0
dict | 1
dict |
---|---|
{
"from": "human",
"value": "Salam kenal, kami mau bertanya. Di daerah kami ada salah satu orang yang menjabat salah satu jabatan pemerintahan. Ketika pendaftaran, salah satu ijazahnya dikembalikan oleh panitia karena jenjang antara SMA terbitan 2003 dan S1 2001. Kisah ini telah beredar di masyarakat yang bersumber dari panitia. Bahkan telah termuat di salah satu media lokal kemudian ada seseorang yang melaporkan ke aparat hukum bahwa orang yang diberitakan di atas telah mencoba menggunakan ijazah palsu dalam pendaftaran. Pertanyaannya, apakah pelapor ini harus punya bukti ijazah yang dicurigai palsu? Fungsi dari penyidikan bukankah untuk menguak realitas kejadian dan mencari adanya ijazah palsu? Apakah pelapor bisa dituntut dengan pencemaran nama baik?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan yang telah disampaikan kepada kami. Sebelumnya kami akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan laporan. Pasal 1 angka 23 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan: KLINIK TERKAIT Dasar Bagi Polisi Melakukan Penyidikan 01 Apr 2013 “Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.” Jadi, berdasarkan ketentuan pasal di atas, bahwa setiap orang yang mengalami dan/atau mengetahui telah terjadinya suatu tindak pidana wajib untuk melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Namun masalahnya adalah sebagaimana yang Anda tanyakan, apakah si pelapor wajib untuk mengajukan bukti atas terjadinya tindak pidana tersebut? Secara normatif tidak ada ketentuan yang mewajibkan si pelapor untuk menyerahkan bukti telah terjadinya tindak pidana, yang dalam hal ini diduga menyerahkan ijazah palsu yang Anda maksudkan. Karena pada dasarnya setelah laporan diterima oleh Polisi, maka akan dilakukan penyelidikan. Apabila dalam proses penyelidikan ditemukan bahwa peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana, maka akan dilanjutkan ke proses penyidikan. Penyelidikan menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP adalah: “...serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP adalah: “...serangkaian, tindakan penyidik dalam hal menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Berdasarkan pengertian penyelidikan dan penyidikan yang telah kami kemukakan di atas bahwa mencari bukti-bukti terkait suatu tindak pidana adalah tugas dari penyidik bukan pelapor maupun pengadu. Namun, akan lebih baik jika seseorang yang melaporkan terjadinya suatu tindak pidana, juga dapat memberikan bukti-bukti terkait tindak pidana tersebut, untuk memudahkan penyidik dalam melaksanakan tugas. Hal ini juga berhubungan agar setiap orang tidak dengan mudah melaporkan seseorang telah melakukan tindak pidana, namun tidak didasarkan pada bukti yang kuat. Terkait pertanyaan Anda tentang apakah pelapor tersebut dapat dituntut dengan pencemaran nama baik, kita dapat merujuk pada Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) menyatakan: “Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.” Mengacu pada ketentuan di atas, jika pelapor tujuannya untuk menyerang nama baik orang yang dilaporkan tersebut, dan hal tersebut dilakukan agar maksudnya itu tersebar di khalayak ramai atau di depan umum, maka bisa saja dia dikenakan dengan pencemaran nama baik. Oleh karena itu, diharapkan bagi pelapor dapat menunjukkan bukti-bukti permulaan yang cukup jika ingin melaporkan seseorang telah melakukan tindak pidana. Demikan yang dapat kami sampaikan, kiranya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Anda. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana laporan polisi kuhap bukti permulaan kuhp"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa penggunaan lampu LED yang dipasang di kolong mobil melanggar hukum? Soalnya di daerah saya, banyak kendaraan roda empat yang memasang lampu di kolong mobil mereka. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan penelusuran kami, lampu LED ( Light Emitting Diode ) atau dioda cahaya merupakan salah satu aksesoris mobil yang kini banyak dipasang oleh pemilik kendaraan bermotor dalam memodifikasi kendaraannya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam laman mobil.otomotifnet.com , penggunaan LED pada mobil bisa sebagai lampu penerangan bagasi, kolong ( leg room ), laci, bawah pintu, kompartemen mesin, spion samping serta dapat digunakan sebagai penghias sekaligus lampu plafon. Selain itu, ada jenis LED yang juga bisa dipakai untuk lampu rem tambahan, running daylight dan pemanis pelat nomor polisi. KLINIK TERKAIT Nekat Pakai Pelat Nomor Palsu Bisa Dijerat Pidana Ini 09 Mar 2023 Mau Modifikasi Kendaraan Bermotor? Pastikan Sudah Uji Tipe Ini 15 Sep 2022 Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan 25 Agt 2016 Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan 11 Feb 2016 Pada dasarnya, lampu LED yang dipasang di kolong mobil atau bagian mobil lainnya bukan termasuk dalam sistem lampu dan alat pemantul cahaya pada kendaraan yang merupakan persyaratan teknis kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 jo. Pasal 7 huruf i Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan (“PP Kendaraan”) : a. lampu utama dekat berwarna putih atau kuning muda; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. lampu utama jauh berwarna putih atau kuning muda; c. lampu penunjuk arah berwarna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; d. lampu rem berwarna merah; e. lampu posisi depan berwarna putih atau kuning muda; f. lampu posisi belakang berwarna merah; g. lampu mundur dengan warna putih atau kuning muda kecuali untuk Sepeda Motor; h. lampu penerangan tanda nomor Kendaraan Bermotor di bagian belakang Kendaraan berwarna putih; i. lampu isyarat peringatan bahaya berwarna kuning tua dengan sinar kelap-kelip; j. lampu tanda batas dimensi Kendaraan Bermotor berwarna putih atau kuning muda untuk Kendaraan Bermotor yang lebarnya lebih dari 2.100 (dua ribu seratus) milimeter untuk bagian depan dan berwarna merah untuk bagian belakang; k. alat pemantul cahaya berwarna merah yang ditempatkan pada sisi kiri dan kanan bagian belakang Kendaraan Bermotor Dari sini kita ketahui bersama bahwa pemasangan lampu LED di bagian kolong kendaraan bukan termasuk persyaratan teknis kendaraan. Oleh karena itu, sebenarnya keber a daannya tidak disyaratkan atau tidak diperlukan. Untuk mengetahui apakah pemasangan lampu LED tersebut (bertujuan untuk memodifikasi kendaraan) melanggar hukum atau tidak, maka ada ketentuan yang penting diperhatikan terkait memodifikasi lampu kendaraan sebagaimana yang disebut dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) , yaitu setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Yang dimaksud dengan \"perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas\" adalah pemasangan peralatan, perlengkapan, atau benda lain pada kendaraan yang dapat membahayakan keselamatan lalu lintas, antara lain pemasangan bumper tanduk dan lampu menyilaukan ( Penjelasan Pasal 58 UU LLAJ ). Menurut hemat kami, apabila pemasangan lampu LED tersebut hanya untuk keperluan sebagai aksesoris mobil saja sementara persyaratan teknis sistem lampu dan alat pemantul cahaya pada kendaraan tersebut sudah layak, maka boleh saja dilakukan, dengan catatan, pemasangan lampu LED tersebut tidak mengganggu keselamatan berlalu lintas. Lalu apa sanksi bagi pihak yang melanggar aturan Pasal 58 UU LLAJ? Menurut Pasal 279 UU LLAJ , s etiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 2. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan . Referensi: http://mobil.otomotifnet.com/read/2011/09/29/322665/212/28/Lampu-LED-SMT-Harus-Fleksibel-Fungsi-Dan-Posisi-Mesti-Serasi , diakses pada 19 Agustus 2014 pukul 11.17 WIB jalan hukum mobil kendaraan klinik hukumonline hukumonline klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seseorang yang membantu pelaku penipuan bisa dijerat pasal 378 KUHP? Karena motifnya hanya membantu pelaku dan tidak mengambil keuntungan pribadi/tidak menerima uang sedikit pun dari perbuatannya itu, seperti yang terkandung dalam pasal 378 KUHP."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai membantu terjadinya suatu kejahatan ( medeplighitigheid ) diatur dalam Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang menyatakan: KLINIK TERKAIT Apakah Kasus Wanprestasi Bisa Dilaporkan Jadi Penipuan? 25 Apr 2024 Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan 12 Des 2023 Pasal untuk Menjerat Pelaku Penipuan SMS Berhadiah 14 Sep 2023 Pasal Penipuan Online untuk Menjerat Pelaku 27 Des 2022 Dipidana sebagai pembantu ( medeplichtige ) suatu kejahatan: Ke-1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ke-2. Mereka yang sengaja memberikan kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan. Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1675 K/Pid/2009 berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan yang disebutkan di dalam Pasal 56 KUHP di dalam doktrin biasanya disebut medeplichtigheid , yang berarti turut tersangkut atau turut bertanggungjawab, yakni turut bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain karena telah mempermudah atau mendorong dilakukannya sesuatu kejahatan oleh orang lain . Lalu, menurut buku “ Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal ” yang ditulis oleh R. Soesilo (hlm. 75-76), bahwa orang yang membantu melakukan suatu kejahatan haruslah secara sengaja memberikan bantuan tersebut. Sedangkan bantuan yang diberikan tersebut dapat berupa apa saja, baik moril maupun materil, tetapi sifatnya harus hanya membantu saja. Sedangkan, tindak pidana penipuan diatur Pasal 378 KUHP yang menyatakan: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kata kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Dari rumusan Pasal 378 KUHP tersebut, maka tidak hanya orang yang berniat untuk menguntungkan diri sendiri yang dapat dikenakan pidana penipuan, namun juga orang yang berniat menguntungkan orang lain. Dalam permasalahan yang Anda tanyakan, memang orang yang membantu terjadinya penipuan tersebut tidak menguntungkan diri sendiri, namun apabila tindakannya tersebut menguntungkan orang lain (pelaku penipuan), maka orang yang membantu terjadinya tindak pidana penipuan tersebut dapat dikenai pidana sesuai dengan pengaturan Pasal 56 Jo. 378 KUHP . Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Tasikmalaya pernah memutuskan dalam Putusan No. 221 / PID.B / 2011 / PN.Tsm seseorang terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana membantu melakukan penipuan sesuai dengan dakwaan Pasal 56 Jo. Pasal 378 KUHP. Dalam perkara tersebut terdakwa tidak menguntungkan dirinya sendiri, namun ia menguntungkan orang lain, yaitu seorang pelaku penipuan yang dituntut dalam pengadilan terpisah. Terdakwa hanyalah membantu korban penipuan agar mempercayai bujukan dan rangkaian kebohongan dari pelaku penipuan. Seperti mengkonfirmasi setiap perkataan bohong yang dilontarkan oleh pelaku penipuan, misalnya dengan mengatakan “iyah benar pak” atau mengangguk-anggukan kepala seolah-olah rangkaian perkataan bohong dari pelaku penipuan adalah suatu kebenaran. Maka dari penjelasan dan contoh kasus tersebut jelas bahwa seorang yang secara sengaja membantu terjadinya tindak pidana penipuan, walaupun tidak menguntungkan dirinya sendiri namun menguntungkan seorang pelaku penipuan, dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 56 Jo. Pasal 378 KUHP. Sekian jawaban dari kami, semoga membantu. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya habis tertipu dari pembelian di salah satu situs online di mana penjual mengaku barang yang dipasok adalah barang import, original dan ada garansi resmi internasional 1 tahun. Ternyata waktu proses pengiriman tertangkap bea cukai dan ketahuan barang BM (black market). Saya merasa ditipu oleh penjual. Saya bakal dikenakan pasal penadahan oleh pihak bea cukai dan dimintai sekian jumlah dana buat penghapusan BAP penadahan atas nama saya. Saya menyesal setelah kejadian ini dan berharap dapat menjelaskan posisi saya sebagai korban yang dari awal sudah memastikan keaslian barang ke penjual namun ternyata saya sendiri juga ditipu. Mohon bantuannya bagaimana agar saya tidak terjerat pasal penadahan mengingat saya tidak ada niat untuk membeli barang BM."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Tindakan Saudara tidak dapat dikualifikasi dalam pelanggaran tindak pidana kepabeanan, karena tidak ada tindakan pengangkutan, pembongkaran, penyembunyian dan hal-hal lain yang masuk dalam tindak pidana kepabeanan. Posisi Saudara hanyalah selaku pembeli sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan bagi Saudara dalam proses BAP di Bea Cukai. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan yang Saudara berikan. Sebelumnya kami sampaikan bahwa penyidik bea cukai dapat mengambil tindakan yang diperlukan terkait dengan penyidikan berdasarkan Pasal 112 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (“ UU Kepabeanan ”), kami kutip sebagai berikut: (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan. KLINIK TERKAIT Bisakah Perkara Penadahan P-21 Jika Pencurinya Tidak Diketahui? 28 Jun 2024 Baru Tahu Barang yang Dibeli Hasil Kejahatan, Termasuk Penadahan? 07 Jun 2024 Gunakan Harta Hasil Korupsi, Keluarga Koruptor Bisa Dipidana? 18 Apr 2023 Tidak Tahu Barang yang Dibeli Hasil Curian, Bisakah Dipidana? 05 Jan 2023 (2) Penyidik sebagaimana dimaksud ayat (1) karena kewajibannya berwenang : a. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang kepabeanan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; c. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan; d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan; e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang sangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan; f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, sarana pengangkut, atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang Kepabeanan; g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut undang-undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait; h. mengambil sidik jari orang; i. menggeledah rumah tinggal, pakaian, atau badan; j. menggeledah tempat atau sarana pengangkut dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang kepabeanan; k. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan; l. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang kepabeanan; m. mendatangkan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang kepabeanan; n. menyuruh berhenti orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka; o. menghentikan penyidikan; p. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang kepabeanan menurut hukum yang bertanggung jawab. Terkait kronologis yang saudara berikan, kami sampaikan pemahaman kami atas barang black market adalah barang yang dikirim/diselundupkan secara illegal yang mana barang tersebut tidak tercantum dalam daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut atau yang biasa disebut manifes sebagaimana diatur pada Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan , sehingga dalam kasus ini, saudara bisa diasumsikan melanggar Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan . Bahwa terdapat sanksi p idana atas pelanggaran Pasal 7A ayat (2) UU Kepabeanan sebagaimana diatur dalam Pasal 102 UU Kepabeanan yang kami kutip sebagai berikut: Setiap orang yang: a. mengangkut barang impor yang tidak tercantum dalam manifes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (2); b. membongkar barang impor di luar kawasan pabean atau tempat lain tanpa izin kepala kantor pabean; c. membongkar barang impor yang tidak tercantum dalam pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A ayat (3); d. membongkar atau menimbun barang impor yang masih dalam pengawasan pabean di tempat selain tempat tujuan yang ditentukan dan/atau diizinkan; e. menyembunyikan barang impor secara melawan hukum; f. mengeluarkan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dari kawasan pabean atau dari tempat penimbunan berikat atau dari tempat lain di bawah pengawasan pabean tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya pungutan negara berdasarkan undang-undang ini; g. mengangkut barang impor dari tempat penimbunan sementara atau tempat penimbunan berikat yang tidak sampai ke kantor pabean tujuan dan tidak dapat membuktikan bahwa hal tersebut di luar kemampuannya; atau h. dengan sengaja memberitahukan jenis dan/atau jumlah barang impor dalam pemberitahuan pabean secara salah, dipidana karena melakukan penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Namun atas kronologis yang Saudara sampaikan, kami tidak melihat tindakan Saudara dapat dikualifikasi dalam pelanggaran tindak pidana kepabeanan, karena tidak ada tindakan pengangkutan, pembongkaran, penyembunyian dan hal-hal lain yang masuk dalam tindak pidana kepabeanan. Posisi Saudara hanyalah selaku pembeli sehingga hal tersebut dapat dijadikan sebagai dasar pembelaan bagi Saudara dalam proses BAP di Bea Cukai. Selanjutnya terhadap dugaan pelanggaran pidana penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“ KUHP ”), akan kami kutip bunyi pasalnya sebagai berikut: “Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900, dihukum: 1. karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. 2. barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.” Bahwa berdasarkan kutipan kami di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penadah adalah orang yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang dimana orang tersebut mengetahui bahwa barang tersebut merupakan barang yang diperoleh karena kejahatan. Dalam kasus Saudara, kami berasumsi bahwa Saudara tidak mengetahui bahwa barang yang Saudara beli dari toko online merupakan barang yang bermasalah atau diperoleh karena kejahatan. Hal ini menurut kami dapat Saudara jadikan dasar dalam pembelaan Saudara di mata bea cukai, mengingat sepengetahuan Saudara dan berdasarkan informasi dari penjual di toko online tersebut barang itu bukanlah merupakan barang yang diperoleh dari kejahatan. Lebih lanjut, dalam kasus Saudara, menurut kami Saudara juga merupakan korban atas tindak pidana penipuan yang dilakukan oleh penjual toko online . Oleh sebab itu, Saudara dapat melaporkan juga pihak penjual toko online atas dasar penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP , yang kami kutip sebagai berikut: “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.” Bahwa Pasal 378 KUHP memiliki unsur sebagai berikut: 1. Barang siapa . Dalam kasus ini yang dapat memenuhi unsur barang siapa adalah pihak penjual toko online . 2. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum . Bahwa dalam kasus ini telah jelas bahwa pihak penjual toko online bermaksud menjual barangnya untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dikarenakan ternyata barang tersebut merupakan hasil kejahatan. 3. Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan . Bahwa penjual toko online tersebut telah melakukan tipu muslihat atas barang yang dijualnya. 4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang . Bahwa penjual toko online telah menggerakkan Saudara untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya yang dalam hal ini berbentuk uang atas pembelian barang di toko online tersebut. Kemudian apabila penyidik bea cukai ingin menggunakan ketentuan pasal penadahan dalam KUHP, Saudara bisa juga menyampaikan keberatan bahwa penyidikan dalam tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP bukanlah kewenangan penyidik bea cukai melainkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila Saudara masih juga kesulitan untuk menghadapi pihak bea cukai, maka kami menyarankan agar Saudara melaporkan hal yang Saudara alami melalui surat ke Dirjen Bea Cukai atau Menteri Keuangan. Demikian yang dapat kami sampaikan. Semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan . hukum hukumonline online bea cukai klinik hukumonline bap penipuan pengiriman klinik penadahan pembeli"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dapatkah konsumen yang membeli CD bajakan dikenakan sanksi pidana dengan mengacu pada Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengenai tindak penadahan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Untuk menentukan apakah membeli compact disc atau CD -- misalnya yang berisi piranti lunak ( software ) atau musik -- bajakan atau palsu dapat dikenakan sanksi pidana menurut Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), maka terlebih dahulu perlu dijabarkan unsur-unsur yang terkandung dari pasal tersebut. Pasal 480 KUHP menyebutkan: KLINIK TERKAIT Bunyi Jerat Pasal Penggelapan dengan Pemberatan 13 Sep 2023 Hukumnya Pakai Uang yang Ditemukan di Jalan 05 Sep 2023 Hukum Jual Beli Ponsel Tanpa Garansi di Pasar Gelap ( Black Market ) 29 Sep 2021 Hukumnya Memperbanyak Lagu Tidak untuk Tujuan Komersial 04 Jun 2021 “ Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah: Ke-1. Karena bersalah menadah, barangsiapa membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya, bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ke-2. Barangsiapa mengambil untung dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang-barang itu diperoleh karena kejahatan. ” Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 480 KUHP meliputi: 1. Barangsiapa : setiap subjek hukum yang diakui oleh undang-undang; 2. Membeli, menyewa, menukari, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena mau mendapat untung, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan : unsur ini merupakan perbuatan-perbuatan materiil yang harus dilakukan seseorang untuk dapat terjerat Pasal 480 KUHP. Jika mengacu pada pertanyaan awal, apakah pembeli CD bajakan dapat dikenakan sanksi pidana dengan mengacu pada Pasal 480 KUHP, maka sesuai dengan unsur-unsur yang telah dijabarkan di atas, pembeli CD bajakan dapat terjerat Pasal 480 KUHP. Hal ini karena perbuatan “ membeli sesuatu barang yang diketahuinya atau patut dapat disangkanya bahwa barang itu diperoleh karena kejahatan ” termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana menurut Pasal 480 KUHP. Lebih lanjut juga diatur bahwa selain pembeli, barangsiapa yang menyimpan atau menyembunyikan juga dapat dijerat dengan pasal ini. Pembeli CD bajakan sudah sepatutnya menyangka bahwa barang tersebut merupakan barang yang diperoleh karena kejahatan. Pembajakan dalam tindak pidana diatur secara khusus dalam Pasal 72 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta . Dengan adanya pengaturan dalam undang-undang ini, maka masyarakat secara umum dianggap telah mengetahui bahwa pembajakan merupakan salah satu bentuk kejahatan. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pembeli CD bajakan dapat dijerat dengan Pasal 480 KUHP mengenai penadahan. Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat tempat Penjawab bekerja . DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) . 2. Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seragam olahraga SD dapat dibiayai oleh BOS?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Dana BOS Disalahgunakan Sekolah, Ini Sanksinya 21 Feb 2024 Penculikan Siswa, Bisakah Pihak Sekolah Ikut Dituntut? 27 Nov 2023 Masalah Pungutan untuk Pedagang Kecil oleh Pihak Sekolah 23 Okt 2017 Sanksi Hukum Bagi yang Mengejek Guru di Jejaring Sosial 10 Feb 2017 Intisari: Jika maksud pertanyaan adalah soal dana BOS untuk membantu siswa miskin membeli seragam olah raga, hal ini tidak menyalahi aturan. Dengan kata lain, boleh saja dana BOS digunakan untuk membeli seragam bagi siswa miskin. Akan tetapi, jika yang Anda maksud dana BOS itu digunakan untuk membeli seragam olahraga bagi kepentingan pribadi siswa (yang bukan siswa miskin), hal ini menyalahi aturan. Alasannya adalah membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah) dan bukan untuk siswa miskin merupakan salah satu larangan penggunaan dana BOS. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bantuan Operasional Sekolah (“BOS”) adalah program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan pendanaan biaya operasi nonpersonalia bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar. Demikian yang kami sarikan dari artikel Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang kami akses dari laman resmi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (“Kemendikbud”) . Secara umum program BOS bertujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu, serta berperan dalam mempercepat pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada sekolah-sekolah yang belum memenuhi SPM, dan pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada sekolah-sekolah yang sudah memenuhi SPM. [1] Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Sanksi Bagi Penyalahguna Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) , secara khusus program BOS bertujuan untuk: [2] 1. Membebaskan pungutan bagi seluruh peserta didik SD/SDLB negeri dan SMP/SMPLB/SD-SMP SATAP/SMPT negeri terhadap biaya operasi sekolah; 2. Membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri maupun swasta; 3. Meringankan beban biaya operasi sekolah bagi peserta didik di sekolah swasta. Untuk mengetahui apakah seragam olahraga Sekolah Dasar (“SD”) atau seragam sekolah merupakan hal yang boleh dibiayai dari BOS, kita perlu mengetahui hal-hal yang menjadi sasaran penggunaan dana BOS itu. Masih bersumber dari laman Kemendikbud, dijelaskan bahwa penggunaan dana BOS itu meliputi antara lain: 1. Pembelian/penggandaan buku teks pelajaran, yaitu untuk mengganti yang rusak atau untuk memenuhi kekurangan. 2. Pembiayaan seluruh kegiatan dalam rangka penerimaan siswa baru, yaitu biaya pendaftaran, penggandaan formulir, administrasi pendaftaran, dan pendaftaran ulang, pembuatan spanduk sekolah bebas pungutan, serta kegiatan lain yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut (misalnya untuk fotocopy, konsumsi panitia, dan uang lembur dalam rangka penerimaan siswa baru, dan lainnya yang relevan); 3. Pembiayaan kegiatan pembelajaran remedial, PAKEM, pembelajaran kontekstual, pembelajaran pengayaan, pemantapan persiapan ujian, olahraga , kesenian, karya ilmiah remaja, pramuka, palang merah remaja, Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan sejenisnya (misalnya untuk honor jam mengajar tambahan di luar jam pelajaran, biaya transportasi dan akomodasi siswa/guru dalam rangka mengikuti lomba, fotocopy, membeli alat olah raga, alat kesenian dan biaya pendaftaran mengikuti lomba); 4. Pembiayaan ulangan harian, ulangan umum, ujian sekolah dan laporan hasil belajar siswa (misalnya untuk fotocopi/ penggandaan soal, honor koreksi ujian dan honor guru dalam rangka penyusunan rapor siswa); 5. Pemberian bantuan biaya transportasi bagi siswa miskin yang menghadapi masalah biaya transport dari dan ke sekolah, seragam , sepatu/alat tulis sekolah bagi siswa miskin yang menerima Bantuan Siswa Miskin. Jika dinilai lebih ekonomis, dapat juga untuk membeli alat transportasi sederhana yang akan menjadi barang inventaris sekolah (misalnya sepeda, perahu penyeberangan, dll); Sehubungan dengan hal-hal yang disebut untuk penggunaan dana BOS di atas , maka pembelian seragam olahraga dengan dana BOS dapat dibenarkan sepanjang diperuntukkan bagi siswa miskin. Namun, mencermati pertanyaan Anda apakah seragam olahraga SD dapat dibiayai oleh BOS, di sini kami menarik kesimpulan 2 (dua) kemungkinan maksud pertanyaan Anda sebagai berikut: 1. Apakah dana BOS dapat digunakan untuk membantu biaya seragam olahraga bagi siswa miskin? 2. Apakah dana BOS dapat digunakan untuk membeli seragam olah raga bagi kepentingan pribadi siswa? Jika yang Anda tanyakan adalah soal dana BOS untuk membantu siswa miskin membeli seragam olah raga, hal ini tidak menyalahi aturan. Dengan kata lain, boleh saja dana BOS digunakan untuk membeli seragam bagi siswa miskin. Hal ini karena BOS harus memberi kepastian bahwa tidak ada peserta didik miskin putus sekolah karena alasan finansial seperti tidak mampu membeli baju seragam /alat tulis sekolah dan biaya lainnya. [3] Akan tetapi, jika yang Anda maksud dana BOS itu digunakan untuk membeli seragam olahraga bagi kepentingan pri b adi siswa, hal ini menyalahi aturan. Alasannya adalah membeli pakaian/seragam bagi guru/siswa untuk kepentingan pribadi (bukan inventaris sekolah), kecuali bagi peserta didik miskin merupakan salah satu larangan penggunaan dana BOS. [4] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 161 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bos Tahun Anggaran 2015 . REFERENSI:\n1. http://bos.kemdikbud.go.id/home/about , diakses pada 22 September 2015 pukul 13.41 WIB. [1] Lampiran I Bab I huruf C Paragraf 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 161 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bos Tahun Anggaran 2015 (“Juknis BOS”) [2] Lampiran I Bab I huruf C Paragraf 2 Juknis BOS [3] Lampiran I Bab II Huruf B Angka 2 Juknis BOS [4] Lihat angka 6 larangan penggunaan dana BOS pada laman Kemendikbud dan Bab V Huruf B Angka 7 Juknis BOS hukumonline hukum klinik olahraga klinik hukumonline bos"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah batasan pemberian yang boleh diterima oleh pegawai negeri, yang tidak termasuk gratifikasi yang dilaporkan ke KPK? Kemudian, apakah parsel termasuk gratifikasi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Kami asumsikan bahwa parsel yang Anda maksud merupakan sebuah pemberian yang biasanya diberikan seseorang kepada orang lain.\nMenurut KBBI, parsel adalah bingkisan yang berisi berbagai hadiah, seperti aneka kue, makanan dan minuman dalam kaleng, barang pecah belah, yang ditata apik dalam keranjang dan dikirimkan kepada orang-orang tertentu pada hari raya.\nLalu apakah parsel termasuk gratifikasi? Untuk menjawab hal tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu makna dari gratifikasi. Menurut Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001, yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas yakni sebuah pemberian uang, barang, rabat atau diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri yang dilakukan dengan menggunakan maupun tanpa sarana elektronik maupun.\n\nNamun, perlu diketahui bahwa tidak semua bentuk gratifikasi merupakan sebuah hal yang negatif. Lebih lanjut, apabila dicermati Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU 20/2001 di atas, kalimat yang termasuk definisi gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas, sedangkan kalimat setelahnya itu merupakan bentuk-bentuk gratifikasi.[1]\nBerdasarkan penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifikasi. Dengan demikian, tidak semua gratifikasi bertentangan dengan hukum, melainkan gratifikasi yang memenuhi kriteria dan unsur Pasal 12B UU 20/2001 saja.[2]\nKapan Gratifikasi Dinyatakan Suap?\nPenerimaan gratifikasi dianggap suap apabila pemberian tersebut dilakukan berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas. Hal ini diatur dalam Pasal 12B UU 20/2001 yang berbunyi sebagai berikut.\n\n(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:\nyang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.\n(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).\n\nKetentuan tersebut menjelaskan secara eksplisit bahwa gratifikasi dapat dianggap sebagai suap apabila dilakukan karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas.\nNamun, ketentuan dalam Pasal 12B UU 20/2001 mengenai gratifikasi yang dianggap sebagai suap dikecualikan apabila penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 12C UU 20/2001.\n\nDengan demikian, ketika penerima melaporkan gratifikasi yang ia terima kepada KPK maksimal 30 hari kerja sejak menerima gratifikasi, maka si penerima tersebut tidak dianggap menerima suap.\nGratifikasi yang Tidak Dianggap Suap\nPada dasarnya penerimaan gratifikasi dikategorikan menjadi dua, yaitu gratifikasi yang dianggap suap dan gratifikasi yang tidak dianggap suap.[3] Penjelasan sebelumnya telah menjawab ciri-ciri gratifikasi yang dianggap suap. Selanjutnya, akan kami uraikan mengenai gratifikasi yang tidak dianggap sebagai suap.\n\nSebuah pemberian atau gratifikasi yang tidak dianggap suap adalah gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugas.[4]\nAdapun gratifikasi yang tidak dianggap suap terkait dengan kegiatan kedinasan meliputi penerimaan dari pihak lain berupa:[5]\n\ncendera mata dalam kegiatan resmi kedinasan seperti rapat, seminar, workshop, konferensi, pelatihan dan kegiatan lain sejenis;kompensasi yang diterima yang terkait dengan kegiatan kedinasan seperti honorarium, transportasi, akomodasi, dan pembiayaan lainnya sebagaimana diatur pada standar biaya yang berlaku di instansi penerima, sepanjang tidak terdapat pembiayaan ganda, tidak terdapat konflik kepentingan, atau melanggar ketentuan yang berlaku di instansi penerima. Perlu diperhatikan adanya penerimaan honorarium atau fasilitas lainnya yang tidak sesuai dengan standar biaya umum yang berlaku di instansi penerima. Hal ini wajib dilaporkan ke KPK.\n\nBaca juga: Begini Perbedaan Suap dan Gratifikasi\nApakah Memberi Parsel Termasuk Gratifikasi?\n\nMenjawab pertanyaan Anda apakah memberi parsel termasuk gratifikasi, dapat kami sampaikan bahwa parsel yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara termasuk bentuk gratifikasi.\nNamun demikian, pemberian parsel tidak termasuk sebagai gratifikasi yang dianggap suap dan melanggar hukum apabila:\n\nparsel yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak berhubungan dengan jabatan dan tidak berlawanan dengan kewajiban atau tugas;melaporkan penerimaan parsel tersebut ke KPK maksimal 30 hari kerja sejak penerimaan parsel/gratifikasi.\nAdapun terkait dengan pelaporan gratifikasi ke KPK dikecualikan untuk beberapa kondisi, misalnya pemberian parsel tersebut dari keluarga seperti kakek/nenek, bapak/ibu/mertua, suami/istri sepanjang tidak terdapat konflik kepentingan.[6]\nAtau misalnya pemberian terkait dengan pertunangan, pernikahan, kelahiran, akikah, baptis, khitan, atau upacara adat/agama lainnya maksimal Rp1 juta setiap pemberi.[7] Pemberian dari rekan kerja juga tidak perlu dilaporkan ke KPK apabila tidak dalam bentuk uang dan tidak terkait kedinasan maksimal Rp200 ribu setiap pemberi, dengan total pemberian tidak lebih dari Rp1 juta dalam 1 tahun dari pemberi yang sama.[8]\n\nHal ini juga sekaligus menjawab pertanyaan Anda mengenai batasan pemberian gratifikasi ke pegawai negeri yang wajib dilaporkan ke KPK yang selengkapnya diatur di dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan KPK 2/2019.\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/1371/node/38/uu-no-31-tahun-1999-pemberantasan-tindak-pidana-korupsi?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_31_1999)\n2. [Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/339?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_20_2001)\n3. [Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5e183029380fc/peraturan-komisi-pemberantasan-korupsi-nomor-2-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=peraturan_KPK_2_2019)\nREFERENSI:\n1. KBBI, parsel, yang diakses pada Selasa, 23 Mei 2023 pukul 11.29 WIB\n2. Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014.\n\n[1] Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, hal. 3[2] Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, hal. 3[3] Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, hal. 5[4] Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, hal. 5[5] Kedeputian Bidang Pencegahan KPK. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Ed Revisi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2014, hal. 6[6] Pasal 2 ayat (3) huruf a Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pelaporan Gratifikasi (“Peraturan KPK 2/2019”)[7] Pasal 2 ayat (3) huruf l Peraturan KPK 2/2019[8] Pasal 2 ayat (3) huruf o Peraturan KPK 2/2019"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah ada pasal yang menyebutkan tentang biaya pembuatan Surat Keterangan Hilang? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang mengatur mengenai biaya pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan. Pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan juga tidak termasuk dalam Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK) merupakan tugas kepolisian daerah, kepolisian resort, dan kepolisian sektor. Ini merujuk pada ketentuan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 t entang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort Dan Kepolisian Sektor (“ Perkapolri 23/2010 ”) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah (“ Perkapolri 22/2010 ”). Kepolisian Daerah (“Polda”) adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah provinsi yang berada di bawah Kapolri. Kepolisian Resort (“Polres”) adalah pelaksana tugas dan wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah Kapolda. Sedangkan Kepolisian Sektor (“Polsek”) adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi kepolisian di wilayah kecamatan yang berada di bawah Kapol res. KLINIK TERKAIT Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya 21 Des 2022 Konsekuensi Hukum Jika Membayar Biaya Sogok Masuk Polisi 06 Jun 2022 Bolehkah Memindahkan Pelaporan Pidana dari Polsek ke Polres? 12 Agt 2015 Bisakah Pelanggaran Perjanjian Pinjam Pakai Dianggap Penggelapan? 18 Agt 2014 Baik dalam susunan organisasi Polda, Polres, maupun Polsek, ada unsur pelaksana tugas pokok. [1] Salah satu unsur pelaksana tugas pokok adalah Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (“SPKT”). [2] Dalam melaksanakan tugasnya SPKT menyelenggarakan fungsi pelayanan kepolisian kepada masyarakat secara terpadu, antara lain dalam bentuk Laporan Polisi (LP), Surat Tanda Terima Laporan Polisi (STTLP), Surat Pemberitahun Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP), Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan (SKTLK) , Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), Surat Keterangan Lapor Diri (SKLD), Surat Izin Keramaian dan Kegiatan Masyarakat Lainnya, Surat Izin Mengemudi (SIM), dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK). [3] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sepanjang penelusuran kami, tidak ada peraturan yang mengatur mengenai biaya pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan. Hal ini dipertegas dengan merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia (“PP 50/2010”) . Pada peraturan tersebut, biaya pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan tidak termasuk dalam jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia meliputi penerimaan dari: [4] a. penerbitan Surat Izin Mengemudi; b. pelayanan ujian keterampilan mengemudi melalui simulator; c. penerbitan Surat Tanda Nomor Kendaraan; d. penerbitan Surat Tanda Coba Kendaraan; e. penerbitan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor; f. penerbitan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor; g. penerbitan Surat Mutasi Kendaraan Ke Luar Daerah; h. penerbitan Surat Izin Senjata Api dan Bahan Peledak; i. penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian; j. penerbitan Surat Keterangan Lapor Diri; k. penerbitan Kartu Sidik Jari (Inafis Card); dan l. denda pelanggaran lalu lintas. Ini berarti pungutan yang dikenakan dalam pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan bukan penerimaan negara bukan pajak. Dalam situs Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat ada masyarakat yang bertanya mengenai biaya pembuatan Surat Keterangan Tanda Lapor Kehilangan. Pertanyaan tersebut telah didisposisikan kepada Kepolisian Republik Indonesia, yang kemudian diteruskan ke Badan Reserse Kriminal (Kepolisian Republik Indonesia) . Akan tetapi belum ada respon atas pertanyaan tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kepolisian Negara Republik Indonesia ; 2. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Daerah; 3. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 t entang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort Dan Kepolisian Sektor. Referensi: https://www.lapor.go.id/pengaduan/1184029/biaya-pembuatan-surat-kehilangan-di-kepolisian.html , diakses pada tanggal 28 Januari 2016 pukul 15.37. [1] Pasal 7 huruf c dan Pasal 80 huruf d Perkapolri 23/2010 serta Pasal 7 huruf c Perkapolri 22/2010 [2] Pasal 10 dan Pasal 84 Perkapolri 23/2010 serta Pasal 10 Perkapolri 22/2010 [3] Pasal 37 ayat (3) huruf a dan Pasal 106 ayat (3) huruf a Perkapolri 23/2010 serta Pasal 112 ayat (3) huruf Perkapolri 22/2010 [4] Pasal 1 ayat (1) PP 50/2010"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sejauh manakah pemegang saham bertanggungjawab dalam \"debt restructuring\"?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ tanggung jawab pemegang saham” yang dibuat oleh Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 22 Oktober 2001. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Restrukturisasi Utang Debt restructuring atau restrukturisasi utang dalam Black’s Law Dictionary 9 th Edition dapat ditemukan dalam pengertian reorganization yaitu: financial restructuring of a corporation, esp. in the repayment of debts, under a plan created by a trustee and approved by a court. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam Kupas Tuntas Aspek Hukum dalam Penyusunan Perjanjian Restrukturisasi Utang Perusahaan (Corporate Debt Restructuring Agreement) untuk In-House Counsel , tujuan dari restrukturisasi utang perusahaan ini sejatinya adalah untuk melaksanakan transformasi dan pengurangan utang secara tepat waktu serta teratur dengan maksud untuk meningkatkan keuntungan. Memahami bahwa salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik kreditor maupun debitor, tentunya restrukturisasi utang perusahaan melalui jalur non-peradilan/perjanjian lebih berpeluang untuk memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak dibanding melalui jalur peradilan. Tanggung Jawab Pemegang Saham Apakah pemegang saham bertanggung jawab dalam debt restructuring ? Pada dasarnya, tanggung jawab pemegang saham sebatas pada jumlah nilai saham yang disetornya sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) yang selengkapnya berbunyi: Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas (hal. 74), salah satu keuntungan yang paling besar diperoleh dan dinikmati pemegang saham adalah tanggung jawab terbatas ( limited liability ). Keuntungan ini diberikan UUPT kepada pemegang saham sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UUPT. Meskipun pemegang saham dikonstruksi sebagai pemilik dari Perseroan, namun Pasal 3 ayat (1) UUPT membatasi tanggung jawabnya dengan acuan: pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi ( personal liability ) atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan maupun atas kerugian yang dialami Perseroan; risiko yang ditanggung pemegang saham, hanya sebesar investasinya atau tidak melebihi saham yang dimilikinya pada Perseroan; dengan demikian, pada prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atau secara individual atas utang perseroan . Prinsip ini diperjelas lagi dalam P enjelasan Pasal 3 ayat (1) UUPT bahwa pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya dan tidak meliputi harta kekayaan pribadinya. Sebagaimana dikutip dari Yahya dalam buku yang sama, menurut Daniel V. Davidson cs dalam bukunya Comprehensive Business Law, Principle and Cases (hal. 890), tanggung jawab pemegang saham yang terbatas inilah yang dibakukan dalam istilah “ tanggung jawab terbatas ”. Tetapi tanggung jawab terbatas pemegang saham tidak berlaku apabila: [1] persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Tanggung jawab pemegang saham sebesar setoran atas seluruh saham yang dimilikinya kemungkinan hapus apabila terbukti terjadi hal-hal yang disebutkan di atas , yakni antara lain terjadi pencampuran harta kekayaan pribadi pemegang saham dan harta kekayaan Perseroan sehingga Perseroan didirikan semata-mata sebagai alat yang dipergunakan pemegang saham untuk memenuhi tujuan pribadinya yaitu, pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi dan pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. [2] Simak juga artikel Aturan Seputar Komisaris Independen & Piercing the Corporate Veil . Jadi pada dasarnya pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas pada jumlah nilai saham yang disetornya. Berkaitan dengan debt restructuring secara eksplisit memang tidak dijelaskan, tetapi pada prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atau secara individual atas utang perseroan. Namun, tanggung jawab tersebut hilang apabila apabila terbukti terjadi hal-hal yang disebutkan di atas , salah satunya adalah pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. Sehingga apabila itu terjadi, maka menurut hemat kami pemegang saham ikut bertanggung jawab dalam debt restructuring tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar H ukum : Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . Referensi : Black’s Law Dictionary 9 th Edition ; Daniel V. Davidson cs. Comprehensive Business Law, Principle and Cases. Boston Massachusets: Kent Publishing. Second Edition, 1987; M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika, 2016. [1] Pasal 3 ayat (2) UUPT [2] Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UUPT pemegang saham pt hukumonline modal perseroan saham perseroan terbatas online hukum investasi perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salah satu tokoh agama mengaku dilarang pemerintah untuk pulang ke Indonesia. Apakah pemerintah memang berwenang melakukan hal tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (“UU Imigrasi”) . Ada perlunya kita menyinggung terlebih dahulu mengenai hak konstitusional masyarakat yang berkaitan dengan keimigrasian. Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa: Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali . Aturan Umum tentang Masuk Wilayah Indonesia UU Imigrasi mengatur bahwa setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib memiliki dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku . Yang dimaksud dengan “dokumen perjalanan yang sah dan masih berlaku” adalah dokumen perjalanan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan masih berlaku sekurang-kurangnya selama enam bulan sebelum masa berlakunya berakhir . [1] Selain itu, Pasal 9 UU Imigrasi menerangkan bahwa: Setiap orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia wajib melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat imigrasi di tempat pemeriksaan imigrasi ; Pemeriksaan meliputi pemeriksaan dokumen perjalanan dan/atau identitas diri yang sah; dan Dalam hal terdapat keraguan atas keabsahan dokumen perjalanan dan/atau identitas diri seseorang, pejabat imigrasi berwenang untuk melakukan penggeledahan terhadap badan dan barang bawaan dan dapat dilanjutkan dengan proses penyelidikan keimigrasian . Selain pemeriksaan terhadap dokumen perjalanan, apabila diperlukan guna keakuratan, ketelitian serta ketepatan objek pemeriksaan dapat dilakukan terhadap identitas diri untuk memberikan data dukung terhadap kebenaran dokumen perjalanan yang dimiliki. [2] Penggeledahan dilakukan dalam rangka mencari kejelasan atas keabsahan dokumen perjalanan dan identitas diri orang yang bersangkutan. Apabila dari hasil penggeledahan tersebut ditemukan adanya indikasi tindak pidana keimigrasian, prosesnya dapat dilanjutkan dengan melakukan penyelidikan keimigrasian. [3] Penolakan Masuk ke Wilayah Indonesia Lebih lanjut, ketentuan mengenai pembatasan untuk masuk ke wilayah Indonesia dalam UU Imigrasi lebih banyak menyasar orang asing. Pada dasarnya, orang asing yang telah memenuhi persyaratan dapat masuk wilayah Indonesia setelah mendapatkan tanda masuk. [4] Tanda masuk adalah tanda tertentu berupa cap yang dibubuhkan pada dokumen perjalanan warga negara Indonesia dan orang asing, baik manual maupun elektronik, yang diberikan oleh pejabat imigrasi sebagai tanda bahwa yang bersangkutan masuk wilayah Indonesia. [5] Menteri Hukum dan HAM berwenang melarang orang asing berada di daerah tertentu di wilayah Indonesia. Yang dimaksud “daerah tertentu” adalah daerah konflik yang akan membahayakan keberadaan dan keamanan orang asing yang bersangkutan. [6] Selain itu, pejabat imigrasi menolak orang asing masuk wilayah Indonesia dalam hal orang asing tersebut: [7] namanya tercantum dalam daftar penangkalan; tidak memiliki dokumen perjalanan yang sah dan berlaku; memiliki dokumen keimigrasian yang palsu; tidak memiliki visa, kecuali yang dibebaskan dari kewajiban memiliki visa; telah memberi keterangan yang tidak benar dalam memperoleh visa; menderita penyakit menular yang membahayakan kesehatan umum; terlibat kejahatan internasional dan tindak pidana transnasional yang terorganisasi; termasuk dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap dari suatu negara asing; terlibat dalam kegiatan makar terhadap pemerintah Republik Indonesia; atau termasuk dalam jaringan praktik atau kegiatan prostitusi, perdagangan orang, dan penyelundupan manusia. Orang asing yang ditolak masuk ditempatkan dalam pengawasan sementara menunggu proses pemulangan yang bersangkutan. [8] Yang dimaksud dengan “ditempatkan dalam pengawasan” adalah penempatan orang asing di rumah detensi imigrasi atau ruang detensi imigrasi atau ruang khusus dalam rangka menunggu keberangkatannya keluar wilayah Indonesia. Dalam hal orang asing datang dengan kapal laut, yang bersangkutan ditempatkan di kapal laut tersebut dan dilarang turun ke darat sepanjang kapalnya berada di wilayah Indonesia hingga meninggalkan wilayah Indonesia. [9] Bagi warga negara Indonesia sendiri, Pasal 14 UU Imigrasi dengan tegas mengatur bahwa: Setiap warga negara Indonesia tidak dapat ditolak masuk Wilayah Indonesia. Dalam hal terdapat keraguan terhadap dokumen perjalanan seorang warga negara Indonesia dan/atau status kewarganegaraannya, yang bersangkutan harus memberikan bukti lain yang sah dan meyakinkan yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia. Dalam rangka melengkapi bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam Rumah Detensi Imigrasi atau Ruang Detensi Imigrasi. Patut dipahami pula bahwa penangkalan yang diatur dalam Bagian Kedua Bab IX UU Imigrasi hanya dapat dilakukan terhadap orang asing sebagaimana pengertian penangkalan dalam Pasal 1 angka 29 UU Imigrasi yang berbunyi: Penangkalan adalah larangan terhadap Orang Asing untuk masuk Wilayah Indonesia berdasarkan alasan Keimigrasian. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemerintah tidak memiliki wewenang untuk mencegah warga negara Indonesia untuk kembali ke tanah air, termasuk tokoh agama yang Anda maksud . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian [1] Pasal 8 ayat (1) UU Imigrasi dan Penjelasannya [2] Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Imigrasi [3] Penjelasan Pasal 9 ayat (3) UU Imigrasi [4] Pasal 10 UU Imigrasi [5] Pasal 1 angka 19 UU Imigrasi [6] Pasal 12 UU Imigrasi dan Penjelasannya [7] Pasal 13 ayat (1) UU Imigrasi [8] Pasal 13 ayat (2) UU Imigrasi [9] Penjelasan Pasal 13 ayat (2) UU Imigrasi imigrasi hukumonline keimigrasian pencegahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat malam, apakah pencantuman label komposisi pada bungkus makanan dan obat bisa dikatakan sedikit/banyak membocorkan formulasi produk (rahasia dagang)? Karena dengan membaca label tersebut kita tidak hanya tahu terbuat dari apa saja produk tersebut, tetapi juga mungkin kita bisa membuat produk yang mendekati atau bahkan mungkin sama persis dengan produk tersebut."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Selamat malam, Seiring dengan perkembangan persaingan usaha dan teknologi, Indonesia telah memiliki undang-undang yang mengatur mengenai Rahasia Dagang di mana dengan adanya undang-undang ini, penemu atau kalangan pelaku usaha yang tidak bersedia mengungkapkan temuan atau invensinya tetap dapat menjaga kerahasiaan karya intelektual mereka. KLINIK TERKAIT Bisakah Kekayaan Intelektual Menjadi Harta Gono-Gini? 01 Apr 2024 Seluk Beluk Paten 04 Apr 2023 Bolehkah CV Mengajukan Permohonan Paten? 21 Agt 2018 Dasar Hukum Perubahan Istilah HAKI Menjadi HKI, Kemudian KI 31 Jul 2018 Yang dimaksud dengan Rahasia Dagang sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang (“UURD”) adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang. UURD sendiri sebenarnya secara jelas telah menyebutkan syarat-syarat apakah suatu informasi dapat dikategori sebagai rahasia dagang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UURD sebagai berikut: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (1) Rahasia Dagang mendapat perlindungan apabila informasi tersebut bersifat rahasia, mempunyai nilai ekonomi, dan dijaga kerahasiaannya melalui upaya sebagaimana mestinya; (2) Informasi dianggap bersifat rahasia apabila informasi tersebut hanya diketahui oleh pihak tertentu atau tidak diketahui secara umum oleh masyarakat; (3) Informasi dianggap memiliki nilai ekonomi apabila sifat kerahasiaan informasi tersebut dapat digunakan untuk menjalankan kegiatan atau usaha yang bersifat komersial atau dapat meningkatkan keuntungan secara ekonomi; (4) Informasi dianggap dijaga kerahasiaannya apabila pemilik atau para pihak yang menguasainya telah melakukan langkah-langkah yang layak dan patut. Terkait dengan pertanyaan apakah pencantuman label komposisi pada bungkus makanan dan obat bisa dikatakan sedikit/banyak membocorkan formulasi produk (rahasia dagang), maka hal ini harus dilihat juga dari sisi perlindungan konsumen. Pelaku usaha tak bisa lepas dari konsumen dan produk-produk yang mereka jual. Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) konsumen memiliki hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Selain itu UUPK juga mengatur bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. ( Pasal 8 ayat (1) huruf i UUPK ). Sebuah rahasia dagang pada obat atau makanan tentunya dapat terdiri dari rencana bernilai komersial, rumus, proses, atau perangkat yang digunakan untuk pembuatan, penyusunan, peracikan, atau pengolahan komoditas perdagangan dan yang dapat dikatakan sebagai produk akhir baik inovasi ataupun usaha besar tidak semata-mata hanya sekedar komposisi bahan yang dipakai. Pasal 2 UURD menyatakan bahwa ruang lingkup rahasia dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum. Dengan demikian pengungkapan komposisi pada bungkus makanan ataupun obat yang dilakukan semata-mata demi kepentingan keamanan dan kenyamanan konsumen dan tidak mengganggu nilai ekonomi dan sifat rahasia suatu produk sesuai dengan yang diatur oleh UURD adalah merupakan hal yang wajar. Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang . rahasia dagang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya adalah ketua RW baru di suatu daerah di kota Bandung, kebetulan di daerah saya nomor rumah tidak ada dan gang tidak diberi nama, efeknya menyulitkan pencarian alamat, baik tukang ojol, kurir, atau pencari alamat lainnya. Saya selaku ketua RW berinisiatif untuk menamai gang dan melakukan nomorisasi rumah. Tapi pihak kelurahan menyampaikan harus hati-hati karena perubahan nama administrasi daerah bisa berpengaruh terhadap alamat administrasi di KTP, KK, STNK dan juga sertifikat tanah. Di antara semuanya, sertifikat tanah paling ribet, lama dan mahal. Mohon sarannya, apakah itu berpengaruh terhadap akta tanah? Karena kalau menjadi ribet saya akan hentikan program penamaan gang dan nomorisasi rumah. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penamaan Gang dan Nomorisasi Rumah Mengutip dari artikel Aturan Tentang Penomoran Rumah , aturan soal pemasangan nomor rumah diatur dalam peraturan daerah setempat. Adapun gang, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia gang berarti jalan kecil yang biasanya hanya memuat kendaraan roda dua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa gang adalah salah satu jenis jalan. Lalu, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Aturan Pemberian Nama Jalan , penamaan jalan juga diatur dalam peraturan masing-masing daerah. Berkenaan dengan pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, di kota Bandung pemberian nomor bangunan dan pemasangan papan nama jalan diatur dalam Verordeningop Het Nummeren Van Gebouwen Enhet Aanbrengen Van Naamborden En Straatnaamborden (Peraturan Daerah Kotamadya Bandung tentang Pemberian Nomor-Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan) tanggal 31 Januari 1934 yang telah diubah kedua kalinya dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung tentang Perubahan Untuk Kedua Kali “Verordening Op Het Nummeren Van Gebouwen En Het Aanbrengen Van Naamborden En Straatnaamborden” (Peraturan Daerah tentang Pemberian Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan) (“Perubahan Kedua Perda Kotamadya Bandung tentang Pemberian Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan”) . Adapun ketentuan yang perlu Anda perhatikan di antaranya adalah nomor bangunan-bangunan dipasang secara berurutan dan berseling dengan nomor ganjil sebelah kiri dan nomor genap sebelah kanan dari jalan/gang atau perkampungan lainnya, dengan dimulai dan dilihat dari permukaan jalan/gang atau perkampungan sesuai dengan penetapan yang berwajib. [1] Selain itu, nomor bangunan-bangunan di dalam perkampungan atau dipinggir jalan/gang untuk umum, selain nomor urut biasa diberikan nomor Rukun Warga (RW), Rukun Tetangga (RT) dan dilengkapi dengan nomor blok. [2] Dampak Penamaan Gang dan Nomorisasi Rumah terhadap Sertifikat Tanah Sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan [3] . Sertifikat tanah diterbitkan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang terdaftar pada buku tanah. [4] Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan di atasnya [5] . Di dalam sertifikat tanah juga dilampirkan surat ukur, [6] yaitu dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. [7] Dalam surat ukur dimuat lokasi tanah, keadaan tanah dan tanda-tanda batas tanah. [8] Dasar pertama dari pembuatan surat ukur adalah peta dasar pendaftaran [9] yang memuat titik-titik dasar teknik dan unsur-unsur geografis, seperti sungai, jalan, bangunan dan batas fisik bidang-bidang tanah. [10] Hal ini bertujuan untuk mencegah kekeliruan objek tanah yang tercatat dalam sertifikat tanah dengan melampirkan peta lokasi tanah disertai dengan batas-batas tanah yang dimaksud. Sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. [11] Berdasarkan hal-hal di atas, secara umum, dengan dibuatnya penamaan gang dan nomorisasi rumah, menurut pandangan kami hal tersebut tidak memengaruhi keberlakuan dan keabsahan sertifikat tanah yang dimiliki oleh warga. Mengingat, di dalam sertifikat tanah tersebut sudah dijelaskan secara spesifik lokasi tanah, batas-batas tanah, dan peta tanah. Meski demikian, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Jika Ada Perubahan Data Tanah dan Bangunan karena Pemekaran Wilayah , sebagai langkah pencegahan agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari, pemilik sertifikat tanah wajib mendaftarkan perubahan data dengan melakukan pemeliharaan data pendaftaran tanah untuk ke Kantor Pertanahan setempat [12] . Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian [13] . Sebagai tambahan, Kantor Pertanahan Kota Bandung menjelaskan bahwa pengurusan perubahan data di Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten setempat relatif mudah, cepat, dan murah. Dalam hal perubahan data, Anda dapat langsung datang sendiri ke Kantor Pertanahan setempat, tidak memerlukan perantara pihak ketiga. Selama dokumen-dokumen yang dibawa sudah lengkap, permohonan perubahan data dapat segera diproses. Selain itu, kami merujuk kepada Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 128 Tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (hal. 6) perubahan alamat dengan adanya nama gang yang baru sebagai bagian dari Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah tersebut dapat dikategorikan sebagai Pelayanan Pencatatan Lain yang biayanya adalah sebesar Rp50.000 . Saran kami, untuk memberikan kemudahan pencarian alamat di RW Anda, Anda harus tetap melanjutkan program penamaan gang dan nomorisasi rumah tersebut sesuai dengan ketentuan penomoran dan penamaan bangunan yang telah diatur dalam peraturan daerah setempat, dengan catatan bahwa nantinya sertifikat tanah milik warga dapat didaftarkan perubahan datanya berupa penambahan nama jalan untuk menghindari sengketa di kemudian hari. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Pemerintah Nomor 128 Tahun 2015 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2016 tentang Bentuk Dan Isi Sertifikat Hak Atas Tanah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung tentang Perubahan Untuk Kedua Kali “Verordening Op Het Nummeren Van Gebouwen En Het Aanbrengen Van Naamborden En Straatnaamborden” (Peraturan Daerah tentang Pemberian Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan) Catatan : Kami telah menghubungi Bagian Pengaduan Kantor Pertanahan Kota Bandung via telepon pada 20 Oktober 2020, pukul 15.00 WIB. [1] Pasal 1a huruf a Perubahan Kedua Perda Kotamadya Bandung tentang Pemberian Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan [2] Pasal 1a huruf c Perubahan Kedua Perda Kotamadya Bandung tentang Pemberian Nomor Bangunan-Bangunan dan Pemasangan Papan-Papan Nama dan Papan-Papan Nama Jalan-Jalan [3] Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”) [4] Pasal 31 ayat 1 PP 24/1997 [5] Pasal 1 angka 6 PP 24/1997 [6] Lampiran 55 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997”) [7] Pasal 1 angka 17 PP 24/1997 [8] Lampiran 59 Permen Agraria/Kepala BPN 3/1997 [9] Pasal Pasal 22 ayat (1) jo. Pasal 16 ayat (4) PP 24/1997 [10] Pasal 1 angka 14 PP 24/1997 [11] Pasal 1 angka 7 PP 24/1997 [12] Pasal 36 PP 24/1997 [13] Pasal 1 angka 12 PP 24/1997 pertanahan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ketika seseorang kena tilang oleh Polisi, lalu apakah orang tersebut otomatis jadi tersangka?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terimakasih atas pertanyaan Anda. Intisari Istilah yang tepat bagi orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas setelah diundangkannya UU LLAJ adalah pelanggar. Penjelasan lebih lengkap silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan Peraturan perundang-undangan mengenai pelanggaran lalu lintas (selanjutnya disebut dengan tilang) mengenal beberapa istilah untuk menyebut orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Di antaranya adalah tersangka , terdakwa , terpidana , dan pelanggar . Tentu ini bukan persoalan istilah semata melainkan juga status yang memiliki implikasi hukum tertentu. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ditemukan istilah tersangka bagi orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas melainkan terdakwa dan terpidana . Salah satu contoh adalah Pasal 213 KUHAP yang menyatakan bahwa terdakwa dapat menunjuk seorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang. Begitu juga dengan Pasal 214 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa dalam hal putusan diucapkan di luar hadirnya terdakwa , surat amar putusan segera disampaikan kepada terpidana . KLINIK TERKAIT Apakah Sidang Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Tertutup untuk Umum? 26 Mei 2014 Bisakah Ditilang Karena Mengganti Lampu Depan Kendaraan? 12 Mei 2014 Bolehkah Polisi Menyita Tanpa Surat Tilang? 15 Apr 2014 SIM dan STNK Diblokir Karena Tidak Datang Sidang Tilang 24 Feb 2014 Hal itu disebabkan KUHAP yang tidak secara jelas menggolongkan pelanggaran lalu lintas sebagai tindak pidana atau pelanggaran. Dalam BAB XVI KUHAP dinyatakan bahwa perkara yang diperiksa menurut acara pemeriksaan cepat adalah tindak pidana ringan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan lalu lintas. Serupa juga terlihat dalam beberapa pengaturan lebih lanjut dari KUHAP mengenai penindakan pelanggaran lalu lintas. Dalam Lampiran Kesepakatan Bersama tertanggal 19 Juni 1993 antara Ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Pelanggaran Lalu Lintas Jalan Tertentu dikenal dua istilah yaitu tersangka dan/atau pelanggar . Misalnya, terkait warna dan peruntukan lembar surat tilang, warna merah diperuntukan bagi pelanggar/tersangka . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lampiran Surat Keputusan Kapolri Nomor SKEP/443/IV/1998 (SKEP 1998) tentang Buku Petunjuk Teknis Tentang Penggunaan Blanko Tilang juga mengenal dua istilah yaitu pelanggar dan terdakwa . Sebagai contoh, dalam bagian Pendahuluan bagian Umum dinyatakan bahwa tilang merupakan alat utama yang dipergunakan dalam penindakan bagi pelanggar , dan seterusnya. Kemudian SKEP 1998 menyatakan bahwa terdakwa adalah seseorang yang telah melakukan pelanggaran lalu lintas jalan tertentu dan telah mendapat tindakan dari penyidik untuk diajukan ke sidang pengadilan. Perbedaan peristilahan ini lalu diluruskan oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Dimana UU LLAJ hanya mengenal istilah pelanggar bagi orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Misalnya, Pasal 267 ayat (2) UU LLAJ yang menyatakan acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa kehadiran pelanggar . Begitupun untuk pelanggar yang telah atau menempuh jalur persidangan, istilah yang digunakan adalah tetap pelanggar bukan terpidana sebagaimana KUHAP. Sebagai contoh, Pasal 268 ayat (1) UU LLAJ yang menyatakan bahwa dalam hal putusan pengadilan menetapkan pidana denda lebih kecil daripada uang yang dititipkan, sisa uang harus diberitahukan kepada pelanggar untuk diambil. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (PP 80/2012) juga tidak mengenal istilah tersangka untuk orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas. Sebagai contoh, Pasal 25 ayat (2) huruf a PP 80/2012 menyatakan bahwa blangko tilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi kolom mengenai: a. identitas pelanggar dan kendaraan bermotor yang digunakan. Dengan demikian, istilah yang tepat bagi orang yang melakukan pelanggaran lalu lintas setelah diundangkannya UU LLAJ adalah pelanggar . Demikian jawaban dari saya. Semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hukum hukumonline uu llaj uu lalu lintas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Bolehkah seorang advokat memiliki blog pribadi yang mana dalam blog tersebut diinformasikan bahwa ia adalah seorang advokat. Mengenai iklan yang dilarang itu batasan dan ketentuannya seperti apa? Di jaman yang serba modern seperti sekarang ini, iklan bukan hanya ada di koran atau televisi saja. Iklan di Google atau Facebook juga bisa, apakah itu termasuk pelanggaran kode etik? Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Bolehkah Advokat Bersaksi untuk Mantan Klien? 06 Nov 2013 Bukti Berita Acara Sumpah Advokat untuk Bersidang 21 Okt 2013 Jangka Waktu Pembayaran Honorarium Advokat 08 Okt 2012 Jika Advokat Bekerja Sama dengan Lawan Berperkara 03 Okt 2012 Intisari: Blog dapat saja dikatakan untuk iklan atau mencari publisitas bagi si advokat, karena pada dasarnya blog sebagai media sosial memang merupakan sarana berkomunikasi kepada masyarakat luas. Akan tetapi semua kembali kepada pertimbangan dari Dewan Kehormatan organisasi advokat. Karena ada beberapa hal yang dianggap sebagai sarana publisitas si advokat, tetapi ada hal lain yang dianggap wajar saja untuk dilakukan advokat. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Sebelumnya , kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan yang telah diajukan kepada kami dan kami akan menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pengetahuan hukum yang kami miliki. Terkait pertanyaan Saudara mengenai bolehkah advokat punya blog pribadi , pertama-tama perlu kita ketahui bahwa dalam Pasal 8 huruf b dan f Kode Etik Advokat Indonesia ( “ KEAI ” ) telah diatur sebagai berikut: 1. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan atau bentuk yang berlebih-lebihan. 2. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publisitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat. Dari rumusan di atas jelas bahwa yang dilarang adalah pemasangan iklan serta mencari publisitas melalui media massa. Apakah Blog Termasuk Iklan dan Media Massa? Apa saja yang dianggap sebagai iklan? Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan pengertian sebagai berikut: “.... ik-lan n 1. Berita pesanan untuk mendorong, membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan ; 2. pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual , dipasang di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum; meng·ik·lan·kan v memberitahukan atau memperkenalkan sesuatu kepada umum melalui iklan: pabrik obat itu ~ hasil pabriknya melalui siaran televisi; ” Ini berarti cakupan iklan sangat luas, yang pada intinya suatu hal yang dilakukan untuk mendorong orang lain agar tertarik dengan atau mengetahui adanya jasa yang diberikan oleh advokat tersebut. Leonard P. Simorangkir , pada saat itu menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia ( “ Peradi ” ) , dalam artikel Lewat Google, Cara Lain Lawyer Pasang Iklan , mengatakan bahwa s ekarang ada satu tendensi larangan beriklan diterobos dengan cara-cara yang tidak bai k . Antara lain pengumuman putusan di media massa, memasang iklan pengumuman pindah kantor , dan lain sebagainya. Menurutnya, p ada prinsipnya memasang iklan agar orang tahu kemana (mereka harus-red) datang adalah pelanggaran kode etik. Akan tetapi, dalam artikel yang sama, hal berbeda dikatakan oleh Romo Andang Binawan , pada saat itu adalah Anggota Dewan Kehormatan Peradi Cabang Jakarta , yang beranggapan bila hanya memasang link ke website kantornya, menurutnya belum bisa dikatakan berlebihan. Paling semata-mata diartikan menarik perhatian. Kemudian apa yang dimaksud dengan media massa? Media massa, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas . Apakah blog seorang advokat dapat dikatakan sebagai iklan maupun publisitas melalui media massa? Rebecca Blood , sebagaimana dirujuk dalam halaman W ikipedia , memberikan penge r tian web log adalah sebagai berikut: “.... bentuk aplikasi web yang berbentuk tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting ) pada sebuah halaman web. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urutan terbalik (isi terbaru dahulu sebelum diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna Internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut. ” Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa blog ( web log ) adalah bentuk sederhana dari sebuah website pada umumnya. Merujuk pada artikel Apakah Blackberry Messenger (BBM) Termasuk Media Sosial? , pada catatan editor dijelaskan bahwa dalam artikel berjudul Hati-Hati Memanfaatkan Media Sosial yang dimuat dalam laman www.bin.go.id , media sosial didefinisikan sebagai, sebuah media online, dimana para pengguna dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi. Media sosial meliputi blog , jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia. Ini berarti blog termasuk sebagai media sosial . Baik media sosial dan media massa, keduanya memang merupakan sarana berkomunikasi dan berbagi. Jika sama-sama sebagai sarana berkomunikasi dan berbagi dengan masyarakat luas, tentu saja ada kemungkinan dapat dianggap sebagai publisitas. Aktivitas advokat dalam iklan pengumuman di media massa sebenarnya bukan hal baru. Berbagai iklan pengumuman seputar merek dagang atau HaKI yang lain, pembubaran, pailit atau perubahan badan hukum, atau bahkan soal klarifikasi suatu kasus yang sedang berjalan di persidangan sering kali ditemukan di berbagai media. Jadi, blog dapat saja dikatakan untuk iklan atau mencari publisitas bagi si advokat, karena pada dasarnya blog sebagai media sosial memang merupakan sarana berkomunikasi kepada masyarakat luas. Akan tetapi semua kembali kepada pertimbangan dari Dewan Kehormatan organisasi advokat. Karena ada beberapa hal yang dianggap sebagai sarana publisitas si advokat, tetapi ada hal lain yang dianggap wajar saja untuk dilakukan advokat. Jangankan mengiklankan diri, pemuatan iklan pemanggilan oleh advokat kepada pihak lawan perkara saja bisa dianggap sebagai pelanggaran kode etik. Ini misalnya terdapat dalam kasus yang ada di artikel Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan . Demikian yang dapat kami uraikan, semoga bermanfaat dan menambah khasanah berfikir bagi para pembaca. DASAR HUKUM: 1. U ndang-Undang No mor 18 T ahun 2003 tentang Advokat ; 2. Kode Etik Advokat Indonesia . REFERENSI:\n1. 1. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia\n2. 2. https://id.wikipedia.org/wiki/Blog , di akses pada hari Selasa tanggal 19 Juli 2016, pukul 13.51 WIB . hukumonline iklan media massa dewan kehormatan profesi hukum hukum majelis kehormatan klinik klinik hukumonline media sosial"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pada awal tahun 2010, saya mengurus akta kelahiran masih menjadi kewenangan cacatan sipil. Tetapi pada pertengahan 2013 saya kembali untuk mengurus akta kelahiran untuk adik saya, kini menjadi kewenangan Pengadilan Agama. Benarkah demikian?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul “ Apakah Pengadilan Berwenang dalam Penerbitan Akta Kelahiran?” yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 17 Desember 2013. Intisari: Tidak benar bahwa wewenang pencatatan kelahiran itu ada pada pengadilan agama. Yang berwenang mencatat kelahiran pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran adalah Pejabat Pencatatan Sipil pada instansi pelaksana tempat penduduk berdomisili. Namun, wewenang pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari sejak tanggal kelahiran adalah Kepala Instansi Pelaksana setempat berdasarkan keputusannya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) yang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 24/2013”) , antara lain dikatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengakuan status hukum pada peristiwa penting di sini salah satunya adalah diterbitkannya akta kelahiran . Pelaporan Kelahiran Pada dasarnya, setiap kelahiran wajib dilaporkan kepada instansi yang mengurus administrasi kependudukan untuk dibuatkan aktanya sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 27 UU 24/2013 : Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana setempat paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak kelahiran. Penjelasan : Pelaporan kelahiran oleh Penduduk dilaksanakan di Instansi Pelaksana tempat Penduduk berdomisili . Penulisan tempat lahir di dalam Akta Kelahiran tetap menunjuk pada tempat terjadinya kelahiran. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Kelahiran dan menerbitkan Kutipan Akta Kelahiran. Penjelasan : Penerbitan Kutipan Akta Kelahiran tanpa dipungut biaya sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Adapun yang dimaksud instansi pelaksana adalah perangkat pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan administrasi kependudukan. [1] Pada intinya yang mencatatkan peristiwa penting seperti kelahiran yang dimaksud adalah pejabat pencatatan sipil yang berkerja pada instansi pelaksana. [2] Pelaporan Kelahiran yang Melampaui Batas Waktu Anda mengatakan bahwa pada tahun 2010 saat Anda mengurus akta kelahiran, wewenang ada pada pejabat pencatatan sipil. Dari informasi tersebut kami berasumsi bahwa pelaporan kelahiran yang Anda lakukan saat itu tidak melewati batas waktu yang ditentukan oleh UU Adminduk dan perubahannya, yakni 60 hari sejak tanggal kelahiran. Jadi, memang benar bahwa saat Anda mengurus akta kelahiran yang berwenang adalah pejabat pencatatan sipil. Artinya, yang berwenang menerbitkan akta kelahiran adalah pejabat pencatatan sipil pada instansi pelaksana. [3] Bagaimana dengan pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu karena pelaporan kelahirannya pun melampaui batas waktu? Memang secara historis, sebelum UU Adminduk diubah, untuk pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun berdasarkan Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri . Ini sekaligus meluruskan bahwa penetapan yang dimaksud adalah penetapan dari pengadilan negeri, bukan pengadilan agama seperti yang Anda sampaikan. Akan tetapi , pada tahun 2013 Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (1) dan (2) UU Adminduk dinilai bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013 (“Putusan MK”), bunyi Pasal 32 ayat (1) UU Adminduk selengkapnya menjadi: Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat. Selain itu, MK dalam putusannya juga menyatakan bahwa Pasal 32 ayat (2) UU Adminduk bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Artinya, pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun tidak lagi harus berdasarkan penetapan pengadilan negeri. Menurut MK, keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun yang harus dengan penetapan pengadilan akan memberatkan masyarakat. Proses di pengadilan bukanlah proses yang mudah bagi masyarakat awam sehingga dapat mengakibatkan terhambatnya hak-hak konstitusional warga negara terhadap kepastian hukum. Jadi, jika pelaporan kelahiran melampaui batas waktu 60 hari sejak kelahiran (maupun lebih dari satu tahun sejak kelahiran), maka pencatatan dilaksanakan oleh pejabat pencatatan sipil setelah mendapat keputusan kepala instansi pelaksana setempat . Artinya, di sini sudah tidak ada lagi penetapan pengadilan negeri yang menjadi dasar pencatatan kelahiran. Putusan MK mengembalikan urusan akta kelahiran ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Selengkapnya Anda dapat pula membaca artikel MK Hapus Peran Pengadilan Urus Akta Kelahiran. Sekarang, Putusan MK itupun telah disempurnakan pengaturannya dalam Pasal 32 UU 24/2013 yang kini bunyi selengkapnya menjadi: Pelaporan kelahiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) yang melampaui batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kelahiran, pencatatan dan penerbitan Akta Kelahiran dilaksanakan setelah mendapatkan keputusan Kepala Instansi Pelaksana setempat . Dihapus. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencatatan kelahiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, tidak benar bahwa wewenang pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu itu ada pada pengadilan agama. Kini, wewenang pencatatan kelahiran yang melampaui batas waktu 60 hari sejak tanggal kelahiran adalah Kepala Instansi Pelaksana setempat berdasarkan keputusan yang dikeluarkannya, yaitu instansi pelaksana tempat penduduk berdomisili. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XI/2013 . [1] Pasal 1 angka 7 UU 24/2013 [2] Pasal 1 angka 16 UU 24/2013 [3] Lihat Pasal 1 angka 15 dan 17 UU 24/2013 tentang kelahiran sebagai peristiwa penting yang wajib dicatat dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana pengadilan negeri hukumonline pengadilan penetapan pengadilan tata negara klinik hukumonline akta kelahiran"
} |
{
"from": "human",
"value": "Permisi mau tanya, dalam peradilan perdata, apakah diperbolehkan pengadilan membuatkan surat gugatan tertulis? Terus dasar hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya. Sampai saat ini kaidah-kaidah hukum acara perdata di Indonesia masih tersebar pengaturannya. Sebagian termuat dalam Het Herziene Inlandsch Reglement (“ HIR ”), Stb. 1941 No. 44, yang hanya berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewestern (“ RBg ”), Stb. 1927 No. 27, yang berlaku untuk kepulauan lainnya di luar Jawa dan Madura. Kedua peraturan perundang-undangan ini ditegaskan keberlakuannya melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 16 Tahun 1964 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1965. KLINIK TERKAIT Bolehkah Karyawan Perusahaan Bertindak Melakukan Somasi? 22 Agt 2023 Upaya Hukum Jika Tereksekusi Masih Kuasai Fisik Barang Lelang 02 Mei 2012 Prosedur Pendaftaran Gugatan Jika Tergugat Berkedudukan di Luar Negeri 01 Mei 2012 Pengertian Peradilan In Absentia 15 Feb 2012 Jika merujuk kembali pada pertanyaan apakah pengadilan diperbolehkan untuk membuatkan surat gugatan tertulis maka hal tersebut diatur dalam Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBg , yang menyebutkan: Pasal 120 HIR Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Jika penggugat tidak cakap menulis, maka tuntutan boleh diajukan secara lisan kepada ketua pengadilan negeri; Ketua itu akan mencatat tuntutan itu atau menyuruh mencatatnya.” Pasal 144 RBg “(1) Bila penggugat tidak dapat menulis, maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang mebuat catatan atau memerintahkan untuk membuat catatan gugatan itu. Seorang kuasa tidak dapat mengajukan gugatan secara lisan. (2) Bila penggugat bertempat tinggal atau berdiam di luar wilayah hukum magistrat (kejaksaan) di tempat kedudukan suatu pengadilan negeri atau ketua pengadilan negeri tidak ada di tempat itu, maka gugatan lisan tersebut dapat diajukan kepada magistrat di tempat tinggal atau tempat kediaman penggugat, yang kemudian membuat catatan tentang gugatan lisan tersebut dan secepat mungkin menyampaikan catatan itu kepada ketua pengadilan negeri yang bersangkutan. (3) Ketua pengadilan negeri itu selanjutnya bertindak seperti bila gugatan itu diajukan kepadanya sendiri. Dari kedua pasal di atas dapat disimpulkan bahwa pengadilan negeri diperbolehkan untuk membuatkan surat gugatan tertulis untuk pihak penggugat yang tidak cakap menulis atau buta huruf. Menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya “ Hukum Acara Perdata ”, ketentuan Pasal 120 HIR dan Pasal 144 RBg di atas hanya dimaksudkan untuk penggugat yang tidak bisa membaca dan menulis dan bukan untuk orang yang buta hukum atau kurang memahami hukum. Selain kedua pasal di atas, dalam yurisprudensi juga diatur mengenai cara pengajuan gugatan lisan melalui Putusan Mahkamah Agung No. 396 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975 , ditegaskan bahwa Penggugat harus menyampaikan secara pribadi gugatan secara lisan dan tidak boleh diwakili oleh kuasanya. Yurisprudensi lainnya yang juga mengatur mengenai gugatan lisan adalah Putusan Mahkamah Agung No. 195 K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956 yang menyatakan bahwa dalam hal gugatan lisan, adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat. Sebagai kesimpulan, pengadilan diperkenankan untuk membuatkan surat gugatan tertulis untuk pihak penggugat yang buta huruf dengan ketentuan penggugat tersebut harus menyampaikan sendiri secara lisan kepada ketua pengadilan negeri, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugatan lisan, dan selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menuangkannya dalam bentuk tulisan. [Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat tempat Penjawab bekerja.] Dasar Hukum: 1. Rechtsreglement Buitengewestern (“ RBg ”), Stb. 1927 No. 27 2. Het Herziene Inlandsch Reglement (“ HIR ”), Stb. 1941 No. 44 Putusan: 1. Putusan Mahkamah Agung No. 195 K/Sip/1955 tanggal 28 November 1956 2. Putusan Mahkamah Agung No. 396 K/Sip/1973 tanggal 4 Desember 1975"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah dalam sebuah instansi jika terjadi pengalihan penggunaan anggaran termasuk korupsi atau melawan hukum? Contoh: jika dalam rencana penggunaan anggaran untuk perawatan taman dan pemeliharaan sarana yang lainnya, namun dalam pelaksanaan itu tidak pernah dibayarkan namun selalu dikerjakan atas perintah, bagaimana menurut bapak/ibu? Mohon tanggapannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Pengalihan penggunaan anggaran dapat dilakukan dengan didasarkan pada penyesuaian anggaran dengan upaya pergeseran anggaran baik antarunit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sehingga hal tersebut tidak melawan hukum. Apabila pengalihan penggunaan anggaran tidak merujuk kepada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara maka tentu pengalihan penggunaan anggaran tersebut tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi. Namun jika pengalihan tersebut memiliki unsur tersebut, maka dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mengenai pertanyaan Anda, perlu diketahui terlebih dahulu apakah pengalihan penggunaan anggaran itu telah melewati proses penyesuaiaan anggaran atau belum, oleh karena itu, perlu sekiranya kita memahami terlebih dahulu mengenai bentuk Penyesuaian Anggaran baik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”) ataupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”). Penyesuaian APBN dan APBD Mengenai penyesuaian APBN sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU 17/2003”) bahwasanya: Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama D ewan P erwakilan R akyat (“DPR”) dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : Perkembangan eknomi makro yang tidak sesuai dengan sumsi yang digunakan dalam APBN. Perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunitorganisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja; keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan . Kemudian mengenai penyesuaian APBD pengaturannya terdapat dalam Pasal 28 ayat (3) UU 17/2003 yakni : Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan p erubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD; Keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan Berdasarkan Pasal 27 dan 28 UU 17/2003 tersebut, maka apabila pengalihan penggunaan anggaran dilakukan didasarkan pada suatu keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja , maka pengalihan anggaran tersebut tentu tidak melawan hukum . Hubungan Pengalihan Penggunaan Anggaran d engan Tindak Pidana Korupsi Untuk mengetahui hubungan penggunaan anggaran dengan korupsi, pertama-tama kita harus memahami arti dari tindak pidana korupsi. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 31/1999”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/1999”) lalu dicabut sebagian dengan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tindak pidana korupsi adalah: Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup/atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar . Berkaitan dengan pengalihan penggunaan anggaran merupakan bentuk korupsi, haruslah memenuhi unsur-unsur m emperkaya diri sendiri atau orang lain serta merugikan keuangan negara dan perekonomian negara. Apabila unsur unsur dalam pelaksanaan penggunaan anggaran tersebut merujuk pada kedua unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwasanya Pengalihan Penggunaan Anggaran tersebut merupakan perwujudan dari adanya bentuk tindak pidana korupsi. Berkaitan dengan contoh Anda, maka hal tersebut perlu diperhatikan lebih lanjut mengenai Dokumen Pelaksanaan Anggaran (“DPA”), mengenai isi dokumen pelaksanaan anggaran telampir yaitu di antaranya; uraian sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk pencapaian sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan. Oleh karena itu kami perlu mengetahui lebih detail terhadap permasalahan tersebut, apakah mengenai rencana penggunaan anggaran untuk perawatan taman dan pemeliharaan sarana yang lainnya sudah tertera/masuk dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran secara jelas. Kesimpulan Jadi pengalihan penggunaan anggaran dapat dilakukan dengan didasarkan pada penyesuaian anggaran dengan dilakukan upaya pergeseran anggaran baik antarunit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja sehingga hal tersebut merupakan bentuk tidak melawan hukum, serta apabila pengalihan penggunaan anggaran tidak merujuk kepada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, maka tentu pengalihan penggunaan anggaran tersebut tidak termasuk dalam t indak p idana k orupsi. Namun jika pengalihan tersebut memiliki unsur tersebut maka dapat dikatakan sebagai tindak pidana korupsi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara jasa keuangan korupsi hukumonline kpk anggaran tipikor klinik hukum klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Siapakah yang berwenang mencantumkan label daluwarsa pada produk makanan? Apakah produsen atau pengecer? Apakah pengecer juga mempunyai kewenangan dalam mencantumkan label daluwarsa?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kedaluwarsa berarti terlewat dari batas waktu berlakunya sebagaimana yang ditetapkan (makanan): jika dimakan, makanan yang kedaluwarsa akan membahayakan kesehatan. Sedangkan yang dimaksud dengan pengecer adalah orang yang menjual secara sedikit-sedikit atau satu-satu sebagaimana yang dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman resmi Pusat bahasa Kementerian Pendidikan Nasional RI. KLINIK TERKAIT Apakah SNI Wajib untuk Semua Produk? 07 Jun 2024 Wajibkah Mencantumkan Made in Indonesia pada Label Barang? 14 Sep 2023 Wajibkah Makanan Impor Bersertifikat Halal? 23 Agt 2023 Begini Aturan Sertifikasi Halal Produk Makanan 25 Nov 2020 Pencantuman batas kedaluwarsa ini diatur khusus dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk. 03.1.23.06.10.5166 Tahun 2010 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan (“Peraturan BPOM”) . Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Peraturan BPOM diatur bahwa obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan pangan harus mencantumkan batas kedaluwarsa pada penandaan/label. Pencantuman batas kedaluwarsa itu harus dicantumkan dengan jelas sehingga mudah dilihat dan dibaca dengan mencantumkan bulan dan tahun. Selain itu, batas kedaluwarsa pangan, yang memiliki masa simpan kurang dari 3 (tiga) bulan, ditulis dengan mencantumkan tanggal, bulan, dan tahun. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menjual barang yang memiliki label kedaluwarsa pada dasarnya merupakan salah satu kewajiban pelaku usaha sebagaimana disebut dalam Pasal 8 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”) . Pasal ini pada intinya mengatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. Ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar larangan tersebut berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UUPK adalah pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Memang pada dasarnya semua pelaku usaha, baik yang memproduksi maupun yang memperdagangkan tidak boleh memproduksi atau menjual barang yang tidak ada tanggal kedaluwarsanya. Namun, siapa yang diwajibkan mencantumkan label/tanggal kedaluwarsa pada barang dan/atau jasa yang diperdagangkannya? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan (“PP 69/1999”) : (1). Setiap orang yang memproduksi atau menghasilkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan . (2). Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidak mudah luntur atau rusak, serta terletak pada bagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat dan dibaca. Label tersebut berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, yang sekurang-kurangnya memuat: (lihat Pasal 3 PP 69/1999 ) a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia; e. tanggal, bulan, dan tahun kadaluwarsa. Berdasarkan pengaturan di atas, maka jelas bahwa yang berkewajiban mencantumkan tanggal kedaluwarsa adalah produsen dari makanan tersebut. Selain itu, dalam Pasal 9 PP 69/1999 juga secara implisit mengatur kewajiban bagi importir untuk mencantumkan label yang memenuhi ketentuan peraturan ini. Pasal 9 PP 69/1999: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan, dilarang mencantumkan Label yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.” Pelanggaran terhadap ketentuan dalam PP 69/1999 dapat dikenakan tindakan administratif, meliputi: ( Pasal 61 PP 69/1999 ) a. peringatan secara tertulis; b. larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah); dan atau f. pencabutan izin produksi atau izin usaha. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label Dan Iklan Pangan ; 3. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor Hk. 03.1.23.06.10.5166 Tahun 2010 tentang Pencantuman Informasi Asal Bahan Tertentu, Kandungan Alkohol, dan Batas Kedaluwarsa Pada Penandaan/Label Obat, Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Pangan. Referensi: http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 27 Agustus 2014 pukul 16.19 WIB. daluwarsa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya, menurut Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 di situ dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Nah, dari situ sudah jelas bahwa kekayaan alam termasuk minyak, gas, emas, batubara dll harus dikuasai oleh negara. Sedangkan, yang terjadi saat ini sektor-sektor kekayaan alam tersebut telah banyak yang dikelola oleh pihak swasta. Apakah itu tidak menyimpang dari konstitusi dasar negara kita? Mohon pencerahannya terhadap hal tersebut. Atas bantuannya saya ucapkan banyak terima kasih. Wss."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Konsep Penguasaan SDA oleh Negara Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, b umi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebelum menjawab pertanyaan Saudara, pertama kita perlu ketahui apa arti dari “dikuasai oleh Negara” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Terkait ini kita perlu merujuk penafsiran dari Mahkamah Konstitusi (“MK”). MK sebagai pengawal konstitusi ( the guardian of the constitution ), memberikan konsekuensi MK berfungsi sebagai penafsir konstitusi ( the sole interpreter of the constitution ) melalui proses judicial review (lihat Pasal 10 ayat [1] huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ) . MK pernah melakukan penafsiran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 melalui Putu san MK No. 01-021-022/PUU-I/2003 yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : “... pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan p engawasan (toezichthoudensdaad ) oleh Negara. ..” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Salah satu sumber daya alam (“SDA”) yang saat ini pengusahaannya banyak dilakukan oleh pihak swasta misalnya m ineral atau batubara . Dari penafsiran di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengandung pengertian “penguasaan” mineral atau batubara adalah penyelenggaraan kegiatan pertambangan oleh Negara c.q Pemerintah dalam ranah politik (kekuasaan) terkait dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, dengan kewenangan yang dimiliki sebagai Penguasa Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bab IV UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (“UU Minerba”) . Pengusahaan SDA Bukan Merupakan Penguasaan Mutlak oleh Pihak Swasta Konsep kedaulatan rakyat untuk mencapai kemakmuran rakyat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dilakukan dengan pokok-pokok pikiran Demokrasi Ekonomi yaitu dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat . Pengusahaan atau pemanfaatan mineral dan batubara oleh masyarakat merupakan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai pelaku kegiatan usaha pertambangan untuk mencapai kesejahteraan rakyat yang optimal ( welfare state ). Pengertian dari pengusahaan SDA bukan merupakan suatu penguasaan mutlak oleh pihak swasta, dapat dijelaskan dengan melakukan sebuah penafsiran. Sebuah penafsiran konstitusi bukan hanya dilakukan secara tekstual, melainkan juga dengan cara konstekstual sehingga konstitusi tetap aktual. Oleh karena itu, untuk mengetahui makna pengusahaan SDA oleh swasta tersebut dapat ditelusuri melalui suatu metode interpretasi tertentu. Sebuah peraturan perundang-undangan yang sistematis dapat mempermudah menjelaskan maksud dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 melalui suatu metode intepretasi sistematis yang dilakukan dengan menghubungkan pasal demi pasal dalam undang-undang. Sehubungan dengan penguasaan mineral dan batubara oleh Swasta, terdapat ketentuan di dalam UU Minerba yang merefleksikan penegasan konsep penguasaan mineral atau batubara melalui beberapa penafsiran sebagai berikut: a. Penguasaan Mineral dan Batubara Secara gramatikal, Pasal 4 ayat (1) UU Minerba menyebutkan Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan rakyat. Pasal tersebut sangat jelas menyatakan secara harfiah bahwa penguasa dari mineral dan batubara sesungguhnya adalah Negara. b. Larangan pengalihan I zin U saha P ertambangan (IUP) kepada Pihak Lain K etentuan larangan pengalihan IUP sebagaimana diatur di dalam Pasal 93 ayat (1) UU Minerba merupakan penegasan bahwa IUP yang diterbitkan melalui suatu kebijakan Pemerintah merupakan hak perorangan ( in-personam right ). Hak tersebut melekat pada diri dari orang/badan tertentu, dan tidak dapat dialihkan dengan cara apapun . Hal tersebut menegaskan bahwa IUP bukan merupakan hak kebendaan ( property right ) yang dapat dimiliki secara penuh oleh pemiliknya, karena melekatnya suatu hak dan kewajiban terhadap si pemegang IUP itu sendiri. Dengan demikian, larangan pengalihan IUP tersebut memberikan kejelasan bahwa Negara memiliki kekuasaan atas hak pengusahaan mineral atau batubara yang dimiliki oleh pemegang IUP. c. Kepemilikan Mineral atau Batubara berdasarkan Pemenuhan I uran E ksplorasi atau Iuran produksi (Royalti) Ketentuan di dalam Pasal 92 UU Minerba secara tegas menyebutkan adanya hak kepemilikan atas mineral atau batubara setelah adanya pemenuhan royalti yang dihitung sebagai penerimaan negara bukan pajak. Mineral atau batubara merupakan suatu wujud kebendaan dari sumber daya alam yang dikuasai oleh Negara, dan dapat diperoleh dengan cara pemenuhan royalti sebagaimana diatur dalam Pasal 92 UU Minerba. Hak kepemilikan tersebut dilakukan tanpa melalui sebuah penyerahan (lihat Pasal 612 KUHPerdata ), tapi karena telah adanya suatu hak (baca: IUP) yang melekat kepada si pemegang IUP untuk mengusahakan mineral atau batubara tersebut. Dengan demikian jelas, tidak ada pengaturan mengenai larangan pengelolaan mineral atau batubara oleh pemegang IUP, namun terdapat pembatasan kepemilikan batubara atau mineral oleh pemegang IUP berdasarkan pemenuhan pembayaran royalti. d. Penjaminan mineral atau batubara oleh Pemegang IUP Timbulnya hak kepemilikan atas mineral atau batubara oleh Pemegang IUP berakibat juga kepada kemungkinan mineral atau batubara tersebut dijadikan sebagai benda yang dapat dibebankan sesuai dengan hukum jaminan ( zekerheidsrechten ) di Indonesia. Prinsip dari jaminan kebendaan adalah adanya hak kepemilikan atas suatu barang yang dapat dijadikan jaminan kepada pihak lain karena suatu sebab tertentu (baca: utang). Dengan demikian, apabila mineral atau batubara dijadikan jaminan, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan syarat bahwa telah terjadi pemenuhan pembayaran royalti kepada Negara oleh pemegang IUP. Sehingga, hal tersebut dapat menjelaskan bahwa pemegang IUP bukan merupakan penguasa dari mineral atau batubara yang dapat begitu saja menjaminkan mineral atau batubaranya sepanjang belum terpenuhinya pembayaran royalti. Dari penjelasan di atas, melalui beberapa penafsiran dapat diketahui, bahwa suatu kegiatan pertambangan oleh pihak swasta adalah bukan merupakan suatu perbuatan yang inkonstitusional. Karena pihak swasta tidak memiliki penguasaan atas mineral atau batubara secara mutlak. Kepemilikan atau penguasaan atas mineral atau batubara tetap berada pada Negara yang diberikan kewenangan terhadap pengaturan dan pengurusan, pengelolaan dan pengawasan oleh rakyat secara kolektif sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23) 3. Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 4. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Istri saya melunasi, mengambil BPKB, menjual mobil tanpa sepengetahuan suami dan memalsukan tanda tangan suami dan surat kuasa palsu. Apakah bisa saya laporkan ke polisi atas pasal 378, 372, 263 KUHP? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menurut hemat kami, dalam masalah yang sedang Anda hadapi tersebut berlaku Pasal 367 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang berbunyi sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Apakah Laporan Penggelapan Dapat Dicabut Kembali? 28 Feb 2024 Bisakah Bercerai karena Suami Homoseksual? 18 Agt 2023 Bisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang? 22 Mei 2023 Potensi Jerat Pidana Walaupun Syarat Nikah Siri Sudah Terpenuhi 28 Mar 2022 1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dan orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana . Mengenai Pasal 367 ayat (1) KUHP, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 255) menjelaskan bahwa: Pencurian atau membantu pada pencurian atas kerugian suami atau istrinya tidak dihukum, oleh karena kedua orang itu sama-sama memiliki harta-benda suami-istri. Hal ini didasarkan pula atas alasan tata-susila. Bukankah mudah dirasakan tidak pantas, bahwa dua orang yang telah terikat dalam surat hubungan suami-istri, pertalian yang amat erat yang biasa disebut perkawinan itu oleh penuntut umum (wakil pemerintah) diadu satu melawan yang lain di muka sidang pengadilan. Baik mereka yang tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Sipil, maupun yang tunduk pada hukum Adat (Islam), selama tali perkawinan itu belum terputus maka pencurian antara suami-istri tidak dituntut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi, selama Anda dan istri masih terikat dalam perkawinan, Anda tidak dapat melaporkan istri Anda atas tuduhan pencurian atau penggelapan karena adanya percampuran harta (harta bersama) karena perkawinan. Hal ini juga diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sekalipun, jika di antara Anda dan istri memiliki perjanjian pisah harta, dan harta yang digelapkan oleh istri Anda, menurut perjanjian tersebut, adalah milik Anda, menurut R. Soesilo perbuatan yang demikianpun tidak dapat dituntut. Kami sependapat dengan pendapat Soesilo tersebut karena meskipun ada perjanjian pisah harta antara suami-istri, namun secara tata-susila tidak pantas dua orang yang masih berstatus suami-istri bersengketa di muka pengadilan mengenai harta. Demikian yang kami pahami. Semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73). 2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Hukum online, dalam Hukum Acara Perdata, apakah boleh seorang Penggugat memilih siapa yang hendak digugatnya untuk menjadi Tergugat? Thanks."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengutip yang disampaikan oleh Ny. Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH dalam bukunya “ Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek ” (hal. 3), dalam hukum acara perdata, penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Perkataan “merasa” dan “dirasa” dalam tanda petik, sengaja dipakai di sini, oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat. KLINIK TERKAIT 2 Cara Korban Menuntut Ganti Rugi kepada Terpidana 03 Jul 2023 Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum 17 Mar 2022 Arti Error in Persona dan Error in Objecto Serta Contoh Kasusnya 24 Jun 2021 Jika TKW di Luar Negeri Ingin Gugat Pacar di Indonesia 29 Sep 2011 DASAR HUKUM: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sebelum dilakukan penghentian penyidikan/SP3 oleh penyidik, harus dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka terlebih dahulu? Bilamana penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, mengapa menetapkan status seseorang menjadi tersangka?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Intisari: Memeriksa tersangka merupakan bagian dari penyidikan. Dalam praktiknya, bisa saja polisi menetapkan seseorang sebagai tersangka terlebih dahulu, melakukan penyidikan, kemudian melakukan penghentian penyidikan atau SP3 karena hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Hal ini tergantung dari kasus itu sendiri. Jika memang ternyata penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka, maka penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan. Namun bagaimana praktiknya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Sebelum menjawab soal penghentian penyidikan, terlebih dahulu kita perlu memahami konsep penyidikan dan pemeriksaan tersangka. Perlu Anda ketahui, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi merupakan salah satu wewenang penyidik di dalam melakukan penyidikan. Demikian yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf g Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) . Jadi, memeriksa tersangka merupakan bagian dari penyidikan (tentunya sebelum penyidikan tersebut dihentikan). KLINIK TERKAIT Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana 12 Jan 2024 Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan 13 Jul 2023 Prosedur Bila Polisi Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara 09 Mar 2020 Berapa Lama Seseorang Menyandang Status Tersangka? 20 Feb 2015 Mengenai pertanyaan mengapa seseorang perlu ditetapkan statusnya sebagai tersangka jika pada akhirnya penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; hal ini berkaitan dengan proses penyelidikan dan penyidikan itu sendiri. Pasal 1 angka 2 KUHAP Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Pasal 1 angka 5 KUHAP Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari sini, harus diingat bahwa penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Jadi, fungsi penyelidik adalah menemukan apakah atas suatu peristiwa (yang diduga sebagai tindak pidana) bisa dilakukan penyidikan lebih lanjut oleh penyidik. Karena itulah diperlukan proses penyidikan guna mengumpulkan bukti yang membuat terang suatu tindak pidana. Jika ternyata dari hasil penyidikan, penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka, maka penyidik dapat melakukan penghentian penyidikan [lihat Pasal 109 ayat (2) KUHAP ]. SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan merupakan surat pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel SP3 , penghentian penyidikan merupakan kewenangan dari penyidik yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf i jo. Pasal 109 ayat (2) KUHAP . Alasan-alasan dilakukannya penghentian penyidikan yang terdapat dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP yaitu: a. tidak terdapat cukup bukti yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. b. peristiwa yang disidik oleh penyidik ternyata bukan merupakan tindak pidana c. penyidikan dihentikan demi hukum Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa. Sekaligus menyinggung pertanyaan kedua Anda soal penetapan tersangka, perlu diketahui bahwa penetapan sebagai tersangka itu berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal Ini dapat dilihat dari pengertian tersangka dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP : Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana . Adapun yang dimaksud dengan bukti permulaan cukup itu diatur berdasarkan Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana yang menyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP . Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. Ini dipertegas kembali dalam Pasal 1 angka 21 Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan bukti permulaan itu sendiri adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Problematika Penetapan dan Penangkapan Tersangka Oleh Yuliana Rosalita Kurniawaty, S.H. *) Kemudian kami akan menjawab soal apakah penghentian penyidikan itu harus dilakukan melalui pemeriksaan terhadap tersangka dulu? Atau kemungkinan lain apakah penyidikan dulu selesai dilaksanakan baru ditetapkan tersangkanya? Atau bisa kah bersamaan antara penyidikan dan penetapan tersangka? Atau justru p enetapan t e rsangka dulu baru penyidikan? Berdasarkan wawancara kami via telepon dengan Ahli Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda , dalam praktiknya, bisa saja kemungkinan-kemungkinan di atas terjadi dan dilakukan oleh penyidik. Hal ini tergantung dari kasus itu sendiri. Bisa saja penyidikan dilakukan, kemudian penetapan tersangka, lalu dilakukan SP3 karena hal-hal yang dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP. Huda menambahkan , jika sebelum ditetapkan sebagai tersangka namun dilakukan penyidikan, istilah dalam praktik yaitu: Terlapor atau Terduga. Meskipun dalam KUHAP (bahasa undang-undang) tidak dikenal kedua istilah itu, melainkan “Tersangka”. Oleh karena itu, menjawab pertanyaan Anda, sebelum dilakukan SP3 oleh penyidik apakah harus dilakukan pemeriksaan terhadap tersangka terlebih dahulu, hal ini bergantung pada pemeriksaan pada proses penyidikan itu sendiri. Sebelum ia sah ditetapkan sebagai tersangka, bisa saja penyidikan dilakukan terlebih dahulu kemudian SP3 sehingga dalam praktiknya istilah yang digunakan sebelum ia ditetapkan sebagai tersangka adalah terlapor atau terduga. Soal pertanyaan Anda kedua, bilamana penyidik menghentikan penyidikan dengan alasan tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, mengapa menetapkan status seseorang menjadi tersangka? Pada dasarnya penghentian penyidikan karena tidak cukup bukti maksudnya adalah orang tersebut sudah menjadi tersangka, akan tetapi penyidik tidak dapat memperoleh cukup bukti untuk melakukan tuntutan terhadap tersangka. Yang mana agar suatu tuntutan menjadi berhasil untuk mempidanakan tersangka, tentu harus ada bukti-bukti yang kuat. Namun dalam praktiknya, menurut Huda, hal ini perlu dilihat lagi case by case. Logikanya, jika seseorang telah sah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan alat bukti yang cukup tersebut, maka sudah dapat dilakukan penuntutan terhadapnya. Akan tetapi, jika penuntut umum “memberikan petunjuk” kepada penyidik atau menyatakan bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana, maka bisa saja penuntutan tidak dilanjutkan dan penyidikan harus dihentikan. Jadi, bisa saja seseorang telah sah ditetapkan sebagai tersangka namun dihentikan penyidikan terhadapnya karena menurut Penuntut Umum perbuatan yang dilakukannya bukan merupakan tindak pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ; 2. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana; 3. Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02-KP.10.06 Tahun 1984, No. KEP-076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/04/III/1984 tentang Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara Pidana (Mahkejapol) dan pada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman Administrasi Penyidikan Tindak Pidana. Catatan: Penjawab telah berkonsultasi via telepon dengan Ahli Hukum Acara Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda pada Jumat, 24 April 2015 pukul 15.25 WIB. sp3"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah pengurus berwenang melakukan penghapusan piutang dan/atau hak jaminan kebendaan dari kreditur yang mengajukan tagihan dalam proses PKPU?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hapusnya Utang Menurut KUH Perdata Sebelumnya, perlu kami asumsikan terlebih dahulu bahwa utang di sini timbul karena adanya suatu perjanjian utang piutang secara tertulis antara debitur dengan kreditur. Perlu diketahui bahwa perjanjian merupakan bentuk dari suatu perikatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi: Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih. Perikatan itu sendiri menurut Subekti, sebagaimana dikutip dari P.N.H. Simanjuntak dalam bukunya Hukum Perdata Indonesia, merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (hal. 274). Sementara itu masih bersumber pada buku yang sama, Subekti menjelaskan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian ( overeenkomst ) dan perikatan ( verbintenis ) mempunyai hubungan, di mana perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian merupakan bagian dari perikatan. Jadi, perjanjian melahirkan perikatan dan perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan (hal. 285). Ketentuan penghapusan utang tunduk pada ketentuan KUH Perdata tentang hapusnya perikatan. Pasal 1381 KUH Perdata mengatur bahwa: Perikatan hapus: karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaruan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utang; karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang diatur dalam Bab I buku ini; dan karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri. Wewenang Pengurus dalam PKPU Berkaitan dengan wewenang pengurus dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”), Pasal 225 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) mengatur bahwa: Dalam hal permohonan diajukan oleh Debitor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 ayat (1) harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Dalam hal permohonan diajukan oleh Kreditor, Pengadilan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal didaftarkannya surat permohonan, harus mengabulkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk Hakim Pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan Debitor mengurus harta Debitor. Pengurus yang diangkat tersebut haruslah independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitur atau kreditur. [1] Adapun yang dapat menjadi pengurus adalah: [2] orang perseorangan yang berdomisili di wilayah Negara Republik Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus harta debitur; dan terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia). Tanggung jawab pengurus secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 234 ayat (4) UU 37/2004 yaitu: Pengurus bertanggung jawab terhadap kesalahan atau kelalaiannya dalam melaksanakan tugas pengurusan yang menyebabkan kerugian terhadap harta Debitor. Menurut Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan (hal. 427), pasal di atas merupakan dasar hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan, terutama para kreditur, untuk menggugat pengurus apabila dalam melaksanakan tugasnya telah menyebabkan harta kekayaan debitur berkurang secara tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dengan sengaja ataupun karena kelalaian pengurus . Sedangkan tugas utama dari pengurus tercantum secara tegas dalam Pasal 225 ayat (2) dan (3) UU 37/2004 yang telah disinggung sebelumnya, yaitu bersama-sama dengan debitur mengurus harta debitur. Dalam pelaksanaan tugas ini, berlaku ketentuan Pasal 240 ayat (1) UU 37/2004 bahwa selama PKPU berlangsung, debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau kepemilikan atas seluruh atau sebagian hartanya tanpa persetujuan pengurus. Bolehkah Pengurus Menghapus Utang? Sehubungan dengan pertanyaan Anda mengenai penghapusan piutang/hak jaminan kebendaan oleh pengurus, perlu dipahami terlebih dahulu wewenang pengurus dalam menghadapi tagihan kreditur. Pasal 270 ayat (1) UU 37/2004 mengatur bahwa: Tagihan harus diajukan kepada pengurus dengan cara menyerahkan surat tagihan atau bukti tertulis lainnya yang menyebutkan sifat dan jumlah tagihan disertai bukti yang mendukung atau salinan bukti tersebut. Semua perhitungan yang telah dimasukkan oleh pengurus kemudian harus dicocokkan dengan catatan dan laporan dari debitur. [3] Pengurus selanjutnya harus membuat daftar piutang yang memuat nama, tempat tinggal kreditur, jumlah piutang masing-masing, penjelasan piutang, dan apakah piutang tersebut diakui atau dibantah oleh pengurus . [4] Pengakuan dan bantahan piutang oleh pengurus digunakan untuk menentukan nilai suara yang dimiliki kreditur. Pengaturan mengenai pengakuan dan bantahan piutang tersebut terdapat pada Pasal 279 UU 37/2004 yang berbunyi: Pengurus berhak dalam rapat tersebut menarik kembali setiap pengakuan atau bantahan yang pernah dilakukan. Kreditor yang hadir dapat membantah piutang yang oleh pengurus seluruhnya atau sebagian diakuinya. Pengakuan atau bantahan yang dilakukan dalam rapat, harus dicatat dalam daftar piutang . Pada praktiknya dalam beberapa kasus dijumpai pengurus bertindak over capability , yakni menyatakan bisa menghapus tagihan/menghapus jaminan kebendaan dari kreditur. Bahkan ada pula pengurus yang menyatakan menolak tagihan karena secara hukum tidak bisa diterima sehingga membatalkan perjanjian awal antara debitur dengan kreditur. Padahal sebenarnya tindakan ini bukan merupakan kewenangan dari pengurus. Jika ditemukan pengurus yang sewenang-wenang menghapus/menolak tagihan yang diajukan kreditur, maka kreditur dapat memohon kepada hakim pengawas untuk menentukan kreditur yang tagihannya dibantah, agar dapat ikut serta dalam pemungutan suara dan menentukan batasan jumlah suara yang dapat dikeluarkan oleh kreditur tersebut. [5] Bantahan atas tagihan piutang yang diajukan kreditur tidak serta merta menghapus piutang. Konteks pengurus yang menerima atau membantah tagihan piutang ini adalah sehubungan dengan menghitung parameter berapa nilai suara yang dimiliki kreditur dalam proses voting proposal perdamaian yang nantinya akan diajukan oleh debitur. Bantahan piutang tersebut lebih berimplikasi pada berkurangnya nilai hak suara. Jika kreditur tidak menyetujuinya, ia dapat memohon kepada hakim pengawas untuk menentukan jumlah suara yang dimiliki oleh kreditur yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Referensi : P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia . Prenadamedia Group: Jakarta, 2015. Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan . Prenadamedia Group: Jakarta, 2016. [1] Pasal 234 ayat (1) UU 37/2004 [2] Pasal 234 ayat (3) UU 37/2004 [3] Pasal 271 UU 37/2004 [4] Pasal 272 UU 37/2004 [5] Pasal 280 UU 37/2004 hukumonline tagihan penundaan kewajiban pembayaran utang kepailitan pkpu debitur piutang pengurus kreditur"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mengacu pada PP No 24 Tahun 2018 tentang Pelayan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, saya mau bertanya. Pada Pasal 29 mengenai Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing/RPTKA, Pelaku Usaha harus melakukan pendaftaran. Tetapi Bank selaku pelaku jasa keuangan juga wajib mematuhi peraturan OJK dan BI dan pendaftaran tenaga kerja asing dilakukan mengacu pada peraturan ketenagakerjaan. Yang saya tanyakan, kalau untuk tenaga kerja asing apakah bank harus mendaftar kembali melalui OSS atau gimana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Permohonan dan Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”) untuk sektor keuangan yaitu perbankan, tidak dilakukan melalui sistem Online Single Submission (“OSS”) karena sektor keuangan tidak termasuk ke dalam sektor yang disebutkan dalam Pasal 85 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP 24/2018”). Oleh karena itu, maka permohonan dan pengesahan RPTKA dilakukan di luar sistem OSS yaitu melalui TKA Online berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing , yaitu aplikasi teknologi informasi berbasis web untuk memberikan pelayanan kepada Pemberi Kerja TKA melalui laman tkaonline.kemnaker.go.id. Selain itu juga, Bank harus menyampaikan rencana pemanfataan TKA kepada Otoritas Jasa Keuangan yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. KLINIK TERKAIT Peserta BPJS Ketenagakerjaan Bisa Dapat KPR! Simak Syaratnya 27 Mei 2024 Batas Kepemilikan Saham Asing Pada Perusahaan Fintech Lending 26 Feb 2024 Jabatan-Jabatan TKA yang Dapat Memperoleh KITAP 20 Okt 2023 Larangan TKA Menduduki Jabatan Direktur Personalia 19 Jul 2018 Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pendaftaran Merupakan Bagian dari Pelaksanaan Perizinan Berusaha Perlu dipahami terlebih dahulu definisi dari Perizinan Berusaha dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (“PP 24/2018”) : Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau Komitmen. Pelaksanaan Perizinan Berusaha meliputi: [1] Pendaftaran; penerbitan Izin Usaha dan penerbitan Izin Komersial atau Operasional berdasarkan Komitmen; pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan pemenuhan Komitmen Izin Komersial atau Operasional; pembayaran biaya; fasilitasi; masa berlaku; dan pengawasan. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (“OSS”) adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi. [2] Dalam rangka percepatan pelayanan berusaha melalui sistem OSS dilakukan reformasi peraturan Perizinan Berusaha yang meliputi: [3] pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran, rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar, sertifikasi, atau lisensi; penahapan untuk memperoleh perizinan ; dan pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan. Penahapan untuk memperoleh perizinan terdiri atas: [4] Pendaftaran ; pemberian Izin Usaha; dan pemberian Izin Komersial atau Operasional. Jadi, pendaftaran termasuk ke dalam bagian “penahapan untuk memperoleh perizinan” yang merupakan bagian dari “reformasi peraturan Perizinan Berusaha”. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Kemudian, berdasarkan Pasal 1 angka 17 PP 24/2018 , Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“RPTKA”) adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja tenaga kerja asing (“TKA”) untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai RPTKA, jika dilihat pengaturannya dalam PP 24/2018, hal tersebut termasuk ke dalam bagian pendaftaran [5] sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 PP 24/2018 sebagai berikut: Dalam hal Pelaku Usaha akan mempekerjakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha mengajukan pengesahan RPTKA. Pelaku Usaha dalam rangka pengajuan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengisi data pada laman OSS berupa: alasan penggunaan tenaga kerja asing; jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan; dan jumlah tenaga kerja asing. Berdasarkan data pengajuan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sistem OSS memproses pengesahan RPTKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. Permohonan dan Pengesahan RPTKA untuk Sektor Keuangan Pasal 85 PP 24/2018 menyebutkan bahwa: Pelaksanaan reformasi peraturan Perizinan Berusaha terdiri atas Perizinan Berusaha pada: sektor ketenagalistrikan; sektor pertanian; sektor lingkungan hidup dan kehutanan; sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat; sektor kelautan dan perikanan; sektor kesehatan; sektor obat dan makanan; sektor perindustrian; sektor perdagangan; sektor perhubungan; sektor komunikasi dan informatika; sektor keuangan; sektor pariwisata; sektor pendidikan dan kebudayaan; sektor pendidikan tinggi; sektor agama dan keagamaan; sektor ketenagakerjaan; sektor kepolisian; sektor perkoperasian dan usaha mikro, kecil, menengah; dan sektor ketenaganukliran, yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya, karena yang Anda tanyakan adalah Bank selaku pelaku jasa keuangan (Sektor Perbankan), maka perlu dilihat bahwa dalam Penjelasan Pasal 85 PP 24/2018 disebutkan bahwa: Perizinan Berusaha pada sektor keuangan berupa Perizinan Berusaha untuk perbankan dan non perbankan dilakukan di luar OSS oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut juga dipertegas dalam Pasal 86 ayat (1) PP 24/2018 bahwa pelaksanaan Perizinan Berusaha yang tidak termasuk dalam Pasal 85 (sektor keuangan tidak termasuk) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sektor bersangkutan . Berdasarkan wawancara kami dengan Anggota Tim Reformasi Regulasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia , Kharisma Bintang Alghazy , beliau mengatakan, Pasal 86 jo. Pasal 85 PP 24/2018 menentukan bahwa, perizinan berusaha selain daripada yang diatur dalam ketentuan Pasal 85, diselenggarakan dengan menggunakan mekanisme pengurusan izin yang lama (di luar OSS). Jadi, Sektor Perbankan dan Sektor Pertambangan dikecualikan dari ketentuan di dalam PP 24/2018. Beliau menyimpulkan, artinya, pengurusan perizinan berusaha bagi pelaku usaha dalam sektor perbankan akan tetap diproses dan diselesaikan dengan menggunakan mekanisme diluar sistem OSS, termasuk dalam hal pengurusan RPTKA . Permohonan RPTKA di Luar Sistem OSS Oleh karena itu, untuk sektor perbankan perlu dilihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan (“POJK 37/2017”) . Dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) POJK 37/2017 disebutkan bahwa Bank wajib menyampaikan rencana pemanfaatan Tenaga Kerja Asing kepada Otoritas Jasa Keuangan yang wajib dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. Selanjutnya diatur juga dalam Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/SEOJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan (“SEOJK 42/2017”) bahwa rencana pemanfaatan TKA dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank pada bagian rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia. Hal-hal yang dicantumkan dalam rencana pengembangan sumber daya manusia antara lain: [6] alasan pemanfaatan TKA serta alasan tidak atau belum menggunakan Tenaga Kerja Indonesia; bidang tugas dan posisi atau jabatan yang akan diisi yang meliputi ruang lingkup pekerjaan dan kompetensi yang dibutuhkan; rencana jumlah kebutuhan; jangka waktu pemanfaatan; nama tenaga pendamping; dan rencana program alih pengetahuan ( transfer of knowledge ): Selain daripada itu, dalam pemanfaatan TKA oleh Bank, selain harus mengikuti Undang-Undang mengenai perbankan atau Undang-Undang mengenai perbankan syariah dan ketentuan pelaksanaan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank harus mengikuti ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh instansi yang menangani bidang ketenagakerjaan serta instansi terkait lain. [7] Oleh karena itu, permohonan dan pengesahan RPTKA untuk sektor keuangan yaitu perbankan mengacu kepada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing (“Permenaker 10/2018”) yang mana dalam Pasal 9 ayat (1) disebutkan bahwa setiap Pemberi Kerja TKA dalam hal ini adalah Bank, yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA yang disahkan oleh Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Dalam Pasal 11 ayat (1) Permenaker 10/2018 , diatur bahwa untuk mendapatkan RPTKA, Pemberi Kerja TKA harus mengajukan permohonan kepada Dirjen atau Direktur melalui TKA Online. Sistem Online Pelayanan TKA (“TKA Online”) ini adalah aplikasi teknologi informasi berbasis web untuk memberikan pelayanan kepada Pemberi Kerja TKA melalui laman tkaonline.kemnaker.go.id. [8] Pengajuan permohonan untuk mendapatkan RPTKA ini dilakukan oleh Pemberi Kerja TKA dengan cara: [9] mengisi: identitas Pemberi Kerja TKA; jumlah tenaga kerja Indonesia yang dipekerjakan; rencana penyerapan tenaga kerja Indonesia setiap tahun; rencana penggunaan TKA setiap tahun sesuai perjanjian kerja atau perjanjian pekerjaan; data Tenaga Kerja Pendamping; dan alasan penggunaan TKA. mengunggah: rancangan perjanjian kerja atau perjanjian pekerjaan; bagan struktur organisasi; surat pernyataan untuk penunjukan Tenaga Kerja Pendamping; surat pernyataan untuk melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh TKA; dan surat pernyataan kondisi darurat dan mendesak dari Pemberi Kerja TKA dalam hal Pemberi Kerja TKA mempekerjakan TKA untuk Pekerjaan Bersifat Darurat dan Mendesak. Kemudian, dalam hal dokumen permohonan RPTKA telah lengkap, dilakukan penilaian kelayakan RPTKA dengan berpedoman pada daftar jabatan yang ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan. [10] Selanjutnya, dalam hal penilaian kelayakan permohonan RPTKA telah memenuhi persyaratan, paling lama 2 (dua) hari kerja Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja atau Direktur Pengendalian Penggunaan menerbitkan pengesahan RPTKA . [11] Jadi menjawab pertanyaan Anda , permohonan dan pengesahan RPTKA untuk sektor keuangan yaitu perbankan, tidak dilakukan melalui sistem OSS karena sektor keuangan tidak termasuk ke dalam sektor yang disebutkan dalam Pasal 85 PP 24/2018, maka dari itu permohonan dan pengesahan RPTKA dilakukan di luar sistem OSS yaitu melalui TKA Online berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Permenaker 10/2018. Selain itu juga, Bank harus menyampaikan rencana pemanfataan TKA kepada Otoritas Jasa Keuangan yang dicantumkan dalam Rencana Bisnis Bank. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.03/2017 Tahun 2017 Tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/SEOJK.03/2017 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Tenaga Kerja Asing dan Program Alih Pengetahuan di Sektor Perbankan Catatan : Penjawab telah melakukan wawancara dengan Anggota Tim Reformasi Regulasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kharisma Bintang Alghazy , via E-Mail pada 17 Ju l i 2018 pukul 1 4.43 WIB. [1] Pasal 20 PP 24/2018 [2] Pasal 1 angka 5 PP 24/2018 [3] Pasal 84 ayat (1) dan (2) PP 24/2018 [4] Pasal 84 ayat (4) PP 24/2018 [5] Bab III Bagian Kedua PP 24/2018 [6] Romawi III angka 2 SEOJK 42/2017 [7] Romawi I angka 2 SEOJK 42/2017 [8] Pasal 1 angka 5 Permenaker 10/2018 [9] Pasal 11 ayat (1) Permenaker 10/2018 [10] Pasal 11 ayat (5) Permenaker 10/2018 [11] Pasal 11 ayat (7) Permenaker 10/2018 online single submission hukumonline google ketenagakerjaan pp oss tenaga kerja asing tka bank klinik hukum rptka oss klinik hukumonline perbankan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seorang pedagang besi tua bisa dikaitkan dengan hukum penadah barang curian? Akan tetapi sebelumnya si pedagang/pembeli sudah menanyakan dulu asal usul barang itu kepada si penjual barang. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pada dasarnya, unsur penting dalam tindak pidana penadahan itu adalah barang yang ia beli sepatutnya disangka sebagai barang hasil kejahatan dan dari barang itu ia mengambil keuntungan (misalnya dengan cara menjualnya). Jadi, apabila memang benar besi tua itu diperoleh dari hasil kejahatan, maka pedagang besi tua tersebut dapat disebut sebagai penadah. Namun demikian, Anda mengatakan bahwa pedagang sudah menanyakan asal-usul barang itu kepada penjual barang. Oleh karena itu, perlu dipastikan kembali apakah memang benar besi tua itu diperoleh karena kejahatan. KLINIK TERKAIT Bisakah Perkara Penadahan P-21 Jika Pencurinya Tidak Diketahui? 28 Jun 2024 Baru Tahu Barang yang Dibeli Hasil Kejahatan, Termasuk Penadahan? 07 Jun 2024 Gunakan Harta Hasil Korupsi, Keluarga Koruptor Bisa Dipidana? 18 Apr 2023 Tidak Tahu Barang yang Dibeli Hasil Curian, Bisakah Dipidana? 05 Jan 2023 Jika memang benar besi tua itu merupakan barang hasil tindak pidana/kejahatan dan pedagang tahu itu setelah ia bertanya ke penjual, maka terhadap baik penjual, maupun pembelinya (pedagang besi tua dalam pertanyaan Anda) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (\"KUHP\") tentang pendahan: “Dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 900, dihukum: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 1. karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. 2. barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.” Namun, perlu diingat, untuk mengetahui apakah seseorang dapat dijerat pasal ini atau tidak tentu dilihat kembali apakah perbuatan itu memenuhi unsur-unsur tindak pidana penadahan. Untuk mengetahui apa saja unsur-unsurnya, kita mengacu pada pendapat R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal yang menjelaskan bahwa (hal. 314-315): 1. yang dinamakan “sekongkol” atau biasa disebut pula “tadah” itu sebenarnya hanya perbuatan yang disebutkan pada sub 1 dari pasal ini. 2. Perbuatan yang tersebut pada sub 1 dibagi atas dua bagian: a. membeli, menyewa, dsb (tidak perlu dengan maksud hendak mendapat untung) barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan b. menjual, menukarkan, menggadaikan, dsb dengan maksud hendak mendapat untung barang yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan 3. Elemen penting pasal ini adalah terdakwa harus mengetahui atau patut dapat menyangka bahwa barang itu asal dari kejahatan . Di sini terdakwa tidak perlu tahu dengan pasti asal barang itu dari kejahatan apa (pencurian, penggelapan, penipuan, pemerasan, uang palsu atau lain-lain), akan tetapi sudah cukup apabila ia patut dapat menyangka (mengira, mencurigai) bahwa barang itu bukan barang “terang”. 4. Untuk membuktikan elemen ini memang sukar, akan tetapi dalam prakteknya biasanya dapat dilihat dari keadaan atau cara dibelinya barang itu, misalnya dibeli dengan di bawah harga , dibeli pada waktu malam secara bersembunyi yang menurut ukuran di tempat itu memang mencurigakan. 5. Barang asal dari kejahatan misalnya berasal dari pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, sekongkol, dll. Jika sedari awal saat pedagang membeli besi tua itu memang mengetahui bahwa besi tua itu diperoleh karena kejahatan atau patut menyangka bahwa besi tua itu merupakan hasil kejahatan kemudian ia membelinya, maka ia dapat dijerat sesuai Pasal 480 sub 1 KUHP. Memang, pada praktiknya sulit untuk membuktikan bahwa apakah ia mengetahui atau menyangka bahwa besi tua itu dari hasil kejahatan atau bukan. Misalnya ia sudah menanyakan asal usul besi tua itu kepada si penjual besi tua, akan tetapi jika besi tua itu dibeli dengan harga di bawah harga pada umumnya, maka ia dapat dijerat pidana karena melakukan tindak pidana penadahan. Sebagai contoh dapat kita temukan dalam Putusan Pengadilan Negeri Batang Nomor 48/ Pid.B/2012/PN. Btg . Terdakwa II dalam pemeriksaan menerangkan bahwa barang rongsok yang biasanya Terdakwa II cari biasanya plastik dan botol-botol minuman mineral dan besi-besi tua . Para Terdakwa telah membeli besi beton ulir dari sdr. Agus Gondrong yang saat itu sdr. Agus Gondrong ikut Saksi Nurhadi yang mengendarai truk trailer mengangkut besi beton ulir milik PT. Krakatau Wajatama Cilegon yang berangkat dari PT. Internusa. Para Terdakwa telah membeli barang berupa besi beton ulir lalu para Terdakwa menjual kembali besi beton ulir tersebut, dengan demikian unsur ”membeli, karena hendak mendapat untung, menjual sesuatu barang” telah terpenuhi. Di samping itu, berdasarkan pemeriksaan di persidangan telah terungkap fakta dan keadaan bahwa besi beton ulir yang dibeli oleh para Terdakwa adalah milik PT. Krakatau Wajatama Cilegon yang seharusnya diangkut oleh Saksi Nurhadi ke Bali, namun justru telah dijual oleh Agus Gondrong dan Saksi Nurhadi kepada para Terdakwa tanpa sepengetahuan pemiliknya yaitu PT. Krakatau Wajatama Cilegon. Dalam pemeriksaan, para Terdakwa sendirilah yang menerangkan fakta tersebut. Dengan demikian, seharusnya para Terdakwa patut menduga bahwa besi beton yang mereka beli adalah hasil kejahatan, dan bukanlah milik Agus Gondrong maupun Aksi Nurhadi. Dalam persidangan juga diketahui bahwa ternyata sebelum menjual kembali besi tersebut, para Terdakwa memotong kecil-kecil terlebih dahulu besi tersebut sehingga terlihat seperti besi bekas, lalu para Terdakwa menjual besi beton yang telah dipotong tersebut dengan harga yang lebih mahal yaitu Rp. 7.500.000, sementara harga belinya sebesar Rp. 5.000.000, sehingga para Terdakwa memperoleh keuntungan sebesar Rp. 1.500.000,00. Atas perbuatannya itu, hakim menyatakan bahwa para Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan penadahan. Hakim menghukum Terdakwa pidana penjara masing-masing selama lima bulan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana . Referensi : R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. Putusan: Putusan Pengadilan Negeri Batang Nomor 48/ Pid.B/2012/PN. Btg . barang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah seorang pensiunan Pegawai Negeri Sipil bisa menjadi advokat?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 21 November 2012. Intisari: Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) dilarang merangkap jabatan sebagai advokat. Larangan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dan Pasal 5 ayat (2) huruf c Peraturan PERADI Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat . Artinya, larangan tersebut tidak berlaku bagi pensiunan PNS karena pensiunan PNS berarti orang tersebut telah berhenti dari statusnya sebagai PNS. Pensiunan PNS dapat diangkat menjadi advokat jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur UU Advokat. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Larangan PNS Menjadi Advokat Terkait hal yang Anda tanyakan, sebelumnya kita dapat melihat ketentuan Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) yang menyatakan bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah yang tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf c UU Advokat disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah: Pegawai Negeri Sipil (“PNS”); Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. PNS menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Berdasarkan ketentuan tersebut, yang tidak dapat diangkat sebagai advokat adalah PNS yang masih aktif. Selain diatur dalam pasal tersebut, larangan merangkap profesi advokat dengan PNS juga termuat dalam Pasal 5 ayat (2) huruf c Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat . Apakah Pensiunan PNS Bisa Menjadi Advokat? Artinya, larangan tersebut tidak berlaku bagi pensiunan PNS karena pensiunan PNS berarti orang tersebut telah berhenti dari statusnya sebagai PNS. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 87 ayat (1) UU ASN yang mengatakan bahwa: PNS diberhentikan dengan hormat karena: meninggal dunia; atas permintaan sendiri; mencapai batas usia pensiun ; perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau Oleh karena itu, pensiunan PNS dapat diangkat menjadi advokat jika telah memenuhi syarat-syarat yang telah diatur UU Advokat, di antaranya: [1] warga negara Republik Indonesia; bertempat tinggal di Indonesia; tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum; lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. Penjelasan selengkapnya mengenai tahapan-tahapan untuk dapat diangkat menjadi advokat silakan simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan . Selain itu, ada hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pensiunan PNS, khususnya yang pernah menjabat sebagai hakim yang merupakan pejabat negara berdasarkan Pasal 122 huruf e UU ASN atau panitera dari lembaga peradilan, yang akan berprofesi sebagai advokat. Mengenai hal ini di dalam Pasal 8 huruf h Kode Etik Advokat Indonesia disebutkan bahwa: Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatu lembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut. Jadi, pensiunan Hakim atau Panitera pun tetap dapat berprofesi sebagai advokat, hanya saja ia tidak boleh memegang atau menangani perkara yang diperiksa di pengadilan tempatnya bekerja sebelumnya (selama 3 tahun). Hal ini untuk menghindari adanya benturan kepentingan atau penggunaan hubungan relasi untuk kepentingan perkaranya saat menjadi advokat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat Kode Etik Advokat Indonesia [1] Pasal 3 ayat (1) UU Advokat profesi hukum acara peradilan hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Seperti tahun-tahun sebelumnya pensiunan PNS tidak mendapatkan THR, hanya memperoleh gaji 13 saja. Kabarnya tahun ini pensiunan akan memperoleh THR juga, apakah benar demikian, apa peraturannya sudah keluar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Memang benar bahwa pada tahun sebelumnya Pensiunan PNS tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (“THR”) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2017 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pejabat Negara . THR hanya diberikan kepada PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pejabat Negara. [1] Tetapi setelah adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2018 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan Penerima Pensiun diberikan THR dalam Tahun Anggaran 2018. THR tersebut diberikan pada bulan Juni 2018, yang besarannya sama dengan penghasilan pada bulan Mei. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tunjangan Hari Raya Bagi Pensiunan PNS Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara , Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai Aparatur Sipil Negara secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan. Memang benar bahwa pada tahun sebelumnya Penerima Pensiun PNS tidak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (“THR”) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2017 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pejabat Negara (“PP 25/2017”) . Pada tahun 2017 THR hanya diberikan kepada PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pejabat Negara. [2] Namun, setelah adanya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2018 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan (“PP 19/2018”) , THR tidak hanya diberikan pada PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, tetapi juga kepada Penerima Pensiun , dan Penerima Tunjangan dalam Tahun Anggaran 2018. [3] Penerima Pensiun yang dimaksud adalah: [4] pensiunan PNS; pensiunan Prajurit TNI; pensiunan Anggota Polri; pensiunan Pejabat Negara; penerima pensiun janda/duda/anak dari penerima pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d; dan penerima pensiun orang tua dari PNS yang meninggal dunia atau tewas. Pada tahun 2018, pemberian THR dibayarkan bulan Juni . Dalam hal pemberian THR belum dapat dibayarkan, pembayaran dapat dilakukan pada bulan-bulan berikutnya. [5] THR bagi PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Penerima Pensiun , dan Penerima Tunjangan diberikan sebesar penghasilan pada bulan Mei . Dalam hal penghasilan pada bulan Mei belum dapat dibayarkan sebesar penghasilan yang seharusnya diterima karena berubahnya penghasilan, kepada yang bersangkutan tetap diberikan selisih kekurangan THR. [6] Penghasilan yang dimaksud diberikan bagi: [7] PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, dan Pejabat Negara meliputi gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, dan tunjangan kinerja; Penerima Pensiun meliputi pensiun pokok , tunjangan keluarga , dan/atau tunjangan tambahan penghasilan ; dan Penerima Tunjangan menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Penghasilan tersebut tidak dikenakan potongan iuran dan/atau potongan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tetapi, dikenakan pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ditanggung pemerintah. [8] Larangan Menerima THR Lebih Dari Satu PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan dilarang menerima lebih dari 1 (satu) THR yang dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dalam hal PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan menerima lebih dari 1 (satu) penghasilan, THR diberikan salah satu yang jumlahnya lebih besar. Apabila PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan menerima lebih dari 1 (satu) THR maka kelebihan pembayaran tersebut merupakan utang dan wajib mengembalikan kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [9] Pemberian THR untuk Penerima Pensiunan Terusan Penerima Pensiun terusan dari pensiunan PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri atau Pejabat Negara yang meninggal dunia diberikan THR sebesar penghasilan pensiun terusan pada bulan Mei. Demikian halnya dengan Penerima Pensiun dari pensiunan PNS, Prajurit TNI, Anggota Polri, atau Pejabat Negara yang dinyatakan hilang diberikan THR sebesar penghasilan pensiun yang diterima pada bulan Mei. [10] Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang benar bahwa pada tahun 2018 ini, penerima pensiun PNS diberikan THR oleh pemerintah berdasarkan PP 19/2018. THR tersebut diberikan pada bulan Juni 2018, yang besarannya sama dengan penghasilan pada bulan Mei. Hal yang senada juga disampaikan dalam artikel yang berjudul Tak Hanya Pegawai Aktif, Pensiunan Juga Bakal Dapat THR , Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) yang menetapkan pemberian THR dan gaji ke-13 untuk para pensiunan, penerima tunjangan, seluruh PNS, prajurit TNI, dan anggota Polri. Presiden Jokowi mengatakan bahwa ada yang istimewa untuk tahun ini yang berbeda dengan tahun sebelumnya, THR tahun ini diberikan pula kepada para pensiunan. Lebih lanjut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya adalah bahwa THR dibayarkan tidak hanya dalam bentuk gaji pokok, namun termasuk di dalamnya adalah tunjangan keluarga, tunjangan tambahan dan tunjangan kinerja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2017 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pejabat Negara Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya Dalam Tahun Anggaran 2018 Kepada Pegawai Negeri Sipil, Prajurit Tentara Nasional Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Negara, Penerima Pensiun, dan Penerima Tunjangan [1] Pasal 2 ayat (1) PP 25/2017 [2] Pasal 2 ayat (1) PP 25/2017 [3] Pasal 2 ayat (1) PP 19/2018 [4] Pasal 1 angka 5 PP 19/2018 [5] Pasal 4 PP 19/2018 [6] Pasal 3 ayat (1) dan (2) PP 19/2018 [7] Pasal 3 ayat (3) PP 19/2018 [8] Pasal 3 ayat (5) dan (6) PP 19/2018 [9] Pasal 5 ayat (1) PP 19/2018 [10] Pasal 7 PP 19/2018 hukumonline tunjangan hari raya ketenagakerjaan pensiunan pns hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Pajak Bumi dan Bangunan harus dibayar oleh penyewa gudang untuk daerah Kota Batam? Jika iya, apa dasar hukumnya dan bagaimana cara perhitungannya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : PBB Perdesaan dan Perkotaan dibayarkan oleh wajib pajak yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/ atau memperoleh manfaat atas Bumi , dan/atau memiliki , menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Itu artinya, pihak Penyewa Gudang sebagai orang yang memperoleh manfaat dari gudang tersebut dapat menjadi subjek pajak yang membayar PBB Perdesaan dan Perkotaan, namun bisa juga pemilik gudang yang membayarnya. Berapa besar tarif dan cara perhitungannya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Pengaturan mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (“PBB”) terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU 12/1985”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (“UU 12/1994”) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) . Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Apakah Rumah Apung Terkena PBB? , UU 12/1985 jo. UU 12/1994 digunakan untuk PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3), sedangkan UU 28/2009 digunakan untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan (P2). Anda menyebutkan PBB terhadap gudang di kota, maka kami akan merujuk pada UU 28/2009. Anda menanyakan pengaturan PBB di kota Batam, untuk itu kami juga akan merujuk pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (“Perda Batam 10/2011”) . PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. [1] UU 28/2009 mengatur bahwa PBB Perdesaan dan Perkotaan termasuk jenis Pajak kabupaten/kota. [2] Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. [3] Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. [4] Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. [5] Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: [6] jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; jalan tol; kolam renang; pagar mewah; tempat olahraga; galangan kapal, dermaga; taman mewah; tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan menara. Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah objek pajak yang: [7] digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan; digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. Siapa saja yang termasuk sebagai subjek PBB Pedesaan dan Perkotaan? Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. [8] Subjek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang: [9] secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki , menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Dasar pengenaan PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Nilai Jual Objek Pajak (“NJOP”). Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah. [10] Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. Tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. [11] Di kota Batam, tarif PBB Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan sebagai berikut: [12] untuk NJOP sampai dengan Rp1 miliar ditetapkan sebesar 0,12% pertahun; untuk NJOP di atas Rp 1 miliar ditetapkan sebesar 0,215 % pertahun. Besaran pokok PBB Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif di atas dengan dasar pengenaan PBB setelah dikurangi dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (“NJOPTKP”). [13] Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp10 juta untuk setiap Wajib Pajak. NJOPTKP ditetapkan dengan Peraturan Daerah. [14] Di kota Batam, besar NJOPTKP yaitu sebesar Rp15 juta setiap wajib pajak. [15] Jadi menjawab pertanyaan Anda, PBB Perdesaan dan Perkotaan dibayarkan oleh wajib pajak yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi , dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan . Itu artinya, pihak Penyewa Gudang sebagai orang yang memperoleh manfaat dari gudang tersebut dapat menjadi subjek pajak yang membayar PBB Perdesaan dan Perkotaan, namun bisa juga pemilik gudang yang membayarnya. Contoh perhitungan: Nilai jual untuk bangunan sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Jual Tidak Kena Pajak sebesar Rp 15 juta. Contoh: Wajib pajak A mempunyai objek pajak berupa: [16] Tanah seluas 800 m 2 dengan harga jual Rp300ribu/m 2 ; Bangunan seluas 400 m 2 dengan nilai jual Rp350ribu/m 2 ; Taman seluas 200 m 2 dengan nilai jual Rp50ribu/m 2 ; Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175ribu/m 2 . Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut: NJOP Bumi: 800 x Rp300ribu\n= Rp240juta NJOP Bangunan: Rumah dan garasi 400 x Rp350ribu\n= Rp140juta Taman 200 x Rp50ribu\n= Rp10juta Pagar (120 x 1,5) x Rp175ribu\n= Rp 31,5juta + Total NJOP Bangunan\n= Rp181,5juta Total NJOP Bumi dan Bangunan = Rp421,5juta NJOPTKP\n= Rp15juta\n- NJOP Kena Pajak\n= Rp406,5juta Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah Batam 0,12% PBB terutang: 0,12% x Rp406,5juta\n= Rp487.800,- Jadi, PBB terutang adalah sebesar Rp 487.800,- Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan [1] Pasal 1 angka 37 UU 28/2009 [2] Pasal 2 ayat (2) huruf j UU 28/2009 [3] Pasal 77 ayat (1) UU 28/2009 jo. Pasal 3 ayat (1) Perda Batam 10/2011 [4] Pasal 1 angka 38 UU 28/2009 [5] Pasal 1 angka 39 UU 28/2009 [6] Pasal 77 ayat (2) UU 28/2009 jo. Pasal 3 ayat (2) Perda Batam 10/2011 [7] Pasal 77 ayat (3) UU 28/2009 Pasal 3 ayat (3) Perda Batam 10/2011 [8] Pasal 78 ayat (2) UU 28/2009 jo. Pasal 5 ayat (1) Perda Batam 10/2011 [9] Pasal 78 ayat (1) UU 28/2009 jo. Pasal 4 Perda Batam 10/2011 [10] Pasal 79 UU 28/2009 [11] Pasal 80 UU 28/2009 [12] Pasal 7 Perda Batam 10/2011 [13] Pasal 8 Perda Batam 10/2011 [14] Pasal 77 ayat (4) dan (5) UU 28/2009 [15] Pasal 3 ayat (4) Perda Batam 10/2011 [16] Contoh perhitungan PBB kami merujuk pada Penjelasan Pasal 81 UU 28/2009, namum tarif PBB dan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak merujuk pada Perda Batam 10/2011 hukumonline google pajak penghasilan pbb pajak hukum klinik klinik hukumonline sewa menyewa"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seorang penyidik dapat dijadikan seorang saksi di persidangan? Dan pasal berapa yang mengaturnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana 28 Jun 2024 Saksi A Charge , A de Charge , Mahkota, dan Alibi 10 Jun 2024 Keluarga Korban Diajukan Sebagai Saksi di Pengadilan 07 Sep 2015 Bolehkah Orang dengan Gangguan Kejiwaan Bersaksi di Pengadilan? 18 Nov 2014 Intisari: Penyidik yang menjadi saksi atau yang dikenal sebagai saksi verbalisan ini sebenarnya belum diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia. Namun, penggunaan saksi verbalisan ini banyak ditemui dalam ranah praktik hukum acara pidana. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasus dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Definisi Saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. [1] Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 , Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, yakni tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP . Yang Tidak Boleh Menjadi Saksi di Persidangan dalam Perkara Pidana Mengenai siapa saja yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi dan dapat mengundurkan diri terdapat dalam Pasal 168 dan Pasal 169 KUHAP : Pasal 168 KUHAP: Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 169 KUHAP: (1) Dalam hal mereka sebagaimana dalam Pasal 168 menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyutujinya dapat memberi keterangan di bawah sumpah; (2) Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah; Jadi, dari ketentuan di atas pada dasarnya tidak ada larangan bagi penyidik untuk menjadi saksi di persidangan. Penyidik Menjadi Saksi (Saksi Verbalisan) Penyidik menjadi saksi ini disebut sebagai saksi verbalisan. Verbalisan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses dari laman Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berarti orang ( penyidik ) yang melakukan proses verbal (penyidikan). Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Fungsi Saksi Verbalisan , pada dasarnya, ketentuan mengenai saksi verbalisan ini belum diatur dalam KUHAP maupun peraturan perundang-undangan lainnya di Indonesia. Namun, penggunaan saksi verbalisan ini banyak ditemui dalam ranah praktik hukum acara pidana. Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara pidana karena terdakwa menyatakan bahwa Berita Acara Pemeriksaan (“BAP”) telah dibuat di bawah tekanan atau paksaan. Dengan kata lain, terdakwa membantah kebenaran dari BAP yang dibuat oleh penyidik yang bersangkutan. Sehingga, untuk menjawab bantahan terdakwa, penuntut umum dapat menghadirkan saksi verbalisan ini. Sebagaimana diterangkan lebih lanjut dalam artikel tersebut, latar belakang dari munculnya saksi verbalisan ini adalah adanya ketentuan Pasal 163 KUHAP yang menentukan: “Jika keterangan saksi di sidang berbeda dengan keterangannya yang terdapat dalam berita acara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan sidang.” Penjelasan lebih lanjut soal saksi verbalisan dapat Anda simak dalam artikel Saksi Verbalisan Tidak Mungkin Mengaku . Saksi Verbalisan Dinilai Tidak Patut Dihadirkan di Persidangan Meski praktiknya dalam persidangan saksi verbalisan ini dimungkinkan untuk dihadirkan, ada kalangan yang menilai bahwa penyidik tidak tepat dihadirkan sebagai saksi karena dipastikan akan membenarkan hasil penyidikannya. Kuasa Hukum mantan Dirut PLN Dahlan Iskan, Yusril Ihza Mahendra (Mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) , dalam artikel Yusril: Tidak Patut Penyidik Dihadirkan sebagai Saksi yang kami akses dari laman media Sindonews.com , mengatakan bahwa s eorang penyidik tidak tepat dihadirkan sebagai saksi fakta karena dipastikan akan membenarkan hasil penyidikannya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . REFERENSI:\n1. 1. http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php , diakses pada 18 Januari 2016 pukul 17.01 WIB. 2. http://nasional.sindonews.com/read/1028162/13/yusril-tidak-patut-penyidik-dihadirkan-sebagai-saksi-1438354535 , diakses pada 18 Januari 2016 pukul 17.42 WIB. [1] Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) acara peradilan hukumonline hukum klinik persidangan penyidik klinik hukumonline saksi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Tetangga saya seorang kyai sudah berkali-kali naik haji. Padahal kita tahu, di luar sana banyak orang yang antri susah payah untuk menunggu giliran kloter pemberangkatan haji. Itupun belum tentu berangkat di tahun ini atau tahun depan. Apakah memang dimungkinkan naik haji berkali-kali seperti itu? Adakah aturan soal batas seseorang boleh berangkat haji atau adakah aturan soal \"antrian\" pemberangkatan haji?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Langkah Hukum Jika Ditipu Biro Perjalanan Haji/Umrah 13 Jun 2023 Ini Aturan Mengenai Waiting List Pemberangkatan Jemaah Haji 06 Sep 2016 Apakah Pekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji Akan Dipotong Cuti Tahunannya? 14 Jun 2016 Naik Haji Gaji Dipotong, Pantaskah? 29 Apr 2016 Intisari: Karena adanya kuota haji, maka tidak semua orang bisa langsung berangkat naik haji pada tahun berjalan. Ada yang dinamakan “daftar tunggu ( waiting list )”. Soal ada seseorang yang pernah berangkat ibadah haji berkali-kali (lebih dari satu kali), di dalam penyelenggaraan ibadah haji reguler (yang diselenggarakan oleh pemerintah) ada istilah sisa kuota nasional . Jika ada sisa kuota nasional, maka jemaah yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji sebelumnya dapat pergi haji dengan menggunakan sisa kuota tersebut, tapi ada syaratnya. Sementara, di dalam penyelenggaraan ibadah haji khusus (yang diselenggarakan oleh biro perjalanan) ada istilah kuota haji khusus . Jika ada sisa kuota haji khusus, maka itu dapat dialokasikan untuk jemaah yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji sebelumnya. Apa syaratnya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Ibadah Haji adalah rukun Islam kelima yang merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi setiap orang Islam yang mampu menunaikannya. [1] Warga Negara Indonesia berhak melaksanakan Ibadah Haji dengan mendaftarkan diri di Kantor Kementerian Agama sesuai dengan prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri. Pendaftaran dilakukan sepanjang tahun di wilayah Indonesia dengan prinsip pelayanan berdasarkan nomor urut pendaftaran yang digunakan sebagai dasar dalam pelayanan pemberangkatan Jemaah Haji. [2] Penyelenggaraan Haji Reguler dan Khusus Sebagai informasi untuk Anda, penyelenggaraan ibadah haji itu ada 2 (dua) yaitu: a. Yang diselenggarakan oleh pemerintah (penyelenggaraan ibadah haji reguler); dan b. Yang diselenggarakan oleh biro perjalanan yang telah mendapat izin menteri (penyelenggaraan ibadah haji khusus). Aturan Mengenai Antrian Pemberangkatan Haji Menyorot pertanyaan Anda mengenai adakah aturan “antrian” pemberangkatan haji, hal ini sehubungan dengan kuota haji. Mengenai mengapa ada orang yang sudah mendaftar untuk naik haji tetapi baru berangkat naik haji setelah bertahun-tahun, ini karena yang dinamakan kuota haji. Kuota haji adalah batasan jumlah Jemaah Haji Indonesia yang diberikan oleh Pemerintah Kerajaan Arab Saudi berdasarkan ketetapan Organisasi Konferensi Islam. [3] Karena adanya kuota haji, maka tidak semua orang bisa langsung berangkat naik haji pada tahun berjalan. Ada yang dinamakan “daftar tunggu ( waiting list )”. Daftar tunggu ( waiting list ) adalah daftar Jemaah Haji yang telah mendaftar dan mendapatkan nomor porsi dan menunggu keberangkatan untuk menunaikan ibadah haji. [4] Nomor porsi itu sendiri adalah nomor urut pendaftaran yang diterbitkan oleh Kementerian Agama bagi Jemaah Haji yang mendaftar dan hanya berlaku bagi jemaah yang bersangkutan dan tidak dapat digantikan. [5] Selain karena tidak tersedia kuota, seseorang juga bisa masuk ke dalam daftar tunggu karena beberapa hal berikut ini: [6] a. Dalam hal Jemaah Haji tidak melunasi BPIH, yang bersangkutan secara otomatis menjadi Jemaah Haji daftar tunggu untuk musim haji berikutnya. b. Jemaah Haji yang telah melunasi BPIH dan tidak dapat berangkat pada musim haji tahun berjalan, yang bersangkutan secara otomatis menjadi Jemaah Haji daftar tunggu untuk musim haji berikutnya. Penjelasan lebih lanjut soal ibadah haji dapat Anda simak Ini Aturan Mengenai Waiting List Pemberangkatan Jemaah Haji . Bolehkah Seseorang Pergi Haji Berkali-kali? Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai apakah orang dapat pergi ibadah haji berkali-kali padahal ada banyak orang yang masih harus mengantri karena kuota sebagaimana dijelaskan di atas, kita harus melihat pada persyaratan untuk dapat ibadah haji. Untuk menjelaskannya, kami akan membedakan antara ibadah haji reguler dengan ibadah haji khusus. 1. Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (oleh Pemerintah) Persyaratan calon jemaah haji untuk ibadah haji reguler adalah sebagai berikut: [7] a. beragama Islam; b. berusia minimal 12 tahun pada saat mendaftar; c. memiliki Kartu Tanda Penduduk (“KTP”) yang masih berlaku sesuai dengan domisili atau bukti identitas yang sah; d. memiliki Kartu Keluarga; e. memiliki akta kelahiran atau surat kenal lahir atau kutipan akta nikah atau ijazah; dan f. memiliki tabungan atas nama jemaah yang bersangkutan pada Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji. Selain persyaratan tersebut, jemaah haji yang telah terdaftar dan masuk alokasi kuota provinsi atau kabupaten/kota untuk keberangkatan pada musim haji tahun berjalan ditambah porsi cadangan yang berasal dari nomor urut porsi berikutnya, berhak melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (“BPIH”) dengan persyaratan sebagai berikut: [8] a. belum pernah menunaikan ibadah haji ; dan b. telah berusia 18 tahun pada saat tanggal awal keberangkatan atau telah menikah. Jadi, pada dasarnya ada ketentuan yang mensyaratkan jemaah haji belum pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya. Namun demikian, ada kesempatan lain. Jemaah haji yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji sebelumnya dapat menggunakan sisa kuota nasional (jika ada) dengan syarat ia sudah termasuk dalam kuota tahun berjalan. Ketentuan mengenai pengisian sisa kuota nasional tercantum dalam Pasal 14 ayat (1) dan (2) Permenag 29/2015 : (1) Kuota haji provinsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1) yang tidak terpenuhi pada akhir masa pelunasan BPIH, menjadi sisa kuota nasional . (1a) Sisa kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikembalikan kepada provinsi masing-masing sesuai dengan sisa kuota. (2) Pengisian sisa kuota nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan bagi jemaah haji dengan kriteria sebagai berikut: a. jemaah yang saat pelunasan tahap sebelumnya mengalami kegagalan sistem; b. sudah pernah melaksanakan ibadah haji dan termasuk dalam alokasi kuota tahun berjalan ; c. berusia minimal 75 tahun dan telah mengajukan permohonan; d. penggabungan mahram suami/istri yang dibuktikan dengan kutipan akta nikah, dan kartu keluarga; e. penggabungan mahram anak/orang tua yang dibuktikan dengan akta kelahiran atau surat kenal lahir; f. jemaah haji yang berstatus cadangan dan sudah melunasi pada tahun berjalan; dan g. jemaah haji nomor porsi berikutnya. 2. Dalam Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus Sedangkan persyaratan calon jemaah haji untuk ibadah haji khusus adalah sebagai berikut: [9] a. beragama Islam; b. berusia minimal 12 tahun pada saat mendaftar; c. memiliki rekening tabungan haji dalam bentuk rupiah (IDR) atas nama jemaah haji; d. memiliki KTP yang masih berlaku; e. memiliki Kartu Keluarga; f. memiliki akta kelahiran atau surat kenal lahir atau kutipan akta nikah atau ijazah; g. belum pernah menunaikan ibadah haji ; dan h. bukti pendaftaran dari PIHK pilihan calon jemaah haji. Jadi, serupa juga dengan ibadah haji reguler, pada dasarnya ada ketentuan yang mensyaratkan jemaah haji belum pernah menunaikan ibadah haji sebelumnya. Akan tetapi, ada yang dinamakan “sisa kuota haji khusus”. Jika ada jemaah haji yang tidak melunasi BPIH Khusus dan/atau membatalkan atau menunda keberangkatannya, porsi jemaah haji yang bersangkutan menjadi sisa kuota haji khusus . [10] Pengisian sisa kuota haji khusus ini dialokasikan salah satunya untuk jemaah haji yang sudah pernah melaksanakan ibadah haji dan termasuk dalam alokasi kuota tahun berjalan. [11] Jadi, sisa kuota inilah yang menjadi alasan mengapa ada seseorang yang bisa naik haji lebih dari satu kali. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang ; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji ; 3. Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler dan terakhir dubah dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler; 4. Peraturan Menteri Agama Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus . [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 yang telah ditetapkan menjadi undang-undang oleh Undang-Undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Menjadi Undang-Undang [2] Pasal 7 ayat (1), (2), dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji [3] Pasal 1 angka 15 Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (“Permenag 20/2016”) [4] Pasal 1 angka 17 Permenag 20/2016 dan Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Agama Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus (“Permenag 23/2016”) [5] Pasal 1 angka 16 Permenag 20/2016 jo. Pasal 6 ayat (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (“Permenag 14/2012”) dan Pasal 1 angka 9 Permenag 23/2016 [6] Pasal 9 ayat (1) dan (2) Permenag 14/2012 serta Pasal 20 ayat (1) dan (2) Permenag 23/2016 [7] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Agama Nomor 29 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji Reguler (“Permenag 29/2015”) [8] Pasal 8 ayat (1) Permenag 29/2015 [9] Pasal 15 ayat (1) Permenag 23/2016 [10] Pasal 24 ayat (1) Permenag 23/2016 [11] Pasal 24 ayat (2) huruf b Permenag 23/2016 hukumonline hukum klinik agama klinik hukumonline ibadah haji"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear hukumonline.com, mohon pencerahan apa bedanya pengacara dengan penasehat hukum? Terima kasih. Salam, Arvinanto."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Dengan berlakunya UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UUA”) , baik advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum, semuanya disebut sebagai Advokat (lihat Pasal 32 ayat [1] UUA ). Sehingga, dengan berlakunya UUA, tidak ada perbedaan antara pengacara dan penasehat hukum. Semuanya disebut sebagai Advokat yaitu orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang wilayah kerjanya di seluruh wilayah Republik Indonesia ( Pasal 5 ayat [2] UUA ). KLINIK TERKAIT Ke Mana Melapor Jika Advokat Telantarkan Klien? 28 Jun 2011 Etika Pengacara 08 Des 2010 Advokat Boleh Menolak Klien? 29 Nov 2010 Kantor Pengacara atas Nama Perorangan 25 Mei 2010 Sebelum berlakunya UUA, ketentuan yang mengatur mengenai advokat, penasihat hukum, pengacara praktik dan konsultan hukum tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan sehingga pengertian pengacara dan penasihat hukum berbeda. Lihat boks “Perbedaan Pengacara dan Penasihat Hukum (Sebelum UUA)” di bawah: Boks: Perbedaan Pengacara dan Penasihat Hukum (Sebelum UUA) Pengacara Penasihat Hukum Pengertian Pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila pengacara tersebut akan beracara di luar lingkup wilayah izin prakteknya tersebut di atas, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan di mana ia akan beracara. Pengacara ini dulunya dibedakan dengan advokat. Yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseotang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Pembedaan advokat dan pengacara ini dapat kita temui dalam Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57), Pasal 185 sampai Pasal 192 dengan segala perubahan dan penambahannya (“RO”). Simak juga artikel Advokat . - Penasihat Hukum adalah mereka yang memberikan bantuan atau nasihat hukum , baik dengan bergabung atau tidak dalam suatu persekutuan Penasihat Hukum, baik sebagai mata pencaharian atau tidak, yang disebut sebagai Pengacara/Advokat dan Pengacara Praktek ( Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: KMA/05/SKB/VII/1987; Nomor: M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum ). - Penasihat hukum adalah seorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh atau berdasarkan undang-undang untuk memberi bantuan hukum ( Pasal 1 ayat [13] UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No.: 8 Tahun 1987 tentang Penjelasan dan Petunjuk-Petunjuk Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman tanggal 6 Juli 1987 No.: KMA/005/SKB/VII/1987 dan No.: M. 03-PR.08.05 Tahun 1987 yang membagi Penasihat Hukum ke dalam dua kategori: a. Para pengacara advokat yang telah diangkat oleh Menteri Kehakiman dan atas dasar itu memperoleh ijin melakukan kegiatan berpraktek hukum di manapun. b. Para pengacara praktek yang diberi ijin oleh para Ketua Pengadilan Tinggi untuk berpraktek hukum di dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang bersangkutan. Jadi, sebelum berlakunya UUA, pengacara advokat maupun pengacara praktek adalah termasuk penasihat hukum. Sejak diberlakukannya UUA, baik penasihat hukum, advokat maupun pengacara praktek disebut sebagai Advokat berdasarkan Pasal 32 ayat (1) UUA . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesia (Stb. 1847 Nomor 23 jo. Stb. 1848 Nomor 57 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat 4. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: KMA/05/SKB/VII/1987; Nomor: M.03-PR.08.05 Tahun 1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Penasihat Hukum Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Assalamualaikum, mohon informasinya. Jika terjadi kecelakaan lalu lintas dengan korban meninggal, tetapi pihak keluarga korban telah membuat surat kesepakatan tidak akan menuntut baik perdata/pidana, apakah pihak polisi masih berhak melakukan tindakan penyidikan? Apakah kasus ini akan ditindak lanjut ke tingkat pengadilan? Terima kasih atas informasinya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Apakah Laporan Penggelapan Dapat Dicabut Kembali? 28 Feb 2024 Perbedaan Pelaporan dan Pengaduan 13 Jul 2023 Adakah Aturan tentang Daluwarsa Penyelesaian Perkara di Kepolisian? 19 Sep 2018 Setelah Ada Perdamaian, Apakah Masih Bisa Jadi Tersangka? 26 Nov 2012 Menurut Pasal 1 angka 24 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”), kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. Kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia termasuk kecelakaan lalu lintas berat ( Pasal 229 ayat [4] UU LLAJ ). Bagi pengemudi yang terlibat dalam kecelakaan lalu lintas memiliki kewajiban ( Pasal 231 ayat [1] UU LLAJ ): Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. menghentikan Kendaraan yang dikemudikannya; b. memberikan pertolongan kepada korban; c. melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia terdekat; dan d. memberikan keterangan yang terkait dengan kejadian kecelakaan. Setiap pengemudi yang karena kelalaiannya mengakibatkan kecelakaan lalu lintas wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita korban, akan tetapi tanggung jawab ini tidak berlaku apabila ( Pasal 234 ayat [3] UULLAJ ): a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan Bagaimana jika pengemudi telah bertanggung jawab dan telah terjadi perdamaian dengan keluarga korban, apakah polisi tetap berhak melakukan penyidikan? Mengenai hal ini kita perlu melihat ketentuan Pasal 235 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi: “Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana .” Berdasarkan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa walaupun pengemudi telah bertanggung jawab atas kematian korban, tuntutan pidana terhadap dirinya tidak menjadi hilang. Oleh karena itu, kepolisian tetap melakukan penyidikan sesuai hukum acara pidana sesuai peraturan perundang-undangan ( Pasal 230 UU LLAJ ). Jadi, dalam kasus yang Anda ceritakan, pihak kepolisian tetap akan melakukan penyidikan meskipun ada kesepakatan bahwa keluarga korban tidak akan menuntut secara pidana. Ancaman sanksi pidana untuk pengemudi kendaraan bermotor penyebab kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia adalah pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000 ( Pasal 310 ayat [4] UU LLAJ ). Walaupun pelaku telah bertanggung jawab serta adanya perdamaian dengan keluarga korban tidak menghapuskan tuntutan pidana seperti yang terdapat pada Putusan MA No. 1187 K/Pid/2011 . Bahkan dalam Putusan MA No. 2174 K/Pid/2009 , terdakwa tetap dikenakan hukuman walaupun telah ada perdamaian dan terdakwa sendiri juga mengalami luka (retak tulang tangan kiri dan tak sadarkan diri) dalam kecelakaan tersebut. Kendati demikian, pelaku tetap perlu mengusahakan perdamaian dengan keluarga korban karena hal itu dapat dipertimbangkan hakim untuk meringankan hukumannya. Sebaliknya, tidak adanya perdamaian antara pelaku dengan keluarga korban bisa menjadi hal yang memberatkan pelaku. Sebagai contoh, dalam Putusan MA No. 403 K/Pid/2011 antara pelaku dan keluarga korban tidak tercapai perdamaian, serta dalam Putusan MA No. 553 K/ Pid/2012 pelaku tidak memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian kepada keluarga korban, sehingga menurut majelis hakim tidak adanya perdamaian dijadikan sebagai pertimbangan yang memberatkan kesalahan terdakwa. Jadi, apabila kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan korban meninggal dunia dan pelaku telah bertanggung jawab kepada keluarga korban serta terjadi perdamaian, hal tersebut tidak menghapus tuntutan pidana kepada pelaku, sehingga polisi tetap berhak melakukan penyidikan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Putusan : 1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2174 K/Pid/2009 tanggal 15 Juni 2010 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 403 K/Pid/2011 tanggal 28 Juni 2011 3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1187 K/Pid/2011 tanggal 28 Juli 2011 4. Putusan Mahkamah Agung Nomor 553 K/ Pid/2012 tanggal 26 April 2012 perdamaian"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika seorang karyawan akan menjalani training/pendidikan yang akan dibiayai oleh perusahaan, apakah perusahaan bisa memberlakukan ikatan dinas? Adakah aturan perundangan-undangannya? Apakah perjanjian ikatan dinas merupakan perjanjian kerja? Mohon referensi UU atau aturan pokoknya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Training (pelatihan) atau pendidikan merupakan salah satu bentuk pelatihan kerja (job training) yang biasanya diadakan sebelum karyawan memulai pekerjaan atau sebagai bentuk tanggung jawab pengusaha untuk meningkatkan dan mengembangkan kompetensi karyawan.[1]\nBahkan untuk perusahaan yang telah mempekerjakan 100 karyawan atau lebih wajib meningkatkan kompetensi karyawannya melalui pelatihan kerja dengan jumlah mencakup sekurang-kurangnya 5% dari seluruh karyawan setiap tahunnya. Untuk biaya pelatihan kerja seluruhnya menjadi tanggung jawab perusahaan.[2]\n\nBaca juga: Keabsahan Perjanjian Ikatan Dinas sebelum Pelatihan Kerja\nKedudukan Perjanjian Ikatan Dinas\nWalaupun kewajiban untuk melaksanakan pelatihan kerja tegas diatur, namun mengingat biaya training atau pendidikan relatif mahal, manajemen perusahaan tentunya tidak mau dirugikan maka disyaratkan perjanjian ikatan dinas.\n\nApa itu perjanjian ikatan dinas? Perjanjian ikatan dinas merupakan upaya perusahaan agar karyawan yang telah diikutsertakan dalam suatu program pelatihan kerja tidak tiba-tiba resign (mengundurkan diri) dan pindah ke perusahaan lain, yang mungkin merupakan perusahaan pesaing.\n\nKedudukan perjanjian ikatan dinas sendiri merupakan kesepakatan yang tunduk pada hukum perdata yakni KUH Perdata. Materi yang dimuat dalam perjanjian ikatan dinas pada umumnya adalah ganti rugi atau pembayaran kompensasi bilamana karyawan wanprestasi. Di samping itu, dalam perjanjian ikatan dinas biasanya juga memuat klausul yang melarang karyawan resign untuk pindah bekerja pada perusahaan sejenis dan/atau membuka usaha sejenis yang dapat menjadi pesaing perusahaan.\n\nSehingga jika ditanya apakah perjanjian ikatan dinas merupakan perjanjian kerja? Jawabannya adalah bukan. Perjanjian kerja dan perjanjian ikatan dinas adalah kedua perjanjian yang berbeda. Justru, perjanjian ikatan dinas sendiri merupakan perjanjian perdata antara perusahaan dengan karyawan setelah adanya perjanjian kerja.\nContoh Putusan\n\nGuna memudahkan pemahaman Anda, kami akan mencontohkan bunyi Putusan PN Jakarta Pusat No. 339/PDT.G/2011/PN.JKT.PST. Penggugat dan tergugat sepakat membuat dan menandatangani perjanjian ikatan dinas selama 3 tahun. Namun kemudian, tergugat memutuskan perjanjian dalam masa kerja secara sepihak dengan cara mengundurkan diri sebelum jangka waktu berakhir (hal. 17-18).\n\nPerjanjian ikatan dinas adalah sah secara hukum dan berdasarkan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, berlaku dan mengikat pihak yang membuatnya (hal. 20, 22-23).\n\nSehingga, tergugat yang ingkar janji (wanprestasi) harus mengembalikan semua biaya pendidikan dan pelatihan Initial Flight Attendant sebagai pramugari sebesar Rp16,5 juta ditambah sanksi denda US$ 7.500 sebagaimana diatur dalam perjanjian ikatan dinas (hal. 20, 22-23).\n\nPerkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermnanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17229/node/686?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHPerdata)\n2. [Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13146/undangundang-nomor-13-tahun-2003/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Ketenagakerjaan)\n3. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n4. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n5. [Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/26001/peraturan-pemerintah-nomor-31-tahun-2006?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_31_2006)\n6. [Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.261/MEN/XI/2004 tentang Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/24450/keputusan-menteri-tenaga-kerja-dan-transmigrasi-nomor-kep-261menxi2004-tahun-2004?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=kepmenaker_261_2004)\nPUTUSAN\n\nPutusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 339/PDT.G/2011/PN.JKT.PST.\n\n[1] Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional\n\n[2] Pasal 2 dan Pasal 4 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.261/MEN/XI/2004 Tahun 2004 tentang Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah perkara pemilu masuk ke dalam ranah hukum pidana?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Perkara pemilu bisa masuk ranah pidana sepanjang tindakan yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU 42/2008. Penyelesaian pelanggaran pidana dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Penjelasan lebih lanjut dan contoh dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Sebelumnya, pemilihan umum (“pemilu”) pada dasarnya terbagi menjadi 2 (dua) yaitu pemilu anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; dan pemilu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kami asumsikan bahwa perkara pemilu yang Anda maksud di sini yaitu sengketa pelanggaran pemilu. Oleh karena itu, guna menyederhanakan jawaban kami, kami memilih untuk menjelaskan salah satu pemilu di atas, yakni pemilu presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (“UU 42/2008”) . Jika memang terjadi pelanggaran atau perkara dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden, maka ini menjadi wewenang dari Badan Pengawas Pemilu (“Bawaslu”), Panitia Pengawas Pemilu (“Panwaslu”) provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri untuk menerima laporan pelanggaran Pemilu Presiden dan Wakil Presiden pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. [1] Laporan tersebut disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu provinsi, Panwaslu kabupaten/kota, Panwaslu kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, dan Pengawas Pemilu Luar Negeri dengan paling sedikit memuat: [2] a. nama dan alamat pelapor; b. pihak terlapor; c. waktu dan tempat kejadian perkara; dan d. uraian kejadian. Berdasarkan penelusuran kami dalam UU 42/2008, pelanggaran pemilu ini terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Pelanggaran Administrasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden [3] Pelanggaran administrasi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselesaikan oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu provinsi, dan Panwaslu kabupaten/kota sesuai dengan tingkatannya. [4] 2. Pelanggaran Pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden [5] Pelanggaran pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden adalah pelanggaran terhadap ketentuan pidana Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang diatur dalam Undang-Undang ini yang penyelesaiannya dilaksanakan melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum . [6] Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perkara pemilu itu bisa masuk ranah pidana sepanjang tindakan yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pidana yang diatur dalam UU 42/2008. Contoh Perkara Pemilu Termasuk Ranah Pidana Sebagai contoh, ada anggota KPU yang melanggar kewajibannya untuk menindaklanjuti temuan Bawaslu, maka ia dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 205 UU 42/2008 : Setiap anggota KPU yang tidak menindaklanjuti temuan Bawaslu dalam melaksanakan verifikasi kebenaran dan kelengkapan administrasi Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 36 (tiga puluh enam) bulan dan denda paling sedikit Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Komisioner Bawaslu, Daniel Zuchron dalam artikel Penyelenggara Pemilu Mudah Dijerat Pidana menjelaskan, baik UU Pemilu Legislatif maupun UU 42/2008 telah mengarahkan agar penyelenggara pemilu profesional. Sayangnya, tidak sedikit penyelenggara Pemilu khususnya di tingkat bawah yang terindikasi kuat melakukan pelanggaran. Keterlibatan oknum penyelenggara Pemilu itu paling banyak terjadi pada tahap pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara. Sebagai upaya menindaklanjuti hal tersebut, Daniel menjelaskan Bawaslu telah mengambil tindakan, seperti memproses secara pidana dan etik kepada yang bersangkutan. Bawaslu menyadari bahwa UU membuka peluang lebar untuk memidanakan penyelenggara Pemilu yang disinyalir melakukan kecurangan dan pelanggaran atau tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Proses pembuktian untuk menyeret penyelenggara Pemilu ke ranah pidana menurut Daniel sangat mudah. Misalnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) wajib memampang hasil pemungutan suara dari seluruh TPS yang ada di kelurahan atau desa yang menjadi wilayahnya. Untuk membuktikan apakah penyelenggara Pemilu tingkat kelurahan atau desa itu sudah melakukan kewajibannya, maka pengawas Pemilu tinggal melihat apakah hasil pemungutan suara seluruh TPS itu sudah dipajang di kantor Kelurahan atau belum. Jika PPS belum memampang hasil pemungutan suara menurut Daniel tergolong mudah bagi pengawas menindaklanjuti temuan itu ke ranah pidana. Atas dasar itu Daniel menegaskan ancaman pidana bagi penyelenggara Pemilu yang diatur UU 42/2008 adalah nyata. Contoh lain Beberapa contoh lain pelanggaran pemilu presiden yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana adalah sebagai berikut: 1. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye . [7] 2. Mengikutsertakan PNS, TNI, Polri dan Kepala Desa dalam kampanye . [8] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden . [1] Pasal 190 ayat (1) UU 42/2008 [2] Pasal 190 ayat (3) UU 42/2008 [3] BAB XVIII Paragraf 2 UU 42/2008 [4] Pasal 192 UU 42/2008 [5] BAB XVIII Paragraf 3 UU 42/2008 [6] Pasal 195 UU 42/2008 [7] Pasal 41 ayat (1) jo Pasal 45 UU 42/2008 [8] Pasal 41 ayat (2) jo Pasal 45 UU 42/2008 pemilu"
} |
{
"from": "human",
"value": "Untuk sebuah kasus pemalsuan ijazah yang sudah di-SP3 terus dibuka lagi oleh POLDA karena adanya novum, dapatkah di-SP3 lagi di mata hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berbicara mengenai Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lebih dikenal dengan sebutan SP3 di tingkat penyidikan adalah merupakan kewenangan yang diberikan oleh u ndang-undang kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP dengan beberapa alasan, di antaranya: 1. Tidak diperolehnya bukti yang cukup untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk menuntut tersangka apabila diajukan ke muka persidangan di pengadilan; KLINIK TERKAIT Upaya Hukum atas Putusan Praperadilan, Adakah? 12 Jul 2024 Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi? 13 Mei 2024 Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana 12 Jan 2024 Berikut Ini Pemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan 21 Apr 2023 2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana atau bukan merupakan kompetensi daripada lingkup peradilan umum serta sangat tipis unsur-unsurnya dengan perbuatan hukum secara perdata; 3. Penghentian penyidikan demi hukum akibat adanya unsur Nebis in idem , tersangka meninggal dunia serta karena kadaluarsa sesuai Pasal 78 KUHP. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam kasus pemalsuan ijazah yang sudah diberikan SP3 tersebut, kemungkinan pertimbangan penyidik adalah karena kurangnya alat bukti sebagaimana alasan kesatu di atas. Namun kasus tersebut dibuka kembali oleh pihak POLDA dikarenakan adanya novum atau alat bukti baru yang sekiranya dapat menjerat tersangka. Hal tersebut dimungkinkan karena dari segi hukum formal, SP3 tidak termasuk kategori Nebis in idem karena bukan termasuk dalam lingkup putusan Pengadilan melainkan hanya berupa kebijakan karena tidak terpenuhinya syarat formil dalam tingkat penyidikan. Dengan mendasarkan alasan bahwa SP3 tersebut hanyalah merupakan kebijakan yang diberikan oleh pihak penyidik yang memeriksa perkara pemalsuan ijazah tersebut dan tidak masuk dalam kategori yang dapat mengakibatkan Nebis in idem , maka guna menegakkan prinsip peradilan yang cepat, tepat dan biaya ringan serta dengan memperhatikan tegaknya prinsip k eadila n , k emanfaatan dan k epastian hukum, penyidik dapat memberikan lagi SP3 atas persangkaan terhadap tersangka agar proses pemeriksaan tidak berlarut-larut tanpa arah yang pasti. Selain itu, menghindarkan timbulnya tuntutan dari pihak tersangka apabila tuntutan yang diajukan tidak cukup bukti. Dasar Hukum : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ; Referensi : Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (penyidikan dan Penuntutan), M. Yahya Harahap, S.H. sp3"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah kesalahan pada akta perkawinan atau akta nikah membuat pernikahan batal demi hukum? Situasinya, tanggal pelaksanaan pernikahan yang tercantum dalam akta tidak sesuai. Bagaimana konsekuensi kekuatan mengikat akta tersebut? Apakah foto bisa dijadikan alat bukti sah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Perlu diketahui bahwa suatu perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan dilakukan pendaftaran perkawinan di lembaga pencatatan perkawinan setempat.\n\nKemudian, syarat sah suatu perkawinan berdasarkan Pasal 2 UU Perkawinan adalah:\n\nPerkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.\n\nKemudian UU 23/2006 sebagaimana diubah oleh UU 24/2013 lebih lanjut mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Hal ini dapat kita lihat pengaturannya dalam Pasal 34 ayat (1) UU 23/2006 yang menyatakan bahwa:\n\nPerkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.\n\nBerdasarkan laporan, Pejabat Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud masing-masing diberikan kepada suami dan istri.[1]\n\nKhusus untuk penduduk yang beragama Islam, pelaporan dilakukan kepada Kantor Urusan Agama (“KUA”) Kecamatan.[2]\nHal-Hal yang Dapat Membatalkan Perkawinan\n\nTerkait dengan penerbitan kutipan akta nikah ini mungkin saja isinya tidak terhindar dari kesalahan, termasuk kesalahan redaksional. Namun, adanya kesalahan pada kutipan akta nikah, tidak menyebabkan perkawinan dapat dibatalkan.\n\nAdapun yang menyebabkan batalnya suatu perkawinan antara lain adalah apabila:\n\nPara pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.[3] Mengenai syarat-syarat perkawinan ini diatur dalam Pasal 6 UU Perkawinan;Salah satu pihak melangsungkan perkawinan padahal masih terikat perkawinan dengan pihak lain;[4]Perkawinan dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi;[5]Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;[6]Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.[7]\n\nKhusus bagi yang beragama Islam berlaku KHI. Mengenai batalnya perkawinan ini diatur dalam Pasal 70 s.d. Pasal 71 KHI yang berbunyi:\n\nPasal 70 KHI\n\nPerkawinan batal apabila:\n\nSuami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj`i;Seseorang menikah bekas istrinya yang telah dili`annya;Seseorang menikah bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu:\n\nberhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas.berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.\n\nIstri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan istri atau istri-istrinya.\nPasal 71 KHI\n\nSuatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:\n\nseorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud.perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU Perkawinan;perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.\n\nPerlu dipahami bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.[8]\nPembetulan Akta Perkawinan yang Salah\n\nBila tanggal pelaksanaan perkawinan yang tercantum dalam kutipan akta nikah tidak sesuai dengan yang sesungguhnya karena kesalahan redaksional, maka terhadap akta tersebut dapat dimintakan pembetulannya.[9]\n\nAdapun yang dimaksud dengan \"kesalahan tulis redaksional\", misalnya kesalahan penulisan huruf dan/atau angka.[10]\n\nPembetulan akta pencatatan sipil dilaksanakan dengan atau tanpa permohonan dari orang yang menjadi subjek akta.[11]\n\nPembetulan akta perkawinan biasanya dilakukan pada saat akta sudah selesai di proses (akta sudah jadi) tetapi belum diserahkan atau akan diserahkan kepada subjek akta. Pembetulan akta atas dasar koreksi dari petugas, wajib diberitahukan kepada subjek akta.[12]\n\nDan mengenai apakah foto dapat menjadi alat bukti yang sah untuk membuktikan adanya perkawinan, tentunya pihak pencatat perkawinan (KUA dan KCS) yang akan menentukan. Akan tetapi, selain foto, Anda juga dapat mengajukan saksi nikah, wali nikah dan bukti-bukti terkait lainnya untuk mendukung keterangan Anda.\n\nMenegenai cara pembetulan akta pencatatan sipil (termasuk akta perkawinan) kita dapat merujuk Perpres 96/2018. Apabila terdapat kesalahan redaksional pada akta perkawinan Anda, kita dapat memohonkan pembetulan dengan tata cara berikut:[13]\n\nPembetulan akta pencatatan sipil dilakukan pada Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (“Disdukcapil”) Kabupaten/Kota atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Disdukcapil Kabupaten/Kota atau Perwakilan Republik Indonesia sesuai domisili dengan atau tanpa permohonan dari subjek akta.Dalam hal pembetulan akta pencatatan sipil tersebut diajukan oleh subjek akta harus memenuhi persyaratan:\n\ndokumen autentik yang menjadi persyaratan pembuatan akta pencatatan sipil; dankutipan akta pencatatan sipil dimana terdapat kesalahan tulis redaksional.\nDemikian jawaban dari kami terkait pembetulan akta perkawinan sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26834/undangundang-nomor-1-tahun-1974?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_Perkawinan)\n2. [Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5dafedf4cd014/undang-undang-nomor-16-tahun-2019?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_16_2019)\n3. [Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/26195/node/758/undangundang-nomor-23-tahun-2006?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_23_2006)\n4. [Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt52e8dd4cb6d80/node/758/uu-no-24-tahun-2013-perubahan-atas-undang-undang-nomor-23-tahun-2006-tentang-administrasikependudukan?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=UU_24_2013)\n5. [Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5bd96b5e9e94d/peraturan-presiden-nomor-96-tahun-2018/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_96_2018)\n6. [Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam](Data Kepolisian /pusatdata/detail/13200/instruksi-presiden-nomor-1-tahun-1991/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KHI)\n[1] Pasal 34 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”)[2] Pasal 37 ayat (4) UU 23/2006[3] Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)[4] Pasal 24 UU Perkawinan[5] Pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan[6] Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan[7] Pasal 27 ayat (2) UU Perkawinan[8] Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan[9] Pasal 71 ayat (1) UU 23/2006[10] Penjelasan Pasal 70 ayat (1) UU 23/2006[11] Pasal 71 ayat (2) UU 23/2006[12] Penjelasan Pasal 71 ayat (2) UU 23/2006[13] Pasal 68 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan jo. Pasal 31 huruf n dan Pasal 59 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam KUHP terutama pasal 303 ayat 3 telah dijelaskan mengenai main judi. Namun yang ingin saya tanyakan apakah permainan ketangkasan termasuk kategori judi di mana pemenangnya hanya diberikan hadiah berupa barang? Sebagai contoh Permainan melempar botol minuman bersoda dengan menggunakan gelang yang biasa diselenggarakan di pasar-pasar, di mana jika gelang yang dilemparkanya itu berhasil masuk ke dalam leher botol maka ia mendapatkan hadiah tersebut. Dan gelang-gelang itu dibeli/tukar Rp. 1.000/5 buah gelang. Terima kasih atas jawabannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengutip Pasal 303 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi: “Y ang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan , di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir . Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya .” KLINIK TERKAIT Perbedaan Pasal Penipuan dan Penggelapan 12 Des 2023 Bisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang? 22 Mei 2023 Jerat Hukum Judi Online : Penjara hingga Denda Rp1 Miliar 23 Mei 2022 Aturan tentang Cyber Pornography di Indonesia 12 Feb 2019 Dari ketentuan KUHP tersebut dapat kita lihat bahwa dalam permainan judi, terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada peruntungan (untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu, dalam permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan. R. Soesilo dalam bukunya “ KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal ” menyebutkan bahwa permainan judi disebut juga “ hazardspel ”. Yang biasa disebut sebagai “ hazardspel ” ialah misalnya main dadu, main selikuran, main jemeh, kodok-ulo, roulette, bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tombola, dll. Juga masuk totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepakbola, dsb. Tidak masuk “ hazardspel ” misalnya: domino, bridge, ceki, koah, pei, dsb yang biasa dipergunakan untuk hiburan . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas KUHP sebagai lex generalis (hukum yang bersifat umum) memang tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai kegiatan apa saja yang dapat dikatakan sebagai “judi”. Namun, selain KUHP, ada ketentuan-ketentuan lain yang bersifat lebih khusus ( lex specialis ) yang dapat kita rujuk untuk mengerti lebih jauh mengenai larangan kegiatan perjudian ini yaitu antara lain UU No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (\"UU 7/1974\") dan PP No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP 9/1981”) sebagai peraturan pelaksananya. Pasal 1 UU 7/1974 m enyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Lebih jauh dan rinci mengenai permainan judi yang dilarang dapat kita temui dalam Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP 9/1981 yang meliputi: a. Perjudian di Kasino, antara lain terdiri dari: 1. Roulette; 2. Blackjack; 3. Baccarat; 4. Creps; 5. Keno; 6. Tombola; 7. Super Ping-pong; 8. Lotto Fair; 9. Satan; 10. Paykyu; 11. Slot machine (Jackpot); 12. Ji Si Kie; 13. Big Six Wheel; 14. Chuc a Luck 15. Lempar paser/bulu ayam pada sasaran atau papan yang berputar (Paseran); 16. Pachinko; 17. Poker; 18. Twenty One; 19. Hwa-Hwe; 20. Kiu-kiu. b. Perjudian di tempat-tempat keramaian, antara lain terdiri dari perjudian dengan: 1. Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; 2. Lempar Gelang; 3. Lempar Uang (Coin); 4. Kim; 5. Pancingan; 6. Menembak sasaran yang tidak berputar; 7. Lempar bola; 8. Adu ayam; 9. Adu sapi; 10. Adu kerbau; 11. Adu domba/kambing; 12. Pacu kuda; 13. Karapan sapi; 14. Pacu anjing; 15. Hailai; 16. Mayong/Macak; 17. Erek-erek. c. Perjudian yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain, antara lain perjudian yang dikaitkan dengan kebiasaan; 1. Adu ayam; 2. Adu sapi; 3. Adu kerbau; 4. Pacu kuda; 5. Karapan sapi; 6. Adu domba/kambing. d. Tidak termasuk dalam pengertian penjelasan Pasal 1 huruf c termaksud di atas, apabila kebiasaan yang bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan, dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian. Jadi, kembali pada yang Anda tanyakan apakah permainan ketangkasan termasuk kategori judi di mana pemenangnya hanya diberikan hadiah berupa barang yaitu misalnya permainan lempar gelang. Pada dasarnya memang lempar gelang dapat termasuk permainan judi jika melihat pada ketentuan di atas dan jika permainan tersebut dilakukan untuk mencari keuntungan. Namun, kegiatan tersebut tidaklah menjadi perjudian apabila tujuannya hanya sebagai permainan hiburan (misalnya, seperti yang ada di tempat-tempat rekreasi atau tempat bermain anak) dan bukan untuk mencari keuntungan dengan melibatkan adanya pertaruhan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73); 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian ; 3. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Bapak/Ibu, mohon pencerahan atas hal dibawah ini. 1. Dalam suatu proses perceraian, seorang suami mengajukan permohonan izin talak kepada Pengadilan Agama. Apakah dapat diajukan gugatan rekonpensi mengingat permohonan gugat talak termasuk gugatan voluntair? Sepengetahuan kami gugatan rekonpensi hanya dapat dilakukan untuk gugatan gugatan kontentiosa. 2. Dalam hal apa mediasi dengan menunjuk wakil dari masing-masing keluarga dapat dimohonkan kepada hakim dan apa dasar hukumnya? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Sejauh yang kami tahu, permohonan izin talak tidak dapat dilakukan gugatan rekonpensi. Memang benar, bahwa gugatan rekonpensi hanya dapat dilakukan untuk gugatan-gugatan kontentiosa. 2. Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan jo. pasal 115 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Berdasarkan aturan tersebut, sebelum pengadilan mengesahkan perceraian maka pengadilan wajib berusaha mendamaikan pasangan suami isteri tersebut. Aturan mengenai prosedur mediasi di pengadilan diatur dalam Perma No. 1/2008. Dalam pasal 5 Perma No. 1/2008 diatur bahwa setiap orang yang menjalankan fungsi sebagai mediator pada asasnya wajib memiliki sertifikat mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh lembaga yang telah memperoleh akreditasi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Jika dalam wilayah sebuah Pengadilan tidak ada hakim, advokat, akademisi hukum dan profesi bukan hukum yang bersertifikat mediator, hakim di lingkungan Pengadilan yang bersangkutan berwenang menjalankan fungsi mediator. Karena itu, dalam persidangan yang dapat menjadi mediator bukan dari sebarang pihak melainkan melalui prosedur yang telah diatur dalam Perma No. 1/2008. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat. Peraturan perundang-undangan terkait: 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 2. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991) 3. Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya pernah ikut diklat di kampus dan itu cukup mengagetkan saya sendiri dikarenakan, diklat tersebut ada acara bentak-bentak, maki-maki, bahkan ada juga yang main tangan (memukul). Pertanyaannya, apakah hal tersebut bisa dipidanakan? Alasan mereka sih melakukan hal tersebut untuk melatih mental kita mahasiswa."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Konsultasi Hukum oleh Mahasiswa, Memang Boleh? 09 Agt 2023 Kewenangan Polri Menindak Demo Anarkis di Kampus 20 Jan 2022 Bolehkah Mahasiswa Membantu Pembuatan Surat Gugatan? 08 Mei 2012 Apakah Ada Dasar Hukumnya Rektor Menahan Ijazah Mahasiswa? 14 Apr 2012 Pendidikan dan Latihan (Diklat) yang Anda sebutkan di atas pada hakikatnya merupakan kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru. Kegiatan ini merujuk pada buku “ Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru ” (selanjutnya ditulis “Panduan Umum”) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan, Ditjen Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional pada 2003. Panduan Umum ini merujuk pada produk-produk hukum yaitu: - Keputusan Menteri P dan K Tahun 1979 No. 0125/U/1979 tentang Penertiban Acara/Upacara Penerimaan Siswa dan Mahasiswa Baru dalam Rangka Pengenalan Program Studi dan Program Pendidikan Dasar, Menengah, dan Tinggi; dan Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas - Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 38/DIKTI/Kep/2000 tentang Pengaturan Kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi. Panduan Umum ini disusun dengan maksud mempercepat proses pembimbingan mahasiswa baru agar dapat beradaptasi dengan kehidupan akademik dan non-akademik di perguruan tinggi dengan semangat percepatan adaptasi tanpa kekerasan . Dalam Panduan Umum tersebut juga dijelaskan bahwa penyampaian materi-materi terkait Pengenalan Kehidupan Kampus dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut: - Ceramah - Pemutaran video/film - Praktik - Pameran - Kunjungan - Buku-buku - Diskusi - Analisis - Visualisasi materi - Dsb. Dari cara-cara tersebut terlihat bahwa seharusnya tidak terjadi kekerasan dalam kegiatan Pengenalan Kehidupan Kampus. Dari yang pengalaman yang Anda ceritakan, dalam acara tersebut terjadi bentakan, makian, serta pemukulan. Sayangnya, Anda tidak menjelaskan lebih detail mengenai isi dari makian atau bentakan tersebut. Secara umum, menurut kami, bentakan dan makian serta pemukulan tersebut berpotensi terjadinya dugaan tindak pidana atau delik-delik sebagai berikut: 1. Perbuatan tidak menyenangkan (Pasal 335 KUHP), 2. Penghinaan (Pasal 310 ayat [1] KHP), dan 3. Penganiayaan (Pasal 351 dan Pasal 352 KUHP). Mengenai bentakan Mengenai bentakan yang dialami oleh peserta plonco/ospek biasanya terbagi atas 3 (tiga) jenis, yaitu: 1. Perintah untuk melakukan sesuatu 2. Perintah untuk tidak melakukan sesuatu 3. Peringatan atas sesuatu. Apabila perintah-perintah tersebut disampaikan dengan cara yang tidak disenangi oleh peserta, maka perintah tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang tidak menyenangkan. Mengenai delik ini diatur dalam Pasal 335 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), Bab XVIII tentang Kejahatan Terhadap Kemerdekaan Orang yang rumusannya berbunyi: (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama atau tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah; Ke-1: barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri atau orang lain. Ke-2: barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal diterangkan ke-2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Dalam Pasal 335 KUHP ini, terdapat dua unsur yang merupakan kunci untuk pembuktian delik ini, yaitu unsur “memakai kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Apabila salah satu unsur tersebut terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai delik perbuatan tidak menyenangkan. Mahkamah Agung atas Pasal 335 KUHP ini berpendapat, bahwa kekerasan yang terjadi tidak harus merupakan paksaan fisik melainkan juga paksaan psikis. Jadi, apabila panitia Diklat (plonco/ospek) melakukan paksaan dalam memberikan perintah yang tidak anda senangi maka hal itu dapat dikategorikan sebagai delik perbuatan tidak menyenangkan. Untuk lebih jelasnya, sila buka artikel Perbuatan Tidak Menyenangkan . Mengenai Makian Makian yang dilontarkan oleh panitia Diklat (plonco/ospek) terhadap peserta dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Perbuatan penghinaan ini diatur dalam Pasal 310 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah . Dalam Pasal 310 KUHP ini terdapat unsur yang harus diperhatikan yakni unsur “ sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal” dan unsur “ maksud untuk diketahui umum” . Jika unsur-unsur ini terpenuhi maka dapat dikategorikan sebagai penghinaan. Delik penghinaan ini merupakan delik aduan. Jadi, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada polisi. Informasi lebih lanjut sila simak artikel Penghinaan . Mengenai Penganiayaan Pemukulan yang dilakukan panitia terhadap peserta merupakan delik penganiayaan. Delik penganiayaan ini diatur dalam Pasal 351 dan Pasal 352 KUHP . Sebelumnya, terlebih dahulu diklasifikasikan delik pemukulan (penganiayaan) yang terjadi apakah merupakan penganiayaan berat atau ringan. Penganiayaan berat diatur dalam Pasal 351 KUHP yang berbunyi: 1. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 3. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Penganiayaan ringan diatur dalam Pasal 352 KUHP yang berbunyi: 1. Selain daripada yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya. 2. Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. Menurut R. Soesilo , tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 352 KUHP disebut ‘penganiayaan ringan’, dan masuk kategori ‘kejahatan ringan’. Perbuatan penganiayaan yang masuk kategori Pasal 352 KUHP adalah: a. perbuatan yang tidak menjadikan sakit; dan b. perbuatan yang tidak sampai membuat korban terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari. Soesilo memberi contoh penganiayaan ringan; A menempeleng B tiga kali. Meskipun B merasa sakit tetapi tidak menghalanginya untuk bekerja sehari-hari. Penganiayaan ini merupakan delik biasa yang berarti perkara tersebut dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari yang dirugikan (korban) atau laporan dari korban maupun saksi. Penjelasan selengkapnya simak Batasan Penganiayaan Ringan . Demikian jawaban kami semoga bermanfaat. Dasar hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek Van Strafrecht , Staatsblad 1915 No. 732)."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apabila kita telah melakukan perubahan susunan pengurus dan telah mendapatkan SK Penerimaan Pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM, apakah perlu untuk dibuat TBNRI-nya? Karena ada pendapat dari beberapa notaris yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu atau tidak wajib. Sedangkan, apabila kita melihat di dalam UUPT No. 40 Tahun 2007 pasal 30 ayat 1c, di sana tercantum bahwa akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri akan diumumkan dalam TBNRI oleh Menteri. Apabila ternyata memang tidak perlu atau tidak wajib, apakah ada aturan pelaksanaannya yang menyatakan hal tersebut? Mohon tanggapannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pendaftaran Berita Negara yang dibuat oleh Alfi Renata, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 06 April 2010. KLINIK TERKAIT Mau Mendaftarkan Nama Usaha? Ikuti Panduan Ini! 03 Feb 2021 Haruskah Mengubah Nama PT yang Berbahasa Asing ke Bahasa Indonesia? 03 Agt 2017 Ketentuan Perpanjangan Masa Jabatan Direksi dan Komisaris 03 Jan 2017 Jerat Hukum Jika Pemegang Saham Menggunakan Harta Perusahaan 24 Nov 2014 Intisari: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi (pengurus) bukanlah termasuk perubahan anggaran dasar perseroan, melainkan termasuk perubahan data perseroan , sehingga tidak diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (TBNRI). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perubahan susunan pengurus yang telah mendapatkan surat (dalam hal ini bukan Surat Keputusan) penerimaan pemberitahuan dari Menteri Hukum dan HAM, yaitu perubahan nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris, adalah TIDAK dimumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia atau TBNRI. Perubahan nama anggota Direksi dan Dewan Komisaris (pengurus) ini termasuk dalam perubahan data perseroan. [1] Yang dimaksud dengan perubahan data perseroan adalah antara lain data tentang pemindahan hak atas saham, penggantian anggota Direksi dan Dewan Komisaris, pembubaran Perseroan. [2] Perubahan Data Perseroan Berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas (“Permenkumham 4/2014”) , perubahan data perseroan cukup diberitahukan oleh Pemohon kepada Menteri. Perubahan data perseroan ini meliputi: [3] a. perubahan susunan pemegang saham karena pengalihan saham dan/atau perubahan jumlah kepemilikan saham yang dimilikinya; b. perubahan nama pemegang saham karena pemegang saham ganti nama; c. perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris ; d. perubahan alamat lengkap Perseroan; e. pembubaran Perseroan atau berakhirnya Perseroan karena jangka waktu berakhir; f. berakhirnya status badan hukum Perseroan setelah pertanggungjawaban likuidator atau Kurator telah diterima oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”), Pengadilan, atau Hakim Pengawas; dan g. penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan yang tidak disertai perubahan anggaran dasar. Jadi, perubahan data perseroan berupa perubahan susunan nama dan jabatan anggota direksi (pengurus) cukup diberitahukan kepada Menteri Hukum dan HAM. Perubahan data Perseroan dengan mengisi Format Perubahan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dan juga harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang disampaikan secara elektronik. [4] Dokumen perubahan data Perseroan ini disimpan notaris untuk perubahan susunan nama dan jabatan anggota direksi dan/atau dewan komisaris berupa akta tentang RUPS atau akta keputusan pemegang saham di luar RUPS tentang perubahan susunan direksi dan/atau dewan komisaris. [5] Pengumuman dalam Tambahan Berita Negara RI (TBNRI) Sementara itu, yang diumumkan dalam TBNRI oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM) adalah: [6] a. akta pendirian perseroan beserta Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan, b. akta perubahan anggaran dasar perseroan beserta Keputusan Menteri mengenai persetujuan perubahan anggaran dasar tertentu, c. akta perubahan anggaran dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri Jadi meluruskan pernyataan Anda, perubahan susunan nama dan jabatan anggota Direksi (pengurus) bukanlah termasuk perubahan anggaran dasar atau salah satu dari ketiga poin di atas, melainkan termasuk dalam perubahan data perseroan , sehingga tidak diumumkan dalam TBNRI. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas ; 2. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas ; 3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia . [1] Pasal 29 ayat (2) huruf g dan Pasal 29 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”) [2] Penjelasan Pasal 29 ayat (3) huruf c UUPT [3] Pasal 27 ayat (3) Permenkumham 4/2014 [4] Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 ayat (1) Permenkumham 4/2014 [5] Pasal 28 ayat (3) huruf c Permenkumham 4/2014 [6] Pasal 30 ayat (1) UUPT dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-02.AH.01.01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengumuman Perseroan Terbatas dalam Berita Negara dan Tambahan Berita Negara Republik Indonesia hukumonline hukum klinik perusahaan klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Terkait perubahan komposisi saham (mayoritas dan minoritas) dalam PT, jika sebelumnya si A menjadi dewan komisaris dengan saham minoritas, apakah jika dia menjadi pemilik saham mayoritas maka dia menjadi dewan direksi? Apakah si A berhak mendapatkan pesangon jika masa tugasnya sebagai dewan direksi dan merangkap Direktur PT tersebut berakhir? Mohon bantuan penjelasannya, terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelum menjawab pertanyaan yang diberikan, perlu diinformasikan bahwa dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas (“UU 40/2007”) tidak mengenal istilah Dewan Direksi. Dalam UU 40/2007 hanya mengenal istilah Direksi. Direksi dapat terdiri dari beberapa orang Direktur atau bisa juga hanya terdiri dari 1 (satu) orang. KLINIK TERKAIT Masa Jabatan Direksi dan Dewan Komisaris PT 27 Apr 2023 Hukumnya Jika Komisaris Ikut Campur Pengurusan PT 05 Apr 2023 Wajibkah Pengusaha Mengurus RPTKA Jika TKA Tidak Bekerja di Indonesia? 30 Jul 2018 Aturan Besaran Gaji dan THR Direksi 06 Feb 2018 Berdasarkan UU 40/2007 , pengangkatan Direksi dan Dewan Komisaris dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“ RUPS ”). Klasifikasi mengenai ketentuan bagi seseorang yang menjabat sebagai Direksi diatur dalam Pasal 93 UU 40/2007 yaitu: “ Yang dapat diangkat menjadi anggota Direksi adalah orang perseroan yang cakap melakukan perbuatan hukum , kecuali dalam waktu 5 (lima) tahun sebelum pengangkatan sebelum pengangkatan pernah: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Dinyatakan pailit; b. Menjadi anggota Direksi atau anggota Dewan Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit; atau c. Pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan .” Ketentuan tersebut juga berlaku bagi pemilihan Dewan Komisaris yang diatur pada Pasal 110 UU 40/2007 . Berdasarkan ketentuan tersebut, tidak ada kewajiban bagi setiap Pemegang Saham suatu Perseroan untuk menduduki jabatan-jabatan Dewan Komisaris atau Direksi. Pergantian Pemegang Saham pada sebuah perseroan seringkali membuahkan hasil terjadinya perubahan manajemen sebuah perseroan. Hal ini disebabkan tugas dan wewenang yang diberikan menurut UU 40/2007 berbeda antara Dewan Komisaris dengan Direksi. Menurut UU 40/2007 , tugas dan wewenang Direksi adalah melakukan kepengurusan perusahaan sesuai dengan tujuan perusahaan ( day to day business), sedangkan tugas dan wewenang Komisaris adalah melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan jalannya pengurusan Perseroan baik usaha Perseroan pada umumnya, dan memberi nasihat kepada Direksi. Didasari dari ketentuan tersebut di atas, Pemegang Saham Mayoritas biasanya menginginkan untuk terjun langsung, atau setidaknya menempatkan orang kepercayaannya, dalam menjalankan Perusahaan, dan jabatan Direksi yang dapat memenuhi keinginan tersebut sebagaimana yang diberikan oleh Undang-Undang. Maka, melalui mekanisme RUPS kemudian ditentukan susunan Direksi. Sedangkan terkait pemberhentian Direksi, pengaturan mengenai pemberhentian tersebut harus mengikuti UU 40/2007 dan Anggaran Dasar dari Perseroan tersebut. Berbeda dengan karyawan, terkait pemutusan hubungan kerjanya wajib mengikuti UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003 ”) yang memiliki pesangon dan penghargaan kerja. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1 ayat (5) UU 13/20 yang memberikan penjelasan tentang pengertian Pengusaha, yaitu sebagai berikut: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri ; b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya ; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Sedangkan , berdasarkan UU 40/2007 yang menjalankan Perusahaan adalah Direksi. Sebagaimana penjelasan di atas, Direksi bertugas untuk melakukan kepengurusan perusahaan. Adapun terkait Hubungan Kerja yang diatur pada UU 13/2003 adalah hubungan antara Pengusaha dengan karyawan. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian di atas, Direksi tidak memiliki kesamaan pengaturan dengan pengaturan karyawan. Hal ini dikarenakan tugas dan wewenang seorang Direksi yang bertindak sebagai Pengusaha, sehingga dirinya disamakan dengan Perusahaan. Sehingga Direksi dalam pengaturan pengupahannya tidak dapat disamakan dengan karyawan yang mengacu kepada UU 13/2003. Berdasarkan UU 40/2007 tidak ada pengaturan khusus mengenai kewajiban memberikan pesangon terhadap Direksi yang diberhentikan dari jabatannya, hal itu biasanya menjadi pengaturan intern pada sebuah perusahaan yang diatur dalam anggaran dasar sebuah perseroan atau diberikan berdasarkan persetujuan RUPS. Oleh karena itu , tidak ada kewajiban bagi Perusahaan untuk memberikan pesangon terhadap Direksi sebagaimana pesangon yang wajib diberikan perusahaan terhadap karyawan. Karyawan yang diangkat menjadi Direksi Adapun isu lain yang perlu digarisbawahi, yaitu seringkali seorang anggota Direksi diangkat dari karyawan teladan yang memiliki prestasi baik. Namun , seringkali terlupakan bahwa karyawan tersebut sebelum menjadi Direksi terikat akan perjanjian kerja dengan perusahaan. Di sinilah seringkali terjadi permasalahan, yaitu pada saat tidak dilakukannya pengakhiran perjanjian kerja antara perusahaan dengan karyawan tersebut, sebelum diangkat menjadi Direksi perusahaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah adanya pengakhiran hubungan kerja terlebih dahulu terhadap mantan karyawannya tersebut. Sehingga pada saat pemberhentian Direksi dengan skema di atas, maka statusnya kembali menjadi karyawan dan masa kerjanya sebagai karyawan tetap berlanjut. Apabila hendak diberhentikan dari status karyawannya, maka harus mengikuti prosedur dalam UU No. 13/2013. Untuk menghindari komplikasi permasalahan hukum, dapat dibuat kesepakatan antara perusahaan dengan karyawan yang juga mantan direksi tersebut, mengenai kompensasi sehubungan dengan pengakhiran hubungan kerja. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; dan 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas . uu perseroan terbatas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa benar ojek online seperti GO-JEK itu dilarang beroperasi karena bertentangan dengan UU lalu lintas? Sebenarnya bagaimana syarat perusahaan angkutan umum yang sesuai prosedur itu? Apakah perusahaan transportasi berbasis online itu perlu izin khusus sebagai perusahaan angkutan umum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari Apakah perusahaan penyedia jasa ojek online itu wajib memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum atau tidak, itu bergantung pada model bisnis yang dijalankannya. Perusahaan seperti GO-JEK misalnya, ia menyatakan dalam situsnya bahwa perusahaannya adalah perusahaan teknologi, yakni menggunakan teknologi aplikasi sebagai salah satu cara transaksi dalam rangka memberikan kemudahan akses bagi konsumen dalam memesan ojek. Oleh karenanya, ia tidak diwajibkan untuk memiliki izin usaha transportasi/angkutan umum yang disupportnya. Jadi, sebagai pelaku usaha penghubung, perusahaan teknologi seperti GO-JEK sebetulnya tidak wajib memiliki izin usaha seperti perusahaan angkutan umum. Menurut hemat kami, jika perusahaan itu menghendaki sebagai perusahaan angkutan umum, maka ia wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU LLAJ dan PP Angkutan Jalan sebagaimana diwajibkan pemerintah. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Larangan Bagi Taksi dan Ojek Online Beroperasi Memang sempat diberitakan soal adanya larangan bagi taksi dan ojek online beroperasi oleh Menteri Perhubungan seperti yang tertuang dalam Surat Nomor UM.302/1/21/Phb/2015. Surat ini ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan , tertanggal 9 November 2015. Selain ditujukan kepada Kepolisian RI, surat ini juga ditembuskan kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Kemanaan Republik Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekon o mian, serta Gubernur, Kapolda, Korlantas, Dirjen Perhubungan Darat dan Ketua Umum DPP Organda. Akan tetapi kemudian Ignasius Jonan membatalkan surat tersebut dan menyatakan bahwa jasa transportasi online dan layanan sejenisnya dipersilakan untuk beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak. KLINIK TERKAIT Bolehkah Perusahaan Ojek Online Mengubah Tarif Sepihak Tanpa Melibatkan Driver? 30 Nov 2015 Status Hubungan Pengojek dan Perusahaan Aplikasi Layanan Ojek 15 Agt 2015 Namun, jika dicermati dari isi surat ini, sebenarnya surat tersebut berisikan pemberitahuan kepada instansi-instansi yang kami sebutkan di atas bahwa taksi maupun ojek online dinilai tidak memenuhi ketentuan sebagai angkutan umum karena tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan (“PP 74/2014”). Oleh karenanya, Menteri Perhubungan meminta segenap instansi terkait tersebut untuk mengambil langkah-langkah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, sifatnya adalah pemberitahuan dan imbauan . Dalam artikel Jonan: Kemenhub Tak Bermaksud Melarang Ojek Online yang kami akses dari laman portal berita Suara.com , Jonan menegaskan Kementerian Perhubungan hanya mengeluarkan surat imbauan, bukan larangan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Perusahaan Penyedia Aplikasi Jasa Ojek Berbasis Online/Teknologi Perusahaan penyedia aplikasi jasa ojek berbasis online ini menggunakan teknologi aplikasi sebagai salah satu cara transaksi dalam rangka memberikan kemudahan akses bagi konsumen. Pertanyaannya adalah, apakah perusahaan teknologi aplikasi seperti ojek online itu harus memiliki izin khusus untuk industri yang disupportnya, seperti izin perusahaan angkutan? Advokat Bimo Prasetio d alam sebuah tulisan Peran Pemerintah dalam Mengatur Bisnis Jasa Berbasis Teknologi Aplikasi yang di m uat d i laman strategihukum.net yang di a kelola , berpendapat, model bisnis dan regulasi dalam satu industri yang akan menentukan apakahperusahaan teknologi aplikasi seperti ojek online itu harus memiliki izin khusus dari instansi terkait industri yang disupportnya atau tidak. Bimo menjelaskan prinsipnya dalam praktiknya, skema jual beli yang terjadi melalui teknologi aplikasi dibagi menjadi 2 (dua) jalur: Transaksi Langsung, Konsumen langsung memesan Barang dan Jasa kepada Pelaku Usaha Penyedia melalui teknologi aplikasi, dan barang dan jasa disediakan langsung dari Penyedia. Contoh: Pemesanan tiket film bioskop melalui aplikasi Cineplex 21 ke Cineplex 21, Pemesanan Pizza melalui aplikasi Domino’s Pizza ke Domino’s Pizza. Transaksi melalui Penghubung, Konsumen memesan Barang dan Jasa kepada Pelaku Usaha yang menyediakan jasa penghubung, kemudian Pelaku Usaha tersebut melakukan pemesanan kepada Pelaku Usaha Penyedia yang cocok dengan pesanan Konsumen. Selanjutnya, Penyedia barang dan jasa yang akan menyerahkan barang dan jasa kepada Konsumen yang melakukan pemesanan di awal. Contoh: Pemesanan taksi Express yang bekerjasama dengan perusahaan Grabtaxi melalui aplikasi Grabtaxi, Pemesanan Baju merek Mango melalui aplikasi Zalora yang melakukan usaha retail Baju merek Mango. Sementara, pelaku usaha penghubung seperti Go-Jek menyatakan dalam situs Go-Jek (Terms of Use Pasal 1.5) dan dalam artikel Gojek Bukan Perusahaan Transportasi Umum bahwa mereka adalah “ Perusahaan Teknologi ” yang tidak diwajibkan untuk memiliki izin usaha transportasi yang mereka hubungkan . Bimo juga menjelaskan bahwa selaku pelaku usaha penghubung, operator teknologi aplikasi tidak perlu memiliki izin untuk memperdagangkan barang dan jasa yang ia hubungkan melalui teknologi aplikasi. Hal ini mengingat tanggung jawab atas perdagangan barang dan jasa tersebut ada pada produsen barang dan jasa. Sebagai ilustrasi, Agoda tidak perlu memiliki izin usaha perhotelan, namun hotel yang dipesan melalui Agoda, harus memiliki izin usaha perhotelan. Menjawab pertanyaan Anda, jika memang perusahaan yang menyediakan aplikasi jasa ojek online sebagai pelaku usaha penghubung seperti Go-Jek ini adalah perusahaan teknologi, maka sebetulnya ia tidak wajib memiliki izin usaha seperti perusahaan angkutan umum. Perusahaan Angkutan Umum Sebaliknya , jika perusahaan penyedia aplikasi itu menghendaki menjad i perusahaan angkutan umum, maka ia wajib memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU LLAJ dan PP Angkutan Jalan sebagaimana diwajibkan pemerintah. Apa syarat-syaratnya? Terlebih dahulu, kita ketahui arti perusahaan angkutan umum sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 21 UU LLAJ dan Pasal 1 angka 13 PP 74/2014: Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa Angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. Syarat utama adalah berbadan hukum. Sebagai perusahaan angkutan umum, maka Perusahaan Angkutan Umum yang menyelenggarakan angkutan orang dan/atau barang wajib memiliki: [1] izin penyelenggaraan angkutan orang dalam trayek; izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek; dan/ atau izin penyelenggaraan angkutan barang khusus atau alat berat Berikut ketentuan-ketentuan yang wajib dipatuhi perusahaan angkutan umum atau penyedia jasa angkutan umum, antara lain: 1. Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan, usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [2] 2. Perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliput keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan dan keteraturan, yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan . [3] 3. Tanda nomor kendaraan bermotor umum adalah dasar kuning, tulisan hitam. [4] 4. Kendaraan yang dipergunakan untuk pelayanan Angkutan orang baik dalam Trayek maupun tidak dalam trayek adalah menggunakan Mobil Penumpang Umum & Mobil Bus Umum [5] Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ; 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan ; 5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor. REFERENSI:\n1. http://www.suara.com/news/2015/12/18/121801/jonan-kemenhub-tak-bermaksud-melarang-ojek-online , diakses pada 18 Desember 2015 pukul 14.32 WIB http://strategihukum.net/peran-pemerintah-dalam-mengatur-bisnis-jasa-berbasis-teknologi-aplikasi , diakses pada 18 Desember 2015 pukul 14.50 WIB http://www.cnnindonesia.com/teknologi/20150806160153-185-70505/gojek-bukan-perusahaan-transportasi-umum/ , diakses pada 18 Desember 2015 pukul 15.12 WIB http://www.go-jek.com/ , diakses pada 18 Desember 2015 pukul 15.13 WIB [1] Pasal 173 ayat (1) UU LLAJ [2] Pasal 139 ayat (4) UU LLAJ [3] Pasal 141 ayat (1) UU LLAJ [4] Pasal Pasal 39 ayat (3) huruf b Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 5 Tahun 2012 (“Perkapolri 5/2012”) [5] Pasal 23 ayat (3) Pasal 43 (2) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan (“PP 74/2014”) ojek online hukumonline grabbike gojek ignasius jonan uber hukum grabcar"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yth Hukumonline, Saya bekerja di sebuah CV di Kabupaten Bandung. Jumlah karyawan di sana kurang dari 100 orang. Apakah CV tersebut diwajibkan untuk mengikuti peraturan upah minimum tahun 2013? Dan apakah CV tersebut harus mengikuti peraturan perhitungan uang lembur yang berlaku? Terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya jumlah karyawan tidak berpengaruh pada ada atau tidaknya kewajiban suatu perusahaan untuk mengikuti peraturan upah minimum 2013 dan peraturan mengenai uang lembur yang berlaku. Mengenai upah minimum dan upah lembur dapat dilihat dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) dan peraturan pelaksananya. Dalam Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan , dikatakan bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. KLINIK TERKAIT Ketentuan Upah Minimum Terhadap Usaha Kecil 22 Feb 2024 Upah di Bawah Standar Minimum, Ini Langkah Hukumnya 06 Sep 2023 Mana yang Jadi Acuan, UMP atau UMK? 24 Jan 2023 Apakah Besarnya Take Home Pay Setara Upah Minimum? 15 Mar 2021 Yang dimaksud dengan pengusaha menurut Pasal 1 angka 5 UU Ketenagakerjaan , yaitu: a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan yaitu (lihat Pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan ): a. setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain; b. usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Melihat pada ketentuan di atas, maka CV ( Commanditaire Vennootschap ) atau Persekutuan Komanditer sebagai salah satu bentuk badan usaha juga harus memenuhi ketentuan upah minimum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini berlaku juga dalam hal upah lembur. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 78 ayat (2) UU Ketenagakerjaan , pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, wajib membayar upah kerja lembur. Akan tetapi perlu Anda ketahui bahwa mengenai ketentuan upah minimum, dapat dilakukan penangguhan apabila pengusaha tidak mampu membayar upah minimum ( Pasal 90 ayat (2) UU Ketenagakerjaan ). Mengenai tata cara penangguhan ini dapat dilihat dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. PER-01/MEN/I/2006 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ; 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-231/MEN/2003 Tahun 2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum; 3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. PER-01/MEN/I/2006 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi No. KEP-231/MEN/2003 Tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum. upah minimum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Perusahaan (PT) boleh menyertakan lawyer dalam mediasi tripartit antara perusahaan-karyawan-Disnaker?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Bapak /Ibu Yth . , Sebelumnya terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Pertama , perlu kami sampaikan bahwa ketentuan mengenai mediasi/tripartit di Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi mengacu pada ketentuan yang sudah diatur di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”) Pasal 4 , Pasal 8 s/d Pasal 16 . Kedua , secara lebih teknis ketentuan mengenai tata cara mediasi diatur di dalam Keputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor : Kep. 92/MEN/VI/2004 t entang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi (“KEPMEN No. 92 Tahun 2004”). KLINIK TERKAIT Wajibkah Perusahaan Menyediakan Kantor Serikat Pekerja/Serikat Buruh? 30 Apr 2024 Syarat dan Prosedur Pembentukan Serikat Pekerja/Serikat Buruh 15 Feb 2024 Gaji Tidak Tepat Waktu 29 Apr 2016 Jika Anggota Serikat Pekerja Kurang Dari 10 Orang 02 Agt 2012 Di dalam UU PPHI maupun KEPMEN No. 92 Tahun 2004 tersebut tidak diatur larangan mengenai hak menggunakan jasa hukum dari lawyer atau advokat. Di samping itu, di dalam Pasal 14 ayat (2) KEPMEN No. 92 Tahun 2004 secara eksplisit disebutkan bahwa para pihak baik pengusaha maupun pekerja dapat menggunakan jasa kuasa hukum. Kuasa Hukum dalam pengertian undang-undang adalah advokat/lawyer. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan tersebut maka baik pekerja maupun pengusaha ketika bermediasi mempunyai hak yang sama untuk didampingi atau diwakili oleh seorang advokat atau lebih. Namun demikian dalam perkara perselisihan hubungan industrial, bagi pekerja yang menjadi anggota dari serikat pekerja, dapat didampingi atau diwakili oleh pengurus serikat pekerjanya sebagaimana ketentuan Pasal 25 ayat (1) huruf c UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (“UU SP”). Pasal 14 ayat (2) KEPMEN No. 92 Tahun 2004 : Dalam hal salah satu pihak atau para pihak meng g unakan jasa kuasa hukum dalam sidang mediasi , maka pihak yang menggunakan jasa hukum tersebut harus tetap hadir . Pasal 25 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2000: Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak: a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial; c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan ; d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya , menurut kami , dengan mendasarkan pada pertanyaan Bapak/Ibu di atas, maka tidak ada larangan atau dengan kata lain baik pengusaha, dalam hal ini PT, maupun pekerja diperbolehkan menggunakan haknya untuk didampingi/diwakili oleh seorang lawyer /advokat atau lebih. Namun, demikian kehadiran lawyer tersebut sebagai kuasa hukum harus sah yaitu dengan menunjukkan surat kuasa dari PT yang bersangkutan dan menunjukkan identitasnya sebagai seorang lawyer /advokat . Apabila lawyer /advokat tersebut tidak bisa menunjukkan surat kuasa dan indentitasnya, maka pekerja dapat menyatakan keberatan/menolak kehadiran lawyer /advokat tersebut di ruang sidang kepada mediator yang menangani perselisihan tersebut. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Demikian semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial 3. Keputusan Menteri Tenaga dan Transmigrasi Nomor : Kep. 92/MEN/VI/2004 t entang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Serta Tata Kerja Mediasi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Untuk transaksi di Indonesia, disebutkan harus memakai rupiah. Meski perjanjian dengan mata uang asing, namun eksekusi pembayaran harus memakai rupiah. Perusahaan kami memiliki izin dari Kantor Kementerian Keuangan untuk menggunakan pembukuan memakai mata uang USD. Apakah kami harus menghentikan pembukuan dengan USD tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sejak berlakunya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”) , memang setiap transaksi pembayaran maupun transaksi keuangan apapun yang dilakukan di Wilayah Republik Indonesia diwajibkan untuk menggunakan Rupiah. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang . KLINIK TERKAIT Sewa Apartemen Bertarif Dolar, Haruskah Bayar Pakai Rupiah? 01 Agt 2023 Cara Menghitung Pajak Penjual dan Pembeli dalam Jual Beli Tanah 16 Agt 2018 Aturan Pembayaran Gaji Pekerja Asing yang Direkrut di Luar Negeri 18 Jul 2011 Transaksi Keuangan Perusahaan PMA 15 Sep 2010 Setahu kami, UU Mata Uang tidak mengatur soal apakah terhadap pembukuan perusahaan juga harus dilakukan juga dalam mata uang Rupiah. Di dalam UU Mata Uang juga tidak ada larangan bagi perusahaan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang asing. Seperti kita ketahui, dasar hukum penyelenggaraan pembukuan dengan bahasa asing dan mata uang asing adalah Keputusan Menteri Keuangan No. 196/PMK.03/2007 Tahun 2007 (“KMK 196”) . Dalam Pasal 2 KMK 196 disebutkan bahwa Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat. Kemudian, di dalam Pasal 3 huruf g angka 1 butir a KMK 196 disebutkan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “ Dalam tahun berjalan untuk transaksi yang dilakukan dengan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, pembukuannya dicatat sesuai dengan dokumen transaksi yang bersangkutan . Dari bunyi ketentuan Pasal 3 huruf g angka 1 butir a KMK 196 kiranya jelas bahwa pembukuan merupakan kegiatan pencatatan transaksi yang dilakukan oleh perusahaan. Pembukuan merupakan hal yang berbeda dengan transaksi pembayaran. Dengan demikian, menurut hemat kami, perusahaan Anda tetap dapat menyelenggarakan pembukuan dengan mata uang asing (USD) sesuai izin yang telah diberikan oleh Kementerian Keuangan. Sedangkan dalam transaksi pembayarannya, sejak diberlakukannnya UU Mata Uang ini (sejak 28 Juni 2011) maka segala transaksi yang dilakukan perusahaan Anda di wilayah Republik Indonesia wajib menggunakan mata uang Rupiah. Pelanggaran terhadap kewajiban ini bisa menyebabkan para direksi perusahaan Anda dikenakan pidana kurungan dan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (1) . Begitupula, perusahaan yang melanggar kewajiban tersebut dapat didenda sesuai Pasal 39 ayat (1) UU Mata Uang . Simak pula beberapa artikel terkait berikut sebagai referensi Anda: - Kewajiban Menggunakan Rupiah Harus Dicantumkan dalam Perjanjian? - Terima Gaji Dolar Apa Bisa Dipidana? - Sewa Apartemen Bertarif Dolar Harus Bayar Pakai Rupiah? - Transaksi Penjualan Saham Harus dalam Rupiah? - Penerapan UU Mata Uang dalam Transaksi Jasa Pelabuhan Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang 2. Keputusan Menteri Keuangan No. 196/PMK.03/2007 Tahun 2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Pada Pasal 26 Perpres 63/2019 disebutkan bahwa perjanjian yang melibatkan pihak asing menggunakan bahasa asing dan/atau bahasa Inggris sebagai terjemahan bahasa Indonesia. Yang ingin saya tanyakan, pihak asing yang dimaksud apakah pihak asing yang ada di Indonesia (berbadan hukum Indonesia) atau pihak asing di luar negeri?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Kewajiban Penggunaan Bahasa Indonesia Pasal 31 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) memang mewajibkan bahasa Indonesia digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah, lembaga swasta Indonesia, atau perseorangan warga negara Indonesia. Jika nota kesepahaman atau perjanjian itu melibatkan pihak asing, ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris . Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia (“Perpres 63/2019”) sebagai pelaksanaan amanat dari Pasal 40 UU 24/2009 . Lebih lanjut, Pasal 26 Perpres 63/2019 menegaskan kembali kewajiban penggunaan bahasa Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas. Dalam hal bahasa nasional pihak asing dan/atau bahasa Inggris digunakan pada nota kesepahaman atau perjanjian, bahasa itu digunakan sebagai padanan atau terjemahan bahasa Indonesia untuk menyamakan pemahaman nota kesepahaman atau perjanjian dengan pihak asing. Namun apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap padanan atau terjemahan, bahasa yang digunakan ialah bahasa yang disepakati dalam nota kesepahaman atau perjanjian . [1] Ketentuan yang mengembalikan penafsiran pada kesepakatan para pihak tersebut, menurut Priskila P. Penastika dalam artikel Akhirnya Terbit Juga! Perpres Tentang Penggunaan Bahasa Indonesia , telah sesuai dengan penerapan asas kebebasan berkontrak. Oleh karena itu, Priskila menyatakan untuk selanjutnya perlu dinyatakan secara tegas bahasa yang disepakati dalam perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing. Di sisi lain, dikutip dari Perpres Penggunaan Bahasa Indonesia Dinilai Hambat Investasi , kendati Perpres 63/2019 mewajibkan pembuatan kontrak dalam bahasa Indonesia lebih dahulu, kemudian dipadankan dalam bahasa asing, tidak ada satupun sanksi tegas yang diatur terkait pelanggaran akan kewajiban itu. Kepala Seksi Penyiapan Konsepsi Rancangan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Hendra Kurnia Putra pun menyatakan pelaku usaha yang tidak menaati ketentuan jelas melanggar, namun memang tidak ada sanksi yang bisa dikenakan. Walaupun demikian, saat ini pemerintah sedang mempersiapkan muatan aturan di tingkat peraturan menteri untuk mengatur mekanisme pengawasan terhadap implementasi Perpres 63/2019. Penanaman Modal Asing (PMA) Terkait pertanyaan Anda, sepanjang penelusuran kami, pihak asing dalam UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 memang tidak dijelaskan secara spesifik. Menurut hemat kami, perusahaan yang berkedudukan, didirikan, dan disahkan pendiriannya bukan dengan hukum di Indonesia jelas termasuk kategori ‘pihak asing’ ini. Yang mungkin menimbulkan perdebatan adalah status perusahaan penanaman modal asing (“PMA”) di Indonesia. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan lebih dulu kedudukan perusahaan PMA menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UU 25/2007”) . PMA sendiri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing , baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. [2] Sedangkan penanam modal asing yaitu perseorangan warga negara asing, badan usaha asing , dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. [3] Lebih lanjut, PMA wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. [4] Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas, dilakukan dengan: [5] mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas; membeli saham; dan melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengesahan pendirian badan usaha PMA yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan . [6] Kebangsaan Perusahaan PMA Terkait status perusahaan PMA, mengutip M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas , dikenal teori “Hukum yang Dijadikan Dasar Pendirian”. Dalam teori ini, patokan menentukan kebangsaan perseroan digantungkan pada hukum atau undang-undang yang dijadikan dasar pendirian perseroan. Sehingga, sistem hukum atau undang-undang negara mana yang dijadikan dasar “pendirian” dan “pengesahan” perseroan dianggap mengikuti kebangsaan negara tersebut (hal. 111 - 112). Jadi masih dari buku yang sama, kalau suatu perseroan didirikan dan disahkan berdasarkan sistem hukum Indonesia, maka nasionalitas atau kebangsaan perseroan itu adalah Indonesia. Terhadapnya hukum yang diterapkan adalah hukum Indonesia. Tidak menjadi soal apakah semua atau sebagian anggota direksinya terdiri dari orang asing, maka perseroan itu memiliki kebangsaan Indonesia apabila didirikan menurut sistem hukum Indonesia (hal. 112). Namun demikian, Hendra Kurnia Putra dalam notulensi diskusi Implikasi Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial yang diselenggarakan oleh Hukumonline pada 19 November 2019 menjelaskan bahwa PMA termasuk ‘ salah satu pihaknya adalah asing’ , dengan partnernya adalah WNI atau badan hukum Indonesia. Jadi, nota kesepahaman atau perjanjian dengan menggunakan bahasa Indonesia menurut asas normatifnya dalam UU dan Perpres itu wajib dibuat. Kalau nanti para pihak ingin menggunakan bahasa asing sebagai padanan, itu memang dianjurkan oleh undang-undang . Hendra juga memperluas makna dari pihak asing. PMA itu mayoritasnya asing, tidak semua kepemilikannya WNI, pasti tetap harus menggunakan bahasa Indonesia dan dipadankan dengan bahasa asing sesuai dengan kesepakatan para pihak . Jadi, menurut hemat kami, pihak asing pada UU 24/2009 dan Perpres 63/2019 tidak hanya dimaknai sebagai badan usaha asing yang berkedudukan, didirikan, dan disahkan pendiriannya bukan dengan hukum di Indonesia , melainkan juga meliputi perusahaan PMA . Hal serupa juga dikemukakan oleh Hikmahanto Juwana dalam notulensi yang sama. PMA adalah pihak asing namun tetap berkedudukan sebagai badan hukum Indonesia . Akibatnya, PMA tetap harus tunduk pada UU 24/2009, apalagi kalau membuat perjanjian. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia Referensi: M. Yahya Harahap. Hukum Perseroan Terbatas . Jakarta: Sinar Grafika. 2016; Implikasi Peraturan Presiden tentang Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Perjanjian Privat Komersial . Notulensi Diskusi Hukumonline, 19 November 2019. [1] Pasal 26 ayat (3) dan (4) Perpres 63/2019 [2] Pasal 1 angka 3 UU 25/2007 [3] Pasal 1 angka 6 UU 25/2007 [4] Pasal 5 ayat (2) UU 25/2007 [5] Pasal 5 ayat (3) UU 25/2007 [6] Pasal 25 ayat (3) UU 25/2007 penanaman modal asing perjanjian hukumonline pma bahasa indonesia investasi perusahaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Salam Hukumonline, Saya seorang karyawan tetap di salah satu perusahaan swasta dan saya sudah bekerja hampir 10 tahun. Baru-baru ini saya mengalami musibah anak saya sakit dan dirawat sampai sekarangpun masih dirawat dan sudah menghabiskan banyak biaya. Dan sampai saat ini juga tidak ada bantuan/santunan sedikitpun dari pihak perusahaan tempat saya bekerja. Yang saya ingin tanyakan adalah apakah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur untuk masalah saya ini atau tidak? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pada dasarnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”) , setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, wajib menjadi p eserta program Jaminan Sosial. Pemberi Kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti ( Pasal 15 ayat (1) UU BPJS ). KLINIK TERKAIT Karyawan Meninggal Dunia, Apa Saja Hak Ahli Warisnya? 05 Jun 2024 Jaminan Kecelakaan Kerja untuk Pekerja yang Meninggal dalam Perjalanan Pulang 10 Agt 2018 Pembayaran Jaminan dan Santunan Kecelakaan Kerja 31 Jan 2018 Besar Santunan Jika Jari Hilang karena Kecelakaan Kerja 24 Jan 2018 Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dikenai sanksi administratif ( Pasal 17 ayat (1) UU BPJS ). Sanksi administratif dapat berupa ( Pasal 17 ayat (2) UU BPJS ): a. teguran tertulis; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu. Pengenaan sanksi berupa teguran tertulis dan denda dilakukan oleh BPJS ( Pasal 17 ayat (3) UU BPJS ). Selain itu, pemberi kerja juga mempunyai kewajiban untuk memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS dan wajib membayar serta menyetor iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS ( Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU BPJS ). Pemberi kerja yang tidak mematuhi ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU BPJS dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ( Pasal 55 UU BPJS ). Perlu Anda ketahui bahwa yang termasuk jam inan sosial adalah: (lihat Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional – “UU SJSN” ): a. jaminan kesehatan; b. jaminan kecelakaan kerja; c. jaminan hari tua; d. jaminan pensiun; dan e. jaminan kematian Masalah yang Anda alami termasuk dalam lingkup jaminan kesehatan. Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah ( Pasal 20 ayat (1) UU SJSN ). Anggota keluarga peserta berhak menerima manfaat jaminan kesehatan ( Pasal 20 ayat (2) UU SJSN ). Yang termasuk sebagai anggota keluarga adalah istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang ( Penjelasan Pasal 20 ayat (2) UU SJSN ). Manfaat jaminan kesehatan bersifat pelayanan perseorangan berupa pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan ( Pasal 22 ayat (1) UU SJSN ). Manfaat jaminan kesehatan tersebut diberikan pada fasilitas kesehatan milik Pemerintah atau swasta yang menjalin kerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( Pasal 23 ayat (1) UU SJSN ). Akan tetapi, dalam keadaan darurat, pelayanan kesehatan tersebut dapat diberikan pada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin kerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( Pasal 23 ayat (2) UU SJSN ). Melihat pada ketentuan di atas, ini berarti tidak ada kewajiban perusahaan untuk memberikan uang kepada Anda atas pengobatan anak Anda. Yang menjadi kewajiban perusahaan adalah membayarkan iuran yang menjadi tanggung jawab pekerja dan perusahaan. Sedangkan pengobatan anak Anda termasuk ke dalam jaminan kesehatan yang Anda dapatkan sebagai peserta jam inan sosial . Namun begitu kami menyarakan Anda untuk melihat kembali ketentuan yang berlaku di perusahaan. Baik itu yang tertuang di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, maupun perjanjian kerja bersama. Jika memang ada ketentuan yang menyatakan perusahaan akan memberikan santunan atau bantuan, silakan menagih apa yang sudah menjadi hak Anda. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ; 2. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial . bpjs hukum hukumonline jaminan kesehatan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah suatu perusahaan yang sudah mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut dan karyawan perusahaan tersebut tidak naik gaji selama 2 kali dalam 3 tahun dapat dipailitkan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, harus kita lihat terlebih dahulu apa persyaratan suatu perusahaan dapat dimohonkan pailit. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang , permohonan pailit dapat diajukan terhadap seseorang atau suatu badan jika: KLINIK TERKAIT Aturan Kenaikan Gaji Karyawan Menurut UU Cipta Kerja 28 Agt 2023 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya 05 Agt 2022 Langkah Hukum Jika Karyawan Tak Diberi Gaji dan Jamsos yang Sesuai 23 Des 2020 Perusahaan Tidak Bayar Upah, Gugat ke PHI atau Pengadilan Niaga? 31 Jan 2013 1. Seseorang atau badan tersebut memiliki dua atau lebih kreditur. Yang dimaksud dengan kreditur sendiri adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka pengadilan; 2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa memang ada dua atau lebih kreditur serta ada utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Mengenai utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. , dalam bukunya yang berjudul Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan (hal. 57-58), mengatakan bahwa suatu utang dapat saja telah dapat ditagih tetapi belum jatuh waktu. Pada perjanjian-perjanjian kredit perbankan, kedua hal tersebut jelas dibedakan. Utang yang telah jatuh waktu adalah utang yang dengan lampaunya waktu penjadwalan yang ditentukan di dalam perjanjian kredit itu, menjadi jatuh waktu dank arena itu pula kreditur berhak untuk menagihnya. Jadi dalam dunia perbankan, tidak harus suatu kredit bank dinyatakan due atau expired pada tanggal akhir perjanjian kredit sampai, cukup apabila tanggal-tanggal jadwal angsuran kredit telah sampai. Lebih lanjut, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H. mengatakan dapat terjadi bahwa sekalipun belum jatuh waktu, tetapi utang itu telah dapat ditagih karena terjadi salah satu dari peristiwa-peristiwa yang disebut events of default . Events of default adalah klausul yang memberikan hak kepada bank untuk menyatakan nasabah debitur cidera janji apabila salah satu peristiwa ( event ) yang tercantum dalam events of default itu terjadi. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada perbedaan pengertian antara “ utang yang telah jatuh waktu ” dan “ utang yang telah dapat ditagih ”. “Utang yang telah jatuh waktu” dengan sendirinya menjadi “utang yang telah dapat ditagih”, namun “utang yang telah dapat ditagih” belum tentu merupakan “utang yang telah jatuh waktu”. Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan , yang dimaksud dengan \" utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih \" adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbitrase. Kami kurang mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai “ perusahaan yang sudah mengalami kerugian 2 tahun berturut-turut dan karyawan perusahaan tersebut tidak naik gaji selama 2 kali dalam 3 tahun ”. Jika hanya sebatas perusahaan tersebut mengalami kerugian dan tidak memberikan kenaikan gaji pada karyawannya, maka perusahaan tidak dapat dipailitkan karena tidak terpenuhinya syarat untuk permohonan pailit. Lain halnya jika kerugian perusahaan tersebut berakibat pada perusahaan memiliki dua utang atau lebih pada pihak lain, yang mana salah satu utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Jika demikian, maka perusahaan dapat dimohonkan untuk dipailitkan. Atau dalam hal perusahaan tidak membayar gaji karyawan-karyawannya, perusahaan tersebut juga dapat dipailitkan, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Bagaimana Kedudukan Utang Gaji Karyawan Jika Perusahaan Pailit? . Jadi, yang menjadi dasar perusahaan tersebut dapat dipailitkan atau tidak, bukanlah apakah perusahaan tersebut mengalami kerugian terus-menerus atau tidak adanya kenaikan gaji bagi karyawannya. Akan tetapi, yang menentukan perusahaan tersebut dapat dipailitkan atau tidak adalah apakah syarat kepailitan (yang telah disebutkan di atas) terpenuhi atau tidak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Referensi : Sjahdeini, Sutan Remy. 2009. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Pustaka Utama Grafiti."
} |
{
"from": "human",
"value": "Seseorang mencabut berkas tentang perzinaan. Kemudian mereka bercerai. Selang seminggu setelah bercerai, mantan suami tersebut mengajukan berkasnya lagi. Apakah bisa diproses?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Berdasarkan pertanyaan Anda, kami menyimpulkan bahwa permasalahan hukum yang Anda alami terbagi menjadi 2 lingkup permasalahan, yaitu hukum perdata dan hukum pidana . Permasalahan h ukum perdata terkait dengan proses perceraian yang sudah diputus oleh pengadilan dan permasalahan hukum pidana terkait dengan adanya dugaan tindak pidana perzinaan . Delik Aduan Untuk menjawab pertanyaan Anda mengenai dugaan tindak pidana zina, kami merujuk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Perzinaan merupakan salah satu tindak pidana yang termasuk dalam jenis delik aduan. Menurut penjelasan R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , delik aduan terbagi menjadi 2 jenis, yaitu (hal. 88): Delik aduan absolut , yang artinya delik ini bisa diproses apabila ada pengaduan atau laporan dari korban tindak pidana, seperti pada Pasal 284, 287, 293, 310, 332, dan Pasal 369 KUHP . Yang diadukan adalah peristiwanya, maka semua orang yang bersangkutan (melakukan, membujuk, dan membantu) akan dituntut; Delik aduan relatif . Delik ini biasanya bukanlah delik aduan, namun apabila dilakukan oleh anggota keluarga, maka menjadi delik aduan, seperti pada Pasal 367, 370, 376, 394, 404, dan Pasal 411 KUHP . Delik aduan relatif bukan menuntut pada peristiwanya, melainkan menuntut orang-orang yang bersalah dalam peristiwa ini. Akibat yang ditimbulkan dari adanya delik aduan, yakni pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia. [1] Berdasarkan Pasal 75 KUHP , orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik kembali aduannya dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. Penjelasan mengenai pencabutan pengaduan secara lengkap dan jelasnya, dapat Anda lihat dalam artikel Apakah Setelah Pengaduan Dicabut, Proses Hukum akan Diberhentikan? . Pengaduan Zina yang Telah Dicabut dan Diajukan Kembali Sebelum menjelaskan lebih lanjut tentang permasalahan yang Anda alami, kami akan menguraikan tindak pidana perzinaan yang tercantum dalam Pasal 284 KUHP yang berbunyi: Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan: a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; b. Seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya; a. Seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin; b. Seorang wanita yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya; Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan ranjang karena alasan itu juga. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku Pasal 72,73, dan 75. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai . Jika bagi suami istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. Hal terpenting yang perlu diketahui, yakni delik aduan yang sudah pernah diajukan dan dicabut, tidak dapat diajukan kembali, dan apabila pengaduan sudah dicabut, maka akan menghentikan proses hukum yang berjalan . Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, pengaduan perzinaan yang sudah pernah dicabut sebelumnya tidak dapat diajukan kembali. Hal ini ditegaskan pula oleh R. Soesilo dalam buku yang sama, bahwa pengaduan yang telah dicabut, tidak dapat diajukan lagi (hal. 90). Selain itu, delik aduan tentang perzinaan memiliki ketentuan khusus, yakni delik aduan dapat dicabut lebih dari tiga bulan setelah mengajukan pengaduan selama peristiwa tersebut belum mulai diperiksa dalam sidang pengadilan . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang–Undang Hukum Pidana . Referensi : R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1996. [1] Pasal 74 ayat (1) KUHP hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon penjelasan, apakah nilai pidana denda yang tertera pada pasal 351 KUHP: “(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah\", masih berlaku?. Dan, apakah terpidana setelah dinyatakan bersalah melanggar pasal 351 (penganiayaan biasa) bisa bebas setelah membayar pidana denda tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) selengkapnya berbunyi sebagai berikut: KLINIK TERKAIT Mengenal Ragam Hukuman Pidana untuk Anak 30 Apr 2024 Perbedaan Pidana Kurungan dan Penjara dalam KUHP 20 Feb 2024 Jenis-jenis Hukuman Pidana dalam KUHP 24 Jan 2023 Arti Pidana Penjara Seumur Hidup 20 Jan 2023 “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Ancaman pidana berupa denda sebesar Rp 4500,- yang terdapat dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP telah disesuaikan berdasarkan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 2, dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pidana denda yang diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP menjadi paling banyak Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu). Sedangkan, untuk ancaman pidana penjaranya tidak ada penyesuaian sehingga tetap menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam KUHP. Rumusan ketentuan pidana pada Pasal 351 ayat (1) KUHP bersifat alternatif (“ pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah ”). Hal ini berarti jika pengadilan menjatuhkan hukuman denda kepada terdakwa, maka dia tidak menjalani hukuman penjara, dan begitu pula sebaliknya. Kemudian, jika dijatuhkan hukuman denda, dan denda tidak dibayar oleh terpidana, maka berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) KUHP diganti dengan hukuman kurungan. Selanjutnya, di dalam Pasal 30 ayat (6) KUHP disebutkan bahwa pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan. Mengenai apa yang dimaksud pidana kurungan dan perbedaannya dengan pidana penjara silakan simak artikel Perbedaan Pidana Kurungan dengan Pidana Penjara . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP."
} |
{
"from": "human",
"value": "Selamat pagi, Saya ingin menanyakan tentang PP Nomor 82 Tahun 2012. 1. Di dalam PP Nomor 82 Tahun 2012 terdapat istilah Sistem Elektronik dan Agen Elektronik, apakah arti dari kedua pertanyaan tersebut dan tolong berikan contohnya? 2. Selanjutnya, bisakah berikan contoh perusahaan penyelenggara sistem elektronik dan penyelenggara agen elektronik. 3. Apakah PIN ATM merupakan contoh dari Tanda Tangan Elektronik? 4. Lalu siapakah penyelenggara sertifikasi elektronik, siapakah lembaga sertifikasi keandalan dan siapa yang mengelola nama domain? Sekian pertanyaan dari saya. Terima kasih atas perhatian yang telah diberikan. Saya sangat menantikan jawaban dari rekan-rekan yang lain. Salam hormat."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pembaca Hukumonline yang budiman, kami ucapkan terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Uang Hasil Salah Transfer, Haruskah Dikembalikan? 22 Mar 2024 Jerat Hukum Pelaku Cracking Menurut UU PDP dan UU ITE 27 Sep 2022 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Belanja Online 25 Apr 2022 Keabsahan Faksimile Sebagai Alat Bukti 13 Des 2018 Untuk mempermudah pemahaman, kami akan menjelaskan pertanyaan Anda dalam beberapa sub bahasan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apakah yang dimaksud Sistem Elektronik dan Agen Elektronik? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”), Sistem Elektronik diartikan sebagai serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik. Contoh sistem elektronik misalnya sistem informasi kependudukan, sistem informasi keuangan, web site , sistem billing , dll. Sedangkan, agen elektronik diartikan sebagai perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang . Contoh agen elektronik adalah mesin dan sistem ATM, mesin dan sistem Electronic Data Capture (EDC), mesin dan sistem barcode recognition yang kesemuanya menjalankan fungsi otomatisasi dari sebuah sistem elektonik. Siapa Penyelenggara Sistem Elektronik dan Penyelenggara Agen Elektronik? Penyelenggara Sistem Elektronik dibagi menjadi Penyelenggara Sistem Elektronik untuk Pelayanan Publik dan Penyelenggara Sistem Elektronik Non Pelayanan Publik. Contoh Penyelenggara Sistem Elektronik untuk Pelayanan Publik adalah instansi pemerintah yang menyelenggarakan sistem elektronik pelayanan kepada masyarakat (seperti sistem elektronik perpajakan, bea cukai, imigrasi, dll.), institusi perbankan, pendidikan, atau BUMN, yang menyelenggarakan sistem elektronik yang berhubungan dengan pelayanan kepada masyarakat . Sedangkan, contoh Penyelenggara Sistem Elektronik Non Pelayanan Publik adalah perusahaan swasta yang menyelenggarakan sistem elektronik untuk kebutuhan internal perusahaan. Lalu, siapa Penyelenggara Agen Elektronik? PP PSTE tidak menjabarkan siapa penyelenggara agen elektronik, PP PSTE hanya mengatur bahwa Penyelenggara Agen Elektronik harus melakukan pendaftaran kepada Menteri Komunikasi dan Informatika. Contoh Penyelenggara agen elektronik adalah penyelenggara ATM, penyelenggara Electronic Data Capture (EDC), dll. Apakah PIN ATM merupakan contoh Tanda Tangan Elektronik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita lihat kembali definisi tentang tanda tangan elektronik. Berdasarkan Pasal 1 angka 19 PP PSTE yang dimaksud tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi . Memang terdapat pendapat yang menyebut bahwa Personal Identity Number (“PIN”) ATM merupakan tanda tangan elektronik mengingat fungsinya dalam verifikasi. Namun demikian, sebagian besar pendapat lainnya mengatakan bahwa PIN ATM bukan merupakan tanda tangan elektronik karena PIN ATM hanya menjalankan fungsi verifikasi yakni semacam chalenge code . Jumlah karakter dalam PIN ATM (4 atau 6 angka) belum bisa dikategorikan unik dan melekat yang mencerminkan fungsi autentifikasi seseorang . Fungsi autentifikasi harus bisa memastikan bahwa hanya yang orang/pihak yang bersangkutan yang memiliki/menggunakan PIN tersebut. Masih terdapat banyak kemungkinan bahwa PIN ATM seseorang sama dengan PIN orang lainnya. Contoh fungsi autentifikasi yang lebih akurat adalah penggunaan identifikasi biometric ( finger print , retina, dll.), atau penggunaan tanda tangan digital ( Digital Signature ) dalam konteks penggunaan Public Key Infrastructure (PKI). Identifikasi biometrik atau tanda tangan digital dengan disertai metode verifikasi lain (misalnya penggunaan user ID , PIN, token ) oleh pengguna dapat disebut sebagai salah satu contoh tanda tangan elektronik yang lebih tepat. Siapa Penyelenggara Sertifikasi Elektronik? Dalam ketentuan umum PP PSTE belum didefinisikan apa yang dimaksud dengan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik secara umum. Namun, dalam substansi Pasal 60 dan Pasal 61 PP PSTE secara eksplisit Penyelenggara Sertifikasi Elektronik dibedakan menjadi yang penyelenggara sertifikasi elektronik yang memperoleh pengakuan status berinduk dan penyelenggara sertifikasi elektronik yang memperoleh pengakuan status berdiri sendiri (tidak berinduk). Penjelasan Pasal 61 ayat (2) huruf c PP PSTE hanya mendefinisikan “penyelenggara sertifikasi elektronik yang memperoleh pengakuan status berinduk” yakni penyelenggara sertifikasi elektronik yang menerbitkan Sertifikat Elektronik dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik Root Certification Authority yang dikeluarkan oleh Menteri. Contoh penyelenggara sertifikasi elektronik yang telah menerbitkan sertifikat elektronik saat ini adalah VerySign, Digicert, atau iTrust milik PT Telkom (penyelenggara sertifikasi elektronik yang memperoleh pengakuan status berdiri sendiri (belum berinduk). Sebagai informasi, saat ini pemerintah sedang menyiapkan peraturan menteri tentang klasifikasi berinduk atau berdiri sendiri termasuk di dalamnya siapa yang diberi kewenangan sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik yang memperoleh pengakuan status berinduk (misalnya apakah Bank Indonesia dapat menjadi Root Certification Authority untuk sektor perbankan, atau apakah Kementerian Komunikasi dan Informatika akan menjadi Root Certification Authority untuk semua sektor) . Siapa yang dimaksud Lembaga Sertifikasi Keandalan? Lembaga Sertifikasi Keandalan (“LSK”) dalam Pasal 1 angka 24 PP PSTE didefinisikan sebagai lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan Sertifikat Keandalan dalam Transaksi Elektronik. Contoh LSK yang ada saat ini adalah GeoTrust, Hacker Safe, Trust Guard, VerySign, McAfee Secure, Trustweb, dll.). Siapa Pengelola Nama Domain di Indonesia? Berdasarkan Pasal 73 PP PSTE , Pengelola Nama Domain dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: Registri Nama Domain dan Registrar Nama Domain. Registri Nama Domain melaksanakan pengelolaan Nama Domain tingkat tinggi generik dan tingkat tinggi Indonesia (nama domain berakhiran langsung “dot id”). Sedangkan, Registrar Nama Domain melaksanakan pengelolaan Nama Domain tingkat kedua dan tingkat turunan (misalnya pengelolaan “dot web dot id [.web.id]”, “dot or dot id [.or.id]”, “dot go dot id [.go.id]”, dll.). Registri Nama Domain saat ini dikelola oleh Pengelola Nama Domain Indonesia (“PANDI”), Sedangkan, yang ditunjuk oleh PANDI menjadi registrar Nama Domain saat ini terdapat 12 (dua belas) perusahaan. Sebelum sistem ini mulai berjalan sejak akhir tahun 2012, PANDI menerapkan sistem single point registry system (SPRS) yang mana PANDI bertindak selaku registrar dan registri Nama Domain secara bersamaan. Demikian jawaban kami, semoga membantu. Dasar Hukum : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 2. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tanda tangan elektronik penyelenggara sistem elektronik sistem elektronik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Mohon pencerahannya terkait Pidsus Tipikor. Apakah seseorang yang telah melewati masa hukuman penjara dan bebas demi hukum atas kasus korupsi, berarti sudah bebas dari ikatan hukuman atau sanksi? Bagaimana nasib PNS yang dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dan telah menjalaninya serta bebas demi hukum? Apakah yang bersangkutan akan dipecat?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang telah divonis bersalah dan dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana korupsi diberhentikan tidak dengan hormat berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil . Namun jika dicermati kapan pemberhentian yang dimaksud, seharusnya sudah dapat ditetapkan sejak PNS tersebut diputus bersalah dan dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tanpa perlu menunggu ia menyelesaikan masa pidana penjaranya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Bahwa benar apabila seseorang yang telah melewati masa hukuman penjara dan bebas demi hukum atas kasus korupsi, berarti sudah bebas dari ikatan hukuman atau sanksi. Semisal dalam amar putusan yang berkekuatan hukum tetap, A dipidana 1 (satu) tahun penjara. A demi hukum wajib menjalani sanksi atas putusan tersebut yaitu 1 (satu) tahun penjara. Setelah menjalani hukuman tersebut, berarti dia sudah tidak terikat untuk menjalani sanksi lagi. Pemberhentian Tidak dengan Hormat Terhadap PNS Terpidana Kasus Korupsi Bagaimana nasib Pegawai Negeri Sipil (“PNS”) yang dijatuhi hukuman 1 (satu) tahun penjara dan telah menjalaninya serta bebas demi hukum, apakah yang bersangkutan akan dipecat? PNS yang melakukan korupsi dapat dijerat dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (“UU 20/2001”) : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Ada 3 jenis pemberhantian PNS menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) : Diberhentikan dengan hormat Pasal 87 ayat (1) UU ASN PNS diberhentikan dengan hormat karena: meninggal dunia; atas permintaan sendiri; mencapai batas usia pensiun; perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pensiun dini; atau tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban. Pasal 87 ayat (2) UU ASN PNS dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak diberhentikan karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan hukuman pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan tidak berencana. Diberhentikan tidak dengan hormat Pasal 87 ayat (4) UU ASN dan Pasal 250 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil PNS diberhentikan tidak dengan hormat karena: melakukan penyelewengan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan jabatan atau tindak pidana kejahatan yang ada hubungannya dengan jabatan dan/atau pidana umum; menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik; atau dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan pidana yang dilakukan dengan berencana. Diberhentikan sementara Pasal 88 UU ASN PNS diberhentikan sementara, apabila: Diangkat menjadi pejabat negara; Diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural; atau Ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Pengaktifan kembali PNS yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan bunyi pasal-pasal di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa PNS yang telah divonis bersalah oleh pengadilan karena melakukan tindak pidana korupsi dan sudah bebas karena telah menjalani hukumannya diberhentikan tidak dengan hormat . Namun jika dicermati kapan pemberhentian yang dimaksud, seharusnya sudah dapat ditetapkan sejak PNS tersebut diputus bersalah (dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) berdasarkan Pasal 87 ayat (4) huruf b UU ASN, tanpa perlu menunggu ia menyelesaikan masa pidana penjaranya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil hukumonline tipikor online tata negara hukum pns klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kewajiban melaporkan harta kekayaan Penyelenggara Negara dalam UU No. 30 Tahun 2002 adalah bagi penyelenggara negara. Apakah PNS termasuk penyelenggara negara dan apakah pejabat eselon III dan IV juga termasuk penyelenggara negara? Karena dalam UU tersebut tidak ada menyebut itu, hanya disebutkan Pejabat lainnya yang ditentukan oleh UU."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Pada dasarnya Pegawai Negeri Sipil (“PNS”)/Aparatur Sipil Negara (“ASN”) bukanlah termasuk ke dalam definisi “Penyelenggara Negara”. Akan tetapi ada beberapa yang termasuk sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara . Namun perlu diketahui bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (“LHKASN”) Di Lingkungan Instansi Pemerintah , seluruh jajaran PNS/ASN juga diwajibkan melaporkan harta kekayaan, secara bertahap dan dimulai dari pejabat setingkat Eselon III, IV dan V. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk dapat menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kita harus mengetahui siapa-siapa saja yang disebut sebagai “Penyelenggara Negara”. Dalam undang-undang yang Anda sebutkan yaitu Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 , Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (“UU No. 28 Tahun 1999”) . UU No. 28 Tahun 1999 menyebutkan, yang dimaksud dengan Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. [1] Penyelenggara Negara tersebut meliputi: [2] 1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara; 2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara; 3. Menteri; 4. Gubernur; 5. Hakim; 6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan 7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan \"pejabat lain yang memiliki fungsi strategis\" adalah pejabat yang tugas dan wewenangnya di dalam melakukan penyelenggaraan negara rawan terhadap praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang meliputi: [3] 1. Direksi, Komisaris, dan pejabat struktural lainnya pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah; 2. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional; 3. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri; 4. Pejabat Eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan sipil, militer, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; 5. Jaksa; 6. Penyidik; 7. Panitera Pengadilan; dan 8. Pemimpin dan bendaharawan proyek. Selain orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara pelaporan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (“LHKPN”) juga diwajibkan bagi: 1. Pejabat Eselon II dan pejabat lain yang disamakan di lingkungan instansi pemerintah dan atau lembaga negara; 2. Semua Kepala Kantor di lingkungan Departemen Keuangan; 3. Pemeriksa Bea dan Cukai; 4. Pemeriksa Pajak; 5. Auditor; 6. Pejabat yang mengeluarkan perijinan; 7. Pejabat/Kepala Unit Pelayanan Masyarakat; dan 8. Pejabat pembuat regulasi Kewajiban PNS Dapat dilihat dari daftar di atas bahwa Pegawai Negeri Sipil (“PNS”)/Aparatur Sipil Negara (“ASN”) (terkecuali yang disebutkan di atas) bukanlah termasuk ke dalam definisi “Penyelenggara Negara”. Namun perlu diketahui bahwa berdasarkan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (“LHKASN”) Di Lingkungan Instansi Pemerintah , seluruh jajaran PNS/ASN juga diwajibkan melaporkan harta kekayaan, secara bertahap dan dimulai dari pejabat setingkat Eselon III, IV dan V. Perlu diketahui bahwa LHKPN berbeda dengan LHKASN. Perbedaannya adalah sebagai berikut: [4] No. Uraian LHKPN LHKASN 1 Subjek Lapor Penyelenggara Negara, termasuk anggota DRPD Seluruh ASN/PNS selain wajib LHKPN 2 Tujuan Penyampaian KPK Pimpinan Organisasi melalui Aparat Pengawasan Internal Pemerintah 3 Pengelolaan KPK Aparat Pengawasan Internal Pemerintah 4 Lampiran Bukti Wajib menyampaikan bukti Tidak wajib melampirkan bukti 5 Waktu Penyampaian Paling lambat 2 bulan setelah selesai menjabat, promosi/mutasi, pensiun, dan 2 tahun menduduki jabatan yang sama. Paling lama 3 bulan setelah kebijakan ditetapkan dan 1 bulan setelah menjabat, promosi/mutasi atau berhenti dari jabatan. 6 Pengumuman Wajib pada Lembaran Negara dan Papan Pengumuman Instansi Terkait. Tidak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme ; 2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2015 ; 3. Surat Edaran Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: SE/03/M.PAN/01/2005 tentang Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara ; 4. Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kewajiban Penyampaian Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara (“LHKASN”) Di Lingkungan Instansi Pemerintah . REFERENSI:\n1. http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1064 , sebagaimana diakses pada 7 Maret 2016 pukul 14.40 WIB . [1] Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 1999 [2] Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 [3] Penjelasan Pasal 2 angka 7 UU No. 28 Tahun 1999 [4] http://www.anggaran.depkeu.go.id/dja/edef-konten-view.asp?id=1064 , sebagaimana diakses pada 7 Maret 2016 pukul 14.40 WIB hukumonline lembaga pemerintah harta asn pegawai negeri sipil tata negara hukum klinik pns klinik hukumonline penyelenggara negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Pimpinan kami memergoki salah satu anak buahnya (perempuan) sedang berciuman di depan umum dengan yang bukan suaminya. Sanksi apa yang bisa dijatuhkan pada anak buah tersebut oleh pimpinan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Apakah berciuman di depan umum bisa dikatakan sebagai pelanggaran, maka perlu dilihat kembali nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan mengenai kesopanan/kesusilaan yang ada di masyarakat. Apabila memang berciuman di depan umum dianggap telah melanggar kesopanan/kesusilaan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 281 KUHP yaitu pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp.4500 (yang telah disesuaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP ). Mengenai apakah berciuman di depan umum dapat dihukum dan dikenakan sanksi disiplin PNS, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit mengatur mengenai hal tersebut. Akan tetapi, PNS wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika berciuman tersebut termasuk sebagai “melanggar kesusilaan/kesopanan” berdasarkan nilai-nilai setempat, maka dapat dikatakan PNS tersebut tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dijatuhi hukuman disiplin . Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Apakah Berciuman Di Depan Umum Merupakan Pelanggaran? Sebelum menjawab pertanyaan Anda kami akan menjelaskan mengenai apakah berciuman bisa dikategorikan sebagai pelanggaran jika dilakukan di depan umum. Untuk itu, kita merujuk pada ketentuan Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi : “ Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah: 1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan; 2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan .” R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Beserta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 204-205) memberikan penjelasan terhadap Pasal 281 KUHP bahwa kesopanan disini dalam arti kata “kesusilaan” ( zeden, eerbaarheid ), perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya, bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium dan sebagainya . Sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan di tempat itu. Bahwa orang bersetubuh di tengah jalan itu merusak kesopanan (kesusilaan) umum itu bukan soal lagi, akan tetapi cium-ciuman di tempat umum di kota besar pada waktu ini dilakukan oleh bangsa Indonesia masih harus dipersoalkan, apakah ia merusak kesopanan umum atau tidak. Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan, apabila polisi menjumpai peristiwa semacam itu, maka berhubung dengan adanya bermacam-macam ukuran kesusilaan menurut adat istiadat suku-suku bangsa yang ada di Indonesia ini, hendaknya menyelidiki terlebih dahulu, apakah perbuatan yang telah dilakukan oleh tersangka itu menurut tempat, keadaan dan sebagainya, di tempat tersebut dapat dipandang sebagai merusak kesusilaan umum . Masih dalam sumber yang sama R. Soesilo mengatakan bahwa supaya dapat dihukum menurut pasal ini, maka orang itu harus: a. sengaja merusak kesopanan di muka umum, artinya perbuatan merusak kesopanan itu harus sengaja dilakukan di tempat yang dapat dilihat atau didatangi orang banyak, misalnya di pinggir jalan, di gedung bioskop, di pasar dan sebagainya; atau b. sengaja merusak kesopanan di muka orang lain, yang hadir di situ tidak dengan kemauannya sendiri, maksudnya tidak perlu di muka umum, di muka seorang lain sudah cukup, asal orang ini tidak menghendaki perbuatan itu. Memang KUHP sendiri tidak diberikan definisi atas batasan dari kesusilaan itu seperti apa, akan tetapi, dari penjelasan R. Soesilo tersebut dapat kita simpulkan bahwa kesusilaan/kesopanan itu ukurannya tidak dapat disamakan di setiap daerah. Setiap daerah memiliki nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan-batasan tersendiri mengenai kesopanan/kesusilaan. Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda apakah berciuman di depan umum bisa dikatakan sebagai pelanggaran, maka perlu dilihat kembali nilai-nilai, ukuran, standar dan batasan mengenai kesopanan/kesusilaan yang ada di masyarakat tersebut. Apabila memang berciuman di depan umum di masyarakat tersebut dianggap telah melanggar kesopanan/kesusilaan, maka terhadap perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran dan diancam Pasal 281 KUHP . Selengkapnya mengenai perbuatan kesusilaan dan kesopanan dapat Anda simak dalam artikel Apakah Berpelukan di Depan Umum Termasuk Pelanggaran Hukum? . Pelanggaran Disiplin PNS Mengenai apakah berciuman di depan umum dapat dijatuhi sanksi disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PNS”), perlu dilihat apakah berciuman merupakan pelanggaran disiplin PNS. Pelanggaran disiplin, menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP Disiplin PNS”) , adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan PNS yang tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin PNS, baik yang dilakukan di dalam maupun di luar jam kerja. Dengan tidak mengesampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pidana, PNS yang melakukan pelanggaran disiplin dijatuhi hukuman disiplin. [1] Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada PNS karena melanggar peraturan disiplin PNS. [2] PNS yang dijatuhi hukuman disiplin adalah yang tidak menaati kewajiban serta larangan. Setiap PNS wajib : [3] 1. mengucapkan sumpah/janji PNS; 2. mengucapkan sumpah/janji jabatan; 3. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah; 4. menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan ; 5. melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab; 6. menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS; 7. mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan; 8. memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan; 9. bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara; 10. melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil; 11. masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja; 12. mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan; 13. menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya; 14. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat; 15. membimbing bawahan dalam melaksanakan tugas; 16. memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengembangkan karier; dan 17. menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Kemudian mengenai hal-hal yang dilarang, setiap PNS dilarang: [4] 1. menyalahgunakan wewenang; 2. menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain; 3. tanpa izin Pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional; 4. bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing; 5. memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah; 6. melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara; 7. memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan; 8. menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya; 9. bertindak sewenang-wenang terhadap bawahannya; 10. melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani; 11. menghalangi berjalannya tugas kedinasan; 12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara: a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye; b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS; c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; 13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara: a. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau b. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat; 14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan; dan 15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas tidak diatur secara eksplisit mengenai larangan asusila dan berciuman di depan umum. Akan tetapi, PNS wajib menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku . Jika berciuman tersebut termasuk sebagai “melanggar kesusilaan/kesopanan” berdasarkan nilai-nilai setempat, maka dapat dikatakan PNS tersebut tidak menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dapat dijatuhi hukuman disiplin. Hukuman Disiplin PNS Tingkat hukuman disiplin terdiri dari: [5] a. hukuman disiplin ringan; 1) teguran lisan; 2) teguran tertulis; dan 3) pernyataan tidak puas secara tertulis b. hukuman disiplin sedang; dan 1) penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun; 2) penundaan kenaikan pangkat selama 1 (satu) tahun; 3) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun c. hukuman disiplin berat. 1) penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun; 2) pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah; 3) pembebasan dari jabatan; 4) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan 5) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS Contoh Kasus Meskipun tidak diatur secara eksplisit mengenai PNS yang berciuman di depan umum atau melakukan tindakan asusila dalam PP Disiplin PNS, tetapi dalam praktiknya PNS yang melakukan tindakan asusila (tindak pidana) dikenakan sanksi disiplin PNS juga. Sebagai contoh dalam artikel Kasus Pelanggaran Hukum Membuat Dua PNS Dipecat , sebagaimana yang kami akses dari situs berita Okezone.news, seorang PNS dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara setelah terbukti melakukan perbuatan asusila kepada gadis di bawah umur. Perbuatan itu dilakukan sejak gadis tersebut masih menjadi muridnya di SD. Selain itu, PNS tersebut dijatuhi sanksi pemberhentian dengan tidak hormat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil . REFERENSI:\n1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia. 1991. [1] Pasal 6 PP Disiplin PNS [2] Pasal 1 angka 4 PP Disiplin PNS [3] Pasal 3 PP Disiplin PNS [4] Pasal 4 PP Disiplin PNS [5] Pasal 7 PP Disiplin PNS hukumonline ketenagakerjaan pegawai negeri sipil hukum klinik pns klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah PNS yang terkena hukuman disiplin penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun dapat dilakukan mutasi ke kabupaten lain?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Penurunan Pangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) Ketentuan mengenai penurunan pangkat PNS dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (“PP 53/2010”) . PNS yang tidak menaati ketentuan kewajiban dan/atau larangan dalam Pasal 3 dan/atau Pasal 4 PP 53/2010 dijatuhi hukuman disiplin . [1] Tingkat hukuman disiplin terdiri dari hukuman disiplin ringan, hukuman disiplin sedang, dan hukuman disiplin berat. [2] Menjawab pertanyaan Anda, penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun termasuk dalam jenis hukuman disiplin berat . [3] Hukuman disiplin berat dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap kewajiban : [4] setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , negara Indonesia, dan pemerintah, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; menaati segala ketentuan peraturan perundang-undangan, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada PNS dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; menjunjung tinggi kehormatan negara, pemerintah, dan martabat PNS, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan sendiri, seseorang, dan/atau golongan apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; memegang rahasia jabatan yang menurut sifatnya atau menurut perintah harus dirahasiakan, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan negara, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja berupa: penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 tahun bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 31 sampai dengan 35 hari kerja; pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 36 sampai dengan 40 hari kerja; pembebasan dari jabatan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural atau fungsional tertentu yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 41 sampai dengan 45 hari kerja; dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 hari kerja atau lebih; mencapai sasaran kerja pegawai yang ditetapkan, apabila pencapaian sasaran kerja pegawai pada akhir tahun kurang dari 25%; menggunakan dan memelihara barang-barang milik negara dengan sebaik-baiknya, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menaati peraturan kedinasan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara. Selain itu, hukuman disiplin berat dijatuhkan bagi pelanggaran terhadap larangan : [5] menyalahgunakan wewenang; menjadi perantara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan/atau orang lain dengan menggunakan kewenangan orang lain; tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk negara lain dan/atau lembaga atau organisasi internasional; bekerja pada perusahaan asing, konsultan asing, atau lembaga swadaya masyarakat asing; memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, atau meminjamkan barang-barang baik bergerak atau tidak bergerak, dokumen atau surat berharga milik negara secara tidak sah, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan negara, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; memberi atau menyanggupi akan memberi sesuatu kepada siapapun baik secara langsung atau tidak langsung dan dengan dalih apapun untuk diangkat dalam jabatan; menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya; melakukan suatu tindakan atau tidak melakukan suatu tindakan yang dapat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayani sehingga mengakibatkan kerugian bagi yang dilayani, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; menghalangi berjalannya tugas kedinasan, apabila pelanggaran berdampak negatif pada pemerintah dan/atau negara; memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara; memberikan dukungan kepada calon presiden/wakil presiden dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan memberikan dukungan kepada calon kepala daerah/wakil kepala daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye. Mutasi PNS Mutasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) . Setiap PNS dapat dimutasi tugas dan/atau lokasi dalam 1 instansi pusat, antar instansi pusat, 1 instansi daerah, antar instansi daerah, antar instansi pusat dan instansi daerah, dan ke perwakilan Indonesia di luar negeri. [6] Mutasi PNS dalam satu instansi pusat atau instansi daerah dilakukan oleh pejabat pembina kepegawaian. [7] Mutasi PNS antar kabupaten/kota dalam satu provinsi ditetapkan oleh gubernur setelah memperoleh pertimbangan kepala Badan Kepegawaian Negara (“BKN”). [8] Mutasi PNS antar kabupaten/kota antarprovinsi, dan antar provinsi ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah memperoleh pertimbangan kepala BKN. [9] Mutasi PNS provinsi/kabupaten/kota ke instansi pusat atau sebaliknya, ditetapkan oleh kepala BKN. [10] Sedangkan mutasi PNS antar instansi pusat ditetapkan oleh kepala BKN. [11] Patut diperhatikan pula, mutasi PNS dilakukan dengan memperhatikan prinsip larangan konflik kepentingan. [12] Lebih lanjut, mutasi PNS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) dan dilakukan paling singkat 2 tahun dan paling lama 5 tahun. [13] Mutasi tersebut dilaksanakan atas dasar kesesuaian antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, klasifikasi jabatan, dan pola karier dengan memperhatikan kebutuhan organisasi. [14] Selain mutasi karena tugas dan/atau lokasi, PNS dapat mengajukan mutasi tugas dan/atau lokasi atas permintaan sendiri. [15] Dengan demikian, meskipun PNS telah dijatuhi hukuman disiplin penurunan pangkat, mutasi PNS ke kabupaten lain sebagaimana yang Anda tanyakan dapat saja terjadi. Hal ini dikarenakan penurunan pangkat dan mutasi PNS adalah dua hal yang berbeda ketentuannya. Penurunan pangkat adalah bagian dari pemberian hukuman disiplin, sementara itu, mutasi adalah bagian dari manajemen pengembangan karier PNS sebagaimana diterangkan Pasal 177 ayat (3) huruf a PP 11/2017 . Sepanjang mutasi tetap memperhatikan kesesuaian antara kompetensi PNS dengan persyaratan jabatan, klasifikasi jabatan, dan pola karier dengan memperhatikan kebutuhan organisasi serta ketentuan lain terkait menurut peraturan perundang-undangan, maka PNS yang sudah terkena hukuman disiplin juga dapat dimutasi. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil [1] Pasal 5 PP 53/2010 [2] Pasal 7 ayat (1) PP 53/2010 [3] Pasal 7 ayat (4) huruf a PP 53/2010 [4] Pasal 10 PP 53/2010 [5] Pasal 13 PP 53/2010 [6] Pasal 73 ayat (1) UU ASN [7] Pasal 73 ayat (2) UU ASN [8] Pasal 73 ayat (3) UU ASN [9] Pasal 73 ayat (4) UU ASN [10] Pasal 73 ayat (5) UU ASN [11] Pasal 73 ayat (6) UU ASN [12] Pasal 73 ayat (7) UU ASN [13] Pasal 190 ayat (3) PP 11/2017 [14] Pasal 190 ayat (4) PP 11/2017 [15] Pasal 190 ayat (6) PP 11/2017 aparatur sipil negara mutasi hukumonline lembaga pemerintah pemerintahan jabatan administrasi pegawai negeri sipil tata negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Jika terjadi kecelakaan kendaraan bermotor di area parkir, apakah hal ini termasuk dalam ranah kecelakaan lalu lintas dan dapat ditangani oleh Polisi Lalu Lintas ?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya, saya coba jawab dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman pribadi saya. Mari kita lihat definisi kecelakaan lalu lintas dulu. Definisinya terdapat dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“ UU Lalu Lintas ”), yaitu “ Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di “ Jalan ” yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda .” KLINIK TERKAIT Jerat Pasal Pelaku Tabrak Lari dan Seret Motor 23 Okt 2023 Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan 08 Mei 2023 Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan 25 Agt 2016 Apakah Semua Polantas Jadi Penyidik Lalu Lintas? 17 Des 2013 Lalu kita lihat definisi “jalan”. Diatur dalam Pasal 1 angka 12 UU Lalu Lintas, “ Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi “ Lalu Lintas umum ”, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel ” Dari definisi “jalan” di atas, dapat kita temukan kata kuncinya adalah “lalu lintas umum”. Sedangkan tempat parkir bukan tempat bagi lalu lintas umum. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Jadi apabila Polantasnya kaku terhadap ketentuan undang-undang, sebenarnya dia tidak perlu repot-repot mengurus kecelakaan ini, sebab di luar dari definisi kecelakaan lalu lintas. Namun jika kita mengacu tugas polisi secara umum, di mana salah satu tugasnya adalah sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat maka polisi (apapun fungsinya), punya kewajiban menjadi mediator dalam menyelesaikan kecelakaan yang terjadi di tempat parkir. Demikian penjelasan saya. Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kecelakaan lalu lintas polantas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sejumlah aparat polisi kerap melakukan razia hotel atas dalih tertentu pada malam hari. Bukankah ini pelanggaran hak asasi, karena telah membuat gusar dan mengganggu orang beristirahat? Bahkan terkadang membawa pasangan kekasih yang berduaan di hotel tersebut ke kantor polisi. Berhakkah polisi? Apakah tindakan mengganggu hak privasi ini juga bisa dituntut? Mohon penjelasan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Karena Anda menyebut soal polisi, kami asumsikan yang Anda maksud adalah anggota penyidik polisi dengan kewenangan berdasarkan Pasal 7 ayat (1) KUHAP yaitu:\n\nmenerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;mengambil sidik jari dan memotret seorang;memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;mengadakan penghentian penyidikan;mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.\n\nMengenai tindakan aparat polisi yang melakukan razia hotel dan membawa pasangan kekasih ke kantor polisi, menurut hemat kami hal tersebut berkaitan dengan kewenangan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.\nMengenai penggeledahan dapat dilakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan KUHAP.[1] Adapun prosedur atau tata cara penggeledahan lebih lanjut diatur dalam Pasal 33 dan Pasal 34 KUHAP sebagai berikut.\n\nPasal 33 KUHAP\n\nDengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan penggeledahan yang diperlukan;Dalam hal yang diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian negara Republik Indonesia dapat memasuki rumah;Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya;Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir;Dalam waktu dua hari setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.\n\nPasal 34 KUHAP\n\nDalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 33 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan:\n\npada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada di atasnya;pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada;di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.\nDalam hal penyidik melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.\n\nMenyambung pertanyaan Anda, hotel atau tempat hiburan lainnya tidak dikecualikan dari tempat atau rumah yang dapat dimasuki penyidik dalam rangka penggeledahan. Sebab kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki:[2]\n\nruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD);tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan;ruang di mana sedang berlangsung sidang pengadilan.\nBolehkah Polisi Melakukan Razia Hotel?\n\nKemudian, dalam hal penangkapan, penyelidik ataupun penyidik juga berwenang melakukan penangkapan berdasarkan surat perintah. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Yang dimaksud dengan \"bukti permulaan yang cukup\" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana. Jadi, perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.[3]\n\nPetugas kepolisian yang melakukan penangkapan wajib memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.[4]\n\nDalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.[5]\n\nJadi, berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa polisi berwenang untuk melakukan penggeledahan atau razia hotel dengan tetap memenuhi prosedur KUHAP. Boleh jadi polisi melakukan penggeledahan atau razia hotel berdasarkan laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, misalnya prostitusi. Polisi juga berbekal surat perintah berwenang melakukan penangkapan kepada orang yang diduga keras melakukan tindak pidana, atau melakukan penangkapan tanpa surat perintah dalam hal pelaku tertangkap tangan.\n\nNamun, apabila polisi melakukan penangkapan tidak sesuai prosedur KUHAP, pihak tersangka, keluarga atau kuasanya berhak mengajukan upaya hukum praperadilan. Simak selengkapnya dalam Berikut Ini Pemohon, Termohon, dan Alasan Praperadilan.\n\nDi samping itu, juga dapat diajukan upaya hukum berupa pelaporan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Div Propam Polri) atas tindakan polisi tersebut. Selengkapnya bisa Anda baca dalam Prosedur Melaporkan Anggota Polri dan Sanksi Bagi yang Melanggar Kode Etik.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n\nUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.\n\n[1] Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[2] Pasal 35 KUHAP[3] Pasal 16, Pasal 17 dan penjelasannya KUHAP[4] Pasal 18 ayat (1) KUHAP[5] Pasal 18 ayat (2) KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Teman saya melanggar lalu lintas, dengan tidak membawa surat menyurat kendaraan dan tidak pakai helm. Ia diberhentikan oleh polisi Sabhara yang lagi patroli. Teman saya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat, termasuk identitas diri (KTP). Lalu teman saya diambil handphone-nya untuk menghubungi keluarga. Si polisi dengan agak memaksa meminta handphone temen saya itu untuk diperiksa dengan alasan dia dilindungi undang-undang. Yang mau saya tanyakan, bolehkah polisi tersebut memeriksa handphone temen saya itu? Dan polisi yg bukan Polantas, apakah punya hak untuk menyetop pelanggar lalu lintas? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pemeriksaan Pelanggaran Lalu Lintas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) mewajibkan setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan untuk dilengkapi dengan perlengkapan kendaraan bermotor. Untuk sepeda motor, perlengkapan tersebut termasuk helm standar nasional Indonesia. [1] Apabila seseorang tertangkap tangan tidak menggunakan helm, petugas kepolisian dapat melakukan pemeriksaan kendaraan secara insidental. Hal ini diatur dalam Pasal 12 jo. Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“PP 80/2012”) sebagai berikut : Pasal 12 PP 80/2012 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dapat dilakukan secara berkala setiap 6 (enam) bulan atau insidental sesuai dengan kebutuhan. Pasal 14 ayat (1) PP 80/2012 Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dalam hal: a. pelaksanaan Operasi Kepolisian; b. terjadi pelanggaran yang tertangkap tangan; dan c. penanggulangan kejahatan. Atas pelanggaran tersebut, pihak kepolisian akan menerbitkan surat tilang. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (3) PP 80/2012 , yang berbunyi: Tata acara pemeriksaan tindak pidana pelanggaran tertentu terhadap Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Tilang. Yang dimaksud dengan \"tindak pidana Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tertentu\" di antaranya adalah: [2] mempergunakan jalan dengan cara yang dapat merintangi, membahayakan ketertiban, keamanan lalu lintas, atau yang mungkin menimbulkan kerusakan pada jalan; mengemudikan kendaraan bermotor yang tidak dapat memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (“SIM”), Surat Tanda Nomor Kendaraan (“STNK”), surat tanda lulus uji kendaraan yang sah atau tanda bukti lainnya yang diwajibkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan atau dapat memperlihatkannya tetapi masa berlakunya sudah kadaluwarsa; tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan lalu lintas dan angkutan jalan tentang penomoran, persyaratan teknis dan laik jalan, pemuatan kendaraan, dan syarat penggandengan dengan kendaraan lain. Selain itu, petugas pemeriksa kendaraan bermotor di jalan dapat melakukan penyitaan atas: [3] SIM; STNK; surat izin penyelenggaraan angkutan umum; tanda bukti lulus uji; barang muatan; dan/atau kendaraan bermotor yang digunakan melakukan pelanggaran. Jika Pelanggar Tidak Memiliki Identitas Akan tetapi karena teman Anda tidak memiliki SIM, STNK, dan tidak pula memiliki identitas diri, maka pihak kepolisian dapat menelusuri identitas diri pelanggar dan status kepemilikan kendaraan bermotor tersebut dengan melakukan pemeriksaan ponsel atau handphone dan meminta teman Anda menghubungi keluarga. Dikhawatirkan, kendaraan bermotor tersebut berkaitan dengan suatu tindak pidana. Wewenang ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) : Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Menurut hemat kami, permintaan polisi untuk memeriksa ponsel dan menghubungi keluarga adalah bentuk kebijakan polisi tersebut untuk menghindari penyitaan kendaraan bermotor. Hal ini karena PP 80/2012 pada dasarnya memungkinkan dilakukannya penyitaan tersebut, jika kendaraan bermotor tidak dilengkapi dengan STNK yang sah pada waktu dilakukan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan, pengemudi tidak memiliki SIM, atau kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau digunakan untuk melakukan tindak pidana. [4] Kewenangan melakukan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Mengenai pertanyaan Anda selanjutnya, berdasarkan Pasal 9 PP 80/2012 , yang berhak melakukan pemeriksaan kendaraan bermotor yaitu: petugas Kepolisian Republik Indonesia , dan penyidik pegawai negeri sipil di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Adapun petugas kepolisian yang dimaksud di atas tidak terbatas pada polisi lalu lintas. Dengan demikian, polisi Sabhara yang Anda maksud pun pada dasarnya berwenang memberhentikan pelanggar lalu lintas yang tertangkap tangan. Namun demikian, polisi tersebut tetap harus memerhatikan tata cara pemeriksaan kendaraan bermotor yang berlaku, sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel Etika Polantas dalam Memberhentikan Pengendara Bermotor . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang–Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan [1] Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU LLAJ [2] Poin a, b, dan c Penjelasan Pasal 24 ayat (3) PP 80/2012 [3] Pasal 32 ayat (1) PP 80/2012 [4] Pasal 32 ayat (6) huruf a, b, dan d PP 80/2012 lalu lintas penyitaan hukumonline polantas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya, apakah polisi berhak melakukan razia produk dagangan di toko dengan alasan mengecek pelabelan produk? Memang produk yang dirazia merupakan produk yang masuk daftar wajib label sesuai Permendag 73 Tahun 2015. Adapun dasar hukum yang dipakai adalah UU Perdagangan. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Menjawab pertanyaan Anda, perlu diketahui bahwa Pasal 20 ayat (1) PP 29/2021 mewajibkan setiap pelaku usaha menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri.\nLebih lanjut, aturan mengenai barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia diatur dalam Permendag 25/2021, yang menetapkan barang yang wajib menggunakan atau melengkapi label berbahasa Indonesia.[1] Daftar barang yang dikenai kewajiban tersebut tertera dalam Lampiran Permendag 25/2021 jo. Putusan MA No. 6 P/HUM/2024.[2] Penting untuk diketahui bahwa dalam putusan MA tersebut, Lampiran Permendag 25/2021 huruf B angka 5 (mengatur barang jenis lembaran serat krisotil semen rata dan lembaran serat krisotil bergelombang simetris) dibatalkan dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.\n\nPenjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan pencantuman label bahasa Indonesia dapat Anda simak dalam Label Bahasa Indonesia Wajib Dicantumkan, Ini Dasarnya.\nSanksi Jika Tidak Mencantumkan Label Bahasa Indonesia\nPelaku usaha yang melanggar ketentuan kewajiban pencantuman label berbahasa Indonesia dikenai sanksi administratif[3] yang dapat berupa:[4]\n\nteguran tertulis;penarikan barang dari distribusi;penghentian sementara kegiatan usaha;penutupan gudang;denda; dan/ataupencabutan perizinan berusaha.\n\nSanksi administratif tersebut dapat dikenakan secara bertahap dan/atau tidak bertahap.[5]\n\nSelain sanksi administratif, Pasal 46 angka 33 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 104 ayat (1) UU 7/2014 mengatur sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang tidak menggunakan atau tidak melengkapi label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 miliar.\n\nNamun, ketentuan pidana tersebut dikecualikan bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah.[6] Sehingga, terhadap pelaku usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah hanya dapat dikenai sanksi administratif yang kami sebutkan di atas.[7]\nApakah Polisi Berwenang Mengawasi Pencantuman Label Bahasa Indonesia?\n\nDalam pertanyaan, Anda menyebut bahwa polisi melakukan razia produk dagangan di toko dengan alasan mengecek pelabelan produk. Razia menurut KBBI adalah:\n\npenangkapan beramai-ramai; penggerebekan penjahat yang berbahaya bagi keamanan;pemeriksaan serentak (surat-surat kendaraan bermotor, surat televisi, dan sebagainya).\n\nBerdasarkan keterangan Anda, razia yang dilakukan oleh pihak kepolisian adalah dengan cara mengecek/melakukan pemeriksaan terhadap pelabelan produk. Dari sini, kami asumsikan bahwa yang dimaksud dengan razia dalam konteks pertanyaan Anda adalah memeriksa pelabelan produk sebagai bentuk pengawasan terhadap pencantuman label pada produk.\n\nSiapa yang seharusnya melakukan pengawasan? Berdasarkan Pasal 1 angka 16 Permendag 69/2018, pengawasan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh petugas pengawas untuk memastikan kesesuaian barang beredar dan/atau jasa dalam memenuhi standar mutu produksi barang beredar dan/atau jasa, pencantuman label dalam bahasa indonesia, petunjuk penggunaan, jaminan layanan purna jual, cara menjual, pengiklanan, jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau diperjanjikan dan/atau klausula baku.\n\nObjek pengawasan terhadap barang beredar dalam memenuhi pencantuman label dalam bahasa Indonesia berupa:[8]\n\npencantuman label dalam bahasa Indonesia pada barang dan/atau kemasan;keterangan atau penjelasan label dalam bahasa Indonesia pada barang dan/atau kemasan yang terkait dengan keselamatan, keamanan dan kesehatan konsumen serta lingkungan hidup;kesesuaian keterangan label pada barang dan/atau kemasan dengan kondisi barang;keterangan mengenai identitas pelaku usaha pada label barang; dankelengkapan keterangan atau informasi label yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.\n\nAdapun pengawasan tersebut dilakukan melalui:[9]\n\npengambilan sampel;pengamatan kasat mata terhadap keterangan label yang tercantum pada barang dan/atau kemasan;kepastian kebenaran antara keterangan yang tercantum pada label dengan kondisi barang yang sebenarnya, yang jika terkait dengan spesifikasi teknis barang, dapat dilakukan pengujian di laboratorium;[10]pengumpulan data dan informasi terkait legalitas pelaku usaha dan barang, asal barang, serta data lain yang diperlukan; danpermintaan informasi dan/atau klarifikasi terhadap hasil pengawasan.\n\nYang mana, seharusnya yang berwenang melakukan pengawasan bukanlah kepolisian, melainkan Menteri Perdagangan untuk seluruh wilayah Republik Indonesia dan gubernur yang mempunyai wewenang untuk melaksanakan pengawasan di wilayah kerjanya.[11]\n\nMenteri Perdagangan dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada Direktur Jenderal dan Direktur Jenderal dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada direktur.[12]\nKemudian, direktur dalam melaksanakan pengawasan dapat berkoordinasi dengan instansi teknis terkait, unit kerja di daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota.[13]\n\nSedangkan gubernur dapat mendelegasikan kewenangan pengawasan kepada Kepala Dinas. Adapun Kepala Dinas dalam melakukan pengawasan dapat berkoordinasi dengan bupati/wali kota di wilayah kerjanya.[14]\n\nSepanjang penelusuran kami, Permendag 69/2018 yang secara khusus mengatur mengenai pengawasan barang, tidak memberikan kewenangan kepada pihak kepolisian untuk melaksanakan pengawasan barang beredar.\n\nTetapi perlu diingat, bahwa perbuatan pelaku usaha yang tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia pada barang yang diperdagangkan di dalam negeri merupakan tindak pidana (kecuali untuk pelaku usaha dan/atau kegiatan berisiko rendah atau menengah), di mana polisi berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana.\n\nHal ini mengacu pada UU Kepolisian yang mengatur bahwa kepolisian mempunyai tugas pokok untuk:[15]\n\nmemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;menegakkan hukum; danmemberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.\n\nDalam melaksanakan tugas pokok tersebut, kepolisian bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.[16]\n\nAdapun yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[17] Sedangkan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.[18]\n\nBaca Juga: Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana\n\nJadi, jika pelaku usaha diduga melakukan tindak pidana, maka di sinilah wewenang polisi untuk melakukan upaya penyelidikan dan penyidikan sebagai bentuk perbuatan penindakan terhadap dugaan tindak pidana yang terjadi, bukan upaya pengawasan.\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana](Data Kepolisian /pusatdata/detail/2647/undangundang-nomor-8-tahun-1981/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHAP)\n2. [Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/17437/undangundang-nomor-2-tahun-2002/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_kepolisian)\n3. [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5332a3e55eb82/undang-undang-nomor-7-tahun-2014?r=1&p=1&q=uu%207%202014&rs=1847&re=2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_7_2014)\n4. [Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt63b23fc23cfe4/peraturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-nomor-2-tahun-2022?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=perppu_2_2022)\n5. [Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt6427eaaee8a1f/undang-undang-nomor-6-tahun-2023?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=uu_6_2023)\n6. [Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt603219e9ca580/peraturan-pemerintah-nomor-29-tahun-2021/document/?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=pp_29_2021)\n7. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b715cab6ba07?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_69_2018)\n8. [Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia](Data Kepolisian /pusatdata/detail/v2/lt608fc29286671/peraturan-menteri-perdagangan-nomor-25-tahun-2021?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permendag_25_2021)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 6 P/HUM/2024.\n\nREFERENSI:\n1. KBBI, razia, yang diakses pada 10 Juli 2024, pukul 13.00 WIB.\n\n[1] Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penetapan Barang yang Wajib Menggunakan atau Melengkapi Label Berbahasa Indonesia (“Permendag 25/2021”)[2] Pasal 1 ayat (2) Permendag 25/2021[3] Pasal 166 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggara Bidang Perdagangan (“PP 29/2021”)[4] Pasal 166 ayat (2) PP 29/2021[5] Pasal 166 ayat (4) PP 29/2021[6] Pasal 46 angka 33 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) yang mengubah Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU 7/2014”)[7] Pasal 46 angka 33 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 104 ayat (3) UU 7/2014[8] Pasal 19 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Pengawasan Barang Beredar dan/atau Jasa (“Permendag 69/2018”)[9] Pasal 20 ayat (1) Permendag 69/2018[10] Pasal 20 ayat (2) Permendag 69/2018[11] Pasal 3 Permendag 69/2018[12] Pasal 4 Permendag 69/2018[13] Pasal 5 ayat (1) Permendag 68/2018[14] Pasal 6 Permendag 69/2018[15] Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Kepolisian”)[16] Pasal 14 ayat (1) huruf g UU Kepolisian[17] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)[18] Pasal 1 angka 5 KUHAP"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah anggota Polisi bisa mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang masih diduga terlibat perampokan dan terorisme? Sedangkan ada yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap sampai pada tingkat MA yang mendapat putusan mati, masih banyak yang belum dieksekusi? Dan apa tindakan atau upaya hukum yang seharusnya ditempuh oleh keluarga korban, atas tindakan Kepolisian tersebut? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan apa yang Saudara tanyakan, maka ada dua hal berbeda yang menjadi pertanyaan Saudara. Pertama , mengenai apakah anggota Polisi, bisa mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang masih diduga terlibat perampokan dan terorisme? Dan upaya hukum apa yang bisa ditempuh keluarga korban?. Kedua , mengapa masih banyak narapidana yang putusan pidana matinya sudah berkekuatan hukum tetap ( inkracht van gewijsde ) , tetapi belum dieksekusi mati. Di dalam sistem negara yang berlandaskan hukum yang dianut oleh Indonesia sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI Tahun 1945 , maka segala sesuatu tindakan baik warga negara maupun seluruh komponen pelaksana dan penyelenggara negara, harus berlandaskan atas hukum. Eksekusi mati atau menghilangkan hak hidup orang lain/warga negara, dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, hanya bisa dilakukan secara limitatif yaitu dalam rangka melaksanakan sistem dan jenis pemidanaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”). Pasal 10 KUHP : Pidana terdiri atas : a. Pidana pokok; 1. Pidana mati ; 2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda; 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu, 3. Pengumuman putusan hakim. KLINIK TERKAIT Dasar Hukum dan Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia 04 Jul 2024 Prosedur Melaporkan Polisi yang Melakukan Pelanggaran 03 Jun 2024 Adakah Aturan tentang Daluwarsa Penyelesaian Perkara di Kepolisian? 19 Sep 2018 Jika Dijebak oleh Polisi dan Disiksa dalam Tahanan 05 Sep 2018 Pemidanaan sebagaimana dimaksud, baru bisa dilaksanakan setelah melalui seluruh rangkaian proses peradilan pidana hingga mendapati putusan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan seseorang yang didakwa tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan kemudian divonis atau dijatuhi hukuman/pidana mati. Artinya, tindakan menghilangkan nyawa orang lain tanpa dilakukan secara limitatif oleh pihak yang berwenang sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang dan tanpa ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, adalah tindakan yang bertentangan dengan hukum. Berkaitan dengan pertanyaan Pertama Saudara, maka menurut hemat kami polisi tidak bisa dan dilarang mengeksekusi dengan menembak mati pelaku yang diduga melakukan tindak pidana, termasuk tindak pidana perampokan dan terorisme. Eksekusi mati hanya bisa dilakukan oleh regu penembak yang ditentukan undang-undang dan hanya bisa dilaksanakan setelah ada putusan pidana mati yang berkekuatan hukum tetap serta telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menembak mati seseorang terduga pelaku tindak pidana dapat dibenarkan apabila dilakukan dalam rangka menjalankan tugas (ex: penangkapan) dan dilakukan dalam keadaan terpaksa atau pembelaan terpaksa. Pembelaan terpaksa tersebut harus sesuai Pasal 49 KUHP , yaitu pembelaan terpaksa tersebut dilakukan untuk diri sendiri maupun orang lain, kehormataan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum. Teknis prosedur pembelaan terpaksa yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas penangkapan diatur lebih lanjut dalam Standar Prosedur Operasi (SOP) Kepolisian, yang tentunya SOP tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum dan hak asasi manusia. Apabila pihak keluarga merasa bahwa penembakan hingga mati terhadap anggota keluarganya yang dilakukan oleh polisi dalam rangka menjalankan tugas penangkapan tersebut sewenang-wenang dan melanggar hukum, maka pihak keluarga maupun kuasanya dapat menempuh upaya hukum praperadilan yang diajukan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana diatur di dalam Pasal 79 dihubungkan dengan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (\"KUHAP\"). Praperadilan merupakan proses hukum untuk memeriksa, salah satunya yaitu, memerika sah atau tidaknya penangkapan yang dilakukan oleh polisi tersebut. Dalam praperadilan juga dapat diajukan tuntutan ganti kerugian akibat tindakan polisi yang dianggap dan dapat dibuktikan telah sewenang-wenang dan melanggar hukum ( Pasal 81 KUHAP ). Atau apabila tidak diajukan dalam praperadilan, tuntutan ganti rugi dapat diajukan oleh ahli warisnya atau pihak ketiga yang berkepentingan melalui gugatan kepada ketua pengadilan negeri sesuai hukum acara perdata. Apabila penembakan yang dilakukan oleh polisi bukan dalam rangka menjalankan tugas berdasarkan undang-undang, maka tindakan polisi tersebut merupakan tindak pidana yang dapat diproses secara pidana. Di samping itu, pihak keluarga atau kuasanya juga dapat mengajukan upaya hukum berupa pelaporan kepada Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Divpropam Polri) atas tindakan polisi tersebut untuk dapat diproses secara etik . Sedangkan, terhadap pertanyaan Kedua, maka sebagaimana telah kami sebutkan di atas, bahwa eksekusi mati terhadap terpidana yang putusan pidananya telah berkekuatan hukum tetap adalah dengan cara ditembak mati oleh regu penembak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 . Beberapa faktor atau alasan mengapa terpidana mati belum dieksekusi mati meskipun putusannya sudah berkekuatan hukum tetap adalah antara lain : 1. Bahwa dalam sistem peradilan pidana yang menjalankan putusan pengadilan adalah jaksa penuntut umum. Apabila belum ada keputusan eksekusi dari jaksa penuntut umum, dalam hal ini Kejaksaan Agung, maka eksekusi tersebut belum bisa dilaksanakan; 2. Bahwa terhadap putusan yang berkekuatan hukum tetap, terpidana berhak mengajukan upaya hukum grasi (pengampunan) kepada presiden berupa permohonan perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana terhadap dirinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU No. 2/2002”). Oleh karenanya, terhadap putusan pidana mati, sebagaimana ketentuan Pasal (3) UU No. 22/2002 , pelaksanaan eksekusi mati tidak bisa dilaksanakan atau ditunda sampai ada keputusan dari presiden mengenai permohonan grasi dari terpidana tersebut. Demikian, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73) ; 3. Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer ; 4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 5. Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi ;"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah polisi dapat menilang langsung seseorang yang melanggar rambu lalu lintas pada saat itu juga tanpa adanya operasi? Adakah dasar hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya, saya coba jawab dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman pribadi saya. Jawabannya, bisa. KLINIK TERKAIT Sanksi STNK Mati: Dari Denda Hingga Motor Disita Polisi 05 Sep 2023 Sanksi Bagi Pelajar yang Berkendara Tanpa SIM 03 Jul 2023 Prosedur Pelaksanaan Razia Kendaraan Bermotor di Jalan 11 Feb 2016 Tengah Malam Menerobos Jalur Bus Trans Jakarta, Ditilang Juga? 11 Nov 2013 Polantas bertindak berdasarkan undang-undang, yang dijabarkan melalui peraturan pemerintah, peraturan kapolri, prosedur tetap, hingga vademikum (rangkuman dan penjabaran dari UU dan peraturan-peraturan yang ada). Teknik razia/penindakan pelanggaran lalu lintas terdapat dalam Vademikum Polisi Lalu lintas, Bab III, di mana disebutkan pelaksanaan penindakan pelanggaran lalu lintas digolongkan menjadi 2 yaitu : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a) Penindakan bergerak / Hunting yaitu cara menindak pelanggar sambil melaksanakan patroli (bersifat insidentil). Sifat penindakan ofensif terhadap pelanggaran yang tertangkap tangan (Pasal 111 KUHAP ) bagi petugas tidak perlu dilengkapi Surat Perintah Tugas. b) Penindakan di tempat / stationer yaitu cara melaksanakan pemeriksaan kendaraan bermotor dengan posisi statis/diam, dengan dilengkapi dengan Surat Perintah / sudah ada perencanaan terlebih dahulu. Setelah mengetahui teknik polisi menindak pelanggar itu bisa dengan razia statis dan dengan sistem berburu (hunting), ada baiknya mulai dari sekarang kita belajar untuk tertib di jalan. Baik tertib administrasi (SIM & STNK), tertib kendaraan (kelengkapan standar motor/mobil), dan tertib saat berkendara, untuk menenangkan hati anda saat melihat razia polisi. Mengapa polisi harus melaksanakan razia? Silahkan simak lebih lanjut artikel Kenapa Polisi Harus Menilang . DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tilang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apa yang menyebabkan polisi memukul demonstran, apakah polisi memiliki kewenangan memukul demonstran? Mengapa polisi dikasih pentungan saat mengamankan demonstrasi, bukankah itu nantinya akan menyebabkan pemukulan terhadap demonstran dengan berkedok pengamanan, dan bukankah pemukulan merupakan perbuatan penganiayaan? Aturan yang mengizinkan polisi bawa pentungan ada tidak? Kalau ada aturannya apa? Mohon sekalian diberikan aturannya? Mohon dibalas, terima kasih sebelumnya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "A. Hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum memang dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E UUD 1945 . Lebih jauh mengenai mekanisme pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (“UU 9/1998”). KLINIK TERKAIT Dasar Hukum dan Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia 04 Jul 2024 Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi? 13 Mei 2024 Polisi Melakukan Tindak Pidana, Begini Proses Peradilannya 24 Agt 2022 Kewenangan Polri Menindak Demo Anarkis di Kampus 20 Jan 2022 Memang, dalam pelaksanaannya, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi) dapat menimbulkan kericuhan dan diperlukan adanya pengamanan. Untuk itu, pemerintah memberikan amanat kepada Polri dalam Pasal 13 ayat (3) UU 9/1998 yakni dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum, Polri bertanggung jawab menyelenggarakan pengamanan untuk menjamin keamanan dan ketertiban umum sesuai dengan prosedur yang berlaku . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Terkait pelaksanaan demonstrasi sebagai perwujudan penyampaian pendapat di muka umum kemudian ditetapkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum (“Perkapolri 9/2008”) sebagai pedoman dalam rangka pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dan pedoman dalam rangka pemberian standar pelayanan, pengamanan kegiatan dan penanganan perkara ( dalam penyampaian pendapat di muka umum, agar proses kemerdekaan penyampaian pendapat dapat berjalan dengan baik dan tertib (lihat Pasal 2 Perkapolri 9/2008 ). Dalam pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum oleh warga negara (demonstrasi), aparatur pemerintah (dalam hal ini Polri) berkewajiban dan bertanggung jawab untuk ( Pasal 13 Perkapolri 9/2008 ): a. melindungi hak asasi manusia; b. menghargai asas legalitas; c. menghargai prinsip praduga tidak bersalah; dan d. menyelenggarakan pengamanan. Sehingga , dalam menangani perkara penyampaian pendapat di muka umum harus selalu diperhatikan tindakan petugas yang dapat membedakan antara pelaku yang anarkis dan peserta penyampaian pendapat di muka umum lainnya yang tidak terlibat pelanggaran hukum ( Pasal 23 ayat [1] Perkapolri 9/2008 ); a. terhadap peserta yang taat hukum harus tetap di berikan perlindungan hukum; b. terhadap pelaku pelanggar hukum harus dilakukan tindakan tegas dan proporsional; c. terhadap pelaku yang anarkis dilakukan tindakan tegas dan diupayakan menangkap pelaku dan berupaya menghentikan tindakan anarkis dimaksud. Dan perlu diperhatikan bahwa pelaku pelanggaran yang telah tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi (tidak boleh dianiaya, diseret, dilecehkan, dan sebagainya). Melihat kondisi di lapangan pada saat terjadi demonstrasi, memang kadangkala diperlukan adanya upaya paksa. Namun, ditentukan dalam Pasal 24 Perkapolri 9/2008 bahwa dalam menerapkan upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produktif, misalnya: a. tindakan aparat yang spontanitas dan emosional, misalnya mengejar pelaku, membalas melempar pelaku, menangkap dengan kasar dengan menganiaya atau memukul ; b. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perorangan; c. tidak patuh dan taat kepada perintah kepala satuan lapangan yang bertanggung jawab sesuai tingkatannya; d. tindakan aparat yang melampaui kewenangannya; e. tindakan aparat yang melakukan kekerasan, penganiayaan, pelecehan, melanggar HAM; f. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan; Di samping itu, ada peraturan lain yang terkait dengan pengamanan demonstrasi ini yaitu Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (“Protap Dalmas”). Aturan yang lazim disebut Protap itu tidak mengenal ada kondisi khusus yang bisa dijadikan dasar aparat polisi melakukan tindakan represif . Dalam kondisi apapun, Protap justru menegaskan bahwa anggota satuan dalmas dilarang bersikap arogan dan terpancing perilaku massa. Protap juga jelas-jelas melarang anggota satuan dalmas melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur . Bahkan hal rinci, seperti mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual, atau memaki-maki pengunjuk rasa pun dilarang. Pasal 7 ayat (1) Protap Dalmas Hal-hal yang dilarang dilakukan satuan dalmas: 1. bersikap arogan dan terpancing oleh perilaku massa 2. melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai dengan prosedur 3. membawa peralatan di luar peralatan dalmas 4. membawa senjata tajam dan peluru tajam 5. keluar dari ikatan satuan/formasi dan melakukan pengejaran massa secara perseorangan 6. mundur membelakangi massa pengunjuk rasa 7. mengucapkan kata-kata kotor, pelecehan seksual/perbuatan asusila, memaki-maki pengunjuk rasa 8. melakukan perbuatan lainnya yang melanggar peraturan perundang-undangan Di samping larangan, Protap juga memuat kewajiban. Yang ditempatkan paling atas adalah kewajiban menghormati HAM setiap pengunjuk rasa . Tidak hanya itu, satuan dalmas juga diwajibkan untuk melayani dan mengamankan pengunjuk rasa sesuai ketentuan, melindungi jiwa dan harta, tetap menjaga dan mempertahankan situasi hingga unjuk rasa selesai, dan patuh pada atasan. Jadi, pada prinsipnya, aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi tidak memiliki kewenangan untuk memukul demonstran. B. Pemukulan yang dilakukan oleh aparat yang bertuga mengamankan jalannya demonstrasi adalah bentuk pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait dengan hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Terkait dengan hal tersebut, dapat dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) untuk ditelusuri apakah ada pelanggaran dalam pelaksanaan prosedur pengamanan demonstrasi. C. Mengenai tongkat yang dibawa oleh aparat, memang berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara (“Perkapolri 8/2010”)¸aparat diperlengkapi antara lain dengan tameng sekat, tameng pelindung, tongkat lecut, tongkat sodok, kedok gas, gas air mata, dan pelontar granat gas air mata. Tongkat Lecut adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 2 (dua) cm dengan panjang 90 (sembilan puluh) cm yang dilengkapi dengan tali pengaman pada bagian belakang tongkat, aman digunakan untuk melecut/memukul bagian tubuh dengan ayunan satu tangan kecepatan sedang . Sedangkan tongkat sodok adalah tongkat rotan berwarna hitam dengan garis tengah 3 (tiga) cm dengan panjang 200 (dua ratus) cm, aman digunakan untuk mendorong massa yang akan melawan petugas (lihat Pasal 1 angka 14 dan 15 Perkapolri 8/2010 ) . Jadi, memang aparat yang bertugas mengamankan jalannya demonstrasi diperlengkapi dengan dua macam tongkat sebagaimana tersebut di atas yang digunakan selama pengamanan jalannya demonstrasi namun tidak membahayakan bagi demonstran. Simak berita terkait di bawah ini: Kompolnas-Komnas HAM Telusuri Prosedur Pengamanan Demo ; Polisi Bantah Ada Pemukulan Demonstran ; Menakar Sikap Represif Aparat Berdasarkan Protap Dalmas . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum 3. Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; 4. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum; 5. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak Dalam Penanggulangan Huru Hara. Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah lame duck session (periode transisi anggota parlemen) yang ada di Amerika Serikat itu dikenal di Indonesia?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Syarat Jadi Anggota DPR dan Cara Penetapan Anggota Komisinya 27 Jun 2023 Syarat-syarat Jadi Komisaris BUMN dan Larangan Rangkap Jabatan 05 Agt 2021 Anggota DPR Walkout , Apakah Pengambilan Keputusan Tetap Sah? 24 Mei 2021 Intip Gaji DPR dan DPRD serta Dasar Hukumnya 03 Mar 2021 Lame Duck Session Sebelumnya perlu Anda ketahui lebih dahulu, Lame Duck (bebek lumpuh) sesungguhnya istilah politis yang dimaknai sebuah kondisi pasca pemilihan umum yang mana anggota parlemen yang lama belum berhenti bertugas dan anggota yang baru terpilih dalam pemilihan umum belum dilantik, sehingga dapat dimaknai sebagai “periode transisi”, sebagaimana Anda sebutkan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sedangkan secara harfiah, Lame Duck merujuk pada seekor bebek yang terluka dan tidak mampu merawat dirinya sendiri, menjalani sisa hidupnya tak tahu untuk apa dan menunggu predator memangsanya atau mati secara perlahan. Mengutip dari Congressional Research Service dalam artikel Lame Duck Sessions of Congress, 1935 – 2018 (74th-115th Congresses) menyebutkan (hal. 1): The expression “lame duck” was originally applied in 18th century Britain to bankrupt businessmen, who were considered “lame,” like a game bird injured by shot. By the 1830s, the usage had been extended to officeholders whose service already had a known termination date . In current American usage, for instance, a President is considered a “lame duck” after his successor has been elected and also whenever he is known not to be a candidate for reelection . Dalam terjemahan bebasnya diartikan, awalnya istilah lame duck diterapkan di Inggris abad ke-18 untuk pengusaha yang bangkrut, yang dianggap lumpuh seperti burung buruan yang terluka karena tembakan. Lalu pada tahun 1830-an, penggunaan istilah ini diperluas ke pemegang jabatan yang telah diketahui tanggal penghentiannya . Sepanjang penelusuran kami, sebagai tambahan informasi, pada 14 Januari 1863, sebuah dokumen resmi Kongres Amerika Serikat mencatat perilaku Lame Duck sebagai peristiwa politik yang buruk. Sehingga, di Amerika Serikat transisi yang berakibat Lame Duck dipersingkat menjadi 75 hari. Apakah Praktik Lame Duck Session Dikenal di Indonesia? Lalu, menjawab pertanyaan Anda, apakah praktik Lame Duck dikenal di Indonesia? Selama masih ada waktu transisi sampai dilantiknya anggota parlemen baru, terbuka atau berpotensi terjadi Lame Duck , namun pada faktanya ini tidak terjadi di Indonesia , sebab dapat kita lihat dalam praktik, parlemen lebih produktif menjalankan fungsinya sebelum masa jabatannya berakhir. Namun perlu digarisbawahi, Lame Duck sendiri bukanlah praktik yang baik karena menyebabkan parlemen lumpuh. Sebab sebagai perwakilan rakyat haruslah terus melaksanakan tugasnya sampai masa jabatannya berakhir sesuai sumpah jabatan yang diucapkan saat awal dilantik. Namun di sisi lain, dengan terpilihnya anggota baru yang belum dilantik pasca pemilihan umum, membuat kebijakan yang diambil oleh parlemen periode sebelumnya mendapat legitimasi yang tidak begitu kuat. Secara normatif, keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) sendiri diresmikan dengan keputusan Presiden dengan masa jabatan anggota DPR adalah 5 tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji , yang mana pengucapan sumpah/janji secara bersama-sama dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR. [1] Sehingga menurut pandangan kami, antisipasi secara hukum perlu dilakukan, dengan memformulasikan sebuah mekanisme peralihan parlemen dalam masa Lame Duck , dengan cara mempersingkat masa transisi antara pemilihan umum dengan pelantikan anggota DPR terpilih. Tidak perlu rasanya menunggu sampai berbulan-bulan untuk melantik para legislator yang terpilih. Semakin cepat dilantik, maka semakin cepat ia menjalankan tugasnya yang mendapat legitimasi kuat dari rakyat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah , dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah . REFERENSI:\n1. Lame Duck Sessions of Congress, 1935 – 2018 (74 th -115 th Congresses) , diakses pada 31 Agustus 2021 pukul 14.00 WIB. [1] Pasal 76 ayat (2), (4) dan Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dewan perwakilan rakyat tata negara parlemen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Ibu saya tersandung kasus hukum perjudian togel, dari saat dia ditangkap 16/06/12 sampai sekarang ini dia sudah 2 kali masuk RS karena hipertensi, dan stroke ringan. Terakhir datang surat panggilan tgl. 10/09/2012 ibu saya memenuhi panggilan itu ke Polres dan di sana dia langsung terkena stroke yang disertai pendarahan di kepala. Sampai sekarang dia tidak bisa bangun dari tempat tidur, apakah kasusnya bisa dihentikan mengingat kondisi ibu saya yang sedang sakit?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan Pasal 76 s.d. Pasal 83 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana , hal-hal yang dapat menghapus hak menuntut dan menjalankan pidana adalah sebagai berikut: 1. karena nebis in idem (mengenai hal ini, Anda dapat membaca artikel Ne bis in idem ) ; 2. karena tersangka meninggal dunia; atau Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. karena perkara pidana telah kedaluwarsa. Kasus Ibu Anda telah sampai ke proses penyidikan, yang mana penyidikan pun dapat dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”). SP3 merupakan surat pemberitahuan dari penyidik pada penuntut umum bahwa perkara dihentikan penyidikannya. Penghentian penyidikan yang merupakan kewenangan dari penyidik ini diatur dalam pasal 109 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Alasan-alasan penghentian penyidikan diatur secara limitatif dalam pasal tersebut, yaitu: 1. Tidak diperoleh bukti yang cukup, yaitu apabila penyidik tidak memperoleh cukup bukti untuk menuntut tersangka atau bukti yang diperoleh penyidik tidak memadai untuk membuktikan kesalahan tersangka. 2. Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana. 3. Penghentian penyidikan demi hukum. Alasan ini dapat dipakai apabila ada alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana, yaitu antara lain karena nebis in idem, tersangka meninggal dunia, atau karena perkara pidana telah kedaluwarsa. Berdasarkan penjelasan di atas, maka penyakit ibu Anda tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan proses hukum atas ibu Anda. Bahkan berdasarkan Pasal 29 KUHAP , penahanan terhadap tersangka dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan yaitu salah satunya karena tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Ini berarti bahwa gangguan fisik dan mental yang berat pun tidak menghalangi jalannya perkara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ; 2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Dalam proses pengurusan sertifikat tanah PRONA dipungut biaya atau gratis? Dan apa landasan hukumnya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "PRONA adalah singkatan dari Proyek Operasi Nasional Agraria. PRONA diatur dalam Kepmendagri No. 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria . Tujuan utama dari PRONA adalah memproses pensertipikatan tanah secara masal sebagai perwujudan dari pada program Catur Tertib di bidang Pertanahan yang pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang bersifat strategis . PRONA dibentuk dalam lingkungan Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri. KLINIK TERKAIT Akta PPAT dan Bukti Kepemilikan Tanah 08 Agt 2012 Keabsahan Sertifikat Tanah 12 Nov 2010 Keaslian Sertifikat Tanah 09 Sep 2010 Bagan/Proses/Prosedur Pembuatan Sertipikat Tanah 19 Jul 2010 Kemudian, mengenai biaya yang dikenakan untuk sertipikat tanah PRONA, hal itu diatur dalam Keputusan Meneg Agraria/Kepala Badan pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1995 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Biaya Dalam Rangka Pemberian Sertipikat Hak Tanah yang Berasal Dari Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Penegasan Hak Tanah Adat dan Konversi Bekas Hak Tanah Adat, yang Menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria (“Kepmeneg Agraria 4/1995”). Pasal 1 ayat (1) Kep Meneg Agraria 4/1995 menyatakan sebagai berikut: Pemberian hak-hak atas tanah negara kepada masyarakat, penegasan/pengakuan atas tanah-tanah hak adat dan tanah-tanah lainnya yang ditentukan sebagai lokasi Proyek Operasi Nasional Agraria dalam rangka persertifikatkan tanah secara masal, dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara seperti yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 tahun 1975, dan kepada penerima hak-haknya dikenakan kewajiban membayar biaya administrasi . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Berdasarkan ketentuan tersebut, pensertipikatan tanah dalam rangka PRONA dibebaskan dari kewajiban membayar uang pemasukan kepada Negara, tapi penerima sertipikat tanah PRONA tetap harus membayar biaya administrasi. Hal ini juga sesuai dengan informasi yang tercantum dalam laman resmi Badan Pertanahan Nasional ( bpn.go.id ). Perincian biaya administrasi PRONA dapat dilihat dalam boks di bawah: a. Pemberian hak atas tanah Negara: a.1. Di daerah pedesaan. Untuk luas tanah sampai dengan 2 Ha sebesar Rp 3.000,- a.2. Di daerah perkotaan. Untuk jenis penggunaan pertanian yang luasnya kurang dari 2000 M2 sebesar Rp 5.000,- Untuk jenis penggunaan bukan pertanian yang luasnya sampai 2.000 M2 sebesar Rp 10.000,- b. Asal tanah milik adat: b.1. Daerah pedesaan. Untuk luas tanah sampai 2 Ha sebesar Rp. 1.000,- b.2. Di daerah perkotaan. Untuk luas tanah sampai 2.000 M2 sebesar Rp 1.000,- Di samping biaya administrasi, kepada setiap penerima hak atas tanah Negara dikenakan pula uang sumbangan untuk penyelenggaraan Landreform sebesar 50% dari biaya administrasi. Setiap pemohon dikenakan biaya Panitia A sebesar Rp. 1250,- untuk tiap bidang apabila lokasi tanah dalam proyek terdiri dari 10 bidang; sebesar Rp. 2.500,- apabila lokasi tanah dalam proyek terdiri dari 5 sampai 9 bidang. Untuk biaya pendaftaran hak dikenakan pungutan sebesar: a. Untuk konversi hak adat. a.1. Rp 10.000,- untuk daerah perkotaan; a.2. Rp. 1.000,- untuk daerah pedesaan; b. Untuk penegasan hak. b.1. Rp. 10.000,- untuk daerah perkotaan; b.2. Rp. 1.000,- untuk daerah pedesaan; c. Untuk tanah negara. c.1. Rp. 10.000; untuk daerah pedesaan; c.2. Rp. 1.000,- untuk daerah pedesaan; Untuk biaya formulir sertifikat, dikenakan pungutan sebesar Rp. 2.000,-. Jadi, pengurusan sertipikat tanah PRONA memang dikenakan biaya yaitu biaya administrasi yang perinciannya telah kami jelaskan di atas. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981 tentang Proyek Operasi Nasional Agraria 2. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1995 tentang Perubahan Besarnya Pungutan Biaya Dalam Rangka Pemberian Sertipikat Hak Tanah yang Berasal Dari Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Penegasan Hak Tanah Adat dan Konversi Bekas Hak Tanah Adat, yang Menjadi Obyek Proyek Operasi Nasional Agraria"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sebatas mana perjanjian dianggap sah sesuai Pasal 23 ayat 2 UU Mata Uang karena pada praktiknya perusahaan kami biasanya menggunakan PO dalam proses transaksi yang kemudian diproses dan terakhir diterbitkan invoice, dalam hal ini apakah PO bisa dianggap sebagai perjanjian? Kalau harus membuat perjanjian kan jadinya harus buat banyak banget perjanjian."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai sebatas mana perjanjian dianggap sah, kita perlu merujuk kembali pada syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) : SYARAT SAHNYA PERJANJIAN 1.\nKesepakatan para pihak dalam perjanjian 2.\nKecakapan para pihak dalam perjanjian Syarat SUBJEKTIF 3.\nSuatu hal tertentu 4.\nSebab yang halal Syarat OBJEKTIF KLINIK TERKAIT Perbedaan antara Perikatan dan Perjanjian 31 Mei 2023 Dapatkah Kuitansi Berfungsi Sebagai Perjanjian? 07 Sep 2022 Apakah Kuitansi Bisa Membatalkan Perjanjian? 06 Okt 2011 Keabsahan PKWT Tanpa Meterai 03 Des 2010 Lebih jauh, simak artikel Keberlakuan Perjanjian Kerja Sama . Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Sepanjang semua syarat tersebut terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah sah. Terkait dengan yang Anda tanyakan, memang sejak diundangkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (“UU Mata Uang”), penggunaan mata uang Rupiah diwajibkan dalam ( Pasal 21 ayat [1] UU Mata Uang ): a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau c. transaksi keuangan lainnya, yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ditegaskan pula dalam Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang, setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis (lihat Pasal 23 ayat [2] UU Mata Uang ). Menurut pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D , Purchase Order (“PO”) bisa saja dianggap sebagai perjanjian, karena pada umumnya akan ada “perjanjian payungnya” di mana terms and condition (syarat dan ketentuan) dari setiap PO dapat merujuk pada general terms (ketentuan umum) dalam perjanjian payung tersebut. Pendapat tersebut disampaikan Hikmahanto dalam Seminar Hukumonline Mempersoalkan Perjanjian Sebagai Senjata Untuk Melegalkan Penggunaan Valuta Asing di Indonesia pada 24 November 2011. Selanjutnya, Hikmahanto mencontohkan jika penumpang maskapai penerbangan membeli polis asuransi di bandar udara, pembeli hanya mendapat sehelai karcis yang di dalamnya tercantum bahwa perjanjian aslinya ada pada Notaris tertentu. Karcis asuransi ini dianalogikan dengan PO maupun invoice , di mana ketentuan dalam PO atau invoice untuk suatu transaksi itu akan merujuk pada perjanjian awalnya antara pembeli dan penjual, sehingga tidak perlu membuat perjanjian setiap kali akan mengadakan transaksi jual beli. Setiap ketentuan dalam PO maupun invoice akan tunduk dan merujuk pada ketentuan umum dalam perjanjian awalnya. Sehingga tidak perlu dibuat banyak sekali perjanjian setiap kali terjadi transaksi jual beli yang menggunakan PO dan invoice . Dalam seminar yang sama Timur Sukirno , Managing Partner pada kantor advokat Hadiputranto Hadinoto & Partners menambahkan bahwa dalam praktik perdagangan (jual beli) yang menggunakan PO dan invoice , para pihak jangan sampai lupa untuk membubuhkan tanda tangan pada dokumen aslinya. Memang praktiknya saat ini sarana komunikasi sudah canggih, PO maupun invoice dapat dikirimkan melalui fax maupun email, tapi harus ada tanda tangan pada setiap dokumen aslinya. Jadi, PO maupun invoice dapat saja dianggap sebagai perjanjian namun harus ada perjanjian awalnya sebagai “perjanjian payung” yang mengatur ketentuan umumnya dan dokumen aslinya ditandatangani oleh para pihak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23); 2. Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang . Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum , atau facebook Klinik Hukumonline ."
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah putusan hakim harus diumumkan? Di mana mengumumkannya?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Tentang Putusan Pengadilan KLINIK TERKAIT Apakah Hakim Boleh Mengadili Kasus Keluarganya? 23 Okt 2023 Kapan Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap? 21 Sep 2023 Eksekusi Putusan Pengadilan Asing di Indonesia, Ini Aturannya 14 Mar 2023 Arti Pidana Bersyarat dan Pembebasan Bersyarat 04 Jul 2013 Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka , yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( “KUHAP” ). Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang mengutip pendapat Mr. M.P. Stein mengatakan bahwa putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat negara berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan para pihak kepadanya (hal. 235). Hal ini juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 195 KUHAP yang berbunyi: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.” Dari bunyi Pasal 195 KUHAP di atas dapat ditarik kesimpulan juga bahwa putusan pengadilan yang tidak dibacakan di sidang terbuka untuk umum adalah putusan yang tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jadi, menjawab pertanyaan Anda, putusan itu memang harus diumumkan. Sifat umum sebuah putusan itu timbul ketika hakim men gucap kannya dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan Sebagai Informasi Publik Perlu Anda ketahui, dalam Lampiran I angka II Keputusan Mahkamah Agung No. 1-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan dikatakan bahwa terdapat 3 (tiga) kategori informasi dalam pelayanan Pengadilan, yakni: 1. Informasi yang wajib diumumkan secara berkala; 2. Informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik; dan 3. Informasi yang dikecualikan. Seluruh putusan dan penetapan pengadilan, baik yang telah berkekuatan hukum tetap maupun yang belum berkekuatan hukum tetap (dalam bentuk fotokopi atau naskah elektronik, bukan salinan resmi) merupakan informasi yang wajib tersedia setiap saat dan dapat diakses oleh publik ( Lampiran I angka II huruf C.2 KMA 1-144/2011). Masih dalam lampiran yang sama dikatakan bahwa pengadilan wajib mengelola dan memelihara jenis informasi ini untuk memastikan bahwa informasi tersebut tersedia dan dapat diakses oleh masyarakat setiap saa t. Sebagai badan publik, sanksi bagi pengadilan yang dengan sengaja tidak memberikan informasi publik (putusan) terdapat dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU 14/2008”) yang berbunyi: “Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik secara berkala, Informasi Publik yang wajib diumumkan secara serta-merta, Informasi Publik yang wajib tersedia setiap saat, dan/atau Informasi Publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan Undang-Undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).” Sebagai tambahan informasi untuk Anda, masih berkaitan dengan pengumuman putusan pengadilan, dalam sebuah tulisan berjudul Keterbukaan Informasi di Pengadilan pada Penerapan Sistem Penelusuran Alur Perkara yang dibuat oleh Dr. H. Ridwan Mansyur, SH, MH selaku Kepala Biro Hukum dan HAM Mahkamah Agung RI dikatakan bahwa pencari informasi yang ingin mendapatkan informasi tentang pengadilan tanpa harus mendatangi langsung dapat mengakses website resmi pengadilan, terutama untuk menu informasi yang wajib diberikan atau tersedia. Dengan website ini, program transparansi informasi Pengadilan atau Mahkamah Agung dapat diakses pencari informasi mengenai informasi yang dibutuhkan. Program ini dilakukan sehubungan dengan pelayanan pengadilan kepada masyarakat pada umumnya dan sebagai implementasi dari UU 14/2008 dan KMA 1-144/2011, khususnya informasi tentang proses peradilan, jadwal sidang, publikasi putusan , sarana dan prasarana serta informasi lain lain yang dibutuhkan oleh pihak-pihak yang mencari keadilan (justiciabelen). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Herzien Indlandsch Reglement (HIR)(S.1941-44) 2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 3. Keputusan Mahkamah Agung No. 1-144/KMA/I/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan Referensi: Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi. http://www.mahkamahagung.go.id/images/news/KETERBUKAAN%20_INFORMASI_PADA_PENGADILAN.pdf , diakses pada 6 November 2013 pukul 10.50 WIB http://www.mahkamahagung.go.id/images/news/SK_KMA_144_TERBARU.pdf , diakses pada 6 November 2013 pukul 13.01 WIB putusan hakim"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah keputusan MK dapat diubah?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Menguji Kembali Pasal yang Sama ke MK? 14 Agt 2023 MK sebagai Negative Legislator , Apakah Berwenang Buat Norma Baru? 04 Okt 2022 Memahami Arti Putusan MK Bersifat Final 06 Sep 2022 Berapa Lama Proses Penyelesaian Perkara Pengujian UU di MK? 10 Sep 2013 Sebelumnya, kami perlu meluruskan bahwa istilah tepat yang digunakan bukanlah keputusan, melainkan putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Pengaturan tentang MK dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU MK”) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (“UU 8/2011”’). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Menjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan MK yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) UU MK yang berbunyi: “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: 1. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 3. memutus pembubaran partai politik 4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” Seperti yang pernah dijelaskan dalam artikel Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi , putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat ( final and binding ) ( Penjelasan Pasal 10 ayat [1] UU 8/2011) Jadi, menjawab pertanyaan Anda, jelas kiranya dari penjelasan pasal di atas dapat kita ketahui bahwa putusan MK itu tidak dapat diubah karena sifatnya yang final dan mengikat. Artinya, terhadap putusan MK tidak bisa diajukan upaya hukum. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mahkamah konstitusi"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Putusan MK yang menguji UU Ketenagakerjaan tentang diperbolehkannya menikah satu kantor berlaku juga untuk PNS atau pegawai pada lembaga negara seperti kementerian dan lembaga independen seperti OJK, BI, KPK? Atau hanya berlaku untuk perusahaan swasta saja? Karena jika pertimbangan putusan MK tersebut mengacu pada UUD, maka peraturan-peraturan di bawahnya seharusnya tunduk pada putusan tersebut. Atau lembaga-lembaga yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat memiliki peraturan sendiri tetap dikecualikan karena adanya “lex spesialis derogat legi generalis”? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu memahami terlebih dahulu hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hierarki Peraturan Perundang-undangan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, h ierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk ke Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berbunyi: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menguji undang-undang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) yang secara eksplisit menerangkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) . Pernikahan Sesama Pekerja di Satu Perusahan P utusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pekerja yang menikah dengan pekerja lainnya dalam satu kantor yang Anda maksud adalah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 (“Putusan MK 13 / 2017”) tentang permohonan uji materiil Pasal 153 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan ”) . Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan menyebutkan: Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP) atau perjanjian kerja bersama (PKB) . MK melalui Putusan MK 13/2017 menyatakan bahwa frasa “ kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama ” dalam Pasal 153 ayat (1) huruf f UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat . Itu artinya, pengusaha tidak boleh melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan ikatan perkawinan. Atau dengan kata lain, pengusaha dilarang memberlakukan larangan pernikahan antar sesama pekerja dalam suatu perusahaan. Apabila tertuang dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, maka hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan tidak berlaku. Penjelasan selengkapnya silakan Anda simak artikel Larangan Pernikahan Sesama Pekerja dalam Satu Perusahaan . Apakah Putusan MK 13/2017 Berlaku Juga untuk PNS? Jika melihat secara rinci, definisi p ekerja menurut Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan adalah s etiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain . Lalu Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan mendefinisikan p emberi kerja sebagai orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Melihat Putusan MK 13/2017 yang ‘membolehkan’ pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya dalam satu perusahaan, menimbulkan pertanyaan: apakah pekerja di sini termasuk Pegawai Negeri Sipil (“PNS”)? Menurut Septria Minda Eka Putra, S.H. Analis Hukum di Badan Kepegawaian Negara , PNS tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan , melainkan tunduk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN ”) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil . Menurutnya, larangan pernikahan antar sesama pegawai pada Instansi di lingkungan PNS hampir tidak pernah ada aturannya. Namun, yang dilarang adalah kepada CPNS yang kiranya menjalani tahun-tahun pelatihan untuk tidak menikah terlebih dahulu, dan larangan itupun untuk waktu yang singkat. Selanjutnya pengertian mengenai PNS menurut Pasal 1 huruf a angka 1 PP 10/1983 , PNS adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (sekarang Pasal 1 angka 3 UU ASN ): PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan . Mengenai 3 Lembaga Negara yang Anda maksud adalah sebagai berikut : Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. [1] Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. [2] Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan,pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. [3] Namun, di lingkungan Kementerian, Lembaga Non Kementerian atau Lembaga Negara lainnya tidak dipungkiri masih terdapat “pegawai kontrak”, dalam hal ini bekerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”). Jika demikian “pegawai kontrak” atau dalam UU ASN disebut Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (“PPPK”), yaitu warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. [4] Sehingga ada dua status kepegawaian, PNS dan PPPK. Asas Lex Specialis derogat Legi Generalis Memang Asas Lex Specialis derogat Legi Generalis dapat berlaku jika ada undang-undang yang berlaku “khusus” sehingga mengesampingkan undang-undang yang berlaku “umum”. Namun UU Ketenagakerjaan yang diuji berdasarkan Putusan MK 13/2017 mengatur norma hukum yang berbeda dengan yang diatur dalam UU ASN atau undang-undang lainnya yang mengatur status kepegawaian di lembaga yang bersangkutan. Dengan demikian, Putusan MK 13/2017 yang menguji UU Ketenagakerjaan tidak berdampak pada UU ASN atau undang-undang lainnya yang mengatur status kepegawaian di lembaga negara yang bersangkutan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil Putusan: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XV/2017 Catatan : Kami telah melakukan wawancara dengan Analis Hukum Badan Kepegawaian Negara Septria Minda Eka Putra, S.H. via telepon pada 25 Juli 2018 pukul 16.11 WIB. [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”) [2] Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU KPK”) [3] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (“UU OJK”) [4] Pasal 1 angka 4 UU ASN hukumonline lembaga pemerintah ketenagakerjaan google pegawai negeri sipil hukum klinik pns klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah gugatan penggugat pasti dikabulkan jika putusannya verstek? Mengingat tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan. Lalu, apa upaya hukum putusan verstek?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Istilah verstek berkaitan dengan fungsi beracara dan penjatuhan putusan. Lalu, apa itu putusan verstek? Menurut I Rubini dan Chidir Ali dalam buku Pengantar Hukum Acara Perdata, putusan verstek adalah putusan yang dijatuhkan berhubung dengan tidak hadirnya tergugat (hal. 107).\n\nLebih lanjut, Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 24) berpendapat bahwa putusan verstek adalah pernyataan, bahwa tergugat tidak hadir, meskipun menurut hukum acara harus datang. Putusan verstek hanya dapat dinyatakan apabila pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap pada sidang pertama, dan apabila perkara diundurkan sesuai Pasal 126 HIR, juga pihak tergugat kesemuanya tidak datang menghadap lagi.\n\nDapat pula disimpulkan bahwa putusan verstek artinya putusan di mana hakim diberi wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara meskipun tergugat/para tergugat seluruhnya tidak hadir di persidangan pada tanggal yang ditentukan dan tidak meminta pihak lain untuk mewakilinya meskipun telah dipanggil secara patut.\n\nAdapun, dasar hukum putusan verstek dapat disimak dalam ketentuan Pasal 125 HIR, Pasal 149 ayat (1) RBg, dan Pasal 78 Rv, sebagai berikut :\n\nPasal 125 HIR\n\nJika tergugat tidak datang pada hari perkara itu diperiksa, atau tidak pula menyuruh orang lain menghadap mewakilinya, meskipun ia dipanggil dengan patut, maka gugatan itu diterima dengan tidak hadir (verstek), kecuali kalau nyata kepada pengadilan negeri bahwa pendakwaan itu melawan hak atau tidak beralasan.\n\nPasal 149 ayat (1) RBg\n\nBila pada hari yang telah ditentukan tergugat tidak datang meskipun sudah dipanggil dengan sepatutnya, dan juga tidak mengirimkan wakilnya, maka gugatan dikabulkan tanpa kehadirannya (verstek) kecuali bila ternyata menurut pengadilan negeri itu, bahwa gugatannya tidak mempunyai dasar hukum atau tidak beralasan.\n\nPasal 78 RV\n\nJika tergugat tidak datang menghadap setelah tenggang waktu serta tata tertib acara dipenuhi, maka putusan dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat dan penggugat dikabulkan, kecuali jika hakim menganggap gugatan itu tanpa hak atau tanpa dasar hukum.\nBentuk-bentuk Putusan Verstek\n\nM Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan (hal. 459 – 461), mengklasifikasikan empat bentuk putusan verstek yang dapat dijatuhkan oleh pengadilan yaitu mengabulkan seluruh gugatan, mengabulkan sebagian gugatan, menyatakan gugatan tidak dapat diterima, dan menolak gugatan, yang akan kami uraikan sebagai berikut.\n\nMengabulkan Seluruh Gugatan\n\nSepanjang petitum gugatan benar-benar sesuai dengan dalil gugatan dan dalil gugatan mempunyai landasan hukum yang kuat, objektif, dan rasional, maka hakim dapat mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.[1]\n\nMenurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata dalam buku Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (hal. 25), menegaskan bahwa untuk putusan verstek yang mengabulkan seluruh gugatan harus didasarkan pada syarat sebagai berikut:\n\nTergugat atau para tergugat kesemuanya tidak datang pada hari sidang yang ditentukan;Ia atau mereka tidak mengirim wakil/kuasanya yang sah untuk menghadap;Ia atau mereka kesemuanya telah dipanggil dengan patut;Petitum tidak melawan hak;Petitum beralasan.\n\nMengabulkan Sebagian Gugatan\n\nDalam hal terdapat cukup alasan untuk mengabulkan sebagian gugatan, hakim bebas dan berwenang mengabulkan gugatan untuk sebagian saja.[2] Misalnya, penggugat (kreditur) meminta pihak ketiga yang tidak ikut menjadi pihak dalam perjanjian utang piutang untuk dihukum ikut membayar utang bersama dengan tergugat (debitur). Tuntutan terhadap pihak ketiga tersebut jelas melanggar nilai keadilan dan bertentangan dengan hukum sehingga hakim dapat mengabulkan sebagian gugatan khusus terhadap debitur saja dan menolak tuntutan terhadap pihak ketiga.\n\nMenyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima\n\nHakim dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima apabila gugatan melawan hukum atau ketertiban dan kesusilaan dan tidak beralasan atau tidak mempunyai alasan hukum.[3]\n\nSelain itu, menurut pendapat kami, dalam hal terdapat kesalahan formil dalam gugatan, misalnya gugatan diajukan ke pengadilan yang tidak berwenang mengadili, gugatan diajukan ke oleh orang yang tidak berhak, kuasa yang menandatangani surat gugatan tidak memiliki surat kuasa khusus dari pihak penggugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Terhadap putusan yang demikian, di kemudian hari penggugat masih dapat mengajukan lagi gugatannya sebab hakim belum memeriksa pokok perkara.\n\nMenolak Gugatan\n\nJika menurut pertimbangan hakim gugatan yang diajukan tidak didukung alat bukti yang memenuhi batas minimal pembuktian, hakim dapat menjatuhkan putusan verstek yang memuat diktum menolak gugatan penggugat.[4]\n\nPenolakan atas gugatan penggugat menghilangkan hak penggugat untuk mengajukan gugatan kembali untuk kedua kalinya dan pada putusan melekat ne bis in idem berdasarkan Pasal 1917 KUH Perdata. Oleh karena itu apabila penggugat keberatan terhadap putusan, dapat mengajukan upaya hukum banding dan kasasi.[5]\n\nBerdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa putusan verstek tidak berarti mengabulkan seluruh gugatan penggugat. Dengan kata lain, tidak selalu putusan verstek menguntungkan penggugat. Sebab hakim dalam memeriksa perkara tidak hanya sekedar menyelesaikan sengketa demi kepentingan penggugat atau tergugat saja, melainkan titik sentralnya adalah kepentingan keadilan (for the interest of the justice).\n\nSehingga meskipun tergugat tidak hadir, majelis hakim secara ex officio akan mempelajari isi gugatan dengan sungguh-sungguh untuk menilai apakah gugatan telah memenuhi syarat formal dan materiel sehingga dapat dijatuhkan putusan dengan amar mengabulkan seluruh gugatan, mengabulkan sebagian gugatan, menyatakan gugatan tidak dapat diterima, atau menolak gugatan.\nUpaya Hukum Putusan Verstek\n\nUpaya hukum terhadap putusan verstek adalah dengan verzet atau perlawanan. Pasal 129 ayat (1) HIR menyatakan bahwa tergugat yang dihukum sedang ia tak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu, dapat memajukan perlawanan atas keputusan itu.\n\nPerlawanan atau verzet hanya dapat diajukan oleh pihak-pihak dalam perkara dan tidak boleh dilakukan oleh pihak ketiga.[6]\n\nBaca juga: Upaya Hukum Terhadap Putusan Verstek yang Telak Inkracht\n\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDasar Hukum:\n\nHerzien Inlandsch Reglement;Reglement voor de Buitengewesten;Reglement op de Rechtvordering;Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.\n\nReferensi:\n\nI Rubini dan Chidir Ali. Pengantar Hukum Acara Perdata. Bandung: Alumni, 1974;M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2019;Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan Ke-I. Bandung: Mandar Maju: Bandung, 2019.\n\n[1] M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 460[2] M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 460[3] M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 460[4] M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 461[5] M.Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Edisi Kedua. Cetakan Kedua. Jakarta: Sinar Grafika. 2019, hal. 461[6] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Edisi Revisi. Cetakan Ke-I. Bandung: Mandar Maju: Bandung, 2019, hal. 30"
} |
{
"from": "human",
"value": "Belum lama ini konflik di Papua semakin memanas, termasuk dengan ditetapkannya OPM sebagai kelompok teroris. Selain melalui kolompok bersenjata, kabarnya OPM juga menyuarakan kemerdekaan Papua di forum internasional di PPB atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua. Sebenarnya bagaimana hukumnya pergerakan ini, apakah benar Papua berhak atas hak menentukan nasib sendiri dan membentuk negara baru?\n___________________________\nRecently, the conflict in Papua has escalated, including by the designation of the OPM as a terrorist group. Apart from that, it is reported that the OPM also voiced Papuan independence in the international forum at the UN on the basis of the right to self-determination for the Papuan people. Actually, how is this the legal perspective on this movement, is it true that Papua has the right to self-determination and to form a new state?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Gagasan bahwa Papua merdeka melalui hak untuk menentukan nasib dendiri ( self-determination ) sudah lama didengungkan namun selalu kandas. Seperti halnya gagasan Republik Rakyat Maluku, Gerakan Aceh Merdeka, kemerdekaan Catalonia dari Spanyol, dan gerakan lainnya yang selalu dikampanyekan dalam opini publik, gerakan semacam ini tidak pernah mendapat dukungan negara-negara. Mengapa? karena gagasan ini tidak memiliki akar dalam hukum internasional. KLINIK TERKAIT Mengenal Perlindungan Hors de Combat dalam Hukum Perang 15 Nov 2023 Mahkamah Pidana Internasional, Ini Pengertian dan Yurisdiksinya 05 Sep 2023 Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc 26 Jan 2023 Konflik Palestina – Israel dalam Perspektif Hukum Internasional 25 Mei 2021 Norma Self-Determination Hak menentukan nasib sendiri ( self-determination ) sering dipahami secara liar dan tanpa kriteria. Banyak yang beranggapan melalui hak ini maka semua kelompok rakyat, wilayah, atau ras berhak merdeka. Bahkan ada yang merujuk Alinea pertama Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa \" sebagai dasar hukum untuk Papua Merdeka. Namun menjadi bingung saat ditanyakan apakah suku Batak, Sunda, Minang dan suku lainnya di nusantara dapat juga merdeka dengan dasar yang sama. Mereka lupa membaca kalimat berikutnya yaitu “ dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Artinya, hak kemerdekaan tersebut adalah atas situasi penjajahan. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Hukum internasonal telah menetapkan syarat yang ketat tentang siapa dan dalam situasi apa sekelompok orang atau wilayah memiliki hak menentukan nasib sendiri. Syaratnya sangat restriktif yaitu hanya berlaku bagi wilayah di bawah kekuasaan kolonial ( non-self governing territory ) , serta yang berada dalam situasi penaklukan, dominasi, dan eksploitasi asing ( alien subjugation, domination, and exploitation ) sebagaimana dinyatakan dalam Resolusi Majelis Umum P erserikatan B angsa- B angsa No mor 1514 (“Resolusi MU PBB 1514”) dan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No mor 2625 (“Resolusi MU PBB 2625”) . Mengapa hukum internasional memberi syarat ketat? Karena ada norma hukum internasional lain yang menghalanginya, yakni penghormatan terhadap integritas wilayah negara, yang juga ditegaskan dalam Resolusi MU PBB 2625 . Artinya jika hak menentukan nasib sendiri diberikan tanpa kriteria hukum maka akan terjadi gelombang disintergrasi wilayah di dunia yang berpotensi mengacaukan tatanan dunia. Selain itu, larangan pemecahan wilayah-wilayah negara juga terkristalisasi dalam Paragraf 6 Resolusi MU PBB 1514 . Cukup membanggakan bahwa pada saat perumusan paragraf ini diusulkan oleh Indonesia, dengan merujuk pengalaman pahitnya soal Papua yang dipisahkan secara ilegal oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Apakah Papua Ikut Merdeka pada Tanggal 17 Agustus 1945? Bagaimana dengan Papua, apakah masih berhak atas self-determination ? Pertanyaan hukum yang pertama harus dijawab adalah apakah wilayah Papua termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan dengan demikian turut melaksanakan hak menentukan nasib sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada apakah Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda. Hukum internasional mengenal doktrin uti possidetis juris yang tercermin dalam putusan Mahkamah Internasional (“ICJ”) pada Case Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986 . Doktrin ini menjelaskan bahwa batas-batas wilayah yang dimerdekakan adalah batas wilayah kolonial , tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang ( the principle of the intangibility of frontiers inherited from colonization ) (hal. 15-17). Ini berarti wilayah Indonesia yang dimerdekakan tanggal 17 Agustus 1945 hanya wilayah bekas Hindia Belanda dan tidak boleh mencakup wilayah di luarnya, seperti Timor Timor (jajahan Portugal) dan Malaysia/Singapura (jajahan Inggris). Fakta sejarah menunjukkan bahwa Papua pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah bagian dari Hindia Belanda sesuai dengan Pasal 62 Konstitusi Belanda tahun 1938 yang berlaku saat itu. Berdasarkan doktrin ini Papua adalah termasuk wilayah yang dimerdekakan pada tanggal 17 Agustus 1945. Norma ini sudah dikonfirmasi oleh ICJ dalam Advisory Opinion on Chagos 2019 (“Chagos 2019” ) (hal. 47-48) di mana ICJ mengatakan bahwa Inggris bersalah pada waktu memisahkan Kepulauan Chagos dari Mauritus. Secara analogis, tindakan Belanda telah melanggar hak menentukan nasib sendiri pada saat memecah-mecah wilayah Republik Indonesia (“RI”), mulai dari Perjanjian Linggarjati 1947 yang hanya mengakui de facto wilayah RI yakni Jawa, Sumatra, dan Madura; Perjanjian Renville 1948 yang mengakui de jure Jawa Tengah, Sumatra, dan terakhir Konferensi Meja Bundar 1949 (“KMB 1949”) yang mengakui seluruh wilayah RI kecuali Papua. Dalil kelompok pro Papua merdeka bahwa Papua bukan bagian dari RI karena tidak termasuk wilayah RI berdasarkan KMB 1949 dengan sendirinya gugur karena pemisahan ini bertentangan dengan norma self-determination dan doktrin uti possidetis juris seperti yang dimaksud ICJ dalam Chagos 2019. New York Agreement 1962 dan PEPERA 1969 Lantas apa status Papua pasca KMB 1949? Sesuai Pasal 2 KMB 1949 , masalah Papua akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun. Artinya, status Papua adalah persoalan bilateral RI-Belanda. Namun Belanda ingkar janji dan justru memasukkan Papua sebagai wilayah Belanda dalam Konstitusi Belanda tahun 1956 . Akibatnya, Indonesia terpaksa membatalkan KMB 1949 pada tahun 1956 melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 tentang Pembatalan Hubungan Indonesia Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar karena tindakan Belanda ini selain bertentangan dengan norma self-determination juga melanggar KMB 1949 itu sendiri. Norma hukum perjanjian internasional yang terkodifikasi pada Pasal 60 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 dapat dijadikan dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian internasional jika diingkari oleh pihak lain. Roeslan Abdulgani , menggunakan istilah rebus sic stantibus sebagai justifikasi untuk pengakhiran KMB. [1] Sengketa bilateral ini selanjutnya difasilitasi oleh Sekretaris Jenderal PBB dan melahirkan perjanjian bilateral Indonesia-Belanda yaitu New York Agreement 1962 , yang intinya menyepakati proses penyerahan Papua, dari Belanda kepada PBB, dan selanjutnya diserahkan ke Indonesia. Setelah diserahkan ke Indonesia, maka selanjutnya dilakukan Penentuan Pedapat Rakyat (PEPERA) 1969 oleh Indonesia sendiri bukan oleh PBB. Preamble dalam New York Agreement 1962 ini juga menegaskan bahwa Papua adalah sengketa antara Indonesia dan Belanda dan tidak merujuk pada Resolusi MU PBB 1514. Secara fundamental, PEPERA 1969 berbeda dengan jajak pendapat Timor Timur 2001. Jajak pendapat Timor Timur diselenggarakan langsung oleh PBB [2] dan disahkan atas dasar Resolusi PBB terkait dengan self-determination. [3] Ini menunjukkan Timor Timor diperlakukan sebagai wilayah yang masih berhak untuk menentukan nasib sendiri. Selanjutnya, melalui PEPERA rakyat Papua memutuskan ingin tetap menjadi bagian dari RI. Sekretaris Jenderal PBB selanjutnya melaporkan hasil PEPERA kepada Majelis Umum PBB dan diterima melalui Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504 (“Resolusi MU PBB 2504”) . Yang menarik adalah bagaimana negara-negara memaknai PEPERA ini. Ketua delegasi RI, Soejarwo , pada perdebatan di Majelis Umum PBB tersebut menyatakan: PEPERA bukan persoalan self-determination dalam konteks perjuangan terhadap kolonial. Bagi Indonesia ini adalah soal tuntasnya perjuangan kemerdekaan, kembali utuhnya persatuan nasional dan integritas wilayah, prinsip yang esensial bagi negara yang berdaulat dan bagi setiap negara. Mayoritas negara, antara lain Aljazair, Burma, India, Iran, Jepang, Kuwait, Malaysia, Arab Saudi, dan Thailand, mendukung posisi Indonesia bahwa PEPERA 1969 ini bukan dalam rangka self-determination seperti yang dikenal dalam kerangka Komite Dekolonisasi (C-24). India misalnya mengatakan: [4] T he question under our consideration cannot be regarded as an act of self-determination in the normal understanding of the term, since West lrian must be regarded as being an integral part of the sovereign State of the Republic of Indonesia. Tidak dimaknainya PEPERA 1969 sebagai hasil yang lazim dari self-determination juga dinyatakan oleh beberapa pakar hukum internasional, antara lain Rigos-Sureda yang menyatakan: [5] t he attitude taken by the General Assembly can be assumed to mean that West Irian was regarded as an ‘integral part’ of Indonesia and, therefore that there was no need for it to go through the process indicated by the General Assembly to achieve self-determination. Pakar hukum internasional, J. Crawford juga berpandangan serupa, bahwa sikap PBB terhadap hasil PEPERA 1969 pada dasarnya menghormati penjagaan terhadap integritas wilayah Indonesia ( the preservation of the territorial integrity of Indonesi a ). [6] PEPERA 1969 dilaksanakan pada saat situasi hukum dimana Papua sudah menjadi bagian dari Indonesia. Sehingga hasil PEPERA itu sendiri dikonstruksikan dalam konsideran ‘Menimbang’ pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat (“UU 12/1969”) bahwa Irian Barat tetap merupakan bagian dari Indonesia . Dari uraian di atas, pelaksanaan penentuan nasib sendiri rakyat Papua sudah dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 bersama dengan wilayah-wilayah lainnya bekas Hindia Belanda sedangkan PEPERA 1969 dapat dimaknai sebagai konfirmasi rakyat Papua untuk tetap berada dalam RI . Karena sudah menjadi bagian dari Indonesia maka hak menentukan nasib sendiri menjadi tidak relevan. Itulah sebabnya topik self-determination untuk Papua pasca adanya Resolusi PBB tidak pernah lagi menjadi perhatian apalagi diperdebatkan dalam literatur hukum internasional. Status PEPERA 1969 juga coba untuk dipersoalkan dalam tingkat hukum nasional Indonesia. Pada tahun 2019 sekelompok masyarakat dan beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat meminta pembatalan materi dalam UU 12/1969 yang merupakan hasil dari PEPERA 1969 ke Mahkamah Konstitusi (“MK”) melalui permohonan judicial review terhadap UU 12/1969. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2019 , MK menolak permohonan para pemohon dengan pertimbangan bahwa pemohon secara substansi tidak memohonkan pengujian terhadap UU 12/1969, tetapi terhadap PEPERA 1969 sebagai peristiwa hukum internasional yang pada hakikatnya telah diakui oleh Resolusi MU PBB 2504 yang bersifat sah dan final. Dalam hal ini MK juga menegaskan tidak memiliki kewenangan untuk menguji keabsahan tindakan PBB (hal. 37). Gerakan Papua Merdeka Apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Papua Merdeka setelah 17 Agustus 1945 tidak dapat disebut sebagai perjuangan hak menentukan nasib sendiri . Pertama , karena hak ini sudah dilaksanakan oleh Papua, dan kedua , tidak mungkin hak ini dilakukan lagi oleh wilayah yang sudah sah sebagai bagian dari suatu negara. Apa yang dilakukan oleh gerakan-gerakan ini baik di Papua maupun dukungan lembaga swadaya masyarakat di luar negeri adalah gerakan pemisahan diri/separatis dari negara . Pasal 106 K itab U ndang-Undang H ukum P idana mengkategorikan tindakan yang berupaya memisahkan bagian wilayah ini sebagai makar. Selain itu, hukum internasional sangat jelas soal ini. Pada tahun 1917, Aaland Island (bagian dari Finlandia namun berbudaya dan berbahasa Swedia) pernah mencoba memisahkan diri dan menuntut bergabung dengan Swedia. Sengketa ini diselesaikan oleh Liga Bangsa-Bangsa dengan membentuk Commission of Jurists tahun 1920, yang pada intinya menyatakan bahwa: [7] Positive International Law does not recognize the right of national groups, as such, to separate themselves from the State of which they form part by the simple expression of a wish. Yang pada intinya, dapat diartikan bahwa hukum internasional yang berlaku tidak mengenal hak sekelompok peduduk untuk memisahkan diri dari negaranya hanya karena kehendak semata. Sampai saat ini masih berlaku norma bahwa tidak ada hak untuk memisahkan diri dari negara ( secession ) dalam hukum internasional . Sekretaris Jenderal PBB U Thant pernah menyatakan: [8] the United Nations has never accepted and does not accept and I do not believe will ever accept the principle of secession of a part of its Member state . Contoh baru-baru ini adalah deklarasi pemisahan diri oleh Catalonia dari Spanyol tahun 2017 yang gagal karena tidak mendapat restu hukum internasional. Selain itu, terkait dengan hal ini, Indonesia telah melakukan deklarasi terhadap Pasal 1 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik terkait self-determination. Deklarasi tersebut menegaskan interpretasi Indonesia bahwa hak atas self-determination tidak dapat diberlakukan terhadap kelompok masyarakat di dalam suatu negara berdaulat yang akan merusak kesatuan wilayah ( territorial integrity ) dari negara tersebut. [9] Adanya gerakan pemisahan diri oleh Organisasi Papua Merdeka (“OPM”) sampai saat ini adalah akibat korban “janji (palsu) kemerdekaan” yang ditanamkan oleh kolonial Belanda, terutama pasca KMB 1949. Janji ini diteruskan ke sebagian masyarakat Papua dari generasi ke generasi. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Konstitusi Belanda tahun 1938 Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Belanda tahun 1956 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1956 Pembatalan Hubungan Indonesia Nederland Berdasarkan Perjanjian Konferensi Meja Bundar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 Pembentukan Propinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat Perjanjian Linggarjati 1947 New York Agreement 1962 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 The Agreement between Indonesia and Portugal on the question of East Timor Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 1514 Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 2504 Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 2625 Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1246 REFERENSI:\n1. Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum , (Jakarta:P. Prapantja), 1965\n2. Crawford, The Creation of States in International Law (2 nd ed.) , Oxford University Press, 2006\n3. Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018\n4. Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law , International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971\n5. United Nations Monthly Chronicle , February 1970\n6. United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights , diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB\n7. United Nations General Assembly Official Records, 24 th Session, 1813 th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969 , diakses pada 24 Juni 2021, pukul 09.33 WIB. PUTUSAN International Court of Justice, C ase Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986\n8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2019\n9. International Court of Justice Advisory Opinion on Chagos 2018 . ____________________________________________________ English Version Does the People of Papua Have the Right to Self-Determination and to Establish Its Own State? The idea that Papua may become an independent state through the exercise of the right to self-determination has been long voiced with no avail. The same goes to the independent calls of the Republic of South Maluku ( Republik Maluku Selatan [RMS] ), Free Aceh Movement ( Gerakan Aceh Merdeka [GAM] ), Catalonian separatist movement in Spain, and other movements which are campaigned within the discourse of public opinion, these kinds of movements never obtain any support. Why? Because these ideas do not have any legal basis under international law. International Law governing Self-Determination The right to self-determination is often twistedly interpreted and understood loosely without observing the required criteria. Many take the view that through this right, every group of people, a territory, or a certain race has automatically the right to independence. Some even refer to the first paragraph of Indonesia’s 1945 Constitution which stipulates that : “Whereas independence is the inalienable right of all nations… ( Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa… )” as the legal basis of Papua’s independence. But the proponents of this view cannot answer when they are posed with the similar question whether Batak, Sunda, Minang , and other ethnic groups in Nusantara may also have the right to independence by invoking that same constitutional basis. They forgot to read the subsequent sentence, which reads: “…therefore, all colonialism must be abolished in this world… ( …dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan… ). This means that the right to independence must be construed within the colonial context. International law has provided strict requirements on who and in what kind of circumstances a group of people of a territory has the right to self-determination. Such requirements are very restrictive\n10. the right can only apply in a territory under colonial rule (non-self-governing-territory), as well as under alien subjugation, domination, and exploitation, as enshrined in United Nations General Assembly Resolution (UNGA) 1514 (“UNGA Res 1514”) and UNGA Resolution 2625 (“UNGA Res 2625”) . Why does international law stipulate such strict requirements? This is because there exists another international law norm which limits the right to self-determination, namely the respect for territorial integrity of a state, enshrined also in UNGA Resolution 2625. As such, if the right to self-determination is given without legal criteria, there would be a global wave of disintegration which in turn will potentially disrupt international order. Even, the prohibition of partial or total disruption of the national unity and territorial integrity of a country under colonial context is also crystallized in Paragraph 6 of UNGA Resolution 1514 . It is worth noting that Indonesia was the proponent of this paragraph during the drafting and what in mind was the continuation of Dutch colonialism by illegally detached Papua through the Round Table Conference 1949. Was Papua Part of the Territory Gaining Independence on 17 August 1945? What about Papua, does it still have the right to self-determination? The first legal question that must be answered is that whether or not the territory of Papua was included among the territory of Indonesia when it gained independence on 17 August 1945, thus whether or not Papua participated in the exercise of self-determination. The answer to this question depends on the legal fact whether on 17 August 1945 Papua was part of the Netherlands Indies. International law recognizes the principle of uti possidetis juris enshrined in Internatioal Court of Justice (“ICJ”) decision in the Case Concerning the Frontier Dispute (Burkina Faso/Mali) 1986 . This principle provided that the territorial boundaries of a newly independent state is the territorial boundaries of the former colony , no more and no less (the principle of the intangibility of frontiers inherited from colonization) (p. 15-17). This means that the territorial boundaries of Indonesia which gained independence on 17 August 1945 was limited only to the territorial boundaries of the Netherlands Indies and cannot include any other territories, such as East Timor (former colony of Portugal), and Malaysia/Singapore (former colony of the United Kingdom). Historical facts show that on 17 August 1945 Papua was a part of the Netherlands Indies in accordance with Article 62 of the 1938 Netherlands Constitution which was applicable at the time. In accordance with the principle, Papua was part of the territory which gained independence on 17 August 1945. This norm was further affirmed by the ICJ in its 2019 Advisory Opinion on the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965 ( “ Chagos 2019 ” ) (p. 47-48), in which the ICJ stated that the United Kingdom was at fault when it detached the Chagos Archipelago from Mauritius. Analogically, the conduct of the Netherlands had violated the right to self-determination when it detached a number of colonial territories from Indonesia, by virtue of a number of agreements, from Linggarjati Agreement 1947 in which it only gave de facto recognition towards Java, Sumatra, and Madura\n11. Renville Agreement 1948, which provided a de jure recognition of Central Java and Sumatra, and ultimately the Round Table Conference 1949 ( Konferensi Meja Bundar [KMB 1949] ) which provided recognition towards all Indonesia’s territory, but excluding Papua. The argument of the supporters of Papua’s independence which states that Papua was not part of Indonesia because it was not part of Indonesia’s territory under the Round Table Conference 1949 therefore rendered itself invalid because the Papua detachment was in contrary to the norm of self-determination and the principle of uti possidetis juris as eventually confirmed by the ICJ in Chagos 2019. New York Agreement 1962 and The Act of Free Choice (PEPERA) 1969 Then, what is the status of Papua after the Round Table Conference 1949? In accordance with Article 2 of the Round Table Agreement, the issue of Papua was to be resolved within 1 year. This meant that the issue of Papua was a bilateral issue between Indonesia – the Netherlands. However, the Netherlands breached this provision and instead included Papua as part of its territory in its 1956 Constitution . As a result, Indonesia was forced to terminate the Round Table Agreement in 1956 through Law Number 13 of 1956 on the Cancellation of Indonesia-Nederland Relations Based on the Round Table Agreement because the Netherlands’ conduct was in violation the norm of self-determination as well as the provision of the Round Table Conference 1949 itself. The legal norm of treaties codified in Article 60 of the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969 can be used as a basis to terminate an international treaty if it is violated by the counterpart. Roeslan Abdulgani uses the term rebus sic stantibus as a justification of the termination of the Round Table Agreement. [10] The resolution of this bilateral dispute was subsequently facilitated by the UN Secretary General which led to the conclusion of a bilateral agreement between Indonesia – Netherlands, namely the New York Agreement 1962 , in which the two parties basically agreed to the transfer of authority over Papua, from the Netherlands to the UN, and subsequently to Indonesia. After being transferred to Indonesia, the Act of Free Choice 1969 was to be conducted by Indonesia by itself, and not by the UN. The preamble of the Agreement also asserted that the issue of Papua was a bilateral dispute between Indonesia and the Netherlands, and it did not refer to UNGA Resolution 1514. Fundamentally, the Act of Free Choice 1969 is different from the referendum of East Timor in 2001. East Timor’s referendum was conducted directly by the UN [11] within the framework of UNGA Resolutions relevant to self-determination. [12] This is to demonstrate that East Timor was treated as a territory which still had the right to self-determination. Subsequently, through the Act of Free Choice 1969, the people of Papua decided to stay as a part of Indonesia. The UN Secretary General then reported the result of the Act of Free Choice 1969 to the UNGA and it was accepted through UNGA Resolution 2504 . It is interesting to observe how states construed the Act of Free Choice 1969. Indonesian head of delegation, Soedjarwo, during the debate in the UNGA stated: The act of free choice in West Irian was not, however, a matter of self-determination in the sense of an anti-colonial struggle. For Indonesia the question was the completion of our anti-colonial struggle, the completion of our national unity and territorial integrity, a principle which is of the highest importance for a sovereign country – and for any country… The majority of states, including Algeria, Burma, India, Japan, Kuwait, Malaysia, Saudi Arabia, and Thailand, supported Indonesia’s position that the Act of Free Choice 1969 was not conducted under the framework of self-determination recognized within Decolonization Committee (C-24). India, for instance, stated: [13] The question under our consideration cannot be regarded as an act of self-determination in the normal understanding of the term, since West Irian must be regarded as being an integral part of the sovereign State of the Republic of Indonesia. The understanding that the Act of Free Choice 1969 was not construed as a normal understanding of self-determination was also stated by several internatonal scholars, among others is Rigos-Sureda , who stated: [14] the attitude taken by the General Assembly can be assumed to mean that West Irian was regarded as an ‘integral part’ of Indonesia and, therefore that there was no need for it to go through the process indicated by the General Assembly to achieve self-determination. Other well known scholar, J. Crawford, also shares the view that the UN’s attitude towards the Act of Free Choice 1969 was, in principle, taken to respect the preservation of the territorial integrity of Indonesia. [15] The Act of Free Choice 1969 was conducted in legal circumstances where Papua has already been a part of Indonesia. As such, the result of the Act of Free Choice itself was constructed in the preamble of Law Number 12 of 1969 on the Creation of Autonomous Province of West Irian and Autonomous Districts in West Irian Province ( “ Law 12/1969 ” ) that West Irian remains a part of Indonesia. From the historical and legal facts above, the right of self-determination of the people of Papua had been exercised on 17 August 1945 along with other former territories of the Netherlands Indies, while the Act of Free Choice 1969 can be understood as the affirmation of Papuan people’s aspiration to remain with Indonesia. Since Papua is already a part of Indonesia, the call of right to self-determination in this case is no longer relevant. This is why the topic of self-determination for Papua after the UNGA Resolution has never been a focus, let alone a debate, in international law literatures. The status of the Act of Free Choice 1969 was also attempted to be challenged within the domestic law of Indonesia. In 2019, a group of people and a number of civil society organizations requested the annulment of Law 12/1969 to the Constitutional Court ( Mahkamah Konstitusi [MK] ) through a judicial review application towards Law 12/1969. In its Decision Number 35/PUU-XVII/2019 , the Constitutional Court rejected the application under the consideration by arguing that the Applicant, in essence, did not request a judicial review for the Law 12/1969, but questioning the validity of the Act of Free Choice 1969 as an international law process, which had been recognized by the UNGA 2504, and therefore is final and binding. In this regard, the Court also asserted that it did not have the jurisdiction to review the validity of the UN’s actions (p. 37). Free Papua Movement The struggle of Papua’s freedom movements after 17 August 1945 cannot be considered as a struggle for the right to self-determination. First, because the right had been exercised by Papua, and second, it is not permitted for this right to be exercised (again) by a territory which has lawfully become a part of a state. What these movements are doing, both in Papua and through the support of civil society organizations abroad, is a secession/separatism from the state. Article 106 of Indonesian Penal Code categorizes this attempt to separate a part of a territory as treason. Furthermore, international law has been crystal clear on this matter. In 1917, Aaland Islands (which was part of Finland but with Swedish tradition and language) attempted to separate itself and demanded to integrate with Sweden. This dispute was resolved by the League of Nations by establishing the Commission of Jurists in 1920, who in principle stated that: [16] Positive international law does not recognize the right of national groups, as such, to separate themselves from the State of which they form part by the simple expression of a wish. Until now, the norm dictating that there is no right to secede from a state is still applicable under international law. Former UN Secretary General U Thant once said: [17] The United Nations has never accepted and does not accept and I do not believe will ever accept the principle of secession of a part of its Member state . The most recent example is the failed declaration of secession by Catalonia from Spain in 2017 because it did not obtain the approval of international law. Moreover, in this regard, Indonesia has submitted a declaration towards Article 1 of the International Covenant on Civil and Political Rights on self-determination. The declaration asserted Indonesia’s interpretation that the right to self-determination cannot be applied towards a group of people in a sovereign country, which will disrupt the territorial integrity of the state. [18] The secessionist movement by the Free Papua Movement until today is a result of a “(false) promise of independence” implanted by the colonial Netherlands, especially after the Round Table Conference 1949. This promise is passed down towards a part of the people of Papua from generation to generation. Legal Basis: The Constitution of the Netherlands 1938\n12. The Constitution of the Republic of Indonesia 1945\n13. The Constitution of the Netherlands 1956\n14. Indonesian Penal Code\n15. Law Number 13 of 1956 on the Termination of Indonesia – Netherlands Relationship under Round Table Agreement\n16. Law Noumber 12 of 1969 on the Creation of Autonomous Province of West Irian and Autonomous Districts in West Irian Province\n17. Linggarjati Agreement 1947\n18. Renville Agreement 1948\n19. Round Table Conference 1949\n20. New York Agreement 1962\n21. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969\n22. The Agreement between Indonesia and Portugal on the question of East Timor\n23. United Nations General Assembly Resolutions 1514\n24. United Nations General Assembly Resolutions 2504\n25. United Nations General Assembly Resolutions 2625\n26. United Nations Security Council Resolutions 1246 . References : Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum , (Jakarta: B.P. Prapantja), 1965\n27. Crawford, The Creation of States in International Law (2nd ed.) , Oxford University Press, 2006\n28. Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018\n29. Zubeidi Mustofa, The Principle of Self-Determination in International Law , International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971\n30. United Nations Monthly Chronicle, February 1970\n31. United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights , accessed on 24 June 2021, 09.33 Western Indonesia Time (GMT+7) United Nations General Assembly Official Records, 24th Session, 1813th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969, accessed on 24 June 2021, 09.33 Western Indonesia Time (GMT+7). Court Decisions : International Court of Justice, Case Concerning the Frontier Burkina Faso/Mali) 1986\n32. Constitutional Court Decision Number 35/PUU-XVII/2019\n33. International Court of Justice, Advisory Opinion on the Legal Consequences of the Separation of the Chagos Archipelago from Mauritius in 1965, 2019 . [1] Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum , (Jakarta: B.P. Prapantja), 1965, hal. 36. [2] Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1246 (“Resolusi DK PBB 1246”) [3] Resolusi DK PBB 1246 mengutip The Agreement between Indonesia and Portugal on the question of East Timor yang didasarkan atas Resolusi MU PBB 1514 dan Resolusi MU PBB 2625 [4] U nited N ations G eneral A ssembly Official Records, 24th Session, 1813th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969 , hal. 3 [5] Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018, hal. 30 [6] J. Crawford, The Creation of States in International Law (2 nd ed.) , Oxford University Press, 2006, hal. 646 [7] Zubeidi Mustofa, the Principle of Self-Determination in International Law , International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971, hal. 479 [8] United Nations Monthly Chronicle , February 1970 , hal.36 [9] United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights [10] Roesland Abdulgani, Hukum dalam Revolusi dan Revolusi dalam Hukum , (Jakarta: B.P. Prapantja), 1965, p 36. [11] United Nastions Security Council Resolution 1246 [12] UNSC Resolution 1246, which quoted the Agreement between Indonesia and Portugal on the question of East Timor which was based on UNGA Resolution 1514 and UNGA Resolution 2625 [13] UNGA Official Records, 24th Session, 1813th Plenary Meeting, Wednesday, 19 November 1969, p. 3. [14] Jamie Trinidad, Self-Determination in Disputed Colonial Territories, Cambridge University, 2018, p. 30. [15] J. Crawford, The Creation of States in International Law (2nd ed.) , Oxford University Press, 2006, p. 646. [16] Zubeidi Mustofa, The Principle of Self-Determination in International Law , International Lawyer, Volume 5, Number 3, 1971, p. 479. [17] United Nations Monthly Chronicle, February 1970, p.36. [18] United Nations Treaty Collection, International Covenant on Civil and Political Rights hukumonline pbb papua klinik internasional"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya bekerja di sebuah gereja di Jakarta dan gedung gereja kami ada di pinggir jalan. Dalam rencana, kami akan membuat sebuah tiang untuk memasang spanduk (isi materi spanduk adalah tentang acara-acara gerejawi yang kami adakan). Pertanyaan kami, apakah dapat dikenakan pajak? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pajak Reklame Sebagai Pajak Daerah Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) , pajak reklame termasuk dalam jenis pajak kabupaten/kota. Pasal 47 ayat (2) UU 28/2009 kemudian menegaskan bahwa objek pajak reklame meliputi: reklame papan/ billboard / videotron / megatron dan sejenisnya; reklame kain; reklame melekat, stiker; reklame selebaran; reklame berjalan, termasuk pada kendaraan; reklame udara; reklame apung; reklame suara; reklame film/ slide ; dan reklame peragaan Penyelenggaraan Reklame untuk Tempat Ibadah Sementara, yang tidak termasuk sebagai objek pajak reklame adalah : [1] penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya; nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut; yang diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan peraturan daerah . Sebagai contoh , berdasarkan Pasal 3 ayat (3) huruf e Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame , salah satu reklame yang tidak termasuk objek pajak reklame daerah DKI Jakarta adalah penyelenggaraan reklame yang semata-mata memuat nama tempat ibadah dan tempat panti asuhan, sehingga spanduk berisi acara-acara gerejawi, tidak termasuk dalam objek pajak reklame daerah DKI Jakarta. Jadi, menjawab pertanyaan di atas, maka reklame yang Anda tanyakan, jika merujuk pada ketentuan pajak reklame daerah DKI Jakarta, bukan merupakan objek pajak reklame dan tidak dikenakan pajak terhadapnya. Untuk lebih jelasnya, silakan merujuk pada peraturan daerah tempat reklame tersebut diselenggarakan . Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pajak Reklame [1] Pasal 47 ayat (3) UU 28/2009 pajak hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Adakah dasar hukum atau peraturan untuk mempekerjakan relawan di yayasan atau NGO? Apakah menggunakan Undang-Undang Ketenagakerjaan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Relawan Sosial Sebelumnya, kami asumsikan pengertian relawan yang Anda maksud sesuai pengertian relawan dalam Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (“Permensos 29/2017”) : Relawan adalah seseorang dan/atau kelompok masyarakat yang melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan berdasarkan kesukarelaan . Ada pula istilah relawan sosial , yaitu seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang pekerjaan sosial , tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan di bidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak sendiri dengan atau tanpa imbalan . [1] Relawan sosial yang dimaksud terdiri atas: [2] pekerja sosial masyarakat; karang taruna; tenaga pelopor perdamaian; taruna siaga bencana; tenaga kesejahteraan sosial kecamatan; wahana kesejahteraan sosial berbasis masyarakat; wanita pemimpin kesejahteraan sosial; kader rehabilitasi berbasis masyarakat; kader rehabilitasi berbasis keluarga; penyuluh sosial masyarakat; Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga; Lembaga Peduli Keluarga; dan/atau Lembaga Kesejahteraan Sosial. Relawan sosial melaksanakan tugas pelayanan kesejahteraan sosial dengan atau tanpa imbalan . Mereka dikoordinasikan oleh kementerian sosial, dinas sosial daerah provinsi, dan/atau dinas sosial daerah kabupaten/kota. [3] Relawan sosial harus tercatat dan terdaftar di Kementerian Sosial, dinas sosial daerah provinsi, dan/atau dinas sosial daerah kabupaten/kota. [4] Relawan sosial juga wajib lulus sertifikasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Tenaga Kesejahteraan Sosial dan Relawan Sosial yang ditetapkan oleh Menteri Sosial. [5] Relawan Sosial sebagai Pekerja Sosial Lebih lanjut, Pasal 60 huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial (“UU 14/2019”) menyatakan relawan sosial yang telah melakukan pelayanan sosial diakui sebagai pekerja sosial setelah lulus uji kompetensi sebagaimana dimaksud Pasal 23 UU 14/2019 . Uji kompetensi dilakukan dalam rangka menilai capaian kompetensi dalam praktik pekerjaan sosial dengan mengacu pada standar kompetensi. [6] Uji kompetensi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan organisasi pekerja sosial. [7] Adapun uji kompetensi tersebut dilakukan melalui pendidikan profesi pekerja sosial atau rekognisi pembelajaran lampau. [8] Uji kompetensi yang dilakukan melalui pendidikan profesi pekerja sosial diperuntukkan bagi peserta didik pendidikan profesi pekerja sosial. [9] Sedangkan uji kompetensi melalui rekognisi pembelajaran lampau diperuntukkan bagi setiap orang yang sudah bekerja, mempunyai pengalaman di bidang pelayanan sosial, dan/atau telah mengikuti pendidikan dan pelatihan bidang pelayanan sosial. [10] Patut Anda ketahui, syarat untuk mengikuti pendidikan profesi pekerja sosial adalah: [11] sarjana kesejahteraan sosial; sarjana terapan pekerjaan sosial; atau sarjana ilmu sosial lainnya terkait kesejahteraan sosial. Dalam hal penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang bersifat kedaruratan , masyarakat dapat berperan sebagai relawan. [12] Hubungan Ketenagakerjaan dalam Yayasan dan NGO Menyambung pertanyaan Anda, hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) diartikan sebagai hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah . Hubungan kerja itu terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, baik untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu . [13] Adapun pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. [14] Sedangkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. [15] Sebagaimana pernah diuraikan dalam artikel Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing , pekerja yayasan tetap dapat dikategorikan sebagai pekerja/buruh, sepanjang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain . Jadi kami berpendapat, yayasan atau NGO ( Non Governmental Organization ) harus memerhatikan aspek-aspek ketenagakerjaan relawan sosial menurut UU Ketenagakerjaan, selain ketentuan tentang relawan sosial itu sendiri. Namun bila relawan yang dimaksud dipekerjakan atas dasar kesukarelaan, tanpa imbalan, dan/atau tidak berdasarkan perjanjian kerja, maka relawan itu tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pekerja Sosial Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial Peraturan Menteri Sosial Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Sosial Nomor 16 Tahun 2017 tentang Standar Nasional Sumber Daya Manusia Penyelenggara Kesejahteraan Sosial [1] Pasal 1 angka 6 Permensos 29/2017 [2] Pasal 14 ayat (1) Permensos 16/2017 [3] Pasal 14 ayat (2) dan (3) Permensos 16/2017 [4] Pasal 15 Permensos 16/2017 [5] Pasal 16 Permensos 29/2017 [6] Pasal 1 angka 11 UU 14/2019 [7] Pasal 24 UU 14/2019 [8] Pasal 23 ayat (1) UU 14/2019 [9] Pasal 23 ayat (2) UU 14/2019 [10] Pasal 23 ayat (3) UU 14/2019 [11] Pasal 21 UU 14/2019 [12] Pasal 17 Permensos 16/2017 [13] Pasal 50 dan Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan [14] Pasal 1 angka 4 UU Ketenagakerjaan [15] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan uu ketenagakerjaan yayasan hukumonline ketenagakerjaan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Bapak/Ibu. Saya tinggal di komplek perumahan kelas kecil di Bekasi Utara, dan masih dalam masa KPR. Baru berjalan 6 tahun, kurang 9 tahun lagi. Saya berencana untuk merenovasi rumah tersebut dengan mendirikan bangunan baru memanfaatkan tanah kosong di belakang dan di depan bangunan awal, tetapi tidak mengubah desain bentuk bangunan awal. Apakah saya perlu mengurus IMB? Kemana institusi pertama kali yang harus saya datangi? Apakah nantinya akan ada perubahan biaya PBB untuk rumah saya? Terimakasih. Salam."
} | {
"from": "gpt",
"value": "IMB atau Izin Mendirikan Bangunan adalah perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada pemohon untuk membangun baru, rehabilitasi/ renovasi , dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (“Permendagri 32/2010”) . Hal ini diperjelas lagi dalam Pasal 6 ayat (3) jo. Pasal 6 ayat (2) Permendagri 32/2010 yang menerangkan bahwa IMB ada 2 macam, yaitu IMB bangunan gedung dan IMB bangunan bukan gedung. Kedua IMB tersebut berupa pembangunan baru, merehabilitasi/ renovasi , atau pelestarian/pemugaran. Jadi pada dasarnya walaupun Anda hanya akan merenovasi rumah Anda, hal tersebut tetap memerlukan IMB. KLINIK TERKAIT Syarat dan Biaya Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli 25 Jun 2024 Syarat Mengubah HGB Rumah Tinggal Menjadi Hak Milik 18 Des 2023 Pengertian PBG dan Sanksi Jika Bangunan Tak Memilikinya 04 Sep 2023 Apakah Bangunan Rumah Lama Tetap Harus Dibuatkan IMB? 24 Apr 2014 Tata caranya adalah pemohon IMB mengajukan permohonan IMB kepada Bupati/Walikota ( Pasal 6 ayat (1) Permendagri 32/2010 ). Syarat permohonan IMB diatur dalam Pasal 9 Permendagri 32/2010 , yaitu persyaratan dokumen administrasi dan rencana teknis. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Persyaratan dokumen administrasi meliputi: a. tanda bukti status kepemilikan hak atas tanah atau perjanjian pemanfaatan tanah; b. data kondisi/situasi tanah (letak/lokasi dan topografi); c. data pemilik bangunan; d. surat pernyataan bahwa tanah tidak dalam status sengketa; e. surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-PBB) tahun berkenaan; dan f. dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap lingkungan, atau upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban. Sedangkan persyaratan dokumen rencana teknis meliputi: a. gambar rencana/arsitektur bangunan; b. gambar sistem struktur; c. gambar sistem utilitas; d. perhitungan struktur dan/atau bentang struktur bangunan disertai hasil penyelidikan tanah bagi bangunan 2 (dua) lantai atau lebih; e. perhitungan utilitas bagi bangunan gedung bukan hunian rumah tinggal; dan f. data penyedia jasa perencanaan. Akan tetapi, karena IMB akan Anda gunakan untuk perluasan bangunan, maka kita akan melihat lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (“Perda 15/2012”) . Dalam Pasal 12 Perda 15/2012 ,IMB ada bermacam-macam. Jenis-jenis IMB yang diterbitkan karena keadaan tertentu terdiri dari: a. IMB Berjangka; b. IMB Pemutihan; c. IMB Pengganti; d. IMB Alih Fungsi; e. IMB Perluasan. Karena Anda ingin memperluas bangunan rumah Anda, maka Anda akan diberikan IMB Perluasan, yaitu IMB yang diberikan terhadap bangunan yang mengalami penambahan luas dengan fungsi yang sama ( Pasal 15 ayat (3) Perda 15/2012 ). Untuk IMB ini, ada syarat yang harus Anda lampirkan, yaitu IMB yang telah diterbitkan sebelumnya ( Pasal 15 ayat (4) Perda 15/2012 ). Selain itu, dalam Pasal 21 Peraturan Walikota Bekasi No. 49 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan , disebutkan juga persyaratan-persyaratan lain dalam pemberian IMB Perluasan, yaitu: a. IMB asal (asli); b. gambar IMB asal (Asli); c. photokopi KTP Pemilik Bangunan; d. gambar konstruksi bangunan perluasan; e. perhitungan struktur yang dibuat oleh Ahli Bangunan yang memiliki SIPB, untuk perluasan bangunan lebih dari 2 (dua) lantai. Mengenai apakah nantinya akan ada perubahan biaya Pajak Bumi dan Bangunan (“PBB”) untuk rumah Anda, kita merujuk pada pengaturan PBB dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (“UU 12/1985”) dan peraturan yang berlaku di daerah Bekasi. Karena rumah Anda di Bekasi, maka kami merujuk pada Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 02 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan (“Perda 02/2012”) . Dalam Pasal 1 angka 10 Perda 02/2012 , dijelaskan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Kota Bekasi ( Pasal 1 angka 11 Perda 02/2012 ). Sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut ( Pasal 1 angka 12 Perda 02/2012 ). Yang dikenakan PBB adalah bumi dan bangunan sebagaimana terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) Perda 02/2012 . Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Obyek Pajak (“NJOP”) ( Pasal 6 ayat (1) UU 12/1985 dan Pasal 6 ayat (1) Perda 02/2012 ). NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak pengganti ( Pasal 1 angka 3 UU 12/1985 dan Pasal 1 angka 13 Perda 02/2012 ). NJOP ini meliputi NJOP tanah dan NJOP bangunan. Cara menghitung PBB adalah tarif PBB dikalikan dasar pengenaan setelah dikurangi Nilai Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (“NJOPTKP”) ( Pasal 7 ayat (2) Perda 02/2012 ). Jika dirumuskan adalah sebagai berikut: tarif x (NJOP - Nilai Obyek Pajak Tidak Kena Pajak) Tarif PBB berbeda-beda bergantung pada besarnya NJOP tanah dan bangunan Anda. Tarif PBB sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perda 02/2012 adalah sebagai berikut: a. sebesar 0,1 % (nol koma satu persen) untuk NJOP sampai dengan Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); b. sebesar 0,15 % (nol koma lima belas persen) untuk NJOP di atas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); c. sebesar 0,25 % (nol koma dua lima persen) untuk NJOP di atas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Sedangkan NJOPTKP adalah batasan maksimal NJOP Bangunan yang tidak kena pajak yang ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak ( Pasal 7 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 14 Perda 02/2012 ). Contoh perhitungan PBB ( Penjelasan Pasal 7 ayat (2) Perda 02/2012 ) adalah sebagai berikut: Contoh 1: Wajib pajak A mempunyai obyek pajak berupa: Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp. 300.000,00/m2 Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp. 350.000,00/m2 Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 50.000,00/m2 Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp. 175.000,00/m2 Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut: 1. NJOP Bumi 800 x Rp. 300.000,00 =\nRp. 240.000.000,00 2. NJOP Bangunan a. Rumah dan garasi 400 x Rp. 350.000 =\nRp. 140.000.000,00 b. Taman 200 x Rp. 50.000,00 =\nRp. 10.000.000,00 c. Pagar (120 x 1,5) x Rp. 175.000,00 =\nRp. 31.500.000,00 -------------------------- + Total NJOP Bangunan =\nRp. 181.500.000,00 NJOPTKP =\nRp 10.000.000,00 -------------------------- (-) Nilai Jual Bangunan Kena Pajak =\nRp. 171.500.000,00 3. Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak (1 + 2) = Rp. 411.500.000,00 4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,1 % 5. PBB terutang 0,1 % x Rp 411.500.000,00 = Rp. 411.500,00 Contoh 2: Wajib pajak B mempunyai obyek pajak berupa: Tanah seluas 500 m2 dengan harga jual Rp. 1.000.000,00/m2 Bangunan seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp. 950.000,00/m2 Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut: 1. NJOP Bum i 500 x Rp. 1.000.000,00 = Rp. 500.000.000,00 2. NJOP Bangunan Rumah dan garasi 200 x Rp. 950.000,00 =\nRp. 190.000.000,00 NJOPTKP =\nRp 10.000.000,00 -------------------------(-) Nilai Jual Bangunan Kena Pajak =\nRp. 180.000.000,00 3. Nilai Jual Obyek Pajak Kena Pajak (1+2) = Rp. 680.000.000,00 4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,15 % 5. PBB terutang 0,15 % x Rp 680.000.000,00 = Rp. 1.020.000,00 Melihat pada pengaturan mengenai PBB dan contoh di atas terlihat bahwa jika Anda memperluas bangunan rumah Anda, maka PBB yang akan Anda bayar juga menjadi lebih besar. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan ; 2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan; 3. Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 02 Tahun 2012 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perdesaan Dan Perkotaan 4. Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; 5. Peraturan Walikota Bekasi No. 49 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. pbb hukum hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya mau bertanya: 1.Apakah di Indonesia ada peraturan terkait pajak rumah apung? 2.Apabila ada,peraturan apakah tersebut? Dan apakah terkait rumah apung dikenakan pajak bumi dan bangunan? Terima kasih"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Yang menjadi Obyek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. Jika rumah apung tersebut konstruksi tekniknya ditanam atau dilekatkan secara tetap pada perairan, maka menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan (“PBB”). Akan tetapi jika rumah apung tersebut seperti kapal yang berpindah-pindah, maka tidak terkena PBB. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Sepanjang penelusuran kami, di Indonesia tidak ada peraturan yang secara eksplisit mengatur mengenai rumah apung. Kemudian, mengenai apakah rumah apung dapat dikenakan pajak bumi dan bangunan (“PBB”), kita merujuk pengaturan mengenai PBB. Mengenai PBB, kita dapat melihat pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (“UU 12/1985”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (“UU 12/1994”) serta Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (“UU 28/2009”) . KLINIK TERKAIT Pemerintah Desa Melakukan Pungutan dari Masyarakat, Bolehkah? 11 Okt 2022 Masalah Kewenangan Pemerintah Desa Memungut Pajak 21 Nov 2016 Hal yang Boleh dan Tidak Boleh dalam Pemasangan Reklame Billboard 15 Jun 2015 Apakah Renovasi Rumah Akan Menaikkan Besar PBB? 09 Sep 2014 Karena Anda menyebutkan mengenai rumah apung, kami asumsikan tidak ada kaitannya dengan perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Maka ketentuan PBB yang digunakan terkait pembahasan mengenai rumah apung adalah UU 28/2009. Ini karena UU 12 / 1985 jo. UU 12/1994 digunakan untuk PBB sektor Perkebunan, Perhutanan dan Pertambangan (P3), sedangkan UU 28/2009 digunakan untuk sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2). Lebih lanjut dapat dilihat dalam artikel Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas Bangunan Strata Title yang kami akses dari laman ortax.org ( Observation dan Research of Taxation ) , sebuah media online berisikan informasi perpajakan . PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. [1] Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Objek PBB Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. [2] Yang dimaksud dengan Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. [3] Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut. [4] Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah: [5] a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; b. jalan tol; c. kolam renang; d. pagar mewah; e. tempat olahraga; f. galangan kapal, dermaga; g. taman mewah; h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan i. menara. Melihat pada ketentuan di atas, jelas bahwa jika rumah apung tersebut konstruksi tekniknya ditanam atau dilekatkan secara tetap pada perairan, maka menjadi objek PBB. Akan tetapi jika rumah apung tersebut seperti kapal yang berpindah-pindah, maka tidak terkena PBB.Sebagai contoh, dapat dilihat dalam artikel Rumah Apung di Katingan Bebas Pajak , yang kami akses dari inspirasibangsa.com , Rumah Apung atau biasa disebut “Lanting” di wilayah pesisir sungai Katingan, Kasongan, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) hingga saat ini tidak dipungut pajak alias bebas pajak. Pasalnya bangunan yang berdiri (dibangun mengapung di atas potongan kayu gelondongan) di atas permukaan air tersebut tidak memenuhi kriteria untuk memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Yaitu tidak memiliki tiang dan berdiri di atas tanah . Oleh karena itu, mengenai pajak rumah apung, harus dilihat kembali bagaimana pembuatan rumah apung tersebut. Jika memang konstruksinya ditanam di perairan dan bersifat tetap, maka menjadi objek PBB. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ; 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah . Referensi: http://inspirasibangsa.com/rumah-apung-di-katingan-bebas-pajak/ , yang diakses pada 27 November 2015 pukul 13.39. [1] Pasal 1 angka 37 UU 28/2009 [2] Pasal 77 ayat (1) UU 28/2009 [3] Pasal 1 angka 38 UU 28/2009 [4] Pasal 1 angka 39 UU 28/2009 [5] Pasal 77 ayat (2) UU 28/2009 klinik hukumonline pajak daerah hukumonline hukum"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah rumah sakit boleh menolak pasien gawat darurat yang tidak mampu bayar dan merujuk pasien tersebut ke RS lain sedangkan kondisinya dalam keadaan darurat? Kalau pasien tidak mampu tersebut merupakan anggota BPJS Kesehatan dan ditolak karena alasan tidak bekerja sama dengan BPJS, apakah boleh RS tersebut menolak dan merujuk pasien tersebut ke RS yang menerima layanan BPJS?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Memberikan Tindakan Medis 14 Nov 2014 Pengawalan Bagi Tahanan yang Dirawat di Luar RUTAN 30 Okt 2014 Bolehkah Rumah Sakit Menolak Pasien dengan Alasan Keterbatasan Peralatan? 01 Jul 2014 Upaya Hukum Jika Pasien Tidak Membayar Biaya Perawatan 05 Des 2012 Intisari: Pada dasarnya rumah sakit tidak boleh menolak pasien yang sedang membutuhkan pertolongan darurat dan/atau meminta uang muka dan wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien . Suatu rumah sakit (sebagai fasilitas kesehatan) tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, tidak boleh menolak pasien dalam keadaan darurat dan wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta BPJS Kesehatan. Karena pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial fasilitas kesehatan. Setelah keadaan darurat teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan , fasilitas kesehatan tersebut harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda . Rumah Sakit Tidak Boleh Menolak Pasien Merujuk artikel Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Memberikan Tindakan Medis , rumah sakit memang menjadi harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pada dasarnya, dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu. Fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka . Hal ini ditegaskan dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) . Ini artinya, rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pasien dalam keadaan darurat serta wajib memberikan pelayanan untuk menyelamatkan nyawa pasien. Selain itu, tenaga kesehatan juga wajib memberikan pertolongan pada keadaan gawat darurat. Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) menyebutkan bahwa tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan. Jadi pada dasarnya rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan dilarang menolak pasien dalam keadaan darurat dan/atau meminta uang muka dan wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien. Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Pasien Pimpinan rumah sakit atau tenaga kesehatan yang menolak pasien yang berada dalam keadaan darurat dapat dipidana penjara dan dikenakan denda sebagaimana diatur dalam Pasal 190 UU Kesehatan sebagai berikut: (1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian , pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Apakah Rumah Sakit yang Tidak Bekerja Sama Dengan BPJS Boleh Menolak Pasien Dalam Keadaan Darurat? Dalam Pasal 47 ayat (1) Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan (“Peraturan BPJS 1/2014”) menyebutkan setiap peserta Jaminan Kesehatan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan medis yang diperlukan. Pelayanan kesehatan yang dijamin oleh BPJS Kesehatan terdiri atas: [1] a. pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat pertama; b. pelayanan kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan; c. pelayanan gawat darurat ; d. pelayanan obat, alat kesehatan, dan bahan medik habis pakai; e. pelayanan ambulance; f. pelayanan skrining kesehatan; dan g. pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri. Berdasarkan Pasal 63 Peraturan BPJS 1/2014 , pelayanan gawat tersebut di atas dapat dilakukan darurat sesuai dengan indikasi medis pelayanan gawat darurat. Pelayanan gawat darurat merupakan pelayanan kesehatan yang harus diberikan secepatnya untuk mencegah kematian , keparahan, dan/atau kecacatan, sesuai dengan kemampuan fasilitas kesehatan dengan kriteria tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelayanan gawat darurat dapat diberikan oleh: [2] a. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama; b. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan; baik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan maupun tidak bekerjasama . Fasilitas kesehatan yang tidak bekerjasama dengan BPJS Kesehatan harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan setelah keadaan daruratnya teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan . [3] Dalam Lampiran Bab IV Huruf A angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat , disebutkan bahwa pada keadaan gawat darurat ( emergency ), seluruh fasilitas kesehatan baik jaringan Jaminan Kesehatan Masyarakat (“Jamkesmas”) atau bukan, wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan jaringan Jamkesmas, pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial fasilitas kesehatan, selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut dapat merujuk ke fasilitas kesehatan jaringan fasilitas kesehatan Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut. Itu artinya meskipun suatu rumah sakit (sebagai fasilitas kesehatan) tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, rumah sakit tersebut tidak boleh menolak pasien dalam keadaan darurat dan wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada pasien peserta BPJS Kesehatan. Karena pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial fasilitas kesehatan. Setelah keadaan darurat teratasi dan pasien dalam kondisi dapat dipindahkan , fasilitas kesehatan tersebut harus segera merujuk ke fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat . DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan ; 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan ; 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat ; 4. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan . [1] Pasal 47 ayat (3) Peraturan BPJS 1/2014 [2] Pasal 63 ayat (3) Peraturan BPJS 1/2014 [3] Pasal 63 ayat (4) Peraturan BPJS 1/2014 kesehatan hukumonline bpjs hukum klinik klinik hukumonline bpjs kesehatan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Seorang suami menjadi korban kecelakaan lalu lintas dan mengalami patah di bagian kakinya. Satu minggu dirawat di rumah sakit. Pasien kabur dan sudah selama 2 bulan tidak diketahui keberadaannya. Kaburnya pasien diketahui keluarga dari keterangan seorang perawat di rumah sakit. Perawat menjelaskan bahwa pasien kabur dengan menggunakan angkutan kota dan perawat tidak bisa mengejarnya karena angkutan yang dimaksud sudah melaju kencang. Keluarga kemudian meminta surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa pasien benar adanya kabur dari rumah sakit. Namun pihak rumah sakit tidak mau memberikan surat keterangan yang dimaksud dengan alasan takut keluarga pasien membuat pengaduan ke pihak yang berwajib (kepolisian). Yang mau ditanyakan adalah apakah keluarga pasien dapat menuntut rumah sakit tersebut?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Penahanan Pasien oleh Rumah Sakit termasuk Penyanderaan? 06 Nov 2023 Bolehkah Keluarga Pasien Melihat Rekam Medis? 04 Sep 2023 Sanksi Bagi Rumah Sakit yang Menolak Memberikan Tindakan Medis 14 Nov 2014 Bolehkah Rumah Sakit Menolak Pasien dengan Alasan Keterbatasan Peralatan? 01 Jul 2014 Intisari: P erlu di pertimbangkan beberapa hal seperti apakah telah ada upaya pencegahan yang maksimal dari pihak rumah sakit untuk mencegah pasien kabur ? Apakah ada sebab lain sehingga si pasien memutuskan kabur dari rumah sakit? Terlebih lagi si pasien adalah se seorang yang dewasa , yang mana pasien tersebut telah dianggap dewasa hukum serta mengetahui kosekuensi yang akan terjadi . Jika keluarga pasien telah mendalami permasalahan lebih lanjut dan telah memiliki bukti dan persangkaan yang kuat maka keluarga pasien bisa saja menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Pertama sekali kami sampaikan terima k a sih atas pertanyaannya. Kami sangat menyayangkan informasi yang Anda berikan belum begitu sempurna, seperti apakah kaburnya dilakukan pada saat malam atau siang? Pada jam besuk atau tidak? Kelas atau level layanan yang di dapatkan, kelas 1, kelas 2, atau VIP? Sehi n gga menyulitkan bagi kami untuk memberi pendapat secara menyeluruh atau memuaskan. Berdasarkan kronologis yang di jelaskan , kami menyimpulkan bahwa si suami merupakan pasien sebuah rumah sakit, kemudian kabur dari rumah sakit tersebut, bukan hilang dari rumah sakit. Hal mana diperkuat dari keterangan seorang perawat di rumah sakit tersebut. P asien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di Rumah Sakit. [1] Dikaitkan Pasal 1 angka 2 U ndang- U ndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ( “ UU Perli n dungan Konsumen ” ) maka dapat dikatakan pasien juga merupakan seorang konsumen, dan keluarga pasien juga dapat dikategorikan sebagai konsumen . Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Konsumen : Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sehubungan dengan permasalahan yang keluarga tersebut hadapi , pertama hendaknya kita melihat kepada ketentuan yang mengatur tentang hak dan kewajiban seorang pasien atau konsumen sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak pasien adalah sebagai berikut: [2] a. memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; b. memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien; c. memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi; d. memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; e. memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi; f. mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan; g. memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di Rumah Sakit; h. meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit; i. mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya; j. mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan; k. memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya; l. didampingi keluarganya dalam keadaan kritis; m. menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya; n. memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit; o. mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap dirinya; p. menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya; q. menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana; dan r. mengeluhkan pelayanan Rumah Sakit yang tidak sesuai dengan standar pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasien dan keluarga pasien juga merupakan konsumen , maka ada baiknya kita memperhatikan hak-hak konsumen , yaitu sebagai berikut : [3] a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya . Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Prakt i k Kedokteran (“UU Praktik Kedokteran”) juga memberikan perlindungan bagi pasien. Dalam UU Praktik Kedokteran juga diatur hak-hak pasien, yaitu : [4] a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis; b. meminta pendapat dokter atau dokter lain; c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis; d. menolak tindakan medis; e. mendapatkan isi rekam medis. Berdasarkan keterang an Anda dan hak-hak pasien dan konsumen yang kami sebutkan di atas, kami berasumsi ada kemungkinan pasien karena kurangnya kualitas keamanan dan keselamatan diri seorang pasien dalam perawatan di Rumah Sakit tersebut . Hal ini diperkuat dengan keterangan Anda yang menyebutkan bahwa perawat tidak mampu mengejar pasien yang kabur . Terlepas dari apakah ketika kejadian ada satpam atau petugas keaman an yang berjaga ketika itu . Akan tetapi, s ekalipun ada kekurangan terkait kualitas keamanan dan keselamatan pada rumah sakit tersebut , belum tentu kita dapat meminta pertangungjawaban dari pihak rumah sakit atau menuntut rumah sakit tersebut . P erlu di pertimbangkan beberapa hal seperti apakah telah ada upaya pencegahan yang maksimal dari pihak rumah sakit untuk mencegah pasien kabur ? Kapankah kejadiannya , apakah siang atau malam? Apakah terjadi ketika jam besuk/jaga? Ada dimana pihak keluarga pasien ketika pasien kabur ? Bagaimana sikap atau mental pasien tersebut pasca kecelakaan? Apakah ada sebab lain sehingga si pasien memutuskan kabur dari rumah sakit? Terlebih lagi si pasien adalah se seorang yang dewasa , yang mana pasien tersebut telah dianggap dewasa hukum serta mengetahui kosekuensi yang akan terjadi . Jika keluarga pasien telah mendalami permasalahan lebih lanjut dan telah memiliki bukti dan persangkaan yang kuat maka sesuai Pasal 32 huruf q UU Rumah Sakit keluarga pasien memiliki hak menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. U ndang- U ndang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ; 2. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Prakt i k Kedokteran ; 3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit . [1] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit [2] Pasal 32 UU Rumah Sakit [3] Pasal 4 UU Perlindungan konsumen [4] Pasal 52 UU Praktik Kedokteran gugatan hukumonline tuntutan rumah sakit hukum klinik pasien menggugat klinik hukumonline perlindungan konsumen"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah saham perusahan induk di perusahaan anak termasuk boedel pailit jika perusahaan induk mengalami kepailitan? Dalam pembentukan PT sendiri telah memisahkan harta pribadi dan harta perusahaan, jadi apakah saham perusahaan induk di perusahaan anak termasuk harta pribadi milik perusahaan induk atau sudah menjadi hak milik perusahaan anak yang dipisahkan yang tidak dapat dieksekusi oleh kurator? Mohon jawabannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Efektivitas PKPU dalam Mencegah Kepailitan 13 Jun 2017 Dapatkah Actio Pauliana Dilakukan pada Aset yang Dibebani Hak Tanggungan? 06 Jun 2017 Eksekusi Aset Debitor dalam Kepailitan Lintas Negara ( Cross-Border Insolvency ) 18 Apr 2017 Dapatkah Hukuman Berupa Pembayaran Ganti Rugi Kepada Penggugat Dianggap Utang? 24 Feb 2017 Intisari: Surat saham adalah bukti kepemilikan , atau dengan kata lain, surat yang diterbitkan sebagai bukti bahwa pemiliknya yaitu orang yang ikut serta dalam modal perusahaan, sehingga pemegang surat saham tersebut juga sebagai pemilik perusahaan tersebut. Jadi, saham yang dikeluarkan oleh Perusahaan Anak (PA) dan dipegang oleh Perusahaan Induk (PI) adalah termasuk harta milik PI , meskipun setoran modal adalah sepenuhnya menjadi kekayaan PA yang dipisahkan sama sekali dari kekayaan PI. Sehingga, saham yang dimiliki PI dalam PA termasuk objek harta pailit (boedel pailit) yang tunduk kepada tata cara pemberesan harta pailit. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Dari pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa baik perusahaan induk maupun perusahaan anak adalah badan usaha berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Permasalahan pertama yang harus diselesaikan di sini adalah: apakah saham yang dipegang oleh pemegang saham (yang dalam hal ini adalah perusahaan induk (“PI”)) merupakan harta pribadi dari si pemegang saham (PI) atau merupakan harta kekayaan perusahaan yang menerima penyetoran modal saham tersebut (dalam hal ini adalah perusahaan anak (“PA”))? Prinsip Pemisahan Harta Pribadi Pemegang Saham dengan PT Dasar hukum prinsip pemisahan harta pribadi pemegang saham dan harta kekayaan perusahaan dalam Perseroan Terbatas ( limited liability ) diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UU PT”) : Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ketika PI menyetorkan modal kepada PA, saham atas nama PI akan dikeluarkan oleh PA, [1] sedangkan modal yang disetorkan kepada PA (baik yang berbentuk uang tunai, aset, dan bentuk lainnya yang diperbolehkan oleh Pasal 34 UU PT ), akan menjadi harta kekayaan PA. Jika setoran berupa aset, harus dilakukan balik nama dari yang semula atas nama PI menjadi atas nama PA. Lebih lanjut silakan Anda simak Prosedur Memasukkan Aset Pribadi sebagai Aset PT . Pertanyaannya sekarang ialah apakah saham yang dipegang oleh PI atas nama PI kini disebut sebagai harta kekayaan PA yang dipisahkan, atau tetap menjadi harta kekayaan pribadi milik PI? Saham Merupakan Bukti Kepemilikan Menurut James J. Irawan dalam bukunya Surat Berharga: Suatu Tinjauan Yuridis dan Praktis (hal. 165–166), surat saham adalah bukti kepemilikan , atau dengan kata lain, surat yang diterbitkan sebagai bukti bahwa pemiliknya yaitu orang yang ikut serta dalam modal perusahaan, sehingga pemegang surat saham tersebut juga sebagai pemilik perusahaan tersebut. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa saham yang dikeluarkan oleh PA dan dipegang oleh PI adalah termasuk harta milik PI , meskipun setoran modal adalah sepenuhnya menjadi kekayaan PA yang dipisahkan sama sekali dari kekayaan PI. Ketika PI dinyatakan pailit oleh Pengadilan, maka berlaku ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yang mengatur bahwa: Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pengecualian dalam Pasal 22 UU KPKPU : Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 tidak berlaku terhadap: a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu; b. segala sesuatu yang diperoleh Debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas; atau c. uang yang diberikan kepada Debitor untuk memenuhi suatu kewajiban memberi nafkah menurut undang-undang. Jadi kesimpulannya adalah saham yang dimiliki PI dalam PA termasuk objek harta pailit (boedel pailit) yang tunduk kepada tata cara pemberesan harta pailit menurut Pasal 185 UU KPKPU yakni: (1) Semua benda harus dijual di muka umum sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. (2) Dalam hal penjualan di muka umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, maka penjualan di bawah tangan dapat dilakukan dengan izin Hakim Pengawas. (3) Semua benda yang tidak segera atau sama sekali tidak dapat dibereskan maka Kurator yang memutuskan tindakan yang harus dilakukan terhadap benda tersebut dengan izin Hakim Pengawas. (4) Kurator berkewajiban membayar piutang Kreditor yang mempunyai hak untuk menahan suatu benda, sehingga benda itu masuk kembali dan menguntungkan harta pailit. Penjelasan lebih lanjut tentang pasal ini dapat Anda simak Kewenangan Kurator dalam Membereskan Harta Pailit Berupa Saham . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ; 2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas . REFERENSI:\n1. James J. Irawan. Surat Berharga: Suatu Tinjauan Yuridis dan Praktis. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014. [1] Lihat Pasal 48 ayat (1) UU PT yang menyatakan bahwa saham perseroan dikeluarkan atas nama pemiliknya debitor hukumonline pengadilan kreditor google hakim pengawas saham kepailitan hukum klinik boedel pailit pailit utang perusahaan klinik hukumonline harta pailit kurator"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perusahaan kami ada kasus karyawan mengajukan pengunduran diri sesuai dengan ketentuan Pasal 162 UU Ketenagakerjaan, 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri. Tetapi dalam perjalanan menuju tanggal pengunduran diri tersebut, yang bersangkutan tidak masuk dalam periode 1 bulan total selama 14 hari dengan status ijin sakit. Apakah bisa karyawan tersebut kami kategorikan tidak sesuai ketentuan karena tidak melaksanakan kewajibannya selama dia bekerja di perusahaan kami?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Pekerja yang mengundurkan diri dari sebuah perusahaan harus mengajukan surat permohonan pengunduran diri 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri sebagaimana diatur dalam Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan . Pekerja tersebut tetap wajib melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Namun, jika pekerja sakit, maka ia tidak diwajibkan untuk bekerja. Perusahaan justru diwajibkan membayar upah karyawan yang tidak masuk kerja karena sakit ( sepanjang berdasarkan surat keterangan dokter ). Itu artinya, terhadap pekerja yang tidak melaksanakan kewajibannya karena sakit (dengan keterangan dokter), tidak membatalkan atau menunda jangka waktu pengunduran diri yang telah disepakati. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Mekanisme Pengunduran Diri Dalam Pasal 162 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) diatur mengenai syarat bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri: Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri ; Tidak terikat dalam ikatan dinas; dan Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri. Lebih lanjut tentang pemberitahuan pengunduran diri diatur di Pasal 26 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 78 Tahun 2001 tentang Perubahan Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya (“Kepmenakertrans 78/2001”) : Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja karena pekerja/buruh mengundurkan diri secara baik atas kemauan sendiri, maka pekerja/buruh berhak atas ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 B. Pengunduran diri secara baik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat: Pekerja/buruh mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis dengan disertai alasannya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri; Pekerja/buruh tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri; Pekerja/buruh tidak terikat dalam ikatan dinas. Pengusaha harus memberikan jawaban atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a paling lambat dalam waktu 14 (empat belas) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Dalam hal pengusaha tidak memberi jawaban dalam batas waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pengusaha dianggap telah menyetujui pengunduran diri secara baik tersebut\". Penjelasan selengkapnya mengenai ketentuan mengundurkan diri dapat Anda simak dalam artikel Aturan Jangka Waktu Pemberitahuan Pengunduran Diri (One Month Notice) . Jadi berdasarkan penjelasan di atas, mekanisme untuk mengundurkan diri dari sebuah perusahaan ialah harus mengajukan surat permohonan pengunduran diri 30 hari sebelum resmi dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) suka rela atas dasar pengunduran diri. Setelah itu, pengusaha memberikan jawaban paling lambat 14 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri. Jika perusahaan tidak memberikan jawabannya, maka dianggap telah setuju PHK atas kemauan diri sendiri. Perlu diingat bahwa, satu bulan sebelum pengunduran diri, pekerja tetap berkewajiban melakukan pekerjaannya sebagaimana diatur di Pasal 162 ayat (3) huruf c UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 26 ayat (2) huruf b Kepmenakertrans 78/2001. Menurut Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, apabila pekerja tidak melakukan pekerjaan maka upahnya tidak dibayarkan. Ketentuan ini merupakan asas yang pada dasarnya berlaku untuk semua pekerja/buruh, kecuali apabila pekerja yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan bukan karena kesalahannya . [1] Jika Pekerja yang Mengundurkan Diri Sakit Kewajiban untuk bekerja dapat dikecualikan berdasarkan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan terhadap pekerja yang saki t sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan, bahkan perusahaan harus membayar upah kepada pekerja yang sakit tersebut. Namun, pekerja sakit tersebut harus menurut keterangan dokter sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf a UU Ketenagakerjaan. Terkait pertanyaan Anda mengenai karyawan tidak masuk dalam periode 1 bulan total selama 14 hari dengan status ijin sakit (jika berdasarkan keterangan dokter) pada masa one month notice (30 hari sebelum mengundurkan diri) , berdasarkan penjelasan di atas, pada dasarnya hal tersebut beralasan dan dibolehkan menurut UU Ketenagakerjaan karena pekerja yang sakit tidak diwajibkan bekerja bahkan ia berhak dibayarkan upahnya oleh pengusaha. Akan tetapi jika tidak beralasan (sakit tanpa keterangan dokter), berarti pekerja tersebut tidak berhak meliburkan diri dan tetap harus masuk bekerja. Artinya terhadap karyawan yang tidak melaksanakan kewajibannya karena sakit (dengan keterangan dokter), tidak membatalkan atau menunda jangka waktu pengunduran diri yang telah disepakati. Bahkan terhadap pekerja yang sakit tersebut pengusahan tetap wajib membayar pekerja tersebut. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 78 Tahun 2001 tentang Perubahan Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang PHK, Pesangon, dan lainnya [1] Penjelasan Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan hukumonline mengundurkan diri pekerja ketenagakerjaan online resign hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Perlukah adanya bantuan hukum/pendampingan/perlindungan hukum bagi saksi dalam menjalani setiap tahap pemeriksaan dalam tindak pidana korupsi?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebelumnya, kami akan menjelaskan sedikit tentang saksi. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri [ Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”) ]. KLINIK TERKAIT Saksi A Charge , A de Charge , Mahkota, dan Alibi 10 Jun 2024 Adakah Larangan Bagi Hakim Memeriksa Saksi yang Sedang Sakit? 18 Des 2013 Mekanisme Perlindungan Saksi dan Korban di Daerah 25 Mar 2013 Perlindungan Saksi dan Korban Terkait Tindak Pidana Korupsi 22 Mar 2013 Sedangkan, perlindungan yang dimaksud dalam UU 13/2006 adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (“LPSK”) atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini ( Pasal 1 angka 6 UU 13/2006 ). Pasal 2 UU 13/2006 mengatakan bahwa undang-undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan . Perlindungan Saksi dan Korban ini bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana ( Pasal 4 UU 13/2006 ). Mengacu pada kedua pasal tersebut, kita bisa ketahui bahwa perlindungan saksi itu diberikan pada setiap proses peradilan pidana, yakni di setiap tahapan pemeriksaan terhadap dirinya. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Lalu kapan perlindungan saksi itu lahir dan berakhir? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 8 UU 13/2006 yang berbunyi: “Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.” Ini artinya, sebenarnya perlindungan saksi itu telah ada sejak tahap penyelidikan. Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda tentang perlukah saksi didampingi secara hukum di setiap proses peradilan pidana yang dimaksud. Hal mengenai keperluan pendampingan hukum saksi ini memiliki keterkaitan dengan hak-hak yang diperoleh oleh saksi. Hak-hak saksi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU 13/2006 adalah: a. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. memberikan keterangan tanpa tekanan; d. mendapat penerjemah; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat nasihat hukum ; dan/atau m. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Pada dasarnya, tidak ada yang menyebutkan secara eksplisit mengenai bantuan hukum/pendampingan hukum, akan tetapi saksi berhak atas nasihat hukum. Yang dimaksud dengan nasihat hukum adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan ( Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf l UU 13/2006 ). Lebih lanjut dikatakan dalam Pasal 5 ayat (2) UU 13/2006 bahwa hak-hak di atas diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Anda menyinggung soal saksi tindak pidana korupsi. Perlu Anda ketahui, salah satu tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu yang disebut dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 13/2006 antara lain, tindak pidana korupsi , tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya. Ini artinya, saksi dalam tindak pidana korupsi juga berhak atas hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 13/2006 sesuai dengan keputusan LPSK. Walaupun pendampingan hukum bukan merupakan hak-hak yang secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) UU 13/2006, akan tetapi jika saksi merasa dirinya teranca m pada saat memberikan kesaksian, saksi dapat meminta perlindungan kepada LPSK. Dalam Pasal 29 jo. Pasal 5 UU 13/2006 dikatakan bahwa sepanjang saksi tersebut memiliki kepentingan bahwa dirinya perlu dilindungi saat memberikan kesaksian di setiap pemeriksaan, maka ia dapat mengajukan permohonan pendampingan tersebut kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pasal 29 UU 13/2006: “Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: a. Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK ; b. LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a; c. Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.” Perlindungan yang diberikan tersebut diberikan dengan mempertimbangkan syarat-syarat sebagaimana dalam Pasal 28 UU 13/2006 : a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban b. tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban d. rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tambahan Penulis: Pengertian saksi juga terdapat dalam Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang sama dengan pengertian saksi menurut Pasal 1 angka 1 UU 13/2006, yakni orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Namun , Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 telah menyatakan bahwa Pasal 1 angka 26 KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), sepanjang pengertian saksi dalam pasal-pasal itu tidak dimaknai orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri sehingga makna saksi diperluas lagi. Berkaitan dengan perlindungan saksi dalam perkara korupsi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan SEMA No 04 Tahun 2011 tentang Perlakuan Terhadap Pelapor Tindak Pidana (Whistle Blower) dan Saksi Pelaku Yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (“SEMA 04/2011”) yang meminta kepada para hakim agar jika menemukan adanya orang-orang yang dapat dikategorikan sebagai Pelapor Tindak Pidana dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama, dapat diberikan perlakuan khusus dengan antara lain memberikan keringanan pidana dan/atau bentuk perlindungan lainnya . Pelapor Tindak Pidana ( Whistleblower ) adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu (termasuk korupsi) dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya. Bentuk perlindungannya antara lain: jika Pelapor Tindak Pidana dilaporkan pula oleh terlapor, maka penanganan perkara atas laporan yang disampaikan oleh Pelapor Tindak Pidana didahulukan dibanding laporan dari terlapor. Sedangkan Saksi Pelaku yang Bekerjasama ( Justice Collaborator ) adalah salah satu pelaku tindak pidana tertentu (termasuk korupsi), mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Atas bantuan dari Saksi Pelaku yang Bekerjasama dalam mengungkap tindak pidana tersebut, perlindungan hukum yang diberikan antara lain adalah hakim dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana seperti pidana percobaan bersyarat khusus. tipikor"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah boleh saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan diminta keterangannya dalam persidangan?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Hak dan Kewajiban Saksi dalam Perkara Pidana 28 Jun 2024 Saksi A Charge , A de Charge , Mahkota, dan Alibi 10 Jun 2024 Definisi Saksi Mahkota 20 Agt 2019 Kewenangan Hakim Mengubah Status Saksi Menjadi Tersangka 08 Jun 2012 Intisari: Tidak ada ketentuan yang melarang seseorang yang tidak memiliki agama/kepercayaan untuk bersaksi di persidangan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa saksi harus bersumpah atau berjanji sebelum memberikan keterangannya. Oleh karena itu, menurut kami, tidak menjadi masalah apakah saksi mempunyai agama/kepercayaan atau tidak, selama saksi tersebut mau berjanji untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Penjelasan lebih lanjut dan contoh kasus dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Guna menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan saksi yang dimaksud dalam pertanyaan Anda adalah saksi dalam proses peradilan pidana pada tahap persidangan. Oleh karena itu, kami akan menjawabnya dengan pendekatan hukum pidana dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP) . Definisi Saksi Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. [1] Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 , Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, termasuk “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri”. Yusril Ihza Mahendra , pemohon judicial review KUHAP, dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP , mengatakan bahwa putusan MK ini menyatakan definisi saksi tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Sebagai informasi, menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian pula halnya dengan ahli. [2] Larangan untuk Menjadi Saksi Apakah saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan boleh diminta keterangannya dalam persidangan? Untuk itu harus dilihat terlebih dahulu siapa saja yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal tersebut telah diatur dalam Pasal 168 KUHAP sebagai berikut: Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Merujuk pada ketentuan di atas, tidak mempunyai agama atau kepercayaan tidak menjadi halangan bagi seseorang untuk menjadi saksi. Akan tetapi, hal ini akan berkaitan dengan salah satu kewajiban saksi, yaitu sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. [3] Lalu bagaimana saksi yang tidak mempunyai agama atau kepercayaan melakukan kewajibannya mengucapkan sumpah atau janji? Sumpah atau Janji Seorang saksi, sebelum memberikan keterangan, wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut tata cara agamanya masing-masing. [4] Namun, dalam acara pemeriksaan tindak pidana ringan, saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu. [5] Ini berarti pengambilan sumpah dilakukan berdasarkan agama yang dianut oleh saksi dengan dibantu oleh rohaniawan sebagai juru sumpah. Bagaimana jika saksi menolak bersumpah atau berjanji? Bagi saksi yang menolak bersumpah atau berjanji tanpa alasan sah, pemeriksaan terhadap dirinya tetap dilakukan tetapi ia dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat dijadikan sandera di Rumah Tahanan Negara paling lama 14 hari. [6] Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lewat dan saksi tetap tidak mau disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. [7] Mengenai tata cara bersumpah atau berjanji saksi yang mempunyai agama, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Lafal Sumpah di Pengadilan Bagi Penganut Kepercayaan , buku terbitan Mahkamah Agung Republik Indonesia , Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan mengatur sebagai berikut: 1. Saksi yang beragama Islam : “WALLAHI” atau (DEMI ALLAH)” “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARIPADA YANG SEBENARNYA” 2. Saksi yang beragama Kristen Protestan dan Katolik : “SAYA BERSUMPAH/BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARIPADA YANG SEBENARNYA” “SEMOGA TUHAN MENOLONG SAYA” 3. Saksi yang beragama Hindu : “OM ATAH PARAMA WISESA” “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA” 4. Saksi yang beragama Budha : “DAMI SANG HYANG ADI BUDHA” “SAYA BERSUMPAH BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA” 5. Dalam hal ada saksi yang karena kepercayaannya tidak bersedia mengucapkan sumpah, maka yang bersangkutan cukup mengucapkan janji sebagai berikut: “SAYA BERJANJI BAHWA SAYA AKAN MENERANGKAN DENGAN SEBENARNYA DAN TIADA LAIN DARI YANG SEBENARNYA” Dari uraian di atas terlihat bahwa baik buku terbitan Mahkamah Agung maupun KUHAP tidak mengatur lafal sumpah/janji bagi saksi yang tidak mempunyai agama. Walaupun tidak ada lafal sumpah/janji bagi yang tidak memiliki agama dan setiap lafal sumpah/janji masing-masing agama memiliki perbedaan, tetapi dapat kita lihat bahwa pada intinya lafal sumpah/janji semua agama hampir sama. Yaitu mereka harus menerangkan atau menjelaskan dengan sebenar-benarnya. Oleh karena itu, menurut kami, tidak menjadi masalah apakah saksi mempunyai agama/kepercayaan atau tidak, selama saksi tersebut mau berjanji untuk mengatakan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana . REFERENSI:\n1. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, 2009. [1] Pasal 1 angka 26 KUHAP [2] Penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP [3] Pasal 160 ayat (3) KUHAP [4] Pasal 160 ayat (3) KUHAP [5] Pasal 208 KUHAP [6] Pasal 161 ayat (1) KUHAP [7] Pasal 161 ayat (2) KUHAP acara peradilan hukumonline alat bukti hukum klinik klinik hukumonline pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya bekerja di perusahaan swasta sebagai sales dan saat ini saya mempunyai masalah dengan salah satu customer saya yang lokasinya di kota Tegal, sedangkan saya kerja di Surabaya. Customer saya punya tunggakan hutang. Saya sudah hubungi nomor HP dan BBMnya tetapi tidak bisa. Saya juga sudah kirimkan surat tagihan ke-2 dan belum ada tanggapan. Pertanyaan saya adalah apakah hutang customer tersebut menjadi tanggung jawab saya sepenuhnya? Sedangkan mulai dari awal saya masuk kerja di perusahaan tidak ada perjanjian mengenai hutang customer menjadi tanggung jawab sales. Mohon bantuan penjelasan atas hal ini dan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Apakah Pembeli Barang Black Market Dianggap Sebagai Penadah? 18 Feb 2015 Batas Pertanggungjawaban Sales Jika Konsumen Tidak Membayar Barang 02 Feb 2015 Jika Bangunan Ruko Tidak Sesuai yang Diperjanjikan Developer 12 Nov 2014 Izin Distributor Usaha Kecil untuk Masuk Toko Swalayan 09 Jun 2014 Intisari: Sales hanya sebatas perwakilan dari sebuah badan/perusahaan, sehingga hubungan hukum yang terjadi (misalnya hubungan utang piutang) adalah hubungan hukum antara customer dengan perusahaan tempat Anda bekerja. Oleh karena itu, jika customer tidak dapat memenuhi prestasinya terhadap perusahaan, maka yang terjadi adalah customer melakukan wanprestasi dan yang dapat diminta pertanggungjawabannya oleh perusahaan adalah customer tersebut sebagai lawannya dalam perjanjian (misalnya utang piutang). Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sangat disayangkan Anda tidak memberi informasi mengenai tempat Anda bekerja, namun dapat kami asumsikan melalui pertanyaan Anda, Anda bekerja pada sebuah badan/perusahaan yang memberikan pinjaman. Anda menanyakan apakah utang customer saat tidak dibayar menjadi tanggung jawab sales , jawabannya adalah tidak. Pada intinya, sales hanya sebatas perwakilan dari sebuah badan/perusahaan yang memberikan pinjaman kredit kepada customer , untuk menawarkan pinjaman kredit atau bahkan menagihkan pembayaran kepada customer . Perlu Anda pahami bahwa perjanjian pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, degan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. [1] Perjanjian pinjam meminjam yang terjadi dalam kasus Anda adalah perjanjian antara pihak badan/perusahaan pemberi pinjaman (perusahaan tempat Anda bekerja) dengan pihak customer . Namun, beberapa sales pada suatu perusahaan ada yang mendapat komisi pada saat customer membayarkan tagihannya, yang mana dalam kasus Anda, tidak dapat kami pastikan karena Anda tidak memberikan informasi mengenai perjanjian kerja Anda dengan pihak perusahaan. Oleh karena itu, hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan hukum antara perusahaan tempat Anda bekerja dengan customer , sehingga tidak ada hubungannya dengan Anda. Anda menyatakan bahwa customer Anda mempunyai tunggakan utang yang tidak dibayarkan, berkaitan dengan hal tersebut, kami mengutip ketentuan hukum yang tercantum dalam Pasal 1238 KUH Perdata yang berbunyi: “ Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan ”. Bahwa dalam perkara Anda, customer Anda tidak dapat melunasi tangihannya sesuai dengan yang diperjanjikan sehingga dinyatakan lalai, yang mana dinyatakan dalam surat tagihan ke-2 yang sebagaimana Anda sampaikan, telah Anda kirimkan. Dalam hal ini, customer tersebut telah melakukan wanprestasi atas perjanjian yang telah dibuatnya dengan perusahaan tempat Anda bekerja. Menurut seorang ahli hukum Indonesia, Prof. R. Subekti dalam bukunya yang berjudul Hukum Perjanjian Cetakan II , wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) macam: 1. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya. 2. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. 3. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat. 4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan. Keseluruhan kondisi-kondisi tersebut adalah dimana seseorang dapat dinyatakan melakukan wanprestasi, dan dalam hal ini, customer Anda yang tidak dapat melunasi tagihan utangnya, dapat dikatakan melakukan wanprestasi karena tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya yaitu membayar utangnya. Oleh karena itu, langkah hukum yang dapat dilakukan adalah mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi. Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUH Perdata , yang selengkapnya berbunyi demikian: “ Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya ”. Berkenaan dengan pertanyaan Anda, customer Anda dapat dinyatakan telah lalai yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi, hal ini ditandai dengan surat tagihan ke-2 yang sudah Anda kirimkan kepada customer Anda. Perlu diketahui juga, berdasarkan ketentuan di atas, jika seseorang terlambat untuk membayar kewajibannya, ia dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi dengan pengenaan bunga atas keterlambatannya itu. Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas, dapat kami simpulkan bahwa utang yang dimiliki customer bukanlah tanggung jawab Anda sebagai sales karena hubungan hukum yang terjadi adalah hubungan hukum antara customer dengan perusahaan tempat Anda bekerja (hubungan pinjam meminjam atau utang piutang). Yang dapat dilakukan adalah badan/perusahaan pemberi kredit (tempat Anda bekerja) dapat mengajukan gugatan ganti kerugian dengan dasar wanprestasi yang telah dilakukan oleh customer tersebut. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata . REFERENSI:\n1. R. Subekti. 1970. Hukum Perjanjian Cetakan II . Jakarta: Pembimbing Masa. [1] Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) wanprestasi perjanjian hukumonline perdata hukum klinik utang piutang klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dengan diterbitkannya Perppu yang baru mengenai kejahatan seksual, apabila pelakunya masih \"di bawah umur\" apakah sanksinya dikebiri juga?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Sanksi kebiri merupakan tindakan yang diberikan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, di samping pengenaan sanksi pidana penjara dan denda. Tindakan berupa kebiri kimia dikecualikan bagi pelaku anak. Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Ulasan: Anda tidak menyebutkan berapa umur pelaku kejahatan yang Anda maksud dengan “di bawah umur”. Dalam undang-undang, tidak ada terminologi “pelaku kejahatan di bawah umur”, yang ada adalah “anak yang berkonflik dengan hukum” sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) . Anak yang berkonflik dengan hukum atau yang disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. [1] Kemudian mengenai peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang memberikan sanksi kebiri pada pelaku kejahatan seksual, peraturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“Perpu 1/2016”) . KLINIK TERKAIT Hukumnya Jika Pacar Tak Mau Bertanggung Jawab Menikahi 10 Mei 2023 Pencabulan Anak oleh Orang Tuanya, Ini Ancaman Pidananya 16 Feb 2023 Jerat Hukum Bagi Pelajar yang Menggunakan Ganja 07 Des 2022 Dapatkah Menjerat Pidana Anak yang Lakukan Pencabulan? 04 Feb 2019 Sanksi kebiri ini diberikan sebagai bentuk tindakan kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak, di samping pengenaan sanksi pidana penjara dan denda, yang diatur dalam Pasal 81 Perpu 1/2016 jo. Pasal 76D Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) . Selengkapnya pasal yang mengatur mengenai sanksi kebiri adalah sebagai berikut: Pasal 81 Perpu 1/2016: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. (3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D. (5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. (6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. (7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. (8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. (9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak .” Pasal 76D UU 35/2014: Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Mengenai apakah terhadap pelaku kejahatan yang masih tergolong anak akan dikenakan tindakan kebiri juga, merujuk pada pasal di atas jelas bahwa tindakan berupa kebiri kimia dikecualikan bagi pelaku anak. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ; 2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak . [1] Pasal 1 angka 3 UU SPPA hukuman kebiri acara peradilan perppu kebiri anak kebiri kimia pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Sekretaris daerah adalah jabatan karir tertinggi di kabupaten/kota. Apakah sekretaris daerah kabupaten/kota dapat dikategorikan sebagai pejabat negara dan diperbolehkan mendapat fasilitas-fasilitas yang diberikan kepada pejabat negara? Tolong Pak penjelasannya dan terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Perlu Anda ketahui, pada 2014 kini telah berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) yang telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU Kepegawaian”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (“UU 43/1999”) . KLINIK TERKAIT Bolehkah Jadi Calon Kepala Desa Jika Pernah Dipidana? 29 Mei 2024 Haruskah Calon Kepala Daerah Merupakan Putra Daerah? 10 Mei 2023 Syarat PNS yang Mencalonkan Diri di Pilkada 01 Feb 2019 Haruskah Pinjaman Daerah Dituangkan dalam Peraturan Daerah? 19 Nov 2018 Selain itu, UU ASN juga telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (“UU Pemerintahan Daerah”) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (“UU 12/2008”) beserta peraturan pelaksanaannya. Oleh karena itu, kami akan menjawab pertanyaan Anda berdasarkan UU ASN. Berdasarkan UU ASN sekretaris daerah dapat menduduki beberapa jabatan berikut, yaitu: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. Jabatan pimpinan tinggi madya [ Pasal 19 ayat (1) huruf b UU ASN serta penjelasannya ] untuk sekretaris daerah provinsi. b. Jabatan pimpinan tinggi pratama [ Pasal 19 ayat (1) huruf c UU ASN dan Pasal 115 ayat (1) UU ASN serta penjelasannya ] untuk sekretaris daerah kabupaten/kota. Berkaitan dengan pertanyaan Anda, dari sini dapat kita ketahui bahwa sekretaris daerah kabupaten/kota memiliki jabatan pimpinan tinggi pratama. Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami mengacu pada Pasal 122 UU ASN .Menurut pasal ini, yang termasuk pejabat negara yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden; b. Ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; d. Ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc; f. Ketua, wakil ketua, dan anggota Mahkamah Konstitusi; g. Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; h. Ketua, wakil ketua, dan anggota Komisi Yudisial; i. Ketua dan wakil ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; j. Menteri dan jabatan setingkat menteri; k. Kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh; l. Gubernur dan wakil gubernur; m. Bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota; dan n. Pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-Undang. Dari sini, jika kita melihat dari siapa saja yang termasuk dalam pejabat negara di UU ASN, undang-undang ini tidak menyebutkan sekretaris daerah termasuk di dalamnya, yang mana hal ini berlaku pula untuk sekretaris daerah kabupaten/kota. Adapun kepala suatu daerah yang masih termasuk dalam pejabat negara yang disebutkan dalam UU ASN hanya sampai pada bupati/walikota dan wakil bupati/ wakil walikota ( Pasal 122 huruf m UU ASN ). Dengan demikian, sekretaris daerah bukan merupakan pejabat negara dan tidak mendapatkan fasilitas seperti halnya yang diberikan kepada pejabat negara. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara . pejabat negara sipil fasilitas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya saat ini menjadi komisaris di sebuah CV. Namun saya masih mempelajari apa saja yang menjadi wewenang dan tanggung jawab seorang komisaris dalam sebuah perusahaan CV? Apabila CV menghadapi sengketa perdata atau pidana, bagaimana komisaris harus bertindak? Mohon penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "CV yang merupakan singkatan dari Commanditair Venootschap atau Persekutuan Komanditer secara umum tunduk pada ketentuan mengenai firma, yaitu Pasal 16 – 35 KUHD, namun secara lebih khusus lagi diatur pada Pasal 19 – 21 KUHD. Adapun pada Pasal 19 KUHD, disebutkan:\n\nPerseroan yang terbentuk dengan cara meminjamkan uang atau disebut juga perseroan komanditer, didirikan antara seorang atau antara beberapa orang persero yang bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang.\nSuatu perseroan dapat sekaligus berwujud perseroan firma terhadap persero-persero firma di dalamnya dan perseroan komanditer terhadap pemberi pinjaman.\n\nDari uraian dalam Pasal 19 KUHD tersebut, terdapat dua jenis sekutu dalam CV, yaitu\n\nSekutu komplementer, yang bersifat aktif, yang menjalankan pengurusan terhadap CV atau yang berhak bertindak untuk dan atas nama CV serta yang berhubungan dengan pihak ketiga dan bertanggung jawab secara tanggung renteng sampai harta kekayaan pribadi;[1] danSekutu komanditer, yang bersifat pasif, yang tanggung jawab utamanya hanyalah memberi pinjaman uang kepada CV.\n\nSelanjutnya Pasal 20 KUHD memberikan pembatasan terhadap kewenangan sekutu komanditer sebagai berikut:\n\nNama sekutu komanditer tidak boleh digunakan sebagai nama CV;Sekutu komanditer tidak boleh melakukan pengurusan atau bekerja dalam CV tersebut, walaupun berdasarkan pemberian kuasa;Sekutu komanditer tidak ikut memikul lebih dari jumlah uang yang dimasukkannya.\n\nNamun demikian, berdasarkan Pasal 21 KUHD, pembatasan di atas tidak berlaku jika seorang sekutu komanditer ternyata menggunakan namanya sebagai nama CV atau melakukan tindakan pengurusan atau bekerja dalam CV tersebut, walaupun berdasarkan pemberian kuasa. Atas pelanggaran tersebut, sekutu komanditer menjadi bertanggung jawab secara tanggung renteng terhadap seluruh utang dan perikatan CV tersebut.\n\nBerdasarkan ketentuan mengenai sekutu komanditer, dapat disimpulkan bahwa seorang sekutu komanditer dalam CV tidak berwenang untuk melakukan pengurusan CV dan tidak dapat mewakili CV tersebut terhadap pihak ketiga. Wewenangnya hanyalah untuk memberikan modal kepada CV tersebut. Selain itu, tanggung jawab seorang sekutu komanditer juga terbatas hanya pada sejumlah modal yang dimasukannya ke dalam CV.\nSelanjutnya, jika CV menghadapi sengketa baik perdata maupun pidana, perlu ditinjau kembali pihak-pihak yang berwenang mewakili CV dalam melakukan tindakan, mengingat adanya sekutu komplementer dan sekutu komanditer. Mengingat Pasal 19 dan Pasal 20 KUHD, yang bertindak keluar mewakili suatu CV adalah sekutu komplementer,[2] dan sekutu komanditer sepatutnya tidak dikenal oleh pihak ketiga.[3]\n\nMemperhatikan hal tersebut di atas, dan juga mengingat CV bukanlah badan hukum, maka suatu CV dalam sengketa di pengadilan sepatutnya diwakili oleh sekutu komplementer. Dalam hal ini, jika CV mengajukan atau menghadapi gugatan, maka yang menjadi pihak pengugat atau tergugat adalah sekutu komplementer.\nAdakah Direksi dan Komisaris dalam CV?\n\nDengan demikian, dalam CV tidak dikenal istilah komisaris atau direksi, tidak seperti organ pada Perseroan Terbatas (“PT”). Namun dalam perkembangannya, dapat ditemui bahwa istilah komisaris pada CV digunakan untuk merujuk pada sekutu komanditer. Misalnya hal ini dapat ditemui dalam uraian dalam Putusan MA No. 1216 K/Pid/2012 dan Putusan MA No. 84 K/Pdt/2019.\nWalaupun demikian, mengingat adanya sekutu komplementer dan sekutu komanditer dalam suatu CV, tidak dapat disimpulkan bahwa sekutu komplementer yang memiliki peran aktif secara otomatis memiliki peran sebagai direksi atau sekutu komanditer yang memiliki peran pasif secara otomatis memiliki peran sebagai komisaris. Untuk itu, kiranya dalam anggaran dasar CV perlu dimuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban sekutu komplementer dan sekutu komanditer, termasuk apakah sekutu komanditer tersebut berwenang mengawasi pengurusan CV atau tidak.[4]\nDemikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.\nDASAR HUKUM:\n1. [Kitab Undang-Undang Hukum Dagang](Data Kepolisian /pusatdata/detail/507/wetboek-van-koophandel-voor-indonesie/document?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=KUHD)\n2. [Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata](Data Kepolisian /pusatdata/detail/lt5b98c54a67752/node/68/peraturan-menteri-hukum-dan-hak-asasi-manusia-nomor-17-tahun-2018?utm_source=website&utm_medium=internal_link_klinik&utm_campaign=permenkumham_17_2018)\nPUTUSAN\n\nPutusan Mahkamah Agung Nomor 1216 K/Pid/2012;Putusan Mahkamah Agung Nomor 84 K/Pdt/2019.\nREFERENSI:\n1. M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2022\n2. Zainal Asikin, Hukum Dagang (Edisi Kedua), Depok: Rajawali Press, 2020\n3. Sekutu CV Aktif dan Pasif = Direksi dan Komisaris CV?, yang diakses pada 6 Oktober 2023, pukul 13.00 WIB.\n\n[1] Zainal Asikin, Hukum Dagang (Edisi Kedua), Depok: Rajawali Press, 2020, hal. 59 jo. Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma dan Persekutuan Perdata[2] M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2022, hal. 18[3] Zainal Asikin, Hukum Dagang (Edisi Kedua), Depok: Rajawali Press, 2020, hal. 59[4] Sekutu CV Aktif dan Pasif = Direksi dan Komisaris CV?, yang diakses pada 6 Oktober 2023, pukul 13.00 WIB"
} |
{
"from": "human",
"value": "Di dalam UU Lalu Lintas pada bab XIX paragraf 1 tentang kewenangan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 260 ayat 1 apakah semua kepolisian di bidang lalu lintas dapat dianggap penyidik? Dan bagaimanakah kita sebagai masyarakat dapat mengetahuinya bahwa petugas lalu lintas tersebut seorang penyidik atau penyidik pembantu?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaannya, saya coba jawab dengan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman pribadi saya. Tidak semua polisi adalah penyidik, tapi semua polisi bisa menjadi penyidik pembantu . KLINIK TERKAIT Cara Mengajukan Izin Penutupan Jalan untuk Hajatan 08 Mei 2023 Pengaturan Lalu Lintas Bagi Pengguna Jalan yang Diprioritaskan 25 Agt 2016 Bolehkah Menerobos Lampu Merah dalam Keadaan Darurat? 19 Agt 2016 Penegakan Aturan Lalu Lintas dan Diskresi Polisi 15 Agt 2013 Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“ UU Lalu Lintas ”) yang Bapak sebutkan mengatur tentang Kewenangan Penyidik sebagai berikut: a. memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; c. meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum; d. melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti; e. melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau kejahatan Lalu Lintas menurut ketentuan peraturan perundang-undangan; f. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; g. menghentikan penyidikan jika tidak terdapat cukup bukti; h. melakukan penahanan yang berkaitan dengan tindak pidana kejahatan Lalu Lintas; dan/atau i. melakukan tindakan lain menurut hukum secara bertanggung jawab. Nah, karena jumlah penyidik di Indonesia belum cukup, maka kewenangan tersebut dapat diserahkan kepada penyidik pembantu sebagaimana dijelaskan Pasal 261 UU Lalu Lintas. Lengkapnya pasal tersebut berbunyi: “ Penyidik Pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 259 ayat (2) huruf b mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1), KECUALI MENGENAI PENAHANAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 ayat (1) huruf h yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan .” Jadi jelas di sini, semua polisi berpangkat minimal Brigadir Dua (baca lebih lengkap artikel tentang Pangkat Polisi ) ke atas bisa melakukan kewenangan yang tertera dalam pasal 260 UU Lalu Lintas. Kecuali wewenang “menahan”. Proses menahan tersangka dalam kasus laka lantas yang dianggap perlu dilakukan penahanan, hanya dapat dilakukan oleh PENYIDIK. Intinya, saat proses penilangan, Bapak tidak perlu sibuk memikirkan apakah polisi ini layak atau tidak layak menilang. Cukup lengkapi administrasi, kendaraan yang lengkap, dan berkendara yang tertib saja untuk menghindari tilang. Namun apabila masuk dalam proses pemeriksaan Polantas terhadap kasus kecelakaan lalu lintas, dan terjadi proses “penahanan”, baru bapak bisa cek lagi dalam Surat Penahanannya, siapa yang mengeluarkan Surat Perintah Penahanan. (Penyidik minimal berpangkat Inspektur Dua) Dasar hukum: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Senat (Badan/Kolektif Kolegial) di Perguruan Tinggi Negeri termasuk Pejabat Tata Usaha Negara yang mana keputusan yang dibuatnya dapat digugat ke PTUN ? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari : Senat dapat saja dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) mengingat fungsi dan kewenangannya masih terkait dengan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dalam Perguruan Tinggi (eksekutif), meskipun tidak dapat dipersamakan dengan kedudukan rektor yang memiliki kewenangan atributif. Hanya saja, dalam peraturan perundang-undangan, produk hukum yang dapat dikeluarkan senat bukan termasuk objek TUN karena lebih bersifat abstrak-umum ( Beleidsregel ) daripada individual-konkret ( Beschikking ) dan lainnya masih bersifat rekomendasi yang belum memiliki akibat hukum sebelum diputuskan pejabat lain yang berwenang. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan : Terima kasih atas pertanyaan Anda. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama perlu dijelaskan terlebih dahulu definisi mengenai Pejabat Tata Usaha Negara (“TUN”) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) yang menyatakan: Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. W. Riawan Tjandra dalam bukunya Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan bahwa penentuan pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan dikategorikan secara fungsional, sehingga tidak terbatas pada pejabat resmi negara saja, namun juga bisa pihak lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan diberi tugas untuk melaksanakan suatu tugas/ fungsi urusan pemerintahan. Tidak hanya itu, selain berdasarkan wewenang yang ada padanya, dapat juga karena adanya wewenang yang dilimpahkan kepadanya. [1] Adapun objek yang dapat digugat kepada Pengadilan TUN (“PTUN”) merupakan Keputusan Tata Usaha Negara ( Beschiking ) yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final , yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. [2] Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU Pendidikan Tinggi”) , Perguruan Tinggi merupakan satuan pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi. [3] Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi (“PP 4/2014”) , pemimpin Perguruan Tinggi adalah rektor. [4] Rektor menjalankan fungsi penetapan kebijakan non akademik dan pengelolaan Perguruan Tinggi untuk dan atas nama menteri. [5] Sebelumnya perlu juga dipahami definisi dari Universitas dalam Pasal 1 angka 7 PP 4/2014 berikut: Universitas adalah Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam berbagai rumpun ilmu pengetahuan dan/atau teknologi dan jika memenuhi syarat, Universitas dapat menyelenggarakan pendidikan profesi. Adapun senat Universitas pada Perguruan Tinggi Nasional (“PTN”) merupakan unsur penyusun kebijakan yang menjalankan fungsi penetapan kebijakan akademik dan pemberian pertimbangan pelaksanaan kebijakan akademik. [6] Sementara senat Universitas pada PTN Badan Hukum, menjalankan fungsi penetapan kebijakan, pemberian pertimbangan, dan pengawasan di bidang akademik. [7] Dalam bukunya, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (1993), Indroharto menegaskan bahwa siapa saja dan apa saja yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan, maka ia dapat dianggap berkedudukan sebagai Badan atau Pejabat TUN. Dengan dasar tersebut, senat dapat saja dikategorikan sebagai Pejabat TUN mengingat fungsi dan kewenangannya masih terkait dengan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dalam Perguruan Tinggi, meskipun tidak dapat dipersamakan dengan kedudukan Rektor yang memiliki kewenangan atributif. Hanya saja terdapat perbedaan mendasar sifat kebijakan yang dikeluarkan senat yang bersifat akademik dengan rektor yang bersifat non akademik. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi (“Permendikbud 139/2014”) , senat mengeluarkan penetapan kebijakan, norma/etika dan kode etik akademik di samping melakukan pengawasan dan pemberian rekomendasi kebijakan kepada rektor. [8] Mengacu pada kewenangan tersebut, kebijakan akademik yang dikeluarkan senat lebih bersifat abstrak-umum ( Beleidsregel ) dan tidak individual-konkret ( Beschikking ) yang dapat menjadi objek gugatan Tata Usaha Negara. Di samping itu, kewenangan lain yang dimiliki senat terbatas pada pemberian rekomendasi yang tidak dapat menimbulkan akibat hukum sebelum adanya keputusan pejabat lain yang memiliki kewenangan dalam peraturan perundang-undangan. Dari situ, dapat kita lihat bahwa produk hukum yang dikeluarkan senat berdasarkan peraturan tidak termasuk ob j ek TUN . Terhadap permasalahan ini, terdapat Putusan PTUN Makassar No mor 10/G/2014/PTUN.Mks. yang memutuskan tidak dapat menerima ( niet onvangkelijke verklaard ) gugatan terhadap senat dengan alasan produk hukum yang dikeluarkan senat bukan merupakan Keputusan ( Beschikking ) meskipun Majelis hakim tidak membantah dalil bahwa Senat merupakan Pejabat TUN. Dalam Putusan PTUN Palembang Nomor 13/G/2016/PTUN-PLG , majelis hakim menyatakan senat merupakan Pejabat TUN karena melakukan kegiatan bersifat eksekutif, meski kemudian menolak gugatan juga karena sifatnya yang bukan Beschikking. Dengan kata lain, senat dapat saja dikategorikan sebagai Pejabat TUN mengingat fungsi dan kewenangannya masih terkait dengan penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dalam Perguruan Tinggi (eksekutif), meskipun tidak dapat dipersamakan dengan kedudukan rektor yang memiliki kewenangan atributif. Hanya saja, dalam peraturan perundang-undangan, produk hukum yang dapat dikeluarkan s enat bukan termasuk ob j ek TUN karena lebih bersifat abstrak-umum ( Beleidsregel ) daripada individual-konkret ( Beschikking ) dan lainnya masih bersifat rekomendasi yang belum memiliki akibat hukum sebelum diputuskan pejabat lain yang berwenang. Untuk menentukan posibilitas gugatan TUN, Anda tidak dapat mendasarkannya hanya pada penentuan kedudukan sebagai Pejabat TUN saja, melainkan pada sifat dari produk hukum tersebut apakah bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Penentuan ukuran tersebut dapat berbeda di masing-masing kasusnya. Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139 Tahun 2014 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi Putusan : Putusan PTUN Makassar Nomor 10/G/2014/PTUN.Mks; Putusan PTUN Palembang Nomor 13/G/2016/PTUN-PLG . [1] Pasal 1 angka 12 UU PTUN [2] Pasal 1 angka 9 UU PTUN [3] Pasal 1 angka 6 UU Pendidikan Tinggi [4] Pasal 1 angka 17 PP 4/2014 [5] Pasal 29 ayat (1) huruf b PP 4/2014 [6] Pasal 29 ayat (1) huruf a PP 4/2014 [7] Pasal 30 ayat (1) huruf c PP 4/2014 [8] Bab II A angka 4 huruf a ke-2 poin a) Lampiran Permendikbud 139/2014 ptun perguruan tinggi acara peradilan hukumonline pengadilan peradilan pejabat badan universitas tata negara ptn tata usaha negara rektor"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah syarat jadi camat itu harus lulus sekolah IPDN?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 06 Oktober 2016. Intisari: Menurut persyaratan menjadi seorang camat yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa syarat menjadi camat harus lulus dari Institut Pemerintahan Dalam Negeri (“IPDN”). Persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang camat yaitu: Pegawai Negeri Sipil. Menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan yang dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan atau sertifikat profesi kepamongprajaan . Adapun IPDN adalah pendidikan tinggi kepamongprajaan di lingkungan Kementerian Dalam Negeri. IPDN menyelenggarakan pendidikan berikatan dinas yaitu penyelenggaraan pendidikan yang peserta didiknya dipersiapkan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil , tidak khusus menjadi camat saja. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Aturan mengenai persyaratan menjadi seorang camat terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (“ UU 23/2014 ”) dan perubahannya, kemudian lebih rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan (“PP Kecamatan”) . Definisi Kecamatan & Camat Berdasarkan Pasal 1 angka 24 UU 23/2014 dan Pasal 1 angka 1 PP Kecamatan , dijelaskan bahwa: Kecamatan atau yang disebut dengan nama lain adalah bagian wilayah dari Daerah kabupaten/kota yang dipimpin oleh camat . Definisi dari camat dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Calon Camat (“Permendagri 30/2009”) yaitu: Camat atau sebutan lain, adalah pemimpin dan koordinator penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerja kecamatan yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah dan menyelenggarakan tugas umum pemerintahan. Perlu dipahami juga bahwa camat tersebut berada di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah. [1] Tugas dan Wewenang Camat Camat mempunyai tugas: [2] menyelenggarakan urusan pemerintahan umum; mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; mengoordinasikan penerapan dan penegakan Perda dan Perkada; mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum; mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan yang dilakukan oleh Perangkat Daerah di Kecamatan; membina dan mengawasi penyelenggaraan kegiatan Desa dan/atau kelurahan; melaksanakan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja Perangkat Daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan; dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kemudian tugas Camat dalam memimpin Kecamatan lebih rinci diatur dalam PP Kecamatan sebagai berkut: [3] menyelenggarakan urusan pemerintahan umum di tingkat Kecamatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan urusan pemerintahan umum; mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat, meliputi: partisipasi masyarakat dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan di desa/Kelurahan dan Kecamatan; sinkronisasi program kerja dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah dan swasta di wilayah kerja Kecamatan; efektivitas kegiatan pemberdayaan masyarakat di wilayah Kecamatan; dan pelaporan pelaksanaan tugas pemberdayaan masyarakat di wilayah kerja Kecamatan kepada bupati/wali kota; mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum, meliputi: sinergitas dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan instansi vertikal di wilayah Kecamatan; harmonisasi hubungan dengan tokoh agama dan tokoh masyarakat; dan pelaporan pelaksanaan pembinaan ketenteraman dan ketertiban kepada bupati/wali kota; mengoordinasikan penerapan dan penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah, meliputi: sinergitas dengan perangkat daerah yang tugas dan fungsinya di bidang penegakan peraturan perundang-undangan dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan pelaporan pelaksanaan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan di wilayah Kecamatan kepada bupati/wali kota; mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan sarana pelayanan umum, meliputi: sinergitas dengan perangkat daerah dan/atau instansi vertikal yang terkait; pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum yang melibatkan pihak swasta; dan pelaporan pelaksanaan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum di wilayah Kecamatan kepada bupati/wali kota; mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan, meliputi: sinergitas perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dengan perangkat daerah dan instansi vertikal terkait; efektivitas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan; dan pelaporan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan kepada bupati/wali kota; membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur desa; melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota yang tidak dilaksanakan oleh unit kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang ada di Kecamatan, meliputi: perencanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di Kecamatan; fasilitasi percepatan pencapaian standar pelayanan minimal di wilayahnya; efektivitas pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan; dan pelaporan pelaksanaan kegiatan pelayanan kepada masyarakat di wilayah Kecamatan kepada bupati/wali kota melalui sekretaris daerah; dan melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain melaksanakan tugas tersebut, camat juga mendapatkan pelimpahan sebagian kewenangan bupati/wali kota: [4] untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pelayanan perizinan dan nonperizinan; dan untuk melaksanakan tugas pembantuan. Persyaratan Menjadi Camat Mengenai persyaratan menjadi seorang camat diatur dalam Pasal 13 PP Kecamatan , yaitu: Persyaratan dan pengangkatan camat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan . Pelaksanaan pengangkatan camat dilaksanakan melalui mekanisme seleksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain adalah UU 23/2014 dimana persyaratan menjadi Camat diatur sebagai berikut: Camat diangkat oleh bupati/walikota. Camat tersebut dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang - undangan. Pengangkatan camat yang tidak sesuai dengan ketentuan dibatalkan keputusan pengangkatannya oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. [5] Yang dimaksud dengan “ menguasai pengetahuan teknis pemerintahan ” adalah dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan atau sertifikat profesi kepamongprajaan . [6] Sekilas tentang Institut Pemerintahan Dalam Negeri (“IPDN”), menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2009 tentang Statuta Institut Pemerintahan Dalam Negeri (“Permendagri 36/2009”) IPDN adalah pendidikan tinggi kepamongprajaan di lingkungan Departemen (sekarang Kementerian) Dalam Negeri. [7] Dalam Permendagri 36/2009 tersebut, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa pendidikan IPDN dipersiapkan untuk menjadi Camat, tetapi dalam Pasal 1 angka 4 Permendagri 36/2009 disebutkan mengenai Pendidikan berikatan dinas yaitu penyelenggaraan pendidikan yang peserta didiknya dipersiapkan untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil. Selain itu, dalam laman Tentang IPDN , dijelaskan bahwa: Institut Pemerintahan Dalam Negeri disingkat “IPDN” adalah salah satu Lembaga Pendidikan Tinggi Kedinasan dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, yang bertujuan mempersiapkan kader pemerintah, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat . Jadi menjawab pertanyaan Anda, menurut persyaratan yang diatur dalam UU 23/2014 dan perubahannya, untuk menjadi seorang camat tidak disebutkan secara eksplisit harus lulusan dari IPDN. Tetapi, disyaratkan menguasai bidang ilmu pemerintahan yang dibuktikan dengan memiliki ijazah diploma/sarjana pemerintahan atau sertifikat profesi kepamongprajaan. Perlu diketahui bahwa ijazah diploma/sarjana pemerintahan bukan hanya bisa didapatkan dari IPDN, sebagai contoh antara lain, Universitas Padjajaran dan Universitas Terbuka juga memiliki program studi ilmu pemerintahan, yang nantinya lulusannya akan mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan (S.IP.). Jika calon camat tidak memenuhi persyaratan memiliki ijazah diploma/sarjana pemerintahan dan belum bertugas di desa, kelurahan dan kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun; maka ia wajib mengikuti Pendidikan Teknis Pemerintahan bagi Calon Camat (“Diklat Camat”). [8] Diklat Camat menurut Pasal 1 angka 3 Permendagri 30/2009 adalah pendidikan yang bersifat teknis yang diselenggarakan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan di bidang pemerintahan guna mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan. Kemudian, jika ia dinyatakan lulus, maka ia baru diberikan Surat Tanda Tamat Pendidikan (“STTP”) dan sertifikat sebagai tanda kelulusan. [9] Perlu diketahui juga bahwa bagi camat yang tidak berlatar belakang pendidikan Diploma/Sarjana pemerintahan wajib mengikuti Diklat Camat. [10] Sebagai informasi tambahan, untuk Provinsi DKI Jakarta, dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 98 Tahun 2016 tentang Uji Kompetensi Dalam Rangka Seleksi Terbuka Calon Pemangku Jabatan Lurah dan Camat , diatur bahwa salah satu persyaratan umum calon pemangku jabatan calon camat adalah pendidikan paling rendah Strata 1 (S1) . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pendidikan Teknis Pemerintahan Bagi Calon Camat Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun 2009 tentang Statuta Institut Pemerintahan Dalam Negeri Referensi : Tentang IPDN , diakses pada 28 Juni 2018, pukul 13.00 WIB; Universitas Padjajaran , diakses pada 28 Juni 2018, pukul 13.13 WIB; Universitas Terbuka , diakses pada 28 Juni 2018, pukul 13.14 WIB. [1] Pasal 224 ayat (1) UU 23/2014 [2] Pasal 225 ayat (1) UU 23/2014 [3] Pasal 10 PP Kecamatan [4] Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) PP Kecamatan [5] Pasal 224 ayat (2) dan (3) UU 23/2014 [6] Penjelasan Pasal 224 ayat (2) UU 23/2014 [7] Pasal 1 angka 2 Permendagri 36/2009 [8] Pasal 5 ayat (2) huruf a jo. Pasal 5 ayat (1) Permendagri 30/2009 [9] Pasal 9 ayat (1) Permendagri 30/2009 [10] Pasal 16 ayat (1) Permendagri 30/2009 hukumonline tata negara hukum klinik klinik hukumonline"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya orang awam hukum, mempunyai kakak perempuan, ia sudah masuk penjara karena kasus penggelapan uang perusahaan untuk biaya keluarga. Tapi, ia masih mempunyai utang credit card. Apakah seorang eks napi juga harus bayar utang, sedangkan untuk makan sehari-hari saja susah? Apa dasar hukumnya jika ia pailit? Apakah harus berlanjut ke pengadilan bila ia tetap menolak membayar?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "1. Pada prinsipnya, kakak perempuan Anda tetap harus bertanggung jawab dengan membayar utang kartu kredit (“KK”) tersebut. Utang tersebut tetap harus dilunasi sekalipun kakak Anda selesai menjalani hukuman atas penggelapan uang perusahaan yang dia lakukan. Karena masalah utang KK tersebut menyangkut hubungan perdata (perjanjian utang-piutang) antara kakak Anda dengan pihak bank yang menerbitkan KK. Sedangkan, masalah penggelapan adalah kejahatan yang diproses secara pidana oleh polisi dan kejaksaan. KLINIK TERKAIT Terlilit Utang Kartu Kredit 20 Agt 2010 Dijebak Marketing Kartu Kredit 20 Agt 2010 Penyelesaian Kartu Kredit yang Pemiliknya Sudah Meninggal Dunia 20 Agt 2010 Transfer Gagal Tapi Saldo Terdebet 10 Agt 2010 Meski demikian, ada upaya-upaya yang mungkin dapat membantu kakak perempuan untuk menyelesaikan utang KK tersebut. Cobalah hubungi bagian kredit bank tersebut, untuk membicarakan mengenai penyelesaian tunggakan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut kiranya relevan jika kita melihat pengalaman Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (“YLKI”) dalam membantu konsumen menyelesaikan tunggakan kartu kredit dengan pihak bank. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dalam sebuah artikel hukumonline , disebutkan bahwa YLKI memiliki dua opsi untuk menyelesaikan masalah tunggakan KK, yaitu: a. berupa penghapusan bunga KK, dan b. pembayaran utang pokok dengan cara mencicil sesuai dengan kemampuan. Bagaimanapun, menurut YLKI, penyelesaian masalah tunggakan KK sangat bergantung pada kepedulian bank pihak konsumen. Tidak semua bank memberikan solusi penyelesaian seperti dua opsi di atas karena kebijakan masing-masing bank berbeda. Biasanya kalau bank yang lebih akomodatif terhadap konsumen maka dia akan menyelesaikan dua opsi itu. Tapi, Kalau banknya kurang peduli terhadap konsumen, satu opsi saja yang dikabulkan sudah untung bagi konsumen. Lebih jauh simak artikel kami Ulah Debt Collector Masih Dikeluhkan Pengguna Kartu Kredit . Selain opsi di atas, kakak Anda dapat mencoba lembaga mediasi perbankan yang disediakan oleh Bank Indonesia. Penyelesaian melalui mediasi perbankan ini dapat Anda simak dalam artikel kami Mengapa Kartu Kredit Selalu Mencekik Debitor . 2. Untuk seorang debitor dapat dinyatakan pailit, harus memenuhi syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UUK”) : “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.” Sehingga, untuk dapat dimohonkan pailit, harus dapat dibuktikan bahwa kakak perempuan Anda mempunyai 2 (dua) atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Namun, perlu diperhatikan bahwa dengan dinyatakan pailit, berarti segala harta kekayaan kakak perempuan Anda akan disita. Hal ini merujuk pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUK : “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.” Lebih jauh simak artikel kami Beda Kepailitan dan Wanprestasi . 3. Apabila kakak perempuan Anda menolak untuk membayar, dalam hal ini dapat dianggap bahwa kakak perempuan Anda tidak mempunyai itikad baik sebagai debitor. Untuk itu memberikan hak bagi bank untuk memproses penyelesaian utang piutang ini ke pengadilan dengan dasar wanprestasi (lihat Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ) . Simak juga artikel kami Doktrin Gugatan Wanprestasi dan PMH . Demikian jawaban dari kami, semoga dapat memberikan kejelasan. Dasar hukum : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( Burgerlijk Wetboek , Staatsblad 1847 No. 23) 2. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah jika seseorang yang mempunyai penyakit kleptomania bisa dipidana? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Sebelumnya, kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kleptomania . Merriam-Webster Dictionary memberikan pengertian atas kleptomania sebagai berikut: “a persistent neurotic impulse to steal especially without economic motive.” Sedangkan, dalam laman kamuskesehatan.com kleptomania diartikan: Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “… gangguan kontrol impuls yang ditandai oleh kegagalan berulang untuk tidak mencuri.” Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat bahwa kleptomania pada dasarnya adalah keinginan impuls untuk mengambil barang yang bukan miliknya tanpa ada motif ekonomi di baliknya (karena biasanya barang yang diambil juga bukanlah barang yang bernilai tinggi). Berdasarkan pengertian di atas, kleptomania dapat digolongkan ke dalam sakit jiwa. Kleptomania ini berkaitan erat dengan tindak pidana pencurian. Melihat pada pertanyaan Anda, kami berasumsi bahwa Anda mempertanyakan bagaimana jika terjadi tindak pidana pencurian oleh seorang kleptomania, apakah akan dipidana atau tidak. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pencurian diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) : “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Dalam pasal ini tidak dikatakan bahwa maksud dari pencurian itu adalah untuk memperkaya diri, akan tetapi sekedar untuk memiliki barang yang bukan milikinya. Selain itu, tujuan pencurian tidak selalu untuk memperkaya diri dapat dilihat juga dari pengertian mengenai “barang”. R. Soesilo , terkait pasal ini, dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , menjelaskan bahwa “barang” adalah segala sesuatu yang berwujud termasuk pula binatang. Dalam pengertian “barang” masuk pula “daya listrik” dan “gas”, meskipun tidak berwujud, akan tetapi dialirkan di kawat atau pipa. Barang ini tidak perlu mempunyai harga ekonomis . Oleh karena itu, mengambil beberapa helai rambut wanita (untuk kenang-kenangan) tidak dengan izin wanita itu, masuk pencurian, meskipun dua helai rambut tidak ada harganya. Melihat pada ketentuan dalam Pasal 362 KUHP, maka seorang kleptomania yang mengambil barang milik orang lain dapat dipidana berdasarkan Pasal 362 KUHP. Akan tetapi perlu diingat bahwa dalam hukum pidana ada yang disebut dengan alasan pembenar dan alasan pemaaf. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel yang berjudul Apakah Seorang yang Gila Bisa Dipidana? dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf: a. Alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang dilakukan eksekutor penembak mati terhadap terpidana mati ( Pasal 50 KUHP ); b. Alasan pemaaf adalah alasan yang menghapus kesalahan dari si pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif). Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau gila sehingga tak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya itu ( Pasal 44 KUHP ). Kleptomania lebih mengarah kepada alasan pemaaf, yang berhubungan dengan keadaan si pelaku. Mengenai alasan pemaaf dapat dilihat dari bunyi Pasal 44 ayat (1) KUHP : “Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.” Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal , terkait pasal ini, dikatakan bahwa sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung perbuatannya tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya adalah karena: a. Kurang sempurna akalnya . Yang dimaksud dengan perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-tuli, dan bisu mulai lahir. tetapi orang-orang semacam ini sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak. b. Sakit berubah akalnya . yang dapat dimasukkan dalam pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan bermacam-macam penyakit jiwa lainnya. Mengenai pasal ini Jan Remmelink , dalam bukunya yang berjudul Hukum Pidana (hal. 212), sebagaimana kami sarikan, bahwa harus ada hubungan kausal antara penyakit dan tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut. Jan Remmelink ( Ibid , hal 213) juga mengutip pendapat seorang psikiater bernama Ramaer yang mengatakan bahwa jika hubungan kausal tidak dapat dibuktikan, pelaku yang sakit jiwa akan tetap dijatuhi pidana, namun di dalam tahapan eksekusi harus disediakan fasilitas-fasilitas tertentu. Dalam hal ini untuk mengetahui apakah tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh seorang kleptomania dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atau tidak, pertama-tama kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud “dapat dimintakan pertanggungjawaban” menurut hukum pidana. Jan Remmelink ( Ibid , hal 213) mengutip pendapat Prof. Van Hamel , mengatakan bahwa kemampuan untuk bertanggungjawab (secara hukum) adalah suatu kondisi kematangan dan kenormalan psikis yang mencakup tiga kemampuan lainnya, yakni (1) memahami arah-tujuan faktual dari tindakan sendiri; (2) kesadaran bahwa tindakan tersebut secara sosial dilarang; (3) adanya kehendak bebas berkenaan dengan tindakan tersebut. Lebih lanjut dikatakan bahwa definisi tersebut dibuat dengan merujuk pada sejarah perundang-undangan, khususnya dari Memorie van Toelichting (MvT) yang menyatakan bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana kecuali bila tindak pidana tersebut dapat diperhitungkan pada pelaku, dan tidak ada perhitungan demikian bila tidak ditemukan adanya kebebasan pelaku untuk bertindak – kebebasan memilih untuk melakukan atau tidak melakukan apa yang dilarang atau justru diwajibkan oleh undang-undang – sehingga pelaku tidak menyadari bahwa tindakan tersebut dilarang dan tidak mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya tersebut. Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa ada banyak hal untuk menentukan apakah seorang kleptomania tersebut dapat dipidana atas tindakan pencurian yang dilakukannya. Dalam hal ini Hakimlah yang akan memutuskan dapat atau tidaknya orang tersebut dimintai pertanggungjawabannya. Tentu saja dengan meminta pendapat dari dokter penyakit jiwa (psikiater). Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Referensi: 1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia – Bogor. 2. Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama. 3. http://www.merriam-webster.com/medical/kleptomania diakses pada 10 Juli 2013 pukul 17.00 WIB 4. http://kamuskesehatan.com/arti/kleptomania/ diakses pada 12 Juli 2013 pukul 17.00 WIB pencurian kuhp"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah seseorang yang bukan Sarjana Hukum, tapi memiliki gelar Magister Hukum (MH), bisa mendaftar menjadi Advokat? Terima kasih atas penjelasannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Mengenai syarat-syarat menjadi advokat, Anda bisa merujuk pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) . Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat , dijelaskan mengenai syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi advokat, yaitu: KLINIK TERKAIT Apakah Pensiunan PNS Bisa Menjadi Advokat? 13 Jul 2018 Apakah Mahasiswa Hukum Diwajibkan Menghafal Semua Pasal? 14 Sep 2012 Apakah SH Program Hukum Internasional Bisa Jadi Advokat Lokal? 29 Agt 2012 Haruskah Mengikuti Magister Advokat untuk Menjadi Advokat? 28 Mar 2012 a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum ; f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi. Prosedur selengkapnya untuk dapat diangkat menjadi advokat, sikalan simak artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan . Yang dimaksud dengan “berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat , tidak hanya terbatas pada seseorang yang lulus sebagai sarjana hukum. “Berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” memiliki cakupan yang lebih luas (namun tetap terbatas) yaitu mencakup lulusan fakultas hukum, fakultas Syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian . Jadi, yang dapat diangkat menjadi advokat adalah orang-orang yang merupakan sarjana (strata satu – S1) dengan latar belakang pendidikan tinggi hukum. Sehingga, apabila orang tersebut bukan sarjana hukum, akan tetapi masih termasuk ke dalam cakupan yang dimaksud “berlatar pendidikan tinggi hukum”, maka orang tersebut bisa diangkat menjadi advokat. Akan tetapi, apabila orang tersebut merupakan sarjana (S1) dari bidang pendidikan lain yang tidak termasuk ke dalam pembatasan atau cakupan di atas, maka tidak dapat menjadi advokat (contoh: sarjana teknik, sarjana ekonomi). Hal tersebut juga ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Hasanuddin Nasution . Menurut Hasanuddin, persyaratan untuk dapat diangkat menjadi advokat berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, tetapi tidak terbatas pada sarjana hukum (sebagai contoh bisa juga sarjana agama syariah, sarjana kepolisian). Sarjana yang dimaksud dalam pasal ini adalah sarjana strata satu (S1). Sehingga apabila bukan sarjana berlatar belakang pendidikan hukum (contohnya sarjana teknik) tetapi bergelar magister hukum (MH), maka tidak bisa diangkat menjadi advokat. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik hukumonline mewawancara Hasanuddin Nasution melalui sambungan telepon pada 28 Januari 2013 . Dasar Hukum: Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat uu advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah Pasal 75 KUHP setelah dicabut pengaduannya, dapat menghentikan penuntutan atau proses hukum yang sedang berjalan? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Pasal 75 Wetboek van Strafrecht (“KUHP”) pada dasarnya diatur dalam rumpun Bab VII tentang Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-Kejahatan yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan. KLINIK TERKAIT Apakah Mengembalikan Uang Suap Menghapus Tuntutan Pidana? 26 Jul 2024 Apakah Laporan Penggelapan Dapat Dicabut Kembali? 28 Feb 2024 Pengembalian Uang Hasil Korupsi 13 Jan 2011 Pidana Bisa Jadi Perdata? 30 Des 2009 Pasal 75 KUHP berbunyi “ Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan. ” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Dengan demikian Pasal 75 KUHP hanya bisa berlaku untuk kejahatan–kejahatan yang sifat deliknya adalah delik aduan, sehingga bila pengaduan dicabut maka akan menghentikan proses hukum yang berjalan. Namun ketentuan Pasal 75 KUHP tidak bisa diterapkan untuk kejahatan–kejahatan biasa, yang menyebabkan bila pengaduan dicabut tidak bisa menghentikan proses hukum yang sedang berjalan. Selain itu yang harus diperhatikan adalah batas waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan bila pengaduan ditarik setelah 3 bulan, maka pengaduan tersebut tidak dapat dicabut kembali. Namun demikian sehubungan dengan pencabutan pengaduan yang melampaui waktu tersebut, ada perkembangan menarik berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (“MA”) No. 1600 K/PID/2009 yang menyatakan pada pokoknya sebagai berikut: “… walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih karena perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar dari pada bila dilanjutkan ”. Lebih lanjut, MA dalam putusan tersebut juga menyatakan: “ Bahwa ajaran keadilan Restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunnya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih. ” Demikian jawaban saya, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73)"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin bertanya seputar syarat penggunaan website pribadi. Apakah website pribadi yang konten isinya seputar pemberitaan politik, sosial dan kriminal harus berbadan hukum?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "KLINIK TERKAIT Jerat Hukum Membuat Website Judi Online 17 Jul 2024 Prosedur Penanganan Kasus Penyebaran Video Bermuatan Asusila 14 Feb 2019 Apa Sajakah Izin Usaha untuk Website yang Memasang Iklan? 18 Okt 2017 Perlindungan Konsumen Terkait Intrusive Advertising 07 Jan 2015 Intisari: Seseorang yang memiliki website pribadi dan ia mendiseminasi informasi baik berita maupun opini melalui websitenya tersebut untuk kepentingan berbagi ( sharing ) tidak memerlukan izin atau tidak ada kewajiban untuk memiliki badan hukum. Kegiatan seperti ini dapat dikategorikan sebagai citizen journalism . Penjelasan lebih lanjut, silakan baca ulasan di bawah ini. Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Ulasan: Yth. Rekan Hukum online, Konstitusi Indonesia melindungi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat, termasuk memperoleh dan mendiseminasi informasi dengan menggunakan berbagai jenis teknologi yang ada. Yang dimaksud dengan informasi tidak hanya berupa berita tetapi juga pendapat atau opini seseorang. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 : Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia . Seseorang yang memiliki website pribadi dan ia mendiseminasi informasi baik berita maupun opini melalui websitenya tersebut untuk kepentingan berbagi ( sharing ) tidak memerlukan izin atau tidak ada kewajiban untuk memiliki badan hukum. Kegiatan seperti ini dapat dikategorikan sebagai citizen journalism . Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan setiap orang untuk mendiseminasi informasi secara cepat dan luas. Hal ini mendorong muncul dan berkembangnya citizen journalism atau participatory journalism (Lasica, 2003). Akan tetapi, perkembangan teknologi tersebut juga berdampak pada menurunnya industri jurnalisme cetak. Mendapatkan dan mendiseminasi berita secara real time merupakan salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan pers. Terhadap hal ini, strategi utama perusahaan pers ialah dengan mengembangkan media online. Dengan adanya berbagai sarana komunikasi mulai dari website atau blog pribadi sampai kepada situs jejaring sosial, ditambah dengan bandwidth yang semakin tinggi serta teknologi telekomunikasi yang makin berkembang dan handy , setiap orang semakin mudah untuk berbagi. Setiap orang yang melihat satu peristiwa yang menarik baginya seperti kecelakaan, pawai, pertengkaran, dan pertemuan dengan Presiden dapat langsung segera mendiseminasinya. Tidak hanya teks tetapi juga gambar dan video. Bahkan teks tanpa didukung bukti gambar atau video sering dianggap tidak valid ( No Pic Hoax !). Citizen journalism pada prinsipnya merupakan refleksi dari perkembangan demokrasi dalam satu masyarakat. Citizen journalism merupakan satu bentuk partisipasi masyarakat dalam mendiseminasi informasi dalam konteks demokrasi. Ada beberapa perbedaan signifikan antara citizen journalism dan perusahaan pers. Dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”) disebutkan bahwa pers adalah lembaga sosial [1] dan perusahaan pers adalah badan hukum yang melaksanakan fungsi pers [2] . Citizen journalism , di lain pihak, pada prinsipnya bukanlah lembaga social dan tidak diwajibkan berbadan hukum. Pasal 1 angka 1 UU Pers: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. Terhadap citizen journalism , Joan Connel [3] beropini bahwa ada perbedaan mendasar antara blogger dan jurnalis. Dalam konsep jurnalisme ada mekanisme checks and balance terhadap konten yang akan dipublikasikan. Hal ini dilakukan oleh editor. Menurutnya, editor merupakan penghubung antara penulis dan pembaca. Lebih jauh, menurut American Press Institute, jurnalis memiliki peranan tidak hanya untuk mencari dan menemukan fakta tetapi juga kebenaran mengenai fakta tersebut. Hal ini dapat memberikan perbedaan besar mengenai kualitas jurnalisme antara yang dihasilkan citizen journalism dan perusahaan pers. Perusahaan pers memiliki standar kualitas dan profesi, sedangkan citizen journalism pada umumnya tidak. Oleh karena itu, seharusnya citizen journalism yang memfokuskan diri terhadap kegiatan pemberitaan yang berkaitan dengan publik dan kepentingan publik perlu memedomani standar kode etik jurnalistik. Citizen journalism dapat memperkaya dan mempercepat diseminasi informasi, tetapi ketiadaan standar dalam citizen journalism dapat menimbulkan kegamangan bagi pembaca mengenai dapat dipercayanya berita atau informasi yang ia baca. Pada akhirnya, pembaca akan memprioritaskan pilihannya pada website-website yang menyuguhkan informasi yang sesuai dengan kepentingannya dan yang dapat dipercaya. Tidak hanya itu saja, pentingnya memedomani standar kode etik jurnalistik yang berlaku dapat membantu penggiat citizen journalism terhindar dari pertanggungjawaban hukum, dalam konteks perdata dan pidana. Sebagai contoh Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik yang mengatur: “Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul .” Dalam hal terjadi perselisihan mengenai telah atau belumnya ketentuan ini dipenuhi dalam produk jurnalistik yang dihasilkan perusahaan pers, maka perusahaan pers dan juga Dewan Pers akan memberikan pendapat professional yang objektif mengenai produk jurnalistik tersebut. Sedangkan citizen journalism yang sifatnya pribadi dan tidak memiliki atau menerapkan standar (memedomani kode etik jurnalistik) dapat berada dalam posisi yang lebih rentan. Demikian jawaban dan pendapat kami. Terima kasih. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang Dasar 1945 ; 2. Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ; 3. Kode Etik Jurnalistik REFERENSI:\n1. 1. https://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/makes-journalism-different-forms-communication/ 2. J.D. Lasica, 'What is Participatory Journalism', 2003, diakses dari Online Journalism Review, http://www.ojr.org/ojr/workplace/1060217106.php [1] Pasal 1 angka 1 UU Pers [2] Pasal 1 angka 2 UU Pers [3] Dalam J.D. Lasica, 'What is Participatory Journalism', 2003, diakses dari Online Journalism Review, http://www.ojr.org/ojr/workplace/1060217106.php berita hukumonline pers wartawan hukum media & penyiaran klinik badan hukum klinik hukumonline website"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Tim Hukum Online, mohon bantuan dan penjelasannya. Apakah perjanjian penyediaan jasa internet dan/atau telekomunikasi antara developer dengan PT Penyedia Jasa yang bersifat ekslusif (hanya boleh disediakan oleh PT Penyedia Jasa) berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan tentang persaingan usaha tidak sehat dan cenderung memonopoli? Mohon informasinya juga tentang dasar hukumnya apabila memang diperbolehkan dan apabila memang berpotensi melanggar. Terima kasih sebelumnya diucapkan atas perhatian dan bantuannya."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Berdasarkan Bab III Lampiran Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 t entang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 t entang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PerKPPU 5/2011”) ( hal . 7 ) tentang Perjanjian Tertutup dan Pasal Terkait disebutkan bahwa: “Perjanjian Tertutup (exclusive agreement) adalah perjanjian antara pelaku usaha selaku pembeli dan penjual untuk melakukan kesepakatan secara eksklusif yang dapat berakibat menghalangi atau menghambat pelaku usaha lain untuk melakukan kesepakatan yang sama. Di samping penetapan harga, hambatan vertikal lain yang merupakan hambatan bersifat non-harga seperti yang termuat dalam perjanjian eksklusif adalah pembatasan akses penjualan atau pasokan, serta pembatasan wilayah dapat dikategorikan sebagai perjanjian tertutup”. KLINIK TERKAIT Pendekatan Per Se Illegal dan Rule of Reason dalam Persaingan Usaha 02 Agt 2023 Mengenal Akuisisi Perusahaan Lintas Negara 07 Feb 2023 KPPU Berwenang Jatuhkan Sanksi Pidana/Perdata? 22 Mar 2011 Persaingan Usaha dalam Industri Bioskop 18 Mar 2011 Adapun bentuk-bentuk perjanjian tertutup yang dilarang meliputi: 1. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau pada tempat tertentu ( exclusive dealing distribution ) ( Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat – “UU No. 5 Tahun 1999” ). Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 2. Perjanjian yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok ( tying agreement ) ( Pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 ). 3. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok ( tying agreement dikaitkan dengan potongan harga) ( Pasal 15 ayat (3) poin a. UU No. 5 Tahun 1999 ); 4. Perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok tidak akan membeli barang dam/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok ( exclusive dealing dikaitkan dengan potongan harga) ( Pasal 15 ayat (3) poin b. UU No. 5 Tahun 1999 ). Menjawab pertanyaan Anda, untuk dapat dikatakan perjanjian tersebut melanggar atau tidak, perjanjian tertutup harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999. Sebagaimana disebutkan dalam Bab IV PerKPPU 5/2011 ( hal . 22 ), jika terbukti secara cukup dan patut bahwa perjanjian tertutup memenuhi kriteria-kriteria pelanggaran, maka tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut, perjanjian tertutup harus dinyatakan telah memenuhi kriteria pelanggaran Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut: a) Perjanjian tertutup yang dilakukan harus menutup volume perdagangan secara substansial atau mempunyai potensi untuk melakukan hal tersebut . Berdasarkan P asal 4, ukuran yang digunakan adalah apabila akibat dilakukannya perjanjian tertutup ini, pengusaha memiliki pangsa 10% atau lebih. b) Perjanjian tertutup dilakukan oleh pelaku usaha yang memiliki kekuatan pasar, dan kekuatan tersebut dapat semakin bertambah karena strategi perjanjian tertutup yang dilakukan . Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai dengan pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih. c) Dalam perjanjian tying , produk yang diikatkan dalam suatu penjualan harus berbeda dari produk utamanya. d) Pelaku usaha yang melakukan perjanjian tying harus memiliki kekuatan pasar yang signifikan sehingga dapat memaksa pembeli untuk membeli juga produk yang diikat . Ukuran kekuatan pasar adalah sesuai dengan pasal 4 yaitu memiliki pangsa pasar 10% atau lebih. Untuk itu, berdasarkan penjelasan di atas, agar dapat diketahui apakah perjanjian penyediaan jasa internet dan/atau telekomunikasi antara developer dengan PT Penyedia Jasa yang bersifat ekslusif melanggar atau tidak, harus dianalisa lebih lanjut, apakah perjanjian telah memenuhi kriteria sebagaimana dijelaskan di atas. Demikian jawaban kami, semoga dapat membantu. Terima kasih. Dasar Hukum: 1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ; 2. Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 Tahun 2011 t entang Pedoman Pasal 15 (Perjanjian Tertutup) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 t entang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat . pelanggaran"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kasusnya sebagai berikut: seseorang sering mengkonsumsi narkotika golongan I, tetapi pada saat polisi melakukan penangkapan, tersangka tidak dalam keadaan memakai narkotika tetapi menyimpan atau mengusai. Dalam proses pemeriksaan, polisi tidak melakukan proses tes urine dengan alasan tersangka tidak sedang memakai narkotika. Yang saya tanyakan adalah apakah Pasal 75 huruf l UU 35 tahun 2009 dilaksanakan hanya jika seseorang tertangkap tangan sedang mengonsumsi narkoba saja? Apa konsekuensi hukumnya jika tidak dilakukan proses tes urine? Dan jika positif mengonsumsi narkotika beserta alat bukti lainnya, bagaimana unsur pidananya? Saya mohon jawabannya. Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Karena Anda menyebut soal penangkapan, kami menyimpulkan bahwa penangkapan dalam cerita Anda di atas merupakan bagian dari proses penyelidikan. M. Yahya Harahap, S.H. , dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101) menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “ penyelidikan ” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau memi njam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan , penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. KLINIK TERKAIT Jerat Pidana Maksimal Bagi Pengedar Narkoba 22 Sep 2023 Perlindungan Hukum Bagi Anak yang Dijadikan Kurir Narkotika 25 Mei 2016 Adakah Sanksi bagi Pelaku Pengisap Aroma Lem? 20 Jan 2014 Ancaman Pidana Bagi Calo Transaksi Narkotika 05 Sep 2013 Kemudian, Anda kurang memberikan keterangan kepada kami apakah narkotika golongan I tersebut berupa tanaman atau bukan tanaman, mengingat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (“UU Narkotika”) membedakan sanksi bagi narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dengan bukan tanaman. Akan tetapi, untuk menyederhanakan jawaban kami, kami asumsikan bahwa narkotika golongan I dalam kasus yang Anda tanyakan merupakan narkotika golongan I dalam bentuk bukan tanaman. Seseorang yang kedapatan menyimpan narkotika (meski tidak memakai) dalam kasus Anda saat dilakukan penangkapan oleh penyelidik/penyidik pada dasarnya diancam pidana atas tindak pidana penguasaan narkotika yang terdapat dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan , menguasai , atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).” Menjawab pertanyaan Anda dengan mengacu pada pasal di atas, pada dasarnya seseorang yang saat ditangkap oleh polisi itu kedapatan menyimpan atau menguasai narkotika golongan I sudah memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika meskipun ia tidak memakainya. Namun, sebagai referensi mengenai penerapan pasal ini, Anda dapat simak pula artikel Bisakah Dipidana Jika Tanpa Disadari Kedapatan Membawa Narkotika? Selanjutnya kami akan berfokus soal tes urine. Untuk pemberantasan penyalahgunaan narkotika di Indonesia dibentuklah Badan Narkotika Nasional atau yang disingkat BNN ( Pasal 64 ayat (1) UU Narkotika ). Dalam menjalankan tugas pemberantasan narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan ( Pasal 71 UU Narkotika ). Dalam menjalankan tugas penyidikan, penyidik BNN memiliki kewenangan antara lain untuk melakukan tes urine, darah, rambut, serta bagian tubuh lainnya ( Pasal 75 huruf l UU Narkotika ). Kemudian dalam Penjelasan Pasal 75 huruf l UU Narkotika dijelaskan bahwa tes urine, tes darah, tes rambut, dan tes bagian tubuh lainnya dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membuktikan ada tidaknya Narkotika di dalam tubuh satu orang atau beberapa orang. Ini artinya, melakukan tes urine merupakan kewenangan penyidik BNN dalam melakukan tugas penyidikan. UU Narkotika tidak menyebutkan tes urine ini sifatnya wajib, namun memang bertujuan untuk membuktikan ada tidaknya narkotika dalam tubuhnya atau tidak. Jika memang tidak dilakukan tes urine namun orang dalam kasus Anda ini memenuhi unsur-unsur pidana dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika tentang penguasaan narkotika tadi, maka akibat hukumnya adalah ia tetap dapat diancam pidana sesuai pasal tersebut. Adapun sampel urine itu nantinya diuji dalam laboratorium uji narkoba BNN yang kemudian hasil pengujian laboratorium itu digunakan untuk keperluan pembuktian perkara dan dituangkan dalam bentuk berita acara pengujian. Penjelasan lebih lanjut mengenai tes urine dapat Anda simak dalam artikel Kekuatan Pembuktian Tes Urine dalam Perkara Narkotika . Masih terkait dengan penguasaan atau pemilikan narkotika, sebagai tambahan informasi untuk Anda, kami mengacu pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 . Sebagaimana yang kami kutip dari laman blog Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) , Arsil , dalam artikel Dibebaskannya Penyalahguna Narkotika Akibat Tidak Dimasukkannya Pasal Penyalahguna Dalam Dakwaan , Mahkamah Agung (“MA”) dalam kasus ini membatalkan putusan Judex Facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) yang sebelumnya menghukum terdakwa dengan pasal penyalahguna ( Pasal 127 UU 35/2009 ) yang tidak didakwakan Penuntut Umum. Tidak hanya itu, MA bahkan akhirnya memutus bebas Terdakwa dengan pertimbangan pasal yang dijatuhkan tidak didakwakan, sementara pasal yang didakwakan tidak terbukti. Akan tetapi, salah satu Hakim berpendapat lain ( dissenting opinion ), dengan salah satu alasan pertimbangan adalah perbuatan Terdakwa sebelum atau pada saat menghisap shabu-shabu dapat diartikan telah menguasai shabu-shabu tersebut. Tidaklah mungkin Terdakwa dapat menghisap shabu-shabu tersebut walaupun sebentar tanpa menguasai shabu-shabu tersebut terlebih dahulu. Arti menguasai dalam unsur ini harus diartikan secara luas termasuk pada saat ia menghisap. Jadi, dalam kasus Anda apabila kemudian tersangka itu mengonsumsi/memakai narkotika golongan I, maka perbuatannya itu tentu dimulai dengan menguasai narkotika itu terlebih dahulu. Jadi, arti menguasai dalam Pasal 112 ayat (1) UU Narkotika ini hendaknya diartikan secara luas, termasuk tenggang waktu sebelum dan sesudah ia mengonsumsi/memakainya. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika . Referensi: http://krupukulit.wordpress.com/2012/10/30/dibebaskannya-penyalahguna-narkotika-akibat-tidak-dimasukkannya-pasal-penyalahguna-dalam-dakwaan/ Putusan: Putusan Mahkamah Agung Nomor 2089 K/Pid.Sus/2011 . narkotika hukum penangkapan hukumonline badan narkotika nasional bnn penggeledahan narkoba klinik hukumonline polisi tersangka klinik"
} |
{
"from": "human",
"value": "Kalau pas kuliah pilih program kekhususannya hukum internasional, apakah setelah tamat bisa menjadi pengacara dalam negeri?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Syarat untuk menjadi pengacara (advokat) di Indonesia diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) yaitu sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. KLINIK TERKAIT Tahapan Menjadi Advokat di Indonesia 14 Des 2023 Dasar Kepemilikan Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) 27 Jun 2023 Perbedaan Hakim Karier, Nonkarier, dan Hakim Ad Hoc 20 Sep 2022 Mau Dirikan Kantor Advokat? Ini Pilihan Badan Usahanya 17 Jun 2021 Di dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Advokat disebutkan bahwa y ang dimaksud dengan “berlatar belakang pendidikan tinggi hukum” adalah lulusan fakultas hukum, fakultas Syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu . Persyaratan lebih lanjut untuk menjadi advokat diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU Advokat : Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas a. warga negara Republik Indonesia; b. bertempat tinggal di Indonesia; c. tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara; d. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun; e. berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); f. lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat; g. magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat; h. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi Walaupun ketika kuliah Saudara me milih jurusan atau program kekhususan hukum internasional, Saudara akan tetap lulus dengan gelar Sarjana Hukum. K arena itu , Saudara tetap dapat menjadi advokat di Indonesia dengan tetap memenuhi persyaratan lainnya yang telah disebutkan. Untuk menjadi advokat juga harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang biasanya dikenal dengan nama PKPA. Untuk informasi lebih lanjut , Saudara dapat membaca artikel Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan . Bahkan, Sarjana Hukum yang sebelumnya memilih program kekhususan hukum internasional pada umumnya mempunyai kelebihan dalam penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris. Karena dalam hukum internasional pada umumnya banyak menggunakan buku atau bahan bacaan berbahasa Inggris. Hal ini dapat menjadi nilai plus saat Sarjana Hukum tersebut bekerja di kantor advokat yang banyak menangani pekerjaan korporasi. Setidaknya hal tersebut yang dialami M. Iqsan Sirie , associate pada Assegaf Hamzah & Partners. Sementara, Melli Darsa , partner kantor advokat Melli Darsa & Co mengatakan bahwa dia tidak melihat dari program kekhususan ketika merekrut Sarjana Hukum untuk bekerja di kantornya. Menurutnya, kualitas penting yang dia butuhkan dari Sarjana Hukum antara lain memiliki logika hukum yang baik, dan penguasaan bahasa Inggris. Jika Sarjana Hukum memiliki logika hukum yang baik, maka dia akan dapat menyelesaikan masalah hukum yang belum pernah dia pelajari di bangku kuliah. Dia berpandangan bahwa Sarjana Hukum dari jurusan atau program kekhususan apapun bisa menjadi dasar untuk berpraktik sebagai advokat. Pada akhirnya, pengalaman kerja yang akan membentuk seorang Sarjana Hukum menjadi advokat yang ahli pada bidang hukum tertentu. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Catatan editor: Klinik Hukum menghubungi M. Iqsan Sirie melalui telepon pada 28 Agustus 2012, dan Melli Darsa pada 29 Agustus 2012. DASAR HUKUM: Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat"
} |
{
"from": "human",
"value": "Dear Bung Pokrol, saya mau tanya, waktu itu saya pernah main ke Pengadilan Negeri Tanjung Pinang. Saya lihat di jadwal persidangan ada jadwal perkara lalu lintas, kemudian saya tanya ke orang-orang yang hadir di persidangan yang ternyata salah seorang saksi, apakah ini sidang lalu lintas tilang atau bukan. Si Bapak menjawab bahwa itu bukan sidang tilang tetapi sidang atas kecelakaan yang menyebabkan korbannya meninggal dunia. Kemudian saya mau masuk ke ruang sidang, tetapi saya dicegat Jaksa Penuntut Umum, katanya sidang ini tidak terbuka untuk umum. Ada salah seorang hakim juga yang berdiri di pintu, seolah-olah tidak membolehkan saya masuk. Yang ingin saya tanyakan, apakah memang perkara lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia, tidak terbuka untuk umum? Karena setahu saya, kalau bukan perkara asusila atau anak, sidangnya terbuka untuk umum. Terima kasih atas penjelasannya. Rani"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Bolehkah Masyarakat Umum Mengikuti Persidangan di Pengadilan? , pada dasarnya prinsip sidang terbuka untuk umum dapat dijumpai dalam beberapa ketentuan, antara lain: KLINIK TERKAIT Perbedaan dan Persamaan Surat Dakwaan dengan Surat Tuntutan 12 Okt 2023 Kewajiban Mengenakan Toga dalam Sidang Pengadilan 14 Nov 2018 Bolehkah Masyarakat Umum Mengikuti Persidangan di Pengadilan? 21 Sep 2018 Kondisi-kondisi yang Menyebabkan Sidang Ditunda 25 Feb 2014 1. Pasal 64 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) ; 2. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ; Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas 3. Pasal 121 ayat (3) Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten . Namun, ada pengecualian dari ketentuan sidang terbuka untuk umum yaitu sidang dinyatakan tertutup untuk umum untuk kasus-kasus tertentu, seperi dalam ranah hukum keluarga, pidana anak, kasus kesusilaan, dan beberapa kasus tertentu sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan berikut: a. Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara . Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara , persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum; b. Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sidang pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan secara tertutup; c. Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer , perkara yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara disidangkan secara tertutup; d. Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”), pada dasarnya sidang pengadilan anak dilakukan secara tertutup, tetapi untuk perkara tertentu hakim dapat menyatakan sidang terbuka untuk umum (dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU Pengadilan Anak , contoh perkara tertentu adalah pelanggaran lalu lintas) Jadi, menjawab pertanyaan Anda, di luar pengecualian terbukanya sidang untuk umum seperti yang kami sebutkan di atas, maka sidang perkara yang bersangkutan harus dinyatakan sidang terbuka untuk umum, termasuk perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan orang meninggal dunia. Berbeda halnya apabila terdakwa dalam kasus tersebut adalah anak di bawah umur sehingga persidangan harus tertutup. Mengenai sidang terbuka untuk umum, hal ini juga memiliki kaitan dengan kewajiban penyampaian putusan di sidang terbuka untuk umum sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 195 KUHAP : “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum.” Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan pengadulan yang diucapkan di sidang terbuka untuk umum ini dapat Anda simak dalam artikel Apakah Putusan Hakim Harus Diumumkan? Sebagai informasi, terkait perkara pelanggaran lalu lintas, berdasarkan penelusuran kami, dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”) tidak dijelaskan secara ekplisit tentang sidang untuk perkara pelanggaran lalu lintas terbuka untuk umum atau tidak. Akan tetapi, pada praktiknya, sidang pelanggaran lalu lintas memang diselenggarakan secara terbuka. Hal ini dapat kita temukan dari laman resmi Pengadilan Negeri Sumbawa . Dalam laman tersebut dijelaskan mengenai prosedur sidang tilang pelanggaran lalu lintas. Pada bagian Teknik Pemeriksaan di Persidangan Tilang disebutkan bahwa sidang dipimpin oleh hakim tunggal dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum tanpa dihadiri Jaksa. Jadi, apa yang Anda alami saat itu di Pengadilan Negeri Tanjung Pinang, baik itu perkara pelanggaran lalu lintas maupun perkara kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban meninggal dunia, seharusnya dilaksanakan secara terbuka untuk umum. Namun, Anda perlu memastikan kembali apakah terdakwa dalam kasus tersebut anak-anak atau bukan. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. DASAR HUKUM: 1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ; 2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU PTUN”) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ; 3. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ; 4. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak ; 5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ; 6. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten ; 7. Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ; 8. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan . Referensi: http://pn-sumbawabesar.net/prosedur-berperkara/prosedur-pidana/113-prosedur-sidang-tilang , diakses pada 26 Mei 2014 pukul 13.29 lalu lintas"
} |
{
"from": "human",
"value": "Yth. pengasuh hukumonline pertanyaannya cuma satu, apakah ada ketentuan dalam hukum administrasi negara yang menyebutkan apabila suatu surat permintaan persetujuan, apabila tidak dibalas dalam waktu tertentu maka dianggap menyetujui? Terima kasih."
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. KLINIK TERKAIT Bisakah Keputusan KPU Digugat ke PTUN? 26 Apr 2024 Apakah Keppres Pemberian Grasi Objek TUN? 11 Jun 2012 Dasar Hukum Persetujuan Diam-diam 23 Nov 2011 Bolehkah Pemegang Saham PT Menarik Modal Secara Diam-diam? 10 Okt 2011 Surat permintaan persetujuan seperti yang Anda maksud dalam hukum administrasi negara dikenal dengan Keputusan Tata Usaha Negara. Menurut Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (\"UU 51/2009\") yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah “….suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.” Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya Terjangkau Mulai Dari Rp. 149.000 Lihat Semua Kelas Apabila surat persetujuan yang Anda tanyakan memenuhi ciri-ciri yang disebutkan di dalam Pasal 1 angka 9 UU 51/2009 tersebut, maka itu termasuk sebagai keputusan tata usaha negara. Kemudian, mengenai apakah permintaan persetujuan yang tidak dibalas dalam jangka waktu tertentu maka dianggap menyetujui? Untuk menjawab hal ini kita perlu merujuk pada ketentuan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (“UU 5/1986”), sebagai berikut: (1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara. (2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud. (3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986 disebutkan: “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang telah diterimanya.” Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU 5/1986 serta penjelasannya, dapat diketahui bahwa jika badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan jawaban atas permohonan keputusan yang diajukan, maka dapat dipersamakan dengan penolakan untuk mengeluarkan keputusan . Kemudian, jika peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu, maka menurut Pasal 3 ayat (3) UU 5/1986 setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan juga dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Indroharto dalam buku Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I: Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara (hal. 185-187), mengkomentari isi Pasal 3 UU 5/1986, berpendapat sebagaimana kami sarikan sebagai berikut: “Apabila yang dimohon oleh pemohon itu merupakan bidang wewenang yang menjadi kewajibannya, maka sikap diam seperti itu menurut Pasal 3 juga dianggap sebagai telah mengeluarkan suatu Penetapan Tertulis yang berisi suatu penolakan dari Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu. Jadi sebenarnya dalam hal ini hanya ada keputusan TUN yang fiktif dan negatif sifatnya, karena Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan itu bersikap diam tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan suatu keputusan apa pun tetapi oleh undang-undang dianggap telah mengeluarkan suatu Penetapan Tertulis yang berisi suatu penolakan atas suatu permohonan yang telah diterimanya itu. Tetapi apakah yang dimohonkan itu benar merupakan kewajiban dari Badan atau Jabatan TUN yang menerima permohonan atau bukan tentunya barulah dapat ditentukan secara pasti setelah hal itu diputuskan oleh Hakim TUN. Dengan demikian, maka sikap diam yang dimaksud oleh ayat 1 tersebut selalu dapat digugat di muka Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam keseluruhannya Pasal 3 itu memperluas pengertian Penetapan tertulis karenanya juga berarti memperluas ruang lingkup kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara.” Jadi, menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan uraian yang telah kami jelaskan sebelumnya, apabila permintaan/permohonan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dibalas dalam jangka waktu tertentu, maka dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan terhadap permintaan/permohonan tersebut, dan bukan dianggap menyetujui. Oleh karena dianggap mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang berisi penolakan, jika Anda merasa dirugikan karena hal itu, Anda dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara setempat yang berwenang. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara 2. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara hukum administrasi negara"
} |
{
"from": "human",
"value": "Apakah sistem pemancingan galatama termasuk judi? Adakah landasan hukum untuk membuka kolam pemancingan galatama?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Terima kasih atas pertanyaan Anda. Larangan Judi Sebelumnya akan kami jelaskan terlebih dahulu mengenai larangan perjudian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) . Dalam Pasal 303 KUHP disebutkan: Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau pidana denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barang siapa tanpa mendapat izin: dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian , atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; menjadikan turut serta pada permainan judi sebagai pencarian. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pencariannya, maka dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencarian itu. Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya. R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 222) secara singkat menjelaskan, yang termasuk permainan judi atau hazardspel adalah permainan yang didasarkan pengharapan buat menang yang pada umumnya bergantung pada untung-untungan saja , dan juga kalau pengharapan itu jadi tambah besar karena kepintaran dan kebiasaan pemain. Yang termasuk juga misalnya pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut berlomba, misalnya main dadu, main selikuran, main jemeh, kodok ulo, roulette, bakarat, kemping keles, kocok, keplek, tambola, totalisator pada pacuan kuda, pertandingan sepak bola, dan lain-lain. Kemudian yang tidak termasuk permainan judi contohnya domino, bridge, ceki, koah, pei, dan sebagainya yang biasa dipergunakan untuk hiburan. Kolam Pemancingan Galatama Lebih lanjut, kami asumsikan bahwa sistem pemancingan galatama yang Anda maksud, sesuai dengan pengertian dalam buku Petunjuk Praktis Memancing Ikan Air Tawar , yang ditulis Khairuman dan Khairul Amri (hal. 39). Sistem galatama adalah sistem pemancingan yang bersifat lomba dan biasanya dijadikan sebagai ajang untuk mengasah keterampilan para pemancing kawakan. Sebagai lomba, sistem galatama menyediakan hadiah bagi pemenangnya. Hadiahnya sangat beragam, misalnya uang, televisi, lemari es, mesin cuci, VCD player , bahkan kadang-kadang sepeda motor atau mobil. Apabila merujuk pada Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (“PP 9/1981”) , disebutkan bahwa: Perjudian di tempat-tempat keramaian , antara lain terdiri dari perjudian dengan: Lempar paser atau bulu ayam pada papan atau sasaran yang tidak bergerak; Lempar Gelang; Lempar Uang (Coin); Kim; Pancingan; Menembak sasaran yang tidak berputar; Lempar bola; Adu ayam; Adu sapi; Adu kerbau; Adu domba/kambing; Pacu kuda; Karapan sapi; Pacu anjing; Hailai; Mayong/Macak; Erek-erek. Namun demikian, pancingan tak dapat dikategorikan sebagai perjudian apabila bersifat keolahragaan dan hiburan. Hal ini tercermin dalam Alinea Kelima Penjelasan Umum PP 9/1981 , yang berbunyi: Dengan adanya larangan pemberian izin penyelenggaraan perjudian, tidak berarti dilarangnya penyelenggaraan permainan yang bersifat keolahragaan, hiburan, dan kebiasaan, sepanjang tidak merupakan perjudian. Sehingga berdasarkan ketentuan di atas, menurut hemat kami, kegiatan pemancingan ikan hanya dapat dikategorikan sebagai perjudian apabila memenuhi unsur Pasal 303 KUHP jo. Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf b PP 9/1981. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pemancingan galatama sendiri pada dasarnya merupakan sebuah perlombaan. Akan tetapi masih bersumber dari buku Petunjuk Praktis Memancing Ikan Air Tawar (hal. 40), ada pula sistem galatama yang tidak resmi yaitu tidak dikelola oleh panitia khusus . Sistem galatama ini lebih mirip adu keberuntungan antarpemancing dan menurut sebagian orang sistem ini dianggap judi . Terselenggaranya sistem ini jika ada sejumlah pemancing (sekitar sepuluh orang) yang telah sepakat untuk bertanding. Setiap pemancing menyetorkan sejumlah uang yang telah disepakati dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Pemancing dengan total jumlah tangkapan terberat dalam periode waktu satu jam berhak atas semua uang setoran yang terkumpul yang mana sebagian uang tersebut diberikan kepada pengelola kolam pemancingan . Menurut hemat kami, sistem pemancingan galatama yang dilaksanakan dengan cara tersebut dapat dikatakan sebagai perjudian. Izin Usaha Pemancingan Selanjutnya menjawab pertanyaan kedua Anda, pendirian usaha pemancingan ikan berpedoman pada Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 19 Tahun 2015 tentang Standar Usaha Wisata Memancing (“Permenpar 19/2015”) . Menurut Pasal 1 angka 2 Permenpar 19/2015 : Usaha Wisata Memancing adalah usaha penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan memancing dengan menggunakan peralatan khusus dan perlengkapan keselamatan termasuk penyediaan jasa pemandu, untuk tujuan rekreasi dan hiburan . Usaha wisata memancing dapat merupakan usaha perseorangan atau badan usaha Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. [1] Setiap usaha wisata memancing pada dasarnya wajib memiliki Sertifikat Usaha Wisata Memancing yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi Usaha Bidang Pariwisata kepada usaha wisata memancing yang telah memenuhi standar. [2] Sertifikasi dilaksanakan melalui penilaian terhadap pemenuhan persyaratan dasar berupa Tanda Daftar Usaha Pariwisata Usaha Wisata Memancing dan pemenuhan standar yang meliputi aspek produk, pelayanan, dan pengelolaan . [3] Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata–mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika . Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar Hukum : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 19 Tahun 2015 tentang Standar Usaha Wisata Memancing Referensi : Khairuman dan Khairul Amri. Petunjuk Praktis Memancing Ikan Air Tawar. Depok: Agromedia Pustaka, 2003; R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal . Bogor: Politeia, 1994. [1] Pasal 4 Permenpar 19/2015 [2] Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 5 Permenpar 19/2015 [3] Pasal 8 Permenpar 19/2015 agrobisnis hukumonline sistem pidana"
} |
{
"from": "human",
"value": "Saya ingin tahu apakah menurut hukum dibutuhkan SKCK untuk persyaratan mendaftar CPNS atau Caleg?"
} | {
"from": "gpt",
"value": "Intisari: Surat Kerangan Catatan Kepolisian (“SKCK”) merupakan surat keterangan resmi yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri seseorang, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana. Jika kita perhatikan penerbitan SKCK pada setiap tingkat institusi Kepolisian menurut Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (“Perkapolri 18/2014”), maka penerbitan SKCK untuk keperluan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil/CPNS (calon pegawai pada lembaga/badan/instansi pemerintahan) berada pada tingkat Polres . Sedangkan penerbitan SKCK untuk kepentingan menjadi Caleg (Calon Anggota Legislatif) berada pada tingkat Mabes Polri . Berdasarkan penelusuran kami, secara eksplisit tidak disebutkan bahwa SKCK diperlukan sebagai syarat wajib untuk menjadi CPNS dan Caleg. Pada dasarnya SKCK diberikan untuk suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan sebagaimana diatur di Pasal 1 angka 4 Perkapolri 18/2014. Jadi , jika tidak dipersyaratkan, maka tidak wajib diberikan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan: Terima kasih atas pertanyaan Anda. Surat Kerangan Catatan Kepolisian Surat Kerangan Catatan Kepolisian (“SKCK”) menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (“Perkapolri 18/2014”): SKCK adalah surat keterangan resmi yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) kepada seorang/pemohon warga masyarakat untuk memenuhi permohonan dari yang bersangkutan atau suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan, berdasarkan hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang orang tersebut. Sementara, Catatan Kepolisian adalah catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan atas perbuatan yang dia lakukan. [1] SKCK dibuat agar catatan tertulis yang diselenggarakan oleh Polri terhadap seseorang yang pernah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar hukum atau sedang dalam proses peradilan diketahui oleh pihak yang membutuhkan keterangan itu. Penerbitan SKCK Pada Tingkat Kepolisian Sektor (“Polsek”) SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk: [2] Menjadi calon pegawai pada perusahaan/lembaga/badan swasta; dan Melaksanakan suatu kegiatan atau keperluan tertentu dalam lingkup wilayah Polsek, antara lain: pencalonan kepala desa; pencalonan sekretaris desa; pindah alamat; atau melanjutkan sekolah. Penerbitan SKCK Pada Tingkat Kepolisian Resor (“Polres”) SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk: [3] menjadi calon pegawai pada lembaga/badan/instansi pemerintahan dan perusahaan vital yang ditetapkan oleh pemerintah; masuk pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (“TNI”) dan Kepolisian RI (“Polri”); dan melaksanakan suatu kegiatan atau keperluan dalam lingkup wilayah Polres, antara lain: pencalonan pejabat publik; melengkapi persyaratan izin kepemilikan Senjata Api (Senpi) nonorganik TNI dan Polri; atau melanjutkan sekolah. Penerbitan SKCK Pada Tingkat Kepolisian Daerah (“Polda”) SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk: [4] menjadi calon pegawai atau calon anggota pada lembaga/badan/instansi pemerintahan dan perusahaan vital yang ditetapkan oleh pemerintah; memperoleh paspor dan/atau visa; Warga Negara Indonesia (“WNI”) yang akan bekerja di luar negeri; atau melaksanakan suatu kegiatan atau keperluan dalam lingkup wilayah Polda, antara lain: menjadi notaris; pencalonan pejabat publik; atau melanjutkan sekolah. Penerbitan SKCK Pada Tingkat Markas Besar (“Mabes”) Polri SKCK digunakan sebagai kelengkapan persyaratan bagi pengguna, antara lain untuk: [5] kepentingan menjadi pejabat negara (eksekutif, legislatif , yudikatif, dan lembaga pemerintah) tingkat pusat; WNI yang akan ke luar negeri untuk kepentingan sekolah atau kunjungan dan/atau penerbitan visa; WNI dan Warga Negara Asing (“WNA”) yang memerlukan untuk melaksanakan kegiatan atau keperluan tertentu dalam lingkup nasional dan/atau internasional antara lain: izin tinggal tetap di luar negeri (permanent resident); naturalisasi kewarganegaraan; atau adopsi anak bagi pemohon WNA. Jadi, jika kita perhatikan penerbitan SKCK pada setiap tingkat institusi Kepolisian, maka penerbitan SKCK untuk keperluan menjadi CPNS (calon pegawai pada lembaga/badan/instansi pemerintahan) berada pada tingkat Polres . Sedangkan penerbitan SKCK untuk kepentingan menjadi Caleg (anggota legislatif sebagai pejabat negara) [6] berada pada tingkat Mabes Polri . Prosedur Penerbitan SKCK Prosedur penerbitan SKCK dilakukan melalui: [7] pencatatan; identifikasi; penelitian; koordinasi; dan penerbitan. Penelitian, salah satunya, dilakukan terhadap data menyangkut pemohon SKCK pernah atau tidak pernah dan/atau sedang tersangkut tindak pidana . [8] Terkait data ini, dilakukan juga koordinasi internal antara Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara, terkait pemberian data ada atau tidaknya tindak pidana yang dilakukan sebagai pemohon SKCK. [9] Reserse Kriminal, Lalu Lintas, Polair, dan Sabhara secara berkala memperbarui data tentang masyarakat yang mempunyai catatan kriminal. [10] Berdasarkan uraian tersebut SKCK merupakan surat keterangan resmi yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri seseorang, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana. Ulasan selengkapnya mengenai SKCK dapat Anda simak dalam artikel Bisakah Mendapatkan SKCK Jika Pernah Melakukan Tindak Pidana? . Apakah SKCK Dibutuhkan sebagai Syarat Mendaftar CPNS dan Caleg? Terkait dengan pertanyaan Anda mengenai SKCK untuk persyaratan mendaftar Calon Pengawai Negeri Sipil (“CPNS”) atau Calon Legislatif (“Caleg”), kita dapat melihat persyaratan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi CPNS dan Caleg. Berikut ulasannya: Jika ingin menjadi PNS, seseorang harus mendaftar dan memenuhi persyaratan menjadi PNS. Persyaratan lamaran tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (“PP 11/2017”) Setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: [11] Usia paling rendah 18 tahun dan paling tinggi 35 tahun pada saat melamar; dapat dikecualikan bagi jabatan tertentu, yaitu paling tinggi 40 tahun. [12] Tidak pernah dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih; Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai PNS, prajurit TNI, anggota Polri, atau diberhentikan tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta; Tidak berkedudukan sebagai calon PNS, PNS, prajurit TNI, atau anggota Polri; Tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik atau terlibat politik praktis; Memiliki kualifikasi pendidikan sesuai dengan persyaratan Jabatan; Sehat jasmani dan rohani sesuai dengan persyaratan Jabatan yang dilamar; Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh Instansi Pemerintah; dan Persyaratan lain sesuai kebutuhan Jabatan yang ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai syarat SKCK bagi pelamar CPNS, bahkan di Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018 (“Permenpan 36/2018”) tidak disebutkan mengenai SKCK. Kemudian mengenai syarat untuk menjadi Caleg dapat kita lihat dalam Pasal 240 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) , salah satunya yakni: ….. ….. ….. ….. ….., ...., tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; …. …. …. dst Sebagai tembahan informasi tambahan, sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel MA Putuskan Mantan Narapidana Korupsi Boleh Nyaleg Mahkamah Agung (“MA”) melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 46 P/HUM/2018 telah membatalkan Pasal 4 ayat (3), Pasal 7 huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota (“PerKPU 20/2018”) dan Pasal 60 huruf j Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Pemilu Anggota DPD (“PerKPU 26/2018”) terkait larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019. Mahkamah Agung menyatakan peraturan dimaksud bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. MA menilai norma yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) PerKPU 20/2018 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu . Menurut MA, Pasal 240 ayat (1) huruf g sama sekali tidak mengatur norma atau aturan larangan mencalonkan diri bagi mantan terpidana korupsi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Pakta Integritas pengajuan bakal Caleg. Analisis Berdasarkan uraian tersebut secara eksplisit tidak disebutkan bahwa SKCK diperlukan sebagai syarat wajib untuk menjadi CPNS dan Caleg. Pada dasarnya SKCK diberikan untuk suatu keperluan karena adanya ketentuan yang mempersyaratkan sebagaimana diatur di Pasal 1 angka 4 Perkapolri 18/2014 . Jadi , jika tidak dipersyaratkan, maka tidak wajib diberikan. Tetapi bisa saja SKCK dibutuhkan untuk melengkapi dan memenuhi persyaratan menjadi CPNS dan Caleg yaitu tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 2 (lima) tahun atau lebih untuk CPNS dan 5 (lima) tahun lebih untuk caleg, mengingat SKCK adalah surat keterangan resmi yang memuat hasil penelitian biodata dan catatan Kepolisian yang ada tentang diri seseorang, termasuk pernah atau tidaknya melakukan tindak pidana. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 36 Tahun 2018 tentang Kriteria Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil dan Pelaksanaan Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Catatan Kepolisian Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Pemilu Anggota DPD [1] Pasal 1 angka 3 Perkapolri 18/2014 [2] Pasal 5 ayat (3) Perkapolri 18/2014 [3] Pasal 6 ayat (4) Perkapolri 18/2014 [4] Pasal 7 ayat (4) Perkapolri 18/2014 [5] Pasal 8 ayat (5) Perkapolri 18/2014 [6] Lihat Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara [7] Pasal 12 Perkapolri 18/2014 [8] Pasal 15 ayat (1) huruf e Perkapolri 18/2014 [9] Pasal 16 ayat (2) huruf a Perkapolri 18/2014 [10] Pasal 16 ayat (3) Perkapolri 18/2014 [11] Pasal 23 ayat (1) PP 11/2017 [12] Pasal 23 ayat (2) PP 11/2017 lembaga pemerintah pegawai negeri sipil polri pns klinik hukumonline imigrasi tata negara hukumonline calon pegawai negeri sipil kepolisian skck nyaleg google caleg hukum klinik calon legislatif polisi pidana"
} |
Subsets and Splits