah yang terkait melakukan pengawasan terhadap : [13] Pelaku Usaha; Pusat Perbelanjaan; Toko Modern. Dalam hal hasil pengawasan menunjukkan adanya ketidaktaatan dari pelaku usaha maupun pengguna kantong plastik, maka Wali Kota melakukan pembinaan melalui sosialisasi, konsultasi, dan pelatihan. [14] Lebih lanjut, Wali Kota Bogor wajib mendorong penggunaan kantong lain sebagai alternatif pengganti kantong plastik. [15] Mengenai alternatif kantong plastik juga disebutkan di Pasal 13 Perwal kot Bogor 6 1 /2018 sebagai berikut: Setiap pelaku usaha dan penyedia kantong plastik wajib mengupayakan kantong plastik atau kantong alternatif lain yang ramah lingkungan. Kantong plastik yang ramah lingkungan adalah kantong plastik yang mudah diurai dalam proses alami dan jumlah, sifat dan/atau konsentrasinya tidak akan mencemari dan/atau merusak lingkungan hidup berdasarkan hasil pengujian laboratorium. [16] Serta kantong ramah lingkungan lainnya adalah kantong yang terbuat dari atau tidak mengandung bahan dasar plastik dan terbuat dari bahan dasar organik yang mudah terurai, dan/atau kantong permanen yang dapat dipakai berulang-ulang. [17] Selain melarang pelaku usaha, Pemerintah Daerah Kota Bogor juga wajib mendorong dan mendukung masyarakat untuk melakukan pengurangan penggunaan kantong plastik secara mandiri. [18] Dalam Pasal 14 ayat (2) Perwal k ot Bogor 6 1 /2018 , disebutkan bahwa pengguna kantong plastik berkewajiban: mengurangi penggunaan kantong plastik; berperan serta dalam melakukan sosialisasi bahaya penggunaan kantong plastik yang tidak ramah lingkungan. Hal tersebut dilakukan agar seluruh masyarakat mengerti dan peduli akan lingkungan dan pentingnya pengurangan penggunaan kantong plastik sebagai cara untuk meminimalisasi volume, distribusi dan penggunaan secara bijaksana serta bertahap akan mengurangi ketergantungan terhadap kantong plastik yang tidak ramah lingkungan. [19] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik [1] Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 4 UU 32/2009 [2] Pasal 13 UU 32/2009 [3] Pasal 1 angka 1 UU 18/2008 [4] Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU 18/2008 [5] Pasal 12 UU 18/2008 [6] Pasal 4 Perwalkot Bogor 61/2018 [7] Pasal 5 Perwalkot Bogor 61/2018 [8] Pasal 6 Perwalkot Bogor 61/2018 [9] Pasal 8 Perwalkot Bogor 61/2018 [10] Pasal 1 angka 11 Perwalkot Bogor 61/2018 [11] Pasal 1 angka 12 Perwalkot Bogor 61/2018 [12] Pasal 12 ayat (1) Perwalkot Bogor 61/2018 [13] Pasal 17 ayat (1) Perwalkot Bogor 61/2018 [14] Pasal 17 ayat (3) jo. Pasal 16 ayat (3) Perwalkot Bogor 61/2018 [15] Pasal 12 ayat (2) huruf d Perwalkot Bogor 61/2018 [16] Pasal 1 angka 6 Perwalkot Bogor 61/2018 [17] Pasal 1 angka 8 Perwalkot Bogor 61/2018 [18] Pasal 12 ayat (2) huruf c Perwalkot Bogor 61/2018 [19] Pasal 1 angka 9 Perwalkot Bogor 61/2018 hukumonline online bogor kantong plastik hukum lingkungan hidup sampah perdagangan lingkungan" }
{ "from": "human", "value": "Saya mempunyai masalah dengan nomor rumah. Rumah saya nomor 1, yang resmi ada sejak tahun 1990. Namun sekarang ada minimarket dekat rumah saya bernomor sama, sehingga merugikan dan mengganggu saya untuk urusan pos, surat menyurat dan usaha saya. Hal  ini sudah saya beritahukan dan tidak dihiraukan oleh pihak manajemen minimarket sejak 3 bulan berdirinya perusahaan waralaba tersebut. Apakah ada jalan atau delik hukum yang berlaku untuk hal ini? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP 20 Feb 2024 Yang Termasuk Bagian Mengingat dalam Peraturan Perundang-Undangan 27 Apr 2023 Mengenal Pengadilan Ad Hoc dan Hakim Ad Hoc di Indonesia 17 Nov 2021 Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi? 13 Jun 2013 Intisari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan penelusuran kami, aturan soal pemasangan nomor rumah ini ada dalam peraturan daerah setempat. Oleh karena itu, kami sarankan agar Anda memeriksa kembali bagaimana aturan soal pemasangan nomor rumah di daerah tempat Anda tinggal. Dalam peraturan daerah tertentu, setiap ada bangunan atau rumah baru, Ketua RT dan RW wajib melakukan pendataan dan melaporkan kepada Dinas, guna dilakukan pengaturan nomor baru. Jadi, bangunan minimarket yang baru didirikan itu perlu didata dan dilaporkan untuk diberikan nomor baru. Penjelasan lebih lanjut mengenai langkah yang dapat dilakukan, silakan Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kami asumsikan Anda telah memastikan bahwa nomor rumah 1 yang Anda miliki berkedudukan di Rukun Tetangga (“RT”)/ Rukun Warga (“RW”), dusun/jalan, desa/kelurahan, kecamatan, dan kode pos yang sama dengan minimarket tersebut. Dalam hal ini, Anda merasa dirugikan atas kesamaan nomor rumah Anda dengan minimarket tersebut. Berdasarkan penelusuran kami, aturan soal pemasangan nomor rumah ini diatur dalam peraturan daerah setempat. Oleh karena itu, kami sarankan agar Anda memeriksa kembali bagaimana aturan soal pemasangan nomor di daerah tempat Anda tinggal. Penomoran Rumah dan Bangunan Sebagai contoh di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, aturan soal pemasangan nomor rumah di kota ini dapat kita temukan dalam Peraturan Walikota Batu Nomor 12 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penomoran Rumah Dan Bangunan Di Kota Batu (“Perwalkot Batu 12/2014”) . Pasal 1 angka 16 Perwalkot Batu 12/2014 : Nomor rumah dan bangunan adalah urutan nomor rumah dan bangunan. Secara umum, penomoran rumah ini diatur dalam Pasal 2 Perwalkot Batu 12/2014 : (1) Setiap rumah dan bangunan harus memiliki nomor yang tertulis pada papan dengan mencantumkan tulisan RT, RW, dusun/jalan, desa/kelurahan, kecamatan, kode pos, logo Pemerintah Kota Batu dan Lambang Burung Garuda. (2) Setiap pemilik/penguasa/penanggung jawab rumah dan bangunan wajib memasang papan nomor rumah dan bangunan. (3) Setiap penghuni rumah dan bangunan wajib memelihara papan nomor rumah dan bangunan masing-masing agar tetap kelihatan jelas dan rapi. (4) Papan nomor rumah dan bangunan yang rusak atau hilang wajib dilaporkan kepada Ketua RT setempat untuk diteruskan kepada Dinas. (5) Setiap bangunan rumah baru, Ketua RT dan RW wajib melakukan pendataan dan melaporkan kepada Dinas, guna dilakukan pengaturan nomor rumah baru. Ini artinya, Anda sebagai pemilik rumah yang telah lebih dulu memiliki nomor rumah 1 berhak atas nomor 1 tersebut dibandingkan bangunan minimarket yang baru itu. Sebagai bangunan baru, seharusnya Ketua RT dan RW setempat melakukan pendataan dan melaporkan kepada Dinas Perumahan setempat guna diberikan nomor bangunan yang baru. Langkah yang Anda dapat Dilakukan Dalam hal ini, Anda dapat meminta bantuan ketua lingkungan setempat seperti Ketua RT dan RW agar dilakukan pendataan dan pelaporan atas bangunan minimarket tersebut kepada Dinas Perumahan setempat agar bangunan minimarket itu diberikan nomor yang baru. Sanksi Bagi Penomoran Rumah atau Bangunan yang Melanggar Peraturan Masih mengacu pada Perwalkot Batu 12/2014, Kepala Dinas dapat memerintahkan mengambil/ menyingkirka n papan nomor rumah dan bangunan yang bertentangan dengan Peraturan Walikota ini. [1] Jadi jika memang pemilik bangunan minimarket itu memasang papan nomor bangunan tanpa didata terlebih dahulu oleh ketua lingkungan setempat dan menyalahi aturan, nomor tersebut dapat diambil atau disingkirkan. Berikut ketentuan sanksi terkait pemasangan nomor rumah atau bangunan yang diatur dalam Pasal 10 Perwalkot Batu 12/2014 minimarket: (1) Dalam hal terdapat papan nomor rumah dan bangunan milik warga yang tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Walikota ini, Ketua RT dan/atau Ketua RW setempat memberikan teguran secara lisan. (2) Apabila teguran secara lisan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender tidak ditindaklanjuti oleh warga, Ketua RT dan/atau Ketua RW memberikan teguran secara tertulis. (3) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak teguran diterima oleh warga dan belum ditindaklanjuti, Ketua RT dan/atau Ketua RW melaporkan kepada Kepala Desa/Lurah Sebagai contoh lain, aturan soal penomoran rumah/bangunan ini diatur juga di Kabupaten Pasaman, seperti yang tertuang dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemberian Nama-Nama Jalan dan Penomoran Rumah/Bangunan (“Perda Pasaman 1/2013”) . Penomoran rumah/bangunan dimaksudkan dalam rangka pendataan pontensi sumber daya yang ada, tertib administrasi pemerintahan dan kependudukan serta mempermudah pelaksanaan tugas-tugas bagi aparatur maupun masyarakat dalam mencapai alamat yang dituju. [2] Nomor rumah/bangunan diatur secara berurutan dengan nomor ganjil di sebelah kiri dan nomor genap di sebelah kanan jalan/gang yang dimulai dari pangkal jalan/gang. [3] Aturan penomoran rumah juga terdapat dalam sejumlah peraturan daerah sebagai berikut, antara lain: 1. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 1 Tahun 2010 tentang Penamaan Jalan dan Penomoran Bangunan. 2. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 01 Tahun 2010 tentang Pemberian Nama-Nama Jalan, Gang dan Nomor Rumah/Bangunan . 3. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pemberian Nomor Rumah/Bangunan dan Pemasangan Papan Nama Kepala Keluarga . Oleh karena itu, kami sarankan Anda memeriksa kembali bagaimana aturan soal pemasangan nomor rumah di daerah tempat Anda tinggal, guna mengetahui langkah apa yang sekiranya dapat Anda lakukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pemberian Nomor Rumah/Bangunan dan Pemasangan Papan Nama Kepala Keluarga ; 2. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penamaan Jalan dan Penomoran Bangunan; 3. Peraturan Daerah Kabupaten Lamandau Nomor 01 Tahun 2010 tentang Pemberian Nama-Nama Jalan, Gang dan Nomor Rumah/Bangunan ; 4. Peraturan Daerah Kabupaten Pasaman Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemberian Nama-Nama Jalan dan Penomoran Rumah/Bangunan ; 5. Peraturan Walikota Batu Nomor 12 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penomoran Rumah Dan Bangunan Di Kota Batu . [1] Pasal 9 Perwalkot Batu 12/2014 [2] Pasal 2 ayat (1) Perda Pasaman 1/2013 [3] Pasal 14 ayat (1) Perda Pasaman 1/2013 pos hukumonline perumahan rumah hukum klinik klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah uang yang sudah robek dan dikumpulkan bisa ditukarkan ke bank? Apakah bank mau menerima uang robek tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Saldo Dipotong Karena Salah Memasukkan PIN, Bolehkah? 09 Sep 2021 Bolehkah Mengenakan Biaya Penarikan Uang kepada Nasabah? 09 Jun 2021 Penggantian Eksekusi Riil dalam Putusan Hakim dengan Sejumlah Uang 20 Jun 2017 Kewenangan OJK dalam Perizinan Lembaga Keuangan Mikro 28 Nov 2016 Intisari: Uang tidak layak edar itu meliputi uang lusuh, uang cacat, dan uang rusak . Masyarakat dapat menukarkan uang robek sebagai uang tidak layak edar dengan uang rupiah yang layak edar di kantor Bank Indonesia setempat atau pada waktu kegiatan kas keliling Bank Indonesia, dan di kantor pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia atau pada waktu kegiatan kas keliling pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Uang Rupiah yang Tidak Layak Edar Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) , Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah (“PBI 14/7/2012”) dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU Tahun 2008 tentang Penukaran Uang Rupiah (“SEBI 10/2008”) sebagaimana telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/12/DPU Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU Tanggal 28 Februari 2008 Perihal Penukaran Uang Rupiah (“SEBI 13/2011”) . Uang Rupiah Tidak Layak Edar adalah Uang Rupiah yang terdiri atas Uang Rupiah lusuh, Uang Rupiah cacat, dan Uang Rupiah rusak. [1] 1. Uang Rupiah Lusuh adalah Uang Rupiah yang ukuran dan bentuk fisiknya tidak berubah dari ukuran aslinya, tetapi kondisinya telah berubah yang antara lain karena jamur, minyak, bahan kimia, atau coretan. [2] 2. Uang Rupiah Cacat adalah Uang Rupiah hasil cetak yang spesifikasi teknisnya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. [3] 3. Uang Rupiah Rusak adalah Uang Rupiah yang ukuran atau fisiknya telah berubah dari ukuran aslinya yang antara lain karena terbakar, berlubang, hilang sebagian, atau Uang Rupiah yang ukuran fisiknya berbeda dengan ukuran aslinya, antara lain karena robek atau mengerut. [4] Jadi, uang robek bisa disebut dengan uang rusak. Penukaran Uang Rupiah Tidak Layak Edar Untuk memenuhi kebutuhan Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, Rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut: [5] a. penukaran Rupiah dapat dilakukan dalam pecahan yang sama atau pecahan yang lain ; dan/atau b. penukaran Rupiah yang lusuh dan/atau rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya dilakukan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya. Penukaran Rupiah yang rusak sebagian karena terbakar atau sebab dilakukan penggantian apabila tanda keaslian Rupiah tersebut masih dapat diketahui atau dikenali. [6] Kriteria Rupiah yang lusuh dan/ atau rusak yang dapat diberikan penggantian diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. [7] Penukaran Rupiah dilakukan oleh Bank Indonesia, bank yang beroperasi di Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. [8] Ketentuan serupa juga kami temukan dalam Buku Panduan Penukaran Uang Tidak Layak Edar yang dibuat oleh Bank Indonesia. Masyarakat dapat menukarkan uang tidak layak edar dengan Uang Rupiah yang layak edar di kantor Bank Indonesia setempat atau pada waktu kegiatan kas keliling Bank Indonesia, dan di kantor pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia atau pada waktu kegiatan kas keliling pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. Ketentuan Penukaran Uang Rusak Penukaran Uang Rupiah Lusuh, Uang Rupiah Cacat, dan/atau Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar atau sebab lainnya diberikan penggantian sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam PBI 14/2012. [9] Bank Indonesia memberikan penggantian atas Uang Rupiah Rusak dengan ketentuan sebagai berikut: [10] a. Uang Rupiah Kertas 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal dengan persyaratan: a. Uang Rupiah Kertas rusak masih merupakan satu kesatuan dengan atau tanpa nomor seri yang lengkap; atau b. Uang Rupiah Kertas rusak tidak merupakan satu kesatuan, dan kedua nomor seri pada Uang Rupiah Kertas rusak tersebut lengkap dan sama. 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas sama dengan atau kurang dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. b. Uang Rupiah Logam 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam lebih besar dari ½ (satu perdua) ukuran aslinya dan Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Logam sama dengan atau kurang dari 1/2 (satu perdua) ukuran aslinya, tidak diberikan penggantian. c. Uang Rupiah Kertas yang terbuat dari bahan plastik (polimer) 1. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan masih utuh serta Ciri Uang Rupiah dapat dikenali keasliannya, diberikan penggantian sebesar nilai nominal; 2. dalam hal fisik Uang Rupiah Kertas mengerut dan tidak utuh, diberikan penggantian sebesar nilai nominal sepanjang Ciri Uang Rupiah masih dapat dikenali keasliannya dan fisik Uang Rupiah lebih besar dari 2/3 (dua pertiga) ukuran aslinya. Uang Rupiah Rusak sebagian karena terbakar diberikan penggantian dengan nilai yang sama nominalnya, sepanjang menurut penelitian Bank Indonesia masih dapat dikenali keasliannya dan memenuhi persyaratan untuk dapat diberikan penggantian. [11] Bank Indonesia tidak memberikan penggantian atas Uang Rupiah Rusak apabila menurut Bank Indonesia kerusakan Uang Rupiah tersebut diduga dilakukan secara sengaja atau dilakukan secara sengaja. [12] Kerusakan Rupiah diduga dilakukan secara sengaja apabila tanda-tanda kerusakan fisik Uang Rupiah meyakinkan Bank Indonesia adanya dugaan unsur kesengajaan, misalnya terdapat bekas potongan dengan alat tajam atau alat lainnya, benang pengaman hilang seluruhnya atau sebagian karena dirusak, dan/atau jumlah Uang Rupiah yang ditukarkan relatif banyak dengan pola kerusakan yang sama. [13] Kerusakan Uang Rupiah dilakukan secara sengaja apabila berdasarkan pembuktian melalui laboratorium dan/atau putusan pengadilan disimpulkan atau diputuskan bahwa Uang Rupiah dirusak secara sengaja. [14] Hal serupa juga diulas dalam Panduan Penukaran Uang Tidak Layak Edar , apabila uang rusak dapat dikenali ciri-ciri keasliannya dan memenuhi kriteria penggantian uang rusak, bank wajib menukar uang rusak tersebut dengan uang layak edar sejumlah uang rusak yang ditukarkan. Apabila ciri-ciri keasliannya sulit diketahui , penukar wajib mengisi formulir permintaan penelitian uang rusak untuk penelitian selanjutnya. Uang rusak yang ciri-ciri keasliannya sulit dikenali dapat dikirimkan dalam kemasan yang layak ke Bank Indonesia. Hasil penelitian dan besarnya penggantian akan diberitahukan pada kesempatan pertama. Kesimpulan Jadi, masyarakat dapat menukarkan uang robek sebagai uang tidak layak edar dengan uang rupiah yang layak edar di kantor Bank Indonesia setempat atau pada waktu kegiatan kas keliling Bank Indonesia, dan di kantor pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia atau pada waktu kegiatan kas keliling pihak lain yang disetujui oleh Bank Indonesia. Uang tidak layak edar meliputi uang lusuh, uang cacat, dan uang rusak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang ; 2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/7/PBI/2012 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah ; 3. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU Tahun 2008 tentang Penukaran Uang Rupiah sebagaimana yang telah diubah dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/12/DPU Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/8/DPU Tanggal 28 Februari 2008 Perihal Penukaran Uang Rupiah . REFERENSI:\n1. Buku Panduan Penukaran Uang Tidak Layak Edar , diakses pada 19 Juli 2017 pukul 15.30 WIB. [1] Pasal 1 angka 8 PBI 14/7/2012 [2] Pasal 1 angka 9 PBI 14/7/2012 jo. Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU Mata Uang [3] Pasal 1 angka 10 PBI 14/7/2012 [4] Pasal 1 angka 11 PBI 14/7/2012 jo. Penjelasan Pasal 22 ayat (3) UU Mata Uang [5] Pasal 22 ayat (1) UU Mata Uang [6] Pasal 22 ayat (2) UU Mata Uang [7] Pasal 22 ayat (3) UU Mata Uang [8] Pasal 22 ayat (4) UU Mata Uang [9] Pasal 17 ayat (1) huruf b PBI 14/2012 [10] Pasal 19 ayat (1) PBI 14/7/2012 [11] Pasal 19 ayat (3) PBI 14/7/2012 [12] Pasal 19 ayat (4) PBI 14/7/2012 [13] Penjelasan Pasal 19 ayat (4) PBI 14/7/2012 jo. Poin VI.2 SEBI 13/2011 [14] Penjelasan Pasal 19 ayat (4) PBI 14/7/2012 jasa keuangan hukumonline google uang palsu bank keuangan klinik bi bank indonesia klinik hukumonline perbankan" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana aturan mengenai data yang diperoleh dari penginderaan jauh? karena saya sedang mempelajari tentang hal ini, dimohon bantuan dan pencerahan untuk saya, terima kasih sebelumnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Aturan mengenai perolehan data melalui penginderaan jauh terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh . Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan untuk menjamin kontinuitas ketersediaan data. Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan melalui pengoperasian satelit, pengoperasian stasiun bumi dan/atau citra satelit. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penginderaan Jauh sebagai Kegiatan Keantariksaan Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dijelaskan mengenai definisi dari Antariksa dan Keantariksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan (“UU 21/2013”) sebagai berikut: Pasal 1 angka 1 UU 21/2013 Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar Ruang Udara yang mengelilingi dan melingkupi Ruang Udara. Pasal 1 angka 2 UU 21/2013 Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang Antariksa dan yang berkaitan dengan eksplorasi dan pendayagunaan Antariksa. Kegiatan Keantariksaan meliputi: [1] sains Antariksa; penginderaan jauh; penguasaan teknologi Keantariksaan; peluncuran; dan kegiatan komersial Keantariksaan. Yang dimaksud dengan “penginderaan jauh” adalah penginderaan permukaan bumi dari dirgantara dengan memanfaatkan sifat gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, dipantulkan, atau dihamburkan oleh objek yang diindera. [2] Dikutip dari bagian Pendahuluan dalam Rencana Strategis dan Arah Kebijakan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA) Tahun 2015-2019 yang kami akses dari laman Deputi Bidang Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (“LAPAN”) , pemanfaatan penginderaan jauh di Indonesia sudah sangat luas dan dirasakan oleh masyarakat di berbagai sektor seperti kehutanan, pertanian, perkebunan, perikanan, lingkungan, kebencanaan dan sebagainya. Pemanfaatan data penginderaan jauh tidak hanya dimanfaatkan seperti hal tersebut saja tapi juga untuk kepentingan lain seperti untuk “pajak”- mengenali objek pajak (bumi dan bangunan, perkebunan, pertambangan) dan masih banyak lagi pemanfaatan untuk mendukung pembangunan. Kegiatan Perolehan Data dalam Penginderaan Jauh Penginderaan jauh meliputi kegiatan: [3] perolehan data; pengolahan data; penyimpanan data; penyimpanan dan pendistribusian data; dan pemanfaatan data dan diseminasi informasi. Perolehan data berdasarkan Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh (“PP 11/2018”) dijelaskan sebagai berikut: Perolehan Data adalah salah satu bentuk kegiatan Penginderaan Jauh yang berupa pengumpulan data tentang obyek di permukaan bumi yang berada pada daerah tertentu di dalam wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan untuk menjamin kontinuitas ketersediaan data. [4] Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan dengan menggunakan sarana: [5] Satelit; [6] Wahana lain; [7] Stasiun Bumi; [8] Perangkat Penerima Teknis; [9] dan/atau Perangkat pengolahan data. Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan melalui: [10] pengoperasian satelit; pengoperasian stasiun bumi; dan/atau citra satelit. Hasil perolehan data penginderaan jauh dapat berupa: [11] data primer atau data mentah dari Satelit yang belum diolah; dan data proses atau data siap pakai hasil pengolahan data primer. Data sebagaimana dimaksud di atas dapat diklasifikasikan ke dalam: [12] resolusi rendah; resolusi menengah; dan resolusi tinggi. Pengoperasian Satelit Pengoperasian Satelit dilaksanakan untuk mengindera permukaan bumi dan mengirimkan data yang diperoleh dari Satelit ke Stasiun Bumi. [13] Mengindera disini memiliki arti yaitu mengukur berbagai fisik benda dengan cara tidak menyentuh bendanya. [14] Pengoperasian Satelit dilaksanakan oleh Lembaga (dalam hal ini LAPAN). [15] Pengoperasian Satelit oleh LAPAN dilaksanakan melalui kegiatan membuat perencanaan, membangun, dan mengoperasikan Satelit. [16] Dalam membuat perencanaan dan membangun Satelit, Lembaga dapat mengikutsertakan Instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Masyarakat. [17] Dalam mengoperasikan Satelit, LAPAN harus memenuhi persyaratan : [18] ketentuan internasional; dan memiliki izin penggunaan spektrum frekuensi radio sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hasil Pengoperasian Satelit berupa data primer yang akan dikirimkan secara langsung ke Stasiun Bumi. [19] Pengoperasian Stasiun Bumi Pengoperasian Stasiun Bumi dilaksanakan untuk menerima dan merekam data primer. Data primer tersebut terdiri atas resolusi menengah dan/atau resolusi tinggi. [20] Pengoperasian Stasiun Bumi dilaksanakan melalui kegiatan membangun Stasiun Bumi dan mengoperasikan Stasiun Bumi. Stasiun Bumi tersebut hanya dapat dibangun dan dioperasikan oleh LAPAN . [21] Dalam membangun Stasiun Bumi, LAPAN melakukan: [22] penentuan lokasi Stasiun Bumi; pengajuan permohonan izin penggunaan spektrum frekuensi radio; pembangunan sarana dan prasarana; dan pemasangan instalasi sistem Stasiun Bumi. Dalam mengoperasikan Stasiun Bumi, LAPAN melakukan: [23] perencanaan akuisisi data Satelit; penerimaan dan perekaman data Satelit; pengolahan data primer; dan pemeliharaan Stasiun Bumi. Hasil Pengoperasian Stasiun Bumi berupa data primer dan data proses. [24] Citra Satelit Perolehan data penginderaan jauh melalui Citra Satelit dilaksanakan untuk melengkapi ketersediaan data yang tidak dipenuhi melalui pengoperasian Satelit dan pengoperasian Stasiun Bumi. Untuk melengkapi ketersediaan data dilakukan melalui pengadaan Citra Satelit . [25] Pengadaan Citra Satelit dapat diperoleh dari: [26] pembelian dari penyedia data; kerja sama dengan Asing; dan akses data yang tersedia secara bebas. Pengadaan Citra satelit dapat berupa: [27] data resolusi rendah; data resolusi menengah; atau data resolusi tinggi Pengadaan Citra Satelit sebagaimana dimaksud di atas berupa data primer dan data proses. [28] Dalam memperoleh data penginderaan jauh untuk resolusi rendah dan menengah dikenai tarif nonkomersial, sementara untuk resolusi tinggi dikenai tarif komersial. [29] Perlu diketahui juga bahwa pengadaan data penginderaan jauh resolusi tinggi untuk Instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya dapat dilaksanakan oleh LAPAN. [30] Jadi menjawab pertanyaan Anda , aturan mengenai perolehan data melalui penginderaan jauh terdapat dalam UU 21/2013 dan PP 11/2018. Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan untuk menjamin kontinuitas ketersediaan data. Perolehan data penginderaan jauh dilaksanakan melalui pengoperasian satelit, pengoperasian stasiun bumi, dan/atau citra satelit. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kegiatan Penginderaan Jauh Referensi : Rencana Strategis dan Arah Kebijakan Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (PUSFATJA) Tahun 2015-2019 , diakses 10 Juli 2018, Pukul 11.46 WIB. [1] Pasal 7 ayat (1) UU 21/2013 [2] Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 21/2013 [3] Pasal 15 ayat (1) UU 21/2013 [4] Pasal 3 ayat (1) PP 11/2018 [5] Pasal 3 ayat (2) PP 11/2018 [6] Satelit adalah wahana antariksa yang beredar mengelilingi bumi berfungsi sebagai sarana perolehan data primer dalam kegiatan penginderaan jauh (Pasal 1 angka 9 PP 11/2018) [7] Wahana Lain adalah sarana yang dilengkapi dengan peralatan tertentu untuk keperluan validasi dan kalibrasi, peningkatan kualitas data, dan kebutuhan khusus lainnya selain dari menggunakan Satelit Penginderaan Jauh  (Pasal 1 angka 10 PP 11/2018) [8] Stasiun Bumi adalah fasilitas di permukaan bumi untuk menerima dan merekam data Satelit Penginderaan Jauh resolusi menengah dan tinggi (Pasal 1 angka 13 PP 11/2018) [9] Perangkat Penerima Teknis adalah fasilitas di permukaan bumi untuk pengumpulan data Satelit pengamatan bumi resolusi rendah (Pasal 1 angka 14 PP 11/2018) [10] Pasal 16 ayat (1) UU 21/2013 dan Pasal 4 ayat (1) PP 11/2018 [11] Pasal 5 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) PP 11/2018 jo. Pasal 15 ayat (2) huruf b UU 21/2013 dan penjelasannya [12] Pasal 5 ayat (2) PP 11/2018 [13] Pasal 6 PP 11/2018 [14] Penjelasan Pasal 6 PP 11/2018 [15] Lembaga adalah Instansi Pemerintah yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya serta Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 1 angka 30 PP 11/2018). [16] Pasal 7 PP 11/2018 [17] Pasal 8 ayat (2) PP 11/2018 [18] Pasal 10 PP 11/2018 [19] Pasal 11 PP 11/2018 [20] Pasal 12 PP 11/2018 [21] Pasal 13 PP 11/2018 [22] Pasal 15 ayat (1) PP 11/2018 [23] Pasal 15 ayat (2) PP 11/2018 [24] Pasal 16 PP 11/2018 [25] Pasal 21 PP 11/2018 [26] Pasal 22 ayat (1) PP 11/2018 [27] Pasal 22 ayat (2) PP 11/2018 [28] Pasal 23 ayat (1) PP 11/2018 [29] Pasal 18 ayat (2) UU 21/2013 [30] Pasal 18 ayat (3) UU 21/2013 dan Pasal 24 ayat (1) PP 11/2018 pertanahan hukumonline google telekomunikasi teknologi terorisme antariksa data hukum klinik klinik hukumonline penerbangan" }
{ "from": "human", "value": "Adakah undang-undang yang menjelaskan tentang kecelakaan kerja yang mengakibatkan anggota tubuhnya hilang dan perusahaan mengganti rugi sebesar berapa persen?" }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai ganti rugi dari perusahaan atas kecelakaan kerja yang mengakibatkan anggota tubuhnya hilang, kami berasumsi bahwa yang Anda maksud adalah santunan cacat yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang mengalami kecelakaan kerja pada saat bekerja. Dalam hal ini, kecelakaan kerja tersebut mengakibatkan cacat tubuh pada pekerja tersebut. KLINIK TERKAIT Kesempatan Kerja bagi Penyandang Disabilitas 25 Feb 2019 Pembayaran Jaminan dan Santunan Kecelakaan Kerja 31 Jan 2018 Batasan Luka Berat dan Luka Ringan dalam Kecelakaan Lalu Lintas 05 Apr 2013 Jika Tukang Bangunan Kecelakaan Kerja, Siapa yang Tanggung Jawab? 23 Jan 2013 Sebelumnya, harus diketahui dulu apa yang dimaksud dengan cacat dalam konteks kecelakaan kerja. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 609 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja , cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan . Kecacatan dapat dibagi dalam 3 jenis: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. cacat sebagian untuk selamanya adalah cacat yang mengakibatkan hilangnya sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh . b. cacat kekurangan fungsi adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh untuk selama-lamanya. c. cacat total untuk selamanya adalah keadaan tenaga kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya. Dalam menyatakan cacat total, dokter yang merawat atau dokter penasehat harus melakukan pemeriksaan fisik kepada tenaga kerja yang bersangkutan agar pertimbangan medis dapat diberikan secara akurat dan obyektif. Berdasarkan uraian Anda yang mengatakan bahwa kecelakaan kerja tersebut mengakibatkan anggota tubuhnya hilang, maka kecelakaan kerja tersebut merupakan kecelakaan kerja yang mengakibatkan cacat sebagian. Atas cacat sebagian tersebut, pekerja berhak untuk mendapatkan santunan yaitu santunan cacat sebagian (Cacat Anatomis) untuk selamanya. Santunan cacat sebagian (Cacat Anatomis) untuk selamanya yaitu santunan yang diberikan kepada tenaga kerja apabila akibat dari kecelakaan kerja, tenaga kerja mengalami cacat sebagian di mana bagian dari anggota tubuhnya hilang. Santunan cacat sebagian dibayar sekaligus dengan besarnya adalah % (persentase) sesuai tabel x 80 (delapan puluh) bulan upah . Tabel persentase santunan yang diberikan dapat dilihat dalam tabel lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja ; 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 609 Tahun 2012 Tentang Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja. cacat" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya tentang apakah ada aturan yang mengharuskan tamu 1 x 24 jam wajib lapor ke ketua RT? Tolong dijelaskan dengan jelas. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, penting untuk diketahui bahwa berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf a Permendagri 18/2018, Rukun Tetangga (“RT”) merupakan salah satu jenis lembaga kemasyarakatan desa (“LKD”). Yang dimaksud dengan LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra pemerintah desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat desa.[1]\nPembentukan LKD ini diprakarsai oleh pemerintah desa dan masyarakat.[2] Dalam pembentukannya LKD, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:[3]\n\nBerdasarkan pancasila dan UUD 1945;Berkedudukan di desa setempat;Keberadaannya bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat desa;Memiliki kepengurusan yang tetap;Memiliki sekretariat yang bersifat tetap; danTidak berafiliasi kepada partai politik.\n\nAdapun tugas LKD adalah untuk:[4]\n\nMelakukan pemberdayaan masyarakat desa;Ikut serta dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan; danMeningkatkan pelayanan masyarakat desa.\nDalam melaksanakan tugasnya tersebut, LKD memiliki fungsi untuk:[5]\n\nMenampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat;Menanamkan dan memupuk rasa persatuan dan kesatuan masyarakat;Meningkatkan kualitas dan mempercepat pelayanan pemerintah desa kepada masyarakat desa;Menyusun rencana, melaksanakan, mengendalikan, melestarikan, dan mengembangkan hasil pembangunan secara partisipatif;Menumbuhkan, mengembangkan, dan menggerakkan Prakarsa, partisipasi, swadaya, serta gotong royong masyarakat;Meningkatkan kesejahteraan keluarga; danMeningkatkan kualitas sumber daya manusia.\n\nSelain itu, RT secara spesifik memiliki tugas untuk:[6]\n\nMembantu kepala desa dalam bidang pelayanan pemerintahan;Membantu kepala desa dalam menyediakan data kependudukan dan perizinan; danMelaksanakan tugas lain yang diberikan oleh kepala desa.\n\nWalaupun dalam Permendagri 18/2018 tidak diatur secara spesifik mengenai tamu 1 x 24 jam wajib lapor, akan tetapi, menurut hemat kami, tamu wajib lapor 1 x 24 jam dapat digolongkan sebagai bentuk pelaksanaan RT atas tugas lain yang diberikan oleh kepala desa.\nAturan Tamu 1 x 24 Jam Wajib Lapor\n\nSepanjang penelusuran kami, aturan yang secara khusus mengatur tamu wajib lapor 1x24 jam kepada Ketua RT ini dituangkan dalam peraturan daerah setempat. Sebagai contoh, dalam lingkungan provinsi DKI Jakarta aturan tersebut tercantum dalam Pergub DKI Jakarta 22/2022.\n\nAdapun pasal yang di dalamnya mengatur tentang tamu wajib lapor adalah Pasal 13 ayat (3)Pergub DKI Jakarta 22/2022 yang berbunyi:\n\nOrang yang bertamu untuk bermalam/menginap wajib memberitahukan kepada Ketua RT setempat dalam waktu paling lambat 1 x 24 jam.\n\nSelain itu, terdapat juga contoh lain mengenai peraturan daerah yang mengatur tamu 1 x 24 wajib lapor yaitu Perda Kab. Lumajang 9/2007. Dalam Perda ini, diatur bahwa yang dimaksud dengan wajib lapor tamu/pendatang lebih 1 x 24 jam adalah kewajiban untuk melaporkan diri atas kedatangan atau kunjungan jangka waktu terbatas lebih dari 1 x 24 jam dalam wilayah Kabupaten Lumajang.[7]\n\nAdapun, Pasal 2 Perda Kab. Lumajang 9/2007 secara spesifik mengatur bahwa setiap tamu/pendatang baik Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang bertempat tinggal tetap di luar Kabupaten Lumajang yang datang atau berkunjung untuk jangka waktu terbatas lebih dari 1 x 24 jam dalam wilayah Kabupaten Lumajang dikenakan ketentuan wajib lapor tamu/pendatang. Mengenai wajib lapor tamu/pendatang ini disampaikan kepada kepala desa/lurah melalui RT/RW/Lingkungan setempat disertai dengan alasan kedatangan di Kabupaten Lumajang.[8]\n\nSelanjutnya, jika terjadi pelanggaran terhadap Pasal 2 Perda Kab. Lumajang 9/2007, maka diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp50 juta.[9]\n\nDari penjelasan di atas, menurut hemat kami mengenai pengaturan tamu 1 x 24 jam wajib lapor secara khusus diatur secara spesifik di dalam peraturan daerah masing-masing tempat. Adapun, dalam Permendagri 18/2018 hanya diatur secara umum mengenai tugas dan fungsi dari RT.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b18c2f508309/nprt/lt511c7d2042243/peraturan-menteri-dalam-negeri-nomor-18-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendagri_18_2018)\n2. [Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2007 tentang Wajib Lapor Tamu/Pendatang Lebih 1 x 24 Jam Dalam Wilayah Kabupaten Lumajang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/pd35089200701/peraturan-daerah-kabupaten-lumajang-nomor-9-tahun-2007/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perda_lumajang_9_2007)\n3. [Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 22 Tahun 2022 tentang Rukun Tetangga dan Rukun Warga](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6295fea7ded24/peraturan-gubernur-dki-jakarta-nomor-22-tahun-2022/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pergub_dki_22_2022)\n[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (“Permendagri 18/2018”)\n\n[2] Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018\n\n[3] Pasal 3 ayat (2) Permendagri 18/2018\n\n[4] Pasal 4 ayat (1) Permendagri 18/2018\n\n[5] Pasal 5 Permendagri 18/2018\n\n[6] Pasal 7 ayat (1) Permendagri 18/2018\n\n[7] Pasal 1 angka 15 Peraturan Daerah Kabupaten Lumajang Nomor 9 Tahun 2007 tentang Wajib Lapor Tamu/Pendatang Lebih 1 x 24 Jam Dalam Wilayah Kabupaten Lumajang (“Perda Kab. Lumajang 9/2007”)\n\n[8] Pasal 3 Perda Kab. Lumajang 9/2007\n\n[9] Pasal 13 Perda Kab. Lumajang 9/2007" }
{ "from": "human", "value": "Adakah peraturan yang mengatur tentang uang transportasi untuk pekerja? Salahkah jika pekerja meminta uang transport ke perusahaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya kami mengasumsikan uang transportasi yang Anda maksud adalah tunjangan yang diberikan perusahaan kepada pekerja untuk meringankan biaya perjalanan yang dikeluarkan pekerja dari dan ke luar kantor.\nApakah perusahaan wajib memberikan uang transportasi? Sepanjang penelusuran kami, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur seputar biaya atau uang operasional transportasi yang pekerja keluarkan. Hal itu dikembalikan lagi kepada Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (“PP”), atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) antara pekerja dengan pengusaha. Misalnya diatur apakah uang transportasi yang dikeluarkan oleh pekerja akan digantikan nantinya dengan sistem reimburse oleh perusahaan.\n\nAdapun satu-satunya dasar hukum yang berkaitan dengan adanya uang transportasi ini adalah Angka 1 huruf c SE Menaker SE-07/MEN/1990 yang memasukkan tunjangan transportasi ke dalam kategori tunjangan tidak tetap, dengan bunyi selengkapnya sebagai berikut:\nTunjangan Tidak Tetap adalah suatu pembayaran secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan pekerja, yang diberikan secara tidak tetap untuk pekerja dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran upah pokok, seperti Tunjangan Transport yang didasarkan pada kehadiran, Tunjangan Makan dapat dimasukkan ke dalam tunjangan tidak tetap apabila tunjangan tersebut diberikan atas dasar kehadiran (pemberian tunjangan biasa dalam bentuk uang atau fasilitas makan).\n\nLantas, bagaimana cara menghitung uang transport? Sebenarnya nominal uang transportasi dapat saja dibayarkan berbeda-beda setiap bulannya, misalnya tergantung pada jumlah kehadiran pekerja. Namun demikian, perusahaan tetap wajib membayar tunjangan transportasi jika memang sudah diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB.\n\nOleh karena tidak diatur dalam secara normatif, melainkan dalam perjanjian kerja, PP atau PKB, maka apabila ada perselisihan mengenai pembayaran uang transport, diselesaikan melalui perselisihan hubungan industrial.\nContoh Kasus\nMerujuk pada contoh kasus yang disarikan oleh penulis sebelumnya, Putusan PHI Surabaya No. 75/G/2013/PHI.Sby. Dalam putusan ini diuraikan masalah kenaikan skala upah, tunjangan uang makan dan tunjangan uang transport yang diminta pekerja kepada pengusaha. Sebelumnya pekerja dan pengusaha telah merundingkan masalah ini secara bipartit dan juga dilakukan mediasi namun tidak ada titik temu, maka berdasarkan hal tersebut kemudian para pekerja mengajukan perselisihan tersebut ke pengadilan.\n\nPara pekerja bertindak selaku para penggugat dan pengusaha selaku tergugat. Salah satu permintaan penggugat ke pengadilan adalah adanya kenaikan upah, tunjangan makan, dan uang transport. Majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa tuntutan tersebut belum dianggap cukup mendesak dan oleh karenanya tuntutan tersebut harus ditolak.\n\nDari contoh putusan di atas terlihat bahwa tuntutan kenaikan uang transport bukanlah sebuah tuntutan hak normatif, sehingga perselisihan yang timbul karenanya adalah merupakan perselisihan kepentingan.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor SE-07/MEN/1990 tentang Pengelompokan Komponen Upah dan Pendapatan Non Upah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/626/se-menteri-tenaga-kerja-no-se-07_men_1990-tahun-1990-pengelompokan-komponen-upah-dan-pendapatan-non-upah?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=menaker_7_1990)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Hubungan Industrial Surabaya Nomor 75/G/2013/PHI.Sby." }
{ "from": "human", "value": "Saya tinggal di kota Genteng. Sebagai generasi muda yang baru datang merantau, saya begitu kaget karena kota kecil saya Genteng Banyuwangi berkembang dengan pesat tetapi di samping itu saya melihat banyak sekali peternakan walet dan sriti di tengah-tengah perkotaan. Yang saya khawatirkan adalah dampak negatif dari peternakan itu. Saking banyaknya pembangunan dan perubahan fungsi tempat tinggal, rumah menjadi sarang burung sriti dan walet. Saya khawatir dan takut akan merusak ekosistem kota kelahiran saya ini dan juga jika terjadi hal-hal tidak diinginkan seperti penyebaran virus-virus (flu burung) akan menambah masalah pada penduduk sekitarnya. Memang sempat saya dengar terjadi beberapa demontrasi atas ini, tetapi begitu pengusaha walet atau sriti turun dan menyelesaikannya dengan musyawarah uang, maka demonstranpun membatalkan protesnya. Tetapi saya sebagai generasi muda dan melihat banyak kerugian yang timbul tidak dapat berbuat banyak. Apa yang mesti saya lakukan? Adakah hukum yang melindungi saya jika saya mengajukan protes? Dan dasar-dasar hukum apa saja yang bisa saya gunakan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H. dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh M. Charlie Meidino Albajili, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 07 Juni 2018 . Intisari : Usaha peternakan yang Anda permasalahkan di kota Banyuwangi secara umum dapat meliputi perusahaan peternakan maupun usaha peternakan rakyat . Anda mengkhawatirkan adanya potensi perubahan ekosistem dan juga potensi menyebarnya virus-virus dari hewan ternak yang berpotensi merugikan masyarakat. Mengenai hal ini, sebagai konsekuensi dari pemberian izin, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap usaha peternakan di wilayahnya. Pemerintah Daerah dapat mencabut Izin Usaha Peternakan apabila pengusaha melakukan beberapa tindakan antara lain: Melakukan pemindahan lokasi kegiatan peternakan tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin; Melakukan perluasan tanpa memiliki Izin Perluasan dari pejabat yang berwenang pemberi izin; Tidak melaksanakan pencegahan, pemberantasan penyakit hewan menular serta keselamatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan tentang Usaha Peternakan Secara Umum Jika mencermati pertanyaan Anda, maka permasalahan hukum yang Anda bahas cukup luas dan tidak menyasar pada satu jenis usaha peternakan tertentu. Sedangkan terdapat perbedaan jenis usaha peternakan yang juga mengakibatkan perbedaan konsekuensi hukum bagi pelaksanaannya. Untuk itu, sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu pengaturan mengenai usaha peternakan secara umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU Peternakan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor  18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (“UU 41/2014”) . Pasal 1 angka 16 UU 41/2014 berbunyi: Usaha di bidang Peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produk dan jasa yang menunjang usaha budi daya ternak. Jenis usaha ini kemudian dibedakan menjadi: [1] perusahaan peternakan yang berskala besar dan peternakan rakyat yang berskala lebih kecil. Kedua jenis usaha tersebut memiliki persyaratan berbeda yang diatur dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan (“Kepmentan 404/2002”) . Untuk perusahaan peternakan, pengusaha wajib memiliki persetujuan prinsip, sebagai berikut: [2] Persetujuan Prinsip diberikan kepada pemohon izin usaha peternakan untuk dapat melakukan kegiatan persiapan fisik dan administrasi termasuk perizinan terkait antara lain Izin Lokasi/HGU/sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Tempat Usaha/HO, Izin Tenaga Kerja Asing, Izin Pemasangan Instalasi serta peralatan yang diperlukan, serta membuat Upaya Kelestarian Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL/UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perlu diperhatikan bahwa izin gangguan/HO sudah tidak diperlukan lagi berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah (“Permendagri 19/2017”) . Perlu diketahui bahwa setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan usaha peternakan wajib memiliki izin usaha yang diberikan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya sesuai kewenangannya. [3] Dalam hal ini, izin usaha tentu tidak dapat diberikan apabila persetujuan prinsip belum diperoleh. [4] Dalam perkembangannya, diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP 24/2018”) . Usaha peternakan yang termasuk ke dalam sektor pertanian, nyatanya memang menjadi sektor yang diatur dalam PP 24/2018 ini . [5] Sebelum pembahasan selanjutnya, perlu diketahui dulu definisi dari Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (”OSS”) adalah: [6] Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. Melihat ke dalam Pasal 32 PP 24/2018 , disebutkan bahwa: Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum memiliki atau menguasai prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf b, setelah Lembaga OSS menerbitkan: Izin Lokasi; Izin Lokasi Perairan; Izin Lingkungan; dan/atau IMB, berdasarkan Komitmen. Dalam hal pemberian izin lokasi, pemerintah daerah juga harus merujuk pada Peraturan Daerah Mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah. Mengenai izin lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS ini, terdapat komitmen yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam kasus Anda, yaitu dengan melengkapi UKL-UPL. [7] Pelaku usaha melalui Lembaga OSS mengajukan UKL-UPL kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan izin lingkungan. [8] Sedangkan untuk usaha peternakan rakyat yang berskala kecil tidak diwajibkan mengurus izin usaha melainkan hanya perlu mengurus Tanda Pendaftaran Peternakan Rakyat yang memiliki kedudukan sederajat dengan izin usaha peternakan. [9] Aturan tentang Usaha Peternakan di Banyuwangi Di Banyuwangi, peternakan walet yang kurang dari 10.000 ekor masuk ke dalam kategori peternakan rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pendaftaran Usaha Peternakan Rakyat (“Perda Banyuwangi 6/1994”) . [10] Dalam ketentuan tersebut, untuk mengurus pendaftaran peternakan rakyat, pengusaha hanya perlu mendapatkan persetujuan dari tetangga. Namun, berdasarkan Pasal 1 angka 108 Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pencabutan Seratus Lima Puluh Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi , Perda Banyuwangi 6/1994 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi . Jika melihat penjelasan tersebut, maka dapat terlihat bahwa usaha peternakan yang Anda permasalahkan di kota Banyuwangi secara umum dapat meliputi perusahaan peternakan maupun usaha peternakan rakyat. Upaya Hukum Terkait Dampak Peternakan yang Berpotensi Merugikan Masyarakat Dalam pertanyaan yang Anda sampaikan, Anda mengkhawatirkan adanya potensi perubahan ekosistem dan juga potensi menyebarnya virus-virus dari hewan ternak yang berpotensi merugikan masyarakat. Mengenai hal ini, sebagai konsekuensi dari pemberian izin, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap usaha peternakan di wilayahnya. Pengawasan ini dapat dilakukan secara langsung (bimbingan dan pengawasan lapangan) maupun tidak langsung yang dilakukan melalui kewajiban pengusaha untuk membuat laporan setiap 6 (enam bulan) sekali. [11] Pemerintah Daerah dapat mencabut Izin Usaha Peternakan apabila pengusaha melakukan beberapa tindakan berikut: [12] Tidak melakukan kegiatan peternakan secara nyata dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dikeluarkannya Izin Usaha Peternakan atau menghentikan kegiatannya selama 1(satu) tahun berturut-turut; Melakukan pemindahan lokasi kegiatan peternakan tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin; Melakukan perluasan tanpa memiliki Izin Perluasan dari pejabat yang berwenang pemberi izin ; Tidak menyampaikan laporan kegiatan usaha peternakan 3 (tiga) kali berturut-turut; Memindah tangankan pemberian izin kepada pihak lain tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pemberi izin; Diserahkan kembali oleh pemegang Izin kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk olehnya; Tidak melaksanakan pencegahan, pemberantasan penyakit hewan menular serta keselamatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [13] Di Banyuwangi, Anda dapat melaporkan temuan-temuan mengenai pelanggaran di atas kepada Dinas Pertanian khususnya pada Bidang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner serta Bidang Budidaya, Kelembagaan dan Usaha Peternakan. Upaya pengaduan tersebut cukup sesuai dengan permasalahan yang Anda ajukan mengingat kasusnya sangat umum dan tidak spesifik. Upaya ini merupakan wujud partisipasi aktif warga mendorong pengawasan yang lebih ketat oleh pemerintah daerah. Akan lebih baik jika Anda melakukan penelusuran terlebih dahulu mengenai pelanggaran-pelanggaran dan kerugian-kerugian riil yang dialami warga untuk menguatkan laporan Anda. Jika memang terbukti, Anda bisa meminta izin usaha peternakan pengusaha tersebut dicabut. Dalam hal Anda menemukan terdapat usaha yang tidak mengantongi izin usaha, Anda dapat meminta pemerintah daerah menutup usaha ilegal tersebut. Anda juga dapat melihat Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 8 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi Tahun 2012-2032 untuk memastikan wilayah-wilayah yang ditetapkan pemerintah kabupaten Banyuwangi sebagai wilayah peternakan yang mana menentukan keabsahan pemberian izin lokasi untuk perusahaan peternakan yang berskala besar. Jika memang Anda dapat menemukan pelanggaran yang nyata oleh pelaku usaha peternakan di wilayah Anda yang mengakibatkan kerugian langsung pada Anda, Anda juga dapat melayangkan gugatan pada pengusaha/ pemilik hewan ternak atas dasar Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1368 Kitab Undang Undang Hukum Perdata . Penjelasan lebih lenjut mengenai Perbuatan Melawan Hukum ini telah dibahas dalam artikel Ini Akibat Hukum Jika Membangun Peternakan Ayam di Lingkungan Rumah dan Hati-hati, Bangun Peternakan di Lingkungan Rumah Bisa Berakibat Hukum . Perlindungan Hukum dalam Melakukan Demonstrasi Niat Anda untuk melayangkan protes tentu saja baik dan dilindungi oleh hukum. Protes sebagaimana yang Anda jelaskan adalah bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan yang dijamin dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (“PP Partisipasi Publik”) . Pasal 3 huruf b PP Partisipasi Publik menjamin hak partisipasi masyarakat termasuk untuk melakukan penyampaian aspirasi. Protes merupakan hak dasar yang fundamental dalam suatu negara demokrasi. Hak ini dilindungi dalam Pasal 28E ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Hak ini juga dilindungi dalam Pasal 23 ayat (2) Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Penyampaian aspirasi atau pendapat di muka umum dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi pun dilindungi melalui Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU Penyampaian Pendapat”) . [14] Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Penyampaian Pendapat disebutkan: Setiap warga negara, secara perorangan atau kelompok, bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Tentu saja kebebasan menyampaikan pendapat tersebut dilindungi sepanjang sepanjang dilakukan dengan: [15] menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain; menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum; menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; menjaga dan menghonnati keamanan dan ketertiban umum; dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Anda dapat melakukan demonstrasi di lokasi manapun kecuali di lokasi-lokasi berikut ini: [16] di lingkungan istana kepresidenan, tempat ibadah. instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api. terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional; pada hari besar nasional. Adapun yang perlu Anda persiapkan sebelum melakukan demonstrasi adalah Anda wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada kepolisian selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. [17] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang Undang Dasar 1945 Kitab Undang Undang Hukum Perdata Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor  18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pencabutan Seratus Lima Puluh Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan di Daerah Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan [1] Bagian I huruf d Nomor 2) dan 3) Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor 404/Kpts/OT.210/6/2002 tentang Pedoman Perizinan dan Pendaftaran Usaha Peternakan (“Kepmentan 404/2002”) [2] Bagian II angka 1 huruf a Lampiran Kepmentan 404/2002 [3] Bagian II angka 2 huruf a Kepmentan 404/2002 [4] Bagian II angka 2 huruf b Kepmentan 404/2002 [5] Pasal 85 huruf b PP 24/2018 [6] Pasal 1 angka 5 PP 24/2018 [7] Pasal 50 PP 24/2018 [8] Pasal 52 ayat (1) PP 24/2018 [9] Bagian V huruf b dan d Lampiran Kepmentan 404/2002 [10] Pasal 6 Perda Banyuwangi 6/1994 [11] Bagian VIII Lampiran Kepmentan 404/2002 [12] Bagian IV Lampiran Kepmentan 404/2002 [13] Bagian IV Lampiran Kepmentan 404/2002 [14] Pasal 9 ayat (1) huruf a UU Penyampaian Pendapat [15] Pasal 6 UU Penyampaian Pendapat [16] Pasal 9 ayat (2) UU Penyampaian Pendapat [17] Pasal 10 ayat (1) dan (3) UU Penyampaian Pendapat hewan flu burung hukumonline persaingan usaha google hunian agrobisnis hukum klinik investasi klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Sekarang 3 in 1 di Jakarta kan sudah tidak berlaku, lalu apakah sudah dibolehkan menggunakan kaca film gelap? Apakah ada aturan maksimum kaca film mobil yang dibolehkan? Saya juga berencana untuk memasang sticker one way pada bagian belakang mobil, apakah ini dibolehkan? (kaca film kurang gelap kerap sekali membuat penjahat bisa melihat isi kendaraan, seperti letak handbag, letak handphone, bahkan memudahkan mereka untuk melihat identitas etnis tertentu)." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apakah Mengubah Warna Termasuk Modifikasi Kendaraan Bermotor? 10 Des 2015 Sanksi Jika Sepeda Motor Berteduh di Bawah Flyover 30 Nov 2015 Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil 25 Jun 2015 Tidak Memasang Pelat Nomor di Bagian Depan Kendaraan 06 Mei 2015 Intisari: Salah satu syarat kaca kendaraan bermotor yaitu memiliki ukuran dan tingkat kegelapan tertentu. Penembusan cahaya pada kaca berwarna atau kaca berlapis bahan berwarna ( film coating ) sebuah kendaraan tidak boleh kurang dari 70 %. Kaca depan dan atau kaca belakang boleh digunakan kaca berwarna atau kaca yang berlapis bahan pewarna ( film coating ) dengan prosentase penembusan cahaya tidak kurang dari 40% sepanjang sisi atas (bagian kaca) yang lebarnya tidak lebih dari sepertiga tinggi kaca yang bersangkutan. Selain itu juga dilarang menempelkan sesuatu pada kaca kendaraan, kecuali untuk kepentingan pemerintah, yang penempatannya tidak boleh mengganggu kebebasan pandangan pengemudi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Persyaratan Teknis dan Laik Jalan Kendaraan Bermotor Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) , setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. [1] Meskipun aturan 3 in 1 sudah dihapus di Jakarta, aturan tentang tingkat kegelapan kaca kendaraan bermotor tetap berlaku. Hal ini terkait persyaratan teknis kendaraan. Persyaratan teknis terdiri atas: [2] a. susunan; b. perlengkapan; c. ukuran; d. karoseri ; e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya; f. pemuatan; g. penggunaan; h. penggandengan Kendaraan Bermotor; dan/atau i. penempelan Kendaraan Bermotor. Yang dimaksud dengan \" karoseri \" adalah badan kendaraan, antara lain kaca-kaca , pintu, engsel, tempat duduk, tempat pemasangan tanda nomor Kendaraan Bermotor, tempat keluar darurat (khusus mobil bus), tangga (khusus mobil bus), dan perisai kolong (khusus mobil barang). [3] Persyaratan Kaca Kendaraan Bermotor Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”) disebutkan bahwa kaca terdiri atas kaca depan, kaca belakang, dan jendela Kendaraan Bermotor dan Kereta Gandengan. [4] Kaca tersebut harus memenuhi persyaratan: [5] a. tahan goresan; b. bening dan tidak mudah pudar; c. tidak membahayakan apabila kaca pecah; dan d. tidak mengganggu penglihatan pengemudi. Selain itu, kaca juga mempunyai tingkat kegelapan tertentu . [6] Tingkat Kegelapan Kaca Kendaraan Bermotor UU LLAJ maupun PP 55/2012 tidak mengatur secara eksplisit mengenai tingkat kegelapan kaca kendaran bermotor yang dibolehkan. Namun, menurut sebuah info Newsletter yang kami akses dari laman Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (hal. 17), mengacu pada Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 439/U/Phb-76 tentang Penggunaan Kaca Pada Kendaraan Bermotor , dinyatakan antara lain bahwa: 1. Kendaraan-kendaraan bermotor yang diperlengkapi dengan kaca depan, kaca belakang, dan atau kaca samping, kaca-kaca tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah pecah, tembus pandangan dari dua arah (sangat bening) dan tidak boleh mengubah serta mengganggu bentuk-bentuk orang atau benda-benda yang terlihat melalui kaca tersebut; 2. Tanpa mengurangi maksud ketentuan poin 1, boleh dipergunakan kaca berwarna atau kaca yang berlapis bahan berwarna ( fim coating ), asal dapat tembus cahaya dengan prosentase penembusan cahaya tidak kurang dari 70%; 3. Tanpa mengurangi maksud ketentuan poin 1 dan 2, kaca depan dan atau kaca belakang boleh dipergunakan kaca berwarna atau kaca yang berlapis bahan pewarna ( film coating ) dengan prosentase penembusan cahaya tidak kurang dari 40% sepanjang sisi atas (bagian kaca) yang lebarnya tidak lebih dari sepertiga tinggi kaca yang bersangkutan; 4. Penggunaan bahan-bahan untuk lapisan berwarna pada kaca-kaca sebagaimana dimaksud dalam poin 2 dan 3 tidak menimbulkan pemantulan-pemantulan cahaya-cahaya baru, selain pantulan-pantulan cahaya yang biasa terdapat pada kaca-kaca bening; 5. Dilarang menempelkan atau menempatkan sesuatu pada kaca-kaca kendaraan bermotor , kecuali jika hal itu dimaksud untuk kepentingan pemerintah, yang penempatannya tidak boleh mengganggu kebebasan pandangan pengemudi; 6. Yang dimaksud dengan prosentase penembusan cahaya adalah: angka yang menunjukkan perbandingan antara jumlah cahaya setelah menembus kaca tembus pandangan dan jumlah cahaya sebelum menembus kaca yang bersangkutan. Jadi, sebuah kaca kendaraan memiliki syarat dan standar tertentu. Berdasarkan penjelasan di atas, penembusan cahaya pada kaca berwarna atau kaca berlapis bahan berwarna ( film coating ) sebuah kendaraan tidak boleh kurang dari 70 %. Namun, pada kaca depan dan atau kaca belakang kendaraan boleh digunakan kaca berwarna atau kaca yang berlapis bahan pewarna ( film coating ) dengan prosentase penembusan cahaya tidak kurang dari 40% sepanjang sisi atas (bagian kaca) yang lebarnya tidak lebih dari sepertiga tinggi kaca yang bersangkutan. Pemasangan Stiker Soal pemasangan stiker pada bagian kaca mobil, sebagaimana dijelaskan di atas, pada dasarnya dilarang menempelkan sesuatu pada kaca kendaraan, kecuali untuk kepentingan pemerintah, yang penempatannya tidak boleh mengganggu kebebasan pandangan pengemudi. Sebagai referensi, terkait pemasangan stiker pada badan mobil Anda dapat membaca artikel Agar Tidak Melanggar Hukum Saat Memasang Stiker Mobil . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan ; 3. Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 439/U/Phb-76 tentang Penggunaan Kaca Pada Kendaraan Bermotor. REFERENSI:\n1. Direktorat Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan , diakses pada 9 Januari 2017 pukul 16.40 WIB [1] Pasal 48 ayat (1) UU LLAJ [2] Pasal 48 ayat (2) UU LLAJ [3] Penjelasan Pasal 48 ayat (2) huruf d UU LLAJ jo. Pasal 58 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP 55/2012”) [4] Pasal 58 ayat (3) PP 55/2012 [5] Pasal 58 ayat (4) PP 55/2012 [6] Pasal 58 ayat (5) PP 55/2012 hukumonline kendaraan bermotor google hukum klinik lalu lintas klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, apakah upaya pemanggilan paksa oleh DPR sesuai dengan Pasal 73 UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 merupakan bentuk dari hak angket? Sekian dan terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana yang diatur dalam P asal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 17/2014”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 42/2014”) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 2/2018”) jo. P asal 4 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib (“Peraturan DPR 1/2014”) . Kemudian dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam P asal 79 ayat (1) UU 17 / 2014 jo. P asal 164 ayat (1) Peraturan DPR 1/2014 . Hal tersebut merupakan amanah dari Pasal 20A ayat (1) dan a yat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) . Terkait dengan pemanggilan paksa yang diatur dalam P asal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 , nyatanya sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yakni Mahkamah Konstitusi (“MK”) menganggap ayat-ayat tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga ayat-ayat tersebut sudah dibatalkan berdasarkan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 . Salah satu pertimbangan MK mengenai pasal tersebut bahwa rumusan dalam Pasal 73 tidak disebutkan secara tegas jenis rapat yang dimaksudkan dalam pasal a quo , sehingga tidak jelas identifikasi jenis rapat yang berkorelasi dan relevan atau tidak untuk menghadirkan seseorang dimintai keterangannya oleh DPR. Oleh karena itu dapat dimaknai seolah-olah dalam setiap kegiatan rapat, DPR dapat melakukan pemanggilan seseorang [3.12.1/5]. Kemudian pertimbangan berikutnya bahwa panggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak dalam persidangan DPR dapat dilakukan pada saat DPR sedang melakukan fungsi pengawasan dengan hak angket. Hal ini jelas berbeda dengan norma Pasal 73 ayat (1) UU 2/2018 yang hakikatnya merupakan pemanggilan setiap orang dalam rapat DPR tanpa ada penegasan dalam konteks rapat apa pemanggilan tersebut dilakukan [3.12.1/8]. Pengertian hak angket sebagaimana yang diatur dalam P asal 79 ayat (3) UU 17 / 2014 merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket tersebut dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam P asal 199 UU 17 / 2014 yaitu hak angket tersebut harus diusulkan setidak-tidaknya oleh 25 orang anggota dan lebih dari satu fraksi yang disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit: materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan memuat alasan penyelidikan. Usul tersebut menjadi hak angket DPR jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir. [1] Mengenai aturan lebih rinci lagi dapat dilihat pada P asal 200, 201 , 202 , dan 203 UU 17 / 2014 . Terkait dengan pemanggilan paksa yang berhubungan dengan hak angket, diatur dalam P asal 204 UU 2 / 2018 yang mengatur sebagai berikut: Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang  asing  yang  bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai  keterangan. Warga negara  Indonesia  dan/atau  orang  asing sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) wajib memenuhi  panggilan panitia  angket. Dalam hal warga  negara  Indonesia  dan/atau  orang asing sebagaimana dimaksud  pada ayat  (2)  tidak memenuhi panggilan setelah  dipanggil  3 (tiga)  kali berturut-turut tanpa  alasan  yang  sah, panitia angket  dapat  memanggil secara paksa dengan bantuan  Kepolisian Negara  Republik  Indonesia. Bantuan  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  didasarkan atas permintaan  pimpinan DPR  kepada  Kepala Kepolisian Negara  Republik  Indonesia. Permintaan  Pimpinan  DPR sebagaimana  dimaksud pada  ayat (4) diajukan  secara  tertulis  kepada Kepala Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  yang paling  sedikit  memuat  dasar  dan  alasan pemanggilan  paksa  serta  nama  dan alamat  pihak yang  dipanggil  paksa. Kepala  Kepolisian  Negara Republik Indonesia memerintahkan  Kepala  Kepolisian  Daerah di tempat  domisili  yang  dipanggil paksa sebagaimana dimaksud pada  ayat (3). Dalam  hal  menjalankan panggilan  paksa sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5)  dan  ayat (6), Kepolisian  Negara  Republik Indonesia  dapat menyandera  badan hukum dan/atau  warga masyarakat  paling  lama  15 (lima  belas)  Hari. Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai pemanggilan paksa  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)  dan penyanderaaan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (7) diatur  dengan  Peraturan  Kepolisian  Negara Republik  Indonesia. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pemanggilan paksa yang terdapat dalam rumusan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena sudah dibatalkan oleh MK dengan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Dalam pelaksanaan hak angket, panitia angket tidak serta merta memanggil secara paksa, tetapi harus melalui mekanisme panggilan  3 (tiga)  kali berturut-turut dengan disertai alasan yang tidak sah. Pemanggilan paksa tersebut dilakukan dengan bantuan  Kepolisian Negara Republik  Indonesia. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib Putusan : Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018 . [1] Pasal 199 ayat (3) UU 17/2014 parlemen hukumonline lembaga pemerintah legislatif kenegaraan tata negara hak angket dewan perwakilan rakyat" }
{ "from": "human", "value": "Diatur di mana usia pensiun pegawai negeri sipil (PNS) dan swasta beserta manfaat-manfaat yang akan diterima sehubungan dengan pensiun? Setahu kami, tidak ada peraturan atau undang-undang yang pasti atau jelas tertulis tentang usia pensiun karyawan. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Peraturan usia pensiun bagi karyawan swasta atau pekerja dapat Anda jumpai dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan jo. UU Cipta Kerja. Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan pekerja/buruh mencapai usia pensiun.[1]\n\nMeski demikian, PHK sebenarnya harus dihindari. Jika tidak bisa dihindari, maka maksud dan alasan PHK diberitahukan pengusaha kepada pekerja dan/atau serikat pekerja.[2] Namun patut dicatat, jika pekerja telah mencapai usia pensiun sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka pemberitahuan tersebut tidak diperlukan.[3]\n\nSehingga jika dilihat berdasarkan aturan usia pensiun menurut UU Cipta Kerja yang mengubah UU Ketenagakerjaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa batas usia pensiun pekerja pada dasarnya tidak diatur secara definitif dalam undang-undang, melainkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.\n\nNamun demikian, dalam peraturan tentang penyelenggaraan program jaminan pensiun, Pasal 15 PP 45/2015 menetapkan batas usia pensiun pekerja atau karyawan swasta, dengan aturan sebagai berikut.\n\nUntuk pertama kali usia pensiun ditetapkan 56 tahun.Mulai 1 Januari 2019, usia pensiun menjadi 57 tahun.Usia pensiun selanjutnya bertambah 1 tahun untuk setiap 3 tahun berikutnya sampai mencapai usia pensiun 65 tahun.\n\nMerujuk pada ketentuan di atas, maka pada tahun 2022 usia pensiun adalah 58 tahun. Begitu pula selanjutnya, pada tahun 2025 menjadi 59 tahun hingga seterusnya maksimal usia pensiun mencapai 65 tahun.\n\nSedangkan menurut peraturan tentang penyelenggaraan program jaminan hari tua, PP 46/2015 mengatur manfaat jaminan hari tua dibayarkan salah satunya ketika pekerja telah mencapai usia pensiun. Lebih lanjut, aturan tersebut menyebutkan bahwa manfaat jaminan hari tua dibayarkan ketika pekerja telah memasuki usia 56 tahun.[4]\nBatas Usia Pensiun PNS\n\nSedangkan aturan batas usia pensiun aparatur sipil negara yakni termasuk pegawai negeri sipil (“PNS”) adalah sebagai berikut.[5]\n\n58 tahun bagi pejabat administrasi, pejabat fungsional ahli muda, pejabat fungsional ahli pertama, dan pejabat fungsional keterampilan;60 tahun bagi pejabat pimpinan tinggi dan pejabat fungsional madya; dan65 tahun bagi pejabat fungsional ahli utama.\n\nBaca juga: Memahami Batasan Usia Pensiun Program JHT dan JP\nManfaat Pensiun yang Diterima\nApabila pekerja atau karyawan swasta telah mencapai usia pensiun, pada dasarnya terdapat dua jaminan sosial yang dapat diterima pekerja yaitu jaminan hari tua (“JHT”) dan jaminan pensiun (“JP”).\n\nDisarikan dari artikel Perbedaan Jaminan Hari Tua dengan Jaminan Pensiun, JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Sedangkan, JP adalah berupa uang tunai yang dibayarkan setiap bulan ketika pekerja telah memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.\n\nAdapun, terhadap JHT dan JP ini, pemberi kerja wajib mendaftarkan karyawan atau pekerjanya untuk menjadi peserta keduanya kepada BPJS Ketenagakerjaan.[6]\n\nJaminan Pensiun\nPada program JP, terdapat 5 manfaat pensiun, yaitu pensiun hari tua, pensiun cacat, pensiun janda/duda, pensiun anak atau pensiun orang tua.[7] Untuk menyederhanakan jawaban, kami akan membahas mengenai pensiun hari tua yang juga berhubungan dengan usia pensiun sebagaimana ditanyakan.\n\nManfaat pensiun hari tua diterima peserta yang telah mencapai usia pensiun dan telah memiliki masa iur minimal 15 tahun atau 180 bulan dan dihitung sejak tanggal 1 bulan berikutnya setelah pekerja mencapai usia pensiun.[8]\n\nAdapun besaran manfaat pensiun untuk pertama kali ditetapkan minimal sebesar Rp300 ribu dan paling banyak sebesar Rp3,6 juta. Besaran manfaat pensiun tersebut, setiap tahunnya disesuaikan berdasarkan tingkat inflasi umum tahun sebelumnya.[9]\n\nPenghitungan manfaat pensiun pada satu tahun pertama yaitu dihitung berdasarkan formula manfaat pensiun dan satu tahun berikutnya dihitung sebesar manfaat pensiun tahun sebelumnya dikali faktor indeksasi.[10]\n\nPembayaran iuran JP ini adalah sebesar 3% dari upah per bulan dengan ketentuan 2% ditanggung oleh pemberi kerja dan 1% ditanggung peserta.[11]\nJaminan Hari Tua\n\nJHT pekerja yang telah memasuki usia pensiun atau berusia 56 tahun adalah sebesar nilai akumulasi seluruh iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang tercatat di rekening masing-masing pekerja dan dibayarkan secara sekaligus.[12]\n\nAdapun iuran JHT adalah sebesar 5,7% dari upah dengan ketentuan 2% ditanggung pekerja dan 3,7% ditanggung pemberi kerja.[13]\n\nPerlu Anda ketahui pula, bahwa selain uang tunai, pekerja yang menjadi peserta JHT juga memperoleh manfaat layanan tambahan berupa fasilitas pembiayaan perumahan dan/atau manfaat lain.[14]\n\nSebagai perbandingan, manfaat pensiun yang diterima ASN adalah berupa pensiun pokok, tunjangan keluarga dan tunjangan pangan yang berlaku bagi PNS.[15] Besaran pensiun pokok PNS ditentukan berdasarkan golongannya. Misalnya, untuk PNS golongan I/a besaran pensiun pokok adalah Rp1,5 juta hingga Rp1,7 juta.[16]\nDemikian jawaban dari kami tentang aturan usia pensiun, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e61de937430/undang-undang-nomor-5-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2014)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt559b63ef91786/peraturan-pemerintah-nomor-45-tahun-2015#?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_45_2015)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt559b653d0d770/peraturan-pemerintah-nomor-46-tahun-2015/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_46_2015)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55d55325449f7?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_60_2015)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5901c6f1d72dc/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-11-tahun-2017?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_11_2017)\n8. [Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e6b3c30cab53?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_17_2020)\n9. [Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2019 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ca72ef839839/peraturan-pemerintah-nomor-18-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_18_2019)\n[1] Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 154A ayat (1) huruf n Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 37 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 38 UU Cipta Kerja yang menambah Pasal 151A huruf c UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (“PP 46/2015”)[5] Pasal 90 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 239 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil[6] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (“PP 45/2015”) dan Pasal 2 ayat (1) PP 46/2015[7] Pasal 16 PP 45 2015[8] Pasal 19 ayat (1) dan (3) PP 45/2015[9] Pasal 18 PP 45/2015[10] Pasal 17 ayat (1) PP 45/2015[11] Pasal 28 ayat (2) dan (3) PP 45/2015[12] Pasal 22 ayat (1), (2) dan (3) PP 46/2015[13] Pasal 16 ayat (1) PP 46/2015[14] Pasal 25 ayat (1) PP 46/2015[15] Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2019 tentang Penetapan Pensiun Pokok Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya (“PP 18/2019”)[16] Lampiran I PP 18/2019" }
{ "from": "human", "value": "Kalau tidak salah, hingga tahun ini, ketentuan tentang wakaf masih merujuk pada UU tahun 1977 yang mendefinisikan benda wakaf hanya terbatas pada tanah (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 28 tahun 1977). Adapun jika merujuk pada hukum islam, benda wakaf tidak hanya terbatas pada tanah milik dan realitas perkembangan zaman menjadi bukti konkrit. Masih relevankah UU Nomor 28 Tahun 1977 tersebut? Kalaupun sudah ada UU baru diatur di pasal berapa dan ayat berapa?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITAhli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah?05 Mar 2021Ketentuan Wakaf Kekayaan Intelektual 26 Nov 2020Bolehkah Mewakafkan Tanah Hanya untuk Sementara Waktu? 12 Nov 2020Bolehkah Sebagian Tanah Wakaf Masjid Dialihkan untuk Jalan?03 Nov 2020\n\nMenurut Badan Wakaf Indonesia, wakaf berasal dari bahasa Arab “waqafa”. Asal kata “wakafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam” di tempat” atau tetap berdiri”.\n\nSedangkan berdasarkan hukum positif di Indonesia, wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.[1]\nJadi, wakaf adalah pemberian harta benda pribadi menjadi kepentingan milik bersama yang manfaatnya bisa dirasakan oleh banyak orang tanpa mengurangi nilai harta orang tersebut.\nManfaat Wakaf\n\nSetidaknya terdapat 3 manfaat dari wakaf:\n\nManfaat religius\nSecara religius memberikan wakaf juga bisa berarti bersedekah. Dalam hal ini berarti pahala sedekah tersebut akan terus mengalir pada pemberi wakaf walaupun wakif sudah meninggal.\n\nMeningkatkan hubungan persaudaraan\n\nPemberi wakaf tersebut bisa membantu banyak orang dari harta yang diwakafkan. Disisi lain, masyarakat juga akan merasa diuntungkan dengan adanya bantuan tersebut. Sehingga juga mengeratkan hubungan persaudaraan.\n\nMembantu kepedulian sosial\n\nManfaat wakaf juga sebagai bentuk untuk membantu kepedulian sosial karena hidup diantara masyarakat.\nTujuan Wakaf\n\nSecara umum, tujuan dari wakaf adalah:\n\nTujuan umum\n\nTujuan umum dari wakaf adalah sebagai fungsi sosial yang mana dengan adanya perbedaan, Allah memberikan kesempatan untuk saling berbagi. Akan tetapi yang paling utama adalah untuk mengeluarkan harta secara tetap dan berkelanjutan menggunakan sistem yang teratur untuk tujuan yang juga jelas.\n\nTujuan khusus\n\nTujuan khusus dengan dilakukannya wakaf adalah untuk melakukan perbuatan baik. Adanya tujuan khusus tersebut juga menjadi dorongan kondisional seperti ketika seseorang ditinggalkan keluarganya dan tidak ada yang bisa mengurus harta bendanya. Sehingga, wakaf bisa dijadikan pilihan.\nRukun Wakaf\n\nRukun wakaf atau unsur wakaf merupakan hal-hal yang harus ada dalam melakukan perbuatan wakaf. Berikut adalah unsur-unsur wakaf yang harus dipenuhi:[2]\n\nWakif;Nazhir;Harta benda wakaf;Ikrar wakaf;Peruntukan harta benda wakaf;Jangka waktu wakaf.\nDasar Hukum Wakaf di Indonesia\n\nSaat ini, wakaf telah diatur dalam suatu undang-undang tersendiri, yakni UU Wakaf dan diatur lebih terperinci di dalam peraturan pelaksananya yaitu PP Wakaf berikut aturan perubahannya.\n\nMeski demikian, Pasal 70 UU Wakaf dan Pasal 60 PP Wakaf menegaskan bahwa semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perwakafan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan UU Wakaf dan PP Wakaf.\n\nSehingga, menjawab pertanyaan Anda, meskipun wakaf sudah diatur secara tersendiri dalam UU Wakaf, tapi ketentuan peraturan perundang-undangan yang terbit sebelum UU Wakaf, seperti dalam Buku III KHI dan PP 28/1977 tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan peraturan yang baru dan/atau tidak bertentangan dengan UU Wakaf dan peraturan pelaksananya.\nJenis Jenis Wakaf\n\nAdapun jenis-jenis wakaf dapat digolongkan menjadi beberapa pembagian berikut ini:\n\nBerdasarkan objeknya\n\nSecara garis besar akan dibagi kembali berdasarkan wakaf ahli dan wakaf khairi. Wakaf ahli adalah yang ditujukan untuk keluarga sendiri sehingga manfaatnya tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Contohnya membiayai pendidikan adik, nafkah sehari-hari dan lainnya. Sedangkan nafkah khairi adalah wakaf yang tujuannya untuk kebutuhan masyarakat umum. Misalnya pemberian tanah untuk masjid, bangunan dan yang lainnya.\n\nBerdasarkan waktu\n\nJika berdasarkan waktu akan dibagi kembali menjadi dua yaitu, muabbad dan mu’aqqot. Untuk muabbad sendiri diberikan tanpa adanya batasan waktu sehingga pemberiannya bisa digunakan selamanya oleh masyarakat. Sedangkan untuk mu’aqqot merupakan pemberian dengan batas waktu. Misalnya bantuan uang konsumsi, makanan dan lainnya. Biasanya akan bersifat konsumtif.\n\nBerdasarkan jenis yang diwakafkan\n\nJika berdasarkan jenis yang diwakafkan akan dibagi menjadi golongan pertama, kedua dan ketiga. Golongan pertama merupakan bentuk benda tidak bergerak yang sulit dipindahkan, seperti masjid, bangunan, dan lainnya. Untuk golongan kedua, adalah wakaf bergerak yang berbentuk barang, seperti surat berharga, air, bibit tanaman, dan lainnya. Terakhir, golongan ketiga merupakan benda bergerak seperti uang yang dalam bentuk tunai atau non tunai.\n\nBerdasarkan pemanfaatannya\n\nJenis yang terakhir adalah berdasarkan pemanfaatannya yang dibagi menjadi wakaf produktif dan tunai. Wakaf produktif merupakan wakaf yang manfaatnya tidak bisa dirasakan secara langsung sehingga perlu dikelola terlebih dulu. Kemudian untuk wakaf tunai, merupakan wakaf yang manfaatnya bisa dirasakan secara langsung. Seperti masjid, kendaraan, uang, dan lainnya.\nHarta Benda Wakaf\n\nHarta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif,[3] yakni pihak yang mewakafkan harta benda miliknya.[4]\n\nPerlu diperhatikan, harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah.[5]\n\nHarta benda wakaf terdiri dari:[6]\n\nbenda tidak bergerak, meliputi:[7]hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada angka 1 di atas;tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.benda bergerak, meliputi:[8]uang;logam atau batu mulia;[9]surat berharga, berupa:[10]saham;surat utang negara;obligasi pada umumnya; dan/atausurat berharga lainnya yang dapat dinilai dengan uang.Kendaraan, berupa:[11]kapal;pesawat terbang;kendaraan bermotor;mesin atau peralatan industri yang tidak tertancap pada bangunan;hak atas kekayaan intelektual, berupa:[12]hak cipta;hak merek;hak paten;hak desain industri;hak rahasia dagang;hak sirkuit terpadu;hak perlindungan varietas tanaman; dan/atauhak lainnya.hak sewa; danbenda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti:[13]hak sewa, hak pakai dan hak pakai hasil atas benda bergerak; atauperikatan, tuntutan atas jumlah uang yang dapat ditagih atas benda bergerak.\n\nDalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi:[14]\n\nsarana dan kegiatan ibadah;sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa;kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/ataukemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.\nCara Melakukan Wakaf\n\nBerikut ini adalah ringkasan cara melakukan wakaf di Indonesia:\n\nPewakaf bertemu nazhir atau penerima\n\nCara melakukan wakaf yang pertama adalah harus ada pertemuan antara pemberi dan penerima wakaf. Selanjutnya pertemuan tersebut juga harus disaksikan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) yang sudah ditunjuk oleh Kementrian Agama.\n\nMengucapkan ikrar\n\nIkrar wakaf akan diucapkan oleh wakif kepada nazhir di hadapan PPAIW. Nantinya ikrar yang sudah diucapkan akan dituliskan kembali oleh PPAIW dalam Akta Ikrar Wakaf (AIW).[15] Pembuatan AIW benda tidak bergerak wajib memenuhi persyaratan dengan menyerahkan dokumen legalitas seperti sertifikat hak atas tanah atau sertifikat satuan rumah susun yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya,[16]\n\nPenyampaian akta pada Kementerian Agama\n\nSetelah itu, pihak PPAIW akan menyampaikan akta tersebut kepada Kementerian Agama dan Badan Wakaf Indonesia. Akta tersebut akan dimuat dalam register umum oleh Badan Wakaf Indonesia.[17]\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, memang benar bahwasanya harta benda wakaf tak hanya terbatas pada tanah milik saja, tetapi juga meliputi benda tidak bergerak dan bergerak lainnya sebagaimana telah kami sebutkan di atas.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20145/undangundang-nomor-41-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_41_2004)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/242/peraturan-pemerintah-nomor-28-tahun-1977/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_28_1977)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26522/peraturan-pemerintah-nomor-42-tahun-2006?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_42_2006)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b48821c76603/peraturan-pemerintah-nomor-25-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_28_2018)\n5. [Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/appendices?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nREFERENSI:\n1. Badan Wakaf Indonesia, diakses pada 30 Maret 2022 pukul 18.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf (“UU Wakaf”)\n\n[2] Pasal 6 UU Wakaf\n\n[3] Pasal 1 angka 5 UU Wakaf\n\n[4] Pasal 1 angka 2 UU Wakaf\n\n[5] Pasal 15 UU Wakaf\n\n[6] Pasal 16 ayat (1) UU Wakaf\n\n[7] Pasal 16 ayat (2) UU Wakaf\n\n[8] Pasal 16 ayat (3) UU Wakaf\n\n[9] Pasal 20 huruf e PP Wakaf\n\n[10] Pasal 21 huruf a PP Wakaf\n\n[11] Pasal 20 huruf a,b,c, dan d PP Wakaf\n\n[12] Pasal 21 huruf b PP Wakaf\n\n[13] Pasal 21 huruf c PP Wakaf\n\n[14] Pasal 22 UU Wakaf\n\n[15] Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Wakaf\n\n[16] Pasal 28 PP Wakaf\n\n[17] Pasal 44 ayat (1) UU Wakaf" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada peraturan waktu kerja shift mengenai maksimal berapa jam untuk 1 shift kerja? Apakah perusahaan perlu melaporkan kepada Disnaker jika menambahkan waktu kerja, yang pada mulanya normal, menjadi shift? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Ketentuan mengenai waktu kerja kini diatur dalam Pasal 81 angka 23 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 UU Ketenagakerjaan.\n\nDalam ketentuan tersebut, setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja[1] yang meliputi:[2]" }