0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Jika kita membeli barang dengan harga wajar dan baru tahu di kemudian hari setelah ada laporan bahwa barang tersebut adalah hasil kejahatan/pencurian, apakah kita bisa dikenakan pasal penadahan? Bagaimana status pembeli yang baru mengetahui barang yang dibeli hasil kejahatan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu diketahui bahwa pada prinsipnya dalam proses jual beli, pembeli yang beriktikad baik (doktrin/asas bona fides) akan dilindungi oleh undang-undang.[1] Namun, perlu diperhatikan lebih lanjut jika ternyata di kemudian hari ada laporan bahwa barang yang dibeli tersebut adalah hasil dari sebuah kejahatan, maka unsur dari “beriktikad baik” tersebut haruslah diuji, yaitu apakah proses-jual beli itu terjadi secara wajar seperti pembeli benar-benar tidak mengetahui dan sama sekali tidak menduga bahwa barang yang dijual belikan adalah hasil kejahatan? Lalu, apakah dengan membeli barang itu untuk memperoleh keuntungan atau tidak?\nTindak Pidana Penadahan\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda, penadahan merupakan tindak pidana pemudahan, sedangkan penadah adalah orang yang menerima barang gelap atau barang curian. Tindak pidana penadahan merupakan delik turunan, artinya harus ada delik pokok yang membuktikan uang/barang tersebut berasal dari tindak pidana. Selain itu, penadahan disebut sebagai tindak pidana pemudahan karena perbuatan menadah itu mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang mungkin tidak akan ia lakukan, seandainya tidak ada orang yang bersedia menerima hasil kejahatan.[2]\n\nAdapun terkait tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku atau Pasal 591 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, sebagai berikut:\nPasal 480 KUHPPasal 591 UU 1/2023Diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu[4]: barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan;barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan.Dipidana karena penadahan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V yaitu Rp500 juta,[5] setiap orang yang:a. membeli, menawarkan, menyewa, menukarkan, menerima jaminan atau gadai, menerima hadiah atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan suatu benda yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana; ataub. menarik keuntungan dari hasil suatu benda, yang diketahui atau patut diduga bahwa benda tersebut diperoleh dari tindak pidana.\n\nAdapun perlu diperhatikan agar suatu pelaku dapat dijerat pasal di atas perlu dilihat apakah perbuatan pembeli memenuhi unsur-unsur tindak pidana penadahan? R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menjelaskan unsur-unsur pasal tindak pidana penadahan sebagai berikut (hal.118):\n\nSesuatu yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya  diartikan sebagai hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari Pasal 480 KUHP.Jenis-jenis perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian:\n\nmembeli, menyewa, dan sebagainya (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan;menjual, menukarkan, menggadaikan, dan sebagainya dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.\n\nElemen penting dari pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan. Melihat pada pasal ini, terdakwa tidak perlu mengetahui dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”.Pembuktian terkait elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga, dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan.Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dan lain-lain.\n\nKemudian, berdasarkan Penjelasan Pasal 591 UU 1/2023, benda dalam ketentuan ini adalah benda yang berasal dari tindak pidana, misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, atau penipuan. tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini disebut dengan tindak pidana proparte dolus proparte culpa.\n\nDengan demikian, apabila pembeli mengetahui sejak awal saat membeli barang itu memang diperoleh karena tindak pidana atau patut merupakan hasil tindak pidana, karena pihak penjual tidak mampu menjelaskan secara gamblang, misalnya, mengapa ia menjual barang tersebut dengan harga sangat murah, kemudian pembeli membelinya, maka pembeli dapat dijerat sesuai Pasal 480 angka 1 KUHP. Karena sebagaimana kami jelaskan, elemen penting pasal ini adalah terdakwa mengetahui atau patut menyangka bahwa barang itu adalah hasil dari tindak pidana.\n\nSebaliknya, apabila pembeli membeli barang dengan keadaan, cara, dan harga yang wajar, kemudian diketahui atau patut diduga bahwa barang yang dibeli adalah barang “terang” dan bukan hasil dari suatu kejahatan/barang gelap, dan pembeli tidak menarik keuntungan dari pembelian itu, menurut hemat kami pembeli dapat terhindar dari ancaman pidana penadahan.\n\nBaca juga: Tidak Tahu Barang yang Dibeli Hasil Curian, Bisakah Dipidana?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. Damario Tanoto dan Aad Nurdin Rusyad. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik atas Jual Beli Hak atas Tanah. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 7, 2022\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.Januri (et.al). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern. Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024\n\n[1] Damario Tanoto dan Aad Nurdin Rusyad. Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Beritikad Baik atas Jual Beli Hak atas Tanah. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 10, No. 7, 2022, hal. 1659[2] Januri (et.al). Aspek Yuridis Penerapan Tindak Pidana Penadahan Pasal 480 Ke-2 KUHP di Era Modern. Audi Et AP: Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 03, No. 01, 2024, hal. 49[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP denda dilipatgandakan menjadi 1000 kali[5] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Konsumen membeli rumah dari developer. Pembayaran konsumen hanya kepada developer, belum dilakukan akad kredit bank. Dalam perjalanan cicilan, terjadi force majeure, di mana konsumen harus menjadi penanggung jawab atas pendidikan keponakannya. Sehingga konsumen mengajukan diri untuk meminta kebijakan developer untuk membatalkan perjanjian. Developer setuju membatalkan, namun perhitungannya hanya 40% yang dikembalikan dengan alasan pajak-pajak, uang tanda jadi dan kebijakan perusahaan.\nSehubungan dengan hal tersebut, mohon dapat dibantu untuk dicarikan:\n\nperaturan kewajiban perusahaan properti untuk mengembalikan uang konsumen dalam hal belum dilakukan akad kredit dan terjadi force majeure; dan\nperaturan pajak yang wajib dibayarkan perusahaan properti.\nkebijakan pemerintah di masa pandemi, relaksasi apa yang diberikan?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITMengenal Apa Itu PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah14 Sep 2023Menghancurkan Bangunan Liar di Lahan Sendiri, Bisa Dipidana?27 Mei 2022Rumah Tak Sesuai Design, Gugat Kontraktor atau Tukang?27 Mei 2022Pembangunan Properti Tak Sesuai Jadwal, DP Boleh Diminta Kembali?22 Feb 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai force majeure. Menurut Subekti sebagaimana dikutip dalam Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian, force majeure atau keadaan memaksa merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.\n\nMasih dari artikel yang sama, unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah:\n\nadanya kejadian yang tidak terduga;adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.\nBaca juga:Nasib Konsumen Saat Terjadi Force Majeure Terhadap Perusahaan\n\nKarena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi yang dapat dianggap sebagai force majeure, untuk mendapatkan kepastian hukum para pihak biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeure dalam perjanjian mereka. Dalam kasus yang Anda tanyakan, kami asumsikan peristiwa yang dialami konsumen telah dicantumkan dalam perjanjian atau setidaknya telah disepakati kedua belah pihak sebagai force majeure.\nDalam kasus Anda, kebijakan force majeure berakibat pada pembatalan perjanjian, yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian dapat ditarik kembali dengan kesepakatan para pihak.\nBatal Beli Rumah karena Force Majeure, Dapatkah Uang Kembali?\n\nAturan pengembalian uang pembeli karena pembatalan jual beli rumah diatur dalam PP 12/2021 yang membedakan jumlah pengembalian uang pembeli ke dalam dua fase, yaitu:\n\nFase Pemasaran\n\nYang dimaksud dengan fase pemasaran adalah fase di mana pelaku pembangunan (developer) memperkenalkan, menawarkan, menentukan harga, dan menyebarluaskan informasi mengenai rumah atau perumahan dan satuan rumah susun atau rumah susun yang dilakukan oleh developer pada saat sebelum atau dalam proses sebelum penandatanganan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”).[1]\nDalam fase ini, apabila pembatalan pembelian rumah dilakukan oleh calon pembeli yang bukan disebabkan oleh kelalaian developer, maka developer mengembalikan pembayaran yang telah diterima kepada calon pembeli dengan dapat memotong paling rendah 20% dari pembayaran yang telah diterimanya ditambah dengan biaya pajak yang telah diperhitungkan.[2]\n\nPembatalan tersebut disampaikan secara tertulis,[3] dan pengembalian pembayaran dilaksanakan paling lambat 30 hari kalender sejak surat pembatalan ditandatangani.[4]\n\nFase PPJB\n\nApabila pembatalan pembelian rumah terjadi setelah penandatanganan PPJB, maka ketentuannya adalah sebagai berikut:\n\nDalam hal pembatalan pembelian rumah terjadi karena kelalaian developer, pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli.[5]Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli paling banyak 10% dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah akibat kelalaian pembeli, keseluruhan pembayaran menjadi hak developer.[6]Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah akibat kelalaian pembeli, developer berhak memotong 10% dari harga transaksi.[7]\n\nSehingga, menjawab pertanyaan pertama Anda, pada dasarnya ketentuan mengenai kewajiban pengembalian uang akibat pembatalan jual beli rumah tergantung pada fase saat pembatalan terjadi dan alasan pembatalan.\n\nNamun perlu Anda pahami, force majeure berbeda dengan kelalaian, karena tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur,[8] maka menurut hemat kami ketentuan PP 12/2021 tidak dapat diberlakukan.\n\nSejauh penelusuran kami, ketentuan pengembalian uang pembeli jika terjadi pembatalan akibat force majeure tidak diatur secara khusus perhitungannya. Oleh karenanya, menurut hemat kami pembatalan harus didasarkan atas ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata, yaitu sesuai kesepakatan para pihak. Dengan kata lain, jumlah uang yang dikembalikan didasarkan kesepakatan bersama.\n\nAdapun belum dilakukannya akad kredit pada dasarnya tidak berpengaruh pada ketentuan pembatalan perjanjian ini.\nPajak yang Dibayarkan Developer\n\nMenjawab pertanyaan kedua Anda, paling tidak terdapat dua macam pajak yang harus dibayarkan oleh developer:\n1. Pajak Penghasilan (“PPh”)\n\nAtas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, terutang PPh yang bersifat final.[9] Besarnya PPh tersebut adalah:\n\nSebesar 2,5% dari jumlah bruto apabila objeknya adalah selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana;1% dari jumlah bruto apabila objeknya adalah rumah sederhana dan rumah susun sederhana;0% jika dilakukan kepada pemerintah, badan usaha milik negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.[10]\n2. Pajak Bumi dan Bangunan (\"PBB-P2”)\n\nPajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“PBB-P2”) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.[11]\n\nAdapun objek dari PBB-P2 adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.[12]\n\nSedangkan, untuk wajib pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.[13]\nRelaksasi Pajak di Masa Pandemi\n\nKemudian menjawab pertanyaan ketiga Anda, kami mengasumsikan relaksasi yang Anda maksud adalah relaksasi perpajakan. Hal ini telah diulas sebelumnya dalam artikel Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi. Namun, dalam artikel ini kami akan menjelaskan lebih lanjut sesuai pertanyaan Anda perihal jual beli properti.\n\nBerdasarkan Pasal 7 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan 6/PMK.010/2022, insentif PPh final dalam bidang usaha jasa konstruksi yang ditanggung pemerintah hanya diberikan kepada wajib pajak penerima program percepatan peningkatan tata guna air irigasi (P3-TGAI). Adapun, jangka waktu pemberian insentif tersebut diberikan pada masa pajak Januari 2022 – Juni 2022.[14]\n\nSelain PPh, bagi pengusaha rumah tapak dan rumah susun, juga bisa mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”) yang ditanggung pemerintah untuk masa pajak Januari 2022 – September 2022. PPN yang ditanggung pemerintah untuk penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun dengan harga jual maksimal Rp2 miliar adalah sebesar 50%, sedangkan untuk harga jual Rp2 miliar sampai Rp5 miliar adalah sebesar 24%.[15]\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang batal beli rumah karena force majeure, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n3. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt61de861d5698c/undang-undang-nomor-1-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2022)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt57ac4259d183a/peraturan-pemerintah-nomor-34-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_34_2016)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032188e9027e/peraturan-pemerintah-nomor-12-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_12_2021)\n6. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt61fa25d54f20f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_3_2022)\n7. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt620352d8b71a8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PMK_6_2022)\n[1] Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman (“PP 12/2021”)\n\n[2] Pasal 22H ayat (3) PP 12/2021\n\n[3] Pasal 22H ayat (5) PP 12/2021\n\n[4] Pasal 22H ayat (6) PP 12/2021\n\n[5] Pasal 22L ayat (2) PP 12/2021\n\n[6] Pasal 22L ayat (3) PP 12/2021\n\n[7] Pasal 22L ayat (4) PP 12/2021\n\n[8] Pasal 1244 dan 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata\n\n[9] Pasal 1 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya (“PP 34/2016”)\n\n[10] Pasal 2 ayat (1) PP 34/2016\n\n[11] Pasal 1 angka 33 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (“UU 1/2022”)\n\n[12] Pasal 38 Ayat (1) UU 1/2022\n\n[13] Pasal 39 Ayat (2) UU 1/2022\n\n[14] Pasal 12 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Keuangan Nomor 3/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019\n\n[15] Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 6/PMK.010/2022 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Rumah Tapak dan Satuan Rumah Susun yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2022" }
{ "from": "human", "value": "Saya membeli rumah susun bersubsidi pemerintah di mana setelah menandatangani PPJB yang mana saya baru mengetahui apabila saya mengundurkan diri untuk pembelian rumah susun, developer memotong 50% dari yang telah saya setorkan. Pada saat penandatanganan PPJB, developer tidak memberi kesempatan kepada konsumen untuk membaca terlebih dahulu isi PPJB, sehingga saya yang awam hukum baru mengetahui apabila ada pasal yang menerangkan mengenai ketentuan itu. Mohon penjelasan berapa persen pihak developer dapat memotong atas pembatalan pembelian rusunami. Terima kasih atas bantuannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa ketentuan pembelian rumah susun bersubsidi pemerintah diatur berdasarkan PP 14/2016 dan perubahannya. Untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan pembangunan dan perolehan rumah melalui program perencanaan pembangunan perumahan secara bertahap dan berkelanjutan. Bantuan yang dimaksud salah satunya berupa subsidi perolehan rumah.[1]\n\nAdapun masyarakat berpenghasilan rendah menurut Pasal 1 angka 37 PP 12/2021 adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah.\nSementara itu, Anda menyebutkan rumah subsidi tersebut merupakan rumah susun umum yang mendapatkan subsidi pembangunan perumahan dari pemerintah pusat dapat dilakukan proses Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) oleh pelaku pembangunan yang memenuhi persyaratan.[2]\n\nPengertian PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.[3]\n\nPPJB tersebut paling sedikit memuat identitas para pihak, uraian objek PPJB, Harga Rumah dan tata cara pembayaran, jaminan pelaku pembangunan, hak dan kewajiban para pihak, waktu serah terima bangunan, pemeliharaan bangunan, penggunaan bangunan, pengalihan hak, pembatalan dan berakhirnya PPJB, dan penyelesaian sengketa.[4]\n\nKemudian patut Anda catat, calon pembeli berhak mempelajari PPJB sebelum ditandatanganinya PPJB dalam jangka waktu paling singkat 7 hari kerja. Selanjutnya PPJB ditandatangani oleh calon pembeli dan pelaku pembangunan yang dibuat di hadapan notaris. Apabila calon pembeli merupakan masyarakat berpenghasilan rendah, honorarium atas jasa hukum notaris ditetapkan sebesar 1% dari harga jual rumah umum yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.[5]\n\nMengingat pula pada prinsipnya PPJB merupakan suatu persetujuan/perjanjian antara para pihak, berlakulah pasal dalam KUH Perdata yakni memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata:\n\nKesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;Suatu pokok persoalan tertentu;Suatu sebab yang tidak terlarang.\n\nOleh karena itu, sepanjang telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka PPJB yang merupakan perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, serta tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.[6]\n\nSehingga menjawab pertanyaan Anda, sudah seharusnya sebelum PPJB ditandatangani, para pihak wajib mengetahui dan memahami secara komprehensif hal-hal yang diatur dalam PPJB tersebut. Sehingga, setelah PPJB disepakati, para pihak mengikatkan diri dan melaksanakan ketentuan PPJB.\nJika Ada Cacat Kehendak dalam PPJB\n\nKami berpendapat, dikarenakan pihak developer tidak memberikan kesempatan atau hak Anda untuk mempelajari PPJB, jika kemudian ditemukan adanya unsur paksaan atau kesesatan, hal ini dapat mengakibatkan kondisi suatu perjanjian menjadi cacat kehendak.\n\nJ. Satrio menerangkan dalam Sepakat dan Permasalahannya: Perjanjian dengan Cacat dalam Kehendak bahwa cacat kehendak pada perjanjian artinya bukan didasarkan atas kehendak (sepakat) yang murni, namun sepakat itu diberikan karena ia keliru, tertekan, tertipu, atau di bawah pengaruh orang lain yang menyalahgunakan keadaan.\nSecara sederhana cacat kehendak adalah tidak sempurnanya kata sepakat, dan perjanjian dibentuk tidak berdasarkan kehendak bebas. Cacat kehendak dapat terjadi karena kesesatan atau kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog). Sehingga, apabila terdapat situasi yang dapat mengarah pada cacat kehendak, PPJB dapat dikatakan melanggar syarat subjektif suatu perjanjian dan mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).\n\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi\nBatal Beli Rusun, Dapatkah Uang Kembali?\n\nDalam hal Anda hendak membatalkan pembelian rumah susun bersubsidi, berikut bunyi ketentuan perihal pengembalian pembayaran:[7]\n\nDalam hal pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan, pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli.Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli paling banyak 10% dari harga transaksi, terjadi pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli, keseluruhan pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan.Dalam hal pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% dari harga transaksi, terjadi pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli, pelaku pembangunan berhak memotong 10% dari harga transaksi.\n\nSehingga, untuk besaran biaya pengembalian atau besaran potongan yang dilakukan oleh developer jika Anda selaku pembeli hendak membatalkan pembelian rumah susun secara normatif haruslah mengacu dan disesuaikan dengan kondisi serta ketentuan Pasal 22L PP 12/2021 di atas.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt57612001edf7e/peraturan-pemerintah-nomor-14-tahun-2016/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_14_2016)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032188e9027e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_12_2021)\n[1] Pasal 37 ayat (2) dan (3) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman[2] Pasal 22M Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP 12/2021”)[3] Pasal 1 angka 11 PP 12/2021[4] Pasal 22J PP 12/2021[5] Pasal 22K PP 12/2021[6] Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[7] Pasal 22L ayat (2), (3), dan (4) PP 12/2021" }
{ "from": "human", "value": "Saya membayar DP sebesar 30% di sebuah perumahan, tetapi sampai sekarang ini perumahan itu tidak dikembangkan, boleh dikatakan proyek perumahan itu gagal. Pertanyaan saya: Dapatkah uang muka tersebut saya minta kembali, walaupun pengembang sudah selesai membangun rumah yang saya bayar DP-nya? Perlu diketahui bahwa pengembang hanya membangun kurang lebih 10 rumah yang termasuk rumah contoh dan rumah pembayar DP untuk memenuhi SPJB. Di SPJB disebutkan bahwa DP tidak dapat dikembalikan apabila terjadi pembatalan pembelian. Alasan saya tidak melunasi rumah tersebut karena tidak ada bank yang mau bekerja sama dengan pengembang dan melihat keadaan perumahan tersebut yang sudah dipenuhi ilalang. Mohon nasihatnya dan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Meminta Developer Kembalikan Uang Muka Pembelian Rumah? yang dibuat oleh Rama Mahendra, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada 4 Mei 2012. KLINIK TERKAIT Mengenal Apa Itu PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah 14 Sep 2023 Hak Anak dari Perkawinan Campuran untuk Memiliki Rumah 20 Jun 2023 Sahkah Jual Beli Tanah & Bangunan Jika Bangunannya Ternyata Milik Pihak Ketiga? 24 Agt 2021 Tips Aman Cicil Rumah Agar Terhindar Masalah Hukum 27 Mei 2021 Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”) Kami berasumsi bahwa antara Anda dengan developer (pengembang) telah menandatangani Surat Pengikatan Jual Beli (SPJB) atau yang lazimnya disebut sebagai PPJB . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hal ini telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP 14/2016”) dan perubahannya. Dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP 12/2021”) dijelaskan definisi PPJB sebagai berikut: Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli Rumah atau satuan Rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk Rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk Rumah tunggal dan Rumah deret yang dibuat di hadapan notaris . Pada dasarnya, rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dilakukan pemasaran oleh pelaku pembangunan melalui sistem PPJB. [1] Meski demikian, PPJB hanya dapat dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas : [2] status kepemilikan tanah; hal yang diperjanjikan; Persetujuan Bangunan Gedung (PBG); ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum ; dan keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen). Adapun yang dimuat dalam PPJB paling sedikit memuat: [3] identitas para pihak; uraian objek PPJB; harga Rumah dan tata cara pembayaran; jaminan pelaku pembangunan; hak dan kewajiban para pihak; waktu serah terima bangunan; pemeliharaan bangunan; penggunaan bangunan; pengalihan hak; pembatalan dan berakhirnya PPJB ; dan penyelesaian sengketa PPJB ditandatangani oleh calon pembeli dan pelaku pembangunan yang dibuat di hadapan notaris. [4] Karena merupakan perjanjian, maka pada dasarnya, berdasarkan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya ( pacta sunt servanda ). Sehingga, Anda maupun pihak developer tentunya berkewajiban untuk memenuhi kesepakatan yang diatur di dalam PPJB tersebut. Pembatalan PPJB dan Pengembalian DP Karena secara hukum dalam PPJB harus diatur mengenai pembatalan PPJB, maka jika Anda hendak melakukan pembatalan, harus dilakukan sesuai dengan isi PPJB tersebut. Meski demikian, perihal pembatalan dan pengembalian DP, dalam PP 12/2021 telah diatur bahwa dalam hal pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB karena kelalaian pelaku pembangunan ( developer ) , pembayaran yang telah diterima harus dikembalikan kepada pembeli . [5] Namun, jika pembayaran telah dilakukan pembeli paling banyak 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli , keseluruhan pembayaran menjadi hak pelaku pembangunan. [6] Sedangkan jika pembayaran telah dilakukan pembeli lebih dari 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi, dan terjadi pembatalan pembelian rumah setelah penandatanganan PPJB akibat kelalaian pembeli , pelaku pembangunan berhak memotong 10% (sepuluh persen) dari harga transaksi. [7] Menjawab pertanyaan Anda, bisa tidaknya Anda membatalkan PPJB dengan meminta pengembalian DP yang telah Anda bayarkan tergantung kepada di siapa terjadi kelalaian. Untuk menilai kelalaian tersebut, perlu diperhatikan pula ketentuan-ketentuan dalam PPJB. Jika dalam PPJB memang diatur bahwa rumah yang diperjualbelikan akan berada di kompleks perumahan yang mempunyai fasilitas dan lingkungan sedemikian rupa, dan fasilitas dan lingkungan tersebut tidak dibangun oleh pihak developer, maka dalam hal ini telah terjadi kelalaian di pihak developer dan Anda dapat membatalkan PPJB dengan meminta kembali seluruh DP yang telah Anda bayarkan. Namun, jika ternyata di PPJB hal tersebut tidak diperjanjikan dan yang diatur hanya mengenai rumah yang diperjualbelikan dengan uraiannya, maka apabila rumah Anda telah selesai dibangun dengan spesifikasi sesuai dengan uraian pada PPJB, dalam hal ini pihak developer tidak lalai, dan jika Anda membatalkan PPJB, pihak developer berhak memotong DP yang telah Anda bayarkan sebesar 10% dari harga transaksi, mengingat Anda telah membayar uang muka sebesar 30% dari harga transaksi. Perlindungan Konsumen Di sisi lain, jika fasilitas dan lingkungan yang dijanjikan oleh developer tersebut tidak dicantumkan dalam PPJB, akan tetapi diiklankan pada brosur-brosur yang dikeluarkan oleh developer sebagai alat promosi atas perumahan tersebut, maka dalam hal ini hak Anda sebagai konsumen dilindungi berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) yang berbunyi : Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu ; barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; barang dan/atau jasa tersebut tersedia ; barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; barang tersebut berasal dari daerah tertentu; secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti . Jika di dalam brosur-brosur tersebut ternyata developer menjanjikan hal-hal tertentu yang melanggar larangan di atas, maka developer tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum ( unlawful act ), yaitu melanggar Pasal 9 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen, dan Anda selaku konsumen yang dirugikan dalam mengajukan gugatan terhadap pihak developer . [8] Lebih lanjut, pelaku usaha (dalam hal ini developer ) melanggar Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen juga dapat dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp2 milyar. [9] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman [1] Pasal 22 ayat (3) PP 12/2021 [2] Pasal 22 ayat (5) PP 12/2021 [3] Pasal 22J PP 12/2021 [4] Pasal 22K ayat (3) PP 12/2021 [5] Pasal 22L ayat (2) PP 12/2021 [6] Pasal 22L ayat (3) PP 12/2021 [7] Pasal 22L ayat (4) PP 12/2021 [8] Pasal 46 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen [9] Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen hukumonline jual beli rumah perumahan properti ajb ppjb klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Kapan suatu wasiat Islam dinyatakan batal? Apakah jika seseorang (penerima wasiat) menolak untuk menerima wasiat, maka wasiat itu otomatis akan gugur? Atau jika tidak gugur/batal, bagaimana cara dan upaya bagi penerima wasiat untuk bisa membatalkan wasiat dari pemberi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Kompilasi Hukum Islam menjabarkan peristiwa-peristiwa yang dapat membatalkan suatu wasiat. Salah satu diantaranya adalah: Penerima wasiat mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya. Apabila penerima wasiat mengetahui adanya wasiat dan menolak untuk menerima wasiat, maka wasiat tersebut dinyatalkan batal , sehingga tidak perlu ada upaya lain untuk membatalkan wasiat tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Perlukah Persetujuan Anak Jika Ibu Ingin Jual Tanah Warisan? 09 Apr 2024 Hak Ahli Waris atas Keuntungan Penjualan Tanah 06 Okt 2017 Kedudukan Keponakan sebagai Ahli Waris Pengganti Menurut Hukum Islam 18 Sep 2017 Kedudukan Hak Mewaris Duda Menurut Hukum Waris Islam 29 Agt 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda, Wasiat dalam Hukum Waris Islam Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) . Dalam waris Islam dikenal wasiat. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. [1] Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga. [2] Pemilikan terhadap harta benda tersebut baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia. [3] Perlu diingat bahwa wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya. [4] Wasiat kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. [5] Pernyataan persetujuan ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris. [6] Penjelasan selengkapnya mengenai wasiat dalam Islam dapat Anda simak artikel Wasiat Dalam Waris Islam . Ketentuan Pemberian Wasiat Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat. [7] Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. [8] Dalam wasiat baik secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan. [9] Wasiat yang berupa hasil dari suatu benda ataupun pemanfaatan suatu benda harus diberikan jangka waktu tertentu. [10] Peristiwa yang Menyebabkan Batalnya Wasiat Kapan suatu wasiat tersebut dinyatakan batal? Wasiat dapat dinyatakan batal apabila: [11] 1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena: dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat; dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat; dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat. 2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. 3. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. Jadi menjawab pertanyaan Anda, apabila penerima wasiat atau orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu menolak untuk menerima wasiat, maka wasiat tersebut dinyatakan batal , sehingga tidak perlu ada upaya lain untuk membatalkan wasiat tersebut. Pencabutan Wasiat Sebagai informasi tambahan, pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuan atau sesudah menyatakan persetujuan tetapi kemudian menarik kembali . Pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris bila wasiat terdahulu dibuat secara lisan. [12] Bila wasiat dibuat secara tertulis, maka hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akte Notaris. Bila wasiat dibuat berdasarkan akte Notaris, maka hanya dapat dicabut berdasartkan akta Notaris. [13] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kompilasi Hukum Islam . [1] Pasal 171 huruf f KHI [2] Pasal 194 ayat (1) KHI [3] Pasal 194 ayat (3) KHI [4] Pasal 195 ayat (2) KHI [5] Pasal 195 ayat (3) KHI [6] Pasal 195 ayat (4) KHI [7] Pasal 194 ayat (2) KHI [8] Pasal 195 ayat (1) KHI [9] Pasal 196 KHI [10] Pasal 198 KHI [11] Pasal 197 KHI [12] Pasal 199 ayat (1) dan (2) KHI [13] Pasal 199 ayat (3) dan (4) KHI waris islam wasiat waris klinik hukumonline tanah saksi harta waris pertanahan rumah agama hukumonline islam keluarga dan perkawinan notaris google anak warisan hukum klinik" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Pengurus Hukum Online, saya mau menanyakan apakah ada batasan dalam membawa cairan dalam bagasi (bukan kabin) pada penerbangan internasional? Jika ada berapa batasannya? Terima kasih. Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (“UU Penerbangan”) memang membedakan antara Bagasi Tercatat dengan Bagasi Kabin. Bagasi tercatat, menurut Pasal 1 angka 24 UU Penerbangan , adalah barang penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut dengan pesawat udara yang sama. Sedangkan, Bagasi Kabin, menurut Pasal 1 angka 25 UU Penerbangan , adalah barang yang dibawa oleh penumpang dan berada dalam pengawasan penumpang sendiri. KLINIK TERKAIT Aturan Waktu Kerja Shift 11 Des 2023 Syarat Mempekerjakan Pilot Asing di Indonesia 14 Jan 2021 Aturan yang Membolehkan Membawa ASI Perah ke Kabin Pesawat Udara 29 Okt 2011 Waktu Kerja di Perusahaan Penerbangan 26 Mar 2010 Mengenai batasan jumlah cairan yang dapat dibawa dalam bagasi kabin dalam penerbangan internasional telah diatur dalam Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel ( Liquid, Aerosol, Gel ) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional (“Perdirjenhub 43/2007”). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun, Perdirjenhub 43/2007 ini tidak memberi pengaturan mengenai batasan jumlah cairan yang dapat dibawa penumpang sebagai bagasi tercatat. Pasal 3 ayat (3) Perdirjenhub 43/2007 hanya menyatakan bahwa dalam hal calon penumpang membawa Cairan, Aerosol, dan Gel (Liquids, Aerosols and Gels) melebihi ketentuan dalam persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka petugas pengamanan bandar udara memberitahukan kepada calon penumpang bahwa pengangkutan Cairan, Aerosol, dan Gel (Liquids, Aerosols and Gels) tersebut harus diperlakukan sebagai bagasi tercatat . Mengenai jumlah cairan yang dapat dibawa dalam suatu penerbangan sebagai bagasi tercatat, memang terdapat pengaturan dalam UU Penerbangan. Pasal 136 ayat (4) huruf (i) UU Penerbangan mengkategorikan cairan, aerosol dan jelly ( liquids, aerosols, and gels ) dalam jumlah tertentu sebagai barang berbahaya . Namun, karena sampai saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut mengenai berapa jumlah tertentu yang dimaksud tersebut, maka dapat disimpulkan saat ini belum ada pengaturan mengenai batas jumlah cairan yang dapat dibawa dalam penerbangan sebagai bagasi tercatat. Pada praktiknya, sebagaimana dikutip dari laman Garuda Indonesia , seorang dewasa dengan visa umroh diperbolehkan membawa sampai dengan 10 Liter air zamzam. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan . 2. Peraturan Dirjen Perhubungan Udara No. SKEP/43/III/2007 tentang Penanganan Cairan, Aerosol dan Gel ( Liquid, Aerosol, Gel ) yang Dibawa Penumpang ke Dalam Kabin Pesawat Udara pada Penerbangan Internasional." }
{ "from": "human", "value": "Menurut hukum Indonesia, apakah diperbolehkan kepemilikan saham oleh pihak/investor asing pada start-up berbasis fintech lending sudah hampir mencapai 100 persen (akhirnya start-up menjadi milik asing)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Start-up adalah sebuah perusahaan yang belum lama berdiri atau beroperasi. Start-up juga diartikan sebagai sebuah perusahaan yang menciptakan produk atau jasa di tengah ketidakpastian dan dapat menemukan sebuah model bisnis yang dapat berulang serta berskala. Istilah perusahaan start-up biasanya mengacu pada perusahaan-perusahaan yang layanan atau produknya berbasiskan teknologi.[1]\n\nSecara yuridis, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala Bekraf 10/2016, start-up adalah adalah rintisan usaha bisnis yang dapat berbentuk sebuah perusahaan, sebuah kerja sama kemitraan, atau organisasi sementara yang dengan pengembangan kapasitas dan kemampuan teknis maupun manajerial wirausaha, berpotensi untuk menumbuhkan nilai usaha dan daya saing secara inovatif dan kreatif dalam jangka waktu tertentu.\n\nSedangkan financial technology (“fintech”) merupakan salah satu inovasi layanan jasa keuangan yang mulai popular di era digital sekarang ini dan teknologi dengan konsep digitalisasi pembayaran menjadi salah satu sektor dalam industri fintech yang paling berkembang di Indonesia.[2]\n\nApabila mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 14 PBI 23/6/2021, Layanan Keuangan Digital (“LKD”) adalah kegiatan layanan jasa sistem pembayaran dan keuangan yang dilakukan oleh Penyedia Jasa Pembayaran yang menyelenggarakan aktivitas penatausahaan sumber dana berupa penerbitan uang elektronik melalui kerja sama dengan pihak ketiga serta menggunakan sarana dan perangkat teknologi berbasis mobile atau piranti digital lainnya untuk ekonomi digital dan keuangan inklusif.\n\nBerdasarkan praktik kami, perusahaan fintech merupakan sebuah “barang baru” dalam dunia bisnis di Indonesia. Hal tersebut setidaknya dilihat dari usia pengaturannya yang masih relatif muda dan pada umumnya digolongkan sebagai jenis usaha rintisan baru atau start-up.\n\nKetika berbicara mengenai fintech, perlu diperhatikan juga ketentuan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“LPBBTI”), yaitu penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan konvensional atau berdasarkan prinsip syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 POJK 10/5/2022.\n\nAdapun pendanaan adalah penyaluran dana dari pemberi dana kepada penerima dana dengan suatu janji yang akan dibayarkan atau dikembalikan sesuai dengan jangka waktu tertentu.[3]\n\nKemudian, penyelenggara LPBBTI adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan LPBBTI baik secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah.[4] Penyelenggara tersebut wajib dinyatakan sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dengan berbentuk perseroan terbatas, yang dalam melaksanakan kegiatan usaha LPBBTI harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”).[5]\n\nSelanjutnya, kami akan bahas ketentuan mengenai permodalan usaha fintech.\nModal Perusahaan Fintech\n\nTerkait modal, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) POJK 10/5/2022, penyelenggara layanan fintech wajib mempunyai modal disetor paling sedikit sebesar Rp25 miliar pada saat pendirian. Lalu, modal tersebut harus disetor secara tunai, penuh, dan ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atas nama penyelenggara pada:\n\nbank umum, bank umum syariah, atau unit usaha syariah dari bank umum di indonesia bagi penyelenggara konvensional; ataubank umum syariah atau unit usaha syariah dari bank umum di indonesia bagi penyelenggara berdasarkan prinsip syariah.\nBatas Maksimum Kepemilikan Saham Asing\n\nKemudian, pada dasarnya, saham penyelenggara yang berbentuk perseroan terbatas dilarang dimiliki oleh pihak selain:[6]\n\nWarga Negara Indonesia (“WNI”) dan/atau badan hukum Indonesia; atauWNI dan/atau badan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam huruf a, bersama-sama dengan badan hukum asing dan/atau warga negara asing.\n\nDalam hal ada kepemilikan asing pada penyelenggara, menurut Pasal 3 ayat (4) POJK 10/5/2022, kepemilikan asing pada penyelenggara baik secara langsung maupun tidak langsung dilarang melebihi 85% dari modal disetor penyelenggara.\n\nKemudian, perlu dicatat bahwa batasan kepemilikan asing pada penyelenggara tersebut tidak berlaku bagi penyelenggara yang merupakan perseroan terbuka dan memperdagangkan sahamnya di bursa efek.[7] Dengan kata lain, ketentuan batasan tersebut hanya berlaku pada perusahaan fintech lending yang merupakan perseroan tertutup, atau secara singkat batasan tidak berlaku bagi perusahaan fintech lending yang merupakan perseroan terbuka dan memperdagangkan sahamnya di bursa efek.\n\nSehingga menjawab pertanyaan dari Anda, kepemilikan asing atas perusahaan start-up berbasis fintech lending yang melebihi 85% atau hampir 100% dari modal disetor penyelenggara diperbolehkan menurut ketentuan OJK, dengan catatan perusahaan start-up tersebut telah menjadi perseroan terbuka dan memperdagangkan sahamnya di bursa efek, serta transaksi saham tersebut dilakukan melalui bursa efek.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nPeraturan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemberian Bantuan Pemerintah Untuk Pendanaan Awal Rintisan Usaha Bisnis (Start-up);Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2021 Tahun 2021 tentang Penyedia Jasa Pembayaran;Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.\n\nReferensi:\n\nDhiyaah Karina (et.al). Pengaruh Perusahaan Startup terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia selama Pandemi Covid-19. Berajah Journal, Vol. 2, No. 1, 2021;Ratnawaty Marginingsih. Financial Technology (Fintech) dalam Inklusi Keuangan Nasional di Masa Pandemi Covid-19. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, No. 1, 2021.\n\n[1] Dhiyaah Karina (et.al). Pengaruh Perusahaan Startup terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia selama Pandemi Covid-19. Berajah Journal, Vol. 2, No. 1, 2021, hal. 159[2] Ratnawaty Marginingsih. Financial Technology (Fintech) dalam Inklusi Keuangan Nasional di Masa Pandemi Covid-19.  Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 10, No. 1, 2021, hal. 57[3] Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 10/POJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 10/5/2022”)[4] Pasal 1 angka 8 POJK 10/5/2022[5] Pasal 2 jo. Pasal 8 ayat (1) POJK 10/5/2022[6] Pasal 3 ayat (1) POJK 10/5/2022[7] Pasal 3 ayat (5) POJK 10/5/2022" }
{ "from": "human", "value": "1) Siapakah yang berwenang untuk melakukan penjualan aset perusahaan seperti penjualan mobil perusahaan? 2) Untuk melakukan penjualan aset perusahaan seperti mobil perusahaan dan lain-lain, apakah harus mendapat izin dari Komisaris atau sampai ke RUPS? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Merujuk pada kententuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“ UUPT ”) menjelaskan bahwa yang berhak mewakili perseroan dalam mengalihkan aset yang dimiliki perseroan adalah Direksi. Namun, dalam hal Direksi dalam perseroan lebih dari 1 (satu) orang, maka setiap anggota Direksi berhak untuk mewakili perseroan. Hal ini didasarkan pada ketentuan yang termaktub di dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2 ) UUPT , yang menyatakan: KLINIK TERKAIT Menjaminkan Aset Pribadi untuk Kepentingan PT, Bagaimana Hukumnya? 22 Mei 2024 Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA? 03 Okt 2023 Hal-hal yang Perlu Diperiksa Saat Legal Audit 12 Sep 2023 Dapatkah Perusahaan Publik Mengalihkan Aset ke Anak Perusahaan? 23 Jun 2023 Pasal 98 1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. Walaupun berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UUPT di atas menyatakan bahwa setiap anggota Direksi dapat mewakili perseroan, namun pada kebiasaannya apabila Direksi perseroan lebih dari 1 ( satu ) orang maka yang berhak mewakili perseroan adalah Direktur Utama. Hal ini tentunya tetap merujuk pada Anggaran Dasar perseroan, bagaimana pengaturan dalam hal Direktur Utama berhalangan hadir, siapakah pihak yang dapat/berwenang untuk menggantikannya mewakili perseroan. Selanjutnya, mengenai perbuatan hukum untuk menjual aset perseroan, menurut UUPT khususnya dalam Pasal 102 ayat (1) huruf a di jelaskan bahwa dalam mengalihkan kekayaan perseroan lebih dari 50% (lima puluh perseratus) jumlah kekayaan bersih perseroan dalam 1 (satu) transaksi atau lebih, baik yang berkaitan satu sama lain maupun tidak , wajib untuk mendapatkan persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham ( “ RUPS ” ) perseroan. Perlu untuk diketahui bahwa perbuatan hukum sebagaimana tersebut di atas adalah untuk pengalihan kekayaan bersih Perseroan yang terjadi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun buku atau jangka waktu yang lebih lama sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar perseroan. Dalam hal pengalihan aset perseroan kurang dari 50% (lima puluh perseratus) maka Direksi dapat langsung melakukan penjualan aset dan perbuatan hukum tersebut tetap mengikat Perseroan, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 102 ayat (2) UUPT . Akan tetapi, apabila hal ini ditentukan lain dalam Anggaran Dasar perseroan, sebagaimana diatur dalam Pasal 117 UUPT , yang mana harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan komisaris, maka sebelum pengalihan aset tersebut harus memperoleh persetujuan tertulis dahulu dari Dewan Komisaris perseroan. Dalam hal pengalihan aset dimaksud lebih dari 50% (lima puluh perseratus) jumlah kekayaan bersih perseroan, maka pengalihan aset tersebut wajib untuk mendapatkan persetujuan RUPS terlebih dahulu, dengan ketentuan tetap memenuhi ketentuan yang diatur dalam Anggaran Dasar dan Pasal 98 ayat (4) jo. Pasal 89 ayat (1) UUPT . Yaitu RUPS dilangsungkan dengan dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dan keputusan RUPS dimaksud dapat dinyatakan sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali Anggaran Dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa kewenangan untuk melakukan pengalihan, dalam hal ini penjualan aset perseroan, berada pada Direksi perseroan, dengan memperhatikan ketentuan dalam Anggaran Dasar perseroan. Mengenai persetujuan Komisaris perseroan ataupun RUPS semuanya b ergantung pada nilai aset dengan memperhatikan ketentuan pengambilan keputusan dalam Anggaran Dasar perseroan sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Sebagai informasi tambahan , persetu ju an RUPS mengenai pengalihan kekayaan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) UUPT dapat diindahkan atas dasar pelaksanaan kegiatan usaha Perseroan yang sesuai dengan maksud dan tujuan serta bidang usaha yang disebutkan dalam anggaran dasarnya. misalnya, penjualan rumah oleh perusahaan real estate , penjualan surat berharga antarbank, dan penjualan barang dagangan (inventori) oleh perusahaan distribusi atau perusahaan dagang sebagaimana diatur dalam Pasal 102 ayat (3) UUPT . Selanjutnya, jawaban sebagaimana yang kami sajikan di atas adalah berdasarkan pemahaman kami bahwa penjualan aset perseroan sebagaimana dimaksud adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan Tertutup bukan untuk Perseroan Terbuka. Di samping itu, jawaban yang disajikan bukan diperuntu k kan atas perbuatan hukum dalam konteks Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan dan  Pemisahan suatu Perseroan Terbatas. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih. Dasar hukum : Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas direksi" }
{ "from": "human", "value": "Mohon dapat dijawab, apakah ada UU/PP yang paling aktual yang mengatur batas luas kepemilikan tanah di Indonesia, baik untuk orang perorangan maupun badan hukum (seperti PT). Misalnya, berapa maksimal luas tanah yang diperbolehkan dimiliki oleh seseorang dan perusahaan? Terima kasih sebelumnya atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Edward Renaldo, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron yang dipublikasikan pertama kali pada 10 Maret 2021. KLINIK TERKAIT Ahli Waris Minta Tanah Wakaf Kembali, Bisakah? 05 Mar 2021 Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah 17 Feb 2021 Status Properti Milik WNI yang Beralih Menjadi WNA 23 Okt 2020 Apakah Penamaan Gang Mempengaruhi Sertifikat Tanah? 22 Okt 2020 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) menjelaskan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan dan dipunyai perorangan ataupun badan hukum. [1] Hak-hak atas tanah yang dimaksud yakni sebagai berikut: [2] hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda mengenai batas kepemilikan tanah, kami asumsikan bahwa hal tersebut merujuk kepada hak milik atas tanah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Jenis-Jenis Hak atas Tanah dan yang Dapat Menjadi Pemegangnya , hanya warga negara Indonesia dan badan hukum tertentu yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah , (“PP 38/1963”) badan-badan hukum tersebut adalah: Bank-bank yang didirikan oleh negara; Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian; Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Agama; Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menjawab pertanyaan Anda, batas luas tanah hak milik untuk perorangan atau badan hukum di Indonesia pada dasarnya tergantung kepada kegunaan atau pemanfaatan dari tanah/lahan terkait, di antaranya sebagai berikut: Tanah Pertanian Berdasarkan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (“Permen ATR/BPN 18/2016”) batas luas penguasaan dan kepemilikan tanah pertanian untuk perorangan adalah sebagai berikut: tidak padat, paling luas 20 hektar; kurang padat, paling luas 12 hektar; cukup padat, paling luas 9 hektar; atau sangat padat, paling luas 6 hektar. Sedangkan pembatasan kepemilikan tanah pertanian untuk badan hukum sesuai dengan surat keputusan pemberian haknya. [3] Tanah untuk Rumah Tinggal Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal (“Kepmen Agraria/BPN 6/1998”) membatasi agar perolehan hak milik atas tanah untuk rumah tinggal oleh perseorangan tidak lebih dari 5 bidang tanah yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5.000 meter persegi . [4] Tetapi dalam keputusan menteri tersebut tidak dijelaskan pembatasan kepemilikan tanah untuk rumah tinggal oleh badan hukum. Sebagai informasi tambahan, warga negara asing (“WNA”) juga dapat memiliki rumah tempat tinggal, akan tetapi bukan di atas tanah hak milik, melainkan hak pakai. Berdasarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah (“Permen ATR/BPN 18/2021”) , batasan luas tanah untuk rumah tempat tinggal tersebut adalah 1 bidang tanah per orang/keluarga dan tanahnya paling luas 2.000 meter persegi . [5] Tetapi, dalam keadaan tertentu yang mempunyai dampak positif terhadap ekonomi dan sosial, WNA dapat memiliki rumah tempat tinggal dengan lebih dari 1 bidang tanah atau luas tanah lebih dari 2.000 meter persegi dengan izin Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. [6] Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya batasan luas kepemilikan tanah hak milik di Indonesia tergantung kepada kegunaan dan pemanfaatan tanah tersebut . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak atas Tanah [1] Pasal 4 ayat (1) UUPA [2] Pasal 16 UUPA [3] Pasal 3 ayat (4) Permen ATR/BPN 18/2016 [4] Pasal 2 ayat (1) huruf e dan Pasal 4 ayat (3) Kepmen Agraria/BPN 6/1998 [5] Pasal 186 ayat (1) huruf a Permen ATR/BPN 18/2021 [6] Pasal 186 ayat (2) Permen ATR/BPN 18/2021 pertanahan tanah pertahanan bpn hak milik hak guna usaha hak atas tanah" }
{ "from": "human", "value": "Berapakah batas maksimum umur anak untuk tanggungan asuransi kesehatan yang harus dibayar oleh perusahaan? Perusahaan menggunakan asuransi kesehatan non-Jamsostek." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang Anda sampaikan. Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu tentang pengertian asuransi itu sendiri. KLINIK TERKAIT Masih Haruskah Perusahaan Mendaftar BPJS Jika Sudah Ikut Asuransi Lain? 01 Feb 2021 Cara Memilih Produk Asuransi yang Aman 23 Agt 2018 Upaya Nasabah Jika Klaim Asuransi Terlambat atau Tidak Dibayar 21 Feb 2012 Penerapan Metode Risk Based Capital pada Perusahaan Asuransi Jiwa 18 Feb 2011 Pasal 1 angka 1. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (“UU Usaha Perasuransian”) menyatakan: ”Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai obyek dari asuransi diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU Usaha Perasuransian yang berbunyi: “Obyek asuransi adalah benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan atau berkurang nilainya.” Pada dasarnya, asuransi timbul karena perjanjian antara  dua belah pihak atau lebih terkait dengan pengalihan risiko atas suatu obyek asuransi tertentu. Dalam hal ini Pekerja (termasuk anak pekerja), Perusahaan dan Badan Penyelenggara (Asuransi) dikategorikan sebagai para pihak, sedangkan jaminan kesehatan adalah obyek risiko. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka Perjanjian Asuransi kesehatan yang telah Pekerja sepakati dengan Pihak Perusahaan dan Badan Penyelenggara berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang telah sepakat itu, termasuk dalam hal ini pengaturan mengenai batas usia maksimum anak sebagai tertanggung. Sebagimana diatur Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi, “Semua Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya” Terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai batas maksimum umur anak untuk tanggungan asuransi kesehatan yang harus dibayar oleh perusahaan dalam hal Perusahaan menggunakan asuransi kesehatan Non-Jamsostek, maka TIDAK TUNDUK terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (5) huruf b. Permenakertrans RI No.: PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja , yang berbunyi : “Anak kandung, anak angkat, anak tiri yang belum berusia 21 tahun, belum menikah, tidak mempunyai pekerjaan, yang menjadi tanggungan tenaga kerja maksimal 3 orang dan terdaftar pada Badan Penyelenggara” Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, kami tidak menemukan adanya peraturan yang mengatur secara jelas mengenai usia maksimum anak dalam penyelenggaraan Jaminan Keselamatan Kerja (termasuk kesehatan) Non-Jamsostek. Oleh karena itu, kami asumsikan untuk batas maksimum umur anak adalah diatur dalam Perjanjian Asuransi yang telah disepakati terlebih dahulu bersama-sama oleh masing-masing pihak , sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata jo . Pasal 1338 KUH Perdata . Demikian yang dapat kami jelaskan. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.: PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja" }
{ "from": "human", "value": "Suami saya bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan garmen. Salah satu konsumen tidak membayar uang tagihan sebesar 84 juta. Oleh pihak kantor, suami saya diminta mengembalikan uang tersebut padahal tidak pernah dipakai secara pribadi. Pihak konsumen tersebut memang belum membayar sesuai dengan jumlah yang seharusnya dibayar. Sebelumnya, tidak pernah ada perjanjian antara sales dengan perusahaan jika menemui situasi seperti ini. Suami saya diminta untuk mengganti uang tersebut, secara tunai atau dicicil. Saya mohon bantuan atau advice mengenai perkara tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Jika hubungan hukum yang terjadi adalah antara si konsumen dengan perusahaan garmen, maka sales tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya jika konsumen tidak membayar barang yang telah ia beli. Penjelasan lebih lanjut silakan baca dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan yang Anda berikan. Anda tidak menjelaskan bagaimana tata cara pembayaran oleh konsumen kepada perusahaan garmen dan bentuk hubungan hukum antara konsumen dan perusahaan garmen dimana suami Anda bekerja. Kami berasumsi bahwa konsumen telah membeli garmen dari perusahaan tempat suami Anda bekerja dan belum membayar sebagian dari harga barang yang dibeli oleh konsumen. KLINIK TERKAIT Apa itu Klausula Eksonerasi dan Keabsahannya dalam Perjanjian 02 Mei 2024 Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan? 25 Apr 2024 Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum? 09 Nov 2023 Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi 11 Jul 2022 Bahwa selama hubungan hukum langsung terjadi antara perusahaan dan konsumen, dan pembayaran dilakukan langsung oleh konsumen kepada perusahaan maka tidak ada keterkaitan suami Anda dalam permasalahan ini karena kapasitasnya hanyalah sebagai sales dari perusahaan. Namun apabila ternyata hubungan hukum terjadi antara konsumen dan suami Anda selaku pribadi, dan suami Anda menyerahkan barang milik perusahaan kepada konsumen, dan tidak menyerahkan pembayarannya kepada perusahaan maka suami Anda dapat dikenakan dugaan tindak pidana Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHP ”) yang berbunyi sebagai berikut: “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,- ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian Anda juga menyampaikan tidak ada perjanjian antara suami Anda dan perusahaan terkait kondisi dimana sales dipertanggungjawabkan apabila konsumen tidak melakukan pembayaran, maka tidak ada dasar hukum apapun bagi perusahaan untuk menagih suami Anda. Apabila perusahaan atau bos suami Anda terus melakukan penagihan penggantian tanpa dasar, dan bahkan dengan ancaman kekerasan maka bos atau perusahaan dapat dilaporkan oleh suami Anda atas dasar adanya dugaan tindak pidana pemerasan Pasal 368 ayat (1) KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. Demikian penjelasan kami. Terima kasih. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . hukum perusahaan penggelapan perjanjian pemerasan konsumen klinik hukumonline wanprestasi hukumonline klinik pembeli" }
{ "from": "human", "value": "Kerabat saya ditahan polisi sebagai jaminan untuk teman dia yang melarikan diri, tetapi setelah sampai di Polsek yang bersangkutan, kerabat saya yang tidak melakukan apapun malah mendapat tindakan yang tidak menyenangkan yaitu penyiksaan. Bagaimana hukumnya ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan kronologi kasus yang Anda sampaikan, kami simpulkan bahwa kerabat Anda ditahan dan mengalami penyiksaan oleh oknum kepolisian, sebagai jaminan bagi temannya yang telah melarikan diri. Dalam hal ini kami asumsikan bahwa teman dari kerabat Anda tersebut ada pada proses penangguhan penahanan.\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPerbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana12 Jan 2024Perbedaan Rutan dan Lapas dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia26 Mei 2023Arti “Pembebasan Tahanan Demi Hukum”02 Mei 2018Perbedaan Penangguhan Penahanan dengan Pembebasan dari Tahanan22 Mei 2017\n\nDi dalam hukum pidana dikenal adanya jaminan orang, yang diberikan kepada tersangka yang meminta agar ia tidak ditempatkan dalam rumah tahanan selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan.\n\nDalam Pasal 31 KUHAP dinyatakan:\nAtas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.\n\nBerdasarkan kronologi yang disampaikan, kerabat Anda yang dijadikan jaminan bagi temannya yang melarikan diri dalam hal ini dikategorikan sebagai jaminan orang.\nSebagaimana dijelaskan dalam Syarat-syarat Penangguhan Penahanan, syarat menjadi jaminan orang adalah:\n\nOrang penjamin bisa penasihat hukumnya, keluarganya, atau orang lain yang tidak mempunyai hubungan apapun dengan tahanan;Penjamin memberikan pernyataan dan kepastian kepada instansi yang menahan bahwa ia bersedia dan bertanggung jawab memikul segala risiko dan akibat yang timbul apabila tahanan melarikan diri;Identitas orang yang menjamin harus disebutkan secara jelas;Instansi yang menahan menetapkan besarnya jumlah uang yang harus ditanggung oleh penjamin, yang disebut uang tanggungan (apabila tersangka/terdakwa) melarikan diri;Pengeluaran surat perintah penangguhan didasarkan atas surat jaminan dari si penjamin.\n\nTerkait perlakuan kekerasan oleh oknum kepolisian terhadap kerabat Anda, hal tersebut sungguh tidak dibenarkan oleh hukum. Karena pada dasarnya tidak ada aturan hukum manapun yang memperbolehkan tindakan penyiksaan maupun kekerasan.\n\nLarinya teman kerabat Anda tidak lantas membuat kerabat Anda dapat ditahan apalagi sampai menerima tindakan penganiayaan atau kekerasan dari oknum kepolisian, hal ini sebagaimana yang telah diatur secara tegas dalam Pasal 36 PP Pelaksanaan KUHAP yang menyatakan sebagai berikut:\n\nDalam hal jaminan itu adalah orang, dan tersangka atau terdakwa melarikan diri maka setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, penjamin diwajibkan membayar uang yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan.\n\nDengan demikian, kalau pun diasumsikan bahwa penangguhan penahanan dan penempatan jaminan orang dalam kasus ini sudah sesuai dengan syarat dan prosedur yang berlaku, bentuk pertanggungjawaban oleh kerabat Anda jika temannya melarikan diri setelah lewat waktu 3 bulan adalah membayar uang jaminan yang jumlahnya telah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan, yang mana uang jaminan tersebut akan disetorkan oleh penjamin ke kas negara melalui Panitera Pengadilan Negeri.[1]\nTindakan Kekerasan oleh Kepolisian\n\nOknum kepolisian yang melakukan tindakan kekerasan terhadap kerabat Anda jelas telah melakukan suatu pelanggaran.\n\nPada dasarnya, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) senantiasa bertindak berdasarkan aturan hukum yang berlaku serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 UU Polri.\n\nLebih lanjut dalam Pasal 10 huruf c Perkap 8/2009 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (Code of Conduct) di antaranya tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.\n\nJika polisi harus melakukan tindakan kekerasan, maka tindakan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 45 Perkap 8/2009, yang di antaranya menyatakan bahwa, tindakan dan cara-cara tanpa kekerasan harus diusahakan terlebih dahulu, pun tindakan keras hanya diterapkan bila sangat diperlukan. Sehingga jelas bahwa tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh oknum kepolisian telah melanggar aturan hukum dan Kode Etik Kepolisian yang berlaku.\n\nTerkait tindakan kekerasan yang dialami oleh kerabat, Anda dapat membuat upaya pengaduan masyarakat (“Dumas”), sebagaimana diatur dalam Perkap 9/2018.\n\nDumas adalah bentuk penerapan dari pengawasan masyarakat yang disampaikan oleh masyarakat, Instansi Pemerintah atau pihak lain kepada Polri berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau keluhan/pengaduan yang bersifat membangun.[2]\n\nDumas dapat disampaikan terkait dengan:[3]\n\nPelayanan Polri;Penyimpangan perilaku pegawai negeri pada Polri; dan/atauPenyalahgunaan wewenang.\n\nProses Dumas dapat dilakukan secara daring melalui laman Dumas Presisi.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17437/undangundang-nomor-2-tahun-2002/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Polri)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2854/peraturan-pemerintah-nomor-27-tahun-1983/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_27_1983)\n5. [Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b16306f3b939/peraturan-kepala-kepolisian-negara-nomor-8-tahun-2009/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perkap_8_2009)\n6. [Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b9a026d27ac1/node/534/peraturan-kepolisian-negara-nomor-9-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perkap_9_2018)\nREFERENSI:\n1. Dumas Presisi, diakses pada 26 April 2022, pukul 16.43 WIB.\n\n[1] Pasal 36 ayat (2) PP Pelaksanaan KUHAP\n\n[2] Pasal 1 angka 8 Perkap 9/2018\n\n[3] Pasal 5 Perkap 9/2018" }
{ "from": "human", "value": "Ada dua mahasiswa berumur 17 dan 19 tahun akan mengadakan perjanjian pinjaman untuk memenuhi biaya kuliah. Saya ingin tahu, pada usia berapa seseorang dapat menandatangani kontrak pinjaman/kredit, tanpa persetujuan orang tua/wali? Saya baca di beberapa peraturan batas usia anak beda-beda. Lantas, sahkah perjanjian/kontrak jika mereka tetap menandatangani kontrak pinjaman tersebut? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Benar bahwa terdapat perbedaan batas usia dewasa atau dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia.\nPasal 330 KUH Perdata menyebutkan, bahwa seseorang yang telah menginjak usia 21 tahun dan/atau telah menikah, walaupun belum mencapai usia tersebut sudah dianggap dewasa.\n\nSementara dalam UU Perlindungan Anak serta perubahannya dan UU Ketenagakerjaan, yang dikategorikan sebagai anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 tahun.[1] Pun demikian dengan Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan yang memberikan batasan usia anak adalah yang belum berusia 18 tahun.\nSelain peraturan peraturan tersebut di atas, terdapat perbedaan penentuan usia dewasa dalam beberapa putusan pengadilan. Misalnya Putusan PN banyuwangi No. 73/PDT.G/1992/BWI tanggal 22/12/1992 berpegang pada Pasal 330 KUH Perdata yaitu umur 21 tahun. Sementara, Putusan PN Jakarta Timur No. 115/Pdt.P/2009/PN.Jaktim menggunakan pertimbangan batasan usia dewasa seseorang untuk cakap bertindak secara hukum adalah Pasal 47 ayat (1) UU Perkawinan yaitu 18 tahun.[2]\nNamun, berdasarkan Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 3), penentuan mengenai batas usia dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum tidak dapat ditentukan pada usia yang sama, namun ditentukan berdasarkan undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur dalam konteks perkara yang bersangkutan (kasuistis).\nKecakapan sebagai Syarat Sah Perjanjian Kredit\n\nPinjaman atau kredit termasuk dalam kategori perjanjian. Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Dari peristiwa tersebut maka timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan (hal. 1).\nKarena dalam pertanyaan Anda tidak menyebutkan secara spesifik perjanjian pinjam meminjam di mana, maka untuk menyederhanakan jawaban kami akan menguraikan mengenai perjanjian pinjam meminjam atau kredit di perbankan.\nPerjanjian pinjam meminjam menurut Pasal 1754 KUH Perdata adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.\n\nSedangkan sesuai dengan Pasal 1 angka 11 UU 10/1998 disebutkan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.\nPerjanjian kredit menurut Rachmat Firdaus dan Maya Ariyanti dalam buku Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap Dengan Analisis Kredit, adalah suatu reputasi yang dimiliki oleh setiap orang yang memungkinkan dia untuk mendapatkan uang, barang, atau tenaga kerja dengan jalan menukarkannya dengan suatu perjanjian untuk membayarnya disuatu waktu yang akan datang (hal. 1).\n\nSecara garis besar, perjanjian kredit bisa diartikan sebagai perjanjian pinjam meminjam antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur dalam batas waktu yang telah ditentukan dengan disertai bunga. Selain itu pula bisa juga dipersamakan dengan perjanjian utang piutang.\nKarena kredit termasuk perjanjian, maka untuk membuat suatu perjanjian juga harus berdasarkan Pasal 1329 KUH Perdata yang disebutkan bahwa setiap orang berwenang membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.\nAdapun, yang dimaksud dengan “tidak cakap” dalam Pasal 1330 KUH Perdata adalah orang yang belum dewasa, di bawah pengampuan, dan perempuan yang telah menikah.[3]\n\nMengapa batasan usia atau kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum penting dalam suatu perjanjian? Pasal 1320 KUH Perdata menentukan syarat sahnya suatu perjanjian yang terdiri atas:\n\nSepakat mereka yang mengikatkan diri;Cakap untuk membuat suatu perikatan;Mengenai hal sesuatu tertentu;Suatu sebab yang halal.\n\nKecakapan para pihak merupakan syarat subjektif suatu perjanjian. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya.\nBaca juga: Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi\nBatas Usia Minimal untuk Melakukan Perjanjian Kredit\nTerkait dengan kecakapan atau batas usia untuk melakukan pinjaman atau kredit di bank, pada dasarnya tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur batas minimum usia peminjam untuk melakukan pinjaman/kredit.\nHanya saja, kata “dewasa” yang dimaksud dalam Pasal 1330 KUH Perdata tersebut mengacu Pasal 330 KUH Perdata yaitu seseorang yang telah menginjak usia 21 tahun dan/atau telah menikah walaupun belum mencapai usia tersebut, sudah dianggap dewasa.\n\nSelain itu, merujuk Pasal 48 ayat (1) PADG 24/2022, dalam konteks penerbitan kartu kredit, bank atau penyedia jasa pembayaran (“PJP\") harus menerapkan manajemen risiko kredit dengan memperhatikan minimal:\n\nbatas minimum usia calon pengguna kartu kredit;batas minimum pendapatan calon pengguna kartu kredit;batas maksimum plafon kredit yang dapat diberikan kepada pengguna kartu kredit;batas maksimum jumlah PJP yang menyelenggarakan aktivitas penatausahaan sumber dana berupa penerbitan kartu kredit; danbatas minimum pembayaran oleh pengguna kartu kredit.\n\nDalam PADG 24/2022 tidak menetapkan batas minimal usia calon pengguna kartu kredit secara eksplisit, karena manajemen risiko tersebut diserahkan kepada masing-masing bank atau PJP.\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda apakah umur 17 tahun bisa meminjam uang di bank? Dapat kami sampaikan bahwa batas usia atau kecakapan seorang peminjam dalam melakukan kontrak pinjaman atau kredit adalah 21 tahun. Di dalam Pasal 330 KUH Perdata terdapat anggapan bahwa usia 21 tahun tersebut dianggap sudah dewasa atau cakap dalam melakukan perbuatan hukum dan sudah dapat merumuskan kehendaknya dengan benar serta dapat menyadari akibat hukum dari perbuatannya tersebut.\nHal ini juga mengacu pada SEMA 4/2016 yang disebutkan di atas, bahwa acuan penentuan batas usia dewasa seseorang didasarkan pada undang-undang atau ketentuan hukum yang mengatur dalam konteks perkara yang bersangkutan. Karena konteks dalam pertanyaan Anda mengenai kontrak/perjanjian, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam KUH Perdata.\nLantas, sahkah perjanjian kredit yang dilakukan oleh mahasiswa yang berusia 17 dan 19 tahun? Jawabannya tidak. Sebab, kecakapan sebagai syarat subjektif suatu perjanjian tidak dapat terpenuhi.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/843/undangundang-nomor-7-tahun-1992/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_1992)\n5. [Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/334?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_10_1998)\n6. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n7. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2002)\n8. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n9. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n10. [Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 24/7/PADG/2022 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Sistem Pembayaran oleh Penyedia Jasa Pembayaran dan Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62c3c30f270f8?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PADG_24_2022)\n11. [Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5858f3427a3ea/surat-edaran-mahkamah-agung-nomor-4-tahun-2016/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SEMA_4_2016)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri banyuwangi Nomor 73/PDT.G/1992/BWI;Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 115/Pdt.P/2009/PN.Jaktim.\n\nREFERENSI:\n1. Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010\n2. Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005\n3. Rachmat Firdaus dan Maya Ariyanti. Manajemen Perkreditan Bank Umum: Teori, Masalah, Kebijakan dan Aplikasinya Lengkap Dengan Analisis Kredit. Bandung: Alfabeta, 2009.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan[2] Ade Maman Suherman dan J. Satrio, Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batasan Umur), Jakarta: Nasional Legal Reform Program, 2010, hal. 127 dan 134[3] Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata" }
{ "from": "human", "value": "Adakah peraturan yang membatasi (membuat batas usia maksimum) dalam penyusunan sebuah Surat Wasiat/Warisan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Pada dasarnya seseorang yang sudah berusia 18 tahun dapat membuat surat wasiat . Tidak ada batas usia maksimum, selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai kemampuan bernalar. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya , sebagaimana disebutkan dalam Pasal 875 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) . Pada dasarnya dalam membuat surat wasiat, seseorang harus mempunyai budi akal atau kemampuan bernalar sebagaimana diatur dalam Pasal 895 KUHPer : KLINIK TERKAIT Cara Membatalkan Surat Wasiat Menurut KUH Perdata 04 Jan 2024 Haruskah Surat Wasiat Dibuat di Hadapan Notaris? 26 Jul 2023 Diberikan Warisan oleh Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat 12 Jan 2015 Pembatasan-pembatasan Dalam Membuat Surat Wasiat 31 Des 2014 “ Untuk dapat membuat atau menarik kembali suatu wasiat, orang harus mempunyai kemampuan bernalar. ” KUHPer tidak memberikan batasan usia maksimum seseorang dapat membuat surat wasiat. Yang diatur dalam KUHPer adalah batas usia minimum seseorang dapat membuat surat wasiat. Dalam Pasal 897 KUHPer dikatakan bahwa a nak-anak di bawah umur yang belum mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai anak yang sudah berusia 18 (delapan belas) tahun pun ada hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya: 1. Seorang anak di bawah umur, meskipun telah mencapai umur 18 ( delapan belas ) tahun penuh, tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk keuntungan walinya ( Pasal 904 KUHPer ) . 2. Anak di bawah umur tidak boleh menghibahwasiatkan sesuatu untuk keuntungan pengajarnya, pengasuhnya laki-laki atau perempuan yang tinggal bersamanya, atau gurunya laki-laki atau perempuan di tempat pemondokan anak di bawah umur itu ( Pasal 905 ayat (1) KUHPer ) . Dalam hal ini dikecualikan penetapan-penetapan yang dibuat sebagai hibah wasiat untuk membalas jasa-jasa yang telah diperoleh, namun dengan mengingat, baik kekayaan si pembuat wasiat maupun jasa-jasa yang telah dibaktikan kepadanya ( Pasal 905 ayat (2) KUHPer ) . Melihat pada ketentuan di atas, pada dasarnya seseorang yang sudah berusia 18 tahun dapat membuat surat wasiat, sedangkan untuk batas maksimum seseorang dapat membuat surat wasiat, tidak ada batasannya, selama orang tersebut berakal budi atau mempunyai kemampuan bernalar. Seperti dalam Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 58/Pdt.G/2011/PN.Yk , pewaris dalam keadaan sakit membuat surat wasiat yang isinya menyerahkan harta peninggalannya kepada Tergugat I. Para Penggugat mendalilkan bahwa pada saat itu pewaris tidak dalam keadaan yang mampu untuk membuat surat wasiat karena pewaris sedang sakit dan emosinya pun tidak stabil sehingga dianggap tidak mempunyai kemampuan bernalar. Akan tetapi Tergugat I dapat membuktikan bahwa pewaris masih mampu membuat surat wasiat dengan membawa bukti Surat Keterangan Kesehatan yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Bethesda Lempuyangwangi tertanggal 11 Februari 2010 yang menyatakan bahwa pada waktu diperiksa, pewaris dalam keadaan sehat jasmani dan rohani. Berdasarkan salah satu bukti tersebut, gugatan Para Penggugat ditolak oleh hakim. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Referensi: Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta No. 58/Pdt.G/2011/PN.Yk . surat wasiat hukum hukumonline klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang staf legal di sebuah perusahaan. Berdasarkan Pasal 78 ayat (1) huruf b UU Nomor 13/2003, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam 1 minggu. \nKemudian bunyi Pasal 188 ayat (1) UU Nomor 13/2003, barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp5 juta dan paling banyak Rp50 juta.\nLantas, bolehkah perusahaan memperkerjakan karyawannya lembur lebih dari Pasal 78 ayat (1) atau lebih dari 3 jam sehari, atau lebih dari 14 jam seminggu, namun diizinkan oleh Disnaker setempat? Apakah hal tersebut tetap melanggar ketentuan pidana dalam Pasal 188 ayat (1)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu diketahui saat ini UU Ketenagakerjaan telah diubah, dihapus, dan ditetapkan pengaturan baru oleh Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui UU 6/2023.\n\nBerkaitan dengan pertanyaan Anda, waktu kerja yang ditentukan undang-undang meliputi:[1]\n\n7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.\n\nNamun, dalam suatu pekerjaan ada kalanya pekerja bekerja melebihi waktu kerja tersebut. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 81 angka 24 Perppu Cipta Kerja, yang mengubah Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:\nPengusaha yang mempekerjakan bekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:\nada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu.\nKemudian, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud ketentuan di atas wajib membayar upah kerja lembur.[2] Namun, patut diperhatikan bahwa ketentuan waktu kerja lembur tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.[3]\n\nSelain itu, Pasal 26 ayat (1) PP 35/2021 juga mengatur batasan waku kerja lembur yang sama, yaitu waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18  jam dalam 1 minggu.\n\nLebih lanjut, untuk melaksanakan waktu kerja lembur harus ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital. Perintah dan persetujuan dapat dibuat dalam bentuk daftar pekerja yang bersedia bekerja lembur yang ditandatangani oleh pekerja dan pengusaha.[4]\n\nKemudian, pengusaha juga harus membuat daftar pelaksanaan kerja lembur yang memuat nama pekerja yang bekerja lembur dan lamanya waktu kerja lembur.[5]\n\nLantas, bagaimana cara menghitung upah lembur? Berikut adalah ulasannya.\nCara Hitung Upah Lembur\n\nPerusahaan yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja (lembur) wajib membayar upah kerja lembur, dengan ketentuan:[6]\n\nuntuk jam kerja lembur pertama sebesar 1,5 kali upah sejam; danuntuk setiap jam kerja lembur berikutnya, sebesar 2 kali upah sejam.\n\nNamun, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi, maka perhitungannya berbeda, yaitu sebagai berikut:\n\nUntuk waktu kerja 6 hari kerja dan 40 jam seminggu:[7]\n\nperhitungan upah kerja lembur dilaksanakan sebagai berikut:\njam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 kali upah sejam;jam kedelapan, dibayar 3 kali upah sejam; danjam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas, dibayar 4 kali upah sejam;jika hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah kerja lembur dilaksanakan sebagai berikut:\njam pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 kali upah sejam;jam keenam, dibayar 3 kali upah sejam; danjam ketujuh, jam kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 kali upah sejam.\nUntuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu:[8]jam pertama sampai dengan jam kedelapan, dibayar 2 kali upah sejam;jam kesembilan, dibayar 3 kali upah sejam; danjam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 kali upah sejam.\nSanksi Penyimpangan Waktu Kerja Lembur\nSebagai informasi, dahulu memang ada yang namanya penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat sebagaimana pernah diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja 1989 yang dilakukan secara selektif dan bersifat temporer, namun kini aturan tersebut telah dicabut keberlakuannya.\n\nDalam hal ada pejabat Dinas Ketenagakerjaan yang masih memberikan izin penyimpangan waktu kerja lembur bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka yang bersangkutan bertindak melampaui wewenang[9] dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan PP 53/2010 sebagaimana diperbaharui dengan PP 94/2021.\n\nSelain itu, pengusaha yang melanggar ketentuan waktu kerja lembur dalam Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagaimana telah disebutkan di atas, dapat dijerat sanksi pidana denda minimal Rp5 juta dan maksimal Rp50 juta.[10] Namun, perlu diingat bahwa sanksi denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/atau ganti kerugian kepada pekerja itu sendiri.[11]\n\nBaca juga: Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor Kep-608/Men/1989 Tahun 1989 tentang Pemberian Izin Penyimpangan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat bagi Perusahaan-Perusahaan yang Memperkerjakan Pekerja 9 Jam Sehari dan 54 Jam Seminggu.\n\n[1] Pasal 81 angka 23 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).[2] Pasal 81 angka 24 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 78 ayat (2) UU Ketenagakerjaan.[3] Pasal 81 angka 24 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 78 ayat (3) UU Ketenagakerjaan.[4] Pasal 28 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”).[5] Pasal 28 ayat (3) PP 35/2021.[6] Pasal 31 ayat (1) PP 35/2021.[7] Pasal 31 ayat (2) PP 35/2021.[8] Pasal 31 ayat (3) PP 35/2021[9] Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.[10] Pasal 81 angka 69 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 188 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[11] Pasal 189 UU Ketenagakerjaan." }
{ "from": "human", "value": "Apakah bisa saya melapor kasus kecelakaan tabrak lari yang sudah 3 bulan berlalu? Dikarenakan sampai 2 kali keluarga saya ke rumah pelaku tidak ketemu titik terangnya, sedangkan bukti motor saya sudah ditarik leasing dan plat nomor mobil pelaku yang jatuh sudah diterima atau dikembalikan." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa tabrak lari yang dimaksud merupakan kecelakaan lalu lintas yang menurut Pasal 1 angka 24 UU LLAJ adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.\nAdapun, kecelakaan lalu lintas terbagi menjadi 3 golongan yaitu:[1]\n\nkecelakaan lalu lintas ringan yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan kendaraan dan/atau barang;kecelakaan lalu lintas sedang yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan kendaraan dan/atau barang;kecelakaan lalu lintas berat yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.\n\nLantas apa itu tabrak lari? Jika merujuk Pasal 312 UU LLAJ, tabrak lari adalah kecelakaan lalu lintas dimana pengemudi kendaraan bermotor yang terlibat dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan kecelakaan lalu lintas kepada Polisi tanpa alasan yang patut.\nSelengkapnya, pasal tabrak lari yaitu Pasal 312 UU LLAJ berbunyi:\n\nSetiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang terlibat Kecelakaan Lalu Lintas dan dengan sengaja tidak menghentikan kendaraannya, tidak memberikan pertolongan, atau tidak melaporkan Kecelakaan Lalu Lintas kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c tanpa alasan yang patut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).\n\nBerdasarkan ketentuan di atas, maka hukuman tabrak lari adalah pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda paling banyak Rp75 juta. Perlu diketahui pula bahwa kasus tabrak lari dikategorikan sebagai kejahatan, bukan pelanggaran.[2]\n\nBaca juga: Ancaman Hukum untuk Pelaku Tabrak Lari\nHak Korban Kecelakaan Lalu Lintas\n\nSebagai korban dari kecelakaan lalu lintas, Pasal 240 UU LLAJ menjamin hak-hak korban yaitu:\n\npertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau pemerintah;ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas; dansantunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan asuransi.\n\nBerdasarkan ketentuan di atas, maka sudah menjadi kewajiban pengemudi tabrak lari untuk bertanggung jawab atas kecelakaan lalu lintas yang terjadi. Namun, perlu diketahui kewajiban tersebut tidak serta merta menghapus kesalahan pidana dari pengemudi.\nBatas Waktu untuk Melapor Kasus Tabrak Lari\n\nDalam UU LLAJ, tidak diatur secara tegas mengenai batas waktu untuk melaporkan kejadian kecelakaan lalu lintas ke Polisi.\nNamun, adanya ketentuan pidana dalam UU LLAJ, maka aturan mengenai daluwarsa tuntutan pidana merujuk pada Pasal 78 ayat (1) KUHP yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku yaitu:\n\nmengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah 1 tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan, atau pidana penjara paling lama 3 tahun, sesudah 6 tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, sesudah 12 tahun;mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun.\n\nSebagai informasi tambahan, dalam UU 1/2023 tentang KUHP Baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, ketentuan daluwarsa penuntutan terdapat di dalam Pasal 136 ayat (1) UU 1/2023 yaitu:\n\nsetelah melampaui waktu 3 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta;[4]setelah melampaui waktu 6 tahun untuk untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 tahun dan paling lama 3 tahun;setelah melampaui waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 tahun dan paling lama 7 tahun;setelah melampaui waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 tahun dan paling lama 15 tahun; dansetelah melampaui waktu 20 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.\n\nMerujuk Pasal 310 UU LLAJ, apabila kasus kecelakaan lalu lintas atau tabrak lari tersebut mengakibatkan:\n\nkerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana penjara paling lama 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp1 juta;korban luka ringan dan kerusakaan kendaraan dan/atau barang dipidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp2 juta;korban luka berat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta;korban meninggal dunia dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 juta.\n\nDari penjelasan di atas, menjawab pertanyaan Anda, jika Anda menjadi korban tabrak lari dan mendapatkan luka ringan maka jangka waktu untuk melaporkan kejadian tersebut adalah 6 tahun sejak terjadinya kecelakaan lalu lintas.\n\nSementara, jika korban mengalami luka berat atau meninggal dunia, maka batas waktu melaporkan kejadian tersebut adalah 12 tahun sejak terjadinya kecelakaan lalu lintas.\n\nSebagai catatan, panduan dalam menghadapi kasus kecelakaan lalu lintas maka dapat dibaca selengkapnya di 10 Langkah Hukum Menjerat Pelaku Kecelakaan Lalu Lintas. Sementara, terkait dengan prosedur melaporkan kejadian tabrak lari atau kecelakaan lalu lintas ke Polisi, dapat disimak dalam artikel Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang pasal tabrak lari dan batas waktu melaporkannya, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4a604fcfd406d/undangundang-nomor-22-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_22_2009)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n[1] Pasal 229 ayat (1) s.d. ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”)[2] Pasal 316 ayat (2) UU LLAJ[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[4] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Dalam UU Kepailitan, yang dapat dimasukkan dalam objek pailit adalah harta yang ada setelah adanya putusan pailit dan selama kepailitan itu berlangsung. Yang menjadi pertanyaan saya adalah batasan tentang harta yang \"selama kepailitan itu berlangsung\". Apakah harta yang dihitung sebagai harta pailit adalah harta yang sampai dengan dilakukannya pencatatan oleh kurator atau hingga pembagian harta pailit?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Syarat Pengajuan Actio Pauliana oleh Kurator Kepailitan 16 Nov 2022 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya 05 Agt 2022 Langkah Memperoleh Homologasi dalam Kepailitan dan PKPU 18 Mei 2022 Fungsi Balai Harta Peninggalan sebagai Kurator Kepailitan 16 Mar 2022 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Harta Pailit yang dibuat oleh Imam Nasima dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 14 Desember 2010. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasal mengenai kekayaan debitur yang menjadi harta pailit dengan jelas dan tegas telah diatur dalam Pasal 21 UU Kepailitan yang menyatakan kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan Lantas apa yang dimaksud harta pailit? Dalam hal ini, debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. [1] Baca juga: Tugas Kurator dan Hakim Pengawas dalam Kepailitan Tanggal putusan itu terhitung sejak pukul 00.00 waktu setempat tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, misalnya putusan diucapkan di Jakarta pada tanggal 11 Januari 2023, maka putusan berlaku dihitung sejak pukul 00.00 WIB tanggal 11 Januari 2023 [2] hingga berakhirnya kepailitan [3] yaitu setelah pembayaran jumlah penuh piutang milik kreditur yang telah dicocokkan atau daftar pembagian penutup menjadi mengikat, [4] seluruh kekayaan debitur termasuk harta pailit/ boedel pailit. Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya berjudul Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan pun menjelaskan kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur baik yang sudah ada pada saat pernyataan pailit diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga serta segala sesuatu yang baru akan diperoleh debitur selama berlangsungnya kepailitan (hal. 179). Dalam artian “selama berlangsungnya kepailitan” adalah sejak putusan pailit diucapkan oleh majelis hakim Pengadilan Niaga sampai dengan selesainya tindakan pemberesan atau likuidasi oleh kurator sepanjang putusan itu tidak diubah sebagai akibat upaya hukum berupa kasasi atau peninjauan kembali (hal. 179). Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, apakah harta pailit dihitung sampai dengan dilakukannya pencatatan oleh kurator atau hingga pembagian harta pailit, kami berpendapat bahwa harta pailit/ boedel pailit harus terus diupayakan pencarian, pencatatan, penghitungan dan pembagiannya oleh kurator hingga memiliki keyakinan bahwa sudah tidak ada lagi boedel pailit yang dapat dicari, dicatat, dihitung dan dibagi kepada para kreditur, sehingga kurator membuat daftar pembagian penutup dan segera setelah daftar pembagian penutup menjadi mengikat, maka berakhirlah kepailitan . Baca juga: Risiko Hukum Kurator Jika Lalai Urus Harta Pailit Atau dengan kata lain, kepailitan masih berlangsung pada saat pencatatan oleh kurator. Sehingga harta yang diperoleh setelahnya tetap menjadi bagian dari harta pailit hingga kepailitan berakhir. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . REFERENSI:\n1. Sutan Remy Sjahdeini. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan . Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009. [1] Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan”) [2] Pasal 24 ayat (2) dan penjelasannya UU Kepailitan [3] Pasal 215 UU Kepailitan [4] Pasal 202 ayat (1) UU Kepailitan boedel pailit harta pailit kepailitan pengadilan niaga" }
{ "from": "human", "value": "Dalam pasal 12C UU 20/2001 dijelaskan bahwa gratifikasi bukan merupakan perbuatan suap atau tindak pidana korupsi jika penerimanya memberikan laporan kepada KPK dengan jangka waktu paling lambat 30 hari. Apakah KPK bisa menetapkan tersangka terhadap penerima gratifikasi sebelum masa waktu 30 hari habis seperti dijelaskan pada pasal 12C UU 20/2001 tersebut? Jika bisa, apa legalitas atau landasan hukumnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sejarah Konsep Gratifikasi dalam UU Tipikor Pasal 12C jo . Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Aturan ini harus dihargai dan dihormati oleh seluruh aparat hukum, tidak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”). Masing-masing ketentuan tersebut berbunyi sebagai berikut: Pasal 12B UU 20/2001 Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 12C UU 20/2001 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuai dengan sejarah pembentukannya, pasal tersebut dibuat dengan keyakinan bahwa masih banyak pejabat atau penyelenggara negara yang baik dan jujur di Indonesia. Si pejabat tersebut bisa saja dijebak oleh orang-orang yang tidak suka dengan dirinya karena kebijakan-kebijakan yang dibuatnya yang membuat pihak lain yang mau berbuat jahat dirugikan sehingga si pejabat harus disingkirkan dengan menjadikannya sebagai pelaku suap. Oleh karena itu, bagi si pejabat yang baik dan jujur, dibuka kesempatan 30 hari untuk melaporkan gratifikasi yang diterimanya agar terbebas dari masalah hukum. Mereka dapat kita sebut sebagai pejabat baik, jika setia kepada sumpah jabatannya, tidak pernah meminta (secara halus atau bahasa tubuh) atau menjanjikan apapun, adil, dan bijaksana sehingga tidak menjadi sorotan masyarakat, yang menjadi pintu masuk KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, atau operasi tangkap tangan (OTT). Pengertian gratifikasi sendiri menurut P enjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 adalah, pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat ( discount ), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Menjawab pertanyaan diatas, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12C UU 20/2001 di atas , sanksi atau ancaman pidana d alam Pasal 12 B ayat (1) UU 20/2001 tidak berlaku jika pegawai negeri atau penyelenggara negara melaporkan tindakan gratifikasi kepada KPK dalam kurun 30 hari sejak gratifikasi diterima . Gratifikasi sebagai Suap Dalam Praktik Mekanisme pelaporan yang disediakan oleh undang-undang tersebut bertujuan untuk memutus potensi menjadi sempurnanya suap yang tertunda. Dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi, beban moral yang dapat timbul akibat diterimanya penerimaan gratifikasi tersebut menjadi hilang. Dengan demikian, maksud atau tujuan terselubung pemberi untuk meminta pegawai negeri/penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya di kemudian hari menjadi tidak terwujud. Mekanisme pelaporannya sendiri sudah sering dipublikasikan oleh KPK dalam berbagai kesempatan. Artinya, setiap pejabat sudah seharusnya paham akan arti pelaporan tersebut. Dari berbagai pengalaman kami mengikuti perkara-perkara korupsi gratifikasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, pada setiap pemeriksaan saksi, ahli, maupun terdakwa, Jaksa Penuntut Umum selalu memutar rekaman pembicaraan Terdakwa dengan para saksi. Selain itu juga ditayangkan transkrip pembicaraannya di layar lebar yang telah disediakan. Terdakwa biasanya tidak berkutik untuk membantah jika alat bukti ini diperlihatkan pada persidangan yang terbuka untuk umum. Semua penonton persidangan bisa mendengar dan membaca alur kejadian secara utuh. Inti yang bisa disampaikan adalah, proses pemberian gratifikasi adalah proses yang sudah diatur sejak awal, baik oleh saksi maupun oleh Terdakwa. Gratifikasi sudah berkali-kali diterima, tetapi tidak melaporkannya kepada KPK. Sehingga, setiap terdakwa yang diadili tidak bisa mematahkan dalil Jaksa Penuntut Umum yang menyatakan bahwa gratifikasi yang diterima adalah suap. Kesimpulannya , jika para pejabat negara memang memiliki niat baik, tulus, dan ikhlas, maka mereka tak perlu takut dalam bekerja. Segera laporkan apapun gratifikasi yang Anda terima kepada KPK. Pejabat jujur dan berintegritas, jangan takut kepada KPK. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi . tindak pidana korupsi hukumonline komisi pemberantasan korupsi kpk korupsi suap tindak pidana gratifikasi" }
{ "from": "human", "value": "Berapa batas waktu penahanan di BNN untuk kepentingan penyidikan? Dan apa yang harus dilakukan pihak tersangka jika batas waktu tersebut telah lewat namun BAP masih belum selesai?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apakah Setiap Tersangka Kasus Narkotika Harus Melalui Tes Urine? 03 Nov 2014 Adakah Sanksi bagi Pelaku Pengisap Aroma Lem? 20 Jan 2014 Narkotika Jenis Baru dan Asas Legalitas 04 Sep 2013 Hukum Menanam Cannabis (Ganja) 02 Sep 2013 Intisari: Dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (“BNN”) berwenang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, T erhadap upaya paksa penahanan, UU Narkotika tidak memberikan suatu pengaturan khusus layaknya penangkapan. Oleh karena itu, upaya paksa penahanan mengacu kepada pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“ KUHAP ”). KUHAP mengatur bahwa penyidik dapat melakukan penahanan untuk jangka waktu 20 hari dan penyidik dapat memintakan perpanjangan kepada penuntut umum untuk jangka waktu paling lama 40 hari. Setelah waktu 60 hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wewenang BNN dalam Melakukan Penahanan Pada tingkat penyidikan sebagaimana yang Anda tanyakan, dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik Badan Narkotika Nasional (“BNN”) berwenang menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. [1] Pelaksanaan kewenangan penangkapan ini dilakukan paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam terhitung sejak surat penangkapan diterima penyidik dan dapat diperpanjang paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam. [2] Namun terkait kewenangan penahanan oleh BNN ini, sayangnya UU Narkotika tidak memberikan pengaturan khusus seperti halnya penangkapan. Dalam suatu studi berjudul Meninjau Rehabilitasi Pengguna Narkotika dalam Praktik Peradilan yang kami akses dari situs Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) (hal. 17) dijelaskan bahwa t erhadap upaya paksa penahanan, UU Narkotika tidak memberikan suatu pengaturan khusus layaknya penangkapan. Oleh karena itu, upaya paksa penahanan mengacu kepada pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“ KUHAP ”) . Masih bersumber dari studi di atas, dalam struktur KUHAP, penahanan dapat dimulai dari fase pra persidangan yaitu pada tahapan penyidikan hingga pemeriksaan di sidang pengadilan, baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung. Penahanan diatur dalam Pasal 20 KUHAP sampai dengan Pasal 31 KUHAP . Penahanan dalam KUHAP diartikan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. [3] Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah dari penyidik berwenang melakukan penahanan. [4] Jangka Waktu Penahanan Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik hanya berlaku paling lama 20 hari. [5] Jangka waktu ini dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 40 hari jika diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, [6] Tetapi, ketentuan jangka waktu tersebut tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. [7] Perlu diingat bahwa jika waktu 60 hari tersebut sudah terlampaui, maka penyidik harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. [8] Jadi, penahanan di BNN untuk kepentingan penyidikan ini dilakukan dalam jangka waktu 20 hari dan dapat diperpanjang selama 40 hari. Lalu bagaimana apabila BAP masih belum selesai sementara penahanan telah melewati jangka maksimum 60 hari? Merujuk pada ketentuan di atas, setelah waktu 60 hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum . [9] Dengan kata lain, tersangka yang terjerat kasus narkotika itu berhak meminta dikeluarkan dari tahanan. Masih bersumber dari studi yang dilakukan ICJR, jika masa penahanan dijumlahkan secara keseluruhan, mulai dari pemeriksaan di tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan pengadilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung), maka total jangka waktu paling lama dalam melakukan penahanan adalah 400 hari. Apabila batas waktu ini telah tercapai, sekalipun pemeriksaan perkara belum selesai, tersangka/terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum tanpa dibebani syarat dan prosedur tertentu . Perintah tersangka/terdakwa harus dikeluarkan dari penahanan demi hukum tanpa dibebani syarat dan prosedur tertentu apabila telah melewati jangka waktu maksimum dalam melakukan penahanan juga berlaku pada tiap tahapan pemeriksaan di masing-masing tingkatan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika . REFERENSI:\n1. http://icjr.or.id/data/wp-content/uploads/2016/08/Studi-SEMA-dan-SEJA-Rehabilitasi-dalam-Praktek-Peradilan.pdf , diakses pada 26 Agustus pukul 11.42 WIB. [1] Pasal 75 huruf g Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) [2] Pasal 76 UU Narkotika [3] Pasal 1 angka 21 KUHAP [4] Pasal 20 ayat (1) KUHAP [5] Pasal 24 ayat (1) KUHAP [6] Pasal 24 ayat (2) KUHAP [7] Pasal 24 ayat (3) KUHAP [8] Pasal 24 ayat (4) KUHAP [9] Pasal 24 ayat (4) KUHAP penahanan narkotika hukumonline klinik hukumonline penangkapan hukum klinik badan narkotika nasional bnn narkoba pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa saja batas zona maritim yang diatur oleh hukum laut internasional? Serta apakah terdapat cara menyelesaikan sengketa kelautan berdasarkan hukum internasional?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPengertian, Asas, dan Prinsip Hukum Humaniter Internasional07 Sep 2023Sejarah Singkat Hukum Laut Internasional08 Sep 2022Jenjang Kepangkatan, Gelar, dan Syarat Menjadi Diplomat25 Agt 20228 Prinsip dan Sifat Hak Asasi Manusia Beserta Penjelasannya19 Agt 2022\n\nDalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 atau United Nations on the Law of the Sea 1982 (“UNCLOS 1982\") terdapat delapan pembagian zona maritim antara lain:\n\nPerairan Pedalaman (Archipelagic Waters atau Internal Waters)\n\nPerairan pedalaman diatur adalah perairan yang terletak ke arah dalam dari garis batas pengukur laut teritorial.[1]\nPerairan pedalaman secara umum terdiri dari teluk, muara, pelabuhan dan perairan-perairan yang tertutup oleh garis pangkal lurus (straight baselines). Negara pantai memiliki kedaulatan penuh atas internal waters, sehingga tidak terdapat hak lintas damai (innocent passage) bagi kapal-kapal asing.\n\nLaut Teritorial (Territorial Sea)\n\nPada laut teritorial berlaku kedaulatan negara pantai selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, serta meliputi suatu jalur laut yang berbatasan dengannya.[2] Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya.[3]\nBerdasarkan Pasal 3 UNCLOS 1982, setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya sampai batas maksimum 12 mil laut diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai konvensi.\n\nDalam konvensi hukum laut atau UNCLOS 1982 terdapat 3 macam garis pangkal, yaitu:\n\nGaris pangkal normal (normal baseline);[4]Garus pangkal lurus (straight baseline);[5]Garis pangkal lurus kepulauan (archipelagic straight baseline).[6]\n\nPerlu Anda ketahui bahwa, di wilayah laut teritorial, kapal-kapal dari semua negara memperoleh hak lintas damai (innocent passage) untuk melintasi atau berlayar di atasnya.\n\nHak lintas damai wajib dilakukan dengan terus menerus dan secepat mungkin dan terdapat beberapa syarat yang diperlukan yaitu:[7]\n\nKapal melintasi laut teritorial tanpa memasuki perairan pedalaman atau berkunjung ke pelabuhan;Kapal berlayar ke atau dari perairan pedalaman atau singgah ke pelabuhan.\n\nZona Tambahan (Contiguous Zone)\n\nZona tambahan adalah zona yang berbatasan dengan laut teritorial. Zona ini diukur sejauh 24 mil laut (nautical miles) dari garis pangkal dimana laut teritorial diukur.[8]\n\nDalam zona tambahan, negara pantai dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran terhadap peraturan bea cukai, perpajakan atau fiskal, imigrasi dan kesehatan pada laut teritorialnya dan menghukum pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tersebut yang dilakukan di dalam laut teritorialnya.[9]\n\nLandas Kontinen (Continental Shelf)\n\nDalam UNCLOS 1982 terdapat beberapa aturan mengenai landas kontinen, antara lain:\n\njarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut;kelanjutan alamiah (natural prolongation) wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar laut teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam konvensi; atautidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter isobath.\n\nAturan selengkapnya mengenai landas kontinen dapat Anda baca pada Pasal 76-85 UNCLOS 1982.\n\nZona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)\n\nZone Ekonomi Eksklusif (“ZEE”) merupakan zona maritim yang berada di luar dan berdampingan dengan laut teritorial sejauh 200 mil laut,[10] yang bernilai ekonomis tunduk pada pengaturan khusus (exclusive).[11]\n\nDalam Pasal 56 ayat (1) UNCLOS 1982, terhadap ZEE berlaku hak berdaulat dan yurisdiksi dalam hal sebagai berikut:\n\nHak berdaulat untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan sumber kekayaan alam hayati dan non hayati;Yurisdiksi untuk membuat dan memakai pulau buatan, instalasi dan bangunan, riset ilmiah kelautan, pelindungan dan pelestarian lingkungan laut.\n\nSebagai informasi, kedaulatan dan hak berdaulat memiliki pengertian berbeda. Kedaulatan (sovereignty) adalah manifestasi tertinggi dari kepemilikan dan kekuasaan atas wilayah atau teritorial. Sedangkan hak berdaulat (sovereign rights) adalah hak-hak eksklusif yang dilaksanakan oleh negara pantai dan berlaku terhadap sumber-sumber daya alam dalam batas tertentu yang telah ditetapkan.[12]\n\nBaca juga: Kenali ZEE dan Hak-hak Berdaulatnya\n\nLaut Lepas (High Seas)\n\nUNCLOS 1982 tidak memberikan definisi tentang laut lepas atau laut bebas, hanya dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai zona maritim tersebut diterapkan terhadap semua bagian laut yang tidak termasuk dalam ZEE, laut teritorial, atau perairan pedalaman dari suatu negara, atau perairan kepulauan dari suatu negara kepulauan.[13]\n\nDi zona laut lepas, semua negara dapat melaksanakan kebebasan, yakni kebebasan berlayar, terbang, pemasangan pipa kabel, pembangunan instalasi dan pulau buatan, dan riset ilmiah kelautan.[14]\n\nDi laut lepas berlaku prinsip universal jurisdiction, yaitu prinsip hukum yang mengizinkan dan mengharusnya suatu negara untuk memproses tindakan kejahatan, terlepas dari lokasi kejahatan terjadi, kebangsaan pelaku ataupun korban.[15]\nPenerapan universal jurisdiction terdapat dalam Pasal 100 UNCLOS 1982, yaitu:\n\nAll States shall cooperate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any State.\n\nArtinya, setiap negara memiliki kewajiban untuk bekerja sama dalam menumpas tindak kejahatan perompakan di laut lepas, maupun di luar yurisdiksi suatu negara.\n\nKemudian, tidak ada satupun negara dapat menundukkan kegiatan di laut bebas, di bawah kedaulatan negara tersebut, serta setiap negara berhak melayarkan kapal di laut lepas, dengan mengibarkan bendera kapalnya.[16]\n\nDasar Laut Samudra atau Kawasan (Seabed or The Area)\n\nDi dalam preambul UNCLOS 1982 pengertian dasar laut samudra atau kawasan adalah  area dasar laut terdiri atas dasar laut, dasar samudra, dan tanah di bawahnya di luar yurisdiksi nasional.\n\nPada kawasan ini berlaku prinsip common heritage of mandkind, yakni warisan bersama umat manusia. Artinya, setiap negara bebas melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah ini dan memiliki tanggung jawab bersama untuk mengawasi dan menjaga wilayah tersebut dari kerusakan.[17]\n\nDasar laut samudra selengkapnya diatur di dalam Pasal 133-191 UNCLOS 1982.\n\nSelat Internasional (International Strait)\n\nSelat internasional merupakan sebuah jalur laut yang dibatasi pantai yang berseberangan, menghubungkan dua bagian dari laut lepas, dan digunakan untuk navigasi internasional.[18] Adapun yang bertanggung jawab atas keselamatan pelayaran internasional adalah negara yang berbatasan dengan selat tersebut.[19]\n\nSelat internasional juga dapat diartikan sebagai wilayah yang menjadi tempat perlintasan dengan ukuran area tidak melebihi luas dari dua kali lebar laut teritorial negara pantai. Selain itu, selat internasional memisahkan dua daratan, menghubungkan laut lepas negara dengan laut lepas negara lain, atau menghubungkan ZEE dengan ZEE lain, serta menghubungkan perairan pedalaman atau perairan kepulauan yang digunakan untuk pelayaran internasional.[20]\n\nAdapun, berbagai zona maritim dapat digambarkan seperti ini:[21]\nPenyelesaian Sengketa Berdasarkan UNCLOS 1982\n\nKetika terjadi sengketa kelautan, terdapat alternatif dan prosedur penyelesaian sengketa (dispute setlement) bagi negara yang memiliki masalah hukum di bidang kelautan.\n\nDi dalam UNCLOS 1982, terdapat empat pilihan penyelesaian sengketa antara lain:[22]\n\nMahkamah Hukum Laut Internasional (International Tribunal for the Law of the Sea  atau ITLOS);Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ);Mahkamah Arbitrase (Arbitral Tribunal);Mahkamah Arbitrase Khusus (Special Arbitral Tribunal).\n\nContoh sengketa yang berkaitan dengan kelautan adalah The South China Sea v. Philippines, yakni sebuah sengketa kelautan tentang perbatasan dan tumpang tindih klaim negara-negara di sekitarnya. Kasus tersebut diselesaikan oleh Mahkamah Arbitrase Internasional.\n\nBaca juga: Konflik Laut China Selatan Perlu Penanganan Bersama, Ini yang Perlu Dilakukan Pemerintah Terkait Putusan Laut Cina Selatan\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [United Nations on the Law of the Sea 1982](https://www.un.org/depts/los/convention_agreements/texts/unclos/unclos_e.pdf)\n2. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 Pengesahan United Nations Convention On The Law Of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2584/undangundang-nomor-17-tahun-1985?r=0&p=1&q=UU%2017%2F1985&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_1985)\nPUTUSAN\n\nThe South China Sea v. Philippines\n\nREFERENSI:\n1. Ana G. Lopez Martin. International Straits: Concept, Classification, and Rules of Passage. Heidelberg: Springer, 2010\n2. Dwi Astuti Palupi. Hukum Laut Internasional. Sumbar: LPPM Universitas Bung Hatta, 2022\n3. John H. Currie. Public International Law: Second Edition. Toronto: Irwin Law Inc., 2008\n4. M. Ilham F. Putuhena. Urgensi Pengaturan Mengenai Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan di Area Dasar Laut Internasional. Jurnal Rechtsvinding, Vol. 8, No. 2, 2019\n5. Muhammad Nasir. Pentingnya Pembentukan Undang-Undang Lintas Transit di Selat Malaka Bagi Indonesia dan Malaysia. MMH, Vol. 42, No. 4, 2013\n6. Retno Windari. Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim. Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009\n7. The Scope and Application of the Principle of Universal Jurisdiction: The Report of the Sixth Committee A/64/452-Res 64/117, diakses pada Rabu, 22 Juni 2022, pukul 12.32 WITA\n8. Workshop on International Tribunal for The Law of The Sea Procedures, Dewan Sengketa Indonesia & ITLOS, dilaksanakan Rabu, 6 April 2022, pukul 14.00-16.00 WIB.\n\n[1] Pasal 8 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (“UNCLOS 1982”). 2[2] Pasal 2 ayat (1) UNCLOS 1982[3] Pasal 2 ayat (2) UNCLOS 1982.[4] Pasal 5 UNCLOS 1982[5] Pasal 7 ayat (1) UNCLOS 1982[6] Pasal 47 ayat (1) UNCLOS 1982[7] Pasal 18 ayat (1) dan (2) UNCLOS 1982[8] Pasal 33 ayat (2) UNCLOS 1982[9] Pasal 33 ayat (1) UNCLOS 1982.[10] Pasal 57 UNCLOS 1982.[11] Dwi Astuti Palupi, Hukum Laut Internasional, Sumbar: LPPM Universitas Bung Hatta, 2022, hal. 53.[12] Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, hal. 24[13] Retno Windari, Hukum Laut, Zona-Zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensi-Konvensi Bidang Maritim, Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut, 2009, hal. 26[14] Pasal 87 UNCLOS 1982[15] The Scope and Application of the Principle of Universal Jurisdiction: The Report of the Sixth Committee A/64/452-Res 64/117, diakses pada Rabu, 22 Juni 2022, pukul 12.32 WITA. [16] Pasal 89 dan Pasal 90 UNCLOS 1982[17] M. Ilham F. Putuhena, Urgensi Pengaturan Mengenai Eksplorasi dan Eksploitasi Pertambangan di Area Dasar Laut Internasional, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 8, No. 2, 2019, hal. 174.[18] John H. Currie, Public International Law: Second Edition, Toronto: Irwin Law Inc., 2008, hlm. 300.[19] Muhammad Nasir, Pentingnya Pembentukan Undang-Undang Lintas Transit di Selat Malaka Bagi Indonesia dan Malaysia, MMH, Vol. 42, No. 4, 2013, hal. 476.[20] Ana G. Lopez Martin, International Straits: Concept, Classification, and Rules of Passage, Heidelberg: Springer, 2010, hal. 61.[21] Workshop on International Tribunal for The Law of The Sea Procedures, Dewan Sengketa Indonesia & ITLOS, dilaksanakan Rabu, 6 April 2022, pukul 14.00-16.00 WIB.[22] Pasal 287 ayat (1) UNCLOS 1982" }
{ "from": "human", "value": "Sejauh mana batasan mengakses data pribadi pegawai oleh perusahaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Saat ini Indonesia telah memiliki peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur tentang pelindungan data pribadi. Adapun dalam Pasal 1 angka 1 UU PDP disebutkan pengertian data pribadi adalah data tentang orang perseorangan yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi secara tersendiri atau dikombinasi dengan informasi lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem elektronik atau nonelektronik.\nJika hendak melakukan pemrosesan data pribadi yang mencakup pemerolehan dan pengumpulan, pengolahan dan penganalisisan, penyimpanan, perbaikan dan pembaruan, penampilan, pengumuman, transfer, penyebarluasan, pengungkapan, dan/atau penghapusan atau pemusnahan yang pada dasarnya harus dilakukan sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi dan ada dasar pemrosesan data pribadi.[1]\nDasar pemrosesan data pribadi meliputi:[2]\n\npersetujuan yang sah secara eksplisit dari subjek data pribadi untuk satu atau beberapa tujuan tertentu yang telah disampaikan oleh pengendali data pribadi kepada subjek data pribadi;pemenuhan kewajiban perjanjian dalam hal subjek data pribadi merupakan salah satu pihak atau untuk memenuhi permintaan subjek data pribadi pada saat akan melakukan perjanjian;pemenuhan kewajiban hukum dari pengendali data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;pemenuhan pelindungan kepentingan vital subjek data pribadi;pelaksanaan tugas dalam rangka kepentingan umum, pelayanan publik, atau pelaksanaan kewenangan pengendali data pribadi berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/ataupemenuhan kepentingan yang sah lainnya dengan memperhatikan tujuan, kebutuhan, dan keseimbangan kepentingan pengendali data pribadi dan hak subjek data pribadi.\n\nMenurut Teguh Arifiyadi yang merupakan Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), dalam mengakses terhadap data karyawan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut.\n\nKomputer atau sistem elektroniknya milik siapa?E-mail milik siapa?E-mail isinya terkait apa?Adakah izin untuk mengakses? Misalnya form consent yang memuat setuju/tidak setuju di perjanjian kerja.\n\nAdapun jenis data pribadi dalam Pasal 4 UU PDP terdiri dari data pribadi yang bersifat spesifik dan data pribadi yang bersifat umum. Data pribadi yang bersifat spesifik meliputi data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, catatan kejahatan, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya. Sedangkan data pribadi yang bersifat umum meliputi nama lengkap, jenis kelamin, kewarganegaraan, agama, status perkawinan, dan/atau data pribadi yang dikombinasikan untuk mengidentifikasi seseorang.\n\nSehingga jika tidak ada data yang terkait dengan kepentingan perusahaan, maka ranahnya tetap masuk area privacy, dan perusahaan dilarang mengakses data pribadi milik karyawan tersebut. Oleh karena itu, harus diperhatikan hal-hal yang disebutkan oleh Teguh di atas sebagai batasan untuk mengakses suatu data yang dikuasai pegawai oleh suatu perusahaan.\nSanksi Pidana Mengakses Data Pribadi Tanpa Hak\n\nTerkait jerat pidana mengakses tanpa hak dapat dilihat dalam Pasal 30 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 46 UU ITE yang berbunyi sebagai berikut.\n\nSetiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp600 juta.Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dipidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp700 juta.\n\nSelain itu, jika perusahaan melakukannya tanpa ada dasar pemrosesan data pribadi, perusahaan bisa dijerat sanksi dalam Pasal 67 ayat (1) UU PDP yaitu bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugian subjek data pribadi dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5 miliar.\n\nSelain dijatuhi pidana, pelaku juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana dan pembayaran ganti kerugian.[3]\n\nNamun dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pidana dapat dijatuhkan kepada pengurus, pemegang kendali, pemberi perintah, pemilik manfaat, dan/atau korporasi itu sendiri. Patut dicatat, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanyalah pidana denda paling banyak 10 kali dari maksimal pidana denda yang diancamkan.[4]\n\nSelain dijatuhi pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:[5]\n\nperampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh atau hasil dari tindak pidana;pembekuan seluruh atau sebagian usaha korporasi;pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu;penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi;melaksanakan kewajiban yang telah dilalaikan;pembayaran ganti kerugian;pencabutan izin; dan/ataupembubaran korporasi.\n\nDengan demikian, harus diperhatikan kembali apakah perusahaan memiliki dasar pemrosesan data pribadi serta apakah data tersebut ada kaitannya dengan kepentingan perusahaan atau tidak.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n2. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n3. [Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt561f74edf3260?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_PDP)\nREFERENSI:\n1. Pendapat Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. CEH., CHFI, Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), yang disampaikan pada Pelatihan Hukumonline 2019 dengan judul Strategi Keamanan Siber: Penanganan, Pencegahan, dan Penanggulangan Serangan Siber, pada tanggal 19-20 Juni 2019.\n\n[1] Pasal 16 jo. Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”)[2] Pasal 20 ayat (2) UU PDP[3] Pasal 69 UU PDP[4] Pasal 70 ayat (1), (2), dan (3) UU PDP[5] Pasal 70 ayat (4) UU PDP" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah definisi nafkah menurut hukum? 2. Apakah pemberian bapak (berupa uang yang tidak seberapa atau barang) kepada anak yang sekali-sekali bisa disebut nafkah? 3. Apakah hukumnya bapak yang tidak memberi nafkah kepada anak kandungnya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika Ayah Tidak Menafkahi Keluarganya 10 Feb 2023 Jika Suami Tidak Menafkahi Istri yang Penghasilannya Lebih Besar 14 Jun 2013 Jika Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami 29 Apr 2013 Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah 09 Apr 2013 1. Di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak diatur secara eksplisit pengertian nafkah. Namun, yang memiliki maksud sama dengan nafkah itu sendiri secara implisit disebut dalam Pasal 34 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang berbunyi: “ Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selain merujuk pada UU Perkawinan, kewajiban suami/bapak dalam rumah tangga juga terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“ UU PKDRT”) yang mengatakan bahwa s etiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Anak merupakan orang dalam lingkup rumah tangga yang perlu dirawat dan dipelihara oleh orang yang menjadi penanggung baginya, dalam hal ini adalah bapak. Oleh karena, itu, secara undang-undang, seorang bapak berkewajiban memberikan nafkah bagi anak. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah , b agi yang beragama Islam, p engaturan nafkah terdapat dalam Pasal 80 ayat (2) dan ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) , yaitu bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri. b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak. c. biaya pendidikan bagi anak. Merujuk pada sebuah tulisan yang berjudul Implikasi Nafkah Dalam Konstruksi Hukum Keluarga yang dibuat oleh Erfani, S.HI. dalam laman resmi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI . Erfani mengatakan bahwa d alam terminologi fikih, fuqaha` memberikan definisi nafkah sebagai biaya yang wajib dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan, termasuk juga kebutuhan sekunder seperti perabot kerumahtanggaan. 2. Untuk menjawab pertanyaan Anda berikutnya mengenai apakah pemberian bapak kepada anak (berupa uang yg tidak seberapa atau barang) kepada anak yang sekali-sekali bisa disebut nafkah, Erfani mengatakan: “… maka hukum keluarga melahirkan konsekuensi berupa terciptanya hak dan kewajiban yang saling timbal-balik di antara person-person dalam keluarga. Di antara hak dan kewajiban itu, adalah ketika jalinan keluarga membutuhkan penghidupan guna menopang jalannya rumah tangga. Dalam situasi ini, maka adalah kemutlakan jika harus ada yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu, mulai sandang, pangan dan papan. Semua hal itu, oleh agama secara umum disebut sebagai nafkah .” Dari penjelasan apa yang dimaksud dengan nafkah peraturan-peraturan yang telah kami sebutkan di atas dan penjelasan menurut Erfani, dapat diketahui bahwa nafkah tidak hanya berupa uang (seperti biaya rumah tangga dan biaya pendidikan bagi anak), tetapi dapat pula berupa barang. Memang, jika hanya merujuk secara baku apa yang disebut dalam peraturan perundang-undangan terntang nafkah, sepanjang uang atau barang tersebut diberikan oleh bapak kepada anak yang menjadi tanggungannya dalam lingkup rumah tangganya, maka hal tersebut dikatakan sebagai nafkah. Namun, ada hal yang kami fokuskan di sini terkait kondisi bapak dalam cerita Anda yang memberikan uang yang tidak seberapa dan barang hanya sesekali. Melihat konteks nafkah menurut peraturan perundang-undangan terkait dan KHI yang kami sebutkan di atas, terdapat kata-kata “ sesuai dengan penghasilannya, bapak/suami menanggung nafkah ”. Apabila seorang bapak dalam lingkup rumah tangga itu memiliki penghasilan yang rutin didapatnya karena ia bekerja, maka seharusnya uang/barang yang ia berikan kepada anaknya itu juga harus diberikan secara rutin. Hal yang menjadi fokus dari baik peraturan perundang-undangan terkait maupun KHI adalah sesuai dengan penghasilannya. Apabila uang/barang tersebut tidak diberikan secara rutin sementara penghasilan bapak diterimanya secara rutin, maka menurut hemat kami hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai nafkah. Seorang bapak memang seharusnya menanggung nafkah sesuai dengan kemampuannya, akan tetapi pemberian tersebut juga seharusnya disesuaikan dengan kontinuitas dari penghasilan yang didapatnya. Untuk lebih jelasnya kita dapat merujuk pada Putusan Pengadilan Agama Kota Baru . Dalam putusan tersebut diceritakan bahwa Tergugat selaku mantan suami Penggugat (keduanya telah bercerai) hanya sesekali memberi uang untuk anak-anak secara langsung yang menurut pengakuan anak-anak kepada Penggugat uang yang diberikan Penggugat hanya sekedar untuk membeli jajan saja, yaitu berkisar Rp 1.000 (seribu rupiah) s.d Rp 2.000 (dua ribu rupiah). Dalam putusan tersebut diceritakan juga bahwa Tergugat menyatakan masih tetap memberikan nafkah untuk ketiga anaknya namun menurut Penggugat yang juga tidak dibantah oleh Tergugat hal tersebut bukanlah merupakan nafkah namun hanya sekedar uang jajan sebab pemberian Tergugat kepada anak-anaknya jika hanya bertemu saja. Yang menjadi tuntutan Penggugat kepada Tergugat adalah nafkah untuk ketiga anaknya pasca-terjadinya perceraian yang setiap bulannya Penggugat meminta kepada Tergugat Rp 600.000 (enam ratus ribu rupiah) perbulan sampai dewasa atau mandiri. Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim akhirnya memutuskan menghukum Tergugat untuk membayar nafkah ketiga anak minimal Rp 450.000 (empat ratus lima puluh ribu rupiah) perbulan sampai ketiga anak tersebut dewasa atau mandiri. 3. Bagaimana jika bapak tidak menunaikan kewajibannya dalam menafkahi anak kandungnya? Untuk menjawab ini dan m asih berkaitan dengan kewajiban bapak dalam lingkup rumah tangga, kita berpedoman pada Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT yang berbunyi : “S etiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.“ Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui bahwa bapak dalam pertanyaan Anda dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, yakni termasuk anak. Sanksi bagi bapak yang tidak menafkahi anaknya tersebut berdasarkan Pasal 49 huruf a UU PKDRT adalah pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Referensi: http://badilag.net/data/ARTIKEL/NAFKAH%20DAN%20IMPLIKASINYA%20DALAM%20HUKUM%20KELUARGA.pdf , diakses pada 22 Juli 2013 pukul 11.12 WIB Putusan : http://www.pa-kotobaru.net/index.php?option=com_putusan&act=download&Itemid=32&id=1787&file=putusan-0153-Pdt.G-2013-PA.Kbr.pdf , diakses pada 20 Agustus 2013 pukul 16.11 WIB nafkah" }
{ "from": "human", "value": "Mengenai hukum PT, apakah bisa Dewan Komisaris membantu Direksi dalam melakukan pengurusan PT? Jika dilihat dalam undang-undang PT, hal tersebut dapat dilakukan, tetapi hanya terbatas pada hal tertentu dan diatur dalam AD perseroan. Apakah batasan bantuan dalam hal tertentu tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Dewan Komisaris dapat membantu Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu saja. Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan Dewan Komisaris mendampingi Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Pemberian bantuan oleh Dewan Komisaris kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu bukan merupakan tindakan pengurusan . Pemberian bantuan oleh Dewan Komisaris ini diatur dalam Anggaran Dasar Perseroan. Itu artinya, bantuan untuk Direksi tersebut tidak dalam rangka tindakan pengurusan perseroan. Yang termasuk dalam pemberian bantuan dalam melakukan perbuatan hukum tertentu adalah tindakan pendampingan terhadap Direksi oleh Dewan Komisaris . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima asih atas pertanyaan Anda. Tugas dan Wewenang Anggota Direksi dan Dewan Komisaris Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Direksi dan Dewan Komisaris (“DK”) merupakan organ perseroan di samping Rapat Umum Pemegang Saham. [1] Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. [2] Tugas dan wewenang Direksi adalah menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Selain berwenang untuk pengurusan sehari-hari Perseroan, Direksi juga berwenang mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. [3] Kemudian, DK itu adalah organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. [4] Tugas dan wewenang DK diatur dalam Pasal 108 ayat (1) dan (2) UUPT : Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai Perseroan maupun usaha Perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi. Pengawasan dan pemberian nasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. Jadi Direksi dan DK merupakan organ perusahaan yang masing-masingnya memiliki tugas dan wewenang yang berbeda. Direksi memiliki tugas dan wewenang menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan serta mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan DK melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. Kewenangan Pemberian Bantuan Oleh Dewan Komisaris Pada Direksi Terkait dengan pertanyaan Anda mengenai dapatkah DK membantu Direksi dalam mengurus perseroan, hal ini diatur dalam Pasal 117 UUPT yang berbunyi: Dalam anggaran dasar dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Dalam hal anggaran dasar menetapkan persyaratan pemberian persetujuan atau bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tanpa persetujuan atau bantuan Dewan Komisaris, perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan sepanjang pihak lainnya dalam perbuatan hukum tersebut beritikad baik. Penjelasan Pasal 117 UUPT : Yang dimaksud dengan “memberikan persetujuan” adalah memberikan persetujuan secara tertulis dari Dewan Komisaris. Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan Dewan Komisaris mendampingi Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu . Pemberian persetujuan atau bantuan oleh Dewan Komisaris kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu yang dimaksud ayat ini bukan merupakan tindakan pengurusan . Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum tetap mengikat Perseroan” adalah perbuatan hukum yang dilakukan tanpa persetujuan Dewan Komisaris sesuai dengan ketentuan anggaran dasar tetap mengikat Perseroan, kecuali dapat dibuktikan pihak lainnya tidak beritikad baik. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dapat mengakibatkan tanggung jawab pribadi anggota Direksi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 469), Pasal 117 UUPT memberi hak kepada perseroan untuk mengatur dalam Anggaran Dasar (“AD”) pemberian kewenangan kepada DK untuk memberi bantuan kepada Direksi salam melakukan perbuatan hukum tertentu. Kewenangan memberi bantuan, tidak bersifat generalisasi untuk semua perbuatan hukum. Tetapi, terbatas pemberian bantuan dalam perbuatan hukum tertentu. Menurut Yahya, perlu diperhatikan apa maksud pemberian bantuan dalam melakukan perbuatan hukum tertentu . Yang dimaksud dengan bantuan menurut Pasal 117 ayat (1) UUPT: [5] Tindakan DK “mendampingi” Direksi Pendampingan dilakukan DK kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertantu, Pemberian bantuan dalam bentuk pendampingan, bukan merupakan tindakan pengawasan DK terhadap pengurusan Perseroan yang dijalankan Direksi. Jadi menjawab pertanyaan Anda, DK dapat membantu direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu saja. Yang dimaksud dengan “bantuan” adalah tindakan Dewan Komisaris mendampingi Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu . Pemberian bantuan oleh Dewan Komisaris kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, bukan merupakan tindakan pengurusan. Itu artinya pemberian bantuan untuk Direksi tersebut tidak dalam rangka tindakan pengurusan perseroan. Yang termasuk dalam pemberian bantuan dalam melakukan perbuatan hukum tertentu adalah tindakan pendampingan terhadap Direksi oleh DK. Selanjutnya Pasal 117 UUPT ayat (2) memerintahkan atau menganjurkan, agar AD mengatur persyaratan pemberian bantuan. Mengenai akibat hukum apabila Direksi bertindak melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan DK padahal menurut AD harus atas bantuan DK, sama penerapannya dengan tindakan Direksi tanpa persetujuan DK, seperti yang dijelaskan di atas: [6] tetap mengikat perseroan, sepanjang pihak ketiga beritikad baik, namun hal itu, tidak mengurangi tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng dari setiap anggota Direksi, apabila hal itu menimbulkan kerugian kepada Perseroan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Referensi : Yahya Harahap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 1 angka 2 UUPT [2] Pasal 1 angka 5 UUPT [3] Pasal 92 ayat (1) jo. Pasal 98 ayat (1) UUPT [4] Pasal 1 angka 6 UUPT [5] Yahya Harahap, hal. 469 [6] Yahya Harahap, hal. 469 pt hukumonline google komisaris perseroan perseroan terbatas klinik hukumonline uu pt hukum klinik uupt perusahaan direksi" }
{ "from": "human", "value": "Apakah ada batasan pemberian THR bagi karyawan yang akan mengajukan pengunduran diri 4 bulan sebelum hari besar agama? Jika ada, tolong sebutkan dasar hukumnya. Apakah perusahaan boleh tidak memberikan THR bagi karyawan yang mengundurkan diri 4 bulan sebelum hari besar keagamaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Kamis, 09 Agustus 2012. KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika THR Tidak Dibayar Penuh 03 Apr 2024 Cara Menghitung THR untuk Karyawan Kontrak yang Diangkat Jadi Tetap 02 Apr 2024 Apakah Tunjangan Seragam Kerja Termasuk Dalam Perhitungan THR? 02 Jun 2017 Aturan Besaran THR Direksi BUMN 29 Mei 2017 Intisari: Batasan hak atas THR bagi pekerja/karyawan yang resign itu dilihat dari kapan pemutusan hubungan kerja itu terjadi . Pekerja harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri. Jadi, jika pengunduran diri diajukan 4 bulan sebelum hari raya, kami asumsikan setidaknya hubungan kerjanya putus 3 bulan sebelum hari raya keagamaan. Pekerja yang putus hubungan kerjanya lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan tidak berhak atas THR . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dari pertanyaan Anda, yang kami tangkap adalah apakah pekerja/karyawan yang mengajukan pengunduran diri 4 bulan sebelum hari raya keagamaan berhak atas Tunjangan Hari Raya (THR) atau tidak. Pekerja yang Mengundurkan Diri/ Resign Dalam hal pekerja mengundurkan diri, Pasal 162 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) menyatakan bahwa pekerja harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri. Dengan kata lain, jika pengunduran diri diajukan 4 bulan sebelum hari raya, kami asumsikan setidaknya hubungan kerjanya putus 3 bulan sebelum hari raya keagamaan. Tunjangan Hari Raya Keagamaan (“THR Keagamaan”) Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan mengacu pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permen THR 2016”) . THR Keagamaan adalah pendapatan non upah yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan. [1] Jika pekerja/karyawan resign (mengundurkan diri) yang berakibat putusnya hubungan kerja antara pekerja dan pengusaha, maka ia berhak atas THR selama masih dalam tenggang Waktu yang ditentukan oleh Permen THR 2016, yakni 30 hari. Mengenai ketentuan ini selengkapnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (1) Permen THR 2016 yang berbunyi: Pekerja/buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu dan mengalami pemutusan hubungan kerja terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan, berhak atas THR Keagamaan. Dengan kata lain, jika pekerja putus hubungan kerjanya lebih dari 30 hari sebelum hari raya keagamaan, pekerja tersebut tidak berhak atas THR . Berbeda halnya jika pengajuan pengunduran diri dilakukan 4 bulan sebelum hari raya keagamaan tapi pekerja baru putus hubungan kerjanya setidaknya 30 hari sebelum hari raya keagamaan, maka dia tetap berhak atas THR. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan . [1] Pasal 1 angka 1 Permen THR 2016 hukumonline mengundurkan diri tunjangan hari raya ketenagakerjaan resign hukum klinik klinik hukumonline thr" }
{ "from": "human", "value": "Kini marak terjadi deplatforming dengan cara call-out (online shaming), cancelling, dan account reporting di media sosial. Padahal Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 sudah menjamin kebebasan berkumpul dan menyuarakan pendapat yang diatur juga dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan batasan, seperti hatespeech yang sering ditekankan akhir-akhir ini. Adakah kemungkinan terhubungnya fenomena ini terhadap pencemaran nama baik, pembunuhan karakter, dan sebagainya? Dan terkait pada undang-undang manakah bila hal itu terjadi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kebebasan Berpendapat di Indonesia Sebagaimana yang Anda sebutkan dalam pertanyaan Anda, kebebasan untuk berpendapat adalah hak yang dilindungi oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) yang bebunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat . Selain itu, kebebasan berpendapat ini juga ditegaskan kembali dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menyatakan: Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara . Dari ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat di Indonesia, meskipun merupakan hak dasar yang dilindungi, namun tetap mempunyai batasan, yaitu nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara . Pembatasan tersebut sesuai dengan amanat pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 : Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis . Sehingga, kebebasan berpendapat setiap orang dibatasi oleh ketentuan hukum dalam undang-undang untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Makna Deplatforming Mengutip M. Pohjonen & S. Udupa , Richard Rogers dalam European Journal of Communication pada artikel Deplatforming: Following extreme Internet celebrities to Telegram and alternative social media (hal. 214): Deplatforming, or the removal of one’s account on social media for breaking platform rules, has recently been on the rise. It is gaining attention as an antidote to the so-called toxicity of online communities and the mainstreaming of extreme speech, or “vitriolic exchange on Internet-enabled media” that “push the boundaries of acceptable norms of public culture” Jika diterjemahkan secara bebas, deplatforming sebenarnya lebih merujuk pada penghapusan akun media sosial akibat melanggar standar komunitas media sosial tersebut. Deplatforming menjadi marak dilakukan sebagai ‘perlawanan’ terhadap tidak sehatnya komunitas di media sosial, pendapat ekstrem, dan diskusi tidak sehat yang melanggar batas norma dan budaya. Maka dari itu, kami asumsikan bahwa online shaming , cancelling , dan account reporting di media sosial dalam rangka deplatforming yang Anda maksud adalah untuk menghapus keberadaan akun media sosial tertentu. Batasan dalam Kebebasan Berpendapat Baik sebagai pihak yang mengeluarkan pendapat maupun pihak yang mengajak orang untuk melakukan deplatforming terhadap pihak yang mengeluarkan pendapatnya tersebut, ada batasan-batasan yang patut diperhatikan, yaitu: Tindak pidana dalam Bab XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tentang Penghinaan. Para pengguna media sosial patut memperhatikan apakah perbuatan mereka dapat diduga memenuhi unsur pasal dalam bab tersebut. Mengenai perbuatan apa saja yang termasuk dalam penghinaan, dapat Anda simak dalam artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik ; Khusus dalam konteks media sosial, para pengguna juga patut memperhatikan larangan untuk melakukan pencemaran nama baik/penghinaan dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) . Penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE merujuk pada Pasal 310 ayat (1) KUHP yang tercakup dalam Bab XVI KUHP mengenai penghinaan di atas; Berdasarkan artikel Jerat Pidana Jika Berkomentar Melecehkan di Media Sosial , para pengguna media sosial juga harus memperhatikan agar perbuatan mereka tidak melanggar kesusilaan, karena dapat melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE , seperti memberikan komentar yang melecehkan orang lain dalam lingkup seksual; Selain itu, para pengguna juga harus menghindari penyampaian ujaran kebencian yang diatur Pasal 28 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Apabila penyampaian pendapat atau ajakan untuk memboikot atau mempermalukan suatu pihak yang menyampaikan pendapat dengan cara deplatforming memenuhi unsur-unsur tindak pidana di atas, si pelaku dapat dilaporkan atas dugaan tindak pidana. Selanjutnya, pelaporan di media sosial yang Anda maksud, kami asumsikan sebagai pelaporan yang dilakukan kepada penyedia platform media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter. Berkenaan dengan hal tersebut, melaporkan akun orang lain merupakan hak pengguna media sosial apabila si pelapor meyakini bahwa akun yang ia laporkan melanggar standar komunitas di sosial media terkait. Sepanjang penelusuran kami, penyedia platform akan melakukan investigasi untuk memastikan bahwa akun yang dilaporkan memang benar-benar melanggar standar komunitas. Sebagai contoh , Facebook telah memiliki Standar Komunitas agar para pengguna tidak, misalnya, menyebarkan hatespeech , menghasut untuk melakukan kekerasan, dan lain-lain. Twitter juga sudah mengaturnya dalam ketentuan Peraturan dan Kebijakan Twitter . Masih dalam artikel Deplatforming: Following extreme Internet celebrities to Telegram and alternative social media , Richard Rogers menerangkan bahwa sebagai akibat dari deplatforming , beberapa individual mengalami kerugian finansial, seperti kegagalan penerbitan buku atau tampil sebagai pembicara (hal. 214). Jika memang akibat deplatforming tersebut merugikan pihak tertentu, menurut hemat kami, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian pada pihak yang menghasut dilakukannya deplatforming tersebut berdasarkan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Referensi : Peraturan dan Kebijakan Twitter , diakses pada 11 September 2020, pukul 21.47 WIB; Richard Rogers. Deplatforming: Following extreme Internet celebrities to Telegram and alternative social media . European Journal of Communication , Volume 35, Nomor 3, 2020; Standar Komunitas , diakses pada 11 September 2020, pukul 21.45 WIB. teknologi hukumonline hak asasi manusia kebebasan berpendapat" }
{ "from": "human", "value": "Yth. Bung Pokrol. Apakah ada batasan jangka waktu direktur BUMN membuat kontrak? Maksimal tiga tahun atau lima tahun atau bagaimana? Peraturan mana yang dipakai? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) tunduk pada Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (“UU BUMN”) . Menurut pasal 9 UU BUMN , BUMN adalah berbentuk Persero dan Perum. KLINIK TERKAIT Haruskah Pinjaman Daerah Dituangkan dalam Peraturan Daerah? 19 Nov 2018 Karyawan Diangkat Jadi Direksi 13 Okt 2010 Publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK atas audit Bank BUMN/BUMD versus Rahasia Bank 14 Jul 2010 Klaim atas kontrak 26 Agt 2003 Persero adalah Perusahaan Perseroan, yaitu BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan (lihat pasal 1 angka 2 UU BUMN ). Persero juga bisa berbentuk Perusahaan Perseroan Terbuka, (Persero Terbuka), yaitu Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal (lihat pasal 1 angka 3 UU BUMN ). Sedangkan, yang dimaksud dengan Perum adalah Perusahaan Umum, yaitu BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan (lihat pasal 1 angka 4 UU BUMN ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, suatu BUMN dapat berbentuk: 1. Perusahaan Perseroan 2. Perusahaan Perseroan Terbuka 3. Perusahaan Umum Untuk BUMN yang berbentuk Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Perseroan Terbuka, karena bentuknya adalah perseroan terbatas (“PT”), maka juga tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Menurut pasal 5 ayat (3) UU BUMN , dalam melaksanakan tugasnya, anggota direksi harus mematuhi anggaran dasar (“AD”) BUMN dan peraturan perundang-undangan serta wajib melaksanakan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran. Jadi, yang menjadi batasan sejauh mana direksi boleh bertindak, adalah AD dari BUMN tersebut dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (misalnya, UU BUMN dan UUPT). Undang-Undang PT juga menegaskan hal ini dalam pasal 92 ayat (2) UUPT , yaitu bahwa direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau AD. Kewenangan direksi juga ditegaskan dalam pasal 98 ayat (3) UUPT , yaitu bahwa kewenangan dalam mewakili Perseroan adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, anggaran dasar, atau keputusan RUPS. Jadi, ada tiga hal yang membatasi kewenangan direksi suatu BUMN, yaitu ketentuan UU (dalam hal ini UU BUMN dan UU PT), AD BUMN tersebut, serta keputusan RUPS. Setahu kami, dalam peraturan perundang-undangan tentang BUMN tidak ada yang menentukan batasan jangka waktu kontrak yang boleh dibuat oleh seorang Direktur BUMN. Tetapi, kembali pada batasan kewenangan seperti diuraikan di atas, perlu juga melihat kepada AD BUMN tersebut dan keputusan RUPS, apakah ada yang mengatur tentang batasan jangka waktu kontrak yang boleh dibuat oleh Direktur BUMN. Demikian penjelasan singkat kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar hukum perusahaan lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perusahaan” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku." }
{ "from": "human", "value": "Pertanyaan saya: 1. Apakah dengan disahkannya Peraturan Menteri Menteri Perdagangan Nomor 7 tahun 2013 mengenai jumlah kepemilikan outlet/gerai berdampak pada ketidakpastian hukum dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 68 tahun 2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern, mengenai jumlah kepemilikan outlet/gerai yang dikelola sendiri (company owned outlet)? 2. Apakah yang diatur dalam peraturan di atas mengatur mengenai outlet/gerai yang sama? 3. Contoh kasus PT saya memiliki 300 gerai pada tahun 2011 dan pada tahun 2012 saya menambah jumlah outlet/gerai menjadi 350 outlet/gerai dan pada tahun 2013 saya memiliki jumlah gerai sebanyak 360 outlet/gerai. Apabila dikaitkan dengan Peraturan Menteri dimaksud mengenai jumlah kepemilikan outlet/gerai, apakah saya melanggar hukum, dan apabila saya melanggar hukum, tolong jelaskan saya melanggar peraturan yang mana saja? (keterangan pertanyaan no 3. saya sebagai pengelola tunggal dan tidak melakukan kerja sama dengan pihak pemodalan ataupun dengan pelaku UKM dan tidak mewaralabakan waralaba saya. Jenis waralaba restoran atau rumah makan) Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Terkait dengan pertanyaan Saudara mengenai k epastian hukum dari jumlah kepemilikan waralaba yang saudara miliki, kedua peraturan yang S audara sebutkan yaitu Per aturan M en teri Per dag angan No.68/M-DAG/PER/10/2012 tentang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern (“ Permendag No.68/M-DAG/PER/10/2012 ”) dan Per aturan M en teri Per dag angan No.7/M-D AG /P ER /2/2013 tentang Pengembangan Kemitraan Dalam Waralaba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan Dan Minuman (“ Permendag No.7/M-D AG /P ER /2/2013 ”), mengatur mengenai objek yang berbeda. KLINIK TERKAIT Plus Minus Kerja Sama Bagi Hasil dan Waralaba 03 Jul 2013 Masalah Legalitas Usaha 7-Eleven di Indonesia 11 Apr 2013 Klausul-klausul Penting dalam Perjanjian Franchise (Waralaba) 16 Mar 2012 Prosedur Pendaftaran Prospektus dan Perjanjian Waralaba 15 Mar 2012 Permendag No.68/M-DAG/PER/10/2012 mengatur mengenai waralaba jenis usaha toko modern sedangkan Permendag No.7/M-D AG /P ER /2/2013 mengatur mengenai waralaba jasa makanan dan minuman. Karena jenis usaha Saudara adalah restoran atau rumah makan, maka kita merujuk pada ketentuan dalam Permendag No.7/M-D AG /P ER /2/2013 . Mengenai jumlah outlet/gerai yang dapat didirikan, untuk waralaba untuk jenis usaha restoran, rumah makan, bar/rumah minum dan kafe diatur dalam P asal 4 Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas ” P emberi waralaba dan penerima waralaba untuk jenis usaha restoran, rumah makan, bar/rumah minum dan kafe dapat mendirikan outlet/gerai yang dikelola sendiri ( c ompany owned outlet) sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a paling banyak 250 (dua ratus lima puluh) outlet/gerai”. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat ( 1 ) huruf a Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 disebutkan: Dalam hal pemberi waralaba atau penerima waralaba untuk jenis usaha restoran, rumah makan, bar/rumah minum dan kafe telah memiliki outlet/gerai sebanyak 250 (dua ratus lima puluh) o utlet/ gerai dan akan melakukan penambahan outlet/gerai, maka pendirian outlet/gerai tambahan wajib: a. Diwaralabakan; dan/atau b. Dikerjasamakan dengan pola penyertaan modal . Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa untuk p elaku bisnis waralaba dalam bidang jasa makanan dan minuman yang dikembangkan melalui pengelolaan yang dimiliki dan dikelola sendiri ( company owned outlet ) hanya diperbolehkan memiliki sebanyak 250 outlet . Maka dari itu, apabila pemilik usaha waralaba telah melampaui batas kepemilikan waralaba, maka pelaku usaha waralaba dimaksud wajib untuk mewaralabakan atau melakukan kerjasama melalui sistem penyertaan modal atas usahanya. Dalam kasus yang Saudara alami, kelebihan outlet/gerai sebanyak 110 wajib dikembangkan melalui pemberian waralaba kepada orang lain atau dengan melakukan kerjasama melalui penyertaan modal. Khusus pola ataupun mekanisme kerjasama melalui penyertaan modal, nilai minimum prosentasinya telah ditentukan dalam P asal 5 ayat 2 huruf ( a ) dan ( b ) Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 , yaitu: a) Bagi pemilik waralaba yang akan melakukan penambahan gerai/outlet dengan nilai investasi kurang atau sama dengan Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) besaran modal dari pihak lain yang akan menyertakan modalnya minimal paling sedikit 40% ; s edangkan , b) U ntuk nilai investasi lebih dari Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) penyertaan modal dari pihak lain minimal 30%. Perlu diketahui, sesuai dengan Pasal 6 Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 , untuk pelaksanaan kerjasama waralaba harus mengutamakan pelaku usaha kecil dan menengah di daerah setempat. N amun hal tersebut dapat dilaksanakan apabila pelaku usaha dimaksud memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pihak pemberi waralaba. Artinya p emberi waralaba diberi hak untuk menentukan kriteria yang menurutnya pantas dan dapat memenuhi kualifikasi/persyaratan yang diinginkan. Dalam hal, pemilik waralaba terlanjur memiliki gerai/outlet melebihi batas maksimum yang ditetapkan yaitu sebanyak 250 gerai/outlet. Maka sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) Permendag No.7/M-DAG/PER/2/2013 , pemilik waralaba untuk jenis makanan dan minuman harus menyesuaikan ketentuan penanambahan outlet/gerai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak peraturan Menteri dimaksud berlaku . Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa pemilik waralaba untuk bidang usaha makanan dan minuman dibatasi kepemilikannya sebanyak 250 outlet . Yang kemudian, apabila hendak melakukan penambahan gerai atau outlet, maka pemilik waralaba dimaksud wajib me - waralabakan usahanya atau melalui kerjasama penyertaan modal. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat dan dapat menjawab pertanyaan yang Saudara ajukan. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia N omor 68/M-DAG/PER/10/2012 Tahun 2012 t entang Waralaba Untuk Jenis Usaha Toko Modern ; 2. P eraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No mor 07/M-DAG/PER/2/2013 t entang Pengembangan Kemitraan Dalam Warala ba Untuk Jenis Usaha Jasa Makanan dan Minuman. makanan" }
{ "from": "human", "value": "Sejauh mana Satuan Pengamanan (Satpam) dapat menggeledah/memeriksa seseorang? Apakah kewenangan setiap Satpam yang bertugas di lokasi yang berbeda seperti di Bank, Pusat Perbelanjaan, atau Sekolah memiliki kewenangan yang sama? Bagaimanakah cara mengetahui Satpam yang memiliki kewenangan menggeledah/memeriksa dengan yang tidak?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Tugas pokok Satuan Pengamanan (“Satpam”) adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel, informasi dan pengamanan teknis lainnya. Mengenai tindakan satpam melakukan pemeriksaan/penggeledahan kepada pengunjung tempat kerjanya menurut hemat kami hal ini tidak menyalahi hukum karena pada dasarnya tugas satpam adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban dan menggeledah/ memeriksa merupakan salah satu tindakan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Selain itu, dalam melaksanakan tugas pokoknya, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”), Polri berwenang melakukan penggeledahan . Untuk itu, Satpam sebagai unsur pembantu Polri dalam hal penegakan peraturan perundang-undangan tentunya juga memiliki kewenangan tersebut dengan dasar untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Hal tersebut diperkuat dengan adanya mata ajaran/kegiatan mengenai “Penangkapan dan Penggeledahan” pada jenjang pelatihan Gada Pratama untuk kemampuan dasar dalam Satuan Acara Pelajaran Pelatihan Satuan Pengamanan yang dapat dilihat dari Bab IV Huruf B Lampiran Perkapolri 24/2007 . Lalu bagaimana cara mengenali satpam yang berwenang untuk melakukan penggeledahan dan mana yang tidak? Penjelasan lebih lanjut, dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tugas dan Fungsi Satuan Pengaman an (Satpam) Pertama-tama, perlu dipahami bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU 2/2002”) pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh: kepolisian khusus; penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU 2/2002 , yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk pengamanan swakarsa” adalah suatu bentuk pengamanan yang diadakan atas kemauan, kesadaran, dan kepentingan masyarakat sendiri yang kemudian memperoleh pengukuhan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, seperti satuan pengamanan (satpam) lingkungan dan badan usaha di bidang jasa pengamanan. Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa memiliki kewenangan kepolisian terbatas dalam “ lingkungan kuasa tempat ” (teritoir gebied/ruimte gebied) meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan kerja, lingkungan pendidikan. Contohnya adalah satuan pengamanan lingkungan di pemukiman, satuan pengamanan pada kawasan perkantoran atau satuan pengamanan pada pertokoan. [1] Aturan mengenai Satuan Pengamanan (“Satpam”) secara khusus, dapat kita lihat dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah (“Perkapolri 24/2007”) . Satpam adalah satuan atau kelompok petugas yang dibentuk oleh instansi/badan usaha untuk melaksanakan pengamanan dalam rangka menyelenggarakan keamanan swakarsa di lingkungan kerjanya. [2] Sumber anggota Satpam diperoleh dari: [3] karyawan permanen yang ditunjuk pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah ( inhouse security ); badan usaha di bidang jasa pengamanan ( out-source ). Tugas pokok Satpam adalah menyelenggarakan keamanan dan ketertiban di lingkungan/tempat kerjanya yang meliputi aspek pengamanan fisik, personel, informasi dan pengamanan teknis lainnya. [4] Fungsi Satpam adalah melindungi dan mengayomi lingkungan/tempat kerjanya dari setiap gangguan keamanan, serta menegakkan peraturan dan tata tertib yang berlaku di lingkungan kerjanya. [5] Tempat kerja yang dimaksud adalah setiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana kegiatan usaha dan fungsi pelayanan publik berlangsung serta terdapat sumber-sumber ancaman dan gangguan keamanan baik fisik maupun non fisik di dalam wilayah negara Republik Indonesia. [6] Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas, Satpam berperan sebagai: [7] unsur pembantu pimpinan organisasi, perusahaan dan/atau instansi/ lembaga pemerintah, pengguna Satpam di bidang pembinaan keamanan dan ketertiban lingkungan/tempat kerjanya ; unsur pembantu Polri dalam pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan serta menumbuhkan kesadaran dan kewaspadaan keamanan ( security mindedness dan security awareness ) di lingkungan/tempat kerjanya. Mengenai tindakan satpam melakukan pemeriksaan/penggeledahan kepada pengunjung tempat kerjanya menurut hemat kami hal ini tidak menyalahi hukum karena pada dasarnya tugas satpam adalah untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Selain itu, dalam melaksanakan tugas pokoknya, berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UU 2/2002 , Polri berwenang melakukan penggeledahan . Untuk itu, Satpam sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebagai unsur pembantu Polri dalam hal penegakan peraturan perundang-undangan tentunya juga memiliki kewenangan tersebut dengan dasar untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Hal tersebut diperkuat dengan adanya mata ajaran/kegiatan mengenai “Penangkapan dan Penggeledahan” pada jenjang pelatihan Gada Pratama untuk kemampuan dasar dalam Satuan Acara Pelajaran Pelatihan Satuan Pengamanan yang dapat dilihat dari Bab IV Huruf B Lampiran Perkapolri 24/2007 . Lebih lengkapnya mengenai kemampuan seorang Satpam, akan dijelaskan lebih lanjut di bawah. Hal senada juga pernah disampaikan dalam artikel Bolehkah Pengunjung Mall Menolak Tasnya Diperiksa Satpam? , pemeriksaan tas bawaan pengunjung oleh satpam tidak menyalahi hukum dan pengunjung sepatutnya memaklumi petugas keamanan dalam rangka meningkatkan keamanan demi kepentingan bersama. Pada praktiknya, kewajiban sekuriti atau petugas keamanan mall /pusat perbelanjaan untuk memeriksa tas pengunjung itu merupakan bentuk himbauan dari Kepolisian, mengingat satpam (satuan pengamanan) adalah pengemban fungsi kepolisian terbatas pada lingkungan kerjanya. Kemampuan yang Harus Dimiliki oleh Seorang Satpam Kemampuan/kompetensi anggota Satpam meliputi: [8] kepolisian terbatas; keselamatan dan keamanan lingkungan kerja; pelatihan/kursus spesialisasi dibidang Industrial Security. Kemampuan/kompetensi anggota Satpam sebagai pengemban fungsi Kepolisian Terbatas, diperoleh melalui pelatihan Satpam pada Lembaga Pendidikan Polri maupun Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yang telah mendapatkan izin dari Kapolri. [9] Sedangkan kemampuan keselamatan dan keamanan lingkungan kerja terdiri dari 3 (tiga) jenjang pelatihan yaitu: [10] Gada Pratama untuk kemampuan dasar; Gada Madya untuk kemampuan menengah; dan Gada Utama untuk kemampuan manajerial. Kemampuan teknis keselamatan dan keamanan lingkungan kerja, diperoleh melalui pelatihan in house training pada tempat dimana anggota Satpam bertugas. [11] Pelatihan/Kursus Spesialisasi, berkaitan dengan bidang tugasnya yang diatur secara spesifik baik teknis maupun cakupannya, oleh ketentuan peruntukannya. Pelatihan pelatihan/kursus spesialisasi dibidang Industrial Security dan keselamatan dan keamanan lingkungan kerja merupakan kewajiban dari instansi/badan/penyelenggara dan pengguna Satpam. [12] Pelatihan Gada Pratama dan Gada Madya diselenggarakan oleh: [13] lembaga pendidikan di lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (“Polri”) Badan Usaha Jasa Pengamana (“BUJP”) yang mempunyai izin operasional pelatihan dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (“Kapolri”). Pelatihan Gada Utama penyelenggaraannya dikendalikan oleh Mabes Polri. Kemudian untuk pelatihan/kursus spesialisasi diselenggarakan oleh: [14] Polri; in house training oleh pengguna jasa dan/atau instansi terkait; instansi/pengguna Satpam terkait dan/atau BUJP yang mendapat izin atau akreditasi untuk melakukan pelatihan dimaksud. Kemudian terkait dengan apakah ada perbedaan tugas satpam pada setiap organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah? Perlu diketahui berdasarkan Perkapolri 24/2007 telah dijelaskan tugas-tugas seorang satpam. Namun, kembali lagi bahwa setiap organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah memiliki standar sistem manajemen pengamanan yang berbeda. Jadi kami menyarankan Anda melihat kembali aturan yang ada di masing-masing organisasi, perusahaan dan/atau instansi/lembaga pemerintah. Cara Membedakan Satpam Kemudian menjawab pertanyaan Anda terkait cara membedakan satpam dapat dilakukan dengan cara mengenali seragam satpam. Karena dalam pelaksanaan tugasnya, Satpam memakai pakaian seragam dan atribut sebagai identitas pengemban fungsi kepolisian terbatas yang sah, sehingga identitas tersebut dapat dibedakan dari bentuk-bentuk seragam profesi lainnya. [15] Seragam Satpam (“Gam Satpam”) adalah pakaian yang dilengkapi dengan tanda pengenal dan atribut tertentu sesuai aturan dari kepolisian sebagai pengawas dan pembina teknis Satpam yang dipakai dan digunakan oleh anggota Satpam serta telah mendapat pengakuan dari Polri untuk dapat melaksanakan tugas sebagai pengemban fungsi kepolisian terbatas pada lingkungan kerjanya. [16] Gam Satpam terdiri dari: [17] Gam Satpam Pakaian Dinas Harian (“PDH”); Gam Satpam PDH adalah Gam Satpam yang dipakai dan digunakan untuk melaksanakan tugas sehari-hari di lingkungan kerjanya, selain di kawasan khusus yang memerlukan kelengkapan seragam khusus. [18] Gam Satpam Pakaian Dinas Lapangan (“PDL”); Gam Satpam PDL adalah Gam Satpam yang khusus digunakan pada area yang banyak berhubungan kegiatan di lapangan dan sejenisnya. [19] Gam Satpam Pakaian Sipil Harian (“PSH”); dan Gam Satpam PSH adalah Gam Satpam yang dipakai dan digunakan untuk melaksanakan tugas harian di area kerjanya yang banyak berhubungan dengan pelanggan, masyarakat umum serta petugas yang membidangi pengamanan non fisik, yang diberikan kepada petugas setingkat supervisor ke atas. [20] Gam Satpam Pakaian Sipil Lapangan (“PSL”). Gam Satpam PSL adalah Gam Satpam yang dipakai dan digunakan untuk melaksanakan tugas pengamanan event. [21] Selengkapnya mengenai bentuk seragamnya Anda bisa lihat dalam Bab VI dan Bab VII Lampiran Perkapolri 24/2007 Sebagai informasi, penggunaan Gam Satpam hanya dibenarkan dalam melaksanakan tugas pengamanan di lingkungan/tempat kerjanya. Penggunaan Gam Satpam di luar lingkungan/tempat kerjanya diwajibkan membawa Surat Perintah Tugas atasannya. [22] Selain itu, Anda juga dapat melihat Kartu Tanda Anggota (KTA) Satpam yang merupakan sebagai identitas kewenangan melaksanakan tugas pengemban fungsi kepolisian terbatas di lingkungan kerjanya. KTA wajib diperlihatkan apabila diperlukan untuk membuktikan kewenangan yang dimiliki pemegangnya . [23] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 24 Tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan dan/atau Instansi/Lembaga Pemerintah [1] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU 2/2002 [2] Pasal 1 angka 6 Perkapolri 24/2007 [3] Pasal 11 Perkapolri 24/2007 [4] Pasal 6 ayat (1) Perkapolri 24/2007 [5] Pasal 6 ayat (2) Perkapolri 24/2007 [6] Pasal 1 angka 7 Perkapolri 24/2007 [7] Pasal 6 ayat (3) Perkapolri 24/2007 [8] Pasal 13 ayat (1) Perkapolri 24/2007 [9] Pasal 13 ayat (2) Perkapolri 24/2007 [10] Pasal 13 ayat (3) Perkapolri 24/2007 [11] Pasal 13 ayat (4) Perkapolri 24/2007 [12] Pasal 13 ayat (5) dan (6) Perkapolri 24/2007 [13] Pasal 22 ayat (1) Perkapolri 24/2007 [14] Pasal 22 ayat (2) dan (3) Perkapolri 24/2007 [15] Pasal 25 Perkapolri 24/2007 [16] Pasal 1 angka 23 Perkapolri 24/2007 [17] Pasal 26 Perkapolri 24/2007 [18] Pasal 1 angka 24 Perkapolri 24/2007 [19] Pasal 1 angka 25 Perkapolri 24/2007 [20] Pasal 1 angka 26 Perkapolri 24/2007 [21] Pasal 1 angka 27 Perkapolri 24/2007 [22] Pasal 31 ayat (1) dan (2) Perkapolri 24/2007 [23] Pasal 36 Perkapolri 24/2007 acara peradilan hukumonline pengamanan penggeledahan aman terorisme tata negara geledah satpam polisi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Salam sejahtera admin hukumonline. Saya mau tanya, kalau pada kasus laka lantas, patah kaki nonpermanen (bisa sembuh) termasuk luka berat atau tidak? Kemudian, kalau pihak korban (pengendara motor) pada saat kejadian tidak memakai helm, SIM, STNK, dan melawan arus, apakah dia bisa ditindak/dihukum karena pelanggarannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Penganiayaan 03 Jan 2023 Kecelakaan Sepeda Motor Karena Jalan Berlubang, Siapa yang Salah? 04 Mar 2013 Apakah Perdamaian dalam Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Menggugurkan Tuntutan? 25 Feb 2013 Menurut Pasal 229 ayat (4) UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat tergolong kecelakaan lalu lintas berat. Kemudian, di dalam Pasal 310 ayat [4] UU LLAJ diatur bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 juta. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Yang dimaksud dengan luka berat dijelaskan di dalam penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU LLAJ yaitu luka yang mengakibatkan korban: a. jatuh sakit dan tidak ada harapan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut; b. tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan; c. kehilangan salah satu pancaindra; d. menderita cacat berat atau lumpuh; e. terganggu daya pikir selama 4 (empat) minggu lebih; f. gugur atau matinya kandungan seorang perempuan; atau g. luka yang membutuhkan perawatan di rumah sakit lebih dari 30 (tiga puluh) hari Pengertian luka berat dalam UU LLAJ ini tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Sedangkan, yang dimaksud luka ringan dijelaskan dalam penjelasan Pasal 229 ayat [3] UU LLAJ ), sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan \"luka ringan\" adalah luka yang mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat.” Jadi, luka patah kaki nonpermanen bisa digolongkan luka berat jika mengakibatkan korban mengalami kondisi sebagaimana diuraikan penjelasan Pasal 229 ayat (4) UU LLAJ tersebut di atas. Sebaliknya, jika luka patah kaki nonpermanen itu mengakibatkan korban menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat, maka tergolong luka ringan. Ketentuan pidana untuk pengemudi yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan tidak diatur dalam UU LLAJ. Kecelakaan lalu lintas dengan luka ringan, baru dapat ditindak jika disertai dengan kerusakan kendaraan dan/atau barang sebagaimana diatur dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ , yang menyatakan: “Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).” Anda juga menanyakan apakah korban dalam kecelakaan lalu lintas yang melakukan pelanggaran ketentuan UU LLAJ juga bisa dihukum? Jawabnya adalah bisa. Melakukan penyidikan perkara terhadap kecelakaan lalu lintas merupakan kewajiban petugas Kepolisian ( Pasal 227 huruf g UU LLAJ ). Perkara Kecelakaan Lalu Lintas diproses dengan acara peradilan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ( Pasal 230 UU LLAJ ). Ketentuan-ketentuan UU LLAJ yang dapat dikenakan kepada pengendara sepeda motor yang Anda sebutkan antara lain: 1. Mengemudikan kendaraan bermotor tanpa STNK, diancam dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500.000 ( Pasal 288 ayat [1] UU LLAJ ) 2. Mengemudikan kendaraan bermotor tetapi tidak dapat menunjukan SIM yang sah, diancam dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan dan/atau denda paling banyak Rp250.000 ( Pasal 288 ayat [2] UU LLAJ ) 3. Mengemudikan sepeda motor tanpa memakai helm standar nasional Indonesia, diancam dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000 ( Pasal 291 ayat [1] UU LLAJ ) 4. Mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang melanggar aturan gerakan lalu lintas, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp250.000 ( Pasal 287 ayat [3] UU LLAJ ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht ) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan uu lalu lintas dan angkutan jalan kecelakaan lalu lintas" }
{ "from": "human", "value": "Dear Bung Pokrol. Mohon penjelasan lebih jauh mengenai Pasal 352 KUHP. Bagaimana batasan penganiayaan ringan menurut pasal tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pasal 352 KUHP adalah salah satu pasal dalam Bab XX yang mengatur penganiayaan. Leden Marpaung memasukkan Pasal 352 ini sebagai tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh. KLINIK TERKAIT Anak Dianiaya Tetangga, Apa Langkah Hukumnya? 24 Jul 2024 Bisakah Dipidana karena Memukul Balik Tetangga? 27 Feb 2024 Jerat Pasal Penganiayaan Anak yang Menyebabkan Koma 27 Feb 2023 Penerapan Pasal tentang Penganiayaan Ringan 26 Okt 2011 Pasal 352 KUHP terdiri dari dua ayat, yakni: (1). Selain daripada yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2). Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Pasal 353 yang dirujuk oleh Pasal 352 ayat (1) KUHP mengatur tentang penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu. Sedangkan Pasal 356 KUHP mengatur kejahatan yang dilakukan kepada keluarga inti yakni ayah, ibu, isteri, dan anak. Saat ini, untuk kejahatan berupa kekerasan dalam rumah tangga, Anda bisa melihat lebih lanjut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Bahkan untuk anak-anak korban penganiayaan ringan, polisi sudah sering menggunakan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lihat misalnya Putusan MA No. 2050 K/Pid.Sus/2010 , dan Putusan No. 1046 K/Pid.Sus/2011 ). Selain penganiayaan terhadap anggota keluarga inti, Pasal 356 KUHP juga menyinggung penganiayaan yang dilakukan terhadap pegawai, dan penganiayaan ringan yang menggunakan alat/bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan seseorang untuk dimakan atau diminum. Menurut R. Soesilo , tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 352 KUHP disebut ‘penganiayaan ringan’, dan masuk kategori ‘kejahatan ringan’. Perbuatan penganiayaan yang masuk kategori Pasal 352 KUHP adalah: a) perbuatan yang tidak menjadikan sakit; dan b) perbuatan yang tidak sampai membuat korban terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari . Soesilo memberi contoh penganiayaan ringan; A menempeleng B tiga kali. Meskipun B merasa sakit tetapi tidak menghalanginya untuk bekerja sehari-hari. Salah satu yurisprudensi yang sering dirujuk dalam konteks pasal ini adalah Putusan Mahkamah Agung No. 163 K/Kr/1956 tertanggal 31 Agustus 1957 (atas nama terdakwa Lie Lam Fong). Putusan ini menegaskan norma hukum, kejahatan dalam Pasal 352 KUHP adalah tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja dan untuk menentukan tindak pidana itu dilakukan dengan sengaja atau tidak, tidak perlu dibuktikan adanya niat buruk terdakwa . Kritik terhadap Pasal 352 KUHP datang dari SR Sianturi . Dalam bukunya, Sianturi menilai Pasal 352 ‘tidak diperlukan’ . Apalagi WvS ( Wetboek van Strafrecht ) Belanda juga tak mengatur penganiayaan ringan. Faktanya, tidak dijelaskan lebih lanjut untuk berapa lama rasa sakit itu dirasakan korban. Kendati hanya sementara, perbuatan penganiayaan ringan masih bisa menggunakan Pasal 351 ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Namun menurut Leden Marpaung, kalau korban sampai masuk rumah sakit, maka unsur-unsur Pasal 352 KUHP tidak terpenuhi. Poin penting Pasal 352 adalah ‘tidak menjadikan sakit atau halangan melakukan pekerjaan’ . Kalau penganiayaan mengakibatkan korban berhalangan untuk bekerja, maka Pasal 351 ayat (1) KUHP lebih tepat dipakai. Ayat (2) dari pasal 352 KUHP mengatur tentang percobaan untuk melakukan penganiayaan ringan. Menurut ayat ini, pelaku percobaan penganiayaan ringan tidak dihukum. Contoh kasus ayat ini adalah A memukul B memakai bantal guling, dan B tidak merasa sakit. A masuk kategori mencoba melakukan penganiayaan ringan. Jadi, untuk suatu perbuatan dapat dikatakan penganiayaan ringan adalah ketika perbuatan tersebut tidak menjadikan korbannya sakit atau berhalangan untuk melakukan pekerjaan. Demikian jawaban kami. Mudah-mudahan bermanfaat. REFERENSI:\n1. 1. R. Soesilo. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea, 1993. 2. Leden Marpaung. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantasan dan Prevensinya) Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung RI dan Pembahasan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. 3. R. Soenarto Soerodibroto. KUHAP dan KUHP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. Edisi ke-5. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003. 4. SR Sianturi. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732)\n2. 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak\n3. 3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga." }
{ "from": "human", "value": "Apakah jika seseorang menggunakan emoji dalam percakapan di media sosial atau sekedar membuat “status” yang menunjukkan rasa kebencian (hate speech) atau permusuhan kepada golongan tertentu dapat dipidana? karena ada pihak yang tersinggung terhadap emoji tersebut." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Menurut Edmon Makarim, jika ada kasus yang salah mengartikan emoji sebagai hate speech yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), itu artinya fokus pada hate speech tersebut bukan pada emoji -nya. Emoji tidak bisa berdiri sendiri tanpa tekstual kalimatnya. Dengan kata lain, jika hanya penggunaan emoji saja tanpa ada kata-kata yang menjadi ukuran, tentu akan sulit melihat adanya hate speech. Emoji adalah ikon dalam percakapan, jadi tidak bisa berdiri sendiri. Selain itu, menurut Teguh Arifiyadi, emoji itu adalah ekspresi, sangat kecil kemungkinan untuk adanya unsur SARA atau h ate s peech . Namun menurutnya, penggunaan emoji tanpa rangkaian kata-kata ( emoji berdiri sendiri) dimungkinkan untuk dikenakan penghinaan ringan yang diatur di Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , meskipun penghinaan tersebut dilakukan melalui media elektronik (Contoh: menggunakan emoji jari tengah). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) diundangkan pada 21 April 2008, telah diatur mengenai sanksi terhadap hate speech yang dilakukan di media sosial, yaitu di Pasal 45 ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) UU ITE . Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Berikut bunyi Pasal 28 ayat (2) UU ITE : Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Tujuan dari Pasal 28 UU ayat (2) ITE ialah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materil. Namun UU ITE telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) . Pengenaan sanksi hate speech yang dilakukan di media sosial dapat didasarkan pada Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Menurut Josua Sitompul, S.H., IMM , yang tergabung dalam Indonesia Cyber Law Community (ICLC) , unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud. Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan. Penerapan hukum jika ada seseorang yang menuliskan status di media sosial berisi informasi yang memprovokasi suku/agama tertentu dengan maksud menghasut masyarakat untuk membenci atau melakukan anarki terhadap kelompok tertentu, maka sanksi di Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016 dapat digunakan untuk menjerat pelaku yang menuliskan status tersebut. Selengkapnya baca artikel Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial dan Bentuk Penghinaan yang Bisa Dijerat Pasal tentang Hate Speech . Lalu bagaimana dengan penggunaan emoji ? Apakah menggunakan emoji tertentu dapat dikatakan menyinggung SARA? Apakah jika emoji yang digunakan menyinggung orang lain dapat dipidana? Menurut situs resmi Oxford Dictionaries , emoji adalah: A small digital image or icon used to express an idea or emotion. Pengertian emoji di atas sejalan dengan pendapat dari Edmon Makarim , Pakar Hukum Telekomunikasi dan Informatika dari Universitas Indonesia, bahwa pada dasarnya jika emoji dipilih dengan sengaja , maka ia adalah representasi ekspresi seseorang . Menurutnya, emoji yang mempunyai konotasi positif tidak dapat diartikan negatif, jika terjadi seperti itu maka sudah menjadi perspektif lain. Namun diperhatikan kembali bahwa e moji dilihat dari maksud dari penggunaan emoji itu. Jika ada kasus yang salah mengartikan emoji sebagai hate speech yang mengandung unsur SARA, menurutnya itu artinya fokus pada hate speech tersebut bukan pada emoji -nya. Emoji tidak bisa berdiri sendiri tanpa tekstual kalimatnya . Dengan kata lain, jika hanya penggunaan emoji saja tanpa ada kata-kata yang menjadi ukuran, tentu akan sulit melihat adanya hate speech. Emoji adalah ikon dalam percakapan, jadi tidak bisa berdiri sendiri seharusnya. Beliau juga menambahkan bahwa dalam setiap komunikasi pun harusnya dilihat mana yang aksi dan yang mana reaksi. Terkadang lebih banyak menyalahkan reaksi padahal bisa jadi penyulutnya adalah aksi yang ofensif atau provokatif. Sehingga harus dilihat secara utuh dulu bagaimana rangkaian komunikasi itu terjadi. Pendapat sama dikemukakan Teguh Arifiyadi , Kepala Sub Direktorat Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang mengatakan bahwa pada dasarnya e moji adalah ekspresi yang maknanya disepakati secara universal. Menurutnya, emoji itu adalah ekspresi, sangat kecil kemungkinan untuk adanya unsur SARA atau h ate s peech . Namun menurutnya, penggunaan emoji tanpa rangkaian kata-kata ( emoji berdiri sendiri) dimungkinkan untuk dikenakan p enghinaan r ingan yang diatur di Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , meskipun penghinaan tersebut dilakukan melalui media elektronik (Contoh: menggunakan emoji jari tengah). Bunyi dari Pasal 315 KUHP adalah sebagai berikut: Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Ancaman pidana berupa denda sebesar Rp 4.500,- yang terdapat dalam Pasal 315 KUHP telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP : Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipat gandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Ia juga menambahkan bahwa ada kemungkinan emoji memberi dampak terjadinya h ate s peech jika hal tersebut merupakan bagian dari rangkaian kata-kata yang berbentuk narasi . Akan tetapi tentunya akan dilakukan pemeriksaan yang mendalam dengan melibatkan ahli-ahli bahasa, simbol, dan lain sebagainya, yang ditujukan untuk mencari makna yang sesungguhnya dalam dugaan hate speech yang dimaksud. Karena Anda tidak memberikan kasus konkrit kepada kami, maka kami contohkan penggunaan emoji yang membuat pihak lain tersinggung yang Anda maksud adalah sebagai berikut: Contoh 1: A membuat status atau membalas percakapan di media sosial yang ditujukan kepada si B dengan menggunakan emoji senyum sebagai tanda mengungkapkan rasa bahagia. Namun ternyata si B malah tersindir dengan status yang diunggah A. Contoh 2: A membuat status atau membalas percakapan di media sosial dengan menggunakan emoji dengan simbol jari tengah kepada B, yang mana kita tahu bahwa emoji tersebut berkonotasi negatif. Contoh 3: A membuat status dengan suatu kalimat dengan menggunakan beberapa emoji lain, yang mana satu rangkaian kalimat beserta emoji tersebut bernada mencaci maki terhadap golongan tertentu atau seseorang, sehingga yang bersangkutan merasa tersindir. Jika melihat Contoh 1, dengan berpegang kepada dua pendapat ahli di atas, maka harus dilihat terlebih dahulu apakah emoji tersebut berdiri sendiri atau tidak. Jika emoji itu adalah bagian dari sebuah narasi atau kalimat dari percakapan untuk dikatakan hate speech atau SARA perlu ada pemeriksaan yang mendalam yang melibatkan banyak ahli. Pada Contoh 2 dapat dikenakan penghinaan ringan sebagaimana diatur di Pasal 315 KUHP. Lalu terhadap Contoh 3, terhadap caci maki yang dilakukannya tentunya menyulut emosi seseorang atau golongan lain yang menimbulkan kebencian, sehingga dapat dikenakan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Referensi : Oxford Dictionaries , diakses pada 24 September 2018, pukul 13.20 WIB. Catatan : Penjawab telah melakukan wawancara dengan Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M , via WhatsApp pada 20 September 2018 pukul 16.13 WIB. Penjawab telah melakukan wawancara dengan Teguh Arifiyadi, S.H., M.H. , via telepon pada 21 September 2018 pukul 14.00 WIB. hukumonline telekomunikasi teknologi medsos online hukum media & penyiaran kominfo media sosial pidana" }
{ "from": "human", "value": "Sejauh mana kedudukan pengacara dalam proses penyidikan di Kepolisian? Bagaimana kedudukannya? Apakah dijamin dalam KUHAP? Karena selama ini penasihat hukum tidak memiliki peran yang besar dalam proses penyidikan." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Yang Termasuk Perkara dengan Acara Pemeriksaan Singkat 11 Apr 2017 Hukumnya Jika Pengacara LBH Menerima Bingkisan atau Uang Tanda “Terima Kasih” 03 Apr 2017 Adakah Larangan Membuka Kantor Hukum Secara Virtual Office ? 09 Mar 2017 Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat? 02 Mar 2017 Intisari: Pada dasarnya penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP. Tersangka berhak didampingi pada setiap proses pemeriksaan. Pada proses penyidikan kedudukan penasihat hukum bersifat p asif . Artinya, penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan hanya sebagai penonton. Terbatas hanya melihat serta mendengar atau within sight and within hearing . Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, penasihat hukum tidak diperkenankan memberi nasihat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Tersangka/Terdakwa untuk Didampingi Penasihat Hukum Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Didampingi oleh penasihat hukum merupakan hak tersangka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 54 KUHAP yang berbunyi: Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini. Pada prinsipnya, penasihat hukum berhak menghubungi tersangka sejak saat ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP. [1] Penasihat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya. [2] Jika terdapat bukti bahwa penasihat hukum tersebut menyalahgunakan haknya dalam pembicaraan dengan tersangka maka sesuai dengan tingkat pemeriksaan, penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan membeli peringatan kepada penasihat hukum. [3] Penasihat hukum, sesuai dengan tingkat pemeriksaan, dalam berhubungan dengan tersangka diawasi oleh penyidik, penuntut umum atau petugas lembaga pemasyarakatan tanpa mendengar isi pembicaraan. [4] Kududukan Penasihat Hukum di Tingkat Penyidikan Peran atau kedudukan penasihat hukum dalam proses penyidikan diatur dalam Pasal 115 KUHAP yang berbunyi: (1) Dalam hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar pemeriksaan; (2) Dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 133-134), dalam praktek penegakan hukum, secara harfiah dapat kita uraikan: 1. Pada waktu pejabat penyidik melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik dapat memperbolehkan atau mengizinkan penasihat hukum untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. Berarti atas persetujuan penyidik, penasihat hukum dapat hadir dan mengikuti pemeriksaan yang sedang dilakukan penyidik. Tetapi kalau penyidik tidak menyetujui atau tidak memperbolehkan, penasihat hukum tidak dapat memaksakan kehendaknya untuk mengikuti jalannya pemeriksaan. 2. Kedudukan dan kehadiran penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan penyidikan adalah secara pasif . Demikian makna penjelasan Pasal 115 ayat (1) KUHAP , yakni kedudukan penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan hanya sebagai “penonton”. Terbatas hanya melihat serta mendengar atau within sight and within hearing . Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, tidak diperkenankan memberi nasihat. Seolah-olah kehadirannya berupa persiapan menyusun pembelaan atau pemberian nasihat pada taraf pemeriksaan selanjutnya. Kehadiran penasihat hukum pada setiap pemeriksaan penyidikan, besar sekali manfaatnya. Kehadiran penasihat hukum pada setiap pemeriksaan penyidikan paling tidak mencegah penyidik menyemburkan luapan emosi dan membuat suasana pemeriksaan lebih manusiawi, kecuali memang pemeriksa sendiri lupa daratan dimabuk kecongkakan kekuasaan dan sudah berteman dengan emosi dan telah kehilangan akal sehat. Demikian juga dari segi psikologis, kehadiran penasihat hukum dalam pemeriksaan mendorong tersangka lebih berani mengemukakan kebenaran yang dimiliki dan diketahuinya. 3. Kehadiran yang pasif dalam kedudukan boleh melihat dan mendengar jalannya pemeriksaan bagi penasihat hukum, hanya berlaku terhadap tersangka yang akan dituntut dalam kejahatan tindak pidana di luar kejahatan terhadap keamanan negara. Jika tindak pidana kejahatan yang disangkakan terhadap tersangka kejahatan atas keamanan negara, kedudukan pasif penasihat hukum dikurangi semakin pasif. Dalam hal ini penasihat hukum memang masih dapat mengikuti jalannya pemeriksaan, tapi terbatas melihat saja namun tidak boleh mendegar. Barangkali hanya dapat melihat pemeriksaan tersangka dari dinding kaca di dalam mana tersangka diperiksa. Jadi menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tersangka berhak didampingi pada setiap proses pemeriksaan. Pada proses penyidikan, kedudukan penasihat hukum bersifat pasif. Artinya, penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan pada tingkat penyidikan hanya sebagai penonton. Terbatas hanya melihat serta mendengar. Selama kehadirannya mengikuti jalannya pemeriksaan, penasihat hukum tidak diperkenankan memberi nasihat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana REFERENSI:\n1. Yahya Harahap . 2016. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan . Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 69 KUHAP [2] Pasal 70 ayat (1) KUHAP [3] Pasal 70 ayat (2) KUHAP [4] Pasal 71 ayat (1) KUHAP pengadilan hukum acara pidana klinik hukumonline penyidikan tersangka hakim pengacara kuhap hukumonline advokat kepolisian profesi hukum penyidik kejaksaan google terdakwa kuhp hukum klinik penasihat hukum tindak pidana polisi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Ada perusahaan yang menjual alat peninggi badan, di iklan menjanjikan bisa meninggikan badan, bahwa alat itu tidak berisiko dan aman, serta menipu bahwa barang itu berasal atau dibuat di Amerika. Padahal dibuat di Indonesia. Hal itu tentu tidak benar dan meyesatkan. Bagaimana hukum menanggapi ini? Apakah termasuk perlindungan konsumen. Terlebih produk itu merendahkan produk lain juga. Adakah batasannya dalam promosi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Konsumen Memperoleh Informasi Produk yang Benar Perusahaan yang menjual alat peninggi badan yang Anda sebutkan menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”) adalah pelaku usaha yakni setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Alat peninggi badan di sini adalah sebuah barang. Barang menurut Pasal 1 angka 4 UU 8/1999 adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Adapun yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. [1] Berkaitan dengan pertanyaan Anda, perlu kita sadari bahwa seorang konsumen itu memiliki hak yaitu: [2] hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa ; hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif (berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya). [3] hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Di samping itu, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut . [4] Di sini berarti bahwa apa yang dilakukan oleh pengusaha tersebut merupakan hal yang salah dan dilarang untuk dilakukan. Oleh karena itu, jika ternyata merek, bentuk, warna, model, atau kondisi-kondisi spesifik lainnya perihal barang itu yang dinyatakan dalam sebuah iklan atau promosi tidak sesuai dengan informasi yang Anda dapatkan, maka Anda sebagai konsumen bisa menuntut kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Hal ini karena pada dasarnya Anda sebagai konsumen berhak mendapatkan barang yang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan. Kewajiban dan Larangan Bagi Pelaku Usaha Tidak hanya itu, pelaku usaha, sesuai Pasal 7 UU 8/1999 memiliki kewajiban untuk: beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Jadi seorang pelaku usaha pada dasarnya juga berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barangnya. Kemudian menyorot tentang promosi, kegiatan tersebut termasuk kepada aspek perlindungan konsumen, karena UU 8/1999 berkaitan dengan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. [5] Dalam mempromosikan barangnya, berdasarkan Pasal 9 UU 8/2011 pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah: barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; barang dan/atau jasa tersebut tersedia; barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; barang tersebut berasal dari daerah tertentu ; secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain ; menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap ; menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. Larangan di atas bisa dijadikan sebuah batasan atau pedoman pelaku usaha dalam melakukan promosi pada konsumen. Dengan adanya larangan tersebut pelaku usaha diharapkan tidak melewati batasan/larangn tersebut dalam melakukan promosi. Jadi berdasarkan larangan tersebut, pelaku usaha yang menawarkan produk peninggi badan yang Anda sebutkan di atas (ditawarkan dengan argumen bahwa barang tersebut tidak berisiko dan aman, serta dibuat di Amerika padahal dibuat di Indonesia), maka berdasarkan Pasal 9 ayat (2) UU 8/1999 barang tersebut dilarang untuk diperdagangkan. Terhadap pelanggaran tersebut tentunya pelaku usaha dilarang untuk melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. [6] Sanksi Atas perbuatan itu pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar. [7] Terhadap sanksi pidana di atas, pelaku usaha juga dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: [8] perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen . [1] Pasal 1 angka 2 UU 8/1999 [2] Pasal 4 UU 8/1999 [3] Penjelasan Pasal 4 huruf g UU 8/1999 [4] Pasal 8 ayat (1) huruf f UU 8/1999 [5] Pasal 1 angka 1 UU 8/1999 [6] Pasal 9 ayat (3) UU 8/1999 [7] Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999 [8] Pasal 63 UU 8/1999 hukumonline produsen produk konsumen online hukum klinik hukumonline perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Apa batasan tanggung jawab orang tua ke anak, khususnya untuk laki-laki? Kemudian apabila anak tersebut sudah berumur 27 tahun dan sudah menikah serta memiliki 1 anak, apakah orang tua masih bertanggung jawab atas kelayakan hidup anak tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, peraturan perundang-undangan tidak membedakan tanggung jawab orang tua terhadap anak laki-laki ataupun perempuan. Sayangnya mengenai batasan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya yang telah dewasa tidak diatur secara tegas.\n\nBerdasarkan bunyi ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:\n\nmengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; sertamemberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.\n\nYang dimaksud dengan anak berdasarkan UU Perlindungan Anak dan perubahannya adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.[1]  Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab orang tua dilakukan sampai anak berusia 18 tahun.\n\nSelain itu, kewajiban dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya juga diatur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU 1/1974 berikut ini.\nKedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.\n\nSehingga jika ditinjau dari UU 1/1974, maka batasan kewajiban dan tanggung jawab orang tua yaitu sampai anak sudah kawin atau dapat berdiri sendiri. Adapun maksud dari dapat berdiri sendiri tidak dijelaskan lebih lanjut, tetapi menurut hemat kami, berarti anak itu sudah dapat memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bergantung kepada orang tua.\n\nDengan demikian, dapat dipahami bahwa peraturan perundang-undangan memang belum mengatur secara tegas mengenai bagaimana batasan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya ketika si anak telah dewasa.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, karena anak tersebut sudah melebihi usia 18 tahun dan sudah menikah, maka anak tersebut tidak termasuk sebagai kewajiban dan tanggung jawab orang tuanya lagi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014 dan Pasal 45 ayat (2) UU 1/1974. Namun, apabila anak tersebut ternyata masih belum mampu untuk berdiri sendiri, kami berpendapat tidak ada salahnya orang tua tetap membantu anaknya.\nJika Orang Tua Tidak Bisa Melaksanakan Tanggung Jawabnya\n\nSebagai informasi tambahan, berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UU 35/2014, dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih kepada keluarga.\n\nYang dimaksud dengan keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.[2]\n\nAkan tetapi dalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.[3]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”)[2] Pasal 1 angka 3 UU 35/2014[3] Pasal 33 ayat (1) UU 35/2014" }
{ "from": "human", "value": "Apakah boleh ultra petita di dalam hukum pidana dan sejauh apa? Apakah hanya sebatas hukuman yang boleh diperberat dari tuntutan jaksa? Atau boleh hakim menghukum berdasarkan pasal yang tidak masuk tuntutan jaksa, yang mana jaksa sendiri menyatakan tidak terbukti?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Arti Testimonium De Auditu 11 Jan 2023 Arti Asas Ius Curia Novit 21 Des 2022 Catat! Ini 5 Tata Cara Pengajuan Tuntutan Pidana dan Pledoi 27 Jan 2021 Kapan Persidangan Perkara Pidana Dinyatakan “Telah Memasuki Pokok Perkara”? 04 Mei 2017 Intisari: Rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan. Penjatuhan hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya bergantung pada penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap bukti-bukti dan fakta yang terungkap di persidangan. Sesuai Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya. Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari rekuisitor penuntut umum. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana. Dalam praktiknya, sudah berkali-kali hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari yang dituntut jaksa. Bahkan selain penjara, majelis hakim beberapa kali menaikkan jumlah denda atau uang pengganti yang harus dibayarkan terdakwa. Pada prinsipnya, majelis hakim bebas dan mandiri menentukan hukuman. Tetapi tetap ada batas-batas yang harus dipatuhi. Misalnya, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman lebih tinggi daripada ancaman maksimum dalam pasal yang didakwakan dan tidak boleh menjatuhkan jenis pidana yang acuannya tidak ada dalam KUHP atau perundang-undangan lain. Penjelasan lebih lanjut, dapat Anda lihat dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam banyak putusan Mahkamah Agung seringkali disebutkan bahwa lamanya atau berat ringannya hukuman yang dijatuhkan adalah wewenang judex facti . Ini berarti hukuman yang dijatuhkan majelis tingkat pertama dan tingkat banding (yang disebut judex facti ) sangat menentukan dalam perkara pidana. Ultra Petita Lantas, apa yang menjadi ukuran bagi majelis hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan? Bolehkah hakim menjatuhkan putusan yang ultra petita (melebihi apa yang dituntut)? Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyebutkan: Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya . Seorang hakim menuliskan dalam bukunya bahwa putusan pemidanaan ( veroordeling ) dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut dapat terjadi jika: [1] 1. Dari hasil pemeriksaan di depan persidangan; 2. Majelis hakim berpendapat bahwa: a. Perbuatan terdakwa sebagaimana didakwakan jaksa dalam surat dakwaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum; b. Perbuatan terdakwa tersebut merupakan lingkup tindak pidana kejahatan ( misdrijven ) atau pelanggaran ( overtredingen ). c. Dipenuhinya ketentuan alat-alat bukti dan fakta di persidangan sesuai Pasal 183 dan 184 ayat (1) KUHAP. 3. Oleh karena itu, majelis hakim lalu menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa. Jadi, rujukan majelis hakim dalam memutus perkara adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan . Sehubungan dengan itu, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 354) menuliskan: Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa . Dalam hal terdakwa didakwa dengan pasal alternatif, maka pasal mana yang terbukti dalam persidangan didasarkan pada penilaian pengadilan. Pemutusan Pemidanaan Secara normatif tidak ada satu pasal pun dalam KUHAP yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai dengan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan pemidanaan sesuai dengan pertimbangan hukum dan nuraninya, bisa lebih tinggi dari apa yang dituntut. Sebagai contoh silakan Anda lihat lebih lanjut dalam artikel Ultra Petita, Hakim Vonis Advokat Susi Lima Tahun Penjara . M. Yahya Harahap menyebutkan ‘hakim dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman pidana ( strafmaat ) yang akan dikenakan kepada terdakwa adalah bebas’. Undang-Undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman minimum dan maksimum yang diancamkan dalam pasal pidana bersangkutan . Pasal 12 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menegaskan hukuman pidana penjara selama waktu tertentu itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. [2] Ancaman pidana yang dimuat dalam perundang-undangan menunjukkan ketercelaan perbuatan yang dimanifestasikan dalam bentuk dan jumlah pidana yang diancamkan. Ancaman pidana yang tinggi menunjukkan ketercelaan yang tinggi dari perbuatan yang dilarang. [3] Kebebasan dan Independensi Hakim dalam Memutus Perkara Sebuah penelitian yang dilaksanakan Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung (2015) juga menyimpulan KUHAP tidak mengatur bahwa putusan pemidanaan harus sesuai atau di bawah dari tuntutan Jaksa/Penuntut Umum. Dalam kasus tertentu dimana ditemukan fakta persidangan terdapat hal-hal yang memberatkan sehingga hakim memiliki keyakinan untuk menjatuhkan pidana lebih tinggi dari tuntutan jaksa, maka hukuman itu tidaklah melanggar hukum acara pidana. Selengkapnya silakan Anda baca artikel Vonis Lebih Tinggi dari Tuntutan, Boleh Nggak Sih . Untuk memperjelas masalah ini kami kutipkan bagian lain dari kesimpulan penelitian tersebut: Merupakan kewenangan daripada hakim memutus sesuai fakta persidangan dan keyakinannya memberikan pemidanaan melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum jika dirasa adil dan rasional . Apalagi merupakan sebuah realitas bahwa tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum tidaklah selalu sama atau sesuai dengan batasan maksimal ancaman pidana yang terdapat secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan. Hakim dapat memutus lebih tinggi dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, namun tidak boleh melebihi batas maksimum ancaman pidana yang ditentukan Undang-Undang. [4] Meskipun ada kebebasan dan independensi hakim dalam menjatuhkan putusan, bukan berarti tak ada batasan. Batasan-batasan dimaksud antara lain: 1. Tidak boleh melebihi ancaman maksimal pasal yang didakwakan. Misalnya, Pasal 156a KUHP memuat ancaman maksimal lima tahun. Maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana penjara lebih dari lima tahun kepada terdakwa. Tetapi hakim boleh menjatuhkan hukuman sama dengan atau lebih rendah dari lima tahun. Lihat misalnya putusan MA No. 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993. 2. Tidak diperkenankan memberikan putusan pemidanaan yang jenis pidananya ( strafsoort ) tidak ada acuannya dalam KUHP, [5] atau peraturan pidana di luar KUHP. 3. Putusan pemidanaan itu harus memberikan pertimbangan yang cukup berdasarkan bukti. Dalam banyak putusan, antara lain putusan MA No. 202 K/Pid/1990 tanggal 30 Januari 1993, Mahkamah Agung menyatakan putusan yang kurang pertimbangan ( onvoldoende gemotiveerd ) dapat dibatalkan. Misalkan, pengadilan tinggi menambah hukum terdakwa lebih tinggi dari yang diputus hakim tingkat pertama tetapi kurang dipertimbangkan dan dijelaskan alasan menaikkan hukuman. Putusan yang demikian dapat dibatalkan. [6] Jika Hakim Menaikkan Hukuman Selain Pidana Penjara Pertanyaan lanjutannya, apakah hakim boleh juga menaikkan hukuman selain pidana penjara? Praktik pengadilan selama ini menunjukkan bukti bahwa hakim dapat menjatuhkan hukuman denda atau ganti rugi daripada yang dituntut oleh jaksa. Bahkan, sudah pernah terjadi dalam perkara korupsi, hakim memberikan hukuman tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 10 KUHP berupa pencabutan hak politik meskipun jaksa tak memintanya dalam surat tuntutan. Sebaliknya, ada kalanya hakim tak mengabulkan permintaan jaksa agar hak politik terdakwa dicabut. Ini menunjukkan bahwa mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa sangat bergantung pada penilaian/keyakinan majelis hakim. Dari penjelasan di atas dapat kami sampaikan bahwa sekalipun jaksa tidak menuntut suatu pasal, hakim tetap dapat menggunakannya sepanjang jaksa telah memasukkan pasal itu ke dalam surat dakwaan. Jika jaksa tak memasukkan pasal tersebut dalam surat dakwaan, tak ada pijakan hukum bagi hakim untuk menggunakan pasal itu menjerat terdakwa. Tetapi hakim bukanlah sekadar corong undang-undang ( la bouche de la loi ). Hakim juga menjadi pemberi makna melalui penemuan hukum atau konstruksi hukum. Dalam menegakkan hukum, hakim harus berusaha membuat putusannya adil dan berkeadilan. Dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. [7] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman . REFERENSI:\n1. 1. Lilik Mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalahannya . Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010. 2. M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali . Edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2002. 3. Mahkamah Agung. Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Laporan Penelitian . Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung RI, 2015. 4. Muhammad Ainul Syamsu. Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana . Jakarta: Kencana, 2016. [1] Lilik Mulyadi. Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia: Perspektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya . (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal.194 [2] M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali . Edisi kedua. (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 333. [3] Muhammad Ainul Syamsu. Penjatuhan Pidana dan Dua Prinsip Dasar Hukum Pidana . (Jakarta: Kencana, 2016), hal. 38. [4] Sudharmawatiningsih (koordinator peneliti). Pengkajian tentang Putusan Pemidanaan Lebih Tinggi dari Tuntutan Jaksa Penuntut Umum: Laporan Penelitian . (Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, 2015), hal. 63. [5] Ibid. [6] Lilik Mulyadi. Op.cit ., hal. 195. [7] Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. pengadilan tuntutan surat dakwaan klinik hukumonline jpu denda pidana tambahan penuntut umum penjara pledoi kuhap hukumonline dakwaan jaksa acara peradilan google putusan hakim kuhp hukum klinik pidana" }
{ "from": "human", "value": "Mengenai waktu kerja karyawan shift malam untuk perawat rumah sakit, apakah jam kerja mereka menggunakan UU no 12 Tahun 1948 Pasal 10 atau menggunakan UU no 13 Tahun 2003 tentang UU ketenagakerjaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Batas Waktu Kerja Lembur 08 Jun 2023 Masalah Pemotongan Waktu Kerja Lembur Karena Melaksanakan Ibadah 19 Mar 2013 Ketentuan Waktu dan Upah Kerja Lembur di Sektor Tertentu 20 Feb 2013 Sanksi Pidana Jika Pengusaha Melanggar Ketentuan Jam Istirahat Pekerja 09 Jan 2013 Intisari: Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) tanggal 25 Maret 2003, maka untuk peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku sebelum tahun tersebut atau sebagaimana yang dicantumkan/dimaksud dalam Pasal 192 UU Ketenagakerjaan termasuk Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 dinyatakan tidak berlaku lagi. Hasil penelusuran kami pada UU Ketenagakerjaan, tidak ada aturan yang mengatur secara spesifik mengenai shift malam perawat rumah sakit. Hingga saat ini juga belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur waktu kerja pekerja rumah sakit atau sektor kesehatan. Oleh karena itu, ketentuan mengenai waktu kerja saat shift malam pun merujuk pada ketentuan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan . Namun pelaksanaan waktu kerja shift malam bagi pekerja perempuan wajib mengikuti ketentuan-aturan dalam UU Ketenagakerjaan serta peraturan pelaksananya. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Saudara Penanya yang terhormat, Sejak diundangkannya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) tanggal 25 Maret 2003, maka untuk peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku sebelum tahun tersebut atau sebagaimana yang dicantumkan/dimaksud dalam Pasal 192 UU Ketenagakerjaan termasuk Undang-Undang No. 12 Tahun 1948 dinyatakan tidak berlaku lagi. Oleh karenanya seluruh aturan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia sekarang ini merujuk pada ketentuan UU Ketenagakerjaan sebagai Hukum Materiil . [1] Sehubungan dengan pertanyaan Saudara mengenai waktu kerja shift malam untuk perawat Rumah Sakit, berikut aturan ketenagakerjaan yang memberikan batasan akan hal tersebut: a. Hasil penelusuran kami pada UU Ketenagakerjaan, tidak ada aturan yang mengatur secara spesifik mengenai shift malam perawat rumah sakit. Hingga saat ini juga belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur waktu kerja pekerja rumah sakit atau sektor kesehatan. Oleh karena itu, ketentuan mengenai waktu kerja saat shift malam pun merujuk pada ketentuan waktu kerja dalam Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan sebagai berikut: i. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau ii. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. b. Namun pelaksanaan waktu kerja shift malam bagi pekerja perempuan wajib mengikuti ketentuan-aturan ketenagakerjaan sebagai berikut: [2] i. Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. ii. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. iii. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib memberikan makanan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja. iv. Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00. Ketentuan di atas diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00 (“Kepmenaker 224/2003”). Kepmenaker 224/2003 ini mengatur antara lain sebagai berikut: i. makanan-minuman bergizi (1.400 kalori dan diberikan waktu istirahat, makanan dan minuman harus bervariasi, tidak diganti dengan uang, harus higienis, dan sebagainya); ii. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja (menyediakan petugas keamanan, menyediakan kamar mandi/wc dengan penerangan yang layak dan sebagainya); iii. layanan transportasi antar jemput dimulai dari tempat penjemputan ke tempat kerja dan sebaliknya. Demikian jawaban kami, semoga dapat memberi pencerahan. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. [1] Hukum materiil yakni hukum yang menerangkan perbuatan apa saja yang dapat dihukum, serta hukuman apa saja yang dapat dijatuhkan. Hukum materiil menentukan isi suatu perjanjian, suatu hubungan atau perbuatan. [2] Pasal 76 UU Ketenagakerjaan hukumonline pekerja ketenagakerjaan rumah sakit hukum klinik klinik hukumonline waktu kerja" }
{ "from": "human", "value": "Belum lama ini salah seorang penyanyi upload bukti transfer royalti lagu sebesar Rp15 juta kepada pencipta lagunya secara langsung. Setahu saya saat ini ada LMKN, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional yang berwenang mengelola royalti. Pertanyaan saya, kemanakah seharusnya royalti lagu dibayarkan, ke LMKN atau kepada penciptanya langsung? Dan siapakah yang harus membayarnya, penyanyi langsung atau pihak EO yang mengadakan acara? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBisakah Kekayaan Intelektual Menjadi Harta Gono-Gini?01 Apr 2024Bisakah Ide Bisnis Diberikan Perlindungan Kekayaan Intelektual?28 Mar 2023Apakah Kekayaan Intelektual Termasuk Harta Pailit?24 Okt 2022Fenomena iPhone HDC, Pelanggaran Kekayaan Intelektual Apa?03 Agt 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pencipta dan haknya atas royalti. Dalam UU Hak Cipta, pencipta adalah seseorang atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menghasilkan suatu ciptaan yang bersifat khas dan pribadi.[1]\n\nSecara hukum, pencipta memiliki dua hak, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Hak moral yaitu hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta dan tidak bisa dialihkan selama pencipta masih hidup.[2] Sementara, hak ekonomi adalah hak eksklusif pencipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.[3]\nHak moral melekat pada pencipta untuk:[4]\n\ntetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;menggunakan nama aliasnya atau samarannya;mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;mengubah judul dan anak judul ciptaan; danmempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.\n\nAdapun, hak ekonomi yang didapat oleh pencipta dilakukan melalui:[5]\n\npenerbitan ciptaan;penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya;penerjemahan ciptaan;pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan;pendistribusian ciptaan atau salinannya;pertunjukan ciptaan;pengumuman ciptaan;komunikasi ciptaan; danpenyewaan ciptaan.\nMengenai royalti yang Anda maksud, dalam Pasal 1 angka 21 UU Hak Cipta dijelaskan bahwa royalti adalah imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait.\n\nDengan demikian, pada dasarnya pencipta lagu memang memiliki hak atas royalti sebagai imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi, yaitu jika karyanya dimanfaatkan misalnya untuk pertunjukan.\nSiapa yang Berwenang Menarik Royalti: Pencipta atau LMKN?\n\nMengenai pertanyaan Anda, kemanakah royalti atas pemanfaatan suatu lagu dibayarkan, kami akan menjelaskan terlebih dahulu, bahwa saat ini, telah dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN yaitu lembaga yang diberi kewenangan atribusi untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti musik dan/atau lagu yang dimanfaatkan oleh pengguna dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial (public performance rights).[6]\n\nDalam Pasal 1 angka 11 PP 56/2021 LMKN didefinisikan sebagai lembaga pembantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk oleh menteri berdasarkan UU Hak Cipta yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.\n\nSetiap orang pada dasarnya dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN.[7]\n\n“Penggunaan secara komersial” yang dimaksud di atas adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.[8]\n\nAdapun, “layanan publik” yang dimaksud tersebut adalah meliputi:[9]\n\nseminar dan konferensi komersial;restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek;konser musikpesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut;pameran dan bazar;bioskop;nada tunggu telepon;bank dan kantor;pertokoan;pusat rekreasi;lembaga penyiaran televisi;lembaga penyiaran radio;hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; danusaha karaoke.\n\nLebih lanjut, LMKN melakukan penarikan royalti dari orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik bersifat komersial untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang telah menjadi anggota dari suatu LMKN.[10] Selain itu, LMKN juga menarik royalti untuk pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait yang belum menjadi anggota dari suatu LMKN.[11]\n\nPasal 10 PP 56/2021 juga menjelaskan bahwa setiap orang (perseorangan atau badan hukum) yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial berdasarkan perjanjian lisensi atau tidak, membayarkan royalti melalui LMKN dan dilakukan segera setelah penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik.\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda dapat kami sampaikan bahwa pembayaran royalti lagu seharusnya dibayarkan kepada LMKN sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya untuk mengelola royalti lagu dan/atau musik.\n\nHal ini untuk memastikan bahwa proses pengumpulan dan distribusi royalti kepada para pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait dilakukan secara profesional dan adil.\n\nKemudian, pihak mana yang harus membayar antara penyanyi langsung atau pihak EO yang mengadakan acara, berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat kami pihak yang harus membayar royalti adalah pihak yang mengadakan acara.\n\nAdapun ketentuan mengenai tarif pembayaran royalti, besarannya berbeda-beda dengan menyesuaikan tempat di mana lagu dan/atau musik dikomersialisasikan berdasarkan ketentuan pada Kepmenkumham HKI.2.OT.3.01-02 Tahun 2016.\n\nBaca juga: Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK?\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5460681737444/undang-undang-nomor-28-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_hak_cipta)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt606bfe9bcc9b2/peraturan-pemerintah-nomor-56-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_56_2021)\n3. [Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.3.01-02 Tahun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti untuk Pengguna yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan dan/atau Produk Hak Terkait Musik dan Lagu](https://www.lmkn.id/wp-content/uploads/2021/04/SK-Menteri-Tarif-Royalti-Musik-Lagu-untuk-Pengguna-1.pdf)\nREFERENSI:\n1. LMKN, yang diakses pada Senin, 25 Maret 2024, pukul 14.15 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”)\n\n[2] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU Hak Cipta\n\n[3] Pasal 8 UU Hak Cipta\n\n[4] Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta\n\n[5] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta\n\n[6]LMKN, yang diakses pada Senin, 25 Maret 2024, pukul 14.15 WIB.\n\n[7] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”)\n\n[8] Pasal 1 angka 12 PP 56/2021\n\n[9] Pasal 3 ayat (2) PP 56/2021\n\n[10] Pasal 12 ayat (1) PP 56/2021\n\n[11] Pasal 12 ayat (2) PP 56/2021" }
{ "from": "human", "value": "Apakah masyarakat Muslim Indonesia wajib menyalurkan zakatnya melalui Baznas? Jika tidak, apa sebenarnya fungsi Baznas? Karena saya lihat zakat sekadar disalurkan secara swadaya oleh masyarakat sendiri, seperti oleh masjid. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Membayar Zakat Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seseorang Muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam. [1] Orang yang membayar zakat biasanya disebut dengan muzaki. Sedangkan orang yang berhak menerima zakat biasanya disebut dengan mustahik. [2] Mustahik terdiri dari delapan golongan, yaitu: [3] fakir , yaitu mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup; miskin , yaitu mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan; amil , yaitu mereka yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat; muallaf , yaitu mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkan dalam tauhid dan syariah; hamba sahaya, yaitu budak yang ingin memerdekakan dirinya; gharimin , yaitu orang yang berhutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa; fisabilillah , yaitu orang yang berjuang di jalan Allah; dan ibnu sabil , yaitu orang yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah. Zakat dapat dibayarkan langsung oleh muzaki langsung kepada mustahik. Selain itu, zakat juga dapat dibayarkan kepada sebuah lembaga atau badan amil zakat sebagai perantara, kemudian lembaga atau badan tersebut menyalurkannya kepada mustahik. Membayar zakat melalui amil ini lebih utama dan lebih dianjurkan . Hal ini karena dalam Al-Quran maupun sunnah , proses penarikan zakat melibatkan amil ataupun pemerintah. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Di Indonesia, telah dibentuk BAZNAS berdasarkan pada Pasal 5 ayat (1) UU 23/2011 . Pembentukan BAZNAS ini bertujuan untuk melaksanakan pengelolaan zakat. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Agama. [4] Tidak ada kewajiban bagi muzaki untuk membayarkan zakatnya kepada BAZNAS . Karena BAZNAS sendiri bukanlah satu-satunya lembaga atau badan pengelola zakat. Masyarakat juga dapat membentuk lembaga pengelola zakat, yang disebut dengan Lembaga Amil Zakat (“LAZ”). Pembentukan LAZ ini akan sangat membantu BAZNAS dalam melaksanakan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. [5] Dengan alasan maslahah (kemaslahatan), muzaki lebih baik membayar zakatnya melalui lembaga atau badan amil zakat. Dalam hal ini, muzaki memiliki pilihan untuk menyalurkan zakatnya kepada BAZNAS atau ke LAZ. Prinsip utama pembayaran zakat adalah tersampaikannya zakat kepada orang yang tepat atau mustahik, sehingga lebih dianjurkan untuk membayar zakat melalui amil zakat seperti, BAZNAS atau LAZ, karena lembaga-lembaga tersebut akan selektif dalam menentukan mustahik, sehingga tepat sasaran. Setidaknya ada beberapa keunggulan membayar zakat melalui lembaga. Di antaranya yaitu: [6] Lebih sesuai dengan petunjuk yang ada di al-Qur’an dan sunnah . Adanya jaminan kepastian dan disiplin pembayar zakat. Agar mencegah perasaan rendah diri para mustahik apabila berhadapan langsung untuk menerima zakat dari para muzaki. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam pendayagunaan zakat, menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat. Untuk memperlihatkan syi’ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami. Fungsi BAZNAS Dalam rangka menjalankan tugasnya, BAZNAS memiliki sejumlah fungsi sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 ayat (1) UU 23/2011 , yaitu: perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat. Dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya tersebut, BAZNAS dapat bekerja sama dengan berbagai pihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [7] Aspek Hukum Zakat dan Pajak Patut diperhatikan bahwa Pasal 22 UU 23/2011 menyatakan bahwa zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangi dari penghasilan kena pajak. Kemudian, Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa salah satu yang dikecualikan dari objek pajak adalah bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak. Bahkan pemerintah telah mengeluarkan regulasi khusus terkait dengan pengurangan penghasilan kena pajak ini berupa Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (“PP 60/2010”) . Dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a PP 60/2010 tersebut dijelaskan bahwa zakat yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto adalah zakat yang dibayarkan kepada badan amil zakat atau LAZ yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Bahkan dipertegas dalam Pasal 2 PP 60/2010 bahwa zakat yang tidak dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto. Mengenai badan/lembaga yang dimaksud secara lebih detail lagi diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2019 Tahun 2019 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto (“Peraturan Dirjen Pajak 5/2019”) . Kemudian, di dalam Lampiran Peraturan Dirjen Pajak 5/2019 , diuraikan daftar nama-nama badan atau LAZ sebagai penerima zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2019 Tahun 2019 tentang Badan/Lembaga yang Dibentuk atau Disahkan oleh Pemerintah yang Ditetapkan Sebagai Penerima Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Referensi : baznas.go.id , diakses pada 16 April 2020, pukul 230 WIB; Bolehkah Menyerahkan Zakat Langsung kepada Mustahik? , diakses pada 30 April 2020, pukul 22.45 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat (“UU 23/2011”). [2] Pasal 1 angka 5 dan 6 UU 23/2011 [3] baznas.go.id [4] Pasal 5 ayat (1) dan (3) UU 23/2011 [5] Pasal 17 UU 23/2011 [6] Bolehkah Menyerahkan Zakat Langsung kepada Mustahik? [7] Pasal 7 ayat (2) UU 23/2011 hukumonline agama" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menggugat cerai, karena perlakuan dari suami yang tidak pantas. Setiap beradu mulut, suami selalu memaki-maki saya dan mengancam cerai. Saya barusan melahirkan, dan bayi kami baru berusia 1,5 bulan. Suami tidak mempunyai kerjaan, sedangkan saya bekerja. Selama ini kami tinggal di rumah mertua saya yang terlalu kecil. Sementara ini, saya dan bayi tinggal di rumah orang tua saya. Siapakah yang berhak atas bayi? Haruskah saya memberi suami saya hak untuk melihat anaknya setelah cerai nanti?" }
{ "from": "gpt", "value": "1. Sebelum berbicara mengenai hak, penting untuk kita ketahui bahwa putus perkawinan karena perceraian tidak menghapus kewajiban ibu dan bapak untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. KLINIK TERKAIT Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo 28 Sep 2017 Hak Asuh Ketika Ibunya Bersuami Lagi? 30 Des 2009 Suami Selingkuh 24 Agt 2009 Sesuai Pasal 41 huruf a UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) , yang berbunyi: “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Mengenai hak asuh anak, pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak di bawah umur kepada ibu, kecuali pengadilan memutuskan untuk kepentingan terbaik bagi anak, hak pengasuhan jatuh kepada bapak . Hal ini berdasarkan pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya. Setelah anak tersebut berusia 12 tahun maka dia diberikan kebebasan memilih untuk diasuh oleh ayah atau ibunya. Adapun pihak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah bapak. Namun, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memberi kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Demikian ketentuan Pasal 41 huruf b UUP. 2. Walaupun telah bercerai, bapak dari si anak tetap memiliki hak atas anak. Hak bapak atas anak yang karena perceraian berada dalam pengasuhan ibu antara lain; - hak berkunjung berdasarkan putusan pengadilan, - hak mendapat penghormatan dari anak (lihat Pasal 46 UUP ), - hak menjadi wali nikah bila anak (perempuan) melangsungkan perkawinan (lihat Pasal 21 ayat [1] Kompilasi Hukum Islam/KHI ), dan - hak waris (lihat Pasal 174 KHI ). Sekedar menambahkan, bahwa untuk mengajukan gugatan cerai, harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (lihat Pasal 39 ayat [2] UUP ). Alasan-alasan perceraian dapat anda simak “ Perceraian & Anak di Luar Nikah ” disini . Lebih lanjut mengenai perceraian juga dapat Anda simak di artikel Bagaimana Mengurus Perceraian Tanpa Advokat . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam" }
{ "from": "human", "value": "Belakangan ini viral kasus bayi prematur meninggal dunia usai pulang dari klinik di Tasikmalaya. Menurut berita, bayi prematur tidak dirawat secara intensif di inkubator oleh bidan, melainkan bayi prematur dijadikan konten media sosial klinik berupa foto newborn. Selain itu, menurut kesaksian keluarga, bidan sibuk main HP dan ketika ibu melahirkan, ibu tidak ditangani serius oleh bidan yang bertugas. Kemudian, pihak kepolisian melakukan penyelidikan dengan memintai keterangan dari keluarga pasien dan juga melakukan pemeriksaan terhadap pihak klinik terkait dugaan malpraktik bidan. Lantas, apa sanksi pidana bagi bidan malpraktik?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan bidan. Menurut Pasal 1 angka 1 Permenkes 28/2017, bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang telah teregistrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu, praktik kebidanan merupakan kegiatan pemberian pelayanan yang dilakukan oleh bidan dalam bentuk asuhan kebidanan.[1]\n\nKemudian, penting untuk Anda ketahui bahwa untuk dapat melakukan praktik keprofesiannya, seorang bidan harus memiliki Surat Tanda Registrasi Bidan (“STRB”)[2] yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah kepada bidan yang telah memiliki sertifikat kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[3] Selain memiliki STRB, bidan juga wajib memiliki Surat Izin Praktik Bidan (“SIPB”)[4] yaitu bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada bidan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik kebidanan.[5]\n\nLebih lanjut, bidan dapat menjalankan praktik kebidanan secara mandiri dan/atau bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan berupa:[6]\n\nklinik;puskesmas;rumah sakit; dan/ataufasilitas pelayanan kesehatan lainnya.\n\nLantas, bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap malpraktik yang dilakukan bidan? Berikut ulasannya.\nTindak Pidana yang Mengakibatkan Mati Karena Kealpaan\n\nPada intinya, malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, akibat kesalahan atau kelalaian tersebut pasien menderita luka berat, cacat bahkan meninggal dunia.[7] Atas dugaan malpraktik, keluarga bayi meninggal di Tasikmalaya tersebut dapat melaporkan ke polisi dengan merujuk bunyi pasal dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[8] yaitu tahun 2026 sebagai berikut:\nPasal 359 KUHPPasal 474 ayat (3) UU 1/2023Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana\npenjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.Setiap orang yang karena kealpaannya mengakibatkan matinya orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V, yaitu Rp500 juta.[9]\n\nDari kedua pasal tersebut, adapun unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:[10]\n\nbarang siapa/setiap orang;karena kesalahannya/kealpaannya; danmenyebabkan/mengakibatkan orang lain mati.\n\nKemudian, R. Soesilo berpendapat bahwa kematian dalam konteks Pasal 359 KUHP tidak dimaksudkan sama sekali oleh pelaku. Sebab, kematian tersebut hanya merupakan akibat kurang hati-hati atau lalainya pelaku. Sementara itu, jika kematian ternyata dikehendaki pelaku, maka pasal yang dapat diberlakukan adalah Pasal 338 atau 340 KUHP dan Pasal 458 atau Pasal 459 UU 1/2023.[11]\n\nSebagai informasi, dalam hukum pidana, istilah kealpaan/kelalaian dikenal dengan istilah culpa. Lalu pada dasarnya, culpa memiliki 3 unsur, sebagai berikut:[12]\n\nPelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum;Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh dan kurang berpikir panjang; sertaPerbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya tersebut.\n\nLebih lanjut, menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer, dan E. PH. Sutorius terdapat skema dari culpa, yaitu:[13]\n\nCulpa lata yang disadari (alpa) atau conscious\n\nArtinya, kelalaian yang disadari, yakni seseorang sadar akan risiko, tetapi berharap akibat buruk tidak akan terjadi. Contoh:\n\nsembrono (roekeloos);lalai (onachttzaam);tidak acuh.\nCulpa lata yang tidak disadari (lalai) unconscious\n\nArtinya, kelalaian yang tidak disadari, yakni seseorang seyogianya harus sadar dengan risiko, tetapi tidak demikian. Contoh:\n\nkurang berpikir (onnadentkend);lengah (onoplettend).\n\nUntuk penjelasan selengkapnya, Anda dapat membaca Kelalaian yang Merugikan Orang Lain Menurut Hukum Pidana.\nKealpaan dalam Menjalankan Jabatan\n\nBerdasarkan informasi yang Anda berikan, kelalaian yang menyebabkan kematian bayi prematur dilakukan oleh seorang bidan yang diduga malpraktik. Dengan demikian, jika kejahatan dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan 1/3 dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 361 KUHP.\n\nKemudian, serupa dengan KUHP, Pasal 475 ayat UU 1/2023 juga mengatur bahwa jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 474 UU 1/2023 dilakukan dalam menjalankan jabatan, mata pencaharian, atau profesi, pidananya dapat ditambah 1/3. Selain itu, pelaku dapat juga dijatuhi pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim dan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf f UU 1/2023, yaitu pencabutan hak menjalankan profesi tertentu.\nDari jabatan atau profesi tertentu, diharapkan adanya rasa tanggung jawab dalam menjalankan tugas atau pekerjaan yang dipercayakan kepada mereka. Dengan perkataan lain, kealpaan harus dihindarkan oleh orang yang menjalankan tugas atau pekerjaan secara bertanggung jawab. Oleh karena itu, jika terjadi suatu kealpaan, ancaman pidananya dapat ditambah dengan 1/3.[14]\n\nKesimpulannya, berdasarkan kasus Anda, kami simpulkan terdapat dugaan malpraktik bidan yang menyebabkan bayi prematur meninggal dunia usai pulang dari klinik. Dengan demikian, jika tindakan pelaku memenuhi unsur-unsur pasal kealpaan yang menyebabkan kematian, pelaku berpotensi dijerat Pasal 359 jo. Pasal 361 KUHP, dengan ancaman pidana penjara maksimal 5 tahun atau pidana kurungan maksimal 1 tahun serta pidana ditambah dengan 1/3 dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian sebagai bidan. Kemudian menurut Pasal 474 ayat (3) jo. 475 UU 1/2023, pelaku berpotensi dipenjara maksimal 5 tahun atau pidana denda maksimal Rp500 juta, dan pidananya dapat ditambah 1/3. Selain itu, pelaku juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak menjalankan profesi bidan.\nLaporan Pengaduan Dinas Kesehatan\n\nSebagai informasi, selain melaporkan tindak pidana ke polisi, Anda juga dapat menyampaikan laporan ke Dinas Kesehatan setempat, dalam hal ini ke Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, atau menyampaikan laporan melalui Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat.\nBaca juga: Identitas Bayi Tertukar di Rumah Sakit, Ini Hukumnya\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang- Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt598bc71419fbc/peraturan-menteri-kesehatan-no-28-tahun-2017-izin-dan-penyelenggaraan-praktik-bidan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkes_28_2017)\nREFERENSI:\n1. Abdul Aziz. A.H. Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik yang dilakukan oleh Perawat. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 2, 2014\n2. Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017\n3. Gita Febri Ana dan Rehnalemken Ginting. Analisis Penerapan Pasal 359 KUHP Mengenai Kealpaan yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan Nomor: 267/PID.B/2011/PN/SKH). Jurnal Recidive, Vol. 4, No. 2, 2015\n4. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 2019\n5. Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, yang diakses pada Kamis, 23 November 2023, pukul 08.12 WIB\n6. Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat, yang diakses pada Kamis, 23 November 2023, pukul 08.15 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan (“Permenkes 28/2017”)[2] Pasal 3 ayat (1) Permenkes 28/2017[3] Pasal 1 angka 3 Permenkes 28/2017[4] Pasal 5 ayat (1) Permenkes 28/2017[5] Pasal 1 angka 4 Permenkes 28/2017[6] Pasal 15 ayat (1) dan (3) Permenkes 28/2017[7] Abdul Aziz. A.H. Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik yang dilakukan oleh Perawat. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 2, No. 2, 2014, hal. 3[8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[9] Pasal 79 ayat (1) huruf e UU 1/2023[10] Gita Febri Ana dan Rehnalemken Ginting. Analisis Penerapan Pasal 359 KUHP Mengenai Kealpaan yang Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang Lain (Studi Putusan Nomor: 267/PID.B/2011/PN/SKH). Jurnal Recidive, Vol. 4, No. 2, 2015, hal. 186[11] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 2019, hal. 248[12] Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017, hal. 74[13] Fitri Wahyuni. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. Tangerang Selatan: PT Nusantara Persada Utama, 2017, hal. 74[14] Penjelasan Pasal 475 ayat (1) UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan hukum waris bagi anak yang berasal dari bayi tabung, dan kalau ada referensi bukunya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Bayi tabung adalah hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal . Pengaturan hukum terkait dengan bayi tabung ini dapat kita temui dalam Pasal 127 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan . Dalam pasal tersebut diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: KLINIK TERKAIT Aspek Hukum tentang Surrogate Mother (Ibu Pengganti) 28 Mar 2018 Hukumnya Jika Mengakui Anak Orang Lain dalam Akta Kelahiran 03 Agt 2017 Bayi Ikut Bapak atau Ibu? 04 Apr 2011 Pengasuhan anak yang sesuai hukum 12 Feb 2010 a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal; b. dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Jadi, pada dasarnya sperma dan ovum dalam upaya kehamilan melalui bayi tabung adalah milik suami istri yang sah yang pembuahannya dilakukan di luar rahim. Hal ini dilakukan oleh para pasangan suami-istri yang sperma dan ovumnya sulit melakukan pembuahan di dalam rahim. Sehingga harus dilakukan pembuahan di luar rahim dengan bantuan tenaga kesehatan dan teknologi yang ada. Kemudian hasil pembuahan tersebut ditanamkan kembali ke rahim istri dari mana ovum itu berasal. Jadi, anak atau bayi hasil pembuahan melalui bayi tabung ini adalah anak kandung suami istri itu sendiri. Dengan demikian, anak hasil bayi tabung dalam hukum waris termasuk ke dalam ahli waris golongan I yang diatur dalam P asal 852 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu: “ Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu. ” Jadi, hukum waris yang berlaku bagi anak hasil bayi tabung adalah sama dengan hukum waris yang berlaku terhadap anak kandung. Referensi buku mengenai waris maupun bayi tabung ini sementara yang dapat kami referensikan antara lain sebagai berikut: · Judul\n: Bayi Tabung: Tinjauan Aspek Hukum Penulis\n: Salim HS Penerbit\n: Sinar Grafika, 1993 · Judul\n: Hukum Waris Penulis\n: J. Satrio Penerbit\n: Alumni, 1992 Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah sebuah peraturan perundang-undangan yang sudah dinyatakan tidak berlaku dan dicabut dan telah diganti dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat, otomatis harus dihapus atau tidak dipergunakan lagi dalam sebuah paparan dan sekaligus harus menggunakan perundang-undangan yang baru sebagai dasar hukumnya? 2. Bagaimanakah apabila dalam suatu peraturan terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka pasal yang manakah yang dapat digunakan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami kurang memahami apa yang Anda maksud tentang “ tidak dipergunakan lagi dalam sebuah paparan” . Kami berasumsi secara umum bahwa apakah peraturan perundang-undangan yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu tidak dipergunakan lagi sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. KLINIK TERKAIT Langkah-langkah Permohonan Uji Materiil ke Mahkamah Agung 15 Des 2022 Bedanya Judicial Review dengan Hak Uji Materiil 20 Des 2021 Mekanisme Pengujian Perda Kabupaten/Kota yang Bertentangan dengan UU 20 Mar 2017 Masalah Dualisme Kewenangan Pengujian Perda Kabupaten/Kota 20 Jul 2016 Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 138) mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi . Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu. Contoh peraturan perundang-undangan yang dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan . Hal ini terlihat pada Ketentuan Penutupnya, yakni dalam Pasal 102 UU 12/2011 : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku .” Menurut Maria ( Ibid, hal. 133), jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan lama, di dalam peraturan perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau pencabutan sebagian peraturan perundang-undangan. Demi kepastian hukum, pencabutan peraturan perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum, tetapi menyebutkan dengan tegas peraturan perundang-undangan mana yang dicabut. Maria ( Ibid, hal. 134) jugamengatakan bahwa pencabutan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan yang lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dicabut. Contoh ( Pasal 101 UU 12/2011 ): Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Menurut M. Naufal Fileindi, S.H. dalam artikel Aturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya Undang-Undang , i stilah ‘mencabut’ adalah proses untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, ‘tidak berlaku’ adalah sebuah keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat . Mengacu pada hal-hal di atas dapat kita simpulkan bahwa pencabutan dan dinyatakan tidak berlakunya suatu peraturan perundang-undangan berakibat hukum bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, sudah tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum atau rambu-rambu untuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat. Selain itu, berdasarkan teori hukum juga dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu sepanjang mengatur objek yang sama ( lex posterior derogat lex priori ). Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang lama dengan sendirinya tidak berlaku apabila sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang baru. Akan tetapi , meskipun peraturan perundang-undangan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, ada kemungkinan akibat hukum yang ditimbulkan dari materi peraturan perundang-undangan yang dicabut itu masih diakui. Sebagai contoh, dalam sebuah surat yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 32/2004”) telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 22/1999”) . Dalam laman tersebut dijelaskan bahwa ketika UU 32/2004 berlaku, materi yang mengatur tentang proses pemilihan kepala daerah secara tak langsung (seperti yang diatur dalam UU 22/1999) diganti dengan materi yang mengatur proses pemilihan kepala daerah secara langsung. Walaupun materi UU 22/1999 tentang proses pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak berlaku lagi, namun akibat hukum dari materi tersebut tetap diakui. Hal tersebut berlaku ketika seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah tetap dianggap pernah menjabat sebagai kepala daerah berdasarkan UU 22/1999. Dengan berlakunya UU 32/2004, maka mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menggunakan mekanisme yang terdapat dalam UU tersebut, yakni pemilihan secara langsung. Dengan berlakunya UU 32/2004 bukan berarti konsekuensi hukum yang terjadi dari UU 22/1999 tidak berlaku. Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda kedua mengenai apabila dalam suatu peraturan terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka pasal yang manakah yang dapat digunakan. Apabila pasal yang satu dinilai bertentangan dengan pasal yang lainnya, maka yang harus dilakukan terhadap pasal-pasal tersebut adalah uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (\"MK\") . Menurut kami, adanya pertentangan pasal dalam satu peraturan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Masyarakat akan menjadi bingung untuk tunduk dan patuh pada ketentuan pasal yang mana. Nantinya MK yang akan menilai keberlakuan suatu pasal. Sebagai contoh, kami mengacu pada pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang kami dapatkan informasinya dari laman resmi Mahkamah Konstitusi. Alasan pemohon mengajukan uji materiil antara lain adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 4, dan Pasal 3 8 UU Ormas bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun, b erdasarkan penelusuran kami, sidang uji materi UU ORMAS baru digelar pada akhir Januari 2014 dan masih dalam proses pengujian. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ; 3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ; 4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ; 5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; 6. Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan . Referensi: 1. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta. 2. http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/perda/tanggapan/mamasa20008.pdf , diakses pada 17 Februari 2014 pukul 16.50 WIB. 3. http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Perbaikan%20Permohonan%20Perkara%20No%2082.pdf , diakses pada 17 Februari 2014 pukul 17.19 WIB. pasal peraturan perundang-undangan undang-undang" }
{ "from": "human", "value": "Untuk hukumonline, saya ingin menanyakan tentang apakah perlu dasar hukum untuk keberadaan becak motor (bentor)? Karena di daerah saya, banyak sekali bentor yang beroperasi yang sudah memodifikasi motor menjadi kendaraan umum yang tidak jelas apa dasar hukumnya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan 11 Feb 2016 Aturan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor pada Malam Hari 01 Mei 2013 Opsi Bagi Pelanggar yang Tidak Bisa Hadiri Sidang Tilang 10 Apr 2013 Sayangnya Anda tidak menjelaskan daerah mana tempat beroperasinya becak motor (bentor) yang Anda maksud. Lepas dari itu, berdasarkan penelusuran kami beberapa daerah di Indonesia mengizinkan beroperasinya becak bermotor sebagai angkutan jalan. Beberapa daerah di Indonesia yang mengizinkan beroperasinya becak bermotor antara lain di Provinsi Sumatera Utara, yaitu Kabupaten Dairi dan Kota Tebing Tinggi. Izin beroperasinya becak bermotor di daerah-daerah tersebut disebutkan secara tegas di dalam peraturan daerah masing-masing. Menurut laman resmi Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Kabupaten Dairi , izin beroperasinya becak bermotor di Kab. Dairi didasarkan pada Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 16 Tahun 2000 tentang Usaha Angkutan Umum (“Perda Dairi 16/2000”). Sedangkan, izin beroperasinya becak bermotor di Kota Tebing Tinggi adalah Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi No. 3 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Mendirikan Perusahaan dan Operasi Becak Bermotor . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada umumnya, beroperasinya becak bermotor di daerah-daerah tersebut harus memenuhi persyaratan teknis laik jalan dan persyaratan administratif, termasuk izin usaha. Misalnya, Di dalam Perda Dairi 16/2000 juga disebutkan bahwa setiap orang yang ingin memiliki usaha angkutan (termasuk becak bermotor) wajib memiliki izin usaha angkutan dengan memenuhi beberapa persyaratan. Untuk memperoleh Izin Usaha Angkutan yang baru, wajib memenuhi persyaratan: 1. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 2. Memiliki Akte Pendirian Perusahaan bagi pemohon yang berbentuk Badan Usaha, Akte Pendirian Koperasi bagi pemohon yang berbentuk koperasi, tanda jati diri bagi pemohon perorangan; 3. Memiliki Surat Keterangan Domisili Perusahaan: 4. Memiliki Surat Ijin Tempat Usaha (SITU); 5. Pernyataan kesanggupan untuk memiliki atau menguasai minimal 5 (lima) tahun kendaraan bermotor; 6. Pernyataan kesanggupan untuk menyediakan fasilitas penyimpanan kendaraan. Berdasarkan Perda Dairi 16/2000, sebelum becak motor tersebut diberikan izin usaha angkutan untuk dapat beroperasi secara sah, maka hal lain yang juga perlu dilakukan pemilik mengajukan permohonan pengujian periodik kendaran bermotor. Nantinya, Penguji/Petugas melaksanakan kegiatan menguji dan/atau memeriksa bagian-bagian kendaraan bermotor dalam rangka pemenuhan terhadap persyaratan teknis dan layak jalan. Setelah dinyatakan lulus oleh penguji/petugas memproses penyelesaian Administrasi, tanda bukti lulus uji, pemberian plat uji, dan tanda samping, termasuk pemungutan Retribusi. Pada sisi lain, sejumlah daerah lainnya, seperti DKI Jakarta, melarang beroperasinya becak bermotor. Larangan tersebut diatur dalam Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda DKI No. 8/2007”). Pasal 2 ayat (6) Perda DKI No. 8/2007 menyatakan setiap orang atau badan dilarang membuat, merakit atau mengoperasikan angkutan umum kendaraan jenis empat yang bermesin dua tak. Yang dimaksud dengan kendaraan jenis empat bermesin 2 (dua) tak adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum seperti bajaj (dua tak), motor becak (mobec), dan sejenisnya ( penjelasan Pasal 2 ayat [6] Perda DKI No. 8/2007 ). Selain DKI Jakarta, Kota Palembang juga melarang beroperasinya becak bermotor. Mengutip laman resmi Media Center Beranda Informasi Kota Palembang ( palembangnews.com ), pelarangan becak bermotor di daerah tersebut didasarkan pada Perda Kota Palembang No. 22 Tahun 2010 tentang Keamanan dan Ketertiban . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 2. Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2000 tentang Izin Usaha Angkutan di Kabupaten Dairi 3. Peraturan Daerah Kota Tebing Tinggi No. 3 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Mendirikan Perusahaan dan Operasi Becak Bermotor 4. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum 5. Peraturan Daerah Kota Palembang No. 22 Tahun 2010 tentang Keamanan dan Ketertiban REFERENSI:\n1. http://www.dairikab.go.id/skpd/11/dinas-perhubungan-komunikasi-dan-informatika.html diakses pada 15 Mei 2013 pukul 18.56 WIB http://palembangnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=876%3Abecak-motor-dikandangkan&catid=1%3Aberita&Itemid=6 diakses pada 16 Mei 2013 pukul 13.05 WIB. dasar hukum peraturan daerah angkutan umum ketertiban umum" }
{ "from": "human", "value": "Jika melihat dalam KUHPerdata maka terdapat pengaturan mengenai Perjanjian Untung-untungan. Saya bingung ketika mendapat pertanyaan, apakah asuransi juga sama dengan judi Togel yang dikategorikan sebagai perjanjian Untung-untungan ? apa perbedaan mendasar dari keduanya ? dilihat dari koneksitas hukumnya. terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan Pasal 1774 KUHPerdata dinyatakan bahwa suatu persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya mengenai untung rugi nya, baik untuk semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum pasti. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa yang termasuk contoh dari persetujuan untung-untungan antara lain adalah asuransi dan perjudian/pertaruhan. Sehingga berdasarkan bunyi pasal di atas dapatlah dinyatakan bahwa persamaan antara asuransi dengan perjudian/pertaruhan, dalam hal ini judi togel hanyalah sebatas pada pemahaman atas pengertian persetujuan untung-untungan, bukan persamaan atas hakekat dasar asuransi dan judi togel. Dalam hal ini persamaan tersebut terletak pada terdapatnya suatu hasil pelaksanaan persetujuan berupa untung atau rugi yang digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Perbedaan mendasar antara asuransi dengan perjudian/pertaruhan, dalam hal ini judi togel, antara lain sebagai berikut: · Asuransi didasarkan pada terdapatnya suatu kepentingan si terjamin yang menyatakan bahwa suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi tersebut tidak akan terjadi pada si terjamin. · Judi togel didasarkan pada terdapatnya suatu kepentingan para pihak yang melakukan judi togel yang menyatakan bahwa suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi tersebut akan terjadi atau tidak akan terjadi." }
{ "from": "human", "value": "Mohon penjelasannya mengenai perbedaan peran/kewenangan KPK, Kepolisian dan Kejaksaan selaku Penyelidik dan Penyidik, karena dalam UU diatur bahwa kepolisian bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik (KUHAP Pasal 1 Ayat 4 dan PP No. 27/1983); jaksa bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik pada kasus tipikor (UU Kejaksaan No. 7/1995); KPK pun bisa berperan sebagai penyelidik dan penyidik untuk kasus tipikor (UU No. 30/2002), apa yang membedakannya? Dan bagaimana mekanisme kerjanya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Mengacu pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) , pejabat polisi negara RI adalah bertindak sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana (lihat pasal 4 jo pasal 6 KUHAP ). Jadi, polisi berwenang untuk menjadi penyelidik dan penyidik untuk setiap tindak pidana. KLINIK TERKAIT Perbedaan Rutan dan Lapas dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia 26 Mei 2023 Hak-hak Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana 15 Nov 2022 Pidana Militer 20 Okt 2010 Proses Penyelidikan dan Penyidikan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Wilayah R.I. 24 Sep 2010 Adapun kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan disebutkan dalam UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”) . Berdasarkan pasal 30 UU Kejaksaan, kejaksaaan berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Kewenangan kejaksaan ini contohnya kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia , UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 , dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) . Penjelasan Umum UU Kejaksaan selanjutnya menjelaskan bahwa k ewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk melakukan penyidikan. Jadi, kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan dibatasi pada tindak pidana tertentu yaitu yang secara spesifik diatur dalam UU. Sedangkan untuk Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”), kewenangannnya diberikan oleh UU KPK. Berdasarkan pasal 6 UU KPK , bertugas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi . Pasal 11 UU KPK selanjutnya membatasi bahwa kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dibatasi pada tindak pidana korupsi yang: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; 2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) Kategori perkara sebagaimana disebutkan di atas juga dipertegas dalam Penjelasan Umum UU KPK . Jadi, tidak semua perkara korupsi menjadi kewenangan KPK, tapi terbatas pada perkara-perkara korupsi yang memenuhi syarat-syarat di atas. Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 3. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 4. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 5. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia" }
{ "from": "human", "value": "Salah satu unsur Pasal 3 UU TPPU adalah menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta yang diketahuinya atau patut diduganya sebagai hasil tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat 1. Sedangkan unsur Pasal 4 juga dibahas mengenai menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta kekayaan. Apakah yang menjadi pembeda unsur menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta kekayaan yang terdapat pada Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU selain ketentuan sanksi denda maksimalnya? Mohon penjelasannya. Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApa Saja Aset Koruptor yang Dapat Dirampas oleh Negara?11 Agt 2022Koruptor Kabur ke Luar Negeri, Ini Langkah yang Bisa Ditempuh10 Agt 2022Cara Menarik Dana Pencucian Uang yang Ditempatkan di Luar Negeri29 Jul 2022Trading Ilegal Mungkinkah Terjerat Pencucian Uang?23 Mei 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pencucian uang (“TPPU”) merupakan tindak pidana lanjutan (secondary crime) dari tindak pidana asal (primary crime).\n\nKeberadaan TPPU sebagai tindak pidana lanjutan sangat tergantung pada tindak pidana asal (predicate crime) meskipun menyangkut pembuktian TPPU, tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu.[1]\nPencucian uang secara umum dipahami sebagai tindakan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta kekayaan yang asal usulnya dari kegiatan tidak sah (dirty money) dan harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana (proceeds of cime) dibuat agar seolah-olah bukan berasal dari kejahatan. Pada pencucian uang terdapat`\nkepentingan hukum yang harus dilindungi yaitu jangan sampai uang kotor berubah menjadi uang bersih, sah dan legal.[2]\n\nBerikut adalah tahapan pencucian uang dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kekayaan yang diperoleh dari kegiatan illegal, antara lain:[3]\n\nPlacement, yaitu tahap proses penempatan atau pentransferan dana hasil kejahatan ke dalam institusi keuangan dan perbankan (financial institutions); Layering, yaitu proses pemisahan hasil kejahatan dari praktek-praktek illegal melalui penggunaan jaringan transaksi keuangan yang rumit secara berliku ;Integration, yaitu proses penghimpunan uang hasil kejahatan secara integratif ke dalam account penampungan.\nBaca juga: Kewenangan KPK dalam Penuntutan Kasus Pencucian Uang\n\nKembali ke pertanyaan Anda mengenai pembeda unsur menyembunyikan dan menyamarkan asal usul harta kekayaan yang terdapat pada Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU, simak bunyi pasalnya:\nPasal 3:\n\nSetiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).\n\nPasal 4:\n\nSetiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dena paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah).\n\nPerbedaan unsur menyembunyikan atau menyamarkan pada Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU tidak ditemukan penjelasannya selain hanya menyebutkan “cukup jelas”.\n\nUntuk itu, perlu melihat rumusan yang disebutkan dalam ketentuan Article 6 paragraph (1) UNTOC yang sudah diratifikasi melalui UU 5/2009 yang menyatakan:\n\nEach State Party shall adopt, in accordance with fundamental principles of its domestic law, such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:\n\na. (i) The conversion or transfer of property, knowing that such property is the proceeds of crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of helping any person who is involved in the commission of the predicate offence to evade the legal consequences of this or her action;\n\n(ii) The concealing or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, or ownership of or rights with respect to property, knowing that such property is the proceed of the crime.\nUnsur Menyembunyikan dan Menyamarkan dalam Pasal 3 UU TPPU\n\nKetentuan Article 6 paragraph 1 UNTOC ini menunjukkan kemiripan dengan rumusan Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU. Dalam Pasal 3 UU TPPU, unsur menyembunyikan atau menyamarkan didahului dengan frasa “dengan tujuan”. Hal ini serupa dengan rumusan Article 6 paragraph 1a (i) for the purpose of concealing or disguising.\n\nFrasa “dengan tujuan” dalam Pasal 3 menunjukkan adanya mens rea pada diri pelaku berupa adanya sikap batin yang menghendaki terjadi atau terwujudnya perbuatan. Dengan kata lain, “dengan tujuan” bermakna bahwa pelaku mempunya tujuan yang hendak dicapai yang disadari sepenuhnya, yaitu untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan.\n\nDengan demikian, pada diri pelaku sudah ada unsur kesalahan  (opzettelijk, schuld) karena ada kesengajaan yang diinsyafi secara sadar. Artinya pelaku memiliki pengetahuan mutlak dan kesadaran sempurna bahwa harta kekayaan berasal dari tindak pidana, namun dengan sengaja menyembunyikan atau menyamarkannya agar tampak seperti bukan hasil kejahatan. Pelaku berperan aktif, sehingga dalam Pasal 3 ini pelaku dapat dikualifisikan sebagai pelaku aktif.\nUnsur Menyembunyikan dan Menyamarkan dalam Pasal 4 UU TPPU\n\nSementara unsur menyembunyikan atau menyamarkan yang terdapat dalam Pasal 4 UU TPPU tidak didahului dengan frasa “dengan tujuan”. Hal ini serupa dengan Article 6 paragraph 1 a (ii) yang berbunyi The concealing or disguise.\n\nUnsur menyembunyikan atau menyamarkan dalam Pasal 4 UU TPPU merepresentasikan actus reus dari pelaku.[1] Artinya bahwa menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan tersebut bukan sebagai maksud yang melekat pada sikap batin pelaku yang hendak diwujudkan melainkan sekadar mengharuskan adanya perbutan nyata yang dilakukan.\n\nMenyembunyikan (concealing) merupakan upaya untuk mengelabui asal usul harta kekakayaan dan tidak melaporkannya kepada Penyedia Jasa Keuangan. Sedangkan menyamarkan (disguising) berupa perbuatan mencampur uang haram dengan uang halal.[2]\n\nPerlu diketahui bahwa objek yang hendak disembunyikan atau disamarkan itu adalah hasil tindak pidana baik mengenai asal usul, sumber, lokasi, disposisi, pengalihan hak atau kepemilikan hak yang sebenarnya. Sehingga dalam konteks Pasal 4 unsur menyembunyikan dan menyamarkan diperlukan keterlibatan pihak-pihak tertentu untuk memfasilitasi terwujudnya tindakan pencucian uang secara sempurna.\n\nDalam perkara pencucian uang, maka perlu bukti formal dari pejabat atau profesi tertentu agar transaksi yang dibuat terlihat wajar atau seolah-olah normal. Padahal bukti formal tersebut dimaksudkan sebagai kedok untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan.\n\nSebagai contoh, dalam perkara suap atau gratifikasi, adakalanya uang suap ditampung dalam rekening perusahaan milik keluarga pelaku, dengan terlebih dahulu dibuat perjanjian formal antara pemberi suap dengan ponakan penerima suap agar tampak seolah-olah ada kerjasama bisnis yang wajar. Namun, hal tersebut merupakan media pencucian uang.\nPerbedaan Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU\n\nSebagai kesimpulan, dapat kami sampaikan bahwa perbedaan utama antara unsur menyembunyikan atau menyamarkan antara Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU adalah terletak pada sikap batin dan tujuan yang hendak dicapai yakni dalam Pasal 3 UU TPPU, menunjukkan adanya mens rea untuk menyembunyikan atau menyamarkan hasil kejahatan. Artinya terdapat unsur kesengajaan dan kesalahan dalam diri pelaku.\n\nSedangkan dalam Pasal 4 UU TPPU unsur menyembunyikan atau menyamarkan mengarah pada keikutsertaan atau keterlibatan pihak lain sebagai pihak untuk memfasilitasi terwujudnya perbuatan (actus reus) pencucian uang.\n\nSelain itu perbedaan Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU adalah mengenai ancaman denda, yakni dalam Pasal 3 lebih tinggi dibanding Pasal 4. Denda Pasal 3 sebesar Rp10 miliar sedangkan Pasal 4 sebesar Rp5 miliar.\n\nBaca juga: Cara Menarik Dana Pencucian Uang yang Ditempatkan di Luar Negeri\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Terima kasih.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan Konvensi PBB Anti Kejahatan Terorganisir](Data Kepolisian /pusatdata/detail/29594/undangundang-nomor-5-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_5_2009)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ce0f32e34bd9/undangundang-nomor-8-tahun-2010/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2010)\n3. [United Nation Convention Against Trans Organized Crime, 2000](https://www.unodc.org/documents/treaties/UNTOC/Publications/TOC%20Convention/TOCebook-e.pdf)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 84/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.Pst\n\nREFERENSI:\n1. Efendi Lod Simanjuntak.  Penegakan Hukum Pencucian Uang Lintas Jurisdiksi, Teori dan Praksis Penerapan MLA di ASEAN. Yogyakarta: Bumi Intaran, 2021\n2. Afdal Yanuar. Tindak Pidana Pencucian Uang dan Perampasan Aset. Jakarta: Setara Press, 2001\n3. Tubagus Irman. Money Laundering, Hukum Pembuktian TPPU dan Penetapan Tersangka. Jakarta: Gramedia, 2015.\n\n[1] Muh. Afdal Yanuar, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Perampasan Aset, Jakarta: Setra Press, 2001, hal. 135.\n\n[2]Pertimbangan Hakim Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 84/Pid.Sus/TPK/2013/PN.Jkt.Pst hal. 438-439." }
{ "from": "human", "value": "Apakah terdapat aturan yang berbeda tentang penangkapan pada kasus terorisme dan narkotika dengan ketentuan di KUHAP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penangkapan Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Demikian menurut Pasal 1 angka 20 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Dalam proses hukum tersebut, jika ternyata kurang bukti, penyidik akan melepaskan kembali si tersangka. Dan sebaliknya, jika buktinya kuat, akan dilakukan upaya hukum lanjutan berupa penahanan terhadap tersangka. Terhadap penangkapan, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 158) mengatakan bahwa alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP : Seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana; Dugaan yang kuat itu didasarkan pada bukti permulaan yang cukup. Berkaitan dengan partanyaan Anda, memang terdapat perbedaan penangkapan dalam kasus narkotika dan terorisme dengan penangkapan pada umumnya yang diatur dalam KUHAP. Kami akan menguraikan ketentuan mengenai penangkapan pada masing-masing kasus. Penangkapan dalam KUHAP Selain yang diatur dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP, ketentuan lebih lanjut mengenai penangkapan diatur dalam Pasal 16 hingga Pasal 19 KUHAP . Pasal 16 KUHAP menerangkan bahwa yang berwenang melakukan penangkapan adalah penyelidik atas perintah penyidik untuk kepentingan penyelidikan, dan penyidik/penyidik pembantu untuk keperluan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP . [1] Praktiknya, penangkapan dilaksanakan oleh petugas kepolisian dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. [2] Selain itu, tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan kepada keluarganya segera dan tidak lebih dari 7 hari setelah penangkapan dilakukan. [3] Surat perintah penangkapan dikecualikan dalam kasus tertangkap tangan, akan tetapi penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. [4] Lama penangkapan adalah paling lama 1 hari , [5] dan penangkapan tidak dapat dilakukan kepada tersangka pelaku pelanggaran kecuali apabila ia telah dipanggil secara sah 2 kali berturut-turut dan tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah. [6] Karena lamanya penangkapan maksimal adalah 1 hari, jika pun dilakukan lanjutan perampasan kemerdekaan, maka dilanjutkan dengan penahanan. Baca juga: Hal yang Wajib Diperhatikan Saat Polisi Melakukan Penangkapan Panangkapan dalam Kasus Narkotika Penangkapan dalam kasus narkotika merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) . Dalam kasus narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. [7] Dalam fungsi penyidikan, penyidik BNN berwenang untuk melakukan penangkapan. [8] Hal lain yang membedakan penangkapan dalam kasus narkotika dengan penangkapan dalam KUHAP adalah lama penangkapan, yang mana berdasarkan Pasal 76 UU Narkotika penangkapan dalam kasus narkotika dilakukan paling lama 3x24 jam sejak surat penangkapan diterima penyidik, dan dapat diperpanjang 3x24 jam lagi . Undang-undang tidak secara tegas menyatakan apa alasan perpanjangan penangkapan ini. Namun secara tersamar dapat dilihat dalam Konsideran maupun dalam Penjelasan Umum UU Narkotika bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, tekhnologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas dan sudah banyak menimbulkan korban sehingga dibutuhkan penambahan waktu kepada penyidik untuk melakukan penangkapan. Penangkapan dalam Kasus Terorisme Penangkapan dalam kasus terorisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (“UU 5/2018”) . Pasal 28 ayat (1) UU 5/2018 menjelaskan bahwa penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk jangka waktu paling lama 14 hari . Ayat (2) pasal yang sama kemudian menerangkan bahwa apabila jangka waktu tersebut tidak cukup, maka penyidik dapat mengajukan permohonan perpanjangan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 7 hari kepada ketua Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan penyidik. Baca juga: Fungsi Penangkapan dan Penahanan dalam Proses Penyidikan Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa utamanya, perbedaan antara aturan penangkapan secara umum dengan panangkapan pada kasus narkotika dan terorisme adalah jangka waktu penangkapannya. Selain itu, khusus mengenai narkotika, BNN selaku penyidik berwenang melakukan penangkapan. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 . Referensi : M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. 2006. [1] Pasal 17 KUHAP jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 (hal. 109) [2] Pasal 18 ayat (1) KUHAP [3] Pasal 18 ayat (3) KUHAP jo . Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XI/2013 (hal. 34) [4] Pasal 18 ayat (2) KUHAP [5] Pasal 19 ayat (1) KUHAP [6] Pasal 19 ayat (2) KUHAP [7] Pasal 71 UU Narkotika [8] Pasal 75 huruf g UU Narkotika pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya mengenai apa yang dimaksud dengan replik dan duplik? Apa perbedaan antara replik dan duplik dalam hukum acara pidana dan perdata? Mohon penjelasannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Pengertian Replik dan Duplik\n\nApa itu replik dan duplik? Sebelum menjawab pertanyaan Anda tentang perbedaan replik dan duplik, kami akan menjelaskan pengertian replik dan duplik sebagai berikut.\n\nSecara etimologis, istilah replik berasal dari kata re yang berarti ‘kembali’ dan pliek yang berarti ‘menjawab’. Dengan demikian, replik adalah sebagai jawaban atas jawaban. Sedangkan duplik sedikit berbeda dengan replik, secara etimologis berasal dari kata du yang berarti ‘dua’ dan pliek yang berarti ‘jawaban’. Jika diartikan, duplik adalah jawaban tergugat atas replik penggugat.[1]\n\nSementara itu, dalam Kamus Hukum Kontemporer, M. Firdaus Sholihin dan Wiwin Yulianingsih memberikan definisi replik adalah jawaban atas jawaban yang diucapkan atau diajukan secara tertulis oleh pihak penggugat setelah ia mendengarkan jawaban tergugat atas gugatannya (hal. 160).\n\nSedangkan duplik adalah jawaban kedua sebagai penjelasan dalam proses sidang di pengadilan. Duplik disebut juga sebagai jawaban atas replik (terutama dalam acara peradilan yang uraian-uraian pihak yang berperkara baik yang tertulis maupun yang lisan, dilakukan menurut urutan gugatan, jawaban, replik, duplik) (hal. 40).\nReplik dan Duplik dalam Hukum Acara Pidana\n\nPada dasarnya, KUHAP secara implisit tidak memuat ketentuan mengenai pengertian replik ataupun duplik. Pengertian replik dan duplik sendiri dapat dilihat melalui doktrin hukum.\n\nMonang Siahaan berpendapat, bahwa replik adalah jawaban penuntut umum atas pledoi penasihat hukum. Sementara duplik adalah jawaban penasihat hukum atau pembelaan terdakwa atas replik penuntut umum.[2]\n\nAdapun pengaturan replik dan duplik dapat ditemukan di dalam Pasal 182 ayat (1) huruf b KUHAP yang menyatakan:" }
{ "from": "human", "value": "Apa perbedaan kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam pengawasan hakim? Apakah terjadi tumpang tindih kewenangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dalam hal pengawasan hakim?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPutusan MK Tak Dilaksanakan, Harus Bagaimana? 02 Des 2021Larangan Hakim Berkomentar di Medsos tentang Pilihan Politiknya14 Feb 2019Mekanisme Pemberhentian Hakim Konstitusi 11 Nov 2016Sanksi Bagi Hakim yang Selingkuh25 Okt 2016\n\nMahkamah Agung adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[1] Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.[2]\n\nMahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.\nDengan demikian, kewenangan Mahkamah Agung (MA) untuk melaksanakan fungsi pengawasan (toeziende functie) harus dilihat pada undang-undang yang mengatur tentang MA, yakni UU Kekuasaan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung berikut aturan perubahannya.\nPengawasan oleh MA\n\nPada prinsipnya, pengawasan oleh MA bertujuan agar peradilan dilaksanakan dengan saksama dan sewajarnya dengan berpandangan pada asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[3]\nWewenang MA melakukan pengawasan diatur dalam Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3) UU Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU 3/2009, yang mengatur bahwa MA berwenang melakukan:\n\nPengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan di bawah MA dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman;Pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan;Pengawasan internal atas tingkah laku hakim.\n\nPatut diperhatikan, pengawasan dan kewenangan MA sebagaimana disebutkan di atas tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[4]\n\nSehingga, berdasarkan ketentuan di atas, objek pengawasan MA meliputi:[5]\n\nMasalah teknis peradilan menyangkut penyelenggaraan atau jalannya peradilan;Perbuatan dan tingkah laku hakim serta pejabat kepaniteraan dalam menjalankan tugas mereka; danAdministrasi peradilan.\n\nKebijakan pengawasan Mahkamah Agung tersebut di atas dimaksudkan untuk mewujudkan era peradilan yang bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme.[6]\nTugas dan Wewenang KY\n\nKomisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[7] Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya.[8]\n\nDasar hukum tugas Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:\n\nKomisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.\n\nDari pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas Komisi Yudisial adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung dan memiliki wewenang lainnya dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yang dalam hal ini kita artikan sebagai bentuk wewenang Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasan.\nTugas Komisi Yudisial Menjalankan Pengawasan\n\nTugas Komisi Yudisial dalam menjalankan fungsi pengawasan diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan bahwa Komisi Yudisial (KY) berwenang melakukan pengawasan eksternal dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.\n\nTugas Komisi Yudisial dalam melakukan pengawasan eksternal adalah melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (“KEPPH”).[9]\nWewenang KY ‘Menjaga’ dan ‘Menegakkan’ Kehormatan Hakim\n\nIstilah ‘menjaga dan ‘menegakkan’ kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam wewenang Komisi Yudisial sebagaimana disebut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 mengandung makna preventif dan represif.\n\n‘Menjaga’ berarti Komisi Yudisial melakukan serangkaian kegiatan yang dapat menjaga hakim agar tidak melakukan tindakan yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Sedangkan ‘menegakkan’ bermakna Komisi Yudisial melakukan tindakan represif terhadap hakim yang telah melanggar KEPPH. Tindakan itu dapat berbentuk pemberian sanksi.[10]\n\nMerujuk pada UU Komisi Yudisial (“UU KY”) beserta perubahannya, tugas Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim meliputi:[11]\n\nMelakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim;Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran KEPPH;Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran KEPPH secara tertutup;Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran KEPPH; danMengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim.\n\nAdapun tugas Komisi Yudisial dalam konteks melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim adalah menerima laporan masyarakat dan/atau informasi tentang dugaan pelanggaran KEPPH.[12] Dalam melaksanakan tugas tersebut, Komisi Yudisial dapat meminta keterangan atau data kepada badan peradilan dan/atau hakim.[13]\nKesimpulan\n\nMeskipun Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sama-sama berwenang menjalankan fungsi pengawasan hakim di badan peradilan, namun bentuk pengawasan yang dilakukan keduanya berbeda. Mahkamah Agung berwenang menjalankan fungsi pengawasan internal, sedangkan Komisi Yudisial menjalankan fungsi pengawasan eksternal.\n\nDalam hal ini, berdasarkan dasar hukum KY, wewenang KY terbatas mengenai dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim. Sedangkan Mahkamah Agung bukan hanya berwenang memeriksa dugaan pelanggaran KEPPH tetapi juga teknis yudisial, administrasi dan keuangan. Selain itu, Mahkamah Agung berwenang mengawasi aparat pengadilan selain hakim.\n\nSebagai informasi tambahan, Muhammad Yasin selaku penulis sebelumnya menerangkan, normatifnya, Komisi Yudisial tidak berwenang mengawasi masalah teknis yudisial. Tetapi dalam praktik, acapkali pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim itu berkelindan dengan masalah teknis yudisial. Itulah sebabnya dalam praktik seringkali muncul perbedaan pandangan antara kedua lembaga. Sebagai pembanding, Anda dapat membaca artikel Sejumlah Tokoh Bicara Irisan Pelanggaran ‘Teknis Yudisial’ dan ‘Perilaku Hakim’.\n\nLantas, apakah berarti Komisi Yudisial sama sekali terlarang mengawasi putusan yang dibuat hakim? Tidak juga. Sebab, Pasal 42 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:\n\nDalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.\n\nSelain itu, Yasin juga menerangkan bahwasannya undang-undang mendorong kedua lembaga untuk bekerja sama menangani dugaan pelanggaran KEPPH, termasuk menyusun KEPPH-nya. Dalam praktik, Majelis Kehormatan Hakim (MKH) diselenggarakan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai forum untuk mengadili dan memutus dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/node/2/uu-no-14-tahun-1985-mahkamah-agung)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917/nprt/537/uu-no-5-tahun-2004-perubahan-atas-undang-undang-nomor-14-tahun-1985-tentang-mahkamah-agung)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864/nprt/1060/uu-no-3-tahun-2009-perubahan-kedua-atas-undang-undang-nomor-14-tahun-1985-tentang-mahkamah-agung)\n5. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19747/nprt/537/uu-no-22-tahun-2004-komisi-yudisial)\n6. [Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ed5f3875eaf3/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-18-tahun-2011-perubahan-atas-undang-undang-nomor-22-tahun-2004-tentang-komisi-yudisial)\n7. [Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b01297e9d172/nprt/2/uu-no-48-tahun-2009-kekuasaan-kehakiman)\nREFERENSI:\n1. Henry P Panggabean. Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari. (Jakarta: Sinar Harapan), 2004\n2. Komisi Yudisial. Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2012\n3. Zainal Arifin Mochtar. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia: Sejarah, Kedudukan, Fungsi, dan Pelaksanaan Kekuasaan kehakiman dalam Perspektif Konstitusi. (Malang: Setara Press), 2016.\n\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) jo. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 5/2004”)\n\n[2] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU Mahkamah Agung”)\n\n[3] Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman\n\n[4] Pasal 39 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 32 ayat (5) UU 3/2009\n\n[5] Henry P Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung dalam Praktik Sehari-Hari, (Jakarta: Sinar Harapan), 2001, hal. 136.\n\n[6] Zainal Arifin Mochtar, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia: Sejarah, Kedudukan, Fungsi dan Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Konstitusi, (Malang: Setara Press), 2016, hal. 176.\n\n[7] Pasal 1 angka 4 UU Kekuasaan Kehakiman\n\n[8] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU Komisi Yudisial”)\n\n[9] Pasal 40 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman\n\n[10] Komisi Yudisial Republik Indonesia, Mengenal Lebih Dekat Komisi Yudisial, (Jakarta: KY RI), 2012, hal. 41-42.\n\n[11] Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (“UU 18/2011”)\n\n[12] Pasal 22 ayat (1) UU 18/2011\n\n[13] Pasal 22 ayat (2) UU 18/2011" }
{ "from": "human", "value": "Apa perbedaan antara asuransi syariah dengan asuransi pada umumnya? Bukankah di keduanya uang kita tetap tidak bisa kembali jika kita tidak bisa mengajukan klaim?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sebelumnya perlu dipahami terlebih dahulu pengertian asuransi yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (“UU Perasuransian”) . Berdasarkan pasal tersebut asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk: memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Adapun asuransi syariah menurut Pasal 1 angka 2 UU Perasuransian adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan prinsip syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara: memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana. Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah (“Fatwa DSN-MUI 21/2001”) asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu menggunakan akad yang sesuai dengan syariah. [1] Yang dimaksud dengan akad tabarru adalah akad yang dilakukan dalam bentuk  hibah  dengan  tujuan  kebajikan  dan  tolong  menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial. [2] Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, diolah dari berbagai sumber hukum, berikut ini kami rangkum perbedaan antara asuransi biasa (konvensional) dengan asuransi syariah: Berdasarkan penjelasan di atas, pada intinya salah satu hal utama yang membedakan antara asuransi konvensional dan syariah adalah bahwa asuransi konvensional menggunakan prinsip transfer of risk (pengalihan risiko) sedangkan asuransi syariah menggunakan prinsip sharing of risk (saling menanggung risiko) . Selanjutnya, berakitan dengan pernyataan Anda tentang tidak bisa kembalinya uang premi yang dibayarkan jika tidak mengajukan klaim, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam praktik dikenal 3 penggolongan asuransi, yaitu: Asuransi sejumlah uang seperti asuransi jiwa; Asuransi kerugian, contohnya asuransi pengangkutan, asuransi kendaraan bermotor, dan asuransi kebakaran; dan Asuransi sosial/asuransi wajib, contohnya asuransi Jasa Raharja, asuransi BPJS Kesehatan dan asuransi BPJS Ketenagakerjaan. Yang Anda tanyakan terkait uang yang tidak kembali apabila tidak mengajukan klaim, hal tersebut adalah pemahaman dalam asuransi kerugian. Pada asuransi kerugian, untuk asuransi kendaran bermotor misalnya, apabila Anda mengasuransikan mobil Anda secara All Risk dengan premi pertahunnya misal Rp5 juta, dan selama masa tenggang asuransi tersebut tidak terjadi kecelakaan terhadap mobil Anda, maka premi yang Anda bayarkan memang tidak bisa diambil kembali. Namun Anda selama mengendarai mobil tersebut aman dan nyaman karena merasa terproteksi (terlindungi) dengan adanya asuransi All Risk yang Anda sudah bayar kepada perusahaan asuransi. Perlu diketahui, untuk asuransi kendaraan bermotor ada 2 macam, yaitu All Risk dan Total Loss . Asuransi All Risk memproteksi kendaran Anda walaupun hanya lecet atau tergores karena tabrakan, biaya perbaikan akan ditanggung oleh perusahaan asuransi dan akan diperbaiki di bengkel rekanan perusahaan asuransi. Namun, apabila Anda mengambil asuransi kendaraan bermotor dengan jenis Total Loss , maka perusahaan asuransi hanya akan memproteksi/melindungi kendaraan Anda terhadap rusaknya atau musnahnya mobil Anda akibat suatu peristiwa yang mengakibatkan kendaraan Anda hancur tidak berbentuk lagi. Jadi, apabila hanya tergores atau lecet maka tidak akan diganti. Asuransi All Risk memang lebih mahal karena memproteksi secara keseluruhan baik rusak karena tabrakan maupun lecet terhadap cat mobil. Tidak kembalinya uang Anda apabila Anda tidak mengajukan klaim, hal tersebut berkaitan dengan proteksi yang Anda dapatkan  di mana Anda merasa aman dalam mengendarai kendaraan tanpa takut terjadi risiko terhadap kendaraan Anda selama masa tenggang asuransi. Jadi, pembayaran premi tersebut adalah untuk proteksi yang diberikan pihak perusahaan asuransi kepada mobil Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian . Referensi : Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah ; Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah . [1] Diktum Pertama angka 1 Fatwa DSN-MUI 21/2001 [2] Diktum Kedua angka 1 Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 53/DSN-MUI/III/2006 Tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah jasa keuangan hukumonline perdata asuransi syariah investasi agama klinik hukumonline polis" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perbedaan jasa pengurusan transportasi (freight forwarding), jasa angkutan umum, dan jasa pengiriman paket (ekspedisi)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami akan menjelaskan ketiganya satu persatu. KLINIK TERKAIT Syarat-syarat Usaha Jasa Angkutan Umum 10 Jul 2023 Hukumnya Jika Kurir Ekspedisi Mengambil Foto Tanpa Izin 20 Des 2022 Bolehkah Pembeli Membatalkan Transaksi COD di Tempat? 24 Nov 2022 Besaran Santunan Kecelakaan Pesawat bagi Penumpang 05 Jan 2022 Jasa Ekspedisi Pemberi jasa ekspedisi menurut Pasal 86 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“ KUHD ”) disebut dengan ekspeditur yaitu seseorang yang tugasnya adalah menyelenggarakan pengangkutan barang-barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan demikian, ekspeditur merupakan perantara khusus yang tugasnya adalah mengirimkan barang dan memilihkan alat angkut yang sesuai dengan karakteristik barang yang akan dikirim. Hubungan hukum antara ekspeditur dengan pengirim barang adalah perjanjian ekspedisi. Ketentuan mengenai kewajiban ekspeditur diatur dalam Pasal 86 sampai dengan Pasal 90 KUHD , di antaranya yaitu menjamin pengiriman dengan rapi dan secepatnya dan menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang sesudah pengirimannya yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledorannya. Jasa Angkutan Umum Definisi jasa angkutan umum tidak diartikan secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Namun jika dikaji lebih dalam, para pihak dalam jasa angkutan umum adalah perusahaan angkutan umum dan penumpang atau pengirim barang. Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) , pengertian perusahaan angkutan umum adalah badan hukum yang menyed i akan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan k endaraan b ermotor u mum . Sehingga jasa angkutan umum, dapat diartikan sebagai jasa yang diberikan oleh perusahaan angkutan umum kepada pihak yang bertujuan untuk melakukan kegiatan atau perpindahan orang/barang dari satu tempat ke tempat yang lain dengan menggunakan alat transportasi umum/kendaraan bermotor umum. Perusahaan angkutan umum wajib mengangkut orang dan/ atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh penumpang dan/atau pengirim barang. [1] Seperti halnya ekspeditur, perusahaan angkutan umum juga wajib mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam melaksanakan pelayanan angkutan. [2] Lalu, mengenai perizinannya, perusahaan angkutan umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. [3] Jasa Pengurusan Transportasi ( Freight Forwarding ) Menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan (“Permenhub 59/2021”) , usaha jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) adalah kegiatan usaha yang ditujukan untuk semua kegiatan yang diperlukan bagi terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui angkutan darat, kereta api, laut dan/atau udara . Usaha freight forwarding ini dapat mencakup: [4] penerimaan; pengelolaan penyimpanan barang yang dilakukan di gudang tertutup maupun gudang terbuka (lapangan penumpukan); pemisahan atau sortasi; pengepakan; penandaan; pengukuran; penimbangan; pengelolaan transportasi; penerbitan dokumen angkutan barang melalui moda transportasi darat, laut, dan/ atau udara; pengurusan penyelesaian dokumen; pemesanan ruangan pengangkut; pengiriman; pengelolaan pendistribusian; perhitungan biaya angkutan dan logistik; klaim; asuransi atas pengiriman barang; penyelesaian tagihan dan biaya lainnya yang diperlukan; penyediaan sistem informasi dan komunikasi; penyediaan layanan logistik di pasar nasional dan internasional secara konvensional dan/ atau elektronik; penyediaan e-commerce , teknologi internet yang menggunakan sistem satelit yang memungkinkan pelacakan real- time barang; pengangkut kontraktual atau Non Vessel Operator Common Carrier (NVOCC); dan pengiriman dan/atau penerimaan barang khusus bawaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan usahanya, perusahaan jasa pengurusan transportasi melaporkan kegiatan usaha kepada Gubernur dan Penyelenggara Pelabuhan dan/atau Penyelenggara Bandar Udara atau Otoritas Transportasi lainnya. [5] Sehingga dapat dikatakan peran dari freight forwarding dalam hal ini adalah mengerjakan tugas dan fungsi yang diberikan khusus oleh pengguna jasa untuk terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.59 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan [1] Pasal 186 UU LLAJ [2] Pasal 188 UU LLAJ [3] Pasal 55 angka 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 173 ayat (1) UU LLAJ [4] Pasal 15 ayat (1) Permenhub 59/2021 [5] Pasal 18 ayat (1) Permenhub 59/2021 klinik hukumonline perdagangan hukumonline perdata" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perbedaan dari judicial review dengan hak uji materiil? Karena menurut saya sama saja, tapi pengajuannya berbeda. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi, sedangkan hak uji materiil ke Mahkamah Agung." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perbedaan Judicial Review dengan Hak Uji Materiil yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 5 Maret 2011. KLINIK TERKAIT Kedudukan Peraturan Mahkamah Konstitusi dalam Hukum 10 Nov 2023 Bagaimana Pelaksanaan Putusan MK yang Membatalkan Norma? 03 Mei 2023 Sengketa MA vs MK, Lembaga Mana yang Berwenang Menyelesaikan? 28 Apr 2022 Putusan MK Tak Dilaksanakan, Harus Bagaimana? 02 Des 2021 Arti Judicial Review Judicial review adalah pengujian yang dilakukan melalui mekanisme lembaga peradilan terhadap kebenaran suatu norma, demikian pemaparan Jimly Asshiddiqie dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (hal. 1-2), Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa dalam teori pengujian ( toetsing ) dibedakan antara materiile toetsing dan formeele toetsing . Pembedaan tersebut biasanya dikaitkan dengan perbedaan pengertian antara wet in materiile zin (undang-undang dalam arti materiil) dan wet in formele zin (undang-undang dalam arti formal). Kedua bentuk pengujian tersebut dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) dibedakan dengan istilah pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang. Pengujian atas materi muatan undang-undang adalah pengujian materiil, sedangkan pengujian atas pembentukannya adalah pengujian formil (hal. 57-58). Jadi, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya uji materiil merupakan salah satu jenis judicial review . Perbedaan Judicial Review MA dan MK Di Indonesia, judicial review dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan Mahkamah Agung (“MA”). Meski sama-sama berwenang melakukan judicial review , namun kedua lembaga ini memiliki lingkup kewenangan yang berbeda. Dalam hal ini, MK berwenang melakukan judicial review atas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) . [1] Sedangkan MA berwenang melakukan judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang . [2] Pihak yang Berhak Mengajukan Judicial Review Secara hukum, hak atas uji materiil maupun uji formil atas undang-undang terhadap UUD 1945 diberikan bagi pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu: [3] perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; badan hukum publik atau privat; atau lembaga negara. Sedangkan pihak yang berhak mengajukan judicial review atas peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang adalah pihak yang merasa haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: [4] perorangan warga negara Indonesia; kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau badan hukum publik atau privat. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, judicial review mencakup pengujian terhadap suatu norma hukum yang terdiri dari pengujian secara materiil (uji materiil) maupun secara formil (uji formil) . Dalam hal yang hendak diuji adalah materi muatan undang-undang terhadap UUD 1945, maka permohonan judicial review diajukan ke MK. Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan yang hendak diuji adalah materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, maka permohonan judicial review diajukan ke MA. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi REFERENSI:\n1. Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006. [1] Pasal 1 angka 3 huruf a Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (“Perppu 1/2013”) [2] Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”) [3] Pasal 51 ayat (1) UU MK [4] Pasal 31A ayat (2) UU 3/2009 hukumonline judicial review klinik hukumonline ma mahkamah agung mahkamah konstitusi peraturan perundang-undangan tata negara" }
{ "from": "human", "value": "Saya izin bertanya, kira-kira dimana saja letak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas usia jabatan publik? Contohnya seperti ketentuan terkait posisi menteri/wakil menteri, kepala dan wakil kepala daerah, ASN, dll. Selain itu, apakah ada naskah akademis atau alasan hukum tertentu di balik pengaturan mengenai batas usia minimum jabatan publik? Saya mengkhawatirkan para anak muda yang memang kompeten walau minim pengalaman, namun memiliki gagasan atau inovasi terhadap sistem pemerintahan terhalang karena batas usia minimum." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPengujian Diskresi Pejabat Pemerintahan29 Mei 2024Perbedaan Pejabat Negara dan Pejabat Pemerintahan Serta Contohnya29 Apr 2024Bolehkah Pejabat Negara Ikut Kampanye Pemilu?31 Jan 2024Bolehkah Pjs Bupati Melakukan Penggantian Pejabat?15 Okt 2020\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda perlu diketahui terlebih dahulu apa itu pejabat publik. Pejabat publik pada dasarnya adalah orang yang ditunjuk dan diberi tugas untuk menduduki posisi atau jabatan tertentu pada suatu badan publik.[1]\n\nAdapun berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU 14/2008, badan publik merupakan lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.\nUntuk menyederhanakan jawaban, kami akan menjelaskan mengenai usia pejabat publik berdasarkan 3 jenis lembaga negara, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.\nLembaga Eksekutif\n\nDisarikan dari Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif di Indonesia, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan untuk melaksanakan suatu undang-undang. Pada intinya kekuasaan ini memegang kewenangan administrasi pemerintahan yang sifatnya tertinggi.\nMasih dari artikel yang sama menjelaskan mengenai pengertian dari lembaga eksekutif secara sempit sebagai kekuasaan yang memang dipegang oleh raja atau presiden beserta menteri-menterinya.\n\nSelain itu dalam Pasal 1 angka 3UU 23/2014, disebutkan bahwa pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa kepala daerah adalah kepala eksekutif daerah. Dengan demikian, dalam cabang kekuasaan eksekutif, terdapat pula cakupan kekuasaan pemerintahan daerah.[2]\n\nPertama, kami akan membahas mengenai ketentuan usia apabila seseorang ingin menjadi presiden. Berdasarkan Pasal 169 UU Pemilu, setidaknya setiap individu harus memenuhi syarat usia untuk menjadi presiden maupun wakil presiden. Adapun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 169 huruf q UU Pemilu jo. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 (hal. 58), seseorang untuk dapat menjadi presiden harus berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.\n\nBaca juga: Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK\n\nKedua, mengenai batas usia umur menteri pada dasarnya tidak diatur spesifik dalam undang-undang. Adapun dasar persyaratan untuk menjadi menteri secara jelas diatur di dalam Pasal 22 ayat (2) UU 39/2008 yang dapat meliputi:\n\nWarga negara Indonesia;Bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa;Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan;Sehat jasmani dan rohani;Memiliki integritas dan kepribadian yang baik; danTidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tidak pidana yang diancam pidana penjara 5 tahun atau lebih.\n\nDisarikan dari Syarat Menjadi Menteri yang Wajib Dipenuhi, apabila melihat syarat menjadi menteri yang sudah disebutkan, tidak ada syarat umur untuk menjadi menteri sehingga Presiden dapat mengangkat menteri dengan usia yang muda sepanjang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dan memiliki integritas serta kepribadian baik.\n\nKetiga, mengenai batas umur kepala daerah dan wakilnya seperti calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota telah diatur secara jelas dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 jo. Putusan MA No. 23/P/HUM/2024 (hal. 63) yaitu bagi calon gubernur dan wakil gubernur harus berusia paling rendah 30 tahun dan bagi calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wali kota harus berumur 25 tahun terhitung sejak pelantikan calon terpilih.\nLembaga Legislatif\n\nMasih berdasarkan Kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif di Indonesia, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat atau merumuskan undang-undang yang diperlukan negara. Adapun contoh dari kekuasaan legislatif adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).\n\nPada dasarnya ketentuan mengenai syarat usia pejabat terkait dengan persyaratan administrasi. Adapun berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan KPU 4/2024, setidaknya mengatur beberapa persyaratan administrasi dan salah satunya terkait umur yang harus dipenuhi baik oleh anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota adalah telah berumur 21 tahun atau lebih.\n\nSelain itu berdasarkan Pasal 15 ayat (1) huruf a Peraturan KPU 11/2023, apabila seseorang ingin mencalonkan diri menjadi peserta pemilu anggota DPD setidaknya secara jelas harus memiliki kewarganegaraan Indonesia dan telah menginjak umur 21 tahun atau lebih.\nLembaga Yudikatif\n\nBerdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945, menjelaskan bahwa kekuasaan kehakiman memiliki kemerdekaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.\n\nAdapun mengenai ketentuan untuk menjadi pejabat pada lembaga yudikatif seperti hakim pada dasarnya memiliki ketentuan yang berbeda-berbeda. Berikut penjabaran mengenai ketentuan usia yang harus dipenuhi apabila ingin menjadi seorang hakim.\n\nUntuk dapat menjadi hakim konstitusi menurut Pasal 15 ayat (2) UU 7/2020 huruf d berusia paling rendah 55 tahun.Untuk dapat menjadi hakim agung baik karier non karier menurut Pasal 7 huruf a angka 4 dan huruf b angka 1 UU 3/2009 Pasal 6 ayat (1) huruf d dan (2) huruf c Peraturan KY 2/2016 berusia paling sedikit 45 tahun.Untuk dapat menjadi hakim pengadilan negeri berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf h UU 49/2009 berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.Untuk dapat menjadi hakim pengadilan PTUN menurut Pasal 14 ayat (1) huruf g UU 51/2009 berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.Untuk dapat menjadi hakim pengadilan agama berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf i UU 50/2009 berusia paling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.\n\nUntuk mempermudah Anda dalam membedakan batas usia minimal untuk menjadi pejabat publik, berikut kami sajikan ke dalam tabel.\nJabatanSyarat UsiaDasar HukumPresiden dan wakil presidenPaling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.Pasal 169 huruf q UU Pemilu jo. Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023MenteriTidak ada batas usia minimalPasal 22 ayat (2) UU 39/2008Gubernur dan wakil gubernurPaling rendah 30 tahun terhitung sejak pelantikan calon terpilihPasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 jo. Putusan MA No. 23/P/HUM/2024Bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kotaPaling rendah 25 tahun terhitung sejak pelantikan calon terpilihPasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 jo. Putusan MA No. 23/P/HUM/2024Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/KotaPaling rendah 21 tahunPasal 11 ayat (1) huruf a Peraturan KPU 4/2024Anggota DPDPaling rendah 21 tahunPasal 15 ayat (1) huruf a Peraturan KPU 11/2023Hakim agungPaling rendah 45 tahunPasal 7 huruf a angka 4 dan huruf b angka 1 UU 3/2009 jo. Pasal 6 ayat (1) huruf d dan (2) huruf c Peraturan KY 2/2016Hakim konstitusiPaling rendah 55 tahunPasal 15 ayat (2) UU 7/2020 huruf dHakim pengadilan negeriPaling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.Pasal 14 ayat (1) huruf h UU 49/2009Hakim agamaPaling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.Pasal 13 ayat (1) huruf i UU 50/2009Hakim PTUNPaling rendah 25 tahun dan paling tinggi 40 tahun.Pasal 14 ayat (1) huruf g UU 51/2009\nAlasan Adanya Batasan Usia Jabatan Publik\nMengenai batasan usia jabatan publik, kami akan mencontohkan mengenai alasan batasan usia pejabat publik yaitu presiden dan wakil presiden. Hal ini dapat disimak ke dalam Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023 dan Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023.\n\nDalam bagian pertimbangan hukum Putusan MK No. 29/PUU-XXI/2023, menurut Majelis Hakim, dalam risalah perubahan UUD 1945 ditemukan fakta hukum bahwa mayoritas pengubah UUD 1945 atau fraksi MPR berpendapat bahwa usia minimal presiden adalah 40 tahun. Namun, dengan alasan antara lain persoalan usia di kemudian hari dimungkinkan adanya dinamika dan tidak ada patokan ideal, sehingga jangan sampai karena ada persoalan usia padahal telah memenuhi syarat yang diatur dalam UUD, tidak dapat mendaftarkan diri sebagai presiden. Sehingga, pengubah UUD sepakat untuk menentukan persoalan usia diatur dengan undang-undang (hal. 214).\n\nJika dilihat salah satu pendapat dari fraksi MPR sebagaimana dituangkan dalam putusan MK tersebut yaitu Affandi dari F-TNI/Polri menyatakan bahwa (hal. 212):\n\n“… Apabila kelak kemudian hari kemungkinan di dalam dinamika ada perubahan misalnya tentang umum tadi dengan kemajuan kita mungkin barangkali sedini mungkin orang itu dimungkinkan untuk mendapat pengalaman maturitas yang tinggi, mungkin lebih dini lagi, atau mungkin mortalitasnya makin panjang, umur makin panjang juga, usia efektif makin makmur. Ini perubahan akan lebih mudah apabila ditingkat undang-undang, bukan di Undang-Undang Dasar…”\n\nMenurut hemat kami, berdasarkan pendapat di atas, salah satu pertimbangan mencantumkan usia minimal untuk mencalonkan diri menjadi presiden salah satunya berkaitan dengan pengalaman dan maturitas (kematangan, kedewasaan) dari calon.\n\nHingga akhirnya muncullah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah pembatasan usia minimal capres/cawapres 40 tahun dengan penambahan ketentuan “pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.” Dimana diketahui bahwa syarat untuk menjadi kepala daerah adalah 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati/wali kota. Sehingga, syarat minimal 40 tahun tidaklah lagi menjadi syarat yang mutlak.\n\nAlasan hukum pengubahan batas usia calon presiden (“capres”) dan wakil presiden (“cawapres”) tersebut menurut MK salah satunya adalah capres dan cawapres merupakan rumpun jabatan yang sama dengan kepala daerah, dimana sama-sama dipilih oleh pemilihnya (hal. 26). Sehingga, menurut MK terdapat isu kesamaan karakteristik jabatan-jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah (hal. 27).\n\nSelengkapnya mengenai alasan hukum batas usia capres dan cawapres dapat Anda baca dalam Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/3781/nprt/2/undangundang-nomor-14-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_14_1985)\n3. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17917?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28864?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2009)\n5. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2593?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_1986)\n6. [Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54644dd76d5f4?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_49_2009)\n7. [Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2625/undangundang-nomor-5-tahun-1986/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_5_1986)\n8. [Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b012b9eee9fb?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_51_2009)\n9. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17803/undangundang-nomor-7-tahun-1989/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1989)\n10. [Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt546457ffe3747?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_50_2009)\n11. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13664/nprt/538/undangundang-nomor-24-tahun-2003?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_24_2003)\n12. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e3118f0c4f79/nprt/lt51ee17b11ad42/undangundang-nomor-8-tahun-2011?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2011)\n13. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e63b5c46dc0/nprt/lt51ee17b11ad42/undang-undang-nomor-4-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2014)\n14. [Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f76abc40155f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2020)\n15. [Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28065/undangundang-nomor-14-tahun-2008?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_14_2008)\n16. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28527/undangundang-nomor-39-tahun-2008/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_39_2008)\n17. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5433b89a5e93a/node/lt5209c0b79f64d/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-1-tahun-2014)\n18. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54d32c5a567d3/undang-undang-nomor-1-tahun-2015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2015)\n19. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5523407e6dc03?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2015)\n20. [Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt578e1c1341856/undang-undang-nomor-10-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_10_2016)\n21. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemeirntah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f34cfa2e1122/undang-undang-nomor-6-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_6_2020)\n22. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt543df13291bf4/undang-undang-nomor-23-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_23_2014)\n23. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt543784e5421c4?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2014)\n24. [Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt552b6ced78b2a?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_9_2015)\n25. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt59ba5511ab93b/undang-undang-nomor-7-tahun-2017?r=0&p=1&q=uu%207%202017&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2017)\n26. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6398217fef35f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_1_2022)\n27. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt646ddfc0759f3?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_7_2023)\n28. [Peraturan Komisi Yudisial Nomor 2 Tahun 2016 tentang Seleksi Calon Hakim Agung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt58c66815afafb/nprt/lt516bcdb82a6b6/peraturan-komisi-yudisial-nomor-2-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=ky_2_2016)\n29. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt639057a3f1491/peraturan-komisi-pemilihan-umum-nomor-10-tahun-2022/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_kpu_10_2022)\n30. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63a2e49a16db5/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_kpu_13_2022)\n31. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6454ecde47538/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_kpu_11_2023)\n32. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65cde24641027/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_kpu_3_2024)\n33. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6448d15724141?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pkpu_10_2023?fromV2=true)\n34. [Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65cde324e361e/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_KPU)4_2024)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29/PUU-XXI/2023;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023;Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024.\n\nREFERENSI:\n1. Wulan Pri Handini. Problematika Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Diantara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 2019.\n\n[1] Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik\n\n[2] Wulan Pri Handini. Problematika Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Diantara Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Majalah Hukum Nasional No. 1 Tahun 2019, hal. 123" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana aturan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITApakah Karyawan Kontrak Resign Dapat Pesangon?01 Des 2023Langgar Waktu Lembur Maksimal 4 Jam Sehari, Ini Sanksinya16 Agt 2022Kerja di Hari Libur atas Keinginan Sendiri, Berhak Upah Lembur?14 Jul 2022Di-PHK Sepihak atas Dugaan Pencurian? Lakukan Ini07 Jul 2022\n\nSetiap tenaga kerja memiliki hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, berupa pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.[1]\n\nKeselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan kerja, dan lingkungannya, serta cara melakukan pekerjaan.[2]\nMenurut Iman Soepomo, keselamatan kerja adalah aturan yang bertujuan menjaga keamanan tenaga kerja atas bahaya kecelakaan dalam menjalankan pekerjaan di tempat kerja yang menggunakan alat atau mesin, dan/atau bahan pengolah berbahaya.[3]\n\nSedangkan kesehatan kerja adalah aturan usaha untuk melindungi tenaga kerja dari kejadian atau keadaan perburuhan yang merugikan atau dapat merugikan kesehatan dan kesusilaan tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan dalam hubungan kerja.[4]\nProduktivitas kerja dapat terwujud jika keselamatan dan kesehatan tenaga kerja dilindungi melalui:[5]\n\nteknis pencegahan kecelakaan dan penyakit yang mungkin terjadi selama bekerja;kontrol terhadap bahaya di lingkungan kerja;penanganan saat tenaga kerja mengalami hal yang dicegah tersebut;menyediakan fasilitas bagi tenaga kerja untuk tetap mendapatkan perlindungan kesehatan, pengobatan, dan pemulihan dengan rehabilitasi pada instansi kesehatan.\nBaca juga: Perlindungan Tenaga Kerja dalam Peringatan Bulan K3 Nasional\nKeselamatan dan Kesehatan Kerja menurut Undang-Undang\n\nKeselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam Pasal 86 dan Pasal 87 UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi:\n\nPasal 86\n\nSetiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas:\n\nkeselamatan dan kesehatan kerja;moral dan kesusilaan; danperlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama.\n\nUntuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\nPasal 87\n\nSetiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.\n\nUpaya keselamatan dan kesehatan kerja yang dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) UU Ketenagakerjaan memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan para pekerja/buruh dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi.[6]\n\nSelain itu, tenaga kerja juga memiliki hak dan kewajiban yang diatur dalam Pasal 12 UU Keselamatan Kerja untuk melakukan hal sebagai berikut:\n\nMemberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan/atau ahli keselamatan kerja;Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;Memenuhi dan menaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan yang syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.\n\nSedangkan yang dimaksud dengan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja dalam Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan adalah bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, pelaksanaan, tanggung jawab, prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.[7]\n\nSistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (“SMK3”) juga diatur dalam Pasal 1 ayat (1) PP 50/2012, yakni bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.\n\nKemudian, pada dasarnya setiap perusahan wajib menerapkan SMK3 di perusahaannya.[8] Kewajiban yang dimaksud berlaku bagi perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh paling sedikit 100 orang atau mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi.[9]\nRuang Lingkup Keselamatan dan Kesehatan Kerja\n\nLingkup keselamatan dan kesehatan kerja adalah di seluruh wilayah kerja baik yang berada di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air, maupun di udara selama masih dalam wilayah Negara Republik Indonesia.[10]\n\nSelain itu terdapat 3 unsur tempat kerja, yakni:[11]\n\nusaha yang sifatnya komersial, ekonomis, ataupun sosial;\n\nterdapat sumber bahaya yang dapat membahayakan pekerja; danada tenaga kerja yang bekerja di wilayah tersebut yang secara terus-menerus ataupun berkala.\n\nKeselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja merupakan tanggung jawab pengusaha. Pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dilakukan secara bersama oleh pimpinan atau pengurus perusahaan dan seluruh tenaga kerja.[12]\n\nBaca juga: Wajibkah Semua Perusahaan Memberlakukan Lengkap Norma K3?\n\nKesimpulannya, aturan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan bertujuan untuk melindungi pekerja dari risiko kecelakaan kerja, meningkatkan derajat kesehatan para tenaga kerja, menjamin keselamatan tenaga kerja, dan menjaga agar sumber produksi dipelihara dan dipergunakan secara aman dan berdaya guna.[13] Selain itu, produktivitas kerja dapat terwujud jika keselamatan dan kesehatan tenaga kerja juga dilindungi.\n\nDemikian jawaban kami tentang keselamatan dan kesehatan kerja, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/715/undangundang-nomor-1-tahun-1970?r=0&p=1&q=uu%201%201970&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1970)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4fc34b51b2bc3/peraturan-pemerintah-nomor-50-tahun-2012?r=0&p=1&q=pp%2050%202012&rs=1847&re=2022#!?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_50_2012)\nREFERENSI:\n1. Abdullah Sulaiman dan Andi Wali, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2019\n2. Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Malang: Literasi Nusantara, 2020\n3. Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University Press, 2008.\n\n[1] Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University Press, 2008, hal. 37.[2] Endah Pujiastuti, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Semarang: Semarang University Press, 2008, hal. 37.[3] Abdullah Sulaiman dan Andi Wali, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2019, hal. 197.[4] Abdullah Sulaiman dan Andi Wali, Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan, Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, 2019, hal. 197.[5] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Malang: Literasi Nusantara, 2020, hal. 111.[6] Penjelasan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”).[7] Penjelasan Pasal 87 UU 13/2003.[8] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 tentang Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“PP 50/2012”).[9] Pasal 5 ayat (2) PP 50/2012.[10] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja[11] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Malang: Literasi Nusantara, 2020, hal. 112.[12] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Malang: Literasi Nusantara, 2020, hal. 112.[13] Arifuddin Muda Harahap, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan, Malang: Literasi Nusantara, 2020, hal. 112." }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan ada pertanyaan dari pimpinan kami mengenai rencana pembatasan penggunaan bahan bakar bersubsidi, ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan:\n\nAdakah informasi lanjutan mengenai hal tersebut?\nSudah adakah peraturannya terkait hal tersebut?\nAdakah pengaturan khusus dalam pembatasan tersebut untuk jenis-jenis kendaraannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Aturan BBM Bersubsidi\n\nMenjawab pertanyaan Anda tentang bahan bakar minyak (“BBM”) bersubsidi, sepanjang penelusuran kami hingga artikel ini diterbitkan, pengaturan penggunaan BBM bersubsidi masih menggunakan Perpres 191/2014 dan perubahannya.\nApa itu BBM bersubsidi? Dalam jawaban ini kami akan mengacu pada Perpres 191/2014 beserta perubahannya bahwa BBM bersubsidi adalah jenis BBM tertentu dengan jenis, standar dan mutu, harga, volume, dan konsumen tertentu serta diberikan subsidi.[1]\n\nAdapun yang termasuk jenis BBM tertentu adalah minyak tanah (kerosene) dan minyak solar (gas oil).[2]\nSelain jenis BBM tertentu, terdapat jenis BBM khusus penugasan. Jenis BBM khusus penugasan adalah jenis BBM yang didistribusikan di wilayah penugasan yaitu di seluruh wilayah Indonesia dan tidak diberikan subsidi.[3]\n\nYang termasuk dalam jenis BBM khusus penugasan adalah bensin/gasoline RON 90[4] atau lebih dikenal dengan pertalite.\nMeskipun bukan jenis BBM yang disubsidi, pertalite atau bensin RON 90 diberikan kompensasi oleh pemerintah. Setelah dilakukan audit atas perhitungan verifikasi volume untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia, Menteri Keuangan akan menetapkan kebijakan pembayaran kompensasi atas jenis BBM khusus penugasan sesuai dengan kemampuan keuangan negara.[5]\n\nPenentuan harga jenis BBM tertentu, untuk minyak tanah di setiap liter diberikan subsidi dan harga jualnya sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai (“PPN”).[6] Untuk solar, penentuan harga jual eceran untuk setiap liter terdiri atas harga dasar dikurangi dengan subsidi dan ditambah dengan PPN dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (“PBBKB”).[7]\n\nSedangkan penentuan harga jual eceran jenis BBM khusus penugasan dihitung dari harga dasar ditambah biaya pendistribusian, PPN dan PBBKB[8] tanpa dikurangi dengan subsidi.\n\nDengan demikian, dapat kami sampaikan bahwa untuk jenis BBM bersubsidi adalah minyak tanah dan solar. Adapun pertalite atau bensin RON 90 bukan termasuk BBM bersubsidi melainkan jenis BBM khusus penugasan yang diberikan kebijakan kompensasi.\nBaca juga: Beli BBM Pertalite Pakai Aplikasi Mypertamina, Ini Kata YLKI\nPenggunaan BBM Bersubsidi Bagi Jenis Kendaraan Tertentu\n\nMenjawab pertanyaan Anda tentang aturan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi, sepanjang penelusuran kami dalam Perpres 191/2014 dan perubahannya, untuk BBM bersubsidi pada dasarnya ditujukan untuk konsumen pengguna[9] tertentu. Seperti dalam subsidi minyak tanah diberikan untuk rumah tangga, usaha mikro dan usaha perikanan yang wilayahnya belum terkonversi LPG atau belum dialiri listrik.[10]\n\nAdapun untuk BBM bersubsidi jenis solar, pada dasarnya ditujukan untuk jenis-jenis kendaraan tertentu yaitu antara lain:[11]\n\nKendaraan bermotor pribadi (plat hitam);Kendaraan umum plat kuning untuk mengangkut orang/barang, kecuali kendaraan pengangkut hasil perkebunan atau pertambangan dengan jumlah roda lebih dari 6 buah;Kendaraan untuk pelayanan umum seperti ambulance, mobil jenazah, mobil pemadam kebakaran dan mobil pengangkut sampah;Transportasi air yang memakai motor tempel;Kapal laut berbendera Indonesia dengan trayek dalam negeri;Kapal sungai, danau dan penyeberangan berbendera Indonesia;Kapal pelayaran rakyat/perintis;Kereta api umum penumpang dan barang.\n\nNamun demikian, jika yang Anda maksud adalah rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi dan jenis BBM khusus penugasan secara lebih rinci dan terbaru, sebagaimana disampaikan dalam artikel Government Set to Complete Revision of Pertalite Distribution Regulation by August 2022, masih dalam tahap proses revisi Perpres 191/2014. Artinya selama aturan terbaru yang mengatur tentang penyediaan, pendistribusian dan harga jual eceran BBM belum ditetapkan, maka bentuk distribusi BBM yang berlaku masih menggunakan Perpres 191/2014 dan perubahannya.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami tentang aturan penggunaan BBM bersubsidi, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54af7f3a81632/peraturan-presiden-nomor-191-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_191_2014)\n2. [Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b2b7c504b9dc?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_43_2018)\n3. [Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6114da2b750a6?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_69_2021)\n4. [Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt61d2974ada3a1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_117_2021)\n5. [Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 Tahun 2022 tentang Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62453d262008a/keputusan-menteri-energi-dan-sumber-daya-mineral-nomor-37k-hk02-memm-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kepmen_esdm_37K_2022)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (“Perpres 191/2014”)[2] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (“Perpres 117/2021”)[3] Pasal 1 angka 2 Perpres 191/2014 jo. Pasal 3 ayat (3) Perpres 117/2021[4] Bagian Kesatu Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 37.K/HK.02/MEM.M/2022 Tahun 2022 tentang Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan jo. Pasal 3 ayat (2) dan (4) Perpres 117/2021[5] Pasal 21B ayat (3), (4), (5) dan (6) Perpres 117/2021[6] Pasal 14 ayat (2) dan (3) Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (“Perpres 69/2021”)[7] Pasal 14 ayat (4) Perpres 69/2021[8] Pasal 14 ayat (5) Perpres 69/2021[9] Pasal 17 ayat (1) Perpres 191/2014[10] Lampiran Perpres 191/2014[11] Lampiran Perpres 191/2014" }
{ "from": "human", "value": "Saat ini saya bekerja di perusahaan yang baru berkembang 4 tahun di bidang industri makanan, dan saya baru bergabung 1,3 tahun. Berdasarkan pengalaman kemarin THR yang didapat tidak sesuai dengan perhitungan saya. Sebenarnya adakah UU yang mengatur tentang besarnya THR? Demikian yang mau saya tanyakan. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Saat ini, aturan tunjangan hari raya mengacu pada Permenaker 6/2016. Sementara aturan dalam bentuk undang-undang seperti UU Ketenagakerjaan maupun Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan menjadi undang-undang pada 21 Maret 2023 tidak mengatur secara spesifik mengenai THR karyawan.\n\nTunjangan Hari Raya Keagamaan atau dikenal dengan THR adalah pendapatan non-upah yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan.[1]\n\nYang dimaksud dengan pendapatan non-upah adalah penerimaan pekerja/buruh dari pengusaha dalam bentuk uang untuk pemenuhan keagamaan, memotivasi peningkatan produktivitas, atau peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.[2] Artinya, THR haruslah diberikan dalam bentuk uang rupiah.[3]\n\nAdapun yang dimaksud dengan hari raya keagamaan adalah hari raya Idul Fitri bagi yang beragama Islam, Natal untuk yang beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan, Nyepi bagi pekerja beragama Hindu, Waisak untuk yang beragama Budha dan Imlek bagi yang beragama Konghucu.[4]\n\nKapan THR dibayarkan kepada pekerja atau karyawan? Perlu diketahui bahwa THR bersifat wajib dan harus dibayarkan oleh pengusaha paling lambat 7 hari sebelum hari raya keagamaan.[5] Pembayaran THR dilakukan 1 kali dalam 1 tahun sesuai dengan hari raya keagamaan masing-masing pekerja, kecuali ditentukan lain sesuai dengan kesepakatan pengusaha dan pekerja yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[6]\nKaryawan yang Berhak Mendapatkan THR\n\nKaryawan yang berhak mendapatkan THR adalah karyawan atau pekerja yang telah mempunyai masa kerja satu bulan secara terus menerus atau lebih,[7] dengan perhitungan proporsional.\n\nPekerja yang bisa memperoleh THR adalah pekerja dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”) atau karyawan tetap maupun pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) atau karyawan kontrak.[8]\n\nBagi pekerja yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWTT dan mengalami pemutusan hubungan kerja (“PHK”) terhitung sejak 30 hari sebelum hari raya keagamaan, berhak atas THR. Hal ini berlaku untuk tahun berjalan pada saat terjadinya PHK. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku bagi pekerja dengan PKWT yang berakhir sebelum hari raya keagamaan.[9]\n\nSelanjutnya, kriteria lain pekerja yang berhak atas THR adalah pekerja yang dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, berhak atas THR pada perusahaan yang baru, jika dari perusahaan yang lama pekerja yang bersangkutan belum mendapatkan THR.[10]\nCara Menghitung Besaran THR\n\nPerhitungan THR karyawan secara rinci dapat Anda lihat di dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Permenaker 6/2016 yang rinciannya sebagai berikut.\n\nPekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 bulan upah;Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:\nAdapun upah 1 bulan yang dimaksud itu terdiri atas komponen:[11]\n\nupah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atauupah pokok termasuk tunjangan tetap.\nContoh Perhitungan THR\n\nSebagai contoh, gaji Anda per bulan adalah Rp5.000.000,00 maka besar THR yang Anda terima dengan masa kerja 1,3 tahun adalah sebesar satu bulan upah, yakni Rp5.000.000,00.\n\nSementara, jika masa kerja Anda misalnya 5 bulan, maka perhitungan THR nya:\nSanksi Bagi Pengusaha yang Terlambat atau Tidak Membayar THR\n\nPengusaha yang terlambat membayar THR karyawan dikenai denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar yaitu 7 hari sebelum hari raya keagamaan. Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR kepada pekerja/buruh.[12]\n\nPengusaha yang tidak membayar THR kepada pekerja/buruh juga dikenai sanksi administratif berupa:[13]\n\nteguran tertulis;pembatasan kegiatan usaha;penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; danpembekuan kegiatan usaha.\nLangkah yang Dapat Dilakukan\n\nKami kurang memahami apa yang Anda maksud dengan THR yang didapat tidak sesuai dengan perhitungan Anda. Kami beranggapan bahwa hak Anda tidak terpenuhi karena adanya perbedaan penafsiran terkait perhitungan THR. Ini berarti telah terjadi perselisihan hak antara Anda dengan pengusaha.\n\nPerselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[14]\n\nTHR merupakan hak Anda sebagai pekerja. Jadi, apabila terjadi perselisihan mengenai hal ini dan penyelesaian secara kekeluargaan (bipartit) antara Anda dan pengusaha tidak berhasil dilakukan, cara yang dapat ditempuh adalah dengan melalui mediasi hubungan industrial, yaitu melalui musyawarah antara pekerja dan pengusaha yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[15] Jika mediasi masih gagal, Anda bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) sebagaimana yang diatur dalam UU PPHI.[16]\n\nBaca juga: 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial\n\nDemikian jawaban dari kami tentang perhitungan THR karyawan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n5. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt56ebc838dd535/node/157/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-no-6-tahun-2016-tunjangan-hari-raya-keagamaan-bagi-pekerja_buruh-di-perusahaan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_6_2016)\n[1] Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2018 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”)[2] Penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[3] Pasal 6 Permenaker 6/2016[4] Pasal 1 angka 2 Permenaker 6/2016[5] Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan[6] Pasal 5 ayat (1) dan (3) Permenaker 6/2016[7] Pasal 2 ayat (1) Permenaker 6/2016[8] Pasal 2 ayat (2) Permenaker 6/2016[9] Pasal 7 Permenaker 6/2016[10] Pasal 8 Permenaker 6/2016[11] Pasal 3 ayat (2) Permenaker 6/2016[12] Pasal 62 PP Pengupahan dan Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenaker 6/2016[13] Pasal 79 ayat (1) jo. Pasal 9 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan[14] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[15] Pasal 1 angka 11 UU PPHI[16] Pasal 5 UU PPHI" }
{ "from": "human", "value": "Bagi orang muslim, ketentuan mengenai informasi halal tidaknya suatu produk merupakan hal yang penting karena menyangkut pelaksanaan syariat. Oleh karena itu, pening bagi Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim menjamin hak masyarakatnya untuk mengetahui halal tidaknya suatu produk. Menyangkut UU Perlindungan Konsumen, apakah dimungkinkan bila sertifikat halal atau pemberian informasi tentang produk dapat disebutkan atau dijelaskan \"halal tidaknya\" produk tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Cara Menghitung Biaya Pajak Restoran 08 Agt 2023 Wewenang Penerbitan Sertifikat Halal, di Tangan Siapa? 12 Jun 2023 Tips Bertransaksi Saham Sesuai Syariah 08 Feb 2021 Jika Mencantumkan Logo Halal yang Tak Sesuai Standar Nasional 12 Nov 2020 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bagaimana Pengaturan Sertifikasi Halal bagi Produk Makanan? yang dibuat oleh Abi Jam'an Kurnia, S.H. dan dipublikasikan pertama kali pada Selasa, 18 Juni 2019. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kewajiban Sertifikat Halal Terkait dengan kehalalan suatu produk, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) hanya mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan \"halal\" yang dicantumkan dalam label. [1] Adapun terkait keharusan adanya keterangan halal dalam suatu produk , dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU Produk Halal”) yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan baru dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) . [2] Yang termasuk produk dalam UU Produk Halal adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman , obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. [3] Sedangkan yang dimaksud dengan produk halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. [4] Pada dasarnya produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. [5] Jadi, jika produk yang dijual tersebut adalah halal, maka wajib bersertifikat halal. Namun ada pengecualian bagi pelaku usaha mikro dan kecil (“UMK”). Bagi pelaku UMK, kewajiban bersertifikat halal didasarkan atas pernyataan pelaku UMK yang dilakukan berdasarkan standar halal yang ditetapkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (“BPJPH”). [6] Patut dicatat, ada beberapa kewajiban bagi pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal dan setelah memperoleh sertifikat tersebut. Pelaku usaha yang mengajukan permohonan sertifikat halal wajib: [7] memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur; memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; memiliki penyelia halal; dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH. Kemudian, setelah memperoleh sertifikat halal , pelaku usaha wajib: [8] mencantumkan label halal terhadap produk yang telah mendapat sertifikat halal; menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara produk halal dan tidak halal; memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir; dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH. Pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya setelah memperoleh sertifikat halal , dikenai sanksi administratif . [9] Lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. [10] Namun, dilansir dari Portal Resmi UU Cipta Kerja yang dibuat oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tercatat hingga 25 November 2020, pemerintah belum merilis Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai jaminan produk halal. Kewajiban Mencantumkan Label Halal Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib mencantumkan label halal yang bentuknya ditetapkan oleh BPJPH dan berlaku nasional pada: [11] kemasan produk; bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada produk. Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak . [12] Bagi pelaku usaha yang tidak menjaga kehalalan produk yang telah memperoleh sertifikat halal dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar. [13] Produk dari Bahan yang Diharamkan Bagaimana jika pelaku usaha memproduksi produk dari bahan yang diharamkan? Berikut akan kami sebutkan apa saja yang termasuk bahan yang diharamkan menurut UU Produk Halal, yaitu: [14] Bahan yang berasal dari hewan meliputi: bangkai; darah; babi; dan/atau hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. Bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya. Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan . Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal. Namun, pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada produk . [15] Jika pelaku usaha tersebut tidak mencantumkan keterangan tidak halal, dikenai sanksi administratif yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. [16] Jadi, berdasarkan uraian di atas, seharusnya masyarakat tidak perlu khawatir karena bagi produk halal harus dicantumkan label halal, sedangkan produk yang berasal dari bahan yang diharamkan juga harus mencantumkan keterangan tidak halal. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja REFERENSI:\n1. Portal Resmi UU Cipta Kerja , diakses pada 25 November 2020 pukul 15.00 WIB. [1] Pasal 8 ayat (1) huruf h UU Perlindungan Konsumen [2] Pasal 45 UU Cipta Kerja [3] Pasal 1 angka 1 UU Produk Halal [4] Pasal 1 angka 2 UU Produk Halal [5] Pasal 4 UU Produk Halal [6] Pasal 48 angka 1 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 4A UU Produk Halal [7] Pasal 24 UU Produk Halal [8] Pasal 25 UU Produk Halal [9] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (1) UU Produk Halal [10] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 ayat (2) UU Produk Halal [11] Pasal 37 dan 38 UU Produk Halal [12] Pasal 39 UU Produk Halal [13] Pasal 48 angka 24 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 56 UU Produk Halal [14] Pasal 18 dan Pasal 20 UU Produk Halal [15] Pasal 26 UU Produk Halal [16] Pasal 48 angka 8 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 27 UU Produk Halal sertifikasi halal makanan hukumonline jaminan produk halal minuman produk halal agrobisnis investasi haram perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Pasal 318 KUHP tentang apa? Apakah benar Pasal 318 KUHP mengatur tentang persangkaan palsu? Jika benar, apa bunyi Pasal 318 KUHP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Tindak pidana persangkaan palsu diatur dalam Pasal 318 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut:\n\nBarang siapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana, diancam karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.\nUnsur-unsur Pasal 318 KUHP\n\nBila dirinci, unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah:[1]\n\nBarang siapa, yaitu merupakan unsur tentang pelaku atau subjek tindak pidana. Kata “barang siapa” menunjukkan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku tindak pidana menimbulkan persangkaan palsu.[2]Dengan sengaja, yaitu unsur yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan. Suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja jika perbuatan itu dilakukan dengan dikehendaki dan diketahui.[3]Melakukan suatu perbuatan/dengan suatu perbuatan, yakni di sini perbuatan atau tindakan itu sebenarnya sesuatu yang palsu atau tidak benar, yang ditujukan kepada seseorang tertentu sehingga karenanya seseorang tertentu itu akan disangka telah melakukan suatu perbuatan pidana (tindak pidana).[4]Menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang, bahwa dia (seolah-olah) melakukan delik pidana. Pada unsur ini, harus dibuktikan bahwa perbuatan tindak pidana si pelaku memang dengan sengaja dimaksudkan untuk menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan suatu perbuatan pidana. Sebagai contoh, harus dibuktikan misalnya bahwa perbuatan pelaku yang menempatkan barang curian ke dalam rumah seseorang memang disengaja untuk menimbulkan persangkaan bahwa si pemilik rumah adalah pencuri dari barang tersebut.[5]\n\nAdapun Pasal 318 ayat (2) KUHP mengatur mengenai pidana tambahan, yaitu dalam tindak pidana, maka pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu di Pasal 35 ayat (1) angka 1, 2, dan 3 KUHP dapat dijatuhkan. Hak-hak terpidana yang dapat dicabut antara lain:\n\nPasal 35 ayat (1)\n\nHak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:\n\nhak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu;hak memasuki Angkatan Bersenjata;hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;\nIsi Pasal 438 UU 1/2023\n\nDalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[6] yaitu tahun 2026, persangkaan palsu diatur dalam Pasal 438 yaitu:\n\nSetiap Orang yang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan palsu terhadap orang lain bahwa orang tersebut melakukan suatu Tindak Pidana, dipidana karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.\n\nAdapun pidana denda paling banyak kategori IV adalah maksimal Rp200 juta.[7]\n\nKemudian, tindak pidana dalam Pasal 438 UU 1/2023 terjadi jika seseorang dengan suatu perbuatan menimbulkan persangkaan bahwa orang lain melakukan tindak pidana, sedangkan persangkaan tersebut tidak benar, misalnya, A meletakkan jam tangan milik C di dalam laci B dengan maksud agar B dituduh mencuri jam tangan milik C. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 438 UU 1/2023.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika, 2015\n2. Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP. Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022.\n\n[1] Andi Hamzah. Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 195[2] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP. Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 4[3] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP. Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 5[4] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP. Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 5[5] Meivy Mentang (et.al). Tindak Pidana melakukan Perbuatan yang menimbulkan Persangkaan Seseorang yang melakukan Tindak Pidana menurut Pasal 318 Ayat (1) KUHP. Lex Crimen, Vol. 11, No. 3, 2022, hal. 6[6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Pasal 352 KUHP mengatur tentang apa? Apa bunyi Pasal 352 KUHP? Apa saja unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 352 KUHP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Tindak pidana penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 471 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.\n\nBunyi Pasal 352 KUHP tentang penganiayaan ringan adalah sebagai berikut:\n\nKecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.5 juta.[2]\n\nPidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya.\n\nPercobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana\nAdapun, pasal penganiayaan ringan dalam Pasal 471 UU 1/2023 berbunyi:\n\nSelain penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 dan Pasal 470, penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian, dipidana karena penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya, pidananya dapat ditambah 1/3.Percobaan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dipidana.\nUnsur Pasal 352 KUHP\n\nKemudian, membahas unsur-unsur tindak pidana penganiayaan ringan dalam Pasal 352 KUHP adalah mencakup:\n\nbukan penganiayaan berencana (Pasal 353 KUHP);bukan penganiayaan yang dilakukan:\nterhadap ibu atau bapaknya yang sah, istri atau anaknya;terhadap pejabat yang ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum (Pasal 356 KUHP).tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.\n\nSedangkan unsur yang terdapat dalam Pasal 471 UU 1/2023, yaitu:\n\nbukan penganiayaan berencana (Pasal 467 UU 1/2023);bukan penganiayaan yang dilakukan:\nterhadap pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah;terhadap ibu atau ayah;dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan (Pasal 470 UU 1/2023).tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan profesi jabatan atau mata pencaharian.\n\nPada intinya, dapat disimpulkan bahwa baik dalam Pasal 352 KUHP maupun Pasal 471 UU 1/2023, tindak pidana disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya.[4]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n3. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. Renaldy (et.al). Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan. Jurnal Lex Suprema, Vol. 1, No. II, 2019.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  (“UU 1/2023”)[2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP, denda dikali 1.000 kali[3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[4] Renaldy (et.al). Penerapan Restorative Justice dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Penganiayaan di Polsek Balikpapan Selatan. Jurnal Lex Suprema, Vol. 1, No. II, 2019, hal. 11" }
{ "from": "human", "value": "Halo, saya mau bertanya. Jadi, di daerah saya itu sudah ada tower jaringan telekomunikasi, namun hingga saat ini kami belum dapat menikmatinya dengan baik karena status jaringan belum 4G. Kami hanya dapat mengakses telepon dan sms saja, itu pun susah sekali. Bagaimana prosedur dan apa saja persyaratan yang harus dipenuhi agar saya dapat menikmati jaringan 4G/jaringan internet di daerah saya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Agar akses infomasi dan telekomunikasi, termasuk internet, dapat dinikmati oleh publik, pemerintah telah membentuk Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (“BAKTI”) yang berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Informatika (“Kemkominfo”) yang bertugas untuk menyediakan infrastruktur dalam layanan telekomunikasi dan informatika, termasuk pengadaan akses internet dan penyediaan Base Transceiver Station (“BTS”). Dengan adanya BTS masyarakat akan lebih mudah mendapat akses jaringan telekomunikasi dan juga dapat mengakses jaringan internet, termasuk BTS untuk jaringan 4G seperti yang Anda tanyakan. Dalam artikel Percepat Pemerataan Akses 4G, Pemerintah Alokasikan APBN Bangun BTS , Ismail selaku Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika menjelaskan bahwa ada sekitar 12.500 desa yang belum mendapatkan layanan 4G. Untuk itu, menurut artikel yang sama, pemerintah akan melakukan intervensi dengan menambah alokasi dana pembangunan BTS 4G di seluruh desa yang belum terjangkau layanan telekomunikasi. Pengajuan Permohonan Akses Internet dan Pembangunan BTS Untuk dapat pengajuan akses internet dan pembangunan BTS, pemohon dapat mengakses laman PASTI . Terdapat beberapa layanan yang dapat Anda ajukan, yaitu pengajuan akses internet, pengajuan pembangunan BTS, pemindahan lokasi untuk pemasangan akses internet dan BTS, dan pengajuan penambahan bandwith untuk akses internet.. Namun, pihak yang dapat mengajukan permohonan hanya organisasi, yakni Pemerintah Daerah, Pemerintah Lembaga, Lembaga Sosial, Swasta, BUMN, BUMD, dan organisasi lainnya. Apabila masyarakat individu ingin mengajukan permohonan pengajuan akses internet, Bhagas Nugroho selaku Staf Direktorat Infrastruktur BAKTI menjelaskan bahwa masyarakat individu tersebut dapat mengusulkan pengajuan akses internet ke Desa/Lurah setempat. Kemudian, Desa/Lurah tersebut yang akan mendaftarkan permohonan tersebut pada laman PASTI. Terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pengajuan permohonan akses internet, yaitu permohonan organisasi baru, pendaftaran akun, dan pengajuan permohonan akses internet. Adapun tata cara permohonannya adalah sebagai berikut: Permohonan Organisasi Baru Pemohon harus melengkapi beberapa informasi, yaitu: Alamat email penanggung jawab Jenis organisasi Wilayah administrasi Nama organisasi Melampirkan SK Pendaftaran Organisasi Format SK Pendaftaran Organisasi dapat diunggah di contoh format pengisian SK . Setelah data-data lengkap, klik tombol ‘AJUKAN’. Setelah itu, pemohon akan dikirimkan email verifikasi via email yang sudah didaftarkan dan dapat melakukan pembuatan akun baru. Pendaftaran Akun Pemohon harus melengkapi beberapa informasi, yaitu: Nama pengguna ( user name ) Alamat email Nama Nomor telepon Jenis organisasi Password Melampirkan SK Pendaftaran User Setelah melakukan pendaftaran, pemohon akan mendapatkan email verifikasi. Pengguna dapat masuk ( log in ) ke laman PASTI. Pengajuan Permohonan Akses Internet Sesuai dengan Panduan Penggunaan PASTI Management System , untuk dapat mengajukan permohonan akses internet, pemohon dapat menuju laman Layanan yang ada di halaman utama PASTI. Setelah itu, klik Akses Internet, lalu ikuti tahapan berikut ini: Dashboard Pemohon Setelah log in , pemohon dapat melihat dashboard pemohon. Pada dashboard akan muncul progres pengajuan akses internet (AI) dan progres pengajuan BTS. Permohonan Baru Pemohon dapat mengajukan permohonan dengan memilih “Permohonan Baru’.’ Setelah itu, pemohon harus mengisikan data-data berikut dengan lengkap: Detail permohonan & kontak pemohon Detail lokasi Akses & Perangkat Kelengkapan berkas Konfirmasi Rangkuman Progres Pengajuan Akses Internet Untuk mengetahui keseluruhan rangkuman permohonan dan pelacakan perkembangan permohonan, pemohon dapat klik tombol ‘Rangkuman’. Sebagai tambahan, Bhagas juga kemudian menjelaskan bahwa setelah pemohon mengajukan permohonan akses internet, BAKTI akan berkoordinasi dengan dinas komunikasi dan informatika Kota/Kabupaten setempat, yang akan datang ke lokasi tersebut dan memeriksa apakah di lokasi tersebut dimungkinkan untuk dipasang akses internet. Dikarenakan sebelumnya Anda menjelaskan bahwa di daerah Anda telah ada menara telekomunikasi, pihak BAKTI kemudian akan menilai apakah menara tersebut dapat memancarkan sinyal internet yang merata ke seluruh tempat sekitar daerah Anda atau tidak. Apabila ternyata menara tersebut dinilai tidak cocok untuk dijadikan menara internet, maka pemohon dapat mengajukan permohonan pembangunan menara BTS melalui laman PASTI . Setelah lokasi pembangunan menara BTS disetujui, pembangunan menara BTS akan segera dilakukan. Adapun proses pengadaan akses internet dan/atau menara BTS tersebut berkisar paling lama 5-6 bulan. Dengan demikian, untuk dapat menikmati akses internet di daerah Anda, Anda dapat mengajukan usul ke pemerintah Desa/Lurah setempat, dan kemudian Desa/Lurah tersebut yang akan mengajukan permohonan melalui laman PASTI secara daring. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi . Referensi: Dorong Akses Informasi, Kominfo Tambah 200 BTS di Kawasan 3T , diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB; Halaman Utama PASTI BAKTI Kominfo , diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB; Permohonan Organisasi Baru , diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB; Panduan Penggunaan PASTI Management System , diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB; Percepat Pemerataan Akses 4G, Pemerintah Alokasikan APBN Bangun BTS , diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB; Sejarah Singkat BAKTI Kominfo diakses pada 22 Desember 2020, pukul 12.02 WIB. Catatan: Kami telah melakukan wawancara via telepon dengan Bhagas Nugroho selaku Staf Direktorat Infrastruktur BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 25 November 2020 pukul 12.00 WIB. telekomunikasi internet" }
{ "from": "human", "value": "Kedua orang tua saya sudah tiada. Dari 4 bersaudara, kakak-kakak saya, 1 laki-laki dan 2 perempuan sudah meninggal pula. Jadi tinggal saya sendiri yang masih hidup (sebagai anak almarhum orang tua saya) dan anak-anak kakak saya sebagai cucu almarhum orang tua saya. Yang ingin saya tanyakan, berapa porsi pembagian harta warisan yang bisa diterima oleh masing-masing pihak sebagai anak dan cucu? Hal ini perlu dijelaskan, bahkan sampai ke pasal dan ayatnya karena ada cucu yang ngotot harus dibagi rata atas nama orang tuanya. Mohon penjelasannya, supaya saya bisa mempunyai pegangan secara hukum yang sesuai dengan undang-undang negara yang berlaku. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami asumsikan bahwa orang tua Anda meninggal secara bersamaan. Selain itu, orang tua Anda beserta ahli waris seluruhnya beragama Islam sehingga dalam menjawab pertanyaan ini, kami akan menggunakan hukum waris Islam sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) . Selain itu, dikarenakan Anda tidak menyebutkan jenis kelamin Anda, maka kami asumsikan bahwa Anda adalah laki-laki. Untuk mempermudah penjelasan, kami juga mengasumsikan bahwa cucu-cucu orang tua Anda merupakan Anak dari masing-masing 3 saudara Anda, dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Yang Berhak Menjadi Ahli Waris Menurut Pasal 174 ayat (1) KHI , kelompok ahli waris terdiri dari: Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki, terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek. Golongan perempuan, terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda. [1] Mengenai hak waris cucu-cucu dari orang tua Anda, memang benar jika ahli waris meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya . [2] Maka, dalam hal ini cucu dari orang tua Anda dapat bertindak sebagai ahli waris pengganti. Neng Djubaedah, S.H., M.H. dan Yati N. Soelistijono, S.H.,C.N. dalam buku Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (hal.18) mendefinisikan ahli waris pengganti sebagai ahli waris yang mendapat bagian menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Yang dapat menjadi ahli waris pengganti yaitu keturunan anak pewaris dan keturunan saudara pewaris. Perlu dicatat, ketentuan mengenai ahli waris pengganti ini dikecualikan bagi yang terhalang sebagai ahli waris sebagaimana diatur dalam Pasal 173 KHI. [3] Untuk mengetahui siapa saja yang terhalang sebagai ahli waris, simak artikel Orang-orang yang Terhalang Mendapat Warisan Menurut Hukum Islam . Bagian Ahli Waris Pengganti Masih disarikan dari buku yang sama, penerapan Pasal 185 KHI mengenai ahli waris pengganti harus dihubungkan dengan Pasal 176 KHI yang menentukan besar bagian anak pewaris, yaitu bagian anak laki-laki dan perempuan ialah 2:1 (hal.87). Karena cucu berstatus sebagai ahli waris pengganti, maka bagian yang diperoleh oleh cucu hanya sebesar bagian yang diterima oleh orang tuanya selaku ahli waris. Selain itu, bagian bagi ahli waris pengganti juga tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti , sebagaimana diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KHI . Berdasarkan penjelasan di atas, maka yang berhak menjadi ahli waris adalah Anda bersama dengan anak-anak dari saudara-saudara Anda sebagai ahli waris pengganti. Cara Menghitung Bagian Masing-Masing Ahli Waris Agar lebih mudah dipahami, kami akan menggunakan ilustrasi sebagai berikut: Keterangan: A : Kakak laki-laki, sudah meninggal B : Kakak perempuan 1, sudah meninggal C : Kakak perempuan 2, sudah meninggal D : Anda , sebagai anak laki-laki E : Anak laki-laki A F : Anak perempuan A G : Anak laki-laki pertama B H : Anak laki-laki kedua B I : Anak perempuan C Pada dasarnya, yang berhak menjadi ahli waris dari ayah dan ibu yang sudah meninggal adalah anak-anaknya, yaitu A, B, C, dan D. Namun, karena A, B, dan C sudah meninggal, maka anak-anak A,B, dan C dapat bertindak sebagai ahli waris pengganti. Dengan demikian, yang berhak menjadi ahli waris adalah D bersama anak-anak dari A,B, dan C yaitu E,F,G,H, dan I . Cara menghitung bagian masing-masing ahli waris tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, hitung terlebih dahulu bagian yang seharusnya diperoleh A, B, C, dan D jika keempatnya masih hidup. Dikarenakan perbandingan bagian anak laki-laki dan perempuan adalah 2 : 1, maka bagian masing-masing yaitu: A = 2 , B = 1, C = 1, dan D = 2. Kemudian, besaran bagian tersebut dijumlahkan sebagai penyebut, sehingga masing-masing anak mendapat bagian sebagai berikut: Berdasarkan perhitungan di atas, diketahui bahwa besar bagian D (Anda) adalah 1/3 dari harta waris. Kedua, hitung bagian yang didapatkan cucu sebagai ahli waris pengganti. Adapun cara menghitung bagiannya adalah sebagai berikut: Bagian E dan F selaku ahli waris pengganti A Karena E adalah laki-laki, sedangkan F adalah perempuan, maka bagian masing-masing yaitu: E = 2 dan F = 1. Kemudian, besaran bagian tersebut dijumlahkan sebagai penyebut, sehingga masing-masing anak mendapat bagian sebagai berikut: Selanjutnya, kalikan bagian masing-masing dengan bagian yang diperoleh A, yakni 1/3. Maka, bagian E adalah 2/9 , sedangkan F berhak atas 1/9 bagian dari harta waris . Bagian G dan H selaku ahli waris pengganti B Karena G dan F adalah laki-laki, maka bagian keduanya sama besar. Sehingga masing-masing mendapat 1/2 bagian. Selanjutnya, kalikan bagian masing-masing dengan bagian yang diperoleh B, yakni 1/6. Maka, bagian masing-masing G dan H adalah sebesar 1/12 bagian dari harta waris . Bagian I selaku ahli waris pengganti C Khusus untuk I, karena ia menggantikan ibunya seorang diri, maka ia berhak mendapat seluruh bagian yang diperoleh C, yaitu 1/6 bagian dari harta waris . Dengan demikian, maka bagian masing-masing ahli waris yaitu: D (Anda) = 1/3 bagian atau 12/36 bagian; E = 2/9 bagian atau 8/36 bagian; F = 1/9 bagian atau 4/36 bagian; G = 1/12 bagian atau 3/36 bagian; H = 1/12 bagian atau 3/36 bagian; dan I = 1/6 bagian atau 6/36. Ketiga, tinjau ulang bagian yang diperoleh masing-masing, dan pastikan bahwa bagian yang diterima oleh cucu selaku ahli waris pengganti tidak lebih besar dari bagian Anda selaku anak pewaris. Dalam hal ini, karena bagian Anda adalah 12/36 bagian dan lebih besar dari bagian ahli waris lainnya sehingga pembagian tersebut tidak menyalahi ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kompilasi Hukum Islam . Referensi : Neng Djubaedah, S.H., M.H. dan Yati N. Soelistijono, S.H.,C.N. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia . (Depok : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia) 2008. [1] Pasal 174 ayat (2) KHI [2] Pasal 185 ayat (1) KHI [3] Pasal 185 ayat (1) KHI ahli waris waris" }
{ "from": "human", "value": "Warung kopi pinggir jalan saya terkena pembongkaran oleh PLN untuk pembangunan jaringan listrik baru. Katanya akan diberikan kompensasi atas kerugian yang diderita. Apakah ada cara atau rumus perhitungan kompensasi yang diberikan? Kalau ada, bagaimana cara menghitungnya supaya saya bisa memperkirakan besaran kompensasinya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Sanksi Jika Melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah 23 Mei 2023 Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan Tanah 17 Feb 2021 Ganti Rugi Atas Pendirian Tiang Listrik oleh PLN 31 Jul 2017 Cara Pembagian Ganti Rugi dalam Gugatan Perwakilan Kelompok ( Class Action ) 10 Jul 2017 Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Cara Menghitung Kompensasi Jika Terkena Pembangunan Jaringan Listrik Baru yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 2 Juli 2018. Berbicara mengenai pembangunan jaringan listrik, Anda dapat merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (“PP 14/2012”) dan perubahannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penggunaan tanah oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan setelah memberikan ganti rugi hak atas tanah atau kompensasi kepada pemegang hak atas tanah, bangunan , dan tanaman. Berikut penjelasan terkait pemberian ganti rugi dan kompensasi: Ganti Rugi Ganti rugi diberikan untuk tanah yang digunakan secara langsung oleh pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dan bangunan serta tanaman di atas tanah dan dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan . Bangunan di sini adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha , kegiatan sosial, dan budaya. Kompensasi Kompensasi adalah pemberian sejumlah uang kepada pemegang hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan/atau benda lain di atas tanah karena digunakan secara tidak langsung untuk pembangunan ketenagalistrikan tanpa dilakukan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Besaran kompensasi ditetapkan oleh lembaga penilai independen yang ditunjuk oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya berdasarkan formula perhitungan kompensasi dikalikan dengan harga tanah, bangunan dan tanaman . Selanjutnya ketentuan mengenai formula perhitungan dan tata cara pembayaran kompensasi diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2018 tentang Kompensasi Atas Tanah, Bangunan, dan/atau Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik . Pemberian Kompensasi Karena Anda menanyakan spesifik tentang kompensasi, kami asumsikan tanah digunakan secara tidak langsung dan tidak ada pelepasan hak atas tanah. Pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik wajib memberikan kompensasi untuk kegiatan salah satunya pembangunan jaringan transmisi tenaga listrik baru, yang diberikan untuk tanah, bangunan, dan/atau tanaman. Tanah, bangunan , dan/atau tanaman yang dimaksud berada di bawah ruang bebas dan di sepanjang koridor jarak bebas minimum horizontal dari sumbu vertikal menara/tiang. Ruang bebas diartikan sebagai ruang yang dibatasi oleh bidang vertikal dan horisontal di sekeliling dan di sepanjang konduktor Jaringan Transmisi Tenaga Listrik di mana tidak boleh ada benda di dalamnya demi keselamatan manusia, makhluk hidup dan benda lainnya serta keamanan operasi Jaringan Transmisi Tenaga Listrik. Menentukan Besaran Kompensasi Perlu dicatat, kompensasi hanya diberikan 1 kali . Dalam hal tanah, bangunan, dan/atau tanaman yang telah diberikan kompensasi berpindah tangan ke pemegang hak yang baru, maka ia tidak berhak mendapat kompensasi. Berkaitan dengan besaran kompensasi, pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik melaksanakan pengadaan lembaga penilai untuk melakukan penilaian besaran kompensasi. Lembaga penilai harus punya klasifikasi bidang jasa penilaian terkait dengan bidang jasa penilaian tanah, bangunan, dan tanaman yang mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan dan mendapat lisensi dari Menteri Agraria dan Tata Ruang. Kemudian lembaga penilai menetapkan besaran kompensasi berdasarkan formula perhitungan kompensasi . Formula perhitungan kompensasi atas tanah, bangunan, dan/atau tanaman yang berada di bawah ruang bebas ditetapkan: Kompensasi untuk tanah = 15% x Lt x NP Lt: Luas tanah di bawah ruang bebas NP: Nilai pasar tanah dari lembaga penilai Kompensasi untuk bangunan = 15% x Lb x NPb Lb: Luas bangunan di bawah ruang bebas Npb: Nilai pasar bangunan dari lembaga penilai Kompensasi untuk tanaman = Nilai pasar tanaman dari lembaga penilai (NPt) Hasil penetapan besaran kompensasi ini bersifat final dan jadi dasar bagi pemegang izin usaha penyediaan tenaga listrik dalam pemberian kompensasi . Sehingga, karena yang dibongkar adalah warung kopi, maka formula perhitungan kompensasi yang dipakai adalah untuk bangunan sebagaimana di atas. Contoh : Misalnya luas bangunan warung kopi adalah 100 m 2 , dan lembaga penilai menetapkan nilai pasar bangunan sebesar Rp10 juta. Maka, cara hitungnya: Kompensasi = 15% x Lb x NPb Kompensasi =15% x 100 x 10.000.000 = Rp 150.000.000,- Jadi besar kompensasinya adalah: Rp150 juta Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 27 Tahun 2018 tentang Kompensasi Atas Tanah, Bangunan, dan/atau Tanaman yang Berada di Bawah Ruang Bebas Jaringan Transmisi Tenaga Listrik pertanahan hukumonline google perdata ganti rugi pertahanan kompensasi konstruksi pln pembangunan hukum" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana cara menghitung lembur pada hari raya keagamaan yang sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Aturan Lembur Hari Raya Keagamaan\n\nPada dasarnya, pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Namun, pengusaha boleh mempekerjakan pekerja di hari libur resmi tersebut apabila pekerjaan yang bersangkutan harus dilaksanakan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja dengan pengusaha.\n\nHari libur resmi ini merupakan hari libur nasional, hari yang diliburkan secara nasional, atau hari libur yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Hari raya keagamaan merupakan salah satu hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah.\n\nJika pengusaha mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah, maka dihitung sebagai waktu kerja lembur.\n\nUntuk melaksanakan waktu kerja lembur, maka perlu memenuhi syarat yaitu harus ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan secara tertulis dan/atau melalui media digital.\n\nPengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh selama waktu kerja lembur wajib untuk:\n\nMembayar upah kerja lembur;Memberi kesempatan untuk istirahat secukupnya; danMemberikan makanan dan minuman minimal 1.400 kilo kalori, apabila kerja lembur dilakukan selama 4 jam atau lebih.\nNamun demikian, ketentuan waktu kerja lembur tersebut tidak berlaku bagi perusahaan pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 24 PP 35/2021.\nCara Menghitung Upah Lembur Hari Raya Keagamaan\n\nMenjawab pertanyaan Anda, berikut adalah perhitungan upah lembur hari raya keagamaan untuk waktu kerja 6 hari kerja dan 40 jam seminggu:\n\njam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 kali upah sejam;jam kedelapan, dibayar 3 kali upah sejam; danjam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas, dibayar 4 kali upah sejam.\n\nJika hari raya keagamaan atau hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, maka perhitungan upah lembur adalah sebagai berikut.\n\njam pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 kali upah sejam;jam keenam, dibayar 3 kali upah sejam; danjam ketujuh, jam kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 kali upah sejam.\n\nAdapun, perhitungan upah lembur hari raya keagamaan untuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu yaitu:\n\njam pertama sampai dengan jam kedelapan, dibayar 2 kali upah sejam;jam kesembilan, dibayar 3 kali upah sejam; danjam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 kali upah sejam.\n\nPerhitungan upah kerja lembur tersebut didasarkan pada upah bulanan. Cara menghitung upah sejam yaitu 1/173 dikali upah sebulan.\n\nDalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka dasar perhitungan upah kerja lembur yaitu 100% dari upah. Sedangkan jika upah terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap, dan upah pokok ditambah tunjangan tetap lebih kecil dari 75%, maka dasar perhitungan upah kerja lembur yaitu 75% dari keseluruhan upah.\nContoh Perhitungan Upah Lembur di Hari Raya Keagamaan\n\nMisalnya, pada hari raya Idul Fitri 2023, seorang pekerja yang waktu kerjanya adalah 5 hari kerja 40 jam dalam seminggu bekerja lembur selama 5 jam, sedangkan upah bulanannya adalah Rp4 juta. Maka cara menghitung upah kerja lemburnya adalah sebagai berikut.\n\nHitung Upah Per Jam\n\nRumus dalam menghitung upah per jam adalah 1/173 x upah sebulan.\n\nMaka perhitungannya adalah sebagai berikut:\n\n1/173 x Rp4.000.000,- = Rp23.121,387\nKalikan Upah Per Jam dengan Lama Kerja Lembur\n\nSebagaimana yang telah dijelaskan di atas, upah kerja lembur untuk pekerja dengan waktu kerja 5 hari kerja 40 jam seminggu adalah 2 kali upah sejam untuk 8 jam pertama.\n\nKarena kerja lembur dilakukan selama 5 jam, maka upah lembur yang berhak didapatkan pekerja tersebut adalah sebesar 5 x 2 x Rp23.121,387 = Rp231.213,87\n\nPerlu diingat, ketentuan di atas bergantung pada waktu kerja karyawan dalam seminggu dan berapa lama waktu kerja lembur. Sebagai pekerja, Anda dapat menghitung sendiri berapa upah per jam yang diterima menggunakan rumus yang telah kami jabarkan di atas.\n\nSebagai tambahan, pengusaha yang tidak membayarkan upah kerja lembur bagi pekerja dikenai sanksi pidana pelanggaran berupa pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau pidana denda minimal Rp10 juta dan maksimal Rp100 juta.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang;Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja." }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah pemilik kos-kosan dan pegawai swasta. Usaha kos-kosan saya cukup besar, namun saya masih memiliki pekerjaan lain dan rajin membayar PPh. Apakah penghasilan yang saya peroleh dari usaha kos-kosan itu juga dikenakan PPh atau pajak apa? Bagaimana cara menghitung atau mendaftarnya? Mohon juga berikan ilustrasi atau contoh perhitungannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Cara Hitung Besaran Pajak Indekos yang dibuat oleh Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI) dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 17 November 2020 . Memang benar bahwa Anda sebagai pemilik usaha indekos tetap dikenai pembayaran pajak, namun jenis pajak tersebut bergantung pada jumlah kamar yang Anda sewakan. Rumah kos (indekos) dengan jumlah kamar lebih dari 10 diklasifikasikan dalam pengertian hotel menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU PDRD”) dan oleh karena itu dikenakan pajak hotel yang merupakan pajak kabupaten/kota . Namun, jika kamar indekos berjumlah kurang dari 10 , maka dikenakan pajak penghasilan bersifat final (“PPh Final”) . Wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai PPh final merupakan: Wajib pajak orang pribadi; dan Wajib pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas, yang memperoleh penghasilan dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.8 miliar dalam 1 tahun pajak. Adapun jumlah bruto yang dimaksud merupakan semua jumlah yang dibayarkan atau yang diakui sebagai utang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun, berkaitan dengan tanah/bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, pemeliharaan, keamanan, layanan, dan biaya fasilitas lainnya. Sedangkan yang tidak termasuk penghasilan dari penyewaan kamar indekos dan tidak dikenai PPh final adalah penghasilan yang diterima dari jasa pelayanan penginapan dan akomodasinya . Jadi, jika sebuah usaha indekos mendapatkan omzet selama 1 tahun tidak lebih dari 4.8 miliar , maka dikenakan PPh Final yang tarifnya berbeda-beda bagi setiap jenis penghasilannya. Untuk pajak indekos , dikenakan tarif sebesar 1% dari total pendapatan yang diterima selama 1 bulan . Namun, jika jumlah kamar indekos yang disediakan sudah berjumlah 10 kamar atau lebih, maka akan dikenakan pajak hotel (pajak daerah) . Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan oleh penyewa kamar indekos adalah, jika indekos sudah masuk kategori objek pajak daerah, maka penyewa kamar indekos tidak dibenarkan lagi dalam memotong PPh Final . Contoh Menghitung Pajak Indekos Untuk memudahkan Anda dalam menghitung pajak indekos, kami akan mengilustrasikan sebagai berikut: A memiliki usaha indekos di Bogor sebanyak 7 kamar yang telah terisi penuh. Pembayaran kamar indekos masing-masing sebesar Rp800 ribu/kamar yang harus dibayarkan setiap bulannya. Pada bulan November, pemasukan dari sewa kamar indekos adalah sebesar Rp5.6 juta, maka berapa besaran pajak yang harus disetorkan oleh A? Dengan menggunakan tarif sebesar 1% dari total pendapatan yang diterima selama 1 bulan, maka PPh finalnya: 1% x Rp5.6 juta =Rp56 ribu . Jadi, pajak indekos yang harus dibayarkan A adalah Rp56 ribu . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tetang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2017 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu pajak kos-kosan" }
{ "from": "human", "value": "Di tempat kerja saya akan dilakukan pekerjaan borong kerja/harian lepas. Untuk perhitungan gaji no work no pay, dengan perhitungan gaji UMP dibagi 25. Apakah itu menyalahi undang-undang? Untuk acuan perundangan perhitungan gaji dasar pembagi 25 hari/21 hari itu undang-undang apa?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPekerja Harian Lepas Di-PHK, Dapat Pesangon?14 Nov 2023Perbedaan Pekerja Harian Lepas dengan Pekerja Bulanan24 Jul 2023Karyawan Tetap Digaji Harian, Bolehkah?13 Okt 2021Pekerja Kontrak Berubah Menjadi Tetap karena Ini!18 Jun 2021\n\nAturan mengenai pekerja harian, dalam hal ini yakni pekerja yang dipekerjakan untuk pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan, yang pembayaran upah pekerjanya dilakukan berdasarkan kehadiran diatur dalam Pasal 10 ayat (1) PP 35/2021:\n\nPKWT yang dapat dilaksanakan terhadap pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) berupa pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta pembayaran upah Pekerja/Buruh berdasarkan kehadiran.\nUpah bagi Pekerja Harian\nPada prinsipnya, upah ditetapkan berdasarkan:[1]\n\nSatuan waktu, yang ditetapkan secara:\nper jam;harian; ataubulananSatuan hasil.\n\nOleh karena itu, dalam hal pekerja dipekerjakan secara harian, maka upah dapat ditetapkan secara harian.\nPerhitungan Upah Harian bagi Pekerja Harian\nAturan mengenai perhitungan upah harian diatur dalam Pasal 17 PP Pengupahan:\n\nDalam hal Upah ditetapkan secara harian, perhitungan Upah sehari sebagai berikut:\n\nbagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima); ataubagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21 (dua puluh satu).\n\nMerujuk pada aturan di atas, maka perhitungan upah harian dihitung dari upah sebulan dibagi 25 (jika waktu kerja 6 hari dalam seminggu) atau upah sebulan dibagi 21 (jika sistem waktu kerja 5 hari dalam seminggu).\n\nMengenai upah sebulan yang menjadi dasar perhitungan upah harian, menurut hemat kami, ketentuan upah sebulan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum. Sebab, Pasal 23 ayat (3) PP Pengupahan telah menegaskan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.\n\nUpah minimum sendiri dibedakan menjadi upah minimum provinsi (“UMP”) dan upah minimum kota/kabupaten (“UMK”), yang mana besaran UMK harus lebih besar daripada UMP. Jika dalam suatu daerah telah ditetapkan besaran UMK dan UMP, maka yang berlaku adalah ketentuan dalam UMK, bukan UMP, sebagaimana disarikan dari Mana yang Jadi Acuan, UMP atau UMK?.\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, pemberian gaji Anda sebagai pekerja harian lepas dengan sistem pembayaran per hari dan dengan perhitungan gaji UMP dibagi 25 tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan jika di daerah tempat Anda bekerja belum ada ketentuan mengenai UMK. Tapi, jika di daerah tempat Anda bekerja telah ditetapkan UMK, maka perhitungan upah harian didasarkan pada besaran upah bulanan yang besarannya tidak boleh lebih rendah dari UMK.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021)\n[1] Pasal 14 jo. Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau menanyakan tentang prosedur pendaftaran hak cipta di mana bentuk ciptaannya adalah lagu. Bagaimana cara mendaftarkannya? Bagaimana langkah-langkahnya? Apa syarat-syaratnya? Dan berapa biayanya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Tata Cara Pencatatan Hak Cipta Lagu Secara Online yang dibuat oleh Risa Amrikasari S.S., S.H., M.H. dari IPAS Institute dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 22 April 2016, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Senin, 08 April 2019. Lagu sebagai Ciptaan yang Dilindungi Perlindungan hak cipta di Indonesia diatur berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) . Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi hak ciptanya . Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. [1] Pelindungan hak cipta, khususnya hak ekonomi, atas ciptaan lagu tersebut berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya, [2] atau selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman jika hak cipta atas lagu itu dimiliki atau dipegang oleh badan hukum . [3] Pencatatan Hak Cipta Lagu Permohonan pendaftaran kekayaan intelektual, termasuk hak cipta, dilakukan secara elektronik, [4] melalui Sistem Informasi Kekayaan Intelektual di laman resmi Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (“DJKI”) . Namun jika terjadi gangguan Sistem Informasi Kekayaan Intelektual yang berakibat tidak berfungsinya pelayanan permohonan secara elektronik, maka dapat dilakukan secara nonelektronik . [5] Prosedur Pencatatan Ciptaan Secara Online Prosedur pencatatan hak cipta pada dasarnya sama untuk semua jenis ciptaan, yang berbeda hanyalah bagian lampirannya, dan dapat dilakukan oleh perorangan maupun perusahaan. Disarikan dari laman Prosedur/Diagram Alir Permohonan Hak Cipta dan Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak Cipta (Edisi 2020) , berikut prosedurnya: Registrasi Akun Daftar akun user Hak Cipta melalui laman Pendaftaran User Hak Cipta . Pada saat registrasi, Anda akan diminta untuk memasukkan sejumlah data seperti nama lengkap, nomor Kartu Tanda Penduduk, alamat surat elektronik, dan lain-lain. Pilih Pengajuan Pencatatan Digital Isi Formulir Upload File Terdapat beberapa dokumen yang harus diunggah, antara lain: [6] Surat pernyataan kepemilikan ciptaan; Contoh ciptaan, dengan penjelasan sebagai berikut (hal. 42): Pembayaran Apabila berdasarkan pemeriksaan dokumen-dokumen yang diperlukan dinyatakan telah lengkap, maka akan keluar kode billing yang berlaku untuk jangka waktu 3 hari kalender. Pemohon melakukan pembayaran melalui bank persepsi atau pos persepsi yang menggunakan Sistem Informasi Penerimaan Negara Bukan Pajak Online (SIMPONI). [7] Pemeriksaan Formalitas Verifikas i Pencatatan Ciptaan Disetujui Dalam hal permohonan diterima, diterbitkan surat pencatatan ciptaan dan dicatat dalam daftar umum ciptaan. [8] Pencetakan Sertifikat Biaya Besaran biaya yang harus dikeluarkan untuk permohonan pencatatan suatu ciptaan lagu adalah sebagai berikut: [9] Untuk usaha mikro, usaha kecil, lembaga pendidikan, dan lembaga penelitian dan pengembangan pemerintah: Secara Elektronik ( online ): Rp200 ribu/permohonan. Secara Non Elektronik ( manual ): Rp250 ribu/permohonan. Untuk umum: Secara Elektronik ( online ): Rp400 ribu/permohonan. Secara Nonelektronik ( manual ): Rp500 ribu/permohonan. Perlu dipahami, pencatatan ciptaan lagu bukan merupakan syarat untuk mendapatkan hak cipta karena prinsip hak cipta adalah timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata . Akan tetapi, pencatatan hak cipta memiliki manfaat-manfaat seperti: Antisipasi adanya pihak lain yang menggunakan tanpa izin; Antisipasi timbulnya perselisihan dengan pemegang hak cipta; Alat meminta pembatalan pencatatan ciptaan kita oleh pihak lain yang dilakukan tanpa hak. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ; Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pelayanan Permohonan Kekayaan Intelektual Secara Elektronik . Referensi : Prosedur/Diagram Alir Permohonan Hak Cipta , diakses pada 16 Februari 2021, pukul 19.28 WIB; Modul Kekayaan Intelektual Tingkat Dasar Bidang Hak Cipta (Edisi 2020) , diakses pada 16 Februari 2021, pukul 19.30 WIB; Laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual , diakses pada 17 Februari 2021, pukul 17.32; Pendaftaran User Hak Cipta , diakses pada 17 Februari 2021, pukul 17.32. [1] Pasal 4 UU Hak Cipta [2] Pasal 58 ayat (2) UU Hak Cipta [3] Pasal 58 ayat (3) UU Hak Cipta [4] Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Pelayanan Permohonan Kekayaan Intelektual Secara Elektronik (“Permenkumham 42/2016”) [5] Pasal 10 Permenkumham 42/2016 [6] Pasal 66 ayat (2) huruf a dan b UU Hak Cipta [7] Pasal 5 ayat (5) jo . Pasal 6 ayat (1) jo . Pasal 7 Permenkumham 42/2016 [8] Pasal 69 ayat (1) UU Hak Cipta [9] Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2019 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hukumonline pencatatan hak cipta hukum klinik pencipta klinik hukumonline lagu musik kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Karena ayah sudah meninggal dunia, maka ibu ingin menjual saham ayah kepada perusahaan kontraktor tempat ayah bekerja dulu. Harga saham ayah pada tahun 1982 total berjumlah 1 juta. Tahun 2015 ini ibu menelepon perusahaan tersebut, tetapi perusahaan mau membeli saham ayah sejumlah 1 juta rupiah (sesuai dengan total saham). Ibu kecewa karena harga saham tersebut kenapa masih sama seperti dulu, apakah tidak ada kenaikan kurs tahun 1982 dengan tahun 2015 sekarang ini? Mohon penjelasannya berapakah yang seharusnya ibu saya bisa terima dari perusahaan tersebut? Atau memang sudah betul apa yang perusahaan katakan? Perusahaan saat ini masih ada proyek-proyek pembangunan di dalam maupun luar negeri." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bagaimana Cara Mengetahui Harga Jual Saham? yang dibuat oleh Albert Aries, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 21 September 2015. Kami turut prihatin dengan permasalahan yang keluarga Anda hadapi, semoga permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara yang terbaik. Sayangnya, Anda tidak menginformasikan kapan ayah Anda meninggal dunia dan apa bentuk badan usaha dari perusahaan tersebut. Untuk itu, kami berasumsi bahwa almarhum ayah Anda meninggal belum lama ini dan badan usaha perusahaan tersebut berbentuk Perseroan Terbatas (“PT”). PT merupakan badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham. Kini, dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) , PT juga dapat berupa badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil. Mengenai saham, M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 257) mendefinisikan saham sebagai sejumlah uang yang diinvestasikan oleh investor dalam suatu perseroan dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari perseroan dalam bentuk dividen, yang sebanding dengan besarnya uang yang diinvestasikan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , saham dikategorikan sebagai kekayaan pribadi dari pemegang saham yang termasuk dalam benda bergerak, yang dapat dialihkan, dijualbelikan, dan juga diagunkan. Berkaitan dengan kepemilikan saham oleh almarhum ayah Anda, kami menyarankan agar terlebih dahulu dibuat Surat Keterangan Waris . Apabila almarhum ayah Anda beragama Islam, maka dapat membuat penetapan ahli waris di Pengadilan Agama. Sedangkan jika beragama selain Islam, Anda dapat memohonkan penetapan ahli waris di Pengadilan Negeri. Selain itu, dapat juga dibuat Surat Keterangan Hak Waris oleh notaris dan Badan Harta Peninggalan, sebagaimana yang dijelaskan dalam Begini Cara Urus Surat Keterangan Ahli Waris di BHP dan Notaris . Pembuatan keterangan waris ini penting sebagai dasar legalitas yang menerangkan siapa saja ahli waris yang berhak mewarisi harta peninggalan ayah Anda, termasuk saham di perusahaan tersebut, dan juga untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Mengenai prosedur pemindahan hak atas saham ke ahli waris, notaris Fessy Alwi menerangkan dalam Prosedur Pemindahan Hak atas Saham karena Pewarisan bahwa para ahli waris dalam praktik hanya perlu menyampaikan keterangan kematian, keterangan waris, dan bukti lainnya bahwa mereka merupakan ahli waris. Selain itu, ahli waris juga membuat surat kuasa kepada salah satu ahli waris untuk menjadi wakil pemegang saham tersebut. Jadi, para ahli waris harus menunjuk satu perwakilan sebagai pemegang saham yang baru. Namun, masih dari artikel yang sama, notaris Irma Devita menerangkan bahwa di antara ahli waris kemudian dapat pula dibuat suatu kesepakatan untuk membagi saham tersebut, sehingga masing-masing saham terdaftar atas nama setiap ahli waris. Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, besarnya nilai saham yang dimiliki oleh ayah Anda, dapat diketahui dari anggaran dasar PT tersebut, yang di dalamnya tercantum pula jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada, berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham dalam anggaran dasar. Berkaitan dengan hal tersebut, Syarief Toha , Legal Analyst & Content Easybiz , menjelaskan bahwa saham di PT pasti dibagi nilainya per lembah saham, dan ketentuan harga per lembar saham dalam praktik dicantumkan dalam anggaran dasar PT. Sehingga, dengan mengetahui jumlah lembar saham yang diwariskan oleh ayah Anda, dan nilai per lembar saham yang telah ditentukan dalam anggaran dasar PT, Anda dapat mengetahui estimasi nilai dari saham di perusahaan tersebut saat ini. Namun, Syarief menambahkan, bisa saja saat transaksi jual beli, nilai saham lebih tinggi dari yang dicantumkan di anggaran dasar, hal ini tergantung kepada kesepakatan kedua belah pihak. Selain itu, untuk menjaga objektivitas penilaian, Anda juga bisa meminta bantuan dari jasa penilai ( appraisal ) . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ; Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja . Referensi : M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Catatan: Kami telah melakukan wawancara dengan Syarief Toha, Legal Analyst & Content Easybiz , via WhatsApp pada 28 Januari 2021, pukul 16.01 WIB. pt hukumonline modal aset jual beli saham perseroan terbatas hukum klinik perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apakah akibat hukum apabila lessee menggunakan hak opsinya di akhir jangka waktu masa leasing dalam perjanjian sewa guna usaha (Leasing Agreement)?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pengertian Leasing\nSewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.[1]\n\nKemudian yang dimaksud dengan penyewa guna usaha (lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan (lessor).[2]\n\nSedangkan lessor merupakan perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha.[3]\n\nKegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut: [4]\n\njumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;masa sewa guna usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan bangunan;perjanjian sewa gunausaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.\nPelaksanaan Hak Opsi\n\nPada saat berakhirnya masa sewa guna usaha dari transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi, lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa guna usaha.[5]\n\nDalam hal lessee menggunakan opsi membeli, maka akibat hukumnya dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.[6] Hak opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa guna usaha.[7]\n\nLain halnya apabila lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha, maka akibat hukumnya nilai sisa barang modal yang disewa guna usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa guna usaha.[8]\n\nSehingga dapat disimpulkan bahwa hak opsi adalah hak lessee untuk membeli barang modal atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha.\nKetentuan Pajak Terkait Lessee\n\nPerlakuan pajak penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut:[9]\n\nselama masa sewa guna usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa guna usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebut memenuhi ketentuan finance leasing;dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam kriteria finance leasing, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa guna usaha;lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa guna usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi.[10]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25725/peraturan-menteri-keuangan-nomor-84pmk0122006-tahun-2006?r=0&p=1&q=Peraturan%20Menteri%20Keuangan%20Nomor%2084%2FPMK.%20012%2F2006%20tentang%20Perusahaan%20Pembiayaan&rs=1847&re=2022&h=permen)\n2. [Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt508750acd8a9e/keputusan-menteri-keuangan-nomor-1169-kmk01-1991-tahun-1991?r=0&p=1&q=Keputusan%20Menteri%20Keuangan%20Republik%20Nomor%201169%2FKMK.01%2F1991%20tentang%20Kegiatan%20Sewa%20Guna%20Usaha%20(Leasing)&rs=1847&re=2022&h=kepmen)\n[1] Pasal 1 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (“PMK 84/2006”)[2] Pasal 1 huruf d PMK 84/2006[3] Pasal 1 huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) (“Kepmenkeu 1169/1991”)[4] Pasal 3 Kepmenkeu 1169/1991[5] Pasal 10 Kepmenkeu 1169/1991[6] Pasal 12 Kepmenkeu 1169/1991[7] Pasal 11 ayat (1) Kepmenkeu 1169/1991[8] Pasal 11 ayat (2) Kepmenkeu 1169/1991[9] Pasal 16 ayat (1) Kepmenkeu 1169/1991[10] Pasal 16 ayat (2) Kepmenkeu 1169/1991" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hal perusahaan pembiayaan melakukan unit usaha operating lease dan dari keseluruhan unit yang telah disewa guna usahakan tersebut sudah habis masa sewanya, apakah perusahaan pembiayaan dapat melakukan penjualan (kredit) atas unit ex operating lease tersebut kepada karyawan internal tanpa melalui mekanisme penjualan lelang secara umum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pengertian Leasing\n\nIstilah leasing berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata “lease” yang berarti sewa-menyewa. Pada dasarnya, leasing adalah bentuk derivatif dari sewa menyewa yang kemudian berkembang dalam bentuk khusus serta mengalami perubahan fungsi menjadi salah satu jenis pembiayaan. Dalam bahasa Indonesia, leasing sering diistilahkan dengan sewa guna usaha.[1]\nLeasing atau sewa guna usaha adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus, serta yang didirikan, bekerja, dan berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba di bidang pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.[2]\n\nMenurut Abdul Halim dalam bukunya berjudul Analisis Kelayakan Investasi Bisnis (Kajian dari Aspek Keuangan) pengertian sewa guna usaha adalah suatu perjanjian atau kontrak antara lessor (pemilik peralatan) dengan lessee (pengguna peralatan) untuk menyewakan suatu aset misalnya mesin dan peralatan pabrik, gedung, kendaraan, mesin fotokopi, komputer dan sebagainya (hal. 169).\nSecara yuridis, berdasarkan Pasal 1 huruf c Permenkeu 84/2006, sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha/lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.\n\nAdapun yang dimaksud dengan penyewa guna usaha/lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari perusahaan pembiayaan/lessor.[3] Sedangkan lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa guna usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa guna usaha.[4]\nKriteria Operating Lease\n\nBerdasarkan Pasal 4 Kepmenkeu 1169/1991, kegiatan sewa guna usaha digolongkan sebagai sewa guna usaha tanpa hak opsi/operating lease apabila memenuhi semua kriteria berikut:\n\njumlah pembayaran sewa guna usaha selama masa sewa guna usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;perjanjian sewa guna usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.\n\nOpsi sendiri adalah hak lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa guna usaha.[5] Jadi, dapat kami simpulkan bahwa dalam operating lease, lessee tidak memiliki hak untuk membeli barang perusahan pembiayaan atau memperpanjang jangka waktu perjanjian operating lease.\n\nKemudian, barang yang dapat di-lease pada prinsipnya harus dimiliki oleh perusahaan leasing di Indonesia dan diambil dari produksi dalam negeri. Pengecualian hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan departemen teknis yang bersangkutan.[6]\n\nLebih lanjut, sebagai informasi, sepanjang perjanjian sewa guna usaha masih berlaku, hak milik atas barang modal objek transaksi sewa guna usaha berada pada perusahaan pembiayaan.[7]\n\nLantas, dalam hal masa sewa atau perjanjian sewa operating lease sudah tidak berlaku (habis), apakah perusahaan pembiayaan dapat melakukan penjualan atas bekas unit operating lease kepada karyawan internal tanpa melalui mekanisme penjualan lelang?\n\nBerkaitan dengan hal tersebut, kami asumsikan sewa guna usaha tanpa hak opsi yang digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu telah berakhir, dan lessee telah membayar harga sewa untuk objek leasing.\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana telah dijelaskan, leasing dalam perspektif hukum perjanjian merupakan kontrak baku atau perjanjian standar yang mempunyai dua kategori pembiayaan yaitu finance lease dan operating lease. Dalam perspektif hukum perjanjian, operating lease memiliki aspek perjanjian sewa menyewa sedangkan finance lease lebih sesuai dengan aspek jual beli. Leasing sebagai perjanjian baku berlaku sesuai dengan kebebasan berkontrak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata dan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata.[8]\n\nBerkaitan dengan asas kebebasan berkontrak dan syarat sah perjanjian, Anda dapat membaca artikel Asas-asas dalam Pasal 1338 KUH Perdata dan Pasal 1320 KUH Perdata tentang Syarat Sah Perjanjian.\n\nSerupa halnya dengan perjanjian leasing yang tunduk pada KUH Perdata, jika masa sewa atau perjanjian sewa operating lease sudah tidak berlaku (habis), menurut hemat kami perusahaan pembiayaan boleh saja melakukan penjualan atas bekas unit operating lease kepada karyawan internalnya tanpa melalui mekanisme penjualan lelang, selama perbuatan jual-beli yang dilakukan perusahaan pembiayaan dengan karyawan internalnya memenuhi persyaratan perjanjian jual beli yang sesuai dengan Pasal 1338 dan 1320 KUH Perdata. Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dinyatakan syarat sah perjanjian (dalam hal ini perjanjian jual-beli) ialah jika terdapat kesepakatan, para pihak yang cakap, adanya hal tertentu, dan sebab yang halal.\n\nBaca juga: Begini Hak Opsi dalam Sewa Guna Usaha (Leasing)\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25725/peraturan-menteri-keuangan-nomor-84pmk0122006-tahun-2006/??utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pmk_84_2006)\n3. [Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt508750acd8a9e/keputusan-menteri-keuangan-nomor-1169-kmk01-1991-tahun-1991/??utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kmk_1169_1991)\n4. [Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor PENG-307/DJM/III.1/7/1974 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt53ba112c5dfc4/pengumuman-direktur-jenderal-moneter-nomor-peng-307-djm-iii1-7-1974-tahun-1974/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pengumuman_dirjen_moneter_307_1974)\nREFERENSI:\n1. Abdul Halim. Analisis Kelayakan Investasi Bisnis (Kajian dari Aspek Keuangan). Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009\n2. Sudjana. Perlindungan Terhadap Lessee Usaha dalam Perjanjian Sewa Guna sebagai Kontrak Baku. Res Nullius Law Journal, Vol. 5, No. 2, 2023.\n\n[1] Sudjana. Perlindungan Terhadap Lessee Usaha dalam Perjanjian Sewa Guna sebagai Kontrak Baku. Res Nullius Law Journal, Vol. 5, No. 2, 2023, hal. 137[2] Sudjana. Perlindungan Terhadap Lessee Usaha dalam Perjanjian Sewa Guna sebagai Kontrak Baku. Res Nullius Law Journal, Vol. 5, No. 2, 2023, hal. 138[3] Pasal 1 huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK. 012/2006 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan (“Permenkeu 84/2006”)[4] Pasal 1 huruf d Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 Tahun 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) (“Kepmenkeu 1169/1991”)[5] Pasal 1 huruf o Kepmenkeu 1169/1991[6] Angka 4 sub 4.2 huruf a Pengumuman Direktur Jenderal Moneter Nomor PENG-307/DJM/III.1/7/1974 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Leasing[7] Pasal 3 ayat (3) Permenkeu 84/2006[8] Sudjana. Perlindungan Terhadap Lessee Usaha dalam Perjanjian Sewa Guna sebagai Kontrak Baku. Res Nullius Law Journal, Vol. 5, No. 2, 2023, hal. 151" }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian, kami memiliki beberapa hal untuk dikonfirmasi sebagai berikut:\n\nApakah pelaku usaha pemegang API-U dimungkinkan untuk mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong (spare part) untuk kegiatan purna jual alat telekomunikasi?\nAdakah pembatasan bahan baku dan/atau bahan penolong yang dapat diimpor oleh Pelaku Usaha pemegang API-U?\nApakah spare part termasuk bahan yang dibatasi untuk diimpor oleh pelaku usaha pemegang API-U?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu apa itu impor dan bagaimana ketentuan impor di Indonesia. Pada dasarnya, impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.[1] Sedangkan importir adalah orang perseorangan, lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan impor.[2]\nKemudian, menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) Permendag 36/2023, importir wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (“NIB”) yang berlaku sebagai Angka Pengenal Impor (“API”). Adapun yang dimaksud dengan NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.[3] Sedangkan API adalah tanda pengenal sebagai importir.[4]\n\nLalu, NIB yang berlaku sebagai API terdiri atas:[5]\n\nAngka Pengenal Importir Umum (“API-U”), yaitu tanda pengenal importir yang hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan impor barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan atau dipindahtangankan;[6] danAngka Pengenal Importir Produsen (“API-P”), yaitu tanda pengenal sebagai importir yang hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan impor barang tertentu untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.[7]\nSesuai dengan pertanyaan Anda, dapat disimpulkan bahwa NIB yang berlaku sebagai API-U hanya diberikan kepada badan usaha yang melakukan impor barang untuk tujuan diperdagangkan atau dipindahtangankan.\nPengertian Bahan Baku dan Bahan Penolong\n\nBerdasarkan Pasal 1 angka 2 PP 28/2021, bahan baku adalah bahan mentah, barang setengah jadi, atau barang jadi yang dapat diolah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang mempunyai nilai ekonomi yang lebih tinggi. Sedangkan definisi bahan penolong dapat Anda temukan pada Pasal 1 angka 3 PP 28/2021, yaitu bahan yang digunakan sebagai pelengkap dalam proses produksi untuk menghasilkan produk yang fungsinya sempurna sesuai parameter produk yang diharapkan.\n\nLalu, apa itu spare part? Suku cadang atau yang dikenal dengan spare part adalah suatu alat yang mendukung pengadaan barang yang digunakan dalam proses produksi, atau suatu alat yang menggantikan komponen yang mengalami kerusakan pada unit mesin.[8]\n\nDalam pengertian lain, menurut Supandi, suku cadang adalah komponen atau barang pengganti yang sangat diperlukan pada mesin yang mengalami kerusakan. Jadi, suku cadang juga merupakan faktor pelengkap/komplementer untuk menjamin kesiapan mesin atau peralatan yang beroperasi lagi setelah mengalami perbaikan.[9]\n\nDari pengertian di atas, dapat kami simpulkan bahwa suku cadang/spare part tidak diatur secara gamblang dalam peraturan perundang-undangan, namun dari definisi tersebut, spare part termasuk dalam bahan penolong, karena digunakan sebagai pelengkap/komplementer untuk mesin atau alat dalam proses produksi.\nBahan Baku dan/atau Penolong yang Diimpor Pelaku Usaha API-U\n\nPada dasarnya, menurut Pasal 19 ayat (1) PP 46/2023, impor bahan baku dan/atau bahan penolong dilakukan oleh perusahaan industri yang memiliki NIB yang berlaku sebagai angka pengenal importir produsen. Lalu, impor bahan baku dan/atau bahan penolong tersebut dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki NIB yang berlaku sebagai API-U.[10] Akan tetapi, pelaku usaha yang memiliki NIB sebagai API-U tidak dapat mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[11]\n\nAdapun yang dimaksud dengan \"bahan baku dan/atau bahan penolong tertentu\" adalah bahan baku dan/atau bahan penolong yang diatur dan ditetapkan peredaran dan pengawasannya secara khusus atau diatur importasinya, seperti gula kristal mentah (raw sugar), semen clinker, dan/atau limbah non B3 sebagai bahan baku industri (sisa dan skrap).[12]\n\nLantas, apakah pelaku usaha pemegang API-U dimungkinkan untuk mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong untuk kegiatan purna jual? Menurut Pasal 19A ayat (1) PP 46/2023, untuk mendorong investasi, selain dapat mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) PP 46/2023, perusahaan industri (importir) dapat mengimpor barang jadi untuk keperluan komplementer, tes pasar, atau pelayanan purna jual.\n\nLebih lanjut, layanan purna jual atau after sales service adalah tanggung jawab penjual atas kualitas barang yang dijualnya yang dapat diberikan dalam bentuk konsultasi lanjutan atau garansi berupa penggantian barang rusak, pemeliharaan, penyediaan suku cadang dan sebagainya.[13]\n\nMaka menjawab pertanyaan pertama, pelaku usaha pemegang API-U dimungkinkan untuk mengimpor bahan baku dan/atau bahan penolong (dalam hal ini spare parts) dan mengimpor barang jadi untuk kegiatan atau layanan purna jual.\n\nLalu, sesuai dengan pertanyaan Anda, apakah spare part telekomunikasi bisa diimpor pelaku usaha pemegang API-U untuk layanan purna jual? Kami memiliki keterbatasan informasi mengenai jenis alat telekomunikasi apa yang Anda maksud. Walau demikian, berdasarkan Lampiran II Permendag 8/2024, terdapat barang yang dapat diimpor dalam keadaan tidak baru misalnya:\n\ninstrumen dan aparatus lainnya, dirancang secara khusus untuk telekomunikasi (misalnya, cross-talk meter, instrumen pengukur penguatan, pengukur faktor distorsi, psophometer) (hal.71);transformator elektrik, konverter statis (misalnya, rectifier) dan inductor, misalnya untuk mesin pengolah data otomatis dan unitnya, dan aparatus telekomunikasi (hal.63);\n\nyang dapat diimpor oleh pelaku usaha pemegang (importir) API-P.\n\nDengan demikian sepanjang penelusuran kami, belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kegiatan impor spare part telekomunikasi oleh importir API-U.\n\nLalu, menjawab pertanyaan Anda yang kedua mengenai bahan penolong yang dapat diimpor oleh importir API-U, pada dasarnya Lampiran Permendag 8/2024 tidak menyebutkan secara gamblang mengenai bahan penolong atau komplementer apa yang dapat diimpor oleh importir API-P atau importir API-U. Akan tetapi, menurut hemat kami, jika dilihat dari sifat bahannya, contoh dari bahan penolong atau bahan komplementer yang dapat diimpor oleh importir API-P atau API-U dapat kita lihat pada Lampiran I Permendag 8/2024, yaitu:\n\nbatu bata, blok, ubin, ubin, paving, dan keramik lainnya (hal. 308-309);kaca lembaran seperti kaca tuang dan rolled glass, kaca apung, dan lainnya (hal. 312-314).\n\nHal tersebut sekaligus menjawab pertanyaan ketiga Anda, mengenai apakah spare part termasuk bahan yang dibatasi untuk diimpor oleh importir API-U? Sebagaimana telah kami sampaikan, batasan mengenai barang spare part yang boleh diimpor oleh importir API-U tidak diatur secara gamblang di peraturan perundang-undangan, namun, terdapat barang komplementer yang boleh diimpor importir API-U seperti berbagai jenis keramik dan kaca lembaran.\n\nSelengkapnya mengenai ketentuan uraian barang yang bisa diimpor oleh API-P dan API-U dapat Anda baca pada Lampiran I s.d. VII Permendag 8/2024.\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60323da1f146c/peraturan-pemerintah-nomor-28-tahun-2021/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_28_2021)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65167890f24bb/peraturan-pemerintah-nomor-46-tahun-2023/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_46_2023)\n3. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt657a635e47c5e/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-36-tahun-2023/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_36_2023)\n4. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65f00406aaa81/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_3_2024)\n5. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6632e986a5b04/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_7_2024)\n6. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt664aa86780fb4/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_8_2024)\nREFERENSI:\n1. Ahmad Arifin dan Butet Limbong. Sistem Informasi Perhitungan Suku Cadang (Spare part) Dalam Satu Mesin Produksi. Jurnal Sisfotek Global, Vol. 6, No. 2, 2016\n2. Raden Ajeng Astari Sekarwatia dan Susilowati Suparto. Perlindungan Konsumen untuk Memperoleh Hak Layanan Purna Jual di Indonesia dan Eropa. Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 5, No. 2, 2021\n3. Tukhas Shilul Imaroh dan Insan Ahmad Soleh. Analisis Pencapaian Key Performance Indicator (KPI) pada System Application and Product (SAP) PT. GMF Aeroasia Tbk. Management Scientific Journal, Vol. 10, No. 2, 2020.\n\n[1] Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan Pengaturan Impor (“Permendag 36/2023”)[2] Pasal 1 angka 7 Permendag 36/2023[3] Pasal 1 angka 11 Permendag 36/2023[4] Pasal 1 angka 12 Permendag 36/2023[5] Pasal 2 ayat (2) Permendag 36/2023[6] Pasal 1 angka 13 Permendag 36/2023[7] Pasal 1 angka 14 Permendag 36/2023[8] Ahmad Arifin dan Butet Limbong. Sistem Informasi Perhitungan Suku Cadang (Spare part) Dalam Satu Mesin Produksi. Jurnal Sisfotek Global, Vol. 6, No. 2, 2016, hal. 76- 77[9] Tukhas Shilul Imaroh dan Insan Ahmad Soleh. Analisis Pencapaian Key Performance Indicator (KPI) PadaSystem Application and Product (SAP) PT. GMF Aeroasia Tbk. Management Scientific Journal, Vol. 10, No. 2, 2020, hal. 154[10] Pasal 19 ayat (1a) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perindustrian (“PP 46/2023”)[11] Pasal 19 ayat (1b) PP 46/2023[12] Penjelasan Pasal 19 ayat (1b) PP 46/2023[13] Raden Ajeng Astari Sekarwatia dan Susilowati Suparto. Perlindungan Konsumen untuk Memperoleh Hak Layanan Purna Jual di Indonesia dan Eropa. Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 5, No. 2, 2021, hal. 276" }
{ "from": "human", "value": "Apakah setiap gedung di Indonesia harus memiliki jalur evakuasi jika terjadi bencana seperti kebakaran atau gempa bumi?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITYang Bisa Dilakukan Jika Bangunan Berpotensi Roboh09 Feb 2022Perumahan Kena Banjir, Bisakah Gugat Developer?19 Jan 2022Kewajiban Developer Apartemen dalam Masa Transisi06 Jan 2022Dinding Apartemen Retak, Tanggung Jawab Siapa?31 Des 2021\n\nTerletak pada pertemuan tiga lempeng yaitu lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Pasifik, Indonesia rawan terjadi bencana gempa bumi. Ditambah lagi, dengan kemungkinan potensi bahaya kebakaran. Oleh karena itu, bangunan gedung berpotensi menghadapi bahaya bencana alam maupun bencana non alam.\n\nBerdasarkan data BPS Provinsi DKI Jakarta, pada laman berjudul Jumlah Peristiwa Kebakaran Menurut Benda yang Terbakar dan Kota Administrasi di Provinsi DKI Jakarta 2018-2020, di DKI Jakarta jumlah kebakaran pada tahun 2018 hingga tahun 2020 naik cukup tinggi, yaitu untuk perumahan pada tahun 2018 sejumlah 552 kasus dan tahun 2020 mencapai 1898 kasus. Kemudian untuk bangunan umum tahun 2018 sejumlah 262 kasus dan tahun 2020 meningkat menjadi 429 kasus.\nMaka dari itu, bangunan gedung harus memenuhi standar teknis bangunan gedung sebagaimana diatur PP 16/2021.\n\nBaca juga: Rincian Standar Teknis Bangunan Gedung Menurut UU Cipta Kerja\nJalur Evakuasi Bangunan Gedung\n\nSalah satu pemeriksaan keandalan bangunan gedung adalah pemenuhan persyaratan keselamatan bangunan gedung[1] untuk mengetahui kondisi nyata mengenai: [2]\n\nsistem struktur bangunan gedung;sistem proteksi kebakaran;sistem proteksi petir;sistem instalasi listrik; danjalur evakuasi (mean of egress).\n\nSalah satu pemeriksaan sistem proteksi kebakaran adalah sarana penyelamatan yang merupakan akses eksit, eksit, keandalan sarana jalan keluar, pintu, ruang terlindung dan proteksi tangga, jalur terusan eksit, kapasitas sarana jalan keluar, jarak tempuh eksit, jumlah sarana jalan keluar, susunan sarana jalan keluar, eksit pelepasan, iluminasi sarana jalan keluar, pencahayaan darurat, penandaan sarana jalan keluar, sarana penyelamatan sekunder, rencana evakuasi, sistem peringatan bahaya bagi pengguna, area tempat berlindung (refuge area), titik berkumpul, dan lift kebakaran.[3]\nPemeriksaan sistem proteksi kebakaran, keselamatan dan kesehatan kerja, instalasi listrik, dan pengendalian dampak lingkungan dilakukan dengan melibatkan instansi terkait.[4] Instansi terkait yang dimaksud dalam pemeriksaan sistem proteksi kebakaran adalah Dinas Pemadam Kebakaran.\n\nSelanjutnya, pengaturan sistem proteksi kebakaran diatur secara lebih rinci dalam:\n\nPermen PU 25/PRT/M/2008 yang mengatur Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran disusun oleh Bupati/Walikota dan khusus untuk DKI Jakarta disusun oleh Gubernur untuk menindaklanjuti RTRW pada bidang pencegahan dan penanggulangan kebakaran serta bencana lain.[5]Permen PU 26/PRT/M/2008 yang mengatur pedoman dalam mewujudkan penyelenggara bangunan gedung yang aman terhadap bahaya kebakaran.[6]Permen PU 20/PRT/M/2009 yang mengatur manajemen proteksi kebakaran di perkotaan yang diatur meliputi:[7]\nproteksi kebakaran di kota;proteksi kebakaran di lingkungan termasuk ketentuan mengenai Sistem Ketahanan Kebakaran Lingkungan (SKKL); danproteksi kebakaran di bangunan gedung termasuk panduan penyusunan model Rencana Tindakan Darurat Kebakaran (RTDK/Fire Emergency Plan) pada bangunan gedung, serta pembinaan dan pengendaliannya.\nRuang lingkup persyaratan teknis sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan meliputi:[8]\n\nketentuan umum;akses dan pasokan air untuk pemadaman kebakaran;sarana penyelamatan;sistem proteksi kebakaran pasif;sistem proteksi kebakaran aktif;utilitas bangunan gedung;pencegahan kebakaran pada bangunan gedung;pengelolaan sistem proteksi kebakaran pada bangunan gedung; danpengawasan dan pengendalian.\n\nSetiap bangunan gedung harus dilengkapi dengan sarana jalan ke luar yang dapat digunakan oleh penghuni bangunan gedung, sehingga memiliki waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri dengan aman tanpa terhambat hal-hal yang diakibatkan oleh keadaan darurat.[9]\n\nSarana jalan ke luar dari bangunan gedung harus disediakan agar penghuni bangunan gedung dapat menggunakannya untuk penyelamatan diri dengan jumlah, lokasi dan dimensi sesuai dengan: [10]\n\njarak tempuh;jumlah, mobilitas dan karakter lain dari penghuni bangunan gedung; fungsi atau penggunaan bangunan gedung; tinggi bangunan gedung; danarah sarana jalan ke luar apakah dari atas bangunan gedung atau dari bawah level permukaan tanah.\n\nJalan ke luar harus ditempatkan terpisah dengan memperhitungkan: [11]\njumlah lantai bangunan gedung yang dihubungkan oleh jalan ke luar tersebut; sistem proteksi kebakaran yang terpasang pada bangunan gedung; fungsi atau penggunaan bangunan gedung; jumlah lantai yang dilalui; dantindakan petugas pemadam kebakaran.\nSebagai contoh, ketika berada di gedung-gedung seperti hotel, perkantoran, mal, tak jarang kita melihat ada tanda informasi berupa denah atau rambu jalur evakuasi serta pedoman evakuasi, misalnya gambar seperti di bawah ini:\nGambar: Simbol untuk arah eksit darurat\n\nPentingnya persyaratan teknis setiap bangunan gedung merupakan bagian dari mitigasi bencana sehingga mencegah atau meminimalkan akibat bencana termasuk bahaya kebakaran. Namun demikian, kewajiban penyelenggara bangunan gedung juga perlu didukung partisipasi masyarakat untuk mentaati setiap petunjuk yang telah disediakan. Sebagai tips, jika berada pada bangunan terutama bangunan bertingkat tinggi selalu perhatikan informasi setiap arah evakuasi sebagai antisipasi jika terjadi keadaan darurat.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603228e75f11a/nprt/lt511b483380c29/peraturan-pemerintah-nomor-16-tahun-2021)\n2. [Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4b0a34b491728/peraturan-menteri-pekerjaan-umum-nomor-25prtm2008-tahun-2008/document)\n3. [Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt500e43a0914a9/peraturan-menteri-pekerjaan-umum-nomor-26-prt-m-2008-tahun-2008)\n4. [Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt529445149626c/peraturan-menteri-pekerjaan-umum-nomor-20-prt-m-2009-tahun-2009)\nREFERENSI:\n1. BPS Provinsi DKI Jakarta. Jumlah Peristiwa Kebakaran Menurut Benda yang Terbakar dan Kota Administrasi di Provinsi DKI Jakarta 2018-2020, yang diakses pada 15 Maret 2022, pukul 17.00 WIB.\n\n[1] Pasal 215 ayat (5) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (“PP 16/2021”)[2] Pasal 220 ayat (1) PP 16/2021[3] Pasal 220 ayat (5) huruf b PP 16/2021[4] Pasal 228 ayat (1) PP 16/2021[5] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran[6] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem Proteksi Kebakaran Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan (“Permen PU 26/PRT/M/2008”)[7] Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2009 tentang Pedoman Teknis Manajemen Proteksi Kebakaran di Perkotaan[8] Pasal 3 ayat (1) Permen PU 26/PRT/M/2008[9] Bab III Lampiran Permen PU 26/PRT/M/2008, hal. 33[10] Bab III Lampiran Permen PU 26/PRT/M/2008, hal. 33[11] Bab III Lampiran Permen PU 26/PRT/M/2008, hal. 33" }
{ "from": "human", "value": "Saya punya rekan kerja sudah kontrak kerja yang ke-5. Pada saat yang keenam perusahaan mengatakan harus diputus karena peraturan ketenagakerjaan saat ini membatasi hanya 5 kali kontrak saja. Apakah benar demikian?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITPKWT Tidak Didaftarkan ke Disnaker, Ini Akibat Hukumnya!27 Mei 2024Haruskah Resign Jika Menolak Memperpanjang PKWT?31 Agt 2023Kontrak Diperpanjang, Karyawan PKWT Berhak Dapat THR?20 Apr 2022Aturan Perpanjangan dan Pembaruan PKWT Pasca UU Cipta Kerja06 Jan 2022\n\nKami asumsikan bahwa rekan Anda bekerja dengan dasar perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”). PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[1]\n\nPKWT hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Adapun ketentuannya adalah sebagai berikut:[2]\n\npekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;pekerjaan yang bersifat musiman;pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; ataupekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.\nPKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Apabila PKWT dilaksanakan tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut, maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).[3]\n\nLebih lanjut, PKWT dibagi menjadi dua kategori, yaitu:[4]\n\nPKWT berdasarkan jangka waktu dibuat untuk pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama, bersifat musiman, atau pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat untuk pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya. Selain itu, dapat pula dilaksanakan pada pekerjaan tertentu lainnya yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.\nKetentuan Perpanjangan PKWT\nLalu, perpanjangan PKWT berapa kali? PKWT berdasarkan jangka waktu dilaksanakan paling lama 5 tahun. Dalam hal jangka waktu PKWT akan berakhir dan pekerjaan yang dilaksanakan belum selesai maka dapat dilakukan perpanjangan PKWT dengan jangka waktu sesuai kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh, dengan ketentuan jangka waktu keseluruhan PKWT beserta perpanjangannya tidak lebih dari 5 tahun.[5]\n\nSementara itu, PKWT berdasarkan selesainya suatu pekerjaan tertentu didasarkan atas kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja. Jika pekerjaan dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang disepakati, maka PKWT putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan. Sedangkan, jika PKWT belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang disepakati, maka PKWT dapat dilakukan perpanjangan sampai batas waktu tertentu hingga selesainya pekerjaan.[6]\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa PKWT rekan Anda berdasarkan jangka waktu dan dengan asumsi jangka waktu PKWT rekan Anda adalah 1 tahun dan telah diperpanjang sebanyak 5 kali atau selama 5 tahun. Sehingga jika ditinjau dari segi jangka waktu, pelaksanaan PKWT tersebut sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu pelaksanaan PKWT tidak lebih dari 5 tahun.\n\nTerhadap pekerja dengan PKWT yang hubungan kerjanya berakhir, pengusaha wajib memberikan uang kompensasi dengan syarat telah mempunyai masa kerja minimal 1 bulan secara terus menerus. Apabila PKWT diperpanjang, uang kompensasi diberikan saat selesainya jangka waktu PKWT sebelum perpanjangan dan terhadap jangka waktu perpanjangan PKWT, uang kompensasi berikutnya diberikan setelah perpanjangan jangka waktu PKWT berakhir atau selesai. Namun, pemberian uang kompensasi tidak berlaku bagi tenaga kerja asing.[7]\nAdapun besaran uang kompensasi rekan Anda dengan masa kerja 5 tahun secara terus menerus dapat dihitung dengan rumus (masa kerja/12) x 1 bulan upah.[8]\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanijan Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n[1] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)[2] Pasal 81 angka 15 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[3] Pasal 81 angka 15 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 PP 35/2021[5] Pasal 8 ayat (1) dan (2) PP 35/2021[6] Pasal 9 ayat (1), (3), dan (4) PP 35/2021[7] Pasal 15 PP 35/2021[8] Pasal 16 ayat (1) huruf c PP 35/2021" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah ada standar lead time pembuatan legalitas bisnis baru terhadap timing masspro? (Misalnya perizinan harus diselesaikan 1 tahun sebelum masspro). 2. Terkait pembelian mesin dan lain-lain, karena ini adalah penunjang untuk produksi part motor electric, apakah ada fasilitas lain dari pemerintah seperti keringanan pajak, discount, etc. Sebagai informasi perusahaan kami adalah perusahaan yang berada di kawasan berikat." }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITDapatkah Menimbun Barang Impor dan Lokal di Gudang Berikat?19 Des 2022Perizinan Berusaha untuk Penjualan Dolomit dalam Negeri28 Nov 2022Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Masihkah Izin Komersial/Operasional Diperlukan?28 Des 2021Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Begini Penjelasannya12 Apr 2021\n\nSebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami asumsikan motor elektrik yang Anda maksud adalah motor listrik, yakni sebuah motor yang mengubah arus listrik menjadi gerak maupun mekanik dari pada rotor yang di dalamnya.[1]\n\nIndustri motor listrik tergolong dalam kode KBLI 27111. Kelompok ini mencakup usaha pembuatan motor listrik dan komponen atau bagiannya, seperti motor AC, motor DC, stator, rotor, brush dan commutator, kecuali mesin pembakaran dalam untuk menyalakan motor. Industri motor listrik ini termasuk dalam usaha dengan tingkat risiko menengah rendah.\nUntuk kegiatan usaha dengan risiko menengah rendah, pelaku usaha harus memiliki perizinan berusaha berupa Nomor Induk Berusaha (“NIB”) dan sertifikat standar.[2] NIB adalah bukti registrasi atau pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.[3] Sedangkan sertifikat standar merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan pelaku usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha yang diberikan melalui Sistem OSS atau Online Single Submission.[4]\nAdakah Lead Time Antara Perizinan Berusaha dengan Produksi Massal?\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait adakah lead time antara perizinan berusaha dengan waktu produksi massal, misalnya perizinan harus diselesaikan 1 tahun sebelum masspro, berdasarkan penelusuran kami untuk sektor industri motor listrik KBLI 27111 dengan risiko menengah rendah, dalam PP 5/2021 dan Lampiran I PP 5/2021 tidak ditentukan mengenai lead time antara perizinan berusaha dengan waktu produksi massal.\nPerizinan berusaha yang telah dimiliki oleh pelaku usaha menjadi dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha.[5] Artinya, untuk melakukan kegiatan usahanya, pelaku usaha harus sudah memiliki perizinan berusaha yang telah ditentukan yaitu NIB dan sertifikat standar.\n\nSelain itu, terdapat kewajiban berusaha yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Kami asumsikan bahwa industri motor listrik yang Anda maksud adalah skala usaha besar yang harus memenuhi syarat sebagai berikut.[6]\n\nMenjamin keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, serta pengangkutan;Mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan;Memiliki akun Sistem Informasi Industri Nasional;Menyampaikan data industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala yang disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional;Memenuhi Standar Industri Motor Listrik;Memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib (bagi produk yang telah diberlakukan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib).\n\nJika pelaku usaha tidak memiliki perizinan berusaha maka menurut Pasal 405 ayat (1) PP 5/2021, pelaku usaha dapat dikenai sanksi administratif berupa:\n\nperingatan tertulis;denda administratif; dan/ataupenutupan sementara.\nAturan Perusahan di Kawasan Berikat\n\nMenurut Pasal 1 angka 3 PP 85/2015, kawasan berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.\n\nUntuk menjawab pertanyaan kedua, Anda menyebutkan soal ‘pembelian mesin untuk produksi motor listrik’ dan 'fasilitas apa yang diberikan pemerintah’ bagi usaha Anda yang berada di kawasan berikat.\n\nBerdasarkan Pasal 14 PP 85/2015 terdapat beberapa ketentuan mengenai fasilitas dari pemerintah dalam hal pajak terhadap barang yang dimasukkan ke kawasan berikat sebagai berikut.\n\nBarang yang dimasukkan dari luar daerah pabean ke kawasan berikat.[7]diberikan penangguhan bea masuk;tidak dipungut pajak dalam rangka impor; dan/ataudiberikan pembebasan cukai.Barang yang dimasukkan dari tempat penimbunan berikat ke kawasan berikat.[8]barang asal luar daerah pabean:\n\ndiberikan penangguhan bea masuk;tidak dipungut pajak dalam rangka impor;diberikan pembebasan cukai; dan/atautidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ;\n\nbarang asal tempat lain dalam daerah pabean, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah .\nBarang yang dimasukkan dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), kawasan bebas, atau kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai ketentuan perundang-undangan ke kawasan berikat.[9]barang asal luar daerah pabean:\n\ndiberikan penangguhan bea masuk;tidak dipungut pajak dalam rangka impor;diberikan pembebasan cukai; dan/atautidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;\n\nbarang asal tempat lain dalam daerah pabean, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.\nBarang yang dimasukkan dari tempat lain dalam daerah pabean ke kawasan berikat tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.[10]\n\nPerlu Anda catat bahwa barang-barang sebagaimana dimaksud di atas bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di kawasan berikat yang bersangkutan.[11]\n\nBaca juga: Dapatkah Menimbun Barang Impor dan Lokal di Gudang Berikat?\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\nDASAR HUKUM:\n1. [Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt49e84ee497a14?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_32_2009)\n2. [Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5677e237c842c/peraturan-pemerintah-nomor-85-tahun-2015?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_85_2015)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032548acffe0/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\nREFERENSI:\n1. Denny R. Pattiapon (et al.), Penggunaan Motor Sinkron Tiga Phasa Tipe Salient Pole Sebagai Generator Sinkron, Jurnal Simetrik Vol. 9, No. 2, Desember 2019\n2. KBLI, 27111, yang diakses pada Senin, 20 Februari 2023, 08.21 WIB\n3. OSS, yang diakses pada Senin, 20 Februari 2023, 19.03 WIB.\n\n[1] Denny R. Pattiapon (et al.), Penggunaan Motor Sinkron Tiga Phasa Tipe Salient Pole Sebagai Generator Sinkron, Jurnal Simetrik Vol. 9, No. 2, Desember 2019, hal. 198.[2] Pasal 13 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”).[3] Pasal 1 angka 12 PP 5/2021.[4] Pasal 13 ayat (2) PP 5/2021.[5] Pasal 13 ayat (3) PP 5/2021[6] Lampiran II – Sektor Perindustrian (A.4), KBLI 27111, PP 5/2021[7] Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (“PP 85/2015”)[8] Pasal 14 ayat (2) PP 85/2015[9] Pasal 14 ayat (4a) PP 85/2015[10] Pasal 14 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat[11] Pasal 14 ayat (8) PP 85/2015" }
{ "from": "human", "value": "Ada seorang wartawan menulis artikel yg menyudutkan suatu instansi tanpa konfirmasi. Setelah dicek di situs dewan pers, wartawan tersebut tidak terverifikasi tapi perusahaan medianya terverifikasi di dewan pers. Tapi, bagaimana kalau perusahaan medianya tidak terverifikasi di dewan pers termasuk wartawannya? Apakah tulisannya bukan termasuk karya jurnalistik?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Menyebarluaskan KTP Orang Lain 20 Okt 2022 Bolehkah Mempublikasikan Kejahatan Seseorang ke Media Sosial? 25 Agt 2021 Hukumnya Menyebarluaskan Koran Digital Berlangganan 08 Jun 2020 Bolehkah Advokat Merangkap Profesi Wartawan? 27 Des 2016 Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) beserta peraturan pelaksananya. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, dan menyalurkan informasi. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik , [2] yang meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis uraian yang tersedia. [3] Pendataan Perusahaan Pers oleh Dewan Pers Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen, yang melaksanakan fungsi salah satunya mendata perusahaan pers . [4] Berkaitan dengan fungsi tersebut, Pasal 22 ayat (1) Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/X/2019 Tahun 2019 tentang Standar Perusahaan Pers (“Peraturan Dewan Pers 3/2019”) mengatur: Dewan Pers melakukan pendataan perusahaan pers melalui verifikasi administrasi dan faktual, serta konten media. Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang benar bahwa Dewan Pers melakukan pendataan terhadap perusahaan pers. Berdasarkan hasil pendataan tersebut, perusahaan pers akan diberikan status berikut: terverifikasi administrasi dan faktual, bagi perusahaan pers yang lulus tahap verifikasi administrasi dan faktual; atau terverifikasi administrasi bagi yang lulus tahap verifikasi administrasi. Data beserta status perusahaan pers yang telah melalui proses pendataan tersebut dapat diakses di laman Data Perusahaan Pers . Wartawan Wajib Tersertifikasi Selanjutnya, oleh karena dibutuhkan standar untuk dapat menilai profesionalitas wartawan, Dewan Pers mengatur standar kompetensi wartawan yang dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/PERATURAN-DP/II/2010 Tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan (“Peraturan Dewan Pers 1/2010”) . Lampiran Peraturan Dewan Pers 1/2010 (hal. 6), diterangkan bahwa untuk mencapai standar kompetensi, seorang wartawan harus mengikuti uji kompetensi oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan, perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan jurnalistik. Wartawan yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi . Dalam hal wartawan lulus uji kompetensi dengan hasil dinyatakan kompeten, maka ia berhak menerima sertifikat dan kartu kompetensi karyawan yang diberikan oleh lembaga uji kompetensi karyawan yang ditandatangani oleh ketua lembaga uji kompetensi karyawan bersama ketua Dewan Pers. Sebagai informasi tambahan, nama beserta jenjang wartawan dapat dilihat di laman Sertifikasi Wartawan . Sedangkan nama lembaga uji kompetensi yang telah diverifikasi Dewan Pers dapat dilihat di Lembaga Uji Kompetensi . Jika Wartawan Menulis Artikel yang Dianggap Menyudutkan Pihak Lain Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, dalam hal wartawan menulis artikel yang berisi suatu muatan yang dianggap menyudutkan suatu instansi tanpa konfirmasi, kemudian artikel tersebut dimuat oleh perusahaan pers yang menaungi wartawan yang bersangkutan, maka instansi yang bersangkutan dapat menyampaikan hak jawab dan/atau koreksi, dan pers wajib melayaninya . [5] Yang dimaksud dengan hak jawab dan koreksi yaitu: Hak Jawab ialah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. [6] Hak Koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. [7] Jika pers tidak menanggapi, maka yang bersangkutan dapat mengadukan atau menyampaikan keberatan atas hal-hal yang terkait dengan karya dan/atau kegiatan jurnalistik, dalam hal ini yaitu isi artikel sebagaimana Anda maksud, kepada Dewan Pers . [8] Dalam hal yang diadukan berupa karya jurnalistik , maka pihak yang menjadi teradu adalah penanggungjawab media . [9] Adapun karya jurnalistik di sini berarti hasil kegiatan jurnalistik yang berupa tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, elektronik dengan menggunakan sarana yang tersedia. [10] Sedangkan jika terkait kegiatan jurnalistik, yang teradu adalah wartawan beserta penanggung jawab media yang bersangkutan. [11] Selain itu, Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 18 UU Pers mengatur bahwa perusahaan pers yang tidak menjalankan kewajibannya melayani hak jawab dapat dijerat sanksi pidana denda maksimal Rp500 juta. Terkait penyelesaian persoalan ini, Dewan Pers bersama dengan Kepolisian Republik Indonesia telah menyepakati Nota Kesepahaman Antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan (“Nota Kesepahaman”) . Pasal 4 ayat (2) Nota Kesepahaman , di mana Dewan Pers selaku Pihak Kesatu dan Kepolisian selaku Pihak Kedua, mengatur: PIHAK KEDUA, apabila menerima pengaduan dugaan perselisihan/sengketa, termasuk surat pembaca atau opini/kolom antara wartawan/media dengan masyarakat, akan mengarahkan yang berselisih/bersengketa dan/atau pengadu untuk melakukan langkah-langkah secara bertahap dan berjenjang mulai dari hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke PIHAK KESATU maupun proses perdata . Kemudian, dalam hal Polri menerima laporan masyarakat terkait adanya dugaan tindak pidana di bidang pers, maka terlebih dahulu dilakukan penyelidikan dan hasilnya dikoordinasikan dengan Dewan Pers untuk menyimpulkan perbuatan tersebut adalah tindak pidana atau pelanggaran kode etik jurnalistik. [12] Jika dari hasil koordinasi didapatkan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana, maka Dewan Pers menyerahkan kepada Polri untuk ditindaklanjuti dengan proses penyelidikan dan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. [13] Jadi menjawab pertanyaan Anda, upaya hukum pertama yang harus dilakukan instansi tersebut adalah mengadukan perbuatan tersebut ke Dewan Pers, untuk kemudian diselesaikan secara bertahap dan berjenjang mulai dari hak jawab, hak koreksi, pengaduan ke pihak kepolisian maupun proses perdata. Jika Perusahaan Pers Belum Terverifikasi atau Wartawan Belum Tersertifikasi Lalu, bagaimana jika ternyata perusahaan pers tersebut belum terverifikasi oleh Dewan Pers dan/atau wartawan yang bekerja di perusahaan tersebut belum tersertifikasi? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dilihat terlebih dahulu alasan mengapa perusahaan pers tersebut belum terverifikasi. Sebab, bisa jadi perusahaan tersebut telah mengajukan verifikasi ke Dewan Pers namun masih dalam proses verifikasi, sehingga status verifikasinya belum terbit. Adapun dalam hal wartawan belum tersertifikasi (belum mengikuti uji kompetensi), sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, secara hukum wartawan tersebut dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar kompetensi . Terkait karya jurnalistik yang Anda tanyakan, menurut hemat kami, suatu tulisan disebut sebagai karya jurnalistik jika dihasilkan dari kegiatan jurnalistik , yang meliputi hal-hal sebagaimana diterangkan di atas, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Pers dan Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers 3/2017 . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Peraturan Dewan Pers Nomor 1/PERATURAN-DP/II/2010 Tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/X/2019 Tahun 2019 tentang Standar Perusahaan Pers REFERENSI:\n1. Nota Kesepahaman Antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2/DP/MoU/II/2017 dan Nomor B/15/II/2017 tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan\n2. Data Perusahaan Pers , diakses pada Rabu, 22 September 2021 pukul 16.00 WIB\n3. Lembaga Uji Kompetensi , diakses pada Rabu, 22 September 2021 pukul 16.00 WIB\n4. Sertifikasi Wartawan , diakses pada Rabu, 22 September 2021 pukul 16.00 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) [2] Pasal 1 angka 4 UU Pers [3] Pasal 1 angka 1 UU Pers [4] Pasal 15 ayat (1) dan (2) huruf g UU Pers [5] Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU Pers [6] Pasal 1 angka 11 UU Pers [7] Pasal 1 angka 12 UU Pers [8] Pasal 1 angka 1, 2, dan 3 Peraturan Dewan Pers Nomor 03/Peraturan-DP/VII/2017 tentang Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers (“Peraturan Dewan Pers 3/2017”) [9] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Dewan Pers 3/2017 [10] Pasal 1 angka 5 Peraturan Dewan Pers 3/2017 [11] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Dewan Pers 3/2017 [12] Pasal 5 ayat (2) Nota Kesepahaman [13] Pasal 5 ayat (3) Nota Kesepahaman dewan pers kebebasan pers wartawan media & penyiaran uji kompetensi wartawan" }
{ "from": "human", "value": "PT A sebagai pemilik smelter khususnya untuk komoditi tembaga ingin bekerjasama dengan supplier ore/raw material dari pemegang Izin Pertambangan Rakyat (\"IPR\"). Pertanyaannya:\n\nPeraturan apa saja yang mendasari untuk pemegang IPR dalam menjalankan izin IPR, termasuk kewajiban perpajakannya?\nDalam hal pelaporan IPR, segala transaksi berada di kewenangan siapa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan pemegang Izin Pertambangan Rakyat (“IPR”) yang Anda maksud melaksanakan usaha pertambangan bidang tambang tembaga. Sebagai informasi, tembaga termasuk dalam golongan mineral logam.[1]\n\nApa yang dimaksud dengan Izin Pertambangan Rakyat (“IPR”)? Istilah IPR berasal dari terjemahan Bahasa Inggris, yaitu small-scale mining permit. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah mijnbouw mogelijk te maken, dan dalam bahasa Jerman disebut bergbau.[2] Pengertian IPR juga diatur dalam Pasal 1 angka 10 UU 3/2020, yaitu izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.\nSedangkan Wilayah Pertambangan Rakyat (“WPR”) adalah bagian dari wilayah pertambangan tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 35 PP 96/2021.\n\nKemudian, pada dasarnya IPR diberikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (“Menteri”) berdasarkan permohonan yang diajukan oleh orang perseorangan yang merupakan penduduk setempat, atau koperasi yang anggotanya merupakan penduduk setempat, sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) PP 96/2021. Lebih lanjut, permohonan IPR hanya dapat diajukan pada wilayah yang telah ditetapkan sebagai WPR.[3]\n\nJika pemohon IPR adalah orang perseorangan, berikut adalah persyaratan yang harus dipenuhi pemohon:[4]\n\nsurat permohonan;nomor induk berusaha;salinan kartu tanda penduduk;surat keterangan dari kelurahan/desa setempat yang menyatakan pemohon merupakan penduduk setempat;surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta keselamatan pertambangan; dansurat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.\n\nSedangkan, jika pemohon IPR adalah koperasi, pemohon harus memenuhi persyaratan, yang terdiri atas:[5]\n\nsurat permohonan;nomor induk berusaha;salinan kartu tanda penduduk pengurus koperasi;surat keterangan dari kelurahan/desa setempat yang menyatakan seluruh pengurus koperasi merupakan penduduk setempat;surat pernyataan kesanggupan untuk mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan serta keselamatan pertambangan; dansurat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.\n\nSebagai informasi, IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang 2 kali masing-masing 5 tahun.[6]\n\nBaca juga: Syarat Memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR)\nKewajiban Pemegang Izin Pertambangan Rakyat\n\nBerdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (“KBLI”), pertambangan bijih tembaga termasuk dalam nomor KBLI 07294. Baik pemohon IPR perseorangan maupun pemohon IPR koperasi wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:[7]\n\nPersyaratan Perizinan Berusaha\n\nSurat keterangan dari kelurahan atau desa setempat yang menyatakan seluruh pengurus koperasi atau orang perseorangan pemohon merupakan penduduk setempat;Surat pernyataan yang menyatakan mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup serta keselamatan pertambangan (untuk badan usaha perseorangan), atau kesanggupan pengelolaan lingkungan dan keselamatan pertambangan (untuk badan usaha koperasi); danTitik koordinat Wilayah Izin Usaha Pertambangan (“WIUP”).\nKewajiban Perizinan BerusahaKewajiban pengusahaan dan pelaporan secara sederhana; danMembayar IPERA.\n\nLebih lanjut, kewajiban pemegang IPR juga diatur dalam Pasal 70 UU 3/2020 yaitu:\n\nmelakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 bulan setelah IPR diterbitkan;mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku;mengelola lingkungan hidup bersama Menteri;membayar iuran pertambangan rakyat; danmenyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada Menteri.\n\nMenjawab pertanyaan Anda mengenai pelaporan, sebagaimana telah dijelaskan pada peraturan di atas, pemegang IPR wajib menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat kepada Menteri, dan pemegang IPR yang dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar, atau menyampaikan keterangan palsu dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.[8]\n\nKemudian, pada dasarnya pemegang IPR wajib melakukan kegiatan penambangan dalam jangka waktu paling lambat 3 bulan setelah IPR diterbitkan.[9] Namun, sebelum melakukan kegiatan penambangan, pemegang IPR wajib menyusun rencana penambangan berdasarkan dokumen pengelolaan WPR yang disusun oleh Menteri, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 ayat (2) PP 96/2021. Rencana penambangan tersebut harus paling sedikit memuat:[10]\n\nmetode penambangan;peralatan dan perlengkapan yang digunakan,jadwal kerja;kebutuhan personil; danbiaya atau permodalan.\n\nSelanjutnya, berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai kewenangan transaksi, kami asumsikan transaksi merupakan penjualan, yang artinya kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral.[11] Dengan demikian, pemegang IPR memiliki kewenangan untuk melakukan kegiatan penambangan, yang dalam hal ini penjualan. Selain itu, patut Anda catat, pemegang IPR dilarang memindahtangankan IPR kepada pihak lain berdasarkan Pasal 70A UU 3/2020.\n\nPerlu diketahui juga bahwa dalam melaksanakan kegiatan usaha pertambangan, pemegang IPR wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan sebagai berikut:[12]\ntidak menggunakan bahan peledak;tidak menggunakan bahan berbahaya beracun yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;tidak melakukan kegiatan penambangan dengan menggunakan metode penambangan bawah tanah bagi orang perseorangan; danmenerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik khususnya pengelolaan lingkungan dan keselamatan pertambangan.\nKewajiban Perpajakan bagi Wajib Pajak Pemegang IPR\n\nLantas, jenis pajak apa saja yang menjadi kewajiban pemegang IPR? Pemegang IPR wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah.[13] Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak.[14] Penerimaan pajak terdiri atas:[15]\n\npajak yang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; danbea dan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.\n\nSedangkan penerimaan negara bukan pajak terdiri atas:[16]\n\niuran tetap;iuran produksi;kompensasi data informasi; danpenerimaan negara bukan pajak lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nKemudian, pendapatan daerah terdiri atas:[17]\n\npajak daerah;retribusi daerah;iuran pertambangan rakyat; danlain-lain pendapatan daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nIuran pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud di atas menjadi bagian dari struktur pendapatan daerah berupa pajak dan/atau retribusi daerah yang penggunaannya untuk pengelolaan tambang rakyat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[18]\n\nDinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28851/undangundang-nomor-4-tahun-2009?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_4_2009)\n2. [Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5ee99c014ba3a?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_3_2020)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt614815d4f1925/peraturan-pemerintah-nomor-96-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_96_2021)\nREFERENSI:\n1. Faizal Aco. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Dampak Pencemaran Lingkungan Pada Pertambangan Emas Rakyat (Studi Kasus di Daerah Kabupaten Buru). Jurnal Enersia Publika, Vol. 1, No. 2, 2017\n2. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, yang diakses pada 10 Juni 2023, pukul 12.32 WIB.\n\n[1] Pasal 2 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP 96/2021”)[2] Faizal Aco. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Dampak Pencemaran Lingkungan Pada Pertambangan Emas Rakyat (Studi Kasus di Daerah Kabupaten Buru). Jurnal Enersia Publika, Vol. 1, No. 2, 2017, hal. 75[3] Pasal 62 ayat (1) PP 96/2021[4] Pasal 63 huruf a PP 96/2021[5] Pasal 63 huruf b PP 96/2021[6] Pasal 64 PP 96/2021[7] Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia, yang diakses pada 10 Juni 2023, pukul 12.32 WIB[8] Pasal 159 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU 3/2020”)[9] Pasal 65 ayat (1) PP 96/2021[10] Pasal 65 ayat (3) PP 96/2021[11] Pasal 1 angka 27 PP 96/2021[12] Pasal 66 PP 96/2021[13] Pasal 128 ayat (1) UU 3/2020[14] Pasal 128 ayat (2) UU 3/2020[15] Pasal 128 ayat (3) UU 3/2020[16] Pasal 128 ayat (4) UU 3/2020[17] Pasal 128 ayat (5) UU 3/2020[18] Pasal 128 ayat (6) UU 3/2020" }
{ "from": "human", "value": "Apa saja perbedaan dalam hal membuktikan praktik kartel dan praktik monopoli, secara khusus dalam lingkup circumstantial evidence atau bukti tidak langsung? Bagaimana seharusnya dua perbuatan tersebut dibuktikan melalui bukti tidak langsung?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Yang Berwenang Menangani Perkara Kemitraan Usaha 05 Jul 2023 Simak! Ini 5 Langkah Merger PT 22 Mei 2023 Apakah Merger dan Akuisisi Wajib Dilaporkan ke KPPU? 19 Apr 2021 Posisi Alat Bukti Saksi dalam Hukum Acara Persaingan Usaha 10 Feb 2015 Posisi Alat Bukti Saksi dalam Hukum Acara Persaingan Usaha 10 Feb 2015 Jenis Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) membagi jenis pelanggaran menjadi: Perjanjian yang Dilarang, antara lain: [1] Oligopoli; Penetapan Harga; Pembagian Wilayah; Pemboikotan; Kartel; Trust; Oligopsoni; Integrasi Vertikal; Perjanjian Tertutup; Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri. Kegiatan yang Dilarang, antara lain: [2] Monopoli; Monopsoni; Penguasaan Pasar; Persekongkolan. Posisi Dominan, antara lain: [3] Penyalahgunaan Posisi Dominan; Jabatan Rangkap; Kepemilikan Saham Silang; Merger-Akuisisi. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam praktik, pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha biasanya tidak hanya melanggar satu ketentuan, melainkan beberapa ketentuan pasal. Sebagai contoh, kasus dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04/KPPU-I/2003 Tahun 2003 yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 02K/KPPU/Pdt/2004 Tahun 2004 (hal. 78 - 79), Majelis Hakim memutuskan Terlapor melanggar Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 huruf b, dan Pasal 25 ayat (1) huruf c UU 5/1999 . Kemudian dalam kasus Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 03/KPPU-I/2003 Tahun 2003 (hal. 53), Terlapor dinyatakan oleh Majelis Hakim melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 19 huruf a dan c, Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c UU 5/1999 . Pendekatan Rule of Reason dan Per Se Illegal P embuktian terhadap pelanggaran Pasal 17 ayat (1) UU 5/1999 pada hak i katnya adalah pembuktian posisi dan praktik monopoli . [4] KPPU terlebih dahulu membuktikan bahwa sebuah perusahaan memiliki posisi monopoli dengan p endekatan yang digunakan adalah rule of reason . Sebagaimana diketahui terdapat 2 pendekatan dalam penerapan ketentuan hukum persaingan usaha, yaitu per se illegal dan rule of reason . Per se illegal merupakan pendekatan di mana suatu perbuatan itu dengan sendirinya telah melanggar ketentuan yang diatur jika perbuatan itu telah memenuhi rumusan dari undang-undang tanpa alasan pembenaran dan tanpa perlu melihat akibat dari tindakan yang dilakukan . [5] Contoh per se illegal adalah penetapan harga dalam Pasal 5 UU 5/1999 . Sedangkan rule of reason merupakan pendekatan yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah memenuhi rumusan undang - undang namun jika ada alasan objektif yang dapat membenarkan perbuatan tersebut , maka perbuatan itu bukan merupakan suatu pelanggaran , artinya penerapan hukumnya tergantung pada akibat yang ditimbulka n . [6] Ketentuan rule of reason dalam UU 5/1999 biasanya ditandai dengan adanya klausula “ yang dapat mengakibatkan ” dan / atau “ patut diduga ” dalam bunyi pasal tersebut. Misalnya Pasal 17 ayat (2) UU 5/1999 menyebutkan klausula pelaku usaha patut diduga atau dianggap , sehingga termasuk ketentuan rule of reason . Meskipun perusahaan terbukti memiliki posisi monopoli, perusahaan tersebut belum dapat dipersalahkan telah melakukan pelanggaran Pasal 17. Tahapan yang dilakukan adalah sebagai berikut: [7] Pendefinisian pasar bersangkutan ; Pembuktian adanya posisi monopoli di pasar bersangkutan ; Identifikasi praktik monopoli yang dilakukan pelaku usaha yang memiliki posisi monopoli ; dan Identifikasi dan pembuktian dampak negatif dan pihak yang terdampak dari praktik monopoli tersebut. Bentuk Bukti Tidak Langsung Bukti tidak langsung biasanya digunakan dalam pembuktian praktik kartel walaupun sangat mungkin juga digunakan dalam pembuktian praktik monopoli. Organisation for Economic Cooperation dan Development (OECD) dalam Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement menyatakan selain bukti langsung, pembuktian kartel dapat menggunakan bukti tidak langsung. Terdapat 2 bentuk bukti tidak langsung, yaitu bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Bukti komunikasi antara lain terdiri dari rekaman pembicaraan telepon (namun tidak menggambarkan isi pembicaraan) antar pelaku usaha pesaing, catatan perjalanan ke tempat tujuan yang sama, keikutsertaan dalam pertemuan tertentu seperti konferensi dagang, berita acara atau catatan pertemuan yang menunjukkan pembahasan tentang harga, permintaan, atau penggunaan kapasitas , dokumen internal perusahaan yang menunjukan pengetahuan atau pemahaman tentang strategi penetapan harga oleh pelaku usaha pesaing seperti pengetahuan tentang peningkatan harga oleh pelaku usaha pesaing di kemudian hari. Bukti ekonomi terdiri dari 2 bentuk, yaitu structural evidence (bukti struktural) dan conduct evidence (bukti perilaku). Bukti structural adalah seperti konsentrasi pasar yang tinggi, rendahnya konsentrasi pasar sebaliknya, tingginya hambatan masuk pasar, homogenitas produk menunjukan apakah struktur pasar memungkinkan untuk pembentukan suatu kartel . Sementara bukti perilaku adalah seperti peningkatan harga yang paralel, dan pola penawaran yang mencurigakan yang menunjukan apakah pesaing di pasar berperilaku tidak bersaing . [8] Adapun Pasal 42 UU 5/1999 mengatur tentang alat bukti, yaitu: keterangan saksi; keterangan ahli; surat dan/atau dokumen; petunjuk; dan keterangan pelaku usaha. Namun karena kartel biasanya dibentuk dan dilakukan secara rahasia, pembuktiannya menimbulkan permasalahan karena sulit untuk menemukan adanya perjanjian tertulis maupun dokumen lain yang secara eksplisit berisi kesepakatan mengenai harga, wilayah pemasaran, maupun produksi atas barang dan/atau jasa di antara pelaku usaha. Oleh karena itu , dalam praktiknya KPPU untuk membuktikan terjadinya kartel menggunakan bukti tidak langsung ( indirect evidence ) . S yarat penggunaan indirect evidence adalah terdapat kesesuaian antara bukti-bukti yang disebut sehingga kesesuaian antara bukti-bukti tersebut membentuk hanya satu alat bukti yaitu menjadi bukti petunjuk. [9] Sebagai contoh, dalam Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 08/KPPU-I/2014 Tahun 2014 , KPPU menggunakan bukti ekonomi yaitu menggunakan metode deteksi kartel Harrington yang merupakan metode analisis hubungan error atau residual regresi antar perusahaan dari hasil estimasi data panel untuk mendeteksi ka rtel. [10 ] Putusan KPPU yang menggunakan indirect evidence ini kemudian dikuatkan oleh Mahkamah Agung ketika banding dan kasisi di peradilan umum berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016 , dengan pertimbangan dalam praktik di dunia bisnis kesepakatan mengenai harga, produksi, wilayah (kartel) maupun kesepakatan anti persaingan sehat lainnya sering dilakukan secara tidak terang ( tacit ) sehingga dalam hukum persaingan usaha bukti-bukti yang bersifat tidak langsung ( indirect/circumstantial evidence ), diterima sebagai bukti yang sah sepanjang bukti itu cukup dan logis, serta tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti yang bersifat tidak langsung terseb ut. [11] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja PUTUSAN Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 03/KPPU-I/2003 Tahun 2003 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 02K/KPPU/Pdt/2004 Tahun 2004 ; Putusan Mahkamah Agung Nomor 221 K/PDT.SUS-KPPU/2016 . REFERENSI:\n1. Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks . KPPU, Edisi Kedua, 2017\n2. Organisation for Economic Cooperation dan Development (OECD) . Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement , 2009\n3. U din Silalahi . Indirect E vidence dalam H ukum P ersaingan U saha . Jurnal Hukum Bisnis , 2013\n4. Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 . [1] Pasal 4 sampai dengan Pasal 16 UU 5/1999 [2] Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU 5/1999 [3] Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 UU 5/1999 [4] Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks . KPPU, Edisi Kedua, 2017, hal. 144 [5] Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 , hal. 316 [6] Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 , hal. 316 [7] Andi Fahmi Lubis, dkk. Hukum Persaingan Usaha: Buku Teks . KPPU, Edisi Kedua, 2017, hal. 144 [8] U din Silalahi. Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha . Jurnal Hukum Bisnis , 2013, hal. 382 -383 [9] Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 , hal. 327 [10] Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 , hal. 326 [11] Udin Silalahi dan Isabella Cynthia Edgina. Pembuktian Perkara Kartel d i Indonesia d engan Menggunakan Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence ) . Jurnal Yudisial , Vol. 10 No. 3 Desember , 2017 , hal. 327 kppu praktik monopoli persaingan usaha" }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan dengan pelaksanaan digitalisasi pada transaksi pemberian kredit dalam penandatanganan Perjanjian Kredit yang dilakukan dengan menggunakan One Time Password (OTP) sebagai pengganti tanda tangan Debitur dan Pasangan, dengan ini kami ajukan pertanyaan sebagai berikut:\n\nApakah One Time Password (OTP) dapat dijadikan pengganti tanda tangan Debitur dan Pasangan dalam penandatanganan perjanjian kredit?\nApakah tanda tangan basah Debitur yang difoto dapat dijadikan sebagai tanda tangan elektronik dan dijadikan bukti otentik menurut hukum?\nApakah risiko hukum dan bagaimana bentuk mitigasi terhadap penandatanganan Perjanjian Kredit yang dilakukan dengan menggunakan One Time Password (OTP) sebagai pengganti tanda tangan Debitur dan Pasangan dimaksud?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKeabsahan Tanda Tangan Elektronik di Naskah Dinas07 Okt 2022Tanda Tangan Elektronik Tanpa Sertifikasi, Sahkah Dokumennya?02 Feb 20223 Langkah Transaksi Aset Kripto Secara Legal di Indonesia22 Des 2021Jadi Korban Carding, Ini yang Bisa Dilakukan Pemegang Kartu Kredit 27 Okt 2021\n\nSebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, perlu dipahami bahwa tanda tangan elektronik yang didefinisikan dalam Pasal 1 angka 12 UU 19/2016 adalah:\nTanda tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.\nFungsi tanda tangan elektronik adalah sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas identitas penanda tangan dan keutuhan serta keautentikan informasi elektronik.[1]\n\nDisarikan dari Cara Kerja Tanda Tangan Elektronik, terdapat 2 jenis tanda tangan elektronik:\n\nTanda tangan elektronik tersertifikasi, yang dibuat oleh jasa penyelenggara sertifikasi elektronik dan menggunakan sertifikat elektronik.[2]Tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi, yang dibuat tanpa menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik.[3]\nOne Time Password dan Tanda Tangan Basah yang Difoto\n\nSementara itu, one time password atau yang biasa disingkat dengan OTP adalah password atau kode sekali pakai yang dikirimkan ke pengguna sebagai alat verifikasi.\n\nLalu, apakah one time password dapat dijadikan pengganti tanda tangan? Perlu Anda ketahui terlebih dahulu, konsep dari tanda tangan elektronik dalam Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU ITE yang berbunyi:\n\nUndang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.\nPersyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.\nDapat dipahami bahwa ketentuan sebagaimana disebutkan di atas membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa saja untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan tanda tangan elektronik.\n\nEdmon Makarim, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagaimana dikutip dari Keabsahan Tanda Tangan Digital dan Tanda Tangan Elektronik di Tengah Pandemi, mengungkapkan pendapatnya bahwa:\n\nKonsep tanda tangan elektronik pada dasarnya mencakup pula kode personal identification numbers (PINs), grafis hasil pindai tanda tangan basah, bahkan termasuk menekan tombol OK dari suatu kotak dialog.\n\nBerbekal dari penjelasan di atas, one time password yang berisikan kode sekali pakai yang digunakan sebagai alat verifikasi dapat dikatakan termasuk dalam konsep tanda tangan elektronik. Sekaligus menjawab pertanyaan kedua Anda, hal yang sama berlaku pula bagi grafis hasil pindai tanda tangan basah.\n\nDengan demikian, penandatanganan perjanjian kredit dengan menggunakan one time password atau menggunakan grafis hasil pindai tanda tangan basah dapat dikatakan sah sebagai suatu tanda tangan elektronik sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 11 UU ITE dan Pasal 59 PP 71/2019.\n\nArtikel Keabsahan Tanda Tangan Digital dan Tanda Tangan Elektronik di Tengah Pandemi telah dipublikasikan sebelumnya di Premium Stories. Temukan ulasan pengadilan penting, isu dan tren hukum terkini lainnya hanya di Premium Stories. Berlangganan sekarang hanya Rp42rb/bulan dan nikmati sajian produk jurnalisme hukum terbaik tanpa gangguan iklan. Klik di sini untuk berlangganan.\n\nNamun di sisi lain, ada pendapat berbeda menyatakan bahwa tanda tangan elektronik yang dilindungi teknologi keamanan asymmetric cryptography berbeda dengan tanda tangan basah yang kemudian di-scan, difoto, lalu dipotong dan ditempel ke dokumen. Hal ini disampaikan oleh CEO & Founder PrivyID, Marshall Pribadi dalam Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan.\nPembuktian Tanda Tangan Elektronik di Pengadilan\n\nMenjawab pertanyaan Anda selanjutnya mengenai pembuktian tanda tangan elektronik, sebagaimana telah diterangkan, tanda tangan elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.\n\nKemudian masih bersumber dari artikel yang sama, Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Teguh Arifiyadi menjelaskan pembuktian tanda tangan elektronik di Pengadilan ditinjau dari segi orisinalitasnya dibedakan menjadi dua, yaitu:\n\nPembuktian tanda tangan elektronik yang tersertifikasi\n\nMenurutnya, kekuatan pembuktian tanda tangan elektronik tersertifikasi sangat kuat atau berstatus hampir sama dengan akta otentik. Dalam praktiknya, hakim, penggugat dan tergugat mendapatkan keterangan dari lembaga penerbit sertifikat digital bahwa tanda tangan elektronik adalah betul valid dan otentik.\nPembuktian tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi\n\nSedangkan bagi tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi, pembuktian dilakukan melalui uji digital forensik yang hasil ujinya akan dituangkan dalam bentuk berita acara pengujian digital forensik terhadap suatu sistem atau file atau dokumen yang diuji.\n\nMeski diakui secara hukum, kedudukan tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi ini lebih lemah dibandingkan dengan yang tersertifikasi karena masih ada kemungkinan manipulasi atau rekayasa.\nRisiko Hukum dan Mitigasi Penggunaan Tanda Tangan Elektronik\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan terakhir mengenai risiko hukum dan mitigasi risiko dari penggunaan one time password dan tanda tangan elektronik, kami rangkum pendapat dari Boy Gemino Kalauserang, Group Chief Legal PT Pamapersada Nusantara (PAMA) dalam  Keabsahan Tanda Tangan Digital dan Tanda Tangan Elektronik di Tengah Pandemi beberapa hal sebagai berikut:\nKeamanan dan Kerahasiaan Data Pengguna\n\nKarena saat ini masih belum ada undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perlindungan data pribadi secara komprehensif, maka perlindungan atas data pribadi yang melekat pada tanda tangan elektronik masih menimbulkan sejumlah keraguan.\n\nTak hanya itu, perihal akses kerahasiaan data para pihak yang tercantum dalam platform pada saat pembubuhan tanda tangan elektronik, juga perlu diperhatikan pengguna.\nKonsistensi Pengadilan\n\nMeskipun tanda tangan elektronik diakui di mata hukum, konsistensi penilaian Pengadilan atas keabsahan tanda tangan elektronik patut menjadi catatan tersendiri. Pasalnya, para pihak yang bersengketa pasti menggunakan dokumen tertulis yang telah ditandatangani tersebut sebagai alat bukti di Pengadilan.\nKlausula Tanda Tangan Elektronik\n\nLebih lanjut, terkait langkah pencegahan atau mitigasi risiko yang dapat dilakukan, misalnya kami menyarankan para pihak mencantumkan klausula baru dalam perjanjian yang isinya menegaskan kesepakatan para pihak untuk menggunakan tanda tangan elektronik dengan pengakuan autentikasi yang sama dengan tanda tangan basah.\n\nPenerapan klausula ini bertujuan untuk menutup celah risiko terjadinya sengketa terkait tanda tangan elektronik di perjanjian yang bisa saja timbul di kemudian hari.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_ITE)\n3. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dad2315ee51a/nprt/lt50f64aea0fb9f/peraturan-pemerintah-nomor-71-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_71_2019)\n[1] Pasal 60 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP 71/2019”)[2] Pasal 60 ayat (2) huruf a dan ayat (3) PP 71/2019[3] Pasal 60 ayat (2) huruf b dan ayat (4) PP 71/2019" }
{ "from": "human", "value": "Apakah peran dan fungsi advokat yang mendampingi korban atau terdakwa dalam pemeriksaan di pengadilan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Seorang advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan UU Advokat.[1]\n\nJadi singkatnya peran dan fungsi advokat berkaitan erat dengan jasa hukum yaitu jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.[2]\nPeran dan Fungsi Advokat dalam Perkara Pidana\n\nMenjawab pertanyaan Anda, kami akan menerangkan dalam hukum acara pidana. KUHAP memang tidak mengatur mengenai pendampingan korban oleh advokat. Adapun yang diatur dalam KUHAP adalah pendampingan oleh penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa guna kepentingan pembelaan selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.[3]\n\nMelalui jasa hukum yang diberikan, advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.[4]\n\nSalah satu contohnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) sebagaimana diatur dalam UU PKDRT, peran dan fungsi advokat dalam mendampingi korban KDRT mewajibkan advokat untuk:\n\nmemberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak-hak korban dan proses peradilan;mendampingi korban di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan dalam sidang pengadilan dan membantu korban untuk secara lengkap memaparkan kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya; atau melakukan koordinasi dengan sesama penegak hukum, relawan pendamping, dan pekerja sosial agar proses peradilan berjalan sebagaimana mestinya.\n\nSelain pendampingan advokat bagi tersangkat atau terdakwa, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf p UU 31/2014 menyebutkan salah satu hak saksi dan korban adalah mendapatkan pendampingan, yang dalam hal ini adalah advokat.\nSehingga, jika ditanya apa peran dan fungsi advokat? Pada dasarnya peran dan fungsi advokat adalah mendampingi korban maupun tersangka atau terdakwa di setiap tingkat pemeriksaan guna memastikan terpenuhinya hak-hak korban, tersangka, maupun terdakwa. Mengingat salah satu pilar utama peran dan fungsi advokat adalah menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia.\nDemikian jawaban dari kami tentang peran dan fungsi advokat, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/13147/undangundang-nomor-18-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_18_2003)\n3. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19748/node/18/uu-no-23-tahun-2004-penghapusan-kekerasan-dalam-rumah-tangga?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_23_2004)\n4. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25992/node/650/uu-no-13-tahun-2006-perlindungan-saksi-dan-korban?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2006)\n5. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54535a1cedd5c/undang-undang-nomor-31-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_31_2014)\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”)[2] Pasal 1 angka 2 UU Advokat[3] Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana[4] Penjelasan Umum UU Advokat" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana batasan dan perbedaan suap dan gratifikasi? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Apa itu suap dan contohnya? Sepanjang penelusuran kami pengertian perbuatan suap dapat Anda temukan dalam UU 11/1980 berikut ini.\n\nBarangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp15 juta.[1]\n\nBarangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp15 juta.[2]\nSelain itu, tindak pidana suap juga dapat dikenai hukuman berdasarkan UU 31/1999 dan perubahannya dengan rumusan sebagai berikut.\n\nPasal 5 UU 20/2001\n(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:\na. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau\nb. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.\n(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).\n\nPasal 11 UU 20/2001\n\nDipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.\nTindak Pidana Gratifikasi\n\nSelanjutnya yang dimaksud gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni contoh gratifikasi adalah meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Contoh gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.[3]\n\nKapan gratifikasi dinyatakan suap? Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:[4]\n\nyang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.\n\nBagaimana sanksi pidananya? Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi dikenai pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.[5]\n\nNamun ketentuan pidana gratifikasi di atas tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“KPK”), yaitu wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima. KPK dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.[6]\n\nBerikut contoh-contoh gratifikasi yang berkembang dalam praktik yang wajib dilaporkan oleh penerima gratifikasi pada KPK, antara lain gratifikasi yang diterima:[7]\n\nterkait dengan pemberian layanan pada masyarakat;terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran;terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi;terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas (di luar penerimaan yang sah/resmi dari instansi);dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai;dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya;sebagai akibat dari perjanjian kerjasama/kontrak/kesepakatan dengan pihak lain yang bertentangan dengan undang-undang;sebagai ungkapan terima kasih sebelum, selama atau setelah proses pengadaan barang dan jasa;dari pejabat/pegawai atau pihak ketiga pada hari raya keagamaan;dalam pelaksanaan pekerjaan yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban/tugasnya.\nPerbedaan Suap dan Gratifikasi\nJadi, tampak jelas bahwa suap dapat berupa janji, sedangkan gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas dan bukan janji. Kemudian, dalam suap ada unsur intensi atau maksud untuk mempengaruhi pejabat publik dalam pengambilan kebijakan maupun keputusannya.\n\nSedangkan untuk gratifikasi, diartikan sebagai pemberian dalam arti luas, namun dapat dianggap sebagai suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.\n\nProf. Eddy Omar Syarif, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sekaligus Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada menerangkan perbedaan gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidak meeting of minds pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of minds antara pemberi dan penerima. Meeting of minds merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.[8]\n\nDisarikan dari Gratifikasi dan Suap, Apa sih Bedanya? Beliau mencontohkan, misalnya jika ada seseorang yang datang menemui atasannya untuk minta dipromosikan, lalu orang itu mengiming-imingi sesuatu jika dirinya berhasil dipromosikan. Jika itu terjadi, bisa disebut sebagai perbuatan suap menyuap. Karena ada meeting of minds, terjadi kesepakatan.\n\nLain halnya jika berdasarkan suatu kewenangan seseorang diangkat dalam suatu jabatan, setelah itu ia datang memberikan sesuatu kepada orang yang mengangkat jabatannya, ini dinamakan gratifikasi, bukan suap menyuap. Karena tidak ada tidak meeting of minds, tidak ada kesepakatan sebelumnya.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap](Data Kepolisian /pusatdata/detail/22473/undangundang-nomor-11-tahun-1980/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_1980)\n2. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1371/node/29/uu-no-31-tahun-1999-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_tipikor)\n3. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/339?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2001)\nREFERENSI:\n1. Gratifikasi dan Suap, Apa sih Bedanya?, yang diakses pada 23 Mei 2023, pukul 08.56 WIB\n2. KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015.\n[1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (“UU 11/1980”)\n\n[2] Pasal 3 UU 11/1980\n\n[3] Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”)\n\n[4] Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001\n\n[5] Pasal 12B ayat (2) UU 20/2001\n\n[6] Pasal 12C ayat (1), (2), dan (3) UU 20/2001\n\n[7] KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015, hal. 85-86\n\n[8] KPK. Pengantar Gratifikasi. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Kedeputian Bidang Pencegahan, 2015, hal. 16" }
{ "from": "human", "value": "Saya debitur PKPU selalu merasa ditekan jauh sebelum proses PKPU hingga saat ini, oleh para kreditur. Apakah saya bisa mendapatkan perlindungan dalam proses PKPU ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Menyambung pertanyaan Anda, kami mengasumsikan tekanan yang diberikan kreditor kepada debitor adalah misalnya kreditor yang terus-menerus menagih utang kepada debitor, hingga debitor merasa tertekan.\n\nPerlu diketahui, apabila debitor menggunakan instrumen PKPU untuk melakukan restrukturisasi utang dengan para kreditornya, maka terdapat hal-hal yang ditangguhkan terhadap debitor dalam PKPU, yaitu:\n\nDebitor tidak dapat dipaksa membayar utang dan semua tindakan eksekusi yang telah dimulai untuk memperoleh pelunasan utang, harus ditangguhkan, selama berlangsungnya PKPU.[1]Perkara mengenai gugatan pembayaran suatu piutang yang sudah diakui debitor, sedangkan penggugat tidak memiliki kepentingan untuk melaksanakan hak terhadap pihak ketiga, setelah dicatatnya pengakuan tersebut, hakim dapat menangguhkan putusan sampai berakhirnya PKPU.[2]Pembayaran semua utang, selain yang dimaksud Pasal 244 UU 37/2004 yang sudah ada sebelum PKPU, selama berlangsungnya PKPU, tidak boleh dilakukan, kecuali pembayaran utang tersebut dilakukan kepada semua kreditor, menurut perimbangan piutang masing-masing, tanpa mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 185 ayat (3) UU 37/2004.[3]Hak eksekusi setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan atau hak agunan atas kebendaan lainnya ditangguhkan selama berlangsungnya PKPU.[4]Selama proses PKPU berlangsung, terhadap debitor tidak dapat diajukan permohonan pailit.[5]\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda tentang perlindungan debitor PKPU, beberapa ketentuan di atas menggambarkan beberapa perlindungan bagi debitur dalam proses PKPU.\n\nNamun demikian, kami mengingatkan kembali, debitor juga harus serius dalam proses PKPU serta pengajuan rencana perdamaiannya. Karena jika rencana perdamaian ditolak oleh kreditor, pengadilan harus menyatakan debitor pailit[6] dengan segala akibat hukumnya.\n\nBaca juga: Tips Membuat Proposal Perdamaian dalam Kepailitan dan PKPU\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.\n\n[1] Pasal 242 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”)[2] Pasal 243 ayat (2) UU 37/2004[3] Pasal 245 UU 37/2004[4] Pasal 246 jo. Pasal 55 ayat (1) UU 37/2004[5] Pasal 260 UU 37/2004[6] Pasal 289 UU 37/2004" }
{ "from": "human", "value": "Mohon dijelaskan apa isi peraturan pemerintah dan bagaimanakah proses pembentukan peraturan pemerintah di Indonesia?" }
{ "from": "gpt", "value": "Peraturan pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.[1]\n\nPeraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan yang lebih tinggi, seperti halnya peraturan pemerintah secara teoritik disebut peraturan delegasi. Menurut Ridwan dalam Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi, pemerintah atau administrasi diberikan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan secara mandiri. Peraturan perundang-undangan yang dibuat secara mandiri ini lebih tepat disebut sebagai regulasi sebagai wujud delegated legislation atau gedelegeerde wetgeving. Contoh delegated legislation adalah peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan kepala daerah, peraturan kepala desa (hal. 67-68).\nAdapun peraturan yang didelegasikan menurut Maria Farida Indrati S. dalam Ilmu Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik Penyusunan adalah pelimpahan kewenangan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah (hal. 215-216).\n\nDengan demikian, peraturan pemerintah adalah peraturan yang dibentuk secara mandiri oleh pemerintah dalam bentuk peraturan yang didelegasikan untuk menjalankan undang-undang. Adapun lembaga negara yang berhak menetapkan peraturan pemerintah adalah lembaga eksekutif, secara lebih spesifik ditetapkan oleh presiden.\nMateri Muatan Peraturan Pemerintah\nPeraturan pemerintah dibuat untuk melaksanakan atau menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.[2] Maksud dari frasa ‘sebagaimana mestinya’ yaitu dalam menetapkan peraturan pemerintah untuk melaksanakan perintah undang-undang atau menjalankan undang-undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan.[3]\n\nMenurut Maria Farida, peraturan pemerintah ditetapkan oleh presiden ini berfungsi untuk menyelenggarakan ketentuan undang-undang baik yang secara tegas maupun secara tidak tegas menyebutnya. Sehingga materi muatan peraturan pemerintah adalah keseluruhan materi muatan undang-undang yang dilimpahkan kepadanya atau sama dengan materi undang-undang sebatas yang dilimpahkan kepadanya.[4]\n\nSedangkan menurut Bagir Manan sebagaimana dikutip Ni’matul Huda dan R. Nazriyah dalam Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, peraturan pemerintah hanya berisi ketentuan lebih lanjut atau rincian dari ketentuan dalam undang-undang. Setiap ketentuan peraturan pemerintah harus berkaitan dengan satu atau beberapa ketentuan undang-undang (hal. 103).\nBaca juga : Apa itu Peraturan Pemerintah dan Bisakah Berlaku Jika Belum Ada Peraturan Pelaksananya?\n\nContoh peraturan pemerintah adalah PP 42/2021 yang memuat tentang kemudahan proyek strategis nasional sebagai peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.\nProses Pembentukan Peraturan Pemerintah\n\nPerlu Anda ketahui, perencanaan penyusunan peraturan pemerintah (“PP”) dilaksanakan melalui program penyusunan PP yang memuat daftar judul dan pokok materi muatan rancangan PP yang ditetapkan untuk jangka waktu 1 tahun.[5]\n\nPerencanaan penyusunan PP ini dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, yang kemudian ditetapkan melalui keputusan presiden.[6]\n\nAdapun tahapan proses pembentukan peraturan pemerintah sebagai berikut:\n\nPerencanaan Program Penyusunan Peraturan Pemerintah[7]\n\nMenteri Hukum dan HAM menyiapkan perencanaan program penyusunan (“progsun”) PP;Pogsun PP memuat daftar judul dan pokok materi muatan rancangan PP yang disusun berdasarkan hasil inventarisasi pendelegasian undang-undang;Menteri menyampaikan daftar progsun PP kepada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian;Menteri menyelenggarakan rapat koordinasi antar kementerian dan/atau antar nonkementerian dalam jangka waktu maksimal 14 hari terhitung sejak tanggal daftar perencanaan progsun PP disampaikan;Rapat koordinasi diselenggarakan untuk finalisasi daftar perencanaan progsun PP;Daftar perencanaan progsun PP ditetapkan dengan keputusan presiden;Dalam hal rancangan PP diajukan di luar progsun PP, maka pemrakarsa mengajukan rancangan kepada menteri berdasarkan kebutuhan undang-undang atau putusan Mahkamah Agung, dengan terlebih dahulu mendapatkan izin prakarsa dari presiden.\nPenyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah[8]\n\nRancangan PP disiapkan oleh menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau pimpinan lembaga lain terkait, sesuai dengan tugas dan fungsinya;Pemrakarsa membentuk panitia antar kementerian dan/atau antar nonkementerian;Tata cara penyusunan PP secara mutatis mutandis sama dengan penyusunan undang-undang, sesuai Pasal 45 sampai dengan Pasal 54, kecuali Pasal 51 ayat (2) huruf a Perpres 87/2014.\nBaca juga: Arti Mutatis Mutandis dan Contohnya\nPenetapan Rancangan Peraturan Pemerintah[9]\n\nPresiden menetapkan rancangan PP yang telah disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;Naskah rancangan PP ditetapkan oleh presiden menjadi PP dengan membubuhkan tanda tangan;Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet membubuhkan nomor dan tahun pada naskah PP yang telah ditetapkan oleh presiden;PP yang telah dibubuhi nomor dan tahun disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet kepada Menteri Hukum dan HAM untuk diundangkan;\nPengundangan Peraturan Pemerintah[10]\n\nMenteri Hukum dan HAM mengundangkan PP dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan penjelasannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;Permohonan pengundangan PP ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM secara tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang dari instansi bersangkutan dan disampaikan langsung kepada petugas disertai dengan 2 naskah asli dan 1 softcopy naskah asli;Menteri Hukum dan HAM menandatangani pengundangan PP dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah PP dalam waktu paling lama 1x24 jam terhitung sejak PP ditetapkan/disahkan presiden;Menteri Hukum dan HAM menyampaikan naskah PP yang telah diundangkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet;Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak tanggal PP diundangkan.\n\nDengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, dapat kami sampaikan bahwa peraturan pemerintah berisi aturan untuk melaksanakan perintah undang-undang atau menjalankan undang-undang. Adapun proses pembentukan peraturan pemerintah yaitu dimulai dari perencanaan progsun PP, penyusunan rancangan PP, penetapan rancangan PP hingga pengundangan PP.\nDemikian jawaban dari kami tentang proses pembentukan peraturan pemerintah, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n3. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603241031575e/peraturan-pemerintah-nomor-42-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_42_2021)\n7. [Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014  tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt541021fe6cc4b/nprt/lt51ee13ce8e9ef/perpres-no-87-tahun-2014-peraturan-pelaksanaan-undang-undang-nomor-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_87_2014)\n8. [Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt612c795e1b2cb?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_76_2021)\nREFERENSI:\n1. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Cetakan ke-22. Sleman: Penerbit PT Kanisius, 2020\n2. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Penyusunan. Edisi Revisi. Sleman: Penerbit PT Kanisius, 2020\n3. Ni’matul Huda & R. Nazriyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Bandung: Nusamedia, 2011\n4. Ridwan. Tiga Dimensi Hukum Administrasi dan Peradilan Administrasi. Yogyakarta: FH UII Press, 2009.\n\n[1] Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 jo. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Pasal 12/2011”)[2] Pasal 12 UU 12/2011[3] Penjelasan Pasal 12 UU 12/2011[4] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Cetakan ke-22, Sleman: Penerbit PT Kanisius, 2020, hal. 243[5] Pasal 24 dan Pasal 25 UU 12/2011[6] Pasal 26 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[7] Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014  tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Perpres 87/2014”)[8] Pasal 62, Pasal 63 Perpres 87/2014[9] Pasal 114 Perpres 87/2014[10] Pasal 148, Pasal 150, Pasal 152, Pasal 154 Perpres 87/2014 jo. Pasal 151 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan" }
{ "from": "human", "value": "Apa isi peraturan presiden dan bagaimana proses penyusunannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Peraturan presiden adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh presiden untuk menjalankan perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.[1]\n\nMenurut Ni’matul Huda dan R. Nazriyah dalam Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-undangan, peraturan presiden adalah peraturan yang dibuat presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara sebagai atribusi dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 (hal. 107), bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar.\nArtinya, berbeda dengan peraturan pemerintah yang murni sebagai peraturan delegasi, peraturan presiden memiliki dua fungsi, yaitu untuk menjalankan fungsi pemerintahan sebagai kewenangan atribusi dari undang-undang dasar dan sebagai peraturan delegasi yang menjalankan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.\n\nAdapun lembaga yang terlibat dalam pembentukan peraturan presiden adalah lembaga eksekutif, yaitu presiden. Rincian lembaga apa saja selain presiden yang terlibat, akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian proses penyusunan peraturan presiden.\nMateri Muatan Peraturan Presiden\n\nMateri muatan peraturan presiden berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah yang secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.[2]\n\nMenurut Maria Farida Indrati S. dalam Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan fungsi peraturan presiden ada 3, yaitu menyelenggarakan (hal. 223 – 225):\n\nPengaturan Umum Dalam Rangka Penyelenggaraan Kekuasaan Pemerintahan\n\nFungsi ini merupakan kewenangan atribusi dari UUD 1945 kepada presiden, dan sesuai dengan pendapat G. Jellinek bahwa dalam kekuasaan pemerintahan termasuk juga fungsi mengatur dan memutus. Fungsi tersebut dapat dilaksanakan melalui pembentukan peraturan perundang-undangan.\nPengaturan Lebih Lanjut dalam Peraturan Pemerintah yang Tegas Menyebutnya\n\nFungsi ini dirumuskan dalam pengaturan yang lebih konkret terhadap suatu masalah.\nPengaturan Lebih Lanjut Ketentuan Lain dalam Peraturan Pemerintah, Meskipun Tidak Tegas Menyebutnya\n\nFungsi peraturan presiden nomor 2 dan 3 ini merupakan fungsi delegasi dari peraturan pemerintah atau undang-undang, yang didasarkan pada stufentheorie bahwa peraturan yang di bawah selalu berlaku, bersumber dan berdasar pada peraturan yang lebih tinggi. Sehingga peraturan presiden hanya bersifat mengatur lebih lanjut saja, dan tidak membentuk suatu kebijakan baru.\nBaca juga: Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia\n\nAdapun, contoh peraturan presiden adalah Perpres 87/2014 yang dibentuk untuk menjalankan UU 12/2011. Sedangkan contoh peraturan presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan adalah Perpres 18/2020 tentang rencana pembangunan jangka menengah nasional tahun 2020 – 2024.\nProses Penyusunan Peraturan Presiden\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, berikut kami rangkum 4 tahap proses penyusunan peraturan presiden berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.\n\nPerencanaan Program Penyusunan Peraturan Presiden\nSebelum tahap penyusunan peraturan presiden, terlebih dahulu dilakukan perencanaan penyusunan dalam program penyusunan (“progsun”) peraturan presiden.[3] Untuk tata cara perencanaan progsun peraturan presiden sebagai pelaksana perintah undang-undang atau peraturan pemerintah, secara mutatis mutandis sama dengan perencanaan progsun peraturan pemerintah.[4]\n\nSedangkan untuk peraturan presiden yang melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan, maka pemrakarsa mengajukan permohonan izin prakarsa kepada presiden terlebih dahulu.[5]\n\nBaca juga: Begini Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah\nPenyusunan Rancangan Peraturan Presiden\nAdapun proses penyusunan peraturan presiden yaitu:[6]\n\nPemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian;Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan peraturan presiden dikoordinasikan oleh menteri atau kepala lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan.\n\nPertama-tama, pemrakarsa menyusun rancangan peraturan presiden yang berisi materi yang diperintahkan undang-undang, untuk melaksanakan peraturan pemerintah atau untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.[7]\n\nTata cara mempersiapkan rancangan peraturan presiden secara mutatis mutandis sama dengan rancangan undang-undang sebagaimana diatur di dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 PP 87/2014 kecuali adanya dokumen naskah akademik.[8] Artinya, rancangan peraturan presiden tidak perlu ada naskah akademik.\n\nSecara garis besar, secara mutatis mutandis dengan penyusunan rancangan undang-undang, maka berikut tahapan penyusunan rancangan peraturan presiden:[9]\n\nPembentukan panitia antarkementerian dan/atau antar nonkementerian;Rapat panitia antarkementerian dan/atau antar nonkementerian;Pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi;\n\nApabila terdapat rancangan peraturan presiden yang bersifat mendesak yang ditentukan oleh presiden untuk kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, pemrakarsa dapat langsung melakukan pembahasan rancangan peraturan presiden dengan melibatkan Menteri Hukum dan HAM, menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau lembaga lain yang terkait.[10] Hasil pembahasan rancangan peraturan presiden tersebut kemudian disampaikan pemrakarsa kepada presiden untuk ditetapkan.[11]\n\nSelengkapnya Anda dapat membaca SOP Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden.\nPenetapan/Pengesahan Rancangan Peraturan Presiden\n\nProses penetapan/pengesahan rancangan peraturan presiden sebagai berikut:[12]\n\nPresiden menetapkan rancangan peraturan presiden yang telah disusun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;Naskah rancangan peraturan presiden ditetapkan menjadi peraturan presiden dengan membubuhkan tanda tangan;Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet membubuhkan nomor dan tahun pada naskah peraturan presiden yang telah ditetapkan oleh presiden;Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet menyampaikan naskah peraturan presiden yang telah dibubuhi nomor dan tahun kepada Menteri Hukum dan HAM untuk diundangkan.\nPengundangan Peraturan Presiden\nSetelah ditetapkan/disahkan oleh presiden, peraturan presiden kemudian diundangkan. Adapun proses pengundangan peraturan presiden adalah sebagai berikut:[13]\n\nMenteri Hukum dan HAM mengundangkan peraturan presiden dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, dan penjelasannya ditempatkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;Permohonan pengundangan peraturan presiden ditujukan kepada Menteri Hukum dan HAM secara tertulis yang ditandatangani pejabat yang berwenang dari instansi bersangkutan dan disampaikan langsung kepada petugas disertai dengan 2 naskah asli dan 1 softcopy naskah asli;Menteri Hukum dan HAM menandatangani pengundangan dengan membubuhkan tanda tangan pada naskah peraturan presiden dalam waktu paling lama 1x24 jam terhitung sejak peraturan presiden ditetapkan/disahkan presiden;Menteri Hukum dan HAM menyampaikan naskah peraturan presiden yang telah diundangkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesekretariatan negara atau sekretaris kabinet;Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan dalam jangka waktu 14 hari terhitung sejak tanggal peraturan presiden diundangkan.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang proses pembentukan peraturan presiden, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987/uud-undang-undang-dasar-1945?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UUD_1945)\n2. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4e573e59d0487/nprt/lt4d50fbec8b2ce/uu-no-12-tahun-2011-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_12_2011)\n3. [Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5da039a94937f?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_15_2019)\n4. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt62b01b9e7e96e/undang-undang-nomor-13-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2022)\n5. [Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014  tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt541021fe6cc4b/nprt/lt51ee13ce8e9ef/perpres-no-87-tahun-2014-peraturan-pelaksanaan-undang-undang-nomor-12-tahun-2011-tentang-pembentukan-peraturan-perundang-undangan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_87_2014)\n6. [Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt612c795e1b2cb?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_76_2021)\n7. [Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e33f108b4aca/peraturan-presiden-nomor-18-tahun-2020?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_18_2020)\nREFERENSI:\n1. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan 1: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Cetakan ke-22. Sleman: Penerbit PT Kanisius, 2020\n2. Ni’matul Huda & R. Nazriyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Bandung: Nusamedia, 2011\n3. SOP Penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, yang diakses pada 12 Juli 2022, pukul 15.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”)[2] Pasal 13 dan penjelasannya UU 12/2011[3] Pasal 30 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 15/2019”)[4] Pasal 31 Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014  tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“Perpres 87/2014”)[5] Pasal 32 ayat (1) Perpres 87/2014[6] Pasal 55 UU 15/2019[7] Pasal 64 PP 87/2014[8] Pasal 65 jo. Pasal 51 ayat (2) huruf a PP 87/2014[9] Pasal 45 sampai dengan Pasal 54 PP 87/2014[10] Pasal 66 ayat (1) PP 87/2014[11] Pasal 66 ayat (2) PP 87/2014[12] Pasal 114 PP 87/2014[13] Pasal 148, Pasal 150, Pasal 152, Pasal 154 Perpres 87/2014 jo Pasal 151 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan" }
{ "from": "human", "value": "Teman saya adalah karyawan dengan masa kerja 2 tahun 3 bulan. Dia baru-baru ini mengajukan pengunduran diri. Saya ingin bertanya, apakah dia masih berhak mendapatkan uang pesangon dan/atau uang penghargaan walaupun dia mengundurkan diri? Apabila berhak, apa dasar hukumnya dan bagaimana perhitungannya? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Secara umum, Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan memang mengatur pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima jika terjadi PHK.\n\nNamun secara khusus, rincian hak-hak pekerja yang di-PHK berdasarkan alasannya diatur dalam PP 35/2021. Adapun pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat berhak atas:[3]" }
{ "from": "human", "value": "Kami 3 bersaudara yang terdiri dari 1 perempuan dan 2 laki-laki. Ayah kami telah meninggal dunia tahun 1997 dengan meninggalkan 1 adik kandung laki-laki. Lalu, ibu kami meninggal dunia tahun 2019 dengan meninggalkan seorang ayah (kakek kami) dan 3 orang saudara kandung sebapak (1 adik laki-laki dan 2 adik perempuan). Setelah ibu kami meninggal dunia, kakek dan paman kami meminta bagian warisan dari ibu kami. Berapakah bagian yang harus kami berikan menurut hukum waris Islam? Kami bertiga baru membagi waris setelah ibu kami meninggal dunia." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sesuai dengan inti pertanyaan Anda, yaitu bagian yang harus diberikan kepada kakek dan paman Anda dari harta waris ibu Anda, dalam jawaban ini kami hanya akan membahas pembagian harta waris dari ibu Anda dengan merujuk pada ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) . Yang Berhak Menjadi Ahli Waris Kelompok ahli waris terdiri dari: [1] Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki, terdiri dari ayah, anak laki-laki , saudara laki-laki , paman, dan kakek. Golongan perempuan, terdiri dari ibu, anak perempuan , saudara perempuan dan nenek. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda. Lebih lanjut, Pasal 181 dan Pasal 182 KHI mengatur kondisi yang mengakibatkan saudara berhak mendapatkan harta waris, yakni di saat pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah , yang berbunyi: Pasal 181 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah , maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian. Pasal 182 Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah , sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah , maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah , maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan. Abdul Karim Munthe, SH. SHI. MH., dosen Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) sekaligus peneliti di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FH UI menjelaskan bahwa kondisi tersebut dikenal sebagai kalalah menurut KHI, yakni kondisi di mana seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan dan keturunannya serta ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris. Dalam kondisi tersebut, saudara dapat menjadi ahli waris . Sehingga menjawab pertanyaan Anda, karena dalam kasus yang Anda tanyakan ayah dan anak pewaris masih hidup, maka yang berhak mendapat harta waris dari ibu Anda hanyalah kakek Anda selaku ayah kandung beserta Anda dan saudara Anda selaku anak kandung pewaris . Adapun saudara kandung sebapak dari pewaris sebagaimana yang Anda sebutkan (termasuk paman), tidak berhak atas harta waris tersebut dikarenakan ayah dan anak pewaris masih ada . Baca juga: Pembagian Harta Warisan Ayah, Ketika Ibu Masih Hidup Harta Pemberian untuk Kerabat Meski demikian, saudara ibu Anda tersebut dapat menerima harta pemberian untuk kerabat . Abdul Karim menjelaskan bahwa pemberian kepada kerabat ialah harta pemberian yang ma'ruf kepada saudara yang menyaksikan pembagian harta warisan dibagikan. Dalam hal ini, ahli waris secara sukarela dapat menyisihkan sebagian harta waris dan memberikannya kepada keluarga yang tidak berhak menerima warisan, baik karena terhalang atau memang bukan keluarga yang berhak untuk menerima warisan. Besaran harta tersebut tidak ditentukan secara mutlak, melainkan bergantung pada kesepakatan Anda dan ahli waris yang lain yang memberikan harta tersebut. Ahli Waris Dzul Faraid , Asabah , dan Dzul Arham F. Satrio Wicaksono, S.H. dalam buku Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta Warisan (hal.23) memaparkan bahwa ahli waris dalam KHI dapat dibedakan menjadi dzul faraid , asabah , dan dzul arham , dengan penjelasan sebagai berikut: Asabah adalah ahli waris yang memperoleh sisa bagian warisan setelah ahli waris dzul faraid mengambil bagiannya. Dzul arham adalah ahli waris yang mewaris jika tidak ada ahli waris dzul faraid dan ahli waris asabah , atau apabila hanya ada janda atau duda selaku ahli waris dzul faraid . Dzul faraid adalah ahli waris yang bagian warisnya telah ditentukan di dalam Al Qur’an. Lebih lanjut, Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kewarisan Islam di Indonesia mendefinisikan dzul faraid sebagai ahli waris yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu (hal.72). Dalam kasus Anda, ayah pewaris (kakek Anda) merupakan ahli waris dzul faraid , karena bagiannya telah ditentukan secara pasti dalam keadaan tertentu, yakni mendapat seperenam bagian harta waris bila mewaris bersama anak pewaris. [2] Adapun anak-anak pewaris merupakan ahli waris asabah karena memperoleh sisa bagian warisan setelah ahli waris dzul faraid mengambil bagiannya, dimana bagian anak laki-laki adalah 2 berbanding 1 dengan anak perempuan apabila anak perempuan mewaris bersama anak laki-laki. [3] Cara Menghitung Bagian Ahli Waris Berikut ini adalah langkah-langkah untuk menghitung bagian masing-masing ahli waris dalam kasus Anda: Hitung Total Harta Waris yang Ditinggalkan Rumus perhitungan total harta waris adalah sebagai berikut: [4] Hitung Bagian Harta Waris yang Diperoleh Setiap Ahli Waris Setelah itu, hitung bagian waris yang diperoleh masing-masing ahli waris, dengan rumus berikut: Bagian Ayah (Kakek Anda) Sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, bagian ayah sudah ditentukan, yaitu berhak atas 1/6 bagian dari harta waris . Bagian Anak Dikarenakan Anda selaku anak merupakan ahli waris asabah , maka perlu dihitung terlebih dahulu besaran harta waris yang tersisa setelah dikurangi dengan bagian ahli waris dzul faraid, dengan rumus berikut: Dalam kasus Anda, perhitungannya adalah sebagai berikut: Sehingga, sisa harta waris yang berhak dibagi kepada ketiga anak pewaris ialah 5/6 bagian dari harta waris . Selanjutnya, hitung bagian masing-masing anak . Diketahui bahwa: A = Anak perempuan B = Anak laki-laki (1) C = Anak laki-laki (2) Sehingga bagian masing-masing, sebagaimana yang kami jelaskan sebelumnya, yaitu: A = 1, B = 2, dan C = 2. Kemudian, besaran bagian tersebut dijumlahkan sebagai penyebut, sehingga masing-masing anak mendapat bagian sebagai berikut: Setelah itu, kalikan bagian masing-masing dengan sisa harta waris tadi, sehingga hasilnya sebagai berikut: Dengan demikian, bagian masing-masing ahli waris dalam kasus Anda adalah sebagai berikut: Ayah (kakek Anda)\n: 1/6 bagian; Anak perempuan\n: 1/6 bagian; Anak laki-laki (1)\n: 2/6 bagian; Anak laki-laki (2)\n: 2/6 bagian. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Hukumonline Bagi-Bagi THR! Buat ucapan Selamat Lebaran dengan menggunakan dua istilah hukum di kolom comment Instagram Hukumonline selama periode 20 - 25 April 2022. Ada total hadiah Rp1,5jt untuk para pemenang dengan ucapan yg paling menarik dan kreatif. Yuk segera ikutan di sini ! Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kompilasi Hukum Islam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Referensi : Sayuti Thalib. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia . (Jakarta: Sinar Grafika). 2002. F. Satrio Wicaksono, S.H., Hukum Waris: Cara Mudah & Tepat Membagi Harta Warisan . (Jakarta: Visimedia Pustaka). 2011. Catatan : Kami telah melakukan wawancara via telepon dengan Abdul Karim Munthe, SH. SHI. MH., Dosen Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) sekaligus peneliti di Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam (LKIHI) FH UI pada Senin, 8 Februari 2021 pukul 16.00 WIB. [1] Pasal 174 ayat (1) KHI [2] Pasal 177 KHI dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1994 tentang Pengertian Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam [3] Pasal 176 KHI [4] Pasal 171 huruf e KHI keluarga dan perkawinan waris islam" }
{ "from": "human", "value": "Baru-baru ini, viral suatu sinetron yang ditayangkan di suatu stasiun televisi yang mengisahkan tentang anak perempuan usia 17 tahun yang menjadi istri ketiga laki-laki berusia 39 tahun. Hal tersebut menjadi kontroversi karena peran tersebut diperankan oleh anak berusia 15 tahun dan adegan yang ditayangkan bernuansa poligami dan pedofilia. Bagaimana pandangan hukum terhadap hal ini?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Hak atas Informasi Bagi Teman Tuli 31 Mei 2023 Konten YouTube dan Sensor dalam UU Penyiaran 10 Mei 2021 Hukumnya ‘Comot’ Konten TikTok untuk Medsos atau Program TV 27 Mei 2020 Hukumnya Menyebarluaskan Perbuatan Tetangga yang Terekam CCTV Rumah 17 Mar 2020 Poligami, Pedofilia, dan Perkawinan Anak Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , poligami adalah sistem perkawinan yang membolehkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu orang. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Disarikan Prosedur Poligami yang Sah , poligami tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum, salah satunya mendapat izin dari Pengadilan Agama (“PA”) . Jika poligami dilaksanakan tanpa izin PA, maka perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Selain itu, perlu diperhatikan pula usia mempelai , sebab perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun [1] , kecuali memperoleh dispensasi dari Pengadilan . [2] Baca juga: Hukumnya Menikah di Usia Dini Sedangkan pedofilia ( pedophilia ) menurut Merriam-Webster Dictionary adalah sexual perversion in which children are the preferred sexual object , specifically, a psychiatric disorder in which an adult has sexual fantasies about or engages in sexual acts with a prepubescent child. Jika diterjemahkan secara bebas, pedofilia adalah penyimpangan seksual di mana anak-anak adalah objek seksual yang disukai . Dalam arti khusus, pedofilia adalah gangguan kejiwaan di mana orang dewasa memiliki fantasi seksual tentang atau terlibat dalam tindakan seksual dengan anak praremaja. Kemudian menyambung pertanyaan Anda, bolehkah stasiun televisi menyiarkan adegan yang bernuansa poligami dan pedofilia? Untuk itu, akan kami jelaskan lebih dahulu standar program siaran. Standar Program Siaran Televisi Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03/P/KPI/12/2009 Tahun 2009 tentang Standar Program Siaran (“Peraturan KPI 03/2009”) mengenal stasiun televisi dengan istilah lembaga penyiaran , yakni penyelenggara penyiaran, baik lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas maupun lembaga penyiaran berlangganan yang dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. [3] Sementara itu, program siaran adalah program yang berisi pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak yang disiarkan oleh lembaga penyiaran . [4] Adapun program siaran harus mengikuti panduan yang ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (“KPI”) terkait batasan-batasan boleh dan tidak boleh ditayangkan yang terdapat dalam standar program siaran [5] , di antaranya: [6] Penghormatan nilai-nilai kesukuan, keagamaan, ras dan antargolongan Program siaran wajib menghormati perbedaan suku, agama, ras, antargolongan, dan hak pribadi maupun kelompok, yang mencakup keagamaan budaya, usia, gender, dan kehidupan sosial ekonomi. [7] Penghormatan norma kesopanan dan kesusilaan Program siaran wajib memperhatikan norma kesopanan dan kesusilaan yang dijunjung oleh keberagaman khalayak baik terkait agama, suku, budaya, usia, dan latar belakang ekonomi, serta berhati-hati agar tidak merugikan dan menimbulkan efek negatif terhadap norma kesopanan dan kesusilaan yang dianut oleh keberagaman masyarakat. [8] Perlindungan hak-hak anak-anak, remaja, dan perempuan Program siaran wajib memperhatikan dan melindungi kepentingan anak-anak, remaja, dan perempuan. [9] Program siaran khusus untuk orang dewasa dilarang melibatkan anak-anak . [10] Pembatasan dan pelarangan seksualitas Program siaran wajib memiliki pembatasan terhadap adegan seksual, sesuai dengan penggolongan program siaran. [11] Adegan seksual diperbolehkan dalam konteks kasih sayang dalam keluarga dan persahabatan, termasuk: mencium pipi, mencium kening/dahi, mencium tangan, sungkem, bergandengan tangan, dan/atau berpelukan. [12] Adegan seksual yang dilarang dalam program siaran, antara lain: [13] Penampakan alat kelamin, ketelanjangan dan/atau kekerasan seksual ; Berpelukan mesra sambil bergumul antara lawan jenis maupun sesama jenis yang dapat membangkitkan libido; Menyentuh , meraba, atau meremas bagian tubuh yang dapat membangkitkan birahi, seperti: paha, selangkangan, bokong, payudara, atau perut; Adegan yang mengesankan ciuman bibir secara samar-samar ; Percakapan atau adegan yang menggambarkan rangkaian aktivitas ke arah hubungan seks dan/atau persenggamaan; Suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks dan/atau persenggamaan ; Adegan pemerkosaan atau kekerasan seksual secara vulgar; Adegan yang menunjukkan terjadinya pemerkosaan atau kekerasan seksual secara samar-samar ; dan/atau Pembicaraan mengenai hubungan seksual secara vulgar . Selain itu, program siaran juga dilarang memuat pembenaran hubungan seks di luar nikah [14] serta pembenaran bagi terjadinya perkosaan atau yang menggambarkan perkosaan sebagai bukan kejahatan serius . [15] Kemudian, pada dasarnya program siaran dilarang menjadikan anak-anak dan remaja sebagai obyek seks , termasuk adegan yang menampilkan anak-anak dan remaja berpakaian seronok, bergaya dengan menonjolkan bagian tubuh tertentu dan/atau melakukan gerakan yang lazim diasosiasikan dengan daya tarik seksual. [16] Penggolongan Program Siaran Program siaran digolongkan ke dalam 5 kelompok berdasarkan usia , yaitu: [17] Klasifikasi P : untuk anak-anak usia pra-sekolah (2-6 tahun). Klasifikasi A : untuk anak-anak usia 7-12 tahun. Klasifikasi R : untuk remaja usia 13-17 tahun, dengan ketentuan: [18] Mengandung muatan, gaya penceritaan, dan tampilan sesuai perkembangan psikologis remaja. Berisi nilai-nilai pendidikan, budi pekerti, hiburan, apresiasi estetik, dan penumbuhan rasa ingin tahu remaja tentang lingkungan sekitar. Dapat mengandung pembahasan atau penggambaran adegan terkait dengan seksualitas serta pergaulan antar pria-wanita sepanjang disajikan dalam konteks pendidikan fisik dan psikis remaja. Dapat menampilkan adegan kekerasan dan/atau yang membahayakan jiwa, sepanjang ada penjelasan mengenai akibat dari hal tersebut. Dilarang menampilkan, di antaranya muatan yang mendorong remaja belajar tentang perilaku tidak pantas dan/atau membenarkan perilaku tersebut sebagai hal lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Klasifikasi D : untuk dewasa usia di atas 18 tahun, hanya dapat disiarkan antara pukul 22.00–03.00 waktu setempat [19] yang dapat menampilkan: [20] tema yang membahas secara mendalam persoalan-persoalan keluarga, seperti: intrik, kekerasan dalam keluarga, perselingkuhan, dan perceraian; muatan kekerasan, sepanjang tidak mengandung unsur sadistis dan di luar batas perikemanusiaan; dan/atau pembicaraan, pembahasan atau tema mengenai masalah seks dewasa. Klasifikasi SU : untuk semua umur, di atas 21 tahun. Program siaran ini tidak secara khusus ditujukan untuk anak-anak dan remaja, namun dinilai layak ditonton oleh anak-anak dan remaja. [21] Lembaga penyiaran televisi wajib menayangkan klasifikasi program siaran di atas dalam bentuk karakter huruf dan kelompok usia penontonnya, yaitu: P (2-6), A (7-12), R (13- 17), D (18+), dan SU (2+) secara jelas dan diletakkan pada posisi atas layar televisi sepanjang acara berlangsung untuk memudahkan khalayak penonton mengidentifikasi program siaran. [22] Oleh karena itu menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya lembaga penyiaran televisi dilarang menayangkan program siaran yang bermuatan sebagaimana dilarang di atas, seperti melibatkan anak-anak dalam program siaran khusus dewasa, dilarang menjadikan anak-anak sebagai obyek seks, menampilkan adegan seksual yang dilarang, dan lain-lain. Lembaga penyiaran yang melanggar standar program siaran dikenai sanksi administratif , berupa: [23] teguran tertulis; penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu; pembatasan durasi dan waktu siaran; denda administratif; pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu; tidak diberi perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran; pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Sebagai informasi, disarikan dari Mempekerjakan Anak di Dunia Entertainment , Termasuk Eksploitasi Anak? , ada beberapa persyaratan tertentu yang harus dipenuhi untuk mempekerjakan anak, antara lain seperti izin tertulis dari orang tua/wali, hubungan kerja yang jelas, dan keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu, anak juga dilarang dilibatkan pada pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 03/P/KPI/12/2009 Tahun 2009 tentang Standar Program Siaran Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran REFERENSI:\n1. Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Kamis, 3 Juni 2021 pukul 12.00 WIB\n2. Merriam-Webster Dictionary , diakses pada Kamis, 3 Juni 2021 pukul 12.02 WIB. [1] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 16/2019”) [2] Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 [3] Pasal 1 angka 3 Peraturan KPI 03/2009 [4] Pasal 1 angka 7 Peraturan KPI 03/2009 [5] Pasal 1 angka 1 Peraturan KPI 03/2009 [6] Pasal 6 Peraturan KPI 03/2009 [7] Pasal 7 ayat (1) Peraturan KPI 03/2009 [8] Pasal 9 Peraturan KPI 03/2009 [9] Pasal 13 ayat (1) Peraturan KPI 03/2009 [10] Pasal 13 ayat (2) Peraturan KPI 03/2009 [11] Pasal 16 ayat (1) Peraturan KPI 03/2009 [12] Pasal 16 ayat (2) Peraturan KPI 03/2009 [13] Pasal 17 Peraturan KPI 03/2009 [14] Pasal 18 ayat (1) Peraturan KPI 03/2009 [15] Pasal 18 ayat (3) Peraturan KPI 03/2009 [16] Pasal 19 ayat (4) Peraturan KPI 03/2009 [17] Pasal 21 ayat (2) Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/03/2012 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran (\"Peraturan KPI 01/2012\") [18] Pasal 39 Peraturan KPI 03/2009 [19] Pasal 40 ayat (1) Peraturan KPI 03/2009 [20] Pasal 40 ayat (2) Peraturan KPI 03/2009 [21] Pasal 41 Peraturan KPI 03/2009 [22] Pasal 21 ayat (3) Peraturan KPI 01/2012 [23] Pasal 67 Peraturan KPI 03/2009 kpi media & penyiaran televisi komisi penyiaran indonesia siaran" }
{ "from": "human", "value": "Saya dengar Kementerian ATR menerbitkan peraturan baru mengenai penyelesaian kasus pertanahan. Prosedur/tahapan apa saja yang harus dilalui jika terjadi sengketa pertanahan berdasarkan aturan tersebut? Mohon pencerahannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Benar, di akhir tahun 2020 Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (“Menteri”) telah menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (“Permen ATR/BPN 21/2020”) . Kami akan menjawab pertanyaan Anda berdasarkan peraturan Menteri tersebut. Sengketa dan Konflik Pertanahan Dalam Permen ATR/BPN 21/2020 tersebut dijelaskan bahwa kasus pertanahan meliputi: [1] Sengketa pertanahan , yaitu perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas; [2] Konflik pertanahan , yaitu perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas; [3] Perkara pertanahan , yaitu perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan. [4] Kemudian, sebelum menjawab pertanyaan Anda mengenai tahapan dalam sengketa pertanahan, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa terdapat 3 klasifikasi kasus sengketa dan konflik pertanahan : [5] Kasus Berat , yaitu kasus yang melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan; Kasus Sedang , yaitu kasus antar pihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya cukup jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan; Kasus Ringan , yaitu kasus pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk penyelesaian kepada pengadu atau pemohon. Tahapan Penanganan Pertama-tama, pengaduan yang berasal dari perorangan, kelompok masyarakat, badan hukum, instansi pemerintah atau unit teknis Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (“Kementerian”), Kantor Wilayah (tingkat provinsi) dan Kantor Pertanahan (tingkat kabupaten/kota) diajukan melalui loket penerimaan surat pengaduan, loket penerimaan pengaduan secara langsung, atau lewat daring kepada Kementerian, Kantor Wilayah, dan/atau Kantor Pertanahan. [6] Selanjutnya terhadap pengaduan dilakukan kajian untuk menentukan apakah pengaduan tersebut termasuk kasus atau bukan kasus. Apabila termasuk kasus maka dientri dalam sistem informasi penanganan kasus. [7] Selanjutnya, berikut ini adalah urutan tahapan penanganan sengketa dan konflik pertanahan : [8] pengkajian kasus; gelar awal; penelitian; ekspos hasil penelitian; rapat koordinasi; gelar akhir; dan penyelesaian kasus. Jika sebuah kasus diklasifikasikan sebagai kasus sedang atau ringan, penanganan sengketa dan konflik pertanahan dapat dilakukan tanpa melalui semua tahapan di atas. [9] Untuk memperjelas, kami akan uraikan secara singkat penjelasan tahapan demi tahapan di atas. Pertama , pengkajian kasus dilakukan untuk memudahkan memahami kasus yang ditangani [10] dan dituangkan dalam bentuk telaahan staf yang memuat judul, pokok permasalahan, riwayat kasus, data atau dokumen yang tersedia, klasifikasi kasus, dan hal lain yang dianggap penting. [11] Kedua , dari hasil pengkajian kasus dijadikan dasar melaksanakan gelar kasus awal, [12] yang bertujuan untuk: [13] menentukan instansi atau lembaga atau pihak-pihak yang mempunyai kewenangan dan/atau kepentingan terkait kasus yang ditangani; merumuskan rencana penanganan; menentukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dapat diterapkan; menentukan data yuridis, data fisik, data lapangan dan bahan yang diperlukan; menyusun rencana kerja penelitian; dan menentukan target dan waktu penyelesaian. Hasilnya dibuatkan notula (ringkasan gelar awal) yang ditandatangani notulis, [14] yang kemudian menjadi dasar untuk: [15] menyiapkan surat kepada instansi lain untuk menyelesaikan jika kasus merupakan kewenangan instansi lain; menyiapkan surat kepada Kepala Kantor Wilayah dan/atau Kepala Kantor Pertanahan untuk melaksanakan penanganan dan penyelesaian kasus; menyiapkan tanggapan atau jawaban kepada pengadu; atau menyiapkan kertas kerja penelitian sebagai dasar melaksanakan penelitian . Ketiga , penelitian kemudian dilakukan oleh petugas penelitian untuk mengumpulkan data fisik, data yuridis, data lapangan, dan/atau bahan keterangan. [16] Hasil penelitian tersebut kemudian dibuatkan kajian dan dituangkan dalam bentuk laporan hasil penelitian. [17] Keempat , atas laporan hasil penelitian dilakukan ekspos hasil penelitian untuk menyampaikan data/bahan keterangan yang menjelaskan status hukum produk hukum maupun posisi hukum masing-masing pihak. Ekspos ini dituangkan dalam berita acara berisikan kesimpulan dan rekomendasi. [18] Kelima , rapat koordinasi dilaksanakan untuk mendapat masukan ahli atau instansi/lembaga terkait yang berkompeten dan menghasilkan kesimpulan berupa penyelesaian kasus atau rekomendasi/petunjuk masih diperlukan data atau bahan keterangan tambahan untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian kasus. [19] Jika menghasilkan penyelesaian kasus, selanjutnya ditindaklanjuti dengan gelar akhir. Namun jika yang dihasilkan adalah rekomendasi/petunjuk sebagaimana kami jelaskan di atas, maka dilakukan penelitian/pengumpulan data atau bahan keterangan tambahan. Jika telah cukup data atau bahan keterangan tambahannya, barulah kemudian dilakukan gelar akhir. [20] Patut dicatat, jika ekspos hasil penelitian telah menyimpulkan bahwa terdapat cukup data dan dasar mengambil keputusan maka bisa disiapkan gelar akhir . Sebaliknya, jika belum cukup maka bisa dilakukan salah satunya rapat koordinasi dengan mengundang instansi atau lembaga terkait . [21] Keenam , gelar akhir dilakukan guna mengambil keputusan penyelesaian kasus yang akan dilakukan oleh Menteri, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan, dan dituangkan dalam berita acara gelar akhir. [22] Rekomendasi hasil gelar akhir dituangkan dalam bentuk: [23] Risalah pengolahan data; dan/atau Surat rekomendasi penyelesaian kasus kepada Kantor Wilayah atau Kantor Pertanahan; Surat usulan penyelesaian kasus kepada Menteri. Terakhir , hasil gelar akhir tersebut kemudian menjadi dasar pengambilan keputusan penyelesaian kasus . [24] Adapun penanganan kasus dinyatakan selesai dengan kriteria-kriteria berikut ini: [25] Kriteria Satu (K1) jika penyelesaian bersifat final, berupa: keputusan pembatalan; perdamaian; atau surat penolakan tidak dapat dikabulkannya permohonan. Kriteria Dua (K2) berupa: surat petunjuk penyelesaian kasus atau surat penetapan pihak yang berhak tetapi belum dapat ditindaklanjuti keputusan penyelesaiannya karena terdapat syarat yang harus dipenuhi yang merupakan kewenangan instansi lain; surat rekomendasi penyelesaian kasus dari Kementerian kepada Kantor Wilayah atau Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya dan Kantor Wilayah kepada Kantor Pertanahan atau usulan Penyelesaian dari Kantor Pertanahan kepada Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah kepada Menteri. Kriteria Tiga (K3) berupa surat pemberitahuan bukan kewenangan Kementerian. Kasus yang dinyatakan selesai dengan kriteria di atas dicatat dalam sistem informasi penanganan kasus serta diberitahukan kepada para pihak dengan tembusan kepada instansi terkait. [26] Pengelolaan data kasus diselenggarakan dengan sistem informasi penanganan kasus yang terintegrasi antara Kementerian, Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan. [27] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan . [1] Pasal 1 angka 1 Permen ATR/BPN 21/2020 [2] Pasal 1 angka 2 Permen ATR/BPN 21/2020 [3] Pasal 1 angka 3 Permen ATR/BPN 21/2020 [4] Pasal 1 angka 4 Permen ATR/BPN 21/2020 [5] Pasal 5 Permen ATR/BPN 21/2020 [6] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [7] Pasal 4 ayat (2) dan (4) Permen ATR/BPN 21/2020 [8] Pasal 6 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [9] Pasal 6 ayat (3) Permen ATR/BPN 21/2020 [10] Pasal 7 ayat (1) Permen ATR/BPN 21/2020 [11] Pasal 7 ayat (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [12] Pasal 7 ayat (3) Permen ATR/BPN 21/2020 [13] Pasal 8 ayat (1) Permen ATR/BPN 21/2020 [14] Pasal 8 ayat (4) Permen ATR/BPN 21/2020 [15] Pasal 8 ayat (3) Permen ATR/BPN 21/2020 [16] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [17] Pasal 10 Permen ATR/BPN 21/2020 [18] Pasal 11 ayat (1), (2), dan (7) Permen ATR/BPN 21/2020 [19] Pasal 14 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [20] Pasal 14 ayat (3), (4), (5) Permen ATR/BPN 21/2020 [21] Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 Permen ATR/BPN 21/2020 [22] Pasal 15 ayat (1) dan (9) Permen ATR/BPN 21/2020 [23] Pasal 15 ayat (6) Permen ATR/BPN 21/2020 [24] Pasal 15 ayat (5) Permen ATR/BPN 21/2020 [25] Pasal 17 Permen ATR/BPN 21/2020 [26] Pasal 19 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 [27] Pasal 51 ayat (1) dan (2) Permen ATR/BPN 21/2020 pertahanan" }
{ "from": "human", "value": "Mohon penjelasannya bagaimana tata cara pendirian BUM Desa? Mohon sertakan syarat-syaratnya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Apa saja syarat mendirikan BUM Desa? PP 11/2021 membedakan antara BUM Desa dan BUM Desa bersama sebagai berikut:[1]\n\nBUM Desa didirikan oleh satu desa berdasarkan musyawarah desa dan pendiriannya ditetapkan dengan peraturan desa.BUM Desa bersama didirikan oleh dua desa atau lebih berdasarkan musyawarah antar desa dan pendiriannya ditetapkan dengan peraturan bersama kepala desa. BUM Desa bersama didirikan berdasarkan kesamaan potensi, kegiatan usaha, atau kedekatan wilayah, serta tidak terikat pada batas wilayah administratif.\n\nPatut dicatat, pendirian BUM Desa bersama dilakukan desa dengan desa lain secara langsung tanpa mempertimbangkan ada atau tidaknya BUM Desa di desa masing-masing.\nAdapun peraturan desa dan peraturan bersama kepala desa sebagaimana dimaksud di atas minimal memuat:[2]\n\npenetapan pendirian BUM Desa/BUM Desa bersama;anggaran dasar BUM Desa/BUM Desa bersama; danpenetapan besarnya penyertaan modal desa dan/atau masyarakat desa dalam rangka pendirian BUM Desa/BUM Desa bersama.\nTata Cara Pendirian BUM Desa\n\nBagaimana tata cara pendirian BUM Desa? Pasal 8 dan Pasal 9 PP 11/2021 mengatur sebagai berikut.\n\nUntuk memperoleh status badan hukum, pemerintah desa melakukan pendaftaran BUM Desa/BUM Desa bersama kepada Menteri melalui Sistem Informasi Desa (“SID”).Hasil pendaftaran BUM Desa/BUM Desa bersama terintegrasi dengan sistem administrasi badan hukum pada Kementerian Hukum dan HAM.BUM Desa/BUM Desa bersama memperoleh status badan hukum pada saat diterbitkannya sertifikat pendaftaran secara elektronik dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.Dalam hal BUM Desa/BUM Desa bersama memiliki Unit Usaha, kedudukan badan hukum unit usaha tersebut terpisah dari BUM Desa/BUM Desa.\n\nLebih lanjut, kami sarikan tahapan atau alur pendaftaran badan hukum BUM Desa dalam Permendes PDTT 3/2021:[3]\n\nPengajuan Nama\n\nPengajuan nama dilakukan dengan mengisi formulir secara elektronik di SID, yang meliputi:\n\nnama yang diajukan;jenis BUM Desa;nama desa; danalamat kedudukan.\n\nSetelahnya, pemohon mengisi pernyataan secara elektronik, yang menyatakan:\n\nnama BUM Desa telah sesuai ketentuan; danbertanggung jawab penuh terhadap nama BUM Desa yang diajukan.\nPersetujuan Nama\n\nApabila nama yang diajukan ternyata tidak memenuhi ketentuan, pengajuan nama tersebut akan ditolak secara elektronik.\n\nSebaliknya, jika nama yang diajukan tersebut memenuhi ketentuan, maka sistem akan secara otomatis mengeluarkan surat persetujuan Menteri secara elektronik yang minimal memuat:\n\nnomor pendaftaran nama BUM Desa/BUM Desa bersama;nama BUM Desa/BUM Desa bersama yang dapat dipakai;nama pemohon;tanggal pengajuan pendaftaran; dantanggal kedaluwarsa.\nMusyawarah Desa atau Musyawarah antar Desa\n\nMelakukan musyawarah desa atau musyawaran antar desa untuk membuat peraturan desa atau peraturan bersama kepala desa terkait anggaran dasar BUM Desa.\nPendaftaran BUM Desa\n\nPendaftaran BUM Desa dilakukan dengan cara mengisi formulir elektronik di SID, yang meliputi:\n\nnomor pendaftaran nama yang sudah didapat;nama BUM Desa yang telah disetujui;jenis BUM Desa;nama administratif Desa pendiri;alamat BUM Desa;modal awal BUM Desa;identitas pendiri; danbidang usaha.\n\nSelanjutnya, pengisian formulir pendaftaran dilengkapi dengan data pendukung, antara lain:\n\nBerita acara musyawarah desa/musyawarah antar desa;Peraturan desa atau peraturan bersama kepala desa tentang pendirian BUM Desa dan anggaran dasar BUM Desa;Anggaran rumah tangga BUM Desa; danRencana program kerja BUM Desa.\n\nSelanjutnya, pendaftar mengisi pernyataan elektronik, yang meliputi:\n\ndokumen pendukung yang telah lengkap dan benar;formulir dan dokumen pendukung sesuai ketentuan; danbertanggung jawab penuh terhadap formulir isian dan dokumen pendukung.\nPenerbitan Sertifikat Pendaftaran Badan Hukum\n\nSetelah data pendaftaran diverifikasi, Kementerian Hukum dan HAM menerbitkan sertifikat pendaftaran badan hukum BUM Desa secara elektronik.\n\nDalam praktiknya, kami menemukan seringkali terjadi kendala dalam proses pendaftaran badan hukum BUM Desa, yang mengakibatkan permohonan pendaftaran tersebut terhambat untuk waktu yang cukup lama dan bahkan akhirnya ditolak. Setelah ditelusuri, ternyata kendala teknis tersebut secara umum terjadi karena kurangnya pemahaman perangkat desa dalam menentukan nama yang seharusnya dipilih untuk BUM Desa yang didirikannya.\n\nPadahal, ketentuan nama BUM Desa telah diatur dalam Pasal 4 Permendes PDTT 3/2021, yang harus memenuhi ketentuan:\n\ntidak sama atau tidak menyerupai nama:\n\nBUM Desa/BUM Desa bersama lain;lembaga pemerintah; danlembaga internasional;\n\ndiawali dengan frasa BUM Desa dan diakhiri dengan nama administratif desa untuk BUM Desa;diawali dengan frasa BUM Desa bersama untuk BUM Desa bersama;tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan;sesuai dengan atau mencerminkan maksud dan tujuan, serta usaha BUM Desa/BUM Desa bersama;terdiri dari rangkaian huruf yang membentuk kata; dantidak mengandung bahasa asing.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8c12d3ce4a/undang-undang-nomor-6-tahun-2014/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2014)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt6032152802a21/peraturan-pemerintah-nomor-11-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_11_2021)\n5. [Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt60a33e3b1a2bd/peraturan-menteri-desa--pembangunan-daerah-tertinggal--dan-transmigrasi-nomor-3-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendes_3_2021)\n[1] Pasal 7 ayat (1) s.d. (5) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (“PP 11/2021”)[2] Pasal 7 ayat (6) PP 11/2021[3] Pasal 2 s.d. Pasal 11 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pendaftaran, Pendataan dan Pemeringkatan, Pembinaan dan Pengembangan, dan Pengadaan Barang dan/atau Jasa Badan Usaha Milik Desa/Badan Usaha Milik Desa Bersama" }
{ "from": "human", "value": "Is there a law for people who order other people to have an abortion and which article is imposed on them? I apologize in advance if I ask this as I have experienced it myself. My future mother-in-law told me to have an abortion. In fact, it is clear that the child I am carrying is the child of her son. His mother openly asked me to have an abortion. And also, her son used to treat me violently. Can I report this case?" }
{ "from": "gpt", "value": "Prior to answering your question, let us tell you what an abortion is. Abortion or aborsi according to the official dictionary of the Indonesian language (Kamus Besar Bahasa Indonesia/ “KBBI”) is a termination of pregnancy. In Indonesia, the legal basis for abortion is set out in Article 75 section (1) Law 36/2009, namely, anyone is prohibited from having an abortion.\nHowever, the prohibition may be exempted based on two conditions:[1]\n\nan indication of a medical emergency which is detected at an early stage of pregnancy, either which threatens the life of the mother and/or the fetus, who suffers from a severe genetic disease and/or birth defect, or which cannot be repaired and thus makes it difficult for the infant to live outside the womb; or pregnancy due to rape which may cause psychological trauma for the victim of rape\n\nAbortion can only be performed after going through counseling and/or advice before the procedure and is ended with counseling after the procedure which is conducted by a competent and authorized counselor.[2]\nFurthermore, abortion may only be performed followed by these requirements:[3]\n\nbefore the age of 6 (six) weeks of pregnancy calculated from the first day of the last menstruation, except in the event of medical emergencies;by health workers who have the skills and authority to have a certificate stipulated by the minister;with the consent of the pregnant woman concerned;with the husband's permission, except for a victim of rape; andhealth service providers who meet the requirements stipulated by the Minister.\n\nSo, what are the risks of abortion if it is still performed? In addition to the health risks, there are legal risks involved in having an illegal abortion. Article 194 Law 36/2009 determines the criminal sanction of abortion which is not in accordance with the provisions, namely:\n\nAny person who intentionally performs an abortion not in accordance with the provisions as referred to in Article 75 paragraph (2) shall be sentenced to a maximum imprisonment of 10 (ten) years and a maximum fine of Rp1,000,000,000.00 (one billion rupiah).\n\nIn addition to Law 36/2009, abortion is also regulated under the Criminal Code, which is still applicable at the time this article was published, as well as the new Criminal Code, Law 1/2023, which will entry into force 3 years from the date of its promulgation in 2026. [4] The provisions are as follows.\n|\n| 0\n| 1\n|\n|---:|:------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|:-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | Criminal Code\n| Law 1/2023\n|\n| 1 | Article 346 Criminal CodeAny woman who with deliberate intent causes or lets another cause the drifting off or the death of the fruit of her womb, shall be punished by a maximum imprisonment of four years.\n| Article 463 Law 1/2023Any woman who has an abortion shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 4 (four) years.The provision as referred to in paragraph (1) does not apply in the event that women are the Victims of Crime of Rape or other Crimes of sexual violence that cause pregnancy whose gestational age does not exceed 14 (fourteen) weeks or has indication of medical emergency\n|\n| 2 | Article 347 Criminal CodeAny person who with deliberate intent causes the drifting off or the death of the fruit of the womb of a woman without her consent shall be punished with a maximum imprisonment of twelve years.If the fact results in the death of the woman, he shall be punished by a maximum imprisonment of fifteen years.Article 348 Criminal CodeAny person who with deliberate intent causes the drifting off or the death of the fruit of the womb of a woman with her consent, shall be punished by a maximum imprisonment of five years and six months.If the fact results in the death of the woman, he shall be punished by a maximum imprisonment of seven years. | Article 464 Law 1/2023Any Person who performs an abortion on a woman:with the consent of the woman, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 5 (five) years; orwithout the consent of the woman, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 12 (twelve) years. If the act as referred to in paragraph (1) letter a results in the death of the woman, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 8 (eight) years.If the act as referred to in paragraph (1) letter b results in the death of the woman, shall be sentenced with imprisonment for a maximum of 15 (fifteen) years.\n|\n| 3 | Article 349 Criminal CodeIf a physician, midwife or pharmacist is an accomplice to the crime in article 846, or is guilty of or is an accomplice to one of the crimes described in articles 847 and 848, the sentences laid down in said articles may be enhanced with one third, and be may be deprived of the exercise of the profession in which he commits the crime.\n| Article 465 Law 1/2023Physicians, midwives, paramedics, or pharmacists who commit the Crime as referred to in Article 464 may have their criminal sentence increased by 1/3 (one-third).Physicians, midwives, paramedics, or pharmacists who commit the Crime as referred to in paragraph (1) may be sentenced with additional sentence in the form of revocation of rights as referred to in Article 86 letter a and letter f.Physicians, midwives, paramedics, or pharmacists who perform abortions due to indications of medical emergencies or to the Victims of Crime of Rape or other Crimes of sexual violence that lead to pregnancy as referred to in Article 463 paragraph (2) shall not be sentenced. |\nThe Law on Telling Other People to Have an Abortion\n\nThus, what is the law if your future in-laws tell you to have an abortion? Article 55 section (1) Criminal Code emphasizes that the criminal is convicted as the perpetrator of the criminal offense (dader):\n\nthose who perpetrate, cause others to perpetrate, or take a direct part in the execution of the act;those who intentionally provoke the execution of the act by gifts, promises, abuse of power or of respect, force, threat or deception or by providing an opportunity, means or information.\n\nIt is also regulated under Article 20 Law 1/2023, that every person is convicted as a perpetrator of a criminal offense if:\n\nhe/she commits a crime him/herself;commits a crime by means of a tool or ordering other persons who cannot be accounted for;participates in committing a crime; ormobilizes other persons to commit crimes by giving or promising something, abusing their power or dignity, committing violence, using threats of violence, committing misdirection, or by providing opportunities, facilities, or information.\n\nIn the event of ordering, the person who is ordered to commit a crime shall not be sentenced because there is no element of fault.[5]\n\nWe did not receive any information on whether the abortion you described was performed or not. If the abortion did occur, then your future mother-in-law may be subject to imprisonment based on Article 194 Law 36/2009 jo. Article 55 section (1) Criminal Code. This is because your future mother-in-law has \"ordered\" you to have an illegal abortion.\nDating Violence\n\nIn relation to your question regarding the violence perpetrated by your boyfriend, we have not received any information on the specific forms of violence that were committed. We assume that the violence committed by your boyfriend is equivalent to abuse.\n\nAs for the law on the practice of ill-treatment or abuse, you can read about it in the article entitled Actions that are Considered Persecutions. Furthermore, you may report said behavior by making a Police report for the alleged abuse by your boyfriend. In order to report a criminal act to the police, you may refer to Do You Want to Report a Crime to the Police? These are the Procedures\nCase Study\n\nAn example of a case of ordering an abortion can be found in the Decision of the District Court of Kupang Number 242/Pid.Sus/2015/PN.Kpg where the judge used Article 194 Law 36/2009 jo. Article 55 section (1) of the 1st Criminal Code in deciding a defendant who is proven legally and convincingly guilty ordered an abortion. For his actions, the defendant was sentenced to imprisonment for 3 years and a fine of IDR 5 million, on the condition that if the fine is not paid, it would be replaced with a term of imprisonment for 3 months (p. 42).\n\nEnrich your legal research with the latest bilingual legal analysis, as well as the collection of regulatory translations integrated into Hukumonline Pro, click here to learn more.\n\nThese are the answers we can provide, we hope you will find them useful.\n\nLegal Basis:\n\nIndonesian Criminal Code;Law Number 36 of 2009 on Health;Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code.\n\nCourt Decision:\n\nDecision of the District Court of Kupang Number 242/Pid.Sus/2015/PN.Kpg.\n\nReference:\n\nAborsi, accessed on Monday, 20 March 2023, at 14.01 West Indonesian Time (zone).\n\n[1] Article 75 section (2) Law Number 36 of 2009 on Health (“Law 36/2009”).[2] Article 75 section (4) Law 36/2009.[3] Article 76 Law 36/2009.[4] Article 624 Law Number 1 of 2023 on the Criminal Code (“Law 1/2023”).[5] Elucidation to Article 20 letter b Law 1/2023." }
{ "from": "human", "value": "Yth Moderator, Saat ini saya sudah di-PHK oleh perusahaan sebab saya tidak masuk bekerja berturut-turut lebih dari 5 hari. Namun saya tidak menerima dan melanjutkan kasus ini ke PHI sebab saya telah ijin secara tertulis kepada perusahaan untuk mengambil cuti namun tidak diijinkan. Sekarang saya sudah bekerja di perusahaan lain. Pertanyaan saya apakah dengan telah bekerja di perusahaan lain dijinkan secara undang-undang dan apakah perkara saya dapat dibatalkan di PHI? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami . Kami akan menjawab pertanyaan saudara terkait dengan kerja ganda saat proses penyelesaian hubungan industrial sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat? 18 Mar 2024 Bagaimana Hukum Bekerja di Dua Perusahaan Berbeda? 27 Sep 2023 Menolak Perintah Atasan, Bisakah Karyawan Dipecat? 06 Sep 2023 Hukumnya Jika di-PHK Karena Datang Terlambat 26 Apr 2021 1. Pada dasarnya Perusahaan dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“ PHK ”) terhadap Pekerja dengan alasan Pekerja mangkir selama 5 hari berturut-turut, dimana PHK tersebut dikualifikasikan sebagai pengunduran diri. Hal ini sesuai dengan Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“ UU 13/2003 ”) , yang berbunyi : “ Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selanjutnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 168 ayat (1) UU 13/2003 di atas, PHK terhadap pekerja karena mangkir dapat dilakukan oleh Perusahaan apabila Perusahaan telah 2 (dua) kali memanggil Pekerja secara patut dan tertulis . Hal mana pengertian “telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut” di atas, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 168 ayat (1) UU 13/2003, yaitu: “ Yang dimaksud dengan dipanggil secara patut dalam ayat ini adalah pekerja/buruh telah dipanggil secara tertulis yang ditujukan pada alamat pekerja/buruh sebagaimana tercatat di perusahaan berdasarkan laporan pekerja/buruh. Tenggang waktu antara pemanggilan pertama dan kedua paling sedikit 3 (tiga) hari kerja .” Apabila p ekerja keberatan atas PHK yang dilakukan Perusahaan, p ekerja dapat me ngaju kan upaya penyelesaian perselisihan hubungan industrial terlebih dahulu melalui mediasi atau konsiliasi untuk mencapai kesepakatan antara Perusahaan dan Pekerja. Namun demikian, apabila mediasi atau konsiliasi gagal, maka salah satu pihak dapat menyelesaikan perselisihan dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Selain itu, selama proses penyelesaian perselisihan hubungan kerja, Pekerja dan Perusahaan tetap wajib melaksanakan seluruh kewajibannya . Hal tersebut sesuai Pasal 155 ayat (2) UU 13/ 2003, yang menyatakan: “ Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya. ” Berdasarkan hal tersebut diatas, selama putusan penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, maka PHK belum dinyatakan sah dan hubungan kerja antara Perusahaan dan Pekerja masih tetap berlangsung. Dengan demikian, selama proses perselisihan hubungan industrial Pekerja wajib memenuhi kewajibannya di Perusahaan tersebut. Sehingga, apabila Pekerja memiliki hubungan kerja dengan Perusahaan lain, hal yang perlu diperhatikan adalah peraturan mengenai larangan untuk bekerja di perusahaan lain berdasarkan P erjanjian K erja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Apabila Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama melarang Pekerja untuk memiliki hubungan kerja dengan perusahaan lain selama berlangsungnya hubungan kerja, maka Pekerja yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan lain, baik pada saat berlangsungnya hubungan kerja maupun selama proses penyelesaian perselisihan PHK, dapat dikualifikasikan telah melanggar Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama . Oleh karenanya Perusahaan dapat memberikan sanksi kepada Pekerja sebagaimana telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Selain daripada itu, dalam hal Pekerja ingin mengajukan pembatalan gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, berlaku pengaturan sesuai dengan Pasal 85 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“ UU 2/2004 ”), yang berbunyi: “ (1) Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum tergugat\nmemberikan jawaban. (2) Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan itu, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial hanya apabila disetujui tergugat.” Dengan demikian, Pekerja dapat mencabut gugatan sebelum tergugat memberikan jawaban atas gugatan, atau apabila jawaban atas gugatan telah diberikan, pencabutan gugatan dapat dilakukan berdasarkan persetujuan Tergugat . Demikian jawaban ini kami sampaikan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. U ndang-Undang No mor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial hukum uu ketenagakerjaan phi hukumonline uu pphi" }
{ "from": "human", "value": "Saya bekerja di perusahaan yang lokasinya di Jakarta. Sifat pekerjaan saya remote working dan saya ditugaskan serta tinggal di Yogyakarta. Tidak ada kantor cabang di Jogja. Akan tetapi, gaji saya mengikuti UMP Jogja dan tidak ikut UMP Jakarta. Masalahnya UMP Jogja kecil dan saya merasa dirugikan. Bagaimana aturan gaji karyawan yang bekerja secara remote seperti saya? Apakah mengikuti UMP tempat perusahaan saya berada atau ikut UMP tempat saya tinggal dan bekerja?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITMau Menyusun Struktur dan Skala Upah? Perhatikan 5 Hal Ini30 Jan 2023Bolehkah Upah Pokok di Bawah Upah Minimum?27 Jan 20234 Komponen Upah Karyawan dan Rumus Hitungnya26 Jan 20233 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial20 Okt 2022\n\nBerkembangnya teknologi informasi dan pasca terjadinya pandemi COVID-19, banyak pekerjaan yang tidak hanya dilakukan di dalam kantor, tetapi juga work from home atau lebih sering disebut dengan kerja remote atau remote working. Apa yang dimaksud dengan remote working? Remote working adalah bekerja dengan kontrol kerja jarak jauh yang pelaksanaan kerjanya dapat dilakukan dimana saja.\n\nKemudian, menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami di dalam peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan, belum ada ketentuan secara tersurat dan terperinci mengenai upah minimum manakah yang berlaku bagi karyawan yang bekerja jarak jauh (remote working), apakah upah minimum tempat perusahaan berada atau tempat keberadaan pekerja.\nDalam peraturan perundang-undangan, misalnya dalam PP Pengupahan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.[1] Upah minimum adalah upah bulanan terendah yaitu upah tanpa tunjangan atau upah pokok dan tunjangan tetap.[2] Selanjutnya, upah minimum terdiri atas Upah Minimum Provinsi (“UMP”) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (“UMK”) dengan syarat tertentu, yang ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.[3]\n\nBaca juga: Mana yang Jadi Acuan, UMP atau UMK?\nHal ini juga ditegaskan dalam Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88C ayat (4) dan (5) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan berdasarkan data dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.\n\nAkan tetapi, baik dalam Perppu Cipta Kerja maupun PP Pengupahan, tidak disebutkan secara tegas upah minimum manakah yang berlaku. Selain itu, juga tidak diatur secara tegas mengenai penentuan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan tersebut didasarkan pada lokasi perusahaan berada atau lokasi pekerja berada.\n\nKami berpendapat, dalam menentukan aturan upah minimum mana yang berlaku bagi karyawan yang kerja jarak jauh ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja yang dibuat ke dalam suatu perjanjian kerja.\n\nNamun demikian, perlu Anda ketahui bahwa upah minimum hanya berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun. Sementara, bagi pekerja yang masa kerjanya 1 tahun atau lebih maka berpedoman pada struktur dan skala upah.[4] Maka, jika Anda sudah bekerja lebih dari 1 tahun, pemberian upah tidak lagi berdasarkan pada upah minimum, melainkan berdasarkan pada struktur dan skala upah yang ditetapkan oleh perusahaan tempat Anda bekerja.\n\nBaca juga: Mau Menyusun Struktur dan Skala Upah? Perhatikan 5 Hal Ini\nLangkah yang Dapat Ditempuh\n\nJika penentuan upah yang dilakukan oleh perusahaan dirasa merugikan, maka Anda selaku pekerja dapat melakukan upaya hukum.\n\nPerselisihan mengenai penentuan upah termasuk ke dalam perselisihan hubungan industrial, sebagaimana diatur di dalam UU PPHI. Anda dapat mengajukan gugatan perselisihan kepentingan, yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5]\n\nNamun sebelum mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial, Anda terlebih dahulu melakukan perundingan bipartit dan tripartit. Selengkapnya dapat Anda baca dalam artikel 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/node/166/uu-no-2-tahun-2004-penyelesaian-perselisihan-hubungan-industrial?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n[1] Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[2] Pasal 23 ayat (1) PP Pengupahan[3] Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) PP Pengupahan[4] Pasal 24 PP Pengupahan[5] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial" }
{ "from": "human", "value": "Mohon pencerahan dari Hukumonline. Di perusahaan tempat saya bekerja, libur pileg kemarin hari Rabu, 09/4/14 diganti ke hari Sabtu 12/4/14. Kami sudah kirim surat terkait untuk tidak diganti hari liburnya. Di surat tersebut kami lampirkan UU Nomor 8 tahun 2012, Keputusan KPU, SE Menakertrans, Keppres, yang menyatakan hari pada saat pileg tersebut dilaksanakan adalah hari libur nasional, dan PKB kami mengatur hal itu. Di pasal PKB kami, libur nasional ditentukan oleh pemerintah, perusahaan tetap pada keinginannya untuk mengganti hari libur sesuai dengan Instruksi Presdir (saco). Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana cara agar karyawan yang masuk pada hari libur pengganti tersebut dibayar lembur? Karena hari Sabtu merupakan hari libur menurut kalender kerja kami dan apa sanksi kepada perusahaan yang tidak mau mengikuti aturan pemerintah RI? Dalam hal ini Presiden Direktur ada yang orang Jepang dan orang Indonesia. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami berkesimpulan yang Anda maksud dengan pileg adalah “Pemilihan Umum Anggota Legislatif (“pemilu legislatif”) yang diselenggarakan pada Rabu, 9 April 2014 lalu . KLINIK TERKAIT Adakah Aturan Lembur Khusus untuk Pekerja Perempuan? 03 Mei 2024 Kerja Lembur di Hari Lebaran, Begini Perhitungan Upahnya 04 Apr 2024 Jika Uang Lembur Tidak Sesuai Jam Kerja Lembur 22 Nov 2023 Dapatkah Perusahaan Memaksa Pekerja Lembur? 06 Nov 2023 Pada pengaturannya, penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Legislatif (“pemilu legislatif”) memiliki beberapa tahapan, yakni salah satunya adalah pemungutan suara (lihat Pasal 4 ayat (2) huruf i Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - “UU Pemilu Legislatif” ). Anda benar bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (3) UU Pemilu Legislatif , pemungutan suara dilaksanakan pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional . Adapun dasar hukum yang menyatakan bahwa pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April 2014 ditetapkan sebagai hari libur nasional adalah Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014 sebagai Hari Libur Nasional (“Keppres 14/2014”) yang berbunyi : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Menetapkan hari Rabu, tanggal 9 April 2014 sebagai hari libur nasional untuk pemungutan suara Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, atau hari dan tanggal lain yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum untuk pemilu lanjutan dan/atau susulan.\" Dari sini jelas diketahui bahwa penyelenggaraan pemilu legislatif yang lalu merupakan hari libur nasional yang resmi ditetapkan oleh pemerintah. Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya keppres tersebut maupun peraturan perundang-undang lain yang terkait tidak memuat sanksi pidana bagi pengusaha/perusahaan yang mempekerjakan pekerjanya pada saat pemilu legislatif, dengan catatan karyawan menyetujuinya dan pengusaha membayar upah kerja lembur. Lalu bagaimana jika perusahaan mempekerjakan karyawannya pada hari libur resmi? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 85 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang berbunyi : (1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. (2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. (3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. (4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Mengacu pada pasal di atas, artinya, pengusaha bisa mempekerjakan buruh pada hari libur resmi namun dengan persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha wajib memberikan upah kerja lembur. Oleh karena itu, apabila pada 9 April 2014 yang ditetapkan sebagai hari libu resmi tersebut Anda dan karyawan lain di kantor Anda sepakat untuk bekerja, maka Anda dan karyawan lainnya wajib dibayar upah kerja lemburnya oleh pengusaha. Mengenai upah lembur pada hari libur resmi, dapat dilihat perhitungannya dalam Pasal 11 huruf b dan c Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 Tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur , yaitu sebagai berikut: b. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh) jam seminggu maka: b.1.\nperhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh 4 (empat) kali upah sejam; b.2.\napabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam. c. apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 (lima) hari kerja dan 40 (empat puluh) jam seminggu, maka perhitungan upah kerja lembur untuk 8 (delapan) jam pertama dibayar 2 (dua) kali upah sejam, jam kesembilan dibayar 3 (tiga) kali upah sejam dan jam kesepuluh dan kesebelas 4 (empat) kali upah sejam. Melihat pada ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa pada dasarnya upah lembur dihitung berdasarkan waktu lembur Anda saat bekerja pada Rabu, 9 April 2014. Selanjutnya kami menjawab pertanyaan Anda lainnya mengenai penggantian hari libur resmi pada 9 April 2014 menjadi 12 April 2014 yang jatuh pada hari Sabtu. Dengan asumsi bahwa hari kerja kantor Anda adalah 5 (lima) hari seminggu, berarti hari Sabtu merupakan hari libur berdasarkan kalender kerja kantor Anda. Menurut hemat kami, tidak adil apabila penggantian libur pemilu legislatif tersebut dipindahkan ke hari Sabtu yang mana memang merupakan hari libur. Namun demikian, Anda dan karyawan lain tetap bisa menuntut hak Anda, yakni upah lembur saat bekerja pada 9 April 2014. Apa upaya hukum yang dapat Anda dan karyawan lain lakukan apabila pengusaha tidak juga memberikan upah lembur kerja? Karena upah kerja lembur merupakan hak pekerja, maka pelanggaran atas hak tersebut dikategorikan sebagai perselisihan hak sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) : “ Perselisihan hak dalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama . ” Langkah pertama yang dapat Anda dan karyawan lain tempuh adalah dengan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan antara Anda dengan pengusaha, yang disebut dengan penyelesaian secara bipartit. Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat sebagaimana yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) UU PPHI . Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan ( Pasal 4 ayat (1) UU PPHI ). Selain itu berdasarkan ketentuan Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan , pengusaha yang tidak membayarkan upah lembur saat memerintahkannya pekerja tetap bekerja di hari libur dapat diancam sanksi pidana. Yaitu kurungan antara satu hingga 12 bulan dan/atau denda berkisar Rp10 juta sampai Rp100 juta. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 3. Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 4. Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penetapan Hari Pemungutan Suara Pemilu Legislatif sebagai Hari Libur Nasional legislatif" }
{ "from": "human", "value": "Apa pentingnya belajar ilmu perundang-undangan?\nApakah ruang lingkup ilmu perundang-undangan mencakup struktur/sistematika, antara lain menimbang, mengingat, memutuskan, dan menetapkan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada Senin, 5 Desember 2022. KLINIK TERKAIT Apa Itu SEMA dan Bagaimana Kedudukannya dalam Hukum? 08 Feb 2024 Proses Pembentukan Undang-Undang di Indonesia 02 Mar 2023 Dapatkah Mengajukan Peninjauan Kembali karena Perubahan Undang-undang? 21 Jun 2022 Status Kekuatan Hukum Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) 15 Mei 2017 Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Pengertian Ilmu Perundang-undangan Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sebelum menjawab apa pentingnya belajar ilmu perundang-undangan, Anda perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan perundang-undangan. Menurut Krems yang dikutip oleh A. Hamid S. Attamimi , pengertian ilmu perundang-undangan adalah ilmu pengetahuan yang interdisipliner tentang pembentukan hukum negara. Sedangkan pengertian peraturan perundang-undangan menurut A. Hamid S. Attamimi dapat mengacu kepada dua pengertian. Pertama, perbuatan membentuk peraturan negara, baik tingkat pusat maupun tingkat daerah. Kedua, keseluruhan hasil atau produk dari perbuatan membentuk peraturan negara. Artinya, perundang-undangan adalah kegiatan pembentukan peraturan negara dan dapat berarti keseluruhan peraturan negara. Lantas, apa pentingnya belajar ilmu perundang-undangan? Lalu, apa saja materi ilmu perundang-undangan dan bagian yang harus dimuat dalam peraturan perundang-undangan? Simak jawaban selengkapnya dalam video #KlinikExpress berikut ini: Demikian jawaban dari kami tentang ilmu perundang-undangan beserta materi dan ruang lingkup ilmu perundang-undangan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. peraturan perundang-undangan ilmu hukum mahasiswa hukum" }
{ "from": "human", "value": "Saya membeli mainan action figure dan model kit gundam dari luar negeri berjumlah 5 – 10 buah, rencananya akan saya rakit lalu jual kembali. Apakah benar pembelian dalam total harga tertentu dikenakan pajak? Jika iya, pajak apa yang harus saya bayarkan? Bagaimana cara membayarnya? Jika tidak membayar pajak, saya kena sanksi apa?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Izin Kepemilikan Air Gun , Apa Syarat Mendapatkannya? 19 Jul 2022 Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi 19 Nov 2021 Penyanderaan bagi yang Tak Bayar Pajak, Bisakah? 26 Mar 2021 Hukumnya Jika Ekspor-Impor Dilarang karena COVID-19 03 Feb 2021 Tarif Bea Masuk Guna menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut (“PMK 203/2017”) . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya segala sesuatu barang yang diimpor sudah pasti dikenakan tarif bea masuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adapun tarif yang dimaksud menurut Pasal 24 PMK 203/2017 : Terhadap barang impor pribadi bawaan penumpang yang memiliki nilai pabean melebihi FOB USD500.00, berlaku ketentuan: [1] tarif bea masuk ditetapkan sebesar 10%; dan nilai pabean ditetapkan berdasarkan keseluruhan nilai pabean barang impor bawaan penumpang dikurangi dengan FOB USD500,00. Terhadap barang impor pribadi bawaan awak sarana pengangkut yang memiliki nilai pabean melebihi FOB USD50.00, berlaku ketentuan: [2] tarif bea masuk ditetapkan sebesar 10%; dan nilai pabean ditetapkan berdasarkan keseluruhan nilai pabean barang impor bawaan awak sarana pengangkut dikurangi dengan FOB USD50,00. Terhadap barang impor yang dibawa penumpang atau awak sarana pengangkut selain barang pribadi, berlaku ketentuan: [3] tarif bea masuk atas barang yang bersangkutan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembebanan tarif bea masuk umum; dan nilai pabean ditetapkan berdasarkan keseluruhan nilai pabean barang impor. Selain dikenakan tarif bea masuk, akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk semua jenis barang, serta setiap barang impor juga dikenakan Pajak Penghasilan Impor (PPh 22). Pembebasan Tarif Apabila pembeli tidak membayar tarif tersebut maka akan dikenai notul berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan barang tidak bisa diserahkan ke pembeli walaupun barang tersebut akan dijual kembali. Dalam praktik apabila pembelian action figure dan model kit gundam, menggunakan e-commerce di luar negeri biasanya terhindar dari pengamatan kepabeanan, tetapi kami menyarankan sebaiknya tetap berkoordinasi dengan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai setempat. Perlu diperhatikan pula, ada ketentuan tersendiri batasan tarif bea masuk yang dibebaskan. Misalnya terhadap barang pribadi penumpang yang diperoleh dari luar daerah pabean, dengan nilai pabean maksimal FOB USD500.00 per orang untuk setiap kedatangan, diberikan pembebasan bea masuk. [4] Cara Membayar Lebih lanjut, menjawab pertanyaan Anda, mengenai cara pembayaran, dapat Anda lihat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.04/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara Dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai, dan Penerimaan Negara yang Berasal dari Pengenaan Denda Administrasi Atas Pengangkutan Barang Tertentu (“PMK 213/2008”) dan perubahannya. Sebagai bukti pembayaran dibuktikan dengan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (“SSPCP”) surat yang digunakan untuk melakukan pembayaran dan sebagai bukti pembayaran atau penyetoran penerimaan negara. [5] Pembayaran penerimaan negara dalam rangka impor dilakukan di Bank Devisa Persepsi atau Pos Persepsi. [6] SSPCP dapat digunakan sebagai dasar untuk pelayanan kepabeanan di bidang impor apabila telah mendapat: [7] Nomor Transaksi Bank (NTB) atau Nomor Transaksi Pos (NTP), dalam hal pembayaran dilakukan di Bank Devisa Persepsi atau Pos Persepsi; atau Nomor SSPCP, dalam hal pembayaran dilakukan di Kantor Bea dan Cukai atau Kantor Pos. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 203/PMK.04/2017 Tahun 2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.04/2008 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara Dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai, dan Penerimaan Negara yang Berasal dari Pengenaan Denda Administrasi Atas Pengangkutan Barang Tertentu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.04/2013 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.04/2008 Tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara Dalam Rangka Impor, Penerimaan Negara Dalam Rangka Ekspor, Penerimaan Negara Atas Barang Kena Cukai, dan Penerimaan Negara Yang Berasal dari Pengenaan Denda Administrasi Atas Pengangkutan Barang Tertentu [1] Pasal 24 ayat (1) PMK 203/2017 [2] Pasal 24 ayat (2) PMK 203/2017 [3] Pasal 24 ayat (3) PMK 203/2017 [4] Pasal 12 ayat (1) PMK 203/2017 [5] Pasal 1 angka 12 PMK 213/2008 [6] Pasal 2 ayat (1) PMK 213/2008 [7] Pasal 3 ayat (2) PMK 213/2008 ekspor - impor pajak" }
{ "from": "human", "value": "Apakah benda yang kita beli secara kredit sudah termasuk menjadi hak milik yang sah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Ada 2 jenis benda menurut hukum perdata, yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Mengenai cara beralihnya kepemilikan, tergantung dari jenis benda yang menjadi objek jual beli. Untuk benda bergerak , hak milik berpindah ketika barang diserahkan ( levering ) penjual dan diterima pembeli. Sedangkan jika benda tidak bergerak seperti tanah, beralihnya hak milik ketika nama penjual diubah menjadi nama pembeli dalam suatu sertifikat/akta tanah yang didaftarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli hak atas tanah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Konsep Jual Beli Barang Secara mendasar perjanjian mengikat bagaikan undang-undang bagi pihak yang sepakat, dan didasarkan dengan itikad baik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang dimaksud bisa tertulis atau tidak tertulis, asalkan memenuhi empat syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata , ialah: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang. Menurut J. Satrio, seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/sepakatnya kalau orang tersebut memang menghendaki apa yang disepakati . [1] Subekti juga menyatakan dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1) bahwa perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis. Perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga macam prestasi, seperti yang dicantumkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata , yakni: Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang; Perjanjian untuk berbuat sesuatu; Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu. Jual beli pun bahkan dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar. [2] Perihal jual beli yang pembayarannya dilakukan secara kredit/mencicil (sesuai janji dilunasi di kemudian hari) oleh pembeli agar penjual menyerahkan suatu barang, menurut hukum sah-sah saja dilakukan sepanjang disepakati kedua belah pihak . [3] Beralihnya Hak Milik Sebelum berbicara peralihan hak milik suatu barang, perlu dipahami dulu bahwa KUH Perdata mengatur pembagian benda menjadi 2 macam, benda bergerak dan benda tidak bergerak. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Lihat artikel Mengenai Benda Bergerak dan Benda Tidak Bergerak , Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Perdata (hal. 61-62), suatu benda dapat tergolong dalam golongan benda yang tidak bergerak pertama karena sifatnya, kedua karena tujuan pemakaiannya, dan ketiga karena memang demikian ditentukan oleh undang-undang. Subekti juga menjelaskan suatu benda dihitung termasuk golongan benda yang bergerak karena sifatnya atau karena ditentukan oleh undang-undang. Suatu benda yang bergerak karena sifatnya ialah benda yang tidak tergabung dengan tanah atau dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangunan, jadi misalnya barang perabot rumah tangga. Tergolong benda yang bergerak karena penetapan undang-undang ialah surat-surat obligasi negara, dan sebagainya. Masih bersumber dari artikel yang sama, menurut Frieda Husni Hasbullah dalam bukunya Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak Yang Memberi Kenikmatan (hal. 45-48), sebagaimana disarikan, pentingnya pembedaan benda bergerak dan tidak bergerak berkaitan dengan salah satunya yaitu levering (penyerahan) . Menurut Pasal 612 KUH Perdata , penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata ( feitelijke levering ) oleh atas nama pemilik. Dengan sendirinya penyerahan nyata tersebut adalah sekaligus penyerahan yuridis ( juridische levering ). Sedangkan menurut Pasal 616 KUH Perdata , penyerahan benda tidak bergerak dilakukan melalui pengumuman akta yang bersangkutan dengan cara seperti ditentukan dalam Pasal 620 KUHPer antara lain membukukannya dalam register. Dengan berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”) , maka pendaftaran hak atas tanah dan peralihan haknya menurut ketentuan Pasal 19 UUPA dan peraturan pelaksananya, karena bukti kepemilikan hak atas suatu bidang tanah dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah. Definisi hak milik dapat kita lihat di Pasal 570 KUH Perdata , yakni: Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undangundang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan cara memperoleh hak milik menurut Pasal 584 KUH Perdata dilakukan sesuai dengan bunyi berikut: Hak milik atas suatu barang tidak dapat diperoleh selain dengan pengambilan untuk dimiliki, dengan perlekatan, dengan lewat waktu, dengan pewarisan, baik menurut undang-undang maupun menurut surat wasiat, dan dengan penunjukan atau penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk pemindahan hak milik , yang dilakukan oleh orang yang berhak untuk berbuat terhadap barang itu. Sehingga dengan kata lain hak milik salah satunya dapat dilakukan dengan penyerahan berdasarkan suatu peristiwa perdata. Peristiwa perdata yang dimaksud adalah jual beli, yang dalam hal ini jual beli dapat dilakukan dengan cara kredit/ mencicil. Perlu Melihat Sifat/Jenis Benda Akan tetapi perlu dilihat sifat benda di atas, apakah benda bergerak atau benda tidak bergerak. Jika contohnya benda bergerak seperti perabot rumah tangga yang dicicil. Tentu hak milik berpindah ketika barang diserahkan penjual dan diterima pembeli. Sedangkan jika contohnya benda tidak bergerak , seperti tanah, beralihnya hak milik ketika nama penjual diubah menjadi nama pembeli dalam suatu sertifikat/akta tanah yang didaftarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), hal ini sebagaimana bunyi Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PP 37/1998”) : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Referensi : Hasbullah, Frieda Husni. 2005. Hukum Kebendaan Perdata: Hak-Hak yang Memberi Kenikmatan . Ind-Hil-Co. J. Satrio. 1995. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian . Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata . Intermasa. [1] J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian , Buku 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 164 [2] Lihat Pasal 1458 KUH Perdata [3] Lihat Pasal 1457 KUH Perdata hukumonline google perdata riba hukum perdata jual beli hukum klinik kredit dagang hak milik utang klinik hukumonline perdagangan piutang benda bergerak kuh perdata" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, saya telah menikah pada tahun 2010. Kemudian pada tahun 2019 kami membeli sebidang tanah dan telah dilakukan balik nama sertipikat menjadi nama saya. Uang yang digunakan untuk pembelian tanah tersebut sepenuhnya menggunakan uang orang tua saya. Apakah tanah tersebut yang dibeli menggunakan uang orang tua saya dan dibalik nama menjadi nama saya menjadi harta bersama?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITKetentuan Balik Nama atas Tanah Harta Gono-Gini29 Nov 2022Bisakah Hibah Tanah Dibatalkan Agar Menjadi Harta Gono-Gini?18 Jun 2021Simak! 2 Langkah Hibah Tanah dan Bangunan ke Keluarga22 Jan 2021\n\nSehubungan dengan pertanyaan Anda, kami asumsikan tidak terdapat perjanjian pisah harta antara Anda dan pasangan.\n\nNamun, sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dilihat terlebih dahulu pengertian harta bersama dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun dasar hukum harta bersama yaitu Pasal 35 UU Perkawinan yang berbunyi:\n(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.\n\n(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.\nBerdasarkan ketentuan Pasal 35 UU Perkawinan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh pasangan suami isteri selama masa perkawinan.\n\nSementara, harta bawaan adalah harta yang diperoleh masing-masing pihak sebelum terjadinya perkawinan dan hadiah atau warisan yang diperoleh, sepanjang pasangan suami istri tersebut tidak menentukan lain. Maksud dari ‘tidak menentukan lain’ adalah tidak terdapatnya suatu perjanjian pisah harta antara pasangan suami istri tersebut.\n\nBaca juga: Perjanjian Perkawinan dan Hal yang Diatur di Dalamnya\nBeli Tanah Pakai Uang Orang Tua, Apakah Jadi Harta Bersama?\nDalam hal Anda membeli sebidang tanah dalam masa perkawinan maka perlu ditinjau sumber uang yang digunakan untuk membeli sebidang tanah tersebut agar dapat ditentukan apakah sebidang tanah tersebut merupakan harta bersama atau harta bawaan.\n\nBerdasarkan keterangan Anda, uang untuk membeli sebidang tanah tersebut merupakan pemberian orang tua Anda, sehingga dapat dikategorikan bahwa Anda menerima pemberian hadiah atau hibah dari orang tua Anda, dengan catatan pemberian hibah tersebut harus dibuatkan suatu akta hibah yang dibuat oleh notaris.[1]\n\nApabila Anda beragama Islam, maka terkait pertanyaan Anda perlu mengacu pada ketentuan Pasal 87 ayat (2) KHI yang berbunyi:\n\nSuami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.\n\nAdapun yang dimaksud dengan hibah menurut KHI adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.[2]\n\nDengan demikian, menurut hemat kami, sebidang tanah yang dibelikan oleh orang tua Anda tersebut merupakan hibah kepada Anda dan menjadi harta bawaan Anda dikarenakan sumber uangnya berasal dari orang tua Anda. Sebagai catatan, hibah dari orang tua Anda tersebut harus dituangkan dalam suatu akta hibah yang dibuat oleh notaris.\nBaca juga: Simak! 2 Langkah Hibah Tanah dan Bangunan ke Keluarga\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n3. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n4. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=khi)\n[1] Pasal 1682 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[2] Pasal 171 huruf g Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam" }
{ "from": "human", "value": "Apakah pekerja yang meninggal dunia tetap diberikan gaji selama belum ada surat keputusan pesangon dari perusahaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya meninggal dunianya seorang pekerja merupakan sebab berakhirnya perjanjian kerja.[1] Adapun hal ini mengakibatkan terjadi pemutusan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja.[2]\nDalam hal pekerja meninggal dunia, ahli waris pekerja berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[3]\nBerdasarkan Pasal 81 angka 47 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima jika terjadi pemutusan hubungan kerja.\n\nOleh karenanya, meski belum ada surat keputusan pesangon sebagaimana Anda maksud, terhadap pekerja yang meninggal dunia, perjanjian kerja tetap berakhir dan yang bersangkutan tidak berhak lagi menerima upah.\nHak-hak Ahli Waris Jika Pekerja Meninggal Dunia\n\nMenurut Pasal 57 PP 35/2021, pemutusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia maka ahli warisnya berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan Pasal 40 ayat (2) PP 35/2021, uang penghargaan masa kerja 1 kali ketentuan Pasal 40 ayat (3) PP 35/2021, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (4) PP 35/2021.\n\nBaca juga: Hak Pekerja yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri\n\nKemudian ahli waris juga berhak menerima besaran uang jaminan kematian jika pekerja (peserta) meninggal dunia dalam masa aktif yaitu:[4]\nsantunan sekaligus Rp20 juta yang diberikan kepada ahli waris peserta;santunan berkala yang dibayarkan sekaligus sebesar Rp12 juta diberikan kepada ahli waris peserta;biaya pemakaman sebesar Rp10 juta diberikan kepada ahli waris peserta atau apabila tidak ada ahli waris, maka diberikan kepada pihak yang mengurus pemakaman;beasiswa pendidikan bagi anak dari peserta yang telah memiliki masa iur paling singkat 3 tahun dan meninggal bukan karena kecelakaan kerja. Adapun jumlah anak yang ditanggung paling banyak 2 anak yang diberikan berkala setiap tahun sesuai tingkat pendidikan anak peserta.\n\nSelain uang jaminan kematian, besaran uang jaminan hari tua yang berhak diterima oleh ahli waris yang sah yaitu sebesar nilai akumulasi seluruh iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang tercatat dalam rekening perorangan peserta.[5]\nKemudian manfaat jaminan pensiun juga diberikan kepada ahli waris jika pekerja (peserta) meninggal dunia,[6] yang terdiri atas 1 orang istri atau suami sah, paling banyak 2 orang anak, atau 1 orang tua.[7] Misalnya untuk istri atau suami dari pekerja yang meninggal dunia, maka besar manfaat pensiun janda atau duda dihitung sebesar:[8]\n50% dari formula manfaat pensiun jika pekerja meninggal dunia sebelum menerima manfaat pensiun; atau 50% dari manfaat pensiun hari tua atau manfaat pensiun cacat jika pekerja meninggal dunia setelah menerima manfaat pensiun.\n\nNamun apabila pekerja meninggal dunia dan tidak mempunyai istri, suami atau anak, manfaat pensiun diberikan kepada orang tua pekerja yang sudah meninggal dunia, sebesar:[9]\n\n20% dari formula manfaat pensiun, untuk pekerja yang meninggal dunia sebelum menerima manfaat pensiun; atau20% dari manfaat pensiun hari tua, untuk pekerja yang meninggal dunia setelah menerima manfaat pensiun.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt559b62444ae74/node/pp-no-44-tahun-2015-penyelenggaraan-program-jaminan-kecelakaan-kerja-dan-jaminan-kematian?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_44_2015)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5df8592e01abf?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_82_2019)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65239c41c0c75?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_49_2023)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt559b653d0d770/peraturan-pemerintah-nomor-46-tahun-2015/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_46_2015)\n8. [Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt55d55325449f7?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_60_2015)\n9. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n[1] Pasal 81 angka 16 Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perppu Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 61 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2]  Pasal 81 angka 45 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf o UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 16 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 61 ayat (5) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian[5] Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua[6] Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (“PP 45/2015”)[7] Pasal 14 ayat (1) PP 45/2015[8] Pasal 21 ayat (1) dan (2) PP 45/2015[9] Pasal 23 ayat (1) dan (2) PP 45/2015" }
{ "from": "human", "value": "Ada tidak UU yang mengatur di mana saya kerja di perusahaan swasta belum ada 6 bulan, tetapi saya mau mengajukan cuti haji? Bisakah hal ini disetujui oleh perusahaan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ibadah haji, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji , adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya . KLINIK TERKAIT Pelaksanaan Ibadah bagi Karyawan 22 Des 2017 Apakah Pekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji Akan Dipotong Cuti Tahunannya? 14 Jun 2016 Naik Haji Gaji Dipotong, Pantaskah? 29 Apr 2016 Upaya Hukum Jika Pengusaha Tidak Memberikan Waktu untuk Salat Jumat 23 Agt 2012 Dalam kaitannya dengan pekerja yang hendak menunaikan ibadah haji, kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 93 ayat (2) huruf e UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang pada intinya mengatur bahwa pengusaha tetap wajib membayarkan upah kepada pekerja/buruh ketika pekerja/buruh tersebut tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya. Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 93 ayat (2) UUK akan dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat satu bulan dan paling lama empat tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp400 juta. Demikian sebagaimana diatur dalam Pasal 186 ayat (1) UUK , yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut: Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Aturan penting lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pekerja yang hendak menunaikan ibadah Haji adalah sebagaimana diatur dalam PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”). Di dalam Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981 diatur bahwa pengusaha wajib untuk tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan . Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981 dijelaskan bahwa dengan mengingat keuangan perusahaan, maka dalam hal buruh menjalankan ibadah tersebut lebih dari satu kali, pengusaha tidak wajib membayar upahnya . Selain itu, hak pekerja untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya dijamin oleh Konstitusi dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Hal ini sebagaimana bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 serta Pasal 22 UU HAM, yang menyebutkan sebagai berikut: Pasal 28 E ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 : Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali Pasal 22 UU HAM : (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi, berdasarkan uraian di atas, tidak ada alasan yang sah bagi perusahaan untuk tidak mengizinkan Anda untuk tidak bekerja selama kurun waktu tertentu dalam rangka menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Jika perusahaan tempat Anda bekerja tidak mengizinkan Anda untuk menunaikan ibadah haji, maka hal tersebut merupakan pelanggaran hak asasi, yaitu pelanggaran hak untuk beribadat menurut agama yang Anda yakini. Jika terjadi pelanggaran seperti itu, Anda dapat melaporkan perusahaan yang bersangkutan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Kemudian, jika perusahaan Anda mengizinkan Anda menunaikan ibadah haji, tapi tidak membayar upah Anda sesuai Pasal 93 ayat (2) huruf e UUK jo Pasal 6 ayat (4) PP 8/1981, maka Anda dapat melaporkan permasalahan tersebut ke Dinas Ketenagakerjaan yang melingkupi wilayah Anda. Meski demikian, kami menyarankan Saudara melakukan musyawarah terlebih dahulu dengan perusahaan tempat Anda bekerja agar didapatkan solusi terbaik. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ; 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 4. Undang-Undang No. 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji 5. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah" }
{ "from": "human", "value": "Assalamu'alaikum wr. wb., saya mau bertanya tentang ancaman pidana. Kapankah seseorang baru mendapatkan ancaman pidana? Sebelum melakukan perbuatan ataukah sesudah melakukan perbuatan? Mohon penjelasannya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Salam sejahtera, Merujuk pada pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa maksud Anda adalah kapan seseorang dapat diancam dengan hukuman pidana, apakah sebelum melakukan perbuatan atau sesudah melakukan perbuatan. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Bagi Pasangan yang Mencoba Aborsi 08 Mei 2024 Apakah Orang Gila Bisa Dipidana? 09 Mei 2023 Jerat Hukum Membujuk Orang Lain Melakukan Tindak Pidana 02 Jan 2023 Bisakah Mencalonkan Diri Menjadi Anggota Legislatif Jika Pernah Dipidana? 11 Des 2018 Pada dasarnya, ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dapat diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia sesuai Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Ketentuan pidana juga dapat diterapkan pula pada beberapa keadaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 7 KUHP , yang pada intinya diterapkan pada orang yang melakukan suatu tindak pidana. Hukuman pidana juga dapat diterapkan pada orang yang melakukan suatu tindak pidana meskipun tindak pidana tersebut belum selesai dilakukan atau tidak tercapai hasilnya. Perbuatan ini diatur dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP , yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Percobaan untuk melakukan kejahatan terancam hukuman , bila maksud si pembuat sudah nyata dengan dimulainya perbuatan itu dan perbuatan itu tidak jadi sampai selesai hanyalah lantaran hal yang tidak bergantung dari kemauannya sendiri .” Terkait pasal tersebut, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal mengatakan bahwa supaya percobaan pada kejahatan (pelanggaran tidak) dapat dihukum, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (hal. 68-69): 1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu; 2. Orang sudah memulai berbuat kejahatan itu ; dan 3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, tidak terletak dalam kemauan penjahat itu sendiri. Masih menurut R. Soesilo (ibid, hal. 69), apabila orang berniat akan berbuat kejahatan dan ia telah mulai melakukan kejahatannya itu, akan tetapi karena timbul rasa menyesal dalam hati ia mengurungkan perbuatannya, sehingga kejahatan tidak sampai selesai, maka ia tidak dapat dihukum atas percobaan pada kejahatan itu, oleh karena tidak jadinya kejahatan itu atas kemauannya sendiri. Jika tidak jadinya selesai kejahatan itu disebabkan karena misalnya kepergok oleh agen polisi yang sedang meronda, maka ia dapat dihukum, karena hal yang mengurungkan itu terletak di luar kemauannya. Jadi, orang yang sudah berniat melakukan tindak pidana, dan telah mulai melakukan perbuatan tersebut, meskipun belum sampai selesai karena terhalang oleh sebab-sebab di luar kemauan si pelaku, juga dapat dipidana berdasarkan Pasal 53 ayat (1) KUHP. Mengenai tindak pidana itu sendiri, Drs. P.A.F. Lamintang, S.H. , dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 181-182) menjelaskan dengan mengutip pendapat dari HAZEWINKEL-SURINGA . Dalam buku tersebut dikatakan bahwa HAZEWINKEL-SURINGA telah membuat rumusan yang bersifat umum dari “ strafbaar feit (tindak pidana - red)” yaitu sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya. Sedangkan menurut POMPE ( Ibid , hal 182), perkataan “ strafbaar feit ” itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja maupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku , dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa sifat-sifat dimaksud di atas perlu dimiliki oleh setiap “ strafbaar feit ” oleh karena secara teoritis setiap pelanggaran norma itu harus merupakan suatu perilaku yang telah dengan sengaja atau telah tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku , yang di dalam penampilannya merupakan suatu perilaku yang bersifat bertentangan dengan hukum. Dari rumusan pasal dalam KUHP dan pendapat para ahli hukum pidana di atas, terlihat bahwa yang dapat diancam dengan hukuman pidana adalah tindak pidana. Tindak pidana itu sendiri merupakan suatu perilaku yang telah dengan sengaja atau tidak dengan sengaja dilakukan oleh seorang pelaku. Jadi, seseorang baru dapat diancam dengan hukuman pidana setelah orang tersebut melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Percobaan melakukan tindak pidana, jika memenuhi syarat-syarat sesuai Pasal 53 ayat (1) KUHP, juga dapat dihukum. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Referensi : 1. P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. 2. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. tindak pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah benar aturan gubernur baru Jakarta mengatur setiap calon pengantin yang akan menikah harus melakukan pemeriksaan kesehatan dan mengikuti konseling? Apa saja yang diperiksa? Apa tujuannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Di Jakarta calon pengantin dapat melakukan pemeriksaan kesehatan secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin . Kemudian, hasil pemeriksaan kesehatan tersebut (sertifikat) dijadikan sebagai persyaratan administrasi dalam proses pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan. Tujuan umum pemeriksaan kesehatan ini adalah dalam rangka pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga oleh tenaga kesehatan bagi calon pengantin di fasilitas kesehatan dan lembaga pernikahan serta sektor terkait. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Adakah Biaya Pengurusan Akta Cerai? 28 Okt 2022 Larangan Pernikahan Sesama Pekerja dalam Satu Perusahaan 20 Des 2017 Wajibkah Pegawai BUMN Meminta Izin Atasan Jika Ingin Menikah? 28 Sep 2017 Status Anak yang Lahir dari Pasangan Kumpul Kebo 28 Sep 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemberian Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin (“Pergub DKI Jakarta 185/2017”) . Setiap calon pengantin yang akan melangsungkan perkawinan, yang pencatatannya di Kantor Urusan Agama (“KUA”) atau Kantor Catatan Sipil, dapat memeriksakan kesehatannya secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta. [1] Menjawab pertanyaan Anda, tujuan umum terlaksananya pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin adalah dalam rangka pembinaan ketahanan dan kesejahteraan keluarga oleh tenaga kesehatan bagi calon pengantin di fasilitas kesehatan dan lembaga pernikahan serta sektor terkait. [2] Sedangkan tujuan khusus pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin adalah: [3] a. Terlaksananya pemeriksaan kesehatan bagi calon pengantin; b. Terlaksananya pemeriksaari penunjang bagi calon pengantin; c. Terlaksananya Komunikasi, Informasi dan Edukasi bagi calon pengantin; d. Terlaksananya pelayanan gizi; e. Terlaksananya pemberian imunisasi; dan f. Terlaksananya pemberian pengobatan/terapi dan rujukan bagi calon pengantin. Pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tanggal perkawinan ataupun pencatatan pernikahan. Dalam menyampaikan hasil pemeriksaan kesehatan calon pengantin tetap dikedepankan hak kerahasiaan pasien. [4] Puskesmas membentuk tim untuk pemeriksaan kesehatan calon pengantin yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, analis gizi, pengelola program Human Immunodeficiency Virus (HIV), Infeksi Menular Seksual (IMS), Hepatitis dan lain-lain yang dianggap perlu. [5] Pemeriksaan kesehatan dilakukan oleh Tim setelah calon pengantin menunjukkan Kartu Tanda Penduduk atau surat pengantar permohonan pemeriksaan kesehatan dari Kelurahan yang dilengkapi data calon pengantin dan surat validasi yang ditanda tangani oleh Lurah bagi penerima manfaat kategori miskin berdasarkan data Basis Data Terpadu (BDT) termutakhir. [6] Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto dalam artikel Sertifikat Kawin, Syarat Wajib Warga DKI Jakarta Langsungkan Pernikahan sebagaimana yang kami akses dari laman Kompas.com menyebut sertifikat hasil pemeriksaan kesehatan ini sebagai \"Sertifikat Kawin\". Ia menegaskan, pasangan muda yang hendak menikah diwajibkan memiliki sertifikat tersebut. Lebih lanjut Koesmedi Priharto menjelaskan bahwa tidak boleh nikah kalau tidak ada itu karena di sertifikat itu tercantum hasil pemeriksaan kesehatan masing-masing. Tujuannya jelas, jangan sampai ada penyakit menular atau menurun yang bisa berdampak pada kehidupan mereka dan anak-anaknya nanti. Sertifikat atau Surat Keterangan Pemeriksaan Kesehatan Calon Pengantin telah selesai melakukan pemeriksaan kesehatan adalah surat keterangan hasil pemeriksaan menerangkan bahwa calon pengantin telah diperiksa kesehatannya dan mendapat konseling sesuai ketentuan yang berlaku. [7] Mendapatkan sertifikat/surat keterangan pemeriksaan kesehatan calon pengantin dari Puskesmas adalah sebagai persyaratan administrasi dalam proses pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan. [8] Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang benar di Jakarta calon pengantin dapat melakukan pemeriksaan kesehatan secara sukarela di fasilitas layanan kesehatan yang ditunjuk baik di Puskesmas, Laboratorium ataupun Rumah Sakit baik milik pemerintah maupun swasta. Kemudian, hasil pemeriksaan kesehatan tersebut (sertifikat) dijadikan sebagai persyaratan administrasi dalam proses pencatatan pernikahan di KUA Kecamatan. Alur dan Jenis Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin Tahapan yang dilalui oleh calon pengantin dalam melakukan konseling dan pemeriksaan kesehatan adalah sebagai berikut: [9] 1. Calon Pengantin datang ke kantor Kelurahan setempat dalam rangka memenuhi persyaratan pencatatan pernikahan yang diperlukan dari Kelurahan tempat tinggal catatan pengantin. Kantor Kelurahan meminta calon pengantin untuk melengkapi pemeriksaan kesehatan yang dilakukan di Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan yang terakreditasi. 2. Calon pengantin mendaftar/datang ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan lainnya, sambal menunjukkan Kartu Tanda Penduduk/identitas diri. 3. Pelayanan kesehatan yang dilakukan: pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan penunjang medis lainnya dan membuat resume hasil pemeriksaan kesehatan termasuk status pemberian imunisasi Tetanus Toksoid (TT) 4. Apabila dari hasil pemeriksaan dan proses konseling ditemukan indikasi medis yang memerlukan penatalaksanaan lebih lanjut maupun rujukan, calon pengantin akan mendapatkan surat rujukan ke Rumah Sakit Rujukan Puskesmas yang di tunjuk. Apabila calon pengantin yang berdasarkan hasil pemeriksaan dokter dinyatakan tidak sehat atau memerlukan penatalaksanaan lanjutan dari segi medis kesehatan diberikan surat rujukan untuk melanjutkan proses pengobatan dan dianjurkan berobat sampai sehat. [10] 5. Untuk selanjutnya calon pengantin akan mendapatkan bukti berupa sertifikat atau surat keterangan Pemeriksaan Kesehatan Calon Pengantin yang ditandatangani oleh dokter Puskesmas. [11] 6. Calon pengantin selanjutnya menunjukkan sertifikat atau surat keterangan Pemeriksaan Kesehatan Calon Pengantin telah dilakukan pemberian konseling dan pemeriksaan kesehatan. Petugas kelurahan melengkapi dengan Formulir N1, N2 atau N4 untuk di serahkan ke KUA, atau lembaga agama lainnya diserahkan ke kantor Catatan Sipil, untuk proses pernikahan dan pencatatan pernikahan. Pelayanan kesehatan bagi calon pengantin meliputi: [12] a. Anamnesis: 1) Anamnesis umum dan tambahan untuk calon pengantin; 2) Melengkapi persyaratan pemeriksaan dengan membuat persetujuan atau informed concern ; dan 3) Jika diperlukan dapat dilakukan deteksi dini masalah kesehatan jiwa. b. Pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan status gizi), yang dilakukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi status kesehatan melalui pemeriksaan denyut nadi, frekuensi nafas, tekanan darah, suhu tubuh dan pemeriksaan seluruh tubuh. Selain itu dilakukan pemeriksaan status gizi yang meliputi pengukuran berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tanda-tanda anemia. [13] c. Pemeriksaan penunjang (laboratorium) yang diperlukan oleh Calon Pengantin, antara lain: [14] 1. Pemeriksaan darah: a. Hb; b. golongan darah; dan c. Rhesus. 2. Dalam kondisi tertentu/atas saran dokter dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut: a. gula darah; b. HIV; c. IMS (sifilis); d. Hepatitis; e. TORCH; f. Malaria; g. Thalassemia; dan h. pemeriksaan lain sesuai indikasi. d. Komunikasi, Informasi dan Edukasi; e. Pelayanan gizi: pencegahan dan penanggulangan anemia; f. Imunisasi; dan g. Pengobatan/terapi dan rujukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 185 tahun 2017 tentang Konseling dan Pemeriksaan Kesehatan Bagi Calon Pengantin . REFERENSI:\n1. Sertifikat Kawin, Syarat Wajib Warga DKI Jakarta Langsungkan Pernikahan , diakses pada Rabu, 24 Januari 2018, pukul 11.24 WIB. [1] Pasal 9 ayat (1) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [2] Nomor 2 huruf a Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 [3] Nomor 2 huruf b Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 [4] Pasal 9 ayat (4) dan (5) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [5] Pasal 9 ayat (2) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [6] Pasal 9 ayat (3) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [7] Pasal 1 angka 33 Pergub DKI Jakarta 185/2017 [8] Pasal 14 huruf b Pergub DKI Jakarta 185/2017 [9] Nomor 4 Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 [10] Pasal 9 ayat (6) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [11] Pasal 9 ayat (7) Pergub DKI Jakarta 185/2017 [12] Nomor 6 Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 [13] Nomor 8 Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 [14] Nomor 11 Lampiran Pergub DKI Jakarta 185/2017 kesehatan hukumonline google pergub dki jakarta hukum klinik klinik hukumonline keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah yang dimaksud dengan penuh konsentrasi pada aturan yang menganjurkan setiap pengendara kendaraan bermotor harus berkonsentrasi? Apakah merokok dan mendengarkan music tidak diperbolehkan karena mengganggu konsentrasi menurut Undang-Undang?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) , Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi . Yang dimaksud dengan \" penuh konsentrasi \" adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan. Dari pengertian tersebut, secara eksplisit merokok atau mendengarkan musik tidak termasuk dalam hal-hal yang yang dapat mengganggu konsentrasi pada saat berkendara menurut UU LLAJ . Akan tetapi, merokok atau mendengarkan musik saat berkendara dapat dipidana jika kegiatan tersebut mempengaruhi kemampuan pengendara dalam mengemudikan kendaraaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dan membuat pengendara lalai sehingga mengakibatkan kecelakaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Mengemudikan Kendaraan Dengan Penuh Konsentrasi Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) . Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ menyatakan: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi . Jika pengendara mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di Jalan, maka dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu. [1] Yang dimaksud dengan \" penuh konsentrasi \" adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan , atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan. [2] Jadi setiap orang yang mengendarai kendaraan diwajibkan untuk berkendara dengan wajar dan penuh konsentrasi, jika tidak, maka akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750 ribu. Apakah Merokok atau Mendengarkan Musik Dikategorikan Menggaggu Konsentrasi Saat Berkendara? Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yang dimaksud dengen penuh konsentrasi itu adalah penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena: Sakit; Lelah; Mengantuk; Menggunakan telepon; Atau menonton televisi atau video yang terpasang di kendaraan; Meminum minuman mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga mempengaruhi kemampuan mengemudikan kendaraan. Dari pengertian tersebut, secara eksplisit merokok atau mendengarkan musik tidak termasuk dalam hal-hal yang yang dapat mengganggu konsentrasi pada saat berkendara menurut UU LLAJ . Tetapi merokok atau mendengarkan musik dapat dikatakan sebagai mengganggu konsentrasi jika kegiatan tersebut dapat mempengaruhi kemampuan pengendara dalam mengemudikan kendaraaan sehingga mengakibatkan gangguan konsentrasi. Terkait hal ini, sebagaimana diberitakan dalam artikel Larangan Dengar Musik Berkendara, Tafsir ‘Penuh Konsentrasi’ Jadi Polemik , memang Kasubdin Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya AKBP Budiyanto pernah mengeluarkan pernyataan di media perihal kebiasaan mendengarkan radio atau musik dan menghisap asap rokok saat mengemudi kendaraan merupakan bentuk pelanggaran Pasal 106 ayat (1) jo. Pasal 283 UU LLAJ. Namun kemudian, AKBP Budiyanto meluruskan informasi yang berkembang di tengah masyarakat . Menurutnya, tafsir pasal-pasal tata cara berlalu lintas dalam UU LLAJ sudah benar. Hal tersebut mesti menjadi pegangan bagi masyarakat saat berkendara dengan selamat. Dalam ketentuan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ mengharuskan pengemudi kendaraan bermotor wajib berlaku wajar dan penuh konsentrasi. Penjelasan konsentrasi kata Budiyanto adalah penuh perhatian . Sehingga, pengendara tidak boleh melakukan kegiatan lain yang dapat mempengaruhi situasi menurunkan tingkat konsentrasi. Misalnya capek, lelah, ngantuk, menggunakan handphone, terpengaruh alkohol, narkotika, dan lain-lain. Mengenai merokok dan mendengarkan radio, AKBP Budiyanto mempersilakan masyarakat menilai kegiatan tersebut, apakah mengganggu konsentrasi atau tidak. Informasi lainnya kami dapatkan di laman Pusat Pengendali Lalu Lintas Nasional Kepolisian Republik Indonesia/National Traffic Management Center (NTMC Polri) dimana Kepala Korps Lalu Lintas Polri (“Kakorlantas”) Irjen Pol Royke Lumowa menjelaskan bahwa tidak ada larangan merokok saat berkendara, itu tidak benar . Kakorlantas juga membantah jika mendengarkan musik di dalam mobil itu tidak diperkenankan. Namun dia tak menampik bahwa ada satu hal yang dilarang saat mengemudi mengenai pemanfaatan fitur hiburan di dalam mobil. Yang dilarang itu adalah sopir menonton video atau tv sambil menyetir, kalau mendengarkan radio atau musik tidak dilarang. Jika Perbuatan Merokok atau Mendengarkan Musik Mengakibatkan Kecelakaan Akan tetapi perlu diketahui, perbuatan merokok atau mendengarkan musik saat berkendara dapat dipidana jika kegiatan tersebut membuat pengendara lalai dan mengakibatkan kecelakaan. Hal ini diatur dalam Pasal 310 UU LLAJ , yang berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan/ atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak RplO.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah). Sebagai contoh dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor: 375/ Pid.Sus/2014/PN.Llg , dimana majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengendarai kendaraan sambil mendengarkan musik dan mengobrol mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dan kerusakan kendaraan dan barang. Oleh karena itu hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama 3 (tiga) bulan dan menetapkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalankan, kecuali apabila di kemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim karena terpidana sebelum lewat masa percobaan selama 6 (enam) bulan melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Contoh lainnya dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor: 7/Pid.B/2015/PN.Sbg, dimana terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan orang lain luka berat. Terdakwa mengemudikan sepeda motornya tersebut sambil merokok dan memegang stang kemudi dengan satu tangan sehingga mengakibatkan kecelakaan. Karena perbuatan tersebut, terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 1 (satu) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Muara Bungo Nomor: 375/ Pid.Sus/2014/PN.Llg ; Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor: 7/Pid.B/2015/PN.Sbg . Referensi : Pusat Pengendali Lalu Lintas Nasional Kepolisian Republik Indonesia/ National Traffic Management Center (NTMC Polri) , diakses pada 6 Maret 2018 pukul 11.43 WIB. [1] Pasal 283 UU LLAJ [2] Penjelasan Pasal 106 ayat (1) UU LLAJ jalan hukumonline google pelanggaran tilang tipiring hukum klinik lalu lintas klinik hukumonline musik pidana" }