0
dict
1
dict
{ "from": "human", "value": "Apakah yang dimaksud dengan pidana bersyarat dan pembebasan bersyarat ?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Pertama, kami akan menjelaskan mengenai Pidana Bersyarat terlebih dahulu. Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-syarat tertentu, yang dalam praktik hukum disebut dengan pidana/hukuman percobaan. Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana oleh hakim yang pelaksanaannya bergantung pada syarat-syarat tertentu atau kondisi tertentu. KLINIK TERKAIT Syarat Pembebasan Bersyarat dan Cara Mengurusnya 18 Jul 2022 Peran Jaksa dalam Proses Hukum Perdata dan Pidana 07 Apr 2022 Jangka Waktu Penyampaian Petikan dan Salinan Putusan Pidana 27 Mei 2013 Bolehkah Narapidana Melakukan Hubungan Suami-Istri di Dalam Lapas? 05 Okt 2012 Dalam buku “ Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya ” ( Kanter E.Y & S.R. Sianturi , 2002, Storia Grafika) dijelaskan bahwa pidana bersyarat adalah “ Sekedar suatu istilah umum, sedangkan yang dimaksud bukanlah pemidanaannya yang bersyarat, melainkan pemidanaannya pidana itu yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu .” Pidana bersyarat diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) pada Pasal 14 a yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu. (2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana . Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat 2. (3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan. (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan. (5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu. Pidana bersyarat pernah kita dengar pada suatu kasus yang terkenal yakni pemidanaan Rasyid Amrullah Rajasa. Dalam kasus ini, majelis hakim menerapkan Pasal 14 a KUHP yang bertujuan sebagai wujud pencegahan agar tidak melakukan hal yang sama. Ketua Majelis Hakim yang menjatuhkan vonis, Suharjono, berpandangan bahwa telah terwujud prinsip teori hukum restorative justice dalam putusan hakim sehingga setimpal dengan perbuatan Rasyid. Selain itu, Suharjono juga mengatakan “ Terdakwa berlaku sopan, tidak mempersulit persidangan, masih muda, dan keluarga bertanggung jawab. “ Baca berita selengkapnya di sini . Penjelasan lain yang dapat melengkapi jawaban atas pidana bersyarat ini adalah artikel jawaban Sdr. Anggara yang berjudul Pidana Bersyarat . Kedua, mengenai Pembebasan Bersyarat . Pembebasan bersyarat adalah bebasnya Narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan .. Mengenai prosedur dan syarat suatu Pembebasan Bersyarat, dapat dilihat pada artikel jawaban dari Sdri. Diana Kusumasari yang berjudul Syarat dan Prosedur Pengajuan Pembebasan Bersyarat . Terima kasih, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan pidana bersyarat" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan pencabutan hak-hak tertentu dalam amar putusan pengadilan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Jadi jika terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan padanya maka pengadilan menjatuhkan pidana. Hukuman pidana itu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. P encabutan hak-hak tertentu itu merupakan salah satu jenis dari pidana tambahan. Pencabutan hak-hak tertentu tersebut dilakukan pada hak-hak yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Misal, seorang dokter malpraktik dicabut haknya menjadi seorang dokter, tujuannya agar dokter tersebut tidak kembali melakukan perbuatan kejatahan yang sama, begitu pula terpidana korupsi (koruptor), dapat dicabut hak politiknya (hak memilih dan dipilih), tujuannya agar koruptor tadi tidak lagi melakukan perbuatan serupa yang tentu dapat merugikan negara Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Jenis Pidana Dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , pidana dibagi menjadi dua jenis, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan: Pidana Pokok terdiri dari: Pidana mati; Pidana penjara; Pidana kurungan; Pidana denda; Pidana tutupan. Pidana Tambahan terdiri dari: Pencabutan hak-hak tertentu ; Perampasan barang-barang tertentu; Pengumuman putusan hakim. Perihal pidana tambahan ini merupakan jenis pidana yang bersifat menambah dari pidana pokok yang dijatuhkan. Sehingga pidana tambahan bersifat tidak dapat berdiri sendiri. Karena mengharuskan adanya pidana pokok yang dijatuhkan terlebih dahulu. Hal ini juga dibenarkan oleh R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 36) menjelaskan bahwa selain hukuman pokok, maka dalam beberapa hal yang ditentukan dalam undang-undang dijatuhkan pula (ditambah) dengan salah satu dari hukuman tambahan. Hukuman tambahan gunanya untuk menambah hukuman pokok, jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian Selengkapnya mengenai pidana pokok dan pidana tambahan Anda dapat simak artikel Arti Pidana Pokok dan Pidana Tambahan . Arti Pidana Pencabutan Hak-Hak Tertentu Lebih lanjut R.Soesilo menjelaskan (hal.55) bahwa pencabutan hak-hak tertentu merupakan salah satu jenis dari pidana tambahan. Pencabutan hak-hak tertentu memiliki arti bahwa tidak semua hak terpidana akan dicabut, (seperti hak asasi manusia, hak hidup, dan lainnya tidak dapat dicabut. Sebab apabila semua hak dicabut maka dapat mengakibatkan kehilangan kesempatan hidup bagi pihak terpidana. Kemudian hal ini dan juga bertentangan dengan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) , yang menyatakan bahwa: Tidak ada satu hukuman pun yang dapat mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan semua hak-hak sipil. Maka dari itu, pencabutan hak tertentu hanya dilakukan pada hak-hak yang memang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUHP , yaitu: Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah: Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; Hak memasuki angkatan bersenjata; Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum; Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri; Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri; Hak menjalankan mata pencaharian tertentu. Selanjutnya, Pasal 38 KUHP , juga diatur mengenai batas waktu dari pencabutan hak, yaitu: Jika dilakukan pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan sebagai berikut: Dalam hal pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lamanya pencabutan seumur hidup; Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya; Dalam hal pidana denda, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun. Jadi, mengenai pencabutan hak-hak tertentu, dijatuhkan bukan karena ingin menghilangkan kehormatan seseorang, akan tetapi berdasarkan kepatutan seperti alasan pencegahan agar seseorang tidak lagi melakukan perbuatan pidana serupa. Misal, seorang dokter malpraktik dicabut haknya menjadi seorang dokter, tujuannya agar dokter tersebut tidak kembali melakukan perbuatan kejatahan yang sama, begitu pula terpidana korupsi (koruptor), dapat dicabut hak politiknya (hak memilih dan dipilih), tujuannya agar koruptor tadi tidak lagi melakukan perbuatan serupa yang tentu dapat merugikan negara. Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan hakim dapat dijalankan. [1] Dalam penyelesaian perkara di pengadilan, terdapat tiga bentuk putusan hakim, yaitu: Putusan Bebas; Putusan Lepas; dan Putusan Pemidanaan Putusan bebas pengaturannya terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Putusan lepas diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP , yang berbunyi: Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindakan pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Sedangkan Putusan Pemidanaan diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP , yaitu: Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Selengkapnya mengenai putusan bebas, lepas dan pemidanaan Anda dapat simak dalam artikel Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas dan Putusan Lepas . Dalam putusan pemidanaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), surat putusan memuat tuntutan pidana. Maka dalam hal ini, Hakim akan memutuskan pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, berupa pidana pokok maupun ditambah dengan pidana tambahan yang salah satunya mencakup pencabutan hak-hak tertentu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Referensi: R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia – Bogor; [1] Pasal 38 ayat (2) KUHP acara peradilan hukumonline denda online hukum klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau menanyakan mengenai pidana penjara seumur hidup. Apa itu pidana penjara seumur hidup? Banyak versi yang beredar mengenai pidana penjara seumur hidup. Versi pertama, pidana penjara seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan hakim di mana lama pidananya bergantung pada usia terpidana. Misalnya, ia melakukan kejahatan dan dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup, pada saat dijatuhi hukuman tersebut terpidana berumur 21 tahun maka pidana penjara seumur hidup itu dijalani selama 21 tahun. Versi kedua, pidana penjara seumur hidup itu pidana yang dijatuhkan dan dijalani selama ia hidup dia terus berada di dalam penjara tanpa adanya rentang waktu tersebut atau bisa dibilang sampai ia meninggal ia terus ada di penjara, yang mana yang benar? Apa dasar dan peraturan mengenai penjelasan pidana seumur hidup tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan akan pidana penjara seumur hidup, kami akan merujuk pada KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan KUHP baru atau UU 1/2023 yang akan berlaku pada tahun 2026[1] mendatang.\n|\n| 0\n| 1\n|\n|---:|:---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|:------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------|\n| 0 | Pasal 12 KUHP\n| Pasal 68 UU 1/2023\n|\n| 1 | Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu.Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek 1 hari dan paling lama 15 tahun berturut- turut.Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk 20 tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi 20 tahun. | Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentuPidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 tahun berturut turut atau paling singkat 1 hari, kecuali ditentukan minimum khusus.Dalam hal terdapat pilihan antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau terdapat pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun, pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 tahun berturut turut.Pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 tahun. |\n\nDari ketentuan-ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa pidana penjara seumur hidup adalah pidana penjara selama terpidana masih hidup hingga meninggal. Ketentuan tersebut sekaligus menolak pendapat bahwa hukuman penjara seumur hidup adalah hukuman penjara yang dijalani selama usia terpidana pada saat vonis dijatuhkan.\nKesalahan Penafsiran Pidana Penjara Seumur Hidup\n\nPidana penjara seumur hidup sering salah ditafsirkan. Kesalahan penafsiran terbanyak adalah menganggap bahwa pidana penjara seumur hidup berarti pidana penjara sesuai dengan usia terpidana saat vonis dijatuhkan.\n\nUntuk memudahkan pemahaman tentang pidana penjara seumur hidup, kami mencontohkan, jika seseorang dipidana penjara seumur hidup ketika ia berusia 21 tahun, maka berdasarkan pendapat yang beranggapan bahwa yang dimaksud ‘seumur hidup’ adalah sama dengan jumlah umur terpidana ketika vonis dijatuhkan, yang bersangkutan akan menjalani hukuman penjara selama 21 tahun. Hal itu tentu melanggar ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP dan Pasal 68 ayat (4) UU 1/2023 yang mana lamanya hukuman yang dijalani oleh terpidana melebihi batasan maksimal 20 tahun.\n\nContoh lainnya, berdasarkan pendapat yang sama, jika terpidana divonis penjara seumur hidup pada saat ia berumur 18 tahun, berarti terpidana tersebut akan menjalani hukuman pidana penjara seumur hidup selama 18 tahun. Hal ini tentu menimbulkan kerancuan yaitu mengapa hakim tidak langsung saja menghukum terpidana selama 18 tahun penjara, padahal hal itu masih diperbolehkan dalam KUHP?\n\nDari uraian di atas dapat disimpulkan dasar hukum serta logika berpikir bahwa maksud penjara seumur hidup adalah penjara sepanjang si terpidana masih hidup, dan hukumannya baru akan berakhir ketika ia meninggal dunia.\nDemikian jawaban dari kami terkait arti pidana penjara seumur hidup sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah itu Presidential Threshold dalam Pemilu serentak? Apakah Presidential Threshold dalam Pemilu serentak konstitusional atau inkonstitusional?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Presidential Threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Pada saat ini, ketentuan Presidential Threshold diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) di mana ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (pemilu diadakan serentak) . Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 , Pasal 222 UU Pemilu tersebut dinyatakan konstitusional . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Electoral Threshold, Parliamentary Threshold, dan Presidential Threshold Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Khairul Fahmi yang dikutip oleh Saldi Isra , dalam bukunya Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat, (hal. 197), sebelum membahas tentang presidentia l threshold dalam Pemilihan Umum (“Pemilu”) serentak, perlu untuk membedakan beberapa varian ambang batas atau threshold yang sering digunakan dalam penyelengggaraan pemilu. Varian tersebut adalah Electoral Threshold , Parliamentary Threshold , dan Presidential Threshold . Secara sederhana, ambang batas atau threshold dipahami sebagai batas minimal dukungan atau suara yang mesti dimiliki untuk memperoleh hak tertentu dalam pemilu . Dari segi fungsi dan kegunaanya, penerapan threshold adalah untuk mengurangi jumlah peserta pemilu; jumlah parpol yang duduk di lembaga perwakilan; dan jumlah parpol/kelompok parpol dalam pencalonan presiden dan wakil presiden. Electoral Threshold menurut Gotfridus Goris Seran dalam bukunya Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain (hal.260) diartikan sebagai tingkat dukungan minimal yang partai butuhkan untuk memperoleh perwakilan di lembaga legislatif (the minimum level of support which a party needs to gain representation in the legislature) . Ambang batasnya dapat berupa jumlah, persentase atau kuota. Threshold ini dijadikan sebagai syarat bagi partai dalam pemilu sekarang untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya. Dalam pemilu di Indonesia, electoral threshold pernah diterapkan kepada partai-partai peserta Pemilu 2004 untuk ikut serta dalam Pemilu 2009. Lebih lanjut Gotfridus Goris Seran (hal. 429-430) menjelaskan Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan kursi oleh partai di parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”). Dengan kata lain Parliamentary Threshold adalah ambang batas perolehan suara minimal partai politik dalam pemilu untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR. Ketentuan ini pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Misalnya pada tahun 2009, diatur bahwa partai politik peserta pemilu yang diikutkan dalam penentuan perolehan kursi di DPR (tidak untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota) adalah yang memenuhi sekuang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah nasional. Sedangkan untuk Pemilu 2014, naik menjadi 3,5%, dan berlaku pula untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Akan tetapi ketentuan mengenai Parliamentary Threshold untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tersebut yang terdapat dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakakilan Rakyat Daerah kemudian diuji ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kemudian masih dalam buku yang sama, Gotfridus Goris Seran (hal. 557) mendefinisikan Presidential Threshold sebagai ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25% kursi di DPR atau 20% suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. Apakah Presidential Threshold Konstitusional? Ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pertama kali dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (sekarang tidak berlaku lagi). Pembatasan tersebut dirumuskan dalam Bab II tentang Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya pada Pasal 5 ayat (4), yang menyatakan bahwa: Pasangan calon sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR . Pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan pada tahun 2004, 2009, dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan sebelumnya sebagai ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) karena pemilihan legislatif dilakukan sebelum pelaksanaan pemilihan calon presiden dan wakil presiden. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan yang terdapat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) , karena pelaksaan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif dilaksanakan secara serentak pada April 2019, sehingga ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya . Ketentuan tentang besaran perolehan jumlah kursi maupun suara sah nasional yang menjadi syarat untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden selalu berubah setiap kali pelaksanaan pemilu. Pada pelaksanaan pemilu tahun 2019, pengaturan tentang Presidential Treshold berdasarkan ketentuan yang terdapat pada Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan bahwa: Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25%(dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Ketentuan tersebut (pilpres serentak) lahir pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 (“Putusan MK 14/2013”) yang menguji Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang mengatur tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (“UU 42/2015”) . Pasal 3 ayat (5) UU 42/2015 tersebut mengatur mengenai pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan kemudian MK menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Berdasarkan putusan tersebut Mahkamah berpendapat, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pemilu Presiden (“Pilpres”) setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances) , terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial. [1] Lebih lanjut mahkamah dalam Putusan MK 14/2013 menjelaskan bahwa pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” , serta Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar . Kemudian menjawab pertanyaan Anda, apakah Presidential Treshold dalam pemilu serentak (yang diterapkan dalam UU Pemilu sekarang pada pemilu 2019) konstitusional atau inkonstitusional? Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur mengenai Presidential Treshold sebelumnya pernah dimohonkan untuk judicial review ke MK. Namun, pada bagian amar putusan Mahkamah menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu secara serentak berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya. Termasuk tentang penggunaan Presidential Treshold yang dinyatakan konstitusional berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 . Dalam putusan tersebut MK menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945. Tetapi, dalam putusan MK tersebut terdapat dua orang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) , yaitu Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Saldi Isra . Dalam dissenting opinion dinyatakan bahwa dengan membaca formulasi perumusan Pasal 222 UU Pemilu, menjadi sulit dibantah bahwa pesan “tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945” dalam Putusan MK 14/2013 terang-terangan diabaikan oleh pembentuk undang-undang. Artinya, pembentuk undang-undang berhenti membaca pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan a quo hanya sampai pada kalimat bahwa syarat jumlah kursi dan jumlah suara partai politik sebagai syarat mengajukan pasangan calon presiden adalah kewenangan pembentuk undang-undang. Padahal, dengan adanya frasa “tetap mendasarkan pada ketentuan UUD 1945”, pembentuk undang-undang selain memperhatikan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus pula memperhatikan ketentuan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 27 ayat (1) Pasal 28D ayat (1), dan ayat (3) UUD 1945 yang menghendaki adanya jaminan hak yang sama kepada setiap partai politik peserta pemilu mengajukan pasangan calon presiden (dan wakil presiden). Lebih lanjut dijelaskan pada titik itu, MK harusnya melakukan peran dan fungsi konstitusionalnya mengoreksi atau melakukan review terhadap substansi Undang-Undang sekalipun ketika perubahan UUD 1945 (1999-2002) muncul semangat untuk menyederhanakan partai politik demi menopang sistem pemerintahan presidensial. Terkait dengan semangat tersebut, MK seharusnya menempatkan atau lebih memberikan prioritas pada pemenuhan hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu dibandingkan dengan pemenuhan atas penilaian bahwa disain konstitusi (constitutional design atau constitutional engineering) menghendaki penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 ; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017 . Rerefensi : Gotfridus Goris Seran, 2013, Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain , Yogyakarta: Graha Ilmu; Saldi Isra, 2017, Pemilu dan Pemulihan Daulat Rakyat, Jakarta: Themis Publishing [1] Putusan MK 14/2013 dewan perwakilan rakyat daerah majelis permusyawaratan rakyat konstitusi mahkamah konstitusi klinik hukumonline judicial review tata negara cawapres hukumonline online dewan perwakilan rakyat dewan perwakilan daerah presidential threshold pileg uud 1945 caleg pilpres hukum calon legislatif capres" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau menanyakan apakah hak privasi itu termasuk non derogable right atau derogable right?" }
{ "from": "gpt", "value": "Privasi adalah suatu kondisi seseorang yang tidak ingin diganggu kesendiriannya oleh orang lain. Mengutip pendapat Rapoport (1977), Syafrizal, dkk. dalam buku Pengantar Ilmu Sosial (hal. 180) menerangkan, arti privasi adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mengendalikan interaksi mereka dengan orang lain, baik secara visual, audio, maupun olfaktori untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.\nSedangkan merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari privasi adalah kebebasan atau keleluasaan pribadi. Salah satu contoh hak privasi misalnya hak untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain tanpa harus diketahui oleh umum.\nMengenal Derogable Rights, dan Non-derogable Rights\n\nSetelah mengetahui arti privasi, mari kita pahami apa yang dimaksud dengan derogable rights dan non-derogable rights.\n\nNon-derogable rights\nNon-derogable rights adalah hak asasi manusia (“HAM”) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, dan/atau keadaan darurat.[1]\n\nHak-hak yang termasuk dalam non-derogable rights menurut Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 meliputi:\n\nHak untuk hidup;Hak untuk tidak disiksa;Hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani;Hak beragama;Hak untuk tidak diperbudak;Hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum; danhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.\n\nHal yang sama juga diatur dalam Pasal 4 UU HAM dan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang disahkan melalui UU 12/2005.\n\nDerogable rights\n\nDerogable rights adalah hak-hak yang masih dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu.\n\nHak-hak lain yang tidak termasuk dalam non-derogable rights merupakan derogable rights.\nHak Privasi, Termasuk Derogable Rights atau Non-Derogable Rights?\n\nBerdasarkan arti privasi yang telah diterangkan sebelumnya, apakah privasi termasuk derogable rights ataukah non-derogable rights?\n\nSebagaimana telah diterangkan sebelumnya, salah satu contoh hak privasi adalah hak untuk dapat melakukan komunikasi dengan orang lain tanpa harus diketahui oleh umum. Karena tidak disebutkan dalam daftar non-derogable rights, maka hak privasi termasuk derogable rights sehingga dapat dikurangi pemenuhannya.\n\nSebagai contoh, pengurangan hak atas privasi dalam berkomunikasi ini adalah terkait pengaturan tentang penyadapan sebagaimana diatur dalam UU Telekomunikasi. Namun, perlu digarisbawahi bahwasannya Penjelasan Pasal 40 UU Telekomunikasi memang tidak menggunakan terminologi hak privasi melainkan “hak pribadi”, sebagai berikut:\n\nPada dasarnya informasi yang dimiliki seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang.\n\nNamun, dalam beberapa keadaan, ketentuan tersebut dapat disimpangi sehingga tindakan penyadapan diperbolehkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b UU Telekomunikasi:\n\nUntuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas\npermintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku.\n\nHal tersebut ditegaskan pula dalam Pasal 12 ayat (1) UU 19/2019 bahwa dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) berwenang melakukan penyadapan.\n\nJadi, menjawab pertanyaan Anda, merujuk pada arti privasi, derogable rights, dan non-derogable rights yang telah diuraikan di atas, hak pribadi/privasi seseorang adalah derogable rights karena masih dapat dikurangi dalam keadaan-keadaan tertentu.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Dasar 1945](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4ca2eb6dd2834/node/lt49c8ba3665987)\n2. [Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4d5b5fc6abcb2/undangundang-nomor-39-tahun-1999)\n3. [Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/349/undangundang-nomor-36-tahun-1999/document)\n4. [Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/12614/node/38)\n5. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54f42a710f0b4)\n6. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dad1de8f0292)\n7. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/24213/node/15)\n8. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e)\nREFERENSI:\n1. Syafrizal, dkk. Pengantar Ilmu Sosial. Yayasan Kita Menulis, 2021.Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 7 Februari 2022 pukul 11.00 WIB.\n\n[1] Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”)" }
{ "from": "human", "value": "Apa maksud dari pro justitia? Tolong elaborasikan. Terima kasih" }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut Yan Pramadya Puspa dalam buku Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa: Belanda-Indonesia-Inggris, pro justitia artinya demi hukum, untuk hukum atau undang-undang (hal 456).\n\nDalam praktiknya, istilah pro justitia terdapat dalam dokumen atau surat resmi kepolisian dalam proses penyelidikan dan penyidikan maupun dokumen hukum kejaksaan dalam proses penyidikan atau penuntutan untuk kepentingan proses hukum.\n\nMakna atau pengertian pro justitia juga terdapat dalam penetapan atau putusan pengadilan. Istilah pro justitia dalam penetapan atau putusan dituliskan dengan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.\nTinjauan Formal Administratif dan Materiil Substantif\n\nSecara formal administratif, penggunaan frasa pro justitia adalah untuk menunjukkan bahwa tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum merupakan tindakan hukum yang sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat.\nSecara materiil substantif, berdasarkan dokumen hukum yang bertuliskan “pro justitia”, setiap tindakan hukum yang diambil sebagaimana surat tersebut dilakukan untuk kepentingan penegakan hukum dan keadilan.\n\nSebagai contoh, dalam Lampiran Perkapolri 6/2010, diterangkan bahwa secara khusus surat perintah penangkapan harus menuliskan “pro justitia” (hal. 35).\n\nMenurut hemat kami, contoh ini bukan hanya mencerminkan dokumen hukum untuk tindakan hukum demi kepentingan hukum dan keadilan, namun juga mencerminkan keabsahan dan kekuatan mengikat surat perintah penangkapan untuk membatasi kebebasan seseorang sebagaimana diartikan Pasal 1 angka 20 KUHAP yang berbunyi:\n\nPenangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.\nPenerapan Pro Justitia dalam Putusan Pengadilan\n\nMerujuk Pasal 197 ayat (1) huruf a KUHAP, surat putusan pemidanaan harus memuat, salah satunya, kepala putusan yang dituliskan berbunyi: \"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\".\n\nPatut diperhatikan pula bahwa ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP diputus bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “surat putusan pemidanaan memuat” tidak dimaknai “surat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat” oleh Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016 (hal. 82 – 83).\n\nJika irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak dicantumkan, akan berakibat pada putusan batal demi hukum.[1]\n\nLebih lanjut, dalam artikel Irah-Irah, Kepala Putusan yang Bermakna Sumpah diterangkan perspektif historis dari penerapan pro justitia dalam putusan pengadilan.\n\nArtikel tersebut mengungkapkan bahwa di Indonesia, kalimat irah-irah digunakan pada kepala putusan sejak lama dengan beberapa kali perubahan. Dalam artikel yang sama, diterangkan bahwa Bismar Siregar dalam Hukum Acara Pidana mencatat jika kepala putusan di pengadilan Indonesia sejak masa prakemerdekaan hingga kemerdekaan pernah menggunakan “Atas Nama Ratu/Raja”, lalu “Atas Nama Negara”, kemudian “Atas Nama Keadilan”, dan berubah menjadi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana yang berlaku saat ini.\nDalam artikel tersebut pula, diterangkan bahwa Bismar Siregar berpendapat jika kalimat yang dipakai dalam irah-irah menunjukan kepada siapa putusan pengadilan dipertanggungjawabkan. Jika “Atas Nama Keadilan”, maka kepada keadilanlah putusan dipertanggungjawabkan. Jika “Atas Nama Tuhan”, maka kepada Tuhan-lah pertanggungjawaban hakim ditujukan. “Atas nama”, menurut Bismar, membawa kewajiban dan tanggung jawab moral yang sangat besar.\n\nDengan menyandarkan putusan kepada Tuhan, maka seorang hakim telah mengupayakan kebijaksanaan terbaiknya atas nama Tuhan dalam mengadili dan memutus perkara.\n\nKemudian, artikel tersebut juga menerangkan bahwa dalam disertasi Sudikno Mertokusumo, kata “demi” dalam irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, berarti “untuk kepentingan”. Ia berpendapat frasa “untuk kepentingan” lebih tepat daripada “atas nama”, karena tujuan peradilan adalah untuk mencapai keadilan.\n\nDengan demikian, peradilan itu sendiri tidak dilaksanakan “atas nama keadilan”, seakan-akan keadilan mewakilkan atau menguasakan salah satu badan untuk melaksanakan peradilan.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait arti pro justitia dan contoh pro justitia sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2010 tentang Manajemen Penyidikan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.\n\nPutusan:\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XIV/2016.\n\nReferensi:\n\nYan Pramadya Puspa. Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa: Belanda-Indonesia-Inggris. Semarang: CV Aneka Ilmu, 2008.\n\n[1] Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya adalah tergugat dalam perkara perdata. Apakah putusan NO dalam perkara perdata yang sudah inkracht bisa mengajukan eksekusi? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil. Ini artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili sehingga tidak ada objek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi. Lain halnya jika putusan tersebut menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan atau dikabulkan sebagian (misalnya) dan memang sudah inkra c h t . Putusan itu harus dijalankan oleh panitera atas perintah hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan untuk mematuhi putusan hakim itu sesuai penjelasan Pasal 195 HIR. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Putusan niet ontvankelijke verklaard atau yang biasa disebut sebagai putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa berbagai macam cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain (hal. 811): KLINIK TERKAIT Perbedaan Putusan Bebas dan Lepas 13 Jun 2024 Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap? 21 Sep 2023 Eksekusi Putusan Pengadilan Asing di Indonesia, Ini Aturannya 14 Mar 2023 Perlukah Putusan Gugatan Merek Diumumkan di Koran? 15 Des 2014 1. Gugatan yang ditandatangani kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR ; 2. Gugatan tidak memiliki dasar hukum; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Gugatan error in persona dalam bentuk diskualifikasi atau plurium litis consortium; 4. Gugatan mengandung cacat obscuur libel, ne bis in idem, atau melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif. PUTUSAN Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (niet ontvankelijke verklaard/NO) Di samping itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Arti Gugatan Dikabulkan, Ditolak, dan Tidak Dapat Diterima ,dasar pemberian putusan NO (tidak dapat diterima) ini dapat kita lihat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1975 tanggal 17 April 1975 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.565/K/Sip/1973 tanggal 21 Agustus 1973, jo. Putusan Mahkamah Agung RI No.1149/K/Sip/1979 tanggal 7 April 1979 yang menyatakan bahwa terhadap objek gugatan yang tidak jelas, maka gugatan tidak dapat diterima . Selanjutnya kami akan bahas soal putusan yang sudah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Dalam perkara perdata, mengenai eksekusi putusan berkekuatan hukum tetap ini diatur dalam Pasal 195 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) . Dalam Penjelasan Pasal 195 HIR dikatakan bahwa eksekusi putusan hakim pidana dijalankan oleh Jaksa, sedangkan menjalankan putusan hakim perdata dilakukan oleh panitera atas perintah hakim pengadilan negeri. Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh keputusan hakim yang menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi keputusan hakim itu. Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang dihukum maka peradilan akan tidak ada gunanya Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam hal ini tidak ada jalan lain bagi pihak yang menang dari pada menggunakan haknya itu dengan perantaraan hakim untuk melaksanakan putusan tersebut . A kan tetapi putusan itu harus benar-benar telah dapat dijalankan, telah memperoleh kekuatan pasti , artinya semua jalan hukum untuk melawan keputusan itu sudah dipergunakan, atau tidak dipergunakan karena lewat waktunya, kecuali kalau putusan itu dinyatakan dapat dijalankan dengan segera, walaupun ada perlawanan, banding atau kasasi. Jadi, seperti yang kami jelaskan di atas, putusan NO merupakan putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena gugatannya mengandung cacat formil atau tidak jelas. Ini artinya, gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili. Atas putusan seperti ini, memang tidak ada yang bisa dieksekusi karena pokok perkara pun tidak dapat diperiksa karena cacat formil tersebut, sehingga tidak ada yang dapat dieksekusi. Lain halnya jika putusan tersebut menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan sebagian misalnya dan memang sudah inkracht . Putusan itu harus dijalankan oleh panitera atas perintah hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan untuk mematuhi putusan hakim itu sesuai penjelasan Pasal 195 HIR. Sebagai contoh putusan yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 500/Pdt/2013/PT BDG yang menyatakan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima. Hakim menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena antara legal standing atau kedudukan hukum dan formulasi pihak-pihak berperkara di dalam gugatan penggugat terdapat kekeliruan, rancu dan tidak jelas. Akhirnya hakim menghukum penggugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Reglemen Indonesia yang Diperbaharui ( Herziene Indlandsch Reglement ) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941. Referensi: Harahap, Yahya. 2006. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika. Putusan: Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 500/Pdt/2013/PT BDG . putusan" }
{ "from": "human", "value": "Apa arti dari putusan dalam perkara pidana batal demi hukum? Apakah penyebab putusan batal demi hukum? Siapa pihak yang berhak menyatakan putusan batal demi hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut Yahya Harahap, putusan yang batal demi hukum artinya putusan yang dijatuhkan:[1]\n\ndianggap “tidak pernah ada” atau never existed sejak semula;putusan yang batal demi hukum tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum;dengan demikian putusan yang batal demi hukum, sejak semula putusan itu dijatuhkan sama sekali tidak memiliki daya eksekusi atau tidak dapat dilaksanakan.\n\nMerujuk pada definisi tersebut, dapat diartikan bahwa putusan yang batal demi hukum adalah putusan yang sejak semula dijatuhkan, (putusan itu) dianggap tidak pernah ada, tidak mempunyai kekuatan dan akibat hukum, serta tidak memiliki daya eksekusi.\nPenyebab Putusan Batal Demi Hukum\nAdapun syarat yang harus dimuat dalam sebuah putusan hakim dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016 yang berbunyi:\n\nSurat putusan pemidanaan di pengadilan tingkat pertama memuat:kepala putusan yang dituliskan berbunyi: \"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\";nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera;\n\nNamun kemudian, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK No. 69/PUU-X/2012 dan Putusan MK No. 68/PUU-XI/2013 yang masing-masing putusannya menyatakan bahwa Pasal 197 ayat (2) huruf k dan l KUHAP inkonstitusional.\n\nOleh karena itu, redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi:\n\nTidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.\n\nDengan demikian, dapat dipahami penyebab putusan batal demi hukum adalah karena tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, dan j KUHAP. Contoh putusan batal demi hukum misalnya dalam putusan di tingkat pertama tidak mencantumkan kepala putusan yang berbunyi: \"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA\".\n\nOleh karena itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, arti batal demi hukum adalah putusan bersangkutan dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap terdakwa serta jaksa tidak dapat melaksanakannya.\n\nPerlu diingat bahwa yang batal demi hukum hanya terbatas “sepanjang putusan” saja. Kemudian, yang dimaksud Pasal 197 ayat (2) KUHAP putusan batal demi hukum, tidak lebih dari putusan yang dijatuhkan. Yang mengandung cacat dan kekeliruan terbatas pada putusan yang dijatuhkan. Sedang pemeriksaan atau berita acara pemeriksaan tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum.[2]\n\nKarena berita acara pemeriksaan tetap sah dan berharga, pengadilan dapat mempergunakan sebagai landasan untuk menjatuhkan putusan yang sah sesuai dengan yang dikehendaki Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Pendapat ini didasarkan pada rumusan ketentuan Pasal 197 ayat (2) itu sendiri, yang menegaskan bahwa kelalaian pengadilan memenuhi ketentuan Pasal 197 ayat (1) mengakibatkan “putusan” batal demi hukum.[3]\n\nJadi, bisa disimpulkan yang dimaksud batal demi hukum adalah sebatas putusan yang dijatuhkan.\nYang Berhak Menyatakan Putusan Batal Demi Hukum\n\nPernyataan batal demi hukum dilakukan instansi pengadilan yang lebih tinggi. Pendapat ini bertitik tolak dari ajaran yang berpendirian sifat batal demi hukum (van rechtsweenietig) atau null and void tidak murni dan tidak mutlak.[4]\n\nSekalipun undang-undang merumuskan sesuatu batal demi hukum, namun keadaan batal demi hukum tidak dengan sendirinya terjadi. Untuk itu harus ada pernyataan resmi dari instansi yang lebih tinggi.[5] Hal ini sejalan dengan terbitnya Putusan MK No. 103/PUU-XIV/2016 yang telah disebutkan sebelumnya, yang menyatakan tentang putusan pengadilan tingkat pertama.\n\nAdapun pernyataan putusan batal demi hukum dapat diajukan oleh:[6]\n\nTerdakwa;Penasihat hukum; danJaksa.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, untuk menyatakan suatu putusan yang batal demi hukum benar-benar resmi batal secara formal, maka harus ada pernyataan putusan batal demi hukum dari instansi pengadilan yang lebih tinggi.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai putusan batal demi hukum, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\n\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XI/2013;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 103/PUU-XIV/2016.\n\n[1] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 385[2] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 386[3] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 386[4] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 387[5] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 387[6] Yahya Harahap. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2015, hal. 388" }
{ "from": "human", "value": "Saya berkeinginan membuat advertising dan ingin mencantumkan label terdaftar, kira-kira di merek tersebut (nama restoran). Label apa yang sebaiknya di tulis, TM atau R? Perbedaan label R (registered) dengan TM (trademark)? Dasar hukum undang-undangnya apa? Mohon penjelasan. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Arti Merek\n\nSebelum menjawab pokok pertanyaan Anda terkait arti R dan arti TM, kami menjelaskan terlebih dahulu arti merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 dimensi dan/atau 3 dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.[1]\nSementara, merek dagang merupakan merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya.[2]\nApa Arti Simbol R dan TM pada Merek Dagang?\n\nDari pertanyaan Anda, kami asumsikan yang Anda tanyakan adalah mengenai penggunaan simbol TM atau biasanya dituliskan (™) yang mana TM adalah singkatan dari trademark dan R atau biasanya dituliskan dengan huruf R bulat (®) pada label merek dagang yang mana R adalah singkatan dari registered, dan bukanlah mengenai labelnya.\nLabel yang dimaksud di sini adalah sepotong kertas (kain, logam, kayu, dan sebagainya) yang ditempelkan pada barang dan menjelaskan tentang nama barang, nama pemilik, tujuan, alamat, dan sebagainya.\n\nDikutip dari buku berjudul Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah, penggunaan simbol TM atau R di sekitar merek dalam praktik di dunia internasional dijelaskan sebagai berikut (hal. 17):\nPenggunaan ®, TM, SM atau simbol-simbol di samping sebuah merek bukan merupakan sebuah kewajiban dan biasanya tidak dapat diberikan perlindungan hukum. Namun demikian, simbol-simbol tersebut mungkin merupakan cara yang paling baik untuk menginformasikan kepada pihak lain bahwa tanda yang diberikan tersebut adalah merek dagang, yang kemudian memberi peringatan terhadap kemungkinan munculnya pelanggaran.\nSimbol ® digunakan jika merek tersebut sudah didaftarkan, sedangkan TM menunjukkan bahwa tanda yang menempeli kata-kata atau simbol lainnya merupakan merek dagang dari produk tersebut. SM kadang-kadang digunakan untuk merek jasa.\n\nDari penjelasan tersebut kiranya telah jelas perbedaan arti R dan arti TM maupun SM, di mana arti R digunakan jika merek sudah didaftarkan, sedangkan arti TM atau trademark menunjukkan kata-kata atau simbol yang bersangkutan adalah merek dagang.\n\nJika merujuk dari UU Merek, memang aturan penggunaan simbol TM dan R ini tidak dapat kita temukan pengaturannya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pencantuman simbol TM dan R tidak diwajibkan secara hukum dan pun tidak memberikan perlindungan hukum.\n\nSebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pencantuman simbol R hanya sebagai informasi untuk memberitahukan bahwa merek tersebut sudah didaftarkan. Sedangkan pencantuman TM hanya menunjukkan bahwa kata-kata atau simbol yang dicantumkan adalah merupakan merek dagang.\nUntuk menentukan mana yang lebih tepat untuk dicantumkan pada merek Anda, perlu dilihat apakah merek dagang restoran Anda sudah terdaftar dalam Daftar Umum Merek atau belum, seperti yang diatur dalam Pasal 3 UU Merek, yang berbunyi:\n\nHak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar.\nJika merek dagang restoran Anda belum terdaftar, kami menyarankan, sebaiknya simbol R tidak Anda gunakan. Sebaliknya, pencantuman simbol TM kiranya lebih tepat. Namun, bila merek dagang restoran Anda sudah terdaftar, Anda dapat mencantumkan simbol R maupun TM.\n\nBaca juga: Mau Daftar Merek? Ikuti Panduan Ini!\n\nDengan demikian, merujuk peraturan perundang-undangan di Indonesia, dalam hal ini UU Merek sendiri memang tidak mengatur mengenai kewajiban penggunaan simbol-simbol TM atau R.\nAkan tetapi, perlu digarisbawahi, pencantuman simbol TM dan R juga tidak dilarang. Sehingga, kami menyimpulkan, pencantuman TM dan R tumbuh dalam praktik untuk memudahkan dalam mengenali suatu merek dagang apakah sudah terdaftar atau belum.\n\nDemikian jawaban dari kami mengenai arti R dan arti TM dalam merek dagang, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5850fd588be8e/undang-undang-nomor-20-tahun-2016/document)\n2. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e/undang-undang-nomor-11-tahun-2020)\nREFERENSI:\n1. Daftar Umum Merek, yang diakses pada 10 Maret 2022, pukul 12.00 WIB.Label, yang diakses pada 10 Maret 2022, pukul 09.30 WIB\n2. World Intellectual Property Organization (WIPO). Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah, yang diakses pada 10 Maret 2022, pukul 12.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU Merek”)[2] Pasal 1 angka 2 UU Merek" }
{ "from": "human", "value": "Apa arti dari Res Judika Pro Verita Te Habetur?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami mau meluruskan istilah yang Anda maksud sebenarnya, yaitu Res Judicata Pro Veritate Habetur yang dikenal sebagai suatu asas hukum. KLINIK TERKAIT Pengertian Asas Non Retroaktif dan Pengecualian Penerapannya 06 Feb 2024 Arti Asas Praduga Tak Bersalah 15 Mei 2023 Penjelasan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan Bedanya dengan Lex Specialis 11 Feb 2022 Bila Hukum Positif Bertentangan dengan Asas Hukum 17 Feb 2014 Black’s Law Dictionary Seventh Edition merumuskan arti kata Res Judicata itu sendiri yaitu: “an issue that has been definitively settled by judical decision.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dari sini, res judicata itu dimaknai sebagai kasus yang telah diputuskan secara definitif (pasti). Untuk lebih jelasnya, kita mengacu pada uraian Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (hal. 7), yang menyebutkan berbagai macam asas hukum, salah satunya res judicata pro veritate habetur , yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar. Lebih lanjut Sudikno ( Ibid , hal. 9) menjelaskan bahwa “ Res Judicata Pro Veritate Habetur” memiliki arti bahwa putusan hakim harus dianggap benar. Jika saksi palsu diajukan dan hakim memutus perkaranya berdasarkan saksi palsu tersebut, jelas putusannya tidak berdasarkan kesaksian yang benar, tetapi harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi (kalau dimintakan banding atau kasasi). Dalam sebuah tulisan berjudul Kebebasan Hakim vs Pencari Keadilan yang kami akses dari laman resmi Pengadilan Agama Purwakarta dikatakan bahwa suburnya praktik mafia peradilan di negeri ini selalu bersumber dari bentuk penyalahgunaan kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Ada prinsip hukum bernama Res Judicata Pro Veritate Habetur yang artinya “putusan hakim harus dianggap benar” dimana putusan tersebut dijatuhkan, dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Prinsip ini menempatkan sang hakim sangat penting dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya kualitas keadilan dari setiap putusan yang dijatuhkan sang hakim sangat bergantung dari kualitas hubungan baiknya atau ketaqwaannya dengan Tuhan Yang Maha Esa. Serupa dengan penjelasan di atas, dalam artikel Menguji Sifat ‘Final dan Mengikat’ dengan Hukum Progresif antara lain dikatakan bahwa ada prinsip hukum yang berlaku universal, yakni putusan pengadilan harus dianggap benar ( res judicata pro veritate habetur ). Putusan pengadilan tidak dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Seperti halnya sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang bersifat mutlak. Kalaupun ada indikasi judicial corruption , daya berlaku sifat final dan mengikat itu tidak terkurangi. Bersumber dari penjelasan-penjelasan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa Res Judicata Pro Veritate Habetur memiliki keterkaitan dengan perbuatan hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, yang mana putusan yang djatuhkannya itu harus dianggap benar, apapun isi putusan tersebut. Sampai ada putusan pengadilan lain yang menganulirnya. Sebagai tambahan informasi, dalam Majalah Konstitusi No. 63 Edisi April 2012 dikatakan bahwa secara luas, res judicata melarang peninjauan kembali hal-hal yang sudah diselesaikan pengadilan. Sedangkan dalam arti khusus setelah terdapat keputusan pengadilan atas gugatan atau permohonan, hakim berikutnya dilarang mengadili. Menurut Sudikno Mertokusumo (1988), putusan pengadilan yang menetapkan, menghapuskan atau mengubah hubungan hukum merupakan sumber hukum materiil meskipun bisa terjadi kesalahan dalam putusan (teori hukum materiil). Putusan ini juga merupakan sumber wewenang prosesuil (teori hukum acara) dan putusan ini merupakan bukti apa yang ditetapkan dalam putusan sehingga mempunyai kekuatan mengikat (teori hukum pembuktian). Terikatnya pada putusan juga memiliki arti positif, dalam arti bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar ( res judicata pro veritate habetur ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Referensi: 1. Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 2. Bryan A. Garner. 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition. West Group. 3. http://www.pa-purwakarta.go.id/artikel/baca/6 , diakses pada 18 Februari 2014 pukul 12.59 WIB. 4. http://mk63april2012.blogspot.com/2012/05/kamus-hukum.html , diakses pada 18 Februari 2014 pukul 15.36 WIB. putusan hakim" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan sistem perwakilan direktur secara kolegial? Apakah seorang direktur bisa mewakili direktur yang lain? Bagaimana pengaturannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Sistem perwakilan kolegial berarti jika anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, maka setiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan. Namun, untuk kepentingan Perseroan, anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan diwakili oleh anggota Direksi tertentu. Dengan kata lain, apabila seorang anggota Direksi Perseroan berfungsi sebagai pengurus untuk melaksanakan pengurusan sehari-hari, demi hukum ia berhak dan berwenang mewakili Perseroan dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai kuasa menurut undang-undang untuk mewakili Perseroan tanpa memerlukan surat kuasa dari Direktur Utama maupun dari RUPS, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Haruskah Perubahan Susunan Direksi dan Komisaris Mengubah Anggaran Dasar? 31 Okt 2022 Saat Hapusnya Tanggung Jawab Terbatas Pemegang Saham 02 Jan 2018 Kuorum RUPS Perubahan Direksi dan Dewan Komisaris 23 Okt 2017 Hak Pemegang Saham Menggugat Dewan Komisaris Jika Perseroan Merugi 16 Okt 2017 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Wewenang Direksi Mewakili Perseroan Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Mengenai wewenang setiap Direksi mewakili perseroan, kita dapat merujuk pengaturannya pada Pasal 98 UUPT yang berbunyi: (1) Direksi mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. (2) Dalam hal anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, yang berwenang mewakili Perseroan adalah setiap anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam anggaran dasar. (3) Kewenangan Direksi untuk mewakili Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini,anggaran dasar, atau keputusan RUPS. (4) Keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar Perseroan. Anggota Direksi tidak berwenang mewakili Perseroan apabila: [1] a. terjadi perkara di pengadilan antara Perseroan dengan anggota Direksi yang bersangkutan; atau b. anggota Direksi yang bersangkutan mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Dalam hal terdapat keadaan yang membuat anggota Direksi tidak berwenang mewakili perseroan, maka yang berhak mewakili Perseroan adalah: [2] a. anggota Direksi lainnya yang tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; b. Dewan Komisaris dalam hal seluruh anggota Direksi mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan; atau c. pihak lain yang ditunjuk oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) dalam hal seluruh anggota Direksi atau Dewan Komisaris mempunyai benturan kepentingan dengan Perseroan. Sistem Perwakilan Kolegial Mengenai sistem perwakilan kolegial, dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 98 ayat (2) UUPT yang berbunyi: “Undang-Undang ini pada dasarnya menganut sistem perwakilan kolegial, yang berarti tiap-tiap anggota Direksi berwenang mewakili Perseroan . Namun, untuk kepentingan Perseroan, anggaran dasar dapat menentukan bahwa Perseroan diwakili oleh anggota Direksi tertentu.” Hal serupa juga dijelaskan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Perseroan Terbatas (hal. 392), sistem perwakilan kolegial diatur pada Pasal 98 ayat (2) yang menegaskan, jika anggota Direksi terdiri lebih dari 1 (satu) orang, maka yang berwenang mewakili perseroan adalah “setiap” anggota Direksi, kecuali ditentukan lain dalam Anggaran Dasar. Dalam hal ini, Anggaran Dasar (“AD”) dapat menentukan bahwa yang berwenang dan memiliki kapasitas mewakili Perseroan di dalam dan di luar pengadilan hanya Direktur Utama atau Direktur Utama bersama-sama dengan salah seorang anggota Direksi lain. Lebih lanjut Yahya menjelaskan bahwa praktik peradilan telah membenarkan penerapan sistem kolegial, yang memberi hak dan wewenang kepada setiap anggota Direksi bertindak mewakili Perseroan. Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2332K/Pdt/1985. Menurut putusan ini, anggota Direksi atau Direktur suatu perseroan dapat bertindak langsung mengajukan gugatan untuk dan atas nama Perseroan, dan untuk itu tidak perlu lebih dahulu mendapat surat kuasa khusus dari Presiden Direktur dan para pemegang saham. Sebab Perseroan sebagai badan hukum dapat langsung diwakili oleh setiap anggota Direksi atau Direktur. [3] Bertitik tolak dari putusan tersebut, apabila seorang anggota Direksi Perseroan berfungsi sebagai pengurus untuk melaksanakan pengurusan sehari-hari, demi hukum berhak dan berwenang mewakili Perseroan dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai kuasa menurut undang-undang untuk mewakili Perseroan tanpa memerlukan surat kuasa dari Direktur Utama maupun dari RUPS. [4] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2332K/Pdt/1985. REFERENSI:\n1. Yahya Harahap. 2016. Hukum Perseroan Terbatas. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 99 ayat (1) UUPT [2] Pasal 99 ayat (2) UUPT [3] Yahya Harahap, hal. 393 [4] Yahya Harahap, hal. 393-394 pemegang saham rups pt hukumonline google perseroan perseroan terbatas direktur saham klinik hukum perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Apa itu revindikatoir? Istilah tersebut saya baca pada kutipan putusan perdata." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Mengenal Gugatan In Rem dan Dasar Hukumnya 26 Feb 2024 Bisakah Dilakukan Penyitaan Terhadap Barang Milik BUMD? 09 Feb 2017 Arti Sumpah Decisoir , Suppletoir , dan Aestimatoire 08 Feb 2017 Upaya Hukum Terhadap Putusan Bebas dan Putusan Lepas 24 Jan 2017 Intisari: Sita revindicatoir atau sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang menguasai barang itu tanpa hak. Revindicatoir merupakan sita dalam hukum perdata. Revindicatoir beslag atau sita revindikasi termasuk kelompok sita tetapi mempunyai kekhususan tersendiri. Kekhususan itu, terutama terletak pada objek barang sitaan dan kedudukan penggugat atas barang itu: a. Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat), b. Barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan c. Permintaan sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri agar dikembalikan kepadanya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pengertian Revindicatoir Revindicatoir merupakan sita dalam hukum perdata. Menurut Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian , dan Putusan Pengadilan (hal. 326), Revindicatoir beslag atau sita revindikasi termasuk kelompok sita tetapi mempunyai kekhususan tersendiri. Kekhususan itu, terutama terletak pada objek barang sitaan dan kedudukan penggugat atas barang itu: a. Hanya terbatas barang bergerak yang ada di tangan orang lain (tergugat), b. Barang itu, berada di tangan orang lain tanpa hak, dan c. Permintaan sita diajukan oleh pemilik barang itu sendiri agar dikembalikan kepadanya. Oleh karena yang meminta dan mengajukan penyitaan adalah pemilik barang sendiri, maka lazim disebut pula penyitaan atas permintaan pemilik. Jadi, bentuk sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang menguasai barang itu tanpa hak. [1] Syarat atau Alasan Pokok Sita Revindikasi Syarat pokok atau alasan utama yang harus dinilai pengadilan atas permintaan sita revindikasi, merujuk kepada ketentuan Pasal 226 ayat (1) HIR, Pasal 714 Rv: [2] a. Objek sengketa adalah barang bergerak Pasal 226 ayat (1) HIR mengatakan, objek sita revindikasi adalah barang bergerak. Dengan demikian, objeknya barang bergerak yang berada di tangan tergugat. b. Pemohon adalah pemilik barang Syarat atau alasan yang dibenarkan untuk meminta sita revindikasi, yaitu pemohon adalah pemilik barang. Sita ini tidak dapat diajukan penyewa atau peminjam atau atas dasar wanprestasi untuk membayar ganti rugi, tetapi harus pemilik barang. Hal ini sesuai dengan pengertian maupun tujuan sita revindikasi, yaitu menuntut kembali barang milik penggugat yang berada di tangan dan penguasaan tergugat. c. Barang berada di bawah penguasaan tergugat tanpa hak berdasar jual-beli maupun pinjam Syarat lain barang itu harus dalam penguasaan tergugat berdasarkan hal berikut: 1) Berdasarkan penguasaan tanpa hak Pemilik barang dapat menuntut kembali barang miliknya dari orang lain yang menguasainya, apabila penguasaan itu berdasarkan hasil pencurian atau tindakan lain yang bertentangan dengan hukum. [3] Syarat inilah yang perlu dibuktikan penggugat dalam permintaan sita revindikasi. Apabila penggugat tidak mampu menunjukkan fakta atau indikasi penguasaan tanpa hak, pengadilan dapat menolak permohonan sita berdasarkan ajaran: barang siapa yang menguasai barang bergerak dianggap sebagai pemilik ( bezit geld als volkomen titel ). 2) Berdasarkan hak reklame yang diberikan undang-undang kepada penjual Karena dalam transaksi jual-beli, undang-undang memberi hak reklame kepada penjual, yaitu hak menuntut kembali pengembalian barang apabila pembeli tidak melunasi harga yang disepakati, maka penggugat memiliki dasar untuk meminta sita revindikasi, asal penggugat dapat menunjukkan fakta-fakta barang yang berada di tangan tergugat merupakan barang yang dijualnya dan tergugat belum bayar harga yang disepakati. 3) Barang berada di tangan tergugat karena pinjam Pemilik yang barangnya dipinjamkan kepada orang lain dapat menuntut pengembalian barang meskipun belum lewat tenggang waktu yang diperjanjikan apabila karena alasan mendesak barang itu sangat diperlukan pemilik. Jadi, pemilik barang diberikan hak untuk mengajukan sita revindikasi asalkan ia dapat mengemukakan fakta bahwa penguasaan barang di tangan tergugat berdasarkan perjanjian pinjam-pakai yang dibarengi dengan adanya keadaan mendesak sehingga penggugat sangat membutuhkan barang tersebut. d. Menyebut dengan saksama barang yang hendak disita Barang yang hendak disita, harus dinyatakan dengan seksama dalam surat permintaan. Menyebut dengan jelas jenis, jumlah, merek atau identitas maupun sifat yang melekat pada barang. Apabila penggugat tidak mampu menjelaskannya dalam surat permintaan, maka dapat dijadikan alasan oleh pengadilan untuk menolak permintaan. Menjawab pertanyaan Anda, sita revindicatoir atau sita revindikasi merupakan upaya pemilik barang yang sah untuk menuntut kembali barang miliknya dari pemegang yang menguasai barang itu tanpa hak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44) tentang Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (R.I.B.) ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . REFERENSI:\n1. Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan . Jakarta: Sinar Grafika. [1] Yahya Harahap, hal. 326 [2] Yahya Harahap, hal. 330-332 [3] Pasal 1977 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) acara peradilan pengadilan hukumonline perdata pertanahan hukum perdata google penyitaan putusan pengadilan hukum klinik perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "apa yang dimaksud dengan standing facilities?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Standing Facilities (SF) atau Koridor Suku Bunga adalah kegiatan penyediaan dana rupiah ( lending facility ) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah ( deposit facility ) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. Standing Facilities berfungsi untuk membatasi volatilitas suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight (O/N). Bagaimana karakteristik Standing Facilities itu? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Definisi Standing Facilities Istilah standing facilities terdapat dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 Tahun 2018 tentang Standing Facilities (“PADBG 20/2018”) . Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. [1] Mengenai prinsip umumnya, Standing Facilities merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas dan absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang serta menjadi acuan tertinggi dan terendah bagi pergerakan suku bunga di pasar uang antar-Bank Umum Konvensional dengan jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja ( overnight ). [2] Hal yang sama juga dijelaskan dalam website Bank Indonesia , Standing Facilities (SF) atau Koridor Suku Bunga adalah kegiatan penyediaan dana rupiah ( lending facility ) dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah ( deposit facility ) oleh Bank di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter. Penyediaan Standing Facilities berfungsi untuk membatasi volatilitas suku bunga Pasar Uang Antara Bank (PUAB) overnight (O/N). Jenis Standing Facilities Standing Facilities terdiri atas: [3] Lending Facility atau Financing Facility Lending Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing sedangkan Financing Facility adalah penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Peserta Standing Facilities Syariah untuk Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Facilities Konvensional untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional. [4] Deposit Facilitiy Deposit Facility adalah penempatan dana rupiah oleh Peserta Standing Facilities di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. [5] Peserta Standing Facilities Peserta Standing Facilities yaitu: [6] Peserta Standing Facilities Konvensional Peserta Standing Facilities Konvensional adalah Bank Umum Konvensional yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter konvensional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Peserta Standing Facilities Syariah Peserta Standing Facilities Syariah adalah Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter. Karakteristik Standing Facilities Standing Facilities memiliki karakteristik sebagai berikut: [7] disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja; dilakukan dengan mekanisme nonlelang; pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem Sistem Bank Indonesia- Electronic Trading Platform (BI-ETP); jangka waktu; Lending Facility dan Financing Facility adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight); Deposit Facility: yang dilakukan secara konvensional adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight); yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah paling lama 14 (empat belas) hari kalender dihitung dari 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu; jumlah hari dalam perhitungan: nilai bunga repo dalam Lending Facility; Biaya Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah (“SBIS”) atau nilai Margin Repo Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dalam Financing Facility; dan nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit Facility, dihitung berdasarkan hari kalender. ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di Bank Indonesia- Scripless Securities Settlement System (“BI-SSSS”). Dalam hal terjadi keadaan tidak normal yang mempengaruhi kelancaran pelaksanaan transaksi dan/atau setelmen Standing Facilities , prosedur penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS dan/atau penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem Bank Indonesia- Real Time Gross Settlement (BI-RTGS). [8] Jadi menjawab pertanyan Anda , Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter yang dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip Syariah. Selain itu Standing Facilities juga merupakan instrumen yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk injeksi likuiditas dan absorpsi likuiditas rupiah di pasar uang serta menjadi acuan tertinggi dan terendah bagi pergerakan suku bunga di pasar uang antar-Bank Umum Konvensional dengan jangka waktu 1 (satu) Hari Kerja ( overnight ). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/9/PADG/2018 Tahun 2018 tentang Standing Facilities . Referensi: Bank Indonesia , diakses pada Rabu, 4 Juli 2018, pukul 10.50 WIB. [1] Pasal 1 angka 6 PADBG 20/2018 [2] Pasal 2 PADBG 20/2018 [3] Pasal 3 PADBG 20/2018 [4] Pasal 1 angka 10 dan 11 PADBG 20/2018 [5] Pasal 1 angka 12 [6] Pasal 1 angka 7, 8 dan 9 PADBG 20/2018 [7] Pasal 4 PADBG 20/2018 [8] Pasal 57 PADBG 20/2018 hukumonline bank investasi bank indonesia moneter perbankan" }
{ "from": "human", "value": "Ada yang bisa menjelaskan suppletoir, aestimatoire, dan decisoir?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Makna Sidang Terbuka dan Tertutup untuk Umum 30 Mei 2023 Intisari Perbedaan Hukum Pidana dan Perdata 31 Mar 2023 Siaran Langsung Persidangan di Televisi 05 Des 2016 Jika Ada Ketidaksesuaian Antara Dakwaan dan Tuntutan 18 Nov 2016 Intisari: Suppletoir , Aestimatoire , dan Decisoir merupakan tiga istilah yang dapat kita temukan dalam Hukum Acara Perdata. Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi sumpah sebagai salah satu alat bukti. Decisoir /sumpah pemutus yaitu sumpah yang oleh pihak satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Suppletoir/ sumpah tambahan yaitu sumpah tambahan atas perintah hakim kepada salah satu pihak yang berperkara supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan. Aestimatoire/ sumpah penaksir adalah sumpah yang diterapkan untuk menentukan jumlah ganti rugi atau harga barang yang digugat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Suppletoir , Aestimatoire , dan Decisoir merupakan tiga istilah yang dapat kita temukan dalam Hukum Acara Perdata. Ketiga istilah ini merupakan klasifikasi sumpah, dimana sumpah dikenal sebagai salah satu alat bukti yang diakui dalam Hukum Acara Perdata. Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) mengatur mengenai pembuktian: Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna mengeguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Alat bukti terdiri dari: [1] a. Bukti tulisan; b. Bukti dengan saksi-saksi; c. Persangkaan-persangkaan; d. Pengakuan; dan e. Sumpah. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 745) menjelaskan bahwa sumpah sebagai alat bukti adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan tujuan: a. Agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas murka Tuhan apabila dia berbohong; b. Takut kepada murka atau hukuman Tuhan dianggap sebagai daya pendorong bagi yang bersumpah untuk menerangkan yang sebenarnya. Sumpah Decisoir, Suppletoir , dan Aestimatoire Yahya (hal. 750) menjelaskan bahwa dalam Pasal 1929 KUH Perdata diatur mengenai klasifikasi sumpah yang terdiri dari: a. Sumpah pemutus ( decisoir eed ); b. Sumpah tambahan ( suppletoir eed ); dan c. Sumpah penaksir ( aestimatoire eed ). 1. Sumpah Pemutus ( Decisoir eed ) Sumpah decisoir disebut juga sumpah pemutus, ada juga yang mempergunakan istilah sumpah menentukan, yaitu sumpah yang oleh pihak yang satu (boleh penggugat atau tergugat) diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan pemutusan perkara atas pengucapan atau pengangkatan sumpah. Sumpah inilah yang disebut sumpah pemutus, yaitu: [2] a. merupakan sumpah yang diucapkan oleh salah satu pihak atas perintah atau permintaan pihak lawan; b. pihak yang memerintahkan atau meminta mengucapkan sumpah disebut deferent , yaitu orang atau pihak yang memerintahkan sumpah pemutus, sedangkan pihak yang diperintahkan bersumpah disebut delaat atau gedefereerde . Makna sumpah pemutus yakni memiliki daya kekuatan memutuskan perkara atau mengakhiri perselisihan. Jadi, sumpah pemutus ini mempunyai sifat dan daya litis decisoir , yang berarti pengucapan sumpah pemutus: [3] a. dengan sendirinya mengakhiri proses pemeriksaan perkara; b. diikuti dengan pengambilan dan menjatuhkan putusan berdasarkan ikrar sumpah yang diucapkan; c. dan undang-undang melekatkan kepada sumpah pemutus tersebut nilai kekuatan pembuktian sempurna, mengikat, dan menentukan. Ruang lingkup penerapan sumpah pemutus Pasal 1930 KUH Perdata: a. meliputi segala sengketa; b. dapat diperintahkan dalam segala jenis sengketa. Sumpah pemutus dapat diperintahkan : [4] 1. dalam persengketaan apa pun juga, kecuali dalam hal kedua belah pihak tidak dapat mengadakan suatu perdamaian atau dalam hal pengakuan mereka tidak boleh diperhatikan. 2. pada setiap tingkatan perkara, bahkan dalam hal tidak ada upaya pembuktian apa pun untuk membuktikan tuntutan atau tangkisan yang memerlukan pengambilan sumpah itu. Hal serupa juga dikatakan oleh Yahya, pasal ini sendiri membatasi sepanjang sengketa yang tidak dibenarkan penyelesaiannya melalui perdamaian, yakni berkenaan dengan status hukum seseorang atau yang menyangkut dengan hukum keluarga seperti sengketa di bidang perkawinan. [5] Syarat formil sumpah pemutus sebagai alat bukti adalah: [6] a. Tidak ada bukti apapun Syarat ini disebut pada Pasal 1930 ayat (2) KUH Perdata dan Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement . Sumpah pemutus merupakan alat bukti untuk memperkuat dalil gugatan atau bantahan jika sama sekali tidak ada upaya lain untuk membuktikannya dengan alat bukti lain. Kalau ada alat bukti lain, tidak ada dasar alasan untuk memerintahkannya. [7] b. Inisiatif berada pada pihak yang memerintahkan Syarat ini disebut pada Pasal 1929 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 156 ayat (1) Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”). Sumpah pemutus merupakan sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak yang lain untuk menggantungkan putusan perkara padanya. Itu sebabnya, sumpah pemutus disebut juga sumpah pihak karena inisiatif atau prakarsanya datang dari pihak yang berperkara atau berada di tangan pihak yang memerintahkan. [8] 2. Sumpah Tambahan ( Suppletoir eed ) Sumpah tambahan ini diatur dalam Pasal 1940 KUH Perdata : Hakim, karena jabatannya, dapat memerintahkan salah satu pihak yang berperkara untuk mengangkat sumpah, supaya dengan sumpah itu dapat diputuskan perkara itu atau dapat ditentukan jumlah uang yang dikabulkan. Yahya menjelaskan (hal. 767) bahwa syarat formil sumpah tambahan adalah: a. Alat bukti yang diajukan tidak mencukupi Inilah syarat utama. Harus ada lebih dahulu permulaan pembuktian sebagai landasan menerapkan sumpah tambahan. Dengan demikian, sumpah tambahan tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti. Baru dapat didirikan apabila ada permulaan pembuktian. [9] b. Atas perintah hakim [10] Sumpah tambahan harus atas perintah hakim berdasrkan jabatannya. Hakim yang berwenang menilai dan mempertimbangkan apakah perlu atau tidak diperintahkan pengucapan sumpah tambahan. [11] 3. Sumpah Penaksir ( Aestimatoire eed ) Yahya (hal. 775) menyebutkan sumpah ini diatur dalam kalimat terakhir Pasal 155 ayat (1) HIR dan Pasal 1940 KUH Perdata. Yahya menjelaskan bahwa sumpah penaksir merupkan salah satu alat bukti sumpah yang secara khusus diterapkan untuk menentukan berapa jumlah nilai ganti rugi atau harga barang yang digugat oleh penggugat. Apabila dalam persidangan penggugat tidak mampu membuktikan berapa jumlah ganti rugi yang sebenarnya atau berapa nilai harga barang yang dituntutnya, begitu juga tergugat tidak mampu membuktikan bantahannya berapa ganti rugi atau harga barang yang sebenarnya, taksiran atas ganti rugi atau harga barang itu dapat ditentukan melalui pembebanan sumpah penaksir. [12] Tujuan dari sumpah ini untuk menetapkan berapa jumlah ganti rugi atau harga yang akan dikabulkan. Jadi, penerapan sumpah ini baru dapat dilakukan apabila sama sekali tidak ada bukti dari kedua belah pihak yang dapat membuktikan jumlah yang sebenarnya. Kalau ada bukti, sumpah penaksir tidak boleh diterapkan. [13] Yahya menjelaskan (hal. 776) bahwa syarat formil utama agar sumpah penaksir dapat diterapkan: a. Apabila penggugat telah mampu membuktikan haknya atas dalil pokok gugatan; b. Karena sumpah penaksir tersebut asesor kepada hak yang menimbulkan adanya tuntutan atas sejumlah ganti rugi atau sejumlah harga barang, maka selama belum dapat dibuktikannya hak, tidaklah mungkin menuntut ganti rugi atau harga barang. Jadi menjawab pertanyaan Anda, bahwa Decisoir, Suppletoir , dan Aestimatoire merupakan klasifikasi sumpah sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata. Decisoir dapat disebut dengan sumpah pemutus, suppletoir disebut dengan sumpah tambahan dan aestimatoire adalah sumpah penaksir. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . REFERENSI:\n1. Harahap, Yahya. 2016. Pembahasan Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan . Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 1866 KUH Perdata [2] Yahya Harahap, hal. 750 [3] Yahya Harahap, hal. 750 [4] Pasal 1930 KUH Perdata [5] Yahya Harahap, hal. 752 dan Pasal 1930 KUHPerdata [6] Yahya Harahap, hal. 753-754 [7] Pasal 1930 ayat (2) KUHPerdata [8] Yahya Harahap, hal. 754 [9] Pasal 1941 KUH Perdata [10] Pasal 1929 jo. Pasal 1940 KUHPerdata [11] Pasal 1929 ayat (2) jo. Pasal 1940 KUH Perdata [12] Yahya Harahap, hal. 775 [13] Yahya Harahap, hal. 776 sumpah acara peradilan pengadilan hukumonline perdata hukum perdata hukum acara perdata alat bukti hukum klinik hakim persidangan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Mohon jelaskan teori resepsi a contrario dan contoh teori resepsi a contrario jika ada. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Definisi Teori Receptio A Contrario\n\nPembahasan teori receptio a contrario ini umumnya ditemukan dalam hubungan antara hukum agama dan hukum adat.\nDisarikan dari jurnal Epistemologi Pengembangan Hukum Islam yang ditulis Nova Effenty Muhammad (hal. 83), kemunculan receptio a contrario ini diprakarsai oleh kemunculan teori receptio in complexu yang digagas Van Den Berg, pakar hukum asal belanda.\nPada intinya, teori receptio in complexu menyatakan bahwa hukum agama (Islam) diterima secara keseluruhan oleh masyarakat yang memeluk agama tersebut. Jika diartikan, teori ini menganggap hukum adat mengikuti hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat adat itu.\nKemudian, hadirnya receptio in complexu dibantah oleh Snouck Hurgronje dan C. Van Vollenhoven melalui teori receptie-nya. Teori receptie menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan atau telah diterima keberlakuannya oleh hukum adat. Artinya, hukum Islam mengikuti hukum adat masyarakat sekitar.\n\nTeori Hurgronje tersebut dibantah oleh Hazairin, pakar hukum adat asal Indonesia, dengan teori receptio exit. Teori inilah yang kemudian dikembangan oleh Sayuti Thalib menjadi teori receptio a contrario. Jika diartikan, teori receptio a contrario adalah teori yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum agama, yang berarti hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum agama.\nAjaran Teori Receptio A Contrario\n\nMenurut M. Yahya Harahap dalam Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat (hal. 62) teori atau ajaran penetrasi persentuhan hukum Islam dan adat secara receptio contrario, banyak sekali penganutnya di kalangan penulis-penulis hukum.\n\nSebagaimana pernah dijelaskan oleh Hamka yang dikutip oleh Yahya Harahap (hal. 62) inti pokok yang terkandung dalam ajaran teori receptio a contrario antara lain:\n\nTelah berkembang suatu garis hukum hampir di seluruh kepulauan nusantara.Garis hukum itu hukum adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam kehidupan pergaulan masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.\n\nLebih lanjut, Yahya Harahap (hal. 63) menjelaskan jika teori resepsio mengatakan bahwa hukum Islam baru dapat dilaksanakan sebagai norma hukum apabila hukum adat telah menerimanya sebagai hukum, maka teori receptio a contrario adalah kebalikannya.\nMenurut ajaran receptio a contrario, hukum adat yang menyesuaikan diri ke dalam hukum Islam. Hukum adat yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat adalah norma hukum adat yang sesuai dengan jiwa hukum Islam. Jika norma hukum adat tersebut tidak sejalan dengan jiwa dan semangat hukum Islam, maka hukum adat tersebut harus dijauhkan dari kehidupan pergaulan lalu lintas masyarakat.\nContoh Teori Receptio a Contrario dalam Ungkapan Hukum Adat\n\nM. Yahya Harahap memberikan contoh ungkapan yang telah tercipta sebagai landasan pedoman penerapan hukum di beberapa daerah, misalnya:[1]\n\nHukum ngon adat hantom cre, lagu zat ngon sepent\n\nUngkapan ini terdapat di daerah Aceh yang artinya hukum Islam dan hukum adat tak dapat dipisahceraikan, seperti hubungan zat dengan sifatnya.\n\nAdatna di uhomkon manise tu na disyariatkon\n\nUngkapan ini berasal dari Tapanuli Selatan yang berarti hukum adat yang hendak diterapkan sebagai hukum, harus lebih dulu dipertanyakan dan diujikan kepada syariat Islam, apakah ketentuan hukum adat yang hendak diterapkan dan diberlakukan itu tidak bertentangan dengan syariat. Jika ternyata bertentangan, hukum adat tersebut harus disingkirkan. Untuk menguji bertentangan atau tidaknya hukum adat tersebut, para fungsionaris adat mempertanyakan dulu kepada ulama atau guru agama setempat.\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, secara sederhana teori receptio a contrario dapat diartikan hukum adat hanya berlaku bila tidak bertentangan dengan hukum agama yang dipeluk oleh masyarakat.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993\n2. Nova Effenty Muhammad. Epistemologi Pengembangan Hukum Islam. Al-Mizan, Vol. 9 No. 1 Juni 2013.\n\n[1] M. Yahya Harahap. Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal 63–64" }
{ "from": "human", "value": "Apa yang dimaksud dengan testimonium de auditu? Mohon jelaskan." }
{ "from": "gpt", "value": "Pengertian Testimonium De Auditu\n\nTestimonium de auditu adalah kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain.[1] Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya adalah:[2]\n\nberada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan Pasal 171 HIR dan Pasal 1907 KUH Perdata;keterangan saksi yang demikian, hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu; dandisebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang mengalami, melihat, atau mendengar sendiri peristiwa pokok perkara yang disengketakan.\n\nBentuk keterangan tersebut dalam sistem hukum common law disebut dengan hearsay evidence.[3]\nTestimonium De Auditu dalam Praktik Peradilan\n\nYahya Harahap (hal. 664–665) kemudian menerangkan penerapan saksi testimonium de auditu dalam praktik peradilan, yakni sebagai berikut.\n\nSecara umum ditolak sebagai alat bukti\n\nPada prinsipnya testimonium de auditu tidak dapat diterima sebagai alat bukti. Pada umumnya sikap praktisi hukum secara otomatis menolaknya tanpa analisis dan pertimbangan yang argumentatif. Sebagai contoh Putusan MA No. 881 K/Pdt/1983, yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu, sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti.\nDikonstruksi sebagai persangkaan\n\nSecara kasuistik hakim dapat mengonstruksi kesaksian de auditu menjadi alat bukti persangkaan asal hal itu dipertimbangkan dengan objektif dan rasional. Meski jarang ditemukan putusan yang mengkonstruksi kesaksian de auditu sebagai alat bukti persangkaan, namun bukan berarti sama sekali tidak ada. Bisa kita lihat dalam Putusan MA No. 308 K/Pdt/1959. Menurut putusan ini:\n\nTestimonium de auditu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti langsung;Namun kesaksian itu dapat diterapkan sebagai alat bukti persangkaan (vermoeden), dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.\n\nKemudian, yang umumnya dipertanyakan, apakah tindakan seperti itu dapat dibenarkan? Terkait hal ini, M. Yahya Harahap (hal. 665) mengatakan, dapat. Pasalnya, berdasarkan Pasal 1922 KUH Perdata, Pasal 173 HIR, kepada hakim yang diberi kewenangan untuk mempertimbangkan sesuatu apakah dapat diwujudkan sebagai alat bukti persangkaan, asal itu dilakukan dengan hati-hati dan saksama. Adapun menurut pasal ini, yang dapat dijadikan sumber atau landasan alat bukti persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang ialah dari saksi, bantahan atau akta.\n\nDemikian jawaban dari kami seputar testimonium de auditu sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Herzien Inlandsch Reglement (HIR)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27228/nprt/2/herzien-inlandsch-reglement-(h.i.r)-(s.-1941-44)-reglemen-indonesia-yang-diperbaharui-(r.i.b.))\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629/uu-no-8-tahun-1981-hukum-acara-pidana?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\nPUTUSAN\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 308 K/Pdt/1959;Putusan Mahkamah Agung Nomor 881 K/Pdt/1983;Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.\n\n[1] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal 661[2] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal 661[3] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 661" }
{ "from": "human", "value": "Apakah yang dimaksud dengan \"tindakan penertiban non-yustisial\" oleh Satpol PP?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Melakukan t indakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah (“Perda”) dan/atau Peraturan Kepala Daerah (“Perka”) merupakan salah satu kewenangan Satuan Polisi Pamong Praja dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Yang dimaksud dengan tindakan penertiban non-yustisial itu adalah tindakan yang dilakukan oleh polisi pamong praja dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perka dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan . Apa contohnya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tugas dan Fungsi Satuan Polisi Pamong Praja Ketentuan mengenai Satuan Polisi Pamong Praja (“Satpol PP”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah . Satpol PP dibentuk untuk menegakkan Peraturan Daerah (“Perda”) dan Peraturan Kepala Derah (“Perkada”), menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan perlindungan masyarakat. [1] Perda yang dimaksud adalah Perda provinsi dan Perda kabupaten/kota. [2] Sementara Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota. [3] Polisi Pamong Praja (“Pol PP”) yang merupakan anggota dari Satpol PP adalah jabatan fungsional pegawai negeri sipil yang penetapannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [4] Pol PP diangkat dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. [5] Lebih lanjut mengenai tugas Satpol PP diatur dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja (“PP 16/2018”) , yaitu: menegakkan Perda dan Perkada; menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman; dan menyelenggarakan pelindungan masyarakat Dalam melaksanakan tugasnya, Satpol PP mempunyai fungsi: [6] penyusunan program penegakan Perda dan Perkada, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman serta penyelenggaraan pelindungan masyarakat; pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan Perkada, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat serta penyelenggaraan pelindungan masyarakat; pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan Perkada, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman serta penyelenggaraan pelindungan masyarakat dengan instansi terkait; pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum atas pelaksanaan Perda dan Perkada; dan pelaksanaan fungsi lain berdasarkan tugas yang diberikan oleh kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Arti Tindakan Penertiban Non-Yustisial Tindakan penertiban non-yustisial yang Anda tanyakan merupakan bagian dari kewenangan Satpol PP dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Satpol PP dalam melaksanakan tugas dan fungsinya mempunyai kewenangan sebagai berikut: [7] Melakukan tindakan penertiban non-yustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada. Menjawab pertanyaan Anda, yang dimaksud dengan “ tindakan penertiban non-yustisial ” adalah tindakan yang dilakukan oleh Pol PP dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan . Menindak warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat. Yang dimaksud dengan ”menindak” adalah melakukan tindakan hukum terhadap pelanggaran Perda untuk diproses melalui peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada. Yang dimaksud dengan “tindakan penyelidikan” adalah tindakan Pol PP yang tidak menggunakan upaya paksa dalam rangka mencari data dan informasi tentang adanya dugaan pelanggaran Perda dan/atau Perkada, antara lain mencatat, mendokumentasi atau merekam kejadian/keadaan, serta meminta keterangan. Melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Perda dan/atau Perkada. Yang dimaksud dengan “tindakan administratif” adalah tindakan berupa pemberian surat pemberitahuan, surat teguran/surat peringatan terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat meliputi kegiatan: [8] deteksi dan cegah dini; pembinaan dan penyuluhan; patroli; pengamanan; pengawalan; penertiban; dan penanganan unjuk rasa dan kerusuhan massa. Dalam melaksanakan tugas ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, Satpol PP dapat meminta bantuan personel dan peralatan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia dalam melaksanakan tugas yang memiliki dampak sosial yang luas dan risiko tinggi. [9] Berdasarkan penjelasan tersebut, tindakan penertiban non-yustisial merupakan kewenangan dari Satpol PP dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Tindakan penertiban non-yustisial itu adalah tindakan yang dilakukan oleh Pol PP dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan . Contoh Tindakan Penertiban Non-Yustisial Sebagai contoh dapat kita lihat dalam artikel Operasi Non Yustisi , sebagaimana yang kami akses melalui laman Satpol PP dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul , dimana diberitakan bahwa Satpol PP Kabupaten Bantul melakukan operasi non yustisi terhadap usaha salon yang berada di Kabupaten Bantul, operasi ini dilakukan guna mencegah adanya gangguan Ketenteraman dan Ketertiban Masyarakat (“Trantibmas”) di Kabupaten Bantul khususnya pada saat menghadapi bulan Ramadan. Operasi ini dipimpin oleh Pelaksana Tugas (“Plt.”) Kepala Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan. Kegiatan tersebut mengambil lokasi di Kawasan Ringroad Selatan ke Timur. Dalam operasi tersebut ditemukan sebanyak 4 (empat) tempat usaha salon, dimana tiga dari empat salon tersebut belum mengantongi surat izin gangguan sehingga diminta untuk melengkapinya dalam waktu 30 hari setelah pembinaan tersebut. Jadi menjawab pertanyaan Anda , tindakan penertiban non-yustisial adalah tindakan yang dilakukan oleh Pol PP dalam rangka menjaga dan/atau memulihkan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat terhadap pelanggaran Perda dan/atau Perkada dengan cara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak sampai proses peradilan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2018 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Referensi : Operasi Non Yustisi , diakses pada Selasa, 22 Mei 2018, pukul 11.19 WIB. [1] Pasal 255 ayat (1) UU 23/2014 [2] Pasal 1 angka 25 UU 23/2014 [3] Pasal 1 angka 26 UU 23/2014 [4] Pasal 256 ayat (1) UU 23/2014 [5] Pasal 256 ayat (2) UU 23/2014 [6] Pasal 6 PP 16/2018 [7] Pasal 255 ayat (2) UU 23/2014 dan penjelasannya jo. Pasal 7 PP 16/2018 dan penjelasannya. [8] Pasal 11 PP 16/2018 [9] Pasal 12 PP 16/2018 hukumonline google satpol pp tata negara hukum ketertiban" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya adakah teori khusus yang membahas ultimum remedium atau hanya sekedar istilah saja? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sepanjang penelusuran kami, sebenarnya ultimum remedium adalah istilah hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana yang merupakan sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Penemuan Hukum Sebuah Pengantar (hal. 128) mengartikan ultimum remedium adalah sebagai alat terakhir.\n\nSelain itu, ada pendapat yang mengatakan bahwa ultimum remedium tidak hanya suatu istilah, tetapi juga merupakan suatu asas hukum. Mengenai asas hukum, Sudikno menyebutkan asas hukum sifatnya abstrak (hal. 7). Karena sifatnya itu, asas hukum pada umumnya tidak dituangkan dalam bentuk peraturan atau pasal yang konkret, antara lain seperti:\n\nPoint d’interet point d’action adalah barangsiapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan ke pengadilan;Restitutio in integrum adalah pengembalian kepada keadaan semula;In Dubio Pro Reo adalah dalam hal ada keragu-raguan hakim apakah terdakwa salah atau tidak, maka hakim wajib memberikan putusan yang menguntungkan terdakwa;Res judicata pro veritate habetur adalah apa yang diputus hakim harus dianggap benar;Presumptio Iures de Iure adalah setiap orang dianggap tahu akan hukum atau undang-undang;Perlindungan terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik.\n\nBaca juga: Catat! Ini 21 Asas Hukum dan 7 Adagium Hukum yang Perlu Dipahami\n\nNamun, sepanjang penelusuran kami dalam buku ini, Sudikno memang tidak menyebutkan secara terang-terangan asas ultimum remedium. Menteri Hukum dan HAM, Yasona Laoly dalam berita berjudul Perlu Penegasan Norma Ultimum Remedium Soal Pengenaan Sanksi di Aturan Turunan UU Cipta Kerja (hal. 1) menerangkan ultimum remedium merupakan asas hukum yang biasa dipakai dan diartikan sebagai penerapan sanksi pidana menjadi sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.\n\nDengan demikian, ultimum remedium adalah salah satu asas dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir penegakan hukum. Asas ultimum remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan.\nUltimum Remedium sebagai Sanksi Pamungkas\n\nKemudian, istilah ultimum remedium juga kami temukan dalam buku yang ditulis oleh Wirjono Prodjodikoro berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 17) menyebutkan norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi. Begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.\n\nMengapa hukum pidana memiliki sifat ultimum remedium? Wirjono (hal. 50) menjelaskan karena sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium pidana jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini menimbulkan kecenderungan untuk menghemat mengadakan sanksi pidana. Jadi, ultimum remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu sifat sanksi pidana.\n\nSelain dikenal dalam hukum pidana, istilah ini juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Frans Hendra Winarta dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa (hal. 1-2) menyebutkan secara konvensional, penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis, seperti dalam perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya biasanya dilakukan melalui proses litigasi. Dalam proses litigasi menempatkan para pihak saling berlawanan satu sama lain, selain itu penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.\n\nBerdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada teori khusus mengenai ultimum remedium pidana. Ultimum remedium adalah istilah lumrah yang kemudian biasa dipakai atau dikaitkan dengan hukum pidana. Istilah ini menggambarkan suatu sifat hukum pidana, yakni sebagai pilihan atau alat terakhir penyelesaian perkara.\n\nContoh ultimum remedium dapat Anda lihat secara implisit dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta yang berbunyi:\n\nSelain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana.\n\nAdapun penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa seperti melalui mediasi, negosiasi, atau konsiliasi, arbitrase, atau Pengadilan Niaga.[1]\n\nDemikian jawaban dari kami tentang asas ultimum remedium, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.\n\nReferensi:\n\nSudikno Mertokusumo. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 2006;Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2003.\n\n[1] Penjelasan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta" }
{ "from": "human", "value": "Saya bingung perbedaan mengingat dan menimbang setiap kali membaca peraturan perundang-undangan. Sepertinya fungsi keduanya sama saja. Apa maksud kedua bagian tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Kewenangan Lembaga Membentuk Peraturan Perundang-undangan 06 Sep 2023 Apakah TAP MPR Dapat Dipersamakan dengan UUD 1945 atau UU? 14 Des 2015 Kedudukan Peraturan Menteri dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan 19 Mei 2014 Beberapa Pasal dalam Satu Peraturan Saling Bertentangan, Mana yang Berlaku? 18 Feb 2014 Intisari: Bagian Menimbang dan Mengingat dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah dua hal yang berbeda. Menimbang memuat uraian singkat pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Sedangkan Mengingat memuat d asar hukum yakni dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan itu dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan itu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bagian Menimbang dalam Peraturan Perundang-Undangan Menimbang atau Konsiderans dalam suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian singkat mengenai pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan tersebut. Demikian yang dijelaskan oleh Maria Farida Indrati S. dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya (hal. 108). Lebih lanjut menurut Maria, pokok-pokok pikiran pada konsiderans Undang-Undang atau Peraturan Daerah memuat unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatannya. [1] Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya ini penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis. [2] - Unsur filosofis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. - Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. - Unsur yuridis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. [3] Jika konsiderans memuat lebih dari satu pokok pikiran, tiap-tiap pokok pikiran dirumuskan dalam rangkaian kalimat yang merupakan kesatuan pengertian. Tiap-tiap pokok pikiran diawali dengan huruf abjad, dan dirumuskan dalam satu kalimat yang diawali dengan kata bahwa dan diakhiri dengan tanda baca titik koma . [4] Contoh: Berikut bagian Menimbang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) yang menguraikan unsur-unsur filosofis, juridis, dan sosiologis yang menjadi latar belakang pembuatan UU ASN: Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan cita-cita bangsa dan mewujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perlu dibangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. bahwa pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara belum berdasarkan pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang diperlukan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki calon dalam rekrutmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi pada jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintahan yang baik c. bahwa untuk mewujudkan aparatur sipil negara sebagai bagian dari reformasi birokrasi, perlu ditetapkan aparatur sipil negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara; d. bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian sudah tidak sesuai dengan tuntutan nasional dan tantangan global sehingga perlu diganti; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara. Bagian Mengingat dalam Peraturan Perundang-Undangan Mengingat atau dikenal sebagai dasar hukum merupakan suatu landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. [5] Dasar hukum memuat: [6] a. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan b. Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masih bersumber dari buku yang sama, peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Peraturan perundang-undangan yang akan dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk atau peraturan perundang-undangan yang sudah diundangkan tetapi belum resmi berlaku, tidak dicantumkan sebagai dasar hukum. [7] Jika jumlah peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencatuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang-undangan, dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya. [8] Dasar hukum yang diambil dari pasal (-pasal) dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis dengan menyebutkan pasal atau beberapa pasal yang berkaitan. Frase Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditulis sesudah penyebutan pasal terakhir dan kedua huruf u ditulis dengan huruf kapital. [9] Contoh: Mengingat : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 -Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Jadi, dari penjelasan yang kami uraikan di atas dapat dismpulkan bahwa bagian Menimbang dan Mengingat dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah dua hal yang berbeda. Sederhananya, Menimbang memuat uraian singkat pokok-pokok pikiran yang menjadi latar belakang dan alasan pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sedangkan Mengingat memuat d asar hukum yakni dasar kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan itu dan peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan itu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ; 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara . REFERENSI:\n1. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius. [1] Maria Farida Indrati S . , hal. 108 [2] Angka 19 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 12/2011”) [3] Ibid [4] Maria Farida Indrati S . , hal. 109 [5] Maria Farida Indrati S . , hal 110 [6] Angka 28 Lampiran UU 12/2011 [7] Maria Farida Indrati S . , hal. 111 [8] Maria Farida Indrati S . , hal. 111 [9] Maria Farida Indrati S . , hal. 111 peraturan hukumonline peraturan perundang-undangan tata negara hukum klinik klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Pada UU Merek, terdapat frasa \"persamaan pada pokoknya\". Apa artinya? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Arti “Persamaan pada Pokoknya” dalam UU Merek yang pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 2 Oktober 2015 . Daya Pembeda dan Persamaan pada Pokoknya Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam artikel Memahami Merek , pemakaian merek berfungsi sebagai: tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau badan hukum lainnya; alat promosi, sehingga mempromosikan hasil produksinya cukup dengan menyebut mereknya; jaminan atas mutu barangnya; penunjuk asal barang/jasa yang dihasilkan. Oleh karenanya, merek merupakan salah satu kekayaan intelektual yang memainkan peran penting dalam industri. Merek memiliki unsur utama, yaitu memiliki daya pembeda . Merek tidak dapat didaftar jika tidak memiliki daya pembeda, artinya apabila suatu tanda pada merek terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. [1] Permohonan merek akan ditolak jika mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: [2] merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis; merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis ; merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau indikasi geografis terdaftar. Arti ‘Persamaan pada Pokoknya’ Penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU MIG menjelaskan: Yang dimaksud dengan \"persamaan pada pokoknya\" adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan , yang terdapat dalam Merek tersebut. Selain itu, patut diperhatikan Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU MIG juga menerangkan bahwa dalam hal merek yang dimohonkan memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis, maka perlu diperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek tersebut yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek di beberapa negara. Jika masih belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang menjadi dasar penolakan. Selain itu, mengutip dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 789 K/PDT.SUS-HKI/2016 , Putusan Mahkamah Agung Nomor 279 PK/Pdt/1992 menyatakan bahwa merek mempunyai persamaan pada pokoknya maupun secara keseluruhan jika memiliki (hal. 21): persamaan bentuk ( similarity of form ); persamaan komposisi ( similarity of composition ); persamaan kombinasi ( similarity of combination ); persamaan unsur elemen ( similarity of elements ); persamaan bunyi ( sound similarity ); persamaan ucapan ( phonetic similarity ) atau; persamaan penampilan ( similarity of appearance ). Baca juga: Ini Perbedaan Merek Biasa, Merek Terkenal, dan Merek Termasyhur Contoh Kasus Jika ada pihak lain yang tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa sejenis, pemilik merek terdaftar dan/atau penerima lisensi merek terdaftar dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, berupa: [3] gugatan ganti rugi; dan/atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Sebagai contoh, kami mengutip Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 01/HKI.Merek/2017/PN-Niaga-Sby terkait kasus persamaan pada pokoknya pada merek. Tergugat telah secara melawan hak dan tanpa izin Penggugat telah menggunakan Merek “surat KILAT” yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan Merek “KILAT” atas nama Penggugat yang terdaftar lebih dahulu. Tergugat sejak tahun 2010 telah memproduksi dan memperdagangkan produk kantong plastik dengan menggunakan Merek “surat KILAT” di beberapa toko milik Tergugat (hal. 22) Atas perbuatan pelanggaran merek yang dilakukan Tergugat, Penggugat sangat dirugikan, sehingga Penggugat telah membuat surat peringatan, namun peringatan dari Penggugat tersebut tidak direspon dengan baik oleh Tergugat, dimana Tergugat tetap melakukan perbuatan tersebut (hal. 23). Penggugat pernah mengadukan Tergugat kepada kepolisian di Surabaya dan Tergugat selaku Terdakwa telah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (hal. 23) Pengadilan Niaga Surabaya menyatakan Tergugat telah melakukan perbuatan pelanggaran merek yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik Penggugat untuk barang sejenis, yaitu kantong plastik (hal. 32). Atas perbuatannya, Tergugat untuk menghentikan semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan dan permohonan pendaftaran merek “surat KILAT” yang memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek “KILAT” atas nama Penggugat (hal. 32). Tergugat juga dihukum untuk membayar ganti rugi materil dan immateril kepada Penggugat sebesar Rp2 miliar (hal. 32). Baca juga: Cara Menghindari ‘Persamaan Pada Pokoknya’ dalam Merek Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis . Putusan : Putusan Mahkamah Agung Nomor 279 PK/Pdt/1992; Putusan Mahkamah Agung Nomor 789 K/PDT.SUS-HKI/2016 ; Putusan Pengadilan Niaga Surabaya Nomor 01/HKI.Merek/2017/PN-Niaga-Sby . Referensi : Memahami Merek , diakses pada 11 Agustus 2020, pukul 14.00 WIB. [1] Pasal 20 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU MIG”) dan penjelasannya [2] Pasal 21 ayat (1) UU MIG [3] Pasal 83 ayat (1) dan (3) UU MIG hukumonline persamaan pada pokoknya hak kekayaan intelektual merek haki hukum klinik klinik hukumonline hki kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Pasal 17 KUHAP menyatakan: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup itu? Apa yang menjadi dasar bahwa bukti itu dinyatakan \"cukup\"?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apa Perbedaan Benda Sitaan dengan Barang Bukti? 27 Mar 2024 Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti dalam UU ITE 2024 05 Jan 2024 E-mail Sebagai Alat Bukti Perkara Perdata 12 Des 2018 Struk ATM sebagai Bukti Transfer Dana 26 Agt 2015 Intisari: \"Bukti permulaan yang cukup\" pada Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) harus dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bukti Permulaan yang Cukup Sebelumnya, mari kita simak bunyi lengkap Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebagai berikut: Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan \" bukti permulaan yang cukup \" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14 KUHAP . Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. [1] Jadi, bicara soal Pasal 17 KUHAP, maka pasal ini tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1 butir 14 KUHAP yang berbunyi: Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Merujuk pada Pasal 17 beserta penjelasannya, tidak ada ketentuan yang eksplisit menyebutkan apa saja bukti permulaan yang cukup itu. Namun kemudian, dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP . Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Mahkamah Konstitusi beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu. Penjelasan lebih lanjut silakan Anda simak MK ‘Rombak’ Bukti Permulaan dan Objek Praperadilan . Fungsi Bukti Permulaan yang Cukup Terkait kedua pasal ini, Chandra M Hamzah dalam bukunya Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup menjelaskan bahwa pada dasarnya, fungsi bukti permulaan yang cukup dapat diklasifikasikan atas 2 (dua) buah kategori, yaitu merupakan prasyarat untuk: [2] 1. Melakukan penyidikan; 2. Menetapkan status tersangka terhadap seseorang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap kategori pertama , Chandra M. Hamzah menjelaskan bahwa fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya suatu tindak pidana dan selanjutnya dapat ditindaklanjuti dengan melakukan suatu penyidikan. Sedangkan terhadap kategori kedua , fungsi bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan bahwa (dugaan) tindak pidana tersebut diduga dilakukan oleh seseorang. [3] Chandra M. Hamzah mengutip pendapat dari Yahya Harahap yang menyatakan bukti permulaan yang cukup setidaknya mengacu pada standar minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud Dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP [4] yang berbunyi: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Landasan berpikir dari 2 (dua) alat bukti tampaknya terdapat pada kesinambungan antara proses hukum di dalam Sistem Peradilan Pidana sebagaimana dinyatakan oleh Lamintang sebagai berikut: [5] Secara praktis bukti permulaan yang cukup dalam rumusan Pasal 17 KUHAP itu harus diartikan sebagai “bukti minimal” berupa alat bukti seperti dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang dapat menjamin bahwa penyidik tidak akan menjadi terpaksa untuk menghentikan penyidikan terhadap seseorang yang disangka melakukan suatu tindak pidana, setelah terdapat orang tersebut dilakukan penangkapan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . PUTUSAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 . REFERENSI:\n1. Chandra M. Hamzah. Penjelasan Hukum tentang Bukti Permulaan yang Cukup . Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), 2014. [1] Penjelasan Pasal 17 KUHAP [2] Chandra M. Hamzah, hal. 6 [3] Chandra M. Hamzah, hal. 6 [4] Chandra M. Hamzah, hal. 17 [5] Chandra M. Hamzah, hal. 17 bukti permulaan yang cukup hukumonline hukum pidana bukti permulaan alat bukti penangkapan hukum klinik klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Pada Pasal 3 Undang-Undang Tipikor ada disebutkan kalimat penyalahgunaan wewenang, apa maksud kalimat tersebut? Apakah harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan yang bertentangan? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Arti menyalahgunakan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu: 1. Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan 2. Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan 3. Berpotensi merugikan negara Sedangkan konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu: 1. Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan; 2. Abuse de droit atau sewenang-wenang Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita simak bunyi Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan , kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sayangnya, pada penjelasan pasal ini tidak menjelaskan maksud dari “menyalahgunakan wewenang”. Di situ hanya menjelaskan bahwa kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor , yakni tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Namun, berdasarkan penelusuran kami dalam sebuah paparan berjudul Peran Pegawai Pemerintah sebagai Partisipan dalam Membangun Budaya Hukum Bangsa oleh Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI (“Puspenkum Kejagung”) yang diakses dari laman resmi Kejaksaan Republik Indonesia dijelaskan antara lain bahwa penyalahgunaan wewenang mengacu pada UU Pemberantasan Tipikor adalah menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Masih bersumber dari laman yang sama, juga dijelaskan soal konsep penyalahgunaan wewenang dalam Hukum Adiministrasi Negara (“HAN”) yaitu: 1. Detournement de pouvoir atau melampaui batas kekuasaaan; 2. Abuse de droit atau sewenang-wenang. Puspenkum Kejagung juga menjelaskan arti penyalahgunaan wewenang menurut UU Pemberantasan Tipikor yaitu: 1. Melanggar aturan tertulis yang menjadi dasar kewenangan; 2. Memiliki maksud yang menyimpang walaupun perbuatan sudah sesuai dengan peraturan; 3. Berpotensi merugikan negara. Kami mencoba mengerti maksud pertanyaan Anda “Apakah harus ada suatu keputusan yang dikeluarkan yang bertentangan”. Dari sini kami asumsikan bahwa yang dimaksud adalah apakah tindakan “menyalahgunakan wewenang” itu harus berupa keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan yang ia keluarkan karena jabatan atau kedudukan yang dimilikinya atau tidak. Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada arti penyalahgunaan menurut UU Pemberantasan Tipikor di atas, tindakan menyalahgunakan wewenang dalam melakukan tindak pidana korupsi tidak harus selalu berupa dikeluarkannya keputusan yang bertentangan atau menyalahi suatu aturan. Cukup perbuatan itu melanggar aturan tertulis sebagai dasar kewenangannya, memiliki maksud yang menyimpang, dan berpotensi merugikan negara, maka perbuatan tersebut sudah dikatakan sebagai menyalahgunakan wewenang. Di samping itu, jika dilihat dari perspektif HAN, apabila tindakan yang ia lakukan itu melampaui batas kekuasaannya atau secara sewenang-wenang, maka tindakan tersebut juga dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang. Teori lain soal penyalahgunaan wewenang juga disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 977 K/PID/2004 . Dalam putusan tersebut dikatakan bahwa p engertian \"menyalahgunakan kewenangan\" tidak ditemukan eksplisitasnya dalam Hukum Pidana, maka Hukum Pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya . Hal ini berangkat dari hukum pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika Hukum Pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya (De Autonomie van bet Materiele Strafrecbt ). Masih bersumber dari putusan yang sama, ajaran ini diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang selanjutnya dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K / Pid / 1992 tanggal 17 Februari 1992 (“Putusan MA”) sewaktu adanya perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan perkara \"Sertifikat Ekspor\". Mahkamah Agung RI mengambil alih pengertian \"menyalahgunakan kewenangan\" yang ada pada Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yaitu telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut atau yang dikenal dengan \" Detournement de pouvoir \". Sekedar tambahan informasi untuk Anda, pada Putusan MA ini juga dibahas soal pengertian Detournement de pouvoir . Menurut Prof. Jean Rivero dan Prof. Waline , pengertian penyalahgunaan kewenangan dalam Hukum Administrasi dapat diartikan dalam 3 wujud, yaitu: 1. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk menguntungkan kepentingan pribadi, kelompok atau golongan; 2. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi menyimpang dari tujuan apa kewenangan tersebut diberikan oleh Undang-Undang atau peraturan-peraturan lain; 3. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana; Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah terakhir kali oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 ; 2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 . Referensi: http://www.kejaksaan.go.id/uplimg/Peran%20PNS%20dalam%20membangun%20budaya.ppt , diakses pada 10 Maret 2015 pukul 11.48 WIB. Putusan: 1. Putusan Mahkamah Agung RI. No.1340 K/Pid/1992 tanggal 17 Februari 1992; 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 977 K/PID/2004 . pidana" }
{ "from": "human", "value": "Mengapa istilah “pembebasan tahanan demi hukum” sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04-UM.01.06 Tahun 1983 tidak termasuk pembebasan tahanan berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan tetap? Padahal pembebasan berdasarkan putusan hakim juga demi hukum?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Secara umum alasan pembebasan tahanan itu ada 4 (empat): Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan. Karena tidak diperlukan lagi penahanan. Apabila hukuman telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani. Kepala Rumah Tahanan (“Rutan”) berwenang dan bertugas untuk mengeluarkan seorang tahanan dari Rutan apabila putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap , sedangkan hukuman pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Pembebasan tahanan demi hukum . “Pembebasan tahanan demi hukum” dan “pembebasan tahanan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang telah sesuai dengan masa tahanannya” merupakan dua alasan pembebasan tahanan yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Perbedaan : pembebasan tahanan demi hukum itu apabila masa tahanan telah habis tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan, meskipun sepuluh hari sebelumnya Rutan telah memberitahukan kepada instansi yang menahan dan ternyata tidak juga diperpanjang masa penahanannya. Sedangkan pembebasan tahanan karena putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah pembebasan tahanan karena putusan pidananya telah bersesuaian dengan masa tahanan yang dijalani terpidana. Perbedaan antara keduanya adalah terletak pada tingkat proses pemeriksaan. Pada pembebasan tahanan demi hukum, tingkat pemeriksaan masih dalam tahap proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan. Sedangkan pembebasan berdasarkan masa tahanan sesuai dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tahap proses pemeriksaan sudah selesai. Persamaan : sifat yuridisnya sama-sama berdasar hukum atau demi hukum. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan yang Anda maksud dengan pembebasan tahanan berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan tetap adalah pembebasan tahanan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena telah sesuai dengan masa tahanannya. Pembebasan Tahanan Pembebasan tahanan menurut Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04-UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara (“Permen Kehakiman 04/1983”) dilakukan karena alasan-alasan: [1] Pengeluaran tahanan karena penangguhan penahanan (harus berdasarkan surat perintah pengeluaran dari instansi yang menahan). Pembebasan tahanan karena sudah tidak diperlukan lagi penahanannya (harus berdasarkan surat perintah pengeluaran tahanan dari instansi yang menahan). Pembebasan tahanan karena putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap , telah sesuai dengan masa tahanannya (harus dilaksanakan pada hari itu juga). Pembebasan tahanan karena tahanan yang telah habis masa penahanannya dan tidak ada surat perpanjangan penahanan, meskipun sepuluh hari sebelumnya Rumah Tahanan Negara (“Rutan”) telah memberitahukan kepada instansi yang menahan dan ternyata tidak juga diperpanjang masa penahanannya, tahanan dikeluarkan demi hukum setelah konsultasi dengan instansi yang menahan. Hal yang sama juga disampaikan oleh Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan , (hal.176-177), alasan pembebasan tahan yaitu: Karena tidak diperlukan lagi penahanan. Apabila hukuman yang dijatuhkan telah sesuai dengan masa tahanan yang dijalani. Pejabat Rutan berwenang dan bertugas untuk mengeluarkan seorang tahanan dari Rutan apabila putusan pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan terhadap tahanan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan hukuman pemidanaan yang dijatuhkan pengadilan sama lamanya dengan masa tahanan yang dijalani. Pembebasan tahanan demi hukum. Pembebasan Tahanan Demi Hukum Pengaturan pembebasan tahanan demi hukum diatur dalam Pasal 28 Permen Kehakiman 04/1983 , yang berbunyi: Tahanan yang telah habis masa penahanannya dan tidak ada surat perpanjangan penahanan , meskipun sepuluh hari sebelumnya Rumah Tahanan Negara (RUTAN) telah memberitahukan kepada instansi yang menahan dan ternyata tidak juga diperpanjang masa penahanannya, tahanan dikeluarkan demi hukum setelah konsultasi dengan instansi yang menahan. Pelaksanaan pengeluaran tahanan demi hukum dimaksud ayat (1), petugas Rumah Tahanan Negara (RUTAN) harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: meneliti surat perintah penahanan yang terdahulu terhadap tahanan yang bersangkutan. membuat berita acara pengeluaran tahanan dari Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dan menyampaikan kepada instansi yang menahan dan tahanan yang bersangkutan. mencatat dan mengambil cap sidik jari, tiga jari tengah tangan kiri tahanan dalam register yang disediakan. menyerahkan barang-barang milik tahanan yang ada dan dititipkan kepada Rumah Tahanan Negara (RUTAN) dengan berita acara penyerahan dan dicatat dalam buku register yang disediakan. Menurut Yahya Harahap (hal.178), alasan pembebasan tahanan demi hukum ini hampir mirip dengan pembebasan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, yang putusan pidananya telah bersesuaian dengan masa tahanan yang dijalani terpidana. Perbedaannya terletak pada tingkat proses pemeriksaan. Pada pembebasan tahanan demi hukum, tingkat pemeriksaan masih dalam tahap proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan. Sedangkan pembebasan berdasarkan masa tahanan sesuai dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, tahap proses pemeriksaan sudah selesai. Namun, sifat yuridisnya sama-sama berdasar hukum atau “demi hukum” . Jika diperhatikan bunyi Pasal 28 Permen Kehakiman 04/1983, ada beberapa hal yang menjadi pedoman bagi pejabat Rutan dalam melaksanakan fungsi pembebasan tahanan demi hukum, antara lain: [2] masa tahanan telah habis; tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan; sepuluh hari sebelum berakhir masa tahanan, Kepala Rutan telah memberitahukan hal itu kepada instansi yang memerintahkan penahanan; dalam hal seperti ini, tahanan dibebaskan setelah lebih dulu berkonsultasi dengan pihak instansi yang memeritahkan penahanan. Analisis Pertama-tama kami luruskan bahwa istilah “ pembebasan tahanan demi hukum” dan “pembebasan tahanan berdasarkan putusan hakim yang berkekuatan tetap telah sesuai dengan masa tahanannya” sama-sama disebut dalam Permen Kehakiman 04/1983 sebagai alasan pembebasan tahanan. Pembebasan tahanan demi hukum dan pembebasan tahanan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang telah sesuai dengan masa tahanannya merupakan dua alasan pembebasan tahanan yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Pembebasan tahanan demi hukum itu apabila masa tahanan telah habis, tetapi tidak ada surat perpanjangan penahanan, meskipun sepuluh hari sebelumnya Rutan telah memberitahukan kepada instansi yang menahan dan ternyata tidak juga diperpanjang masa penahanannya. Sedangkan pembebasan tahanan karena putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap adalah pembebasan tahanan karena putusan pidananya telah bersesuaian dengan masa tahanan yang dijalani terpidana. Perbedaan antara kedua nya adalah terletak pada tingkat proses pemeriksaan. Pada pembebasan tahanan demi hukum, tingkat pemeriksaan masih dalam tahap proses penyidikan , penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan . Sedangkan pembebasan berdasarkan masa tahanan sesuai dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap , tahap proses pemeriksaan sudah selesai . Namun, sifat yuridisnya sama-sama berdasar hukum atau demi hukum. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Peraturan Menteri Kehakiman Nomor M.04-UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara . Referensi : Yahya Harahap. 2016. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. [1] Pasal 25, Pasal 26 ayat (1) , Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2) Permen Kehakiman 04/1983 [2] Yahya Harahap, hal. 178 remisi pembebasan bersyarat narapidana acara peradilan hukumonline google tahanan napi rutan hukum pidana pemasyarakatan hukum klinik rumah tahanan klinik hukumonline penangguhan penahanan pidana" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya tentang masalah perdagangan antidumping. 1) Apa asas-asas yang terkandung dalam hukum antidumping? Karena hal ini menimbulkan kerugian bagi negara yang dirugikan dari dumping tersebut, hal ini bisa merugikan industri dalam negeri suatu negara. 2) Bagaimana membuktikan adanya dumping terhadap suatu produk?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Asas-Asas Antidumping yang dibuat oleh Amrie Hakim, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 18 J anuari 201 0 Intisari: Ketentuan Antidumping tercantum dalam Bab IV Bagian Pertama Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU 10/1995”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU 17/2006”). Bab IV UU 17/2006 berjudul Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, sedangkan Bagian Pertama bersubjudul Bea Masuk Antidumping. Pasal 18 dan Pasal 19 UU 10/1995 mengatur sebagai berikut: Pasal 18 UU 10/1995 Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal: harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan impor barang tersebut: menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Pasal 19 UU 10/1995 Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Untuk membuktikan adanya dumping terhadap suatu produk, perlu diketahui bahwa Bea Masuk Antidumping dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Praktik dumping merupakan salah satu praktik dagang tidak sehat yang dilakukan oleh negara eksportir, sehingga mengakibatkan kerugian ( injury ) bagi dunia usaha dan industri di suatu negara. Suatu barang diduga sebagai barang dumping apabila harga ekspor produk tersebut lebih rendah dari harga jual produk tersebut di dalam negeri. Larangan praktik dumping merupakan salah satu ketentuan yang termaktub dalam aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mengingat Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi WTO lewat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (“UU 7/1994”) , maka Indonesia juga harus melaksanakan prinsip-prinsip pokok yang dikandung dalam General Agreement on Tariff and Trade/GATT 1947 (Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan Tahun 1947). Peraturan antidumping dapat dilihat dalam Article VI Persetujuan Anti-Dumping GATT yang terdiri dari 7 ayat. Sebagai tindak lanjut dari UU 7/1994, Indonesia membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU 10/1995”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“UU 17/2006”) . Ketentuan antidumping tercantum dalam Bab IV Bagian Pertama Pasal 18, Pasal 19 dan Pasal 20 UU 10/1995, namun Pasal 20 telah dihapus berdasarkan UU 17/2006. Bab IV UU 17/2006 berjudul Bea Masuk Antidumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, sedangkan Bagian Pertama bersubjudul Bea Masuk Antidumping. Pasal 18 dan Pasal 19 UU 10/1995 mengatur sebagai berikut: Pasal 18 UU 10/1995 Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor dalam hal: harga ekspor dari barang tersebut lebih rendah dari nilai normalnya; dan impor barang tersebut: menyebabkan kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; mengecam terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis dengan barang tersebut; dan menghalangi pengembangan industri barang sejenis di dalam negeri. Pasal 19 UU 10/1995 Bea Masuk Antidumping dikenakan terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 setinggi-tingginya sebesar selisih antara nilai normal dengan harga ekspor dari barang tersebut. Bea Masuk Antidumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tambahan dari Bea Masuk yang dipungut berdasarkan Pasal 12 ayat (1). Selanjutnya, dalam Pasal 23D ayat (1) UU 17/2006 , disebutkan bahwa ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pengenaan bea masuk anti dumping , bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah . Peraturan pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan (“PP 34/2011”) . Berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP 34/2011 , Tindakan Antidumping adalah tindakan yang diambil pemerintah berupa pengenaan Bea Masuk Antidumping terhadap Barang Dumping. Barang Dumping adalah barang yang diimpor dengan tingkat Harga Ekspor yang lebih rendah dari Nilai Normalnya di negara pengekspor. [1] Suatu barang baru dikatakan barang dumping apabila memenuhi tiga unsur, yaitu adanya kegiatan dumping yang LTFV ( less than fair price ), adanya kerugian ( injury ), dan adanya hubungan timbal balik antara dumping dan kerugian ( causal link ). Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang WTO. Jika melihat ke dalam PP 34/2011, untuk membuktikan adanya dumping terhadap suatu produk, perlu membahas terlebih dahulu bahwa Bea Masuk Antidumping dikenakan setelah dilakukan penyelidikan oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). [2] Penyelidikan oleh KADI dapat dilakukan: [3] berdasarkan permohonan Produsen dalam negeri Barang Sejenis dan/atau asosiasi produsen dalam negeri Barang Sejenis (yang mewakili Industri Dalam Negeri) dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada KADI untuk melakukan penyelidikan dalam rangka pengenaan Tindakan Antidumping atas barang impor yang diduga sebagai Barang Dumping yang menyebabkan Kerugian. [4] Permohonan harus memuat bukti awal dan didukung dengan dokumen lengkap mengenai adanya: [5] Barang Dumping; Kerugian; dan Hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian yang dialami oleh pemohon. berdasarkan inisiatif KADI Penyelidikan berdasarkan inisiatif KADI dapat dilakukan apabila KADI memiliki bukti awal yang cukup mengenai adanya Barang Dumping, Kerugian Industri Dalam Negeri, dan hubungan sebab akibat antara Barang Dumping dan Kerugian Industri Dalam Negeri. [6] Indikator-indikator kerugian menurut KADI: Penurunan penjualan dalam negeri; Penurunan keuntungan; Penurunan output (produksi); Penurunan market share ; Penurunan produktivitas; Penurunan utilisasi kapasitas produksi; Gangguan terhadap return of investment ; Gangguan terhadap harga dalam negeri; The magnitude of dumping margin ; Perkembangan cash flow yang negatif; Inventory meningkat; Pengurangan tenaga kerja/penurunan gaji, PHK; Gangguan terhadap pertumbuhan perusahaan; Gangguan terhadap investasi; Gangguan terhadap kemampuan meningkatkan modal. Untuk bacaan lebih lanjut Anda dapat merujuk pada buku dan makalah-makalah mengenai antidumping di antaranya “ Regulasi Antidumping di Bawah Bayang–Bayang Pasar Bebas” karya Sukarmi (Sinar Grafika, Jakarta, 2002). Makalah-makalah yang menjadi rujukan kami dalam artikel ini yaitu “Dumping dalam Perdagangan Internasional dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Melalui WTO oleh Christhophorus Barutu, S.H., M.H. ( Indonesian Journal of International Law , Vol. 4 No. 2 Tahun 2007) dan “Anti Dumping Dalam Perspektif Hukum Indonesia oleh Aji Setiadi ( PPH Newsletter , No. 43 Desember 2000). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan, dan Tindakan Pengamanan Perdagangan [1] Pasal 1 angka 4 PP 34/2011 [2] Pasal 3 ayat (1) PP 34/2011 [3] Pasal 3 ayat (2) PP 34/2011 [4] Pasal 4 ayat (1) PP 34/2011 [5] Pasal 4 ayat (4) PP 34/2011 [6] Pasal 5 PP 34/2011 kepabeanan bea masuk ekspor - impor impor pabean hukumonline google pabrik monopoli hukum klinik klinik hukumonline perdagangan industri" }
{ "from": "human", "value": "Apa bunyi Pasal 1338 KUH Perdata? Asas hukum apa yang diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya, asas kebebasan berkontrak tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:\n\nSemua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik.\nAsas-asas dalam Pasal 1338 KUH Perdata\n\nBerdasarkan isi Pasal 1338 KUH Perdata, terdapat 3 asas hukum perdata, yaitu:\n\nAsas Kebebasan Berkontrak\n\nMenurut Agus Yudha Hernoko, asas kebebasan berkontrak dapat dilihat secara implisit/tersirat dalam Pasal 1338 KUH Perdata, di antaranya yaitu para pihak memiliki kebebasan untuk:[1]\n\nmenentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;menentukan objek perjanjian;menentukan bentuk perjanjian;menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).\nAsas Pacta Sunt Servanda\n\nPasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat sesuai undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”, menjadi dasar bagi asas pacta sunt servanda.[2] Apakah yang dimaksud dengan asas pacta sunt servanda?\n\nPacta sunt servanda memiliki arti kesepakatan yang telah disepakati selanjutnya berlaku sebagai undang-undang yang mengatur.[3] Asas ini mengatur bahwa kesepakatan harus dijalankan sampai ditepati oleh kedua belah pihak. Artinya, setiap persetujuan atau perjanjian memiliki kekuatan hukum memaksa dan mengikat para pihak.[4]\nAsas Iktikad Baik\n\nKemudian, sebagai pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas iktikad baik.[5] Asas iktikad baik atau good faith tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan “Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.\n\nPengertian iktikad baik mempunyai 2 arti, yaitu:[6]\n\nArti objektif, bahwa perjanjian yang dibuat harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.Arti subjektif, yaitu pengertian iktikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang. Artinya, bagi para pihak dalam perjanjian terdapat suatu keharusan untuk tidak melakukan segala sesuatu yang tidak masuk akal sehat, yaitu tidak bertentangan dengan norma kepatutan dan kesusilaan, sehingga dapat menimbulkan keadilan bagi kedua belah pihak dan tidak merugikan salah satu pihak.\n\nAsas iktikad baik juga dapat diartikan bahwa masing-masing pihak dalam suatu perjanjian yang akan disepakati, mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi selengkap-lengkapnya yang dapat mempengaruhi keputusan pihak lain dalam hal menyepakati atau tidak menyepakati perjanjian tersebut.[7]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\nREFERENSI:\n1. Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Cet. 4). Jakarta: Prenadamedia Group, 2014\n2. Harry Purwanto. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 1, 2009\n3. I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Online. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 8, 2018\n4. Muhammad Farhan Gayo dan Heru Sugiyono. Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol. 8, No. 3, 2021\n5. Ronald Fadly Sopamena. Kekuatan Hukum MoU dari Segi Hukum Perjanjian. Jurnal Batulis, Civil Law Review, Vol. 2, No. 1, 2021.\n\n[1] Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Cet. 4). Jakarta: Prenadamedia Group, 2014, hal. 111[2] Ronald Fadly Sopamena. Kekuatan Hukum MoU dari Segi Hukum Perjanjian. Jurnal Batulis, Civil Law Review, Vol. 2, No. 1, 2021, hal. 6[3] Muhammad Farhan Gayo dan Heru Sugiyono. Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol. 8, No. 3, 2021, hal. 245[4] Muhammad Farhan Gayo dan Heru Sugiyono. Penerapan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Sewa Menyewa Ruang Usaha. JUSTITIA: Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol. 8, No. 3, 2021, hal. 249[5] Harry Purwanto. Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dalam Perjanjian Internasional. Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No. 1, 2009, hal. 157[6] I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Online. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 8, 2018, hal. 7[7] I Gede Krisna Wahyu Wijaya dan Nyoman Satyayudha Dananjaya. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Jual Beli Online. Jurnal Kertha Semaya, Vol. 6, No. 8, 2018, hal. 8" }
{ "from": "human", "value": "Apa sajakah asas-asas hukum kotrak atau asas kebebasan berkontrak yang dikenal dalam hukum perdata?" }
{ "from": "gpt", "value": "Disarikan dari buku Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (hal. 104-171), Agus Yudha Hernoko menerangkan bahwa ada sejumlah asas-asas yang berlaku dalam hukum kontrak menurut UNIDROIT (The International Institute for the Unification of Private Law), antara lain:\n\nAsas Kebebasan Berkontrak. Adapun yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak dapat dilihat secara implisit dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, di antaranya yaitu para pihak memiliki kebebasan untuk (hal. 111):\n\nMenentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya;Menentukan objek perjanjian;Menentukan bentuk perjanjian;Menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).\n\nMeskipun para pihak memiliki kehendak bebas, Agus kemudian merujuk pendapat Niewenhuis yang menegaskan, terdapat pengecualian kebebasan berkontrak, yakni dalam hal kontrak-kontrak formal dan riil (bentuk perjanjian) dan syarat kausa yang diperbolehkan (isi perjanjian).\nAsas Konsensualisme. Adapun yang dimaksud dengan asas konsensualisme yaitu para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau seiya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. Asas ini tercantum dalam salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata.\n\nApa yang dikehendaki oleh pihak satu, dikehendaki juga oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik, sebagaimana disarikan dari Bolehkah Membuat Perjanjian untuk Melepaskan Diri dari Utang Ortu?\nAsas Pacta Sunt Servanda dalam hukum kontrak atau perjanjian berarti perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana dimaksud Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.\nAsas Iktikad Baik (good faith). Terkait asas ini, merujuk ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, Agus menerangkan yang dimaksud dengan iktikad baik berarti melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik. Artinya, dalam melaksanakan perjanjian, kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia (hal. 139).\n\nPatut diperhatikan, pemahaman substansi iktikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata tidak harus diinterpretasikan secara gramatikal, bahwa iktikad baik hanya muncul sebatas pada tahap pelaksanaan kontrak (hal. 139).\n\nIktikad baik ini harus dimaknai dalam keseluruhan proses kontraktual. Artinya, iktikad baik harus melandasi hubungan para pihak pada tahap pra kontraktual, kontraktual, dan pelaksanaan kontraktual (hal. 139).\n\nSelanjutnya, dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (“BPHN”), diterangkan, iktikad baik hendaknya diartikan sebagai (hal. 141):\n\nkejujuran pada waktu membuat kontrak;pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya); dansebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.\nAsas Syarat Sahnya Kontrak. Disarikan dari Macam-macam Perjanjian dan Syarat Sahnya, syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 – Pasal 1337 KUH Perdata, yaitu:\n\nKesepakatan para pihak: kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian.\n\nKecakapan para pihak: pada dasarnya, semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.\n\nMengenai suatu hal tertentu: hal tertentu berarti dalam perjanjian tersebut terdapat objek yang diperjanjikan, yang paling tidak objek yang dimaksudkan dalam perjanjian dapat ditentukan jenisnya.\n\nSebab yang halal: berarti perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.\nAsas Kontrak Bisa Dibatalkan Bila Mengandung Perbedaan Besar (gross disparity). Asas Contra Proferentem dalam Penafsiran Kontrak Baku. Asas contra proferentem berarti klausul-klausul yang multitafsir ditafsirkan untuk kerugian pihak yang menyiapkan kontrak baku, sebagaimana diterangkan oleh Marko Cahya Sutanto dalam buku Prospek Penggunaan United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) sebagai Model Pembentukan Hukum Kontrak Jual-Beli Barang Internasional-Indonesia (hal. 10).\nAsas Diakuinya Kebiasaan Transaksi Bisnis di Negara Setempat.Asas Kesepakatan Melalui Penawaran (offer) dan Penerimaan (acceptance) atau Melalui Tindakan.Asas Larangan Bernegosiasi dengan Iktikad Buruk.Asas Kewajiban Menjaga Kerahasiaan.Asas Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku.Asas Menghormati Kontrak Ketika Terjadi kesulitan (hardship).Asas Pembebasan Tanggung Jawab dalam Keadaan Memaksa (force majeur).\n\nDari sejumlah asas yang telah disebutkan di atas, diterangkan Agus bahwa ada 4 asas hukum kontrak yang dianggap sebagai “saka guru hukum kontrak”, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, dan asas iktikad baik (hal. 107).\n\nSelain itu, disarikan dari Asas-asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak oleh M. Muhtarom, disebutkan bahwa ada 5 asas hukum kontrak yang dikenal menurut ilmu hukum perdata yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas iktikad baik, dan asas kepribadian (hal. 50).\n\nDalam hal ini, asas kepribadian berarti asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kepribadian ini bisa dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Tapi, seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan adanya suatu syarat yang ditentukan, ini diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata. Lebih lanjut, Pasal 1318 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk kepentingan ahli waris dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya (hal. 53).\nAsas-Asas Hukum Perikatan Nasional\n\nSelanjutnya, M. Muhtarom menjelaskan, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan BPHN pada tanggal 17 – 19 Desember 1985 dirumuskan 8 asas hukum perikatan nasional, antara lain (hal. 54-55):\n\nAsas Kepercayaan: setiap orang yang mengadakan perjanjian akan memenuhi prestasi yang diadakan di antara mereka di kemudian hari.\n\nAsas Persamaan Hukum: subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum.\n\nAsas Keseimbangan: kedua belah pihak harus memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur berhak menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur. Lalu, debitur juga wajib untuk melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik.\n\nAsas Kepastian Hukum: kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.\n\nAsas Moralitas: berkaitan dengan perikatan wajar, suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur.\n\nAsas Kepatutan: ketentuan isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.\n\nAsas Kebiasaan: suatu perjanjian tidak hanya mengikat apa yang secara tegas diatur, tapi juga hal-hal menurut kebiasaan lazim diikuti.\n\nAsas Perlindungan: baik debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan adalah pihak debitur karena berada di posisi yang lemah.\nDASAR HUKUM:\n\nKitab Undang-Undang Hukum Perdata.\nREFERENSI:\n1. Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Cet. 4). Jakarta: Prenamedia Group, 2014\n2. Marko Cahya Sutanto. Prospek Penggunaan United Nations Convention on Contracts for the International Sale of Goods (CISG) sebagai Model Pembentukan Hukum Kontrak Jual-Beli Barang Internasional-Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni, 2019\n3. M. Muhtarom. Asas-asas Hukum Perjanjian: Suatu Landasan dalam Pembuatan Kontrak. SUHUF, Vol. 26, No. 1, Mei 2014." }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana penerapan asas business going concern (kelangsungan usaha) dalam proses kepailitan atau PKPU?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Asas Business Going Concern Elyta Ras Ginting dalam bukunya Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor menerangkan istilah kelangsungan usaha memiliki padanan kata dalam bahasa Inggris sebagai ‘ going concern ’ yang merupakan istilah yang biasa digunakan di bidang akuntansi yang berkaitan dengan laporan keuangan ( financial statement ) suatu perusahaan ( entity ) yang dibuat oleh akuntan publik secara profesional (hal. 184). Para ahli pada umumnya sependapat bahwa keadaan going concern dalam praktik bisnis digunakan sebagai parameter dalam memperkirakan kemampuan suatu entitas untuk mempertahankan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu, biasanya 1 tahun ke depan (hal. 184 – 185). Masih bersumber pada buku yang sama, meskipun tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) , dalam praktik pengurusan dan pemberesan harta pailit, keadaan going concern dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk menentukan pilihan untuk melikuidasi jika harta pailit debitur telah insolven (hal. 185). Elyta Ras Ginting dalam buku yang sama mengutip Michael C. Dennis dalam artikel “ The Going Concept and The Auditor’s Opinion Letter ” mengemukakan ada 9 indikator yang dapat dijadikan acuan bagi para akuntan untuk tidak memberikan opini going concern jika ditemukan kondisi-kondisi sebagai berikut (hal. 185 – 186): Arus uang kas minus ( Negative cash flow ); Mengalami kerugian secara terus-menerus ( Significant net loss ); Menurunnya penjualan dan permintaan secara signifikan ( A serious decline in sales and in demand ); Tidak dapat membayar utang kepada kreditur separatis ( Default on debts owe to secured creditors ); Telah melanggar kesepakatan perjanjian pinjaman ( Loan covenant violation ); Adanya kewajiban yang belum jatuh tempo yang harus dilaksanakan pembayarannya ( Sizeable contingent liabilities ); Terjadi pengembalian produk secara massal ( Major products recalls ); Perusahaan mendapat sanksi pajak ( Taxs liens placed on the business ); Perusahaan sedang digugat secara hukum atas pelanggaran hak personal dari seseorang yang dilakukan oleh perusahaan ( Law suits filed against the company in particular personal injury suit ). Dengan demikian, Elyta Ras Ginting menjelaskan bahwa going concern value suatu usaha dalam praktik bisnis tidak dapat diperkirakan, akan tetapi hanya mungkin diketahui dari hasil audit keuangan yang dilakukan oleh seorang ahli atau auditor yang dalam memberikan opini mengenai going concern , berpatokan pada rasio-rasio keuangan dari usaha tersebut (hal. 186). Jika kita lihat dalam UU 37/2004, tidak wajibnya campur tangan ahli untuk menilai usaha debitur masih memiliki going concern value agar dapat dilanjutkan atau tidak, mengakibatkan nasib kelangsungan usaha debitur pailit yang telah insolven sepenuhnya ditentukan oleh suara mayoritas kreditur konkuren . Para kreditur konkuren justru bisa saja tidak menghendaki usaha debitur pailit dilanjutkan, meskipun laporan keuangan debitur menunjukkan debitur solven dan ada pernyataan dari auditor bahwa usaha debitur berada dalam keadaan berjalan normal atau going concern (hal. 190 - 191). Penerapan Business Going Concern dalam Kepailitan Penerapan asas business going concern dapat kita jumpai pada Pasal 179 – Pasal 184 UU 37/2004 . Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian atau jika rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima , kurator atau kreditor yang hadir dalam rapat dapat mengusulkan supaya perusahaan debitor pailit dilanjutkan . [1] Dari ketetuan tersebut tidak didapatkan suatu parameter dan/atau ukuran yang rigid ketika kreditur meminta diterapkannya going concern terhadap debitur pailit. Selain itu, pada praktiknya , permintaan going concern juga dapat dimintakan oleh debitur atas pertimbangan subjektif dari debitur yang melihat masih layaknya perusahaan untuk dilanjutkan. Usul untuk melanjutkan perusahaan tersebut, wajib diterima apabila usul tersebut disetujui oleh kreditur yang mewakili lebih dari ½ dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara , yang tidak dijamin dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya. [2] Elyta Ras Ginting dalam buku yang sama menjelaskan bahwa di kemudian hari, jika ternyata kelangsungan usaha tersebut merugikan harta pailit, maka kurator atau kreditur dapat mengusulkan kepada hakim pengawas agar usaha tersebut dihentikan (hal. 189). Selain itu, memang pada praktiknya, jika penerapaan going concern tidak dapat lagi memberikan nilai lebih ( value added ) bagi mayoritas kreditur, maka dapat diajukan penghentian usaha . Penghentian kelanjutan usaha tersebut diatur dalam Pasal 183 ayat (1) UU 37/2004 yang menerangkan bahwa: Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim Pengawas dapat memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan Dalam hal terdapat permintaan tersebut, panitia kreditur, apabila ada, wajib didengar dan kurator wajib pula didengar apabila usul tersebut tidak diajukan oleh kurator. [3] Hakim Pengawas juga dapat mendengar kreditor dan debitor pailit. [4] Akibat hukum dari dihentikannya going concern terhadap debitur adalah kurator harus segera melakukan pemberesan (dalam hal ini penjualan) atas aset-aset debitur pailit merujuk pada tata cara yang sudah ditentukan oleh undang-undang. Pemberesan tersebut dilakukan tanpa perlu memperoleh persetujuan atau bantuan debitur. [5] Kemudian, hasil dari penjualan tersebut akan dibagikan kepada seluruh kreditur dengan asas pari passu pro rata parte . Penjelasan Pasal 176 huruf a UU 37/2004 menerangkan bahwa yang dimaksud dengan \"pro rata\" adalah pembayaran menurut besar kecilnya piutang masing-masing. Selain itu, patut dipahami pula bahwa jika debitor telah dinyatakan pailit, kurator masih dapat melanjutkan usahanya sebagaimana diatur dalam Pasal 104 UU 37/2004 yang menerangkan bahwa: Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara , Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali. Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Penerapan Business Going Concern dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Perlu dipahami bahwa dasar pemikiran dari PKPU menurut Kartini Muljadi sebagaimana dikutip Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan adalah pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya , yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren, sehingga jika terlaksana dengan baik, debitur dapat memenuhi kewajibannya dan meneruskan usahanya (hal. 413). Maka dari itu, konsep PKPU sejatinya bertujuan agar debitur dapat meneruskan usahanya. Oleh karena itu, dalam PKPU memang sejak awal tidak diperlukan adanya persetujuan untuk melanjutkan bisnis perusahaan atau persetujuan usulan business going concern sebagaimana telah dijelaskan di atas. Hal ini dikarenakan debitur masih berwenang mengurus harta kekayaannya dengan persetujuan dari pengurus sebagaimana diatur dalam Pasal 240 ayat (1) UU 37/2004 . Jadi, PKPU justru merupakan penerapan dari business going concern itu sendiri. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang . Referensi : Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan . Jakarta: Prenadamedia Group, 2016; Elyta Ras Ginting. Hukum Kepailitan: Rapat-Rapat Kreditor . Jakarta: Sinar Grafika, 2018. [1] Pasal 179 ayat (1) UU 37/2004 [2] Pasal 180 ayat (1) UU 37/2004 [3] Pasal 183 ayat (2) UU 37/2004 [4] Pasal 183 ayat (3) UU 37/2004 [5] Pasal 184 ayat (1) huruf b UU 37/2004 hukumonline penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan perusahaan pkpu" }
{ "from": "human", "value": "Apakah setiap perkara/kasus harus dilaporkan ke kepolisian atau bisa dilaporkan ke penegak hukum lainnya, seperti pengadilan negeri, pengadilan agama dll? Jika berproses perkara pidana, apa saja tahapan yang harus dilalui?" }
{ "from": "gpt", "value": "Asas Diferensiasi Fungsional\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan laporan dalam perspektif hukum acara pidana. Dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP disebutkan:\n\n.css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITUpaya Hukum Pihak Ketiga atas Benda Sitaan Pidana, Adakah?23 Feb 2022Kaitan antara BAP dan Putusan Hakim02 Feb 2022Mengenal Pra Rekonstruksi, Rekonstruksi, dan Konfrontasi dalam Penyidikan27 Jan 2022Menyiarkan Rekaman Orang yang Kena Sweeping Polisi Tanpa Izinnya07 Des 2021\n\nLaporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.\n\nBerkenaan dengan pertanyaan Anda, perlu pula dipahami bahwa hukum acara pidana menganut asas diferensiasi fungsional yang artinya setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain.[1]\nDikutip dari Menakar Akuntabilitas Penahanan yang ditulis oleh Wahyu Sudrajat, asas ini menempatkan setiap penegak hukum sejajar satu dengan yang lain, yang membedakan hanya pada kewenangannya masing-masing tanpa yang satu berada lebih tinggi dibanding yang lain.\n\nAparat penegak hukum yang dimaksud dalam hal ini meliputi penyelidik dan penyidik, penuntut umum, dan pengadilan. Sehubungan dengan ini, KUHAP telah mengatur kewenangan masing-masing aparat penegak hukum a quo, yakni sebagai berikut:\n\nPenyelidik dan Penyidik\nPenyelidik adalah setiap pejabat polisi, dan kewenangan penyelidik adalah sebagai berikut:[2]\n\nmenerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;mencari keterangan dan barang bukti;menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab.\n\nSedangkan penyidik adalah pejabat polisi dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.[3] Penyidik berwenang untuk:[4]\n\nmenerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;mengambil sidik jari dan memotret seorang;memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;mengadakan penghentian penyidikan;mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.\n\nKemudian Pasal 7 ayat (2) KUHAP menyebutkan:\n\nPenyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.\nPenuntut Umum\n\nPenuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.[5] Adapun wewenang penuntut umum adalah:[6]\n\nmenerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu;mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;membuat surat dakwaan;melimpahkan perkara ke pengadilan;menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;melakukan penuntutan;menutup perkara demi kepentingan hukum;mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;melaksanakan penetapan hakim.\nPengadilan\n\nPengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.[7]\nDari beberapa ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa yang memiliki wewenang untuk menerima laporan tentang telah atau sedang atau diduga peristiwa pidana adalah penyelidik dan penyidik. Merujuk Pasal 4 jo. Pasal 6 ayat (1) KUHAP dapat dipahami bahwa lembaga yang menaungi dua pejabat a quo ialah polisi.\n\nKendati demikian, beberapa undang-undang menentukan secara khusus lembaga yang berwenang untuk menerima laporan tindak pidana, di antaranya yakni:\n\nPasal 18 ayat (1) UU 26/2000\nPenyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.\n\nDalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik berwenang salah satunya menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti.[8]\nPasal 1 angka 8 UU 6/2011\n\nPenyidik Pegawai Negeri Sipil Keimigrasian yang selanjutnya disebut dengan PPNS Keimigrasian adalah Pejabat Imigrasi yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana Keimigrasian.\n\nSalah satu kewenangan PPNS Keimigrasian adalah menerima laporan tentang adanya tindak pidana Keimigrasian.[9]\nProsedur Beracara Pidana\n\nMenjawab pertanyaan kedua Anda, bagaimana prosedur beracara pidana? Kami akan menjelaskannya secara singkat dari buku Hukum Acara Pidana yang dibuat oleh Didik Endro Purwoleksono (hal. 19).\n\nDimulai dengan sangkaan adanya tindak pidana yang diproses di tingkat kepolisian yaitu dengan dilakukannya tindakan penyelidikan dan penyidikan;\n\nBaca juga: Soal Penyidik, Penyelidik, Penyidikan, dan Penyelidikan\n\nSetelah itu, perkara pidana masuk dalam proses di kejaksaan, untuk kemudian dipelajari apakah perkaranya sudah lengkap, sempurna dan memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri;Apabila sudah sempurna, dalam arti memenuhi syarat, selanjutnya perkara dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk dilanjutkan ke tahapan persidangan. Aparat kejaksaan membuat surat dakwaan dan melimpahkan ke pengadilan negeri dengan disertai permintaan agar perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan negeri;Berdasarkan pelimpahan perkara dari aparat kejaksaan, hakim pengadilan negeri akan memeriksa dan mengadili perkara serta akhirnya menjatuhkan putusan;Apabila putusan hakim berupa penjatuhan pidana penjara atau kurungan, maka aparat kejaksaan selaku eksekutor akan melaksanakan putusan tersebut dengan jalan menyerahkan narapidana kepada aparat lembaga pemasyarakatan.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/node/629?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17499/nprt/541/uu-no-26-tahun-2000-pengadilan-hak-asasi-manusia?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_26_2000)\n3. [Undang-Undang 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4dd0e447183ec/undangundang-nomor-6-tahun-2011/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2011)\n4. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Cipta_Kerja)\nREFERENSI:\n1. Didik Endro Purwoleksono. Hukum Acara Pidana. Surabaya: Airlangga University Press, 2015\n2. Eddy O.S. Hiariej. Hukum Acara Pidana. Tangerang: Penerbit Universitas Terbuka,2017.\n[1] Eddy O.S. Hiariej. Hukum Acara Pidana. Tangerang: Penerbit Universitas Terbuka, 2017, hal. 125[2] Pasal 4 jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[3] Pasal 6 ayat (1) KUHAP[4] Pasal 7 ayat (1) KUHAP[5] Pasal 13 KUHAP[6] Pasal 14 KUHAP[7] Pasal 84 ayat (1) KUHAP[8] Pasal 19 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia[9] Pasal 106 huruf a Undang-Undang 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian" }
{ "from": "human", "value": "Assalamualaikum. Saya mau tanya. Katanya hukum tidak boleh berlaku surut, dan jika tidak ada UU maka Yurisprudensi bisa dilakukan. Terus bagaimana dengan Asas Legalitas? Berarti orang bisa dong kena hukuman walaupun tidak ada UU-nya, yaitu lewat Yurisprudensi?" }
{ "from": "gpt", "value": "Wa’alaikumsalam . Terima kasih atas pertanyaan Saudara. KLINIK TERKAIT Apakah Undang-Undang Harus Memuat Sanksi? 13 Jun 2013 Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan dan Keadilan Restoratif 13 Jun 2013 Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat 16 Mei 2013 Hubungan Asas Culpabilitas dengan Asas Praduga Tak Bersalah 15 Apr 2013 Seseorang dapat dihukum meskipun tidak ada peraturan yang mengatur larangan perbuatan yang dilakukan orang tersebut. Namun, kemungkinan tersebut bukan karena yurisprudensi. Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan di bawah ini. Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan adagium legendaris von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali . Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan yang mendahuluinya”. Secara umum, von Feuerbach membagi adagium tersebut menjadi tiga bagian, yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1) tidak ada hukuman, kalau tak ada Undang-undang, 2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada kejahatan 3) Tidak ada kejahatan, kalau tidak ada hukuman, yang berdasarkan Undang-undang. Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan. Sistem hukum yang berlaku di Indonesia tidak sama seperti sistem hukum Anglo-Saxon yang menganut aliran freie rechtslehre yang memperbolehkan hakim untuk menciptakan hukum ( judge made law). Sistem hukum di Indonesia menganut aliran rechtsvinding yang menegaskan hakim harus mendasarkan putusannya kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 20 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (“AB”) yang menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang. Namun demikian, hakim tetap memiliki kebebasan untuk menafsirkan dan berpendapat. Hakim memiliki keterikatan yang bebas ( vrije gebondenheid ) dalam melaksanakan tugasnya mengadili suatu perkara . Pada beberapa kesempatan, hakim akan dihadapkan kepada keadaan harus mengadili suatu perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya tidak jelas. Dalam keadaan ini, hakim tidak dapat menolak untuk mengadili perkara tersebut dengan dalih tidak ada hukum yang mengatur. Hal ini sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang berbunyi: “ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya .” Juga dengan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009 yang berbunyi: “ Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat .” Selain dua ketentuan tersebut, Pasal 22 AB juga menyatakan bahwa hakim yang menolak untuk mengadili dengan alasan undang-undangnya bungkam, tidak jelas atau tidak lengkap, dapat dituntut karena menolak untuk mengadili. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa hakim harus mendasarkan putusannya dalam mengadili kepada peraturan perundang-undangan dan bebas untuk menafsirkan dan menginterpretasikan hukum tersebut. Meskipun demikian, dalam hal perkara yang diadili tidak ada atau tidak jelas dasar hukumnya, hakim pun tetap wajib untuk mengadili perkara tersebut. Sehingga pada prinsipnya, asas legalitas harus dijadikan pedoman awal bagi hakim untuk mengadili kasus yang sedang mereka tangani. Dalam hal putusan tersebut sudah berlangsung sekian lama dan diputus oleh pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung), maka putusan tersebut dapat menjadi yurisprudensi. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum formal selain undang-undang, kebiasaan, dan traktat. Menurut S.J. Fockema Andreae dalam Rechtsgeleerd Handwoordenboek , yurisprudensi dapat berarti ajaran hukum yang diciptakan dan dipertahankan oleh peradilan. Dalam Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi ( Ahmad Kamil dan M. Fauzan , hal. 10), Prof. Subekti memberikan pengertian yurisprudensi sebagai: “ Putusan-putusan hakim atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi, atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap, maka barulah dapat dikatakan ada hukum yang dicipta melalui yurisprudensi .” Ahmad Kamil dan M. Fauzan (hal. 11) juga menyatakan bahwa Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) telah mengeluarkan syarat-syarat suatu putusan dapat dianggap sebagai yurisprudensi, antara lain: 1. Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; 2. Putusan tersebut harus merupakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap; 3. Telah berulang kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; 4. Putusan tersebut telah memenuhi rasa keadilan; 5. Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Hakim di Indonesia tidak terikat untuk melaksanakan yurisprudensi. Yurisprudensi hanya dianggap sebagai pedoman atau arahan untuk memutus suatu perkara. Apabila terdapat pertentangan antara hukum yang ada dengan yurisprudensi, yang berlaku adalah hukum. Untuk memahami lebih jelas mengenai pengertian yurisprudensi dan perbedaan sifat mengikatnya dengan preseden silakan baca Perbedaan Sifat Mengikat antara Preseden dengan Yurisprudensi . Dengan demikian, harus dicermati bahwa kebolehan hakim untuk menghukum seseorang tanpa adanya dasar hukum bukan karena yurisprudensi, melainkan karena hal tersebut adalah prinsip dari kekuasaan kehakiman untuk mencari keadilan. Semoga penjelasan ini dapat menjawab pertanyaan Saudara. Salam. DASAR HUKUM: 1. Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie (Staatblad 1847 No. 23); 2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman asas legalitas" }
{ "from": "human", "value": "Apa itu asas personalitas? Apakah asas personalitas dengan asas nasionalitas aktif itu sama? Keduanya sama-sama menganut arti ketentuan pidana di Indonesia berlaku bagi WNI di luar wilayah Indonesia." }
{ "from": "gpt", "value": "Asas nasionalitas aktif adalah salah satu asas keberlakuan hukum pidana Indonesia. Bunyi ketentuan asas ini dapat Anda temukan dalam KUHP yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026.\nAsas atau prinsip ini dianut dalam Pasal 5 KUHP atau Pasal 8 UU 1/2023 yang pada intinya mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia. Prinsip ini dinamakan asas nasionalitas aktif karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara.\n\nKetentuan asas nasionalitas aktif selengkapnya berbunyi sebagai berikut.\nKUHPUU 1/2023Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua, dan dalam pasal-pasal 160,161,240,279,450, dan 451;suatu perbuatan terhadap suatu yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan. Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.Ketentuan pidana dalam undang-undang berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku jika perbuatan tersebut juga merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[2]Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan walaupun tersangka menjadi warga negara Indonesia, setelah tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana di negara tempat tindak pidana dilakukan.Warga negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijatuhi pidana mati jika tindak pidana tersebut menurut hukum negara tempat tindak pidana tersebut dilakukan tidak diancam dengan pidana mati.\n\nLebih lanjut, R.Soesilo dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (hal. 33) menjelaskan bahwa dalam pasal ini diletakkan prinsip nationaliteit aktief atau personaliteit.\n\nAdapun maknanya adalah warga negara Indonesia yang berbuat salah satu dari kejahatan-kejahatan sebagaimana tersebut dalam sub I dari pasal ini, meskipun di luar Indonesia, dapat dikenakan undang-undang pidana Indonesia. Apabila mereka itu berbuat peristiwa pidana lainnya yang oleh undang-undang Indonesia dipandang sebagai kejahatan (pelanggaran tidak), hanya dapat dikenakan hukum pidana Indonesia, jika perbuatan yang dilakukan itu oleh undang-undang di negara asing dimana perbuatan itu telah dilakukan, diancam pula dengan hukuman. Hal ini hanya berlaku bagi warga negara Indonesia dan tidak bagi warga negara asing, kecuali jika setelah berbuat peristiwa itu ia masuk warga negara Indonesia.\nAsas Nasionalitas Aktif dan Asas Personalitas\n\nDari penjelasan dari Soesilo mengenai asas nasionalitas aktif, dapat dilihat bahwa sebenarnya asas nasionalitas aktif dan asas personalitas adalah hal yang sama.\n\nHal tersebut juga disampaikan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Asas–Asas Hukum Pidana (hal. 72-73). Pada intinya, Andi Hamzah menerangkan bahwa asas personalitas ini bertumpu pada kewarganegaraan pembuat delik. Hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya kemana pun ia berada. Inti asas ini tercantum di dalam Pasal 5 KUHP. Asas personalitas ini pun diperluas dengan Pasal 7 KUHP yang disamping mengandung asas nasionalitas aktif (asas personalitas) juga asas nasionalitas pasif (asas perlindungan).\n\nMenjawab pertanyaan Anda, asas personalitas dan asas nasionalitas aktif adalah sama, hanya berbeda istilah. Asas personalitas atau asas nasionalitas aktif merupakan asas tentang keberlakuan hukum pidana Indonesia, di mana ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar wilayah negara Indonesia.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait asas nasionalitas aktif dan asas personalitas sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp))\n2. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014\n2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.\n\n[1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[2] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hukum pidana, saya pernah mendengar ada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Mohon dijelaskan apa itu asas tiada pidana tanpa kesalahan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Asas tiada pidana tanpa kesalahan pada pokoknya berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Perlu diperhatikan bahwa pertanggungjawaban pidana ini berbeda dengan perbuatan pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana.[1]\n\nSementara itu, pertanggungjawaban pidana menunjuk kepada sikap-sikap subjektif yang didasarkan kepada kewajiban hukum seseorang untuk mematuhi hukum.[2] Dengan kata lain, untuk menentukan seseorang yang melakukan suatu perbuatan, dapat dijatuhi pidana atau tidak, maka tergantung pada apakah dalam melakukan perbuatan tersebut ia mempunyai kesalahan.[3]\nAsas ini berasal dari Yurisprudensi Hoge Raad (Belanda) pada tanggal 14 Februari 1916.[4] Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana menyebut asas tiada pidana tanpa kesalahan sebagai tiada pidana jika tidak ada kesalahan (geen straf zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sist rea) (hal. 165).\n\nMoeljatno menerangkan asas tiada pidana tanpa kesalahan berarti orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi, meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dapat dipidana (hal. 167).\n\nRoeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Lukman Hakim dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 21) menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana, diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntut ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.\n\nMenurut Roeslan, maksud dari ‘kesalahan’ adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut (hal. 21).\n\nSementara itu, Simons sebagaimana dikutip oleh Moeljatno dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana berpendapat bahwa (hal. 171):\n\nKesalahan adalah psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dihubungkan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.\n\nMoeljatno atas pendapat Simons tersebut memaknai bahwa untuk adanya kesalahan, selain melakukan perbuatan pidana juga harus ada keadaan batin (psikis tertentu) dan adanya hubungan tertentu antara keadaan batin tersebut dengan perbuatan yang dilakukan, hingga menimbulkan celaan tadi (hal. 171).\n\nLebih lanjut, Moeljatno merumuskan arti dari kesalahan di mana seseorang atau terdakwa harus (hal. 177):\n\nMelakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum);Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan;Tidak adanya alasan pemaaf.\nContoh Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan\nContoh asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld) adalah seorang kanak-kanak yang bermain dengan korek api di pinggir rumah tetangga, lalu menyalakan dinding rumah itu sehingga menimbulkan kebakaran.[5]\n\nAnak yang membakar rumah tersebut tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipidana karena dia belum mengerti makna perbuatan yang dilakukannya itu, sebab umurnya masih terlalu muda.[6]\n\nContoh lainnya adalah seorang dokter yang ditodong dengan pistol dan disuruh membuat surat palsu tentang adanya penyakit pada yang menodong tadi,[7] dengan tujuan si penodong ingin menghindari kewajiban tertentu dengan adanya alasan sakit.\n\nDokter tersebut tidak memiliki kesalahan karena dalam keadaan diancam dengan pistol, sehingga dianggap tidak dapat berbuat lain daripada apa yang dilakukan. Dia berbuat demikian karena saat itu batinnya tertekan oleh keadaan dari luar, sehingga kondisinya (fungsinya) tidak normal.[8]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nREFERENSI:\n1. Lukman Hakim. Asas-Asas Hukum Pidana. Sleman: Deepublish, 2020\n2. Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.\n\n[1] Lukman Hakim. Asas-Asas Hukum Pidana. Sleman: Deepublish, 2020, hal. 22[2] Lukman Hakim. Asas-Asas Hukum Pidana. Sleman: Deepublish, 2020, hal. 22[3] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 165[4] Lukman Hakim. Asas-Asas Hukum Pidana. Sleman: Deepublish, 2020, hal. 20[5] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 168[6] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 168 – 169[7] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 168[8] Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hal. 169" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang pemilik kost-kostan yang menyewakan kost per bulan. Saat ini, saya tidak ingin memperpanjang masa sewa seorang penghuni kost dengan alasan saya kurang menyukai kepribadiannya, namun penghuni kost tersebut akan melaporkan saya ke polisi karena saya tidak memperpanjang masa sewanya. Apakah saya dapat dijerat hukum karena tidak memperpanjang masa sewa penghuni kost?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perjanjian Sewa Menyewa Pertama-tama, perlu diketahui bahwa istilah yang baku bagi kost-kostan adalah indekos. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , indekos adalah: tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan); memondok. Anda sebagai pemilik indekos (pemberi sewa) dan penghuni indekos (penyewa) indekos terikat pada ketentuan di dalam Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) , yang berbunyi: Sewa menyewa adalah suatu persetujuan , dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak. Sebagai sebuah persetujuan/perjanjian, sewa menyewa indekos juga tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat; kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya ; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang. Menurut Alfin Sulaiman dalam artikel Dapatkah Perjanjian Investasi Dibatalkan? , dua syarat pertama dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas disebut dengan syarat subjektif. Apabila syarat “sepakat” dan “cakap” tidak terpenuhi, maka akan mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan tidak terpenuhinya unsur “hal tertentu” dan “sebab yang halal” sebagai syarat objektif menjadikan suatu perjanjian menjadi batal demi hukum , sehingga membuat kedudukan para pihak dalam kondisi seolah-olah tidak ada perjanjian sebelumnya. Unsur kesepakatan antara kedua belah pihak dalam Pasal 1320 KUH Perdata di atas juga mencerminkan asas konsensualisme dalam hukum perdata. Menurut Titik Triwulan Tutik dalam bukunya Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional (hal. 227), asas konsensualisme berarti suatu perikatan itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak. Dengan kata lain, bahwa perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum sejak saat tercapai kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perikatan. Selain itu, hubungan hukum berdasarkan perjanjian juga tunduk pada Pasal 1338 KUH Perdata , yang berbunyi: Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Menurut Titik Triwulan Tutik dalam buku yang sama, Pasal 1338 KUH Perdata merupakan konsekuensi dari asas kebebasan berkontrak (hal. 228). Selain itu Titik Triwulan Tutik juga menyatakan bahwa asas kebebasan berkontrak adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia (hal. 229). Tutik, mengutip Salim H.S (hal. 229), menyebut bahwa asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : membuat atau tidak membuat perjanjian ; mengadakan perjanjian dengan siapapun; menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya; dan menentukan bentuk perjanjiannya, yaitu tertulis atau lisan. Kewajiban Pemberi Sewa dan Penyewa Dalam hubungan sewa menyewa, pihak yang menyewakan karena sifat persetujuan dan tanpa perlu adanya suatu janji, wajib untuk: [1] menyerahkan barang yang disewakan kepada penyewa; memelihara barang itu sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksud; memberikan hak kepada penyewa untuk menikmati barang yang disewakan itu dengan tenteram selama berlangsungnya sewa. Di sisi lain, penyewa harus menepati dua kewajiban utama, yaitu: [2] memakai barang sewa sebagai seorang kepala rumah tangga yang baik, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persetujuan sewa atau jika tidak ada persetujuan mengenai hal itu, sesuai dengan tujuan barang itu menurut persangkaan menyangkut keadaan; membayar harga sewa pada waktu yang telah ditentukan. Polemik Perpanjangan Sewa Indekos Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, adanya kesepakatan para pihak merupakan salah satu unsur terpenting di dalam suatu perjanjian. Sebuah perjanjian yang dibuat tanpa kesepakatan para pihak dapat dibatalkan. Dengan demikian, Anda berhak untuk menolak perpanjangan sewa indekos apabila tidak berkenan melakukannya. Penolakan ini juga dilindungi oleh asas konsensualisme dan asas kebebasan berkontrak yang juga telah diuraikan sebelumnya. Di sisi lain, tindakan penyewa indekos yang mengancam akan melaporkan Anda ke polisi juga dapat menyebabkan perjanjian apapun yang dibuat di atasnya tidak sah. Selain menunjukkan ketiadaan iktikad baik , hal ini dikuatkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan dapat dibatalkannya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan tersebut. [3] Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat . Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan. [4] Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya. [5] Dengan demikian, perjanjian perpanjangan sewa indekos tidak dapat dibuat di bawah ancaman atau paksaan , termasuk ancaman untuk melaporkan kepada polisi . Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menurut hemat kami, Anda tidak dapat dipidana atas tindakan menolak memperpanjang sewa indekos tersebut. Dalam hal ini, berlaku ketentuan Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , yang berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Selain itu, Anda juga dilindungi asas tiada pidana tanpa kesalahan ( geen straf zonder schuld ) . Menurut Moeljatno , sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita dalam bukunya Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld (hal. 141), asas ini berarti orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Berdasarkan pertanyaan Anda, perbuatan yang dilakukan Anda dan penyewa merupakan perbuatan dalam rezim hukum perdata, karena menitikberatkan pada hubungan antara orang perorangan, sementara hukum pidana menitikberatkan pada kepentingan umum sebagaimana dijelaskan dalam artikel berjudul Perbedaan Pokok Hukum Pidana dan Hukum Perdata . Maka dari itu, perbuatan tersebut tidak dapat dikenai sanksi pidana, karena bukan merupakan perbuatan pidana. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Referensi : Romli Atmasasmita. Rekonstruksi Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan: Geen Straf Zonder Schuld. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2018; Titik Triwulan Tutik. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Prenadamedia Group, 2008. [1] Pasal 1550 KUH Perdata. [2] Pasal 1560 KUH Perdata. [3] Pasal 1323 KUH Perdata. [4] Pasal 1324 KUH Perdata. [5] Pasal 1327 KUH Perdata. kebebasan berkontrak perjanjian hukumonline perdata sewa pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa bunyi Pasal 6 dan 7 KUHP baru? Apakah Pasal 6 dan 7 KUHP baru mengatur tentang asas universal? Jika benar, apa itu asas universal?" }
{ "from": "gpt", "value": "Prinsip atau asas universal pada dasarnya dikenal di dalam hukum internasional. Berdasarkan prinsip ini, setiap negara memiliki yurisdiksi untuk mengadili pelaku kejahatan internasional yang dilakukan di mana pun, tanpa memperhatikan kebangsaan pelaku maupun korban.[1]\nPenjelasan selengkapnya mengenai kejahatan internasional dapat Anda baca pada artikel Tanggung Jawab Negara dan Individu atas Kejahatan Internasional dan Perbedaan Kejahatan Internasional dengan Transnasional.\n\nKemudian, menurut Sefriani dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional: Suatu Pengantar (hal. 244), alasan munculnya prinsip ini adalah bahwa pelaku dianggap orang yang sangat kejam, musuh segala umat manusia, dan jangan sampai ada tempat untuk pelaku meloloskan diri dari hukuman, sehingga tuntutan yang dilakukan oleh sesuatu negara terhadap pelaku adalah atas nama seluruh masyarakat internasional.\nAdapun contoh kejahatan yang dianggap sebagai musuh seluruh umat manusia (hostis humani generis) adalah perdagangan budak, pembajakan di laut, perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika, kejahatan genosida, kejahatan perang, pembajakan pesawat udara, atau kejahatan penerbangan.[2]\nIsi Pasal 4 KUHP\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda lebih lanjut, disarikan dari Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya?, perlu diketahui bahwa asas universal tercermin dalam Pasal 4 angka 2 dan 4 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, sebagai berikut:\n\nKetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:\n\nsuatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;\n\nsalah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.\nIsi Pasal 6 dan 7 UU 1/2023\n\nSedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, asas universal secara eksplisit diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 sebagai berikut:\n\nPasal 6\n\nKetentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan Tindak Pidana menurut hukum internasional yang telah ditetapkan sebagai Tindak Pidana dalam Undang-Undang.\n\nPasal 7\n\nKetentuan pidana dalam Undang-Undang berlaku bagi Setiap Orang yang melakukan Tindak Pidana di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuntutannya diambil alih oleh Pemerintah Indonesia atas dasar suatu perjanjian internasional yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah Indonesia untuk melakukan penuntutan pidana.\n\nSelanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 6 UU 1/2023, ketentuan ini mengandung asas universal yang melindungi kepentingan hukum Indonesia dan/atau kepentingan hukum negara lain. Landasan pengaturan asas ini terdapat dalam konvensi internasional yang telah disahkan oleh Indonesia, misalnya:\n\nkonvensi internasional mengenai uang palsu (UU 6/1981 tentang pengesahan International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929);konvensi internasional mengenai laut bebas dan hukum laut yang di dalamnya mengatur tindak pidana pembajakan laut (UU 17/1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982);konvensi internasional mengenai kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana atau prasarana penerbangan (UU 2/1976 tentang pengesahan Tokyo Convention 1963, Hague Convention 1970, Montreal Convention 1971); ataukonvensi internasional mengenai pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika (UU 7/1997 tentang pengesahan UN Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988)\n\nAdapun menurut Penjelasan Pasal 7 UU 1/2023, ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan adanya perjanjian antara Indonesia dan negara lain yang memungkinkan warga negara dari negara lain tersebut penuntutannya diambil alih dan diadili oleh Indonesia karena melakukan tindak pidana tertentu yang diatur dalam perjanjian tersebut.\n\nBaca juga: 5 Asas-Asas Hukum Pidana dalam KUHP Baru\n\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/nprt/38/wetboek-van-strafrecht-(wvs)-kitab-undang-undang-hukum-pidana-(kuhp)?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tokyo 1963, Konvensi The Hague 1970, dan Konvensi Montreal 1971](Data Kepolisian /pusatdata/detail/19870/undangundang-nomor-2-tahun-1976?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_1976)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1981 tentang Pengesahan Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan Uang Palsu beserta Protokol (International Convention for the Suppression of Counterfeiting Currency and Protocol, Geneve 1929)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/20444/undangundang-nomor-6-tahun-1981/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_1981)\n4. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Tentang Hukum Laut)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2584/undangundang-nomor-17-tahun-1985?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_17_1985)\n5. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika](Data Kepolisian /pusatdata/detail/421/undangundang-nomor-7-tahun-1997/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1997)\n6. [, 1988)](Data Kepolisian /pusatdata/detail/421/undangundang-nomor-7-tahun-1997/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_1997)\n7. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023_KUHP_baru)\nREFERENSI:\n1. I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023\n2. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.\n\n[1] Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, hal. 244\n\n[2] I Dewa Gede Palguna (et.al). Buku Ajar Hukum Internasional. Denpasar: Erika Books Media Publishing, 2023, hal. 104\n\n[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana" }
{ "from": "human", "value": "Bagaiamana pemakaian mengenai asset perusahaan yang khususnya yang disebut dengan benda bergerak dan tidak bergerak? Kebetulan saya lagi membuat daftar asset perusahaan, apa aja yang penting buat saya ketahui, terima kasih sebelumnya" }
{ "from": "gpt", "value": "Dari segi hukum dalam membuat daftar asset perusahaan, yang perlu diperhatikan yang mana sajakah asset perusahaan yang material. Pada prinsipnya, pengertian material disini berarti yang dapat mempengaruhi kegiatan usaha perusahaan. Standar akuntansi merupakan acuan yang andal untuk dipegang. Dalam pemeriksaan dari segi hukum, pemeriksaan terhadap asset perusahaan biasanya mengacu pada prinsip-prinsip antara lain sebagai berikut: Asset perusahaan baik bergerak ataupun tidak bergerak yang bernilai sekurang-kurangnya 5% total nilai asset atau 10% dari total pendapatan per tahun; Asset perusahaan anak perusahaan juga diperiksa seluruhnya; dan Pemegang saham utama berbentuk perseroan terbatas (yang mempunyai sekurang-kurangnya 20% dari total hak suara) diperiksa hanya data anggaran dasar dan ijin-ijin ." }
{ "from": "human", "value": "Demi meningkatkan ekonomi masyarakat, pemerintah daerah mewajibkan semua ASN untuk tinggal di kabupaten di mana ia ditugaskan. Apabila tidak bersedia, maka ASN akan diberi hukuman. Apakah ada aturan terkait domisili seorang ASN?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah PNS Dipecat karena Selingkuh? 13 Mar 2024 PNS Direkrut Jadi Tenaga Ahli, Bisakah? 08 Feb 2021 Pensiunan PNS, TNI, Polri Ikut Politik Praktis, Berhak Terima Hak Pensiun? 30 Des 2020 Guru dengan Gaji Dobel, Bolehkah? 22 Sep 2020 ASN Wajib Bersedia Ditempatkan di Seluruh Indonesia Aparatur Sipil Negara (“ASN”) adalah profesi bagi pegawai negeri sipil (“PNS”) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (“PPPK”) yang bekerja pada instansi pemerintah. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pada dasarnya, pegawai ASN wajib bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia . [2] Hal ini juga merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang akan melamar jadi PNS. [3] Dikutip dari Upaya yang Bisa Dilakukan Jika PNS Keberatan Dimutasi , kesediaan untuk ditempatkan di mana saja menjadi salah satu konsekuensi dan sebagai tanda komitmen menjadi PNS. ASN Wajib Tinggal di Daerah Penempatan? Akan tetapi menurut hemat kami, kesediaan pegawai ASN untuk ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia sebagaimana diatur di atas tidak serta merta mewajibkan pegawai ASN yang bersangkutan untuk tinggal di daerah penempatannya, selama ia dapat tetap melaksanakan tugas dan hadir di tempat kerja sesuai dengan jam kerjanya. Jadi menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya tidak ada peraturan tingkat pusat yang mengikat pegawai ASN untuk bertempat tinggal di daerah penempatannya. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan ada kewajiban yang ditetapkan khusus di instansi pegawai ASN yang bersangkutan. Hal ini mengingat pegawai ASN wajib menaati disiplin pegawai. Khusus PNS wajib menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan dan menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. [4] Bagi yang tidak menaati, PNS akan dijatuhi hukuman disiplin. [5] Adapun untuk PPPK wajib mematuhi disiplin PPPK yang ditetapkan instansi yang mempekerjakannya dan yang melanggar akan dijatuhi hukuman disiplin sesuai ketentuan untuk disiplin PNS. [6] Perlu Anda pahami, di masa pandemi COVID-19 pemerintah pusat telah menerbitkan kebijakan sistem kerja ASN melalui Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru dan perubahannya. Pejabat Pembina Kepegawaian pada kementerian/lembaga/daerah mengatur jumlah pegawai yang dapat melaksanakan tugas kedinasan di kantor maupun di rumah/tempat tinggal berdasarkan data zonasi risiko yang dikeluarkan oleh Satuan Tugas Penanganan COVID-19 yaitu: [7] Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori tidak terdampak/tidak ada kasus, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor ( work from office ) paling banyak 100%. Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko rendah, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor ( work from office ) paling banyak 75% pada unit kerja instansi yang bersangkutan. Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko sedang, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor ( work from office ) paling banyak 50% pada unit kerja instansi yang bersangkutan. Bagi instansi pemerintah yang berada pada zona kabupaten/kota berkategori risiko tinggi, diatur jumlah pegawai yang bertugas kedinasan di kantor ( work from office ) paling banyak 25% pada unit kerja instansi yang bersangkutan. Sebagai informasi tambahan, beberapa instansi pemerintahan daerah sebelumnya telah menginstruksikan pegawai ASN untuk pelaksanaan ufas kedinasan di rumah/tempat tinggal atau Work from Home (“WFH”) saat pandemi COVID-19 di antaranya: Kabupaten Grobogan melalui Surat Edaran Bupati Grobogan Nomor 443.39/1455/2020 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di Lingkungan Instansi Pemerintah Kabupaten Grobogan pada tanggal 19 Maret 2020 sampai dengan 31 Maret 2020 dan akan dievaluasi lebih lanjut sesuai kebutuhan ; dan Kabupaten Sumedang melalui Peraturan Bupati Sumedang Nomor 53 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Pelaksanaan Adaptasi Kebiasaan Baru . Untuk itu, kami menyarankan untuk mengecek kembali peraturan instansi tempat Anda bekerja. Surat Keterangan Pindah Memang tidak jarang pegawai ASN ditempatkan di lokasi yang jauh dari rumah, sehingga ia harus pindah ke lokasi yang dekat dengan daerah penempatannya. Terkait ini, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) mewajibkan setiap penduduk warga negara Indonesia yang pindah domisili di alamat baru untuk waktu lebih dari 1 tahun atau berdasarkan kebutuhan yang bersangkutan untuk waktu kurang dari 1 tahun untuk melapor ke instansi pelaksana di daerah asal untuk mendapatkan Surat Keterangan Pindah . [8] Nantinya berdasarkan Surat Keterangan Pindah tersebut, penduduk yang bersangkutan wajib melapor kepada instansi pelaksana di daerah tujuan untuk penerbitan Surat Keterangan Pindah Datang yang akan digunakan sebagai dasar perubahan atau penerbitan Kartu Keluarga (“KK”) dan Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) . [9] Dengan demikian, pegawai ASN yang pindah ke daerah penempatannya wajib melaporkan kepindahan ke instansi pelaksana daerah asal dan daerah tujuan untuk memperoleh Surat Keterangan Pindah Datang sebagai dasar perubahan KK dan KTP. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja Peraturan Bupati Sumedang Nomor 53 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara Dalam Pelaksanaan Adaptasi Kebiasaan Baru Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 67 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru Surat Edaran Bupati Grobogan Nomor 443.39/1455/2020 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Sistem Kerja Aparatur Sipil Negara dalam Upaya Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease (COVID-19) di Lingkungan Instansi Pemerintah Kabupaten Grobogan [1] Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) [2] Pasal 23 huruf h UU ASN [3] Pasal 23 ayat (1) huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) [4] Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) [5] Pasal 5 PP 53/2010 [6] Pasal 51 ayat (1), (3) dan Pasal 52 ayat (1), (3) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PP 49/2018”) [7] Huruf D angka 2 Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 67 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 58 Tahun 2020 tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Normal Baru [8] Pasal 15 UU Adminduk [9] Pasal 15 ayat (3) dan (4) UU Adminduk aparatur sipil negara covid-19 lembaga pemerintah asn pppk pegawai negeri sipil pemerintah daerah pns wfh pemda" }
{ "from": "human", "value": "1. Apakah merek yang dimiliki instansi pemerintahan perlu dilindungi? Bagaimanakah dampak hukumnya apabila merek tersebut tidak dilindungi? 2. Sejauh mana penggunaan atas merek tersebut menurut UU 20/2016? 3. Bagaimanakah pengelolaan klasifikasi (kelas barang)-nya apabila merek tersebut sudah terdaftar, terutama di instansi atau lembaga penelitian yang memiliki hasil penelitian dengan beranekaragam komoditas? Haruskah didaftarkan dengan banyak kelas barang? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Merek Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UU 20/2016”) , merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk dua dimensi dan/atau tiga dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari dua atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa. Merek terdiri dari tiga jenis, yaitu: Merek dagang , yaitu merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. [1] Merek jasa , yaitu merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. [2] Merek kolektif , yaitu merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya. [3] Hak atas merek sendiri bersifat konstitutif . Artinya, perlindungan akan diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang telah terdaftar. Hal ini sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 3 UU 20/2016 : Pasal 1 angka 5 UU Merek : Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Pasal 3 UU Merek : Hak atas Merek diperoleh setelah Merek tersebut terdaftar. Yang dimaksud dengan \"terdaftar\" adalah setelah permohonan melalui proses pemeriksaan formalitas, proses pengumuman, dan proses pemeriksaan substantif serta mendapatkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk diterbitkan sertifikat. [4] Merek Milik Instansi Pemerintahan Instansi pemerintahan dapat digolongkan sebagai badan hukum publik . Karena itu, instansi pemerintahan juga bisa mengajukan permohonan merek, baik merek barang, merek jasa, maupun merek kolektif. Sebagaimana tercantum dalam laman Pangkalan Data Kekayaan Intelektual , salah satu contoh merek yang diajukan oleh instansi pemerintahan dan sudah terdaftar adalah merek ‘Wonderful Indonesia’ dengan nomor pendaftaran IDM000650036. Pemilik merek ini adalah Kementerian Pariwisata . Merek ini diajukan ke dalam kelas 35, untuk melindungi jasa di bidang pemasaran, penelitian pemasaran, dan pengkajian pemasaran. Oleh karena itu, jika instansi pemerintahan ingin mendapatkan perlindungan atas mereknya, instansi tersebut harus mengajukan permohonan mereknya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selanjutnya, terkait pertanyaan-pertanyaan Anda, akan kami uraikan sebagai berikut: Instansi pemerintahan juga perlu untuk melindungi mereknya . Dengan memiliki sertifikat merek, instansi pemerintahan dapat memberikan lisensi penggunaan mereknya kepada pihak lain. [5] Instansi pemerintahan juga dapat melakukan gugatan atas penggunaan mereknya secara ilegal. [6] Jika tidak mendaftarkan mereknya, maka setiap orang dapat memalsukan atau menggunakan merek tersebut tanpa memerlukan izin dari pemilik merek. Merek terdaftar mendapat pelindungan hukum untuk jangka waktu 10 tahun sejak tanggal penerimaan, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. [7] Mengenai penggunaan merek sendiri dapat dikaitkan dengan Penjelasan Pasal 44 UU 20/2016 berikut: Dalam hal pemilik Merek terdaftar tidak menggunakan sendiri Mereknya dalam perdagangan barang dan/atau jasa di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, penggunaan Merek tersebut oleh penerima Lisensi sama dengan penggunaan oleh pemilik Merek terdaftar yang bersangkutan. Hal itu berkaitan dengan ketentuan mengenai kemungkinan penghapusan pendaftaran Merek yang tidak digunakan dalam perdagangan barang dan/atau jasa dalam waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut . Dengan demikian, instansi pemerintahan yang sudah mendaftarkan mereknya berkewajiban untuk menggunakan mereknya tersebut. Jika ternyata merek tidak digunakan dalam jangka waktu tiga tahun berturut-turut, pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan gugatan penghapusan merek tersebut ke Pengadilan Niaga. [8] Terakhir, dalam Pasal 25 ayat (2) huruf g UU 20/2016 dinyatakan bahwa sertifikat merek di antaranya memuat kelas dan jenis barang dan/atau jasa yang mereknya didaftar . Jika memang instansi penelitian tesebut bergerak di bidang jasa penelitian serta memasarkan berbagai macam komoditas, maka instansi penelitian tersebut harus mendaftarkan mereknya di bidang jasa penelitian serta merek barang sesuai dengan produk-produk yang dijualnya. Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis . Referensi : Pangkalan Data Kekayaan Intelektual , diakses pada Kamis, 2 April 2020, pukul 13.41 WIB. [1] Pasal 1 angka 2 UU 20/2016 [2] Pasal 1 angka 3 UU 20/2016 [3] Pasal 1 angka 4 UU 20/2016 [4] Penjelasan Pasal 3 UU 20/2016 [5] Pasal 42 ayat (1) UU 20/2016. [6] Pasal 83 ayat (1) UU 20/2016 [7] Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU 20/2016 [8] Pasal 74 ayat (1) UU 20/2016 merek pemerintah hukumonline kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Mohon penjelasan mengenai aspek hukum dana organisasi keolahragaan yang dimasukkan ke dalam rekening pribadi." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Ormas Melakukan Sweeping di Tempat Umum? 05 Jul 2024 Bolehkah Ormas Ikut Kegiatan Politik? 25 Jan 2017 Bentuk Badan Usaha yang Tepat untuk Mendirikan Sociopreneur 22 Nov 2016 Pilihan Badan Hukum untuk Organisasi Non Profit 20 Jan 2016 Intisari Organisasi Kemasyarakatan (“ormas”) dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Salah satu ciri utama badan hukum adalah memiliki kekayaan sendiri (kekayaan yang terpisah/dipisahkan). Mengenai a spek hukum dana organisasi keolahragaan yang dimasukkan ke dalam rekening pribadi, maka dapat diasumsikan bahwa organisasi keolahragaan tersebut bukanlah suatu organisasi yang berbadan hukum, karena tidak memiliki kekayaan yang terpisah/dipisahkan dari kekayaan pendirinya secara hukum. Oleh karena itu, segala pemasukan dan pengeluaran organisasi tersebut dilakukan melalui rekening pribadi dari seorang pengurus yang ditunjuk atau dipercaya oleh organisasi tersebut untuk mengelola lalu lintas keuangan organisasi. Sebaliknya, jika yang Anda maksud adalah organisasi keolahragaan berbadan hukum, yang tentunya memiliki kekayaan terpisah, dalam hal ini misalnya dalam bentuk uang di rekening organisasi, maka dalam hal adanya aliran dana yang masuk ke dalam rekening pribadi, hal tersebut tidaklah dibenarkan karena berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan uang. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sayangnya Anda tidak mengiformasikan lebih lanjut mengenai jenis dari organisasi keolahragaan apa yang Anda maksud, yaitu dalam bentuk organisasi yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. Organisasi Kemasyarakatan Pertama-tama perlu kami sampaikan bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (“UU Ormas”) memberikan definisi yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan (“Ormas”) sebagai berikut: Organisasi Kemasyarakatan yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak kebutuhan, kepentingan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Ormas dapat berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. [1] Ormas berbadan hukum dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan. [2] Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa suatu organisasi yang tidak berbadan hukum sekalipun juga tetap “legal” di mata hukum karena keberadaannya dijamin oleh UU Ormas secara khusus dan secara umum dijamin oleh konstitusi kita yaitu dalam Pasal 28 E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sebagai suatu kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Keuangan ormas dapat bersumber dari: [3] a. iuran anggota; b. bantuan/sumbangan masyarakat; c. hasil usaha Ormas; d. bantuan/sumbangan dari orang asing atau lembaga asing; e. kegiatan lain yang sah menurut hukum; dan/atau f. anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan belanja daerah Ciri Utama Badan Hukum Sebagai tambahan referensi untuk Anda mengenai organisasi yang berbadan hukum, Chidir Ali dalam bukunya Badan Hukum ( hal. 19), terbitan Alumni (1987) menjelaskan tentang 3 (tiga) ciri utama dari Badan Hukum yaitu: 1. Memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia; 2. Memiliki kekayaan sendiri (kekayaan yang terpisah/dipisahkan ) ; 3. Dapat digugat dan menggugat di depan hakim (pengadilan) ; Analisis Menjawab pertanyaan pokok Anda yang menanyakan penjelasan mengenai aspek hukum dana organisasi keolahragaan yang dimasukkan ke dalam rekening pribadi, maka dapat diasumsikan bahwa organisasi keolahragaan tersebut bukanlah suatu organisasi yang berbadan hukum, karena tidak memiliki kekayaan yang terpisah/dipisahkan dari kekayaan pendirinya secara hukum, seperti layaknya organisasi berbadan hukum yang berbentuk perkumpulan atau yayasan. Dengan demikian, karena organisasi keolahragaan tersebut diasumsikan tidak berbadan hukum, maka segala pemasukan dan pengeluaran organisasi tersebut dilakukan melalui rekening pribadi dari seorang pengurus yang ditunjuk atau dipercaya oleh organisasi tersebut untuk mengelola lalu lintas keuangan organisasi. Hal ini karena keuangan ormas harus dikelola secara transparan dan akuntabel. [4] Sebaliknya, jika yang Anda maksud adalah organisasi keolahragaan berbadan hukum, yang tentunya memiliki kekayaan terpisah, dalam hal ini misalnya dalam bentuk uang di rekening organisasi, maka dalam hal adanya aliran dana yang masuk ke dalam rekening pribadi, hal tersebut tidaklah dibenarkan karena berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan uang yang dapat merugikan organisasi tersebut, yang secara hukum dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 dan 374 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan . [1] Pasal 10 ayat (1) UU Ormas [2] Pasal 11 ayat (1) UU Ormas [3] Pasal 37 ayat (1) UU Ormas [4] Pasal 37 ayat (2) UU Ormas hukumonline google badan hukum ormas perkumpulan olah raga organisasi kemasyarakatan hukum klinik investasi olahraga perusahaan klinik hukumonline organisasi pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apa dasar hukum pembuatan kontrak kerja TKI? Lalu apa saja isi atau poin dari kontrak kerja yang harus saya perhatikan sehingga saya sebagai TKI tidak dirugikan dan disalahgunakan? Jika nanti saya sebagai TKI merasa dirugikan, bisakah kontraknya diubah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Aspek Hukum Isi Perjanjian Kerja TKI di Luar Negeri yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 31 Oktober 2017. Perlu Anda ketahui, dulu aturan mengenai Tenaga Kerja Indonesia (“TKI”) diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang kini telah dicabut dengan Pasal 89 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (“UU 18/2017”) . Selain itu, aturan terkait yang lebih rinci dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri kini juga telah dicabut dengan Pasal 41 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia (“Permenaker 9/2019”) . TKI sebagai Pekerja Migran Indonesia Calon pekerja migran Indonesia adalah setiap TKI yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. [1] Sedangkan pekerja migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. [2] Pekerja migran Indonesia meliputi: [3] Pekerja migran Indonesia yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum; Pekerja migran Indonesia yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga; dan Pelaut awak kapal dan pelaut perikanan. Yang tidak termasuk sebagai pekerja migran Indonesia, adalah: [4] warga negara Indonesia yang dikirim atau dipekerjakan oleh badan internasional atau oleh negara di luar wilayahnya untuk menjalankan tugas resmi; pelajar dan peserta pelatihan di luar negeri; warga negara Indonesia pengungsi atau pencari suaka; penanam modal; aparatur sipil negara atau pegawai setempat yang bekerja di Perwakilan Republik Indonesia; warga negara Indonesia yang bekerja pada institusi yang dibiayai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara; dan warga negara Indonesia yang mempunyai usaha mandiri di luar negeri. Jadi, dapat dikatakan bahwa kini istilah TKI yang Anda maksud sekarang telah digantikan dengan istilah pekerja migran Indonesia. Untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon pekerja migran Indonesia wajib memiliki dokumen: [5] surat keterangan status perkawinan, bagi yang telah menikah melampirkan fotokopi buku nikah; surat keterangan izin suami atau istri, izin orang tua, atau izin wali yang diketahui oleh kepala desa atau lurah; sertifikat kompetensi kerja; surat keterangan sehat berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi; paspor yang diterbitkan oleh kantor imigrasi setempat; visa kerja; perjanjian penempatan pekerja migran Indonesia ; dan perjanjian kerja . Sehingga menyambung pertanyaan Anda, terdapat 2 jenis perjanjian, yaitu perjanjian penempatan pekerja migran Indonesia dan perjanjian kerja. Isi Perjanjian Kerja Dikarenakan Anda menanyakan tentang kontrak kerja, kami akan berfokus pada penjelasan mengenai perjanjian kerja. Perjanjian kerja adalah perjanjian tertulis antara pekerja migran Indonesia dan pemberi kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [6] Pemberi kerja yang dimaksud di atas adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara tujuan penempatan yang mempekerjakan pekerja migran indonesia. [7] Hubungan kerja antara pemberi kerja dan pekerja migran timbul setelah disepakati dan ditandatanganinya perjanjian kerja oleh para pihak yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah . [8] Perjanjian kerja paling sedikit meliputi : [9] nama, profil, dan alamat lengkap pemberi kerja; nama dan alamat lengkap pekerja migran indonesia; jabatan atau jenis pekerjaan pekerja migran indonesia; hak dan kewajiban para pihak; kondisi dan syarat kerja yang meliputi jam kerja, upah dan tata cara pembayaran, hak cuti dan waktu istirahat, serta fasilitas dan jaminan sosial dan/atau asuransi; jangka waktu perjanjian kerja; dan jaminan keamanan dan keselamatan pekerja migran Indonesia selama bekerja. Untuk jangka waktu perjanjian kerja dibuat berdasarkan kesepakatan tertulis antara pekerja migran Indonesia dan pemberi kerja serta dapat diperpanjang. [10] Perpanjangan jangka waktu tersebut dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang di kantor Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan penempatan. [11] Lebih lanjut, dalam Pasal 20 ayat (1) dan (2) Permenaker 9/2019 ditegaskan kembali bahwa penandatanganan perjanjian kerja dilakukan sesuai dengan kesepakatan serta mulai berlaku sejak disepakati dan ditandatangani oleh para pihak. Merujuk pada Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar, Penandatanganan, dan Verifikasi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia (“PBP2MI 1/2020”) , secara rinci disebutkan perjanjian kerja minimal memuat: [12] nama, profil, dan alamat lengkap pemberi kerja; nama, nomor identitas, dan alamat lengkap pekerja migran Indonesia; jabatan atau jenis pekerjaan dan uraian pekerjaan pekerja migran Indonesia; hak dan kewajiban para pihak; kondisi dan syarat kerja yang meliputi: jam kerja, waktu istirahat, dan cuti; upah/gaji, cara pembayaran gaji, upah lembur, dan bonus; fasilitas, akomodasi, transportasi, dan konsumsi; dan jaminan sosial dan/atau asuransi; jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja; tata cara perpanjangan perjanjian kerja; tata cara pemutusan hubungan kerja; berakhirnya perjanjian kerja; tata cara penyelesaian perselisihan; ketentuan tata cara pemulangan; dan jaminan keamanan dan keselamatan pekerja migran Indonesia selama bekerja. Menjawab pertanyaan Anda, mengenai perubahan isi perjanjian kerja harus dituangkan dalam perjanjian kerja baru yang disepakati para pihak di depan pejabat yang berwenang . [13] Perjanjian kerja baru itu dilaporkan oleh pekerja migran Indonesia, pemberi kerja, dan/atau mitra usaha ke pejabat yang berwenang melalui sistem yang terintegrasi antara Portal Peduli WNI, Sisko P2MI, dan Sisnaker. [14] Patut diperhatikan, perjanjian kerja dibuat dalam rangkap 3 asli, masing-masing untuk pekerja migran Indonesia, pemberi kerja, dan pejabat yang berwenang yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dan/atau bahasa yang dapat dipahami oleh pemberi kerja. [15] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia ; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 9 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia ; Peraturan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Nomor 1 Tahun 2020 tentang Standar, Penandatanganan, dan Verifikasi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia . [1] Pasal 1 angka 1 UU 18/2017 [2] Pasal 1 angka 2 UU 18/2017 [3] Pasal 4 ayat (1) UU 18/2017 [4] Pasal 4 ayat (2) UU 18/2017 [5] Pasal 13 UU 18/2017 [6] Pasal 1 angka 14 UU 18/2017 [7] Pasal 1 angka 11 UU 18/2017 [8] Pasal 15 ayat (1) jo. Pasal 14 UU 18/2017 [9] Pasal 15 ayat (2) UU 18/2017 [10] Pasal 16 UU 18/2017 [11] Pasal 17 UU 18/2017 [12] Pasal 2 ayat (2) PBP2MI 1/2020 [13] Pasal 6 ayat (1) PBP2MI 1/2020 jo. Pasal 18 UU 18/2017 [14] Pasal 6 ayat (2) PBP2MI 1/2020 [15] Pasal 5 PBP2MI 1/2020 imigrasi hukumonline ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Saya ada kasus terkait Magersari antara A (sudah meninggal) dan B (masih hidup tetapi hilang akal). A punya rumah yang kemudian rumah itu ditempati oleh B sejak 1995. Berdasarkan kesepakatan lisan, B diperbolehkan untuk membangun dan mengelola rumah itu seperti rumahnya sendiri. Sebelum hilang akal, B ini hendak menjual rumah yang ia tempati, padahal sertifikatnya atas nama A (belum dibagi waris), sayangnya anak-anak dari A tidak mau memberikan rumah ini. Setelah B kena sakit hilang akal, anak-anaknya B lalu menawarkan diri untuk membeli rumah tersebut, namun anak-anak A tetap tidak mau. Apa yang bisa dilakukan B?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Perbedaan Hibah dengan Pelepasan Hak Atas Tanah 02 Nov 2020 Cara Membuktikan Kepemilikan Bersama Atas Sebidang Tanah 29 Sep 2020 Prosedur dan Syarat Pemecahan Tanah Induk 24 Sep 2020 Kepailitan Developer Apartemen Mengakibatkan Hapusnya PPJB 17 Sep 2020 Alas Hukum Kepemilikan Tanah dan Bangunan Kepemilikan seseorang terhadap sebidang tanah dan bangunan didasarkan pada alat bukti hak yaitu sertifikat hak atas tanah. Ini sesuai dengan bunyi Pasal 4 ayat (1) jo . Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP Pendaftaran Tanah”) : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah . Magersari sebagaimana Anda sebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai orang yang rumahnya menumpang di pekarangan orang lain; orang yang tinggal di tanah milik negara dan sekaligus mengerjakan tanah itu. Di sisi lain, disarikan dari Praktik Ngindung (Numpang Tinggal) Dari Kacamata Hukum , magersari tidak dikenakan sewa tanah , sedangkan ngindung biasanya dikenakan uang sewa tanah. Kemudian istilah magersari juga dapat Anda temukan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai tanah bukan keprabon yang digunakan penduduk/lembaga dengan hak ( magersari , ngindung, hak pakai, hutan, kampus, rumah sakit, dan lain-lain) dan tanah yang digunakan penduduk tanpa alas hak. Baca juga: Status Hukum Tanah Kasultanan Yogyakarta Menyambung pertanyaan Anda, hak seorang untuk menempati rumah yang berdiri di atas bidang tanah yang bukan miliknya seharusnya didasari suatu perjanjian, misalnya perjanjian sewa menyewa atau perjanjian sewa bangun, berdasarkan Pasal 1548 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) : Sewa menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap maupun yang bergerak . Sehingga menurut hemat kami seharusnya antara A dan B telah dibuat suatu perjanjian. Perjanjian bisa saja dibuat secara lisan, namun pembuktian akan batasan hak dan kewajiban akan menjadi sulit dilakukan. Namun perlu dicatat meski ada perjanjian, tidak mengakibatkan B menjadi pemilik dari rumah yang selama ini ditempatinya. Yang berhak memiliki hak atas tanah dan bangunan tersebut tetap A maupun ahli warisnya, merujuk pada Pasal 852 KUH Perdata : Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka … Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, … Ketentuan tersebut berarti seluruh ahli waris mewarisi dalam bagian yang sama besarnya atau dengan kata lain tidak membedakan ahli waris satu sama lain. Pembelian Rumah Magersari Dalam kasus yang Anda ceritakan, apabila anak-anak B hendak membeli rumah itu, mereka hanya dapat membeli dari ahli waris A karena A sudah meninggal dunia. Sementara itu, karena B saat ini dalam keadaan hilang ingatan, maka terhadap B terlebih dahulu harus diangkat seorang pengampu berdasarkan penetapan pengadilan. Mengenai pengampuan , Anda bisa mengacu Pasal 433 dan Pasal 434 KUH Perdata : Pasal 433 Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan , sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan . Pasal 434 Setiap keluarga sedarah berhak minta pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap. Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri . Baca juga: Tak Setiap Lansia Diletakkan dalam Pengampuan Permintaan pengampuan ini harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya tempat berdiam orang yang dimintakan pengampuan. [1] Dalam surat permintaan, harus disebutkan secara jelas peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan dungu, gila, mata gelap atau keborosan, disertai bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. [2] Maka kesimpulannya, B  beserta keluarganya yang selama ini menempati rumah milik A  mau tak mau hanya dapat membeli atau melanjutkan persewaan rumah tersebut dengan persetujuan serta kehendak dari para ahli waris A . Dengan demikian, setelah B diletakkan pengampuan dan ahli waris A menyetujuinya, maka jual beli rumah baru bisa dilangsungkan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah REFERENSI:\n1. Magersari , diakses pada 1 Desember 2020, pukul 13.26 WIB. [1] Pasal 436 KUH Perdata [2] Pasal 437 KUH Perdata hak atas tanah yogyakarta tanah warisan pertahanan ahli waris rumah waris hak milik bangunan pengampuan" }
{ "from": "human", "value": "Zaman sekarang banyak sistem menggunakan dan bahkan mewajibkan e-money. Pertanyaaan saya, apabila ada seseorang yang tidak punya kartu terkait apakah ada aturan yang melarang bahwa sistem dilarang menolak orang yang membayar dengan uang tunai? Sebagai komparasi penggunaan uang receh saja tidak boleh ditolak sebagaimana dijelaskan dalam artikel Klinik berjudul “Sanksi Hukum Jika Menolak Pembayaran Dengan Uang Receh”." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam artikel Sanksi Hukum Jika Menolak Pembayaran Dengan Uang Receh yang Anda rujuk, memang terdapat uraian mengenai larangan menolak pembayaran dengan menggunakan Rupiah. Dengan merujuk pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) , Tri Jata Ayu menguraikan bahwa Rupiah wajib digunakan dalam: setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 23 UU Mata Uang kemudian mengatur larangan untuk menolak Rupiah sebagai alat pembayaran, sebagai berikut: Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis. Pelanggaran atas ketentuan tersebut dapat berujung pada sanksi berupa pidana kurungan paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200 juta. [1] Tri Jata Ayu kemudian menyimpulkan bahwa pengecualian penolakan Rupiah hanya berlaku dalam hal terdapat keraguan atas keaslian uang Rupiah. Di luar pengecualian itu, setiap orang dilarang menolak, termasuk dalam bentuk receh sekalipun. Namun demikian, adanya sistem yang mewajibkan pembayaran secara elektronik tak dapat serta merta disamakan sebagai bentuk penolakan terhadap Rupiah. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan e-money atau uang elektronik selengkapnya diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/201 tentang Uang Elektronik (“PBI 20/2018”) . Dalam peraturan tersebut, yang dimaksud sebagai Uang Elektronik adalah instrumen pembayaran yang memenuhi unsur sebagai berikut: [2] diterbitkan atas dasar nilai uang yang disetor terlebih dahulu kepada penerbit; nilai uang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip ; dan nilai uang elektronik yang dikelola oleh penerbit bukan merupakan simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan. PBI 20/2018 memperkenalkan berbagai jenis pengelompokan Uang Elektronik. Berdasarkan lingkup penyelenggaraannya , Uang Elektronik dapat dibedakan menjadi: [3] closed loop , yaitu uang elektronik yang hanya dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa yang merupakan penerbit Uang Elektronik tersebut; dan open loop , yaitu Uang Elektronik yang dapat digunakan sebagai instrumen pembayaran kepada penyedia barang dan/atau jasa yang bukan merupakan penerbit Uang Elektronik tersebut. Selain itu, Uang Elektronik juga dapat dibedakan berdasarkan media penyimpanannya yang berupa: [4] server based , yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa server ; dan chip based , yaitu Uang Elektronik dengan media penyimpan berupa chip . Uang Elektronik juga dapat dibedakan berdasarkan pencatatan data identitas penggunanya , berupa: [5] unregistered , yaitu Uang Elektronik  yang data identitas penggunanya tidak terdaftar dan tidak tercatat pada penerbit; dan registered , yaitu Uang Elektronik yang data identitas penggunanya terdaftar dan tercatat pada penerbit. Setiap Uang Elektronik diisi dengan nilai Uang Elektronik tertentu. Nilai Uang Elektronik menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan BI 20/2018 adalah nilai uang yang disimpan secara elektronik dalam suatu media server atau chip yang dapat dipindahkan untuk kepentingan transaksi pembayaran dan/atau transfer dana. Sekalipun tidak berbentuk fisik, namun penyelenggaraan Uang Elektronik tetap wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kewajiban penggunaan Rupiah untuk transaksi pembayaran yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. [6] Selain itu, Uang Elektronik yang diterbitkan di Indonesia wajib menggunakan satuan uang Rupiah . Pun demikian dengan transaksi yang menggunakan Uang Elektronik dan dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang juga diwajibkan untuk menggunakan Rupiah. [7] Dengan demikian, menurut hemat kami yang sesungguhnya terjadi bukanlah penolakan pembayaran menggunakan Rupiah, melainkan dorongan untuk mengonversi Rupiah ke dalam bentuk elektronik . Isi uang elektronik tetap dianggap sebagai Rupiah. Baca juga: Dasar Hukum Penggunaan Uang Elektronik ketika Masuk Tol . Dorongan konversi ini didasari atas sejumlah keunggulan yang dimiliki oleh Uang Elektronik. Ahmad Hidayat, et.al. , sebagaimana dikutip Rachmadi Usman dalam tulisannya di Jurnal Yuridika - Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Volume 32 No. 1 berjudul Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran (hal. 136) menyatakan bahwa kemunculan uang elektronik merupakan jawaban atas kebutuhan terhadap instrumen pembayaran mikro yang diharapkan mampu melakukan proses pembayaran secara cepat dengan biaya yang relatif murah, karena pada umumnya nilai uang yang disimpan instrumen ini ditempatkan pada suatu tempat tertentu yang mampu diakses secara cepat secara off-line , aman dan murah. Dengan demikian, penggunaan U ang E lektronik ditujukan untuk memberikan kemudahan dan efisiensi dalam transaksi pembayaran . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 Referensi : Rachmadi Usman . Karakteristik Uang Elektronik dalam Sistem Pembayaran . Jurnal Yuridika – Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Vol. 32. No. 1, 2017. [1] Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang [2] Pasal 1 angka 3 PBI 20/2018 [3] Pasal 3 ayat (1) PBI 20/2018 [4] Pasal 3 ayat (2) huruf a PBI 20/2018 [5] Pasal 3 ayat (2) huruf b PBI 20/2018 [6] Pasal 44 huruf a PBI 20/2018 [7] Pasal 51 PBI 20/2018 jasa keuangan elektronik hukumonline google teknologi online hukum investasi uang e-money perbankan" }
{ "from": "human", "value": "Saya mau bertanya seputar Leveraged Buyout (LBO). Pertama, soal aspek hukum dan sejarah LBO, kemudian bagaimana dengan di Indonesia? Kedua, secara umum LBO merupakan mekanisme dalam cara mengakuisisi dengan surat utang, lalu bagaimana selanjutnya? Mohon dijelaskan lebih lanjut mengenai aspek hukumnya di Indonesia serta implementasinya. Terima kasih Klinik." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Leveraged Buyout (“LBO”) adalah suatu proses membeli atau mengakuisisi sebuah perusahaan yang mana uang yang akan digunakan untuk mengakusisi didapat melalui utang dari bank atau pihak ketiga lainnya. Aset dari perusahaan yang akan diakuisisi dijadikan jaminan bagi utang tersebut. Implementasi dari akuisisi di Indonesia itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan yang saudara berikan. Pemahaman kami tentang Leveraged Buyout (“LBO”) adalah suatu proses membeli atau mengakuisisi sebuah perusahaan yang mana uang yang akan digunakan untuk mengakusisi didapat melalui utang dari bank atau pihak ketiga lainnya. Aset dari perusahaan yang akan diakuisisi dijadikan jaminan bagi utang tersebut. Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama kami sampaikan bahwa pada dasarnya LBO merupakan akuisisi sebuah perusahaan dengan uang yang didapat melalui utang kepada pihak lain. Implementasi dari akuisisi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“ UUPT ”). UUPT mengenal akuisisi sebagai pengambilalihan, yang mana menurut Pasal 1 butir 11 UUPT , pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. Pengambilalihan hanya dapat dilaksanakan dengan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (“ RUPS ”). KLINIK TERKAIT Proses dan Dampak Akuisisi PT oleh PT PMA 12 Feb 2024 Mengenal Akuisisi Perusahaan Lintas Negara 07 Feb 2023 Pemindahan Kepemilikan Perusahaan (Akuisisi) oleh Pemegang Saham 23 Jun 2022 Yang Perlu Diperhatikan saat Akuisisi Perusahaan Terbuka 02 Des 2020 Kemudian untuk menjawab pertanyaan saudara yang kedua, berikut kami sampaikan kembali mengenai proses akuisisi sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Akuisisi Perusahan Tertutup sebagai berikut: Cara pengambilalihan saham perseroan ini dapat dilakukan dengan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas A. melalui Direksi Perseroan, atau B. langsung dari pemegang saham. (lihat Pasal 125 ayat [1] UUPT ) A. Melalui Direksi Perseroan 1. Pihak yang akan mengambil alih menyampaikan maksudnya (lihat Pasal 125 ayat [5] UUPT ); 2. Menyusun rancangan pengambilalihan (lihat Pasal 125 ayat [6] UUPT jo. Pasal 26 ayat [3] Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas ) yang memuat sekurang-kurangnya: a. nama dan tempat kedudukan dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih; b. alasan serta penjelasan Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan Direksi Perseroan yang akan diambil alih; c. laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a UUPT untuk tahun buku terakhir dari Perseroan yang akan mengambil alih dan Perseroan yang akan diambil alih; d. tata cara penilaian dan konversi saham dari Perseroan yang akan diambil alih terhadap saham penukarnya apabila pembayaran Pengambilalihan dilakukan dengan saham; e. jumlah saham yang akan diambil alih; f. kesiapan pendanaan; g. neraca konsolidasi proforma Perseroan yang akan mengambil alih setelah Pengambilalihan yang disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia; h. cara penyelesaian hak pemegang saham yang tidak setuju terhadap Pengambilalihan; i. cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan dari Perseroan yang akan diambil alih; j. perkiraan jangka waktu pelaksanaan Pengambilalihan, termasuk jangka waktu pemberian kuasa pengalihan saham dari pemegang saham kepada Direksi Perseroan; k. rancangan perubahan anggaran dasar Perseroan hasil Pengambilalihan apabila ada. 3. Mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) (lihat Pasal 127 ayat [1] UUPT ). 4. Wajib mengumumkan ringkasan rancangan pengambilalihan (lihat Pasal 127 ayat [2] dan ayat [3] UUPT ). Sebelum RUPS diselenggarakan untuk membicarakan Rancangan Pengambilalihan, Ringkasan Rancangan Pengambilalihan wajib terlebih dahulu “diumumkan” oleh Direksi Perseroan yang akan mengambil alih dan yang akan diambil alih ( Hukum Perseroan Terbatas, hal. 514): a. Diumumkan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar; b. Mengumumkan secara tertulis kepada Karyawan Perseroan yang akan mengambil alih; c. Pengumuman dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS; d. Pengumuman wajib memuat “pemberitahuan” bahwa pihak yang berkepentingan dapat memperoleh Rancangan Pengambilalihan di kantor Perseroan, sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. 5. Kreditor berhak mengajukan keberatan (lihat Pasal 127 ayat [4] UUPT ). 6. Rancangan pengambilalihan dituangkan ke dalam akta pengambilalihan (lihat Pasal 128 UUPT ). 7. Salinan akta pengambilalihan dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri (lihat Pasal 131 ayat [1] UUPT ). B. Langsung dari Pemegang Saham Menurut M. Yahya Harahap ( Hukum Perseroan Terbatas , hal. 516), ketentuan pokok proses pengambilalihan saham secara langsung dari pemegang saham, berbeda dengan tata cara pengambilalihan saham melalui direksi. Pengambilalihan saham secara langsung dari pemegang saham, lebih sederhana prosedurnya, seperti yang dijelaskan di bawah ini. Proses yang Tidak Perlu Dilakukan 1. Pihak yang mengambil alih tidak perlu menyampaikan maksud untuk melakukan pengambilalihan kepada Direksi (lihat Pasal 125 ayat [7] UUPT ). 2. Tidak perlu membuat rancangan pengambilalihan (lihat Pasal 125 ayat [7] UUPT ). Namun, disyaratkan dalam Pasal 125 ayat (8) UUPT bahwa pengambilalihan “wajib” memperhatikan AD Perseroan yang akan diambil mengenai hal: a. Pemindahan hak atas saham; dan b. Perjanjian yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak lain. Proses yang Harus Dilakukan 1. Mengadakan perundingan dan kesepakatan langsung yaitu antara para pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaran dasar Perseroan yang diambil alih (lihat Penjelasan Pasal 125 ayat [7] UUPT ); 2. Mengumumkan rencana kesepakatan pengambilalihan (lihat Pasal 127 ayat [8] UUPT ). a. Diumumkan paling sedikit dalam 1 (satu) Surat Kabar; b. Mengumumkan secara tertulis kepada Karyawan Perseroan yang akan mengambil alih; c. Pengumuman dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPS; 3. Kreditor dapat mengajukan keberatan (lihat Pasal 127 ayat [4] UUPT ); 4. Kesepakatan pengambilalihan, dituangkan dalam akta pengambilalihan (lihat Pasal 128 UUPT ). 5. Salinan akta pemindahan hak atas saham dilampirkan pada penyampaian pemberitahuan kepada Menteri tentang perubahan susunan pemegang saham (lihat Pasal 131 ayat [2] UUPT ). Proses terakhir yang harus dilakukan dalam rangka pengambilalihan adalah pengumuman hasil pengambilalihan (lihat Pasal 133 ayat [2] UUPT ). Direksi dari perseroan yang sahamnya diambil alih wajib mengumumkan hasil pengambilalihan dalam 1 (satu) Surat Kabar atau lebih, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya pengambilalihan. Demikian hal ini kami sampaikan. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 2. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas . akuisisi hukum perusahaan jaminan utang uupt pt klinik hukumonline perseroan terbatas hukumonline klinik" }
{ "from": "human", "value": "Mohon dibantu untuk jawaban atas kepastian hukum permainan yang berbasis want to be millionaire, yang jika kita menang maka mendapatkan sejumlah tiket yang dapat ditukar dengan beberapa hadiah, kemudian oleh pemenang dijual kembali untuk mendapatkan uang. Apakah hal ini termasuk perjudian?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Istilah Perjudian Secara gramatikal, “judi” atau “permainan judi” atau “perjudian” menurut W. J. S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah permainan dengan memakai uang sebagai taruhan (hal. 419). “Berjudi” adalah mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula (hal. 419). Perjudian menurut Kartini Kartono dalam buku Patologi Sosial adalah pertaruhan dengan sengaja, yaitu mempertaruhkan satu nilai atau sesuatu yang dianggap bernilai dengan menyadari adanya risiko dan harapan-harapan tertentu pada peristiwa-peristiwa, permainan pertandingan, perlombaan dan kejadian-kejadian yang tidak/belum pasti hasilnya (hal. 56). Aspek Hukum Pidana Perjudian Menurut terminologi hukum, perjudian dimasukkan dalam tindak pidana kesopanan dan diatur dalam Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) jo . Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (“UU 7/1974”) : Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah , barang siapa tanpa mendapat izin: dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu ; dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian . Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya . Selanjutnya, Pasal 303bis KUHP jo. Pasal 2 UU 7/1974 menyebutkan bahwa: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah : barang siapa menggunakan kesempatan main judi, yang diadakan dengan melanggar ketentuan pasal 303; barang siapa ikut serta main judi di jalan umum atau di pinggir jalan umum atau di tempat yang dapat dikunjungi umum, kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk mengadakan perjudian itu. Jika ketika melakukan pelanggaran belum lewat dua tahun sejak ada pemidanaan yang menjadi tetap karena salah satu dari pelanggaran ini, dapat dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak lima belas juta rupiah. KUHP tidak mengatur lebih lanjut atau secara rinci apa jenis-jenis perjudian. Jenis-jenis Perjudian Dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP 9/1981”) , disebutkan macam perjudian, sebagai berikut: perjudian di kasino, antara lain, terdiri dari: roulette ; blackjack ; baccarat ; creps ; keno; tombola; super ping-pong; lotto fair ; satan ; paykyu ; slot machine ( jackpot ); ji si kie ; big six wheel ; chuc a luck ; lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (paseran); pachinko ; poker ; twenty one ; hwa-hwe ; kiu-kiu . Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain, terdiri dari perjudian dengan: lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; lempar gelang; lempar uang ( coin ); KIM; pancingan; menembak sasaran yang tidak berputar; lempar bola; adu ayam; adu sapi; adu kerbau; adu kambing atau domba; pacu kuda; karapan sapi; pacu anjing; hailai ; mayong/macak; erek-erek. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain, perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan-kebiasaan: adu ayam; adu sapi; adu kerbau; pacu kuda; karapan sapi; adu domba atau kambing; Dalam penjelasan di atas, dikatakan bahwa bentuk perjudian yang terdapat dalam angka 3, seperti adu ayam, karapan sapi dan sebagainya itu tidak termasuk perjudian apabila kebiasaan-kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan dan sepanjang kebiasaan itu tidak merupakan perjudian. [1] Hal ini kemudian ditegaskan lagi dalam Alinea Kelima Penjelasan Umum PP 9/1981 yang menegaskan bahwa dengan adanya larangan pemberian izin penyelenggaraan perjudian, tidak berarti dilarangnya penyelenggaraan permainan yang bersifat keolahragaan, hiburan, dan kebiasaan, sepanjang tidak merupakan perjudian . Dari penjelasan di atas, jenis perjudian tersebut tetap mengacu pada unsur delik yang ada pada Pasal 303 ayat (3) KUHP, yakni: adanya pengharapan untuk menang; bersifat untung-untungan saja; ada insentif berupa hadiah bagi yang menang; dan pengharapan untuk menang semakin bertambah jika ada unsur kepintaran, kecerdasan dan ketangkasan. S elanjutnya , harus juga dilihat apakah jenis permainan yang Anda maksud tersebut , termasuk dalam jenis-jenis perjudian yang berkembang dari PP 9/1981 . Jika permainan tersebut masuk dalam permainan jenis perjudian yang disebutkan dalam PP 9/1981, maka permainan yang Anda maksud, yang jika dimenangkan, maka mendapatkan sejumlah tiket yang dapat ditukar dengan beberapa hadiah, kemudian oleh pemenang dijual kembali untuk mendapatkan uang, telah memenuhi unsur permainan judi berdasarkan hukum positif yang diatur dalam Pasal 303 KUHP. Mengingat hal tersebut termasuk dalam kejahatan, maka semua unsur perbuatan harus terbukti dengan bukti yang cukup, serta adanya mens rea atau unsur kesalahan bahwa hal tersebut dilakukan secara melawan hukum/tanpa hak. Jika maksud melakukan permainan tersebut tidak untuk mencari peruntungan atau tidak ada hadiah, namun hanya hiburan semata, yang dilakukan oleh tempat yang berizin, maka hal tersebut tidak termasuk dalam perjudian yang dimaksud dalam hukum positif. Jika melihat seluruh pengaturan mengenai perjudian, dapat disimpulkan bahwa kepolisian hanya dapat menindak perjudian yang tidak memiliki izin, walaupun judi tersebut bertentangan dengan nilai - nilai agama yang dianut . Baca juga: Apakah Permainan Ketangkasan Termasuk Perjudian? Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar H ukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian Referensi : Kartini Kartono. Patologi Sosial . Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005; W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia . Jakarta: Balai Pustaka, 1995. [1] Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d PP 9/1981 hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Seperti yang kita ketahui Rumah Sakit (RS) Darurat Penanganan Covid-19 di Pulau Galang, Kota Batam sudah mulai beroperasi. Saya ingin bertanya apa dasar hukum atau status dari berdirinya RS Darurat ini? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pembangunan Rumah Sakit (RS) Darurat di Pulau Galang Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau (“Perpres 52/2020”) . Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (“PUPR”) ditugaskan Presiden untuk melaksanakan pembangunan fasilitas observasi dan penampungan dalam penanggulangan COVID-19 atau penyakit infeksi emerging beserta prasarana, sarana dan utilitas umum di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. [1] Kementerian PUPR kemudian menunjuk Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa dalam keadaan tertentu. [2] Mengenai prosedur penunjukan tersebut, dikutip dari artikel Darurat, Pengadaan terkait Covid-19 Harus Cepat dan Akuntabel , disebutkan pedoman pengadaan selama masa pandemi COVID-19 adalah: Pasal 59 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ; Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat (“Peraturan LKPP 13/2018”) ; dan Surat Edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (“SE LKPP 3/2020”) . Pengadaan barang/jasa dalam penanganan keadaan darurat dilakukan dengan cara swakelola dan/atau penyedia . [3] Oleh karena Kementerian PUPR menunjuk BUMN dalam pelaksanaan pembangunan RS darurat, menurut hemat kami, pembangunan tersebut dilakukan melalui penyedia, yaitu pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak. [4] Lebih lanjut, pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang melalui penyedia dengan tahapan sebagai berikut: [5] penerbitan surat penunjukan penyedia barang/jasa; pemeriksaan bersama dan rapat persiapan; serah terima lapangan; penerbitan surat perintah mulai kerja/surat perintah pengiriman; pelaksanaan pekerjaan; perhitungan hasil pekerjaan; dan serah terima hasil pekerjaan. Selain itu, pembangunan RS tersebut dilaksanakan di atas tanah yang merupakan barang milik negara. [6] Tanggung Jawab Berbagai Kementerian dalam Pembangunan RS Darurat Dalam rangka penanggulangan COVID-19 atau penyakit infeksi emerging di Pulau Galang, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyediakan tenaga listrik sesuai kebutuhan untuk: [7] fasilitas observasi dan penampungan; alat dan perbekalan kesehatan; dan penunjang lainnya. Sedangkan, ketersediaan alat kesehatan, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan tenaga kesehatan untuk fasilitas observasi dan penampungan dalam penanggulangan COVID-19 di Pulau Galang adalah tanggung jawab Kementerian Kesehatan yang dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. [8] Kemudian, Kementerian PUPR melakukan alih status penggunaan barang milik negara berupa bangunan fasilitas observasi dan penampungan di Pulau Galang beserta prasarana, sarana dan utilitas umum yang telah selesai dibangun kepada Kementerian Pertahanan. [9] Kementerian Kesehatan juga melakukan alih status penggunaan barang milik negara berupa alat kesehatan, perbekalan kesehatan, dan sediaan farmasi kepada Kementerian Pertahanan. [10] Kementerian Pertahanan segera mengelola hasil pembangunan fasilitas observasi dan penampungan dalam penanggulangan COVID-19 di Pulau Galang yang dimaksud sejak dilakukannya serah terima. [11] Sebagai informasi tambahan, dilansir dari laman Media Center Pemerintah Kota Batam Dinas Komunikasi & Informatika Kota Batam dalam artikel RS Darurat Galang Resmi Beroperasi , diterangkan bahwa RS darurat COVID-19 di Pulau Galang telah resmi beroperasi sejak 6 April 2020 yang pengoperasiannya akan berada di bawah Pangdam I/Bukit Barisan dengan 340 sarana observasi dan 20 sarana isolasi. Kami juga telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah Covid-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa dalam Penanganan Keadaan Darurat Surat Edaran Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Penjelasan atas Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Referensi : Darurat, Pengadaan terkait Covid-19 Harus Cepat dan Akuntabel , diakses pada 21 April 2020, pukul 13.55 WIB; RS Darurat Galang Resmi Beroperasi , diakses pada 21 April 2020, pukul 14.30 WIB [1] Pasal 1 ayat (1) Perpres 52/2020 [2] Pasal 1 ayat (2) dan (3) Perpres 52/2020 [3] Pasal 4 Peraturan LKPP 13/2018 [4] Pasal 1 angka 4 Peraturan LKPP 13/2018 [5] Pasal 6 ayat (3) Peraturan LKPP 13/2018 [6] Pasal 3 Perpres 52/2020 [7] Pasal 4 Perpres 52/2020 [8] Pasal 5 Perpres 52/2020 [9] Pasal 6 ayat (1) Perpres 52/2020 [10] Pasal 6 ayat (2) Perpres 52/2020 [11] Pasal 7 Perpres 52/2020 kesehatan hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Salam! Maraknya perkembangan teknologi informasi salah satunya adalah Cloud-computing (CC). Dengan teknologi CC, data-data pelanggan/pengguna/user dapat disimpan di berbagai lokasi bahkan di luar negeri secara transparan. Selain persoalan teknis keamanan, keabsahan dan privasi, adakah hukum positif di Indonesia yang mengatur (atau melarang) penyimpanan data di luar wilayah NKRI? Siapa saja yang terkena aturan tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Pelaku Cracking Menurut UU PDP dan UU ITE 27 Sep 2022 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Belanja Online 25 Apr 2022 Keabsahan Transaksi Jual Beli Melalui Blackberry Messenger 03 Jan 2013 Sebelum kami menjawab tentang pertanyaan Anda. Kami mencoba mendefinisikan Cloud Computing (“CC”) atau yang populer di Indonesia disebut sebagai “Komputasi Awan.” National Institute of Standards and Technology (“NIST”) -Departemen Perdagangan Amerika Serikat, mengartikan CC sebagai suatu model untuk menciptakan kenyamanan dalam akses jaringan sesuai keperluan ke dalam wadah bersama sumber daya komputasi (seperti; jaringan, server , penyimpanan, aplikasi dan layanan) yang dapat dikonfigurasi dengan cepat dan dirilis dengan upaya manajemen yang minimal atau minimal interaksi antar-penyedia jasa manajemen (NIST, Special Publication 800-145, 2011 ). Dengan model sebagaimana definisi tersebut, saat ini sangat memungkinkan bagi sektor publik, privat, maupun individu untuk menempatkan data atau informasi elektronik miliknya ke dalam fasilitas CC dengan pertimbangan bahwa penggunaan CC akan menciptakan fleksibilitas, efisensi biaya, dan mitigasi risiko atas pengelolaan data/informasi elektronik pengguna. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penyimpanan data/informasi elektronik yang dilakukan penyedia layanan CC itu sendiri pada dasarnya merupakan bagian dari sebuah perjanjian layanan atau Service Level Agreement (“SLA”) yang disepakati antara penyelenggara CC dengan customer . Penempatan data/informasi elektronik oleh penyedia layanan CC secara teknis dapat dilakukan di mana saja sesuai dengan pertimbangan masing-masing penyedia. Kewajiban Penempatan/Penyimpanan Data dalam Penyelenggaraan CC Sebelum kami menjawab hal tersebut, kami akan menguraikan secara umum tentang kewajiban sebuah Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”). Penyelenggara CC berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”) pada dasarnya merupakan bagian dari PSE secara umum. Dengan demikian, semua konsekuensi hukum PSE sebagaimana diatur dalam UU ITE dan PP PSTE berlaku juga bagi penyelenggara CC. Konsekuensi Hukum Penyelenggara SE termasuk penyelenggara CC dalam PP PSTE secara ringkas kami kelompokkan sebagai berikut: 1. Kewajiban Pendaftaran bagi PSE Pelayanan Publik (Pasal 5) 2. Kewajiban Sertifikasi Kelaikan Hardware (Pasal 6) 3. Kewajiban didaftarkannya Software bagi PSE Pelayanan Publik(Pasal 7) 4. Ketentuan tentang Penggunaan Tenaga Ahli (Pasal 10) 5. Kewajiban-kewajiban dalam tata kelola SE (Pasal 12) 6. Penerapan manajemen risiko penyelenggaraan SE (Pasal 13) 7. Kewajiban memiliki kebijakan tata kelola dan SOP (Pasal 14) 8. Kewajiban dan ketentuan tentang pengelolaan kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan Data Pribadi (Pasal 15) 9. Pemenuhan persyaratan tata kelola bagi PSE untuk Pelayanan Publik (Pasal 16) 10. Penempatan Pusat Data dan Pusat Pemulihan Bencana serta mitigasi atas rencana keberlangsungan kegiatan Penyelenggaraan SE (Pasal 17) 11. Pengamanan Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 18 s.d. Pasal 29) 12. Kewajiban Sertifikasi Kelaikan Sistem bagi PSE Pelayanan Publik (Pasal 30 s.d. Pasal 32) Terkait penempatan data elektronik sebagaimana angka 10 di atas, Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) PP PSTE mewajibkan PSE untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data atau Data Center (“DC”) dan pusat pemulihan bencana atau Disaster Recovery Center (“DRC”) di wilayah Indonesia . Bunyi lengkap Pasal 17 ayat (2) dan ayat (3) PP PSTE adalah sebagai berikut: (2) Penyelenggara Sistem Elektronik untuk pelayanan publik wajib menempatkan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia untuk kepentingan penegakan hukum, perlindungan, dan penegakan kedaulatan negara terhadap data warga negaranya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penempatan pusat data dan pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Instansi Pengawas dan Pengatur Sektor terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah berkoordinasi dengan Menteri. Jika suatu penyelenggara CC masuk dalam kategori PSE Pelayanan Publik, maka penyelenggara CC tersebut wajib menempatkan pusat data atau DC dan pusat pemulihan bencana atau DRC di wilayah Indonesia . Pusat Data ( Data Center ) yang dimaksud Pasal 17 ayat (2) PP PSTE didefinisikan dalam penjelasan Pasal 17 ayat (2) PP PSTE yaitu, “suatu fasilitas yang digunakan untuk menempatkan Sistem Elektronik dan komponen terkaitnya untuk keperluan penempatan, penyimpanan, dan pengolahan data.” Sedangkan, yang dimaksud dengan Pusat Pemulihan Bencana ( Disaster Recovery Center ) adalah “suatu fasilitas yang digunakan untuk memulihkan kembali data atau informasi serta fungsi-fungsi penting Sistem Elektronik yang terganggu atau rusak akibat terjadinya bencana yang disebabkan oleh alam atau manusia.” Sayangnya, sanksi atas pelanggaran Pasal 17 ayat (2) PP PSTE tersebut tidak diatur secara tegas . Pasal 84 PP PSTE tentang sanksi administratif, hanya memberikan sanksi jika PSE Pelayanan publik tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan untuk menanggulangi gangguan atau bencana sesuai dengan risiko dari dampak yang ditimbulkannya ( Pasal 17 ayat [1] PP PSTE ). Sementara, ketidakpatuhan atas kewajiban penempatan DC/DRC di Indonesia apakah dapat dikategorikan sebagai perbuatan “ tidak memiliki rencana keberlangsungan kegiatan” sebagaimana Pasal 17 ayat (1) PP PSTE masih belum dapat dijelaskan lebih lanjut. Pasal 17 PP PSTE tersebut tentu saja masih membutuhkan penjabaran yang lebih komprehensif dalam bentuk Peraturan Menteri atau peraturan dari masing-masing sektor terkait, mengingat penempatan DC atau DRC dalam Pasal 17 belum cukup jelas mengatur tentang batasan teknis tentang fasilitas apa yang dapat disebut sebagai DC/DRC, bagaimana jika PSE untuk pelayanan publik tidak memiliki DC/DRC (misalkan, menggunakan layanan hosting karena data elektronik yang disimpan hanya berskala kecil), apakah semua fasilitas yang terdapat dalam sebuah DC/DRC wajib ditempatkan di Indonesia atau hanya yang sebagaian saja yang terkait terkait data pelayanan publik, bagaimana pengaturannya jika ditempatkan secara virtual pada layanan cloud , dan masih banyak lagi pertanyaan yang perlu dijabarkan secara rinci dalam peraturan turunan pasal tersebut. Terkait penempatan data/infomasi elektronik, tentu timbul pertanyaan apakah penyelenggara CC masuk dalam kategori PSE Pelayanan Publik? Secara normatif, yang dimaksud Pelayanan Publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“PP Pelayanan Publik”) adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/ atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Sedangkan, definisi Penyelenggara Pelayanan Publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik ( Pasal 1 angka [2] PP Pelayanan Publik ). Ruang lingkup Pelayanan Publik meliputi: a. pelayanan barang publik; b. pelayanan jasa publik; dan c. pelayanan administratif. Penyelenggaraan SE Pelayanan Publik, berdasarkan PP Pelayanan Publik masuk dalam kategori pelayanan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah tetapi ketersediaannya menjadi Misi Negara yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan ( Pasal 5 huruf c PP Pelayanan Publik ). Penyelenggara Pelayanan Publik dapat berupa badan hukum lain (selain instansi pemerintah, BUMN, atau lembaga independen) yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara ( Pasal 10 ayat [1] huruf b PP Pelayanan Publik ). Yang dimaksud dengan \"badan hukum lain\" dalam penjelasan pasal tersebut ini adalah badan swasta baik berbentuk korporasi maupun yayasan yang menyelenggarakan Pelayanan Publik dalam rangka pelaksanaan Misi Negara. Pelaksanaan Misi Negara dalam hal ini meliputi pelayanan yang seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi karena keterbatasan kemampuan pemerintah, sehingga dilaksanakan oleh badan swasta dengan biaya dari pemerintah yang disebut subsidi. Badan hukum lain tersebut dapat dikategorikan Pelayanan Publik apabila memiliki besaran nilai aktiva paling sedikit 50 (lima puluh) kali besaran pendapatan per kapita per tahun di wilayah administrasi pemerintahan Penyelenggara pada tahun berjalan dan jaringan pelayanan yang pengguna pelayanannya tidak dibatasi oleh wilayah administrasi pemerintahan ( Pasal 10 ayat [2] PP Pelayanan Publik ). Sebagai contoh, misalnya sebuah perusahaan CC memberikan pelayanan penggunaan infrastruktur dan platform kepada sebuah rumah sakit yang memiliki nilai aktiva (aset) sebesar Rp100 miliar. Dengan asumsi pendapatan per kapita nasional sebesar Rp31,8 juta (tahun 2011), maka nilai minimal pengkategorian sebuah badan hukum yang menjalankan misi negara sebagai penyelenggara pelayanan publik adalah sebesar Rp1.590.000.000,- (Rp31,8 juta dikali 50). Dengan demikian, rumah sakit tersebut dikategorikan sebagai penyelenggaara layanan publik . Sedangkan, perusahaan CC tersebut, menurut pendapat kami, dapat dikatakan penyelenggara pelayanan publik tidak langsung, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan penempatan data/informasi elektronik milik rumah sakit tersebut harus berada di wilayah Indonesia ( Pasal 17 ayat [2] UU ITE ). Contoh lain, jika Penyelenggara CC tersebut misalkan hanya memberikan pelayanan CC kepada perusahaan pertambangan untuk keperluan internal sistem informasi manajemen perusahaan, maka penyelenggara CC tersebut bukan PSE Pelayanan Publik dan tidak ada kewajiban bagi penyelenggara CC tersebut terhadap pasal-pasal dalam PP PSTE terkait Penyelenggaraan PSE bagi Pelayanan Publik. Dengan demikian, penyedia layanan CC tersebut berhak menempatkan di manapun data/informasi elektronik pelanggannya sesuai dengan SLA yang disepakati. Meskipun PP Pelayanan Publik sudah diterbitkan, menurut pendapat subyektif kami, pengkategorian PSE Pelayanan Publik terkait pelaksanaan Misi Negara berdasarkan PP Pelayanan Publik tersebut masih perlu untuk dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan turunannya. Mengingat masih terdapat beberapa pemahaman yang kurang lengkap bahkan misleading . Misalnya, perlu adanya definisi yang lebih tegas tentang apa yang dimaksud dengan “Misi Negara”. Dalam hal ini, apakah suatu badan hukum swasta bisa menjadi penyelenggara pelayanan publik jika menjalankan Misi Negara, namun tidak mendapatkan subsidi pemerintah? Apakah penyelenggara pelayanan masyarakat dengan nilai aktiva di bawah 50 kali pendapatan per kapita nasional seperti puskesmas atau sekolah dasar tetap dikategorikan penyelenggara pelayanan publik dll? Demikian jawaban kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik 3. Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik 4. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Referensi : NIST, Special Publication 800-145, 2011 uu ite" }
{ "from": "human", "value": "Adakah aspek hukum saat menghimpun dana dari masyarakat, contohnya yang diiklankan di televisi, yaitu mengumpulkan sumbangan dan memberikannya ke masyarakat yang membutuhkan, korban bencana, dan bahkan untuk undian? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aspek Hukum Pengumpulan Uang atau Barang Guna menjawab pertanyaan Anda, kami berpedoman pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (“UU 9/1961”) . Pengumpulan uang atau barang diartikan sebagai setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian dan bidang kebudayaan . [1] Untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang tersebut, diperlukan izin lebih dahulu dari pejabat yang berwenang. [2] Izin ini diberikan kepada perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan dengan maksud yang diatur dalam Pasal 1 UU 9/1961 yang tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan. [3] Maka, izin tidak diberikan kepada individu atau perseorangan, melainkan hanya kepada perkumpulan dan/atau organisasi . Penjelasan Pasal 3 UU 9/1961 menegaskan bahwa perkumpulan dan organisasi yang terkenal baik itu, selain organisasi-organisasi yang didirikan sesuai dengan peraturan yang berlaku, juga perkumpulan sosial/amal yang dibentuk dengan cara-cara yang lazim serta oleh pemberi izin pengurusannya dianggap mempunyai nama baik dan bonafid, misalnya lembaga sosial desa, panitia-panitia dan sebagainya. Pejabat yang berwenang yang dimaksud di atas yang memberikan izin pengumpulan uang atau barang adalah: [4] Menteri Kesejahteraan Sosial , setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam seluruh wilayah negara atau melampui daerah tingkat I (provinsi) atau untuk menyelenggarakan/membantu suatu usaha sosial di luar negeri; Gubernur , kepala daerah tingkat I, setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan di dalam seluruh wilayahnya yang melampui suatu daerah tingkat II (kota/kabupaten) dalam wilayah daerah tingkat I yang bersangkutan; Bupati/Walikota , kepala daerah tingkat II, setelah mendengar pendapat panitia pertimbangan yang diangkat olehnya dan terdiri dari sekurang-kurangnya 5 orang anggota, apabila pengumpulan itu diselenggarakan dalam wilayah daerah tingkat II yang bersangkutan . Surat permohonan untuk mendapat izin menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang diajukan tidak bermeterai langsung kepada pejabat pemberi izin, dengan mencantumkan secara jelas: [5] maksud dan tujuan pengumpulan uang atau barang; cara menyelenggarakan; siapa yang menyelenggarakan; batas waktu penyelenggaraan; luasnya penyelenggaraan (wilayah, golongan); cara penyalurannya. Surat keputusan pemberian izin memuat syarat-syarat penyelenggaraan dan kewajiban penyelenggara untuk memberi pertanggungjawaban kepada pemberi izin. [6] Kemudian ada sanksi pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp10 ribu, bagi barangsiapa: [7] menyelenggarakan, menganjurkan atau membantu menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang dengan tidak mendapat izin lebih dahulu seperti dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU 9/1961; tidak memenuhi syarat-syarat dan perintah yang tercantum dalam keputusan pemberian izin; tidak menaati ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 UU 9/1961 . Tindak pidana ini dianggap sebagai pelanggaran dan uang atau barang yang diperoleh disita dan dipergunakan sedapat mungkin untuk membiayai usaha-usaha kesejahteraan yang sejenis. [8] Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Selanjutnya, kami akan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan (“PP 29/1980”) . Pengumpulan uang atau barang dalam UU 9/1961 memiliki makna yang sama dengan pengumpulan sumbangan yang berarti setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohanian, kejasmanian, pendidikan dan bidang kebudayaan. [9] Pengumpulan sumbangan dapat diselenggarakan dengan cara : [10] mengadakan pertunjukan; mengadakan bazar; penjualan barang secara lelang; penjualan kartu undangan menghadiri suatu pertunjukan; penjualan perangko amal; pengedaran daftar (les) derma; penjualan kupon-kupon sumbangan; penempatan kotak-kotak sumbangan di tempat-tempat umum; penjualan barang/bahan atau jasa dengan harga atau pembayaran yang melebihi harga yang sebenarnya; pengiriman blangko pos wesel untuk meminta sumbangan; permintaan secara langsung kepada yang bersangkutan tertulis atau lisan. Selain yang telah disebutkan di atas, jenis cara pengumpulan sumbangan lain ditetapkan oleh Menteri Sosial . [11] Izin pengumpulan sumbangan diberikan dalam bentuk surat keputusan dan untuk jangka waktu selama-lamanya 3 bulan . [12] Apabila dianggap perlu, izin dapat diperpanjang 1 kali untuk jangka waktu 1 bulan . [13] Surat keputusan izin tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara penyelenggaraan, antara lain: [14] batas wilayah; batas waktu; wajib lapor kepada kepala pemerintahan setempat, lurah, RT/RW setempat, tempat kegiatan pengumpulan sumbangan dilakukan. Namun, terdapat pengumpulan sumbangan yang tidak memerlukan izin penyelenggaraan , yaitu: [15] untuk melaksanakan kewajiban hukum agama; untuk amal peribadahan yang dilakukan khusus di tempat-tempat ibadah; untuk menjalankan hukum adat atau adat kebiasaan; dalam lingkungan suatu organisasi terhadap anggota-anggotanya. Sebagai informasi tambahan, dalam artikel Pernah Donasi di Minimarket? Ternyata, Ada Masalah , menurut pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, sudah saatnya UU 9/1961 direvisi. Pasalnya, UU 9/1961 tersebut sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian, seperti terkait wilayah, masa berlaku pemberian izin, dan teknologi. Bahkan penggalangan dana publik saat ini sudah dilakukan melalui media massa dan media sosial yang belum diatur. Pengumpulan Sumbangan dari Penyelenggaraan Undian Gratis Berhadiah Kemudian, menjawab pertanyaan Anda selanjutnya terkait menghimpun dana dari undian gratis berhadiah diatur dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Hasil Pengumpulan Sumbangan Masyarakat dari Penyelenggaraan Undian Gratis Berhadiah dalam Bentuk Uang (“Permensos 8/2019”) . Pengelolaan hasil pengumpulan sumbangan masyarakat dari penyelenggaraan undian gratis berhadiah yang diserahkan kepada Kementerian Sosial dikategorikan sebagai dana hibah langsung dalam negeri berupa uang . [16] Sumbangan masyarakat tersebut berasal dari: [17] dana usaha kesejahteraan sosial; dan hadiah tidak tertebak dan/atau hadiah tidak diambil pemenang dalam bentuk uang. Adapun dana usaha kesejahteraan sosial merupakan sumbangan dari penyelenggara undian gratis berhadiah melalui Kementerian Sosial yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan usaha kesejahteraan sosial. [18] Hadiah tidak tertebak adalah hadiah yang tidak tertebak atau tidak ada pemenangnya. [19] Hadiah tidak diambil pemenang adalah hadiah yang telah tertebak atau ada pemenangnya, tetapi tidak diklaim setelah dalam jangka waktu tertentu dan/atau tidak bisa diklaim, karena tidak sesuai ketentuan yang berlaku. [20] Pengumpulan dan penggunaan dana hibah langsung dalam negeri dalam bentuk uang, termasuk sumbangan masyarakat dari penyelenggaraan undian gratis berhadiah, dilaksanakan sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara . [21] Penyelenggaraan undian gratis berhadiah sendiri berpedoman pada Peraturan Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Undian Gratis Berhadiah yang juga harus dengan izin Menteri Sosial. Untuk memahami lebih terang mengenai penyelenggaraan undian gratis berhadiah, dapat disimak dalam artikel Izin Penyelenggaraan Undian . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Hasil Pengumpulan Sumbangan Masyarakat dari Penyelenggaraan Undian Gratis Berhadiah dalam Bentuk Uang Peraturan Menteri Sosial Nomor 12 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Undian Gratis Berhadiah [1] Pasal 1 UU 9/1961 [2] Pasal 2 ayat (1) UU 9/1961 [3] Pasal 3 UU 9/1961 [4] Pasal 4 ayat (1) UU 9/1961 [5] Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU 9/1961 [6] Pasal 5 ayat (3) UU 9/1961 [7] Pasal 8 ayat (1) UU 9/1961 [8] Pasal 8 ayat (2) dan (3) UU 9/1961 [9] Pasal 1 angka 3 PP 29/1980 [10] Pasal 5 ayat (1) PP 29/1980 [11] Pasal 5 ayat (2) jo. Pasal 1 angka 6 PP 29/1980 [12] Pasal 11 ayat (1) PP 29/1980 [13] Pasal 11 ayat (2) PP 29/1980 [14] Pasal 12 ayat (1) PP 29/1980 [15] Pasal 22 PP 29/1980 [16] Pasal 3 dan Pasal 9 ayat (1) Permensos 8/2019 [17] Pasal 7 ayat (1) Permensos 8/2019 [18] Pasal 7 ayat (2) Permensos 8/2019 [19] Pasal 1 angka 16 Permensos 8/2019 [20] Pasal 1 angka 17 Permensos 8/2019 [21] Pasal 10 Permensos 8/2019 hukumonline lembaga pemerintah" }
{ "from": "human", "value": "Perusahaan kami akan merubah logo perusahaan menjadi logo baru lebih dinamis bentuknya. Untuk merubah logo apakah perlu dituangkan dalam Anggaran Dasar perusahaan? Hal apa saja yang harus dilakukan sesuai ketentuan hukum? Mohon penjelasan." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 26 April 2011. Muatan Anggaran Dasar (AD) Kami asumsikan perusahaan yang Anda maksudkan adalah berbentuk Perseroan Terbatas (“Perseroan”). Dengan demikian, kami merujuk pada ketentuan perseroan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) . Menurut M. Yahya Harahap , dalam buku Hukum Perseroan Terbatas , AD perseroan ( Articles of Association / Incorporation ) merupakan “piagam” atau charter perseroan (hal. 192). Boleh juga dikatakan sebagai “perjanjian” yang berisi ketentuan tertulis mengenai kekuasaan dan hak-hak yang dapat dilakukan pengurus perseroan. AD merupakan dokumen yang berisi aturan internal dan pengurusan perseroan (hal. 192). Patut Anda ketahui, hal-hal apa saja yang harus dimuat dalam AD: [1] nama dan tempat kedudukan perseroan; maksud dan tujuan serta kegiatan perseroan; jangka waktu berdirinya perseroan; besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor; jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk setiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham dan nilai nominal setiap saham; nama jabatan dan jumlah anggota direksi dan dewan komisaris; penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; tata cara pengangkatan, penggantian dan pemberhentian anggota direksi dan dewan komisaris; tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen. Selain itu, AD dapat juga memuat ketentuan lain sepanjang tidak bertentangan dengan UUPT. [2] Kemudian ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dimuat dalam AD yaitu: [3] ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain. Berdasarkan ketentuan di atas, logo perusahaan tidaklah wajib dicantumkan dalam AD. Jadi, mengenai perubahan logo perusahaan tidak perlu dicantumkan dalam AD, kecuali jika AD memang mencantumkan keterangan logo sejak awal atau perusahaan bermaksud akan mencantumkannya. Perubahan Logo Perusahaan Perlu dilihat dulu apakah logo tersebut juga dipergunakan sebagai merek produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan atau tidak. Jika tidak, maka perubahan logo itu tidak perlu didaftarkan, karena dalam artikel Prosedur Pendaftaran Logo Perusahaan , logo yang biasanya berupa gambar merupakan suatu ciptaan yang dilindungi , yang merupakan hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif, sehingga tak memerlukan pendaftaran kecuali dirasakan perlu . [4] Adapun mengubah ciptaan merupakan bagian dari hak moral yang melekat secara abadi pada diri pencipta. [5] Namun, patut Anda catat bahwa pencatatan ciptaan pun tidak dapat dilakukan terhadap seni lukis yang berupa logo atau tanda pembeda yang digunakan sebagai merek dalam perdagangan barang/jasa atau digunakan sebagai lambang organisasi, badan usaha, atau badan hukum . [6] Lebih lanjut, untuk logo yang digunakan sebagai merek produk barang dan/jasa ketentuannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (“UUMIG”) . Pengertian merek menurut Pasal 1 angka 1 UUMIG adalah: Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo , nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa . Baca juga: Proses Pendaftaran Merek dan Gugatan Pembatalannya Sepanjang penelusuran kami, tidak diatur secara spesifik mengenai tata cara perubahan logo yang juga dijadikan merek produk dalam UUMIG. Jadi, menurut hemat kami, logo yang sekaligus digunakan sebagai merek apabila diubah harus didaftarkan kembali. Kami menyarankan Anda untuk mendaftarkan perubahan tersebut melalui tahapan pendaftaran merek. Sebagai referensi, berdasarkan laman Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan HAM , Anda dapat merujuk pada artikel Panduan Penggunaan Permohonan Kekayaan Intelektual Online untuk panduan pendaftaran merek dan untuk tarif pendaftaran merek, silakan merujuk pada artikel PNBP Merek Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2019 . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Baca juga: Proses Pendaftaran Merek Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis Referensi : M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika, 2016; Panduan Penggunaan Permohonan Kekayaan Intelektual Online , diakses pada 23 Juli 2020, pukul 16.00 WIB; PNBP Merek Berdasarkan PP No. 28 Tahun 2019 , diakses pada 23 Juli 2020, pukul 16.05 WIB. [1] Pasal 15 ayat (1) UUPT [2] Pasal 15 ayat (2) UUPT [3] Pasal 15 ayat (3) UUPT [4] Pasal 1 angka 1 jo. Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf f UUHC [5] Pasal 5 ayat (1) UUHC [6] Pasal 65 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) hak cipta hukumonline kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Apa jerat hukum bagi penyedia surat keterangan dokter palsu bagi orang-orang yang ingin berpergian di tengah wabah COVID-19?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemalsuan Surat Secara Umum Tindak pidana pemalsuan surat secara umum diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) , yang berbunyi: Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun . Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian. Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 195), yang diartikan dengan surat dalam Pasal 263 KUHP adalah segala surat, baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik, dan lainnya. Surat palsu tersebut harus suatu surat yang (hal. 195): dapat menerbitkan suatu hak, misalnya ijazah, karcis tanda masuk, dan lain-lain; dapat menerbitkan suatu perjanjian, misalnya surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dan sebagainya; dapat menerbitkan suatu pembebasan utang, misalnya kuitansi atau surat semacam itu; atau suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa, misalnya surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dan masih banyak lagi . Perbuatan yang diancam hukuman di sini adalah membuat surat palsu atau memalsukan surat (hal. 195). Lebih lanjut, R. Soesilo menegaskan bahwa (hal. 195 – 196) memalsukan surat diartikan sebagai mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli. Caranya bermacam-macam, termasuk mengurangi, menambah, mengubah sesuatu dari surat itu, atau memalsu tanda tangan . Perbuatan memalsukan surat tersebut harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu . Penggunaan surat palsu itu harus mendatangkan kerugian . Kerugian yang dimaksud tidak perlu sudah ada . Baru kemungkinan saja akan adanya kerugian sudah cukup diartikan sebagai kerugian. Pemalsuan Surat Keterangan Dokter Secara spesifik, bagi pihak-pihak yang menyediakan surat keterangan dokter palsu untuk diperjualbelikan kepada orang-orang yang ingin berpergian di tengah wabah COVID-19, dapat dijerat sanksi pidana berdasarkan Pasal 268 KUHP: Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan dokter tentang ada atau tidak adanya penyakit, kelemahan atau cacat, dengan maksud untuk menyesatkan penguasa umum atau penanggung , diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud yang sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu . Berdasarkan ketentuan tersebut, baik pembuat surat maupun konsumen yang menggunakan surat tersebut agar dapat lolos pemeriksaan untuk bepergian di tengah wabah COVID-19, dapat dijerat pidana . Jika pemalsuan tersebut dilakukan oleh oknum dokter, maka oknum tersebut dapat dijerat sanksi pidana berdasarkan Pasal 267 ayat (1) KUHP dan dijerat sanksi hukum lain sebagaimana diterangkan dalam artikel Pidana Bagi Dokter yang Membuat Surat Keterangan Sakit Palsu . Pasal 267 ayat (1) KUHP selengkapnya berbunyi: Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun . Jual Beli Surat Keterangan Dokter Palsu Menurut hemat kami, selain dikenai tindak pidana pemalsuan, pihak yang sekadar menjual dan tidak membuat surat palsu juga dapat dijerat dengan tindak pidana penadahan dalam Pasal 480 KUHP jo. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP , yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus ribu rupiah: barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan; barang siapa menarik keuntungan dari hasil sesuatu benda, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan. Terkait Pasal 480 KUHP ini, masih menurut R. Soesilo (hal. 314): Yang dinamakan “ sekongkol ” atau biasa disebut pula “ tadah ” itu sebenarnya hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini. Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian: Membeli, menyewa, dan sebagainya. (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya diperoleh karena kejahatan. Misalnya A membeli sebuah arloji dari B yang diketahuinya bahwa barang itu asal dari curian. Di sini tidak perlu dibuktikan, bahwa A dengan membeli arloji itu hendak mencari untung. Menjual , menukarkan, menggadaikan dan sebagainya. (dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan . Misalnya A yang mengetahui, bahwa arloji berasal dari barang curian, disuruh B (pemegang arloji itu) menggadaikan arloji itu ke rumah gadai dengan menerima upah. Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu berasal dari kejahatan. Di sini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”. Dengan demikian, menurut hemat kami, dengan menjual surat keterangan palsu tersebut, pelaku dapat dikategorikan sebagai penadah surat keterangan dokter palsu yang digunakan untuk bepergian di tengah wabah COVID-19. Baca juga: Kriteria Seorang Penadah Contoh Kasus Terkait Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 145/PID.B/2015/PN Cms menggambarkan bahwa berdasarkan fakta hukum di persidangan dan dihubungkan dengan pengertian unsur Pasal 263 ayat (2) KUHP, Terdakwa telah dengan sengaja memakai surat palsu , berupa tiket pertandingan Persib Bandung melawan Persebaya pada Minggu, 22 Maret 2015. Perbuatan Terdakwa menimbulkan kerugian, baik kepada pembeli tiket maupun panitia pertandingan (hal. 16 – 17). Ketika mendapatkan tiket/karcis tersebut, Terdakwa telah mengetahui bahwa tiket/karcis tersebut adalah palsu (hal. 17). Terdakwa sendiri mengambil tiket/karcis tersebut dari pihak lain. Pihak tersebut juga telah mengatakan kepada Terdakwa tentang kepalsuan tiket/karcis tersebut, namun Terdakwa tetap menjual tiket/karcis tersebut (hal. 14). Dalam putusannya, Pengadilan menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menggunakan surat palsu” dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 10 bulan (hal. 19) Dari putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penjual surat palsu dikategorikan juga sebagai pengguna surat palsu ketika menggunakan surat tersebut seolah-olah asli, sehingga merugikan pihak lain. Kami telah mengkompilasi berbagai topik hukum yang sering ditanyakan mengenai dampak wabah COVID-19 terhadap kehidupan sehari-hari mulai dari kesehatan, bisnis, ketenagakerjaan, profesi, pelayanan publik, dan lain-lain. Informasi ini dapat Anda dapatkan di tautan berikut covid19.hukumonline.com . Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP Putusan : Putusan Pengadilan Negeri Ciamis Nomor 145/PID.B/2015/PN Cms . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal . Bogor: Politeia. 1991. kesehatan covid-19 hukumonline google sikm corona palsu pemalsuan dokter pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perjanjian sewa menyewa rahim tidak diperbolehkan di Indonesia? Salah seorang saudara saya berniat untuk melakukan perjanjian sewa menyewa rahim dengan seseorang namun khawatir dengan ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, upaya hukum apa yang dapat dilakukan apabila Ibu Pengganti tersebut berniat untuk tidak menyerahkan bayi hasil pembuahan saudara saya dengan pasangannya tersebut? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan Surrogate Mother (Ibu Pengganti) yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Senin, 09 Agustus 2010. Intisari: Yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal . Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan , termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia. Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. Sedangkan, praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Surrogate mother , menurut Black's Law Dictionary 9 th Edition adalah: 1. A woman who carries out the gestational function and gives birth to a child for another; esp. a woman who agrees to provide her uterus to carry an embryo throughout pregnancy, typically on behalf of an infertile couple, and who relinquishes any parental rights she may have upon the birth of the child. 2. A person who performs the role of a mother. Kami asumsikan yang Anda maksudkan dengan surrogate mother adalah definisi pertama dalam Black's Law Dictionary , yaitu a woman who carries out the gestational function and gives birth to a child for another. Selain itu, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim , merujuk pada penjelasan Dr. H. Desriza Ratman, MH.Kes dalam bukunya “ Surrogate Mother dalam Perspektif Etika dan Hukum: Bolehkah Sewa Rahim di Indonesia?” , surrogate mother adalah perjanjian antara seorang wanita yang mengikatkan diri melalui suatu perjanjian dengan pihak lain (suami-isteri) untuk menjadi hamil terhadap hasil pembuahan suami isteri tersebut yang ditanamkan ke dalam rahimnya, dan setelah melahirkan diharuskan menyerahkan bayi tersebut kepada pihak suami isteri berdasarkan perjanjian yang dibuat . Perjanjian ini lazim disebut gestational agreement (hal. 3). Intinya, surrogate mother adalah perempuan yang menampung pembuahan suami isteri dan diharapkan melahirkan anak hasil pembuahan. Dalam bahasa sederhana berarti ‘ibu pengganti’ atau ‘ibu wali’ (hal. 35). Dari sisi hukum, perempuan penampung pembuahan dianggap ‘menyewakan’ rahimnya . Praktik surrogate mother atau lazim diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan ibu pengganti tergolong metode atau upaya kehamilan di luar cara yang alamiah. Dalam hukum Indonesia, praktik ibu pengganti secara implisit tidak diperbolehkan. Dalam Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) diatur bahwa upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal ; dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu; pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu. Jadi, yang diperbolehkan oleh hukum Indonesia adalah metode pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang sah yang ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal . Metode ini dikenal dengan metode bayi tabung. Adapun metode atau upaya kehamilan di luar cara alamiah selain yang diatur dalam Pasal 127 UU Kesehatan, termasuk ibu pengganti atau sewa menyewa/penitipan rahim, secara hukum tidak dapat dilakukan di Indonesia . Sebagai informasi tambahan, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Status Hukum Anak Hasil Sewa Rahim , dalam buku Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 3 , ulama besar Mesir Dr. Yusuf Qaradhawi antara lain menulis bahwa semua ahli fiqih tidak membolehkan penyewaan rahim dalam berbagai bentuknya (hal. 660). Menurutnya, para ahli fiqih dan para pakar dari bidang kedokteran telah mengeluarkan fatwa yang membolehkan suami-istri atau salah satunya untuk memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan demi membantu mereka mewujudkan kelahiran anak. Namun, mereka syaratkan spermanya harus milik sang suami dan sel telur milik sang istri, tidak ada pihak ketiga di antara mereka . Misalnya, dalam masalah bayi tabung. Seperti telah kami jelaskan di atas, praktik ibu pengganti atau sewa menyewa rahim belum diatur di Indonesia. Oleh karena itu, tidak ada perlindungan hukum bagi para pelaku perjanjian ibu pengganti ataupun sewa menyewa rahim. Dalam Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) memang diatur mengenai kebebasan berkontrak, di mana para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isi dan bagaimanapun bentuknya: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Akan tetapi, asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu: Kesepakatan para pihak; Kecakapan para pihak; Mengenai suatu hal tertentu; dan Sebab yang halal. Berdasarkan uraian di atas, salah satu syarat sahnya perjanjian adalah harus memiliki sebab yang halal, yaitu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum. [1] Sedangkan, seperti dijelaskan di atas, praktik ibu pengganti bukan merupakan upaya kehamilan yang ”dapat dilakukan” menurut UU Kesehatan. Dengan demikian syarat sebab yang halal ini tidak terpenuhi. Dalam konteks masalah yang Anda tanyakan, tidak dipenuhinya syarat yang menyangkut syarat yang melekat pada objek perjanjian (sebab yang halal) bisa berakibat antara lain: menjadi dasar atau alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut kebatalan demi hukum perjanjian tersebut karena perjanjian tidak memenuhi syarat sebab atau kausa yang halal, dan tidak ada landasan hukum bagi saudara Anda untuk menuntut si ibu pengganti dalam hal ia tidak mau menyerahkan bayi yang dititipkan dalam rahimnya tersebut. Hal lain yang penting diperhatikan dalam masalah ini adalah hak-hak anak yang terlahir dari ibu pengganti tidak boleh terabaikan, khususnya hak identitas diri yang dituangkan dalam akta kelahiran. Ini diatur dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: Identitas diri setiap Anak harus diberikan sejak kelahirannya. Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran. Pembuatan akta kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Dalam hal Anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan Orang Tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk Anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan kepolisian. Apabila terjadi perselisihan antara saudara Anda dengan si ibu pengganti, maka penyelesaiannya harus mengedepankan prinsip kepentingan terbaik bagi si anak . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan [1] Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata hukumonline hukum klinik klinik hukumonline keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan tentang maraknya aktifitas mengunduh lagu yang biasanya dalam format MP3 dengan memanfaatkan fasilitas internet. Apabila dilihat dari sisi pelaku download/downloader: 1) Dapatkah dikatakan bahwa pelaku telah melakukan pelanggaran Hak Cipta? 2) Unsur-unsur pelanggaran apakah dari perbuatan tersebut yang berkaitan dengan hukum Hak Cipta? 3). Musik merupakan objek komersial, penghasilan seorang pencipta musik mungkin biasa disebut royalti. Seorang yang mendownload lagu lewat internet dapat dikatakan sebagai mengkonsumsi suatu barang komersial. Jika hal ini dihubungkan dengan ketentuan hukum perlindungan konsumen sesungguhnya dia wajib membayar harga atas barang yang dikonsumsinya. Dapatkah hal ini dituntutkan kepada downloader sebagai pihak yang telah melakukan pelanggaran karena tidak adanya niat baik dan tidak membayar? 4) Secara perdata, apakah hal ini dapat dituntut sebagai perbuatan melawan hukum karena telah melanggar kepentingan dan hak “ekonomi” orang lain? 5) Secara pidana, apakah yang bisa dituduhkan kepadanya? Terima kasih sebelumnya atas pencerahannya. Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ Aspek hukum unduh lagu di internet ” yang dibuat oleh Alfi Renata, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 09 Februari 2010. Intisari : Perbuatan mengunduh ( download ) lagu berformat mp3 melalui internet jika tujuannya untuk disebarluaskan atau untuk kepentingan komersial, maka hal tersebut termasuk pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur Pasal 113 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang dapat diancam pidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) . Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai sebagai pelanggaran hak cipta apabila perbuatan tersebut melanggar hak eksklusif dari pencipta atau pemegang hak cipta. Hak cipta merupakan hak eksklusif yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. [1] Di dalam P enjelasan Pasal 4 UU Hak Cipta tersebut dijelaskan: Yang dimaksud dengan \"hak eksklusif\" adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi Pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin Pencipta. Pemegang Hak Cipta yang bukan Pencipta hanya memiliki sebagian dari hak eksklusif berupa hak ekonomi. Lagu dan/atau musik merupakan salah satu ciptaan yaang dilindungi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta . Pelindungan hak cipta atas ciptaan berupa lagu atau musik dengan atau tanpa teks berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. [2] Sedangkan untuk pelindungan hak cipta atas ciptaan ciptaan berupa lagu atau musik yang dimiliki atau dipegang oleh badan hukum berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali dilakukan Pengumuman. [3] Mengenai kegiatan mengunduh ( download ), definisi mengunduh ( download ) secara eksplisit tidak diatur dalam UU Hak Cipta, tetapi jika kita merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia , yang diakses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengunduh diartikan sebagai: memanen (buah); mengopi berkas dari layanan informasi daring atau dari komputer lain ke komputer yang digunakan. Kemudian perbuatan mengunduh ( download) lagu berformat mp3 dari internet tentunya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam hal penggandaan suatu ciptaan. Berikut penjelasannya: P enggandaan adalah proses, perbuatan, atau cara menggandakan satu salinan ciptaan dan/atau fonogram atau lebih dengan cara dan dalam bentuk apapun, secara permanen atau sementara. [4] Perlu diketahui bahawa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi (dalam hal ini melakukan penggandaan) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Kemudian setiap orang dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta. [5] Oleh karena itu, perbuatan mengunduh ( download) lagu berformat mp3 dari internet tentunya dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dalam hal penggandaan suatu ciptaan jika memenuhi unsur dalam Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta sebagai berikut: Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b , huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 9 ayat (1) huruf b mengatur mengenai hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta untuk melakukan penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya. Selain itu, perbuatan mengunduh ( download ) lagu berformat mp3 melalui internet jika tujuannya untuk disebarluaskan atau untuk kepentingan komersial, maka hal tersebut termasuk pelanggaran hak cipta sebagaimana diatur Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta yang mengatur mengenai pembajakan sebagai berikut: Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan , dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Demikian pula, jika perbuatan mengunduh lagu mp3 tujuannya adalah untuk dinikmati/kepentingan sendiri, maka perbuatan tersebut juga dapat dikategorikan pelanggaran hak cipta apabila “bertentangan dengan kepentingan ekonomi yang wajar” dari pencipta atau pemegang hak cipta. [6] Apa yang dimaksud dengan ‘kepentingan ekonomi yang wajar’ itu? Silakan simak Arti 'Kepentingan yang Wajar' dalam UU Hak Cipta . Unsur-unsur pelanggaran hak cipta dalam Pasal 113 ayat (4) UU Hak Cipta adalah sebagai berikut: Setiap orang Setiap orang disini berarti siapapun, sehingga dapat ditujukan kepada siapa saja, dalam hal ini adalah pengunduh ( downloader ). Pengunduh yang telah dapat dimintai pertanggungjawaban dan tidak dapat dikenakan alasan pemaaf atau penghapus pidana memenuhi unsur “setiap orang”. Memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Ayat (3) tersebut merujuk kepada Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta yang mana adalah perbuatan pelanggaran hak ekonomi pencipta, dalam kasus ini adalah penggandaan untuk penggunaan secara komersial. yang dilakukan dalam bentuk pembajakan Pembajakan sendiri diartikan sebagai penggandaan ciptaan dan/atau produk hak terkait secara tidak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan dimaksud secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi. [7] Pengunduh dapat dikatakan melakukan pelanggaran hak cipta adalah apabila memenuhi unsur-unsur pelanggaran hak cipta sebagaimana tersebut di atas dengan melakukan pengunduhan lagu-lagu melalui fasilitas internet. Apabila tidak memenuhi salah satu unsur saja, maka tidak dapat dikatakan bahwa pelaku telah melakukan pelanggaran hak cipta. Berkaitan dengan pertanyaan ketiga Anda, apakah pelanggar hak ekonomi (penggandaan lagu dengan men-download lagu) bisa dimintakan bayaran royalti ? Royalti merupakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi suatu ciptaan atau produk hak terkait yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. [8] Para pengguna yang wajib meminta izin dan membayar royalti adalah pihak-pihak yang memperdengarkan lagu-lagu dan mempertunjukkan lagu dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial. [9] Royalti tersebut dibayarkan kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif. [10] Apabila suatu karya cipta digunakan untuk kepentingan sendiri tidak ada kewajiban untuk membayar royalti. Yang dapat dituntut dalam hal ini adalah pembayaran atas produk karya, bukan atas hak cipta, sehingga tidak terkait dengan royalti. Apakah perbuatan mengunduh lagu sebagai pelanggaran hak ekonomi pencipta dapat digugat perdata karena pebuatan melawan hukum? Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) . Unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah: adanya perbuatan; perbuatan tersebut melawan hukum; adanya kerugian; adanya kesalahan; dan adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan akibat/kerugian yang ditimbulkan. Melawan hukum adalah melanggar hak subjektif orang lain. Mengunduh lagu-lagu melalui internet dapat dikatakan melanggar hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta yang memiliki hak eksklusif untuk mengeksploitasi hal-hak ekonomi yang terkandung dalam suatu hak cipta. Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur mengenai perbuatan melawan hukum adalah pasal yang bersifat umum dan setiap orang dapat saja menggunakan pasal ini untuk menuntut seseorang yang dianggap telah melakukan perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi dirinya, termasuk perbuatan mengunduh lagu-lagu yang dilakukan oleh pengunduh. Namun demikian, UU Hak Cipta telah mengatur mengenai gugatan ganti rugi bagi pelanggaran Hak Cipta. Gugatan ganti rugi dapat diajukan oleh pencipta atau pemegang hak cipta kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak cipta atau produk hak terkait, berdasarkan ketentuan Pasal 99 ayat (1) UU Hak Cipta . Sebagaimana telah dijabarkan di atas, pelanggar hak cipta dapat dikenai pidana berdasarkan Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta yaitu dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar ataupun berdasarkan Pasal 113 ayat (4) UU hak Cipta dengan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4 miliar. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada 27 November 2018, pukul 16.30 WIB. [1] Pasal 4 UU Hak Cipta [2] Pasal 58 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU Hak Cipta [3] Pasal 58 ayat (3) UU Hak Cipta [4] Pasal 1 angka 12 UU Hak Cipta [5] Pasal 9 ayat (2) dan (3) UU Hak Cipta [6] Pasal 46 ayat (2) huruf e UU Hak Cipta [7] Pasal 1 angka 23 UU Hak Cipta [8] Pasal 1 angka 21 UU Hak Cipta [9] Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2) UU Hak Cipta [10] Pasal 87 ayat (2) UU Hak Cipta royalti hukumonline hak cipta haki internasional kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Jika saya membeli lagu asli di internet, dan kemudian saya mengunggahnya (upload) ke sebuah situs, dan user lain dapat mendengar di situs tersebut. Tapi, tidak disediakan fitur untuk mengunduh (download) kembali (memperbanyak). Apakah pengunggah dan pendengar termasuk melanggar hukum? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Try Indriadi, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Rabu, 11 April 2012. KLINIK TERKAIT Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum 28 Feb 2023 Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK? 09 Jul 2021 Apakah Lembaga Manajemen Kolektif Dibenarkan Secara Hukum? 21 Nov 2018 Apakah Melanggar Hukum Jika Mengubah Bentuk Kaset Menjadi MP3? 19 Nov 2018 Intisari: Jika pengunggahan lagu ke suatu situs itu dilakukan tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan dilakukan untuk penggunaan secara komersial, maka perbuatan tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak cipta dan ada ancaman pidananya. Hal ini menyangkut pelanggaran hak ekonomi yang dimiliki oleh Pencipta atau Pemegang Hak Cipta. Bagaimana dengan pendengar lagu? Dapatkah dipidana? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Cipta Hak atas suatu ciptaan (dalam hal ini lagu) disebut sebagai hak cipta. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”) berbunyi: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks merupakan ciptaan yang dilindungi oleh UU Hak Cipta. [1] Hak cipta atas lagu itu lahir secara otomatis setelah lagu diciptakan dalam bentuk nyata. Untuk mengetahui atau membuktikan apakah perbuatan mengunggah lagu ke suatu situs atau laman internet itu melanggar hak cipta atau tidak, ada ketentuan-ketentuan hukum yang harus diperhatikan, berikut uraiannya: Perbuatan Mengunggah Lagu ke Internet Perbuatan mengunggah lagu di suatu situs atau laman internet dinamakan pengumuman . Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran , pameran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun baik elektronik atau non elektronik atau melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar , atau dilihat orang lain. [2] Perbuatan pengumuman ini akan terkait dengan Hak Cipta yang terdiri atas hak moral dan hak ekonomi. [3] Hak Ekonomi Hak ekonomi merupakan hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan. [4] Hak ekonomi itu tersebut adalah hak untuk melakukan: [5] a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan ; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan. Setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi itu wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta . [6] Dengan kata lain, menjawab pertanyaan Anda, tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta, pengumuman ciptaan dalam bentuk pengunggahan lagu ke suatu situs itu merupakan bentuk pelanggaran hak cipta. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi, melakukan pengumuman ciptaan untuk Penggunaan Secara Komersial diancam pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. [7] Yang dimaksud dengan Penggunaan Secara Komersial adalah pemanfaatan Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar. [8] Hak Moral Selain itu, Anda juga harus memperhatikan hak moral yang melekat secara abadi pada diri Pencipta. [9] Salah satu bentuk hak moral adalah tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan nama pencipta pada salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum. [10] Untuk melindungi hak moral, pencipta dapat memiliki informasi elektronik hak cipta yang antara lain meliputi informasi tentang suatu Ciptaan, yang muncul dan melekat secara elektronik dalam hubungan dengan kegiatan Pengumuman Ciptaan . [11] Informasi elektronik Hak Cipta yang dimiliki Pencipta ini dilarang dihilangkan, diubah, atau dirusak . [12] Sehingga, perbuatan mengunggah lagu ke internet harus dilakukan dengan memberikan informasi tentang lagu tersebut, di antaranya mencantumkan nama penciptanya dan tidak boleh untuk tujuan komersial sebagaimana telah diuraikan di atas. Jika pengunggah lagu itu tidak memberikan informasi elektronik tentang lagu (ciptaan tersebut) dan untuk Penggunaan Secara Komersial, maka ia diancam pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300 juta. [13] Jadi, perbuatan yang Anda lakukan dapat dikatakan pelanggaran hak cipta atas lagu dan dapat dikenai pidana, dengan catatan , pengunggahan lagu itu dilakukan tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dan dilakukan untuk penggunaan secara komersial (baik Anda mendapatkan keuntungan ekonomi secara langsung atau tidak langsung, misalnya dari banyaknya klik pada file yang Anda unggah). Sedangkan, orang yang mendengarkan lagu yang Anda unggah, dan tidak diberikan fasilitas untuk mengunduh, tidak dapat dikatakan melanggar hak cipta. Sebagai referensi, Anda dapat juga membaca artikel Apakah File Sharing Melanggar Hak Cipta? . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta . [1] Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta [2] Pasal 1 angka 11 UU Hak Cipta [3] Pasal 4 UU Hak Cipta [4] Pasal 8 UU Hak Cipta [5] Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta [6] Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta [7] Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta [8] Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta [9] Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta [10] Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta [11] Pasal 7 ayat (2) huruf a jo. Pasal 6 huruf b jo. Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta [12] Pasal 7 ayat (3) UU Hak Cipta [13] Pasal 112 UU Hak Cipta kekayaan intelektual hukumonline hukum klinik klinik hukumonline hak kekayaan intelektual" }
{ "from": "human", "value": "Belakangan ini viral kasus tindak pidana bullying di salah satu sekolah di Serpong, Indonesia. Menurut berita yang beredar, kasus bullying di Serpong libatkan anak artis, dan korban sampai masuk RS. Pertanyaan saya:\n\nLebih condong ke ranah hukum manakah bullying terhadap anak? Pidana atau Perdata? Jika bullying adalah tindak pidana, apa ancaman pidana bullying?\nBagaimana peran negara, masyarakat, dan keluarga/orang tua dalam mengatasi bullying ditinjau dari UU Perlindungan Anak?" }
{ "from": "gpt", "value": "Apa itu bullying? Secara umum, tindak pidana bullying atau perundungan identik dikenal sebagai tindakan kekerasan terhadap anak yang terjadi di sekolah. Dalam hal bullying terjadi di sekolah, bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara berulang-ulang oleh seseorang/sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan, terhadap siswa/siswi lain yang lebih lemah, dengan tujuan menyakiti orang tersebut.[1]\nSecara yuridis, berdasarkan Pasal 1 angka 16 UU 35/2014, kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang akibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.\n\nPasal terkait pada dasarnya tidak memberikan batasan mengenai perbuatan apa saja yang tergolong sebagai kekerasan, namun apabila perbuatan tersebut menimbulkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, atau seksual terhadap anak, maka dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan.\nBentuk-bentuk Bullying\n\nMenurut Antonius P.S. Wibowo dalam bukunya yang berjudul Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah (hal. 9), bullying setidaknya meliputi 5 kategori sebagai berikut:\n\nFisik: memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, juga termasuk memeras dan merusak barang-barang yang dimiliki orang lain.Verbal: mengancam, mempermalukan, merendahkan, mengganggu, memberi panggilan nama (name-calling), sarkasme, merendahkan (put-downs), mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, menyebarkan gosip.Perilaku non-verbal langsung: menempelkan ekspresi muka yang merendahkan, mengejek, atau mengancam (biasanya disertai oleh bullying fisik atau verbal).Perilaku non-verbal tidak langsung: mendiamkan seseorang, memanipulasi persahabatan sehingga menjadi retak, sengaja mengucilkan atau mengabaikan, mengirimkan surat kaleng.Pelecehan seksual: kadang dikategorikan perilaku agresi fisik atau verbal.\n\nSedangkan menurut Colorasi, bentuk-bentuk bullying terhadap anak di sekolah dibagi menjadi 4 jenis yaitu:[2]\n\nBullying fisik;Bullying verbal;Bullying relasional, yaitu tindakan yang melemahkan harga diri si korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran; danCyber bullying, yaitu tindakan bullying yang dilakukan seiring dengan berkembangnya teknologi pada platform internet dan media sosial. Pada intinya, korban terus menerus mendapatkan pesan negatif dari pelaku bullying baik dari SMS, pesan di internet dan media sosial lainnya.\n\nBaca juga: Jerat Pasal Bullying di Sekolah\nAspek Pidana Bullying Terhadap Anak\n\nMengingat bullying merupakan tindakan kekerasan terhadap anak, maka berdasarkan pengaturan dalam UU Perlindungan Anak dan perubahannya, bullying termasuk sebagai tindak pidana. Pada dasarnya, bullying fisik maupun verbal diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:\n\nSetiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.\n\nSelanjutnya, jika larangan di atas dilanggar, pelaku bisa dijerat Pasal 80 UU 35/2014, yaitu:\n\nSetiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.\n\nBaca juga: Bunyi Pasal 76C UU 35/2014 tentang Bullying Anak\n\nPasal 54 UU 35/2014 juga mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindak kekerasan di sekolah, sebagai berikut:\n\nAnak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.\n\nLebih lanjut, jika bullying terhadap Anak dilakukan melalui media sosial, maka hukum pidana bullying merujuk pada Pasal 27A UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Pada prinsipnya, menyerang kehormatan/nama baik seseorang termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang berbunyi:\n\nSetiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.\n\nKemudian, orang yang melanggar Pasal 27A UU 1/2024 berpotensi dipidana penjara maksimal 2 tahun, dan/atau denda maksimal Rp400 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024.\n\nLalu, perlu dicatat bahwa bullying berupa menghina dengan ucapan kata-kata kasar seperti makian, cacian, dan/atau kata-kata tidak pantas, sekalipun dilakukan melalui sistem elektronik atau medsos, pelaku juga dapat dijerat dengan pasal tindak pidana penghinaan ringan yang diatur dalam Pasal 315 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ancaman Pidana Bagi Netizen yang Berkomentar Body Shaming.\nPasal 315 KUHPPasal 436 UU 1/2023Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[4]Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5]\n\nPenjelasan selengkapnya mengenai Pasal 27A UU 1/2024, Pasal 315 KUHP, dan Pasal 436 UU 1/2023 dapat Anda baca pada artikel Jerat Pasal Pelaku Bullying di Media Sosial menurut UU ITE 2024.\nAspek Perdata Bullying Terhadap Anak\n\nDi sisi lain, UU Perlindungan Anak dan perubahannya juga memiliki aspek perdata yaitu diberikannya hak kepada anak korban kekerasan (bullying) untuk menuntut ganti rugi materiil/immateriil terhadap pelaku kekerasan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 71D ayat (1) UU 35/2014:\n\nSetiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.\n\nAdapun menurut Pasal 59 ayat (2) huruf i UU 35/2014 , perlindungan khusus kepada anak diberikan kepada anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis.\n\nBaca juga: Tata Cara Permohonan Restitusi dan Kompensasi untuk Korban Tindak Pidana\n\nAtau secara umum, bisa juga mengajukan gugatan perdata untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku bullying atas dasar telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) menggunakan Pasal 1365 KUH Perdata. Selengkapnya mengenai PMH dalam hukum perdata dapat Anda baca pada artikel Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dalam Hukum Perdata dan Pidana dan Apa itu Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata?\n\nBerdasarkan uraian di atas, dapat kami simpulkan bahwa dari perspektif UU Perlindungan Anak dan perubahannya, bullying terhadap anak memiliki dua aspek hukum baik pidana maupun perdata.\n\nUntuk mengetahui bentuk dari ganti rugi tersebut, Anda dapat simak artikel Contoh Perbuatan Melawan Hukum dan Dasar Gugatannya.\nPeran Negara, Masyarakat, dan Keluarga\nPada prinsipnya, seluruh elemen masyarakat baik negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali, berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.[6]\n\nTerkait dengan pihak yang bertanggung jawab, dapat dilihat dalam beberapa pasal sebagai berikut:\n\nKewajiban dan Tanggung Jawab Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah\n\nMenurut Pasal 21 ayat (1) UU 35/2014, negara, pemerintah, dan pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental. Untuk menjamin pemenuhan hak anak tersebut, pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak.[7] Kebijakan tersebut dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak.[8]\n\nBerkaitan dengan kewajiban dan tanggung jawab negara dalam melindungi hak anak, dapat Anda temukan dalam Pasal 21 s.d. Pasal 24 UU 35/2014.\n\nKewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat\n\nKewajiban masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak, sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU 35/2014. Lalu, Pasal 72 ayat (3) UU 35/2014 menambahkan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak dapat dilakukan dengan cara:\n\nmemberikan informasi melalui sosialisasi dan edukasi mengenai hak anak dan peraturan perundang-undangan tentang anak;memberikan masukan dalam perumusan kebijakan yang terkait perlindungan anak;melaporkan kepada pihak berwenang jika terjadi pelanggaran hak anak, dan lain-lain.\nKewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga/Orang Tua\n\nMenurut Pasal 26 ayat (1) UU 35/2014, orang tua dari anak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi yaitu:\n\nmengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak; danmemberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.\n\nDalam hal tidak adanya keberadaan dari orang tua, tidak diketahui keberadaannya, ataupun karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawabnya dapat beralih kepada keluarga yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[9]\n\nBerdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semua pihak baik keluarga, masyarakat hingga negara memegang peran dan tanggung jawabnya masing-masing guna memberikan perlindungan anak dan menjamin terpenuhinya hak asasi anak.\nBaca juga: Tanggung Jawab Sekolah Terhadap Tindakan Bullying\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHP)\n2. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/27912/nprt/1011/uu-no-11-tahun-2008-informasi-dan-transaksi-elektronik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_ite)\n4. [Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584a7363785c8?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_19_2016)\n5. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65961ed500cf3/undang-undang-nomor-1-tahun-2024/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_2024)\n6. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17453/undangundang-nomor-23-tahun-2002?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_perlindungan_anak)\n7. [Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt548fdfd3a87d2/undang-undang-nomor-35-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_35_2014)\n8. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5746a3e8d6d80/nprt/lt51f1152a8fbb3/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-1-tahun-2016?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_1_2016)\n9. [Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt584786efd1075?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_17_2016)\n10. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b3943c53853/undang-undang-nomor-1-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_1_2023)\n11. [Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4f4df95a89a5f/peraturan-mahkamah-agung-nomor-2-tahun-2012?r=0&p=1&q=Peraturan%20Mahkamah%20Agung%20Nomor%202%20Tahun%202012&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perma_2_2012)\nREFERENSI:\n1. Antonius P.S. Wibowo. Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019\n2. Ela Zain Zakiyah, (et.al). Faktor yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM, Vol. 4, No. 2, 2017.\n\n[1] Antonius P.S. Wibowo. Penerapan Hukum Pidana dalam Penanganan Bullying di Sekolah. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, 2019, hal. 9[2] Ela Zain Zakiyah, (et.al). Faktor yang Mempengaruhi Remaja Dalam Melakukan Bullying. Jurnal Penelitian & PPM, Vol. 4, No. 2, 2017, hal. 328[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)[4] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP[5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023[6] Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak  (“UU 35/2014”)[7] Pasal 21 ayat (3) UU 35/2014[8] Pasal 21 ayat (5) UU 35/2014[9] Pasal 26 ayat (2) UU 35/2014" }
{ "from": "human", "value": "Saya pernah ikut asuransi pendidikan untuk anak saya. Preminya Rp500 ribu per bulan. Suatu ketika saya sangat butuh dana segar dan saya mencairkan asuransi tersebut yang saya ikuti selama 4 tahun. Ternyata yang cair hanya Rp2.5 juta. Ternyata oleh agen asuransi dibagi menjadi dana pendidikan, asuransi kesehatan, dan investasi. Saya merasa dirugikan. Apakah saya bisa mengajukan pengembalian premi yang saya bayarkan tersebut selama 4 tahun itu secara penuh 100%?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITHukumnya Perusahaan Asuransi Transfer Data Pribadi Tanpa Izin18 Okt 2022Dapatkah Anak Klaim Asuransi Jiwa Jika Menolak Warisan?10 Agt 2022Biaya Pertanggungan dalam Perjanjian Asuransi Kesehatan24 Mar 2022Pemerintah Ubah Aturan JHT Secara Sepihak, Bolehkah Menurut Hukum Asuransi? 14 Mar 2022\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan bahwa produk asuransi yang Anda beli adalah Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi atau disingkat PAYDI, karena terdapat instrumen investasi pada produk asuransi tersebut. Asuransi ini merupakan produk asuransi jiwa yang dikaitkan dengan investasi yang dapat memberikan dua manfaat sekaligus dalam satu polis, yaitu manfaat perlindungan dan manfaat investasi yang memiliki risiko sesuai dengan dana investasi yang dipilih.\n\nHal ini juga diterangkan dalam Pasal 1 angka 2 POJK 23/2015 yang mendefinisikan PAYDI sebagai produk asuransi yang paling sedikit memberikan pelindungan terhadap risiko kematian dan memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi baik yang dinyatakan dalam bentuk unit maupun bukan unit.\nSetelah Anda melakukan pembayaran premi, sebagian premi akan dialokasikan ke manajer investasi untuk dikelola ke berbagai instrumen investasi, seperti saham, obligasi atau instrumen lain sesuai dengan pilihan dana investasi Anda.\n\nPremi yang telah dibayarkan akan memberikan manfaat perlindungan jiwa dan perlindungan tambahan kecelakaan dan kesehatan. Program asuransi jiwa dengan unsur investasi (unit-link) dimaksudkan untuk investasi jangka panjang dan pengakhiran program asuransi dapat menimbulkan konsekuensi selain tidak tercapainya tujuan keuangan juga nilai investasi yang diperoleh tidak berjalan optimal. Nilai investasi pada program asuransi jiwa dengan unsur investasi (unit-link) dipengaruhi oleh kinerja dana investasi yang dipilih oleh nasabah pada saat pengajuan awal pembelian produk tersebut. Hal ini tentu saja akan dipengaruhi juga oleh keadaan pasar.\nOleh sebab itu, program asuransi jiwa dengan unsur investasi (unit-link) tentunya memiliki risiko yang dipengaruhi oleh pergerakan pengembangan hasil investasi nasabah. Pada periode tahun pertama sampai tahun kelima kepesertaan produk asuransi jiwa dengan unsur investasi unit-link, premi yang dibayarkan oleh pemegang polis dialokasikan untuk biaya akuisisi proteksi dan investasi sesuai dengan porsi yang telah ditetapkan, setelah tahun tertentu maka premi yang dibayarkan akan dialokasikan untuk investasi.\nBisakah Mengajukan Pengembalian Premi dalam PAYDI?\n\nMenurut Pasal 53 ayat (1) POJK 23/2015, perusahaan dan/atau perusahaan pialang asuransi wajib menyampaikan informasi yang akurat, jelas, jujur, dan tidak menyesatkan mengenai produk asuransi kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebelum calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta memutuskan untuk melakukan penutupan asuransi dengan perusahaan.\n\nDijelaskan dalam Pasal 53 ayat (2) POJK 23/2015 bahwa perusahaan yang memasarkan PAYDI wajib memiliki, menerapkan, dan mengembangkan kebijakan dan prosedur penilaian kesesuaian produk asuransi dengan kebutuhan dan profil calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta yang menjadi target pemasaran (customer risk profile assessment).\n\nDalam setiap kegiatan pemasaran PAYDI, perusahaan harus menekankan penjelasan bahwa PAYDI merupakan produk asuransi dengan tujuan untuk memberikan manfaat perlindungan atas risiko serta manfaat atas investasi secara berimbang antara potensi hasil dan risiko investasi.\n\nApabila perusahaan asuransi tidak menyampaikan informasinya secara akurat, jelas, jujur, ataupun dilakukan secara menyesatkan kepada calon pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dapat dikenai sanksi administratif berupa: [1]\n\nperingatan tertulis;denda;kewajiban bagi direksi atau yang setara untuk menjalani penilaian kemampuan dan kepatutan ulang;pembatasan kegiatan usaha; dan/ataupencabutan izin usaha.\n\nMenjawab pertanyaan Anda terkait dengan pembatalan polis, hal ini diatur dalam SE OJK 5/2022. Pada dasarnya setiap produk asuransi dan pemasaran produk asuransi paling sedikit memuat ketentuan mengenai cara pembatalan polis asuransi dalam periode mempelajari polis (free look period), serta besaran dana yang dikembalikan dan waktu pengembalian dana kepada pemegang polis, tertanggung, atau peserta dalam hal dilakukan pembatalan polis asuransi dalam periode mempelajari polis (free look period).[2]\n\nAdapun, terkait dengan pengembalian dana tertanggung, tidak bisa dilakukan 100% sebab pada dasarnya asuransi pendidikan merupakan produk unit-link yang akan dialokasikan pada proteksi atau biaya asuransi dan investasi.\n\nPremi yang dibayarkan akan sesuai dengan besaran alokasi yang telah ditentukan pada awal kesepakatan antara pemegang polis dan perusahaan asuransi. Produk asuransi unit-link selanjutnya akan digunakan untuk membayar biaya akuisisi dalam hal pembayaran biaya administrasi, marketing, komisi agen, biaya operasional, dan biaya manfaat tambahan (riders). \nPada dasarnya tertanggung dan pihak asuransi mendasari perbuatan hukumnya dengan perjanjian asuransi atau polis. Perjanjian tersebut merupakan perikatan yang menyepakati hak dan kewajiban sesuai dengan prestasi yang telah ditentukan. Prinsip dasar lahirnya suatu perjanjian ditandai dengan adanya offer (penawaran) dan acceptance (penerimaan) dengan iktikad baik dan kepercayaan dalam membuat kontrak selain kecakapan dan kewenangan yang dimiliki.\nPenyelesaian Klaim Perjanjian Asuransi secara Ex Gratia\n\nDalam sengketa yang terjadi, penyelesaian klaim perjanjian asuransi dapat dilaksanakan dalam bentuk negosiasi yaitu dengan ex gratia. Dalam dunia asuransi, ex gratia secara singkat dapat diartikan sebagai penyelesaian klaim perjanjian asuransi secara kebijaksanaan[3] untuk klaim yang sebenarnya tidak liable.\n\nSecara yuridis, ex gratia diatur di dalam Pasal 52 angka 14 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 31 ayat (3) dan (4) UU Perasuransian, bahwa perusahaan asuransi diwajibkan untuk menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil. Selain itu, perusahaan asuransi dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.\n\nAdapun, dalam penyelesaian ex gratia, pembayaran klaim dilakukan semata-mata atas pertimbangan faktor-faktor non-teknis, seperti hubungan baik, atau untuk menghindarkan kasus berlanjut ke meja pengadilan. Umumnya, pembayaran ex gratia tidak dilakukan secara penuh (full payment) sebesar nilai claim adjustment atau kerugian keuangan yang benar-benar dialami oleh tertanggung, tetapi lebih rendah dan berdasarkan persetujuan dari penanggung.[4]\n\nDengan demikian, ex gratia merupakan penyelesaian klaim yang disetujui oleh perusahaan asuransi meskipun perusahaan asuransi menganggap bahwa mereka tidak berkewajiban secara hukum untuk melakukannya dengan tujuan untuk menghindari biaya hukum yang lebih mahal.\n\nBeberapa faktor yang menyebabkan penyelesaian klaim perjanjian asuransi diselesaikan secara ex gratia antara lain tertanggung merupakan nasabah yang loyal (telah menutup asuransi pada penanggung yang sama selama bertahun-tahun) atau tertanggung merupakan nasabah prioritas yaitu nasabah yang telah memberikan kontribusi premi yang besar kepada penanggung dan tertanggung memiliki prospek usaha yang baik dan menjanjikan di masa depan.\n\nPenyelesaian ex gratia dilakukan dengan negosiasi antara pemegang polis, peserta atau tertanggung dengan perusahaan asuransi. Sehingga agenda penyelesaiannya akan lebih mudah dan cepat. Oleh karena itu, Anda dapat langsung mengajukan permohonan penyelesaian melalui ex gratia kepada perusahaan asuransi.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt54606a95b1521/undang-undang-nomor-40-tahun-2014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_40_2014)\n2. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63c23d76b51e4?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_4_2023)\n3. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt56614a5c8bde8/node/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-no-23_pojk.05_2015-tahun-2015-produk-asuransi-dan-pemasaran-produk-asuransi?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=POJK_23_2015)\n4. [Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang Produk Asuransi yang Dikaitkan dengan Investasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt623c1747be5b5/surat-edaran-otoritas-jasa-keuangan-nomor-5-seojk05-2022-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SE_OJK_5_2022)\nREFERENSI:\n1. RA Diah Irianti Permana Sari. Penyelesaian Klaim Perjanjian Asuransi Secara Ex Gratia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pamulang Law Review, Volume 2 Issue 1, Agustus 2019.\n\n[1] Pasal 60 ayat (1) dan (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 23/POJK.05/2015 Tahun 2015 tentang Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi[2] Butir III huruf D Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 5/SEOJK.05/2022 Tahun 2022 tentang Produk Asuransi Yang Dikaitkan Dengan Investasi[3] RA Diah Irianti Permana Sari, Penyelesaian Klaim Perjanjian Asuransi Secara Ex Gratia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pamulang Law Review, Volume 2 Issue 1, Agustus 2019, hal. 50[4] RA Diah Irianti Permana Sari, Penyelesaian Klaim Perjanjian Asuransi Secara Ex Gratia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pamulang Law Review, Volume 2 Issue 1, Agustus 2019, hal. 52" }
{ "from": "human", "value": "Halo. Saya ingin tahu, apa bedanya atasan dan atasan langsung? bagaimana memberi pengertian atas kedua istilah ini? Karena saya baca beberapa kasus yang ditanyakan berhubungan dengan istilah-istilah ini. Terima kasih!" }
{ "from": "gpt", "value": "Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Empat , atasan adalah: “yang lebih tinggi, yang di atas ” Akan tetapi, untuk penggunaan suatu istilah di bidang hukum, seringkali kita perlu mengetahui lebih dulu konteks penggunaan istilah tersebut. Adakalanya dalam peraturan perundang-undangan telah diatur definisi dari suatu istilah, sehingga kita harus merujuk pada definisi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apabila konteksnya adalah disiplin anggota Polri , misalnya, Pasal 1 angka 9 PP No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 2/2003”) mengatur bahwa definisi “Atasan” adalah: “ setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi dari pada anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang lain ” Sedangkan, untuk definisi “Atasan Langsung”, diatur dalam pasal 1 angka 10 PP 2/2003 yaitu: “ anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang karena jabatannya mempunyai wewenang langsung terhadap bawahan yang dipimpinnya ” Untuk konteks disiplin prajurit TNI , maka pasal 1 angka 7 UU N o. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (“UU 26/1997”) mengatur bahwa “Atasan” adalah: “setiap prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang karena pangkat dan/atau jabatannya berkedudukan lebih tinggi daripada prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang lain” Sedangkan untuk “Atasan Langsung”, pasal 1 angka 8 UU 26/1997 mengatur definisinya adalah: “atasan yang mempunyai wewenang komando langsung terhadap bawahan yang bersangkutan ” Dari definisi-definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa “atasan” identik dengan pangkat atau jabatan yang berkedudukan lebih tinggi. Sedangkan, “atasan langsung” adalah atasan yang mempunyai kewenangan langsung terhadap bawahannya tersebut. Tapi, lain halnya apabila konteksnya mengenai tata cara pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara. Dalam pasal 7 ayat 1 PP No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara , diatur bahwa: “Sebelum melaksanakan tugas memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara selama menjabat, Komisi Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis kepada atasan langsung dari instansi tempat Penyelenggara Negara yang bersangkutan bertugas ” Penjelasan pasal ini mengatur bahwa atasan langsung dalam pasal ini adalah pimpinan tertinggi dari instansi atau lembaga Penyelenggara Negara bertugas. Jadi, definisi atasan dan atasan langsung bisa berbeda-beda sesuai dengan konteks penggunaan kedua istilah tersebut. Dalam konteks kasus hukum, penggunaan istilah atasan dapat ditemui dalam kasus suap atau gratifikasi pada penyidik kasus Gayus Tambunan, yang antara lain bisa Anda baca dalam artikel ini atau dalam kasus pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Timur yang dapat Anda baca dalam artikel ini . Sedangkan untuk atasan langsung, antara lain dapat anda temui dalam kasus korupsi di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam artikel ini dan kasus korupsi di Departemen Kelautan dan Perikanan dalam artikel ini . Demikian penjelasan kami. Semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang N o. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar Hukum tenaga kerja lainnya dalam buku “53 Tanya Jawab Seputar Tenaga Kerja” (hukumonline dan Visimedia) yang telah beredar di toko-toko buku." }
{ "from": "human", "value": "Atlet esports yang berprestasi tentu akan menarik perhatian klub-klub esports untuk direkrut agar dapat memperkuat timnya. Namun tidak jarang terjadi fakta bahwa atlet esports yang berprestasi tersebut bukanlah seseorang dengan kewarganegaraan Indonesia. Dalam hal ini, bagaimanakah ketentuan dalam mempekerjakan atlet esports berkewarganegaraan asing untuk bergabung dalam klub esports asal Indonesia?" }
{ "from": "gpt", "value": "Sebagai Warga Negara Asing (“WNA”) pemegang visa dengan maksud bekerja di Indonesia, atlet esports asing dapat dikategorikan sebagai Tenaga Kerja Asing (“TKA”).[1] Dengan demikian, sebagai pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA, klub esports diwajibkan memiliki Rencana Penggunaan TKA (“RPTKA”) yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.[2] Dalam hal ini, TKA dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.[3]\n\nAtlet esports memang belum termasuk dalam jabatan yang dapat diduduki oleh TKA berdasarkan Lampiran Kepmenaker 228/2019, namun Menteri Ketenagakerjaan tetap dapat memberikan izin mempekerjakan TKA untuk jabatan yang tidak diatur dalam Lampiran tersebut.[4]\nAdapun untuk mendapatkan pengesahan RPTKA, klub esports harus mengajukan permohonan pengesahan RPTKA kepada Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang terkait secara online yang memuat paling sedikit:[5]\n\nidentitas klub esports selaku pemberi kerja;alasan penggunaan TKA;jabatan/kedudukan TKA tersebut dalam struktur organisasi perusahaan;jumlah TKA yang akan diperkerjakan;jangka waktu penggunaan TKA;lokasi kerja;identitas tenaga kerja pendamping TKA; danrencana penyerapan tenaga kerja Indonesia setiap tahun.\n\nDalam mengajukan permohonan pengesahan RPTKA, klub esports juga perlu melampirkan dokumen-dokumen pendukung berupa:[6]\n\nsurat permohonan;Nomor Induk Berusaha atau izin usaha klub esports;akta dan keputusan pengesahan pendirian dan/atau perubahan dari instansi yang berwenang;bukti wajib lapor ketenagakerjaan;rancangan perjanjian kerja;bagan struktur organisasi perusahaan;surat pernyataan untuk penunjukan tenaga kerja pendamping bagi TKA;surat pernyataan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai kualifikasi jabatan yang diduduki TKA; dansurat pernyataan untuk memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bahasa Indonesia kepada TKA.\nKetentuan Hukum Keimigrasian\n\nSetelah klub esports memiliki RPTKA, RPTKA tersebut kemudian dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk mendapatkan visa dan izin tinggal bagi atlet esports asing.[7] Atlet esports asing yang masuk wilayah Indonesia harus memiliki visa yang sah dan masih berlaku, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban memiliki visa.[8] Dalam hal ini, bentuk visa yang diberikan bagi atlet asing yang memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan untuk bekerja adalah Visa Tinggal Terbatas (“VITAS”).[9] Ketika telah masuk wilayah Indonesia, untuk berada dan tinggal di Indonesia, atlet asing tersebut juga memerlukan izin tinggal berdasarkan visa yang dimiliki.[10] Maka dalam hal ini, atlet asing tersebut memerlukan Izin Tinggal Terbatas (“ITAS”).[11] Dalam hal ini, tanda masuk bagi pemegang VITAS berlaku juga sebagai ITAS.[12]\n\nITAS bagi pekerja, termasuk bagi atlet asing, dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 180 hari, 1 tahun, atau 2 tahun berdasarkan jangka waktu yang tertera pada VITAS mereka.[13] Proses pengajuan permohonannya dapat dilakukan oleh atlet itu sendiri maupun oleh klub esports yang akan menaunginya, serta dengan melampirkan persyaratan sebagai berikut:[14]\n\npaspor kebangsaan yang sah dan masih berlaku paling singkat 6 bulan;bukti penjaminan dari penjamin (dalam hal ini klub esports atau dana pengganti penjamin) atau jaminan keimigrasian;bukti memiliki biaya hidup bagi dirinya dan/atau keluarganya selama berada di Wilayah\nIndonesia;pasfoto berwarna; dandokumen lain untuk menerangkan maksud/tujuan kedatangan.\nKetentuan Hukum Keolahragaan dan Peraturan Pengurus Besar Esports Indonesia\n\nSebagai suatu cabang olahraga prestasi[15] yang diakui oleh hukum keolahragaan, esports memiliki induk cabang olahraganya sendiri yakni Pengurus Besar Esports Indonesia (“PB ESI”). PB ESI memiliki tugas melakukan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga esports, dan mempunyai wewenang merumuskan dan menetapkan model pengelolaan, penyelenggaraan pembinaan, dan pengembangan olahraga esports.[16]\n\nMeskipun atlet atau olahragawan asing tidak diatur secara khusus dalam UU Keolahragaan, dalam hal ini, PB ESI melalui Peraturan PB ESI mengatur bahwa terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh atlet profesional asing yang berkompetisi di Indonesia, yakni:[17]\n\nSurat Rekomendasi Tim Esports: Atlet profesional asing wajib memiliki Surat Rekomendasi dari klub esports yang menaunginya.Kartu Esports Indonesia: Atlet profesional asing juga perlu memiliki Kartu Esports Indonesia yang dikeluarkan oleh PB ESI.Visa dan Izin Kerja: Atlet profesional asing wajib memenuhi ketentuan perizinan yang dipersyaratkan oleh Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melakukan aktivitas profesional di wilayah Indonesia.\n\nSelain persyaratan bagi atlet esports asing tersebut, klub esports juga perlu memastikan terpenuhinya hak-hak yang dapat diterima oleh atlet profesional sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan PB ESI sebagai berikut:[18]\nUpah: Kontrak kerja harus menyebutkan dengan jelas upah bulanan, baik bagi atlet aktif maupun atlet cadangan.Kenaikan Upah Berdasarkan Kinerja: Untuk atlet profesional dengan jangka waktu kontrak kerja melebihi 1 tahun, perlu ada klausul yang memungkinkan adanya diskusi mengenai kenaikan upah berdasarkan prestasi atlet setiap 4 s.d. 6 bulan.Asuransi: Klub esports wajib memberikan asuransi kepada atlet profesionalnya minimal sebagai berikut:\nProgram jaminan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (“BPJS Ketenagakerjaan”);Asuransi kesehatan; danAsuransi perjalanan baik perjalanan domestik maupun internasional.Image Rights: Kontrak kerja harus menyebutkan besaran bagian keuntungan atlet atas penayangan atau publikasi hak wajah (image rights) atlet.Klausul Buyout dan Transfer: perlu ada klausul dalam kontrak kerja yang mengatur persetujuan atlet dalam hal terjadinya buyout dan transfer, termasuk persetujuan terhadap pemutusan hubungan kerja.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt4dd0e447183ec/undangundang-nomor-6-tahun-2011/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_keimigrasian)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt623ab3cce9f93/undang-undang-nomor-11-tahun-2022/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_11_2022)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt518a19697ab23/peraturan-pemerintah-nomor-31-tahun-2013/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_31_2013)\n7. [Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt578493f1135b5/peraturan-pemerintah-nomor-26-tahun-2016/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_26_2016)\n8. [Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5f6d901555047/peraturan-pemerintah-nomor-51-tahun-2020/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_51_2020)\n9. [Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032472bafe24/peraturan-pemerintah-nomor-48-tahun-2021/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_48_2021)\n10. [Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64d091239244e/peraturan-pemerintah-nomor-40-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_40_2023)\n11. [Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322aa20df10/peraturan-pemerintah-nomor-34-tahun-2021/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_34_2021)\n12. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64ec48c9c425d/peraturan-menteri-hukum-dan-hak-asasi-manusia-nomor-22-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_22_2023)\n13. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 11 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6620a18adf6ee/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_11_2024)\n14. [Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5d688fd49d6cf/keputusan-menteri-ketenagakerjaan-nomor-228-tahun-2019/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kepmenaker_228_2019)\n15. [Peraturan Pengurus Besar Esports Indonesia Nomor: 034/PB-ESI/B/VI/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Esports di Indonesia](https://pbesi.org/files/034.PERATURAN%20PBESI%2004%20agustus%202021.pdf)\nREFERENSI:\n1. Pengurus Besar Esports Indonesia, yang diakses pada hari Jumat, 14 Juni 2024, pukul 16.22 WIB.\n\n[1] Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 81 angka 4 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 42 ayat (4) UU Ketenagakerjaan[4] Keputusan Ketiga Lampiran Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 228 Tahun 2019 tentang Jabatan Tertentu yang Dapat Diduduki oleh Tenaga Kerja Asing (“Kepmenaker 228/2019”)[5] Pasal 12 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“PP 34/2021”)[6] Pasal 12 ayat (3) PP 34/2021[7] Pasal 14 ayat (6) PP 34/2021[8] Pasal 3 huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“PP 31/2013”)[9] Pasal 106 angka 3 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian jo. Pasal 102 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2023 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian (“PP 40/2023”)[10] Pasal 112 ayat (1) dan (2) PP 31/2013[11] Pasal 141 ayat (1) PP 40/2023[12] Pasal 32 PP 40/2023[13] Pasal 104 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (“Permenkumham 22/2023”) dan Pasal 105 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor 11 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 22 Tahun 2023 tentang Visa dan Izin Tinggal (“Permenkumham 11/2024”)[14] Pasal 103 ayat (2) PP 40/2023[15] Pasal 21 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan (“UU Keolahragaan”)[16] Pasal 36 ayat (4) dan (5) UU Keolahragaan[17] Pasal 4 ayat (4) Peraturan Pengurus Besar Esports Indonesia Nomor: 034/PB-ESI/B/VI/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Esports di Indonesia (“Peraturan PB ESI”)[18] Pasal 5 ayat (1) Peraturan PB ESI" }
{ "from": "human", "value": "Apa sajakah atribut hakim yang wajib dikenakan ketika bersidang di peradilan tingkat pertama?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perlu diketahui, mengenakan atribut dalam persidangan perkara perdata (hukum acara perdata) diatur dalam Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”) , sedangkan persidangan perkara pidana (hukum acara pidana) diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . KLINIK TERKAIT Perbedaan Hakim Karier, Nonkarier, dan Hakim Ad Hoc 20 Sep 2022 Cara Melaporkan Hakim yang Langgar Kode Etik 22 Apr 2021 Kewajiban Mengenakan Toga dalam Sidang Pengadilan 14 Nov 2018 Jumlah Hakim dalam Setiap Persidangan 25 Jul 2014 Aturan mengenai kewajiban untuk memakai pakaian sidang (toga) dalam sidang pidana bagi hakim, jaksa, penasihat hukum (advokat), dan panitera ini diatur dalam Pasal 230 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Dalam ruang sidang, hakim, penuntut umum, penasihat hukum dan panitera mengenakan pakaian sidang dan atribut masing-masing.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih lanjut pengaturan mengenai pemakaian atribut hakim ini dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (“PP 27/1983”) sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana . Apa saja atribut hakim itu? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 4 PP 27/1983 yang berbunyi: (1) Selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, panitera dan penasihat hukum, menggunakan pakaian sebagaimana diatur dalam pasal ini; (2) Pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi hakim, penuntut umum dan penasihat hukum adalah toga berwarna hitam, dengan lengan lebar, simare dan bef dengan atau tanpa peci hitam ; (3) Perbedaan toga bagi hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum adalah dalam ukuran dan warna dari simare dan bef; (4) Pakaian bagi panitera dalam persidangan adalah jas berwarna hitam, kemeja putih dan dasi hitam; (5) Hal yang berhubungan dengan ukuran dan warna dari simare dan bef sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) serta kelengkapan pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur lebih lanjut oleh Menteri ; (6) Selain memakai pakaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hakim dan penuntut umum memakai atribut; (7) Atribut sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) diatur lebih lanjut oleh Menteri . Dari ketentuan di atas dapat kita ketahui bahwa atribut hakim itu meliputi: toga berwarna hitam dengan lengan lebar, simare, dan bef dengan atau tanpa peci hitam. Lebih lanjut, Pasal 5 PP 27/1983 mengatakan bahwa ketentuan mengenai pakaian dan atribut dalam sidang bagi hakim agung dan panitera pada Mahkamah Agung, diatur tersendiri oleh Mahkamah Agung. Adapun kewajiban hakim untuk mengenakan toga dalam setiap sidang pengadilan salah satunya diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1966 tentang Pemakaian Toga Dalam Sidang . Di dalam surat edaran yang ditujukan bagi hakim pada pengadilan tinggi dan pengadilan negeri, para hakim diinstruksikan mengenakan toga dalam sidang-sidang pengadilan untuk menambah suasana khidmat sidang pengadilan. Lebih khusus lagi, pengaturan mengenai atribut hakim ini dapat kita jumpai dalam Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilan dan Penasehat Hukum (“Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983”) . Menurut Pasal 1 Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983 , selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan, hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum memakai toga berwarna hitam dengan lengan lebar, simare dan bef, dengan atau tanpa peci. Berikut adalah ketentuan-ketentuan atribut yang wajib dikenakan hakim saat bersidang sebagaimana yang kami sarikan dari Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983: 1. Toga adalah mantel panjang dan lebar, dengan lengan lebar diberi lipatan pada pangkal lengan dan kerah berdiri. 2. Simare dibuat dari kain beludru atau saten. 3. Bef dibuat dari kain baptis putih. 4. Toga bagi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, pada pangkal lengan diberi lipatan 8 buah dan kancing 17 buah serta diberi kaitan pada bahu untuk memasang kalung jabatan. 5. Bef bagi hakim pengadilan negeri dan pengadilan tinggi berukuran 25 5/15 dan berlipat-lipat. 6. Untuk sidang biasa, hakim pria memakai celana panjang harian dengan sepatu dan kaos kaki hitam. Bagi hakim wanita memakai rok harian dengan sepatu hitam tertutup tanpa kaos kaki. 7. Selain toga, hakim dalam persidangan memakai lencana yang dilekatkan pada dada sebelah kiri. Sebagai tambahan informasi untuk Anda, untuk keperluan acara seperti penyumpahan Ketua, Anggota DPR atau DPRD, pelantikan ketua, wakil ketua, dan hakim anggota pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, selain toga, hakim memakai kalung jabatan, celana hitam dan peci hitam dari beludru, sedang bagi hakim wanita memakai rok hitam tanpa peci. Demikian yang diatur dalam Pasal 10 Permen Kehakiman M.07.UM.01.06/1983 . Jadi, prinsipnya hakim wajib memakai toga di setiap sidang-sidang pengadilan, tidak hanya pengadilan pada tingkat pertama saja seperti yang Anda sebutkan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. LAMPIRAN GAMBAR: DASAR HUKUM: 1. Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (HIR) ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 4. Peraturan Menteri Kehakiman Nomor: M.07.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Pakaian, Atribut Pejabat Peradilan dan Penasehat Hukum. hakim" }
{ "from": "human", "value": "Saya akan mengerjakan skripsi pembuatan naskah drama yang terinspirasi dari suatu lagu. Proposal penelitian saya ditolak oleh pihak universitas karena takut ada pelanggaran hak cipta. Jadi saya mau bertanya jika saya mengambil unsur tema sebagian dari suatu lagu kemudian saya jadikan tema itu sebagai sumber penciptaan naskah/karya saya dengan alur berbeda dari lagu tersebut, apakah terdapat pelanggaran hak cipta atau itu sah saja?" }
{ "from": "gpt", "value": ".css-sugdn{width:100%;margin-right:auto;margin-left:auto;}\nKLINIK TERKAITBayar Royalti Lagu: ke Pencipta atau LMKN?22 Apr 2024Cara Menggunakan Lagu yang Tidak Diketahui Penciptanya04 Okt 2023Remix Lagu di Aplikasi Streaming Musik, Langgar Hak Cipta?02 Jun 2022Yang Berwenang Menarik Royalti Lagu, LMKN atau LMK?09 Jul 2021\n\nSebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita sepakati terlebih dahulu bahwa lagu yang Anda maksud dalam pertanyaan merupakan lagu yang diketahui siapa penciptanya. Namun, apabila lagu yang Anda maksud adalah lagu yang tidak diketahui penciptanya, Anda dapat membaca artikel yang berjudul Cara Menggunakan Lagu yang Tidak Diketahui Penciptanya.\n\nBerdasarkan Pasal 40 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta, ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra terdiri atas lagu dan/atau musik dengan atau tanpa teks. Dengan demikian, lagu adalah salah satu bentuk ciptaan yang dilindungi. Adapun, maksud dari \"lagu atau musik dengan atau tanpa teks\" diartikan sebagai satu kesatuan karya ciptaan yang bersifat utuh.[1]\nLebih lanjut, menurut Rahmi Jened dalam buku Hak Cipta (Copyright Law) lagu atau musik dengan atau tanpa teks adalah karya yang bersifat utuh (merupakan satu kesatuan karya cipta) sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemen yang dilindungi hak cipta (hal. 94).\nAturan Adaptasi Lagu untuk Naskah Drama Skripsi Menurut UU Hak Cipta\n\nSebelum menjawab inti pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu bahwa dalam UU Hak Cipta, dikenal dua hak eksklusif, yaitu hak moral dan hak ekonomi.\nMengutip Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta, hak moral merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri pencipta untuk:\n\ntetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada salinan sehubungan dengan pemakaian ciptaannya untuk umum;menggunakan nama aslinya atau samarannya;mengubah ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;mengubah judul dan anak judul ciptaan; danmempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi ciptaan, mutilasi ciptaan, modifikasi ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan kehormatan diri atau reputasinya.\n\nSementara itu, terkait dengan hak ekonomi dijelaskan dalam Pasal 8 UU Hak Cipta sebagai hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.\n\nMenjawab pertanyaan Anda, dalam konteks penggunaan lagu sebagai inspirasi pembuatan naskah drama untuk skripsi, maka dapat merujuk pada Pasal 9 ayat (1) huruf d UU Hak Cipta. Dalam pasal tersebut diatur bahwa pencipta atau pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan.\nMenurut pendapat kami, pembuatan naskah drama yang terinspirasi dari lagu termasuk ke dalam pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan. Dengan demikian, menurut Pasal 9 ayat (2) UU Hak Cipta bahwa setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU Hak Cipta wajib mendapatkan izin pencipta atau pemegang hak cipta.\n\nLebih lanjut, perlu diperhatikan pula ketentuan dalam Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta yang berbunyi:\n\nSetiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).\n\nDalam bunyi Pasal 113 ayat (2) UU Hak Cipta tersebut, terdapat unsur “untuk penggunaan secara komersial”. Menurut Pasal 1 angka 24 UU Hak Cipta, penggunaan secara komersial adalah pemanfaatan ciptaan dan/atau produk hak terkait dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dari berbagai sumber atau berbayar.\n\nOleh karena itu, menurut hemat kami, apabila terdapat tujuan komersial dalam penciptaan naskah drama yang terinspirasi dari suatu lagu, maka harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta.\n\nDalam konteks untuk skripsi, maka berlaku ketentuan dalam Pasal 44 ayat (1) UU Hak Cipta yang berbunyi sebagai berikut:\n\nPenggunaan, pengambilan, Penggandaan, dan/atau pengubahan suatu Ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan:\npendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta;keamanan serta penyelenggaraan pemerintahan, legislatif, dan peradilan;ceramah yang hanya untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; ataupertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.\nDengan demikian, apabila suatu lagu menjadi inspirasi sebuah naskah drama untuk tugas skripsi, maka hal tersebut diperbolehkan, sepanjang ditulis secara jelas sumbernya seperti pencipta, penyanyi, dan publisher dan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta atau pemegang hak cipta. Adapun yang dimaksud dengan “kepentingan yang wajar dari pencipta dan pemegang hak cipta” adalah kepentingan yang didasarkan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan.[2]\n\nPencantuman sumber seperti pencipta lagu, penyanyi, dan publisher tersebut berkenaan dengan hak moral pencipta yang melekat secara abadi pada diri pencipta sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta.\n\nSelain itu, penting untuk diperhatikan bahwa pembuatan naskah drama untuk skripsi yang terinspirasi dari lagu tersebut tidak boleh digunakan untuk kepentingan komersial.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.\n\nREFERENSI:\n1. Rahmi Jened. Hukum Hak Cipta (Copyright's Law). Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.\n\n[1] Penjelasan Pasal 40 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”)[2] Penjelasan Pasal 44 ayat (1) huruf a UU Hak Cipta" }
{ "from": "human", "value": "Bolehkah serikat memberikan AD/ART serikat ke perusahaan? Dan bolehkah perusahaan merekrut karyawan secara lisan tapi dengan status harian lepas padahal dipekerjakan secara terus menerus?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Febrinaldy Darmansyah, S.H., M.H. dari Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Trisakti (Ika FH Usakti) dan dipublikasikan pertama kali pada 4 Juni 2021. KLINIK TERKAIT Bagaimana Jika Proyek Selesai di Tengah Masa Kontrak? 26 Feb 2024 Begini Cara Menghitung Upah Pekerja Harian 21 Feb 2022 Karyawan Tetap Digaji Harian, Bolehkah? 13 Okt 2021 Tentang Uang Kompensasi, ‘Pesangon’-nya Karyawan Kontrak 28 Mei 2021 AD dan ART Serikat Pekerja/Buruh Serikat pekerja/serikat buruh adalah adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Setiap serikat pekerja/buruh harus memiliki anggaran dasar (“AD”) dan anggaran rumah tangga (“ART”), sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU 21/2000”) : Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki anggaran dasar (“AD”) dan anggaran rumah tangga (“ART”). Bolehkah Serikat Pekerja/Buruh Memberikan AD/ART kepada Pengusaha? Kemudian menyambung pertanyaan Anda, bolehkah serikat pekerja/buruh memberikan AD/ART kepada pengusaha? Merujuk pada Pasal 25 ayat (1) huruf a UU 21/2000 , diatur: Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak: membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan nomor bukti pencatatan adalah nomor yang didapat setelah dilakukan pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/buruh secara tertulis dengan melampirkan AD dan ART kepada instansi pemerintah yang berwenang. [2] Pengurus serikat pekerja/buruh yang telah memiliki nomor bukti pencatatan harus memberitahu secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai tingkatannya. [3] Dengan demikian, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, maka menurut hemat kami, boleh saja serikat pekerja/buruh memberikan atau memperlihatkan AD/ART-nya kepada pengusaha . Pekerja Harian Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda yang kedua, bolehkah perusahaan merekrut karyawan secara lisan tapi dengan status harian lepas padahal dipekerjakan secara terus menerus? Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa perjanjian kerja dibedakan menjadi Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (“PKWT”) dan Perjanjian Kerja untuk Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”). [4] Dalam hal ini, pekerja harian termasuk pekerja yang dipekerjakan berdasarkan PKWT , dalam bentuk perjanjian kerja harian. [5] Dalam hal pengusaha hendak mempekerjakan pekerja harian lepas, terdapat beberapa aturan yang wajib ditaati pengusaha, yaitu: Pekerja harian lepas hanya dapat dipekerjakan kurang dari 21 hari dalam 1 bulan . [6] Jika pekerja yang bersangkutan bekerja 21 hari/lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka perjanjian kerja harian menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja demi hukum berubah berdasarkan PKWTT. [7] Pengusaha wajib membuat perjanjian kerja harian secara tertulis , yang dapat dibuat secara kolektif dan minimal memuat: [8] Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja; Nama/alamat pekerja Jenis pekerjaan yang dilakukan; dan Besarnya upah. Pengusaha wajib memenuhi hak pekerja harian lepas , termasuk hak atas program jaminan sosial. [9] Baca juga: Kewajiban Perusahaan Mendaftarkan Pekerja dalam Program BPJS Dari ketentuan di atas, diketahui bahwa pekerja harian lepas dilarang bekerja 21 hari/lebih dalam 1 bulan. Sehingga menjawab pertanyaan Anda, apabila yang Anda maksud dengan terus menerus adalah pekerja yang bersangkutan dipekerjakan 21 hari/lebih selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, maka konsekuensinya perjanjian kerja harian menjadi tidak berlaku dan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja yang bersangkutan berubah menjadi pekerja yang dipekerjakan berdasarkan PKWTT demi hukum , atau dapat pula dikatakan status pekerja yang bersangkutan berubah menjadi pekerja tetap. Baca juga: Ini Bedanya Pekerja Harian dengan Pekerja Bulanan dan Perbedaan Ketentuan untuk Pekerja Tetap, Kontrak dan Outsourcing Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja [1] Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 18 ayat (1) jo . Pasal 20 ayat (1) UU 21/2000 [3] Pasal 23 UU 21/2000 [4] Pasal 81 angka 12 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) [6] Pasal 10 ayat (3) PP 35/2021 [7] Pasal 10 ayat (4) PP 35/2021 [8] Pasal 11 ayat (1) dan (2) PP 35/2021 [9] Pasal 11 ayat (3) PP 35/2021 serikat buruh hukumonline ketenagakerjaan serikat pekerja pekerja harian lepas pkwt klinik hukumonline pkwtt kontrak" }
{ "from": "human", "value": "Keadaannya seperti ini, A (nenek) mempunyai 3 anak (B, C, dan D) dan suaminya sudah meninggal. B memiliki istri yaitu si E dan melahirkan 2 anak yaitu F dan G, apabila B sudah meninggal duluan, kemudian A (nenek) meninggal dan meninggalkan warisan, bagaimana cara pembagian warisan yang benar menurut hukum perdata? apakah E mendapatkan bagian B yang sudah meninggal?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ketentuan hukum waris dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menyatakan bahwa keluarga sedarah yang lebih dekat menyingkirkan atau menutup keluarga yang lebih jauh. Keluarga sedarah tersebut disusun dalam kelompok yang dikenal dengan Golongan Ahli Waris yang terdiri dari Golongan I, II, III dan IV, yang diukur menurut jauh dekatnya hubungan darah dengan si pewaris, di mana golongan yang lebih dekat menutup golongan yang lebih jauh, sebagai berikut: Golongan I : Suami/Isteri yang hidup terlama dan anak/keturunannya. Golongan II : Orang tua dan saudara kandung pewaris. Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua pewaris. Golongan IV : Paman dan bibi pewaris baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu atau keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari Pewaris, dan saudara dari kakek dan nenenk beserta keturunannya sampai derajat keenam dihitung dari pewaris. Berdasarkan kasus yang Anda sampaikan, Pewaris A (Nenek) meninggalkan 3 (tiga) orang Ahli Waris Golongan I yaitu ketiga anaknya B, C, dan D. Namun karena B telah meninggal dunia maka hak warisnya digantikan oleh keturunannya yaitu F dan G sebagai Ahli Waris karena Penggantian Tempat (bij plaatsvervulling). Ahli Waris karena Penggantian Tempat diatur dalam Pasal 841 dan 842 KUH Perdata sebagai berikut: Pasal 841 KUH Perdata Penggantian memberikan hak kepada orang yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang digantikannya. Pasal 842 KUH Perdata Penggantian yang terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, berlangsung terus tanpa akhir. Penggantian itu diizinkan dalam segala hak, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan-keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. Lebih lanjut, J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 56) menyatakan : Ahli waris karena penggantian tempat adalah ahli waris yang merupakan keturunan/keluarga sedarah dari pewaris, yang muncul sebagai pengganti tempat orang lain, yang seandainya tidak mati lebih dahulu dari pewaris. Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang berhak menggantikan tempat B sebagai ahli waris adalah keturunan sedarahnya, yaitu kedua anaknya yang bernama F dan G dengan ketentuan mereka secara bersama-sama bertindak dengan derajat yang sama dan hak yang sama dengan ahli waris lainnya, yaitu C dan D. Sedangkan E selaku istri dari B atau menantu dari Pewaris A (Nenek) tidak termasuk sebagai Ahli Waris Pengganti, sebab ia tidak memiliki hubungan darah dengan pewaris. Lain halnya jika A (Nenek) meninggal terlebih dahulu dari pada B, maka sebagian harta warisan akan jatuh ke tangan B. Selanjutnya apabila B meninggal dunia, maka E juga mendapatkan bagian dari harta peninggalan B dengan kedudukannya sebagai Ahli Waris Golongan I dari B (istri). Mengenai hak waris menantu dapat juga Anda baca pada artikel berjudul Apakah Menantu Berhak Mewaris? . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Referensi : J.Satrio. Hukum Waris . Penerbit Alumni: Bandung, 1992. keluarga hukumonline google perdata warisan harta istri ahli waris meninggal online suami hukum waris perkawinan uang keluarga dan perkawinan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perusahan benar-benar wajib untuk membudidaya atau membangun desa setempat? Kalau misalnya ada kewajiban itu tolong dijelaskan juga undang-undangnya." }
{ "from": "gpt", "value": "Mengenai perusahaan membangun desa setempat, hal ini terkait dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau Corporate Social Responsibility (“TJSL”). TJSL tidak hanya mengenai kegiatan yang dilakukan perusahaan dimana perusahaan ikut serta dalam pembangunan ekonomi masyarakat setempat, tetapi juga terkait kewajiban perusahaan dalam melestarikan lingkungan. Dalam hal ini, Anda tidak menyebutkan apa jenis perusahaan tersebut. Oleh karena itu kami akan memaparkan mengenai TJSL dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai berikut: KLINIK TERKAIT RUPS Tahunan Terlambat Diselenggarakan, Adakah Sanksinya? 04 Okt 2023 Masalah Dualisme Kewenangan Pengujian Perda Kabupaten/Kota 20 Jul 2016 Dasar Hukum Kewajiban Perusahaan Menjaga Lingkungan 25 Okt 2013 Status Hukum Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) 09 Agt 2011 1. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas (“PP 47/2012”) Mengenai TJSL, diatur dalam Pasal 74 UUPT dan penjelasannya . Pengaturan ini berlaku untuk perseroan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUPT , Perseroan (Perseroan Terbatas) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT , Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Pasal 74 UUPT pada dasarnya mengatur mengenai hal-hal berikut ini: a. TJSL ini wajib untuk perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan yang dimaksud dengan “perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam. b. TJSL ini merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. c. Mengenai sanksi, dikatakan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait. Dalam Pasal 4 PP 47/2012 , dikatakan bahwa TJSL dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) sesuai dengan anggaran dasar perseroan. Rencana kerja tahunan perseroan tersebut memuat rencana kegiatan dan anggaran yang dibutuhkan untuk pelaksanaan TJSL. Pelaksanaan TJSL tersebut dimuat dalam laporan tahunan perseroan dan dipertanggungjawabkan kepada RUPS ( Pasal 6 PP 47/2012 ). 2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”) Dalam Pasal 15 huruf b UU 25/2007 diatur bahwa setiap penanam modal wajib melaksanakan TJSL. Yang dimaksud dengan TJSL menurut Penjelasan Pasal 15 huruf b UU 25/2007 adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing ( Pasal 1 angka 4 UU 25/2007 ). Selain itu dalam Pasal 16 UU 25/2007 juga diatur bahwa setiap penanam modal bertanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Ini juga merupakan bagian dari TJSL. Jika penanam modal tidak melakukan kewajibannya untuk melaksanakan TJSL, maka berdasarkan Pasal 34 UU 25/2007 , penanam modal dapat dikenai sanksi adminisitatif berupa: a. peringatan tertulis; b. pembatasan kegiatan usaha; c. pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal; atau d. pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Selain dikenai sanksi administratif, penanam modal juga dapat dikenai sanksi lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ( Pasal 34 ayat (3) UU 25/2007 ). 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU 32/2009”) Berdasarkan Pasal 68 UU 32/2009 , setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 4. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No . PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan (“Permen BUMN 5/2007”) Dalam peraturan ini diatur mengenai kewajiban Perusahaan Perseroan (“Persero”), Perusahaan Umum (“Perum”), dan Perusahaan Perseroan Terbuka (“Persero Terbuka”). Berdasarkan Pasal 2 Permen BUMN 5/2007 , Persero dan Perum wajib melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program B ina L ingkungan . Sedangkan Persero Terbuka dapat melaksanakan Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program B ina L ingkungan dengan berpedoman pada Permen BUMN 5/2007 yang ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS. Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana BUMN ( Pasal 1 angka 6 Permen BUMN 5/2007 ). Sedangkan Program Bina Lingkungan adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana BUMN ( Pasal 1 angka 7 Permen BUMN 5/2007 ). 5. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi (“UU 22/2001”) Kegiatan usaha hulu yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan Badan Pelaksana wajib memuat ketentuan-ketentuan pokok yang salah satunya adalah ketentuan mengenai pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat ( Pasal 11 ayat (3) huruf p UU 22/2001 ). Selain itu dalam Pasal 40 ayat (5) UU 22/2001 juga dikatakan bahwa Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melaksanakan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi (kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir) ikut bertanggung jawab dalam mengembangkan lingkungan dan masyarakat setempat. Melihat pada ketentuan-ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa memang ada peraturan-peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk membangun masyarakat di sekitar. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Minyak Dan Gas Bumi ; 2. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ; 3. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 4. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ; 5. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas ; 6. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No . PER-05/MBU/2007 Tahun 2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara No. PER-08/MBU/2013 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. PER-05/MBU/2007 Tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara Dengan Usaha Kecil Dan Program Bina Lingkungan. csr" }
{ "from": "human", "value": "Sehubungan dengan isu bahwa pasca terbitnya UU Ciptaker, ada hal yang mengatur tentang Penanaman Modal Asing (PMA) terbuka 100% untuk industri perkebunan kelapa sawit. Selanjutnya, kami juga telah membaca Perpres 10/2021 Perpres 49/2021. Namun kami belum menemukan di dalam Perpres di atas maupun lampirannya (Daftar Negatif Investasi) yang mengakomodir komposisi kepemilikan saham asing di industri perkebunan kelapa sawit.\nYang ingin kami tanyakan:\n\nAdakah regulasi lain yang mengatur terkait hal di atas?\nMohon penjelasan terkait Perpres 10/2021 dan Perpres 49/2021, apakah di peraturan tersebut ada poin yang menjelaskan terkait isu PMA terbuka 100% untuk perkebunan kelapa sawit?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Ini Ketentuan Pendirian PT PMA Bidang Usaha Studi Kelayakan Pertanian 15 Jun 2021 Mengenal Ekspropriasi dan Nasionalisasi dalam Hukum Indonesia 11 Jun 2021 Bolehkah PT PMA Melakukan Ekspor? 07 Mei 2021 Ketentuan Hak Guna Bangunan untuk PMA 07 Apr 2021 Penanaman Modal Asing (“PMA”) adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. [1] Lalu, sebagaimana yang dijelaskan dalam Ini Ketentuan Pendirian PT PMA Bidang Usaha Studi Kelayakan Pertanian , PMA wajib berbentuk perseroan terbatas (“PT”) berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang, serta dilakukan dengan: mengambil bagian saham pada saat pendirian PT; membeli saham; dan melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, dikarenakan pertanyaan-pertanyaan tersebut saling berkaitan satu sama lain, maka kami akan menjawabnya dalam satu pembahasan sekaligus. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) , aturan penanaman modal memang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (“Perpres 10/2021”) dan perubahannya yang merupakan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Pada dasarnya semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal , kecuali bidang usaha: [2] yang dinyatakan tertutup untuk penanaman modal; atau untuk kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat. Menyambung kembali pertanyaan Anda, salah satu jenis bidang usaha terbuka untuk penanaman modal, yaitu bidang usaha dengan persyaratan tertentu , [3] yang merupakan bidang usaha yang dapat diusahakan oleh semua penanam modal termasuk Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (“UMKM”) yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: [4] persyaratan penanaman modal untuk penanam modal dalam negeri; persyaratan penanaman modal dengan pembatasan kepemilikan modal asing ; persyaratan penanaman modal dengan perizinan khusus; atau persyaratan penanaman modal lainnya yaitu bidang usaha yang dibatasi dan diawasi secara ketat serta diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri di bidang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol. Adapun daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu tersebut, termasuk yang memiliki batas kepemilikan modal asing, diatur dalam Lampiran III Perpres 49/2021 . Berdasarkan penulusuran kami, industri perkebunan kelapa sawit yang Anda tanyakan memang tidak termasuk dalam daftar bidang usaha dengan persyaratan tertentu yang diatur batasan modal asingnya. Namun, menurut Legal Analyst & Content Easybiz Syarief Toha , batasan terkait modal modal asing tak hanya diatur dalam Lampiran III Perpres 49/2021, karena pada sebagian sektor usaha, aturan batasan kepemilikan modal asing juga diatur dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 5/2021”) . Akan tetapi, sepanjang penelusuran kami dalam Lampiran II PP 5/2021 untuk Sektor Pertanian (hal. 363 - 370), untuk bidang usaha dengan KBLI terkait perkebunan kelapa sawit, tidak diatur adanya batasan kepemilikan modal asing. Meski demikian, di dalam lampiran tersebut diatur lebih lanjut yang menjadi persyaratan dan kewajiban berusaha untuk KBLI terkait. Sehingga, berdasarkan penelusuran kami terhadap aturan-aturan terkait, untuk bidang usaha perkebunan kelapa sawit memang tidak dibatasi kepemilikan modal asingnya , atau dengan kata lain kepemilikan modal asing bisa saja mencapai 100% sebagaimana Anda tanyakan. Akan tetapi, kami menyarankan Anda untuk mengecek kembali persyaratan dan kewajiban berusaha untuk KBLI bidang usaha Anda apabila KBLI-nya berbeda dengan yang kami rujuk di atas. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Syarief Toha, Legal Analyst & Content Easybiz , via WhatsApp pada 4 Agustus 2021, pukul 12.17 WIB. [1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”) [2] Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (“Perpres 49/2021”) [3] Pasal 3 ayat (1) huruf c Perpres 10/2021 [4] Pasal 6 ayat (1) Perpres 49/2021 penanaman modal asing modal asing pma perkebunan kelapa sawit perusahaan perusahaan asing" }
{ "from": "human", "value": "Di manakah alamat Pusat Mediasi Nasional dan/atau Indonesian Institute for Conflict Transformation? Apakah orang yang telah memiliki izin sebagai Mediator dapat menjadi Pengacara di Pengadilan atas salah satu orang/pihak yang dimediasikan tersebut, apabila tidak terjadi perdamaian? Apakah bertentangan orang yang telah mendapatkan izin advokat menurut Undang-Undang Advokat tetapi juga mempunyai izin sebagai Mediator? Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Cara dan Biaya Mengurus Perceraian Tanpa Pengacara 25 Apr 2024 Bolehkah Non-advokat Beracara di Lembaga Arbitrase? 01 Jul 2011 Lapangan Pekerjaan Bidang Hukum 08 Mar 2011 1. Informasi mengenai alamat The Indonesian Mediation Center atau Pusat Mediasi Nasional dapat Anda lihat pada situs resmi Pusat Mediasi Nasional yaitu www.pmn.or.id , yang mencantumkan alamatnya sebagai berikut: - Komplek Wijaya Graha Puri Blok F 64 – 65, Jl. Wijaya II, Kebayoran Baru Jakarta 12160 Indonesia Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan, Indonesian Institute for Conflict Transformation beralamat di: - Jl. Tulodong B-6, Senayan, Kebayoran Baru Jakarta 12190 Indonesia 2. Pasal 24 Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan (“PERMA 01/2008”) menyatakan: (1) Tiap mediator dalam menjalankan fungsinya wajib menaati pedoman perilaku mediator. (2) Mahkamah Agung menetapkan pedoman perilaku mediator . Berdasarkan ketentuan tersebut seorang mediator wajib menaati Pedoman Perilaku Mediator yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Pada 11 Februari 2010, Ketua Mahkamah Agung telah menetapkan Pedoman Perilaku Mediator yang dalam Pasal 6 ayat (3) menyatakan: “ Seorang mediator yang berpotensi sebagai advokat dan rekan pada firma hukum yang sama dilarang menjadi penasehat hukum salah satu pihak dalam sengketa yang sedang ditangani baik selama maupun sesudah proses mediasi. “ Oleh karena itu, mendasarkan pada ketentuan tersebut seorang mediator dilarang untuk menjadi penasihat hukum (advokat) dari salah satu pihak yang bersengketa dalam mediasi. 3. Tidak ada suatu ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) yang melarang seorang advokat untuk juga memiliki sertifikat akreditasi sebagai mediator. Selain itu, jika melihat pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) PERMA 01/2008 yang menyatakan: “Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut : a. Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan; b. Advokat atau akademisi hukum; c. Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa; d. Hakim majelis pemeriksa perkara; e. Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d .” Dengan demikian, seorang advokat juga diperbolehkan untuk menjadi seorang mediator, namun tidak dalam perkara yang sama (Lihat Pasal 6 ayat [3] Pedoman Perilaku Mediator ). Karena itu, menurut hemat kami, selama ketentuan Pasal 6 ayat (3) Pedoman Perilaku Mediator tidak dilanggar, tidak akan ada konflik kepentingan yang ditimbulkan dari seorang advokat yang juga adalah mediator. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat ; 2. Peraturan Mahkamah Agung No. 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi Di Pengadilan." }
{ "from": "human", "value": "Saya direktur dan belum dibayar THR serta gaji bulan terakhir. Apakah direktur memiliki hak yang sama terhadap gaji dan THR?" }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pernah dipublikasikan pada Jumat, 12 Oktober 2012. KLINIK TERKAIT Sejauh Mana Wewenang Direksi Asing dalam PT PMA? 03 Okt 2023 Bisakah Komisaris Menunjuk Direksi Sementara Tanpa RUPS? 11 Jul 2023 Kewenangan Direksi Perseroan Terbatas 19 Jun 2012 Pertanggungjawaban Direksi PT yang Lalai 05 Mei 2011 Intisari: Anggota direksi berhak atas gaji dan tunjangan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau keputusan rapat Dewan Komisaris dalam hal kewenangan menetapkan gaji dan tunjangan anggota direksi dilimpahkan kepada Dewan Komisaris . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya perlu diketahui bahwa di dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) , tidak dikenal istilah direktur, yang ada adalah direksi. Kedudukan Anggota Direksi dalam Perusahaan Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. [1] Pengangkatan anggota direksi ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), sedangkan ketentuan mengenai gaji dan tunjangan anggota direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS . [2] Akan tetapi perlu diketahui bahwa kewenangan RUPS ini, dapat dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. Dalam hal kewenangan RUPS dilimpahkan kepada Dewan Komisaris, besarnya gaji dan tunjangan anggota direksi ditetapkan berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris. [3] Mengutip artikel Apakah Direksi Asing Wajib Diikutsertakan Program Jamsostek? intinya hubungan kerja anggota-anggota direksi dengan perusahaan diatur dalam RUPS (jika anggota direksi tersebut diangkat oleh RUPS). Hubungan ini dinamakan hubungan korporasi. Namun, ada juga anggota direksi yang tidak diangkat melalui RUPS (diangkat oleh Direktur Utama). Hubungan ini dinamakan hubungan kerja karena adanya unsur upah, perintah kerja dan pekerjaan. Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan anggota direksi yang Anda maksud adalah anggota direksi yang diangkat berdasarkan keputusan RUPS sehingga anggota direksi tersebut bukan termasuk kategori pekerja . Hak atas Gaji dan THR Bagi Anggota Direksi Menjawab pertanyaan Anda, anggota direksi memiliki hak untuk menerima gaji dan tunjangan, termasuk Tunjangan Hari Raya (“THR”), sebagaimana diatur dalam RUPS . Dalam hal direksi BUMN, maka besaran THR-nya diatur dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (penjelasan selengkapnya simak artikel Aturan Besaran THR Direksi BUMN ). Jadi, terhadap direksi tidak berlaku ketentuan THR sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) yang menyatakan Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah. Dari bunyi ketentuan tersebut jelas kiranya bahwa hak atas THR berdasarkan Permenaker 6/2016 hanya berlaku terhadap pekerja. Kami menyarankan agar Anda melihat kembali ketentuan dalam keputusan RUPS terkait gaji dan tunjangan anggota direksi atau keputusan rapat Dewan Komisaris dalam hal kewenangan menetapkan gaji dan tunjangan anggota direksi dilimpahkan kepada Dewan Komisaris. Jadi, anggota direksi berhak atas gaji dan tunjangan sebagaimana yang diatur dalam RUPS. Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan [1] Pasal 1 angka 5 jo. Pasal 92 ayat (1) UUPT [2] Pasal 94 ayat (1) dan Pasal 96 ayat (1) UUPT [3] Pasal 96 ayat (2) dan (3) UUPT hukumonline tunjangan hari raya ketenagakerjaan klinik hukumonline hukum klinik gaji perusahaan upah thr" }
{ "from": "human", "value": "Adakah batasan nominal mas kawin atau mahar perkawinan dalam Islam? Apakah pernikahan yang dilaksanakan oleh orang Islam tetap tunduk pada hukum perkawinan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Adapun secara garis besar, pernikahan yang dilaksanakan menurut agama Islam dianggap sah secara agama dan negara, di antaranya jika:[1]\n\nDilakukan menurut hukum Islam.Perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Memenuhi rukun perkawinan, yakni:calon suami;calon istri;wali nikah;2 orang saksi; danijab dan kabul.\nMahar Pernikahan dalam Islam\nMahar adalah pemberian dari calon mempelai pria (calon suami) kepada calon mempelai wanita (calon istri), baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[2]\n\nAdapun menurut Sirman Dahwal dalam Perbandingan Hukum Perkawinan (hal. 31) arti mahar dalam Islam adalah hak istri yang diterima dari suaminya sebagai pernyataan kasih sayang dan kewajiban suami terhadap istrinya sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an Q.S. An-Nisa ayat 4 yang artinya:\nBerikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (orang yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.\n\nAturan mahar lebih lanjut diatur dalam KHI, yang mana ketentuannya menerangkan bahwa mahar pernikahan wajib dibayarkan oleh calon suami kepada calon istri, yang diberikan secara langsung dengan tunai, dan sejak diberikan maka mahar tersebut menjadi hak pribadi calon istri.[3]\n\nNamun, penyerahan mahar tersebut boleh ditangguhkan, baik untuk seluruhnya atau sebagian, jika calon istri menyetujui. Penyerahan mahar yang belum ditunaikan tersebut menjadi utang calon suami.[4]\n\nNamun, meski mahar pernikahan dalam Islam adalah wajib, menyerahkan mahar pernikahan bukan merupakan rukun dalam perkawinan.[5] Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah pun tidak menyebabkan perkawinan menjadi batal. Penyerahan mahar yang masih terutang pun juga tidak mengurangi sahnya perkawinan.[6]\nBatasan Jumlah Mahar Perkawinan dalam Islam\n\nDengan diwajibkannya calon suami membayar sejumlah mahar, sebenarnya, berapakah nominal mahar yang baik?\n\nPada dasarnya, penentuan mengenai jumlah, bentuk dan jenis mahar tidak diatur oleh hukum, sehingga tidak ada batasan jumlah mahar yang diberikan oleh calon suami dan bentuk serta jenis mahar tersebut didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak.[7]\n\nTerkait hal ini, Sirman Dahwal mengutip pendapat Ahmad Azhar Basyir (hal. 31), bahwa mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri yang tidak ada batas jumlah minimal dan maksimalnya, karena hanya merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul kewajibannya sebagai suami dalam perkawinan, agar mendatangkan kemantapan dan ketenteraman hati istri.\n\nJadi, berdasarkan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa mahar pernikahan dalam Islam tidak mengenal adanya batasan nilai, baik minimal maupun maksimal. Sebab besarnya suatu mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan calon mempelai wanita. Asalkan mereka sepakat, tentunya mahar tersebut pun sah-sah saja berapapun nilainya.\n\nHal yang paling penting dari suatu mahar pernikahan dalam Islam adalah jangan sampai mahar tersebut dijadikan sebagai hal yang jadi mempersulit perkawinan atau pernikahan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 31 KHI yang menerangkan bahwa penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan dalam ajaran Islam.\n\nKemudahan dan kesederhanaan ini dapat kita temukan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasulullah saw. (HR Bukhari No.1587):\n\n..Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.\n\nDari hadis ini, dapat diketahui bahwa mahar pernikahan dalam Islam tidak harus berupa uang kertas, tetapi contoh mahar dapat pula berupa cincin, atau surat al-Qur’an yang dihafal calon suami, sesuai kesanggupan calon suami dan kesepakatan kedua belah pihak.\n\nDemikian jawaban kami terkait besaran nominal mahar pernikahan dalam Islam, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n3. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=khi)\nREFERENSI:\n1. Sirman Dahwal. Perbandingan Hukum Perkawinan. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2017.\n\n[1] Pasal 14 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan[2] Pasal 1 huruf d KHI[3] Pasal 30, 31, 32, dan 33 ayat (1) KHI[4] Pasal 33 ayat (2) KHI[5] Pasal 34 ayat (1) KHI[6] Pasal 34 ayat (2) KHI[7] Pasal 30 KHI" }
{ "from": "human", "value": "Dalam Permenaker No. 4 Thn 1994 disebutkan bahwa THR = 1 kali upah pokok + tunjangan tetap. Sementara dalam Permen BUMN No. 7 Thn 2010, untuk direksi BUMN THR = 1 kali gaji/honorarium untuk direksi BUMN. Manakah yang akan dipakai, Permen BUMN atau Permenaker? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 14 November 2011. KLINIK TERKAIT Cara Menghitung THR untuk Karyawan Kontrak yang Diangkat Jadi Tetap 02 Apr 2024 Penjelasan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan Bedanya dengan Lex Specialis 11 Feb 2022 THR Natal Bagi Pekerja yang Mengundurkan Diri di Akhir Tahun 11 Jul 2017 Apakah Tunjangan Seragam Kerja Termasuk Dalam Perhitungan THR? 02 Jun 2017 Intisari: THR pada dasarnya diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”). Sementara itu, THR khusus bagi Direksi BUMN diatur dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 4/2014”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (“ Permen BUMN 2/2016”) . Permen BUMN 4/2014 dan perubahannya ini adalah sebagai lex specialis (aturan/ketentuan khusus) dari ketentuan ketenagakerjaan sebagai ketentuan yang umum, yakni Permenaker 4/2014, sehubungan dengan THR bagi anggota Direksi BUMN. Jadi, yang berlaku bagi Direksi BUMN terkait dengan pemberian THR adalah Permen BUMN 4/2014 sebagaimana diubah dengan Permen BUMN 2/2016. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, perlu kami luruskan bahwa sejak berlakunya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan (“Permenaker 6/2016”) , maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER.04/MEN/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku . Besaran Tunjangan Hari Raya (“THR”) Besaran THR Keagamaan ditetapkan oleh Pasal 3 ayat (1) Permenaker 6/2016 sebagai berikut: a. Pekerja/buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah; b. Pekerja/buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan: masa kerja x 1 (satu) bulan upah 12 Upah satu bulan di sini adalah terdiri atas komponen upah: [1] a. upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih ( clean wages ); atau b. upah pokok termasuk tunjangan tetap. Selain itu, dalam Pasal 4 Permenaker 6/2016 juga diatur bahwa: Apabila penetapan besaran nilai THR Keagamaan berdasarkan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau kebiasaan yang telah dilakukan lebih besar dari nilai THR Keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), THR Keagamaan yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan. Besaran THR Bagi Direksi BUMN Sementara itu, besaran THR untuk direksi Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”) mengacu pada Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 4/2014”) sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara (“Permen BUMN 2/2016”). Penghasilan anggota Direksi dapat terdiri dari: [2] a. Gaji ; b. Tunjangan yang terdiri atas: 1) THR ; 2) Tunjangan perumahan; 3) Asuransi purna jabatan. c. Fasilitas yang terdiri atas: 1) Fasilitas kendaraan; 2) Fasilitas kesehatan; 3) Fasilitas bantuan hukum; dan 4) Fasilitas perumahan. d. Tantiem/Insentif Kinerja, dimana di dalam Tantiem tersebut dapat diberikan tambahan berupa Penghargaan Jangka Panjang ( Long Term Incentive /LTI). THR merupakan salah satu tunjangan anggota Direksi BUMN. [3] THR diberikan sebesar 1 (satu) kali Gaji . [4] Gaji adalah penghasilan tetap berupa uang yang diterima setiap bulan oleh seseorang karena kedudukannya sebagai anggota Direksi BUMN. [5] Sedangkan tunjangan adalah penghasilan berupa uang atau yang dapat dinilai dengan uang yang diterima pada waktu tertentu oleh anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas, selain Gaji /Honorarium. Ini berarti, bagi Direksi BUMN, besaran THR-nya adalah 1 (satu) kali Gaji tidak termasuk tunjangan karena berdasarkan pengertian di atas jelas bahwa gaji terpisah dari tunjangan. Berlakunya Permen BUMN 4/2014 dan perubahannya ini adalah sebagai lex specialis (aturan/ketentuan khusus) dari ketentuan ketenagakerjaan sebagai ketentuan yang umum, termasuk Permenaker 6/2016, sehubungan dengan THR bagi anggota Direksi BUMN. Asas yang berlaku dalam hal ini adalah lex specialis derogat legi generali . Asas ini menyatakan bahwa peraturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum. Asas lex specialis derogat legi generali ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama. Lebih lanjut mengenai ini, dapat dilihat dalam artikel Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis . Jadi, yang berlaku bagi Direksi BUMN terkait dengan pemberian THR adalah Permen BUMN 4/2014 sebagaimana diubah dengan Permen BUMN 2/2016. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan ; 2. Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara sebagaimana yang telah diubah oleh Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-02/MBU/06/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-04/MBU/2014 tentang Pedoman Penetapan Penghasilan Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara . [1] Pasal 3 ayat (2) Permenaker 6/2016 [2] Lampiran BAB II huruf A angka 1 Permen BUMN 2/2016 [3] Lampiran BAB II huruf C angka 1 Permen BUMN 2/2016 [4] Lampiran BAB II huruf C angka 1 a c) Permen BUMN 2/2016 [5] Lampiran BAB I huruf D angka 10 Permen BUMN 4/2014 hukumonline tunjangan hari raya ketenagakerjaan hukum klinik klinik hukumonline thr" }
{ "from": "human", "value": "Pasca diterbitkannya UU Cipta Kerja, bagaimana aturan mengenai cuti besar? Lalu, cuti besar berapa lama? Terima kasih atas infonya." }
{ "from": "gpt", "value": "Perlu Anda ketahui bahwa istilah cuti besar tidak dikenal di dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian, aturan cuti besar dapat Anda temukan dalam ketentuan istirahat panjang yang diatur di dalam Perppu Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU Cipta Kerja dan PP 35/2021.\nSebelum diundangkannya Perppu Cipta Kerja, istirahat panjang atau cuti besar diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, yang wajib diberikan kepada pekerja dan diberikan sekurang-kurangnya 2 bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.\n\nLebih lanjut, ketentuan mengenai cuti besar diatur di dalam Kepmenakertrans 51/2004. Namun, Kepmenakertrans 51/2004 tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Permenaker 23/2021.\n\nSelanjutnya, pasca diundangkannya Perppu Cipta Kerja, aturan cuti besar berbeda dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya. Dalam Perppu Cipta Kerja diatur bahwa selain waktu istirahat (istirahat antara jam kerja serta istirahat mingguan) dan cuti (cuti tahunan), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[1]\n\nBagi perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang, tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.[2]\n\nDalam PP 35/2021 diatur bahwa yang dapat memberikan istirahat panjang adalah perusahaan tertentu.[3] Akan tetapi, jenis perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam PP 35/2021 maupun Perppu Cipta Kerja tidak dijelaskan lebih lanjut. Selain itu, hingga artikel ini diterbitkan, belum ada aturan pelaksana seperti peraturan menteri yang mengatur mengenai apa itu perusahaan tertentu dan aturan tentang istirahat panjang (cuti besar).\n\nDengan demikian, cuti besar adalah istirahat panjang yang dapat diberikan oleh perusahaan tertentu kepada pekerjanya, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Begitu pula syarat cuti besar maupun lama cuti besar adalah wewenang dari perusahaan untuk mengatur lebih lanjut.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n5. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksanaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt619f0ccaca5f9/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-nomor-23-tahun-2021/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_23_2021)\n[1] Pasal 81 angka 25 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Lihat juga Pasal 35 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)[2] Penjelasan Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Penjelasan Pasal 79 ayat (5) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 35 ayat (1) PP 35/2021" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan, apakah seorang pegawai perempuan bisa mendapatkan cuti haid dan cuti melahirkan? Jika bisa, cuti melahirkan dan cuti haid berapa hari lamanya? Lalu aturan cuti hamil 6 bulan apakah sudah sah? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Aturan cuti haid dan cuti melahirkan sebagaimana Anda tanyakan sebenarnya telah diakomodir dalam UU Ketenagakerjaan sebagai cuti khusus bagi karyawan perempuan.\nTerkait cuti haid, ketentuan Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyebutkan aturan cuti haid bagi karyawan perempuan sebagai berikut:\n\nPekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.\nLalu, menjawab pertanyaan, cuti haid berapa hari, kami sampaikan bahwa jawabnya adalah dapat diberikan selama 2 hari, yaitu hari pertama dan kedua saja. Meski demikian, pelaksanaan cuti haid diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[1]\n\nKemudian menjawab pertanyaan, apakah saat cuti haid tidak digaji? Kami sampaikan hal itu tidak benar. Pasalnya, ketentuan Pasal 93 ayat (1) huruf b UU Ketenagakerjaan menyebutkan pengusaha wajib membayar upah bagi karyawan perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. Dengan demikian, cuti haid adalah cuti berbayar, dan karyawan perempuan yang cuti haid tetap digaji.\nCuti Melahirkan dan Cuti Keguguran\n\nBerapa lama masa cuti melahirkan? Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menerangkan ketentuan:\n\nPekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.\n\nMerujuk pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa lamanya cuti melahirkan 3 bulan, yaitu total dari 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Namun, lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun sesudah melahirkan.[2]\n\nAkan tetapi, menyambung pertanyaan Anda tentang aturan cuti hamil 6 bulan apakah sudah sah? Saat ini telah diterbitkan UU KIA yang mengatur lebih lanjut perihal cuti melahirkan 6 bulan pada Pasal 4 ayat (3)huruf a bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan dengan ketentuan sebagai berikut:\n\npaling singkat 3 bulan pertama; danpaling lama 3 bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.\n\nBagaimana kondisi khusus yang dimaksud? Jika ibu dan/atau anak mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan/atau komplikasi pasca persalinan.[3] Jadi, dapat dikatakan cuti melahirkan 6 bulan diberikan apabila ibu atau anak mengalami kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.\n\nBaca juga: Apakah Karyawan yang Cuti Melahirkan Terima Gaji Penuh?\n\nLalu timbul pertanyaan kembali, apakah cuti melahirkan digaji? Iya, setiap karyawan perempuan yang menggunakan hak cuti melahirkan dan cuti keguguran tetap berhak mendapatkan upah penuh.[4] Namun terdapat hitungan khusus saat memasuki bulan kelima dan keenam sebagai berikut:[5]\n\nsecara penuh untuk 3 bulan pertama;secara penuh untuk bulan keempat; dan75% dari upah untuk bulan kelima dan bulan keenam.\n\nDengan demikian, lamanya cuti melahirkan 3 bulan, yaitu total dari 1,5 bulan sebelum dan 1,5 bulan sesudah melahirkan. Namun, lamanya istirahat dapat diperpanjang 3 bulan berikutnya hingga menjadi cuti melahirkan 6 bulan jika terjadi kondisi khusus berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.[6]\n\nLebih lanjut, tidak hanya cuti melahirkan, karyawan perempuan yang mengalami keguguran kandungan juga berhak memperoleh cuti keguguran sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaanjo. Pasal 4 ayat (3) huruf b UU KIA yang menerangkan:\n\nPekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6685259de1680/undang-undang-nomor-4-tahun-2024/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_kia)\n[1] Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)\n\n[2] Penjelasan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan\n\n[3] Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (“UU KIA”)\n\n[4] Pasal 80 angka 26 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja  yang mengubah Pasal 84 UU Ketenagakerjaan\n\n[5] Pasal 5 ayat (2) UU KIA\n\n[6] Penjelasan Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Menurut UU Ketenagakerjaan, pekerja wanita berhak atas cuti bersalin 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Sedangkan, pekerja wanita berhak mendapat istirahat selama 1,5 bulan setelah keguguran kandungan. Persoalan yang kami hadapi saat ini yaitu salah seorang rekan kerja wanita kami mengalami kelahiran prematur (2,5 bulan lebih awal dari perhitungan dokter kandungan). Pertanyaannya, bagaimana seharusnya melihat kasus seperti ini? Apakah ini dianggap bersalin atau keguguran kandungan? Sebab perusahaan tempat kami bekerja menerapkan aturan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan (1,5 bulan istirahat setelah keguguran), sedangkan pada kenyataannya bayi kembar rekan kami ini masih hidup di inkubator. Demikian kami mohon informasinya. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda apakah kelahiran prematur dianggap bersalin atau keguguran kandungan, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai apa itu keguguran dan persalinan prematur.\n\nKeguguran atau abortus spontan merupakan abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan. Abortus sendiri adalah kejadian berhentinya kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar kandungan pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan berat janin kurang dari 500 gram.[1]\nSementara, persalinan prematur atau persalinan kurang bulan menurut WHO adalah persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 28 minggu sampai kurang dari 37 minggu (259 hari).[2]\n\nDari pengertian di atas, jika dihitung usia kehamilan rekan kerja Anda yang melahirkan 2,5 bulan dari perkiraan dokter maka usia kehamilannya telah lebih dari 20 minggu dan kurang dari 37 minggu. Dengan demikian, peristiwa tersebut merupakan persalinan, bukan keguguran, terutama bayi tersebut setelah dilahirkan tetap hidup walaupun masih dalam inkubator. Sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai keguguran.\nAturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja yang Melahirkan Prematur\n\nPekerja yang melahirkan prematur berhak mendapatkan cuti melahirkan setidaknya selama 3 bulan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:\n\nPekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.\n\nLamanya cuti melahirkan tersebut dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan.[3]\n\nMeskipun kelahiran prematur terjadi lebih awal dari perhitungan dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapus hak rekan Anda atas cuti melahirkan yang secara akumulatif adalah 3 bulan.\n\nSelanjutnya, terkait dengan pernyataan Anda bahwa perusahaan memberikan cuti keguguran terhadap rekan Anda yang melahirkan prematur, dapat kami sampaikan bahwa aturan tersebut hanya dapat diterapkan kepada pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran. Artinya, perusahaan tidak dapat memberikan hak cuti keguguran yaitu 1,5 bulan kepada rekan Anda, karena peristiwa yang rekan Anda alami adalah persalinan, bukan keguguran.\n\nBaca juga: Aturan Cuti Haid, Cuti Melahirkan, dan Cuti Keguguran\nLangkah Hukum Pekerja Perempuan Jika Tak Dapat Cuti Melahirkan\n\nApabila perusahaan tetap menerapkan aturan pemberian cuti keguguran terhadap pekerja perempuan yang melahirkan secara prematur, maka peraturan perusahaan tersebut melanggar Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Ketentuan dalam peraturan perusahaan pada dasarnya tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila peraturan perusahaan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]\n\nSelanjutnya, rekan Anda dapat melakukan upaya penyelesaian secara bipartit yaitu rekan Anda mengajukan keberatan atau perundingan kepada perusahaan secara musyawarah mufakat.[5] Apabila upaya tersebut gagal, dapat dilanjutkan dengan upaya tripartit, yakni upaya penyelesaian dengan melibatkan mediator dari Dinas Ketenagakerjaan.[6] Jika upaya tripartit tidak membuahkan hasil, maka pihak-pihak dapat mengajukan gugatan perselisihan hak kepada Pengadilan Hubungan Industrial.\n\nSelengkapnya mengenai mekanisme penyelesaian perselisihan antara pekerja dan pengusaha dapat Anda baca dalam artikel 3 Mekanisme Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.\n\nDemikian jawaban dari kami tentang aturan cuti melahirkan prematur, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17858/undangundang-nomor-2-tahun-2004/document?utm_medium=internal_link_klinik?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_2_2004)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nREFERENSI:\n1. Ike Sri Wahyuni, Farida Kartini, dan Abkar Raden. Dampak Kejadian Pasca Abortus Spontan pada Ibu Hamil. Jurnal Kesehatan, Vol. 13 No. 1 (2022)\n2. Sriyana Herman dan Hermanto Tri Joewono. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan (Prematur). Kendari: Yayasan Avicenna Kendari, 2020.\n\n[1] Ike Sri Wahyuni, Farida Kartini, dan Abkar Raden, Dampak Kejadian Pasca Abortus Spontan pada Ibu Hamil, Jurnal Kesehatan, Vol. 13 No. 1 (2022), hal. 91 – 92[2] Sriyana Herman dan Hermanto Tri Joewono, Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan (Prematur), Kendari: Yayasan Avicenna Kendari, 2020, hal. 20[3] Penjelasan Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[4] Pasal 111 ayat (2) UU Ketenagakerjaan dan penjelasannya.[5] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)[6] Pasal 8 UU PPHI" }
{ "from": "human", "value": "Saya bekerja di perusahaan yang mempunyai jadwal kerja 20 hari kerja dan 10 hari libur (karena rotasi). Terkait izin menikah yang dalam UU Ketenagakerjaan, diatur bahwa karyawan mendapatkan izin tidak masuk kerja selama 3 hari (tanpa mengurangi gaji). Jika saya mengambil cuti menikah pada hari tengah-tengah rotasi (rotasi-menikah-rotasi), apakah itu dibolehkan? Atau justru libur menikah saya tidak bisa gunakan karena saya berada pada saat rotasi (libur tetap 10 hari)? Atau saya bisa mengambil menjadi 13 hari (izin menikah diakui pada saat rotasi seperti yang saya contohkan di awal)? Mohon pencerahannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya dalam Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana diatur di dalam UU Ketenagakerjaan, tidak bekerja karena menikah atau lazim dikenal dengan cuti menikah juga menjadi hak karyawan yang harus dipenuhi.\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, peraturan tidak bekerja karena menikah atau cuti menikah diatur dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan yang ketentuannya adalah sebagai berikut.\n\nUpah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.Ketentuan di atas tidak berlaku dan pengusaha wajib membayar upah apabila:\n\npekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaanpekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;pekerja/buruh tidak masuk kerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; danpekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.\n\nLantas, cuti menikah masuk cuti apa? Jika merujuk ketentuan di atas, cuti menikah tidak tergolong sebagai “cuti”, melainkan tidak masuk kerja karena alasan tertentu dan tetap berhak atas upah.\nLalu, terkait cuti menikah berapa lama, kami sampaikan bahwa Pasal 93 ayat (4) huruf a UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja karena menikah dibayar untuk selama 3 hari. Dengan kata lain, izin cuti menikah dapat diberikan selama 3 hari.\nAdapun, pengaturan pelaksanaan ketentuan kewajiban pengusaha membayar upah karena pekerja/buruh tidak masuk bekerja atau tidak melakukan pekerjaan karena hal-hal tertentu seperti menikah ditetapkan dalam perjanjian kerja,peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[1]\nCuti Menikah pada Kondisi Rotasi Kerja\n\nTerkait dengan rotasi kerja, dari keterangan yang Anda sampaikan, kami menangkap bahwa rotasi yang Anda maksud di sini adalah masa atau hari di mana Anda tidak bekerja (libur atau waktu istirahat).\n\nPada dasarnya UU Ketenagakerjaan tidak mengatur larangan maupun ketentuan yang eksplisit mengenai cuti menikah di tengah-tengah rotasi. Oleh karena itu, kami menyarankan agar Anda memeriksa kembali dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama adakah ketentuan khusus mengenai cuti menikah atau tidak masuk bekerja karena menikah.\n\nJika ada larangan cuti menikah di tengah-tengah masa rotasi, maka Anda sebagai karyawan tentu harus mematuhi ketentuan tersebut sesuai asas pacta sunt servanda; di mana semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.[2]\n\nNamun, yang pasti dilindungi oleh undang-undang adalah Anda berhak untuk tidak melakukan pekerjaan karena menikah dan tetap dibayar upahnya selama 3 hari. Jadi Anda sebagai pekerja berhak tidak masuk kerja karena alasan menikah dan pengusaha tetap wajib membayar upahnya.\n\nJika ketentuan cuti menikah tidak diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama di kantor tempat Anda bekerja, maka menurut hemat kami, Anda yang berada pada masa rotasi (istirahat kerja) boleh tidak bekerja karena alasan menikah di hari manapun (baik di tengah-tengah rotasi maupun tidak). Hal ini karena tidak masuk bekerja karena menikah dan tetap menerima upah merupakan hak Anda sebagai pekerja.\n\nJika pengusaha tidak membayar upah karyawan yang tidak masuk bekerja karena menikah, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp400 juta.[3]\n\nDemikian jawaban dari kami terkait aturan cuti menikah sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek/)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n[1] Pasal 93 ayat (5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)\n\n[2] Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata\n\n[3] Pasal 81 angka 67 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan." }
{ "from": "human", "value": "Apakah seorang Sekretaris Direktur juga berhak mendapatkan hak jatah cuti yang sama persis dengan karyawan lain? Mengingat bahwa tidak ada pihak dari divisi lain yang dapat menggantikan saya selama saya cuti. Jika saya izin cuti selama lebih dari 3 hari dan mengingat bahwa posisi saya merupakan jembatan penghubung dari semua pihak yang hendak berhubungan dengan para direksi?\nKapan waktu yang ideal untuk mengajukan kepada atasan saya untuk mengajukan izin cuti?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Definisi Sekretaris Sekretaris menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”) yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah pegawai yang diserahi pekerjaan tulis menulis, atau surat menyurat dan sebagainya, penulis, panitera. Artinya, sekretaris itu adalah pegawai, pekerja, karyawan atau buruh. Sebagai salah satu pegawai atau pekerja, tugas dan tanggung jawab sekretaris diatur secara internal di mana sekretaris ditugaskan. Penugasan biasanya membuat nama tambahan melekat pada sekretaris. Jika ditugaskan membantu manager, namanya menjadi sekretaris manager. Jika tugasnya membantu direktur, namanya menjadi sekretaris direktur dan seterusnya. Dari pengertian tersebut, yang dibahas dalam kasus ini adalah masalah cuti dan istirahat seorang pekerja. Kebetulan pekerja yang dimaksud pada pertanyaan ditugaskan membantu direktur (“sekretaris direktur”). Salah satu hak pekerja adalah hak istirahat cuti sebagaimana diatur dalam P asal 79 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) , yakni : Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi : istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja ; istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus; dan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja / buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun ; Pelaksanaan waktu istirahat tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersam a; Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu ; Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri . Ada beberapa hak istirahat dan cuti yang diatur oleh undang-undang: cuti tahunan, cuti menikah, cuti melahirkan, dan lain-lain. Ketentuan undang-undang tersebut biasanya disadur dalam peraturan perusahaan. Namun walau tidak dicantumkan dalam peraturan perusahaan, cuti itu adalah hak pekerja. Sebaliknya, perusahaan wajib memberikan hak cuti kepada setiap pekerjanya sebagaimana telah diatur dalam Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Mengingat pekerja adalah sekretaris yang membantu direktur atau sekretaris direktur, tentu cuti harus dimohonkan jauh-jauh hari agar direktur bisa mencari pekerja lain untuk mengisi jabatan sekretaris atau orang lain yang sementara dapat menggantikannya ketika sekretaris cuti. Waktu yang ideal mengajukan ijin untuk cuti berdasarkan kasus Anda adalah tergantung perjanjian kerja, peraturan perusahaan tau perjanjian kerja bersama. Namun, jika tidak dicantumkan secara tertulis maka diajukan berdasarkan tingkat kesibukan yang sedang dihadapi perusahaan tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Referensi : Kamus Besar Bahasa Indonesia , diakses pada Rabu, 17 Juli 2019, pukul 13.30 WIB. hukumonline cuti melahirkan ketenagakerjaan perjanjian kerja cuti peraturan perusahaan pekerjaan umum klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Saya dan teman saya adalah pegawai swasta di sebuah perusahaan. Tapi teman saya dapat cuti setahun 20 hari. Padahal di peraturan bukannya hanya 12 hari kerja? Katanya perusahan boleh mengatur cuti tahunan di peraturan perusahan sendiri. Sebenarnya bagaimana bunyi aturan cuti tahunan? Memangnya boleh lebih dari 12 hari?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ketentuan Waktu Istirahat dan Cuti\nKetentuan Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur ketentuan bahwa pengusaha wajib memberikan waktu istirahat dan cuti. Lebih lanjut, aturan hak atas cuti tahunan adalah sekurang-kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.[1]\n\nBerdasarkan ketentuan UU Ketenagakerjaan dan perubahannya dalam Perppu Cipta Kerja tersebut, dapat disimpulkan bahwa dalam bunyi pasal tersebut terdapat kata sekurang-kurangnya, artinya perusahaan harus menetapkan minimal cuti tahunan 12 hari kerja (dapat boleh lebih dari 12 hari kerja). Menurut hemat kami, boleh saja jika perusahaan menetapkan cuti tahunan selama 20 hari karena minimal jumlah cuti tahunan adalah 12 hari kerja.\nSelain itu, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[2] Itu artinya, perusahaan juga bisa menentukan cuti tahunan lebih lanjut dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama selama tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan (misalnya dalam hal ini menetapkan cuti tahunan selama 20 hari kerja).\n\nHal ini sejalan dengan pendapat Juanda Pangaribuan, advokat spesialisasi perburuhan dan Mantan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006–2016, menurut Juanda, jika perusahaan tidak mengatur jangka waktu cuti tahunan dalam perjanjian kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama, maka yang berlaku adalah ketentuan cuti tahunan minimal 12 hari kerja. Mungkin saja suatu perusahaan menetapkan cuti tahunan lebih dari 12 hari kerja yang penting diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Jumlah cuti tahunan 12 hari kerja itu adalah standar minimal, masih terbuka untuk diberikan lebih lama oleh perusahaan.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait cuti tahunan lebih dari 12 hari di kantor teman Anda sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\nCatatan:\n\nKami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan, advokat spesialisasi perburuhan dan Mantan Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016, via WhatsApp pada 14 Mei 2019, pukul 13.11 WIB.\n\n[1] Pasal 81 angka 25 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Apakah perjanjian perkawinan dalam Islam itu diperbolehkan? Jika iya, bolehkah pembuatannya menyimpangi hukum Islam? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum membahas lebih jauh mengenai kedudukan perjanjian perkawinan dalam Islam, perlu diketahui bahwa setiap perbuatan di dalam hukum Islam dapat ditentukan hukumnya dalam suatu penggolongan.\n\nPenggolongan ini dikenal dengan istilah al-ahkam al-khamsah (penggolongan hukum yang lima).\n\nMengutip Imam Syafi’i, Sayuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 17) menggolongkan al-ahkam al-khamsah sebagai berikut.\n\nFardh atau wajib adalah perbuatan yang dilakukan atas perintah. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.Sunah atau mandub adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar anjuran. Apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak mendapat dosa.Ibahah atau mubah adalah kebolehan. Suatu perbuatan boleh dikerjakan dan boleh juga tidak dikerjakan. Baik dikerjakan atau tidak, tidak mendapat pahala atau dosa.Makruh atau larangan ringan adalah perbuatan yang dilarang untuk dilakukan, namun bila dilakukan tidak diancam dengan hukuman atau dosa. Apabila perbuatan tersebut ditinggalkan, maka mendapat pahala.Haram atau larangan adalah perbuatan yang apabila dilakukan mendapat dosa dan apabila ditinggalkan maka mendapat pahala.\n\nPerjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk dari perjanjian yang dibuat antara satu pihak dengan pihak lainnya. Sebagai suatu perjanjian, maka perjanjian perkawinan termasuk ke dalam aspek muamalah.\n\nDalam hal muamalah, pada dasarnya para pihak bebas melakukan perbuatan apa saja, selama perbuatan tersebut tidak dilarang menurut hukum Islam. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih muamalah kontemporer bahwa hukum asal praktik muamalah adalah boleh dilakukan, hingga ada dalil yang menunjukkan hukum kebalikannya.\n\nMerujuk pada penggolongan hukum di atas, kegiatan membuat perjanjian perkawinan hukumnya adalah mubah atau boleh, selama tidak melanggar asas-asas perjanjian dalam hukum Islam.\n\nHal tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 45 KHI yang menerangkan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.\nBentuk Perjanjian Perkawinan dalam Islam\n\nSebagaimana diterangkan dalam KHI, Terdapat dua bentuk perjanjian perkawinan dalam Islam, yaitu taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.\n\nTaklik talak\n\nTaklik talak adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.[1]\n\nDalam hal taklik talak, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni sebagai berikut.\n\nIsi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.[2]Apabila keadaan yang terdapat dalam taklik talak terjadi, maka bukan berarti talak jatuh dengan sendirinya. Istri harus mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menjatuhkan talak tersebut.[3]Perjanjian taklik talak bukan hal yang wajib diadakan.[4]Apabila suami telah membuat taklik talak, maka taklik talak tersebut tidak dapat dicabut kembali.[5]\n\nPerjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam\nKetentuan Pasal 47 ayat (1) KHI mendeskripsikan frasa ‘perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam’ sebagai berikut:\n\nPada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.\n\nMenurut hemat kami, hal ini sesuai dengan apa yang dimaknai sebagai perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 yang telah kami uraikan sebelumnya.\nIsi Perjanjian Perkawinan dalam Islam\n\nApa saja yang boleh diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan dalam hukum Islam? Adapun isi perjanjian perkawinan dalam Islam dapat berupa hal-hal berikut.\nPercampuran harta pribadi\n\nKetentuan Pasal 47 KHI mengatur hal terkait kedudukan harta dalam perkawinan. Perjanjian yang dibuat dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.[6]\n\nPada dasarnya, perkawinan tidak menimbulkan adanya percampuran harta antara suami-istri karena harta di dalam hukum Islam bersifat individual. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 86 ayat (1) KHI yang menerangkan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan.\n\nNamun, apabila kedua pihak ingin melakukan pencampuran harta pribadi maka hal tersebut dibolehkan. Dengan catatan, apa yang diatur di dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam.\n\nPemisahan harta pencaharian\n\nMerujuk pada Pasal 47 KHI, kedua pihak juga dapat mengatur mengenai pemisahan harta pencaharian masing-masing selama dalam ikatan perkawinan.\n\nMenurut Sayuti Thalib dalam Hukum Kekeluargaan Indonesia (hal. 83), yang dimaksud dengan harta pencaharian adalah harta yang diperoleh oleh suami istri setelah mereka berada dalam perkawinan karena usaha, baik usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.\n\nDalam hal pemisahan harta pencaharian, isi perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.\n\nHal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (1) KHI yang menerangkan bahwa apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.\n\nKewenangan untuk mengadakan hipotek atas harta pribadi dan bersama\n\nSelain itu, kedua pihak juga dapat mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama.\n\nHal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 47 ayat (3) KHI yang menerangkan bahwa isi perjanjian itu boleh juga menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotek atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.\n\nSelain mengatur mengenai harta, menurut hemat kami, perjanjian perkawinan juga dapat mengatur hal-hal tambahan seperti hak dan kewajiban suami istri, pengaturan poligami, hak asuh anak, dan lain-lain.\nApakah Isi Perjanjian Perkawinan Boleh Menyimpangi Hukum Islam?\nApabila merujuk pada Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan, dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.\n\nHal serupa juga dijelaskan dalam Pasal 46 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (2) KHI.\n\nPasal 46 ayat (1) KHI\n\nIsi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.\n\nPasal 47 ayat (2) KHI\n\nPerjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.\n\nDengan demikian, bagi umat Islam, isi perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban kami terkait perjanjian perkawinan dalam Islam sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_1_1974)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_16_2019)\n3. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.\n\nREFERENSI:\n1. Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014.\n\n[1] Pasal 1 huruf e Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (”KHI”)[2] Pasal 46 ayat (1) KHI[3] Pasal 46 ayat (2) KHI[4] Pasal 46 ayat (3) KHI[5] Pasal 46 ayat (3) KHI[6] Pasal 47 ayat (2) KHI" }
{ "from": "human", "value": "Memasang plakat nama/papan nama advokat/pengacara/LBH dan sejenisnya di pinggir jalan apakah memerlukan izin? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemasangan Papan Nama Advokat Sepanjang penelusuran kami, aturan mengenai pemasangan papan nama advokat terdapat pada Pasal 8 huruf b Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”) , yang berbunyi: Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan . Kemudian disebutkan lagi dalam Pasal 8 huruf d KEAI , yaitu: Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat . Selain itu, Pasal 8 huruf f KEAI juga mengatur: Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publisitas bagi dirinya dan/atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat . Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi KEAI. Pengawasan atas pelaksanaan KEAI ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan. [1] Sehingga menurut hemat kami, advokat diperbolehkan memasang papan nama dengan tujuan bukan untuk semata-mata menarik perhatian orang, namun memberi informasi dan petunjuk bahwa di tempat tersebut ada sebuah kantor hukum atau advokat yang berpraktik sepanjang tidak dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan. Pemasangan Papan Nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Menyambung pertanyaan Anda, ketentuan mengenai LBH diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU 16/2011”) . Pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum dengan syarat: [2] berbadan hukum; terakreditasi berdasarkan UU 16/2011; memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; memiliki pengurus; dan memiliki program bantuan hukum. Dikutip dari artikel Perbedaan Advokat dengan Lembaga Bantuan Hukum , LBH dapat merekrut dan mendidik serta melatih advokat dalam melaksanakan bantuan hukum. Namun yang harus digarisbawahi, tidak semua advokat merupakan pekerja LBH. Verifikasi dan akreditasi terhadap LBH menurut Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan (“Permenkumham 3/2013”) dilakukan setiap 3 tahun terhadap LBH atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum dan pemberi bantuan hukum. [3] LBH atau organisasi yang mengajukan permohonan verifikasi dan akreditasi sebagai pemberi bantuan hukum harus memenuhi syarat : [4] berbadan hukum; memiliki kantor atau sekretariat yang tetap; memiliki pengurus; memiliki program bantuan hukum; memiliki advokat yang terdaftar pada LBH atau organisasi; dan telah menangani paling sedikit 10 kasus. LBH atau organisasi yang telah terverifikasi dan terakreditasi sebagai pemberi bantuan hukum dituangkan dalam sertifikat yang ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berlaku untuk jangka waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang . [5] Menurut Rusti Margareth Sibuea , Kepala Divisi Non Litigasi Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron , ketentuan mengenai pemasangan papan nama LBH juga tetap tunduk pada KEAI, sehingga tetap tidak boleh dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan atau semata-mata untuk menarik perhatian orang. Perihal Perizinan Berdasarkan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame (“Pergub DKI Jakarta 148/2017”) , nama pengenal usaha termuat dalam reklame. [6] Dalam artikel Hal yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Pemasangan Reklame Billboard , diterangkan bahwa ketentuan pemasangan reklame pada dasarnya dituangkan dalam peraturan daerah setempat. Sebagai contoh, dalam artikel Izin Penyelenggaraan Reklame yang kami akses dari laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi , diterangkan syarat izin penyelenggaraan reklame di Kota Tasikmalaya, mencakup, antara lain, fotokopi KTP pemohon, fotokopi akta pendirian perusahaan bagi yang berbadan hukum, gambar/visual reklame, dan membayar pajak. Namun, Pasal 47 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah , nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi, tidak termasuk sebagai objek pajak reklame. Jadi untuk memenuhi syarat izin penyelenggaraan reklame yang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi, tidak perlu dengan membayar pajak. Contoh Kasus Kami mencontohkan kasus yang diberitakan dalam artikel Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan , pada pokoknya menyebutkan advokat (Teradu) dilaporkan ke Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta atas pelanggaran Pasal 8 huruf b dan f KEAI, akibat membuat pengumuman di koran dalam rangka pemanggilan kepada pihak perusahaan untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan. Majelis Dewan Kehormatan DKI Jakarta lalu mengabulkan permohonan Pengadu dan Teradu dinilai melanggar Pasal 8 huruf f KEAI, sehingga mendapat sanksi teguran keras dan biaya perkara sebesar Rp3,5 juta dialamatkan kepada Teradu (hal. 1). Masih dari artikel yang sama, Teradu kemudian mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi, yang mana Teradu berkeyakinan tindakan itu bukan pelanggaran kode etik, melainkan bertujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan klien. Namun majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi tetap memutuskan bahwa Teradu bersalah, sehingga keputusan ini bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk MUNAS. [7] Majelis menilai, tindakan ini berlebihan karena pemanggilan melalui media massa justru tidak mencerminkan sikap advokat yang profesional, sebab apabila perundingan bipartit menemui jalan buntu, Teradu bisa menempuh perundingan tripartit dan iklan koran itu tidak diperlukan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2013 tentang Tata Cara Verifikasi dan Akreditasi Lembaga Bantuan Hukum atau Organisasi Kemasyarakatan Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 148 Tahun 2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Reklame Referensi : Izin Penyelenggaraan Reklame , diakses pada 19 Juni, pukul 17.28 WIB; Kode Etik Advokat Indonesia , diakses pada 19 Juni 2020, pukul 13.40 WIB. Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Rusti Margareth Sibuea via WhatsApp pada 19 Juni 2020 , pukul 15.49 WIB . [1] Pasal 9 KEAI jo. Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) [2] Pasal 8 UU 16/2011 [3] Pasal 2 Permenkumham 3/2013 [4] Pasal 12 Permenkumham 3/2013 [5] Pasal 1 angka 8, Pasal 32, Pasal 35 ayat (1) Permenkumham 3/2013 [6] Pasal 16 huruf a angka 1 Pergub DKI Jakarta 148/2017 [7] Pasal 19 ayat (3) KEAI profesi hukum pajak hukumonline kode etik advokat" }
{ "from": "human", "value": "Apakah boleh mempekerjakan orang tanpa hari libur?" }
{ "from": "gpt", "value": "Hak untuk menikmati libur adalah hak setiap pekerja/buruh. Pasal 81 angka 23 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 77 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja yang meliputi:\n\n7  jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.\n\nSelain itu, libur bekerja merupakan waktu istirahat yang wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Libur mingguan atau istirahat mingguan paling sedikit 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu dan berhak mendapat upah penuh.[1]\n\nDari ketentuan pasal di atas menunjukkan bahwa paling tidak di dalam satu minggu, pekerja/buruh dapat beristirahat dan menikmati hari libur sekurang-kurangnya satu hari. Hak ini juga merupakan bentuk perlindungan bagi pekerja/buruh dan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh, termasuk hak untuk menikmati hari libur.\n\nSelanjutnya akan kami bahas tentang bolehkah pengusaha meminta karyawan bekerja di hari libur? Pada dasarnya, pekerja/buruh juga tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi, kecuali jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalani secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha.[2]\nAdapun yang dimaksud dengan pekerjaan yang dijalankan secara terus menerus adalah pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau dalam keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dan pengusaha.[3] Jenis-jenis pekerjaan tersebut yaitu: [4]\n\npekerjaan di bidang pelayanan kesehatan;pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;pekerjaan di bidang pelayanan jasa perbaikan alat transportasi;pekerjaan di bidang usaha pariwisata;pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;pekerjaan di bidang usaha swalayan, pusat perbelanjaan dan sejenisnya;pekerjaan di bidang media massa;pekerjaan di bidang pengamanan;pekerjaan di lembaga konservasi;pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.\n\nPerlu diperhatikan bahwa, pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi wajib membayar upah kerja lembur.[5]\n\nMengacu pada pasal di atas dapat diketahui bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. Adapun hari-hari yang ditetapkan sebagai hari libur resmi  pada saat ini dapat Anda simak dalam Keputusan Bersama 3 Menteri 2022 tentang Hari Libur dan Cuti Bersama Tahun 2023.\n\nAkan tetapi, pengusaha bisa saja mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi, dengan persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha wajib memberikan upah kerja lembur.\nCuti dan Istirahat Panjang\n\nSelain libur mingguan dan libur resmi, perlu kami sampaikan pula bahwa pekerja juga berhak atas cuti tahunan. Cuti tahunan wajib diberikan oleh pengusaha kepada pekerja yang telah bekerja selama satu tahun secara terus menerus. Adapun paling sedikit cuti tahunan diberikan sebanyak 12 hari kerja.[6]\n\nSelain cuti tahunan, aturan libur karyawan perempuan juga bisa mendapatkan cuti haid selama 2 hari, cuti melahirkan selama 3 bulan dan jika keguguran berhak mendapat cuti selama 1,5 bulan.[7]\n\nPada perusahaan tertentu, dapat memberikan istirahat panjang kepada pekerjanya yang ketentuannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[8]\n\nKetentuan mengenai istirahat panjang ini diatur di dalam PP 35/2021 namun tidak diatur secara rigid. Pasal 35 PP 35/2021 hanya menegaskan bahwa perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang. Adapun yang dimaksud dengan perusahaan tertentu adalah perusahaan yang dapat memberikan istirahat panjang dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nBagi pekerja yang mengambil cuti tahunan, cuti keguguran dan melahirkan, serta istirahat panjang tetap berhak mendapatkan upah penuh.[9]\nSanksi Bagi Pengusaha yang Tidak Memberikan Hak Libur Karyawan\n\nPengusaha yang tidak memberikan waktu istirahat (baik harian maupun mingguan) dan cuti tahunan kepada karyawannya serta tidak memberikan upah lembur bagi karyawan yang bekerja pada hari libur resmi dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 12 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp100 juta.[10]\n\nSanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk membayar hak-hak dan/atau kerugian kepada tenaga kerja atau pekerja/buruh.[11]\n\nDengan demikian, menjawab pertanyaan Anda tentang bolehkah pengusaha mempekerjakan orang tanpa hari libur, maka dapat kami sampaikan bahwa aturan libur karyawan telah diatur sedemikian rupa. Pengusaha pada dasarnya wajib memberikan istirahat mingguan dan cuti tahunan. Selain itu, pekerja atau karyawan tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi, kecuali bagi pekerja yang bekerja di bidang pekerjaan yang dijalankan terus menerus dengan persetujuannya, dengan syarat mendapatkan upah lembur.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\nDemikian jawaban dari kami tentang aturan libur karyawan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322c341518b/peraturan-pemerintah-nomor-35-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_35_2021)\n4. [Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-233/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan secara Terus Menerus](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17828/keputusan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-kep233men2003-tahun-2003?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kepmenaker_233_2003)\n5. [Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1066, 3, 3, Tahun 2022 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63451cf3b123f/keputusan-bersama-menteri-agama--menteri-ketenagakerjaan--dan-menteri-pendayagunaan-aparatur-negara-dan-reformasi-birokrasi-nomor-1066--3--3-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=SKB_hari_libur_2023)\n[1] Pasal 81 angka 25 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan Pasal 81 angka 26 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 84 UU Ketenagakerjaan[2] Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan[3] Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep-233/MEN/2003 Tahun 2003 tentang Jenis dan Sifat Pekerjaan yang Dijalankan secara Terus Menerus (“Kepmenakertrans 233/2003”)[4] Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans 233/2003[5] Pasal 85 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[6] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan[7] Pasal 81 dan Pasal 82 UU Ketenagakerjaan[8] Pasal 81 angka 25 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (5) UU Ketenagakerjaan[9] Pasal 81 angka 26 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 84 UU Ketenagakerjaan[10] Pasal 81 angka 68 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[11] Pasal 189 UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hal produk yang dipasarkan oleh produsen mengakibatkan kerugian konsumen, apakah konsumen dapat mengajukan gugatan secara kelompok?" }
{ "from": "gpt", "value": "Hal yang Anda tanyakan ini sudah diatur Pasal 46 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU Perlindungan Konsumen”) sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Perlindungan Pasien pada Praktik Pengobatan Tradisional 16 Apr 2024 Gugatan Kelompok atau Class Action : Syarat dan Prosedurnya 24 Agt 2022 Konsumen Sakit Karena Minuman Basi, Siapa yang Harus Digugat? 01 Mar 2012 Konsep dan Praktik Strict Liability di Indonesia 31 Mar 2011 Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama ; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit . Kemudian, penjelasan Pasal 46 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Konsumen berbunyi: “Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi. ” Atas dasar pengaturan di atas, bila produk pelaku usaha mengakibatkan kerugian terhadap sekelompok konsumen, kelompok konsumen tersebut dapat melakukan gugatan perwakilan kelompok atau class action . Pengaturan lebih lanjut mengenai tata cara beracara dalam gugatan class action dapat ditemui pada Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok . Sebagai tambahan, praktik gugatan class action sudah beberapa kali dilakukan. Contoh-contoh perkara gugatan class action ini dapat disimak pada artikel-artikel berikut: - Gugatan Class Action Pelanggar Astro Lolos Verifikasi . - Konsumen Jawa Timur Gugat Astro - Perkara Temasek: Gugatan Class Action Dinilai Kurang . - Giliran Korban Tabrakan Kereta Api di Brebes Ajukan Gugatan Class Action . Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2.\nPeraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok." }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, apa perbedaan fintech dan inovasi keuangan digital? Apakah POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang inovasi keuangan digital di sketor jasa keuangan ada kaitanya dengan POJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi?  Apabila perusahaan pembiayaan ingin melakukan inovasi keuangan digital, apa kemungkinan kerugian yang akan dialaminya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Tidak ada perbedaan mendasar antara Fintech dengan Inovasi Keuangan Digital (“IKD”), hanya saja Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) menggunakan terminologi IKD untuk menyebut produk Fintech. Jelas ada hubungan antara IKD dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”) karena Peer-to-Peer Lending (“P2PL”) merupakan salah satu bentuk IKD. Akan tetapi, karena Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 13/2018”) yang mengatur tentang IKD keluar belakangan daripada POJK 77/2016, maka mengenai regulatory sandbox yang diatur pada POJK 13/2018 tidak diterapkan bagi pelaku P2PL. Perusahaan pembiayaan jelas dapat menjadi penyelenggara IKD karena kedudukannya sebagai lembaga jasa keuangan. Akan tetapi, terdapat risiko bisnis, hukum dan teknologi informasi yang harus diwaspadai. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk pertanyaan ini, akan dijawab satu per satu sesuai dengan topik yang bersangkutan. Apa Itu Fintech? Berdasarkan informasi dari laman Investopedia , sebuah laman yang menyajikan informasi dan edukasi seputar konsep keuangan, investasi, dan pengelolaan uang; Fintech ( Financial Technology ) secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan teknologi pada sektor jasa keuangan yang digunakan untuk mengembangkan dan mengotomatisasikan penyerahan dan penggunaan jasa keuangan. Penekanan di sini diberikan pada pengembangan, atau dapat juga dengan inovasi, dari jasa keuangan itu sendiri, sehingga penggunaan teknologi yang tidak mengembangkan atau juga tidak bersifat inovasi tidak dapat dianggap sebagai Fintech (contoh: internet banking , digital banking , dll). Apa Itu Inovasi Keuangan Digital (IKD)? Inovasi Keuangan Digital (“IKD”) merupakan terminologi yang digunakan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 13/2018”) . POJK 13/2018 mendefinisikan IKD sebagai aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital. [1] Mudahnya, IKD merupakan sebutan dari OJK bagi Fintech . [2] Kemudian, apakah ada hubungan antara IKD dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”) ? Jawabannya adalah ada dan sangat erat . IKD sebenarnya berfungsi sebagai wadah pertama bagi ekosistem Fintech baru dengan menggunakan apa yang disebut sebagai Regulatory Sandbox . [3] Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara. [4] Melalui regulatory sandbox , OJK akan mengawasi pelaku fintech model baru yang belum diakomodasi oleh kerangka hukum manapun, contohnya adalah insurtech atau smart contract . Jika telah ada peraturan spesifik yang mengatur, maka pelaku fintech tersebut akan keluar dari regulatory sandbox dan harus tunduk pada kerangka hukum yang lebih spesifik. OJK dalam menyelenggarakan regulatory sandbox untuk memastikan IKD ( fintech ) memenuhi kriteria yakni: [5] bersifat inovatif dan berorientasi ke depan; menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana utama pemberian layanan kepada konsumen di sektor jasa keuangan; mendukung inklusi dan literasi keuangan; bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas; dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada; menggunakan pendekatan kolaboratif; dan memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan data. POJK 77/2016 sendiri sebenarnya adalah kerangka hukum bagi fintech jenis Peer-to-Peer Lending (“P2PL”) yang mana sebenarnya adalah model fintech yang lebih spesifik. [6] Akan tetapi, patut diingat bahwa POJK 77/2016 telah keluar lebih dahulu sebelum POJK 13/2018, sehingga pelaku P2PL tidak mendapatkan kesempatan untuk mengikuti regulatory sandbox dan langsung wajib tunduk dengan POJK 77/2016. Ulasan selengkapnya tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (P2PL) dapat Anda simak dalam artikel Dasar Hukum Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi . Risiko Bagi Pelaku IKD Berkaitan dengan pertanyaan Anda, apabila perusahaan pembiayaan ingin melakukan inovasi keuangan digital, apa kemungkinan kerugian yang akan dialaminya? Berikut penjelasannya: Mengenai perusahaan pembiayaan diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan (“POJK 35/2018”) , perusahaan pembiayaan adalah lembaga jasa keuangan (“LJK”) berbentuk badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa dan memiliki kegiatan usaha meliputi pembiayaan investasi, modal kerja, multiguna dan pembiayaan lain. [7] Atas kedudukannya sebagai LJK, maka perusahaan pembiayaan berhak untuk menjadi penyelenggara IKD, dan oleh karena itu perusahaan pembiayaan tersebut wajib untuk memenuhi syarat produk IKD. [8] Apa saja risiko yang dihadapi oleh penyelenggara IKD? Menurut hemat kami, tentunya banyak risiko, beberapa di antaranya: Risiko bisnis, karena sifat dari IKD sendiri yang harus inovatif, maka tahap perkembangan awal menjadi sangat menentukan apakah IKD yang dikembangkan akan sukses atau tidak; Risiko hukum, dimana ada kemungkinan IKD yang dibuat akan dikeluarkan peraturan yang bersifat spesifik (seperti P2PL dan Equity Crowdfunding ), maka dengan demikian perusahaan pembiayaan terkait wajib untuk mengikuti kerangka hukum yang baru; dan Risiko teknologi informasi, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kebocoran data yang menyebabkan hilangnya trust dari masyarakat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan ; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi ; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan ; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan . Referensi : Investopedia , diakses pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 17.00 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 POJK 13/2018 [2] Penjelasan umum POJK 13/2018 [3] Pasal 7 ayat (1) POJK 13/2018 [4] Pasal 1 angka 4 POJK 13/2018 [5] Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 4 POJK 13/2018 [6] Penjelasan Pasal 3 huruf d POJK 13/2018. [7] Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) POJK 35/2018. Lihat juga Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan [8] Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a POJK 13/2018. ojk hukumonline peer to peer lending online financial technology fintech investasi hukum perusahaan klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana pengaturan adopsi oleh WNA? Apakah akibat hukumnya terhadap hak waris?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Haruskah Dapat Persetujuan Seluruh Keluarga Anak untuk Adopsi? 13 Agt 2015 Hak Cuti untuk Adopsi Anak di Indonesia 10 Agt 2015 Bolehkah Mengangkat Anak yang Berbeda Agama? 03 Des 2014 Keabsahan Pengangkatan Anak Secara Adat 14 Nov 2014 Intisari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sama halnya seperti pengangkatan anak oleh WNI, pengangkatan anak WNI oleh WNA ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Namun, ada syarat tambahannya, yakni: a.\nmemperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b.\nmemperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c.\nmelalui lembaga pengasuhan anak . Selain itu, calon orang tua angkat WNA juga harus memenuhi syarat: a.\ntelah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; b.\nmendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c.\nmembuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Penjelasan lebih lanjut dan tata cara pengangkatan anak WNI oleh WNA dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Adopsi atau pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. [1] Pada dasarnya pengangkatan anak terdiri atas: [2] a.\npengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (“WNI); dan b. pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing (“WNA”). Dalam konteks pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan soal pengangkatan anak pada poin kedua di atas, yakni pengangkatan anak antara WNI dengan WNA. Pengangkatan ini kemudian dibagi lagi menjadi: [3] a. pengangkatan anak WNI oleh WNA; dan b.\npengangkatan anak WNA di Indonesia oleh WNI Oleh karena itu, sehubungan dengan pertanyaan Anda, mari kita bahas soal pengangkatan anak WNI oleh WNA. Sebenarnya pengangkatan anak WNI oleh WNA hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir . [4] Jadi pada dasarnya sebisa mungkin pengangkatan anak Indonesia itu hanya dilakukan oleh WNI juga. Sama halnya seperti pengangkatan anak oleh WNI, pengangkatan anak WNI oleh WNA ini dilakukan melalui putusan pengadilan. [5] Sedangkan syarat anak yang diangkat dan prosedur pengangkatan anak melalui putusan pengadilan oleh WNA ini pada dasarnya sama dengan pengangkatan oleh WNI. Selengkapnya tentang prosedur dan tata cara pengangkatan anak dapat Anda simak dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya . Namun, ada syarat tambahan pengangkatan anak WNI oleh WNA sebagaimana dalam pertanyaan Anda, yakni harus memenuhi syarat: [6] a.\nmemperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia; b.\nmemperoleh izin tertulis dari Menteri; dan c.\nmelalui lembaga pengasuhan anak. [7] Syarat Calon Orang Tua Angkat WNA Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat: [8] a.\nsehat jasmani dan rohani; b.\nberumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c.\nberagama sama dengan agama calon anak angkat; d.\nberkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e.\nberstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun; f.\ntidak merupakan pasangan sejenis; g.\ntidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h.\ndalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; i.\nmemperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak; j.\nmembuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak; k.\nadanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat; l.\ntelah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m.  memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial. Selain memenuhi syarat-syarat di atas, calon orang tua angkat WNA juga harus memenuhi syarat: [9] a.\ntelah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun; b.\nmendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan c.\nmembuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada untuk Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat. Permohonan pengangkatan anak WNI oleh WNA yang telah memenuhi persyaratan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan pengadilan dan harus dilaksanakan di Indonesia. [10] Dalam proses perizinan pengangkatan anak, Menteri dibantu oleh Tim Pertimbangan, yaitu yaitu tim yang dibentuk oleh Menteri, yang bertugas memberikan pertimbangan dalam memperoleh izin pengangkatan anak dan beranggotakan perwakilan dari instansi yang terkait. [11] Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (“Tim PIPA”) ini adalah suatu wadah pertemuan koordinasi lintas Instansi guna memberikan pertimbangan kepada Menteri untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antara WNI dengan WNA atau kepada Gubernur untuk pemberian izin pengangkatan anak yang dilaksanakan antar WNI, yang diselenggarakan secara komperhensif dan terpadu. [12] Ada juga kewajiban lain yang wajib dipatuhi oleh orang tua angkat WNA, yakni orang tua angkat harus melaporkan perkembangan anak kepada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat paling singkat sekali dalam 1 (satu) tahun, sampai dengan anak berusia 18 (delapan belas) tahun. [13] Tata Cara Pengangkatan Anak WNI oleh WNA [14] a.\nCalon Orang Tua Angkat (“COTA”) mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Menteri Sosial di atas kertas bermaterai cukup dengan melampirkan semua persyaratan administratif Calon Anak Angkat (“CAA”) dan COTA; b.\nMenteri c.q. Direktur Pelayanan Sosial Anak menugaskan Pekerja Sosial Instansi Sosial untuk melakukan penilaian kelayakan COTA dengan dilakukan kunjungan rumah kepada keluarga COTA; c.\nDirektur Pelayanan Sosial Anak atas nama Menteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Keputusan Izin Pengasuhan Anak Sementara kepada COTA melalui Lembaga Pengasuhan Anak; d.\npenyerahan anak dari Lembaga Pengasuhan Anak kepada COTA; e.\nbimbingan dan pengawasan dari Pekerja Sosial selama pengasuhan sementara; f.\nCOTA mengajukan permohonan izin pengangkatan anak disertai pernyataan mengenai motivasi pengangkatan anak kepada Menteri Sosial di kertas bermaterai cukup; g.\nkunjungan rumah oleh Pekerja Sosial Kementerian Sosial dan Lembaga Pengasuhan Anak untuk mengetahui perkembangan CAA selama diasuh COTA; h.\nDirektur Pelayanan Sosial Anak membahas hasil penilaian kelayakan COTA, dan memeriksa serta meneliti berkas/dokumen permohonan pengangkatan anak dalam Tim PIPA; i.\nditerbitkannya Surat rekomendasi dari Tim PIPA tentang perizinan pertimbangan pengangkatan anak; j.\nMenteri Sosial c.q. Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial mengeluarkan Surat Izin pengangkatan anak untuk untuk ditetapkan di pengadilan; k.\napabila permohonan pengangkatan anak ditolak maka anak akan dikembalikan kepada orang tua kandung/ wali yang sah/kerabat, Lembaga Pengasuhan Anak, atau pengasuhan alternatif lain sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak; l.\nsetelah terbitnya penetapan pengadilan dan selesainya proses pengangkatan anak, COTA melapor dan menyampaikan salinan tersebut ke Kementerian Sosial; dan m.  Kementerian Sosial mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut. Akibat Hukum Waris Pengangkatan Anak WNI oleh WNA Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Anak Angkat, Prosedur dan Hak Warisnya , berikut akibat hukum pengangkatan anak: Hukum Islam: Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat . Ia tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991). Peraturan Perundang-undangan: Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat . Artinya, akibat pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua kandung dan anak tersebut. Agama Calon Anak Angkat dan Calon Orang Tua Angkat Hal penting yang sekiranya perlu kami sampaikan soal pengangkatan anak oleh WNA ini adalah soal urusan agama. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. [15] Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Bolehkah Mengangkat Anak yang Berbeda Agama? Contoh Kasus Permohonan Pengangkatan Anak oleh WNA Meski tidak dikabulkan oleh hakim, setidaknya pernah ada contoh kasus pengangkatan anak yang pernah dimohonkan oleh seorang WNA. Dalam Putusan Pengadilan Negeri Mungkid Nomor 62/Pdt. P/2010/PN. Mkd diketahui pemohon adalah warga negara Singapura berusia 45 tahun yang telah lama tinggal di Indonesia untuk bekerja. Pemohon juga belum menikah, namun Pemohon sangat mendambakan kehadiran seorang anak dalam kehidupannya. Meskipun Pemohon telah menunjukkan bukti-bukti dan saksi untuk keperluan syarat pengangkatan anak, namun menurut pengadilan pemohon belum memenuhi persyaratan yang ditentukan, antara lain yaitu syarat harus sudah menikah paling singkat 5 (lima) tahun. Di samping itu, pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh pemohon yang berkewarganegaraan Indonesia. Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, maka pengadilan menolak permohonan pengangkatan anak oleh pemohon. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak ; 3.\nPeraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak. PUTUSAN Putusan Pengadilan Negeri Mungkid Nomor 62/Pdt. P/2010/PN. Mkd . [1] Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) [2] Pasal 7 PP 54/2007 [3] Pasal 11 ayat (1) PP 54/2007 [4] Pasal 5 PP 54/2007 [5] Pasal 11 ayat (2) PP 54/2007 [6] Pasal 14 PP 54/2007 [7] Pasal 11 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 110/Huk/2009 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (“Permensos 110/2009”) [8] Pasal 13 PP 54/2007 [9] Pasal 17 PP 54/2007 [10] Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 24 PP 54/2007 [11] Pasal 25 ayat (1) PP 54/2007 dan penjelasannya [12] Pasal 1 angka 12 Permensos 110/2009 [13] Pasal 40 PP 54/2007 [14] Pasal 46 Permensos 110/2009 [15] Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Pasal 3 ayat (1) PP 54/2007 adopsi anak" }
{ "from": "human", "value": "Apakah memang benar ada aturan drop out bagi mahasiswa untuk jenjang S1 (sarjana) yang tidak bisa menyelesaikan kuliah selama 5 tahun? Sekarang saya kelas 3 SMA, saya takut kalau memang ada aturan seperti itu. Mohon jelaskan. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada dasarnya setelah menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA), maka jenjang pendidikan yang ditempuh selanjutnya adalah pendidikan tinggi.\n\nAdapun yang dimaksud pendidikan tinggi menurut UU 12/2012 adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.[1]  Program pendidikan tinggi ini diselenggarakan oleh perguruan tinggi.[2]\n\nMengacu pada pertanyaan Anda perlu diketahui bahwa program sarjana merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan pendidikan menengah atau sederajat sehingga mampu mengamalkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran ilmiah.[3]\n\nSecara lebih rinci, pengaturan mengenai program sarjana dan lama studi diatur dalam Permendikbudristek 53/2023.\nMasa Studi dan Beban Belajar\n\nMenyambung pertanyaan Anda, terkait dengan masa studi maksimum perguruan tinggi, Pasal 18 ayat (1) Permendikbudristek 53/2023 mengatur ketentuan sebagai berikut:\n\nPada program sarjana atau sarjana terapan, beban belajar minimal 144 satuan kredit semester yang dirancang dengan Masa Tempuh Kurikulum 8 semester.\n\nPatut diketahui, masa tempuh kurikulum dua semester dilaksanakan untuk satu tahun akademik, sehingga dapat diartikan 8 semester adalah selama 4 tahun.\nPenghentian Studi (Drop Out) Mahasiswa Program Sarjana\n\nApa akibat apabila seorang mahasiswa tidak bisa memenuhi ketentuan masa studi selama 4 tahun atau 8 semester tersebut? Bisakah mahasiswa dikeluarkan/dihentikan atau drop out?\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, kami merujuk ketentuan mengenai pemberhentian masa studi dalam peraturan akademik masing-masing perguruan tinggi.\n\nSebagai contoh peraturan mengenai drop out kuliah semester berapa, termuat dalam Peraturan Rektor UI 1/2024. Adapun masa tempuh dari kurikulum program sarjana di Universitas Indonesia adalah dirancang untuk 8 semester, dan masa studi program sarjana maksimum adalah 14 semester atau 7 tahun lamanya, dengan beban belajar program sarjana paling sedikit 144 satuan kredit semester (“sks”).[4]\n\nSelanjutnya, apa yang membuat mahasiswa di drop out? Mahasiswa program sarjana dinyatakan putus studi dalam hal:[5]\n\npada evaluasi hasil belajar 2 semester pertama tidak memperoleh minimal 24 sks dengan nilai minimal C;pada evaluasi hasil belajar 4 semester pertama tidak memperoleh minimal 48 sks dengan nilai minimal C;pada evaluasi hasil belajar 6 semester pertama tidak memperoleh minimal 72 sks dengan nilai minimal C;pada evaluasi hasil belajar 8 semester tidak memperoleh minimal 96 sks dengan nilai minimal C;pada evaluasi hasil belajar 10 semester tidak memperoleh minimal 120 sks dengan nilai minimal C;pada akhir masa studi tidak menyelesaikan seluruh beban belajar sesuai dengan kurikulum dengan nilai minimal C; atautidak melakukan registrasi administrasi dan registrasi akademik selama 2 semester berturut-turut.\n\nSelain itu, mahasiswa program sarjana juga dapat dinyatakan putus studi dalam hal:[6]\n\nbermasalah dalam hal administrasi;mendapat sanksi atas pelanggaran akademik;mendapat sanksi atas pelanggaran kode etik UI; dan/ataudinyatakan tidak laik lanjut studi atas dasar pertimbangan kesehatan dari lembaga yang diakui UI.\n\nOleh karena itu, kami berpendapat mahasiswa dapat dihentikan studinya atau drop out apabila tidak memenuhi ketentuan akademik yang ditetapkan oleh masing-masing perguruan tinggi, termasuk apabila melebihi ketentuan maksimum masa studi program sarjana ataupun pada akhir masa studi tidak menyelesaikan seluruh beban belajar sesuai dengan kurikulum dengan nilai minimal C.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt504716e4cc717/undang-undang-nomor-12-tahun-2012?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_2012)\n2. [Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt64eee44d58791/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendikbudriset_53_2023)\n3. [Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana](https://scele.cs.ui.ac.id/pluginfile.php/1031/block_html/content/2024-PR%201%20TENTANG%20PENYELENGGARAAN%20PROGRAM%20SARJANA.pdf)\n[1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU 12/2012”)[2] Pasal 1 angka 6 UU 12/2012[3] Pasal 18 ayat (1) UU 12/2012[4] Pasal 26 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 24 ayat (1) Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (“Peraturan Rektor UI 1/2024”)[5] Pasal 56 ayat (1) Peraturan Rektor UI 1/2024[6] Pasal 57 Peraturan Rektor UI 1/2024" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang karyawan perusahaan asing. Di tempat saya bekerja mempunyai kebiasaan memberikan uang tambahan sebesar satu kali gaji setiap tanggal 25 Desember dan sudah berlangsung dari awal berdiri sampai sekarang dan perusahaan mengambil istilah gaji ke-14, tapi gaji ke-14 ini belum dimasukan di PKB. Yang saya tanyakan adalah adakah dasar hukum tentang kebiasaan perusahaan memberikan gaji ke-14 itu? Secara hukum boleh atau tidak jika gaji ke-14 tersebut diberikan kurang dari satu kali gaji seperti biasanya? Sampai saat ini perusahaan masih menolak untuk dimasukan dalam PKB dengan alasan bahwa tidak ada dasar hukum yang mengikat. Demikian pertanyaan saya, terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sepanjang penelusuran kami, UU Ketenagakerjaan maupun aturan perubahannya dalam Perppu Cipta Kerja tidak mengenal istilah gaji ke-14. Perlu kami sampaikan bahwa aturan pengupahan di Indonesia secara rinci diatur dalam PP Pengupahan dan perubahannya.\n\nLebih lanjut, PP Pengupahan mengatur ketentuan bahwa penghasilan pekerja dapat diperoleh dalam bentuk upah dan pendapatan non-upah.[1] Karena dalam pertanyaan Anda menyebutkan bahwa yang diberikan perusahaan adalah “uang tambahan”, maka kami asumsikan bahwa uang itu termasuk kategori pendapatan non-upah.\n\nLebih rinci, macam-macam pendapatan non-upah dapat berupa:[2]" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat dari Indonesia menuju negara lainnya yang mengakibatkan penumpang tewas dan/atau luka-luka, bagaimana ketentuan pemberian ganti kerugiannya?" }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bolehkah Impor Obat-Obatan dari Luar Negeri untuk Pribadi? 01 Des 2022 Ketentuan Batas Penumpang Disabilitas dalam Penerbangan 12 Okt 2021 Tanggung Jawab Pengusaha Gedung Atas Kerusakan Bangunan Hingga Menelan Korban 13 Sep 2021 Kewajiban Negara Pantai Jika Terjadi Kecelakaan Kapal Asing 21 Jun 2021 Aturan Ganti Kerugian Kecelakaan Pesawat Penerbangan Internasional Secara hukum, Indonesia telah meratifikasi 2 konvensi penerbangan internasional yang mengatur mengenai ketentuan ganti kerugian bagi penumpang dalam hal terjadi kecelakaan pesawat, yakni: Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1929 (“Konvensi Warsaw 1929”) Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Indonesia telah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929 melalui Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 100 Tahun 1939 (“OPU 100/1939”) . Pasal 17 Konvensi Warsaw 1929 mengatur: The carrier is liable for damage sustained in the event of the death or wounding of a passenger or any other bodily injury suffered by a passenger, if the accident which caused the damage so sustained took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking. Jika diterjemahkan secara bebas, berarti dalam hal terjadi kecelakaan di dalam pesawat atau selama naik atau turunnya pesawat, pengangkut (maskapai penerbangan) bertanggung jawab atas kerusakan yang diderita penumpang, dalam hal peristiwa tersebut mengakibatkan kematian, luka-luka, atau cedera tubuh lainnya. Berapa besar ganti kerugiannya? Pasal 22 ayat (1) Konvensi Warsaw 1929 mengatur tanggung jawab pengangkut untuk setiap penumpang dibatasi hingga 125.000 franc . Jika sesuai dengan hukum tempat pengadilan yang menangani kasus tersebut, ganti rugi dapat diberikan dalam bentuk pembayaran berkala , namun nilai modal yang setara dari pembayaran tersebut tidak boleh melebihi 125.000 franc. Namun demikian, dengan kontrak khusus, pengangkut dan penumpang dapat menyetujui batas tanggung jawab yang lebih tinggi. Jumlah yang disebutkan di atas akan dianggap mengacu pada Franc Perancis, yang terdiri dari 65 miligram emas dengan kehalusan milesimal 900. Jumlah ini dapat dikonversi ke mata uang nasional apa pun dalam angka bulat. [1] Namun, perlu diperhatikan bahwa maskapai penerbangan tidak bertanggung jawab jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa ia dan agennya telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindari kerusakan atau bahwa tidak mungkin baginya atau mereka untuk mengambil tindakan tersebut. [2] Convention for the Unification of Certain Rules Relating to International Carriage by Air 1999 (“ Konvensi Montreal 1999”) Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi Montreal 1999 melalui Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2016 tentang Pengesahan Convention For The Unification of Certain Rules for International Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-aturan Tertentu tentang Angkutan Udara Internasional) (“PP 95/2016”) . Tanggung jawab maskapai penerbangan dalam hal terjadi kecelakaan pesawat diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Konvensi Montreal 1999: The carrier is liable for damage sustained in case of the death or bodily injury of a passenger upon condition only that the accident which caused of death or injury took place on board the aircraft or in the course of any of the operations of embarking or disembarking. Sama halnya dengan ketentuan Pasal 17 Konvensi Warsaw 1929, dalam Konvensi Montreal 1999 juga diatur pertanggungjawaban pengangkut atas kerusakan yang diderita dalam kasus kecelakaan pesawat yang menyebabkan kematian atau cedera tubuh penumpang, sepanjang kecelakaan tersebut terjadi di dalam pesawat atau selama operasi naik atau turun. Adapun besar ganti kerugian yang diberikan terhadap penumpang di atas diatur dalam Pasal 21 ayat (1) Konvensi Montreal 1999 sebagai berikut: For damages arising under paragraph 1 of Article 17 not exceeding 100.000 Special Drawing Rights for each passenger, the carrier shall not be able to exclude or limit its liability Jika diterjemahkan secara bebas, berarti dalam hal kerugian yang timbul akibat kecelakaan tersebut tidak melebihi 100.000 Special Drawing Rights (“SDR”) per penumpang, pengangkut tidak dapat mengecualikan atau membatasi tanggung jawabnya. Disarikan dari laman International Civil Aviation Organization , per 28 Desember 2019, nominal 100.000 SDR akan dievaluasi seiring perkembangan waktu mengikuti tingkat inflasi dunia, saat ini menjadi SDR 128.821. Namun, patut diperhatikan, pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dalam hal kerugian tersebut melebihi 128.821 SDR untuk setiap penumpang jika pengangkut membuktikan bahwa: [3] Kerusakan tersebut bukan karena kelalaian atau tindakan salah lainnya atau kelalaian pegawai atau agennya; atau Kerusakan tersebut semata-mata karena kelalaian atau tindakan salah lainnya atau kelalaian pihak ketiga. Dengan telah dilakukannya ratifikasi terhadap kedua konvensi di atas, berarti secara hukum, Indonesia telah mengikatkan diri pada Konvensi Warsaw 1929 dan Konvensi Montreal 1999. [4] Sehingga, dalam hal terjadi kecelakaan pesawat dalam penerbangan internasional, ketentuan Konvensi Warsaw 1929 atau Konvensi Montreal 1999 di atas dapat diberlakukan sebagai dasar ganti kerugian bagi korban. Namun, patut digarisbawahi ketentuan konvensi tersebut tidak serta merta dapat berlaku begitu saja. Ridha Aditya Nugraha , Dosen Hukum Udara dan Antariksa dari Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya yang juga merupakan salah satu instruktur mewakili European Union Aviation Safety Agency (EASA) serta tenaga ahli perlindungan penumpang ASEAN pada EU-EASA ARISE Plus Civil Aviation Enhance Passenger Protection di Bandar Seri Begawan (2018), Vientiane dan Yangon (2019) dan Phnom Penh (2020) berpendapat, dalam penentuan besar ganti kerugian bagi korban kecelakaan pesawat dan/atau ahli waris korban, serta siapa saja pihak yang bertanggung jawab atas ganti kerugian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan , di antaranya yaitu: Rezim konvensi penerbangan internasional yang berlaku Dalam hal ini, harus dilihat apakah kedua negara telah menandatangani konvensi penerbangan internasional yang sama atau tidak. Sebagai contoh, pesawat dari Indonesia terbang menuju Singapura mengalami kecelakaan pada tahun 2015. Pada saat itu, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999, tapi sudah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929. Di sisi lain, Singapura telah meratifikasi keduanya. Sehingga, ketentuan yang berlaku adalah ketentuan dalam Konvensi Warsaw 1929. Namun, dalam hal kedua negara telah meratifikasi baik Konvensi Warsaw 1929 dan Konvensi Montreal 1999, maka yang berlaku adalah konvensi yang terbaru, yaitu Konvensi Montreal 1999, seandainya kecelakaan terjadi sejak 2017. The passanger’s “ticketed” journey/the journey of passenger Hal yang tak kalah penting yang harus diperhatikan adalah the journey of passenger atau tiket perjalanan penumpang. Dalam suatu penerbangan internasional, kerap kali pesawat diisi oleh penumpang dengan tiket pesawat yang berbeda-beda, yang bisa saja perjalanan bertiket mereka lebih luas daripada rute penerbangan yang pada saat itu mengalami kecelakaan. Misalnya, penerbangan Jakarta (Indonesia) - Bangkok (Thailand) mengalami kecelakaan pesawat. Di dalam pesawat tersebut, setiap penumpang di 1 pesawat yang sama bisa saja memiliki tiket pesawat yang berbeda-beda. Sebut saja A membeli tiket sekali perjalanan Jakarta (Indonesia) – Bangkok (Thailand). Sedangkan B membeli tiket perjalanan Jakarta -Bangkok - Vientiane (Laos) dalam 1 tiket yang sama. Dalam hal ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929 dan Konvensi Montreal 1999. Sementara itu Thailand hanya meratifikasi Konvensi Montreal 1999. Diasumsikan penerbangan terjadi pada tahun 2021, pengenaan ganti kerugian terhadap A merujuk pada ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999 dimana kedua negara telah meratifikasi Konvensi Montreal 1999 sebagaimana memiliki tingkatan perlindungan penumpang tertinggi. Berbeda halnya dengan B. Meskipun B berada di dalam pesawat yang sama dengan A, namun belum tentu terhadap B juga berlaku ketentuan dalam Konvensi Montreal 1999. Sebab, titik akhir tiket perjalanan yang B miliki adalah Vientiane (Laos), bukan Bangkok (Thailand). Untuk itu, maka perlu dilihat terlebih dahulu apakah Indonesia dan Laos tunduk pada konvensi penerbangan internasional yang sama atau tidak. Ternyata, diketahui Laos hanya meratifikasi Konvensi Warsaw 1929 dan amandemennya yakni The Hague Protocol 1955, tapi belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999. Sedangkan Indonesia telah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929 dan Konvensi Montreal 1999, tetapi belum meratifikasi The Hague Protocol 1955. Maka, ketentuan yang berlaku sebagai dasar pengenaan ganti kerugian terhadap B adalah Konvensi Warsaw 1929 dimana kedua negara bertemu pada ratifikasi konvensi yang sama. Alasan terjadinya kecelakaan pesawat Selain itu, untuk menentukan siapa saja pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban, perlu diidentifikasi terlebih dahulu apakah kecelakaan pesawat tersebut disebabkan oleh kesalahan maskapai penerbangan ( airline liability ) atau produsen pesawat ( aircraft manufacturer liability ). Ridha menerangkan, jika kecelakaan pesawat timbul karena sengaja, kesalahan dari pengangkut, atau orang (agen) yang dipekerjakannya, maka maskapai penerbangan berpotensi memiliki tanggung jawab tidak terbatas ( unlimited liability ). Namun, jika kesalahan tersebut merupakan kesalahan produsen pesawat, maskapai penerbangan dapat terbebas dari tanggung jawab tidak terbatas serta berpedoman pada batas maksimal angka yang terdapat dalam Konvensi Warsaw 1929 (125.000 franc), Konvensi Warsaw 1929 dengan amandemen The Hague Protocol 1955 (250.000 franc), maupun Konvensi Montreal 1999 (128.821 SDR). Konsep ini berlaku baik dalam Konvensi Warsaw 1929 maupun Konvensi Montreal 1999. Praktik Ganti Kerugian dalam Kecelakaan Pesawat Penerbangan Internasional Meski Indonesia telah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929 dan Konvensi Montreal 1999, namun dalam pelaksanaanya, kedua konvensi tersebut pernah dikesampingkan. Sebelumnya perlu diketahui bahwa ketentuan mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan dan besaran ganti kerugian dalam hal terjadi kecelakaan pesawat diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara (“Permenhub 77/2011”) dan perubahannya, sebagaimana disarikan dari Ini Besaran Hak Korban/Ahli Warisnya Jika Terjadi Kecelakaan Pesawat . Meski telah diatur, Ridha Aditya Nugraha dalam artikel jurnalnya yang berjudul The Revisited Indonesian Aviation Law: From Warsaw to Montréa l yang diterbitkan dalam The Aviation & Space Journal Almamater Studiorum Universita di Bologna menerangkan, dalam Permenhub 77/2011 tidak ditegaskan secara jelas lingkup keberlakuannya, apakah hanya berlaku bagi penerbangan domestik, atau berlaku pula bagi penerbangan internasional. Adapun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan selaku peraturan induknya menyatakan bahwa peraturan ini berlaku bagi setiap penerbangan, baik nasional maupun asing, baik terbang dari atau menuju Indonesia (hal. 3). Sebagai contoh yaitu pengenaan ganti kerugian dalam kasus kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 dengan rute penerbangan dari Bandara Internasional Juanda, Surabaya menuju Bandara Changi, Singapura pada Desember 2014 silam. Dalam kasus ini, ketentuan dalam Permenhub 77/2011 justru dijadikan rujukan dalam pengenaan besaran ganti kerugian bagi korban (hal. 4). Pada saat itu, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Montreal 1999, tetapi sudah meratifikasi Konvensi Warsaw 1929. Dikarenakan penerbangan ini merupakan penerbangan internasional, maka berdasarkan sifat eksklusivitas Konvensi Warsaw 1929, seharusnya ketentuan dalam Konvensi Warsaw 1929 dijadikan rujukan dalam pemberian kompensasi bagi para penumpang . Namun, dikarenakan persoalan ini telah menjadi isu nasional, Menteri Perhubungan (“Menhub”) menginstruksikan AirAsia untuk memberikan kompensasi kepada penumpang sesuai ketentuan dalam Permenhub 77/2011 (hal. 4). Terkait kebijakan Menhub dalam kasus ini, Ridha berpendapat bahwa ditinjau dari segi kemanusiaan, kebijakan ini sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Mengingat, besaran kompensasi yang diatur dalam Permenhub 77/2011 jauh lebih besar dibandingkan yang diatur dalam Konvensi Warsaw 1929. Meski demikian, Ridha berpesan jangan sampai niat baik ini menciptakan suatu inkonsistensi penegakan hukum serta merugikan pihak ketiga beritikad baik seperti asuransi. Contoh lainnya, pada tahun 2002, Mahkamah Agung pernah mengesampingkan penggunaan konvensi internasional dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 970K/PDT/2002 , Mahkamah Agung menolak menggunakan Konvensi Warsaw 1929, meski konvensi ini telah berlaku di Indonesia melalui OPU 100/1939, sebagaimana disarikan dari Hakim Belum Konsisten Terapkan Hukum Internasional (hal. 1). Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Ordonansi Pengangkutan Udara Nomor 100 Tahun 1939 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2016 tentang Pengesahan Convention for The Unification of Certain Rules for International Carriage by Air (Konvensi Unifikasi Aturan-aturan Tertentu tentang Angkutan Udara Internasional) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.92 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM.77 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara REFERENSI:\n1. Ridha Aditya Nugraha. The Revisited Indonesian Aviation Law: From Warsaw to Montréa l . The Space Aviation & Space Journal , Almamater Studiorum Universita di Bologna. Januari – Maret 2018\n2. International Civil Aviation Organization. 2019 Revised Limits of Liability Under the Montreal Convention of 1999 , diakses pada Kamis, 11 November 2021 pukul 18.00 WIB. PUTUSAN Putusan Mahkamah Agung Nomor 970K/PDT/2002 . Catatan : Kami telah mewawancarai Dosen Hukum Udara dan Antariksa dari Air and Space Law Studies Universitas Prasetiya Mulya Ridha Aditya Nugraha via telepon pada Jum’at, 5 November 2021 pukul 13.00 WIB. [1] Pasal 22 ayat (4) Konvensi Warsaw 1929 [2] Pasal 20 ayat (1) Konvensi Warsaw 1929 [3] Pasal 21 ayat (2) Konvensi Montreal 1999 [4] Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 3 huruf b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU 24/2000”) pesawat terbang transportasi kecelakaan pesawat perlindungan konsumen" }
{ "from": "human", "value": "Selamat sore, istri saya adalah karyawan kontrak outsourcing pada salah satu bank BUMN, dan istri saya baru saja melahirkan dengan kondisi sebagai berikut: bayi dilahirkan pada usia 32 minggu dalam kandungan (menurut dokter maju sekitar 6 minggu dari perkiraan). Sehari setelah bayi dilahirkan, bayi meninggal dikarenakan memiliki kelainan. Pertanyaan saya, bagaimanakah hak cuti melahirkan untuk istri saya? Apakah dapat berkurang di mana kondisinya bayi telah meninggal dunia? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih untuk pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami turut bersimpati atas musibah yang Anda dan istri alami. KLINIK TERKAIT Aturan Cuti Melahirkan bagi Pekerja dengan Persalinan Prematur 12 Apr 2023 Adakah Aturan Pemberian Cuti Suami untuk Mengasuh Anak? 25 Okt 2022 Apakah Pekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji Akan Dipotong Cuti Tahunannya? 14 Jun 2016 Hak Cuti Hamil Karyawan Part Time (Paruh Waktu) 30 Mei 2013 Cuti bersalin/melahirkan bagi pekerja/buruh perempuan diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UUK”), yang berbunyi: (1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Dalam hal ini, menurut hemat kami, istri Anda dikategorikan telah melahirkan anak (secara prematur), dan bukan keguguran. Meskipun, si bayi meninggal dunia satu hari setelah dilahirkan. Penjelasan lebih detail mengenai hal ini, Anda dapat simak dalam artikel-artikel berikut: - Perhitungan Hak Cuti Jika Melahirkan Prematur - Penerapan Cuti Melahirkan dan Cuti Keguguran Berdasarkan ketentuan tersebut, meskipun si bayi meninggal satu hari setelah dilahirkan, isteri Anda tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan sesuai Pasal 82 ayat (1) UUK yaitu, selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan yang apabila diakumulasi menjadi 3 bulan. Kelahiran yang terjadi lebih awal (prematur) dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan/mengurangi hak istri Anda atas cuti bersalin/melahirkan. Istri Anda tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 (tiga) bulan. Lebih lanjut, Penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK menjelaskan bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. DASAR HUKUM: Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan uu ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menanyakan jam kerja bagi PNS. Apakah bagi PNS berlaku juga peraturan jam kerja pada UU Ketenagakerjaan atau berlaku lex specialist peraturan lain? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Pada prinsipnya, ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah dengan Perppu Cipta Kerja tidak berlaku bagi pegawai negeri sipil (“PNS”). Untuk PNS, yang berlaku adalah UU ASN beserta peraturan pelaksananya.\n\nDisebutkan dalam Pasal 1 angka 3 UU ASN bahwa PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.\nYang menjadi dasar waktu kerja bagi PNS bukanlah  UU Ketenagakerjaan, melainkan Pasal 4 huruf f  PP 94/2021. Dalam pasal tersebut diatur beberapa kewajiban PNS, salah satunya adalah PNS wajib masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja.\n\nDalam penjelasan Pasal 4 huruf f PP 94/2021 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kewajiban untuk “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja” adalah kewajiban melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan sistem kerja yang dapat dilaksanakan melalui fleksibilitas dalam pengaturan lokasi dan waktu bekerja.\n\nBerkenaan dengan ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban PNS masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja diatur dalam peraturan menteri.[1]\nJam Kerja PNS\n\nSecara rinci mengenai jam kerja PNS diatur lebih lanjut dalam Perpres 21/2023. Perpres tersebut mengatur bahwa hari kerja instansi pemerintah, hari kerja pegawai ASN, jam kerja instansi pemerintah, dan jam kerja pegawai ASN berlaku bagi instansi pemerintahan baik instansi pusat maupun instansi daerah.[2]\n\nInstansi pusat meliputi kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, kesekretariatan lembaga nonstruktural, dan lembaga pemerintah lainnya.[3] Sedangkan instansi daerah meliputi perangkat daerah provinsi dan perangkat daerah kabupaten/kota.[4]\n\nMengenai hari kerja instansi pemerintah atau hari operasional bagi instansi pemerintah untuk kepentingan pelayanan publik,[5] adalah sebanyak 5 hari kerja dalam 1 minggu yaitu dari hari Senin sampai Jumat.[6]\n\nSelanjutnya, jam kerja instansi pemerintah dan jam kerja pegawai ASN yaitu sebanyak 37 jam 30 menit dalam 1 minggu tidak termasuk jam istirahat yang dimulai pada pukul 07.30 zona waktu setempat.[7] Jam istirahat sebagaimana disebutkan sebelumnya yaitu:[8]\n\nhari Jumat selama 90 menit; danselain hari Jumat selama 60 menit.\n\nBerbeda dengan hari biasanya, pada bulan Ramadhan terdapat perubahan terhadap jam kerja. Jam kerja instansi pemerintah dan jam kerja pegawai ASN di bulan Ramadhan menjadi 32 jam 30 menit dalam 1 minggu tidak termasuk jam istirahat yang dimulai pada pukul 08.00 zona waktu setempat.[9] Dengan jam istirahat sebagai berikut:[10]\n\nHari Jumat selama 60 menit; danSelain hari Jumat selama 30 menit.\n\nPatut diketahui pula, seorang PNS dapat melaksanakan tugas kedinasan secara fleksibel, yang meliputi fleksibel secara lokasi dan/atau secara waktu.[11] Pejabat Pembina Kepegawaian (“PPK”) atau pimpinan instansi menetapkan jenis pekerjaan dan pegawai ASN di lingkungan instansinya yang dapat menerapkan fleksibel secara lokasi dan/atau secara waktu.[12] Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas kedinasan ASN secara fleksibel, termasuk kriteria jenis pekerjaan diatur dengan peraturan menteri.[13]\n\nHari kerja dan jam kerja instansi pemerintah pada penjelasan di atas dikecualikan bagi unit kerja pada instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya memberikan pelayanan:[14]\n\ndukungan operasional instansi pemerintah; dan/ataulangsung kepada masyarakat.\n\nBagi unit kerja di atas, hari kerja dan jam kerja instansi pemerintah ditetapkan oleh PPK atau pimpinan instansi setelah mendapatkan pertimbangan menteri.[15]\n\nSelain itu, hari kerja instansi pemerintah, jam kerja instansi pemerintah, hari kerja pegawai ASN dan jam kerja pegawai ASN di atas tidak berlaku bagi:[16]\n\nTentara Nasional Indonesia (“TNI”) dan Prajurit TNI serta pegawai ASN di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan yang ditugaskan di lingkungan TNI;Kepolisian dan anggota kepolisian serta pegawai ASN di lingkungan kepolisian; danPerwakilan Republik Indonesia di luar negeri dan pegawai ASN di lingkungan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.\n\nAdapun, bagi semua persetujuan tertulis yang telah diterbitkan oleh menteri terkait hari kerja dan jam kerja yang diajukan oleh unit kerja pada instansi pemerintah sebelum Perpres 21/2023 berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Perpres 21/2023.[17]\nContoh Jam Kerja PNS di Kementerian Koperasi dan UKM\n\nSebagai contoh, untuk PNS di lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, jam kerjanya tertuang dalam Permenkop UKM 2/2023.\n\nDalam Permenkop UKM 2/2023, hari kerja adalah hari kegiatan operasional dan/atau layanan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya selama jam kerja ditentukan.[18] Sedangkan jam kerja adalah rentang waktu yang ditentukan untuk bekerja dalam hari kerja sesuai ketentuan perundang-undangan.[19]\n\nMengenai hari kerja di lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Permenkop UKM 2/2023 yang menetapkan bahwa hari kerja adalah 5 hari dalam 1 minggu, yaitu dari mulai hari Senin sampai Jumat.\n\nSelain itu, mengenai ketentuan jam kerja dalam lingkungan Kementerian Koperasi dan UKM terdapat pada ketentuan Pasal 3 Permenkop UKM 2/2023 yang menentukan bahwa setiap pegawai wajib memenuhi jumlah jam kerja minimal sebanyak 37 jam dan 30 menit, selama 5 hari kerja atau 7 jam dan 30 menit setiap 1 hari kerja. Pengaturan jam kerja tersebut ditetapkan sebagai berikut:\n\nHari Senin sampai dengan hari Kamis pukul 07.30 – 16.00 WIB, dengan waktu istirahat pukul 12.00 – 13.00 WIB; danHari Jumat pukul 07.30 – 16.30 WIB, dengan waktu istirahat pukul 11.30 – 13.00 WIB.\n\nJadi, memang ketentuan mengenai waktu kerja bagi PNS berbeda dengan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan. Yang berlaku bagi PNS adalah ketentuan dalam UU ASN dan peraturan pelaksananya.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt65434c1b078b9?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_20_2023)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt614026bbc3945/peraturan-pemerintah-nomor-94-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=PP_94_2021)\n6. [Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6438fba246610/peraturan-presiden-nomor-21-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpres_21_2023)\n7. [Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 2 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja di Lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63ee28db68e52/peraturan-menteri-koperasi-dan-usaha-kecil-dan-menengah-nomor-2-tahun-2023/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkopukm_2_2023)\n[1] Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 94/2021”)\n\n[2] Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam Kerja Instansi Pemerintah dan Pegawai Aparatur Sipil Negara (“Perpres 21/2023”)\n\n[3] Pasal 1 angka 6 Perpres 21/2023\n\n[4] Pasal 1 angka 8 Perpres 21/2023\n\n[5] Pasal 1 angka 1 Perpres 21/2023\n\n[6] Pasal 3 Perpres 21/2023\n\n[7] Pasal 4 ayat (1) dan (3) Perpres 21/2023\n\n[8] Pasal 4 ayat (5) Perpres 21/2023\n\n[9] Pasal 4 ayat (2) dan (4) Perpres 21/2023\n\n[10] Pasal 4 ayat (6) Perpres 21/2023\n\n[11] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Perpres 21/2023\n\n[12] Pasal 8 ayat (3) Perpres 21/2023\n\n[13] Pasal 8 ayat (4) Perpres 21/2023\n\n[14] Pasal 7 ayat (1) Perpres 21/2023\n\n[15] Pasal 7 ayat (2) Perpres 21/2023\n\n[16] Pasal 11 ayat (1) Perpres 21/2023\n\n[17] Pasal 12 Perpres 21/2023\n\n[18] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 2 Tahun 2023 tentang Hari Kerja dan Jam kerja di Lingkungan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengan (“Permenkop UKM 2/2023”)\n\n[19] Pasal 1 angka 4 Permenkop UKM 2/2023" }
{ "from": "human", "value": "Dalam hal pemberian remunerasi atau honorarium kepada Dewan Pengawas Syariah Bank Umum Syariah, apakah cukup ditentukan oleh Direksi atau harus melalui Rapat Umum Pemegang Saham?" }
{ "from": "gpt", "value": "Dewan Pengawas Syariah\n\nDewan Pengawas Syariah (DPS) diatur dalam UU Perbankan Syariah. Pasal 1 angka 1 UU Perbankan Syariah menerangkan bahwa:\nPerbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.\n\nUnit usaha Syariah (“UUS”) yang dimaksud di atas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 10 UU Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa:\nUnit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.\n\nSelanjutnya, untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu pengertian Dewan Pengawas Syariah.\n\nDewan Pengawas Syariah adalah pihak yang berwenang dalam memberikan nasihat dan saran kepada Direksi bank syariah atau bank konvensional yang memiliki uus serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 UU Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa:\n\nDewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.\n\nBerdasarkan bunyi pasal tersebut, Dewan Pengawas Syariah wajib dimiliki oleh bank syariah dan bank umum konvensional yang memiliki UUS. Tugas Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan bank agar sesuai dengan prinsip syariah.\nDengan demikian, fungsi Dewan Pengawas Syariah amatlah penting guna memastikan bahwa berjalannya bank syariah telah sesuai dengan syariat Islam.\nRemunerasi untuk Dewan Pengawas Syariah\n\nRemunerasi atau honorarium yang diterima oleh Dewan Pengawas Syariah diatur dalam POJK 59/2017. Remunerasi didefinisikan dalam Pasal 1 angka 7 POJK 59/2017, yang menyatakan bahwa:\n\nRemunerasi adalah imbalan yang ditetapkan dan diberikan kepada anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, anggota DPS, dan/atau Pegawai baik yang bersifat tetap maupun variabel dalam bentuk tunai maupun tidak tunai sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya.\n\nPasal 3 dan Pasal 4 POJK 59/2017 kemudian menegaskan:\n\nPasal 3\n\nBank wajib memiliki kebijakan Remunerasi secara tertulis bagi Direksi, Dewan Komisaris, DPS, dan Pegawai.\n\nPasal 4\nDireksi wajib menyusun kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.Kebijakan Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:\n\nstruktur Remunerasi yang paling sedikit mencakup:\n\nskala Remunerasi berdasarkan tingkat dan jabatan; dankomponen Remunerasi; dan\n\nmetode dan mekanisme penetapan Remunerasi.\n\nDireksi yang dimaksud merupakan direksi sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 109 angka 1 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 5 UU PT yaitu:\n\nDireksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.\n\nUntuk menjawab pertanyaan Anda, maka pihak yang berwenang untuk menyusun kebijakan remunerasi untuk Dewan Pengawas Syariah adalah direksi dari bank syariah atau bank konvensional yang memiliki UUS.\nPeran RUPS dan Dewan Komisaris dalam Kebijakan Remunerasi\n\nMeski demikian, menurut hemat kami, kebijakan remunerasi masih harus disampaikan kepada Dewan Komisaris atau Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), karena kebijakan remunerasi mempengaruhi rencana kerja dan anggaran perusahaan. Hal ini mengingat Pasal 63 dan Pasal 64 ayat (1) UUPT, yang berbunyi:\n\nPasal 63\nDireksi menyusun rencana kerja tahunan sebelum dimulainya tahun buku yang akan datang.Rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat juga anggaran tahunan Perseroan untuk tahun buku yang akan datang.\n\nPasal 64 ayat (1)\n\nRencana kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 disampaikan kepada Dewan Komisaris atau RUPS sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.\n\nMaka dari itu, rencana kebijakan remunerasi untuk Dewan Pengawas Syariah harus disampaikan melalui rencana kerja kepada Dewan Komisaris atau RUPS. Selain itu, Dewan Komisaris juga memiliki peran dalam penyelenggaraan kebijakan remunerasi, yaitu dalam bentuk pengawasan dan evaluasi berkala, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 ayat (1) POJK 59/2017 yang masing-masing berbunyi:\n\nPasal 6\nDewan Komisaris wajib paling sedikit melaksanakan:\n\npengawasan terhadap penerapan kebijakan Remunerasi; danevaluasi secara berkala terhadap kebijakan Remunerasi atas dasar hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.\n\nPasal 7 ayat (1)\nDalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Dewan Komisaris wajib membentuk komite Remunerasi.\n\nKomite remunerasi wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab paling sedikit:[1]\n\nmelakukan evaluasi terhadap kebijakan remunerasi yang didasarkan atas kinerja, risiko, kewajaran dengan peer group, sasaran dan strategi jangka panjang bank, pemenuhan cadangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, serta potensi pendapatan bank di masa yang akan datang;menyampaikan hasil evaluasi dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai:\nkebijakan remunerasi bagi direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah untuk disampaikan kepada RUPS; dankebijakan remunerasi bagi pegawai secara keseluruhan untuk disampaikan kepada Direksi;memastikan bahwa kebijakan remunerasi telah sesuai dengan ketentuan; danmelakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan kebijakan remunerasi.\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\n\nBingung menentukan keterkaitan pasal dan kewajiban bisnis Anda, serta keberlakuan peraturannya? Ketahui kewajiban dan sanksi hukum perusahaan Anda dalam satu platform integratif dengan Regulatory Compliance System dari Hukumonline, klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.\nDemikian jawaban kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26940/undangundang-nomor-40-tahun-2007#dokumen)\n2. [Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/28067/undangundang-nomor-21-tahun-2008#dokumen)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e/undang-undang-nomor-11-tahun-2020/)\n4. [Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 59/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Penerapan Tata Kelola dalam Pemberian Remunerasi bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5a5464a3ab863/peraturan-otoritas-jasa-keuangan-nomor-59-pojk03-2017-tahun-2017)\n[1] Pasal 9 POJK 59/2017" }
{ "from": "human", "value": "Apa dasar atau aturan hukumnya donor darah di Indonesia? Saya cari di UU Kepalangmerahan kok tidak ada aturan donor darah?" }
{ "from": "gpt", "value": "Kriteria untuk dapat menjadi pendonor darah adalah:[1]\n\nSetiap orang dapat menjadi pendonor darah.Pendonoran darah dilakukan secara sukarela.Pendonor darah harus memenuhi persyaratan kesehatan.Pendonor darah harus memberikan informasi yang benar perihal kesehatan dan perilaku hidupnya.Pendonor darah dilarang memberikan informasi menyesatkan berkaitan dengan status kesehatan dan perilaku hidupnya.\nPendonor, Penyelenggara, dan Penerima Donor Darah\n\nJika merujuk pada UU Kesehatan dan PP 7/2011, kegiatan donor darah merupakan bagian dari pelayanan darah.\n\nPelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Darah pada pelayanan darah diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat, memenuhi kriteria seleksi pendonor dan atas persetujuan pendonor.[2]\n\nLebih lanjut, kegiatan donor darah ada di dalam suatu pelayanan transfusi darah terdiri atas pengelolaan darah dan pelayanan transfusi darah.[3]\nKegiatan pengelolaan darah yang dimaksud meliputi perencanaan, pengerahan dan pelestarian donor darah, penyeleksian donor darah, pengambilan darah, pengujian darah, pengolahan darah, penyimpanan darah, dan pendistribusian darah.[4]\nSementara itu, pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, penyimpanan, pengujian pra-transfusi, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien.[5]\nMutu dan Keamanan Darah\n\nSebagai informasi, penting untuk diketahui bahwa dalam hal pelayanan darah atau donor darah, darah yang diperoleh dari pendonor secara sukarela yang sehat dan memenuhi kriteria seleksi pendonor harus dilakukan pemeriksaan laboratorium terlebih dahulu untuk menjaga mutu dan keamanan darah.[6]\n\nUntuk menjamin ketersediaan, keamanan, dan mutu darah tersebut, pemerintah pusat akan melakukan dukungan kebijakan dan koordinasi pelayanan darah. Tujuan utamanya tidak lain untuk menjaga keselamatan dan kesehatan donor darah, penerima darah, tenaga medis, dan tenaga kesehatan yang sesuai standar.[7]\nAdapun yang melakukan pengelolaan darah tersebut adalah unit pengelola darah yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, dan/atau organisasi kemanusiaan di bidang kepalangmerahan Indonesia yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[8]\n\nDari penjelasan di atas, dapat kita pahami bahwa ada 3 pihak dalam donor darah, yaitu: pendonor darah sebagai pendonor, unit pengelola darah (UPD) sebagai penyelenggara donor darah, dan pasien sebagai penerima donor darah. Adapun donor darah yang dimaksud menurut hukum disebut sebagai pelayanan darah.\nPelayanan Darah dalam UU Kepalangmerahan\n\nJadi menjawab pertanyaan Anda, aturan donor darah atau pelayanan darah ada di dalam UU Kesehatan dan PP 7/2011. Lalu bagaimana dengan UU Kepalangmerahan?\n\nUU Kepalangmerahan pada dasarnya mengatur mengenai kepalangmerahan. Kepalangmerahan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan, lambang palang merah, atau hal lain yang diatur berdasarkan konvensi.[9] Salah satu penyelenggara kepalangmerahan yang sering kita dengar melakukan kegiatan donor darah adalah Palang Merah Indonesia (“PMI”) yaitu perhimpunan nasional yang berdiri atas asas perikemanusiaan dan atas dasar sukarela dengan tidak membeda-bedakan bangsa, golongan, dan paham politik.[10]\nTugas-Tugas PMI\nBerdasarkan pengetahuan Anda bahwa PMI adalah pihak yang sering menyelenggarakan kegiatan donor darah, maka Anda mempertanyakan dasar pengaturan donor darah dalam UU Kepalangmerahan. Perlu diketahui bahwa tugas PMI tidak hanya melakukan pelayanan darah saja. Tugas PMI adalah:[11]\n\nmemberikan bantuan kepada korban konflik bersenjata, kerusuhan, dan gangguan keamanan lainnya;memberikan pelayanan darah yang dilakukan melalui Unit Donor Darah (UDD) PMI, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;[12]melakukan pembinaan relawan,melaksanakan pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kepalangmerahan;menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan kegiatan kepalangmerahan;membantu dalam penanganan musibah dan/atau bencana di dalam dan di luar negeri;membantu pemberian pelayanan kesehatan dan sosial; danmelaksanakan tugas kemanusiaan lainnya yang diberikan oleh pemerintah\n\nDengan demikian, UU Kepalangmerahan memang tidak mengatur pelayanan darah karena pelayanan darah sudah mengacu ke UU Kesehatan dan PP 7/2011. Secara khusus, UU Kepalangmerahan mengatur mengenai kepalangmerahan yang dilakukan oleh pemerintah dan PMI yang salah satu kegiatannya adalah memberikan pelayanan darah.\n\nDemikian jawaban dari kami terkait aturan donor darah sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\n\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan;Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan;Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.\n\n[1] Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah[2] Pasal 114 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”)[3] Pasal 115 ayat (1) UU Kesehatan[4] Pasal 115 ayat (2) UU Kesehatan[5] Pasal 115 ayat (4) UU Kesehatan[6] Pasal 114 ayat (2) dan (3) UU Kesehatan[7] Pasal 115 ayat (5) dan (6) UU Kesehatan[8] Pasal 116 UU Kesehatan[9] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kepalangmerahan (“UU Kepalangmerahan”)[10] Pasal 2 huruf b jo. Pasal 1 angka 4 UU Kepalangmerahan[11] Pasal 22 UU Kepalangmerahan[12] Penjelasan Pasal 22 huruf b UU Kepalangmerahan" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang PNS, ingin menikah lagi sebab istri saya tidak bisa melahirkan anak, jadi saya tidak punya keturunan. Namun saya tidak akan menceraikan istri saya. Perlu diketahui bahwa saya beragama Kristen. Kalau bisa saya ingin mempunyai istri kedua itu seorang PNS juga. Saya minta untuk klinik hukum dapat memberikan pandangan dari sudut hukum." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan . D emikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . KLINIK TERKAIT Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya 01 Nov 2023 Sanksi PNS yang Tak Melaporkan Perceraian 16 Okt 2013 Akibat Hukum Jika PNS Menceraikan Istrinya 24 Feb 2012 Langkah Hukum Jika Dikawini Pria Beristri yang Mengaku Duda 12 Des 2011 Sedangkan ketentuan khusus yang mengatur tentang izin perkawinan PNS untuk beristri lebih dari satu (poligami) terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan P e merintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegaw a i Negeri S ipil (“PP 45/1990”) , khususnya dalam Pasal 4 PP 45/1990 yang berbunyi: (1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat . (3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis. (4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (2) PP 45/1990 disebutkan bahwa ketentuan ini mengandung pengertian bahwa selama berkedudukan sebagai istri kedua/ketiga/keempat dilarang menjadi PNS. Berkaitan dengan pertanyaan Anda, dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa Anda bisa beristri lebih dari satu, setelah mendapat izin dari Pejabat. Di samping itu, dari ketentuan ini bisa kita simpulkan pula bahwa Anda tidak boleh menikah dengan wanita yang berstatus sebagai PNS karena ini akan menjadikannya sebagai istri kedua Anda. PNS wanita dilarang untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat. Dengan kata lain, Anda hanya bisa menikahi wanita yang tidak berstatus sebagai PNS. Mengenai syarat memperoleh izin terlebih dahulu dari Pejabat, adapun yang dimaksud dengan pejabat menurut Pasal 1 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil (“PP 10/1983”) adalah: 1. Menteri; 2. Jaksa Agung; 3. Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen; 4. Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara; 5. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I; 6. Pimpinan Bank milik Negara; 7. Pimpinan Badan Usaha milik Negara; 8. Pimpinan Bank milik Daerah; 9. Pimpinan Badan Usaha milik Daerah. Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang ini wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan PNS yang bersangkutan . D emikian yang disebut dalam Pasal 9 ayat (1) PP 45/1990 . Pemberian atau penolakan pemberian izin bagi PNS untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin tersebut. H al ini disebut dalam Pasal 12 PP 45/1990 . Jika Pejabat menilai bahwa alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari istri PNS yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan. Ketentuan ini disebut dalam Pasal 9 ayat (2) PP 10/1983 . Sebelum mengambil keputusan, pejabat tersebutpun memanggil Anda atau bersama-sama dengan istri Anda untuk diberi nasihat [lihat Pasal 9 ayat (3) PP 10/1983 ]. Kemudian, apa saja syarat-syarat yang wajib Anda penuhi sebagai bahan pertimbangan dari Pejabat itu? Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) PP 10/1983 , izin untuk beristri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif yang disebut dalam Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP 10/1983 . Syarat alternatif dan kumulatif tersebut adalah: 1. Syarat Alternatif: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau c. istri tidak dapat melahirkan keturunan. 2. Syarat Kumulatif: a. ada persetujuan tertulis dari istri; b. Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang istri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan; dan c. ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya Dalam konteks pertanyaan Anda, alasan Anda untuk beristri lebih dari satu adalah karena istri Anda tidak bisa melahirkan anak. Berkaitan dengan hal ini, yang dimaksud dengan tidak dapat melahirkan keturunan dalam salah satu syarat alernatif di atas adalah apabila isteri yang bersangkutan menurut keterangan dokter tidak mungkin melahirkan keturunan atau sesudah pernikahan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun tidak menghasilkan keturunan ( Penjelasan Pasal 10 ayat (2) huruf c PP 10/1983 ). Oleh karena itu, Anda perlu memastikan kembali bahwa istri Anda berdasarkan keterangan dokter tidak bisa melahirkan keturunan atau dalam usia pernikahan Anda sekurang-kurangnya 10 tahun ini istri Anda tidak menghasilkan keturunan. Selain hal-hal di atas, ada syarat lain yang harus dipenuhi agar dapat ber poligami , yaitu bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran agama Anda. Hal ini karena izin untuk beristri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila [lihat Pasal 10 ayat (4) PP 10/1983 ]: a. bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut PNS yang bersangkutan; b. tidak memenuhi setidaknya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif ; c. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; d. alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau e. ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan. Jika dalam ajaran agama Anda (Kristen) tidak diperbolehkan beristri lebih dari seorang, maka Anda tidak bisa mendapatkan izin dari Pejabat. Di atas kami telah menyebutkan syarat-syarat PNS untuk memperoleh izin berpoligami. Lalu apa sanksinya jika PNS yang bersangkutan tidak mendapatkan izin dari pejabat untuk berpoligami atau tidak melaporkan perkawinannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 15 PP 45/1990 yang mengatur bahwa PNS yang tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 30/1980”) . Perlu Anda ketahui, PP 30/1980 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) . Adapun jenis hukuman disiplin berat yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) PP 53/2010 terdiri dari: a. penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; b. pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; c. pembebasan dari jabatan; d. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; e. pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Demikian penjelasan dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil ; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 T ahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil . pns" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana menanggapi kenaikan tarif dari pengelola parkir yang menaikkan tarif parkir terlalu sering (dalam 1 tahun lebih dari satu kali)? Apakah tidak ada tindakan hukum yang dapat dilakukan untuk melindungi kepentingan konsumen pengguna jasa parkir? Kalau ada, mohon saran dan dasar hukum yang mengatur. Terima kasih atas perhatiannya. Salam." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Motor Hilang di Parkiran, Siapa yang Bertanggung Jawab? 02 Agt 2023 Hukumnya Parkir Sembarangan di Depan Rumah Tetangga 10 Feb 2023 Bolehkah Menerobos Lampu Merah dalam Keadaan Darurat? 19 Agt 2016 Hak Penghuni Kawasan Perumahan Atas Tempat Pemakaman 02 Okt 2013 Definisi parkir dapat kita temui dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan : “Parkir adalah keadaan Kendaraan berhenti atau tidak bergerak untuk beberapa saat dan ditinggalkan pengemudinya.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Selain itu, dapat juga kita temui dalam Pasal 1 Angka 32 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) yang berbunyi: “Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara.” Guna menjawab pertanyaan Anda mengenai tarif parkir, terlebih dahulu kami menjelaskan jenis retribusi yang terdapat dalam UU 28/2009. Dalam UU tersebut, tarif parkir dikenal dengan istilah retribusi parkir yang termasuk jenis retribusi jasa umum sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 110 ayat (1) huruf e UU 28/2009 ,yakni retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum. Menurut Pasal 109 UU 28/2009 , objek retribusi jasa umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Kemudian, Pasal 115 UU 28/2009 menyatakan: “ Objek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) huruf e adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, retribusi parkir dapat pula termasuk jenis retribusi jasa usaha sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 127 huruf e UU 28/2009 ,yakni retribusi tempat khusus parkir. Menurut Pasal 126 UU 28/2009 , objek retribusi jasa usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: a. pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau b. pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. Kemudian, Pasal 132 ayat (1) UU 28/2009 menegaskan: “Objek Retribusi Tempat Khusus Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 huruf e adalah pelayanan tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah .” Anda tidak menjelaskan secara detail kepada kami di mana lokasi penyediaan pelayanan parkir tersebut diselenggarakan. Apabila tempat penyediaan pelayanan parkir itu tepi jalan umum, maka retribusi parkir tersebut termasuk dalam jenis retribusi jasa umum, sedangkan apabila tempat penyediaan pelayanan parkir itu disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial seperti yang kami jelaskan di atas, maka retribusi parkir tersebut termasuk dalam jenis retribusi jasa usaha. Namun, berpedoman dengan dua jenis retribusi parkir seperti yang telah kami uraikan di atas, keduanya dikelola oleh pemerintah daerah sehingga besarnya tarif/retribusi parkir harus sesuai dengan peraturan daerah yang dibuat oleh pemerintah setempat. Sebagai contoh di daerah DKI Jakarta Gubernur provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran (“Perda DKI Jakarta 5/2012”). Dalam Pasal 1 Angka 24 Perda DKI Jakarta 5/2012 disebutkan bahwa t arif layanan parkir adalah imbalan atas jasa layanan parkir yang dijual dan ditetapkan dalam bentuk tarif yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Kemudian. dalam Pasal 51 ayat (1) Perda DKI Jakarta 5/2012 dikatakan: “Tarif layanan parkir ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan: a. kawasan (zoning) parkir; b. jenis kendaraan; dan c. jam penggunaan SRP (Satuan Ruang Parkir).” Besarnya tarif parkir DKI Jakarta diatur lebih rinci dalam Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2012 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir untuk Umum di Luar Badan Jalan (“Pergub DKI Jakarta 120/2012”). Sebagai informasi untuk Anda, keberlakuan Pergub DKI Jakarta 120/2012 dipermasalahkan oleh seorang pengacara, yang dapat Anda baca selengkapnya dalam artikel Soal Parkir, Pengacara Gugat Jokowi . Pergub DKI Jakarta 120/2012 ini berlaku tidak hanya untuk penetapan tarif parkir pada tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah, akan tetapi juga pada tempat parkir yang diselenggarakan oleh badan usaha. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 9 Pergub DKI Jakarta 120/2012 : “Penyelenggara fasilitas parkir untuk umum adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan fasilitas parkir untuk umum, baik yang memungut maupun tidak memungut biaya parkir.” Dengan adanya Pergub DKI Jakarta 120/2012 ini, berarti pemerintah telah menetapkan besarnya tarif parkir yang berlaku bagi fasilitas parkir untuk umum. Dalam lampiran Pergub DKI Jakarta 120/2012 ini dapat kita lihat kisaran tarif parkir yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut pendapat kami, selama tarif yang dikenakan sesuai dengan peraturan, maka kenaikan tarif tersebut adalah hal yang wajar. Berdasarkan uraian yang kami jelaskan di atas dapat diketahui bahwa yang menetapkan tarif suatu tempat penyediaan pelayanan parkir adalah pemerintah setempat melalui peraturan daerah yang dibuatnya. Apabila ada kenaikan tarif parkir, tentu harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan kenaikan tarif tanpa dasar hukum yang dilakukan oleh penyelenggara parkir seperti dalam cerita Anda. Menjawab pertanyaan Anda yang lainnya sekaligus memberikan contoh kasus gugatan masalah tarif parkir dan langkah hukum yang dapat dilakukan oleh pengguna jasa parkir, maka kita melihat pada artikel Secure Parking Dihukum Sesuaikan Tarif Parkir . Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa sebuah perusahaan pengelola parkir bernama PT Securindo Packatama Indonesia (Secure Parking). Perusahaan tersebut Lantaran menerapkan tarif parkir ‘tinggi’, perusahaan pengelola parkir itu dihukum untuk menyesuaikan tarif parkir sesuai dengan SK Gubernur DKI Jakarta No . 48/2004 tentang Biaya P arkir pada P enyelenggaraan F asilitas P arkir untuk U mum di luar B adan J alan di P ro v insi DKI J akarta. Hal itu diputuskan majelis hakim dalam persidangan pada Juni 2010. Putusan itu merupakan buah dari gugatan David ML Tobing terhadap Secure Parking serta Dinas Perhubungan DKI Jakarta Cq. Unit Pelaksana Teknis Perparkiran Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan Gubernur DKI Jakarta. Ketiga tergugat ini juga dihukum membayar ganti rugi Rp10 .000,- kepada David secara tanggung renteng . David menggugat Secure Parking atas dasar perbuatan melawan hukum lantaran menerapkan tarif parkir melebihi SK Gubernur No. 48/2004 dan Perda DKI No 5/1999. Hakim mengatakan bahwa Secure Parking terbukti telah menarik biaya yang melebihi ketentuan yang berlaku dan p erbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum sehingga tuntutan ganti rugi sebesar Rp10 .000,- dikabulkan. Dari contoh di atas, dapat kita lihat bahwa sah saja jika menaikkan tarif parkir selama tidak melebihi ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam hal ini Gubernur. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, Anda dapat mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ( onrechtmatige daad ) dan memintakan ganti kerugian atas kenaikan tarif parkir tersebut yang dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( “KUH Perdata”), yakni dalam Buku III, pada bagian “Tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang”, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan 3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 4. Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 2012 tentang Perparkiran 5. Peraturan Gubernur Nomor 120 Tahun 2012 tentang Biaya Parkir pada Penyelenggaraan Fasilitas Parkir untuk Umum di Luar Badan Jalan" }
{ "from": "human", "value": "Jika sudah ditetapkan Permendagri No. 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa yang di dalam ketentuannya penutupnya mencabut Permendagri No. 5 Tahun 2007, bagaimana dengan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan yang sebelumnya juga diatur dalam Permendagri No. 5 Tahun 2007? Sedangkan dalam Permendagri No. 18 Tahun 2018 tidak mengatur tentang Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan." }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari : Walaupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan sudah dicabut keberlakuannya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (“Permendagri 18/2018”), bukan berarti pengaturan mengenai Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan tidak diatur dalam Permendagri 18/2018. Nyatanya, pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa (“LKD”) dan Lembaga Adat Desa (“LAD”) yang diatur dalam Permendagri 18/2018, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga bagi pembentukan LKD dan LAD di kelurahan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Memang benar bahwa Ketentuan Penutup dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (“Permendagri 18/2018”) menyebutkan bahwa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan (“Permendagri 5/2007”) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Namun pertama-tama perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pembagian wilayah negara sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (“UU 9/2015”) sebagai berikut: Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi dan Daerah provinsi itu dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Daerah kabupaten/kota dibagi atas Kecamatan dan Kecamatan dibagi atas kelurahan dan/atau Desa . Mengenai pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Desa (“LKD”) dan Lembaga Adat Desa (“LAD”) memang sudah diatur dalam Permendagri 18/2018, lantas bagaimana dengan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan? LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. [1] Pasal 14 ayat (1) Permendagri 18/2018 menyatakan bajwa pembentukan LKD berlaku mutatis mutandis bagi pembentukan LKD di kelurahan, berikut bunyi pasal selengkapnya: Pembentukan LKD dan LAD yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku mutatis mutandis bagi pembentukan LKD dan LAD di kelurahan . Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan penetapan LKD dan LAD di kelurahan diatur dengan Peraturan Bupati/Peraturan Wali Kota. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Pengertian Mutatis Mutandis , menurut buku Terminologi Hukum karangan IPM Ranuhandoko , mutatis mutandis berarti “ dengan perubahan yang perlu-perlu ”. Jadi dapat dipahami bahwa pembentukan LKD dan LAD yang diatur dalam Permendagri 18/2018, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga bagi pembentukan LKD dan LAD di kelurahan . Selain itu, perlu diketahui bahwa dalam bagian konsideran Permendagri 5/2007 (yang sudah dicabut) pembentukan peraturan tersebut salah satunya untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan (“PP Kelurahan”) yang bunyinya sebagai berikut: Pembinaan umum penyelenggaraan pemerintahan kelurahan dan lembaga kemasyarakatan dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Provinsi. Sebenarnya PP Kelurahan pun sudah mengatur mengenai keberadaan lembaga masyarakat di kelurahan ini dalam Pasal 10 PP Kelurahan yang menjelaskan bahwa di kelurahan dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan atas prakarsa masyarakat melalui musyawarah dan mufakat. Contoh Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan penetapan LKD dan LAD di kelurahan diatur dengan Peraturan Bupati/Peraturan Wali Kota. Sebagai contoh adalah Peraturan Walikota Batam Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan (“Perwalkot Batam 24/2017”) Dalam Pasal 1 angka 8 Perwalkot Batam 24/2017 disebutkan bahwa Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai kebutuhan dan merupakan mitra Pemerintah Kelurahan dalam memberdayakan masyarakat. Jadi menjawab pertanyaan Anda , walaupun Permendagri 5/2007 sudah dicabut keberlakuannya dengan Permendagri 18/2018, bukan berarti pengaturan mengenai Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan tidak diatur dalam Permendagri 18/2018, nyatanya pembentukan LKD dan LAD yang diatur dalam Permendagri 18/2018, dengan perubahan-perubahan yang diperlukan, berlaku juga bagi pembentukan LKD dan LAD di kelurahan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa Peraturan Walikota Batam Nomor 24 Tahun 2017 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan [1] Pasal 1 angka 2 Permendagri 18/2018 bpd hukumonline kepala desa online klinik hukumonline tata negara hukum klinik rukun tetangga imigrasi Rukun Warga" }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin menukarkan uang untuk Lebaran. Bagaimana aturan penukaran uang? Apakah penukaran uang Lebaran di jalan raya diperbolehkan? Di mana seharusnya saya menukarkan uang?" }
{ "from": "gpt", "value": "Secara hukum, ketentuan mengenai penukaran uang diatur dalam Pasal 22 UU Mata Uang. Untuk memenuhi kebutuhan rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, dan dalam kondisi yang layak edar, rupiah yang beredar di masyarakat dapat ditukarkan dengan ketentuan sebagai berikut:[1]" }
{ "from": "human", "value": "Saya seorang petani yang seringkali melakukan penyilangan tanaman dan menjual secara kecil-kecilan di desa kami. Suatu hari, ada suatu perusahaan yang mendatangi saya karena mengetahui saya menjual bibit jagung hasil penyilangan yang saya gunakan dan jual ke petani lain. Menurut mereka, jenis bibit demikian sudah menjadi kekayaan intelektual milik mereka dan tidak boleh saya usahakan tanpa izin mereka. Apa yang harus saya lakukan? Padahal saya menyilangkan bibit tersebut sendiri (coba-coba) tanpa rujukan apapun dan tidak tahu pula bibit tersebut sudah menjadi kekayaan intelektual milik pihak lain. Bolehkah saya menghentikan penjualan saya, namun masih menggunakan bibit jagung tersebut untuk usaha saya sendiri?" }
{ "from": "gpt", "value": "Pertama-tama, perlu Anda ketahui, dasar hukum yang mengatur varietas tanaman adalah di antaranya UU 29/2000.\n\nDalam kasus ini, Anda menyilangkan bibit tanpa rujukan apapun sehingga tidak tahu jika bibit tersebut sudah menjadi kekayaan intelektual milik pihak lain. Dalam konteks penyilangan tanaman, hal ini berkaitan dengan varietas tanaman, yang artinya adalah sebagai berikut:[1]\nVarietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan.\n\nAdapun pengertian perlindungan varietas tanaman adalah perlindungan khusus yang diberikan negara, yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman, terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemulia tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman.[2] Dalam perkembangannya, perlindungan varietas tanaman sering disingkat menjadi PVT.\n\nYang dimaksud dengan pemuliaan tanaman adalah rangkaian kegiatan penelitian dan pengujian atau kegiatan penemuan dan pengembangan suatu varietas, sesuai dengan metode baku untuk menghasilkan varietas baru dan mempertahankan kemurnian benih varietas yang dihasilkan.[3]\n\nSetelah mengetahui aturan hukum yang mengatur varietas tanaman adalah undang-undang sebagaimana kami jelaskan di atas, perlu Anda pahami pula bentuk perlindungan hukum yang diberikan undang-undang tersebut.\n\nPemegang hak PVT memiliki hak untuk menggunakan dan memberikan persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan varietas berupa benih dan hasil panen yang digunakan untuk propagasi.[4] Hak tersebut berlaku juga untuk varietas yang tidak dapat dibedakan secara jelas dari varietas yang dilindungi.[5]\n\nSehingga, menjawab pertanyaan Anda, jika benar perusahaan yang mendatangi Anda merupakan pemegang hak PVT, maka perlu dipastikan terlebih dahulu apakah varietas yang telah Anda hasilkan sendiri dari percobaan penyilangan bibit dapat dibedakan secara jelas dari varietas yang diklaim perusahaan atau tidak.\n\nJika masih dapat dibedakan, perusahaan tidak berhak melarang Anda untuk menjual bibit tersebut. Sebaliknya, jika tidak dapat dibedakan secara jelas, maka diperlukan persetujuan perusahaan itu.\n\nHal ini dikarenakan, salah satu tujuan dari perlindungan hukum varietas tanaman adalah menjamin varietas yang memiliki PVT memperoleh imbalan atas penggunaan varietas tersebut dalam pembuatan varietas turunan esensial dengan teknik rekayasa genetika.[6]\n\nSelain itu, perlindungan hukum ini adalah salah satu bentuk penghargaan bagi individu atau badan usaha yang bergerak di bidang pemuliaan tanaman, termasuk dalam menikmati manfaat ekonomi dan hak-hak pemulia lainnya.[7]\n\nMeski demikian, Pasal 10 ayat (1) UU 29/2000 kemudian  menjelaskan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak PVT, apabila:\n\npenggunaan sebagian hasil panen dari varietas yang dilindungi, sepanjang tidak untuk tujuan komersial;penggunaan varietas yang dilindungi untuk kegiatan penelitian, pemuliaan tanaman, dan perakitan varietas baru;penggunaan oleh pemerintah atas varietas yang dilindungi dalam rangka kebijakan pengadaan pangan dan obat-obatan dengan memperhatikan hak-hak ekonomi dari pemegang hak PVT.\n\nOleh karena itu, jika benar bibit yang Anda gunakan merupakan varietas yang dilindungi, dan Anda berniat menghentikan penjualan, akan tetapi masih menggunakan untuk keperluan yang bukan bersifat komersial, hal ini masih dapat dilakukan.\n\nSebagai informasi, hak PVT diberikan dalam bentuk sertifikat hak PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dan diumumkan di Berita Resmi PVT.[8]\nLangkah Hukum\n\nMenurut hemat kami, ada sejumlah alternatif yang dapat Anda lakukan:\n\nMemastikan bahwa perusahaan yang mengklaim adalah pemegang hak PVT yang sah yang dibuktikan dengan menunjukkan sertifikat hak PVT.Jika benar perusahaan itu merupakan pemegang hak PVT, maka:\nApabila Anda masih ingin menggunakannya untuk tujuan komersial, Anda dapat meminta izin menggunakan melalui lisensi yaitu izin yang diberikan oleh pemegang hak PVT kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakan seluruh atau sebagian hak PVT;[9] atauApabila Anda tidak ingin menggunakannya untuk tujuan komersial, Anda dapat menjelaskan secara baik-baik kepada perusahaan bahwa akan menghentikan penjualan dan menggunakan untuk kepentingan sendiri yang sifatnya nonkomersial.\n\nKemudian perlu dipahami terkait pernyataan Anda mengenai kekayaan intelektual, saat ini rezim PVT sudah tidak lagi termasuk di dalamnya, walaupun masih berkaitan langsung.\nPerizinan untuk Pemuliaan\n\nAdapun ketentuan terkait penemuan varietas tersebut juga dapat ditemukan dalam Pasal 25 UU 22/2019 yang selengkapnya berbunyi:\n\nPemerolehan Benih Tanaman atau Bibit Hewan bermutu dapat dilakukan melalui kegiatan penemuan dan/atau perakitan Varietas atau galur unggul dan/atau introduksi.\n\nPemerolehan di atas dilakukan dengan pemuliaan, yaitu kegiatan dalam memelihara tumbuhan atau hewan untuk menjaga kemurnian galur, ras, atau varietas sekaligus memperbaiki produksi atau kualitasnya.[10]\n\nNamun untuk petani kecil yang melakukan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik untuk pemuliaan harus melapor ke pemerintah daerah untuk selanjutnya disampaikan ke pemerintah pusat.[11] Pelaporan ini merupakan penyederhanaan dan kemudahan dalam mekanisme perizinan.[12]\n\nSeluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman](Data Kepolisian /pusatdata/detail/253/undangundang-nomor-29-tahun-2000/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_29_2000)\n2. [Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dcd070c68a5b/undang-undang-nomor-22-tahun-2019/consolidations?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_22_2019)\n3. [Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5fa0c347b9d4e?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_11_2020)\n[1] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman (“UU 29/2000”)[2] Pasal 1 angka 1 UU 29/2000[3] Pasal 1 angka 4 UU 29/2000[4] Pasal 6 ayat (1) UU 29/2000[5] Pasal 6 ayat (2) huruf b UU 29/2000[6] Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU 29/2000[7] Penjelasan Umum UU 29/2000[8] Pasal 34 ayat (2) dan (3) UU 29/2000[9] Pasal 1 angka 13 UU 29/2000[10] Pasal 26 jo. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan (“UU 22/2019”)[11] Pasal 27 ayat (3) UU 22/2019[12] Penjelasan Pasal 29 ayat (2) UU 22/2019" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana prosedurnya apabila ada petugas yang ingin masuk ke rumah pribadi? Seperti beberapa waktu lalu ada yang mengaku dari PLN dan sebuah perusahaan swasta. Haruskah kami minta surat tugas mereka karena akan memasuki rumah kami? Karena kami khawatir itu kedok perampokan. Kami menemukan mereka memberikan kartu pegawai yang sudah kadaluarsa (berlaku sampai 2008 tetapi dipakai sampai sekarang). Kami khawatir kartu pegawai tersebut telah disalahgunakan. Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Hukumnya Mengintip Rumah Orang Lain 15 Agt 2023 Masuk Rumah Orang Lain Tanpa Izin, Bisakah Dipidana? 15 Agt 2023 Sanksi Pidana Memasuki Rumah Orang Lain dengan Merusak Pintu Sambil Memaki 15 Jan 2015 Jika Pemilik Indekos Masuk Kamar Penyewa Tanpa Izin 09 Mei 2013 Ulasan: Demi keamanan Anda, Anda berhak meminta petugas tersebut untuk menunjukkan identitas petugas maupun surat tugasnya. Dalam praktiknya, perusahaan (contohnya PT. PLN) yang menugaskan pegawainya mendatangi rumah pelanggan mewajibkan pegawainya untuk membawa identitas petugas dan surat tugas resmi. Prosedur yang benar adalah petugas tersebut menunjukkan identitas dan surat tugas resmi dari perusahaan tempat ia bekerja; dan diwajibkan bekerja dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Menurut hemat kami, sebelum memasuki rumah Anda, tentu ia wajib izin selayaknya bertamu ke rumah orang lain dan Anda berhak untuk meminta diperlihatkan surat tugas dan identitas petugas. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasusnya dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Intisari Terima kasih atas pertanyaan Anda. Petugas Menunjukkan Identitas Petugas dan Surat Tugas Resmi Meminta surat tugas resmi petugas yang datang ke tempat Anda itu merupakan tindakan benar yang semata-mata dilakukan untuk keamanan Anda sendiri. Anda berhak menolak apabila petugas itu tidak dapat menunjukkan identitas petugas dan surat tugas resmi. Contoh kemungkinan tindak pidana yang dilakukan oleh petugas adalah memasuki rumah Anda secara paksa dengan melawan hukum (tanpa ada identitas dan surat tugas resmi). Jika demikian, petugas tersebut dapat diancam pidana sebagaimana disebut dalam Pasal 167 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : “Barang siapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lima sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , menjelaskan bahwa kejahatan yang dimaksud dalam pasal ini biasanya disebut “ huisvredebreuk ” yang berarti pelanggaran hak kebebasan rumah tangga. Penjelasan selengkapnya soal tindak pidana ini dapat Anda simak dalam artikel Hukum Masuk Rumah Orang Lain Tanpa Izin . Prosedur Petugas Memasuki Rumah Pelanggan dalam Praktik Dalam praktinya, (dalam hal ini kami ambil contoh PT. PLN) mempunyai standar kerja terkait prosedur pegawainya yang hendak memeriksa listrik di rumah pelanggannya. Petugas PLN diwajibkan bekerja dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas, tertib, dan sudah baku. Dalam laman PT PLN (Persero) Distribusi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta , dijelaskan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara (“PLN”) mempunyai tim yang langsung terjun ke lapangan untuk melakukan pemeriksaan rutin penggunaan listrik dan ini dikenal dengan nama tim P2TL (Penertiban Pemakaian Tenaga Listrik). Tim P2TL ini memiliki prosedur kerja yang baku dimana dalam menjalankan tugasnya, mereka selalu dilengkapi dengan Identitas Petugas yang jelas, membawa Surat Tugas resmi dari pejabat PLN yang berwenang, dan membawa peralatan kerja . Masih bersumber dari laman yang sama, sebelum menjalankan tugasnya, Tim P2TL diwajibkan untuk memperkenalkan diri sembari memperlihatkan Identitas resmi dan Surat Tugas yang dibawanya . Setelah itu, Tim P2TL perlu menjelaskan maksud kedatangannya dan tujuan pelaksanaan P2TL . Kepada tuan rumah atau yang mewakili, diminta untuk turut serta mengikuti/mengawasi selama berlangsungnya pemeriksaan. Tapi tunggu dulu, sebelum dilakukan pemeriksaan secara visual, petugas P2TL terlebih dahulu memeriksa administrasi data pelanggan, se pert i data rekening listrik terakhir. Oleh karena itu, jika memang petugas PLN itu datang ke rumah Anda tanpa mematuhi prosedur-prosedur di atas, demi keamanan Anda, Anda berhak untuk meminta mereka menunjukkan identitas dan surat tugasnya. Di laman tersebut juga antara lain memberikan panduan kepada pelanggan yang rumahnya kedatangan Tim P2TL, yaitu: 1. Tidak perlu curiga lebih dulu, terimalah mereka layaknya tamu. 2. Anda punya hak untuk menanyakan Identitas petugas dan Surat Tugasnya. 3. Dampingilah petugas P2TL selama menjalankan tugasnya hingga selesai. 4. Mintalah penjelasan yang lengkap tentang apa saja yang akan dan telah dilakukan Tim P2TL dan bagaimana hasilnya. 5. Bacalah dengan tenang dan teliti Berita Acara Pemeriksaan P2TL, lalu bubuhkan tanda tangan pada Berita Acara tersebut. 6. Jika dari hasil pemeriksaan ditemukan adanya pelanggaran, segera selesaikan permasalahannya pada kesempatan pertama di Kantor Pelayanan PLN yang ditunjuk. 7. Berhati-hatilah jangan sampai tertipu atau terbuai rayuan maut yang dilancarkan oknum-oknum tertentu yang mengaku petugas P2TL PLN. 8. Jangan pernah ragu menanyakan Identitas Resmi dan Surat Tugas P2TL yang dibawanya. Bila anda merasa ragu, segera hubungi Kantor PLN terdekat. Contoh Kasus Sebagai contoh kasus petugas yang memeriksa listrik di rumah pelanggan tanpa disertai surat tugas dan masuk ke rumah pelanggan tanpa izin dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 15/ Pid.B/2013/PN.DPS. Berdasarkan fakta-fakta di persidangan terungkap bahwa terdakwa masuk ke dalam rumah korban dan menyampaikan niatnya memeriksa jaringan kabel listrik. Terdakwa langsung mematikan aliran listrik pada kilometer dan NCb nya lalu naik ke atas atap rumah korban tanpa seijin pemiliknya yaitu korban dengan menggunakan tangga bambu. Hakim dalam pertimbangannya juga menyatakan benar bahwa terdakwa juga masuk ke dalam ruangan tamu tanpa seijin pemilik rumah maupun pembantu rumah tangganya korban. Saat itu korban menanyakan surat ijin atau surat perintah kerja terdakwa dan terdakwa menjawab tidak ada, lalu terdakwa bilang kepada korban \"jika tidak percaya silakan saja telpon PLN”. Dengan kata-kata terdakwa tersebut lalu terdakwa disuruh keluar oleh korban selaku pemilik rumah kemudian terdakwa keluar dan pintu rumah ditutup oleh saksi korban (pemilik rumah). Benar pula bahwa terdakwa saat melakukan kegiatan pengecekan dan perbaikan jaringan kabel listrik tidak dibekali surat perintah kerja dari pihak kantor. Akhirnya hakim memutus para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana telah memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan, atau pekarangan tertutup secara melawan hukum dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya orang tersebut tidak pergi sebagaimana dimaksud Pasal 167 ayat (1) KUHP. Hakim menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama: 5 (lima) bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . REFERENSI:\n1. 1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. 2. http://www.pln.co.id/disjateng/?p=629 , diakses pada 5 Januari 2016 pukul 15.05 WIB. PUTUSAN Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 15/ Pid.B/2013/PN.DPS. hukumonline pln rumah hukum klinik perusahaan klinik hukumonline hapus" }
{ "from": "human", "value": "Memangnya benar ya TNI kalau misalnya mencalonkan diri menjadi kepala daerah harus mengundurkan diri jadi TNI? Kalau misalnya ia tidak terpilih, bisakah ia kembali menjadi TNI?" }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Perbedaan Lembaga Negara dan Alat Negara 18 Sep 2015 Bolehkah Aparat TNI Menjadi Debt Collector? 24 Agt 2015 Tunjangan Bagi TNI yang Bertugas di Daerah Rawan Konflik 10 Sep 2014 Sanksi bagi Oknum TNI yang Menjadi Bandar Togel 18 Des 2013 Intisari: Salah satu syarat anggota TNI yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah adalah menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pilkada. Lalu bagaimana jika ia tidak terpilih menjadi kepala daerah, dapatkah ia kembali menjadi anggota TNI? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tugas Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) Sekilas informasi, pada dasarnya Anggota TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara [1] . TNI memiliki tugas pokok yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. [2] Kepala Daerah Setiap daerah dipimpin oleh kepala Pemerintahan Daerah yang disebut kepala daerah . [3] Kepala daerah untuk Daerah provinsi disebut gubernur , untuk Daerah kabupaten disebut bupati , dan untuk Daerah kota disebut wali kota . [4] Pencalonan Diri Menjadi Kepala Daerah Pada dasarnya, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. [5] Namun untuk anggota TNI (prajurit), ada aturan khusus yang melarangnya untuk terlibat dalam kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya. [6] Jabatan politik dalam administrasi publik adalah pejabat publik hasil dari sebuah pemilu atau pemilukada . Jabatan politis merupakan jabatan yang dihasilkan oleh proses politik, misal, Gubernur , wakil gubernur , Presiden/wakil Presiden, beserta para menterinya. Demikian informasi yang kami dapatkan dalam artikel Jabatan Politik dan Jabatan Karir di Indonesia yang kami akses dari laman Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XII Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi . Ini artinya, anggota TNI dilarang terlibat dalam pemilihan kepala daerah. Syarat Calon Kepala Daerah Dilihat dari UU TNI, jelas bahwa anggota TNI dilarang terlibat dalam pemilihan kepala daerah dan menjadi kepala daerah. Tetapi bagaimana jika anggota TNI ingin mencalonkan diri menjadi kepala daerah? Guna menjawab pertanyaan Anda soal TNI yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah, kita perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai syarat yang harus dipenuhi oleh Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota, yaitu: [7] a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat; d. berusia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota; e. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim; f. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian; i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi; j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara; k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi; m. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota; n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama; o. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon; p. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota; q. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; r. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan s. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon. Menjawab pertanyaan Anda, jelas kiranya bahwa salah satu syarat anggota TNI yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah adalah menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan Kepala Daerah (“Pilkada”). Pernyataan secara tertulis ini dituangkan dalam bentuk surat pernyataan, yang dibuat dan ditandatangani oleh calon sendiri, sebagai bukti pemenuhan syarat calon. [8] Jadi, ia harus mengundurkan diri dari keanggotaan TNI-nya. Lalu bagaimana jika ia tidak terpilih sebagai kepala daerah, apakah calon kepala daerah yang tidak terpilih itu dapat kembali menjadi anggota TNI? Untuk menjawabnya, kita merujuk pada Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/983/2016 tanggal 9 Agustus 2016 (“Surat Telegram Panglima TNI”) . Berdasarkan informasi yang kami peroleh dalam artikel Panglima TNI Tegaskan Tentara Harus Mundur jika Ikut Pilkada dari laman media Kompas , ketentuan yang dimuat di dalam Surat Telegram Panglima TNI ialah sebagai berikut: 1. Anggota TNI dan Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) TNI yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan mengikuti pilkada agar membuat surat pengunduran diri dari anggota TNI dan PNS TNI. Surat pengunduran diri tidak dapat ditarik kembali. 2. Selama dalam proses pemilu legislatif yang bersangkutan telah diberhentikan dengan hormat dari anggota TNI dan PNS TNI. 3. Anggota TNI dan PNS TNI yang akan mencalonkan diri mengikuti pilkada membuat surat pengunduran diri dari anggota TNI dan PNS TNI sejak ditetapkan sebagai calon peserta pilkada dan tidak dapat ditarik kembali. 4. Anggota TNI dan PNS TNI yang telah ditetapkan sebagai calon peserta pilkada wajib menyerahkan keputusan pemberhentian dari dinas keprajuritan TNI dan keputusan pemberhentian PNS TNI paling lambat 60 hari sejak ditetapkan sebagai calon peserta pilkada kepada KPU. 5. Apabila tidak terpilih menjadi anggota legislatif dan pilkada, yang bersangkutan tidak dapat kembali menjadi anggota TNI dan PNS TNI. 6. Selama dalam proses pemilu legislatif dan pilkada tidak diperbolehkan menggunakan atribut maupun fasilitas TNI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang telah ditetapkan sebagai undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 kemudian diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang ; 2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ; 3. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia ; 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer ; 5. Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/983/2016 tanggal 9 Agustus 2016. REFERENSI:\n1. 1. Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah XII Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi , diakses pada 26 September 2016 16.47 WIB. 2. Kompas , diakses pada 26 September 2016 17.27 WIB. [1] Pasal 5 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”) [2] Pasal 7 ayat (1) UU TNI [3] Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 23/2014”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“UU 9/2015”) [4] Pasal 59 ayat (2) UU 23/2014 [5] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (“UU 10/2016”) [6] Pasal 39 angka 4 UU TNI [7] Pasal 7 ayat (2) UU 10/2016 [8] Pasal 45 ayat (2) huruf a UU 10/2016 tni hukumonline mengundurkan diri tentara nasional indonesia kepala desa gubernur tentara tata negara hukum klinik pilkada klinik hukumonline" }
{ "from": "human", "value": "Bagaimana hukumnya jika salah satu karyawan mengajukan cuti karena harus menghadiri pemakaman pamannya di luar kota selama 3 hari? Menurut peraturan tentang Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlaku di kantor, cuti khusus menghadiri pemakaman hanya diberikan apabila pemakaman keluarga (ayah, ibu, suami/istri dan anak). Karyawan tersebut adalah seorang yatim piatu yang diasuh oleh pamannya semenjak kecil, bagaimana menurut hukum/undang-undang yang mengatur tentang ini? Karyawan tersebut berhak cuti/tidak? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "KLINIK TERKAIT Apakah Karyawan yang Cuti Melahirkan Tetap Dapat THR? 04 Apr 2024 Cuti Melahirkan bagi PNS yang Melahirkan Anak Kembar 05 Mar 2018 Ketentuan Pemagangan Agar Tak Menyalahi UU Ketenagakerjaan 31 Mei 2017 Gaji Terakhir dan Bonus Tahunan Tidak Dibayar 18 Mei 2017 Intisari: Pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai hak cuti bagi karyawan karena orang tua atau anggota keluarganya meninggal dunia. Namun, pekerja dapat tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaan apabila anggota keluarga meninggal dunia (dalam konteks ini pamannya) dan pengusaha tetap wajib membayarnya upah, dengan catatan pamannya karyawan merupakan anggota keluarga dalam satu rumah dengan karyawan yang bersangkutan. Dalam hal ini, pekerja tersebut tetap berhak dibayar selama 1 (satu) hari. Jika pengusaha tidak membayar upah karyawan yang tidak masuk bekerja (tidak cuti juga) karena anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan karyawan tersebut meninggal dunia, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) . Waktu Istirahat dan Cuti Pada dasarnya, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh. [1] Waktu istirahat dan cuti meliputi: [2] a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; c. cuti tahunan , sekurang kurangnya 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus; dan d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Pelaksanaan waktu istirahat tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. [3] Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud di atas berhak mendapat upah penuh. [4] Pekerja Tetap Dibayar Upahnya Jika Tidak Dapat Bekerja Kerena Hal Tertentu Dalam UU Ketenagakerjaan tidak disebutkan secara eksplisit mengenai cuti karena orang tua atau anggota keluarga ada yang meninggal dunia, tetapi ada ketentuan yang mengatur bahwa pekerja tetap diberikan upah apabila terjadi tidak masuk bekerja karena anggota keluarga meninggal dunia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan yang berbunyi: (1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila: [5] a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia ; d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara; e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha; g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat; h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan. Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja karena suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau menantu meninggal dunia itu dibayar untuk selama 2 (dua) hari . Sedangkan upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang tidak masuk bekerja karena anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia itu dibayar untuk selama 1 (satu) hari. [6] Pengaturan pelaksanaan ketentuan pembayaran upah karena pekerja/buruh tidak masuk bekerja atau tidak melakukan pekerjaan dan hal-hal tertentu yang menjadi alasan pekerja/buruh tersebut tidak masuk bekerja ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. [7] Jadi, dari ketentuan yang kami jelaskan di atas dapat kita ketahui bahwa pada dasarnya memang tidak ada aturan dalam UU Ketenagakerjaan yang secara eksplisit tentang hak cuti bagi karyawan yang tidak dapat bekerja karena anggota keluarganya meninggal dunia. Namun, karyawan dapat tidak masuk kerja karena alasan anggota keluarganya meninggal dunia dan pengusaha tetap wajib membayar upahnya. Dengan catatan, dalam hal ini, paman si karyawan yang meninggal dunia tersebut merupakan anggota keluarga yang memang tinggal dalam satu rumah dengan karyawan . Anda juga mengatakan bahwa berdasarkan peraturan tentang Sumber Daya Manusia (SDM) yang berlaku di kantor, cuti khusus menghadiri pemakaman hanya diberikan apabila pemakaman keluarga (ayah, ibu, suami/istri dan anak). Ketentuan ini tidak menyalahi UU Ketenagakerjaan karena UU Ketenagakerjaan tidak mengatur khusus tentang cuti ini. Saran kami, karyawan tersebut dapat menggunakan hak cuti tahunannya. Namun, jika pengusaha tidak membayar upah karyawan yang tidak masuk bekerja (tidak cuti juga) karena anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah dengan karyawan tersebut meninggal dunia, ini menyalahi ketentuan UU Ketenagakerjaan. Jika pengusaha melanggar ketentuan kewajiban pembayaran upah ini, maka dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10 juta dan paling banyak Rp 400 juta. [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan . [1] Pasal 79 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [2] Pasal 79 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 84 UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 93 ayat (4) huruf f dan g UU Ketenagakerjaan [7] Pasal 93 ayat (5) UU Ketenagakerjaan [8] Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan hukumonline google ketenagakerjaan cuti melahirkan pekerja karyawan cuti buruh klinik hukum pengusaha tenaga kerja perusahaan klinik hukumonline pidana" }
{ "from": "human", "value": "Apakah CD audio yang impor dari LN merupakan salah satu larangan dan batasan dari peraturan pemerintah? Apakah ada dasar hukum yang detail mengenai larangan dan batas barang impor tersebut?" }
{ "from": "gpt", "value": "Ketentuan mengenai impor cakram optik (CD) diatur di dalam Permendag No. 11/M-DAG/PER/3/2010 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Cakram Optik Kosong, dan Cakram Optik Isi (“Permendag 11/2010”) sebagaimana telah diubah dengan Permendag No. 35/M-DAG/PER/5/2012 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Permendag No. 11/M-DAG/PER/3/2010 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Cakram Optik Kosong, dan Cakram Optik Isi (“Permendag 35/2012”). KLINIK TERKAIT Jenis-Jenis Barang yang Dilarang Ekspor dan Impor 10 Nov 2022 Ancaman Hukuman Bagi Pengunduh Film Bajakan 27 Nov 2018 Prosedur Angka Pengenal Importir (API) 25 Jan 2017 Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia? 02 Apr 2012 Pengertian cakram optik berdasarkan Pasal 1 angka 3 Permendag 11/2010 adalah segala macam media rekam berbentuk cakram yang dapat diisi atau berisi data dan atau informasi berupa suara, musik, film, atau data dan/atau informasi lainnya yang dapat dibaca dengan mekanisme teknologi pemindaian ( scanning ) secara optik menggunakan sumber sinar yang intensitasnya tinggi seperti laser. Cakram optik yang akan diimpor harus tertera kode produksi berdasarkan ketentuan dan kelaziman yang berlaku secara internasional ( Pasal 2 ayat [3] Permendag 11/2010 ). Pihak yang dapat melakukan impor cakram optik hanya perusahaan yang telah ditetapkan sebagai Importir Terdaftar Cakram Optik ( Pasal 3 Permendag 11/2010 ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Untuk dapat menjadi importir terdaftar, perusahaan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Impor yang merupakan pejabat yang mendapat delegasi kewenangan dari Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan ( Pasal 4 ayat [1] dan [2] Permendag 35/2012 ). Permohonan penetapan sebagai importer terdaftar juga harus dilengkapi dengan dokumen antara lain ( Pasal 4 ayat [3] Permendag 35/2012 ): a. Fotokopi lzin Usaha yang diberikan kepada perusahaan untuk melakukan kegiatan usaha yang dikeluarkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Fotokopi Angka Pengenal Importir (API); c. Fotokopi Tanda Daftar Perusahaan (TDP); d. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); e. Rekomendasi dari Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi f. Kementerian Perindustrian untuk importasi Mesin dan Peralatan Mesin; g. Rekomendasi dari Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian untuk importasi Bahan Baku dan Cakram Optik Kosong; dan h. Rekomendasi dari Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk importasi Cakram Optik Isi. Penetapan sebagai importir terdaftar cakram optik berlaku selama 4 tahun ( Pasal 5 Permendag 11/2010 ). Jadi, menjawab pertanyaan Saudara, cakram optik bukan merupakan barang yang dilarang untuk diimpor. Mengenai jenis cakram optik yang dapat diimpor dapat dilihat pada lampiran Permendag 35/2012. Dasar hukum mengenai impor cakram optik diatur di dalam Permendag 11/2010 sebagaimana telah diubah dengan Permendag 35/2012. Selain itu, perlu diingat bahwa hanya perusahaan yang telah ditetapkan sebagai Importir Terdaftar Cakram Optik yang dapat mengimpor cakram optik. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2010 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Cakram Optik Kosong, dan Cakram Optik Isi 2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-DAG/PER/5/2012 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2010 Tahun 2010 tentang Ketentuan Impor Mesin, Peralatan Mesin, Bahan Baku, Cakram Optik Kosong, dan Cakram Optik Isi" }
{ "from": "human", "value": "Kebetulan saya sedang mencoba mendalami seni fotografi. Apakah boleh saya mengambil foto dengan pose si objek A memegang senjata api dan mengarahkan pada objek si B? Selain itu senjata api itu saya gunakan untuk bela diri. Apakah itu perbuatan melawan hukum? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Izin Kepemilikan Senjata Api di Indonesia\n\nPerlu dipahami dulu apa yang dimaksud dengan senjata api. Pasal 1 angka 3 Perpolri 1/2022 mendefinisikan senjata api adalah suatu alat yang sebagian atau seluruhnya terbuat dari logam yang mempunyai komponen atau alat mekanik seperti laras, pemukul atau pelatuk, triger, pegas, dan kamar peluru yang dapat melontarkan anak peluru atau gas melalui laras dengan bantuan bahan peledak.\nLebih lanjut, guna menyederhanakan jawaban, kami mengasumsikan:\n\nAnda memiliki senjata api untuk bela diri tetapi tidak tahu apakah legal atau tidak;Anda mengizinkan orang lain menggunakan senjata api milik Anda untuk keperluan foto.\n\nApabila Anda memiliki senjata api tanpa izin, maka ini jelas melanggar hukum Pasal 1 UU Darurat dan UU 8/1948 yang mana ancaman pidananya adalah dihukum mati atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara sementara setinggi-tingginya 20 tahun.[1]\nKemudian tindakan Anda yang menyerahkan senjata api untuk keperluan foto tersebut juga dipidana dengan pidana yang sama.[2]\n\nSelanjutnya, kami akan menjabarkan beberapa unsur pidana dalam Pasal 1 angka 1 UU Darurat adalah sebagai berikut:\n\nMempunyai dalam miliknya (memiliki), dalam artian sebagai pemilik penuh (eigenaar). Dalam konsep hukum di Indonesia kepemilikan benda tidak bergerak dibuktikan dengan bezit atau penguasaan penuh. Jika Anda menguasai atau memperoleh senjata api dengan cara membeli atau diberikan serta tidak ada izin untuk memiliki senjata api, Anda melanggar Pasal 1 angka 1 UU Darurat.Menguasai, dalam artian sebagai orang yang memegang dalam kekuasaannya misalnya meminjam (sebagai houder atau pemegang bukan pemilik). Jika Anda menguasai suatu senjata api tanpa izin, Anda melanggar ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Darurat.\n\nOleh karena itu, kepemilikan izin senjata api adalah hal yang mutlak. Adapun menurut Pasal 83 Perpolri 1/2022 menyebutkan jenis izin senjata api non organik Polri/TNI untuk kepentingan bela diri, meliputi izin:\n\npemasukan dari luar negeri;pembelian dari dalam negeri;pemilikan dan penggunaan;pemindahan atau mutasi;hibah;pemusnahan.ruangan tes menembak;perbaikan; danpameran.\n\nNantinya akan diterbitkan Buku Pemilikan Senjata Api (Buku Pas) sebagai izin kepemilikan senjata api non organik Polri/TNI yang diterbitkan Polri dan berisi identitas senjata api dan pemilik yang berlaku selama tidak dipindahtangankan.[3]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1948 tentang Mencabut Peraturan Dewan Pertahanan Negara Nomor 14 dan Menetapkan Peraturan tentang Pendaftaran dan Pemberian Idzin Pemakaian Senjata Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt52cbdf39eb3e0/undang-undang-nomor-8-tahun-1948?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_1948)\n2. [Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah \"Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/28541/undangundang-darurat-nomor-12-tahun-1951?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_12_1951)\n3. [Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt6253f6f3112b9/peraturan-kepolisian-negara-nomor-1-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perpolri_1_2022)\n[1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah \"Ordonnantietijdelijke Bijzondere Strafbepalingen” (Stbl. 1948 Nomor 17) dan Undang-Undang Republik Indonesia Dahulu Nomor 8 Tahun 1948 (“UU Darurat”)[2] Pasal 1 angka 1 UU Darurat[3] Pasal 1 angka 24 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api Standar Kepolisian Negara Republik Indonesia, Senjata Api Non Organik Kepolisian Negara Republik Indonesia/Tentara Nasional Indonesia, dan Peralatan Keamanan yang Digolongkan Senjata Api" }
{ "from": "human", "value": "Saya karyawan swasta dan ingin melaksanakan ibadah haji plus yang waktunya kurang lebih selama 40 hari. Apakah karyawan bisa mendapatkan hak cuti selama 40 hari untuk ibadah haji? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Sebelum menjawab pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan ibadah haji. Berdasarkan Pasal 68 Angka 1 Perppu Cipta Kerjayang mengubah Pasal 1 angka 1 UU 8/2019, ibadah haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu dan syarat tertentu.\nKemudian penyelenggara ibadah haji dibedakan menjadi 2 pihak yaitu:\n\nIbadah haji yang diselenggarakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umumdikenal sebagai ibadah haji reguler. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 2 Permenag 13/2021 yang menyebutkan bahwa:\n\nPenyelenggaraan Ibadah Haji Reguler adalah penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh Menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat umum.\nIbadah haji yang diselenggarakan oleh badan hukum yang telah mendapatkan izin berusahadikenal sebagai ibadah haji khusus. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 3 Permenag 6/2021yang menyebutkan bahwa:\nPenyelenggara Ibadah Haji Khusus, yang selanjutnya disebut PIHK, adalah badan hukum yang memiliki perizinan berusaha untuk melaksanakan ibadah haji khusus.\n\nKemudian berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, kami mengasumsikan bahwa yang Anda maksudkan dengan ibadah haji plus adalah ibadah haji khusus yang diselenggarakan oleh badan hukum yang memiliki perizinan berusaha untuk melaksanakan ibadah Haji khusus.\nPekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji\n\nBerdasarkan Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa pengusaha wajib membayar upah apabila pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.\n\nKemudian lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa:\n\nYang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.\n\nHal serupa juga diatur pula di dalam Pasal 43 PP Pengupahan, yaitu pengusaha diwajibkan untuk tetap membayar upah Anda. Ketentuan ini secara jelas berbunyi sebagai berikut:\n\nPengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk bekerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) huruf b, sebesar Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh dengan ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.\n\nPengusaha yang tidak membayar upah karyawan karena menjalankan ibadah dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10 Juta dan paling banyak Rp400 juta.[1]\n\nMengingat ibadah haji merupakan rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakannya, maka karyawan boleh tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah haji.\nAturan Jangka Waktu Pelaksanaan Waktu Ibadah Haji bagi Karyawan\n\nTerkait berapa lama hak karyawan untuk tidak dapat menjalankan pekerjaan dengan alasan melaksanakan ibadah haji, pada dasarnya di dalam UU Ketenagakerjaan dan PP Pengupahan tidak dicantumkan mengenai berapa lama waktu yang dapat diberikan oleh perusahaan apabila karyawan menjalankan ibadah haji khusus.\n\nNamun, Anda dapat menyimak ketentuan dalam Pasal 93 ayat (5) UU Ketenagakerjaan sebagai berikut:\n\nPengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.\n\nDari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa lamanya waktu yang dapat diberikan oleh perusahaan apabila karyawan menjalankan ibadah haji khusus diatur dan ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, dan selama waktu tersebut, Anda tetap mendapatkan upah.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_13_2003)\n2. [Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5cd53c28d4c16/undang-undang-nomor-8-tahun-2019/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_8_2019)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6551988895cb1?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_51_2023)\n7. [Peraturan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah dan Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6093b20d2e78a/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_6_2021)\n8. [Peraturan Menteri Agama Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt613f01f833cf5/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_13_2021)\n[1] Pasal 81 angka 67 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 186 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Saya pengemudi mobil Xenia M Family tahun 2012 plat hitam. Saya menaruh barang di bagasi belakang dengan posisi jok belakang terlipat, apakah saya melanggar Undang Undang Lalu Lintas pasal 307 tentang tata cara pemuatan?" }
{ "from": "gpt", "value": "Intisari: Mobil yang Anda kemudikan merupakan jenis kendaraan pribadi (mobil penumpang) yang seharusnya tidak digunakan sebagai angkutan barang, melainkan angkutan orang. Namun, jika memang mobil penumpang tersebut digunakan untuk mengangkut barang, ada ketentuan soal tata cara pemuatan barang dalam kendaraan dan pemenuhan persyaratan teknis yang harus diperhatikan. Akan tetapi, jika Anda tidak memenuhi syarat yang diatur dalam peraturan, pasal yang Anda sebutkan bukan diperuntukkan bagi pengemudi mobil penumpang seperti Anda, melainkan diperuntukkan bagi pengemudi dan/atau perusahaan angkutan umum barang. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dari keterangan yang Anda berikan, kami menyimpulkan bahwa mobil tersebut merupakan jenis kendaraan pribadi (mobil penumpang) yang seharusnya tidak digunakan sebagai angkutan barang, melainkan angkutan orang. Namun, jika memang mobil tersebut digunakan untuk mengangkut barang, ada ketentuan soal tata cara pemuatan barang dalam kendaraan. Untuk diketahui, yang dimaksud dengan \"mobil penumpang\" adalah Kendaraan Bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk Pengemudi atau yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. Sedangkan yang dimaksud dengan \"mobil barang\", adalah Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan barang. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lebih jelasnya untuk menjawab pertanyaan Anda, mari kita simak bunyi lengkap Pasal 307 UU LLAJ : Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Angkutan Umum Barang yang tidak mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Sementara bunyi lengkap Pasal 169 UU LLAJ adalah: (1) Pengemudi dan/atau Perusahaan Angkutan Umum barang wajib mematuhi ketentuan mengenai tata cara pemuatan, daya angkut, dimensi Kendaraan, dan kelas jalan. (2) Untuk mengawasi pemenuhan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengawasan muatan angkutan barang. (3) Pengawasan muatan angkutan barang dilakukan dengan menggunakan alat penimbangan. (4) Alat penimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: a. alat penimbangan yang dipasang secara tetap; atau b. alat penimbangan yang dapat dipindahkan. Jadi, ketentuan pada Pasal 307 UU LLAJ merupakan sanksi pidana bagi pengemudi dan/atau perusahaan angkutan umum barang yang melanggar Pasal 169 UU LLAJ. Menjawab pertanyaan Anda, karena Anda tidak termasuk pengemudi ataupun perusahaan angkutan umum barang, maka pasal ini tidak dapat dikenakan terhadap Anda. Tata Cara Pemuatan Barang dalam Mobil Penumpang Berikut kami jelaskan tata cara pengangkutan barang pada mobil penumpang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (“PP 74/2014”) . Dalam konteks pertanyaan Anda, apabila memang pengangkutan barang tersebut dilakukan dengan mobil penumpang, hal ini boleh saja dilakukan, dengan catatan, memenuhi persyaratan teknis, meliputi: [2] a. tersedia ruang muatan dan/atau tempat muatan yang dirancang khusus; b. barang yang diangkut sesuai dengan ruang muatan; dan c. jumlah barang yang diangkut tidak melebihi daya angkut sesuai dengan tipe kendaraannya. Selain itu, Angkutan barang dengan menggunakan Mobil Penumpang, Mobil Bus, atau sepeda motor harus memperhatikan faktor keselamatan . Oleh karena itu, selain memenuhi persyaratan teknis di atas, Anda wajib memperhatikan faktor keselamatan agar kendaraan tersebut tidak melebihi muatan dan berisiko kecelakaan lalu lintas. Jadi, selama Anda memenuhi persyaratan di atas, Anda bisa saja menggunakan mobil penumpang jenis itu untuk mengangkut barang. Risiko Hukum Melanggar Aturan Pengangkutan Barang oleh Mobil Penumpang Jika Anda didapati tidak memenuhi persyaratan pengangkutan barang dengan mobil penumpang serta tidak memperhatikan faktor keselamatan, maka hal ini merupakan suatu pelanggaran hukum. Akibatnya, Penyidik Kepolisian di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berwenang memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas. [3] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan . [1] Penjelasan Pasal 47 ayat (2) huruf b dan d Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) [2] Pasal 10 ayat (2) dan (3) PP 74/2014 [3] Lihat Pasal 260 ayat (1) huruf a UU LLAJ mobil" }
{ "from": "human", "value": "Mohon bantuannya untuk menjelaskan, adakah aturan mengenai pembuatan Joint Operation (JO), apabila JO-nya dengan perusahaan asing?" }
{ "from": "gpt", "value": "Joint Operation dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Kerja Sama Operasi (“KSO”), yang diatur dalam Pasal 1 angka 14 KMK 740/1989, yaitu kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk bersama-sama melakukan suatu kegiatan usaha guna mencapai suatu tujuan tertentu.\nSelain itu, pengertian joint operation juga dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 56 PP 14/2021 yang berbunyi:\n\nKerja Sama Operasi yang selanjutnya disingkat KSO adalah kerja sama usaha antar pelaku usaha yang masing-masing pihak mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang jelas berdasarkan perjanjian tertulis.\nDisarikan dari artikel Bagaimana Menggugat Konsorsium?, joint operation dikenal dengan istilah konsorsium, yaitu suatu kesepakatan bersama subjek hukum untuk melakukan suatu pembiayaan, atau kesepakatan bersama antara subjek hukum untuk melakukan suatu pekerjaan bersama-sama dengan porsi-porsi pekerjaan yang sudah ditentukan dalam perjanjian. Lebih lanjut, KSO/joint operation/konsorsium dalam hukum dagang dikenal dengan persekutuan perdata atau perseroan perdata (maatschap).\n\nPersekutuan perdata secara khusus diatur dalam Pasal 1618 KUHPer sebagai berikut:\n\nPerseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.\n\nKetentuan hukum selengkapnya mengenai persekutuan perdata dapat Anda baca di Pasal 1618 sampai Pasal 1652 KUHPer.\nJoint Operation dengan Perusahaan Asing\n\nSelanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur pembentukan joint operation dengan perusahaan asing. Namun, pada umumnya praktik joint operation banyak dilakukan dalam kegiatan usaha jasa konstruksi. Dalam bidang usaha ini, terdapat sejumlah regulasi yang mengatur tentang Badan Usaha Jasa Konstruksi (“BUJK”) asing dan kewajiban pembentukan joint operation.\n\nPada Pasal 32 UU 2/2017, diatur bahwa Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing atau usaha perseorangan jasa konstruksi asing yang akan melakukan usaha jasa konstruksi di wilayah Indonesia wajib membentuk:\n\nkantor perwakilan; dan/ataubadan usaha berbadan hukum Indonesia melalui kerja sama modal dengan badan usaha jasa konstruksi nasional.\n\nApabila yang dipilih adalah pembentukan kantor perwakilan di Indonesia, maka kantor perwakilan BUJK asing atau usaha perseorangan jasa konstruksi asing wajib:[1]\nberbentuk badan usaha dengan kualifikasi yang setara dengan kualifikasi besar;memenuhi Perizinan Berusaha;membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha Jasa Konstruksi nasional berkualifikasi besar yang memenuhi Perizinan Berusaha;mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing;menempatkan warga negara Indonesia sebagai pimpinan tertinggi kantor perwakilan;mengutamakan penggunaan material dan teknologi konstruksi dalam negeri;memiliki teknologi tinggi, mutakhir, efisien, berwawasan lingkungan, serta memperhatikan kearifan lokal;melaksanakan proses alih teknologi; danmelaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nKSO sebagaimana disebut di atas dilakukan dengan prinsip kesetaraan kualifikasi, kesamaan layanan, dan tanggung renteng.[2]\nKemudian, Lampiran II Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat PP 5/2021 (hal. II.8.A.68) menjelaskan persyaratannya lebih lanjut, dimana kantor perwakilan BUJK asing wajib, di antaranya:\n\nMembentuk KSO dengan BUJK nasional yang memenuhi kriteria teknis KSO:Berbadan hukum perseroan terbatas;Memiliki SBU konstruksi kualifikasi besar dan persamaan subklasifikasi dengan kantor perwakilan BUJK asing;Berbentuk BUMN, BUMD, atau badan usaha milik swasta.KSO untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi atau pekerjaan konstruksi terintegrasi dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:Minimal 50% dari nilai biaya pekerjaan konstruksi dikerjakan di dalam negeri; danMinimal 30% dari nilai biaya pelaksanaan pekerjaan konstruksi dikerjakan oleh BUJK nasional mitra KSO.KSO untuk pelaksanaan jasa konsultasi konstruksi dilaksanakan dengan ketentuan berikut:Seluruh pekerjaan konsultasi jasa konstruksi dilakukan di dalam negeri; danMinimal 50% dari nilai pekerjaan jasa konsultasi konstruksi dikerjakan oleh BUJK nasional mitra KSO.\n\nSedangkan, apabila BUJK Asing memilih untuk membentuk badan usaha berbadan hukum Indonesia melalui kerja sama modal dengan badan usaha jasa konstruksi nasional, maka ketentuan terkait kerja sama modal dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]\n\nDengan demikian, perlu ditelusuri kembali aturan masing-masing sektor usaha terkait dengan ketentuan pembentukan joint operation atau KSO dengan perusahaan asing. Apabila berkaitan dengan bidang usaha jasa konstruksi, ketentuannya sebagaimana telah kami jelaskan di atas.\n\nBaca juga: Kedudukan Badan-badan Usaha Pembentuk Joint Operation dalam Kepailitan\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/burgerlijk-wetboek?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt589304de0c834/undang-undang-nomor-2-tahun-2017?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_2_2017)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6032548acffe0/node/534/peraturan-pemerintah-nomor-5-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_5_2021)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60321e943a929?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_14_2021)\n7. [Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 Tahun 1989 tentang Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas Badan Usaha Milik Negara](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25236/keputusan-menteri-keuangan-nomor-740kmk001989-tahun-1989/document?utm_medium=internal_link_klinik)\n8. [Keputusan Menteri Keuangan Nomor 826/KMK.013/1992 Tahun 1992 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 740/KMK.00/1989 Tanggal 28 Juni 1989](Data Kepolisian /pusatdata/detail/25277?utm_source=&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kmk_826_1992)\n[1] Pasal 52 angka (14) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU 2/2017”).[2] Pasal 52 angka (14) Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 33 ayat (3) UU 2/2017.[3] Pasal 52 angka (15) Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 34 ayat (1) UU 2/2017." }
{ "from": "human", "value": "Saya ingin bertanya, kenaikan gaji pertahun berapa persen? Misalnya bagi perusahaan yang mempekerjakan karyawannya selama 40 jam/minggu. Adakah aturan kenaikan gaji?" }
{ "from": "gpt", "value": "Jika merujuk kepada UU Ketenagakerjaan, tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur mengenai persentase kenaikan gaji atau upah karyawan.\nKenaikan upah dan penentuan upah di atas upah minimum merupakan domain para pihak, yaitu pekerja/buruh dan pengusaha, untuk memperjanjikan atau mengaturnya, baik dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”).\nStruktur dan Skala Upah\n\nWalaupun demikian, dalam rangka kepastian hukum, dan untuk mengurangi jarak serta jenjang upah yang terlalu jauh antara upah tertinggi dan terendah, maka peraturan perundang-undangan mewajibkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[1]\n\nAdapun yang dimaksud dengan struktur dan skala upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan.[2]\n\nStruktur dan skala upah tersebut digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah bagi pekerja dengan masa kerja selama 1 tahun atau lebih, yang mana hal ini akan diatur lebih lanjut dalam PP Pengupahan.[3]\n\nPedoman struktur dan skala upah digunakan untuk upah berdasarkan satuan waktu[4] yang hitungannya ditetapkan per jam, harian, atau bulanan.[5]\n\nUntuk perusahaan yang menerapkan upah dengan komponen upah pokok dan tunjangan, maka struktur dan skala upah menjadi pedoman dalam penetapan upah pokok saja.[6]\n\nSelain itu, struktur dan skala upah wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja secara perorangan.[7] Adapun yang diberitahukan sekurang-kurangnya struktur dan skala upah pada golongan jabatan sesuai dengan jabatan pekerja yang bersangkutan.[8]\n\nSebagai catatan, struktur dan skala upah juga wajib dilampirkan oleh perusahaan pada saat mengajukan permohonan pengesahan dan pembaruan PP atau pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan PKB.[9]\n\nAdapun, mengenai aturan kenaikan gaji berkala, maka hal ini berkaitan dengan ketentuan pengusaha meninjau upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[10] Ketentuan inilah yang dapat mendasari kebijakan kenaikan gaji. Hal ini sekaligus menjawab pertanyaan Anda mengenai kenaikan gaji pertahun, yaitu tergantung struktur dan skala upah yang disusun oleh perusahaan.\n\nBaca juga: Mau Menyusun Struktur dan Skala Upah? Perhatikan 5 Hal Ini\nKenaikan Gaji\n\nBerbicara mengenai aturan kenaikan gaji karyawan swasta, ada kaitannya dengan upah minimum yaitu upah bulanan terendah yaitu upah tanpa tunjangan atau upah pokok dan tunjangan tetap. Namun apabila upah yang diberikan adalah upah pokok dan tunjangan tidak tetap, maka upah pokok paling sedikit sebesar upah minimum.[11]\n\nTerkait dengan kebijakan upah minimum, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum,[12] sedangkan upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.[13]\n\nBagi pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.[14]\n\nSelain itu, pengusaha yang telah memberikan upah lebih tinggi dari upah minimum yang ditetapkan sebelum UU Cipta Kerja berlaku, dilarang mengurangi atau menurunkan upah tersebut.[15]\n\nKebijakan pengupahan yang ditetapkan pemerintah, termasuk di dalamnya upah minimum, adalah salah satu upaya mewujudkan hak pekerja atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.[16]\n\nSelanjutnya, ditegaskan juga bahwa dalam menetapkan (memperjanjikan) upah, tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja/buruh laki-laki dan pekerja/buruh wanita untuk pekerjaan yang sama nilainya.[17]\n\nBerdasarkan penjelasan di atas dan terkait dengan pertanyaan Anda kenaikan gaji pertahun berapa persen, kami tegaskan kembali bahwa tidak ada ketentuan yang mengatur secara eksplisit mengenai persentase kenaikan gaji, melainkan pengusaha meninjau upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n2. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n3. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n4. [Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt60322fc0d665f/peraturan-pemerintah-nomor-36-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_36_2021)\n5. [Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt58d39fb133eb8/peraturan-menteri-ketenagakerjaan-nomor-1-tahun-2017?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenaker_1_2017)\n[1] Pasal 81 angka 33 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)[2] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah[3] Pasal 81 angka 33 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan[4] Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)[5] Pasal 15 PP Pengupahan[6] Pasal 20 ayat (3) PP Pengupahan[7] Pasal 21 ayat (2) PP Pengupahan[8]  Pasal 21 ayat (3) PP Pengupahan[9] Pasal 22 ayat (1) PP Pengupahan[10] Pasal 81 angka 34 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 92A UU Ketenagakerjaan[11] Pasal 23 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan[12] Pasal 81 angka 28 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan[13] Pasal 81 angka 31 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 90A UU Ketenagakerjaan[14] Pasal 81 angka 66 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan[15] Pasal 81 angka 71 Perppu Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 191A huruf b UU Ketenagakerjaan[16] Pasal 81 angka 27 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 88 ayat (2) jo. ayat (3) huruf a UU Ketenagakerjaan[17] Pasal 6 UU Ketenagakerjaan" }
{ "from": "human", "value": "Mohon pencerahan, PT A dalam penggajian menerapkan upah terbagi dalam gaji pokok dan tunjangan tetap dan tidak tetap. (i) Gaji pokok setiap tahun naik dengan persentase tertentu. (ii) Sebagian tunjangan tetap naik dengan SK Direksi tersendiri tetapi tidak naik setiap tahun, sebagian lagi naik menyesuaikan dengan gaji pokok yang naik. (iii) Tunjangan tidak tetap tidak tiap tahun naik. Menurut Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan disebutkan tentang peninjauan upah secara berkala. Bagaimanakah sebenarnya penerapan dari peninjauan upah berkala ini? Apakah latar belakang di atas dapat dianggap sudah memenuhi kenaikan berkala? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran yang ketiga kali dari artikel dengan judul Bagaimana Aturan Mengenai Kenaikan Upah Secara Berkala? yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan dipublikasikan pada Jumat, 22 Juli 2011, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. pada Kamis, 30 Maret 2017, dan kedua kali oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. pada Selasa, 29 Januari 2019. Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan , termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan. [1] Dalam hal komponen upah terdiri atas upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya upah pokok paling sedikit 75% dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. [2] Mengenai penerapan peninjauan upah secara berkala, hal ini diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang beberapa ketentuannya telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) . Peninjauan Upah Secara Berkala Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan [3] dan melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. [4] Struktur dan skala upah tersebutlah yang kemudian digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah. Lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja. [5] Pada dasarnya memang tidak aturan soal berapa persentase penyesuaian/kenaikan upah secara berkala. Namun, untuk saat ini pedoman penyusunan struktur dan skala upah dapat Anda lihat dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah (“Permenaker 1/2017\") . Struktur dan Skala Upah Struktur dan skala upah diartikan sebagai susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nilai nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan. [6] Sedangkan golongan jabatan adalah pengelompokan jabatan berdasarkan nilai atau bobot jabatan. [7] Struktur dan skala upah disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi masing-masing pekerja/buruh serta mempertimbangkan kemampuan perusahaan dan produktivitas . [8] Mengenai nominal upah terkecil, patut diperhatikan bahwa, sebagaimana diterangkan dalam artikel Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum , pengusaha dilarang membayarkan upah pekerja lebih rendah dari upah minimum [9] dan upah minimum tersebut berlaku bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari 1 tahun . [10] Sementara itu, upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. [11] Sehingga, menjawab pertanyaan Anda, pada praktiknya pengusaha akan meninjau upah pekerjanya (termasuk tunjangan) secara berkala (biasanya per tahun) dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Kemudian, mengenai hal-hal yang Anda sebutkan, kami tidak dapat memastikan apakah peninjauan upah berkala di perusahaan tempat Anda bekerja telah memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan karena hal tersebut juga bergantung kepada kondisi masing-masing perusahaan, sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Yang perlu Anda perhatikan adalah struktur dan skala upah yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah kami jelaskan dan tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang berlaku atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dijatuhi sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta. [12] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ; Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah . [1] Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) [2] Pasal 81 angka 32 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 94 UU Ketenagakerjaan [3] Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [4] Pasal 81 angka 31 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92A UU Ketenagakerjaan [5] Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (2) dan (3) UU Ketenagakerjaan [6] Pasal 1 angka 3 Permenaker 1/2017 [7] Pasal 1 angka 4 Permenaker 1/2017 [8] Pasal 81 angka 30 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 92 ayat (1) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 2 ayat (1) Permenaker 1/2017 [9] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan [10] Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 88E ayat (1) UU Ketenagakerjaan [11] Pasal 81 angka 28 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 90A UU Ketenagakerjaan [12] Pasal 81 angka 63 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan perseroan terbatas perjanjian kerja perjanjian kerja bersama upah minimum provinsi skala upah gaji upah klinik hukumonline upah minimum struktur upah pkb buruh tenaga kerja hukumonline ketenagakerjaan pekerja umk ump peraturan perusahaan pekerjaan umum struktur dan skala upah google karyawan jabatan pegawai pendidikan umr masa jabatan hukum klinik pengusaha kompetensi masa kerja perusahaan pp" }
{ "from": "human", "value": "Saya PNS di salah satu kota di Kalimantan pada Bagian Humas dan Protokol. Yang saya tanyakan, adakah mekanisme pembayaran lembur bagi PNS? Karena pegawai Humas cenderung bekerja mengikuti jadwal kegiatan Kepala Daerah sehingga lebih sering bekerja di luar jam kerja dinas (7.30 pagi - 4 sore). Bagaimana penghitungannya? Jika tidak ada, apakah sah-sah saja jika saya menolak penugasan kerja di luar jam kerja dinas? Terima kasih." }
{ "from": "gpt", "value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 26 Agustus 2013 . Intisari : Uang lembur merupakan kompensasi bagi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) yang melakukan kerja lembur berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang. Mekanisme pemberian dan penghitungannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.02/2018 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2019 . Berapa besaran uang lembur yang ditetapkan? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Arti Kerja Lembur Bagi PNS Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) merupakan pegawai Aparatur Sipil Negara (“ASN”) sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara : Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami memberikan definisi kerja lembur bagi PNS yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.05/2009 Tahun 2009 tentang Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi Pegawai Negeri Sipil (“Permenkeu 125/2009”) : Kerja lembur adalah segala pekerjaan yang harus dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil pada waktu-waktu tertentu di luar waktu kerja sebagaimana telah ditetapkan bagi tiap-tiap instansi dan kantor Pemerintah. Jadi, apabila Anda bekerja di luar waktu kerja yang seharusnya (7 .30 pagi - 4 sore), maka berarti Anda bekerja lembur. Anda sebagai PNS dapat diperintahkan melakukan kerja lembur untuk menyelesaikan tugas-tugas kedinasan yang mendesak. Perintah tersebut dikeluarkan oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/Kepala Kantor/Kepala Satuan Kerja dalam bentuk Surat Perintah Kerja Lembur. [1] Hak Atas Uang Lembur dan Uang Makan Lembur Lebih lanjut, Pasal 3 Permenkeu 125/2009 menyatakan: Kepada Pegawai Negeri Sipil yang melakukan Kerja Lembur tiap-tiap kali selama paling sedikit 1 (satu) jam penuh dapat diberikan uang lembur. Besarnya uang lembur untuk tiap-tiap jam penuh Kerja Lembur bagi Pegawai Negeri Sipil adalah sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum . Pemberian uang lembur pada hari libur kerja adalah sebesar 200% (dua ratus persen) dari besarnya uang lembur. Uang lembur dibayarkan sebulan sekali pada awal bulan berikutnya. Khusus untuk uang lembur bulan Desember dapat dibayarkan pada akhir bulan berkenaan. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa tiap PNS yang melakukan kerja lembur selama paling sedikit satu jam penuh dapat diberikan uang lembur. Jadi, Anda sebagai PNS jika memang melakukan kerja lembur di luar waktu kerja yang seharusnya, berhak atas uang lembur. Besaran uang lembur ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum. Selain itu, apabila Anda juga melakukan kerja lembur pada hari libur, uang lembur yang Anda terima adalah sebesar 200% (dua ratus persen) dari besarnya uang lembur. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, memang ada peraturan yang khusus mengatur tentang upah lembur bagi PNS sebagaimana yang kami jelaskan di atas. Jika memang Anda diberikan perintah untuk melakukan kerja lembur dari Kuasa Pengguna Anggaran/Pejabat Pembuat Komitmen/Kepala Kantor/Kepala Satuan Kerja dalam bentuk Surat Perintah Kerja Lembur, Anda berkewajiban melaksanakan tugas tersebut. Di sisi lain, kerja lembur dan pemberian uang lembur bagi PNS harus dilakukan sesuai dengan Permenkeu 125/2009 yang juga telah kami jelaskan di atas. Kemudian, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) dan (2) Permenkeu 125/2009 , PNS yang melaksanakan kerja lembur paling kurang 2 (dua) jam berturut-turut diberikan uang makan lembur yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum. Dalam hal kerja lembur dilakukan selama 8 (delapan) jam atau lebih, uang makan lembur diberikan maksimal 2 (dua) kali dari besaran yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum. Adapun Peraturan Menteri Keuangan tentang Standar Biaya Umum yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.02/2018 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2019 (“Permenkeu 32/2018”) . Pada bagian Lampirannya diterangkan Penjelasan Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2019 yang Berfungsi Sebagai Batas Tertinggi disebutkan sebagai berikut: 25. Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur Bagi Pegawai ASN Uang Lembur merupakan kompensasi bagi Pegawai ASN yang melakukan kerja lembur berdasarkan surat perintah dari pejabat yang berwenang. Uang makan lembur diperuntukkan bagi Pegawai ASN setelah bekerja lembur paling kurang 2 (dua) jam secara berturut-turut dan diberikan maksimal 1 (satu) kali per hari. Adapun Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur bagi Pegawai ASN yang diatur dalam Lampiran Permenkeu 32/2018 adalah sebagai berikut: Tabel 1: UANG LEMBUR Tabel 2: UANG MAKAN LEMBUR Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.05/2009 Tahun 2009 tentang Kerja Lembur dan Pemberian Uang Lembur Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.02/2018 Tahun 2018 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2019 [1] Pasal 2 Permenkeu 125/2009 hukumonline pegawai negeri sipil online kenegaraan jam kerja tata negara hukum lembur" }
{ "from": "human", "value": "Sebelumnya maaf jika kata-kata saya sangat awam dan tidak mencerminkan pengetahuan saya tentang hukum. 1. Tentang lapor nikah, apakah ada keharusan atau peraturan untuk melaporkan pernikahan antara WNI dan WNA yang terjadi secara hukum dan agama di LN? Apakah harus melaporkan ke catatan sipil di Indonesia sementara pasangan bermukim di LN? 2. Tentang dwi kewarganegaraan, setahu saya Indonesia tidak mengakui adanya dwi kewarganegaraan. Apakah memang demikian adanya? Apakah ada peraturan kewarganegaraan ganda di Indonesia yang menerangkan sanksi apa yang akan diberikan jika seorang WNI kemudian diketahui mempunyai WN lain? Terima kasih atas jawabannya." }
{ "from": "gpt", "value": "Untuk menjawab pertanyaan Anda tentang dwi kewarganegaraan, mari lihat dari asas-asas kewarganegaraan yang terdapat dalam UU Kewarganegaraan. Dalam Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan disebutkan bahwa untuk memenuhi tuntutan masyarakat dan melaksanakan amanat Undang-Undang Dasar, undang-undang ini memperhatikan asas-asas kewarganegaraan umum atau universal, yaitu asas ius sanguinis, ius soli, dan campuran.Adapun 4 asas-asas yang dianut dalam UU Kewarganegaraan adalah sebagai berikut:\n\nAsas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Kewarganegaraan.\n\nLebih lanjut, dalam Penjelasan Umum UU Kewarganegaraan dikatakan bahwa pada dasarnya UU Kewarganegaraan tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam UU Kewarganegaraan merupakan suatu pengecualian. Jadi, benar yang Anda katakan bahwa hukum Indonesia tidak membolehkan warga negaranya berkewarganegaraan ganda.\n\nApabila seorang WNI kemudian diketahui mempunyai kewarganegaraan ganda, maka ia harus melepaskan salah satu kewarganegaraan yang ia miliki. Apabila ia tidak mau melepaskan salah satu kewarganegaraannya, maka sanksi yang didapatkan adalah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia.[1]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nUndang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia;Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.\n\n[1] Pasal 23 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia" }